Uni Eropa juga mengklaim skema pembebasan bea masuk merupakan subsidi
yang bergantung pada penggunaan barang-barang domestik atas impor yang
dilarang berdasarkan Pasal 3.1 b) Perjanjian tentang Subsidi dan Tindakan
Penyeimbang/Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (ASCM).
Sebagai penerima ekspor nikel dari Indonesia, atas larangan ekspor ini, Uni
Eropa mengklaim beberapa ketentuan tidak konsisten dan bertentangan
dengan prinsip keadilan.
Artikel ini akan membahas gap yang muncul dari kebijakan nasional terkait
larangan ekspor bijih nikel dan klaim dari Uni Eropa.
Kedua, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun
2014 tentang Kriteria Peningkatan Nilai Tambah.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 Nomor 1 menegaskan pemegang
kontrak karya sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 170 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, wajib
memurnikan hasil tambang dalam negeri.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2013 merupakan puncak
tertinggi ekspor nikel Indonesia yang mencapai 64.802.857 ton atau 1.685.247
dollar AS.
Mengacu pada data tersebut, ada enam negara utama yang menjadi tujuan
ekspor nikel Indonesia, yakni Jepang, China, Australia, Swiss, Yunani, dan
Ukraina.
Kondisi tersebut membuat pemerintah mau tidak mau harus menyiasati dan
mencari jalan keluar. Salah satunya dengan merevisi sejumlah peraturan
turunan dari UU Minerba.
Selain Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor Bahan Baku Mineral dan
Pertambangan yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan, ada dua faktor
yang menjadi dasar kebijakan pemerintah Indonesia di sektor minerba, yaitu
Faktor Internal dan Faktor Eksternal.
1. Pasal XI:1 GATT 1994, karena dengan melarang ekspor bijih nikel, dengan
mewajibkan bijih nikel, bijih besi dan kromium serta batubara dan produk
batubara menjalani kegiatan pengolahan tertentu sebelum diekspor,
dengan mewajibkan jumlah tertentu nikel dan batubara yang dijual di
dalam negeri sebelum diekspor dan dengan memberlakukan persyaratan
perizinan ekspor tertentu pada bijih nikel, limbah dan skrap logam serta
batubara dan kokas, Indonesia memberlakukan tindakan yang membatasi
ekspor bahan mentah yang relevan untuk produksi baja tahan karat;
2. Pasal 3.1 b) ASCM, karena skema pembebasan bea masuk khusus yang
diperkenalkan oleh Indonesia dalam rangka mendorong pengembangan
industri dan investasi dan/atau peningkatan pembangunan ekonomi di
wilayah tertentu negara (“Kawasan Pengembangan Industri ” atau “WPI”),
memberikan periode pembebasan bea tambahan (diperpanjang) yang
bergantung pada penggunaan mesin, instalasi, peralatan atau perkakas
yang diproduksi secara lokal; di mana dukungan tambahan tersebut
merupakan pemberian subsidi dalam arti Pasal 1.1 ASCM dan membuat
subsidi itu bergantung pada penggunaan barang-barang domestik atas
barang-barang impor, melanggar Pasal 3.1 b) ASCM; dan Pasal X:1 GATT
1994, karena Indonesia tidak segera mengumumkan semua tindakan
penerapan umum yang berkaitan dengan pelaksanaan pembatasan
ekspor dan penerbitan izin ekspor, sehingga memungkinkan pemerintah
dan pedagang menjadi berkenalan dengan mereka.
Berbagai tindakan yang berkaitan dengan bahan baku yang diperlukan untuk
produksi baja tahan karat yang diidentifikasi dalam permintaan ini tampaknya
meniadakan atau mengurangi manfaat yang diperoleh Uni Eropa secara
langsung atau tidak langsung berdasarkan perjanjian yang tercakup.
Analisis
Dalam kasus China – Tindakan Terkait Ekspor Berbagai Bahan Baku keluhan
oleh EU – Meksiko – Amerika Serikat, Panel Report menemukan China
melanggar berbagai ketentuan WTO.
Pada tanggal 30 Januari 2012 Appellate Body mengedarkan laporan yang
mengkonfirmasi semua temuan utama Panel, yaitu pembatasan ekspor China
(tugas dan kuota) melanggar komitmen WTO-nya dan bahwa China tidak
dapat membenarkannya.
Tidak satu pun dari modifikasi yang dilakukan oleh Appellate Body atas
temuan Panel telah mengubah kesimpulan Panel bahwa pembatasan ekspor
China melanggar aturan WTO dan komitmen China, dan tidak dapat
dibenarkan menurut hukum WTO.
Kesimpulan
Permasalahan kasus klaim Uni Eropa kepada World Trade Organization (WTO)
terhadap pembatasan ekspor nikel dan bahan baku lainnya yang dilakukan
Indonesia, adalah mengenai pembatasan secara tidak adil membatasi akses
produsen UE terhadap bijih nikel khususnya, serta untuk memo, batu bara dan
kokas, bijih besi dan kromium.