Anda di halaman 1dari 16

JAKARTA, KOMPAS.

com - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil


Lahadalia mengatakan, gugatan yang dulakukan oleh Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO), tidak akan berpengaruh kebijakan pelarangan ekspor nikel yang berlaku sejak
Januari 2020. Adapun seiring dengan proses gugatan yang dilakukan oleh Uni Eropa,
pemerintah per 29 November 2019 lalu telah menyetujui permintaan kawasan tersebut untuk
melakukan konsultasi atas kebijakan mineral dan batu bara Indonesia. "Pelarangan nikel itu final.
Enggak bisa lagi. Negara ini kan kekayaan punya kita," ujar dia ketika ditemui di kantor
Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Kamis (9/1/2020). Lebih lanjut Bahlil menjelaskan,
kebijakan pelarangan ekspor nikel dimaksudkan agar industri dalam negeri melakukan hilirisasi.
Pasalnya, nikel merupakan bahan baku batu baterai lithium yang merupakan sumber energi
mobil listrik di masa depan. Bahlil pun meyakini, kebijakan yang berlandaskan Peraturan Menteri
ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tersebut tidak melanggar aturan perdagangan internasional yang
diberlakukan WTO. Sebab, pemerintah juga memiliki dasar hukum kuat yang mendukung
kebijakan tersebut, yaitu Undang–Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. "Itu
UU Minerba kita yang sudah menyatakan 2014 sudah stop. Jadi bagi kita enggak masalah kalau
itu digugat di WTO ya monggo saja," ujar Bahlil. Adapun sebelumnya, Wakil Menteri
Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan Indonesia siap hadapi gugatan Eropa terkait nikel.
Pemerintah juga menegaskan tak ada peningkatan tensi hubungan antara UE dan Indonesia.
"Pada 29 November 2019 Indonesia telah menyetujui permintaan konsultasi Uni Eropa guna
membahas kebijakan mineral dan batu bara Indonesia," kata dia saat ditemui di kantor
Kementerian Perdagangan, Selasa (07/01/2019). Menurut Jerry, proses ini merupakan hal wajar
bagi anggota WTO untuk saling menguji hak dan kewajiban masing-masing berdasarkan
komitmen yang dibuatnya. "Tanggal 15 Januari untuk bisa melihat kembali posisi masing masing
kementerian atau lembaga terkait untuk melihat pertanyaan yang akan dilayangkan ke kami
dengan komprehensif, detail dan rasionalisasi yang memang masuk akal," kata Jerry.

Source: https://money.kompas.com/read/2020/01/09/175319726/bkpm-uni-eropa-gugat-ri-soal-
larangan-ekspor-nikel-monggo-saja
JAKARTA, KOMPAS.com - Uni Eropa (UE) gerah dengan langkah Indonesia menyetop ekspor
bijih nikel mentah. Mereka bahkan berencana menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO) terkait larangan ekspor yang efektif berlaku mulai 1 Januari 2020. Pelarangan
ekspor mineral mentah ini mengacu pada Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun
2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang
Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Indonesia merupakan salah satu produsen
dan eksportir nikel terbesar dunia yang menguasai sekitar 27 persen pasar global. Kendati
demikian, Indonesia selama puluhan tahun hanya mengekspor nikel mentah. Negara produsen
nikel lainnya yakni Amerika Serikat, Australia, Bolivia, Brasil, China, dan beberapa negara Afrika.
Melansir pemberitaan Harian Kompas, 18 November 2019, Ekonom PT Bank UOB Indonesia
Enrico Tanuwidjaja, memaparkan bahwa nikel adalah mineral yang sangat berharga di masa
depan karena pesatnya perkembangan kendaraan listrik. Nikel adalah salah satu logam terbesar
dalam pembuatan baterai listrik. Lithium-ion ibarat jantung dari revolusi mobil listrik. Kandungan
baterai lithium-ion itu, terdiri dari anoda, katoda, dan elektrolit. Nikel merupakan komponen
logam yang dominan dalam komposisi baterai listrik, khususnya katoda. "Selama dua dekade
terakhir, produsen telah berupaya meningkatkan kadar nikel dalam komponen bahan baku
utama baterai mobil listrik, mengingat harga nikel relatif lebih murah," kata Enrico. Bahkan
dengan teknologi baterai lithium-ion yang semakin berkembang seiring pesatnya pertumbuhan
kendaraan listrik, kandungan nikel diprediksi akan semakin besar karena memiliki penyimpanan
daya yang lebih baik. Peningkatan kandungan nikel dalam komposisi baterai akan meningkatkan
kepadatan energinya sehingga mobil listrik akan memiliki kemampuan jarak tempuh yang lebih
jauh.
Pada awal 2019, produsen baterai mobil listrik di China, Contemporary Amperex Technology Co
Ltd (CATL), telah memasarkan baterai Lithium Nickel Cobalt Mangan (NCM) 811 (80 persen
nikel, 10 persen kobalt, 10 persen mangan) dengan kandungan nikel lebih tinggi dari
pendahulunya. Pangsa pasar baterai NCM 811 menduduki posisi kedua terbesar di China
(setelah NCM 523), meningkat menjadi 13 persen pada Agustus 2019, dari 1 persen pada
Januari dan 4 persen pada Juni 2019. Baterai NCM 811 telah membuat terobosan di China dan
disinyalir akan segera dikomersialkan secara luas kepada produsen mobil listrik seperti
Volkswagen, General Motors (GM), dan BMW. Tak berhenti di situ, upaya meningkatkan
kandungan nikel pada baterai mobil listrik terus dikembangkan oleh produsen melalui inovasi
berikutnya, yaitu baterai NCM 90 (90 persen nikel, 5 persen kobalt, 5 persen mangan yang
diprediksi akan diluncurkan pada 2025 atau lebih cepat. Bagi Indonesia, nikel merupakan
komoditas mineral yang sangat strategi di pasar dunia bersama timah dan batubara. Dengan
mengolah bijih nikel di peleburan dan pemurnian (smelter) di dalam negeri, Indonesia bisa
mendapatkan keuntungan yang jauh berlipat ketimbang mengapalkan bijih nikel yang masih
berupa 'tanah'. Dengan mengolah bijih nikel menjadi feronikel, misalnya, harganya dapat
meningkat dari 55 dollar AS per ton menjadi 232 dollar AS per ton, atau memberikan nilai
tambah sekitar 400 persen. Nilai ekspor bijih nikel Indonesia ke Uni Eropa mengalami
peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat, ekspor bijih nikel Indonesia naik
signifikan sebesar 18% pada kuartal kedua 2019 dibandingkan dengan periode yang sama
tahun 2017. Yang unik, China meskipun memiliki cadangan nikel yang besar, selama puluhan
tahun lebih banyak mengimpor bijih nikel dari Indonesia dan negara produsen lain.  Negeri
Panda menyerap lebih dari 50% produksi nikel dunia untuk kebutuhan industrinya. Sementara
itu, setelah rencana larangan ekspor bijih nikel, China bersikap lebih kooperatif dibandingkan Uni
Eropa. Baca juga: Jokowi: Nikel Kita, Mau Ekspor atau Enggak, Suka-suka Kita Negara ini jauh-
jauh hari sudah mengamankan pasokan feronikel, salah satu hasil pemurnian bijih nikel, dengan
menanam banyak modal untuk pembangunan smelter di Indonesia. Baik Eropa maupun China,
sejak beberapa tahun terakhir gencar membangun industri kendaraan berbasis listrik yang lebih
ramah lingkungan.
Source: https://money.kompas.com/read/2019/12/18/103200126/hidup-mati-mobil-listrik-eropa-
bergantung-nikel?page=2

MENGAPA UE MENGGUGAT INDONESIA YANG TIDAK INGIN EKSPOR NIKEL?

Kebijakan Indonesia menyetop ekspor nikel mentah diputuskan pada tahun lalu dan berlaku
efektif pada 1 Januari 2020. UE kemudian menggugatnya pada November 2019. Kebijakan ini
dianggap tak adil karena membatasi akses produsen UE terhadap bijih nikel.

https://www.cnbcindonesia.com/market/20200108101304-17-128461/uni-eropa-gugat-
pembatasan-ekspor-nikel-begini-penjelasan-ri

Berdasarkan publikasi Vale Indonesia yang mengutip Data US Geological Survey menyebutkan,
dari 80 juta metrik ton cadangan nikel dunia, hampir 4 juta metrik ton tersimpan di Indonesia.
Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat ke-6 dunia dengan deposit nikel terbesar di
dunia. Dikutip dari Antara, 27 November 2019, produk mineral khususnya nikel, besi, dan
kromium digunakan sebagai bahan baku industri stainless steel EU. Komisi Eropa yang
mengoordinasikan kebijakan perdagangan di Uni Eropa yang beranggotakan 28 negara,
mengatakan, pembatasan itu secara tidak adil membatasi akses produsen Uni Eropa terhadap
bijih nikel. Konsumsi terbesar nikel di dunia saat ini adalah negara-negara Asia khususnya
Tiongkok pada 2017 mencapai 72 persen dari konsumsi nikel dunia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Seberapa Penting Nikel dari Indonesia
hingga Pelarangan Ekspornya Digugat Uni Eropa?", Klik untuk
baca: https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/13/160751665/seberapa-penting-nikel-dari-
indonesia-hingga-pelarangan-ekspornya-digugat. 
Penulis : Virdita Rizki Ratriani
Editor : Virdita Rizki Ratriani

Diikuti Eropa dan Afrika sebesar 10 persen dan Amerika Serikat sekitar 8 persen. Terkait
gugatan Uni Eropa, masih mengutip Antara, Wakil Tetap/ Duta Besar Uni Eropa (EU) di Jenewa
telah mengirimkan surat kepada Wakil Tetap/Dubes RI di Jenewa yang secara resmi
menyampaikan bahwa EU akan mengajukan sengketa terkait produksi besi Indonesia, termasuk
pembatasan ekspor bijih nikel ke Organisasi Perdagangan Dunia ( WTO). Dalam surat yang
dikirimkan pada 22 November 2019 itu, EU juga menyampaikan permintaan melakukan
konsultasi. Konsultasi merupakan langkah awal dalam suatu proses penyelesaian sengketa
WTO.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Seberapa Penting Nikel dari Indonesia
hingga Pelarangan Ekspornya Digugat Uni Eropa?", Klik untuk
baca: https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/13/160751665/seberapa-penting-nikel-dari-
indonesia-hingga-pelarangan-ekspornya-digugat?page=2. 
Penulis : Virdita Rizki Ratriani
Editor : Virdita Rizki Ratriani

MENGENAL NIKEL

Nikel bukan hal yang asing bagi kehidupan kita. Kandungan nikel bisa ditemukan dari sendok
dan garpu, baterai telepon pintar maupun komponen pesawat terbang serta perangkat
elektronik. Dikutip dari situs Kementerian Perindustrian, nikel adalah salah satu jenis logam.
Logam ini memiliki julukan "the mother of industry", artinya merupakan tulang punggung yang
mendukung sektor industri lainnya, misalnya otomotif. Nikel terutama digunakan sebagai bahan
baku pembuatan baja anti karat (stainless steel). Dikutip dari buku "Nikel Indonesia", produk
akhir nikel sangat banyak dikonsumsi untuk pembuatan stainless steel, yaitu sebesar 6,9 persen.
Kemudian sebanyak 10 persen digunakan untuk logam paduan nonbesi. Lalu, sebesar 7 persen
untuk pelapisan logam (plating), 6 persen untuk pembuatan baterai dan lain-lain.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Seberapa Penting Nikel dari Indonesia
hingga Pelarangan Ekspornya Digugat Uni Eropa?", Klik untuk
baca: https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/13/160751665/seberapa-penting-nikel-dari-
indonesia-hingga-pelarangan-ekspornya-digugat?page=2. 
Penulis : Virdita Rizki Ratriani
Editor : Virdita Rizki Ratriani

selanjutnya, sebanyak 5 persen untuk logam paduan besi, serta 3 persen digunakan untuk
pengecoran. Sehingga, jika industri otomotif berkembang, permintaan nikel turut meningkat. Jika
pembangunan massal terjadi, permintaan nikel tinggi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Seberapa Penting Nikel dari Indonesia
hingga Pelarangan Ekspornya Digugat Uni Eropa?", Klik untuk
baca: https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/13/160751665/seberapa-penting-nikel-dari-
indonesia-hingga-pelarangan-ekspornya-digugat?page=3. 
Penulis : Virdita Rizki Ratriani
Editor : Virdita Rizki Ratriani

APA SAJA GUGATAN UE KE INDONESIA TERKAIT EKSPOR NIKEL INI?

Indonesia dinilai melanggar Pasal XI.1 GATT soal larangan pembatasan ekspor dan impor;
Pasal 3.1(b) Agreement on Subsidy and Countervailing Measures mengenai subsidi yang
dilarang; dan Pasal X.1 GATT mengenai pelanggaran kewajiban transparansi peraturan.
Ekonom Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi berkata respons
benua biru terhadap kebijakan restriktif atas ekspor komoditas nikel sangat wajar karena
dapat berdampak buruk pada industri baja di Eropa. 

Baca selengkapnya di artikel "Di Balik Ribut Indonesia & Uni Eropa soal Sawit hingga
Nikel", https://tirto.id/en77

Apalagi, sejak perang dagang berkecamuk, industri baja anti karat di kawasan itu digempur
baja impor China. Jika Uni Eropa gagal mengamankan bahan baku dari Indonesia, industri
baja mereka tak akan dapat meningkatkan kapasitas dan kalah bersaing dengan produk
impor. "Sementara ketika mereka ingin menaikkan produksinya, tentu butuh jaminan bahan
baku dan bahan penolong dalam hal ini nikel. Nah, dalam konteks ini, hal ini adalah
konsekuensi dari tekanan tersebut," kata Fithra. Meski demikian, dalam hukum dagang
internasional, Indonesia terikat pada kesepakatan perdagangan yang ada. Jika perjanjian-
perjanjian yang ada terkait jual-beli nikel bersifat jangka panjang, pelarangan ekspor sepihak
bisa berakibat buruk bagi Indonesia. Sebagai sebuah negara, Indonesia bakal dinilai tidak
ramah terhadap investor dan mengganggu perundingan IEU-CEPA—yang diproyeksikan
mendorong pertumbuhan PDB Indonesia hingga 0,5 persen per tahun dan meningkatkan
nilai ekspor sampai 1,1 miliar dolar AS per tahun. Sebaliknya, Direktur Eksekutif Indonesia
for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menilai pembatasan ekspor nikel justru bisa
menguntungkan Indonesia. Terutama untuk menegosiasikan kembali kebijakan RED II yang
selama ini dikesampingkan dalam perundingan IEU-CEPA. Baca juga: Perjanjian IEU-CEPA
Ditargetkan Rampung 2020 Meski Terganjal Sawit "Menurut kami, hari ini Indonesia sedang
berupaya untuk mendapatkan akses ke pasar sawit. Karena Indonesia akan mengajukan
gugatan sawit, di sisi lain EU (Uni Eropa) punya kepentingan terhadap ekspor konsentrat,"
kata Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti kepada Tirto.
Kendati demikian, seberapa besar kondisi ini akan menguntungkan sangat bergantung pada
konsistensi pemerintah dalam menjalankan kebijakan larangan ekspor nikel ini, menurutnya.
Apalagi, bukan hanya Eropa yang menghadapi ancaman baja China. Ancaman serupa
mengancam RI. Sehingga Indonesia punya alasan kuat mengapa kebijakan pembatasan
ekspor ore nikel mesti diberlakukan, katanya. "Seberapa serius pemerintah bicara soal
industri hilir atau bisa saja pasang badan Pak Jokowi. Ini akan jadi bargaining position yang
akan digunakan pemerintah Indonesia dalam proses perundingan," tandasnya. Presiden
Joko Widodo menegaskan Indonesia tak akan mundur meski digugat Uni Eropa ke
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Baca juga: Larangan Ekspor Nikel Digugat Uni
Eropa ke WTO, Jokowi: Kita Hadapi Penghentian rekomendasi ekspor bijih nikel kadar
rendah yang berlaku sejak 1 Januari 2020, kata dia, perlu dilakukan untuk mendorong
hilirasi pertambangan. Selain itu, pengaturan kebijakan bertujuan menjaga kebutuhan bijih
nikel kadar rendah sebagai bahan baku baterai untuk kendaraan bermotor listrik berbasis
baterai yang diamanatkan Peraturan Presiden RI Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan
Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle). Baterai
kendaraan listrik menggunakan tipe baterai lithium ion dengan bahan baku katoda adalah
nikel, cobalt, lithium, mangan, dan aluminium. “Untuk kepentingan nasional, apa pun yang
diprotes negara lain akan kami hadapi. Enggak perlu ragu. Digugat Eropa, ya hadapi,
siapkan lawyer terbaik sehingga bisa memenangkan gugatan itu. Jangan digugat, kami keok
karena tak serius, hadirkan lawyer yang terbaik yang kami punya,” ujar Jokowi. 

Baca selengkapnya di artikel "Di Balik Ribut Indonesia & Uni Eropa soal Sawit hingga
Nikel", https://tirto.id/en77

Dikutip Kompas.com dari laman resmi Eurofer, Rabu (18/12/2019), Eurofer menuding metode
pemurnian smelter di Indonesia tujuh kali lebih banyak menghasilkan karbon dioksida
dibandingkan dengan standar yang diterapkan industri peleburan Eropa. "Risikonya adalah
bahwa baja (produksi Indonesia) yang sangat murah dan berpolusi tinggi akan menggantikan
baja yang lebih bersih dari produsen Uni Eropa," tulis Eurofer dalam pernyataannya. Menurut
Eurofer, pembatasan ekspor bijih nikel dinilai tidak adil karena membatasi akses produsen baja
Uni Eropa atas bahan baku. Keberatan dengan kebijakan Indonesia yang membebaskan pajak
dan bea masuk impor untuk pembangunan smelter sepanjang memenuhi konten lokal sebesar
30 persen, dan menganggap kebijakan itu sebagai subsidi ilegal. "Indonesia telah melakukan
ekspansi yang agresif di sektor pengolahan nikel dan stanless steel," ujar Sekretaris Jenderal
Eurofer Axel Eggert. Baca juga: Perang Dagang Indonesia-Uni Eropa: Sawit Ditolak, Nikel
Bertindak Keberatan Eurofer sebenarnya sudah dikemukakan sejak lama. Indoenesia sendiri
sempat melarang ekspor bijih nikel tahun 2014, sebelum kemudian dilonggarkan pada tahun
2017. "Ini dimulai Indonesia pada tahun 2014 yang melarang ekspor bahan baku yang
mengandung nikel, guna memastikan industri domestik bisa mendapatkan akses harga di bawah
pasar," ungkap Eggert. Bagi industri baja Uni Eropa, nikel punya nilai sangat penting. Nikel
adalah salah satu komponen utama penyusun baja yang tahan karat. "Indonesia menempati
posisi sebagai salah satu negara yang memiliki cadangan nikel terbesar dunia. Indonesia juga
membangun industri stainless steel dengan bermaksud masuk ke pasar lain menggunakan
sarana penghalang yang ada di WTO," tegasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Indonesia Akan Batasi Ekspor Bijih Nikel,
Industri Baja Eropa Tuding Ini", Klik untuk
baca: https://money.kompas.com/read/2019/12/18/120000626/indonesia-akan-batasi-ekspor-
bijih-nikel-industri-baja-eropa-tuding-ini. 
Penulis : Muhammad Idris
Editor : Bambang Priyo Jatmiko

Eurofer mencatat, ekspor produk stainless steel Indonesia ke Uni Eropa hampir 0 persen pada
2017. Kemudian, mulai mengambil 18 persen pasar Uni Eropa pada kuarter kedua 2019.
Komponen nikel menyumbang 45 persen dari seluruh biaya pembuatan baja.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Indonesia Akan Batasi Ekspor Bijih Nikel,
Industri Baja Eropa Tuding Ini", Klik untuk
baca: https://money.kompas.com/read/2019/12/18/120000626/indonesia-akan-batasi-ekspor-
bijih-nikel-industri-baja-eropa-tuding-ini?page=2. 
Penulis : Muhammad Idris
Editor : Bambang Priyo Jatmiko

KENAPA INDONESIA LARANG EKSPOR NIKEL?

Salah satu alasan pelarangan ekspor lantaran cadangan nikel di Indonesia mulai menipis. Selain
itu, kebijakan ini juga diambil dalam rangka program pemerintah terkait kendaraan listrik. Nikel
bisa dimanfaatkan untuk industri baterai kendaraan listrik.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Seberapa Penting Nikel dari Indonesia
hingga Pelarangan Ekspornya Digugat Uni Eropa?", Klik untuk
baca: https://www.kompas.com/tren/read/2019/12/13/160751665/seberapa-penting-nikel-dari-
indonesia-hingga-pelarangan-ekspornya-digugat. 
Penulis : Virdita Rizki Ratriani
Editor : Virdita Rizki Ratriani

Pada triwulan tiga 2019, tercatat defisit transaksi berjalan senilai USD 7,7 miliar atau 2,7
persen dari produk domestik bruto (PDB). Selain itu, kata Jokowi, hilirisasi juga akan
menciptakan banyak lapangan kerja di Indonesia. 

Sebelumnya, Komisi Uni Eropa mengancam bakal menggugat Indonesia ke WTO karena
melarang ekspor nikel mentah mulai tahun depan. Larangan tersebut dianggap merugikan
negara-negara Eropa, karena bakal memperkecil pasokan bahan baku industri stainless steel
di sana. 

Sebelumnya pemerintah hendak melarang secara total, ekspor dari bijih nikel dengan kadar di
bawah 1,7 persen mulai 1 Januari 2020 mendatang.  Hal ini disampaikan melalui Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang
Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Namun kemudian Pemerintah dan pelaku industri pengolahan nikel bersepakat menghentikan
ekspor bijih nikel mulai 29 Oktober.

https://kbr.id/nasional/12-
2019/_uni_eropa_ancam_gugat_larangan_ekspor_nikel__ini_yang_disiapkan_jokowi/101644.ht
ml

APAKAH BENAR INDONESIA MELANGGAR ATURAN DAGANG NIKEL?

Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perdagangan meyakini Indonesia tidak melanggar aturan


perdagangan bebas (free trade) terkait larangan ekspor larangan ekspor bijih mentah
(ore) nikel. Ini menanggapi gugatan yang dilayangkan oleh Uni Eropa atas Indonesia kepada
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait larangan ekspor ore nikel.

"Saya pikir optimis (tidak melanggar aturan dagang). Nanti kami bahas saat menerima
pertanyaan (Uni Eropa). Kami akan deliver itu dengan tepat sasaran," ucap Wakil Menteri
Perdagangan Jerry Sambuaga, Selasa (7/1).

Ia menuturkan Indonesia telah menyetujui permintaan konsultasi Uni Eropa guna membahas
kebijakan mineral dan batu bara (minerba) sejak 29 November 2019 lalu. Rencananya, dua
negara akan bertemu pada 30 Januari 2020 mendatang di Jenewa.

Saat ini, lanjut dia, pemerintah tengah menunggu daftar pertanyaan dari Uni Eropa. Sejalan
dengan itu, lintas kementerian dan lembaga melakukan sinergi untuk mengantisipasi pertanyaan
dari Uni Eropa.

"Tanggal 16 Januari kami harapkan sudah ada, sehingga kami bisa menjawab pertanyaan-
pertanyaan tersebut, merasionalisasikan itu dan menyampaikan ke mereka," tuturnya.

Ia melanjutkan jika dua negara tak menemui kesepakatan dalam forum konsultasi, maka perkara
tersebut akan diselesaikan melalui panel di WTO. Namun demikian, ia menegaskan gugatan
tersebut merupakan hal yang wajar terjadi di antara anggota WTO, asal sengketa itu
diselesaikan melalui jalur hukum internasional.

"Pemerintah Indonesia menegaskan tak ada peningkatan tensi hubungan antara Uni Eropa dan
Indonesia. Proses ini merupakan hal wajar bagi anggota WTO untuk saling menguji hak dan
kewajiban masing-masing berdasarkan komitmen yang dibuat," katanya.

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200107191018-92-463258/digugat-uni-eropa-
indonesia-tak-langgar-aturan-dagang-nikel

APAKAH BISA DITUNDA DULU ATURAN INI?

Mencari Nilai Tambah

Meski mendapat banyak protes, Pemerintah tetap konsisten akan menjalankan


amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba yang melarang
ekspor ore. Apalagi mineral termasuk sumber daya alam yang tidak terbarukan (non
renewable) yang suatu saat akan habis.
Hal tersebut mendorong pemerintah untuk memberikan nilai lebih bagi
perekonomian nasional dengan cara melakukan hilirisasi. Larangan ekspor mineral
mentah semata-mata bukan untuk mematikan bisnis pertambangan, melainkan
bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk mineral dengan cara melakukan
pemurnian di dalam negeri. Kebijakan ini juga memaksa perusahaan tambang untuk
membangun smelter.

Langkah pemerintah ini didukung penuh oleh Komisi VII DPR yang membidangi
pertambangan dan energi. Artinya, kebijakan pemerintah melarang ekspor mineral
mentah, selain diperkuat regulasi, juga didukung kekuatan politik di parlemen.

Karena itu, tak ada alasan bagi pemerintah berkompromi dengan pihak-pihak yang
keberatan dengan proses hilirisasi yang dicanangkan pemerintah. Pemerintah
senantiasa terus melakukan upaya-upaya untuk mendorong para pelaku usaha agar
terus berbenah diri dan melakukan terobosan sehingga dapat mendongkrak nilai
tambah yang dapat menyejahterakan rakyat dan menentukan bagi perdagangan
tambang dan mineral dunia.

Pemerintah juga menyadari, pada tahap awal keputusan tersebut akan menimbulkan
gejolak, bahkan tak sedikit perusahaan tambang yang kelabakan. Namun,
pemerintah juga meyakini bahwa keputusan melarang ekspor ore dan mendorong
perusahaan tambang membangun smelter merupakan langkah terbaik untuk
kepentingan jangka panjang.

“Lima tahun sejak 2009, ekspor mineral harus dikendalikan dan harus
membuat smelter. Tujuan dari undang-undang itu sangat mulia agar mineral mentah
jangan diekspor, yang dulu awal-awal jadi Menteri ESDM, saya katakan jangan
mengekspor tanah air,” kata Jero Wacik, pada Desember 2013 saat menjabat
sebagai Menteri ESDM, seperti dikutip laman resmi kementerian.

Desakan Relaksasi Ekspor

Tiga tahun sudah berlalu sejak pemerintah melarang ekspor mineral mentah pada
11 Januari 2014 lalu. Tak sedikit yang mendesak pemerintah memberikan
kelonggaran atau relaksasi ekspor, terutama untuk komoditas nikel dengan kadar
rendah di bawah 1,8 persen.

Pemerintah bahkan memberikan angin segar bagi para pengusaha nikel dalam
rencana revisi PP Nomor 1 tahun 2014 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara. September lalu, saat masih menjabat sebagai Plt Menteri
ESDM, Luhut Binsar Pandjaitan mewacanakan relaksasi ekspor mineral ini.
Pemerintah akan memberikan kelonggaran atau relaksasi bagi perusahaan-
perusahaan yang berkomitmen membangun smelter.

Wacana tersebut mendapat respons beragam. Direktur Utama PT Antam, Tedy


Badrujaman mendukung rencana tersebut. Menurut dia, rencana relaksasi ekspor
(mengizinkan kembali) mineral secara terbatas yang digagas pemerintah melalui
Kementerian ESDM untuk mengoptimalkan nilai tambah hilirisasi bijih mineral.

“Jika ekspor bijih mineral kembali diberlakukan, maka Antam sebagai BUMN
pengelola sumber daya mineral, siap mengekspor bijih nikel antara 15-20 juta ton
pada tahun 2017,” ujarnya, September lalu seperti dikutip Antara.

Menurut Tedy, bijih nikel merupakan produk tambang yang memiliki nilai tinggi di
luar negeri sehingga jika diekspor akan menjadi tambahan pemasukan bagi negara
dan pendanaan bagi proyek pertumbuhan pendapatan.

Namun, rencana tersebut ditolak keras oleh perusahaan pengolahan dan pemurnian
mineral atau smelter yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Industri
Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I).

Ketua Umum AP3I, Prihadi Santoso mengatakan, rencana tersebut menunjukkan


ketidakkonsistenan pemerintah menjalankan undang-undang. “Pemerintah bisa
dianggap tidak konsisten dengan aturan yang dibuatnya sendiri,” ujarnya seperti
dikutip Antara.

Sementara itu, Wakil Ketua AP3I, Jonatan Handojo menyatakan, bijih nikel kadar
rendah sebenarnya dapat terserap di fasilitas smelterdan masih ekonomis di dalam
negeri. “Kadar 1,2 persen juga masih bisa diproses di dalam negeri, apalagi yang
1,8 persen,” ujarnya pada Kontan, awal Oktober lalu.

Ia menduga, relaksasi ekspor bijih nikel kadar rendah lantaran desakan dari smelter
di Jepang yang tidak mendapat pasokan bijih nikel dari Filipina. Ketiga smelter itu
yakni Hyuga Sumitomo, Pamco dan Nippon Steel.

Ketiga smelter nikel di Jepang itu tidak memperoleh suplai dari Filipina akibat 20


tambang nikel ditutup oleh pemerintah setempat. Adapun mereka mendesak
pemerintah Indonesia dan Antam untuk suplai nikel ore kadar kurang dari 1,8 persen
ke Jepang karena jenis nikel ini persis seperti yang mereka dapatkan dari Filipina.

Dalam konteks ini, ekspor nikel kadar rendah hanya menguntungkan Antam, tapi
merugikan investor lokal lainnya. Karena itu, Jonatan meminta pemerintah
memikirkan investor nikel lain yang sudah berhasil membangun smelter di dalam
negeri, guna mendukung program hilirisasi mineral.

Menguji Konsistensi Pemerintah

Pemerintah memang sempat mewacanakan relaksasi ekspor mineral mentah bagi


perusahaan yang sudah berkomitmen membangun smelter, namun hal tersebut
masih dikaji. Artinya, pemerintah masih menampung masukan dari berbagai pihak,
baik kelompok yang setuju relaksasi maupun yang menolaknya.

Karena itu, sangat wajar ketika dalam kurun waktu September hingga Oktober saja,
pernyataan Luhut terkait relaksasi ekspor mineral mentah selalu berubah. Misalnya,
pada September lalu, ia mewacanakan kemungkinan pemerintah memberikan
relaksasi ekspor mineral, termasuk nikel dengan kadar tertentu, namun pada 12
Oktober, ia justru memastikan kalau nikel dan bauksit tidak akan mendapat realisasi
ekspor dalam revisi PP No. 1 tahun 2014.

Luhut mengatakan, harus ada kajian lebih lanjut untuk benar-benar memutuskan hal
tersebut. “Jadi ini hampir ya, belum diputuskan, hampir pasti kita tidak akan
memberikan relaksasi untuk nikel dan bauksit. Hampir pasti, karena saya ingin ada
studi lagi,” ujarnya, Rabu (12/10/2016) malam, seperti dikutip Antara.

Menurut Luhut, berdasarkan kajian sementara item per item, ditemukan bahwa


Indonesia memegang hampir 50 persen pangsa pasar nikel dunia. Indonesia,
Filipina dan New Caledonia bahkan diklaim mengontrol 70 persen pasokan nikel
dunia.

Saat ini, hasil pengolahan nikel di Tanah Air yang sudah sampai pada produk
turunan seperti "stainless steel" pun sudah dapat diekspor ke luar negeri.

Selain itu, pemerintah juga mencatat, setidaknya ada sekitar 22 perusahaan telah
melakukan hilirisasi nikel baik dalam bentuk smelter besar dan kecil. Karena itu,
pihaknya masih akan melakukan kajian yang lebih detail terkait jenis mineral yang
akan mendapat relaksasi ekspor.

Apapun hasil kajian pemerintah, publik hanya bisa berharap pemerintah konsisten
dengan UU Minerba dan komitmen pada prinsip nilai tambah bagi perekonomian
nasional terkait pengelolaan pertambangan dan mineral ini.

https://tirto.id/menimbang-relaksasi-ekspor-nikel-bVc8

Anda mungkin juga menyukai