Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS KUALITATIF INDUSRI BESI BAJA DI INDONESIA

Metode penelitian yang dipakai adalah dengan menggunakan qualitative method yang
bersifat mencari literature, explorative case study, dimana hasil yang diperoleh adalah melalui
interview yang mencari dan mendalami industry besi baja. Sementara pengumpulan data di
lapangan dilakukan dengan melakukan wawancara intensif dengan pelaku industri besi baja yang
sudah lama berkecimpung sebagai engineer dari level manajer sampai direktur operasi.

A. Sekilas Industri Besi Baja Indonesia


Salah satu industri yang mendapatkan perhatian adalah Industri Logam, khususnya adalah
industri besi dan baja. Industri besi baja merupakan industri strategis karena merupakan salah
satu penggerak utama pembangunan suatu negara. Keberadaan baja dalam kehidupan sehari-hari
sering diabaikan karena kebanyakan sering dilapisi oleh bahan lain. Semua segmen kehidupan,
mulai dari peralatan dapur, transportasi, generator pembangkit listrik, sampai kerangka gedung
dan jembatan menggunakan baja.
Industri besi baja tidak bisa terlepas dari pengolahan bijih besi atau pasir besi menjadi baja.
Sehingga produk pengolahan biji besi yang paling banyak digunakan adalah baja. Jumlah baja
yang dihasilkan di dunia pada tahun 2011 adalah 1,518 milyar ton. Produksi baja masih
didominasi oleh China yang menghasilkan baja 683,3 juta ton dimana persentasenya mencapai
45% dari total produksi baja dunia. Produksi baja di Indonesia dari tahun 2001 hingga 2010
berkisar di 3±1 juta ton. Peningkatan produksi baja Indonesia sekitar 4-5 juta ton terjadi ditandai
dengan beroperasinya pabrik baja terintegrasi oleh PT Krakatau POSCO pada akhir tahun 2013,
disertai selesainya pembangunan tanur tiup oleh PT Krakatau Steel dan Gunung Steel Group.
Selain itu, beberapa pabrik baru juga akan didirikan, baik pabrik peleburan besi tua (scrap) atau
besi spons dengan menggunakan teknologi EAF (Electric Arc Furnace). Kebutuhan baja
Indonesia juga akan terus meningkat dan diprediksi pada tahun 2020 konsumsi baja Indonesia
dapat menjadi 20 juta ton (Hikmat dan Primiana, 2015). Dapat disimpulkan bahwa demand dari
besi baja di Indonesia masih sangat tinggi dan mesti dipenuhi oleh adanya pabrik-pabrik besi
baja yang baru. Pengolahan bijih besi lokal menjadi produk baik baja lembaran, baja profil
maupun baja tulangan yang dapat digunakan untuk industri manufaktur, infrastruktur berupa
jalan, jembatan, bangunan atau industri-industri lainnya sehingga dapat meningkatkan multiplier
effect bagi perekonomian masyarakat di sekitar industri tersebut.
Industri baja merupakan industri yang penting karena merupakan bahan baku dari industri
yang lainnya, seperti digunakan dalam infrastruktur (contohnya seperti pembuatan jembatan
yang menggunakan baja sebagai bahan utamanya), pembuatan alat-alat pabrik, alat transportasi,
otomotif. Selain itu baja digunakan juga untuk industri pelat timah sebagai kaleng makanan dan
minuman, kaleng cat, juga kontainer kimia.
Indonesia merupakan suatu negara yang mengkonsumsi serta memproduksi baja yang luas.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementrian Perindustrian, industri besi dan baja Indonesia
berkembang sebanyak 12,74% dan pada tahun 2012. Sekarang negara kita mengkonsumsi baja
sebanyak 12,53 juta ton. Sektor kontruksi adalah salah satu sektor yang menggunakan baja
paling banyak sekitar 80%, dari sektor pembuatan rangkaian pipa sebanyak 8%, dari sektor
manufaktur sebanyak 3%, dari pabrik-pabrik pembuatan besi sebanyak 2% dan dari pabrik
pabrik yang berkenaan dengan otomotif 1% dan selebihnya 6% untuk kebutuhan pabrik lain.
Namun industri baja yang ada di Indonesia tidak mengalami perkembangan dan justru
mengalami kebangkrutan dengan ditandai adanya PHK besar-besaran pada tahun 2009] yang
disebabkan kurang bersaingnya industri baja indonesia dengan industri baja di luar negeri yang
sangat mudah masuk ke dalam negeri (Cahyani, 2015).
B. Peran Industri Besi Baja Skala Nasional
Dalam proses pembangunan, keberadaan industri besi dan baja memegang peranan vital.
Karena besi dan baja merupakan material logam yang memegang peranan sangat penting dalam
peradaban atau kehidupan manusia. Karena besi dan baja merupakan bahan utama industri
manufaktur dan pembangunan infrastruktur, serta hampir 95% lebih peralatan logam yang
digunakan manusia berasal dari bahan baku besi dan baja ini. Atas perannya yang sangat penting
tersebut, maka keberadaan industri besi dan baja menjadi sangat strategis untuk memacu
kemajuan dan kemakmuran suatu negara. Karena itu, sejalan dengan peningkatan pembangunan
sektor industri dan makin intensifnya pembangunan; infrastruktur, listrik, peralatan pabrik,
transportasi, pertahanan, peralatan rumah tangga, perumahan dan perangkat telekomunikasi di
Indonesia, maka kebutuhan akan produk besi dan baja nasional akan terus mengalami
peningkatan yang signifikan (Prasetyo, 2010).
C. Pemasok Bahan Baku Industri Besi Baja di Indonesia
Pada saat ini, pokok masalah yang lebih serius adalah konsumsi besi dan baja di
Indonesia masih sangat rendah, yakni hanya sekitar 33 kg perkapita, dan masih di bawah
konsumsi negara-negara di Asia Tenggara. Selain itu, pada saat ini tingkat produksi besi dan baja
nasional Indonesia juga belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan besi dan baja nasional.
Karena itu, Indonesia harus mengimpor Pellet besi dan baja dari luar negari terutama dari China
dan India.
D. Daya Saing Industri Besi Baja Indonesia dengan Industri Besi Baja di Dunia
Daya saing menurut Porter (1990) adalah produktivitas yang didefinisikan sebagai output
yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Menurut World Economic Forum, daya saing nasional adalah
kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan. Teori dari Michael Porter yang sangat terkenal pada saat menganalisis persaingan
atau competition analysis.
Pada saat ini, China adalah negara produsen baja terbesar di dunia yang mampu
menguasai lebih dari 34% produksi baja dunia sejak pada tahun 2006 hingga sekarang.
Meskipun, China telah menjadi produsen terbesar dunia, Ia masih tetap merasa perlu terus untuk
memberikan berbagai insentif bagi industri besi dan bajanya. Berkat berbagai kebijakan insentif
ini, maka biaya produksi (production cost) industri ini bisa menjadi lebih murah, sehingga
industri besi dan baja dari China menjadi lebih rentan terkena tuduhan dumping di mana produk
besi dan baja China tersebut dipasarkan termasuk di Indonesia. Salah satu indikator kuat dan
tidaknya perekonomian suatu negara di dunia pada saat ini dan ke depan dapat dilihat dari
kekuatan dan kekokohan dari struktur dan kinerja industri besi dan baja yang dimiliki oleh suatu
negara yang bersangkutan. Sebagai salah satu contohnya adalah China, pada awal abad ke-21
saat ini China adalah produsen terbesar industri besi dan baja dunia, sehingga pantas jika
kondisi kekuatan dan kemampuan pergerakan perekonomian China pada saat ini dan ke depan
tak dapat diragukan. Jika sebelum abad ke-18 raksasa ekonomi dunia ada di negara-negara
Eropa, dan abad 20 di Amerika, maka nampaknya China adalah calon raksasa bau yang akan
menguasai dunia di abad ke 21 ini (Prasetyo, 2010)
Persoalan industri besi baja nasional tersebut diperkuat dari hasil penelitian survei
Growth Competitivenenss Index sebelumnya yang dilakukan oleh Wolrd Economic Forum
(WEF, 2008) dan diperkuat oleh rangking of the world competitiveness (2008). Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, daya saing Indonesia berada pada peringkat 51 dari 55 negara yang
disurvei. Namun demikian, untuk dapat membangkitkan kinerja daya saing ini bukanlah
sederhana. Karena itu, peningkatan daya saing ini harus ditunjang dengan industrial base yang
tangguh yakni industri besi dan baja yang mandiri, kuat, dan tangguh serta memiliki kinerja
produktivitas dan daya saing yang handal dan profesional. Secara teori ekonomi energi, kinerja
industri besi dan baja yang masih rendah ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor misalkan;
kelangkaan sumber daya bahan baku, struktur industri yang lemah dan belum utuh, kondisi
mesin atau peralatan yang sudah tua dan tidak produktif, tingkat skala produksi yang terbatas,
tingkat efisiensi yang rendah, serta penyebaran industri yang tidak merata dan tidak fisibel.
Selain itu, dari sisi eksternal dapat disebabkan oleh tarif pajak yang tidak kompetitif, kebijakan
dumping, krisis energi dan listrik, ketergantungan impor yang masih tinggi, kenaikan harga
bahan baku internasional yang terus meroket, pembangunan infrastruktur yang rendah, termasuk
penerapan FTA ASEAN-China, sebenarnya merupakan ancaman bagi industri besi baja
nasional Indonesia. Produksi baja masih didominasi oleh China yang menghasilkan baja 683,3
juta ton dimana persentasenya mencapai 45% dari total produksi baja dunia. Produksi baja di
Indonesia dari tahun 2001 hingga 2010 berkisar di 3±1 juta ton (Hikmat dan Primiana, 2015).

Anda mungkin juga menyukai