Anda di halaman 1dari 64

BAB I

PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian yang diperoleh, ruang lingkup penelitian yang terdiri dari
batasan dan asumsi yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika penulisan.
1.1

Latar Belakang
Pada era globalisasi saat ini, persaingan ditandai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
menyebabkan perubahan paradigma dalam sebuah perusahaan. Keunggulan bersaing sebuah
perusahaan kini tidak hanya berupa sumber daya, tetapi juga berupa Knowledge. Menurut
(Drucker, 1998), dasar sumber daya ekonomi tidak lagi berupa capital, sumber daya alam,
dan atau karyawan, tetapi berupa ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, setiap perusahaan sudah
terdapat manajemen yang mengatur Knowledge tertulis (Explicit Knowledge) berupa notulensi
rapat, arsip dokumen, prosedur perusahaan dan literature, serta Knowledge tak tertulis (Tacit
Knowledge) berupa skill dan pengalaman selama bekerja di perusahaan. Knowledge tersebut
disusun, digunakan, dan dimanfaatkan bersama-sama oleh karyawan perusahaan untuk
mendukung terjadinya inovasi.
Di samping itu, baja merupakan komoditas bahan baku yang sangat penting dalam
menunjang kebutuhan ekonomi nasional dan digunakan secara industri dalam memenuhi
kebutuhan produksi pengolahan bahan dasar sebagai bahan baku industri lainnya. Industri ini
berperan vital dalam berbagai sektor seperti pada sektor manufaktur (permesinan dan suku
cadang), infrastruktur (industri berbahan kimia, properti, jalan, jembatan, rel kereta api,
pelabuhan/dermaga, bandar udara, listrik, dan telekomunikasi), otomotif/transportasi (mobil,
motor, dirgantara, perkapalan, dan perkeretaapian), pertahanan, dan peralatan rumah tangga.
Oleh karena itu, industri ini memainkan peran strategis tidak hanya dalam perekonomian
nasional tapi juga pembangunan suatu bangsa.
Menurut Wicaksono (2013) Amerika Serikat dan China menjadi negara dengan
ekonomi terkuat saat ini diawali dari pesatnya perkembangan industri manufaktur mereka
yang didukung oleh keberadaan industri logam. Walaupun kedua negara mencapainya dalam
waktu yang berbeda, keduanya memiliki kesamaan sebagai produsen baja terbesar pada
masanya. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mencapai
prestasi tersebut, apalagi memiliki kedua faktor utama penggerak perindustrian yaitu bahan
tambang pasir besi dan sumber energi batu bara yang melimpah.

Pada tahun 2008 lalu, pemerintah mencanangkan visi pembangunan industri nasional
dimana Indonesia menjadi negara industri tangguh pada tahun 2025 mendatang dengan
mengeluarkan Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 (Kemenperin, 2010). Akan tetapi
pencapaian visi tersebut menemui jalan terjal bila melihat infrastruktur di masing-masing
provinsi yang masih tidak memadai. Kendala ini memerlukan strategi untuk mempercepat
pembangunan, yang lebih dikenal dengan sebutan Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sebuah rencana yang dicetuskan di akhir 2008
silam untuk memecah leher botol (debottlenecking) regulasi di daerah agar pembangunan
tidak lagi terhambat (Hidayat, 2013). Program MP3EI ini secara langsung akan meningkatkan
konsumsi baja nasional dalam 12 tahun mendatang. Bila dilihat pada Anggraran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) 2013, belanja pemerintah pusat untuk pembangunan
infrastruktur pendorong pertumbuhan menghabiskan anggaran sebesar Rp201,3 trilun
meningkat 24,7% bila dibandingkan tahun 2012 yang hanya sebesar Rp161,4 triliun.
Sejumlah proyek pembangunan infrastruktur yang sudah terealisasi pada rentang tahun 2012
2013 antara lain, bandar udara baru, penambahan jalur rel kereta api baru mencapai 500 km,
pembangunan jalan lintas propinsi dan jembatan hingga tahun 2013 mencapai 19.370 km,
pembangunan 61 dermaga penyeberangan dan 20 unit kapal perintis, pembangunan jaringan
transmisi hingga tahun 2013 mencapai 9216 km (Dirjen Anggaran Kemenkeu, 2013).
Namun hal tersebut belum dapat terealisasi secara optimal mengingat laju pertumbuhan
industri pengolahan non-migas (kumulatif) dan kontribusi industri pengolahan non-migas
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami fluktuasi selama kurun waktu tahun 2007
hingga tahun 2012 (triwulan 1). Berikut merupakan data yang disajikan oleh Kementrian
Perindustrian RI dalam situs resminya:

Gambar 1.1 Grafik Laju Pertumbuhan (%) Industri Pengolahan Non-Migas (Kumulatif) dan
Grafik Kontribusi (%) Industri Pengolahan Non-Migas Terhadap PDB Tahun 2007 2012
(TW 1) (Kemenperin, 2014)
Gambar 1.1 menunjukkan laju pertumbuhan industri pengolahan non-migas (kumulatif)
dalam sektor logam dasar besi dan baja berturut-turut 1,69 (2007), -2,0528 (2008), -4,2599
(2009), 2,3838 (2010), 13,0567 (2011), 5,5737 (2012 s.d TW 1) dan kontribusi industri

pengolahan non-migas terhadap PDB dalam sektor logam dasar besi dan baja berturut-turut
0,5798 (2007), 0,5903 (2008), 0,4782 (2009), 0,4172 (2010), 0,4188 (2011), 0,42 (2012 s.d
TW 1).
Pada saat ini industri baja nasional sedang mengalami tantangan berupa masih
defisitnya jumlah produksi terhadap tingkat konsumsi baja dalam negeri. Kapasitas produksi
industri baja nasional baru mencapai angka 7 juta ton, sementara tingkat konsumsi baja dalam
negeri berdasarkan data dari Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA) pada tahun
2013 lalu, tingkat konsumsi baja di Indonesia di antara negara-negara ASEAN tergolong
rendah kendati itu pun belum mampu dipenuhi pabrikan lokal. Tercatat, tingkat konsumsi baja
di Indonesia berada di sekitar 51 kg/kapita atau hanya sedikit di atas Vietnam dengan
konsumsi sebesar 31 kg/ kapita. Jika dibandingkan dengan konsumsi baja di Malaysia,
misalnya, sudah mencapai 235 kg/kapita. Jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Thailand
sudah mendekati 267 kg/ kapita, dan Filipina 67 kg/ kapita sedangkan Singapura sudah
menembus 791 kg/ kapita. Diperkirakan, tahun 2020 nanti, konsumsi baja Indonesia
menembus 93 kg/ kapita dan Vietnam sudah mengungguli dengan konsumsi 161 kg/ kapita.
Sedangkaan Malaysia, mencapai 412 kg/ kapita, Thailand 317 kg/ kapita. Untuk permintaan
baja di Filipina dan Singapura masing-masing 82 kg/ kapita dan 974 kg/ kapita (Indonesian
Iron & Steel Industry Association (IISIA), 2014).
Sementara itu besarnya biaya energi dalam negeri juga menjadi salah satu penyebab
maraknya impor baja nasional. Tingginya biaya energi tersebut berdampak langsung kepada
pembentukan harga jual baja yang dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan harga baja dari
impor, sehingga para konsumen baja lebih memilih untuk impor dibandingkan dengan
menggunakan baja produksi dalam negeri. Perkembangan impor non-migas (komoditi)
mengalami fluktuasi selama kurun waktu 2009 hingga tahun 2014. Berikut merupakan data
yang disajikan oleh Kementrian Perdagangan RI dalam situs resminya:

Gambar 1.2 Grafik Perkembangan Impor Non-Migas (Komoditi) Logam


Dasar Besi dan Baja (Juta US$) Periode: 2009 2013 (Kemendag, 2014)
Gambar 1.2 menunjukkan perkembangan impor non-migas berturut-turut 2784,1
(2009), 3451 (2010), 3573,3 (2011), 4889,6 (2012), 4747,7 (2013). Sementara itu data
pendukung lain menunjukkan trend impor dari tahun 2009 2013 sebesar 15,21%. Pada
kuartal pertama tahun 2014 industri besi dan baja mengalami defisit meskipun defisit
perdagangan pada tahun 2014 tidak separah dengan yang terjadi pada tahun 2013.
Berdasarkan data Kemenperin (2014), defisit perdagangan baja periode Januari April
tahun 2014 sebesar 3,3 miliar dolar AS. Jumlah tersebut menurun sebesar 19,6% jika
dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar 4,6 miliar dolar AS.
Defisit perdagangan yang terjadi dikarenakan masih tingginya nilai impor dibandingkan
dengan kinerja ekspor baja nasional. Pada kuartal pertama tahun 2014 ini impor baja
Indonesia mencapai nilai 5,03 miliar dolar AS, dimana nilai ini menyusut sebesar 1,05 miliar
dibandingkan dengan impor baja pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 6.08
miliar dolar AS. Sementara itu kinerja ekspor baja Indonesia mencapai 1,7 miliar dolar AS.
Meskipun nilai ekspor pada kuartal I tahun 2014 ini masih jauh dibawah nilai impor baja,
akan tetapi ekspor baja pada tahun ini masih terbilang lebih baik. Kondisi tersebut membuat
pasar baja domestik diserbu oleh produk-produk baja yang berasal dari China, hal ini
ditambah dengan keadaan China yang mengalami over supply. Oleh karena itu, dibutuhkan
kebijakan pemerintah yang mendukung industri baja nasional dengan meliputi pelarangan
terbatas impor baja, serta mempercepat pembangunan infrastruktur dalam negeri.
Dalam hal ini, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk merupakan perusahaan BUMN yang
terdaftar sebagai pelaku industri baja nasional per 2008 silam dan bersaing dengan 8
perusahaan lokal lainnya yang berada pada level industri antara sampai dengan hilir
diharapkan mampu memenuhi kebutuhan baja nasional, mengingat semakin banyaknya
kompetitor dalam bidang serupa yang tadinya hanya menjadi eksportir baja dari negara
asalnya kini mulai mendirikan pabrik dan beroperasi dalam menghasilkan produk baja yang
juga ikut bersaing dalam pasar lokal. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk sebagai perusahaan
baja terintegrasi sebenarnya memiliki keunggulan kompetitif baik dari segi bahan baku dan
ketiadaan bea impor (produksi lokal). Hal tersebut dikarenakan PT Krakatau Steel (Persero)
Tbk sudah berdiri sejak lama dan memiliki anak perusahaan yang beroperasi pada tiap

tahapan dari struktur industri baja, mulai dari hulu , antara, hingga hilirnya. Meskipun begitu,
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk perlu meningkatkan kekuatan internal perusahaan di tengahtengah pasar komoditi baja. Selama ini perusahaan hanya melihat dari aspek sumber daya
manusia dan finansial. Sedangkan kekuatan internal perusahaan tidak hanya berasal dari
sumber daya manusia dan finansial, tetapi juga berasal dari sumber daya pengetahuan. PT
Krakatau Steel (Persero) Tbk sebenarnya sudah memiliki dan mengaplikasikan pendekatan
berbasis pilar Human Capital Learning and Knowledge Management, namun PT Krakatau
Steel (Persero) Tbk merasa Knowledge Management yang diterapkan masih belum efektif dan
menginginkan adanya Knowledge Management yang lebih baik. Knowledge Management
tersebut harus dapat membudaya dalam diri masing-masing karyawan perusahaan dan
merujuk pada visi, misi, strategi, dan juga budaya yang dimiliki oleh perusahaan. Selain itu,
Knowledge Management yang diterapkan diharapkan dapat mencegah terjadinya pengulangan
proses kegagalan dan dapat mengatur arus perputaran Knowledge yang dimiliki oleh PT
Krakatau Steel (Persero) Tbk. Kemampuan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dalam mengatur
arus perputaran Knowledge sangatlah penting. Knowledge Management yang diterapkan
dalam mengatur arus perputaran Knowledge tersebut dapat mengikuti arus keluar masuknya
karyawan yang bekerja pada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Sehingga Knowledge yang
dimiliki oleh perusahaan tidak hilang bersamaan dengan hilangnya salah satu karyawan
perusahaan. Salah satu aktivitas dalam Knowledge Management yang dilakukan oleh PT
Krakatau Steel (Persero) Tbk dalam mengatur arus Knowledge merupakan Knowledge
Transfer. Knowledge Transfer diharapkan dapat membantu PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
dalam mencapai strategi perusahaan, sehingga PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dapat
bersaing di tengah-tengah pasar komoditi baja. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk memiliki
beberapa unit produksi utama yang terbagi menjadi enam pabrik yaitu Pabrik Besi Spons
(Direct Reduction Plant), Pabrik Slab Baja (Slab Steel Plant), Pabrik Billet Baja (Billet Steel
Plant), Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill), Pabrik Baja Lembaran Dingin (Cold
Rolling Mill), dan Pabrik Baja Batang Kawat (Wirerod Mill). Pada keenam unit produksi
tersebut sudah diterapkan Knowledge Management. Namun, pihak Departemen Produksi yang
menaungi keenam unit produksi tersebut merasa bahwa aktivitas Knowledge Transfer yang
dilakukan masih belum terukur secara efektif. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat
membantu PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dalam melakukan pengukuran efektifitas
Knowledge Transfer dengan melihat beberapa faktor penyebab ketidakefektifan dan
memberikan usulan rekomendasi perbaikan.

1.2

Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian tugas akhir ini

mengenai bagaimana mengukur efektifitas Transfer Knowledge pada Departemen Produksi


PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.
1.3

Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian tugas akhir yang ingin

dicapai, antara lain:


1. Merumuskan Database Knowledge yang harus dimiliki perusahaan yang

1.4

2.

mendukung pencapaian Strategic Objectives perusahaan.


Menentukan Critical Knowledge yang terlibat dalam aktivitas Knowledge Transfer

3.

dan harus dimiliki perusahaan.


Mendapatkan pengukuran Critical Knowledge Transfer yang efektif.

Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tugas akhir ini, antara lain:
1.

Sebagai bahan pertimbangan evaluasi kinerja perusahaan.

2.

Sebagai masukan dan saran untuk memperbaiki sistem yang berlaku pada
perusahaan terkait Knowledge Management.

3.

Mempermudah perusahaan dalam menyusun sebuah Database Knowledge yang di


dalamnya terdapat Knowledge apa saja yang terlibat dalam aktivitas Knowledge
Transfer dan berkolerasi dengan Strategic Objectives perusahaan.

4.

Mempermudah perusahaan dalam mengetahui Knowledge kritis yang terdapat


dalam aktivitas Knowledge Transfer dan dibutuhkan untuk menunjang kinerja
perusahaan dalam mencapai Strategic Objectives perusahaan.

1.5

Batasan dan Asumsi


Berikut merupakan batasan dan asumsi yang digunakan pada penelitian tugas akhir ini:

1.5.1 Batasan
Adapun batasan yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini, antara lain:
1.

Data yang digunakan merupakan data yang diperoleh dari PT Krakatau Steel

2.

(Persero) Tbk.
Objek yang diteliti pada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk merupakan Departemen
Produksi.

1.5.2 Asumsi
Sedangkan asumsi yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini, antara lain:

1.

Tidak terjadi perubahan terkait visi, misi, dan strategis perusahaan selama

2.

penelitian berlangsung.
Tidak terjadi perubahan struktur organisasi pada perusahaan selama penelitian
berlangsung.

1.6

Sistematika Penulisan
Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai sistematika penulisan yang digunakan dalam

laporan penelitian tugas akhir ini. Berikut merupakan sistematika penulisan tersebut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian,
perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian
yang diperoleh, ruang lingkup penelitian yang terdiri dari batasan dan asumsi yang digunakan
dalam penelitian serta sistematika penulisan laporan yang dilakukan dalam penelitian tugas
akhir ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori dan studi literatur sebagai landasan yang
digunakan penulis untuk memperkuat pemahaman dan menentukan metode penelitian yang
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Adapun literatur yang digunakan berhubungan
dengan konsep Knoweldge, Knowledge Management, Key Performance Indicator (KPI),
Analytical Hierarchy Process (AHP), Knowledge Management Process, Knowledge Audit,
Knowledge Management Self-Assessment, dan Performance Measurement. Dengan adanya
studi literatur, diharapkan penulis memiliki pedoman yang kuat dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi serta mampu mencapai tujuan penelitian.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tahapan yang dilakukan dalam melakukan
penelitian. Tahapan yang terdapat di dalam metodologi akan dijadikan oleh penulis sebagai
pedoman agar dapat melakukan penelitian secara sistematis dan teratur, sehingga dapat
mencapai tujuan penelitian.
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Pada bab ini akan dibahas mengenai pengumpulan dan pengolahan data guna
menyelesaikan permasalahan yang dirumuskan dan mencapai tujuan penelitian. Data-data
yang dikumpulkan berupa informasi profil perusahaan, proses bisnis yang dilakukan, visi dan
misi perusahaan, strategi perusahaan, strategi Departemen Produksi, Key Performance
Indicator (KPI) yang dimiliki Departemen Produksi, data yang berkaitan dengan Knowledge
Audit yang selama ini dimiliki perusahaan dan Departemen Produksi, data yang berkaitan
dengan Layout tiap unit produksi dan jumlah Decision Making Unit (DMU) pada tiap unit

produksi di Departemen Produksi. Adapun pengolahan data yang dilakukan dengan mengolah
data yang telah dikumpulkan yang berkaitan dengan Knowledge yang selama ini dimiliki
perusahaan dan Departemen Produksi dengan menyusun Database Knowledge yang
mendukung pencapaian Strategic Objectives perusahaan dan disertai Key Performance
Indicator (KPI) yang ada, dilakukan perhitungan bobot pada setiap Knowledge yang dimiliki
perusahaan dan Departemen Produksi untuk ditentukan Critical Knowledge perusahaan,
dilakukan pengujian level implementasi Knowledge dengan menggunakan River Diagram dan
Stairs Diagram, dan dilakukan pengukuran efektifitas Knowledge Transfer dengan
menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) yang mengacu pada Key
Performance Indicator (KPI) dan Critical Knowledge perusahaan yang telah didapatkan dari
hasil tahapan sebelumnya.
BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
Pada bab ini akan dilakukan analisis hasil dan interpretasi data. Hasil yang dianalisis
merupakan hasil yang telah diperoleh dari pengolahan data. Sedangkan interpretasi data
merupakan uraian secara detail dan sistematis dari hasil pengolahan data. Hasil yang
diperoleh dari pengolahan data merupakan jawaban dari permasalahan yang dirumuskan dan
menjadi dasar untuk melakukan penarikan kesimpulan dan pemberian saran/rekomendasi.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai penarikan kesimpulan dari penelitian yang telah
dilakukan dengan tujuan untuk menjawab tujuan penelitian dan akan diberikan
saran/rekomendasi perbaikan untuk perusahaan serta peluang bagi penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori dan studi literatur yang menjadi landasan
penulis untuk memperkuat pemahaman dan menentukan metode penelitian yang sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi. Adapun literatur yang digunakan berhubungan dengan
konsep Knoweldge, Knowledge Management, Key Performance Indicator, Analytical
Hierarchy Process, Knowledge Management Process, Knowledge Audit, Knowledge
Management Self-Assessment, dan Performance Measurement. Dengan adanya studi literatur,
diharapkan penulis memiliki pedoman yang kuat dalam menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi serta mampu mencapai tujuan penelitian.
2.1

Knowledge
Menurut Ryle (1949), konsepsi pengetahuan membagi Knowledge ke dalam lima

kategori Knowledge. Berikut merupakan konsepsi pengetahuan yang membagi Knowledge ke


dalam lima kategori:
1.

Pengetahuan Tentang Mengapa


Pengetahuan tentang mengapa, bertujuan untuk memperoleh kejelasan suatu
alasan tentang terjadinya sesuatu.

2.

Pengetahuan Tentang Cara


Pengetahuan tentang cara, bertujuan untuk mengetahui urutan tindakan dalam
menyelesaikan persoalan.

3.

Pengetahuan Tentang Apa


Pengetahuan tentang apa, bertujuan untuk mengetahui fakta yang terkait dengan
pengalaman sebelumnya.

4.

Pengetahuan Tentang Siapa


Pengetahuan tentang siapa, bertujuan untuk mengetahui siapa yang mengetahui
dan membutuhkan pengetahuan dalam suatu jaringan pengetahuan.

5.

Pengetahuan Tentang Arti


Pengetahuan tentang arti, bertujuan untuk mengetahui arti atau makna di balik
suatu kejadian.

Knowledge merupakan informasi yang merubah sesuatu atau seseorang baik dengan
tindakan dasar atau dengan membuat individu atau lembaga mampu melakukan tindakan yang
berbeda atau beberapa tindakan yang lebih efektif (Drucker, 1989).

Berikut merupakan Knowledge Typology Map sebagai gambaran keseluruhan dalam


memahami Knowledge:

Gambar 2.1 Knowledge Typology Map


(Sumber: http://www.nwlink.com)
Menurut

Locke

(1689),

Knowledge

merupakan

persepsi

persetujuan

atau

ketidaksetujuan dari dua ide. Menurut Davenport & Prusak (1998), Knowledge merupakan
gabungan dari pengalaman, nilai, informasi kontekstual, pandangan pakar dan intuisi
mendasar yang memberikan suatu lingkungan dan kerangka untuk mengevaluasi dan
menyatukan pengalaman baru dengan informasi. Dari definisi tersebut dapat ditelaah dengan
membagi dua bagian. Bagian pertama mendefinisikan gabungan kerangka pengalaman,
informasi kontekstual, nilai-nilai dan wawasan ahli, yang mencakup sejumlah hal yang
dimiliki, seperti pengalaman, kepercayaan, nilai-nilai, motivasi, dan informasi. Bagian kedua
mendefinisikan fungsi atau tujuan ilmu pengetahuan yang menyediakan kerangka kerja untuk
mengevaluasi dan menggabungkan pengalaman baru dan informasi.
Nonaka & Takeuchi (1995), membedakan Knowledge antara Tacit Knowledge dan
Explicit Knowledge. Berikut merupakan penjelasan kedua jenis Knowledge tersebut:
1.

Tacit Knowledge
Tacit Knowledge merupakan Knowledge pribadi yang tertanam dalam pengalaman
individu dan melibatkan faktor-faktor tak berwujud, seperti wawasan subjektif,

keyakinan pribadi, perspektif, intuisi, firasat, dan sitem nilai. Tacit Knowledge
merupakan sesuatu yang sulit diartikulasikan ke dalam bahasa formal berupa katakata maupun angka dan sulit disampaikan dari satu individu ke individu lainnya
dalam bentuk ilmiah, ekspresi matematika, spesifikasi, manual, dan lainnya. Tacit
Knowledge dapat disampaikan dengan mengubah wawasan subjektif, keyakinan
pribadi, perspektif, intuisi, firasat, dan sitem nilai ke dalam bentuk kata-kata
maupun angka yang dapat dimengerti.
2.

Explicit Knowledge
Explicit Knowledge merupakan sesuatu yang dapat diartikulasikan ke dalam bahasa
formal berupa kata-kata maupun angka dan dapat dengan mudah disampaikan dari
satu individu ke individu lainnya dalam bentuk ilmiah, ekspresi matematika,
spesifikasi, manual, dan lainnya. Explicit Knowledge dapat dengan mudah diproses
secara komputerisasi, ditransmisikan secara elektronik, atau disimpan dalam
database. Explicit Knowledge juga dapat dijelaskan sebagai sesuatu proses, metode,
cara, pola bisnis, dan pengalaman.

Nonaka & Takeuchi (1995), membagi model konversi Knowledge menjadi empat cara.
Berikut merupakan model konversi Knowldge yang dibagi atas empat cara:

Gambar
2.2 Model

Konversi

Knowledge

(Nonaka

& Takeuchi,

1995)

Berdasarkan Gambar 2.2 Model Konversi Knowledge dibagi menjadi empat cara, yaitu:
1.

Tacit Knowledge ke Tacit Knowledge (Socialization)


Socialization merupakan konversi pengetahuan dari Tacit Knowledge ke Tacit
Knowledge. Socialization dapat dilakukan dengan cara tatap muka untuk berbagi
pengetahuan, seperti diskusi dan team meeting.

2.

Tacit Knowledge ke Explicit Knowledge (Externalization)


Externalization merupakan konversi pengetahuan dari Tacit Knowledge ke Explicit
Knowledge. Externalization dapat dilakukan dengan cara mendokumentasikan
notulen rapat, mendatangkan ahli untuk menghasilkan konsep-konsep, sistem serta

prosuder, manual, laporan pelaksanaan, uraian pekerjaan dan sebagainya, dan


diskusi kelompok secara elektronik yang didokumentasikan.
3.

Explicit Knowledge ke Tacit Knowledge (Internalization)


Internalization merupakan konversi pengetahuan dari Explicit Knowledge ke Tacit
Knowledge. Internalization dapat dilakukan dengan mempelajari laporan,
dokumen, dan report.

4.

Explicit Knowledge ke Explicit Knowledge (Combination)


Combination merupakan konversi pengetahuan dari Explicit Knowledge ke Explicit
Knowledge. Combination dapat dilakukan dengan menggunakan Enterprise Portal
sebagai media penampung data dan informasi terkait yang telah diiputkan.

Pada sebuah perusahaan, dibutuhkan Knowledge sebagai modal untuk mengevaluasi


dan menyatukan pengalaman perusahaan. Perusahaan dapat menggunakan kerangka berpikir
Zack sebagai alat bantu untuk mengetahui Knowledge apa yang harus dimiliki dan yang sudah
dimiliki (Tiwana, 2000). Berikut merupakan kerangka berpikir Zack:

Gambar 2.3 Diagram Analisis Kesenjangan Strategic Knowledge


Berbasis Kerangka Berpikir Zack (Tiwana, 2000)
Gambar 2.3 menunjukkan bahwa analisis kesenjangan Knowledge pada dasarnya
merupakan kegiatan yang sangat sulit dipisahkan dari kegiatan penyusunan strategi
perusahaan. Kegiatan pengkajian posisi Knowledge perusahaan memerlukan suatu
pendokumentasian aset Knowledge yang ada. Knowledge dapat diklasifikasikan dalam tiga
kerangka, yaitu Core Knowledge, Advanced Knowledge, dan Innovative Knowledge (Tiwana,
2000).

Berikut merupakan tiga kerangka klasifikasi Knowledge:


1.

Core Knowledge
Core Knowledge merupakan Knowledge yang dibutuhkan untuk melaksanakan
bisnis perusahaan. Pada dasarnya tidak menghasilkan suatu yang membedakan
perusahaan dengan kompetitor.

2.

Advanced Knowledge
Advanced Knowledge merupakan Knowledge yang membuat suatu perusahaan
mungkin untuk bersaing (competitively viable), dimana Knowledge memungkinkan
perusahaan untuk menghasilkan sesuatu yang membedakan dengan kompetitor.

3.

Innovative Konowledge
Innovative Konowledge merupakan Knowledge yang memungkinkan perusahaan
untuk memimpin industrinya dan yang membedakannya dengan kompetitor.

2.2

Knowledge Management
Knowledge Management telah menarik minat dari para praktisi, konsultan, dan peneliti

di seluruh dunia. Bidang minat Knowledge Management didasarkan pada argumen bahwa aset
tidak berwujud, seperti Knowledge, telah menggantikan aset berwujud sebagai pemacu utama
pertumbuhan ekonomi (Boisot, 2002). Sebagaimana minat pada Knowledge Management
terus berkembang, terdapat kebutuhan bukti empiris mengenai tools Knowledge Management
yang digunakan, bagaimana menerapkan Knowledge Management, dan bagaimana mengukur
nilainya. Meskipun minat yang tumbuh pada Knowledge Management memiliki banyak kritik,
Storey & Barnett (2000) menyatakan penelitian utama pada Knowledge Management
merupakan Overwhelmingly Optimistic. Knowledge Management digambarkan sebagai
retorika manajerial (Andreeva & Kianto, 2012) atau mode manajemen yang menjanjikan lebih
dari yang diberikan. Kritik utama tampaknya didasarkan pada tiga tema. Pertama, knowledge
yang tidak dapat dipisahkan dari berpengetahuan dan oleh karena itu, tidak dapat dikelola
oleh perusahaan (Ray & Clegg, 2005). Knowledge individu ini melihat hak istimewa dan
didasarkan pada epistemologi empiris. Knowledge dianggap bukanlah sesuatu yang dapat
ditangkap, disimpan dan dibagikan, dan klaim yang dibuat oleh Knowledge Management
bahwa hal ini dapat dilakukan merupakan hal yang salah. Kedua, Knowledge Management
sulit dan membutuhkan pemahaman tentang hambatan yang terlibat, seringkali budaya dan
sistem, serta komitmen manajemen untuk mengatasi hambatan ini (Storey & Barnett, 2000).
Pandangan ini berpendapat bahwa banyak inisiatif Knowledge Management yang gagal dan
oleh karena itu, Knowledge Management tidak menciptakan nilai bagi perusahaan, dan
pengembalian investasi menjadi hal yang tidak mungkin. Ketiga, terdapat kekurangan dari

studi empiris yang menunjukkan koneksi sebenarnya antara Knowledge Management dan
kinerja organisasi (Andreeva & Kianto, 2012).
Knowledge Management terdiri dari berbagai praktik yang digunakan oleh perusahaan
untuk mengidentifikasi, menciptakan, merepresentasikan, dan mendistribusikan Knowledge.
Knowledge Management telah menjadi disiplin ilmu yang didirikan sejak tahun 1995. Banyak
perusahaan besar memiliki sumber daya yang didedikasikan untuk Knowledge Management.
Program Knowledge Management biasanya dikaitkan dengan tujuan perusahaan seperti
meningkatkan kinerja, inovasi keunggulan kompetitif, Transfer Knowledge (misalnya antara
proyek) dan pengembangan umum praktek kolaboratif.
Menurut McInerney (2002), Knowledge Management merupakan usaha untuk
meningkatkan pengetahuan yang berguna dalam perusahaan, diantaranya membiasakan
budaya komunikasi antar karyawan, memberikan kesempatan untuk belajar, dan menggalakan
saling berbagi Knowledge. Menurut Murray (2002), Knowledge Management merupakan
manajemen aset perusahaan yang berupa Knowledge yang dapat meningkatkan serangkaian
karakteristik kinerja perusahaan dan mampu memberi added value bagi perusahaan dengan
memungkinkan perusahaan untuk bertindak lebih cerdas. Menurut Brooking (1997),
Knowledge Management merupakan aktivitas yang terkait dengan strategi danntaktik untuk
mengelola aset yang terkait dengan sumber daya mnusia dalam perusahaan. Knowledge
Managmenet dapat dipandang sebagai manajemen sumber dan proses pengetahuan dengan
tujuan untuk meningkatkan competitive advantage dan kinerja perusahaan (Wong &
Aspinwall, 2006).
Menurut De Jarnett (1996), Knowledge Management merupakan proses dari penciptaan,
interpretasi, penyebaran, dan pemurnian serta penetapan hak milik Knowledge. Menurut Jac
& Barbara (2001), Knowledge Management merupakan hasil dari perkembangan pergerakan
modal intelektual, dimana modal intelektual merupakan sinonim untuk intangible asset atau
aset tak berwujud. Terdapat empat pertanyaan utama dalam Knowledge Management, yaitu:
1.

Apakah orang benar-benar dapat mengelola Knowledge ?

2.

Apa perbedaan antara Knowledge, Wisdom, dan informasi ?

3.

Kapan informasi menjadi Knowledge ?

4.

Dapatkah dilihat proses terjadinya atau haruskah diterima sebagai sebuah misteri
dalam proses manusia ?

Knowledge Management dibagi menjadi empat tahap yang didefinisikan dengan


singkatan CODE, yaitu:
1.

Collect Information

2.

Organize It

3.

Disseminate It

4.

Evaluate Its Utility

Sementara itu menggambarkan konsep Knowledge Management harus dianggap sebagai


Knowldege Management Process dalam organisasi seperti menyimpan, mengumpulkan,
penataan, berbagi, mengendalikan, membuat, menyebarkan, kodifikasi, menggunakan dan
memanfaatkan. Proses ini yang didasarkan pada Knowledge Management yang telah
dievaluasi dalam literatur Knowledge Management dan menggambarkan bagian dari definisi
Knowledge Management. Perusahaan dapat menerapkan Knowledge Management dengan
mengambil pertimbangan semua rincian Knowldege Process dalam kerangka hierarki dan
bagaimana model tersebut dapat dipertahankan. Untuk Knowledge Management yang efektif
dalam sebuah perusahaan, seorang Chief Knowledge Officers harus fokus pada Knowledge
Management Life Cycle Model dengan mempertimbangkan Knowldege Management Process.
2.3

Key Performance Indicator


Key Performance Indicator (KPI) merupakan indikator-indikator yang digunakan untuk

mengukur kinerja (Luis & Prima, 2007). Key Performance Indicator (KPI) juga dapat
didefinisikan sebagai satu setukuran kuantitatif yang digunakan industri atau perusahaan
untuk mengukur atau membandingkan kinerja dalam hal memenuhi tujuan strategis dan
operasional (Investopedia, 2012). Key Performance Indicator (KPI) juga diartikan sebagai
seperangkat ukuran kuantitatif yang telah disepakati terlebih dahulu, yang mencerminkan
faktor penentu keberhasilan suatu organisasi, dimana Key Performance Indicator (KPI) akan
berbeda-beda tergantung pada organiasi yang bersangkutan. Menurut (Parmenter, 2007) Key
Performance Indicator (KPI) menyajikan serangkaian ukuran yang fokus pada aspek-aspek
kinerja organisasi yang paling penting untuk keberhasilan organisasi pada saat ini dan waktu
yang akan datang. Penggunaan Key Performance Indicator (KPI) sangatlah tepat bagi
organisasi yang ingin meningkatkan pilihan karena dengan Key Performance Indicator (KPI)
maka organisasi dapat terpacu untuk menemukan ide-ide dan contoh praktis yang memiliki
nilai lebih. Menggunakan ukuran sendiri dari manajemen organisasi yang bersangkutan untuk
mengukur kesuksesan suatu organisasi sangat membantu dalam memperdalam pemahaman
investor terhadap kemajuan dan pergerakan bisnis, baik itu poin kontekstual, finansial dan
non finansial, poin-poin ini dapat tren dalam bisnis menjadi transparan dan membantu
manajemen dalam menjaga tanggung jawabnya. Ilustrasi dari pelaporan Key Performance
Indicator (KPI) yang baik secara praktis menunjukkan secara langsung apa yang dibutuhkan
secara praktik dan dengan cara yang lebih efektif. Menurut (Parmenter, 2007) banyak
perusahaan ataupun organisasi yang menggunakan ukuran kerja yang salah dan banyak

diantaranya yang mengartikan Key Performance Indicator (KPI) dengan interpretasi yang
kurang benar dikarenakan hanya sedikit perusahaan yang benar-benar memahami arti Key
Performance Indicator (KPI). (Parmenter, 2007) mendefinisikan tiga tipe ukuran kinerja,
yaitu:
1.

Indikator Hasil Utama (Key Result Indicators), menggambarkan bagaimana


keberhasilan secara perspektif.

2.

Indikator Kinerja (Performance Indicators), menjelaskan apa yang harus dilakukan.

3.

Indikator Kinerja Utama (Key Performance Indicators), menjelaskan apa yang


harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja secara dramatis.

Gambar 2.4 Tiga Tipe Ukuran Kinerja


Sumber: (Parmenter, 2007)
Setiap sasaran strategi yang ada dalam bagan BSC harus ditentukan Key Performance
Indicator (KPI)-nya. Penentuan Key Performance Indicator (KPI) ini bukan merupakan
proses yang muda karena jika salah dalam menentukan Key Performance Indicator (KPI),
maka kinerja organisasi yang dihasilkan bisa tidak relevan (Sholihah, 2012). Menurut
(Diangga, 2013) dalam sebuah Key Performance Indicator (KPI) setiap Sasaran Strategis
disarankan untuk memiliki satu hingga dua Key Performance Indicator (KPI), dan secara
keseluruhan dari sebuah peta strategis perusahaan akan lebih baik jika tidak lebih dari 30 KPI.
Diberlakukannya pembatasan ini dikarenakan jika jumlah Key Performance Indicator (KPI)
yang terlalu banyak akan membuat perusahaan tidak fokus dalam mencapai sasaran strategis.
Menurut (Parmenter, 2007) terdapat tujuh kharakteristik Key Performance Indicator (KPI)
yang efektif, yaitu:
1.

Ukuran non-finansial (tidak dinyatakan dalam dollar, yen, dan sebagainya).

2.

Ukuran kekerapan (misalnya, harian atau 24 jam/7 hari).

3.

Ditindaklanjuti oleh tim manajemen senior.

4.

Semua anggota organisasi harus memahami pengukuran dan tindakan koreksi.

5.

Baik individu maupun tim harus ikut bertanggung jawab.

6.

Berpengaruh signifikan (misalnya, berpengaruh hampir pada inti semua faktor


kunci keberhasilan Critical Success Factors (CSF) dan lebih dari satu perspektif
dalam BSC).

7.

Berpengaruh positif (misalnya, mempengaruhi pengukuran kinerja lain secara


positif).

Dalam menentukan Key Performance Indicator (KPI) tidak boleh menimbukan


ambiguitas atau multi interpretasi. Key Performance Indicator (KPI) harus SMART (Specific,
Measurable, Agreeable, Realistic, Timebound) (Sholihah, 2012). Key Performance Indicator
(KPI) juga berhubungan dengan pengumpulan data, sehingga sebaiknya dalam menentukan
Key Performance Indicator (KPI) sebagai dasar pengukuran kinerja dipilih Key Performance
Indicator (KPI) yang membutuhkan data yang tidak sulit untuk dikumpulkan. Jika Key
Performance Indicator (KPI) telah selesai dibangun dari sasaran strategis, maka dilanjutkan
dengan menentukan nilai target yang ingin dicapai yang bertujuan untuk mengetahui apakah
hasil dari Key Performance Indicator (KPI) yang telah diisi, performansinya sesuai harapan
atau tidak, baik atau tidak. Jika nilainya sama dengan target yang ditentukan maka dapat
dikatakan bahwa performansi cukup baik karena sesuai ekspektasi, dan jika lebih dari target
maka dapat dikatakan performansinya sangat bagus karena dapat melebihi target yang
ditentukan, begitu pula dengan sebaliknya. Berikut merupakan tabel contoh Key Performance
Indicator (KPI) dan target dari sasaran strategi dari Financial Perspective.
Menurut (Sholihah, 2012) untuk memperoleh suatu kartu nilai dari organisasi
(Scorecard) seperti layaknya laporan, maka perlu dilakukan perhitungan nilai dari kinerja
organisasi disetiap sasaran strateginya. Score ini diperoleh dengan menggunakan rumus:
Score = (Actual : Target) x Weight
Ilustrasi perhitungan laporan kinerja organisasi ditunjukkan pada Tabel diatas dimana
terdapat bobot dari masing-masing Key Performance Indicator (KPI). Bobot tersebut
diperoleh dari perbandingan tingkat kepentingan dari masing-masing Key Performance
Indicator (KPI) dimana pembobotan dilakukan dengan menggunakan metode Analytical
Hierarchy Process (AHP) dengan penilaian dari seorang ahli yang telah memiliki pemahaman
dan penguasaan yang mumpuni dari proses bisnis organisasi.
2.4

Analytical Hierarchy Process


Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan seperangkat aksiom yang secara

seksama membatasi ruang lingkup dari lingkungan masalah (Saaty, 1980) yang didasarkan
pada struktur matematika yang jelas dengan metriks yang konsisten dan Right-Eigenvectors

yang saling terkait dnegan kemampuan untuk menghasilkan bobot atau perkiraan yang benar
(Merkin, 1979) (Saaty, 1980). Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) membandingkan
kriteria atau alternatif yang berhubungan dengan kriteria, atau alamiahnya yaitu secara
berpasangan dimana dalam melakukan hal ini Analytical Hierarchy Process (AHP)
menggunakan skala fundamental dari angka absolut yang telah terbukti secara praktek dan
telah divalidasi oleh eksperimen masalah baik secara fisik maupun terkait keputusan (Forman
& Gass, 2013). Skala yang fundamental telah terbukti dapat menjadi skala yang menangkap
preferensi individu terkait atribut kuantitatif dan kualitatif setara atau bahkan lebih baik dari
skala lainnya (Saaty, 1980). Analytical Hierarchy Process (AHP) mengkonversikan preferensi
individual menjadi rasio terbobot dengan skala yang daapt dikombinasikan menjadi bobot
linier aditif w(a) untuk tiap alternatif a, dimana resultan w(a) dapat digunakan untuk
membandingkan dan mengurutkan peringkat alternative, sehingga membantu pengambilan
keputusan dalam menentukan pilihan (Forman & Gass, 2013). Analytical Hierarchy Process
(AHP) dapat juga digunakan untuk menguraikan permasalahan dengan multi faktor dan juga
multi kriteria dari suatu permasalahan yang kompleks menjadi sebuah hierarki (Sholihah,
2012). Menurut (Saaty, 1980) hierarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah
permasalahan yang komplek dalam suatu struktur multi level dimana level pertama
merupakan tujuan, yang diikuti oleh level faktor, kriteria, sub kriteria dan seterusnya ke
bawah hingga level terakhir dari alternatif. Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan
sistem pembuat keputusan dengan menggunakan model matematis, dimana dengan hierarki,
suatu masalah yang komplek dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompok yang kemudian
diatur menjadi suatu bentuk hierarki, sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur
dan sistematis. Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk menyelesaikan suatu
permasalahan yang komplek atau tidak berkerangka dimana data dan informasi statistik dari
masalah yang dihadapi sangat sedikit atau lebih bersifat kualitatif, didasarkan atas persepsi,
pengalaman, dan instuisi (Sholihah, 2012).
Analytical Hierarchy Process (AHP) sering digunakan sebagai metode pemecahan
masalah dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut:
1.

Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih, sampai pada
subkriteria yang paling dalam.

2.

Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai


kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan.

3.

Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan.

Dalam sistem pengelolaan kinerja yang dimaksud dengan kriteria tersebut merupakan
Key Performance Indicator (KPI) (Sholihah, 2012), namun dalam penelitian ini Analytical

Hierarchy Process (AHP) akan secara khusus digunakan untuk membantu dalam hal
pembobotan Critical Knowledge yang datanya didapatkan dari para ahli. Berikut merupakan
ide dan prinsip Analytical Hierarchy Process (AHP) menurut (Saaty, 1980):
1.

Penyusunan Hierarki
Persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria
dan alternatif yang kemudian disusun menjadi struktur hierarki.

2.

Penilaian Kriteria dan Alternatif


Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut (Saaty,
1980) untuk berbagai persoalan skala 1 sampai dengan 9 merupakan skala terbaik
dalam mengekspresikan pendapat.

3.

Penentuan Prioritas
Untuk setiap kriteria dan alternatif perlu dilakukan perbandingan berpasangan
(Pairwise Comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk
menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif maupun
kriteria kuantitatif dapat dibandingkan sesuai dengan Judgement yang telah
ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung
dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematis.

4.

Konsistensi Logis
Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten
sesuai dengan suatu Intuitives yang mencari arti segala hal dan berfokus pada
implikasi dan thinkers membuat keputusan secara impersonal dan logis. Bila
digabungkan, kedua preferensi ini membentuk Intuitives Thinkers, sebuah tipe
kepribadian orang yang intelektual dan kompeten.

Keunggulan dari metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ini merupakan


diingkinkannya dimasukkan semua aspek permasalahan yang selaras, baik hal tersebut
bersifat objektif, ke dalam satu model dan keunggulan utamanya terletak pada mekanisme
pengujian konsistensi dari partisipannya (Sholihah, 2012). Kelebihan dari metode ini, antara
lain menurut (Saaty, 1980):
1.

Kesatuan, Analytical Hierarchy Process (AHP) memberi suatu model tunggal yang
mudah dimengerti dan luwes untuk aneka ragam persoalan tak terstruktur.

2.

Kompleksitas, Analytical Hierarchy Process (AHP) memadukan rancangan


deduktif berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks.

3.

Saling ketergantungan, Analytical Hierarchy Process (AHP) dapat menangani


saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan
pemikiran linier.

4.

Penyusunan hierarki, Analytical Hierarchy Process (AHP) mencerminkan


kecenderungan alami untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam
berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan struktur yang serupa dalam setiap
tingkat.

5.

Pengukuran, Analytical Hierarchy Process (AHP) memberi suatu skala untuk


mengukur hal-hal dan wujud. Suatu metode untuk menetapkan prioritas.

6.

Konsistensi, Analytical Hierarchy Process (AHP) melacak konsistensi logis dari


pertimbangan pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

7.

Sintesis, Analytical Hierarchy Process (AHP) menuntun ke suatu taksiran yang


menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.

8.

Tawar-menawar, Analytical

Hierarchy Process

(AHP) mempertimbangkan

prioritas-prioritas relative dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan seseorang


memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan mereka.
9.

Penilaian dan consensus, Analytical Hierarchy Process (AHP) memaksakan


konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian
yang berbeda-beda.

10. Pengulangan proses, Analytical Hierarchy Process (AHP) memungkinkan orang


memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaikipertimbangan
dan pengertian mereka melalui pengulangan.
Selain memiliki kelebihan tentunya sebuah metode juga mempunyai kelemahan, dimana
kelemahan dari Analytical Hierarchy Process (AHP), antara lain (Saaty, 1980):
1.

Ketergantungan model Analytical Hierarchy Process (AHP) pada Input utamanya.


Input utama ini berupa persepsi seorang ahli, sehingga dalam hal ini melibatkan
subjektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut
memberikan penilaian yang keliru.

2.

Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ini hanya merupakan metode


matematis tanpa ada pengujian secara statistik, sehingga tidak ada batas
kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk.

Menurut (Sholihah, 2012) prosedur penyelesaian masalah dengan menggunakan metode


Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan sebagai berikut:
1.

Konstruksi Hierarki
Masalah yang komplek dapat lebih mudah dipahami melalui konsep hierarki.
Dalam hal ini, masalah tersebut diuraikan dalam elemen-elemen yang bersangkutan
kemudian elemen-elemen tersebut di susun secara hierarki kemudian dilakukan
penilaian atas elemen-elemen tersebut dan akhirnya keputusan diambil berdasarkan

penilaian yang telah dilakukan. Proses penyusunan elemen-elemen secara hierarkis


meliputi pengelompokan elemen-elemen ke dalam komponen yang sifatnya
homogen dan penusunan komponen-komponen tersebut dalam level hierarki yang
tepat.
2.

Perbandingan Berpasangan
Proses

perbandingan

berpasangan

ini

menggunakan

bilangan/skala

yang

mencerminkan tingkat kepentingan/preferensi suatu elemen keputusan dengan


elemen keputusan lain dalam level hierarki yang sama. Hal ini membantu
pengambil keputusan dalam membandingkan masing-masing elemen keputusan
karena dalam setiap perbandingan berpasangan, mereka hanya berkonsentrasi pada
dua diantaranya (Saaty, 1980). Berikut merupakan skala perbandingan berpasangan
dalam metode Analytical Hierarchy Process (AHP):
Tabel 2. 1 Skala Perbandingan Berpasangan pada Analytical Hierarchy Process (AHP)
Tingkat
Kepentingan

Definisi

Kedua elemen sama penting

Satu elemen sedikit lebih


penting daripada elemen
yang lain

Satu elemen sesungguhnya


lebih penting dari elemen
yang lain

Satu elemen jelas lebih


penting dari elemen yang
lain

Satu elemen mutlak lebih


penting daripada elemen lain

2,4,6,8

Nilai tengah diantara 2


penilaian yang
berdampingan

Sumber: (Saaty, 1980)


Dalam melakukan analisis dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process
(AHP), biasanya digunakan Software Expert Choice untuk membantu membobotkan masingmasing kriteria yang ada agar lebih objektif (meminimalisir subjektifitas).

2.5

Knowledge Management Process


Knowldege Management Process penting bagi perusahaan yang melihat pengetahuan

sebagai faktor utama dalam daya saing. Knowledge Management telah dilihat sebagai respon
yang cepat untuk kelemahan dan ancaman yang mempengaruhi cara bisnis perusahaan.
Menurut Stollberg Michael et al (2004), proses KM pengetahuan digambarkan dengan
Knowldege Identification, Knowldege Acqusition, Knowldege Preparation, Knowldege
Allocation, Knowldege Dissemination, Knowldege Usage, dan Knowldege Maintenance.
Sementara itu menurut Awad & Ghaziri (2004), terdapat empat Knowldege Management
Process yang terdiri dari menangkap (Capturing), pengorganisasian (Organized), penyulingan
(Refining), dan mentransfer (Transfering). Fase menangkap (Capturing) dimaksud dengan
menangkap pengetahuan seperti berupa e-mail, file audio, file digital, dan sejenisnya. Setelah
fase menangkap (Capturing), pada fase kedua menangkap data atau informasi harus diatur
dengan cara yang dapat diambil dan digunakan untuk menghasilkan pengetahuan yang
bermanfaat dengan cara menggunakan pengindeksan, clustering, katalog, penyaringan,
kodifikasi, dan metode lain yang dapat digunakan. Fase ketiga dari manajemen pengetahuan
merupakan penyulingan (Refining). Data mining dapat diterapkan dalam fase ini. Data
mining membutuhkan Explicit Knowledge ditemukan dalam database dan mengubahnya
menjadi Tacit Knowledge. Fase terakhir dari proses manajemen pengetahuan merupakan
transfer (Transferring). Knowledge harus disebarluaskan atau ditransfer dengan membuat
Knowledge tersedia bagi karyawan melalui tutorial atau panduan untuk penggunaan yang
efektif. Sedangkan menurut Alavi & Leidner (2001), Knowldege Management Process terbagi
atas Knowledge Creation, Knowledge Storage and Retrieval, Knowledge Transfer, dan
Knowledge Application. Transaksi fase Knowledge Creation dengan menggabungkan sumbersumber Knowledge baru. Knowledge Storage and Retrieval digunakan untuk mendukung
memori dan individu organisasi untuk mengakses pengetahuan. Knowledge Storage and
Retrieval memberikan coding dan pengindeksan Knowledge untuk pemulihan nanti.
Knowledge Transfer menyediakan saluran komunikasi dan akses cepat ke sumber-sumber
pengetahuan. Langkah terakhir dari proses ini merupakan Knowledge Application yang
membantu dalam menerapkan pengetahuan dalam lokasi yang berbeda melalui otomatisasi
alur kerja.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirangkum bahwa Knowldege Management
Process dapat meningkatkan Knowldege Management Process eksisting dengan melakukan
Knowldege

Identification,

Knowldege

Capturing,

Knowldege

Sharing,

Knowldege

Application, dan Knowldege Creation. Berikut merupakan Knowledge Management Process


Cycle:

Gambar 2.4 Knowledge Management Process Cycle


2.5.1 Knowledge Identification
Menurut Michael et al (2004), Knowledge Identification berfokus pada memahami
atribut Knowledge yang diperlukan, memilih Knowledge yang berlaku diperoleh dan
menempatkan Knowledge Asset yang perlu dipelajari dan diproduksi. Menurut BecerrFernandez at el (2004), Knowledge Identification merupakan metode untuk mengembangkan
Tacit Knowledge maupun Explicit Knowledge baru dari data atau informasi atau dari
campuran Knowledge sebelumnya. Selain itu, menurut Sun & Gang Gao (2006) bahwa
Knowledge Identification merupakan proses mencari keluar pengetahuan yang berharga dalam
organisasi. Knowledge Identification juga digunakan untuk menggali modal intelektual yang
berharga dari database, dokumentasi dan diam-diam dari para ahli. Knowledge Identification
dilibatkan dalam mencari Knowledge internal dalam perusahaan ataupun sumber eksternal.
Knowledge Identification mencari melalui sejumlah besar data dan memilih informasi yang
berlaku. Hal ini bergantung pada penggalian informasi dari kejujuran Set Data seperti teknik
eksperimental dan pemeriksaan modern. Knowledge Identification bergantung pada Tools
seperti Data Mining dan wawancara. Data Mining membantu Knowledge Seeker untuk
menemukan Knowledge yang disukai atau Knowledge yang berharga yang tak terduga dari
Database yang sangat besar. Sementara wawancara menemani dengan insentif mendorong
individu untuk mengekspresikan Knowledge yang mereka miliki. Knowledge Identification
juga bergantung pada individu yang memiliki pengetahuan dan tidak dapat dengan baik

mengungkapkannya secara terbuka. Selain itu, Knowledge Identification berguna dalam


menemukan Knowledge yang ada dalam perusahaan besar (Bouthillier & Shearer, 2002).
2.5.2 Knowledge Capturing
Menurut Becerr-Fernandez at el (2004), Knowledge Capturing dapat didefinisikan
sebagai proses mengambil pengetahuan baik eksplisit atau diam-diam yang berada dalam
orang (individu atau kelompok), artefak (praktek, teknologi atau repositori) atau badan
organisasi (unit organisasi, organisasi, jaringan interorganisasional). Knowledge Capturing
merupakan langkah eksternalisasi yang melibatkan mengubah Tacit Knowledge ke dalam
bentuk eksplisit seperti kata-kata, konsep, visual, atau bahasa kiasan dan internalisasi yang
mengubah Explicit Knowledge ke Tacit Knowledge. Selain itu, menurut Rezende & Souza
(2007) dicatat bahwa Knowledge Capturing melambangkan perolehan pengetahuan dengan
kompetensi penting dan pengalaman untuk menciptakan dan memperbarui bidang
pengetahuan yang dipilih. Selain itu, Knowledge Capturing atau batas perolehan Knowledge
dengan menggunakan teknologi pencocokan dan melambangkan atau memformalkan
pengetahuan dalam format yang digunakan oleh komputer (Deng Qianwang & Yu Dejie,
2006).
2.5.3 Knowledge Sharing
Menurut Jensen & Meckling (1996), Pertama, Knowledge Sharing berarti transfer yang
efektif, sehingga penerima dapat mengerti dengan baik cukup untuk bertindak di atasnya.
Kedua, apa yang dibagi secara Knowledge Sharing bukan rekomendasi berdasarkan
Knowledge. Ketiga, Knowledge Sharing dapat terjadi di seluruh individu maupun antar
kelompok, departemen, atau organisasi. Berikut merupakan penekanan cara dan alat agar
Knowledge Sharing efektif:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Jaringan komunikasi sosial formal


Jaringan komunikasi sosial informal
Kerja sama tim
Praktek masyarakat
Pembelajaran organisasi
Rumor
Jaringan resmi terstruktur teknologi komunikasi (e-mail, komunikasi selular,
telekonferensi, konferensi video, dan lain-lain).

Knowledge Sharing melibatkan pembuatan Knowledge secara individu dan kelompok


dengan interaktivitas dan konektivitas dalam perusahaan. Knowledge Sharing dilakukan
dengan saluran komunikasi sosial dan teknis. Dalam rangka untuk membangun saluran ini
secara efektif, itu tergantung pada stabilitas dan daya tahan infrastruktur perusahaan. Jika
infrastruktur perusahaan cocok untuk menyelaraskan infrastruktur sistem manajemen
pengetahuan, berbagi pengetahuan yang sukses dapat dilakukan. Knowledge Sharing berfokus

dalam mentransfer dan berbagi Knowledge di antara individu-individu dalam perusahaan.


Selain itu, fase ini dianggap sebagai proses inti dari Knowledge Management karena tujuan
utama dan tujuan dari penelitian dan praktek Knowledge Management merupakan untuk
mendorong aliran pengetahuan antara individu-individu (Chua, 2004; Shin, 2000). Selain itu,
Knowledge Management System yang sukses merupakan sistem bersama di mana orang dapat
mengambil dan memberikan kontribusi ke kolam Knowledge. Bahkan, orang harus berbicara
bahasa yang sama untuk dapat melakukan Knowledge Sharing. Menurut Sun & Gang Gao
(2006), Knowledge Sharing dijalankan dengan mendistribusikan dan menggunakan
pengetahuan dipilih dari dalam perusahaan atau dari luar. Selain itu, selama berbagi
pengetahuan, pengetahuan baru yang diciptakan dengan menggabungkan pengetahuan
bersama dan pengetahuan yang ada (Davenport & McElroy, 2000). Struktur Knowledge
Sharing juga didasarkan pada pelatihan ahli kerja, pusat pelatihan, pertemuan kelompok
fokus, lokakarya, dan Knowledge Sharing dewan (Hung et al, 2007). Menurut Parikh (2001),
Knowledge Sharing dapat lebih diperluas untuk mencakup personalisasi dan distribusi.
Intranet dan Extranet menyediakan Platform yang cocok untuk aktivitas Knowledge Sharing.
Profil pengguna dapat digunakan untuk mempersonalisasi presentasi dan akses Knowledge.
Teknologi Push dapat digunakan untuk secara otomatis memperbarui dan pengguna
peringatan ketika perubahan terjadi. Oleh karena itu, untuk mendukung inisiatif Knowledge
Sharing, campuran struktur bujukan dan perilaku kooperatif dalam budaya organisasi
diperlukan. Menurut Sun & Gang Gao (2006), ditegaskan bahwa Knowledge Sharing berisi
sub-proses berikut: representasi Knowledge, distribusi Knowledge dan pemanfaatan
Knowledge. Representasi Knowledge merupakan untuk mewakili pengetahuan dalam cara
yang lebih jelas dan dapat disimpan. Distribusi Knowledge mendukung penyebaran
Knowledge di seluruh perusahaan. Pada akhirnya, pemanfaatan Knowledge mendukung
Knowledge Application.
2.5.4 Knowledge Application
Knowledge Application merupakan proses membuat keputusan dan melakukan tugas
dengan sempurna dalam perusahaan. Hal tersebut membutuhkan pemanfaatan pengetahuan
manfaat dari dua proses yang tidak melibatkan transfer aktual atau pertukaran Knowledge
antara individu yang bersangkutan rutinitas dan arah yang terdiri dari subproses dalam
langkah ini. Arahnya mengacu pada proses di mana individu yang memiliki Knowledge
langsung beraksi pada individu lain tanpa mentransfer Knowledge yang mendasari arah.
Rutinitas melibatkan pemanfaatan pengetahuan tertanam dalam prosedur, aturan, dan normanorma yang memandu perilaku masa depan. Menurut Sun & Gang Gao (2006), tujuan
Knowledge Application merupakan untuk menerapkan dan mewakili informasi kepada

Knowledge Seeker dalam hal yang tepat. Selain itu, Knowledge Application merupakan solusi
untuk membungkus Knowledge untuk menjamin penggunaan secara luas. Selain itu,
Knowledge Application menerjemahkan informasi menjadi alat praktis dan menerapkan
Knowledge ke dalam dunia nyata. Knowledge Application menyajikan pengetahuan dalam
cara yang lebih jelas dan dapat disimpan. Sementara itu, menurut Lai & Chu (2000) berbeda,
bahwa Knowledge dapat tersedia untuk individu melalui proses interaktif manusia atau
dengan menggunakan teknologi informasi. Selain itu, teknologi dapat mendukung Knowledge
Application dengan menanamkan pengetahuan ke dalam praktek organisasi. Demikian juga,
Knowledge dapat didorong berdasarkan dua strategi yaitu mendorong dan menarik. Strategi
Dorong membuat keputusan tentang apa informasi yang akan dialokasikan kepada siapa dan
pengguna secara otomatis waspada perubahan, sedangkan strategi tarik didasarkan pada
permintaan pengguna dan kebutuhan (Davenport & Prussak, 1997). Knowledge Application
juga didasarkan pada komponen teknologi seperti alur kerja, sistem pakar, sistem manajemen
paten, dan portal informasi perusahaan. Akibatnya dengan menerapkan dan memiliki nilai
tambah Knowledge menjamin budaya eksekusi yang sukses (Hung et al, 2007).
2.5.5 Knowledge Creation
Knowledge Creation merupakan proses menciptakan pengetahuan baru melalui
menggabungkan pengetahuan internal dengan pengetahuan internal lain dan menganalisis
informasi untuk menciptakan pengetahuan baru (Bouthillier & Shearer, 2002). Selain itu,
Knowledge Creation bergantung pada pemilihan kedua pengetahuan internal dan eksternal
yang dibutuhkan oleh perusahaan. Perusahaan harus mengakui persyaratan perusahaan
dengan memahami tugas, tanggung jawab dan pengetahuan yang dibutuhkan (Supyuenyong
& Islam, 2006). Selain itu, perusahaan perlu mengenali Knowledge yang lama, yang ada, dan
baru yang mungkin diinginkan selama rute sebagai upaya Knowledge Management dan bisnis
yang luas (Sunassee & Sewry, 2002). Selain itu, menurut Sun & Gang Gao (2006) bahwa
Knowledge Creation dalam perusahaam berfokus pada menciptakan produk-produk baru, ideide ditingkatkan dan layanan yang lebih efektif atau ide-ide baru. Knowledge Creation
menarik jika Knowledge diperoleh tidak sesuai dengan kebutuhan atau eksklusif. Selain itu,
Knowledge Creation tergantung pada budaya organisasi, tujuan organisasi, dan upaya
penelitian (Davenport & McElroy, 2000). Menurut Hung et al (2007), Knowledge Creation
menggunakan komponen teknologi seperti brainstorming, sistem pendukung keputusan,
portal informasi perusahaan, kecerdasan buatan, intelijen bisnis, data mining dan alat
penemuan pengetahuan. Menurut Krogh et al (2000), terdapat beberapa hambatan yang terjadi
dalam Knowledge Creation. Pertama merupakan individu dan yang kedua merupakan tingkat
organisasi. Hambatan pertama berisi keyakinan bahwa orang tidak dapat dengan mudah

beradaptasi dengan organisasi yang cukup dan yang kedua merupakan kebutuhan untuk
bahasa yang sah, cerita organisasi, prosedur, dan paradigma perusahaan (Berger & Luckmann,
1967).
2.6

Knowledge Audit
Menurut Paramasivan (2003), Knowledge Audit merupakan fase atau langkah inisiatif

Knowledge Management dan digunakan untuk mendukung investigasi mengenai kesehatan


perusahaan. Hal ini merupakan sebuah fasilitas analisis, interpretasi, dan pelaporan kegiatan
yang mencakup studi tentang informasi perusahaan, kebijakan Knowledge, struktur
Knowledge, dan aliran Knowledge. Knowledge Audit berfungsi untuk membantu perusahaan
agar dapat menentukan apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui, selain itu dapat
membantu perusahaan yang diaudit untuk menentukan Knowledge yang sedang dikelola dan
seberapa baik Knowledge tersebut telah dikelola. Knowledge Audit mengidentifikasi informasi
inti dan kebutuhan serta penggunaan Knowledge dalam suatu perusahaan, sehingga dapat
mengidentifikasi gap, duplikasi, aliran, dan kontribusi Knowledge dalam tujuan bisnis.
Berikut merupakan tujuan dilakukannya Knowledge Audit menurut Paramasivan (2003):
1.

Untuk memberikan High-Level-View dari batas, alam, dan struktur Knowledge


tertentu.

2.

Untuk memberikan masukan data sulit yang berarti untuk rencana strategis
pengolahan Knowledge.

3.

Untuk mengidentifikasi Repository Knowledge yang relevan dalam perusahaan.

4.

Untuk memberikan pernyataan terkait karakteristik kualitatif dari Knowledge


dengan spesifikasi khusus.

5.

Untuk memberikan perkiraan ilmiah terkait karakteristik kuantitatif dari Knowledge


dengan spesifikasi khusus.

Pertanyaan-pertanyaan Knowledge Audit berisi tentang konsep bisnis, Enterprise KnowHow, pelaku Knowledge, mediasi Knowledge melalui IT, dan desain perusahaan (Shah et al,
1998). Menurut Paramasivan (2003), Knowledge Audit umumnya akan fokus pada hal-hal
sebagai berikut:
1.

Apakah Knowledge yang dibutuhkan perusahaan ?

2.

Aset dan sumber daya Knowledge apa saja yang dimiliki dan dimana letaknya ?

3.

Apakah gap yang terdapat pada Knowledge tersebut ?

4.

Bagaimana aliran Knowledge dalam perusahaan ?

5.

Apakah terdapat hambatan dalam aliran Knowledge tersebut ? (Misalnya: manusia,


proses, dan teknologi yang mendukung atau mengahambat efektifitas dari aliran
Knowledge ?)

Menurut Wiig (1993), Knowledge Audit dapat mengidentifikasi kelebihan atau


kekurangan

informasi,

letak

kurangnya

kesadaran

informasi

dalam

perusahaan,

ketidakmampuan untuk mengikuti informasi yang relevan, signifikan dari Reinventing The
Wheel, penggunaan umum dari informasi yang Out-of-Date, ketidaktahuan terkait keahlian
pada bidang tertentu.
Berikut merupakan langkah-langkah dalam melakukan Knowledge Audit menurut
Paramasivan (2003):
1.

Mengidentifikasi Knowledge eksisting pada area yang bersangkutan.

2.

Mengidentifikasi Knowledge yang hilang pada area yang bersangkutan.

3.

Memberikan rekomendasi dari Knowledge Audit untuk manajemen terkait StatusQuo dan kegiatan perbaikan yang mungkin dilakukan terkait Knowledge
Management pada area yang bersangkutan.

Berikut merupakan pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam melaksanakan


Knowledge Audit menurut Paramasivan (2003):
1.

Identifikasi Kebutuhan Knowledge


Identifikasi kebutuhan Knowledge dan pihak-pihak yang terkait dibutuhkan dengan
maksud untuk mendukung perusahaan agar dapat mencapai sasaran dan tujuannya.
Pendekatan yang pada umumnya digunakan yaitu kuesioner berbasis survey,
wawancara, dan FGD (Facilitated Group Discussions), serta kombinasi dari ketiga
hal tersebut.

2.

Menggambarkan Knowledge Inventory


Aktivitas yang terkait yaitu menghitung dan mengkategorikan Tacit Knowledge dan
Explicit Knowledge. Knowledge Inventory dapat memberikan gambaran kepada
perusahaan mengenai aset dan sumber Knowledge yang dimiliki. Knowledge
Inventory merupakan sebuah stok untuk mengidentifikasi dan menggambarkan
lokasi aset Knowledge atau sumber daya Knowledge bagi perusahaan. Sehingga,
perusahaan dapat menganalisis gap serta duplikasi yang ada pada area Knowledgenya.

3.

Menganalisis Aliran Knowledge


Analisis aliran Knowledge bertujuan untuk melihat bagaimana karyawan dapat
menemukan Knowledge yang dibutuhkan dengan kata lain, karyawan dapat
menemukan Knowledge yang dibutuhkan dan dapat membagikan Knowledge yang

dimiliki. Analisis aliran Knowledge dapat membantu perusahaan dalam menemukan


metode yang efektif untuk melakukan Transfer Knowledge dan aliran yang efektif.
4.

Membuat Knowledge Map


Pembuatan Knowledge Map sebagai upaya melihat representasi Knowledge pada
perusahaan. Berikut merupakan dua pendekatan yang pada umumnya digunakan
dalam pembuatan Knowledge Map:

Pemetaan sumber dan aset Knowledge, menggambarkan Knowledge yang ada


pada perusahaan dan mencari letaknya.

Pemetaan sumber dan aset Knowledge yang juga disertai aliran Knowledge,
menggambarkan bagaimana Knowledge dapat berpindah secara keseluruhan
dari suatu area kepada area yang membutuhkannya.

Terdapat banyak metode analisis yang dapat digunakan dalam melaksanakan


Knowledge Audit. Menurut Paramasivan (2003), terdapat sepuluh metode yang dapat
digunakan untuk melakukan Knowledge Audit. Kesepuluh metode tersebut dijelaskan dalam
Tabel sebagai berikut:
Tabel 2.3 Metode Analisis Knowledge dan Penggunaanya dalam Knowledge Audit
No

Metode Analisis Knowledge


Kuesioner Berbasis Survey
Knowledge

Penggunaannya dalam Knowledge Audit


Untuk mendapatkan Overview secara luas tentang status
Knowledge operasi

Sesi Kelompok MiddleManagement Target

Untuk mengidentifikasi Knowledge yang berhubungan


dengan kondisi tertentu yang membutuhkan perhatian
manajemen

Tugas Analisis Lingkungan

Untuk memahami dengan sangat rinci, apa Knowledge yang


ada dan peran Knowledge tersebut

Analisis Protokol Verbal

Untuk mengidentifikasi unsur-unsur, fragmen , dan atom


Knowledge

Analisis Basic Knowledge

Untuk mengidentifikasi Knowledge secara gabungan atau


terperinci

Knowledge Mapping

Untuk mengembangkan peta konsep sebagai Chies hierarki


atau jaring

Analisis Fungsi Kritis


Knowledge

Untuk menemukan daerah sensitif Knowledge

Analisis Persyaratan dan


Penggunaan Knolwedge

Untuk mengidentifikasi bagaimana knowledge digunakan


untuk tujuan bisnis dan menentukan bagaimana situasi dapat
ditingkatkan

Knowledge Scripting and


Profiling

Untuk mengidentifikasi rincian dari kerja intensif Knowledge


dan Knowledge mana yang berperan dalam menghasilkan
produk berkualitas

No

Metode Analisis Knowledge

Penggunaannya dalam Knowledge Audit

10

Analisis Aliran Knowledge

Untuk mendapatkan Overview tentang Knowledge terkait


pertukaran, kerugian , atau input dari tugas pada proses bisnis
atau keseluruhan perusahaan

Sumber: (Paramasivan, 2003)


Metode yang banyak digunakan salah satunya yaitu penggunaan kuesioner. Melalui
kuesioner dapat diketahui manakah Knowledge yang kritis pada suatu perusahaan, sehingga
dapat dilakukan tindakan selanjutnya. Kuesioner dijawab oleh para ahli dalam perusahaan
tersebut, sehingga hasil yang didapat lebih akurat dan sesuai dengan keadaan perusahaan
eksisting.
2.7

Knowledge Management Self-Assessment


Self-Assessment telah lama digunakan dan dipelajari dalam dunia pendidikan,

khususnya dalam les dan pengaturan belajar mandiri. Self-Assessment memiliki beberapa
keunggulan. LeBlanc & Painchaud (1985) menunjukkan bahwa penilaian diri dapat
mengambil lebih sedikit waktu untuk mengelola daripada metode lain dari penilaian, dan
karena siswa diminta bagaimana perasaan mereka tentang melakukan tugas, metode pengujian
dan pengumpulan data menjadi lebih sederhana. Selain itu, penilaian diri menghilangkan
kebutuhan untuk pengamanan gainst kecurangan, memungkinkan siswa untuk mengisi survei
di waktu luang mereka, yang pada gilirannya mengurangi tekanan untuk memiliki jadwal
pengujian yang ketat. Juga, penilaian diri dapat membantu membuat siswa lebih aktif,
membantu mereka memahami kemajuan mereka sendiri, dan mendorong mereka untuk
melihat nilai dalam apa yang mereka pelajari (Harris, 1997). Tetapi penggunaan SelfAssessment datang dengan banyak peringatan. Misalnya, Meta-Review oleh Boud &
Falchikov (1989), bahwa Self-Assessment dalam pendidikan tinggi menemukan bahwa siswa
dewasa dan kompeten yang mampu menilai diri mereka identik sebagai guru, akan tetapi
beberapa siswa superkritis menjadi kekurangan mereka sendiri, terutama siswa yang bekerja
dalam sebuah topik baru, yang dapat menyebabkan siswa meremehkan diri mereka sendiri.
Para peneliti dalam pembelajaran bahasa juga telah mempelajari Self-Assessment.
Sebagai contoh, Malabonga et al (2005) menemukan bahwa mayoritas siswa (92%) yang
berhasil dalam menggunakan instrumen Self-Assessment untuk memilih tugas-tugas tes di
tingkat kesulitan awal yang tepat. Harrington & Carey (2009) menemukan bahwa
pengetahuan kosakata penilaian diri dengan pilihan biner merupakan sekitar seefektif tes
penempatan tata bahasa. Brantmeier (2006) menemukan bahwa Self-Assessment pada

kemampuan membaca yang tidak dapat diandalkan dalam memprediksi kinerja pada kegiatan
membaca berbasis komputer. Terlebih lagi, Cole et al. (2010) menemukan bahwa penilaian
diri dapat digunakan dalam memunculkan pengetahuan topik. Suatu hal yang penting dalam
menggunakan

Knowledge

Management

Self-Assessment

merupakan

bagaimana

diandalkannya pertanyaan penilaian diri ketika berhadapan dengan peserta didik kosakata
bahasa kedua, dibandingkan dengan jenis lain dari pertanyaan yang ada. Dijelaskan sebuah
penelitian yang membandingkan efektifitas penilaian diri dan pertanyaan dalam menilai
Knowledge awal siswa kosakata L2, menggambarkan penggunaan Knowledge Management
Self-Assessment.
Knowledge Management Self-Assessment merupakan suatu cara menguji bagaimana
sebuah Knowledge Management pada sebuah perusahaan berlangsung. Salah satu penggunaan
yang paling umum dari Knowledge Management Self-Assessment merupakan untuk menilai
Knowledge Worker, sering kali dijadikan sebagai penilaian awal dari keterampilan pekerja.
Keuntungan yang jelas jika menggunakan Knowledge Management Self-Assessment
merupakan pengurangan waktu yang dibutuhkan untuk menilai Knowledge Worker, tetapi ada
banyak hal yang harus diperhatikan ketika menggunakan Knowledge Management SelfAssessment. Selain itu, dalam penggunaan Knowledge Management Self-Assessment
dilakukan pembuatan dua buah diagram yang hasil akhirnya dapat menunjukkan kesenjangan
Knowledge yang dimiliki perusahaan. Kedua diagram tersebut yaitu River Diagram dan
Stairs Diagram.
2.7.1 River Diagram
Menurut Collison (2013), dewasa ini banyak perusahaan menginginkan peningkatan
kinerja. Benchmarking merupakan cara yang populer untuk mendefinisikan sebuah praktek
yang baik, mengukur kinerja, dan mengidentifikasi kesenjangan. Sayangnya, kegiatan
benchmarking sering dapat menghasilkan "League Table" mentalitas dan mengurangi
kolaborasi antara unit bisnis atau departemen. Daripada berbagi apa yang diketahui, banyak
orang pada sebuah perusahaan secara sengaja menghambat untuk melakukan Knowledge
Sharing dan belajar dari orang lain serta mulai menimbun pengetahuan karena memberikan
keuntungan lebih dari rekan-rekannya dan menganggap bahwa "Knowledge is Power". Ketika
dilakukan Gap Analysis, perusahaan dapat merasa bahwa target realistis yang dikenakan
padanya tanpa ada dukungan untuk menjangkau. Oleh karena itu perlu ada suatu Tools yang
dapat membantu perusahaan untuk mengevaluasi kinerja berdasarkan Gap yang ada.
River

Diagram

meruapakan

Tools

yang

berguna

yang

dirancang

untuk

memvisualisasikan data hasil penilaian diri dan Peer-Learning dari berbagai sumber. Menurut
Parcell & Collison (2009), River Diagram dikembangkan mereka dalam buku yang berjudul

No More Consultants: We Know More Than We Think. River Diagram secara khusus,
memungkinkan pengguna untuk secara visual merepresentasikan rubrik dari berbagai sumber
yang masing-masing berisi matriks informasi mereka sendiri seperti, beberapa rubrik bagi
individu, desa, departemen, dan lainnya dalam satu diagram yang mudah dibaca. River
Diagram mertimbangkan rubrik individu dengan mencatat sepuluh langkah kunci dari kinerja
pada 1 sampai 5 skala. Informasi ini relatif mudah untuk plot pada diagram dengan
menempatkan masing-masing ukuran pada sumbu-x dan tingkat kinerja 1 sampai 5 di sumbu
y. Namun, jika terdapat beberapa rubrik dari sejumlah sumber yang berbeda (misalnya, setiap
unit bisnis atau departemen dalam suatu perusahaan, atau bentuk penilaian diri dari setiap
pekerja di suatu unit bisnis atau departemen) ke diagram yang sama, titik data akan cepat
menjadi berantakan dan sulit untuk menafsirkan. Berikut merupakan contoh gambar River
Diagram:

Gambar 2.5 River Diagram


River Diagram hanya mengambil tingkat maksimum dan minimum untuk setiap
pengukuran dan menunjukkan kisaran skor di seluruh kelompok yang dipertimbangkan.
Daerah antara nilai maksimum dan minimum merupakan yang berwarna biru, sedangkan
sisanya merupakan yang berwarna hijau. Diagram berwarna biru ditampilkan sebagai sungai
dan berbatasan dengan tepi hijau yang merupakan daerah dimana sungai berada pada titik
terluas (dimana kesenjangan dalam kinerja terbaik dan terburuk di antara responden individu
berada pada titik tertinggi) menunjukkan peluang terbesar untuk Lessons-Learning and
Sharing. Berikut merupakan keuntungan yang didapat jika menggunakan River Diagram:
1.

Melibatkan tim utama dalam mecapai keuntungan dari sebuah Bench-Sharing.

2.

Melibatkan tim dalam menghasilkan alat penilaian perusahaan yang efektif.

3.

Memfasilitasi Self-Assessment Workshop yang menemukan praktik secara baik,


menghasilkan tindakan, dan meningkatkan kerjasama.

4.

Melatih pekerja untuk menjalankan Self-Assessment Workshop untuk diri mereka


sendiri.

5.

Menghasilkan River Diagram dan Stairs Diagram analisis yang menyajikan hasil
dalam cara yang menarik.

6.

Menyediakan sejumlah intervensi Knowledge Management dan perubahan untuk


menutup kesenjangan dan meningkatkan kinerja seluruh perusahaan.

2.7.2 Stairs Diagram


Melihat River Diagram yang kini telah menjadi Tools yang cukup mapan dalam
menggabungkan prinsip-prinsip penyimpangan positif dengan berbagi Knowledge. Namun,
masih terdapat sedikit orang yang akrab dengan Tools pendamping dari River Diagram. Tools
pendamping tersebut merupakan Stairs Diagram. Stairs Diagram menunjukkan tingkat
kemampuan (sering berasal dari Tools Self-Assessment Umum atau Model Maturity) yang
diplot terhadap ukuran sebuah tujuan perbaikan dan diidentifikasi juga sejumlah target untuk
perbaikannya. Salah satu praktik dalam Self-Assessment merupakan "Network Leadership &
Facilitation". Berikut merupakan contoh (fiktif) yang menunjukkan hasil dari sejumlah
jaringan kesehatan terkait yang semuanya menggunakan Tools Self-Assessment Umum untuk
membahas dan menyepakati mengenai tingkat kemampuan jaringan yang ada terhadap
sejumlah praktik:

Gambar 2.6 Stairs Diagram


Berdasarkan Gambar 2.6, Stairs Diagram tersebut menggambarkan sebuah tingkat
kemampuan yang diplot terhadap ukuran suatu tujuan perbaikan dan pengidentifikasian
sejumlah target untuk perbaikan. Berikut merupakan penjelasan mengenai contoh Stairs
Diagram di atas:

1.

Jaringan Diabetes berada pada tingkat 5, dan jelas memiliki sesuatu untuk di-sharekan.

2.

Jaringan Peningkatan Kualitas berada pada tingkat 1, namun memiliki keinginan


untuk memperbaiki dengan meningkatkan dua tingkat di atasnya.

3.

Cardio-Community berada pada tingkat 2, dan tidak memilih praktek ini sebagai
prioritas untuk perbaikan.

4.

Terdapat sekelompok jaringan yang berada pada tingkat 3 dengan tidak adanya
aspirasi untuk meningkatkan, termasuk Jaringan Informatika Kesehatan.

5.

Akhirnya, Jaringan TB berada pada tingkat 3, tetapi masih berusaha untuk


memeperbaiki dengan meningkatkan dua tingkat di atasnya.

Menurut Collison (2013), kekuatan Stairs Diagram mampu memetakan koneksi potensi
nilai tertinggi yang menghubungkan siapa saja yang memiliki sesuatu untuk dibagikan dengan
siapa saja yang memiliki sesuatu untuk dipelajari. Hal ini ditunjukkan dalam daerah hijau dan
merah masing-masing pada Stairs Diagram. Stairs Diagram memiliki ukuran umum (dalam
hal ini, Tools Self-Assessment) yang diaktifkan pada sebuah kelompok jaringan untuk
mengidentifikasi tidak hanya pelaku PD (positive deviants), tetapi juga jaringan dengan
aspirasi yang terbesar untuk ditingkatkan. Untuk setiap kelompok dapat dilatih menggunakan
Tools Knowledge Management yang tepat untuk membantu dalam pembibitan untuk
ditingkatkan. Jadi dengan motivasi yang benar, kepemimpinan yang tepat dan metode yang
tepat, dapat sangat membantu perusahaan untuk menghindari kesenjangan yang menghambat
dan berpotensi menghentikan kinerja sebuah perusahaan.
2.8

Perfomance Measurement
Performance merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang

pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya (Fikrotuzzakiah, 2012). Performance merupakan gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program kebijakan dalam mewujudkan sasaran,
tujuan, misi, dan visi perusahaan yang tertuang dalam Strategic Planning suatu perusahaan.
Istilah Performance sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan
individu maupun kelompok. Kinerja dapat diketahui hanya jika individu atau kelompok
tersebut memiliki kriteria keberhasilan yang ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa
tujuan-tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai. Tanpa ada tujuan atau target,
kinerja seseorang atau perusahaan tidak mungkin dapat diketahui karena tidak ada tolok
ukurnya.

Performance Measurement merupakan proses mengukur efisiensi dan efektifitas


tindakan masa lalu (Nelly et al, 1996). Performance Measurement merupakan hal yang sangat
penting bagi perusahaan karena hal ini merupakan salah satu cara perusahaan untuk mengukur
pencapaian perusahaan terkait strategi yang ditetapkan untuk mecapai tujuan dan untuk
memenangkan kompetisi bisnis yang ada di pasar. Melalui Performance Measurement, maka
perusahaan dapat memahami kelebihan dan kekurangan yang ada pada perusahaan, sehingga
dapat dilakukan perbaikan-perbaikan untuk terus meningkatkan perusahaan agar lebih baik
lagi. Pada awal penerapan Performance Measurement digunakan konsep Performance
Measurement tradisional, dimana pada konsep ini aspek finansial merupakan aspek yang
dianggap paling berpengaruh terhadap pencapaian strategi perusahaan, sehingga aspek yang
diukur lebih ke arah aspek finansial saja tanpa memperhatikan aspek non-finansial lainnya.
Namun seiring berjalananya waktu, dewasa kini banyak metode Performance Measurement
modern yang diterapkan untuk mengukur kinerja perusahaan dengan lebih baik. Namun,
terdapat beberapa kekurangan pada metode Performance Measurement tradisional, sehingga
banyak dilakukan penelitian untuk mengembangkan metode Performance Measurement agar
lebih baik lagi. Berikut merupakan beberapa kekurangan yang terdapat pada Performance
Measurement tradisional menurut (Kaplan & Norton, 1996), yaitu:
1.

Tidak mampu mengukur kinerja harta-harta tak tampak (Intangible Assets) dan
harta-harta intelektual (sumber daya manusia) organisasi karena itu kinerja
keuangan tidak mampu bercerita banyak mengenai masa lalu perusahaan dan tidak
mampu sepenuhnya menuntun perusahaan ke arah yang lebih baik.

2.

Pengukuran lebih berorientasi pada manajemen operasional dan kurang mengarah


kepada manajemen strategis.

3.

Tidak mampu mempresentasikan kinerja Intangible Assets yang merupakan bagian


struktur aset perusahaan. Terlalu agregat atau kurang detail dalam hal pengukuran,
sehingga hasilnya kurang menjelaskan secara terperinci.

4.

Metriks pengukuran yang tidak independen atau terpengaruh oleh metriks lainnya
(Lagging Metrics).

5.

Pengukuran kinerja tradisional cenderung mendorong manajemen organisasi hanya


fokus pada kinerja jangka pendek dan mengabaikan tujuan jangka panjang.
Organisasi didorong mencapai keuntungan finansial saat ini sebesar-besarnya tanpa
memperhatikan kepentingan perusahaan jangka panjang.

Dikarenakan hal-hal tersebut, maka dewasa ini perusahaan beralih kepada metode
Performance Measurement modern yang dirasa lebih menjawab kebutuhan perusahaan akan
pengukuran yang efektif dan efisien. Sementara (Moulin, 2007) mendefinisikan Performance

Measurement sebagai proses evaluasi bagaimana organisasi dikelola dengan baik dan nilai
yang organisasi berikan bagi pelanggan dan pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan
Performance Measurement merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap
tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas efisiensi
penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa
(seberapa baik barang dan jasa diberikan kepada pelanggan dan seberapa jauh pelanggan
terpuaskan), hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan dan efektifitas
tindakan dalam mencapai tujuan (Robertson et al, 2002). Menurut Mahsun (2009),
Performance Measurement merupakan suatu aktivitas penilaian pencapaian target-target
tertentu yang diderivasi dari tujuan strategis organisasi. Performance Measurement juga
membantu

manajer

dalam

memonitor

implementasi

strategi

bisnis

dengan

cara

membandingkan antara hasil aktual dengan sasaran dan tujuan strategis. Performance
Measurement merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat empat
elemen pokok Performance Measurement (Mahsun, 2009). Berikut merupakan keempat
elemen pokok Performance Measurement dalam meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan dan akuntabilitas:
1.

Menetapkan Tujuan, Sasaran, dan Strategi Organisasi


Tujuan merupakan pernyataan umum tentang apa yang ingin dicapai organisasi.
Sasaran merupakan tujuan organisasi yang sudah dinyatakan secara eksplisit
dengan disertai batasan waktu yang jelas. Strategi merupakan cara atau teknik yang
digunakan organisasi untuk mencapai tujuan dan sasaran. Tujuan, sasaran, dan
strategi tersebut ditetapkan dengan berpedoman pada visi dan misi organisasi.
Berdasarkan tujuan, sasaran dan strategi tersebut selanjutnya dapat ditentukan
indikator dan ukuran kinerja secara tepat.

2.

Merumuskan Indikator dan Ukuran Kinerja


Indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung yaitu halhal yang sifatnya merupakan indikasi-indikasi kinerja. Indikator kinerja dan ukuran
kinerja ini sangat dibutuhkan untuk menilai tingkat pencapaian tujuan, sasaran dan
strategi. Indikator kinerja dapat berbentuk Critical Success Factors dan Key
Performance Indicator. Critical Success Factors merupakan gambaran preferensi
manajerial dengan memperhatikan variabel kunci finansial dan non-finansial pada
kondisi waktu tertentu. Critical Success Factors harus secara konsisten mengikuti
perubahan yang terjadi dalam organisasi. Sedangkan Key Performance Indicator

merupakan ukuran kinerja kunci yang bersifat finansial maupun non-finansial untuk
melaksanakan operasi dan kinerja unit bisnis.
3.

Mengukur Tingkat Pencapaian Tujuan dan Sasaran Organisasi


Jika perusahaan telah memiliki indikator dan ukuran kinerja yang jelas, maka
performance measurement dapat diimplementasikan. Mengukur tingkat pencapaian
tujuan, sasaran, dan strategi dengan membandingkan hasil aktual dengan indikator
dan ukuran kinerja yang telah ditetapkan. Analisis antara hasil aktual dengan
indikator

dan

ukuran

kinerja

ini

menghasilkan

penyimpangan

positif,

penyimpangan negatif, atau penyimpangan nol. Penyimpangan positif berarti


pelaksanaan kegiatan sudah berhasil mencapai serta melampaui indikator dan
ukuran kinerja yang telah ditetapkan. Penyimpangan negatif berarti pelaksanaan
kegiatan belum berhasil mencapai serta melampaui indikator dan ukuran kinerja
yang telah ditetapkan. Penyimpangan nol pelaksanaan kegiatan sudah berhasil
mencapai atau sama dengan indikator dan ukuran kinerja yang telah ditetapkan.
4.

Evaluasi Kinerja
Evaluasi kinerja akan memberikan gambaran kepada penerima informasi mengenai
nilai kinerja yang berhasil dicapai organisasi. Pencapaian kinerja organisasi dapat
dinilai dengan skala pengukuran tertentu. Informasi pencapaian kinerja dapat
dijadikan Feedback dan Reward Punsihment, penilaian kinerja organisasi dan dasar
peningkatan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.
a.

Feedback
Hasil pengukuran terhadap pencapaian kinerja dijadikan dasar bagi manajemen
atau pengelola organisasi untuk perbaikan kinerja periode berikutnya. Selain
itu, hasil ini juga dapat dijadikan landasan pemberian Reward and Punishment
terhadap manajer dan anggota organisasi.

b. Penilaian Kemajuan Organisasi


Pengukuran kinerja yang dilakukan setiap periode waktu tertentu sangat
bermanfaat untuk menilai kemajuan yang telah dicapai organisasi. Dengan
membandingkan hasil aktual yang tercapai dengan tujuan organisasi yang
dilakukan secara berkala maka kemajuan organisasi dapat dinilai.
c.

Meningkatkan Kualitas Pengambilan Keputusan dan Akuntabilitas


Pengukuran kinerja menghasilkan informasi yang sangat bermanfaat untuk
pengambilan keputusan manajemen maupun Stakeholders. Keputusankeputusan yang bersifat strategis dan ekonomis sangat membutuhkan
dukungan informasi kinerja. Informasi kinerja juga membantu menilai

keberhasilan manajemen atau pihak yang diberi amanah untuk mengelola dan
mengurus organisasi.
Pengukuran performansi Knowledge Management sangat penting dilaksanakan untuk
melihat atau menilai apakah visi dan tujuan strategis telah tercapai karena penerapan
Knowldge Management. Sehingga nantinya suatu perusahaan dapat mengevaluasi bagaimana
performansi Knowledge Management yang diimplementasikan di perusahaan tersebut dan
merumuskan langkah-langkah perbaikan yang diperlukan untuk meningkatkan performansi
Knowledge Management tersebut. Menurut (Kuah & Wong, 2011) terdapat dua metodologi
yang dapat digunakan dalam mengukur performansi Knowledge Management, yaitu:
1.

Metode Kualitatif
Penelitian Kualitatif biasanya memurnikan indikasi dan temuan dari studi
percontohan pada sebuah organisasi dan tinjauan peneliti dalam sebuah
pembelajaran organisasi (Chen & Chen, 2005). Keuntungan dari penelitian
kualitatif termasuk efektifitas dalam mengidentifikasi faktor Intangible dan
kapabilitasnya dalam menghasilkan deskripsi tekstual yang kompleks dari sisi
manusia Knowledge Management, seperti budaya, kebiasaan, praktek, opini, dan
pengalaman (Kuah & Wong, 2011). Metode ini banyak diguanakan karena
Knowledge merupakan sebuah aset yang Intangible, namun metode ini biasanya
dilakukan secara subjektif, sehingga keakuratan dari hasil penelitian dengan
menggunakan metode kualitatif sepenuhnya bergantung kepada keahlian sang
peneliti atau praktisi yang terlibat dalam penelitian. Pendekatan kualitatif yang
umum dilakukan seperti kuesioner, survey, dan Expert Interview. Pada pendekatan
kuesioner (Changchit et al, 2001), kuesioner digunakan untuk mengetahui pengaruh
sistem dari para ahli dalam memfasilitasi pemindahan dari Internal Control
Knowledge untuk manajer. Sementara pendekatan survey dibangun (Darroch &
MacNaughton, 2002) berbasis Kohli Jaworskis Market Orientation Instrument
(Jaworski BJ, 1993) serta Nonaka & Takeuchis Knowledge Creation Spiral
(Nonaka & Takeuchi, 1995) untuk mengevaluasi Knowledge Management Model.
Pendekatan terakhir yang sering digunakan yaitu pendekatan Expert Interview yang
dilakukan dengan cara mewawancarai 12 ahli Knowledge Management untuk
membangun sebuah kerangka kerja guna menyelidiki relevansi Knowledge
Management atau Intelectual Capital Research terhadap output akademis dari
sekolah bisnis.

2.

Metode Kuantitatif

Metode ini banyak menggunakan model statistik, teori, dan hipotesis dalam
mengevaluasi Knowledge Management, sehingga hasil numerik dan kausal
hubungan dalam Knowledge Management dapat ditentukan. Dalam Knowledge
Management, pendekatan ini digunakan untuk mengukur pengetahuan ekplisit dan
sejauh mana dampaknya terhadap pengambilan keputusan dan tugas kinerja
organisasi atau individu baik indikator non-finansial maupun indikator finansial
(Chen & Chen, 2005). Pendekatan kuantitatif yang digunakan dengan membangun
berbagai metriks. Metriks merupakan Input indikator yang berfungsi sebagai
Enabler untuk Knowledge Management yang akan dieksekusi dan atau Output
indikator yang merupakan Input dan atau Output diasumsikan berkorelasi dengan
kinerja Knowledge Management. Dengan menggunakan metriks ini, maka kinerja
Knowledge Management dapat dinilai, dipantau, dan ditingkatkan, selain itu
tindakan finansial dan non-finansial juga dapat dievaluasi. Tidak ada standar
mengenai metriks yang dapat digunakan untuk pengukuran kinerja Knowledge
Management, namun metriks non-finansial dapat dikelompokkan menjadi empat
kategori, yaitu Customer, Structural, Human, dan Development (Krogh et all,
1998). Di samping berbagai kelebihan, pendekatan metriks juga memiliki beberapa
kelemahan (Kuah & Wong, 2011). Pertama, tidak ada susunan metriks yang
standar, hal ini dapat menjadi masalah untuk menetapkan perbandingan antara
perusahaan. Kedua, sulit untuk menggabungkan berbagai metrics, sehingga
menghasilkan skor efisiensi tunggal. Yang terakhir, pendekatan ini tidak
memberikan cukup informasi utnuk mendukung organisasi dalam melakukan
pengembangan berkelanjutan. Pendekatan kuantitatif lainnya yang dapat digunakan
yaitu Data Envelopment Analysis (DEA), Multiple Regresi, Goal Programming,
dan KPI.
Salah satu metode yang kerap kali digunakan untuk mengukur performansi suatu
perusahaan dengan mengacu pada pengukuran efektifitas merupakan Data Envelopment
Analysis (DEA). Kebutuhan untuk mengukur performansi KM berdasarkan tujuan strategis
dan menyeluruh dengan mengacu pada efektifitas Transfer Knowledge yang dilakukan oleh
perusahaan. Hal inilah yang menjadi latar belakang terpilihnya Data Envelopment Analysis
(DEA) sebagai metode untuk mengukur efektifitas Transfer Knowledge dalam penerapan
Knowledge Management yang dilakukan oleh perusahaan karena Data Envelopment Analysis
(DEA) selain dapat mengukur efektifitas juga dapat mengidentifikasi hal teknis yang terkait
dengan efisiensi manajerial yang dilakukan. Data Envelopment Analysis (DEA) merupakan
sebuah metode yang cukup efektif untuk mengevaluasi hasil pengambilan keputusan dan

untuk mengidentifikasi hasil Pareto yang efisien dari beberapa kandidat potensial yang besar
berdasarkan Knowledge yang terdapat dalam Knowledge Management perusahaan (Robins,
2001; Schonberger & Knod, 1997).
2.8.1 Data Envelopment Analysis
Data Envelopment Analysis (DEA) dikembangkan oleh Rhodes (1978) dan pada
awalnya dipublikasikan oleh Charnes et al (1978) untuk mengevaluasi lebih dari dua hasil
keputusan dan/atau pengambilan keputusan unit yang berhubungan dengan efisiensi relatif
berdasarkan dari beberapa kriteria. Dibangun di atas pondasi teoritis yang disediakan oleh
Farrell (1957) dan terus menjadi populer untuk berbagai macam aplikasi (Norton, 1994;
Dyckhoff & Allen, 2001; Wen et al, 2003.). Selain dapat mengukur efektifitas, Data
Envelopment Analysis (DEA) juga dapat mengidentifikasi hal teknis yang terkait dengan
efisiensi manajerial yang dilakukan. Menurut Cooper et al (2000), Data Envelopment
Analysis (DEA) merupakan pendekatan data yang berorientasi relatif baru untuk
mengevaluasi kinerja satu set entitas yang disebut Decision Making Unit (DMU) dengan
mengkonversi beberapa Input ke beberapa output, seperti perusahaan, unit produksi, dan lainlain. Definisi dari Decision Making Unit (DMU) sifatnya generik dan fleksibel. Beberapa
tahun terakhir telah ada berbagai macam aplikasi dari Data Envelopment Analysis (DEA)
untuk digunakan dalam mengevaluasi kinerja berbagai jenis perusahaan yang bergerak dalam
berbagai kegiatan yang berbeda dalam konteks yang berbeda di berbagai negara. Data
Envelopment Analysis (DEA) ini telah menggunakan Decision Making Unit (DMU) berbagai
bentuk untuk mengevaluasi kinerja entitas, seperti rumah sakit, angkatan udara Amerika
Serikat, universitas, kota, lapangan, perusahaan bisnis, kinerja negara, daerah, dan lain-lain.
Karena membutuhkan sangat sedikit asumsi, Data Envelopment Analysis (DEA) juga telah
membuka kemungkinan untuk digunakan dalam kasus-kasus yang telah resisten terhadap
pendekatan lain karena kompleks natural (sering tidak diketahui) dari hubungan antara
beberapa Input dan beberapa output yang terlibat dalam Decision Making Unit (DMU). Sejak
Data Envelopment Analysis (DEA) dalam bentuk yang sekarang pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1978, para peneliti di sejumlah bidang dengan cepat menyadari bahwa itu
merupakan metodologi yang sangat baik dan mudah digunakan untuk memodelkan proses
operasional untuk evaluasi kinerja. Hal ini telah disertai oleh perkembangan lainnya.
Misalnya, Zhu (2002) memberikan sejumlah model Spreadsheet Data Envelopment Analysis
(DEA) yang dapat digunakan dalam evaluasi kinerja dan Benchmarking. Orientasi empiris
Data Envelopment Analysis (DEA) dan tidak adanya kebutuhan untuk berbagai sebuah asumsi
yang menyertai pendekatan lain (seperti bentuk standar analisis regresi statistik) telah
mengakibatkan penggunaannya dalam sejumlah studi yang melibatkan estimasi perbatasan

efisien di sektor pemerintah dan nirlaba, di sektor yang terregulasi, dan di sektor swasta.
Contohnya, penggunaan Data Envelopment Analysis (DEA) untuk memandu penghapusan
Diet dan instansi pemerintah lainnya dari Tokyo untuk mencari modal baru di Jepang, seperti
yang dijelaskan dalam (Takamura & Nada, 2003).
Dalam studinya, Charnes et al (1978) menjelaskan bahwa Data Envelopment Analysis
(DEA) sebagai model pemrograman matematika diterapkan pada data pengamatan yang
menyediakan cara baru untuk mendapatkan hubungan perkiraan empiris. Secara formal, Data
Envelopment Analysis (DEA) merupakan metodologi yang diarahkan ke perbatasan daripada
kecenderungan

pusat.

Motivasi

awal

Data

Envelopment

Analysis

(DEA)

untuk

membandingkan efisiensi produktif organisasi serupa yang disebut sebagai Decision Making
Unit (DMU). Karena perspektif ini, Data Envelopment Analysis (DEA) membuktikan dengan
sangat mahir mengungkap hubungan yang tetap tersembunyi dari metodologi lain. Sebagai
contoh, pertimbangkan apa dimaksud dengan efisiensi atau lebih umum, apa dimaksud
dengan mengatakan bahwa salah satu Decision Making Unit (DMU) lebih efisien daripada
Decision Making Unit (DMU) yang lain. Hal ini dilakukan dengan cara langsung oleh Data
Envelopment Analysis (DEA) tanpa memerlukan asumsi eksplisit yang dirumuskan dan
variasi dengan berbagai jenis model seperti pada model regresi linear dan non linear. Efisiensi
relatif pada Data Envelopment Analysis (DEA) selaras dengan definisi yang memiliki
keuntungan dengan menghindari kebutuhan untuk menetapkan langkah-langkah apriori dari
kepentingan relatif untuk setiap Input atau output. Pengujian masalah efisiensi dirumuskan
sebagai tugas fraksional pemrograman, tetapi prosedur aplikasi untuk Data Envelopment
Analysis (DEA) terdiri dari pemecahan tugas linear programming (LP) untuk masing-masing
unit di bawah evaluasi. Dengan membiarkan xij - menunjukkan besarnya i yang diamati - jenis
Input untuk entitas j (xij> 0, i = 1, 2, ..., m, j = 1, 2, ..., n) dan ytj menunjukkan besarnya r
yang diamati - jenis output untuk entitas j (ytj> 0, r = 1, 2, ..., s, j = 1, 2, ..., n). Kemudian,
Charnes-Cooper-Rhodes Model (CCR) diformulasikan dalam bentuk sebagai berikut untuk
entitas k yang dipilih:

Dimana,

vi adalah bobot yang akan ditentukan untuk input i;


m merupakan jumlah input;
ur merupakan bobot yang akan ditentukan untuk output r;
s merupakan jumlah output;
hk merupakan efisiensi relatif DMUk;
n merupakan jumlah entitas;
merupakan nilai positif yang kecil.

Efisiensi relatif hk, suatu pengambilan keputusan satuan k yang didefinisikan sebagai
rasio jumlah tertimbang Output mereka (Output Virtual) dan jumlah tertimbang Input mereka
(Input Virtual). Adapun pengambilan keputusan satuan k yang maksimal dalam fungsi tujuan
dicari, kondisinya benar, artinya jelas 0 < hk 1, untuk setiap DMUk. Bobot vi dan ur
menunjukkan pentingnya setiap Input dan Output serta ditentukan dalam model, sehingga
sebanyak mungkin setiap DMU efisien. Mengingat bahwa kondisi (2) berlaku untuk setiap
DMU, itu menunjukkan bahwa masing-masing terletak di perbatasan efisiensi atau di luar itu.
Jika Max hk = hk* = 1, itu menujukkan efisiensi yang dicapai, sehingga dapat dikatakan
bahwa DMUk efisien. Efisiensi tidak tercapai untuk hk* < 1 dan DMUk tidak efisien dalam
kasus itu. DMUk harus dianggap relatif tidak efisien, apakah mungkin untuk memperluas
salah satu Output tanpa mengurangi Input apapun, dan tanpa mengurangi Output apapun
(orientasi Output) lainnya, atau jika mungkin untuk mengurangi Input tanpa mengurangi
apapun Output dan tanpa memperluas beberapa masukan lain (orientasi Input).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tahapan yang dilakukan dalam melakukan
penelitian. Tahapan yang terdapat di dalam metodologi akan dijadikan oleh penulis sebagai
pedoman agar dapat melakukan penelitian secara sistematis dan teratur, sehingga dapat
mencapai tujuan penelitian.
3.1

Tahap Identifikasi dan Perumusan Masalah


Pada tahap ini dilakukan Brainstorming dan identifikasi masalah, penetapan rumusan

masalah, penetapan tujuan penelitian, dan studi literatur serta studi lapangan.
3.1.1 Brainstorming dan Identifikasi Masalah PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
Pada tahap ini dilakukan Brainstorming dengan staff atau Kepala Departemen Produksi
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk selaku pihak yang mengerti dan merancang Knowledge
Management System dan Performance Measurement System di perusahaan dan dilakukan
identifikasi permasalahan yang diperoleh dari hasil pengumpulan informasi.
3.1.2 Perumusan Masalah dan Penetapan Tujuan Penelitian
Setelah diketahui permasalahan dan sumber dari masalah tersebut, maka pada tahap ini
dirumuskan masalah yang akan dicari penyelesaiannya melalui penelitian ini, dan selanjutnya
ditetapkan tujuan penelitian agar penelitian ini berjalan secara sistematis dan teratur dengan
memiliki arah yang jelas.
3.1.3 Studi Literatur dan Studi Lapangan
Setelah dilakukan perumusan masalah yang harus diselesaikan dan penetapan tujuan
penelitian, maka pada tahap ini dilakukan pembelajaran/studi dari kondisi eksisting, melalui
studi literatur untuk mempelajari metode dan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini,
seperti konsep Knoweldge, Knowledge Management, Key Performance Indicator (KPI),
Analytical Hierarchy Process (AHP), Knowledge Management Process, Knowledge Audit,
Knowledge Management Self-Assessment, dan Performance Measurement. Dengan adanya
studi literatur, diharapkan penulis memiliki pedoman yang kuat dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi serta mampu mencapai tujuan penelitian. Adapun studi lapangan
yang dilakukan dengan melihat dan bertanya secara langsung terkait kondisi eksisting,
Strategic Objectives perusahaan, dan kondisi eksisting Knowledge Management perusahaan.

3.2

Tahap Pengumpulan Data


Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data untuk merefleksikan kondisi eksisting

perusahaan dan mengidentifikasi Knowledge yang dimiliki perusahaan. Berikut merupakan


data yang harus dikumpulkan agar dapat menganalisis kondisi perusahaan.
3.2.1 Identifikasi Kondisi Eksisting Perusahaan
Pada tahap ini dilakukan identifikasi data yang dikumpulkan berupa informasi profil
perusahaan, proses bisnis yang dilakukan, visi dan misi perusahaan, data yang berkaitan
dengan Layout tiap unit produksi dan jumlah Decision Making Unit (DMU) pada tiap unit
produksi di Departemen Produksi.
3.2.2 Pengumpulan Data Primer Strategic Objectives dan Key Performance Indicator
(KPI)
Pada tahapan ini dilakukan kegiatan pengumpulan data primer terkait Strategic
Objectives dan Key Performance Indicator (KPI) yang dimiliki PT Krakatau Steel (Persero)
Tbk pada tiap unit produksi di Departemen Produksi yang digunakan untuk menunjang
tahapan pengolahan data dalam mengukur level pemanfaatan Knowledge Management untuk
mencapai efektifitas Knowledge Transfer pada tiap unit produksi di Departemen Produksi PT
Krakatau Steel (Persero) Tbk.
3.2.3 Pengumpulan Data Primer Knowledge Audit dengan Wawancara dan Kuesioner
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data Knowledge pada tiap unit produksi di
Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Metode yang digunakan untuk
pengumpulan data merupakan Knoweldge Audit dengan melakukan kuesioner dan
wawancara. Wawancara dan kuesioner akan disebarkan kepada Expert pada tiap unit produksi
di Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Data Knowledge yang diperoleh
akan digunakan menjadi bahan pengolahan data dalam mengukur level implementasi
Knowledge Management pada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.
3.3

Tahap Pengolahan Data


Berdasarkan data yang telah diperoleh, maka selanjutnya pada tahap ini akan dilakukan

pengolahan data. Berikut merupakan langkah-langkah yang akan dilakukan pada tahap
pengolahan data.
3.3.1 Penyusunan Database Knowledge pada Tiap Unit Produksi yang Disesuaikan
dengan Knowledge Management Process, Framework Zack, Strategic Objectives, dan
Key Performance Indicator (KPI)
Pada tahap ini dilakukan pengolahan data Knowledge yang telah didapat dari hasil
Knowledge Audit, Knowledge yang telah didapatkan, direkap ke dalam sebuah Database

Knowledge yang berbentuk tabel. Database Knowledge tersebut akan dikelompokkan


berdasarkan Knowledge Management Process, Framework Zack, Strategic Objectives, dan
Key Performance Indicator (KPI)-nya.
3.3.2 Pembobotan Knowledge yang Sesuai dengan Key Performance Indicator (KPI) pada
Tiap Unit Produksi dengan Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process
(AHP)
Pada tahap ini dilakukan pembobotan terhadap masing-masing poin Knowledge yang
dianggap penting bagi tiap unit produksi dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy
Process (AHP) melalui Software Expert Choice, sehingga dapat diketahui Knowledge yang
memiliki bobot terbesar atau memiliki bersifat kritis untuk mencapai Strategic Objectives dan
Key Performance Indicator (KPI) pada tiap unit produksi di Departemen Produksi PT
Krakatau Steel (Persero) Tbk. Hal ini dilakukan untuk menentukan bobot kepentingan dari
tiap Knowledge dimana bobot tersebut akan menjadi salah satu Input dalam perhitungan pada
tahap selanjutnya yaitu pembuatan River Diagram untuk dilakukan Knowledge Management
Self-Assessment.
3.3.3 Pengujian Knowledge pada Tiap Unit Produksi
Pada tahap ini dilakukan pengujian Knowledge yang telah dimiliki perusahaan untuk
dibandingkan dengan target pencapaian Knowledge yang ingin dicapai perusahaan.
Knowledge yang diuji merupakan Knowledge pada tiap unit produksi di Departemen Produksi
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Pengujian Knowledge dilakukan dengan menggunakan
metode River Diagram dan Stairs Diagram untuk mendapatkan hasil bagaimana pencapaian
level implementasi Knowledge Management pada tiap unit produksi di Departemen Produksi
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.
3.3.4 Pengukuran Efektifitas Knowledge pada Tiap Unit Produksi
Pada tahap ini dilakukan pengukuran efektifitas Knowledge pada tiap unit produksi di
Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dengan menggunakan metode Data
Envelopment Analysis (DEA). Pengukuran efektifitas dilakukan untuk mendapatkan hasil
bagaimana level pemanfaatan Knowledge Management untuk mencapai efektifitas
Knowledge Transfer pada tiap unit produksi di Departemen Produksi PT Krakatau Steel
(Persero) Tbk.
3.4

Tahap Analisis dan Interpretasi Data


Pada tahap ini dilakukan analisis dan interpretasi berdasarkan hasil pengolahan data

yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya. Berikut merupakan data yang dianalisis
berdasarkan hasil pengolahan data yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya.

3.4.1 Analisis Database Knowledge pada Tiap Unit Produksi yang Disesuaikan dengan
Knowledge Management Process, Framework Zack, Strategic Objectives, dan Key
Performance Indicator (KPI)
Pada tahap ini dilakukan analisis terkait Database Knowledge pada tiap unit produksi
yang disesuaikan dengan Knowledge Management Process, Framework Zack, Strategic
Objectives, dan Key Performance Indicator (KPI).
3.4.2 Analisis Pembobotan Knowledge yang Disesuaikan dengan Key Performance
Indicator (KPI) pada Tiap Unit Produksi dengan Menggunakan Analytical
Hierarchy Process (AHP)
Pada tahap ini dilakukan analisis terkait pembobotan Knowledge yang disesuaikan
dengan Key Performance Indicator (KPI) pada tiap unit produksi dengan menggunakan
Analytical Hierarchy Process (AHP).
3.4.3 Analisis Pengujian Knowledge pada Tiap Unit Produksi
Pada tahap ini dilakukan analisis terkait pengujian Knowledge yang telah dimiliki
perusahaan untuk dibandingkan dengan target pencapaian Knowledge yang ingin dicapai
perusahaan dan analisis hasil bagaimana pencapaian level implementasi Knowledge
Management pada tiap unit produksi di Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero)
Tbk.
3.4.4 Analisis pada Pengukuran Efektifitas Knowledge pada Tiap Unit Produksi
Pada tahap ini dilakukan analisis terkait pengukuran efektifitas Knowledge pada tiap
unit produksi di Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dan analisis hasil
bagaimana level pemanfaatan Knowledge Management untuk mencapai efektifitas
Knowledge Transfer pada tiap unit produksi di Departemen Produksi PT Krakatau Steel
(Persero) Tbk.
3.5

Kesimpulan dan Saran


Pada tahap ini disusun kesimpulan dan saran/rekomendasi terkait penelitian, dimana

kesimpulan dan saran/rekomendasi disusun berdasarkan hasil analisis dan interpretasi yang
telah dirumuskan pada tahapan sebelumnya. Kesimpulan yang dirumuskan menjawab tujuan
penelitian yang telah ditetapkan di awal dan saran/rekomendasi yang dirumuskan merupakan
usulan bagi perusahaan dan peluang bagi penelitian selanjutnya.
Gambar Flowchart metodologi penelitian yang digunakan akan ditampilkan pada
Gambar 3.1.
Berikut merupakan gambar Flowchart metodologi penelitian yang digunakan:

Gambar 3.1 Flowchart Metodologi Penelitian

BAB IV
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Pada bab ini akan dibahas mengenai pengumpulan dan pengolahan data guna
menyelesaikan permasalahan yang dirumuskan dan mencapai tujuan penelitian. Data-data
yang dikumpulkan berupa informasi profil perusahaan, proses bisnis yang dilakukan, visi dan
misi perusahaan, strategi perusahaan, strategi Departemen Produksi, data yang berkaitan
dengan Knowledge yang selama ini dimiliki perusahaan dan Departemen Produksi. Adapun
pengolahan data yang dilakukan dengan mengolah data yang telah dikumpulkan yang
berkaitan dengan Knowledge yang selama ini dimiliki perusahaan dan Departemen Produksi
dengan menyusun Database Knowledge yang mendukung pencapaian Strategic Objectives
perusahaan, dilakukan perhitungan bobot pada setiap Knowledge yang dimiliki perusahaan
dan Departemen Produksi untuk ditentukan Knowledge kritis perusahaan, dilakukan
pengukuran efektifitas Knowledge Transfer dengan mengacu pada Knowledge kritis
perusahaan yang telah didapatkan hasil sebelumnya.
4.1

Gambaran Umum Perusahaan

4.1.1 Sejarah PT Krakatau Steel (Persero) Tbk


Era tahun 1960, Presiden Soekarno mencanangkan Proyek Besi Baja Trikora sebagai
dasar industri nasional yang tangguh. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 31
Agustus 1970, berdirilah PT Krakatau Steel (Persero) dimana memanfaatkan kembali
peralatan dari Proyek Besi Baja Trikora seperti pabrik kawat baja dan pabrik batang baja.
Pada tahun 1977, Presiden Soeharto meresmikan operasi pertama dari produsen baja terbesar
di Indonesia.
Perkembangan Krakatau Steel sebagai perusahaan yang bergerak dalam industri baja
berlangsung cukup signifikan. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, perusahaan telah
menambah berbagai fasilitas produksi seperti pabrik besi spons, pabrik billet baja, pabrik
batang kawat, serta fasilitas infrastruktur berupa pembangkit listrik, pusat penjernihan air,
pelabuhan khusus Cigading dan sistem telekomunikasi. Perkembangan ini menyebabkan PT
Krakatau Steel untuk menjadi satu-satunya perusahaan baja terpadu di Indonesia. Selain itu,
perusahaan terus mengembangkan produksi berbagai jenis baja untuk bermacam keperluan,
seperti gulungan baja panas dan dingin (HRC & CRC) serta batang kawat. Saat ini, Krakatau
Steel memiliki kapasitas produksi baja mentah sebesar 2,45 juta ton per tahun untuk
mendukung produksi baja. Bersama dengan sepuluh anak perusahaan, Krakatau Steel mampu
mendiversifiasi usahanya pada usaha-usaha penunjang yang menghasilkan berbagai produk

baja bernilai tambah tinggi (seperti pipa spiral, pipa ERW, baja tulangan, dan baja profil),
menyediakan industri utilitas (air dan tenaga listrik), industri infrastruktur (pelabuhan dan
kawasan industri), EPC (Engineering Procurement and Construction) jasa, teknologi
informasi dan pelayanan medis (rumah sakit). Produk- produk baja Krakatau Steel ini tak
hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan baja nasional, tetapi juga dipasarkan secara
internasional.
Sejak awal berdiri, keahlian teknis Krakatau Steel telah diakui standar internasional.
Pada tahun 1973 perusahaan memperoleh A252 ASTM dan AWWA C200, serta API 5L untuk
produksi pipa spiral pada tahun 1977. Pada tahun 1993, PT Krakatau Steel (Persero)
dianugerahi ISO 9001 certifiction yang telah ditingkatkan menjadi ISO 9001:2000 pada tahun
2003. Pada tahun 1997, SGS International menganugrahkan sertifikasi ISO yang lain (ISO
14001) untuk komitmen perusahaan terhadap kesadaran lingkungan dan pekerjaan
keselamatan.
Pada tanggal 10 November 2010, di tengah kondisi pasar yang bergejolak, PT Krakatau
Steel (Persero) berhasil menjadi Perusahaan Terbuka dengan melaksanakan Penawaran
Umum Perdana (IPO) dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Pada tahun 2011,
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. membukukan pendapatan bersih sebesar Rp 17.9 triliun dan
laba bersih sebesar Rp 1.02 triliun. Selain itu, pada tahun 2011, Perusahaan dan Anak
Perusahaan memiliki asset sebesar Rp 21.5 triliun dan mempekerjakan 8.023 orang. (Krakatau
Steel, 2013)
4.1.2 Visi dan Misi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk memiliki visi yang digunakan sebagai pedoman dalam
kegiatannya untuk ikut serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional yaitu sebagai
berikut:
Perusahaan baja terpadu dengan keunggulan kompetitif untuk tumbuh dan
berkembang secara berkesinambungan menjadi perusahaan terkemuka di dunia
Adapun misi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk yang merupakan usaha perusahaan untuk
mencapai visi yang ada merupakan sebagai berikut :
Menyediakan produk baja bermutu dan jasa terkait bagi kemakmuran bangsa
4.1.3 Nilai-Nilai PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk memiliki budaya perusahaan dimana budaya
tersebutlah yang dijadikan sebagai kepercayaan, prinsip-prinsip, nilai-nilai yang menjadi
dasar dan referensi sistem manajemen perusahaan serta perilaku karyawan dalam bekerja.
Sehingga diharapkan nantinya akan meningkatkan kinerja perusahaan dan menumbuhkan
profesionalisme seluruh jajaran PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.

Adapun budaya yang terdapat pada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk merupakan sebagai
berikut:
1. Competence
Mencerminkan kepercayaan dan kemampuan diri serta semangat untuk meningkatkan
pengetahuan, ketrampilan, keahlian, dan sikap mental demi peningkatan kinerja yang
berkesinambungan.
2. Integrity
Mencerminkan komitmen yang tinggi terhadap setiap kesepakatan, aturan, dan
ketentuan serta undang-undang yang berlaku, melalui loyalitas profesi dalam
memperjuangkan kepentingan perusahaan.
3. Reliable
Mencerminkan kesiapan, kecepatan dan tanggap dalam merespon komitmen dan janji,
dengan mensinergikan berbagai kemampuan untuk meningkatkan kepuasan dan
kepercayaan pelanggan.
4. Innovative
Mencerminkan kemauan dan kemampuan untuk menciptakan gagasan baru dan
implementasi yang lebih baik dalam memperbaiki kualitas proses dan hasil kerja di
atas standar.
Competence, Integrity, Reliable, dan Innovation merupakan kesatuan nilai yang utuh
dan saling berhubungan satu sama lain. Competence dan Integrity merupakan modal dasar
untuk dapat berkarya dan berprestasi dalam mewujudkan perusahaan yang Profitable,
Growth, dan Sustainable. Competence dapat diwujudkan dengan sumber daya manusia yang
unggul serta dukungan managemen dan teknologi yang handal. Sumber daya manusia yang
unggul dapat dilihat dengan sifat Integrity, dimana karyawan memiliki komitmen dalam
berprilaku dan berbicara. Perusahaan yang ditunjang oleh sumber daya handal mampu untuk
merespon setiap permintaan pasar dan konsumen secara meyakinkan dimana tentunya dengan
hasil produk yang berkualitas. Hal tersebut merupakan perwujudan dari nilai Reliable. Ketika
perusahaan telah mencapai pada titik tersebut maka perusahaan akan terus melakukan
peningkatan melalui karyawan yang selalu melakukan Inovative, sehingga terjadinya
perbaikan kinerja perusahaan dari waktu ke waktu.
4.1.4 Struktur Organisasi PT Krakatau Steel (persero) Tbk
Berikut merupakan struktur organisasi dari PT Krakatau Steel (Persero) Tbk:

Gambar 4.1 Struktur Organisasi PT Krakatau (Persero) Tbk


4.1.5 Lokasi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk terletak sekitar 110 km dari Jakarta dengan luas
keseluruhan sekitar 350 hektar. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk terletak di kawasan industri
Krakatau, tepatnya di Jalan Industri No. 5 PO BOX 14, Cilegon, Banten, 42434. Kantor pusat
PT Krakatau Steel Tbk terletak di Wisma Baja dan Gatot Subroto Kav. 54 Jakarta. Adapun
yang menjadi pertimbangan pemilihan lokasi pabrik ini merupakan sebagai berikut:
1.

Lokasi dekat laut, sehingga dapat memudahkan pengangkutan bahan baku dan
produk menggunakan kapal.

5.

2.

Lokasi dekat dengan pemasaran (Ibu Kota).

3.

Tanah yang tersedia untuk pabrik cukup luas.

4.

Sumber air yang cukuo memadai untuk kelangsungan produksi.

Adanya jaringan rel kereta api dan jalan raya yang memadai untuk pengangkutan.

Gambar 4. 2 Peta PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

Sedangkan tata letak pabrik PT Krakatau Steel (Persero) Tbk yang sedemikian rupa
bertujuan untuk:
1.

Memudahkan jalur transportasi dalam pabrik untuk menunjang proses produksi dan
pengangkutan bahan baku serta pabrik.

2.

Memudahkan pengendalian proses produksi.

3.

Terdapat bengkel dalam kawasan pabrik, sehingga memudahkan dalam melakukan


perawatan dan perbaikan mesin.

4.

Ukuran jalan yang cukup luas, sehingga memudahkan karyaan dalam melakukan
pergerakan serta menjamin keselamatan pekerja.

4.1.6 Unit Penunjang PT Krakatau Steel (Persero) Tbk


PT Krakatau Steel memiliki anak perusahaab yang berfungsi sebagai unit penunjang
produksi. Berikut merupakan anak perusahaan dari PT Krakatau Steel (Persero) Tbk:
1. PT KHI Pipe Industries
2. PT Krakatau Wajatama (KW)
3. PT Meratus Jaya Iron & Steel (MJIS)
4. PT Krakatau Daya Listrik (KDL)
5. PT Krakatau Tirta Industri (KTI)
6. PT Krakatau Bandar Samudera (KBS)
7. PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC)
8. PT Krakatau Engineering (KE)
9. PT Krakatau Information Technology(KITech)
10. PT Krakatau Medika (KM)
11. PT Krakatau National Resource (PT KNR)
4.1.7 Unit Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk merupakan satu-satunya pabrik baja terintegrasi di
Indonesia. Dalam menunjang produksinya, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk memiliki
beberapa unit produksi utama yang terbagi menjadi enam pabrik yaitu Pabrik Besi Spons
(Direct Reduction Plant), Pabrik Slab Baja (Slab Steel Plant), Pabrik Billet Baja (Billet Steel
Plant), Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill), Pabrik Baja Lembaran Dingin (Cold
Rolling Mill), dan Pabrik Baja Batang Kawat (Wirerod Mill).
1.

Pabrik Besi Spons (Direct Reduction Plant)


Pabrik Besi Spons mereduksi langsung bahan baku biji besi (pellet) menjadi besi
spons (sponge iron) yang nantinya akan digunakan sebagai bahan baku pada Pabrik
Slab Baja dan Pabrik Billet Baja. Kapasias produksi dari Pabrik Besi Spons seberat
1.350.000 ton per tahun. Adapun proses yang terjadi pada Pabrik Besi Spons
merupakan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Pengisian (Charging)
Pendinginan (Cooling) hingga 60%
Reduksi Primary (1000C)
Reduksi Secondary (1000C)

e.
2.

Pengeluaran (Discharging)

Pabrik Slab Baja (Slab Steel Plant)


Pabrik Slab Baja terdiri dari dua pabrik yaitu SSP I dan SSP II. SSP I memiliki
empat dapur listrik dimana setiap dapur listrik memiliki kapasitas produksi sebesar
250.000 ton per tahun. Sedangkan SSP II memiliki dua dapur listrik dimana setiap
dapur listrik memiliki kapasitas produksi sebesar 400.000 ton per tahun. Bahan
baku baja yang digunakan dalam proses pembuatan slab berasal dari baja reject
yang dihasilkan dari Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill), Pabrik Baja
Lembaran Dingin (Cold Rolling Mill), dan Pabrik Baja Batang Kawat (Wirerod
Mill). Pabrik Slab Baja menghasilkan produk baja dengan ukuran penampang 200
mm x (600 - 1200) mm dan ukuran panjang maksimal sebesar 12.000 mm. Adapun
fasilitas produksi pada pabrik ini terdiri dari:
a.

Electric Arc Furnance, berfungsi untuk menghasilkan baja cair dari bahan baku
besi spons, scraps, dan kapur.

b.

Ladle Furnance, berfungsi mereduksi kandungan oksigen dalam bak dengan


alumunium, homogenisasi temperatur, dan komponen kima.

c.

RH-Vacuum Degassing, berfungsi untuk memenuhi permintaan produk baja


yang high-grade dari konsumen.

d.

Continuous Casting Machine, berfungsi untuk proses pencetakan.

Gambar 4. 3 Produk Slab Steel Plant PT Krakatau Steel (Persero) Tbk


3.

Pabrik Billet Baja (Billet Steel Plant)


Pabrik Billet Baja memiliki kapasitas produksi 600.000 ton per tahun dimana
memiliki ukuran yang berbeda, yaitu ukuran penampang sebesar 110 mm x 110
mm, 120 mm x 120 mm, 130 mm x 130 mm dan ukuran panjang maksimal sebesar
12.000 mm. Pabrik Billet Baja menghasilkan baja batangan dengan bahan baku
sebagai berikut:

a.

Besi spons yang dihasilkan dari Pabrik Besi Spons.

b.

Scrap, yaitu besi yang dibuang dari proses pemotongan yang dilakukan oleh
Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill), Pabrik Baja Lembaran Dingin
(Cold Rolling Mill), dan Pabrik Baja Batang Kawat (Wirerod Mill).

c.

HB I, CB I, Pig Iron Scull.

d.

Hot Briquetted Iron.

e.

Cold Briquetted Iron.

f.

Batu kapur, sebagai bahan baku pembantu

Adapun fasilitas produksi pada pabrik ini terdiri dari:


a.

Electric Arc Furnance, berfungsi untuk menghasilkan baja cair dari bahan baku

b.

besi spons, scraps, dan kapur.


Ladle Furnance, berfungsi mereduksi kandungan oksigen dalam bak dengan

c.

alumunium, homogenisasi temperatur, dan komponen kima.


Continuous Casting Machine, berfungsi untuk proses pencetakan.

Gambar 4. 4 Produk Billet Steel Plant PT Krakatau Steel (Persero) Tbk


4.

Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill)


Pabrik Baja Lembaran Panas memiliki kapasitas produksi 2.400.000 ton per tahun
dimana terdiri dari tiga jenis produk yang berbeda, yaitu sebagai berikut:
a.

Coil, dengan spesifikasi:


Ketebalan : 1,8 - 25 mm
Lebar : 600 - 2080 mm
Diameter (inner) : 760 mm
Diameter (outer) : 2200 mm
Berat : 5 - 30 ton

b.

Plate, dengan spesifikasi:


Ketebalan : 1,8 - 25 mm

Lebar : 600 - 2080 mm


Panjang : 1500 - 12000 mm
Berat : 7,5 ton
c.

Sheet, dengan spesifikasi:


Ketebalan : 2 - 6 mm
Lebar : 600 - 2080 mm
Panjang : 1000 - 6000 mm

Adapun fasilitas produksi pada pabrik ini terdiri dari :


a.

Reheating Furnance, berfungsi untuk melakukan pemanasan pada baja slab


hingga mencapai 1200 - 1250 C.

b.

Sizing Press, berfungsi mereduksi ketebalan slab hingga 200 mm dengan


tujuan meningkatkan fleksibilitas produksi.

c.

Roughing Mill, berfungsi untuk mereduksi slab dengan ketebalan 200 mm


menjadi transfer bar dengan ketebalan 28 - 40 mm.

d.

Finishing Mill, berfungsi mereduksi transfer bar menjadi baja lembaran (strip)
dengan ketebalan sesuai dengan permintaan konsumen.

e.

Laminar Cooling, proses dilakukan dalam Water Laminar Cooling dengan


tujuan mendapatkan baja lembaran dengan kualitas baik.

f.

Down Coiler, berfungsi untuk membentuk baja batang lembaran menjadi


gulungan.

g.

Shearing Line, Baja lembaran panas berbentuk gulungan diproses menjadi


kondisi slit, trimmed, atau recoiled.

Gambar 4. 5 Produk Hot Strip Mill PT Krakatau Steel


(Persero) Tbk
4.

Pabrik Baja Lembaran Dingin (Cold Rolling Mill)


Pabrik Baja Lembaran Dingin merupakan pabrik yang mengelola lembaran baja
Pabrik Baja Lembaran Panas dimana pada pabrik ini lembaran baja ditipiskan

dengan proses pendinginan, sehingga menghasilkan ketebalan 0,18 mm - 3 mm.


Pabrik Baja Lembarang Dingin memiliki kapasitas produksi sebesar 950.000 ton
per tahun. Adapun fasilitas produksi pada pabrik ini terdiri dari:
a.

Continue Picking Line, berfungsi untuk menghilangkan oksida yang terbentuk


selama proses pengerolan sebelum nantinya memasuki proses Cold Reduction
agar mencegah ketidakseragaman dan berfungsi untuk meninggalkan
ketidakaturan permukaan.

b.

Tanden Cold Mill, berfungsi mereduksi ketebalan baja yang dihasilkan untuk
memperoleh permukaan yang halus serta padat.

c.

Yemper Pass Mill, berfungsi untuk memberikan kekerasan yang tepat pada
permukaan, memperbaiki kerataan dari baja lembaran, menutupi kerusakan
pada derajat tertentu, dan memberikan tegangan yang cukup.

d.

Continuous Annealing Line, berfungsi dalam proses pemanasan, soaking,


pendinginan, dan over-aging.

e.

Annealing, proses pengerolang dingin menyebabkan struktur mengalami


perpanjangan, sehingga perlu dilakukan pemanasan agar mengembalikan sifat
ductility.

f.

Electrolitic Cleaning Line, berfungsi untuk menghasilkan baja dengan


permukaan yang bersih.

g.

Finishing, baja lembaran dingin gulungan dapat diproses lebih lanjut menjadi
bentuk shared, trimmed, dan recoiled.

Gambar 4. 6 Produk Cold Rolling Mill PT Krakatau Steel (Persero)


Tbk
6.

Pabrik Baja Batang Kawat (Wirerod Mill)

Pabrik Baja Batang Kawat memiliki kapasitas produksi sebesar 450.000 ton per
tahun dimana menghasilkan baja dengan spesifikasi sebagai berikut:
Ukuran penampang

: 110 mm x 110 mm

Diameter

: 5,5 - 14 mm

Panjang

: 1000 mm

Berat

: 900 kg

Adapun fasilitas produksi pada pabrik ini terdiri dari:


a.

Reheating Furnance, berfungsi untuk melakukan pemanasan pada baja billet.

b.

Pre - Roughing Mill, berfungsi mereduksi ukuran bloom menjadi 18 mm


dengan tujuan meningkatkan fleksibilitas produksi.

c.

Roughing Mill, berfungsi untuk mereduksi bar dengan dimensi 165 mm x 165
mm menjadi transfer bar dengan diameter 18 mm.

d.

Finishing Mill, berfungsi mereduksi diameter baja batang kawat sesuai


permintaan konsumen dengan menggunakan proses no twist mill.

e.

Cooling Zone, berfungsi untuk proses pendinginan, sehingga mendapatkan baja


batang kawat dengan kualitas baik.

f. Down Coiler, berfungsi untuk membentuk baja batang kawat menjadi gulungan.

Gambar 4. 7 Produk Wirerod Mill PT Krakatau Steel (Persero) Tbk


Berikut merupakan Aliran Produk dari PT Krakatau Steel (Persero) Tbk :

Gambar 4. 8 Aliran Produk PT Krakatau Steel (Persero) Tbk

Proses produksi baja di PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dimulai dari Pabrik Besi
Spons. Pabrik ini mengolah bijih besi pellet menjadi besi dengan menggunakancement, gas
alam dan air sebagai katalisator. Besi sponge yang dihasilkan kemudian diproses lebih lanjut
pada Electric Arc Furnace (EAF) di Pabrik Slab Baja dan Pabrik Billet Baja. Di dalam EAF
besi dicampur dengan scrap, hot bricket iron dan material tambahan lainnya berupa ferro
alloy untuk menghasilkan dua jenis baja yang disebut baja slab dan baja billet. Baja slab
selanjutnya menjalani proses pemanasan ulang dan pengerolan di Pabrik Baja Lembaran
Panas menjadi produk akhir yang dikenal dengan nama baja lembaran panas (HRC). Produk
ini banyak digunakan untuk aplikasi konstruksi kapal, pipa, bangunan, konstruksi umum, dan
lain-lain. Baja lembaran panas dapat diolah lebih lanjut melalui proses pengerolan ulang dan
proses kimiawi di Pabrik Baja Lembaran Dingin menjadi produk akhir yang disebut baja
lembaran dingin (CRC). Produk ini umumnya digunakan untuk aplikasi bagian dalam dan luar
kendaraan bermotor, kaleng, peralatan rumah tangga, dan sebagainya. Sementara itu, baja
billet mengalami proses pengerolan di Pabrik Batang Kawat untuk menghasilkan batang
kawat baja yang banyak digunakan untuk aplikasi senar piano, mur dan baut, kawat baja,
pegas, dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
Alavi, M. & Leidner, D., 2001. Review: Knowledge Management and Knowledge
Management System. Conceptual Foundation and Research Issues, 1(25), pp.107-16.
Andre,

B.,

2012.

What

is

Knowledge.

[Online]

Available

at:

http://www.businessdictionary.com/definiton/knowledge.html [Accessed 28 Februari


2015].
Andreeva, T. & Kianto, A., 2012. Does Knowledge Management Really Matter? Linking
Knowledge Management Practices, Competitiveness, and Economic Performance.
Journal of Knowledge Management, 16(4), pp.617-36.
Awad, M.A. & H.M, G., 2004. Knowledge Management. Upper Sadle River, New Jersey:
Pearson Education, Prentice Hall.
Beccer-Fernandez, I. et al, 2004. Knowledge Management: Challenges, Solutions, and
Technologies. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall Inc.
Berger, P. & Luckmann, T., 1967. The Social Construction of Reality. New York: Penguin.
Boisot, M., 2002. The Creation and Sharing of Knowledge. The Strategic Management of
Intellectual Capital and Organizational Knowledge, pp.65-78.
Boud, D. & Falchikov, N., 1989. Quantitative Studies of Student Self-Assessment in Higher
Education: A Critical Analysis of Findings. Journal of Higher Education, 18(5),
pp.529-49.
Bouthillier, F. & Shearer, K., 2002. Understanding Knowledge Management and Information
Management: The Need for An Empirical Perspective. Information Research Journal,
8(1), pp.1-39.
Brantmeier, C., 2006. Advanced L2 Learners and Reading Placement: Self-Assessment, CBT,
and Subsequent Performance. System, 34, pp.15-35.
Brooking, A., 1997. The Management of Intellectual Capital. Long Range Plan, 30(3),
pp.364-65.
Buwono, A., 2014. Perdagangan Baja Nasional Masih Alami Defisit. [Online] Available at:
http://beritadaerah.co.id/2014/10/23/perdagangan-baja-nasional-masih-alami-defisit
[Accessed 12 Februari 2015].
Changchit, C., 2001. Transferring Auditors Internal Control Evaluation Knowledge to
Management. Expert System Appl, 20, pp.275-91.

Charnes, A. et al, 1978. Measuring the Efficiency of Decision Making. European Journal of
Operational Research, 2(6), pp.429-44.
Chen, A. & Chen, M., 2005. A Review of Survey Research in Knowledge Management
Performance Measurement. Journal of Universal Knowledge Management, 1, pp.4-12.
Chua, A., 2004. Knowledge Management Systems Architecture: A Bridge Between KM
Consultans and Technologies. International Journal of Information Management, 24,
pp.87-98.
Cole, M.J. et al, 2010. Are Self-Assessments Reliable Indicators of Topic Knowledge?
Annual Meeting of the American Society for Information Science and Technology.
Collison,

C.,

2013.

Knowledgeable

Ltd.

[Online]

Available

at:

http://www.chriscollison.com/pib.html [Accessed 23 Maret 2015].


Cooper, W.W. et al, 2000. Data Envelopment Analysis: A Comprehensive Text with Models,
Applications, References and DEA-Solver Software. Boston: Kluwer Academic
Publishers.
Darroch, J. & MacNaughton, R., 2002. Developing a Measure of Knowledge Management.
In N, B., ed. World Congress on Intelectual Capital Readings., 2002.
Davenport, T.H. & McElroy, M.W., 2000. Working Knowledge: How Organization Manage
What They Know. Boston: Harvard Business School Press.
Davenport, T.H. & Prussak, L., 1997. Information Ecology: Mastering Information and
Knowledge Environment. New York: Oxford.
Davenport, T.H. & Prussak, L., 1998. Working Knowledge. Boston: Harvard Business School
Press.
De Jarnett, L., 1996. Knowledge the Latest Thing. Information strategy: Executive Journal,
12(2), pp.3-5.
Deng Qianwang & Yu Dejie, 2006. An Approach To Integrating Knowledge Management
Into The Product Development Process. Journal of Knowledge Management Practice,
7(2).
Diangga, S.I., 2013. Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja PT Kereta Api Indonesia
(Persero) dengan Mempertimbangkan Aspek Sosial dan Bisnis. Laporan Tugas Akhir.
Dirjen Anggaran Kemenkeu, 2013. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013.
[Online] Available at: http://www.anggaran.depkeu.go.id/Content/APBN%202013.pdf
[Accessed 11 Februari 2015].
Drucker, P.F., 1989. The New Realities. 9780060161293rd ed. New York: Harper & Row.
Drucker, P.F., 1998. The Coming of the New Organization. Harvard Bussiness Review.

Dyckhoff, H. & Allen, K., 2001. Measuring Ecological Efficiency with Data Envelopment
Analysis (DEA). European Journal of Operational Research, 132(2), pp.312-25.
Farrell, M., 1957. The Measurement of Productive Efficiency. Journal of the Royal Statistical
Society, 120(3), pp.253-90.
Fikrotuzzakiah, F., 2012. Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja Project-Based dengan
Menggunakan Balanced Scorecard (Studi Kasus: PT Wijaya Karya Bangunan Gedung).
Laporan Tugas Akhir.
Forman, H.E. & Gass, I.S., 2013. The Analytical Hierarchy Process - An Exposition. The
Analytical Hierarchy Process.
Harrington, M. & Carey, M., 2009. The On-Line Yes/No Test as a Placement Tool. System,
37(4), pp.614-26.
Harris, M., 1997. Self-Assessment of Language Learning in Formal Settings. ELT Journal,
51(1), pp.12-20.
Hidayat, T., 2013. Mengenal MP3EI: Seperti Apa Indonesia di Tahun 2025? [Online]
Available

at:

http://www.teguhhidayat.com/2013/07/mengenal-mp3ei-seperti-apa-

indonesia-di.html [Accessed 11 Februari 2015].


Hung, Y. et al, 2007. Knowledge Management Strategic Planning. In International
Conference on Information Reuse and Integration., 2007. IEEE.
Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA), 2014. Prospek Industri Baja Kian
Cerah.

[Online]

Available

at:

http://iisia.or.id/index.php?page=content&cid=28

[Accessed 12 Februari 2015].


Investopedia, 2012. Key Performance Indicator (KPI) Definiton. [Online] Available at:
http://www.investopedia.com/terms/k/kpi.asp [Accessed 24 Maret 2015].
Jac, F. & Barbara, D., 2001. How to Measure Human Resources Management. 3rd ed.
Jakarta: Kencana Pernada Media Group.
Jaworski BJ, K., 1993. Market Orientation Antecendents an Consequences. 57, pp.53-70.
Jensen, M.C. & Meckling, W.H., 1996. Spesific and General Knowledge and Organizational
Structure: Knowledge Management and Organizational Design. In Myers, P.S. ed.
Newton: Oxford University Press.
Kaplan, R. & Norton, D., 1996. The Balanced Scorecard: Translating Strategy in Action. 1st
ed. Boston: The Harvard Business School Press.
Kemendag, 2014. Perkembangan Impor Non Migas (Komoditi) Periode: 2009 - 2014.
[Online]

Available

at:

http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-

export-import/growth-of-non-oil-and-gas-import-commodity [Accessed 11 Februari


2015].
Kemenperin, 2010. Laporan Studi Telaahan Kedalaman Struktur Industri Engineering
Prioritas (Industri Baja dan Industri Logam Non Ferrous). [Online] Available at:
http://kemenperin.go.id/download/3279/Laporan-Studi-2010---Telaahan-KedalamanStruktur-Industri-Engineering-Prioritas-(Industri-Baja-dan-Industri-Logam-NonFerrous [Accessed 12 Februari 2015].
Kemenperin, 2014. Laju Pertumbuhan Industri Non Migas (Kumulatif). [Online] Available
at: http://www.kemenperin.go.id/statistik/pdb_growthc.php

[Accessed 11 Februari

2015].
Kemenperin, 2014. Kontribusi Industri Pengolahan Non Migas Terhadap PDB. [Online]
Available at: http://www.kemenperin.go.id/statistik/pdb_share.php

[Accessed 11

Februari 2015].
Krogh, G.V. et al, 1998. Knowing in Firms: Understanding, Managing and Measuring
Knowledge. SAGE.
Krogh, G.V. et al, 2000. Enabling Knowledge Creation: How To Unlock The Mystery of Tacit
Knowledge and Release The Power of Innovation. Oxford: Oxford University Press.
Kuah, C.T. & Wong, K.Y., 2011. Knowledge management performance measurement: A
review. African Journal of Business Management, 15(5), pp.6021-27.
Lai, H. & Chu, T.H., 2000. Knowledge Management: A Review of Theoretical Frameworks
and Industrial Cases. In In Proceedings of The 33rd Hawaii International Conference
on System Sciences., 2000. IEEE.
LeBlanc, R. & Painchaud, G., 1985. Self-Assessment as a Second Language Placement
Instrument. TESOL Quarterly, 19(4), pp.673-87.
Locke, J., 1689. BOOK IV. Of Knowledge and Probability. An Essay: Concerning Human
Understanding.
Luis, S. & Prima, A.B., 2007. Step by Step in Cascading Balanced Scorecard to Functional
Scorecard. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun, M., 2009. Pengukuran Kinerja Sektor. Yogyakarta: PBFE.
Malabonga, V. et al, 2005. Self-Assessment, Preparation and Response Time on a
Computerized Oral Proficiency Test. Language Testing, 22(1), pp.59-92.
McInerney, C., 2002. Knowledge Management and The Dynamic Nature of Knowledge.
Journal of The American Society for Information Science and Technology, 53(12),
pp.1009 - 1018.

Merkin, B., 1979. Group Choice. New York: John Wiley & Sons.
Moulin, 2007. Performance Measurement: Guidelines, Myths, and Examples. [Online]
Available

at:

http://managementhelp.org/performancemanagement/guidelines.htm

[Accessed 27 Februari 2015].


Murray, P., 2002. Knowledge Management as a Sustained Competitive Advantage. 66(4),
pp.71-76.
Nelly, A. et al, 1996. Performance Measurement System Design. International Journal of
Operations & Production Management, 15(4), pp.80-116.
Nonaka, I. & Takeuchi, H., 1995. The Knowledge Creating Company: How Japanese
Companies Create the Dynamics of Innovation. New York: Oxford University Press.
Norton, R., 1994. Which Offices or Stores Really Perform Best? A New Tool Tells. Fortune,
130, p.38.
Parcell, G. & Collison, C., 2009. No More Consultants: We Know More Than Think. London.
Parmenter, D., 2007. Key Performance Indicator. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Ray, T. & Clegg, S., 2005. Tacit Knowing, Communication and Power: Lessons from Japan?
Managing Knowledge: An Essential Reader, 2nd ed, pp.319-48.
Rezende, R. & Souza, J., 2007. Using Knowledge Management Techniques To Improve The
Learning Process through The Exchange of Knowledge Chains. In 11th International
Conference on Computer Supported Cooperative Work in Design., 2007.
Rhodes, E., 1978. Data Envelopment Analysis and Related Approaches for Measuring the
Efficiency of Decision Making Units with an Application to Program Follow through in
US Education. Pittsburgh, PA: Unpublished Doctoral Dissertation.
Robertson, S.L., 2002. GATS and the Education Service Industry. Comparative Education
Review, 46(4), pp.472-97.
Robins,

E.,

2001.

Brief

History

of

Decision-Making.

[Online]

Available

at:

www.technologyevaluation.com/arlingsoft/History_Decision_Making.pdf [Accessed 26
Maret 2015].
Ryle, G., 1949. Concept of Mind. Chicago: The University of Chicago Press.
Saaty, L.T., 1980. The Analytical Hierarchy Process. New York: Mc.Graw Hill Book Co.
Schonberger, R. & Knod, E., 1997. Operations Management: Continuous Improvement. 6th
ed. Irwin, Chicago.
Setiawan, E., 2012. KBBI. [Online] (3) Available at: http://kbbi.web.id/audit [Accessed 28
Februari 2015].
Shah et al, 1998. Knowledge Auidt of The Call Center at MindSpring.

Shin, A., 2000. Framework for Evaluating Economics of Knowledge Management Systems.
Journal of Information and Management, 3(14), pp.179-96.
Sholihah, M., 2012. Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja ITS International Office dengan
Menggunakan Balanced Scorecard. Laporan Tugas Akhir.
Stollberg Michael et al, 2004. H-TechSight A Next Generation Knowledge Management
Platform. Journal of Information and Knowledge Management, 1(3), pp.47-66.
Storey, J. & Barnett, E., 2000. Knowledge Management Initiatives: Learning from Failure.
Journal of Knowledge Management, 4(2), pp.145-56.
Sun, Z. & Gao, G., 2006. HSM: Hierarchical Spiral Model for Knowledge Management. In
In Proceedings The 2nd International Conference on Information Management and
Business. Sydney, 2006.
Sunassee, N.N. & Sewry, D.A., 2002. A Theoretical Framework for Knowledge Management
Implementation. In In Proceeding Annual Research Conference of The South African
Institute of Computer and Scientists an Information Technologists., 2002.
Supyuenyong, V. & Islam, N., 2006. Knowledge Management Architecture: Building Blocks
and Their Relationship. In Technology Management for The Global Future. 3rd ed.
pp.1210-19.
Takamura, T. & Tone, K., 2003. A Comparative Site Evaluation Study for Relocating
Japanese Government Agencies Out of Tokyo. Socio-Economic Planning Sciences, 37,
pp.85-102.
Tiwana, A., 2000. The Knowledge Management Toolkit. 07458th ed. Prentice Hall PTR.
River Upper Saddle.
Wen, H. et al, 2003. Measuring E-Commerce Efficiency: A Data Envelopment Analysis
(DEA) Approach. Industrial Management & Data Systems, 103(9), pp.703-10.
Wicaksono, D.G., 2013. General Business Environment PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.
Magister Manajemen Paper. Jakarta: Universitas Gadjah Mada.
Wiig, K., 1993. Knowledge Management Methods. Arlington, TX: Schema Press.
Wong, K. & Aspinwall, E., 2006. Development of a Knowledge Management Initiative and
System. A Case Study: Expert System Application , 30(4), pp.633-41.
Zhu, J., 2002. Quantitative Models for Performance Evaluation and Benchmarking: Data
Envelopment Analysis with Spreadsheets and DEA Excel Solver. Boston: Kluwer
Academic Publishers.

Anda mungkin juga menyukai