PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian yang diperoleh, ruang lingkup penelitian yang terdiri dari
batasan dan asumsi yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika penulisan.
1.1
Latar Belakang
Pada era globalisasi saat ini, persaingan ditandai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
menyebabkan perubahan paradigma dalam sebuah perusahaan. Keunggulan bersaing sebuah
perusahaan kini tidak hanya berupa sumber daya, tetapi juga berupa Knowledge. Menurut
(Drucker, 1998), dasar sumber daya ekonomi tidak lagi berupa capital, sumber daya alam,
dan atau karyawan, tetapi berupa ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, setiap perusahaan sudah
terdapat manajemen yang mengatur Knowledge tertulis (Explicit Knowledge) berupa notulensi
rapat, arsip dokumen, prosedur perusahaan dan literature, serta Knowledge tak tertulis (Tacit
Knowledge) berupa skill dan pengalaman selama bekerja di perusahaan. Knowledge tersebut
disusun, digunakan, dan dimanfaatkan bersama-sama oleh karyawan perusahaan untuk
mendukung terjadinya inovasi.
Di samping itu, baja merupakan komoditas bahan baku yang sangat penting dalam
menunjang kebutuhan ekonomi nasional dan digunakan secara industri dalam memenuhi
kebutuhan produksi pengolahan bahan dasar sebagai bahan baku industri lainnya. Industri ini
berperan vital dalam berbagai sektor seperti pada sektor manufaktur (permesinan dan suku
cadang), infrastruktur (industri berbahan kimia, properti, jalan, jembatan, rel kereta api,
pelabuhan/dermaga, bandar udara, listrik, dan telekomunikasi), otomotif/transportasi (mobil,
motor, dirgantara, perkapalan, dan perkeretaapian), pertahanan, dan peralatan rumah tangga.
Oleh karena itu, industri ini memainkan peran strategis tidak hanya dalam perekonomian
nasional tapi juga pembangunan suatu bangsa.
Menurut Wicaksono (2013) Amerika Serikat dan China menjadi negara dengan
ekonomi terkuat saat ini diawali dari pesatnya perkembangan industri manufaktur mereka
yang didukung oleh keberadaan industri logam. Walaupun kedua negara mencapainya dalam
waktu yang berbeda, keduanya memiliki kesamaan sebagai produsen baja terbesar pada
masanya. Oleh karena itu, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mencapai
prestasi tersebut, apalagi memiliki kedua faktor utama penggerak perindustrian yaitu bahan
tambang pasir besi dan sumber energi batu bara yang melimpah.
Pada tahun 2008 lalu, pemerintah mencanangkan visi pembangunan industri nasional
dimana Indonesia menjadi negara industri tangguh pada tahun 2025 mendatang dengan
mengeluarkan Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 (Kemenperin, 2010). Akan tetapi
pencapaian visi tersebut menemui jalan terjal bila melihat infrastruktur di masing-masing
provinsi yang masih tidak memadai. Kendala ini memerlukan strategi untuk mempercepat
pembangunan, yang lebih dikenal dengan sebutan Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Sebuah rencana yang dicetuskan di akhir 2008
silam untuk memecah leher botol (debottlenecking) regulasi di daerah agar pembangunan
tidak lagi terhambat (Hidayat, 2013). Program MP3EI ini secara langsung akan meningkatkan
konsumsi baja nasional dalam 12 tahun mendatang. Bila dilihat pada Anggraran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) 2013, belanja pemerintah pusat untuk pembangunan
infrastruktur pendorong pertumbuhan menghabiskan anggaran sebesar Rp201,3 trilun
meningkat 24,7% bila dibandingkan tahun 2012 yang hanya sebesar Rp161,4 triliun.
Sejumlah proyek pembangunan infrastruktur yang sudah terealisasi pada rentang tahun 2012
2013 antara lain, bandar udara baru, penambahan jalur rel kereta api baru mencapai 500 km,
pembangunan jalan lintas propinsi dan jembatan hingga tahun 2013 mencapai 19.370 km,
pembangunan 61 dermaga penyeberangan dan 20 unit kapal perintis, pembangunan jaringan
transmisi hingga tahun 2013 mencapai 9216 km (Dirjen Anggaran Kemenkeu, 2013).
Namun hal tersebut belum dapat terealisasi secara optimal mengingat laju pertumbuhan
industri pengolahan non-migas (kumulatif) dan kontribusi industri pengolahan non-migas
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami fluktuasi selama kurun waktu tahun 2007
hingga tahun 2012 (triwulan 1). Berikut merupakan data yang disajikan oleh Kementrian
Perindustrian RI dalam situs resminya:
Gambar 1.1 Grafik Laju Pertumbuhan (%) Industri Pengolahan Non-Migas (Kumulatif) dan
Grafik Kontribusi (%) Industri Pengolahan Non-Migas Terhadap PDB Tahun 2007 2012
(TW 1) (Kemenperin, 2014)
Gambar 1.1 menunjukkan laju pertumbuhan industri pengolahan non-migas (kumulatif)
dalam sektor logam dasar besi dan baja berturut-turut 1,69 (2007), -2,0528 (2008), -4,2599
(2009), 2,3838 (2010), 13,0567 (2011), 5,5737 (2012 s.d TW 1) dan kontribusi industri
pengolahan non-migas terhadap PDB dalam sektor logam dasar besi dan baja berturut-turut
0,5798 (2007), 0,5903 (2008), 0,4782 (2009), 0,4172 (2010), 0,4188 (2011), 0,42 (2012 s.d
TW 1).
Pada saat ini industri baja nasional sedang mengalami tantangan berupa masih
defisitnya jumlah produksi terhadap tingkat konsumsi baja dalam negeri. Kapasitas produksi
industri baja nasional baru mencapai angka 7 juta ton, sementara tingkat konsumsi baja dalam
negeri berdasarkan data dari Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA) pada tahun
2013 lalu, tingkat konsumsi baja di Indonesia di antara negara-negara ASEAN tergolong
rendah kendati itu pun belum mampu dipenuhi pabrikan lokal. Tercatat, tingkat konsumsi baja
di Indonesia berada di sekitar 51 kg/kapita atau hanya sedikit di atas Vietnam dengan
konsumsi sebesar 31 kg/ kapita. Jika dibandingkan dengan konsumsi baja di Malaysia,
misalnya, sudah mencapai 235 kg/kapita. Jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Thailand
sudah mendekati 267 kg/ kapita, dan Filipina 67 kg/ kapita sedangkan Singapura sudah
menembus 791 kg/ kapita. Diperkirakan, tahun 2020 nanti, konsumsi baja Indonesia
menembus 93 kg/ kapita dan Vietnam sudah mengungguli dengan konsumsi 161 kg/ kapita.
Sedangkaan Malaysia, mencapai 412 kg/ kapita, Thailand 317 kg/ kapita. Untuk permintaan
baja di Filipina dan Singapura masing-masing 82 kg/ kapita dan 974 kg/ kapita (Indonesian
Iron & Steel Industry Association (IISIA), 2014).
Sementara itu besarnya biaya energi dalam negeri juga menjadi salah satu penyebab
maraknya impor baja nasional. Tingginya biaya energi tersebut berdampak langsung kepada
pembentukan harga jual baja yang dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan harga baja dari
impor, sehingga para konsumen baja lebih memilih untuk impor dibandingkan dengan
menggunakan baja produksi dalam negeri. Perkembangan impor non-migas (komoditi)
mengalami fluktuasi selama kurun waktu 2009 hingga tahun 2014. Berikut merupakan data
yang disajikan oleh Kementrian Perdagangan RI dalam situs resminya:
tahapan dari struktur industri baja, mulai dari hulu , antara, hingga hilirnya. Meskipun begitu,
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk perlu meningkatkan kekuatan internal perusahaan di tengahtengah pasar komoditi baja. Selama ini perusahaan hanya melihat dari aspek sumber daya
manusia dan finansial. Sedangkan kekuatan internal perusahaan tidak hanya berasal dari
sumber daya manusia dan finansial, tetapi juga berasal dari sumber daya pengetahuan. PT
Krakatau Steel (Persero) Tbk sebenarnya sudah memiliki dan mengaplikasikan pendekatan
berbasis pilar Human Capital Learning and Knowledge Management, namun PT Krakatau
Steel (Persero) Tbk merasa Knowledge Management yang diterapkan masih belum efektif dan
menginginkan adanya Knowledge Management yang lebih baik. Knowledge Management
tersebut harus dapat membudaya dalam diri masing-masing karyawan perusahaan dan
merujuk pada visi, misi, strategi, dan juga budaya yang dimiliki oleh perusahaan. Selain itu,
Knowledge Management yang diterapkan diharapkan dapat mencegah terjadinya pengulangan
proses kegagalan dan dapat mengatur arus perputaran Knowledge yang dimiliki oleh PT
Krakatau Steel (Persero) Tbk. Kemampuan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dalam mengatur
arus perputaran Knowledge sangatlah penting. Knowledge Management yang diterapkan
dalam mengatur arus perputaran Knowledge tersebut dapat mengikuti arus keluar masuknya
karyawan yang bekerja pada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. Sehingga Knowledge yang
dimiliki oleh perusahaan tidak hilang bersamaan dengan hilangnya salah satu karyawan
perusahaan. Salah satu aktivitas dalam Knowledge Management yang dilakukan oleh PT
Krakatau Steel (Persero) Tbk dalam mengatur arus Knowledge merupakan Knowledge
Transfer. Knowledge Transfer diharapkan dapat membantu PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
dalam mencapai strategi perusahaan, sehingga PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dapat
bersaing di tengah-tengah pasar komoditi baja. PT Krakatau Steel (Persero) Tbk memiliki
beberapa unit produksi utama yang terbagi menjadi enam pabrik yaitu Pabrik Besi Spons
(Direct Reduction Plant), Pabrik Slab Baja (Slab Steel Plant), Pabrik Billet Baja (Billet Steel
Plant), Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill), Pabrik Baja Lembaran Dingin (Cold
Rolling Mill), dan Pabrik Baja Batang Kawat (Wirerod Mill). Pada keenam unit produksi
tersebut sudah diterapkan Knowledge Management. Namun, pihak Departemen Produksi yang
menaungi keenam unit produksi tersebut merasa bahwa aktivitas Knowledge Transfer yang
dilakukan masih belum terukur secara efektif. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat
membantu PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dalam melakukan pengukuran efektifitas
Knowledge Transfer dengan melihat beberapa faktor penyebab ketidakefektifan dan
memberikan usulan rekomendasi perbaikan.
1.2
Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian tugas akhir ini
Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian tugas akhir yang ingin
1.4
2.
3.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tugas akhir ini, antara lain:
1.
2.
Sebagai masukan dan saran untuk memperbaiki sistem yang berlaku pada
perusahaan terkait Knowledge Management.
3.
4.
1.5
1.5.1 Batasan
Adapun batasan yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini, antara lain:
1.
Data yang digunakan merupakan data yang diperoleh dari PT Krakatau Steel
2.
(Persero) Tbk.
Objek yang diteliti pada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk merupakan Departemen
Produksi.
1.5.2 Asumsi
Sedangkan asumsi yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini, antara lain:
1.
Tidak terjadi perubahan terkait visi, misi, dan strategis perusahaan selama
2.
penelitian berlangsung.
Tidak terjadi perubahan struktur organisasi pada perusahaan selama penelitian
berlangsung.
1.6
Sistematika Penulisan
Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai sistematika penulisan yang digunakan dalam
laporan penelitian tugas akhir ini. Berikut merupakan sistematika penulisan tersebut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian,
perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian
yang diperoleh, ruang lingkup penelitian yang terdiri dari batasan dan asumsi yang digunakan
dalam penelitian serta sistematika penulisan laporan yang dilakukan dalam penelitian tugas
akhir ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori dan studi literatur sebagai landasan yang
digunakan penulis untuk memperkuat pemahaman dan menentukan metode penelitian yang
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Adapun literatur yang digunakan berhubungan
dengan konsep Knoweldge, Knowledge Management, Key Performance Indicator (KPI),
Analytical Hierarchy Process (AHP), Knowledge Management Process, Knowledge Audit,
Knowledge Management Self-Assessment, dan Performance Measurement. Dengan adanya
studi literatur, diharapkan penulis memiliki pedoman yang kuat dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi serta mampu mencapai tujuan penelitian.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tahapan yang dilakukan dalam melakukan
penelitian. Tahapan yang terdapat di dalam metodologi akan dijadikan oleh penulis sebagai
pedoman agar dapat melakukan penelitian secara sistematis dan teratur, sehingga dapat
mencapai tujuan penelitian.
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Pada bab ini akan dibahas mengenai pengumpulan dan pengolahan data guna
menyelesaikan permasalahan yang dirumuskan dan mencapai tujuan penelitian. Data-data
yang dikumpulkan berupa informasi profil perusahaan, proses bisnis yang dilakukan, visi dan
misi perusahaan, strategi perusahaan, strategi Departemen Produksi, Key Performance
Indicator (KPI) yang dimiliki Departemen Produksi, data yang berkaitan dengan Knowledge
Audit yang selama ini dimiliki perusahaan dan Departemen Produksi, data yang berkaitan
dengan Layout tiap unit produksi dan jumlah Decision Making Unit (DMU) pada tiap unit
produksi di Departemen Produksi. Adapun pengolahan data yang dilakukan dengan mengolah
data yang telah dikumpulkan yang berkaitan dengan Knowledge yang selama ini dimiliki
perusahaan dan Departemen Produksi dengan menyusun Database Knowledge yang
mendukung pencapaian Strategic Objectives perusahaan dan disertai Key Performance
Indicator (KPI) yang ada, dilakukan perhitungan bobot pada setiap Knowledge yang dimiliki
perusahaan dan Departemen Produksi untuk ditentukan Critical Knowledge perusahaan,
dilakukan pengujian level implementasi Knowledge dengan menggunakan River Diagram dan
Stairs Diagram, dan dilakukan pengukuran efektifitas Knowledge Transfer dengan
menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) yang mengacu pada Key
Performance Indicator (KPI) dan Critical Knowledge perusahaan yang telah didapatkan dari
hasil tahapan sebelumnya.
BAB V ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
Pada bab ini akan dilakukan analisis hasil dan interpretasi data. Hasil yang dianalisis
merupakan hasil yang telah diperoleh dari pengolahan data. Sedangkan interpretasi data
merupakan uraian secara detail dan sistematis dari hasil pengolahan data. Hasil yang
diperoleh dari pengolahan data merupakan jawaban dari permasalahan yang dirumuskan dan
menjadi dasar untuk melakukan penarikan kesimpulan dan pemberian saran/rekomendasi.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai penarikan kesimpulan dari penelitian yang telah
dilakukan dengan tujuan untuk menjawab tujuan penelitian dan akan diberikan
saran/rekomendasi perbaikan untuk perusahaan serta peluang bagi penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori dan studi literatur yang menjadi landasan
penulis untuk memperkuat pemahaman dan menentukan metode penelitian yang sesuai
dengan permasalahan yang dihadapi. Adapun literatur yang digunakan berhubungan dengan
konsep Knoweldge, Knowledge Management, Key Performance Indicator, Analytical
Hierarchy Process, Knowledge Management Process, Knowledge Audit, Knowledge
Management Self-Assessment, dan Performance Measurement. Dengan adanya studi literatur,
diharapkan penulis memiliki pedoman yang kuat dalam menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi serta mampu mencapai tujuan penelitian.
2.1
Knowledge
Menurut Ryle (1949), konsepsi pengetahuan membagi Knowledge ke dalam lima
2.
3.
4.
5.
Knowledge merupakan informasi yang merubah sesuatu atau seseorang baik dengan
tindakan dasar atau dengan membuat individu atau lembaga mampu melakukan tindakan yang
berbeda atau beberapa tindakan yang lebih efektif (Drucker, 1989).
Locke
(1689),
Knowledge
merupakan
persepsi
persetujuan
atau
ketidaksetujuan dari dua ide. Menurut Davenport & Prusak (1998), Knowledge merupakan
gabungan dari pengalaman, nilai, informasi kontekstual, pandangan pakar dan intuisi
mendasar yang memberikan suatu lingkungan dan kerangka untuk mengevaluasi dan
menyatukan pengalaman baru dengan informasi. Dari definisi tersebut dapat ditelaah dengan
membagi dua bagian. Bagian pertama mendefinisikan gabungan kerangka pengalaman,
informasi kontekstual, nilai-nilai dan wawasan ahli, yang mencakup sejumlah hal yang
dimiliki, seperti pengalaman, kepercayaan, nilai-nilai, motivasi, dan informasi. Bagian kedua
mendefinisikan fungsi atau tujuan ilmu pengetahuan yang menyediakan kerangka kerja untuk
mengevaluasi dan menggabungkan pengalaman baru dan informasi.
Nonaka & Takeuchi (1995), membedakan Knowledge antara Tacit Knowledge dan
Explicit Knowledge. Berikut merupakan penjelasan kedua jenis Knowledge tersebut:
1.
Tacit Knowledge
Tacit Knowledge merupakan Knowledge pribadi yang tertanam dalam pengalaman
individu dan melibatkan faktor-faktor tak berwujud, seperti wawasan subjektif,
keyakinan pribadi, perspektif, intuisi, firasat, dan sitem nilai. Tacit Knowledge
merupakan sesuatu yang sulit diartikulasikan ke dalam bahasa formal berupa katakata maupun angka dan sulit disampaikan dari satu individu ke individu lainnya
dalam bentuk ilmiah, ekspresi matematika, spesifikasi, manual, dan lainnya. Tacit
Knowledge dapat disampaikan dengan mengubah wawasan subjektif, keyakinan
pribadi, perspektif, intuisi, firasat, dan sitem nilai ke dalam bentuk kata-kata
maupun angka yang dapat dimengerti.
2.
Explicit Knowledge
Explicit Knowledge merupakan sesuatu yang dapat diartikulasikan ke dalam bahasa
formal berupa kata-kata maupun angka dan dapat dengan mudah disampaikan dari
satu individu ke individu lainnya dalam bentuk ilmiah, ekspresi matematika,
spesifikasi, manual, dan lainnya. Explicit Knowledge dapat dengan mudah diproses
secara komputerisasi, ditransmisikan secara elektronik, atau disimpan dalam
database. Explicit Knowledge juga dapat dijelaskan sebagai sesuatu proses, metode,
cara, pola bisnis, dan pengalaman.
Nonaka & Takeuchi (1995), membagi model konversi Knowledge menjadi empat cara.
Berikut merupakan model konversi Knowldge yang dibagi atas empat cara:
Gambar
2.2 Model
Konversi
Knowledge
(Nonaka
& Takeuchi,
1995)
Berdasarkan Gambar 2.2 Model Konversi Knowledge dibagi menjadi empat cara, yaitu:
1.
2.
4.
Core Knowledge
Core Knowledge merupakan Knowledge yang dibutuhkan untuk melaksanakan
bisnis perusahaan. Pada dasarnya tidak menghasilkan suatu yang membedakan
perusahaan dengan kompetitor.
2.
Advanced Knowledge
Advanced Knowledge merupakan Knowledge yang membuat suatu perusahaan
mungkin untuk bersaing (competitively viable), dimana Knowledge memungkinkan
perusahaan untuk menghasilkan sesuatu yang membedakan dengan kompetitor.
3.
Innovative Konowledge
Innovative Konowledge merupakan Knowledge yang memungkinkan perusahaan
untuk memimpin industrinya dan yang membedakannya dengan kompetitor.
2.2
Knowledge Management
Knowledge Management telah menarik minat dari para praktisi, konsultan, dan peneliti
di seluruh dunia. Bidang minat Knowledge Management didasarkan pada argumen bahwa aset
tidak berwujud, seperti Knowledge, telah menggantikan aset berwujud sebagai pemacu utama
pertumbuhan ekonomi (Boisot, 2002). Sebagaimana minat pada Knowledge Management
terus berkembang, terdapat kebutuhan bukti empiris mengenai tools Knowledge Management
yang digunakan, bagaimana menerapkan Knowledge Management, dan bagaimana mengukur
nilainya. Meskipun minat yang tumbuh pada Knowledge Management memiliki banyak kritik,
Storey & Barnett (2000) menyatakan penelitian utama pada Knowledge Management
merupakan Overwhelmingly Optimistic. Knowledge Management digambarkan sebagai
retorika manajerial (Andreeva & Kianto, 2012) atau mode manajemen yang menjanjikan lebih
dari yang diberikan. Kritik utama tampaknya didasarkan pada tiga tema. Pertama, knowledge
yang tidak dapat dipisahkan dari berpengetahuan dan oleh karena itu, tidak dapat dikelola
oleh perusahaan (Ray & Clegg, 2005). Knowledge individu ini melihat hak istimewa dan
didasarkan pada epistemologi empiris. Knowledge dianggap bukanlah sesuatu yang dapat
ditangkap, disimpan dan dibagikan, dan klaim yang dibuat oleh Knowledge Management
bahwa hal ini dapat dilakukan merupakan hal yang salah. Kedua, Knowledge Management
sulit dan membutuhkan pemahaman tentang hambatan yang terlibat, seringkali budaya dan
sistem, serta komitmen manajemen untuk mengatasi hambatan ini (Storey & Barnett, 2000).
Pandangan ini berpendapat bahwa banyak inisiatif Knowledge Management yang gagal dan
oleh karena itu, Knowledge Management tidak menciptakan nilai bagi perusahaan, dan
pengembalian investasi menjadi hal yang tidak mungkin. Ketiga, terdapat kekurangan dari
studi empiris yang menunjukkan koneksi sebenarnya antara Knowledge Management dan
kinerja organisasi (Andreeva & Kianto, 2012).
Knowledge Management terdiri dari berbagai praktik yang digunakan oleh perusahaan
untuk mengidentifikasi, menciptakan, merepresentasikan, dan mendistribusikan Knowledge.
Knowledge Management telah menjadi disiplin ilmu yang didirikan sejak tahun 1995. Banyak
perusahaan besar memiliki sumber daya yang didedikasikan untuk Knowledge Management.
Program Knowledge Management biasanya dikaitkan dengan tujuan perusahaan seperti
meningkatkan kinerja, inovasi keunggulan kompetitif, Transfer Knowledge (misalnya antara
proyek) dan pengembangan umum praktek kolaboratif.
Menurut McInerney (2002), Knowledge Management merupakan usaha untuk
meningkatkan pengetahuan yang berguna dalam perusahaan, diantaranya membiasakan
budaya komunikasi antar karyawan, memberikan kesempatan untuk belajar, dan menggalakan
saling berbagi Knowledge. Menurut Murray (2002), Knowledge Management merupakan
manajemen aset perusahaan yang berupa Knowledge yang dapat meningkatkan serangkaian
karakteristik kinerja perusahaan dan mampu memberi added value bagi perusahaan dengan
memungkinkan perusahaan untuk bertindak lebih cerdas. Menurut Brooking (1997),
Knowledge Management merupakan aktivitas yang terkait dengan strategi danntaktik untuk
mengelola aset yang terkait dengan sumber daya mnusia dalam perusahaan. Knowledge
Managmenet dapat dipandang sebagai manajemen sumber dan proses pengetahuan dengan
tujuan untuk meningkatkan competitive advantage dan kinerja perusahaan (Wong &
Aspinwall, 2006).
Menurut De Jarnett (1996), Knowledge Management merupakan proses dari penciptaan,
interpretasi, penyebaran, dan pemurnian serta penetapan hak milik Knowledge. Menurut Jac
& Barbara (2001), Knowledge Management merupakan hasil dari perkembangan pergerakan
modal intelektual, dimana modal intelektual merupakan sinonim untuk intangible asset atau
aset tak berwujud. Terdapat empat pertanyaan utama dalam Knowledge Management, yaitu:
1.
2.
3.
4.
Dapatkah dilihat proses terjadinya atau haruskah diterima sebagai sebuah misteri
dalam proses manusia ?
Collect Information
2.
Organize It
3.
Disseminate It
4.
mengukur kinerja (Luis & Prima, 2007). Key Performance Indicator (KPI) juga dapat
didefinisikan sebagai satu setukuran kuantitatif yang digunakan industri atau perusahaan
untuk mengukur atau membandingkan kinerja dalam hal memenuhi tujuan strategis dan
operasional (Investopedia, 2012). Key Performance Indicator (KPI) juga diartikan sebagai
seperangkat ukuran kuantitatif yang telah disepakati terlebih dahulu, yang mencerminkan
faktor penentu keberhasilan suatu organisasi, dimana Key Performance Indicator (KPI) akan
berbeda-beda tergantung pada organiasi yang bersangkutan. Menurut (Parmenter, 2007) Key
Performance Indicator (KPI) menyajikan serangkaian ukuran yang fokus pada aspek-aspek
kinerja organisasi yang paling penting untuk keberhasilan organisasi pada saat ini dan waktu
yang akan datang. Penggunaan Key Performance Indicator (KPI) sangatlah tepat bagi
organisasi yang ingin meningkatkan pilihan karena dengan Key Performance Indicator (KPI)
maka organisasi dapat terpacu untuk menemukan ide-ide dan contoh praktis yang memiliki
nilai lebih. Menggunakan ukuran sendiri dari manajemen organisasi yang bersangkutan untuk
mengukur kesuksesan suatu organisasi sangat membantu dalam memperdalam pemahaman
investor terhadap kemajuan dan pergerakan bisnis, baik itu poin kontekstual, finansial dan
non finansial, poin-poin ini dapat tren dalam bisnis menjadi transparan dan membantu
manajemen dalam menjaga tanggung jawabnya. Ilustrasi dari pelaporan Key Performance
Indicator (KPI) yang baik secara praktis menunjukkan secara langsung apa yang dibutuhkan
secara praktik dan dengan cara yang lebih efektif. Menurut (Parmenter, 2007) banyak
perusahaan ataupun organisasi yang menggunakan ukuran kerja yang salah dan banyak
diantaranya yang mengartikan Key Performance Indicator (KPI) dengan interpretasi yang
kurang benar dikarenakan hanya sedikit perusahaan yang benar-benar memahami arti Key
Performance Indicator (KPI). (Parmenter, 2007) mendefinisikan tiga tipe ukuran kinerja,
yaitu:
1.
2.
3.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
seksama membatasi ruang lingkup dari lingkungan masalah (Saaty, 1980) yang didasarkan
pada struktur matematika yang jelas dengan metriks yang konsisten dan Right-Eigenvectors
yang saling terkait dnegan kemampuan untuk menghasilkan bobot atau perkiraan yang benar
(Merkin, 1979) (Saaty, 1980). Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) membandingkan
kriteria atau alternatif yang berhubungan dengan kriteria, atau alamiahnya yaitu secara
berpasangan dimana dalam melakukan hal ini Analytical Hierarchy Process (AHP)
menggunakan skala fundamental dari angka absolut yang telah terbukti secara praktek dan
telah divalidasi oleh eksperimen masalah baik secara fisik maupun terkait keputusan (Forman
& Gass, 2013). Skala yang fundamental telah terbukti dapat menjadi skala yang menangkap
preferensi individu terkait atribut kuantitatif dan kualitatif setara atau bahkan lebih baik dari
skala lainnya (Saaty, 1980). Analytical Hierarchy Process (AHP) mengkonversikan preferensi
individual menjadi rasio terbobot dengan skala yang daapt dikombinasikan menjadi bobot
linier aditif w(a) untuk tiap alternatif a, dimana resultan w(a) dapat digunakan untuk
membandingkan dan mengurutkan peringkat alternative, sehingga membantu pengambilan
keputusan dalam menentukan pilihan (Forman & Gass, 2013). Analytical Hierarchy Process
(AHP) dapat juga digunakan untuk menguraikan permasalahan dengan multi faktor dan juga
multi kriteria dari suatu permasalahan yang kompleks menjadi sebuah hierarki (Sholihah,
2012). Menurut (Saaty, 1980) hierarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah
permasalahan yang komplek dalam suatu struktur multi level dimana level pertama
merupakan tujuan, yang diikuti oleh level faktor, kriteria, sub kriteria dan seterusnya ke
bawah hingga level terakhir dari alternatif. Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan
sistem pembuat keputusan dengan menggunakan model matematis, dimana dengan hierarki,
suatu masalah yang komplek dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompok yang kemudian
diatur menjadi suatu bentuk hierarki, sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur
dan sistematis. Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk menyelesaikan suatu
permasalahan yang komplek atau tidak berkerangka dimana data dan informasi statistik dari
masalah yang dihadapi sangat sedikit atau lebih bersifat kualitatif, didasarkan atas persepsi,
pengalaman, dan instuisi (Sholihah, 2012).
Analytical Hierarchy Process (AHP) sering digunakan sebagai metode pemecahan
masalah dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut:
1.
Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih, sampai pada
subkriteria yang paling dalam.
2.
3.
Dalam sistem pengelolaan kinerja yang dimaksud dengan kriteria tersebut merupakan
Key Performance Indicator (KPI) (Sholihah, 2012), namun dalam penelitian ini Analytical
Hierarchy Process (AHP) akan secara khusus digunakan untuk membantu dalam hal
pembobotan Critical Knowledge yang datanya didapatkan dari para ahli. Berikut merupakan
ide dan prinsip Analytical Hierarchy Process (AHP) menurut (Saaty, 1980):
1.
Penyusunan Hierarki
Persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria
dan alternatif yang kemudian disusun menjadi struktur hierarki.
2.
3.
Penentuan Prioritas
Untuk setiap kriteria dan alternatif perlu dilakukan perbandingan berpasangan
(Pairwise Comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk
menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif maupun
kriteria kuantitatif dapat dibandingkan sesuai dengan Judgement yang telah
ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dihitung
dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematis.
4.
Konsistensi Logis
Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten
sesuai dengan suatu Intuitives yang mencari arti segala hal dan berfokus pada
implikasi dan thinkers membuat keputusan secara impersonal dan logis. Bila
digabungkan, kedua preferensi ini membentuk Intuitives Thinkers, sebuah tipe
kepribadian orang yang intelektual dan kompeten.
Kesatuan, Analytical Hierarchy Process (AHP) memberi suatu model tunggal yang
mudah dimengerti dan luwes untuk aneka ragam persoalan tak terstruktur.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Tawar-menawar, Analytical
Hierarchy Process
(AHP) mempertimbangkan
2.
Konstruksi Hierarki
Masalah yang komplek dapat lebih mudah dipahami melalui konsep hierarki.
Dalam hal ini, masalah tersebut diuraikan dalam elemen-elemen yang bersangkutan
kemudian elemen-elemen tersebut di susun secara hierarki kemudian dilakukan
penilaian atas elemen-elemen tersebut dan akhirnya keputusan diambil berdasarkan
Perbandingan Berpasangan
Proses
perbandingan
berpasangan
ini
menggunakan
bilangan/skala
yang
Definisi
2,4,6,8
2.5
sebagai faktor utama dalam daya saing. Knowledge Management telah dilihat sebagai respon
yang cepat untuk kelemahan dan ancaman yang mempengaruhi cara bisnis perusahaan.
Menurut Stollberg Michael et al (2004), proses KM pengetahuan digambarkan dengan
Knowldege Identification, Knowldege Acqusition, Knowldege Preparation, Knowldege
Allocation, Knowldege Dissemination, Knowldege Usage, dan Knowldege Maintenance.
Sementara itu menurut Awad & Ghaziri (2004), terdapat empat Knowldege Management
Process yang terdiri dari menangkap (Capturing), pengorganisasian (Organized), penyulingan
(Refining), dan mentransfer (Transfering). Fase menangkap (Capturing) dimaksud dengan
menangkap pengetahuan seperti berupa e-mail, file audio, file digital, dan sejenisnya. Setelah
fase menangkap (Capturing), pada fase kedua menangkap data atau informasi harus diatur
dengan cara yang dapat diambil dan digunakan untuk menghasilkan pengetahuan yang
bermanfaat dengan cara menggunakan pengindeksan, clustering, katalog, penyaringan,
kodifikasi, dan metode lain yang dapat digunakan. Fase ketiga dari manajemen pengetahuan
merupakan penyulingan (Refining). Data mining dapat diterapkan dalam fase ini. Data
mining membutuhkan Explicit Knowledge ditemukan dalam database dan mengubahnya
menjadi Tacit Knowledge. Fase terakhir dari proses manajemen pengetahuan merupakan
transfer (Transferring). Knowledge harus disebarluaskan atau ditransfer dengan membuat
Knowledge tersedia bagi karyawan melalui tutorial atau panduan untuk penggunaan yang
efektif. Sedangkan menurut Alavi & Leidner (2001), Knowldege Management Process terbagi
atas Knowledge Creation, Knowledge Storage and Retrieval, Knowledge Transfer, dan
Knowledge Application. Transaksi fase Knowledge Creation dengan menggabungkan sumbersumber Knowledge baru. Knowledge Storage and Retrieval digunakan untuk mendukung
memori dan individu organisasi untuk mengakses pengetahuan. Knowledge Storage and
Retrieval memberikan coding dan pengindeksan Knowledge untuk pemulihan nanti.
Knowledge Transfer menyediakan saluran komunikasi dan akses cepat ke sumber-sumber
pengetahuan. Langkah terakhir dari proses ini merupakan Knowledge Application yang
membantu dalam menerapkan pengetahuan dalam lokasi yang berbeda melalui otomatisasi
alur kerja.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirangkum bahwa Knowldege Management
Process dapat meningkatkan Knowldege Management Process eksisting dengan melakukan
Knowldege
Identification,
Knowldege
Capturing,
Knowldege
Sharing,
Knowldege
Knowledge Seeker dalam hal yang tepat. Selain itu, Knowledge Application merupakan solusi
untuk membungkus Knowledge untuk menjamin penggunaan secara luas. Selain itu,
Knowledge Application menerjemahkan informasi menjadi alat praktis dan menerapkan
Knowledge ke dalam dunia nyata. Knowledge Application menyajikan pengetahuan dalam
cara yang lebih jelas dan dapat disimpan. Sementara itu, menurut Lai & Chu (2000) berbeda,
bahwa Knowledge dapat tersedia untuk individu melalui proses interaktif manusia atau
dengan menggunakan teknologi informasi. Selain itu, teknologi dapat mendukung Knowledge
Application dengan menanamkan pengetahuan ke dalam praktek organisasi. Demikian juga,
Knowledge dapat didorong berdasarkan dua strategi yaitu mendorong dan menarik. Strategi
Dorong membuat keputusan tentang apa informasi yang akan dialokasikan kepada siapa dan
pengguna secara otomatis waspada perubahan, sedangkan strategi tarik didasarkan pada
permintaan pengguna dan kebutuhan (Davenport & Prussak, 1997). Knowledge Application
juga didasarkan pada komponen teknologi seperti alur kerja, sistem pakar, sistem manajemen
paten, dan portal informasi perusahaan. Akibatnya dengan menerapkan dan memiliki nilai
tambah Knowledge menjamin budaya eksekusi yang sukses (Hung et al, 2007).
2.5.5 Knowledge Creation
Knowledge Creation merupakan proses menciptakan pengetahuan baru melalui
menggabungkan pengetahuan internal dengan pengetahuan internal lain dan menganalisis
informasi untuk menciptakan pengetahuan baru (Bouthillier & Shearer, 2002). Selain itu,
Knowledge Creation bergantung pada pemilihan kedua pengetahuan internal dan eksternal
yang dibutuhkan oleh perusahaan. Perusahaan harus mengakui persyaratan perusahaan
dengan memahami tugas, tanggung jawab dan pengetahuan yang dibutuhkan (Supyuenyong
& Islam, 2006). Selain itu, perusahaan perlu mengenali Knowledge yang lama, yang ada, dan
baru yang mungkin diinginkan selama rute sebagai upaya Knowledge Management dan bisnis
yang luas (Sunassee & Sewry, 2002). Selain itu, menurut Sun & Gang Gao (2006) bahwa
Knowledge Creation dalam perusahaam berfokus pada menciptakan produk-produk baru, ideide ditingkatkan dan layanan yang lebih efektif atau ide-ide baru. Knowledge Creation
menarik jika Knowledge diperoleh tidak sesuai dengan kebutuhan atau eksklusif. Selain itu,
Knowledge Creation tergantung pada budaya organisasi, tujuan organisasi, dan upaya
penelitian (Davenport & McElroy, 2000). Menurut Hung et al (2007), Knowledge Creation
menggunakan komponen teknologi seperti brainstorming, sistem pendukung keputusan,
portal informasi perusahaan, kecerdasan buatan, intelijen bisnis, data mining dan alat
penemuan pengetahuan. Menurut Krogh et al (2000), terdapat beberapa hambatan yang terjadi
dalam Knowledge Creation. Pertama merupakan individu dan yang kedua merupakan tingkat
organisasi. Hambatan pertama berisi keyakinan bahwa orang tidak dapat dengan mudah
beradaptasi dengan organisasi yang cukup dan yang kedua merupakan kebutuhan untuk
bahasa yang sah, cerita organisasi, prosedur, dan paradigma perusahaan (Berger & Luckmann,
1967).
2.6
Knowledge Audit
Menurut Paramasivan (2003), Knowledge Audit merupakan fase atau langkah inisiatif
2.
Untuk memberikan masukan data sulit yang berarti untuk rencana strategis
pengolahan Knowledge.
3.
4.
5.
Pertanyaan-pertanyaan Knowledge Audit berisi tentang konsep bisnis, Enterprise KnowHow, pelaku Knowledge, mediasi Knowledge melalui IT, dan desain perusahaan (Shah et al,
1998). Menurut Paramasivan (2003), Knowledge Audit umumnya akan fokus pada hal-hal
sebagai berikut:
1.
2.
Aset dan sumber daya Knowledge apa saja yang dimiliki dan dimana letaknya ?
3.
4.
5.
informasi,
letak
kurangnya
kesadaran
informasi
dalam
perusahaan,
ketidakmampuan untuk mengikuti informasi yang relevan, signifikan dari Reinventing The
Wheel, penggunaan umum dari informasi yang Out-of-Date, ketidaktahuan terkait keahlian
pada bidang tertentu.
Berikut merupakan langkah-langkah dalam melakukan Knowledge Audit menurut
Paramasivan (2003):
1.
2.
3.
Memberikan rekomendasi dari Knowledge Audit untuk manajemen terkait StatusQuo dan kegiatan perbaikan yang mungkin dilakukan terkait Knowledge
Management pada area yang bersangkutan.
2.
3.
Pemetaan sumber dan aset Knowledge yang juga disertai aliran Knowledge,
menggambarkan bagaimana Knowledge dapat berpindah secara keseluruhan
dari suatu area kepada area yang membutuhkannya.
Knowledge Mapping
No
10
khususnya dalam les dan pengaturan belajar mandiri. Self-Assessment memiliki beberapa
keunggulan. LeBlanc & Painchaud (1985) menunjukkan bahwa penilaian diri dapat
mengambil lebih sedikit waktu untuk mengelola daripada metode lain dari penilaian, dan
karena siswa diminta bagaimana perasaan mereka tentang melakukan tugas, metode pengujian
dan pengumpulan data menjadi lebih sederhana. Selain itu, penilaian diri menghilangkan
kebutuhan untuk pengamanan gainst kecurangan, memungkinkan siswa untuk mengisi survei
di waktu luang mereka, yang pada gilirannya mengurangi tekanan untuk memiliki jadwal
pengujian yang ketat. Juga, penilaian diri dapat membantu membuat siswa lebih aktif,
membantu mereka memahami kemajuan mereka sendiri, dan mendorong mereka untuk
melihat nilai dalam apa yang mereka pelajari (Harris, 1997). Tetapi penggunaan SelfAssessment datang dengan banyak peringatan. Misalnya, Meta-Review oleh Boud &
Falchikov (1989), bahwa Self-Assessment dalam pendidikan tinggi menemukan bahwa siswa
dewasa dan kompeten yang mampu menilai diri mereka identik sebagai guru, akan tetapi
beberapa siswa superkritis menjadi kekurangan mereka sendiri, terutama siswa yang bekerja
dalam sebuah topik baru, yang dapat menyebabkan siswa meremehkan diri mereka sendiri.
Para peneliti dalam pembelajaran bahasa juga telah mempelajari Self-Assessment.
Sebagai contoh, Malabonga et al (2005) menemukan bahwa mayoritas siswa (92%) yang
berhasil dalam menggunakan instrumen Self-Assessment untuk memilih tugas-tugas tes di
tingkat kesulitan awal yang tepat. Harrington & Carey (2009) menemukan bahwa
pengetahuan kosakata penilaian diri dengan pilihan biner merupakan sekitar seefektif tes
penempatan tata bahasa. Brantmeier (2006) menemukan bahwa Self-Assessment pada
kemampuan membaca yang tidak dapat diandalkan dalam memprediksi kinerja pada kegiatan
membaca berbasis komputer. Terlebih lagi, Cole et al. (2010) menemukan bahwa penilaian
diri dapat digunakan dalam memunculkan pengetahuan topik. Suatu hal yang penting dalam
menggunakan
Knowledge
Management
Self-Assessment
merupakan
bagaimana
diandalkannya pertanyaan penilaian diri ketika berhadapan dengan peserta didik kosakata
bahasa kedua, dibandingkan dengan jenis lain dari pertanyaan yang ada. Dijelaskan sebuah
penelitian yang membandingkan efektifitas penilaian diri dan pertanyaan dalam menilai
Knowledge awal siswa kosakata L2, menggambarkan penggunaan Knowledge Management
Self-Assessment.
Knowledge Management Self-Assessment merupakan suatu cara menguji bagaimana
sebuah Knowledge Management pada sebuah perusahaan berlangsung. Salah satu penggunaan
yang paling umum dari Knowledge Management Self-Assessment merupakan untuk menilai
Knowledge Worker, sering kali dijadikan sebagai penilaian awal dari keterampilan pekerja.
Keuntungan yang jelas jika menggunakan Knowledge Management Self-Assessment
merupakan pengurangan waktu yang dibutuhkan untuk menilai Knowledge Worker, tetapi ada
banyak hal yang harus diperhatikan ketika menggunakan Knowledge Management SelfAssessment. Selain itu, dalam penggunaan Knowledge Management Self-Assessment
dilakukan pembuatan dua buah diagram yang hasil akhirnya dapat menunjukkan kesenjangan
Knowledge yang dimiliki perusahaan. Kedua diagram tersebut yaitu River Diagram dan
Stairs Diagram.
2.7.1 River Diagram
Menurut Collison (2013), dewasa ini banyak perusahaan menginginkan peningkatan
kinerja. Benchmarking merupakan cara yang populer untuk mendefinisikan sebuah praktek
yang baik, mengukur kinerja, dan mengidentifikasi kesenjangan. Sayangnya, kegiatan
benchmarking sering dapat menghasilkan "League Table" mentalitas dan mengurangi
kolaborasi antara unit bisnis atau departemen. Daripada berbagi apa yang diketahui, banyak
orang pada sebuah perusahaan secara sengaja menghambat untuk melakukan Knowledge
Sharing dan belajar dari orang lain serta mulai menimbun pengetahuan karena memberikan
keuntungan lebih dari rekan-rekannya dan menganggap bahwa "Knowledge is Power". Ketika
dilakukan Gap Analysis, perusahaan dapat merasa bahwa target realistis yang dikenakan
padanya tanpa ada dukungan untuk menjangkau. Oleh karena itu perlu ada suatu Tools yang
dapat membantu perusahaan untuk mengevaluasi kinerja berdasarkan Gap yang ada.
River
Diagram
meruapakan
Tools
yang
berguna
yang
dirancang
untuk
memvisualisasikan data hasil penilaian diri dan Peer-Learning dari berbagai sumber. Menurut
Parcell & Collison (2009), River Diagram dikembangkan mereka dalam buku yang berjudul
No More Consultants: We Know More Than We Think. River Diagram secara khusus,
memungkinkan pengguna untuk secara visual merepresentasikan rubrik dari berbagai sumber
yang masing-masing berisi matriks informasi mereka sendiri seperti, beberapa rubrik bagi
individu, desa, departemen, dan lainnya dalam satu diagram yang mudah dibaca. River
Diagram mertimbangkan rubrik individu dengan mencatat sepuluh langkah kunci dari kinerja
pada 1 sampai 5 skala. Informasi ini relatif mudah untuk plot pada diagram dengan
menempatkan masing-masing ukuran pada sumbu-x dan tingkat kinerja 1 sampai 5 di sumbu
y. Namun, jika terdapat beberapa rubrik dari sejumlah sumber yang berbeda (misalnya, setiap
unit bisnis atau departemen dalam suatu perusahaan, atau bentuk penilaian diri dari setiap
pekerja di suatu unit bisnis atau departemen) ke diagram yang sama, titik data akan cepat
menjadi berantakan dan sulit untuk menafsirkan. Berikut merupakan contoh gambar River
Diagram:
2.
3.
4.
5.
Menghasilkan River Diagram dan Stairs Diagram analisis yang menyajikan hasil
dalam cara yang menarik.
6.
1.
Jaringan Diabetes berada pada tingkat 5, dan jelas memiliki sesuatu untuk di-sharekan.
2.
3.
Cardio-Community berada pada tingkat 2, dan tidak memilih praktek ini sebagai
prioritas untuk perbaikan.
4.
Terdapat sekelompok jaringan yang berada pada tingkat 3 dengan tidak adanya
aspirasi untuk meningkatkan, termasuk Jaringan Informatika Kesehatan.
5.
Menurut Collison (2013), kekuatan Stairs Diagram mampu memetakan koneksi potensi
nilai tertinggi yang menghubungkan siapa saja yang memiliki sesuatu untuk dibagikan dengan
siapa saja yang memiliki sesuatu untuk dipelajari. Hal ini ditunjukkan dalam daerah hijau dan
merah masing-masing pada Stairs Diagram. Stairs Diagram memiliki ukuran umum (dalam
hal ini, Tools Self-Assessment) yang diaktifkan pada sebuah kelompok jaringan untuk
mengidentifikasi tidak hanya pelaku PD (positive deviants), tetapi juga jaringan dengan
aspirasi yang terbesar untuk ditingkatkan. Untuk setiap kelompok dapat dilatih menggunakan
Tools Knowledge Management yang tepat untuk membantu dalam pembibitan untuk
ditingkatkan. Jadi dengan motivasi yang benar, kepemimpinan yang tepat dan metode yang
tepat, dapat sangat membantu perusahaan untuk menghindari kesenjangan yang menghambat
dan berpotensi menghentikan kinerja sebuah perusahaan.
2.8
Perfomance Measurement
Performance merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang
pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya (Fikrotuzzakiah, 2012). Performance merupakan gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program kebijakan dalam mewujudkan sasaran,
tujuan, misi, dan visi perusahaan yang tertuang dalam Strategic Planning suatu perusahaan.
Istilah Performance sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan
individu maupun kelompok. Kinerja dapat diketahui hanya jika individu atau kelompok
tersebut memiliki kriteria keberhasilan yang ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa
tujuan-tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai. Tanpa ada tujuan atau target,
kinerja seseorang atau perusahaan tidak mungkin dapat diketahui karena tidak ada tolok
ukurnya.
Tidak mampu mengukur kinerja harta-harta tak tampak (Intangible Assets) dan
harta-harta intelektual (sumber daya manusia) organisasi karena itu kinerja
keuangan tidak mampu bercerita banyak mengenai masa lalu perusahaan dan tidak
mampu sepenuhnya menuntun perusahaan ke arah yang lebih baik.
2.
3.
4.
Metriks pengukuran yang tidak independen atau terpengaruh oleh metriks lainnya
(Lagging Metrics).
5.
Dikarenakan hal-hal tersebut, maka dewasa ini perusahaan beralih kepada metode
Performance Measurement modern yang dirasa lebih menjawab kebutuhan perusahaan akan
pengukuran yang efektif dan efisien. Sementara (Moulin, 2007) mendefinisikan Performance
Measurement sebagai proses evaluasi bagaimana organisasi dikelola dengan baik dan nilai
yang organisasi berikan bagi pelanggan dan pemangku kepentingan lainnya. Sedangkan
Performance Measurement merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap
tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas efisiensi
penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa
(seberapa baik barang dan jasa diberikan kepada pelanggan dan seberapa jauh pelanggan
terpuaskan), hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan dan efektifitas
tindakan dalam mencapai tujuan (Robertson et al, 2002). Menurut Mahsun (2009),
Performance Measurement merupakan suatu aktivitas penilaian pencapaian target-target
tertentu yang diderivasi dari tujuan strategis organisasi. Performance Measurement juga
membantu
manajer
dalam
memonitor
implementasi
strategi
bisnis
dengan
cara
membandingkan antara hasil aktual dengan sasaran dan tujuan strategis. Performance
Measurement merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat empat
elemen pokok Performance Measurement (Mahsun, 2009). Berikut merupakan keempat
elemen pokok Performance Measurement dalam meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan dan akuntabilitas:
1.
2.
merupakan ukuran kinerja kunci yang bersifat finansial maupun non-finansial untuk
melaksanakan operasi dan kinerja unit bisnis.
3.
dan
ukuran
kinerja
ini
menghasilkan
penyimpangan
positif,
Evaluasi Kinerja
Evaluasi kinerja akan memberikan gambaran kepada penerima informasi mengenai
nilai kinerja yang berhasil dicapai organisasi. Pencapaian kinerja organisasi dapat
dinilai dengan skala pengukuran tertentu. Informasi pencapaian kinerja dapat
dijadikan Feedback dan Reward Punsihment, penilaian kinerja organisasi dan dasar
peningkatan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.
a.
Feedback
Hasil pengukuran terhadap pencapaian kinerja dijadikan dasar bagi manajemen
atau pengelola organisasi untuk perbaikan kinerja periode berikutnya. Selain
itu, hasil ini juga dapat dijadikan landasan pemberian Reward and Punishment
terhadap manajer dan anggota organisasi.
keberhasilan manajemen atau pihak yang diberi amanah untuk mengelola dan
mengurus organisasi.
Pengukuran performansi Knowledge Management sangat penting dilaksanakan untuk
melihat atau menilai apakah visi dan tujuan strategis telah tercapai karena penerapan
Knowldge Management. Sehingga nantinya suatu perusahaan dapat mengevaluasi bagaimana
performansi Knowledge Management yang diimplementasikan di perusahaan tersebut dan
merumuskan langkah-langkah perbaikan yang diperlukan untuk meningkatkan performansi
Knowledge Management tersebut. Menurut (Kuah & Wong, 2011) terdapat dua metodologi
yang dapat digunakan dalam mengukur performansi Knowledge Management, yaitu:
1.
Metode Kualitatif
Penelitian Kualitatif biasanya memurnikan indikasi dan temuan dari studi
percontohan pada sebuah organisasi dan tinjauan peneliti dalam sebuah
pembelajaran organisasi (Chen & Chen, 2005). Keuntungan dari penelitian
kualitatif termasuk efektifitas dalam mengidentifikasi faktor Intangible dan
kapabilitasnya dalam menghasilkan deskripsi tekstual yang kompleks dari sisi
manusia Knowledge Management, seperti budaya, kebiasaan, praktek, opini, dan
pengalaman (Kuah & Wong, 2011). Metode ini banyak diguanakan karena
Knowledge merupakan sebuah aset yang Intangible, namun metode ini biasanya
dilakukan secara subjektif, sehingga keakuratan dari hasil penelitian dengan
menggunakan metode kualitatif sepenuhnya bergantung kepada keahlian sang
peneliti atau praktisi yang terlibat dalam penelitian. Pendekatan kualitatif yang
umum dilakukan seperti kuesioner, survey, dan Expert Interview. Pada pendekatan
kuesioner (Changchit et al, 2001), kuesioner digunakan untuk mengetahui pengaruh
sistem dari para ahli dalam memfasilitasi pemindahan dari Internal Control
Knowledge untuk manajer. Sementara pendekatan survey dibangun (Darroch &
MacNaughton, 2002) berbasis Kohli Jaworskis Market Orientation Instrument
(Jaworski BJ, 1993) serta Nonaka & Takeuchis Knowledge Creation Spiral
(Nonaka & Takeuchi, 1995) untuk mengevaluasi Knowledge Management Model.
Pendekatan terakhir yang sering digunakan yaitu pendekatan Expert Interview yang
dilakukan dengan cara mewawancarai 12 ahli Knowledge Management untuk
membangun sebuah kerangka kerja guna menyelidiki relevansi Knowledge
Management atau Intelectual Capital Research terhadap output akademis dari
sekolah bisnis.
2.
Metode Kuantitatif
Metode ini banyak menggunakan model statistik, teori, dan hipotesis dalam
mengevaluasi Knowledge Management, sehingga hasil numerik dan kausal
hubungan dalam Knowledge Management dapat ditentukan. Dalam Knowledge
Management, pendekatan ini digunakan untuk mengukur pengetahuan ekplisit dan
sejauh mana dampaknya terhadap pengambilan keputusan dan tugas kinerja
organisasi atau individu baik indikator non-finansial maupun indikator finansial
(Chen & Chen, 2005). Pendekatan kuantitatif yang digunakan dengan membangun
berbagai metriks. Metriks merupakan Input indikator yang berfungsi sebagai
Enabler untuk Knowledge Management yang akan dieksekusi dan atau Output
indikator yang merupakan Input dan atau Output diasumsikan berkorelasi dengan
kinerja Knowledge Management. Dengan menggunakan metriks ini, maka kinerja
Knowledge Management dapat dinilai, dipantau, dan ditingkatkan, selain itu
tindakan finansial dan non-finansial juga dapat dievaluasi. Tidak ada standar
mengenai metriks yang dapat digunakan untuk pengukuran kinerja Knowledge
Management, namun metriks non-finansial dapat dikelompokkan menjadi empat
kategori, yaitu Customer, Structural, Human, dan Development (Krogh et all,
1998). Di samping berbagai kelebihan, pendekatan metriks juga memiliki beberapa
kelemahan (Kuah & Wong, 2011). Pertama, tidak ada susunan metriks yang
standar, hal ini dapat menjadi masalah untuk menetapkan perbandingan antara
perusahaan. Kedua, sulit untuk menggabungkan berbagai metrics, sehingga
menghasilkan skor efisiensi tunggal. Yang terakhir, pendekatan ini tidak
memberikan cukup informasi utnuk mendukung organisasi dalam melakukan
pengembangan berkelanjutan. Pendekatan kuantitatif lainnya yang dapat digunakan
yaitu Data Envelopment Analysis (DEA), Multiple Regresi, Goal Programming,
dan KPI.
Salah satu metode yang kerap kali digunakan untuk mengukur performansi suatu
perusahaan dengan mengacu pada pengukuran efektifitas merupakan Data Envelopment
Analysis (DEA). Kebutuhan untuk mengukur performansi KM berdasarkan tujuan strategis
dan menyeluruh dengan mengacu pada efektifitas Transfer Knowledge yang dilakukan oleh
perusahaan. Hal inilah yang menjadi latar belakang terpilihnya Data Envelopment Analysis
(DEA) sebagai metode untuk mengukur efektifitas Transfer Knowledge dalam penerapan
Knowledge Management yang dilakukan oleh perusahaan karena Data Envelopment Analysis
(DEA) selain dapat mengukur efektifitas juga dapat mengidentifikasi hal teknis yang terkait
dengan efisiensi manajerial yang dilakukan. Data Envelopment Analysis (DEA) merupakan
sebuah metode yang cukup efektif untuk mengevaluasi hasil pengambilan keputusan dan
untuk mengidentifikasi hasil Pareto yang efisien dari beberapa kandidat potensial yang besar
berdasarkan Knowledge yang terdapat dalam Knowledge Management perusahaan (Robins,
2001; Schonberger & Knod, 1997).
2.8.1 Data Envelopment Analysis
Data Envelopment Analysis (DEA) dikembangkan oleh Rhodes (1978) dan pada
awalnya dipublikasikan oleh Charnes et al (1978) untuk mengevaluasi lebih dari dua hasil
keputusan dan/atau pengambilan keputusan unit yang berhubungan dengan efisiensi relatif
berdasarkan dari beberapa kriteria. Dibangun di atas pondasi teoritis yang disediakan oleh
Farrell (1957) dan terus menjadi populer untuk berbagai macam aplikasi (Norton, 1994;
Dyckhoff & Allen, 2001; Wen et al, 2003.). Selain dapat mengukur efektifitas, Data
Envelopment Analysis (DEA) juga dapat mengidentifikasi hal teknis yang terkait dengan
efisiensi manajerial yang dilakukan. Menurut Cooper et al (2000), Data Envelopment
Analysis (DEA) merupakan pendekatan data yang berorientasi relatif baru untuk
mengevaluasi kinerja satu set entitas yang disebut Decision Making Unit (DMU) dengan
mengkonversi beberapa Input ke beberapa output, seperti perusahaan, unit produksi, dan lainlain. Definisi dari Decision Making Unit (DMU) sifatnya generik dan fleksibel. Beberapa
tahun terakhir telah ada berbagai macam aplikasi dari Data Envelopment Analysis (DEA)
untuk digunakan dalam mengevaluasi kinerja berbagai jenis perusahaan yang bergerak dalam
berbagai kegiatan yang berbeda dalam konteks yang berbeda di berbagai negara. Data
Envelopment Analysis (DEA) ini telah menggunakan Decision Making Unit (DMU) berbagai
bentuk untuk mengevaluasi kinerja entitas, seperti rumah sakit, angkatan udara Amerika
Serikat, universitas, kota, lapangan, perusahaan bisnis, kinerja negara, daerah, dan lain-lain.
Karena membutuhkan sangat sedikit asumsi, Data Envelopment Analysis (DEA) juga telah
membuka kemungkinan untuk digunakan dalam kasus-kasus yang telah resisten terhadap
pendekatan lain karena kompleks natural (sering tidak diketahui) dari hubungan antara
beberapa Input dan beberapa output yang terlibat dalam Decision Making Unit (DMU). Sejak
Data Envelopment Analysis (DEA) dalam bentuk yang sekarang pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1978, para peneliti di sejumlah bidang dengan cepat menyadari bahwa itu
merupakan metodologi yang sangat baik dan mudah digunakan untuk memodelkan proses
operasional untuk evaluasi kinerja. Hal ini telah disertai oleh perkembangan lainnya.
Misalnya, Zhu (2002) memberikan sejumlah model Spreadsheet Data Envelopment Analysis
(DEA) yang dapat digunakan dalam evaluasi kinerja dan Benchmarking. Orientasi empiris
Data Envelopment Analysis (DEA) dan tidak adanya kebutuhan untuk berbagai sebuah asumsi
yang menyertai pendekatan lain (seperti bentuk standar analisis regresi statistik) telah
mengakibatkan penggunaannya dalam sejumlah studi yang melibatkan estimasi perbatasan
efisien di sektor pemerintah dan nirlaba, di sektor yang terregulasi, dan di sektor swasta.
Contohnya, penggunaan Data Envelopment Analysis (DEA) untuk memandu penghapusan
Diet dan instansi pemerintah lainnya dari Tokyo untuk mencari modal baru di Jepang, seperti
yang dijelaskan dalam (Takamura & Nada, 2003).
Dalam studinya, Charnes et al (1978) menjelaskan bahwa Data Envelopment Analysis
(DEA) sebagai model pemrograman matematika diterapkan pada data pengamatan yang
menyediakan cara baru untuk mendapatkan hubungan perkiraan empiris. Secara formal, Data
Envelopment Analysis (DEA) merupakan metodologi yang diarahkan ke perbatasan daripada
kecenderungan
pusat.
Motivasi
awal
Data
Envelopment
Analysis
(DEA)
untuk
membandingkan efisiensi produktif organisasi serupa yang disebut sebagai Decision Making
Unit (DMU). Karena perspektif ini, Data Envelopment Analysis (DEA) membuktikan dengan
sangat mahir mengungkap hubungan yang tetap tersembunyi dari metodologi lain. Sebagai
contoh, pertimbangkan apa dimaksud dengan efisiensi atau lebih umum, apa dimaksud
dengan mengatakan bahwa salah satu Decision Making Unit (DMU) lebih efisien daripada
Decision Making Unit (DMU) yang lain. Hal ini dilakukan dengan cara langsung oleh Data
Envelopment Analysis (DEA) tanpa memerlukan asumsi eksplisit yang dirumuskan dan
variasi dengan berbagai jenis model seperti pada model regresi linear dan non linear. Efisiensi
relatif pada Data Envelopment Analysis (DEA) selaras dengan definisi yang memiliki
keuntungan dengan menghindari kebutuhan untuk menetapkan langkah-langkah apriori dari
kepentingan relatif untuk setiap Input atau output. Pengujian masalah efisiensi dirumuskan
sebagai tugas fraksional pemrograman, tetapi prosedur aplikasi untuk Data Envelopment
Analysis (DEA) terdiri dari pemecahan tugas linear programming (LP) untuk masing-masing
unit di bawah evaluasi. Dengan membiarkan xij - menunjukkan besarnya i yang diamati - jenis
Input untuk entitas j (xij> 0, i = 1, 2, ..., m, j = 1, 2, ..., n) dan ytj menunjukkan besarnya r
yang diamati - jenis output untuk entitas j (ytj> 0, r = 1, 2, ..., s, j = 1, 2, ..., n). Kemudian,
Charnes-Cooper-Rhodes Model (CCR) diformulasikan dalam bentuk sebagai berikut untuk
entitas k yang dipilih:
Dimana,
Efisiensi relatif hk, suatu pengambilan keputusan satuan k yang didefinisikan sebagai
rasio jumlah tertimbang Output mereka (Output Virtual) dan jumlah tertimbang Input mereka
(Input Virtual). Adapun pengambilan keputusan satuan k yang maksimal dalam fungsi tujuan
dicari, kondisinya benar, artinya jelas 0 < hk 1, untuk setiap DMUk. Bobot vi dan ur
menunjukkan pentingnya setiap Input dan Output serta ditentukan dalam model, sehingga
sebanyak mungkin setiap DMU efisien. Mengingat bahwa kondisi (2) berlaku untuk setiap
DMU, itu menunjukkan bahwa masing-masing terletak di perbatasan efisiensi atau di luar itu.
Jika Max hk = hk* = 1, itu menujukkan efisiensi yang dicapai, sehingga dapat dikatakan
bahwa DMUk efisien. Efisiensi tidak tercapai untuk hk* < 1 dan DMUk tidak efisien dalam
kasus itu. DMUk harus dianggap relatif tidak efisien, apakah mungkin untuk memperluas
salah satu Output tanpa mengurangi Input apapun, dan tanpa mengurangi Output apapun
(orientasi Output) lainnya, atau jika mungkin untuk mengurangi Input tanpa mengurangi
apapun Output dan tanpa memperluas beberapa masukan lain (orientasi Input).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai tahapan yang dilakukan dalam melakukan
penelitian. Tahapan yang terdapat di dalam metodologi akan dijadikan oleh penulis sebagai
pedoman agar dapat melakukan penelitian secara sistematis dan teratur, sehingga dapat
mencapai tujuan penelitian.
3.1
masalah, penetapan tujuan penelitian, dan studi literatur serta studi lapangan.
3.1.1 Brainstorming dan Identifikasi Masalah PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
Pada tahap ini dilakukan Brainstorming dengan staff atau Kepala Departemen Produksi
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk selaku pihak yang mengerti dan merancang Knowledge
Management System dan Performance Measurement System di perusahaan dan dilakukan
identifikasi permasalahan yang diperoleh dari hasil pengumpulan informasi.
3.1.2 Perumusan Masalah dan Penetapan Tujuan Penelitian
Setelah diketahui permasalahan dan sumber dari masalah tersebut, maka pada tahap ini
dirumuskan masalah yang akan dicari penyelesaiannya melalui penelitian ini, dan selanjutnya
ditetapkan tujuan penelitian agar penelitian ini berjalan secara sistematis dan teratur dengan
memiliki arah yang jelas.
3.1.3 Studi Literatur dan Studi Lapangan
Setelah dilakukan perumusan masalah yang harus diselesaikan dan penetapan tujuan
penelitian, maka pada tahap ini dilakukan pembelajaran/studi dari kondisi eksisting, melalui
studi literatur untuk mempelajari metode dan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini,
seperti konsep Knoweldge, Knowledge Management, Key Performance Indicator (KPI),
Analytical Hierarchy Process (AHP), Knowledge Management Process, Knowledge Audit,
Knowledge Management Self-Assessment, dan Performance Measurement. Dengan adanya
studi literatur, diharapkan penulis memiliki pedoman yang kuat dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi serta mampu mencapai tujuan penelitian. Adapun studi lapangan
yang dilakukan dengan melihat dan bertanya secara langsung terkait kondisi eksisting,
Strategic Objectives perusahaan, dan kondisi eksisting Knowledge Management perusahaan.
3.2
pengolahan data. Berikut merupakan langkah-langkah yang akan dilakukan pada tahap
pengolahan data.
3.3.1 Penyusunan Database Knowledge pada Tiap Unit Produksi yang Disesuaikan
dengan Knowledge Management Process, Framework Zack, Strategic Objectives, dan
Key Performance Indicator (KPI)
Pada tahap ini dilakukan pengolahan data Knowledge yang telah didapat dari hasil
Knowledge Audit, Knowledge yang telah didapatkan, direkap ke dalam sebuah Database
yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya. Berikut merupakan data yang dianalisis
berdasarkan hasil pengolahan data yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya.
3.4.1 Analisis Database Knowledge pada Tiap Unit Produksi yang Disesuaikan dengan
Knowledge Management Process, Framework Zack, Strategic Objectives, dan Key
Performance Indicator (KPI)
Pada tahap ini dilakukan analisis terkait Database Knowledge pada tiap unit produksi
yang disesuaikan dengan Knowledge Management Process, Framework Zack, Strategic
Objectives, dan Key Performance Indicator (KPI).
3.4.2 Analisis Pembobotan Knowledge yang Disesuaikan dengan Key Performance
Indicator (KPI) pada Tiap Unit Produksi dengan Menggunakan Analytical
Hierarchy Process (AHP)
Pada tahap ini dilakukan analisis terkait pembobotan Knowledge yang disesuaikan
dengan Key Performance Indicator (KPI) pada tiap unit produksi dengan menggunakan
Analytical Hierarchy Process (AHP).
3.4.3 Analisis Pengujian Knowledge pada Tiap Unit Produksi
Pada tahap ini dilakukan analisis terkait pengujian Knowledge yang telah dimiliki
perusahaan untuk dibandingkan dengan target pencapaian Knowledge yang ingin dicapai
perusahaan dan analisis hasil bagaimana pencapaian level implementasi Knowledge
Management pada tiap unit produksi di Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero)
Tbk.
3.4.4 Analisis pada Pengukuran Efektifitas Knowledge pada Tiap Unit Produksi
Pada tahap ini dilakukan analisis terkait pengukuran efektifitas Knowledge pada tiap
unit produksi di Departemen Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dan analisis hasil
bagaimana level pemanfaatan Knowledge Management untuk mencapai efektifitas
Knowledge Transfer pada tiap unit produksi di Departemen Produksi PT Krakatau Steel
(Persero) Tbk.
3.5
kesimpulan dan saran/rekomendasi disusun berdasarkan hasil analisis dan interpretasi yang
telah dirumuskan pada tahapan sebelumnya. Kesimpulan yang dirumuskan menjawab tujuan
penelitian yang telah ditetapkan di awal dan saran/rekomendasi yang dirumuskan merupakan
usulan bagi perusahaan dan peluang bagi penelitian selanjutnya.
Gambar Flowchart metodologi penelitian yang digunakan akan ditampilkan pada
Gambar 3.1.
Berikut merupakan gambar Flowchart metodologi penelitian yang digunakan:
BAB IV
PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Pada bab ini akan dibahas mengenai pengumpulan dan pengolahan data guna
menyelesaikan permasalahan yang dirumuskan dan mencapai tujuan penelitian. Data-data
yang dikumpulkan berupa informasi profil perusahaan, proses bisnis yang dilakukan, visi dan
misi perusahaan, strategi perusahaan, strategi Departemen Produksi, data yang berkaitan
dengan Knowledge yang selama ini dimiliki perusahaan dan Departemen Produksi. Adapun
pengolahan data yang dilakukan dengan mengolah data yang telah dikumpulkan yang
berkaitan dengan Knowledge yang selama ini dimiliki perusahaan dan Departemen Produksi
dengan menyusun Database Knowledge yang mendukung pencapaian Strategic Objectives
perusahaan, dilakukan perhitungan bobot pada setiap Knowledge yang dimiliki perusahaan
dan Departemen Produksi untuk ditentukan Knowledge kritis perusahaan, dilakukan
pengukuran efektifitas Knowledge Transfer dengan mengacu pada Knowledge kritis
perusahaan yang telah didapatkan hasil sebelumnya.
4.1
baja bernilai tambah tinggi (seperti pipa spiral, pipa ERW, baja tulangan, dan baja profil),
menyediakan industri utilitas (air dan tenaga listrik), industri infrastruktur (pelabuhan dan
kawasan industri), EPC (Engineering Procurement and Construction) jasa, teknologi
informasi dan pelayanan medis (rumah sakit). Produk- produk baja Krakatau Steel ini tak
hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan baja nasional, tetapi juga dipasarkan secara
internasional.
Sejak awal berdiri, keahlian teknis Krakatau Steel telah diakui standar internasional.
Pada tahun 1973 perusahaan memperoleh A252 ASTM dan AWWA C200, serta API 5L untuk
produksi pipa spiral pada tahun 1977. Pada tahun 1993, PT Krakatau Steel (Persero)
dianugerahi ISO 9001 certifiction yang telah ditingkatkan menjadi ISO 9001:2000 pada tahun
2003. Pada tahun 1997, SGS International menganugrahkan sertifikasi ISO yang lain (ISO
14001) untuk komitmen perusahaan terhadap kesadaran lingkungan dan pekerjaan
keselamatan.
Pada tanggal 10 November 2010, di tengah kondisi pasar yang bergejolak, PT Krakatau
Steel (Persero) berhasil menjadi Perusahaan Terbuka dengan melaksanakan Penawaran
Umum Perdana (IPO) dan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Pada tahun 2011,
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. membukukan pendapatan bersih sebesar Rp 17.9 triliun dan
laba bersih sebesar Rp 1.02 triliun. Selain itu, pada tahun 2011, Perusahaan dan Anak
Perusahaan memiliki asset sebesar Rp 21.5 triliun dan mempekerjakan 8.023 orang. (Krakatau
Steel, 2013)
4.1.2 Visi dan Misi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk memiliki visi yang digunakan sebagai pedoman dalam
kegiatannya untuk ikut serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional yaitu sebagai
berikut:
Perusahaan baja terpadu dengan keunggulan kompetitif untuk tumbuh dan
berkembang secara berkesinambungan menjadi perusahaan terkemuka di dunia
Adapun misi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk yang merupakan usaha perusahaan untuk
mencapai visi yang ada merupakan sebagai berikut :
Menyediakan produk baja bermutu dan jasa terkait bagi kemakmuran bangsa
4.1.3 Nilai-Nilai PT Krakatau Steel (Persero) Tbk
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk memiliki budaya perusahaan dimana budaya
tersebutlah yang dijadikan sebagai kepercayaan, prinsip-prinsip, nilai-nilai yang menjadi
dasar dan referensi sistem manajemen perusahaan serta perilaku karyawan dalam bekerja.
Sehingga diharapkan nantinya akan meningkatkan kinerja perusahaan dan menumbuhkan
profesionalisme seluruh jajaran PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.
Adapun budaya yang terdapat pada PT Krakatau Steel (Persero) Tbk merupakan sebagai
berikut:
1. Competence
Mencerminkan kepercayaan dan kemampuan diri serta semangat untuk meningkatkan
pengetahuan, ketrampilan, keahlian, dan sikap mental demi peningkatan kinerja yang
berkesinambungan.
2. Integrity
Mencerminkan komitmen yang tinggi terhadap setiap kesepakatan, aturan, dan
ketentuan serta undang-undang yang berlaku, melalui loyalitas profesi dalam
memperjuangkan kepentingan perusahaan.
3. Reliable
Mencerminkan kesiapan, kecepatan dan tanggap dalam merespon komitmen dan janji,
dengan mensinergikan berbagai kemampuan untuk meningkatkan kepuasan dan
kepercayaan pelanggan.
4. Innovative
Mencerminkan kemauan dan kemampuan untuk menciptakan gagasan baru dan
implementasi yang lebih baik dalam memperbaiki kualitas proses dan hasil kerja di
atas standar.
Competence, Integrity, Reliable, dan Innovation merupakan kesatuan nilai yang utuh
dan saling berhubungan satu sama lain. Competence dan Integrity merupakan modal dasar
untuk dapat berkarya dan berprestasi dalam mewujudkan perusahaan yang Profitable,
Growth, dan Sustainable. Competence dapat diwujudkan dengan sumber daya manusia yang
unggul serta dukungan managemen dan teknologi yang handal. Sumber daya manusia yang
unggul dapat dilihat dengan sifat Integrity, dimana karyawan memiliki komitmen dalam
berprilaku dan berbicara. Perusahaan yang ditunjang oleh sumber daya handal mampu untuk
merespon setiap permintaan pasar dan konsumen secara meyakinkan dimana tentunya dengan
hasil produk yang berkualitas. Hal tersebut merupakan perwujudan dari nilai Reliable. Ketika
perusahaan telah mencapai pada titik tersebut maka perusahaan akan terus melakukan
peningkatan melalui karyawan yang selalu melakukan Inovative, sehingga terjadinya
perbaikan kinerja perusahaan dari waktu ke waktu.
4.1.4 Struktur Organisasi PT Krakatau Steel (persero) Tbk
Berikut merupakan struktur organisasi dari PT Krakatau Steel (Persero) Tbk:
Lokasi dekat laut, sehingga dapat memudahkan pengangkutan bahan baku dan
produk menggunakan kapal.
5.
2.
3.
4.
Adanya jaringan rel kereta api dan jalan raya yang memadai untuk pengangkutan.
Sedangkan tata letak pabrik PT Krakatau Steel (Persero) Tbk yang sedemikian rupa
bertujuan untuk:
1.
Memudahkan jalur transportasi dalam pabrik untuk menunjang proses produksi dan
pengangkutan bahan baku serta pabrik.
2.
3.
4.
Ukuran jalan yang cukup luas, sehingga memudahkan karyaan dalam melakukan
pergerakan serta menjamin keselamatan pekerja.
Pengisian (Charging)
Pendinginan (Cooling) hingga 60%
Reduksi Primary (1000C)
Reduksi Secondary (1000C)
e.
2.
Pengeluaran (Discharging)
Electric Arc Furnance, berfungsi untuk menghasilkan baja cair dari bahan baku
besi spons, scraps, dan kapur.
b.
c.
d.
a.
b.
Scrap, yaitu besi yang dibuang dari proses pemotongan yang dilakukan oleh
Pabrik Baja Lembaran Panas (Hot Strip Mill), Pabrik Baja Lembaran Dingin
(Cold Rolling Mill), dan Pabrik Baja Batang Kawat (Wirerod Mill).
c.
d.
e.
f.
Electric Arc Furnance, berfungsi untuk menghasilkan baja cair dari bahan baku
b.
c.
b.
b.
c.
d.
Finishing Mill, berfungsi mereduksi transfer bar menjadi baja lembaran (strip)
dengan ketebalan sesuai dengan permintaan konsumen.
e.
f.
g.
b.
Tanden Cold Mill, berfungsi mereduksi ketebalan baja yang dihasilkan untuk
memperoleh permukaan yang halus serta padat.
c.
Yemper Pass Mill, berfungsi untuk memberikan kekerasan yang tepat pada
permukaan, memperbaiki kerataan dari baja lembaran, menutupi kerusakan
pada derajat tertentu, dan memberikan tegangan yang cukup.
d.
e.
f.
g.
Finishing, baja lembaran dingin gulungan dapat diproses lebih lanjut menjadi
bentuk shared, trimmed, dan recoiled.
Pabrik Baja Batang Kawat memiliki kapasitas produksi sebesar 450.000 ton per
tahun dimana menghasilkan baja dengan spesifikasi sebagai berikut:
Ukuran penampang
: 110 mm x 110 mm
Diameter
: 5,5 - 14 mm
Panjang
: 1000 mm
Berat
: 900 kg
b.
c.
Roughing Mill, berfungsi untuk mereduksi bar dengan dimensi 165 mm x 165
mm menjadi transfer bar dengan diameter 18 mm.
d.
e.
f. Down Coiler, berfungsi untuk membentuk baja batang kawat menjadi gulungan.
Proses produksi baja di PT Krakatau Steel (Persero) Tbk dimulai dari Pabrik Besi
Spons. Pabrik ini mengolah bijih besi pellet menjadi besi dengan menggunakancement, gas
alam dan air sebagai katalisator. Besi sponge yang dihasilkan kemudian diproses lebih lanjut
pada Electric Arc Furnace (EAF) di Pabrik Slab Baja dan Pabrik Billet Baja. Di dalam EAF
besi dicampur dengan scrap, hot bricket iron dan material tambahan lainnya berupa ferro
alloy untuk menghasilkan dua jenis baja yang disebut baja slab dan baja billet. Baja slab
selanjutnya menjalani proses pemanasan ulang dan pengerolan di Pabrik Baja Lembaran
Panas menjadi produk akhir yang dikenal dengan nama baja lembaran panas (HRC). Produk
ini banyak digunakan untuk aplikasi konstruksi kapal, pipa, bangunan, konstruksi umum, dan
lain-lain. Baja lembaran panas dapat diolah lebih lanjut melalui proses pengerolan ulang dan
proses kimiawi di Pabrik Baja Lembaran Dingin menjadi produk akhir yang disebut baja
lembaran dingin (CRC). Produk ini umumnya digunakan untuk aplikasi bagian dalam dan luar
kendaraan bermotor, kaleng, peralatan rumah tangga, dan sebagainya. Sementara itu, baja
billet mengalami proses pengerolan di Pabrik Batang Kawat untuk menghasilkan batang
kawat baja yang banyak digunakan untuk aplikasi senar piano, mur dan baut, kawat baja,
pegas, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Alavi, M. & Leidner, D., 2001. Review: Knowledge Management and Knowledge
Management System. Conceptual Foundation and Research Issues, 1(25), pp.107-16.
Andre,
B.,
2012.
What
is
Knowledge.
[Online]
Available
at:
Charnes, A. et al, 1978. Measuring the Efficiency of Decision Making. European Journal of
Operational Research, 2(6), pp.429-44.
Chen, A. & Chen, M., 2005. A Review of Survey Research in Knowledge Management
Performance Measurement. Journal of Universal Knowledge Management, 1, pp.4-12.
Chua, A., 2004. Knowledge Management Systems Architecture: A Bridge Between KM
Consultans and Technologies. International Journal of Information Management, 24,
pp.87-98.
Cole, M.J. et al, 2010. Are Self-Assessments Reliable Indicators of Topic Knowledge?
Annual Meeting of the American Society for Information Science and Technology.
Collison,
C.,
2013.
Knowledgeable
Ltd.
[Online]
Available
at:
Dyckhoff, H. & Allen, K., 2001. Measuring Ecological Efficiency with Data Envelopment
Analysis (DEA). European Journal of Operational Research, 132(2), pp.312-25.
Farrell, M., 1957. The Measurement of Productive Efficiency. Journal of the Royal Statistical
Society, 120(3), pp.253-90.
Fikrotuzzakiah, F., 2012. Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja Project-Based dengan
Menggunakan Balanced Scorecard (Studi Kasus: PT Wijaya Karya Bangunan Gedung).
Laporan Tugas Akhir.
Forman, H.E. & Gass, I.S., 2013. The Analytical Hierarchy Process - An Exposition. The
Analytical Hierarchy Process.
Harrington, M. & Carey, M., 2009. The On-Line Yes/No Test as a Placement Tool. System,
37(4), pp.614-26.
Harris, M., 1997. Self-Assessment of Language Learning in Formal Settings. ELT Journal,
51(1), pp.12-20.
Hidayat, T., 2013. Mengenal MP3EI: Seperti Apa Indonesia di Tahun 2025? [Online]
Available
at:
http://www.teguhhidayat.com/2013/07/mengenal-mp3ei-seperti-apa-
[Online]
Available
at:
http://iisia.or.id/index.php?page=content&cid=28
Available
at:
http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-
[Accessed 11 Februari
2015].
Kemenperin, 2014. Kontribusi Industri Pengolahan Non Migas Terhadap PDB. [Online]
Available at: http://www.kemenperin.go.id/statistik/pdb_share.php
[Accessed 11
Februari 2015].
Krogh, G.V. et al, 1998. Knowing in Firms: Understanding, Managing and Measuring
Knowledge. SAGE.
Krogh, G.V. et al, 2000. Enabling Knowledge Creation: How To Unlock The Mystery of Tacit
Knowledge and Release The Power of Innovation. Oxford: Oxford University Press.
Kuah, C.T. & Wong, K.Y., 2011. Knowledge management performance measurement: A
review. African Journal of Business Management, 15(5), pp.6021-27.
Lai, H. & Chu, T.H., 2000. Knowledge Management: A Review of Theoretical Frameworks
and Industrial Cases. In In Proceedings of The 33rd Hawaii International Conference
on System Sciences., 2000. IEEE.
LeBlanc, R. & Painchaud, G., 1985. Self-Assessment as a Second Language Placement
Instrument. TESOL Quarterly, 19(4), pp.673-87.
Locke, J., 1689. BOOK IV. Of Knowledge and Probability. An Essay: Concerning Human
Understanding.
Luis, S. & Prima, A.B., 2007. Step by Step in Cascading Balanced Scorecard to Functional
Scorecard. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mahsun, M., 2009. Pengukuran Kinerja Sektor. Yogyakarta: PBFE.
Malabonga, V. et al, 2005. Self-Assessment, Preparation and Response Time on a
Computerized Oral Proficiency Test. Language Testing, 22(1), pp.59-92.
McInerney, C., 2002. Knowledge Management and The Dynamic Nature of Knowledge.
Journal of The American Society for Information Science and Technology, 53(12),
pp.1009 - 1018.
Merkin, B., 1979. Group Choice. New York: John Wiley & Sons.
Moulin, 2007. Performance Measurement: Guidelines, Myths, and Examples. [Online]
Available
at:
http://managementhelp.org/performancemanagement/guidelines.htm
E.,
2001.
Brief
History
of
Decision-Making.
[Online]
Available
at:
www.technologyevaluation.com/arlingsoft/History_Decision_Making.pdf [Accessed 26
Maret 2015].
Ryle, G., 1949. Concept of Mind. Chicago: The University of Chicago Press.
Saaty, L.T., 1980. The Analytical Hierarchy Process. New York: Mc.Graw Hill Book Co.
Schonberger, R. & Knod, E., 1997. Operations Management: Continuous Improvement. 6th
ed. Irwin, Chicago.
Setiawan, E., 2012. KBBI. [Online] (3) Available at: http://kbbi.web.id/audit [Accessed 28
Februari 2015].
Shah et al, 1998. Knowledge Auidt of The Call Center at MindSpring.
Shin, A., 2000. Framework for Evaluating Economics of Knowledge Management Systems.
Journal of Information and Management, 3(14), pp.179-96.
Sholihah, M., 2012. Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja ITS International Office dengan
Menggunakan Balanced Scorecard. Laporan Tugas Akhir.
Stollberg Michael et al, 2004. H-TechSight A Next Generation Knowledge Management
Platform. Journal of Information and Knowledge Management, 1(3), pp.47-66.
Storey, J. & Barnett, E., 2000. Knowledge Management Initiatives: Learning from Failure.
Journal of Knowledge Management, 4(2), pp.145-56.
Sun, Z. & Gao, G., 2006. HSM: Hierarchical Spiral Model for Knowledge Management. In
In Proceedings The 2nd International Conference on Information Management and
Business. Sydney, 2006.
Sunassee, N.N. & Sewry, D.A., 2002. A Theoretical Framework for Knowledge Management
Implementation. In In Proceeding Annual Research Conference of The South African
Institute of Computer and Scientists an Information Technologists., 2002.
Supyuenyong, V. & Islam, N., 2006. Knowledge Management Architecture: Building Blocks
and Their Relationship. In Technology Management for The Global Future. 3rd ed.
pp.1210-19.
Takamura, T. & Tone, K., 2003. A Comparative Site Evaluation Study for Relocating
Japanese Government Agencies Out of Tokyo. Socio-Economic Planning Sciences, 37,
pp.85-102.
Tiwana, A., 2000. The Knowledge Management Toolkit. 07458th ed. Prentice Hall PTR.
River Upper Saddle.
Wen, H. et al, 2003. Measuring E-Commerce Efficiency: A Data Envelopment Analysis
(DEA) Approach. Industrial Management & Data Systems, 103(9), pp.703-10.
Wicaksono, D.G., 2013. General Business Environment PT Krakatau Steel (Persero) Tbk.
Magister Manajemen Paper. Jakarta: Universitas Gadjah Mada.
Wiig, K., 1993. Knowledge Management Methods. Arlington, TX: Schema Press.
Wong, K. & Aspinwall, E., 2006. Development of a Knowledge Management Initiative and
System. A Case Study: Expert System Application , 30(4), pp.633-41.
Zhu, J., 2002. Quantitative Models for Performance Evaluation and Benchmarking: Data
Envelopment Analysis with Spreadsheets and DEA Excel Solver. Boston: Kluwer
Academic Publishers.