Anda di halaman 1dari 30

ANALISIS KASUS MOBIL NASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Kehadiran Timor yang menyandang atribut "mobil nasional" ibarat bayi cacat karena lahir
prematur. Dokter tak sempat melakukan operasi "sesar" disebabkan kaki bayi sudah kepalang
menyembul keluar. Untuk lahir normal hampir tak mungkin, apalagi sang ibu sudah tak bertenaga
karena stres. Maka terpaksalah dokter mengambil tindakan cepat dengan metode rangsangan
eksternal,tentu saja setelah disetujui ayah si bayi. Bayi yang lahir seperti itu biasanya menderita
kelainan fisik ataupun gangguan syaraf otak. Sejak proses kelahirannya hingga dewasa, si bayi
mungkin membutuhkan sangat banyak perhatian dan pertolongan ekstra.

Namun, bagaimanapun juga sosok bayi yang lahir, dia tetaplah anak kandung bagi kedua
orang tuanya. Segala cara dengan berbagai daya upaya akan ditempuh untuk membuat si anak
tumbuh dalam naungan kasih sayang orang tuanya, ditimang dan dibelai. Ayah atau ibunya akan
menghardik kalau ada orang yang berkomentar sumbang terhadap anak kandung mereka yang
ditakdirkan cacat itu. Sebatas ini persoalannya biasa saja.

Kalau keberadaan Timor dianalogikan sebatas sampai cerita di atas barangkali tak akan
menimbulkan kontroversi. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Pada kasus bayi cacat, masalah
akan muncul kalau sang orang tua mengabaikan realitas dengan mengatakan kepada handai
taulan bahwa anaknya yang cacat itu normal adanya, apalagi kalau mengklaim bahwa anaknya
hebat. Mereka harus berlapang dada untuk menerima kenyataan bahwa anaknya terbelakang,
sehingga harus rela untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah luar biasa.

Pada kasus Timor masalah yang muncul juga seperti kasus bayi itu. Inpres No. 2/1996
jelas-jelas tidak memiliki pijakan yang rasional dan terkesan sangat dipaksakan. Sejak awal saya
sudah yakin Timor akan memperoleh banyak kemudahan dan perlakuan yang super istimewa.
Sudah diperkirakan bahwa eksistensi Timor hanya bisa dipertahankan hanya kalau pemerintah
terus ngotot. Untuk itu pemerintah dipaksa untuk mengeluarkan berbagai kebijakan lanjutan yang
semakin aneh sehingga merusak tatanan mekanisme pasar dan kaidah-kaidah perumusan
kebijakan.

Contoh yang paling baru adalah perlakuan sedan Timor-KIA yang telah tiba di pelabuhan
Tanjung Priok. Entah apa alasannya, kedatangan pengapalan pertama yang mencapai lebih dari
2000 unit tersebut diamankan oleh banyak personel ABRI dari tiga angkatan. Menurut ketentuan
mobil-mobil tersebut baru boleh keluar dari pelabuhan atau kawasan Bea Cukai kalau pihak
Timor telah membayar jaminan bea masuk dan PPnBM (Pajak atas Penjualan Barang Mewah).
Kenyataannya mobil-mobil Timor sudah berada di kawasan Bandara Soekarno Hatta. Entah
kapan kawasan ini mulai berfungsi sebagai daerah pengawasan aparat Bea Cukai. Yang aneh lagi,
pihak Timor tak tahu berapa uang jaminan yang harus dibayar. Padahal segala sesuatunya, yang
menjadi basis perhitungan, sudah sangat jelas. Barangkali pihak Timor sedang menunggu
keringanan lainnya atau formula penghitungan khusus.

Perkara pengaduan Jepang ke WTO bermula dari keluarnya Inpres No. 2 /1996 tentang
program Mobnas yang menunjuk PT Timor Putra Nusantra (TPN) sebagai pionir yang
memproduksi Mobnas. Karena belum dapat memproduksi di dalam negeri, maka keluarlah
Keppres No. 42/1996 yang membolehkan PT TPN mengimpor mobnas yang kemudian diberi
merek "Timor", dalam bentuk jadi atau completely build-up (CBU) dari Korea Selatan.

Selain itu, PT TPN diberikan hak istimewa, yaitu bebas pajak barang mewah dan bebas
bea masuk barang impor. Hak itu diberikan kepada PT TPN dengan syarat menggunakan
kandungan lokal hingga 60 persen dalam tiga tahun sejak mobnas pertama dibuat. Namun bila
penggunaan kandungan lokal yang ditentukan secara bertahap yakni 20 persen pada tahun
pertama dan 60 persen pada tahun ketiga tidak terpenuhi, maka PT TPN harus menanggung
beban pajak barang mewah dan bea masuk barang impor. Namun, soal kandungan lokal ini
agaknya diabaikan selama ini, karena Timor masuk ke Indonesia dalam bentuk jadi dari Korea.
Dan tanpa bea masuk apapun, termasuk biaya pelabuhan dan lainnya.

Tuduhan Jepang tersebut terdiri atas tiga poin. Pertama, adanya perlakuan khusus impor
mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi keuntungan pada satu negara. Misalnya
perlakuan bebas tarif masuk barang impor, yang melanggar pasal 10 peraturan GATT. Kedua,
perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen mobnas selama dua
tahun. Ini melanggar pasal 3 ayat 2 peraturan GATT. Dan ketiga, menghendaki perimbangan
muatan lokal seperti insentif, (1) mengizinkan pembebasan tarif impor, (2) membebaskan pajak
barang mewah di bawah program mobnas sesuai dengan pelanggaran dalam pasal 3 ayat 1
GATT, dan pasal 3 kesepakatan perdagangan multilateral.

Bahkan, dari beberapa kali pertemuan tingkat menteri, kesepakatan yang ingin dicapai
bertolak belakang dengan keinginan dan cita-cita masing-masing negara. Maka pada 4 Oktober
1996, Pemerintah Jepangmelalui Kementrian Industri dan Perdagangan Internasional
(MITI)  resmi mengadukan Indonesia ke WTO yang didasarkan pasal 22 ayat 1 peraturan GATT.
Inti dari pengaduan itu, Pemerintah Jepang ingin masalah sengketa dagangnya dengan Indonesia
diselesaikan sesuai dengan kesepakatan perdagangan multilateral sesuai dengan aturan yang
tercantum dalam WTO. Ketika itu, jika dalam tempo lima-enam bulan setelah pengaduan ke
WTO belum dapat diselesaikan, maka Jepang akan membawanya ke tingkat yang lebih tinggi.

Setelah enam bulan tidak ada penyelesaian sejak Jepang secara resmi mengadukan
Indonesia ke WTO, tampaknya, ancaman Jepang bukan isapan jempol belaka. Jepang bakal
membawa masalah Mobnas ke panel WTO pada 30 April melalui pembentukan dispute
settlement body (DSB) atau sidang bulanan badan penyelesaian sengketa. Dengan terbentuknya
DSB, maka Jepang berharap masalah Mobnas dapat dipecahkan dengan jalan terbaik dan adil.
Pembentukan panel dilakukan oleh DSB, setelah upaya penyelesaian mengalami jalan
buntu. Panel yang beranggotakan 3-5 orang inilah yang akan memeriksa pengaduan dan saksi-
saksi. Dan dalam tempo enam bulan, panel akan mengeluarkan rekomendasi yang akan
diserahkan kepada DSB. Di tangan DSB nanti, keputusan hasil panel akan disahkan satu tahun
kemudian.

Namun, Pemerintah Jepang berharap hubungan bilateral kedua negara tidak terganggu.
Dalam hal program mobnas, menyadari keinginan dan cita-cita Indonesia atas program tersebut.
Jepang tidak mengenyampingkan keinginan tersebut, sepanjang tidak melanggar peraturan GATT
dan WTO.

Walau pengaduan telah disampaikan ke WTO, Pemerintah Jepang tetap membuka


peluang melalui jalan bilateral untuk menyelesaikan soal krusial ini. Meskipun, di badan
perdagangan dunia itu, masalah mobnas akan terus melekat dalam agendanya.

Dalam makalah ini, penulis ingin mencoba untuk mengupas lebih dalam mengenai kasus
mobil nasional “Mobil Timor” yang diadukan oleh Pemerintah Jepang ke WTO karena Indonesia
dituduh telah melanggar prinsip-prinsip WTO yang selayaknya ditaati oleh Negara anggota dalam
melakukan perdagangan internasional.

B.     PERUMUSAN MASALAH

1.      Siapkan subyek dalam kasus mobil timor ?


2.      Apa yang menjadi obyek dari kasus mobil timor ?
3.      Prinsip WTO mana sajakah yang dilanggar dari kasus mobil timor ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    KETENTUAN DASAR
Setiap negara anggota WTO dalam menyelenggarakan perdagangan internasional
haruslah berdasarkan prinsip-prinsip WTO. Perdagangan bebas dewasa ini menuntut semua pihak
untuk memahami persetujuan perdagangan internasional dengan segala implikasinya terhadap
perkembangan ekonomi nasional secara menyeluruh. Persetujuan-persetujuan yang
ada dalam kerangka WTO bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang
mengatur masalah-masalah perdagangan agar lebih bersaing secara terbuka, fair dan sehat. Hal
tersebut tampak dalam prinsip-prinsip yang dianut oleh WTO, yaitu :

1.    Perlakuan yang sama untuk semua anggota (Most Favoured Nations Treatment-MFN).


Prinsip ini diatur dalam pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan semua komitman yang
dibuat atau ditandatangani dalam rangka  GATT-WHO harus diperlakukan secara sama  kepada
semua negara anggota  WTO (azas non diskriminasi) tanpa syarat.

2.    Pengikatan Tarif (Tariff binding)


Prinsip ini diatur dalam pasal II GATT 1994 dimana setiap negara anggota GATT atau
WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea masuk atau tarifnya harus diikat (legally
bound). Pengikatan atas tarif ini dimaksudkan  untuk menciptakan  “prediktabilitas” dalam
urusan bisnis perdagangan internasional/ekspor. Artinya suatu negara anggota tidak
diperkenankan untuk sewenang-wenang merubah atau menaikan tingkat tarif bea masuk.

3.    Perlakuan nasional (National treatment)


Prinsip ini diatur dalam pasal III GATT 1994 yang mensyaratkan bahwa suatu negara
tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi antara produk impor dengan
produk dalam negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk melakukan proteksi. Jenis-jenis
tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini antara lain, pungutan dalam negeri, undang-
undang, peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi  penjualan, penawaran penjualan,
pembelian, transportasi, distribusi atau penggunaan produk, pengaturan tentang jumlah yang
mensyaratkan campuran, pemrosesan  atau penggunaan produk-produk dalam negeri.

4.    Perlindungan hanya melalui tarif.


Prinsip ini diatur dalam pasal XI dan mensyaratkan bahwa perlindungan atas industri
dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif.

5.    Perlakuan  khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang (Special dan Differential
Treatment  for developing countries – S&D).
Untuk meningkatkan partisipasi nagara-negara berkembang dalam perundingan
perdagangan internasional, S&D ditetapkan menjadi salah satu prinsip GATT/WTO. Sehingga
semua persetujuan WTO memiliki ketentuan yang mengatur perlakuan khusus dan berbeda bagi
negara berkembang. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan-kemudahan bagi
negara-negara berkembang anggota WTO untukmelaksanakan persetujuan WTO.

GATT/WTO mengatur berbagai pengecualian dari prinsip dasar seperti :

1.    Kerjasama regional, bilateral dan custom union.


Pasal XXIV GATT 1994 memperkenankan anggota WTO untuk membentuk kerjasama
perdagangan regional, bilateral dan custom union asalkan komitmen tiap-tiap anggota WTO yang
tergabung dalam kerjasama perdagangan tersebut tidak berubah sehingga merugikan negara
anggota WTO lain yang tidak termasuk dalam kerjasama perdagangan tersebut.

2.    Pengecualian umum.
Pasal XX GATT 1994 memperkenankan suatu negara untuk melakukan hambatan
perdagangan dengan alasan melindungi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan
;importasi barang yang bertentangan dengan moral;konservasi hutan; mencegah perdagangan
barang-barang pusaka atau yang bernilai budaya, perdagangan emas.

3.    Tindakan anti- dumping dan subsidi


Pasal VI GATT 1994, Persetujuan Antidumping dan subsidi memperkenankan pengenaan
bea masuk anti-dumping dan bea masuk imbalan hanya kepada perusahaan-perusahaan yang
terbukti bersalah melakukan dumping dan mendapatkan subsidi.

4.    Tindakan safeguards.
Pasal XIX GATT 1994 dan persetujuan Safeguard memperkenankan suatu negara untuk
mengenakan kuota atas suatu produk impor yang mengalami lonjakan substansial yang
merugikan industri dalam negeri.

5.    Tindakan safeguard untuk mengamankan balance of payment

6.    Melarang masuknya suatu produk yang terbukti mengandung penyakit berbahaya atau penyakit
menular yang membahayakan kesehatan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.

B.     SUBYEK
Subyek dalam kasus mobil nasional ini adalah PT Timor Putra Nusantara yang berperan
memproduksi mobil masional akan tetapi PT Timor Putra Nusantara belum dapat memproduksi
di dalam negeri, maka PT Timor Putra Nusantara mengimpor mobil nasional dari Korea Selatan
dalam bentuk jadi.
Karena jepang menuduh bahwa kebijakan mobnas tersebut telah melanggar peraturan
WTO maka Jepang melalui Kementrian Industri dan Perdagangan Internasional (MITI)
mengadukan Indonesia ke WTO. Maksudnya, agar masalah itu dapat diselesaikan sesuai dengan
kesepakatan perdagangan multilateral yang tercantum dalam WTO.

C.     OBYEK
Dalam kasus ini yang menjadi obyek sengketa adalah mobil nasional yang menunjuk PT
Timor Putra Nusantra (TPN) sebagai pionir yang memproduksi Mobnas. Karena belum dapat
memproduksi di dalam negeri, maka keluarlah Keppres No. 42/1996 yang membolehkan PT TPN
mengimpor mobnas yang kemudian diberi merek "Timor", dalam bentuk jadi atau completely
build-up (CBU) dari Korea Selatan.

D.    PELANGGARAN TERHADAP PRINSIP WTO


Masalah Mobil Nasional dibawa ke World Trade Organization oleh
Jepang untuk mengajukan keluhan mengenai mobil nasional ke WTO. Jepang menilai bahwa
kebijakan pemerintah tersebut sebagai wujud diskriminasi dan oleh karena itu melanggar prinsip-
prinsip perdagangan bebas.

Tuduhan Jepang tersebut terdiri atas tiga poin. Pertama, adanya perlakuan khusus impor
mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi keuntungan pada satu negara. Misalnya
perlakuan bebas tarif masuk barang impor, yang melanggar pasal 10 peraturan GATT. Kedua,
perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen mobnas selama dua
tahun. Ini melanggar pasal 3 ayat 2 peraturan GATT. Dan ketiga, menghendaki perimbangan
muatan lokal seperti insentif, (1) mengizinkan pembebasan tarif impor, (2) membebaskan pajak
barang mewah di bawah program mobnas sesuai dengan pelanggaran dalam pasal 3 ayat 1
GATT, dan pasal 3 kesepakatan perdagangan multilateral.
Atas dasar itu, Jepang melalui Kementrian Industri dan Perdagangan Internasional (MITI)
mengadukan Indonesia ke WTO. Maksudnya, agar masalah itu dapat diselesaikan sesuai dengan
kesepakatan perdagangan multilateral yang tercantum dalam WTO.

Indonesia yang secara resmi bergabung dengan World Trade Organization dengan
meratifikasi konvensi WTO melalui Undang-Undang No.7 tahun 1994 secara hukum terikat
kepada ketentuan ketentuan General Agreements on Tariff and Trade (GATT) yang diantaranya
termasuk prinsip-prinsip :

a.       Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif (Non Tariff Barriers/Non Tariff Measures) sesuai
dengan Artikel XI, paragraaf 1 GATT 1994.
GATT pada prinsipnya hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestic
melalui tarif dan tidak melalui upaya upaya perdagangan lainnya. Perlindungan melalui tariff ini
menunjukkan dengan jelas mengenai tingkat perlindungan yang diberikan dan masih
dimungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Prinsip ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
proteksi perdagangan yang bersifat non tarif karena dapat merusak tatanan perekonomian dunia.

b.      Prinsip “National Treatment” yang diatur dalam Artikel III, paragraph 4 GATT 1994.
Menurut prinsip ini, produk yang diimpor ke dalam suatu negara, harus diperlakukan sama seperti
halnya produk dalam negeri. Dengan prinsip National Treatment ini dimaksudkan bahwa negara
anggota WTO tidak boleh membeda-bedakan perlakuan terhadap pelaku bisnis domestic dengan
pelaku bisnis non domestic, terlebih terhadap sesama anggota WTO. Prinsip ini berlaku luas , dan
berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan pungutan lainnya. Prinsip ini juga
memberikan suatu perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau
kebijakan administratif atau legislatif.

Dalam GATT 1994 terdapat artikel yang melarang adanya peraturan-peraturan investasi
yang dapat menyebabkan terganggu dan terhambatnya kelancaran terlaksananya perdagangan
bebas antara Negara-negara di dunia sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut WTO. Prinsip-
Prinsip yang dianut WTO namun dilanggar oleh Indonesia Yaitu :

a.       Prinsip National Treatment Artikel III, paragraph 4 GATT 1994.


pada dasarnya adalah keharusan suatu Negara untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap
semua investor asing, Kebijakan Mobil Nasional dianggap telah Melanggar ketentuan ini karena
pemberian fasilitas penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang mewah hanya
diberlakukan pada PT. Timor Putra Nasional.

b.      Prinsip Penghapusan hambatan kuantitatif, Artikel XI, paragraf 1 GATT 1994.


pemerintah Indonesia dinilai telah melanggar ketentuan keharusan investor menggunakan bahan
baku, bahan setengah jadi, komponen dan suku cadang produksi dalam negeri dalam proses
produksi otomotif dalam negeri, yang dalam industri otomotif Indonesia, ketentuan ini dikenal
sebagai persyaratan kandungan lokal. Berdasarkan ketentuan GATT yang diimplementasikan
dalam aturan aturan Trade Related Investment Measures, kebijakan persyaratan kandungan lokal
merupakan salah satu kebjakan investasi yang harus dihapus karena menghalangi perdagangan
internasional, ketentuan kandungan lokal sebenarnya merupakan suatu hambatan perdagangan
non tariff yang dalam GATT tidak dapat ditolerir.

WTO memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar Prinsip-Prinsip GATT yaitu


National Treatment dan menilai kebijakan mobil nasional tersebut dinilai tidak sesuai dengan
spirit perdagangan bebas yang diusung WTO, oleh karena itu WTO menjatuhkan putusan kepada
Indonesia untuk menghilangkan subsidi serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT.
Timor Putra Nasional selaku produsen Mobil Timor dengan menimbang bahwa :
a.       Penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang mewah yang oleh pemerintah hanya
diberlakukan pada PT. Mobil Timor nasional merupakan suatu perlakuan yang diskriminatif dan
tentu saja akan sangat merugikan para investor yang telah terlebih dahulu menanamkan modalnya
dan menjalankan usahanya di Indonesia. Dengan diberlakukannya penghapusan bea masuk dan
pajak barang mewah terhadap mobil timor, hal ini dapat menekan biaya produksi sehingga
membuat harga mobil timor di pasaran menjadi lebih murah, hal tersebut akan mengancam posisi
investor asing yang tidak dapat menrunkan harga jual produknya, dalam persaingan pasar yang
tidak sehat seperti itu, investor asing pasti akan sangat dirugikan.

b.      Untuk menciptakan suatu perdagangan bebas yang efektif dan efisien, GATT dalam aturan
aturannya telah berusaha menghapuskan segala hambatan dalam perdagangan internasional,
antara lain adalah hambatan-hambatan perdagangan Non Tarif, oleh karena itu kebijakan
Pemerintah Indonesia yang menetapkan keharusan aturan persyaratan kandungan local terhadap
investor asing dinilai sebagai upaya pemerintah dalam menciptakan suatu hambatan peragangan
non tarif guna memproteksi pasar dalam negeri dari tekanan pasar asing. Kebijakan tersebut
merupakan salah satu strategi pemerintah untuk memproteksi pasar Mobil Timor agar tidak kalah
bersaing dengan produsen mobil dari luar negeri. Instrumen kebijakan tersebut tentunya sangat
merugikan pihak produsen mobil dari luar negeri, dan dapat menciptakan suatu iklim persaingan
yang tidak sehat.

BAB III
KESIMPULAN
Inisiatif kebijakan Mobil Nasional yang ditujukan untuk menyediakan mobil murah bagi
rakyat tersebut, meskipun patut dipuji namun dinilai tidak transparan dan diskriminatif karena
proteksi yang diberikan tidak sesuai dengan semangat yang sudah terlebih dahulu dikeluarkan
melalui paket-paket deregulasi, dan juga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perdaganga bebas
berdasarkan ketentuan perjanjian World Trade Organization, dimana Indonesia yang telah
meratifikasi WTO melalui UU No.7 tahun 1994 terikat secara hukum terhadap General
Agreement on Tariff and Trade. Salah satu fasilitas yang diberikan kepada industri pionir Mobil
Nasional oleh Pemerintah adalah bidang perpajakan, suatu penerapan kebijakan yang tidak tepat
karena dimungkinkannya dilakukan pembuktian yang kuat bahwa kebijakan Mobil Nasional
tersebut telah melanggar Persetujuan GATT.
Dapat pula disimpulkan bahwa Kebijakan yang dilakukan secara mendadak, tidak
transparan, dan tidak konsisten akan menimbulkan ketidakpercayaan kalangan swasta pada visi
dan strategi pembangunan yang pada jangka panjang akan mendorong ketidakpastian iklim
lingkungan usaha di Indonesia, dan jika terjadi suatu sengketa diantara negara-negara yang
tergabung di dalam WTO akan dirasakan lebih efektif dengan melakukan rangkaian konsultasi
diantara para pihak yang bersengketa karena didasarkan pada karakteristik hukum internasional
yang menjadi pedoman bertingkah laku dalam perdagangan internasional yang berdaya laku
kurang kuat sehingga suatu keputusan bersama akan lebih dipatuhi oleh para pihak.
Kalau kita yakin betul bahwa kita memang perlu mobil nasional, lalu kita yakin pula
bahwa cara yang kita tempuh untuk mewujudkannya dengan Inpres No. 2/1996 adalah yang
terbaik, bolehlah kita bertempur habis-habisan dengan negara-negara yang menentangnya. Itu
pun belum jaminan kita bisa menang. Apalagi dalam kasus mobnas yang nota bene lebih banyak
cacatnya ketimbang positifnya.
Secanggih apa pun kemampuan diplomasi ekonomi luar negri kita, pada akhirnya
keberhasilannya adalah fungsi dari kesiapan kita. Ada pun kesiapan kita merupakan fungsi dari
rasionalitas kebijakan yang dipertentangkan itu sendiri. Bertolak dari premis ini,. Seandainya
Indonesia menang, tetap saja keberadaan mobnas kurang banyak bermanfaat bagi perekonomian
nasional. Jadi kita harus berterima kasih kepada Jepang karena mereka betul-betul membawa
kasus mobnas ke WTO. Kita harus mendukung mereka. Betapa ironisnya bangsa ini. Nasib
seperti ini mungkin pantas diterima dengan lapang dada di tengah masyarakat yang terlelap oleh
situasi yang semakin membelenggu daya nalar.
PERAN NEGARA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA
PERDAGANGAN INTERNASIONAL1 Oleh: George Lucky Kaparang2
ABSTRAK Tujuan dilakukanya penelitian yakni untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian
sengketa perdagangan internasional menurut GATT dan WTO dan bagaimana peranan Indonesia
dalam sengketa perdagangan internasional yang dengan metode penelitian hukum normartif
disimpulkan bahwa: 1. World Trade Organization (WTO) merupakan suatu organisasi internasional
yang mengatur tentang perdagangan internasional. WTO dan GATT memiliki tujuan yang sama untuk
menyelesaikan sengketa perdagangan internasional. Dalam menyelesaikan sengketa terdapat dua
kategori forum penyelesaian dalam GATT dan WTO, yaitu: Jalur Non-yudisial (Negosiasi dan
Konsultasi, Good office, Mediasi, dan Konsiliasi), Jalur Yudisial penyelesaian dalam bentuk formal
yang melibatkan pihak ketiga dapat berupa Arbitrase atau Juducial Settlement. 2. Peran Negara
dalam kasus sengketa dagang internasional melalui World Trade Organization adalah tugas
diplomasi, yang mana diplomasi tersebut dilakukan sebelum dan sesudah dibuat, maka Indonesia
berhak untuk tidak tunduk terhadap aturan yang dibuat dinegara lain. Prospek penyelesaian
sengketa dagang antara Indonesia dengan negara lain adalah Indonesia dapat memenangkan suatu
sengketa dari negara yang melanggar hukum internasional melalui pelanggaran terhadap TRIPS, TBT,
serta GATT. Kata kunci: perdagangan internasional; peran negara;

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada prakteknya, kerjasama antar negara di bidang perdagangan
internasional sering tidak berjalan sesuai dengan ketentuanketentuan yang berlaku, dimana
terdapat suatu negara yang melakukan tindakan yang melanggar peraturan WTO. Oleh karena itu,
didalam GATT/WTO terdapat aturan tentang 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing: Harord Anis, SH,.
M.Si, MH; Thor Bangsaradja Sinaga, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM.
15071101227 tata cara penyelesaian sengketa. Sistematik pengaturan penyelesaian sengketa GATT
diatur dalam Pasal XXII dan Pasal XXIII. Pasal XXII berjudul consultation dan Pasal XXIII berjudul
nullification or impairment.3 Mekanisme penyelesaian sengketa mulai disempurnakan lagi pada
perundingan Uruguay yang mencakup seluruh substansi dari sistem GATT. Perjanjian mengenai
penyelesaian sengketa disebut dengan Understanding on Rules and Procedures Governing the
Settlement of Disputes atau (DSU) yang merupakan penyempurnaan dari aturan GATT. Berdasarkan
Pasal 3 DSU para anggota WTO menegaskan ketaatan mereka pada peraturan penyelesaian sengketa
Penyelesaian sengketa dalam perdagangan internasional sendiri juga tidak lepas dari peranan suatu
negara yang ada di dalamnya, dimana negara sendiri merupakan subyek hukum internasional.
Negara sebagai suatu subyek memiliki peranan atau fungsi secara garis besar yaitu membuat
undangundang (legislatif), menjalankan undangundang (eksekutif) dan mengawasi pemerintah
(yudikatif). B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana proses penyelesaian sengketa perdagangan
internasional menurut GATT dan WTO? 2. Bagaimana peranan Indonesia dalam sengketa
perdagangan internasional ? C. Metode penulisan penelitian ini merupakan bagian dari Penelitian
Hukum kepustakaan.

PEMBAHASAN
Proses Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional
Menurut GATT dan WTO Sistem perdagangan internasional yang kini berlaku dan yang sekarang
dikelola oleh suatu lembaga internasional baru, Wold Trade Organization atau selanjutnya disingkat
WTO, yang berkedudukan di Jenewa, Switzerland mempunyai sejarah yang cukup panjang. Sebagai
sistem yang menyeluruh, aturan main dalam WTO tidak dapat mudah dimengerti tanpa menoleh
lebih jauh pada dasar-dasar yang telah diterapkan sejak didirikannya General Agreement on Tariff
and Trade atau selajutnya disingkat GATT pada tahun 1947.

GATT adalah suatu sistem, suatu forum dan suatu lembaga internasional dibidang perdagangan.
Sistem tersebut mulai diwujudkan tahun 1947 dan mulai beroperasi tahun 1948. GATT berfungsi
sebagai suatu kontrak antara semua pihak peserta perjanjian untuk memenuhi aturan main yang
telah di sepakati bersama. Walaupun GATT belum lengkap dan sempurna tetapi cakupannya bersifat
komprehensif. Sebagai suatu perjanjian yang dicapai melalui suatu negosiasi maka perjanjian GATT
mengandung banyak kompromi yang mencerminkan keperntingan yang berbeda diantara Negara
peserta perundingan. Karena itu, maka sebagai suatu perjanjian yang diwujudkan melalui negosiasi
dan kompromi, perjanjian GATT merupakan hal yang kompleks.

Disepakatinya GATT didasarkan pada hubungan antar negara di bidang perdagangan dan ekonomi
harus dijalankan dengan sasaran untuk meningkatkan standar hidup, menjamin lapangan kerja dan
meningkatkan penghasilan dan penemuhan kebutuhan, pemanfaatan sumber daya dunia seutuhnya
serta memperluas produksi serta pertukaran barang.

Cara untuk mencapai tujuan-tujuan ini adalah dengan mengadakan pengaturan timbal balik dan
saling menguntungkan untuk mengurangi tariff dan hambatan perdagangan lain, serta
menghilangkan diskriminasi dalam perdagangan internasional.

Dalam tahun-tahun berikutnya berbagai tambahan dan penyempurnaan telah dilakukan melalui
berbagai perundingan (round). Delapan putaran perundingan yang telah diselesaikan yakni Jenewa
(1947), Annecy (1949), Torquay (1950-1951), Jenewa (1953-1956), The Dilon Round (1960-1961),
The Kennedy Round (1964- 1967), Tokyo Round (1973-1979) dan terakhir Uruguay Round (1986-
1994) Dalam GATT, perselisihan di antara pihak-pihak yang bersangkutan atau dengan perantara
CONTRACTING PARTIES (organ utama GATT yag terdiri dari Negara-negara anggota yang bertindak
bersama-sama). Jika perselisihan tidak dapat diselesaikan maka akan diserahkan kepada
CONTRACTING PARTIES sendiri yang kemudian akan melakukan penyelidikan, dan memberikan
rekemondasi atau putusan bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam pratek CONTRACTING
PARTIES dalam memutuskan perselisihan tersebut dibantu oleh sebuah panel yang terdiri dari para
ahli. Atas dasar temuan panel inilah CONTRACTING PARTIES memberikan rekemendasi atau putusan.

Perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa merupakan salah satu aspek pembaharuan norma-
norma GATT yakni aspek procedural. Aspek substantive yang erat kaitannya dengan aspek
procedural, sehingga perbaikan aspek yang satu harus diimbangi dengan perbaikan aspek yang
lainnya. Perbaikan aspek procedural harus tidak akan membangkitkan kepatuhan Negara anggota
untuk menggunakan sarana penyelesaian sengketa GATT apabila dirasakan bahwa aturan-aturan
substantifnya sudah tidak dapat diterima lagi. Demikian pula perbaikan aspek substantive tidak
dengan sendirinya akan menjamin kepatuhan, apabila tidak ada mekanisme penyelesaian sengketa
yang baik dan efektif. Sistem penyelesaian sengketa yang telah melembaga dan mengandung
prosedur yang telah rinci menjadi bagian integral dari suatu lembaga internasional yang
bertanggungjawab “mengadministrasikan” perjanjian tersebut dan menjadi forum untuk
pelaksanaan dan pengelolaan perjanjian itu. Penguasaan yang lengkap dari GATT dan WTO
memerlukan pula penguasaan tentang prosedur penyelesain sengketa. Namun untuk menguasai
system penyelesaian sengketa GATT dan WTO secara lengkap memerlukan pula penguasaan aturan
main yang berlaku dan identifikasi dari aspek aturan main tersebut yang mungkin dapat menjadi
sumber sengketa.

Dalam konteks masyarakat internasional secara umumnya, masyarakat internasional memberikan


peluang untuk melakukan penyelesaian sengketa antar negara melalui berbagai cara. Sengketa antar
negara dapat diatasi melalui proses politis- diplomatik yakni secara non-yudisial atau sebagai
alternatif, dapat pula dilaksanakan dalam forum tribunal (hukum). Rincian dari kedua kategori forum
dan variasi dari ciri dalam metode penyelesaian sengketa tersebut dapat dilihat dalam uraian
dibawah ini :

A. Jalur Non-Yudisial

Peyelesaian sengketa melalui jalur nonyudisial adalah penyelesaian yang dilakukan melalui proses
politis-diplomatis. dalam bentuk yang lebih fleksibel, serta dengan ketentuan prosedural yang lebih
luwes, penyelesaian sengketa dapat diselesaikan oleh pihak yang bersengketa sendiri tanpa
keterlibatan pihak lain yakni melalui proses negosiasi. Dengan proses maka sengketa diselesaikan
melalaui pendekatan non-yudisial yang berdasarkan atas pertimbangan politis antara pihak yang
bersengeketa dengan menggunakan mekanisme diplomatik. Cara penyelesaian sengketa yang
diselesaikan antara pihak yang bersengketa sendiri, walaupun dubantu dengan pihak ketiga yang
dapat berupa good offices, mediasi atau konsiliasi.

1) Negosiasi dan Konsultasi Proses negosiasi dengan bentuk yang luwes tersebut memang
merupakan salah satu aspek dari kegiatan sistem GATT dan WTO yang terpenting. Dalam kenyataan
sebenarnya, sebagai sistem GATT dan WTO merupakan forum negosiasi yang berfungsi setiap waktu.
Dalam prosedur GATT ada mekanisme konsultasi yang merupakan aspek khusus dari mekanisme
negosiasi. Dalam sistem GATT, konsultasi dalam rangka proses penyelesaian sengketa mengandung
arti formal karena secara eksplisit terdapat dalam Pasal XXII perjanjian GATT walaupun dalam
pelaksanaannya proses konsultasi bentuknya dapat berupa proses sangat informal dan tidak terlihat
oleh pihak lain.

2) Good Offices Good Offices merupakan cara penyelesaian sengketa dalam bentuk yang non-
yudisial dengan bantuan pihak ketiga yang dianggap netral. Pihak ketiga yang melakukan kegiatan
good offices bertindak sebagai pihak yang mendorong agar pihak yang bersengketa mengambil
langkah konkret kearah penyelesaian secara damai tetapi tidak turut dalam proses perundingan.

3) Mediasi Dalam proses penyelesaian sengketa melalui mediasi pihak ketiga juga turut dalam proses
perundingan untuk penyelesaian sengketa tetapi pengambilan keputusan tentang penyelesaian
sengketa berada dalam pihak yang bersengeta.

4) Konsiliasi Dalam hal konsiliasi, pihak ketiga merupakan pihak yang diminta menjadi a commision
of persons yang tugasnya adalah untuk menjelaskan fakta yang berkaitan dengan sengketa dan
menyusun laporan yang isinya mencakup usulan mengenai penyelesaian yang dianggap dapat
diterima walaupun usulan tersebut tidak mengikat.

B. Jalur Yudisial
Penyelesaian sengketa dalam bentuk yang jauh lebih formal dan yang secara langsung aktif
melibatkan pihak ketiga dapat berupa arbitrase atau berupa juducial settlement. Dengan
menggunakan jalur ini maka hasil dari proses penyelesaian sengketa yang ditempuh ditetapkan oleh
pihak ketiga dan berlaku secara mengikat. Dengan demikian maka jalur ini merupakan jalur yuridis.
Penyelesaian sengketa yang dpilih melalui jalur arbitrase maupun jalur judicial settlement
merupakan jalur yudisial yang sifatnya suatu tribunal. Kesimpulan Mekanisme penyelesaian
sengketa GATT dan WTO ditinjau dari hukum ekonomi internasional dapat dilakukan melalui 2 cara
yakni non yudisial dan yudisial. Non-yudisial meliputi negosiasi, mediasi, good efficer, konsiliasi
sedangkan yudisial dapat dilaksanakan melalui arbitrase atau judicial settlement. Mekanisme
penyelesaian sengketa dalam perjanjian WTO sekarang ini pada intinya mengacu pada ketentuan
Pasal 22-23 GATT 1947. Dengan berdirinya WTO, ketentuan-ketentuan GATT 1947 kemudian
terlebur ke dalam aturan WTO. Pengaturan penyelesaian sengketa dalam Pasal 22 dan 23 GATT
memuat ketentuanketentuan yang sederhana. Pasal 22 menghendaki para pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan sengketanya melalui konsultasi bilateral (bilateral consultation) atas setiap
persoalan yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian atau ketentuanketentuan GATT (with respect
to any matter affecting the operation of this agreement). Pasal 23 mengandung pengaturan yang
lebih luas.

Melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1994 Tentang Ratifkasi Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia, Indonesia secara resmi telah menjadi anggota The World Trade Organization
(WTO). Berdasarkan kaedah hukum kebiasaan internasional, yang kemudian dirumuskan secara
tertulis dalam “Konvensi Wina, 1969”, ratifkasi ini menimbulkan akibat hukum eksternal maupun
internal bagi negara yang melakukannya. Akibat hukum eksternal adalah bahwa melalui tindakan
tersebut berarti negara yang bersangkutan telah menerima segal kewajiban yang dibebankan.
Sedangkan akibat hukum internal adalah kewajiban bagi negara yang bersangkutan untuk merubah
hukum nasionalnya agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan internasional yang
bersangkutan. Sebagai “gigi taring” World Trade Organization (WTO), Dispute Settlement
Mechanism(DSM) diharapkan cukup membuat negara-negara anggotanya takut melanggar
ketentuan yang telah disepakati. DSM merupakan unsur utama dalam mewujudkan pengamanan
dan keterdugaan (predictability) system perdagangan multilateral.

Dalam Final Act telah disetujui bahwa negara-negara anggota WTO tidak akan menerapkan “hukum
rimba” dengan jalan mengambil tindakan unilateral terhadap negara yang dianggap telah melanggar
aturan perdagangan multilateral. Setiap pelanggaran harus diselesaikan melalui DSM, yang
ditetapkan pada bulan April 1994. Penyelesaian sengketa dengan segera (promp) sangat penting
bagi efektifnya fungsi WTO.
Dalam WTO hanya ada satu Dispute Settlement Body (DSB) yang berperan untuk menyelesaikan
segala sengketa yang timbul dari setiap persetujuan yang terdapat dalam Final Act. Lembaga ini
memiliki wewenang untuk membentuk panel-panel, menyetujui panel dan perkara banding,
mengawasi pelaksanaan keputusan-keputusan dan rekomendasi-rekomendasi, serta menjatuhkan
penghukuman dalam hal ada pihak yang tidak melaksanakan rekomendasinya. Tahapan-tahapan
yang harus dilalui dalam proses penyelesaian sengketa melalui DSM adalah sebagai berikut:

Konsultasi
Sesuai dengan maksud utama DSM-WTO untuk mencapai penyelesaian yang positif, penyelesaian
sengketa yang diterima oleh kedua belah pihak sangat diutamakan.

Konsultasi merupakan langkah awal yang sangat dianjurkan dalam DSU. Pada konsultasi ini
diperbolehkan juga untuk mengikutsertakan pihak ketiga. Untuk mengefektifkan proses konsultasi,
pihak yang bersangkutan harus memberikan pertimbangan yang layak dan juga kesempatan yang
sama untuk berkonsultasi kepada pihak lain. Konsultasi harus dilakukan dengan itikad baik dalam
jangka waktu tidak lebih dari 30 hari dari sejak tanggal permintaan.

Ada perkembangan dan pengaturan baru mengenai hal ini. Pertama, adalah diterimanya suatu
prinsip yang dikenal dengan nama “otomatisasi” (automaticity). Kedua, the understanding
menetapkan waktu sepuluh hari bagi negara termohon untuk menjawab permohonan negara
pemohon untuk berkonsultasi.

Jasa Baik, Konsiliasi, dan Mediasi

Ini adalah cara penyelesaian sengketa secara damai dengan melibatkan pihak ketiga, prosedurnya
dilaksanakan secara sukarela, dalam pelaksanaannya sifatnya rahasia. Kemungkinan melalukan jasa
baik, konsiliasi, dan mediasi:

1. Apabila konsultasi atau negosiasi gagal, dan apabila par pihak setuju maka sengketa mereka dapat
di serahkan pada Dirjen WTO. Dalam tahap ini Dirjen WTO akan memberikan cara penyelesaiannya
melalui jasa baik, konsiliasi, atau mediasi.

2. Apabila negara termohon tidak memberikan jawaban positif terhadap permohonan konsultasi
dalam jangka waktu 10 hari, atau apabila negara tersebut menerima permohonan konsultasi namun
penyelesaiannya gagal dala jangka waktu 60 hari maka negara pemohon dapat meminta DSB untuk
membuka suatu panel.1

Pembentukan Panel

Pembentukan suatu panel dianggap sebagai upaya terakhir dan sifatnya otomatis dalam mekanisme
penyelesaian sengketa menurut WTO. Perjanjian WTO menyatakan bahwa DSB, dalam hal ini fungsi
badan tersebut dilaksanakan oleh the WTO General Council, harus mendirikan suatu panel dalam
jangka waktu 30 hari setelah adanya permohonan, kecuali ada konsensus para pihak untuk
membatalkannya. Persyaratan-persyaratan pendirian panel dan wewenangnya diatur dalam the
understanding. 16 The Understanding telah merumuskan standard terms of reference yang member
mandate kepada panel untuk memeriksa gugatan berdasarkan persetujuan yang berkaitan, dan
menghasilkan temuan yang akan membantu DSB menyusun rekomendasi atau membuat keputusan
sesuai dengan persetujuan terkait. Dalam hal para pihak yang berpekara setuju, panel dapat
menjalankan tugasnya berdasarkan terms of reference lain.Fungsi panel utamanya adalah
membantu DSB melaksanakan tanggung jawabnya sebagai badan penyelesaian sengketa WTO.
Secara spesifik fungsi panel tersebut adalah :

1. Membuat penilaian terhadap suatu sengketa secara objektif dan menguraikan apakah suatu
pokok sengketa bertentangan atau tidak dengan perjanjian-perjanjian WTO (covered agreements).
2. Merumuskan dan menyerahkan hasilhasil temuannya yang akan dijadikan bahan untuk membantu
DBS dalam merumuskan rekomendasi atau putusan.

Pemeriksaan Banding

DSM-WTO menyediakan kemungkinan untuk banding kepada pihak yang tidak dapat menerima
laporan panel. Namun keberatan yang dapat dikemukakan terbatas pada masalah hukum yang
dikemukakan dalam laporan, dan interprestasi hukum yang diterapkan dalam panel.19 Banding tidak
dapat diajukan untuk mengubah bukti-bukti yang ada atau bukti baru yang muncul.

Pelaksanaan Putusan dan Rekomendasi

Implementasi putusan dan rekomendasi dapat dianggap sebagai masalah yang sangat penting di
dalam proses penyelesaian sengketa. Isu ini akan menentukan kredibilitas WTO, termasuk efektivitas
dari penyelesaian sengketa WTO itu sendiri. DSB dalam jangka waktu 30 hari sejak laporan tersebut
dikeluarkan. Apabila jangka waktu ini dianggap tidak mungkin dipenuhi, maka para pihak diberi
jangka waktu yang lebih wajar (reasonable period of time) untuk melaksanakannya.

Tindakan kompensasi (ganti rugi) atau penangguhan konsesi atau kewajiban lainnya tersebut
sifatnya adalah sementara. Apabila penangguhan ini dimintakan, pihak lainnya dapat
menegosiasikannya dalam jangka waktu yang pantas. Namun, apabila dalam jangka waktu yang
pantas ini tidak tercapai kesepakatan maka salah satu pihak dapat meminta arbitrase untuk
menyelesaikannya.

B. Peranan Indonesia Dalam Sengketa Perdagangan Internasional Undang-Undang No.7 tahun


1994 Pasal XIII yang dimuat dalam lembaran Negara No. 57 thn. 1994, serta penjelasannya dalam
Tambahan lembaran Negara No. 3564.

Secara makro, seluruh isi perjanjian WTO telah masuk dalam sistem hukum positif dan badan
hukum Indonesia yang berkecimpung di dunia bisnis wajib mentaati ketentuan hukrnn ekonomi.
Untuk menentukan sumber sengketa GATT mensyaratkan adanya "multification" atau "impairment".
Penyebab terjadinya sengketa dagang antara lain negara maju dengan berkembang adalah adanya
kecenderungan dari negara berkembang dalam untuk mencari jalan pintas yang didasarkan pada
peningkatan ekonomi nasional untuk kepentingan perdagangan internasional, sehingga beberapa
aturan/perjanjian yang telah disepakati sering dilanggar. Ketentuan WTO mengenai sengketa bagi
Negara berkembang memungkinkan meminta good offices kepada dengan Prosedure khusus,
konsultasi negara anggota harus memberikan perhatian khusus, memasukkan sekurang-kurangnya
satu panelis dari negara berkembang.21 Peran Indonesia dalam sengketa perdagangan internasional,
penulis mengangkat contoh kasus : Kasus Mobil Nasional Timor dengan Jepang dan Uni Eropa

Pada Juli 1996, pemerintah resmi meluncurkan proyek mobil nasional bernama Timor melalui kerja
sama dengan Kia Motors, produsen mobil asa Korea Selatan. Karena berlabel mobil nasional, bea
masuk dan pajak barang mewah pada penjualan mobil ini dipangkas sehingga harganya menjadi
separuh harga rata-rata mobil saat itu. Kebijakan Indonesia ini diprotes negara produsen mobil
seperti Jepang dan Uni Eropa. Mereka menyeret Indonesia ke badan penyelesaian sengketa WTO.
Indonesia kalah dan WTO memutuskan agar Indonesia mencabut kebijakan diskriminatif tersebut.
Selanjutnya, nasib mobil nasional Timor bagai hilang ditelan bumi.
Dengan duduk perkara sebagai berikut :23 Lahirnya mobil Timor sebagai mobil nasional
menimbulkan polemik dan akibat hukum yang sangat besar, khususnya di bidang ekonomi dunia.
Timor memperoleh banyak kemudahan dan perlakuan khusus/istimewa. Hal ini terlihat dari sikap
pemerintah yang memaksakan untuk mengeluarkan berbagai peraturan dan kebijakan yang
sesungguhnya merusak tatanan mekanisme pasar. Kerjasama yang dilakukan oleh Indonesia dengan
Korean International Automotive (KIA) dinilai sebagai bentuk diskriminasi hukum di bidang
perekonomian dunia. Salah satu negara pengekspor produk otomotif yaitu Jepang kemudian
melakukan pengaduan/gugatan ke World Trade Organization (WTO).

Gugatan Jepang bermula dengan dikeluarkannya Inpres No. 2 Tahun 1996 yang menunjuk PT Timor
Putra Nasional sebagai pionir yang memproduksi Mobnas. Namun, karena belum dapat
memproduksi di dalam negeri, maka keluarlah Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1996 tentang
Pembuatan Mobil Nasional yang membolehkan PT Timor Putra Nasional untuk mengimpor mobil
nasional yang kemudian diberi merek “Timor” dalam bentuk jadi atau completely build up (CBU) dari
Korea Selatan.

Hak istimewa atas pajak dan bea terhadap PT Timor Putra Nasional diberikan dengan syarat
menggunakan komponen lokal hingga 60% dalam tiga tahun sejak mobil nasional pertama dibuat.
Namun, bila mana penggunaan komponen lokal yang ditentukan secara bertahap yaitu 20% pada
tahun pertama dan 60% pada tahun ketiga tidak terpenuhi, maka PT Timor Putra Nasional harus
menanggung beban pajak banrang mewah dan bea masuk barang impor. Namun, mengenai
komponen yang menjadi syarat utama agaknya diabaikan, sebab pada faktanya Timor masuk ke
Indonesoa dalam bentuk jadi dari Korea Selatan tanpa bea masuk apa pun termasuk biaya
pelabuhan dan lainnya.

Hal ini mendatangkan reaksi dari beberapa pihak yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa
negara Eropa. Namun, Jepanglah yang paling berusaha keras karena mempunyai kepentingan kuat
dalam idustri otomotifnya yang telah menguasai hampir 90% pangsa mobil di Indonesia. Reaksi lain
dari Amerika dan beberapa negara Eropa gelisah karena mereka berencana menanamkan investasi
dalam industri otomotif di Indonesia.

Akhirnya terjadi dialog antara Jepang dengan Pemerintah Indonesia namun tidak menghasilkan
kesepakatan apa pun. Kemudian, tindakan lanjutan dari Jepang yaitu melalui Wakil Menteri
Perdagangan Internasional dan Industri menyatakan bahwa mereka akan membawa masalah ini ke
WTO. Gugatan Jepang ke WTO atas Indonesia terdiri dari tiga poin, yaitu:

1. Perlakuan khusus impor mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi keuntungan pada satu
negara. Kebijakan ini melanggar Pasal 10 General Agreement on Traffis and Trade (GATT) mengenai
perlakuan bebas tarif masuk barang impor.
2. Perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen mobil nasional selama
dua tahun. Kebijakan ini melanggar Pasal 3 ayat (2) GATT.

3. Menghendaki perimbangan muatan lokal seperti intensif.  Mengizinkan pembebasan tarif impor,
 Membebaskan pajak barang mewah di bawah program mobil nasional sesuai dengan pelanggaran
Pasal 3 ayat (1) GATT dan Pasal 3 Kesepakatan perdagangan Multilateral.
Pada 4 Oktober 1996, Pemerintah Jepang resmi mengadukan Indonesia ke WTO yang didasarkan
pada Pasal 22 ayat (1) GATT. Inti dari pengaduan Jepang adalah ingin agar masalah sengketa
dagangnya dengan Indonesia diselesaikan sesuai dengan kesepakatan perdagangan multilateral
sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam WTO bahwa jika dalam tempo lima sampai dengan
enam bulan setelah pengaduan ke WTO belum dapat diselesaikan, maka Jepang akan membawa
perkara tersebut ke tingkat yang lebih tinggi.

Setelah enam bulan tidak ada penyelesaian sejak Jepang secara resmi mengadukan Indonesia ke
WTO melalui pembentukan Dispute Settlement Body (DSB) atau sidang bulanan pada penyelesaian
sengketa. Pembentukan panel pun dilakukan, setelah upaya penyelesaian mengalami jalan buntu.
Panel yang beranggotakan 3-5 orang inilah yang akan memeriksa pengaduan dan saksi-saksi. Dan
dalam tempo enam bulan, panel akan menyerahkan rekomendasi yang akan diserahkan kepada DSB
yang pada akhirnya keputusan hasil panel akan disahkan oleh DSB satu tahun kemudian.

Setiap negara anggota WTO sesungguhnya dalam menyelenggarakan perdagangan internasional


harus berdasarkan prinsip-prinsip WTO. Perdagangan bebas menuntut semua pihak untuk
memahami persetujuan perdagangan internasional dengan segala implikasinya terhadap
perkembangan ekonomi nasional secara menyeluruh. Persetujuanpersetujuan yang ada dalam
kerangka WTO bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang mengatur
masalahmasalah perdagangan agar lebh bersaing secara terbuka, adil (fair), dan sehat.

Hal-hal tersebut terkandung dalam prinsip-prinsip WTO, antara lain:

1. Perlakuan yang sama untuk semua anggota atau asas non diskriminasi (Most Favoured Nations
Treatment). Prinsip ini diatur dalam Pasal I GATT 1994 yang mensyaratkan segala komitmen yang
telah dibuat dan ditandatangani dalam rangka GATT harus diperlakukan secara sama kepada semua
negara anggota WTO.

2. Pengikatan tarif (Tariff Binding), Prinsip ini diatur dalam Pasal II GATT 1994 yang mana setiap
negara anggota GATT/WTO harus memiliki daftar produk yang tingkat bea masuk atau tarifnya harus
diikat (legally bound). Pengikatan atas tarif ini dimaksudkan untuk menciptakan “prediktibilitas”
dalam hal bisnis perdagangan internasional/ekspor. Artinya, negara tidak diperkenankan untuk
sewenang-wenang mengubah atau menaikkan tingkat tarif bea masuk.

3. Perlakuan Nasional (National Treatment), Prinsip ini diatur dalam Pasal III GATT 1994 yang
mensyaratkan bahwa suatu negara tidak diperkenankan untuk memperlakukan secara diskriminasi
antara produk impor dengan produk dalam negeri (produk yang sama) dengan tujuan untuk
melakukan proteksi. Jenisjenis tindakan yang dilarang berdasarkan ketentuan ini, yaitu:  pungutan
dalam negeri;  undang-undang;  peraturan dan persyaratan yang mempengaruhi penjualan; 
penawaran penjualan;  pembelian;  transportasi;  distribusi atau penggunaan produk; 
pengaturan tentang jumlah yang mensyaratkan campuran;  pemrosesan atau penggunaan produk-
produk dalam negeri.

4. Perlindungan hanya melalui tarif. Prinsip ini diatur dalam Pasal XI dan mensyaratkan bahwa
perlindungan atas industri dalam negeri hanya diperkenankan melalui tarif.

5. Perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang (Special and Differential
Treatment for Developing Countries).
Permasalahan mobil nasional yang diadukan ke WTO oleh Jepang terhadap Indonesia berdasarkan
penilaian bahawa kebijakan Pemerintah Indonesia sebagai bentuk diskriminasi dan oleh karenanya
telah melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas. Indonesia yang secara resmi bergabung dengan
WTO dengan meratifikasi Konvensi WTO melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 secara hukum
terikat dengan ketentuanketentuan GATT termasuk prinsip-prinsip:

1. Prinsip penghapusan hambatan kuatitatid (non tariff barriers/non tarif measures) berdasarkan
Artikel XI Paragraf 1 GATT 1994.

2. Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik
melalui tarif dan tidak melalui upaya perdagangan lainnya. Perlindungan melalui tarif ini
menunjukkan dengan jelas mengenai tingkat perlindungan yang diberikan dan masih dimungkinkan
adanya kompetisi yang sehat. Prinsip ini dilakukan untuk mencegah terjadinya proteksi perdagangan
yang bersifat non-tarif karena dapat merusak tatanan perekonomian dunia.

3. Prinsip National Treatment yang diatur dalam Artikel III paragraf 4 GATT 1994. Berdasarkan prinsip
ini, produk yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk
dalam negeri. Dengan prinsip ini pula dimaksudkan bahwa negara yang tergabung ke dalam WTO
tidak boleh membeda-bedakan perlakuan terhadap pelaku bisnis domestik/lokal dan pelaku bisnis
asing, terlebih terhadap sesama anggota WTO. Prinsip ini berlaku luas dan berlaku terhadap semua
macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini juga memberikan suatu perlindungan
terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif.

4. WTO memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar Prinsip-Prinsip GATT yaitu National
Treatment dan menilai kebijakan mobil nasional tidak sesuai dengan spirit perdagangan bebas yang
diusung WTO. Oleh karena itu, WTO menjatuhkan putusan kepada Indonesia untuk menghilangkan
subsidi serta segala kemudahan yang diberikan kepada PT Timor Putra Nasional selaku produsen
mobil timor dengan menimbang bahwa:

1) Penghapusan bea masuk dan pernghapusan pajak barang yang oleh pemerintah hanya
diberlakukan pada PT. Mobil Timor nasional merupakan suatu perlakuan yang diskriminatif dan
tentu saja akan sangat merugikan para investor yang telah terlebih dahulu menanamkan modalnya
dan menjalankan usahanya di Indonesia. Dengan diberlakukannya penghapusan bea masuk dan
pajak barang mewah terhadap mobil timor, hal ini dapat menekan biaya produksi sehingga
membuat harga mobil timor di pasaran menjadi lebih murah, hal tersebut akan mengancam posisi
investor asing yang tidak dapat menrunkan harga jual produknya, dalam persaingan pasar yang tidak
sehat seperti itu, investor asing pasti akan sangat dirugikan.

2) Untuk menciptakan suatu perdagangan bebas yang efektif dan efisien, GATT dalam aturan
aturannya telah berusaha menghapuskan segala hambatan dalam perdagangan internasional, antara
lain adalah hambatan-hambatan perdagangan Non Tarif, oleh karena itu kebijakan Pemerintah
Indonesia yang menetapkan keharusan aturan persyaratan kandungan local terhadap investor asing
dinilai sebagai upaya pemerintah dalam menciptakan suatu hambatan peragangan non tarif guna
memproteksi pasar dalam negeri dari tekanan pasar asing. Kebijakan tersebut merupakan salah satu
strategi pemerintah untuk memproteksi pasar Mobil Timor agar tidak kalah bersaing dengan
produsen mobil dari luar negeri. Instrumen kebijakan tersebut tentunya sangat merugikan pihak
produsen mobil dari luar negeri, dan dapat menciptakan suatu iklim persaingan yang tidak sehat.
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. World Trade Organization (WTO) merupakan suatu organisasi internasional yang mengatur
tentang perdagangan internasional. WTO dan GATT memiliki tujuan yang sama untuk menyelesaikan
sengketa perdagangan internasional. Dalam menyelesaikan sengketa terdapat dua kategori forum
penyelesaian dalam GATT dan WTO, yaitu: Jalur Non-yudisial (Negosiasi dan Konsultasi, Good office,
Mediasi, dan Konsiliasi), Jalur Yudisial penyelesaian dalam bentuk formal yang melibatkan pihak
ketiga dapat berupa Arbitrase atau Juducial Settlement.

2. Peran Negara dalam kasus sengketa dagang internasional melalui World Trade Organization
adalah tugas diplomasi, yang mana diplomasi tersebut dilakukan sebelum dan sesudah dibuat, maka
Indonesia berhak untuk tidak tunduk terhadap aturan yang dibuat dinegara lain. Prospek
penyelesaian sengketa dagang antara Indonesia dengan negara lain adalah Indonesia dapat
memenangkan suatu sengketa dari negara yang melanggar hukum internasional melalui pelanggaran
terhadap TRIPS, TBT, serta GATT.

B. Saran

1. WTO dan GATT sebagai lembaga atau organisasi internasional yang menangani tentang sengketa
perdagangan internasional diharapkan untuk bisa lebih efektif dalam menangani
permasalahanpermasalahan atau sengkata dagang tiaptiap negara yang terlibat didalamnya.

2. Pemerintah Indonesia diharapkan lebih menyuarakan Charter of Economic Rights and Duties of
State, dimana sebuah negara memiliki hak dan kewajiban terhadap perekonominya, yang mana
negara lain tidak boleh menghambat perekonomian negara yang lainnya.
BAB III
ANALISA KASUS
3.1 Prinsip Most Favoured Nation ( MFN ) dalam Kasus Mobil Timor

Prinsip Most Favoured Nations merupakan prinsip dasar (utama) WTO yang menyatakan bahwa
suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif, yakni semua
negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari
suatu kebijaksanaan perdagangan6 Prinsip ini diatur dalam Pasal I ayat (1) GATT 1947, yang
berjudul General Favoured Nation Treatment, merupakan prinsip Non Diskriminasi terhadap
produk sesama negara-negara anggota WTO. Maksud dari prinsip ini adalah apabila suatu
negara pertama (pengimpor) memberikan kemudahan atau fasilitas perdagangan internasional
kepada negara kedua (pengekspor), maka kemudahan serupa harus pula diberikan kepada
negara ketiga, keempat, dan seterusnya (pengekspor lainnya). Memang terdapat Pengecualian
terhadap prinsip Most Favored Nations (MFN),sebagaimana diatur Pasal XXIV GATT 1947,
bahwa prinsip ini tidak berlaku:

1. Dalam hubungan ekonomi antara negara-negara anggota Free Trade Area/Customs Union
dengan negara-negara yang bukan anggota, misalnya antara negara anggota AFTA (Indonesia)
dengan India.

2. Dalam hubungan dagang antara negara-negara maju dengan Negara-negara berkembang


melalui GSP (Generalized System of Preferences) sejak tahun 1971).

Merujuk kepada kasus mobil Timor antara Indonesia dengan Jepang, Indonesia dinilai melanggar
ketentuan ini dikarenakan Indonesia sebagai negara pengimpor melakukan diskriminasi kepada
produsen mobil lain khususnya Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat dengan cara
membebaskan bea masuk kepada Korea Selatan saja karena Mobil Timor sebagai rencana mobil
nasional bekerjasama dengan produsen mobil Korea Selatan yaitu KIA. Pembebasan bea masuk
yang dilakukan Indonesia kepada Korea Selatan sebagai produsen mobil Timor itu melanggar
pada pasal 10 GATT Agreement tentang non tariff measures dan juga melanggar pasal 1 GATT
Agreement tentang MFN. Dalam GATT Agreement dan juga dalam prinsip umum WTO, sebuah
negara harus melakukan perlakuan sama terkait perdagangan barang pada negara satu dan
negara lain. Tindakan Indonesia ini berimbas kepada adanya Trade Barrier atau hambatan
perdagangan. Hambatan perdagangan itu sendiri nantinya akan memperlambat terwujudnya
tujuan dari WTO yang menginginkan perdagangan internasional yang bebas dan adil.
Penghapusan bea masuk barang dari Korea Selatan itu dilakukan Indonesia dengan tujuan ingin
membuat biaya produksi dan juga harga Mobil Timor lebih murah di pasaran. Hal ini sangat
merugikan investor lain yang bergerak sama dibidang otomotif khususnya mobil. Ketika biaya
produksi murah dan harga juga murah di pasaran, nantinya terjadi tidak sehatnya persaingan
pasar otomotif di Indonesia yang juga merugikan pihak investor yang sudah ada sejak lama di
Indonesia.

Tindakan pelanggaran prinsip MFN pada pasal 1 GATT yang dilakukan Indonesia akan
menimbulkan dampak buruk pada keuangan negara juga. Ketika Jepang, Amerika Serikat dan
Uni Eropa menang di DSU, Indonesia diwajibkan membayar kerugian perdagangan yang
diakibatkan oleh Indonesia itu sendiri. Pembayaran kerugian yang dilakukan Indonesia ini
merupakan penerapan prinsip retaliasi atau pembalasan oleh Amerika Serikat, Jepang, dan Uni
Eropa kepada Indonesia karena telah mengakibatkan kerugian pada bidang perdagangan mobil.
3.2 Prinsip National Treatment atau Perlakuan Nasional

Prinsip National Treatment merupakan salah satu prinsip non discrimination dalam GATT 1994.
Prinsip ini tercantum dalam pasal III GATT 1994. Sebagai prinsip yang ada dalam hukum
perdagangan dunia, makna yang mendasari prinsip national treatment itu sendiri tetap tidak
terlepas dari makna yang mendasari prinsip national treatment dalam hukum internasional,,
yaitu prinsip yang membangun sebuah hubungan kewajiban dari suatu ngara kepada WNA di
dalam negeri. Berkenaan dengan hal ini, GATT mencantumkan prinsip national treatment ke
dalam pasal III ketentuannya yang mana diantarannya terdiri dari 10 ayat yang saling berkorelasi
antara satu dengan yang lainnya. Prinsip national treatment yang diterapkan oleh GATT dalam
hal ini, sesuai dengan bidang GATT itu sendiri, berlaku bagi suatu barang atau produk sehingga
prinsip national treatment dalam GATT adalah lebih mengarah kepada perlakuan yang diberikan
terhadap baik barang produksi domestic atau dalam negeri dan terhadap barang produksi asing
atau luar negeri.

Pasal III GATT tentang National Treatment pada dasarnya lebih mengarah kepada bentuk
tindakan yang dianggap bertentangan dengan prinsip national treatment. Pasal III: I GATT berisi:
“The contracting parties recognize that internal taxes and other internal charges, and laws,
regulations and requirements affecting the internal sale, offering for sale, purchase,
transportation, distribution or use of products, and internal 26 quantitative regulation requiring
the mixture, processing or use of products in specified amounts or proportions, should not be
applied to imported or domestic products so as to afford protection to domestic production.”
Prinsip National Treatment pada dasarnya adalah mengenai pemberian “perlakuan yang sama”.
Berkenaan dengan hal mendasar tersebut, “perlakuan yang sama” yang tersirat dalam ketentuan
pasal III:I GATT ditunjukan dalam bentuk memberikan perlindungan yang sama atau setara
terhadap produk domestic dan produk impor. Perlindungan yang sama ini dilakukan dengan cara
tidak melakukan tindakan tindakan internal baik terhadap produk domestic dan atau pun terhadap
produk impor sebagai jaaln atau dengan tujuan untuk lebih memproteksi produk domestic itu
sendiri.
Pasal III:2 GATT berisi:
“The products of the territory of any contracting party imported into the territory of any other
contracting party shall not be subject, directly or indirectly, to internal taxes or other internal
charges of any kind in excess of those applied, directly or indirectly, to like domestic products.
Moreover, no contracting party shall otherwise apply internal taxes or other internal charges to
imported or domestic products in a manner contrary to the principles set fort in paragraph 1.”

Pasal III:2 GATT melengkapi ketentuan pasal III:I GATT sehubungan dengan tindakan internal
berupa pengenaan pajak dan biaya-biaya pungutan lain terhadap suatu produk baik impor maupun
domestic. Produk sejenis berdasarkan pasal III;2 GATT tidak cukup hanya dipahami dengan
pemahaman sebatas produk yang sama “secara fisik” saja. “sejenis” yang dimaksudkan
Dalam kasus mobil Timor ini Indonesia sebagai negara produsen mobil Timor dianggap telah
melanggat prinsip National Treatment. Pemberian penghapusan pajak mobil mewah kepada
produsen mobil local dengan syarat memakai bahan-bahan dan suku cadang dari dalam negeri
sebesar 60 persen ini dinilai sebagai tindakan diskriminataif terhadap produk otomotif import
lain. Indonesia dituduh terkesan melindungi produk mobilnya sendiri agar menguasai pasar
otomotif dalam negeri dengan melakukan kebijakan pengapusan pajak mewah tersebut. Dalam
pasal 3 ayat 2 GATT, pemberian pajak dalam negeri harus diberikan sema kepada produk
domestic dan produk impor baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini jelas sekali melanggar
prinsip National Treatment dan malah meningkatkan hambatan perdagangan seperti pada
pembahasan mengenai MFN diatas. Melindungi produk local itu boleh apabila diperlukan dan
penting namun harus diberitahukan kepada forum negara naggota WTO dengan alasan yang jelas
terkait pemberian perlindungan itu. Kebijakan pemerintah Indonesia terkait pembebasan pajak
dan juga terkait kandungan local itu bukan lah merupakan tindakan pembenar sebagai alas an
produk local bersaing dengan produk import. Seharusnya upaya pemerintah terhadap produk
local agar dapat bersaing denan produk asing adalah dengan melakukan peningkatan standard dan
juga kualitas mobil timor itu.
Prinsip perlakuan nasional atau National treatment ini dapat di aplikasikan melalu regulasi atau
peraturan dari negara pengimpor sehingga dapat menimbulkan keadaan yang seimbang antara
produk local dan import. Untuk pemilihan barang local maupun impor itu diserahakan kepada
pasar yang dimana dalam hal ini adalah masyarakat konsumen produk otomotif. Masyarakat atau
konsumen ini yang memilih apakah kualitas barang impor dan local ini bagus dan layak beli.
Pelanggaran terhadap prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment adalah merupakan
kesaslahan fatal. Dua prinsip itulah yang membentuk WTO sendiri dan membantu terwujudnya
tujuan perdagangan internasional yang bebas dan adil

4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) GATT 1947 mengenai General Favoured Nation Treatment,
merupakan prinsip Non Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO.
Maksud dari prinsip ini adalah apabila suatu negara pertama (pengimpor) memberikan
kemudahan atau fasilitas perdagangan internasional kepada negara kedua (pengekspor), maka
kemudahan serupa harus pula diberikan kepada negara ketiga, keempatdan seterusnya
(pengekspor lainnya). Berdasarkan kasus mobil Timor antara Indonesia dengan Jepang, Indonesia
dinilai melanggar ketentuan ini dikarenakan Indonesia sebagai negara pengimpor melakukan
diskriminasi kepada produsen mobil lain khususnya Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat
dengan cara membebaskan bea masuk kepada Korea Selatan saja karena Mobil Timor sebagai
rencana mobil nasional bekerjasama dengan produsen mobil Korea Selatan yaitu KIA. Adanya
perlakuan khusus impor mobil dari KIA Motor Korea berupa perlakuan bebas tariff masuk
barang impor yang hanya memberi keuntungan pada satu negara. Perlakuan tersebut melanggar
pasal 10 GATTAgreement tentang non tariff measures dan juga melanggar pasal 1 GATT
Agreement tentang MFN. Penghapusan bea masuk barang dari Korea Selatan itu dilakukan
Indonesia dengan tujuan ingin membuat biaya produksi dan juga harga Mobil Timor lebih murah
di pasaran.
Selain itu terhadap prinsip lain yakni mengenai National Treatment. National Treatment pada
dasarnya adalah mengenai pemberian “perlakuan yang sama”. Berkenaan dengan hal mendasar
tersebut, “perlakuan yang sama” yang tersirat dalam ketentuan pasal III:I GATT ditunjukan
dalam bentuk memberikan perlindungan yang sama atau setara terhadap produk domestic dan
produk impor. Perlindungan yang sama ini dilakukan dengan cara tidak melakukan tindakan
tindakan internal baik terhadap produk domestic dan atau pun terhadap produk impor sebagai
jaaln atau dengan tujuan untuk lebih memproteksi produk domestic itu sendiri. Mengenai Pasal
III:2 GATT melengkapi ketentuan Pasal III:I GATT sehubungan dengan tindakaninternal berupa
pengenaan pajak dan biaya-biaya pungutan lain terhadap suatu produk baik impor maupun
domestik. kebijakanMobil Nasional dianggap telah melanggar ketentuan ini karena pemberian
fasilitas penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang mewah hanya diberlakukan
pada PT Timor Putra Nasional.
ROKOK KRETEK
PENDAHULUAN

Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) menilai Amerika Serikat (AS) telah
melakukan diskriminasi perdagangan terhadap rokok kretek Indonesia dan melanggar ketentuan
WTO, sehingga WTO pun memenangkan rokok kretek Indonesia dalam perselisihan sengketa
perdagangan di Appellate Body (AB) [4]. Kasus tersebut berawal pada saat Presiden Obama
menandatangani Undang-Undang (UU) yang berjudul Family Smoking Protection and Tobacco
Control Act [10]. UU ini berwenang mengatur peredaran produk tembakau di Amerika Serikat.
Dengan UU ini industri rokok kretek Indonesia dikenakan larangan ekspor oleh pemerintah AS
terhitung sejak September 2009. Larangan ekspor rokok kretek ini mengakibatkan Indonesia
berpotensi kehilangan pasar hingga US$100 juta per tahun. Berdasarkan data pemberitahuan ekspor
bea cukai, sampai Maret 2010 nilai ekspor rokok kretek ke AS hanya sebesar US$826,30 ribu.
Padahal, total ekspor rokok tersebut di periode sama tahun lalu mencapai US$6,45 juta. Pemerintah
Indonesia melalui Kementerian Perdagangan telah membawa kasus ini ke Forum Panel Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO). Dalil yang dipakai ialah tindakan diskriminatif Washington. Alasannya
rokok mentol hasil produksi industri dalam negeri AS, yang sama berkategori rokok beraroma,
nyatanya tetap diizinkan beredar. Dasar gugatan dan posisi Indonesia sangat kuat. Sikap diskriminatif
AS tidak sesuai dengan ketentuan WTO, termasuk, antara lain, Perjanjian GATT ( General Aggrement
on Tariff and Trade) 1994 dan Technical Barriers to Trade (TBT). Pada tanggal 7 April 2010, Indonesia
meminta konsultasi dengan Pemerintah AS sehubungan dengan standar yang diterapkan oleh
Pemerintah AS tentang pelarangan rokok kretek. Indonesia menilai bahwa Pasal 907 Family Smoking
Protection and Tobacco Control Act, yang ditandatangani menjadi undangundang pada tanggal 22
Juni 2009, melarang, antara lain, produksi atau penjualan di Amerika Serikat rokok mengandung
aditif tertentu, termasuk cengkeh. Namun di lain pihak pemerintah AS terus mengizinkan produksi
dan penjualan rokok lain, termasuk rokok yang mengandung menthol. Indonesia menyatakan bahwa
Pasal 907 The Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act of 2009, tidak konsisten, antara
lain, dengan Pasal III: 4 dari ketentuan GATT 1994, Pasal 2 dari Persetujuan TBT, dan berbagai dari
Perjanjian SPS.

Dengan latar belakang tersebut, perumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut:
Bagaimanakah hukum penyelesaian sengketa antara Pemerintahan AS - Indonesia atas pelarangan
ekspor Rokok Kretek menurut WTO/GATT Agreement (termasuk di dalamnya menurut Agreement
on Sanitary and Phytosanitary Measures, Agreement on Technical Barriers to Trade dan Agreement
on Agriculture).?

2. TINJUAN PUSTAKA

WTO merupakan organisasi yang bersifat Global yang berurusan dengan ”the rules of trade between
nations”. Sebagai jantung dari WTO adalah ”WTO agreements, negotiated and signed by the bulk of
the world’s trading nations and ratified in their parliaments”,yang bertujuan ” to help producers of
goods and services, exporters, and importers conduct their business”. The WTO’s agreements are
often called the Final Act of the 1986—1994 Uruguay Round of trade negotiations. WTO diatur a
system of trade rules, yang meliputi aturan hukum yang komplek dan rumit yang mencakup berbagai
bidang kegiatan, agriculture, textiles and clothing, banking, telecommunications, government
purchases, industrial standards and product safety, food sanitation regulations, intellectual property,
and much more. Prinsip yang mendasari sejumlah ketentuan tersebut adalah ” fundamental
principles run throughout all of these documents, yang menjadi ”the foundation of the multilateral
trading system”. Prinsip–Prinsip dasar WTO tersebut adalah:

2.1. Most-favoured-nation (MFN):

Prinsip ini memperlakukan negara lain secara ”Equally” (berkedudukan sama). Berdasarkan
perjanjian WTO, negara-negara biasanya tidak dapat membedakan antara mitra dagang mereka.
Misal suatu negara memberikan perlakuan khusus untuk salah satu produk mereka. Negara anggota
harus melakukan hal yang sama untuk semua anggota WTO lainnya. Mengingat pentingnya prinsip
ini, maka MFN ditempatkan dalam Pasal 1 ketentuan GATT (First Article) yang mengatur “trade in
goods”, dan Pasal 4 the Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).
Beberapa pengecualian diperbolehkan. Sebagai contoh,

a. negara dapat mengatur perjanjian perdagangan bebas yang berlaku hanya untuk barang yang
diperdagangkan dalam kelompok-diskriminasi terhadap barang dari luar.

b. suatu negara dapat memberikan negara-negara berkembang akses khusus untuk pasar mereka.

c. suatu negara dapat meningkatkan hambatan terhadap produk-produk yang dianggap tidak adil
diperdagangkan dari negara-negara tertentu. Dan dalam pelayanan, negara-negara yang
diperbolehkan, dalam keadaan terbatas, untuk melakukan diskriminasi. Namun perjanjian ini hanya
mengizinkan pengecualian dalam kondisi yang ketat.

d. Secara umum, MFN berarti bahwa setiap kali suatu negara menghilangkan hambatan
perdagangan atau membuka pasar, itu harus melakukannya untuk barang yang sama atau jasa dari
seluruh mitra dagangnya, baik kaya atau miskin, lemah atau kuat.

2.2. National treatment

Prinsip ini mengandung makna memperlakukan pihak asing dan domestik secara sama. Barang
impor dan barang produksi dalam negeri harus diperlakukan sama, setidaknya setelah barang asing
telah memasuki pasar. Hal yang sama harus berlaku untuk layanan asing dan domestik, dan untuk
merek dagang asing dan lokal, hak cipta dan paten untuk barang yang sama. Prinsip "perlakuan
nasional" ini dapat ditemukan di semua tiga perjanjian WTO (Pasal 3 GATT, Pasal 17 GATS dan Pasal
3 dari TRIPS). WTO adalah organisasi internasional yang bertugas menjalankan seperangkat aturan
pedagangan. WTO didirikan pada tahun 1995, merupakan agen baru perdagangan global yang
berkuasa, yang telah mengubah GATT (Perjanjian Bea-Masuk dan Perdagangan) menjadi sebuah
perjanjian yang mampu memaksakan perdagangan global. WTO adalah salah satu mekanisme utama
dari globalisasi ekonomi. Pendukungnya mengatakan bahwa WTO berdasarkan pada ‘perdagangan
bebas’ (free-trade). Bahkan WTO jauh sekali dari filosofi perdagangan bebas abad ke-18 yang
dikembangkan oleh David Ricardo atau Adam Smith, yang berasumsi bahwa baik tenaga kerja
maupun modal kerja tidak boleh lintas batas negara.

WTO menggantikan GATT sebagai suatu organisasi internasional, namun Perjanjian Umum GATT
masih berlaku sebagai perjanjian payung WTO untuk perdagangan barang (trade in goods), yang
diperbaharui sebagai hasil dari perundingan Putaran Uruguay.
GATT merupakan suatu perjanjian multilateral dalam bidang perdagangan yang bertujuan untuk
mengadakan perdagangan yang lebih bebas (free trade) dengan cara mengurangi hambatan-
hambatan perdagangan internasional, baik hambatan tarif maupun non tarif. GATT berfungsi
sebagai suatu kontrak antara semua pihak perjanjian untuk mematuhi aturan main yang telah
disepakati bersama.

Secara singkat dikatakan bahwa , “the World Trade Organization (WTO) is the only international
organization dealing with the global rules of trade between nations. Its main function is to ensure
that trade lows as smoothly, predictably and freely as possible”

Dengan demikian WTO merupakan satu-satunya organisasi bertingkat Internasional yang mengatur
perdagangan antar bangsa secara global, yang fungsi utamanya untuk menjamin terselenggaranya
perdagangan internasional secara lancar, terprediksi dan diupayakan sebebas mungkin. Hasil (result)
yang diharapkan dengan adanya organisasi ini adalah “Assurance” adanya jaminan. Konsumen dan
produsen tahu bahwa mereka dapat menikmati dengan kelancaran impor dan ekspor dengan serta
pasar luar negeri tetap terbuka baginya.

Harapan lainnya dari WTO adalah sebuah ekonomi dunia yang lebih sejahtera, damai dan akuntabel.
Keputusan dalam WTO biasanya diambil oleh konsensus di antara semua negara anggota dan
diratifikasi oleh parlemen negara anggota. Perselisihan perdagangan antar negara anggota
disalurkan ke dalam proses penyelesaian sengketa WTO di mana fokusnya adalah pada perjanjian
interpretasi dan komitmen, dan bagaimana memastikan bahwa kebijakan perdagangan
negaranegara sesuai dengan mereka. Dengan begitu, risiko sengketa menjadi konflik politik atau
militer menjadi berkurang.

Sistem WTO disamping menurunkan hambatan perdagangan, juga menguraikan hambatan lainnya
antara masyarakat dan bangsa. Jantung dari sistem - yang dikenal sebagai sistem perdagangan
multilateral - adalah ”The WTO’ Aggrement”, dinegosiasikan dan ditandatangani oleh sebagian besar
negara-negara perdagangan dunia, dan diratifikasi dalam parlemen mereka. Perjanjian ini dengan
dasar hukum-aturan untuk perdagangan. Pada dasarnya, merupakan kontrak, menjamin hak-hak
perdagangan negaranegara. Kontrak ini pun mengikat pemerintah untuk menjaga kebijakan
perdagangan negara-negara anggota dalam batas yang disetujui dan bermanfaat bagi mereka yang
berkepentingan. Meskipun perjanjian ini telah dinegosiasikan dan ditandatangani oleh pemerintah.
Namun, tujuan sebenarnya adalah untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir, dan
importir melakukan bisnis mereka. Tujuan utama adanya WTO adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat negara-negara anggota .

Anggota WTO, melalui perjanjian tersebut, mengoperasikan sistem perdagangan yang tidak
diskriminatif (a non-discriminatory trading system) yang menjamin hak-hak dan kewajiban mereka.
Setiap negara menerima menjamin bahwa perusahaan eksportir akan diperlakukan secara adil dan
konsisten di pasar negara-negara lain. Setiap negara berjanji untuk melakukan hal yang sama untuk
impor ke pasar sendiri. Sistem ini juga memberi negara-negara berkembang beberapa fleksibilitas
dalam melaksanakan komitmen mereka.

Beberapa sudut pandang terhadap WTO It’s an organization for liberalizing trade. It’s a forum for
governments to negotiate trade agreements. It’s a place for them to settle trade disputes. It
operates a system of trade rules. Hal ini memberikan gambaran bahwa WTO bukan hanya suatu
organisasi perdagangan yang liberal. WTO, suatu forum tempat pemerintah negara-negara
bernegosiasi terhadap perjanjian perdagangan, tempat menyelesaiakan sengketa perdagangan
antara negara-negara anggotanya, yang berpedoman terhadap suatu sistem perdagangan yang para
anggota membuatnya.

3. METODOLOGI

Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis kasus ini menggunakan penelitian hukum.
Menggunakan data sekunder, yakni ketentuanketentuan dalam kerangka GATT/WTO, serta
pendapat para ahli hukum. Analisis data yang digunakan adalah analisis normatif – kualitatif.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Suatu sengketa (dispute) terjadi apabila terjadi pelanggaran terhadap “ a WTO agreement”.
Pengajuan sengketa harus diajukan dengan melampirkan “ a request for consultations” serta
mencantumkan perjanjian WTO yang dilanggarnya. Suatu sengketa dapat terjadi karena pelanggaran
atas lebih dari satu aggrement, yang meliputi:

a. Agreement Establishing the World Trade Organization

b. Agriculture

c. Anti-dumping (Article VI of GATT 1994)

d. Civil Aircraft

e. Customs valuation (Article VII of GATT 1994)

f. Dispute Settlement Understanding g. GATT 1947

h. GATT 1994

i. Government Procurement

j. Import Licensing

k. Intellectual Property (TRIPS)

l. Reshipments Inspection

m. Rules of Origin

n. Safeguards

o. Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS)

p. Services (GATS)

q. Subsidies and Countervailing Measures

r. Technical Barriers to Trade (TBT)

s. Textiles and Clothing


t. Trade-Related Investment Measures (TRIMs)

Penyelesaian sengketa dalam kerangka GATT, diatur dalam Pasal XXII dan XXIII GATT Pasal XXII dan
XXIII GATT memuat aturan sederhana mengenai mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan di
antara negara-negara anggota GATT. Tujuan utama dari kedua pasal ini sebenarnya tidak
dimaksudkan untuk menyelesaikan sengketa perdagangan. Kedua pasal tersebut dibuat untuk
‘melindungi nilai dari konsesi tariff yang telah dipertukarkan’ ('to protect the value of the tariff
concessions exchanged).

Paragraf 1 Pasal XXIII GATT di atas secara tegas menyebutkan dua bentuk pelanggaran hukum yang
dapat digolongkan ke dalam tiga keadaan. Dua macam pelanggaran hukum tersebut adalah: 1) any
benefit accruing to it directly or indirectly under this Agreement is being nullified or impaired; 2)
attainment of any objective of the Agreement is being impeded. Tiga keadaan yang dimaksudkan
dalam paragraf 1 Pasal XXIII adalah:

1) the failure of another contracting party to carry out its obligations under the Agreement'
(violation complaints);

2) the application by another contracting party of any measure, whether or not it conflicts with the
provisions of this Agreement' (nonviolation complaints);
3) the existence of any other situation' (situation-complaints).
Baru-baru ini WTO telah menjadi tempat penyelesaian “Sengketa Rokok Kretek RI dengan AS”, yang
diajukan oleh Pemerintahan Indonesia, pihak yang diajukannya adalah Amerika Serikat. WTO telah
memutuskan kemenangan bagi Indonesia. Hal ihwal sengketa tersebut dapat ditemukan dalam
laman WTO: dibawah judul: DISPUTE SETTLEMENT: THE DISPUTES, Year dispute was brought to the
WTO:2010, Agreement (as cited in request for consultations): Sanitary and Phitonasitary Measures
(SPS), Subject :Cigarettes, Member : Indonesia (as complainant), Member : United States of America
(as respondent). Kasus tersebut di WTO diberi kode : DS406 : United States of America — Measures
Affecting the Production and Sale of Clove Cigarettes (Complainant: Indonesia,7 April 2010 (Sec. 907.
Tobacco Product Standards . The Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act of 2009).
Dalam putusan WTO tersebut, kasus ini kemudian dimenangkan pihak Indonesia, sebagai pihak yang
complainant.
Terdapat beberapa perjanjian yang menjadi pokok sengketa kasus tersebut, yaitu : WTO/GATT
Agreement, Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures, Agreement on Technical Barriers to
Trade (TBT) dan Agreement on Agriculture.
4.1.WTO/GATT Agreement GATT
Pemerintah AS dengan Family Smoking Protection and Tobacco Control Act-nya telah memasukan
Rokok Kretek Indonesia yang mengandung cengkeh termasuk zat dilarang dalam kandungan rokok.
Di lain pihak dalam UndangUndang tersebut, mentol yang merupakan salah kandungan rokok
produksi AS tidak dikategorikan zat dilarang dalam kandungan rokok.
Perlakuan ini merupakan tindakan perlakuan yang diskriminatif antara rokok produksi dalam negeri
AS dan rokok produksi luar negeri AS (Produksi Indonesia. Perlakuan diskrimintif pemerintah AS ini
tidak sesuai dengan prinsip umum WTO/GATT, yaitu Prinsip National treatment: Memperlakukan
pihak asing dan domestik secara sama
Pasal 20 dari Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT) memungkinkan pemerintah
untuk mengeluarkan kebijakan perdagangan dalam rangka melindungi manusia, hewan atau
tumbuhan hidup atau kesehatan, dengan syarat negara tersebut tidak melakukan tindakan
diskriminasi atau menggunakan proteksionisme secara diam-diam (disamarkan). Artinya Pemerintah
AS boleh saja membuat Family Smoking Protection and Tobacco Control Act, akan tetapi tidak
mengecualikan mentol dari zat kandungan rokok yang dilarang. Tindakan ini merupakan
proteksionisme secara diam-diam (disamarkan).
4.2. Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS)
SPS merupakan persetujuan dari hasil Uruguay Round. Perjanjian ini menyangkut penerapan
kebijakan sanitary dan phytosanitary yaitu Peraturan keamanan makanan dan keselamatan
tumbuhan dan hewan. Perjanjian ini mengakui bahwa pemerintah memiliki hak untuk mengambil
kebijakan tentang sanitary dan phytosanitary, namun dalam menerapkannya sejauh yang diperlukan
untuk melindungi kesehatan manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau kesehatan. Dalam
pelaksanaannya tidak boleh sewenang-wenang atau tidak dibenarkan melakukan diskriminasi antara
anggota dalam kondisi yang semua.
Anggota WTO perlu bersandarkan pada standar internasional alam menerapkan kebijakan sanitary
dan phytosanitary seluas mungkin, pedoman dan rekomendasi. Penerapan kebijakan standar yang
lebih yang lebih tinggi oleh suatu negara WTO, dapat dilakukan dengan syarat ada pembenaran
secara ilmiah.
Diharapkan bahwa anggota WTO akan menerima tindakan sanitary dan phytosanitary orang lain
sebagai setara jika negara pengekspor menunjukkan kepada negara pengimpor bahwa langkah-
langkah yang mencapai tingkat yang sesuai di negara pengimpor sesuai dengan perlindungan
kesehatan. Perjanjian tersebut memuat ketentuan pada kontrol, inspeksi dan prosedur persetujuan.
Mukadimah Agreement on The Application of Sanitary and Phitosanitary Measures menegaskan
kembali bahwa tidak ada anggota harus dicegah dari mengadopsi atau menegakkan langkah yang
diperlukan untuk melindungi manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau kesehatan, dengan syarat
bahwa tindakan tersebut tidak diterapkan dengan cara yang akan merupakan sarana diskriminasi
sewenangwenang.
Sesuai ketentuan dapat Pemerintah AS membuat Family Smoking Protection and Tobacco Control
Act dengan melarang penggunaan cengkih untuk rokok kretek, namun larangan yang sama harus
diberlakukan kepada mentol dalam kandungan zat rokok. Kenyataannya dalam undang-undang
tersebut kandungan cengkih dalam rokok dilarang sedangkan kandungan mentol tidak dilarang. Hal
ini berarti Family Smoking Protection and Tobacco Control Act bertentangan dengan Agreement on
Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS).
4.3. Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT)
Perjanjian ini memperluas dan memperjelas Persetujuan tentang Hambatan Teknis untuk
Perdagangan yang dicapai dalam Putaran Tokyo. Perjanjian berusaha untuk memastikan bahwa
negosiasi teknis dan standar, serta prosedur pengujian dan sertifikasi, tidak menciptakan hambatan
yang tidak perlu untuk berdagang. Namun, mengakui bahwa negara-negara memiliki hak untuk
membuat perlindungan, pada tingkat yang dianggap tepat misalnya untuk manusia, hewan atau
tumbuhan hidup atau kesehatan atau lingkungan, dan tidak harus dicegah dari mengambil langkah-
langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa mereka melakukan tingkat perlindungan yang
sesuai.
Perjanjian itu mendorong negara-negara untuk menggunakan standar internasional yang sesuai,
tetapi tidak mengharuskan untuk mengubah tingkat perlindungan sebagai akibat dari standarisasi.
Pemerintah AS dalam kasus ini tidak menggunakan standar internasional untuk menentukan
kandungan rokok, terbukti dengan masih memperbolehkan mentol dalam rokok produksi AS. Di lain
pihak melarang kandungan cenkih dalam rokok kretek, yang merugikan Pemerintah Indonesia. Hal
ini berarti Family Smoking Protection and Tobacco Control Act bertentangan dengan Agreement on
Technical Barriers to Trade (TBT).
Tindakan perlindungan warganya dari bahaya rokok harus mengacu pada Agreement on Technical
Barriers to Trade (TBT), bahwa teknis dan standar, serta prosedur pengujian dan sertifikasi, tidak
serta menciptakan hambatan yang tidak perlu untuk berdagang. Meskipun TBT mengakui bahwa
negaranegara memiliki hak untuk membuat perlindungan, pada tingkat yang dianggap tepat,
misalnya untuk manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau kesehatan atau lingkungan, dan tidak
harus dicegah dari mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa mereka
yang tingkat perlindungan yang sesuai. Oleh karena itu pihak Amerika perlu menggunakan standar
internasional mana yang sesuai, tetapi tidak membuat aturan aturan sendiri yang justru
menciptakan tindakan diskriminatif.
4.4. Agreement on Agriculture
Mukadimah Agreement on The Application of Sanitary and Phitosanitary Measures pada dasarnya
memperbolehkan negara anggota WTO melakukan upaya-upaya yang diperlukan untuk melindungi
manusia, hewan atau tumbuhan hidup atau kesehatan, dengan syarat bahwa tindakan tersebut tidak
diterapkan secara diskriminasi sewenang-wenang atau melindungi produksi dalam negeri dari
persaingan pasar dari produk asing.
Pasar negeri AS, rokok kretek produksi Indonesia mempunyai pangsa pasar yang sangat besar.
Pemerintah AS khawatir rokok kretek Indonesia yang mengandung cengkih menyaingi rokok
produksi AS.
Family Smoking Protection and Tobacco Control Act yang dikeluarkan Pemerintah AS ini melanggar
Agreement on The Application of Sanitary and Phitosanitary Measures. Hal ini disebabkan
dilatarbelakangi oleh persaingan pasar.
5. KESIMPULAN
Pemerintah AS dengan Family Smoking Protection and Tobacco Control Act-nya telah melakukan
tindakan diskriminasi yang terhadap Rokok Kretek Indonesia. Hal ini melanggar hukum WTO antara
lain: Prinsip umum WTO/GATT, yaitu Prinsip National treatment (Memperlakukan pihak asing dan
domestik secara sama) dan Pasal 20 dari Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT),
Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS), Agreement on Technical Barriers to Trade
(TBT) serta Agreement on Agriculture.

Anda mungkin juga menyukai