Maharani
NIM : 07041281722085
Di Era Globalisasi ini, Perdagangan internasional merupakan hal yang tidak dapat
dihindari lagi. Eratnya saling ketergantungan antarnegara melatarbelakangi terjadinya
pemasifan perdagangan internasional, hal ini juga didukung dengan adanya berbagai
kesepakatan perdagangan bebas. Walau demikian, pada kenyataannya perdagangan
internasional tidak lepas dari sengketa yang kerap timbul akibat adanya perbedaan
kepentingan dagang antar negara satu dan yang lain. Persoalan yang kerap
membumbui hubungan dagang salah satunya terkait dengan deskriminasi perdagangan
berupa perlakuan most favored nation dan/atau national treatment. Untuk mengatasi
berbagai konflik kepentingan yang menghambat lalu lintas perdagangan internasional
maka dibentuklah berbagai perjanjian multilateral guna mengantisipasi segala
kemungkinan yang dapat menghambat perdagangan internasional serta. Salah satu
perjanjian yang menatur lalu lintas perdagangan internasional adalah General
Agreement on Trade and Tariff (GATT).
Pada esai ini, penulis ingin memaparkan mengenai penyelesaian sengketa kasus
mobil nasional Timor yang sempat ramai diperbincangkan pada akhir tahun 1990-an.
Bagaimana pada awalnya Mobil Timor yang menjadi muara dari kebijakan industri
Otomotif Indonesia, kemudian apa yang menjadikan mobil Timor ini hadir sebagai
sebuah prestasi atau malah membawa pelanggaran Hukum Perdagangan Internasional,
dan bagaimana respon Indonesia setelah mendapat gugatan dari Jepang dan menerima
keputusan final dari GATT.
Kemudian apa yang menjadikan adanya mobil Timor ini sebagai masalah? Yang
pertama, Kebijakan pemerintah yang memberi hak istimewa bagi PT. TPN merupakan
salah satu strategi pemerintah untuk memproteksi pasar Mobil Timor agar tidak kalah
bersaing dengan produsen mobil dari luar negeri. Namun, Instrumen kebijakan
tersebut tentunya jelas merugikan pihak produsen mobil dari luar negeri yang
mengekspor produk otomotifnya ke dalam pasar Indonesia, dan dapat menciptakan
suatu iklim persaingan yang tidak sehat. Alih-alih dianggap sebagai pionir dalam
Kebijakan industri otomotif nasional, malah kebijakan yang dilakukan oleh Indonesia
tersebut dinilai telah melanggar prinsip ekonomi Internasional khususnya prinsip non
diskriminasi dan prinsip menahan diri untuk tidak merugikan orang lain akibat
kebijakan domestic suatu Negara.
Dalam hal ini, Jepang menjadi garda terdepan yang melaporkan kasus mobil
Timor sebagai mobil nasional Indonesia ke WTO. Pada 4 Oktober 1996, Jepang
mengajukan konsultasi dengan Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4
Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes
("DSU") terkait pasal-pasal yang menurut Jepang telah dilanggar Indonesia
diantaranya XXII:1 dari General Agreement on Tariffs and Trade 1994 ("GATT
1994") dan Pasal 8 dari the Agreement on Trade-Related Investment Measures (the
"TRIMs Agreement"). setelah itu, Jepang dan Indonesia menyelenggarakan konsultasi
yang diajukan Jepang tertanggal 4 Oktober 1996. Lalu pada 17 April 1997 Jepang
meminta untuk disusun suatu panel yang didasarkan pada Pasal 4.7dan 6.1 dalam DSU
terkait pelanggaran dalam Pasal XXIII:2 dalam GATT 1994, Pasal 8 TRIMs
Agreement; Pasal 30 SCM Agreement.
Masalah Mobil Nasional dibawa ke World Trade Organization oleh Jepang untuk
mengajukan keluhan mengenai mobil nasional ke WTO. Jepang menilai bahwa
kebijakan pemerintah tersebut sebagai wujud diskriminasi dan oleh karena itu
melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas.
Tuduhan Jepang tersebut terdiri atas tiga poin. Pertama, adanya perlakuan khusus
impor mobil dari KIA Motor Korea yang hanya memberi keuntungan pada satu
negara. Misalnya perlakuan bebas tarif masuk barang impor, yang melanggar pasal 10
peraturan GATT. Kedua, perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan
kepada produsen mobnas selama dua tahun. Ini melanggar pasal 3 ayat 2 peraturan
GATT. Dan ketiga, menghendaki perimbangan muatan lokal seperti insentif, (1)
mengizinkan pembebasan tarif impor, (2) membebaskan pajak barang mewah di
bawah program mobnas sesuai dengan pelanggaran dalam pasal 3 ayat 1 GATT, dan
pasal 3 kesepakatan perdagangan multilateral.
Atas dasar itu, Jepang melalui Kementrian Industri dan Perdagangan Internasional
(MITI) mengadukan Indonesia ke WTO. Maksudnya, agar masalah itu dapat
diselesaikan sesuai dengan kesepakatan perdagangan multilateral yang tercantum
dalam WTO.
Dalam GATT 1994 terdapat artikel yang melarang adanya peraturan- peraturan
investasi yang dapat menyebabkan terganggu dan terhambatnya kelancaran
terlaksananya perdagangan bebas antara Negara-negara di dunia sesuai dengan
prinsip-prinsip yang dianut WTO. Prinsip-Prinsip yang dianut WTO namun dilanggar
oleh Indonesia Yaitu :
a. Prinsip National Treatment Artikel III, paragraph 4 GATT 1994.
Dapat pula disimpulkan bahwa Kebijakan yang dilakukan secara mendadak, tidak
transparan, dan tidak konsisten akan menimbulkan ketidakpercayaan pada strategi
pembangunan yang pada jangka panjang akan mendorong ketidakpastian iklim
lingkungan usaha di Indonesia, dan jika terjadi suatu sengketa diantara negara-negara
yang tergabung di dalam WTO akan lebih efektif jika melakukan rangkaian konsultasi
diantara para pihak yang bersengketa karena didasarkan pada karakteristik hukum
internasional yang menjadi pedoman bertingkah laku dalam perdagangan internasional
yang berdaya laku kurang kuat sehingga suatu keputusan bersama akan lebih dipatuhi
oleh para pihak.
Secanggih apa pun kemampuan diplomasi ekonomi luar negri kita, pada akhirnya
keberhasilannya adalah fungsi dari kesiapan kita. Seandainya Indonesia menang, tetap
saja keberadaan mobnas tidak terlalu bermanfaat bagi perekonomian nasional. Jadi
sebenarnya, kita harus berterima kasih kepada Jepang karena mereka betul-betul
membawa kasus mobnas ke WTO. Dan WTO pun menyelesaikan kasus ini hingga tuntas.
Daftar Pustaka
World Trade Organization. 1998. Report of The Panel: Indonesia- Certain Measures
Affecting The Automobile Industry. PP 66.