Anda di halaman 1dari 18

ANALISA KASUS TENTANG GATT AGREEMENT : INDONESIA v.

JEPANG

( MOBIL TIMOR)

Oleh:

Sri Rahmawati R. 031511133032


Lavenia Nadya I. 031511133045
Puspita Gita Devi 031511133080
R. Taufan Adi P. 031511133090
Rama Surya Pradhipta 031511133148
Nanda Lanang S.Y. 031511133186
Fariz Rachman 031511133189
Ilma Hanifah 031511133211

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

C-1

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………

ABTRAK……………………………………………………………………………………...

BAB I:
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………….
1.1 LATAR BELAKANG…………………………………………………………....

BAB II: LEGAL ISSUE……………………………………………………………………...


2.1 KASUS POSISI…………………………………………………………………..
2.2 RUMUSAN MASALAH…………………………………………………………

BAB III:
ANALISIS…………………………………………………………………………………….

BAB IV:
PENUTUP…………………………………………………………………………………….
4.1 KESIMPULAN…………………………………………………………………...
4.2 SARAN……………………………………………………………………………

BLIBIOGRAPHY……………………………………………………………………………
ABSTRAK

World Trade Organization (WTO) sebagai satu-satunya badan internasional yang

mengatur perdagangan antarnegara. Menyadari fungsi dan urgensi perdagangan internasional

yang memiliki pengaruh terhadap perekenomian nasional dalam menghadapi era globalisasi

maka diadakannya perjanjian terkait perdagangan internasional yang disebut General

Agreement on Tariff and Trade (GATT). Dalam hal ini masih sering terjadi sengketa

antarnegara. Salah satu sengketa perdagangan internasional yang pernah dialami Indonesia

adalah terkait program Mobil Nasional. Indonesia diduga telah melanggar ketentuan

mengenai prinsip-prinsip dasar WTO. Dalam kasus ini yang menjadi fokus gugatan adalah

mengenai prinsip Most Favored Nation (MFN) dan National Treatment (NT). Adapun

beberapa negara yang merasa dirugikan dengan adanya kebijakan ini yakni Jepang, Uni

Eropa, dan Amerika Serikat. Indonesia sebagai negara pengimpor dinilai melanggar karena

telah melakukan diksriminasi kepada negara-negara tersebut yang merupakan produsen

mobil. Selain itu Indonesia diangggap melindungi produksi mobilnya sendiri agar menguasai

pasar otomotif dalam negeri sehingga jelas dengan adanya kebijakan tersebut akan

meningkatkan hambatan perdagangan.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam sebuah Negara, pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah capaian yang

menjadi prioritas utama. Guna menunjang pertumbuhan ekonomi nasional maka Negara

melakukan berbagai cara dan strategi ekonomi yang tepat dan pertumbuhan ekonomi tersebut

akan menjadi gambaran tingkat kesejahteraan dan kemakmuran bagi setiap warga Negaranya.

Perdagangan lintas batas merupakan salah satu jalan bagi Negara guna memenuhi

kebutuhan Nasional yang tidak dapat dipenuhi oleh hasil produksi Negara itu

sendiri.Perdagangan Internasional sendiri memiliki banyak manfaat, baik langsung maupun


tidak langsung. Manfaat langsung dari perdagangan Internasional diantaranya adalah dengan

adanya spesialisasi, yakni suatu Negara dapat mengekspor komoditi yang ia produksi untuk

dipertukarkan dengan apa yang dihasilkan Negara lain dengan biaya yang lebih rendah.

Negara akan memperoleh keuntungan secara langsung melalui kenaikan pendapatan Nasional

dan pada akhirnya akan menaikkan laju output dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan untuk

manfaat tidak langsung yakni Perdagangan Internasional membantu mempertukarkan

barang-barang yang mempunyai pertumbuhan rendah dengan barang-barang luar negeri yang

mempunyai kemampuan pertumbuhan yang tinggi.1

Sehubungan dengan perdagangan lintas batas, Kebijakan khusus merupakan hal yang

mutlak diperlukan mengingat dalam perdagangan internasional pasti terdapat berbagai

masalah yang kompleks dan juga dibutuhkan pertimbangan dalam segala aspek guna

mengambil kebijakan yang memberikan kepastian. Demi tercapainya hubungan perdagangan

internasional yang saling terintegrasi serta keinginan untuk mewujudkan pertumbuhan

perekonomian antar Negara maka dirasa perlu untuk menjembatani perbedaan kepentingan

tersebut.

Untuk menjembatani perbedaan kepentingan,maka dalam sistem ekonomi

internasional, negara-negara diakomodasi World Trade Organization (WTO), satu-satunya

badan internasional yang mengatur perdagangan antarnegara. WTO didirikan tahun 1995

melalui proses negosiasi Uruguay Round tahun 1986-1994 serta rangkaian perundingan

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sejak tahun 1948. WTO dibentuk untuk

mengimplementasi perjanjian-perjanjian dagang, sebagai forum negosiasi perdagangan,

menangani sengketa perdagangan, mengawasi kebijakan perdagangan nasional, memberi

bantuan teknis dan pelatihan bagi negara-negara berkembang serta kerjasama dengan

1
Athiah, Ramadhani Siregar 2010. Analisis faktor-faktor yang memperanguhi impor Indonesia. Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
organisasi internasional lain. Mengingat pentingnya perdagangan terhadap kepentingan

negara, maka terdapat berbagai selisih paham antar anggota WTO mengenai interpretasi serta

aplikasi peraturan-peraturan tersebut. Meski telah ada peraturan-peraturan hukum dalam hal

kerjasama ekonomi internasional, konflik kepentingan dan ketidaksepahaman yang berlanjut

menjadi sengketa antar negara tidak dapat dihindari. Negara-negara diharapkan menggunakan

di antara dua metode yang tersedia untuk menyelesaikan sengketa dengan didasari prinsip

penyelesaian sengketa secara damai, antara lain perundingan atau negosiasi diplomatik antara

negara-negara yang bersengketa (dengan tingkatan intervensi dan bantuan negara ketiga yang

beragam), dan sistem pengadilan oleh entitas yang independen (melalui arbitrase dan

penyelesaian di jalur hukum)2

WTO menyediakan sistem penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota

mengenai hak dan kewajiban mereka di bawah persetujuan-persetujuan WTO. World Trade

Organizations memiliki sistem untuk menyelesaikan sengketa diantara anggotanya yang

dalam banyak hal terbukti unik dan berhasil dan juga sistem ini terdapat dalam kesepakatan

WTO mengenai Penyelesaian Sengketa/WTO Dispute Settlement Understanding (DSU).

Menurut Pasal 3.7 Dispute Settlement Understanding (DSU), sasaran dan tujuan utama

sistem penyelesaian sengketa WTO adalah menjamin penyelesaian yang positif bagi suatu

sengketa dan sistem ini sangat cenderung menyelesaikan sengketa melalui konsultasi

daripada proses pengadilan. Berdasarkan Pasal 3.2 DSU, sistem penyelesaian sengketa WTO

bertujuan untukmemelihara hak dan kewajiban negara anggotanya berdasarkan ketentuan-

ketentuan yang terdapat di dalam lampiran-lampiran Persetujuan WTO (selanjutnya disebut:

covered agreement) dan sekaligus menjelaskan ketentuan-ketentuan tersebut. Sistem

penyelesaian sengketa WTO memainkan peranan penting dalam mengklarifikasi dan

penegakan kewajiban anggota WTO. Peranan penting ini dikarenakan adanya kepentingan-

2
Dyan F. D. Sitanggang, “POSISI, TANTANGAN, DAN PROSPEK BAGI INDONESIA DALAM SISTEM
PENYELESAIAN SENGKETA WTO”, Jurnal Perdagangan Internasional, Vol 3, No. 1, 2015
kepentingan disetiap negara anggota, sehingga dapat melindungi kepentingan yang akan

merugikan setiap negara anggota.

Pada tahun 1996, Indonesia mengalami sengketa dengan negara-negara anggota

WTO. Kasus yang melibatkan Indonesia dengan Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat ini

tentang permasalah Mobil Timor yang dalam aturannya terlalu menguntungkan beberapa

pihak saja dan Indonesia sendiri. Sehingga, Indonesia dibawa ke DSU untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Berdasarkan kasus tersebut maka dalam

makalah ini kelompok kami akan membahas lebih lanjut mengenai analisis terhadap kasus

Mobil Timor.

BAB II

LEGAL ISSUE

2.1 KASUS POSISI

Indonesia yang bergabung dengan World Trade Organization dengan meratifikasi

konvensi WTO melalui Undang-undang No. 7 tahun 1994 terikat dengan ketentuan General

Agreement on Tarrif and Trade. Kasus mengenai Mobil Nasional antara Indonesia yang

dituntut oleh Jepang, Amerika dan Uni Eropa. Kasus ini bermula dari inisiatif pemerintah

Indonesia dalam mendukung dan ingin meningkatkan industri mobil nasional, sehingga

pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai program mobil nasional dengan mengeluarkan

Inpers No. 2 Tahun 1996 mengenai program Mobil Nasional yang menunjuk PT Timor Putra

Nusantara (TPN) sebagai pionir dari proses produksi mobnas. Karena keterbatasan produksi
dalam negeri sehingga dikeluarkan Keppres No. 42 tahun 1996 yang mengizinkan PT TPN

untuk mengimpor mobnas dari Korea Selatan yang kemudian diberi merek “Timor”3.

Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan bagi PT TPN untuk diberikan hak istimewa berupa

pembebasan pajak barang mewah dan bea masuk barang impor.4

Hak pembebasan pajak barang mewah dan bebas bea masuk barang impor diberikan

kepada PT TPN dengan syarat menggunakan kandungan lokal hinggal 60 persen dalam tiga

tahun terakhir sejak mobnas pertama dibuat. Namun, bila penggunaan kandungan lokal yang

ditentukan secara bertahap yakni 20 persen pada tahun pertama dan 60 persen pada tahun

ketiga tidak terpenuhi, maka PT TPN harus menanggung beban pajak barang mewah dan bea

masuk barang impor. Kasus ini mengundang reaksi dari negara negara lain seperti Jepang,

Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa karena negara negara tersebut menguasai pasar

Indonesia. Kerap diupayakan pembentukan kesepakatan antar negara namun kesepakatan

tersebut belum berhasil karena bertolak belakang dengan keinginan masing masing negara.

Pada tanggal 4 Oktober 1996, Pemerintah Jepang mengadukan Indonesia ke WTO

berdasarkan pasal 22 ayat 1 GATT. Tuduhan tersebut berdasarkan tiga poin yakni: 5

1. Adanya perlakuan khusus impor mobil dari KIA Motor Korea berupa perlakuan

bebas tariff masuk barang impor yang hanya memberi keuntungan pada satu negara.

Perlakuan tersebut melanggar pasal 10 GATT

2. Perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen Mobnas

selama dua tahun. Perlakuan ini melanggar pasal 3 ayat 2 GATT.

3
https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/54r01.pdf, diakses pada tanggal 16 September 2018,
pukul 16:10, h.2.
4
Aurora Jillena Meliala, “Penyelesaian Sengketa Dalam Perdagangan Internasional: Studi Tentang
Sengketa Indonesia Versus Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang mengenai Mobil Nasional”, SKRIPSI, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2011, h. 27.
5
Ibid.
3. Perimbangan muatan lokal, pembebasan tarif impor, dan pembebasan pajak barang

mewah di bawah program mobnas merupakan pelanggaran dari pasal 3 ayat 1

GATT dan pasal 3 kesepakatan perdagangan multilateral.

Inti dari pengaduan tersebut adalah pemerintah Jepang ingin masalah sengketa Indonesia

diselesaikan sesuai dengan kesepakatan perdagangan multilateral sesuai dengan aturan yang

tercantum dalam WTO.

Indonesia sebagai anggota WTO harus tunduk pada prinsip prinsip dari WTO tersebut

yang mana dalam kasus ini Prinsip prinsip WTO yang dilanggar Indonesia adalah:

a. Prinsip National Treatment

Prinsip National Treatment article III, paragraph 4 GATT 1994 pada dasarnya

adalah keharusan suatu negara untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap

semua investor asing, kebijakan Mobil Nasional dianggap telah melanggar

ketentuan ini karena pemberian fasilitas penghapusan bea masuk dan penghapusan

pajak barang mewah hanya diberlakukan pada PT Timor Putra Nasional.

b. Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif, article XI paragraph 1 GATT 1994.

Pemerintah Indonesia dinilai telah melanggar ketentuan keharusan investor

menggunakan bahan baku, bahan setengah jadi, dan komponen dan suku cadang

produksi dalam negeri dalam proses produksi otomotif dalam negeri yaitu industri

otomotif Indonesia, ketentuan ini dikenal sebagai persyaratan kandungan lokal.

Berdasarkan ketentuan GATT yang diimplementasikan dalam aturan Trade Related

Investment Measures, kebijakan persyaratan kandungan lokal merupakan salah satu

kebijakan investasi yang harus dihapus karena menghalangi perdagangan

internasional, ketentuan kandungan lokal sebenarnya juga merupakan hambatan

perdagangan non tariff yang tidak dapat ditolelir.

2.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apakah Kebijakan Indonesia dalam hal ini merupakan tindakan diskriminasi terkait

penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang yang hanya diberlakukan

pada PT Timor Putra Nasional ?

2. Apakah kebijakan indonesia dalam menggunakan bahan baku, bahan setengah jadi,

dan komponen dan suku cadang produksi dalam negeri dalam proses produksi

otomotif dalam negeri merupakan hal yang melanggar Ketentuan GATT ?

BAB III

ANALISA KASUS

3.1 Prinsip Most Favoured Nation ( MFN ) dalam Kasus Mobil Timor

Prinsip Most Favoured Nations merupakan prinsip dasar (utama) WTO yang

menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar

nondiskriminatif, yakni semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua

negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan6 Prinsip ini diatur dalam

Pasal I ayat (1) GATT 1947, yang berjudul General Favoured Nation Treatment, merupakan

6
“GATT Dan WTO”, Sumber: http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/hubungan
internasional/gatt-dan-wto. Diakses tanggal 18 September pukul 21.00
prinsip Non Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara anggota WTO. Maksud dari

prinsip ini adalah apabila suatu negara pertama (pengimpor) memberikan kemudahan atau

fasilitas perdagangan internasional kepada negara kedua (pengekspor), maka kemudahan

serupa harus pula diberikan kepada negara ketiga, keempat, dan seterusnya (pengekspor

lainnya). Memang terdapat Pengecualian terhadap prinsip Most Favored Nations

(MFN),sebagaimana diatur Pasal XXIV GATT 1947, bahwa prinsip ini tidak berlaku:

1. Dalam hubungan ekonomi antara negara-negara anggota Free Trade Area/Customs

Union dengan negara-negara yang bukan anggota, misalnya antara negara anggota

AFTA (Indonesia) dengan India.

2. Dalam hubungan dagang antara negara-negara maju dengan Negara-negara

berkembang melalui GSP (Generalized System of Preferences) sejak tahun 1971).

Merujuk kepada kasus mobil Timor antara Indonesia dengan Jepang, Indonesia dinilai

melanggar ketentuan ini dikarenakan Indonesia sebagai negara pengimpor melakukan

diskriminasi kepada produsen mobil lain khususnya Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat

dengan cara membebaskan bea masuk kepada Korea Selatan saja karena Mobil Timor

sebagai rencana mobil nasional bekerjasama dengan produsen mobil Korea Selatan yaitu

KIA. Pembebasan bea masuk yang dilakukan Indonesia kepada Korea Selatan sebagai

produsen mobil Timor itu melanggar pada pasal 10 GATT Agreement tentang non tariff

measures dan juga melanggar pasal 1 GATT Agreement tentang MFN. Dalam GATT

Agreement dan juga dalam prinsip umum WTO, sebuah negara harus melakukan perlakuan

sama terkait perdagangan barang pada negara satu dan negara lain. Tindakan Indonesia ini

berimbas kepada adanya Trade Barrier atau hambatan perdagangan. Hambatan perdagangan

itu sendiri nantinya akan memperlambat terwujudnya tujuan dari WTO yang menginginkan

perdagangan internasional yang bebas dan adil. Penghapusan bea masuk barang dari Korea
Selatan itu dilakukan Indonesia dengan tujuan ingin membuat biaya produksi dan juga harga

Mobil Timor lebih murah di pasaran. Hal ini sangat merugikan investor lain yang bergerak

sama dibidang otomotif khususnya mobil. Ketika biaya produksi murah dan harga juga

murah di pasaran, nantinya terjadi tidak sehatnya persaingan pasar otomotif di Indonesia

yang juga merugikan pihak investor yang sudah ada sejak lama di Indonesia.

Tindakan pelanggaran prinsip MFN pada pasal 1 GATT yang dilakukan Indonesia akan

menimbulkan dampak buruk pada keuangan negara juga. Ketika Jepang, Amerika Serikat dan

Uni Eropa menang di DSU, Indonesia diwajibkan membayar kerugian perdagangan yang

diakibatkan oleh Indonesia itu sendiri. Pembayaran kerugian yang dilakukan Indonesia ini

merupakan penerapan prinsip retaliasi atau pembalasan oleh Amerika Serikat, Jepang, dan

Uni Eropa kepada Indonesia karena telah mengakibatkan kerugian pada bidang perdagangan

mobil.

3.2 Prinsip National Treatment atau Perlakuan Nasional

Prinsip National Treatment merupakan salah satu prinsip non discrimination dalam

GATT 1994. Prinsip ini tercantum dalam pasal III GATT 1994. Sebagai prinsip yang ada

dalam hukum perdagangan dunia, makna yang mendasari prinsip national treatment itu

sendiri tetap tidak terlepas dari makna yang mendasari prinsip national treatment dalam

hukum internasional,, yaitu prinsip yang membangun sebuah hubungan kewajiban dari

suatu ngara kepada WNA di dalam negeri. Berkenaan dengan hal ini, GATT mencantumkan

prinsip national treatment ke dalam pasal III ketentuannya yang mana diantarannya terdiri

dari 10 ayat yang saling berkorelasi antara satu dengan yang lainnya. Prinsip national

treatment yang diterapkan oleh GATT dalam hal ini, sesuai dengan bidang GATT itu

sendiri, berlaku bagi suatu barang atau produk sehingga prinsip national treatment dalam

GATT adalah lebih mengarah kepada perlakuan yang diberikan terhadap baik barang

produksi domestic atau dalam negeri dan terhadap barang produksi asing atau luar negeri.
Pasal III GATT tentang National Treatment pada dasarnya lebih mengarah kepada

bentuk tindakan yang dianggap bertentangan dengan prinsip national treatment. Pasal

III: I GATT berisi:

“The contracting parties recognize that internal taxes and other internal charges,

and laws, regulations and requirements affecting the internal sale, offering for sale,

purchase, transportation, distribution or use of products, and internal 26 quantitative

regulation requiring the mixture, processing or use of products in specified amounts

or proportions, should not be applied to imported or domestic products so as to

afford protection to domestic production.”

Prinsip National Treatment pada dasarnya adalah mengenai pemberian “perlakuan yang

sama”. Berkenaan dengan hal mendasar tersebut, “perlakuan yang sama” yang tersirat dalam

ketentuan pasal III:I GATT ditunjukan dalam bentuk memberikan perlindungan yang sama

atau setara terhadap produk domestic dan produk impor. Perlindungan yang sama ini

dilakukan dengan cara tidak melakukan tindakan tindakan internal baik terhadap produk

domestic dan atau pun terhadap produk impor sebagai jaaln atau dengan tujuan untuk lebih

memproteksi produk domestic itu sendiri.

Pasal III:2 GATT berisi:

“The products of the territory of any contracting party imported into the territory of

any other contracting party shall not be subject, directly or indirectly, to internal

taxes or other internal charges of any kind in excess of those applied, directly or

indirectly, to like domestic products. Moreover, no contracting party shall otherwise

apply internal taxes or other internal charges to imported or domestic products in a

manner contrary to the principles set fort in paragraph 1.”


Pasal III:2 GATT melengkapi ketentuan pasal III:I GATT sehubungan dengan

tindakan internal berupa pengenaan pajak dan biaya-biaya pungutan lain terhadap suatu

produk baik impor maupun domestic. Produk sejenis berdasarkan pasal III;2 GATT tidak

cukup hanya dipahami dengan pemahaman sebatas produk yang sama “secara fisik” saja.

“sejenis” yang dimaksudkan

Dalam kasus mobil Timor ini Indonesia sebagai negara produsen mobil Timor

dianggap telah melanggat prinsip National Treatment. Pemberian penghapusan pajak mobil

mewah kepada produsen mobil local dengan syarat memakai bahan-bahan dan suku cadang

dari dalam negeri sebesar 60 persen ini dinilai sebagai tindakan diskriminataif terhadap

produk otomotif import lain. Indonesia dituduh terkesan melindungi produk mobilnya sendiri

agar menguasai pasar otomotif dalam negeri dengan melakukan kebijakan pengapusan pajak

mewah tersebut. Dalam pasal 3 ayat 2 GATT, pemberian pajak dalam negeri harus diberikan

sema kepada produk domestic dan produk impor baik langsung maupun tidak langsung. Hal

ini jelas sekali melanggar prinsip National Treatment dan malah meningkatkan hambatan

perdagangan seperti pada pembahasan mengenai MFN diatas. Melindungi produk local itu

boleh apabila diperlukan dan penting namun harus diberitahukan kepada forum negara

naggota WTO dengan alasan yang jelas terkait pemberian perlindungan itu. Kebijakan

pemerintah Indonesia terkait pembebasan pajak dan juga terkait kandungan local itu bukan

lah merupakan tindakan pembenar sebagai alas an produk local bersaing dengan produk

import. Seharusnya upaya pemerintah terhadap produk local agar dapat bersaing denan

produk asing adalah dengan melakukan peningkatan standard dan juga kualitas mobil timor

itu.

Prinsip perlakuan nasional atau National treatment ini dapat di aplikasikan melalu

regulasi atau peraturan dari negara pengimpor sehingga dapat menimbulkan keadaan yang

seimbang antara produk local dan import. Untuk pemilihan barang local maupun impor itu
diserahakan kepada pasar yang dimana dalam hal ini adalah masyarakat konsumen produk

otomotif. Masyarakat atau konsumen ini yang memilih apakah kualitas barang impor dan

local ini bagus dan layak beli.

Pelanggaran terhadap prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment adalah

merupakan kesaslahan fatal. Dua prinsip itulah yang membentuk WTO sendiri dan membantu

terwujudnya tujuan perdagangan internasional yang bebas dan adil.

BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) GATT 1947 mengenai General Favoured Nation

Treatment, merupakan prinsip Non Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara

anggota WTO. Maksud dari prinsip ini adalah apabila suatu negara pertama (pengimpor)

memberikan kemudahan atau fasilitas perdagangan internasional kepada negara kedua

(pengekspor), maka kemudahan serupa harus pula diberikan kepada negara ketiga, keempat,
dan seterusnya (pengekspor lainnya). Berdasarkan kasus mobil Timor antara Indonesia

dengan Jepang, Indonesia dinilai melanggar ketentuan ini dikarenakan Indonesia sebagai

negara pengimpor melakukan diskriminasi kepada produsen mobil lain khususnya Jepang,

Uni Eropa, dan Amerika Serikat dengan cara membebaskan bea masuk kepada Korea Selatan

saja karena Mobil Timor sebagai rencana mobil nasional bekerjasama dengan produsen mobil

Korea Selatan yaitu KIA. Adanya perlakuan khusus impor mobil dari KIA Motor Korea

berupa perlakuan bebas tariff masuk barang impor yang hanya memberi keuntungan pada

satu negara. Perlakuan tersebut melanggar pasal 10 GATTAgreement tentang non tariff

measures dan juga melanggar pasal 1 GATT Agreement tentang MFN. Penghapusan bea

masuk barang dari Korea Selatan itu dilakukan Indonesia dengan tujuan ingin membuat biaya

produksi dan juga harga Mobil Timor lebih murah di pasaran.

Selain itu terhadap prinsip lain yakni mengenai National Treatment. National

Treatment pada dasarnya adalah mengenai pemberian “perlakuan yang sama”. Berkenaan

dengan hal mendasar tersebut, “perlakuan yang sama” yang tersirat dalam ketentuan pasal

III:I GATT ditunjukan dalam bentuk memberikan perlindungan yang sama atau setara

terhadap produk domestic dan produk impor. Perlindungan yang sama ini dilakukan dengan

cara tidak melakukan tindakan tindakan internal baik terhadap produk domestic dan atau pun

terhadap produk impor sebagai jaaln atau dengan tujuan untuk lebih memproteksi produk

domestic itu sendiri. Mengenai Pasal III:2 GATT melengkapi ketentuan Pasal III:I GATT

sehubungan dengan tindakaninternal berupa pengenaan pajak dan biaya-biaya pungutan lain

terhadap suatu produk baik impor maupun domestik. kebijakanMobil Nasional dianggap

telah melanggar ketentuan ini karena pemberian fasilitas penghapusan bea masuk dan

penghapusan pajak barang mewah hanya diberlakukan pada PT Timor Putra Nasional.

4.2 SARAN
Kami sebagai penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kata sempurna,
hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu kritik
dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan ke
depannya.
BLIBIOGRAPHY

JURNAL / ARTIKEL
- Athiah, Ramadhani Siregar, Analisis faktor-faktor yang memperanguhi impor Indonesia.

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.

- Dyan F. D. Sitanggang, “POSISI, TANTANGAN, DAN PROSPEK BAGI INDONESIA

DALAM SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA WTO”, Jurnal Perdagangan Internasional,

Vol 3, No. 1, 2015

- “GATT Dan WTO”, Sumber: http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-

makalah/hubungan internasional/gatt-dan-wto. Diakses tanggal 18 September 2018 pukul

21.00

Anda mungkin juga menyukai