Anda di halaman 1dari 10

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PUTUSAN MENGENAI PENYELUNDUPAN HUKUM ATAS


KEPEMILIKAN TANAH OLEH ORANG ASING DI INDONESIA
(Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 656 K/Pdt.Sus-Pailit/2013 )

Hukum Perdata Internasional

RAUSHAN ALJUFRI
1706048734

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
NOVEMBER 2019
I. Pendahuluan

Dalam Hukum Perdata Internasional, dikenal suatu konsep ‘Penyelundupan Hukum,’


yang merupakan suatu pengecualian terhadap berlakunya suatu hukum asing dalam Forum
Indonesia, jika terbukti bahwa seorang telah melakukan suatu hal untuk ‘menghidar’ suatu
akibat hukum atau mau membuat terjadi suatu hasil yang mungin akan diberikan oleh Hukum
Indonesia.
Penyelundupan hukum ini mempunyai hubungan yang erat dengan ketertiban umum.
Kedua-duanya bertujuan agar supaya hukum nasional sang hakim lex fori) yang dipakai
dengan mengesampingkan hukum asing, Kedua-duanya hendak mempertahankan dipakainya
lex fori terhadap kaidah- kaidah hukum asing.
Suatu bidang hukum Indonesia dimana masalah ini sering mucul adalah dalam bidang
Hukum Tanah, dimana UU Pokok Agraria Indonesia melarang seorang Warga Negara Asing
memiliki Hak Milik atas Tanah di Indonesia. Larangan ini tidak jarang memunculkan upaya
untuk WNA mencari cara untuk menghindar larangan atas tanah ini. Oleh sebab itu, saya
akan melakukan suatu Analisa terhadap perkara yang menjadi pertanyaan apakah suatu
tindakan merupakan penyelundupan hukum atau tidak dalam bidang Hukum Tanah, yaitu
perkara Putusan Mahkamah Agung No. 656 K/Pdt.Sus-Pailit/2013.

II. Kasus Posisi

Untuk analisis ini, saya menggunakan Putusan Mahkamah Agung No. 656 K/Pdt.Sus-
Pailit/2013, suatu perkara kepailitan, tetapi berhubungan erat dengan isu penyelundupan
hukum mengenai kepemilikan tanah oleh orang asing. Putusan ini merupakan suatu hasil kasasi
dari Putusan PN SURABAYA Nomor 21/Plw.Pailit/2013/PN.Niaga.Sby Tahun 2013. Putusan
tersebut pun merupakan perlawanan dari Penetapan Nomor 09/PAILIT/2013/PN.Niaga.sby,
suatu penetapan kepailitan oleh Pengadilan Negeri Surabaya.

a. Persona In Standi

Nama: Robert William Foreman


Warga Negara Asing (Irlandia) bertempat tinggal di 21 Second Avenue Baylands, Bangor,
Northern Ireland, Bt 20 5 JZ dalam perkara ini memberi kuasa kepada Markus Sajogo, SH.,
dan kawan-kawan, Para Advokad/Pengacara beralamat di Surabaya, Jalan Untung Suropati
64, Surabaya berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 25 Juli 2013, Pemohon Kasasi dahulu
Pelawan;

Terhadap

Nama: Albert Riyadi Suwono, SH.,M.Kn.,,


Kurator Dalam Perkara Nomor 09/Pailit/2013/PN. Niaga.Sby bertempat tinggal di Jalan
Bukit Pakis Timur Blok J No. 22 Surabaya ;

b. Kronologis Perkara
a. Kejadian-kejadian sebelum Perkara
1. Pelawan, Robert William Foreman, adalah seorang Warga Negara Irlandia yang
membangun suatu Villa di Bali (Villa Bala Dewa 2, Umalas 2, Jalan Bumbak Uang P.
Karimata, Kelurahan Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung,
Provinsi Bali.)
2. Karena Pelawan Pelawan tinggal di Irlandia, maka pembangunan villa mulai dari
pengurusan ijin, kontraktor, bahan-bahan dan semua yang berkaitan dengan villa,
diserahkan dan diurus oleh pihak lain, namun segala pembiayaan adalah dari Pelawan
sebagai pemilik Villa.
3. Tanah dimana Villa dibangun diatasnya tersebut dibeli oleh Pelawan, menggunakan
uang Pelawan, tetapi dilakukan atas nama seorang lain, yaitu Siti Ristati Isja Sadar,
S.H (Sertifikat Hak Milik Nomor 8766/Kelurahan Kerobokan).
4. Pelawan dan ST. Ristati Isja Sadar, SH membuat beberapa perjanjian didepan notaris,
yaitu:
a. Akta Nomor 73, perjanjian sewa menyewa tanah, akta yang dibuat secara
notariil dengan objek sewa sebidang tanah Sertifikat Hak Milik Nomor
8766/Kelurahan Kerobokan atas nama ST. Ristati Isja Sadar, SH., dan
bangunan yang akan didirikan oleh dan atas biaya pelawan;
b. Akta Nomor 74, pengakuan hutang dengan memakai jaminan, dalam akta
yang dibuai secara notariil tersebut ST. Ristati Isja Sadar, SH., mengakui telah
menerima pinjaman dari Pelawan sebesar Rp2.750.000.000.00. Nilai pinjaman
tersebut adalah nilai harga pembelian tanah yang dibeli oleh Pelawan dan atas
nama ST. Ristati Isja Sadar. Tanah kemudian "dijaminkan"" kepada Pelawan.
c. Akta Nomor 75, perjanjian pernyataan dan kuasa, dalam akta yang dibuat
secara notariil tersebut. ST. Ristati Isja Sadar. SH., mengakui bahwa uang
pembelian tanah serta bangunan adalah uang Pelawan, karenanya memberikan
kuasa yang tidak dapat dicabut kembali kepada Pelawan untuk melakukan
segala tindakan hukum terhadap tanah dan bangunan tersebut;
d. Akta Nomor 76, perjanjian kuasa menyewakan, akta yang dibuat secara
notariil tersebut memberikan hak kepada Pelawan untuk menyewakan tanah
dan bangunan yang akan didirikan tidak terkecuali disewakan kepada Pelawan
sendiri.
5. Dalam Pasal 10 Akta Nomor 74 tersebut, juga disepakati bahwa “Apabila kelak ada
perubahan peraturan perundang-undangan mengenai kepemilikan tanah bagi orang
asing, maka ST. Ristati Isja Sadar, SH., berjanji dan mengikat diri untuk membantu
Pelawan mengalihkan haknya kepada Pelawan.”
6. Sertifikat Hak Milik Nomer 8766/Kelurahan Kerobokan yang asli juga selalu berada
dan dipegang oleh Pelawan, sejak pembelian hingga saat perkara.
7. Beberapa waktu kemudian, atas kemauannya sendiri, ST. Ristati Isja Sadar, SH
mengajukan permohonan agar dinyatakan pailit melalui Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Surabaya, karena berhutang ke pihak-pihak lain.
8. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya, melalui Putusan No.
09/Pailit/2013/PN-Niaga.Sby. menyatakan ST. Ristati Isja Sadar, SH memang Pailit
dan menetapkan Albert Riyadi Suwono, SH.,M.Kn. (Terlawan) sebagai Kurator
dalam perkara.
9. Setelah itu, harta sebagaimana diuraikan dalam Sertifikat Hak Milik Nomer
8766/Kelurahan Kerobokan di serahkan secara sukarela untuk dijadikan ‘Harta Pailit’.
Harta tersebut lalu dicatat dan disegel.
10. Bahwa atas kejadian ini, Pelawan mengajukan perlawanan terhadap pelawan
mengenai penyegelan tersebut, karena Pelawan merasa bahwa dia adalah pemilik asli
dari aset tersebut, sehingga tidak bisa dijadikan Harta Pailit.

b. Perkara di tingkat Pengadilan Negeri Surabaya


11. Pelawan menggunakan Akta-akta yang sebelumnya telah disebut untuk menunjukkan
bahwa dia merupakan pemilik asli atas Villa dan Tanah tersebut. Selain itu, mengenai
status pelawan sebagai Warga Negara Asing, pelawan menggunakan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun
1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh
orang asing sebagai dasar hukum untuk kepemilikan pelawan.
12. Pelawan menuntut antara lain dalam petitum:
a. Menyatakan Pelawan adalah pemilik atas bangunan sebagaimana diuraikan
dalam Sertifikat Hak Milik Nomor 8766/Kelurahan Kerobokan;
b. Menyatakan sah dan mengikat Akta-Akta Nomor 73,74,75,76 antara Pelawan
dan ST. Ristati Isja Sadar,SH., yang dibuat dan ditandatangani di hadapan
Eddy Nyoman Winarta, SH., Notaris di kabupaten badung;
c. Menyatakan penyegelan atas objek sebagaimana tercantum dalam Penetapan
Nomor 09/PAILIT/2013/PN.Niaga Sby. tanggal 5 Juni 2013 di Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya tidak sah dan tidak berharga dan
memerintahkan Terlawan untuk mengangkat penyegelan tersebut;
d. Memerintahkan Terlawan untuk mengeluarkan dari harta pailit ST. Ristati Isja
Sadar, SH.
e. Dan lain lain;
13. Terhadap ini, Terlawan mengajukan beberapa Eksepsi, yaitu:
a. Bahwa gugatan obscuur liber karena tidak jelas atas dasar apa Pelawan
mengajukan hak atas tanah tersebut. Menurut Pasal 21 ayat (1) UU No.5
Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), hanya Warga Negara Indonesia
(WNI) dapat memiliki hak milik. Oleh sebab itu, tidak dimungkinkan untuk
Pelawan, sebagai Warga Negara Asing (WNA), untuk menjadi pemilik tanah
serta villa tersebut.
b. Mengenai Akta-Akta 73-76 dianggap oleh terlawan membingungkan, karena
pada suatu saat dia bertampil sebagai penyewa (Akta 73), pemilik hak
tanggungan (Akta 74), ataupun sebagai pemilik kuasa (Akta 75 dan 76) secara
sekaligus, sehingga tidak jelas.
14. Terlawan juga memberi Jawaban mengenai Dasar Hukum yang digunakan oleh
Pelawan sebagai dasar untuk seorang WNA menjadi pemilik tanah (Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996). Terlawan
mendalilkan bahwa Pasal 2 ayat (1) huruf c dalam peraturan tersebut hanya
membolehkan seorang WNA untuk “membeli atau membangun rumah diatas
tanah Hak Milik atau Hak Sewa Untuk Bangunan atas dasar perjanjian tertulis
dengan pemilik hak atas tanah yang Bersangkutan.” Namun, dalam Akta-akta
pelawan dengan ST. Ristati Isja Sadar, SH, hal ini tidak terlihat. Oleh sebab itu,
Terlawan mendalilkan bahwa Pelawan telah melakukan penyelundupan hukum untuk
memiliki tanah di Indonesia, walaupun hal tersebut sudah secara tegas dilarang di
Indonesia.
15. Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Surabaya memutus untuk menerima Eksepsi
Terlawan, dan untuk menolak gugatan Pelawan dalam keseluruhannya, dan
menghukum pelawan untuk membayar biaya perkara secara sepenuhnya.

c. Perkara di tingkat Mahkamah Agung


16. Dalam Memori Kasasi, Perlawan mendalilkan bahwa PN telah melakukan kesalahan
dalam menerapkan hukum. Pelawan mendalilkan bahwa walaupun pemilik Hak Milik
atas Tanah adalah ST. Ristati Isja Sadar, SH, bukan berarti bahwa dia juga merupakan
pemilik atas Villa yang dibangun diatasnya, karena dalam Hukum Indonesia dikenal
Asas Pemisahan Horizontal. Untuk villanya sendiri, milik oleh Pelawan, dan ini
diperbolehkan oleh Pasal 2 ayat (1) huruf c menggunakan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996. Selain itu, pelawan
mendalilkan bahwa walaupun harta pelawan digunakan untuk membeli tanah
sebagaimana diuraikan dalam Sertifikat Hak Milik Nomer 8766/Kelurahan
Kerobokan, bukan berarti dia telah melakukan penyelundupan hukum dan menjadi
pemiliknya, karena untuk tanahnya sendiri kepemilikan ada tetap di ST. Ristati Isja
Sadar, SH.
17. Mahkamah Agung setuju dengan dalil Pelawan dalam Memori Kasasi bahwa PN
Surabaya telah salah menerapkan hukum, dan setuju untuk membatalkan Putusan PN
Surabaya. Mahkamah Agung mengatakan bahwa PN tidak mempertimbangkan bukti
yang diberi oleh Pelawan yang menunjukkan dia adalah pemilik bangunan atas tanah,
walaupun bukan pemilik tanah, sehingga Villa tidak bisa dijadikan ‘harta pailit’.
Karena untuk tanah sendiri tetap menjadi pemilik ST. Ristati Isja Sadar, SH, maka
tidak terjadi penyelundupan hukum.

III. Isu-Isu Hukum Yang Dipermasalahkan

Dari Perkara ini, kita dapat menyimpulkan beberapa masalah hukum yang dapat dibahas
dan dilakukan diskusi lebih lanjut. Karena pembahasan dalam tulisan ini khusus membahas
permasalahan penyelundupan hukum berkaitan dengan kepemilikan tanah oleh orang asing,
saya tidak akan teralu membahas isu-isu mengenai hukum kepailitan yang muncul dalam
perkara ini.
Kita dapat melihat bahwa ada beberapa pertanyaan yang muncul dari perkara ini, yaitu:
1. Apakah Kepemilikan Perlawan (Robert William Foreman) atas bangunan Villa di
Bali sah dan dapat dipertegakkan?
2. Apakah Perjanjian dan upaya-upaya lain yang dilakukan oleh Robert William
Foreman dan ST. Ristati Isja Sadar, SH. Suatu penyelundupan hukum?
3. Apakah Mahkamah Agung benar dalam menerapkan hukum dalam putusan ini?

IV. Analisis

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia,


warga negara asing sama sekali tidak diperkenankan untuk memiliki tanah di
Indonesia dengan memegang sertifikat hak milik. Sebagaimana bunyi dari ketentuan
pasal . Pasal 21 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), hanya
Warga Negara Indonesia dapat memiliki hak milik.
Bagaimana dengan perkara ini? Pada awalnya ini, memang terlihat bahwa telah
terjadi suatu penyelundupan hukum. Suatu argumentasi memang dapat dibuat bahwa
Perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh Robert William Foreman dan ST. Ristati
Isja Sadar, SH. suatu penyelundupan hukum. Dengan perjanjian-perjanjian ini,
walaupun Pelawan bukan suatu pemilik tanah, dia telah dikuasakan dengan berbagai
hak yang dimiliki oleh seorang pemilih hak milik atas tanah.
Namun, perlu diingat bahwa kepemilikan Pelawan hanya terbatas pada Villa yang
berada di atas Tanah yang secara hukum dimiliki oleh ST. Ristati Isja Sadar, SH,
seorang WNI. Untuk kepemilikan Pelawan atas bangunan Villa, itu diperbolehkan
dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996, Pasal 2 Ayat 1
huruf c mengatakan bahwa “membeli atau membangun rumah di atas tanah Hak Milik
atau Hak Sewa Untuk Bangunan atas dasar perjanjian tertulis dengan pemilik hak atas
tanah yang bersangkutan.”
Kesalahan dalam Keputusan PN Surabaya adalah karena mereka mengasumsi
bahwa karena Sertifikat Hak Milik Nomer 8766/Kelurahan Kerobokan dibuat dengan
dan atas nama dan ST. Ristati Isja Sadar, SH, bahwa dia secara otomatis juga pemilik
dari Villa yang dibangunkan di atasnya. Walaupun demikian adalah sesuatu hal yang
wajar, akan tetap dalam Hukum Indonesia, dikenal adanya Asas Pemisahan
Horizontal. Belum tentu seorang pemilik tanah memiliki segala barang yang ada di
atasnya. Dan seperti sebelumnya telah dijelaskan, tidak ada larangan untuk pelawan
memiliki suatu rumah bangunan di atas tanah Hak Milik seorang WNI, selama ada
perjanjian dan mengikuti ketentuan-ketentuan lain yang ada di undang-undang.
Selanjutnya untuk validitas masing-masing akta yang dibuat antara Pelawan dan
ST, marilah kita melihat satu persatu perjanjian yang dibuat.
Akta 73 merupakan suatu perjanjian sewa-menyewa tanah. Dalam UU tidak
ada batasan mengenai sewa menyewa ataupun adanya larangan untuk WNA dapat
menyewa tanah dari seseorang lain. Yang dilarang oleh UU adalah dimilik Hak Milik
oleh Orang Asing. Namun, untuk sewa-menyewa, tidak ada masalah untuk seorang
WNA melakukan sewa menyewa tanah.
Bagaimana dengan surat kuasa yang telah dibuat antara Pelawan dan ST.
Ristati Isja Sadar, SH? Dengan surat kuasa tersebut, maka Pelawan dapat
melaksanakan banyak kewenangan yang seharusnya dimiliki oleh pemilik tanah.
Akan tetapi, suatu surat kuasa tidak identik dengan haknya sendiri. Ini karena
mengenai kuasa, ada banyak ketentuan yang berlaku sesuai Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, paling penting darinya adalah bahwa kuasa dapat ditarik oleh
pemberi kuasa kapan pun. Suatu surat kuasa tidak bisa dikonstruksikan sebagai suatu
upaya penyelundupan hukum, karena tidak bisa dipersamakan sama hak asli seorang
pemilik tanah.

V. Penutupan

Menurut saya, Mahkamah Agung telah benar dalam menerapkan hukum yang
ada. Walaupun perkara ini secara prima facie terlihat sebagai suatu perkara dimana
telah terjadi suatu penyelundupan hukum, sebenarnya tidak. Walaupun sepertinya
terlihat bahwa pelawan memang mencoba untuk memiliki hak milik atas tanah,
sesuatu hal yang terlarang, akan tetapi hal-hal yang dia telah peroleh tidaklah sama
dengan yang aslinya. Kepemilikan Pelawan atas Villa diperbolehkan oleh peraturan
perundang-undangan, dan Asas Pemisahan Horizontal memungkinkan bahwa seorang
pemilik bangunan tidaklah sama dengan pemilik Hak Milik atas Tanah. Oleh sebab
itu, maka perkara ini tidak termasuk dalam ‘penyelundupan hukum’. Ini juga karena
secara yuridis formal, tidak ada yang bertentangan dengan Hukum, dan tidak ada
penggunaan hukum asing untuk menghindar suatu akibat dari hukum Indonesia.
Daftar Pustaka

Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Buku IV. (Jakarta :PT Kinta
Djakarta). 1964
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang – Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jilid 1, Hukum Tanah Nasional, Jakarta: Djambatan,
Edisi Revisi 2007.

Anda mungkin juga menyukai