Anda di halaman 1dari 6

Nama: Raushan Aljufri

NPM: 1706048734
Kelas: Asas-asas Hukum Dagang A

Syarat Sah Perjanjian dan Implikasi Darinya

Dalam hukum Indonesia, suatu perjanjian tentu memiliki beberapa syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah, dan dapat dipertahankan oleh hakim
dalam suatu pengadilan. Syarat-syarat ini terkandung dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan bahwa semua perjanjian harus memenuhi 4
syarat, yaitu 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat
suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; dan 4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Namun sebenarnya, walaupun 4 syarat ini terlihat sederhana, mereka sebenarnya
menunjukkan beberapa prinsip-prinsip yang penting dan fundamental dalam hukum perikatan
dan perjanjian. Dalam paragraph-paragraf berikut ini, saya akan menjelaskan satu-per-satu
syarat ini, dan bagaimana syarat ini menunjukan prinsip-prinsip dalam hukum perjanjian.

I. KESEPAKATAN MEREKA YANG MENGIKATKAN DIRINYA

Suatu perjanjian melahirkan suatu hubungan hukum berupa hak dan kewajiban antar
subyek-subyek hukum. Seperti dikatakan dalam pasal 1338 KUHPer, suatu perjanjian berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak yang menyetujui suatu perjanjian (Pacta Sunt
Servanda). Oleh sebab itu, kesepakatan untuk masuk suatu perjanjian merupakan suatu hal
yang sangat penting. Ini sesuai dengan azas konsensualisme, yang mengatakan bahwa suatu
perjanjian lahir atas kesepakatan para pihak untuk masuk dalam perjanjian.1
Walaupun dalam hukum Indonesia tidak dijelaskan secara khusus bagaimana suatu
kesepakatan dapat ditentukan lahir, kita dapat melihat bagaimana beberapa sistem hukum lain
menentukan kapan suatu kesepakatan itu lahir. Sebagai contoh, dalam negara-negara Common
Law, mereka menggunakan model offer-acceptance.
Dalam model ini, suatu perjanjian diawali dengan suatu penawaran (offer), dimana
suatu pihak memberi suatu penawaran dengan menjelaskan terms of condition. Jika pihak yang
lain menyetujuinya, maka dia dapat memberi penerimaan (acceptence). Jika dalam negosiasi,
suatu pihak memberi suatu penawaran, dan pihak lain mengininginkan beberapa perubahan
dalam isi perjanjian, maka hukum mengganggap itu sebagai suatu penawaran baru (Counter-
offer), yang harus diterima terlebih dahulu oleh pihak lawan sebelum perjanjian lahir. Dalam

1
Prof. Subekti, S.H., “Hukum Perjanjian”, Hlm. 15
Nama: Raushan Aljufri
NPM: 1706048734
Kelas: Asas-asas Hukum Dagang A

negosiasi suatu perjanjian, sangat mungkin terjadi berbagai offer dan counter-offer antar para
pihak sebelum salah satu pihak menerima. Saat suatu penawaran dan penerimaan bertemu, dan
para pihak sepakat (Meeting of the minds), maka perjanjian dianggap telah lahir.2
Lalu, karena kepentingan kesepakatan dan asas konsensualisme dalam kontrak, jika
dalam suatu perjanjian ada unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan, suatu perjanjian dapat
dibatalkan oleh pihak yang rugik. Pasal 1321 KUHPer mengatakan “Tiada suatu persetujuan
pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan
atau penipuan.” Hal-hal ini dapat mengakibatkan suatu perjanjian dapat dibatalkan karena
hukum menganggap tidak ada kesepakatan nyata antar para pihak jika hal-hal ini terjadi saat
pembuatan kontrak.
Sebelum kita lebih lanjut perlu diperjelaskan apa arti dari kekhilafan, paksaan, dan
penipuan:
a. Kekhilafan
Kekhilafan terjadi saat salah satu pihak khilaf, atau memberikan suatu perkataan palsu,
mengenai hal-hal pokok dalam suatu perjanjian atau mengenai sifat penting dari barang pokok
objek yang diperjanjikan.3 Namun, belum tentu semua kehilafaan memberi hak bagi pihak yang
rugi untuk membatalkan perjanjian. Pasal 1322 menjelaskan bahwa suatu kekhilafaan harus
berhubungan dengan hal-hal pokok objek perjanjian, atau mengenai salah satu pihak saat
identitas orangnya penting untuk objek perjanjian, untuk memberi hak bagi pihak yang rugi
untuk membatalkan kontrak.
Artinya apa dari pasal ini? Artinya, untuk seseorang dapat hak membatalkan perjanjian,
kekhilafan yang terjadi harus sedemikian rupa sehingga seandainya pihak lawan tidak khilaf,
orang tersebut tidak akan masuk perjanjian yang telah ada.4 Ini karena hukum menggangap
bahwa jika fakta mengenai objek perjanjian ternyata tidak benar, maka belum tentu para pihak
akan memberikan persetujuan,
b. Paksaan
Dalam Pasal 1324, dijelaskan bahwa paksaan terjadi jika tindakan suatu pihak (mau pihak
lawan perjanjian ataupun pihak ke-tiga) memaksa seseorang menyetujui suatu perjanjian
“sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang
yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar

2
Agus Sardjono et al. Pengantar Hukum Dagang, Hlm.10
3
Prof. Subekti, S.H., “Hukum Perjanjian”, Hlm. 23-24
4
Ibid. hlm. 24
Nama: Raushan Aljufri
NPM: 1706048734
Kelas: Asas-asas Hukum Dagang A

dalam waktu dekat.” Dalam Pasal 1325, dijelaskan ancaman tersebut tidak harus ditujukan
kepada pihak yang dipaksa menyetujui, tapi juga bisa tujukan “terhadap suami atau istri atau
keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah.” Namun, menurut Subekti, untuk suatu
hal dikatakan sebagai ‘paksaan’ dalam arti ini, tindakan tersebut harus ada unsur melawan
hukum. Paksaan tersebut harus suatu hal yang dilarang oleh Undang-Undang. (Sebagai contoh,
takut dianiyaya atau rahasia dibuka jika tidak menyetujui perjanjian). Akan tetapi, jika yang
menjadi ancaman adalah suatu hal yang diperbolehkan dalam Undang-undang (Contoh,
ancaman akan menuntut jika tidak menyetujui suatu perjanjian), menurut Subekti, bukan
merupakan ‘paksaan’.5
Dalam Pasal 1323, dijelaskan bahwa suatu perjanjian yang diadakan dengan paksaan akan
mengakibatkan perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Ini karena hukum mengganggap bahwa
seseorang masuk suatu perjanjian karena paksaan luar, maka sebenarnya tidak ada kesepakatan
untuk masuk perjanjian tersebut. Namun, perlu diperhatikan kata “waktu dekat” dalam pasal
1324. Ini menunjukan bahwa suatu paksaan itu harus terjadi dalam waktu dekat dengan
pembuatan perjanjian agar seseorang dapat membatalkan. Pasal 1327 menjelaskan lebih lanjut
bahwa jika suatu perjanjian dipersetujukan karena suatu paksaan, lalu, setelah paksaan
berhenti, perjanjian tersebut dibenarkan secara tegas ataupun diam-diam, maka perjanjian tidak
dapat dibatalkan lagi. Ini karena dengan pembenaran tersebut, hukum mengganggap bahwa
orang tersebut sudah memberi kesepakatan yang sah terhadap perjanjian, dan oleh sebab itu,
sudah mengikat dan sah.
c. Penipuan
Penipuan sendiri sebenarnya mirip kekhilafaan, tetapi ada perbedaan mendasar antar dua
hal tersebut. Untuk tejadi kekhilafaan, cukup bahwa salah satu pihak memberikan keterangan
tidak benar mengenai hal-hal pokok perjanjian, mau itu dengan sengaja atau tidak. Namun,
penipuan terjadi saat satu pihak dengan sengaja memberikan rangkaian-rangkaian kebohongan
untuk membujuk pihak lawan untuk memberi persetujuannya untuk masuk perjanjian.6 Pasal
1328 menjelaskan bahwa penipuan tersebut harus sedemikian rupa sehingga terlihat bahwa
pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Lalu,
yurisprudensi menjelaskan bahwa tidak cukup untuk kebohongan mengenai satu hal saja,
melainkan, harus ada ‘serangkaian kebohongan’.7 Mirip dengan kekhilafan, penipuan

5
Ibid. hlm. 23
6
Ibid. hlm. 24
7
Ibid.
Nama: Raushan Aljufri
NPM: 1706048734
Kelas: Asas-asas Hukum Dagang A

mengakibatkan hukum menganggap bahwa seseorang tidak benar-benar memberikan


persetujuan jika persetujuan diberikan karena penipuan.

II. KECAKAPAN UNTUK MEMBUAT SUATU PERIKATAN


Asas konsensualisme memerlukan bahwa seseorang menyetujui dengan bebas bahwa
mereka akan memasuki suatu hubungan hukum sebelum suatu perjanjian bisa lahir. Namun,
apa yang terjadi jika seorang menyetujui, tetapi mereka sebenarnya tidak dapat mengerti apa
perbuatan yang mereka telah melakukan? Karena kemungkinan itu, hukum juga memerlukan
bahwa seseorang benar-benar cakap atau memiliki cukup kemampuan untuk benar-benar
menghendaki dan dapat bertanggung-jawab atas perbuatan membuat perjanjian. Tidak adil
untuk seorang yang tidak mengerti dampak perbuatannya terikat perjanjian. Ini karena dalam
suatu perjanjian, seorang mempertaruhkan harta-kekayaan mereka sendiri, sehingga penting
bahwa mereka berhak bebas untuk melakukan hal tersebut.8
Pada asasnya, semua orang dewasa dan sehat akal dianggap berwewenang untuk membuat
perjanjian. Pasal 1329 menjelaskan bahwa “Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan,
kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.” Pasal 1330 menjelaskan bahwa ada tiga
katagori orang yang tidak cakap hukum, yaitu:
1. Anak yang belum dewasa
2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada
umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan
tertentu
Namun, mengenai perempuan yang telah kawin, ketentuan tersebut sudah tidak berlaku
lagi, sebab sudah dicabut ketentuannya dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963.9
Pasal 1331 menjelaskan bahwa jika seorang yang tidak cakap membuat perjanjian, maka
perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang tidak cakap. Jika seseorang cakap
memasukan dalam perjanjian dengan orang tidak cakap, hanya orang yang tidak cakap tersebut
berhak membatalkan perjanjian. Orang yang cakap tersebut dianggap sudah memiliki
kemampuan untuk mengerti dampat perbuatannya, dan oleh sebab itu, tidak dapat
membatalkan perjanjian, walaupun pihak lawan tidak cakap.

8
Ibid. hlm. 16
9
Ibid. hlm. 19
Nama: Raushan Aljufri
NPM: 1706048734
Kelas: Asas-asas Hukum Dagang A

Kecakapan akan tetapi bukan suatu hal yang hanya penting dalam membahas perseorangan,
tetapi juga penting saat bahas mengenai badan hukum. Suatu badan hukum, sebagai subyek
hukum, juga memiliki kemampuan untuk mengikatkan diri ke dalam perjanjian. Oleh sebab
itu, jika suatu badan hukum ingin memasuk ke dalam perjanjian, maka persetujuan harus
dilakukan oleh orang yang cakap, dalam arti seorang yang memiliki kewenangan untuk
mengikatkan suatu badan hukum dalam perjanjian. Jika orang yang tidak memiliki
kewenangan membuat perjanjian atas nama suatu badan hukum, maka perjanjian itu juga dapat
dibatalkan, karena orang tersebut tidak cakap untuk membuat perjanjian, karena dia tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan tersebut. Perbuatan dia dianggap Ultra
Vires, atau dilakukan tanpa wewenang.10

III. SUATU POKOK PERSOALAN TERTENTU


Tentu, untuk suatu perjanjian dapat menjadi sah dan dapat dipertahankan oleh suatu
pengadilan, harus juga memenuhi syarat ketiga, yaitu “suatu pokok persoalan tertentu”. Ini
berarti bahwa suatu perjanjian harus jelas apa yang di perjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua
belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Pada asasnya, suatu perjanjian mengikat sebagai
undang-undang bagi para pihaknya, dan oleh sebab itu, harus jelas apa yang menjadi pokok
perjanjian. Sebagai contoh, dalam perjanjian jual-beli, jika suatu perjanjian menjanjikan
“panen tembakau dari suatu lading dalam tahun yang akan datang” merupakan sesuatu hal
yang sah, tetapi jika di perjanjikan “teh untuk seratus rupiah” tanpa penjelasan lebih lanjut,
maka tidak jelas hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian, dan oleh sebab itu, kurang
jelas untuk dipertahankan.11
Pasal 1332 mengatakan bahwa hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang
dapat menjadi pokok persetujuan. Sesuai pasal 499, barang adalah tiap benda dan tiap hak yang
dapat menjadi obyek dari hak milik. Namun, pada perkembangannya, objek tidak hanya
mengenai benda, tetapi juga jasa seperti pemborongan pekerjaan dan jasa-jasa lain diluar
ketentuan KUHPer, sesuai pasal 1601. 12
Syarat ini menjadi syarat objektif, suatu syarat yang ada dalam perjanjian sendiri.
Seandainya syarat ini tidak ada dalam suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut akan batal
demi hukum (Null and Void). Hukum akan menganggap bahwa perjanjian tersebut memang

10
Agus Sardjono et al. Pengantar Hukum Dagang, Hlm.17
11
Prof. Subekti, S.H., “Hukum Perjanjian”, Hlm. 19
12
Agus Sardjono et al. Pengantar Hukum Dagang, Hlm.17
Nama: Raushan Aljufri
NPM: 1706048734
Kelas: Asas-asas Hukum Dagang A

tidak pernah lahir pada awalnya. Jika perkara dibawa ke dalam pengadilan atas suatu perjanjian
batal demi hukum, Hakim akan menolak perkara, dengan dasar bahwa hukum tidak melihat
bahwa suatu perjanjian pernah lahir pada awalnya.13

IV. SUATU SEBAB YANG TIDAK TERLARANG


Syarat terakhir dalam suatu perjanjian yang harus terpenuhi adalah “suatu sebab yang
tidak terlarang.” Suatu perjanjian tidak menjadikan suatu hal terlarang sebagai objek pokok
suatu perjanjian. Pasal 1337 mengatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu
dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan
ketertiban umum.” Ini berarti bahwa suatu perjanjian tidak boleh berisi dengan hal yang
terlarang oleh ketentuan UU, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Oleh sebab itu, perjanjian-perjanjian untuk menjual narkoba, memberi jasa debt
collector, atau memberi pelayanan seksual semua tidak dapat dipertahankan oleh hukum, dan
otomatis batal demi hukum sesuai dengan pasal 1335.14
Seperti syarat ketiga suatu perjanjian, syarat ke-empat ini juga menjadi suatu syarat
objektif, sehingga jika tidak terpenuhi, hukum akan menganggap bahwa suatu perjanjian tidak
pernah lahir pada awalnya.15

PENUTUPAN
Seperti terlihat, syarat-syarat sahnya perjanjian dalam KUHPer merupakan sesuatu hal
yang penting dalam perbuatan perjanjian. Syarat-syarat ini menjadi refleksi asas-asas hukum
perjanjian, seperti asas konsensualisme atau Pacta Sunt Servanda. Jika syarat-syarat ini semua
terpenuhi, maka suatu perjanjian akan lahir, dan jika tidak diikuti, maka suatu pihak dapat
diminta pertanggungjawaban. Semoga penjelasan ini cukup jelas dan dapat memberi manfaat.

13
Prof. Subekti, S.H., “Hukum Perjanjian”, Hlm. 20
14
Agus Sardjono et al. Pengantar Hukum Dagang, Hlm.18
15
Prof. Subekti, S.H., “Hukum Perjanjian”, Hlm. 20

Anda mungkin juga menyukai