Anda di halaman 1dari 20

Penerapan Pasal 5 Ayat 2 Berne Convention on the Protection of Literary and

Artistic Works: Hukum yang Berlaku dalam Perkara Pelanggaran Hak Cipta

Raushan Aljufri1 dan Tiurma M.P. Allagan2

1. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia


2. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

E-Mail: raushan.aljufri@ui.ac.id
tiurma@ui.ac.id

Abstrak

Isu ketentuan mengenai hukum yang berlaku dalam sengketa pelanggaran hak cipta belum
banyak didiskusikan di Indonesia, meskipun isu ini menjadi semakin penting dalam era
digital modern. Penelitian ini menganalisa ketentuan-ketentuan tentang hukum yang
berlaku dalam pelanggaran hak cipta di Indonesia, dengan memperhatikan semua norma
hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia yang berhubungan. Pertama,
penelitian ini mengkaji ketentuan mengenai hukum yang berlaku dalam pasal 5 paragraf
(2) Konvensi Berne dengan memperhatikan pendapat para pakar hukum serta berbagai
praktek negara-negara lain. Lalu, penelitian ini mengkaji ketentuan-ketentuan mengenai
hukum yang berlaku dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta, dengan memperhatikan pendapat pakar hukum Indonesia serta yurisprudensi
Pengadilan Indonesia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa walaupun terdapat perdebatan
tentang penafsiran yang tepat dari pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, pendapat yang paling
diterima secara internasional adalah pendapat bahwa ketentuan tersebut mengharuskan
penggunaan hukum dari negara untuk mana perlindungan diminta (lex loci protectionis)
saat menangani perkara pelanggaran hak cipta. Di sisi lain, praktisi hukum Indonesia
cenderung menggunakan lex fori dibandingkan lex loci protectionis.

Kata kunci: Hak Cipta, Hukum yang Berlaku, Konvensi Berne

Abstract

The issue of the applicable law in international copyright infringement disputes has to this
day received little discussion in Indonesia, despite the increasing importance of this issue
in the modern digital age. This study analyses the rules regarding the applicable law that
may currently apply to copyright infringement in Indonesia, by examining all relevant
norms of international law as well as Indonesian national law. First, this study examined
the provisions regarding the applicable law in article 5 paragraph (2) of the Berne
Convention, considering the opinions of legal scholars and the various practices of states.
Then, this study examined the provisions regarding the applicable law in article 2 of Law
No. 28 of 2014, considering the opinions of Indonesian legal scholars and the precedent
of Indonesian courts. The study concludes that while there is some debate about the
interpretation of article 5 paragraph (2) of the Berne Convention, the prevailing view
internationally is that it requires the use of the law of the state for which protection is
claimed (lex loci protectionis) when dealing with copyright infringement. On the other
hand, it appears that Indonesian legal practitioners tend to apply the lex fori as opposed to
the lex loci protectionis.

Key words: Applicable Law, Berne Convention, Copyright

Pendahulan

Pelanggaran hak cipta yang marak terjadi telah menimbulkan persoalan Hukum Perdata
Internasional (“HPI”). Hal ini membutuhkan perhatian khusus. Persoalan HPI yang timbul pada
pokoknya berkaitan dengan kesulitan dalam menentukan hukum yang berlaku dalam perkara-
perkara tersebut.1 Suatu ilustrasi singkat dari persoalan-persoalan HPI yang dapat muncul dari
perkara-perkara macam tersebut dapat dilihat dari fakta-fakta dalam kasus The Institute for
Motivational Living, Inc. melawan Didik Mulato.2
Dalam perkara tersebut, seseorang yang tinggal di Indonesia memperbanyak beberapa buku
dan program komputer yang diciptakan dan dimiliki oleh suatu perusahaan Amerika Serikat
tanpa izin dari pemilik, lalu mengunduhkah ke suatu situs di Internet. Oleh sebab itu, maka
pemilik materi ciptaan menggugat pengunggah materi tersebut di Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat.3 Dalam kasus tersebut, hukum negara manakah yang berlaku dalam perkara? Apakah
hukum dari tempat dimana pelanggaran terjadi, hukum dari negara asal hak cipta, atau hukum
dari forum yang mengadili?
Saat ini di Indonesia belum banyak diskusi mengenai bagaimana cara-cara menyelesaikan
perkara seperti di contoh tersebut. Seandainya perkara semacam itu terjadi di Indonesia.
Kusumadara menjelaskan bahwa dalam peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai Hak
Kekayaan Intelektual (“HAKI”), tidak ada ketentuan HPI yang secara khusus mengatur tentang
hukum yang berlaku terhadap isu-isu HAKI dengan unsur asing.4 Ketentuan-ketentuan yang ada
1
Ada beberapa doktrin mengenai ruang lingkup bidang HPI, namun semua konsepsi HPI mengakui bahwa
isu mengenai hukum yang berlaku (“applicable law” atau “choice of law”) merupakan bagian dari bidang HPI,
seperti di Jerman, Belanda, Inggris, Italia, Spanyol, Perancis, Indonesia, dan lain-lain, Lihat Zulfa Djoko Basuki et
al., Hukum Perdata Internasional, ed.1, cet. 1 (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2014), hlm. 1.40-1.41.
2
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 736 K/Pdt.Sus/2011
3
Ibid. hlm. 1- 7
4
Afifah Kusumadara et al., Indonesian Private International Law, (Oxford: Hart Publishing, 2021), hlm.
137 “Indonesian intellectual property law does not contain any specific choice-of-law provisions concerning the law
applicable to intellectual property involving foreign elements.”
dalam hukum nasional, seperti yang ditemukan dalam pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”), 5 tidak sebegitu jelas atau mudah untuk ditafsirkan.
Namun, jika Hakim mencari norma-norma hukum internasional, Hakim Indonesia dapat
menemukan sesuatu norma yang sepertinya memberi jawaban terhadap perkara ini, yaitu pasal 5
ayat (2) dari Berne Convention on the Protection of Literary And Artistic Works (“Konvensi
Berne”).
Konvensi Berne adalah perjanjian internasional utama yang mengatur dan memberi
perlindungan atas karya-karya dan hak-hak bagi para penciptanya.6 Perjanjian tersebut juga
mengikat Indonesia, yang meratifikasi perjanjian tersebut dan menjadi negara pihak pada tahun
1997 melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997.7 Bagian yang menjadi penting dalam
Konvensi Berne untuk isu hukum yang berlaku adalah Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa:
The enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject to any formality; such
enjoyment and such exercise shall be independent of the existence of protection in the
country of origin of the work. Consequently, apart from the provisions of this Convention,
the extent of protection, as well as the means of redress afforded to the author to protect
his rights, shall be governed exclusively by the laws of the country where protection is
claimed.8

Pasal ini sebenarnya mengatur banyak aspek dari perlindungan hak cipta dalam tingkat
internasional. Namun, yang akan menjadi fokus dan objek dari penelitian ini adalah klausula
terakhir dari pasal tersebut, yaitu klausula yang menyatakan bahwa “…the extent of protection,
as well as the means of redress afforded to the author to protect his rights, shall be governed
exclusively by the laws of the country where protection is claimed.”
Masalahnya, melihat literatur di dunia mengenai pasal ini, sepertinya persoalan belum
selesai, sebab pasal ini masih ambigu dan multi-tafsir. Antonelli menjelaskan bahwa pasal
tersebut dapat ditafsirkan berbagai cara. Ketentuan tersebut dapat digunakan untuk mendukung
penafsiran lex fori (hukum yang berlaku adalah hukum dari negara forum yang menangani suatu
5
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun 2014, LN. 266 Tahun 2014, TLN No. 5599, Ps.
2
6
World Intellectual Property Organization, “Berne Convention on the Protection of Literary and Artistic
Works,” https://www.wipo.int/treaties/en/ip/berne/, diakses 14 Januari 2022
7
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pengesahan Berne Convention on the Protection of Literary and
Artistic Work, Keppres No. 18 Tahun 1997.
8
World Intellectual Property Organization, Paris Act relating to the Berne Convention on the Protection of
Literary and Artistic Works, UNTS 1161 (1972), hlm. 3, Ps. 5 ayat (2)
perkara), lex origianis (hukum yang berlaku adalah hukum dari negara asal hak cipta.) dan lex
loci delicti (hukum dari negara dimana pelanggaran hak cipta terjadi). 9 Oleh sebab itu, Austin
sempat menyatakan bahwa “The meaning of this article is notoriously elusive.”10 Akan tetapi,
walaupun demikian, negara-negara lain sudah memiliki berbagai praktek mengenai penafsiran
dan penggunaan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne dan bagaimana menemukan hukum
yang berlaku dalam pelanggaran hak cipta.
Untuk memperparah masalah, di Indonesia terdapat juga ketentuan-ketentuan dalam UU
Hak Cipta yang mempersulit penafsiran mengenai asas-asas tentang hukum yang berlaku yang
tepat digunakan oleh seorang hakim Indonesia, seperti sebelumnya telah disebut. Hal ini terlihat
dalam Pasal 2 UU Hak Cipta yang menyatakan bahwa UU Hak Cipta juga berlaku terhadap hak
cipta asing dengan syarat-syarat tertentu. 11 Yang menjadi masalah, dengan menyatakan hal
tersebut, apakah ketentuan pasal ini berupa suatu ketentuan mengenai hukum yang berlaku yang
mewajibkan penggunaan hukum Indonesia saat pengadilan Indonesia melindungi hak cipta
asing? Atau apakah pasal ini tidak ada hubungan sama sekali dengan isu-isu tentang hukum yang
berlaku yang mungkin muncul dalam suatu perkara pelanggaran hak cipta? Bagaimana ketentuan
Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne berinteraksi dengan pasal UU Hak Cipta tersebut? Ketentuan-
ketentuan seperti ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru yang sulit dijawab dan membuat
mencari asas-asas mengenai hukum yang berlaku bagi pelanggaran hak cipta semakin sulit untuk
ditemukan.
Dalam penelitian ini, Penulis akan mempelajari bagaimana penerapan asas-asas tentang
hukum yang berlaku dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne dalam perkara pelanggaran hak

9
Andrea Antonelli, “Applicable Law Aspects of Copyright Infringement on The Internet: What Principles
Should Apply?” Singapore Journal of Legal Studies (Juli 2003), hlm. 150-152
10
Graeme B. Dinwoodie, “Developing a Private International Intellectual Property Law: The Demise of
Territoriality?” William & Mary Law Review 51 No. 2, Art. 12 (2009), hlm. 718
11
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 2 “Undang-Undang ini berlaku terhadap:…b. semua
Ciptaan dan produk Hak Terkait bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum
Indonesia yang untuk pertama kali dilakukan Pengumuman di Indonesia; c. semua Ciptaan dan/atau produk Hak
Terkait dan pengguna Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk
Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia dengan ketentuan: 1. negaranya mempunyai perjanjian bilateral
dengan negara Republik Indonesia mengenai pelindungan Hak Cipta dan Hak Terkait; atau 2. negaranya dan negara
Republik Indonesia merupakan pihak atau peserta dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai pelindungan
Hak Cipta dan Hak Terkait.”
cipta, dengan memperhatikan pendapat ahli hukum dalam pembahasan internasional maupun
praktek-praktek berbagai negara. Selain itu, Penulis akan mengkaji bagaimana penerapan asas-
asas tentang hukum yang berlaku di Indonesia dalam perkara pelanggaran hak cipta, dengan
memperhatikan ketentuan hukum Indonesia dan dengan melihat pendapat para ahli Indonesia dan
yurisprudensi pengadilan Indonesia.

Tinjauan Teoretis

Dalam penelitian ini, yang perlu dipahami terlebih dahulu adalah kerangka hukum
Internasional yang melindungi Hak Cipta secara lintas batas. Hak Cipta, seperti HAKI lainnya
dalam konsepsi tradisionalnya sering dikatakan memiliki karakteristik territorial. Sebagai suatu
hak atas ‘ekspresi’ yang sifatnya immaterial, Hak Cipta hanya lahir sebagai akibat undang-
undang dari negara masing-masing, dan sesuai asas territorialitas dan kedaulatan negara dalam
Hukum Internasional Publik, suatu Hak Cipta dianggap tidak memiliki efek di luar negara yang
memberikan suatu hak cipta.12 Seperti yang dikatakan oleh van Eechoud, sebelum adanya
perjanjian internasional mengenai hak cipta, “International ‘piracy’ of books, plays and music
was the rule rather than the exception, not in the least because national copyright laws were
mostly unfriendly to foreigners.”13 Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ini, dibentuklah
perjanjian-perjanjian internasional untuk melindungi Hak Cipta, seperti Berne Convention for the
Protection of Literary and Artistic Works. Perlindungan hak cipta secara internasional dalam
Konvensi Berne didasari oleh tiga asas dasar, yaitu asas national treatment, asas automatic
protection dan asas Independence of protection.
Asas yang paling utama adalah asas national treatment. Berdasasarkan Pasal 5 ayat (1)
Konvensi Berne, negara pihak harus memberlakukan dan menjamin pemegang hak cipta asing
hak-hak yang sama dengan warga negaranya sendiri, selain di country of origin, sebagai mana
diatur dalam hukum domestik negara tersebut serta hak-hak yang dijamin oleh Konvensi Berne
sendiri.14
12
Paul Goldstein dan P. Bernt Hugenholtz, International Copyright: Principles, Law, and Practice. ed. 4.
(New York: Oxford University Press, 2019), hlm. 85, 87-91.
13
Van Eechoud, Mireille. “Choice of Law in Copyright and Related Rights.” (Disertasi Doktor Universiteit
van Amsterdam. Amsterdam, 2003), hlm. 49
14
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (1) “Authors shall enjoy, in
respect of works for which they are protected under this Convention, in countries of the Union other than the
Asas kedua yang penting untuk diketahui adalah asas ‘automatic protection’ atau asas
perlindungan otomatis. Asas ini dapat ditemukan dalam kalimat pertama Pasal 5 ayat (2)
Konvensi Berne, yang menyatakan bahwa “The enjoyment and the exercise of these rights shall
not be subject to any formality.”15 WIPO menjelaskan bahwa perlindungan hak cipta
sebagaimana diatur dalam Konvensi Berne bagi pemilik hak cipta asing tidak dapat disyaratkan
dengan kewajiban suatu ‘formalitas.’ Yang dimaksud ‘formalitas’ dalam hal ini adalah ketentuan-
ketentuan administratif yang ditetapkan dalam hukum domestik sebagai syarat yang harus
terpenuhi untuk mendapatkan perlindungan hak cipta.16
Lalu, asas terakhir yang perlu diketahui adalah asas ‘independence’ of protection, yang
pada intinya menyatakan bahwa perlindungan suatu hak cipta asing, dengan beberapa
pengecualian,17 tidak tergantung bagaimana suatu hak cipta tersebut dilindungi di country of
origin suatu hak cipta. Seperti yang dikatakan dalam kalimat ke-dua Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne, “such enjoyment and such exercise [of these rights] shall be independent of the existence
of protection in the country of origin of the work.” 18 Artinya, selama suatu karya sudah
memenuhi kriteria untuk mendapat perlindungan dalam Konvensi Berne, maka karya tersebut
akan mendapat perlindungan sesuai ketentuan Konvensi Berne, tanpa perlu melihat apakah suatu
karya telah mendapat perlindungan atau tidak dalam Country of Origin ataupun apa status
perlindungan hak cipta di negara tersebut.

country of origin, the rights which their respective laws do now or may hereafter grant to their nationals, as well as
the rights specially granted by this Convention.”
15
World Intellectual Property Organization, Berne Convention. Ps. 5 ayat (2)
16
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 33
17
Pengecualian terhadap asas ini dapat ditemukan dalam ketentuan Konvensi Berne mengenai jangka waktu
perlindungan hak cipta. Konvensi Berne menetapkan bahwa jangka waktu perlindungan dalam Konvensi Berne
adalah seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun. Negara dapat memberikan jangka waktu perlindungan lebih lama,
tetapi jika suatu karya sudah habis jangka waktu perlindungan di country of origin, maka negara pihak Konvensi
Berne lain dapat menolak memberikan jangka waktu lebih lama itu, lihat World Intellectual Property Organization,
Berne Convention, Ps. 7 ayat 1 “The term of protection granted by this Convention shall be the life of the author and
fifty years after his death”, Ps. 7 ayat (6) “The countries of the Union may grant a term of protection in excess of
those provided by the preceding paragraphs” dan Ps. 7 ayat (8) “In any case, the term shall be governed by the
legislation of the country where protection is claimed; however, unless the legislation of that country otherwise
provides, the term shall not exceed the term fixed in the country of origin of the work.”
18
Ibid. Ps. 5 ayat (2)
Ketiga asas ini adalah refleksi dari pandangan bahwa perlindungan hak cipta menganut
konsepsi droits indépendants. Dalam konsepsi ini, dengan dibuatnya suatu karya ciptaan, maka
lahir pula berbagai hak cipta yang berbeda dan terpisah di masing-masing sistem hukum dunia
yang menjadi negara pihak konvensi dengan jumlah sama dengan adanya sistem hukum di dunia
yang mengakui Konvensi Berne.19

Metode Penelitian

Metode Penelitian yang digunakan penelitian ini merupakan pendekatan yuridis-normatif,


yaitu dengan menarik asas-asas hukum melalui penelitian terhadap hukum positif yang berlaku. 20
Dengan ini, maka pengelolaan data dilakukan melalui kegiatan sistematisasi terhadap bahan-
bahan hukum tertulis.21 Data yang digunakan merupakan data sekunder, dikumpulkan dengan
studi pustaka.
Dengan demikian, data sekunder yang digunakan merupakan:
1. Sumber Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. 22 Dalam penelitian ini, sumber
primer digunakan adalah peraturan perundang-undangan Indonesia yang berhubungan,
perjanjian internasional, serta yurisprudensi dari pengadilan Indonesia maupun asing yang
berhubungan dengan objek penelitian.
2. Sumber Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai sumber hukum
primer.23 Dalam penelitian ini, sumber hukum sekunder yang digunakan adalah buku-
buku serta artikel jurnal yang berhubungan dengan objek penelitian.
3. Sumber Tersier, yaitu bahan yang berupa petunjuk atau penjelasan terhadap hukum
primer dan sekunder.24 Dalam penelitian ini, sumber hukum tersier yang digunakan adalah
Kamus Hukum.

Pembahasan

19
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 99
20
Sri Mamudji et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005), hlm.10.
21
Ibid. Hlm. 88.
22
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
2015), hlm. 52
23
Ibid.
24
Ibid.
Seperti yang dikatakan sebelumnya, Kebanyakan diskusi mengenai ketentuan hukum
yang berlaku dalam Konvensi Berne tergantung mengenai penafsiran dengan ketentuan dari
kalimat ke-tiga dari Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, khususnya bagian akhirnya yang
menyatakan bahwa “Consequently, apart from the provisions of this Convention, the extent of
protection, as well as the means of redress afforded to the author to protect his rights, shall be
governed exclusively by the laws of the country where protection is claimed.”25 Walaupun
terdapat berbagai interpretasi dari pasal tersebut, penulis mengidentifikasi empat pendekatan dari
interpretasi pasal tersebut, yaitu penafsiran non-conflicts rule, penafsiran lex fori, penafsiran lex
origianis dan penafsiran lex loci delicti/lex loci protectionis.

Non-Conflict Rules Interpretation

Interpretasi pertama dari Pasal 5 ayat (2) yang dapat ditemukan adalah penafsiran yang
penulis namakan sebagai non-conflicts rule interpretation (istilah dibuat oleh penulis sendiri),
yang merujuk kepada semua interpretasi dari Pasal 5 ayat (2) yang tidak melihat adanya suatu
ketentuan tentang hukum yang berlaku apapun dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne. Menurut
pandangan-pandangan ini, ketentuan Pasal 5 ayat (2) tidak mewajibkan bahwa negara-negara
pihak harus menggunakan suatu pendekatan khusus dalam menyelesaikan permasalahan-
permasalahan applicable law dalam perkara-perkara hak cipta.
Penafsiran semacam ini dapat didukung pendekatan tekstual. Pandangan semacam ini
dapat diilustrasikan dalam perkara Pearce v Ove Arup Partnership Ltd (Jurisdiction) yang diadili
oleh English and Wales Court of Appeal. Dalam perkara tersebut, pengadilan melakukan
penafsirkan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, dan sepertinya berpendapat bahwa kata ‘where
protection is claimed’ dalam Pasal 5 ayat (2) merujuk kepada lex fori suatu negara. Akan tetapi,
mereka juga berpendapat bahwa saat pasal tersebut menyatakan bahwa perlindungan hak cipta
‘shall be governed exclusively by the laws of the country where protection is claimed,’ itu
merujuk kepada seluruh ketentuan hukum yang berlaku di negara ‘where protection is claimed’,
termasuk kaidah-kaidah HPI yang dianut oleh negara tersebut. 26 Menurut penafsiran semacam ini,
25
World Intellectual Property Organization. Berne Convention, Ps. 5 ayat (2).
26
English and Wales Court of Appeal, Pearce v Ove Arup Partnership Ltd. (Jurisdiction) [2000] Ch.403,
hlm. 442 “The protection is claimed in the country in which the proceedings are brought. Article 5(2) requires that
the extent of the protection to be afforded is governed by the laws of that country. There is, of course, no reason to
fungsi dari Pasal 5 ayat (2) hanya untuk menegaskan bahwa selain ketentuan Konvensi Berne,
hanya ketentuan-ketentuan lex fori yang berlaku untuk mengatur perlindungan hak cipta, suatu
penegasan dari prinsip independence of protection yang diatur dalam Konvensi Berne. Tetapi,
penunjukan ini tidak hanya merujuk kepada kaidah hukum intern dari suatu negara pihak, tetapi
seluruh kaidah hukum dari negara tersebut, termasuk kaidah-kaidah HPI negara tersebut. Sebagai
konsekuensi, negara masih memiliki keleluasaan untuk menggunakan kaidah-kaidah HPI yang
negara tersebut merasa tepat untuk digunakan, karena Konvensi Berne tidak mewajibkan negara
untuk menggunakan pendekatan tertentu dalam menentukan hukum yang berlaku yang harus
digunakan untuk menyelesaikan perkara.

Lex Fori

Secara prima facie, interpretasi ini dapat dikatakan interpretasi yang paling sesuai dengan
teks Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, jika ditafsirkan secara harfiah. Menurut penafsiran ini,
Pasal 5 ayat (2) dari Konvensi Berne memiliki suatu ketentuan tentang hukum yang berlaku yang
harus digunakan oleh negara-negara pihak Konvensi Berne saat menghadapi kasus pelanggaran
hak cipta dengan unsur asing, yaitu lex fori atau hukum domestik dari negara forum yang sedang
mengadili suatu perkara.27
Bagi yang memiliki pandangan ini, kalimat dari Pasal 5 ayat 2 yang menyatakan bahwa
perlindungan hak cipta “…shall be governed exclusively by the laws of the country where
protection is claimed” harus dibaca secara harafiah. Kata ‘laws of the country’ hanya merujuk ke
hukum intern dari suatu negara, tidak termasuk kaidah HPI dari negara tersebut. Sedangkan kata
‘country where protection is claimed’ ditafsirkan sebagai negara forum atau negara yang sedang
mengadili suatu perkara. Sebagai akibat penafsiran ini, hukum yang seharusnya diterapkan dalam
setiap kasus perkara hak cipta adalah lex fori, terlepas nasionalitas pemegang hak cipta, lokasi
dimana pelanggaran hak cipta terjadi, ataupun titik-titik pertalian lainnya.
Namun, dalam literatur sebenarnya sedikit ahli atau yurisprudensi di negara-negara asing
yang mengadopsi atau mendukung penafsiran lex fori sebagai tafsiran Pasal 5 ayat (2) Konvensi

assume that the laws of that country do not include its own rules of private international law. What article 5(2) does,
in our view, is to leave it to the courts of the country in which the proceedings are brought to decide whether the
claim for protection should be upheld.”
27
Van Eechoud, Choice of Law. Hlm. 103
Berne ataupun sebagai asas dalam ketentuan HPI domestik. Kebanyakan dari ahli berpendapat
bahwa interpretasi kurang tepat karena dapat mengakibatkan hasil-hasil aneh, terutama saat
pengadilan yang mengadili suatu perkara tidak berada dilokasi dimana suatu perbuatan melawan
hukum terjadi.28 Sebagai contoh, jika suatu pengadilan negara A memiliki kompetensi atas suatu
pelanggaran hak cipta yang berasal dari negara B dan terjadi di negara C, menurut interpretasi lex
fori, hukum yang berlaku adalah hukum negara A, yang belum tentu memiliki hubungan lebih
dekat dengan perkara dibanding hukum negara B ataupun C. Selain itu, lex fori dapat mendorong
prakteknya forum shopping, karena memungkinkan seorang penggugat dapat memilih secara
strategis pengadilan yang berada di negara dengan hukum yang lebih menguntungkan
penggugat.29 Alasan-alasan ini membuat interpretasi lex fori kurang populer, walaupun secara
prima facie atau harafiah berupa penafsiran yang paling sesuai dengan teks Pasal 5 ayat (2)
Konvensi Berne.

Lex Origianis

Sebenarnya sedikit ahli yang berargumen bahwa penafsiran dari pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne yang tepat adalah lex origianis atau negara asal suatu hak cipta.30 Akan tetapi, pembahasan
mengenai lex origianis ini menjadi penting untuk membahas suatu aspek penting dari hak cipta,
yaitu initial ownership atau kepemilikan awal dari suatu hak cipta. Ini karena banyak ahli dan
juga banyak negara seperti Amerika Serikat31 dan Perancis32 berpendapat bahwa lex origianis

28
Ibid. hlm. 104.
29
Kelemahan ini menjadi catatan dalam Antonelli, “Applicable Law,” hlm. 150 “notwithstanding the
advantage of the application of a single law, this theory [lex fori] gives the copyright owner the opportunity to forum
shop for a favourable jurisdiction. Conversely, the infringer might seek a declaratory judgment in a jurisdiction
where his activities are permitted or tolerated (so-called infringement havens) in order to pre-empt the owner's
choice.”
30
Ibid. hlm. 120-121
31
United States Court of Appeal Second Circuit, Itar-Tass Russian News v. Russian Kurier Itar-Tass
Russian News v. Russian Kurier, 153 F.3d 82 (2d Cir. 1998), hlm. 90-91
32
Van Eechoud, Choice of Law, hlm.123 “In France there is also a tendency to use the lex originis as the
conflict rule for issues of initial ownership. Some courts have said explicitly that the BC does not contain a conflict
rule for initial ownership and that the common French conflict rule is the lex originis, either based on nationality of
the author or –for published works– the country of first publication”
berupa applicable law yang tepat untuk mengatur initial ownership atau kepemilikan awal suatu
hak cipta saat hak cipta lahir. Namun, alasan di belakang pemahaman ini bukan karena adanya
suatu ketentuan di Konvensi Berne yang mewajibkannya, tetapi tepatnya karena tidak diatur
dalam Konvensi Berne. Teks dari Konvensi Berne sering menyebutkan mengenai ‘hak’ (rights)
tetapi sama sekali tidak mengatur mengenai ‘kepemilikan’ (ownership). Oleh sebab itu, ketentuan
Pasal 5 ayat (2) dianggap tidak berlaku terhadap masalah initial ownership secara a contrario.33
Ada beberapa alasan yang diajukan oleh beberapa ahli untuk mendukung penggunaan lex
origianis untuk mengatur masalah initial ownership. Ginsburg berpendapat bahwa jika berbagai
stetsel hukum dapat mengatur permasalahan kepemilikan, maka penyebaran karya-karya secara
internasional akan menjadi sangat terhambat, yang tentu tidak sesuai dengan tujuan Konvensi
Berne.34 Hal ini karena tiap negara memiliki ketentuan-ketentuan berbeda mengenai initial
ownership suatu karya,35 yang hingga saat ini belum pernah diharmonisasikan melalui suatu
perjanjian internasional. Oleh sebab itu, jika initial ownership tidak diatur oleh lex origianis,
dapat mengakibatkan situasi dimana saat suatu karya dicipta, orang berbeda dianggap memilik
hak cipta tersebut tergantung negaranya.36
Tidak semua negara menganut doktrin yang sama, terutama di Jerman. Pengadilan Jerman
secara tegas menolak penggunaan lex origianis terhadap initial ownership suatu karya. Dalam
yurisprudensi Jerman, Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne mewajibkan penggunaan lex protectionis
terhadap semua aspek hak cipta, termasuk initial ownership suatu karya, sesuai dengan prinsip
Schutzland yang dikenal di Jerman.37

33
Goldstein, International Copyrights, hlm. 127
34
Jane C. Ginsburg, “Private International Law Aspects of the Protection of Works and Objects of Related
Rights Transmitted Through Digital Networks,” (makalah disampaikan pada seminar Group of Consultants on the
Private International Law Aspects of the Protection Of Works And Objects of Related Rights Transmitted through
Global Digital Networks, Jenewa, 16-18 Desember 1998), hlm. 25-27
35
Sebagai contoh, banyak negara Common Law seperti Amerika Serikat menganut doktrin ‘work for hire’
dimana jika seseorang membuat suatu karya dalam konteks hubungan pemberi kerja- pekerja, maka pemberi kerja
secara otomatis memiliki hak cipta atas karyanya, sedangkan banyak negara Civil Law tidak mengenal doktrin
seperti demikian, lihat Goldstein, International Copyright, hlm. 128, 239-240.
36
Ginsburg, “Private International Law,” hlm. 28 “
37
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 123-124 “German case-law is quite consistent in its refusal to use the
lex originis for issues of initial ownership. A string of recent decisions of the Bundesgerichtshof has reaffirmed the
German interpretation of the Berne Convention: Article 5 lays down the law of the Schutzland or lex protectionis,
Lex Loci Protectionis/Lex Loci Delicti

Interpretasi lex protectionis atau lex loci delicti berupa interpretasi paling populer atau
konvensional dari kebanyakan ahli atau yurisdiksi. Menurut interpretasi ini, kata ‘where
protection is claimed’ dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne merujuk kepada negara dimana
suatu karya dieksploitasi tanpa izin pemilik hak cipta, yang sering disebut sebagai protecting
country.38 Dalam interpretasi ini, Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne mewajibkan negara untuk
menggunakan lex protectionis atau lex loci delicti sebagai ketentuan applicable law yang berlaku
terhadap perkara-perkara pelanggaran hak cipta.
Sebelum lebih lanjut, penulis merasa penting untuk menjelaskan perbedaan antara lex loci
delicti dan lex loci protectionis. Sebenarnya, kedua asas ini sangat mirip. Dalam kasus
terjadinnya suatu PMH, penggunaan kedua asas ini selalu akan memberikan hasil yang sama.
Bahkan, beberapa ahli sering menganggap bahwa kedua doktrin atau asas ini memiliki artinya
dan kaidah yang sama. Akan tetapi ada perbedaan antara kedua konsep ini. Van Eechoud
menjelaskan bahwa lex loci delicti adalah suatu ketentuan yang dapat diberlakukan terhadap
perbuatan melawan hukum (PMH). Walaupun lex loci delicti dapat digunakan untuk mengatur
pelanggaran hak cipta, namun lex loci delicti tidak memberi suatu applicable law yang dapat
digunakan untuk mengatur mengenai keberadaan, kepemilikan, serta perpindahan suatu hak
kekayaan intelektual. Ini berbeda dengan Lex loci protectionis sebagai suatu ketentuan umum
yang berlaku dan dapat mengatur kepada aspek hak cipta, bukan hanya jika terjadi suatu PMH.39
Van Eechoud berpendapat bahwa penafsiran ini sebenarnya ini tidak mengikuti teks
harafiah dari Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, yang sepertinya lebih merujuk kepada negara
terletak pengadilan yang mendengar gugatan.40 Akan tetapi, penafsiran ini dapat dikatakan adalah
penafsiran yang paling diterima secara umum, karena dianggap paling sesuai dengan prinsip-
prinsip perlindungan hak cipta pada umumnya, khususnya dengan asas territorialitas dari suatu
hak cipta.41

for existence, scope, (initial) ownership, transfer of copyright and capacity to act against infringement.”
38
Goldstein, International Copyrights, hlm 123; Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 103, 105
39
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 105-106
40
Ibid. hlm. 108
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, hak cipta seringkali dianggap sangat territorial,
dimana perlindungan hak cipta dalam suatu negara hanya berlaku di wilayah negara tersebut, dan
tidak memiliki dampak di luar wilayah suatu negara. Oleh sebab itu, perlindungan hak cipta
dalam kerangka hukum perlindungan hak cipta yang terkandung dalam Konvensi Berne
mengadopsi pengertian droits indépendants, dimana dengan di dikreasikan suatu ciptaan maka
akan lahir berbagai hak cipta yang berbeda dan terpisah di semua negara pihak Konvensi Berne.
Sesuai dengan asas independence of protection, bagaimana suatu hak cipta diperlakukan di satu
negara tidak memiliki dampak dengan perlindungan di negara lain.
Karena lex loci protectionis mengadvokasikan penggunaan ketentuan hukum dari negara
dimana pelanggaran terjadi, maka lex loci protectionis sering dianggap sebagai interpretasi yang
menghormati kemampuan negara untuk mengatur standar serta batasan-batasan hak cipta yang
berlaku di negara masing-masing, sesuai dengan pengertian asas territorial dari hak cipta dan
karakteristik perlindungan hak cipta yang sifatnya droits indépendants. Oleh sebab itu, penafsiran
ini diterima di kebanyakan negara, seperti di Amerika Serikat, 42 Uni Eropa,43 Korea Selatan,44 dan
Jepang.45

Ketentuan mengenai Hukum yang Berlaku dalam UU Hak Cipta

41
Goldstein, International Copyrights, hlm. 123 “The general preference for the law of the protecting
country as applicable law in copyright cases reflects the historic principle that copyright is territorial. To apply the
law of Country A to an alleged infringement occurring in Country B would, it is widely believed, violate the
principle of territoriality by exporting the law of one country to the territory of another; the fact that Country A is
the forum country should make no difference”
42
United States Court of Appeal Second Circuit, Itar-Tass, hlm. 91-92
43
Uni Eropa, Regulation on the Law Applicable to Non-Contractual Obligations (Rome II), Regulation
(EC) No 864/2007, Ps. 8
44
Korea Selatan, Act on Private International Law, Undang-Undang No.13759 diterjemahkan oleh
Lembaga Riset Hukum Korea dan Kementerian Kehakiman Korea, Divisi Hukum Internasional.
https://law.go.kr/LSW/lsInfoP.do?lsiSeq=179501&viewCls=engLsInfoR&u rlMode=engLsInfoR#0000, diakses 5
Juli 2022, Ps. 24
45
Dai Yokomizo, “Japan” dalam Intellectual Property and Private International Law: Comparative
Perspectives, ed. Toshiyuki Kono (Portland: Hart Publishing, 2012), hlm. 770-771
Pembahasan mengenai ketentuan applicable law di Indonesia harus mulai dari ketentuan
Pasal 2 UU Hak Cipta yang mengatur mengenai ruang lingkup dari undang-undang tersebut.
Pasal 2 UU Hak Cipta menyatakan bahwa:46
Undang-Undang ini berlaku terhadap:
a. semua Ciptaan dan produk Hak Terkait warga negara, penduduk, dan badan hukum
Indonesia;
b. semua Ciptaan dan produk Hak Terkait bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk
Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia yang untuk pertama kali dilakukan
Pengumuman di Indonesia;
c. semua Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dan pengguna Ciptaan dan/atau produk Hak
Terkait bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan
hukum Indonesia dengan ketentuan:
1. negaranya mempunyai perjanjian bilateral dengan negara Republik Indonesia
mengenai pelindungan Hak Cipta dan Hak Terkait; atau
2. negaranya dan negara Republik Indonesia merupakan pihak atau peserta dalam
perjanjian multilateral yang sama mengenai pelindungan Hak Cipta dan Hak
Terkait.

Namun, menurut penulis, ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta ini yang secara eksplisit
menyatakan bahwa “undang-undang ini berlaku terhadap…” ciptaan asing menimbulkan
beberapa masalah. Tentu, mengingat bahwa Indonesia menganut konsepsi cukup luas mengenai
ruang lingkup HPI,47 maka ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta, yang memiliki ketentuan yang
mengatur status hak cipta asing sebagai suatu titik pertalian, harus dianggap sebagai ketentuan
HPI. Yang menjadi permasalahan adalah apakah ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta hanya sekedar
menjamin hak cipta orang asing di Pengadilan Indonesia, dimana ketentuan ini dapat dikatakan
lebih mengatur mengenai ‘status orang asing’ atau apakah ketentuan ini juga merupakan
ketentuan yang mengatur hukum yang berlaku atas perkara atau applicable law yang harus
digunakan oleh Pengadilan untuk mengatur suatu perkara hak cipta.
Pasal 2 UU Hak Cipta tersebut dapat ditafsirkan beberapa macam cara, dengan masing-
masing penafsiran menimbulkan konsekuensi tertentu. Jika ketentuan ini dibaca sebagai suatu
ketentuan mengenai applicable law yang mewajibkan penggunaan hukum domestik Indonesia
saat suatu hak cipta dilindungi oleh pengadilan Indonesia, suatu pendekatan yang identik dengan

46
UU Hak Cipta, 2014, Ps. 2.
47
Hukum Indonesia, sama seperti Hukum Perancis menganggap bahwa HPI memiliki cakupan bidang yang
sangat luas. Dalam pandangan ini, HPI dianggap melingkupi isu-isu mengenai hukum yang berlaku, pengadilan yang
berwewenang, status orang asing, dan cara memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan, lihat Basuki, Hukum
Perdata Internasional, hlm. 1.41.
penggunaan lex fori. Penafsiran ini menutup kemungkinan penggunaan hukum asing dalam
perkara pelanggaran hak cipta di pengadilan Indonesia. Akan tetapi, menjadi mudah mencari
ketentuan mengenai applicable law di Indonesia.
Bisa juga ketentuan dibanya hanya sebagai ketentuan mengenai status orang asing dalam
hukum Indonesia yang menjamin bahwa hak cipta asing dapat dilindungi oleh hukum Indonesia,
tetapi hanya setelah ketentuan-ketentuan HPI mengenai hukum yang berlaku atau applicable law
menentukan bahwa stetsel hukum yang mengatur suatu perkara adalah hukum Indonesia.). Dalam
penafsiran ini, Pasal 2 UU Hak Cipta dipandang sebagai ketentuan hukum mengenai status orang
asing, tetapi tidak dipandang sebagai ketentuan mengenai hukum yang berlaku. Penafsiran ini
membuka kemungkinan penggunaan asas-asas hukum yang berlaku selain lex fori. Hanya setelah
melalui tahap-tahap penyelesaian perkara HPI, seandainya hukum Indonesia berlaku ditemukan
memang berlaku, maka Pasal 2 UU Hak Cipta akan dilihat untuk menentukan apakah UU Hak
Cipta melindungi tidak karya yang menjadi objek suatu perkara. Namun, jika melalui proses
penerapan HPI Indonesia ditemukan bahwa ketentuan hukum asing yang seharusnya berlaku
dalam suatu perkara, maka hukum asing tersebut tetap dapat diterapkan, sebab Pasal 2 UU Hak
Cipta sebagai ketentuan mengenai status orang asing tidak membatasi penggunaan hukum asing
tersebut. Hal ini menurut penulis cukup masuk akal, karena terkadang terhadap suatu pelanggaran
hak cipta asing memang diperlukan untuk digunakan hukum Indonesia (sebagai contoh,
seandainya menggunakan lex protectionis/lex loci delicti, jika pelanggaran hak cipta asing terjadi
di wilayah Indonesia).
Penulis berpendapat bahwa penafsiran ini lebih logis atau tepat untuk dua alasan: Pertama,
jika para pembuat naskah UU Hak Cipta memang ingin membuat suatu conflicts-rule Indonesia
baru, menurut Penulis mereka pasti akan menggunakan bahasa yang lebih jelas yang secara
eksplisit menyatakan bahwa UU Hak Cipta berlaku terhadap semua pelanggaran hak cipta yang
ditangani oleh pengadilan Indonesia. Padahal, fungsi pasal ini dibuat hanya sekedar untuk
memperbolehkan pemegang hak cipta asing yang merasa hak ciptanya dilanggar di wilayah
Indonesia tetap dapat perlindungan.48 Tidak ada indikasi bahwa saat para pembuat undang-
undang membuat pasal demikian, mereka memang berniat untuk membuat ketentuan baru
mengenai hukum yang berlaku. Alasan kedua adalah bahwa ini penafsiran lebih konsisten dengan
asas-asas perlindungan hak cipta, yang menganut asas territorialitas serta konsep droits

48
Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Hak Milik Intelektual, cet. 2, (Bandung: Eresco, 1995),, hlm. 66-70
indépendants perlindungan hak cipta internasional. Asas-asas tersebut, sebagaimana dijelaskan
dalam bab-bab sebelum, lebih sesuai dengan penggunaan lex protectionis/lex loci delicti
dibandingkan dengan penggunaan lex fori.
Namun, jika melihat pendapat para ahli hukum Indonesia maupun praktek pengadilan
Indonesia, sepertinya pendekatan lex fori lebih populer untuk digunakan di Indonesia. Allagan
menginterpretasi Pasal 2 UU Hak Cipta sebagai ketentuan applicable law, sehingga
menyimpulkan bahwa ketentuan applicable law yang berlaku adalah hukum dari tempat “the first
announcement with exception to any international conventions whereby RI as a contracting
state.”49 Posisi ini sepertinya mendukung penggunaan lex fori, seperti semua penafsiran yang
menganggap Pasal 2 UU Hak Cipta sebagai ketentuan mengenai hukum yang berlaku.
Suatu pendapat mirip diutarakan oleh Kusumadara. Menurut Kusumadara, “Indonesian
intellectual property law does not contain any specific choice-of-law provisions concerning the
law applicable to intellectual property involving foreign elements”50 sehingga menunjukkan
secara implisit bahwa menurut Kusumadara, Pasal 2 UU Hak Cipta bukanlah suatu ketentuan
applicable law yang dapat digunakan untuk menentukan hukum yang berlaku dalam
perlindungan hak cipta asing. Karena hal ini, Kusumadara berpendapat bahwa karena tidak ada
ketentuan lain yang mengatur, maka Hukum HAKI Indonesia mengadopsi “the traditional rules”
yaitu penggunaan lex loci protectionis dan prinsip territorialitas.51
Namun, Kusumadara sepertinya mempersamakan lex loci protectionis dengan lex fori.
Menurut Kusumadara, dalam konteks HAKI yang tidak perlu di registrasi seperti hak cipta, maka
hukum yang mengatur HAKI tersebut adalah “the law of each state where protection is sought or
granted.” Namun, dia juga menyatakan bahwa dalam kasus hak cipta, “Indonesian courts must
apply the lex loci protectionis when adjudicating cases involving rights of this type. In effect, this
means they will apply Indonesian Law.”52 Selain itu, mengenai karya-karya asing yang dilindungi
oleh Konvensi Berne, Kusumadara berpendapat bahwa setelah kepemilikan suatu hak cipta sudah
dibuktikan, maka “the work will be protected under Indonesian copyright law. This means that

49
Tiurma M.P. Allagan, “Indonesian Private International Law: The Development After More Then
Century.” Indonesian Journal of Internationa Law 14, No. 3, Art. 6, hlm. 403
50
Kusumadara, Indonesian Private International Law, hlm. 137
51
Ibid.
52
Ibid.
the Indonesian copyright law become the lex loci protectionis for that copyrighted work in
Indonesian Courts.” 53
Pendapat-pendapat ini juga dapat dilihat dalam yurisprudensi. Dalam perkara-perkara di
Indonesia seperti dalam kasus The Institute for Motivational Living, Inc. Melawan Yon Nofiar,
suatu perkara yang diadili oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
Putusan Nomor 61/PDT.SUS/HAK CIPTA/2013/PN.NIAGA.JKT.PST54 dan juga hasil kasasi
dari kasus tersebut dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 306/K/Pdt.SUS-HKI/2011, 55 serta
kasus kasus The Institute For Motivational Living, Inc Melawan Didik Mulato dan PT. Inti
Finance Synergy, yang dapat ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 736
K/Pdt.Sus/2011.56 Dalam kedua kasus, penggugat, tergugat, serta majelis hakim selalu memiliki
praanggapan bahwa suatu hak cipta asing jika muncul di Indonesia harus diatur oleh lex fori,
terlepas dari faktor-faktor lain. Dalam kedua perkara, penggugat menyatakan bahwa “Dalam
pasal 5 ayat (1) Konvensi Berne, Pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta yang berasal dari luar
Indonesia harus dilindungi oleh hukum Nasional, yang dalam hal ini termasuk UU Hak Cipta.”57
Ini menunjukkan bahwa dalam pandangan bahwa lex fori mengatur pelanggaran hak cipta di
Indonesia.

Kesimpulan

Penulis menarik beberapa kesimpulan berdasarkan pembasahan yang telah disebut


sebelumnya. Pada saat ini belum ada posisi konsisten dan pasti dalam hukum nasional mengenai
ketentuan-ketentuan applicable law yang berlaku mau dalam instrumen internasional maupun
national, melainkan terdapat berbagai pandangan. Dalam tingkat hukum internasional, terdapat
berbagai interpretasi mengenai ketentuan applicable law yang terdapat dalamnya, antara lain
pandangan bahwa konvensi berne tidak memuat suatu kaidah HPI, pandangan bahwa terdapat
kaidah lex fori, lex origianis, atau lex loci delicti/lex protectionis. Namun, dari keempat

53
Ibid. hlm. 138
54
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan No. 61/PDT.SUS/HAK CIPTA/2013/PN.NI- AGA.JKT.PST
55
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 306/K/Pdt.SUS-HKI/2011.
56
Mahkamah Agung Republik Indonesia, No. 736 K/Pdt.Sus/2011.
57
Ibid. hlm. 5; Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan No. 61/PDT.SUS/HAK CIPTA/2013/PN.NI-
AGA.JKT.PST, hlm. 7
pandangan tersebut, pandangan yang dianut oleh mayoritas negara dan akademisi serta lebih
sesuai dengan asas-asas dasar perlindungan hak cipta adalah asas lex loci delicti/lex protectionis,
yang pada intinya menyatakan bahwa hukum yang seharusnya berlaku terhadap suatu perkara
perlanggaran hak cipta adalah hukum dari tempat dimana suatu karya yang dilindungi hak cipta
dilanggar.
Dalam tingkat hukum nasional, Pasal 2 UU Hak Cipta memuat norma yang dapat dibaca
sebagai suatu norma hukum yang mengatur hukum yang berlaku terhadap pelanggaran Hak
Cipta, yaitu lex fori atau pandangan bahwa hukum dari forum yang mendengar suatu perkara
seharusnya mengatur pokok perkara dalam kasus pelanggaran hak cipta. Penafsiran ini didukung
oleh yurisprudensi ataupun pendapat akademisi hukum Indonesia. Walaupun demikian, Penulis
menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan dan kekurangan dari penafsiran tersebut dan
berpendapat bahwa Pasal 2 UU Hak Cipta tidak dapat serta-merta ditafsirkan sebagai suatu
ketentuan mengenai hukum yang berlaku, tetapi hanya sekedar ketentuan mengenai status orang
asing.

Saran

Penulis memiliki dua saran yang penting dan didapatkan berdasarkan pembahasan-
pembahasan sebelumnya. Pertama, Untuk memberikan kepastian lebih mengenai ketentuan HPI
yang berlaku dalam perkara pelanggaran hak cipta, sebaiknya dibuat peraturan yang menetapkan
suatu peraturan mengenai hukum yang berlaku terhadap pelanggaran hak cipta di Indonesia. Hal
ini dapat dilakukan melalui suatu ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata
Internasional (RUU HPI) yang sedang dibahas dan dirancang saat penulisan penelitian ini.
Ketentuan juga dapat dimuat dalam suatu revisi UU Hak Cipta yang dapat memberikan kejelasan
mengenai ketentuan yang mengatur aspek-aspek HPI dari perlindungan hak cipta.
Kedua, bagi hakim Indonesia, dalam menyelesaikan perkara harus diperhatikan
ketentuan-ketentuan Hukum Internasional seperti Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne yang dapat
digunakan sebagai sumber rechtsvinding untuk menemukan suatu kaedah HPI yang mengatur
mengenai hukum yang berlaku terhadap pelanggaran hak cipta. Selain itu, hakim juga dapat
menggunakan ketentuan HPI yang berlaku secara umum dalam Pasal 17 dan 18 AB terhadap
pelanggaran hak cipta. Kedua pendekatan tersebut dapat digunakan untuk mencari sumber
ketentuan HPI yang berlaku terhadap kasus pelanggaran hak cipta yang juga sesuai dan konsisten
dengan asas-asas perlindungan hak cipta dan dari sisi policy pula.

Daftar Referensi

Buku:

Basuki, Zulfa Djoko et al. Hukum Perdata Internasional. ed.1. cet. 1. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2014.
Gautama, Sudargo. Segi-Segi Hukum Hak Milik Intelektual. cet. 2. Bandung: Eresco, 1995.
Goldstein, Paul dan P. Bernt Hugenholtz. International Copyright: Principles, Law, and Practice. ed. 4. New York:
Oxford University Press, 2019.
Kusumadara, Alifah et al. Indonesian Private International Law. Oxford: Hart Publishing, 2021.
Mamudji, Sri et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2005.
World Intellectual Property Organization. Guide to the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic
Works (Paris Act, 1971). Jenewa: World Intellectual Property Organization, 1978.
Yokomizo, Dai. “Japan” dalam Intellectual Property and Private International Law: Comparative Perspectives. di
edit oleh Toshiyuki Kono. 763-791. Portland: Hart Publishing, 2012.

Artikel Jurnal:

Allagan, Tiurma M.P. “Indonesian Private International Law: The Development After More Then Century.”
Indonesian Journal of Internationa Law 14. No. 3. Art. 6. hlm. 381- 416
Antonelli, Antonelli. “Applicable Law Aspects of Copyright Infringement on The Internet: What Principles Should
Apply?” Singapore Journal of Legal Studies. (Juli 2003). hlm. 147-177
Dinwoodie, Graeme B. “Developing a Private International Intellectual Property Law: The Demise of Territoriality?”
William & Mary Law Review 51 No. 2, Art. 12. (2009). hlm. 713-800

Disertasi:

Van Eechoud, Mireille. “Choice of Law in Copyright and Related Rights.” Disertasi Doktor Universiteit van
Amsterdam. Amsterdam, 2003

Makalah:

Ginsburg, Jane C. “Private International Law Aspects of the Protection of Works and Objects of Related Rights
Transmitted Through Digital Networks.” Makalah disampaikan pada seminar Group of Consultants on the
Private International Law Aspects of the Protection Of Works And Objects of Related Rights Transmitted
through Global Digital Networks, Jenewa, 16-18 Desember 1998.

Peraturan Perundang-undangan:

Indonesia. Keputusan Presiden tentang Pengesahan Berne Convention on the Protection of Literary and Artistic
Work. Keppres No. 18 Tahun 1997.
Indonesia. Undang-Undang Hak Cipta. UU No. 28 Tahun 2014, LN. 266 Tahun 2014, TLN No. 5599.
Korea Selatan. Act on Private International Law. Undang-Undang No.13759. Diterjemahkan oleh Lembaga Riset
Hukum Korea dan Kementerian Kehakiman Korea, Divisi Hukum Internasional.
https://law.go.kr/LSW/lsInfoP .do?lsiSeq=179501&viewCls=engLsInfoR&urlMode=engLsInfoR#0000 ,
diakses 5 Juli 2022.

Putusan Pengadilan:

English and Wales Court of Appeal, Pearce v Ove Arup Partnership Ltd. (Jurisdiction) [2000] Ch. 403
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 306/K/Pdt.SUS-HKI/2011
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 736 K/Pdt.Sus/2011.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan No. 61/PDT.SUS/HAK CIPTA/2013/PN.NI- AGA.JKT.PST
United States Court of Appeal Second Circuit. Itar-Tass Russian News v. Russian Kurier Itar-Tass Russian News v.
Russian Kurier, 153 F.3d 82 (2d Cir. 1998).

Dokumen Internasional:

Uni Eropa. Regulation on the Law Applicable to Non-Contractual Obligations (Rome II). Regulation (EC) No
864/2007.
World Intellectual Property Organization. Convention Establishing the World Intellectual Property Organization.
UNTS 828 (1970)
World Intellectual Property Organization. Paris Act relating to the Berne Convention on the Protection of Literary
and Artistic Works. UNTS 1161 (1972)

Internet:

World Intellectual Property Organization. “Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works.”
https://www.wipo.int/treaties/en/ip/berne/. diakses 14 Januari 2022

Anda mungkin juga menyukai