Anda di halaman 1dari 22

Proposal

Analisis Yuridis Normatif Penerapan Prinsip HKI (Hak


Kekayaan Intelektual) Dalam Peraturan Nasional Indonesia
Tentang Merek

Oleh

Rahmadha Crossera Solong Bestity

271413127

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Globalisasi adalah saat dimana seluruh komponen atau hal yang ada dimuka

bumi ini dalam proses mendunia (globalised). Proses mendunia ini meliputi segala

hal yang ada dikehidupan manusia contohnya dalam bidang ekonomi. Hal ini

membuat perekonomian disetiap negara semakin maju dan penyebarannya

semakin luas. Jadi tidak heran lagi jika kita banyak menemukan merek atau merek

jasa yang sama diberbagai daerah yang berbeda. Penyebar luasan produk ekonomi

ini juga bertujuan untuk meningkatkan keuntungan dari perusahaan perusahaan

tersebut.

Keuntungannya pun berbeda beda tergantung dari banyaknya konsumen yang

menggunakan dan percaya dengan suatu produk atau produk jasa terkait. Sudah

pasti merek terkenal lah yang mendapatkan untung lebih besar karena sudah lebih

dikenal dan lebih banyak digunakan oleh para konsumen. Hal ini yang membuat

banyak para tangan tangan nakal yang menggunakan merek atau merek jasa yang

sama, karena tergiur akan keuntungan yang sudah diketahui pasti lebih besar.

Pemanfatan merek terkenal ini pun bermacam macam, ada yang secara halus

menggunakan nama merek salah satu merek terkenal dengan menggunakan huruf

yang berbeda tetapi dengan penyebutan yang sama (dengan pembeda) atau malah

dengan secara terang terangan menggunakan merek terkenal tersebut (tanpa

pembeda). Membuat peraturan atau undang undangan mengenai merek pun sudah
pasti menjadi jalan keluar untuk permasalahan tersebut. Tetapi untuk membuat

peraturan itu pun tidak mudah.

The required protection of well-known marks at the international level


runs into difficulties against two fundamental principles of trademark law.
First as with any other form of intellectual property rights, the protective
scope of trademarks is in principle limited by the geographical territory in
which the trade mark is registered. Secondly, while some protection for
internationally well-known marks was introduced in article 6bis of the
Paris Convention for the Protection of Industrial Property, the protection
applied only to goods identical with or similar to the ones for which the
trade mark was registered and used – a principle known as the specialty
principle1
Perlindungan yang dibutuhkan oleh merek terkenal di tingkat internasional

mendapatkan kesulitan dalam dua prinsip yang mendasar dari hukum merek.

Pertama, karena bentuk lain dari hak kekayaan intelektual, ruang lingkup

perlindungan merek dagang pada prinsipnya dibatasi oleh wilayah geografis

dimana merek dagang terdaftar. Kedua, ketika sebagian perlindungan untuk merek

terkenal secara internasional yang dicantum dalam artikel 6bis Konvensi Paris,

perlindungan itu hanya berlaku pada barang barang identikk atau mirip dengan

merek dagang terdaftar dan yang digunakan – yang dikenal sebagai prinsip

khusus.

Dari sinilah kita memerlukan perlindungan yang pasti terhadap merek yang

dibuat dengan tujuan untuk melindungi merek merek tersebut.

Seperti yang kita ketahui, sudah menjadi kewajiban Indonesia yang

merupakan anggota dari WTO (World Trade Organization) untuk menyelaraskan

seluruh peraturan perundang undangan HKI khususnya merek dengan ketentuan


1
Christoph Antons, Well-Known Trade Marks, Foreign Investment And Local Industry: A
Comparison Of China and Indonesia, Deakin Law Review, vol.20 No. 186.
ketentuan yang diatur dalam Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual

Property Right (TRIPS). Dari penyelarasan tersebut lahirlah peraturan perundang

undangan yang baru mengenai HKI khususnya merek yakni UU no. 15 Tahun

2001 tentang merek.

Akan tetapi penegakan hukum HKI masih belum terlaksana secara optimal,

hal ini disebabkan oleh masih banyaknya pelanggaran pelanggaran yang terjadi

mengenai HKI khususnya merek. Contohnya saja kasus pen”dompleng”an merek

yang dilakukan oleh PT. Gala Bumi Perkasa terhadap merek “Prada”. Mereka

menggunakan nama “Prada” sebagai nama dari hotel yang mereka naungi yakni

“The Rich Prada Hotel”, walaupun penerapan merek mereka tidak secara terang

terangan (dengan menggunakan pembeda) hal ini tentu saja menyesatkan para

konsumen yang berpikir bahwa “The Rich Prada Hotel” ini berada dibawah

naungan “Prada” yang notabenenya merupakan merek terkenal dan sudah

diketahui secara internasional.

Contoh kasus di atas merupakan salah satu dari sekian banyak pelanggaran

mengenai hak merek, hal menunjukan bahwa ternyata masih banyak yang

melakukan pelanggaran terhadap hak merek. Entah itu merek dagang atau merek

jasa. Dengan adanya prinsip HKI sebagai dasar prinsip pembuatan undang

undang, apakah ini menunjukan bahwa undang undang Merek di Indonesia belum

sempurna dalam menerapkan prinsip didalam undang-undang yang sudah dibuat?

Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin meneliti bagaimana sebenarnya

penerapan prinsip-prinsip HKI terhadap hukum regulasi dan hukum HKI di


Indonesia khususnya merek kemudian dituangkan dalam penulisan proposal untuk

skripsi dengan judul “Analisis Yuridis Normatif Penerapan Prinsip HKI (Hak

Kekayaan Intelektual) Dalam Peraturan Nasional Indonesia Tentang Merek”

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana implementasi prinsip terhadap perbandingan hukum HKI

mengenai merek yakni UU no. 15 Tahun 2001 tentang Merek dengan hukum

regulasi Internasional?

2. Bagaimana penerapan prinsip HKI terhadap permasalahan Prada vs The Rich

Prada Hotel?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi prinsip terhadap

perbandingan hukum HKI mengenai merek yakni UU no. 15 Tahun 2001

tentang Merek dengan hukum regulasi Internasional

2. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan prinsip HKI terhadap

permasalahan Prada vs The Rich Prada Hotel


1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian hukum ini berdasarkan tujuan penelitian diatas,

yaitu

1.4.1 Memberikan informasi dalam perkembangan ilmu hukum mengenai hak kekayaan

intelektual

1.4.2 Memeberikan wawasan dan kepastian khususnya pada penulis dan umumnya bagi

para mahasiswa hukum mengenai hukum merek di Indonesia

1.4.3 Dapat digunakan sebagai literatur tambahan bagi yang berminat untuk meneliti

lebih lanjut tentang masalah yang dibahas dalam penelitian ini.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Analisis yuridis


Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti dari “analisis” adalah

penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang

sebenarnya.2 Dalam linguistik, analisa atau analisis adalah kejadian yang

dilaksanakan dalam sebuah bahasa guna meneliti struktur bahasa tersebut secara

mendalam. Sedangkan dalam kegiatan laboratorium, kata analisa atau analisis

dapat juga berarti kegiatan yang dilakukan di laboratorium untuk memeriksa

kandungan suatu zat dalam cuplikan.3

Sementara untuk “yuridis” menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah

menurut hukum atau secara hukum.4 Pengertian yuridis adalah hukum baik secara

tertulis maupun secara lisan. Yuridis yang tertulis diantaranya adalah undang-

undang sedangkan yuridis yang berupa lisan adalah hukum adat. Sekalipun dalam

bentuk lisan namun adanya adat tersebut harus dipenuhi oleh masyarakat. Jika

seseorang atau beberapa orang melanggar hukum lisan maka dia tetap

mendapatkan sanksi. yuridis adalah peraturan yang wajib di penuhi oleh

masyarakat dan jika mereka melanggarnya maka akan mendapatkan sanksi. Jika

hukum tertulis maka sanksinya adalah dari pemerintah tau pihak yang berwenang.

Namun jika hukum lisan sanksi pelanggaran bisa datang dari masyarakat sendiri.5

2
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), keyword “Analisis”,app IOS, Ikon Media Indonesia
3
Wikipedia, “Analisis”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Analisis, pada tanggal 11
mei 2017
4
KBBI op. cit., keyword “Yuridis”
5
Pengertian Yuridis, diakses dari http://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-
yuridis/, pada tanggal 12 mei 2017
Normatif sendiri menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah berpegang

teguh pada norma atau menurut norma atau kaidah yang berlaku. 6 Jadi Analisis

Yuridis normatif adalah penyelidikan atau penelitian menurut hukum suatu

peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya sesuai dengan norma atau

kaidah yang berlaku.

2.2. Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

A. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual

Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat HKI) adalah terjemahan

resmi Intellectual Property Rights (IPR). Berdasarkan substansinya, HKI

berhubungan erat dengan benda tidak berwujud serta melindungi karya Intelektual

yang lahir dari cipta, rasa dan karsa manusia. World Intellectual Property

Organization (WIPO), sebuah lembaga internasional di bawah PBB yang

menangani masalah HKI mendefinisikan HKI sebagai “Kreasi yang dihasilkan

dari pikiran manusia yang meliputi: invensi, karya sastra, simbol, nama, citra dan

desain yang digunakan di dalam perdagangan.7

Kekayaan Intelektual atau Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau Hak

Milik Intelektual adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual

Property Rights (IPR) atau Geistiges Eigentum, dalam bahasa Jermannya. Istilah

atau terminologi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) digunakan untuk pertama

kalinya pada tahun 1790. Adalah Fichte yang pada tahun 1793 mengatakan
6
KBBI op. cit., keyword “Normatif”
7
repository USU, HKI, diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/56526/Chapter
%20II.pdf;jsessionid=D45062DDBE401E13B296301C3104237F?sequence=3, pada tanggal
12 mei 2017
tentang hak milik dari si pencipta ada pada bukunya. Yang dimaksud dengan hak

milik disini bukan buku sebagai benda, tetapi buku dalam pengertian isinya.

Istilah HKI terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual.

Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun

dijual.8

Defenisi yang bersifat lebih umum dikemukakan oleh Jill Mc Keough dan

Andrew Stewart mendefenisikan HKI sebagai “Sekumpulan hak yang diberikan

oleh hukum untuk melindungi investasi ekonomi dari usaha-usaha yang kreatif”.

Defenisi HKI yang tidak jauh berbeda juga dikemukakan oleh United Nations

Conference On Trade And Development (UNCTAD) International Centre for

Trade and Sustainable Development (ICTSD). Menurut kedua lembaga tersebut,

HKI merupakan “Hasil-hasil usaha manusia kreatif yang dilindungi oleh hukum.”9

Pengelompokan hak kekayaan intelektual itu lebih lanjut dapat

dikategorikan dalam kelompok sebagai berikut.

1. Hak milik (baca: hak kekayaan) Perindustrian (industrial property Rights)

2. Hak cipta (copyrights)

8
Wikipedia, “Kekayaan Intelektual”, diakses dari
https://id.wikipedia.org/wiki/Kekayaan_intelektual pada tanggal 12 mei 2017

9
Tomi Suryo Utomo, 2009, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global: Sebuah Kajian
Kontemporer, Yogyakarta, hlm 9
Hak cipta sebenarnya dapat lagi diklasifikasikan ke dalam dua bagian,
yaitu:

1. Hak cipta dan

2. Hak terkait (dengan hak cipta) (neighbouring rights)

Istilah neighbouring rights, belum ada terjemahannya yang tepat dalam

bahasa hukum Indonesia. Ada yang menerjemahkannya dengan istilah hak

bertetangga dengan hak cipta, adapula yang menerjemahkannya dengan istilah

hak yang berkaitan atau berhubungan dengan hak cipta. Dalam undang-undang

nomor 28 tahun 2014 istilah neighbouring right diterjemahkan menjadi hak

terkait.10

Selanjutnya hak atas kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi


menjadi:

1. Patent (patent)

2. Utility Models (model dan rancang bangun) atau dalam hukum Indonesia,

dikenal dengan istilah paten sederhana (simple patent)

3. Industrial design (desain industry)

4. Trade mark (merek dagang)

5. Trade names (nama niaga atau nama dagang)

6. Indication of source or appellation of origin11

B. Prinsip-prinsip Hukum Hak Kekayaaan Intelektual

10
H. OK. Saidin, 2015, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),
Jakarta, , Rajawali Pers hlm. 16
11
ibid, hlm. 17
Prinsip utama pada HKI yaitu hasil kreasi dari pekerrjaan dengan memakai

kemampuan intelektualnya tersebut, maka pribadi yang menghasilkannya

mendapatkan kepemilikannya berupa hak alamiah (natural). Begitulah sistem

hukum romawi menyebutkannya sebagai cara perolehan alamiah (natural

acqusition) berbentuk spesifikasi, yaitu melalui penciptaan. Pandangan demikian

terus didukung, dan dianut banyak sarjana, mulai dari Locke sampai kepada kaum

sosialis.12 Sarjana-sarjana hukum romawi menamakan apa yang diperoleh di

bawah system masyarakat, ekonomi, dan hukum yang berlaku sebagai perolehan

sipil dan dipahamkan bahwa asas suum cuique tribuere menjamin, bahwa pada

benda diperoleh secara demikian adalah kepunyaan seseorang itu.

Sebagai cara untuk menyeimbangkan kepentingan dan peranan pribadi

individu dengan kepentingan masyarakat, maka sistem Hak Kekayaan Intelektual

berdasarkan pada prinsip :

1. Prinsip Keadilan (the principle of natural justice)

Pencipta sebuah karya atau orang lain yang bekerja membuahkan hasil dari

kemampuan intelektualnya, wajar memperoleh imbalan. Imbalan tesebut

dapat berupa materi maupun bukan materi, seperti adanya rasa aman karena

dilindungi dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan

tersebut demi kepentingan pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak

dalam rangka kepentingannya trersebut, yang disebut hak. Setiap hak menurut

hukum itu mempunyai title, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alas

12
Muhammad Djumahana, Hak Miik Intelektual, (Sejarah, Teori Dan Prakteknya Di Indonesia),
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 23
an melekatnya hak itu pada pemiliknya. Menyangkut hak milik intelektual,

maka peristiwa yang menajadi alasan melekatnya itu, adalah penciptaan yang

mendasarkan atas kemampuan intelektualnya. 13 Perlindungan ini pun tidak

terbatas di dalam negeri si penemu sendiri, tetapi juga dapat perlindungan di

luar batas negaranya. Hal itu karena hak yang ada pada seseorang ini

mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commission) atau tidak melakukan

(omission) sesuatu perbuatan.14 Jadi di dalam menciptakan sebuah karya atau

orang yang bekerja membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual

dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang akan mendapat perlindungan

dalam pemiliknya.

2. Prinsip Ekonomi (the economic argument)

Hak atas kekayaan intelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil

kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan

kepada khalayak hukum dalam berbagai bentuknya, yang memiliki manfaat

serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, maksudnya ialah bahwa

kepemilikan itu wajar karena sifat ekonomis manusia yang menjadikan hal itu

1 (satu) keharusan untuk menunjang kehidupannya didalam masyarakat.

Dengan demikian, Hak atas Kekayaan Intelektual merupakan suatu bentuk

kekayaan bagi peliliknya. Dari kepemilikannya, seseorang akan mendapatkan

keuntungan, misalnya dalam bentuk pembayaran royalty dan technical fee. 15

Prinsip keadilan, yakni di dalam menciptakan sebuah karya atau orang yang
13
ibid, hlm.26
14
op.cit., Repository USU diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/56526/Chapter
II.pdf;jsessionid=D45062DDBE401E13B296301C3104237F?sequence=3, pada tanggal 13
mei 2017
15
op.cit., Muhammad Djumahana
bekerja membuahkan suatu hasil dari kemampuan intelektual dalam ilmu

pengetahuan, seni, dan sastra yang akan mendapat perlindungan dalam

pemiliknya.

3. Prinsip kebudayaan (the cultural argument)

Kita mengonsepsikan bahwa karya manusia itu pada hakikatnya bertujuan

untuk memungkinkannya hidup, selanjutnya dari karya itu pula akan timbul

pula suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya lagi.

Dengan konsepsi demikian maka pertumbuhan,perkembangan ilmu

pengetahuan,seni, dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf

kehidupan, peradaban, dan martabat manusia. Selain itu, juga kan

memberikan keslahatan bagi masyarakat, bangsa, dan Negara. Pengakuan atas

kreasi, karya, karsa, dan cipta manusia yang dibaukan dalam sitem Hak Milik

Intelektua adalah suatu usaha yang tidak dapat dilepaskan sebagai

perwujudan suasana yang diharapkan mampu membangkitkan semangat dan

minat untuk mendorong melahikan ciptaan baru.16

4. Prinsip sosial (the social argument)

Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai perseorangan yang

berdiri sendiri, terlepas dari manusia yang lain, tetapi hukum mengatur

kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Jadi, manusia dalam

hubungannya dengan manusia lain, yang sama-sama terikat dalam 1 (satu)

ikatan kemasyarakatan. Dengan demikian, hak apa pun yang diakui oleh

hukum dan diberikan kepada perseorangan atau yang diakui oleh hukum dan

16
ibid, hlm. 27
diberikan kepada perseorangan atau suatu persekutuan atau kesatuan lain,

tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi kepentingan

perseorangan atau suatu prsekutuan, atau ksatuan itu saja, tetapi pemberian

hak kepada perseorangan persekutuan/kesatuan itu diberikannya hak tersebut

kepada perseorangan, persekutuan ataupun kesatuan hukum itu, kepentingan

seluruh masyarakat akan terpenuhi.

2.3. Hak Merek

A. Pengertian Hak Merek

Merek menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah tanda yang dikenal

oleh pengusaha (pabrik, produsen, dsb) pada barang yang dihasilkan sebagai tanda

pengenal.17 Dalam pasal 1 butir 1 undang-undang merek no 1 di berikan suatu

definisi entang merek yaitu; tanda yg berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,

angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut, yang

memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau

jasa.18

Selain menurut batasan yuridis beberapa sarjana ada juga memberikan

pendapatnya tentang merek, yaitu:

1. H.M.N. Purwo Sutjipto, S.H., memberikan rumusan bahwa, “Merek adalah

suatu tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat

dibedakan dengan benda lain yang sejenis”.

17
op.cit., KBBI, keyword “Merek”
18
Republik Indonesia, Lembara Negara Tahun 2001, UU no. 15, Jakarta, Pasal 1 butir 1
2. Prof. R. Soekardono, S.H., memberikan rumusan bahwa, ”Merek ada sebuah

tanda (Jawa:ciri atau tengger) dengan mana dipribadikan sebuah barang

tertentu di mana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin

kualitetnya barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang

dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan

lain.”

3. Mr. Tirtaamitdjaya yang mensitir pendapat Prof. Vollmar, memberikan

rumusan bahwa, ”Suatu merek pabrik atau merek perniagaan ada suatu tanda

yang di bubuhkan di atas barang atau di atas bungkusannya,gunanya

membedakan barang itu dengan barang-barang yang sejenis lainnya.”

4. Drs.Iur Soeryatin, mengemukakan rumusannya dengan meninjau merek dari

aspek fungsinya, yaitu: ”Suatu merek di pergunakan untuk membedakan

barang yang bersangkutan dari barang sejenis lainya oleh karna itu, barang

yang bersangkutan dengan diberi merek tadi mempunyai: tanda asal, nama,

jaminan terhadap mutunya.”

5. Essel R. Dillavou, Sarjana Amerika Serikat, sebagai mana dikutip oleh

Pratasius Daritan, merumuskan seraya memberi komentar bahwa: no complete

definition can be given for a trade mark generally it is any sign, symbol mark,

work or arrangement of words in the form of a label adopted and use by a

person has the legal right to use it. Originally, the sign or trade mark,

indicated origin, but today it is used more as an advertising mechanism. (tidak

ada definisi yang lengkap yang dapat diberikan untuk suatu merek dagang,

secara umum adalah suatu lambang, symbol, tanda, perkataan atau susunan
kata-kata di dalam bentuk suatru etiket yang dikutip dan dipakai oleh

seseorang pengusaha atau distributor untuk mennandakan barang-barang

hususnya, dan tida ada orang lain mempunyai hak sah untuk memakainya

desain atau trade mark menunjukkan keaslian tetapi sekarang itu di pakai

sebagai suatu mekanisme periklanan).

6. Harsono Adisumarto,S.H, MPA, merumuskan wahba: merek adalah danda

pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang lain, seperti

pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada punggung sapi yang

kemudian di lepaskan di tempat penggembalaan bersama yang luas. Cap

seperti itu memang merupakan tanda pengenal untuk menunjukkan bahwa

hewan yang bersangkutan adalh milik orang tertentu. Biasanya, untuk

membedakan tanda atau merek di gunakan inisial dari mana pemilik sendiri

sebagai tanda pembedaan.

7. Philip S. James M.A., Sanjana Inggris, menyatakan bahwa: A trade mark is a

mark used in conextion with goods which a trader uses in order to dignity that

a certain type og good are his trade need not be the actual manufacture of

goods, in order to give him the right to use a trade mark, it will suffice if they

marely pass through his hand is the course of trade. (Merek dagang adalah

suatu tanda yang di pakai oleh seorang penusaha atau pedagang , untuk

menandakan bahwa , suatu bentuk tertentu dari barang-barang kepunyaannya,

pengusaha atau mengusaha tersebut tidak perlu penghasilan sebenarnya dari

barangbarang itu, untuk memberikan kepadanya hak untuk memakai suatu


merek, cukup memadai jika barang-barang itu ada di tangannya dalam

lalulintas perdagangan).19

Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang

diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau

badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Merek

jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang

atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan

dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Merek kolektif adalah merek yang digunakan

pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan

oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan

dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya. Menurut David A. Aaker, merek

adalah nama atau simbol yang bersifat membedakan (baik berupa

logo,cap/kemasan) untuk mengidentifikasikan barang/jasa dari seorang

penjual/kelompok penjual tertentu. Tanda pembeda yang digunakan suatu badan

usaha sebagai penanda identitasnya dan produk barang atau jasa yang

dihasilkannya kepada konsumen, dan untuk membedakan usaha tersebut maupun

barang atau jasa yang dihasilkannya dari badan usaha lain. Secara konvensional,

merek dapat berupa nama, kata, frasa, logo, lambang, desain, gambar, atau

kombinasi dua atau lebih unsur tersebut. 20

B. Perlindungan Hukum Merek

op.cit, H. OK. Saidin, hal. 457


19

Wikipedia, “Merek”, diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Merek, pada tanggal 14


20

Mei 2017
Perjalanan sejarah tentang pengaturan hukum Hak Kekayaan Intelektual di

Indonesia memiliki catatan tersendiri. Ia tidak lahir begitu saja secara tiba-tiba.

Sejalan dengan tumbuh kembangnya peradaban umat manusia, seiring itu pula

hukum tentang Hak Kekayaan Intelektual tumbuh dan berkembang. Hukum

tentang Hak Kekyaan Intelektual bukanlah hukum yang bercorak Indonesia asli.

Bukan hukum yang berpangkal pada kultur (budaya) Indonesia. Hukum tentang

Hak Kekayaan Intelektual yang berlaku hari ini berlaku di Indonesia adalah

hukum yang bermula pada hukum peninggalan colonial Belanda. Pemerintah

Hindia Belanda-lah yang pertama kali memperkenalkan hukum dalam bidamg

Hak Kekayaan Intelektual.21

Secara substantive materi peraturan perundang-undangan peninggalan

colonial Belanda tidak dengan mudah begitu saja dapat digantikan dengan

peraturan perundang-undangan produk Indonesia merdeka sejalan dengan lahirnya

Negara Indonesia yang bebas dari penjajahan. Demikian pula dengan tata tertib

hukum yang di cita citakan, yakni yang dilandasi oleh Pancasila dan Undang-

undang Dasar 1945, tidaklah mudah untuk dirumuskan dalam waktu yang singkat,

sebab menyusun materi perundang undangan memerlukan kecermatan dan

didasarkan pada hasil penelitian dengan segala macam persyaratan ilmiah

akademis.

Demikian juga tentang merek, Reglement Industriele Eigendom yang

dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan dimuat dalam lembaran Negara

Hindia Belanda Tahun 1912 no. 545 yang digantikan dengan UU merek no. 21

21
op.cit., H. OK. Saidin, Hlm 2
tahun 1961, kemudian juga mengalami revisi pada tahun tahun berikutnya. 22 Di

Indonesia sendiri revisi UU ini juga bukan hanya dialami oleh hak merek saja

akan tetapi dialami oleh seluruh komponen. Undang undang merek yang

sebelumnya di atur dalam UU no. 21 tahun 1961 untuk menggantikan Reglement

Industriele Eigendom produk pemerintahan Hindia Belanda yang dimuat dalam

Lembaran Negara HIndia Belanda tahun 1912 no. 545 kemudian direvisi melalui

undang-undang no. 19 tahun 1992, terakhir diperbarui denga UU no. 14 tahun

1997 dan terakhir UU tersebut telah dicabut dan digantikan dengan UU Republik

Indonesia no. 15 tahun 2001 tentang Merek.

Selanjutnya tidak berhenti sampai di situ saja. Perlindungan Hak

Kekayaan Intelektual ini menjadi lebih sekedarkeharusan setelah dicapainya

kesepakatan GATT (General Agreement on Tariff and Trade) dan setelah

Konferensi Marakesh pada bulan April 1994 disepakati pula kerangka GATT

akan diganti dengan system perdagangan dunia yang dikenal dengan WTO (World

Trade Organization) yang ratifikasinya dilakukan oleh Pemerintah RI melalui UU

no. 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade

Organization (persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia),

diundangkan dalam LNRI 1994 nomor 57, tanggal 2 november 1994. Dalam

struktur lembaga WTO terdapat dewan umum (General Council) yang berada di

bawah Dirjen WTO. Dewan umum ini selanjutnya membawahi tiga dewan, yang

salah satu diantaranya adalah Dewan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual

Property Rights).

22
ibid, H. OK. Saidin, hlm 4
TRIPs ini dapatlah dikatakan sebagai isu penting dalam kancah

perekonomian internasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Mohtar Mas’oed

bahwa dimasukkannya TRIPs dalam kerangka WTO lebih merupakan sebagai

mekanisme yang sangat efektif untuk mencegah alih teknologi, yang memainkan

peranan kunci dalam proses pertumbuhan dang pembangunan ekonomi.23

BAB III

METODE PENELITIAN

23
ibid, hlm. 8
3.1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan judul, penelitian ini menggunakan metode penelitian

hukum yuridis normatif dengan melakukan pendekatan undang-undang

(statute approach), karena hendak menemukan dan mempelajari adakah

konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-

undang lainnya atau anatara undang-undang dan undang-undang dasar atau

antara regulasi dan undang-undang guna memecahkan isu hukum yang

dihadapi.24

Menurut Soerjono Soekanto metode penelitian hukum normative atau

metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang

dipergunakan didalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka yang ada.25 Dalam hal ini mengenai analisis yuridis normatif

penerapan prinsip HKI (Hak Kekayaan Intelektual) dalam peraturan nasional

Indonesia tentang merek. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah statute approach atau pendekatan peruandang-undangan sebab

menggunakan pendekatan legislasi dan regulasi.26

3.2. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu

data kepustakaan atau dikenal dengan bahan hukum penelitian hukum sperti
24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.
Hal . 133
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,2009. Hal 13-14
26
Ibid, hlm. 97
ada kesepakatan yang tidak tertulis dari para ahli peneliti hukum, bahwa

hukum itu berupa berbagai literatur yang dikelompokan kedalam:

1. Bahan hukum primer, seperti peraturan perundang undangan, peraturan

regulasi atau yurisprudensi.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa literatur-literatur hukum terdiri dari

buku-buku, jurnal, majalah-majalah, karya tulis ilmiah, maupun media

internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier, yaitu berupa kamus-kamus.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian hukum normatif atau kepustakaan teknik pengumpulan

data dalam penelitian hukum normative dilakukan dengan studi pustaka

terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non-hukum.

Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan membaca,

mendengarakan, maupun sekarang banyak dilakukan penelusuran bahan

hukum tersebut dengan melalui media internet.

3.4. Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative dalam arti data

dianalisis secara kualitatif. Maksudnya data yang dikumpulkan tersebut

diklarifikasi dan diseleksi untuk dicari data khususnya yaitu yang berkaitan

dengan objek penelitian. Dengan demikian itu dapat membantu peneliti.

Anda mungkin juga menyukai