Anda di halaman 1dari 4

Sumber Hukum Perdata Internasional Indonesia

Yang dimaksud dengan Sumber-Sumber Hukum Perdata Internasional Indonesia


adalah beberapa peraturan yang berlaku di Negara Indonesia yang mengatur
permasalahan Perdata yang terdapat unsur asingnya dan terbentuk dalam satu
kesatuan yang dinamakan Sumber-Sumber Hukum Perdata Internasional Indonesia.

Terdapat sumber-sumber hukum perdata internasional di indonesia pada saat


sebelum tahun 1945, yaitu sebelum Kemerdekaan Negara Republik
Indinesia. Dimana ada pasal-pasal penting berdasarkan teori statuta. Yang terdapat
di dalam Alegemeene Bepalingen van Wetgeving(S. 1847-23, disingkat AB). Di
dalamnya terdapat tiga pasal yang mengatur, yaitu:

1) Pasal 16 A.B. berbunyi:


“De wettelijke bepalingen betreffende den staat en de voegdheid der
personen blijven verbindend voor ingezetenen van Nederlandsch-Indie, wanneer
zij zich buiten’s lands bevinden.”
Terjemahannya: “Bagi penduduk Hindia-Belanda peraturan-peraturan
perundang-undangan mengenai status dan wewenang seseorang tetap
berlaku terhadap mereka, apabila mereka ada di luar negeri.”
Pasal ini sesuai dengan statuta personalia, yang mencakup:
1. Peraturan mengenai hukum perorangan (personenrecht).Termasuk hukum
kekeluargaan.
2. Peraturan-peraturan mengenai benda yang tidak tetap (bergerak).

2) Pasal 17 A.B. berbunyi:


“Ten opzigte van onroerende goederen geldt de wet van het land of
plaats, alwaar die goederen gelegen zijn”.
Terjemahannya: “Terhadap benda-benda tetap (tidak bergerak) berlaku
perundang-undangan negara atau tempat dimana benda-benda itu
terletak.”
Pasal ini berdasarkan statuta realia, jadi tidak seluruh hukum kekayaan akan
tetapi hanya yang mengenai benda tidak bergerak hukum yang berlaku
tetapsama, siapapun pemiliknya. Dasar yang dipakai dalam peraturan-peraturan
tentang benda tidak bergerak ini oleh pembuat undang-undang lebih ditekankan
pada bendanya, bukan pada pemiliknya. Tempat atau letak suatu benda tidak
bergerak merupakan titik taut yang menentukan hukum yang harus diberlakukan
menurut azas lex rei sitae.
3) Pasal 18 A.B. berbunyi:
1. De vorm van elke handeling wordt beoordeelg naar de wetten van het land of the
plaats, alwaar die handeling is verright.
2. Bij de toepassing van dit en van het voorgaan de artikel moet steeds worden
acht gegeven op het verschil, hetwelk de wetgeving daarstelt tussen
Europeanan en Inlanders
Terjemahannya:
1. “Bentuk dari setiap perbuatan dinilai menurut perundang-undangan negara
dan tempat perbuatan itu dilakukan’
2. Dalam melaksanakan pasal ini dan yang sebelumnya selalu harus
diperhatikan
perbedaan yang oleh undang-undang diadakan antara orang Eropa dan
Indonesia asli.
Ayat 2 ini hanya merupakan suatuperingatan untuk para hakim dan para
penguasa dalam badan pemerintahan, bahwa perihal orang-orang Indonesia asli
berlaku hukum adat yang tidak termuat dalam undang-undang dan yang
berlainan di berbagai daerah, yang mungkin sekali mengenai cara melakukan
perbuatan hukumnya. Jadi, pasal ini menunjuk kepada pasal 131 I.S.
Pasal 18 A.B. ini dikenal merupakan peraturan yang sesuai
denganstatuta mixta. Dengan statuta mixta terutama dimaksudkan peraturan-
paraturan yang mengenai segi formil daripada perbuatan-perbuatan
hukum (vorm derrechtshandeling). Peraturan-peraturan tentang “vorm”sesuatu
perbuatan hukum yang diperlakukan ialah hukum dari tempat di mana terjadinya
perbuatan hukum tersebut (lex loci actus).

Selain pasal-pasal dalam A.B. masih terdapat di dalam:


Pasal 131 I.S. (Indische-Staatsregeling):
S. 1925-415 jo. 577. di dalam pasal ini, membedakan penduduk Indonesia
(yang pada masa itu dinamakan Hindia-Belanda) ke dalam tiga golongan, yakni:
a. Golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan mereka, misalnya
orang Jepang.
b. Golongan-golongan Timur Asing, masing-masing dengan hukumnya sendiri.
c. Golongan Bumiputera (Indonesia asli).

Bagi golongan Bumiputera hukum yang berlaku adalah hukum adat, menurut pasal
11 A.B. jadi pasal 11 A.B. ini merupakan kaidah petunjuk, hukum mana yang
berlaku.

Adapun sumber-sumber Hukum Perdata Internasional di Indonesia setelah


tahun 1945, yaitu setelah Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berupa:
(1) Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia No. 62 Tahun 1958
Dimana dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. umumnya pada negara nasional sebelum dikenal prinsip kewarganegaraan sudah
dipergunakan dulu prinsip domisili.
2. sebab itu, sekalipun dalam negara nasional kini dipergunakan prinsip
kewarganegaraan, namun prinsip domisili belum dikesampingkan sama sekali,
sehingga seringkali untuk memastikan kewarganegaraan seseorang kita harus
menentukan terlebih dahulu domisilinya, seperti dalam undang-undang
Kewarganegaraan kita. Atau apabila Kewarganegaraan orang yang bersangkutan
tak dapat ditentukan, mak domisili merupakan titik taut yang menentukan.
3. negara kita menganut faham Kewarganegaraan yang berdasarkan
prinsip genealogis-territorial ditambah keharusan adanya ikatan bathin. Jadi,
dalam hukum Indonesia dewasa ini prinsip domisili (atau privaatrechtelijke
nationaliteit) dipakai berdampingan dengan dan bersamaan dengan prinsip
kewarganegaraan (ataupubliekrechtelijke nationaliteit).

(2) Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960


Di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, kewarganegaraan merupakan
pembedaan untuk memiliki tanah indonesia, sehingga pembedaan golongan
penduduk (131 jo 163 I.S.) dalam hal tanah dihapuskan olehnya. Sebab itu
ketentuanketentuan dalam S. 1875-179 mengenai Larangan Pengasingan Tanah
Adat, terhapus pula. Penanaman Modal Asing, yang harus dituangkan ke dalam
suatu badan hukum yang berdomisili di Indonesia, dapat memperoleh hak guna
usaha bangunan, sedangkan untuk hak pakai hanya diperlukan syarat “mempunyai
perwakilan di Indonesia” saja (pasal 42 UUPA)

(3) Undang-undang Penanaman Modal Asing No. 1 Tahun 1967.


Undang-undang Penanaman Modal Asing dalam:
Pasal 1 : mengandung makna penanaman modal asing
Pasal 2 : mengandung pengertian modal asing
Pasal 3 : mengatur bentuk hukum dan kedudukannya, yang menunjuk kepada
berlakunya hukum Indonesia.
Pasal 14 : mengatur pemakaian tanah untuk modal asing (hak pakai, hak sewa, hak
guna usaha dan hak guna bangunan)
Pasal 21 : mengatur nasionalisasi terhadap modal asing
Pasal 22 ayat (1) : menyangkut kompensasi (ganti kerugian) bagi perusahaan asing
yang dinasionalisasi.
Pasal 22 ayat (2) : menentukan cara diadakan arbitrase, jika antara kedua belah
pihak tidak tercapai persesuaian mengenai jumlah, macam dan cara kompensasi.
(4) Undang-Undang Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri No. 6 Tahun
1968
Di dalam Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri pasal-pasal
yang mengandung kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional adalah antara lain:
Pasal 1, mengenai pengertian tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Pasal 3, mengenai pengertian tentang perusahaan nasinal dan perusahaan asing.
Pasal 6, mengenai batas waktu berusaha perusahaan-perusahaan asing.

Anda mungkin juga menyukai