SKRIPSI
RAUSHAN ALJUFRI
1706048734
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JULI 2022
UNIVERSITAS INDONESIA
SKRIPSI
RAUSHAN ALJUFRI
1706048734
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JULI 2022
ii
PERNYATAAN ORISINALITAS
adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis
sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
Raushan Aljufri
1706048734
Universitas Indonesia
iii
HALAMAN PENGESAHAN
dan telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji serta diterima sebagai
bagian persyaratan yang diwajibkan untuk memperoleh gelar: Sarjana Hukum
(S.H.) pada Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
TIM PENGUJI
Disahkan di : Depok
Tanggal : 20 J 2022
Universitas Indonesia
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirahim
Semua yang baik datang dari Allah SWT, dan oleh sebab itu, saya ingin
mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, karenaNya, saya dapat
menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. Walaupun tidak ada karya yang sempurna, saya
benar-benar berharap bahwa penelitian ini akan menjadi suatu kontribusi yang
berharga dan bernilai bagi mereka yang tertarik dengan bidang Hak Cipta dan
Hukum Perdata Internasional. Saya menyatakan hal ini dengan pengetahuan dan
kesadaran bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari banyak orang lain, tidak
mungkin saya dapat sampai ke titik ini dalam perjalanan pendidikan saya. Tidak
mungkin saya dapat menyebutkan semua yang membantu saya selama waktu
perkuliahan saya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sampai titik ini saya
dapat menyelesaikan skripsi, akan tetapi, saya ingin secara spesifik mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Ibu Tiurma M. Pitta Allagan, S.H., M.H., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing
yang telah menyediakan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membantu saya menyelesaikan penulisan skripsi ini. Saya sangat hargai
bimbingan yang Ibu berikan adalah suatu bantuan yang tak ternilai yang
saya sangat hargai.
2. Bapak Yu Un Oppusunggu, S.H., LL.M., Ph.D., Ibu Lita Arjati, S.H.,
LL.M., dan Ibu Dinda Rizqiyatul Himmah, S.H., LL.M., selaku Tim Penguji
Hukum Perdata Internasional FH UI. Terima kasih telah berkenan
memberikan ilmu, kritik, dan saran kepada saya. Kontribusi tersebut tentu
telah meningkatkan kualitas dari penelitian ini sehingga dapat menjadi lebih
sempurna.
3. Ibu Dr. Yetty Komalasari Dewi, S.H., MLI selaku pembimbing akademik
saya selama perjalanan perkuliahan saya di FH UI. Bantuan dan saran yang
Ibu berikan selama masa perkuliahan saya sangat membantu saya dalam
proses mencari ilmu selama kuliah.
4. Daniel Nicholas, Azura Zuhria, Thea Mutiara Khalifa, Elang Adhyaksa,
Rifqi Thoriq, Lyon Hadid, Flaviana Meydi, Hana Veranda, Iqbal Yusra,
Universitas Indonesia
v
Bang Rizky Bayuputra, Bang Indra, Bang Irfan Fadhila, Mbak Dominique
Virgil, Dito, Rafi Hanif, Benedict Gian, Christou Immanuel, Iona Lathifah,
Amanda Fathia, dan Yasmine Dwihanjani, dan semua teman-teman saya
selama perkuliahan di FH UI. Kenangan dan persahabatan selama masa
perkuliahan tak pernah saya akan lupakan.
5. Fasya Yurizha Yahya, teman terdekatku selama 3 tahun terakhir ini, yang
selalu memberi saya dukungan dan bantuan dengan penuh pengertian dan
kesabaran. Tanpa dukungan Fasya, tidak mungkin saya dapat menyelsaikan
skripsi ini. With all my heart, thank you for all you have given me.
6. Abib dan Baba, yang memberikan banyak sekali dukungan dan bantuan
selama masa perkuliahan saya ini. Saat orang tua sedang bertugas di luar
negeri, Abib dan Baba memberikan tempat tinggal, makanan, saran, dan
tentu doa yang membantu saya dapat selesaikan masa perkuliahan saya.
7. Aba dan Mama tercinta yang membesarkan saya, mengajarkan semua yang
saya ketahui dan terus menjadi inspirasi sampai saat ini. Cinta dan rasa kasih
saya yang Aba dan Mama menjadi motivasi saya untuk bekerja dan
berusaha mencapai keinginan-keinginan saya. I hope I’ve made you proud.
Saya sadar bahwa skripsi ini tentu tidak sempurna, dan pasti ada kekurangan-
kekurangan. Oleh karena itu, saya memohon maaf atas segala kekurangan-
kekurangan tersebut. Semoga penelitian ini memberikan manfaat dan pengetahuan
bagi semua yang membacanya.
Raushan Aljufri
1706048734
Universitas Indonesia
vi
PERSETUJUAN PUBLIKASI
SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
“Penerapan Pasal 5 Ayat (2) Berne Convention on the Protection of Literary and
Artistic Works: Hukum yang Berlaku dalam Perkara Pelanggaran Hak Cipta”
Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak
menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat dan memublikasikan skripsi saya selama tetap menyantumkan nama saya
sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.
Raushan Aljufri
Universitas Indonesia
vii
ABSTRAK
Isu ketentuan mengenai hukum yang berlaku dalam sengketa pelanggaran hak cipta
sampai hari ini belum banyak didiskusikan di Indonesia, meskipun isu ini menjadi
semakin penting dalam era digital modern. Penelitian ini mengkaji ketentuan-
ketentuan tentang hukum yang berlaku dalam pelanggaran hak cipta di Indonesia,
dengan memperhatikan semua norma hukum internasional maupun hukum nasional
Indonesia yang berhubungan. Pertama, suatu analisa terhadap ketentuan tentang
hukum yang berlaku dalam pasal 5 paragraf (2) Berne Convention on the Protection
of Literary and Artistic Works dilakukan dengan memperhatikan diskusi antara ahli
hukum mengenai penafsiran yang tepat dari pasal tersebut, dan juga dengan
memperhatikan berbagai praktek nasional mengenai bagaimana pasal tersebut telah
diterapkan oleh berbagai negara. Kedua, implikasi-implikasi terhadap ketentuan
hukum yang berlaku dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta di diskusikan, serta bagaimana pandangan-pandangan ahli dan praktisi
hukum di Indonesia tentang ketentuan mengenai hukum yang berlaku yang tepat
untuk digunakan dalam sengketa pelanggaran hak cipta. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa walaupun ada debat tentang penafsiran yang tepat dari Pasal
5 ayat (2) Konvensi Berne, pendapat yang paling umum secara internasional adalah
bahwa ketentuan tersebut mengharuskan penggunaan hukum dari negara untuk
mana perlindungan diminta (lex loci protectionis) saat menangani perkara
pelanggaran hak cipta. Di sisi lain, para ahli dan praktisi hukum Indonesia
cenderung menggunakan lex fori dibandingkan lex loci protectionis.
Universitas Indonesia
viii
ABSTRACT
The issue of the applicable law in international copyright infringement disputes has
to this day received little discussion in Indonesia, despite the increasing importance
of this issue in the modern digital age. This study attempts to research the possible
rules regarding the applicable law that may currently apply to copyright
infringement in Indonesia, by examining all relevant norms of international law as
well as Indonesian national law. First, an analysis of the applicable law rules
contained in article 5 paragraph (2) of the Berne Convention on the Protection of
Literary and Artistic Works is conducted by examining the scholarly debate
regarding the proper interpretation of the article, as well as by further examining
the various national practices regarding how the article has been applied in various
countries. Second, the possible applicable law implications of Article 2 of Law No.
28 of 2014 about Copyright is discussed, as well as the prevailing views of
Indonesian scholars and law practitioners regarding the proper applicable law rules
to be applied in copyright infringement disputes. The study finds that while there is
some debate about the interpretation of article 5 paragraph (2) of the Berne
Convention, the prevailing view internationally is that it requires the use of the law
of the state for which protection is claimed (lex loci protectionis) when dealing with
copyright infringement. On the other hand, it appears that Indonesian scholars and
legal practitioners tend to apply the lex fori as opposed to the lex loci protectionis.
Universitas Indonesia
ix
DAFTAR ISI
Universitas Indonesia
x
Universitas Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelanggaran hak cipta yang marak terjadi telah menimbulkan persoalan
Hukum Perdata Internasional (“HPI”). Hal ini membutuhkan perhatian khusus.
Persoalan HPI yang timbul pada pokoknya berkaitan dengan kesulitan dalam
menentukan hukum yang berlaku dalam perkara-perkara tersebut.1 Suatu ilustrasi
singkat dari persoalan-persoalan HPI yang dapat muncul dari perkara-perkara
macam tersebut dapat dilihat dari fakta-fakta dalam kasus The Institute for
Motivational Living, Inc. melawan Didik Mulato.2
Dalam perkara tersebut, seseorang yang tinggal di Indonesia memperbanyak
beberapa buku dan program komputer yang diciptakan dan dimiliki oleh suatu
perusahaan Amerika Serikat tanpa izin dari pemilik, lalu mengunduhkah ke suatu
situs di Internet. Oleh sebab itu, maka pemilik materi ciptaan menggugat
pengunggah materi tersebut di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.3 Dalam kasus
tersebut, hukum negara manakah yang berlaku dalam perkara? Apakah hukum
Amerika Serikat sebagai tempat asal materi ciptaan dan pemilik ciptaan? Atau
seharusnya hukum Indonesia, sebagai lokasi tempat tinggal tergugat serta tempat
dari mana materi-materi ciptaan tersebut diunggah?
Kasus ini hanya satu contoh saja dari berbagai perkara pelanggaran hak cipta
di dunia yang melibatkan isu-isu HPI. Kasus ini mengilustrasikan isu-isu HPI yang
lahir di berbagai yurisdiksi di dunia sebagai akibat perkembangan teknologi,
khususnya internet.4 Salah satu isu yang paling krusial, menurut penulis, adalah isu
1
Ada beberapa doktrin mengenai ruang lingkup bidang HPI, namun semua konsepsi HPI
mengakui bahwa isu mengenai hukum yang berlaku (“applicable law” atau “choice of law”)
merupakan bagian dari bidang HPI, seperti di Jerman, Belanda, Inggris, Italia, Spanyol, Perancis,
Indonesia, dan lain-lain, Lihat Zulfa Djoko Basuki et al., Hukum Perdata Internasional, ed.1, cet. 1
(Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2014), hlm. 1.40-1.41.
2
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 736 K/Pdt.Sus/2011
3
Ibid. hlm. 1- 7
4
Untuk pembahasan mengenai bagaimana isu ini telah muncul di berbagai yurisdiksi di
dunia, Lihat Andrew F. Christie, Private International Law Issues in Online Intellectual Property
Universitas Indonesia
2
mengenai cara untuk menentukan hukum negara manakah yang harus diterapkan
dalam kasus-kasus, seperti yang dicontohkan dalam perkara The Institute for
Motivational Living, Inc. melawan Didik Mulato.
Namun, Penulis sayangkan fakta bahwa di Indonesia belum banyak diskusi
mengenai bagaimana cara-cara menyelesaikan perkara seperti di contoh tersebut.
Seandainya perkara semacam itu terjadi di Indonesia, Hakim akan menemukan
kesulitan menemukan hukum sebab, seperti yang dikatakan oleh Kusumadara,
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai Hak Kekayaan
Intelektual (“HAKI”), tidak ada ketentuan HPI yang secara khusus mengatur tetang
hukum yang berlaku terhadap isu-isu HAKI dengan unsur asing.5 Ketentuan-
ketentuan yang ada dalam hukum nasional, seperti yang ditemukan dalam pasal 2
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”),6 yang
mungkin saja berhubungan dengan isu ini tidak sebegitu jelas atau mudah untuk
ditafsirkan.7 Namun, jika Hakim mencari norma-norma hukum internasional,8
Hakim Indonesia dapat saja menemukan sesuatu norma yang sepertinya memberi
jawaban terhadap perkara ini, yaitu pasal 5 ayat (2) dari Berne Convention on the
Protection of Literary And Artistic Works (“Konvensi Berne”).
Konvensi Berne adalah perjanjian internasional, diadopsi pada tahun 1886,
yang mengatur dan memberi perlindungan atas karya-karya dan hak-hak bagi para
Universitas Indonesia
3
penciptanya.9 Pada saat ini, 180 negara menjadi negara pihak Konvensi Berne10,
termasuk Indonesia, yang meratifikasi perjanjian tersebut dan menjadi negara pihak
pada tahun 1997 melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997.11 Bagian yang
menjadi penting dalam Konvensi Berne untuk isu hukum yang berlaku adalah Pasal
5 ayat (2) yang menyatakan bahwa:
The enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject to any
formality; such enjoyment and such exercise shall be independent of the
existence of protection in the country of origin of the work. Consequently,
apart from the provisions of this Convention, the extent of protection, as well
as the means of redress afforded to the author to protect his rights, shall be
governed exclusively by the laws of the country where protection is
claimed.12
Pasal ini sebenarnya mengatur banyak aspek dari perlindungan hak cipta
dalam tingkat internasional. Menurut World Intellectual Property Organization
(“WIPO”), organisasi internasional melaksanakan tugas administratif dari
Konvensi Berne,13 fungsi pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne adalah untuk menetapkan
beberapa prinsip dasar dari perjanjian tersebut. Pertama, pasal ini menetapkan
bahwa perlindungan hak cipta dalam konvensi ini tidak dapat dipersyaratkan
dengan suatu kewajiban formalitas yang mungkin saja ditetapkan oleh negara
pihak. Kedua, pasal ini memastikan bahwa perlindungan dalam Konvensi Berne
hanya berlaku terhadap karya asing, dan tiap negara masih dapat mengatur dengan
9
World Intellectual Property Organization, “Berne Convention on the Protection of
Literary and Artistic Works,” https://www.wipo.int/treaties/en/ip/berne/, diakses 14 Januari 2022
10
World Intellectual Property Organization, “WIPO-Administered Treaties> Contracting
Parties> Berne Convention,”https://wipolex.wipo.int/en/treaties/ShowResults?search_what=C&tre
aty_id=15, diakses 14 Januari 2022
11
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pengesahan Berne Convention on the Protection
of Literary and Artistic Work, Keppres No. 18 Tahun 1997.
12
World Intellectual Property Organization, Paris Act relating to the Berne Convention on
the Protection of Literary and Artistic Works, UNTS 1161 (1972), hlm. 3, Ps. 5 ayat (2)
13
Tugas ini awalnya dilaksanakan oleh International Bureau of the Berne Union, namun
sekarang dilaksanakan oleh WIPO, lihat Ibid. Ps. 24 ayat (2) huruf a “The administrative tasks with
respect to the Union shall be performed by the International Bureau…” dan World Intellectual
Property Organization, Convention Establishing the World Intellectual Property Organization,
UNTS 828 (1970) hlm. 3, Ps. 4 “…the Organization… (ii) shall perform the administrative tasks of
… the Berne Union.”
Universitas Indonesia
4
penuh hak cipta dalam negara masing-masing.14 Namun, yang akan menjadi fokus
dan objek dari penelitian ini adalah klausula terakhir dari Konvensi Berne, yaitu
klausula yang menyatakan bahwa “…the extent of protection, as well as the means
of redress afforded to the author to protect his rights, shall be governed exclusively
by the laws of the country where protection is claimed.”
Seperti yang dibahas sebelumnya, hakim Indonesia, dengan melihat pasal
ini, sepertinya telah menemukan suatu norma hukum dapat dijadikan dasar untuk
membuat keputusan dan menyelesaikan masalah. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (2)
Konvensi Berne tercantum suatu kaidah HPI, yaitu dalam perkara hak cipta dengan
unsur asing, hukum yang berlaku adalah “the laws of the country where protection
is claimed” atau yang disebut dalam literatur sebagai lex loci protectionis.15 Apakah
dengan ini apakah segala permasalahan dan persoalan selesai? Melihat literatur di
dunia mengenai masalah ini, sepertinya persoalan belum selesai.
Masalahnya, cara untuk menginterpretasi kata-kata “laws of the country
where protection is claimed” bukanlah suatu hal yang mudah, sebab artinya tidak
sebegitu jelas. Apa yang dimaksud dengan pasal tersebut saat menggunakan kata
‘where protection is claimed’? Apakah merujuk kepada tempat dilakukan gugatan
oleh pemilik hak cipta? Atau merujuk kepada sesuatu hal lain? Dinwoodie
menjelaskan bahwa sebenarnya Pasal 5 ayat (2) dari Konvensi Berne telah
menimbulkan debat dan kontroversi selama lebih dari seratus tahun sebagai akibat
kesulitan untuk menginterpretasinya.16 Sampai sekarang pun, masih banyak
perdebatan mengenai apakah pasal ini benar memuat suatu kaidah HPI, atau jika
memang benar ini memuat suatu kaidah HPI, apa substansi dari kaidah tersebut.17
14
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention for the
Protection of Literary and Artistic Works (Paris Act, 1971), (Jenewa: World Intellectual Property
Organization, 1978), hlm. 33
15
Istilah ini digunakan di berbagai literatur, sebagai contoh lihat Annabelle Bennet dan
Sam Granata, When Private International Law Meets Intellectual Property Law: A Guide for Judges,
(Den Haag: Hague Conference on Private International Law; Geneva: World Intellectual Property
Organization, 2019), hlm. 24, “there are also discussions whether or not Article 5(2) of the Berne
Convention, which provides that “the extent of protection, as well as the means of redress afforded
to the author to protect his rights, shall be governed exclusively by the laws of the country where
protection is claimed”, may be interpreted as a conflict of laws rule, i.e. lex loci protectionis.”
16
Graeme B. Dinwoodie, “Developing a Private International Intellectual Property Law:
The Demise of Territoriality?” William & Mary Law Review 51 No. 2, Art. 12 (2009), hlm. 718;
17
Ibid.
Universitas Indonesia
5
Pandangan mayoritas adalah bahwa Pasal 5 ayat (2) memuat kaidah lex loci
protectionis, namun ada pula yang menolak pandangan ini. Masalahnya ketentuan
HPI mengenai hak cipta dalam perjanjian internasional sering kali dirumuskan
tanpa kejelasan dan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip lebih umum.18 Oleh
sebab itu, Austin sempat menyatakan bahwa “The meaning of this article is
notoriously elusive.”19
Walaupun demikian, Antonelli menjelaskan bahwa Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne, dengan segala ambiguitas dan permasalahannya, telah digunakan untuk
mendukung tiga macam teori mengenai bagaimana menafsirkan pasal tersebut,
yang dapat disebut sebagai 1. teori lex fori; 2. lex originis; dan 3. teori lex loci
delicti.20
Teori pertama berpendapat bahwa kalimat “laws of the country where
protection is claimed” dalam Pasal 5 ayat (2) harus dibaca secara harafiah dan
merujuk ke hukum dari pengadilan dimana ‘protection is sought’ melalui sesuatu
gugatan, atau yang sering disebut sebagi lex fori. Penafsiran mempersamakan kata
‘protection is sought’ dengan tindakan hukum gugatan perdata. Akibat dari
penafsiran ini adalah saat terjadi sengketa di pengadilan manapun mengenai hak
cipta, lex fori dari pengadilan akan selalu dijadikan applicable law. Pada intinya,
menurut teori ini lex loci protectionis dapat disamakan dengan lex fori.21
Teori kedua memiliki penafsiran yang berbeda. Menurut teori ini, lex loci
protectionis merujuk kepada hukum negara asal hak cipta, yang dapat disebut
sebagai country of origin atau lex originis. Menurut teori ini, tempat asal suatu hak
cipta adalah tempat dimana “the work has acquired, for the first time, a social
dimension, that is the place in which it has met the public for the first time.” Dengan
dibuatnya suatu karya, maka secara otomatis “protection is sought.” Oleh sebab itu,
18
Ibid; Untuk diskusi lebih lengkap mengenai perdebatan penafsiran Pasal 5 ayat (2)
Konvensi Berne, lihat hlm. 53-67 karya ini; lihat pula Mireille van Eechoud, “Choice of Law in
Copyright and Related Rights,” (Disertasi Doktor Universiteit van Amsterdam, Amsterdam, 2003),
hlm. 95-125
19
Graeme W. Austin, “Domestic Laws and Foreign Rights: Choice of Law in Transnational
Copyright Infringement Litigation,” Columbia-VLA Journal of Law & the Arts 23, No. 1 (1999-
2000), hlm. 23
20
Andrea Antonelli, “Applicable Law Aspects of Copyright Infringement on The Internet:
What Principles Should Apply?” Singapore Journal of Legal Studies (Juli 2003), hlm. 150-152
21
Ibid., hlm. 150-151.
Universitas Indonesia
6
hukum yang tepat untuk menyelesaikan masalah hak cipta adalah hukum negara
asal suatu hak cipta.22
Teori ketiga, yang sebenarnya merupakan teori yang paling populer,
menginterpretasikan lex loci protectionis secara prakteknya sama dengan asas HPI
yang klasik, yaitu lex loci delicti atau hukum dari tempat dimana terjadinya suatu
perbuatan melawan hukum (“PMH”), atau dalam kasus ini, hukum di tempat
terjadinya pelanggaran hak cipta. Menurut teori ini, hukum yang tepat untuk
digunakan dalam kasus pelanggaran HPI adalah tempat dimana pelanggaran Hak
Cipta terjadi, sama seperti PMH lainnya. Ini karena hanya setelah terjadinya suatu
pelanggaran hak cipta, pertanggungjawaban dapat diminta, sehingga “protection is
sought.”23
Untuk memperparah masalah, di Indonesia terdapat juga ketentuan-ketentuan
dalam UU Hak Cipta yang mempersulit penafsiran mengenai asas-asas tentang
hukum yang berlaku yang tepat digunakan oleh seorang hakim Indonesia, seperti
sebelumnya telah disebut. Hal ini terlihat dalam Pasal 2 UU Hak Cipta yang
menyatakan bahwa UU Hak Cipta juga berlaku terhadap hak cipta asing dengan
syarat-syarat tertentu.24 Yang menjadi masalah, dengan menyatakan hal tersebut,
apakah ketentuan pasal ini berupa suatu ketentuan mengenai hukum yang berlaku
yang mewajibkan penggunaan hukum Indonesia saat pengadilan Indonesia
melindungi hak cipta asing? Atau apakah pasal ini tidak ada hubungan sama sekali
dengan isu-isu tentang hukum yang berlaku yang mungkin muncul dalam suatu
perkara pelanggaran hak cipta? Bagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne berinteraksi dengan pasal UU Hak Cipta tersebut? ketentuan-ketentuan
seperti ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab dan membuat
22
Ibid., hlm. 151.
23
Ibid., hlm. 151-153.
24
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 2 “Undang-Undang ini berlaku
terhadap:…b. semua Ciptaan dan produk Hak Terkait bukan warga negara Indonesia, bukan
penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia yang untuk pertama kali dilakukan
Pengumuman di Indonesia; c. semua Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dan pengguna Ciptaan
dan/atau produk Hak Terkait bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan
badan hukum Indonesia dengan ketentuan: 1. negaranya mempunyai perjanjian bilateral dengan
negara Republik Indonesia mengenai pelindungan Hak Cipta dan Hak Terkait; atau 2. negaranya
dan negara Republik Indonesia merupakan pihak atau peserta dalam perjanjian multilateral yang
sama mengenai pelindungan Hak Cipta dan Hak Terkait.”
Universitas Indonesia
7
mencari asas-asas mengenai hukum yang berlaku bagi pelanggaran hak cipta
semakin sulit untuk ditemukan.
Berdasarkan pemaparan di atas, jelas bahwa isu hukum yang berlaku dalam
perkara pelanggaran hak cipta merupakan suatu isu penting yang berpotensi muncul
di pengadilan-pengadilan Indonesia untuk kedepannya. Pemaparan di atas
menunjukkan bahwa pada realitanya belum ada ‘teori’ pasti yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan perkara-perkara semacam itu. Ketentuan HPI yang berlaku
saat ini mengenai hak cipta yang ditemukan di Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne
masih sangat multi-tafsir, dan masih belum jelas pula penerapannya bagaimana
terhadap semua kasus-kasus pelanggaran hak cipta. Situasi ini melahirkan
ketidakpastian hukum yang dapat mempersulit tugas hakim jika isu-isu semacam
ini muncul di pengadilan. Namun perlu juga diingat bahwa jika perkara semacam
ini benar terjadi di Indonesia (semacam yang diilustrasikan oleh Penulis diatas),
sesuai asas ius curia novit, maka hakim tidak boleh menolak untuk menyelesaikan
suatu perkara atas dasar bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas.25 Seorang
hakim harus mengadili kasus, terlepas hukumnya jelas atau tidak. Oleh sebab itu,
penulis menilai penting untuk isu-isu yang telah dipaparkan ditinjau dan dianalisa,
dengan mempertimbangkan bagaimana penerapannya dalam konteks sistem hukum
Indonesia, agar dapat memberikan suatu pedoman kepada para-Hakim mengenai
cara menyelesaikan perkara-perkara semacam ini.
Di beberapa negara di dunia lainnya, perkara-perkara semacam ini sudah
pernah terjadi, dan telah dibahas melalui yurisprudensi ataupun melalui
pembahasan akademis.26 Namun, yang penulis sayangkan adalah fakta bahwa
diskusi mengenai permasalahan ini di Indonesia masih belum sebegitu banyak.
Hanya beberapa penulis di Indonesia membahas aspek-aspek HPI dalam hak
25
Lihat Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN.
No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076, Ps. 10 ayat (2), “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya;” Untuk diskusi lengkap
mengenai asas ius curia novit, lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, ed. 2, (Jakarta: Sinar Grafika,
2017), hlm. 913-914
26
Christie, Private International Law, hlm 2-31.
Universitas Indonesia
8
cipta,27 dan lebih lagi, Penulis belum menemukan pula karangan yang khusus
membahas aspek-aspek HPI dalam konteks pelanggaran hak cipta. Oleh sebab itu,
Penulis berharap penelitian ini dapat mengisi kekosongan ini.
Penulis tidak berharap bahwa penulis dapat menyelesaikan secara pasti
perdebatan seratus tahun mengenai penafsiran Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne
Namun, melihat bahwa literatur dan yurisprudensi mengenai pasal tersebut cukup
banyak di dunia internasional, Penulis akan mencoba untuk meluruskan dan
menganalisis berbagai interpretasi pasal tersebut di yurisprudensi pengadilan asing
dan literatur akademis, dan membandingkan antara interpretasi-interpretasi yang
ada. Selain itu, penulis akan mencoba melihat bagaimana ketentuan hukum
internasional seperti Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne dapat berinteraksi dengan
ketentuan-ketentuan hukum nasional yang sudah ada, seperti ketentuan pasal 2 UU
Hak Cipta yang telah dibahas sebelumnya, serta implikasi-implikasi dari pasal-
pasal tersebut terhadap ketentuan mengenai hukum yang berlaku dalam perkara
pelanggaran hak cipta yang terjadi di Indonesia.
Ada beberapa catatan terakhir dari penulis mengenai ruang lingkup dari
penelitian ini. Pertama, penelitian ini hanya akan membahas yang disebut sebagai
copyright infringement atau pelanggaran hak cipta sebagai suatu perkara perdata.
Tentu, terdapat pula aspek-aspek hukum pidana dalam perkara pelanggaran hak
cipta, akan tetapi, dikarenakan isu-isu hukum pidana di luar cakupan HPI, Penulis
tidak akan membahasnya.
Selain itu, Penulis hanya akan membahas pelanggaran hak cipta sebagai suatu
PMH, dan bukan perkara wanprestasi yang bisa saja memiliki aspek-aspek
pelanggaran hak cipta. Goldstein menjelaskan bahwa isu-isu HPI dalam perkara
hak cipta dengan unsur-unsur asing biasanya muncul dalam tiga macam konteks:
Saat tidak ada perjanjian antara para pihak yang mengatur hukum yang berlaku,
saat ada perjanjian antara para pihak yang menetapkan hukum yang berlaku
terhadap perjanjian, atau saat ada perjanjian, tetapi hukum yang dipilih di perjanjian
27
Antara lain penulis Indonesia yang mengomentari mengenai isu ini, lihat Kusumadara,
Indonesian Private International Law, hlm. 137-139; Tiurma M.P. Allagan, “Indonesian Private
International Law: The Development After More Then A Century,” Indonesian Journal of
International Law 14, No. 3, Art. 6, hlm. 402-403.
Universitas Indonesia
9
bertentangan dengan hukum yang berlaku seandainya tidak ada perjanjian.28 Dalam
penelitian ini, Penulis hanya akan membahas perkara-perkara hak cipta dalam
konteks pertama, yaitu ketika tidak ada perjanjian antara pihak atau dengan kata
lain saat suatu PMH atau tort telah terjadi. Ini karena untuk membahas secara
lengkap aspek-aspek HPI yang dalam keadaan kedua atau ketiga akan perlu dibahas
juga ketentuan-ketentuan HPI mengenai choice-of-law atau hukum yang berlaku
dalam perjanjian. Penulis menilai bahwa hal ini tentu akan memperluas cakupan
penelitian ini secara kurang praktis. Oleh sebab itu, Penulis mengambil keputusan
untuk hanya fokus terhadap pelanggaran hak cipta sebagai suatu PMH yang
memiliki unsur-unsur asing atau yang dapat disebut PMH Transnasional, dan tidak
membahas hal-hal di luar cakupan tersebut.
Penulis berharap bahwa walaupun pembahasan dalam penelitian ini terbatas
mengenai beberapa isu saja, namun akan tetap menjadi suatu kontribusi yang
berharga untuk diskursus HPI di Indonesia, dikarenakan tiga alasan. Pertama,
penelitian ini dapat memperkaya diskursus pengembangan HPI di Indonesia,
terutama mengantisipasi kemajuan teknologi digital dan komunikasi. Kedua,
penelitian ini juga dapat digunakan sebagai rujukan bagi Hakim dalam memutuskan
perkara pelanggaran hak cipta dengan unsur-unsur asing bila perkara-perkara
semacam itu dihadapi oleh Pengadilan Indonesia. Ketiga, penelitian ini dapat
menambah kepada pemikiran dalam pengembangan HPI Indonesia, terutama
melihat sedang dilakukan perumusan Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata
Internasional (“RUU HPI”) oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI).29
Dengan segala pemaparan di atas tersebut, maka Penulis akan memberi judul
penelitian sebagai “PENERAPAN PASAL 5 AYAT (2) BERNE CONVENTION
ON THE PROTECTION OF LITERARY AND ARTISTIC WORKS: HUKUM
YANG BERLAKU DALAM PERKARA PELANGGARAN HAK CIPTA.”
Penulis memandang bahwa penelitian ini perlu, mengingat bahwa Indonesia berupa
28
Paul Goldstein dan P. Bernt Hugenholtz, International Copyright: Principles, Law, and
Practice, ed. 4, (New York: Oxford University Press, 2019), hlm. 122.
29
Pada saat penulisan (Januari 2022), RUU HPI telah diusulkan oleh pemerintah dan
sedang dibahas dengan DPR RI, lihat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, “RUU tentang
Hukum Perdata Internasional,” https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/433, diakses 18 Januari 2022
Universitas Indonesia
10
negara pihak terhadap Konvensi Berne. Penulis berharap penelitian ini bermanfaat
dan dapat memperkaya diskursus HPI dan HAKI di Indonesia, dan membantu pula
siapapun yang ingin mempelajari isu-isu HPI maupun HAKI.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, Penulis menyimpulkan pokok-
pokok permasalahan yang menjadi objek penelitian ini menjadi beberapa persoalan
hukum, yaitu:
1. Bagaimanana penerapan asas-asas tentang hukum yang berlaku dalam Pasal
5 ayat (2) Konvensi Berne dalam perkara pelanggaran hak cipta?
2. Bagaimana penerapan asas-asas tentang hukum yang berlaku di Indonesia
dalam perkara pelanggaran hak cipta?
C. Tujuan Penelitian
Penulis memandang bahwa penelitian ini memiliki tujuan teoretis maupun
praktis. Dengan mengkaji bagaimana persoalan-persoalan yang menjadi objek
penelitian telah ditanggapi dan diselesaikan di dunia internasional, penelitian ini
diharapkan dapat memberi pengetahuan mengenai:
1. Asas-asas tentang hukum yang berlaku dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne dalam perkara pelanggaran hak cipta
2. Asas-asas tentang hukum yang berlaku di Indonesia dalam perkara
pelanggaran hak cipta
D. Kerangka Konsepsional
Dalam penelitian ini terdapat beberapa terminologi yang perlu dijelaskan
kerangka konsepsionalnya. Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsional
merupakan “kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep
khusus, yang ingin atau akan diteliti.”30 Dikarenakan dalam penelitian ini Penulis
akan menggunakan beberapa peristilahan-peristilahan atau terminologi yang
mungkin dapat disalahpahami atau diartikan berbeda dengan maksud penulis, maka
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2015), hlm. 132
Universitas Indonesia
11
31
Ini istilah yang digunakan oleh Soekanto, lihat ibid. hlm. 137, “Biasanya kerangka
konsepsional… dapat dijadikan pedoman operasional dalam proses pengumpulan, pengelolaan,
analisa dan konstruksi data.”
32
Goldstein, International Copyright, hlm. 3-4
33
Ibid. hlm. 9
34
Indonesia. Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 1 ayat (1)
Universitas Indonesia
12
35
World Intellectual Property Organization, “Summary of the Berne Convention for the
Protection of Literary and Artistic Works (1886),” https://www.wipo.int/treaties/en/ip/berne/summa
ry_berne.html, diakses 19 Januari 2022
36
Penulis menggunakan istilah ‘hukum yang berlaku’ dalam penelitian ini dibandingkan
dengan istilah ‘choice of law’ atau ‘pilihan hukum’ karena penelitian ini akan membahas asas-asas
ini dalam konteks suatu PMH dan bukan dalam perjanjian, dimana pada umumnya para pihak tidak
secara aktif membuat ‘pilihan’ atau ‘choice.’ Guna menghindar kesan bahwa para pihak secara aktif
membuat pilihan hukum, penulis akan menggunakan istilah ‘hukum yang berlaku’.
37
Paul Torremans dan James J. Fawcett, eds. Cheshire, North & Fawcett: Private
International Law, (Oxford: Oxford University Press, 2017), hlm. 7
38
Goldstein, International Copyright, hlm. 122
39
Indonesia, UU Hak Cipta, Ps. 99 ayat (1)
Universitas Indonesia
13
E. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan penelitian ini merupakan pendekatan
yuridis-normatif, yaitu dengan menarik asas-asas hukum melalui penelitian
terhadap hukum positif yang berlaku.41 Dengan ini, maka pengelolaan data
dilakukan melalui kegiatan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.42
Data yang digunakan merupakan data sekunder, dikumpulkan dengan studi
pustaka.
Dengan demikian, data sekunder yang digunakan merupakan:
1. Sumber Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.43 Dalam
penelitian ini, sumber primer digunakan adalah peraturan perundang-
undangan Indonesia yang berhubungan, perjanjian internasional, serta
yurisprudensi dari pengadilan Indonesia maupun asing yang berhubungan
dengan objek penelitian.
2. Sumber Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
sumber hukum primer.44 Dalam penelitian ini, sumber hukum sekunder
yang digunakan adalah buku-buku serta artikel jurnal yang berhubungan
dengan objek penelitian.
3. Sumber Tersier, yaitu bahan yang berupa petunjuk atau penjelasan terhadap
hukum primer dan sekunder.45 Dalam penelitian ini, sumber hukum tersier
yang digunakan adalah Kamus Hukum.
40
Ibid. Ps. 9 ayat (1)
41
Sri Mamudji et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.10.
42
Ibid. Hal. 88.
43
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hlm. 52
44
Ibid.
45
Ibid.
Universitas Indonesia
14
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun agar terdiri dari lima (5) bab, yang akan menjelaskan
secara mendalam mengenai penerapan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne untuk
menemukan hukum yang berlaku terhadap pelanggaran hak cipta, serta bagaimana
ketentuan hukum nasional Indonesia yang berhubungan. Pembagian bab adalah
sebagai berikut.
Seperti lazimnya, Penelitian ini akan dimulai dengan Bab I tentang
Pendahuluan yang memaparkan latar belakang permasalahan, perumusan masalah,
kerangka konsepsional, metode penelitian, serta sistematika penulisan dari
penelitian ini.
Bab II akan berfungsi sebagai landasan teori dari penelitian ini. Penulis akan
menjelaskan dasar-dasar dari teori-teori hukum yang melatarbelakangi pembahasan
dalam penelitian ini. Khususnya, penulis akan memaparkan materi mengenai tiga
hal. Pertama, akan dijelaskan norma hukum internasional mengenai penafsiran
perjanjian internasional. Kedua, akan dijelaskan kerangka hukum yang melindungi
hak cipta di tingkat internasional dan nasional. Terakhir, penulis akan menjelaskan
mengenai asas-asas tentang hukum yang berlaku dalam HPI, tujuan dari asas-asas
mengenai hukum yang berlaku serta relevansi asas-asas ini dengan perlindungan
hak cipta.
Bab III akan membahas bagaimana Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne telah
ditanggapi dalam pembahasan akademik serta praktek-praktek negara dalam
menanggapi ketentuan tersebut, melalui yurisprudensi maupun dalam peraturan
perundang-undangan dalam berbagai negara. Pembahasan dalam bab ini akan fokus
membahas asas-asas tentang hukum yang berlaku yang terkandung dalam Pasal 5
ayat (2) Konvensi Berne, bagaimana interpretasi asas-asas hukum dalam pasal
tersebut, serta mengomentari mengenai keunggulan serta kelemahan dari berbagai
penafsiran pasal tersebut.
Bab IV akan membahas bagaimana asas-asas hukum yang berlaku di
Indonesia digunakan dalam perkara pelanggaran hak cipta, dengan
mempertimbangkan hal-hal yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Penulis akan
membahas antara lain: asas-asas hukum yang berlaku dalam UU Hak Cipta,
penerapan asas-asas hukum yang berlaku dalam yurisprudensi pengadilan
Universitas Indonesia
15
Indonesia saat menangani perkara pelanggaran hak cipta, serta pandangan pakar-
pakar Hukum Indonesia tentang hukum yang berlaku dalam perkara pelanggaran
hak cipta.
Bab V akan berfungsi sebagai penutup dari penelitian ini. Penulis akan
menyimpulkan penemuan-penemuan dari penelitian berdasarkan pembahasan
sebelumnya. Hal ini diikuti dengan saran atas isu-isu yang telah diangkat
sebelumnya.
Universitas Indonesia
16
BAB II
Landasan Teori
Universitas Indonesia
17
46
Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai penafsiran perjanjian internasional, lihat
Oliver Dörr dan Kristen Schmalenbach, eds., Vienna Convention on the Law of Treaties: A
Commentary, ed.2, (Berlin: Springer, 2018), hlm. 559-633
47
Persatuan Bangsa-Bangsa, Vienna Convention on the Law of Treaties, UNTS 1155
(1980) hlm. 331
48
Customary International Law atau Hukum Kebiasaan Internasional adalah sumber
hukum internasional yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan negara (State Practice) yang telah diakui
sebagai hukum (Opinio Juris) sehingga mengikat semua negara yang menerima kebiasaan tersebut,
lihat Peter Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, ed. 7, (New York:
Routledge, 1997) hlm. 39-48.
49
Ibid. hlm. 130
Universitas Indonesia
18
50
Persatuan Bangsa-Bangsa, Vienna Convention, Ps. 31 ayat (1)
51
Ibid. Ps. 31 ayat (2)
52
Ibid. Ps. 31 ayat (3)
53
Ibid. Ps. 31 ayat. (4)
Universitas Indonesia
19
dan hal-hal apa yang harus lebih ditekankan dalam penafsiran, tetapi tidak
menetapkan bagaimana proses penafsiran itu harus dilakukan. Fungi penafsiran
tetap untuk memberlakukan apa yang dimaksudkan oleh para pihak sebagaimana
dituangkan dalam kata-kata perjanjian.54 Dari penjelasan ini, dapat dilihat bahwa
Pasal 31 cukup fleksibel, hanya memberikan hal-hal apa saja yang harus
dipertimbangkan dalam melakukan penafsiran. Selama penafsiran dilakukan
dengan iktikad baik, untuk mencari arti biasa dari teks, dan dengan
mempertimbangkan konteks, objek, dan tujuan dari perjanjian sebagaimana telah
ditetapkan, maka ketentuan Pasal 31 terpenuhi.
Pasal 32 VCLT memberikan apa yang disebut sebagai ‘supplementary means
of interpretation’. Pada intinya, Pasal 32 menjelaskan bahwa untuk penafsiran,
travaux préparatoires (dokumen persiapan perjanjian) atau keadaan saat dibuat
perjanjian dapat dipertimbangkan, tetapi dengan beberapa syarat tertentu.
Penggunaan dua hal tersebut hanya dibolehkan untuk mengkonfirmasi hasil
penafsiran sesuai Pasal 31, atau jika setelah dilakukan penafsiran melalui Pasal 31,
arti dari teks masih ambigu atau kabur, atau akan mengakibatkan interpretasi yang
jelas-jelas tidak masuk akal.55
Karena travaux préparatoires dan keadaan-keadaan saat perjanjian
disepakati adalah suatu hal yang ‘ekstrinsik’ dan diluar teks perjanjian sendiri, dan
oleh sebab itu dianggap lebih ‘jauh’ dari maksud para pihak saat dibuat perjanjian.
Karena itu, fungsi Pasal 32 VCLT dalam penafsiran hanya untuk mendukung
penafsiran yang dilakukan berdasarkan Pasal 31 VCLT, dan bukan sebagai bentuk
metode alternatif tersendiri. Hal ini menjadi alasan mengapa Pasal 31 disebut
sebagai ‘general rule of interpretation’ sedangkan Pasal 32 hanya suatu
‘supplementary rule of interpretation.’56
Ketentuan-ketentuan ini perlu untuk diketahui, sebab pembahasan dalam
penelitian ini mengenai penafsiran ketentuan-ketentuan Konvensi Berne akan
dilakukan dalam ruang lingkup kaidah-kaidah penafsiran sebagaimana telah
dikodifikasi dalam Pasal 31 dan 32 VCLT.
54
Dörr, Vienna Convention, hlm. 560
55
Persatuan Bangsa-Bangsa, Vienna Convention, Ps. 32
56
Dörr, Vienna Convention, Hlm. 617-618.
Universitas Indonesia
20
a. Konvensi Berne
Dalam tingkat internasional, kerangka hukum yang terutama dan menjadi
dasar untuk perlindungan hak cipta adalah Berne Convention for the Protection of
57
Goldstein, International Copyright, hlm. 85, 87-91.
58
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 49
Universitas Indonesia
21
Literary and Artistic Works. Konvensi Berne ini adalah perjanjian international
mengenai hak cipta yang tertua, mengingat bahwa Konvensi Berne pertama kali
diperjanjikan pada September 9, 188659 dan telah direvisi atau diamandemen tujuh
kali setelah itu, yaitu pada tahun 1896, 1908, 1914, 1928, 1948, 1967, dan terakhir
kalinya pada tahun 1971.60 Dalam analisa-analisa selanjutnya, Penulis hanya akan
fokus kepada teks Konvensi Berne versi yang terakhir, sebagai versi yang berlaku
sampai sekarang ini.
Konvensi Berne mengatur berbagai aspek dari perlindungan hak cipta, antara
lain mengatur asas-asas dasar dari perlindungan hak cipta internasional, standar
minimum perlindungan hak cipta di tiap negara pihak, serta ketentuan-ketentuan
administratif yang mengatur struktur dan organisasi dari International Bureau of
the Berne Union sebagai organisasi internasional yang melaksanakan fungsi
administratif Konvensi Berne.61
59
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 5.
60
Ibid. hlm. 6.
61
Tugas ini sekarang dilaksanakan oleh World Intellectual Property Organization, lihat
World Intellectual Property Organization, Convention Establishing the World Intellectual Property
Organization, Ps. 4 “…the Organization… (ii) shall perform the administrative tasks of … the Berne
Union.”
62
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 3 ayat (1) “The
protection of this convention shall apply to (a) authors who are nationals of one of the countries of
the Union, for their works, whether published or not…”
Universitas Indonesia
22
63
Ibid. Ps. 3 ayat (2) “Authors who are not nationals of one of the countries of the Union
but who have their habitual residence in one of them shall, for the purposes of this Convention, be
assimilated to nationals of that country.”
64
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 26-27
65
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 3 ayat (1), “The
protection of this Convention shall apply to… (b) authors who are not nationals of one of the
countries of the Union, for their works first published in one of those countries, or simultaneously
in a country outside the Union and in a country of the Union”
Universitas Indonesia
23
66
Ibid. Ps. 4 “The protection of this Convention shall apply, even if the conditions of Article
3 are not fulfilled, to: (a) authors of cinematographic works the maker of which has his headquarters
or habitual residence in one of the countries of the Union; (b) authors of works of architecture
erected in a country of the Union or of other artistic works incorporated in a building or other
structure located in a country of the Union;” Ketentuan mengenai karya sinematografis dianggap
perlu karena menurut Pasal 3 ayat (3) Konvensi Berne, sinyal televisi berupa suatu ‘unpublished
work’ sehingga tidak mungkin untuk diberikan perlindungan berdasarkan tempat publikasi. Oleh
sebab itu, pasal ini dibuat secara khusus agar ada suatu titik pertalian subsider untuk berlakunya
Konvensi Berne, lihat World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention,
hlm. 30.
67
Ibid. Ps. 1 “The countries to which this Convention applies constitute a Union for the
protection of the rights of authors in their literary and artistic works”
68
Ibid. Ps. 2 ayat (1)
Universitas Indonesia
24
69
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 12-13
70
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 2 ayat (8)
71
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 13
72
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 2 ayat (1)
Universitas Indonesia
25
73
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, Hlm. 17
74
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 2 ayat (3),
“Translations, adaptations, arrangements of music and other alterations of a literary or artistic
work shall be protected as original works without prejudice to the copyright in the original work.”
75
Ibid. Ps. 3 ayat (5) “Collections of literary or artistic works such as encyclopaedias and
anthologies which, by reason of the selection and arrangement of their contents, constitute
intellectual creations shall be protected as such, without prejudice to the copyright in each of the
works forming part of such collections.”
76
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 19.
Universitas Indonesia
26
77
World Intellectual Property Organization, “Summary of the Berne Convention.”
78
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (1) “Authors
shall enjoy, in respect of works for which they are protected under this Convention, in countries of
the Union other than the country of origin, the rights which their respective laws do now or may
hereafter grant to their nationals, as well as the rights specially granted by this Convention.”
79
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 32
80
Droite de suite adalah hak seorang pengarang untuk mendapatkan sebagian keuntungan
dari tiap kali karyanya dijual kembal setelah pertama kali karya dijual. Misalnya, seorang pelukis
menjual lukisan kepada seorang pembeli. Jika pembeli itu pada saat kemudian ingin menjual lukisan
tersebut ke orang lain, maka pelukis berhak mendapat sebagian keuntungan dari transaksi tersebut.
Universitas Indonesia
27
pengarang karya dengan hak cipta yang berasal dari negara yang mengenal droite
de suite tidak dapat menikmati hak tersebut di negara-negara yang tidak mengenal
hak droite de suite.81 Kewajiban yang ada hanya bahwa negara harus
memberlakukan pemilik hak cipta asing sama seperti pemilik hak cipta dari negara
itu sendiri.
Perlu ditekankan bahwa kewajiban national treatment ini hanya berlaku
terhadap pemilik hak cipta asing. Untuk perlindungan suatu hak cipta dalam
country of origin atau negara asal itu sendiri, menurut Pasal 5 ayat (3) dari Konvensi
Berne, hanya diatur oleh hukum domestik dalam negara itu sendiri.82 Konvensi
Berne tidak mengatur sama sekali bagaimana suatu negara memperlakukan hak
cipta yang berasal dari negara itu sendiri. Walaupun Konvensi Berne mengatur
standar minimum perlindungan, tidak ada kewajiban untuk negara pihak
memberlakukan standar tersebut terhadap pemilik hak cipta negara yang berasal
dari negara itu sendiri. Namun, perlu diingatkan bahwa Pasal 5 ayat (2) tidak hanya
menyatakan bahwa pemilik hak cipta asing menikmati hak yang sama seperti
pemilik hak cipta dari negara itu sendiri, tetapi juga harus tetap menikmati hak-hak
dan standar minimum yang dijamin dalam Konvensi Berne. Sebagai konsekuensi,
jika suatu negara memberi perlindungan lebih rendah bagi pemilik hak cipta
domestik dibanding Konvensi Berne, maka pemilik hak cipta asing harus tetap
menikmati standar-standar minimum yang ditetapkan Konvensi Berne. Akan tetapi,
jika negara pihak memberi standar perlindungan hak cipta yang lebih tinggi dalam
hukum domestiknya dibanding Konvensi Berne, maka sesuai asas national
treatment, maka pemilik hak cipta asing berhak menikmati hak-hak yang sama.
Selain itu, Asas kedua yang penting untuk diketahui adalah asas ‘automatic
protection’ atau asas perlindungan otomatis. Asas ini dapat ditemukan dalam
kalimat pertama Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, yang menyatakan bahwa “The
Beberapa negara mengenal hak ini, namun beberapa negara tidak mengenal. Untuk diskusi lengkap,
lihat Goldstein, International Copyright, hlm. 297-299
81
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 32
82
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (3) “Protection
in the country of origin is governed by domestic law. However, when the author is not a national of
the country of origin of the work for which he is protected under this Convention, he shall enjoy in
that country the same rights as national authors.”
Universitas Indonesia
28
enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject to any formality.”83
WIPO menjelaskan bahwa perlindungan hak cipta sebagaimana diatur dalam
Konvensi Berne bagi pemilik hak cipta asing tidak dapat disyaratkan dengan
kewajiban suatu ‘formalitas.’ Yang dimaksud ‘formalitas’ dalam hal ini adalah
ketentuan-ketentuan administratif yang ditetapkan dalam hukum domestik sebagai
syarat yang harus terpenuhi untuk mendapatkan perlindungan hak cipta. WIPO
memberi contoh-contoh ‘formalitas’ yang dilarang, antara lain: kewajiban registrasi
suatu karya dengan suatu badan atau pejabat publik, penyerahan atau deposit
salinan karya, atau pembayaran biaya registrasi atau hal-hal lain yang serupa. Jika
perlindungan disyaratkan dengan pemenuhan suatu formalitas, maka itu melanggar
ketentuan Konvensi Berne.84
Sehubungan dengan asas ini, dalam Konvensi Berne suatu hak cipta lahir
secara otomatis dengan di buatnya suatu karya, dengan satu pengecualian. Pasal 2
ayat (2) dari Konvensi Berne menyatakan bahwa masing-masing negara pihak
dapat membuat ketentuan apakah suatu karya harus ‘difiksasi’ dalam bentuk nyata
sebelum mendapat perlindungan atau tidak.85 Negara memiliki wewenang masing-
masing untuk menentukan apakah karya harus difiksasi terlebih dahulu atau tidak,
dan dalam praktiknya, memang terdapat negara yang mensyaratkan terjadi ‘fiksasi’
terlebih dahulu, ada pula yang tidak.86 Akan tetapi, ini tidak termasuk sebagai
‘formalitas’ dalam arti Pasal 5 ayat (2), karena syarat ‘fiksasi’ bukanlah suatu syarat
administratif, melainkan berupa suatu aspek krusial untuk menentukan apakah
suatu karya memang benar ‘ada.’87
Ketentuan ini juga hanya melarang formalitas yang dijadikan syarat untuk
perlindungan hak cipta. Ketentuan formalitas lainnya belum tentu dilarang dalam
83
Ibid. Ps. 5 ayat (2)
84
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 33
85
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 2 ayat (2) “It shall,
however, be a matter for legislation in the countries of the Union to prescribe that works in general
or any specified categories of works shall not be protected unless they have been fixed in some
material form.”
86
Untuk diskusi lebih lengkap mengenai syarat fiksasi dalam Konvensi Berne, lihat,
Ysolde Gendreau, “The Criterion of Fixation in International Law,” Revue Internationale du Droit
d’Auteur, No. 159 (1994), Hlm. 110-202
87
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 18
Universitas Indonesia
29
Konvensi Berne. WIPO menyatakan bahwa yang menjadi isu adalah keberadaan
dan ruang lingkup perlindungan, dan bukan segala cara mengeksploitasi suatu
karya dalam hukum. Sebagai contoh, WIPO menyatakan bahwa negara dapat
menetapkan model contract yang mengatur bagaimana suatu macam karya harus
digunakan, tanpa itu dianggap sebagai ‘formalitas’ dalam arti Pasal 5 ayat (2)
Konvensi Berne. Yang penting, perlindungan hak cipta dalam Konvensi Berne
tidak disyaratkan dengan ketentuan ‘formalitas’ terlebih dahulu.88
Seperti asas sebelumnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) Konvensi
Berne, ketentuan ini hanya berlaku terhadap hak cipta asing. WIPO menegaskan
bahwa hak mendapatkan perlindungan otomatis tidak berlaku di country of origin.
Setiap negara tetap bebas menentukan sesuai keinginannya apa saja formalitas yang
harus terpenuhi sebelum perlindungan diberikan kepada karya-karya yang berasal
dari negara tersebut. Akan tetapi, untuk karya-karya dengan hak cipta asing, tidak
dapat dibebani dengan ‘formalitas’ sebelum perlindungan diberikan.89
Satu hal lain yang perlu diingat, walaupun ‘formalitas’ dilarang menjadi
syarat untuk perlindungan hak cipta asing, itu bukan berarti bahwa negara tidak
dapat memberikan cara untuk mendeposit atau meregistrasi suatu karya, untuk
kegunaan-kegunaan lainnya. Sebagai contoh, banyak negara menetapkan syarat
bahwa karya harus dideposit ke suatu national repository agar karya kreatif dapat
dipertahankan. Selain itu, banyak negara yang tidak lagi menetapkan registrasi
sebagai syarat, tetapi masih membuka kemungkinan registrasi karya untuk
kemudahan pembuktian mengenai validitas dan kepemilikan hak cipta.90 Segala ini
dimungkinkan, selama formalitas tidak dijadikan syarat untuk perlindungan hak
cipta.
Lalu, asas terakhir yang perlu diketahui adalah asas ‘independence’ of
protection, yang pada intinya menyatakan bahwa perlindungan suatu hak cipta
88
Ibid. hlm. 33
89
Ibid.
90
Goldstein, International Copyright, hlm. 208; Pendekatan ini juga diadopsi di Indonesia,
lihat Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 72 “Pencatatan Ciptaan atau produk Hak
Terkait dalam daftar umum Ciptaan bukan merupakan pengesahan atas isi, arti, maksud, atau
bentuk dari Ciptaan atau produk Hak Terkait yang dicatat” dan Ps. 31 “Kecuali terbukti sebaliknya,
yang dianggap sebagai pencipta, yaitu Orang yang namanya… d. tercantum dalam daftar umum
Ciptaan sebagai pencipta.”
Universitas Indonesia
30
asing, dengan beberapa pengecualian,91 tidak tergantung bagaimana suatu hak cipta
tersebut dilindungi di country of origin suatu hak cipta. Seperti yang dikatakan
dalam kalimat ke-dua Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, “such enjoyment and such
exercise [of these rights] shall be independent of the existence of protection in the
country of origin of the work.”92 Artinya, selama suatu karya sudah memenuhi
kriteria untuk mendapat perlindungan dalam Konvensi Berne, maka karya tersebut
akan mendapat perlindungan sesuai ketentuan Konvensi Berne, tanpa perlu melihat
apakah suatu karya telah mendapat perlindungan atau tidak dalam Country of
Origin ataupun apa status perlindungan hak cipta di negara tersebut. Sebagai
contoh, seperti yang dikatakan sebelumnya, terkadang negara dapat mewajibkan
formalitas-formalitas sebagai syarat perlindungan hak cipta bagi karya yang berasal
dari negara tersebut. Namun, bagi negara-negara lain, mereka tidak perlu melihat
fakta itu. Walaupun formalitas tersebut belum terpenuhi, dan perlindungan belum
diberikan di country of origin, negara-negara selain country of origin tetap harus
melindungi hak cipta tersebut.93
Ketiga asas ini adalah refleksi dari pandangan bahwa perlindungan hak cipta
menganut konsepsi droits indépendants, bukan lawan darinya, droits acquis. Dalam
konsepsi droits acquis, perlindungan hak cipta diberikan oleh satu negara, seperti
negara asal seorang pencipta, lalu diakui dan dihormati oleh negara-negara lain
sebagai suatu hak kepemilikan. Konsepsi droits acquis tidak berlaku dalam
kerangka perlindungan hak cipta internasional dalam Konvensi Berne.
Perlindungan di Konvensi Berne sesuai dengan konsepsi droits indépendants.
Dalam konsepsi ini, dengan dibuatnya suatu karya ciptaan, maka lahir pula berbagai
91
Pengecualian terhadap asas ini dapat ditemukan dalam ketentuan Konvensi Berne
mengenai jangka waktu perlindungan hak cipta. Konvensi Berne menetapkan bahwa jangka waktu
perlindungan dalam Konvensi Berne adalah seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun. Negara dapat
memberikan jangka waktu perlindungan lebih lama, tetapi jika suatu karya sudah habis jangka waktu
perlindungan di country of origin, maka negara pihak Konvensi Berne lain dapat menolak
memberikan jangka waktu lebih lama itu, lihat World Intellectual Property Organization, Berne
Convention, Ps. 7 ayat 1 “The term of protection granted by this Convention shall be the life of the
author and fifty years after his death”, Ps. 7 ayat (6) “The countries of the Union may grant a term
of protection in excess of those provided by the preceding paragraphs” dan Ps. 7 ayat (8) “In any
case, the term shall be governed by the legislation of the country where protection is claimed;
however, unless the legislation of that country otherwise provides, the term shall not exceed the term
fixed in the country of origin of the work.”
92
Ibid. Ps. 5 ayat (2)
93
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention. hlm. 33
Universitas Indonesia
31
hak cipta yang berbeda dan terpisah di masing-masing sistem hukum dunia yang
menjadi negara pihak konvensi dengan jumlah sama dengan adanya sistem hukum
di dunia yang mengakui Konvensi Berne.94
94
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 99
95
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 3 ayat (3) “The
expression ‘published works’ means works published with the consent of their authors, whatever
may be the means of manufacture of the copies, provided that the availability of such copies has
been such as to satisfy the reasonable requirements of the public, having regard to the nature of the
work…”
96
Karya dianggap dipublikasikan secara bersama jika dipublikasikan di dua atau lebih
negara dalam jangka waktu 30 hari sejak pertama kali karya dipublikasikan, lihat Ibid. Ps. 3 ayat (4)
“A work shall be considered as having been published simultaneously in several countries if it has
been published in two or more countries within thirty days of its first publication”
97
Ibid. Ps. 5 ayat (4) “The country of origin shall be considered to be (a) in the case of
works first published in a country of the Union, that country; in the case of works published
Universitas Indonesia
32
suatu karya pertama kali dipublikasikan secara bersama di negara yang bukan
negara pihak Konvensi Berne dan negara pihak Konvensi Berne, maka negara yang
berupa pihak Konvensi Berne akan dianggap country of origin.98
Selain penentuan berdasarkan country of origin berdasarkan faktor geografis,
dalam beberapa kasus, dapat juga nasionalitas dari pencipta karya dapat dijadikan
sebagai country of origin. Hal ini dimungkinkan dalam dua kasus, yaitu dalam
kasus perlindungan karya-karya yang belum pernah dipublikasikan dan dalam
kasus dimana publikasi pertama kali dilakukan di negara yang bukan pihak
Konvensi Berne.99
simultaneously in several countries of the Union which grant different terms of protection, the
country whose legislation grants the shortest term of protection…”
98
Ibid. “The country of Origin shall be considered to be… (h) in the case of works published
simultaneously in a country outside the Union and in a country of the Union, the latter country”
99
Terdapat dua pengecualian terhadap asas ini. Untuk karya sinematografis, dimana
habitual residence pencipta karya berupa negara pihak Konvensi Berne, maka negara tersebut
dianggap country of origin. Untuk karya yang diinkorporasikan dalam suatu bangunan yang ada di
negara pihak Konvensi Berne, maka negara tersebut dianggap County of Origin, lihat Ibid. “The
country of Origin shall be considered to be…(c) in the case of unpublished works or of works first
published in a country outside the Union, without simultaneous publication in a country of the
Union, the country of the Union of which the author is a national provided that: (i) when these are
cinematographic works the maker of which has his headquarters or his habitual residence in a
country of the Union, the country of origin shall be that country, and (ii) when these are works of
architecture erected in a country of the Union or other artistic works incorporated in a building or
other structure located in a country of the Union, the country of origin shall be that country.”
100
World Intellectual Property Organization, “Summary of the Berne Convention.”
Universitas Indonesia
33
101
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 6bis
102
Ibid. Ps. 9 ayat (2)
103
Ibid. Ps. 10 ayat (1) “It shall be permissible to make quotations from a work which has
already been lawfully made available to the public, provided that their making is compatible with
fair practice, and their extent does not exceed that justified by the purpose, including quotations
from newspaper articles and periodicals in the form of press summaries”
104
Ibid. Ps. 10 ayat (2), “It shall be a matter for legislation in the countries of the Union,
and for special agreements existing or to be concluded between them, to permit the utilization, to
the extent justified by the purpose, of literary or artistic works by way of illustration in publications,
broadcasts or sound or visual recordings for teaching, provided such utilization is compatible with
fair practice”
105
Ibid. Ps. 10Bis
Universitas Indonesia
34
106
World Intellectual Property Organization, “Summary of the WIPO Copyright Treaty,”
https://www.wipo.int/treaties/en/ip/wct/summary_wct.html diakses 3 Maret 2022
107
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pengesahan WIPO Copyright Treaty, Keppres
No. 19 Tahun 1997.
108
Pasal 20 Konvensi Berne membuka peluang untuk negara pihak Konvensi Berne untuk
membuat perjanjian khusus antara mereka, selama perjanjian tersebut memberi hak lebih luas bagi
pencipta dibanding Konvensi Berne dan tidak memiliki ketentuan yang bertentangan dengan
Konvensi Berne sendiri, lihat World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 20.
109
World Intellectual Property Organization, WIPO Copyright Treaty (WCT) (1996),
UNTS 2186 (2002), hlm. 121, Ps. 1 ayat (1).
110
Ibid. Ps. 4-5
Universitas Indonesia
35
komputer, dan fonogram, serta hak komunikasi kepada publik dalam kerangka
perlindungan hak cipta asing.111 Ketiga, WCT menambah ketentuan mengenai
teknologi manajemen hak digital, yaitu teknologi yang dapat digunakan oleh
pencipta untuk menghampat pelanggaran hak cipta.112
Namun, WCT tidak mengubah asas-asas dasar untuk perlindungan hak cipta
asing yang telah ditentukan dalam Konvensi Berne. Bahkan, Pasal 1 ayat (4) dari
WCT menyatakan bahwa negara pihak WCT wajib patuh terhadap ketentuan Pasal
1 – 21 dari Konvensi Berne.113 Selebih dari itu, Pasal 3 WCT menegaskan bahwa
negara pihak harus menerapkan Pasal 2-6 Konvensi Berne secara mutis mutandis
terhadap perlindungan yang diberikan dalam WCT.114 Sehingga, segala ketentuan
serta segala permasalahan yang mungkin ada dalam Konvensi Berne tidak
diselesaikan oleh WCT ini.
Selain WCT, salah satu perjanjian internasional yang cukup signifikan dalam
bidang perlindungan HAKI internasional pada umumnya adalah Agreement on
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights atau singkatnya sebagai
TRIPS, suatu perjanjian internasional yang mengatur mengenai ketentuan hak
kekayaan intelektual di bawah naungan World Trade Organization (“WTO”)
sebagai organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Karena
perjanjian ini merupakan bagian dari Agreement Establishing the World Trade
Organization, dengan perjanjian tersebut diratifikasikan oleh Indonesia melalui
Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing
The World Trade Organization,115 TRIPS mengikat Indonesia.
Matsushita mengidentifikasi empat hal yang menjadikan TRIPS signifikan.
Pertama, TRIPS melahirkan suatu minimum standard baru mengenai perlindungan
HAKI di masing-masing negara. Kedua, TRIPS juga menetapkan suatu kriteria
minimum mengenai penegakan HAKI melalui prosedur pidana, perdata, dan
administratif. Ketiga, TRIPS menjadikan kerangka hukum Perlindungan HAKI di
111
Ibid. Ps. 6-8
112
Ibid. Ps. 11-12
113
Ibid. Ps. 1 ayat (4)
114
Ibid. Ps. 3
115
Indonesia, Undang-Undang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization, UU No. 7 Tahun 1994, LN No. 57 Tahun 1994, TLN No. 3564
Universitas Indonesia
36
tiap negara sebagai objek dari sistem Penyelesaian Sengketa WTO.116 Terakhir,
TRIPs menetapkan beberapa ketentuan procedural yang tiap negara harus
memenuhi mengenai perlindungan HAKI.117
Walaupun demikian, akan tetapi asas-asas dasar mengenai perlindungan hak
cipta asing sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Berne, seperti di WCT
sebelum, tidak diubah. Mirip dengan WCT, Pasal 9 TRIPS mewajibkan untuk
semua negara anggota WTO untuk mematuhi Pasal 1-21 Konvensi Berne.118 Oleh
sebab itu, sama seperti perjanjian WCT, segala permasalahan dalam Konvensi
Berne yang mungkin ada akan ditemukan di TRIPS pula.
116
Hal ini menjadi sangat signifikan. Salah satu kelemahan dari kerangka hukum mengenai
perlindungan HAKI internasional sebagaimana diatur dalam perjanjian-perjanjian internasional
WIPO adalah ketergantungan kepada otoritas di setiap negara untuk melindungi HAKI. Dengan
dimasukkan ketentuan mengenai HAKI dalam sistem WTO melalui TRIPS, maka tindakan negara
dalam melindungi HAKI dapat dijadikan objek sengketa di hadapan Dispute Settlement Body WTO,
lihat Mitsuo Matsushita et al., The World Trade Organization: Law, Practice, and Policy, ed. 3,
(New York: Oxford University Press, 2015), hlm. 635-636
117
Ibid. Hlm. 640-641
118
World Trade Organization, Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights, UNTS 1869 (1995) hlm. 300, Ps. 9 ayat (1).
119
Untuk diskusi lengkap mengenai sejarah Hak Cipta di Indonesia, lihat OK. Saidin, Aspek
Hukum Hak Kekayaan Intelektual, cet. 9, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 77-182
120
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Point C Pertimbangan, “…bahwa
Indonesia telah menjadi anggota berbagai perjanjian internasional di bidang hak cipta dan hak
terkait sehingga diperlukan implementasi lebih lanjut dalam sistem hukum nasional agar para
pencipta dan kreator nasional mampu berkompetisi secara nasional.”
121
Ibid. Ps. 16 ayat (1) “Hak Cipta merupakan benda bergerak tidak berwujud”
Universitas Indonesia
37
“hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif
setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata…”122
Secara keseluruhan, ketentuan Hak Cipta dalam UU Hak Cipta serupa dengan
standar minimum perlindungan dalam berbagai perjanjian-perjanjian internasional
dalam bidang hak cipta. Walaupun ada banyak hal diatur dalam UU Hak Cipta,
Penulis akan menjelaskan dua aspek saja dari UU Hak Cipta yang penting untuk
dipahami dikarenakan hubungannya dengan objek penelitian ini yang akan dibahas
dalam bab-bab selanjutnya, yaitu ketentuan mengenai keberlakuan UU Hak Cipta,
serta bentuk pertanggungjawaban dalam UU Hak Cipta terhadap pelanggaran Hak
Cipta.
122
Ibid. Ps. 1 ayat (1)
123
Ibid., Ps. 2.
Universitas Indonesia
38
124
Indonesia, Undang-Undang Perubahan Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta, UU No. 7 Tahun 1987, LN No. 3362 Tahun 1987, TLN No. 3362, Ps. 48
125
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 6 Tahun 1982, LN No. 15 Tahun 1982,
TLN No. 3217, Ps. 48.
126
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 19 Tahun 2002, LN No. 85 Tahun 2002,
TLN No. 4420, Ps. 76.
127
Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Hak Milik Intelektual, cet. 2, (Bandung: Eresco,
1995), Hlm. 66-69
Universitas Indonesia
39
128
Untuk diskusi lengkap mengenai ketentuan pidana dalam UU Hak Cipta, lihat OK
Saidin, Aspek Hukum, hlm. 275-292.
129
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 99 ayat (1)
130
Ibid. Ps. 95 ayat (3)
Universitas Indonesia
40
(PMH) atau sebagai Onrechtmatige Daad.131 Untuk penelitian ini, seperti yang
telah dikatakan sebelumnya di Bab I, Penulis hanya akan fokus terhadap
pelanggaran hak cipta sebagai suatu PMH.
Ketentuan mengenai Perbuatan Melawan Hukum di Indonesia dapat
ditemukan dalam Pasal 1365 KUHPer yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan
yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan
kerugian tersebut.”132 Ini karena dengan melakukan suatu perbuatan yang
mengakibatkan kerugian maka ‘undang-undang’ akan melahirkan suatu perikatan
antara pihak yang melakukan perbuatan merugikan dan pihak yang mengalami
kerugian. Seperti yang ditemukan oleh Hoge Raad Belanda dalam perkara
Lindenbaum v. Cohen, konsep ‘PMH’ harus ditafsirkan secara luas, mencakup
pelanggaran undang-undang atau sesuatu hak, serta perbuatan yang berlawanan
dengan “kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap
pribadi atau benda orang lain.”133
Dalam konteks pelanggaran Hak Cipta, dengan adanya ketentuan dalam UU
yang memberikan hak-hak khusus dan eksklusif terhadap Pencipta atau Pemilik
Hak Cipta, maka pelanggaran-pelanggaran hak-hak tersebut akan melahirkan
perikatan antara pihak yang melanggar hak cipta dengan pencipta atau pemilik hak
cipta, yaitu untuk mengganti kerugian yang dialami oleh Pencipta atau Pemilik Hak
Cipta. Dengan ini, dapat dikategorikan sebagai suatu pelanggaran hak cipta dapat
dikategorikan sebagai PMH.
Selain hal-hal ini ada ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku dalam
sengketa hak cipta dihadapan Pengadilan Niaga sebagaimana diatur dalam UU Hak
Cipta. Pertama, UU Hak Cipta menjelaskan bahwa gugatan ganti rugi dalam UU
Hak Cipta dapat berupa permintaan kepada pihak yang melanggar hak cipta untuk
menyerahkan penghasilan yang diperoleh dari pelanggaran hak cipta kepada
131
OK Saidin, Aspek Hukum, Hlm. 265-268
132
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Balai Pustaka, 2009), Ps. 1365
133
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Pertada, Cet. 31, (Jakarta: Intermasa, 2003) Hlm. 133
Universitas Indonesia
41
pencipta atau pemilik hak cipta.134 Kedua, Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dapat
memohon Pengadilan Niaga mengeluarkan putusan sela untuk meminta penyitaan
karya atau ciptaan yang berupa hasil pelanggaran serta menghentikan kegiatan
pengumuman atau pendistribusian karya atau ciptaan yang juga berupa hasil
pelanggaran hak cipta.135
134
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 99 ayat (3)
135
Ibid. Ps. 99 ayat (4)
136
Torremans et al., Cheshire, hlm. 3
Universitas Indonesia
42
hukum negara tersebut itu sendiri. Akan tetapi, terdapat alasan-alasan mengapa
suatu sikap sebagiknya dihindar.
Torreman menguraikan alasan mengapa dalam kasus yang melibatkan unsur-
unsur asing, terkadang ketentuan hukum asing harus dipertimbangkan. Terutama,
karena sikap yang menggunakan lex fori pada setiap saat dapat menghasilkan
ketidakadilan. Torreman memberi contoh kasus dimana seorang janda di Inggris
bilang saja harus membuktikan bahwa seseorang yang telah meninggal adalah
suaminya. Seandainya pernikahan antara mereka ternyata dilaksanakan di luar
negeri dengan cara formal yang mungkin saja tidak sesuai dengan ketentuan
Hukum Inggris, sehingga membuka kemungkinan bahwa pernikahan mereka tidak
akan diakui oleh Inggris. Suatu hasil seperti demikian jelas sangat tidak adil. Untuk
menghindari hal tersebut, maka negara harus mempertimbangkan hukum asing.
Torreman menyatakan bahwa “The fact is, of course, that the application of foreign
law… merely derives from a desire to do justice”137
Namun bagaimana pula mencapai ‘justice’ atau ‘keadilan’ dalam semua
kasus. Jawaban yang dikemukakan tentu berbeda-beda antara zaman dan tempat.
Melihat dari sejarah teori-teori HPI, berbagai pendekatan telah diadopsi. Konsepsi
HPI yang digunakan sekarang di Indonesia dan juga di Eropa masih berdasarkan
teori ‘alokasi’ yang pertama dikemukakan oleh Von Sauvigny. Premis utamanya
adalah bahwa segala hubungan hukum dapat dibagikan kedalam suatu kategori, lalu
dengan diidentifikasikan titik pertalian yang sesuai, maka dapat ditemukan hukum
yang berlaku untuk mengatur suatu isu dapat ditemukan.138
Van Eechoud menyatakan bahwa dalam pemahaman tradisionalnya, tujuan
dari teori alokasi yang sering disebut adalah decisional harmony. Secara sederhana,
jika semua negara menggunakan asas-asas HPI yang sama, maka semua sengketa
akan diselesaikan dengan hukum substansi yang sama, terlepas dimana suatu
sengketa didengarkan atau tempat sengketa muncul. Secara teori, pendekatan ini
dapat memenuhi tiga tujuan: 1. Memberi Kepastian Hukum, 2. Mengurangi praktek
137
Ibid. hlm. 3-4
138
Van Eechoud. Choice of Law, Hlm. 16; Untuk diskusi lengkap mengenai sejarah HPI di
dunia dan Indonesia, lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid I Buku
Ke-1, cet. 7, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm. 159-213
Universitas Indonesia
43
139
Van Eechoud. Choice of Law, Hlm. 16-20
140
Ibid. hlm. 18
Universitas Indonesia
44
diperlukan juga fleksibilitas dalam perkembangan HPI, yang dia namakan sebagai
pelembutan hukum. Gautama juga menekankan bahwa penggunaan hukum asing
melalui HPI dapat dikecualikan atas dasar ketertiban umum jika penggunaan
hukum asing secara jelas bertentangan dengan nilai-nilai seorang hakim. Dalam
konteks Indonesia, hal ini dapat dilihat dengan merujuk ke UUD 1945 dan
Pancasila.141
Namun seperti yang Van Eechoud sendiri menyatakan, decisional harmony
hanya berupa ideal, dan sulit sekali untuk dicapai. Masing-masing negara tidak
akan menyepakati ketentuan HPI yang sama, karena masing-masing negara
memiliki konsepsi yang berbeda mengenai apa yang termasuk hukum privat dan
publik. Kalaupun semua negara mengadopsi peraturan yang sama, tidak mungkin
pula bahwa semua peraturan akan diinterpretasikan secara seragam, terutama jika
tidak ada satu badan dengan otoritas tertinggi untuk melakukan interpretasi.
Ditambah lagi, tidak semua negara mengadopsi teori alokasi sebagai metode
memilih hukum yang berlaku, seperti di Amerika Serikat.142
Pendekatan teori alokasi yang klasik pun mendapat kritikan sebab sering kali
terlalu kaku, dengan mengasumsi bahwa semua sistem hukum itu valid, sehingga
hukum yang berlaku yang berlaku tidak dapat ditentukan dengan
mempertimbangkan hukum mana yang akan memberi keadilan dalam perkara yang
sedang dihadapi. Inilah perdebatan antara konsepsi HPI yang lebih mementingkan
conflicts-justice, konsepsi yang mementingkan mencari sistem hukum mana yang
lebih dekat dengan suatu perkara, atau material-justice, yang mementingkan hukum
mana yang lebih memberi keadilan bagi para pihak yang sedang berperkara.143 Oleh
sebab itu, terkadang peraturan-peraturan HPI modern telah diubah untuk
merefleksikan keperluan adanya substantive justice antara pihak berperkara. Inilah
141
Tiruma M. Pitta Allagan, “The Objectives of Indonesian Private International Law,”
dalam Culture and International Law, eds. Hikmahanto Juwana et al., (London: Taylor & Francis
Group, 2019), Hlm. 15-16
142
Van Eechoud. Choice of Law, hlm. 20; Amerika Serikat menggunakan pendekatan
berbeda dibanding pendekatan alokasi yang digunakan di Eropa dan Indonesia, untuk diskusi
lengkap lihat Torremans et al., Cheshire, hlm. 24-33; lihat pula Gautama, Hukum Perdata
Internasional Indonesia Jilid I Buku Ke-1, hlm. 174-175
143
Untuk diskusi lengkap mengenai perdebatan antara konsepsi HPI conflicts-justice dan
material-justice, lihat Roxana Banu, “Conflicting Justice in Conflict of Laws” Vanderbilt Journal
of Transnational Law 53 No. 2 (2020) hlm. 461-523
Universitas Indonesia
45
144
Van Eechoud. Choice of Law, Hlm. 23
145
Allagan, “Objectives,” Hlm. 13-14.
146
Kusumadara, Indonesian Private International Law, hlm. 119
Universitas Indonesia
46
147
Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie, [Peraturan Umum Mengenai
Perundang-Undangan Untuk Indonesia] Staatsblad No. 23 Tahun 1847, Ps. 18
148
Kusumadara, Indonesian Private International Law, hlm. 119
149
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid III Bagian 2 Buku ke-
8, ed. 1, cet. 6, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 119-120
150
Ibid. hlm. 122-124
151
Ibid. hlm. 125
Universitas Indonesia
47
152
Ibid. hlm. 128
153
Ibid. Hlm. 191-197
Universitas Indonesia
48
Indonesia pula yang digunakan untuk menyelsaikan kasus, sesuai dengan lex loci
delicti.154
Walaupun terdapat yurisprudensi-yurisprudensi tersebut, dalam praktik
pengadilan Indonesia modern, terkadang asas HPI ini tidak selalu diikuti.
Kusumadara menjelaskan bahwa pengadilan Indonesia dalam prakteknya sering
kali lebih menggunakan lex fori dibanding dengan lex loci delicti comissi untuk
menyelsaikan perkara-perkara PMH dengan unsur-unsur asing. Kusumadara
menyebutkan dua faktor yang mungkin mendorong praktek ini. Pertama,
pengadilan Indonesia sering kali membandingkan ketentuan PMH dengan hukum
publik Indonesia, yang dapat mempengaruhi Pengadilan untuk lebih menggunakan
asas lex fori. Kedua adalah ketentuan dalam Pasal 431 Reglement op de
Rechtvordering atau Rv yang pada intinya menyatakan bahwa keputusan
condemnatoir yang dibuat oleh pengadilan Indonesia hanya dapatkan dilaksanakan
di Indonesia. Kusumadara menyatakan bahwa hak ini mempengaruhi hakim
Indonesia, karena mereka akan berasumsi bahwa keputusan-keputusan mereka
hanya dapat dilaksanakan di Indonesia.155 Kecenderungan ini juga terlihat dalam
perkara pelanggaran hak cipta, yang akan dibahas dalam Bab IV.
154
Ibid. hlm. 140-142
155
Kusumadara, Indonesian Private International Law. Hlm. 120
Universitas Indonesia
49
BAB III
PENERAPAN ASAS-ASAS TENTANG HUKUM YANG BERLAKU
DALAM PASAL 5 AYAT (2) KONVENSI BERNE DALAM PERKARA
PELANGGARAN HAK CIPTA
156
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (2)
Universitas Indonesia
50
akan dibahas adalah interpretasi lex fori, pandangan bahwa hukum dari forum yang
mengadili suatu perkara adalah yang berlaku atas sebagian atau seluruh aspek
perlindungan hak cipta. Interpretasi ketiga yang akan dibahas adalah interpretasi
lex origianis atau pandangan bahwa hukum dari country of origin suatu karya yang
seharusnya mengatur sebagian atau seluruh aspek perlindungan hak cipta. Terakhir,
akan dibahas interpretasi lex loci delicti atau interpretasi bahwa hukum dari tempat
dimana pelanggaran hak cipta terjadi harusnya mengatur sebagian atau seluruh
aspek dari perlindungan hak cipta. Sebenarnya, pandangan-pandangan mengenai
isu ini sangat beragam. Beberapa pandangan berpendapat bahwa untuk aspek-aspek
berbeda dari hak cipta, perlu juga asas HPI yang berbeda. Namun, untuk efisiensi
penulisan, maka diskusi dalam bagian ini akan dibagi menjadi empat pandangan
tersebut. Dari tiap interpretasi, akan dibahas antara lain: alasan-alasan untuk
mendukung suatu interpretasi serta keunggulan dan kelemahan dari masing-masing
interpretasi. Suatu kesimpulan mengenai penafsiran Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne akan mengakhiri bagian pertama.
Bagian ketiga dari bab ini akan membahas praktek-praktek nasional dari
berbagai negara mengenai bagaimana negara-negara tersebut memahami dan
menerapkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, dengan memperhatikan
yurisprudensi serta ketentuan perundang-undangan dalam masing-masing negara.
Bagian ini juga diakhiri dengan suatu kesimpulan mengenai pembahasan dalam
Bagian ketiga.
Bab ketiga ini akan lalu akan diakhiri dengan bagian terakhir yang akan
menyimpulkan seluruh pembahasan dalam bab ini.
157
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (1) “Authors
shall enjoy, in respect of works for which they are protected under this Convention, in countries of
the Union other than the country of origin, the rights which their respective laws do now or may
Universitas Indonesia
51
hereafter grant to their nationals, as well as the rights specially granted by this Convention”; Lihat
pembahasan dalam hlm. 26-28 karya ini untuk penjelasan lengkap mengenai asas national
treatment.
158
Pendapat seperti ini diutarakan oleh Stewart, lihat Stephen M. Stewart, International
Copyrights and Neighboring Rights, (London: Butterworths, 1983), hlm. 38-39.
159
Pendapat seperti ini diutarakan oleh United States Court of Appeal, Ninth Circuit, lihat
United States Court of Appeal Ninth Circuit, Subafilms, Ltd. v. MGM-Pathe Communications Co.
24 F.3d 1088 (9th Cir. 1994), hlm. 1097 “it is commonly acknowledged that the national treatment
principle implicates a rule of territoriality… The applicable law is the copyright law of the state in
which the infringement occurred, not that of the state of which the author is a national or in which
the work was first published.”
Universitas Indonesia
52
hak cipta asing dan domestik sama. Menurut mereka, terlepas apakah hukum hak
cipta Amerika Serikat memerintahkan penggunaan hukum asing atau domestik
untuk menyelesaikan suatu isu, selama ruang lingkup perlindungan hak ciapa dapat
diberikan secara sama kepada pemegang hak cipta asing maupun domestik, maka
ketentuan national treatment tidak dilanggar.160 Van Eechoud juga berpendapat
bahwa asas national treatment sebenarnya adalah suatu ketentuan yang
berhubungan dengan law of aliens dan bukan masalah appliable law. Menurut dia,
terlepas dari ketentuan applicable law yang digunakan oleh suatu negara, selama
ketentuan tersebut diaplikasikan secara sama kepada pemegang hak cipta asing
maupun domestik, maka asas national treatment tidak dilanggar.161
Pendapat bahwa asas national treatment tidak dengan sendirinya
mengandung suatu asas appliable law sebenarnya berupa pendapat dari mayoritas
ahli, akan tetapi, ini bukan berarti bahwa asas national treatment tidak berdampak
dengan permasalahan-permasalahan applicable law. Fentiman berpendapat bahwa
asas national treatment memiliki fungsi utama yang di luar dari permasalahan
applicable law. Fungsi utama dari asas applicable law dalam Konvensi Berne
adalah untuk menentukan ruang lingkup perlindungan hak cipta dalam hukum
domestik masing-masing negara pihak dengan memastikan bahwa ruang lingkup
perlindungan yang diberikan kepada pemegang hak cipta asing sama sebagaimana
yang diberikan kepada pemegang hak cipta domestik. Menurut Fentiman, walaupun
asas ini tidak memberikan suatu ketentuan applicable law yang dapat digunakan,
ketentuan ini secara implisit mengecualikan penggunaan asas lex origianis, karena
penggunaan lex origianis untuk mengatur hal-hal dalam cakupan Konvensi Berne
dapat mengakibatkan perlakuan diskriminatif antara pemegang hak cipta asing dan
domestik, hanya karena nasionalitas dari pemegang hak cipta dalam suatu perkara.
160
United States Court of Appeal Second Circuit, Itar-Tass Russian News v. Russian
Kurier Itar-Tass Russian News v. Russian Kurier, 153 F.3d 82 (2d Cir. 1998), hlm. 89 “We agree
with the view of the Amicus that the Convention's principle of national treatment simply assures that
if the law of the country of infringement applies to the scope of substantive copyright protection,
that law will be applied uniformly to foreign and domestic authors” dan footnote 9 “…the principle
of national treatment is really not a conflicts rule at all; it does not direct application of the law of
any country. It simply requires that the country in which protection is claimed must treat foreign
and domestic authors alike…”
161
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 107 “I agree with this interpretation of the national
treatment principle, but would not even call it a limited choice-of-law rule. Rather, national
treatment is a ‘mere’ non-discrimination rule, belonging to the law of aliens, not choice of law.”
Universitas Indonesia
53
Hal ini dapat terjadi apabila pemegang hak cipta berasal dari negara yang memiliki
ruang linkup perlindungan hak cipta yang lebih sempit dibanding negara forum
dalam suatu perkara. Dalam kata lain, asas national treatment, menurut Fentiman,
memiliki fungsi negatif dalam menemukan applicable law yang berlaku dalam
suatu perkara, tidak memberikan suatu ketentuan applicable law yang berlaku
dalam suatu perkara, tetapi mengecualikan beberapa metode penentuan applicable
law, terutama lex origianis.162
Hal terakhir ini perlu diperhatikan, karena dapat berdampak terhadap
penafsiran ketentuan-ketentuan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne. Asas national
treatment dapat saja membatasi penafsiran Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne yang
dapat diambil, terutama penafsiran-penafsiran yang menggunakan lex origianis.
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa walaupun asas national treatment tidak
menjawab pertanyaan apa ketentuan hukum yang berlaku yang harus digunakan,
akan tetapi dapat mengecualikan beberapa penafsiran ketentuan hukum yang
berlaku yang mungkin saja dapat digunakan.
162
Richard Fentiman, “Choice of Law and Intellectual Property” dalam Intellectual
Property and Private International Law – Heading for the Future, ed. Josef Drexl dan Anette Kur
(Portland: Hart Publishing, 2005), hlm. 133-137
163
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (2)
Universitas Indonesia
54
tersebut.164 Berbagai penafsiran telah muncul yang saling berbeda dan saling
bertentangan. Penulis dalam bagian ini akan menjelaskan beberapa interpretasi atau
penafsiran yang banyak diajukan oleh berbagai ahli. Seperti dikatakan dalam Bab
I, penulis tidak berharap dapat menyelesaikan secara definitif perdebatan yang telah
muncul. Akan tetapi, penulis hanya akan memberi suatu gambaran perdebatan yang
ditemukan dalam literatur, lalu memberikan pendapat dari penulis sendiri mengenai
keunggulan dan kekurangan masing-masing penafsiran.
164
Dinwoodie, “Developing,” Hlm. 718
165
English and Wales Court of Appeal, Pearce v Ove Arup Partnership Ltd. (Jurisdiction)
[2000] Ch.403, hlm. 442 “The protection is claimed in the country in which the proceedings are
brought. Article 5(2) requires that the extent of the protection to be afforded is governed by the laws
of that country. There is, of course, no reason to assume that the laws of that country do not include
its own rules of private international law. What article 5(2) does, in our view, is to leave it to the
Universitas Indonesia
55
courts of the country in which the proceedings are brought to decide whether the claim for
protection should be upheld.”
166
Kualifikasi adalah tahap dari analisa HPI saat konsep-konsep dan peristilahan dari suatu
sistem hukum harus ‘diterjemahkan’ atau disalin ke sistem hukum lain. Dalam melakukan hal ini,
fakta-fakta dan juga kaidah-kaidah hukum asing dalam suatu kasus harus ‘dikotak-kotakan’ ke
dalam kategori yang dikenal dalam sistem hukum yang mengadili suatu perkara. Hanya setelah
fakta-fakta dan kaidah hukum asing telah diklasifikasikan, peraturan HPI lainnya dapat diterapkan,
lihat Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet. Ke-6, (Bandung:
Binacipta, 2012), hlm. 119-120
167
Lihat Basuki, Hukum Perdata Internasional, hlm. 4.2-4.3 “
Universitas Indonesia
56
168
Untuk pembahasan lengkap mengenai sejarah perlindungan hak cipta internasional
sebelum Konvensi Berne serta konteks yang melatarbelakangi pembuatan Konvensi Berne, lihat
Van Eechoud, Choice of Law, Hlm. 48-76.
169
Lihat Hlm. 19 karya ini untuk pembahasan mengenai penggunaan Travaux
Preparatoires
170
Van Eechoud, Choice of Law, Hlm. 57.
171
Ibid. hlm. 56
172
Ibid. hlm. 50-52
Universitas Indonesia
57
ini, maka dirumuskan pasal 5 ayat (2), dengan teks modern saat ini diusulkan oleh
delegasi dari Swiss. Ketentuan dalam kalimat ketiga Konvensi Berne, menurut Van
Eechoud, tidak dibuat untuk menetapkan suatu ketentuan hukum yang berlaku yang
harus digunakan negara pihak secara seragam, melainkan untuk menegaskan bahwa
resiprositas tidak lagi menjadi syarat perlindungan karena dalam kata Konvensi
Berne, “the extent of protection, as well as the means of redress afforded to the
author to protect his rights, shall be governed exclusively by the laws of the country
where protection is claimed.”173
Jika non-conflicts rule interpretation sebagaimana dijelaskan tepat, maka
beberapa konsekuensi muncul. Konvensi Berne tidak dapat digunakan sebagai
dasar untuk menyelesaikan perkara-perkara mengenai hukum yang berlaku dalam
kasus pelanggaran hak cipta. Jika suatu pengadilan harus menentukan hukum mana
yang berlaku atas suatu pelanggaran hak cipta, pengadilan tidak dapat melihat
Konvensi Berne untuk jawaban atas permasalahan tersebut. Namun, ada
keuntungan juga jika memang interpretasi ini tepat. Karena Konvensi Berne tidak
menetapkan suatu pendekatan seragam yang harus digunakan oleh setiap negara
untuk menyelesaikan, maka setiap negara bebas menentukan sendiri ketentuan
pilihan yang tepat untuk digunakan dalam negara tersebut melalui legislasi ataupun
yurisprudensi negara itu sendiri, yang dapat disesuaikan dengan keadaan atau
pertimbangan negara masing-masing, selama masih sesuai dengan asas national
treatment dan independence of protection yang dianut dalam Konvensi Berne.
Negara bebas untuk menentukan apakah mereka akan menggunakan peraturan HPI
yang berlaku pada umumnya dalam perkara-perkara hak cipta, atau apakah mereka
ingin membuat suatu ketentuan khusus untuk mengatur applicable law yang
berlaku dalam isu hak cipta.
Namun, seandainya interpretasi ini diasumsikan tepat, bukan berarti
pembahasan penafsiran-penafsiran lainnya tidak lagi berguna. Negara masih akan
dihadapi dengan permasalahan-permasalahan applicable law dalam perkara hak
cipta, dan masih harus menentukan ketentuan applicable law yang akan
menggunakan untuk menyelesaikan suatu perkara. Diskusi mengenai keunggulan
173
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 67-70
Universitas Indonesia
58
dan kelemahan dari masing-masing penafsiran lainnya dari Pasal 5 ayat (2) masih
dapat menerangkan permasalahan-permasalahan yang dapat dihadapi oleh
Pengadilan, sekurang-kurangnya mengenai pertimbangan-pertimbangan praktis
dari masing-masing penafsiran dari sisi policy.
174
Ibid. Hlm. 103
Universitas Indonesia
59
perkara lebih mengetahui ketentuan lex fori dibandingkan hukum asing, sehingga
dapat meminimalisir terjadinya kesalahan dalam penerapan hukum materiil dalam
suatu perkara.175 Stewart juga berpendapat bahwa penggunaan lex fori lebih
konsisten dengan asas national treatment. Menurut Stewart, karena perjanjian
internasional mengenai hak cipta mengadopsi asas national treatment, dimana
setiap negara pihak harus menjamin pemegang hak cipta asing perlindungan sama
seperti perlindungan bagi warga negara dari negara pihak itu sendiri, maka
pengadilan di negara tersebut hampir selalu mengaplikasikan hukum dari negara itu
sendiri, yaitu lex fori.176
Namun, dalam literatur sebenarnya sedikit ahli atau yurisprudensi di negara-
negara asing yang mengadopsi atau mendukung penafsiran lex fori sebagai tafsiran
Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne ataupun sebagai asas dalam ketentuan HPI
domestik. Kebanyakan dari ahli berpendapat bahwa interpretasi kurang tepat karena
dapat mengakibatkan hasil-hasil aneh, terutama saat pengadilan yang mengadili
suatu perkara tidak berada dilokasi dimana suatu perbuatan melawan hukum
terjadi.177 Sebagai contoh, jika suatu pengadilan negara A memiliki kompetensi atas
suatu pelanggaran hak cipta yang berasal dari negara B dan terjadi di negara C,
menurut interpretasi lex fori, hukum yang berlaku adalah hukum negara A, yang
belum tentu memiliki hubungan lebih dekat dengan perkara dibanding hukum
negara B ataupun C.
Secara praktis, interpretasi ini juga dapat mendorong prakteknya forum
shopping. Karena titik pertalian yang paling penting dalam interpretasi ini adalah
tempat pengadilan dimana gugatan diajukan, maka antara berbagai pengadilan yang
mungkin memiliki kompetensi atas suatu perkara, dapat saja bahwa penggugat akan
memilih secara strategis pengadilan yang berada di negara dengan hukum yang
lebih menguntungkan penggugat.178
175
Untuk pembahasan lengkap mengenai keunggulan dari penggunaan lex fori untuk
menentukan hukum yang mengatur suatu PMH, lihat Gautama, Hukum Perdata Internasional
Indonesia Buku Ke-8, hlm. 131-132
176
Stewart, International Copyrights, hlm. 38-39.
177
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 104.
178
Kelemahan ini menjadi catatan dalam Antonelli, “Applicable Law,” hlm. 150
“notwithstanding the advantage of the application of a single law, this theory [lex fori] gives the
copyright owner the opportunity to forum shop for a favourable jurisdiction. Conversely, the
Universitas Indonesia
60
Selain itu, Van Eechoud juga menjelaskan bahwa lex fori berupa suatu
ketentuan hukum yang berlaku yang tidak lengkap karena hanya memberikan
hukum yang berlaku atas suatu isu hak cipta setelah terjadinya suatu gugatan dan
perkara. Namun, sulit untuk menentukan apa hukum yang mengatur suatu aspek
hak cipta sebelum terjadi suatu perkara. Van Eechoud memberikan contoh jika dua
pihak ingin melakukan peralihan hak cipta antara satu pihak ke pihak lain, mungkin
saja mereka ingin mengetahui hukum yang berlaku secara terpisah dan tidak
berhubungan dengan suatu perkara. Namun, jika menggunakan teori lex fori, sulit
untuk diketahui hukum yang mengatur suatu aspek hak cipta sebelum litigasi
terjadi.179
Alasan-alasan ini membuat interpretasi lex fori kurang populer, walaupun
secara prima facie atau harafiah berupa penafsiran yang paling sesuai dengan teks
Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne.
infringer might seek a declaratory judgment in a jurisdiction where his activities are permitted or
tolerated (so-called infringement havens) in order to pre-empt the owner's choice.”
179
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 105.
180
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (3) “Protection
in the country of origin is governed by domestic law.”
Universitas Indonesia
61
181
Ibid. Ps. 7 ayat (8) “In any case, the term shall be governed by the legislation of the
country where protection is claimed; however, unless the legislation of that country otherwise
provides, the term shall not exceed the term fixed in the country of origin of the work.”
182
Ibid. Ps. 2 ayat (7) “Works protected in the country of origin solely as designs and
models shall be entitled in another country of the Union only to such special protection as is granted
in that country to designs and models…”
183
Ibid. Ps. 14ter ayat (2) “The protection provided by the preceding paragraph may be
claimed in a country of the Union only if legislation in the country to which the author belongs so
permits…”
184
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 120-121
Universitas Indonesia
62
185
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (2).
186
Antonelli, “Applicable Law,” hlm. 151 “Finally, there are interpretative reasons that
seem to exclude the possibility of supporting this theory: the wording of the first part of paragraph
2, and in particular the statement that "... such enjoyment and such exercise shall be independent of
the existence of protection in the country of origin of the work". In fact, it appears to counterpose
the country where protection is claimed to the country of origin, which might not provide for
copyright protection.”
187
United States Court of Appeal Second Circuit, Itar Tass, hlm. 90-91
188
Van Eechoud, Choice of Law, hlm.123 “In France there is also a tendency to use the
lex originis as the conflict rule for issues of initial ownership. Some courts have said explicitly that
the BC does not contain a conflict rule for initial ownership and that the common French conflict
rule is the lex originis, either based on nationality of the author or –for published works– the country
of first publication”
189
Goldstein, International Copyrights, hlm. 127
Universitas Indonesia
63
190
Jane C. Ginsburg, “Private International Law Aspects of the Protection of Works and
Objects of Related Rights Transmitted Through Digital Networks,” (makalah disampaikan pada
seminar Group of Consultants on the Private International Law Aspects of the Protection Of Works
And Objects of Related Rights Transmitted through Global Digital Networks, Jenewa, 16-18
Desember 1998), hlm. 25-27
191
Sebagai contoh, banyak negara Common Law seperti Amerika Serikat menganut
doktrin ‘work for hire’ dimana jika seseorang membuat suatu karya dalam konteks hubungan
pemberi kerja- pekerja, maka pemberi kerja secara otomatis memiliki hak cipta atas karyanya,
sedangkan banyak negara Civil Law tidak mengenal doktrin seperti demikian, lihat Goldstein,
International Copyright, hlm. 128, 239-240.
192
Ginsburg, “Private International Law,” hlm. 28 “
Universitas Indonesia
64
termasuk initial ownership suatu karya, sesuai dengan prinsip Schutzland yang
dikenal di Jerman.193
193
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 123-124 “German case-law is quite consistent in its
refusal to use the lex originis for issues of initial ownership. A string of recent decisions of the
Bundesgerichtshof has reaffirmed the German interpretation of the Berne Convention: Article 5 lays
down the law of the Schutzland or lex protectionis, for existence, scope, (initial) ownership, transfer
of copyright and capacity to act against infringement.”
194
Goldstein, International Copyrights, hlm 123; Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 103,
105
195
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 105-106
Universitas Indonesia
65
196
Ibid.
197
Van Eechoud, Choice of Law, footnote 299 “…Suppose the author assigns reproduction
rights in a book: in the territorial view, the scope of that transfer and its effect would be governed
by UK copyright law as far as the ‘UK copyright’ in the book is concerned, by Dutch law as far as
the ‘Dutch copyright’ is concerned and so on for all of the at least 148 different national copyrights
the author potentially has under the Berne Convention.”
198
Ibid. hlm. 108
Universitas Indonesia
66
hak cipta pada umumnya, khususnya dengan asas territorialitas dari suatu hak
cipta.199
Sebagaimana telah dibahas dalam Bab II, hak cipta seringkali dianggap
sangat territorial, dimana perlindungan hak cipta dalam suatu negara hanya berlaku
di wilayah negara tersebut, dan tidak memiliki dampak di luar wilayah suatu
negara.200 Oleh sebab itu, perlindungan hak cipta dalam kerangka hukum
perlindungan hak cipta yang terkandung dalam Konvensi Berne mengadopsi
pengertian droits indépendants, dimana dengan di dikreasikan suatu ciptaan maka
akan lahir berbagai hak cipta yang berbeda dan terpisah di semua negara pihak
Konvensi Berne. Sesuai dengan asas independence of protection, bagaimana suatu
hak cipta diperlakukan di satu negara tidak memiliki dampak dengan perlindungan
di negara lain.
Selebih dari itu, dalam kerangka hukum Konvensi Berne, setiap negara bebas
menetapkan standar dan ketentuan perlindungan hak cipta, selama memenuhi
standar minimum yang ditetapkan dalam Konvensi Berne. Masing-masing negara
tentu akan membuat ketentuan-ketentuan berdasarkan pertimbangan, keadaan, serta
kebutuhan negara-negara masing-masing. Sebagai konsekuensi, negara tidak ada
yang memiliki ketentuan perlindungan hak cipta yang sesuai.
Menurut para pendukung penafsiran ini, interpretasi lex protectionis paling
sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan hak cipta sebagaimana telah disebut.
Karena lex protectionis mengadvokasikan penggunaan ketentuan hukum dari
negara dimana pelanggaran terjadi, maka lex protectionis sering dianggap sebagai
interpretasi yang menghormati kemampuan negara untuk mengatur standar serta
batasan-batasan hak cipta yang berlaku di negara masing-masing, sesuai dengan
pengertian asas territorial dari hak cipta dan karakteristik perlindungan hak cipta
yang sifatnya droits indépendants.
199
Goldstein, International Copyrights, hlm. 123 “The general preference for the law of
the protecting country as applicable law in copyright cases reflects the historic principle that
copyright is territorial. To apply the law of Country A to an alleged infringement occurring in
Country B would, it is widely believed, violate the principle of territoriality by exporting the law of
one country to the territory of another; the fact that Country A is the forum country should make no
difference”
200
Lihat hlm. 20 dari karya ini
Universitas Indonesia
67
Akan tetapi, itu bukan berarti pendekatan ini tanpa kritikan, khususnya dalam
era digital modern. Menurut lex loci protectionis, maka jika pelanggaran hak cipta
terjadi di berbagai negara, seperti dalam kasus pelanggaran hak cipta daring, maka
semua hukum dari semua negara yang bersangkut berlaku semua. Sebagai contoh,
jika suatu karya video diunggah ke Internet dan diakses oleh orang-orang dari
negara A, B, dan C, maka hukum A mengatur pelanggaran di negara A, hukum B
mengatur pelanggaran di negara B, dan hukum C mengatur pelanggaran di negara
C. Ini dapat mengakibatkan banyak sekali sistem hukum yang mengatur suatu hal
yang seharusnya cukup sederhana.201 Ini juga dapat mengakibatkan ketentuan-
ketentuan hak cipta dari negara yang paling ketat ‘mendorong’ ketentuan-ketentuan
hak cipta dari negara yang lebih longgar, jika seorang penunggah materi ke Internet
tidak melakukan geofiltering atau membatas akses berdasarkan geografis.202
Namun, menurut Goldstein, kekhawatiran ini terkadang berlebihan. Dengan
harmonisasi substansi hak cipta melalui Konvensi Berne dan perjanjian-perjanjian
Internasional lainnya, serta dengan adanya WTO Enforcement Regime, maka dalam
kebanyakan kasus, walaupun hukum berbagai negara mengatur, konten atau
substansi dari hukum tersebut tidak jauh beda, selain aspek-aspek hak cipta yang
memang belum terjadi harmonisasi, seperti authorship dan initial ownership.203
Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa antara para ahli hukum terdapat
berbagai pendapat mengenai karakteristik dari norma-norma tentang hukum yang
berlaku dalam Konvensi Berne dan mengenai asas-asas HPI yang berlaku terhadap
hak cipta secara lebih umum. Namun, terlepas dari perdebatan akademis mengenai
isu ini, isu ini juga mendapat perhatian dari pengadilan-pengadilan di berbagai
negara, serta dalam undang-undang berbagai negara. Tentu, pendekatan-
pendekatan yang diambil antara negara berbeda-beda. Oleh sebab itu, Penulis akan
201
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 106; Ginsburg, “Private International Law,” hlm. 35
202
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 106
203
Goldstein, International Copyrigts, hlm. 124-125
Universitas Indonesia
68
1. Amerika Serikat
Sebagai negara Common Law, rujukan utama dalam menentukan isu-isu
hukum yang berlaku dalam bidang Hak Cipta di Amerika Serikat dapat ditemukan
dalam yurisprudensi-yurisprudensi pengadilan-pengadilan Federal Amerika
Serikat.205 Oleh sebab itu, Penulis akan membahas secara singkat mengenai
yurisprudensi-yurisprudensi pengadilan Amerika Serikat yang membahas isu-isu
ini.
Kasus yang menjadi landmark di Amerika Serikat mengenai isu-isu hukum
yang berlaku dalam bidang Hak Cipta adalah kasus Itar-Tass Russian News Agency
v. Russian Kurier, Inc. Perkara ini melibatkan Kurier, suatu koran berbahasa Rusia
yang disirkulasikan di New York dan daerah-daerah sekitarnya. Beberapa
perusahaan media di Rusia mendalilkan bahwa Kurier mengambil artikel-artikel
204
Persaturan Bangsa-Bangsa, Vienna Convention, Ps. 31 ayat (3) huruf b, lihat hlm. 17-
18 karya ini.
205
Amerika Serikat memiliki sistem Federal dimana terdapat pembagian antara pengadilan
federal Amerika Serikat ataupun pengadilan masing-masing negara bagian, namun sesuai dengan
Pasal 1, Bagian 8, Klausula 8 dari Konstitusi Amerika Serikat, isu-isu mengenai hak kekayaan
intelektual, termasuk hak cipta termasuk dalam kompetensi absolut pengadilan Federal, lihat
Howard B. Abrams, “United States” dalam Intellectual Property and Private International Law:
Comparative Perspectives, ed. Toshiyuki Kono (Portland: Hart Publishing, 2012),. hlm. 1113-1114
Universitas Indonesia
69
dari koran-koran mereka, dan secara tanpa izin mempublikasikan kembali artiker
tersebut di koran Kurier, sehingga mereka menggugat Kurier di Pengadilan Federal
Amerika Serikat. 206
Saat perkara diputuskan dan dibanding ke United States Court of Appeals for
the Second Circuit, Pengadilan Amerika Serikat menentukan asas-asas yang
berlaku dalam HPI Amerika Serikat mengenai isu-isu hukum yang berlaku dalam
bidang hak cipta.
Pertama, mereka menemukan bahwa prinsip national treatment dalam
Konvensi Berne bukanlah suatu asas tentang hukum yang berlaku, karena itu hanya
menyangkut kewajiban bahwa suatu negara memperlakukan pemegang hak cipta
asing sama dengan pemegang hak cipta domestik, tanpa menetapkan suatu asas
hukum yang berlaku yang harus digunakan oleh negara pihak Konvensi Berne.207
Kedua, terhadap isu initial ownership atau kepemilikan awal dari suatu hak
cipta, Pengadilan Amerika Serikat menemukan bahwa asas yang berlaku adalah
“the law of the state with the most significant relationship to the property and the
parties” sebagai asas HPI yang pada umumnya berlaku dalam Hukum Amerika
Serikat untuk mengatur kepemilikan awal suatu benda. Menurut Pengadilan, untuk
kebanyakan kasus, ini akan identik dengan country of origin dalam Konvensi
Berne. Oleh sebab itu, Hukum Rusia yang mengatur kepemilikan awal dari hak
cipta karena karya-karya yang menjadi objek sengketa pertama kali dipublikasikan
di Rusia oleh warga negara Rusia.208 Menurut Pengadilan Amerika Serikat,
penggunaan asas HPI Amerika Serikat yang berlaku pada umumnya untuk
menentukan isu ini diperbolehkan karena Konvensi Berne tidak mengatur sama
sekali tentang initial ownership suatu hak cipta.209
Ketiga, untuk menentukan hukum yang berlaku atas pelanggaran hak cipta,
asas yang berlaku pada umumnya dalam hukum Amerika Serikat terhadap PMH,
yaitu Lex Loci Delicti, juga berlaku terhadap pelanggaran hak cipta.210 Pandangan
206
United States Court of Appeal Second Circuit, Itar Tass, hlm. 84-85
207
Ibid. hlm. 88-90
208
Ibid. hlm. 90-91
209
Ibid.
210
Ibid. hlm. 91- 92
Universitas Indonesia
70
ini dianggap sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, karena seperti yang
dikatakan oleh pengadilan Amerika dalam Creative Technology, Ltd. v. Aztech
System Pte, Ltd., asas yang berlaku dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne
menetapkan bahwa:211
…the applicable law is the copyright law of the state in which the
infringement occurred, not that of the state of which the author is a national
or in which the work was first published.
Pengertian penggunaan ini didorong oleh pengertian asas territorial dalam
Hukum Amerika Serikat. Pengadilan Amerika secara konsisten menyatakan bahwa
Hukum mengenai Hak Cipta yang diatur dalam Hukum AS tidak berlaku di luar
batas wilayah Amerika Serikat. Ini karena di Amerika Serikat, semua undang-
undang dianggap hanya berlaku di wilayah AS, kecuali secara eksplisit disebut
dalam suatu undang-undang bahwa suatu ketentuan berlaku di luar wilayah AS.
Seperti yang dikatakan dalam perkara Subafilms, Ltd. v. MGM-Pathe
Communications Co., yaitu bahwa:212
“The application of American copyright law to acts of infringement that occur
entirely overseas clearly could have this effect. Extraterritorial application
of American law would be contrary to the spirit of the Berne Convention, and
might offend other member nations by effectively displacing their law in
circumstances in which previously it was assumed to govern.”
Oleh sebab asas-asas ini, dalam kasus London Film Prods. Ltd. v.
Intercontinental Commc’ns Inc, saat suatu perusahaan Inggris menggugat suatu
perusahaan New York di Amerika Serikat atas tindakan pelanggaran hak cipta yang
terjadi di 6 negara di Amerika Selatan, Pengadilan Amerika Serikat menemukan
bahwa walaupun Pengadilan memiliki kompetensi atas perkara karena kedudukan
tergugat di AS, namun hukum yang berlaku adalah hukum dari 6 negara
bersangkutan dimana pelanggaran hak cipta terjadi, dan bukan hukum Amerika
211
United States Court of Appeal Ninth Circuit, Creative Technology, Ltd. v. Aztech
System Pte, Ltd, 61 F.3d 696 (9th Cir. 1995), hlm. 700-701
212
United States Court of Appeal Ninth Circuit, Subafilms, hlm. 1097; lihat pula Toshiyuki
Kono dan Paulius Jurčys, “General Report” dalam Intellectual Property and Private International
Law: Comparative Perspectives, ed. Toshiyuki Kono (Portland: Hart Publishing, 2012), hlm. 147
Universitas Indonesia
71
Serikat.213 Hal ini sesuai dengan asas territorial dari Hak Cipta dan asas lex loci
delicti yang dianut di Amerika Serikat.
2. Uni Eropa
Di Uni Eropa, dengan Rome II Regulation on the Law Applicable to Non-
Contractual Obligations (Regulasi Roma II), yang mulai berlaku pada tanggal 11
Januari 2009, ketentuan-ketentuan HPI domestik masing-masing negara Uni Eropa
yang mengatur ‘non-contractual obligations’ digantikan dengan satu peraturan
seragam mengenai HPI yang berlaku di seluruh Uni Eropa. Peraturan ini berlaku di
setiap pengadilan negara anggota Uni Erope yang memiliki kompetensi atas suatu
perkara.214 Sesuai Pasal 3 Regulasi Roma II, semua stetsel hukum yang ditunjuk
oleh regulasi harus diberlakukan, terlepas apakah stetsel hukum yang ditunjuk
berupa negara anggota Uni Eropa atau tidak.215
Berdasarkan pasal 4 Regulasi Roma II, ketentuan hukum yang berlaku yang
berlaku terhadap PMH dalam Regulasi Roma II adalah lex loci damni, atau hukum
dari tempat dimana kerugian terjadi, kecuali 1. Jika penggugat dan tergugat
memiliki habitual residence yang sama saat kerugian terjadi, maka hukum dari
tempat tersebut berlaku 2. jika dari segala keadaan suatu kasus, suatu stelsel hukum
lain lebih ‘closely connected’ dengan perkara, maka stetsel hukum itu juga dapat
berlaku.216
Namun, Pasal 8 dari Regulasi Roma II mengatur ketentuan hukum yang
berlaku khusus yang berlaku atas hak kekayaan intelektual. Pasal 8 ayat (1)
menetapkan bahwa “The law applicable to a non-contractual obligation arising
from an infringement of an intellectual property right shall be the law of the country
for which protection is claimed.”217 Berdasarkan Pasal 8 ayat (3), hukum yang
213
United States District Court Southern District of New York, London Film Prods. Ltd.
v. Intercontinental Commc’ns Inc 580 F. Supp. 47 (S.D.N.Y. 1984), hlm. 48-50
214
Kono, “General Report,” hlm. 149; Nerina Boscheiro, “Intellectual Property in the Light
of the European Conflict of Laws” https://www.ialsnet.org/meetings/business/BoschieroNerina-
Italy.pdf, diakses 5 Juli 2022, hlm. 3
215
Uni Eropa, Regulation on the Law Applicable to Non-Contractual Obligations (Rome
II), Regulation (EC) No 864/2007, Ps. 3.
216
Ibid. Ps. 4
217
Ibid. Ps. 8 ayat (1)
Universitas Indonesia
72
berlaku atas hak cipta sebagaimana ditunjuk Pasal 8 ayat (1) tidak dapat
dikecualikan oleh suatu perjanjian antara pihak.218
Boschiero menjelaskan bahwa salah satu alasan yang mendorong dibuatnya
suatu ketentuan khusus dalam Regulasi Roma II mengenai hak cipta adalah
ambiguitas dan ketidakjelasan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne.219 Untuk mengklarifikasi norma yang berlaku, dibuat secara khusus
ketentuan Pasal 8 ayat (1) Regulasi Roma II yang fungsinya lebih untuk
‘mengkonfirmasi’ dan ‘menekankan kembali’ asas territorialitas dan lex loci
protectionis.220kata-kata “…the law of the country for which protection is claimed”
dalam Pasal 8 ayat (1) dibuat untuk mengkodifikasikan lex protectionis ke dalam
hukum Uni Eropa, dan sesuai dengan pengertian lex protectionis sebagaimana
dianggap telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, dan harus
diterjemahkan merujuk kepada hukum dari negara dimana pelanggaran terjadi.
Penggunaan kata ‘for which protection is claimed’ dalam Regulasi Roma II
dibanding dengan kata ‘in which protection is claimed’ dalam Pasal 5 ayat (2)
dibuat untuk mengklarifikasi arti dari norma tersebut, tetapi tidak dibuat untuk
mengubah kaedah HPI yang pada umumnya berlaku, yaitu lex protectionis.221
Namun, untuk masalah initial ownership belum ada unifikasi untuk
menentukan asas mana yang berlaku, dan masing-masing negara Eropa masih ada
peraturan berbeda mengenai ketentuan hukum yang berlaku yang berlaku untuk
menentukan kepemilikan awal suatu hak cipta. Sebagai contoh, berdasarkan
yurisprudensi Jerman, Jerman akan menggunakan lex loci protectionis terhadap
semua aspek dari suatu hak cipta, termasuk initial ownership dari suatu hak cipta,
suatu pendekatas yang sering disebut sebagai Prinsip Schutzland.222 Sedangkan di
Perancis, mirip dengan Amerika Serikat, kebanyakan pengadilan menganggap
218
Ibid. Ps. 8 ayat (3)
219
Boschiero, “Intellectual Property,” hlm. 5.
220
Ibid. Hlm. 6
221
Ibid, Hlm. 14; Lihat pula Kono, “General Report,” hlm. 151
222
Kono, “General Report,” hlm. 597-598; Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 109-110
Universitas Indonesia
73
bahwa initial ownership atau kepemilikan awal dari suatu hak cipta harus diatur
oleh negara asal atau country of origin dari suatu hak cipta.223
3. Jepang
Ketentuan-ketentuan HPI di Jepang dapat ditemukan dalam Undang-Undang
tentang Peraturan Umum tentang Hukum yang Berlaku.224 Dalam Pasal 17
peraturan tersebut, ditentukan bahwa dalam kasus PMH secara umum, hukum yang
berlaku adalah hukum dari tempat dimana akibat dari tindakan yang menyebabkan
kerugian muncul. Namun, jika akibat dari tindakan tersebut tidak dapat
diperkirakan, maka hukum dari tempat dimana tindakan terjadi akan berlaku.225
Jepang tidak memiliki ketentuan khusus mengenai hukum yang berlaku
terhadap perkara-perkara hak cipta. Akan tetapi, Yokomizo menjelaskan bahwa
dalam yurisprudensi pengadilan-pengadilan Jepang, tidak ada hambatan untuk
pengadilan Jepang mengadili perkara yang melibatkan hak cipta asing. Dalam
perkara seperti demikian, Pengadilan Jepang akan menggunakan ketentuan-
ketentuan HPI yang umum terhadap perkara-perkara hak cipta.226 Namun, pendapat
mayoritas di Jepang adalah bahwa sengketa HAKI yang lintas batas, termasuk hak
cipta, harus diselesaikan dengan mempertimbangkan asas territorialitas, dan oleh
sebab itu, maka “the law of the country for which protection is sought” atau lex loci
protectionis harus digunakan. Dalam yurisprudensi, asas ini telah digunakan
terhadap beberapa kasus sengketa paten, walaupun dalam konteks hak cipta belum
ada kasus.227
223
Marie-Elodie Ancel, “France” dalam Intellectual Property and Private International
Law: Comparative Perspectives, ed. Toshiyuki Kono (Portland: Hart Publishing, 2012), hlm. 545-
546
224
Dalam bahasa Jepang adalah Hō no Tekiyō ni Kansuru Tsūsokuhō, lihat Jepang, Act on
the General Rules of Application of Laws [Hō no Tekiyō ni Kansuru Tsūsokuhō], Undang-Undang
No. 10 Tahun 1898 (sebagaimana telah diamandemen 21 June 2006), diterjemahkan oleh Kent
Anderson dan Yasuhiro Okuda, http://blog.hawaii.edu/aplpj/files/2011/11/APLPJ_08.1_a
nderson.pdf, diakses 5 Juli 2022.
225
Ibid. Ps. 17 “The formation and effect of claims arising from tort shall be governed by
the law of the place where the results of the acts causing the damage arose. However, where the
occurrence of the results in such place would usually be unforeseeable, the law of the place where
the acts causing the damage occurred shall govern.”
226
Dai Yokomizo, “Japan” dalam Intellectual Property and Private International Law:
Comparative Perspectives, ed. Toshiyuki Kono (Portland: Hart Publishing, 2012), hlm. 770-771
227
Kono, “General Report,” 158-160
Universitas Indonesia
74
4. Korea Selatan
Ketentuan mengenai HPI di Korea Selatan dapat ditemukan dalam Undang-
Undang Hukum Perdata Internasional Korea.228 Pasal 24 dari undang-undang
tersebut mengkodifikasikan asas lex loci protectionis, dan menjelaskan bahwa
“perlindungan hak-hak kekayaan intelektual diatur oleh hukum dari tempat dimana
hak-hak dilanggar.”229 Dalam konteks pelanggaran hak cipta, asas lex loci
protectionis diartikan oleh Pengadilan Korea menunjuk ke hukum dari negara
dimana tindakan yang melanggar terjadi atau dimana kerugian terjadi.230
Hubungan antara Pasal 24 Undang-Undang Hukum Perdata Internasional
Korea dengan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne diklarifikasikan oleh Pengadilan
Korea dalam dua kasus menarik, yaitu kasus Sonata of Temptation dan kasus 49
Things to Do in Your Life.231
Dalam perkara Sonata of Temptation, Square Enix, perusahaan Jepang yang
bergerak di bidang video game menggugat perusahaan korea Fantom Entertainment
Group dan seorang direktur video musik di Pengadilan Negari Seoul Pusat pada
bulan Maret 2007. Menurut Square Enix, para tergugat saat membuat video musik
buat artis Korea bernama Ivy telah melanggar hak cipta yang dimiliki Square Enix
atas film yang Square Enix pernah membuat dengan judul “Final Fantasy VII:
Advent Children.” Menurut Square Enix, para tergugat telah mencontek
penampilan, cerita, karakter, latar belakang, serta gerakan dari materi ciptaan
mereka tanpa izin.232 Dalam perkara tersebut, Pengadilan Korea menyatakan
bahwa:
228
Korea Selatan, Act on Private International Law, Undang-Undang No.13759
diterjemahkan oleh Lembaga Riset Hukum Korea dan Kementerian Kehakiman Korea, Divisi
Hukum Internasional. https://law.go.kr/LSW/lsInfoP.do?lsiSeq=179501&viewCls=engLsInfoR&u
rlMode=engLsInfoR#0000, diakses 5 Juli 2022
229
Ibid. Ps. 24 “The protection of intellectual property rights shall be governed by the law
of the place where such rights are violated.”
230
Kono, “General Practices,” hlm. 162; Gyohoo Lee, “Korea” dalam Intellectual Property
and Private International Law: Comparative Perspectives, ed. Toshiyuki Kono (Portland: Hart
Publishing, 2012), hlm. 817
231
Lee, “Korea,” hlm. 818-820
232
Ibid. hlm. 818
Universitas Indonesia
75
D. Kesimpulan
Dari semua uraian dalam bab ini, beberapa kesimpulan dapat diambil.
Pertama, pasal 5 ayat (2) memiliki berbagai penafsiran, dan sulit untuk mengatakan
penafsiran yang tepat bagaimana. Dalam satu sisi, penafsiran non-conflicts rule
interpretation sepertinya paling sesuai, dengan memperhatikan travaux
preparatoires dari Konvensi Berne, sesuai dengan Pasal 32 VCLT. Dalam sisi lain,
penafsiran lex fori paling sesuai dengan arti harafiah dari teks Pasal 5 ayat (2)
Konvensi Berne. Lalu, tidak bisa dilupakan bahwa penafsiran lex loci
233
Ibid.
234
Ibid. hlm. 820
Universitas Indonesia
76
protectionis/lex loci delicti paling sesuai dengan asas-asas perlindungan hak cipta
internasional.
Namun, setelah melihat praktek-praktek masing negara, dapat dilihat bahwa
walaupun terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai penafsiran dari Pasal 5
ayat (2) Konvensi Berne ataupun asas hukum yang berlaku yang berlaku pada
pelanggaran hak cipta, akan tetapi kebanyakan negara menganut asas lex loci
protectionis ataupun menggunakan peraturan-peraturan HPI pada umumnya
kepada pelanggaran Hak Cipta (pada umumnya melalui lex loci delicti). Korea
Selatan dan Uni Eropa memiliki ketentuan khusus dalam peraturan perundang-
undangan mereka yang mengkodifikasikan lex loci protectionis, yang secara
sengaja dibuat serupa atau mirip dengan ketentuan yang ditemukan dalam Konvensi
Berne. Sedangkan untuk Amerika Serikat atau Jepang, mereka menggunakan asas-
asas umum yang terkandung dalam HPI mereka masing untuk menentukan hukum
yang berlaku atas pelanggaran hak cipta, pada umumnya menggunakan asas lex loci
delicti. Dalam kasus Jepang, walaupun tidak ada ketentuan khusus mengenai asas
hukum yang berlaku yang berlaku atas pelanggaran hak cipta, namun, pendapat
mayoritas di Jepang juga menganut lex loci protectionis. Dalam semua kasus
pelanggaran hak cipta, pada umumnya hukum yang akan digunakan adalah hukum
dari tempat dimana suatu pelanggaran terjadi.
Suatu praktek yang konsisten antar negara seperti dalam kasus ini juga
memiliki nilai dalam penafsiran perjanjian internasional, sesuai Pasal 31 ayat (3)
huruf b VCLT. Praktek yang konsisten ini dapat menunjukkan ‘niat para negara
pihak’ Konvensi Berne saat awal menandatangani perjanjian internasional tersebut.
Ditambah dengan alasan-alasan policy yang kuat, serta kesesuaian dengan asas-asas
dasar perlindungan hak cipta internasional, penulis berpendapat bahwa walaupun
sulit untuk mencari arti dari Pasal 5 ayat (2), interpretasi lex loci protectionis berupa
interpretasi yang paling sesuai.
Universitas Indonesia
77
BAB IV
PENERAPAN ASAS-ASAS HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA
DALAM PERKARA PELANGGARAN HAK CIPTA
Universitas Indonesia
78
sebagai suatu PMH yang melibatkan unsur-unsur asing. Oleh sebab itu, Penulis
akan fokus terhadap dua kasus ini secara khusus, untuk melihat bagaimana isu-isu
pilihan dalam konteks pelanggaran hak cipta daring ditanggapi dalam praktek
pengadilan Indonesia.
Terakhir, penulis akan membuat kesimpulan dari apa yang terlihat dari
ketiga sumber hukum tersebut mengenai ketentuan tentang hukum yang berlaku
yang berlaku di Indonesia. Setelah itu, Penulis juga akan memberikan komentar
mengenai apakah praktek yang sudah berlaku di Indonesia sudah tepat atau tidak
menurut hukum internasional serta dari sisi policy.
Dari teks pasal ini, terlihat bahwa UU Hak Cipta ini berlaku terhadap 1.
Secara karya yang dibuat oleh warga negara, penduduk, atau badan hukum
Indonesia, 2. Semua karya yang dibuat oleh orang atau bahan hukum asing, tetapi
pertama kali dilakukan pengumuman di Indonesia, serta 3. Karya yang dibuat oleh
orang atau badan hukum asing, selama negara asal hak cipta yang dibuat atau
235
UU Hak Cipta, 2014, Ps. 2.
Universitas Indonesia
79
dimiliki orang atau badan hukum asing memiliki perjanjian multilateral atau
bilateral dengan Indonesia (seperti Konvensi Berne).
Sebelum lebih lanjut, dapat dilihat bahwa ketentuan UU Hak Cipta ini,
khususnya dalam Pasal 2 huruf a dan b sangat terinspirasi oleh ketentuan-ketentuan
mengenai prasyarat keberlakuan Konvensi Berne yang diatur dalam Pasal 3 dan
Pasal 4 Konvensi Berne yang telah dibahas sebelumnya. Dimana Konvensi Berne
menyatakan bahwa perlindungan diberikan kepada karya yang dibuat oleh warga
negara atau orang yang memiliki habitual residence di negara pihak atau kepada
karya yang pertama kali diumumkan di negara pihak,236 Pasal 2 UU Hak Cipta
menyatakan bahwa UU Hak Cipta berlaku terhadap karya yang dibuat oleh orang
atau badan hukum Indonesia ataupun karya yang pertama kali diumumkan di
Indonesia. Namun, menurut penulis, dengan penggunaan formulasi Konvensi
Berne di dalam ketentuan hukum domestik dengan teks yang sangat mirip dapat
menimbulkan beberapa permasalahan, karena konteks di Konvensi Berne dan
dalam UU Hak Cipta cukup berbeda. Perbedaan ini pun dapat berdampak mengenai
ketentuan mengenai hukum yang berlaku di Indonesia.
Perlu diingat fungsi dari Pasal 3 dan 4 Konvensi Berne adalah untuk
mengatur kapan perlindungan dari Konvensi Berne berlaku, dan kapan negara harus
menghormati dan melindungi hak cipta dari negara asing. Selama suatu karya
masuk kategori dalam Pasal 3 dan 4 Konvensi Berne, maka negara wajib memberi
perlindungan terhadap karya tersebut sesuai kewajiban dalam Konvensi Berne.
Namun, perlu ditekankan bahwa Pasal 3 dan 4 tidak mengatur sama sekali
mengenai hukum negara mana yang harus berlaku untuk melindungi suatu hak cipta
asing, ataupun menyatakan bagaimana suatu karya yang masuk dalam prasyarat
dalam Pasal 3 dan 4 Konvensi Berne harus dilindungi. Selama karya yang masuk
prasyarat diberikan perlindungan, maka ketentuan Pasal 3 dan 4 Konvensi Berne
sudah terpenuhi.237
236
Lihat World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 3 ayat (1) “The
protection of this Convention shall apply to: (a) authors who are nationals of one of the countries
of the Union, for their works, whether published or not; (b) authors who are not nationals of one of
the countries of the Union, for their works first published in one of those countries, or simultaneously
in a country outside the Union and in a country of the Union.”
237
Lihat hlm. 21-23 karya ini untuk pembahasan lengkap mengenai keberlakuan Konvensi
Berne dan fungsi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 3 dan 4 Konvensi Berne.
Universitas Indonesia
80
Namun, yang menjadi masalah adalah ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta yang
secara eksplisit menyatakan bahwa “undang-undang ini berlaku terhadap…”
ciptaan asing. Tentu, mengingat bahwa Indonesia menganut konsepsi cukup luas
mengenai ruang lingkup HPI,238 maka ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta, yang
memiliki ketentuan yang mengatur status hak cipta asing sebagai suatu titik
pertalian, harus dianggap sebagai ketentuan HPI. Yang menjadi permasalahan
adalah apakah ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta hanya sekedar menjamin hak cipta
orang asing di Pengadilan Indonesia, dimana ketentuan ini dapat dikatakan lebih
mengatur mengenai ‘status orang asing’ atau apakah ketentuan ini juga merupakan
ketentuan yang mengatur hukum yang berlaku atas perkara atau applicable law
yang harus digunakan oleh Pengadilan untuk mengatur suatu perkara hak cipta.
Pasal 2 UU Hak Cipta tersebut dapat ditafsirkan beberapa macam cara. Bisa
jadi ketentuan ini dibaca sebagai suatu ketentuan mengenai applicable law yang
mewajibkan penggunaan hukum domestik Indonesia saat suatu hak cipta dilindungi
oleh pengadilan Indonesia, suatu pendekatan yang identik dengan penggunaan lex
fori. Bisa juga ketentuan tersebut seharusnya tidak dibaca sebagai ketentuan
mengenai hukum yang berlaku atau applicable law, melainkan hanya sebagai
ketentuan mengenai status orang asing dalam hukum Indonesia yang menjamin
bahwa hak cipta asing dapat dilindungi oleh hukum Indonesia, tetapi hanya setelah
ketentuan-ketentuan HPI mengenai hukum yang berlaku atau applicable law
menentukan bahwa stetsel hukum yang mengatur suatu perkara adalah hukum
Indonesia. Isu terutama yang muncul adalah apakah ketentuan ini berupa suatu
ketentuan mengenai mengenai hukum yang berlaku atau applicable law atau hanya
sekedar ketentuan yang mengatur status pemegang hak cipta asing? Apakah
ketentuan pasal ini dapat memberi jawab atau memiliki dampak mengenai
ketentuan-ketentuan applicable law yang berlaku di Indonesia, atau sebenarnya
pasal ini tidak ada hubungan sama sekali dengan penyelesaian isu-isu hukum yang
berlaku? Hal ini, hemat penulis, belum sebegitu jelas, dan oleh sebab itu akan
menjadi pembahasan utama dalam bagian ini.
238
Hukum Indonesia, sama seperti Hukum Perancis menganggap bahwa HPI memiliki
cakupan bidang yang sangat luas. Dalam pandangan ini, HPI dianggap melingkupi isu-isu mengenai
hukum yang berlaku, pengadilan yang berwewenang, status orang asing, dan cara memperoleh dan
kehilangan kewarganegaraan, lihat Basuki, Hukum Perdata Internasional, hlm. 1.41.
Universitas Indonesia
81
Suatu hal yang penting diingat dalam pembahasan bagian ini adalah tahap-
tahap penyelesaian suatu perkara HPI. Pada umumnya, terdapat tahapan-tahapan
tertentu yang harus ikuti oleh pengadilan dalam perkara yang melibatkan isu-isu
HPI. Pertama, pengadilan harus menentukan apakah memiliki kompetensi. Jika
ternyata pengadilan memang memiliki kompetensi, maka Pengadilan harus
melakukan kualifikasi isu yang dihadapi berdasarkan lex fori ataupun lex causae.
Lalu, setelah dilakukan kualifikasi, baru pengadilan mengidentifikasi titik pertalian
yang berlaku dalam perkara untuk menemukan stetsel hukum yang berlaku dalam
perkara, apakah itu hukum domestik ataupun hukum asing. Baru setelah semua
tahap ini dilalui, maka ketentuan-ketentuan lain dari stetsel hukum yang berlaku
dapat digunakan untuk menyelsaikan perkara.239 Dapat dilihat bahwa hanya setelah
kita mengaplikasikan ketentuan-ketentuan mengenai hukum yang berlaku dan
menemukan suatu stetsel hukum yang mengatur suatu isu, maka ketentuan-
ketentuan hukum lainnya, termasuk mengenai ketentuan mengenai status orang
asing, akan diterapkan dalam perkara. Hal ini penting untuk diingat dalam
pembahasan mengenai Pasal 2 UU Hak Cipta karena ketentuan tentang hukum yang
berlaku di Indonesia saat ini dapat saja tergantung dengan bagaimana ketentuan
Pasal 2 UU Hak Cipta ini dikarakterisasi. Apakah ketentuan ini merupakan
ketentuan yang menjadi bagian dari ketentuan HPI Indonesia mengenai hukum
yang berlaku, atau ini sebenarnya adalah ketentuan yang merupakan bagian dari
HPI Indonesia yang hanya mengatur status orang asing, tetapi tidak mewajibkan
penggunaan suatu conflicts-rule tertentu? Oleh sebab alasan ini, menjadi penting
untuk melihat bagaimana apa dampak dari kedua konsepsi Pasal 2 UU Hak Cipta.
239
Suatu formulasi yang terkenal mengenai tahap-tahapan mencari applicable law dalam
suatu perkara HPI dapat dilihat di kasus English and Wales Court of Appeal, Macmillan Inc. v.
Bishopsgate Investment Trust Plc. and Others (No. 3) [1996] 1 W.L.R. 387, hlm. 391-392 “In any
case which involves a foreign element it may prove necessary to decide what system of law is to be
applied, either to the case as a whole or to a particular issue or issues… In finding the lex causae
there are three stages. First, it is necessary to characterise the issue that is before the court…The
second stage is to select the rule of conflict of laws which lays down a connecting factor for the issue
in question…. Thirdly, it is necessary to identify the system of law which is tied by the connecting
factor found in stage two to the issue characterised in stage one.”
Universitas Indonesia
82
Pasal 2 bisa saja dibaca sebagai suatu ketentuan tentang hukum yang berlaku,
dimana kata-kata “Undang-Undang ini berlaku…” dibaca sebagai suatu ketentuan
yang mengatur stetsel hukum yang mengatur suatu perkara hak cipta. Sebagai
akibat, setiap karya yang masuk dalam kategori yang ditetapkan Pasal 2 huruf a, b,
dan c akan dilindungi dengan UU Hak Cipta, tanpa pengecualian. Jika pengertian
ini benar, artinya hukum Indonesia akan selalu diterapkan kepada kasus-kasus
pelanggaran hak cipta, terlepas dari negara mana asal karya ataupun dimana tempat
pelanggaran hak cipta ataupun nasionalitas dari para pihak dalam suatu perkara.
Jika pengertian ini diadopsi, akan mengakibatkan hasil yang identik dengan
pengertian lex fori, karena hasilnya adalah bahwa pada setiap perkara hak cipta
yang ditangani oleh Pengadilan Indonesia, akan diberlakukan ketentuan hukum hak
cipta Indonesia yang ditemukan dalam ketentuan UU Hak Cipta. Jika penafsiran
Pasal 2 UU Hak Cipta ini memang tepat, maka terdapat beberapa konsekuensi.
Pertama, walaupun hal ini tergantung dengan penafsiran Pasal 5 ayat (2)
Konvensi Berne yang dianggap tepat, hal ini dapat berupa suatu ketidaksesuaian
antara hukum nasional dan ketentuan Hukum Internasional. Jika penafsiran Pasal 5
ayat (2) yang tepat adalah penafsiran lex protectionis/lex loci delicti ataupun lex
origianis, maka ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta ini sepertinya melanggar
ketentuan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne. Namun, seandainya interpretasi lex fori
ataupun non-conflict rule interpretation adalah penafsiran yang tepat, maka tidak
terdapat suatu pelanggaran hukum internasional.
Kedua, penafsiran ini menutup kemungkinan penggunaan hukum asing
dalam perkara pelanggaran hak cipta di pengadilan Indonesia, dengan segala
konsekuensinya penggunaan lex fori pada setiap saat. Memang, hal ini bisa saja
dianggap sebagai suatu sikap yang penuh juridisch chauvinism.240 Segala
kelemahan yang terasosiasi dengan penggunaan lex fori seperti yang telah diuraikan
sebelum tentu juga berlaku, seperti rawannya praktek forum shopping serta karena
lex fori belum tentu merupakan hukum yang paling dekat atau paling logis dengan
fakta-fakta suatu perkara. Namun bukan berarti pendekatan ini tanpa kelebihan.
240
Gautama pernah menyatakan bahwa pendekatan lex fori dalam mengatur suatu PMH
memang terkadang terlihat juridisch chauvinism, lihat Gautama, Hukum Perdata Internasional
Indonesia Buku Ke-8, hlm. 132
Universitas Indonesia
83
Hakim-hakim di Indonesia tentu akan lebih memahami hukum dari lex fori sendiri
dibandingkan hukum asing, sehingga kemungkinan kesalahan dalam penerapan
hukum dapat diminimalisir. Selain itu, karena lex fori tidak memperhatikan locus
dari suatu kejadian, maka segala kesulitan menemukan locus terjadi, terutama saat
pelanggaran hak cipta terjadi melalui internet, dapat dihindar.241 Namun, menurut
Penulis secara keseluruhan, kelebihan dari lex fori belum sampe titik dimana
mengalahkan kelemahan-kelemahan dari penggunaan lex fori.
241
Untuk pembahasan mengenai keunggulan dan kelemahan pendekatan lex fori, lihat
karya ini hlm. 56-60
Universitas Indonesia
84
ketentuan mengenai status orang asing tidak membatasi penggunaan hukum asing
tersebut. Hal ini menurut penulis cukup masuk akal, karena terkadang terhadap
suatu pelanggaran hak cipta asing memang diperlukan untuk digunakan hukum
Indonesia (sebagai contoh, seandainya menggunakan lex protectionis/lex loci
delicti, jika pelanggaran hak cipta asing terjadi di wilayah Indonesia).
Penulis berpendapat bahwa penafsiran ini lebih logis atau tepat untuk dua
alasan: Pertama, jika para pembuat naskah UU Hak Cipta memang ingin membuat
suatu conflicts-rule Indonesia baru, menurut Penulis mereka pasti akan
menggunakan bahasa yang lebih jelas yang secara eksplisit menyatakan bahwa UU
Hak Cipta berlaku terhadap semua pelanggaran hak cipta yang ditangani oleh
pengadilan Indonesia. Padahal, fungsi pasal dibuat adalah untuk memperbolehkan
pemegang hak cipta asing yang merasa hak ciptanya dilanggar di wilayah Indonesia
tetap dapat perlindungan.242 Melihat dari penjelasan UU Hak Cipta, dapat dilihat
bahwa salah satu fungsi diadakan UU Hak Cipta adalah untuk menyesuaikan
ketentuan perlindungan hak cipta Indonesia dengan ketentuan hukum
Internasional,243 dan jika demikian, lebih masuk akal jika fungsi Pasal 2 UU Hak
Cipta hanya untuk menegaskan bahwa karya-karya asing yang pertama kali
diumumkan di Indonesia dan berasal dari negara-negara pihak perjanjian
internasional hak cipta yang Indonesia juga menjadi pihak dapat dilindungi di
Indonesia juga. Tidak ada indikasi bahwa saat para pembuat undang-undang
membuat pasal demikian, mereka memang berniat untuk membuat ketentuan baru
mengenai hukum yang berlaku. Alasan kedua adalah bahwa ini penafsiran lebih
konsisten dengan asas-asas perlindungan hak cipta, yang menganut asas
territorialitas serta konsep droits indépendants perlindungan hak cipta
internasional. Asas-asas tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam bab-bab sebelum,
lebih sesuai dengan penggunaan lex protectionis/lex loci delicti dibandingkan
dengan penggunaan lex fori.
Namun, jika penafsiran yang memandang Pasal 2 UU Hak Cipta bukan suatu
ketentuan-ketentuan tentang hukum yang berlaku, maka pertanyaan utama dari
penelitian ini masih terbuka dan belum terjawab: Dalam HPI Indonesia, apa
242
Gautama, Segi-Segi Hukum, hlm. 66-70
243
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Penjelasan Umum
Universitas Indonesia
85
ketentuan applicable law atau hukum yang berlaku yang berlaku dalam sistem
hukum Indonesia dalam perkara pelanggaran hak cipta? Menurut Penulis, terdapat
dua kemungkinan atau pendekatan yang dapat digunakan oleh Hakim Indonesia
sebagai cara menentukan applicable law jika diasumsikan bahwa Pasal 2 UU Hak
Cipta tidak ada relevansi dengan permasalahan hukum yang berlaku dalam perkara
pelanggaran hak cipta di Indonesia, tetapi hanya sekedar ketentuan yang mengatur
status orang asing.
Pilihan pertama yang dapat dilakukan oleh Hakim Indonesia adalah dengan
menggunakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku yang berlaku pada bidang
HPI pada umumnya untuk menyelesaikan suatu perkara hak cipta, yaitu ketentuan
yang ditemukan dalam Pasal 17 AB, yang mengandung asas dan lex rae sitae
(hukum dari tempat dimana benda berada)244 dan Pasal 18 AB yang memuat asas
lex locus regit actum (hukum dari tempat dimana tindakan hukum terjadi).245
Dalam konteks hak cipta sebagai suatu benda bergerak dan tidak
berwujud,246 berbeda dengan benda berwujud, penggunaan lex locus regit actum
ataupun lex rae sitae sebagaimana akan selalu menghasilkan hukum yang berlaku
yang sama. Jika menggunakan asas lex locus regit actum, atau dalam konteks PMH
lex loci delicti, maka tempat dimana hukum dimana pelanggaran hak cipta terjadi
sebagai hukum yang berlaku di suatu tempat.
Jika Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak, dimana sesuai dengan asas
lex rae sitae, hukum dari tempat dimana barang terletak seharusnya mengatur, itu
akan mengakibatkan hasil yang sama dengan penggunaan lex regit actum atau lex
loci delicti. Seperti yang sebelumnya dijelaskan, sesuai dengan konsep hak cipta
sebagai droits indépendants dalam Konvensi Berne, tidak ada satu hak cipta yang
berlaku di seluruh dunia, melainkan, terdapat hak cipta berbeda di tiap negara yang
berupa negara pihak kepada Konvensi Berne. Karena itu, suatu hak cipta itu dapat
dikatakan ‘terletak’ hanya di negara yang melindungi hak cipta. Oleh sebab itu,
dapat dikatakan bahwa suatu hak cipta Jepang hanya terletak di Jepang, dan suatu
244
Algemene Bepalingen, Ps. 17 “terhadap barang-barang yang tidak-bergerak berlakulah
undang-undang dari negeri atau tempat di mana barang-barang itu berada”
245
Ibid. Ps. 18 “Bentuk tiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan menurut
perundang-undangan dari negeri atau tempat, di mana tindakan hukum itu dilakukan”
246
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 16 ayat (1)
Universitas Indonesia
86
hak cipta Amerika Serikat hanya terletak di Amerika Serikat. Oleh sebab itu, jika
suatu pelanggaran hak cipta terjadi di Jepang, hak cipta yang dilanggar dapat
dikatakan terletak di Jepang, sehingga hukum Jepang berlaku. Dapat dilihat bahwa
dalam konteks hak cipta, lex locus regit actum serta lex rei sitae mengakibatkan
hasil yang sama. Alasan ini membuat Reindl menyatakan bahwa dalam konteks hak
cipta, “The choice between lex rei sitae and lex loci delicti as the proper category
may mainly be a labeling exercise that has little effect on the practical results.”247
Selain penggunaan ketentuan applicable law yang berlaku secara umum di
Indonesia kepada kasus-kasus pelanggaran hak cipta, Hakim Indonesia menurut
saya dapat melakukan rechtsvinding atau penemuan hukum dan membuat
keputusan sesuai dengan asas-asas applicable law yang berlaku pada umumnya di
dunia. Seperti yang dijelaskan dalam Bab III, mayoritas dari negara berpendapat
bahwa ketentuan applicable law yang berlaku terhadap pelanggaran hak cipta
adalah lex loci protectionis, walaupun negara memiliki berbeda pendapat mengenai
cakupan penggunaan lex loci protectionis karena beberapa negara menggunakan
lex origianis untuk menemukan hukum yang berlaku mengenai initial ownership
dari suatu hak cipta.
Untuk menjustifikasi rechtvinding tersebut, Hakim dapat menggunakan Pasal
5 ayat (2) Konvensi Berne, yang memang sering ditafsirkan oleh kebanyakan
negara sebagai ketentuan yang memuat norma lex protectionis.248 Tentu, terdapat
beberapa tantangan menggunakan pendekatan ini. Pertama, kedudukan hukum
Internasional di tatanan sistem hukum Indonesia, serta apakah ketentuan Hukum
Internasional dapat langsung diterapkan oleh Hakim Indonesia berupa suatu
pertanyaan hukum terbuka yang belum jelas jawabannya.249 Kedua, seperti yang
dijelaskan sebelumnya, sebenarnya ketentuan Pasal 5 ayat (2) masih cukup multi-
tafsir, walaupun kebanyakan negara mengadopsi penafsiran lex loci protectionis.
Akan tetapi, menurut penulis, pendekatan ini masih sangat dimungkinkan. Selain
itu, Hakim Indonesia dapat menjustifikasi penggunaan le loci protectionis murni
247
Andreas P. Reindl, “Choosing Law in Cyberspace: Copyright Conflflicts on Global
Networks,” Michigan Journal of International Law Vol. 19 Issue 3 (1998), footnote 13.
248
Untuk pembahasan lengkap tentang lex loci protectionis, lihat hlm. 64-67 karya ini
249
Agusman, Treaties Under Indonesian Law, hlm. 355-415.
Universitas Indonesia
87
karena keunggulan pendekatan ini dan kesesuaian pendekatan ini dengan asas-asas
perlindungan hak cipta internasional, seperti Asas Territorial, Asas Independence
of Protection, serta konsepsi droits indépendants yang telah dibahas sebelumnya.
250
Allagan, “Indonesian Private International Law,” hlm. 406 “The principle of lex re
sitaeis remain the same, and it is applied to the registered goods, such as the intellectual property
rights.”
251
Ibid., hlm. 402
252
Ibid., hlm. 403
Universitas Indonesia
88
kali dilakukan pengumuman dengan tempat dimana hak cipta ‘berada’ untuk
kegunaan lex rei sitae. Oleh sebab itu, Nguyen berpendapat bahwa sepertinya
Allagan membuat suatu dikotomi antara konteks di luar perjanjian internasional,
dimana, dimana hukum dari tempat pertama kali dilakukan pengumuman yang
digunakan, dengan konteks di dalam suatu perjanjian internasional, dimana yang
berlaku adalah Konvensi Berne.253 Dapat dilihat ini serupa dengan pendapat Bartin
yang telah dibahas di Bab III sebelumnya, yang juga mengidentifikasi hukum dari
tempat pertama kali dilakukan pengumuman suatu karya dengan lex rei sitae.254
Namun, menurut penulis pendapat Nguyen kurang tepat, karena dikotomi
yang digambarkan oleh Nguyen terkesan tidak penting. Dengan asumsi bahwa
Pasal 2 UU Hak Cipta adalah suatu ketentuan tentang hukum yang berlaku, dengan
adanya kata ‘Undang-undang ini berlaku…’ maka terlepas apakah suatu karya
masuk dalam kategori Pasal 2 huruf a, b, ataupun c, hasilnya sama; Undang-Undang
Hak Cipta sebagai ketentuan hukum Indonesia berlaku. Oleh sebab itu, hasil akan
selalu tetap lex fori. Melihat dari sejarah Pasal 2 UU Hak Cipta, fungsi dibuat tiga
kategori adalah hanya untuk menjelaskan kapan suatu karya dilindungi di
Indonesia; sebelum dibuatnya kategori yang sekarang ditemukan dalam pasal 2
huruf c, suatu karya yang tidak dibuat di Indonesia dan tidak dilakukan
pengumuman pertama kali di Indonesia tidak akan dilindungi.255
Hemat penulis, pendapat yang diambil Allagan serupa dan harus dipandang
sebagai pendapat yang mendukung lex fori. Allagan menyatakan bahwa Applicable
Law di HPI Indonesia untuk hak cipta adalah tempat “the first announcement with
exception to any international conventions whereby RI as a contracting state.”256
Menurut penulis, dalam semua kasus, jika kita menggunakan pendapat Allagan,
hasilnya tetap akan selalu lex fori. Dalam kasus first announcement suatu karya
dilakukan di Indonesia, dan dibuat oleh seorang yang nasionalitas tidak dari negara
pihak Konvensi Berne, maka sesuai Pasal 2 huruf b, karya tersebut dilindungi, dan
253
Phan Khoi Nguyen, “Copyright Law in Vietnam: Substantive and Private International
Law Aspects” (Disertasi Doktor Rijksuniversiteit Groningen, Groningen, 2022) hlm. 238-240
254
Lihat hlm. 61-62 karya ini untuk pembahasan mengenai pendapat Bartin; lihat pula Van
Eechoud, Choice of Law, hlm. 120-121
255
Gautama, “Segi-Segi Hak,” hlm. 66-67
256
Allagan, “Indonesian Private International Law”, hlm. 403
Universitas Indonesia
89
UU Hak Cipta berlaku. Dalam kasus suatu karya first announcement dilakukan di
luar Indonesia, tetapi masuk dalam kategori ruang lingkup Konvensi Berne yang
diatur Pasal 3 dan 4 Konvensi Berne, maka dalam hukum Indonesia masuk kategori
Pasal 2 huruf c UU Hak Cipta, sehingga, UU Hak Cipta berlaku. Lalu, dalam kasus
suatu karya tidak dilakukan pengumuman pertama kali di Indonesia, dan juga tidak
termasuk ruang lingkup Konvensi Berne, maka karya tersebut tidak dilindungi,
karena tidak masuk dalam tiga kategori UU Hak Cipta. Menurut penulis, jika Pasal
2 UU Hak Cipta dipandang sebagai ketentuan applicable law, maka yang berlaku
akan selalu lex fori.
Suatu pendapat berbeda diutarakan oleh Kusumadara. Menurut Kusumadara,
“Indonesian intellectual property law does not contain any specific choice-of-law
provisions concerning the law applicable to intellectual property involving foreign
elements”257 sehingga menunjukkan secara implisit bahwa menurut Kusumadara,
Pasal 2 UU Hak Cipta bukanlah suatu ketentuan applicable law yang dapat
digunakan untuk menentukan hukum yang berlaku dalam perlindungan hak cipta
asing. Karena hal ini, Kusumadara berpendapat bahwa karena tidak ada ketentuan
lain yang mengatur, maka Hukum HAKI Indonesia mengadopsi “the traditional
rules” yaitu penggunaan lex loci protectionis dan prinsip territorialitas untuk
menentukan antara lain: keberadaan, validitas, konten, kepemilikan, durasi,
perpindahan dan perlindungan HAKI, serta pertanggungjawaban jika HAKI
dilanggar.258
Namun, Kusumadara sepertinya memiliki pandangan yang mempersamakan
lex loci protectionis dengan lex fori. Menurut Kusumadara, dalam konteks HAKI
yang tidak perlu di registrasi seperti hak cipta, maka hukum yang mengatur HAKI
tersebut adalah “the law of each state where protection is sought or granted.”
Namun, dia juga menyatakan bahwa dalam kasus hak cipta, “Indonesian courts
must apply the lex loci protectionis when adjudicating cases involving rights of this
type. In effect, this means they will apply Indonesian Law.”259 Selain itu, mengenai
karya-karya asing yang dilindungi oleh Konvensi Berne, Kusumadara berpendapat
257
Kusumadara, Indonesian Private International Law, hlm. 137
258
Ibid.
259
Ibid.
Universitas Indonesia
90
bahwa untuk kepemilikan awal atau initial title diatur oleh negara asal suatu karya
(lex originis) tetapi setelah kepemilikan sudah ditetapkan maka “the work will be
protected under Indonesian copyright law. This means that the Indonesian
copyright law become the lex loci protectionis for that copyrighted work in
Indonesian Courts.” 260
Dari ini, dapat disimpulkan bahwa Kusumadara berpendapat bahwa Pasal 2
UU Hak Cipta bukan ketentuan applicable law, melainkan yang berlaku adalah lex
loci protectionis. Namun, menurut Kusumadara lex loci protectionis ini identik
dengan lex fori, sehingga hukum Indonesian mengatur segala aspek mengenai
HAKI jika muncul di pengadilan Indonesia, kecuali masalah kepemilikan awal
yang diatur oleh lex origianis.
260
Ibid. hlm. 138
261
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan No. 61/PDT.SUS/HAK CIPTA/2013/PN.NI-
AGA.JKT.PST
262
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 306/K/Pdt.SUS-HKI/2011.
Universitas Indonesia
91
Melawan Didik Mulato dan PT. Inti Finance Synergy, yang dapat ditemukan dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 736 K/Pdt.Sus/2011.263
Sebelum lanjut, namun beberapa catatan perlu dibuat. Pertama, dalam
perkara-perkara yang ditemukan oleh penulis, belum tentu Hakim membuat suatu
putusan mengenai pokok perkara. Seringkali, hakim dalam perkara menemukan
bahwa suatu gugatan tidak dapat diterima karena cacat formil dari suatu gugatan.
Akan tetapi, dari argumentasi para pihak dalam suatu perkara, dapat dilihat
beberapa pandangan atau asumsi dari praktisi hukum maupun pandangan-
pandangan hakim mengenai suatu perkara. Oleh sebab itu, Penulis belum tentu
hanya akan melihat bagaimana seorang hakim membuat putusan, tetapi juga akan
melihat bagaimana para pihak dalam suatu perkara mengargumentasikan posisi
mereka. Kedua, Putusan-putusan yang akan dibahas dalam penelitian ini terbatas,
sebab memang belum banyak putusan di Indonesia yang membahas ataupun
melibatkan aspek-aspek Hak Cipta dari perspektif HPI. Namun, walaupun terdapat
keterbatasan ini, dengan melihat kasus-kasus yang sudah ada pada saat, suatu
kecenderungan atau preferensi penggunaan metode applicable law tertentu dapat
dilihat, khususnya pada penggunaan lex fori, yang dapat dilihat terutama dari
bagaimana para pihak mengkonstruksi argumen dalam perkara. Terakhir, karena
kemiripan fakta kedua kasus, penulis akan memaparkan fakta kedua kasus, lalu
melakukan analisa secara sekaligus
1. Fakta Kasus The Institute for Motivational Living, Inc. Melawan Yon
Nofiar
Perkara ini muncul sebagai akibat sengketa antara penggugat Institute for
Motivational Living, suatu perusahaan yang didirikan berdasarkan Hukum
Amerika Serikat dan memiliki pusat di Ohio dan Tergugat Yon Nofiar, seorang
yang tinggal di Indonesia.264
The Institute for Motivational Living adalah adalah perusahaan AS yang
bergerak di bidang penyelenggaraan tes kepribadian. Mereka membuat beberapa
263
Mahkamah Agung Republik Indonesia, No. 736 K/Pdt.Sus/2011.
264
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan No. 61/PDT.SUS/HAK CIPTA/2013/PN.NI-
AGA.JKT.PST, hlm. 1
Universitas Indonesia
92
produk yang berfungsi sebagai alat diagnostik kepribadian berdasarkan teori DISC
yang dikemukakan oleh psikolog William Marston. Produk-produk ini muncul
dalam bentuk buku, CD dan program komputer yang dapat digunakan untuk
pelatihan dan sertifikasi secara daring maupun luring. Produk-produk ini telah
didaftarkan di Kantor Hak Cipta Amerika Serikat (US Copyright Office), dan
beberapa dari produk itu juga telah didaftarkan di Indonesia melalui Direktorat
Jendral Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI).265
Penggugat dalam perkara membuka kesempatan agar orang lain dapat
menjadi agen dan distributor dari materi ciptaan mereka melalui perjanjian sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh penggugat.266 Yon Nofiar,
tergugat dalam perkara ini, antara tahun 2002 sampai 2005 menjadi agen resmi
untuk Penggugat di wilayah Indonesia.267
Namun, setelah itu, Tergugat melakukan beberapa hal yang dinilai sebagai
pelanggaran hak cipta oleh Penggugat. Pada awal 2004, Tergugat minta izin kepada
Penggugat untuk menggunakan beberapa bagian dari materi ciptaan Penggugat
untuk dimasukkan dalam buku karangan Tergugat. Penggugat menolak permintaan
tersebut, namun Penggugat tetap lanjut menulis dan menerbitkan buku berjudul
DISC: the Leading Behavioral Assesment Tools (Mengukur Perilaku Kerja) pada
tahun 2005 melalui Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
tanpa izin dari penggugat. Pada saat kemudian, Tergugat melalui Lembaga
miliknya bernama Quantum Quality Internasional menerbitkan buku berjudul
“Handbook of Disc alat Ukur Perilaku Kerja” pada tahun 2009, yang menurut
Penggugat sebagain bersar berupa duplikasi dan terjemahan dari materi Ciptaan
Penggugat. Terakhir, Tergugat dituduh oleh Penggugat telah menjual ‘assesement
toolkits’ berdasarkan materi ciptaan penggugat secara daring melalui beberapa situs
internet.268 Atas pelanggaran-pelanggaran hak cipta ini, Penggugat mengambil
tindakan hukum dan menggugat Tergugat di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
265
Ibid., hlm. 3-4
266
Ibid., hlm. 5
267
Ibid., hlm. 8
268
Ibid, hlm. 9-12
Universitas Indonesia
93
Dapat dilihat dari dalil-dalil para pihak sengketa bahwa kedua belah pihak
sepertinya beranggapan bahwa Hukum Indonesia berupa hukum yang berlaku atas
sengketa pelanggaran Hak Cipta. Dalam surat gugatannya, Penggugat menyatakan
bahwa “Penggugat sebagai Pencipta maupun Pemegang Hak Cipta atas Materi
Ciptaan tersebut harus pula dilindungi oleh hukum Indonesia, termasuk UU Hak
Cipta…”269 sesuai dengan ketentuan Pasal 76 huruf C angka ii UU Hak Cipta
2002270 yang menyatakan bahwa:
Undang-undang ini berlaku terhadap… semua Ciptaan bukan warga negara
Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia,
dengan ketentuan… negaranya dan Negara Republik Indonesia merupakan
pihak atau peserta dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai
perlindungan Hak Cipta.
269
Ibid., hlm. 7
270
Teks dari Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2002, Ps. 76 identik dengan teks
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 2.
271
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (1) “Authors
shall enjoy, in respect of works for which they are protected under this Convention, in countries of
the Union other than the country of origin, the rights which their respective laws do now or may
hereafter grant to their nationals, as well as the rights specially granted by this Convention”; Untuk
pembahasan lengkap mengenai ketentuan ini, lihat hlm. 26-27.
272
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan No. 61/PDT.SUS/HAK CIPTA/2013/PN.NI-
AGA.JKT.PST, hlm. 7
273
Ibid., hlm. 6, 8.
Universitas Indonesia
94
2. Fakta Kasus The Institute for Motivational Living, Inc Melawan Didik
Mulato dan PT. Inti Finance Synergy
Perkara kedua yang akan dibahas oleh Penulis adalah perkara The Institute
for Motivational Living, Inc., melawan Didik Mulato dan PT. Inti Finance Synergy,
yang kebetulan saja melibatkan penggugat sama seperti kasus pertama yang
dibahas. Seperti dalam perkara sebelum, materi ciptaan yang menjadi objek
sengketa dalam perkara ini adalah produk-produk tes kepribadian DISC dalam
bentuk buku, CD dan program komputer yang telah diciptakan dan didaftarkan di
Amerika Serikat.277 Namun, Tergugat Didik Mulato membuat suatu situs dengan
nama domain http://www.disc.web.id, lalu mengunggah berbagai materi ciptaan
Penggugat ke situs tersebut tanda izin Penggugat dan secara sepihak. Pengunjung
situs tersebut dapat mengunduh berbagai materi ciptaan penggugat tanpa
mengeluarkan biaya apapun.278 Sedangkan Tergugat II PT. Inti Finance Synergy
dituduh membantu memfasilitasi tindakan Didik Mulato dengan membuat situs
dengan nama domain http://www.infigygroup.com yang menghubungi pengunjung
274
Ibid., hlm. 23-30
275
Ibid, hlm. 51
276
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 306K/Pdt.Sus-HKI/2014, hlm. 33.
277
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 736 K/Pdt.Sus/2011, hlm. 2
278
Ibid., hlm. 4-6
Universitas Indonesia
95
situs ke situs Didik Mulato.279 Karena merasa rugi, Penggugat menggugat Didik
Mulato dan PT. Inti Finance Synergy ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Melihat dalil-dalil para pihak dalam perkara ini, pola seperti kasus sebelum
terulang kembali. Seperti di kasus pertama, kedua belah pihak dalam perkara ini
sepertinya beranggapan bahwa Hukum Indonesia berupa hukum yang berlaku atas
sengketa pelanggaran Hak Cipta. Argument-argumen mengenai pasal 76 UU Hak
Cipta 2002 serta Pasal 5 ayat (1) Konvensi Berne kembali diulang yang diajukan
Penggugat dalam kasus pertama diajukan kembali.280 Tidak ada pembahasan
mengenai isu-isu hukum yang berlaku, walaupun dalam kasus ini, konteksnya
adalah pelanggaran hak cipta daring. Tidak ada pihak yang membuat dalil mengenai
locus dari PMH, walaupun dalam kasus pelanggaran hak cipta daring.
Atas dalil-dalil Penggugat, para tergugat dalam kasus ini mengajukan
beberapa eksepsi, antara lain bahwa 1. Pengadilan tidak memiliki kompetensi relatif
atas perkara dan 2. Bahwa gugatan kurang pihak (plurium litis consortium).281
Namun, Majelis Hakim dalam Putusan No. No. 04/HKI.HAK CIPTA/2011/PN.
Niaga Sby. tanggal 4 Agustus 2011 menolak semua eksepsi gugatan yang diajukan
oleh para tergugat dan mengabulkan sebagian dari permohonan penggugat.282
Penggugat sempat mengajukan kasasi mengenai isu jumlah ganti rugi, namun
banding tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung.283
3. Analisa Kasus
Terlepas dari hasil perkara masing-masing kasus, beberapa aspek dari kasus-
kasus ini dapat dikomentari. Dapat dilihat bahwa semua pihak dalam kedua perkara
– Penggugat, Tergugat, maupun Majelis Hakim semua memiliki praanggapan
bahwa Hukum Indonesia mengatur pelanggaran hak cipta dalam perkara.
Kecenderungan ini sangat terlihat dalam dalil-dalil yang diajukan Penggugat dalam
kedua kasus mengenai Pasal 76 UU Hak Cipta 2002 dan hubungannya dengan
279
Ibid., hlm. 6-7
280
Ibid., hlm. 3-4.
281
Ibid., hlm. 13-14
282
Ibid., hlm. 14-15
283
Ibid., hlm. 15-29
Universitas Indonesia
96
Konvensi Berne. Dalam putusan ini, tidak ada pembahasan sama sekali mengenai
isu-isu HPI sebenarnya tersinggung dalam perkara, ataupun mengenai hukum
negara mana yang sebenarnya harus berlaku dalam perkara. Analisa dalam surat
gugatan Penggugat sudah mulai dengan asumsi bahwa Pasal 76 UU Hak Cipta
berlaku, dan karena Penggugat merupakan pencipta yang termasuk dalam kategori
yang ditetapkan Pasal 76 huruf c angka ii, maka dilindungi oleh Hukum Indonesia.
Sepertinya tidak ada kesadaran mengenai isu-isu hukum yang berlaku yang dapat
terlibat dalam perkara.
Ketidaksadaran isu-isu semacam ini lebih terlihat lagi dengan memperhatikan
pernyataan Penggugat saat mendalilkan dalam kedua perkara bahwa “Dalam pasal
5 ayat (1) Konvensi Berne, Pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta yang berasal
dari luar Indonesia harus dilindungi oleh hukum Nasional, yang dalam hal ini
termasuk UU Hak Cipta.”284 Pernyataan ini sebenarnya kurang tepat. Seperti telah
dibahas dalam bab-bab sebelum, pasal 5 ayat (1) Konvensi Berne hanya sekedar
mewajibkan negara pihak untuk memperlakukan pemegang hak cipta asing sama
seperti pemegang hak cipta domestik sesuai dengan asas national treatment. Asas
national treatment bukanlah suatu ketentuan choice-of-law yang mewajibkan
penggunaan suatu stetsel hukum tertentu dalam suatu perkara. Suatu negara dapat
saja memenuhi kewajiban national treatment tanpa harus menerapkan ketentuan
hukum domestik kepada pemegang hak cipta asing.285 Namun, pernyataan ini
serupa dengan pendapat-pendapat pakar yang menganut pandangan bahwa
Konvensi Berne mengandung ketentuan lex fori, yang telah dibahas dalam bab-bab
sebelum.286
Tentu, seandainya Majelis Hakim atau para pihak dalam perkara memang
melakukan analisa mengenai aspek-aspek HPI dalam perkara, hasil dari analisa
kemungkinan besar tidak akan mengubah penemuan bahwa Hukum Indonesia
berlaku atas perkara. Karena tindakan-tindakan tergugat dalam perkara terjadi di
Indonesia, penggunaan lex fori, lex loci delicti, ataupun lex loci protectionis semua
284
Ibid. hlm. 5; Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan No. 61/PDT.SUS/HAK
CIPTA/2013/PN.NI- AGA.JKT.PST, hlm. 7
285
Untuk pembahasan lengkap mengenai hubungan asas national treatment dengan
ketentuan mengenai hukum yang berlaku, lihat hlm. 50-53.
286
Lihat hlm. 58-60 karya ini.
Universitas Indonesia
97
D. Kesimpulan
Dari semua diskusi dalam bab ini, dapat dibuat beberapa kesimpulan.
Pertama, ketentuan-ketentuan hukum Indonesia yang dapat dilihat sebagai suatu
ketentuan mengenai applicable law terhadap pelanggaran hak cipta masih belum
sebegitu jelas, terutama dengan melihat ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta. Penulis
telah menjelaskan implikasi-implikasi dari ketentuan tersebut. Jika Pasal 2 UU Hak
Cipta dianggap sebagai suatu ketentuan mengenai hukum yang berlaku,
kemungkinan besar Indonesia menganut lex fori untuk menemukan hukum yang
berlaku atas pelanggaran hak cipta. Akan tetapi, jika pasal tersebut tidak dipandang
sebagai suatu ketentuan mengenai hukum yang berlaku, melainkan hanya mengatur
status orang asing, maka masih terdapat beberapa sumber alternatif untuk mencari
ketentuan HPI nasional tentang applicable law terhadap pelanggaran hak cipta,
yaitu dengan menggunakan ketentuan dalam Pasal 17 dan/atau 18 AB (Lex Rei
Sitae/Lex Loci Delicti) atau dengan melakukan penemuan hukum dan
menggunakan doktrin lex loci protectionis yang sudah cukup dikenal di seluruh
dunia.
Universitas Indonesia
98
Universitas Indonesia
99
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah diuraikan pada Bab 1 sampai dengan Bab 4
mengenai ketentuan applicable law yang berlaku kepada pelanggaran hak cipta,
penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada saat ini belum ada posisi konsisten dan pasti dalam hukum nasional
mengenai ketentuan-ketentuan applicable law yang berlaku mau dalam
instrumen internasional maupun national, melainkan terdapat berbagai
pandangan.
2. Dalam tingkat hukum internasional, terdapat berbagai interpretasi
mengenai ketentuan applicable law yang terdapat dalamnya, antara lain
pandangan bahwa konvensi berne tidak memuat suatu kaidah HPI,
pandangan bahwa terdapat kaidah lex fori, lex origianis, atau lex loci
delicti/lex protectionis. Namun, dari keempat pandangan tersebut,
pandangan yang dianut oleh mayoritas negara dan akademisi serta lebih
sesuai dengan asas-asas dasar perlindungan hak cipta adalah asas lex loci
delicti/lex protectionis, yang pada intinya menyatakan bahwa hukum yang
seharusnya berlaku terhadap suatu perkara perlanggaran hak cipta adalah
hukum dari tempat dimana suatu karya yang dilindungi hak cipta dilanggar.
3. Dalam tingkat hukum nasional, Pasal 2 UU Hak Cipta memuat norma yang
dapat dibaca sebagai suatu norma hukum yang mengatur hukum yang
berlaku terhadap pelanggaran Hak Cipta, yaitu lex fori atau pandangan
bahwa hukum dari forum yang mendengar suatu perkara seharusnya
mengatur pokok perkara dalam kasus pelanggaran hak cipta. Penafsiran ini
didukung oleh yurisprudensi ataupun pendapat akademisi hukum
Indonesia. Walaupun demikian, Penulis menjelaskan bahwa terdapat
beberapa kelemahan dan kekurangan dari penafsiran tersebut dan
berpendapat bahwa Pasal 2 UU Hak Cipta tidak dapat serta-merta
ditafsirkan sebagai suatu ketentuan mengenai hukum yang berlaku, tetapi
Universitas Indonesia
100
B. Saran
1. Untuk memberikan kepastian lebih mengenai ketentuan HPI yang berlaku
dalam perkara pelanggaran hak cipta, sebaiknya dibuat peraturan yang
menetapkan suatu peraturan mengenai hukum yang berlaku terhadap
pelanggaran hak cipta di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui suatu
ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional
(RUU HPI) yang sedang dibahas dan dirancang saat penulisan penelitian
ini. Ketentuan juga dapat dimuat dalam suatu revisi UU Hak Cipta yang
dapat memberikan kejelasan mengenai ketentuan yang mengatur aspek-
aspek HPI dari perlindungan hak cipta.
2. Bagi Hakim Indonesia, dalam menyelesaikan perkara harus diperhatikan
ketentuan-ketentuan Hukum Internasional seperti Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne yang dapat digunakan sebagai sumber rechtsvinding untuk
menemukan suatu kaedah HPI yang mengatur mengenai hukum yang
berlaku terhadap pelanggaran hak cipta. Selain itu, hakim juga dapat
menggunakan ketentuan HPI yang berlaku secara umum dalam Pasal 17 dan
18 AB terhadap pelanggaran hak cipta. Kedua pendekatan tersebut dapat
digunakan untuk mencari sumber ketentuan HPI yang berlaku terhadap
kasus pelanggaran hak cipta yang juga sesuai dan konsisten dengan asas-
asas perlindungan hak cipta dan dari sisi policy pula.
Universitas Indonesia
101
DAFTAR PUSAKA
I. Buku
Abrams, Howard B. “United States” dalam Intellectual Property and Private
International Law: Comparative Perspectives. diedit oleh Toshiyuki Kono.
1103-1122. Portland: Hart Publishing, 2012.
Basuki, Zulfa Djoko et al. Hukum Perdata Internasional. ed.1. cet. 1. Tangerang
Selatan: Universitas Terbuka, 2014.
Bennet, Anabelle dan Sam Granata. When Private International Law Meets
Intellectual Property Law: A Guide for Judges. Den Haag: Hague
Conference on Private International Law; Jenewa: World Intellectual
Property Organization, 2019.
Dörr, Oliver dan Kristen Schmalenbach, eds. Vienna Convention on the Law of
Treaties: A Commentary. ed.2. Berlin: Springer, 2018.
Universitas Indonesia
102
Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid I Buku Ke-1. cet.
7. Bandung: PT. Alumni, 2008.
Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid III Bagian 2 Buku
ke-8. ed. 1. cet. 6. Bandung: Alumni, 2007.
Lee, Gyohoo. “Korea” dalam Intellectual Property and Private International Law:
Comparative Perspectives. Diedit oleh Toshiyuki Kono, 793-849. Portland:
Hart Publishing, 2012.
Kono, Toshiyuki dan Paulius Jurčys. “General Report” dalam Intellectual Property
and Private International Law: Comparative Perspectives. ed. Toshiyuki
Kono, 1-216. Portland: Hart Publishing, 2012.
Mamudji, Sri et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Matsushita, Matsuo et al., The World Trade Organization: Law, Practice, and
Policy, ed. 3. New York: Oxford University Press. 2015.
Universitas Indonesia
103
Saidin, O.K. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, cet. 9, Jakarta: Rajawali
Pers, 2015
Torremans, Paul dan James J. Fawcett, eds. Cheshire, North & Fawcett: Private
International Law. Oxford: Oxford University Press, 2017.
World Intellectual Property Organization. Guide to the Berne Convention for the
Protection of Literary and Artistic Works (Paris Act, 1971). Jenewa: World
Intellectual Property Organization, 1978.
II. Artikel
Allagan, Tiurma M.P. “Indonesian Private International Law: The Development
After More Then Century.” Indonesian Journal of Internationa Law 14. No.
3. Art. 6. hlm. 381- 416.
Austin, Graeme W. “Domestic Laws and Foreign Rights: Choice of Law in
Transnational Copyright Infringement Litigation,” Columbia-VLA Journal
of Law & the Arts 23, No. 1 (1999-2000), hlm. 1-46
Antonelli, Antonelli/ “Applicable Law Aspects of Copyright Infringement on The
Internet: What Principles Should Apply?” Singapore Journal of Legal
Studies. (Juli 2003). hlm. 147-177
Banu, Roxana. “Conflicting Justice in Conflict of Laws.” Vanderbilt Journal of
Transnational Law 53, No. 2 (2020), hlm. 461-523
Universitas Indonesia
104
Butt, Simon. “The Position of International Law Within the Indonesian Legal
System.” Emory International Law Review Vol. 5 Is. 1 (2014). Hlm. 1-28
Dinwoodie, Graeme B. “Developing a Private International Intellectual Property
Law: The Demise of Territoriality?” William & Mary Law Review 51 No.
2, Art. 12. (2009). hlm. 713-800
Gendreau, Ysolde. “The Criterion of Fixation in International Law” Revue
Internationale du Droit d’Auteur No. 159 (1994). Hlm. 110-202
Reindl, Andreas P. “Choosing Law in Cyberspace: Copyright Conflflicts on Global
Networks.” Michigan Journal of International Law Vol. 19 Issue 3 (1998).
hlm. 799-871
III. Makalah
Ginsburg, Jane C. “Private International Law Aspects of the Protection of Works
and Objects of Related Rights Transmitted Through Digital Networks.”
Makalah disampaikan pada seminar Group of Consultants on the Private
International Law Aspects of the Protection Of Works And Objects of
Related Rights Transmitted through Global Digital Networks, Jenewa, 16-
18 Desember 1998.
IV. Disertasi
Nguyen, Phan Khoi. “Copyright Law in Vietnam: Substantive and Private
International Law Aspects.” Disertasi Doktor Rijksuniversiteit Groningen,
Groningen, 2022.
Van Eechoud, Mireille. “Choice of Law in Copyright and Related Rights.” Disertasi
Doktor Universiteit van Amsterdam. Amsterdam, 2003.
V. Peraturan Perundang-undangan
Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie. [Peraturan Umum Mengenai
Perundang-Undangan Untuk Indonesia] Staatsblad No. 23 Tahun 1847.
Indonesia. Keputusan Presiden tentang Pengesahan Berne Convention on the
Protection of Literary and Artistic Work. Keppres No. 18 Tahun 1997.
Universitas Indonesia
105
Universitas Indonesia
106
English and Wales Court of Appeal, Pearce v Ove Arup Partnership Ltd.
(Jurisdiction) [2000] Ch. 403
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 306/K/Pdt.SUS-HKI/2011
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 736 K/Pdt.Sus/2011.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan No. 61/PDT.SUS/HAK
CIPTA/2013/PN.NI- AGA.JKT.PST
United States Court of Appeal Ninth Circuit. Creative Technology, Ltd. v. Aztech
System Pte, Ltd, 61 F.3d 696 (9th Cir. 1995).
United States Court of Appeal Ninth Circuit. Subafilms, Ltd. v. MGM-Pathe
Communications Co. 24 F.3d 1088 (9th Cir. 1994).
United States Court of Appeal Second Circuit. Itar-Tass Russian News v. Russian
Kurier Itar-Tass Russian News v. Russian Kurier, 153 F.3d 82 (2d Cir.
1998).
United States District Court Southern District of New York. London Film Prods.
Ltd. v. Intercontinental Commc’ns Inc 580 F. Supp. 47 (S.D.N.Y. 1984),
VIII. Internet
Universitas Indonesia
107
Universitas Indonesia