Anda di halaman 1dari 118

UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN PASAL 5 AYAT (2) BERNE CONVENTION ON


THE PROTECTION OF LITERARY AND ARTISTIC WORKS:
HUKUM YANG BERLAKU DALAM PERKARA
PELANGGARAN HAK CIPTA

SKRIPSI

RAUSHAN ALJUFRI
1706048734

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JULI 2022
UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN PASAL 5 AYAT (2) BERNE CONVENTION ON


THE PROTECTION OF LITERARY AND ARTISTIC WORKS:
HUKUM YANG BERLAKU DALAM PERKARA
PELANGGARAN HAK CIPTA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat


untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

RAUSHAN ALJUFRI
1706048734

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
JULI 2022
ii

PERNYATAAN ORISINALITAS

Penulis dengan ini menyatakan bahwa skripsi:

“Penerapan Pasal 5 Ayat (2) Berne Convention on the Protection of Literary


and Artistic Works: Hukum yang Berlaku dalam Perkara Pelanggaran Hak
Cipta”

adalah karya orisinal saya dan setiap serta seluruh sumber acuan telah ditulis
sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.

Depok, 20 Juli 2022


Yang menyatakan

Raushan Aljufri
1706048734

Universitas Indonesia
iii

HALAMAN PENGESAHAN

Tim Penguji mengesahkan Skripsi yang diajukan oleh:

Nama : Raushan Aljufri


NPM : 1706048734
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Penerapan Pasal 5 Ayat (2) Berne Convention on The
Protection of Literary and Artistic Works: Pilihan
Hukum dalam Perkara Pelanggaran Hak Cipta

dan telah berhasil dipertahankan di hadapan Tim Penguji serta diterima sebagai
bagian persyaratan yang diwajibkan untuk memperoleh gelar: Sarjana Hukum
(S.H.) pada Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

TIM PENGUJI

1. Tiurma M. Pitta Allagan, S.H., M.H., Ph.D. Pembimbing (…………….)

2. Yu Un Oppusunggu, S.H., LL.M Penguji (…………….)

3. Ibu Lita Arjati, S.H., LL.M Penguji (…………….)

4. Dinda Rizqiyatul Himmah, S.H., LL.M Penguji (…………….)

Disahkan di : Depok
Tanggal : 20 J 2022

Universitas Indonesia
iv

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirahim
Semua yang baik datang dari Allah SWT, dan oleh sebab itu, saya ingin
mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, karenaNya, saya dapat
menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan gelar Sarjana Hukum dari Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. Walaupun tidak ada karya yang sempurna, saya
benar-benar berharap bahwa penelitian ini akan menjadi suatu kontribusi yang
berharga dan bernilai bagi mereka yang tertarik dengan bidang Hak Cipta dan
Hukum Perdata Internasional. Saya menyatakan hal ini dengan pengetahuan dan
kesadaran bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari banyak orang lain, tidak
mungkin saya dapat sampai ke titik ini dalam perjalanan pendidikan saya. Tidak
mungkin saya dapat menyebutkan semua yang membantu saya selama waktu
perkuliahan saya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia sampai titik ini saya
dapat menyelesaikan skripsi, akan tetapi, saya ingin secara spesifik mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Ibu Tiurma M. Pitta Allagan, S.H., M.H., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing
yang telah menyediakan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk
membantu saya menyelesaikan penulisan skripsi ini. Saya sangat hargai
bimbingan yang Ibu berikan adalah suatu bantuan yang tak ternilai yang
saya sangat hargai.
2. Bapak Yu Un Oppusunggu, S.H., LL.M., Ph.D., Ibu Lita Arjati, S.H.,
LL.M., dan Ibu Dinda Rizqiyatul Himmah, S.H., LL.M., selaku Tim Penguji
Hukum Perdata Internasional FH UI. Terima kasih telah berkenan
memberikan ilmu, kritik, dan saran kepada saya. Kontribusi tersebut tentu
telah meningkatkan kualitas dari penelitian ini sehingga dapat menjadi lebih
sempurna.
3. Ibu Dr. Yetty Komalasari Dewi, S.H., MLI selaku pembimbing akademik
saya selama perjalanan perkuliahan saya di FH UI. Bantuan dan saran yang
Ibu berikan selama masa perkuliahan saya sangat membantu saya dalam
proses mencari ilmu selama kuliah.
4. Daniel Nicholas, Azura Zuhria, Thea Mutiara Khalifa, Elang Adhyaksa,
Rifqi Thoriq, Lyon Hadid, Flaviana Meydi, Hana Veranda, Iqbal Yusra,

Universitas Indonesia
v

Bang Rizky Bayuputra, Bang Indra, Bang Irfan Fadhila, Mbak Dominique
Virgil, Dito, Rafi Hanif, Benedict Gian, Christou Immanuel, Iona Lathifah,
Amanda Fathia, dan Yasmine Dwihanjani, dan semua teman-teman saya
selama perkuliahan di FH UI. Kenangan dan persahabatan selama masa
perkuliahan tak pernah saya akan lupakan.
5. Fasya Yurizha Yahya, teman terdekatku selama 3 tahun terakhir ini, yang
selalu memberi saya dukungan dan bantuan dengan penuh pengertian dan
kesabaran. Tanpa dukungan Fasya, tidak mungkin saya dapat menyelsaikan
skripsi ini. With all my heart, thank you for all you have given me.
6. Abib dan Baba, yang memberikan banyak sekali dukungan dan bantuan
selama masa perkuliahan saya ini. Saat orang tua sedang bertugas di luar
negeri, Abib dan Baba memberikan tempat tinggal, makanan, saran, dan
tentu doa yang membantu saya dapat selesaikan masa perkuliahan saya.
7. Aba dan Mama tercinta yang membesarkan saya, mengajarkan semua yang
saya ketahui dan terus menjadi inspirasi sampai saat ini. Cinta dan rasa kasih
saya yang Aba dan Mama menjadi motivasi saya untuk bekerja dan
berusaha mencapai keinginan-keinginan saya. I hope I’ve made you proud.

Saya sadar bahwa skripsi ini tentu tidak sempurna, dan pasti ada kekurangan-
kekurangan. Oleh karena itu, saya memohon maaf atas segala kekurangan-
kekurangan tersebut. Semoga penelitian ini memberikan manfaat dan pengetahuan
bagi semua yang membacanya.

Depok, 20 Juli 2022

Raushan Aljufri
1706048734

Universitas Indonesia
vi

PERSETUJUAN PUBLIKASI
SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Raushan Aljufri


NPM : 1706048734
Program Studi : Ilmu Hukum
Fakultas : Hukum

untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui memberikan


kepada Universitas Indonesia Hak bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive,
Royalty-Free Right) untuk memublikasikan skripsi saya yang berjudul:

“Penerapan Pasal 5 Ayat (2) Berne Convention on the Protection of Literary and
Artistic Works: Hukum yang Berlaku dalam Perkara Pelanggaran Hak Cipta”

Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak
menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data,
merawat dan memublikasikan skripsi saya selama tetap menyantumkan nama saya
sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian persetujuan publikasi ini saya buat dengan sebenarnya.

Depok, 20 Juli 2022


Yang menyetujui

Raushan Aljufri

Universitas Indonesia
vii

ABSTRAK

Nama : Raushan Aljufri


NPM : 1706048734
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Penerapan Pasal 5 Ayat (2) Berne Convention on The
Protection of Literary and Artistic Works: Hukum
yang Berlaku dalam Perkara Pelanggaran Hak Cipta

Isu ketentuan mengenai hukum yang berlaku dalam sengketa pelanggaran hak cipta
sampai hari ini belum banyak didiskusikan di Indonesia, meskipun isu ini menjadi
semakin penting dalam era digital modern. Penelitian ini mengkaji ketentuan-
ketentuan tentang hukum yang berlaku dalam pelanggaran hak cipta di Indonesia,
dengan memperhatikan semua norma hukum internasional maupun hukum nasional
Indonesia yang berhubungan. Pertama, suatu analisa terhadap ketentuan tentang
hukum yang berlaku dalam pasal 5 paragraf (2) Berne Convention on the Protection
of Literary and Artistic Works dilakukan dengan memperhatikan diskusi antara ahli
hukum mengenai penafsiran yang tepat dari pasal tersebut, dan juga dengan
memperhatikan berbagai praktek nasional mengenai bagaimana pasal tersebut telah
diterapkan oleh berbagai negara. Kedua, implikasi-implikasi terhadap ketentuan
hukum yang berlaku dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta di diskusikan, serta bagaimana pandangan-pandangan ahli dan praktisi
hukum di Indonesia tentang ketentuan mengenai hukum yang berlaku yang tepat
untuk digunakan dalam sengketa pelanggaran hak cipta. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa walaupun ada debat tentang penafsiran yang tepat dari Pasal
5 ayat (2) Konvensi Berne, pendapat yang paling umum secara internasional adalah
bahwa ketentuan tersebut mengharuskan penggunaan hukum dari negara untuk
mana perlindungan diminta (lex loci protectionis) saat menangani perkara
pelanggaran hak cipta. Di sisi lain, para ahli dan praktisi hukum Indonesia
cenderung menggunakan lex fori dibandingkan lex loci protectionis.

Kata kunci: Hak Cipta, Hukum yang Berlaku, Konvensi Berne

Universitas Indonesia
viii

ABSTRACT

Nama : Raushan Aljufri


Student Number : 1706048734
Program : Law
Title : The Application of Article 5 Paragraph (2) of the
Berne Convention on the Protection of Literary and
Artistic Works: The Applicable Law in Copyright
Infringement Disputes

The issue of the applicable law in international copyright infringement disputes has
to this day received little discussion in Indonesia, despite the increasing importance
of this issue in the modern digital age. This study attempts to research the possible
rules regarding the applicable law that may currently apply to copyright
infringement in Indonesia, by examining all relevant norms of international law as
well as Indonesian national law. First, an analysis of the applicable law rules
contained in article 5 paragraph (2) of the Berne Convention on the Protection of
Literary and Artistic Works is conducted by examining the scholarly debate
regarding the proper interpretation of the article, as well as by further examining
the various national practices regarding how the article has been applied in various
countries. Second, the possible applicable law implications of Article 2 of Law No.
28 of 2014 about Copyright is discussed, as well as the prevailing views of
Indonesian scholars and law practitioners regarding the proper applicable law rules
to be applied in copyright infringement disputes. The study finds that while there is
some debate about the interpretation of article 5 paragraph (2) of the Berne
Convention, the prevailing view internationally is that it requires the use of the law
of the state for which protection is claimed (lex loci protectionis) when dealing with
copyright infringement. On the other hand, it appears that Indonesian scholars and
legal practitioners tend to apply the lex fori as opposed to the lex loci protectionis.

Keywords: Applicable Law, Berne Convention, Copyright

Universitas Indonesia
ix

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................................... ii


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
................................................................................................................................ vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Perumusan Masalah .................................................................................. 10
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 10
D. Kerangka Konsepsional ............................................................................ 10
E. Metode Penelitian...................................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan................................................................................ 14
BAB II Landasan Teori ......................................................................................... 16
A. Penafsiran Perjanjian Internasional ........................................................... 17
B. Kerangka Perlindungan Hak Cipta............................................................ 20
1. Perlindungan Hak Cipta dalam Hukum Internasional .......................... 20
a. Konvensi Berne ..................................................................................... 20
b. Prasyarat Keberlakuan Konvensi Berne................................................ 21
c. Ruang Lingkup Konvensi Berne ........................................................... 23
d. Asas-Asas Dasar Konvensi Berne ......................................................... 26
e. Penentuan Country of Origin dalam Konvensi Berne........................... 31
f. Standar Minimum Perlindungan Hak Cipta dalam Konvensi Berne .... 32
g. Perlindungan Hak Cipta dalam Perjanjian-Perjanjian Internasional
Lainnya .......................................................................................................... 34
2. Perlindungan Hak Cipta dalam Hukum Nasional Indonesia................. 36
a. Keberlakuan UU Hak Cipta .................................................................. 37
b. Pertanggungjawaban dalam UU Hak Cipta .......................................... 38
C. Asas-Asas Hukum yang Berlaku .............................................................. 41
1. Tujuan Asas-Asas Hukum yang Berlaku .............................................. 41
2. Hukum yang Berlaku dalam PMH secara Umum di Indonesia ............ 45
BAB III PENERAPAN ASAS-ASAS TENTANG HUKUM YANG BERLAKU
DALAM PASAL 5 AYAT (2) KONVENSI BERNE DALAM PERKARA
PELANGGARAN HAK CIPTA........................................................................... 49
A. Hukum yang Berlaku dan Asas National Treatment ................................ 50
B. Berbagai Penafsiran tentang Hukum yang Berlaku dalam Pasal 5 ayat (2)
Konvensi Berne ................................................................................................. 53
1. Penafsiran Non-Conflicts Rule .............................................................. 54
2. Penafsiran Lex Fori ............................................................................... 58
3. Penafsiran Lex Origianis ....................................................................... 60
4. Penafsiran Lex Protectionis/Lex Loci Delicti ........................................ 64
C. Praktek Nasional mengenai Penafsiran Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne
dan Hukum yang Berlaku dalam Perkara Pelanggaran Hak Cipta ................... 67

Universitas Indonesia
x

1.Amerika Serikat .................................................................................... 68


2.Uni Eropa .............................................................................................. 71
3.Jepang .................................................................................................... 73
4.Korea Selatan ........................................................................................ 74
D. Kesimpulan ............................................................................................... 75
BAB IV PENERAPAN ASAS-ASAS HUKUM YANG BERLAKU DI
INDONESIA DALAM PERKARA PELANGGARAN HAK CIPTA ................ 77
A. Asas-Asas Hukum yang Berlaku dalam UU Hak Cipta............................ 78
1. Pasal 2 UU Hak Cipta Sebagai Ketentuan Mengenai Hukum yang
Berlaku .......................................................................................................... 81
2. Pasal 2 UU Hak Cipta Bukan Sebagai Ketentuan tentang Hukum yang
Berlaku .......................................................................................................... 83
B. Pandangan Pakar Hukum Indonesia tentang Asas-Asas Hukum yang
Berlaku dalam Perkara Pelanggaran Hak Cipta ................................................ 87
C. Yurisprudensi tentang Asas-Asas Hukum yang Berlaku dalam Perkara
Pelanggaran Hak Cipta ...................................................................................... 90
1. Fakta Kasus The Institute for Motivational Living, Inc. Melawan Yon
Nofiar ............................................................................................................ 91
2. Fakta Kasus The Institute for Motivational Living, Inc Melawan Didik
Mulato dan PT. Inti Finance Synergy ........................................................... 94
3. Analisa Kasus ........................................................................................ 95
D. Kesimpulan ............................................................................................... 97
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 99
A. Simpulan ................................................................................................... 99
B. Saran ........................................................................................................ 100
DAFTAR PUSAKA ............................................................................................ 101

Universitas Indonesia
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pelanggaran hak cipta yang marak terjadi telah menimbulkan persoalan
Hukum Perdata Internasional (“HPI”). Hal ini membutuhkan perhatian khusus.
Persoalan HPI yang timbul pada pokoknya berkaitan dengan kesulitan dalam
menentukan hukum yang berlaku dalam perkara-perkara tersebut.1 Suatu ilustrasi
singkat dari persoalan-persoalan HPI yang dapat muncul dari perkara-perkara
macam tersebut dapat dilihat dari fakta-fakta dalam kasus The Institute for
Motivational Living, Inc. melawan Didik Mulato.2
Dalam perkara tersebut, seseorang yang tinggal di Indonesia memperbanyak
beberapa buku dan program komputer yang diciptakan dan dimiliki oleh suatu
perusahaan Amerika Serikat tanpa izin dari pemilik, lalu mengunduhkah ke suatu
situs di Internet. Oleh sebab itu, maka pemilik materi ciptaan menggugat
pengunggah materi tersebut di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.3 Dalam kasus
tersebut, hukum negara manakah yang berlaku dalam perkara? Apakah hukum
Amerika Serikat sebagai tempat asal materi ciptaan dan pemilik ciptaan? Atau
seharusnya hukum Indonesia, sebagai lokasi tempat tinggal tergugat serta tempat
dari mana materi-materi ciptaan tersebut diunggah?
Kasus ini hanya satu contoh saja dari berbagai perkara pelanggaran hak cipta
di dunia yang melibatkan isu-isu HPI. Kasus ini mengilustrasikan isu-isu HPI yang
lahir di berbagai yurisdiksi di dunia sebagai akibat perkembangan teknologi,
khususnya internet.4 Salah satu isu yang paling krusial, menurut penulis, adalah isu

1
Ada beberapa doktrin mengenai ruang lingkup bidang HPI, namun semua konsepsi HPI
mengakui bahwa isu mengenai hukum yang berlaku (“applicable law” atau “choice of law”)
merupakan bagian dari bidang HPI, seperti di Jerman, Belanda, Inggris, Italia, Spanyol, Perancis,
Indonesia, dan lain-lain, Lihat Zulfa Djoko Basuki et al., Hukum Perdata Internasional, ed.1, cet. 1
(Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2014), hlm. 1.40-1.41.
2
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 736 K/Pdt.Sus/2011
3
Ibid. hlm. 1- 7
4
Untuk pembahasan mengenai bagaimana isu ini telah muncul di berbagai yurisdiksi di
dunia, Lihat Andrew F. Christie, Private International Law Issues in Online Intellectual Property

Universitas Indonesia
2

mengenai cara untuk menentukan hukum negara manakah yang harus diterapkan
dalam kasus-kasus, seperti yang dicontohkan dalam perkara The Institute for
Motivational Living, Inc. melawan Didik Mulato.
Namun, Penulis sayangkan fakta bahwa di Indonesia belum banyak diskusi
mengenai bagaimana cara-cara menyelesaikan perkara seperti di contoh tersebut.
Seandainya perkara semacam itu terjadi di Indonesia, Hakim akan menemukan
kesulitan menemukan hukum sebab, seperti yang dikatakan oleh Kusumadara,
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai Hak Kekayaan
Intelektual (“HAKI”), tidak ada ketentuan HPI yang secara khusus mengatur tetang
hukum yang berlaku terhadap isu-isu HAKI dengan unsur asing.5 Ketentuan-
ketentuan yang ada dalam hukum nasional, seperti yang ditemukan dalam pasal 2
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”),6 yang
mungkin saja berhubungan dengan isu ini tidak sebegitu jelas atau mudah untuk
ditafsirkan.7 Namun, jika Hakim mencari norma-norma hukum internasional,8
Hakim Indonesia dapat saja menemukan sesuatu norma yang sepertinya memberi
jawaban terhadap perkara ini, yaitu pasal 5 ayat (2) dari Berne Convention on the
Protection of Literary And Artistic Works (“Konvensi Berne”).
Konvensi Berne adalah perjanjian internasional, diadopsi pada tahun 1886,
yang mengatur dan memberi perlindungan atas karya-karya dan hak-hak bagi para

Infringement Disputes with Cross-Border Elements: An Analysis of National Approaches, (Jenewa:


World Intellectual Property Organization, 2015)
5
Afifah Kusumadara et al., Indonesian Private International Law, (Oxford: Hart
Publishing, 2021), hlm. 137 “Indonesian intellectual property law does not contain any specific
choice-of-law provisions concerning the law applicable to intellectual property involving foreign
elements.”
6
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 28 Tahun 2014, LN. 266 Tahun 2014,
TLN No. 5599, Ps. 2
7
Pembahasan lengkap mengenai penafsiran Pasal 2 UU Hak Cipta dapat dilihat di hlm.
78-87 karya ini.
8
Terdapat banyak pendapat berbeda serta ketidakjelasan mengenai apakah ketentuan
hukum internasional dapat diterapkan secara langsung oleh hakim Indonesia dan nilai kekuatan
norma hukum internasional dalam sistem hukum nasional, lihat Damos Dumoli Agusman, Treaties
Under Indonesian Law: A Comparative Study, (Bandung: Rosda Internasional, 2014), Hlm. 355-
415; namun, terlepas dari implikasi teoretisnya, dalam praktiknya hakim Indonesia masih sering
referensikan ketentuan hukum internasional dalam membuat putusan, lihat Simon Butt, “The
Position of International Law Within the Indonesian Legal System,” Emory International Law
Review Vol. 5 Is. 1 (2014), hlm. 12-27

Universitas Indonesia
3

penciptanya.9 Pada saat ini, 180 negara menjadi negara pihak Konvensi Berne10,
termasuk Indonesia, yang meratifikasi perjanjian tersebut dan menjadi negara pihak
pada tahun 1997 melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997.11 Bagian yang
menjadi penting dalam Konvensi Berne untuk isu hukum yang berlaku adalah Pasal
5 ayat (2) yang menyatakan bahwa:
The enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject to any
formality; such enjoyment and such exercise shall be independent of the
existence of protection in the country of origin of the work. Consequently,
apart from the provisions of this Convention, the extent of protection, as well
as the means of redress afforded to the author to protect his rights, shall be
governed exclusively by the laws of the country where protection is
claimed.12

Pasal ini sebenarnya mengatur banyak aspek dari perlindungan hak cipta
dalam tingkat internasional. Menurut World Intellectual Property Organization
(“WIPO”), organisasi internasional melaksanakan tugas administratif dari
Konvensi Berne,13 fungsi pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne adalah untuk menetapkan
beberapa prinsip dasar dari perjanjian tersebut. Pertama, pasal ini menetapkan
bahwa perlindungan hak cipta dalam konvensi ini tidak dapat dipersyaratkan
dengan suatu kewajiban formalitas yang mungkin saja ditetapkan oleh negara
pihak. Kedua, pasal ini memastikan bahwa perlindungan dalam Konvensi Berne
hanya berlaku terhadap karya asing, dan tiap negara masih dapat mengatur dengan

9
World Intellectual Property Organization, “Berne Convention on the Protection of
Literary and Artistic Works,” https://www.wipo.int/treaties/en/ip/berne/, diakses 14 Januari 2022
10
World Intellectual Property Organization, “WIPO-Administered Treaties> Contracting
Parties> Berne Convention,”https://wipolex.wipo.int/en/treaties/ShowResults?search_what=C&tre
aty_id=15, diakses 14 Januari 2022
11
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pengesahan Berne Convention on the Protection
of Literary and Artistic Work, Keppres No. 18 Tahun 1997.
12
World Intellectual Property Organization, Paris Act relating to the Berne Convention on
the Protection of Literary and Artistic Works, UNTS 1161 (1972), hlm. 3, Ps. 5 ayat (2)
13
Tugas ini awalnya dilaksanakan oleh International Bureau of the Berne Union, namun
sekarang dilaksanakan oleh WIPO, lihat Ibid. Ps. 24 ayat (2) huruf a “The administrative tasks with
respect to the Union shall be performed by the International Bureau…” dan World Intellectual
Property Organization, Convention Establishing the World Intellectual Property Organization,
UNTS 828 (1970) hlm. 3, Ps. 4 “…the Organization… (ii) shall perform the administrative tasks of
… the Berne Union.”

Universitas Indonesia
4

penuh hak cipta dalam negara masing-masing.14 Namun, yang akan menjadi fokus
dan objek dari penelitian ini adalah klausula terakhir dari Konvensi Berne, yaitu
klausula yang menyatakan bahwa “…the extent of protection, as well as the means
of redress afforded to the author to protect his rights, shall be governed exclusively
by the laws of the country where protection is claimed.”
Seperti yang dibahas sebelumnya, hakim Indonesia, dengan melihat pasal
ini, sepertinya telah menemukan suatu norma hukum dapat dijadikan dasar untuk
membuat keputusan dan menyelesaikan masalah. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (2)
Konvensi Berne tercantum suatu kaidah HPI, yaitu dalam perkara hak cipta dengan
unsur asing, hukum yang berlaku adalah “the laws of the country where protection
is claimed” atau yang disebut dalam literatur sebagai lex loci protectionis.15 Apakah
dengan ini apakah segala permasalahan dan persoalan selesai? Melihat literatur di
dunia mengenai masalah ini, sepertinya persoalan belum selesai.
Masalahnya, cara untuk menginterpretasi kata-kata “laws of the country
where protection is claimed” bukanlah suatu hal yang mudah, sebab artinya tidak
sebegitu jelas. Apa yang dimaksud dengan pasal tersebut saat menggunakan kata
‘where protection is claimed’? Apakah merujuk kepada tempat dilakukan gugatan
oleh pemilik hak cipta? Atau merujuk kepada sesuatu hal lain? Dinwoodie
menjelaskan bahwa sebenarnya Pasal 5 ayat (2) dari Konvensi Berne telah
menimbulkan debat dan kontroversi selama lebih dari seratus tahun sebagai akibat
kesulitan untuk menginterpretasinya.16 Sampai sekarang pun, masih banyak
perdebatan mengenai apakah pasal ini benar memuat suatu kaidah HPI, atau jika
memang benar ini memuat suatu kaidah HPI, apa substansi dari kaidah tersebut.17

14
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention for the
Protection of Literary and Artistic Works (Paris Act, 1971), (Jenewa: World Intellectual Property
Organization, 1978), hlm. 33
15
Istilah ini digunakan di berbagai literatur, sebagai contoh lihat Annabelle Bennet dan
Sam Granata, When Private International Law Meets Intellectual Property Law: A Guide for Judges,
(Den Haag: Hague Conference on Private International Law; Geneva: World Intellectual Property
Organization, 2019), hlm. 24, “there are also discussions whether or not Article 5(2) of the Berne
Convention, which provides that “the extent of protection, as well as the means of redress afforded
to the author to protect his rights, shall be governed exclusively by the laws of the country where
protection is claimed”, may be interpreted as a conflict of laws rule, i.e. lex loci protectionis.”
16
Graeme B. Dinwoodie, “Developing a Private International Intellectual Property Law:
The Demise of Territoriality?” William & Mary Law Review 51 No. 2, Art. 12 (2009), hlm. 718;
17
Ibid.

Universitas Indonesia
5

Pandangan mayoritas adalah bahwa Pasal 5 ayat (2) memuat kaidah lex loci
protectionis, namun ada pula yang menolak pandangan ini. Masalahnya ketentuan
HPI mengenai hak cipta dalam perjanjian internasional sering kali dirumuskan
tanpa kejelasan dan tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip lebih umum.18 Oleh
sebab itu, Austin sempat menyatakan bahwa “The meaning of this article is
notoriously elusive.”19
Walaupun demikian, Antonelli menjelaskan bahwa Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne, dengan segala ambiguitas dan permasalahannya, telah digunakan untuk
mendukung tiga macam teori mengenai bagaimana menafsirkan pasal tersebut,
yang dapat disebut sebagai 1. teori lex fori; 2. lex originis; dan 3. teori lex loci
delicti.20
Teori pertama berpendapat bahwa kalimat “laws of the country where
protection is claimed” dalam Pasal 5 ayat (2) harus dibaca secara harafiah dan
merujuk ke hukum dari pengadilan dimana ‘protection is sought’ melalui sesuatu
gugatan, atau yang sering disebut sebagi lex fori. Penafsiran mempersamakan kata
‘protection is sought’ dengan tindakan hukum gugatan perdata. Akibat dari
penafsiran ini adalah saat terjadi sengketa di pengadilan manapun mengenai hak
cipta, lex fori dari pengadilan akan selalu dijadikan applicable law. Pada intinya,
menurut teori ini lex loci protectionis dapat disamakan dengan lex fori.21
Teori kedua memiliki penafsiran yang berbeda. Menurut teori ini, lex loci
protectionis merujuk kepada hukum negara asal hak cipta, yang dapat disebut
sebagai country of origin atau lex originis. Menurut teori ini, tempat asal suatu hak
cipta adalah tempat dimana “the work has acquired, for the first time, a social
dimension, that is the place in which it has met the public for the first time.” Dengan
dibuatnya suatu karya, maka secara otomatis “protection is sought.” Oleh sebab itu,

18
Ibid; Untuk diskusi lebih lengkap mengenai perdebatan penafsiran Pasal 5 ayat (2)
Konvensi Berne, lihat hlm. 53-67 karya ini; lihat pula Mireille van Eechoud, “Choice of Law in
Copyright and Related Rights,” (Disertasi Doktor Universiteit van Amsterdam, Amsterdam, 2003),
hlm. 95-125
19
Graeme W. Austin, “Domestic Laws and Foreign Rights: Choice of Law in Transnational
Copyright Infringement Litigation,” Columbia-VLA Journal of Law & the Arts 23, No. 1 (1999-
2000), hlm. 23
20
Andrea Antonelli, “Applicable Law Aspects of Copyright Infringement on The Internet:
What Principles Should Apply?” Singapore Journal of Legal Studies (Juli 2003), hlm. 150-152
21
Ibid., hlm. 150-151.

Universitas Indonesia
6

hukum yang tepat untuk menyelesaikan masalah hak cipta adalah hukum negara
asal suatu hak cipta.22
Teori ketiga, yang sebenarnya merupakan teori yang paling populer,
menginterpretasikan lex loci protectionis secara prakteknya sama dengan asas HPI
yang klasik, yaitu lex loci delicti atau hukum dari tempat dimana terjadinya suatu
perbuatan melawan hukum (“PMH”), atau dalam kasus ini, hukum di tempat
terjadinya pelanggaran hak cipta. Menurut teori ini, hukum yang tepat untuk
digunakan dalam kasus pelanggaran HPI adalah tempat dimana pelanggaran Hak
Cipta terjadi, sama seperti PMH lainnya. Ini karena hanya setelah terjadinya suatu
pelanggaran hak cipta, pertanggungjawaban dapat diminta, sehingga “protection is
sought.”23
Untuk memperparah masalah, di Indonesia terdapat juga ketentuan-ketentuan
dalam UU Hak Cipta yang mempersulit penafsiran mengenai asas-asas tentang
hukum yang berlaku yang tepat digunakan oleh seorang hakim Indonesia, seperti
sebelumnya telah disebut. Hal ini terlihat dalam Pasal 2 UU Hak Cipta yang
menyatakan bahwa UU Hak Cipta juga berlaku terhadap hak cipta asing dengan
syarat-syarat tertentu.24 Yang menjadi masalah, dengan menyatakan hal tersebut,
apakah ketentuan pasal ini berupa suatu ketentuan mengenai hukum yang berlaku
yang mewajibkan penggunaan hukum Indonesia saat pengadilan Indonesia
melindungi hak cipta asing? Atau apakah pasal ini tidak ada hubungan sama sekali
dengan isu-isu tentang hukum yang berlaku yang mungkin muncul dalam suatu
perkara pelanggaran hak cipta? Bagaimana ketentuan Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne berinteraksi dengan pasal UU Hak Cipta tersebut? ketentuan-ketentuan
seperti ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab dan membuat

22
Ibid., hlm. 151.
23
Ibid., hlm. 151-153.
24
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 2 “Undang-Undang ini berlaku
terhadap:…b. semua Ciptaan dan produk Hak Terkait bukan warga negara Indonesia, bukan
penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia yang untuk pertama kali dilakukan
Pengumuman di Indonesia; c. semua Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dan pengguna Ciptaan
dan/atau produk Hak Terkait bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan
badan hukum Indonesia dengan ketentuan: 1. negaranya mempunyai perjanjian bilateral dengan
negara Republik Indonesia mengenai pelindungan Hak Cipta dan Hak Terkait; atau 2. negaranya
dan negara Republik Indonesia merupakan pihak atau peserta dalam perjanjian multilateral yang
sama mengenai pelindungan Hak Cipta dan Hak Terkait.”

Universitas Indonesia
7

mencari asas-asas mengenai hukum yang berlaku bagi pelanggaran hak cipta
semakin sulit untuk ditemukan.
Berdasarkan pemaparan di atas, jelas bahwa isu hukum yang berlaku dalam
perkara pelanggaran hak cipta merupakan suatu isu penting yang berpotensi muncul
di pengadilan-pengadilan Indonesia untuk kedepannya. Pemaparan di atas
menunjukkan bahwa pada realitanya belum ada ‘teori’ pasti yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan perkara-perkara semacam itu. Ketentuan HPI yang berlaku
saat ini mengenai hak cipta yang ditemukan di Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne
masih sangat multi-tafsir, dan masih belum jelas pula penerapannya bagaimana
terhadap semua kasus-kasus pelanggaran hak cipta. Situasi ini melahirkan
ketidakpastian hukum yang dapat mempersulit tugas hakim jika isu-isu semacam
ini muncul di pengadilan. Namun perlu juga diingat bahwa jika perkara semacam
ini benar terjadi di Indonesia (semacam yang diilustrasikan oleh Penulis diatas),
sesuai asas ius curia novit, maka hakim tidak boleh menolak untuk menyelesaikan
suatu perkara atas dasar bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas.25 Seorang
hakim harus mengadili kasus, terlepas hukumnya jelas atau tidak. Oleh sebab itu,
penulis menilai penting untuk isu-isu yang telah dipaparkan ditinjau dan dianalisa,
dengan mempertimbangkan bagaimana penerapannya dalam konteks sistem hukum
Indonesia, agar dapat memberikan suatu pedoman kepada para-Hakim mengenai
cara menyelesaikan perkara-perkara semacam ini.
Di beberapa negara di dunia lainnya, perkara-perkara semacam ini sudah
pernah terjadi, dan telah dibahas melalui yurisprudensi ataupun melalui
pembahasan akademis.26 Namun, yang penulis sayangkan adalah fakta bahwa
diskusi mengenai permasalahan ini di Indonesia masih belum sebegitu banyak.
Hanya beberapa penulis di Indonesia membahas aspek-aspek HPI dalam hak

25
Lihat Indonesia, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN.
No. 157 Tahun 2009, TLN No. 5076, Ps. 10 ayat (2), “Pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya;” Untuk diskusi lengkap
mengenai asas ius curia novit, lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, ed. 2, (Jakarta: Sinar Grafika,
2017), hlm. 913-914
26
Christie, Private International Law, hlm 2-31.

Universitas Indonesia
8

cipta,27 dan lebih lagi, Penulis belum menemukan pula karangan yang khusus
membahas aspek-aspek HPI dalam konteks pelanggaran hak cipta. Oleh sebab itu,
Penulis berharap penelitian ini dapat mengisi kekosongan ini.
Penulis tidak berharap bahwa penulis dapat menyelesaikan secara pasti
perdebatan seratus tahun mengenai penafsiran Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne
Namun, melihat bahwa literatur dan yurisprudensi mengenai pasal tersebut cukup
banyak di dunia internasional, Penulis akan mencoba untuk meluruskan dan
menganalisis berbagai interpretasi pasal tersebut di yurisprudensi pengadilan asing
dan literatur akademis, dan membandingkan antara interpretasi-interpretasi yang
ada. Selain itu, penulis akan mencoba melihat bagaimana ketentuan hukum
internasional seperti Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne dapat berinteraksi dengan
ketentuan-ketentuan hukum nasional yang sudah ada, seperti ketentuan pasal 2 UU
Hak Cipta yang telah dibahas sebelumnya, serta implikasi-implikasi dari pasal-
pasal tersebut terhadap ketentuan mengenai hukum yang berlaku dalam perkara
pelanggaran hak cipta yang terjadi di Indonesia.
Ada beberapa catatan terakhir dari penulis mengenai ruang lingkup dari
penelitian ini. Pertama, penelitian ini hanya akan membahas yang disebut sebagai
copyright infringement atau pelanggaran hak cipta sebagai suatu perkara perdata.
Tentu, terdapat pula aspek-aspek hukum pidana dalam perkara pelanggaran hak
cipta, akan tetapi, dikarenakan isu-isu hukum pidana di luar cakupan HPI, Penulis
tidak akan membahasnya.
Selain itu, Penulis hanya akan membahas pelanggaran hak cipta sebagai suatu
PMH, dan bukan perkara wanprestasi yang bisa saja memiliki aspek-aspek
pelanggaran hak cipta. Goldstein menjelaskan bahwa isu-isu HPI dalam perkara
hak cipta dengan unsur-unsur asing biasanya muncul dalam tiga macam konteks:
Saat tidak ada perjanjian antara para pihak yang mengatur hukum yang berlaku,
saat ada perjanjian antara para pihak yang menetapkan hukum yang berlaku
terhadap perjanjian, atau saat ada perjanjian, tetapi hukum yang dipilih di perjanjian

27
Antara lain penulis Indonesia yang mengomentari mengenai isu ini, lihat Kusumadara,
Indonesian Private International Law, hlm. 137-139; Tiurma M.P. Allagan, “Indonesian Private
International Law: The Development After More Then A Century,” Indonesian Journal of
International Law 14, No. 3, Art. 6, hlm. 402-403.

Universitas Indonesia
9

bertentangan dengan hukum yang berlaku seandainya tidak ada perjanjian.28 Dalam
penelitian ini, Penulis hanya akan membahas perkara-perkara hak cipta dalam
konteks pertama, yaitu ketika tidak ada perjanjian antara pihak atau dengan kata
lain saat suatu PMH atau tort telah terjadi. Ini karena untuk membahas secara
lengkap aspek-aspek HPI yang dalam keadaan kedua atau ketiga akan perlu dibahas
juga ketentuan-ketentuan HPI mengenai choice-of-law atau hukum yang berlaku
dalam perjanjian. Penulis menilai bahwa hal ini tentu akan memperluas cakupan
penelitian ini secara kurang praktis. Oleh sebab itu, Penulis mengambil keputusan
untuk hanya fokus terhadap pelanggaran hak cipta sebagai suatu PMH yang
memiliki unsur-unsur asing atau yang dapat disebut PMH Transnasional, dan tidak
membahas hal-hal di luar cakupan tersebut.
Penulis berharap bahwa walaupun pembahasan dalam penelitian ini terbatas
mengenai beberapa isu saja, namun akan tetap menjadi suatu kontribusi yang
berharga untuk diskursus HPI di Indonesia, dikarenakan tiga alasan. Pertama,
penelitian ini dapat memperkaya diskursus pengembangan HPI di Indonesia,
terutama mengantisipasi kemajuan teknologi digital dan komunikasi. Kedua,
penelitian ini juga dapat digunakan sebagai rujukan bagi Hakim dalam memutuskan
perkara pelanggaran hak cipta dengan unsur-unsur asing bila perkara-perkara
semacam itu dihadapi oleh Pengadilan Indonesia. Ketiga, penelitian ini dapat
menambah kepada pemikiran dalam pengembangan HPI Indonesia, terutama
melihat sedang dilakukan perumusan Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata
Internasional (“RUU HPI”) oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI).29
Dengan segala pemaparan di atas tersebut, maka Penulis akan memberi judul
penelitian sebagai “PENERAPAN PASAL 5 AYAT (2) BERNE CONVENTION
ON THE PROTECTION OF LITERARY AND ARTISTIC WORKS: HUKUM
YANG BERLAKU DALAM PERKARA PELANGGARAN HAK CIPTA.”
Penulis memandang bahwa penelitian ini perlu, mengingat bahwa Indonesia berupa

28
Paul Goldstein dan P. Bernt Hugenholtz, International Copyright: Principles, Law, and
Practice, ed. 4, (New York: Oxford University Press, 2019), hlm. 122.
29
Pada saat penulisan (Januari 2022), RUU HPI telah diusulkan oleh pemerintah dan
sedang dibahas dengan DPR RI, lihat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, “RUU tentang
Hukum Perdata Internasional,” https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/433, diakses 18 Januari 2022

Universitas Indonesia
10

negara pihak terhadap Konvensi Berne. Penulis berharap penelitian ini bermanfaat
dan dapat memperkaya diskursus HPI dan HAKI di Indonesia, dan membantu pula
siapapun yang ingin mempelajari isu-isu HPI maupun HAKI.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, Penulis menyimpulkan pokok-
pokok permasalahan yang menjadi objek penelitian ini menjadi beberapa persoalan
hukum, yaitu:
1. Bagaimanana penerapan asas-asas tentang hukum yang berlaku dalam Pasal
5 ayat (2) Konvensi Berne dalam perkara pelanggaran hak cipta?
2. Bagaimana penerapan asas-asas tentang hukum yang berlaku di Indonesia
dalam perkara pelanggaran hak cipta?

C. Tujuan Penelitian
Penulis memandang bahwa penelitian ini memiliki tujuan teoretis maupun
praktis. Dengan mengkaji bagaimana persoalan-persoalan yang menjadi objek
penelitian telah ditanggapi dan diselesaikan di dunia internasional, penelitian ini
diharapkan dapat memberi pengetahuan mengenai:
1. Asas-asas tentang hukum yang berlaku dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne dalam perkara pelanggaran hak cipta
2. Asas-asas tentang hukum yang berlaku di Indonesia dalam perkara
pelanggaran hak cipta

D. Kerangka Konsepsional
Dalam penelitian ini terdapat beberapa terminologi yang perlu dijelaskan
kerangka konsepsionalnya. Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsional
merupakan “kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep
khusus, yang ingin atau akan diteliti.”30 Dikarenakan dalam penelitian ini Penulis
akan menggunakan beberapa peristilahan-peristilahan atau terminologi yang
mungkin dapat disalahpahami atau diartikan berbeda dengan maksud penulis, maka

30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2015), hlm. 132

Universitas Indonesia
11

untuk menghindar hal tersebut, Penulis akan memberikan penjelasan-penjelasan


singkat mengenai beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini.
Diharapkan bahwa penjelasan-penjelasan ini dapat berfungsi sebagai ‘perdoman
operasional’31 dalam mencapai kesimpulan dalam penelitian ini.
Konsep-konsep penting yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Hak Cipta adalah suatu macam HAKI yang memberikan hak eksklusif
terhadap karya seni dan sastra yang bersifat orisinal. Karya yang
dilindungi beragam, dari karya seni seperti puisi atau lukisan sampai
produk informasi belaka seperti perda dan almanak. Walaupun hak-hak
yang diberikan dengan hak cipta antara satu negara dengan yang lain,
pada umumnya hak cipta melingkupi hak eksklusif untuk mereproduksi,
mendistribusi, mempertunjuk, menyiar atau setidaknya
mengkomunikasikan suatu karya ke masyarakat luas.32 Hak cipta diatur
dalam tingkat nasional maupun internasional.33 Di Indonesia, UU Hak
Cipta melindungi hak cipta, dan mendefinisikan hak cipta sebagai:34
“…hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan
prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata
tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
2. Berne Convention on the Protection of Literary and Artistic Artworks
atau Konvensi Berne adalah perjanjian internasional yang mengatur
perlindungan hak cipta di tingkat internasional, diadopsi pada tanggal
1886. Konvensi Berne didasarkan oleh tiga asas dasar, yaitu national
treatment, automatic protection, dan independence of protection. Selain

31
Ini istilah yang digunakan oleh Soekanto, lihat ibid. hlm. 137, “Biasanya kerangka
konsepsional… dapat dijadikan pedoman operasional dalam proses pengumpulan, pengelolaan,
analisa dan konstruksi data.”
32
Goldstein, International Copyright, hlm. 3-4
33
Ibid. hlm. 9
34
Indonesia. Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 1 ayat (1)

Universitas Indonesia
12

itu, Konvensi Berne menetapkan beberapa standar minimum mengenai


perlindungan hak cipta yang harus dipenuhi tiap negara pihak.35
3. Hukum yang Berlaku atau dikenal juga dengan istilah governing law,
choice of law, atau applicable law36 adalah ketentuan-ketentuan HPI yang
menentukan stetsel hukum mana yang mengatur suatu tindakan hukum.
Ketentuan-ketentuan tentang hukum yang berlaku akan mengindikasikan
stetsel hukum manakah yang harus direferensikan untuk menemukan
solusi terhadap suatu perkara.37 Dalam konteks penelitian ini yang
membahas pelanggaran hak cipta, hukum yang berlaku bermaksud sistem
hukum yang mengatur pelanggaran suatu hak cipta.
4. Pelanggaran Hak Cipta atau copyright infringement dalam penelitian
ini merujuk kepada pelanggaran ketentuan hak cipta yang terjadi di luar
adanya suatu perjanjian,38 melainkan sebagai suatu bentuk PMH atau
Tort, khususnya yang sifatnya ‘transnasional’ atau memiliki unsur-unsur
asing seperti penggugat, tergugat asing, negara asal hak cipta, atau tempat
terjadi PMH di luar negeri. Di Indonesia, ketentuan yang mengatur
gugatan PMH atas pelanggaran hak cipta dapat ditemukan dalam Pasal 99
ayat (1) UU Hak Cipta yang menyatakan bahwa “Pencipta, Pemegang
Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait berhak mengajukan gugatan ganti
rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau produk
Hak Terkait.”39 Hal ini dapat terjadi jika seseorang melanggar hak
eksklusif Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau Pemilik Hak terkait untuk
menerbit, menggandakan, menerjemahkan, mengadaptasi,

35
World Intellectual Property Organization, “Summary of the Berne Convention for the
Protection of Literary and Artistic Works (1886),” https://www.wipo.int/treaties/en/ip/berne/summa
ry_berne.html, diakses 19 Januari 2022
36
Penulis menggunakan istilah ‘hukum yang berlaku’ dalam penelitian ini dibandingkan
dengan istilah ‘choice of law’ atau ‘pilihan hukum’ karena penelitian ini akan membahas asas-asas
ini dalam konteks suatu PMH dan bukan dalam perjanjian, dimana pada umumnya para pihak tidak
secara aktif membuat ‘pilihan’ atau ‘choice.’ Guna menghindar kesan bahwa para pihak secara aktif
membuat pilihan hukum, penulis akan menggunakan istilah ‘hukum yang berlaku’.
37
Paul Torremans dan James J. Fawcett, eds. Cheshire, North & Fawcett: Private
International Law, (Oxford: Oxford University Press, 2017), hlm. 7
38
Goldstein, International Copyright, hlm. 122
39
Indonesia, UU Hak Cipta, Ps. 99 ayat (1)

Universitas Indonesia
13

mengaransemen, mentransformasikan, mendistribusikan,


mempertunjukkan, mengumumkan, mengkomunikasikan, atau
menyewakan ciptaan.40

E. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan penelitian ini merupakan pendekatan
yuridis-normatif, yaitu dengan menarik asas-asas hukum melalui penelitian
terhadap hukum positif yang berlaku.41 Dengan ini, maka pengelolaan data
dilakukan melalui kegiatan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.42
Data yang digunakan merupakan data sekunder, dikumpulkan dengan studi
pustaka.
Dengan demikian, data sekunder yang digunakan merupakan:
1. Sumber Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.43 Dalam
penelitian ini, sumber primer digunakan adalah peraturan perundang-
undangan Indonesia yang berhubungan, perjanjian internasional, serta
yurisprudensi dari pengadilan Indonesia maupun asing yang berhubungan
dengan objek penelitian.
2. Sumber Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
sumber hukum primer.44 Dalam penelitian ini, sumber hukum sekunder
yang digunakan adalah buku-buku serta artikel jurnal yang berhubungan
dengan objek penelitian.
3. Sumber Tersier, yaitu bahan yang berupa petunjuk atau penjelasan terhadap
hukum primer dan sekunder.45 Dalam penelitian ini, sumber hukum tersier
yang digunakan adalah Kamus Hukum.

40
Ibid. Ps. 9 ayat (1)
41
Sri Mamudji et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm.10.
42
Ibid. Hal. 88.
43
Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, hlm. 52
44
Ibid.
45
Ibid.

Universitas Indonesia
14

F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun agar terdiri dari lima (5) bab, yang akan menjelaskan
secara mendalam mengenai penerapan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne untuk
menemukan hukum yang berlaku terhadap pelanggaran hak cipta, serta bagaimana
ketentuan hukum nasional Indonesia yang berhubungan. Pembagian bab adalah
sebagai berikut.
Seperti lazimnya, Penelitian ini akan dimulai dengan Bab I tentang
Pendahuluan yang memaparkan latar belakang permasalahan, perumusan masalah,
kerangka konsepsional, metode penelitian, serta sistematika penulisan dari
penelitian ini.
Bab II akan berfungsi sebagai landasan teori dari penelitian ini. Penulis akan
menjelaskan dasar-dasar dari teori-teori hukum yang melatarbelakangi pembahasan
dalam penelitian ini. Khususnya, penulis akan memaparkan materi mengenai tiga
hal. Pertama, akan dijelaskan norma hukum internasional mengenai penafsiran
perjanjian internasional. Kedua, akan dijelaskan kerangka hukum yang melindungi
hak cipta di tingkat internasional dan nasional. Terakhir, penulis akan menjelaskan
mengenai asas-asas tentang hukum yang berlaku dalam HPI, tujuan dari asas-asas
mengenai hukum yang berlaku serta relevansi asas-asas ini dengan perlindungan
hak cipta.
Bab III akan membahas bagaimana Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne telah
ditanggapi dalam pembahasan akademik serta praktek-praktek negara dalam
menanggapi ketentuan tersebut, melalui yurisprudensi maupun dalam peraturan
perundang-undangan dalam berbagai negara. Pembahasan dalam bab ini akan fokus
membahas asas-asas tentang hukum yang berlaku yang terkandung dalam Pasal 5
ayat (2) Konvensi Berne, bagaimana interpretasi asas-asas hukum dalam pasal
tersebut, serta mengomentari mengenai keunggulan serta kelemahan dari berbagai
penafsiran pasal tersebut.
Bab IV akan membahas bagaimana asas-asas hukum yang berlaku di
Indonesia digunakan dalam perkara pelanggaran hak cipta, dengan
mempertimbangkan hal-hal yang dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Penulis akan
membahas antara lain: asas-asas hukum yang berlaku dalam UU Hak Cipta,
penerapan asas-asas hukum yang berlaku dalam yurisprudensi pengadilan

Universitas Indonesia
15

Indonesia saat menangani perkara pelanggaran hak cipta, serta pandangan pakar-
pakar Hukum Indonesia tentang hukum yang berlaku dalam perkara pelanggaran
hak cipta.
Bab V akan berfungsi sebagai penutup dari penelitian ini. Penulis akan
menyimpulkan penemuan-penemuan dari penelitian berdasarkan pembahasan
sebelumnya. Hal ini diikuti dengan saran atas isu-isu yang telah diangkat
sebelumnya.

Universitas Indonesia
16

BAB II
Landasan Teori

Sebelum masuk ke pembahasan mengenai pokok permasalahan penelitian ini


sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab I, penulis menilai penting untuk terlebih
dahulu membahas beberapa teori-teori yang mendasari dan melatarbelakangi
penelitian ini.
Pertama, karena sebagian besar dari penelitian ini akan membahas mengenai
penafsiran Konvensi Berne, suatu perjanjian internasional, maka penulis merasa
penting untuk memberi pemaparan singkat terlebih dahulu tentang norma-norma
hukum internasional publik yang mengatur penafsiran perjanjian internasional.
Kedua, Penulis akan memberi uraian singkat mengenai kerangka hukum yang
berlaku untuk melindungi hak cipta. Bagian ini akan membahas bagaimana
perlindungan ini diatur dalam tingkat internasional, melalui Konvensi Berne dan
perjanjian-perjanjian internasional lainnya. Akan dibahas pula bagaimana kerangka
hukum melindungi hak cipta yang berlaku di Indonesia, khususnya melalui UU Hak
Cipta serta pertanggungjawaban hukum dalam undang-undang tersebut. Tentu,
sebab topik ini sebenarnya kompleks dan luas, Penulis tidak akan membahas segala
aspek dari perlindungan hak cipta, melainkan hanya akan membahas aspek-aspek
yang relevan untuk pembahasan selanjutnya, agar pemahaman yang komprehensif
dan lengkap dapat dicapai.
Terakhir, Penulis akan membahas asas-asas HPI tentang hukum yang berlaku
yang berhubungan dengan objek penelitian. Antara lain, akan dibahas asas-asas HPI
yang berlaku dalam perkara PMH pada umumnya, serta isu-isu HPI yang
berhubungan dengannya. Akan dibahas pula tujuan dari HPI atau teori-teori yang
mendasari mengapa hukum yang berlaku perlu diatur serta tujuan-tujuan yang
diharapkan dapat dicapai dengan diaturnya hukum yang berlaku. Dengan
pembahasan demikian, bagian ini dapat memberi pengetahuan mengenai asas-asas
HPI yang melatarbelakangi pembahasan karya ini, serta memberi gambaran jelas
mengapa dan untuk tujuan apa dibuat peraturan mengenai hukum yang berlaku.
Pengetahuan ini dapat menjadi suatu ‘kriteria’ yang digunakan untuk pembahasan

Universitas Indonesia
17

selanjutnya, sebagai tolak ukur yang digunakan untuk mengevaluasi interpretasi


Konvensi Berne mana yang paling dapat mencapai tujuan-tujuan dibuat peraturan
tentang hukum yang berlaku serta konsisten dengan jiwa di buatnya peraturan-
peraturan tersebut.

A. Penafsiran Perjanjian Internasional


Karena sebagian dari penelitian ini akan bahas penafsiran beberapa ketentuan
Konvensi Berne, suatu perjanjian internasional, maka Penulis memandang bahwa
suatu penjelasan singkat46 mengenai norma-norma Hukum Internasional Publik
yang mengatur penafsiran Perjanjian Internasional diperlukan. Diharapkan bahwa
dengan hal ini, suatu pemahaman yang lebih menyeluruh mengenai bagaimana cara
menafsirkan suatu perjanjian internasional dapat dicapai.
Seperti kebanyakan ketentuan mengenai hukum perjanjian internasional,
ketentuan-ketentuan mengenai penafsiran perjanjian internasional dapat ditemukan
dalam Vienna Convention on the Law of Treaties atau singkatnya VCLT.47
Perjanjian Internasional ini merupakan kodifikasi-kodifikasi dari norma-norma
hukum kebiasaan internasional48 yang berlaku mengenai hukum perjanjian
internasional, sehingga sering digunakan sebagai referensi mengenai hukum
kebiasaan internasional yang berlaku mengenai perjanjian internasional, bahkan
oleh negara-negara yang belum ratifikasi VCLT itu sendiri.49
Pasal 31 dan 32 VCLT memuat ketentuan-ketentuan spesifik mengenai
penafsiran perjanjian internasional. Pasal 31 VCLT menetapkan ketentuan metode
penafsiran yang berlaku pada umumnya (general rule of interpretation), sedangkan

46
Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai penafsiran perjanjian internasional, lihat
Oliver Dörr dan Kristen Schmalenbach, eds., Vienna Convention on the Law of Treaties: A
Commentary, ed.2, (Berlin: Springer, 2018), hlm. 559-633
47
Persatuan Bangsa-Bangsa, Vienna Convention on the Law of Treaties, UNTS 1155
(1980) hlm. 331
48
Customary International Law atau Hukum Kebiasaan Internasional adalah sumber
hukum internasional yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan negara (State Practice) yang telah diakui
sebagai hukum (Opinio Juris) sehingga mengikat semua negara yang menerima kebiasaan tersebut,
lihat Peter Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, ed. 7, (New York:
Routledge, 1997) hlm. 39-48.
49
Ibid. hlm. 130

Universitas Indonesia
18

Pasal 32 VCLT menetapkan ketentuan mengenai metode penafsiran subsider


(supplementary rule of interpretation).
Pada intinya, Pasal 31 menyatakan bahwa suatu perjanjian internasional harus
diinterpretasikan “in good faith in accordance with the ordinary meaning to be
given to the terms of the treaty in their context and in the light of its object and
purpose.”50 Istilah ‘context’ dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 31 ayat (2), yang
menyatakan bahwa yang berikut harus dianggap bagian dari konteks yang
dipertimbangkan, antara lain:51
• Seluruh teks perjanjian internasional, termasuk pendahuluannya serta
lampirannya
• Setiap perjanjian internasional lainnya yang berhubungan dengan perjanjian
yang ingin ditafsirkan
• Setiap Instrumen-instrumen yang dibuat oleh satu atau lebih negara pihak
yang berhubungan dengan perjanjian yang ingin ditafsirkan dan diterima
oleh pihak lain sebagai instrumen yang berhubungan dengan perjanjian
tersebut
Selain itu, Pasal 3 ayat (3) menyatakan bahwa selain hal-hal tersebut, berikut
ini juga harus dipertimbangkan dalam penafsiran perjanjian internasional:52
• Setiap perjanjian antara pihak yang dibuat selanjutnya mengenai penafsiran
atau penerapan ketentuan perjanjian internasional
• Setiap praktek dalam penerapan perjanjian internasional selanjutnya
• Setiap peraturan Hukum Internasional yang relevan dan berlaku antara para
negara pihak.
Pasal 3 ayat (4) juga menyatakan bahwa jika suatu arti khusus akan diberikan
kepada suatu istilah jika dapat dipastikan para negara pihak memang memiliki niat
tersebut.53
Dörr menjelaskan bahwa Pasal 31 VCLT sebenarnya hanya menunjuk kepada
apa hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam penafsiran perjanjian internasional

50
Persatuan Bangsa-Bangsa, Vienna Convention, Ps. 31 ayat (1)
51
Ibid. Ps. 31 ayat (2)
52
Ibid. Ps. 31 ayat (3)
53
Ibid. Ps. 31 ayat. (4)

Universitas Indonesia
19

dan hal-hal apa yang harus lebih ditekankan dalam penafsiran, tetapi tidak
menetapkan bagaimana proses penafsiran itu harus dilakukan. Fungi penafsiran
tetap untuk memberlakukan apa yang dimaksudkan oleh para pihak sebagaimana
dituangkan dalam kata-kata perjanjian.54 Dari penjelasan ini, dapat dilihat bahwa
Pasal 31 cukup fleksibel, hanya memberikan hal-hal apa saja yang harus
dipertimbangkan dalam melakukan penafsiran. Selama penafsiran dilakukan
dengan iktikad baik, untuk mencari arti biasa dari teks, dan dengan
mempertimbangkan konteks, objek, dan tujuan dari perjanjian sebagaimana telah
ditetapkan, maka ketentuan Pasal 31 terpenuhi.
Pasal 32 VCLT memberikan apa yang disebut sebagai ‘supplementary means
of interpretation’. Pada intinya, Pasal 32 menjelaskan bahwa untuk penafsiran,
travaux préparatoires (dokumen persiapan perjanjian) atau keadaan saat dibuat
perjanjian dapat dipertimbangkan, tetapi dengan beberapa syarat tertentu.
Penggunaan dua hal tersebut hanya dibolehkan untuk mengkonfirmasi hasil
penafsiran sesuai Pasal 31, atau jika setelah dilakukan penafsiran melalui Pasal 31,
arti dari teks masih ambigu atau kabur, atau akan mengakibatkan interpretasi yang
jelas-jelas tidak masuk akal.55
Karena travaux préparatoires dan keadaan-keadaan saat perjanjian
disepakati adalah suatu hal yang ‘ekstrinsik’ dan diluar teks perjanjian sendiri, dan
oleh sebab itu dianggap lebih ‘jauh’ dari maksud para pihak saat dibuat perjanjian.
Karena itu, fungsi Pasal 32 VCLT dalam penafsiran hanya untuk mendukung
penafsiran yang dilakukan berdasarkan Pasal 31 VCLT, dan bukan sebagai bentuk
metode alternatif tersendiri. Hal ini menjadi alasan mengapa Pasal 31 disebut
sebagai ‘general rule of interpretation’ sedangkan Pasal 32 hanya suatu
‘supplementary rule of interpretation.’56
Ketentuan-ketentuan ini perlu untuk diketahui, sebab pembahasan dalam
penelitian ini mengenai penafsiran ketentuan-ketentuan Konvensi Berne akan
dilakukan dalam ruang lingkup kaidah-kaidah penafsiran sebagaimana telah
dikodifikasi dalam Pasal 31 dan 32 VCLT.

54
Dörr, Vienna Convention, hlm. 560
55
Persatuan Bangsa-Bangsa, Vienna Convention, Ps. 32
56
Dörr, Vienna Convention, Hlm. 617-618.

Universitas Indonesia
20

B. Kerangka Perlindungan Hak Cipta


Perlindungan Hak Cipta dilakukan melalui berbagai aturan dalam hukum
internasional maupun hukum nasional. Penulis akan memberi suatu uraian singkat
mengenai kerangka perlindungan hak cipta dalam tingkat internasional, melalui
Konvensi Berne, serta dalam tingkat hukum nasional, melalui UU Hak Cipta, yang
juga mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan Konvensi Berne ke dalam hukum
nasional.

1. Perlindungan Hak Cipta dalam Hukum Internasional


Hak Cipta, seperti HAKI lainnya dalam konsepsi tradisionalnya sering
dikatakan memiliki karakteristik territorial. Sebagai suatu hak atas ‘ekspresi’ yang
sifatnya immaterial, Hak Cipta hanya lahir sebagai akibat undang-undang dari
negara masing-masing, dan sesuai asas territorialitas dan kedaulatan negara dalam
Hukum Internasional Publik, suatu Hak Cipta dianggap tidak memiliki efek di luar
negara yang memberikan suatu hak cipta.57 Suatu hak cipta Jerman lahir sebagai
akibat suatu undang-undang Jerman. Suatu Hak Cipta Jerman atau Inggris tidak
memiliki keberadaan di luar Jerman atau Inggris. Sebagai akibat pandangan ini,
sebelum muncul perjanjian-perjanjian internasional mengenai perlindungan hak
cipta, jarang negara memberi perlindungan kepada hak cipta asing. Seperti yang
dikatakan oleh van Eechoud, “International ‘piracy’ of books, plays and music was
the rule rather than the exception, not in the least because national copyright laws
were mostly unfriendly to foreigners.”58
Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan ini, dibentuklah perjanjian-
perjanjian internasional untuk melindungi Hak Cipta, yang terpenting darinya
adalah Konvensi Berne.

a. Konvensi Berne
Dalam tingkat internasional, kerangka hukum yang terutama dan menjadi
dasar untuk perlindungan hak cipta adalah Berne Convention for the Protection of

57
Goldstein, International Copyright, hlm. 85, 87-91.
58
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 49

Universitas Indonesia
21

Literary and Artistic Works. Konvensi Berne ini adalah perjanjian international
mengenai hak cipta yang tertua, mengingat bahwa Konvensi Berne pertama kali
diperjanjikan pada September 9, 188659 dan telah direvisi atau diamandemen tujuh
kali setelah itu, yaitu pada tahun 1896, 1908, 1914, 1928, 1948, 1967, dan terakhir
kalinya pada tahun 1971.60 Dalam analisa-analisa selanjutnya, Penulis hanya akan
fokus kepada teks Konvensi Berne versi yang terakhir, sebagai versi yang berlaku
sampai sekarang ini.
Konvensi Berne mengatur berbagai aspek dari perlindungan hak cipta, antara
lain mengatur asas-asas dasar dari perlindungan hak cipta internasional, standar
minimum perlindungan hak cipta di tiap negara pihak, serta ketentuan-ketentuan
administratif yang mengatur struktur dan organisasi dari International Bureau of
the Berne Union sebagai organisasi internasional yang melaksanakan fungsi
administratif Konvensi Berne.61

b. Prasyarat Keberlakuan Konvensi Berne


Konvensi Berne dapat berlaku dan melindungi hak cipta berdasarkan titik
pertalian (points of attachment) tertentu, yang mungkin dapat dilihat dari status
personal pencipta suatu karya atau berdasarkan tempat suatu karya dipublikasikan,
tergantung dengan faktanya.
Pada umumnya, keberlakuan Konvensi Berne ditentukan oleh status personal
pencipta suatu karya. Pasal 3 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa ketentuan dalam
Konvensi Berne berlaku terhadap karya yang dicipta oleh warga negara atau badang
hukum suatu negara pihak Konvensi Berne, terlepas karya tersebut telah
dipublikasikan atau tidak.62 Selain itu, Pasal 3 ayat (2) Konvensi Berne menjelaskan
bahwa dalam kasus seorang pencipta karya yang bukan warga negara pihak

59
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 5.
60
Ibid. hlm. 6.
61
Tugas ini sekarang dilaksanakan oleh World Intellectual Property Organization, lihat
World Intellectual Property Organization, Convention Establishing the World Intellectual Property
Organization, Ps. 4 “…the Organization… (ii) shall perform the administrative tasks of … the Berne
Union.”
62
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 3 ayat (1) “The
protection of this convention shall apply to (a) authors who are nationals of one of the countries of
the Union, for their works, whether published or not…”

Universitas Indonesia
22

Konvensi Berne, tetapi memiliki habitual residence di negara pihak Konvensi


Berne, maka mereka ‘diasimilasikan’ menjadi seolah-olah warga negara dari negara
tersebut.63
Dapat dilihat dari ini bahwa pada umumnya, Konvensi Berne pada umumnya
berlaku atas dasar status personal pencipta. Pada umumnya, status personal dapat
dilihat dari nasionalitas atau habitual residence pencipta. Jika salah satu dari itu
saja berupa negara pihak Konvensi Berne, maka perlindungan dalam Konvensi
Berne berlaku. Namun, suatu hal yang perlu ditekankan adalah dalam kasus
perlindungan berdasarkan status personal, isu apakah suatu karya sudah
dipublikasikan atau belum tidak perlu dilihat ataupun dibahas. Suatu karya tidak
harus dipublikasikan terlebih dahulu untuk mendapatkan perlindungan dari
Konvensi Berne.64
Konvensi Berne juga dapat bisa berlaku atas dasar tempat dipublikasikan
suatu karya. Dalam kasus seorang pencipta yang tidak memiliki nasionalitas negara
pihak Konvensi Berne, dan juga tidak memiliki habitual residence di negara pihak
Konvensi Berne, maka mereka bisa tetap mendapatkan perlindungan jika suatu
karya dipublikasikan untuk pertama kalinya di negara pihak Konvensi Berne atau
secara sekaligus di negara pihak maupun negara bukan pihak Konvensi Berne.65
Namun, dalam perlindungan berdasarkan tempat publikasi, suatu karya harus
dipublikasi terlebih dahulu. Oleh sebab itu, karya-karya yang belum dipublikasikan
tidak bisa dapat perlindungan. Seorang yang tidak memiliki kewarganegaraan
negara pihak Konvensi Berne atau habitual residence di negara pihak harus
melakukan publikasi karya terlebih dahulu sebelum bisa dapat perlindungan. Aspek
ini yang membedakan perlindungan berdasarkan status personal dengan
perlindungan berdasarkan tempat publikasi.

63
Ibid. Ps. 3 ayat (2) “Authors who are not nationals of one of the countries of the Union
but who have their habitual residence in one of them shall, for the purposes of this Convention, be
assimilated to nationals of that country.”
64
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 26-27
65
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 3 ayat (1), “The
protection of this Convention shall apply to… (b) authors who are not nationals of one of the
countries of the Union, for their works first published in one of those countries, or simultaneously
in a country outside the Union and in a country of the Union”

Universitas Indonesia
23

Selain ketentuan-ketentuan ini, ada pengecualian-pengecualian yang


terkandung khusus dalam Pasal 4 Konvensi Berne. Pasal 4 menyatakan bahwa
untuk karya sinematografis, Konvensi Berne berlaku jika habitual residence atau
lokasi kantor pusat pembuat film berada di negara pihak Konvensi Berne. Selain
itu, Konvensi Berne juga pasti berlaku bagi karya arsitektur yang terpasang atau
merupakan bagian dari bangunan yang berada di Negara Pihak Konvensi Berne.
Dalam kasus-kasus tersebut, maka Konvensi Berne pasti berlaku, walaupun
ketentuan Pasal 3 bisa saja belum terpenuhi.66

c. Ruang Lingkup Konvensi Berne


Konvensi Berne melindungi berbagai macam karya. Saat negara pihak masuk
menjadi negara pihak Konvensi Berne, mereka harus melindungi “literary and
artistic works.”67 Frasa ini memiliki arti yang luas dalam pendefinisian Konvensi
Berne. Menurut Pasal 2 ayat (1), frasa “literary and artistic works” termasuk “every
production in the literary, scientific and artistic domain, whatever may be the mode
or form of its expression.”68 Ini artinya segala karya literatur, ilmiah, dan seni dapat
menjadi objek perlindungan Konvensi Berne, terlepas dari bentuk ekspresi dari
karya tersebut.
Terlihat bahwa definisi yang diberikan cukup luas, tetapi terdapat dua aspek
dari ruang lingkup perlindungan hak cipta dalam Konvensi Berne yang perlu
ditekankan.
Pertama, hak cipta melindungi ekspresi dari suatu ide, tetapi bukan ide itu
sendiri. Suatu ‘ide’ yang menjadi publik tidak dapat diberikan hak cipta, dan tidak

66
Ibid. Ps. 4 “The protection of this Convention shall apply, even if the conditions of Article
3 are not fulfilled, to: (a) authors of cinematographic works the maker of which has his headquarters
or habitual residence in one of the countries of the Union; (b) authors of works of architecture
erected in a country of the Union or of other artistic works incorporated in a building or other
structure located in a country of the Union;” Ketentuan mengenai karya sinematografis dianggap
perlu karena menurut Pasal 3 ayat (3) Konvensi Berne, sinyal televisi berupa suatu ‘unpublished
work’ sehingga tidak mungkin untuk diberikan perlindungan berdasarkan tempat publikasi. Oleh
sebab itu, pasal ini dibuat secara khusus agar ada suatu titik pertalian subsider untuk berlakunya
Konvensi Berne, lihat World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention,
hlm. 30.
67
Ibid. Ps. 1 “The countries to which this Convention applies constitute a Union for the
protection of the rights of authors in their literary and artistic works”
68
Ibid. Ps. 2 ayat (1)

Universitas Indonesia
24

ada cara untuk memberhentikan orang lain untuk menggunakan atau


mengekspresikan ide tersebut dengan ketentuan Hak Cipta. Yang dapat diberikan
perlindungan hak cipta adalah ekspresi dari suatu ide, dalam bentuk penulisan,
gambar, catatan, dan segala bentuk lainnya. Bentuk ekspresi tersebut yang dapat
diberikan hak cipta, buka ide belakangan. Sebagai contoh, Konvensi Berne sebut
bahwa karya ‘ilmiah’ dapat dilindungi. Namun ini tidak berarti bahwa penemuan
ilmiah dapat diberikan perlindungan hak cipta. Penemuan itu sendiri tidak dapat
diberikan hak cipta, akan tetapi, saat penemuan itu diekspresikan melalui penulisan
dalam jurnal, artikel atau buku, maka bentuk ekspresi itu yang dapat diberikan
perlindungan ilmiah (walaupun mungkin saja penemuan ilmiah tersebut dapat
diberikan perlindungan melalui ketentuan HAKI lainnya, seperti Paten).69 Karena
hal ini, Pasal 2 ayat (8) Konvensi Berne menekankan bahwa perlindungan hak cipta
melalui Konvensi Berne tidak berlaku terhadap “news of the day or to
miscellaneous facts having the character of mere items of press information.”70
Kedua, walaupun hak cipta sifatnya melindungi bentuk ekspresi suatu ide,
tetapi Konvensi Berne tidak menetapkan bagaimana bentuk dari ekspresi tersebut.
Suatu karya dapat disampaikan ke publik secara tertulis maupun terucap, dan dapat
dilindungi hak cipta. Bentuk ekspresi tidak berpengaruh terhadap perlindungan
ekspresi tersebut. Selain itu, nilai atau keunggulan dari suatu karya tidak
berdampak, ataupun tujuan suatu karya dibuat tidak memiliki pengaruh terhadap
perlindungan karya tersebut.71 Satu-satu pengecualian terhadap ketentuan ini
adalah ketentuan mengenai ‘fiksasi’ dalam Pasal 2 ayat (2).
Walaupun Konvensi Berne tidak menetapkan harus bagaimana bentuk
ekspresi sebelum mendapatkan perlindungan, akan tetapi Konvensi Berne tetap
memberikan suatu ilustrasi apa hal-hal yang dimasuk. Pasal 2 ayat (1) menetapkan
bahwa beberapa macam karya harus dianggap sebagai literary or artistic work,
antara lain:72
1. Buku, pamflet, atau karya tulisan lainnya

69
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 12-13
70
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 2 ayat (8)
71
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 13
72
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 2 ayat (1)

Universitas Indonesia
25

2. Ceramah, pidato, khotbah, dan karya lainnya dengan ciri-ciri serupa


3. Drama atau karya drama-musikal
4. Karya-karya koreografis dan gerakan dalam pantomim
5. Komposisi musik dengan ataupun tanpa lirik
6. Karya sinematografis
7. Karya gambar, lukisan, arsitektur, patung, ukiran, dan litografi
8. Karya fotografis
9. Karya seni rupa terapan
10. Ilustrasi, peta, sketsa, dan karya tiga-dimensi berhubungan dengan geografi,
topografi, arsitektur, atau ilmu pengetahuan alam.
WIPO menjelaskan bahwa daftar macam-macam karya tersebut sifatnya
hanya ilustratif, tetapi tidak eksklusif. Konvensi Berne masih membiarkan masing-
masing negara pihak untuk membuat ketentuan hukum domestik melindungi karya-
karya ‘literary, artistic, and scientific’ yang belum tentu disebut dalam ilustrasi
dalam Pasal 2 ayat (1).73
Karya-karya derivatif seperti penerjemahan, adaptasi, aransemen musik,
atau perubahan suatu karya literatur atau seni tetap dilindungi seperti suatu karya
orisinal, tanpa merugikan hak cipta dalam karya orisinal.74 Ketentuan serupa juga
berlaku terhadap kompilasi-kompilasi suatu karya seperti ensiklopedi.75 Ini berarti
bahwa suatu karya derivatif diperbolehkan dan memiliki hak cipta terpisah dari
karya aslinya. Akan tetapi, suatu pembuatan karya derivatif harus tetap
memperhatikan hak cipta karya aslinya. Oleh sebab itu, pada umumnya pembuat
karya derivatif perlu mendapat izin dari pemegang hak cipta aslinya sebelum
membuat suatu karya derivatif.76

73
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, Hlm. 17
74
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 2 ayat (3),
“Translations, adaptations, arrangements of music and other alterations of a literary or artistic
work shall be protected as original works without prejudice to the copyright in the original work.”
75
Ibid. Ps. 3 ayat (5) “Collections of literary or artistic works such as encyclopaedias and
anthologies which, by reason of the selection and arrangement of their contents, constitute
intellectual creations shall be protected as such, without prejudice to the copyright in each of the
works forming part of such collections.”
76
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 19.

Universitas Indonesia
26

d. Asas-Asas Dasar Konvensi Berne


Ada tiga asas yang menjadi dasar dari perlindungan Hak Cipta dalam
Konvensi Berne, yaitu Asas National Treatment, Asas Perlindungan Otomatis dan
Asas ‘independence’ of protection.77 Semua ketentuan ini dapat ditemukan di Pasal
5 dari Konvensi Berne yang disebut oleh WIPO sebagai pasal memberikan sebagai
Penulis akan membahas masing-masing dari asas-asas ini. Ketiga asas ini sangat
penting untuk dimengertikan, karena tiga asas ini menjadi dasar sistem
perlindungan hak cipta internasional.
Dalam Konvensi Berne, asas yang paling dasar adalah asas national
treatment. Berdasasarkan Pasal 5 ayat (1) Konvensi Berne, Negara Pihak harus
memberlakukan dan menjamin pemegang hak cipta asing hak-hak yang sama
dengan warga negaranya sendiri, selain di country of origin, sebagai mana diatur
dalam hukum domestik negara tersebut serta hak-hak yang dijamin oleh Konvensi
Berne sendiri.78 Sebagai contoh, jika hak cipta suatu karya dikarang oleh seorang
berkewarganegaraan Australia, yang pertama kalinya diterbitkan di Indonesia,
dilanggar di Amerika Serikat, maka pengarang tersebut harus diperlakukan di
Amerika Serikat seolah-olah karya itu ditulis oleh Pengarang Amerika Serikat dan
diterbitkan di Amerika Serikat.79
WIPO menegaskan bahwa hal ini tidak berarti bahwa macam perlakuan akan
sama di setiap negara. Tiap negara tentu memiliki ketentuan masing-masing
mengenai ruang lingkup perlindungan hak cipta di negara tersebut. Dalam kasus
perlindungan hak cipta beda dari satu negara dengan lainnya, pemilik hak cipta
asing hanya mendapatkan perlakuan yang sama atau sesuai dengan pemilik hak
cipta dari negara itu sendiri. WIPO memberi contoh sebagai berikut: Beberapa
negara tidak mengenal konsep droit de suite.80 Dalam kasus tersebut, seorang

77
World Intellectual Property Organization, “Summary of the Berne Convention.”
78
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (1) “Authors
shall enjoy, in respect of works for which they are protected under this Convention, in countries of
the Union other than the country of origin, the rights which their respective laws do now or may
hereafter grant to their nationals, as well as the rights specially granted by this Convention.”
79
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 32
80
Droite de suite adalah hak seorang pengarang untuk mendapatkan sebagian keuntungan
dari tiap kali karyanya dijual kembal setelah pertama kali karya dijual. Misalnya, seorang pelukis
menjual lukisan kepada seorang pembeli. Jika pembeli itu pada saat kemudian ingin menjual lukisan
tersebut ke orang lain, maka pelukis berhak mendapat sebagian keuntungan dari transaksi tersebut.

Universitas Indonesia
27

pengarang karya dengan hak cipta yang berasal dari negara yang mengenal droite
de suite tidak dapat menikmati hak tersebut di negara-negara yang tidak mengenal
hak droite de suite.81 Kewajiban yang ada hanya bahwa negara harus
memberlakukan pemilik hak cipta asing sama seperti pemilik hak cipta dari negara
itu sendiri.
Perlu ditekankan bahwa kewajiban national treatment ini hanya berlaku
terhadap pemilik hak cipta asing. Untuk perlindungan suatu hak cipta dalam
country of origin atau negara asal itu sendiri, menurut Pasal 5 ayat (3) dari Konvensi
Berne, hanya diatur oleh hukum domestik dalam negara itu sendiri.82 Konvensi
Berne tidak mengatur sama sekali bagaimana suatu negara memperlakukan hak
cipta yang berasal dari negara itu sendiri. Walaupun Konvensi Berne mengatur
standar minimum perlindungan, tidak ada kewajiban untuk negara pihak
memberlakukan standar tersebut terhadap pemilik hak cipta negara yang berasal
dari negara itu sendiri. Namun, perlu diingatkan bahwa Pasal 5 ayat (2) tidak hanya
menyatakan bahwa pemilik hak cipta asing menikmati hak yang sama seperti
pemilik hak cipta dari negara itu sendiri, tetapi juga harus tetap menikmati hak-hak
dan standar minimum yang dijamin dalam Konvensi Berne. Sebagai konsekuensi,
jika suatu negara memberi perlindungan lebih rendah bagi pemilik hak cipta
domestik dibanding Konvensi Berne, maka pemilik hak cipta asing harus tetap
menikmati standar-standar minimum yang ditetapkan Konvensi Berne. Akan tetapi,
jika negara pihak memberi standar perlindungan hak cipta yang lebih tinggi dalam
hukum domestiknya dibanding Konvensi Berne, maka sesuai asas national
treatment, maka pemilik hak cipta asing berhak menikmati hak-hak yang sama.
Selain itu, Asas kedua yang penting untuk diketahui adalah asas ‘automatic
protection’ atau asas perlindungan otomatis. Asas ini dapat ditemukan dalam
kalimat pertama Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, yang menyatakan bahwa “The

Beberapa negara mengenal hak ini, namun beberapa negara tidak mengenal. Untuk diskusi lengkap,
lihat Goldstein, International Copyright, hlm. 297-299
81
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 32
82
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (3) “Protection
in the country of origin is governed by domestic law. However, when the author is not a national of
the country of origin of the work for which he is protected under this Convention, he shall enjoy in
that country the same rights as national authors.”

Universitas Indonesia
28

enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject to any formality.”83
WIPO menjelaskan bahwa perlindungan hak cipta sebagaimana diatur dalam
Konvensi Berne bagi pemilik hak cipta asing tidak dapat disyaratkan dengan
kewajiban suatu ‘formalitas.’ Yang dimaksud ‘formalitas’ dalam hal ini adalah
ketentuan-ketentuan administratif yang ditetapkan dalam hukum domestik sebagai
syarat yang harus terpenuhi untuk mendapatkan perlindungan hak cipta. WIPO
memberi contoh-contoh ‘formalitas’ yang dilarang, antara lain: kewajiban registrasi
suatu karya dengan suatu badan atau pejabat publik, penyerahan atau deposit
salinan karya, atau pembayaran biaya registrasi atau hal-hal lain yang serupa. Jika
perlindungan disyaratkan dengan pemenuhan suatu formalitas, maka itu melanggar
ketentuan Konvensi Berne.84
Sehubungan dengan asas ini, dalam Konvensi Berne suatu hak cipta lahir
secara otomatis dengan di buatnya suatu karya, dengan satu pengecualian. Pasal 2
ayat (2) dari Konvensi Berne menyatakan bahwa masing-masing negara pihak
dapat membuat ketentuan apakah suatu karya harus ‘difiksasi’ dalam bentuk nyata
sebelum mendapat perlindungan atau tidak.85 Negara memiliki wewenang masing-
masing untuk menentukan apakah karya harus difiksasi terlebih dahulu atau tidak,
dan dalam praktiknya, memang terdapat negara yang mensyaratkan terjadi ‘fiksasi’
terlebih dahulu, ada pula yang tidak.86 Akan tetapi, ini tidak termasuk sebagai
‘formalitas’ dalam arti Pasal 5 ayat (2), karena syarat ‘fiksasi’ bukanlah suatu syarat
administratif, melainkan berupa suatu aspek krusial untuk menentukan apakah
suatu karya memang benar ‘ada.’87
Ketentuan ini juga hanya melarang formalitas yang dijadikan syarat untuk
perlindungan hak cipta. Ketentuan formalitas lainnya belum tentu dilarang dalam

83
Ibid. Ps. 5 ayat (2)
84
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 33
85
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 2 ayat (2) “It shall,
however, be a matter for legislation in the countries of the Union to prescribe that works in general
or any specified categories of works shall not be protected unless they have been fixed in some
material form.”
86
Untuk diskusi lebih lengkap mengenai syarat fiksasi dalam Konvensi Berne, lihat,
Ysolde Gendreau, “The Criterion of Fixation in International Law,” Revue Internationale du Droit
d’Auteur, No. 159 (1994), Hlm. 110-202
87
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention, hlm. 18

Universitas Indonesia
29

Konvensi Berne. WIPO menyatakan bahwa yang menjadi isu adalah keberadaan
dan ruang lingkup perlindungan, dan bukan segala cara mengeksploitasi suatu
karya dalam hukum. Sebagai contoh, WIPO menyatakan bahwa negara dapat
menetapkan model contract yang mengatur bagaimana suatu macam karya harus
digunakan, tanpa itu dianggap sebagai ‘formalitas’ dalam arti Pasal 5 ayat (2)
Konvensi Berne. Yang penting, perlindungan hak cipta dalam Konvensi Berne
tidak disyaratkan dengan ketentuan ‘formalitas’ terlebih dahulu.88
Seperti asas sebelumnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) Konvensi
Berne, ketentuan ini hanya berlaku terhadap hak cipta asing. WIPO menegaskan
bahwa hak mendapatkan perlindungan otomatis tidak berlaku di country of origin.
Setiap negara tetap bebas menentukan sesuai keinginannya apa saja formalitas yang
harus terpenuhi sebelum perlindungan diberikan kepada karya-karya yang berasal
dari negara tersebut. Akan tetapi, untuk karya-karya dengan hak cipta asing, tidak
dapat dibebani dengan ‘formalitas’ sebelum perlindungan diberikan.89
Satu hal lain yang perlu diingat, walaupun ‘formalitas’ dilarang menjadi
syarat untuk perlindungan hak cipta asing, itu bukan berarti bahwa negara tidak
dapat memberikan cara untuk mendeposit atau meregistrasi suatu karya, untuk
kegunaan-kegunaan lainnya. Sebagai contoh, banyak negara menetapkan syarat
bahwa karya harus dideposit ke suatu national repository agar karya kreatif dapat
dipertahankan. Selain itu, banyak negara yang tidak lagi menetapkan registrasi
sebagai syarat, tetapi masih membuka kemungkinan registrasi karya untuk
kemudahan pembuktian mengenai validitas dan kepemilikan hak cipta.90 Segala ini
dimungkinkan, selama formalitas tidak dijadikan syarat untuk perlindungan hak
cipta.
Lalu, asas terakhir yang perlu diketahui adalah asas ‘independence’ of
protection, yang pada intinya menyatakan bahwa perlindungan suatu hak cipta

88
Ibid. hlm. 33
89
Ibid.
90
Goldstein, International Copyright, hlm. 208; Pendekatan ini juga diadopsi di Indonesia,
lihat Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 72 “Pencatatan Ciptaan atau produk Hak
Terkait dalam daftar umum Ciptaan bukan merupakan pengesahan atas isi, arti, maksud, atau
bentuk dari Ciptaan atau produk Hak Terkait yang dicatat” dan Ps. 31 “Kecuali terbukti sebaliknya,
yang dianggap sebagai pencipta, yaitu Orang yang namanya… d. tercantum dalam daftar umum
Ciptaan sebagai pencipta.”

Universitas Indonesia
30

asing, dengan beberapa pengecualian,91 tidak tergantung bagaimana suatu hak cipta
tersebut dilindungi di country of origin suatu hak cipta. Seperti yang dikatakan
dalam kalimat ke-dua Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, “such enjoyment and such
exercise [of these rights] shall be independent of the existence of protection in the
country of origin of the work.”92 Artinya, selama suatu karya sudah memenuhi
kriteria untuk mendapat perlindungan dalam Konvensi Berne, maka karya tersebut
akan mendapat perlindungan sesuai ketentuan Konvensi Berne, tanpa perlu melihat
apakah suatu karya telah mendapat perlindungan atau tidak dalam Country of
Origin ataupun apa status perlindungan hak cipta di negara tersebut. Sebagai
contoh, seperti yang dikatakan sebelumnya, terkadang negara dapat mewajibkan
formalitas-formalitas sebagai syarat perlindungan hak cipta bagi karya yang berasal
dari negara tersebut. Namun, bagi negara-negara lain, mereka tidak perlu melihat
fakta itu. Walaupun formalitas tersebut belum terpenuhi, dan perlindungan belum
diberikan di country of origin, negara-negara selain country of origin tetap harus
melindungi hak cipta tersebut.93
Ketiga asas ini adalah refleksi dari pandangan bahwa perlindungan hak cipta
menganut konsepsi droits indépendants, bukan lawan darinya, droits acquis. Dalam
konsepsi droits acquis, perlindungan hak cipta diberikan oleh satu negara, seperti
negara asal seorang pencipta, lalu diakui dan dihormati oleh negara-negara lain
sebagai suatu hak kepemilikan. Konsepsi droits acquis tidak berlaku dalam
kerangka perlindungan hak cipta internasional dalam Konvensi Berne.
Perlindungan di Konvensi Berne sesuai dengan konsepsi droits indépendants.
Dalam konsepsi ini, dengan dibuatnya suatu karya ciptaan, maka lahir pula berbagai

91
Pengecualian terhadap asas ini dapat ditemukan dalam ketentuan Konvensi Berne
mengenai jangka waktu perlindungan hak cipta. Konvensi Berne menetapkan bahwa jangka waktu
perlindungan dalam Konvensi Berne adalah seumur hidup pencipta ditambah 50 tahun. Negara dapat
memberikan jangka waktu perlindungan lebih lama, tetapi jika suatu karya sudah habis jangka waktu
perlindungan di country of origin, maka negara pihak Konvensi Berne lain dapat menolak
memberikan jangka waktu lebih lama itu, lihat World Intellectual Property Organization, Berne
Convention, Ps. 7 ayat 1 “The term of protection granted by this Convention shall be the life of the
author and fifty years after his death”, Ps. 7 ayat (6) “The countries of the Union may grant a term
of protection in excess of those provided by the preceding paragraphs” dan Ps. 7 ayat (8) “In any
case, the term shall be governed by the legislation of the country where protection is claimed;
however, unless the legislation of that country otherwise provides, the term shall not exceed the term
fixed in the country of origin of the work.”
92
Ibid. Ps. 5 ayat (2)
93
World Intellectual Property Organization, Guide to the Berne Convention. hlm. 33

Universitas Indonesia
31

hak cipta yang berbeda dan terpisah di masing-masing sistem hukum dunia yang
menjadi negara pihak konvensi dengan jumlah sama dengan adanya sistem hukum
di dunia yang mengakui Konvensi Berne.94

e. Penentuan Country of Origin dalam Konvensi Berne


Melihat dari asas-asas sebagaimana telah disampaikan, tentu terlihat bahwa
untuk menentukan country of origin hak cipta suatu karya berupa suatu isu yang
krusial. Hal ini menentukan apakah seorang pencipta atau pemilik hak cipta dapat
menikmati perlindungan dari Konvensi Berne. Oleh sebab itu, Hal ini telah diatur
oleh Konvensi Berne pula, khususnya dalam Pasal 5 ayat (4) dari Konvensi Berne.
Menurut ketentuan ini, faktor yang terpenting dalam menentukan country of
origin adalah negara dimana publikasi dilakukan. Untuk arti dari ‘publikasi’
sendiri, juga diatur. Menurut Pasal 3 ayat (3) Konvensi Berne, suatu karya dianggap
telah ‘dipublikasikan’ jika suatu karya, dengan persetujuan pencipta, membuat
suatu karya tersedia secara yang memenuhi keperluan sewajarnya publik, dengan
memperhatikan karakteristik dari karya atau ciptaannya.95
Tempat dimana suatu karya pertama kali dipublikasi menjadi tolak ukur yang
terutama yang digunakan untuk menentukan country of origin dari suatu karya.
Negara Pihak Konvensi Berne dimana pertama kali suatu karya atau ciptaan
dipublikasikan dianggap menjadi country of origin suatu karya. Jika suatu karya
dipublikasikan secara bersama-sama di berbagai negara saat pertama kali
dipublikasikan,96 maka negara yang memberi jangka waktu perlindungan hak cipta
paling singkat dianggap menjadi country of origin.97 Selain itu, dalam kasus dimana

94
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 99
95
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 3 ayat (3) “The
expression ‘published works’ means works published with the consent of their authors, whatever
may be the means of manufacture of the copies, provided that the availability of such copies has
been such as to satisfy the reasonable requirements of the public, having regard to the nature of the
work…”
96
Karya dianggap dipublikasikan secara bersama jika dipublikasikan di dua atau lebih
negara dalam jangka waktu 30 hari sejak pertama kali karya dipublikasikan, lihat Ibid. Ps. 3 ayat (4)
“A work shall be considered as having been published simultaneously in several countries if it has
been published in two or more countries within thirty days of its first publication”
97
Ibid. Ps. 5 ayat (4) “The country of origin shall be considered to be (a) in the case of
works first published in a country of the Union, that country; in the case of works published

Universitas Indonesia
32

suatu karya pertama kali dipublikasikan secara bersama di negara yang bukan
negara pihak Konvensi Berne dan negara pihak Konvensi Berne, maka negara yang
berupa pihak Konvensi Berne akan dianggap country of origin.98
Selain penentuan berdasarkan country of origin berdasarkan faktor geografis,
dalam beberapa kasus, dapat juga nasionalitas dari pencipta karya dapat dijadikan
sebagai country of origin. Hal ini dimungkinkan dalam dua kasus, yaitu dalam
kasus perlindungan karya-karya yang belum pernah dipublikasikan dan dalam
kasus dimana publikasi pertama kali dilakukan di negara yang bukan pihak
Konvensi Berne.99

f. Standar Minimum Perlindungan Hak Cipta dalam Konvensi Berne


Selain ketentuan-ketentuan tentang perlindungan hak cipta asing dilindungi,
Konvensi Berne menetapkan standar minimum perlindungan hak cipta asing.
Dengan kepemilikan suatu hak cipta, seorang pemegang hak cipta memiliki
beberapa hak yang dikenal dalam Konvensi Berne sebagai hak eksklusif pencipta
atau pemegang hak cipta. Hak-hak ini mencakupi:100
Hak Penerjemahan
Hak membuat adaptasi dan aransemen suatu karya
Hak untuk menampilkan di depan umum suatu karya drama, drama-musikal,
musik
Hak untuk membaca karya literatur di publik

simultaneously in several countries of the Union which grant different terms of protection, the
country whose legislation grants the shortest term of protection…”
98
Ibid. “The country of Origin shall be considered to be… (h) in the case of works published
simultaneously in a country outside the Union and in a country of the Union, the latter country”
99
Terdapat dua pengecualian terhadap asas ini. Untuk karya sinematografis, dimana
habitual residence pencipta karya berupa negara pihak Konvensi Berne, maka negara tersebut
dianggap country of origin. Untuk karya yang diinkorporasikan dalam suatu bangunan yang ada di
negara pihak Konvensi Berne, maka negara tersebut dianggap County of Origin, lihat Ibid. “The
country of Origin shall be considered to be…(c) in the case of unpublished works or of works first
published in a country outside the Union, without simultaneous publication in a country of the
Union, the country of the Union of which the author is a national provided that: (i) when these are
cinematographic works the maker of which has his headquarters or his habitual residence in a
country of the Union, the country of origin shall be that country, and (ii) when these are works of
architecture erected in a country of the Union or other artistic works incorporated in a building or
other structure located in a country of the Union, the country of origin shall be that country.”
100
World Intellectual Property Organization, “Summary of the Berne Convention.”

Universitas Indonesia
33

Hak untuk mengkomunikasikan ke publik penampilan karya tersebut


Hak untuk menyiarkan
Hak mereproduksi suatu karya
Hak untuk menggunakan karya sebagai dasar karya audiovisual
Hak-hak ini sering dikenal juga dengan istilah ‘hak ekonomi.’ Selain hak
ekonomi, Konvensi Berne juga mengenal ‘hak moral,’ yaitu hak untuk seseorang
diakui sebagai pencipta suatu karya dan hak untuk mempertahankan karya terhadap
distorsi, mutilasi atau modifikasi lainnya yang bersifat merugikan kehormatan atau
reputasinya.101
Konvensi Berne juga memberikan wewenang untuk tiap negara membuat
ketentuan yang mengecualikan beberapa bentuk reproduksi suatu karya dari
perlindungan hak cipta, dengan beberapa syarat yang sering disebut sebagai Berne
Three-Step Test. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) Konvensi Berne, hal ini
diperbolehkan “in certain special cases, provided that such reproduction does not
conflict with a normal exploitation of the work and does not unreasonably prejudice
the legitimate interests of the author.”102 Ada tiga syarat dalam ketentuan tersebut.
Pertama, pengecualian harus direstriksi dalam kasus-kasus tertentu saja. Kedua,
pengecualian tidak dapat mengganggu kemampuan Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk menikmati hasil dari karya secara substansial. Ketiga, pengecualian
tidak sampai mengganggu kepentingan pencipta secara disproportional. Selain itu,
Konvensi Berne secara eksplisit mengecualikan perlindungan untuk ketentuan
kegunaan tertentu seperti kutipan,103 keperluan pendidikan,104 dan kegunaan dalam
pers tertentu105

101
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 6bis
102
Ibid. Ps. 9 ayat (2)
103
Ibid. Ps. 10 ayat (1) “It shall be permissible to make quotations from a work which has
already been lawfully made available to the public, provided that their making is compatible with
fair practice, and their extent does not exceed that justified by the purpose, including quotations
from newspaper articles and periodicals in the form of press summaries”
104
Ibid. Ps. 10 ayat (2), “It shall be a matter for legislation in the countries of the Union,
and for special agreements existing or to be concluded between them, to permit the utilization, to
the extent justified by the purpose, of literary or artistic works by way of illustration in publications,
broadcasts or sound or visual recordings for teaching, provided such utilization is compatible with
fair practice”
105
Ibid. Ps. 10Bis

Universitas Indonesia
34

g. Perlindungan Hak Cipta dalam Perjanjian-Perjanjian Internasional


Lainnya
Konvensi Berne bukan satu-satunya perjanjian internasional yang mengatur
tentang hak cipta. Terdapat berbagai perjanjian-perjanjian internasional lainnya
yang memiliki ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan hak cipta.
Namun, kebanyakan dari perjanjian-perjanjian internasional lainnya ini sifatnya
hanya menambah dari perlindungan hak cipta yang sudah ada dalam Konvensi
Berne, tetapi tidak mengubah asas-asas dasar yang terkandung dalamnya. Asas-asas
dasar perlindungan hak cipta (seperti asas national treatment, asas perlindungan
otomatis, dan asas ‘independence’ of protection) yang telah diatur dalam Konvensi
Berne tetap sama dan tetap berlaku.
Salah satu perjanjian internasional yang perlu diketahui adalah WIPO
Copyright Treaty atau singkatnya WCT. Perjanjian internasional ini mengatur
masalah perlindungan hak cipta dan hak-hak pencipta dalam konteks era digital.106
Perjanjian ini juga mengikat Indonesia, karena telah diratifikasi dengan Keputusan
Presiden No. 19 tahun 1997.107 Seperti yang dikatakan dalam Pasal 1 ayat (1)
perjanjian tersebut, WCT adalah suatu special agreement dalam arti Pasal 20
Konvensi Berne,108 yang tidak memiliki hubungan dengan perjanjian-perjanjian
lainnya selain Konvensi Berne.109 WCT memiliki beberapa ketentuan yang
menambah dari ketentuan-ketentuan Konvensi Berne. Pertama, WCT secara
eksplisit menambahkan Program Komputer dan Database sebagai suatu karya
literatur dan seni dalam arti Pasal 2 Konvensi Berne.110 Kedua, WCT
menambahkan hak distribusi, hak menyewa karya sinematografis, program

106
World Intellectual Property Organization, “Summary of the WIPO Copyright Treaty,”
https://www.wipo.int/treaties/en/ip/wct/summary_wct.html diakses 3 Maret 2022
107
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pengesahan WIPO Copyright Treaty, Keppres
No. 19 Tahun 1997.
108
Pasal 20 Konvensi Berne membuka peluang untuk negara pihak Konvensi Berne untuk
membuat perjanjian khusus antara mereka, selama perjanjian tersebut memberi hak lebih luas bagi
pencipta dibanding Konvensi Berne dan tidak memiliki ketentuan yang bertentangan dengan
Konvensi Berne sendiri, lihat World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 20.
109
World Intellectual Property Organization, WIPO Copyright Treaty (WCT) (1996),
UNTS 2186 (2002), hlm. 121, Ps. 1 ayat (1).
110
Ibid. Ps. 4-5

Universitas Indonesia
35

komputer, dan fonogram, serta hak komunikasi kepada publik dalam kerangka
perlindungan hak cipta asing.111 Ketiga, WCT menambah ketentuan mengenai
teknologi manajemen hak digital, yaitu teknologi yang dapat digunakan oleh
pencipta untuk menghampat pelanggaran hak cipta.112
Namun, WCT tidak mengubah asas-asas dasar untuk perlindungan hak cipta
asing yang telah ditentukan dalam Konvensi Berne. Bahkan, Pasal 1 ayat (4) dari
WCT menyatakan bahwa negara pihak WCT wajib patuh terhadap ketentuan Pasal
1 – 21 dari Konvensi Berne.113 Selebih dari itu, Pasal 3 WCT menegaskan bahwa
negara pihak harus menerapkan Pasal 2-6 Konvensi Berne secara mutis mutandis
terhadap perlindungan yang diberikan dalam WCT.114 Sehingga, segala ketentuan
serta segala permasalahan yang mungkin ada dalam Konvensi Berne tidak
diselesaikan oleh WCT ini.
Selain WCT, salah satu perjanjian internasional yang cukup signifikan dalam
bidang perlindungan HAKI internasional pada umumnya adalah Agreement on
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights atau singkatnya sebagai
TRIPS, suatu perjanjian internasional yang mengatur mengenai ketentuan hak
kekayaan intelektual di bawah naungan World Trade Organization (“WTO”)
sebagai organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Karena
perjanjian ini merupakan bagian dari Agreement Establishing the World Trade
Organization, dengan perjanjian tersebut diratifikasikan oleh Indonesia melalui
Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing
The World Trade Organization,115 TRIPS mengikat Indonesia.
Matsushita mengidentifikasi empat hal yang menjadikan TRIPS signifikan.
Pertama, TRIPS melahirkan suatu minimum standard baru mengenai perlindungan
HAKI di masing-masing negara. Kedua, TRIPS juga menetapkan suatu kriteria
minimum mengenai penegakan HAKI melalui prosedur pidana, perdata, dan
administratif. Ketiga, TRIPS menjadikan kerangka hukum Perlindungan HAKI di

111
Ibid. Ps. 6-8
112
Ibid. Ps. 11-12
113
Ibid. Ps. 1 ayat (4)
114
Ibid. Ps. 3
115
Indonesia, Undang-Undang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization, UU No. 7 Tahun 1994, LN No. 57 Tahun 1994, TLN No. 3564

Universitas Indonesia
36

tiap negara sebagai objek dari sistem Penyelesaian Sengketa WTO.116 Terakhir,
TRIPs menetapkan beberapa ketentuan procedural yang tiap negara harus
memenuhi mengenai perlindungan HAKI.117
Walaupun demikian, akan tetapi asas-asas dasar mengenai perlindungan hak
cipta asing sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Berne, seperti di WCT
sebelum, tidak diubah. Mirip dengan WCT, Pasal 9 TRIPS mewajibkan untuk
semua negara anggota WTO untuk mematuhi Pasal 1-21 Konvensi Berne.118 Oleh
sebab itu, sama seperti perjanjian WCT, segala permasalahan dalam Konvensi
Berne yang mungkin ada akan ditemukan di TRIPS pula.

2. Perlindungan Hak Cipta dalam Hukum Nasional Indonesia


Peraturan-peraturan mengenai Hak Cipta memiliki sejarah panjang di
Indonesia,119 akan tetapi untuk saat ini ketentuan mengatur bidang hak cipta di
Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. UU
Hak Cipta diberlakukan untuk menjadi kerangka hukum utama dalam bidang hak
cipta di Indonesia, dan juga sebagai bentuk implementasi kewajiban-kewajiban
Indonesia yang diatur dalam Konvensi Berne serta perjanjian-perjanjian di bidang
Hak Cipta lainnya.120 Dalam UU Hak Cipta, hak cipta dikategorikan dalam Pasal
16 ayat (1) sebagai benda bergerak tidak berwujud,121 dan didefinisikan sebagai

116
Hal ini menjadi sangat signifikan. Salah satu kelemahan dari kerangka hukum mengenai
perlindungan HAKI internasional sebagaimana diatur dalam perjanjian-perjanjian internasional
WIPO adalah ketergantungan kepada otoritas di setiap negara untuk melindungi HAKI. Dengan
dimasukkan ketentuan mengenai HAKI dalam sistem WTO melalui TRIPS, maka tindakan negara
dalam melindungi HAKI dapat dijadikan objek sengketa di hadapan Dispute Settlement Body WTO,
lihat Mitsuo Matsushita et al., The World Trade Organization: Law, Practice, and Policy, ed. 3,
(New York: Oxford University Press, 2015), hlm. 635-636
117
Ibid. Hlm. 640-641
118
World Trade Organization, Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights, UNTS 1869 (1995) hlm. 300, Ps. 9 ayat (1).
119
Untuk diskusi lengkap mengenai sejarah Hak Cipta di Indonesia, lihat OK. Saidin, Aspek
Hukum Hak Kekayaan Intelektual, cet. 9, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 77-182
120
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Point C Pertimbangan, “…bahwa
Indonesia telah menjadi anggota berbagai perjanjian internasional di bidang hak cipta dan hak
terkait sehingga diperlukan implementasi lebih lanjut dalam sistem hukum nasional agar para
pencipta dan kreator nasional mampu berkompetisi secara nasional.”
121
Ibid. Ps. 16 ayat (1) “Hak Cipta merupakan benda bergerak tidak berwujud”

Universitas Indonesia
37

“hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif
setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata…”122
Secara keseluruhan, ketentuan Hak Cipta dalam UU Hak Cipta serupa dengan
standar minimum perlindungan dalam berbagai perjanjian-perjanjian internasional
dalam bidang hak cipta. Walaupun ada banyak hal diatur dalam UU Hak Cipta,
Penulis akan menjelaskan dua aspek saja dari UU Hak Cipta yang penting untuk
dipahami dikarenakan hubungannya dengan objek penelitian ini yang akan dibahas
dalam bab-bab selanjutnya, yaitu ketentuan mengenai keberlakuan UU Hak Cipta,
serta bentuk pertanggungjawaban dalam UU Hak Cipta terhadap pelanggaran Hak
Cipta.

a. Keberlakuan UU Hak Cipta


Ketentuan mengenai keberlakuan UU Hak Cipta sangat dengan ketentuan
keberlakuan Konvensi Berne. Pasal 2 UU Hak Cipta menjelaskan bahwa UU Hak
Cipta berlaku terhadap:
a. semua Ciptaan dan produk Hak Terkait warga negara, penduduk, dan
badan hukum Indonesia;
b. semua Ciptaan dan produk Hak Terkait bukan warga negara
Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum
Indonesia yang untuk pertama kali dilakukan Pengumuman di
Indonesia;
c. semua Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dan pengguna Ciptaan
dan/atau produk Hak Terkait bukan warga negara Indonesia, bukan
penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia dengan
ketentuan:
1. negaranya mempunyai perjanjian bilateral dengan negara
Republik Indonesia mengenai perlindungan Hak Cipta dan Hak
Terkait; atau
2. negaranya dan negara Republik Indonesia merupakan pihak
atau peserta dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai
perlindungan Hak Cipta dan Hak Terkait.123

Terlihat bahwa ketentuan ini sangat mirip dengan ketentuan-ketentuan


mengenai keberlakuan Konvensi Berne yang terdapat dalam konvensi tersebut.
Huruf a dan b dalam UU Hak Cipta serupa dengan Pasal 3 ayat (1) huruf a dan b

122
Ibid. Ps. 1 ayat (1)
123
Ibid., Ps. 2.

Universitas Indonesia
38

dalam Konvensi Berne yang telah dijelaskan sebelumnya. Keduanya menyatakan


bahwa masing-masing instrumen hukum berlaku berdasarkan pertama, nasionalitas
pencipta suatu karya dan kedua, jika seorang pencipta pertama kali melakukan
‘publikasi’ atau ‘pengumuman’ di lokasi dimana peraturan tersebut berlaku.
Dengan ini, jelas bahwa ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta terinspirasi oleh ketentuan
Konvensi Berne. Namun, formulasi pasal 2 UU Hak Cipta menimbulkan beberapa
masalah, yang akan dibahas dalam Bab IV.
Pasal dengan teks ini sebenarnya sudah lama menjadi bagian dari undang-
undang lainnya di Indonesia yang mengatur Hak Cipta. Formulasi Pasal 2 UU Hak
Cipta saat ini sudah ada sejak 1987, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 7
Tahun 1987124 yang mengubah ketentuan Pasal 48 Undang-Undang No. 6 Tahun
1982 tentang Hak Cipta.125 Teks yang identik juga dapat ditemukan dalam Pasal 76
Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.126
Gautama menjelaskan bahwa dalam formulasi Pasal 48 Undang-Undang No.
6 Tahun 1982 yang asli, karya orang asing yang tidak dipublikasikan untuk pertama
kali di Indonesia tidak akan mendapat perlindungan khusus. Ketentuan ini dikecam
oleh beberapa negara asing, khususnya Amerika Serikat dan Pasaran Bersama
Eropa, dan mengakibatkan negara-negara ini mengancam mengambil tindakan
trade remedy jika Indonesia tidak mengubah ketentuan peraturannya. Oleh sebab
itu, ketentuan Pasal 48 UU Hak Cipta 1982 diubah pada tahun 1987 agar
memberikan perlindungan bagi pemegang hak cipta asing selama negara asal
mereka memiliki perjanjian internasional dengan Indonesia dalam bidang
perlindungan hak cipta.127 Hingga saat ini, teks dari tahun 1987 tetap menjadi
bagian dari undang-undang Indonesia.

b. Pertanggungjawaban dalam UU Hak Cipta

124
Indonesia, Undang-Undang Perubahan Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 tentang
Hak Cipta, UU No. 7 Tahun 1987, LN No. 3362 Tahun 1987, TLN No. 3362, Ps. 48
125
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 6 Tahun 1982, LN No. 15 Tahun 1982,
TLN No. 3217, Ps. 48.
126
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 19 Tahun 2002, LN No. 85 Tahun 2002,
TLN No. 4420, Ps. 76.
127
Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Hak Milik Intelektual, cet. 2, (Bandung: Eresco,
1995), Hlm. 66-69

Universitas Indonesia
39

Ketentuan-ketentuan Konvensi Berne tentu hanya dapat dilaksanakan dan


diterapkan oleh negara-negara pihak masing-masing, sehingga diperlukan
penjelasan mengenai ketentuan-ketentuan dalam UU Hak Cipta mengenai
pertanggungjawaban atas pelanggaran hak cipta. UU Hak Cipta memiliki
ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata sebagai
konsekuensi suatu pelanggaran Hak Cipta. Namun, untuk penelitian ini Penulis
hanya akan fokus diskusi terhadap ketentuan-ketentuan mengenai
pertanggungjawaban perdata yang terdapat dalam UU Hak Cipta.128
UU Hak Cipta membuka peluang untuk para pencipta atau pemilik hak cipta
atau hak terkait untuk mengajukan gugatan perdata jika terjadi pelanggaran Hak
Cipta atau produk hak terkait. Pasal 99 UU Hak Cipta menyatakan bahwa
“Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait berhak mengajukan
gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau
produk Hak Terkait.”129 Mengenai hal ini, terdapat dua hal yang harus diperhatikan.
Pertama, kewenangan untuk mengadili perkara pelanggaran hak cipta berada
di Pengadilan Niaga. Seperti yang ditekankan dalam Pasal 95 ayat (3) UU Hak
Cipta, “Pengadilan lainnya selain Pengadilan Niaga sebagaimana…tidak
berwenang menangani penyelesaian sengketa Hak Cipta.”130 Di sistematika hukum
Indonesia, hanya pengadilan niaga memiliki kompetensi absolut untuk mengadili
perkara-perkara pelanggaran hak cipta.
Kedua, pasal tersebut merujuk ke segala perbuatan yang dapat
mengakibatkan ‘ganti rugi.’ Saidin menjelaskan bahwa ketentuan ini tidak dapat
dibaca sendirinya, tetapi harus dibaca dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Perkara mengenai hak
cipta dapat muncul dari suatu perjanjian, seperti sengketa mengenai perjanjian
lisensi, dan dapat pula muncul pula dari ‘undang-undang’ tanpa adanya suatu
perjanjian, dimana itu dapat dikatakan berupa suatu perbuatan melawan hukum

128
Untuk diskusi lengkap mengenai ketentuan pidana dalam UU Hak Cipta, lihat OK
Saidin, Aspek Hukum, hlm. 275-292.
129
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 99 ayat (1)
130
Ibid. Ps. 95 ayat (3)

Universitas Indonesia
40

(PMH) atau sebagai Onrechtmatige Daad.131 Untuk penelitian ini, seperti yang
telah dikatakan sebelumnya di Bab I, Penulis hanya akan fokus terhadap
pelanggaran hak cipta sebagai suatu PMH.
Ketentuan mengenai Perbuatan Melawan Hukum di Indonesia dapat
ditemukan dalam Pasal 1365 KUHPer yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan
yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan
kerugian tersebut.”132 Ini karena dengan melakukan suatu perbuatan yang
mengakibatkan kerugian maka ‘undang-undang’ akan melahirkan suatu perikatan
antara pihak yang melakukan perbuatan merugikan dan pihak yang mengalami
kerugian. Seperti yang ditemukan oleh Hoge Raad Belanda dalam perkara
Lindenbaum v. Cohen, konsep ‘PMH’ harus ditafsirkan secara luas, mencakup
pelanggaran undang-undang atau sesuatu hak, serta perbuatan yang berlawanan
dengan “kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap
pribadi atau benda orang lain.”133
Dalam konteks pelanggaran Hak Cipta, dengan adanya ketentuan dalam UU
yang memberikan hak-hak khusus dan eksklusif terhadap Pencipta atau Pemilik
Hak Cipta, maka pelanggaran-pelanggaran hak-hak tersebut akan melahirkan
perikatan antara pihak yang melanggar hak cipta dengan pencipta atau pemilik hak
cipta, yaitu untuk mengganti kerugian yang dialami oleh Pencipta atau Pemilik Hak
Cipta. Dengan ini, dapat dikategorikan sebagai suatu pelanggaran hak cipta dapat
dikategorikan sebagai PMH.
Selain hal-hal ini ada ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku dalam
sengketa hak cipta dihadapan Pengadilan Niaga sebagaimana diatur dalam UU Hak
Cipta. Pertama, UU Hak Cipta menjelaskan bahwa gugatan ganti rugi dalam UU
Hak Cipta dapat berupa permintaan kepada pihak yang melanggar hak cipta untuk
menyerahkan penghasilan yang diperoleh dari pelanggaran hak cipta kepada

131
OK Saidin, Aspek Hukum, Hlm. 265-268
132
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Balai Pustaka, 2009), Ps. 1365
133
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Pertada, Cet. 31, (Jakarta: Intermasa, 2003) Hlm. 133

Universitas Indonesia
41

pencipta atau pemilik hak cipta.134 Kedua, Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dapat
memohon Pengadilan Niaga mengeluarkan putusan sela untuk meminta penyitaan
karya atau ciptaan yang berupa hasil pelanggaran serta menghentikan kegiatan
pengumuman atau pendistribusian karya atau ciptaan yang juga berupa hasil
pelanggaran hak cipta.135

C. Asas-Asas Hukum yang Berlaku


Seperti yang diuraikan sebelum, Penelitian ini memfokuskan untuk mencari
asas-asas hukum yang berlaku atau applicable law terhadap pelanggaran hak cipta
sebagai suatu PMH. Oleh sebab itu, Penulis menilai penting untuk membahas
tujuan dari peraturan tentang hukum yang berlaku serta asas-asas hukum yang
berlaku yang berlaku pada PMH secara umum.

1. Tujuan Asas-Asas Hukum yang Berlaku


Tujuan-tujuan diperlukan teori-teori mengenai hukum yang berlaku ada
beberapa yang sering kali disebut oleh pakar hukum. Poin ini sangat perlu
dipahami, agar saat mengevaluasi ketentuan-ketentuan HPI satu dan lainnya
berdasarkan efektifitas atau utilitas, dapat suatu gambaran jelas apa tujuan dari
dibuat aturan-aturan HPI tertentu. Mengenai hal ini akan tetapi, berbagai negara
tentu memiliki pemahaman dan pendekatan yang berbeda-beda. Penulis akan
membahas berbagai konsepsi yang ada mengenai soal ini.
Titik berangkat untuk pembahasan ini harus mulai dari paling awal, dari apa
yang dikatakan oleh Torremans sebagai raison d’etre dari bidang HPI itu sendiri,
yaitu fakta bahwa di dunia terdapat berbagai negara masing-masing dengan sistem
hukum domestik yang berbeda, dengan peraturan yang dapat sangat berbeda antara
satu dan lainnya.136 Suatu negara terkadang akan dihadapi dengan persoalan-
persoalan yang memiliki unsur-unsur asing, sehingga memerlukan untuk
mempertimbangkan ketentuan hukum asing. Sebenarnya, sebagai negara berdaulat,
bisa saja suatu negara menolak untuk mempertimbangkan segala hukum selain

134
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 99 ayat (3)
135
Ibid. Ps. 99 ayat (4)
136
Torremans et al., Cheshire, hlm. 3

Universitas Indonesia
42

hukum negara tersebut itu sendiri. Akan tetapi, terdapat alasan-alasan mengapa
suatu sikap sebagiknya dihindar.
Torreman menguraikan alasan mengapa dalam kasus yang melibatkan unsur-
unsur asing, terkadang ketentuan hukum asing harus dipertimbangkan. Terutama,
karena sikap yang menggunakan lex fori pada setiap saat dapat menghasilkan
ketidakadilan. Torreman memberi contoh kasus dimana seorang janda di Inggris
bilang saja harus membuktikan bahwa seseorang yang telah meninggal adalah
suaminya. Seandainya pernikahan antara mereka ternyata dilaksanakan di luar
negeri dengan cara formal yang mungkin saja tidak sesuai dengan ketentuan
Hukum Inggris, sehingga membuka kemungkinan bahwa pernikahan mereka tidak
akan diakui oleh Inggris. Suatu hasil seperti demikian jelas sangat tidak adil. Untuk
menghindari hal tersebut, maka negara harus mempertimbangkan hukum asing.
Torreman menyatakan bahwa “The fact is, of course, that the application of foreign
law… merely derives from a desire to do justice”137
Namun bagaimana pula mencapai ‘justice’ atau ‘keadilan’ dalam semua
kasus. Jawaban yang dikemukakan tentu berbeda-beda antara zaman dan tempat.
Melihat dari sejarah teori-teori HPI, berbagai pendekatan telah diadopsi. Konsepsi
HPI yang digunakan sekarang di Indonesia dan juga di Eropa masih berdasarkan
teori ‘alokasi’ yang pertama dikemukakan oleh Von Sauvigny. Premis utamanya
adalah bahwa segala hubungan hukum dapat dibagikan kedalam suatu kategori, lalu
dengan diidentifikasikan titik pertalian yang sesuai, maka dapat ditemukan hukum
yang berlaku untuk mengatur suatu isu dapat ditemukan.138
Van Eechoud menyatakan bahwa dalam pemahaman tradisionalnya, tujuan
dari teori alokasi yang sering disebut adalah decisional harmony. Secara sederhana,
jika semua negara menggunakan asas-asas HPI yang sama, maka semua sengketa
akan diselesaikan dengan hukum substansi yang sama, terlepas dimana suatu
sengketa didengarkan atau tempat sengketa muncul. Secara teori, pendekatan ini
dapat memenuhi tiga tujuan: 1. Memberi Kepastian Hukum, 2. Mengurangi praktek

137
Ibid. hlm. 3-4
138
Van Eechoud. Choice of Law, Hlm. 16; Untuk diskusi lengkap mengenai sejarah HPI di
dunia dan Indonesia, lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid I Buku
Ke-1, cet. 7, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm. 159-213

Universitas Indonesia
43

forum shopping dan 3. Mencegah adanya limping relationship.139 Masing-masing


dari aspek ini patut untuk dijelaskan lebih lanjut.
Pertama, Kepastian Hukum adalah suatu tujuan dari hukum pada umumnya,
dan tentu bagi HPI juga harus memberi kepastian. Adanya suatu unsur asing dalam
perkara membuatnya sulit untuk selalu mengetahui hukum mana yang berlaku
dalam suatu perkara. Dengan adanya peraturan-peraturan HPI, para pihak dapat
mengetahui, tanpa perlu litigasi, stetsel hukum manakah yang akan mengatur
hubungan antara mereka.
Kedua, HPI dapat mencegah praktek forum shopping. Dengan ketentuan-
ketentuan hukum yang berbeda antara negara, jika dalam suatu perkara berbagai
pengadilan memiliki kompetensi untuk mengadilinya, maka munculah upaya-
upaya penggugat untuk memanfaatkan fakta ini dan sengaja memilih yurisdiksi dan
hukum yang paling menguntungkan penggugat. Secara teori, jika semua yurisdiksi
memiliki peraturan HPI yang sama, maka hukum substansi yang sama akan
mengatur perkara, terlepas dimana gugatan diajukan. Oleh sebab itu, diharapkan
bahwa peraturan-peraturan HPI akan mencegah praktek ini.
Ketiga, HPI dapat mencegah limping legal relationships. Van Eechoud
menyatakan bahwa “Relationships ‘limp’ whenever the legal position of parties
varies when considered from the viewpoint of different legal systems.”140 Suatu
contoh fenomena ini muncul sebagai contoh, jika seorang anak luar kawin berhak
mendapatkan warisan menurut suatu sistem hukum, tetapi dilihat dari sistem hukum
lainnya, anak tersebut tidak memiliki hak sama sekali atas warisan. Jika semua
negara memiliki ketentuan HPI yang sama, maka situasi-situasi seperti sebelum
dapat dihindar.
Hal ini serupa dengan pendapat Soedargo Gautama, yang berpendapat bahwa
tujuan dari HPI harus untuk mendukung Entscheidungsharmonie atau decisional
harmony, dimana perbedaan-perbedaan antara sistem hukum tidak menghambat
hubungan hukum apapun, walaupun hubungan tersebut terjadi antara batasan
wilayah. Dengan ini, kepastian hukum dalam berhubungan hukum secara
internasional dapat dipastikan. Namun, Gautama juga menekankan bahwa

139
Van Eechoud. Choice of Law, Hlm. 16-20
140
Ibid. hlm. 18

Universitas Indonesia
44

diperlukan juga fleksibilitas dalam perkembangan HPI, yang dia namakan sebagai
pelembutan hukum. Gautama juga menekankan bahwa penggunaan hukum asing
melalui HPI dapat dikecualikan atas dasar ketertiban umum jika penggunaan
hukum asing secara jelas bertentangan dengan nilai-nilai seorang hakim. Dalam
konteks Indonesia, hal ini dapat dilihat dengan merujuk ke UUD 1945 dan
Pancasila.141
Namun seperti yang Van Eechoud sendiri menyatakan, decisional harmony
hanya berupa ideal, dan sulit sekali untuk dicapai. Masing-masing negara tidak
akan menyepakati ketentuan HPI yang sama, karena masing-masing negara
memiliki konsepsi yang berbeda mengenai apa yang termasuk hukum privat dan
publik. Kalaupun semua negara mengadopsi peraturan yang sama, tidak mungkin
pula bahwa semua peraturan akan diinterpretasikan secara seragam, terutama jika
tidak ada satu badan dengan otoritas tertinggi untuk melakukan interpretasi.
Ditambah lagi, tidak semua negara mengadopsi teori alokasi sebagai metode
memilih hukum yang berlaku, seperti di Amerika Serikat.142
Pendekatan teori alokasi yang klasik pun mendapat kritikan sebab sering kali
terlalu kaku, dengan mengasumsi bahwa semua sistem hukum itu valid, sehingga
hukum yang berlaku yang berlaku tidak dapat ditentukan dengan
mempertimbangkan hukum mana yang akan memberi keadilan dalam perkara yang
sedang dihadapi. Inilah perdebatan antara konsepsi HPI yang lebih mementingkan
conflicts-justice, konsepsi yang mementingkan mencari sistem hukum mana yang
lebih dekat dengan suatu perkara, atau material-justice, yang mementingkan hukum
mana yang lebih memberi keadilan bagi para pihak yang sedang berperkara.143 Oleh
sebab itu, terkadang peraturan-peraturan HPI modern telah diubah untuk
merefleksikan keperluan adanya substantive justice antara pihak berperkara. Inilah

141
Tiruma M. Pitta Allagan, “The Objectives of Indonesian Private International Law,”
dalam Culture and International Law, eds. Hikmahanto Juwana et al., (London: Taylor & Francis
Group, 2019), Hlm. 15-16
142
Van Eechoud. Choice of Law, hlm. 20; Amerika Serikat menggunakan pendekatan
berbeda dibanding pendekatan alokasi yang digunakan di Eropa dan Indonesia, untuk diskusi
lengkap lihat Torremans et al., Cheshire, hlm. 24-33; lihat pula Gautama, Hukum Perdata
Internasional Indonesia Jilid I Buku Ke-1, hlm. 174-175
143
Untuk diskusi lengkap mengenai perdebatan antara konsepsi HPI conflicts-justice dan
material-justice, lihat Roxana Banu, “Conflicting Justice in Conflict of Laws” Vanderbilt Journal
of Transnational Law 53 No. 2 (2020) hlm. 461-523

Universitas Indonesia
45

yang mendorong berkembangnya doktrin seperti ketertiban umum dan


seterusnya.144
Di Indonesia, pendapat seperti ini juga diutarakan oleh Wirjojo Prodjodikoro.
Prodjodikoro berpendapat bahwa tujuan terutama dari HPI harus untuk
memberikan keadilan bagi para pihak dalam suatu perkara, dan juga masyarakat
lebih luas. Keadilan harus dipasang sebagai dasar untuk seluruh kaedah dan sistem
HPI. Menurut Prodjodikoro, HPI akan menjadi terlalu kaku jika fungsinya hanya
sekedar untuk mencari applicable law dalam dalam suatu perkara. Dia menekankan
tujuan HPI untuk memberikan keadilan bagi kedua pihak dalam suatu perkara,
walaupun untuk melakukan demikian hakim perlu menggunakan diskresi atau
harus melakukan penemuan hukum baru (rechtsvinding).145
Secara keseluruhan, Penulis berpendapat bahwa pendekatan yang tepat
adalah suatu peraturan yang dapat mempertimbangkan semua ini. Walaupun hal-
hal ini hanya berupa ideal yang tidak mungkin dicapai, dalam menilai ketentuan-
ketentuan mengenai applicable law harus tetap mencari suatu konsepsi yang dapat
mempertimbangkan dan mencari titik seimbang antara segala tujuan-tujuan ini.
Aturan harus cukup jelas dan pasti untuk memberi kepastian hukum, dapat
mencegah fenomena forum shopping dan limping legal relationships, tetapi tetap
memberikan substantive justice kepada para pihak dan memenuhi kepentingan
publik pula. Hal ini harus diperhatikan dalam diskusi selanjutnya.

2. Hukum yang Berlaku dalam PMH secara Umum di Indonesia


Untuk PMH pada umumnya berbagai negara menganut berbagai ketentuan
untuk menentukan hukum mana yang berlaku atas suatu PMH. Di Indonesia, seperti
banyak negara lain, asas HPI yang paling diterima untuk mencari applicable law
suatu PMH adalah lex loci delicti commissi yang berarti bahwa hukum yang berlaku
atas suatu PMH adalah hukum dari tempat dimana tindakan yang berupa PMH
dilakukan.146 Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 18 Algemene Bepalingen
atau AB yang menyatakan bahwa “Bentuk tiap tindakan hukum akan diputus oleh

144
Van Eechoud. Choice of Law, Hlm. 23
145
Allagan, “Objectives,” Hlm. 13-14.
146
Kusumadara, Indonesian Private International Law, hlm. 119

Universitas Indonesia
46

pengadilan menurut perundang-undangan dari negeri atau tempat, di mana


tindakan hukum itu dilakukan”147 yang memuatkan asas umum locus regit actum,
yang berarti bahwa suatu tindakan hukum diatur oleh tempat dimana perbuatan
terjadi atau dilakukan. Perlu ditekankan bahwa dengan pendekatan ini, locus atau
tempat terjadinya PMH dilihat dari tempat dimana perbuatan dilakukan, dan bukan
tempat dimana dampak dari PMH dirasakan.148
Ada beberapa alasan lex loci delicti comissi menjadi doktrin yang dianut di
Indonesia. Gautama menjelaskan bahwa kaidah lex loci delicti “merupakan kaidah
yang tertua dan umum diterima sejak lama tanpa menemukan tantangan sedikit
pun.”149 Gautama menjelaskan bahwa memang ada banyak keunggulan dari asas
ini. Pertama, dengan menggunakan lex loci delicti menjadi mudah menemukan
hukum yang mengatur suatu perkara. Di mana suatu peristiwa terjadi, hukum dari
tempat yang bersangkutan yang digunakan, setidak-tidaknya dalam kasus dimana
locus suatu kejadian mudah ditentukan. Kedua, kaidah ini memenuhi ekspektasi
masyarakat luas bahwa semua orang yang hidup dalam negara tertentu dan
bermasyarakat di negara tersebut akan patuh terhadap semua norma tata tertib di
negara tersebut. Ketiga, kepentingan-kepentingan sosial dari negara dimana suatu
PMH terjadi diperhatikan, sehingga orang-orang secara preventif dapat diingatkan
untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan hukum. Keempat, jika
asas ini diterima oleh semua pengadilan, maka decisional harmony dapat dicapai.150
Namun, ini tidak berarti penggunaan kaidah ini tidak tanpa kekurangan.
Gautama juga menjelaskan bahwa sebagai akibat kesederhanaan kaidah lex loci
delicti sebagai suatu ‘hard and fast rule’ maka ketentuan ini tidak sensitif ataupun
memperhatikan keunikan dari fakta-fakta tiap kasus, dimana penggunaan lex loci
delicti belum tentu sesuai atau memenuhi rasa keadilan dari semua pihak.151

147
Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie, [Peraturan Umum Mengenai
Perundang-Undangan Untuk Indonesia] Staatsblad No. 23 Tahun 1847, Ps. 18
148
Kusumadara, Indonesian Private International Law, hlm. 119
149
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid III Bagian 2 Buku ke-
8, ed. 1, cet. 6, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 119-120
150
Ibid. hlm. 122-124
151
Ibid. hlm. 125

Universitas Indonesia
47

Selain itu, dalam kasus-kasus tertentu, termasuk pelanggaran hak cipta di


dunia modern dengan adanya teknologi Internet, terkadang sangat sukar mencari
locus dari suatu kejadian.152 Dalam kasus seperti ini, Gautama memaparkan empat
pendekatan yang dapat diambil untuk menentukan locus. Pertama, dapat
menggunakan tempat dimana terjadi kerugian, seperti yang digunakan di Amerika
Serikat. Kedua, dapat melihat tempat perbuatan dilakukan, seperti di Eropa
Kontinental. Ketiga, dapat dilakukan kombinasi, dimana sang korban memilih
hukum manakah yang dia lebih suka dari kedua tempat tersebut; pendekatan ini
digunakan di Jerman. Dapat dilakukan pula dengan cara ‘most characteristic
connection’ dimana untuk tiap macam PMH, ditentukan cara untuk
‘melokalisasinya’ agar dapat ditemukan locus dari suatu tempat.153
Penggunaan lex loci delicti di Indonesia sudah dapat dilihat dari berbagai
yurisprudensi dari pengadilan-pengadilan di Indonesia. Gautama mencatat tiga
kasus yang terjadi di Indonesia dimana lex loci delicti digunakan. Pertama, dalam
Yurisprudensi Putusan Pengadilan T. 141, 486 Hooggereschshof, tertanggal 14
Februari 1935, dimana terjadi perkara antara Ford Motor Company of Canada Ltd.
melawan seorang tukang reparasi yang tinggal di Jakarta yang tanpa izin
menggunakan merek “Ford.” Dalam perkara tersebut, hakim dalam
pertimbangannya menggunakan hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Kedua,
dalam Yurisprudensi Putusan Pengadilan T.153/268 Hooggereschshof, tertanggal
8 Agustus 1940, dimana seorang India dari Singapura menggugat seorang India
bernama Sjechmaidin Radjamaidin Kithei Mohamad Maricar yang berasal dari
Palembang karena dituduh melakukan peniruan pencetakan Al-Qur’an. Dalam
perkara tersebut, ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia yang digunakan untuk
menyelsaikan perkara. Terakhir, dalam Yurisprudensi Putusan Pengadilan T.
146/546 Hoogereschshof, tertanggal 23 September 1937, yang melibatkan
perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Amerika Serikat bernama The
United States Rubber Export Company. Perusahaan tersebut dituduh telah membuat
laporan palsu tentang terjadinya suatu penggelapan. Dalam perkara tersebut, hukum

152
Ibid. hlm. 128
153
Ibid. Hlm. 191-197

Universitas Indonesia
48

Indonesia pula yang digunakan untuk menyelsaikan kasus, sesuai dengan lex loci
delicti.154
Walaupun terdapat yurisprudensi-yurisprudensi tersebut, dalam praktik
pengadilan Indonesia modern, terkadang asas HPI ini tidak selalu diikuti.
Kusumadara menjelaskan bahwa pengadilan Indonesia dalam prakteknya sering
kali lebih menggunakan lex fori dibanding dengan lex loci delicti comissi untuk
menyelsaikan perkara-perkara PMH dengan unsur-unsur asing. Kusumadara
menyebutkan dua faktor yang mungkin mendorong praktek ini. Pertama,
pengadilan Indonesia sering kali membandingkan ketentuan PMH dengan hukum
publik Indonesia, yang dapat mempengaruhi Pengadilan untuk lebih menggunakan
asas lex fori. Kedua adalah ketentuan dalam Pasal 431 Reglement op de
Rechtvordering atau Rv yang pada intinya menyatakan bahwa keputusan
condemnatoir yang dibuat oleh pengadilan Indonesia hanya dapatkan dilaksanakan
di Indonesia. Kusumadara menyatakan bahwa hak ini mempengaruhi hakim
Indonesia, karena mereka akan berasumsi bahwa keputusan-keputusan mereka
hanya dapat dilaksanakan di Indonesia.155 Kecenderungan ini juga terlihat dalam
perkara pelanggaran hak cipta, yang akan dibahas dalam Bab IV.

154
Ibid. hlm. 140-142
155
Kusumadara, Indonesian Private International Law. Hlm. 120

Universitas Indonesia
49

BAB III
PENERAPAN ASAS-ASAS TENTANG HUKUM YANG BERLAKU
DALAM PASAL 5 AYAT (2) KONVENSI BERNE DALAM PERKARA
PELANGGARAN HAK CIPTA

Seperti yang sebelumnya dikatakan, ketentuan mengenai applicable law


dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne sering dianggap multi-tafsir. Terdapat
berbagai pendapat mengenai arti dan ruang lingkup dari ketentuan-ketentuan Pasal
5 ayat (2) Konvensi Berne, khususnya kalimat ketiga dari Pasal tersebut yang
menyatakan:
…Consequently, apart from the provisions of this Convention, the extent of
protection, as well as the means of redress afforded to the author to protect
his rights, shall be governed exclusively by the laws of the country where
protection is claimed.156
Arti dari kalimat tersebut, serta isu-isu lain yang berhubungan dengan asas-asas
tentang hukum yang berlaku yang dituangkan dalam pasal tersebut akan menjadi
fokus dalam pembahasan bab ini.
Bagian pertama dari bab ini akan membahas suatu isu preliminary, yaitu
hubungan antara asas national treatment dalam Pasal 5 ayat (1) Konvensi Berne
dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Ini karena beberapa penulis
berpandangan bahwa asas national treatment dengan sendirinya mengimplikasikan
suatu peraturan mengenai hukum yang berlaku. Bagian ini akan membahas
mengenai pandangan-pendapat semacam ini.
Bagian kedua dari bab ini akan membahas mengenai penafsiran pasal ini
menurut berbagai ahli. Secara garis besar, terdapat empat macam penafsiran Pasal
5 ayat (2) Konvensi Berne, sehingga pembahasan dalam bagian ini akan dibagi
sesuai dengan empat macam penafsiran tersebut. Interpretasi pertama yang akan
dibahas adalah yang Penulis memberikan nama penafsiran atau interpretasi ‘non-
conflicts rule.’ Istilah tersebut merujuk kepada penafsiran-penafsiran yang
memandang bahwa Pasal 5 ayat (2) ataupun Konvensi Berne tidak menganut suatu
ketentuan hukum yang berlaku atau conflicts rule tertentu. Interpretasi kedua yang

156
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (2)

Universitas Indonesia
50

akan dibahas adalah interpretasi lex fori, pandangan bahwa hukum dari forum yang
mengadili suatu perkara adalah yang berlaku atas sebagian atau seluruh aspek
perlindungan hak cipta. Interpretasi ketiga yang akan dibahas adalah interpretasi
lex origianis atau pandangan bahwa hukum dari country of origin suatu karya yang
seharusnya mengatur sebagian atau seluruh aspek perlindungan hak cipta. Terakhir,
akan dibahas interpretasi lex loci delicti atau interpretasi bahwa hukum dari tempat
dimana pelanggaran hak cipta terjadi harusnya mengatur sebagian atau seluruh
aspek dari perlindungan hak cipta. Sebenarnya, pandangan-pandangan mengenai
isu ini sangat beragam. Beberapa pandangan berpendapat bahwa untuk aspek-aspek
berbeda dari hak cipta, perlu juga asas HPI yang berbeda. Namun, untuk efisiensi
penulisan, maka diskusi dalam bagian ini akan dibagi menjadi empat pandangan
tersebut. Dari tiap interpretasi, akan dibahas antara lain: alasan-alasan untuk
mendukung suatu interpretasi serta keunggulan dan kelemahan dari masing-masing
interpretasi. Suatu kesimpulan mengenai penafsiran Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne akan mengakhiri bagian pertama.
Bagian ketiga dari bab ini akan membahas praktek-praktek nasional dari
berbagai negara mengenai bagaimana negara-negara tersebut memahami dan
menerapkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, dengan memperhatikan
yurisprudensi serta ketentuan perundang-undangan dalam masing-masing negara.
Bagian ini juga diakhiri dengan suatu kesimpulan mengenai pembahasan dalam
Bagian ketiga.
Bab ketiga ini akan lalu akan diakhiri dengan bagian terakhir yang akan
menyimpulkan seluruh pembahasan dalam bab ini.

A. Hukum yang Berlaku dan Asas National Treatment


Sebelum membahas mengenai interpretasi Pasal 5 ayat (2), perlu dijelaskan
signifikansi dari asas national treatment terhadap asas-asas tentang hukum yang
berlaku yang berlaku dalam perkara pelanggaran hak cipta. Pasal 5 ayat (1)
Konvensi Berne menjelaskan, suatu negara harus memberlakukan pemegang hak
cipta asing sama seperti pemegang hak cipta yang berasal dari negara itu sendiri.157

157
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (1) “Authors
shall enjoy, in respect of works for which they are protected under this Convention, in countries of
the Union other than the country of origin, the rights which their respective laws do now or may

Universitas Indonesia
51

Terdapat berbagai pendapat mengenai bagaimana asas national treatment ini


mempengaruhi applicable law.
Beberapa penulis mencoba untuk menyimpulkan adanya suatu kaidah HPI
dari asas national treatment. Beberapa menginterpretasikan bahwa sebagai akibat
asas national treatment, maka suatu negara harus menggunakan suatu ketentuan
hukum yang berlaku berdasarkan lex fori ataupun lex loci delicti, tergantung dengan
penulisnya. Karena kewajiban inti dari asas national treatment adalah non-
diskriminasi antara pemegang hak cipta asing dan domestik, maka beberapa penulis
pendapat bahwa cara satu-satunya untuk memastikan kewajiban tersebut terpenuhi
adalah dengan mengaplikasikan hukum domestik terhadap semua pemegang hak
cipta asing, suatu pendekatan yang mengakibatkan penerapan lex fori terhadap
suatu kasus.158 Hal ini dianggap menjadi syarat yang perlu dilakukan untuk
memastikan bahwa diskriminasi tidak terjadi antara pemegang hak cipta asing dan
domestik, sesuai dengan asas national treatment. Ada pula yang berpendapat bahwa
asas national treatment secara konsekuen mewajibkan agar negara menggunakan
hukum dari tempat dimana pelanggaran terjadi atau lex loci delicti.159
Namun, pendekatan ini juga dijumpai oleh banyak kritikan, karena dianggap
berupa kesalahpahaman dari asas national treatment. Seperti yang dikatakan oleh
United States Court of Appeals dalam kasus Itar-Tass Russian News Agency v.
Russian Kurier, Inc, sebenarnya asas national treatment bukannya suatu kaedah
HPI, karena itu tidak memerintahkan penggunaan hukum dari negara manapun.
National Treatment hanya mewajibkan bahwa negara memperlakukan pemegang

hereafter grant to their nationals, as well as the rights specially granted by this Convention”; Lihat
pembahasan dalam hlm. 26-28 karya ini untuk penjelasan lengkap mengenai asas national
treatment.
158
Pendapat seperti ini diutarakan oleh Stewart, lihat Stephen M. Stewart, International
Copyrights and Neighboring Rights, (London: Butterworths, 1983), hlm. 38-39.
159
Pendapat seperti ini diutarakan oleh United States Court of Appeal, Ninth Circuit, lihat
United States Court of Appeal Ninth Circuit, Subafilms, Ltd. v. MGM-Pathe Communications Co.
24 F.3d 1088 (9th Cir. 1994), hlm. 1097 “it is commonly acknowledged that the national treatment
principle implicates a rule of territoriality… The applicable law is the copyright law of the state in
which the infringement occurred, not that of the state of which the author is a national or in which
the work was first published.”

Universitas Indonesia
52

hak cipta asing dan domestik sama. Menurut mereka, terlepas apakah hukum hak
cipta Amerika Serikat memerintahkan penggunaan hukum asing atau domestik
untuk menyelesaikan suatu isu, selama ruang lingkup perlindungan hak ciapa dapat
diberikan secara sama kepada pemegang hak cipta asing maupun domestik, maka
ketentuan national treatment tidak dilanggar.160 Van Eechoud juga berpendapat
bahwa asas national treatment sebenarnya adalah suatu ketentuan yang
berhubungan dengan law of aliens dan bukan masalah appliable law. Menurut dia,
terlepas dari ketentuan applicable law yang digunakan oleh suatu negara, selama
ketentuan tersebut diaplikasikan secara sama kepada pemegang hak cipta asing
maupun domestik, maka asas national treatment tidak dilanggar.161
Pendapat bahwa asas national treatment tidak dengan sendirinya
mengandung suatu asas appliable law sebenarnya berupa pendapat dari mayoritas
ahli, akan tetapi, ini bukan berarti bahwa asas national treatment tidak berdampak
dengan permasalahan-permasalahan applicable law. Fentiman berpendapat bahwa
asas national treatment memiliki fungsi utama yang di luar dari permasalahan
applicable law. Fungsi utama dari asas applicable law dalam Konvensi Berne
adalah untuk menentukan ruang lingkup perlindungan hak cipta dalam hukum
domestik masing-masing negara pihak dengan memastikan bahwa ruang lingkup
perlindungan yang diberikan kepada pemegang hak cipta asing sama sebagaimana
yang diberikan kepada pemegang hak cipta domestik. Menurut Fentiman, walaupun
asas ini tidak memberikan suatu ketentuan applicable law yang dapat digunakan,
ketentuan ini secara implisit mengecualikan penggunaan asas lex origianis, karena
penggunaan lex origianis untuk mengatur hal-hal dalam cakupan Konvensi Berne
dapat mengakibatkan perlakuan diskriminatif antara pemegang hak cipta asing dan
domestik, hanya karena nasionalitas dari pemegang hak cipta dalam suatu perkara.

160
United States Court of Appeal Second Circuit, Itar-Tass Russian News v. Russian
Kurier Itar-Tass Russian News v. Russian Kurier, 153 F.3d 82 (2d Cir. 1998), hlm. 89 “We agree
with the view of the Amicus that the Convention's principle of national treatment simply assures that
if the law of the country of infringement applies to the scope of substantive copyright protection,
that law will be applied uniformly to foreign and domestic authors” dan footnote 9 “…the principle
of national treatment is really not a conflicts rule at all; it does not direct application of the law of
any country. It simply requires that the country in which protection is claimed must treat foreign
and domestic authors alike…”
161
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 107 “I agree with this interpretation of the national
treatment principle, but would not even call it a limited choice-of-law rule. Rather, national
treatment is a ‘mere’ non-discrimination rule, belonging to the law of aliens, not choice of law.”

Universitas Indonesia
53

Hal ini dapat terjadi apabila pemegang hak cipta berasal dari negara yang memiliki
ruang linkup perlindungan hak cipta yang lebih sempit dibanding negara forum
dalam suatu perkara. Dalam kata lain, asas national treatment, menurut Fentiman,
memiliki fungsi negatif dalam menemukan applicable law yang berlaku dalam
suatu perkara, tidak memberikan suatu ketentuan applicable law yang berlaku
dalam suatu perkara, tetapi mengecualikan beberapa metode penentuan applicable
law, terutama lex origianis.162
Hal terakhir ini perlu diperhatikan, karena dapat berdampak terhadap
penafsiran ketentuan-ketentuan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne. Asas national
treatment dapat saja membatasi penafsiran Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne yang
dapat diambil, terutama penafsiran-penafsiran yang menggunakan lex origianis.
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa walaupun asas national treatment tidak
menjawab pertanyaan apa ketentuan hukum yang berlaku yang harus digunakan,
akan tetapi dapat mengecualikan beberapa penafsiran ketentuan hukum yang
berlaku yang mungkin saja dapat digunakan.

B. Berbagai Penafsiran tentang Hukum yang Berlaku dalam Pasal 5 ayat


(2) Konvensi Berne
Kebanyakan diskusi mengenai ketentuan hukum yang berlaku dalam
Konvensi Berne tergantung mengenai penafsiran dengan ketentuan dari kalimat ke-
tiga dari Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne. Teks lengkap dari pasal ini menyatakan
bahwa:163
“The enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject to any
formality; such enjoyment and such exercise shall be independent of the
existence of protection in the country of origin of the work. Consequently,
apart from the provisions of this Convention, the extent of protection, as well
as the means of redress afforded to the author to protect his rights, shall be
governed exclusively by the laws of the country where protection is claimed.”
Seperti dikatakan oleh Dinwoodie, ketentuan ini telah menimbulkan
perdebatan ratusan tahun mengenai bagaimana untuk menafsirkan ketentuan

162
Richard Fentiman, “Choice of Law and Intellectual Property” dalam Intellectual
Property and Private International Law – Heading for the Future, ed. Josef Drexl dan Anette Kur
(Portland: Hart Publishing, 2005), hlm. 133-137
163
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (2)

Universitas Indonesia
54

tersebut.164 Berbagai penafsiran telah muncul yang saling berbeda dan saling
bertentangan. Penulis dalam bagian ini akan menjelaskan beberapa interpretasi atau
penafsiran yang banyak diajukan oleh berbagai ahli. Seperti dikatakan dalam Bab
I, penulis tidak berharap dapat menyelesaikan secara definitif perdebatan yang telah
muncul. Akan tetapi, penulis hanya akan memberi suatu gambaran perdebatan yang
ditemukan dalam literatur, lalu memberikan pendapat dari penulis sendiri mengenai
keunggulan dan kekurangan masing-masing penafsiran.

1. Penafsiran Non-Conflicts Rule


Interpretasi pertama dari Pasal 5 ayat (2) yang dapat ditemukan adalah
penafsiran yang penulis namakan sebagai non-conflicts rule interpretation (istilah
dibuat oleh penulis sendiri), yang menunjuk kepada semua interpretasi dari Pasal 5
ayat (2) yang tidak melihat adanya suatu ketentuan tentang hukum yang berlaku
apapun dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne. Menurut pandangan-pandangan ini,
ketentuan Pasal 5 ayat (2) tidak mewajibkan bahwa negara-negara pihak harus
menggunakan suatu pendekatan khusus dalam menyelesaikan permasalahan-
permasalahan applicable law dalam perkara-perkara hak cipta.
Penafsiran semacam ini dapat didukung pendekatan tekstual. Pandangan
semacam ini dapat diilustrasikan dalam perkara Pearce v Ove Arup Partnership Ltd
(Jurisdiction) yang diadili oleh English and Wales Court of Appeal. Dalam perkara
tersebut, pengadilan melakukan penafsirkan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, dan
sepertinya berpendapat bahwa kata ‘where protection is claimed’ dalam Pasal 5
ayat (2) merujuk kepada lex fori suatu negara. Akan tetapi, mereka juga
berpendapat bahwa saat pasal tersebut menyatakan bahwa perlindungan hak cipta
‘shall be governed exclusively by the laws of the country where protection is
claimed,’ itu merujuk kepada seluruh ketentuan hukum yang berlaku di negara
‘where protection is claimed’, termasuk kaidah-kaidah HPI yang dianut oleh negara
tersebut.165 Menurut penafsiran semacam ini, fungsi dari Pasal 5 ayat (2) hanya

164
Dinwoodie, “Developing,” Hlm. 718
165
English and Wales Court of Appeal, Pearce v Ove Arup Partnership Ltd. (Jurisdiction)
[2000] Ch.403, hlm. 442 “The protection is claimed in the country in which the proceedings are
brought. Article 5(2) requires that the extent of the protection to be afforded is governed by the laws
of that country. There is, of course, no reason to assume that the laws of that country do not include
its own rules of private international law. What article 5(2) does, in our view, is to leave it to the

Universitas Indonesia
55

untuk menegaskan bahwa selain ketentuan Konvensi Berne, hanya ketentuan-


ketentuan lex fori yang berlaku untuk mengatur perlindungan hak cipta, suatu
penegasan dari prinsip independence of protection yang diatur dalam Konvensi
Berne. Tetapi, penunjukan ini tidak hanya merujuk kepada kaidah hukum intern
dari suatu negara pihak, tetapi seluruh kaidah hukum dari negara tersebut, termasuk
kaidah-kaidah HPI negara tersebut. Sebagai konsekuensi, negara masih memiliki
keleluasaan untuk menggunakan kaidah-kaidah HPI yang negara tersebut merasa
tepat untuk digunakan, karena Konvensi Berne tidak mewajibkan negara untuk
menggunakan pendekatan tertentu dalam menentukan hukum yang berlaku yang
harus digunakan untuk menyelesaikan perkara.
Seperti yang dapat dilihat, permasalahan apakah pendekatan ini tepat atau
tidak sebenarnya adalah permasalahan kualifikasi, jika gunakan peristilahan yang
umum dalam HPI.166 Saat Pasal 5 ayat (2) merujuk kepada ‘laws of the country
where protection is claimed,’ apakah ketentuan tersebut merujuk kepada seluruh
kaidah hukum yang berlaku dalam negara tersebut termasuk kaedah HPI-nya, atau
hanya kaidah hukum intern suatu negara saja? Suatu analogi dapat dibuat dengan
permasalahan renvoi yang dikenal dalam literatur HPI, dimana permasalahan
terletak dengan bagaimana hukum dari suatu negara asing ditafsirkan, apakah
merujuk ke seluruh kaidah hukum yang berlaku (termasuk kaidah HPI) atau hanya
kaidah hukum intern saja?167
Van Eechoud juga berpendapat bahwa Pasal 5 ayat (2) sebenarnya tidak
mengandung suatu ketentuan applicable law, sama seperti pandangan dalam
perkara Pearce v Ove Arup Partnership Ltd., namun kesimpulan ini didapatkan

courts of the country in which the proceedings are brought to decide whether the claim for
protection should be upheld.”
166
Kualifikasi adalah tahap dari analisa HPI saat konsep-konsep dan peristilahan dari suatu
sistem hukum harus ‘diterjemahkan’ atau disalin ke sistem hukum lain. Dalam melakukan hal ini,
fakta-fakta dan juga kaidah-kaidah hukum asing dalam suatu kasus harus ‘dikotak-kotakan’ ke
dalam kategori yang dikenal dalam sistem hukum yang mengadili suatu perkara. Hanya setelah
fakta-fakta dan kaidah hukum asing telah diklasifikasikan, peraturan HPI lainnya dapat diterapkan,
lihat Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet. Ke-6, (Bandung:
Binacipta, 2012), hlm. 119-120
167
Lihat Basuki, Hukum Perdata Internasional, hlm. 4.2-4.3 “

Universitas Indonesia
56

berdasarkan travaux preparatoires dari Konvensi Berne,168 yang memiliki nilai


hukum dalam menginterpretasikan suatu perjanjian internasional seperti Konvensi
Berne sesuai Pasal 32 VCLT, sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya.169
Van Eechoud menjelaskan bahwa pada akhir bab abad ke-19, suatu sistem
perlindungan hak cipta internasional telah muncul yang pada umumnya didasarkan
peraturan mengenai hak cipta dalam negara masing-masing. Peraturan-peraturan ini
dibuat sesuai dengan asas territorial, suatu pemahaman bahwa karena tiap negara
memiliki kedaulatan eksklusif atas wilayahnya, maka tiap negara bebas untuk
mengatur bagaimana perlindungan hak cipta berlaku pada tiap negaranya. Oleh
karena itu, maka perlindungan untuk pemilih hak cipta asing didasarkan oleh
ketentuan-ketentuan khusus dalam peraturan hak cipta masing-masing negara atau
dalam perjanjian-perjanjian bilateral antar negara, dimana masing-masing negara
menyepakati untuk melindungi hak cipta yang berasal dari negara lawan pihak.170
Seringkali perlindungan hak cipta dalam instrumen-instrumen hukum
tersebut tergantung dengan resiprositas, dimana suatu forum hanya akan
melindungi hak milik asing jika negara dari mana hak milik tersebut juga
melindungi hak cipta yang berasal dari negara forum. Klausula semacam ini dapat
ditemukan dalam berbagai perjanjian perlindungan hak cipta bilateral171 maupun
dalam ketentuan hukum domestik dalam berbagai negara pada saat itu.172
Menurut Van Eechoud, Pasal 5 ayat (2) dibuat dengan konteks ini
dibelakangnya. Karena banyak negara menetapkan kewajiban resiprositas dalam
perlindungan hak cipta asing, maka saat Konvensi Berne dibuat, teks Pasal 5 ayat
(2) dirumuskan untuk menegaskan bahwa sesuai dengan asas national treatment
dan independence of protection yang dianut oleh Konvensi Berne, resiprositas tidak
lagi menjadi syarat untuk perlindungan hak cipta asing. Untuk menegaskan poin

168
Untuk pembahasan lengkap mengenai sejarah perlindungan hak cipta internasional
sebelum Konvensi Berne serta konteks yang melatarbelakangi pembuatan Konvensi Berne, lihat
Van Eechoud, Choice of Law, Hlm. 48-76.
169
Lihat Hlm. 19 karya ini untuk pembahasan mengenai penggunaan Travaux
Preparatoires
170
Van Eechoud, Choice of Law, Hlm. 57.
171
Ibid. hlm. 56
172
Ibid. hlm. 50-52

Universitas Indonesia
57

ini, maka dirumuskan pasal 5 ayat (2), dengan teks modern saat ini diusulkan oleh
delegasi dari Swiss. Ketentuan dalam kalimat ketiga Konvensi Berne, menurut Van
Eechoud, tidak dibuat untuk menetapkan suatu ketentuan hukum yang berlaku yang
harus digunakan negara pihak secara seragam, melainkan untuk menegaskan bahwa
resiprositas tidak lagi menjadi syarat perlindungan karena dalam kata Konvensi
Berne, “the extent of protection, as well as the means of redress afforded to the
author to protect his rights, shall be governed exclusively by the laws of the country
where protection is claimed.”173
Jika non-conflicts rule interpretation sebagaimana dijelaskan tepat, maka
beberapa konsekuensi muncul. Konvensi Berne tidak dapat digunakan sebagai
dasar untuk menyelesaikan perkara-perkara mengenai hukum yang berlaku dalam
kasus pelanggaran hak cipta. Jika suatu pengadilan harus menentukan hukum mana
yang berlaku atas suatu pelanggaran hak cipta, pengadilan tidak dapat melihat
Konvensi Berne untuk jawaban atas permasalahan tersebut. Namun, ada
keuntungan juga jika memang interpretasi ini tepat. Karena Konvensi Berne tidak
menetapkan suatu pendekatan seragam yang harus digunakan oleh setiap negara
untuk menyelesaikan, maka setiap negara bebas menentukan sendiri ketentuan
pilihan yang tepat untuk digunakan dalam negara tersebut melalui legislasi ataupun
yurisprudensi negara itu sendiri, yang dapat disesuaikan dengan keadaan atau
pertimbangan negara masing-masing, selama masih sesuai dengan asas national
treatment dan independence of protection yang dianut dalam Konvensi Berne.
Negara bebas untuk menentukan apakah mereka akan menggunakan peraturan HPI
yang berlaku pada umumnya dalam perkara-perkara hak cipta, atau apakah mereka
ingin membuat suatu ketentuan khusus untuk mengatur applicable law yang
berlaku dalam isu hak cipta.
Namun, seandainya interpretasi ini diasumsikan tepat, bukan berarti
pembahasan penafsiran-penafsiran lainnya tidak lagi berguna. Negara masih akan
dihadapi dengan permasalahan-permasalahan applicable law dalam perkara hak
cipta, dan masih harus menentukan ketentuan applicable law yang akan
menggunakan untuk menyelesaikan suatu perkara. Diskusi mengenai keunggulan

173
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 67-70

Universitas Indonesia
58

dan kelemahan dari masing-masing penafsiran lainnya dari Pasal 5 ayat (2) masih
dapat menerangkan permasalahan-permasalahan yang dapat dihadapi oleh
Pengadilan, sekurang-kurangnya mengenai pertimbangan-pertimbangan praktis
dari masing-masing penafsiran dari sisi policy.

2. Penafsiran Lex Fori


Secara prima facie, interpretasi ini dapat dikatakan interpretasi yang paling
sesuai dengan teks Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, jika ditafsirkan secara harfiah.
Menurut penafsiran ini, Pasal 5 ayat (2) dari Konvensi Berne memiliki suatu
ketentuan tentang hukum yang berlaku yang harus digunakan oleh negara-negara
pihak Konvensi Berne saat menghadapi kasus pelanggaran hak cipta dengan unsur
asing, yaitu lex fori atau hukum domestik dari negara forum yang sedang mengadili
suatu perkara.174
Bagi yang memiliki pandangan ini, kalimat dari Pasal 5 ayat 2 yang
menyatakan bahwa perlindungan hak cipta “…shall be governed exclusively by the
laws of the country where protection is claimed” harus dibaca secara harafiah. Kata
‘laws of the country’ hanya merujuk ke hukum intern dari suatu negara, tidak
termasuk kaidah HPI dari negara tersebut. Sedangkan kata ‘country where
protection is claimed’ ditafsirkan sebagai negara forum atau negara yang sedang
mengadili suatu perkara. Sebagai akibat penafsiran ini, hukum yang seharusnya
diterapkan dalam setiap kasus perkara hak cipta adalah lex fori, terlepas nasionalitas
pemegang hak cipta, lokasi dimana pelanggaran hak cipta terjadi, ataupun titik-titik
pertalian lainnya.
Secara praktis, tentu ada keunggulan-keunggulan dengan penggunaan lex
fori. Pertama, penggunaan lex fori meminimalisasikan kesulitan yang dapat
dihadapi saat menentukan applicable law. Jika lex fori selalu berlaku atas perkara
hak cipta, maka suatu analisa mengenai tempat terjadi pelanggaran hak cipta,
negara asas suatu hak cipta, atau nasionalitas pemegang hak cipta tidak perlu untuk
dilakukan. Pendekatan ini dapat menjamin kepastian. Selain itu, seperti yang telah
menjadi pengetahuan umum dalam bidang HPI, biasanya hakim dalam suatu

174
Ibid. Hlm. 103

Universitas Indonesia
59

perkara lebih mengetahui ketentuan lex fori dibandingkan hukum asing, sehingga
dapat meminimalisir terjadinya kesalahan dalam penerapan hukum materiil dalam
suatu perkara.175 Stewart juga berpendapat bahwa penggunaan lex fori lebih
konsisten dengan asas national treatment. Menurut Stewart, karena perjanjian
internasional mengenai hak cipta mengadopsi asas national treatment, dimana
setiap negara pihak harus menjamin pemegang hak cipta asing perlindungan sama
seperti perlindungan bagi warga negara dari negara pihak itu sendiri, maka
pengadilan di negara tersebut hampir selalu mengaplikasikan hukum dari negara itu
sendiri, yaitu lex fori.176
Namun, dalam literatur sebenarnya sedikit ahli atau yurisprudensi di negara-
negara asing yang mengadopsi atau mendukung penafsiran lex fori sebagai tafsiran
Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne ataupun sebagai asas dalam ketentuan HPI
domestik. Kebanyakan dari ahli berpendapat bahwa interpretasi kurang tepat karena
dapat mengakibatkan hasil-hasil aneh, terutama saat pengadilan yang mengadili
suatu perkara tidak berada dilokasi dimana suatu perbuatan melawan hukum
terjadi.177 Sebagai contoh, jika suatu pengadilan negara A memiliki kompetensi atas
suatu pelanggaran hak cipta yang berasal dari negara B dan terjadi di negara C,
menurut interpretasi lex fori, hukum yang berlaku adalah hukum negara A, yang
belum tentu memiliki hubungan lebih dekat dengan perkara dibanding hukum
negara B ataupun C.
Secara praktis, interpretasi ini juga dapat mendorong prakteknya forum
shopping. Karena titik pertalian yang paling penting dalam interpretasi ini adalah
tempat pengadilan dimana gugatan diajukan, maka antara berbagai pengadilan yang
mungkin memiliki kompetensi atas suatu perkara, dapat saja bahwa penggugat akan
memilih secara strategis pengadilan yang berada di negara dengan hukum yang
lebih menguntungkan penggugat.178

175
Untuk pembahasan lengkap mengenai keunggulan dari penggunaan lex fori untuk
menentukan hukum yang mengatur suatu PMH, lihat Gautama, Hukum Perdata Internasional
Indonesia Buku Ke-8, hlm. 131-132
176
Stewart, International Copyrights, hlm. 38-39.
177
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 104.
178
Kelemahan ini menjadi catatan dalam Antonelli, “Applicable Law,” hlm. 150
“notwithstanding the advantage of the application of a single law, this theory [lex fori] gives the
copyright owner the opportunity to forum shop for a favourable jurisdiction. Conversely, the

Universitas Indonesia
60

Selain itu, Van Eechoud juga menjelaskan bahwa lex fori berupa suatu
ketentuan hukum yang berlaku yang tidak lengkap karena hanya memberikan
hukum yang berlaku atas suatu isu hak cipta setelah terjadinya suatu gugatan dan
perkara. Namun, sulit untuk menentukan apa hukum yang mengatur suatu aspek
hak cipta sebelum terjadi suatu perkara. Van Eechoud memberikan contoh jika dua
pihak ingin melakukan peralihan hak cipta antara satu pihak ke pihak lain, mungkin
saja mereka ingin mengetahui hukum yang berlaku secara terpisah dan tidak
berhubungan dengan suatu perkara. Namun, jika menggunakan teori lex fori, sulit
untuk diketahui hukum yang mengatur suatu aspek hak cipta sebelum litigasi
terjadi.179
Alasan-alasan ini membuat interpretasi lex fori kurang populer, walaupun
secara prima facie atau harafiah berupa penafsiran yang paling sesuai dengan teks
Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne.

3. Penafsiran Lex Origianis


Sebelum menjelaskan interpretasi lex origianis dari Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne, perlu ditekankan bahwa Konvensi Berne, sebagaimana telah dijelaskan
dalam bab sebelumnya, telah secara eksplisit menunjuk hukum dari country of
origin atau negara asal suatu hak cipta untuk mengatur beberapa aspek dari
perlindungan hak cipta, antara lain untuk menentukan keberlakuan perlindungan
dalam Konvensi Berne atas suatu karya180 dan juga untuk menentukan beberapa

infringer might seek a declaratory judgment in a jurisdiction where his activities are permitted or
tolerated (so-called infringement havens) in order to pre-empt the owner's choice.”
179
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 105.
180
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (3) “Protection
in the country of origin is governed by domestic law.”

Universitas Indonesia
61

aspek yang sifatnya resiprokal seperti jangka waktu perlindungan,181 perlindungan


design,182 serta hak resale atau droit de suite.183
Sebenarnya sedikit ahli yang berargumen bahwa penafsiran dari pasal 5 ayat
(2) Konvensi Berne yang tepat adalah lex origianis atau negara asal suatu hak cipta.
Bartin memiliki pendapat bahwa lex origianis adalah aturan tentang hukum yang
berlaku yang tepat untuk menentukan semua aspek hak cipta selain pelanggaran
hak cipta. Dia berpendapat hak cipta, seperti semua benda lainnya, harus diatur oleh
lex rei sitae dari benda tersebut. Namun, karena hak cipta adalah suatu benda tidak
berwujud, maka harus diberikan suatu locus yang ‘fiktif.’ Bartin menganalogikan
hak cipta sebagai suatu untuk mengeksploitasi suatu karya secara eksklusif, seperti
‘hak pakai’ atau usufruct dalam hukum agraria. Karena cara utama untuk
mengeksploitasi suatu hak cipta adalah melalui publikasi, maka tempat dimana
publikasi pertama kali dilakukan (tempat dilakukan pengumuman peratama) adalah
tempat yang paling alami untuk dijadikan titik pertalian. Pada umumnya, seorang
pencipta akan melakukan pengumuman atau publikasi pertama kali di tempat yang
dia harap dia akan paling berhasil. Menurut Bartin, lex origianis harus mengatur
substansi, durasi, cakupan, serta limitasi dari suatu hak cipta, sedangkan saat hak
cipta dilanggar, tetap menggunakan lex loci delicti. Menurut Bartin, ini dapat
dijustifikasikan dalam sistem perlindungan Konvensi Berne karena negara dimana
pertama kali dilakukan publikasi merupakan suatu aspek esensial dalam Konvensi
Berne.184
Namun, selain Bartin, tidak banyak ahli lain berargumen bahwa lex origianis
berlaku untuk mengatur semua isu dalam Konvensi Berne. Antonelli menyatakan
ada beberapa dasar untuk mengecualikan penafsiran lex origianis, terutama karena
ketentuan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne secara eksplisit menyatakan bahwa

181
Ibid. Ps. 7 ayat (8) “In any case, the term shall be governed by the legislation of the
country where protection is claimed; however, unless the legislation of that country otherwise
provides, the term shall not exceed the term fixed in the country of origin of the work.”
182
Ibid. Ps. 2 ayat (7) “Works protected in the country of origin solely as designs and
models shall be entitled in another country of the Union only to such special protection as is granted
in that country to designs and models…”
183
Ibid. Ps. 14ter ayat (2) “The protection provided by the preceding paragraph may be
claimed in a country of the Union only if legislation in the country to which the author belongs so
permits…”
184
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 120-121

Universitas Indonesia
62

“such enjoyment and such exercise shall be independent of the existence of


protection in the country of origin of the work.”185 Antonelli berpendapat bahwa
penggunaan lex origianis dapat mengakibatkan perlindungan tergantung dengan
status perlindungan hak cipta di negara asal, sesuatu hal yang jelas bertentangan
dengan teks Konvensi Berne.186
Akan tetapi, pembahasan mengenai lex origianis ini menjadi penting untuk
membahas suatu aspek penting dari hak cipta, yaitu initial ownership atau
kepemilikan awal dari suatu hak cipta. Ini karena banyak ahli dan juga banyak
negara seperti Amerika Serikat187 dan Perancis188 berpendapat bahwa lex origianis
berupa applicable law yang tepat untuk mengatur initial ownership atau
kepemilikan awal suatu hak cipta saat hak cipta lahir. Namun, alasan di belakang
pemahaman ini bukan karena adanya suatu ketentuan di Konvensi Berne yang
mewajibkannya, tetapi tepatnya karena tidak diatur dalam Konvensi Berne.
Konvensi Berne walaupun mengatur banyak aspek dari perlindungan hak
cipta, namun tidak mengatur masalah initial ownership atas suatu hak cipta. Teks
dari Konvensi Berne sering menyebutkan mengenai ‘hak’ (rights) tetapi sama
sekali tidak mengatur mengenai ‘kepemilikan’ (ownership). Oleh sebab itu,
ketentuan Pasal 5 ayat (2) dianggap tidak berlaku terhadap masalah initial
ownership secara a contrario.189 Oleh sebab itu, pengadilan di beberapa negara
seperti Amerika Serikat dan Perancis berpendapat bahwa karena Pasal 5 ayat (2)
Konvensi Berne tidak berlaku atas isu initial ownership, mereka dapat

185
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (2).
186
Antonelli, “Applicable Law,” hlm. 151 “Finally, there are interpretative reasons that
seem to exclude the possibility of supporting this theory: the wording of the first part of paragraph
2, and in particular the statement that "... such enjoyment and such exercise shall be independent of
the existence of protection in the country of origin of the work". In fact, it appears to counterpose
the country where protection is claimed to the country of origin, which might not provide for
copyright protection.”
187
United States Court of Appeal Second Circuit, Itar Tass, hlm. 90-91
188
Van Eechoud, Choice of Law, hlm.123 “In France there is also a tendency to use the
lex originis as the conflict rule for issues of initial ownership. Some courts have said explicitly that
the BC does not contain a conflict rule for initial ownership and that the common French conflict
rule is the lex originis, either based on nationality of the author or –for published works– the country
of first publication”
189
Goldstein, International Copyrights, hlm. 127

Universitas Indonesia
63

menggunakan ketentuan-ketentuan HPI dalam negara masing-masing untuk


mengatur masalah initial ownership dari hak cipta.
Ada beberapa alasan yang diajukan oleh beberapa ahli untuk mendukung
penggunaan lex origianis untuk mengatur masalah initial ownership. Ginsburg
berpendapat bahwa jika berbagai stetsel hukum dapat mengatur permasalahan
kepemilikan, maka penyebaran karya-karya secara internasional akan menjadi
sangat terhambat, yang tentu tidak sesuai dengan tujuan Konvensi Berne.190 Hal ini
karena tiap negara memiliki ketentuan-ketentuan berbeda mengenai initial
ownership suatu karya,191 yang hingga saat ini belum pernah diharmonisasikan
melalui suatu perjanjian internasional. Oleh sebab itu, jika initial ownership tidak
diatur oleh lex origianis, dapat mengakibatkan situasi dimana saat suatu karya
dicipta, orang berbeda dianggap memilik hak cipta tersebut tergantung negaranya.
Sebagai contoh, dalam kasus suatu hak cipta dibuat dalam rangka hubungan
pekerja—pemberi kerja, menurut negara yang menganut doktrin work-for-hire,
pemberi kerja yang memiliki hak cipta atas karya, sedangkan menurut negara yang
tidak menganut doktrin itu, pekerja yang memiliki hak cipta tersebut. Menurut
Ginsburg, kasus-kasus seperti ini menunjukkan bagaimana penggunaan suatu
ketentuan applicable law selain lex origianis terhadap initial ownership hak cipta
dapat menimbulkan ketidakpastian mengenai kepemilikan hak cipta.192
Tidak semua negara menganut doktrin yang sama, terutama di Jerman.
Pengadilan Jerman secara tegas menolak penggunaan lex origianis terhadap initial
ownership suatu karya. Dalam yurisprudensi Jerman, Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne mewajibkan penggunaan lex protectionis terhadap semua aspek hak cipta,

190
Jane C. Ginsburg, “Private International Law Aspects of the Protection of Works and
Objects of Related Rights Transmitted Through Digital Networks,” (makalah disampaikan pada
seminar Group of Consultants on the Private International Law Aspects of the Protection Of Works
And Objects of Related Rights Transmitted through Global Digital Networks, Jenewa, 16-18
Desember 1998), hlm. 25-27
191
Sebagai contoh, banyak negara Common Law seperti Amerika Serikat menganut
doktrin ‘work for hire’ dimana jika seseorang membuat suatu karya dalam konteks hubungan
pemberi kerja- pekerja, maka pemberi kerja secara otomatis memiliki hak cipta atas karyanya,
sedangkan banyak negara Civil Law tidak mengenal doktrin seperti demikian, lihat Goldstein,
International Copyright, hlm. 128, 239-240.
192
Ginsburg, “Private International Law,” hlm. 28 “

Universitas Indonesia
64

termasuk initial ownership suatu karya, sesuai dengan prinsip Schutzland yang
dikenal di Jerman.193

4. Penafsiran Lex Protectionis/Lex Loci Delicti


Interpretasi lex protectionis atau lex loci delicti berupa interpretasi paling
populer atau konvensional dari kebanyakan ahli atau yurisdiksi. Menurut
interpretasi ini, kata ‘where protection is claimed’ dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne merujuk kepada negara dimana suatu karya dieksploitasi tanpa izin pemilik
hak cipta, yang sering disebut sebagai protecting country.194 Dalam interpretasi ini,
Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne mewajibkan negara untuk menggunakan lex
protectionis atau lex loci delicti sebagai ketentuan applicable law yang berlaku
terhadap perkara-perkara pelanggaran hak cipta.
Sebelum lebih lanjut, penulis merasa penting untuk menjelaskan perbedaan
antara lex loci delicti dan lex loci protectionis. Sebenarnya, kedua asas ini sangat
mirip. Dalam kasus terjadinnya suatu PMH, penggunaan kedua asas ini selalu akan
memberikan hasil yang sama. Bahkan, beberapa ahli sering menganggap bahwa
kedua doktrin atau asas ini memiliki artinya dan kaidah yang sama. Akan tetapi ada
perbedaan antara kedua konsep ini. Van Eechoud menjelaskan bahwa lex loci
delicti adalah suatu ketentuan yang dapat diberlakukan terhadap perbuatan
melawan hukum (PMH). Walaupun lex loci delicti dapat digunakan untuk mengatur
pelanggaran hak cipta, namun lex loci delicti tidak memberi suatu applicable law
yang dapat digunakan untuk mengatur mengenai keberadaan, kepemilikan, serta
perpindahan suatu hak kekayaan intelektual. Ini berbeda dengan Lex loci
protectionis sebagai suatu ketentuan umum yang berlaku dan dapat mengatur
kepada aspek hak cipta, bukan hanya jika terjadi suatu PMH.195 Van Eechoud
memberikan contoh sebagai berikut: seandainya seorang pemegang hak cipta ingin

193
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 123-124 “German case-law is quite consistent in its
refusal to use the lex originis for issues of initial ownership. A string of recent decisions of the
Bundesgerichtshof has reaffirmed the German interpretation of the Berne Convention: Article 5 lays
down the law of the Schutzland or lex protectionis, for existence, scope, (initial) ownership, transfer
of copyright and capacity to act against infringement.”
194
Goldstein, International Copyrights, hlm 123; Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 103,
105
195
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 105-106

Universitas Indonesia
65

melakukan perpindahan sebagian haknya kepada orang lain, tetapi terdapat


perbedaan pendapat mengenai cakupan dari perpindahan hak tersebut, lex loci
delicti tidak dapat memberikan jawaban mengenai hak-hak mana saja yang
berpindah dari satu orang ke yang lain karena untuk kaidah lex loci delicti bisa
operasional, perlu terjadinya suatu PMH terlebih dahulu. Sedangkan Lex loci
protectionis dapat memberi jawaban.196 Menurut lex loci protectionis, maka suatu
isu hak cipta akan diatur oleh hukum dari ‘protecting country’ atau negara yang
sedang melindungi suatu hak cipta. Ini harus dibaca secara bersamaan dengan aspek
territorial dari hak cipta, fakta bahwa hak cipta yang diberikan negara hanya
melindungi hak cipta di wilayah itu. Sebagai contoh, lex loci protectionis akan
menyatakan bahwa untuk hak cipta di negara A, maka hukum A akan mengatur
ruang lingkup perlindungannya. Untuk memindahkan hak cipta di negara B, maka
hukum dari negara B akan mengatur. Jika suatu hak cipta di langgar di negara C,
maka hukum negara C akan berlaku. Jika suatu isu melibatkan hak di berbagai
tempat, maka ketentuan dari semua stetsel hukum yang tersangkut akan
mengatur.197
Van Eechoud berpendapat bahwa penafsiran ini sebenarnya ini tidak
mengikuti teks harafiah dari Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, yang sepertinya lebih
merujuk kepada negara terletak pengadilan yang mendengar gugatan. Bahkan,
menurut Van Eechoud, penafsiran ini hanya dapat diterima jika kita mengabaikan
kalimat ‘where protection is claimed’ dalam Pasal 5 ayat (2) dan membaca pasal
tersebut seolah-olah kalimatnya menyatakan ‘for which protection is claimed’.198
Akan tetapi, penafsiran ini dapat dikatakan adalah penafsiran yang paling diterima
secara umum, karena dianggap paling sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan

196
Ibid.
197
Van Eechoud, Choice of Law, footnote 299 “…Suppose the author assigns reproduction
rights in a book: in the territorial view, the scope of that transfer and its effect would be governed
by UK copyright law as far as the ‘UK copyright’ in the book is concerned, by Dutch law as far as
the ‘Dutch copyright’ is concerned and so on for all of the at least 148 different national copyrights
the author potentially has under the Berne Convention.”
198
Ibid. hlm. 108

Universitas Indonesia
66

hak cipta pada umumnya, khususnya dengan asas territorialitas dari suatu hak
cipta.199
Sebagaimana telah dibahas dalam Bab II, hak cipta seringkali dianggap
sangat territorial, dimana perlindungan hak cipta dalam suatu negara hanya berlaku
di wilayah negara tersebut, dan tidak memiliki dampak di luar wilayah suatu
negara.200 Oleh sebab itu, perlindungan hak cipta dalam kerangka hukum
perlindungan hak cipta yang terkandung dalam Konvensi Berne mengadopsi
pengertian droits indépendants, dimana dengan di dikreasikan suatu ciptaan maka
akan lahir berbagai hak cipta yang berbeda dan terpisah di semua negara pihak
Konvensi Berne. Sesuai dengan asas independence of protection, bagaimana suatu
hak cipta diperlakukan di satu negara tidak memiliki dampak dengan perlindungan
di negara lain.
Selebih dari itu, dalam kerangka hukum Konvensi Berne, setiap negara bebas
menetapkan standar dan ketentuan perlindungan hak cipta, selama memenuhi
standar minimum yang ditetapkan dalam Konvensi Berne. Masing-masing negara
tentu akan membuat ketentuan-ketentuan berdasarkan pertimbangan, keadaan, serta
kebutuhan negara-negara masing-masing. Sebagai konsekuensi, negara tidak ada
yang memiliki ketentuan perlindungan hak cipta yang sesuai.
Menurut para pendukung penafsiran ini, interpretasi lex protectionis paling
sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan hak cipta sebagaimana telah disebut.
Karena lex protectionis mengadvokasikan penggunaan ketentuan hukum dari
negara dimana pelanggaran terjadi, maka lex protectionis sering dianggap sebagai
interpretasi yang menghormati kemampuan negara untuk mengatur standar serta
batasan-batasan hak cipta yang berlaku di negara masing-masing, sesuai dengan
pengertian asas territorial dari hak cipta dan karakteristik perlindungan hak cipta
yang sifatnya droits indépendants.

199
Goldstein, International Copyrights, hlm. 123 “The general preference for the law of
the protecting country as applicable law in copyright cases reflects the historic principle that
copyright is territorial. To apply the law of Country A to an alleged infringement occurring in
Country B would, it is widely believed, violate the principle of territoriality by exporting the law of
one country to the territory of another; the fact that Country A is the forum country should make no
difference”
200
Lihat hlm. 20 dari karya ini

Universitas Indonesia
67

Akan tetapi, itu bukan berarti pendekatan ini tanpa kritikan, khususnya dalam
era digital modern. Menurut lex loci protectionis, maka jika pelanggaran hak cipta
terjadi di berbagai negara, seperti dalam kasus pelanggaran hak cipta daring, maka
semua hukum dari semua negara yang bersangkut berlaku semua. Sebagai contoh,
jika suatu karya video diunggah ke Internet dan diakses oleh orang-orang dari
negara A, B, dan C, maka hukum A mengatur pelanggaran di negara A, hukum B
mengatur pelanggaran di negara B, dan hukum C mengatur pelanggaran di negara
C. Ini dapat mengakibatkan banyak sekali sistem hukum yang mengatur suatu hal
yang seharusnya cukup sederhana.201 Ini juga dapat mengakibatkan ketentuan-
ketentuan hak cipta dari negara yang paling ketat ‘mendorong’ ketentuan-ketentuan
hak cipta dari negara yang lebih longgar, jika seorang penunggah materi ke Internet
tidak melakukan geofiltering atau membatas akses berdasarkan geografis.202
Namun, menurut Goldstein, kekhawatiran ini terkadang berlebihan. Dengan
harmonisasi substansi hak cipta melalui Konvensi Berne dan perjanjian-perjanjian
Internasional lainnya, serta dengan adanya WTO Enforcement Regime, maka dalam
kebanyakan kasus, walaupun hukum berbagai negara mengatur, konten atau
substansi dari hukum tersebut tidak jauh beda, selain aspek-aspek hak cipta yang
memang belum terjadi harmonisasi, seperti authorship dan initial ownership.203

C. Praktek Nasional mengenai Penafsiran Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne


dan Hukum yang Berlaku dalam Perkara Pelanggaran Hak Cipta

Dari pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa antara para ahli hukum terdapat
berbagai pendapat mengenai karakteristik dari norma-norma tentang hukum yang
berlaku dalam Konvensi Berne dan mengenai asas-asas HPI yang berlaku terhadap
hak cipta secara lebih umum. Namun, terlepas dari perdebatan akademis mengenai
isu ini, isu ini juga mendapat perhatian dari pengadilan-pengadilan di berbagai
negara, serta dalam undang-undang berbagai negara. Tentu, pendekatan-
pendekatan yang diambil antara negara berbeda-beda. Oleh sebab itu, Penulis akan

201
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 106; Ginsburg, “Private International Law,” hlm. 35
202
Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 106
203
Goldstein, International Copyrigts, hlm. 124-125

Universitas Indonesia
68

melihat berbagai macam dari pendekatan-pendekatan ini berdasarkan undang-


undang dan yurisprudensi yang terdapat dalam negara-negara tersebut. Fungsi
melihat ini ada dua: Pertama, sesuai dengan Pasal 31 ayat (3) huruf b dari VCLT,
praktek dalam penerapan suatu perjanjian internasional dapat menjadi suatu
rujukan dalam penafsiran suatu perjanjian internasional.204 Kedua, praktek-praktek
tersebut dapat menjadi suatu rujukan atau referensi bagi kalangan hukum di
Indonesia, baik dalam kalangan akademik maupun dalam kalangan pembuat
kebijakan atau bagi hakim-hakim.
Untuk mendapat suatu sampel yang representatif, Penulis akan mengambil
contoh yang beragam baik dari sisi geografis maupun sistem hukum yang berlaku
(dalam arti common law atau civil law). Oleh karena itu, Penulis akan memfokuskan
dengan praktek dari negara-negara Amerika Serikat, Uni Eropa (dan dalam
beberapa aspek, Perancis dan Jerman), Jepang, dan Korea Selatan.

1. Amerika Serikat
Sebagai negara Common Law, rujukan utama dalam menentukan isu-isu
hukum yang berlaku dalam bidang Hak Cipta di Amerika Serikat dapat ditemukan
dalam yurisprudensi-yurisprudensi pengadilan-pengadilan Federal Amerika
Serikat.205 Oleh sebab itu, Penulis akan membahas secara singkat mengenai
yurisprudensi-yurisprudensi pengadilan Amerika Serikat yang membahas isu-isu
ini.
Kasus yang menjadi landmark di Amerika Serikat mengenai isu-isu hukum
yang berlaku dalam bidang Hak Cipta adalah kasus Itar-Tass Russian News Agency
v. Russian Kurier, Inc. Perkara ini melibatkan Kurier, suatu koran berbahasa Rusia
yang disirkulasikan di New York dan daerah-daerah sekitarnya. Beberapa
perusahaan media di Rusia mendalilkan bahwa Kurier mengambil artikel-artikel

204
Persaturan Bangsa-Bangsa, Vienna Convention, Ps. 31 ayat (3) huruf b, lihat hlm. 17-
18 karya ini.
205
Amerika Serikat memiliki sistem Federal dimana terdapat pembagian antara pengadilan
federal Amerika Serikat ataupun pengadilan masing-masing negara bagian, namun sesuai dengan
Pasal 1, Bagian 8, Klausula 8 dari Konstitusi Amerika Serikat, isu-isu mengenai hak kekayaan
intelektual, termasuk hak cipta termasuk dalam kompetensi absolut pengadilan Federal, lihat
Howard B. Abrams, “United States” dalam Intellectual Property and Private International Law:
Comparative Perspectives, ed. Toshiyuki Kono (Portland: Hart Publishing, 2012),. hlm. 1113-1114

Universitas Indonesia
69

dari koran-koran mereka, dan secara tanpa izin mempublikasikan kembali artiker
tersebut di koran Kurier, sehingga mereka menggugat Kurier di Pengadilan Federal
Amerika Serikat. 206
Saat perkara diputuskan dan dibanding ke United States Court of Appeals for
the Second Circuit, Pengadilan Amerika Serikat menentukan asas-asas yang
berlaku dalam HPI Amerika Serikat mengenai isu-isu hukum yang berlaku dalam
bidang hak cipta.
Pertama, mereka menemukan bahwa prinsip national treatment dalam
Konvensi Berne bukanlah suatu asas tentang hukum yang berlaku, karena itu hanya
menyangkut kewajiban bahwa suatu negara memperlakukan pemegang hak cipta
asing sama dengan pemegang hak cipta domestik, tanpa menetapkan suatu asas
hukum yang berlaku yang harus digunakan oleh negara pihak Konvensi Berne.207
Kedua, terhadap isu initial ownership atau kepemilikan awal dari suatu hak
cipta, Pengadilan Amerika Serikat menemukan bahwa asas yang berlaku adalah
“the law of the state with the most significant relationship to the property and the
parties” sebagai asas HPI yang pada umumnya berlaku dalam Hukum Amerika
Serikat untuk mengatur kepemilikan awal suatu benda. Menurut Pengadilan, untuk
kebanyakan kasus, ini akan identik dengan country of origin dalam Konvensi
Berne. Oleh sebab itu, Hukum Rusia yang mengatur kepemilikan awal dari hak
cipta karena karya-karya yang menjadi objek sengketa pertama kali dipublikasikan
di Rusia oleh warga negara Rusia.208 Menurut Pengadilan Amerika Serikat,
penggunaan asas HPI Amerika Serikat yang berlaku pada umumnya untuk
menentukan isu ini diperbolehkan karena Konvensi Berne tidak mengatur sama
sekali tentang initial ownership suatu hak cipta.209
Ketiga, untuk menentukan hukum yang berlaku atas pelanggaran hak cipta,
asas yang berlaku pada umumnya dalam hukum Amerika Serikat terhadap PMH,
yaitu Lex Loci Delicti, juga berlaku terhadap pelanggaran hak cipta.210 Pandangan

206
United States Court of Appeal Second Circuit, Itar Tass, hlm. 84-85
207
Ibid. hlm. 88-90
208
Ibid. hlm. 90-91
209
Ibid.
210
Ibid. hlm. 91- 92

Universitas Indonesia
70

ini dianggap sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, karena seperti yang
dikatakan oleh pengadilan Amerika dalam Creative Technology, Ltd. v. Aztech
System Pte, Ltd., asas yang berlaku dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne
menetapkan bahwa:211
…the applicable law is the copyright law of the state in which the
infringement occurred, not that of the state of which the author is a national
or in which the work was first published.
Pengertian penggunaan ini didorong oleh pengertian asas territorial dalam
Hukum Amerika Serikat. Pengadilan Amerika secara konsisten menyatakan bahwa
Hukum mengenai Hak Cipta yang diatur dalam Hukum AS tidak berlaku di luar
batas wilayah Amerika Serikat. Ini karena di Amerika Serikat, semua undang-
undang dianggap hanya berlaku di wilayah AS, kecuali secara eksplisit disebut
dalam suatu undang-undang bahwa suatu ketentuan berlaku di luar wilayah AS.
Seperti yang dikatakan dalam perkara Subafilms, Ltd. v. MGM-Pathe
Communications Co., yaitu bahwa:212
“The application of American copyright law to acts of infringement that occur
entirely overseas clearly could have this effect. Extraterritorial application
of American law would be contrary to the spirit of the Berne Convention, and
might offend other member nations by effectively displacing their law in
circumstances in which previously it was assumed to govern.”
Oleh sebab asas-asas ini, dalam kasus London Film Prods. Ltd. v.
Intercontinental Commc’ns Inc, saat suatu perusahaan Inggris menggugat suatu
perusahaan New York di Amerika Serikat atas tindakan pelanggaran hak cipta yang
terjadi di 6 negara di Amerika Selatan, Pengadilan Amerika Serikat menemukan
bahwa walaupun Pengadilan memiliki kompetensi atas perkara karena kedudukan
tergugat di AS, namun hukum yang berlaku adalah hukum dari 6 negara
bersangkutan dimana pelanggaran hak cipta terjadi, dan bukan hukum Amerika

211
United States Court of Appeal Ninth Circuit, Creative Technology, Ltd. v. Aztech
System Pte, Ltd, 61 F.3d 696 (9th Cir. 1995), hlm. 700-701
212
United States Court of Appeal Ninth Circuit, Subafilms, hlm. 1097; lihat pula Toshiyuki
Kono dan Paulius Jurčys, “General Report” dalam Intellectual Property and Private International
Law: Comparative Perspectives, ed. Toshiyuki Kono (Portland: Hart Publishing, 2012), hlm. 147

Universitas Indonesia
71

Serikat.213 Hal ini sesuai dengan asas territorial dari Hak Cipta dan asas lex loci
delicti yang dianut di Amerika Serikat.

2. Uni Eropa
Di Uni Eropa, dengan Rome II Regulation on the Law Applicable to Non-
Contractual Obligations (Regulasi Roma II), yang mulai berlaku pada tanggal 11
Januari 2009, ketentuan-ketentuan HPI domestik masing-masing negara Uni Eropa
yang mengatur ‘non-contractual obligations’ digantikan dengan satu peraturan
seragam mengenai HPI yang berlaku di seluruh Uni Eropa. Peraturan ini berlaku di
setiap pengadilan negara anggota Uni Erope yang memiliki kompetensi atas suatu
perkara.214 Sesuai Pasal 3 Regulasi Roma II, semua stetsel hukum yang ditunjuk
oleh regulasi harus diberlakukan, terlepas apakah stetsel hukum yang ditunjuk
berupa negara anggota Uni Eropa atau tidak.215
Berdasarkan pasal 4 Regulasi Roma II, ketentuan hukum yang berlaku yang
berlaku terhadap PMH dalam Regulasi Roma II adalah lex loci damni, atau hukum
dari tempat dimana kerugian terjadi, kecuali 1. Jika penggugat dan tergugat
memiliki habitual residence yang sama saat kerugian terjadi, maka hukum dari
tempat tersebut berlaku 2. jika dari segala keadaan suatu kasus, suatu stelsel hukum
lain lebih ‘closely connected’ dengan perkara, maka stetsel hukum itu juga dapat
berlaku.216
Namun, Pasal 8 dari Regulasi Roma II mengatur ketentuan hukum yang
berlaku khusus yang berlaku atas hak kekayaan intelektual. Pasal 8 ayat (1)
menetapkan bahwa “The law applicable to a non-contractual obligation arising
from an infringement of an intellectual property right shall be the law of the country
for which protection is claimed.”217 Berdasarkan Pasal 8 ayat (3), hukum yang

213
United States District Court Southern District of New York, London Film Prods. Ltd.
v. Intercontinental Commc’ns Inc 580 F. Supp. 47 (S.D.N.Y. 1984), hlm. 48-50
214
Kono, “General Report,” hlm. 149; Nerina Boscheiro, “Intellectual Property in the Light
of the European Conflict of Laws” https://www.ialsnet.org/meetings/business/BoschieroNerina-
Italy.pdf, diakses 5 Juli 2022, hlm. 3
215
Uni Eropa, Regulation on the Law Applicable to Non-Contractual Obligations (Rome
II), Regulation (EC) No 864/2007, Ps. 3.
216
Ibid. Ps. 4
217
Ibid. Ps. 8 ayat (1)

Universitas Indonesia
72

berlaku atas hak cipta sebagaimana ditunjuk Pasal 8 ayat (1) tidak dapat
dikecualikan oleh suatu perjanjian antara pihak.218
Boschiero menjelaskan bahwa salah satu alasan yang mendorong dibuatnya
suatu ketentuan khusus dalam Regulasi Roma II mengenai hak cipta adalah
ambiguitas dan ketidakjelasan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne.219 Untuk mengklarifikasi norma yang berlaku, dibuat secara khusus
ketentuan Pasal 8 ayat (1) Regulasi Roma II yang fungsinya lebih untuk
‘mengkonfirmasi’ dan ‘menekankan kembali’ asas territorialitas dan lex loci
protectionis.220kata-kata “…the law of the country for which protection is claimed”
dalam Pasal 8 ayat (1) dibuat untuk mengkodifikasikan lex protectionis ke dalam
hukum Uni Eropa, dan sesuai dengan pengertian lex protectionis sebagaimana
dianggap telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne, dan harus
diterjemahkan merujuk kepada hukum dari negara dimana pelanggaran terjadi.
Penggunaan kata ‘for which protection is claimed’ dalam Regulasi Roma II
dibanding dengan kata ‘in which protection is claimed’ dalam Pasal 5 ayat (2)
dibuat untuk mengklarifikasi arti dari norma tersebut, tetapi tidak dibuat untuk
mengubah kaedah HPI yang pada umumnya berlaku, yaitu lex protectionis.221
Namun, untuk masalah initial ownership belum ada unifikasi untuk
menentukan asas mana yang berlaku, dan masing-masing negara Eropa masih ada
peraturan berbeda mengenai ketentuan hukum yang berlaku yang berlaku untuk
menentukan kepemilikan awal suatu hak cipta. Sebagai contoh, berdasarkan
yurisprudensi Jerman, Jerman akan menggunakan lex loci protectionis terhadap
semua aspek dari suatu hak cipta, termasuk initial ownership dari suatu hak cipta,
suatu pendekatas yang sering disebut sebagai Prinsip Schutzland.222 Sedangkan di
Perancis, mirip dengan Amerika Serikat, kebanyakan pengadilan menganggap

218
Ibid. Ps. 8 ayat (3)
219
Boschiero, “Intellectual Property,” hlm. 5.
220
Ibid. Hlm. 6
221
Ibid, Hlm. 14; Lihat pula Kono, “General Report,” hlm. 151
222
Kono, “General Report,” hlm. 597-598; Van Eechoud, Choice of Law, hlm. 109-110

Universitas Indonesia
73

bahwa initial ownership atau kepemilikan awal dari suatu hak cipta harus diatur
oleh negara asal atau country of origin dari suatu hak cipta.223

3. Jepang
Ketentuan-ketentuan HPI di Jepang dapat ditemukan dalam Undang-Undang
tentang Peraturan Umum tentang Hukum yang Berlaku.224 Dalam Pasal 17
peraturan tersebut, ditentukan bahwa dalam kasus PMH secara umum, hukum yang
berlaku adalah hukum dari tempat dimana akibat dari tindakan yang menyebabkan
kerugian muncul. Namun, jika akibat dari tindakan tersebut tidak dapat
diperkirakan, maka hukum dari tempat dimana tindakan terjadi akan berlaku.225
Jepang tidak memiliki ketentuan khusus mengenai hukum yang berlaku
terhadap perkara-perkara hak cipta. Akan tetapi, Yokomizo menjelaskan bahwa
dalam yurisprudensi pengadilan-pengadilan Jepang, tidak ada hambatan untuk
pengadilan Jepang mengadili perkara yang melibatkan hak cipta asing. Dalam
perkara seperti demikian, Pengadilan Jepang akan menggunakan ketentuan-
ketentuan HPI yang umum terhadap perkara-perkara hak cipta.226 Namun, pendapat
mayoritas di Jepang adalah bahwa sengketa HAKI yang lintas batas, termasuk hak
cipta, harus diselesaikan dengan mempertimbangkan asas territorialitas, dan oleh
sebab itu, maka “the law of the country for which protection is sought” atau lex loci
protectionis harus digunakan. Dalam yurisprudensi, asas ini telah digunakan
terhadap beberapa kasus sengketa paten, walaupun dalam konteks hak cipta belum
ada kasus.227

223
Marie-Elodie Ancel, “France” dalam Intellectual Property and Private International
Law: Comparative Perspectives, ed. Toshiyuki Kono (Portland: Hart Publishing, 2012), hlm. 545-
546
224
Dalam bahasa Jepang adalah Hō no Tekiyō ni Kansuru Tsūsokuhō, lihat Jepang, Act on
the General Rules of Application of Laws [Hō no Tekiyō ni Kansuru Tsūsokuhō], Undang-Undang
No. 10 Tahun 1898 (sebagaimana telah diamandemen 21 June 2006), diterjemahkan oleh Kent
Anderson dan Yasuhiro Okuda, http://blog.hawaii.edu/aplpj/files/2011/11/APLPJ_08.1_a
nderson.pdf, diakses 5 Juli 2022.
225
Ibid. Ps. 17 “The formation and effect of claims arising from tort shall be governed by
the law of the place where the results of the acts causing the damage arose. However, where the
occurrence of the results in such place would usually be unforeseeable, the law of the place where
the acts causing the damage occurred shall govern.”
226
Dai Yokomizo, “Japan” dalam Intellectual Property and Private International Law:
Comparative Perspectives, ed. Toshiyuki Kono (Portland: Hart Publishing, 2012), hlm. 770-771
227
Kono, “General Report,” 158-160

Universitas Indonesia
74

4. Korea Selatan
Ketentuan mengenai HPI di Korea Selatan dapat ditemukan dalam Undang-
Undang Hukum Perdata Internasional Korea.228 Pasal 24 dari undang-undang
tersebut mengkodifikasikan asas lex loci protectionis, dan menjelaskan bahwa
“perlindungan hak-hak kekayaan intelektual diatur oleh hukum dari tempat dimana
hak-hak dilanggar.”229 Dalam konteks pelanggaran hak cipta, asas lex loci
protectionis diartikan oleh Pengadilan Korea menunjuk ke hukum dari negara
dimana tindakan yang melanggar terjadi atau dimana kerugian terjadi.230
Hubungan antara Pasal 24 Undang-Undang Hukum Perdata Internasional
Korea dengan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne diklarifikasikan oleh Pengadilan
Korea dalam dua kasus menarik, yaitu kasus Sonata of Temptation dan kasus 49
Things to Do in Your Life.231
Dalam perkara Sonata of Temptation, Square Enix, perusahaan Jepang yang
bergerak di bidang video game menggugat perusahaan korea Fantom Entertainment
Group dan seorang direktur video musik di Pengadilan Negari Seoul Pusat pada
bulan Maret 2007. Menurut Square Enix, para tergugat saat membuat video musik
buat artis Korea bernama Ivy telah melanggar hak cipta yang dimiliki Square Enix
atas film yang Square Enix pernah membuat dengan judul “Final Fantasy VII:
Advent Children.” Menurut Square Enix, para tergugat telah mencontek
penampilan, cerita, karakter, latar belakang, serta gerakan dari materi ciptaan
mereka tanpa izin.232 Dalam perkara tersebut, Pengadilan Korea menyatakan
bahwa:

228
Korea Selatan, Act on Private International Law, Undang-Undang No.13759
diterjemahkan oleh Lembaga Riset Hukum Korea dan Kementerian Kehakiman Korea, Divisi
Hukum Internasional. https://law.go.kr/LSW/lsInfoP.do?lsiSeq=179501&viewCls=engLsInfoR&u
rlMode=engLsInfoR#0000, diakses 5 Juli 2022
229
Ibid. Ps. 24 “The protection of intellectual property rights shall be governed by the law
of the place where such rights are violated.”
230
Kono, “General Practices,” hlm. 162; Gyohoo Lee, “Korea” dalam Intellectual Property
and Private International Law: Comparative Perspectives, ed. Toshiyuki Kono (Portland: Hart
Publishing, 2012), hlm. 817
231
Lee, “Korea,” hlm. 818-820
232
Ibid. hlm. 818

Universitas Indonesia
75

…deem[ed] the Japanese plaintiff entitled to the rights enjoyed by Korean


nationals in Korea pursuant to Article 5(1) of the Berne Convention, to which
both countries are signatories. Applying Article 5(2) of the Berne Convention
which provided that the extent of protection, as well as the means of redress
afforded to the author shall be governed exclusively by the laws of the country
where protection is claimed, we rule that the claim for injunction is governed
by Korean law.233
Perkara kedua adalah kasus 49 Things to Do in Your Life. Kasus tersebut
melibatkan penggugat Shenyang Yuanliu, pemegang hak cipta dari buku dengan
judul 99 Things to Do in Your Life. Buku tersebut pertama kali diterbitkan di
Tiongkok oleh Beijing Industrial University. Tanpa se-izin Shenyang Yuanliu,
Beijing Industrial University kemudian membuat perjanjian dengan penerbit
internasional Wisdom House, khususnya dengan cabang Korea dari penerbit
tersebut. Wisdom House kemudian menerbitkan sebagian dari isi dari buku
Shenyang Yuanliu untuk Pasar Korea, yang menjadi bestseller di Korea dengan
judul 49 Things to Do in Your Life. Oleh sebab itu, Shenyang Yuanliu menggugat
Wisdom House dan beberapa toko buku besar di pengadilan Korea Selatan.
Pengadilan Korea menyatakan bahwa Pasal 24 dari Undang-Undang Hukum
Perdata Internasional didahulukan oleh Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne. Oleh
sebab itu, Pengadilan menemukan bahwa dalam perkara, “the law of the state for
which protection is claimed” atau lex loci protectionis yang berlaku. Akhirnya
hukum Korea, sebagai hukum dari tempat dimana pelanggaran terjadi, diterapkan
dalam perkara.234

D. Kesimpulan
Dari semua uraian dalam bab ini, beberapa kesimpulan dapat diambil.
Pertama, pasal 5 ayat (2) memiliki berbagai penafsiran, dan sulit untuk mengatakan
penafsiran yang tepat bagaimana. Dalam satu sisi, penafsiran non-conflicts rule
interpretation sepertinya paling sesuai, dengan memperhatikan travaux
preparatoires dari Konvensi Berne, sesuai dengan Pasal 32 VCLT. Dalam sisi lain,
penafsiran lex fori paling sesuai dengan arti harafiah dari teks Pasal 5 ayat (2)
Konvensi Berne. Lalu, tidak bisa dilupakan bahwa penafsiran lex loci

233
Ibid.
234
Ibid. hlm. 820

Universitas Indonesia
76

protectionis/lex loci delicti paling sesuai dengan asas-asas perlindungan hak cipta
internasional.
Namun, setelah melihat praktek-praktek masing negara, dapat dilihat bahwa
walaupun terdapat berbagai perbedaan pendapat mengenai penafsiran dari Pasal 5
ayat (2) Konvensi Berne ataupun asas hukum yang berlaku yang berlaku pada
pelanggaran hak cipta, akan tetapi kebanyakan negara menganut asas lex loci
protectionis ataupun menggunakan peraturan-peraturan HPI pada umumnya
kepada pelanggaran Hak Cipta (pada umumnya melalui lex loci delicti). Korea
Selatan dan Uni Eropa memiliki ketentuan khusus dalam peraturan perundang-
undangan mereka yang mengkodifikasikan lex loci protectionis, yang secara
sengaja dibuat serupa atau mirip dengan ketentuan yang ditemukan dalam Konvensi
Berne. Sedangkan untuk Amerika Serikat atau Jepang, mereka menggunakan asas-
asas umum yang terkandung dalam HPI mereka masing untuk menentukan hukum
yang berlaku atas pelanggaran hak cipta, pada umumnya menggunakan asas lex loci
delicti. Dalam kasus Jepang, walaupun tidak ada ketentuan khusus mengenai asas
hukum yang berlaku yang berlaku atas pelanggaran hak cipta, namun, pendapat
mayoritas di Jepang juga menganut lex loci protectionis. Dalam semua kasus
pelanggaran hak cipta, pada umumnya hukum yang akan digunakan adalah hukum
dari tempat dimana suatu pelanggaran terjadi.
Suatu praktek yang konsisten antar negara seperti dalam kasus ini juga
memiliki nilai dalam penafsiran perjanjian internasional, sesuai Pasal 31 ayat (3)
huruf b VCLT. Praktek yang konsisten ini dapat menunjukkan ‘niat para negara
pihak’ Konvensi Berne saat awal menandatangani perjanjian internasional tersebut.
Ditambah dengan alasan-alasan policy yang kuat, serta kesesuaian dengan asas-asas
dasar perlindungan hak cipta internasional, penulis berpendapat bahwa walaupun
sulit untuk mencari arti dari Pasal 5 ayat (2), interpretasi lex loci protectionis berupa
interpretasi yang paling sesuai.

Universitas Indonesia
77

BAB IV
PENERAPAN ASAS-ASAS HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA
DALAM PERKARA PELANGGARAN HAK CIPTA

Dalam penelitian ini, telah dibahas mengenai kerangka hukum perlindungan


hak cipta internasional, baik secara internasional dalam Konvensi Berne serta
dalam hukum nasional melalui UU Hak Cipta. Selain itu, telah dibahas pula
permasalahan-permasalahan ketentuan hukum yang berlaku yang terkandung
dalam Konvensi Berne serta bagaimana praktik-praktik negara lain dalam
menanggapi ketentuan-ketentuan Konvensi Berne tersebut.
Dalam bab ini, penulis akan membahas mengenai bagaimana sejauh ini
sistem hukum Indonesia menanggapi isu-isu ini. Tentu, seperti yang sebelumnya
telah dikatakan, isu ini memang belum mendapat perhatian banyak oleh para ahli
hukum Indonesia ataupun dalam yurisprudensi-yurisprudensi pengadilan
Indonesia. Akan tetapi, dari materi yang sudah ada, dapat dilihat beberapa
kecenderungan-kecenderungan bagaimana hal ini diinterpretasikan. Untuk
membahas hal ini, penulis akan membahasnya dari tiga aspek secara khusus.
Pertama, penulis akan membahas ketentuan-ketentuan dalam UU Hak Cipta,
khususnya Pasal 2 mengenai ruang lingkup UU Hak Cipta, dan apakah ketentuan
tersebut relevan atau tidak terhadap isu applicable law dalam perkara hak cipta.
Karena belum banyak literatur mengenai arti atau penafsiran dari pasal ini, maka
kebanyakan dari isi pasal ini adalah observasi pribadi dari penulis. Penulis akan
mengkaji apakah pasal ini dapat dianggap sebagai suatu ketentuan hukum yang
berlaku atau tidak, serta implikasi dari masing-masing penafsiran pasal tersebut.
Kedua, Penulis akan membahas bagaimana isu ini ditanggapi pula oleh ahli
hukum Indonesia, dalam karangan literatur yang sudah ada, serta menanggapi
pandangan-pandangan dari pakar-pakar hukum ini.
Ketiga, penulis akan membahas dua perkara di Pengadilan Indonesia, yaitu
perkara The Institute For Motivational Living, Inc. Melawan Yon Nofiar dan Kasus
The Institute For Motivational Living, Inc. Melawan Didik Mulato dan PT. Inti
Finance Synergy. Kedua kasus ini membahas perkara pelanggaran hak cipta

Universitas Indonesia
78

sebagai suatu PMH yang melibatkan unsur-unsur asing. Oleh sebab itu, Penulis
akan fokus terhadap dua kasus ini secara khusus, untuk melihat bagaimana isu-isu
pilihan dalam konteks pelanggaran hak cipta daring ditanggapi dalam praktek
pengadilan Indonesia.
Terakhir, penulis akan membuat kesimpulan dari apa yang terlihat dari
ketiga sumber hukum tersebut mengenai ketentuan tentang hukum yang berlaku
yang berlaku di Indonesia. Setelah itu, Penulis juga akan memberikan komentar
mengenai apakah praktek yang sudah berlaku di Indonesia sudah tepat atau tidak
menurut hukum internasional serta dari sisi policy.

A. Asas-Asas Hukum yang Berlaku dalam UU Hak Cipta


Pembahasan mengenai ketentuan applicable law di Indonesia harus mulai dari
ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta yang mengatur mengenai ruang lingkup dari
undang-undang tersebut. Pasal 2 UU Hak Cipta menyatakan bahwa:235
Undang-Undang ini berlaku terhadap:
a. semua Ciptaan dan produk Hak Terkait warga negara, penduduk, dan
badan hukum Indonesia;
b. semua Ciptaan dan produk Hak Terkait bukan warga negara Indonesia,
bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia yang untuk
pertama kali dilakukan Pengumuman di Indonesia;
c. semua Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dan pengguna Ciptaan
dan/atau produk Hak Terkait bukan warga negara Indonesia, bukan
penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia dengan
ketentuan:
1. negaranya mempunyai perjanjian bilateral dengan negara Republik
Indonesia mengenai pelindungan Hak Cipta dan Hak Terkait; atau
2. negaranya dan negara Republik Indonesia merupakan pihak atau
peserta dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai
pelindungan Hak Cipta dan Hak Terkait.

Dari teks pasal ini, terlihat bahwa UU Hak Cipta ini berlaku terhadap 1.
Secara karya yang dibuat oleh warga negara, penduduk, atau badan hukum
Indonesia, 2. Semua karya yang dibuat oleh orang atau bahan hukum asing, tetapi
pertama kali dilakukan pengumuman di Indonesia, serta 3. Karya yang dibuat oleh
orang atau badan hukum asing, selama negara asal hak cipta yang dibuat atau

235
UU Hak Cipta, 2014, Ps. 2.

Universitas Indonesia
79

dimiliki orang atau badan hukum asing memiliki perjanjian multilateral atau
bilateral dengan Indonesia (seperti Konvensi Berne).
Sebelum lebih lanjut, dapat dilihat bahwa ketentuan UU Hak Cipta ini,
khususnya dalam Pasal 2 huruf a dan b sangat terinspirasi oleh ketentuan-ketentuan
mengenai prasyarat keberlakuan Konvensi Berne yang diatur dalam Pasal 3 dan
Pasal 4 Konvensi Berne yang telah dibahas sebelumnya. Dimana Konvensi Berne
menyatakan bahwa perlindungan diberikan kepada karya yang dibuat oleh warga
negara atau orang yang memiliki habitual residence di negara pihak atau kepada
karya yang pertama kali diumumkan di negara pihak,236 Pasal 2 UU Hak Cipta
menyatakan bahwa UU Hak Cipta berlaku terhadap karya yang dibuat oleh orang
atau badan hukum Indonesia ataupun karya yang pertama kali diumumkan di
Indonesia. Namun, menurut penulis, dengan penggunaan formulasi Konvensi
Berne di dalam ketentuan hukum domestik dengan teks yang sangat mirip dapat
menimbulkan beberapa permasalahan, karena konteks di Konvensi Berne dan
dalam UU Hak Cipta cukup berbeda. Perbedaan ini pun dapat berdampak mengenai
ketentuan mengenai hukum yang berlaku di Indonesia.
Perlu diingat fungsi dari Pasal 3 dan 4 Konvensi Berne adalah untuk
mengatur kapan perlindungan dari Konvensi Berne berlaku, dan kapan negara harus
menghormati dan melindungi hak cipta dari negara asing. Selama suatu karya
masuk kategori dalam Pasal 3 dan 4 Konvensi Berne, maka negara wajib memberi
perlindungan terhadap karya tersebut sesuai kewajiban dalam Konvensi Berne.
Namun, perlu ditekankan bahwa Pasal 3 dan 4 tidak mengatur sama sekali
mengenai hukum negara mana yang harus berlaku untuk melindungi suatu hak cipta
asing, ataupun menyatakan bagaimana suatu karya yang masuk dalam prasyarat
dalam Pasal 3 dan 4 Konvensi Berne harus dilindungi. Selama karya yang masuk
prasyarat diberikan perlindungan, maka ketentuan Pasal 3 dan 4 Konvensi Berne
sudah terpenuhi.237

236
Lihat World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 3 ayat (1) “The
protection of this Convention shall apply to: (a) authors who are nationals of one of the countries
of the Union, for their works, whether published or not; (b) authors who are not nationals of one of
the countries of the Union, for their works first published in one of those countries, or simultaneously
in a country outside the Union and in a country of the Union.”
237
Lihat hlm. 21-23 karya ini untuk pembahasan lengkap mengenai keberlakuan Konvensi
Berne dan fungsi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 3 dan 4 Konvensi Berne.

Universitas Indonesia
80

Namun, yang menjadi masalah adalah ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta yang
secara eksplisit menyatakan bahwa “undang-undang ini berlaku terhadap…”
ciptaan asing. Tentu, mengingat bahwa Indonesia menganut konsepsi cukup luas
mengenai ruang lingkup HPI,238 maka ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta, yang
memiliki ketentuan yang mengatur status hak cipta asing sebagai suatu titik
pertalian, harus dianggap sebagai ketentuan HPI. Yang menjadi permasalahan
adalah apakah ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta hanya sekedar menjamin hak cipta
orang asing di Pengadilan Indonesia, dimana ketentuan ini dapat dikatakan lebih
mengatur mengenai ‘status orang asing’ atau apakah ketentuan ini juga merupakan
ketentuan yang mengatur hukum yang berlaku atas perkara atau applicable law
yang harus digunakan oleh Pengadilan untuk mengatur suatu perkara hak cipta.
Pasal 2 UU Hak Cipta tersebut dapat ditafsirkan beberapa macam cara. Bisa
jadi ketentuan ini dibaca sebagai suatu ketentuan mengenai applicable law yang
mewajibkan penggunaan hukum domestik Indonesia saat suatu hak cipta dilindungi
oleh pengadilan Indonesia, suatu pendekatan yang identik dengan penggunaan lex
fori. Bisa juga ketentuan tersebut seharusnya tidak dibaca sebagai ketentuan
mengenai hukum yang berlaku atau applicable law, melainkan hanya sebagai
ketentuan mengenai status orang asing dalam hukum Indonesia yang menjamin
bahwa hak cipta asing dapat dilindungi oleh hukum Indonesia, tetapi hanya setelah
ketentuan-ketentuan HPI mengenai hukum yang berlaku atau applicable law
menentukan bahwa stetsel hukum yang mengatur suatu perkara adalah hukum
Indonesia. Isu terutama yang muncul adalah apakah ketentuan ini berupa suatu
ketentuan mengenai mengenai hukum yang berlaku atau applicable law atau hanya
sekedar ketentuan yang mengatur status pemegang hak cipta asing? Apakah
ketentuan pasal ini dapat memberi jawab atau memiliki dampak mengenai
ketentuan-ketentuan applicable law yang berlaku di Indonesia, atau sebenarnya
pasal ini tidak ada hubungan sama sekali dengan penyelesaian isu-isu hukum yang
berlaku? Hal ini, hemat penulis, belum sebegitu jelas, dan oleh sebab itu akan
menjadi pembahasan utama dalam bagian ini.

238
Hukum Indonesia, sama seperti Hukum Perancis menganggap bahwa HPI memiliki
cakupan bidang yang sangat luas. Dalam pandangan ini, HPI dianggap melingkupi isu-isu mengenai
hukum yang berlaku, pengadilan yang berwewenang, status orang asing, dan cara memperoleh dan
kehilangan kewarganegaraan, lihat Basuki, Hukum Perdata Internasional, hlm. 1.41.

Universitas Indonesia
81

Suatu hal yang penting diingat dalam pembahasan bagian ini adalah tahap-
tahap penyelesaian suatu perkara HPI. Pada umumnya, terdapat tahapan-tahapan
tertentu yang harus ikuti oleh pengadilan dalam perkara yang melibatkan isu-isu
HPI. Pertama, pengadilan harus menentukan apakah memiliki kompetensi. Jika
ternyata pengadilan memang memiliki kompetensi, maka Pengadilan harus
melakukan kualifikasi isu yang dihadapi berdasarkan lex fori ataupun lex causae.
Lalu, setelah dilakukan kualifikasi, baru pengadilan mengidentifikasi titik pertalian
yang berlaku dalam perkara untuk menemukan stetsel hukum yang berlaku dalam
perkara, apakah itu hukum domestik ataupun hukum asing. Baru setelah semua
tahap ini dilalui, maka ketentuan-ketentuan lain dari stetsel hukum yang berlaku
dapat digunakan untuk menyelsaikan perkara.239 Dapat dilihat bahwa hanya setelah
kita mengaplikasikan ketentuan-ketentuan mengenai hukum yang berlaku dan
menemukan suatu stetsel hukum yang mengatur suatu isu, maka ketentuan-
ketentuan hukum lainnya, termasuk mengenai ketentuan mengenai status orang
asing, akan diterapkan dalam perkara. Hal ini penting untuk diingat dalam
pembahasan mengenai Pasal 2 UU Hak Cipta karena ketentuan tentang hukum yang
berlaku di Indonesia saat ini dapat saja tergantung dengan bagaimana ketentuan
Pasal 2 UU Hak Cipta ini dikarakterisasi. Apakah ketentuan ini merupakan
ketentuan yang menjadi bagian dari ketentuan HPI Indonesia mengenai hukum
yang berlaku, atau ini sebenarnya adalah ketentuan yang merupakan bagian dari
HPI Indonesia yang hanya mengatur status orang asing, tetapi tidak mewajibkan
penggunaan suatu conflicts-rule tertentu? Oleh sebab alasan ini, menjadi penting
untuk melihat bagaimana apa dampak dari kedua konsepsi Pasal 2 UU Hak Cipta.

1. Pasal 2 UU Hak Cipta Sebagai Ketentuan Mengenai Hukum yang


Berlaku

239
Suatu formulasi yang terkenal mengenai tahap-tahapan mencari applicable law dalam
suatu perkara HPI dapat dilihat di kasus English and Wales Court of Appeal, Macmillan Inc. v.
Bishopsgate Investment Trust Plc. and Others (No. 3) [1996] 1 W.L.R. 387, hlm. 391-392 “In any
case which involves a foreign element it may prove necessary to decide what system of law is to be
applied, either to the case as a whole or to a particular issue or issues… In finding the lex causae
there are three stages. First, it is necessary to characterise the issue that is before the court…The
second stage is to select the rule of conflict of laws which lays down a connecting factor for the issue
in question…. Thirdly, it is necessary to identify the system of law which is tied by the connecting
factor found in stage two to the issue characterised in stage one.”

Universitas Indonesia
82

Pasal 2 bisa saja dibaca sebagai suatu ketentuan tentang hukum yang berlaku,
dimana kata-kata “Undang-Undang ini berlaku…” dibaca sebagai suatu ketentuan
yang mengatur stetsel hukum yang mengatur suatu perkara hak cipta. Sebagai
akibat, setiap karya yang masuk dalam kategori yang ditetapkan Pasal 2 huruf a, b,
dan c akan dilindungi dengan UU Hak Cipta, tanpa pengecualian. Jika pengertian
ini benar, artinya hukum Indonesia akan selalu diterapkan kepada kasus-kasus
pelanggaran hak cipta, terlepas dari negara mana asal karya ataupun dimana tempat
pelanggaran hak cipta ataupun nasionalitas dari para pihak dalam suatu perkara.
Jika pengertian ini diadopsi, akan mengakibatkan hasil yang identik dengan
pengertian lex fori, karena hasilnya adalah bahwa pada setiap perkara hak cipta
yang ditangani oleh Pengadilan Indonesia, akan diberlakukan ketentuan hukum hak
cipta Indonesia yang ditemukan dalam ketentuan UU Hak Cipta. Jika penafsiran
Pasal 2 UU Hak Cipta ini memang tepat, maka terdapat beberapa konsekuensi.
Pertama, walaupun hal ini tergantung dengan penafsiran Pasal 5 ayat (2)
Konvensi Berne yang dianggap tepat, hal ini dapat berupa suatu ketidaksesuaian
antara hukum nasional dan ketentuan Hukum Internasional. Jika penafsiran Pasal 5
ayat (2) yang tepat adalah penafsiran lex protectionis/lex loci delicti ataupun lex
origianis, maka ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta ini sepertinya melanggar
ketentuan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne. Namun, seandainya interpretasi lex fori
ataupun non-conflict rule interpretation adalah penafsiran yang tepat, maka tidak
terdapat suatu pelanggaran hukum internasional.
Kedua, penafsiran ini menutup kemungkinan penggunaan hukum asing
dalam perkara pelanggaran hak cipta di pengadilan Indonesia, dengan segala
konsekuensinya penggunaan lex fori pada setiap saat. Memang, hal ini bisa saja
dianggap sebagai suatu sikap yang penuh juridisch chauvinism.240 Segala
kelemahan yang terasosiasi dengan penggunaan lex fori seperti yang telah diuraikan
sebelum tentu juga berlaku, seperti rawannya praktek forum shopping serta karena
lex fori belum tentu merupakan hukum yang paling dekat atau paling logis dengan
fakta-fakta suatu perkara. Namun bukan berarti pendekatan ini tanpa kelebihan.

240
Gautama pernah menyatakan bahwa pendekatan lex fori dalam mengatur suatu PMH
memang terkadang terlihat juridisch chauvinism, lihat Gautama, Hukum Perdata Internasional
Indonesia Buku Ke-8, hlm. 132

Universitas Indonesia
83

Hakim-hakim di Indonesia tentu akan lebih memahami hukum dari lex fori sendiri
dibandingkan hukum asing, sehingga kemungkinan kesalahan dalam penerapan
hukum dapat diminimalisir. Selain itu, karena lex fori tidak memperhatikan locus
dari suatu kejadian, maka segala kesulitan menemukan locus terjadi, terutama saat
pelanggaran hak cipta terjadi melalui internet, dapat dihindar.241 Namun, menurut
Penulis secara keseluruhan, kelebihan dari lex fori belum sampe titik dimana
mengalahkan kelemahan-kelemahan dari penggunaan lex fori.

2. Pasal 2 UU Hak Cipta Bukan Sebagai Ketentuan tentang Hukum yang


Berlaku
Pasal 2 UU Hak Cipta juga bisa dipandang sebagai ketentuan yang hanya
sekedar mengatur status orang asing dalam hukum Indonesia, tetapi bukan sebagai
suatu ketentuan mengenai hukum yang berlaku. Dalam penafsiran ini, fungsi Pasal
2 UU Hak Cipta hanya untuk menegaskan bahwa karya yang dibuat orang atau
badan hukum Indonesia, karya yang pertama kali diumumkan di Indonesia, maupun
karya orang asing yang mendapat perlindungan dari perjanjian International dimana
Indonesia menjadi pihak sebagaimana diuraikan dalam Pasal 2 huruf a, b, dan c
dapat dilindungi oleh hukum Indonesia, tetapi hanya setelah ditentukan bahwa
memang hukum Indonesia yang berlaku dan mengatur perkara sesuai dengan
ketentuan-ketentuan HPI Indonesia mengenai hukum yang berlaku (yang diatur
dalam tempat lain). Dalam penafsiran ini, Pasal 2 UU Hak Cipta dipandang sebagai
ketentuan hukum mengenai status orang asing, tetapi tidak dipandang sebagai
ketentuan mengenai hukum yang berlaku. Penafsiran ini membuka kemungkinan
penggunaan asas-asas hukum yang berlaku selain lex fori. Hanya setelah melalui
tahap-tahap penyelesaian perkara HPI, seandainya hukum Indonesia berlaku
ditemukan memang berlaku, maka Pasal 2 UU Hak Cipta akan dilihat untuk
menentukan apakah UU Hak Cipta melindungi tidak karya yang menjadi objek
suatu perkara. Namun, jika melalui proses penerapan HPI Indonesia ditemukan
bahwa ketentuan hukum asing yang seharusnya berlaku dalam suatu perkara, maka
hukum asing tersebut tetap dapat diterapkan, sebab Pasal 2 UU Hak Cipta sebagai

241
Untuk pembahasan mengenai keunggulan dan kelemahan pendekatan lex fori, lihat
karya ini hlm. 56-60

Universitas Indonesia
84

ketentuan mengenai status orang asing tidak membatasi penggunaan hukum asing
tersebut. Hal ini menurut penulis cukup masuk akal, karena terkadang terhadap
suatu pelanggaran hak cipta asing memang diperlukan untuk digunakan hukum
Indonesia (sebagai contoh, seandainya menggunakan lex protectionis/lex loci
delicti, jika pelanggaran hak cipta asing terjadi di wilayah Indonesia).
Penulis berpendapat bahwa penafsiran ini lebih logis atau tepat untuk dua
alasan: Pertama, jika para pembuat naskah UU Hak Cipta memang ingin membuat
suatu conflicts-rule Indonesia baru, menurut Penulis mereka pasti akan
menggunakan bahasa yang lebih jelas yang secara eksplisit menyatakan bahwa UU
Hak Cipta berlaku terhadap semua pelanggaran hak cipta yang ditangani oleh
pengadilan Indonesia. Padahal, fungsi pasal dibuat adalah untuk memperbolehkan
pemegang hak cipta asing yang merasa hak ciptanya dilanggar di wilayah Indonesia
tetap dapat perlindungan.242 Melihat dari penjelasan UU Hak Cipta, dapat dilihat
bahwa salah satu fungsi diadakan UU Hak Cipta adalah untuk menyesuaikan
ketentuan perlindungan hak cipta Indonesia dengan ketentuan hukum
Internasional,243 dan jika demikian, lebih masuk akal jika fungsi Pasal 2 UU Hak
Cipta hanya untuk menegaskan bahwa karya-karya asing yang pertama kali
diumumkan di Indonesia dan berasal dari negara-negara pihak perjanjian
internasional hak cipta yang Indonesia juga menjadi pihak dapat dilindungi di
Indonesia juga. Tidak ada indikasi bahwa saat para pembuat undang-undang
membuat pasal demikian, mereka memang berniat untuk membuat ketentuan baru
mengenai hukum yang berlaku. Alasan kedua adalah bahwa ini penafsiran lebih
konsisten dengan asas-asas perlindungan hak cipta, yang menganut asas
territorialitas serta konsep droits indépendants perlindungan hak cipta
internasional. Asas-asas tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam bab-bab sebelum,
lebih sesuai dengan penggunaan lex protectionis/lex loci delicti dibandingkan
dengan penggunaan lex fori.
Namun, jika penafsiran yang memandang Pasal 2 UU Hak Cipta bukan suatu
ketentuan-ketentuan tentang hukum yang berlaku, maka pertanyaan utama dari
penelitian ini masih terbuka dan belum terjawab: Dalam HPI Indonesia, apa

242
Gautama, Segi-Segi Hukum, hlm. 66-70
243
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Penjelasan Umum

Universitas Indonesia
85

ketentuan applicable law atau hukum yang berlaku yang berlaku dalam sistem
hukum Indonesia dalam perkara pelanggaran hak cipta? Menurut Penulis, terdapat
dua kemungkinan atau pendekatan yang dapat digunakan oleh Hakim Indonesia
sebagai cara menentukan applicable law jika diasumsikan bahwa Pasal 2 UU Hak
Cipta tidak ada relevansi dengan permasalahan hukum yang berlaku dalam perkara
pelanggaran hak cipta di Indonesia, tetapi hanya sekedar ketentuan yang mengatur
status orang asing.
Pilihan pertama yang dapat dilakukan oleh Hakim Indonesia adalah dengan
menggunakan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku yang berlaku pada bidang
HPI pada umumnya untuk menyelesaikan suatu perkara hak cipta, yaitu ketentuan
yang ditemukan dalam Pasal 17 AB, yang mengandung asas dan lex rae sitae
(hukum dari tempat dimana benda berada)244 dan Pasal 18 AB yang memuat asas
lex locus regit actum (hukum dari tempat dimana tindakan hukum terjadi).245
Dalam konteks hak cipta sebagai suatu benda bergerak dan tidak
berwujud,246 berbeda dengan benda berwujud, penggunaan lex locus regit actum
ataupun lex rae sitae sebagaimana akan selalu menghasilkan hukum yang berlaku
yang sama. Jika menggunakan asas lex locus regit actum, atau dalam konteks PMH
lex loci delicti, maka tempat dimana hukum dimana pelanggaran hak cipta terjadi
sebagai hukum yang berlaku di suatu tempat.
Jika Hak Cipta dianggap sebagai benda bergerak, dimana sesuai dengan asas
lex rae sitae, hukum dari tempat dimana barang terletak seharusnya mengatur, itu
akan mengakibatkan hasil yang sama dengan penggunaan lex regit actum atau lex
loci delicti. Seperti yang sebelumnya dijelaskan, sesuai dengan konsep hak cipta
sebagai droits indépendants dalam Konvensi Berne, tidak ada satu hak cipta yang
berlaku di seluruh dunia, melainkan, terdapat hak cipta berbeda di tiap negara yang
berupa negara pihak kepada Konvensi Berne. Karena itu, suatu hak cipta itu dapat
dikatakan ‘terletak’ hanya di negara yang melindungi hak cipta. Oleh sebab itu,
dapat dikatakan bahwa suatu hak cipta Jepang hanya terletak di Jepang, dan suatu

244
Algemene Bepalingen, Ps. 17 “terhadap barang-barang yang tidak-bergerak berlakulah
undang-undang dari negeri atau tempat di mana barang-barang itu berada”
245
Ibid. Ps. 18 “Bentuk tiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan menurut
perundang-undangan dari negeri atau tempat, di mana tindakan hukum itu dilakukan”
246
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 16 ayat (1)

Universitas Indonesia
86

hak cipta Amerika Serikat hanya terletak di Amerika Serikat. Oleh sebab itu, jika
suatu pelanggaran hak cipta terjadi di Jepang, hak cipta yang dilanggar dapat
dikatakan terletak di Jepang, sehingga hukum Jepang berlaku. Dapat dilihat bahwa
dalam konteks hak cipta, lex locus regit actum serta lex rei sitae mengakibatkan
hasil yang sama. Alasan ini membuat Reindl menyatakan bahwa dalam konteks hak
cipta, “The choice between lex rei sitae and lex loci delicti as the proper category
may mainly be a labeling exercise that has little effect on the practical results.”247
Selain penggunaan ketentuan applicable law yang berlaku secara umum di
Indonesia kepada kasus-kasus pelanggaran hak cipta, Hakim Indonesia menurut
saya dapat melakukan rechtsvinding atau penemuan hukum dan membuat
keputusan sesuai dengan asas-asas applicable law yang berlaku pada umumnya di
dunia. Seperti yang dijelaskan dalam Bab III, mayoritas dari negara berpendapat
bahwa ketentuan applicable law yang berlaku terhadap pelanggaran hak cipta
adalah lex loci protectionis, walaupun negara memiliki berbeda pendapat mengenai
cakupan penggunaan lex loci protectionis karena beberapa negara menggunakan
lex origianis untuk menemukan hukum yang berlaku mengenai initial ownership
dari suatu hak cipta.
Untuk menjustifikasi rechtvinding tersebut, Hakim dapat menggunakan Pasal
5 ayat (2) Konvensi Berne, yang memang sering ditafsirkan oleh kebanyakan
negara sebagai ketentuan yang memuat norma lex protectionis.248 Tentu, terdapat
beberapa tantangan menggunakan pendekatan ini. Pertama, kedudukan hukum
Internasional di tatanan sistem hukum Indonesia, serta apakah ketentuan Hukum
Internasional dapat langsung diterapkan oleh Hakim Indonesia berupa suatu
pertanyaan hukum terbuka yang belum jelas jawabannya.249 Kedua, seperti yang
dijelaskan sebelumnya, sebenarnya ketentuan Pasal 5 ayat (2) masih cukup multi-
tafsir, walaupun kebanyakan negara mengadopsi penafsiran lex loci protectionis.
Akan tetapi, menurut penulis, pendekatan ini masih sangat dimungkinkan. Selain
itu, Hakim Indonesia dapat menjustifikasi penggunaan le loci protectionis murni

247
Andreas P. Reindl, “Choosing Law in Cyberspace: Copyright Conflflicts on Global
Networks,” Michigan Journal of International Law Vol. 19 Issue 3 (1998), footnote 13.
248
Untuk pembahasan lengkap tentang lex loci protectionis, lihat hlm. 64-67 karya ini
249
Agusman, Treaties Under Indonesian Law, hlm. 355-415.

Universitas Indonesia
87

karena keunggulan pendekatan ini dan kesesuaian pendekatan ini dengan asas-asas
perlindungan hak cipta internasional, seperti Asas Territorial, Asas Independence
of Protection, serta konsepsi droits indépendants yang telah dibahas sebelumnya.

B. Pandangan Pakar Hukum Indonesia tentang Asas-Asas Hukum yang


Berlaku dalam Perkara Pelanggaran Hak Cipta
Salah satu hambatan dalam menginterpretasi ketentuan-ketentuan hukum
Indonesia mengenai hukum yang berlaku dalam bidang hak cipta adalah minimnya
pembahasan mengenai isu ini dalam literatur-literatur Indonesia. Walaupun
demikian, ini tidak berarti bahwa sama sekali tidak ada pandangan-pandangan
tertentu dalam karya literatur Indonesia, walaupun tidak banyak. Dari literatur yang
ditemukan, Penulis menyimpulkan bahwa terdapat dua pandangan mengenai
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, tergantung bagaimana Pasal 2 UU Hak
Cipta ditafsirkan.
Allagan memberikan pendapatnya mengenai ketentuan applicable law dalam
UU Hak Cipta. Menurut Allagan, sebagai benda bergerak dalam undang-undang,
ketentuan yang seharusnya berlaku untuk menemukan applicable law terhadap hak
cipta adalah lex rae sitae.250 Namun, Allagan sepertinya juga menyatakan bahwa
ketentuan tentang hukum yang berlaku dalam bidang HAKI juga dapat ditemukan
dalam masing-masing undang-undang yang mengaturnya,251 sehingga UU Hak
Cipta mengatur ketentuan mengenai Hak Cipta, termasuk ketentuan mengenai
hukum yang berlaku didalamnya. Allagan sepertinya menginterpretasi Pasal 2 UU
Hak Cipta sebagai ketentuan applicable law, sehingga menyimpulkan bahwa
ketentuan applicable law yang berlaku adalah hukum dari tempat “the first
announcement with exception to any international conventions whereby RI as a
contracting state.”252
Nguyen memberi beberapa komentar terhadap pendapat Allagan tersebut, dan
berpendapat bahwa sepertinya Allagan mengidentikkan tempat dimana pertama

250
Allagan, “Indonesian Private International Law,” hlm. 406 “The principle of lex re
sitaeis remain the same, and it is applied to the registered goods, such as the intellectual property
rights.”
251
Ibid., hlm. 402
252
Ibid., hlm. 403

Universitas Indonesia
88

kali dilakukan pengumuman dengan tempat dimana hak cipta ‘berada’ untuk
kegunaan lex rei sitae. Oleh sebab itu, Nguyen berpendapat bahwa sepertinya
Allagan membuat suatu dikotomi antara konteks di luar perjanjian internasional,
dimana, dimana hukum dari tempat pertama kali dilakukan pengumuman yang
digunakan, dengan konteks di dalam suatu perjanjian internasional, dimana yang
berlaku adalah Konvensi Berne.253 Dapat dilihat ini serupa dengan pendapat Bartin
yang telah dibahas di Bab III sebelumnya, yang juga mengidentifikasi hukum dari
tempat pertama kali dilakukan pengumuman suatu karya dengan lex rei sitae.254
Namun, menurut penulis pendapat Nguyen kurang tepat, karena dikotomi
yang digambarkan oleh Nguyen terkesan tidak penting. Dengan asumsi bahwa
Pasal 2 UU Hak Cipta adalah suatu ketentuan tentang hukum yang berlaku, dengan
adanya kata ‘Undang-undang ini berlaku…’ maka terlepas apakah suatu karya
masuk dalam kategori Pasal 2 huruf a, b, ataupun c, hasilnya sama; Undang-Undang
Hak Cipta sebagai ketentuan hukum Indonesia berlaku. Oleh sebab itu, hasil akan
selalu tetap lex fori. Melihat dari sejarah Pasal 2 UU Hak Cipta, fungsi dibuat tiga
kategori adalah hanya untuk menjelaskan kapan suatu karya dilindungi di
Indonesia; sebelum dibuatnya kategori yang sekarang ditemukan dalam pasal 2
huruf c, suatu karya yang tidak dibuat di Indonesia dan tidak dilakukan
pengumuman pertama kali di Indonesia tidak akan dilindungi.255
Hemat penulis, pendapat yang diambil Allagan serupa dan harus dipandang
sebagai pendapat yang mendukung lex fori. Allagan menyatakan bahwa Applicable
Law di HPI Indonesia untuk hak cipta adalah tempat “the first announcement with
exception to any international conventions whereby RI as a contracting state.”256
Menurut penulis, dalam semua kasus, jika kita menggunakan pendapat Allagan,
hasilnya tetap akan selalu lex fori. Dalam kasus first announcement suatu karya
dilakukan di Indonesia, dan dibuat oleh seorang yang nasionalitas tidak dari negara
pihak Konvensi Berne, maka sesuai Pasal 2 huruf b, karya tersebut dilindungi, dan

253
Phan Khoi Nguyen, “Copyright Law in Vietnam: Substantive and Private International
Law Aspects” (Disertasi Doktor Rijksuniversiteit Groningen, Groningen, 2022) hlm. 238-240
254
Lihat hlm. 61-62 karya ini untuk pembahasan mengenai pendapat Bartin; lihat pula Van
Eechoud, Choice of Law, hlm. 120-121
255
Gautama, “Segi-Segi Hak,” hlm. 66-67
256
Allagan, “Indonesian Private International Law”, hlm. 403

Universitas Indonesia
89

UU Hak Cipta berlaku. Dalam kasus suatu karya first announcement dilakukan di
luar Indonesia, tetapi masuk dalam kategori ruang lingkup Konvensi Berne yang
diatur Pasal 3 dan 4 Konvensi Berne, maka dalam hukum Indonesia masuk kategori
Pasal 2 huruf c UU Hak Cipta, sehingga, UU Hak Cipta berlaku. Lalu, dalam kasus
suatu karya tidak dilakukan pengumuman pertama kali di Indonesia, dan juga tidak
termasuk ruang lingkup Konvensi Berne, maka karya tersebut tidak dilindungi,
karena tidak masuk dalam tiga kategori UU Hak Cipta. Menurut penulis, jika Pasal
2 UU Hak Cipta dipandang sebagai ketentuan applicable law, maka yang berlaku
akan selalu lex fori.
Suatu pendapat berbeda diutarakan oleh Kusumadara. Menurut Kusumadara,
“Indonesian intellectual property law does not contain any specific choice-of-law
provisions concerning the law applicable to intellectual property involving foreign
elements”257 sehingga menunjukkan secara implisit bahwa menurut Kusumadara,
Pasal 2 UU Hak Cipta bukanlah suatu ketentuan applicable law yang dapat
digunakan untuk menentukan hukum yang berlaku dalam perlindungan hak cipta
asing. Karena hal ini, Kusumadara berpendapat bahwa karena tidak ada ketentuan
lain yang mengatur, maka Hukum HAKI Indonesia mengadopsi “the traditional
rules” yaitu penggunaan lex loci protectionis dan prinsip territorialitas untuk
menentukan antara lain: keberadaan, validitas, konten, kepemilikan, durasi,
perpindahan dan perlindungan HAKI, serta pertanggungjawaban jika HAKI
dilanggar.258
Namun, Kusumadara sepertinya memiliki pandangan yang mempersamakan
lex loci protectionis dengan lex fori. Menurut Kusumadara, dalam konteks HAKI
yang tidak perlu di registrasi seperti hak cipta, maka hukum yang mengatur HAKI
tersebut adalah “the law of each state where protection is sought or granted.”
Namun, dia juga menyatakan bahwa dalam kasus hak cipta, “Indonesian courts
must apply the lex loci protectionis when adjudicating cases involving rights of this
type. In effect, this means they will apply Indonesian Law.”259 Selain itu, mengenai
karya-karya asing yang dilindungi oleh Konvensi Berne, Kusumadara berpendapat

257
Kusumadara, Indonesian Private International Law, hlm. 137
258
Ibid.
259
Ibid.

Universitas Indonesia
90

bahwa untuk kepemilikan awal atau initial title diatur oleh negara asal suatu karya
(lex originis) tetapi setelah kepemilikan sudah ditetapkan maka “the work will be
protected under Indonesian copyright law. This means that the Indonesian
copyright law become the lex loci protectionis for that copyrighted work in
Indonesian Courts.” 260
Dari ini, dapat disimpulkan bahwa Kusumadara berpendapat bahwa Pasal 2
UU Hak Cipta bukan ketentuan applicable law, melainkan yang berlaku adalah lex
loci protectionis. Namun, menurut Kusumadara lex loci protectionis ini identik
dengan lex fori, sehingga hukum Indonesian mengatur segala aspek mengenai
HAKI jika muncul di pengadilan Indonesia, kecuali masalah kepemilikan awal
yang diatur oleh lex origianis.

C. Yurisprudensi tentang Asas-Asas Hukum yang Berlaku dalam Perkara


Pelanggaran Hak Cipta
Bagian sebelumnya telah membahas mengenai ketentuan Pasal 2 UU Hak
Cipta di Indonesia, dan dampaknya terhadap ketentuan tentang hukum yang berlaku
di Indonesia serta kemungkinan-kemungkinan alternatif jika ternyata Pasal 2 UU
Hak Cipta ditafsirkan tidak memuat ketentuan mengenai hukum yang berlaku.
Namun, dalam praktek pengadilan, bagaimana ketentuan pasal ini ditafsirkan?
Penulis akan melihat hal tersebut melalui analisa beberapa kasus mengenai
pelanggaran hak cipta sebagai suatu PMH. Pertama adalah kasus The Institute for
Motivational Living, Inc. Melawan Yon Nofiar, suatu perkara yang diadili oleh
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Putusan Nomor
61/PDT.SUS/HAK CIPTA/2013/PN.NIAGA.JKT.PST261 dan juga kasasi dari
kasus tersebut dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 306/K/Pdt.SUS-
HKI/2011.262 Kedua, akan dibahas pula kasus yang kebetulan melibatkan
penggugat yang sama, yaitu adalah kasus The Institute For Motivational Living, Inc

260
Ibid. hlm. 138
261
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan No. 61/PDT.SUS/HAK CIPTA/2013/PN.NI-
AGA.JKT.PST
262
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 306/K/Pdt.SUS-HKI/2011.

Universitas Indonesia
91

Melawan Didik Mulato dan PT. Inti Finance Synergy, yang dapat ditemukan dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor No. 736 K/Pdt.Sus/2011.263
Sebelum lanjut, namun beberapa catatan perlu dibuat. Pertama, dalam
perkara-perkara yang ditemukan oleh penulis, belum tentu Hakim membuat suatu
putusan mengenai pokok perkara. Seringkali, hakim dalam perkara menemukan
bahwa suatu gugatan tidak dapat diterima karena cacat formil dari suatu gugatan.
Akan tetapi, dari argumentasi para pihak dalam suatu perkara, dapat dilihat
beberapa pandangan atau asumsi dari praktisi hukum maupun pandangan-
pandangan hakim mengenai suatu perkara. Oleh sebab itu, Penulis belum tentu
hanya akan melihat bagaimana seorang hakim membuat putusan, tetapi juga akan
melihat bagaimana para pihak dalam suatu perkara mengargumentasikan posisi
mereka. Kedua, Putusan-putusan yang akan dibahas dalam penelitian ini terbatas,
sebab memang belum banyak putusan di Indonesia yang membahas ataupun
melibatkan aspek-aspek Hak Cipta dari perspektif HPI. Namun, walaupun terdapat
keterbatasan ini, dengan melihat kasus-kasus yang sudah ada pada saat, suatu
kecenderungan atau preferensi penggunaan metode applicable law tertentu dapat
dilihat, khususnya pada penggunaan lex fori, yang dapat dilihat terutama dari
bagaimana para pihak mengkonstruksi argumen dalam perkara. Terakhir, karena
kemiripan fakta kedua kasus, penulis akan memaparkan fakta kedua kasus, lalu
melakukan analisa secara sekaligus

1. Fakta Kasus The Institute for Motivational Living, Inc. Melawan Yon
Nofiar
Perkara ini muncul sebagai akibat sengketa antara penggugat Institute for
Motivational Living, suatu perusahaan yang didirikan berdasarkan Hukum
Amerika Serikat dan memiliki pusat di Ohio dan Tergugat Yon Nofiar, seorang
yang tinggal di Indonesia.264
The Institute for Motivational Living adalah adalah perusahaan AS yang
bergerak di bidang penyelenggaraan tes kepribadian. Mereka membuat beberapa

263
Mahkamah Agung Republik Indonesia, No. 736 K/Pdt.Sus/2011.
264
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan No. 61/PDT.SUS/HAK CIPTA/2013/PN.NI-
AGA.JKT.PST, hlm. 1

Universitas Indonesia
92

produk yang berfungsi sebagai alat diagnostik kepribadian berdasarkan teori DISC
yang dikemukakan oleh psikolog William Marston. Produk-produk ini muncul
dalam bentuk buku, CD dan program komputer yang dapat digunakan untuk
pelatihan dan sertifikasi secara daring maupun luring. Produk-produk ini telah
didaftarkan di Kantor Hak Cipta Amerika Serikat (US Copyright Office), dan
beberapa dari produk itu juga telah didaftarkan di Indonesia melalui Direktorat
Jendral Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI).265
Penggugat dalam perkara membuka kesempatan agar orang lain dapat
menjadi agen dan distributor dari materi ciptaan mereka melalui perjanjian sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh penggugat.266 Yon Nofiar,
tergugat dalam perkara ini, antara tahun 2002 sampai 2005 menjadi agen resmi
untuk Penggugat di wilayah Indonesia.267
Namun, setelah itu, Tergugat melakukan beberapa hal yang dinilai sebagai
pelanggaran hak cipta oleh Penggugat. Pada awal 2004, Tergugat minta izin kepada
Penggugat untuk menggunakan beberapa bagian dari materi ciptaan Penggugat
untuk dimasukkan dalam buku karangan Tergugat. Penggugat menolak permintaan
tersebut, namun Penggugat tetap lanjut menulis dan menerbitkan buku berjudul
DISC: the Leading Behavioral Assesment Tools (Mengukur Perilaku Kerja) pada
tahun 2005 melalui Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
tanpa izin dari penggugat. Pada saat kemudian, Tergugat melalui Lembaga
miliknya bernama Quantum Quality Internasional menerbitkan buku berjudul
“Handbook of Disc alat Ukur Perilaku Kerja” pada tahun 2009, yang menurut
Penggugat sebagain bersar berupa duplikasi dan terjemahan dari materi Ciptaan
Penggugat. Terakhir, Tergugat dituduh oleh Penggugat telah menjual ‘assesement
toolkits’ berdasarkan materi ciptaan penggugat secara daring melalui beberapa situs
internet.268 Atas pelanggaran-pelanggaran hak cipta ini, Penggugat mengambil
tindakan hukum dan menggugat Tergugat di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

265
Ibid., hlm. 3-4
266
Ibid., hlm. 5
267
Ibid., hlm. 8
268
Ibid, hlm. 9-12

Universitas Indonesia
93

Dapat dilihat dari dalil-dalil para pihak sengketa bahwa kedua belah pihak
sepertinya beranggapan bahwa Hukum Indonesia berupa hukum yang berlaku atas
sengketa pelanggaran Hak Cipta. Dalam surat gugatannya, Penggugat menyatakan
bahwa “Penggugat sebagai Pencipta maupun Pemegang Hak Cipta atas Materi
Ciptaan tersebut harus pula dilindungi oleh hukum Indonesia, termasuk UU Hak
Cipta…”269 sesuai dengan ketentuan Pasal 76 huruf C angka ii UU Hak Cipta
2002270 yang menyatakan bahwa:
Undang-undang ini berlaku terhadap… semua Ciptaan bukan warga negara
Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia,
dengan ketentuan… negaranya dan Negara Republik Indonesia merupakan
pihak atau peserta dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai
perlindungan Hak Cipta.

Penggugat lalu mendalilkan bahwa karena Republik Indonesia maupun


Amerika Serikat berupa negara pihak Konvensi Berne, maka sesuai dengan Pasal 5
ayat (1) Konvensi Berne,271 maka “Pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta yang
berasal dari luar Indonesia harus dilindungi oleh hukum Nasional, yang dalam hal
ini termasuk UU Hak Cipta.” 272
Dalam bagian-bagian lain dari surat gugatan mereka, Penggugat secara
konsisten merujuk kepada ketentuan Hukum Indonesia, khususnya UU Hak Cipta
2002, dengan mendalilkan bahwa perbuatan-perbuatan Tergugat melanggar
ketentuan Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 56 UU Hak Cipta 2002.273
Atas dalil gugatan, Tergugat mengajukan beberapa eksepsi, antara lain bahwa
gugatan tidak dapat diterima karena 1. Penggugat tidak punya Legal Standing, 2.
Penggugat kurang pihak (Plurium Litis Consortium) dan 3. Gugatan Kabur
(Obscuur Libel). Namun, Tergugat juga selalu merujuk kepada ketentuan Hukum

269
Ibid., hlm. 7
270
Teks dari Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2002, Ps. 76 identik dengan teks
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, 2014, Ps. 2.
271
World Intellectual Property Organization, Berne Convention, Ps. 5 ayat (1) “Authors
shall enjoy, in respect of works for which they are protected under this Convention, in countries of
the Union other than the country of origin, the rights which their respective laws do now or may
hereafter grant to their nationals, as well as the rights specially granted by this Convention”; Untuk
pembahasan lengkap mengenai ketentuan ini, lihat hlm. 26-27.
272
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan No. 61/PDT.SUS/HAK CIPTA/2013/PN.NI-
AGA.JKT.PST, hlm. 7
273
Ibid., hlm. 6, 8.

Universitas Indonesia
94

Indonesia, dan tidak membantah berlakunya hukum Indonesia atas perkara.274


Dalam putusan, Majelis Hakim menerima eksepsi Obscuur Libel, dan menyatakan
gugatan Penggugat tidak dapat diterima dengan pertimbangan bahwa:
…karena Penggugat tidak menguraikan secara spesifik hak cipta Penggugat
yang telah dilanggar oleh Tergugat, maka Gugatan Penggugat tersebut
menjadi kabur karena akan terjadi kesulitan dalam pembuktian hak cipta yang
telah dilanggar tersebut.275
Putusan ini diperkuatkan oleh Majelis Hakim di tingkat kasasi, yang
menemukan bahwa Pengadilan Niaga tidak salah menerapkan hukum, dan gugatan
Penggugat memang benar memiliki cacat formil, sehingga gugatan tidak dapat
diterima.276

2. Fakta Kasus The Institute for Motivational Living, Inc Melawan Didik
Mulato dan PT. Inti Finance Synergy
Perkara kedua yang akan dibahas oleh Penulis adalah perkara The Institute
for Motivational Living, Inc., melawan Didik Mulato dan PT. Inti Finance Synergy,
yang kebetulan saja melibatkan penggugat sama seperti kasus pertama yang
dibahas. Seperti dalam perkara sebelum, materi ciptaan yang menjadi objek
sengketa dalam perkara ini adalah produk-produk tes kepribadian DISC dalam
bentuk buku, CD dan program komputer yang telah diciptakan dan didaftarkan di
Amerika Serikat.277 Namun, Tergugat Didik Mulato membuat suatu situs dengan
nama domain http://www.disc.web.id, lalu mengunggah berbagai materi ciptaan
Penggugat ke situs tersebut tanda izin Penggugat dan secara sepihak. Pengunjung
situs tersebut dapat mengunduh berbagai materi ciptaan penggugat tanpa
mengeluarkan biaya apapun.278 Sedangkan Tergugat II PT. Inti Finance Synergy
dituduh membantu memfasilitasi tindakan Didik Mulato dengan membuat situs
dengan nama domain http://www.infigygroup.com yang menghubungi pengunjung

274
Ibid., hlm. 23-30
275
Ibid, hlm. 51
276
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 306K/Pdt.Sus-HKI/2014, hlm. 33.
277
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 736 K/Pdt.Sus/2011, hlm. 2
278
Ibid., hlm. 4-6

Universitas Indonesia
95

situs ke situs Didik Mulato.279 Karena merasa rugi, Penggugat menggugat Didik
Mulato dan PT. Inti Finance Synergy ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Melihat dalil-dalil para pihak dalam perkara ini, pola seperti kasus sebelum
terulang kembali. Seperti di kasus pertama, kedua belah pihak dalam perkara ini
sepertinya beranggapan bahwa Hukum Indonesia berupa hukum yang berlaku atas
sengketa pelanggaran Hak Cipta. Argument-argumen mengenai pasal 76 UU Hak
Cipta 2002 serta Pasal 5 ayat (1) Konvensi Berne kembali diulang yang diajukan
Penggugat dalam kasus pertama diajukan kembali.280 Tidak ada pembahasan
mengenai isu-isu hukum yang berlaku, walaupun dalam kasus ini, konteksnya
adalah pelanggaran hak cipta daring. Tidak ada pihak yang membuat dalil mengenai
locus dari PMH, walaupun dalam kasus pelanggaran hak cipta daring.
Atas dalil-dalil Penggugat, para tergugat dalam kasus ini mengajukan
beberapa eksepsi, antara lain bahwa 1. Pengadilan tidak memiliki kompetensi relatif
atas perkara dan 2. Bahwa gugatan kurang pihak (plurium litis consortium).281
Namun, Majelis Hakim dalam Putusan No. No. 04/HKI.HAK CIPTA/2011/PN.
Niaga Sby. tanggal 4 Agustus 2011 menolak semua eksepsi gugatan yang diajukan
oleh para tergugat dan mengabulkan sebagian dari permohonan penggugat.282
Penggugat sempat mengajukan kasasi mengenai isu jumlah ganti rugi, namun
banding tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung.283

3. Analisa Kasus
Terlepas dari hasil perkara masing-masing kasus, beberapa aspek dari kasus-
kasus ini dapat dikomentari. Dapat dilihat bahwa semua pihak dalam kedua perkara
– Penggugat, Tergugat, maupun Majelis Hakim semua memiliki praanggapan
bahwa Hukum Indonesia mengatur pelanggaran hak cipta dalam perkara.
Kecenderungan ini sangat terlihat dalam dalil-dalil yang diajukan Penggugat dalam
kedua kasus mengenai Pasal 76 UU Hak Cipta 2002 dan hubungannya dengan

279
Ibid., hlm. 6-7
280
Ibid., hlm. 3-4.
281
Ibid., hlm. 13-14
282
Ibid., hlm. 14-15
283
Ibid., hlm. 15-29

Universitas Indonesia
96

Konvensi Berne. Dalam putusan ini, tidak ada pembahasan sama sekali mengenai
isu-isu HPI sebenarnya tersinggung dalam perkara, ataupun mengenai hukum
negara mana yang sebenarnya harus berlaku dalam perkara. Analisa dalam surat
gugatan Penggugat sudah mulai dengan asumsi bahwa Pasal 76 UU Hak Cipta
berlaku, dan karena Penggugat merupakan pencipta yang termasuk dalam kategori
yang ditetapkan Pasal 76 huruf c angka ii, maka dilindungi oleh Hukum Indonesia.
Sepertinya tidak ada kesadaran mengenai isu-isu hukum yang berlaku yang dapat
terlibat dalam perkara.
Ketidaksadaran isu-isu semacam ini lebih terlihat lagi dengan memperhatikan
pernyataan Penggugat saat mendalilkan dalam kedua perkara bahwa “Dalam pasal
5 ayat (1) Konvensi Berne, Pencipta dan/atau pemegang Hak Cipta yang berasal
dari luar Indonesia harus dilindungi oleh hukum Nasional, yang dalam hal ini
termasuk UU Hak Cipta.”284 Pernyataan ini sebenarnya kurang tepat. Seperti telah
dibahas dalam bab-bab sebelum, pasal 5 ayat (1) Konvensi Berne hanya sekedar
mewajibkan negara pihak untuk memperlakukan pemegang hak cipta asing sama
seperti pemegang hak cipta domestik sesuai dengan asas national treatment. Asas
national treatment bukanlah suatu ketentuan choice-of-law yang mewajibkan
penggunaan suatu stetsel hukum tertentu dalam suatu perkara. Suatu negara dapat
saja memenuhi kewajiban national treatment tanpa harus menerapkan ketentuan
hukum domestik kepada pemegang hak cipta asing.285 Namun, pernyataan ini
serupa dengan pendapat-pendapat pakar yang menganut pandangan bahwa
Konvensi Berne mengandung ketentuan lex fori, yang telah dibahas dalam bab-bab
sebelum.286
Tentu, seandainya Majelis Hakim atau para pihak dalam perkara memang
melakukan analisa mengenai aspek-aspek HPI dalam perkara, hasil dari analisa
kemungkinan besar tidak akan mengubah penemuan bahwa Hukum Indonesia
berlaku atas perkara. Karena tindakan-tindakan tergugat dalam perkara terjadi di
Indonesia, penggunaan lex fori, lex loci delicti, ataupun lex loci protectionis semua

284
Ibid. hlm. 5; Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan No. 61/PDT.SUS/HAK
CIPTA/2013/PN.NI- AGA.JKT.PST, hlm. 7
285
Untuk pembahasan lengkap mengenai hubungan asas national treatment dengan
ketentuan mengenai hukum yang berlaku, lihat hlm. 50-53.
286
Lihat hlm. 58-60 karya ini.

Universitas Indonesia
97

akan mengakibatkan penggunaan Hukum Indonesia. Akan tetapi, pertanyaan yang


penting adalah apakah penggunaan Hukum Indonesia dalam perkara dilakukan
karena Hukum Indonesia memang ditemukan sebagai applicable law setelah proses
analisa sesuai HPI, atau hanya karena sekedar praanggapan bahwa Hukum
Indonesia berlaku?
Menurut hemat penulis, Perkara ini menunjukkan bahwa antara para praktisi
hukum Indonesia, ada praanggapan bahwa dalam perkara hak cipta, jika suatu
perkara diadili oleh pengadilan Indonesia, maka hukum Indonesia otomatis berlaku.
Jika benar, ini secara implisit atau de facto merupakan bukti bahwa pandangan yang
dominan antara para praktisi hukum adalah bahwa lex fori akan selalu berlaku atas
perkara pelanggaran hak cipta. Ini karena jika analisa hukum suatu perkara mulai
dengan anggapan bahwa Pasal 76 UU Hak Cipta 2002 (atau Pasal 2 UU Hak Cipta
2014) berlaku tanpa perlu analisa mengenai hukum yang berlaku, maka pada
akhirnya, pasti ditemukan bahwa Hukum Indonesia berlaku atas suatu perkara.

D. Kesimpulan
Dari semua diskusi dalam bab ini, dapat dibuat beberapa kesimpulan.
Pertama, ketentuan-ketentuan hukum Indonesia yang dapat dilihat sebagai suatu
ketentuan mengenai applicable law terhadap pelanggaran hak cipta masih belum
sebegitu jelas, terutama dengan melihat ketentuan Pasal 2 UU Hak Cipta. Penulis
telah menjelaskan implikasi-implikasi dari ketentuan tersebut. Jika Pasal 2 UU Hak
Cipta dianggap sebagai suatu ketentuan mengenai hukum yang berlaku,
kemungkinan besar Indonesia menganut lex fori untuk menemukan hukum yang
berlaku atas pelanggaran hak cipta. Akan tetapi, jika pasal tersebut tidak dipandang
sebagai suatu ketentuan mengenai hukum yang berlaku, melainkan hanya mengatur
status orang asing, maka masih terdapat beberapa sumber alternatif untuk mencari
ketentuan HPI nasional tentang applicable law terhadap pelanggaran hak cipta,
yaitu dengan menggunakan ketentuan dalam Pasal 17 dan/atau 18 AB (Lex Rei
Sitae/Lex Loci Delicti) atau dengan melakukan penemuan hukum dan
menggunakan doktrin lex loci protectionis yang sudah cukup dikenal di seluruh
dunia.

Universitas Indonesia
98

Kedua, melihat pandangan para pakar hukum Indonesia serta yurisprudensi-


yurisprudensi Indonesia, semua terlihat secara implisit memandang ketentuan Pasal
2 UU Hak Cipta sebagai suatu ketentuan mengenai hukum yang berlaku. Sebagai
akibat, pandangan lex fori dapat dikatakan merupakan pemahaman yang dominan
di Indonesia tentang applicable law terhadap pelanggaran hak cipta.
Menurut Penulis, walaupun pemahaman lex fori memang dominan,
pemahaman tersebut bukanlah pemahaman yang paling tepat. Setelah melihat
materi dalam bab sebelum mengenai berbagai praktek-praktek negara, sudah
terlihat bahwa doktrin lex loci protectionis sudah cukup terkenal di dunia. Lex loci
protectionis lebih sesuai dengan asas-asas dan karakteristik dasar kerangka
perlindungan hak cipta internasional, seperti asas territorial, asas Independence of
Protection, asas national treatment serta konsepsi droits indépendants dari
Konvensi Berne. Oleh sebab itu, menurut penulis penggunaan lex loci protectionis
lebih tepat untuk digunakan di Indonesia. Selain itu, penulis juga berpendapat
bahwa pasal 2 UU Hak Cipta sebaiknya tidak dipandang sebagai ketentuan
mengenai applicable law atau sebagai conflicts rule, melainkan sebagai ketentuan
yang mengatur status orang asing, yang hanya menekankan bahwa hukum
Indonesia juga dapat melindungi hak cipta asing, tetapi tidak mensyaratkan
pengadilan-pengadilan Indonesia untuk menggunakan hukum Indonesia untuk
menyelesaikan perkara pelanggaran hak cipta.

Universitas Indonesia
99

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah diuraikan pada Bab 1 sampai dengan Bab 4
mengenai ketentuan applicable law yang berlaku kepada pelanggaran hak cipta,
penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada saat ini belum ada posisi konsisten dan pasti dalam hukum nasional
mengenai ketentuan-ketentuan applicable law yang berlaku mau dalam
instrumen internasional maupun national, melainkan terdapat berbagai
pandangan.
2. Dalam tingkat hukum internasional, terdapat berbagai interpretasi
mengenai ketentuan applicable law yang terdapat dalamnya, antara lain
pandangan bahwa konvensi berne tidak memuat suatu kaidah HPI,
pandangan bahwa terdapat kaidah lex fori, lex origianis, atau lex loci
delicti/lex protectionis. Namun, dari keempat pandangan tersebut,
pandangan yang dianut oleh mayoritas negara dan akademisi serta lebih
sesuai dengan asas-asas dasar perlindungan hak cipta adalah asas lex loci
delicti/lex protectionis, yang pada intinya menyatakan bahwa hukum yang
seharusnya berlaku terhadap suatu perkara perlanggaran hak cipta adalah
hukum dari tempat dimana suatu karya yang dilindungi hak cipta dilanggar.
3. Dalam tingkat hukum nasional, Pasal 2 UU Hak Cipta memuat norma yang
dapat dibaca sebagai suatu norma hukum yang mengatur hukum yang
berlaku terhadap pelanggaran Hak Cipta, yaitu lex fori atau pandangan
bahwa hukum dari forum yang mendengar suatu perkara seharusnya
mengatur pokok perkara dalam kasus pelanggaran hak cipta. Penafsiran ini
didukung oleh yurisprudensi ataupun pendapat akademisi hukum
Indonesia. Walaupun demikian, Penulis menjelaskan bahwa terdapat
beberapa kelemahan dan kekurangan dari penafsiran tersebut dan
berpendapat bahwa Pasal 2 UU Hak Cipta tidak dapat serta-merta
ditafsirkan sebagai suatu ketentuan mengenai hukum yang berlaku, tetapi

Universitas Indonesia
100

hanya sekedar ketentuan mengenai status orang asing. Penulis juga


mengeksplorasi pendekatan alternatif yang dapat digunakan untuk oleh
Hakim Indonesia agar dapat menggunakan pendekatan lex protectionis/lex
loci delicti yang lebih sesuai dengan asas-asas perlindungan hak cipta, yaitu
melalui penggunaan ketentuan mengenai hukum yang berlaku secara
umum dalam Pasal 17 dan 18 AB ataupun melalui rechtsvinding dan
penggunakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Konvensi Berne secara langsung.

B. Saran
1. Untuk memberikan kepastian lebih mengenai ketentuan HPI yang berlaku
dalam perkara pelanggaran hak cipta, sebaiknya dibuat peraturan yang
menetapkan suatu peraturan mengenai hukum yang berlaku terhadap
pelanggaran hak cipta di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan melalui suatu
ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Perdata Internasional
(RUU HPI) yang sedang dibahas dan dirancang saat penulisan penelitian
ini. Ketentuan juga dapat dimuat dalam suatu revisi UU Hak Cipta yang
dapat memberikan kejelasan mengenai ketentuan yang mengatur aspek-
aspek HPI dari perlindungan hak cipta.
2. Bagi Hakim Indonesia, dalam menyelesaikan perkara harus diperhatikan
ketentuan-ketentuan Hukum Internasional seperti Pasal 5 ayat (2) Konvensi
Berne yang dapat digunakan sebagai sumber rechtsvinding untuk
menemukan suatu kaedah HPI yang mengatur mengenai hukum yang
berlaku terhadap pelanggaran hak cipta. Selain itu, hakim juga dapat
menggunakan ketentuan HPI yang berlaku secara umum dalam Pasal 17 dan
18 AB terhadap pelanggaran hak cipta. Kedua pendekatan tersebut dapat
digunakan untuk mencari sumber ketentuan HPI yang berlaku terhadap
kasus pelanggaran hak cipta yang juga sesuai dan konsisten dengan asas-
asas perlindungan hak cipta dan dari sisi policy pula.

Universitas Indonesia
101

DAFTAR PUSAKA

I. Buku
Abrams, Howard B. “United States” dalam Intellectual Property and Private
International Law: Comparative Perspectives. diedit oleh Toshiyuki Kono.
1103-1122. Portland: Hart Publishing, 2012.

Agusman, Damos Dumoli. Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study.


Bandung: Rosda Internasional, 2014.

Allagan, Tiruma M. Pitta. “The Objectives of Indonesian Private International


Law,” dalam Culture and International Law, di edit oleh Hikmahanto
Juwana et al., 11-20. London: Taylor & Francis Group, 2019

Ancel, Marie-Elodie. “France” dalam Intellectual Property and Private


International Law: Comparative Perspectives. di edit oleh Toshiyuki Kono.
525-580. Portland: Hart Publishing, 2012.

Basuki, Zulfa Djoko et al. Hukum Perdata Internasional. ed.1. cet. 1. Tangerang
Selatan: Universitas Terbuka, 2014.

Bennet, Anabelle dan Sam Granata. When Private International Law Meets
Intellectual Property Law: A Guide for Judges. Den Haag: Hague
Conference on Private International Law; Jenewa: World Intellectual
Property Organization, 2019.

Christie, Andrew F. Private International Law Issues in Online Intellectual


Property Infringement Disputes with Cross-Border Elements: An Analysis
of National Approaches. Jenewa: World Intellectual Property Organization,
2015.

Dörr, Oliver dan Kristen Schmalenbach, eds. Vienna Convention on the Law of
Treaties: A Commentary. ed.2. Berlin: Springer, 2018.

Fentiman, Richard. “Choice of Law and Intellectual Property” dalam Intellectual


Property and Private International Law – Heading for the Future. Diedit
oleh Josef Drexl dan Anette Kur, 129-148. Portland: Hart Publishing, 2005.

Universitas Indonesia
102

Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid I Buku Ke-1. cet.
7. Bandung: PT. Alumni, 2008.

Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid III Bagian 2 Buku
ke-8. ed. 1. cet. 6. Bandung: Alumni, 2007.

Gautama, Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. cet. Ke-6.


Bandung: Binacipta, 2012.

Gautama, Sudargo. Segi-Segi Hukum Hak Milik Intelektual. cet. 2. Bandung:


Eresco, 1995.

Goldstein, Paul dan P. Bernt Hugenholtz. International Copyright: Principles, Law,


and Practice. ed. 4. New York: Oxford University Press, 2019.

Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. ed. 2. Jakarta: Sinar
Grafika, 2017.

Lee, Gyohoo. “Korea” dalam Intellectual Property and Private International Law:
Comparative Perspectives. Diedit oleh Toshiyuki Kono, 793-849. Portland:
Hart Publishing, 2012.

Kono, Toshiyuki dan Paulius Jurčys. “General Report” dalam Intellectual Property
and Private International Law: Comparative Perspectives. ed. Toshiyuki
Kono, 1-216. Portland: Hart Publishing, 2012.

Kusumadara, Alifah et al. Indonesian Private International Law. Oxford: Hart


Publishing, 2021.

Malanczuk, Peter. Akehurt’s Modern Introduction to International Law, ed. 7. New


York: Routledge, 1997.

Mamudji, Sri et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Matsushita, Matsuo et al., The World Trade Organization: Law, Practice, and
Policy, ed. 3. New York: Oxford University Press. 2015.

Universitas Indonesia
103

Saidin, O.K. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, cet. 9, Jakarta: Rajawali
Pers, 2015

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3. Jakarta: Penerbit


Universitas Indonesia, 2015.

Stewart, S.M. International Copyrights and Neighboring Rights. London:


Butterworths, 1983.

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 31. Jakarta: Intermasa, 2003.

Torremans, Paul dan James J. Fawcett, eds. Cheshire, North & Fawcett: Private
International Law. Oxford: Oxford University Press, 2017.

World Intellectual Property Organization. Guide to the Berne Convention for the
Protection of Literary and Artistic Works (Paris Act, 1971). Jenewa: World
Intellectual Property Organization, 1978.

Yokomizo, Dai. “Japan” dalam Intellectual Property and Private International


Law: Comparative Perspectives. di edit oleh Toshiyuki Kono. 763-791.
Portland: Hart Publishing, 2012.

II. Artikel
Allagan, Tiurma M.P. “Indonesian Private International Law: The Development
After More Then Century.” Indonesian Journal of Internationa Law 14. No.
3. Art. 6. hlm. 381- 416.
Austin, Graeme W. “Domestic Laws and Foreign Rights: Choice of Law in
Transnational Copyright Infringement Litigation,” Columbia-VLA Journal
of Law & the Arts 23, No. 1 (1999-2000), hlm. 1-46
Antonelli, Antonelli/ “Applicable Law Aspects of Copyright Infringement on The
Internet: What Principles Should Apply?” Singapore Journal of Legal
Studies. (Juli 2003). hlm. 147-177
Banu, Roxana. “Conflicting Justice in Conflict of Laws.” Vanderbilt Journal of
Transnational Law 53, No. 2 (2020), hlm. 461-523

Universitas Indonesia
104

Butt, Simon. “The Position of International Law Within the Indonesian Legal
System.” Emory International Law Review Vol. 5 Is. 1 (2014). Hlm. 1-28
Dinwoodie, Graeme B. “Developing a Private International Intellectual Property
Law: The Demise of Territoriality?” William & Mary Law Review 51 No.
2, Art. 12. (2009). hlm. 713-800
Gendreau, Ysolde. “The Criterion of Fixation in International Law” Revue
Internationale du Droit d’Auteur No. 159 (1994). Hlm. 110-202
Reindl, Andreas P. “Choosing Law in Cyberspace: Copyright Conflflicts on Global
Networks.” Michigan Journal of International Law Vol. 19 Issue 3 (1998).
hlm. 799-871

III. Makalah
Ginsburg, Jane C. “Private International Law Aspects of the Protection of Works
and Objects of Related Rights Transmitted Through Digital Networks.”
Makalah disampaikan pada seminar Group of Consultants on the Private
International Law Aspects of the Protection Of Works And Objects of
Related Rights Transmitted through Global Digital Networks, Jenewa, 16-
18 Desember 1998.

IV. Disertasi
Nguyen, Phan Khoi. “Copyright Law in Vietnam: Substantive and Private
International Law Aspects.” Disertasi Doktor Rijksuniversiteit Groningen,
Groningen, 2022.
Van Eechoud, Mireille. “Choice of Law in Copyright and Related Rights.” Disertasi
Doktor Universiteit van Amsterdam. Amsterdam, 2003.

V. Peraturan Perundang-undangan
Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie. [Peraturan Umum Mengenai
Perundang-Undangan Untuk Indonesia] Staatsblad No. 23 Tahun 1847.
Indonesia. Keputusan Presiden tentang Pengesahan Berne Convention on the
Protection of Literary and Artistic Work. Keppres No. 18 Tahun 1997.

Universitas Indonesia
105

Indoensia. Keputusan Presiden tentang Pengesahan WIPO Copyright Treaty.


Keppres No. 19 Tahun 1997.
Indonesia. Undang-Undang Hak Cipta. UU No. 6 Tahun 1982, LN No. 15 Tahun
1982, TLN No. 3217
Indonesia. Undang-Undang Hak Cipta. UU No. 19 Tahun 2002, LN No. 85 Tahun
2002, TLN No. 4420.
Indonesia. Undang-Undang Hak Cipta. UU No. 28 Tahun 2014, LN. 266 Tahun
2014, TLN No. 5599.
Indonesia. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 48 Tahun 2009, LN.
No. 157 Tahun 2009, TLN No. 507.
Indonesia. Undang-Undang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization. UU No. 7 Tahun 1994, LN No. 57 Tahun 1994, TLN No.
3564.
Indonesia. Undang-Undang Perubahan Undang-Undang No. 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta. UU No. 7 Tahun 1987, LN No. 3362 Tahun 1987, TLN
No. 3362.
Jepang. Act on the General Rules of Application of Laws [Hō no Tekiyō ni Kansuru
Tsūsokuhō]. Undang-Undang No. 10 Tahun 1898 (sebagaimana telah
diamandemen 21 June 2006). Diterjemahkan oleh Kent Anderson dan
Yasuhiro Okuda.
http://blog.hawaii.edu/aplpj/files/2011/11/APLPJ_08.1_anderson.pdf.
diakses 5 Juli 2022.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Balai Pustaka, 2009.
Korea Selatan. Act on Private International Law. Undang-Undang No.13759.
Diterjemahkan oleh Lembaga Riset Hukum Korea dan Kementerian
Kehakiman Korea, Divisi Hukum Internasional.
https://law.go.kr/LSW/lsInfoP
.do?lsiSeq=179501&viewCls=engLsInfoR&urlMode=engLsInfoR#0000,
diakses 5 Juli 2022.

VI. Putusan Pengadilan

Universitas Indonesia
106

English and Wales Court of Appeal, Pearce v Ove Arup Partnership Ltd.
(Jurisdiction) [2000] Ch. 403
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 306/K/Pdt.SUS-HKI/2011
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan No. 736 K/Pdt.Sus/2011.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan No. 61/PDT.SUS/HAK
CIPTA/2013/PN.NI- AGA.JKT.PST
United States Court of Appeal Ninth Circuit. Creative Technology, Ltd. v. Aztech
System Pte, Ltd, 61 F.3d 696 (9th Cir. 1995).
United States Court of Appeal Ninth Circuit. Subafilms, Ltd. v. MGM-Pathe
Communications Co. 24 F.3d 1088 (9th Cir. 1994).
United States Court of Appeal Second Circuit. Itar-Tass Russian News v. Russian
Kurier Itar-Tass Russian News v. Russian Kurier, 153 F.3d 82 (2d Cir.
1998).
United States District Court Southern District of New York. London Film Prods.
Ltd. v. Intercontinental Commc’ns Inc 580 F. Supp. 47 (S.D.N.Y. 1984),

VII. Dokumen Internasional


Persatuan Bangsa-Bangsa. Vienna Convention on the Law of Treaties. UNTS 1155
(1980)
Uni Eropa. Regulation on the Law Applicable to Non-Contractual Obligations
(Rome II). Regulation (EC) No 864/2007.
World Intellectual Property Organization. Convention Establishing the World
Intellectual Property Organization. UNTS 828 (1970)
World Intellectual Property Organization. Paris Act relating to the Berne
Convention on the Protection of Literary and Artistic Works. UNTS 1161
(1972)
World Intellectual Property Organization, WIPO Copyright Treaty (WCT) (1996),
UNTS 2186 (2002)
World Trade Organization, Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights, UNTS 1869 (1995)

VIII. Internet

Universitas Indonesia
107

Boscheiro, Nerina “Intellectual Property in the Light of the European Conflict of


Laws” https://www.ialsnet.org/meetings/business/BoschieroNerina-
Italy.pdf, diakses 5 Juli 2022
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. “RUU tentang Hukum Perdata
Internasional.” https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/433, diakses 18 Januari
2022
World Intellectual Property Organization. “Berne Convention for the Protection of
Literary and Artistic Works.” https://www.wipo.int/treaties/en/ip/berne/.
diakses 14 Januari 2022
World Intellectual Property Organization, “Summary of the Berne Convention for
the Protection of Literary and Artistic Works (1886),” https://www.wipo.in
t/treaties/en/ip/berne/summary_berne.html. Diakses 18 Januari 2022
World Intellectual Property Organization, “Summary of the WIPO Copyright
Treaty,” https://www.wipo.int/treaties/en/ip/wct/summary_wct.html.
Diakses, 3 Maret 2022
World Intellectual Property Organization, “WIPO-Administered Treaties>
Contracting Parties> Berne Convention.” https://wipolex.wipo.int/en/treati
es/ShowResults?search_what=C&tre aty_id=15. Diakses 14 Januari 2022

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai