Anda di halaman 1dari 18

DIPONEGORO LAW JOURNAL

Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016


Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

EFEKTIVITAS YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK


INDONESIA NO.179/K/SIP/1961 TERHADAP HAK MEWARIS PADA
MASYARAKAT BATAK KARO DI KOTA KABANJAHE, KABUPATEN
KARO, PROVINSI SUMATERA UTARA

Sonia Catrisia*, Agung Basuki Prasetyo, Sri Wahyu Ananingsih


Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
E-mail : sonia_munthe@yahoo.com
Abstrak
Perselisihan dan keributan antar saudara dapat terjadi akibat pembagian harta warisan yang
tidak adil. Ketidakadilan akan membawa para pihak bersengketa untuk menyelesaikan dengan cara
kesepakatan atau dengan cara menempuh jalur hukum. Perselisihan dan keributan dalam pembagian
harta warisan pada masyarakat adat Batak Karo telah membuat suatu putusan Mahkamah Agung
No.179K/Sip/1961, tanggal 23 Oktober 1961 yang menyatakan persamaan hak anak laki-laki dan
anak perempuan dalam mewaris. Putusan Mahkamah Agung ini bertentangan dengan hukum waris
adat Batak Karo yang menganut sistem pewarisan patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik
menurut garis bapak, dimana anak laki-laki sajalah yang berhak atas harta warisan orang tuanya. Di
Indonesia, yurisprudensi Mahkamah Agung hanya menentukan suatu hukum yang berlaku bagi
pihak-pihak tertentu dalam suatu perkara. Keputusan hakim hanya mengikat bagi para pihak yang
diadili oleh putusan yang bersangkutan, dan tidak mengikat bagi orang lain. Sementara hukum waris
adat Batak Karo dirasa kurang adil bagi kaum perempuan. Sehubungan dengan hal tersebut maka
perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui latar belakang pemikiran hakim dalam memutus
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No.179/K/SIP/1961, dan apa saja dampaknya
bagi masyarakat Batak Karo serta efektivitasnya dalam pembagian harta warisan pada masyarakat
adat Batak Karo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi perkembangan dalam hukum
waris adat Batak Karo khususnya terhadap anak perempuan sebagai ahli waris. Ini dapat dibuktikan
dengan adanya pembagian yang khusus dan kewajiban untuk memberikan pemberian kepada anak
perempuan walaupun tidak sebanyak bagian anak laki-laki. Hasil penelitian sangat berguna dalam
rangka penegakan hukum dalam pembagian warisan pada masyarakat Karo.
Kata Kunci : Efektivitas, Yurisprudensi, Hak Waris, Masyarakat Batak Karo.
Abstract
Dispute and commotion among siblings may occur as a result of unfair inheritance
distribution. Injustice will bring the parties to settle the dispute through such agreement or legal
proceeding. Dispute and commotion in the inheritance distribution of the Batak Karo peoples had
made a Putusan Mahkamah Agung No.179K/Sip/1961, dated on October 23, 1961 which states
gender equality on heirs. Putusan Mahkamah Agung is in contradiction with customary inheritance
law of Batak Karo which embracing patrilineal inheritance system, the system of descent drawn
along the lines of the father, stating that the only male descendant who is entitled to be the heir. In
Indonesia, Putusan Mahkamah Agung only determines a law that applies to certain parties in
certain case. The judges' decision is only binding for the parties have been convicted by the decision
in question, and is not binding for other people who are not the parties, while the inheritance law of
Batak Karo is seemed to be unfair for women. Concerning the aforesaid issues, it is necessary to
investigate the judge’s consideration in deciding the Yurispudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia No.179/K/SIP/1961, and what kind of implications being brought to Batak Karo society
and its in the inheritance distribution in indigenous people of Batak Karo. The results showed that
there has been enhancement in the customary inheritance law of Batak Karo, particularly against
women as heiress. This can be evidenced by the special division and the obligation to give a gift to
their daughter although not as much as their son. The results of the study are very useful in the
context of inheritance law enforcement in the Karo peoples.
Keywords: Effectiveness, Jurisprudence, Inheritance Rights, People of Batak Karo.

1
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

I. PENDAHULUAN melawan Langtewas Sitepu dan Ngadu


Sitepu).
Di Indonesia hukum yang
mengatur mengenai waris atau Adanya yurisprudensi ini
peralihan harta kekayaan masih kemudian menimbulkan dualisme
beraneka ragam, dimana terdapat tiga proses pewarisan pada masyarakat
sistem hukum yang mengatur masalah Batak Karo, yaitu pembagian harta
warisan, yaitu; Hukum Adat, Hukum waris yang sama bagi anak laki-laki
Islam dan Hukum Perdata Barat. dan anak perempuan dan pembagian
harta waris dimana harta waris hanya
Mayarakat Indonesia lebih diberikan kepada anak laki-laki saja.
cenderung menggunakan hukum adat Dalam Praktek (kenyataan), banyak
untuk mengatur tentang pewarisan, masyarakat Batak Karo sudah lebih
karena hukum adat merupakan hukum cenderung untuk menggunakan
yang lahir, hidup dan berkembang dari ketentuan dari Mahkamah Agung
nilai-nilai masyarakat Indonesia No.179/Sip/1961 tersebut dalam
sehari-hari. Berdasarkan hal tesebut mempertahankan haknya ataupun
hukum adat sangat relevan digunakan dalam pembagian warisan, yaitu dapat
untuk mengatur tentang pewarisan kita lihat dari banyaknya gugatan yang
pada masyarakat Indonesia. masuk ke pengdilan mengenai masalah
Pertikaian terkait warisan bisa warisan, terutama masyarakat Batak
muncul karena berbagai penyebab, Karo di perantauan. Tetapi dari sudut
salah satunya adalah pembagian harta lain kita juga dapat melihat bahwa
warisan yang dirasa tidak adil oleh masih banyak masyarakat Batak Karo
salah satu pihak atau beberapa pihak yang mempertahankan hukum waris
ahli waris. Salah satu rasa adat lama, yaitu masih dipakainya
ketidak-adilan ini dapat dijumpai pada ketentuan bahwa anak laki-laki saja
sistem pembagian harta warisan di yang memperoleh harta warisan dari
Kota Kabanjahe dimana mayoritas orang tuanya, terutama di Kota
penduduknya adalah suku Batak Karo Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera
sehingga dalam hal kewarisan sistem Utara.
pembagian harta yang digunakan II. METODE PENELITIAN
adalah hukum waris adat Batak Karo
yang menganut sistem kekerabatan Metodologi penelitian merupakan
patrilineal. cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu
Namn seiring berjalannya waktu, kegiatan guna mencapai tujuan yang
pewarisan dalam hukum adat ditentukan dan merupakan salah satu
masyarakat Batak Karo ini mengalami prosedur yang harus dilewati untuk
pergeseran dilihat dari adanya mencapai suatu pemahaman dan dapat
putusan-putusan pengadilan selama dipertanggungjawabkan.
ini. Salah satu putusan yang
bertentangan dengan hukum waris A. Metode Pendekatan
menurut adat Batak Karo adalah
putusan Mahkamah Agung Metode pendekatan yang
No.179K/Sip/1961 (kasus: Rumbane digunakan di dalam penelitian ini
beru Sitepu dan Benih Ginting adalah metode pendekatan yuridis

2
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

empiris (socio legal reserach). kualitatif, yaitu suatu cara penelitian


Pendekatan yuridis empiris yaitu yang menghasilkan daskriptif analitis
pendekatan yang dilakukan demi yaitu yang dinyatakan oleh responden
mendapatkan pengetahuan tentang secara tertulis atau lisan serta tingkah
hubungan antara hukum dan laku yang nyata, yang diteliti dan
masyarakat serta faktor-faktor yang dipelajari sebagai sesuatu yang utuh,
menjadi pengaruh dalam pelaksanaan maksudnya data yang diperoleh
hukum di masyarakat yang nantinya disusun secara sistematis kemudian
digunakan sebagai data untuk dianalisis secara kualitatif agar
menyusun penulisan hukum. memperoleh kejelasan masalah yang
Pendekatan ini dilakukan dengan akan dibahas.2
mengadakan penelitian langsung di
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
lapangan dengan tujuan untuk
mengumpulkan data yang objektif A. Latar Belakang Hakim
yang disebut data primer.1 Mahkamah Agung dalam
Agar memperoleh data yang Menjatuhkan Putusan Nomor
akurat dan dapat 179/K/Sip/1961.
dipertanggungjawabkan, maka penulis Dasar pertimbangan hakim dalam
mengumpulkan data dengan cara studi menjatuhkan suatu putusan akan
kepustakaan dan studi lapangan. sangat menentukan apakah putusan
Adapun bahan dan sumber data yang seorang hakim dianggap telah
diperlukan dalam penelitian ini, yaitu: memenuhi rasa keadilan dan dapat
1. Data Primer dipertanggungjawabkan atau tidak.
Hal tersebut dilakukan karena putusan
Data primer adalah data yang yang dijatuhkan oleh hakim akan
diperoleh langsung dari sumbernya mempunyai konsekuensi yang luas,
sesuai rumusan masalah yang telah tidak hanya konsekuensi yang
ditentukan, data ini diperoleh melalui berkaitan langsung dengan para pihak
penelitian lapangan (field research) yang bersengketa namun juga kepada
yang dilakukan dengan cara masyarakat secara luas.
wawancara atau interview secara
langsung dengan para responden. Sumber hukum yang dapat
diterapkan oleh hakim dapat berupa
2. Data Sekunder peraturan perundang-undangan berikut
peraturan pelaksanaannya, hukum
Data sekunder adalah data yang tidak tertulis (hukum adat), putusan
bersumber dari penelitian kepustakaan desa, yurisprudensi, ilmu pengetahuan
(library search). maupun doktrin/ajaran para ahli.3
B. Metode Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan
2 Ronny Haditijo Soemitro, Metodologi
dalam penelitian ini adalah analisis Penelitian Hukum dan Judimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), halaman 93.

1 Hadari Nawawi, Penelitian Terapan, 3 R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata


(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2000), dan Yurisprudensi, (Bandung: Mandar Maju, 2005),
halaman 9. halaman 146.

3
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

Setelah dilakukan penelitian waktu (timing) atau apakah sudah


secara mendalam melalui wawancara saatnya situasi dan kondisi pada
yang berkaitan dengan Yurisprudensi masyarakat tersebut diterapkan
Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan yang akan diputuskan,
No.179/K/Sip/1961 pada Pengadilan sudah sejauh mana sosialisasi
Negeri Kabanjahe, maka dapat diambil hukum waris nasional pada
beberapa dasar pertimbangan hakim masyarakat tertentu serta tingkat
dalam manjatuhkan putusan tersebut. kesadaran hukum dan dinamika
Adapun dasar pertimbangan hakim yang berkembang dalam
adalah sebagai berikut:: masyarakat tertentu, oleh sebab
itu diperlukan kehati-hatian dalam
1. Bahwa hakim yang memutus menetapkan putusan. Apalagi
perkara ini mengetahui betul yang dicari hakim adalah selalu
bahwa sistem kekeluargaan yang putusan yang adil seacara
dianut oleh pihak yang berperkara universal, baik pada perempuan
adalah patrilineal. Namun, hakim maupun laki-laki.4
tidak boleh hanya berpatokan
pada sistem kekeluargaan itu saja. 2. Bahwa hakim yang menjatuhkan
Untuk mengetahui ruang lingkup putusan pada pengadilan
atas suatu peristiwa konkret, maka Mahkamah Agung ini berasal dari
hakim terlebih dahulu perlu suku Jawa, sehingga ada
memperoleh kepastian tentang kecenderungan dalam
sengketa yang telah terjadi, dan menjatuhkan putusan tersebut
hal tersebut dilakukan hakim saat hakim bersandar pada hukum
proses jawab-menjawab. Hakim adatnya. Dimana sistem
harus memperhatikan semua kekerabatan yang dianut oleh
kejadian yang telah diuraikan oleh orang Jawa adalah parental, yaitu
kedua belah pihak. Perkara yang mengikuti garis keturunan
mengandung persoalan hukum kebapak-ibuan, sehingga dalam
adat ini mengharuskan hakim hal pewarisan, baik anak laki-laki
untuk berusaha menggali, maupun anak perempuan adalah
mengikuti dan memahami sama kedudukannya. Tidak seperti
nilai-nilai hukum dan keadilan yang terjadi pada putusan
yang hidup dalam masyarakat. Pengadilan Negeri, dimana hakim
Hakim dalam memutus perkara ini yang memutus berasal dari suku
juga harus peka memperhatikan Karo, yang paham dan dapat
aspek-aspek non-yuridis seperti merasakan “roh” dari hukum adat
aspek filosofis, sosiologis, Karo itu sendiri, sehinggga dalam
psikologis, sosial ekonomis, memutus sengketa ini hakim
budaya bangsa serta dampak tersebut sangat
kedepan yang ditimbulkan di mempertimbangkan hukum adat
tengah-tengah masyarakat setelah
keluarnya putusan ini sehingga
hakim harus menggali hukum
mana yang lebih tepat dan adil 4 Prof. Hj. Rehngena Purba, S.H., M.S
untuk pihak-pihak yang (hakim agung), wawancara, 13 Mei 2016, di
Mahkamah Agung, Jakarta.
berperkara, disamping itu masalah

4
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

Karo sebagai dasar untuk meyakini untuk menggunakan hukum


menjatuhkan putusannya.5 adat untuk menyelesaikan
permasalahan harta warisan yang
Penulis kemudian menganalisis berupa tanah pusaka ini, namun karena
apakah putusan tersebut diatas telah eksekusi putusan pengadilan adat tidak
sesuai dengan asas-asas hukum waris memiliki sanksi yang jelas maka pada
adat. Adapun asas-asas hukum waris akhirnya para Penggugat memilih
adat tersebut adalah sebagai berikut:6 untuk menyelesaikan sengketa ini
1. Asas Ketuhanan dan Pengendalian melaui jalur pengadilan.
Diri Dapat dilihat bahwa disini pihak
Hakim dalam memutuskan sudah Penggugat yang pada awalnya
sesuai dengan asas Ketuhanan dan membawa sengketa ini ke pengadilan
Pengendalian Diri. Hakim bertujuan adat didasari atas faktor kepentingan
memberi kesadaran bagi para pihak pribadi, dimana hukum waris adat
yang bersengketa bahwa harta lebih menguntungkannya daripada
kekayaan yang dimiliki manusia hukum yang lain untuk masalah
merupakan karunia dari Tuhan Yang pembagian harta warisan. Di sisi lain,
Maha Esa dan dalam hukum waris pihak Tergugat merasa tidak
adat yang dimaksud dengan harta diuntungkan malah dirugikan dengan
warisan terutama dalam hal ini ialah putusan pengadilan adat yang
tanah pusaka bukan semata-mata memenangkan pihak laki-laki sebagai
bernilai ekonomis, namun ahli waris yang sah menurut adat atas
mengandung nilai-nilai kehormatan tanah “Djuma Pasar” milik Rolak
adat yang senyatanya bersifat religius Sitepu, karena hukum waris adat yang
magis. digunakan pada kasus ini adalah
hukum waris adat Batak Karo. Maka
2. Asas Kesamaan Hak dan pantaslah seorang hakim memutuskan
Kebersamaan Hak untuk setiap ahli waris mempunyai
Berkembangnya pola pikir kedudukan yang sama antara laki-laki
masyarakat terjadi karena berbagai dan perempuan sebagai orang yang
faktor. Biasanya faktor pendidikan, berhak untuk mewarisi harta
kepentingan, ekonomi, globalisasi, peninggalan pewarisnya, seimbang
teknologi dan lingkungan tempat antara hak dan kewajiban dan
tinggal yang sangat berpengaruh tanggung jawab bagi setiap ahli waris
dengan apa yang diyakini seseorang untuk mempeoleh harta warisannya.
atau masyarakat untuk menyelesaikan Oleh karenanya, kedudukan yang
sengketa waris yang dihadapi. Seperti sama antara laki-laki dan perempuan
hal nya dalam kasus ini dimana pihak sebagai ahli waris bukan berarti
Penggugat pada awalnya lebih pembagian harta peninggalan tersebut
harus dibagi sama rata/sama banyak,
melainkan pembagian itu seimbang
5 Nuah Torong (tokoh dan pengamat
masyarakat Karo), wawancara, 15 Mei 2016, di
berdasarkan hak dan tanggung
Kota Kabanjahe. jawabnya sebagai ahli waris.
Keputusan ini juga sangat mendukung
6 Hilman Hadikusuma, Op.cit., halaman
asas ketuhanan dan pengendalian diri
221.
yang bertujuan bukan untuk terbagi

5
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

atau tidak terbaginya harta warisan, kerabat laki-laki terdekatlah yang


melainkan untuk menjaga kerukunan memiliki hak untuk mewarisi harta
hidup diantara para ahli waris. peninggalan pewaris, dalam hal ini
ialah para Penggugat.
3. Asas Kerukunan dan
Kekeluargaan Hakim sudah selayaknya turun
tangan dalam keadaan seperti ini,
Masyarakat adat Batak Karo karena posisi pihak Tergugat sebagai
adalah masyarakat yang menganut cucu kandung pewaris dianggap tidak
sistem kekerabatan patilineal, dimana sah oleh para Penggugat untuk
garis keturunan dilanjutkan dari ayah memliki tanah pusaka tersebut
kepada anak laki-laki. Hal ini berdasarkan hukum adat. Hakim harus
mempunyai konsekuensi kepada hak menentukan apa yang sepatutnya
mewarisi. Pada masyarakat Batak diterima anak perempuan dengan tetap
Karo anak perempuan tidak dianggap menghormati keberadaan hukum adat
sebagai pewaris harta orangtuanya yang berlaku, karena pada masa itu
karena dia bukan pewaris marga. belum ada patokan yang tetap sebagai
Situasi tersebut mengakibatkan pegangan untuk menentukan hak waris
perempuan sering dipandang hanya pada perempuan Karo. Agar asas
sebagai objek dan hanya untuk kerukunan dan kekeluargaan tercapai,
melahirkan keturunan, sementara maka sudah sepatutnya hakim
laki-laki digambarkan sebagai aktor membatalkan isi putusan pengadilan
yang memegang peranan kunci dalam tinggi yang menyatakan kepemilikan
hal-hal penting. tanak pusaka yang disengketakan
Hukum adat Batak Karo harus diserahkan sepenuhnya kepada
mengatur, bahwa setiap keturunan pihak Penggugat. Putusan hakim ini
akan mendapat merga atau beru yang bertujuan untuk memelihara hubungan
mengikuti marga ayahnya. Jadi, bila kekerabatan yang tenteram dan damai
ada pemberian-pemberian kepada anak dalam masyarakat Batak Karo.
perempuan yang berupa hak milik, 4. Asas Musyawarah dan Mufakat
maka secara otomatis jika diwariskan
hatus kepada ahli warisnya. Hal inilah Pada saat perkara ini masuk ke
yang membuat pemberian kepada anak pengadilan negara, yaitu Pengadilan
perempuan hanya sebatas pemberian Negeri Kabanjahe, hakim sebelumnya
hak pakai. Hak pakai yang dimaksud telah menyarankan para pihak
adalah harta dapat dikuasai selama (Penggugat dan Tergugat) untuk
anak perempuan masih hidup, dan menyelesaikan sengketa waris ini
setelah anak perempuan tersebut diluar jalur pengadilan. Musyawarah
meninggal maka harta akan dalam pembagian harta warisan ini
dikembalikan kepada marga asalnya. sejatinya telah dilakukan melalui
pengadilan adat sebagai lembaga
Hukum waris adat Karo jelas musyawarah mufakat adat, atau yang
menentukan bahwa hanya anak lebih dikenal dengan istilah runggu
laki-lakilah yang berhak menjadi ahli dalam masyarakat Batak Karo yang
waris, sehingga apabila seseorang mengikutsertakan para pengetua adat
meninggal dengan kondisi tidak yang benar-benar memahami,
memiliki keturunan laki-laki maka

6
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

menguasai dan menghayati adat menghargai, menghormati, menaati


istiadat Karo. dan melaksanakan hasil musyawarah
mufakat tersebut. Namun yang terjadi
Keberadaan “Balai Raja justru malah sebaliknya, pihak
Berempat” sebagai lembaga hukum Tergugat yaitu dalam hal ini Benih
adat Batak Karo memiliki peranan Ginting tidak mengindahkan hasil
yang sangat penting dan strategis kesepakatan yang telah dicapai dalam
dalam penyelesaian sengketa hukum runggu dan karena hasil runggu
yang terjadi ditengah-tengah tersebut tidak jelas eksekusinya, maka
masyarakat hukum adat Batak Karo, pihak Penggugat pada akhinya
termasuk diantaranya sengketa melayangkan surat gugatan ke
mengenai pembagian warisan dalam Pengadilan Negeri Kabanjahe.
masyarakat Batak Karo. Hukum adat
yang dijalankan oleh lembaga hukum Saran hakim kepada para pihak
adat ini merpakan perwujudan dari untuk menggunakan jalur diluar
nilai-nilai yang hidup dan berkembang pengadilan untuk menyelesaikan
di dalam masyarakat. Oleh kaena itu, sengketa menunjukkan bahwa hakim
hukum adat, baik secara yuridis telah menjunjung tinggi asas
normatif, filosofis maupun sosiologis musyawarah dan mufakat. Namun
seharusnya diletakkan sebagai pondasi bagi para pihak yang bersengketa,
dasar dalam strutur hierarki tata terutama bagi pihak Tergugat
hukum Indonesia. dianggap tidak menjunjung tinggi asas
musyawarah dan mufakat karena
Hasil runggu tersebut telah mengabaikan hasil kesepakatan yang
mencapai kesepakatan, yaitu tanah telah dicapai dalam musyawarah
pusaka “Djuma Pasar” harus tersebut, sehingga Penggugat
dikembalikan kepada pihak Penggugat mengambil keputusan untuk
yang dalam hal ini merupakan kerabat menyelesaikan sengketa ini melalui
laki-laki terdekat dari alm. Rolak jalur hukum (pengadilan).
Sitepu dan merupakan penerus merga,
karena keluarga yang besengketa ini 5. Asas Keadilan dan Parimirma
merupakan keluarga yang menganut
sistem kekerabatan patrilineal. Apalagi Hukum waris adat Batak Karo
dalam hukum waris adat Batak Karo, memiliki prinsip bahwa hanya pihak
perempuan yang sudah menikah sudah laki-laki saja yang dijadikan sebagai
sudah bukan menjadi anggota ahli waris utama, sedangkan pihak
klan/merganya lagi, melainkan sudah perempuan juga dianggap sebagai ahli
pindah menjadi anggota klan/merga waris, hanya saja bagian warisnya di
suaminya dan bukan tanggung jawab dapatkan atas dasar Keleng Ate, yaitu
orangtuanya lagi, melainkan menjadi pemberian dari saudara laki-lakinya
tanggung jawab suaminya, yang atas dasar kasih sayang, namun hal ini
berarti sudah tidak ada hak atas harta juga tidak wajib untuk dilakukan.
waris orangtuanya. Biasanya jumlah bagian bersadarkan
keleng ate ini tidak lebih dari bagian
Apabila dalam suatu musyawah anak laki dan tidak ditetapkan berapa
terjadi kesepakatan, sudah sewajarnya besar ukuran minimalnya. Selain itu,
setiap pihak yang terlibat wajib untuk apa jenis bagian dan dimana bagian

7
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

seorang perempuan sepenuhnya dan kontra diantara masyarakat,


ditentukan oleh anak laki-laki. dimana tidak hanya masyarakat Batak
Karo namun masyarakat Batak secara
Berdasarkan Undang-Undang No. keseluruhan terutama kaum laki-laki
4 Tahun 2009 tentang Kekuasaan secara tegas menentang yurisprudensi
Kehakiman, dalam memutuskan suatu ini dan di lain pihak tak sedikit pula
perkara, hakim wajib menggali, masyarakat yang setuju dengan
mengikuti dan memahami nilai-nilai lahirnya yurisprudensi ini. Dampak
hukm dan rasa keadilan yang hidup yang timbul dari lahirnya
dalam masyarakat. Hal tersebut sejalan yurisprudensi ini tidak sekaligus
dengan eksistensi hukum adat itu muncul, melainkan secara bertahap.
sendiri yang merupakan hukum dan Dimana dalam penulisan hukum ini
nilai-nilai yang hidup dalam penulis membaginya ke dalam
masyarakat. Namun keputusan hakim beberapa tahap/fase, yaitu:
terkadang belum tentu dapat diterima
oleh semua pihak. Oleh karenanya 1. Fase Pertama
yurisprudensi yang merupakan hasil
keputusan hakim juga belum tentu Fase ini terjadi sekitar tahun 1961
dapat diterima oleh semua pihak. sampai sebelum tahun 1970-an. Pada
Putusan yang dijatuhkan Hakim saat awal diputuskan dan ditetapkan
Agung dalam Yurisprudensi menjadi yurisprudensi, putusan ini
Mahkamah Agung Republik Indonesia dampaknya hanya dirasakan bagi
No.179/K/Sip/1961 menyatakan pihak-pihak yang bersangkutan saja,
bahwa hak waris perempuan adalah yakni para pihak yang bersengketa.
sama dengan anak laki-laki. Tidak membawa dapak yang cukup
besar karena yurisprudensi ini sifatnya
Jika dilihat secara sekilas, dapat kasuistis. Yurisprudensi ini juga tidak
dikatakan hakim dalam menjatuhkan membawa dapak yang cukup besar
putusan ini telah mengesampingkan karena lambannya proses sosialisasi
hukum adat yang hidup di dalam mengenai yuriprudensi ini di
masyarakat. Namun disisi lain hakim tengah-tengah masyarakat.
bertujuan untuk mencapai keadilan
yang universal, sehingga keputusan 2. Fase Kedua
hakim dalam perkara ini telah Fase ini berlangsung dari tahun
memenuhi asas keadilan. Oleh karena 1970-an sampai awal tahun 2000-an.
itu, baik Penggugat maupun Tergugat Dengan disamakannya hak anak
mendapatkan bagian harta warisan. laki-laki dan perempuan, tentu ini
mempengaruhi cara berpikir
B. Dampak yang Timbul Dalam
masyarakat Batak Karo, juga
Masyarakat Batak Karo di Kota
mempengaruhi kehidupan hukum
Kabanjahe Pasca Keluarnya
waris adat Batak Karo itu sendiri,
Yurisprudensi Mahkamah
namun perkembangan tersebut tidak
Agung Republik Indonesia
tejadi secara merata di seluruh Tanah
Nomor 179/K/Sip/1961.
Karo. Perkembangan yang tidak
Yurisprudensi ini menimbulkan merata tersebut dapat dilihat dari
dampak bagi masyarakat Batak Karo. perbedaan pendapat diantara pengetua
Dampak tersebut merupakan hasil pro adat di satu desa dengan pengetua adat

8
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

di desa lain di Tanah Karo. Meskipun terhadap persamaan hak waris tersebut
pada dasarnya perkembangan hukum kemudian memicu ledakan gugatan
waris adat tersebut sama-sama terkait harta warisan bagi anak
menyatakan bahwa anak perempuan perempuan yang terjadi tak hanya di
berhak menerima bagian waris dari Pengadilan Negeri Kabanjahe, tetapi
harta peninggalan orangtuanya juga Pengadilan Negeri kota-kota lain
dimana ada masyarakat Batak Karo
Beberapa alasan yang mendasari berdomisili. Selain karena faktor
anak perempuan yang tidak lahirnya yrisprudensi tersebut, terdapat
mempunyai saudara laki-laki sebagai faktor-faktor lain yang mendorong
ahli waris dari harta orangtuanya, sikap menuntut keadilan terhadap
antara lain adalah:7 persamaan hak waris, yaitu:
a. Anak perempuan merupakan anak a. Besarnya tanggung jawab anak
kandung yang sah sebagai perempuan dalam hukum adat
keturunan dari si pewaris. Bila Batak Karo, jika melakukan
diperkarakan, maka keputusan perkawinan akan masuk menjadi
pengadilan maupun Mahkamah anggota dari merga suaminya.
Agung Republik Indonesia akan Merga yang mengambil anak
memutuskan dan menetapkan perempuan tersebut disebut
anak perempuan berhak sebagai dengan anak beru dalam sistem
ahli waris yang sah dari si kekerabatan adat Batak Karo.
pewaris. Karena anak perempuan menjadi
b. Adanya kesadaran dari saudara si bagian atau masuk ke dalam
pewaris akan bagian-bagian yang merga suaminya, maka anak
telah ditetapkan oleh orangtua perempuan itu adalah anak beru.
mereka terdahulu dalam Anak beru juga dinamakan
pembahagian warisan mereka sebagai si majekken lape-lape,
bersama si pewaris (sudah yaitu yang sebagai tempat
menjadi hak si pewaris yang akan berteduh bagi kalimbubu-nya.
jatuh kepada keturunannya) dan Lebih lanjut tugas/tugasnya antara
lain-lain. lain:
Selain membawa dampak − Mengatur jalannya pembicaraan
terhadap hukum waris adat Batak runggu (musyawarah) adat.
Karo, yurisprudensi tersebut juga
− Menyiapkan hidangan pada pesta.
mendorong adanya sikap menuntut
dari pihak perempuan terhadap − Menyiapkan peralatan yang
persamaan hak waris. 8 Sikap diperlukan pesta.
menuntut dari pihak perempuan
− Menanggulangi sementara semua
7 Damenta Tarigan, (pengetua adat),
biaya pesta.
wawancara, 10 Mei 2016, pukul 09.00 WIB, di Desa
− Mengawasi semua harta milik
Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo.
kalimbubunya yaitu wajib
8 Nuah Torong (tokoh dan pengamat menjaga dan mengetahui harta
masyarakat Karo), wawancara, 15 Mei 2016, di benda kalimbubunya.
Kota Kabanjahe.

9
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

− Menjadwal pertemuan keluarga istiadat hukum waris dari daerah


asalnya yang patrilineal menjadi
− Menjadi juru damai bagi pihak mengikuti pola hukum waris
kalimbubunya, parental yang ada di daerah
Setelah sekian banyak tugas anak perantauan.
perempuan sebagai anak beru, tugas d. Sikap dan pola pikir serta prilaku
anak perempuan pun semakin berat, konsumtif yang dipicu oleh
karena harus mengurus dan merawat globalisasi dan faktor ekonomi
orangtuanya (si pewaris) yang tinggal pada setiap individu sangat
bersama-sama dengan anak mempengaruhi terhadap
perempuannya, karena banyak kehidupan di dalam keluarganya.
orang-orang tua adat Batak Karo lebih Biaya hidup semakin tinggi dan
nyaman dan memilih tinggal bersama biaya pendidikan semakin mahal.
anak perempuannya dibandingkan Salah satu cara mendapatkannya
tinggal bersama anak laki-laki mereka. dengan mudah dan praktis adalah
Sebenarnya dalam adat Batak Karo mendapatkan dengan cara
pengurusan hari tua dari orangtua pembahagian harta warisan. Hal
adalah menjadi tanggung jawab anak tersebutlah yang kemudian
laki-laki, namun apabila ada orangtua mendorong anak perempuan
yang tidak diurus dalam masa tuanya untuk mendapatkan uang atau
oleh anak-anaknya, maka masyarakat harta dari hak mewaris.
setempat akan memberikan sanksi
sosial/moral terhadap anak e. Semakin tinggi pendidikan
perempuannya. Kemudian ketika seseorang maka cara berpikirnya
orangtua meninggal, anak perempuan pun akan semakin maju dan
tidak mendapatkan hak waris menurut menyesuaikan diri terhadap
hukum adat. Maka muncul lah rasa perubahan dan perkembangan di
ketidakadilan dan semenjak lahirnya lingkungan sekitarnya. Pendidikan
yurisprudensi teresebut biasanya hal membawa seseorang menjadi
ini berujung pada gugatan; lebih kritis dalam menghadapi
suatu perubahan yang akan
b. Apabila anak perempuan telah bermanfaat bagi dirinya,
memiliki suami, maka banyak dari lingkungan dan masyarakat dalam
pihak suami yang mendorong agar berinteraksi satu sama lainnya..
istrinya menuntut bagian hak Hal ini berpengaruh khususnya
waris yang sama bagiannya dalam waris adat Batak Karo,
dengan anak laki-laki atas dasar yang dulunya anak laki-laki yang
yurisprudensi tersebut. berhak mendapat warisan (sistem
c. Perpindahan penduduk atau patrilineal), Karena berpikir
orang-orang dari satu daerah dengan logika, seseorang akan
(kampung halaman) ke daerah lebih cenderung memilih keadilan
yang lain agar kehidupan dalam hal pembagian harta
selanjutnya lebih baik dan warisan. Dengan demikian bagian
terjamin, khususnya di daerah
perantauan. Hal ini mempengaruhi
terhadap kebiasaan atau adat

10
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

warisan kepada anak laki-laki dan menggugat persamaan hak waris


perempuan adalah sama rata.9 dengan dasar yurisprudensi tersebut.
Bagi sebagian besar tokoh masyarakat
f. Dengan adanya yurisprudensi adat Batak Karo, hal ini dianggap
tersebut, maka jika terjadi sebagai “bencana sosial” yang sangat
sengketa waris, pihak yang disesalkan. Bahkan dalam
merasa dirugikan, terutama pihak khotbah-khotbah dan dakwah-dakwah
perempuan dapat mengajukan ke keagamaan selalu menghimbau agar
Pengadilan Negeri, dan masyarakat Batak Karo dapat menahan
penyelesainnya oleh hakim dapat sifat egoistis dan menghentikan
merujuk kepada yurisprudensi ini, sumber perpecahan kekerabatan
yaitu pembagian hak waris yang tersebut.
sama terhadap anak laki-laki dan
anak perempuan. 3. Fase Ketiga
g. Faktor agama juga sangat Fase ini mulai berlangsung sejak
mempengaruhi sikap menuntut tahun 2000-an. Pada fase ini, dapat
keadilan terhadap persamaan hak dilihat bahwa dampak negatif yang
waris pada anak perempuan muncul akibat lahirnya yurisprudensi
Batak, khususnya pada tersebut secara berangsur-angsur mulai
masyarakat Batak Karo, karena berkurang, dan mengarah pada
sebagian besar mereka memeluk kesepahaman pembagian hak waris
gama Kristen dan Katolik, yang yang sama antara laki-laki dan
memandang kedudukan dan perempuan. Hal tersebut ditandai
derajat anak perempuan dan anak dengan mulai berkurangnya gugatan
laki-laki adalah sama. terkait hak waris yang masuk ke
Pengadilan Negeri Kabanjahe. Ini
Berdasarkan hasil penelitian disebabkan adanya himbauan dari para
dapat diambil kesimpulan, munculnya pemuka agama, tingkat pendidikan
trend sikap menuntut dari pihak masyarakat yang sudah meningkat,
perempuan terhadap persamaan hak tingkat kesadaran hukum yang
waris dan sikap mempertahankan meningkat, teknologi, dan komunikasi
hukum waris adat dari pihak laki-laki yang senantiasa berkembang, faktor
telah membawa dampak negatif bagi globalisasi, adanya himbauan dari
situasi sosial kemasyarakatan dan Pemerintah yang dilakukan secara
sistem kekerabatan pada masyarakat terus-menerus maupun
Batak Karo, yaitu dengan banyaknya Konvensi-Konvensi Wanita
perselisihan yang timbul dalam Internasional tentang penghapusann
keluarga-keluarga masyarakat Batak segala bentuk diskriminasi terhadap
Karo, pecahnya hubungan kekerabatan wanita, adanya pengakuan
pihak-pihak yang berpekara karena kewenangan bertindak sendiri secara
perbedaan pendapat antara yang ingin hukum terhadap wanita sebagaimana
mempertahankan eksistensi hukum dimuat dalam Undang-Undang Pokok
waris adat Karo dan pihak-pihak yang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 31 ayat (1) dan (2). Semua ini
9 Bushar Muhammad, Op.cit., halaman merupakan arus gelombang yang
128. datang secara terus menerus

11
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

mempengaruhi pola pikir, pola tindak tesebut karena ada kerabatnya yang
dan laku dan nilai-nilai yang ada di bersengketa di Pengadilan Negeri
Masyarakat Batak Karo, khususnya Kabanjahe, yang putusannya merujuk
pada warga generasi baru. pada yurisprudensi tersebut.
Ketidaktahuan masyarakat akan
Fase ini berlangsung hingga saat keberadaan yurisprudensi tersebut
ini dimana pada masa sekarang sudah membuat masyarakat Desa Barusjahe
banyak orangtua dalam tetap menggunakan hukum adat yang
keluarga-keluarga masyarakat Batak telah berkembang sebagai dasar untuk
Karo di Kabanjahe yang melakukan melakukan pembagian warisan.
pembagian harta warisan dengan Apabila ada sengketa yang timbul
bagian yang sama antara anak laki-laki terkait pembagian harta warisan, maka
dan perempuan dengan kesadaran barulah ia karena jabatannya sebagai
sendiri tanpa harus melalui proses di pengetua adat memimpin runggu.
pengadilan. Meskipun pada beberapa Melalui runggu tersebutlah kemudian
keluarga Batak Karo di Kabanjahe ia menginformasikan kepada pihak
masih ada yang menghormati dan yang bersengketa tentang keberadaan
mempertahankan sistem pembagian yurisprudensi ini, sehingga biasanya
warisan berdasarkan hukum waris adat para pihak kemudian akan lebih
karo yang lama, yaitu tidak adanya memilih menyelesaikan sengketa
hak bagi anak perempuan untuk tersebut melalui musyawarah dan
mendapatkan bagian warisan. mufakat tanpa melalui jalur peradilan
C. Efektivitas Yurisprudensi nasional (pengadilan negara).10
Mahkamah Agung Republik Menurut Damenta Tarigan,
Indonesia No.179/K/Sip/1961 sebagian besar masyarakat di Desa
Terhadap Hak Mewaris pada Seberaya mengetahui tentang
Masyarakat Batak Karo di Kota keberadaan yurisprudensi yang
Kabanjahe, Kabupaten Karo, menyamakan hak waris antara anak
Provinsi Sumatera Utara. laki-laki dan perempuan tersebut.
Bila membicarakan efektivitas Hanya saja masyarakat lebih memilih
hukum dalam masyarakat berarti untuk menggunakan hukum adat yang
membicarakan daya kerja hukum itu sudah berkembang dalam hal
dalam mengatur dan atau memaksa pembagian warisan. Hal tesebut
masyarakat untuk taat terhadap dikarenakan, masyarakat Desa
hukum. Bahwa orang harus berbuat Seberaya sangat menjunjung tinggi
sesuai dengan yang diharuskan oleh hukum adat yang berlaku dan merasa
peraturan hukum. masih lebih nyaman untuk
menggunakannya serta sebagai sebuah
Saruddin Bangun mengatakan, penghormatan kepada para leluhur dan
bahwa di desa dimana ia menjabat nenek moyang yang telah dengan
sebagai pengetua adat tidak banyak
masyarakat yang mengetahui
eksistensi/keberadaan Yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia 10 Saruddin Bangun (pengetua adat),
No.179/K/SIP/1961, bahkan ia sendiri wawancara, 10 Mei 2016, pukul 16.00 WIB, di Desa
tahu tentang adanya yurisprudensi Barusjahe, Kecamatan Tigajumpa, Kabupaten Karo.

12
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

susah payah menciptakan hukum relatif sangat lama. Pada saat


tersebut.11 awal-awal dikeluarkannya,
yurisprudensi ini tidak dapat dikatakan
Menurut R. Ginting, masyarakat berlaku secara efektif, karena pada
Kota Kabanjahe sudah sangat banyak saat itu belum semua masyarakat di
yang mengetahui keberadaan Tanah Karo, khususnya di Kota
yurisprudensi tersebut, karena Kabanjahe menggunakan
masyarakat Batak Karo di Kota yurisprudensi ini sebagai sumber
Kabanjahe cara berpikirnya sudah hukum dan dasar dalam hal pembagian
lebih maju (open minded). Secara warisan. Hal tersebut terjadi karena
sosialisasi hukum juga Kota proses sosialisasi yurisprudensi ini
Kabanjahe dapat dikatakan lebih baik dinilai sangat lamban.
apabila dibandingkan dengan
daerah-daerah pelosok/pedesaan di Lamban nya proses sosialisasi
Tanah Karo. Oleh karena itu, dalam yurisprudensi tersebut disebabkan oleh
hal pembagian warisan, beberapa faktor, yaitu:
masyarakatnya menggunakan sistem
pembagian harta warisan yang sama 1. Wilayah Tanah Karo pada tahun
bagiannya antara anak laki-laki dan 1961, yaitu pada tahun
perempuan sesuai dengan isi putusan ditetapkannya Putusan Mahkamah
yang tercantum di dalam Agung Republik Indonesia
Yurisprudensi Mahkamah Agung No.179/K/Sip/1961 menjadi
Republik Indonesia yurisprudensi, merupakan wilayah
No.179/K/SIP/1961.12 yang terisolir karena berada di
pedalaman dataran tinggi yang
Berdasarkan hasil wawancara, struktur wilayahnya berupa
dapat diambil kesimpulan, bahwa pegunungan, lembah dan
keberadaan Yurisprudensi Mahkamah perbukitan. Selain itu wilayah
Agung No.179/K/Sip/1961 sebagai Tanah Karo pada saat itu juga
sumber hukum terhadap hak mewaris sangat minim alat transportasi dan
pada masyarakat Batak Karo di Kota komunikasi, sehingga sulit untuk
Kabanjahe pada masa kini sudah dapat melakukan pembangunan
dikatakan efektif, sedangkan di infrastruktur. Diperkirakan 10
desa-desa lain di Tanah Karo belum (sepuluh) tahun lamanya sebagian
bisa dikatakan efektif. besar masyarakat Batak Karo
tidak mengetahui keberadaan
Keefektifan yurisprudensi ini yurisprudensi tersebut.
sebagai sumber hukum tentunya tidak
berlangsung secara serta merta, 2. Sifat dasar orang karo yang
melainkan membutuhkan waktu yang memegang teguh hukum
adat. Orang Karo umumnya
sangat berpendirian teguh. Jika
11 Damenta Tarigan, (pengetua adat),
wawancara, 10 Mei 2016, pukul 09.00 WIB, di Desa
seseorang telah memiliki suatu
Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo. pendirian, maka akan sukar untuk
merubah pendiriannya tersebut,
12 R. Ginting (pengetua adat), wawancara,
termasuk hal-hal yang terkait
10 Mei 2016, pukul 13.00 WIB, di Kota Kabanjahe,
Kabupaten Karo dengan hukum adatnya. Orang

13
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

Karo akan merasa sangat malu sebagai hukum yang hidup di seluruh
apabila dikatakan tidak tahu adat. Indonesia, bahwa antara anak laki-laki
Adalah suatu kebanggaan dan anak perempuan, bersama-sama
tersendiri bagi orang Karo bila berhak atas harta warisan dalam arti
dapat menjalankan aturan adat bagian anak lelaki adalah sama dengan
istiadatnya dengan baik dan akan perempuan telah menciptakan hukum
mendapatkan pujian moral dari yang baru dengan mengubah hukum
masyarakat Karo itu sendiri. 13 yang lama dengan dasar pertimbangan
Sejak kecil orang Karo juga telah bahwa hukum yang lama tidak sesuai
diajari untuk pandai-pandai lagi dengan masyarakat tempat hukum
menjaga diri dan nama baik itu berlaku. Diharapkan perkembangan
keluarga. Mereka hidup dengan yang telah dilakukan oleh putusan
kekeluargaan dan kebersamaan hakim yang ditetapkan menjadi
yang tinggi di lingkungan yurisprudensi ini dapat mengangkat
tradisional, sehingga sifat-sifat hak-hak anak perempuan sama sebagai
tersebut juga ikut diturunkan ahli waris. Pengadilan melalui
secara turun temurun. yurisprudensi tersebut berusaha
membawa perkembangan hukum tidak
3. Berdasarkan hasil survey di tertulis ke arah keseragaman hukum
lapangan, tidak ditemukan adanya yang seluas-luasnya. Sebagai
jejak usaha dari pemerintah untuk penemuan hukum dari hakim
terjun langsung ke dalam yurisprudensi ini cukup berharga
masyarakat untuk sebagai faktor pembentukan hukum
mensosialisasikan Yurisprudensi nasional, karena yurisprudensi sebagai
Mahkamah Agung Republik salah satu sumber hukum di Indonesia,
Indonesia No.179/K/Sip/1961 ini sehingga dapat dijadikan acuan dalam
kepada masyarakat Batak Karo di persamaan hak mewaris suku adat
Tanah Karo. Batak Karo.
Setelah keluarnya yurisprudensi Pada umumnya perubahan hukum
tersebut, terdapat kemajuan di bidang dilaksanakan atas suatu pertimbangan
teknologi, pendidikan, komunikasi, bahwa hukum yang lama tidak sesuai
dan pengaruh migrasi pada masyarakat lagi dengan perasaan keadilan
Batak Karo yang juga membawa masyarakat tempat hukum itu berlaku.
pengaruh terhadap cara berpikir dan Sebagai contoh, sejak
sikap serta kesadaran hukum diproklamirkannya kemerdekaan
masyarakat Batak Karo, khususnya di Negara Repoblik Indonesia pada
bidang waris Perkembangan dalam tanggal 17 Agustus 1945, hukum
hukum waris adat Batak Karo yang warisan kolonial sudah banyak
ditandai dengan lahirnya dirombak dan disesuaikan dengan
Yurisprudensi Mahkamah Agung hukum nasional. Perombakan dibidang
No.179/K/SIP/1961 yang menyatakan hukum adat yang tidak sesuai lagi
Mahkamah Agung menganggap tersebut memang dibutuhkan, namun
keberadaan adat istiadat yang masih
13 Damenta Tarigan, (pengetua adat), dipegang teguh sebagai jiwa sesuatu
wawancara, 10 Mei 2016, pukul 09.00 WIB, di Desa
masyarakat dan mampu menciptakan
Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo.f
kesejahteraan dan ketentraman dalam

14
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

masyarakat pada saat itu (tahun 1961) norma hukum yang hidup dalam
tidaklah perlu diubah secara radikal, masyarakat.
sebab sesuatu yang tidak sesuai dalam
hal ini justru malah akan menimbulkan Keputusan hakim dalam
perpecahan. Hukum adat itu Yurisprudensi No.179/K/Sip/1961
sebenarnya akan berubah sendiri tentang persamaan hak mewaris antara
akibat pengaruh ilmu pengetahuan, anak laki-laki dan perempuan sudah
teknologi, lingkungan dan zaman. sesuai dengan cita-cita hukum bangsa,
yaitu keadilan bagi seluruh masyarakat
Sifat hukum adat berkaitan erat Indonesia. Walaupun dalam hal ini
dengan unsur-unsur agama, tradisi, hakim terkesan mengesampingan
spititual, kepercayaan dan keyakinan hukum adat Batak Karo yang
masing-masing agama, akan menyatakan bahwa anak perempuan
menimbulkan masalah dalam usaha bukanlah ahli waris orangtuanya, akan
pembentukan hukum yang baru. Tentu tetapi penulis setuju dengan keputusan
saja akan menimbulkan konsekuensi hakim yang memberikan bagian hak
terbenturnya yurisprudensi tersebut waris yang sama rata antara anak
dengan keanekaragaman agama dan laki-laki dengan perempuan, karena
kepercayaan yang dianut, serta dengan demikian tercapailah tujuan
majemuknya sistem kekeluargaan di keadilan yang universal tanpa
Indonesia. Kenyataanya memang membeda-bedakan gender tersebut.
usaha-usaha perombakan hukum adat
menuju hukum nasional dari tiap-tiap B. Dampak yang Timbul Dalam
daerah selalu menempuh jangka waktu Masyarakat Batak Karo di Kota
dan pembahasan yang relatif lama. Kabanjahe Pasca Keluarnya
Yurisprudensi Mahkamah Agung
II. KESIMPULAN Republik Indonesia Nomor
179/K/Sip/1961
Berdasarkan dari pembahasan
yang telah penulis sampaikan dalam Dampak yang timbul dari lahirnya
penulisan hukum ini, maka dapat yurisprudensi ini tidak sekaligus
penulis simpulkan dalam uraian yang muncul, melainkan secara bertahap.
singkat dalam bab ini sebagai berikut: Dampak yang mucul ialah berupa
dampak positif dan Negatif.
A. Latar Belakang Hakim Mahkamah
Agung dalam Menjatuhkan Dampak positifnya, yaitu
Putusan Nomor 179/K/Sip/1961: masyarakat adat Batak Karo dalam hal
pewarisan sudah mengarah pada
Hakim menggali, mengikuti, dan kesepahaman pembagian hak waris
memahami nilai-nilai hukum dan rasa yang sama antara laki-laki dan
keadilan yang hidup dalam perempuan yang ditandai ditandai
masyarakat, sehingga berakhir dengan telah berkurangnya gugatan terkait hak
keputusan yang menekankan pada waris yang masuk ke Pengadilan
keadilan yang sifatnya universal, yaitu Negeri Kabanjahe dan sudah banyak
keadilan tanpa memandang adanya orangtua dalam keluarga masyarakat
perbedaan gender, namun tetap Batak Karo di Kabanjahe yang
menghargai nilai-nilai dan norma melakukan pembagian harta warisan
hukum adat sebagai nilai-nilai dan dengan bagian yang sama antara anak

15
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

laki-laki dan perempuan dengan C. Efektivitas Yurisprudensi


kesadaran sendiri tanpa harus melalui Mahkamah Agung Republik
proses di pengadilan. Yurisprudensi Indonesia No.179/K/Sip/1961
ini merupakan tonggak sejarah bagi Terhadap Hak Mewaris pada
masyarakat Batak Karo yang Masyarakat Batak Karo di Kota
menggambarkan telah lahirnya Kabanjahe, Kabupaten Karo,
keadilan bagi kedudukan anak Provinsi Sumatera Utara.
perempuan di Tanah Karo.
Keberadaan Yurisprudensi
Dampak negatifnya, yaitu adanya Mahkamah Agung No.179/K/Sip/1961
sikap menuntut dari pihak perempuan ini sebagai sumber hukum dalam
terhadap persamaan hak waris dan proses pewarisan pada masyarakat
sikap tetap mempertahankan hukum Batak Karo di Kota Kabanjahe pada
adat dari pihak laki-laki yang masa kini sudah dapat dikatakan
membawa pengaruh buruk terhadap efektif. Dapat dikatakan demikian,
situasi sosial kemasyarakatan dan karena orangtua-orangtua masyarakat
sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Karo pada masa kini telah
Batak Karo. Hal ini ditandai dengan melakukan pembagian warisan yang
banyaknya perselisihan yang timbul sama bagiannya antara anak laki-laki
dalam keluarga-keluarga masyarakat dan perempuan, yaitu sesuai dengan isi
Batak Karo, pecahnya hubungan Yurisprudensi Mahkamah Agung
kekerabatan pihak-pihak yang No.179/K/Sip/1961. Namun
berpekara dengan melibatkan keefektifan yurisprudensi ini juga
kelompok keluarga masing-masing tidak berlangsung secara serta merta,
karena perbedaan pendapat antara karena proses sosialisasi yurisprudensi
yang ingin mempertahankan eksistensi membutuhkan waktu yang sangat
hukum waris adat Batak Karo dan lama, yang penyebabnya adalah:
pihak-pihak yang menggugat
persamaan hak waris dengan dasar 1. Wilayah Tanah Karo yang
yurisprudensi, yang oleh beberapa cenderung terisolir;
tokoh masyarakat adat Batak Karo 2. Sifat dasar orang karo yang
dianggap sebagai “bencana sosial”. sangat memegang teguh hukum
Selain itu, semakin menipisnya aturan adat;
adat-istiadat masyarakat Batak Karo
yang digunakan dalam kehidupan 3. Kurangnya usaha dari
sehari-hari sehingga banyak pemerintah untuk terjun langsung
masyarakat Batak Karo yang sudah ke dalam masyarakat untuk
melupakan aturan adat-istiadatnya, mensosialisasikan Yurisprudensi
yang selama ini sudah dipertahankan Mahkamah Agung Republik
oleh para leluhur dan nenek moyang Indonesia No.179/K/Sip/1961 ini
masyarakat adat Batak Karo. kepada masyarakat Batak Karo di
Tanah Karo.

16
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

V. DAFTAR PUSTAKA Muhammad, Bushar. 1975. Asas-asas


Hukum Adat Suatu Pengantar.
Buku Jakarta: Pradnya Paramita.
Ali, Achmad. 1998. Menjelajahi Narbuko, Cholid & Achmadi, Abu.
Kajian Empiris Terhadap Hukum. 2010. Metodologi Penelitian.
Jakarta: Yarsif Watampone. Jakarta: Bumi Aksara.
. 2009. Menguak Teori Nawawi, Hadari. 2000. Penelitian
Hukum (Legal Theory) dan Teori Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada
Peradilan (Judicialprudence). University Press. Prinst, Darwin.
Jakarta: Kencana Prenada Media 2004. Adat Karo. Medan: Bina
Group. Media Perintis.
Brahmana, Pertampilen. 2011. Projodikoro, Wirjono. 1976. Hukum
Daliken Si Telu dan Solusi Warisan di Indonesia. Bandung:
Masalah Sosial Pada Masyarakat Sumur
Karo: Kajian
Sistem Pengendalian Sosial. Samosir, Djamat. 2013. Hukum Adat,
Medan: Fakultas Sastra Eksistensi Dalam Dinamika
Universitas Sumatra Utara Perkembangan Hukum Indonesia.
Bandung: CV Nuansa Aulia.
Hadi, Sutrisno. 1993. Metode
Research Jilid I. Yogyakarta: . 2014. Hukum
Psikologi Universitas Gajah Adat Indonesia “Eksitensi dalam
Mada. Dinamika Perkembangan Hukum
di Indonesia”. Bandung: Nuansa
Hadikusuma, Hilman. 1994. Hukum Aulia.
Waris Adat. Bandung: Citra
Aditya Bakti. Saragih, Djaren, dkk. 1974. Hukum
Perkawinan Adat Batak
. 1999. Hukum Waris Khususnya Simalungun, Toba,
Indonesia menurut Karo dan UU Tentang Perkawinan
Perundang-undangan, Hukum ( UU No. 1 Tahun 1974).
Adat, Hukum Agama Bandung: Tarsito.
Hindu-Islam. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti. Sembiring, Rakutta. 1985. Corat-Coret
Budaya Karo. Medan: Ulamin
Harahap, M. Yahya. 2011. Kekuasaan Kisat.
Mahkamah Agung Pemeriksaan
Kasasi dan Peninjauan Kembali Setiadi, Tolib. 2008. Intisari Hukum
Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Adat Indonesia. Bandung:
Grafika Alfabera.
Irianto, Sulityowati. 2005. Perempuan Sitepu, Sempa, dkk. 1996. Pilar
Di Antara Berbagai Pilihan Budaya Karo. Medan: “Bali” Scan
Hukum. Jakarta: Yayasan Obor & Percetakan.
Indonesia.

17
DIPONEGORO LAW JOURNAL
Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016
Website : http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/

Soekanto, Soerjono. 1983. Hukum Umar, Husein. 2003. Metode Riset


Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Perilaku Organisasi. Jakarta:
Pers. Gramedia Pustaka Utama.
. 2009. Pengantar Vergouwen, J.C. 1986. Masyarakat
Penelitian Hukum. Palu: Sinar dan Hukum Adat Batak Toba.
Grafika. Jakarta: Pustaka Azet.
. 2011. Faktor-Faktor Warjiati, Sri. 2006. Memahami
Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Adat. Surabaya: IAIN
Hukum. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. Wignjodipoero, Soerojo. 1995.
Pengantar Dan Asas-Asas Hukum
Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri. Adat. Jakarta: PT. Toko Gunung
2011. Penelitian Hukum Agung.
Normatif. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Wulansari, C. Dewi. 2010. Hukum
Adat Indonesia Suatu Pengantar.
Soemitro, Ronny Haditijo. 1990. Bandung: Rafika Aditama.
Metodologi Penelitian Hukum dan
Judimetri. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Perundang-undangan
Soeparmono, R. 2005. Hukum Acara Undang-Undang Dasar Negara
Perdata dan Yurisprudensi. Republik Indonesia Tahun 1945
Bandung: Mandar Maju.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Soepomo, R. 1982. Hukum perdata
adat Jawa Barat. Cetakan ke 2, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Terj. Nani Soewondo. Jakarta: tentang Perkawinan
Djambatan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
Sunggono, Bambang. 1997. 2009 tentang Kekuasaan
Metodologi Penelitian Hukum. Kehakiman
Jakarta: Rajawali Press.

18

Anda mungkin juga menyukai