Anda di halaman 1dari 1011

KAPITA SELEKTA TENTANG ARBITRASE

DILENGKAPI DENGAN PUTUSAN YANG TELAH


BERKEKUATAN HUKUM TETAP
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
DAN BANI (BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA)

PERPUSTAKAAN DAN LAYANAN INFORMASI


BIRO HUKUM DAN HUMAS BADAN URUSAN ADMINISTRASI
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
2011
TIM PENYUSUN
Pengarah : Nurhadi SI I., MII.
Kepala Biro Hukum dan Humas
Badan Urusan Administrasi
Mahkamah Agung RI
Penanggung Jawab : M.E.R. Ilerki Artani R., SII.
Kepala Bagian Perpustakaan dan Laya­
nan Informasi Biro Hukum dan Humas
Badan Urusan Administrasi MARI
Sekretaris : II.M. Arief Ismail, SII.
Kasubbag Penerbitan
Biro Hukum dan Humas BUA MARI
Anggota : 1. Supcnianto, SII.
2. Hidayat, SII.
3. Zamzani, K.Z., SII.
4. Yuni Hayati Putri, SII.
5. Dading Rochati
6. Nur’aini
Sekretariat : 1. Kcrlina Purba
2. Kartika Sandi 'I'aurus, A.Md
3. Dwi Listiani, A.Md.
4. Muhammad Udin
Nara Sumber : Literatur Perpustakaan Mahkamah
Agung RI
Alamat Redaksi : Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13
Blok II Lt. 4
Jakarta 10010
Tromol Pos No. 1020
Tclp. (021) 3843541 Psw. : 438/409
L-mail: perpustakaan mari@yahoo.com
KATA PENGANTAR
Penerbitan Buku Kapita Selekta Tentang Arbitrase Dilengkapi
dengan Putusan Yang 'lelah Berkekuatan Hukum tetap Mahkamah Agung
Republik Indonesia dan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)
disusun untuk memenuhi kebutuhan bagi para Hakim dan Pencari
Keadilan agar memudahkan untuk mendapatkan bahan-bahan referensi
yang berkaitan dengan maslah hukum.
Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang sudah lama dikenal di Indonesia dan telah lama memiliki
suatu lembaga arbitrase yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) yang sampai saat ini masih diakui keberadaanya.
Kemajuan teknologi telah memberi pengaruh pada semua bidang
termasuk bidang hukum perjanjian. Dewasa ini kita mengenal bentuk
perjanjian baru yaitu perjanjian secara elektronik yang sering digunakan
dalam bidang perbankan, pasar modal dan berbagai transaksi bisnis.
Kemajuan Teknologi saat ini mulai merambah bidang penyelesaian
sengketa secara arbitrase, yaitu suatu penyelesaian sengketa melalui
arbitrase secara online. Masalah yang timbul pada arbitrase online juga
sama dengan transaksi bisnis secara elektronik, yaitu keabsahan dan
pembuktian.
Dengan menyadari sepenuhnya bahwa buku ini masih banyak
kekuarangannya, untuk itu saran-saran bagi penyempurnaan dari para
pembaca sangat kami harapkan.
Semoga buku ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan rujuan bagi
para penegak hukum serta bahan bacaan yang menarik bagi para penegak
hukum serta bahan bacaan yang menarik bagi pemerhati hukum dan
keadilan.
Ucapan terima kasih tak lupa disampaikan untuk Tim Penyusun yang
telah berupaya bagi penerbitan buku ini disertai doa semoga segala daya
upaya yang telah dicetuskan mendapat imbalan pahala dari Tuhan Yang
Maha Hsa.
Jakarta, Februari 2011
Kepala Badan Urusan Administrasi
lahkamah Agung RI
22. Hukum Perwasitan 555
23. Banding Terhadap Putusan Wasit (Arbitrase) 583
24. Pengaturan Hukum Arbitrase Negara-negara ASEAN 597
25. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Negara-negara ASEAN 619
26. PT. Istana Noodle House vs PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk.
Reg. No. 296/II/ARB-BANI/2009 637
27. Putusan Mahkamah Agung No. 1/1959 Pem.Put.Wst 809
28. Putusan Mahkamah Agung No. 225 K/Sip/1976 817
29. Putusan No. 113/1980 G 835
30. Putusan Mahkamah Agung No. 1 BANDING/WASIT/1981 859
31. Putusan Mahkamah Agung No. 794 K/Sip/1982 863
32. Putusan Mahkamah Agung No. 455 K/Sip/1982 871
33. Putusan Mahkamah Agung No. 3179 K/Pdt./1984 877
34. Putusan Mahkamah Agung No. 1851 K/Pdt./1984 885
35. Putusan Mahkamah Agung No. 3992 K/Pdt./1985 899
36. Putusan Mahkamah Agung No. 2 Banding/Wasit/1986 907
37. Putusan No. 1 Pen.Es’r/Arb.int/Pdt/1991 921
38. Putusan No. 764/Pdt.P/1996/PN.JKT.BAR 951
39. Lembaran Negara Republik Indonesia No. 32 Tahun 1968 961
40. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1986
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 969

VI
DAFTAR ISI

1. Tim Penyusun
2. Kata Pengantar iii
3. Daftar isi v
4. Sumber Hukum Arbitrase 1
5. Arbitrase vs Pengadilan ; Suatu Pengantar 85
6. Pilihan Forum Arbitrase Budaya IIukum dan Keadilan 93
7. Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Penyelesaian Sengketa
Perdagangan secara elektronik 129
8. Konsepesi Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase 161
9. Eksekusi Putusan Forum Arbitrase Gambaran Dilema
Penegakkan Keadilan di Indonesia 197
10. Proses Pengambilan Keputusan Sebagai Alasan Penolakan
Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Luar Negeri 233
11. Eksekusi Putusan Arbitrase Dalam Negeri 287
12. Arbitrase Dalam Perspektif Islam 347
13. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia 357
14. Badan Arbitrase Nasional Indonesia 369
15. Anggaran Dasar Badan Arbitrasi Nasional Indonesia (BANI) 379
16. Arbitrase Islam : Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
Dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif 387
17. Pelembagaan Penyelesaian Sengketa Alternatif di Indonesia 407
18. Arbitrase di Indonesia : Sebelum Berlakunya Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 431
19. Arbitrase Sebagai Salah Satu Bentuk Penyelesaian Sengketa di
Luar Pengadilan 445
20. Penerapan Konvensi New York 1958 Sebelum PERMA No. 1
Tahun 1990 dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 503
21. Peranan Pengadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Melalui
Arbitrase 527

V
SUMBER IIUKUM ARBITRASE

Janggal rasanya membicarakan permasalahan arbitrase tanpa


mengetahui sumber hukum yang mengatur keberadaaan arbitrase dalam
sistem tata hukum Indonesia. Oleh karena itu, secara ringkas perlu
dijelaskan sumbernya lebih dahulu, agar tahu persis landasan titik tolak
jika seorang berbicara tentang arbitrase. Hal itu didasarkan pada suatu
asumsi di kalangan praktisi hukum, apalagi di kalangan masyarakat
awam, masih banyak yang belum tahu tempat rujukan ketentuan yang
menyangkut arbitrase dalam kehidupan tata hukum Indonesia. Itu
sebabnya sering ditemukan sikap dan perilaku yang memperlihatkan
keraguan dan ketidakpastian dalam menerapkan ketentuan yang
berkenan dengan kasus arbitrase.

A. LANDASAN ARBITRASE PASAL 377 IIIR


Jika seorang ingin mengetahui apakah tata hukum Indonesia
memiliki aturan mengenai arbitrase, landasan hukumnya bertitik
tolak dari Pasal 377 IIIR atau Pasal 705 RBG, yang berbunyi :
“Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki
perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah maka mereka
wajib menuruti peraturan peradilan perkara yang berlaku bagi
bangsa Hropa.”
Pasal 377 IIIR di ataslah yang menjadi landasan titik tolak
keberadaan arbitrase dalam kehidupan dan praktek hukum. Pasal
ini menegaskan kebolehan pihak-pihak yang bersengketa :
> menyelesaikan sengketa melalui “juru pisah” atau arbitrase,
dan
> arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk
menyelesaikannya dalam bentuk “keputusan”
> untuk itu, baik para pihak maupun arbitrator atau arbiter,
“wajib” tunduk menuruti peraturan hukum acara yang berlaku
bagi bangsa atau golongan Eropa.
Jelas terlihat, Pasal 377 IIIR memberi kemungkinan dan
kebolehan bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan
menyelesaikan perkara yang timbul di luar jalur kekuasaan
“Pengadilan”, apabila mereka menghendakinya. Penyelesaian dan

1
keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru
pisah yang lazim dikenal dengan nama “arbitrase”, dan oleh
undang-undang, arbitrase dilimpahi fungsi dan wewenang untuk
“memutus” persengketaan.

B. LANDASAN IIUKUM ARBITRASE


Sebagaimana sudah dijelaskan, landasan titik tolak aturan
keberadaan arbitrase berpijak pada ketentuan Pasal 377 HIR.
Padahal IIIR maupun RBG tidak membuat aturan lebih lanjut
tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan aturan tentang
arbitrase, Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG langsung menunjuk
aturan pasal-pasal arbitrase yang terdapat dalam Reglement Hukum
Acara Perdata {Reglement op de Bergerlijke Rechtsvordering,
disingkat Rv, S 1847-52 jo. 1849-63). Hal itu dapat dibaca dalam
kalimat : “wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang
berlaku bagi bansa Eropa”.
Bertitik tolak dari sejarah politik hukum yang digariskan
dalam Pasal 75 RR, dan lebih lanjut diatur dalam Pasal 131 IS, di
zaman pemerintahan Belanda dulu, dikenal pembagian tiga
kelompok penduduk dengan sistem hukum dan lingkungan
peradilan yang bercorak “pluralistik”. Bagi golongan penduduk
“Bumiputcra”, hukum materiil yang diperlakukan di bidang hukum
perdata pada dasarnya diterapkan hukum adat. Peradilannya tunduk
pada Pengadilan Landraad sebagai peradilan tingkat pertama.
Sedang hukum acara yang dipergunakan adalah IIIR untuk daerah
Pulau Jawa - Madura dan RBG untuk daerah tanah seberang.
Bagi golongan penduduk timur Asing dan Eropa, hukum
perdata materiil yang diperlakukan adalah KUII Perdata (BW)d
KUII Dagang (WvK). Sedang hukum acara perdatanya adalah
Reglemen Acara Perdata (Rv). Dalam Buku Ketiga Reglemen
Acara Perdata tentang Aneka Acara, pada Bab Pertama diatur
ketentuan mengenai putusan Wajit (Arbitrase) yang terdiri mulai
dari Pasal 615-651. Pasal-pasal itulah yang “wajib” dituruti dan
diterapkan sebagai landasan hukum umum kearbitrascan sejak dulu
sampai sekarang, baik untuk golongan penduduk Bumiputera,
Timur Asing, dan Eropa. Dengan demikian kekosongan hukum
acara mengenai arbitrase dalam HIR dan RBG diisi oleh Reglemen
Acara Perdata (Rv). Pengisiannya ke dalam HIR dan RBG adalah

2
“wajib” apabila para pihak hendak menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase. Dengan kata lain, pengambilan dan penerapan pasal-
pasal ketentuan arbitrase yang diatur dalam Reglemen Acara
Perdata (Rv), “wajib” atau “mesti” dituruti oleh siapa pun, jika
mereka ingin menyelesaikan persengketaan yang timbul melalui
badan arbitrase.
Sebagai pedoman atauran umum arbitrase yang diatur dalam
Reglemen Acara Perdata, meliputi lima bagian pokok :
> Bagian Pertama (615-623): Persetujuan arbitrase dan
pengangkatan arbitrator atau arbiter;
> Bagian Kedua (624-630): Pemeriksaan di muka badan
arbitrase;
> Bagian Ketiga (631-640): Putusan arbitrase;
> Bagian Keempat (641-647): Upaya-upaya terhadap
putusan arbitrase;
> Bagian Kelima (648-651): Berakhirnya acara-acara
arbitrase.
Demikian sistematika aturan arbitrase yang terdapat dalam
Reglemen Acara Perdata yang wajib dituruti. Mungkin pada saat
pembuatannya di tahun 1849, sudah memenuhi kebutuhan praktek.
Akan tetapi, memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan yang
semakin cepat dan beraneka ragam, sudah saatnya difikirkan dan
diusahakan pembangunan dan pembaharuan hukum di bidang
arbitrase yang lebih utuh dan terpadu, meliputi segala segi yang
menyangkut arbitrase “asing” yang diputus di luar negeri. Sebab,
ketentuan arbitrase yang diatur dalam Reglemen Acara Perdata,
belum meliputi hal-hal yang berkenaan dengan pengakuan dan
eksekusi putusan arbitrase asing. Padahal, masalah putusan
arbitrase asing pada saat sekarang, merupakan kebutuhan yang tak
dapat dihindari dalam kegiatan era globalisasi dan interdependensi
kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam kegiatan penanaman
modal asing maupun dalam hal lintas dunia perdagangan. Bahkan
bentuk klausula pactum compromittende yang diatur dalam Pasal
615 ayat (3) saja, boleh dikatakan tidak jelas dan sudah ketinggalan
zaman. Begitu pula mengenai masalah upaya banding atas putusan
arbitrase yang diatur dalam Pasal 641, bisa menimbulkan
ketidakpastian hukum. Demikian juga mengenai masalah
pemeriksaan, apakah mesti bersifat audi et alteram partem

3
(mendengar kedua belah pihak) yang diatur dalam Pasal 632, tidak
tegas diungkapkan, sehingga sering menimbulkan selisih pendapat.
Ada yang berpendapat, audi et alteram partem merupakan asas
yang bersifat “imperatif’. Sifat imperatifnya sampai meliputi
keharusan para pihak mesti hadir atau diwakili dalam forum
arbitrase, sehingga benar-benar tcrcipta suatu forum yang memberi
kesempatan yang pantas dan layak kepada masing-masing pihak
untuk membela dan mempertahankan kepentingannya.

C. BEBERAPA LAND ASAN ARBITRASE ASING


Sudah disinggung, ketentuan arbitrase yang diatur dalam
Rcglement Acara Perdata, sama sekali tidak menyinggung tentang
arbitrase asing. Seolah-olah, peraturan itu memencilkan bangsa
Indonesia dari lingkungan kehidupan hubungan atarnegara di
bidang arbitrase. Padalah, terutama pada era globalisasi dan
interdependensi sekarang, sikap elienasi yang demikian membuat
kita terpencil dan tertutup dari berbagai kemudahan menarik minat
dunia luar menanam modal dan hubungan dagang dengan
masyarakat Indonesia.
Untuk menarik minat para investor asing serta untuk memberi
kepercayaan kepada pengusaha dari negara maju sebagai pemberi
modal akan perlakuan hukum atas keterjaminan kegiatan mereka di
Indonesia, pemerintah terpaksa mengisi “kekosongan” aturan
mengenai arbitrase asing. Ilal yang mendorong pemerintah untuk
mengatur arbitrase asing bertitik tolak dari kenyataan pemerintah
tidak mungkin menutup mata atas fakta bahwa setiap hubungan
perjanjian internasional di bidang perdagangan dan penanaman
modal asing atau joint venture, pihak luar selalu menuntut adanya
klausula arbitrase yang bercorak internasional. Misalnya, dalam
hubungan perjanjian penanaman modal. Phak pemberi modal selalu
menuntut agar perjanjian memuat klausula arbitrase yang tunduk
pada Convention on the Settlement o f Investment Dispute (ICSID)
yang berkedudukan di Washington, yang kelahirannya diprakarsai
oleh World Bank (Bank Dunia). Begitu juga dalam bidang
hubungan perjanjian dagang. Pada umumnya, pihak luar negeri
(asing) selalu menghendaki agar hubungan perjanjian memuat
klausula yang menetapkan perjanjian takluk pada Arbitrase Paris,
sehingga apabila terjadi sengketa di belakang hari, cara

4
penyelesaian berpedoman pada ketentuan International Chamber o f
Commerce (ICC Rules).
Mengapa pihak asing lebih cendurung mengadakan hubungan
perjanjian dengan klausula arbitrase? Kecendrungan tersebut
menurut Erman Rajagukguk, disebabkan beberapa alasan. Pertama,
pada umumnya pihak asing kurang mengenal sistem tata hukum
negara lain. Kedua, adanya keraguan akan sikap objektivitas
pengadilan setempat dalam memeriksa dan memutus perkara yang
didalamnya terlibat unsur asing. Ketiga, pihak asing masih ragu
akan kualitas dan kemampuan pengadilan negara berkembang
memeriksa dan memutus perkara yang berskala perdagangan
internasional dan alih teknologi. Keempat, timbulnya dugaan dan
kesan, penyelesaian sengketa melalui jalur formal badan peradilan
memakan waktu yang lama.
Barangkali alasan-alasan tersebut ada benarnya, walaupun
tidak sepenuhnya benar. Dalam alasan-alasan tersebut, ada
kemungkingan tersirat motivasi lain. Motivasi ketergantungan serta
keinginan mempertahankan dominasi dan supremasi sementara
negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang, sering
mewarnai kontrak yang bersifat internasional di bidang bisnis dan
penanaman modal asing. Teori “fungsional” atau teori
“keseimbangan” yang dikembangkan menyejajari paham
globalisme tampaknya baru merupakan cita-cita. Paham globalisme
dalam hubungan perjanjian antara negara maju dengan negara
berkembang, belum dapat dilaksanakan secara murni dan optimal.
Pahak globalisme yang mengajarkan keikutsertaan negara-negara
maju mendorong dan meningkatkan laju pertumbuhan
kesejahteraan sosial ekonomi rakyat negara-negara berkembang,
barangkali baru merupakan slogan. Kecendrungan menempatkan
negara-negara berkembang selalu tergantung kepada negara-negara
maju, masih sangat mendominasi kerelaan mereka mengadakan
perjanjian penanaman modal dan perjanjian alih teknologi. Mencari
keuntungan di luar batas, masih sering menjadi tujuan utama
sementara kalangan pemodal multinasional. Untuk mencapai tujuan
tersebut, mereka menetapkan syarat-syarat perjanjian yang kadang-
kadang sangat berat sebelah. Penentuan syarat-syarat perjanjian,
mirip dan cenderung menurut selera mereka, dengan asumsi syarat
yang bagaimanapun beratnya mereka terapkan, pihak pengusaha
negara berkembang mau tidak mau akan menerimanya, karena

5
didorong oleh kebutuha modal dan peralatan usaha yang sangat
mendesak. Dan salah satu syarat yang selalu mengikuti kontrak
pihak pengusaha negara berkembang dengan negara maju ialah
pencatuman klausula arbitrase internasional dalam perjanjian,
meskipun pada umumnya pengusaha-pengusaha negara
berkembang sama sekali buta atas isi dan liku-liku prosedur yang
diatur dalam ketentuan arbitrase yang bersangkutan.
Juga tidak selamanya benar, penyelesaian sengketa melalui
arbitrase lebih cepat dibanding melalui proses peradilan.
Adakalanya penyelesaian melalui badan arbitrase memakan waktu
relatif lama. Hal itu telah diungkapkan oleh Prof. Dr. Mr. Sudargo
Gautama dalam kasus sengketa penanaman modal asing dalam
pembangunan Hotel Kartika Plaza. Semula, berdasarkan perjanjian
dengan investor asing, hotel tersebut dibangun melalui joint venture
antara pihak pemodal asing dengan pihak perusahaan Indonesia.
Setelah berjalan beberapa lama, pihak pengusaha Indonesia
memutuskan perjanjian secara sepihak atas alasan pihak investor
asing yang bersangkutan tidak memenuhi isi perjanjian. Tidak
memenuhi sepenuhnya jumlah modal yang dijanjikan. Atas
peristiwa perjanjian tersebut, investor asing menganggap tindakan
itu melanggar perjanjian atau break o f contract, dan mengajukan
pihak Indonesia ke forum Dewan Arbitrase ICSID {International
Centre for the Settlement o f Investment Dispute) yang bermarkas di
Washington. ICSID merupakan lembaga arbitrase yang berfungsi
menyelesaikan sengketa penanaman modal asing yang bernaung
dan diprakarsai oleh Bank Dunia (Worl Bank). Berdasarkan UU
No. 5 Tahun 1968, Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi
mengenai penyelesaian sengketa mengenai penanaman modal
antarnegara dan warga negara lain {Convention on the Settlement o f
Investment Dispute Between States and Nationals o f Other States).
Atas dasar itulah pihak investor asing membawa pcrmasalah
perjanjian ke forum ICSID. Kebetulan dua orang diantara arbiter
yang ditunjuk adalah Guru Besar. Keduanya baru mengadakan
sidang pada bulan-bulan libur perkuliahan. Akibatnya, penyelesaian
sengketa tertunda dan bcrlarur-larut sampai bertahun-tahun.
Dari contoh kasus yang dikemukakan, dapat dilihat tidak
selamanya benar anggapan yang mengatakan arbitration is a simple
proceeding. Memang dapat dikatakan, prosedur arbitrase bersifat
sederhana {simple). Naum dalam kesederhanaan prosedur tersebut,
sering terkandung hambatan-hambatan yang “nonproscdural”.
Akibatnya, penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak selamanya
“lebih cepat” dari proses penyelesaian melalui litigasi atau badan
peradilan biasa (ordinary court). Bahkan seringkah biaya yang
harus dipikul pihak yang terlibat, “tidak lebih murah” dan jauh
lebih mahal (berlipat ganda) dari biaya yang timbul apabila melalui
proses peradilan. Honorarium arbiter yang harus dipikul mondar-
mandir dari satu negara ke tempat bersidang, ditambah dengan
biaya Penasihat Hukum (kuasa) yang mereka tunjuk yang juga
harus mondar-mandir dari satu negara ke tempat persidangan, tentu
sangat besar. Contoh lain dapat dikemukakan kasus Nanang lawan
PT. Asuransi Umum Bumiputera Muda tahun 1967. Nanang
mengajukan penyelesaian ke Pengadilan Negeri Banjarmasin (No.
34/Pdt/1987). Meskipun perjanjian memuat klausula arbitrase,
Nanang mengajukan penyelesaian melalui pengadilan atas alasan
upaya yang ditempuh melalui arbitrase mengalami kegagalan
karena anggota yang ditunjuk mengundurkan diri sebelum proses
dimulai, sehingga tak dapat dipastikan kapan arbitrase dapat
menyelesaikan sengketa.

D. UU NO. 5 TAHUN 1968


UU No. 3 Tahun 1968 merupakan Persetujuan Atas Konvensi
tentang Penyelesaian Perselisihan Antarnegara dan Warga Negara
Asing Mengenai Penanaman Modal (Convention on the
Settlement o f Investment Dispute Between States and
Nationals o f Other States). Konvensi ini lazin juga disebut World
Bank Convention atau Konvensi Bank Dunia.
Tujuan penetapan persetujuan ratifikasi atas Konvensi itu
bermaksud untuk mendorong dan membina perkembangan
penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia. Sebab,
dengan diakui Konvensi tersebut oleh Pemerintah Indonesia, sedikit
banyak akan memberi keyakinan kepada pihak pemodal asing
bahwa sengketa yang timbul kelak dapat dibawa ke forum arbitrase.
Penyelesaian sengketa yang timbul, tidak didasarkan pada
ketentuan tata hukum Indonesia yang pada umumnya kurang
mereka pahami, serta barangkali dianggap jauh tertinggal dan
kurang sempurna menyelesaikan masalah-masalah yang berskala
hubungan internasional.

7
Pengakuan dan persetujuan Pemerintah Indonesia atas
Convention on the Settlement o f Investment Dispute Between States
and Nationals o f Other States, sekaligus merupakan upaya
meyakinkan Bank Dunia (World Bank) dan Bank Internasional
untuk merekonstruksi dan Pembangunan {International Bank for
Reconstruction and Development) akan kesungguhan pemerintah
Indonesia untuk menyelesaikan sengketa penanaman modal asing
melalui forum arbitrase. Sedikit banyak, hal ini memberi citra bagi
Bank Dunia bahwa dalam masalah penanaman modal asing, pihak
Indonesia tidak bermaksud mau menang sendiri dengan jalan
mempertahankan dan memperlakukan sistem tata hukum Indonesia
dalam menyelesaikan sengketa penanaman modal asing. Dengan
pengakuan dan persetujuan atas Konvensi dimaksud, Indonesia
tidak lagi semata-mata sebagai anggota Bank Internasional untuk
Rekonstruksi dan Pembangunan, tapi sekaligus menempatkan diri
tunduk kepada Konvensi Bank Dunia atau World Bank Convention
yang tertuang dalam International Centre for the Settlement o f
Investment Dispute Between States and Nationals o f Other States
yang melahirkan Dewan Arbitrse International Centre for the
Settlement o f Investment Dispute Between States yang
berkedudukan di Wahington (Amerika Serikat). Lembaga dewan
arbitrase ICSID ini oleh Pasal 1 World Bank Convention disingkat
menjadi Centre. Dan sekaligus pula dalam pasal itu ditegaskan: The
purpose o f the centre shall be to provide facilities for conciliating
and arbitration o f investment dispute between Contracting States
and nationals o f other Constructing States in accordance with the
provisions o f the Convention.
Melalui UU No. 5 Tahun 1968, Pemerintah Indonesia
“mempunyai wewenang” :
> untuk memberi persetujuan agar perselisihan tentang
penanaman modal antara Republik Indonesia dengan dan
Warga Negara Asing diputus menurut Konvensi dimaksud,
dan
> pemerintah dalam hal ini bertindak “mewakili” RI dalam
perselisihan dengan hak “substitusi”.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun
1968. Jika Pasal 2 diperhatikan, sekalipun Indonesia telah
menyetujui berlakunya Konvensi tadi, tidak dengan sendirinya

8
setiap sengketa pananaman modal asing tunduk pada Konvensi dan
diselesaikan melalui forum dewan arbitrase ICSID. Sebagaimana
dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU No. 5 Tahun 1968 yang
diumumkan dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2852,
meskipun Konvensi berlaku untuk suatu negara, tidak ada suatu
“kewajiban” bahwa setiap perselisihan harus diselesaikan menurut
Konvensi. Syarat mutlak untuk penyelesaian menurut Konvensi
adalah “persetujuan” kedua belah pihak yang berselisih.
Apa yang dirumuskan dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1968
maupun dalam Penjelasan Umumnya, merupakan asas yang diatur
dalam Pasal 25 ayat (1) Konvensi. Menurut pasal-pasal tersebut,
setiap perselisihan harus lebih dahulu mendapat persetujuan dari
kedua belah pihak sebelum persengketaan dapat diajukan di depan
Mahkamah Arbitrase (.Arbitral Tribunal). Bertitik tolak dari Pasal
25 ayat (1), dihubungkan dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 5
Tahun 1968, Pemerintah RI memiliki wewenang untuk memberi
persetujuan tentang penyelesaian sengketa penanaman modal asing
melalui badan arbitrase ICSID. Dalam pemberian persetujuan
dimaksud, Pemerintah RI langsung “mewakili” RI dalam
persengketaan dengan pihak “substitusi”.
Jadi, selama tidak ada persetujuan para pihak, apakah itu oleh
pihak yang bersangkutan atau Pemerintah RI, sengketa penanaman
modal asing tidak otomatis diselesaikan melalui arbitrase ICSID.
Akan tetapi seperti yang ditegaskan Pasal 25 ayat (1) Konvensi,
apabila telah ada persetujuan para pihak, salah satu pihak tidak
boleh menarik persetujuan secara unilateral atau secara sepihak.
(When the parties have given their consent, no party may withdraw
its consent unilaterally).
Dari ketentuan Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1968 dihubungkan
dengan Pasal 25 ayat (1) World Bank Convention, sebelum pihak
penanam modal asing mengajukan perselisihan kepada badan
arbitrase ICSID (disebut juga Centre), harus lebih dulu mendapat
persetujuan dari Pemerintah RI. Jika pihak Pemerintah RI tidak
mengizinkan atau tidak memberi persetujuan, perselisihan tidak
bisa diajukan kepada Centre. Oleh karena itu, Pemerintah RI
berwenang menentukan bentuk dan jenis penanaman modal asing
yang bagaimana yang dapat disetujui diselesaikan perselisihan
melalui forum arbitrase ICSID. Kewenangan yang demikian perlu

9
dimiliki Pemerintah RI, demi untuk menegakkan kedaulatan
sebagai negara merdeka. Untuk menegakkan kedaulatan tersebut.
Pemerintah tidak dapat dipaksa oleh pihak penanam modal asing
untuk menyelesaikan setiap perselisihan sengketa penanaman
modal asing ke lembaga ICSID.
Untuk sekedar memahami apa dan bagaimana Dewan
Arbitrase ICSID yang diatur dalam World Bank Convention, akan
dikemukakan beberapa hal sesuai dengan ketentuan pasal-pasal
Konvensi.
1. Kedudukan Centre (ICSID)
Menurut ketentuan Pasal 2, tempat kedudukan Centre
ditempat “kantor pusat” Bank Pembangunan Dunia {at the
principal officer o f the International Bank for Reconstruction
and Development). Namun demikian, kalimat selanjutnya Pasal
2 memungkinkan dipindahkan kedudukan Centre ke tempat
lain atas “putusan” Dewan Administrasi {Administrative
Council). Putusan yang demikian, diambil dengan suara
mayoritas, yaitu “dua pertiga” dari anggota dewan.

2. Organisasi Centre
Lembaga Centre (ICSID) memiliki susunan organisasi, yang
terdiri d ari:
a. Dewan Administratif {Administrative Council)
Menurut Pasal 4 ayat (1) Konvensi, keanggota Dewan
Administratif terdiri dari setiap negara anggota Konvensi.
Setiap negara anggota {Contracting State) masing-masing
diwakili oleh seorang anggota.
Siapa yang menjadi Ketua Dewan Administratif?
Merujuk pada ketentuan Pasal 3 Konvensi, “Presiden”
Bank Dunia secara ex officio menjadi Ketua Dewan
Administratif. Dengan demikian, jabatan Ketua Dewan
Administratif tidak diangkat melalui pemilihan.
Jika pada suatu saat Presiden Bank Dunia
berhalangan atau sedang dalam keadaan lowong, yang
bertindak menjabat Ketua Dewan ialah orang yang
bertindak sebagai pejabat Presiden Bank.

10
Kekuasaan dan fungsi {powers and functions) Dewan
Administrasi menurut Pasal 6 Konvensi, antara lain :
> mengurus administrasi dan keuangan Centre-,
> mengatur ketentuan {rules) dan tata cara {procedure)
proses lembaga perdamaian dan arbitrase yang lebih
lanjut disebut “Conciliation Rules and the Arbitration
Rules
> menetapkan syarat-syarat pelayanan Sekretaris Jenderal
{Secretary General) dan Deputi Sekretaris Jenderal
{Deputy Secretary General)',
'P- menetapkan anggaran biaya tahunan Centre-,
Selain itu, menurut Pasal 7 Konvensi, Dewan
Administratif Centre harus mengadakan rapat lain. Rapat-
rapat yang demikian boleh dilakukan :
> atas putusan Dewan Administratif, atau
> atas putusan (kehendak) Sekretaris Jenderal, dan
> boleh juga atas permintaan {request) paling sedikit lima
(5) anggota dewan.
Setiap anggota dewan mempunyai satu suara {one
vote). Setiap masalah diputus berdasarkan suara terbanyak.
Setiap rapat baru sah apabila dihadiri mayoritas anggota.
Anggota dan Ketua Dewan mengabdi tanpa mendapat gaji
dari Centre.

b. Sekretariat
Badan pelengkap lain yang terdapat dalam organisasi
Centre ialah Sekretariat. Badan Sekretariat menurut Pasal 9
Konvensi, terdiri d ari:
> seorang pejabat Sekretaris Jenderal (Secretary
General), dan
> dibantu oleh seorang atau lebih Deputi Sekretaris
Jenderal {Deputy Sekretary General), serta
> beberapa orang staf.
Sekretaris Jenderal dan Deputi Sekretaris Jenderal
“dipilih” oleh Dewan Administratif berdasarkan suara
terbanyak, dua pertiga dari seluruh anggota. Pencalonan
untuk jabatan tersebut diajukan oleh Ketua Dewan
Administratif. Masa jabatan tidak boleh lebih dari enam
tahun, tetapi dapat dipilih kembali. Pencalonan untuk
jabatan Sekretaris Jenderal atau Deputi Sekretaris Jenderal
boleh terdiri dari satu orang atau lebih.
Sekretaris Jenderal secara resmi merupakan
perwakilan dan Kepala Kantor Centre, dia melaksanakan
fungsi registrasi serta memiliki kewenangan
mengautensikasi putusan arbitrase serta mengesahkan
salinan putusan tersebut.

3. Panel
Yang dimaksud dengan “panel” menurut Pasal 12
Konvensi ialah orang yang ditunjuk sebagai “pendamai” atau
conciliator atau sebagai “wasit” atau arbitrator (arbiter). Orang
yang dapat ditunjuk baik sebagai panel conciliator atau sebagai
arbitrator harus orang yang qualified (berkualitas).
Setiap negara peserta Konvensi (Contracting State) boleh
mencalonkan empat (4) orang untuk setiap panel. Sedang Ketua
Dewan {Chairman o f the Administrative Council) dapat
mencalonkan sepuluh orang untuk setiap panel. Dalam hal yang
seperti itu, orang yang dicalonkan adalah orang yang berasal
dari negara yang berbeda.
Selain harus terdiri dari orang yang betul-betul qualified,
anggota panel juga harus memiliki integritas moral yang tinggi
serta orang yang berkompeten di bidang hukum {law),
perdagangan, industri, dan keuangan. Orang yang dicalonkan
harus matang dan mampu memberi pertimbangan yang bebas.
Khusus untuk anggota arbiter, lebih diutamakan orang yang
berkompeten di bidang hukum tanpa mengurangi syarat
keluasan wawasan di bidang perdagangan, industri dan
keuangan.
Menurut Pasal 15 Konvensi, masa bakti anggota panel
adalah enam (6) tahun. Jika salah seorang anggota panel
meninggal dunia atau mengundurkan diri, kewenangan untuk
mencalonkan pengganti, menjadi hak anggota yang masih
tinggal dalam masa bakti yang bersangkutan.

12
4. Status, Immunitas, dan Privilese
Berdarakan ketentuan Pasal 18 Konvensi, ICSID atau
Centre memiliki legalitas personal international yang penuh.
Kepastian legalitas yang demikian meliputi perjanjian
(icontract), memperoleh dan mengatur (acquire and depose)
benda bergerak dan tidak bergerak (moveable and immovable
property).
Guna melancarkan fungsinya, Centre leluasa bergerak pada
setiap wilayah negara peserta Konvensi (Contracting State).
Keleluasaan tersebut dibarengi dengan hak “immunitas” serta
hak “previlese”. Hak immunitas meliputi diri Ketua, Anggota
Dewan, orang yang bertindak sebagai Consiliator atau
Arbitrator, dan para Pejabat Sekretariat. Hak itu juga meliputi
orang-orang yang terlibat sebagai pihak-pihak, agen, penasihat,
advokat, saksi, atau ahli.
Mengenai arsip Centre, tidak dapat diganggu gugat
(inviolable) dimanapun berada. Dan setiap anggota harus
memperlakukan Centre sama dengan organisasi internasional
yang lain. Sedang mengenai aset, kekayaan, pendapatan, dan
kegiatan transaksi yang meliputi hal-hal yang menyangkut
kewenangan yang diberikan Konvensi, Centre dibebaskan dari
segala pungutan pajak dan bea. Centre juga dibebaskan dari
kewajiban pungutan atau pembayaran pajak atau bea cukai.

5. Yurisdiksi Centre
Pada prinsipnya yurisdiksi Centre secara legal hanya
meliputi “sengketa” yang langsung timbul dari penanaman
modal (investment) antara negara-negara peserta Konvensi atau
Contracting State. Prinsip ini dapat diperluas jangkauannya,
asalkan sengketa yang terjadi masih merupakan perselisihan
yang timbul secara langsung dari permasalahan investasi antara
satu negara dengan orang asing atau negara asing.
Sehubungan dengan masalah yuridiksi Centre sebagai
lembaga arbitrase yang bersifat internasional, perlu
diperhatikan beberapa asas sebagai pedoman.
a. Asas Resiprositas

13
Makna asas “resiprositas” atau reciprocity dalam
Centre menurut Pasal 25 Konvensi adalah berlakunya
penerapan kelembagaan ICSID yang bersifat “timbal balik”
diantara sesama negara peserta Konvensi. Berarti, pada
prinsipnya keterikatan suatu negara terhadap rumusan Pasal
25 Konvensi: “The jurisdiction o f the Centre shall extend
to any legal dispute arising directly out o f an invesment,
between Contracting State. ” Jika demikian, ketentuan
arbitrase Centre yang diatur dalam pasal-pasal World Bank
Convention, pada hakikatnya baru dapat diperlakukan
terhadap pihak negara RI apabila persengketaan yang
terjadi dalam penanaman modal asing terdiri dari warga
negara asing, dimana negaranya juga menjadi anggota atau
Contracting State dari World Bank Convention
(Convention on the Settlement o f Investment Dispute
Between States and Nationals o f Other States).
Pelaksanaan asas resiprositas atau Centre di Indonesia
terhadap negara peserta Konvensi Bank Dunia {World Bank
Convention), telah diatur kebijaksanaan operasionalnya
dalam bentuk “formulir B”. Setiap warga negara asing yang
negaranya termasuk anggota Konvensi {Contracting State),
yang menghendaki agar dalam penanaman modal yang
dilakukan di Indonesia tunduk pada lembaga arbitrase
Centre, pada waktu dia mengajukan permintaan izin
menjalankan usaha penanaman modal {joint venture), yang
bersangkutan melampirkan permohonan itu dengan
formulir B. Dalam formulir B tersebut tercantum klausula
yang berbunyi : “....... it is agreed that in all disputes
regarding the interpretaion or implementation o f this
investment agreement arising between the joint venture
company and the Government o f Republic which can not be
settlement o f Investment Disputes Between States and
National o f Other States, o f which the Republik o f
Indonesia is a member (law No. 5 o f 1968).” Dengan
melampirkan formulir B dalam permohonan, penanam
modal asing dan Pemerintah RI seudah dengan sendirinya
tunduk pada ketentuan Konvensi. Oleh karena itu, apabila
kelak timbul perselisihan dalam penanaman modal tersebut,
sejak semula pihak asing dan Pemerintah RI sudah
menyetujui cara penyelesaian melalui badan arbitrase
Centre (ICSID). Dan aturan yang digunakan dalam
penyelesaian, tunduk kepada ketentuan Konvensi (under
rules o f the Convention), apabila penleyesaian secara damai
tidak tercapai {which can not be settle amicably).
Bagaimana halnya jika pihak penanam modal yang
datang ke Indonesia bukan anggota Konvensi. Umpamanya
seorang warga negara asing mengadakan joint venture di
Indonesia, sedang negaranya bukan anggota Konvensi atau
tidak Contracting State. Menghadapi kasus yang seperti itu,
sudah barang tentu tidak diterapkan asas resiprositas. Oleh
karena itu, sekiranya pihak asing dan Pemerintah Indonesia
menginginkan agar perselisihan yang kelak timbul
diselesaikan melalui forum arbitrase, dapat ditempuh
dengan cara:
Pertama, permohonan izin usaha penanaman modal
dilampiri dengan formulir B dengan rumusan klausula yang
berbunyi: In the event that the service o f the international
Centre for the Settlement o f Investment Disputes o f
Washington DC are unavailable to any o f the parties in this
Investment Agreement, than such disputes shall be settled
through a Board o f Arbitration o f three members,
consisting o f two arbirators and one umpire. Each party
will appoint an arbirator and the abritators so appointed
shall appoint the umpire, In the event that the two
arbitrators cannot agree on the umpire, the letter shall be
appointed by-the Chairman o f the International Chamber
o f Commerce at Paris, France, on the request or either
party. The aforesaid arbitration shall be final and binding
upon both parties ”.
Menurut klausula ini, jika ada penanam modal asing
yang ingin berusaha di Indonesia, tapi negaranya tidak
menjadi anggota Konvensi Bank Dunia, dapat mengajukan
kepada Pemerintah RI suatu persetujuan agar penyelesaian
persengketaan yang akan timbul kelak, dilakukan melalui
forum Badan Arbitrase {Board o f Arbitration) yang
anggotanya atau arbiternya {arbitrator) terdiri dari tiga (3)
orang. Kompisisi arbiternya:
> dua orang sebagai anggota, dan

15
> yang satu (anggota ketiga) berindak sebagai umpire,
atau ketua.
Setiap pihak, dalam hal ini penanam modal asing dan
pihak Pemerintah RI, masing-masing menunjuk seorang
arbiter sebagai anggota. Kemudian kedua anggota tersebut
menunjuk seorang umpire. Dalam hal anggota arbiter gagal
atau berbeda pendapat menunjuk umpire, penunjukan
diserahkan dan ditentukan Ketua Kamar Dagang
Internasional (The Chairman o f the International Chamber
o f Commerce) yang berkedudukan di Paris.
Kedua, bisa juga ditempuh dengan cara
mencantumkan klausula arbitrase dalam Joint Venture
Agreement. Ini berarti, pada saat penanam modal asing
mengadakan perjanjian penanaman modal di Indonesia,
dalam akta perjanjian (Joint Venture Agreement), langsung
dicantumkan klausula arbitrase. Sudah merupakan
kelaziman dalam perjanjian penanaman modal asing
mencantumkan klausula arbitrase dalam dokumen Joint
Venture Agreement yang berbunyi: “all disputes arising in
connection with the present contract shall be finally settled
under the Rules. o f Conciliation o f the International
Chamber o f Commers by one or more arbitrators
appointed in accordance with the Rules (ICC Clause). ”
Dapat dilihat, dalam hal pihak penanam modal asing
bukan datang dari negara anggota Konvensi, tidak dapat
diterapkan asas resiprositas Konvensi Bank Dunia. Jika
mereka ingin sengketa penanaman modal diselesaikan
melalu forum arbitrase, ketentuan yang dapat dipakai dan
menundukkan diri kepada ICC Rules dengan cara
mencantumkan ICC Clause dalam Joint Venture
Agreement.
b. Adanya Persetujuan Bersama
Seperti yang sudah pernah disinggung, meskipun
berdasar UU No. 5 Tahun 1968, RI telah menyatakan diri
sebagai anggota (Contracting State) dari Konvensi Bank
Dunia, tidak dengan sendirinya setiap perselisihan
penanaman modal asing langsung menjadi yurisdiksi
Centre (ICSID). Supaya sengketa yang timbul dapat
menjadi yurisdiksi Centre menurut Pasal 25 Konvensi,
harus ada pernyataan “persetujuan” secara tertulis dalam
agreement bahwa pihak asing dan Pemerintah RI akan
tunduk kepada ketentuan Centre (consent in writing to
submid to the Centre).
Berdasarkan ketentuan asas persetujuan dimaksud,
berlakunya ketentuan Konvensi dalam perjanjian
penanaman modal asing di Indonesia harus dipenuhi asas
“resiprositas” dan asas “bilateral”. Pihak penanam modal
asing yang harus berasal dari negara Contracting State atau
negara peserta Konvensi dan sekaligus dibarengi dengan
“persetujuan” bersama secara bilateral. Tidak bisa
dipaksakan secara sepihak (unilateral) berlakunya
ketentuan Konvensi. Misalnya, penanam modal yang
datang dari Amerika, tidak dapat memaksa kehendak agar
perselisihan yang timbul diselesaikan melalui forum
arbitrase Centre tanpa persetujuan pihak Pemerintah RI.
Sedemikian rupa pentingnya asas persetujuan tersebut,
dapat dibaca dalam penegasan angka 23 Report. Disitu
ditegaskan, persetujuan para pihak merupakan “landasan”
atau “dasar” yurisdiksi Centre. Consent o f the parties is the
cornerstone o f the jurisdiction o f the Centre. Selanjutnya,
agar persetujuan dapat mendukung yurisdiksi Centre dalam
menyelesaikan perselisihan penanaman modal asing “mesti
berbentuk tertulis” (must be in writing).
Cara memberikan. persetujuan menurut angka 24
Report, dapat dilakukan :
> Berupa klausula (clause) yang dicantumkan dalam
perjanjian investasi (investment agreement) yang lazim
disebut klausula arbitrase yang berbentuk pactum de
compromittendo. Pactum de compromittendo berisi
penegasan persetujuan, para pihak akan tunduk kepada
penyelesaian Centre atas perselisihan yang timbul “di
masa yang akan datang” (future dispute) dari perjanjian
penanaman modal tersebut.
> Berupa persetujuan bersama yang dibuat tersendiri
setelah perselisihan timbul (a dispute has already
arisen).

17
Bentuk persetujuan yang penyelesaian perselisihan
dilakukan melalui arbitrase Centre setelah perselisihan
terjadi, disebut “akta compromis”.
Suatu hal lagi yang penting diperhatikan sehubungan
dengan masalah yurisdiksi Centre menyelesaikan
perselisihan penanaman modal asing ialah penegasan Pasal
25 ayat (1) Konvensi dikaitkan dengan rumusan angka 23
Report. Berdasarkan ketentuan dimaksud, persetujuan
pemberian kewenangan yurisdiksi kepada Centre untuk
menyelesaikan perselisihan yang timbul “mesti”
dituangkan secara tertulis atau must be in writing.
Persetujuan arbitrase penanaman modal asing yang
dilakukan secara lisan dianggap “tidak ada” atau never
existed dan tidak mengikat. Ketentuan ini ditinjau dari segi
kepastian penegakan hukum serta untuk menghidari saling
perbantahan mengenai isi klausula arbitrase yang telah
disetujui pihak-pihak.
Selanjutnya, apabila para pihak telah mengikat
persetujuan menundukkan diri pada ketentuan Konvensi,
berarti semua persengketaan yang timbul dari perjanjian
penanaman modal sepenuhnya tunduk pada Centre. Sekali
memberikan persetujuan, salah satu pihak tidak dapat
mencabutnya secara sepihak. Hal itu secara tegas
dirumuskan pada akhir kalimat Pasal 25 Konvensi: ....
when the parties have given their consent, no party may
with draw its consent unilaterally.
Warga Negara Asing Anggota Peserta Konvensi
Sehubungan dengan masalah yurisdiksi Centre
menyelesaikan sengketa penanaman modal asing, perlu
juga diketahui siapa yang dimaksud negara asing peserta
Konvensi atau National o f Another Contracting State.
Mengenai orang yang dimaksud warga negara asing peserta
Konvensi yang dapat dijangkau oleh yurisdiksi Centre
dirinci dalam Pasal 25 ayat (2) Konvensi, yang terdiri dari:
> perorangan atau person yang berkebangsaan (warga
negara) dari negara peserta Konvensi (Contracting
State),
> badan hukum (jurisdical person) yang badan usahanya
berkebangsaan negara asing dari peserta Konvensi,
> cabang atau agen (subdivision o f agency) dari negara
asing dari peserta Konvensi.
d. Ruang Lingkup Yurisdiksi Centre
Ruang lingkup kewenangan Centre sebagai badan
arbitrase yang tunduk kepada ketentuan Konvensi Bank
Dunia, hanya terbatas meliputi sengketa perselisihan yang
timbul secara sah dari perjanjian penanaman modal (joint
venture agreement). Hanya perselisihan yang benar-benar
secara legal dan langsung timbul dari perjanjian penanaman
modal (legal dispute arising directly out o f an invesment)
yang dapat diperiksa dan diputus oleh badan arbitrase
Centre.
Lebih lanjut, angka 26 Report memberi penjelasan apa
yang dimaksud dengan legal dispute arising directly out o f
an investment. Dijelaskan, makna legal dispute yang masuk
dalam jangkauan yurisdiksi Centre adalah setiap
perselisihan yang “mesti” menyangkut “hak” atau
“kewajiban” yang sah dari perjanjian penanaman modal
yang bersangkutan.

6. Tata Cara Pengajuan Permohonan


Tentang tata cara pengajuan permohonan penyelesaian
sengketa kepada Centre, baik yang berkenaan dengan
penyelesaian melalui forum Komisi Perdamaian (Conciliation
Commission) atau Forum Arbitrase (Arbrital Trubulans), diatur
dalam Pasal 28 Konvensi jo. angka 34, 35, 36, dan 37 Report.
Menurut ketentuan dimaksud, pengajuan permohonan
disampaikan :
> kepada Sekretaris Jenderal Dewan Administratif Centre;
>' permohonan diajukan secara tertulis;
> permohonan memuat penjelasan tentang :
o pokok-pokok perselisihan;
o identitas para pihak; dan

19
o mengenai adanya persetujuan mereka untuk mengajukan
perselisihan yang timbul menurut ketentuan Centre.
> Sekretaris Jenderal meregister (mendaftar) permohonan,
kecuali dia menemukan dalam penjelasan permohonan
bahwa perselisihan yang timbul nyata-nyata berada di luar
yurisdiksi Centre.
Dalam hal perselisihan yang diajukan berada diluar
yurisdiksi Centre, Sekretaris Jenderal menolak untuk
meregister. Untuk itu, dia membuat dan menyampaikan
penolakan dalam bentuk “pemberitahuan” atau notice
kepada para pihak.
> dalam hal permohonan memenuhi syarat dan permohonan
telah diregister:
o Sekretaris Jenderal menyampaikan “pemberitahuan”
kepada para pihak; dan
o meyampaikan “salinan” permohonan kepada pihak lain.

7. Pembentukan Tribunal
Apabila Sekretaris Jenderal telah menerima dan mendaftar
permohonan perselisihan yang diajukan salah satu pihak,
Centre harus segera mungkin membentuk Mahkamah Arbitrase
(Tribunal Arbitral).
Menurut Pasal 37 ayat (2) Konvensi, pembentukan
Mahkamah Arbitrase dilakukan Centre boleh hanya terdiri dari
seorang arbiter (arbitrator) saja, tetapi boleh juga arbiternya
terdiri dari beberapa orang yang jumlahnya ganjil (any unneven
number o f arbitrator).
Jika para pihak tidak menyetujui jumlah arbiter yang
ditunjuk atau mereka tidak dapat menerima tata cara
penunjukan yang dilakukan Centre, cara lain penunjukan
arbiter merujuk kepada ketentuan Pasal 37 ayat (2) huruf b
Konvensi, dengan acuan penerapan :
> anggota harus terdiri dari tiga (3) orang arbiter;
> masing-masing pihak menunjuk seorang arbiter;
> sedang anggota yang ketika ditunjuk atas kesepakatan dan
persetujuan bersama dari para pihak; dan
> arbiter yang ketiga ini, langsung mutlak menjadi Ketua
(presiden) dari tribunal arbitrase yang bersangkutan.
Dapat dilihat adanya kebebasan para pihak1 dalam
penunjukan anggota arbiter. Para pihak dapat menyetujui
arbiter yang ditunjuk Centre. Sebaliknya dapat menolak apabila
arbiter yang ditunjuk tidak mereka setujui, atau apabila metode
dan tata cara penunjukan mereka anggap kurang sesuai. Dalam
hal yang demikian, pengangkatan anggota arbiter sepenuhnya
menjadi hak dan kewenangan para pihak untuk mengangkat
masing-masing seorang arbiter. Sedang pengangkatan atau
penunjukan arbiter ketiga harus atas persetujuan bersama dari
semua pihak. Dan anggota yang ketiga ini langsung akan
bertindak sebagai Ketua (presiden).
Selanjutnya menurut Pasal 38 Konvensi, apabila dalam
tempo 90 hari dari tanggal pemberitahuan pendaftaran
permohonan tribulan arbitrase belum dibentuk, Ketua Dewan
Administratif Center (Chairman o f the Administrative Council)
berwenang menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter.
Kewenangan yang demikian, ada pada diri Ketua Dewan
Administratif, apabila telah ada permohonan dari salah satu
pihak. Disamping itu, kewenangan penunjukan arbiter yang
seperti itu tidak boleh diambil dari negara peserta Konvensi
yang sedang berselisih.
Satu hal lagi yang perlu diketahui dalam komposisi anggota
arbiter, bahwa mayoritas anggota arbitrase harus ditunjuk dari
luar negara peserta Konvensi yang sedang berselisih. Hal itu
ditegaskan dalam Pasal 39 Konvensi. Namun demikian,
ketentuan ini dapat dikesampingkan apabila para pihak
menyetujui bahwa arbiter tunggal ditunjuk dari salah satu
negara para pihak atau mereka setuju mayoritas anggota arbiter
dapat ditunjuk dari salah satu negara para pihak.

8. Kewenangan dan Fungsi Tribunal


Pada prinsipnya arbitrase Centre sebagai mahkamah yang
bersifat internasional, menurut Pasal 40 Konvensi dan angka 37
Report memiliki wewenang untuk mengadili atau memutus
perselisihan sesuai dengan kompetensinya. Berarti, selama apa
yang disengketakan para pihak masih termasuk bidang

21
yurisdiksi yang ditentukan Pasal 32 dan Pasal 25 Konvensi,
para anggota arbiter sepenuhnya berwenang untuk memutus
perselisihan.
Dalam hal ada bantahan '(objection) dari salah satu pihak
yang menyatakan apa yang diperselisihkan adalah diluar
yurisdiksi Centre atau berdasarkan alasan lain yang
memperlihatkan apa yang diperselisihkan di luar kewenangan
tribunal arbitrase yang dibentuk, tribunal yang bersangkutan
lebih dulu mempertimbangkan dan memutus tentang hal
tersebut dalam bentuk putusan pendahuluan (priliminary).
Akan tetapi, bisa juga hal itu dipertimbangkan dan diputus
bersamaan dengan pokok persengketaan, apabila tata cara yang
demikian dianggap lebih bermanfaat.
Sehubungan dengan kewenangan dan fungsi memutus
perselisihan, lebih lanjut diuraikan hal-hal di bawah ini :
a. Memutus Sengketa Menurut Hukum
Menurut Pasal 42 Konvensi, arbitrase Centre terikat
pada ketentuan hukum (rules o f law) dalam memutus
perselisihan yang terjadi. Prinsip ini merupakan patokan
utama yang acuan penerapannya dapat dijabarkan secara
ringkas :
> Centre harus memutus berdasarkan hukum yang telah
disepakati para pihak dalam perjanjian;
> Dalam hal perjanjian tidak menentukan tata hukum
mana yang akan diterapkan, Centre menerapkan tata
hukum dari negara peserta yang sedang berselisih.
Dalam menerapkan tata hukum yang demikian, harus
senantiasa berpedoman kepada ketentuan kepada
ketentuan dan asas hukum internasional;
> Centre dilarang menerapkan hukum yang tidak dikenal
oleh pihak-pihak yang berselisih;
> akan tetapi Centre dapat memutus perselisihan berdasar
“kepatutan” atau “ex aequo et bono”, jika hal itu
disepakati para pihak dalam perjanjian.
di bawah ini :
b. Memanggil dan Melakukan Pemeriksaan Setempat
Dalam hal dianggap dan dipertimbangkan sangat perlu
memeriksa suatu dokumen atau alat bukti maupun
pemeriksaan setempat, arbitrase Centre dalam setiap tahap
proses pemeriksaan (any stage o f the proceedings), dapat:
> memanggil atau meminta pihak-pihak untuk
menyerahkan dokumen atau alat bukti yang dianggap
penting;
> juga dapat melakukan pemeriksaan setempat atau
memeriksa langsung barang, orang, serta mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dianggap perlu dan
bermanfaat menyelesaikan perselisihan.
Kewenangan yang dikemukakan di atas, merupakan
kewenangan yang diberikan Pasal 43 Konvensi kepada
Centre. Akan tetapi, kewenangan itu akan gugur dalam hal
para pihak menentukan lain dalam perjanjian,
di bawah in i:
c. Putusan Provisi
Disamping kewenangan yang diuraikan di atas, Centre
juga berwenang menjatuhkan putusan pendahuluan atau
putusan provisi maupun tindakan sementara, apabila
(menurut pertimbangan) hal itu sangat diperlukan. Sebagai
dasar pertimbangan yang dapat dipergunakan untuk
menetapkan putusan atau tindakan sementara menurut
Pasal 47 Konvensi, apabila hal itu sangat dibutuhkan untuk
melindungi dan menghormati hak dan kepentingan salah
satu pihak. Kedalam tidakan atau putusan sementara, dapat
dimasukkan penyitaan barang-barang yang disengketakan,
agar gugatannya tidak mengalami illusoir di belakang hari.
Bisa juga pelarangan penjualan atau pemindahan suatu
barang, asal hal itu merupakan objek yang langsung terlibat
dalam persetujuan.

9. Putusan Arbitrase Centre


Tujuan utama arbitrase Cetre ialah memutus perselisihan
yang timbul apabila perselisihan itu telah diajukan kepadanya.
Sehubungan dengan masalah tersebut, Pasal 48 Konvensi
menentukan tata cara pengambilan putusan :

23
> putusan diambil berdasar suara mayoritas anggota arbiter;
^ putusan arbiter yang sah ialah :
o dituangkan dalam putusan secara tertulis; dan
o ditandatangani oleh anggota arbiter yang menyetujui
putusan.
> putusan memuat segala segi permasalahan serta alasan-
alasan yang menyangkut dengan dasar pertimbangan
putusan;
> setiap anggota arbiter dibenarkan mencantumkan pendapat
pribadi (individual opinion) dalam putusan, meskipun
pendapat tersebut berbeda dan menyimpang dari pendapat
mayoritas anggota. Bahkan, boleh juga seorang anggota
mencantumkan suatu pernyataan mengapa dia berbeda
pendapat dengan mayoritas anggota arbiter;
> Centre tidak boleh mcmpublikasikan putusan, tanpa
persetujuan para pihak;
> selanjutnya, Sekretaris Jenderal harus segera mengirimkan
salinan putusan kepada para pihak. Putusan dianggap
memiliki daya mengikat atau binding terhitung dari tanggal
pengiriman salinan. Selama dalam jangka waktu 45 hari
dari tanggal dimaksud, para pihak dapat mengajukan
pertanyaan tentang hal yang berkenaan dengan kesalahan
pengetikan, perhitungan, atau kekeliruan lain yang sejenis.
a. Interpretasi Putusan
Ada kalanya, putusan yang dijatuhkan Centre
menimbulkan perselisihan diantara para pihak, baik
mengenai makna maupun mengenai jangkauan putusan.
Dalam hal yang seperti itu, Pasal 50 Konvensi memberi
hak kepada setiap pihak untuk mengajukan pendapat
tentang penafsiran yang menyangkut pelaksanaan putusan.
Pengajuan interpretasi atas putusan ditujukan, diserahkan
kepada tribunal arbitrase yang semula memutusnya. Dalam
hal tribunal arbitrase semula tidak mungkin lagi
menyelesaikan, misalnya karena salah seorang anggota
arbiter meninggal, dapat dibentuk tribunal arbitrase baru,
yang secara khusus diserahi tugas untuk mengambil desisi
(keputusan) atas perbedaan penafsiran dimaksud. Dan

24
dalam hal ada persclishan penafsiran atas putusan,
pelaksanaan eksekusi lebih baik ditangguhkan.
b. Revisi atas Putusan
Pasal 51 Konvensi memperbolehkan setiap pihak
mengajukan permintaan “revisi” atau “perbaikan” atas
putusan yang dijatuhkan. Pengajuan permintaan revisi
dibuat secara tertulis yang ditujukan kepada Sekretaris
Jenderal.
Pengajuan permintaan revisi didasarkan atas alasan
ditemukan fakta-fakta yang bersifat sangat menentukan dan
mempengaruhi putusan. Pengajuan revisi, dalam tempo 90
hari dari tanggal pengiriman salinan putusan. Penilaian atas
permohonan revisi, dapat diselesaikan oleh tribunal
arbitrase semula. Jika hal itu tidak mungkin, dibentuk
tribunal arbitrase baru yang secara khusus menilai dan
memutus permohonan revisi.
Apabila dianggap penting, selama permasalahan revisi
belum diselesaikan, pelaksanaan putusan ditangguhkan.
c. Pembatalan Putusan
Pasal 52 Konvensi memberikan hak kepada masing-
masing pihak untuk mengajukan “pembatalan” atau
annulment putusan Centre. Pengajuan permohonan
pembatalan putusan :
> diajukan dalam bentuk tertulis; dan
> ditujukan kepada Sekretaris Jenderal;
> setiap permohonan pembatalan putusan harus
didasarkan atas alasan yang telah ditentukan secara
limitatif dalam Pasal 52 ayat (1) Konvensi, yant terdiri
atas:
1) pembetulan tribunal arbitrase yang memutus, tidak
tepat;
2) tribunal arbitrase yang memutus “melampaui batas
kewenangan” atau manifesly exceeded its powers',
3) ada “kecurangan” atau corruption dari sementara
anggota arbiter;

25
4) ada penyimpangan yang sangat serius dari
fundamentum atau aturan acara; atau
5) putusan gagal mencantumkan alasan-alasan yang
menjadi dasar putusan.
> permohonan pembatalan putusan diajukan dalam
tenggang waktu 120 hari dari tanggal pengiriman
salinan putusan. Kecuali jika pcmbatralan didasarkan
atas alasan “kecurangan” {corruption), tenggang
waktunya 120 hari dari tanggal kecurangan ditemukan;
> tata cara pembatalan putusan :
Ketua Dewan Administratif {Chairman o f the
Administrative Council), dalam hal ini Presiden Bank
Dunia, menunjuk anggota arbiter untuk duduk dalam
suatu Komite ad hoc yang terdiri dari tiga (3) orang.
Penunjukan anggota arbiter yang akan duduk dalam
komite ad hoc, tidak boleh diambil dari anggota arbiter
yang semula menjatuhkan putusan yang dimohon
pembatalan;
> selama permohonan berjalan, pelaksanaan putusan
“dapat” ditangguhkan; dan
> jika putusan dibatalkan, atas permintaan salah satu
pihak, perselisihan semua akan diputus oleh tribunal
arbitrase baru yang dibentuk untuk itu.

10. Pengakuan dan Eksekusi Putusan


Putusan yang dijatuhkan arbitrase Centre pada dasarnya
memiliki daya self executing. Artinya Convention on the
Settlement o f Investment Dispute Between States and Nationals
o f Other States, merupakan Konvensi yang tidak memerlukan
suatu tindakan perundang-undangan untuk dapat berlaku dalam
suasana tata hukum intern. Jadi bagi Indonesia, dengan lahirnya
UU No. 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan RI atas Konvensi
ini, berarti aturan Konvensi sudah menjadi bagian dari tata
hukum intern Indonesia sebagai salah satu Contracting State.
Dengan demikian, Konvensi memiliki daya self executing. Oleh
karena itu, pengakuan {recognation) dan eksekusi
{enforcement) dari putusan arbitrase Centre, merupakan bagian
tata hukum Indonesia tanpa memerlukan peraturan pelaksanaan
dari UU No. 5 Tahun 1968 atas pengakuan dan eksekusinya.
Bertitik tolak dari apa yang dikemukakan, dihubungkan
dengan ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 Konvensi, dapat
dijelaskan hal-hal sebagai berikut:
a. Putusan Mengikat
Setiap putusan yang dijatuhkan arbitrase Centre
“mengikat” atau binding kepada para pihak. Bersamaan
dengan sifat mengikat tersebut, putusan juga bersifat final
dan “menentukan” kepada para pihak, (halaman 18-19 pada
naskah FC tidak ada)

11.

pembentukan dan pengembangan tribulan arbitrase yang


dirumuskan dalam ungkapan Arbitration is a simple proceeding
voluntary chosen by parties who want dispute determine by an
inpartial judge o f their mutual selection, whose decision based on
the merits o f the case, they agreed in advance to accept as final and
binding
Semangat kebersamaan secara global atas pengakuan dan
kesediaan melaksanakan eksekusi putusan arbitrase asing yang
menjadi motivasi Pemerintah RI meratifikasi Konvensi New York
1958. Motivasi tersebut tidak juga lepas kaitannya dengan
kepentingan laju perkembangan pembangunan nasional. Sebab,
dengan kesediaan Pemerintah RI mengakui Konvensi New York
1958 sebagai salah satu bagian dari sistem tata hukum Indonesia,
akan menumbuhkan kesan bagi dunia maju tentang kerelaan pihak
Indonesia mematuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berwawasan
internasional. Dengan demikian, keraguan pihak dunia luar atas
sikap pihak Indonesia untuk mempertahankan sistem tata hukum
nasional dalam persengketaan yang timbul akan tersingkir.
Memang, perkembangan arus globalisasi perekonomian,
perdagangan, dan alih teknologi, telah menempatkan setiap negara
di permukaan bumi semakin berada dalam suasana saling
interdepeden. Laju pertumbuhan arus globalisasi yang semakin
menempatkan setiap negara di dunia berada dalam tata

27
intcrdcpcndcn, mau tidak mau mendorong Pemerintah Indonesia
untuk ikut bersama dalam barisan Konvensi New York 1958.
Apalagi jika dilihat melalui pendekatan fakta dan praktek yang
terjadi akhir-akhir ini. Di penghujung abad ini, sudah terbentuk
suatu opini dan praktek bahwa setiap hubungan hukum perjanjian
yang terjadi antara negara, selamanya disertai klausula arbitrase.
Keengganan untuk menerima klausula arbitrase dalam hubungan
perjanjian yang berskala internasional, terutama yang menyangkut
hubungan komersial, akan memencilkan pihak yang menolak dari
keikutsertaan dalam arena perekonomian dan perdagangan dunia.
Oleh karena itu, tepat sekali sikap Pemerintah Indonesia
meratifikasi Konvensi New York 1958, sehingga tidak tersisih dari
lalu lintas hubungan ekonomi dan komersial internasional. Mau
tidak mau, boleh dikatakan kita sudah harus menerima kenyataan
tentang keterikatan untuk menerima klausula arbitrase dalam setiap
perjanjian yang dibuat dengan pihak luar. Tidak rela menerima
klausula arbitrase, mengakibatkan pihak luar enggan mengadakan
ikatan perjanjian dagang, penanaman modal, dan alih teknologi
dengan kita.
Masalahnya adalah, sesudah meratifikasi Konvensi New York
1958, kita harus meningkatkan pemahaman dan pengetahuan
tentang seluk-beluk berbagai ketentuan {rules) arbitrase.
Sedemikian banyaknya aturan yang ada, perlu didalami, agar
jangan terjebak menerima klausula arbitrase yang mungkin
merugikan pihak kita. Apalagi jika hal itu dihubungkan dengan
posisi Indonesia yang masih diletakkan dalam jajaran negara
berkembang. Posisi Indonesia sebagai negara berkembang
berhadapan dengan negara yang sudah maju, tiada lain daripada
negara “pengundang” atau “penerima” modal, berhadapan dengan
negara “pemberi” modal. Dari kenyataan posisi itu dapat
digambarkan berbagai kelemahan yang harus dipikul. Kelemahan
dalam pengalaman internasional; kelemahan dalam keterampilan
dan manajemen serta kelamahan dalam perdagangan, modal, dan
teknologi. Sehingga, karena kebutuhan modal sangat mendesak,
pihak negara maju dapat memaksakan segala macam persyaratan
yang dikehendaki yang mengakibatkan kita terjerumus ke dalam
jurang ketergantungan yang sangat merugikan. Ilal seperti itu layak
menjadi pemikiran dan telaah pada setiap mengadakan perjanjian
yang berklausula arbitrase. Supaya dapat memikirkan dan menelaah
klausula arbitrase yang berskala internasional dengan baik dan

28
sempurna, pertama-tama kita harus meningkatkan kualitas,
keterampilan, dan wawasan tentang seluk-beluk berbagai rule yang
terkandung pada setiap Konvensi.

F. PENDALAM SINGKAT KONVENSI NEW YORK 1958


Untuk melengkapi pembicaraan mengenai Keppres Mo. 34
Tahun 1981, ada baiknya dibahas secara singkat pokok-pokok
materi yang ditentukan dalam Konvensi New York 1958.
Sebagaimana dikatakan, Keppres No. 34 Tahun 1981, berdampak
luas terhadap tata hukum Indonesia di bidang arbitrase. Sebab,
dengan Keppres tersebut, Pemerintah Indonesia telah menarik
Konvensi New York 1958 masuk ke dalam sistem tata hukum
nasional. Dengan Keppres itu, Konvensi New York 1958 menjadi
bagian yang tidak terpisah dari tata hukum nasional Indonesia. Oleh
karena itu Konvensi dimaksud sudah menjadi bagian dari hukum
nasional, khusus dalam bidang arbitrase sudah sewajarnya
diketahui pokok-pokok materi yang terkandung dalam pasal-
pasalnya.
1. Arti Putusan Arbitrase Asing
Pengertian putusan arbitrase asing, dirumuskan dalam
Pasal I ayat (1) Konvensi New York 1958. Dalam pasal ini
dijelaskan, yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing
(menurut Konvensi ini) ialah putusan-putusan arbitrase yang
dibuat di wilayah negara lain dari negara tempat dimana
diminta pengakuan dan pelaksanaan eksekusi atas putusan
arbitrase yang bersangkutan {made in the territory o f a states
other than the states where the recognition and enforcement o f
such awards are sought).
Syarat utama putusan arbitrase dibuat di luar negara dari
negara yang diminta pengakuan dan eksekusi. Sedang syarat
lain untuk menentukan suatu putusan arbitrase adalah putusan
arbitrase asing, dimana putusan tersebut harus mengenai
perselisihan yang timbul antara “perseorangan” atau “badan
hukum”.
Perlu diingat, faktor perbedaan kewargancgaraan tidak
mutlak, tidak mesti persengketaan terjadi antara dua pihak yang
saling berbeda kewargancgaraan. Ilisa juga persengketaan
terjadi antara orang-orang atau badan hukum yang memiliki

29
kewargancgaraan yang sama, asal mereka sepakat
persengketaan diselesaikan oleh badan arbitrase luar negeri.
Dalam kasus yang demikian, putusan arbitrase yang
bersangkutan adalah arbitrase asing. Misalnya, dua orang
pengusaha Indonesia mengadakan perjanjian dagang. Dalam
perjanjian dicantumkan klausula yang menegaskan: segala
perselisihan yang timbul dari hubungan dan perjanjian akan
diputus sesuai dengan ICC Rules (International Chamber o f
Commerce) di Paris. Dengan dicantumkannya ICC Clause
dalam perjanjian serta kesepakatan penyelesaian oleh ICC di
Paris, putusan arbitrase yang diambil dalam kasus ini adalah
putusan arbitrase asing, meskipun pihak-pihak yang
bersengketa sama-sama warga negara Indonesia.
Sebaliknya, putusan arbitrase dalam wilayah satu negara
meskipun putusan arbitrase yang bersangkutan tunduk dan
didasarkan atas suatu Konvensi internasional, putusan arbitrase
yang demikian tidak dianggap putusan arbitrase “domestik”.
Putusan yang demikian dianggap putusan arbitrase asing.
Disamping itu, yang termasuk pada putusan arbitrase asing
Pasal I ayat (2) Konvensi, bukan hanya putusan-putusan yang
dijatuhkan oleh badan arbitrase ad hoc atau arbitrator
appointed for each case, melainkan termasuk setiap putusan
yang diambil oleh badan arbitrase “permanen” atau permanent
arbitral body yang la/in juga disebut “arbitrase institusional”.
Asas Rcsiprositas
Pada prinsipnya, pengakuan dan pelaksanaan eksekusi
putusan arbitrase asing menganut asas “rcsiprositas” atau
reciprocity. Asas ini tercantum dalam Pasal I ayat (3) Konvensi
New York 1958. Berarti, penerapan pengakuan dan
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing dalam suatu
negara atas permintaan dari negara lain, hanya dapat diterapkan
apabila antara negara yang bersangkutan telah ada lebih dulu
hubungan ikatan “bilateral” atau “multilateral”. Oleh karena
itu, negara peserta Konvensi New York 1958, dapat menolak
pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing
yang dimintakan suatu negara, apabila negara yang meminta
tidak mempunyai hubungan bilateral dengan negara yang
diminta. Dengan demikian, Konvensi New York 1958 tidak
dapat dipaksakan secara “unilateral”.
Jika diperhatikan Pasal I ayat (3) Konvensi New York
1958, penerapan asas resiprositas harus secara tegas dinyatakan
suatu negara pada saat negara yang bersangkutan melakukan
“ratifikasi”. Hal ini dapat dibaca dalam kalimat yang berbunyi:
“ ........ any states may on basis o f reciprocity declare that it
will apply the Convention to the recognition and enforcement
o f awards made only in the territory o f another Contracting
Slates.... ”.
Bagaimana halnya jika pada saat melakukan ratifikasi
Konvensi New York 1958, tidak mencantumkan pernyataan
asas rcciprositas? Jika suatu negara tidak mencantumkan asas
tersebut pada saat ratifikasi, sepenuhnya dianggap mengakui
dan melaksanakan putusan arbitrase asing secara unilateral.
Namun demikian, anggapan hukum seperti itu didasarkan pada
pendekatan teoritis, dihubungkan dengan rumusan kctcntual
Pasal I ayat (3) Konvensi. Barangkali dari kenyataan praktek,
hal itu sulit dilaksanakan, karena negara yang diminta
pengakuan dan pelaksanaan, dapat menolak atas alasan
kedaulatan negara dan hukum nasional. Jangankan permintaan
didasarkan secara unilateral, permintaan secara bilateral pun
masih sering mendapat hambatan. Hal itu merupakan kenyataan
praktek di Indonesia selama ini. Sebagaimana dijelaskan,
Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 berdasarkan
Keppres No. 34 Tahun 1981 pada tanggal 5 Agustus 1981.
Naum demikian permintaan pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase asing yang diajukan sebelum berlaku
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 1990, selalu
kandas atas alasan: walaupun Keppres No. 34 Tahun 1981
sudah ada (telah meratifikasi Konvensi New York 1958),
putusan arbitrase asing (di Indonesia) tidak dapat dieksekusi
oleh Pengadilan Indonesia, karena belum ada peraturan
pelaksanaannya.
Bagaimana sikap Indonesia atas asas resiprositas tersebut?
Sikap Pemerintah Indonesia secara mutlak mempertahankan
asas resiprositas. Penegasan atas eksistensi asas resiprositas
ditegaskan Pemerintah Indonesia dalam Lampiran Keppres No.
34 Tahun 1981. Dalam lampiran itu dicantumkan “pernyataan”

31
atau declaration yang menegaskan penerapan Konvensi New
York 1958 di Indonesia didasarkan atas asas “resiprositas”.
Pernyataan tersebut dibuat bertitik tolak dari ketentuan Pasal I
ayat (3) Konvensi, yang memberikan hak kepada negara
peserta Konvensi atau Contracting State untuk mencantumkan
deklarasi asas resiprositas pada saat suatu negara meratifikasi
Konvensi.
Sikap Indonesia yang mempertahankan penerapan
Konvensi berdasarkan asas resiprositas adalah tepat dan wajar.
Dalam kcikutscrtaan memasuki arus globalisasi dan suasana
interdepedent, tidak perlu mengorbankan dan menggadaikan
kedaulatan hukum dan nasionalitas. Perlu ada pembatasan dan
perisai saling menghormati {mutual respect) kedaulatan
masing-masing. Oleh karena itu, dalam rangka saling
menghormati atara satu negara dengan negara lain, harus
mengacu pada landasan bilateral secara resiprositas. Sangat
bertentangan rasanya dengan nilai-nilai kedaulatan hukum dan
politik nasional, apabila memperkenankan diakui dan
dilaksanakan putusan arbitrase asing atas permintaan suatu
negara, kalau hal seperti itu tidak dapat diminta secara timbal
balik kepada negara yang bersangkutan. Lagi pula, bukan
Indonesia saja yang bersikap demikian. Jika dibaca bagian
“notis” Konvensi New York 1958, kebanyakan Contracting
State (negara peserta Konvensi), tetap mempertahankan asas
resiprositas. Dari sebanyak 64 negara yang tercatat pada tahun
1983 sebagai Contracting State dari Konvensi New York 1958,
hampir seluruh negara peserta berpegang pada asas resiprositas.
3. Pembatasan Sepanjang Sengketa Dagang
Pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing tidak
meliputi semua bidang persengketaan hukum. Konvensi New
York 1958 memberi hak kepada setiap Contracting State untuk
membatasi sepanjang perselisihan di bidang hukum tertentu.
Penilaian diserahkan kepada setiap negara untuk menentukan
sikap, sejauh mana putusan arbitrase asing dapat mereka akui
dan laksanakan. Konvensi New York 1958 tidak memaksa
setiap negara peserta untuk mengakui dan melaksanakan
putusan arbitrase asing meliputi semua bidang hukum
keperdataan. Setiap negara bebas menentukan batas-batas,
jangkauan putusan arbitrase asing, dihubungkan dengan
kepentingan dan kedaulatan hukum masing-masing negara
peserta. Setiap negara peserta paling tahu apa yang menjadi
kepentingannya, tanpa mengurangi keikutsertaan dalam arus
dinamika globalisasi dan internationalisasi. Masing-masing
negara memiliki aset nilai-nilai hukum, moral, agama, dan
perekonomian yang perlu dilindungi dari campur tangan negara
lain. Hal yang seperti itu pernah saya peringatkan pada suatu
seminar, agar melepaskan diri dari kcccndrungan yang
menuntut Pemerintah Indonesia untuk tidak perlu membatasi
diri atas pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing.
Seolah-olah dijumpai kelompok yang tanpa sadar bersedia
menggadaikan seluruh kedaulatan hukum nasional dan
“kepentingan umum” (publik order) nasional demi kepentingan
negara lain, atas alasan Indonesia harus membuka diri selebar-
lebarnya dalam kancah arus globalisasi. Pemahaman globalisasi
yang seperti ini saya anggap berlebihan dan kurang rasional,
karena mengarah kepada paham liberalisme secara membabi
buta dan semata-mata hanya beranjak dari pendekatan
prosperity semu, tanpa menyeimbangkan prosperity approach
dengan “security a p p r o a c h Sudah dipastikan terjamin akan
tercapai kemakmuran dan kesejahteraan nasional apabila
bersedia menerima apa saja yang diputus oleh arbitrase asing?
Tentu tidak, bukan? .
Lagi pula, jika bertitik tolak dari ketentuan Pasal I ayat (3)
Konvensi, terdapat pembenaran sikap atas pembatasan bidang
hukum tertentu. Ilal itu dapat dibaca dalam kalimat yang
berbunyi: “It may also declare that it will apply the Convention
only to differences arising out o f legal relationship, whether
contractual or not, which are considered as commercial under
the national law o f states making such declaration
Dari bunyi pasal dimaksud, Konvensi sendiri
membenarkan dan memberi hak kepada setiap Contracting
State untuk menentukan pembatasan jangkauan pengakuan
putusan arbitrase asing, hanya meliputi perselisihan dalam
bidang hukum tertentu saja. Pada umumnya, negara peserta
Konvensi hanya membatasi mengenai bidang hukum
perniagaan atau Commercial law, yakni hukum dagang negara
peserta yang bersangkutan, (under the national law o f slates
making such declaration). Pembatasan yang seperti itu,
menurut Pasal I ayat (3) Konvensi dicantumkan sebagai
deklarasi pada saat suatu negara meratifikasi Konvensi.
Lebih lanjut, apa yang dirumuskan dalam Pasal I ayat (3)
Konvensi dipertegas lagi pada bagian note Konvensi. Disitu
ditegaskan, pada umumnya para negara peserta Konvensi New
York 1958 membatasi hanya menaklukkan diri terhadap
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing, sepanjang
mengenai persengketaan perjanjian “bisnis” dan “perdagangan”
(its limited to business and commercial transaction).
Bagaimana sikap Indonesia? Sikap Pemerintah RI atas
pengesahan Konvensi New York 1958 melalui Keppres No. 34
Tahun 1981, dapat dibaca dalam Lampiran Keppres tersebut.
Pada kalimat terakhir Lampiran, dirumuskan pembatasan
pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing,
yang berbunyi: “pelaksanaan penerapan Konvensi hanya
terbatas mengenai perselisihan yang timbul secara sah dari
perjanjian yang berkenaan dengan bidang Hukum Perdagangan
menurut Hukum Dagang Indonesia’. Oleh karena pembatasan
tersebut telah dituangkan dalam bentuk “deklarasi” pada saat
ratifikasi Konvensi melalui Keppres No. 34 Tahun 1981,
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini badan peradilan di
Indonesia, hanya terikat untuk mengakui dan melaksanakan
eksekusi putusan arbitrase asing, sepanjang putusan berada
dalam ruang lingkup perselisihan Hukum Dagang. Untuk
menilai apakah putusan arbitrase asing yang bersangkutan
meliputi persengketaan Hukum Dagang, merujuk kepada
ketentuan Hukum Dagang Indonesia.
Barangkali, titik tolak pembatasan yang dideklarasikan
pada Lampiran Keppres dimaksud, bertujuan untuk
menyesuaikan pembatasan-pembatasan yang diatur dalam Pasal
616 Rv. Dalam pasal itu ditegaskan, tidak diperkenankan dan
dianggap batal demi hukum setiap putusan arbitrase mengenai
penghibahan, hibah wasiat; nafkah, perceraian, kedudukan
hukum seseorang, dan mengenai hal-hal sengketa yang oleh
ketentuan undang-undang tidak dibolehkan mengadakan suatu
perdamaian. Larangan yang diatur dalam Pasal 616 Rv
ditujukan terhadap arbitrase yang dibuat di Indonesia.
Ketentuan ini tepat dipergunakan sebagai pedoman acuan
mengenai arbitrase asing.
4. Bcrbcntuk Tertulis
Supaya putusan arbitrase asing mempunyai landasan yang
sah, secara formal perjanjian atau klausula arbitrase harus
dibuat dalam bentuk “tertulis”. Hal itu diatur dalam Pasal II
ayat (1) Konvensi. Didalamnya dijumpai kata-kata: an
agreement in writing.
Jadi menurut Konvensi New York 1958, perjanjian atau
klausula harus dituangkan dalam bentuk tulisan. Tidak
dibenarkan perjanjian arbitrase secara “lisan”. Dengan
demikian, jika para pihak Contracting State menginginkan
penyelesaian perselisihan diputus oleh forum tribunal arbitrase,
harus secara tegas disebutkan dalam perjanjian.
Mengenai maksud perjanjian arbitrase dalam bentuk
tertulis atau agreement in writing, lebih lanjut diperjelas dalam
Pasal II ayat (2) Konvensi. Disitu dirumuskan: “The term
agreement in writing shall include an arbitral clause in a
contract or an arbitration agreement, signed by the parlies or
contained in an exchange o f letters or telegrams”. Dari bunyi
pasal itu, yang dimaksud perjanjian arbitrase secara tertulis
boleh bcrbcntuk klausula arbitrase yang dibuat bersamaan di
dalam perjanjian pokok, dan ditandatangani oleh kedua belah
pihak. Akan tetapi, disamping bentuk yang disebut, Pasal II
ayat (2) Konvensi memperluas arti tertulis dalam perjanjian
arbitrase. Perluasan dimaksud termasuk perjanjian :
> yang dibuat tersediri diluar perjanjian pokok; atau
> perjanjian yang termuat dalam pertukaran surat-menyurat
antara kedua belah pihak; maupun
> Pertukaran telegram yang berisi persetujuan perjanjian
arbitrase.
Perluasan tersebut pernah dikemukakan oleh 'I'.M. Radhie,
SI I. Menurut beliau sehubungan dengan kemajuan
telekomunikasi dewasa ini, tidak perlu ada keberatan untuk
juga menerima perjanjian arbitrase tertulis melalui teleks atau
faksimile. Perluasan yang dikemukakan tersebut mengandung
pandangan yang realistis jika dihubungkan dengan fungsi

35
sarana telekomunikasi itu pada satu segi. Sarana-sarana tersebut
secara pasti dan akurat telah dapat menghubungkan para pihak
dalam waktu singkat. Sedang dari segi lain, hubungan lalu
lintas dunia dagang pada masa kini sudah sampai pada yang
memerlukan kecepatan mobilitas tinggi. Hal itu dapat dicapai
melalui sarana teleks dan faksimile.
5. Arbitrase Memiliki Kompetensi Absolut
Pasal II ayat (3) Konvensi berbunyi: “The court o f a
Contracting State, when seized o f an action in a matter in
respect o f which the parties have made an agreement with in
the meaning o f article, shall, at the request o f one o f the parties
refer the parties to arbitration, unless it finds that said
agreement in null and void in operative or incapable o f being
performed’'.
Berdasarkan apa yang digariskan dalam pasal tersebut,
Konvensi New York 1958, telah menempatkan status arbitrase
sebagai forum atau mahkamah yang memiliki kewenangan
absolut dalam menyelesaikan dan memutus sengketa, apabila
para pihak telah membuat persetujuan tentang itu. Sekali para
pihak membuat persetujuan penyelesaian perselisihan melalui
arbitrase, sejak saat itu arbitrase telah memiliki kompetensi
absolut untuk memutus persengketaan yang timbul dari
perjanjian yang bersangkutan. Itu sebabnya Pasal II ayat (3)
Konvensi memberi peringatan kepada badan peradilan resmi
yang terdapat dalam setiap negara peserta Konvensi
('Contracting State), berupa larangan bagi badan peradilan
untuk mengadili perselisihan yang diminta oleh seseorang, jika
ternyata mengenai perselisihan itu telah disetujui olehnya
(dalam perjanjian) untuk diselesaikan oleh arbitrase. Sekiranya
pengadilan menerima gugatan dari seseorang, dan ternyata
orang tersebut telah mengikat diri dalam perjanjian arbitrase
tentang penyelesaian perkara yang digugat, pengadilan harus
menyatakan diri “tidak berwenang” mengadili. Berbarengan
dengan itu, pengadilan menyuruh agar perselisihan diselesaikan
melalui forum arbitrase.
Kewenangan absolut arbitrase menyelesaikan perselisihan,
baru dapat disingkirkan oleh pengadilan dalam hal :

36
> perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak “batal demi
hukum” atau null and void\ atau
> perjanjian itu sendiri tidak mungkin dilakukan atau
inoperative incapable o f being performed.
Kalau ketentuan Pasal II ayat (3) Konvensi ditelaah, jelas
menganut aliran pacta sunt servanda. Menurut doktrin pada
sunt servanda, setiap persetujuan yang sah, mengikat sebagai
undang-undang bagi para pihak. Oleh karena itu, persetujuan
hanya dapat digugurkan atau ditarik kembali atas kesepakatan
bersama para pihak. Dengan demikian, apabila dalam suatu
persetujuan, para pihak telah mengikat diri untuk
menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian melalui
forum arbitrase, perjanjian itu “mutlak” mengikat kepada
mereka. Bersamaan dengan itu, para pihak dengan sendirinya
telah menyerahkan kompetensi absolut kepada badan arbitrase
untuk memutus perselisihan yang timbul dari perjanjian.
'Pentang doktrin pacta sunt servanda akan dijelaskan lebih
lanjut pada pembahasan kewenangan arbitrase.
Praktek peradilan di Indonesia tampaknya mengikuti aliran
pacta sunt servanda yang digariskan Pasal II ayat (3) Konvensi.
Hal itu dapat diamati dari berbagai putusan Mahkamah Agung.
Salah satu diantaranya dapat dilihat dalam Putusan MA No.
225/K/SIP/1976. Dalam pertimbangan disimpulkan: “perjanjian
yang memuat klausula arbitrase adalah menyangkut kekuasaan
absolut untuk menyelesaikan perkara”. Selanjutnya dikatakan,
“perjanjian arbitrase mempunyai kekuatan undang-undang
yang harus ditaati para pihak”.
6. Putusan Arbitrase Final and Binding
Menurut Pasal III Konvensi, setiap negara peserta
Konvensi {Contracting State) harus mengakui putusan arbitrase

> sebagai putusan yang “mengikat” atau binding dan flnal\


serta
> harus melaksanakan eksekusi menurut aturan hukum acara
yang berlaku dalam wilayah negara dimana putusan
arbitrase yang bersangkutan dimohon eksekusi.

37
Apabila yang diatur dalam pasal ini merupakan asas yang
menyatakan setiap putusan arbitrase :
> mengikat (binding) para pihak sebagai putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
> final, dalam arti merupakan putusan tingkat akhir dan tidak
ada upaya banding atau kasasi terhadapnya; serta
> negara yang diminta untuk melaksanakan, harus
menjalankan eksekusi putusan.
Asas-asas dimaksud sesuai dengan asas umum dalam ilmu
hukum. Menurut doktrin ilmu hukum, setiap putusan yang
dijatuhkan pengadilan dengan sendirinya mempunyai daya
kekuatan mengikat bagi para pihak yang berperkara. Kekuatan
mengikat tersebut meliputi para ahli waris orang yang
mendapat hak dari para pihak. Kemudian, oleh karena putusan
arbitrase bersifat final, dan tertutup upaya banding atau kasasi,
putusan tersebut sama halnya dengan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Konsekuensinya, putusan dengan sendirinya mengandung
“kekuatan eksckutorial” atau “executorial krachr (executorial
power).
Eksekusi Tunduk pada Asas Jus Sanguinis
Sebagaimana disinggung, menurut Pasal III Konvensi,
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan hukum acara yang beraku di pengadilan, di
wilayah negara mana pemohon eksekusi diajukan. Dari
ketentuan tersebut, khusus mengenai pelaksanaan esekusi,
putusan arbitrase asing tunduk pada asas jus sanguinis
merupakan asas yang bersifat permanen dalam hukum perdata
internasional, yang mengajarkan: hukum acara berperkara yang
harus diterapkan, harus disesuaikan dengan hukum acara yang
berlaku di pengadilan tempat dimana perkara diperiksa. Itu
sebabnya asas personalitas ini disebut juga “asas wilayah” atau
asas “kedaerahan”, dalam arti, hukum acara yang diterapkan,
tunduk pada hukum acara wilayah (negara) setempat. Sekiranya
seorang warga negara Indonesia berperkara di forum arbitrase
di luar negeri, sesuai dengan perjanjian arbitrase yang telah
disepakati dan ternyata dalam putusan dia dikalahkan;
kemudian, pihak lawan mengajukan permohonan eksekusi
kepada pengadilan di Indonesia. Menurut Pasal III Konvensi
New York 1958, tata cara eksekusi tunduk kepada ketentuan
hukum acara yang berlaku di peradilan Indonesia, dalam hal ini
Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR.
8. Dokumen yang Dilampirkan pada Permohonan pengakuan
dan Eksekusi
Setiap putusan arbitrase asing, harus diajukan pengakuan
dan eksekusinya di wilayah (negara) pihak tereksekusi
bertempat tinggal. Dalam pengajuan permohonan pengakuan
dan eksekusi Pasal IV ayat (1) Konvensi menegaskan,
permohonan dilampiri dengan dokumen :
a. melampirkan (menyerahkan) putusan asli arbitrase atau
salinan (copy) yang telah disahkan secara resmi sesuai
dengan aslinya (authenticated original award or a duly
certified copy)',
b. melampirkan (menyerahkan) asli surat perjanjian (original
agreement) atau salinan (copy) yang telah disahkan secara
resmi.
Sekiranya putusan maupun surat perjanjian belum dibuat
atau diterjemahkan kcdalam bahasa resmi negara tempat
dimana permohonan diajukan, yang bersangkutan harus
menyampaikan terjemahannya. Penerjemahan dibuat oleh
penerjemah yang telah disumpah untuk itu (sworn translator).
Penerjemahan boleh juga dibuat oleh badan resmi atau oleh
pejabat diplomatik maupun konsuler.
9. Penolakan Eksekusi
Jika bertitik tolak dari ketentuan Pasal III Konvensi, pada
dasarnya putusan arbitrase bersifat self execution. Oleh karena
itu, setiap ada permintaan pengakuan dan eksekusi dan salah
satu negara peserta kepada negara peserta lain, eksekusi harus
dilaksanakan. Namun demikian, Pasal V Konvensi memberi
kemungkinan bagi suatu negara untuk “menolak” atau maybe
refused pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Akan
tetapi, setiap penolakan harus didasarkan atas alasan-alasan
yang disebut secara limitatif dalam Pasal V ayat (1) Konvensi.

39
a. Perjanjian arbitrase yang dibuat “tidak sah” atau invalid
ditinjau dari sudut:
> menurut hukum yang berlaku, para pihak tidak
berwenang membuat perjanjian arbitrase, yang disebut
juga incapacity atau onbevoegd. Ketidakwcnangan
tersebut mungkin oleh karena salah satu pihak berada
dibawah kuratcla; atau
> menurut hukum yang berlaku pada negara tempat mana
permohonan eksekusi diminta, dianggap tidak
berwenang untuk membuat perjanjian.
b. Salah satu pihak tidak memperoleh kesempatan yang wajar
melakukan pembelaan dalam mempertahankan
kepentingannya. Ilal itu bisa terjadi disebabkan pihak yang
bersangkutan belum dipanggil (diberi tahu) menurut
sepatunya (was not given proper notice). Berarti, dia sama
sekali tidak tahu tentang adanya proses pemeriksaan,
sehingga tidak diberi kesempatan mengajukan bantahan
dalam mempertahankan hak dan kepentingannya. Dalam
hal seperti itu, putusan yang diambil arbitrase dianggap
“tidak wajar” atau unreasonable. Jika demikian halnya,
permohonan eksekusi dapat ditolak. Ketentuan penolakan
eksekusi putusan berdasarkan alasan pemeriksaan dan
putusan yang diambil tanpa memberi kesempatan yang
patut melakukan pembelaan, berkaitan erat dengan asas
audi et alterem partem dalam pemeriksaan persidangan
pengadilan. Menurut asas ini, proses pemeriksaan peradilan
harus terlaksana secara fair trail. Acuan penerapan fair
trial memberi kesempatan yang sama dan berimbang
kepada para pihak untuk mengajukan dan menyampaikan
pembelaan. Untuk itu, setiap terjadi pemeriksaan perkara di
sidang pengadilan, para pihak mesti diberi tahu secara
resmi dan patut. Kecuali yang bersangkutan tidak mau
hadir meskipun telah dipanggil (diberitahu) secara resmi
dan patut. Ketidakhadiran itu tidak menghalangi
pemeriksaan secara contradictoir dengan dugaan hukum
(legal presumption) pihak yang tidak hadir dianggap tidak
“serius” untuk membela hak dan kepentingannya. Oleh
karena itu, hukum membenarkan proses pemeriksaan
secara contradictoir tanpa hadir salah satu pihak, dengan
syarat, asal pemberitahuan sidang dilakukan secara resmi
dan patut, namun dia tidak mau hadir tanpa alasan yang sah
atau unreasonable default, pemeriksaan contradicloir yang
demikian disebut optegen spraak atau tanpa jawaban dari
pihak yang tidak hadir. Tampaknya, Pasal V ayat (1) huruf
b, menganut asas audi et alteram partem sebagaimana yang
diterapkan dalam praktek pemeriksaan sidang peradilan.
Tata cara pengajuan pembelaan diri bisa berbentuk lisan.
Akan tetapi, dalam skala pemeriksaan arbitrase, tentu lebih
sempurna dengan tulisan yang dilampiri dengan bukti-
bukti.
c. Putusan arbitrase yang dijatuhkan tidak sesuai dengan
penugasan yang diberikan atau nol falling within the terms
o f the submission to arbitration. Jika putusan yang
dimohon eksekusi tidak sesuai dengan penugasan yang
dilimpahkan, atau putusan yang menyimpang dari pokok
sengketa yang diperjanjikan (it contains decisions on
matter beyond the scope o f the submission to arbitration),
dapat ditolak permohonan eksekusinya. Atas alasan
dimaksud, putusan arbitrase dapat dikesampingkan
pengakuan dan pelaksanaan eksekusinya. Barangkali,
putusan yang demikian jarang terjadi. Pada umumnya,
arbiter yang diangkat dalam forum arbitrase, ditunjuk
secara selektif dari orang-orang yang memiliki kemampuan
tinggi, baik di bidang hukum, perdagangan, dan teknologi.
Oleh karena itu, kecil kemungkinan akan terjadi
penyimpangan putusan arbitrase di luar penugasan yang
dilimpahkan kepada mereka.
d. Pengangkatan arbiter menyimpang, sehingga tidak sesuai
dengan tata cara yang ditentukan para pihak dalam
perjanjian.
Dalam hal ini, termasuk penyimpangan komposisi arbiter
yang disepakati para pihak dalam perjanjian. Termasuk
juga penyimpangan komposisi dan prosedur penunjukan
arbiter yang ditentukan menurut hukum arbitrase atau Rules
yang disepakati atau dalam hal para pihak telah
menentukan sendiri tentang itu dalam perjanjian.
Dari ketentuan ini, dapat ditarik beberapa pedoman dan
asas :

41
> pada prinsipnya para pihak bebas menentukan sendiri
dalam perjanjian, tentang komposisi dan tata cara
penunjukan arbiter; dan
> apabila para pihak tidak menentukan sendiri mengenai
komposisi dan tata cara penunjukan (pengangkatan)
arbiter, komposisi dan tata cara pengangkatan harus
tunduk kepada ketentuan hukum negara ditempat mana
arbitrase mengambil putusan.
c. Putusan arbitrase yang bersangkutan belum mengikat atau
not binding, atau putusan tersebut telah dikesampingkan
{set aside) maupun telah ditunda eksekusinya oleh
pengadilan di negara mana putusan diajukan.
Selain dari alasan penolakan yang dikemukakan di atas,
Pasal V ayat (2) Konvensi mengatur lagi alasan penolakan
pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing, yang terdiri
dari :
a. Masalah yang disengketakan menurut hukum dari negara
ditempat mana permohonan diajukan, tidak boleh
diselesaikan melalui forum arbitrase. Masalah
persengketaan yang tidak boleh diselesaikan melalui
putusan arbitrase, berbeda pada setiap negara. Di Indonesia
misalnya, Pasal 616 Rv menentukan beberapa
persengketaan yang tidak diperkenankan hukum untuk
diselesaikan melalui arbitrase. Dalam larangan ini,
termasuk sengketa masalah hibah, wasiat, perceraian, atau
mengenai kedudukan hukum seseorang. Sekiranya ada
putusan arbitrase asing yang memutus masalah-masalah
tersebut, permohonan eksekusi dapat ditolak. Karena,
menurut ketentuan Pasal 616 Rv, perjanjian arbitrase
tentang masalah-masalah yang demikian diancam “batal”
atau null and void.
b. Pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing yang
bersangkutan akan menimbulkan pertentangan dengan
“ketertiban umum” atau public policy.
Alasan permohonan putusan arbitrase asing atas alasan
bertentangan dengan ketertiban umum {would contrary to
the public policy) sangat umum dan luas jangkauannya.
Pengertian, pemahaman dan penerapannya berbeda dan
bervariasi dari satu negara dengan negara lain. Bahkan,
juga berbeda dan bervariasi dari satu masa ke masa yang
lain. Lebih tepat jika dikatakan, pengertian dan penerapan
ketertiban umum adalah bersifat “tak terbatas” atau
unlimited.
Itulah alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk
menolak {refused) pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase
asing, mengapa Pasal V membagi alasan tersebut dalam ayat
(1) dan (2)? menurut hemat kita, penempatan alasan-alasan
penolakan dalam dua ayat, bermaksud untuk membedakan
mana yang didasarkan atas alasan “formal” dan alasan
“materiil”. Semua alasan-alasan penolakan yang dicantumkan
secara rinci dalam Pasal V ayat (1), merupakan alasan
penolakan yang bersifat formal: perjanjian arbitrase tidak sah
{invalid), pemeriksaan tidak sah karena tidak memberi
kesempatan membela kepentingan secara wajar, putusan yang
diambil tidak sesuai dengan penugasan, komposisi dan tata cara
pengangkatan menyimpang dari ketentuan perjanjian atau
hukum negara yang bersangkutan, putusan arbitrase belum
mengikat. Sebaliknya, alasan penolakan yang dirinci dalam
Pasal V ayat (2), merupakan alasan yang bertitik tolak dari
hukum materiil: putusan yang diambil mengenai masalah yang
dilarang diselesaikan melalui arbitrase atau putusan
bertentangan dengan ketertiban umum.
10. Tata Cara Pengajuan Penolakan
Mengenai tata cara penolakan putusan arbitrase, diatur
dalam Pasal VI Konvensi. Tata cara penolakan yang diatur
dalam pasal ini sangat singkat. Disitu dikatakan, penolakan atas
pelaksanaan putusan arbitrase disampaikan kepada “pejabat
yang berwenang” {competent authority), di negara mana
permohonan pelaksanaan diajukan.
berbicara mengenai pejabat yang berwenang menerima
permohonan penolakan eksekusi, berkaitan erat dengan pejabat
yang berwenang melaksanakan eksekusi. Di Indonesia menurut
ketentuan Pasal 639 Rv jo Pasal 1 Perma No. 1 Tahun 1990
pejabat atau badan yang berwenang melakukan eksekusi
putusan arbitrase asing adalah Pengadilan Negeri. Dengan
demikian, yang memiliki kewenangan untuk menolak atau

43
mengabulkan penolakan eksekusi adalah Pengadilan Negeri.
Oleh karena itu, pengajuan permohonan penolakan eksekusi
diajukan para pihak yang berkepentingan ke Pengadilan Negeri
sesuai dengan kompetensi relatif yang dimilikinya.
Suatu hal yang penting diperhatikan dalam pengajuan
penolakan eksekusi putusan arbitrase asing, mengenai
peringatan yang terdapat pada bagian akhir Pasal VI.
Peringatan ini bermaksud untuk melindungi kepentingan pihak
pemohon eksekusi (pihak yang menang). Untuk memberi
perlindungan kepada pihak pemohon eksekusi atas pengajuan
permohonan penundaan eksekusi yang diajukan pihak
tereksekusi, pengadilan (hakim) dapat memerintahkan kepada
pihak yang memohon penundaan untuk menyetor atau memberi
“jaminan” yang pantas .{order the party to given suitable
security).
Pelaksanaan peringatan Pasal VI ini, selayaknya dengan
sadar diterapkan hakim, karena, belum tentu pemeriksaan
penundaan berjalan lancar. Oleh karena itu, agar kepentingan
pemohon eksekusi terjamin apabila nanti permohonan
penundaan ditolak, sebaiknya hakim memerintahkan
penyediaan jaminan. Dengan demikian, tidak ada kekhawatiran
akan kemungkinan eksekusi mengalami kehampaan (illusoir),
karena objeknya sudah tersedia.
Itulah beberapa pokok uraian singkat mengenai ketentuan
Konvensi New York 1958. Pasal-pasal selanjutnya mulai dari
Pasal VII sampai dengan XVI, hanya berkenaan dengan
ketentua tata cara ratifikasi serta ketentuan yang berhubungan
dengan pernyataan sejak berlakunya Konvensi ini. The General
protocol on Arbitration Clause 1923 dan Geneva Convention
on the Execution o f foreign Arbitral Award 192 tidak berlaku
lagi kepada Contracting State (negara peserta Konvensi New
York 1958).

PERMA No. 1 TAHUN 1990


Untuk melengkapi pembicaraan mengenai landasan sumber
hukum arbitrase di Indonesia, tidak bisa dilupakan Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 (disingkat Perma No. 1
Tahun 1990). Perma ini mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 1990.
Perma No. 1 Tahun 1990 merupakan jawaban terhadap tata
cara pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Sebab, secara
faktual, meskipun Pemerintah RI berdasarkan UU No. 5 'I’ahun
1968 telah mensahkan dan bergabung ke dalam Convention on the
Settlement on Invesment Dispute Between States and Nationals o f
Othter States yang disingkat dengan ICSID atau Centre, ternyata
eksekusi putusan arbitrase asing masih tetap mengalami kegagalan.
Bahkan, dengan Keppres No. 34 'I’ahun 1981, Pemerintah RI juga
telah mengesahkan dan bergabung ke dalam Konvensi New York
1958. Pengesahan bergabung diri ke dalam Convention on the
Recognition and Enforcement o f Foreign Arbitral Award, secara de
facto dan yuridis telah menempatkan Indonesia sebagai negara
yang terikat dan harus patuh serta rela “mengaku” (recognize) dan
melaksanakan eksekusi {enforcement) setiap putusan arbitrase
asing. Namun demikian, kenyataan masih tetap berbicara lain.
Berbagai keluhan yang disampaikan dan ditujukan kepada
pengadilan, tetap tidak mengubah sikap, dan tetap menolak
pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing.
Alasan pokok pengadilan menolak pengakuan dan pelaksanaan
eksekusi tersebut, misalnya tercantum dalam Putusan MA.
Pertimbangan penolakan eksekusi yang dicantumkan dalam
putusan tersebut antara lain berbunyi: “Meskipun sudah ada
Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981, putusan arbitrase asing
tidak dapat dieksekusi oleh pengadilan Indonesia, kalau belum ada
peraturan pelaksanaanya”. Jadi menurut MA, walaupun Indonesia
telah mengesahkan dan bergabung dengan Konvensi New York
1958, tidak otomatis putusan-putusan arbitrase asing dapat
dieksekusi semata-mata atas kekuatan Keppres No. 34 Tahun 1981.
Menurut MA, sesuai dengan praktek hukum yang berlaku,
diperlukan lagi peraturan pelaksanaan tentang tata cara
“exequatur”. Tanpa peraturan pelaksanaan, pengadilan Indonesia
tidak dapat menilai dan mempertimbangkan apakah putusan
arbitrase asing mengadung hal-hal yang bertentangan dengan
hukum atau ketertiban umum yang berlaku di Indonesia.
Terhadap pendirian MA tersebut, banyak diajukan keberatan
dan kritik. Sudargo Gautama berkata: “Menurut pendapat kami,
setelah adanya Keppres No. 34 Tahun 1981, tanpa diperlukan suatu
peraturan pelaksana lebih lanjut, negara kita sudah terikat untuk
melaksanakan putusan arbitrase dagang luar negeri.” Menurut
beliau, setiap Keputusan Presiden, tidak memerlukan peraturan

45
pelaksanaan. Lain halnya dengan undang-undang yang memuat
pasal tentang diperlukan peraturan pelaksana, tentu harus
dilengkapi peraturan pelaksnaa. Pendapat itu ada benarnya jika
dilihat dari segi Keppres No. 34 Tahun 1981 dan Pasal 111 Konvensi
New York 1958. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal III, terkandung
asas jus sanguinis atau “asas personalitas” yang menentukan,
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing dijalankan menurut
tata cara hukum acara yang berlaku di negara mana eksekusi
dimohon. Jika asas ini dijadikan rujukan, pengesahan dan
penggabungan Indonesia ke dalam Konvensi New York 1958
bersifat menyeluruh, dengan cara menyesuaikan pelaksanaan
eksekusi dengan hukum acara perdata yang terdapat dalam HIR.
Oleh karena itu, kurang kuat alasan argumentasi penolakan
eksekusi, jika semata-mata didasarkan atas pendapat belum ada
peraturan pelaksana.
Apalagi jika ditinjau dari pendekatan teori self executing,
semakin lemah alasan yang dikemukakan dalam Putusa MA
tersebut. Seperti yang dikemukakan T.M. Radhi, SI I. dalam
makalahnya , kita harus membedakan Konvensi yang non executing
dengan yang self executing. Menurut beliau, Konvensi New York
1958 termasuk kelompok yang self executing. Oleh karena itu,
eksekusi tidak memerlukan pelaksana di negara peserta. Sekali
suatu negara meratifikasinya, pengakuan dan eksekusi harus ditaati
secara keseluruhan tanpa memerlukan peraturan pelaksana. Pada
diri Konvensi New York 1958, sudah tekandung kekuatan
cksekutorial yang bersumber dari dirinya sendiri. Kekuatan self
execution Konvensi itu bersumber dari ketentuan Pasal I ayat (1):
“This Convention shall apply to recognition and enforcement o f
arbitral awards made in the territory o f a states other than tha
states
Terlepas dari apa yang diutarakan di atas, dengan dikeluarkan
Perma No. 1 Tahun 1990, sudah teratasi hambatan pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase asing. Melalui Perma ini, tidak ada lagi
halangan untuk melaksanakan eksekusi putusan arbitrase asing.
Motivasi kelahiran Perma ditujukan untuk mengantisipasi
pcrmasalah pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase
asing. Barangkali MA berpendapat, satu segi dia mempertahankan
sikap bahwa pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing
memerlukan peraturan pelaksana. Sedangkan pada segi lain, pihak

46
pembuat undang-undang tidak memperlihatkan prakarsa untuk
mengeluarkan peraturan pelaksana. Oleh karena MA sendiri
terlanjur berpendirian tetap diperlukan peraturan pelaksana, sedang
hal itu masih tetap berada dalam keadaan vakum, mendorong MA
mengeluarkan Pcrma. Landasan MA mengeluarkan Pcrma tersebut,
merujuk kepada ketentuan Pasal 10 ayat (4) UU No. 14 Tahun 1970
jo. Pasal 39 UU No. 14 Tahun 1985.
Jika diperhatikan konsideran Pcrma No. 1 Tahun 1990, jelas
tersurat pendapat dan sikap MA tentang keharusan adanya
peraturan pelaksana berupa tata cara pelaksana eksekusi putusan
arbitrase asing. Dalam konsideran dinyatakan sikap: “Bahwa
dengan disahkan Convention the Recognition and Enforcement o f
Foreign Awards (New York Convention 1981) dengan Keputusan
Presiden No. 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981, dipandang
perlu untuk menetapkan peraturan tentang tata cara pelaksanaan
putusan Arbitrase Asing”.
Menurut pendapat MA, ketentuan hukum acara yang terdapat
dalam IIIR (S. 1941 No. 44), maupun ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Rv (Reglement op de Rechts cordering S. 1947-52 jo.
1849-63), sama sekali tidak memuat ketentuan mengenai
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Agar kekosongan
hukum dalam bidang ini tidak berkepanjangan, MA memandang
perlu untuk mengatur ketentuan-ketentuan tentang tata cara
pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung
(Perma).
Dengan keluarnya Pcrma, berakhir masa kekosongan hukum
tentang pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Lenyap
perbantahan dan kejengkelan tentang sikap MA yang selalu
menolak eksekusi putusan arbitrase asing. Dan kita berpendapat,
dengan Perma, dapat ditampung pelaksanaan eksekusi putusan
arbitrase asing yang dulu ditolak (sebelum lahir Pcrma). Jangkauan
kekuatannya tidahanya meliputi putusan arbitrase asing yang telah
ada sebelum Perma dikeluarkan, baik terhadap putusan yang belum
pernah diajukan, maupun yang sudah pernah ditolak eksekusinya.
Penolakan atau pernyataan eksekusi putusan arbitrase asing tidak
dapat diterima atas alasan peraturan pelaksanaan belum ada yang
terjadi di masa lalu sebelum Pcrma berlaku, tidak menggugurkan
sifat kekuatan eksekusi (executorial kracht) yang terkandung di
dalam putusan. Permohonan eksekusi dapat diulang dan

47
diperbaharui. Sikap itu harus dipedomani pihak pengadilan, agar
tidak menimbulkan kerugian bagi pihak pemohon eksekusi.
Untuk sekedar mengetahui secara ringkas mengenai Perma No.
1 Tahun 1990,a ada baiknya dibicarakan beberapa hal yang penting,
seperti yang akan diuraikan berikut:
1. Perma Berbentuk Sederhana
Jika diperhatikan, Perma tersebut sangat sederhana. Hanya
terdiri dari 9 (sembilan) pasal yang dibagi dalam 6 (enam) bab.
Bab 1 berisi ketentuan Umum yang terdiri dari 3 pasal. Bab I
sebagai Ketentuan Umum, mengandung asas-asas landasan
penerapan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Bab II
mengatur tentang badan peradilan mana yang berwenang
memberi exequatur terhadap putusan arbitrase asing. Dan
hanya terdiri dari satu pasal saja yakni Pasal 4. Menurut pasal
ini yang berwenang memberi exequatur atas putusan arbitrase
asing ialah Ketua atau Wakil Ketua MA. Bab III berisi
ketentuan tentang tata cara permohonan exequatur, dan hanya
terdiri dari satu pasal saja (Pasal 5). Mengenai tata cara
permohonan exequatur, akan dibahas lebih lanjut pada uraian
yang berkenaan dengan eksekusi putusan arbitrase asing. Bab
IV terdiri dari Pasal 6, yang mengatur tentang tata cara sita dan
pelaksanaan eksekusi. Hal inipun akan dibahas lebih lanjut
pada uraian eksekusi. Menyusul kemudia Bab V, yang terdiri
dari Pasal 7, yang mengatur tentang biaya eksekusi putusan
arbitrase asing. Sedangkan Bab VI, mengatur tentang
kemungkinan pengaturan lebih lanjut hal-hal yang belum diatur
dalam Perma. Begitu juga Bab VII yang terdiri dari Pasal 9,
hanya berisi pernyataan tentang saat dimulai berlakunya Perma
yakni tanggal 1 Maret 1990.
Walaupun bentuknya sederhana dan hanya terdiri dari
beberapa pasal, Perma tersebut memadai sebagai sarana
peraturan positif dalam menampung tata cara pelaksanaan
eksekusi putusan arbitrase asing. Memang, pada prinsipnya,
aturan tentang tata cara pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase
asing, tidak memerlukan aturan yang panjang dan berbelit.
Bukankah Pasal III Konvensi New York 1958 sendiri telah
meletakkan landasan asas jus sanguinis atau “asas personalitas”
dalam pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing? Bertitik

48
tolak dari asas jus sanguinis, tata cara pelaksanaan tunduk
menyesuaikan diri dengan ketentuan hukum acara yang berlaku
pada negara di negara mana permohonan eksekusi diajukan.
Jika demikian halnya, eksekusi putusan arbitrase asing yang
hendak dijalankan di Indonesia, mengikuti ketenteuan hukum
acara yang diatur dalam Pasal 195 sampai 224 HIR. Apa yang
diatur dalam Pcrma tentang tata cara exequatur putusan
arbitrase asing, yang paling pokok hanya mengenai
kewenangan pemberian exequatur berada di tangan Mahkamah
Agung, dalam hal ini Ketua atau Wakil Ketua MA. Sedang
mengenai tata cara eksekusi selanjutnya, Pasal 6 ayat (2) Pcrma
kembali menyesuaikan diri dengan ketentuan Pasal III
Konvensi New York 1958, yang menegaskan pelaksanaan
eksekusi dijalankan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang
diatur dalam Pasal 195-224 HIR. Dan, apa yang ditentukan
dalam Pasal 6 ayat (2) Pcrma, persis sama dengan apa yang
digariskan dalam Pasal 639 Rv. Dalam pasal ini ditegaskan,
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase, dijalankan oleh Ketua
Pengadilan Negeri menurut hukum acara yang biasa berlaku
bagi pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan.
2. Asas-Asas Perma No. 1 Tahun 1990
Ilal yang dianggap penting dibicarakan dalam Pcrma ialah
mengenai asas-asas yang terkandung di dalamnya. Jika diteliti,
ada beberapa asas yang “fundamental”. Oleh karena itu, dalam
melaksanakan putusan arbitrase asing, pengadilan harus
berpijak pada landasan asas-asas yang ditentukan dalam Pcrma.
Dalam pembahasan ini hanya dibicarakan asas yang dianggap
memiliki nilai sentral dalam penerapan Pcrma.
a. Asas Executorial Kracht
Asas ini diatur dalam Pasal 2 Pcrma. Menurut pasal
ini, putusan arbitrase asing “disamakan” dengan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan disamakan putusan arbitrase asing sebagai putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap, dengan sendirinya
dalam putusan tersebut telah terkandung “kekuatan
eksekusi” atau executorial karacht. Berarti, setiap putusan
arbitrase asing yang diajukan permintaan eksekusinya di
Indonesia:

49
>
>

b.

>
>
c.

>
>
....... surat wesel, surat order, cek, promcs, hak
reklame, dan asuransi. Juga meliputi hal-hal yang diatur
dalam Buku Kedua, yang mencakup perjanjian di bidang
pelayaran (perkapalan) serta meliputi masalah kepailitan
yang diatur oleh Peraturan Kepailitan.

d. Asas Ketertiban umum


Asas lain yang menjadi fundamentum pengakuan
serta pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing ialah
“ketertiban umum”, atau public policy. Asas ini diatur
dalam Pasal 3 ayat (3) Perma. Disitu ditegaskan, putusan
arbitrase asing yang diakui serta yang dapat dieksekusi di
Indonesia hanya terbatas pada putusan-putusan yang tidak
bertentangan dengan “ketertiban umum”.
Sebenarnya, asas ketertiban juga merupakan asas
fundamen dalam Konvensi New York 1958. Asas tersebut
ditegaskan dalam Pasal V ayat (2) huruf b yang berbunyi :
“the recognition or enforcement o f the award be contray
o f the public policy o f that country”. Oleh karena
ketertiban umum dipancang sebagai salah satu asas dalam
Konvensi, memberi kewenangan bagi negara yang

50
diminta eksekusi, untuk menolak pengakuan dan
pelaksanaan apabila putusan bertentangan dengan
kepentingan umum negara yang bersangkutan.
Dengan demikian, sekiranya Perma tidak
mencantumkan hal itu dalam Pasal 3 ayat (3), asas
tersebut dengan sendirinya menjadi landasan dalam
menerapkan pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase
asing melalui kekuatan Keppres No. 34 rabun 1981.
Barangkali, perumusan asas itu dalam Perma, hanya
sekedar ulangan dan penekanan tentang pentingnya asas
dimaksud, berkaitan dengan hak kewenangan Peradilan
Indonesia untuk menolak putusan arbitrase asing yang
mengandung cacat ketertiban umum.
Yang selalu menimbulkan permasalahan dalam
penerapan asas ketertiban umum ialah mengenai makna
dan jangkauannya. Kesulitan penerapan itu oleh karena
Perma sendiri tidak memberi batasan dan rincian yang
positif tentang makna dan jangkauan ketertiban umum.
Begitu juga Pasal V ayat (2) huruf a Konvensi New York
1958, tidak memberi makna dan batasan positif tentang
hal itu. Dengan demikian, para teoritis dan praktisi bisa
mengajukan pernyataan, apa yang dimaksud dan dianggap
dengan ketertiban umum? Hal apa saja yang dianggap dan
diklasifikasi bertentangan dengan ketertiban umum?
(icontrary to the public policy).
Secara umum, batasan pengertian yang hampir
disepakati mengenai makna dan paham ketertiban umum.
Sesuatu dianggap bertentangan dengan ketertiban umum
pada suatu lingkungan (negara), apabila didalamnya
terkandung suatu hal atau keadaan yang bertentangan
dengan sendi-sendi dan nilai-nilai asasi sistem hukum dan
kepentingan nasional suatu bangsa.
Bertitik tolak, batasan pengertian umum di atas,
makna “ketertiban umum” atau public policy sangat luas
dan sulit untuk diberi batasan positif. Suatu ketika,
ketertiban umum dapat diartikan sebagai “tata tertib”
kehidupan suatu masyarakat yang meliputi kehidupan
kesadaran hukum, moral dan agama. Dapat pula diartikan
sebagai nilai yang berkenaan dengan budaya dan rasa

51
kepatutan dan keadilan suatu bangsa. Jelas terlihat,
wawasan pengertian ketertiban umum sangat luas. Itu
sebabnya ada yang berpendapat, makna yuridis ketertiban
umum adalah “tak terbatas” atau unlimited. Sedemikian
rupa luasnya wawasan pengertiannya, sehingga benar-
benar sangat “elastis” serta sering tak dapat dipisah dari
pertimbangan dan penilaian yang disesuaikan dengan
suasana politik. Tidak heran jika penerapan,
pertimbangan, serta penilaiannya bisa dipcrpolitisir.
Sebaliknya, ada yang berpendirian, agar makna ketertiban
umum dapat diperpegangi dalam arena penegakan hukum
(dihubungkan dengan tuntutan kepastian hukum dalam
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing), pengertian
ketertiban umum harus ditempatkan dalam makna yang
lebih sempit. Untuk itu, perlu dibatasi maknanya hanya
sepanjang hal-hal yang berkenaan dengan pasal undang-
undang. Dengan batasan pengertian yang sempit itu,
putusan arbitrase asing yang dapat digolongkan sebagai
putusan yang bertentangan dengan ketertiban umum ialah
putusan yang benar-benar bertentangan dengan pasal-
pasal undang-undang, dan peraturan suatu negara.
Pendapat yang sempit itu, kurang dapat diterima.
Pendapat itu ditinjau dari berbagai pendekatan, bisa
mengandung pemaksaan, dan perkosaan atas nilai-nilai
kehidupan suatu bangsa. Dari segi pendekatan doktrin
sosiologi hukum saja, hal itu tidak tepat. Menurut ajaran
sosiologi hukum, yang dimaksud dengan ketertiban umum
bukan hanya sesuatu nilai sesuai dengan undang-undang
positif, tapi termasuk nilai-nilai yang berkembang dalam
kesadaran masyarakat yang tumbuh dari nilai-nilai
ekonomis, sosial, budaya, moral dan ajaran agama. Ajaran
positivisme Von Savigny sudah tidak valid lagi. Kita
sudah memasuki era ajaran “realisme” atau integralisme”
bukan saja yang terumus dalam pasal-pasal, undang-
undang, dan peraturan, tetapi termasuk segala sesuatu
yang tumbuh dan mengikat ketertiban masyarakat yang
bersumber dari nilai kesadaran ekonomi, sosial, moral,
budaya, dan agama. Selain itu, dari segi pendekatan
kenyataan bahwa undang-undang selalu tertinggal dari
laju pertumbuhan nilai-nilai kesadaran masyarakat,
semakin mendukung alasan untuk menolak penempatan
dan penerapan ketertiban umum dalam arti yang sempit.
Yang paling tepat untuk diperpegangi ialah makna
ketertiban umum dalam arti yang luas. Asal penerapannya
benar-benar berorientasi pada pendekatan “kesejahteraan”
(prosperity) yang berimbang dengan pendekatan
“keamanan-ketertiban” (security approach) nasional
dalam arti yang luas. Dan sedapat mungkin menjauhkan
diri dari cara penerapan yang cenderung kepada
pertimbangan politik semata-mata.
Ilal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa yang
menjadi patokan tentang ada atau tidaknya unsur melawan
atau bertentangan dengan ketertiban umum suatu putusan
arbitrase asing, penilaiannya ialah ketertiban umum
nasional negara tempat dimana permintaan eksekusi
diajukan. Jika putusan arbitrase asing diminta eksekusinya
di Indonesia, yang menjadi patokan untuk menilai apakah
putusan bertentangan dengan ketertiban umum, harus
merujuk pada nilai-nilai ketertiban umum negara
Indonesia. Bukan nilai-nilai ketertiban umum yang
terdapat di negara tempat dimana putusan dijatuhkan.
Prinsip penilaian yang demikian sesuai dengan ketentuan
Pasal 3 ayat (3) Perma. Hal itu dengan tegas disebutkan
dalam Pasal V ayat (2) huruf b Konvensi New York 1958
dalam kalimat : the recognition or enforcement o f the
award would be contrary to the public policy that country.
Dari perkataan o f that country jelas menunjuk kepada
ketertiban umum yang terdapat pada negara tempat
dimana permintaan eksekusi diajukan. Namun disamping
itu, tentu dapat diterima pendapat bahwa penilaian
terhadap nilai-nilai ketertiban umum, termasuk juga nilai-
nilai ketertiban umum yang sudah diakui oleh hukum
“perdata internasional”. Sebab, setiap nilai-nilai ketertiban
umum yang diakui oleh hukum perdata internasional,
dapat dianggap sudah menjadi kebutuhan sendi-sendi
sistem hukum internasional setiap bangsa. Bahkan, kita
menganjurkan agar paham wawasan ketertiban umum,
dapat bertitik tolak dari penilaian paham globalisasi yang
mengajarkan pandangan fungsional, yakni mengutamakan

53
kepentingan dan perlindungan negara-negara berkembang
dalam setiap pelaksanaan perjanjian berhadapan dengan
negara-negara maju.

H. UNCITRAL ARBITRATION RULES


Salah satu sumber hukum arbitrase lain yang sudah
dimasukkan kcdalam sistem tata hukum nasional Indonesia adalah
UNCITRAL Arbitration Rules. UNCITRAL dilahirkan sebagai
Resolusi Sidang Umum PBB tanggal 15 Desember 1976
{Resolution 31/98 Adopted By General Assembly in 15 December
1976). Pemerintah Indonesia termasuk salah satu negara yang ikut
menandatangani resolusi dimaksud. Dengan demikian UNCITRAL
Arbitration Rules yang menjadi lampiran resolusi, telah menjadi
salah satu sumber hukum internasional di bidang arbitrase.
Tujuan PBB melahirkan UNCITRAL adalah untuk
mcngglobalisasikan serta menginternasionali-sasikan nilai-nilai dan
tata cara arbitrase dalam menyelesaikan persengketaan yang terjadi
dalam hubungan perdangan internasional. Recognizing the value o f
arbitration as a method o f settling disputes arising in the context o f
international commercial relations. Demikian bunyi alinea pertama
resolusi dimaksud.
Menurut pendapat para penandatangan resolusi, sangat
dibutuhkan suatu aturan atau Rule yang seragam dalam bidang
arbitrase antara negara-negara yang paling berbeda sistem hukum,
sosial, dan cknomoinya, sebagai sumbangan untuk mendorong
terwujudnya perkembangan yang harmonis dalam hubungan
perekonomian internasional. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut,
PBB telah memprakarsai terciptanya suatu aturan arbitrase
{arbitration rules) yang berwawasan internasional melalui
konsultasi-konsultasi oleh United Nations Commission on
International Trade Law. Oleh karena aturan arbitrase yang
dikeluarkan berdasarkan resolusi Sidang Umum PBB merupakan
hasil kerja United Nations Commission on International Trade Law
dalam penyebutan sehari-hari disingkat dengan UNCITRAL
Arbitration Rules.
Agar dapat diketahui apa-apa yang diatur dalam uaa, di bawah
ini akan diuraikan dengan singkat hal-hal yang dianggap penging,
antara lain :

54
1. Asas Tertulis
Cara penerapan klausula atau perjanjian arbitrase menurut
UNCITRAL harus berbentuk tertulis. Setiap kehendak pihak-
pihak yang ingin menundukkan diri kepada ketentuan-
ketentuan arbitrase yang diatur dalam UNCITRAL Arbitration
Rules, kata sepakat untuk itu mesti berbentuk tertulis (agreed in
writing). Cuma Pasal I yang memuat ketentuan tentang asas
tertulis, tidak menguraikan lebih lanjut bentuk-bentuk yang
bagaimana yang dianggap sah sebagai bentuk tertulis. Hal itu
agak berbeda dengan yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2)
Konvensi New York 1958, yang memperluas penerapan
perjanjian tertulis mengenai klausula arbitrase. Menurut Pasal
II ayat (2) Konvensi New York 1958, bentuk tertulis yang
dianggap sah sebagai persetujuan arbitrase, termasuk tukar-
menukar surat atau telegram. The term agreement in writing
shall include an arbitral clause in a contract or an arbitration
agreement, signed by the parties or contained in an exchange
o f letters or telegrams.
Apakah ketentuan Konvensi New York 1958 dapat
diterapkan terhadap UNCITRAL? Kita berpendapat, pengertian
berbentuk tertulis yang diatur dalam Pasal 1 UNCITRAL dapat
diperluas penafsirannya seperti yang terkandung dalam Pasal II
ayat (2) Konvensi New York 1958. Memang cara perumusan
asas tertulis yang diatur pada Pasal 25 ayat (1) ICSID jo. angka
22 Report {Report o f Executive Directors on the Convention on
the Settlement o f Invesmenl Disputes Between Slates and
Nationals o f Other States). Namun demikian, pengertian bentuk
tertulis yang diatur dalam UNCITRAL dan ICSID dapat
diperluas penerapannya dalam bentuk surat-menyurat atau
pertukaran telegram.
2. Aturan Tenggang Waktu
'Pentang aturan tenggang waktu, diatur dalam Pasal 2.
Dalam pasal itu digariskan tata cara perhitungan batas tenggang
waktu mengenai pemberitahuan {notice). Setiap pemberitahuan
termasuk pengumuman {notification), komunikasi
{communication) atau usul {proposal), dianggap sudah diterima
terhigung sejak disampaikan secara fisik atau in person ke
alamat atau tempat tinggal, tempat bisnis, atau alamat surat

55
(mailing adress). Panggilan atau pemberitahuan dianggap
diterima, pada hari disampaikan. Cara memperhitungkan
tenggang waktu (calculating a period o f time), mulai berjalan
terhitung hari berikut dari tanggal penerimaan pemberitahuan,
pengumuman, komunikasi, atau proposal. Hari libur tidak
diperhitungkan.
3. Permohonan Arbitrase
Pada Pasal 3 diatur mengenai syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam pengajuan permohonan arbitrase. Disitu diatur
mulai dari ketentuan sebutan para pihak :
> yang mengambil inisiatif untuk meminta penyelesaian
kepada arbitrase disebut claimant; dan
'> pihak yang diajukan sebagai termohon atau tergugat
disebut respondent.
I lal lain yang diatur sebungan dengan permohonan
arbitrase, tentang perhitungan tenggang waktu mulai terjadinya
proses arbitrase, terhitung sejak surat permohonan diterima
pihak respondent. Setiap surat permohonan arbitrase harus
mengikuti ketentuan-ketentuan berikut:
> permohonan ditujukan atau diserahkan kepada arbitrase;
> mencantumkan nama dan tempat kediaman para pihak;
> menyebut (mencantumkan) klausula arbitrase;
> menunjuk perselisihan yang timbul dari perjanjian semula;
> mencantumkan pokok-pokok utama gugatan;
> cara penyelesaian yang diminta;
> proposal mengenai jumlah arbiter (satu atau tiga),
sekiranya hal itu belum disepakati sebelumnya oleh para
pihak dalam perjanjian.
4. Kuasa dan Asisten
Seperti diatur dalam Pasal 4, para pihak dapat diwakili
oleh seorang kuasa atau asisten yang dikehendakinya. Nama
dan tempat tinggal kuasa atau asisten, harus diberitahu secara
“tertulis” kepada pihak lawan. Penunjukan kuasa yang seperti
itu pada dasarnya hampir sama kebolehan dan prosedurnya
dengan yang diterapkan dalam lingkungan peradilan. Oleh
karena itu, meskipun satu pihak telah menunjuk kuasa, sama

56
sekali hal itu tidak mengurangi hak pihak pemberi kuasa dapat
dipanggil Mahkamah Arbitrase untuk menghadapi sendiri in
person.
Mengenai tata cara dan bentuk pengangkatan dan
penghentian kuasa, tidak diatur lebih lanjut oleh Pasal 4
UNCITRAL Arbitration Rules. Barangkali menyerahkan tata
caranya kepada ketentuan yang diatur dalam hukum perjanjian
masing-masing para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Juga
tidak diatur, apakah pihak lain dapat mengajukan keberatan
terhadap kuasa yang ditunjuk pihak lawan. Terhadap itupun,
dapat berpedoman kepada ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku bagi masing-masing pihak, kecuali apabila para pihak
telah menentukan sendiri hal itu dalam perjanjian.
5. Jumlah Arbiter
Pasal 5 mengatur tentang jumlah arbiter. Aturan tentang
jumlah arbiter pada prinsipnya dapat disepakati sebelumnya
oleh para pihak dalam perjanjian. Dalam perjanjian mereka
boleh menyepakati arbiter yang akan menyelesaikan
perselisihan, terdiri “satu orang” atau “tiga orang”.
Seandainya para pihak tidak menentukan jumlah arbiter
dalam perjanjian, apabila dalam tempo 15 hari sesudah
respondent menerima permohonan (gugatan) belum juga dapat
disepakati arbiter hanya terdiri dari seorang saj, harus ditunjuk
“tiga” orang arbiter.
6. Penunjukan Arbiter
Tata cara penunjukan atau pengangkatan arbiter diatur
dalam Pasal 6 yang penerapannya dapat diuraikan secara
singkat:
a. Pengangkatan Arbiter Tunggal Dapat Diusulkan Salah
Satu Pihak
Andaikata dalam perjanjian para pihak menyetujui
arbiter tunggal, namun cara penunjukan belum mereka
tentukan atau belum menunjuknya dalam perjanjian, tata
cara penunjukan dilakukan :

57
> salah satu pihak mengajukan proposal kepada pihak
lain salah seorang atau beberapa orang calon arbiter
tunggal; atau
> mengajukan tawaran untuk menunjuk salah satu badan
atau beberapa badan kuasa (arbitrase institusional)
yang akan bertindak sebagai pemegang kuasa yang
berwenang menyelesaikan penunjukan arbiter.
b. Arbiter Tunggal Dilakukan Badan Kuasa yang
Disepakati
Apabila melalui proposan yang diajukan salah satu
pihak, tidak tercapai kata sepakat atas penunjukan arbiter
tunggal, mereka dapat menyepakati untuk mengangkat
suatu badan kuasa. (arbitrase institusional) yang akan
bertindak menunjuk arbiter. Cara penunjukan badan kuasa
yang akan disepakati para pihak bisa lahir berdasar
proposal yang diajukan salah satu pihak kepada pihak lain.
Pihak yang menerima proposal yang demikian dapat
menyetujui usul penunjukan arbiter yang ditawarkan
kepadanya. Sebaliknya, dia dapat menolak.
c. Penunjukan Dilakukan Permanent Court o f Arbitration
Apabila para pihak gagal menyepakati penunjukan
arbiter tunggal, juga gagal menyepakati suatu badan kuasa
yang akan bertindak menunjuk arbiter tunggal, menurut
Pasal 6 ayat (2), penunjukan arbiter beralih menjadi
kewenangan Permanent Court o f Arbitration yang
berkedudukan di Den Ilaag, negeri Belanda. Namun untuk
itu harus lebih dahulu ada permohonan dari salah satu
pihak. Salah satu pihak dapat mengajukan permohonan
kepada Sekretaris Jenderal Permanent Court o f Arbitration.
d. Penunjukan Majelis Arbiter
Pada uraian huruf a, b, dan c, menyangkut tata cara
penunjukan arbiter tunggal (sole arbitrator). Pada uraian
berikut, akan disinggung mengenai tata cara penunjukan
arbiter yang bersifat majelis. Seperti yang diatur dalam
Pasal 7. Menurut pasal ini arbiter majelis terdiri dari tiga
(3) orang arbiter, dengan tata cara penunjukan seperti yang
diuraikan di bawah in i:
>masing-masing pihak menunjuk seorang arbiter yang
mereka kehendaki;
> kedua arbiter yang ditunjuk oleh masing-masing pihak,
bertindak menunjuk arbiter ketiga yang akan bertindak
sebagai Ketua Majelis Mahkamah Arbitrase (will act as
the preciding arbitration o f the tribunal).
Tanpa mengurangi prinsip penunjukan arbiter yang
dikemukakan, penunjukkan salah seorang anggota majelis
arbiter dilakukan oleh badan kuasa yang ditunjuk
berdasarkan kesepakatan para pihak. Tata cara penunjukan
yang seperti itu terjadi apabila dalam tempo 30 hari, slaah
satu pihak belum menunjuk arbiternya. Sebagaimana yang
sudah dijelaskan terdahulu, penunjukan arbiter yang
bersifat majelis (yang terdiri dari tiga orang), diberi hak
kepada masing-masing pihak untuk menunjuk seorang
arbiter yang dikehendakinya. Akan tetapi apabila dalam
jangka waktu 30 hari dari tanggal penerimaan
pemberitahuan atas penunjukan arbiter pihak lawan, tetap
juga belum memberi tahu arbiter yang ditunjuknya :
> pihak pertama dapat mengajukan permohonan kepada
badan kuasa yang disepakati para pihak untuk
menunjuk anggota arbiter yang kedua. Dalam hal ini,
badan kuasa bertindak mengambil alih hak pihak yang
tidak mempergunakan haknya menunjuk arbiter;
> dengan demikian, gugur hak pihak tersebut untuk
menunjukkan arbiter yang dikehendakinya.
Disamping itu, penunjukan anggota arbiter kedua akan
dilakukan oleh Permanent Cour o f Arbitration di Den
Haag, apabila para pihak belum sepakat menunjuk badan
kuasa. Atau apabila badan kuasa yang ditunjuk berdasarkan
kesepakatan para pihak “menolak”. Misalnya para pihak
sepakat menunjuk BANI sebagai badan kuasa yang akan
menyelesaikan perselisihan. Ternyata penunjukan itu
ditolak oleh BANI, sehingga penunjukan anggoa arbiter
kedua tidak dapat dilaksanakan. Maka dalam kasus yang
seperti ini yakni dalam hal belum ada badan kuasa yang
ditunjuk apabila badan kuasa yang ditunjuk menolak,

59
kewcnangan menunjuk anggoa arbiter kedua beralih
kepada Permanent Cour o f Arbitration.
Kewenangan tersebut timbul pada diri lembaga ini,
terhitung sejak 30 hari dari tanggal pemberitahuan dari
pihak yang satu kepada pihak yang lain atas penunjukan
arbiter, namun pihak yang diberi tahu tetap juga belum
menunjuk arbiternya. Apabila telah melampaui 30 hari dari
tanggal pemberitahuan, tetap juga dia tidak menunjuk
arbiternya, pihak yang pertama dapat mengajukan
permohonan kepada Permanent Cour o f Arbitration untuk
menunjuk anggota arbiter kedua. Permohonan yang
demikian disampaikan kepada Sekretaris Jenderal
Permanent Cour o f Arbitration.
e. Penunjukan Ketua Majelis Arbiter Dilakukan Badan
Kuasa Apabila Anggota Arbiter Terdahulu Gagal
Seperti yang sudah dijelaskan, prinsip penunjukan atau
pengangkatan Ketua Majelis Mahkamah Arbitrase
dilakukan oleh kedua belah anggota arbiter semula. Kedua
anggota arbiter semula, bisa berupa hasil penunjukan
masing-masing pihak. Bisa juga salah seorang ditunjuk
oleh salah satu pihak, sedang anggota yang kedua ditunjuk
oleh badan kuasa atau oleh Permanent Cour o f Arbitration
dengan tata cara seperti yang telah diuraikan terdahulu.
Dalam hal kedua anggota arbiter tidak berhasil mencapai
kata sepakat mengenai penunjukan anggota arbiter ketiga
yang akan bertindak sebagai Ketua Majelis, penunjukan
anggota arbiter ketiga dilakukan oleh kuasa badan yang
telah ditunjuk para pihak.
Perlawanan Terhadap Arbiter
Seorang arbiter yang ditunjuk dalam Mahkamah Arbitrase
harus benar-benar terhindar dari sikap dan tindakan memihak
(impartial). Dia harus bebas memberi pendapat dan
pertimbangan jika tampak tanda dan isyarat yang memberi
keraguan atas sikap independensi-nya, Pasal 9 UNCITRAL
Arbitration Rules membuka upaya bagi para pihak untuk
mengajukan perlawanan atas penunjukan arbiter yang
bersangkutan. Ilal itu ditegaskan dalam Pasal 10 :
1) Any arbitrator may be challenged it circumestances-exist
that give rise to justifiable doubst as to the arbitrator ’s
impartiality or independence;
2) A party may challenged the arbitrator appointed by him
only for reasons o f which he becomes aware after the
appointment has been made.
Jadi, setiap arbiter yang ditunjuk dapat dilawan agar
tertarik dan diganti dengan arbiter yang lain. Upaya perlawanan
harus didasarkan atas alasan adanya keadaan-keadaan yang
mencirigakan tentang sikap yang bersifat memihak. Upaya
perlawanan tidak hanya dapat dilakukan oleh salah satu pihak
terhadap arbiter yang ditunjuk pihak lawan. Tapi terbuka juga
kepada pihak untuk melawan arbiter yang ditunjuknya sendiri,
dengan syarat apabila dugaan atas sikap memihak arbiter
tersebut baru diketahui sesudah ditunjuk. Jika sejak sebelum
penunjukan pihak yang menunjuk sudah tahu akan sikap
memihak yang ada pada arbiter, namun dia tetap menunjuknya,
dalam kasus yang demikian tidak dapat mengajukan perlawan
terhadap arbiter yang ditunjuknya sendiri.
Perlawanan terhadap arbiter yang diatur dalam
UNCITRAL hampir sama dengan yang diatur dalam Pasal 621
Rv. Bahkan, alasan perlawanan yang diatur dalam Pasal 621 Rv
lebih luas, yakni meliputi alasan perlawanan yang dapat
dipergunakan untuk melawan hakim. Bisa berupa adanya
hubungan keluarga, berat sebelah, atau karena mempunyai
kepentingan dalam perkara sengketa. Sebaliknya, alasan
perlawanan yang ditentukan dalam Pasal 9 UNCITRAL, hanya
semata-mata atas dasar sikap “imparsial” atau diduga tidak
bersikap “independen”. Namun demikian, apabila ditelaah lebih
dalam, makna imparsial atau independen sudah mengandung
konotasi yang meliputi semua alasan yang dapat dipergunakan
untuk melawan hakim agar mengundurkan diri mengadili suatu
perkara.
Pihak yang bermaksud hendak mengajukan perlawanan
terhadap seorang arbiter, menyampaikan maksud tersebut
sebagai pemberitahua. Perlawanan hanya dapat dilakukan
dalam tenggang waktu 15 hari dari tanggal penunjukan arbiter
yang hendal dilawan. Pemberitahuan perlawanan disampaikan
kepada pihak lawan, kepada arbiter yang hendak dilawan dan

61
juga kepada anggota arbiter yang lain (yang tidak dilawan).
Pemberitahuan :
> harus berentuk tertulis; serta
> mencantumkan alasan-alasan perlawanan.
a. Pihak Lawan Dapat Menolak atau Menyetujui
Perlawanan
Menurut Pasal 11 ayat (3), apabila perlawanan
ditujukan terhadap arbiter yang ditujukan pihak lawan, dia
dapat menolak atau menyetujui perlawanan. Jika pihak
lawan menyetujui perlawanan, lowongan arbiter tersebut
harus segera diisi dengan menunjuk penggantinya
{substitution arbiter). 'Fata cara penunjukan arbiter
pengganti dilakukan menurut Pasal 6 dan 7 UNC1TRAL.
b. Arbiter yang Dilawan Mengundurkan Diri
Selain daripada kemungkinan pihak lawan menyetujui
perlawanan, dibenarkan pula tindakan mengundurkan diri.
Arbiter yang dilawan mengambil sikap untuk
mengundurkan diri setelah adanya perlawanan {after the
challenge, withdraw form his office). Dalam kasus yang
seperti ini, harus segera ditunjuk arbiter pengganti. Tata
cara penunjukan arbiter pengganti berpedoman kepada
ketentuan Pasal 6 dan 7.
c. Pihak Lawan Tidak Setuju serta Arbiter yang Dilawan
Tidak Mengundurkan Diri
Apabila perlawanan tidak disetujui oleh pihak lawan
dan arbiter yang dilawan pun tidak mengundurkan diri,
putusan atas perlawanan {the decision on the challenge)
dilakukan sesuai dengan pedoman yang ditentukan Pasal
12 :
> apabila pengangkatan semula atas arbiter yang dilawan
dilakukan oleh badan kuasa yang disepakati para pihak,
keputusan terhadap perlawanan diambil oleh badan
kuasa yang bersangkutan;
> apabila penunjukan semula atas arbiter yang dilawan
tidak dilakukan badan kuasa yang ditunjuk, tapi
penunjukan arbiter yang dilawan dilakukan setelah
badan kuasa yang bersangkutan telah dicalonkan atau
telah ditunjuk oleh kesepakatan para pihak, kcpulusan
atas perlawanan akan diambil oleh badan kuasa
tersebut,
8. Penggantian Arbiter
Maksud penggantian arbiter: replacement o f an arbitrator
during the course o f the arbitral proceedings. Ini berarti,
penyelesaian fungsi arbitrase belum seluruhnya terselesaikan,
salah seorang anggota arbiter meninggal atau meletakkan
jabatan. Untuk mengisi kekosongan tersebut, harus segera
ditunjuk pengganginya. Penunjukan arbiter pengganti
dilakukan menurut tata cara yang ditentukan Pasal 6 dan 7.
Selain daripada terjadinya penggantian arbiter yang disebut
di atas, bisa juga penggantian dilakukan atas keadaan yang
nyata bahwa salah seorang arbiter telah gagal melaksanakan
fungsinya sebagai arbiter. Kegagalan (failure) bisa juga
menimpa seluruh anggota arbiter. Misalnya, para arbiter gagal
memutus persengketaan dalam batas jangka waktu yang
ditentukan. Umpamanya, batas waktu penyelesaian yang
disepakati para pihak dalam tempo 4 bulan, ternyata tidak dapat
dipenuhi para arbiter tanpa alasan. Semua arbiter dapat diganti
dengan arbiter baru.
Penggantian salah seorang arbiter bisa juga dilakukan
apabila berada secara de facto atau de jure dalam keadaan
“imposibilitas” (impossibility) melaksanakan fungsi arbiter.
Misalnya, salah seorang arbiter berada dalam keadaan lumpuh
atau sakit yang memerlukan perwatan intensif, sehingga benar-
benar secara nyata berada dalam keadaan imposibilitas
temporer atau permanen. Kalau sifat imposibilitas temporer
diperkirakan akan berdampak tercecernya penyelesaian
menurut jangka batas waktu yang ditentukan, arbiter tersebut
harus diganti. Apalagi jika sifat imposibilitasnya permanen,
harus segera dilakukan penggantian.
Mengenai tata cara penggantian anggota arbiter baik
berdasarkan alasan kegagalan (failure) melaksanakan fungsi,
maupun karena alasan berada dalam keadaan imposibilitas,
harus segera dilakukan menurut yang digariskan ketentuan
Pasal 6 dan 7 UNCTTRAL Arbitration Rules.

63
9. Proses Mahkamah Arbiter
Pada Bagian III {section III) UNCITRAL Arbitration Rules
mengatur segi-segi yang menyangkut proses pemeriksaan
Mahkamah Arbitrase {arbitral proceedings) yang terdiri dari
ketentuan umum yang mengatur beberapa asas. Setelah itu,
dilanjutkan dengan hal yang berkenaan dengan tempat arbitrase
(place o f arbitration), bahasa yang dipergunakan, tutuntutan
{statement o f claim), bantahan (statement o f defence), tambahan
jawaban tuntutan atau bantahan {amandements to the claim or
defence), perlawanan atau eksepsi terhadap yurisdiksi
Mahkamah Arbitrase {pleas as to the jurisdiction o f the
tribunal), dan seterusnya sampai kepada pembuktian, tindakan
pendahuluan dan penghapusan hak. Hal-hal tersebut akan
dibicarakan berurutan seringkas mungkin, guna memberi
pemahaman tentang proses pemeriksaan arbitrase menurut
UNCITRAL Arbitration Rules.
a. Asas-asas Proses Pemeriksaan
Tentang asas proses pemeriksaan arbitrase berdasar
UNCITRAL diatur dalam Pasal 15. Ada beberapa asas
yang harus dipedomani para arbiter pada pemeriksaan
persengketaan, yang terpenting diantaranya :
1) Para pihak diperlakukan dalam kedudukan yang sama
Inilah asas pertama. Para pihak mesti diperlakukan
sama dalam setiap tingkat pemeriksaan {the parties are
treated with equality). Makna asas perlakuan yang
sama terhadap para pihak dalam setiap tingkat
pemeriksaan, memberi “kesempatan” yang sama untuk
mengemukakan permasalahannya {given a full
oppurtunity o f presenting his case). Memberikan
kesempatan yang penuh dan berimbang kepada pihak
claimant atau respondentv untuk membela dan
mempertahankan kepentingan masing-masing dengan
cara memberi kebebasan kepada mereka
mengemukakan masalah yang dianggapnya penting.
2) Mengabulkan permintaan hearing pada setiap tingkat
permeriksaan
Menurut Pasal 15 ayat (2), apabila ada permintaan dari
salah satu pihak untuk mengemukakan bukti kesaksian

64
(evidence by witnesses), Mahkamah Arbitrase harus
mengabulkan serta menetapkan pemeriksaan
pendengaran untuk itu. Permintaan yang demikian
dapat diajukan masing-masing pihak dalam setiap
tahap pemeriksaan. Mengenai permintaan untuk
mengemukakan pembuktian oleh saksi, termasuk untuk
mendengar keterangan saksi ahli (expert witness) atau
pengajuan argumentasi secara lisan (oral argument).
Apabila salah satu pihak tidak ada mengajukan
permintaan yang demikian, Mahkamah Arbitrase
sendiri yang akan menetapkan jadwal pemeriksaan
pendengaran keterangan para saksi.
3) Setiap dokumen dan keterangan diberi tahu kepada
para pihak
Asas tata cara proses pemeriksaan yang lain,
menyampaikan dan memberi tahu masing-masing
pihak secara timbal balik atas setiap dokumen atau
keterangan yang diajukan dan disampaikan. Setiap
dukumen atau informasi yang diajukan salah satu pihak
kepada sidang arbitrase, harus ditunjukkan dan
disampaikan kepada pihak lawan secara timbal balik
pada saat proses pemeriksaan berlangsung.
b. Tempat Arbirase
Yang dimaksud tempat arbitrase oleh Pasal 16 ialah
tempat kedudukan Mahkamah Arbitrase melakukan proses
pemeriksaan. Sehubungan dengan masalah tempat
kedudukan Mahkamah Arbitrase, telah digariskan beberapa
pedoman
1) Para pihak dapat menyepakati tempat yang mereka
kehendaki
Prinsip pertama, tempat kedudukan Mahkamah
Arbitrase, tergantung pada kesepakatan para pihak. 1ial
itu dapat mereka cantumkan dan tentukan dalam
perjanjian arbitrase tempat mana yang mereka
kehendaki. Boleh memilih tempat di negara ketiga atau
di salah satu negara pihak.
2) Jika para pihak tidak menentukan, tempat arbitrase
ditentukan Mahkamah Arbitrase

65
Jika para pihak tidak menentukan sendiri tempat
kedudukan Mahkamah Arbitrase, kedudukan tempat
pemeriksaan akan ditetapkan oleh Mahkamah sendiri
{shall be determined by arbitral tribunal). Cuma dalam
menentukan tempat tersebut, mahkamah harus
memperhatikan keadaan-keadaan yang menyangkut
kepentingan pemeriksaan. Seperti fasilitas yang
memungkinkan kelancaran pemeriksaan para pihak,
saksi, dan dokumen.
Disamping kewenangan Mahkamah Arbitrase untuk
menentukan tempat kedudukan sebagai pusat
pemeriksaan, mahkamah dapat juga menentukan
kedudukan lokal dalam suatu negara yang disepakati
para pihak. Tempat arbitrase lokal dimaksudkan untuk
mendengar keterangan saksi. Bisa juga untuk
mengadakan pertemuan konsultasi di antara para pihak.
Dalam keadaan yang seperti itu boleh ditetapkan
pemeriksaan arbitrase lokal di tempat yang disepakati
para pihak.
3) Mahkamah Arbitrase dapat mengadakan pertemua
pada setiap tempat
Selanjutnya Pasal 16 ayat (3) membenarkan Mahkamah
Arbitrase mengadakan pertemuan atau pemeriksaan
setempat pada setiap tempat (may meet at any place)
yang dianggap tepat guna pemeriksaan (inspection)
barang-barang, harta kekayaan, atau dokumen yang ada
hubungannya dengan sengketa.
Apabila mahkamah bermaksud mengadakan
pemeriksaan pada salah satu tempat, para pihak mesti
diberi tahu secara resmi dan patut. Dalam
pemberitahuan, Mahkamah Arbitrase meminta para
pihak agar “hadir” dalam pemeriksaan setempat.
4) Setiap putusan dibuat di tempat kedudukan Mahkamah
Arbitrase
Hal itu digariskan pada Pasal 16 ayat (4). Meskipun
Mahkamah Arbitrase dibolehkan melakukan
pemeriksaan lokal di luar pusat kedudukan yang telah
ditentukan atau untuk mengadakan pemeriksaan
setempat pada setiap tempat yang dianggap patut,
namun putusan arbitrase yang akan dijatuhkan harus
diambil di tempat kedudukan pokok (pusat) Mahkamah
Arbitrase. The award shall be made al the place o f
arbitrator, demikian penegasan Pasal 16 ayat (4).

10. Bahasa
Dalam proses pemeriksaan Mahkamah Arbitrase harus
mempergunakan bahasa yang telah ditentukan. Menurut Pasal
17 ayat (1), penentuan bahasa apa yang akan dipergunakan
dalam proses pemeriksaan, bertitik tolak dari kesepakatan para
pihak. Berdasarkan kesepakatan inilah Mahkamah Arbitrase
menetapkan satu atau beberapa bahasa yang akan
dipergunakan. Penentuan tentang bahasa yang akan dipakai,
dilakukan Mahkamah Arbitrase, segera setelah mereka
ditunjuk.
Penentuan bahasa resmi proses pemeriksaan harus
diterapkan para pihak dalam setiap pernyataan dan menjawab
secara tertulis. Penerapan penggunaan bahasa yang telah
ditentukan berlaku juga sepenuhnya dalam proses pemeriksaan
secara lisan, baik dalam pendengaran keterangan saksi maupun
pada saat mendengar keterangan para pihak.
Memang Pasal 17 ayat (2) memperkenankan dokumen,
pernyataan, jawaban, atau bantahan dalam bahasa asli para
pihak. Namun kebolehan yang demikian tetap mewajibkan
mereka untuk membarenginya dengan terjemahan kcdalam
bahasa yang telah ditetapkan.
11. Tata Cara, Bentuk, Tuntutan, dan Bantahan
Surat tuntutan yang dimaksud Pasal 18, sama halnya
dengan surat permohonan atau surat gugatan {statement o f
claim). Itu sebabnya apa yang diatur dalam pasal ini hampir
sama dengan yang diatur Pasal 3. Perbedaan hanya terletak
pada masalah penekanan dihubungkan dengan tata cara proses
pemeriksaan. Pasal 18 menitikberatkan penggarisan pada
proses dan bentuk.
Bentuk setiap pernyataan yang berisi tuntutan {statement o f
claim) yang dibuat pihak claimant harus tertulis. Dalam hal
demikian, setiap ada tuntutan tertulis, harus disampaikan
kepada pihak respondent dengan melampirkan salinan {copy)

67
perjanjian dan persetujuan arbitrase jika hal itu tidak disatukan
dalam perjanjian.
Setiap tuntutan harus mencantumkan nama dan tempat
alamat para pihak. Selanjutnya tuntutan harus mencantumkan
fakta-fakta pendukungnya, pokok masalah dan cara
penyelesaian yang diharapkan. Bahka boleh juga dilampirkan
dokumen yang dianggap penting atau boleh membuat
pernyataan tentang suatu dokumen maupun alat bukti yang
akan diserahkan belakangan.
Jika ketentuan ini diperhatikan, pada dasarnya hanya
sebagai ulangan kembali atas ketentua Pasal 2 ayat (1) dan
Pasal 3. Bukankah Pasal 2 ayat (1) telah menentukan asas
proses pemeriksaan yang mewajibkan segala sesuatu yang
diajukan pra pihak harus disampaikan kepada pihak lawan?
Begitu juga mengenai bentuk permohonan yang diajukan pihak
claimant sudah diatur Pasal 3. Apa yang diatur dalam pasal
tersebut hampir sama dengan Pasal 18.
12. Tuntutan Balik (Counter Claim)
Mengenai tata cara pengajuan bantahan atau statement o f
defence dari pihak respondent diatur lebih lanjut dalam Pasal
19. Syarat dan tata caranya :
'r- jawaban bantahan harus secara tertulis; dan
> diajukan dalam batas tenggang waktu yang ditentukan
Mahkamah Arbitrase;
> bantahan, masing-masing disampaikan kepada pihak
claimant dan kepada setiap anggota arbiter.
Setiap jawaban yang berisi bantahan (statement o f
defence), harus ditujukan untuk menangkis hal-hal yang
berkenaan dengan fakta-fakta yang dikemukakan claimant serta
membantah pokok masalah yang disengketakan maupunn cara
penyelesaian yang dikemukakan. claimant. Didalam jawaban
bantahan, pihak respondent boleh melampirkan dokumen dan
bukti yang dianggapnya penting untuk melumpuhkan tuntutan.
Bahkan boleh mengemukakan dokumen atau alat bukti yang
akan diajukan kemudian.
Selain daripada itu, Pasal 19 ayat (3) memberi hak kepada
pihak respondent untuk mengajukan tuntutan balik atau

68
gugatan rckonvcnsi (counter claim) dalam surat jawaban
bantahan. Pengajuan tuntutan balik yang dalam proses
peradilan disebut gugatan “rekonvensi”, dapat diajukan
respondent langsung pada pengajuan jawaban pertama. Akan
tetapi dapat juga diajukan pada tahap proses pemeriksaan
selanjutnya, jika hal tata cara pengajuan yang seperti itu
ditetapkan mahkamah pada saat pengunduran pemeriksaan.
Counter claim yang dapat diajukan respondent harus mengenai
hal-hal yang timbul dari perjanjian atau berdasarkan hal-hal
yang sama maksudnya dengan apa-apa yang dituangkan dalam
perjanjian.
Selama proses pemeriksaan berlangung para pihak dapat
mengajukan tambahan jawaban maupun bantahan, kecuali,
apabila Mahkamah Arbitrase menganggapnya tidak perlu.
Yang pokok untuk diperhatikan, setiap tambahan jawaban atau
bantahan, tidak boleh menyimpang dari apa-apa yang
disepakati dalam klausula arbitrase.
13. Perlawanan Terhadap Yurisdiksi Arbitrase
Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 21. Menurut pasal ini
Mahkamah Arbitrase memiliki kewenangan untuk memutus
perlawanan tentang masalah yurisdiksi yang diajukan pihak
respondent. Begitu juga mengenai perlawanan yang diajukan
respondent tentang sah atau tidaknya klausula arbitrase,
Mahkamah Arbitrase berwenang menentapkannya.
Jika Pasal 21 diperhatikan, perlawanan terhadap yurisdiksi
arbitrase yang dapat diajukan respondent hanya terdiri dari :
a. perlawanan tentang berwenangnya Mahkamah Arbitrase
memeriksa persengketaan yang timbul dari perjanjian; atau
b. perlawanan mengenai ketidakabsahan klausula arbitrase.
Sehubungan dengan perlawanan atas yurisdiksi, putusan
arbitrase dapat meliputi pernyataan yang menyatakan perjanjian
batal demi hukum atau null and void. Cuma dalam hal itu ada
suatu masalah yang kurang dapat dipahami dalam ketentuan
Pasal 21 ayat (2). Disitu dikatakan, dalam hal Mahkamah
Arbitrase menyatakan perjanjian null and void, pernyataan
putusan tersebut tidak dengan sendirinya meliputi
ketidakabsahan klausula arbitrase. Ketentuan itu tampaknya

69
bertentangan dengan keberadaan klausula arbitrase sebagai
perjanjian asesor yang melekat kepada perjanjian pokok. Jika
berpegang pada prinsip klausula arbitrase sebagai perjanjian
asesor, batalnya perjanjian pokok dengan sendirinya perjanjian
arbitrase juga batal. Secara logika perjanjian pokok sudah
dinyatakan batal, tidak ada lagi tempat berpijak klausula
arbitrase.
Tentang tenggang waktu mengajukan perlawanan terhadap
yurisdiksi harus dilakukan bersamaan dengan jawaban
bantahan atau pada pengadjuan tuntutan balik (counter claim).
Lewat dari itu, perlawanan yurisdiksi dianggap tidak sah. Atau
sekaligus bisa digabung perlawanan terhadap yurisdiksi dengan
bantahan atau tuntutan balik dalam suatu jawaban.
Mengenai cara Mahkamah Arbitrase menyelesaikan
perlawanan terhadap yurisdiksi yang diajukan pihak
respondent, Pasal 21 ayat (4) memberi pedoman :
a. pada umumnya diputus dalam “putusan sela” atau “putusan
pendahuluan” (premilinary question)-, atau
b. bisa diputus bersamaan dengan putusan akhir (final award),
jika hal itu dianggap lebih memenuhi kebijaksanaan
jalannya proses pemeriksaan.
Sehubungan dengan masalah tata cara pengajuan tuntutan
dan bantahan, terhadap setiap pengajuan tambahan tuntutan
maupun jawaban bantahan, Mahkamah Arbitrase harus
menetapkan jangka waktu tertentu. Misalnya, pihak claimant
mengajukan permohonan gugat. Terhadap gugatan itu, pihak
respondent mengajukan bantahan. Kemudian, bantahan
tersebut telah dijawab oleh claimant. Setelah proses tersebut
berlangsung, Mahkamah Arbitrase harus mengeluarkan
pernyataan atau pemberitahuan kepada para pihak, bahwa
kepada mereka diberi kesempatan dalam tempo 20 hari untuk
mengajukan tambahan terhadap jawaban gugatan dan bantahan.
Jangka waktu pemberian kesempatan mengajukan tambahan
jawaban gugatan dan bantahan yang dapat ditetapkan
Mahkamah Arbitrase, diatur dalam Pasal 23. Menurut pasal
tersebut ditentukan :
> batas jangka waktu yang boleh ditetapkan, tidak melebihi
45 hari (should not exceedforty-five days)-,
> akan tetapi, batas jangka waktu tersebut dapat dilampaui
jika menurut Mahkamah Arbitrase hal itu penting untuk
penyelesaian pemeriksaan.
14. Pembuktian dan Mendengar Keterangan
Pasal 24 dan 25 mengatur tentang pembuktian. Pembuktian
meliputi pemeriksaan alat bukti yang diajukan para pihak serta
mendengar keterangan (evident and hearing). Setiap detil
tuntutan dan bantahan yang diajukan claimant dan respondent
harus didukung oleh pembuktian. Untuk itu, para pihak
“dibebani” untuk membuktikan setiap fakta yang mereka
ajukan (burden o f proving the facts).
Penerapan pembebanan pembuktian, tidak semata-mata
melalui tata cara pengajuan oleh masing-masing pihak
berdasarkan kehendak para pihak. Mahkamah Arbitrase dapat
memberikan hak kepada salah satu untuk meminta kepada
pihak lawan membuktikan sesuatu, jika menurut pertimbangan
Mahkamah Arbitrase hal itu dianggap tepat. Jika Mahkamah
Arbitrase menetapkan kebijaksanaan pembebanan pembuktian
yang seperti itu, harus ditentukan batas waktunya untuk
mengajukan ringkasan dari berbagai dokumen dan alat bukti
lain.
Selain dari tata cara pembebanan pembuktian di atas,
Mahkamah Arbitrase secara ex officio dapat pula meletakkan
beban pembuktian kepada salah satu pihak, baik berupa
dokumen dan alat bukti lain. Tata cara penerapan pembebanan
pembuktian secara ex officio, ditentukan batas waktunya oleh
Mahkamah Arbitrase. Jika sekiranya pihak yang dibebani tidak
memenuhinya dalam jangka waktu yang ditentukan Mahkamah
Arbitrase, pihak yang dibebani dianggap gagal mendukung
pembuktian dalil atau fakta yang dikemukakannya.
Mengenai tata cara pemeriksaan pendengaran keterangan
secara lisan {an oral hearing) Mahkamah Arbitrase harus
memberi kesempatan yang sama dan seimbang kepada para
pihak. Dalam menerapkan makna kesempatan yang sama,
termasuk hari, waktu, dan tempat. Misalnya, diberi kesempatan
kepada claimant untuk memberi keterangan di salah satu
tempat, dimana hal yang sama pada tempat itu harus diberikan
pula kepada kepada pihak respondent.

71
Apabila hendak dilakukan pemeriksaan mendengar
keterangan saksi, paling tidak 15 hari sebelum hari
pemeriksaan, pihak yang mengajukan saksi menyampaikan hal
itu kepada Mahkamah Arbitrase, dan kepada pihak lawan.
Dalam surat pemberitahuan juga harus menjelaskan bahasa
yang akan dipergunakan saksi dalam memberi keterangan.
Sehubungan dengan pemeriksaan mendengar keterangan
saksi, Pasal 25 ayat (4) menentukan lebih lanjut :
> setiap pemeriksaan mendengar keterangan saksi, harus
diabadikan dengan kamera (foto). Tetapi bila para pihak
sepakat, ketentuan tersebut boleh disingkirkan;
> selama pemeriksaan berlangsung Mahkamah Arbitrase
dapat mengabulkan pengunduran diri salah seorang atau
semua saksi;
> juga Mahkamah Arbitrase bebas menentukan saksi mana
yang diperiksa dan didengar keterangannya.
Selain dari tata cara pendengaran keterangan saksi secara
lisan, Pasal 25 ayat (5) memberi kebolehan keterangan saksi
dituangkan dalam bentuk tertulis. Dengan demikian, proses
pemeriksaan arbitrasi menurut UNCITRAL memperkenankan
alat bukti keterangan saksi secara tertulis. Supaya alat bukti
keterangan saksi secara tertulis memenuhi syarat formal:
> keterangan tertulis dibuat sendiri oleh saksi; dan
> ditandatangani pula oleh saksi yang bersangkutan.
Setiap alat bukti yang diajukan para pihak harus dinilai dan
dipertimbangkan secara seksama dan menyeluruh oleh
Mahkamah Arbitrase. Dalam menilai dan mempertimbangkan,
mahkamah sepenuhnya berwenang menentukan mana alat bukti
yang dapat diterima (admissable) dan yang relevan memiliki
kekuatan pembuktian.
15. Tindakan Sementara
Maksud tindakan sementara (interim measure), bertujuan
sebagai tindakan perlindungan, baik terhadap pihak claimant
atau respondent. Mahkamah Arbitrase yang memeriksa suatu
sengketa, dapat melakukan berbagai tindakan sementara,
apabila menurut pertimbangan hal itu perlu diambil untuk

72
melindungi kepentingan salah satu pihak atau para pihak.
Termasuk kedalam tindakan sementara antara lain :
> tindakan penyitaan (conservation) barang yang ada
kaitannya dengan pokok persengketaan;
> memerintahkan pendepositoan kepada para pihak yang
dilakukan oleh pihak ketiga;
> menjual barang-barang yang mudah rusak.
Setiap tindakan sementara, dapat dituangkan dalam bentuk
“putusan sela” atau “putusan isindentil” (interim award). Tetapi
menurut Pasal 26 ayat (2), tindakan sementara tidak mesti
dituangkan dalam bentuk putusan sela. Berarti, boleh
dituangkan dalam bentuk surat penetapan. Apabila Mahkamah
Arbitrase mengambil tindakan sementara, dia harus
menetapkan jaminan yang cukup untuk membiayai tindakan
tersebut.
Kapan Mahkamah Arbitrase dapat melakukan tindakan
sementara? Menurut Pasal 26 ayat (1), kebolehan itu dilakukan
apabila ada permohonan (request) dari salah satu pihak.
Kemudian, permintaan itu akan disetujui apabila mahkamah
menganggap penting, dikaitkan dengan pokok yang
dipersengketakan. Hanya saja perlu dipertanyakan, apakah
terhadap setiap tindakan sementara mesti didasarkan pada
syarat adanya permintaan salah satu pihak, yang berarti
mahkamah tidak memiliki kebebasan untuk itu tanpa ada
permintaan. Barangkali tidak demikian maksud pasal tersebut.
Mahkamah dapat melakukan tindakan sementara meskipun tak
ada permintaan. Misalnya, apabila barang yang menjadi pokok
sengketa adalah barang yang mudah rusak. Dalam kasus yang
seperti itu, mahkamah dapat menjualnya, sekalipun tidak ada
permintaan dari salah satu pihak. Kewenangan yang demikian
dapat dibenarkan, jika dihubungkan dengan tujuan tindakan
sementara yang tiada lain dari pada “perlindungan”
(protection).
Permintaan tindakan sementara yang diajukan oleh salah
satu pihak kepada badan pengadilan (Judicial authority), tidak
dapat dianggap sejalan dengan perjanjian arbitrase, juga tidak
dapat dianggap menghapus perjanjian arbitrase. Hal itu berarti,
sekiranya salah satu pihak mengajukan tindakan sementara

73
kepada kekuasaan badan peradilan, permintaan tersebut adalah
diluar perjanjian arbitrase. Pihak yang lain tetap dapat
mengajukan permintaan tindakan sementara kepada Mahkamah
Arbitrase, karena permintaan tindakan sementara yang
dilakukan pihak lawan ke pengadilan, tidak menggugurkan hak
pihak lawan untuk mengajukan tindakan sementara kepada
Mahkamah Arbitrase.
16. Pengangkatan Ahli
Pasal 27 memberi wewenang bagi Mahkamah Arbitrase
untuk menunjuk atau mengangkat seorang atau beberapa orang
ahli {expert), yang akan memberi laporan tentang sesuatu yang
disengketakan para pihak. Laporan dituangkan ahli yang akan
memberi laporan tentang sesuatu yang disengketakan para
pihak. Laporan dituangkan ahli yang ditunjuk dalam bentuk
tertulis. Apabila mahkamah bermaksud hendak menunjuk ahli,
dia harus menentukan pokok masalah tertentu {specific issue)
yang hendak diteliti.
Setiap pihak, harus memberi keterangan yang diminta oleh
ahli. Juga para pihak, harus memenuhi permintaan ahli atas
dokumen penting yang diminta, sepanjang hal itu benar-benar
menyangkut usaha pemeriksaan ahli. Kalau ada perselisihan
pendapat antara salah satu pihak dengan ahli, tentang penting
atau tidaknya keterangan atau dokumen yang diminta dan
dibutuhkan ahli, perselisihan tersebut harus diajukan kepada
Mahkamah Arbitrase. Kemudian mahkamah menentukan
penyelesaian perselisihan dimaksud.
Selelah mahkamah menerima laporan dari ahli, dia harus
menyampaikan salinan laporan kepada masing-masing pihak.
Para pihak yang menerima laporan ahli, diberi kesempatan
untuk menyatakan pendapat terhadap isi laporan secara tertulis.
Selain dari pada kebolehan menyatakan pendapat terhadap
laporan ahli, salah satu pihak diberi hak untuk meminta
mendengar keterangan ahli. Sekiranya permintaan dikabulkan,
para pihak mesti diberi kesempatan untuk hadir serta sekaligus
mengajukan pertanyaan kepada ahli. Juga kepada setiap pihak,
dapat menghadirkan “saksi ahli” yang bertujuan untuk
menyaksikan pokok-pokok yang dipermasalahkan.

74
17. Kelalaian Manyampaikan Jawaban atau Bantahan serta
Pembuktian
Seperti yang sudah dijelaskan, Pasal 18 telah
menggariskan kewajiban Mahkamah Arbitrase untuk
menetapkan jangka batas waktu bagi claimant dan responden
mengajukan jawaban dan bantahan dalam proses pemeriksaan.
Sehubungan dengan itu. Pasal 28 mengatur tentang akibat yang
timbul atas kelalaian tersebut. Jika pihak claimant gagal atau
lalai menyampaikan jawaban atas tuntutannya dalam jangka
waktu yang ditentukan tanpa mengemukakan alasan yang
cukup untuk itu, Mahkamah Arbitrase harus “mengakhiri”
jalannya proses pemeriksaan.
Akan tetapi, lain halnya jika pihak respondent yang lalai
Seandainya pihak respondent lalai memenuhi penyampaian
bantahan dalam batas jangka waktu yang ditentukan
Mahkamah Arbitrase, dari kelalaian itu tanpa alasan yang
cukup, mahkamah harus memerintahkan proses pemeriksaan
tahap selanjutnya.
Kenapa akibat kegagalan atau kelalaian berbeda bagi pihak
claimant dan respondent!. Seolah-olah akibat yang ditimpakan
kepada claimant lebih berat. Sebenarnya akibatnya hampir
sama. Penghentian atau mengkhiri jalannya proses pemeriksaan
dalam hal claimant lalai menyampaikan jawaban gugat dalam
jangka waktu yang ditentukan, adalah patut. Claimant sebagai
pihak pemohon (penggugat) pada hakikatnya adalah pihak yang
paling berkepentingan. Oleh karena itu, wajar untuk
menghukumnya dengan mengakhiri pemeriksaan apabila dia
kurang sungguh-sungguh memenuhi apa yang telah ditentukan
Mahkamah Arbitrase. Namun demikian, akibat fatal yang
seperti itu juga akan dijatuhkan kepada pihak respondent
apabila lalai memenuhi penyampai bantahan yang
diperintahkan kepadanya. Bukankah melanjutkan proses
pemeriksaan dengan menghapuskan atau menggugurkan hak
respondent mengajukan bantahan, menempatkan dia dalam
posisi seolah-olah dianggap tidak bermaksud lagi untuk
membela hak dan kepentingannya. Dalam hal yang demikian,
pemeriksaan dilanjutkan “tanpa bantahan” dari pihak
respondent.

75
Mengenai kelalaian slah satu pihak muncul pada proses
pemeriksaan mendengar keterangan (hearing) tanpa alasan
yang cukup, Mahkamah Arbitrase “dapat” melanjutkan proses
pemeriksaan. Misalnya, mahkamah telah menetapkan dan
memberi tahu para pihak untuk mengadakan pemeriksan
mendengar keterangan mereka secara lisan. Ternyata pihak
claimant tidak datang tanpa mengemukakan alasan yang cukup,
dia dianggap gagal atau lalai (failure) memenuhi kewajiban.
Dalam kasus yang seperti itu, mahkamah “dapat” melanjutkan
pemeriksaan untuk mendengar keterangan pihak respondent.
Namun, apabila mahkamah berpendapat lebih bijaksana untuk
menunda pemeriksaan, dia dapat menentukan hari lain untuk
itu.
Bagaimana halnya kegagalan menyampaikan surat bukti
yang diminta Mahkamah Arbitrase? Tentang hal itu diatur lebih
lanjut dalam Pasal 28 ayat (3). Dalam kasus pihak yang diminta
atau diundang (invite) untuk menyerahkan suatu surat bukti
dalam batas jangka waktu yang ditentukan, lantas tidak
memenuhinya tanpa alasan yang cukup, Mahkamah Arbitrase
“dapat” mengambil putusan (award) berdasarkan alat-alat bukti
yang telah ada. Terserah pada mahkamah untuk menentukan
alternatif yang dianggap paling bijaksana. Mahkamah dapat
memutus tanpa menghiraukan lagi alat bukti yang diminta, atau
menentukan kesempatan lain untuk menyampaikan alat bukti
tersebut.
18. Membuka Kembali Pemeriksaan
Sebelum Mahkamah Arbitrase mengambil tindakan
menutup (closure) pemeriksaan mendengar keterangan, dia
“dapat” menanyakan kepada para pihak apakah masih ada alat
bukti dan saksi yang hendak diajukan. Apabila para pihak
menyatakan tidak ada, mahkamah dapat menyatakan
pemeriksaan mendengar keterangan “ditutup”.
Akan tetapi Pasal 29 ayat (2) menegaskan, meskipun
mahkamah telah menyatakan pemeriksaan mendengar
keterangan ditutup, pemeriksaan semaca®,, itu dapat dibuka
kembali (reopen the hearing). Kebolehan membuka kembali
pemeriksaan mendengar keterangan yang telah dinyatakan
ditutup :

76
> harus didasarkan atas keadaan yang sangat ekscpsional, dan
benar-benar berdasar alasan yang sangat penting; dan
> kebolehan membuka kembali dapat dilakukan Mahkamah
Arbitrase pada setiap saat sebelum putusan diambil; serta
> membuka kembali, boleh atas pendapat mahkamah sendiri
atau atas permintaan para pihak.
19. Gugur Hak Mengajukan Keberatan
Pasal 30 mengatur penghapusan hak para pihak
mengajukan keberatan atas pelanggaran ketentuan atau syarat-
syarat yang diatur dalam UNCITRAL Arbitration Rules.
Hilangnya atau gugurnya {waiver) hak mengajukan bantahan,
disebabkan “tidak segera langsung” menyatakan keberatan atas
adanya pelanggaran ketentuan atau syarat pada saat terjadinya
pelanggaran. Akibatnya, ia dianggap menyetujui pelanggaran
dan gugur haknya mengajukan keberatan. Misalnya,
Mahkamah Arbitrase telah menentukan batas jangka waktu
bagi pihak respondent untuk mengajukan bantahan sesuai
dengan ketentuan Pasal 19. Jangka waktu kesempatan yang
diberikan adalah dalam tempo 7 hari. 'Pernyata, bantahan baru
disampaikan respondent pada hari ke 10. Berarti sudah
dilampaui batas tenggang waktu yang ditetapkan.
Semestinya, bantahan tidak boleh lagi diterima dan
pemeriksaan harus dilanjutkan sesuai dengan ketentuan Pasal
28. Pihak respondent harus dinyatakan sudah berada dalam
keadaan gagal atau lalai menyampaikan bantahan. Akan tetapi
mahkamah ternyata tetap menerima bantahan. Penerimaan yang
demikian tentu bertentangan dengan Pasal 28 ayat (1).
Sekiranya pada saat itu pihak claimant tidak langsung
mengajukan teguran atas pelanggaran tersebut, ia dianggap
menyetujui penyimpangan atas Pasal 28, dan berbarengan
dengan itu, gugur haknya untuk mengajukan bantahan atau
keberatan atas pelanggaran ketentuan Pasal 28. Oleh karena itu,
agar hak untuk mengajukan bantahan atau keberatan atas
pelanggaran ketentuan maupun syarat-syarat yang diatur dalam
UNCITRAL Arbitration Rules tidak gugur, pihak yang
bersangkutan harus segera menegur atau mengajukan catatan
tentang pelanggaran yang terjadi.

77
20. Putusan
Uraian mengenai putusan Mahkamah Arbitrase meliputi
berbagai segi, mulai dari tinjauan atas tata cara pengambilan
putusan, bentuk dan pengaruh putusan, hukum yang dapat
diterapkan, interpretasi, perbaikan, dan tambahan atas putusan.
a. Cara Mengambil Putusan dengan Suara Terbanyak
Jika anggota arbiter yang disepakati para pihak terdiri
dari arbiter tunggal {sole arbitrator), pengambilan putusan
tidak menjadi permasalahan hukum. Dalam kasus yang
seperti itu, putusan Mahkamah Arbitrase akan diambil
sendiri secara perseorangan oleh arbiter tunggal yang
bersangkutan. Tidak demikian halnya apabila anggota
Mahkamah Arbitrase terdiri dari majelis atau tiga orang.
Pengambilan putusan oleh Majelis Mahkamah Arbitrase
menurut prinsip yang diatur dalam Pasal 31, harus diambil
dengan suara terbanyak {Shall be made by a majority by the
arbitrators).
b. Putusan Dapat Diambil Ketua Apabila Tak Tercapai
Suara Terbanyak
Penyimpangan terhadap prinsi yang diatur pada Pasal
31 ayat (1) diatur dalam ayat (2). Ayat (2) mengatur
kebolehan pengambilan putusan oleh Ketua Arbiter,
apabila Majelis Arbiter tidak mencapai suara terbanyak.
Misalnya, Majelis Mahkamah Arbitrase terdiri dari tiga
arbiter. Ketiganya mempunyai pendapat yang saling
berbeda baik mengenai sebagian atau atas seluruh putusan.
Dalam kasus yang seperti itu, Pasal 31 ayat (2) memberi
kewenangan kepada Ketua Majelis Arbiter untuk
mengambil putusan atas nama arbitrase yang bersangkutan.
Akan tetapi, tata cara pengambilan putusan yang
demikian bukan bersifat imperatif. Sifatnya adalah
fakultatif. Hal itu sesuai dengan bunyi rumusan pasal
tersebut : the presiding arbitrator may decide on his own
(ketua arbiter dapat mengambil putusan sendiri). Terserah
pada ketua arbiter, apakah dia akan mempergunakan
kewenangan tersebut. Namun permasalahan kewenangan
ini dikaitkan dengan tujuan arbitrase yang bersifat

78
sederhana, sebaiknya ketua memanfaatkannya agar
penyelesaian persengketaan dapat segera diakhiri.

c. Bentuk Putusan Akhir (FinalAward)


Yang dimaksud dengan bentuk putusan menurut Pasal
32 meliputi tata cara sistematika dan syarat-syarat. Dari
segi sistematika, putusan Mahkamah Arbitrase yang berupa
putusan akhir (final award) :
1) Ilarus bersifat menyeluruh, meliputi tindakan
sementara (putusan sementara) dan putusan sela
(;interlocutor) yang telah pernah diambil. Maksudnya,
sekiranya dalam tahap proses pemeriksaan pernah
diambil tindakan sementara (interim measure) berupa
penyitaan (conservation) atau perintah deposito
maupun penjualan barang sengketa yang mudah rusak,
putusan atau tindakan interim yang demikian harus
dicantumkan kembali dalam putusan akhir;
2) Menguraikan dasar alasan putusan sebagai bagian
pertimbangan hukum putusan. Ketentuan ini
merupakan prinsip dan bersifat impresif. Namun hal itu
dapat dikesampingkan dengan syarat apabila para
pihak sepakat putusan tidak perlu menjelaskan dasar
alasan pertimbangan. Syarat putusan Mahkamah
Arbitrase sebenarnya bukan hanya berlaku terhadap
putusan akhir, tapi berlaku juga untuk putusan
sementara {interim award) atau putusan sela
{interlocutor)-,
3) Putusan dibuat dalam bentuk “tertulis” {award shall he
made in writing)-,
4) Mencantumkan tanggal dan tempat putusan dijatuhkan;
5) Ditandatangani para arbiter. Apabila salah seorang
arbiter tidak menandatangani, harus dicatat alasan
kenapa dia tidak bertanda tangan.
d. Putusan Bersifat Final dan Binding
Akibat atau effect hukum putusan arbitrase bagi para
pihak adalah bersifat final dan binding. Akibat tersebut

79
ditegaskan Pasal 32 ayat (2) yang menyatakan : “The
award shal be final and binding on the parties”.
Maksud putusan bersifat final adalah putusan
Mahkamah Arbitrase langsung merupakan putusan “tingkat
pertama” dan “tingkat terakhir”. Terhadap putusan tertutup
upaya banding dan kasasi maupun peninjauan kembali.
Tegasnya, oleh karena putusan Mahkamah Arbitrase yang
diatur dalam UNCITRAL Arbitration Rules ditetapkan
bersifat final, putusan tidak dapat dibanding atau dikasasi.
Sifat final yang demikian, sejalan dengan asas arbitrase
yang menghendaki proses penyelesaian yang cepat dan
sederhana.
Sedang maksud putusan yang bersifat binding, putusan
tersebut sejak dijatuhkan, langsung “mengikat” kepada para
pihak. Dampak lanjut dari sifat binding menimbulkan
akibat kekuatan eksekutorial. Apabila putusan tidak
dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan,
putusan dapat dijalankan pelaksanaannyasecara paksa oleh
badan kekuasaan resmi melalui peradilan. Memang harus
demikian sifat dan kekuatan putusan Mahkamah Arbitrase,
harus mengikat dan mempunyai kekuatan eksekutorial.
Untuk apa ada putusan kalau tidak dapat dijalankan dengan
paksa apabila pihak yang kalah enggan memenuhi secara
sukarela. Hal itu sejalan dengan penegasan Pasal 32 ayat
(2). Pada kalimat terakhir ditegaskan: “The parties
undertake to carry out the award without delay”. Putusan
harus segera dilaksanakan para pihak tanpa ditunda-tunda.
Apabila ditunda pelaksanaan dapat dijalankan melalui
eksekusi.
Salinan Putusan Disampaikan kepada Para Pihak
Apabila putusan telah dijatuhkan, Mahkamah
Arbitrase membuat salinan (copy). Salinan ditandatangani
oleh para anggota arbiter. Setelah itu, Mahkamah Arbitrase
menyampaikan salinan tersebut kepada masing-masing
pihak (claimant dan respondent). Dengan demikian, secara
konkret, sejak tanggal penyampaian, putusan langsung
bersifat binding kepada mereka.
Kewajiban lain dari Mahkamah Arbitrase dalam
penyampaian putusan, tergantung dari ketentuan hukum di
negara mana putusan dijatuhkan. Jika negara tersebut
mengatur permohonan registrasi dilakukan oleh Mahkamah
Arbitrase, dia harus menyampaikan permohonan registrasi
dalam batas jangka waktu yang ditentukan oleh hukum
negara yang bersangkutan.
f. Hukum yang Dapat Diterapkan dalam Putusan
Mengenai pengertian hukum yang dapat diterapkan
dalam putusan adalah hukum yang dapat dijadikan
landasan dalam menyelesaikan sengketa. Mahkamah
Arbitrase tidak boleh sesuka hati menerapkan hukum yang
tidak sesuai dengan pokok perselisihan dan dari apa yang
dijanjikan serta yang disepakati para pihak. Untuk itu Pasal
33 mengatur penggarisan yang harus dipedomani
Mahkamah Arbitrase menyelesaikan persengketaan.
Penggarisan tersebut tampaknya bersifat penerapan yang
berskala prioritas :
> Pertama : Mahkamah Arbitrase harus menerapkan
hukum yang telah ditunjuk berdasar kesepakatan para
pihak untuk menyelesaikan sengketa. Jadi, yang
mendapat prioritas pertama untuk diterapkan dalam
putusan ialah hukum yang telah ditunjuk para pihak.
Misalnya, para pihak telah sepakat menunjuk hukum
Republik Indonesia sebagai landasan hukum
penyelesaian sengketa. Berarti mahkamah harus
merujuk kepada hukum Indonesia.
> Kedua : apabila para pihak tidak merujuk hukum
tertentu, hukum yang diterapkan ditentukan oleh
hukum yang mengatur hal-hal yang disengketakan para
pihak.
Dalam hal ini, hukum yang diterapkan Mahkamah
Arbitrase merujuk kepada hukum yang bersangkutan
sesuai dengan perselisihan yang terjadi. Jika
perselisihan yang terjadi berkenaan dengan
wanprestasi, hukum yang diterapkan mahkamah dalam
memutus persengketaan, merujuk kepada hukum yang
berlaku di bidang wanprestasi.

81
> Ketiga : Mahkamah Arbitrase memutus dengan
seksama berdasarkan compositeur atau ex aequo et
bono, hanya apabila para pihak secara tegas memberi
kewengan kepada mahkamah untuk bertindak demikian
(only i f the parties have expressly authorized the
arbitral tribunal to do so).
Dengan penegasan Pasal 32 ayat (2), Mahkamah
Arbitrase tidak leluasa mempergunakan ex aequo et bono
sebagai landasan menyelesaikan sengketa. Kebolehan
menerapkannya sebagai rujukan, tergantung pada syarat
para pihak harus secara “tegas” memberi kuasa atau
kewenangan kepada Mahkamah Arbitrase untuk
menyelesaikan sengketa berdasarkan compositeur (ex
aequo et bono) .
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan, dalam segala
kasus Mahkamah Arbitrase harus memutus sesuai dengan
tujuan dan makna perjanjian itu sendiri. Meskipun hukum
yang ditetapkan berdasarkan hukum yang telah ditunjuk
para pihak atau berdasarkan yang berlaku terhadap
perselisihan maupun berdasar ex aequo et bono,
penerapannya tidak boleh terlepas kaitannya dengan makna
dan tujuan perjanjian.
Interpretasi Putusan
Pasal 36 memberi kemungkinan kepada setiap pihak
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Arbitrase,
untuk memberi penafsiran (interpretation) putusan.
Umpamanya, salah satu pihak menganggap putusan kurang
jelas maksudnya, atau ada bagian putusan yang
mengandung makna ganda (ambivalen). Agar maknanya
jelas dan terang, salah satu pihak dapat mengajukan kepada
Mahkamah Arbitrase, agar diberikan penafsiran yang pasti
dan jernih. Ata cara tentang itu diatur dalam Pasal 35 :
> mengajukan permohonan kepada mahkamah, yang
berisi permintaan agar diberi penafsiran atas putusan;
> batas waktu permohonan dalam tenggang waktu 30
hari dari tanggal putusan diterima;
> permohonan diberitahukan oleh pihak pemohon kepada
pihak lawan dalam bentuk pemberitahuan (notice);
> dalam tempo 40 hari dari tanggal penerimaan
permohonan, Mahkamah Arbitrase :
o harus memberi interpretasi; dan
o diberikan dalam bentuk tertulis.
> interpretasi yang diberikan Mahkamah Arbitrase
dengan sendirinya (menurut hukum), merupakan satu
kesatuan yang tak terpisah dari putusan.
Yang terakhir ini penting diperhatikan. Dengan adanya
penegasan dalam Pasal 35 ayat (2) bahwa interpretasi yang
diberikan Mahkamah Arbitrase merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari putusan, hal yang dituangkan dalam
interpretasi langsung bersifat final dan binding kepada para
pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 32. Jadi, terhadap
interpretasi yang diberikan, tunduk kepada ketentuan Pasal
32 ayat (2) sampai ayat (7).
Oleh karena itu, terhadap interpretasi berlaku tata cara :
(pada naskah halaman 58 dan 59 tidak ada)

a.
b.
c.
d.
c.
f. biaya perwakilan resmi, termasuk para pembantu yang
jumlahnya patut;
g. biaya dan pengeluaran badan kuasa, seperti
pengeluaran Sekretaris Jenderal Permanent Court o f
Arbitration di Den Ilaag.
Mengenai biaya Mahkamah Arbitrase dijelaskan lebih
lanjut dalam Pasal 39 ayat (1). Menurut pasal ini, biaya
mahkamah harus merupakan jumlah yang patut
{reasonable). Perhitungan jumlahnya bertitik tolak dari
jumlah yang dipersengketakan, dihubungkan dengan waktu
yang dipergunakan dan lain-lain keadaan yang relevan dari
kasus yang bersangkutan.
Sekiranya badan kuasa yang ditunjuk berdasarkan
kesepakatan para pihak ataupun badan yang ditunjuk oleh

83
Sekretaris Jenderal Permanent Court o f Arbitration di Den
Haag, telah mengatur penjadwalan biaya para arbiter dalam
menangani kasus yang bersifat internasional, Mahkamah
Arbitrase dalam menetapkan biaya tersebut berpedoman
kepada jumlah penjadwalan dimaksud, namun dapat
diperluas dengan cara mempertimbangkan keadaan-
keadaan yang menyangkut kasus yang bersangkutan.
Apabila badan kuasa yang ditunjuk tidak menetapkan
penjadwalan biaya para arbiter, sedang kasus yang
diselesaikan berskala internasional, perhitungan jumlah
biaya arbiter ditetapkan berdasarkan kebiasaan (costumary)
yang diikuti dalam kasus-kasus internasional. Misalnya,
badan kuasa yang ditunjuk para pihak berdasar kesepakatan
adalah badan arbitrase ICC. Ternyata ICC tidak
menetapkan jadwal pembiayaan para arbiter. Dalam
kejadian seperti itu, para arbiter yang duduk dalam Majelis
Arbitrase yang bersangkutan, menetapkan perhitungan
jumlah biaya mereka menurut kebiasaan internasional.
ARBITRASE VS. PENGADILAN
Suatu Pengantar

Konsep hukum bahwa arbitrase sebagai suatu bentuk alternatif


penyelesaian sengketa, memiliki kompetensi absolur yang berada di
luar kewenangan pengadilan ternyata senantiasa menghadapi batu
sandungan. Persoalan yang terkait dengan kewenangan mutlak pranata
arbitrase ini, dalam banyak kasus, ternyata menjadi persoalan tersendiri
yang tidak pernah hilang. Mulai dari tidak diakui atau tidak diterimanya
kompetensi absolut tersebut oleh pengadilan negeri, yang membawa
konsekuensi hukum bahwa pengadilan juga berwenang menangani
perkara atau sengketa yang sudah diserahkan kewenangannya kepada
prata arbitrase, sehingga pelaksanaan putusan arbitrase yang telah
dijatuhkan oleh lembaga arbitrase (maupun arbitrase ac-hoc),
khususnya putusan arbitrase asing.
Pengakuan akan adanya prana penyelesaian sengketa lain di luar
pengadilan negeri di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama,
bahkan ketentuan Pasal 134 Reglemen Indonesia yang diperharui (Ilel
Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941:44-1 fIR) atau Pasal
160 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227-Rbg.). secara
tegas memerintahkan kepada pengadilan negeri tersebut untuk
menyatakan ketiadawenangannya tersebut. Penyelesaian sengketa yang
dibawa kepada forum khusus perwasitan dapat ditemukan
pengaturannya dalam ketentuan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de
Burgerlijke Rechtvordering atau disingkat Rv). Sebagai suatu pranata
yang secara absolut berada di luar pengadilan negeri, jelas penyelesaian
sengketa yang menjadi komptensi arbitrase selama diperjanjikan
merupakan kewenangan mutlak arbitrase. Dapat dimajukannya banding
terhadap putusan arbitrase yang memiliki nilai lebih dari f 500 kepada
Mahkamah Agung (waktu itu) tidaklah menjadi sengketa tersebut
sebagai kewenangan pengadilan negeri, bahkan pengadilan tinggi
sekalipun.
Konsepsi yang diakui dalam ketentuan Pasal 615 Rv. tersebut pada
kenyataanya mengalami penyimpangan dalam prakteknya. Berbagai

85
perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, yaitu perjanjian
arbitrase yang termuat dalam perjanjian pokok sering kali diabaikan.
Dengan berbekal bahwa pengadilan menurut Pasal 118 IIIR berwenang
secara relatif mengadili setiap perkara yang dimajukan terhadap
tergugat yang berdiam atau berdomisili di wilayahnya, klausula
arbitrase sering kali dianggap tidak pernah ada. Bahkan Mahkamah
Agung dalam putusan yang dijatuhkan di penghujung tahun 2005 an
pun, Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan
dengan tegas:
“Bahwa alasan inipun dapat dibenarkan, oleh karena penyelesaian
melalui arbitrase hanya merupakan alternatif yang dibolehkan UU
No. 4 Tahun 2004, tetapi bukan suatu keharusan karena menurut
ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang tahun 2004 hanya
dikenal 4 (empat) lingkungan peradilan dan tidak termasuk badan
arbitrase.”
Kenyataan pertimbangan putusan tersebut jelas-jelas menunjukkan
bahwa sampai sekarangpun, dengan telah diundangkannya Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) konsep mengenai dan
kewenangan absolut pranata arbitrase tidak/ masih belum dipahami
sepenuhnya. UU Arbitrase dalam ketentuan Pasal 3 nya secara tegas
telah menyatkaan bahwa “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase”. Demikianlah dapat dilihat bahwa hal yang sudah demikian
tegaspun dalam ketentuan perundang-undangan yang masih berlaku
dapat ditafsirkan secara berbeda oleh Majelis Agung dalam perkara
tersebut.
Sudargo Gautama dalam Hukum Dagang dan Arbitrase
Internasional secara gamblang mengemukakan bagaimana Mahkamah
Agung, bahka sebelum berlakunya UU Arbitrase telah mengakui
dengan jelas eksistensi kompetensi absolut pranata arbitrase. Berbagai
putusan pada tingkat Judex Facti (Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi) yang menyatakan kewenangan mengadili pengadilan negeri
terhadap sengketa yang dalam perjanjian pokoknya mengandung
klausula arbitrase telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Bahkan
eksistensi pilihan domisili pada Kantor Panitera Pengadilan Negeri
setempatpun bukan merupakan alasan bagi pengadilan negeri untuk
“mengambil” kompetensi atau wewenang pranata arbitrase untuk

86
menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang terjadi dalam perjanjian
yang mengandung klausula arbitrase. Apakah putusan Mahkamah
Agung tersebut di atas merupkan suatu kilas balik kemunduran
Mahkamah Agung dalam memahami konsep kompetensi absolut yang
telah diakuinya sendiri (sebagai suatu yurisprudensi) yang selanjutnya
dikukuhkan dengan UU Arbitrase.
Ilal lain yang sampai saat ini masih juga mengejutkan dunia
internasional adalah persoalan pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing atau arbitrase internasional. Keberadaan Konvensi New
York 1958 (Convention on the Recognition and Enforcement o f
Foreign Arbitral Awards) yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden
No. 34 Tahun 1981, Lembaran Negara 1981 No. 40 tanggal 5 Agustus
1981) ternyata tidak membawa pengaruh apapun terhadap pelaksanaan
putusan arbitrase asing di Indonesia.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Putusannya No.
64/Pdt/G/1984 telah menyatakan Award o f Arbitration No. 2282
tanggal 8 September 1984 yang diucapkan di London oleh Federation
o f Oils, Seed and Fats Association (FOSFA) terhadap PT. Bakric and
Brothers Jakarta sebagai “tidak berkekuatan hukum dan tidak dapat
dilaksanakan.” Bahkan tidak hanya persoalan pengakuan putusan dan
pelaksnaan arbitrase asing itu saja yang dipersoalkan, dalam isi putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, seluruh perjanjian yang
terkait dengan putusan yang telah dijatuhkan oleh forum arbitrase
tersebut dinilai kembali.
Mahkamah Agung sendiri dalam salah satu putusannya, secara
tegas menyatakan bahwa Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981
belum atau tidak dapat dilaksanakan begitu saja, melainkan
memerlukan peraturan pelaksanaan. Ilal ini terus berlanjut hingga
dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Salah satu putusan
arbitrase asing yang telah mendapat Penetapan Mahkamah Agung RI
No. l/Pen/Bx’r/Arb.Int/Pdt/1991 tanggal 1 Maret 1991 terhadap
putusan The Queen ’s Council o f the English Bar di London, 17
November 1989 ternyata dimentahkan kembali oleh Mahkamah Agung
dalam Putusan Kasasi MA No. 1203 K/Pdt/1990, mengenai perkara
E.D. & F. Man (Sugar) Ltd. vs. Yani Ilaryanto. Mahkamah Agung
dalam putusannya tersebut menyatakan antara lain sebagai berikut :

87
1. Mahkamah Agung mengaitkan masalah ini dengan Penetapan
Mahkamah Agung RI No. l/Pen/Ex’r/ Arb.Int/Pdt/1991 tanggal 1
Maret 1991, yang meskipun dalam perkara ini tidak disinggung,
akan tetapi hal tersebut bertalian erat dengan perkara tersebut;
2. Bahwa penetapan tersebut di atas mengenai mengabulkan
permohonan exequatur terhadap putusan The Queen ’s Council o f
the English Bar di London, 17 November 1989;
3. Bahwa suatu Penetapan exequatur hanya bersifat prima facie, jadi
penetapan tersebut tidak merupakan penilaian hukum terhadap isi
dari perjanjian yang dibuat;
4. Bahwa suatu Penetapan exequatur hanya memberikan titel
eksekutorial bagi Putusan Arbitrase Asing tersebut, yang
pelaksanaannya tunduk kepada Hukum Acara di Indonesia;
5. Bahwa karena itu, dengan adanya Putusan Mahkamah Agung
dalam perakara ini, maka Penetapan Mahkamah Agung RI No.
l/Pen/Lx’r/Arb.Int/Pdt/l 991 tanggal 1 Maret 1991, menjadi
irrelevant untuk dilaksanakan.
Demikianlah dapat dilihat bagaimanapun suatu putusan arbitrase
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang telah disetujui
eksekusinya oleh Mahkamah Agung dimentahkan kembali
pelaksanaannya, dengan alih-alih bahwa perjanjian pokok yang
mendasari lahirnya putusan arbitrase tersebut telah batal, dan karenanya
segala sesuatu yang mengikuti dan terkait dengan perjanjian tersebut
menjadi tidak berharga di mata hukum. Sampai disini sebenarnya
Mahkamah Agung juga telah melupakan sifat absolut dari kompetensi
atau kewenangan pranata arbitrase. Yang berhak untuk menilai batal
tidaknya perjanjian tersebut adalah pranata arbitrase tersebut, karena
telah diperjanjikan dalam perjanjian pokoknya dalam bentuk klausula
arbitrase. Jadi dalam hal ini, pengadilan sama sekali tidak berwenang
untuk mengadilinya. Asas separabilitas memainkan peran kunci dalam
hal ini. Uraian, pembahasan dan analisis yang terkait dengan asas
separabilitas terhadap perkara ini dijelaskan secara panjang lebar dan
terpcrrinci dalam bab berikut.
Persoalan lain yang menyangkut pelaksanaan eksekusi putusan
arbitrase adalah perkara Karaha Bodas Company vs. Pertamina dan
PLN. Yang menarik dari perkara atau kasus ini adalah bahwa yang
dimintakan pembatalannya adalah putusan arbitrase yang dijatuhkan di

88
luar negeri. Dasar hukum pembatalan diajukan berdasarkan pada
ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase yang menyatakan :
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, selelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh
salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Secara harfiah tidak ada satu keterangan pun dalam Pasal 70 UU
Arbitrase tersebut yang menyatakan bahwa putusan arbitrase asing
tidak dapat dimintakan pembatalannya berdasarkan ketentuan Pasal 70
UU Arbitrase tersebut. Namun dengan memperhatikan konsep lex
arbitri yang dikaitkan dengan ketentuan Pasal V New York Convention
yang menyatakan :
1. Recognition and enforcement o f the award may be refused, at
the request o f the party againts whom it is invoked, only if that
party furnishes to the competent authority where the,
recognition and enforcement is sought, proof that:
(a) The parties to the agreement referred to in article II were,
under the law applicable to them, under some incapacity,
or the said agreement is not valid under the law to which
the parties have subjected it or, failing any indication there
on, under the law o f the country where leha award was
made; or
(b) The party against whom the award is invoked was not
given proper notice o f the appointment o f the arbitrator or
o f the arbitration proceedings or was otherwise unable to
present his case; or
(c) The award deals with a difference not contemplated by or
not failing within the terms o f the submission to
arbitration, or it contains decisions on matters beyond the
scope o f the submission to arbitration, provided that, if
decisions on matters submitted to arbitration can be
separated from those not so submitted, that part o f the

89
award which contains decisions on matters submitted to
arbitration may be recognized and enforce; or
(d) The composition o f the arbitral authority or the arbitral
procedure was not in accordance with the agreement o f
the parties, or, failing such agreement, was not in
accordance with the law o f the country where the
arbitration took place; or
(e) The award has not yet becom binding on the parties, or
has been set aside or supended by a competent authority o f
the country in which, or under the law o f which, that
award was made.
2. Recognition and enforcement o f an arbitral award may also be
refused if the competent authority in the country where
recognition and enforcement is sought finds that:
(a) The subject matter o f the difference is not capable o f
settlement by arbitration under the law o f that country; or
(b) The recognition or enforcement o f the award would be
contrary to the public o f that country.
Jelas bahwa kewenangan pembatalan putusan arbitrase asing ada
pada pengadilan dimana putusan tersebut dijatuhkan. Ini berarti
berlakulah prinsip lex arbitri.
Analisis pada sisi lain dari perkara ini, dalam kaitannya dengan
asas separabilitas, juga diberikan sebagai perbandingan dengan
penggunaan asas separabilitas dengan perkara E. D. & F. Man Sugar
Limited vs. Yani Ilaryanto. Dalam perkara E. D. & F. Man Sugar
Limited vs. Yani Ilaryanto, peraturan yang melarang impor gula
telah ada sebelum perjanjian dibuat, sedangkan dalam perkara Karaha
Bodas Company vs. Pertamina dan PLN, peraturan yang melarang
dilanjutkannya proyek Kraha Bodas dikeluarkan setelah perjanjian
dibuat.
Terakhir, dalam uraian buku ini akan dijelaskan dan diberikan
analisis hukum dari pemberlakuan gugatan perbuatan melawan hukum
untuk mengesampingkan atau mengeluarkan sengketa berdasarkan
perjanjian yang didalamnya mengandung klausula arbitrase. Perkara
antara PT. Tempo vs. PT. Roche Indonesia menjadi pilihan kasus yang
dibahas.

90
Selain itu secara konsep, peran pengadilan memang tidak pernah
dapat dipisahkan dari kegiatan atau proses penyelesaian sengketa oleh
arbitrase. Eksistensi dari kewenangan pengadilan untuk “ikut campur”
secara sah dalam proses arbitrase dijelaskan dalam buku Seri aspek
Hukum dalam Bisnis tersendiri, yang diberi subjudul “Peran
Pengadilan dalam Penyelesaian Sengketa oleh Arbitrase
Demikianlah kiranya pengantar singkat yang dapat diberikan untuk
mengantar pembaca sekalian menikmati uraian, penjelasan, analisis dan
pembahasan yang diberikan dalam buku ini. Semoga bermanfaat dan
selamat membaca.

91
92
PILIHAN FORUM ARBITRASE
BUDAYA HUKUM DAN KEADILAN

A. Pilihan Forum Arbitrase dan Budaya Hukum di Indonesia


Seperti telah diutarakan di muka bahwa proses penyelesaian
sengketa bisnis yang diupayakan pihak-pihak melalui forum lain di
luar pengadilan, merupakan realita perubahan kecenderungan
manusia dalam masyarakat yang harus diterima. Apabila selama ini
mekanisme penyelesaian sengketa mengikuti pola yang terstruktur
melalui pengadilan negeri, maka pilihan forum lebih
mengedepankan kebebasan para pihak dalam menetapkan bentuk
lain dari proses yang serupa, namun melalui mekanisme yang lebih
sederhana dan diharapkan di dalam mekanisme tersebut tidak
terjadi distorsi pada penegakan hukum sehingga hasilnya dapat
memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Penggunaan sistem peradilan modern sebagai sarana
pendistribusi keadilan terbukti menjumpai sangat banyak
hambatan. Adapun yang menjadi faktor penyebab adalah karena
peradilan modern sarat dengan beban formalitas, prosedur,
birokrasi, serta metodologi yang ketat. Oleh karena itu, keadilan
yang didistribusikan melalui lembaga peradilan diberikan melalui
keputusan birokrasi bagi kepentingan umum karenanya cenderung
berupa keadilan yang rasional. Oleh sebab itu, keadilan yang
diperoleh masyarakat modern tidak lain adalah keadilan birokratis.
Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan telah terbukti
banyak menimbulkan ketidakpuasan pada pihak-pihak yang
bersengketa maupun masyarakat luas. Ketidakpuasan masyarakat
dilontarkan dalam bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan
menghujat terhadap kinerja pengadilan karena dianggap tidak
memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa, menjauhkan pihak-
pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan
putusan hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada
lembaga peradilan.
Kalangan masyarakat bisnis yang memerlukan kepastian
hukum serta keamanan di dalam investasi maupun aktivitas
perdagangannya tatkala terjadi sengketa menyangkut bisnis
mereka, sangat kuatir terhadap kondisi badan peradilan yang

93
dianggap telah carut marut semacam itu. Dilatarbelakangi oleh
kondisi semacam itulah, muncul keinginan dari komunitas bisnis
khususnya, untuk kemudian berpaling dan memilih model lain
dalam penyelesaian sengketa. Meskipun bentuk penyelesaian yang
dipilih itu tergolong masih serumpun dengan mekanisme pada
badan peradilan, namun forum lain yang dipilih itu dianggap dapat
memberikan alternatif serta ruang kebebasan kepada pihak-pihak
dalam menentukan penyelesaian sengketa bisnis mereka. Pada
gilirannya model yang dipilih tersebut diharapkan lebih
memberikan peluang untuk mendapatkan rasa keadilan yang lebih
manusiawi dan bermartabat.
Mcngkritisi keadaan badan peradilan di Indonesia yang sudah
seperti itu, Satjipto Rahardjo berpendapat, untuk menyebarkan fora
pemberian keadilan tidak semestinya terkonsentrasi pada satu
lembaga yang bernama pengadilan. Marc Galanter memberikan
tamsil yang sangat bagus, yaitu hendaknya ada justice in many
rooms. Gagasan Alternative Dispute Resolution (ADR) sudah
tersimpan lama sejak gelombang gerakan Access to Justice
Movement (AJM), terutama gelombang ketiga yang menghendaki
adanya jalur alternatif di luar pengadilan negara. Masalahnya
karena masyarakat dapat mengalami keadilan atau ketidakadilan
bukan saja melalui forum-forum yang disponsori oleh negara, akan
tetapi dapat juga melalui lokasi-lokasi kegiatan primer. Lokasi
kegiatan primer tersebut dapat berwujud pranata seperti rumah,
lingkungan ketetanggaan, tempat bekerja, kesepakatan bisnis, dan
sebagainya (termasuk aneka latar penyelesaian khusus yang
berakar di lokasi-lokasi tersebut).
Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi
keadilan tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan
hukum modern di Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima
dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau
dipaksakan (imposed) dari luar. Padahal secara jujur, dilihat dari
optik sosio kultural, hukum modern yang kita pakai tetap
merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.” Oleh sebab
itu, untuk menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa Indonesia
disebabkan menggunakan hukum modern, adalah menjadikan
hukum modern sebagai kaidah positif menjadi kaidah kultural.
Persoalannya, karena sistem hukum modern yang liberal itu tidak
dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas

94
kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan
individu. Di samping itu juga, akibat sistem hukum liberal tidak
dirancang untuk memberikan keadilan substantif, maka seorang
dengan kelebihan materiel akan memperoleh “keadilan” yang lebih
daripada yang tidak.
Apabila kita terus menerus berpegang kepada doktrin liberal
tersebut, maka kita akan tetap berputar-putar dalam pusaran
kesulitan untuk mendatangkan atau mcnciptakan keadilan dalam
masyarakat.
Dalam rangka melepaskan diri dari doktrin liberal itulah, maka
gagasan orang-orang atau pihak-pihak untuk mencari dan
menemukan keadilan melalui forum alternatif di luar lembaga
pengadilan modern sesungguhnya merupakan upaya penolakan
terhadap cara berpikir hukum yang tertutup. Ilal itu disebabkan
para pencari keadilan masih sangat merasakan, betapapun tidak
sekuat seperti pada abad kesembilan belas, filsafat liberal dalam
hukum dewasa ini masih sangat besar memberi saham terhadap
kesulitan menegakkan keadilan substansial (substantial justice)?
Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa hukum modern
di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru
yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar, yakni
melalui kebijakan kolonial di Hindia-Bclanda. Padahal suatu
peralihan dari status sebagai bangsa terjajah menjadi bangsa
merdeka sungguh merupakan suatu momentum yang cukup krusial.
Dalam kehidupan hukum di masa Hindia-Bclanda, bangsa
Indonesia tidak mengambil tanggung jawab sepenuhnya dalam
masalah penegakan, pembangunan, dan pemeliharaan hukumnya,
melainkan hanya sekadar menjadi penonton dan objek kontrol oleh
hukum. Sedangkan sejak hari kemerdekaannya, bangsa Indonesia
terlibat secara penuh ke dalam sekalian aspek penyelenggaraan
hukum, mulai dari pembuatan sampai kepada pelaksanaannya di
lapangan.
Akibat berlangsungnya transplantasi sistem hukum asing
(Eropa) ke tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi
yang otohton tersebut, maka ada konsekuensi yang mesti dipikul
bangsa Indonesia ketika harus terlibat penuh dalam penyelengga­
raan hukum. Konsekuensi tersebut berupa keniscayaan untuk
membangun dan mengembangkan perilaku hukum (legal behavior)
baru dan budaya hukum untuk mendukung perubahan status dari

95
jajahan ke kemerdekaan. Dalam kaitan itu, Satjipto Rahardjo
menyatakan, tidak mudah untuk mengubah perilaku hukum bangsa
Indonesia yang pernah dijajah menjadi bangsa yang merdeka,
karena waktu lima puluh tahun belum cukup untuk melakukan
perubahan secara sempurna.
Membicarakan mengenai perilaku hukum dan budaya hukum
tentu tidak dapat menghidarkan diri dari pembicaraan tentang
sistem hukum, karena perilaku dan budaya hukum keduanya
merupakan unsur dari sistem hukum. Di samping kedua unsur
tersebut, Kces Schuit menguraikan unsur-unsur yang termasuk
dalam suatu sistem hukum, yaitu :
1. Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari
hukum, yang terdiri atas aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan
asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut “sistem
hukum.”
2. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan
organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga, yang didirikan
dalam suatu sistem hukum. Yang termasuk ke dalamnya
adalah juga para pengemban jabatan (ambtsdrager), yang
berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga.
3. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan
dan perbuatan-perbuatan konkret yang berkaitan dengan
sistem makna dari hukum, baik dari para pengemban jabatan
maupun dari para warga masyarakat, yang di dalamnya
terdapat sistem hukum itu.
Sementara itu L.M. Friedman mengungkapkan tiga komponen
dari sistem hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah: (1)
struktur, (2) substansi, dan (3) kultur atau budaya. Pertama, sistem
hukum mempunyai struktur, yaitu kerangka bentuk yang permanen
dari sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam
batas-batasnya. Struktur terdiri atas: jumlah serta ukuran
pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum
acara yang digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga
mengenai penataan badan legislatif. Kedua, substansi, yaitu aturan,
norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem
itu. Termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga “produk”
yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu
- keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka
susun. Ketiga, adalah kultur atau budaya hukum, yaitu sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum - kepercayaan, nilai,
pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum inipun dimaknai
sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan. Selanjutnya Friedman merumuskan budaya
hukum sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan
dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-
nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif
kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga
kesenangan atau ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian
dari budaya hukum. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan
budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan faktor yang
menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya
yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Maka
secara singkat dapat dikatakan bahwa yang disebut budaya hukum
adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai
yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana
seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Friedman juga membedakan budaya hukum menjadi external
and internal legal culture. Menurut Esmi Warassih budaya hukum
seorang hakim (internal legal culture) akan berbeda dengan
budaya hukum masyarakat (external legal culture). Bahkan
perbedaan pendidikan, jenis kelamin, suku, kebangsaan,
pendapatan, dan lain-lain dapat merupakan faktor yang
mempengaruhi budaya hukum seseorang. Budaya hukum
merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang
terdapat di dalam sistem hukum yang lain. Selanjutnya
dikemukakan, “penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal
atau ditumbuhkan dari kandungan masyarakat merupakan masalah,
khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi
ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem
hukum dari negara lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota
masyarakat itu sendiri.” Mengacu pada pendapat tersebut, tidak ada
keraguan kalau penggunaan lembaga pengadilan sebagai tempat
penyelesaian sengketa sesungguhnya tidak cocok dengan nilai-nilai
yang hidup dan dihayati masyarakat pribumi Indonesia.
Masalahnya, seperti telah: diungkapkan di muka dilihat dari optik
sosio kultural, hukum modern yang digunakan dewasa ini

97
merupakan hasil transplantasi sistem hukum asing (Hropa) ke
tengah tata hukum (legal order) masyarakat pribumi Indonesia,
sehingga sangat wajar apabila lembaga pengadilan yang
merupakan bagian sekaligus penyangga dari sistem hukum modern
itu meski telah dintroduksikan ke dalam sistem hukum Indonesia
selama enam dekade sejak tahun 1942, namun tetap saja
merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.”
Bertolak dari serangkaian fakta di muka, tentu harus diakui
sebab bagaimanapun seluruh alur perkembangan sistem hukum di
Indonesia telah banyak terbangun dan terstruktur secara pasti
berdasarkan konfigurasi asas-asas yang telah digariskan sejak lama
sebelum kekuasaan kolonial tumbang. Sementara itu budaya
hukum para yuris yang mendukung beban kewajiban membangun
hukum nasional amat sulit untuk menemukan pemikiran-pemikiran
yang lateral dan menerobos. Selanjutnya Soetandyo Wignjosoebroto
menyatakan: “Berguru kepada guru-guru Belanda dalam situasi
kolonial, pemikiran para yuris nasional inipun mau tak mau telah
diprakondisi oleh dotrin-doktrin yang telah ada. Para perencana
dan para pembina hukum nasional - juga sekalipun mereka itu
mengaku bersitegak sebagai eksponen hukum adat dan hukum
Islam - adalah sesungguhnya pakar-pakar yang terlanjur terdidik
dalam tradisi hukum Belanda, dan sedikit banyak akan ikut
dicondongkan untuk berpikir dan bertindak menurut alur-alur-alur
tradisi ini, dan bergerak dengan modal sistem hukum positif
peninggalan hukum Ilindia Belanda (yang tetap dinyatakan berlaku
berdasarkan berbagai aturan peralihan).”
Padahal hukum yang dibutuhkan oleh dan untuk negeri
berkembang yang tengah berubah lewat upaya-upaya
pembangunan seperti Indonesia ini adalah hukum yang dapat
berfungsi sebagai pembaharu, dan bukan sekadar sebagai
pengakomodasi perubahan seperti yang diimplisitkan dalam ajaran
the sociological jurisprudence Roscoe Pound. Ditengarai oleh
Robert Seidman bahwa pengalaman hukum yang melahirkan
institusi-institusi hukum modern itu sesungguhnya cultural bound
dalam konteks tradisi hukum Barat. Hukum yang dibingkai oleh
tradisi dan konfigurasi kultural Barat ini nyata-nyata tidak mudah
untuk dengan begitu saja dipakai untuk mengatasi permasalahan
hukum dan permasalahan pembangunan pada umumnya di negeri-
negeri berkembang non-Barat yang memiliki aset-aset sosio­

98
kultural yang berbeda. Inilah kenyataan yang ditengarai oleh
Robert B\ Seidman sebagai the Law o f the Nontransferability o f
law?
Melengkapi uraian di muka, Ksmi Warassih juga
mengemukakan, “ Secara umum dapat dikatakan bahwa lapisan
pengambil keputusan umumnya menjatuhkan pilihannya kepada
sistem hukum yang modern rasional, sementara hal tersebut tidak
selalu sejalan dengan kesiapan masyarakat di dalam menerima
sistem tersebut.” Oleh karena itu, dapat dipahami jika penggunaan
hukum modern beserta segenap institusi-institusi hukumnya
kemudian menimbulkan persoalan yang cukup krusial di dalam
masyarakat. Apalagi ketika lembaga pengadilan sebagai pranata
dan penyangga sistem hukum modern terbukti tidak mampu
menjawab tantangan perubahan yang tengah berlangsung di negara
ini terutama dalam tugasnya menegakkan dan mendistribusikan
keadilan kepada masyarakat.
Pengalaman sesudah kemerdekaan, para pengusaha merasakan
betapa pengadilan tidak bersimpati terhadap masalah dan
kebutuhan para pengusaha. Menurut Daniel S. Lev perubahan
sosial dan ekonomi yang cukup luas juga menyebabkan perubahan
dalam budaya hukum masyarakat. Prosedur peradilan menjerakan
para pengusaha untuk menggunakan pengadilan. Berkaitan dengan
hal itu, dikutipnya secara lengkap komentar seorang advokat yang
termasuk angkatan tua dari Bandung, yang mengatakan: “...Para
hakim dewasa ini kurang memahami hukum dan kurang menaruh
perhatian. Saya menulis alasan-alasan yang lengkap untuk perkara-
perkara saya, tetapi para hakim muda sering marah karena alasan
tersebut terlalu panjang untuk dibaca. ...Maka terlepas dari tidak
adanya rasa senang saya di pengadilan, tidak ada pentingnya bagi
perusahaan yang saya wakili untuk mengajukan perkaranya ke
pengadilan kecuali kalau hal itu mudak perlu. Dan tidak hanya
pengadilan yang sulit, tetapi keseluruhan prosesnyapun berliku-
liku. Kita harus memberi uang tidak resmi kepada panitera untuk
memperoleh dokumen eksekusi bila putusan pada akhirnya sudah
dijatuhkan. Terlalu banyak saluran yang harus dilalui agar segala
sesuatunya dikerjakan, dan kesemuanya itu perlu biaya. Dalam
semua kontrak yang saya tulis untuk perusahaan klien saya, saya
masukkan klausula arbitrase sehingga terhindar dari urusan dengan
pengadilan.”

99
Komentar di atas betapapun rnenjukkan bahwa penghindaran
penyelesaian peselisihan melalui pengadilan di kalangan pelaku
bisnis tampaknya mempunyai sumber dukungan lain di samping
kecenderungan budaya. Arbitrase menjadi forum alternatif yang
menjadi pilihan dan tumpuan yang dipercaya oleh para pelaku
bisnis untuk menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan,
karena para pelaku bisnis terutama yang berasal dari negara-negara
maju meyakini bahwa arbitrase mempunyai karakteristik yang
sesuai dengan budaya bisnis. Seperti dikemukakan oleh Robert
Coulson :
“Business executives are losing patience with judicial
solutions that take years to achive results and that leave both
parties exhausted by delays and legal expenses. Many people like
what alternative dispute resolution can offer. They are finding that
commercial arbitration and mediation are sensible ways to resolve
business dispute. ”
Pada dasarnya tidak ada pelaku bisnis yang hendak kehilangan
peluang berbisnis hanya karena menghadapi penyelesaian sengketa
dengan mitranya yang berlarut-larut di pengadilan. Oleh karena itu,
walaupun arbitrase sesungguhnya merupakan institusi penye­
lesaian sengketa yang menggunakan pendekatan pertentangan
(adversarial) dengan hasil win-lose seperti juga pengadilan, akan
tetapi arbitrase tetap dianggap berbeda dengan pengadilan. Yang
dianggap sebagai perbedaan cukup penting oleh para pelaku bisnis
antara arbitrase dengan pengadilan adalah, dalam arbitrase mereka
mempunyai kedaulatan untuk menetapkan arbiter yang terdiri atas
pakar-pakar yang ahli di bidangnya untuk memeriksa dan memutus
sengketa mereka. Sedangkan kedaulatan para pihak semacam itu
sama sekali tidak mungkin diekspresikan di depan badan peradilan
umum.
Namun demikian perkembangan dan penggunaan arbitrase
sebagai forum penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan
di Indonesia masih terhambat oleh sejumlah faktor. Faktor-faktor
penghambat tersebut diungkapkan Adi Sulistiyono, sebagai
berikut: (1) ketentuan hukum yang mengatur masalah arbitrase di
Indonesia belum banyak diketahui dan dipahami oleh pelaku
bisnis; (2) belum ada budaya arbitration minded di kalangan
pengusaha Indonesia; (3) banyak di antara mereka yang belum
berani membawa sengketa yang dialaminya keluar dari jalur

100
ajudikasi publik (baca: peradilan). Ilal itu disebabkan selama ini
mereka belum mengetahui keberhasilan arbitrase atau BANI dalam
menangani sengketa bisnis; (4) profesionalitas dan kredibilitas
arbiter, baik itu selaku pribadi maupun dalam menyelesaikan
sengketa di Indonesia belum banyak diketahui oleh para pelaku
bisnis; (5) belum banyak konsultan hukum Indonesia yang mau
memperkenalkan/mengarahkan kliennya untuk bersengketa melalui
arbitrase; (6) tidak mudah membawa dan menyadarkan pihak-
pihak yang bersengketa agar menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase dengan itikad baik. Seringkah pihak-pihak telah sepakat
membawa sengketanya ke arbitrase, namun setelah sengketa
tersebut diputuskan oleh arbiter, pihak yang merasa kalah tidak
mau secara sukarela melaksanakan putusan tersebut; dan (7)
hakim-hakim kurang memahami tentang masalah arbitrase,
sehingga seringkah suatu sengketa yang berdasarkan “klausula
arbitrase” seharusnya diselesaikan melalui arbitrase, namun
pengadilan negeri tetap saja menangani sengketa tersebut.
Menyimak tujuh faktor yang disinyalir sebagai penghambat
perkembangan arbitrase di Indonesia, maka bagaimanapun juga
arbitrase hanya bisa tumbuh dan berkembang apabila didukung
oleh kalangan para usahawan itu sendiri. Pembuat Undang-undang
telah cukup mengakomodasi perangkat normanya. Pada akhirnya
pilihan forum ke arah arbitrase hanya akan bermanfaat dan
memberi keuntungan dibandingkan dengan berperkara di
pengadilan, seandainya sejak semula sudah dapat ditentukan bahwa
pihak yang akan dikalahkan akan dengan sukarela menaati dan
melaksanakan putusan arbitrase tersebut.

B. Faktor Internal Pengadilan Negeri dan Pilihan Forum


Arbitrase
Pengadilan di sini bukan diartikan semata-mata sebagai badan
untuk mengadili, melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu
“hal memberikan keadilan.” Hal memberikan keadilan berarti yang
bertahan dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam
memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan -
konkritnya kepada yang mohon keadilan - apa yang menjadi
haknya atau apa hukumnya. Eksistensi pengadilan sebagai lembaga
yang berfungsi menyelenggara-kan proses peradilan dalam

101
menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat, tugas-
tuganya diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan
masyarakat terhadap hukum serta institusi peradilan di negara ini
ditentukan oleh kredibilitas dan profesionalitas hakim dalam
menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa serta menegakkan
keadilan.
Jadi, para hakim dituntut untuk secara total melibatkan dirinya
pada saat membuat putusan, bukan hanya mengandalkan
kemahirannya mengenai perundang-undangan. Menurut Roeslan
Saleh, seorang hakim diharapkan senantiasa menempatkan dirinya
dalam hukum, sehingga hukum baginya merupakan hakekat dari
hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap hukum sebagai suatu
rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi
kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi
sesuatu yang mengisi kemerdekaannya. Oleh karena “hukum itu
bukan semata-mata peraturan atau undang-undang, tetapi lebih
daripada itu: ‘perilaku.’ Undang-undang memang penting dalam
negara hukum, akan tetapi bukan segalanya dan proses memberi
keadilan kepada masyarakat tidak begitu saja berakhir melalui
kelahiran pasal-pasal undang-undang.”
Seperti telah diutarakan di muka, bahwa dalam sistem hukum
di manapun di dunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan
melalui lembaga pengadilannya. Namun demikian kerusakan dan
kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern
disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbul
pertanyaan “apakah pengadilan itu tempat mencari keadilan atau
kemenangan?” Keadilan memang barang yang abstrak dan karena
itu perburuan terhadap keadilan merupakan usaha yang berat dan
melelahkan. Sementara itu, pengadilan sebagai institusi
pendistribusi keadilan telah menjadi institusi modern yang
dirancang secara spesifik bersamaan dengan munculnya negara
modern sekitar abad ke delapan belas. Oleh karena itu, pekerjaan
mengadili tidak lagi hanya bersifat mengadili secara substansial -
seperti pada masa lampau ketika Khadi Justice, yaitu suatu
peradilan yang tidak berorientasi kepada “fixed rules o f formally
rational law. ” melainkan kepada hukum substantif yang bertolak
dari postulat-postulat etika, religi, politik, dan lain-lain
pertimbangan kemanfaatan. Setelah menjadi institusi modern,
pengadilan merupakan penerapan dari prosedur yang ketat.

102
Berdasarkan optik sosiologi hukum yang lebih memperhatikan
fungsi dari badan yang menjalankan fungsi mengadili, maka dalam
rangka menemukan keadilan serta dimana keadilan diputuskan,
faktor lembaga atau badan pemutus keadilan yang diakui menjadi
tidak penting. Putusan tentang keadilan dapat dilakukan dimana
saja dalam masyarakat, tidak perlu harus di pengadilan. Oleh sebab
itu, menegakkan dan menemukan keadilan tidak semata-mata harus
dilakukan melalui struktur formal lembaga pengadilan. Fungsi
mengadili dapat dilakukan dan berlangsung di banyak lokasi,
sehingga Marc Galanter mengungkapkan dengan sebutan “justice
in many rooms. ” Atas dasar hal itu, maka memilih forum arbitrase
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis merupakan
kecenderungan beralihnya minat masyarakat pencari keadilan dari
menggunakan jalur litigasi pada pengadilan kepada jalur lain yang
formatnya lebih tidak terstruktur secara formal. Namun demikian,
bentuk yang disebut terakhir itu diyakini oleh para penggunanya
akan mampu melahirkan keadilan substansial. Padahal selama
beberapa dekade masyarakat di sejumlah negara, termasuk di
Indonesia memberikan kepercayaan kepada lembaga pengadilan
untuk mengelola sengketa yang sedang dihadapi, dengan harapan
akan memperoleh keadilan sebagaimana secara normatif dan
eksplisit disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan. Akan
tetapi faktanya lembaga pengadilan telah terbukti tidak mampu
memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyak faktor
yang menyebabkan pengadilan menjadi seperti itu.
Adi Andojo Soetjipto, (mantan Ketua Muda Mahkamah
Agung) mengungkapkan sejumlah faktor-faktor yang menjadi
indikasi betapa kondisi buruk lembaga peradilan di Indonesia
diawali oleh terpuruknya moralitas para hakim. Berikut ini
serangkaian indikasi dimaksud sebagaimana disarikan dari paparan
Adi Andojo dalam tulisannya, antara lain: (i) untuk memperoleh
jabatan hakim, seorang calon hakim telah menggunakan jalan
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, maka bisa
diduga bahwa orang itu kelak setelah menjadi hakim juga akan
tidakpunya pegangan etika. Kedaan itu akan merusak segala-
galanya, baik penegakan hukumnya maupun keadilannya, bahkan
sistem peradilannya akan runtuh; (ii) akibat hakim tidak lagi
memegang etika, sehingga banyak hakim yang mencari rezeki dari
perkara yang ditanganinya; (iii) hakim telah banyak yang lupa
bahwa sesungguhnya mereka memiliki pegangan etika yang sangat

103
mendasar sebab dia dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia dalam
memberikan keadilan. Faktor ini barangkali merupakan faktor
terpenting karena menyangkut ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Ksa. Para hakim terikat oleh kewajiban moral kepada
Tuhannya karena putusan yang dihasilkannya berjudul “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. ” Apabila
hakim mempermainkan keadilan, berarti dia mempermainkan
ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa serta merendahkan
kepercayaan yang telah diberikan kepadanya oleh Tuhan, Negara,
dan masyarakat.
Mencoba bangun dari keterpurukan dalam menegakkan
hukum dan keadilan, Satjipto Rahardjo, mengajak untuk
menggunakan kecerdasan spiritual. Oleh karena menjalankan
hukum di Indonesia kini terancam kedangkalan berpikir. Hal itu
disebabkan orang lebih banyak membaca huruf undang-undang
daripada berusaha menjangkau makna dan nilai yang lebih dalam.
Sudah semestinya hal-hal berikut ini menjadi pemandu aparatur
yang terlibat dalam penegakan hukum terutama hakim sebagai
ujung tombak pendistribusi keadilan kepada masyarakat. Pertama,
berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membiarkan
diri terkekang cara menjalankan hukum yang “lama dan
tradisional” yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan;
Kedua, kita semua dalam kapasitas masing-masing (sebagai hakim,
jaksa, birokrat, advokat, pendidik, dan lain-lain) didorong untuk
selalu bertanya kepada nurani ten tang makna hukum lebih dalam.
Apa makna peraturan, prosedur, asas, doktrin, dan lainnya itu?
Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika
saja, tetapi dengan perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan
(compassion) kepada bangsa kita yang sedang menderita.
Perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan dalam proses
penegakan hukum dan keadilan terutama harus dimiliki oleh
seorang hakim, karena jabatan hakim menurut John P. Dawson
adalah jabatan terhormat, sehingga hakim merupakan anggota
masyarakat setempat yang terkemuka dan terhormat. Melekat pada
predikatnya sebagai insan yang terhormat, suatu keniscayaan bagi
seorang hakim untuk memayungi dirinya dengan “etika spiritual
dan moral” dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil 'I’uhan di
dunia dalam memberikan keadilan. Etika spiritual dan moral ini
tercitrakan pada jiwa, semangat, dan nilai ‘mission saere’

104
kemanusiaan. Suatu keterpanggilan dan pertanggungjawaban suci
dari umat manusia dalam mengaktualisasikan ‘sense o f vision dan
sense o f mission kekhilafahan ilahiyah manusia, ’ yang
terindikasikan dalam kehidupan masyarakat yang demokratis
(democratization), mampu menegakkan keadilan dan hukum (law
enforcement), memiliki kebanggaan diri baik secara individual
maupun kolektif (human dignity), toleran, sehingga dapat
menerima dan memberi di dalam perbedaan budaya
(multicultural), serta mendasarkan diri pada kehidupan beragama.
Bertolak dari paparan di muka, maka sulit untuk dibantah
ketika hakim tidak lagi menggunakan etika spiritual dan moral
sebagai sandaran vertikal sekaligus horizontal dalam pelaksanaan
tugasnya, buktinya adalah krisis telah melanda lembaga
pengadilan. Akibat dari krisis yang cukup serius yang dialami
lembaga pengadilan, konsekuensi ikutan yang tidak kalah
seriusnya adalah surutnya kepercayaan dan hilangnya kewibawaan
pengadilan di mata masyarakat. Bahkan hasil pengumpulan
informasi dari para informan penelitian diketahui bahwa para
pengusaha, terutama pengusaha asing telah sedemikian merasa
khawatir dan menganggap pengadilan di Indonesia sangat
diragukan independensinya dalam memeriksa dan memutus suatu
kasus. Mereka beranggapan peran pengadilan di Indonesia “tidak
lagi sebagai tempat mencari keadilan, melainkan sebagai tempat
untuk mencari kemenangan dengan segala cara, dan sebagai tempat
jual beli putusan.”
Keadaan semacam itu disikapi berbeda oleh para pengusaha
nasional. Hasil interview dengan para informan diketahui bahwa
para pengusaha nasional justru berpikir sebaliknya. Di mata
pengusaha nasional beracara di depan pengadilan negeri justru
dapat mencari dan menciptakan peluang-peluang untuk
memenangkan perkara. Memanfaatkan kondisi seperti itu mereka
justru menggunakan kelemahan moralitas petugas, termasuk para
hakim yang mengangani sengketa mereka, untuk “bermain ” agar
hakim yang memeriksa sengketa tersebut memenangkan sengketa
yang sedang diperiksa.
Berkaitan dengan sikap pengusaha asing sebagaimana telah
diutarakan di muka, para informan juga menjelaskan, sebenarnya
sebelum pengusaha asing itu menjalin hubungan bisnis dengan
mitranya di Indonesia, pada dasarnya mereka telah memiliki meski

105
sedikit pengetahuan tentang kondisi hukum dan pengadilan di
Indonesia. Berbekal pengetahuan mengenai hukum dan lembaga
pengadilan di Indonesia yang sedikit itulah “deal” bisnis terjadi
antar pengusaha asing dan pengusaha nasional. Ketika kontrak
bisnis disepakati, giliran menyepakati klausula penyelesaian
sengketa seringkah pengusaha asing yang justru memulai
mendesakkan keinginan kepada mitranya dari Indonesia agar tidak
memilih pengadilan negeri sebagai forum tempat penyelesaian
sengketa bisnis mereka seandainya terjadi di kemudian hari.
Namun demikian, umumnya mereka tidak mengemukakan alasan
yang jelas perihal keinginannya tersebut, sehingga diduga mereka
sesungguhnya tidak mengetahui secara pasti apa yang harus
dijadikan alasan. Tampaknya hal itu terjadi semata-mata karena
pemahaman yang bersifat umum saja terhadap kondisi hukum dan
peradilan di Indonesia, kemudian para pengusaha asing itu kurang
setuju dan selalu merasa khawatir jika persoalan hukumnya yang
timbul dari kontrak bersangkutan akan diputus oleh hakim di
Indonesia. Dalam kondisi yang demikian, kemudian mereka lebih
menyukai untuk memilih mekanisme penyelesaian sengketa bisnis
melalui arbitrase di luar negeri daripada harus beracara melalui
pengadilan di Indonesia.
Lain lagi yang dikemukakan seorang lawyer pengusaha asing
sebagai informan. Menurutnya, setelah transaksi bisnis antar pihak-
pihak pengusaha nasional dan asing terjadi, dirinya sebagai lawyer
mempunyai kewajiban untuk menyampaikan segala sesuatu secara
rind dan benar, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan
mekanisme penyelesaian sengketa melalui pengadilan di Indonesia.
Terutama bagi pihak asing, yang bersangkutan harus memahami
betul seluk beluk berperkara di pengadilan. Oleh karena proses di
pengadilan rangkaiannya panjang serta berjenjang. Selesai pada
tingkat pengadilan negeri, masih dimungkinkan upaya hukum
banding, kasasi, dan/atau kalau mungkin peninjauan kembali ke
Mahkamah Agung. Rangkaian proses tersebut memerlukan waktu
yang sangat lama, sehingga dapat dipastikan untuk memperoleh
keadilan melalui lembaga pengadilan juga memerlukan waktu yang
sangat lama. Apalagi jika pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa
terus menerus menggunakan haknya untuk melakukan upaya
hukum yang tersedia. Selain memerlukan waktu yang lama, proses
pemeriksaan perkara serta putusan pengadilan dilakukan dalam

106
sidang yang terbuka untuk umum, sehingga seluruh rangkaian
pemeriksaan perkara dapat dihadiri oleh masyarakat luas.
Setelah kondisi objektif berperkara pada lembaga peradilan
disampaikan untuk dipahami, biasanya pihak asing kemudian
menyampaikan alasan bahwa dia tidak mungkin membuang waktu
berlama-lama hanya untuk urusan penyelesaian pertikaian. Tujuan
utama yang bersangkutan adalah berbisnis serta mencari untung,
sama sekali tidak untuk bersengketa. Seandainyapun sengketa itu
terpaksa terjadi di tengah perjalanan bisnis dia, tentu saja tidak
boleh menjadi penghambat aktivitas bisnis, karena siapapun yang
berbisnis termasuk dirinya sama sekali tidak menghendaki
terjadinya kerugian.
Berdasarkan informasi di muka, dapat dimengerti apabila
kalangan dunia usaha selalu menuntut segala sesuatu urusan
diselesaikan dengan serba cepat, dan mereka senantiasa berupaya
mencari penyelesaian sengketa yang tidak menyebabkan
terganggunya aktivitas bisnis bersangkutan. Sebagaimana diketahui
forum ajudikasi di luar pengadilan yang prosedur beracaranya lebih
sederhana adalah arbitrase (arbitration). Maka tidak heran apabila
arbitrase kemudian menjadi salah satu pilihan para pelaku bisnis
untuk menyelesaikan dan memutusi sengketa yang terjadi di antara
mereka.
Namun demikian, prosedur arbitrase yang sederhana bukan
satu-satunya alasan pihak-pihak dalam memilih arbitrase. Masih
ada unsur lain yang juga menjadi bahan pertimbangan mereka
dalam melakukan pilihan. Di antara pertimbangan tersebut dapat
disebutkan umpamanya: Dalam menangani sengketa-sengketa
perdata pada umumnya, termasuk sengketa komersial, selama ini
banyak pihak merasakan betapa lembaga pengadilan dianggap
terlalu sarat dengan prosedur, formalisms, kaku, dan lamban dalam
memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor
tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang
amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi
hukum. Sedangkan seyogianya hakim mampu menjadi living
interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam
masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-
prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan,
karena hakim bukan lagi sekedar la bouche de la loi (corong
undang-undang).

107
Faktor yang lebih bersifat internal kelembagaan pengadilan
negeri itu. secara teoretis juga tidak dapat dilepaskan dari apa yang
dikonsepkan oleh Nonet dan Selznick mengenai tiga tipe hukum.
Seperti diketahui, dalam Tabel mengenai tipe hukum yang represif
(represive law), hukum ditempatkan di dalam matriks politik dan
pemerintahan (law subsordinated to power politics). Ilukum
represif memang bertujuan untuk mempertahan-kan status-quo
penguasa, yang kerapkali dikemukakan dengan dalih untuk
menjamin ketertiban. Aturan-aturan hukum represif keras dan
terperinci akan tetapi lunak dalam mengikat para pembuat
peraturan sendiri. Hukum tunduk pada politik kekuasaan, tuntutan
untuk patuh bersifat mutlak, dan ketidakpatuhan dianggap sebagai
penyimpangan sedangkan kritik terhadap penguasa dianggap
sebagai suatu ketidaksetiaan.
Pada tipe hukum yang menindas atau represif tampak sekali
integrasi yang kuat antara hukum dan politik, dalam bentuk
dibawahkannya lembaga-lembaga hukum secara langsung kepada
golongan elit pemerintahan. Oleh karena itu, dalam konstelasi
sedemikian, akan sangat sulit diharapkan hakim berani untuk
mengambil keputusan yang berbeda dari ketentuan yang
dicantumkan dalam produk hukum dan perundang-undangan pada
saat menghadapi kasus-kasus konkret di pengadilan. Hal itu
disebabkan hakim pada dasarnya adalah bagian dari aparatur
pemerintahan. Fungsi serta peran yang dijalankan kekuasaan
kehakiman diorientasikan pada upaya untuk mendukung dan
mensukseskan program-program yang ditetapkan pemerintah atau
eksekutif.
Realita lembaga pengadilan sebagaimana digambarkan di
muka semakin memperkuat alasan serta kecenderungan pihak-
pihak yang bersengketa untuk melakukan pilihan forum di luar
pengadilan. Telah semakin nyata pula kalau harapan untuk
mendapatkan keadilan sangat sulit diperoleh melalui pengadilan.
Oleh karena hakim juga tidak memiliki cukup keberanian untuk
mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif
undang-undang, sehingga keadilan subs-tansial selalu saja sulit
diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, sebab hakim dan
lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal.
Sementara itu, forum lain di luar pengadilan masih mungkin untuk
diharapkan mampu menegakkan keadilan substansial, ketimbang

108
sekedar putusan formal yang secara nyata tidak mampu memenuhi
tuntutan rasa keadilan bagi kedua belah pihak.
C. Kewenangan Eksekutorial Forum Arbitrase untuk Putusan
Final dan Mengikat serta Dilema Perolehan Keadilan
Kewenangan eksekutorial pada dasarnya merupakan suatu
kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan negeri untuk
melaksanakan atau mengeksekusi suatu putusan hakim. Oleh
karena itu, putusan hakim mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu
kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan
itu secara paksa oleh alat-alat negara. Dalam bidang hukum perdata
eksekusi suatu putusan adalah tindakan hukum yang dilakukan
oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara.
Eksekusi merupakan tindakan lanjutan dari keseluruhan proses
pemeriksaan perkara dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari rangkaian proses beracara pada suatu pengadilan. Hakikat dari
eksekusi putusan hakim adalah realisasi dari kewajiban pihak yang
bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum di dalam
putusan tersebut. Atau dengan kata lain, eksekusi adalah
pelaksanaan isi putusan pengadilan yang dilakukan secara paksa
dengan bantuan dari pengadilan, apabila pihak yang kalah tidak
mau melaksanakannya secara suka rela.
'fidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan atau
dieksekusi dalam arti kata yang sebenarnya, yaitu secara paksa oleh
pengadilan. Pada asasnya hanya putusan hakim yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang pasti (kracht van gewijsde)
yang dapat dieksekusi. Di samping telah memperoleh kekuatan
hukum yang pasti, putusan yang perlu dieksekusi hanya putusan-
putusan yang bersifat condcmnatoir, yaitu putusan hakim yang
bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi
prestasi. Adapun prestasi yang wajib dipenuhi dalam rangka
pelaksanaan putusan condemnatoir dapat terdiri atas memberi,
berbuat, dan tidak berbuat. Pada umumnya juga putusan
condcmnatoir itu berisi hukuman terhadap pihak yang dikalahkan
untuk membayar sejumlah uang. Sedangkan putusan hakim jenis
lainnya yaitu yang bersifat constitutif dsn yang bersifat dcclaratoir
pada umumnya tidak dapat dilaksanakan dalam arti kata seperti
tersebut di muka, karena tidak menetapkan hak atas suatu prestasi
tertentu.

109
Seiring dengan uraian mengenai kewenangan eksekutorial dari
pengadilan negeri di muka, kajian yang hendak dilakukan berikut
ini adalah seberapa mungkin forum arbitrase dapat memiliki
kewenangan eksekutorial terhadap putusan yang dibuatnya sendiri
sebagai suatu putusan yang final dan mengikat. Persoalannya,
akibat dari forum arbitrase tidak memiliki kewenangan
eksekutoral, perolehan keadilan selalu menjadi dilema yang
dihadapi pihak-pihak yang bersengketa.
Berkaitan dengan pembahasan tentang kewenangan
eksekutorial forum arbitrase, hasil pengumpulan informasi dari
para informan walau dengan latar belakang mereka berlainan,
namun ternyata sudut pandang para informan mengenai hal itu
diketahui senada. Menurut mereka, pada dasarnya lembaga
arbitrase tidak mungkin memiliki kewenangan untuk mengeksekusi
sendiri putusannya, karena forum arbitrase adalah lembaga
peradilan swasta, sehingga sejak awal arbitrase tidak pernah
dilengkapi dengan petugas yang bernama jurusita seperti halnya
pengadilan negeri. Di samping itu, secara normatif ketentuan
perundang-undangan juga secara eksplisit telah menetapkan
bahwa: “Semua peradilan di wilayah Republik Indonesia adalah
peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang.” Jadi
meskipun arbitrase pada dewasa ini telah diatur dalam sebuah
undang-undang tersendiri, akan tetapi undang-undang tersebut
sama sekali tidak menetapkan lembaga arbitrase sebagai bentuk
peradilan negara. Arbitrase hanyalah sebuah cara yang dipilih oleh
para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu. Bahkan sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase itupun telah secara limitatif disebutkan yaitu
hanya sengketa perdata. Oleh karena itu, tidak semua sengketa
dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa
mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para
pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.
Fakta di muka meneguhkan pemahaman bahwa lembaga
peradilan yang ditetapkan sebagai badan peradilan negara juga
telah secara eksplisit ditegaskan dalam undang-undang. Atas dasar
hal tersebut, maka sudah jelas kiranya bahwa arbitrase hanya
merupakan peradilan swasta yang akan menerapkan rata cara
hukum negara yang berlaku atau menerapkan tata cara hukum
perdamaian yang telah disepakati bersama oleh para pihak untuk

110
sampai pada putusan yang final dan mempunyai kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak. Kctidaksejajaran arbitrase dengan
pengadilan negeri lebih ditegaskan lagi oleh norma berikut ini yang
substansinya antara lain mempersyaratkan dengan akibat putusan
arbitrase tidak dapat dilaksanakan, bahwa setiap putusan arbitrase
nasional untuk dapat dieksekusi: “Dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar
asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan
Negeri.”
Mencermati norma tersebut memberikan kesan demikian
kuatnya kepentingan lembaga peradilan negara untuk melakukan
pengawasan terhadap putusan arbitrase, bahkan terhadap putusan
arbitrase nasional yang hendak dieksekusi. Apalagi ketentuan
tentang penyerahan dan pendaftaran lembar asli atau salinan
otentik putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri itu
diikuti dengan ancaman sanksi, apabila tidak dipenuhi, berakibat
putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Hal itu menunjukkan
betapa forum arbitrase sangat tidak mungkin memiliki kewenang-
an eksekutorial sekalipun terhadap “putusan arbitrase yang
bersifat final dan mempunyai kekuatan tetap dan mengikatpara
pihak."
Terhadap masalah ini, para hakim yang dipilih sebagai
informan umumnya berpendapat bahwa masalah penyerahan dan
pendaftaran putusan arbitrase sebelum dilaksanakan itu semata-
mata merupakan bentuk pengintegrasian antara putusan lembaga
peradilan swasta terhadap alur kompetensi badan peradilan negara.
Bukti tersebut dikuatkan dengan “tidak diperiksanya alasan atau
pertimbangan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri agar
putusan arbitrase tersebut benar-benar mandiri, final, dan
mengikat.” Pengintegrasian putusan arbitrase terhadap alur
kompetensi badan peradilan negara melalui prosedur yang telah
ditetapkan dimaksudkan agar output putusan meski berasa! dari
forum pemutus manapun, selama putusan tersebut dimintakan
untuk dieksekusi di wilayah hukum Indonesia, akan memiliki titel
eksekutorial karena telah melewati kewenangan publik yang satu
yakni pengadilan negeri sebagai badan peradilan negara. Namun
demikian, terhadap ketentuan sanksi manakala penyerahan dan
pendaftaran putusan arbitrase itu tidak dilakukan, sehingga

111
berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan, para hakim
sebagai informan tidak memberikan tanggapan. Tanggapan justru
diberikan oleh kalangan advokat, melalui komentar dengan
ekspresi sangat menyesalkan. Mereka berpendapat, sesungguhnya
aturan semacam itu dikhawatirkan akan kembali menjadi hambatan
terhadap upaya pihak-pihak yang bersengketa untuk memperoleh
keadilan. Oleh karena pada waktu yang lalu, kaidah semacam itu
telah terbukti menjadi kaidah yang sangat kontroversial. Ketika itu
persoalan eksekuatur menjadi salah satu alat bagi pengadilan untuk
menolak sejumlah putusan arbitrase asing (foreign arbitral
awards) yang dimohonkan untuk dieksekusi di Indonesia. Akan
tetapi, setelah Undang-undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999
berlaku, masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional, masih dibebani syarat-syarat seperti pada waktu yang
lalu. Walhasil keadaan serta perlakuan terhadap putusan arbitrase
yang dijatuhkan di luar Indonesia sama sekali tidak mengalami
perubahan yang berarti dibandingkan dengan sebelum Undang-
undang Arbitrase diundangkan. Artinya, untuk dapat diakui dan
dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia, putusan arbitrase
internasional masih harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999.
Di antara syarat-syarat tersebut adalah: “Putusan arbitrase
internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbataspada
putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Putusan
arbitrase internasional dapat dilaksanakan setelah memperoleh
eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” Pada
dasarnya, baik putusan arbitrase nasional maupun putusan arbitrase
internasional telah diakui sebagai “putusan yang bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak” (Pasal
66 UU Nomor 30/1999). Akan tetapi sejumlah syarat yang harus
dipenuhi oleh putusan arbitrase internasional untuk dapat diakui
serta dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia,
mencitrakan putusan arbitrase tersubordinasi pada kewenangan
pengadilan negeri. Kondisi semacam itulah yang sangat dirasakan
tidak adil oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam putusan
tersebut. Tidak dimilikinya kewenangan eksekutorial oleh forum
arbitrase di Indonesia untuk dapat mengeksekusi putusannya
sendiri sangat menjadi dilema dalam memperoleh keadilan. Oleh
karena bagi para pencari keadilan selalu saja dihadapkan pada
situasi yang sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan

112
antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan
atau tidak menguntungkan. Memilih berperkara pada pengadilan
negeri kondisinya sangat sulit diharapkan untuk mendapatkan
keadilan secara maksimal. Sementara memilih berperkara pada
forum arbitrase juga putusannya masih disubordinasikan terhadap
kewenangan pengadilan negeri, terutama apabila para pihak tidak
melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara sukarela.
Persyaratan serupa ditetapkan pula untuk putusan arbitrase
nasional yang dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan
Negeri. Sebelum memberikan perintah pelaksanaan, Ketua
Pengadilan Negeri memeriksa terlebih dahulu apakah putusan
arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam
melakukan pemeriksaan atas putusan arbitrase yang dimohonkan
oleh salah satu pihak yang bersengketa tersebut Ketua Pengadilan
Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan
arbitrase. Adapun yang menjadi alasan tidak diperiksanya
pertimbangan putusan arbitrase dimaksud adalah agar putusan
arbitrase benar-benar mandiri, final, dan mengikat. Sedangkan
untuk putusan arbitrase internasional permohonan pelaksanaan
putusan dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan
didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam hal putusan arbitrase internasional itu menyangkut Negara
Republik Indonesia sebagai salah satu pihak, maka putusan
tersebut hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur
dari Mahkamah Agung yang selanjutnya dilimpahkan kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Rangkaian keterlibatan
kompetensi pengadilan negeri dalam proses pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase, baik putusan arbitrase nasional
maupun internasional, sesungguhnya menunjukkan betapa badan
peradilan negara masih menunjukkan kekuasaan yang cukup
dominan dalam melakukan seleksi terhadap tuntutan pelaksanaan
hak yang diperoleh melalui putusan arbitrase. Apabila putusan
arbitrase terus menerus disubordinasikan terhadap kompetensi
pengadilan negeri, pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah
putusan arbitrase itu memiliki status “mandiri, final, dan
mengikat?”
Khusus mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional,
terkait sangat erat dengan prinsip timbal balik atau resiprositas

113
(reciprocity principle)? Prinsip tersebut merupakan hal yang wajib
dijunjung tinggi oleh setiap negara dalam hukum perdata
internasional. Berkaitan dengan prinsip resiprositas atau timbal
balik ini, Pemerintah Republik Indonesia sesungguhnya telah
menerima dan menggunakan ketika mengesahkan Konvensi New
York 1958. Konvensi yang selengkapnya bertajuk “Convention on
the Recognition and Enforcement o f Foreign Arbitral Awards,
ditandatangani di New York tanggal 10 Juni 1958 dan mulai
berlaku pada tanggal 7 Juni 1959. Tatkala Pemerintah Indonesia
mensahkan Konvensi New York dengan instrumen ratifikasi
berupa Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1981, Indonesia
mengajukan dua pensyaratan (reservation) terhadap isi ketentuan
Konvensi New York Article I (3). Dua pensyaratan dimaksud
adalah: (i) pensyaratan timbal balik (reciprocity reservation) dan
(ii) pensyaratan komersial (commercial-reservation).
Sebagai konsekuensi diajukannya pensyaratan yang pertama
yaitu reciprocity reservation, bahwa negara yang bersangkutan
baru akan menerapkan ketentuan Konvensi apabila keputusan
arbitrase tersebut dibuat di negara yang juga adalah anggota
Konvensi New York. Apabila keputusan tersebut ternyata dibuat di
negara yang bukan anggota, maka negara tersebut tidak akan
menerapkan ketentuan Konvensi. Oleh karena itu, ketika Undang-
undang Nomor 30 Tahun 1999 masih menetapkan berbagai
ketentuan dan persyaratan dalam rangka pelaksanaan (eksekusi)
putusan arbitrase internasional, maka tidak mustahil Indonesia
akan dianggap melakukan “International Wrong” serta menyalahi
asas “Pacta Sunt Servanda” karena dianggap tidak mematuhi
janjinya sendiri terhadap negara-negara lain sebagai sesama
penandatangan Konvensi New York 1958.
D. Perspekuf Historis dan Futuristik Arbitrase sebagai Model
Penyelesaian Sengketa Berkeadilan
Arbitrase sebagai suatu cara penyelesaian sengketa memiliki
perkembangan historis yang cukup panjang. Berdasarkan catatan
sejarah hukum, arbitrase telah diterapkan dalam bidang perjanjian
sejak zaman purbakala. Para penulis mengkonstatir bahwa
perjanjian Lagash-Umma ribuan tahun sebelum Masehi misalnya,
telah mengandung suatu klausula arbitrase. Ketika itu arbitrase
telah dipakai dalam makna yang serupa dengan penggunaan
arbitrase dewasa ini, yaitu dipakai untuk menyelesaikan pertikaian

114
akibat terjadinya pelanggaran perjanjian. Tidak berlebihan kiranya
seandainya para penulis mensinyalir bahwa arbitrase dapat menjadi
salah satu lembaga yang paling dihormati dalam kehidupan umat
manusia.
Louis B. Sohn, membuat paparan perkembangan arbitrase dan
membagi dalam dua periode zaman, yakni arbitrase zaman Yunani
kuno serta abad pertengahan di satu pihak dan arbitrase modern di
pihak lain. Fakta sejarah juga mencatat jika arbitrase telah
dipraktikkan pada zaman Yunani kuno sebagai cara untuk mencari
keadilan. Akan tetapi tentu saja arbitrase ketika itu masih dalam
bentuk yang sangat sederhana. Pada periode tersebut arbitrase telah
digunakan untuk menghindari terjadinya perang di antara negara-
negara kota, berdasarkan kesepakatan pihak-pihak, sengketa yang
timbul diselesaikan melalui arbitrase. Praktik penyelesaian
sengketa melalui arbitrase berlangsung pula pada zaman kejayaan
Romawi. Bahkan cara-cara demikian kemudian berkembang dan
menyebar ke negara-negara lainnya di Fropa. Dalam bentuk yang
masih sederhana, arbitrase pada umumnya mempunyai ciri-ciri
antara lain sebagai berikut: Pertama, pihak-pihak hanya akan
membawa sengketa untuk diselesaikan melalui arbitrase setelah
sengketa tersebut terjadi. Sedangkan sebelum sengketa terjadi para
pihak tidak melakukan kesepakatan apapun untuk menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase; Kedua, Arbitrator atau arbiter yang
dipilih adalah orang-orang yang benar-benar dipercaya oleh para
pihak. Biasanya kriteria yang dipakai untuk menerapkan pilihan
didasarkan pada hubungan atau ikatan tertentu, misalnya sebagai
sahabat atau karena hubungan dekat lainnya; Ketiga, arbitrase
digunakan untuk menyelesaikan sengketa di antara kerabat,
tetangga, atau mereka yang hidupnya bersama-sama dan yang
berkepentingan agar hubungan mereka terjaga baik.
Perkembangan konsep arbitrase sebagai cara penyelesaian
sengketa dalam skala yang lebih luas serta dalam lingkup
internasional dengan bentuk yang modern sebagaimana dikenal
dewasa ini, diakui sejak ditandatangani Jay Treaty pada tahun 1794
antara Inggris dan Amerika Serikat. Kesepakatan yang dicapai oleh
kedua negara dalam perjanjian tersebut adalah mengenai
penyelesaian sengketa perbatasan antara kedua wilayah negara
melalui arbitrase. Sejak periode itu arbitrase telah diupayakan
untuk diorganisasikan secara teratur. Sedangkan pada kurun waktu

115
sebelumnya arbitrase memang masih dalam keadaan belum teratur.
Selanjutnya dorongan baru ke arah diterimanya secara bertahap
sejumlah ketentuan dalam praktik arbitrase modern antara lain
dijumpai dalam Alabama Claims Arbitration tahun 1872. Sengketa
itupun berlangsung antara Amerika Serikat dan Inggris. Dalam
kasus tersebut pihak Amerika Serikat menuduh bahwa Pemerintah
Inggris telah bersalah melakukan berbagai pelanggaran kewajiban
untuk bersikap netral terhadap Pemerintah Konfederasi Amerika
Serikat selama Perang Sipil di Amerika. Pada mulanya Inggris
menolak untuk menyelesaikan kasus tersebut menggunakan
arbitrase, akan tetapi melalui Perjanjian Washington tahun 1871,
akhirnya Inggris setuju untuk menyelesaikan sengketa itu pada
Komisi Tinggi Arbitrase dengan lima orang arbitrator. Kemudian
pada tahun 1899/1907 dengan The Hague Convention for the
Pacific Settlement o f International Disputes, Permanent Court o f
Arbitration didirikan. Pada perkembangan berikutnya, arbitrase
lantas menjadi salah satu cara penyelesaian pertikaian secara damai
yang diatur dalam Pasal 33 Piagam PBB.
Mengamati perkembangan serta penggunaan arbitrase dari
masa ke masa di muka, ternyata eksistensi arbitrase sebagai salah
satu bentuk ajudikasi yang menggunakan metode pertentangan
(iadversarial) telah lama digunakan pihak-pihak untuk beragam
kepentingan penyelesaian sengketa. Artinya arbitrase terbukti
memiliki fleksibilitas serta telah diyakini oleh pihak-pihak yang
menggunakannya, baik dalam proses pemeriksaan sengketa
maupun dalam cara memutus sengketa yang ditangani. Oleh karena
itu, tidak heran apabila Setiawan menyebutkan bahwa arbitrase
sangat populer di bidang perdagangan internasional. Dalam
menghadapi sengketa yang melibatkan unsur-unsur antar negara,
para pedagang umumnya cenderung menyerahkan penyelesaian
sengketa kepada badan arbitrase bisnis internasional. Menyerahkan
penyelesaian sengketa dagang internasional kepada arbitrase, para
usahawan terhindar dari kesulitan-kesulitan yang pada umumnya
disebabkan oleh keawaman mereka terhadap sistem hukum dan
sistem peradilan suatu negara tertentu.
Seiring pula dengan hadirnya fenomena baru dalam hubungan
bisnis antar masyarakat bangsa-bangsa dalam bentuk semakin
ramainya aktivitas perdagangan internasional. Aktivitas
masyarakat dunia dalam bidang perdagangan internasional dewasa

116
ini teridentifikasi dalam dua pola hubungan. Pertama, pola
hubungan perdagangan antara masyarakat negara berkembang
dengan masyarakat negara-negara industri; dan Kedua, pola
hubungan perdagangan diantara masyarakat negara-negara
berkembang satu sama lain. Bahkan melengkapi perkembangan
pola hubungan perdagangan dan hubungan ekonomi antar negara
tersebut di muka, pada dewasa ini pula telah terjadi
pengelompokan negara-negara pada setiap kawasan regional.
Negara-negara tergabung dalam blok-blok perdagangan, kawasan
perdagangan bebas atau pasar tunggal. Umpamanya saja: North
American Free Trade Agreement (NAFTA), Single European
Community (SEC), ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan lain-
lain. Perkembangan tersebut juga menyebabkan semakin
terbukanya ekonomi bangsa-bangsa dalam hubungan yang saling
tergantung (interdependensi), bahkan menjurus kepada integrasi
ekonomi dunia. Realitas masyarakat dunia yang cenderung menjadi
satu dan terbuka, terutama dalam bidang perdagangan serta
aktivitas bisnis pada umumnya merupakan bagian dari fenomena
globalisasi yang sedang dialami umat manusia sejak beberapa
dekade terakhir ini serta tidak mungkin dibendung.
Benturan kepentingan akibat interaksi manusia yang
intensitasnya semakin padat tak ayal lagi sulit dihindari. Keadaan
semacam itupun berlangsung dalam lingkungan komunitas pelaku
bisnis, sehingga berbagai jenis sengketa dalam bidang
komcrsialpun terjadi serta merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari aktivitas bisnis manusia di abad ini. Dalam kondisi
serta keberadaan sengketa antar manusia yang semakin, bervariasi
seperti sekarang ini, pengadilan tidak lagi dapat diandalkan sebagai
satu-satunya sarana penyelesaian sengketa. Sedangkan masyarakat
awam masih beranggapan bahwa pengadilan merupakan satu-
satunya tempat untuk menyelesaikan sengketa. Bahkan sebagian
besar masyarakat masih sangat percaya terhadap pengadilan
sebagai satu-satunya tempat untuk mencari dan mendapatkan
keadilan. Oleh sebab itu, mungkin juga tidak terlalu banyak
anggota masyarakat yang memahami kalau di luar pengadilan
masih terdapat cara-cara lain yang dapat dipilih dan dijadikan
sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa. Akan tetapi sungguh
sangat disesalkan, pemahaman serta kepercayaan masyarakat
terhadap pengadilan tidak sebanding dengan fakta yang disajikan
oleh pengadilan kepada masyarakat. Terdapat dugaan bahwa

117
pengadilan pada dewasa ini telah menyimpang dari tugas utamanya
dalam memberikan keadilan kepada setiap pencarinya. Pengadilan
dianggap bukan lagi semata-mata sebagai tempat mencari keadilan,
tetapi juga tempat mencari kemenangan. Keadaan demikian telah
menyebabkan pengadilan memperoleh stigma dari masyarakat
sebagai lembaga yang mengalami krisis teramat parah.
Sehubungan dengan hal itu Adi Sulistiyono menyebutkan beberapa
penyebab terjadinya krisis dalam sistem peradilan Indonesia.
Penyebab tersebut di antaranya: (i) adanya tekanan dari pihak luar
terhadap pengadilan dalam memutus perkara; (ii) rendahnya
pengetahuan hakim dalam merespon perkembangan hukum; (iii)
vonis hakim yang tidak bisa dipredisksi dan tidak mencerminkan
keadilan masyarakat; (iv) jual beli vonis hakim; (v) korupsi dan
kolusi di lingkungan pengadilan; (vi) lamanya pihak-pihak yang
bersengketa mendapatkan putusan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Sampai sekarang krisis yang dialami lembaga pengadilan
tersebut belum bisa teratasi, bahkan banyak pakar yang kesulitan
untuk memberikan solusi karena parahnya krisis yang dialami.
Tambahan pula disinyalir sementara kalangan, krisis yang
menimpa lembaga pengadilan disebabkan rendahnya moralitas
hakim sehingga kolusi dan korupsi berlangsung marak di kalangan
hakim. Akibatnya kualitas putusan hakim tidak lagi ditentukan
oleh fakta-fakta dan bukti-bukti materiil melainkan oleh besar
kecilnya jumlah uang yang dinegosiasikan tatkala putusan hendak
dijatuhkan. Keadaan tersebut tentu saja sangat membingungkan
dan mencemaskan pihak-pihak pencari keadilan.
Menyiasati kondisi lembaga pengadilan semacam itu dalam
konstelasi masyarakat global dewasa ini, sebenarnya banyak
pilihan-pilihan yang dapat ditempuh oleh masyarakat untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Arbitrase misalnya,
merupakan forum yang layak dipilih untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa bisnis, karena diyakini merupakan cara yang
cepat sekaligus kredibel yang menjamin kerahasiaan pihak-pihak
yang bersengketa. Sayangnya, jalur arbitrase kerap dinodai oleh
pihak-pihak yang beriktikad buruk, terutama oleh pihak yang
dikalahkan. Mereka yang dikalahkan kerap meminta pengadilan
untuk campur tangan, terutama saat eksekusi. Padahal, arbitrase
idealnya harus dibebaskan dari anasir pengadilan. Masalahnya,

118
seringkali pengadilan malah menganggap arbitrase sebagai saingan
yang mengambil lahan ketimbang sebagai mitra. Akibat persepsi
yang keliru dari pengadilan terhadap arbitrase semacam itu,
pengadilan tidak jarang sampai membatalkan putusan arbitrase.
Memang benar, secara normatif, pengadilan memiliki kewenangan
untuk membatalkan putusan arbitrase. Namun, alasan pembatalan
yang ditentukan undang-undang dibatasi secara limitatif serta
prosedur tertentu yang harus dipenuhi oleh pengadilan.
Memberikan komentar terhadap persoalan pembatalan putusan
arbitrase oleh pengadilan, Priyatna Abdurrasyid menyatakan “salah
satu penyebab mudahnya pengadilan membatalkan putusan
arbitrase karena ketidak-mengertian hakim terhadap arbirase itu
sendiri.” Padahal sesungguhnya lembaga arbitrase memiliki peran
yang strategis untuk mengurangi tumpukan perkara di pengadilan.
Seharusnya, para hakim berusaha untuk memberi nasehat kepada
para pencari keadilan agar mereka memilih cara-cara lain untuk
menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, sehingga perkara tidak
menumpuk di pengadilan. Meskipun hakim dalam memeriksa
perkara perdata bersikap pasif, namun sesungguhnya hakim secara
normatif dibebani oleh undang-undang untuk membantu para
pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat,
dan beaya ringan. Bahkan para pihak yang bersengketa memiliki
kebebasan untuk mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukan
ke pengadilan, baik berupa perdamaian atau pencabutan gugatan.
Di samping itu, penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui arbitrase juga diperbolehkan.
Memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimanapun
sama, hukumnya sama, dan tidak mengenal perbatasan negara.
Status para pihak sama, para pihak berhak memilih arbiter, dapat
memilih hukum yang akan digunakan, maupun prosedur
beracaranya. Sebagai konsekuensi dari pilihan-pilihan tersebut,
apabila para pihak telah sepakat untuk memilih cara penyelesaian
melalui arbitrase, maka kesepakatan tersebut harus dipenuhi. Oleh
karena itu, meminta pembatalan putusan arbitrase kepada
pengadilan negeri mengandung arti salah satu pihak melanggar
janji. Pihak yang melanggar janji tentu saja diragukan itikad
baiknya. Sedangkan prinsip bersengketa di hadapan arbitrase
sifatnya itikad baik (good faith), non-konfrontatif dan kooperatif,

119
sehingga setelah perkara diputus maka kerjasama atau bisnis yang
telah ada di antara para pihak dapat dilanjutkan kembali.
Menerima permohonan pembatalan putusan arbitrase dari
salah satu pihak merupakan kewenangan pengadilan. Namun
demikian Undang-undang Arbitrase sama sekali tidak mengatur
kewenangan pengadilan untuk membongkar perkara yang telah
diputus oleh arbitrase. Oleh sebab itu, kasus pembongkaran
putusan arbitrase yang dimintakan pembatalan oleh pihak yang
kalah ke pengadilan lebih disebabkan hukum arbitrase kurang
dikenal, baik oleh hakim maupun oleh masyarakat. Bahkan di
Mahkamah Agungpun, hanya beberapa hakim agung saja yang
menguasai arbitrase. Berkenaan dengan hal tersebut, Priyatna
Abdurrasyid menyebutkan 99.9% hakim tidak mengerti mengenai
arbitrase, karena itu semestinya para hakim di-upgrade agar
mereka memahami arbitrase, sehingga tidak menganggap arbitrase
sebagai saingan atau mengambil lahan pengadilan. Berdasarkan
uraian tersebut serta merujuk pada Pasal 5 Undang-undang Nomor
35 Tahun 1999, idealnya, upaya untuk menggunakan arbitrase
sebagai salah satu cara menyelesaikan sengketa di luar pengadilan
juga seharusnya dinasihatkan oleh hakim kepada para pencari
keadilan, sehingga perkara tidak menumpuk di pengadilan. Akan
tetapi sungguh sangat disesalkan, jangankan menasihati pihak-
pihak untuk memilih arbitrase, sedangkan terhadap sengketa
gugatan dari perjanjian yang mencantumkan klausula arbitrase saja
hakim pengadilan seringkah tidak memperhatikan adanya klausula
arbitrase dalam perjanjian. Akibatnya, ketika gugatan diajukan ke
pengadilan, hakim pengadilan merasa berwenang untuk memeriksa
perkara tersebut. Padahal kalau suatu perkara diajukan kepada
hakim yang secara absolut tidak wenang memeriksa perkara
tersebut, maka hakim harus menyatakan dirinya tidak wenang
secara ex officio untuk memeriksanya, dan tidak tergantung pada
ada atau tidaknya eksepsi dari tergugat tentang ketidakwenangan
itu. Setiap saat selama persidangan berlangsung dapat diajukan
tangkisan bahwa hakim tidak wenang memeriksa perkara tersebut.
“Dalam sistem peradilan di Indonesia, kedudukan arbitrase
adalah extra judicial atari peradilan semu (quasi judicial),
sedangkan pengadilan negeri {state court) berperan sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial power). Oleh karena itu,
meskipun undang-undang memberi wewenang kepada arbitrase

120
untuk menyelesaikan sengketa, hal itu tidak mengubah status extra
judicial yang melekat pada arbitrase. Akibatnya walaupun
ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-undang Arbitrase secara
eksplisit mengakui penerapan jurisdiksi arbitrase, tetapi
menerapkan akibat hukum (legal effect) yang digariskan Pasal 3
secara absolut, tidak selamanya benar. Menurut M.Yahya Ilarahap,
dalam memahami Pasal 3 Undang-undang Arbitrase ada pendapat
yang mengatakan: “asal dalam perjanjian terdapat klausula
arbitrase, dengan sendirinya lahir kewenangan absolut arbitrase
untuk menyelesaikan segala sengketa yang timbul dari perjanjian,
tanpa mempedulikan jangkauan atau ruang lingkup sengketa yang
disebut dalam rumusan klausula arbitrase. Pendapat yang bercorak
generalisasi dan absolut itu adalah keliru atau tidak selamanya
benar.” Mengapa demikian? Oleh karena, baik di dalam teori
maupun praktik arbitrase dikenal beberapa format isi klausula
arbitrase. Isi klausula arbitrase dapat dirumuskan dalam dua
bentuk, yaitu: pertama, bersifat umum, atau kedua, secara rinci.
Klausula arbitrase yang dirumuskan secara rinci juga dapat disusun
dalam dua bentuk yakni (i) terinci sekali secara menyeluruh
dan/atau (ii) terinci mengenai pokok-pokoknya saja. Masing-
masing rumusan klausula arbitrase tersebut di muka memiliki
konsekuensi hukum yang berbeda-beda terhadap lahirnya jurisdiksi
arbitrase. Oleh sebab itu, kaidah Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-
undang Arbitrase tidak otomatis diterapkan secara generalisasi dan
absolut, karena tidak selalu atau belum tentu setiap perjanjian
arbitrase akan melahirkan jurisdiksi arbitrase. Semuanya sangat
tergantung pada apakah sengketa yang terjadi itu termasuk jenis
sengketa yang disebut dalam klausula atau tidak. Apabila sengketa
yang terjadi termasuk ruang lingkup yang disebut atau dirinci
dalam klausula, maka yang berwenang menyelesaikan adalah
arbitrase. Sedangkan sebaliknya, apabila sengketa yang terjadi itu
berada di luar ruang lingkup klausula arbitrase, maka yang
memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa tersebut
adalah pengadilan negeri. Padahal pemahaman serta opini yang
terbentuk di masyarakat selama ini setiap klausula arbitrase
otomatis langsung mewujudkan jurisdiksi absolut arbitrase tanpa
mempedulikan bentuk klausula yang disepakati.
Pemahaman semacam itu tidak hanya terjadi pada masyarakat
kebanyakan, melainkan juga melanda praktik pengadilan. Ketika
sengketa yang terjadi dan berada di luar ruang lingkup kalusula

121
arbitrase, diajukan ke pengadilan negeri, ternyata pengadilan
negeri mengabulkan eksepsi pihak lawan dan menyatakan dirinya
tidak berwenang mengadili sengketa dimaksud, atas alasan para
pihak menyepakati klausula arbitrase dalam perjanjian. Kenyataan
yang dilukiskan tersebut merupakan bukti bahwa hakim pengadilan
negeripun dapat saja membuat kesimpulan yang kurang akurat
terhadap maksud dari ketentuan Pasal 3 dan Pasal 11. Ilal itu
kemungkinan karena kedua pasal yang mengatur tentang eksistensi
jurisdiksi arbitrase dirumuskan terlalu umum tanpa diberikan
penjelasan yang cukup memadai. Oleh sebab itu, agar penerapan
jurisdiksi yang lahir karena klausula arbitrase sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 3 dan Pasal 11 tidak menimbulkan
permasalahan hukum, maka perlu diatur serta dijelaskan batas-
batas jurisdiksi arbitrase itu sesuai dengan rumusan klausula.
Tanpa pengaturan dan penjelasan mengenai batas-batas jurisdiksi
sebagaimana dikehendaki oleh kalusula, maka kekeliruan
memberikan interpretasi terhadap Pasal 3 dan Pasal 11 akan
berlangsung terus.
Seperti telah dikemukakan, kedudukan arbitrase dalam sistem
peradilan di Indonesia tergolong extra judicial atau peradilan
semu, namun tata cara pemeriksaan sengketa pada arbitrase
memiliki kemiripan dengan tata cara di pengadilan. Sedangkan
faktor yang membedakan adalah, pengadilan mengedepankan
metode pertentangan (adversarial), sehingga para pihak yang
bertikai bertarung satu sama lain dengan hasil akhir yang kuat yang
akan menang. Sedangkan arbitrase lebih mengutamakan itikad
baik, non-konfrontatif, serta lebih kooperatif. Pada arbitrase para
pihak tidak bertarung melainkan mengajukan argumentasi di
hadapan pihak ketiga yang akan bertindak sebagai pemutus
sengketa. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kurang
sempurnanya pengadilan dalam menjalankan tugasnya, seharusnya
hukum tanpa harus mengorbankan nilai keadilan dan kepastian
hukum, mampu membuka diri untuk mengaktualisasikan sistemnya
dan meningkatkan peranannya untuk membuka lebar-lebar akses
keadilan bagi masyarakat bisnis tanpa harus terbelenggu pada
aturan normatif yang rigid. Untuk itu, maka model penyelesaian
sengketa di luar pengadilan semacam arbitrase seharusnya diberi
kompetensi yang lebih luas. Artinya, arbitrase jangan hanya diakui
sebagai forum pemutus sengketa, melainkan lebih dari itu, arbitrase
juga seharusnya berwenang penuh untuk mengeksekusi putusan

122
yang dibuatnya. Apabila arbitrase hanya diberi kewenangan
limitatif semata-mata sebagai pemutus sengketa tanpa memiliki
kompetensi melakukan eksekusi terhadap putusan yang tidak
dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan, maka
dapat dipastikan forum arbitrase bernasib sama dengan peradilan
agama sebelum lahir Undang-undang tentang Peradilan Agama.
Padahal sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, arbitrase telah memperoleh otoritas sebagai forum
pemutus sengketa meskipun sangat limitatif, yakni “hanya
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya
oleh pihak yang bersengketa.”
Sebenarnya pendelegasian wewenang untuk menyelesaikan
sengketa kepada forum lain di luar pengadilan negeri telah
berlangsung dalam berbagai bidang. Hal itu disebabkan lembaga
pengadilan selama ini memang bukan satu-satunya institusi yang
mampu menampung serta menyelesaikan semua sengketa yang
terjadi di dalam masyarakat. Beberapa contoh lembaga
penyelesaian sengketa di luar pengadilan negeri antara lain: badan
penyelesaian sengketa perumahan, badan penyelesaian sengketa
pajak, lembaga penyelesaian sengketa lingkungan hidup, lembaga
penyelesaian segketa ketenagakerjaan, lembaga untuk
menyelesaikan sengketa kepailitan, lembaga penyelesaian sengketa
pertanahan, badan penyelesaian sengketa konsumen, dan lembaga
penyelesaian sengketa di bidang perdagangan/bisnis/komcrsial.
Lembaga-lembaga penyelesaian sengketa pada bidang-bidang
tersebut di atas meski keberadaannya tidak sepopuler pengadilan
negeri, namun secara resmi lembaga-lembaga itu memiliki otoritas
serta diakui oleh hukum dan negara sebagai bagian dari sistem
hukum penyelesaian sengketa. Sebagai contoh umpamanya,
Penyelesaian Sengketa Pajak dilakukan oleh Pengadilan Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak. Bahkan Putusan Pengadilan Pajak
merupakan putusan dalam tingkat pertama dan terakhir dalam
memeriksa dan memutus sengketa pajak.
Walaupun hukum telah mendelegasikan wewenang untuk
menyelesaikan sengketa kepada lembaga-lembaga selain
pengadilan negeri seperti halnya pada penyelesaian sengketa pajak,
akan tetapi dalam praktiknya akses masyarakat untuk

123
memanfaatkan lembaga-lembaga semacam itu masih belum
optimal. Ada banyak faktor yang kemungkinan menjadi penyebab.
Satu di antara faktor penyebab tersebut kemungkinan karena
sosialisasi berkenaan dengan keberadaan serta fungsi lembaga-
lembaga dimaksud tidak cukup memadai. Akibatnya masyarakat
tidak cukup mengetahui keberadaan lembaga-lembaga tempat
penyelesaian sengketa selain pengadilan negeri.-Seperti halnya
lembaga-lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
lainnya, arbitrase juga disinyalir kurang dikenal, baik oleh hakim
maupun oleh masyarakat. Bahkan, Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) sendiri yang berdiri sejak tahun 1977 kurang
dikenal sebagai alternatif untuk menyelesaikan sengketa di luar
pengadilan. Padahal bersengketa melalui arbitrase sesungguhnya
bisa cepat dan murah bila dibandingkan dengan berperkara di
pengadilan. Hal itu disebabkan jangka waktu kerja majelis
arbitrase dibatasi oleh undang-undang. Secara normatif waktu
penyelesaian sengketa juga secara eksplisit dibatasi, yaitu: “...harus
diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh)
hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.” Sedangkan
bersengketa pada badan peradilan biasa dapat memakan waktu
sampai puluhan tahun, bahkan sampai 20 tahun lebih, Para
pengusaha tidak dapat berdiam diri dengan menunggu putusan
pengadilan, karena usahanya harus berjalan terus. Apalagi dalam
perdagangan internasional, pihak-pihak selalu menghendaki
penyelesaian yang cepat. Mereka tidak dapat berbuat lain kecuali
mencari penyelesaian sengketa dengan tidak melalui pengadilan
biasa. Mengapa arbitrase? Oleh karena arbitrase tidak terikat
berbagai formalitas, walaupun tetap dalam batas-batas kewajaran
hukum, kejujuran, kebenaran, keadilan (putusan ex aequo et bono)
seraya mampu memberikan putusan yang adil dan dapat diterima
oleh para pihak. Untuk kalangan bisnis, fasilitas yang disediakan
oleh hukum dan negara untuk menyelesaikan sengketa di antara
para pelaku bisnis merupakan faktor yang sangat penting dalam
rangka menjamin diperolehnya kepastian hukum. Kepastian hukum
merupakan perlindungan bagi orang yang mencari keadilan dari
tindakan sewenang-wenang, sehingga setiap orang yang mencari
keadilan akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkannya.
Namun demikian, dalam pemahaman para pelaku bisnis,
hukum senantiasa tercitrakan sebagai penghambat untuk
terselenggaranya setiap kegiatan ekonomi. Hal itu disebabkan

124
hukum seringkah dinilai kaku dan berbelit-belit, sehingga tidak
mampu memenuhi tuntutan kegiatan ekonomi yang serba cepat.
Oleh karena itu, untuk mendukung aktivitas para pelaku ekonomi,
hukum harus menjadi sarana yang mengarahkan berbagai kegiatan
ekonomi dan memasang rambu-rambu, jangan sampai
pembangunan ekonomi menimbulkan hal-hal yang bertentangan
dengan keadilan. Oleh karena menurut Smith, “keadilan justru
mengontrol manusia untuk tidak saling merugikan dan sebaliknya
saling membantu. Keadilan adalah prasyarat niscaya bagi
berfungsinya relasi bisnis yang baik dan etis dalam sistem ekonomi
pasar bebas dan kondisi tersebut menjadi kondisi yang
memungkinkan berkembangnya bisnis yang baik.” Oleh sebab itu,
menurut T.D. Campbell dalam bukunya Adam Smith’s Science o f
Morals, antara lain menyebutkan, “teori Smith tidak hanya
menyatakan bahwa keadilan adalah syarat niscaya bagi
kelangsungan suatu masyarakat khusus tertentu, melainkan bagi
kelestarian masyarakat manapun.” Masyarakat manapun sangat
berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum
faktor keadilan harus diperhatikan di samping faktor lainnya yakni
kepastian hukum dan kemanfaatan. Artinya, penegakan hukum
memang harus adil, meskipun hukum tidak identik dengan
keadilan, sebab kalau dalam penegakan hukum hanya
memperhatikan salah satu unsur saja, misalnya kepastian hukum,
maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Demikian pula jika yang
diperhatikan hanya kemanfaatan, maka kepastian hukum dan
keadilan dikorbankan, dan demikian selanjutnya. Oleh karena itu,
ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional
seimbang.
Sebagai salah satu sarana penegakan hukum dalam hal terjadi
sengketa bisnis, arbitrase mungkin saja telah dapat memenuhi
harapan keadilan (melalui putusan ex aequo et bond). Akan tetapi
apakah juga putusan arbitrase telah memberikan kemanfaatan dan
kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa,
itu masih merupakan persoalan. Persoalan tersebut akan sangat
jelas apabila menyimak tata cara pelaksanaan putusan arbitrase
sebagai berikut: (i) arbiter dan kuasanya wajib mendaftarkan asli
atau salinan otentik putusan arbitrase di kantor Pengadilan Negeri,
dilengkapi asli atau salinan otentik pengangkatan sebagai arbiter;
(ii) pelaksanaan putusan arbitrase berdasarkan perintah (exequatur)
Ketua Pengadilan Negeri; (iii) sebelum pemberian exequatur Ketua

125
Pengadilan Negeri memeriksa dahulu hal-hal berkaitan dengan: a)
ada atau tidaknya perjanjian arbitrase bagi pihak-pihak; dan b)
apakah perjanjian arbitrase berada dalam lingkup hukum
perdagangan dan mengenai hak yang dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersangkutan. Tidak dipenuhinya ketentuan mengenai
penyerahan dan pendaftaran lembar asli atau salinan otentik
putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri berakibat
putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan [Pasal 59 ayat (4)
Undang-undang Arbitrase].
Rangkaian normatif tentang tata cara pelaksanaan putusan
yang harus dipenuhi sebelum putusan arbitrase dilaksanakan
menunjukkan bahwa sesungguhnya arbitrase masih dianggap tidak
mandiri serta tidak sejajar kedudukannya dengan pengadilan
negeri, sehingga dianggap tidak matang untuk dapat mengeksekusi
putusannya sendiri. Betapa tidak, apabila penyerahan dan
pendaftaran putusan arbitrase itu tidak dipenuhi, maka akibatnya
putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Kaidah tersebut pada
dasarnya telah mengurangi kedudukan arbitrase seperti halnya
kedudukan pengadilan agama sebelum lahir Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989. Oleh karena itu, untuk menjamin
diperolehnya kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa
pada forum arbitrase, norma yang terkesan men-subordinasikan
arbitrase dari pengadilan negeri harus dihapuskan dari undang-
undang arbitrase Perubahan atau amandemen terhadap Undang-
undang Nomor 30 Tahun 1999 merupakan sesuatu yang tidak
dapat dihindarkan. Ilal itu disebabkan terdapat beberapa pasal di
dalam undang-undang tersebut yang dianggap “memandulkan”
peran dan fungsi arbitrase. Norma semacam itu tidak bisa lain
kecuali harus diubah dan diganti. Oleh karena itu, kondisi
ambivalensi normatif yang tercipta dari Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 harus segera diakhiri. Di samping itu, Surat Ketua
Mahkamah Agung yang ditujukan kepada seluruh Ketua
Pengadilan Negeri agar para KPN dapat menghormati putusan
arbitrase dalam rangka proses pelaksanaan putusan arbitrase
dimaksud. Namun demikian, kebijakan yang ditempuh Ketua MA
tersebut sesungguhnya apabila dikaji dari aspek independensi
badan peradilan rendahan sesungguhnya merupakan sesuatu yang
dapat mengganggu kemandirian para hakim. Akan tetapi upaya
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai otoritas lembaga
yudikatif tersebut antara lain agar para ketua pengadilan negeri

126
dapat menghormati serta membantu dalam proses pelaksanaan
putusan arbitrase.
Selanjutnya, upaya lain yang tidak kalah pentingnya untuk
dilakukan adalah sosialisasi tentang eksistensi badan arbitrase
sebagai salah satu forum tempat penyelesaian sengketa. Sosialisasi
merupakan keniscayaan yang tidak dapat ditunda-tunda. Mal itu
disebabkan, selama ini harus diakui bahwa keberadaan forum
arbitrase tidak banyak diketahui publik, sehingga upaya
penyebarluasan informasi mengenai arbitrase dalam rangka
memperkenalkan peran dan fungsi forum tersebut perlu dilakukan
lebih gencar serta lebih intensif lagi.
Memberikan kompetensi terhadap badan arbitrase dalam
melaksanakan putusannya sendiri, sehingga arbitrase menjadi
forum yang mandiri, sejajar dengan badan peradilan, matang, dan
berkompeten adalah conditio sine qua non apabila hendak
menjadikan badan arbitrase di Indonesia sebagai badan
penyelesaian sengketa bisnis yang berprospek internasional. Oleh
karena pada abad mendatang interaksi bisnis antar bangsa telah
dirancang untuk tidak lagi tersekat oleh berbagai rintangan
(barrier), baik berupa batas-batas tentorial, norma-norma
perdagangan, maupun rintangan berupa tarif. Sebagai konsekuensi
dari keadaan semacam itu maka terjadinya konflik antar pelaku
bisnispun akan semakin sulit dihindarkan. Dalam konstelasi dunia
bisnis seperti itu maka sangat mendesak untuk memberi status
mandiri dan kompeten terhadap badan arbitrase agar dapat
melaksanakan putusannya tanpa bantuan pengadilan negeri. Dalam
rangka itu semua, yang harus diupayakan adalah melakukan
amandemen perubahan terhadap Undang-undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
terutama berkenaan dengan pelaksanaan putusan arbitrase, baik
putusan arbitrase nasional maupun arbitrase internasional.
Pemberian status mandiri terhadap arbitrase akan membawa
konsekuensi hukum yang amat luas. Arbitrase yang telah memiliki
karakter berbeda dengan pengadilan negeri serta prosedur
penyelesaian sengketa yang tidak terikat dengan berbagai
formalitas, akan menjadi lembaga penyelesaian sengketa komersial
yang lebih diminati oleh para pencari keadilan dari kalangan bisnis
karena akan lebih mampu memenuhi tuntutan mereka.

127
Lebih-lebih lagi kalangan bisnis atau usaha komersial
internasional, karena sampai saat ini “tidak ada badan pengadilan
yang dapat memeriksa sengketa komersial internasional yang dapat
diandalkan dan efektif.” Apabila demikian, tidak diragukan kalau
lembaga arbitrase di masa-masa yang akan datang akan menjadi
model penyelesaian sengketa komersial yang lebih berkeadilan,
sekaligus menjamin kepastian hukum, serta betul-betul bermanfaat
bagi penggunanya karena prosesnya yang cepat dan beayanya yang
murah. Ilal itu berarti pula arbitrase sebagai salah satu lembaga
pelaksana hukum akan mampu merealisasikan ketiga unsur dalam
penegakan hukum yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum,
kemanfaatan, dan keadilan secara proporsional seimbang.

128
PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA
PERDAGANGAN SECARA ELEKTRONIK

Semakin berkembangnya internet telah memungkinkan


penyelesaian sengketa secara online. Penyelesaian sengketa secara
online sangat mengurangi biaya berperkara yang mahal, terutama dalam
sengketa bisnis di antara pebisnis dari negara yang berbeda. Juga dalam
kerangka perdagangan secara elektronik yang lebih bersifat cair, para-
pebisnis dapat berada di manapun, penyelesaian sengketa secara online
akan menjadi sesuatu yang menjanjikan.
Bab III buku ini berisi uraian ringkas beberapa penyedia jasa yang
menawarkan jasa penyelesaian sengketa secara online. Indonesia,
sejauh ini, belum mengambil manfaat berarri dari kehadiran teknologi
untuk penyelesaian sengketa. Sebagaimana telah diuraikan, terdapat
beberapa keuntungan dalam penyelesaian sengketa secara online yang
mengintegrasikan penggunaan e-mail dan situs wcb sebagai sarana
dalam proses penyelesaian sengketa. Keuntungan yang diperoleh antara
lain :
1. Penghematan waktu dan uang. Sesungguhnya hal ini sudah tampak
dalam penyelesaian sengketa secara tradisional dibandingkan
dengan penyelesaian melalui jalur litigasi. Namun, penyelesaian
sengketa secara online akan lebih menghemat dibandingkan
dengan alternatif penyelesaian sengketa secara tradisional.
Keuntungan ini karena para pihak tidak perlu membayar biaya
yang harus dikeluarkan untuk menghadiri persidangan, dan biaya-
biaya yang berkaitan dengan hal itu;
2. Bagi para konsumen yang menghindari biaya besar dalam penye­
lesaian sengketa, tentu akan lebih mudah menerima penyelesaian
sengketa secara elektronik karena mereka dapat mengerjakannya
sendiri dengan fasilitas komputer yang dimiliki. Hanya, sampai
saat ini biaya akses internet masih relatif mahal dan persaingan
dalam bisnis tersebut masih kurang sehat;
3. Para pihak yang menggunakan akses internet lebih yakin dalam
menghadapi proses yang akan dijalaninya, sebab mereka dapat
dengan mudah mengontrol dan merespons apa yang terjadi dalam
proses;

129
4. Jika para pihak enggan melakukan tatap muka, dapat menghindari
pertemuan dengan pihaklawannya. Para pihak dapat menghindar­
kan diri dari perasaan takut akan diintimidasi dalam proses. Ilal ini
merupakan persoalan psikologis;
5. Keuntungan lainnya yang mungkin didapatkan oleh pihak lain,
seperti vendor software dan lainnya.
Keuntungan yang didapatkan dengan alternatif penyelesaian
sengketa secara online tentu masih mengundang pertanyaan yang
menggoda, seperti : apakah mungkin dilakukan dan bagaimana
persoalan hukum menyangkut soal ini. Dalam bab ini saya akan
membahas persoalan-persoalan hukum yang timbul sehubungan dengan
penyelenggaraan arbitrase secara online.
Keuntungan yang didapatkan dengan alternatif penyelesaian
sengketa secara online tentu masih mengundang pertanyaan yang
menggoda, seperti : apakah mungkin dilakukan dan bagaimana
persoalan hukum menyangkut soal ini. Dalam bab ini saya akan
membahas persoalan-persoalan hukum yang timbul sehubungan dengan
penyelenggaraan arbitrase secara online.

1. PERJANJIAN ARBITRASE
a. Konvensi New York
Jika pengakuan dan pelaksanaan putusan dimohonkan di
pengadilan maka, menurut Article IV Konvensi New York,
pihak yang mengajukan permohonan harus menunjukkan
perjanjian arbitrase yang asli atau salinannya yang sudah
disahkan. Melihat ketentuan dalam Article IV, sudah diuraikan
dalam Bab II, terdapat ketidakcocokan dengan Article II
Konvensi New York. Jika perjanjian arbitrase terdapat dalam
pertukaran surat dan telegram, tidak ada kewajiban untuk
membubuhkan tanda tangan (Article II (2) Konvensi New
York). Kekurangan pada adanya tanda tangan membuka
permasalahan bagaimanakah keaslian (originality) yang
diwajibkan dalam Article IV Konvensi New York harus
ditentukan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut kita dapat membangun
dua aras pemikiran. Pertama, kita dapat membuat argumen
hukum bahwa tanpa adanya tanda tangan maka tidak akan ada
sesuatu yang asli. Dengan demikian kita sampai pada suatu

130
penafsiran me-ngenai Article IV (1) bahwa keaslian hanya
dapat dipenuhi jika perjanjian dibubuhi dengan tanda tangan.
Lebih jauh, ini akan berarti bahwa perjanjian yang dibuat
melalui pertukaran faks, e-mail, dan perjanjian online tidak
memenuhi persyaratan keaslian. Jika hendak diakui maka
diperlukan tindakan lebih jauh dengan membubuhkan tanda
tangan padaprint-out faks, e-mail, dan perjanjian online.
Kedua, kita dapat menafsirkan bahwa suatu perjanjian
dapat disebut sebagai asli bahkan jika tanpa tanda tangan.
Surat yang asli di sini merupakan konversi dari sinyal yang
dikirimkan oleh petugas telegram. Dengan melihat hal ini
maka perjanjian arbitrase yang dikirimkan melalui faks, e-
mail, dan perjanjian online dapat dipertimbangkan sebagai
suatu perjanjian yang asli.Saya melihat bahwa penafsiran yang
pertama lebih adequate, yakni perjanjian melalui faks, e-mail,
perjanjian online tidak memenuhi persyaratan sebagai
perjanjian yang asli. Jadi berdasarkan Article II dan IV
Konvensi New York, perjanjian yang dibuat melalui
pertukaran e-mail atau melalui perjanjian online tidak sah
adanya.
b. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
/. Arbitrase nasional
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 juga mengatur
bahwa perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis.
Dalam Pasal 1 butir 1 ditentukan :
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
Dalam Pasal 1 butir 3 ditentukan :
Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa
klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa,
atau suatu perjanjian arbitrase tersenditi yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa.
Undang-undang tersebut menggunakan istilah
berbeda-beda. Pasal 1 butir 1 menggunakan istilah per­
janjian arbitrase yang dibuat secara tertulis sedangkan

131
Pasal 1 butir 3 menggunakan istilah perjanjian tertulis
dan perjanjian arbitrase tersendiri. Lain lagi dengan
Pasal 4 ayat (1) dan (2), yang menggunakan istilah
dokumen. Dalam Pasal 4 kita dapat menemukan perlunya
tanda tangan. Pasal 4 ayat (1) dan (2) menentukan :
(1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa
sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui
arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang,
maka arbiter berwenang menentukan dalam
putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak
jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka;
(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani
oleh para pihak;
(3) ....
Ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) tersebut
berlaku umum baik untuk klausul arbitrase maupun
perjanjian arbitrase tersendiri. Ketentuan tersebut
menyebut istilah dokumen. Dokumen tidak hanya berupa
sesuatu yang tertulis di atas kertas tetapi juga dalam
bentuk file yang dibuat secara elektronik. Hal ini berbeda
dengan istilah yang digunakan dalam Pasal 9 ayat (1) dan
(2), yang berbunyi:
(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa
melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan
mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu
perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para
pihak.
(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani
perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam
bentuk akta notaris.
Jika pada Pasal 4 digunakan istilah dokumen maka
pada Pasal 9 digunakan istilah perjanjian tertulis.
Perbedaan dalam penggunaan istilah ini membawa
konsekuensi tertentu. Suatu dokumen tidak selalu bersifat
tangible. Ia dapat berupa informasi elektronik yang
berbeda dengan perjanjian tertulis. 'landa tangan untuk
informasi elektronik juga dapat tidak berupa tanda tangan
dalam pengertian tradisional.
Pasal 9 ayat (3) dan (4) selanjutnya berbunyi:
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus memuat:
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau
majelis arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan
mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang ber­
sengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.
(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi
hukum.
Jika memperhatikan apa yang menjadi isi dari
perjanjian tertulis tersebut, mau tidak mau kita akan
melihat bahwa substansi semacam itu tidak untuk
arbitrase institusional tetapi merujuknya pada arbitrase ad
hoc. Dalam arbitrase institusional, para pihak belum dapat
menunjuk nama lengkap dari arbiter atau majelis arbitrase
yang akan mengambil keputusan (butir c). Nama lengkap
dari sekretaris juga tidak disebutkan dalam perjanjian
arbitrase yang menunjuk arbitrase institusional (butir e).
Sehubungan dengan tidak adanya penunjukan arbiter atau
majelis (butir c) dalam perjanjian arbitrase untuk arbitrase
institusional maka pernyataan kesediaan dari arbiter (butir
g) juga belum dapat dipenuhi. Ini berarti bahwa syarat
pada butir c, e, dan g tidak mungkin dipenuhi dalam
perjanjian arbitrase yang menunjuk pada arbitrase
institusional.
Syarat sebagaimana disebut dalam Pasal 9 ayat (3)
adalah wajib, sebab jika tidak terpenuhi maka perjanjian

133
itu akan menjadi batal demi hukum, sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 9 ayat (4).
Dengan demikian, saya sampai pada kesimpulan
bahwa Pasal 9 hanya berlaku untuk perjanjian arbitrase
yang dibuat setelah sengketa terjadi dimana para pihak
akan memilih arbiter perorangan (arbitrase ad hoc) dalam
penyelesaian sengketa. Lebih jauh saya menyimpulkan
bahwa perjanjian tertulis adalah perjanjian arbitrase yang
dibuat setelah sengketa terjadi dan yang diinginkan adalah
penyelesaian melalui arbitrase ad hoc. Saya mengambil
suatu kesimpulan, yang mungkin sangat gegabah, bahwa
dalam pengertian Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999, klausul arbitrase tidak harus dibuat di
atas kertas atau yang semacamnya atau tidak harus dalam
bentuk tangible. Dengan kata lain, perjanjian arbitrase
menurut undang-undang tersebut adalah perjanjian yang
dapat dibaca, kecuali perjanjian arbitrase menurut Pasal 9.
Kesimpulan semacam ini diperkuat oleh ketentuan
dalam Pasal 62 yang berbunyi:
0 ) ......
(2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah
pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah
putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan
Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan
dan ketertiban umum.
(3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan
pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua
Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya
hukum apapun.
(4) ......
Ketentuan Pasal 62 ayat (2) mensyaratkan dokumen-
dokumen yang harus diperiksa dalam hal dimohonkan
pelaksanaan putusan arbitrase. Ketentuan Pasal 62 ayat
(2) dan ayat (3) merujuknya pada Pasal 4. Tidak ada
persyaratan apakah perjanjian tertulis harus asli atau tidak.
Dengan demikian, perjanjian tertulis tersebut tidak harus
di atas kertas dan tanda tangan tidak harus dibuat dengan
tinta di atas kertas. Hal ini berarti untuk perjanjian tertulis
dalam arbitrase nasional dapat berupa informasi
elektronik. Perlu juga mendapat perhatian bahwa
ketentuan dalam Pasal 9 tidak perlu diproduksi dalam hal
pelaksanaan putusan.
ii. Arbitrase internasional
Untuk arbitrase Internasional, persyaratan perjanjian yang
diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan butir 3 serta dalam Pasal
4 ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga. Hanya, jika diperiksa,
dokumen yang harus diproduksi dalam permohonan
pengakuan dan pelaksanaan putusan diatur lebih tegas,
bahkan lebih tegas dari Konvensi New York. Dalam Pasal
67 ayat (2) (b) kita dapat menemukan bahwa lembar asli
atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar
Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal
otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan
resminya dalam bahasa Indonesia. Dengan ada-nya kata
lembar asli ini menunjukkan bahwa dalam rangka
menjalankan putusan arbitrase Internasional, perjanjian
arbitrase harus dibuat dalam bentuk tangible. Perjanjian
yang dibuat melalui e-mail dan perjanjian online tidak
memenuhi syarat.
c. Keseragaman
Uraian di atas menunjukkan perbedaan yang mencolok dalam
perlakuan terhadap perjanjian yang dibuat tertulis. Untuk
arbitrase nasional dibedakan antara perjanjian arbitrase yang
dibuat sebelum dan sesudah adanya sengketa, dan antara yang
menunjuk arbitrase institusional atau arbitrase ad hoc. Jika
perjanjian arbitrase dibuat sebelum adanya sengketa, maka
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis itu tidak harus
dalam bentuk tangible, ia dapat berupa informasi elektronik.
Untuk perjanjian arbitrase yang dibuat sesudah adanya
sengketa, diadakan pembedaan antara arbitrase institusional
dan arbitrase ad hoc. Untuk arbitrase institusional, perjanjian
arbitrase yang dibuat setelah sengketa terjadi tidak perlu
ditandatangani. Sedangkan untuk perjanjian arbitrase yang
dibuat setelah sengketa terjadi merujuk pada arbitrase ad hoc,
sehingga perjanjian tertulis itu harus ditandatangani. Untuk

135
arbitrase Internasional, perjanjian arbitrase harus asli dan
tertulis sedangkan tanda tangan tidak ditentukan.
Dalam suasana perdagangan secara elektronik, hal ini
akan menimbulkan masalah. Perbedaan arbitrase domestik dan
Internasional merupakan manifestasi dari adanya soal
geografi. Perdagangan secara elektronik melampaui batas-
batas geografi. Perjanjian arbitrase yang persyaratannya
menyangkut bentuk yang beragam tersebut memerlukan suatu
keseragaman dalam menerima perjanjian-perjanjian yang
dibuat secara elektronik. Saya melihat penafsiran-penafsiran
saja tidak cukup. Kita harus membuat aturan yang akan
mengatur masalah perjanjian secara online.
Langkah untuk ini sudah dirintis dalam draf RUU ITE
yang telah menerima informasi elektronik yang mempunyai
kekuatan hukum sebagai alat bukti yang sah dan bentuk
cetakannya juga merupakan alat bukti yang sah (Pasal 4 ayat
(1) dan (2)). Namun demikian draf RUU tersebut, dalam Pasal
4 ayat (3), juga memberi rambu-rambu bahwa “informasi
elektronik dinyatakan sah apahila menggunakan sistem
elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi. ” Di sini kurang jelas apa
yang dimaksudkan dengan dapat dipertanggungjawabkan
sesuai dengan perkembangan teknologi informasi. Draf RUU
tersebut memberikan batasan pemberlakuan informasi
elektronik Pasal 4 ayat (4) berbunyi:
Ketentuan mengenai informasi elektronik sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) tidak berlaku untuk :
a. pembuatan dan pelaksanaan surat wasiat;
b. pembuatan dan pelaksanaan surat-surat terjadinya
perkawinan dan putusnya perkawinan;
c. surat-surat berharga yang menurut undang-undang
harus dibuat dalam bentuk tertulis;
d. perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang
tidak bergerak;
e. dokumen-dokumen yang berkaitan dengan hak
kepemilikan; dan
f. dokumen-dokumen lain yang menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengharuskan
adanya pengesahan notaris atau pejabat yang
berwenang.
Di sini diberikan batasan berlakunya ketentuan-
ketentuan sebelumnya. Perjanjian arbitrase tidak
disebutkan sebagai sesuatu yang dikecualikan. Melihat
perumusan tersebut, perjanjian arbitrase dapat memenuhi
syarat apabila digunakan informasi elektronik Lebih jauh
draf RUU tersebut menyatakan dalam Pasal 6 :
“Terhadap semua ketentuan hukum yang men­
syaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk
tertulis atau asli selain yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(4), persyaratan tersebut telah terpenuhi berdasarkan
undang-undang ini jika informasi elektronik tersebut
dapat terjamin keutuhannya dan dapat dipertanggung­
jawabkan, dapat diakses, dapat ditampilkan sehingga
menerangkan suatu keadaan.”
Pasal 6 draf RUU tersebut mempunyai sedikit
kekurangan karena tidak disebutkan soal tanda tangan.
Terdapat ketentuan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 yang mengharuskan diperlukannya tanda tangan.
Menjadi persoalan di sini adalah apakah persyaratan tanda
tangan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dapat
digantikan oleh tanda tangan elektronik? Draf RUU
tersebut tidak menjawabnya. Sebagai tambahan dalam
Pasal 6 draf RUU disebutkan “...berbentuk tertulis atau
asli...”. Ini memang ganjil. Seharusnya tertulis, asli, dan
tanda tangan merupakan satu kesatuan.
Menyangkut tanda tangan, lebih jauh draf RUU
tersebut menyatakan lagi dalam Pasal 11 “Tanda tangan
elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum
yang sab selama memenuhi ketentuan dalam undang-
undang ini. ”
Untuk sah sebagai suatu tanda tangan elektronik,
masih menurut draf RUU, maka harus dipenuhi
persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 :
(1) Tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

137
a. Data pembuatan tanda tangan terkait hanya
kepada penanda tangan saja;
b. Data pembuatan tanda tangan elektronik pada
saat proses penandatanganan elektronik hanya
berada dalam kuasa penandatangan;
c. Segala perubahan terhadap tanda tangan elektro­
nik yang terjadi setelah waktu penandatanganan
dapat diketahui;
d. Segala perubahan terhadap informasi elektronik
yang terkait dengan tanda tangan elektronik
tersebut setelah waktu penandatanganan dapat
diketahui;
e. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk
mengidentifikasi siapa penanda tangannya;
f. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa
penandatangan telah memberikan persetujuan
terhadap informasi elektronik yang terkait.
(2) Ketentuan mengenai tanda tangan elektronik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Terdapat kewajiban yang dibebankan terhadap
pengguna tanda tangan elektronik. Hal ini dinyatakan
dalam Pasal 14 :
Setiap orang yang terlibat dalam tanda tangan
elektronik berkewajiban memberikan pengamanan
atas tanda tangan elektronik yang digunakannya;
(1) Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) berakibat tanda tangan elektronik
dimaksud tidak dapat digunakan sebagai alat
bukti;
Ketentuan-ketentuan yang disusun sedemikian rupa
tidak menyelesaikan soal dalam hal undang-undang
mewajibkan perlunya tanda tangan.
Dalam hubungan dengan perjanjian arbitrase,
ketentuan tersebut juga sudah memadai. Perjanjian
arbitrase yang dibuat secara online dan melalui
penggunaan e-mail dapat diterima. Ketentuan-ketentuan
tersebut, jika kelak diterima sebagai undang-undang
sudah barang tentu akan menghilangkan keraguan
mengenai validitas dari perjanjian arbitrase yang dibuat
secara online atau melalui pertukaran e-mail. Suatu hal
yang kurang diperhatikan, sekali lagi, adalah menyangkut
asas resiprositas. Jika kita hendak mengakui perjanjian
arbitrase secara online dan pertukaran e-mail dari pihak
luar, maka kita harus mengakui karena mereka juga
mempunyai ketentuan yang sama.
d. Persetujuan secara Elektronik untuk Bcrarbitrase
Pembuatan perjanjian arbitrase dalam suatu kontrak yang
dibuat secara elektronik bagaimanapun tidak semudah yang
dibayangkan.
Pertama, kita melihat kepada pihak yang menyediakan
kontrak secara online. Sejauh mana pihak yang membuatnya
harus memastikan dapat diaksesnya perjanjian arbitrase dan
bagaimanakah pembuamya mengorganisir proses berkontrak
secara online. Kedua, menyangkut pihak yang menerima
penawaran secara elektronik. Bagaimanakah ia dapat
mengekspresikan persetujuannya secara elektronik. Draf RUU
tersebut menentukan dalam Pasal 6 “.. .jika informasi
elektronik tersebut dapat terjamin keutuhannya dan dapat
dipertanggungawabkan, dapat diakses, dapat ditampilkan
sehingga menerangkan suatu keadaan.
e. Dapat Diaksesnya Perjanjian Arbitrase
Perjanjian arbitrase dan perjanjian pada umumnya yang dibuat
secara online harus dapat diakses. Dalam hal ini penyedia jasa
sebagai penyelenggara harus membuat perjanjiannya supaya
dapat disimpan sebagai referensi dari para pihak yang
memasuki perjanjian secara online. Dengan demikian maka
perjanjian online tersebut harus tersedia sebelum dan sesudah
perjanjian dimasuki. Draf RUU ITH tampaknya tidak
mengatur soal ini dengan baik, hanya menyatakan bahwa
informasi elektronik itu harus dapat diakses. Mengenai kapan
dan dengan cara bagaimana dapat diakses, tidak ditentukan.

139
f. Persetujuan secara Elektronik
Dalam membuat perjanjian arbitrase, penyedia jasa harus
membuat pengguna internet dapat mengakses perjanjian
dimana perjanjian arbitrase ditemukan. Bagaimanakah
pengguna menyatakan persetujuannya kepada perjanjian
online? Apakah hanya dengan semata-mata mengklik pada /
Accept, atau Yes, dan lain-lain merupakan persetujuan
terhadap perjanjian online dan perjanjian arbitrasenya?
Draf RUU ITE tidak menentukan bagaimana hal itu
diselesaikan. Kasus-kasus di Amerika Serikat dengan sedikit
contoh yang sudah saya kutip dalam Bab II, menunjukkan
bahwa mengklik pada tombol / Accept sudah memenuhi
syarat. Dalam perkara Comb v. PayPal, Inc, pengadilan
melihat bahwa perjanjian online dan perjanjian arbitrasenya
sudah terpenuhi karena sudah mengklik pada I Accept,
Pengadilan menolak perjanjian arbitrase karena hal itu tidak
fair.
Bagaimanapun tampaknya, tombol I Accept harus terlihat
dan pengguna harus diwajibkan mengklik pada I Accept
sebelum memulai untuk mendapatkan barang yang diinginkan.
Dalam kasus Specht v. Netscape pada Bab II, pengadilan
melihat bahwa perjanjian online yang memuat klausul
arbitrase tidak dapat mengikat pengguna yang men-download
software. Dalam kasus itu kita lihat bahwa pengguna dapat
mcn-download software tanpa mengklik pada tombol 1
Accept, dengan demikian pengguna tidak terikat pada
perjanjian online yang me-ngandung klausul arbitrase. Satu
hal lagi, jika klausul arbitrase hendak dibuat dalam perjanjian
arbitrase harus ditandai secara mencolok.
g. Incorporation by Reference
Protokol berkomunikasi memungkinkan pengguna internet
melakukan penjelajahan dari satu file ke file yang lain, baik
dalam satu situs maupun pada situs yang berbeda dengan
memanfaatkan fasilitas hypertext link. Pengguna internet
sendirilah yang berinisiatif dalam melakukan penjelajahan di
internet Metode penjelajahan ini diciptakan oleh desainer dari
situs yang memungkinkan pengguna dapat melakukan
penjelajahan dan yang pada akhirnya memungkinkan apa yang

140
disebut dalam terminologi hukum sebagai incorporation by
reference.
Pada dasarnya, incorporation by reference dimaksudkan
agar kontrak yang utama tidak menjadi terlalu panjang.
Kontrak yang panjang akan menyulitkan dalam membaca.
Untuk menghindari suatu kontrak menjadi terlalu panjang
maka dibuatkan kontrak lain dengan rujukan dari suatu
kontrak. Dalam suasana e-commerce, secara khusus
penggunaan suatu situs web dalam membuat perjanjian,
incorporation by reference ini menjadi suatu kebiasaan.
Kontrak utama berada dalam suatu halaman pada situs web
dan dengan menggunakan hypertext links perjanjian
arbitrasenya berada dalam halaman lain.
Secara hukum, masih belum jelas keabsahan dari
incorporation by reference ini. Namun demikian dalam the
Uncitral Model Law on Electronic Commerce hal ini
dibenarkan sebagaimana dapat ditemukan dalam Article 5 bis
yang menentukan :
"Information shall not be denied legal effect, validity or en­
forceability solely on the grounds that it is not contained in the
data message purporting to give rise to such legal ejfect, but is
merely referred to in that data message.
Dalam draf RUU ITE hal ini disebutkan dalam Penjelasan
Pasal 4 yang berbunyi:
Yang dimaksud informasi elektronik dapat berupa catatan
elektronik, dokumen elektronik, kontrak elektronik, surat elek­
tronik, atau tanda tangan elektronik Juga meliputi informasi
elektronik tertentu yang merupakan rujukan dari suatu
informasi elektronik. Informasi elektronik dan dokumen
elektronik merupakan alat bukti baik dalam perkara perdata,
pidana maupun tata usaha negara dan merupakan perluasan dari
alat bukti yang diatur dalam Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia. (Cetak tebal dari penulis).
Dengan melihat Penjelasan Pasal 4 RUU ITH tampaknya
incorporation by reference ini dapat diakui.
h. Perjanjian Arbitrase Melalui Pertukaran E-mail
Informasi yang dikirimkan melalui e-mail diyakini tidaklah
aman, tetapi hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan

141
teknologi enkripsi. Dalam membuat perjanjian arbitrase dapat
disarankan agar digunakan e-mail yang betul-betul aman.
Pengiriman e-mail juga sebaiknya dilakukan dengan
selalu membuat arsip. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengirimkan pesan tidak hanya kepada pihak lain yang dituju,
tetapi juga ke alamat e-mail sendiri. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengisi alamat sendiri pada kolom CC (Courtesy
Copy) yang tersedia pada form yang umumnya ada. Hal ini
sebaiknya tidak dibuat pada kolom BCC (Blind Courtesy
Copy). Tujuan mengirim seperti ini adalah untuk mencegah
adanya upaya untak menolak keberadaan suatu pesan.
Dalam penggunaan e-mail sebaiknya dilakukan dengan
menggunakan domain sendiri. Domain itu juga sebaiknya
digunakan sebagai alamat situs web yang akan memberikan
informasi mengenai perusahaan atau diri pengirim. Dengan
menggunakan domain sendiri untuk keperluan e-mail, maka
hal ini dapat lebih menjamin kepercayaan dari pihak lain.
Dengan menggunakan domain sendiri maka pihak lain dapat
melakukan penelusuran mengenai pengirim suatu pesan dan
kebenaran dari pesan. Tentu saja memang bahwa tidak
sepenuhnya hal ini dapat dijamin kebenarannya mengingat ada
kemung-kinan e-mail)ug& diganggu oleh pihak lain.
Perjanjian arbitrase yang dibuat dengan pertukaran e-mail
ini sangat cocok dalam perjanjian arbitrase yang dibuat setelah
terjadi sengketa.
Menyangkut Pihak
Dalam membuat perjanjian, baik melalui e-mail atau melalui
clickwrap agreement perlu diperhatikan syarat sahnya
perjanjian. Hal ini tentu diperlukan karena meaaint Article V
(1) (a) Konvensi New York jika persyaratan mengenai
kecakapan penandatangan perjanjian arbitrase tidak terpenuhi
maka hal itu dapat menjadi alasan untuk menolak pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase.
Sehubungan dengan hal itu, harus dilakukan suatu
langkah untuk memastikan bahwa pihak yang melakukan
perjanjian memang cakap untuk melakukannya. Untuk
perjanjian secara online, maka hanya syarat kedewasaan yang
mungkin dibuatkan sarananya dan berarti hanya konsumen
individual yang akan diikatnya. Persyaratan usia biasa kita
dapatkan dalam perjanjian online, seperti dengan pernyataan
bahwa yang memasuki perjanjian sudah berusia diatas 13
tahun. Untuk perusahaan tampaknya harus dilakukan dengan
konfirmasi bahwa yang mengikatkan diri dalam perjanjian
memang orang yang berhak untuk mengikat pemsahaan.
Demikian juga untuk perjanjian yang dibuat melalui
e-mail, kapasitas pihak yang melakukan komunikasi harus
jelas. Kasus yang terjadi di Norwegia pada Bab II merupakan
suatu pertanda betapa perlunya memastikan bahwa pihak yang
memasuki perjanjian harus jelas identitas dan kapasitasnya
untuk bertindak.
j. Menyangkut Isi
Para pihak bebas untuk menentukan isi dari perjanjian
arbitrase. Para pihak dapat menentukan, misalnya, bahwa
semua sengketa yang muncul atau bagian-bagian tertentu dari
sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase. Hal ini
sebaiknya diatur dalam perjanjian arbitrase yang dibuat oleh
pihak yang menawarkannya. Bagaimanapun dalam perdagang­
an elektronik, sangatlah sulit untuk melakukan negosiasi
secara terus-menerus untuk mendapatkan kesepakatan
mengenai apa yang menjadi isi dari perjanjian arbitrase.
Penyedia jasa penyelesaian sengketa dapat memberikan
masukan mengenai pembuatan perjanjian arbitrase untuk
perdagangan elektronik dalam bentuk klausula arbitrase. Dapat
disarankan, misalnya, bahwa penyelesaian sengketa melalui
arbitrase tidak hanya terhadap sengketa menyangkut isi dari
perjanjian tetapi juga hal-hal mengenai validitas perjanjian
arbitrase.
Akhirnya, beberapa hal lain yang perlu ditentukan dalam
perjanjian arbitrase adalah mengenai tempat kedudukan
arbitrase, jumlah arbiter yang akan menyelesaikan sengketa,
jangka waktu penyelesaian sengketa dan bahasa yang akan
digunakan dalam penyelesaian sengketa.

143
2. PROSEDUR ARBITRASE
Konvensi New York
Konvensi New York menyebutkan tiga hal sebagai alasan untuk
menolak pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional menyangkut prosedur berarbitrase ini, yaim
pemberitahuan yang cukup tentang penunjukan arbiter, jalannya
perkara arbitrase, atau tidak diberi kesempatan untuk membela diri.
Jika pihak yang memohon untuk tidak diakui dan tidak
dilaksanakannya putusan dapat membuktikan salah satu di
antaranya maka putusan dapat tidak diakui dan tidak dilaksanakan.
Dari ketiga hal tersebut maka kita dapat melihat bahwa Konvensi
New York tidak menentukan cara bagaimana prosedur arbitrase
dijalankan. Dengan demikian arbitrase online dapat dijalankan,
asalkan tiga hal tersebut dipenuhi.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999


Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sangat sedikit mengatur
mengenai prosedur berarbitrase pada arbitrase instimsional.
Kctentuan-ketenman yang ada dalam undang-undang tersebut lebih
banyak ditujukan untuk arbitrase ad hoc. Kesimpulan semacam itu
disandarkan pada ketentuan Pasal 34 sebagai berikut:
(1) Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan
menggunakan lembaga arbitrase nasional atau Internasional
berdasarkan kesepakatan para pihak;
(2) Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara
dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para
pihak.
Dari ketentuan tersebut kita melihat bahwa arbitrase dilakukan
melalui arbitrase institasional atau lembaga arbitrase, maka
peraturan prosedur yang berlaku adalah peraturan yang berlaku di
lembaga tersebut atau peraturan yang disetujui para pihak.
Prosedur online dapat dilakukan berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 4 ayat (3) yang berbunyi:
Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi
dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram,
faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya,
wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.

144
Dari ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
penyelenggaraan arbitrase secara online dimungkinkan asalkan ada
kesepakatan terlebih dahulu untuk menyelenggarakannya.
Ketentuan itu berarti penyelesaian sengketa terjadi dalam bentuk
surat Sayangnya pembentuk undang-undang tidak menentukan
dalam bentuk apa kesepakatan tersebut harus dibuat, apakah dapat
dibuat melalui sarana elektronik, oral, atau memang harus tertulis.
Di sini kita perlu memikirkan kembali kemungkinan
kesepakatan para pihak dalam melakukan arbitrase secara online.
Terdapat berbagai kemungkinan dalam hal ini Pertama, dalam
suatu perjanjian arbitrase ditambahkan klausul untuk penyelesaian
melalui arbitrase secara online. Kedua, pemberitahuan mengenai
berlakunya syarat berarbitrase, sebagaimana diatur dalam Pasal 8
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Ketiga, lembaga arbitrase
sendiri yang akan menentukan apakah akan melaksanakan proses
online atau tidak, sebagaimana dilakukan American Arbitration
Association. Dalam hal ini lembaga arbitrase menyusun peraturan
prosedur mengenai arbitrase online. Jika para pihak menunjuk
penyelesaian sengketa melalui suatu lembaga arbitrase tertentu
maka para pihak dengan sendirinya juga menyetujui berlakunya
prosedur online yang disediakan penyedia jasa yang bersangkutan.
Dengan melihat pada ketentuan Pasal 34 tersebut, arbitrase melalui
lembaga arbitrase akan ditentukan oleh lembaga arbitrase yang
bersangkutan kecuali ditentukan lain oleh para pihak. Hal ini
memberikan kemungkinan kepada lembaga arbitrase untuk
menentukan prosedur berarbitrase secara online, tentu dengan
persetujuan para pihak.
Hal lain yang perlu juga mendapat perhatian dari ketentuan
tersebut adalah bahwa harus dibuat catatan penerimaan. Catatan
penerimaan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Berbagai
e-mail, misalnya, sudah memiliki fasilitas untuk memberitahukan
bahwa sebuah e-mail sudah dibuka.tetapi belum dapat memastikan
apakah yang membuka e-mail adalah pihak yang dituju atau tidak.
Suatu hal yang mendukung pelaksanaan arbitrase online
adalah pengaturan dalam Pasal 36 yang menentukan bahwa :
(1) Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan
secara tertulis.

145
(2) Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui
para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis
arbitrase.
Ketentuan tersebut menandakan bahwa arbitrase menurut
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 adalah arbitrase dengan
menggunakan dokumen semata-mata, sesuai dengan Pasal 4 ayat
(3) tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan sarana-sarana
elektronik. Hanya saja kita melihat sedikit perbedaan bahwa jika
penyelesaian secara online ditempuh maka harus terlebih dahulu
ada kesepakatan.
Menarik perhatian saya bahwa persoalan prosedur ini tidak
dihiraukan dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase.
Hanya jika pelaksanaan arbitrase dilakukan melalui Pasal 4 ayat
(3), Pasal 62 ayat (2) dilakukan pemeriksaan. Ini merupakan
pemberian kepercayaan yang berlebihan terhadap para pelaksana
arbitrase. Hal ini berarti pula bahwa pihak yang harus menjalankan
putusan tidak mempunyai kesempatan untuk mengajukan
penolakan pelaksanaan pumsan dengan alasan prosedur dalam
pelaksanaan arbitrase. Hal ini berbeda dengan Konvensi New York
yang memberikan kesempatan untuk menolak pengakuan dan
pelaksanaan pumsan arbitrase dengan alasan prosedural.
Adakah soal prosedur ini harus dikaitkan dengan ketertiban
umum?
a. Pelaksanaan Arbitrase Online
Dalam menjalankan arbitrase online maka tahapan-tahapan
berikut ini akan ditempuh :
(i) Permulaan
Setelah ketidaksepakatan di antara para pihak yang diatur
dalam perjanjian arbitrase tidak dapat diselesaikan, maka
pihak yang mengajukan klaim mengajukan perkaranya ke
arbitrase, lembaga atau arbitrase ad hoc. Pengiriman
perkara oleh pemohon dapat dilakukan melalui e-mail
atau jika lembaga arbitrase sudah menyiapkan dalam
situsnya form online untuk berperkara, maka perkara
dapat didaftarkan secara online. Dalam hal permohonan
dilakukan melalui e-mail maka lembaga arbitrase atau

146
arbiter (arbitrase ad hoc) harus memastikan bahwa
pemohon adalah orang/pihak yang berhak.
Lembaga arbitrase/arbiter selanjutnya memberitahu­
kan hal itu kepada termohon melalui e-mail melalui
alamat e-mail yang disediakan oleh pemohon.
Dalam komunikasi ini, baik pemohon maupun
termohon dapat meminta atau menolak untuk mengadakan
prosedur online. Jika para pihak setuju dan menurut
lembaga arbitrase baik pemohon maupun termohon
mempunyai kapasitas untuk menjalani prosedur arbitrase
online maka prosedur online dapat dijalankan. Jika
sebaliknya, lembaga arbitrase menilai kurangnya
kapasitas untuk melakukan arbitrase online maka dapat
dilakukan prosedur arbitrase secara tradisional.
(ii) Pernyataan dan dokumen tertulis
Pada tahapan ini para pihak harus mengajukan pernyataan
dan dokumen tertulis yang diajukan kepada arbiter dan
pihak lawan dalam rangka menjamin prinsip kontradiksi.
Dalam suasana e-commerce, para pihak dapat mengajukan
bukti elektronik yang cuirulikinya dan bukti fisik untuk
mendukung argumen-argumennya.
Dokumen-dokumen elektronik juga dapat disediakan
dalam situsnya sendiri dan memberikan kesempatan untuk
melakukan pencaharian baik melalui www maupun
penyediaan file dalam bentuk ftp.
(Hi) Persidangan
Undang-undang menentukan proses arbitrase secara
tertulis. Jika diperlukan, pemeriksaan lisan akan diadakan.
Dengan demikian pemeriksaan dokumen merupakan hal
yang utama sedangkan persidangan lisan dilakukan jika
diperlukan.
Sesungguhnya secara teknis, pemeriksaan lisan
secara elektronik dapat dilakukan. Namun biaya untuk
menyelenggarakan persidangan secara elektronik sangat
mahal.
Ketiadaan persidangan elektronik memang akan
menimbulkan kesulitan. Pertama, dalam suatu

147
persidangan akan mudah untuk mengetahui apa yang
dimaui para pihak dalam suatu tanya jawab. Namun,
dalam suasana elektronik tanpa adanya persidangan, hal
ini dapat dilakukan melalui pertukaran e-mail atau melalui
penggunaan IRC Ilal ini akan membuat prinsip
kontradiksi terpenuhi.
Kedua, dalam hal diperlukan saksi-saksi maka
tampaknya hal ini akan menjadi sulit. Tanya jawab
dengan saksi merupakan hal yang perlu dalam suatu
persidangan. Masih diragukan apakah penggunaan
kesaksian secara tertulis dapat memenuhi persyaratan.
(iv) Permusyawarahan online
Pada bagian akhir dari proses arbitrase, jika arbitrase
dilakukan oleh Majelis lebih dari seorang maka akan
dilakukan permusyawarahan oleh para arbiter. Jika para
arbiter berada di wilayah geografis yang berjauhan maka
permusyawarahan akan dilakukan dengan menggunakan
fasilitas e-mail atau IRC. Hal ini perlu ditentukan suatu
waktu tertentu untuk melakukan permusyawarahan.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 sendiri kurang
mengatur masalah permusyawarahan para arbiter, kelak
perlu diatur lebih rinci.
(v) Pengiriman putusan
Pada proses berarbitrasc yang dilakukan secara online
pembacaan putusan tidak dilakukan. Setelah putusan
diambil kepada para pihak dilakukan pemberitahuan
secara online akan adanya putusan dan putusan
dikirimkan dengan memanfaatkan sarana elektronik.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 belum meng­
akomodasi soal ini. Dalam Pasal 55 kita dapat membaca :
Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan
segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk
mengucapkan putusan arbitrase.
Pasal 57 selanjutnya menentukan ’’Putusan diucapkan
dalam waktu paling lama 30 (tiga pulub) hari setelah
pemeriksaan ditutup. ”
Putusan demikian diucapkan dalam suatu
persidangan. RUUITIi belum mengatur soal cquivalcnsi
dari pengucapan putusan dalam versi online. Apakah
penggunaan internet relay chat sudah dapat dipersamakan
dengan pengucapan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999, masih perlu elaborasi lebih
jauh. Saya melihat bahwa jika prosedur online dilakukan
maka IRC dapat menjadi equivalen dengan pengucapan.
Jadi penggunaan IRC dapat dipersamakan dengan
pengucapan putusan.
Jika IRC dilakukan maka cukup jika dilakukan
pemberitahuan mengenai adanya putusan melalui e-mail.
Majelis arbitrase dapat mengirimkan putusan melalui e-
mail atau menempatkannya pada situs web yang
digunakan untuk kasus yang bersangkutan.
b. Bukti-bukti Elektronik
Dalam berarbitrase, seperti dalam proses-proses di pengadilan,
bukti-bukti sangat diperlukan dalam mendukung argumen-
argumen yang diajukan. Bagaimana bukti-bukti elektronik ini
diproduksi dan bagaimana kekuatan bukti elektronik sebagai
alat bukti? Belum ada undang-undang yang mengatur hal ini.
Mengenai kekuatan pembuktian sudah coba dirancang oleh
penulis RUU ITE. Pasal 4, sekali lagi saya kutipkan,
menentukan :
(1) Informasi elektronik memiliki kekuatan hukum sebagai
alat bukti yang sah.
(2) Bentuk tertulis {print out) dari informasi elektronik
merupakan alat bukti dan memiliki akibat hukum yang sah.
(3) Informasi elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan
sistem elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan
sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
Ayat (1) dari draf tersebut sudah merupakan suatu
langkah maju dalam memberikan pengakuan terhadap
informasi elektronik. Na-mun ayat (2) tampaknya masih harus
dipikirkan lebih matang. Saya merujuk pada Undang-undang
tentang Dokumen Perusahaan. Ada perbedaan yang sangat
mendasar di antara keduanya. Dalam Undang-undang tentang
Dokumen Perusahaan, dokumen elektronik itu hanyalah
konversi dari dokumen tertulis. Namun jika dilihat keseluruh­
an draf RUU tersebut, tampak bukan dokumen elektronik

149
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang
Dokumen Perusahaan tersebut.
Jika menurut Undang-undang tentang Dokumen
Perusahaan, dokumen tertulis yang dikonversi menjadi
dokumen elektronik diakui mempunyai kekuatan hukum,
penyusun draf RUU ini mencoba membuat sebaliknya, seperti
disebutkan dalam ayat (2) Pasal 4 bahwa “Bentuk tertulis
(print out) dari informasi elektronik merupakan alat bukti dan
memiliki akibat hukum yang sah. “Saya tidak melihat suatu
alasanpun untuk membenarkan hal tersebut. Jika sekiranya
ketentuan semacam itu memang harus ada, maka harus diikuti
dengan ketentuan lain dimana harus dilakukan pengesahan
ataupun otentikasi yang dilakukan di hadapan notaris atau
pejabat yang sejenisnya, jika ada. Jadi jika print out dari
informasi elektronik hendak diakui maka harus berlaku juga
ketentuan yang berlaku bagi pengkonversian dokumen tertulis
menjadi dokumen elektronik.
Sementara itu, meskipun apa yang ditentukan dalam ayat
(3) masih kabur tetapi untuk kepentingan penulisan ini, saya
beranggapan bahwa hal itu sudah cukup memberikan
pengakuan akan kekuatan pem-buktian dari informasi
elektronik.
c. Mendapatkan Bukti Elektronik
Dalam suasana perdagangan secara elektronik, penyeleng­
garaannya dilakukan secara elektronik baik untuk keseluruhan
maupun untuk sebagiannya. Jika perdagangan secara
elektronik dilakukan secara langsung maka para pihak
mempunyai bukti-bukti elektronik Jika dilakukan perdagangan
elektronik secara tidak langsung maka pihak lain mempunyai
bukti fisik. Contohnya, buku yang dibeli lewat internet
mengandung cacat tertentu dan hal itu dapat jadi bukti.
d. Tempat Kedudukan Arbitrase
Dalam Bab II saya sudah membahas serba ringkas mengenai
tempat kedudukan arbitrase (the place atau seat o f
arbitration). Jika para pihak tidak menentukan tempat
kedudukan dari arbitrase dalam perjanjian arbitrasenya, maka
tergantung pada badan arbitrase yang bertanggung jawab
dalam penyelesaian masalah ini. Terdapat beberapa faktor

150
yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan tempat
kedudukan dari arbitrase, untuk diatur dalam perjanjian
arbitrase.
Dalam memilih tempat kedudukan dari arbitrase maka
beberapa hal berikut perlu diperhatikan :
1. sampai sejauh mana pengadilan lokal dapat melakukan
intervensi terhadap arbitrase? Apakah dalam hal
pelaksanaan perjanjian untuk berarbitrase dalam hal ini
perjanjian dengan menggunakan sarana elektronik,
penunjukan arbiter atau terhadap putusannya, upaya
melawan pumsan atau peraturan yang bersifat wajib yang
jika dilanggar akan menyebabkan pumsan tidak dapat
dijalankan;
2. aspek prosedural dalam hal ini apakah suatu negara
merupakan negara anggota dari konvensi Internasional
seperti Konvensi New York atau Konvensi Jcncwa,
apakah negara menjamin proses adil yang meliputi
kebebasan dari badan peradilan;
3. hal-hal yang dapat diarbitrase, dalam hal ini menyangkut
pertanyaan mengenai hal-hal apakah yang dapat
diarbitrase. Apakah perjanjian konsumen dapat
diarbitrase;
4. pembatasan oleh negara, dalam hal ini apakah suatu
negara telah melakukan reservasi terhadap Articlel I (3)
dari Konvensi New York;
5. netralitas tempat terhadap kedua belah pihak.
Dalam menentukan tempat kedudukan dari arbitrase di
dunia maya maka hal-hal berikut ini menjadi pertimbangan :
1. dapat tidaknya perjanjian arbitrase yang dibuat secara
online dijalankan menurut hukum nasional masing-
masing;
2. apakah negara yang akan dipilih itu merupakan negara
yang merupakan anggota dari suatu konvensi inter­
nasional, seperti Konvensi New York;
3. hukum nasional yang mengatur mengenai arbitrase
internasional;

151
4. netralitas dari suatu tempat, karena para pihak berasal dari
kebangsaan yang berbeda.
Penyelenggaraan Arbitrase Online
Sampai sejauh ini tidak ada peraturan mengenai persyaratan-
persyaratan yang diperlukan dalam melakukan bisnis secara
online. Demikian juga terhadap arbitrase online, sejauh ini
belum ada ketentuan yang mengatur. Para penulis RUU ITE
mencoba menampung hal ini dengan memberikan arahan
dalam Bab IV tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik.
Pasal 17 berbunyi :
(1) Informasi dan transaksi elektronik diselenggarakan oleh
sistem elektronik yang terpcrcaya.
(2) Sistem elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terpcrcaya apabila sistem tersebut andal, aman, dan
beroperasi sebagaimana mestinya.
(3) Penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab
terhadap penyelenggaraan sistem elektronik yang
diselenggarakannya.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak
berlaku jika dapat dibukukan terdapat pihak tertentu yang
melakukan tindakan sehingga sistem elektronik dimaksud
tidak beroperasi sebagaimana mestinya.
Jika sekiranya kelak RUU ITE ini menjadi undang-
undang, maka penyelenggara arbitrase online harus
mengoperasionalkan suatu sistem elektronik yang terpcrcaya.
Sistem elektronik itu terpcrcaya jika ia andal, aman, dan
beroperasi sebagaimana mestinya. Sesuai dengan arahan pada
ayat (3) maka penyelenggara sendiri yang bertanggung jawab
atas sistem elektroniknya. Artinya tidak ada suatu pihak lain
yang mensertifikasi sistem elektroniknya apakah andal, aman,
dan beroperasi sebagaimana mestinya. Penyusun RUU dalam
penjelasan tersebut hanya menjelaskan apa yang dimaksud
andal, aman dan beroperasi sebagaimana mestinya, sebagai
berikut:
Ayat (2)
Andal artinya sistem elektronik tersebut memiliki kemampuan
yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya.
Aman artinya sistem elektronik tersebut terlindungi baik secara
fisik maupun nonfisik.
Beroperasi sebagaimana mestinya artinya sistem elektronik
tersebut memiliki kemampuan sesuai spesifikasinya.
Penyusun RUU tersebut memandang bahwa penyeleng­
gara bebas dari tanggung jawab jika dapat dibuktikan bahwa
ada pihak lain yang membuat sistem elektronik yang
digunakan tidak beroperasi sebagaimana mestinya.
Penyusun RUU tersebut tidak menentukan lebih lanjut
siapa dan dengan cara bagaimana harus membuktikan bahwa
ada pihak lain yang membuat sistem elektronik tidak
beroperasi. Apakah penuntut umum di pengadilan harus
terlebih dahulu berhasil meyakinkan hakim bahwa pihak lain
tertentu memang membuat sistem elektronik tidak beroperasi
semestinya dan hakim mengamini argumen dari penuntut
umum? Penyusun RUU tersebut hanya menjelaskan dalam
ayat (3) bahwa “Yang dimaksud dengan bertanggung jawab
artinya ada subyek hukum yang bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut. ”
Penyusun draf RUU tersebut tampaknya hanya
memandang tidak beroperasinya suatu sistem elektronik
karena ada pihak lain yang membuatnya tidak beroperasi
sebagaimana mestinya. Padahal suatu sistem elektronik sama
dengan barang lain yang mungkin cacat Jika sistem
elektroniknya cacat, dengan sendirinya tidak dapat berfungsi
(malfunction), penyelenggara sistem elektronik akan
bertanggung jawab. Tentu harus ada jalan keluar bagi
penyelenggara sistem elektronik untuk menuntut pengembang
sistem elektronik bertanggung jawab atas sistem elektronik
yang dikembangkannya. Penyelenggara elektronik tentu harus
berbagi tanggung jawab dengan pengembang. Penyusun draf
RUU ITE menulis lebih lanjut mengenai persyaratan minimum
yang harus ada dalam mengoperasikan sistem elektroniknya.
Dalam Pasal 18 kita dapat membaca :
(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang
tersendiri, setiap penyelenggara sistem elektronik harus
mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi
nersyaratan minimum sebagai berikut :

153
a. dapat menampilkan kembali informasi elektronik
yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem
elektronik yang telah bedangsung;
b. dapat melindungi keotenukan, integritas, kerahasiaan,
ketersediaan, dan keteraksesan dari informasi
elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik
tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau
petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik
tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang
diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol
yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk
menjaga kebaruan, kejelasan, dan pertanggung­
jawaban prosedur atau petunjuk tersebut;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan sistem
elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Apa yang ditulis oleh para penyusun draf RUU ITE
tersebut tampaknya standar. Namun terdapat kelemahan
mendasar yang kurang dipikirkan dengan baik, yaitu bahwa
pengguna harus dapat menyimpan informasi elektronik untuk
ditampilkan kembali. Apa yang ditulis dalam Pasal 18 ayat (1)
tersebut hanyalah untuk penyedia jasa yang menyelenggara­
kan sistem elektronik dan tidak mengakomodir kepentingan
dari pengguna sistem elektronik untuk menyimpan informasi
elektronik yang digunakannya sebagai suatu bukti yang
-^diperlukannya suatu waktu. Dari sudut pengguna, tentulah
perlu untuk menyimpan dalam komputernya informasi yang
tersedia pada sistem elektronik untuk menjadi bukti bagi
pengguna jika suatu waktu terjadi perbedaan pendapat atau
sengketa.
Sayang juga bahwa sekalipun ditentukan syarat minimum,
ternyata penyusun draf RUU tersebut tidak terpikir untuk
membuat sanksi apa yang akan dikenakan jika ternyata
persyaratan minimum itu tidak dipenuhi. Tidak jelas apakah
pemerintah berwenang untuk melarang beroperasinya suatu
sistem elektronik yang tidak memenuhi persyaratan minimum
atau tidak.
Penyusun RUU tersebut hanya menulis dalam ayat (2)
bahwa apa yang diatur dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Pemerintah. Tampak bahwa penyusun RUU
ini lebih senang memberi blanko kepada pemerintah untuk
mengaturnya lebih lanjut. Mal ini memang patut disikapi pada
permulaan untuk menghindari suatu tindakan yang tidak
diinginkan kelak di kemudian hari.
f. Keamanan dari Proses secara Online
Persoalan yang sudah sejak lama menjadi perdebatan serius
mengenai apakah transaksi secara elektronik dapat dikatakan
aman. Isu ini juga menjadi perhatian dalam melakukan proses
berarbitrase secara online. Internet sebagaimana sudah
dimaklumi merupakan suam medium yang tidak aman. Para
hackers dapat mengintersepsi pesan-pesan yang dildrimkan
dan pesan-pesan yang dikirim biasanya disimpan dalam suam
server yang juga dapat dimasuki oleh pihak-pihak yang tidak
berhak. Para pihak juga dapat melakukan kesalahan yang
mungkin terjadi karena kelalaian yang membuat pesan-pesan
yang seharusnya dikirimkan kepada salah satu pihak ternyata
terkirim kepada pihak lain yang boleh jadi merupakan pesaing.
Namun demikian, langkah-langkah jitu sudah dilakukan
untuk mengatasi hal ini. Server yang aman sudah ditemukan
dan encryption software sudah ditemukan dan hal itu sudah
dijalankan. Sebuah studi yang dilakukan mengenai penyelesai­
an sengketa secara elektronik menunjukkan bahwa penyedia
jasa penyelesaian sengketa sangat jarang menetapkan standar
keamanan.
Draf RUU ITE sudah menampung hampir keseluruhan
soal mengenai keamanan bertransaksi di internet dengan
ancaman hu-kuman yang sedemikian berat. Saya melihat jika
sekiranya nanti draf RUU ITE menjadi undang-undang maka
kepercayaan akan internet akan semakin besar.
Sepanjang menyangkut arbitrase online, tampak bahwa
persyaratan minimum tersebut tidak akan menimbulkan soal
yang terlalu merisaukan.

155
3. PUTUSAN ARBITRASE
a. Konvensi New York
Pihak yang mengajukan permohonan untuk pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase harus menyerahkan a duly
authenticated original award or a duly certified copy thereof
(Article IV(1) Konvensi New York). Jika kita memperhatikan
ketentuan mengenai persyaratan putusan arbitrase ini, maka
kita dapat menyatakan bahwa Konvensi New York
memberikan persyaratan yang lebih ketat terhadap putusan
arbitrase dibandingkan dengan perjanjian arbitrase. Jika untuk
perjanjian arbitrase cukup ditunjukkan perjanjian yang asli
(original) atau salinannya yang sudah disahkan maka terhadap
putusan arbitrase diperlukan a duly authenticated original
award or a duly certified copy thereof.
Hal ini berarti bahwa tanda tangan dari arbitrator harus
diotentikasi oleh pihak ketiga yang dipercaya untuk itu, seperti
oleh korps diplomatik atau konsuler. Persyaratan yang lebih
ketat ini dilakukan berhubung arbitrator tidak hadir dan bukan
merupakan pihak dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase.
Menyangkut putusan arbitrase ini, tidak dapat diragukan
bahwa putusan yang dibuat secara online tidak akan
memenuhi syarat menurut Konvensi New York.
b. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
(i) Arbitrase nasional
Undang-Undang No 30 Tahun 1999 juga mengatur bahwa
suatu putusan harus dibuat secara tertulis dan
ditandatangani oleh arbiter atau majelis arbitrase. Ilal ini
dapat kita lihat dalam Pasal 54 yang berbunyi :
(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbitrase oleh salah
seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal
dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya
putusan.
(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagai­
mana dimaksud dalam ayat (2) harus dicantumkan
dalam putusan.

156
Ketentuan dalam Pasal 54 itu menentukan bahwa
diperlukan tanda tangan dari arbitrator. Ketentuan tersebut
tidak sepenuhnya menandakan bahwa putusan arbitrase
harus dibuat secara tertulis. Ketentuan dalam Pasal 59
ayat (1) lebih memperjelas bahwa putusan harus dibuat
secara tertulis. Pasal 59 ayat 1 berbunyi :
Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan
otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh
arbiter atau kuasanya kepada Panitera Penga dilan Negeri.
Namun hal yang lebih jelas lagi menunjukkan bahwa
putusan arbitrase harus tertulis adalah ketentuan dalam
Pasal 59 ayat (2) yang berbunyi :
Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan
pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera
Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang
menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta
pendaftaran.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa panitera
pengadilan dan arbiter atau kuasanya memberikan tanda
tangan pada bagian akhir atau pada pinggir putusan. Pasal
63 juga menentukan lebih jauh bahwa Perintah Ketua
Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli atau salinan
otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan. Dengan
demikian untuk putusan arbitrase nasional maka putusan
harus tertulis, asli, dan ditandatangani oleh arbiter atau
majelis arbitrase. Putusan arbitrase yang dibuat secara
online dengan demikian tidak memenuhi persyaratan
menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
(ii) Arbitrase Internasional
Menyangkut putusan arbitrase internasional, Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 juga memerlukan putusan
dibuat secara tertulis, asli tetapi tidak jelas apakah
memerlukan tanda tangan. Hal ini dapat lata lihat dalam
Pasal 67 ayat (2) (a) yang berbunyi :
(2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai
dengan:

157
a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase
Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifi-
kasi dokumen asing, dan naskah terjemahan
resminya dalam bahasa Indonesia;
Persyaratan yang diberikan oleh Undang-Undang No.
30 Tahun 1999 lebih longgar dibandingkan dengan yang
diberikan oleh Konvensi New York. Undang-Undang No.
30 Tahun 1999 tidak mempersyaratkan bahwa lembar asli
itu diotentikasi terlebih dahulu, sedangkan Konvensi New
York mengatur perlunya a duly autenticated original
award, 'l’idak sepenuhnya jelas mengapa pembuat
undang-undang mengatur lebih longgar demikian. Suatu
hal yang dapat saya duga adalah berhubung permohonan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional itu harus
dilakukan setelah arbiter atau kuasanya mendaftarkan
putusan arbitrasenya. Konvensi New York tidak
menentukan bahwa arbiter harus mendaftarkan
putusannya di pengadilan di negara mana putusan
dimohonkan untuk diakui dan dilaksanakan. Tentu masih
terbuka pintu untuk menyoal peranan arbiter dalam
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase inter­
nasional.
Ketentuan mengenai putusan arbitrase yang harus
asli, ditanda tangan, dan tertulis tampaknya tidak dapat
ditawar, draf RUU ITE mencoba menawarkan sesuatu
yang lain. Dalam Pasal 6 ditentukan :
Terhadap semua ketentuan hukum yang mensyaratkan
bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli
selain yang diatur dalam Pasal 4 ayat (4), persyaratan
tersebut telah terpenuhi berdasarkan undang-undang ini
jika informasi elektronik tersebut dapat terjamin
keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan, dapat
diakses, dapat ditampilkan sehingga menerangkan suatu
keadaan.
Ketentuan tersebut tampaknya kurang memperhatikan
adanya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Di sini
menjadi soal apakah memang putusan arbitrase dapat
dibuat sebagai informasi elektronik. Putusan arbitrase
tidak termasuk yang dikecualikan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 4 ayat (4) RUU ITE. Saya melihat
bahwa putusan arbitrase termasuk yang harus
dikecualikan dan perlu ditampung dalam UU ITE yang
akan datang.
Persyaratan tanda tangan, sudah diatur tersendiri,
sebagaimana disinggung sewaktu membahas perjanjian
arbitrase di atas. Sayangnya adalah bahwa penyusun draf
RUU tersebut lupa mencantumkan soal tanda tangan
dalam Pasal 6. Dengan demikian kita dapat melihat
adanya suatu upaya untuk memudahkan dalam hal
persyaratan sedemikian tegasnya.
Sekalipun terdapat kemudahan, kelak jika draf RUU
tersebut memang dijadikan undang-undang, saya melihat
bahwa putusan arbitrase itu tetap perlu dalam bentuknya
yang tertulis, asli, ditandatangani, dan dilakukan
otentikasi terhadap keasliannya sebagaimana ditentukan
dalam Konvensi New York.

159
160
KONSEPSI ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA
DAN ARBITRASE
(Sisi Hukum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999)

A. ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (ADR)


L Pendahuluan
Pada awal pengembangan ADR muncul pola pikir
perlunya pengintegrasian komponen ADR ke dalam undang-
undang mengenai arbitrase. Pemikiran tersebut dimaksudkan
untuk menjadikan ADR sebagai bentuk alternatif penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang dapat berkembang pesat dan
sesuai dengan tujuannya, antara lain sebagai berikut:
1. Terdapat peran serta masyarakat untuk menyelesaikan
sengketanya sendiri (akses kepada keadilan).
2. Menumbuhkan iklim persaingan yang sehat bagi lembaga
peradilan sehingga akan terjadi proses seleksi yang
menggambarkan tingkat kepercayaan masyarakat.
3. Cara meningkatkan daya saing dalam mengundang
penanam modal (investor) ke Indonesia melalui adanya
kepastian hukum, termasuk tersediannya sistem
penyelesaian sengketa yang efisien.
4. Lembaga ADR diharapkan mendorong lembaga-lembaga
penyelesaian sengketa di masyarakat guna meningkatkan
citra dan kepercayaan masyarakat.
Pembentukan ADR sebagai alternatif penyelesaian
sengketa tidak cukup dengan dukungan budaya musyawarah/
mufakat dari masyarakat, tetapi perlu pengembangan dan
pelembagaan yang meliputi perundang-undangan untuk
memberikan landasan hukum dan pembentukan asosiasi
profesi atau jasa profesional.
Bentuk dan unsur-unsur pelembagaan dan pendayagunaan
ADR antara lain terletak pada hal-hal berikut:
1. Perangkat perundang-undangan.
2. Sistematisasi atau aturan main yang jelas dan prosedur
pendayagunaan.

161
3. Kebutuhan penyedia jasa profesional.
4. Sumber daya manusia.
5. Pemasyarakatan.
Persoalan landasan hukum pelembagaan ADR sebagai
bentuk penyelesaian sengketa telah diupayakan pemecahannya
melalui perangkat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 138) tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
disebutkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa (ADR)
adalah lembaga penyelesian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati bersama oleh para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
UU tersebut memberikan kepastian hukum bagi
berlakunya lembaga penyelesaian alternatif di luar pengadilan
yang diharapkan berprosedur informal dan efisien. Ilal ini
akan memberikan kemudahanbagi masyarakat untukberperan
serta dan mengembangkan mekanisme penyelesaian konflik­
nya sendiri serta mendapatkan pilihan untuk menyelesaikan
sengketa yang mungkin timbul.
Pada umumnya, dalam praktek atau aktifitas bisnis,
metode penyelesaian sengketa dapat dilihat dalam setiap
perjanjian yang dilakukan (terutama dalam bidang perdata
khususnya bidang perdagangan/business). Masyarakat bisnis
umumnya dihadapkan pada pilihan penyelesaian sengketa
secara litigasi/pengadilan. Sekarang mereka mendapat pilihan
untuk menggunakan lembaga ADR sebagai sarana
penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dalam aktifitas
bisnisnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
pengertian arbitrase dibedakan dengan alternatif penyelesaian
sengketa berdasarkan metode penyelesaiannya. Metode
penyelesaian dalam alternatif penyelesaian sengketa dilakukan
antara lain melalui :
1. konsultasi,
2. negosiasi,
3. konsiliasi, atau
4. penilaian ahli.
Pengertian alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase
telah diperkenalkan sebagai suatu institusi/iembaga yang
dipilih para pihak yang mengikat apabila timbul beda pendapat
atau sengketa. Dengan demikian, berdasarkan undang-undang,
alternatif penyelesaian sengketa bertindak sebagai lembaga
independen di luar arbitrase. Arbitrase mempunyai ketentuan,
cara, dan syarat-syarat tersendiri untuk pemberlakuan
formalitasnya. Akan tetapi, terdapat kesamaan mengenai
bentuk sengketa yang dapat diselesaikan, yaitu :
1. sengketa atau beda pendapat secara perdata di bidang
perdagangan; dan
2. menurut peraturan perundang-undangan sengketa atau
beda pendapat tersebut dapat diajukan dengan upaya
“damai”.
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa
penyelesaian sengketa model ADR menempuh prosedur
rahasia (confidential). Konsepsi kerahasiaannya diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Diaturnya konsepsi
kerahasiaan ini memberikan jaminan bagi para pihak yang
bersengketa dalam kapasitas yang sama besar dan saling
memberikan kontrol terhadap masing-masing.
2. Tata Cara Penyelesaian
2.1 Kesepakatan Para Pihak
Bentuk kesepakatan para pihak mengenai cara
penyelesaian sengketa atau beda pendapat dalam suatu
hubungan hukum tertentu (misalnya perjanjian dagang)
dibuat dalam suatu pernyataan dari para pihak yang
menerangkan bahwa semua sengketa atau beda pendapat
yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan
hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase
atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 tahun
1999 dinyatakan bahwa para pihak dapat menggunakan
cara negosiasi, mediasi, konsiliasi, ataupun penilaian ahli
yang diselesaikan dalam suatu pertemuan langsung oleh

163
para pihak dalam waktu 14 (empat belas) hari dan
hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
Ketentuan ini memberikan keleluasaan para pihak
untuk menetapkan aturan main (rule o f the games)
terhadap penyelesaian konfliknya, meskipun hanya
diberikan waktu maksimal 14 hari.
2.2 Bantuan Lembaga ADR
Jika para pihak dalam penyelesaian sengketa atau
perbedaan pendapat memperoleh jalan buntu dan belum
menuangkannya dalam perjanjian, atas kesepakatan
tertulis, sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui
bantuan seorang atau lebih penasihat ahli atau mediator.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak
memberikan batasan atau pengaturan terhadap lembaga
penyedia jasa (penasihat ahli, mediator), tetapi hanya
memberikan batasan pada lembaga alternatif penyelesaian
sengketa yang menunjuk seorang mediator atau penasihat
ahli. Lantas ke mana para pihak akan mencari lembaga
penyedia jasa (negosiator, mediator, penilai ahli)
profesional? Pertanyaan ini menjadi penting bagi
masyarakat, terutama dalam kenyataan praktek. Karena
itu paling tidak dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun
1999 perlu ada pengaturan lebih lanjut mengenai lembaga
ADR tersebut. Dalam undang-undang disebutkan bahwa
lembaga ADR menunjuk mediator atau penasihat ahli. Di
mana mediator atau penasihat ahli itu didapat? Di
lembaga ADR-kah atau mediator atau penasihat ahli
profesional yang berdiri secara independen. Jangankan
lembaga penyedia jasanya, sedangkan syarat-syarat
pengangkatan untuk mediator, negosiator, penasihat ahli
saja tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 ini.
Menurut kami, dalam kondisi yang demikian paling
tidak perlu peraturan pelaksanaan, seperti peraturan
pemerintah atau peraturan lainnya mengenai pembentuk­
an lembaga alternatif penyelesaian sengketa dan lembaga
penyedia jasa (mediator, negosiator, mediator profesional,
serta syarat-syarat dan pengangkatannya).
2 .3 K e k u a ta n M e n g ik a t

Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama


14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih
mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat atau
mempertemukan kedua belah pihak, para pihak dapat
menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang
mediator. Setelah penunjukan mediator oleh lembaga
arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa,
usaha mediasi harus sudah dapat dimulai dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari. Dalam usaha penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui alternatif
penyelesaian sengketa, peran mediasi sebagai bentuk
penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 lebih diutamakan.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat secara tertulis bersifat final dan mengikat para
pihak untuk dilaksanakan dengan baik serta wajib
didaftarkan di pengadilan negeri. Dengan demikian,
terlihat bahwa peran pengadilan sebagai lembaga yudisial
tidak dapat dipungkiri lagi kekuatan mengikatnya yang
berkekuatan hukum. Akan tetapi, Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tidak mengatur bagaimana jika
kesepakatan atau beda pendapat yang sudah didaftarkan
tidak dilaksanakan oleh para pihak sampai batas waktu
yang sudah ditentukan.

B. ARBITRASE
1. Sumber Ilukum Arbitrase
Sebelum membicarakan permasalahan arbitrase, terlebih
dahulu harus mengetahui sumber hukum yang mengatur
keberadaan arbitrase itu sendiri dalam sistem tata hukum
Indonesia. Dengan demikian, kita akan tahu persis titik tolak
pemikiran dalam mengupas arbitrase. Ilal ini didasarkan pada
suatu asumsi bahwa di kalangan praktisi hukum, apalagi di
kalangan masyarakat awam, masih banyak yang tidak
mengetahui rujukan ketentuan yang menyangkut arbitrase
dalam tata hukum Indonesia.

165
1.1 P asal 3 7 7 HI R

Tata hukum Indonesia memiliki aturan mengenai


arbitrase. Landasan hukumnya bertitik tolak dari Pasal
377 HIR atau Pasal 705 RBG, yang menyatakan bahwa
jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki
perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka
mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang
berlaku bagi bangsa Eropa. Pasal 377 IIIR di ataslah yang
menjadi titik tolak keberadaan arbitrase dalam kehidupan
dan praktek hukum. Pasal ini menegaskan hal-hal sebagai
berikut:
1. Pihak-pihak yang bersangkutan diperbolehkan
menyelesaikan sengketa melalui juru pisah atau
arbitrase.
2. Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk
menyelesaikannya dalam bentuk keputusan.
3. Untuk itu, baik para pihak maupun arbiter “wajib”
tunduk menuruti peraturan hukum acara yang berlaku
bagi bangsa atau golongan Eropa.
Jelas terlihat, Pasal 377 IIIR memberi kemungkinan
bagi para pihak yang bersengketa untuk membawa dan
menyelesaikan perkara yang timbul di luar jalur
kekuasaan pengadilan apabila mereka menghendakinya.
Penyelesaian dan keputusannya dapat mereka serahkan
sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim dikenal dengan
nama “arbitrase”. Dalam undang-undang tersebut,
arbitrase dilimpahi fungsi dan kewenangan untuk
memutuskan persengketaan.

1.2 Pasal 615-651 Rv


Sebagaimana sudah dijelaskan, landasan aturan
keberadaan arbitrase berpijak pada ketentuan Pasal 377
IIIR. Akan tetapi, HIR maupun RBG tidak memuat aturan
lebih lanjut tentang arbitrase.
Untuk mengisi kekosongan aturan tentang arbitrase,
Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG langsung menunjuk
aturan Pasal-pasal arbitrase yang terdapat dalam
Reglement Hukum Acara Perdata (Reglement op de
Bergerlijke Rechtsvordering, disingkat Rv, S 1847 - 52 jo
1849 - 63). Hal itu jelas terbaca dalam kalimat “wajib
memenuhi peraturan pengadilan perkara yang berlaku
bagi bangsa Eropa”.
Bertitik tolak dari sejarah politik hukum yang
digariskan dalam Pasal 75 RR dan lebih lanjut diatur
dalam Pasal 131 IS, di zaman pemerintahan Belanda
dikenal pembagian tiga kelompok penduduk dengan
sistem hukum dan lingkungan peradilan yang bercorak
“pluralistik”. Bagi golongan penduduk Bumiputra, hukum
materil yang diberlakukan di bidang hukum perdata pada
dasarnya diterapkan dalam hukum Adat. Peradilannya
tunduk pada Pengadilan Landraad sebagai peradilan
tingkat pertama, sedangkan hukum acara yang
dipergunakan adalah HIR untuk daerah pulau Jawa -
Madura dan RBG untuk daerah tanah seberang.
Bagi golongan penduduk Timur Asing dan Eropa,
hukum perdata materil yang diberlakukan adalah KUH
Perdata (BW) dan KUH Dagang (WvK), sedangkan
hukum acara perdatanya adalah Reglement Acara Perdata
(Rv). Dalam buku ketiga Reglemen Acara Perdata tentang
Aneka Acara, pada Bab I diatur ketentuan mengenai
putusan wasit (arbitrase) yang terdiri atas Pasal 615
sampai Pasal 651. Pasal-pasal inilah yang wajib dituruti
dan diterapkan sebagai landasan hukum umum
kearbitrasean sejak dulu sampai sekarang, baik untuk
golongan penduduk Bumiputra, Timur Asing, dan Eropa.
Dengan demikian, keberadaan hukum acara mengenai
arbitrase dalam Rv adalah “wajib” apabila para pihak para
pihak hendak menyelesaikan sengketa mereka melalui
arbitrase. Dengan kata lain, penerapan pasal-pasal
ketentuan arbitrase yang diatur dalam Reglemen Acara
Perdata (Rv) wajib dituruti oleh siapapun jika mereka
ingin menyelesaikan persengketaan yang timbul melalui
badan arbitrase.
Sebagai pedoman umum aturan arbitrase yang diatur
dalam Reglemen Acara Perdata meliputi lima bagian
pokok berikut:

167
1. Bagian pertama (615 - 623): Persetujuan arbitrase dan
pengangkatan arbiter.
2. Bagian kedua (624 - 630): Pemeriksaan di muka
badan arbitrase.
3. Bagian ketiga (631 - 6400): Putusan arbitrase.
4. Bagian keempat (641 - 647): Upaya-upaya terhadap
putusan arbitrase.
5. Bagian kelima (647 - 651): Berakhirnya acara-acara
arbitrase.
Sistematika tersebut pada saat pembuatannya di tahun
1849 mungkin sudah memenuhi kebutuhan praktek. Akan
tetapi, memperhatikan laju pertumbuhan dan
perkembangan yang makin cepat dan beraneka ragam,
sudah saatnya dipikirkan dan diusahakan pembangunan
dan pembaharuan hukum di bidang arbitrase yang lebih
utuh dan terpadu, meliputi juga segala segi yang
menyangkut arbitrase “asing” yang diputus di luar negeri.
Mal ini disebabkan ketentuan arbitrase yang diatur dalam
Reglemen Acara Perdata belum meliputi hal-hal yang
berkenaan dengan pengakuan dan eksekusi putusan
arbitrase asing. Arbitrase asing pada saat sekarang sudah
merupakan kebutuhan yang tak dapat dihindari, terutama
dalam era globalisasi dan interdependensi kehidupan
masyarakat Indonesia, baik dalam kegiatan penanaman
modal asing maupun dalam lalu lintas dunia perdagangan.
Lebih ironis lagi, bentuk klausul pactum compromittende
yang diatur dalam Pasal 615 Ayat (3), boleh dikatakan
tidak jelas dan sudah ketinggalan zaman.
Demikian pula mengenai masalah upaya banding atas
putusan arbitrase yang diatur dalam Pasal 641, bisa
menimbulkan ketidakpastian hukum. Mengenai masalah
pemeriksaan yang diatur dalam Pasal 632, tidak tegas
diungkapkan apakah harus bersifat audi et alteram partem
(mendengar kedua belah pihak) sehingga sering
menimbulkan selisih pendapat. Ada yang berpendapat
bahwa audi et alteram partem merupakan asas yang
bersifat imperatif. Sifat imperatifnya meliputi keharusan
para pihak harus hadir atau diwakili dalam forum arbitrase
sehingga benar-benar tercipta suatu forum yang memberi
kesempatan yang pantas dan layak kepada masing-masing
pihak untuk membela dan mempertahan-kan
kepentingannya.
1.3 Undang-Undang No 30 Tahun 1999
Di dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 antara lain disebutkan bahwa
penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan.
Akan tetapi, putusan arbitrase hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi (executoir) dari pengadilan.
Penggunaan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtvordering, Staadblad 1847:52), Pasal 377 Reglemen
Indonesia yang Diperbaharui (He t Ilerziene Indonesisch
Reglement Staadblad 1941:44), dan Pasal 705 Reglemen
Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buistengewesten, slaatsblad 1927:227)
sebagai pedoman arbitrase sudah tidak memadai lagi
dengan kondisi ketentuan dagang yang bersifat
internasional. Pembaharuan pengaturan mengenai
arbitrase sudah merupakan conditio sine qua non dan
perlu perubahan secara substantif dan filosofis atas
pengaturan mengenai arbitrase yang ada.
Pada tanggal 12 Agustus 1999, telah disahkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang ini
merupakan perubahan atas pengaturan mengenai arbitrase
yang sudah tidak memadai lagi dengan tuntutan
perdagangan internasional. Ketentuan arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan
Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtvordering, Staadblad 1847:52), Pasal 377 Reglemen
Indonesia yang Diperbaharui (Het Ilerziene Indonesisch
Reglement Staadblad 1941:44), dan Pasal 705 Reglemen
Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buistengewesten, staatsblad1927: 227),
sudah tidak berlaku.

169
2. Perjanjian dan Penerapan Klausul Arbitrase
Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Dalam undang-undang ini, pengadilan
negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang telah terikat dalam perjanjian arbitarse. Hal ini
diperlukan agar posisi lembaga arbitrase makin kuat sehingga
bila terjadi beda pendapat atau sengketa yang mungkin timbul
dalam suatu hubungan hukum tertentu akan diselesaikan
melalui lembaga arbitrase.
2.1 Perjanjian Tertulis
Perjanjian arbitrase bukan perjanjian “bersyarat” atau
“voorwaardelijke verbentenis Oleh karena itu,
pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak tergantung kepada
sesuatu kejadian tertentu di masa mendatang. Perjanjian
arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan
perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan
lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan
yang terjadi antara pihak yang berjanji.
Apakah boleh dan dibenarkan undang-undang untuk
menyelesaikan perkara yang terjadi di luar lembaga
peradilan? Pada prinsipnya, tidak boleh jika semata-mata
berpegang kepada ketentuan Pasal 3 UU No. 14 Tahun
1970. Menurut Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 14
dinyatakan bahwa hanya badan peradilan negara yang
berwenang menetapkan dan menegakkan hukum dan
keadilan di Indonesia. Dengan demikian, yang memiliki
wewenang untuk mengadiU suatu sengketa yang timbul di
antara anggota masyarakat hanyalah badan peradilan
negara. Ini berarti penyelesaian setiap sengketa yang
terjadi harus diajukan ke pengadilan.
Pasal tersebut mengandung arti bahwa selain
peradilan negara tidak diperkenankan lagi adanya
peradilan-peradilan lain yang melakukan penyelesaian
sengketa. Akan tetapi, ternyata penyelesaian Pasal itu
sendiri membuka kemungkinan atas kebolehan

170
menyelesaikan persengketaan di luar badan peradilan
negara. Pada kalimat berikutnya, penjelasan Pasal 3
menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar
pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit
(arbitrase) tetap diperbolehkan.
Penjelasan tersebutlah yang menjadi landasan hukum
perjanjian arbitrase. Dengan demikian, UU No. 14 Tahun
1970 sebagai undang-undang pokok kekuasaan
kehakiman membuka kemungkinan penyelesaian perkara
melalui arbitrase. Karena undang-undang sendiri
memberikan kemungkinan penyelesaian perkara melalui
badan arbitrase, secara hukum terbuka kebebasan bagi
para pihak dalam perjanjian untuk mencantumkan klausul
arbitrase, asal klausul tersebut lahir atas kesepakatan
bersama. Jadi, yang menjadi inti atas kebolehan
mengadakan perjanjian arbitrase adalah perjanjian harus
didasarkan atas “kata sepakat” dari para pihak dan
mencantumkan atau mengatur perjanjian arbitrasenya
(consensualprincipal) dalam salah satu klausul perjanjian
tertentu.
Perjanjian arbitrase mencantumkan atau menyepakati
suatu cara penyelesaian sengketa yang timbul di masa
yang akan datang. Selanjutnya, syarat yang terdapat pada
perjanjian “bersyarat” merupakan satu kesatuan yang
takterpisah dalam perjanjian. Syarat dalam perjanjian
“bersyarat” bukan tambahan yang ditempelkan dalam
perjanjian, melainkan meliputi pokok atau mated
perjanjian.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 'Pahun 1999
mencantumkan bahwa para pihak dapat menyetujui
perjanjian suatu sengketa yang terjadi atau yang akan
terjadi di antara mereka untuk diselesaikan melalui
arbitrase dengan suatu perjanjian tertulis yang disepakati
para pihak. Adanya perjanjian tertulis meniadakan hak
para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke
pengadilan negera.
Terhadap pilihan hukum, para pihak bebas
menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap

171
penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul
antara para pihak.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal
disebabkan oleh keadaan, antara lain :
1. meninggalnya salah satu pihak;
2. bangkrutnya salah satu pihak;
3. novasi;
4. insolvensy salah satu pihak;
5. pewarisan;
6. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
7. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugas-
kan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang
melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
8. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
2.2 Klausul Arbitrase
Dalam praktek dan penulisan, persetujuan arbitrase
selalu disebut klausul arbitrase (arbitration clause).
Penggunaan istilah klausul arbitrase mengandung
konotasi bahwa perjanjian pokok yang bersangkutan
diikuti atau dilengkapi dengan persetujuan mengenai
pelaksanaan arbitrase. Dengan kata lain, perjanjian pokok
yang bersangkutan mengandung klausul arbitrase.
Sebagaimana telah dijelaskan, jenis perjanjian
arbitrase terdiri atas pactum de compromittendo dan akta
kompromis. Perbedaan antara keduanya hanya terletak
pada saat pembuatan perjanjian. Pactum de
compromittendo dibuat sebelum perselisihan terjadi,
sedangkan akta kompromis dibuat setelah timbul
perselisihan. Dari segi isi perjanjian, di antara keduanya
tidak ada perbedaan. Akan tetapi, dalam rangka
pembahasan mengenai isi klausul arbitrase, uraian ini
sekaligus mencakup pactum de compromittendo dan akta
kompromis.
Isi klausul arbitrase adalah mengenai hal-hal yang
boleh dicantumkan dan diperjanjikan, yang dimuat dalam
undang-undang dan konvensi antara lain sebagai berikut:
1. Tidak melampaui isi perjanjian pokok.
2. Isi klausul boleh secara umum.
3. Klausul arbitrase secara terinci.
4. Klausul binding opinion.
Pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa
sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh lembaga
arbitrase adalah sengketa yang menurut aturan perundang-
undangan tidak dapat diadakan upaya perdamaian.
2.3 Arbitrase Bersifat Aksesori
Perjanjian arbitrase yang lazim disebut klausul
arbitrase merupakan tambahan yang diletakkan dalam
perjanjian pokok sehingga disebut perjanjian “aksesori”.
Keberadaannya hanya sebagai tambahan perjanjian pokok
dan sama sekali tidak mempengaruhi pemenuhan
pelaksanaan perjanjian. Walaupun tanpa klausul abritasc,
pemenuhan perjanjian pokok tidak terhalang dan dapat
berdiri sendiri dengan sempurna. Sebaliknya, tanpa
adanya perjanjian pokok, para pihak tidak mungkin
mengadakan ikatan perjanjian arbitrase. Perjanjian
arbitrase tidak bisa berdiri dan mengikat para pihak jika
perjanjian arbitrase tidak berbarengan dengan perjanjian
pokok karena yang akan ditangani oleh perjanjian
arbitrase adalah mengenai perselisihan-perselisihan yang
timbul dari perjanjian pokok. Bagaimana mungkin
mengadakan ikatan perjanjian arbitrase jika perjanjian
pokok tidak ada.
Jelaslah, perjanjian arbitrase hanya merupakan
perjanjian “aksesori” yang berisi persyaratan khusus
mengenai cara penyelesaian perselisihan yang timbul dari
perjanjian pokok. Oleh karena itu, perjanjian tersebut
disebut klausul arbitrase (arbitration clause), yang berisi
persyaratan khusus tentang penyelesaian perselisihan
melalui wasit atau arbiter. Klausul arbitrase yang
ditambahkan dalam perjanjian pada hakikatnya berada di
luar isi atau materi perjanjian pokok.

173
Pada masa sekarang, perjanjian arbitrase sudah
menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari dalam lalu
lintas pergaulan dunia bisnis dan dagang, baik yang
terjadi dalam bentuk joint venture (penanaman modal)
maupun dalam bentuk alih teknologi (transfer o f
technology). Hampir semua transaksi dan perjanjian joint
venture dan perdagangan yang berskala transnasional
selalu dibarengi dengan perjanjian tambahan berupa
klausul arbitrase.
Memang ada manfaat yang dapat diambil oleh para
pihak apabila perselisihan yang timbul diselesaikan
melalui arbitrase, di mana proses penyelesaian
sengketanya bersifat informal dan kerahasiaan para pihak
tetap terjamin. Hal ini disebabkan pemeriksaan
persengketaan dalam forum arbitrase dilakukan dengan
cara “ tertutup”. Suasana dan keadaan para pihak hanya
diketahui anggota arbiter. Hal ini berbeda dengan proses
pemeriksaan badan peradilan, di mana asas pokok proses
pemeriksaan perkara di depan pengadilan harus dilakukan
“terbuka untuk umum”.
Oleh karena itu, besar kemungkinan segala sesuatu
yang menyangkut atau perkara keadaan perusahaan atau
bidang bisnis lainnya dari para pihak bisa tersebar secara
luas melalui media cetak dalam bentuk pemberitaan atau
reportase. Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa
sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui
arbitrase dan telah memberikan wewenang melalui
lembaga arbitrase, arbiter berwenang menentukan dalam
putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak.
Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa tersebut
dimuat dalam dokumen yang ditandatangani oleh para
pihak.
2.4 Kontrak Standar
Kontrak standar dalam perjanjian arbitrase adalah
klausul arbitrase yang merupakan bagian dari syarat-
syarat umum yang terdapat dalam suatu perjanjian.
Dengan kata lain, perjanjian arbitrase sudah merupakan
salah satu syarat dari syarat umum yang terdapat dalam
kontrak standar (algemeneevoorwasrden van standard
contracten).
Apabila seseorang ingin mengadakan perjanjian
dengan suatu perusahaan yang sebelumnya telahmengatur
syarat-syarat perjanjian dalam suatu formulir tertentu, dia
harus menerima isi kontrak yang sudah distandarisasi oleh
pihak perusahaan yang bersangkutan, contohnya polis
asuransi atau akta persetujuan kredit. Syarat-syarat
perjanjian sudah disiapkan dan dicetak sebelum diadakan
perjanjian. Semua syarat yang ditentukan dalam standar
kontrak disiapkan terlebih dahulu oleh pihak yang
membuat tanpa adanya pembicaraan dan kesepakatan
awal dengan pihak lain. Pada saat diadakan perjanjian,
tidak ada lagi tawar menawar antara kedua belah pihak,
baik mengenai rumusan perjanjian pokok maupun
mengenai syarat-syarat perjanjian. Ilal ini sering terjadi
dalam perjanjian asuransi. Pihak perusahaan sudah lebih
dahulu menetapkan surat perjanjian yang berisi rumusan
pokok dan syarat-syarat perjanjian di dalam polis
asuransi. Dengan kata lain, pihak perusahaan asuransi
telah menyiapkan dan menyediakan kontrak standar.
Apabila seseorang hendak mengadakan perjanjian dengan
pihak perusahaan asuransi, ia harus bersedia menyetujui
segala isi dan syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
polis. Kontrak standar perjanjian asuransi biasanya sudah
merumuskan tentang klausul arbitrase dalam salah satu
syarat umum yang lazim berbunyi “all differences arising
pout o f this policy shall be referred to the decission o f an
arbitrator to be appointed in writing by the parties in
differences or if they cannot agree upon a single
arbitrator
Dengan adanya klausul arbitrase yang tertuang dalam
kontrak standar yang menegaskan semua perselisihan
yang akan timbul diselesaikan melalui arbitrase, secara
langsung telah terbit perjanjian arbitrase dari kontrak
standar. Terkadang karena kontrak standar sudah
merupakan formulir yang harus ditandatangani pada saat
seseorang hendak membuat perjanjian, penandatanganan
hanya dilakukan sepintas lalu tanpa penelitian lebih lanjut

175
tentang segala syarat yang tercantum di dalamnya bahkan
isi rumusan yang terkandung dalam kontrak standar sama
sekali tidak dipahami dan dimengerti sepenuhnya oleh
pihak penandatanganan, umpamanya seseorang yang
hendak menandatangani polis asuransi jiwa. Meskipun
tertanggung berasal dari anggota masyarakat menengah
dan berpendidikan, terkadang banyak hal-hal teknis dan
syarat yang tidak dipahami dalam polis yang
ditandatanganinya.
Apakah klausul arbitrase yang terdapat di dalamnya
mengikat kepada para pihak? Jawabnya, tergantung
kepada bagaimana pendapat kita tentang sah atau tidaknya
bentuk perjanjian kontrak standar itu sendiri. Jika kita
mengakui dan membenarkan eksistensi bentuk kontrak
standar sebagai suatu perjanjian yang sah, dengan
sendirinya segala sesuatu yang tercantum di dalamnya
mengikat para pihak. Akan tetapi, jika kita berpendapat
bahwa perjanjian yang didasarkan atas kontrak standar
tidak sah, seluruh isi perjanjian tidak sah dan tidak
mengikat.
Bagaimanakah dalam praktek? Ilal ini dapat kita lihat
pada salah satu putusan PN Jakarta Pusat tanggal 4 Juli
1986 No. 512/Pdt/l 985 tentang kasus perkara antara Ny.
Tan Tia Sindhora dan PT Periscope Insurance Company
Ltd. Pengadilan negeri dalam putusannya antara lain
mempertimbangkan klausul arbitrase a quo merupakan
pactum de compromittendo, yang sesuai dengan perkem­
bangan hukum baru. Menurut pendapat majelis, dewasa
ini tidak dapat dibenarkan untuk asuransi karena perkara a
quo tidak sekadar mengenai quantum dari tanggung gugat
itu sendiri yang bersifat yuridis benar. Polis a quo
merupakan perjanjian standar yang dirumuskan sepihak
oleh penanggung. Penafsiran ketentuan-ketentuan dan
klausul arbitrasenya dilakukan secara contra preferentetn
(Pasal 1349 BW). Lebih lanjut, putusan mengatakan
bahwa klausul arbitrase a quo adalah kabur dan tidak jelas
sehingga membuat peluang bagi suatu pihak untuk
mengulur waktu mengenai pengangkatan arbiter dan
dengan demikian melawan asas peradilan sederhana,
cepat, biaya ringan yang disesuaikan dengan Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970. Klausul arbitrase a quo
mengandung diskriminasi karena apabila penanggung
hendak melancarkan tindakan hukum, hal tersebut
dilakukan melalui pengadilan, sedangkan di lain pihak
hak tersebut tidak diberikan kepada tertanggung.
Kelemahan yang terkandung dalam perjanjian
kontrak standar adalah adanya kekuasaan dan kedudukan
yang lebih besar pada salah satu pihak untuk menentukan
secara sepihak isi dan syarat-syarat perjanjian. Dalam hal
ini pengusaha berhadapan dengan nasabah atau
konsumen. Posisi pada pihak yang kedudukannya relatif
lebih lemah tidak diikutsertakan dalam perumusan isi
perjanjian. Pihak pada posisi ini hanya diminta
persetujuannya saja. Jika setuju, silahkan menandatangani
perjanjian. Karena pihak yang lemah sangat
membutuhkan, kontrak standar ditandatangani meskipun
hal itu dilakukan dalam tekanan atau keadaan terpaksa
yang terselubung. Oleh karena itu, dari segi pendekatan
teoretis, cukup alasan untuk menyatakan perjanjian yang
berbentuk kontrak standar mengandung cacat, karena itu
dapat dibatalkan.
Akan tetapi, pendekatan teoretis tersebut telah
didesak oleh kenyataan dalam praktek. Dalam masa
perkembangan perekonomian sekarang, seiring dengan
laju perkembangan globalisasi usaha perdagangan dan
alih teknologi telah membawa dampak perkembangan
perjanjian kontrak standar di bidang perbankan, asuransi,
leasing, jualbeli secara angsuran, dan sebagainya.
Pembelian rumah BTN atau real estate pada umumnya
menggunakan perjanjian berbentuk kontrak standar.
Perjanjian asuransi apapun yang dilakukan semuanya
dalam bentuk kontrak standar.
Dapat dikatakan bahwa kontrak standar sudah
menjadi kebutuhan dalam kehidupan masyarakat.
Menghadapi perkembangan faham liberalisme, keberadaan
kontrak standar tidak dapat dihindarkan lagi.
Satu-satunya cara untuk mencegah kemungkinan
timbulnya perkosaan hukum yang keterlaluan dari

177
perjanjian kontrak standar adalah melalui kontrol Pasal
1349 KUII Perdata. Ilal itu pun sudah disinggung dalam
putusan PN Jakarta Pusat. Menurut putusan tersebut,
penafsiran syarat dan ketentuan yang dirumuskan dalam
kontrak standar harus dilakukan secara contra
proferentem.
Cara menerapkan asas contra proferentem dalam hal
ada keragu-raguan akan isi dan penafsiran syarat-syarat
perjanjian adalah syarat-syarat perjanjian harus ditafsirkan
atas “kerugian” untuk orang yang telah meminta
diperjanjikannya sesuatu hal dan “keuntungan” untuk
pihak yang telah mengikatkan dirinya dalam perjanjian.
Contoh, dalam perjanjian kontrak standar di bidang
asuransi, penanggung telah memaksakan setiap perjanjian
sehinga ia harus tunduk mengikuti kontrak standar yang
ditentukannya.
Dalam hal ini, jika dihubungkan dengan asas contra
proferentem yang diatur Pasal 1349 KUII Perdata, pihak
asuransi adalah pihak yang meminta diperjanjikannya
sesuatu dan pihak tertanggung adalah pihak yang
mengikatkan diri pada kontrak standar. Oleh karena itu,
setiap pelaksanaan dan penafsiran perjanjian asuransi
harus berpihak untuk kerugian pihak perusahaan asuransi
dan untuk keuntungan pihak tertanggung.
Jenis Arbitrase
Ilal-hal yang akan dibicarakan pada bagian ini adalah
menyangkut masalah lembaga arbitrase. Tinjauan terhadap
jenis lembaga arbitrase dilakukan melalui pendekatan
ketentuan perundang-undangan dan aturan yang terdapat
dalam Rv dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Arbitrase yang dimaksud ialah macam-macam arbitrase
yang diakui eksistensi dan kewenangannya untuk memeriksa
dan memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak yang
mengadakan perjanjian.
3,1 Arbitrase Ad Hoc
Jenis arbitrase ad hoc disebut juga sebagai arbitrase
volunter. Ketentuan dalam ReglementRechtvordering
mengenai adanya lembaga arbitrase ad hoc. Arbitrase ad
hoc adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk
menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau
dengan kata lain arbitrase ad hoc bersifat insidentil.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
pengertian arbitrase ad hoc diadakan dalam hal terdapat
kesepakatan para pihak dengan mengajukan permohonan
kepada ketua pengadilan negeri untuk menunjuk seorang
arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa
para pihak. Akan tetapi, pengajuan permohonan kepada
pengadilan negeri bukan sebagai syarat mutlak untuk para
pihak dalam menentukan arbiter yang akan menyelesai­
kan sengketanya.
Untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase
yang disepakati para pihak adalah jenis arbitrase ad hoc,
dapat dilihat dari rumusan klausul pactum de
compromittendo atau kata kompromis yang menyatakan
bahwa perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang
berdiri sendiri di luar arbitrase institusional. Dengan kata
lain, jika klausul menyebutkan bahwa arbitrase yang akan
menyelesaikan perselisihan adalah arbitrase perorangan,
jenis arbitrase yang disepakati adalah arbitrase ad hoc.
Ciri pokok arbitrase ad hoc adalah penunjukan para
arbiternya secara perorangan.
Pada prinsipnya, arbitrase ad hoc tidak terikat atau
terkait dengan salah satu badan arbitrase. Para arbiternya
ditentukan sendiri dengan kesepakatan para pihak. Karena
arbitrase ad hoc tidak terkait dengan salah satu badan
arbitrase, dapat dikatakan jenis arbitrase ini tidak
memiliki aturan atau cara tersendiri mengenai tata cara
pemeriksaan sengketa. Dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 terdapat syarat untuk dapat ditunjuk atau
diangkat sebagai arbiter, antara lain :
a) cakap melakukan tindakan hukum;
b) berumur paling rendah 35 tahun;
c) tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat kedua dengan salah satu
pihak bersengketa;

179
d) tidak mempunyai kepentingan finansial atau
kepentingan lainnya atas putusan arbitrase; dan
e) memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif
bidang pekerjaan paling sedikit selama 15 tahun.
Arbiter yang ditunjuk oleh para pihak dalam
penyelesaian sengketa melalui arbitrase ad hoc harus
memenuhi persyaratan penunjukan dan pengangkatan
arbiter seperti di atas. Yang menjadi pertanyaan penting
disini adalah di mana para pihak atau pengadilan
menunjuk arbiter-arbiter yang memiliki persyaratan
tersebut? Di lembaga arbitrase institusionalkah atau
lembaga penyedia jasa arbiter lainnya. Hal ini yang belum
diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
3.2 Arbitrase Institusional
Arbitrase institusional (institutional arbitration)
merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
permanen sehingga disebut “permanent arbitral body’’.
Arbitrase instusional sengaja didirikan untuk menanggani
sengketa yang mungkin timbul bagi mereka yang
menghendaki penyelesaian di luar pengadilan. Arbitrase
ini merupakan wadah yang sengaja didirikan untuk
menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.
Pihak-pihak yang ingin penyelesaian perselisihannya
dilakukan oleh arbitrase dapat memperjanjikan bahwa
keputusan akan diputus oleh arbitrase institusional yang
bersangkutan.
Arbitrase institusional tetap berdiri meskipun
perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.
Sebaliknya, arbitrase ad hoc akan bubar dan berakhir
keberadaannya setelah sengketa yang ditangani selesai
diputus. Selain hal-hal yang diutarakan di atas, dalam
pendirian arbitrase institusional sebagai badan yang
bersifat permanen, sekaligus juga disusun organisasinya
serta ketentuan-ketentuan tentang tata cara pengangkatan
arbiter dan tata cara pemeriksaan persengketaan.
Seperti yang sudah dijelaskan, arbitrase institusional
merupakan badan (body) atau lembaga (institusional)
yang sengaja didirikan sebagai wadah permanen. Jika
pendiriannya hanya untuk kepentingan suatu bangsa atau
negara, arbitrase institusional tersebut dinamakan bersifat
nasional.
Ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksi arbitrase
institusional yang bersifat nasional hanya meliputi
kawasan negara yang bersangkutan, misalnya Badan
Arbitrase Nasional Indonesia yang disingkat BANI.
Ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksi BANI hanya
meliputi kawasan Indonesia. Akan tetapi, meskipun BANI
bersifat nasional, bukan berarti ia hanya berfungsi
menyelesaikan sengketa-sengketa yang berkadar nasional,
melainkan juga menyelesaikan sengketa-sengketa yang
berbobot internasional, asal hal itu diminta dan disepakati
oleh para pihak.
Di samping jenis arbitrase institusional yang bersifat
nasional, ada juga arbitrase institusional yang berwawas­
an internasional. Badan-badan arbitrase internasional yang
ada dan sudah lama didirikan, antara lain Court o f
Arbitration o f The International Chamber o f Commerce
yang disingkat (ICC), dan The International Centre for
Settlement o f Investment Disputes (ICSID).
3.3 Sistem Arbiter
Setelah kita mengetahui jenis arbitrase, selanjutnya
membahas sistem arbiter yang akan duduk dan berfungsi
melaksanakan jasa dan pelayanan arbitrase. Jika arbitrase
merupakan wadah, arbiter adalah orang {person) yang
ditunjuk dan diangkat melaksanakan fungsi dan
kewenangan arbitrase. Dengan demikian, pembicaraan
mengenai sistem arbitrase adalah menyangkut
permasalahan yang berkenaan dengan persoalan jumlah
arbiter, cara penunjukan atau pengangkatan arbiter, serta
campur tangan pengadilan dalam pengangkatan arbiter.
4. Kewenangan Arbitrase
Bagian ini membahas secara singkat kewenangan
arbitrase sebagai juru pisah persengketaan. Maksudnya,
apakah persetujuan yang memuat perjanjian arbitrase, baik
dalam bentuk pactum de compromittende maupun akta
kompromis, mengesampingkan kompetensi pengadilan?

181
Terhadap permasalahan ini berkembang dua aliran
sebagai berikut:
1. Klausul arbitrase : bukan publik orde.
Aliran ini secara tersirat dapat dilihat dalam putusan
NR 8 Januari 1925 yang memuat putusan sebagai berikut:
a. Suatu klausul arbitrase berkaitan dengan met van
openbaar orde (bukan ketertiban umum).
b. Sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat
klausul arbitrase dapat diajukan ke pengadilan
perdata.
c. Pengadilan tetap berwenang mengadili sepanjang
pihak lawan tidak mengajukan eksepsi akan adanya
klausul arbitrase.
d. Dengan tidak adanya eksepsi yang diajukan, pihak
lawan dianggap telah “melepaskan” haknya atas
klausul arbitrase dimaksud.
c. Eksepsi atau tangkisan klausul arbitrase baru
diajukan dalam rekonvensi. Tergugat dianggap telah
melepaskan haknya atas klausul arbitrase dan
kewenangan mengadili sengketa sudah jatuh dan
tunduk pada yurisdiksi pengadilan.
Dengan demikian aliran ini berpendapat bahwa
arbitrase tidak bersifat absolut. Klausul tersebut harus
dipertahankan para pihak sehingga akan tetap mengikat.
Apabila sengketa yang timbul dari perjanjian yang
mengandung klausul arbitrase diajukan salah satu pihak
ke pengadilan, pengadilan berwenang mengadili.
Kewenangan baru gugur apabila pihak tergugat
mengajukan eksepsi akan adanya klausul arbitrase.
2. Klausul arbitrase: pacta sunt servanda
Aliran ini bertitik tolak dari doktrin hukum yang
mengajarkan bahwa semua persetujuan yang sah akan
mengikat dan menjadi undang-undang bagi para pihak.
Oleh karena itu, setiap persetujuan hanya dapat gugur
(ditarik kembali) atas kesepakatan bersama para pihak.
Asas pacta sunt servanda secara positif telah
dituangkan dalam Pasal 1338 KUII Perdata yang
berintikan :
a. setiap perjanjian mengikat kepada para pihak;
b. kekuatan mengikatnya serupa dengan kekuatan
undang-undang;
c. hanya dapat ditarik kembali atas persetujuan bersama
para pihak.
Bertitik tolak dari prinsip pacta sunt servanda, aliran
ini berpendapat bahwa setiap perjanjian yang memuat
klausul arbitrase :
a. mengikat secara mutlak kepada para pihak; dan
b. kewenangan memeriksa dan memutus sengketa yang
timbul menjadi kewenangan absolut.
5. Pemeriksaan dan Pembuktian Arbitrase
5.1 Sifat dan Jangka Waktu Pemeriksaan
Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau
majelis arbitrase dilakukan secara tertutup dan bahasa
yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah
bahasa Indonesia, kecuali atas dasar persetujuan
arbiter/majelis arbiter para pihak yang bersengketa dapat
memilih bahasa lain yang akan digunakan.
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam
jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari
sejak arbiter atau majelis terbentuk. Pemeriksaan atas
sengketa tersebut dapat diperpanjang dalam hal :
1. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai
hal khusus;
2. sebagai akibat ditetapkannya putusan provisional atau
putusan sela lainnya; atau
3. dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbiter untuk
kepentingan pemeriksaan.
Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut
serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian
sengketa melalui arbitrase. Ilal ini dapat dilakukan apabila

183
pihak ketiga tersebut mempunyai unsur kepentingan yang
terkait, dengan syarat:
1. keturutsertaan pihak ketiga disepakati oleh para
pihak, dan
2. disetujui oleh arbiter/majelis arbiter yang memeriksa
sengketa.
Dalam suatu perjanjian, para pihak secara tegas dan
tertulis bebas menentukan acara arbitrase yang digunakan
dalam pemeriksaan sengketa, sepanjang tidak bertentang­
an dengan ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 1999.
Selain itu harus ada kesepakatan mengenai jangka waktu
dan tempat diselenggarakannya arbitrase. Apabila jangka
waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau
majelis arbitrase yang akan menentukan.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 memberikan
sarana hukum atas permohonan salah satu satu pihak
kepada arbiter/majelis arbitrase untuk dapat mengambil
putusan provisional atau putusan sela lainnya dalam
mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa,
termasuk antara lain :
1. penetapan sita jaminan,
2. memerintahkan penitipan barang kepada pihak
ketiga; atau
3. menjual barang yang mudah rusak.
5.2 Pembuktian
Penentuan alat bukti yang sah dalam proses
pemeriksaan sengketa atau perkara sangat penting.
Penentuan secara limitatif alat bukti yang sah merupakan
landasan kepastian hukum dalam proses pembuktian dan
pengambilan keputusan.
Penentuan alat bukti yang sah dalam suatu
pemeriksaan sengketa di depan forum mahkamah atau
majelis arbitrase tergantung pada ketentuan-ketentuan
dalam suatu perundang-undangan tertentu. Penentuan
acuan ini terletak pada klausul arbitrase. Apabila para
pihak menunjuk BANI sebagai lembaga penyelesaian
sengketa, para pihak menundukkan diri pada proses
penentuan alat bukti berdasarkan ketentuannya. Akan
tetapi, khusus mengenai pembuktian, kita sepakat untuk
tunduk pada hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Jadi, alat bukti dan penilaian pembuktian dalam
praktek dunia arbitrase bisa beragam penerapannya,
tergantung pada hukum yang ditunjuk dan disepakati oleh
para pihak dalam klausul arbitrase. Mereka juga bisa
menunjuk dan menundukkan diri kepada ketentuan
pembuktian yang diatur dalam hukum perdata
internasional.
Jika para pihak menunjuk hukum acara Indonesia
sebagai ketentuan yang berlaku tentang aturan
pembuktian dalam klausul arbitrase, yang dianggap sah
sebagai alat bukti adalah merujuk kepada Pasal 164 HIR.
Alat bukti yang sah menurut ketentuan tersebut terdiri atas

a. alat bukti surat,


b. alat bukti saksi,
c. alat bukti persangkaan,
d. alat bukti pengakuan, dan
c. alat bukti sumpah.
Dengan demikian, mahkamah arbitrase yang bertugas
menyelesaikan sengketa leluasa memberikan kesempatan
kepada para pihak untuk membuktikan dalil atau bantahan
berdasarkan alat-alat bukti dimaksud sesuai dengan tata
cara yang ditentukan dalam HIR. Pembuktian dalil atau
bantahan tidak terbatas pada alat bukti surai, tetapi
dimungkinkan untuk mempergunakan alat bukti sumpah,
baik alat bukti sumpah tambahan maupun yang
menentukan.
Di samping itu, penentuan alat bukti yang sah dapat
berdasarkan ketentuan dalam suatu perundang-undangan
atau hukum tertentu yang ditunjuk berdasar kesepakatan
dalam klausul arbitrase. Bisa juga terjadi, alat bukti yang
sah hanya terbatas kepada alat bukti yang ditentukan
berdasar kesepakatan para pihak. Para pihak dapat
menentukan dalam klausul arbitrase, baik pactum de

185
compromittendo ataupun akta kompromis, bahwa
persengketaan hanya dapat dibuktikan berdasar alat-alat
bukti tertentu.
Misalnya, dalam klausul arbitrase para pihak sepakat
bahwa pembuktian yang sah hanya alat bukti surat, saksi,
dan keterangan para pihak. Dengan adanya klausul
tersebut para pihak dengan sengaja telah menyingkirkan
alat bukti lain yang lazim dipergunakan dalam suatu
aturan tertentu. Klausul yang demikian telah menjadi
pembatas terhadap keleluasaan mempergunakan alat bukti
lain selain dari alat bukti yang disepakati para pihak.
Kebolehan menyepakati pembatasan penggunaan alat
bukti menurut pendapat kita didasarkan pada asas
“kebebasan berkontrak”, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1338 KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak
tidak hanya terdapat dalam kehidupan hukum dan
perundang-undangan nasional. Pada prinsipnya, bidang
hukum perdata, baik hukum formal ataupun materil, lebih
cenderung sebagai hukum yang mengatur dan dapat
dikesampingkan berdasarkan kesepakatan para pihak yang
membuat suatu persetujuan. Oleh karena itu, tidak ada
larangan bagi mereka untuk menentukan sendiri alat-alat
bukti yang mereka kehendaki dalam penyelesaian
sengketa yang timbul. Mereka boleh menentukan dan
memilih alat bukti tertentu dari sekian alat bukti yang
lazim diatur dalam berbagai ketentuan hukum nasional
atau internasional. Apabila demikian halnya, mahkamah
arbitrase yang memeriksa persengketaan dalam
menentukan alat bukti tidak boleh menyimpang dari yang
telah ditentukan para pihak.
6. Putusan Arbitrase
6.1 Putusan Arbitrase (Reglement op de Rechtsvordering)
Pasal 631 Rv meletakkan suatu asas bahwa putusan
arbitrase harus berdasarkan peraturan-peraturan hukum
yang berlaku dalam bidang yang disengketakan. Dalam
himpunan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia, Pasal tersebut diterjemahkan “para wasit
menjatuhkan keputusan menurut aturan-aturan perundang-

186
undangan, kecuali jika menurut kompromi, mereka diberi
wewenang untuk memutus sebagai manusia-manusia baik
berdasar keadilan”.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam
Pasal tersebut adalah yang langsung berkaitan dengan
bidang hukum yang disengketakan. Jika yang disengketa­
kan mengenai masalah hubungan dagang, peraturan
perundang-undangan yang berlaku adalah KUH Dagang.
Mahkamah arbitrase dapat menjatuhkan putusan
berdasarkan putusan ex aequo et bono, yang lazim juga
disebut compositeur. Putusan ini dijatuhkan menurut
keadilan atau according to the jurisdiction. Dalam
peristilahan hukum Belanda, hal ini disebut memutus
sengketa berdasarkan naar biljkheid. Cara ini
diperbolehkan apabila para pihak dalam perjanjian
arbitrase memberi kuasa kepada mahkamah untuk
memutuskan sengketa berdasarkan kebijakan atau
keadilan. Tanpa adanya penegasan yang demikian,
mahkamah tidak boleh memutus sengketa berdasarkan
prinsip ex aquo et bono.
6.2 Putusan Arbitrase (UU Nomor 30 Tahun 1999)
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, para
pihak berhak untuk memohon pendapat yang mengikat
dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari
suatu perjanjian. Lembaga arbitrase dapat menerima
permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu
perjanjian dan memberikan suatu pendapat yang mengikat
(binding opinion) mengenai persoalan berkenaan dengan
perjanjian tersebut, misalnya:
1. penafsiran ketentuan yang kurang jelas,
2. penambahan atau perubahan pada ketentuan yang
berhubungan dengan munculnya keadaan yang baru.
Pemberian pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut
menyebabkan kedua belah pihak terikat padanya. Apabila
tindakan salah satu pihak bertentangan dengan pendapat
tersebut, dianggap melanggar perjanjian. Terhadap
pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan
upaya hukum atau perlawanan, baik upaya hukum

187
banding atau kasasi. Putusan arbitrase yang tidak
ditandatangani oleh salah seorang arbiter dengan alasan
sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan
berlakunya putusan.
Eksekusi Putusan Arbitrase
7.1 Eksekusi Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan dilakukan dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan
ditetapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan
arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau
kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh
panitera diberikan catatan yang merupakan akta
pendaftaran.
Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan
dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan
otentiknya kepada panitera pengadilan negeri. Hal ini
merupakan syarat dan jika tidak terpenuhi berakibat
putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Berdasarkan
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, putusan arbitrase
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak. Keputusan arbitrase bersifat final,
artinya putusan arbitrase merupakan keputusan final dan
karenanya tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau
peninjauan kembali.
Ketua pengadilan negeri dalam memberikan perintah
pelaksanaan harus perlu memeriksa dahulu apakah
putusan arbitrase telah memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Para pihak menyetujui bahwa sengketa di antara
mereka akan diselesaikan melalui arbitrase.
2. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang
ditandatangani oleh para pihak.
3. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai
hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan.
4. Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah yang tidakbcrtentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum.
Putusan arbitrase dibubuhi perintah oleh ketua
pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan
pelaksanaan putusan. Dalam perkara perdata yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
putusan ditetapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.
7.2 Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional
7.2.1 Reglement op de Rechtvordering
Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 34
Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981, Pemerintah
Indonesia telah mengesahkan hasil Konvensi New
York 1958 (Convention on the Recognitionand
Enforcement o f Foreign Arbitral Award) sebagai
bagian sistem hukum nasional.
Hal ini berarti bahwa secara yuridis peradilan
Indonesia mengakui keputusan dari arbitrase asing
(yang diputus di luar negeri) serta bersedia
menjalankan eksekusinya di wilayah hukum
Republik Indonesia.
Untuk mengatasi hambatan serta merealisasi­
kan keppres tersebut Mahkamah Agung RI telah
mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 1990 tanggal 1
Maret 1990. Perma ini mengatur tentang ketentuan-
ketentuan tata cara eksekusi putusan arbitrasi asing.
Selama ini, sejak berlakunya keppres yang
mengesahkan Konvensi New York 1958 terdapat
“kekosongan” acara yang menyangkut tata cara
eksekusi putusan arbitrase asing. Pengajuan
permintaan eksekusi putusan arbitrase asing selalu
kandas dan tidak dapat dieksekusi oleh pengadilan
Indonesia karena belum ada peraturan hukum
acaranya.
Kondisi ini telah mendatangkan kritik dari
berbagai kalangan, terutama dari masyarakat dunia

189
luar, dan memotivasi Mahkamah Agung RI untuk
segera “melahirkan” Perma No. 1 tahun 1990.
Dengan lahirnya perma tersebut, kekosongan
hukum sudafi. terisi. Dengan demikian, kepercayaan
dunia luar terhadap Indonesia diharapkan makin
berkembang'* sehingga hubungan intcrdepcnden
dalam dunia dagang dan penanaman modal asing
makin tumbuh ke arah yang saling hormat
menghormati serta saling menguntungkan.
Ada beberapa asas yang dijadikan landasan
(fundamentum) dalam menjalankan eksekusi
putusan arbitrase asing. Pada dasarnya asas-asas
dimaksud sejajar dengan asas yang tercantum
dalam Konvensi New York 1958, antara lain
sebagai berikut:
a. Asas nasionalitas
Menurut asas ini, untuk menentukan dan
menilai apakah suatu putusan arbitrase dapat
dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing,
harus diuji menurut ketentuan hukum RI. Akan
tetapi, sangat disayangkan, penjelasan lebihlanjut
tentang asas nasionalitas tersebut tidak diperoleh
dalam perma.
b. Asas resiprositas
Berdasarkan asas resiprositas, tidak semua
putusan arbitrase asing dapat diakui (recognize)
dan dieksekusi (enforcement). Putusan arbitrase
asing yang diakui dan dapat dieksekusi hanya
terbatas pada putusan yang diambil di negara
asing:
1. yang mempunyai ikatan bilateral dengan
negara RI, dan
2. terikat bersama dengan negara RI dalam
suatu konvensi internasional (peserta
ratifikasi suatu konvensi internasional).
Jadi, untuk mengeksekusi putusan arbitrase
asing harus diteliti lebih dulu apakah Indonesia
mempunyai ikatan atau hubungan kerja sama
(ikatan bilateral) dengan negara di mana putusan
diambil atau apakah negara RI terikat bersama-
sama dengan negara tersebut dalam suatu
konvensi internasional. Yang jelas, berdasarkan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1958, Pemerintah
Indonesia telah menyetujui isi Konvensi
Penyelesaian Perselisihan Penanaman Modal
Antara Negara dan Warga Negara Asing
(Convention on the Settlement o f Invesment
Disputes between States and Nationals o f other
States). Begitu juga Keppres No. 34 Tahun 1981
telah mengesahkan Konvensi New York 1958
(Convention on the Recognition and Enforce­
ment o f Foreign Arbitral Awards) sebagai bagian
sistem hukum nasional pada tanggal 5 Agustus
1981. Dengan demikian, Indonesia secara timbal
balik terikat kepada negara-negara yang telah
menyetujui dan meratifikasinya. Sampai bulan
Maret 1983, negara-negara yang telah
meratifikasi Konvensi New York 1958 tercatat
sebanyak 64 negara. Berdasarkan asas
resiprositas, Indonesia terikat untuk mengakui
dan mengeksekusi putusan arbitrase yang
diambil dalam salah satu negara tersebut.
c. Pembatasan dalam ruang lingkup hukum dagang
Asas ini membatasi pengakuan dan
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing
hanya sepanjang ruang lingkup hukum dagang
menurut ketentuan hukum Indonesia.
7.2.2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Yang berwenang menangani masalah
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Putusan Arbitrase dapat diakui serta dapat
dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia
dengan syarat sebagai berikut :
a. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh
arbiter atau majelis di suatu negara yang dengan

191
negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik
secara bilateral maupun multilateral, mengenai
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional.
b. Putusan arbitrase internasional terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum
Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum
dagang.
c. Putusan arbitrase internasional tersebut tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Apabila putusan arbitrase internasional
menyangkut negara Republik Indonesia sebagai
salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur
dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang
selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, dan terhadap putusan
Mahkamah Agung ini tidak dapat diajukan
upaya perlawanan.
Dalam hal ini untuk pihak yang mengakui dan
melaksanakan putusan arbitrase internasional, atas
putusan Ketua PengadilanNegeri Jakarta Pusat
tidak dapat diajukan upaya banding atau kasasi.
Sebaliknya, jika pihak yang menolak untuk
mengakui dan melaksanakan suatu putusan
arbitrase internasinal dapat diajukan upaya kasasi.
Sita eksekusi dan pelaksanaan terhadap
putusan arbitrase internasional mengikuti tata cara
dalam hukum acara perdata dan dapat dilakukan
atas harta kekayaan milik termohon eksekusi. Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melimpahkan
pelaksanaan eksekusi kepada ketua pengadilan
negeri yang secara relatif berwenang
melaksanakannya.
8. Pembatalan Putusan Arbitrase
8.1 Pembatalan Putusan Arbitrase (Rv)

192
Permintaan pembatalan putusan arbitrase versi Rv
diatur dalam Pasal 643 dan seterusnya. Ada beberapa hal
yang perlu dibahas sehubungan dengan pembatalan
putusan arbitrase, seperti syarat formal, alasan, dan
kewenangan melakukan pembatalan.
Syarat formal permohonan pembatalan antara lain
sebagai berikut:
1. Putusan tidak dapat diminta banding, dengan kata
lain upaya banding mematikan upaya pembatalan.
Kalau dapat dibanding, satu-satunya upaya yang
dibolehkan melawan putusan hanya upaya “banding”.
Ini berarti, setiap putusan yang dapat dibanding tidak
dapat dilawan dengan upaya pembatalan.
2. lenggang waktu permohonan pembatalan diajukan
dalamjangka waktu 6 bulan, terhitung sejak putusan
diberitahukan kepada para pihak.
3. Dalam Pasal 645 Rv, tuntutan atau perlawanan baru
terbuka setelah ada perintah eksekusi dari ketua
pengadilan negeri.
Pasal 646 Rv mengatur tentang kompetensi absolut
dan relatif penyelesaian pembatalan putusan arbitrase.
Kompetensi absolut pemeriksaan pembatalan ada pada
yurisdiksi pengadilan, sedangkan kompetensi relatifnya
menjadi kewenangan pengadilan negeri yang
mengeluarkan perintah eksekusi.
Dalam Pasal 643 Rv, alasan pembatalan diatur secara
atau berSifat limitatif sebagai alas atau dasar hukum untuk
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase.
Alasan yang dapat dijadikan dasar acuan adalah
sebagai berikut:
1. Putusan melampaui batas-batas persetujuan.
2. Putusan berdasarkan :
a. persetujuan yang batal, atau
b. telah lewat waktunya.
3. Putusan telah diambil oleh anggota arbiter yang
tidakberwenang atau tidak dihadiri anggota arbiter

193
yang Iain, misalnya putusan diambil oleh arbiter
minoritas.
4. Putusan yang diambil telah mengabulkan atau
memutus hal-hal yang tidak dituntut atau lebih dari
apa yang dituntut (ultrapetitum partium).
5. Putusan mengadung hal yang saling bertentangan
antara pertimbangan yang satu dan yang lain atau
terdapat pertentangan antara pertimbangan dan
diktum putusan.
6. Mahkamah atau majelis lalai untuk memutus tentang
satu’atau beberapa bagian dari persetujuan padahal itu
telah diajukan untuk diputus.
7. Mahkamah/majelis melanggar tata acara (formalitas)
menurut hukum yang pelanggarannya diancam
dengan batalnya putusan, termasuk pelanggaran atas
tata cara yang disepakati para pihak dalam
persetujuan maupun tata cara dalam hukum acara.
8. Putusan yang dijatuhkan didasarkan atas :
a. surat-surat palsu, dan
b. kepalsuan itu diakui atau dinyatakan palsu
sesudah putusan dijatuhkan.
9. Apabila setelah putusan dijatuhkan ditemukan surat-
surat penting dan menentukan yang selama proses
pemeriksaan disembunyikan oleh para pihak.
10. Putusan didasarkan pada kekurangan atau itikad
buruk dan hal yang baru diketahui setelah putusan
dijatuhkan (novum).
Menurut Pasal 646 Ayat (2) Rv, terhadap putusan
pembatalan diberikan hak untuk mengajukan upaya
hukum yang sama sebagaimana upaya yang disediakan
terhadap putusan pengadilan biasa, berupa banding dan
kasasi.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian dengan
adanya permohonan pembatalan putusan arbitrase ialah
mengenai eksekusi. Apakah permohonan pembatalan
dapat menunda pelaksanaan eksekusi? Ilal ini tidak diatur
dalam undang-undang secara tegas. Akan tetapi, kalau
memperhatikan makna yang terkandung dalam Pasal 645
Rv, tersirat mengenai kapasitas permohonan pembatalan
untuk menunda pelaksanaan eksekusi.

8.2 Pembatalan Putusan Arbitrase (UU Nomor 30 Tahun


1999)
Para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan apabila putusan arbitrase diduga mengandung
unsur-unsur, antara lain :
1. surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu
atau dinyatakan palsu;
2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang
bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak
lawan; atau
3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan
sengketa.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus
diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) had sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan
arbitrase kepada panitera pengadilan negeri. Terhadap
putusan pengadilan negeri, para pihak dapat mengajukan
permohonan banding ke Mahkamah Agung RI yang
memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.

9. f

C. s

195
196
EKSEKUSI PUTUSAN FORUM ARBITRASE
GAMBARAN DILEMA PENEGAKAN KEADILAN
DI INDONESIA

A. Makna dan Kekuatan Putusan Menurut Pengadilan Negeri


Serta Para Pihak Bersengketa
Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh
pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara
merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan
perkara. Setiap perkara perdata yang diajukan oleh pihak yang
bersangkutan kepada pengadilan tujuannya untuk mendapatkan
penyelesaian. Oleh karena itu, setiap pemeriksaan perkara akan
diakhiri dengan suatu putusan. Namun demikian putusan
dijatuhkan belum berarti persoalan telah selesai. Putusan atas
pemeriksaan perkara perdata selanjutnya harus dapat dilaksanakan
(dieksekusi). Hal itu pen ting, oleh karena suatu putusan tidak
memiliki arti sama sekali apabila tidak dapat dilaksanakan.
Hakikat dari eksekusi putusan adalah realisasi kewajiban pihak
yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum di
dalam putusan tersebut. Eksekusi dengan kata lain berarti pula
pelaksanaan isi putusan hakim yang dilakukan secara paksa dengan
bantuan pengadilan, apabila pihak yang kalah tidak mau
melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Akan tetapi tidak
semua putusan hakim dapat dilaksanakan dalam arti kata yang
sesungguhnya, yaitu secara paksa oleh pengadilan. Pada asasnya
hanya putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap (kracht van gewijsde) yang dapat dieksekusi. Selain
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, putusan yang dapat atau
perlu dieksekusi hanya putusan-putusan yang bersifat
condemnatoir, yaitu putusan hakim yang bersifat menghukum
pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Sedangkan
putusan hakim jenis lain, seperti putusan yang bersifat constitutif
dan yang bersifat declaratoir pada umumnya tidak dapat atau tidak
perlu dilaksanakan dalam arti seperti putusan yang bersifat
condemnatoir, oleh karena kedua putusan di muka tidak
menetapkan hak atas suatu prestasi tertentu. Adapun prestasi yang
wajib dipenuhi dalam rangka eksekusi putusan yang bersifat
condemnatoir dapat terdiri atas memberi, berbuat, dan tidak

197
berbuat Di samping itu juga pada umumnya putusan
condemnatoirberisi hukuman terhadap pihak yang dikalahkan
untuk membayar sejumlah uang.
Baik putusan hakim maupun putusan arbitrase pada dasarnya
memiliki makna yang tidak jauh berbeda. Putusan hakim “adalah
pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan
untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa
antara para pihak.” Yang disebut putusan bukan hanya yang
diucapkan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam
bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di
persidangan. Putusan yang diucapkan secara lisan di persidangan
disebut uitspraak, sedangkan yang dituangkan dalam bentuk
tertulis disebut vonnis. Pada prinsipnya baik putusan yang
diucapkan (uitspraak) maupun yang tertulis (vonnis) satu sama lain
substansinya tidak boleh berbeda. Apabila ternyata ada perbedaan
antara yang diucapkan dengan yang tertulis, maka yang dianggap
sah adalah putusan yang diucapkan. Kedua jenis putusan tersebut
di dalam kepustakaan hukum Belanda dikenal dengan sebutan
vonnis dan gewijsde. Vonnis merupakan sebutan untuk putusan
yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap atau dalam
beberapa hal disebut juga voorlopig gewijsde, terhadap putusan
semacam ini masih tersedia upaya hukum biasa. Sedangkan
gewijsde adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap yang dalam beberapa kepustakaan disebut juga uiterlijk
gewijsde, untuk putusan semacam ini hanya tersedia upaya hukum
khusus atau upaya hukum istimewa.
Adapun putusan arbitrase atau ‘arbitralawards
"Means a final award which disposes o f all issues submitted to the
arbitral tribunal and any other decision o f the arbitral tribunal
which finally determines any question o f substance or the question
o f its competence or any other question o f procedure but, in the
later case, only if the arbitral tribunal terms its decision an award.
Baik putusan hakim maupun putusan arbitrase (arbitral
awards) kedua jenis putusan itu mengenal yang dinamakan putusan
akhir (eindvonnis) dan putusan yang bukan putusan akhir atau
putusan sela (tussenvonnis), sering pula disebut putusan antara.
Perbedaan prinsipal antara putusan hakim dengan putusan arbitrase
terletak pada sifat dan cara-cara putusan tersebut dibuat. Di

198
samping itu, perbedaan di antara kedua jenis putusan itu
disebabkan terdapat perbedaan asas yang dianut oleh masing-
masing lembaga tempat kedua putusan tersebut dijatuhkan. Sifat
serta asas pemeriksaan sengketa pada arbitrase adalah close-door
and confidential sehingga seluruh rangkaian serta proses
pemeriksaan sengketa oleh arbiter sampai dengan putusan
diucapkan berlangsung dalam sidang yang bersifat tertutup, karena
itu pula putusan arbitrase tidak boleh dipublikasikan (shall he
closed to the public). Sedangkan asas yang dianut dalam
pemeriksaan perkara di pengadilan adalah terbuka untuk umum,
sehingga putusan hakim harus diucapkan dalam sidang yang
dinyatakan terbuka untuk umum. Apabila putusan hakim
diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk
umum, berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum, bahkan dapat berakibat putusan itu batal menurut hukum.
Selain sifat dan prosedur menjatuhkan putusan hakim dengan
putusan arbitrase itu berlainan, ternyata status serta eksistensi
kedua putusan itupun de jure dan de facto dibedakan. Buktinya, di
satu pihak secara normatif (de jure) - undang-undang mengakui
putusan arbitrase sebagai putusan yang telah memiliki status dan
kekuatan hukum setara dengan putusan hakim. Hal tersebut seperti
dapat disaksikan dari kaidah yang mengatur tentang substansi dan
sistematika putusan arbitrase, yang menetapkan hal-hal yang harus
dimuat dalam putusan arbitrase sama dengan putusan hakim.
Namun di lain pihak, kenyataan dalam praktik (de facto),
perbedaan perlakuan terhadap putusan arbitrase mulai tampak
diketahui ketika putusan arbitrase hendak dieksekusi. Sejumlah
syarat normatif yang imperatif masih harus diikuti dalam rangka
eksekusi putusan arbitrase. Apalagi dalam hal para pihak tidak
melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Padahal disadari
ataupun tidak, akibat adanya ketentuan semacam itu, undang-
undang arbitrase dapat dianggap mengukuhkan ambivalensi norma,
karena terbukti menerapkan standar ganda terhadap putusan
arbitrase terutama menyangkut syarat-syarat dan prosedur
pelaksanaan putusan.
Perlakuan ambivalen terhadap putusan arbitrase seharusnya
tidak terjadi apabila secara cermat mengamati substansi Pasal 5.4
ayat (1) Undang-undang Arbitrase. Dari norma tersebut
sesungguhnya sudah jelas bahwa tidak ada alasan untuk

199
membedakan putusan arbitrase dengan putusan hakim. Hal itu
disebabkan : Pertama, semua unsur yang disyaratkan untuk
substansi dan sistematika putusan arbitrase ditetapkan sama dengan
unsur-unsur yang disyaratkan juga untuk putusan hakim. Kedua,
putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum
tetap dan mengikat para pihak. Artinya, putusan arbitrase tidak
dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Namun
pada sisi yang lain, sejumlah norma hukum dalam undang-undang
arbitrase masih berisi kaidah yang mencitrakan adanya
ketergantungan putusan arbitrase terhadap kewenangan pengadilan
negeri. Kesan tersebut demikian kuat, lebih-lebih apabila
menelusuri muatan norma dalam Pasal-pasal 59 sampai dengan 64
untuk putusan arbitrase nasional dan Pasal-pasal 65 sampai dengan
69 untuk putusan arbitrase internasional. Bahkan Undang-undang
arbitrase telah memberi kewenangan kepada pengadilan negeri
sebagai satu-satunya lembaga yang kompeten untuk menerima
permohonan dan memutus pembatalan putusan arbitrase yang
diajukan oleh para pihak. Kaidah semacam itu tidak dapat
dinafikan telah menjadi salah satu indikator yang nyata-nyata
menempatkan putusan arbitrase sebagai subordinasi dari
kompetensi pengadilan negeri.
Berdasarkan fakta tersebut di muka, tidak dapat dipungkiri jika
ternyata kaidah hukum arbitrase telah mcnciptakan prakondisi
yang kurang menguntungkan untuk putusan arbitrase. Oleh karena
norma hukum arbitrase telah memungkinkan pengadilan negeri
dengan pihak-pihak yang bersengketa berbeda sudut pandang atau
pemahaman mengenai status serta eksistensi putusan arbitrase.
Dari satu segi, para pihak yang bersengketa akan memahami
putusan arbitrase sebagai putusan yang bersifat final dan
mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat mereka. Aturan
itu bermakna, dilaksanakan atau tidak putusan arbitrase secara
sukarela oleh para pihak, mestinya merupakan urusan mereka yang
bersengketa serta forum arbitrase sebagai pemutus.
Mestinya tidak harus melibatkan perintah Ketua Pengadilan
Negeri. Oleh karena perintah Ketua Pengadilan Negeri sebagai
syarat normatif dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan
arbitrase secara sukarela, bermakna putusan arbitrase belum final
dan belum mengikat para pihak.

200
Sedangkan pada sisi lain, ketentuan mengenai penyerahan dan
pendaftaran lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase
kepada Panitera Pengadilan Negeri sebelum putusan dilaksanakan,
menjadi salah satu alasan bagi pengadilan negeri untuk tetap
merasa memiliki kewenangan dalam pelaksanaan putusan
arbitrase. Berdasarkan hal tersebut, pengadilan tetap beranggapan
bahwa putusan arbitrase belum memiliki titel eksekutorial. Secara
tidak langsung, ketentuan itupun telah menempatkan putusan
arbitrase sebagai putusan yang tidak mandiri. Akibatnya putusan
arbitrase dikondisikan sebagai putusan yang berketergantungan
terhadap kewenangan pengadilan negeri. Oleh karena itu,
ambivalensi normatif yang terjadi dalam Undang-undang Nomor
30 Tahun 1999 sebagaimana dipaparkan di muka, tak ayal lagi
membawa dampak pada pemaknaan yang beragam terhadap kaidah
hukum arbitrasc.Tcntu saja melakukan interpretasi terhadap kaidah
hukum bukan sesuatu yang dilarang. Namun apabila disebabkan
norma yang ambivalen berakibat terjadi ambiguitas terhadap status
putusan arbitrase, mestinya hal itu tidak dibiarkan berlangsung
terus menerus. Masalahnya, disadari ataupun tidak keadaan
tersebut akan membawa konsekuensi terhadap persoalan kepastian
hukum serta derajat kepercayaan para pencari keadilan yang
hendak menggunakan arbitrase sebagai forum penyelesaian
sengketa.
Pada dataran teoritis, setiap putusan hakim termasuk di
dalamnya putusan arbitrase, pada prinsipnya mempunyai 3 (tiga)
macam kekuatan, yaitu: (1) kekuatan mengikat, (2) kekuatan
pembuktian, dan (3) kekuatan eksekutorial atau kekuatan untuk
dilaksanakan, masing-masing kekuatan putusan dimaksud dapat
disimak dalam paparan berikut ini.
1. Kekuatan Mengikat
Setiap putusan, baik putusan hakim maupun putusan
arbitrase pada dasarnya merupakan hukum yang mengikat
semata-mata terhadap para pihak yang bersangkutan. Artinya,
putusan hakim menentukan hukum yang konkret bagi pihak-
pihak tertentu dalam suatu peristiwa yang konkret pula.
Seperti halnya kaidah hukum, maka suatu putusan hakim yang
telah dijatuhkan harus dihormati oleh kedua belah pihak. Salah
satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan.
Oleh karena itu, untuk menaati suatu putusan dapat dipaksakan

201
melalui lembaga eksekusi. Secara teoretis para pihak terikat
terhadap putusan memiliki dua arti, yaitu: arti positif dan arti
negatif. Arti positif atau het positieve gezag van gewijsde
maksudnya, segala apa yang telah diputus oleh hakim harus
dianggap benar, sehingga pembuktian lawan tidak
dimungkinkan : res judicata pro veritate habetur. Putusan
hakim itu dapat dijadikan sebagai dasar hukum bagi suatu
tuntutan lain. Sedangkan arti negatif atau het negatieve gezag
van gewijsde dari kekuatan mengikat suatu putusan
maksudnya, bahwa hakim tidak boleh memutus perkara yang
pernah diputus sebelumnya antara para pihak yang sama serta
mengenai pokok perkara yang sama. Artinya, putusan hakim
(dalam perkara perdata) yang telah memperoleh kekuatan
hukum yang tetap, sekali diperoleh menutup kemungkinan
bagi para pihak untuk penuntutan selanjutnya.
Di muka telah disebutkan bahwa putusan hakim
merupakan hukum yang mengikat para pihak, maka putusan
hakim senyatanya berfungsi sebagai sumber hukum. Putusan
hakim dapat memuat kaidah hukum yang sebelumnya tidak
tercantum dalam ketentuan perundang-undangan tertentu.
Oleh karena itu, menurut Setiawan, putusan hakim dapat
memperluas daya jangkau berlakunya suatu peraturan
perundang-undangan tertentu. Sebaliknya, putusan hakim juga
dapat mempersempit daya berlakunya suatu kaidah
perundang-undangan tertentu (rechtsverfijning). Dalam
menyempitkan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian
atau penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-
peraturan yang bersifat umum. Hal itu semua semakin
menunjukkan betapa hukum bukanlah suatu hal yang statis,
melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.
Senyatanya hukum itu berkembang di luar kodifikasi,
sehingga tatkala suatu peraturan dituangkan dalam bentuk
tertulis (kodifikasi), maka pada saat itu pula hukum telah
ketinggalan zaman. Oleh sebab itu, suatu undang-undang
sebagai kodifikasi hanya dapat dipahami melalui
perkembangan dari perubahan maknanya melalui
yurisprudensi. Lebih-lebih apabila yang dihadapi adalah
undang-undang yang telah berumur puluhan atau bahkan
ratusan tahun seperti Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek). Dalam konteks semacam ini tentu saja
menjadi tugas hakim dalam penegakan hukum untuk
melakukan interpretasi historis atau penafsiran sejarah, baik
dalam pengertian sejarah hukum (rechtshistoris) maupun
sejarah undang-undang (wetshistoris).
2. Kekuatan Pembuktian
Putusan yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang
dibuat sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku
merupakan akta otentik. Oleh karena itu, putusan memberikan
pembuktian terhadap apa yang dinyatakan sebagai peristiwa-
peristiwa (feitelijke voorgevallen) dalam putusan tersebut. Di
dalam hukum pembuktian, dari suatu putusan bermakna telah
diperoleh suatu kepastian hukum tentang sesuatu peristiwa
sebagaimana dinyatakan dalam putusan dimaksud. Sebagai
akta otentik, putusan dimaksudkan untuk dapat digunakan
sebagai alat bukti bagi para pihak. Terhadap pihak ketiga,
putusan tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun
mempunyai kekuatan pembuktian.
Selain sebagai akta otentik, suatu putusan dapat juga
dianggap sebagai sumber persangkaan (vermoedens) tentang
kebenaran materiil dari apa yang diterangkan oleh para saksi
atau apa yang diakui oleh para pihak. Putusan merupakan
persangkaan bahwa isi putusan itu benar, sebab yang diputus
oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritale
habetur)? Sebagai akta otentik putusan merupakan bukti yang
cukup atau bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, para
ahli warisnya, serta orang-orang yang mendapatkan hak dari
mereka. Namun demikian akta otentik juga masih dapat
dilumpuhkan oleh bukti lawan yang kuat. Jadi, para pihak
dalam keterikatan pada isi putusan yang telah diperoleh, masih
dapat atau masih dimungkinkan untuk mengajukan suatu
perkara baru pada forum penyelesaian sengketa manapun.
3. Kekuatan Eksekutorial
Pada dasarnya hanya putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap yang dapat dieksekusi. Putusan
semacam itulah yang termasuk kategori memiliki kekuatan
eksekutorial (executoriale kracht) atau kekuatan untuk
dilaksanakan. Oleh ka ena putusan itu menetapkan dengan
tegas hak atau hukumnya untuk kemudian direalisasikan.
Masalahnya, kekuatan nengikat suatu putusan belum memiliki

203
arti apapun bagi pihak-pihak yang bersangkutan apabila
putusan tersebut tidak dapat dieksekusi. Eksekusi merupakan
tindakan paksa yang dilakukan oleh pengadilan dengan
bantuan alat-alat negara dalam rangka menjalankan putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Tindakan paksa
tersebut baru akan dipilih apabila pihak yang kalah tidak mau
menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela.
Sedangkan apabila pihak yang kalah bersedia menaati isi
putusan secara sukarela maka tindakan eksekusi tidak
dilakukan.
Persoalan selanjutnya adalah, apa yang menjadi
persyaratan bagi suatu putusan untuk memperoleh kekuatan
eksekutorial (executoriale krachtp. Secara normatif setiap
putusan, baik putusan pengadilan maupun arbitrase harus
memuat kepala putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, ” Kepala putusan
itulah yang memberi kekuatan eksekutorial terhadap putusan.
Tidak hanya putusan pengadilan atau putusan arbitrase,
bahkan akta notariil seperti halnya grose akta hipotik (grose
akta van hypotheek) dan grose akta pengakuan hutang
(notarieele schuldbrieven) harus berkepala “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. ” Kepala akta
tersebut merupakan syarat yang mesti ada agar akta notariil di
muka memiliki nilai kekuatan sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kekuatan eksekutorial selain dimiliki oleh putusan
pengadilan dan putusan arbitrase yang telah berkekuatan
hukum tetap serta grose akta notariil yang berkepala “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, ” juga
dimiliki oleh akta perdamaian. Akta perdamaian sebagaimana
diatur dalam Pasal 130 ayat (2) HIR yang dibuat di
persidangan juga mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan
seperti putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kedudukan sejajar antara akta perdamaian dengan putusan
yang berkekuatan hukum tetap ini membawa konsekuensi
hukum terhadap akta perdamaian itu sendiri. Konsekuensi
tersebut yaitu apabila salah satu pihak ingkar untuk menepati
isi yang dirumuskan dalam akta perdamaian, maka pihak lain
dapat mengajukan permintaan eksekusi ke pengadilan.
B. Interpretasi, Koreksi, dan Pergeseran Makna Putusan
Arbitrase
Sebagaimana telah diutarakan di muka, bahwa status putusan
arbitrase secara normatif sudah jelas yakni “bersifat final,
mempunyai kekuatan hukum tetap, serta mengikat para pihak.
Oleh karena itu, putusan arbitrase tidak dapat dimohonkan
pemeriksaan banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. Akan
tetapi di dalam praktik, salah satu pihak dalam sengketa diberi
peluang untuk mengajukan permintaan interpretasi (interpretation)
serta koreksi (correction) atas putusan arbitrase kepada forum yang
menjatuhkan putusan tersebut.
Interpretasi putusan arbitrase dapat dimintakan oleh salah satu
pihak apabila putusan yang dijatuhkan mengandung ketidakjelasan
arti, maksud, atau menimbulkan perbedaan penafsiran di antara
para pihak. Permohonan interpretasi harus diajukan secara tertulis
kepada secretary-general, serta apabila dimungkinkan permohon­
an dimasukkan kepada forum arbitrase yang menjatuhkan putusan
tersebut. Sedangkan koreksi (correction) atau revisi atas putusan
(revision o f the award) dapat diminta oleh salah satu pihak yang
bersengketa “...on the ground o f discovery o f some fact o f such a
nature as decisively to affect the award....” Ketentuan mengenai
permintaan koreksi putusan serupa itu dapat pula dijumpai di
dalam United Nations Commission on International Trade Law
Arbitration Rules (UNCITRAL Arbitration Rules) Masalah koreksi
atau revisi putusan arbitrase, sesungguhnya tidak dapat dianggap
sepele. Oleh karena mungkin saja terjadi salah satu pihak
menemukan kesalahan di dalam putusan yang secara meyakinkan
sangat mempengaruhi isi putusan. Dalam keadaan semacam itu
salah satu pihak dapat menjadikan kesalahan dalam putusan
sebagai dasar untuk mengajukan koreksi. Kaidah hukum arbitrase
mengatur tentang permohonan untuk melakukan koreksi putusan
yang dapat diajukan kepada arbiter atau majelis arbitrase dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima
oleh para pihak. Sedangkan mengenai interpretasi putusan
(interpretation o f the award), kaidah hukum arbitrase sama sekali
tidak mengatur.
Berdasarkan penelusuran informasi, diketahui ternyata tidak
semua peraturan prosedur arbitrase (rules o f arbitral procedure)

205
mengatur mengenai interpretasi putusan. Sebagai contoh Rv, BANI
Rules, serta Undang-undang Arbitrase Noor 30 Tahun 1999 tidak
mengatur masalah interpretasi putusan. Sedangkan BANI Rules
dan Undang-undang Arbitrase juga tidak membuka peluang untuk
mengajukan permohonan pemeriksaan banding, kasasi, maupun
peninjauan kembali untuk putusan arbitrase. Putusan arbitrase yang
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat
para pihak itu apabila ternyata mengandung kesalahan atau
kekeliruan (errorj diberi jalan keluar melalui permohonan koreksi
putusan yang dapat diajukan para pihak. Hal itu amat penting,
terutama apabila salah satu pihak yang bersengketa menemukan
kesalahan di dalam putusan yang secara meyakinkan sangat
mempengaruhi isi putusan.
BANI Rules menyediakan norma yang dapat digunakan oleh
termohon (respondent) untuk mengajukan perlawanan (request for
opposition). Perlawanan dapat diajukan terhadap putusan yang
mengabulkan tuntutan pemohon (claimant) yang dijatuhkan dalam
pemeriksaan tanpa dihadiri termohon (respondent). Sedangkan
Undang-undang Arbitrase selain memberi kesempatan para pihak
untuk mengajukan permohonan koreksi terhadap kekeliruan dalam
putusan, para pihak juga dimungkinkan untuk mengajukan
pembatalan putusan (annulment o f an arbitration award).
Permohonan pembatalan harus diajukan secara tertulis kepada
Ketua Pengadilan Negeri. Terhadap putusan pengadilan negeri
mengenai pembatalan putusan arbitrase itulah permohonan banding
dapat diajukan ke Mahkamah Agung yang akan memutus dalam
tingkat pertama dan terakhir.-Di samping pengaturan yang
memperlakukan putusan arbitrase semacam itu, di dalam praktik
berkembang pula bentuk-bentuk pemaknaan atau penafsiran
terhadap putusan arbitrase berdasarkan sudut pandang masing-
masing pihak. Hal itu berkembang karena tanpa disadari undang-
undang arbitrase telah menghadirkan ambiguitas dalam arti
pemberian makna atau penafsiran yang lebih dari satu terhadap
status putusan arbitrase. Betapa tidak, pada satu sisi putusan
arbitrase tegas dinyatakan “bersifat final, mempunyai kekuatan
hukum tetap, dan mengikat para pihak.” Susunan serta isi putusan
arbitrasepun ditentukan sama dengan susunan dan isi putusan
hakim. Bahkan putusan arbitrasepun harus memuat kepala putusan
yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. ” Maka sebenarnya tidak ada keraguan lagi terhadap

206
putusan arbitrase yang diambil oleh arbiter atau, majelis arbitrase
berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan
kepatutan, telah mempunyai kekuatan eksckutorial.
Berdasarkan unsur-unsur yang disebutkan di muka, tidak dapat
dipungkiri kalau putusan arbitrase sesungguhnya telah memiliki
kedudukan sejajar serta kekuatan hukum yang sama dengan
putusan hakim. Namun demikian, pada sisi lain norma hukum
arbitrase juga menganut standar ganda. Putusan arbitrase yang
telah jelas kedudukan, status keberadaan, serta kekuatan
hukumnya, secara tegas diposisikan sebagai putusan yang masih
sangat tergantung pada kewenangan pengadilan negeri. Sejumlah
indikasi mengenai hal tersebut sangat mudah dijumpai dalam
undang-undang arbitrase. Beberapa diantaranya sebagai berikut.
Pertama, putusan arbitrase nasional maupun internasional yang
hendak dilaksanakan, disyaratkan terlebih dahulu lembar asli atau
salinan otentik putusan tersebut untuk diserahkan dan didaftarkan
oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Khusus untuk putusan arbitrase internasional hal itu harus
dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua, putusan
arbitrase nasional yang tidak memenuhi ketentuan penyerahan dan
pendaftaran putusan, berakibat putusan tersebut tidak dapat
dilaksanakan. Ketiga, putusan arbitrase nasional yang tidak
dilaksanakan secara sukarela oleh para pihak, putusan tersebut
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas
permohonan salah satu pihak. Keempat, khusus untuk putusan
arbitrase internasional, putusan dapat dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Menyimak keempat indikator di muka tidak ada keraguan
sama sekali kalau putusan arbitrase secara normatif sesungguhnya
telah ditempatkan dalam posisi tidak sejajar dengan putusan hakim.
Itu berarti kaidah hukum arbitrase telah mengukuhkan ambivalensi
norma. Disadari atau tidak norma semacam itu telah membawa
akibat yang cukup serius terhadap status hukum serta eksistensi
putusan arbitrase. Oleh karena di satu sisi, para pihak yang
bersengketa menganggap putusan arbitrase sebagai putusan yang
final, mempunyai kekuatan hukum tetap, dan mengikat mereka.
Sangat wajar dan beralasan apabila pihak-pihak menganggap
putusan semacam itu telah memiliki kekuatan eksekutorial atau

207
kekuatan untuk dieksekusi. Sedangkan pengadilan negeri menguji
putusan arbitrase dengan menggunakan keempat indikator seperti
yang diutarakan di muka. Hasilnya, telah dapat diduga, yaitu
bahwa putusan arbitrase untuk dapat dieksekusi masih memerlukan
keterlibatan kewenangan pengadilan negeri.
Perbedaan sudut padang antara pihak-pihak bersengketa
dengan pihak pengadilan seperti itu akan terus menerus merupakan
suatu divergensi sikap yang tidak pernah akan berakhir. Oleh
karena itu, untuk menciptakan kedua kubu pandangan menjadi
konvergen, perlu diupayakan solusi terbaik melalui cara-cara
normatif pula, sebab kondisi itupun tercipta sebagai akibat norma
yang ambivalen. Upaya yang harus dilakukan dan sekaligus juga
harus dipositifkan di dalam undang-undang arbitrase di antaranya :
(i) Forum arbitrase harus dikukuhkan kemadirian serta
kcwenangannya sebagai salah satu lembaga pemeriksa dan
pemutus sengketa komersial atau sengketa perdagangan di luar
lembaga pengadilan negeri. Akan tetapi upaya tersebut
hendaknya tidak dilakukan separuh hati sebagaimana yang
telah terjadi.
(ii) Berbagai anasir yang dapat mengurangi kedudukan serta
wibawa forum arbitrase semestinya dihapuskan. Oleh karena
itu, sudah saatnya dependensi forum arbitrase terhadap
kompetensi pengadilan negeri dilepaskan sama sekali, sebab
hal tersebut langsung ataupun tidak telah berdampak sangat
merugikan eksistensi forum arbitrase sendiri.
(iii) Terhadap sejumlah pasal di dalam Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 yang telah mencitrakan forum arbitrase
tersubordinasikan di bawah kewenangan pengadilan
merupakan conditio sine qua non untuk dilakukan perubahan
atau amandemen. Demikian pula terhadap pasal yang nyata-
nyata telah memandulkan peran dan fungsi forum arbitrase.
Pasal-pasal dimaksud antara lain dapat disebutkan berikut ini:
Pasal 59 ayat (1 sampai dengan 5), Pasal 61, Pasal 62 ayat (1)
sampai dengan 3), Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 huruf
d, Pasal 67 ayat (1 dan 2), Pasal 68 ayat (1 sampai dengan 3),
Pasal 69 ayat (1), Pasal 70, pasal 71, dan Pasal 72.
(iv) Putusan arbitrase yang dijatuhkan dimanapun, baik nasional
maupun internasional seyogianya tidak harus didaftarkan dan
diserahkan atau dimintakan eksekuatur dari pengadilan negeri.

208
Persoalannya, cara-cara tersebut telah sangat jelas membukti­
kan bahwa kcwenangan pengadilan negeri untuk melakukan
fungsi pengawasan terhadap mekanisme penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, terkesan telah mensubordinasikan
putusan-putusan arbitrase di bawah kompetensi pengadilan
negeri.

C. Diskresi Ilakim dalam Masalah Eksckuatur Putusan Arbitrase


Sebagaimana diketahui bahwa diskresi (discretion) adalah
suatu istilah dalam konteks pelaksanaan kebijaksanaan (policy)
yang memiliki multi makna. Lawrence M. Friedman, antara lain
mengemukakan “Discretion commonly refers to a case where a
person, subject to a rule, has power to choose between alternative
courses o f action. “Oleh karena itu, diskresi merupakan fenomena
yang amat penting dan fundamental, terutama di dalam hal
implementasi kebijaksanaan pemerintah. Dalam kaitan itu Jeffery
Jowcll mengatakan: “Discretion as the room for decisional
manoeuvre possessed by a decision maker ”.
Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman pada
prinsipnya adalah anggota birokrasi badan peradilan yang diberi
kebebasan dalam mengekspresikan kewenangannya. Namun
kebebasan tersebut sifatnya tidak mutlak, karena kekuasaan
kehakiman juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, sistem
politik, sistem ekunomi, dan sebagainya. Di Indonesia, sampai
dengan tahun 199( ’ kim berada di dalam alur birokrasi peradilan
yarn., secara hirar! ewenangannya cukup unik. Dikatakan unik
karc a penangar kekuasaan kehakiman dilakukan secara
dualisme hirarkis. satu sisi hirarki badan peradilan berpuncak
pad; Mahkamah / g, yang melakukan pembinaan teknis yustisi
kepada para haki engadilan-pengadilan rendahan. Sedangkan
padt; sisi lain, tug n binaan bidang organisatoris, administratif,
dan Finansial ( mgan) badan peradilandilakukan oleh
Dcp rtemen Kei Man. Keadaan tersebut secara normatif
seka ang telah dr melalui Undang-undang Nomor 35 Tahun
199- tentang Per an atas Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ket n-Ketcntuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Perubahan terseb dapat diketahui melalui norma berikut :
“Badan-badan pe . . ian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayal (1) secara o>ganisatoris, administratif, dan finansial berada

209
dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. ” Itu berarti Undang-
undang Nomor 35 Tahun 1999 merupakan tonggak sejarah yang
membawa perubahan birokrasi badan peradilan dari sistem hirarki
dualisme pada masa yang lalu menuju sistem hirarki monisme di
masa mendatang.
Akan tetapi perubahan yang cukup mendasar terhadap
birokrasi badan peradilan tidak serta merta mengubah status para
hakim sebagai bagian dari birokrasi peradilan. Artinya, baik dalam
sistem hirarki dualisme maupun hirarki monisme, status hakim
tetap merupakan aparat birokrasi. Oleh karena itu, hakim adalah
birokrat yang menjalankan tugas-tugas negara dalam organisasi
kekuasaan kehakiman. Dalam menjalankan aktivitasnya, para
birokrat mempunyai suatu kebebasan untuk membuat
kebijaksanaan tertentu yang mengenai aspek yuridis disebut
sebagai “freies ermessen “atau “pouvoir discretionnaire. ”
Berkenaan dengan hal tersebut, Francis B. Rauke dalam bukunya
“Bureaucracy, Politics and Public Policy, ” menggambarkan
bahwa : “Discretion refers to the ability o f an administrator to
choose among alternative to decide in effect law the policies o f die
government should be implemented in spesific case. ” Jadi,
kewenangan yang dimiliki seorang hakim untuk melakukan pilihan
dalam memutuskan berdasarkan kebijaksanaan tertentu ketika
menangani kasus-kasus yang dihadapkan kepadanya, dinamakan
kewenangan diskresioner hakim (diskresi hakim). Kewenangan
diskresioner bermakna : “Kewenangan untuk membuat keputusan
serta kemudian mengambil tindakan yang dianggap lepat atau
sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, yang dilakukan
secara bijaksana dan dengan memperhatikan segala pertimbangan
maupun pilihan yang memungkinkan. ’’ Berkaitan dengan
pembahasan mengenai diskresi hakim, kemudian muncul
pertanyaan, benarkah pemberian eksekuatur terhadap putusan
arbitrase internasional tergolong diskresi hakim?
Eksekuatur (exequatur) itu sendiri berarti penetapan yang
dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri (KPN) yang berisi
perintah eksekusi agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan.
Undang-undang Arbitrase menunjuk KPN Jakarta Pusat sebagai
pejabat yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan penetapan
eksekuatur terhadap putusan arbitrase internasional yang akan
dieksekusi di Indonesia. Berdasarkan makna eksekuatur tersebut,

210
dapat dipahami betapa kewcnangan yang diberikan undang-undang
kepada KPN demikian besar dalam menentukan suatu putusan
arbitrase internasional dapat atau tidak dieksekusi. Bahkan KPN
seakan memiliki kewenangan penuh untuk menilai benar atau tidak
suatu putusan arbitrase yang dijatuhkan. Dalam rangka
melaksanakan kewenangan, fungsi, serta tanggung jawab semacam
itu, maka para hakim, teristimewa KPN Jakarta Pusat sebagai
pejabat yang berwenang memberi eksekuatur, dituntut untuk
memiliki wawasan serta pemahaman yang komprehensif mengenai
ruang lingkup permasalahan hukum arbitrase.
Seandainya sinyalemen Priyatna Abdurrasyid bahwa 99,9
persen hakim tidak mengerti mengenai hukum arbitrase itu benar
adanya, maka akan sangat berdampak tidak menguntungkan
terhadap pihak-pihak yang bersengketa pada forum arbitrase asing.
Oleh karena apabila hakim atau KPN kurang atau bahkan tidak
menguasai dengan saksama kaidah hukum arbitrase, akan sulit
untuk dapat melaksanakan kewenangan diskresioner dalam
memberikan eksekuatur. Dampaknya, putusan arbitrase
internasional akan sulit memperoleh eksekuatur di Indonesia,
sehingga bagi setiap hakim lebih-lebih KPN Jakarta Pusat sebagai
pemegang otoritas eksekuatur merupakan conditio sine qua non
untuk benar-benar menguasai serta memahami kaidah hukum
arbitrase secara utuh menyeluruh.
Aharon Barak menyebut kewenangan diskresioner seorang
hakim dengan istilah "Judicial discretion, “yaitu “the power given
to the judge to choose from among a number ofpossibilities, each
o f them lawful in the context o f the system. ” Dari pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa para hakim dalam menjalankan
tugas-tugas judicial diberi kekuasaan (power) dan kewenangan
(authority) untuk melakukan pilihan terhadap sejumlah alternatif
dalam menerapkan norma di antara berbagai kemungkinan.
Selanjutnya Barak mengatakan : “the power the law gives the
judge to choose among several alternatives, each o f them being
lawful or to choose among a number o f lawful options. ” Adapun
yang dimaksud dengan “options” dalam pernyataan itu pada
prinsipnya merujuk pada tiga persoalan, yaitu : Pertama, “Judicial
discretion chooses from among the set o f facts those that it deems
necessary for making a decision in the conflict. ” Kedua, “Judicial
discretion selects from among the different methods o f application

211
that the norm provides the one that it finds appropriate. ” Ketiga,
“Judicial discretion chooses from among the normative
possibilities the option that it deems appropriate. ” Jadi, objek
diskresi hakim pada prinsipnya meliputi fakta, kemudian
penerapan norma, serta norma itu sendiri. Berdasarkan ketiga
faktor di muka, maka pemberian eksekuatur terhadap putusan
arbitrase termasuk ke dalam opsi kedua yakni berkenaan dengan
penerapan norma terhadap fakta.
Adapun hakikat pemberian eksekuatur adalah berupa
penelitian saksama mengenai putusan arbitrase apakah putusan
tersebut sudah benar, tepat, dan tidak mengandung cacat yuridis.
Dalam melaksanakan fungsi serta kewenangan tersebut, agar tidak
bertindak melampaui batas, otoritas KPN dibatasi oleh rambu-
rambu sebagai berikut:
1) Bahwa pemberian eksekuatur itu bukan pemeriksaan banding,
sehingga KPN tidak memiliki hak atau kewenangan untuk
meneliti dan memeriksa ulang sengketa secara keseluruhan;
2) Pemberian eksekuatur juga bukan merupakan tindakan fungsi
pengawasan. Dalam kaitan ini, KPN tidak berwenang menilai
kecakapan dan kredibilitas anggota arbiter. KPN juga tidak
berwenang memberi tafsiran, mengoreksi atau merevisi
putusan;
3) Kewenangan penelitian dalam rangka memberikan eksekuatur
bersifat formal. Artinya, KPN pada prinsipnya tidak
dibenarkan menilai dan meneliti materi putusan yang akan
memberi kesan sebagai pemeriksaan banding atau kasasi.
Seperti telah diutarakan bahwa pada prinsipnya dalam
pemberian eksekuatur KPN tidak berwenang memeriksa dan
menilai benar tidaknya materi putusan arbitrase. Akan tetapi,
terhadap prinsip tersebut dikenal ada pengecualian. Setidaknya ada
dua hal yang dikecualikan, sehingga dalam rangka melakukan
penelitian pemberian eksekuatur KPN Jakarta Pusat boleh menilai
segi-segi materi putusan arbitrase. Pertama, apakah materi putusan
arbitrase tidak melampaui batas yang dibenarkan hukum dan
perundang-undangan. Kedua, apakah putusan arbitrase tersebut
tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public policy).
Materi putusan arbitrase dianggap melampaui batas yang
dibenarkan hukum dan perundang-undangan apabila forum

212
arbitrase telah memeriksa dan memutus kasus-kasus sengketa yang
secara mutlak tidak termasuk jurisdiksi arbitrase. Sedangkan
Undang-undang Arbitrase telah secara limitatif menetapkan
sengketa yang termasuk dalam jurisdiksi arbitrase. Sengketa
tersebut “...hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai
hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. ” Oleh karena
itu, di luar jenis sengketa yang disebutkan dalam undang-undang
arbitrase, kewenangan memeriksa dan memutus sengketa tersebut
mudak merupakan jurisdiksi pengadilan. Berikut ini beberapa
contoh sengketa yang menurut hukum Indonesia tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase: (i) pembatalan perkawinan, (ii)
pemisahan harta kekayaan, (iii) perceraian, (iv) pemisahan meja
dan tempat tidur, (v) keabsahan anak, (vi) pembuktian anak sah.
Apabila terjadi perjanjian arbitrase menyangkut bidang-bidang
tersebut, akibatnya perjanjian arbitrase semacam itu diancam batal
demi hukum (null and void). Dalam hal materi putusan arbitrase
menyangkut salah satu bidang yang disebutkan di muka, maka
dalam rangka pemberian eksekuatur, KPN Jakarta Pusat dapat
melakukan penelitian bidang formal sekaligus materiil karena
putusan arbitrase dimaksud telah mengandung pelanggaran hukum
materiil.
Berkaitan dengan persoalan ketertiban umum (public policy),
KPN Jakarta Pusat dalam konteks pemberian eksekuatur juga dapat
menilai materi putusan arbitrase. Penilaian dilakukan terhadap
setiap putusan arbitrase internasional yang dimintakan untuk
dieksekusi di Indonesia, apakah putusan tersebut bertentangan
dengan ketertiban umum atau tidak. Sebagaimana diketahui istilah
ketertiban umum (public policy) memiliki banyak makna.
Meskipun ketertiban umum merupakan asas yang bersifat universal
tetapi di berbagai negara penyebutannya dikenal dengan berbagai
macam istilah. Tidak hanya penyebutan istilah yang beraneka
ragam, bahkan ukuran nilai ketertiban umum antara satu bangsa
dengan bangsa lain juga sangat bervariasi. Oleh sebab itu, tidak ada
makna ketertiban umum yang pasti tetap berlaku untuk segala
zaman dan waktu. Melainkan faktor tempat dan waktu juga sangat
berpengaruh terhadap konsep ketertiban umum. Berkaitan dengan
hal tersebut, Kollewijn dalam disertasinya mengutarakan antara
lain sebagai berikut: “Zo bleek het ten slotte niet mogelijk het recht
van open bare orde te bepalen. Wijkonden konstateren wanneeren

213
op welke wijze theoretici en recbters zicb op de openbare orde
beriepen, maar konden de inhoud der openbare orde niet
definieren. ” Adalah tidak mungkin memastikan hukum yang
bersifat ketertiban umum. Hanya Hanya mungkin untuk
mengkonstatir mengenai kapan dan dengan cara bagaimana para
sarjana serta para hakim mempergunakan ketertiban umum,
sedangkan substansi ketertiban umum itu sendiri tidak dapat
dirumuskan.
Konsep ketertiban umum itu memang tidak pasti serta latent
adanya, selalu berubah-ubah menurut penentuan serta apresiasi
hakim yang harus melaksanakannya. Oleh karena itu pula,
Kollewijn sebagaimana dikutip Gautama selanjutnya mengatakan
bahwa “hakim tidak mempergunakan ketertiban umum karena
suatu ketentuan hukum dari negaranya bersifat ketertiban umum,
melainkan karena ia (hakim) menganggap ketertiban umum harus
dipergunakan, maka hakim menyebutkan kaidah bersangkutan
bersifat ketertiban umum.” Dari konteks pernyataan tersebut
tampak sekali betapa peran hakim demikian besar dalam penentuan
substansi ketertiban umum.
Jadi, kewenangan menilai suatu putusan arbitrase internasional
apakah dianggap bertentangan dengan ketertiban umum atau tidak,
termasuk dalam kewenangan seorang hakim yang tergolong
kewenangan diskresioner (judicial discretion). Kewenangan
semacam itu menurut Aharon Barak tergolong pada '‘the
application o f a given norm" karena menyangkut "the choice
among a number o f alternative ways o f applying a norm to a given
set o f facts. “Hal tersebut disebabkan norma hukum merupakan
sesuatu yang abstrak, sehingga hanya hakim pengadilan yang
memiliki otoritas atau kewenangan untuk menerjemahkan atau
menafsirkan setiap norma yang akan diterapkan pada kasus-kasus
yang dihadapkan kepadanya. Maka di dalam menentukan isi dan
makna ketertiban umum secara konkret berdasarkan peristiwa demi
peristiwa, peran hakim demikian besar. Bahkan dalam
menjalankan kewenangan diskresioner tersebut, acapkali
kewenangan hakim tidak mudah diduga. Hal itu pernah terjadi
dalam kasus pemberian eksekuatur terhadap Putusan Badan
Arbitrase Gula “The Council o f The Refined Sugar Association”
yang berkedudukan di London dalam sengketa antara Yani
Haryanto (importir Indonesia) lawan E.D. & F. MAN Sugar Ltd.

214
London. Akan tetapi, penetapan eksekuatur tersebut tidak lama
kemudian dibatalkan.
Kasus tersebut cukup menarik serta mendapat perhatian karena
Mahkamah Agung dinilai tidak konsisten dan Hukum Indonesia
gampang bergoyang. Pada awalnya MA mengabulkan permohonan
eksekuatur terhadap putusan arbitrase asing dalam kasus kontrak
dagang internasional jual beli gula pasir itu, akan tetapi ternyata
kemudian melalui putusan kasasi MA membatalkan penetapan
tersebut. Majelis Hakim Agung yang menangani kasus tersebut
menggunakan alasan ketertiban umum di Indonesia sebagai dasar
pembatalan putusan arbitrase asing dimaksud. Selengkapnya alasan
itu dapat disimakberikut ini, “..karena ternyata putusan didasarkan
kepada kontrak yang mempunyai causa yang dilarang di Indonesia,
sehingga bertentangan dengan Ketertiban Hukum di Indonesia,
maka putusan tersebut tidak mempunyai daya mengikat.”
D. Eksekusi Putusan Arbitrase dalam Penegakan Keadilan
Eksekusi putusan arbitrase merupakan elemen yang amat
penting dalam keseluruhan rangkaian proses penyelesaian sengketa
melalui forum arbitrase. Oleh karena yang lebih penting bagi
pencari keadilan bukan sekedar minta putusan yang seadil-adilnya,
melainkan putusan tersebut dapat dilaksanakan apabila perkaranya
dimenangkan. Apa artinya sebuah putusan bagi seseorang yang
dimenangkan, tetapi kemudian tidak dapat dieksekusi. Hanya akan
dikatakan menang di atas kertas. Dalam praktik, eksekusi putusan
arbitrase, terutama yang dibuat di luar negeri, sejak dahulu selalu
menghadapi hambatan. Sejumlah faktor diyakini menjadi
penyebab, sehingga permohonan eksekusi putusan arbitrase asing
tidak pernah mencerminkan penegakan keadilan. Beranjak dari
fenomena tersebut, melakukan kajian mengenai eksekusi putusan
arbitrase dalam kerangka penegakan keadilan dipandang masih
cukup relevan serta tetap menarik sampai sekarang ini.
Analisis mengenai hal itu akan dilakukan melalui tiga
pembabakan. Pertama, periode sebelum Indonesia mengesahkan
“Convention on the Recognition and Enforcement o f Foreign
Arbitral Awards”. Kemudian Kedua, periode setelah Keputusan
Presiden RI Nomor 34 Tahun 1981 tentang pengesahan Konvensi
tersebut di atas, disusul dengan keluar Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tatacara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing. Ketiga, periode sesudah berlaku Undang-undang

215
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Mengingat pada periode pertama terkait
dengan suatu masa ketika Tata Hukum di Indonesia masih dalam
situasi kebijakan hukum kolonial Belanda, maka dalam
memaparkan periode itu tentu tidak dapat dihindari akan
bersinggungan dengan kaidah hukum yang berasal dari masa
Hindia Belanda.
1) Periode Sebelum Mengesahkan Konvensi New York
Lembaga arbitrase dikenal di Indonesia sejak masa
kolonial Belanda. Pengaturan arbitrase pada masa itu
merupakan bagian dari hukum acara perdata untuk Raad van
Justitie yang diatur dalam Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering (Rv). Akan tetapi Rv sama sekali tidak
menyebut tentang arbitrase asing, sehingga tidak dikenal
kaidah yang mengatur pelaksanaan (eksekusi) putusan
arbitrase asing. Putusan arbitrase asing analog dengan putusan
hakim asing. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 436 Rv
pada asasnya putusan hakim asing tidak dapat dieksekusi di
wilayah Indonesia, sehingga putusan arbitrase asing juga tidak
dapat dimohonkan eksekusi di wilayah Indonesia. Pada dekade
delapan puluhan pernah terjadi polemik antara Asikin
Kusumah Atmadja ketika itu sebagai Ketua Muda MA di satu
pihak dengan Sudargo Gautama di lain pihak. Pada tahun 1927
Pemerintah Belanda menandatangani Konvensi Jcnewa
tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase luar
negeri. Berdasarakan asas konkordansi konvensi tersebut juga
berlaku di wilayah Hindia Belanda. Berlakunya konvensi itu
setelah Indonesia merdeka kemudian menjadi polemik kedua
tokoh di muka. Asikin Kusumah Atmadja mempertanyakan,
apakah dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase asing dapat
dipakai Voorzieningen voor Indonesie ter uitvoering van hel
verdrag nopens de tenuitvoerlegging van in het buitenland
gewezen scheidsrechterlijke uitspraken van Sept. 1927: (KB
van 17Dec. 1932 No. 82); S. 1933 - 132jo 1331 Konvensi
Jcnewa yang berlaku secara nyata pada tanggal 28 April 1933
itu setelah Indonesia merdeka tidak berlaku lagi. Alasannya,
Republik Indonesia tidak pernah menyatakan secara tegas dan
aktif untuk tetap terikat pada konvensi tersebut. Sedangkan
pada pihak lain, Sudargo Gautama berpendapat bahwa

216
Konvensi Jencwa 1927 masih berlaku untuk Indonesia.
Argumen yang dikemukakan Sudargo antara lain sebagai
berikut :
“...Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pasal
peralihan telah dinyatakan bahwa berkenaan dengan
pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada RI
dihubungkan dengan Peraturan Presiden Nomor 2 tanggal
10 Oktober 1945 zaman Yogyakarta, maka persetujuan-
persetujuan internasional yang berlaku untuk wilayah RI
pada saat penyerahan kedaulatan, tetap akan berlaku
untuk RI. Dalam hal ini Konvensi Jencwa yang tercakup
dalam Staatsblad 1933 No. 132 juga masih harus
dianggap berlaku, kecuali apabila RI telah menyatakan
secara tegas untuk tidak berlaku.”
Sebagai sintesa dari dua pendapat tokoh di muka, R.
Subekti menyatakan : “sukar bagi pengadilan kita untuk
memberlakukan konvensi dalam soal pelaksanaan putusan
arbitrase asing.” Alasan beliau didasari oleh adanya pendirian
Departemen Luar Negeri RI yang menyebut bahwa perjanjian-
perjanjian internasional yang dulu diadakan oleh Pemerintah
Hindia Belanda, tidak otomatis beralih kepada RI. Akan tetapi
harus secara tegas diperbaharui melalui pernyataan yang tegas
(stelsel aktif).
Polemik di atas berimplikasi pada dataran praksis. Seperti
dapat disimak pada kasus berikut ini: London Arbitration
Awards No. 1950, tanggal 12 Juli 1978, kasus antara PT
Nizwar Jakarta vs Navigation Maritime Bulgare, vama, Blvd.
Chervenoermeiski. Putusan arbitrase tersebut dimintakan fiat
eksekusi kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Melalui
Penetapan No.2288/1979 P., tanggal 10 Juni 1981 Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan permohonan
pemohon. Artinya putusan Arbitrase London itu dapat
dieksekusi, sehingga PT Nizwar Jakarta harus melaksanakan
Putusan Arbitrase London Nomor 1950, tanggal 12 Juli 1978.
Menanggapi penetapan PN Jakarta Pusat itu PT Nizwar selaku
termohon eksekusi mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.
Meski menolak permohonan kasasi itu karena pemohon tidak
mengajukan memori kasasi, namun MA menyatakan bahwa

217
permohonan pelaksanaan putusan arbitrase asing seharusnya
dinyatakan tidak dapat diterima.
Pertanyaannya kemudian, mengapa permohonan fiat
eksekusi putusan arbitrase London itu dikabulkan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tetapi kemudian ditolak oleh
Mahkamah Agung?
Hal itu diduga terjadi di samping karena PN Jakarta Pusat
dengan MA berbeda sudut pandang, juga karena kedua
institusi pemutus itu merujuk instrumen hukum yang berlainan
sebagai landasan pemutus. Ketika Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat mengeluarkan penetapan yang mengabulkan permohonan
fiat eksekusi pihak Navigation Maritime Bulgare, vama, Bivd.
Chervenoermeiski, Indonesia belum mengesahkan Konvensi
New York 1958. Maka, salah satu pertimbangan PN Jakarta
Pusat menyebutkan Konvensi Jenewa 1927 masih berlaku,
sehingga putusan arbitrase yang diucapkan di London 12 Juli
1978 dapat dilaksanakan di Indonesia. Selanjutnya
menghukum PT Nizwar Jakarta untuk membayar jumlah
tertentu kepada Navigation Maritime Bulgare. Sementara itu,
pengesahan Konvensi New York dilakukan oleh Pemerintah
RI dengan instrumen ratifikasi Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 1981 pada tanggal 5 Agustus 1981. Sedangkan ketika
MA menerima permohonan kasasi P'I' Nizwar Jakarta yang
ditolak karena tidak mengajukan memori kasasi, terjadi setelah
Pemerintah RI mengesahkan Konvensi New York. Maka
pertimbangan MA dalam putusan Nomor 2944 K/Pdt/1983
tanggal 20 Agustus 1984, MA telah menyebut Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1981 dan lampirannya tentang
pengesahan "Convention on the Recognition and Enforcement
o f Foreign Arbitral Awards’’ masih harus ada peraturan
pelaksanaannya, Apabila dihubungkan dengan pendapat
Asikin Kusumah Atmadja di muka, sesungguhnya pendirian
MA tidak berubah dan tetap konsisten. Sejak semula Asikin
Kusumah Atmadja, baik selaku pribadi maupun sebagai Ketua
Muda MA telah berpendirian bahwa Konvensi Jenewa 1927
tidak berlaku lagi di Indonesia. Oleh karena itu, putusan
arbitrase asing tidak dapat dieksekusi di Indonesia. Jadi, ketika
MA menolak permohonan fiat eksekusi tentu saja tidak
mengherankan. Kebetulan pula Asikin Kusumah Atmadja
ditunjuk sebagai Ketua Sidang Majelis Hakim yang
memeriksa dan memutus kasus tersebut.
2) Periode setelah Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981
Setelah Pemerintah RI mengeluarkan Keputusan Presiden
(Keppres) Nomor 34 Tahun 1981 tentang pengesahan
Konvensi New York 1958, banyak pihak menggantungkan
harapan dengan disahkan konvensi tersebut putusan
arbitrase asing akan dapat dilaksanakan di Indonesia.
Harapan tersebut kiranya tidak berlebihan karena konvensi itu
tegas menyebutkan bahwa setiap negara penandatangan
konvensi akan mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase
yang dibuat di negara lain yang bersama-sama Indonesia
terikat dalam Konvensi New York 1958. Di samping itu, salah
satu pensyaratan (reservation) yang dibuat Pemerintah RI
sebagai lampiran Keppres 34/1981 antara lain menyatakan
"...The Government of'Indonesia declares that it will apply the
Convention on the basis o f reciprocity, to the recognition and
enforcement o f awards made only in the territory o f another
Contracting State... ”. Oleh karena itu, sesungguhnya telah
cukup bagi Indonesia untuk dapat mengakui serta
. melaksanakan putusan arbitrase asing. Namun demikian,
praktik masih menunjukkan sebaliknya. Seperti telah
disebutkan di muka, Mahkamah Agung dalam pertimbangan
putusan perkara PT Ni/.war menyatakan bahwa Keppres
34/1981 dan lampirannya tentang pengesahan "Convention on
the Recognition and Enforcement o f Foreign Arbitral Awards ”
masih harus ada peraturan pelaksanaannya. Apakah
permohonan eksekusi putusan arbitrase asing itu dapat
diajukan langsung pada pengadilan negeri, kepada pengadilan
negeri yang mana ataukah diajukan melalui Mahkamah
Agung. Maksudnya untuk dipertimbangkan apakah putusan
tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan
ketertiban hukum di Indonesia.
Tindakan ratifikasi Konvensi New York 1958 belum
memberikan jalan keluar dari masalah yang selama ini
menghambat pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.
Persoalan tersebut tetap tidak jelas sampai dengan dikeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1990
tentang Tatacara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing.

219
Sebagai kaidah hukum acara, Perma No. 1/1990 antara lain
menetapkan bahwa yang diberi wewenang yang berhubungan
dengan pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing
adalah Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Artinya,
pengadilan negeri yang relatif kompeten menangani masalah
tersebut adalah PN Jakarta Pusat. Oleh karena itu, putusan
arbitrase asing dapat dimintakan pelaksanaan setelah putusan
tersebut dideponir di Kepaniteraan PN Jakarta Pusat.
Selanjutnya PN Jakarta Pusat dalam waktu selambat-
lambatnya 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
diterima permohonan tersebut, mengirimkan berkas
permohonan eksekusi itu kepada Sekretaris Jenderal
Mahkamah Agung untuk memperoleh exequatur. Setelah MA
memberikan exequatur, pelaksanaan selanjutnya diserahkan
kepada KPN Jakarta Pusat. Apabila pelaksanaan putusan harus
dilakukan di wilayah hukum lain, maka putusan yang telah
memperoleh exequatur selanjutnya akan diserahkan kepada
pengadilan negeri yang relatif kompeten untuk melaksanakan
putusan itu sesuai dengan pasal 195 IIIR/206 ayat (2) Rbg.
Dalam periode ini juga dapat disaksikan paling tidak ada
dua putusan arbitrase asing yang ditolak permohonan
eksekuaturnya untuk pelaksanaan putusan tersebut oleh
pengadilan negeri di Indonesia. Kedua putusan tersebut adalah
(1) Putusan Arbitrase London dalam perkara antara Trading
Corporation o f Pakistan Ltd, melawan PTBakrie & Brothers.
(2) Putusan Arbitrase London dalam kasus antara K.D. &
F.MAN (SUGAR) Ltd., melawan Yani Haryanto. Uraian
tentang kasus posisi untuk putusan yang pertama dapat
disimak sebagai berikut:
Perkara antara Trading Corporation o f Pakistan Ltd,
pemohon kasasi dahulu terbantah/pembanding melawan PT
Bakrie & Brothers, termohon kasasi dahulu pembantah/
terbanding. Sengketa antara kedua belah pihak telah diputus
oleh Arbitrase dari P"ederation o f Oils, Seeds and Fate
Association Ltd. London No. 2282 tanggal 8 September 1981.
Putusan arbitrase tersebut kemudian oleh terbantah
diajukan permohonan eksekusinya melalui Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Tanggal 13 Februari 1984 PN Jakarta Selatan
mengeluarkan Ketetapan No. 22/48/JS/1983 untuk pendaftaran
dan pelaksanaan Award o f Arbitration dari Federation o f Oils,
Seed and Fats Associations Limited No. 2282 tanggal 8
September 1981. Terhadap Ketetapan PN Jakarta Selatan itu
pembantah, dalam hal ini PT Bakric & Brothers telah
melakukan bantahan. Inti bantahan didasarkan pada hal-hal
antara lain sebagai berikut: (i) dalam kasus ini negara-negara
yang bersangkutan (Contracting States) adalah Pakistan dan
Indonesia, bukan Inggris dan Indonesia; (ii) prosedur
pengambilan putusan oleh badan arbitrase tersebut tidak
mengindahkan rasa keadilan dan kepatutan. Pembantah selaku
pihak yang disebut pihak penjual tidak didengar dan tidak
diberi kesempatan membela diri mengapa pelaksanaan kontrak
sampai gagal.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusan Nomor
64/Pdt/G/ 1984/PN.Jkt.Sel, mempertimbangkan antara lain
sebagai berikut: (i) majelis menganggap bahwa pembantah
telah berhasil membuktikan dalil-dalilnya dan karena itu harus
dikabulkan; (ii) karena bantahan dikabulkan, maka putusan
Arbitrase London Nomor 2282 tersebut di atas harus
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum untuk
dieksekusi. Putusan PN Jakarta Selatan itu kemudian
dimohonkan Banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Dalam putusan Nomor 512/PDT/1985/PT DKI, tanggal 23
Desember 1985 Pengadilan Tinggi DKI menguatkan putusan
PN Jakarta Selatan tanggal 1 Nopember 1984 No.
64/Pdt/G/1984/PN.Jkt.Sel yang dibanding tersebut.
Terbantah/pcmbanding, dalam hal ini Trading Corpora­
tion o f Pakistan Ltd., kemudian mengajukan kasasi atas
putusan PT DKI tersebut di atas. Dalam putusan Nomor 4231
K/Pdt/1986 tanggal 4 Mei 1988, Ketua Sidang Majelis Hakim
Mahkamah Agung yang memeriksa dan memutus kasus
tersebut mempertimbangkan antara lain: “bahwa berdasarkan
apa yang dipertimbangkan, lagi pula dari sebab tidak ternyata
bahwa putusan judex faeti dalam perkara ini bertentangan
dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan
kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi: Trading
Corporation o f Pakistan Limited tersebut harus ditolak.”
Memperhatikan rangkaian kasus di atas, dapatlah dipahami
betapa banyak faktor yang terkait dengan kemungkinan dapat

221
atau tidaknya suatu putusan arbitrase asing dilaksanakan di
Indonesia. Oleh sebab itu, ternyata Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 1990 sebagai peraturan pelaksanaan
dari Keppres 34/1981 dan lampirannya juga belum dapat
menciptakan proses dan prosedur yang sederhana dalam
rangka pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.
Kasus berikut ini cukup heboh dan terkenal disebabkan
oleh dua faktor. Pertama, Mahkamah Agung untuk pertama
kalinya memberikan eksekuatur terhadap putusan arbitrase
asing sejak MA mengeluarkan PERMA 1/1990. Kedua, dalam
waktu yang tidak terlalu lama penetapan MA tentang
pemberian eksekuatur itu kemudian dibatalkan sendiri melalui
putusan kasasi. Kasus ini dikenal dengan sebutan “Kasus
Gula ” karena objek sengketa tersebut memang mengenai jual
beli gula. Selengkapnya rangkaian perjalanan permohonan
eksekusi putusan arbitrase London dalam perkara antara K. D.
& F.MAN (SUGAR) Ltd., melawan Yani Ilaryanto, dapat
disimak berikut ini.
Pada tahun 1982 pengusaha Indonesia Yani Ilaryanto
bertindak sebagai pembeli mengadakan perjanjian jual beli
gula dengan eksportir Inggris K.D. & F, Man Sugar Ltd. Sugar
quay London, sebagai penjual. Perjanjian tersebut dituangkan
dalam dua bentuk kontrak dagang, yaitu :
1) Contract for White Sugar No. 7458, tanggal 12 Februari
1982 untuk jual beli gula sebanyak 300.000 metrik ton;
2) Contract for White Sugar No. 7527, tanggal 23 Marel
1982 untuk jual beli gula sebanyak 100.000 metrik ton.
Kedua kontrak tersebut ditandatangani oleh kedua belah
pihak pada bulan Februari dan Maret 1982. Dalam kedua
kontrak di atas para pihak bersepakat bahwa segala sengketa
yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian jual beli gula ini,
kedua belah pihak sepakat diselesaikan oleh suatu “Dewan
Arbitrase Gula” atau yang disebut “The Council o f the
Refened Sugar Association’’ yang berkedudukan di London
berdasarkan ketentuan dalam The Rules o f the Refened - Sugar
Association Relating to Arbitration.
Pelaksanaan kontrak ternyata mengalami kegagalan
karena Yani Ilaryanto menolak melaksanakan perjanjian jual
beli tersebut dengan alasan bahwa import gula itu merupakan
kewenangan BULOG (Badan Urusan Logistik). Sedangkan
perorangan tidak dibenarkan melakukan import gula. Larangan
itu tertuang di dalam (i) Keputusan Presiden (Keppres) No. 43
Tahun 1971, tanggal 14 Juli 1971 tentang Kebijaksanaan
Pemerintah dalam bidang pengadaan beras, gula, dan lain-lain
oleh BULOG; (ii) Keppres No. 39 Tahun 1978. Ketika
perjanjian disepakati kedua belah pihak tidak mengetahui
kedua Keppres tersebut dan baru diketahui setelah perjanjian
hendak dilaksanakan. Atas dasar hal itu maka Yani Maryanto
membatalkan kedua perjanjian jual beli gula yang telah
disepakatinya.
Akibat tindakan Yani Ilaryanto membatalkan perjanjian
jual beli yang telah disepakati, maka E.D. & F. Man Sugar
Ltd. sebagai pihak eksportir gula di London menuntut ganti
kerugian. Sengketa ini di Inggris ditangani oleh The English
High Court London. Kemudian The English Court o f Appeal
London yang memberi putusan bahwa sesuat dengan kontrak
yang disepakati, maka yang berwenang menyelesaikan
sengketa ini adalah Dewan Arbitrase Gula yang disebut The
Council o f the Refened Sugar Association di London.
Walaupun penyelesaian sengketa itu diperintahkan untuk
diajukan kepada Dewan Arbitrase Gula tersebut tetapi tidak
sempat diajukan.
Pada pihak lain Yani Ilaryanto (sebagai Penggugat)
mengajukan gugatan perdata kepada E.D. & F. Man Sugar
Ltd., London (sebagai Tergugat) melalui Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat untuk membatalkan pelaksanaan perjanjian jual
beli gula dimaksud. Dalil yang dikemukakan Penggugat di
dalam gugatan antara lain: “Karena ada larangan dari
pemerintah mengenai import gula oleh perorangan, artinya
perjanjian jual beli gula tersebut mengandung causa/scbab
yang dilarang oleh peraturan, sehingga menjadi batal demi
hukum.”
Setelah melalui rangkaian pemeriksaan dan pembuktian,
akhirnya PN Jakarta Pusat dengan Putusan Nomor
499/Pdt/G/VI/l 988/PN.JKT.PST. memutuskan memenangkan
Yani Haryanto selaku Penggugat dan membatalkan dengan
segala akibat hukumnya Contract for White Sugar No. 7458,

223
tanggal 12 Februari 1982 dan Contract for White Sugar No.
7527, tanggal 23 Maret 1982.
Dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi Jakarta telah
menjatuhkan putusan dalam perkara antara E.D. & F. Man
Sugar Ltd., London (Pembanding semula Tergugat) melawan
Y ani Haryanto (Terbanding semula Penggugat). Melalui
putusan No. 486/Pdt/l 989/PT.DKI, tanggal 14 Oktober 1989
Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta
Pusat tanggal 29 Juni 1989 No. 499/Pdt/G/1988/PN.Jkt.Pst.
yang dimohonkan banding tersebut.
Tidak puas terhadap kedua putusan pengadilan rendahan
sebelumnya, E.D. & F. Man Sugar Ltd., London (Pembanding
semula Tergugat) mengajukan permohonan kasasi ke
Mahkamah Agung. Pada dasarnya Mahkamah Agung
memberikan putusan No. 1205 K/Pdt/1990, tanggal 4
Desember 1991 yang intinya menolak permohonan kasasi
yang diajukan oleh E.D. & F. Man Sugar Ltd., London.
Penolakan MA terhadap kasasi di atas barangkali tidak
terlalu istimewa. Yang menarik untuk dicermati adalah lima
pertimbangan putusan tersebut yang diakui sendiri oleh MA
“pertimbangan dalam perkara ini walaupun berlebihan,” antara
lain sebagai berikut:
o Mahkamah Agung mengaitkan masalah ini dengan
Penerapan Mahkamah Agung RI No. l/Pcn/Ex’r/Arb.Int/
Pdt/1991, tanggal 1 Maret 1991, yang meskipun dalam
perkara ini tidak disinggung, akan tetapi hal tersebut
bertalian erat dengan perkara tersebut;
o Bahwa Penetapan tersebut di atas mengenai mengabulkan
permohonan exequatur terhadap putusan The Queen’s
Council o f the English Bar di London, 17 November 1989;
o Bahwa suatu Penetapan exequatur hanya bersifat prima
facie, jadi penetapan tersebut tidak merupakan penilaian
hukum terhadap isi dari perjanjian yang dibuat;
o Bahwa suatu Penetapan exequatur ini hanya memberikan
titel eksekutorial bagi Putusan Arbitrase Asing tersebut,
yang pelaksanaannya tunduk kepada Hukum Acara di
Indonesia;
o Bahwa karena itu, dengan adanya Putusan Mahkamah
Agung dalam perkara ini, maka Penetapan Mahkamah
Agung RI No. l/Pen/Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991 tanggal 1
Maret 1991, menjadi irrelevant untuk dilaksanakan.
Lima pertimbangan putusan Mahkamah Agung tersebut di
atas telah menimbulkan berbagai komentar yang kontroversi
pada berbagai kalangan di masyarakat. Kontroversi terjadi
terutama disebabkan oleh Penetapan Mahkamah Agung RI
No. l/Pen/Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991, tanggal 1 Maret 1991, yang
mengabulkan permohonan exequatur terhadap putusan The
Queen’s Council o f the English Bar di London, 17 November
1989. Pada awalnya penetapan itu disambut gembira oleh
sejumlah kalangan sebagai “sebuah keputusan berani di bidang
hukum perdata yang telah diambil oleh Mahkamah Agung.”
Komentar yang bernada optimis berdatangan ditujukan kepada
Mahkamah Agung (MA). Oleh karena dalam catatan sejarah
hukum perdata Indonesia, penetapan exequatur dari MA untuk
putusan arbitrase asing terhitung yang pertama kalinya.
Setidaknya sejak MA membuat peraturan tatacara pelaksanaan
putusan arbitrase asing, PERMA 1/1990, tanggal 1 Maret
1990. Menyusul Penetapan Mahkamah Agung RI No,
l/Pen/Ex’r/Arb.Int/ Pdt/1991. tanggal 1 Maret 1991 yang
mengabulkan permohonan exequatur. Wakil Ketua MA
Purwoto S. Gandasubrata mengemukakan pendapat bahwa,
“Pelaksanaan putusan arbitrase tersebut tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, dalam hal ini tata hukum dan
kepentingan nasional Indonesia.” Bagaimanapun hasilnya
nanti, putusan tersebut setidaknya menaikkan citra peradilan
Indonesia di mata internasional. Penetapan itu juga sekaligus
menunjukkan keseriusan Indonesia sebagai anggota Konvensi
New York 1958.
Akan tetapi ternyata tonggak baru MA sekaligus gengsi
baru pengadilan Indonesia itu tidak berumur lama. Putusan
kasasi dalam kasus E.D. &F. Man Sugar Ltd., London
melawan Yani Haryanto di atas telah memupuskan harapan
pihak asing untuk dapat memperoleh hak-hak yang telah
diperjuangkan berdasarkan prinsip-prinsip kebebasan
berkontrak. Oleh sebab itu tak pelak lagi putusan di atas
mengundang komentar beragam dan umumnya bernada

225
mengkritik. Umpamanya, Tempo mengulas hal itu dengan
headline “Mahkamah Agung Meralat Gengsi. ” Di dalam
ulasan Tempo itu bahkan Wakil Ketua BANI, HJR Abubakar
juga mengaku tidak habis pikir atas putusan kasasi itu. Beliau
mengatakan, “kalau sudah dikeluarkan penetapan, berarti MA
sudah menilai keputusan arbitrase asing itu bisa dilaksanakan
karena tak bertentangan dengan tata hukum Indonesia.”
Berbeda dengan komentar yang lain, Sudargo Gautama justru
berpendapat sebaliknya. Menurut Gautama “keputusan itu
sudah tepat, sebab kedua kontrak itu memang sudah dibatalkan
oleh pengadilan di sini. Lagi pula proses persidangan arbitrase
di London tidak memenuhi persyaratan Konvensi New York
1958. Pihak Haryanto tidak pernah diberi kesempatan untuk
membela diri. Jadi, memang tidak ada yang dapat dieksekusi.”
Sebagai Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu, Ali
Said berpendapat bahwa “penetapan exequatur itu menurut
kuasa hukum Man mestinya tak bisa dibanding apalagi kasasi -
tidak berbeda dengan keputusan sela saja. Oleh karena itu,
adanya keputusan kasasi dengan sendirinya penetapan
exequatur sebelumnya tidak dapat dilaksanakan.” Kontroversi
mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing itu
bagaimanapun telah mencitrakan betapa pilihan forum
penyelesaian sengketa melalui arbitrase belum berpihak pada
penegakan keadilan. Apabila demikian faktanya, benar apa
yang dikatakan Rene David bahwa: It may happen hoewever
that the loser does not accept the award which has been
rendered. He may contest the validity o f the award.... It is then
necessary to go to a court; the losing party may go to court to
have the award set aside or reformed.
Padahal bagi pihak-pihak yang bersengketa tidak
terkecuali pihak asing, dapat dilaksanakannya putusan yang
telah diperoleh, sama dengan memperoleh jaminan kepastian
hukum atas hak-hak yang dituntut. Ini merupakan masalah
esensial, oleh karena bagi siapapun, memakai metode
penyelesaian sengketa apapun, dan dimanapun sengketa itu
diputus, tidak ada artinya sama sekali apabila tidak ada ada
jaminan kepastian hukum untuk merealisasikan hak-hak yang
diperoleh. Bukan kemenangan semu diatas kertas yang dicari
pihak-pihak yang bersengketa, melainkan diperoleh kembali
hak yang mereka perjuangkan.
3) Periode sesudah berlaku Undang-undang Nomor 30 Tahun
1999
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan APS tentu saja berbeda dengan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 1990 tentang tatacara
pelaksanaan putusan arbitrase asing. Akan tetapi dalam
beberapa hal substansi UU Arbitrase ternyata masih
mengukuhkan materi hukum yang berasal dari PERMA
1/1990. Ketentuan tersebut di antaranya, Pasal 66 UU Abitrasc
substansinya sama persis dengan Pasal 3 PERMA 1/1990.
Kemudian Pasal 67 ayat (2) UU Arbitrase juga sama dengan
Pasal 5 ayat (4) PERMA 1/1990. Selebihnya tentu saja UU
Arbitrase mengatur lebih luas dan komprehensif, sehingga
sangat berbeda dengan PERMA 1/1990. Namun demikian
perbedaan prinsipal di antara keduanya tampak pada
pengaturan tentang otoritas pemberi eksekuatur. Menurut
PERMA 1/1990 yang berwenang memberi eksekuatur adalah
Mahkamah Agung, sedangkan di dalam Undang-undang
Arbitrase adalah KPN Jakarta Pusat. Dikccualikan apabila
Republik Indonesia menjadi salah satu pihak dalam sengketa,
maka eksekuatur tetap merupakan kewenangan Mahkamah
Agung. Pengecualian tersebut sama sekali tidak diatur di
dalam PERMA 1/1990.
Pertanyaan yang muncul adalah: Mengapa pembuat
Undang-undang Arbitrase memilih KPN Jakarta Pusat sebagai
otoritas pemberi eksekuatur menggantikan Mahkamah Agung?
Tidak dijumpai jawaban otentik dari risalah penyusunan
Undang-undang mengenai hal itu, Akan tetapi menurut
keterangan dari para informan diperoleh informasi yang cukup
relevan dalam konteks alasan penunjukan tersebut.
Para informan mengemukakan bahwa “hakim pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diyakini sebagai figur yang
sangat berpengalaman serta memiliki kemampuan handal
dalam menangani berbagai kasus yang bernuansa trans­
nasional termasuk dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase
asing, bila dibandingkan dengan para hakim di pengadilan lain
di Indonesia.” Kondisi semacam itu antara lain disebabkan

227
karakter wilayah Jakarta Pusat yang unik sekaligus rumit.
Sebagai bagian dari Ibu Kota Negara RI, wilayah Jakarta Pusat
memiliki kompleksitas permasalahan, skala aktivitas
masyarakat yang sangat bervariasi dan berakselerasi tinggi,
serta populasi yang multi etnik dengan segala dinamikanya.
Alasan itu menurut para informan diperkirakan merupakan
salah satu pertimbangan, sehingga pembuat Undang-undang
Arbitrase memilih KPN Jakarta Pusat sebagai otoritas pemberi
eksekuatur untuk pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing.
Sesudah berlaku UU Arbitrase 30/1999, permohonan
eksekuatur putusan arbitrase asing ternyata masih menjumpai
beberapa hambatan, sehingga hasilnya belum banyak berbeda
dengan keadaan sebelumnya. Permohonan eksekuatur di
dalam praktik masih tidak mudah untuk dikabulkan.
Akibatnya, secara umum pelaksanaan putusan arbitrase baik
putusan arbitrase nasional apalagi putusan arbitrase
internasional masih sangat jarang terjadi. Hasil penelitian yang
diadakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan
Januari 2002 berkenaan dengan putusan arbitrase nasional
yang didaftarkan untuk dilaksanakan, menunjukkan bahwa
jumlah putusan yang didaftarkan turun dari 19 putusan pada
tahun 1999 menjadi hanya enam putusan saja pada tahun
2001, walaupun perintah pelaksanaan diberikan sembilan kali
pada tahun 1999 dan tidak ada sama sekali pada tahun 2000
dan 2001. Untuk mengetahui betapa susahnya putusan
arbitrase asing memperoleh eksekuatur dari pengadilan,
paparan berikut ini merupakan salah satu contohnya.
Kasus antara Bankers Trust Company and Bankers Trust
International PLC (together BT) vs. PT Mayora Indah Tbk.
(Mayora) mengenai “currency and interest rate swap
transactions based on the International Swaps and Derivatives
Association (ISDAJ Master Agreement tertanggal 25 April
1997. Sengketa tersebut diputus oleh arbitrator London pada
tahun 1999 berdasarkan the Rules o f the London Court o f
International Arbitration ( “LCIA”) dan BT dimenangkan.
Putusan tersebut menghukum PT Mayora untuk membayar
sejumlah uang kepada BT. Ketika permohonan pelaksanaan
putusan arbitrase London diajukan oleh pihak BT, Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk melaksanakan
putusan tersebut. Alasan penolakan disebutkan karena BT dan
PT Mayora dalam sengketa yang sama sedang dalam proses
pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Putusan No.
46/Pdt.G/1999 tanggal 9 Desember 1999 yang memenangkan
PT Mayora). Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengatakan
bahwa dalam praktik pengadilan, acara pelaksanaan dari
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (dalam
hal ini putusan arbitrase asing) harus ditunda sampai dengan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dimaksud
mempunyai kekuatan hukum tetap. Selanjutnya, KPN Jakarta
Pusat menyatakan bahwa “apabila putusan arbitrase yang
dibuat di London dilaksanakan sementara masih menunggu
putusan PN Jakarta Selatan, maka hal itu dapat menghapuskan
perjanjian pokok para pihak.” Berdasarkan fakta tersebut,
putusan arbitrase internasional akan membingungkan dan akan
bertentangan dengan ketertiban umum.
Setelah PT Mayora dimenangkan, BT kemudian
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung mengenai penetapan
KPN Jakarta Pusat. Penetapan Mahkamah Agung No.
02K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000 tanggal 5 September 2000
menguatkan Penetapan KPN Jakarta Pusat tersebut dan
menolak untuk melaksanakan putusan arbitrase asing yang
dimohonkan oleh BT. Mahkamah Agung menyatakan bahwa
pelaksanaan putusan arbitrase asing harus ditunda sampai
dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mempunyai
kekuatan hukum tetap. Sebaliknya, hal itu akan bertentangan
dengan tertib hukum acara.
Kesimpulan dari Mahkamah Agung akan dianggap
sebagai putusan yang tepat apabila kedua kasus antara pihak-
pihak yang sama berkenaan dengan sengketa yang sama dan
tunduk pada jurisdiksi pengadilan. Dalam keadaan seperti itu,
putusan pengadilan akan mempunyai kekuatan hukum tetap
dan harus ditunda sampai dengan putusan pengadilan dalam
kasus yang sedang diperiksa juga mempunyai kekuatan hukum
tetap. Sedangkan pada kasus di atas, para pihak membuat
perjanjian arbitrase, sehingga pengadilan tidak memiliki
kewenangan untuk memeriksa sengketa tersebut karena
pengadilan tidak memiliki jurisdiksi. Namun demikian, di

229
Indonesia, beracara di depan pengadilan dengan maksud untuk
membatalkan perjanjian yang di dalamnya memuat klausula
arbitrase sering digunakan sebagai taktik untuk membatalkan
proses arbitrase, dan membatalkan pembayaran ganti kerugian
atau kompensasi.
Berkaitan dengan hal di atas, penelitian yang dilakukan
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan Januari 2002
mengenai jumlah putusan arbitrase asing yang didaftarkan
untuk dilaksanakan antara tahun 1999-2001 menunjukkan
hasil seperti berikut: Pada tahun 1999 enam permohonan
pendaftaran putusan arbitrase asing telah diajukan dan tidak
satu pun eksekuatur diberikan. Kemudian pada tahun 2000
terdapat dua permohonan pendaftaran yang diajukan hanya
satu yang memperoleh eksekuatur. Sedangkan pada tahun
2001 jumlah permohonan pendaftaran bertambah menjadi
empat meskipun hanya tiga eksekuatur yang diberikan.
Seluruh rangkaian cerita dan fakta mengenai permohonan
eksekuatur untuk melaksanakan putusan arbitrase asing,
memberi bukti bahwa ternyata hukum arbitrase positif masih
menyisakan celah-celah yang memungkinkan terjadinya
konflik. Satu di antara penyebabnya antara lain karena
undang-undang arbitrase menganut standar ganda dalam
memperlakukan putusan arbitrase. Indikator tersebut dengan
mudah dapat diketahui. Pertama, terhadap putusan arbitrase
nasional, di satu pihak diakui sebagai putusan yang bersifat
final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat
para pihak. Akan tetapi, untuk melaksanakan putusan arbitrase
nasional, undang-undang menentukan sejumlah persyaratan
dengan ancaman sanksi bahwa putusan tidak dapat
dilaksanakan bila syarat yang ditentukan tidak dipenuhi.
Bahkan apabila para pihak tidak melaksanakan putusan secara
sukarela, maka putusan dilaksanakan berdasarkan perintah
Ketua Pengadilan Negeri. Kedua, untuk putusan arbitrase
internasional lebih banyak lagi persyaratan yang ditentukan.
Bahkan dari sejumlah syarat tersebut mengesankan putusan
arbitrase internasional sama sekali tidak memiliki titel
eksekutorial sebelum memperoleh eksekuatur dari KPN
Jakarta Pusat. Sedangkan idealnya suatu putusan yang bersifat
final, mempunyai kekuatan hukum tetap, serta mengikat para
pihak, dalam keadaan apa pun harus dapat dieksekusi sendiri
tanpa melibatkan, institusi lain kecuali lembaga yang
menjatuhkan putusan tersebut. Di samping itu, hukum
arbitrase terkesan diskriminatif terhadap putusan arbitrase
dibandingkan dengan putusan hakim. Oleh karena itu,
sesungguhnya putusan arbitrase itu belum merupakan putusan
final; karena tidak memiliki titel eksekutorial, dan tidak
mandiri, sehingga status putusan arbitrase sama sekali tidak
sejajar dengan putusan hakim.-Kedua persoalan di muka
merupakan konsekuensi yang harus di-terima sebagai akibat
undang-undang arbitrase menentukan keterlibatan pengadilan
negeri terhadap proses dan putusan arbitrase yang demikian
luas. Suka atau pun tidak, fakta di atas harus diterima karena
keterlibatan pengadilan nasional dalam masalah eksekusi
putusan arbitrase pada banyak negara juga merupakan
keniscayaan. Seperti yang dikemukakan Christoph 11.
Schreuer bahwa: Perhaps the most important aspect o f the
supportive role o f domestic courts towards arbitration is the
enforcement o f awards. ...It is only at the last stage, when it
comes to enforcement, that the victorious litigant ultimately
depends on the authority o f domestic courts. Walhasil, hampir
tidak mungkin putusan arbitrase internasional dapat diakui
serta dieksekusi di Indonesia tanpa memperoleh dukungan
kompetensi pengadilan negeri.
Dihubungkan dengan teori tentang karakteristik produk
hukum dari Nonet, Undang-undang Arbitrase Nomor 30
Tahun 1999 dapat dikategorikan ke dalam model hukum
represif. Bukan tanpa alasan, karena baik kaidah hukum
arbitrase maupun lembaga pengadilan sebagai instrumen
dalam pelaksanaan putusan arbitrase masih diarahkan pada
tujuan untuk menjamin ketertiban. Bukti tersebut secara
eksplisit tampak bahwa “Putusan arbitrase internasional
...hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada
putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. ”
Kaidah hukum itu juga masih mencitrakan hukum tunduk pada
politik kekuasaan, tuntutan untuk patuh bersifat mutlak, dan
ketidakpatuhan dianggap sebagai suatu penyimpangan. Bukti
lainnya: “Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan
di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. ” Ketentuan tentang

231
eksekuatur juga merupakan kaidah imperatif atau aturan yang
bersifat memaksa (dwingendrecht) yang sama sekali tidak
mungkin disimpangi. Mengabaikan permohonan eksekuatur
berarti putusan arbitrase asing tidak mungkin dapat dieksekusi.
Dalam konstelasi serta konstruksi semacam itu secara
bebas dapat diungkapkan bahwa norma hukum arbitrase masih
menjadi government social control. Hukum perundang-
undangan menjadi kekuatan kontrol di tangan pemerintah yang
terlegitimasi (secara formal-yuridis) yang tidak merefleksikan
konsep keadilan, asas-asas moral, dan wawasan kearifan yang
sebenarnya, sebagaimana yang sesungguhnya hidup di dalam
kesadaran hukum masyarakat awam. Ketertiban merupakan
tujuan hukum, sehingga untuk mempertahankan ketertiban
maka tuntutan-tuntutan dan pertimbangan-pertimbangan lain
di kesampingkan. Padahal di samping ketertiban, tujuan lain
dari hukum adalah tercapainya keadilan.

232
PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN SEBAGAI
ALASAN PENOLAKAN PELAKSANAAN
KEPUTUSAN ARBITRASE LUAR NEGERI

Republik Indonesia melalui Keppres No. 34 tahun 1981 menjadi


anggota Konvensi New York tahun 1958. Meskipun demikian,
Indonesia tidak selalu harus mengabulkan setiap permohonan
pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri. Konvensi New York tahun
1958 sendiri telah menetapkan syarat-syarat bagi tidak dapat
dilaksanakannya keputusan arbitrase luar negeri di negara-negara
penandatangan konvensi. Pasal V Konvensi New York tahun 1958
menyatakan bahwa pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dapat
ditolak atas permohonan pihak yang diminta untuk melaksanakan
putusan tersebut. Penolakan terhadap pelaksanaan putusan tersebut
dapat terjadi apabila pihak yang meminta penolak tersebut dapat
membuktikan hal-hal yang tercantum dalam Pasal V kepada pejabat
yang berwenang ditempat pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
tersebut diminta, yaitu :
(a) Para pihak dalam perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal II,
menurut hukum yang berlaku, tidak mempunyai kapasitas, atau
perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum yang berlaku, atau
tidak ada petunjuk bahwa perjanjian tersebut sah, berdasarkan
hukum negara dimana keputusan tersebut dibuat.
(b) Pihak yang diminta untuk melaksanakan keputusan tidak mendapat
pemberitahuan yang wajar mengenai penunjukan para wasit atau
dalam proses arbitrase ia tidak dapat menyampaikan kasusnya.
(c) Putusan berkenaan dengan hal yang berbeda atau tidak sesuai
dengan hal-hal yang diajukan kepada wasit, atau putusan
mengandung hal-hal diluar ruang lingkup pengajuan arbitrase. Jika
keputusan atas hal-hal yang diajukan pada arbitrase dapat
dipisahkan dari hal-hal yang tidak diajukan, bagian dari putusan
yang mengandung keputusan-keputusan atas hal-hal yang diajukan
pada arbitrase dapat diakui dan dilaksanakan.
(d) Komposisi dari kekuasaan arbitrase atau prosedur arbitrase tidak
sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak, atau,
persetujuan seperti itu gagaljika tidak sesuai dengan hukum negara
di tempat arbitrase berlangsung.

233
(e) Putusan belum mempunyai kekuatan mengikat terhadap para
pihak, atau telah dikesampingkan atau ditangguhkan oleh badan
yang berwenang dari negara atau berdasarkan hukum negara,
dimana putusan itu dibuat.
Ayat 2 Pasal V Konvensi New York 1958 juga menyatakan bahwa
pengakuan dan pelaksanaan dari suatu putusan arbitrase dapat juga
ditolak jika badan yang berwenang dari negara tempat pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase dimohon menemukan :
(a) Pokok persengketaan tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase
berdasarkan hukum negara itu.
(b) Pengakuan atau pelaksanaan putusan akan bertentangan dengan
kepentingan umum negara itu.
Suatu contoh dari keputusan arbitrase luar negeri yang ditolak
pelaksanaannya oleh pengadilan Indonesia dapat dilihat dalam perkara
Trading Corporation of Pakistan Limited v. PT. Bakrie & Brothers,
4231 K/Pdt/1986. Perkara ini timbul dari kontrak jual beli minyak
kelapa sawit mentah antara PT. Bakrie & Brothers dan Trading
Corporation of Pakistan Limited No. 058/PO/11.N/1979. Untuk
memenuhi kontrak tersebut Bakri Brothers telah menutup kontrak
pembelian minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil) dengan pihak
Larita (s) Pte. Ltd. Singapura sebanyak 5000 metrik ton dengan harga
US $ 670/MT. Bakri Brothers untuk menyelenggarakan pengangkutan
minyak mentah kelapa sawit itu telah mengadakan Charter Party
dengan maskapai Rosemuss Shipping Inc. Liberia. Pihak Larita(s) Pte.
Ltd telah gagal memenuhi kontrak pembelian sebanyak 5000 m/t
minyak kelapa sawit mentah tersebut, sehingga kapal yang telah siap
dipelabuhan Singapura tidak jadi memuat minyak kelapa sawit
dimaksud. Bakri Brothers mendalilkan bahwa Pasal 14 kontrak no.
058/PO/11.N/1979 For Crude Palm Oil tanggal 21 Nopember 1979
menentukan bahwa penjual akan mengadakan
Performance Bond (Surat Jaminan Pelaksanaan/Garansi Bank) untuk
pelaksanaan kontrak. Performance bond tersebut akan dikeluarkan oleh
Citibank of Pakistan Karachi dengan nilai 3% dari nilai total barang
dalam Froforma yang ditentukan oleh pembeli dalam 15 hari sejak
diterima tawaran pembantah tanggal 21-11-1979. Bakri Brothers selaku
penjual telah memenuhi kewajiban tersebut. Oleh karena Bakri
Brothers tidak dapat memenuhi isi kontrak dan tidak bersedia
membayar ganti rugi, karenaberpendapat telahmenyediakan

234
“Performance Bond”. Dalam perselisihan ini Trading Corporation of
Pakistan Limited, mengajukan masalahnya kepada Badan Arbitrase,
Federation of Oils, Seed and Fats Association Ltd. Badan Arbitrase
tersebut melalui putusan No. 2282 tanggal 8 September 1981,
membebani pihak Bakri Brothers selaku penjual untuk membayar
kepada pembeli sebagai ganti rugi $ 98.510.74. Pakistan Trading
Company Ltd. telah memohon Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk
melaksanakan Keputusan Arbitrase London tersebut. Pemohon
mengajukan beberapa alasan untuk pelaksanaan arbitrase London
tersebut. Pertama, Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34
tahun 1981 tentang pengesahan Konvensi New York 1958 telah
mengesahkan berlakunya Konvensi tersebut di Indonesia sejak tanggal
5 Agustus 1981. Kedua, Keppres No. 34 tahun 1981 berlaku secara
resiprositas antara negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi New
York 1958. Inggris adalah salah satu anggota Konvensi New York dari
tanggal 25 Februari 1975 sehingga Pemohon berpendapat bahwa
putusan arbitrase “Federation of Oils, Seed and Fats” dapat
dilaksanakan di Indonesia. Termohon dalam bantahannya mendalilkan
bahwa walaupun negara Inggris yang menjadi tempat keputusan
arbitrase merupakan salah satu anggota Konvensi New York, akan
tetapi pihak yang berperkara (Contracting Stales) adalah Pakistan dan
Indonesia, bukannya Inggris dan Indonesia sehingga permohonan
Pemohon tidak memenuhi ketentuan Keppres no. 34 tahun 1981.
Berdasarkan Keppres No. 34 tahun 1981 tersebut putusan arbitrase
tersebut harus ditolak dan paling banter Pemohon hanya dapat
menggunakan putusan arbitrase tersebut sebagai alat bukti untuk
gugatan biasa. Menurut Pemohon putusan tersebut tidak dibuat dalam
“teritory o f another contracting state” yaitu Pakistan sebagai domisili
Pemohon, Lebih lanjut Termohon mendalilkan bahwa prosedur
pengambilan putusan oleh Badan Arbitrase tidak mengindahkan rasa
keadilan dan kepatutan, karena Termohon selaku pihak penjual tidak
didengar dan diberi kesempatan untuk membela diri. Atas dasar
tersebut
Termohon mendalilkan bahwa ia adalah penjual minyak kelapa sawit
mentah yang beritikad baik. Ketidakmampuan memenuhi perjanjian
penyaluran minyak kepada Pemohon adalah akibat kegagalan dari
Lariza(s) Pte. Ltd. dan bukan karena wanprestasi Termohon melainkan
disebabkan oleh hal-hal yang tidak dapat diatasi oleh Termohon {Force
majeure).

235
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusannya No.
64/Pdt/G/1984/PN.JKT.SEL, mengabulkan bantahan Termohon.
Pengadilan tersebut menyatakan bahwa “Award o f Arbitration” No.
2282 tanggal 8 September 1984 tidak berkekuatan hukum sehingga
tidak dapat dilaksanakan. Dalam pandangannya Hakim Pengadilan
Negeri membenarkan keberatan atas pelaksanaan keputusan tersebut.
Alas an Pengadilan Negeri adalah bahwa putusan arbitrase tersebut
tidak syah karena putusan arbitrase tersebut dibuat di Inggris sedangkan
menurut azas resiprositas yang tercantum dalam Keppres No. 34 tahun
1981 Inggris tidak berhak memutus perkara arbitrase ini sebab negara
yang saling berhubungan (Contracting States) adalah Indonesia dan
Pakistan bukan Indonesia dan Inggris. Pandangan Pengadilan Negeri
yang lainnya adalah bahwa keputusan tersebut bertentangan dengan
prosedur pengambilan putusan oleh badan arbitrase karena Termohon
tidak diberi kesempatan untuk membela diri dan tidak pernah didengar
pendapatnya sehingga putusan tersebut tidak memenuhi syarat untuk
dilaksanakan. Dalam pandangannya lebih lanjut majelis menolak
pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa pengadilan tidak
berwenang menilai putusan arbitrase tersebut. Menurut majelis dari
Pasal V: 1 Konvensi New York dapat disimpulkan bahwa pengakuan
dan pelaksanaan putusan dapat ditolak setelah salah satu pihak
menyatakan pada pihak yang berwenang. Pihak yang berwenang ini
adalah Pengadilan Negeri karena badan inilah yang akan melaksanakan
eksekusi putusan arbitrase tersebut dan atas dasar itu Pengadilan bisa
menilai putusan arbitrase tersebut sesuai dengan jiwa konvensi.
Atas putusan Pengadilan Negeri tersebut Pemohon selaku pihak yang
dikalahkan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.
Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusan No. Sip/Pdt/1985/PT. DKI
menguatkan putusan Pengadilan Negeri tersebut. Dalam pandangannya
Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa tidak ada hal-hal yang dapat
melemahkan putusan majelis hakim Pengadilan pertama.
Dalam tingkat-kasasi permohonan kasasi Pemohon kasasi, Trading
Corporation of Pakistan Limited, ditolak oleh Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung dalam pandangannya tidak dapat membenarkan
keberatan-keberatan yang dikemukakan oleh Pemohon kasasi.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa Judex Facti tidak salah dalam
menerapkan hukum. Keputusan Judex Facti tersebut, menurut
Mahkamah Agung tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 14
tahun 1970 Pasal 10 ayat 3, Undang-Undang No. 14 tahun 1985 Pasal

236
30, Pasal 36 Rv, 637 Rv, 639 Rv dan 642 Rv. Lebih lanjut Mahkamah
Agung tidak dapat membenarkan keberatan Pemohon kasasi yang
menyatakan bahwa .Judex Facti telah salah menafsirkan Pasal V: 1sub b
Konvensi New York 1958 dan Keputusan Presiden RI No. 34 tahun
1985.
Negara-negara lain yang meratifikasi Konvensi New York 1958
juga menghadapi putusan Arbitrase yang ditolak pengakuan dan
pelaksanaanya di negara-negara tersebut. Hal itu berdasarkan Pasal V
(1) a sampai dengan V (1) e dan Pasal V (2) a sampai dengan V (2) b
Konvensi New York 1958.
Negara-negara lain yang menjadi anggota Konvensi New York
1958 juga tidak selalu mengakui dan melaksanakan keputusan arbitrase
luar negeri, berdasarkan Pasal V (1) dan Pasal V (2) Konvensi New
York 1958.

1. Para pihak tidak berwenang membuat perjanjian arbitrase


(Pasal Y (I) a)
Pendapat pengadilan tentang tidak berwenangnya para pihak
dalam membuat perjanjian arbitrase dikemukakan oleh Pengadilan
Tinggi Hague (Netherlands) dalam perkara Keck Seng (s) Pte Ltd.
(Singapore), and K.S. Edible Oil (H.K) Ltd. (Hongkong) v. Hunt-
Wesson Foods, Inc (USA) (1981). Perkara ini timbul dari kontrak
jual beli minyak kelapa Sumatera/Malaysia (Malaysian/Sumateran
Palm Oil) sebanyak 100 ton seharga US $ 21.25 per pound, CIF
USA antara Hunt-Wesson dan Matthes & Portion sebagai broker
Keck Seng Edible Oils Ltd. yang bertindak sebagai penjual. Pada
hari yang sama Flunt-Wesson juga mengirimkan “Confirmation of
Contract no. 13210” kepada Keck Seng (s) Pte Ltd. Singapore.
Pada tanggal 21 April 1978 antara Hunt-Wesson dan Matthes &
Porton, sebagai agen, telah ditandatangani kontrak perbaikan jual
beli. Dalam perbaikan kontrak ini yang bertindak sebagai penjual
adalah K.S. Edible Oils H.K. Ltd of Hongkong. Sekali lagi pada
hari yang sama Hunt-Wesson mengirimkan suatu konfirmasi.
Dalam konfirmasinya dinyatakan bahwa kontrak no. 13210 A
menggantikan kontrak no. 13210. Kedua kontrak mensyaratkan
bahwa keduanya diatur oleh ketentuan NIOP (National Institute of
Oilseed Products, San Fransisco, USA). Pada waktu penjualan
gagal melakukan pengiriman minyak kelapa, Hunt-Wesson

237
mengajukan perkara tersebut kepada Asosiasi Arbitrase America
sesuai dengan klausula arbitrase yang terdapat dalam ketentuan-
ketentuan NIOP. Putusan arbitrase tanggal 2 Oktober 1979
menyatakan sebagai tergugat Keck Seng (S) PTE Ltd., K.S. Edible
Oil (H.K) Limited telah gagal melakukan kewajiban yang diatur
dalam kontrak. Kemudian dewan arbitrase mengabulkan gugatan
Hunt-Wesson sejumlah 252.000 US dollars ditambah dengan
bunga tahunan 7 %.
Hunt-Wesson kemudian meminta pelaksanaan putusan
arbitrase di Belanda karena Keck Seng mempunyai dana di Bank
Belanda. Pengadilan Negeri Rotterdam mengabulkan permohonan
tersebut dengan menyatakan bahwa Konvensi New York 1958
dapat diterapkan karena telah dianut oleh Belanda dan USA.
Keck Seng (S) PTE Ltd. Singapore, and K.S. Edible Oils
(H.K) Ltd. Hongkong, mengajukan banding terhadap pelaksanaan
putusan tersebut kepada Pengadilan Tinggi Hague.
Pengadilan Tinggi berdasarkan dokumen-dokumen perjanjian
berpendapat : berdasarkan perjanjian tanggal 12 April 1978, Keck
Seng (S) PTE Ltd, Singapore, dan Hunt-Wesson, telah sepakat
untuk mengajukan perselisihan yang timbul pada arbitrase.
Kemudian pada tanggal 21 April 1978 Hunt-Wesson,
menggantikan Keck Seng (S) PTE Ltd, Singapore, sebagai pihak
dalam perjanjian, dengan Keck Seng Edible Oils Ltd, Hongkong,
sehingga sejak tanggal 21 April 1978 tidak lagi terdapat perjanjian
abitrase antara Hunt-Wesson dan Keck Seng (S) PTE Ltd.,
Pengadilan Tinggi berkesimpulan bahwa perselisihan antara Hunt-
Wesson dan Keck Seng (S) PTE. LTD, Singapore, dipandang ada
jika dua perusahaan merupakan persuhaan yang sama. Pengadilan
Tinggi berpendapat bahwa dari dokumen-dokumen yang ada tidak
terbukti bahwa setelah 21 April 1978, Keck Seng (S) PTE Ltd,
Singapore, telah terikat untuk menyelesaikan perselisihan melalui
arbitrase sehubungan dengan perselisihan yang timbul dengan
Hunt-Wesson. Pengadilan Banding dalam pendapatnya lebih lanjut
menyatakan bahwa pelaksanaan putusan terhadap Keck Seng (S)
PTE Ltd, Singapore tidak sesuai dengan syarat-syarat dalam
klausula arbitrase atau pengajuan pada arbitrase tidak dapat
diterima sehingga pelaksanaan putusan harus ditolak. Putusan

238
Pengadilan Negeri Rotterdam dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi
Ilaque.
2. Pemberitahuan yang tidak lazim tentang akan atau sedang
berlangsungnya proses artbitrase kepada pihak yang
berkepentingan (pasal V (1) b).
Perkara yang menarik sehubungan dengan pelaksanaan pasal
V (1) b Konvensi New York 1958 adalah perkara Pemilik
Galangan Kapal Finlandia (x) v. Pencharter Kapal Spanyol (y), 11
Februari 1981. Perkara ini timbul dari perjanjian charter kapal
(Charter Party) yang ditutup oleh pengusaha galangan Kapal
Finlandia (x) dengan pencharter Spanyol pada tanggal 21 Januari
1976. Perjanjian ini timbuk untuk mengangkut 600 ton ikan beku
dengan kapal “Jarsoe” menuju pelabuhan Marcout (Finlandia).
Dalam perjanjian terdapat suatu syarat hukuman kelebihan waktu
berlabuh berjumlah 1.800 US dollar per hari. “Charter Party”
dibuat dalam bentuk formalitas “Gencon” (suatu bentuk formalitas
yang disepakati Konferensi Baltik dan Laut International (BIMIO)
tahun 1922, diubah tahun 1974). Pasal 26 “Charter Party” memuat
klausula arbitrase yang mensyaratkan untuk menyelesaikan
perselisihan melalui proses arbitrase di London. Pengapalan
mengalami keterlambatan 70 hari 4 jam. Atas dasar itu peneharterk
kapal Spanyol menolak untuk membayar. Pemilik galangan kapal
Finlandia mengangkat/menunjuk Tuan Jhon di London sebagai
wasit pilihannya, dan memohon secara tertulis pencharter kapal
Spanyol untuk menunjuk wasitnya. Setelah jangka waktu 21 hari
habis, Y tidak menjawab permohonannya, dan tidak pula
mengangkat arbiternya. Penunjukan artbiter terakhir juga
permulaan prose’s arbitrase diberitahukan kepada Y pada tanggal 2
September 1976. Memorandum klaim dan tata cara peraturan dari
arbitrase disampaikan pada tanggal 9 Februari 1978.
Pemberitahuan dengar pendapat arbitrase tanggal 2 Juni 1978,
disampaikan pada tanggal 19 April 1978. Y tetap tidak
memberikan reaksi atas pemberitahuan-pemberitahuan tersebut
yang semuanya dibuat oleh Notaris Spanyol.
Putusan arbitrase tanggal 15 Juni 1978, Y dihukum untuk
membayar X sejumlah US $ 121.650 ditambah 8% bunga per
tahun dari 23 April 1976 hingga tanggal putusan.-Dalam
bantahannya di Mahkamah Agung Spanyol Y menyatakan bahwa
putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan karena putusan itu

239
dibuat tanpa kehadiran Y (pihak Spanyol). Mahkamah Agung
Spanyol dengan menunjuk Pasal V (1) b Konvensi New York 1958
menolak bantahan Y. Mahkamah Agung, dalam kasus ini,
menyatakan bahwa semua pemberitahuan telah dibuat secara tepat
waktu oleh karena itu terbantah mampu menyampaikan kasusnya.
Lebih jauh Mahkamah Agung berpendapat bahwa kegagalan
terbantah untuk tampil dihadapan dewan arbitrase tidak berdasar,
melainkan hanyalah kehendak sepihak yang tidak berdasarkan
hukum untuk menghindari kesepakatan perjanjiannya, dan untuk
menghindari Jurisdiksi yang telah secara bebas dan sukarela di
terima oleh Y.

3. Arbiter telah melampaui batas wewenangnya (Pasal V (1) c)


Perkara mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing
berdasarkan pada Pasal V (1) c dapat dilihat dari perkara yang
diputus oleh Mahkamah Agung Swedia tanggal 13 Agustus 1979.
Perkara AB Gotaverken (Swedia) v. General National Maritime
Transport Company (GMTC) Libya, so 1462 SVEA Court of
Appeal, (1978). Perkara ini terjadi dari penolakkan GMTC untuk
mengambil tiga kapal tanker minyak tanah dari perusahaan
galangan kapal “Gotaverken” Swedia. “Swedish Shipyard
Gotaverken” telah mengajukan perkara ini ke arbitrase ICC sesuai
dengan klasula arbitrase dalam 3 (tiga) buah kontrak untuk
pembangunan kapal.
Putusan arbitrase memerintahkan GMTC untuk mengambil
kapal-kapal dan membayar cicilan terakhir harga pembelian yang
jumlahnya mendekati US $ 30 juta. Putusan arbitrase tanggal 5
April 1978 ditandatangani oleh arbiter Perancis sebagai Ketua
Arbitrase dan arbiter Norwegia. Arbiter Libya tidak
menandatangani putusan perkara arbitrase ini. Pada tanggal 8
Agustus 1978 GMTC mengadakan 2 kali perlawanan terhadap
pelaksanaan putusan arbitrase di Perancis. Di depan Pengadilan
Pertama Paris GMTC mengajukan perlawanan pelaksanaan
putusan. Tindakan ini belum menghasilkan putusan. Di depan
Pengadilan banding Paris GMTC mengajukan permohonan
pembatalan. Upaya terakhir dibatalkan oleh Pengadilan banding
Paris dengan putusan tanggal 21 Februari 1980 atas dasar bahwa
putusan tidak dapat dianggap sebagai putusan Pengadilan Perancis.
Pada waktu GMTC mengajukan perlawanan-perlawanan terhadap

240
pelaksanaan putusan di Perancis. Gotaverken memohon
pelaksanaan putusan arbitrase mengenai eksekusi atas tiga buah
kapal di Swedia.
Pengadilan Banding SVEA di Stocholm pada tanggal 13
Desember 1978 mengabulkan permohonan pelaksanaan putusan
arbitrase Gotaverken. Dalam salah satu bantahannya GMTC
mendalilkan bahwa arbiter-arbiter telah melampui kewenangannya
seperti yang ditentukan dalam Pasal V (1) c Konvensi New York
1958. Pertama, GMTC menegaskan bahwa para arbiter tidak
pernah diminta untuk menentukan apakah harus ada suatu
pengurangan harga. Atas bantahan ini Pengadilan banding
berpendapat bahwa tugas para arbiter untuk menentukan apakah
GMTC berkewajiban untuk mengambil pengiriman kapal-kapal
dan membayar angsuran terakhir harga pembelian, ini berarti
bahwa mereka mempunyai wewenang untuk menentukan bahwa
GMTC harus mengambil pengiriman dan harus membayar
angsuran terakhir dengan suatu pengurangan untuk kerusakan yang
tidak besar atas kapal-kapal. Jadi pengurangan harga bukan suatu
putusan atas kerugian yang diminta kepada GMTC tapi lebih
sekedar suatu penyesuaian harga dihubungkan dengan ketentuan
umum bahwa GMTC berhutang angsuran terakhir. Kedua, GMTC
menunjuk kepada pernyataan No. 7 dalam putusan. Yang terbaca
“dengan pelaksanaan putusan ini, kedua belah pihak akan dianggap
telah memenuhi semua kewajiban mereka atas tiga buah kontrak”.
GMTC mendalilkan bahwa pernyataan ini diluar kewenangan para
arbiter, yang seharusnya terbatas pada permasalahan-permasalahan
yang diajukan pada mereka. Pengadilan berpendapat bahwa sifat
umum dari pernyataan ini tidak menyangkut pelaksanaan, karena
itu, tidak relevant dengan pertanyaan apakah ijin pelaksanaan harus
diberikan.
Pada tingkat Mahkamah Agung, dalam permohonannya
GMTC meminta Mahkamah Agung, pada prinsipnya, membalik
keputusan Pengadilan Banding dan membatalkan permohonan
pelaksanaan putusan arbitrase oleh Gotaverken, atau, setidaknya
menunda keputusan hingga keputusan akhir menyangkut
perkaranya di Paris dapat ditetapkan. Untuk memperkuat
permohonannya GMTC menegaskan kembali alasan-alasan yang
dikemukakannya di depan Pengadilan Banding.

241
Mahkamah Agung dalam pertimbangannya mengenai alasan
yang dikemukakan GMTC di depan Pengadilan Banding, yang
salah satunya mengenai kewenangan para arbiter yang melampaui
batas, menyatakan secara tegas bahwa tidak ada alasan untuk
menyimpang dari keputusan Pengadilan Banding. Mahkamah
Agung Swedia dengan keputusannya tanggal 13 Agustus 1979
menguatkan keputusan Pengadilan Banding.

4. Komposisi dari arbitrator atau prosedur arbitrase tidak sesuai


dengan apa yang telah diperjanjikan (Pasal V (1) d)
Perkara pelaksanaan putusan arbitrase sehubungan dengan
Pasal V (I) d Konvensi New York dapat dilihat dalam General
National Maritime Transport Company (GMTC) Libya v. AB
Gotaverken (Swedia) (1980). Perkara ini timbul dari jual beli kapal
tanker minyak antara GMTC Libya sebagai pembeli dengan
Gotaverken, Swedia, suatu perusahaan galangan kapal sebagai
penjual. Atas dasar penolakan GMTC untuk mengambil
pengiriman tiga buah kapal dari galangan kapal Gotaverken
Swedia oleh pihak terakhir ini diajukan penyelesaiannya ke
arbitrase ICC. Hal ini sesuai dengan klausula arbitrase dalam tiga
buah kontrak untuk pembuatan kapal tersebut. Putusan arbitrase
tanggal 5 April 1978 ditandatangani oleh ketua arbitrase dari
Perancis dan arbiter dari Norwegia. Pihak Libya tidak menunjuk
arbiternya. Dalam putusan arbitrase tersebut GMTC diperintahkan
untuk mengambil pengiriman kapal dan untuk membayar angsuran
terakhir dari harga pembelian dengan jumlah mendekati US $ 30
juta. Gotaverken memohon pelaksanaan putusan arbitrase di
Swedia. Sementara itu GMTC mengadakan perlawanan melalui
dua proses peradilan di Depan Pengadilan Perancis. Pertama di
depan Pengadilan tingkat pertama Paris dengan permohonan
perlawanan terhadap ijin pelaksanaan arbitrase. Kedua di hadapan
Pengadilan Banding Paris dengan permohonan pembatalan. Atas
permohonan banding tersebut Gotaverken mengajukan bantahan-
bantahan yang mengharuskan Pengadilan Perancis untuk
mengatakan bahwa dirinya tidak berwenang memutus banding
tersebut. Salah satu dalil utama yaitu bahwa putusan tidak dapat
dipandang sebagai suatu putusan yang diatur oleh aturan arbitrase
Perancis. Arbitrase harus dipandang sebagai suatu arbitrase
International. Sesuai dengan Pasal 11 aturan Arbitrase ICC hukum

242
otonomi yang berlaku terhadap prosedur arbitrase
mengesampingkan hukum tempat arbitrase. Pemilihan Paris
sebagai tempat arbitrase bukan unsur yang menentukan bagi
keberlakuan hukum Perancis, agaknya, pemilihan hanyalah
kebetulan saja sifatnya, hanya untuk alasan kenyamanan atau
kenetralan sebagai jalan tengah antara para pihak. Baik para pihak
maupun kontraknya tidak mempunyai hubungan dengan Perancis.
Gotaverken menambahkan bahwa menurut Konvensi New York,
peraturan arbitrase dari tempat arbitrase hanya memainkan peranan
kedua, dengan kata lain, itu hanya berlaku jika tidak ada perjanjian
antara para pihak sehubungan dengan prosedur arbitrase. Dalam
hal perjanjian antara GMTC dengan Gotaverken, para pihak telah
menyatakan untuk menunjuk pada peraturan arbitrase ICC.
Pengadilan Banding Paris menolak permohonan pembatalan
keputusan arbitrase oleh GMTC tersebut. Pengadilan Banding
menolak pula permohonan GMTC agar persengketaan diselesaikan
oleh peraturan arbitrase Perancis. Dalam pertimbangannya
Pengadilan Banding menyatakan bahwa klausula arbitrase dalam
kontrak mensyaratkan bahwa arbitrase harus berlangsung di Paris
dan diatur oleh peraturan-peraturan konsiliasi dan arbitrase ICC.
Dari putusan Pengadilan Banding tersebut dapat disimpulkan
bahwa putusan arbitrase tidak menyimpang dari Pasal V (1) d
Konvensi New York 1958 mengenai Prosedur arbitrase.

5. Putusan arbitrase belum mengikat (Pasal Y (1) e)


Perselisihan mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing
atas dasar Pasal V (1) e Konvensi New York 1958 dapat di lihat
dalam perkara M. Claude Clair (France) v. M. Louis Berardi
(1980). Pada tanggal 25 Oktober 1973, Louis Berardi secara
pribadi dan sebagai wakil dari beberapa pemegang saham
Gabonese S.A. “Routiere” menutup perjanjian dengan Claude Clair
di Genewa. Dalam perjanjian disebutkan bahwa 4.500 saham dari
10.000 keseluruhan modal saham dialihkan kepada Claude Clair
dengan harga FF 17.840.000. Ditentukan pula dalam perjanjian
bahwa harga akan ditetapkan atas dasar “balance sheet” per 31
Desember 1972. Penjual menjamin aset bersih dari Gabonese S.A
“Routiere” nilainya tidak akan kurang dari yang ada pada “balance
sheet” ditambah 400 juta Francs CFA ('Central African Currency).
Penjual juga akan membayar ganti rugi sampai sejumlah ini jika

243
nilainya berkurang pada saat tanggal penandatanganan kontrak.
Dalam kontrak ditentukan suatu klausula arbitrase yang
mensyaratkan arbitrase menurut peraturan konsiliasi dan arbitrase
ICC (1955) yang akan diadakan di Genewa. Klausula arbitrase juga
mensyaratkan bahwa Hukum Perancis dapat diterapkan. Pada
tanggal 11 Desember 1973 Berardi menutup kontrak baru dengan
Claude Clair, juga di Genewa. Pada kesempatan ini Clair bertindak
dalam kapasitas sebagai “President of French S.A. BACCI”.
Perjanjian yang baru menyangkut pengalihan 4.500 saham yang
sama kepada BACCI dengan harga FF 10.160.000, yang akan
dibayar dengan promissory note dari BACCI, ditandatangani
dengan aval oleh Clair. Kontrak ini mengandung ketentuan yang
sama dengan kontrak pertama, kecuali klausula ganti rugi, klausula
arbitrase yang sama juga dimasukkan dalam kontrak.
Pada tanggal yang sama, Clair memberitahukan Berardi
dengan surat atas keputusannya membiarkan BACCI
melaksanakan sebagian hak dan kewajibannya dari kontrak
pertama tanggal 25 Oktober 1973, tetapi menegaskan pada saat
yang sama bahwa hal ini tidak mengubah hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang dia punyai dalam kontrak ini, dia menjamin bahwa
semua klausula dari kontrak ini secara penuh akan dilaksanakan.
Pada tanggal 8 April 1974, Clair atas nama BACCI,
menggugat kebenaran balance sheet tanggal 31 Desember 1972
dan dari S.A. “Routicrc”, juga mengenai aset-aset bersih dari
perusahaan tanggal 25 Oktober 1973. Berardi tidak mengakui
gugatan-gugatan ini. Atas dasar itu BACCI dan Clair
menghentikan pembayaran promissory notes pada waktu tanggal
jatuh tempo. Para pihak secara bersama-sama mengajukan
permohonan kepada arbitrase ICC. Pada tanggal 20 Juli 1978, para
arbiter dalam putusannya menghukum Clair untuk membayar
kepada Berardi sejumlah mendekati FF 17 juta ditambah bunga,
juga sebanyak F 4 juta sebagai ganti rugi. Dalam putusan yang
sama, semua klaim BACCI di tolak oleh Dewan Arbitrase.
Pada tanggal 3 Oktober 1978, atas permohonan Berardi, ketua
pengadilan tingkat pertama Paris memberikan ijin pelaksanaan
keputusan di Perancis dan menolak perlawanan terhadap
pelaksanaan putusan tersebut yang diajukan oleh Clair pada
tanggal 23 Juli 1979. Akan tetap pada tanggal 31 Oktober 1979
putusan arbitrase yang sedang dipermasalahkan dibatalkan oleh

244
Pengadilan Banding wilayah Genewa.-Dalam tingkat banding yang
diajukan oleh Clair, Pengadilan Banding Paris membalik putusan
ketua pengadilan pertama tanggal 23 Juli 1979 dan membatalkan
putusan tanggal 3 Oktober mengenai pemberian pelaksanaan
putusan arbitrase. Dalam pertimbangannya Pengadilan tingkat
Banding mengatakan bahwa putusan arbitrase, yang diputuskan di
Genewa adalah putusan negara Swiss. Hal ini didasarkan pada
Pasal 16 ICC Rules 1955 yang menyatakan bahwa ketiadaan
pilihan oleh para pihak, menjadikan prosedur hukum dari tempat
arbitrase, yaitu, arbitrase Swiss dapat dipakai. Pengadilan Banding
juga membenarkan bantahan Clair yang menyatakan bahwa
putusan arbitrase telah dikesampingkan oleh pengadilan di Genewa
pada tanggal 31 Oktober 1979. Oleh karena itu, pelaksanaan
putusan arbitrase tersebut di Perancis harus ditolak atas dasar Pasal
V (1) e New York Convention 1958.
Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tidak seluruhnya
mengulang syarat-syarat penolakan terhadap Putusan Arbitrase
Internasional, sebagaimana dimuat dalam Pasal V Konvensi New
York 1958. Pasal 66a Undang-Undang No. 30 tahun 1999
menyebutkan bahwa Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui
serta dapat dilaksanakan di Indonesia apabila Putusan Arbitrase
Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase disuatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik
secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan
pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Putusan Arbitrase
Internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum
Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan
(Pasal 66b). Putusan Arbitrase Internasional dimaksud hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.

245
246
PELAKSANAAN KEPUTUSAN ARBITRASE
LUAR NEGERI DAN PENAFSIRAN
“KETERTIBAN UMUM”

Peraturan Mahkamah Agung RI. No. 1 tahun 1990 mengatur


tentang pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri di Indonesia. Pasal
3 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung tersebut
menyebutkan bahwa pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri di
Indonesia terbatas pada keputusan-keputusan yang tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan Mahkamah Agung RI. tidak akan
memberikan Exequatur apabila keputusan arbitrase luar negeri tersebut
nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi azasi dari seluruh sistim
hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).
Timbul pertanyaan apa saja yang dapat dianggap hal-hal yang
bertentangan dengan ketertiban umum?. Dapatkah ketertiban umum
dirumuskan secara terperinci dan limitatif untuk menghindarkan
ketidakpastian hukum?.
Putusan Mahkamah Agung dalam perkara E.D. & F. MAN (SUGAR)
Ltd. v. Yani Haryanto, 1205 K/Pdt/1990 (1991) tersebut boleh di
katakan kasus pertama bagi Indonesia yang menolak pelaksanaan
keputusan arbitrase luar negeri berdasarkan ketertiban umum. Putusan
ini telah mengakibatkan Penetapan Mahkamah Agung RI tgl. 1 Maret
1991 mengenai dikabulkannya permohonan Exequatur putusan
Arbitrase London 1989 menjadi Irrelevant untuk dilaksanakan.
Ketertiban umum dikenal dengan berbagai istilah seperti orde
public (Perancis), public policy (Anglo Saxon), begitu juga pengertian
mengenai makna dan isinya tidak sama di berbagai negara. Kerap kali
pertimbangan politis dipakai sebagai pegangan untuk menyatakan suatu
kaidah asing bertentangan dengan ketertiban umum dari forum hakim
yang bersangkutan, sehingga tidak perlu diperlakukan. Ketertiban
umum ada kalanya diartikan sebagai “ketertiban, kesejahteraan dan
keamanan”, atau disamakan dengan ketertiban hukum, atau synonim
dari istilah “keadilan”. Dapat pula dipergunakan dalam arti kata bahwa
hakim wajib untuk mempergunakan Pasal-Pasal Undang-Undang
tertentu.
Kembali kepada pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase
luar negeri, Pasal V (1) Konvensi New York 1958 sendiri menyatakan

247
bahwa permohonan untuk pelaksanaan keputusan arbitrase asing bisa
ditolak atas permintaan pihak terhadap siapa keputusan tersebut akan
dilaksanakan, apabila ia dapat membuktikan bahwa :
(a) The parties to the agreement referred to in article II were, under
the law applicable to them, under some incapacity, or the said
agreement is not valid under the law to which the parties have
subjected it or, failing any indication thereon, under the law o f the
country where the award was made; or
(b) the party against whom the award is invoked was not given proper
notice o f the appointment o f the arbitrator or o f the arbitration
proceedings or was otherwise unable to present his case; or
(c) The award deals with a difference not contemplated by or not
falling within the terms o f the submission to arbitration, or it
contains decisions on matters beyond the scope o f the submission
to arbitration, provided that, if the decisions on matters submitted
to arbitration can be separated from those not so submitted, that
part o f the award which contains decisions on matters submitted to
arbitration my be recognized and enforced; or
(d) The composition o f the arbitral authority or the arbitral procedure
was not in accordance with the agreement o f the parties, or, failing
such agreement, was not in accordance with the law o f the country
where the arbitration took place; or
(c) The award has not yet become binding on the parties, or has been
set aside or suspended by a competent authority o f the country in
which, or under the law o f which, that award was made.
Disamping itu pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing
dapat ditolak, jika badan yang berwenang dinegara dimana keputusan
tersebut diminta untuk diakui dan dilaksanakan, menemukan bahwa :
(a) the subject matter o f the difference is not capable o f settlement by
arbitration under the law o f that country; or
(b) The recognition or enforcement o f the award would be contrary to
the public policy o f that country.
Putusan Mahkamah Agung RI. dalam perkara jual beli gula
tersebut menunjukkan pendirian bahwa pengusaha Indonesia, Yani
Haryanto, tidak berwenang mengadakan perjanjian jual beli gula
dimaksud karena berdasarkan Keppres No. 43/1971 tgl. 14 Juli 1971,
import gula hanya boleh dilakukan oleh Bulog. Menurut Mahkamah

248
Agung perjanjian tersebut batal demi hukum karena bertentangan
dengan peraturan yang ada. Bandingkan dengan isi Pasal V (l)(a)
Konvensi New York di atas.
Dalam praktek, dari berbagai keputusan hakim diberbagai negara
anggota Konvensi New York 1958, alasan-alasan yang disebut dalam
Pasal V (1) adakalanya dijadikan alasan agar keputusan arbitrase
dianggap bertentangan dengan ketertiban umum seperti yang dimaksud
dalam Pasal V (2b) Konvensi New York 1958.
Berbagai alasan atau dasar dikemukakan untuk mengatakan apakah
suatu putusan arbitrase asing dianggap bertentangan dengan ketertiban
umum suatu negara.
Pertama, Adalah bertentangan dengan ketertiban umum, jika salah
satu pihak tidak diberi kesempatan untuk didengar dengan cukup
sebelum keputusan diambil. Namun, apabila pihak yang bersangkutan
sudah dipanggil namun menolak untuk mengambil bagian atau tidak
aktif dalam arbitrase, keadaan ini tidak dapat dianggap bertentangan
dengan ketertiban umum. Misalnya dalam keputusan antara sebuah
perusahaan Switzerland (XSA) dengan sebuah perusahaan Spanyol (Y),
Y berpendapat bahwa pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase
London yang dibuat oleh Dewan Arbitrase “Coffee Trade Federation ”
akan bertentangan dengan ketertiban umum Spanyol, antara lain karena
keputusan diambil tanpa hadirnya Y, perusahaan Spanyol tersebut.
Namun Mahkamah Agung Spanyol berpendapat, bahwa ternyata Y
telah menerima “urgen telex” dari XSA tentang pembukaan sidang
arbitrase dan Y mengangkat wasit (arbitrator) yang akan mewakilinya.
Jika diikuti, bahwa ketertiban umum harus mencakup Arbitration Law
1953 atau Pasal 954 dari “the law o f Civil Enforcement”, Konvensi
New York 1958 hanya akan menjadi huruf mati dan hal mana akan
cukup bagi pedagang-pedagang Spanyol untuk menutup pelaksanaan
keputusan arbitrase dimasa datang dengan tidak bekerjasama dalam
pengangkatan para arbitrator.
Pendapat yang serupa dikemukakan pula oleh Mahkamah Agung
Bombay (India) dalam European Grain 2 Shipping Ltd. (Inggris) v.
Seth Oil Mills Ltd. (India), 1983. Berdasarkan kontrak tanggal 25
Maret 1976, Seth Oil Malls Ltd. menjual kepada European Grain 500
Metrik Ton “rice bran extraction ”, dikapalkan pada bulan Juni dan Juli
1976 atas pilihan pembeli melalui pelabuhan Bedi di negara bagian
Gujarat. Kontrak dibuat menurut syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan

249
dari The Grain And Feed Trade Association (GAFTA). Pasal 26 dari
kontrak menyebutkan :
“any dispute arising out o f or under the contract was to be settled
by arbitration in London in accordance with the Arbitration Rules
o f GAFTA No. 125".
Ketika Seth Oil Mills tidak mampu mengirim sebanyak jumlah yang
telah disetujui, European Grain memberitahukan Seth Oil Mills bahwa
klaim akan diserahkan kepada arbitrase. European Grain mengangkat
arbitrator yang mewakilinya sebagaimana ditentukan oleh GAFTA
Arbitration Rules, tetapi Seth Oil Mills tidak mengangkat arbitratornya
dan tidak tampil didepan arbitrase walaupun sudah diberitahu. Dengan
Keputusan Arbitrase yang tidak memuat alasan-alasan tertanggal 17
Mei 1977, Seth Oil Mills diharuskan membayar kepada European Grain
UK 25,525. Tatkala Seth Oil Mills tidak membayar jumlah tersebut,
European Grain pada tanggal 2 Agustus 1977, mengajukan permohonan
pelaksanaan keputusan tersebut berdasarkan Indian Foreign Awards
Act 1961, yang menjadi dasar pelaksanaan Konvensi New York 1958
di India. Di depan Mahkamah Agung Bombay Seth Oil Mills antara
lain mendalilkan, bahwa pelaksanaan keputusan arbitrase London
tersebut akan bertentangan dengan ketertiban umum sebagaimana
disebutkan dalam Section 7(1) (b) (ii) dari the 1961 Act. Sebelum Seth
Oil Mills menyelesaikan pengiriman untuk memenuhi kontrak ia
menerima surat dari pemerintah negara bagian Punyab, yang
membatalkan izin export, yang menyebabkan ia tidak mungkin
memenuhi kontrak exsport pecahan-pecahan kulit padi tersebut.
European Grain telah diberitahu mengenai hal itu begitu keputusan
tersebut diterima. Pasal 18 dari kontrak menyebutkan bahwa dalam hal
pelarangan export, kontrak harus dibatalkan. Seth Oil Mills
mengatakan, adalah menjadi kenyataan bahwa Arbitrator mengeluarkan
keputusan yang tidak mendapat dukungan hukum dan dengan demikian
bertentangan dengan ketertiban umum. Namun hakim mengatakan,
bahwa alas an tersebut yaitu larangan Pemerintah harus dikemukakan
didepan arbitrator untuk menjadi bahan pertimbangan bagi mereka. Di
dalam kenyataannya termohon memilih untuk tidak tampil didepan
arbitrase, hal mana tidak cukup bagi Mahkamah untuk menolak
pelaksanaan putusan arbitrase dengan alasan bertentangan dengan
ketertiban umum. Tambahan pula pengapalan dilakukan melalui
pelabuhan Bedi di negara bagian Gujarat dan hal mana tidak
menghalangi sedikitpun termohon untuk mendapatkan pecahan kulit

250
padi tersebut dari pasaran bebas. Untuk memenuhi kontrak. Alasan
kedua diajukan pula oleh termohon, yaitu karena keputusan arbitrase
tidak memuat alasan-alasan, maka pelaksanaannya akan bertentangan
dengan ketertiban umum. Mahkamah menolak dalil ini, karena
pelaksanaan arbitrase GAFTA tidak mengharuskan keputusan arbitrase
memuat alasan-alasannya dan bila salah satu pihak tidak puas, bisa naik
banding kepada “Board o f Appeal o f GAFTA ”, seperti disebutkan oleh
Rule 8 GAFTA. Mahkamah Agung Bombay mengabulkan permohonan
pelaksanaan keputusan arbitrase tersebut.-Sikap arbitrator yang tidak
memihak (impartiality) adalah juga persyaratan yang mendasar dalam
setiap arbitrase. Syarat ini mengharuskan arbitrator tidak mempunyai
kepentingan pribadi dalam masalah yang bersangkutan dan dia bebas
(independent) dari kedua belah pihak. Pengadilan-pengadilan pada
umumnya membedakan keadaan-keadaan yang menyebabkan arbitrator
tidak mungkin mengikuti untuk tidak memihak dan arbitrator yang
dalam kenyataannya telah bersikap memihak. Dalam Denis Coaklcy
Ltd (Inggris) v. Ste’Michcl Reverdy (Pcrancis) (1981), pada 15
September 1978, Reverdy menjual kepada Coaklcy gandum sebanyak
empat kali pengapalan. Kontrak menyebutkan bahwa perselisihan yang
mungkin timbul akan diselesaikan melalui arbitrase dibawah
"Arbitration Rules o f GAFTA ”. Ketika Reverdy tidak dapat memenuhi
pengapalan, perselisihan diserahkan kepada Arbitrase GAFTA.
Menurut peraturan arbitrase GAF'I'A, tiap pihak mengangkat arbitrator
yang mewakilinya dan kedua arbitrator ini kemudian mengangkat
arbitrator yang ketiga.
Tanggal 23 Mei 1980, ketiga arbitrator tersebut mengeluarkan
keputusan yang diambil dengan suara bulat, memerintahkan Reverdy
membayar kepada Coakley sejumlah uang. Dalam tingkat banding,
Dewan Banding GAF'I'A memperkuat keputusan tersebut dengan suara
bulat pada tanggal 23 September 1980. Dalam perkara ini Mr.S.J.
Smith, salah seorang arbitrator dalam tingkat pertama, bertindak
sebagai penasehat hukum Coakley didepan Dewan Banding Arbitrase.
Pada tanggal 24 November 1980, Pengadilan Tingkat Pertama di
Troyes mengabulkan permohonan pelaksanaan keputusan arbitrase
GAFTA tingkat pertama dan tingkat banding. Dibawah oposisi
Reverdy, Ketua Pengadilan mencabut kembali pelaksanaan keputusan
arbitrase tersebut berdasarkan alasan bahwa Mr. Smith yang menjadi
salah seorang arbitrator dalam Tingkat Pertama dan kemudian menjadi

251
penasehat hukum Coakley dalam Dewan Arbitrase tingkat banding, hal
mana melanggar “Internationalpublicpolicy" Perancis.
Coakley naik banding ke Court of Appeal di Reims yang
menyatakan pelaksanaan keputusan arbitrase tersebut berdasarkan
alasan, antara lain :
1. Ketertiban umum yang akan diterapkan dalam pengakuan dan
pelaksanaan keputusan arbitrase asing bukan ketertiban umum
dalam negeri, tetapi ketertiban umum dari hukum internasional
negara dimana keputusan tersebut dimohon.
2. Seperti dinyatakan oleh hakim, kasus ini, tidak menunjukan bahwa
Mr. Smith adalah penasehat hukum Denis Coakley Ltd. sebelum
pengangkatannya sebagai arbitrator pada Dewan Arbitrase tingkat
pertarna.
3. Lagi pula, keputusan Arbitrase tingkat pertarna diambil dengan
suara bulat oleh ketiga arbitrator dan Mr. Smith yang bertindak
sebagai penasehat hukum Coakley dalam Dewan Arbitrase tingkat
banding, bukan merupakan salah satu arbitrator dalam tingkat
banding tersebut yang mengeluarkan keputusan dengan secara
bulat pula. Dan jelas juga, bahwa waktu Mr. Smith bertindak
sebagai penasehat hukum pada Dewan arbitrase tingkat banding,
Dewan Arbitrase tingkat pertarna secara pasti tidak mempunyai
kekuasaan apapun lagi.
4. Hal-hal tersebut di atas menyebabkan keputusan arbitrase tanggal
29 September 1990, tidak melanggar “International public policy"
Perancis.
Di Amerika Serikat, Pengadilan distrik New York menyatakan
dalam Transmarine Seaways Corp. of monrovia v. Marc rich & Co.
A.G, 480 F Supp 352 (1979) bahwa hubungan Nelson, salah seorang
arbitrator, dengan termohon Marc Rich & Co terlalu lemah
untuk mendiskwalifikasinya sebagai arbitrator yang berpengalaman dan
dihormati di bidang maritim, khususnya Rich tidak menentang
integritas pribadi Nelson. Duduk perkaranya adalah sebagai berikut
ini. Transmarine and Rich adalah para pihak dalam charter kapal
dimana Rich mencarter kapal “Ocean Voyages" kepunyaan
Transmarine, untuk mengangkut minyak mentah dipelabuhan Teluk
Parsi guna dipindahkan ke tanker yang lebih besar “The Pegasus”.
Rich memerintahkan “Ocean Voyages" menuju pelabuhan yang
ditentukan untuk membongkar muatannya dan memberitahu

252
Transmarine bahwa salah satu tempat dekat pulau Ilormuz adalah
tempat pemindahan muatan. Transmarine menolak permintaan dan
meminta agar Rich mengirim kapal tersebut dan muatannya ke kapal
tanker “The Pegasus”. Setelah beberapa kali pembicaraan telepon dan
telex, Transmarine mengatakan ia akan mengirimkan “Ocean
Voyages ” ke Hormuz dan membongkar muatannya apabila Rich setuju
untuk merundingkan lagi” Charter party” tersebut dan membayar
tambahan US $ 100,000. Walaupun agen Rich marah dengan usul ini,
Rich menyetujui proposal tersebut. Berdasarkan persetujuah baru, Rich
berkewajiban membayar ongkos angkut dan kelebihan waktu berlabuh.
Namun demikian Rich sebenarnya tidak ingin terikat kepada perjanjian
baru tersebut. Strateginya adalah membongkar muatan untuk
dipindahkan ke the Pegasus dan kemudian menolak proposal tersebut.
Setelah ini terjadi, Transmarine mengajukan klaim kepada Rich
sehubungan dengan tambahan ongkos dan kelebihan waktu berlabuh.
Rich menolak klaim tersebut dan perselisihan dibawa ke Dewan
Arbitrase di New York sesuai dengan perjanjian “Charter Party” yang
pertama. Dewan Arbitrase terdiri dari dua arbitrator (Nelson dan Van
Gelder) dan arbitrator ketiga, Berg, diangkat oleh Nelson dan Van
Gelder. Pada waktu pembukaan sidang pertama, Rich minta agar
Nelson mengundurkan diri karena ia adalah Presiden dari Perusahaan
sebagai agen perkapalan yang mengajukan klaim kepada Rich pada
suatu arbitrase dan di pengadilan sebelumnya. Rich berpendapat Nelson
akan bersikap subjektif. Nelson menolak mengundurkan diri, sidang
dilanjutkan dan menghasilkan putusan yang menguntungkan
Transmarine. Transmarine mengajukan permohonan pelaksanaan
keputusan tersebut berdasarkan 9 U.S.C 201 et seq, yang menjadi dasar
pelaksanaan konvensi. Sebaliknya Rich berusaha membatalkannya,
berdasarkan Pasal V (2) (b) Konvensi New York 1958 mendalilkan
bahwa keputusaa tersebut bertentangan dengan ketertiban umum karena
Nelson sebagai arbitrator dan amandemen dari kontrak dibuat dibawah
paksaan. Pengadilan menolak kedua dalil ini.
Di Italia/ dalam Efxinas Shipping Co Ltd (Yunani) v. Rawi
Shipping Lines Ltd (Libanon), (1980), Pengadilan Tinggi mengabulkan
pelaksanaan Keputusan Arbitrase London, walaupun salah satu pihak
tidak mengangkat arbitrator yang mewakilinya. Duduk perkaranya
adalah sebagai berikut. Efxinas meneharterkan kapal “Aspaki” kepada
Rawi untuk waktu 6 bulan. Ketika Rawi tidak membayar, Efxinas
mengambil kapal tersebut sebagaimana diperjanjikan dalam Pasal 5
perjanjian “Charter Party" dan membawa persoalannya ke Arbitrase

253
London sesuai dengan Pasal 17. Perjanjian Keputusan Arbitrase tanggal
6 Juni 1978, yang tidak memuat alasan-alasannya memutuskan, Rawi
diharuskan membayar kepada Efxinas US $ 199,635.63 ditambah
bunga 7,5% dari bulan Juli 21, 1977 s/d Juni 6,1978 yaitu US $
13,126.72 dan ditambah bunga 10% dari Juni 6,1979 s/d tanggal
pembayaran. Keputusan tersebut diambil oleh Dewan Arbitrase dimana
Rawi tidak mengangkat arbitrator yang mewakilinya, dimana
seharusnya Dewan Arbitrase terdiri dari 3 orang : tiap pihak menunjuk
satu orang, dan kedua orang ini akan menunjuk arbitrator ketiga. Rawi
tidak mengangkat arbitrator sedangkan Efxinas mengangkat Mr.
Alexander John Kazantzis sebagai arbitrator yang mewakilinya, yang
kemudian sebagai satu-satunya arbitrator dalam perkara ini. Pengadilan
mencatat bahwa pengangkatan ini diperkenankan oleh Section 7 (b)
dari English Arbitration Act 1950. Pengadilan Banding di Genoa,
mempertimbangkan apakah suatu keputusan arbitrase yang diambil
oleh seorang arbitrator saja yang diangkat oleh salah satu pihak dan sah
menurut hukum Inggris, tidak bertentangan dengan ketertiban umum
Italia. Pengadilan menyatakan, walaupun jika “legal order’’ Italia
menentukan lain dalam perkara ini sehubungan dengan Pasal 810
Hukum Acara Perdata Italia, dimana disebutkan kekuasaan kehakiman
mengangkat arbitrator untuk pihak yang tidak menunjuk arbitrator
untuk mewakilinya; ketentuan English Arbitration Act tidak dapat
dianggap mutlak bertentangan dengan ketertiban umum Italia
mengenai tidak memihaknya arbitrator.
Pertama-tama, seorang arbitrator yang hanya diangkat oleh salah
satu pihak saja tidak akan selalu menimbulkan sikap memihak. Kedua,
section 7 (b) English Arbitration Act, menyebutkan bahwa Mahkamah
Agung atau Hakim dapat mengenyampingkan pengangkatan tersebut.
Sehubungan dengan “lack o f impartiality o f arbitrator” sebagai
dasar melanggar ketertiban umum, pengadilan Distrik Ohio (AS),
menyatakan bahwa hubungan salah seorang arbitrator tidak sampai
pada tingkat melanggar ketertiban umum. Dalam Fertilizer
Corporation of India, et.al (India) v. IDI Management Inc (Amerika
Serikat), 530 F. Supp. 542 (1982), kedudukan Mr. Sen sebagai
arbitrator dipersoalkan karena hubungannya dengan Fertilizer
Corporation of India. Tuntutan IDI agar pengadilan menolak
pelaksanaan keputusan arbitrase, atas dasar diketemukan bukti
hubungan Mr. Sen dengan FCI, tidak dikabulkan oleh Pengadilan.

254
Pengadilan menganggap hubungan tersebut tidak sampai pada tingkat
sehingga bertentangan dengan ketertiban umum.
Alasan ketiga bagi dilanggarnya ketertiban umum dalam
pelaksanaan keputusan arbitrase asing ialah sehubungan dengan apakah
keputusan arbitrase tersebut memuat alasan-alasannya. Dibcberapa
negara, Undang-Undang Arbitrase setempat mengharuskan keputusan
arbitrase memuat alasan-alasan yang menjadi dasar keputusan tersebut.
Sebaliknya dibcberapa negara “Common law" adalah menjadi
kebiasaan untuk tidak mencantumkan alasan-alasan yang menjadi dasar
suatu keputusan arbitrase. Pada umurnya, dengan penerapan yang
membedakan ketertiban umum Dalam Negeri dan ketertiban umum
internasional, Pengadilan-pengadilan negara yang mewajibkan
dimuatnya alasan-alasan dalam putusan arbitrase, melaksanakan juga
keputusan arbitrase yang tidak memuat alasan-alasan, yang dibuat
dinegara dimana keputusan seperti itu dianggap sah. Misalnya dalam
Denis Coaklcy Ltd (Inggris) v. Ste’Michel Reverdy (Perancis) (1981),
Pengadilan Banding Reims menyatakan bahwa keputusan arbitrase
GAFTA yang tidak memuat alasan-alasan yang menjadi dasar putusan
tersebut, tidaklah bertentangan dengan ketertiban umum menurut
Hukum Internasional negara Perancis. Begitu juga pendapat Mahkamah
Agung Bombay dalam European Grain & Shipping Ltd (Inggris) v.
Seth Oil Mills Ltd (India) (1983) Hakim mengatakan bahwa peraturan
arbitrase GAFTA tidak mengharuskan dimuatnya alasan-alasan dan hal
ini sukV untuk dipakai sebagai dasar bahwa hal itu bertentangan
dengan ketertiban umum India.
Namun, Mahkamah Agung Italia dalam F’ratcli Damiano s.n.c
(Italia) v. August Tropfer & Co (Jerman Barat) (1982), telah menolak
untuk melaksanakan keputusan dari “The Arbitration Board o f the
Sugar Association ” London, karena keputusan tersebut tidak memuat
alasan-alasannya. Sebagai dasar hukumnya adalah Pasal VIII dari
European Convention on International Commercial Arbitration (1961)
dimana Italia dan Jerman Barat menjadi anggota Konvensi ini, yang
menyebutkan :
“the parties shall be presumed to have agreed that reasons shall
be given for the award unless they
(a) either expressly declare that reasons shall not be given ; or
(b) have assented to an arbitral procedure under which it is m i*’
customaryAto give reasons fo r awards, provided that in this case
neither party requested before the end o f the hearing, or if there

255
has not been a hearing then before the making o f the award, that
reasons be given
Alasan selanjutnya dipergunakan sebagai hal yang
bertentangan dengan ketertiban umum ialah apakah pengambilan
keputusan arbitrase tersebut melanggar prosedur dari arbitrase.
Misalnya dalam Denis Coakley Ltd. (Inggris) v. Ste’Michel
Reverdy (Perancis) (1981), Pengadilan Banding Reims
berpendapat, Dewan Arbitrase Banding tidak dapat dianggap
melanggar prinsip-prinsip “due process” karena putusannya tidak
didasarkan kepada dokumen yang tidak diajukan dan tidak dapat
disampaikan kepada Denis Coakley. Putusan itu hanya didasarkan
pada telex yang memuat harga pasar pada waktu itu, sedangkan
dokumen bukti harga pasar itu tetap tinggal di kantor perusahaan
Michel Reverdy di Bar-Sur-Seine (Perancis).
Didalam perselisihan antara Joseph Muller A.G. (Switzerland)
v. Sigval Bergesen (Norwegia) (1982). Sehubungan “Charter
Party’’, kedua belah pihak menandatangani tiga “Charter Party"
di tahun 1969, 1970 dan 1971. Tiap perjanjian memuat ketentuan
tentang penyelesaian sengketa melalui arbitrase di New York dan
tunduk pada hukum negara bagian New York. Disebutkan pula,
keputusan yang diambil oleh mayoritas arbitrator dapat
dilaksanakan di pengadilan mana saja dan merupakan putusan yang
“final dan binding on the parties anywhere in the world Putusan
arbitrase tanggal 14 Desember 1978 mengharuskan Joseph Muller
A.G. membayar kepada Sigval Bergesen US$ 61,406.09 ditambah
bunga 8% setahun sampai tanggal pembayaran. Pengadilan
Pertama di Zurich menyatakan putusan tersebut dapat
dilaksanakan, putusan mana kemudian dikuatkan oleh Pengadilan
Banding. Joseph Muller mengajukan lagi perkara ini ke Mahkamah
Agung Federal Swiss dengan dalil putusan arbitrase tersebut tidak
mengikat karena tidak mendapat penguatan dari Pengadilan New
York, sesuai dengan hukum ‘negara bagian New York. Mahkamah
Agung Federal Swiss menolak dalil, antara lain mengatakan bahwa
otonomi para pihak menurut Pasal V 1(1) Konvensi New York
memberikan kemungkinan bagi para pihak untuk menentukan
sendiri prosedur arbitrase.
Dalam klausula arbitrase telah disebutkan bahwa, putusan
arbitrase inenjadi “final and binding on the parlies anyvrfiere in
the world" telah menyampingkan perlunya penguatan pengadilan

256
atas putusan arbitrase tersebut seperti yang dimaksud section 7510
of the New York Civil Practice Law and Rules. Menurut
ketertiban, umum Swiss, apabila putusan tersebut tidak perlu
mendapat penguatan, maka penolakan atas pelaksanaan putusan
arbitrase tersebut tidak berlaku di Switzerland.
Ketertiban umum juga dikaitkan dengan apakah perjanjian
dibuat dengan paksaan atau tidak. Dalam Transmarine Seaways
Corp. of Monrovia v. March Rich & Co. A.G., 480 F. supp. 352
(1979), Pengadilan Distrik Selatan New York berpendapat bahwa
pengadilan tidak menemukan renegosiasi kontrak berlangsung
dibawah paksaan. Rich juga tidak dapat membuktikannya dan
beban pembuktian ini menjadi kewajibannya, karena ketertiban
umum menghendaki dilaksanakannya perjanjian.
Ketertiban Umum pernah pula dikaitkan dengan pemakaian
ketentuan hukum asing. Dalam Laminoirs-TrefUieries-Cableries de
Lens, S.A. (France) v. Southwire Company (United States), 484 F.
Supp. 1063 (1980), Laminoirs dan Southwire membuat suatu
perjanjian dimana Southwire setuju untuk membeli dari Laminoirs
sejumlah kawat baja berlapis seng. Iiarga beli untuk material
tersebut berdasarkan harga pasar dunia dan disesuaikan dengan
perkembangan harga di pasar an dunia. Perselisihan kemudian
timbul mengenai penafsiran klausula ini dan juga mengenai
kwalitas dari kawat. Pertikaian kemudian dibawa ke Badan
Arbitrase International Chamber of Commerce sesuai dengan
bunyi kontrak. Para arbitrator memutuskan bahwa penafsiran
Laminoirs mengenai harga pasar adalah benar dan oleh karena itu
mengharuskan Southwire membayar sejumlah uang dengan bunga
9,5 sampai 10% setahun. Mengenai kwalitas barang para pihak
kemudian menyelesaikannya dengan baik. Southwire mengajukan
gugatan di Pengadilan Amerika Serikat untuk membatalkan
keputusan arbitrase tersebut sementara Laminoirs mengajukan
perkara ke Pengadilan Distrik agar keputusan arbitrase tersebut
dilaksanakan.
Sehubungan dengan persoalan bunga pengadilan menolak apa
yang dikatakan Southwire bahwa pemakaian ketentuan tingkat
bunga Perancis adalah melanggar ketertiban umum Amerika
Serikat dan oleh karena itu keputusan arbitrase tidak dapat
dilaksanakan berdasarkan Pasal V (2) (b) Konvensi New York
1958. Pengadilan berpendapat berdasarkan keputusan-keputusan

257
Pengadilan Amerika Serikat pelaksanaan keputusan arbitrase luar
negeri dapat ditolak hanya jika pelaksanaan tersebut melanggar
hal-hal yang paling dasar dari moralitas dan keadilan. Berdasarkan
hukum dari banyak negara bagian Amerika Serikat yang
mengizinkan ketentuan bunga berkisar dari 9,5 sampai 10%
setahun dalam keadaan-keadaan tertentu maka keputusan arbitrase
yang mencantumkan ketentuan bunga dari Perancis tidaklah
bertentangan dengan ketertiban umum. Pengadilan dalam hal ini
menerapkan standar mengenai ketertiban umum seperti disebutkan
dalam Parsons & Whittemore Overseas Co. v. Societe Generale de
1’Industrie du Papier (RAKTA), 508 F. 2d 969,974 (2d Cir. 1974)
dan Scherk v. Culver Comp., U.S Supreme Court June 17, 1974 :
“We cannot have trade and commerce in world markets and in
international markets exclusively on our terms, governed by
our laws and resolved in our courts ”.
Demikianlah berbagai ragam penafsiran ketertiban umum oleh
pengadilan berbagai negara anggota Konvensi New York 1958,
yang bisa menjadi cermin bagi kita dalam memutuskan permohon­
an pelaksanaan arbitrase luar negeri, antara lain yang bersangkutan
dengan masalah ketertiban umum. Ilal ini menjadi bertambah
penting dengan lahirnya Undang-Undang No. 30 tahun 1999, yang
mengatur juga pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar
Negeri. Pasal 66c menyebutkan bahwa Putusan Arbitrase
Internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66a hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.

KLAUSULA ARBITRASE YANG KOMPREHENSIF

Klausula arbitrase tidak hanya basis bagi arbitrase, tetapi juga amat
menentukan bagi terwujudnya arbitrase. Oleh karenanya klausula
arbitrase harus disusun dengan hati-hati dan jelas kata-katanya. Dalam
praktek banyak klausula arbitrase tidak jelas atau kadang-kadang
tampak sebagai “nonsense clauses". Umpamanya, klausula
penyelesaian sengketa hanya menyebutkan : “...dispute resolution by
the International chamber o f commerce in Paris". Tidak jelas, The
International Chamber of Commerce menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase atau konsiliasi ; selanjutnya apakah klausula tersebut

258
maksudnya hanya ICC didirikan di Paris atau lebih spesifik lagi
menyebutkan bahwa tempat arbitrase adalah Paris?
Perkara PT. Dharma Niaga Ltd. v. Hati Prima Potash PTP Ltd,
764/Pdt.P/ 1996/PN. JKT.BAR berikut ini menarik untuk dicermati,
timbul antara lain karena klausula arbitrase yang kurang lengkap dan
terperinci. Dalam Sale and Purchase Agreement tanggal 27 Juni 1996
berkenaan dengan transaksi pupuk tercantum klausula arbitrase sebagai
berikut:
“Any dispute arising under or relating to this Sale and Purchase
Agreement, or the breach there of, which cannot be settled amicably
between the parties shall be referred to and settled in Indonesia under
the rules o f Indonesian law
Pemohon menyampaikan kepada hakim bahwa para pihak Penjual
dan Pembeli sudah berusaha menyelesaikan sengketa ini secara baik,
akan tetapi tidak berhasil. Menurut Pemohon, kepada pihak Termohon
sudah ditulis surat tanggal 25 September 1996, agar Termohon dapat
mengangkat seorang wasit arbiter akan tetapi Termohon tidak
menanggapinya dengan baik. Oleh karenanya Pemohon mohon supaya
dapat diangkat BANI sebagai Badan Arbitrase Nasional Indonesia
untuk melaksanakan Arbitrase ini, dan apabila pihak Termohon tidak
menyetujuinya, maka Pemohon mohon pengangkatan 3 (tiga) orang
Arbiter, yang masing-masing diusulkan oleh Pemohon dan Termohon
serta Ketuanya yang diangkat oleh pihak Pengadilan. Dari pihak
Pemohon diusulkan sebagai wasit Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid,
SH., Ph.D. yang telah menyetujui pencalonan ini. Dalam jawabannya di
Pengadilan, Termohon menyampaikan bahwa Pemohon telah mengirim
surat pada tanggal 25 September 1996 kepada Termohon yang isinya
antara lain agar Termohon dalam jangka waktu 8 (delapan) hari setelah
tanggal surat tersebut menunjuk seorang arbiter. Delapan hari terhitung
sejak tanggal 25 September 1996 adalah tanggal 3 Oktober 1996.
Bahwa Termohon telah mengirim surat kepada Pemohon tanggal 2
Oktober 1996 yang isinya adalah menunjuk sdr. Dr. Adnan Buyung
Nasution, SH. sebagai arbiter yang diminta oleh Pemohon, dan surat
tersebut diterima oleh kuasa Pemohon tanggal 3 Oktober 1996.
Ternyata Pemohon telah mengajukan surat permohonan tertanggal 25
September 1996 dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
tanggal 30 September 1996. Menurut Termohon, sebenarnya antara
arbiter yang diangkat oleh Pemohon, sdr. Prof. Dr. H. Priyatna
Abdurrasyid, SH., Ph.D. dan arbiter yang diangkat oleh Termohon sdr.

259
Dr. Adnan Buyung Nasution, SH. telah memulai proses untuk
mengangkat arbiter ketiga.
Pengadilan dalam putusannya menyatakan bahwa memperhatikan
Pasal 615 alinea ke 3 dan Pasal 619 R.V. yang mengatakan hakim
berwenang menunjuk/mengangkat arbiter terlebih dahulu sebelum
permasalahannya diselesaikan oleh Arbiterase, yang untuk Indonesia
adalah BANI sebagai Badan Arbitrase Nasional Indonesia; Pengadilan
menimbang pula, bahwa Hakim dapat menyetujui untuk menunjuk
arbiter yang diusulkan Pemohon yaitu Prof. Dr. H. Priyatna
Abdurrasyid, SH., Ph.D. dan Termohon, yaitu Dr. Adnan Buyung
Nasution, SH. Hakim berpendapat pengangkatan dan penunjukkan
Ketua arbiter diserahkan sepenuhnya kepada BANI.
Dalam perkara ini pendapat hakim bahwa arbitrase untuk Indonesia
adalah BANI sebagai Badan Arbitrase Nasional Indonesia, masih bisa
dipertanyakan.
Kembali pada pokok pembahasan, perkara ini timbul antara lain
karena tidak jelas dan terperincinya klausula arbitrase dalam perjanjian
para pihak. Umpamanya, tidak ditegaskan apakah sengketa akan
diselesaikan oleh badan arbitrase (institutional arbitration) atau suatu
majelis arbitrase yang baru akan dibentuk kemudian (ad hock
arbitration). Jika “ad hock arbitration” berapa lama batas waktu bagi
pembentukan majelis arbiter tersebut ?-01eh karenanya seperti
dikatakan di atas, para pihak pada waktu membahas perjanjian perlu
dengan cermat menyusun klausula arbitrase yang komprehensif.
Klausula arbitrase tidak harus panjang atau rumit, tetapi kalau klausula
tersebut ingin menjadi efektif ia harus jelas. Kemenduaan (ambiquity)
adalah musuh paling buruk yang sudah dapat dibayangkah, yang
menyebabkan klausula arbitrase menjadi tidak efektif atau paling
sedikit menciptakan komplikasi yang akan menghabiskan waktu dan
biaya.-Klausula arbitrase berikut ini membingungkan, karena para
pihak bisa memilih arbitrase atau Pengadilan :
“Perjanjian Emisi Efek harus diusahakan untuk diselesaikan secara
musyawarah dan bilamana tidak tercapai persesuaian paham, maka
perselisihan tersebut diajukan kepada Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) atau Peradilan yang berwenang
Bagaimana kalau pihak yang satu memilih arbitrase dan pihak yang
lain memilih Pengadilan ? Penyelesaian perselisihan tentu akan
membingungkan dan bertele-tele.

260
Dalam menyusun rancangan klausula arbitrase untuk penyelesaian
sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari, harus dipertimbangkan
pertama-tama apakah ada kontrak lain yang berhubungan dengan
kontrak yang sekarang sedang dirundingkan. Suatu proyek mungkin
melibatkan berbagai kontrak dan melibatkan tidak hanya dua pihak
saja, tetapi beberapa pihak. Jika proyeknya gagal, mungkin akan
menimbulkan berbagai klaim yang melibatkan berbagai pihak. Baik
dari sudut praktis maupun syarat-syarat kontrak, sangat sulit dalam
keadaan yang demikian menetapkan proses multi pihak dalam satu
badan penyelesaian sengketa. Adalah lebih mudah untuk dicapai, dalam
keadaan yang normal, menetapkan klausula arbitrase untuk semua
kontrak.
Menurut Stephen R. Bond, sedikitnya ada 9 (sembilan) unsur yang
harus disepakati oleh para pihak dalam klausula arbitrase.
1. Para pihak harus jelas menetapkan apakah pcnyclcsaikan
sengketa yang mungkin timbul diserahkan kepada majelis
arbitrase yang akan dibentuk setelah sengketa timbul (ad hock
arbitration) atau menyerahkannya kepada suatu Badan
Arbitrase yang telah ada (institutional arbitration).
Jika para pihak sepakat dengan Ad Hock Arbitration, klausula
harus menentukan dengan tegas jumlah arbiter dan dengan cara
bagaimana mereka ditunjuk atau diangkat. Suatu klausula arbitrase,
umpamanya, menyebutkan :
“Tiappihak menunjuk seorang arbiter dan kedua arbiter akan
menunjuk seorang arbiter lain sebagai Ketua Majelis
Arbiter... ”
Klausula diatas saja belum cukup karena masih harus ditentukan
sejak kapan dan berapa lama jangka waktu penunjukkan arbiter
tersebut. Selain itu jika kedua arbiter tidak berhasil menunjuk
arbiter ketiga, siapa yang akan diminta untuk menunjuk arbiter
ketiga? Dj Indonesia, para pihak biasanya meminta Ketua
Pengadilan Negeri setempat untuk menunjuk arbiter ketiga yang
sekaligus akan menjadi Ketua majelis arbiter. Berikut ini contoh
klausula yang lebih lengkap :
Each Party shall appoint 1 (one) arbitrator within 7 (seven)
days after a request therefor has been issued by either one o f
the parties to the other and the 2 (two) arbitrators so
appointed shall jointly appoint the third arbitrator. Should,

261
however, the 2 (two) arbitrators fail to appoint the third
arbitrator within 14 (fourteen) days o f the day the second
arbitrator has been appointed, the Chairman o f The Central
Jakarta District Court shall be entitled to appoint the third
arbitrator upon request o f either Party.
Undang-Undang No. 30 tahun 1999, menyebutkan dalam Pasal 15
ayat (4), bahwa dalam hal kedua arbiter yang telah ditunjuk
masing-masing pihak tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah arbiter
yang terakhir ditunjuk, atas permohonan salah satu pihak, Ketua
Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga. Ayat (5) pasal
tersebut menyebutkan, terhadap pengangkatan arbiter yang
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri dimaksud, tidak dapat
diajukan upaya pembatalan. Selanjutnya Pasal 16 ayat (1)
menyebutkan, bahwa arbiter yang ditunjuk atau diangkat
dapat menerima atau menolak penunjukan atau pengangkatan
tersebut. Penerimaan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), wajib diberitahukan secara tertulis kepada para pihak
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal penunjukan atau pengangkatan. Undang-undang juga
mensyaratkan, bahwa seorang calon arbiter yang diminta oleh
salah satu pihak untuk duduk dalam majelis arbitrase, wajib
memberitahukan kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan
mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan
putusan yang akan diberikan (Pasal 18 ayat (1)). Dalam hal arbiter
telah menyatakan menerima penunjukan atau pengangkatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, maka yang bersangkutan
tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak (Pasal
19 ayat (1)). Dalam hal permohonan penarikan diri tidak mendapat
persetujuan para pihak, pembebasan tugas arbiter ditetapkan oleh
Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 19 ayat (4)). Adakalanya, salah
satu pihak tidak menunjuk arbiter yang akan mewakilinya, seperti
sudah disepakati semula yaitu masing-masing pihak akan
menunjuk seorang arbiter. Dalam hal ini, Pasal 15 ayat (3)
Undang-Undang No. 30 tahun 1999 menentukan, bahwa apabila
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
pemberitahuan diterima oleh termohon sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1), dan salah satu pihak ternyata tidak
menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase,

262
arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai
arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak. Dalam
praktek sebelum adanya Undang-Undang No. 30 tahun 1999,
beberapa klausula arbitrase telah memuat substansi Pasal 15 ayat
(3) tersebut, untuk mencegah berlarut-larutnya proses arbitrase.
Ada yang menganggap bahwa pemilikan arbiter inilah yang paling
penting dari seluruh proses arbitrase. Faktor-faktor yang harus
diperhatikan dalam pemilihan tersebut :
1. Experience in and knowledge o f both the subject matter o f the
contract and the arbitral process it self;
2. an ability to converse and read and write in the language o f
the arbitration, unless the parties are agreeable to-providing
on-site translation services;
3. availability over the time chosen by the parties for the
arbitration;
4. neutrality o f arbitrators, lack o f personal connection with
either o f the parties.
Untuk mengatur penyelesaian sengketa menjadi efisien, arbiter
perlu percaya pada keahlian dan pengalamannya dalam profesi
yang ia geluti. Disamping itu, arbiter perlu pengetahuan praktek
dibidang bisnis dan manajemen.-Memilih arbiter adalah salah satu
langkah yang penting bagi para pihak karena kepada keahlian dan
pengalaman arbiter ini bergantung juga hasil penyelesaian
sengketa. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam
penunjukan arbiter adalah umur, pengalaman, pengetahuan dan
latar belakangnya dibidang yang dipersengketakan serta latar
belakang bidang hukum yang menjadi pekerjaannya. Di Amerika,
umpamanya, menurut AAA (American Arbitration Association),
lembaga ini mengirimkan kepada tiap pihak daftar nama dan
riwayat hidup calon arbiter. 10 nama untuk seorang calon
berkenaan dengan klaim sampai $ 250.000. 15 nama untuk tiga
arbiter, dimana klaim jumlahnya lebih besar dan sengketanya
rumit. Tiap pihak memiliki waktu 10 hari untuk memilih arbiter
dari daftar nama tersebut.-Seandainya para pihak tidak memilih ad
hock arbitration tetapi institutional arbitration, yaitu menunjuk
badan arbitrase yang sudah ada sebagai tempat penyelesaian
sengketa, maka harus disebutkan dengan jelas badan arbitrase

263
menarik. Tempat arbitrase turut menentukan mengenai terlibatnya
Pengadilan nasional dalam proses arbitrase baik dalam membantu
lancarnya proses arbitrase tersebut maupun intervensi Pengadilan,
manakala terjadi hal-hal yang bertentangan dengan undang-undang
atau pelaksanaan putusan arbitrase nantinya. Pasal 31 ayat (3)
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 antara lain menyatakan para
pihak harus ada kesepakatan mengenai tempat diselenggarakannya
arbitrase dan apabila tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau
majelis arbiter yang akan menentukan. Dalam perdagangan
internasional sering terjadi, para pihak menetapkan hukum suatu
negara yang akan diterapkan dalam perjanjian berbeda dengan
hukum yang akan diterapkan dalam proses arbitrase. Dalam hal ini
tempat dimana sengketa akan diselesaikan atau badan arbitrase
mana yang akan menyelesaikan sengketa itu menjadi penting.
Pemilihan tempat arbitrase dapat menentukan hasil arbitrase.
Dalam suatu klausula arbitrase ICC, antara perusahaan Finnish dan
sebuah perusahaan Australia, London dipilih sebagai tempat,
arbitrase. Sengketa ini berkenaan dengan pembayaran royalty yang
tidak dilaksanakan berkenaan dengan pembatalan perjanjian pada
tahun 1976. Pada tahun 1982 pemegang lisensi mengajukan
perselisihan ke lembaga arbitrase. Arbiter menemukan, karena
tempat arbitrase adalah Inggris, maka ketentuan daluwarsa menurut
English Limitation Act harus diterapkan yaitu adanya batas enam
tahun.
Klausula berikut sebagai contoh disebutnya dengan jelas
tempat arbitrase :
“Any dispute or claim arising from this Agreement shall be
settled under the Rules o f Conciliation and Arbitration o f the
International Chamber o f Commerce by one arbitrator
appointed in accordance with the International Chamber o f
Commerce Rules and held in Zurich, Switzerland. This
Agreement shall be enforceable and judgement upon any
award rendered by arbitrator may be entered in any court o f
any country havingjurisdiction

4. Pilihan Hukum
Pilihan hukum yang akan diterapkan oleh para arbiter untuk
menentukan masalah yang substantif bukan unsur yang
menentukan bagi sahnya perjanjian arbitrase. Namun demikian

265
hukum mana yang berlaku dalam proses arbitrase, tentulah dapat
diserahkan kepada para pihak sendiri. Tidak adanya unsur ini
dalam klausula arbitrase akan menjadi faktor yang berarti dalam
penambahan waktu dan biaya arbitrase. Disamping itu pilihan
hukum yang dilakukan yang diputuskan oleh arbitrator sendiri
(karena tidak disebut dalam perjanjian arbitrase) mungkin bisa
tidak menyenangkan salah satu pihak. Selanjutnya, bila hukum
yang akan diterapkan sudah dicantumkan dalam perjanjian
arbitrase, pemilihan arbiter yang menguasai hukum yang dipilih
tersebut lebih mudah dilakukan.
Pilihan hukum tersebut dikenal juga dengan istilah proper law
o f a contract dimana seluruh kontrak atau unsur-unsurnya tunduk
pada hukum tersebut. Dalam perjanjian internasional proper law
amat menentukan karena para pihak datang sistim hukum yang
berbeda.
Pasal 42(1) dari ICSID Convention memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk menentukan hukum yang akan diterapkan, hukum
nasional atau hukum internasional. Pilihan hukum nasional
biasanya ditujukan kepada hukum negara penerima modal.
Internasionalisasi klausula ditujukan kepada norma-norma dari
prinsip-prinsip umum hukum dari bangsa-bangsaberadab dan/atau
yang diterapkan oleh badan internasional. Kategori ketiga, klausula
yang menentukan berlakunya hukum nasional maupun
internasional, seperti berikut ini:
“Any international arbitration tribunal constituted pursuant to
this Agreement shall apply the law o f (Host State) on the one
hand and Public International Law and General Customary
Law on the other hand, but in the event o f a conflict between
such two systems shall apply only Public International Law
and General Customary Law
Formulasi tersebut di atas cukup jelas untuk menghindarkan
masalah penafsiran, yang kadang-kadang dihasilkan dari
penyusunan rancangan yang tidak hati-hati.
5. Komposisi dari Arbiter
Unsur selanjutnya yang juga perlu mendapat perhatian penuh
adalah mengenai komposisi dari majelis arbiter. Berapa orang
arbiter yang diinginkan, apakahmereka harus mempunyai
kualifikasi tertentu? Arbiter tunggal bisa saja diperjanjikan oleh

266
para pihak, tetapi hal ini amat tergantung kepada kepercayaan
mereka terhadap arbiter tunggal. Banyak pihak yang lebih
menyukai majelis arbitrase yang terdiri dari tiga arbiter. Masing-
masing pihak mengangkat seorang arbiter yang mewakilinya dan
kedua arbiter ini kemudian yang akan mengangkat arbiter ketiga
sebagai ketua majelis arbitrase. Contoh klausula arbitrase yang
menyebutkan komposisi dari arbiter :
The party desiring arbitration shall give notice to that effect to
the other party and in the notice shall appoint as an arbitrator
a disinterested person o f recognized competence in the area o f
the management o f international fixe-star luxury hotels.
Within fifteen (15) days thereafter, the other party shall, by
notice to the original party, appoint a second, similarly
qualified arbitrator. The arbitrators thus appointed shall
appoint a third arbitrator similarly qualified, and the three
arbitrators shall as promptly as possible determine the matter,
with A and Owner each being entitled to present evidence and
argument to the arbitrators; provided, however, th a t:
(a) I f the second arbitrator is not appointed, the first
arbitrator shall resolve the matter; and
(b) I f the two arbitrators appointed by the parties are unable
to agree on the appointment o f a third arbitrator within
fifteen (15) days after the appointment o f the second
arbitrator, they shall give the parties written notice o f
their failure to agree, and if the parties fail to agree on
the selection o f the third arbitrator within fifteen (15)
days after receiving the notice from the two arbitrators,
then within ten (10) days thereafter either o f the parties,
on notice to the other party, may apply for appointment o f
the third arbitrator to the Federal District Court, or any
other court, having jurisdiction in the city in which the
Hotel is to be constructed.
6. Bahasa dalam proses arbitrase
Banyak pihak yang salah mengerti dan menduga bahwa
bahasa dari kontrak otomatis menjadi bahasa yang dipergunakan
dalam proses arbitrase. Berdasarkan peraturan ICC hal itu adalah
benar, dimana Pasal 15(3) ICC Rules mengatakan : “... that
arbitrator shall give due regard... in particular to the language o f

267
the contract" in determining the language o f arbitration
Penentuan bahasa ini menjadi peenting mengingat penterjemahan
segala hal dalam proses arbitrase, bila dilakukan dalam lebih dari
satu bahasa, akan memperpanjang waktu dan menambah biaya.80
Pasal 28 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 menyatakan bahwa
bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah
Bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis
arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan
digunakan. Contoh klausula yang mencantumkan bahasa yang
dipergunakan dalam proses arbitrase :
“All disputes arising in connection with the Agreement
(including the enforceability o f this arbitration provision)
shall be exclusively and finally settled by arbitration. The
arbitration shall be conducted in the English language
pursuant to the UNCITRAL rules, except as modified herein,
utilizing a single arbitrator at a mutually convenient location.
The arbitrator shall be appointed by the American Arbitration
Association and shall be a lawyer familiar with international
business transactions and the substantive laws o f the United
States, conversant in the English language, and not in any way
associated with either party
7. Putusan akhir dan mengikat
Manfaat dari arbitrase, pada prinsipnya bebas dari campur
tangan Pengadilan selama proses arbitrase berlangsung dan
putusan arbitrase adalah merupakan putusan akhir yang tidak dapat
dibanding ke Pengadilan, dalam arti substansi putusan arbitrase
tidak dapat diperiksa lagi oleh pengadilan. Pasal 24 ICC Rules
menyebutkan bahwa : “the arbitral award shall be finaE. Undang-
Undang No. 30 tahun 1999 juga menyatakan bahwa putusan
arbitrase adalah putusan yang final dan mengikat. Umpamanya,
Pasal 17 ayat 2 menyebutkan : “... para arbiter akan memberikan
putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final
dan mengikat sepertiyang telah diperjanjikan bersama”.
Selanjutnya Pasal 60 lebih tegas lagi mengatakan bahwa putusan
arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
mengikat para pihak. Adalah penting mencantumkan kalimat “...
the decision o f the arbitrators shall be final and binding upon the
parties”, karena dibeberapa negara, tanpa mencantumkan secara

268
tegas dalam perjanjian, masih dimungkinkan putusan arbitrase
tersebut dimintakan banding ke Pengadilan.
Berikut ini contoh klausula yang menyatakan secara tegas
putusan arbitrase adalah final and binding pada waktu sebelum
Undang-Undang No. 30 tahun 1999 berlaku :
“The parties expressly agree to waive Section 641 o f the R. V.
and/or any other laws and regulations replacing or amending
such law and regulation mentioned above and/or similar to it,
so that accordingly there shall be no appeal to any court from
the decision o f the arbitrators. The parties agree not to dispute
or question the validity o f such award before any judicial or
other authority in France, Indonesia, or elsewhere o f any
enforcement action taken by the party in whose favor the
award was rendered. The parties shall not be entitled to
commence or maintain any action in a court o f law upon any
matter in dispute until such matter shall have been submitted
and determined as provided herein and then only for the
enforcement o f such arbitral award”.
8. Pelaksanaan putusan arbitrase
Di Amerika Serikat, dalam klausula arbitrase hampir selalu
dicantumkan kalimat:
“... Judgment may be entered upon the award in any court o f
competentjurisdiction ”.
Klausula ini berasal dari American Arbitration Association (AAA)
dan dikatakan adalah lebih baik mencantumkannya dimana salah
satu pihak berasal dari Amerika Serikat atau pelaksanaan putusan
arbitrase tersebut mungkin dilakukan di Amerika Serikat. Contoh
klausula yang sama adalah :
“This Agreement shall be enforceable and judgement upon
any award rendered by arbitrator may be entered in any court
o f any country having jurisdiction “ .
9. Biaya Arbitrase
Biaya arbitrase terdiri dari 3 kategori : biaya dari regim
arbitrase, biaya dari majelis, dan biaya yang dikeluarkan para
pihak. Biaya dari regim arbitrase termasuk “administrative fee o f
the regime’s central authority", biaya sewa ruangan untuk
pertemuan dan pengeluaran lainnya yang terkait. Biaya majelis

269
termasuk fee dan pengeluaran arbiter. Biaya para pihak termasuk
fee untuk penasehat hukum dan ahli, pengeluaran persiapan kasus,
pengeluaran untuk staff. Pembebanan biaya arbitrase ini ada
beberapa kemungkinan. Pertama, majelis arbiter yang akan
menentukan. Kedua, kemungkinan akan dibebankan kepada pihak
yang kalah. Ketiga, mungkin para pihak telah sepakat sebelumnya
dalam klausula arbitrase bahwa biaya ditanggung berdua dalam
jumlah sama. Peraturan dari ICSID, ICC, LCIA (London Court of
Arbitration), Stockholm Chamber of Commetce memberikan
kepada arbiter kebijaksanaan pembebanan biaya tersebut, kecuali
para pihak telah menentukannya lebih dulu. UNCITRAL
membebani biaya arbitrase kepada pihak yang kalah, kecuali
majelis arbitrase menganggap adalah masuk akal untuk membebani
biaya tersebut kepada kedua belah pihak. Klausula mengenai biaya
arbitrase berikut ini cukup menarik :
‘‘the party in whose favor the arbitral award is rendered shall
be entitled to recover its costs and expenses relating to the
arbitration including but not limited to the cost and expense o f
administration o f the arbitration proceedings, travel and
related expenses and reasonable attorney ‘sfees ' : ’
Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang No. 30 tahun 1999, menentukan
bahwa pihak yang kalah harus menanggung biaya arbitrase. Dalam
hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase dibebankan
kepada para pihak secara seimbang (ayat 2).

10. Unsur unsur lain yang mungkin perlu ditambahkan dalam


klausula arbitrase untuk menghemat waktu atau biaya, atau
berkenaan dengan arbitrase tertentu, antara lain :
(a) The applicable procedural law;
(b) Power o f the arbitrator to adapt the contract;
(c) Extent o f discovery and cross-examination;
(d) Waiver o f sovereign immunity;
(e) Accomodation for multiparty disputes;
(f) Mandatory conciliation;
(g) Partial awards either forbidden or required
Beberapa unsur yang dapat dimasukkan dalam klausula arbitrase
terdapat pula dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999 dan unsur
tersebut dapat dicantumkan sepanjang proses arbitrase didasarkan

270
kepada hukum Indonesia. Akhirnya, tidak ada satu klausula
arbitrase yang lengkap yang dapat digunakan untuk semua
perselisihan yang akan diselesaikan melalui arbitrase. Dalam
negosiasi menyusun klausula arbitrase, selalu saja ada hal-hal yang
spesifik untuk transaksi-transaksi tertentu, sehingga perlu
dirundingkan klausula yang paling tepat.

271
KONSILIASI, MEDIASI DAN ARBITRASE

Undang-Undang No. 30 tahun 1999 mengatur tentang Arbitrase


dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 6 (3) menyebutkan bahwa
berdasarkan kesepakatan tertulis para pihak, sengketa dapat
diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun
melalui seorang mediator. Lembaga arbitrase dapat diminta oleh para
pihak untuk menunjuk mediator (Pasal 6 ayat 4). Selanjutnya Pasal 6
ayat 9, menyatakan bila usaha mediasi gagal, para pihak berdasarkan
kesepakatan tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaian sengketa
tersebut melalui arbitrase.
Penyelesaian sengketa alternatif sudah lama dikembangkan, baik di
Barat seperti Amerika Serikat dan Norwegia maupun di Timur, seperti
Jepang dan Cina, baik karena alasan-alasan praktis maupun
kebudayaan. Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan di Barat dan di
Timur mengandung kelemahan, yaitu memakan waktu yang lama dari
pengadilan tingkat pertama sampai tingkat banding atau kasasi,
memakan biaya yang tinggi, dan merenggangkan hubungan pihak-
pihak yang bersengketa. Di negara-negara berkembang, Pengadilan
adakalanya, dianggap perpanjangan tangan kekuasaan, bahkan di
beberapa negara Pengadilan dianggap tidak bersih, sehingga putusan-
putusannya dianggap telah memihak yang mendatangkan ketidak
adilan.
Alasan-alasan kebudayaan, menyebabkan pula masyarakat
cenderung mengenyampingkan Pengadilan sebagai tempat penyelesaian
sengketa yang timbul diantara mereka. Masyarakat Timur seperti Cina
dan Jepang, secara tradisional tidak suka pada Pengadilan. Pengadilan
dianggap sebagai tempat orang-orang “jahat”, yang tidak mematuhi
hukum. Secara tradisional, orang-orang Cina dan Jepang amat segan
untuk membawa sengketa-sengketa Perdata mereka ke depan
pengadilan. Untuk menjaga harmoni, sengketa-sengketa perdata
diselesaikan melalui mediasi (Cina dan Jepang) serta konsiliasi
(Jepang). Di Amerika Serikat, masyarakat imigran Scandinavia di
Midwest, Belanda di New Amsterdam dan Cina di West Coast, lebih
suka menyelesaikan sengketa di luar pengadilan untuk menjaga
harmoni. Karena alasan-alasan praktis, penyelesaian sengketa alternatif
seperti arbitrase, negosiasi, mediasi dan konsiliasi semakin berkembang
di Amerika Serikat maupun di Jepang.

272
Negosiasi
Negosiasi biasa dilakukan berkenaan dengan transaksi maupun
perselisihan Pembahasan berikut ini ditekankan kepada negosiasi
sebagai jalan untuk menyelesaikan perselisihan. Suatu negosiasi
berhasil apabila terdapat kompromi atas posisi-posisi para pihak yang
antara lain dapat diukur dengan nilai uang. Pendekatan “problem
solving” dalam negosiasi menekankan pencapaian apa sebenarnya yang
dikehendaki kedua belah pihak dan mencari hal-hal yang dapat
memuaskan kedua belah pihak. Pendekatan ini dilakukan, sebagai ganti
dari pendekatan untuk keuntungan salah satu pihak atas pihak lainnya.
Negosiasi merupakan penyelesaian sengketa alternatif yang paling
banyak ditempuh di Amerika Serikat sekarang ini, karena masyarakat
mulai sadar akan lama dan mahalnya penyelesaian sengketa melalui
Pengadilan. Di dalam negosiasi, pengacara yang mewakili kliennya
harus berpegang teguh kepada etika. Di Amerika Serikat, umpamanya,
kata-kata hakim Alvin Rubin dari Lousiana dikutip secara luas, yang
mengatakan :
“The lawyer must act honestly and in good faith (and) ... may not
accept a result that is unconscionably unfair to the other party ”.
Negosiasi dapat merupakan salah satu penyelesaian sengketa
alternatif yang menarik di Indonesia, karena azas musyawarah dan
mufakat yang telah menjiwai bangsa kita. Namun dua hal perlu
dikembangkan untuk mencapai tujuan tersebut. Pertama, fakultas-
fakultas hukum perlu mencantumkan mata kuliah teknik negosiasi
sebagai mata kuliah ketrampilan. Kedua, perlu kiranya para pengacara
mempunyai satu kode etik yang akan menjadi pegangan utama dalam
proses negosiasi.
Mediasi
Mediasi telah lama menjadi penyelesaian sengketa alternatif baik
di Timur (Cina dan Jepang) maupun di Bar at (Amerika Serikat).
Seperti dikatakan sebelumnya, masyarakat Cina tidak suka kepada
Pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa. Sengketa-sengketa
perdata diselesaikan melalui mediator.
Untuk periode yang cukup panjang di zaman Cina kuno terdapat
kontroversi antara kaum Confucius dan Legalist mengenai bagaimana
mengatur masyarakat. Disatu pihak, kaum Confucius menekankan
pentingnya ditegakkan prinsip-prinsip berdasarkan moral (LI).

273
Sebaliknya kaum Legalist memandang perlunya aturan-aturan hukum
tertulis yang pasti (FA).
Rakyat kebanyakan sadar dan menerima ikatan-ikatan moral yang
berlaku lebih banyak akibat pengaruh sanksi sosial daripada karena
dipaksakan oleh hukum yang berlaku. Oleh karenanya clan, gilda, dan
kelompok golongan terkemuka (gentry) menjadi institusi hukum yang
informal dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dalam masyarakat
Cina tradisional. Kepala clan, gilda dan tokoh masyarakat menjadi
penengah (mediator) dalam perselisihan-perselisihan yang timbul dan
bila perlu mengenakan sanksi disipliner dan denda. Confuciusnisme
yang mengartikan hukum (FA) sebagai hukuman (HSING), bukan
merupakan cara yang baik untuk menjaga ketertiban sosial. Masuk akal,
jika masyarakat Cina tradisional enggan membawa persengketaan di
antara mereka ke depan pengadilan yang resmi, karena hubungan yang
harmonis bukan konflik mendapatkan tempat yang tinggi di
masyarakat.
Disamping itu, menurut ajaran Mao, sengketa-sengketa perdata
adalah “kontradiksi intern antara individu” yang membiarkannya
diselesaikan secara intern; sikap mana mengambil-alih pandangan
tradisional yang lebih suka menyelesaikan sengketa secara informal dan
perdamaian. Untuk memenuhi tradisi tersebut, baik rezim Komunis di
Cina daratan maupun pemerintahan Nasionalis di Taiwan mendirikan
secara resmi “komite-komite penengah” (mediation committee). Tugas
utama dari komite-komite ini terutama menyelesaikan sengketa-
sengketa perdata dan perkara-perkara kriminil yang kecil. Namun sudah
tentu terdapat perbedaan besar antara peranan penengah dalam zaman
modern dan masyarakat Cina tradisional. Penengah dalam masyarakat
Cina tradisional terlepas sama sekali dari institusi negara tumbuh dan
berkembang dalam clan, gilda dan dibawah kepemimpinan tokoh-tokoh
masyarakat sendiri. Sebaliknya Komite Penengah di zaman Cina
modern baik di Cina daratan maupun di Taiwan dibentuk dengan
peraturan-peraturan negara dan mendapat tugas pula memperkenalkan
peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
negara. Dibawah rezim Komunis komite-komite semacam ini tidak
lepas dari pengawasan Partai dan keputusan yang diambil harus sejalan
dengan kebijaksanaan Partai. Komite Penengah menjadi alat tambahan
bagi negara dan partai dalam menjalankan kontrolnya terhadap
masyarakat. Banyak bukti menunjukkan bahwa banyak mediator adalah
aktivis partai. Tambahan pula, menurut Pasal 9 dari Undang-Undang

274
Tahun 1954 Pengadilan Rakyat dapat memperbaiki atau membatalkan
keputusan mediator yang bertentangan dengan kebijaksanaan,
perundang-undangan, atau keputusan pemerintah. Sehingga keputusan
yang diambil lebih mencerminkan kebijaksanaan Partai dan Negara
daripada perdamaian secara sukarela oleh pihak-pihak yang
bersengketa.
Pemerintah Nasionalis di Taiwan juga mengambil alih institusi
hukum tradisional tersebut dengan mendirikan Komite-Komite
Penengah ditiap Distrik yang mempunyai peranan mendamaikan
sengketa-sengketa perdata dan perkara pidana yang diancam dengan
hukuman kurang dari tiga tahun penjara atau perbuatan pidana yang
dituntut hanya atas pengaduan sikorban. Komite Penengah Pemilik
7'anah-Penyewa (The Landlord-Tenant Mediation Committee)
khususnya berhubungan dengan sengketa antara pemilik tanah dan
penyewa. Pasal 15 dari Undang-Undang Penurunan Sewa 'Panah
Pertanian tahun 1953 (The Farm Rent Reduction Act o f 1953) yang juga
mengatur penyelesaian sengketa yang timbul, menyebutkan bahwa
perselisihan yang timbul sehubungan dengan peraturan-peraturan
Landreform harus diselesaikan melalui tiga tahap. Tahap pertama,
sengketa harus diselesaikan oleh Komite Penengah Pemilik 'Panah dan
Penyewa setempat. Jika sengketa tak dapat terselesaikan, ia baru
dibawa ke Komite Penengah tingkat County. Hanya jika pada tingkat
ini sengketa belum juga dapat didamaikan, para pihak boleh
membawanya ke depan Pengadilan.
Nilai-nilai ajaran Confucius tetap dianut oleh generasi pertama
imigran Cinadiseberang lautan, terutama mengenai dasar-dasar
hubungan di antara mereka dan bagaimana menyelesaikan sengketa-
sengketa yang timbul. Namun kemudian tak dapat dihindarkan
terjadinya perubahan sosial dalam generasi berikutnya karena
masyarakat mulai beraneka-ragam, terpecah-pecah dan ikatan-ikatan
diantara mereka mulai longgar.
Generasi pertama imigran Cina di pemukiman-pemukiman Cina
{Chinatown) di Amerika amat segan untuk menyelesaikan sengketa
mereka di depan Pengadilan-pengadilan Amerika, karena mereka
menganggap, pengadilan akan bersikap subjektif terhadap masyarakat
Cina, ditambah lagi kesulitan bahasa, dan ketidakbiasaan mereka
dengan sistem pengadilan setempat. Namun pengaruh yang utama
adalah keterikatan mereka kepada tradisi, dimana penyelesaian
sengketa melalui penengah (mediator) merupakan jalan yang terbaik,

275
karena cara itu akan tetap memelihara suasana harmonis. Tanggung
jawab kelompok juga memegang peranan penting di pemukiman-
pemukiman Cina di AS, ia melahirkan tanggung jawab moral karena
tekanan lingkungan. Berakar pada tradisi yang dalam, tanggung jawab
kelompok khususnya dikaitkan dengan keluarga terdekat, perkumpulan
keluarga, atau dalam beberapa hal dengan perkumpulan dagang.
Penyelesaian sengketa di antara masyarakat pemukiman Cina dapat
dilakukan melalui perkumpulan tersebut, antara lain “Chinese
Consolidated Benevolent Associations Terdapat sekitar 20 “Chinese
Consolidated Benevolent Association ” di kota-kota seluruh Amerika.
Namun jumlah sengketa yang diselesaikan melalui organisasi ini
sekarang secara relatif kecil dibandingkan dengan keadaan sebelum
Perang Dunia II. Tidak ada angka yang pasti, namun organisasi yang
sama di New York hanya menyelesaikan beberapa sengketa pada tahun
1970. Pada umumnya persengketaan dibawa ke dalam organisasi ini
untuk menghemat waktu dan uang, serta untuk tetap menjaga hubungan
baik. Akan tetapi jika persengketaan tidak juga dapat diselesaikan, para
pihak tidak segan membawa persoalan mereka kedepan Pengadilan. Hal
ini sangat kontras dengan tradisi Cina.
Begitu juga di Kanada. Walaupun perdamaian melalui seorang
penengah tidak lagi memegang peran penting sekarang, namun
penyelesaian secara kompromi masih tetap merupakan hal yang lebih
disukai.
Taoisme yang dikembangkan oleh Lao Tzu merupakan
Confucianisme kontemporer dalam pemikiran philosophy Cina.
Confucianisme menekankan kepada ketertiban sosial dan kehidupan
aktif, sebaliknya Taoisme memusatkan diri kepada kehidupan individu
dan ketenangan sehingga Taoisme memegang peranan kedua setelah
Confucianisme dalam masyarakat Cina. Fokus utama Tao Te Ching
adalah manusia. Delapan puluh persen dari Tao Te Ching tidak
mengenai substansi dari ajaran Tao, tetapi bagaimana fungsinya,
khususnya bagaimana penerapan dari ajaran tersebut dalam masyarakat.
TJmpamanya, ilustrasi dari penerapan ajaran Lao Tzu berkenaan
dengan mediasi dan konsiliasi adalah syarat-syarat seorang menjadi
mediator, sebagai berikut:
1. Enlightened leadership is service, not selfishness. A good mediator
grows more and lasts longer by placing the well-being o f all above
the well being o f self alone. By being selfless, the mediator

276
enhances self. Because he had given up selfishness, he could
enhance others.
2. A good mediator will attempt to mediate emotional issues without
taking sides or picking favourites.
3. The mediator who knows when to listen, when to act, and when to
withdraw can work effectively with nearly everyone, even with the
most difficult and sophisticated disputing parties.
4. The wise mediator does not impose a personal agenda or value
system on the disputing parties. Being open and attentive is more
effective than being judgmental. This is because people will
naturally tend to be good and truthful when they are being received
in a good and truthful manner.
5. The integrity o f a good mediator must never be compromised.
Confusing jargon is one sure sign o f a mediator who does not know
how things happen. The honest mediator must not be seduced by
offers or threats nor be swayedfrom the centre.
6. It is a grave mistake for a mediator to think that he is above all
others. Paradoxically, greatness comes from knowing how to be
lowly, empty, receptive, and be o f service. Hence, the mediator
should have respect for every person and issue directed at him and
should not dismiss any encounter as insignificant. On the other
hand, he shoidd not become anxious or afraid o f being
overwhelmed and embarrassed. The wise mediator appeals to the
few people who recognise that traditional wisdom often lies
beneath an ordinary appearance.
Confuciusnisme dan Taoisme tentu mempengaruhi peranan mediator
atau konsiliator dalam kehidupan masyarakat Cina, Jepang dan Korea,
Di Amerika Serikat, mediasi diartikan sebagai pihak ketiga yang
netral membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa diantara
mereka. Mediasi sebagai penyelesaian sengketa alternatif 20 tahun yang
lalu hanya dikaitkan dengan penyelesaian sengketa perburuhan. Namun
10 tahun terakhir ini mediasi menyelesaikan pula sengketa-sengketa
sewa menyewa gedung/apartment, gugatan konsumen, perceraian dan
pembagian harta, perlindungan lingkungan, petani, debitur dan bank
sebagai kreditur untuk mencegah eksekusi. Program mediasi
dikembangkan oleh Pengadilan Negara Bagian dan Federal, dimana
hakim, magistrate, pejabat pengadilan lainnya, atau orang lainnya

277
bukan pejabat pengadilan sebagai mediator yang ditunjuk oleh
pengadilan.
“American Bar Association" mendorong digunakannya mediasi
untuk sengketa-sengketa kecil atau yang berhubungan dengan gugatan
dengan nilai uang yang kecil. Mediasi juga diterapkan dalam
perencanaan, dikenal dengan nama “Negotiated Investment Strategy"
(NIS), untuk membantu instansi pemerintah dalam mengkordinasi
kebijaksanaan yang berkenaan dengan penggunaan tanah untuk
program sosial. Instansi Pemerintah menempatkan mediator untuk
merumuskan aturan-aturan yang disepakati. Aturan-aturan yang
disepakati tersebut akan menjadi dasar peraturan yang akan dibuat oleh
instansi pemerintah yang bersangkutan. Metode ini berhasil digunakan
oleh “Federal Aviation Agency” dan “U.S. Environmental Protection
Agency (EPA)
Di Amerika Serikat Pengacara dapat berperanan dalam proses mediasi,
antara lain :
1. sebagai penasehat atau wakil dari salah satu pihak yang
bersengketa;
2. sebagai mediator yang memberikan nasehat hukum;
3. sebagai mediator yang tidak memberikan nasehat hukum;
4. memberikan nasehat kepada klien mengenai persetujuan yang telah
dicapai.
Fungsi dari mediator adalah sebagai penengah dalam
menyelesaikan Sengketa yang ada. Mediator menurut Lon Fuller :
“The central quality o f mediation (is) its capacity to reorient the
parties towards each other, not by imposing rules on them, but by
helping them to achieve a new and shared perception o f their
relationship, a perception that will redirect their attitude and
dispositions toward one another ”.
Mediator harus netral untuk mencapai kesepakatan. Pihak bersengketa
bersedia negosiasi karena mereka tidak berhasil mencapai apa yang
diinginkannya secara sepihak. Ia berunding dengan orang atau wakil
yang dianggap dapat memahami maksudnya. Jika mediator bersikap
netral, maka akan lahir ikatan berdasarkan kepercayaan. Jika mediator
bertujuan menolong kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan,
tetap netral dan menjamin kerahasiaan, para pihak tidak akan merasa
kehilangan, walaupun harus mengurangi hal yang menguntungkan

278
mereka, untuk mencapai kesepakatan. Di Amerika Serikat Presiden
“American Arbitration Association” mengusulkan agar mediator
setelah mendapat latihan, perlu diberi sertifikat. Namun ada pula yang
menganggap hal itu tidak perlu, tetapi pendidikan untuk menjadi
arbitrator tetap berguna. “FederalMediation and Conciliation Service ”,
yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa perburuhan dan US.
Department of Justice Community Relation Services, yang
berhubungan dengan perselisihan rasial, memiliki mediator yang
bekerja penuh, dipilih berdasarkan pengalaman dan “job training’’’
Jasa mediator saya kira sudah diperkenalkan di Indonesia, antara
lain berkenaan dengan sengketa perburuhan dan penyelesaian sengketa
tanah. Namun masyarakat belum sepenuhnya percaya kepada sistim ini,
karena mereka ragu akan netralitas mediator yang bersangkutan.
Konsiliasi
Konsiliasi sebagai penyelesaian sengketa alternatif sudah lama
berkembang di Jepang. Konsiliasi atau “chotei” berkembang dijaman
Tokugawa dan dewasa ini sudah dituangkan dalam hukum positif
Jepang yaitu “Minji Chotei H o” (Undang-Undang Konsiliasi Perdata)
tahun 1951. Pihak yang ingin menempuh proses konsiliasi,
mendaftarkan sengketanya ke Pengadilan dengan melampirkan
proposalnya (Pasal 2) dan membayar sedikit biaya (Pasal 10).
Konsiliasi kemudian dilakukan oleh Pengadilan melalui Komite
Konsiliasi (Pasal 5 ayat (1)), terdiri dari Hakim yang ditunjuk oleh
Pengadilan (Pasal 7 ayat (1)) dan dua atau lebih konsiliator yang
diangkat oleh Pengadilan (Pasal 6), diambil dari daftar konsiliator yang
dibuat setiap tahun oleh Pengadilan (Pasal 7 ayat (2)). Ilakim dapat
menunjuk pula konsiliator sebagai pengganti dirinya (Pasal 7 ayat (3)).
Hakim sendiri bisa menjadi konsiliator tunggal apabila para pihak
berpendapat tidak memerlukan Komite Konsiliator, (Pasal 5 ayat (1)).
Konsiliasi berlangsung dalam beberapa kali sidang dan dapat memakan
waktu beberapa bulan. Negosiasi yang dilakukan didepan Komite
Konsiliasi dapat menelorkan berbagai hasil, antara lain dicapainya
kesepakatan. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis
( “choso”), salinannya diberikan kepada para pihak dan satu salinan
untuk arsip di Pengadilan. Penyelesaian sengketa menjadi efektif
seperti sebuah keputusan hakim, bila tidak ada sanggahan dalam 2
minggu (Pasal 18 ayat 3). Jika tidak ada kemungkinan untuk mencapai
kesepakatan proses konsiliasi lalu diakhiri. Jika sal ah satu pihak tidak
menerima putusan dalam waktu 2 minggu atau proses konsiliasi

279
diakhiri karena tidak ada kemungkinan untuk mencapai kesepakatan,
para pihak dapat mengajukan gugatan biasa ke Pengadilan.
Sidang konsiliasi biasanya dilangsungkan dalam ruangan kecil di
Pengadilan. Para pihak dan konsiliator bertemu dalam suasana informal
namun tertutup untuk umum. Denda akan dikenakan kepada konsiliator
yang menyiarkan informasi mengenai apa yang berlangsung dalam
pertemuan konsiliasi. Para pihak yang bersengketa dapat didampingi
oleh penasehat, yang biasanya seorang pengacara. Kuasa para pihak
atau penasehat dapat pula tampil sendiri mewakili pihak yang
bersengketa. Namun bila wakil atau kuasa tersebut bukan seorang
pengacara, ia perlu terlebih dahulu mendapat ijin dari Komite
Konsiliasi.
Biasanya pertemuan di buka dengan penjelasan oleh konsiliator
(hakim) mengenai semangat dari “Ckotei” (konsiliasi) yang berbeda
dengan proses gugat menggugat biasa. Ia menerangkan pula bahwa
konsiliator akan bertindak adil dan tidak memihak, segala apa yang
dibicarakan adalah rahasia. Setelah mendengar kedua belah pihak,
Komite I Konsiliasi membuat usulan penyelesaian sengketa, biasanya
beberapa alternatif penyelesaian. Biasanya dalam pertemuan-
pertemuan, para pihak diminta memberikan konsesi untuk mencapai
kesepakatan. Jika kesepakatan tercapai, maka kesepakatan tersebut
akan menjadi putusan pengadilan.
Pemerintah Jepang melakukan berbagai usaha mengembangkan
“Chotei” ini, yang sudah menjadi tradisi Jepang, dengan melakukan
latihan dan pendidikan konsiliator. Begitu juga Pemerintah menjadi
Sponsor berdirinya Perhimpunan Konsiliator. Banyak orang ingin
menjadi konsiliator karena menganggap posisi ini sebagai suatu
prestise. Di daerah pedesaan Jepang, konsiliator biasanya pemuka
masyarakat. Namun banyak kritik, terutama berkenaan dengan
konsiliator dari strata sosial tertentu saja dan latar belakang mereka
mencerminkan “Ckotei" sebagai institusi tradisional. Norwegia juga
mengenai “Reconciliation Board” untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa kecil (small claims). Rekonsiliasi merupakan salah satu
alternatif di Norwegia menggantikan proses pengadilan biasa. Hakim
pengadilan dapat bertindak sebagai konsiliator. Walaupun penyelesaian
sengketa melalui “Reconciliation Board” menurun dalam seratus tahun
terakhir ini, namun data tahun 1965 menyebutkan terdapat sekitar
40.000 sengketa yang diselesaikan oleh “Reconciliation Board” di
Norwegia pada tahun tersebut.

280
Kemungkinan Konsiliasi atau Mediasi Selama Proses Arbitrase
Berlangsung
Di Jepang dan Cina arbitrase tidak ragu-ragu menyelesaikan
sengketa yang diserahkan kepada mereka melalui konsiliasi atau
mediasi selama proses arbitrase berlangsung. Di Barat, arbitrator tidak
aktif mendorong pihak-pihak bersengketa menyelesaikan perselisihan­
nya melalui konsiliasi atau mediasi, seperti di Jepang dan Cina.
Menurut penulis-penulis Jepang hal tersebut dikarenakan tidak biasa
bagi orang-orang Jepang dan Cina untuk menyelesaikan perkara
mereka melalui Pengadilan. Mereka amat menghormati kedamaian,
persatuan dan harmoni. Ditambah lagi bagi orang Jepang, kompromi,
konsesi dan sepakat adalah lebih baik. Permintaan untuk konsiliasi atau
mediasi selama proses arbitrase berlangsung di Jepang pada dasarnya
tergantung pada karakteristiknya yang informal, tidak mahal dan cepat.
Tambahan pula, penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak
memperlihatkan ada yang kalah dan ada yang menang serta tidak
terikat kepada argumen-argumen hukum.
Dalam praktek adakalanya suatu pihak siap mengadakan
kompromi sedangkan pihak lainnya tidak bersedia. Ilal itu tergantung
kepada perasaan para pihak. Salah satu dari mereka mengalami
kesulitan untuk berkomunikasi dengan lawannya, dalam hal ini mereka
meminta waktu untuk memikirkannya dengan kepada dingin atau
meminta bantuan pihak ketiga yang dapat dipercaya seperti konsiliator.
Apalagi bagi pihak yang sudah merasa posisinya lemah, konsiliasi atau
mediasi mungkin akan lebih menguntungkan. Kemungkinan konsiliasi
atau mediasi pada waktu proses arbitrase berlangsung adalah
tergantung kepada kesepakatan para pihak seluruhnya. Tidak dapat
dilakukan konsiliasi atau mediasi, tanpa persetujuan para pihak.
Konsiliasi atau mediasi dapat dilakukan dalam proses yang terpisah
dari arbitrase. Sebagai contoh, sebuah perusahaan Jepang mengadakan
“charter party” dengan sebuah perusahaan Amerika. Dalam kontrak
disebutkan :
“... this charter shall be construed and the relations between the
parties determined in accordance with the law o f England. Any
dispute arising under this charter shall be decided by the English
Courts to whose jurisdiction the parties agree whatever their
domicile may be : Provided that either party may elect to have the
dispute referred to the arbitration o f a single arbitrator in London
in accordance with the provisions o f Arbitration Act, 1950, or any

281
statutory modification or re-enactment thereoffor the time being in
force ”.
Sejak semula para pihak memutuskan membawa sengketa mereka
ke depan Pengadilan di London. Namun setelah itu, setelah
mempertimbangkan faktor waktu dan biaya, mereka sepakat
menyelesaikan melalui proses arbitrase dan ingin menyelesaikan
perselisihan tersebut melalui konsiliasi oleh Tokyo Maritime
Arbitration Commission (TOMAC) dari the Japan Shipping Exchange,
Inc. Dalam perkara ini, penyelesaian dimulai dengan proses arbitrase
dan kemudian diikuti oleh konsiliasi. Dalam perkara lain, konsiliasi
atau mediasi jalan pertama yang ditempuh. Namun karena salah satu
pihak tidak setuju masa enam bulan perpanjang, maka penyelesaian
sengketa dilanjutkan melalui arbitrase.
Pada kedua perkara diatas para pihak menyelesaikan perselisihan
mereka melalui konsiliasi, tidak hanya untuk menjaga hubungan baik
dimasa depan, tetapi juga karena pertimbangan menghemat biaya,
waktu dan keuntungan dari proses arbitrase. Konsiliasi atau mediasi
dan arbitrase dapat pula dijalankan dalam proses yang bersamaan. Ilal
ini dapat terjadi karena permintaan kedua belah pihak, yaitu memulai
proses arbitrase sekaligus dengan konsiliasi. Kemungkinan lainnya,
adalah ketika arbiter dalam proses arbitrase menemukan titik-titik
damai, setelah mendengar keterangan para pihak atau bukti-bukti.
Dalam hal ini arbiter mengusulkan kepada para pihak untuk
mengadakan konsiliasi. Namun arbiter tidak dapat memaksakan
usulnya tersebut kepada pihak-pihak yang bersengketa. Di Jepang,
misalnya, ada peraturan yang memberikan kewenangan kepada arbiter
untuk menyelesaikan sengketa yang dibawa kedepan mereka melalui
konsiliasi. Peraturan dari Maritime Arbitration of the Japan Shipping
Exchange, Inc., section 21 menyebutkan :
“(1) The parties do not lose their respective rights to settle the
dispute amicably even after the application for arbitration has
been filed. (2) The Board may, at any stage o f the arbitration
proceedings, mediate between the parties for the whole or a part o f
the dispute. ”
Juga, Pasal 37 dari China Maritime Arbitration Commission, Rules of
Arbitration menyebutkan :
“The Arbitration Commission and the arbitration tribunal may
conciliate cases under their cognizance. In case a settlement

282
agreement is reached through conciliation, the arbitration tribunal
shall make an award in accordance with the contents o f the
settlement agreement reached by and between both parties
Undang-Undang Acara Perdata di Jepang dan Cina juga memuat
ketentuan yang serupa. Pasal 136 The Japanese Code of Civil
Procedure menyebutkan :
“1. The Court may, whatever stage the suit may be in, attempt to
carry out compromise or have a commissioned judge or an
entrustedjudge try the same.
2. The Court, a commisioned judge or an entrusted judge may, for
compromise, order the principal party or his legal representative
to appear before court ”.
Pasal 6 dari The Chinese Code of Civil Procedure menyatakan :
"In trying civil cases, The People’s Courts should stress
mediation; when mediation efforts are not effective, the court
should issue its decision in a timely manner
Adalah jelas, dan ini dimungkinkan juga oleh Undang-Undang No. 30
tahun 1999, bahwa seorang arbitrator dapat bertindak sebagai
konsiliator atau mediator dalam perselisihan yang ia tidak ikut terlibat
menyelesaikannya. Namun tidak pasti apakah seorang arbitrator dapat
begitu saja berganti fungsi sebagai konsiliator atau mediator dalam
perkara yang sebelumnya ia terlibat untuk menyelesaikannya. Berbagai
pendapat mendukung bahwa arbitrator tidak dapat berganti fungsi
menjadi konsiliator atau mediator dalam perkara yang sama dimana ia
sudah terlibat berusaha menyelesaikannya. Mustill dan Boyd
mengatakan :
“English law does not recognise conciliation as a formal
institution, in the *context o f private arbitration, and in practice it
is rarely encountered. Nor is it usual to find that the arbitrator is
empowered to act as amiable compositeur or to decide according
to ‘equity and good conscience ’. It is indeedfar from clear whether
a reference conducted under an agreement containing such a
provision is an arbitration at all, for the purpose o f the acts and
the principles established by the common law ”.
Sehubungan dengan kekuasaan arbitrator untuk mengusahakan
konsiliasi, Bernini berpendapat :

283
“The arbitrator(s) should never force upon the parties conciliation
attempts and amicable settlements which are not sought after. I f it
were otherwise, both neutrality and impartiality could be affected
i f a party were put in a position to reject a proposed conciliation
and/or settlement which the other party was inclined to favour.
Furthermore, should the arbitrators'attempt to conciliate fail,
neutrality and impartiality could be seriously damaged if the
proceedings were resumed under the aegis o f the same arbitrators.
It is indeed most likely that the arbitrators/conciliators have
prejudged the case to varying degrees during their attempt to settle
it amicably. An arbitrator can hardly remain independent after
prejudging the case
Sebaliknya konsiliator yang berganti fungsi menjadi arbitrator
manakala usaha konsiliasi mengalami kegagalan, Herrmann
mencobamenguraikan secara panjang lebar sebagai berikut:
“Even more important than this question o f simultaneous
proceedings is whether anything that happened during
unsuccessful conciliation proceedings may have an impact on any
adversary proceedings about the same dispute. In order to enhance
the willingness o f the parties in conciliation, any undesirable
‘splashing over’ o f information should be prevented. Here, a
double-barrelled approach seems best, which is to exclude the
conciliator from later involvement and to exclude certain
information from later use.
The conciliator acquires, in the course o f the conciliation
proceedings, an intimate knowledge o f the dispute at issue,
including the strengths and weaknesses o f each party’s case.
Therefore, the willingness o f parties to conciliate and, in
particular, to confide in the conciliator might be adversely affected
if it were possible for the conciliator, in arbitral or judicial
proceedings about the same dispute, to act in a capacity where his
knowledge could be prejudicial to the interests o f a party. To free
the parties from such fears, the conciliator should be precluded
from performing certain junctions in such adversary proceedings.
The first junction, prohibited by many conciliation rules, is to act
as arbitrator. Here, the above concern about the parties ’possible
fears seems particularly relevant in view o f the inherent danger
that the conciliator, in making his binding decision as an

284
arbitrator, would take into account information given to him in the
frank and friendly spirit o f conciliation. The prospects o f his acting
as an arbitrator could, thus, make a party less willing to ‘open up ’
and ‘let down his hair ’ which, in turn, would hamper the
conciliation effort
Komentar-komentar diatas tampaknya tidak setuju terhadap ide
arbitrator menjadi konsiliator atau mediator dalam sengketa yang sama.
Alasannya berkenaan dengan “independence”, “impartiality”, and
“fairness” dari arbitrator yang kemudian bertindak sebagai konsiliator
dan mediator.
Praktek konsiliasi sudah juga berlangsung di negeri kita, terutama
di pedesaan yang jauh dari masyarakat perkotaan. Pemimpin informal
selalu diminta untuk menyelesaikan sengketa. Perkara warisan
misalnya, di daerah Sulawesi Tengah selain ke Pengadilan Agama,
diselesaikan pula oleh Dewan Adat. Jika konsiliasi ingin diterapkan di
Pengadilan kita, Hukum Acara Perdata yang sekarang berlaku perlu
mengalami pembaruan. Hakim tidak hanya sekedar memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk berdamai, tetapi bertindak aktif
mendamaikan para pihak yang bersengketa.
Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No. 30 tahun 1999, merupakan
titik tolak bagi Indonesia untuk mengembangkan konsiliasi dan
mediasi secara formal.
Kesimpulan
Penyelesaian sengketa alternatif diluar Pengadilan seperti arbitrase,
negosiasi, mediasi dan konsiliasi sudah berkembang di Barat maupun
di Timur. Hal yang sama juga sudah ada di Indonesia, walaupun
belum semua mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan
sengketa-sengketa diluar Pengadilan. Dari sudut hukum positif,
dalam rangka mengembangkan penyelesaian sengketa alternatif,
kita .memerlukan Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang baru.
Selanjutnya perlu dikembangkan pelatihan arbitrator, mediator,
negosiator dan konsiliator dan kode etik profesi tersebut. Akhirnya,
berhasil tidaknya penyelesaian sengketa alternatif tersebut tetap
bergantung kepada itikad pihak-pihak yang bersengketa sendiri.

285
286
/E K S E K U S I P U T U S A N

A R B IT R A S E D A L A M N E G E R I

Pertama-tama akan dibahas mengenai eksekusi putusan arbitrase


dalam negeri. Sedang mengenai eksekusi putusan arbitrase asing atau
luar negeri akan dibahas dalam bab tersendiri. Kesengajaan untuk
memisahkan pembahasannya, disebabkan adanya beberapa perbedaan
prinsipil di antara keduanya. Jika pembahasannya disatukan dalam satu
bab, bisa menimbulkan kekacauan pemahaman. Bahkan bisa
mengelirukan mereka yang ingin mendalami masalah arbitrase.

A. PENGERTIAN PUTUSAN ARBITRASE DALAM NEGERI


Pertama-tama dijelaskan lebih dulu apa yang dimaksud dengan
putusan arbitrase dalam negeri atau putusan arbitrase “domestik”.
Kejelasan ini diperlukan, agar tidak keliru mempergunakan aturan
tata cara yang diterapkan. Terdapat perbedaan tata cara yang
diterapkan untuk eksekusi putusan arbitrase dalam negeri dengan
putusan arbitrase asing, meskipun dalam beberapa hal terdapat
persamaan, l'erutama mengenai tata cara eksekusi, pada
hakikatnya adalah sama. Namun proses yang mendahului eksekusi,
di sana-sini terdapat perbedaan.
Untuk menentukan apakah suatu putusan arbitrase
diklasifikasi sebagai putusan dalam negeri, ada baiknya lebih dulu
berorientasi kepada ketentuan Pasal I Konvensi New York 1958
(The 1958 New York Convention, on the Recognition and
Enforcement o f Foreign Arbitral Award). Dalam pasal ini dapat
diketahui apa yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing. Yang
dimaksud dengan putusan arbitrase asing ialah putusan yang
diambil atau dibuat di luar negeri (made in the territory o f a state
other).
Yang menjadi patokan untuk menentukan apakah putusan
digolongkan arbitrase asing, ialah faktor territory. Setiap putusan
yang dibuat di luar wilayah hukum suatu negara, tergolong putusan
arbitrase asing (luar negeri) aim foreign arbitral award. Kalau
begitu, yang dianggap putusan arbitrase asing, setiap putusan yang
diambil (dibuat) di luar-wilayah negara RI.

287
Sejalan dengan penegasan di atas, patokan menentukan apakah
putusan arbitrase yang diambil diklasifikasi putusan arbitrase
“domestik” (dalam negeri) berpatokan pada faktor “wilayah” atau
territory. Setiap putusan yang diambil di dalam wilayah RI
tergolong putusan arbitrase dalam negeri.
Patokan ini merupakan kebalikan asas atau faktor territory
putusan arbitrase asing (foreign arbitral award). Setiap putusan
arbitrase yang diambil di luar wilayah RI otomatis (otomatically)
diklasifikasi putusan arbitrase asing.

B. YANG BERWENANG MELAKUKAN EKSEKUSI


Instansi dan pejabat yang berwenang melaksanakan putusan
arbitrase ialah Pengadilan Negeri. Sedang pejabat yang bertindak
memerintahkan dan memimpin eksekusi adalah Ketua Pengadilan
Negeri. Badan arbitrase yang memutus sengketa, tidak memiliki
kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 637 jo. Pasal 639 Rv.
Ditegaskan, putusan arbitrase dijalankan dengan perintah dari
Ketua Pengadilan Negeri. Perintah untuk itu dibuat dalam bentuk
exequatur.
Kenapa Badan atau Mahkamah Arbitrase yang memutus tidak
berwenang menjalankan eksekusi? Pada hakikatnya suatu Badan
atau Mahkamah Arbitrase, bukan badan kekuasaan resmi, tetapi
hanya merupakan badan swasta. Di samping itu tidak memiliki
perangkat jura sita yang khusus berfungsi melaksanakan perintah
eksekusi. Perangkat pejabat juru sita hanya terdapat pada
lingkungan Pengadilan. Kecuali apabila nanti ada kodifikasi
peraturan arbitrase yang barn yang memberi wewenang untuk itu.
Namun sampai pada saat sekarang, pelaksanaan eksekusi putusan
arbitrase, masih merujuk kepada ketentuan Pasal 637 jo. Pasal 639
Rv. Ketentuan ini masih tetap dijadikan pegangan oleh Peraturan
Prosedur BANI. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 19. Dikatakan,
eksekusi putusan arbitrase BANI dilaksanakan (dieksekusi)
menurut ketentuan-ketentuan Pasal 637 dan 639 Rv. Berarti BANI
menyerahkan pelaksanaan eksekusi putusan yang diambilnya
kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Oleh karena itu, apabila para pihak tidak mau melaksanakan
isi putusan arbitrase secara “sukarela” yang berwenang untuk

288
memaksa pelaksanaan ialah Ketua Pengadilan Negeri. Untuk itu,
diajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Adapun Pengadilan Negeri yang berwenang untuk
mengeksekusi, berpedoman kepada ketentuan kewenangan
“relatif’. Patokan untuk menentukan kewenangan relatif
didasarkan pada tempat putusan diambil. Pengadilan yang
berwenang untuk mengeksekusi ialah Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat di mana putusan diambil. Patokan
penentuan kewenangan relatif dalam haHni, sama dengan
penggarisan yang berlaku terhadap eksekusi putusan Pengadilan.
Namun ketentuan ini tidak mengurangi kemungkinan untuk
“mendelegasikan” pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri
yang lain. Misalnya, putusan arbitrase diambil di Bandung, karena
para pihak atau Mahkamah Arbitrase yang ditunjuk menetapkan
kota Bandung sebagai tempat kedudukan arbitrase (place o f
arbitration). Dari segi tempat pengambilan putusan, pelaksanaan
eksekusi jatuh menjadi kewenangan relatif Pengadilan Negeri
Bandung. Akan tetapi ternyata semua atau sebagian barang yang
hendak dieksekusi, terletak di daerah hukum Pengadilan Negeri
Semarang, yang menjalankan eksekusi ialah Pengadilan Negeri
Semarang berdasar “pendelegasian” dari Pengadilan Negeri
Bandung. Pendelegasian eksekusi yang demikian sama dengan
penggarisan dan yang dipraktekkan terhadap eksekusi putusan
Pengadilan. Apalagi setelah era kemajuan perkembangan ekonomi
sekarang. Banyak sekali terjadi pendelegasian eksekusi.
Dari uraian di atas, Badan atau Mahkamah Arbitrase yang
dibenarkan keberadaannya di Indonesia, tidak memiliki
kewenangan “parate eksekusi’, seperti yang dimiliki oleh BUPN
(Badan Urusan Piutang Negara). Barangkali pemberian
kewenangan parate eksekusi kepada BUPN, didasarkan pada
alasan oleh karena badan tersebut bukan lembaga swasta, tapi
badan kekuasaan resmi yang bernaung di bawah Departemen
Keuangan. Sedang arbitrase adalah mumi badan swasta atau
extrajudicial (peradilan ekstra).

C. PEDOMAN TATA CARA EKSEKUSI


Ke arah mana Pengadilan Negeri mencari pedoman
pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase? Sumber hukum yang akan

289
dipergunakan dan diterapkan Pengadilan Negeri merujuk kepada
dua peraturan.
1. Pcndeponiran dan Exequatur Merujuk kepada Rv.
Sumber hukum yang pertama, merujuk kepada ketentuan
Pasal 634, 635, dan Pasal 637 Rv. Pasal-pasal ini mengatur
tentang “pendeponiran” atau “pendepositoan” serta pemberian
exequatur putusan arbitrase. Sepanjang mengenai hal-hal
tersebut, tata caranya merujuk kepada pasal-pasal Rv
dimaksud. Pengaturan tentang tata cara deponir dan exequatur,
terkait dalam suatu rangkaian kesatuan dengan ketentuan
arbitrase yang dalam Buku K.etiga Rv. Hal ini logis
ditempatkan dalam suatu rangkaian sistematik. Karena
masalah deponir dan exequatur putusan arbitrase, merupakan
aturan yang tidak mungkin dipisah dari ketentuan arbitrase.
2. Pelaksanaan Eksekusi Merujuk kepada Ilukum Acara
Kalau tata cara deponir dan exequatur merujuk kepada
Buku Ketiga Rv (Pasal 634, 635, dan Pasal 637), tata cara
pelaksanaan eksekusi merujuk kepada ketentuan hukum acara
yakni Pasal 195-224 H1R.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 639 Rv. pasal ini
menyatakan, Ketua Pengadilan Negeri harus meiaksanakan
eksekusi menurut cara yang biasa berlaku terhadap eksekusi
putusan Pengadilan. Jadi, sepanjang mengenai tata cara
pelaksanaan eksekusi, Ketua Pengadilan Negeri mesti
menuruti ketentuan yang berlaku dalam hukum acara, dalam
hal ini III R atau RBG. Dalam pelaksanaan eksekusi,
disamakan a.turan yang berlaku terhadap putusan arbitrase
maupun terhadap putusan Pengadilan. Tidak ada perbedaan.
Hal ini pun ditegaskan dalam Peraturan Prosedur BANI. Pasal
19 menegaskan, tata cara pelaksanaan eksekusi putusan,
berpedoman kepada ketentuan Pasal 639 Rv. Sedang Pasal 639
Rv merujuk kepada ketentuan tata cara eksekusi yang diatur
dalam hukum acara. Dengan demikian tidak ada perbedaan
penggarisan tata cara eksekusi antara putusan arbitrase versi
Rv dan versi BANI. Sama-sama merujuk kepada ketentuan
Pasal 195-224 III R.

290
D. P E N D E P O N IR A N P U T U S A N A R B IT R A S E

Pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase melalui tahap proses.


Tahap proses pertama ialah “mendeponir” putusan. Hal ini
dijelaskan dalam Pasal 634 dan 635 Rv. Ada berbagai hal yang
perlu dijelaskan mengenai tata cara deponir putusan arbitrase.
1. Pehgertian Deponir
Pertama-tama mari kita bicarakan arti “deponir”. Arti
deponir sama dengan “deposit”. Dalam istilah hukum
Indonesia lazim disebut “menyimpan” atau pendaftaran.
Yang dideponir atau disimpan ialah putusan arbitrase.
Setelah Mahkamah Arbitrase menjatuhkan putusan, harus
disimpan di kepaniteraan Pengadilan Negeri. Tujuan
pendeponiran, agar terhadap putusan dapat dimintakan
eksekusi, apabila para pihak tidak mau melaksanakan putusan
secara sukarela. Selama belum dilakukan deponir eksekusi
tidak dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan kepada
Ketua Pengadilan Negeri.
Ditinjau dari segi administrasi yustisial, tindakan deponir
sama dengan “mendaftarkan” atau “meregister” putusan
arbitrase di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri.. Dengan
demikian mendeponir atau mendeposit putusan arbitrase,
berarti “mendaftarkan” putusan agar panitera Pengadilan
melaksanakan registrasi dalam buku yang khusus dibuat untuk
itu.
Akan tetapi tanpa mengurangi maknanya memenuhi
tindakan administrasi yustisial, deponir sekaligus mengandung
syarat formal kesempurnaan permohonan eksekusi.
Permohonan eksekusi baru mempunyai nilai yang sah, apabila
putusan arbitrase telah dideponir lebih dahulu. Dengan
demikian tindakan deponir mengandung makna ganda.
Pada satu segi merupakan pemenuhan administrasi
yustisial, dan pada segi lain, sebagai syarat formal keabsahan
permohonan eksekusi. Tanpa pendeponiran putusan,
permintaan eksekusi tidak dapat diterima. Demikian
pentingnya deponir dikaitkan dengan permohonan eksekusi.

291
2. Batas Tenggang Waktu Deponir
Ketentuan batas jangka waktu deponir diatur dalam Pasal
634 ayat (1) Rv. Memper-hatikan penggarisan yang ditentukan
di dalamnya, masalah pembatasan tenggang waktu deponir
dibedakan berdasar faktor lingkungan wilayah Indonesia :
a. untuk lingkungan wilayah Pulau Jawa-Madura, batas
jangka waktu deponir adalah 14 hari, terhitung sejak
tanggal putusan diambil oleh Mahkamah Arbitrase,
b. sedang untuk lingkungan wilayah lain (luar Jawa-
Madura), tenggang waktu pendeponiran 90 hari (3 bulan)
terhitung sejak tanggal putusan diambil.
Timbulnya perbedaan patokan batas tenggang waktu
berdasar faktor lingkungan wilayah, barangkali bertitik-tolak
dari kondisi Indonesia pada saat Rv dikodifikasi tahun 1848.
Satu abad yang lalu, kondisi lingkungan geografis Indonesia,
sangat berbeda antara Pulau Jawa-Madura dengan keadaan
daerah yang ada di luarnya. Perkembangan kota dan kemajuan
komunikasi dan transportasi pada saat itu, relatif sudah maju
dan memadai untuk kawasan Jawa-Madura, Sedang untuk
kawasan yang berada di luarnya, masih jauh terbelakang.
Suasana kepincangan itu, sampai sekarang masih mewarnai
pertumbuhan perkembangan pembangunan. Cuma pada saat
sekarang, perbedaan kawasan itu telah bergeser ke arah
identifikasi lain yang diberi nama kawasan wilayah Barat
dengan kawasan wilayah Indonesia Bagian Timur. Ke dalam
kawasan Indonesia Bagian Barat termasuk Jawa-Madura,
Sumatera, dan Kalimantan. Sedang kawasan Indonesia Bagian
Timur, meliputi Sulawesi, Maluku, Irian Jaya, dan Nusa
Tenggara Timur.
Berdasar fakta pembagian kawasan yang didasarkan atas
perkembangan kemajuan pembangunan pada saat sekarang,
sudah saatnya menyesuaikan perbedaan pembatasan tenggang
waktu tersebut secara realistis. Kawasan lingkungan
wilayahnya perlu digeser sesuai dengan pembagian kawasan
Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur.
Dengan demikian tenggang waktu pendeponiran untuk
kawasan Indonesia Bagian Barat adalah 14 hari, terhitung
sejak tanggal putusan dijatuhkan. Sedang untuk kawasan

292
Indonesia Bagian Timur 3 bulan, terhitung sejak tanggal
putusan dijatuhkan.
Akan tetapi kalau berorientasi kepada ketentuan dan
praktek yang diterapkan di lingkungan Pengadilan, sudah
dilenyapkan segala macam perbedaan batas tenggang waktu.
Sudah lama ditegakkan uniformitas segala macam batas
tenggang waktu untuk semua urusan peradilan baik yang
mengenai batas tenggang waktu permohonan apa pun maupun
mengenai batas tenggang waktu upaya biasa dan upaya luar
biasa. Penghapusan perbedaan batas tenggang waktu tersebut
didasarkan pada kenyataan pembangunan pendirian Kantor
Pengadilan Negeri pada setiap ibu kota kabupaten. Dengan
berdirinya Kantor Pengadilan Negeri pada setiap ibu kota
kabupaten, pelayanan terhadap masyarakat pencari keadilan
dapat diberikan dalam batas jangka waktu yang ditentukan
undang-undang. Untuk mendatangi dan menyampaikan
permohonan yang dilakukan seseorang pencari keadilan, tidak
memerlukan jangka waktu berbulan-bulan.
Sekiranya apa yang telah dikembangkan di lingkungan
Pengadilan, diperlakukan pula terhadap pendeponiran putusan
arbitrase. Tidak perlu dipertahankan perbedaan. Sudah
waktunya diterapkan pembatasan waktu yang bersifat
uniformitas.
3. Yang Wajib Mendeponir
Pendeponiran putusan arbitrase bersifat “imperatif.
Setiap putusan arbitrase “wajib” dideponir. Begitu penegasan
Pasal 634 ayat (1) Rv, Di samping itu, seperti yang sudah
dijelaskan, pendeponiran sekaligus untuk memenuhi syarat
formal permintaan eksekusi.
Kewajiban mendeponir putusan dibebankan :
i. kepada salah seorang anggota arbiter, atau
ii. kepada seorang kuasa yang bertindak atas nama para
anggota arbiter.
Tegasnya, pendeponiran merupakan kewajiban dan
tanggung jawab para anggota arbiter. Untuk melaksanakan
kewajiban tersebut dapat mereka tugaskan kepada salah

293
seorang anggota arbiter. Boleh juga mereka serahkan kepada
seorang kuasa yang khusus mewakili pelaksanaan deponir.
Jadi, kewajiban dan tanggung jawab tugas deponir, bukan
dibebankan kepada para pihak atau kepada pihak claimant.
Tidak! Tapi menjadi tugas tanggung jawab para anggota
arbiter. Terbuka kewajiban deponir, terhitung sejak putusan
dijatuhkan, dan harus dilaksanakan dalam batas tenggang
waktu yang ditentukan yakni selambat-lambatnya dalam batas
tenggang waktu 14 hari dari tanggal putusan dijatuhkan untuk
daerah Jawa-Madura, dan 3 bulan untuk luar daerah Jawa-
Madura.
Seperti yang sudah dikatakan, pendeponiran merupakan
salah satu syarat formal permohonan eksekusi. Jika sekiranya
para anggota arbiter lalai melakukan, sehingga pihak, yang
berkepentingan tidak dapat meminta permohonan eksekusi,
kelalaian tersebut jelas menimbulkan kerugian. Kelalaian yang
demikian dapat dikategori sebagai tindakan perbuatan
melawan hukum yang bertentangan dengan kewajiban hukum
yang dibebankan kepada para arbiter, dan sekaligus kelalaian
itu merugikan kepentingan pihak yang berkepentingan. Oleh
karena itu, kelalaian pendeponiran memberi hak kepada pihak
yang, berkepentingan untuk menuntut ganti kerugian berdasar
alasan perbuatan melawan hukum.
Hal ini perlu menjadi peringatan bagi para anggota
arbiter. Mereka harus menghindari terjadinya kelalaian.
Apabila terjadi, akan memikul risiko tuntutan ganti kerugian
secara “tanggung renteng”. Risiko tanggung renteng tersebut
tidak dapat dilepaskan para anggota arbiter atas alasan telah
ditunjuk salah seorang anggota untuk menunaikannya. Alasan
penunjukan salah seorang anggota arbiter untuk itu, tidak
melenyapkan sifat tanggung renteng kepada semua anggota
arbiter.
Pendeponiran di Kepaniteraan Pengadilan
Pelaksanaan tindakan pendeponiran, dilakukan di kantor
kepaniteraan Pengadilan Negeri. Demikian penegasan Pasal
634 ayat (1) Rv. Adapun kepaniteraan Pengadilan Negeri yang
berwenang menerima ialah kantor Pengadilan Negeri yang
dalam daerah hukumnya putusan arbitrase dijatuhkan.
Ketentuan ini sama dengan patokan penentuan
kompetensi relatif pelaksanaan eksekusi. Eksekusi menjadi
kewenangan relatif Pengadilan Negeri yang dalam daerah
hukumnya putusan arbitrase dijatuhkan. Memang ketentuan
tentang kewenangan relatif pendeponiran dengan kewenangan
relatif eksekusi, harus sejalan. Antara keduanya terjalin sistem
yang terintegrasi. Jika tidak, bisa menimbulkan kekacauan
dalam pelaksanaan fungsi eksekusi. Malahan bisa
menimbulkan saling bentrok, apabila berbeda kewenangan
relatif antara pendeponiran dengan fungsi eksekusi.
Mengenai bentuk permintaan deponir tidak ditentukan
dalam undang-undang. Hal ini member! kesimpulan bahwa
bentuk permintaan deponir adalah berbentuk bebas. Boleh
diajukan :
i. kepada salah seorang anggota arbiter, atau
ii. kepada seorang kuasa yang bertindak atas nama para
anggota arbiter.
Permintaan deponir yang diajukan secara tertulis atau
lisan, dianggap sah. Terserah kepada anggota arbiter yang
ditugaskan untuk memilihnya. Yang pokok, pendeponiran
jangan sampai melampaui batas tenggang waktu yang
ditentukan undang-undang.
S. Panitera Membuat Akta Deponir
Kewajiban dan fungsi panitera dalam penerimaan
permintaan deponir, membuat “akta deponir”. Menurut Pasal
634 ayat (3) Rv, pembuatan akta deponir bersifat “imperatif.
Panitera “wajib” membuat akta deponir. Kewajiban panitera
membuat akta deponir, segera timbul pada saat disampaikan
permintaan. Tidak boleh diulur-ulur.
Bentuk akta deponir diatur dalam Pasal 634 ayat (2) Rv.
Dalam pasal ini dijelaskan mengenai bentuk dan tata cara
pembuatan akta deponir.
a. Harus Ditulis pada Bagian Bawah atau Bagian
Samping Asli Putusan
Tampaknya, bentuk akta deponir yang dikehendaki
undang-undang, tidak dibuat secara tersendiri. Cukup
merupakan “catatan” pada bagian bawah atau bagian

295
samping putusan asli. Isi catatan berupa penjelasan
tentang diterima putusan arbitrase untuk didcponir.
Tanpa mengurangi bentuk akta yang sederhana, untuk
adanya tanda bukti pertang-gungjawaban bagi anggota
arbiter yang menyampaikan, panitera memberi tanda
terima atas putusan yang dideponir. Meskipun undang-
undang tidak menentukan, hal itu sangat penting sebagai
pegangan bagi para anggota arbiter, baik mengenai
adanya penerimaan putusan oleh panitera maupun
mengenai kepastian tanggal penyampaian dan tanggal
pendeponiran.
b. Akta Deponir Ditandatangani
- oleh panitera, dan
- orang yang melakukan pendeponiran.
Tampaknya, dilupakan mengenai hari atau tanggal
pendeponiran dalam akta. Seolah-olah sudah cukup
membubuhkan tanda tangan oleh panitera dan orang yang
mendeponir. Tidak diperlukan pencantuman hari atau
tanggal dalam akta deponir. Kita berpendapat, tidak
demikian halnya. Pada hakikatnya akta deponir bersifat
dan memiliki daya “autentikasi”. Dia merupakan akta
resmi yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, dalam
hal ini panitera Pengadilan Negeri. Oleh karena akta
deponir berdaya autentik, mesti memuat hari atau tanggal.
Suatu akta yang dibuat pejabat yang berwenang, hilang
daya autentikasi, apabila tidak memuat hari atau tanggal
pembuatan. Kalau begitu, meskipun undang-undang tidak
menyebut, pencantuman hari atau tanggal merupakan
keharusan dalam pembuatan akta deponir putusan
arbitrase.
6. Dokumen Yang Dideponir
Mengenai apa saja yang harus dideponir diatur dalam
Pasal 634 ayat (1) dan Pasal 635 Rv. Bertitik tolak dari
ketentuan kedua pasal dimaksud, yang mesti diserahkan untuk
dideponir di kepaniteraan Pengadilan Negeri terdiri dari
dokumen berikut.

296
a. Asli Putusan Arbitrase
Dokumen yang pertama mesti diserahkan untuk
dideponir ialah “asli putusan” arbitrase. Tidak dibenarkan
foto copy atau salinan putusan. Mesti asli putusan. Jika
yang diserahkan foto copy atau salinan putusan, deponir
tidak boleh dilaksanakan panitera.
Rasio ketentuan ini, untuk menghindari terjadinya
ketidakpastian putusan. Apabila salinan atau foto copy
yang diserahkan, masih bisa diragukan kebenaran putusan
maupun kebenaran isi putusan. Tetapi kalau asli putusan
yang diserahkan, tidak diragukan kebenarannya
sebagaimana adanya. Masalah kepastian kebenaran
putusan dan isi putusan, sangat penting kajtannya dengan
tindakan exequatur. Sebab pada saat Ketua Pengadilan
Negeri hendak memberi exequatur terhadap putusan,
harus meneliti kebenaran formal putusan yang
bersangkutan. Oleh karena itu, kalau yang dideponir
salinan atau foto copy, Ketua Pengadilan tidak boleh
memberi exequatur. Dia harus menolak, dan
memerintahkan agar diserahkan asli putusan.
b. Surat Penunjukan Para Arbiter
Selain daripada menyerahkan asli putusan, harus
dilampiri dengan “surat penunjukan” para anggota arbiter.
Demikian penegasan Pasal 635 Rv. Para arbiter
diwajibkan melampirkan surat penunjukan (pengangkatan)
untuk dideponir bersama asli putusan. Melampirkan surat
penunjukan arbiter pada tindakan deponir bersifat
“imperatif. Sifat imperatimya berkadar “wajib”. Oleh
karena itu tak bisa diabaikan.
Cuma mengenai pendeponiran surat penunjukan para
anggota arbiter boleh bersifat alternatif:
i. sebaiknya asli surat penunjukan,
ii. tapi dibolehkan “salinan resmi”.
Tujuan ikut sertanya surat penunjukan anggota arbiter
dilampirkan pada pendeponiran, untuk menguji dan
meneliti kebenaran dan keabsahan penunjukan. Dengan
demikian Ketua Pengadilan Negeri dapat memastikan,

297
putusan benar-benar diambil oleh anggota arbiter yang
telah ditunjuk serta menerima penunjukan.
Sebab sekiranya ada fakta bahwa arbiter yang
memutus bukan orang yang sebenarnya ditunjuk serta
menerima penunjukan, putusan yang diambil mengandung
cacat. Putusan dianggap tidak sah, karena putusan yang
diambil dilakukan oleh arbiter yang tidak berwenang.
Terhadap putusan yang seperti itu tidak dapat diberikan
exequatur dan tidak bisa dieksekusi. Bahkan menurut
Pasal 643 angka 3 Rv, dapat dijadikan alasan untuk,
mengajukan permintaan pembatalan putusan oleh para
pihak.
Akan tetapi barangkali ada sesuatu yang dilupakan
Rv, yaitu mengenai pendeponiran surat perjanjian. Pada
hakikatnya, surat perjanjian merupakan dokumen yang
sangat penting dalam pendeponiran. Dia merupakan salah
satu bahan yang tidak mungkin diabaikan pada penelitian
pemberian exequatur. Tanpa membaca atau meneliti isi
perjanjian, Ketua Pengadilan Negeri sulit menguji
kebenaran putusan dari segi formal. Atas alasan tersebut,
sebaiknya surat perjanjian ikut dilampirkan pada
pendeponiran.
Biaya Dcponir Dibebankan kepada Para Pihak
Meskipun tugas deponir diwajibkan kepada anggota
arbiter, akan tetapi mengenai biaya pembuatan akta deponir
maupun biaya-biaya lain yang diperlukan, dibebankan kepada
para pihak. Begitu penegasan Pasal 634 ayat (3) Rv. semua
biaya yang diperlukan ditanggung sendiri oleh para pihak.
Apakah pembayaran biaya merupakan syarat formal
pendeponiran? Kita berpendapat, merupakan syarat formal.
Pembayaran biaya dalam proses peradilan, pada asasnya
tergolong tata tertib beracara. Biaya pendeponiran tergolong
salah satu tata tertib proses peradilan. Kalau begitu merupakan
aturan ketertiban umum dalam tindakan pendeponiran. Ini
berarti, selama biaya belum dibayar, pendeponiran tidak dapat
dilaksanakan panitera.
Sebaiknya, pada saat anggota arbiter yang ditugaskan
untuk melaksanakan pendeponiran, lebih dulu meminta biaya
dari para pihak. Permintaan terutama ditujukan kepada pihak
yarig memang sebagai panjar. Sedapat inungkin berusaha
meminta biaya kepada para pihak sebelum batas tenggang
waktu deponir berakhir. Jika sudah berusaha, tapi tidak
dipenuhi keterlambatan pendeponiran tidak dapat dipikulkan
kepada anggota arbiter. Tidak dideponir putusan disebabkan
keengganan para pihak menyerahkan biaya yang diperlukan,
tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan para anggota
arbiter melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu
para pihak atau salah satu pihak tidak dapat menuntut kerugian
kepada anggota arbiter. Lain halnya apabila biaya telah diberi,
ternyata pendeponiran melampaui batas tenggang waktu yang
dibenarkan. Dalam kasus yang seperti ini, anggota arbiter telah
melanggar kewajiban yang* dibebankan hukum kepadanya.
Akibatnya, kepada mereka dapat dituntut ganti kerugian.
Pemberitahuan Deponir kepada Para Pihak
Mengenai perlu atau tidak pendeponiran diberitahu
kepada ,para pihak, tidak, diatur dalam undang-undang. Tidak
dijumpai penegasan tentang hal ini. Cuma ditinjau dari segi
yang digariskan dalam berbagai rules, seperti yang tersirat
pada Pasal 2 UNCITRAL, semua tindakan dan hal yang terjadi
pada semua tingkat proses,, harus diberitahu kepada para
pihak. Malah kita berpendapat, pemberitahuan pendeponiran
kepada para pihak, masih merupakan satu rangkaian lanjutan
dari pemberitahuan putusan. Itu sebabnya para anggota arbiter
wajib memberitahu tindakan pendeponiran yang dilakukan
kepada para pihak.
Selain daripada itu, pemberitahuan pendeponiran sangat
penting kaitannya dengan permintaan pelaksanaan eksekusi
yang didahului dengan proses permintaan exequatur. Apabila
pihak yang berkepentingan mengetahui pendeponiran, dia
dapat memperkirakan waktu yang tepat untuk mengajukan
permintaan exequatur. Lagi pula, kalau dia sendiri belum tahu
apakah pendeponiran telah diregister, bagaimana mungkin
dapat mengajukan permintaan exequatur?
Kalau begitu, demikian besar urgensi pemberitahuan
pendeponiran kepada* para,pihak, terutama kepada pihak yang
berkepentingan yakni pihak yang dimenangkan. Dari satu segi,
jika b ertitik ;: tolak dari fungsi dan tanggung jawab

299
pendeponiran adalah menjadi beban kewajiban para anggota
atau salah seorang anggota arbiter, pemberitahuan
pendeponiran kepada para pihak adalah kewajiban para
anggota arbiter. Akan tetapi dari segi lain, ditinjau dari segi
fungsi pelayanan yang diemban Pengadilan, panitera memikul
kewajiban menyampaikan pemberitahuan pendeponiran
kepada para pihak. Bukankah sejak tanggal panitera menerima
dan membuat akta deponir, segala sesuatu tata tertib beracara,
beralih ke pundaknya? Para anggota arbiter sudah lepas dari
beban. Dengan demikian cukup alasan untuk meletakkan
kewajiban pemberitahuan deponir kepada para pihak, menjadi
kewajiban dan tanggung jawab panitera. Dalam hal ini,
menugaskan juru sita untuk menyampaikan pemberitahuan
deponir kepada para pihak in person, di tempat kediaman
mereka.

E. PERMOHONAN MINTA EXEQUA TUR


Sebagai lanjutan dari tahap deponir ialah permohonan
meminta untuk mendapat exequatur terhadap putusan arbitrase.
Permintaan mendapat exequatur, merupakan salah satu tahap
permohonan terhadap eksekusi putusan arbitrase. Hal itu dijelaskan
dalam Pasal 637 Rv yang mengatakan, pelaksanaan eksekusi
putusan arbitrase, dijalankan setelah mendapat exequatur dari
Ketua Pengadilan Negeri. Dan exequatur baru dapat diberikan
setelah dilakukan lebih dulu pendeponiran sesuai dengan ketentuan
Pasal 634 Rv.
1. Pengertian Exequatur
Adapun makna exequatur, permintaan kepada Ketua
Pengadilan Negeri agar dikeluarkan perintah eksekusi
terhadap putusan yang dijatuhkan Mahkamah Arbitrase.
Sebelum Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan
perintah eksekusi, lebih dulu memberikan exequatur terhadap
putusan.
Agak berbeda dengan permintaan eksekusi terhadap
putusan yang dijatuhkan pengadilan. Tidak diperlukan proses
exequatur. Langsung dapat diminta eksekusi. Sebaliknya
terhadap putusan arbitrase, harus dimohon lebih dulu
permintaan “mendapat exequatur". Jadi, makna pemberian

300
exequatur ialah permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri
agar putusan arbitrase yang bersangkutan dapat dieksekusi.
Apabila Ketua Pengadilan Negeri telah memberi exequatur
terhadap putusan, sudah dapat langsung mengeluarkan
penetapan perintah eksekusi.
Apa urgensi tahap proses permintaan exequatur?
Urgensinya, memberi kesempatan kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk mempelajari dan meneliti putusan arbitrase.
Sebelum memberi exequatur, lebih dulu mempelajari dengan
saksama, apakah putusan dapat atau tidak dieksekusi! Dari
hasil penelitian, dia menentukan sikap. Jika berpendapat
putusan dapat dieksekusi, dia “memberi” exequatur pada
putusan, yang dilanjutkan dengan tahap pengeluaran “surat
penetapan” perintah eksekusi. Sebaliknya, jika dalam putusan
ditemukan cacat yang sedemikian rupa serius dan
fundamental, sehingga putusan tidak dapat dieksekusi, Ketua
Pengadilan menolak pemberian exequatur. Penolakan
pemberian exequatur, dituangkan dalam “surat penetapan”
yang dilengkapi dengan alasan pertimbangan yang cukup
dasarnya.
Dari pengertian pemberian exequatur, dapat disimak
betapa besarnya kewenangan yang diberikan undang-undang
kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam menentukan dapat
atau tidak dieksekusi putusan arbitrase. Seolah-olah
berwenang penuh menilai benar atau tidak putusan arbitrase.
Cuma kita masih sangat prihatin melihat kemampuan
sementara Ketua Pengadilan Negeri melaksanakan fungsi dan
tanggung jawab pemberian exequatur. Terutama pada saat
sekarang. Barangkali wawasan pemahaman sementara hakim
mengenai ruang lingkup permasalahan arbitrase, masih sangat
dangkal. Jangankan untuk memahami liku-liku berbagai jenis
rules, arbitrase versi Rv atau versi BANI saja pun. tidak
mereka kuasai. Konon lagi untuk memahami arbitrase versi
ICC atau UNCITRAL. Jika demikian halnya, bagaimana
mungkin dengan saksama dan tepat memberi atau menolak
exequatur! Padahal dalam era globalisasi sekarang,
kecenderungan masyarakat bisnis memanfaatkan jasa arbitrase
dalam penyelesaian sengketa, semakin besar volume dan
frekuensinya. Sedang pada pihak lain, para hakim yang akan

301
menjadi ujung tombak pelaksana eksekusi putusan arbitrase,
masih meraba-raba. Oleh karena itu, kita sangat
mengharapkan, adanya kemauan untuk meningkatkan kualitc
pengetahuan mengenai ruang lingkup permasalahan arbitrase.
Agar jangan sampai terjudj tindakan yang melampaui batas
kewenangan.
2. Pemberian Exequatur Bersifat Formal
Di atas sudah disinggung, pemberian exequatur tiada lain
dari penelitian yang saksama putusan arbitrase, apakah
putusan sudah benar dan tepat sehingga dapat diberikan
exequatur. Atau apakah putusan mengandung cacat yuridis,
sehingga tidak mungkin dieksekusi dengan jalan menolak
pemberian exequatur. Juga sudah diperingatkan, dalam
melaksanakan fungsi dan kewenangan pemberian exequatur,
Ketua Pengadilan Negeri jangan sampai terjerumus
melampaui batas-batas kewenangan (manifestly exceeded its
powers).
Salah satu cara yang dapat menghindari diri dari tindakan
yang melampaui batas kewenangan, dengan jalan mengetahui
dan menyadari patokan batas kewenangan itu sendiri. Jika
patokan sudah diketahui dan dipahami, sudah ada pegangan
yang pasti dalam melaksanakan fungsi exequatur. Masalah
patokan itu yang akan diuraikan pada bagian ini.
a. Pemberian Exequatur Bukan Pemeriksaan Banding
Patokan pertama yang harus dipegang pada
pemberian exequatur, tidak boleh dianggap dan bertindak
seolah-olah penelitian pemberian exequatur merupakan
pemeriksaan tingkat banding. Tidak boleh dirubah
proporsi penelitian pemberian exequatur dari fungsi
tindakan eksekusi, ke arah fungsi kewenangan tingkat
banding.
Tidak ada hak dan kewenangan Ketua Pengadilan
Negeri dalam pemberian exequatur untuk meneliti dan
memeriksa ulang sengketa secara keseluruhan. Dia tidak
berhak meminta berkas sengketa dari badan arbitrase yang
menjatuhkan putusan. Dia tidak berwenang meminta
berita acara pemeriksaan. Juga tak boleh meminta alat-alat
bukti yang disebut dalam putusan.

302
Sebenarnya dari penegasan Pasal 634 dan 635 Rv,
sudah cukup jelas, fungsi Ketua Pengadilan Negeri
melaksanakan penelitian exequatur, bukan bercorak
pemeriksaan tingkat banding. Bukankah menurut pasal-
pasal tersebut, hal-hal yang dideponir di kepaniteraan
hanya:
i. asli putusan, dan
ii. asli atau salinan resmi surat penunjukan anggota
arbiter.
Pendeponiran putusan arbitrase, tidak meliputi
seluruh berkas. Tidak termasuk berita acara pemeriksaan
maupun penelitian alat-alat bukti. Jika yang dideponir
hanya terdiri dari asli putusan ditambah dengan asli atau
salinan resmi surai penunjukan anggota arbiter, mana
mungkin Ketua Pengadilan Negeri dapat menempatkan
diri melaksanakan pemeriksaan tingkat banding. Kalau
berita acara pemeriksaan maupun alat-alat bukti tidak ikut
dideponir, dari niana mungkin Ketua Pengadilan Negeri
dapat menguji dan memeriksa putusan arbitrase secara
keseluruhan?
Lagi pula, sesuai dengan ketentuan Pasal 641 Rv,
forum instansi tingkat banding terhadap putusan arbitrase
adalah Mahkamah Agung. Yang berwenang memeriksa
ulang putusan, arbitrase secara keseluruhan, menjadi
kewenangan Mahkamah Agung, karena undang-undang
sendiri telah menentukan bahwa peradilan tingkat banding
putusan arbitrase adalah Mahkamah Agung. Oleh karena
itu, KetuaPengadilan Negeri tidak boleh merampas
kewenangan itu menjadi kewenangannya. Tindakan yang
seperti itu nyata-nyata melampaui batas kewenangan. Dan
bisa menimbulkan perkosaan terhadap kepentingan para
pihak atau salah satu pihak .
b. Pemberian Exequatur Bukan Fungsi Pengawasan
Patokan kedua. Fungsi penelitian pemberian
exequatur, bukan tindakan “pengawasan”. Fungsi dan
kewenangan penelitian pemberian exequatur tidak boleh
dimanipulasi menjadi tindakan fungsi pengawasan, 'l'idak
ada hak dan kewenangan Ketua Pengadilan Negeri

303
mengawasi proses pemeriksaan dan pengambilan putusan
yang dilakukan Mahkamah Arbitrase.
Yang berhak dan berwenang untuk mengawasi
perilaku dan tindakan para anggota arbiter, sepenuhnya
berada di tangan para piliak serta badan arbitrase di mana
Mahkamah Arbitrase yang bersangkutan bernaung.
Misalnya, arbitrase yang ditunjuk dan disepakati para
pihak adalah BANI. Berarti Mahkamah Arbitrase yang
dibentuk untuk memeriksa dan memutus sengketa, berada
di bawah institusi BANI. Maka yang berhak dan
berwenang mengawasi pelaksanaan pemeriksaan maupun
tingkah laku anggota, arbiter adalah para pihak dan Ketua
BANI.
Sekiranya para pihak berpendapat, putusan yang
diambil mengandung cacat, baik berupa pemeriksaan
yang melampaui batas, putusan melampaui daripada apa
yang dituntut atau ada kecurangan dan sebagainya, para
pihak yang berhak menuntut pelurusannya. Hal itu dapat
mereka lakukan, baik selama proses pemeriksaan
berlangsung atau dapat banding berdasar ketentuan Pasal
641 Rv atau upaya perlawanan pembatalan berdasar
ketentuan Pasal 643 Rv. Bisa juga melalui upaya
interpretation o f award. Boleh jadi melalui upaya
correction o f the award. Bahkan bisa berbentuk upaya
additional award. Tentang masalah upaya-upaya dimak­
sud sudah dibahas.
Dari penjelasan itu, Ketua Pengadilan Negeri tidak
berwenang menilai kecakapan dan kredibilitas anggota
arbiter. Tidak pula berwenang memberi tafsiran atas
putusan.
Juga tidak berwenang mengoreksi atau merevisi
putusan. Apalagi untuk menambah isi putusan, sama
sekali dilarang.
Tugas pokok Ketua Pengadilan Negeri dalam fungsi
penelitian exequatur atas putusan arbitrase hanya terbatas :
i. mengabulkan pemberian exequatur, atau
ii. menolak pemberian exequatur.
Tidak lebih dari itu. Yang penting diingat, penelitian
dilakukan objektif. Dan tidak boleh melampaui batas-
batas kewenangan yang ditentukan undang-undang atau
rules yang disepakati para pihak,
c. Kewenangan Penelitian Exequatur Bersifat Formal
Patokan yang ketiga. Pada prinsipnya penelitian
terhadap putusan arbitrase dalam melaksanakan fungsi
pemberian exequatur adalah bersifat formal. Hal-hal yang
boleh diteliti Ketua Pengadilan Negeri, hanya sepanjang
yang menyangkut ketentuan-ketentuan formal. Hanya
meneliti, apakah putusan tidak melanggar batas-batas
ketentuan formal. Tidak dibenarkan menilai dan meneliti
materi putusan, karena penelitian pemberian exequatur,
bukan pemeriksaan tingkat banding atau kasasi. Bukan
pula proses pemeriksaan pemberian correction o f the
award. Tidak pula merupakan pelayanan terhadap upaya
interpretation o f the award. Juga bukan tindakan
pemberian additional award.
1) Aturan-Formal yang Dapat Ditolerir Pelanggaran­
nya.
Penelitian semata-mata diarahkan pada aturan formal.
Itu pun hanya diarahkan pada penilaian pelanggaran
aturan formal :
i. yang serius, dan
ii. fundamental yang memiliki ancaman batalnya
putusan apabila ketentuan formal yang
bersangkutan dilahggar.
Tidak seluruh pelanggaran aturan formal mutlak
bersifat “serius” atau “fundamental”. Adakalanya
suatu aturan formal hanya sekadar petunjuk tata cara.
Ada pula aturan formal yang bersifat mengatur tapi
tidak bersifat “imperatif5, sehingga dapat
dikesampingkan berdasar kebijaksanaan dan
kebutuhan kelancaran pemeriksaan secara kasuistik.
Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan formal
yang sejenis itu, tidak bernilai serius dan
fundamental. Ambil salah satu contoh. Pasal 629 ayat
(1) Rv menyatakan, setiap tindakan sementara yang

305
diperi.ntahkan Mahkamah Arbitrase, dituangkan
dalam putusan sela. Ternyata hal itu tidak dituangkan
dalam putusan, tapi secara utuh dicantumkan dengan
sempurna dalam putusan akhir. Pelanggaran aturan
formal yang sejenis itu, dianggap tidak serius dan
tidak fundamental, karena aturan itu sendiri tidak
bersifat imperatif, tetapi hanya aturan yang bernilai
“mengatur”. Begitu juga mengenai kesalahan
penulisan nama yang tidak sampai mengakibatkan
kekeliruan mengenai person yang bersangkutan, tidak
dapat dikategori sebagai pelanggaran atas penyebutan
identitas. Misalnya Rahman ditulis menjadi Rahmin,
tidak sampai menimbulkan kekeliruan identitas
person. Pelanggaran atau kekeliruan itu, tidak serius
dan fundamental.
Banyak aturan formal yang tidak memiliki kualitas
membatalkan putusan. Umpamanya, putusan
dijatuhkan melampaui tenggang batas waktu yang
ditentukan seperti yang diatur Pasal 620 Rv.
Misalnya, batas waktu penyelesaian yang disepakati
para pihak 6 bulan. 'Pernyata mahkamah baru
menjatuhkan putusan dalam tempo 8 bulan.
Sekiranya dalam putusan tidak dijelaskan alasan
keterlambatan tersebut, pelanggaran atas batas waktu
dimaksud, tidak dianggap terlampau serius dan
fundamental. Tidak layak hal itu dijadikan alasan
oleh Ketua Pengadilan Negeri untuk menolak
pemberian exequatur.
Termasuk juga ke dalam kelompok aturan formal
yang tidak bersifat imperatif, mengenai kelalaian
pencantuman biaya penyelesaian. Sekiranya putusan
lupa menetapkan beberapa jumlah biaya, kurang tepat
dijadikan sebagai alasan untuk menolak pemberian
exequatur. Karena masalah besarnya jumlah biaya
penyelesaian selama proses pemeriksaan arbitrase,
merupakan tanggung jawab perhitungan arbitrase
yang bersangkutan. Masalah itu dapat diselesaikan
para pihak di hadapan badan arbitrase. Jika sekiranya
pun hal itu tidak dapat diselesaikan di sana, dapat
dituntut pihak yang berkepentingan melalui gugat
biasa ke Pengadilan Perdata.
Begitu juga penolakan Mahkamah Arbitrase untuk
menyetujui permintaan salah satu pihak mengenai
pemeriksaan setempat atas barang yang disengke­
takan, tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran
aturan formal yang serius dan fundamental. Sebab
masalah diperlukan atau tidak pemeriksaan setempat,
tergantung sepenuhnya pada pertimbangan
Mahkamah Arbitrase. Dalam praktek peradilan pun,
hal itu tidak selamanya dianggap serius dan
fundamental.
Kelalaian mencantumkan tanggal putusan. Menurut
hemat kita, tidak merupakan pelanggaran aturan
formal yang sangat serius. Kelalaian itu, dapat
diminta penegasan dari pihak Mahkamah atau Badan
Arbitrase yang bersangkutan, sehingga kurang wajar
untuk menjadikannya sebagai dasar alasan menolak
pemberian exequatur. Pelanggaran atas ketentuan
Pasal 632 ayat (1) Rv atau Pasal 48 ayat (4) 1CS1D,
tidak pantas dianggap aturan formal yang bersifat
imperatif. Dalam pasal dimaksud ditegaskan setiap
putusan mencantumkan pendapat atau pendirian
masing-masing anggota arbiter yang lazim disebut
individual opinion atau dissenting opinion. Sekiranya
putusan lalai atau tidak mencantumkan individual
opinion, tidak sampai membatalkan putusan. Kita
berpendapat pencantumannya dalam putusan bersifat
“fakultatif. Oleh karena itu apabila hal itu dilanggar,
tidak dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran yang
serius dan fundamental. Yang pokok, asal putusan
cukup mengemukakan dasar-dasar alasan
pertimbangan. Kalau begitu kelalaian tentang hal ini,
tidak berbobot untuk menolak pemberian exequatur.
Bagaimana kalau pemeriksaan dan putusan diucapkan
terbuka untuk umum? Apakah pelanggaran atas
aturan ini dapat dikategori sebagai pelanggaran
aturan formal yang serius dan fundamental? Ditinjau
dari satu segi, mungkin sangat serius dan

307
fundamental, karena salah satu asas pemeriksaan
arbitrase dilakukan dengan “pintu tertutup”. Akan
tetapi asas itu pada hakikatnya bukan berlaku umum
sebagai aturan yang bernilai ketertiban umum atau
public policy. Aturan itu, hanya merupakan
“pengecualian” dari tata tertib umum. Menurut
ketertiban umum yang hakiki, setiap proses
pemeriksaan di depan persidangan harus dilakukan
dengan cara “terbuka untuk umum”.
Oleh karena aturan ini merupakan pengecualian dari
aturan ketertiban umum, nilai normatifnya lebih
cenderung sebagai petunjuk. Nilai normatifnya tidak
bersifat imperatif. Hal itu misalnya dapat dirasakan
dari bunyi ketentuan Pasal 14 ayat (5) Peraturan
BANI yang berbunyi “semua pemeriksaan dilakukan
dengan pintu tertutup”.
Rumusannya tidak begitu terasa bersifat “memaksa”.
Malah bersifat lunak tanpa ancaman apa pun terhadap
pemeriksaan dan putusan. Memang dalam Pasal 18
ayat (5) ICSID rumusan terhadap aturan ini agak
bernada keras dan cenderung bersifat memaksa.
Rumusannya berbunyi: The centre shall not publish
the award without the consent o f the parties.
Di situ terdapat kalimat shall not publish. Jika
semata-mata bertitik tolak dari kalimat tersebut,
memang cenderung bersifat imperatif. Namun
demikian, pasal itu tidak mengandung ancaman apa
pun. Barangkali memang demikian maksud Pasal 32
ayat (5) UNCITRAL. Aturan larangan mcmpublikasi
pemeriksaan dan putusan arbitrase, tidak merupakan
aturan yang mengandung ancaman pembatalan.
Hanya aturan pedoman yang sebaiknya dipatuhi.
Sekiranya dilanggar akibat hukumnya terhadap
pemeriksaan dan putusan tidak sangat serius. The
award may be made public only with the consent o f
both parties, demikian rumusannya. Di dalamnya
tidak ada ancaman pembatalan. Meskipun terbuka
kemungkinan bagi para pihak untuk menuntut ganti
kerugian kepada anggota arbiter atas pelanggarannya,
hal itu tidak mengurangi nilai keabsahan putusan.
Oleh karena itu pelanggaran terhadap larangan
tersebut tidak serius dan fundamental atas keabsahan
putusan. Tidak layak menjadikannya sebagai dasar
alasan menolak pemberian exequatur. Lagi pula,
sekiranya pun putusan dianggap batal sehingga harus
dilakukan pemeriksaan ulang, apa manfaalnya bagi
kepentingan penyelesaian sengketa? Bagaimanapun,
hal-hal yang perlu dirahasiakan sudah sempat
dipublikasi. Bukankah lebih tepat menganggap
pelanggaran itu sebagai kecelakaan kecil yang tidafe
membahayakan terhadap keabsahan putusan?
Oleh karena itu, sangat diharapkan penilaian yang
betul-betul teliti, apakah aturan formal yang
diabaikan dalam putusan sangat serius dan
fundamental. Suatu pelanggaran aturan formal yang
tidak sampai berderajat merugikan dan memperkosa
hak dan kepentingan salati satu pihak, tidak layak
dijadikan dasar untuk menolak pemberian exequatur.
Jangan sampai terperosok menyamaratakan, semua
pelanggaran aturan formal mengandung cacat yang
fatal terhadap keabsahan putusan. Diperlukan sikap
dan kebijaksanaan moderasi dan toleransi apabila
aturan formal yang terlanggar tidak bersifat imperatif
dan tidak mengandung ancaman pembatalan. Sikap
dan penilaian yang terlampau kaku dan ekstrem bisa
membahayakan kelangsungan perkembangan lembaga
arbitrase di Indonesia. Dampak yang lebih jauh dari
sikap ini, bisa menghambat kelancaran laju
pertumbuhan dunia bisnis, penanaman modal serta
alih teknologi di tanah air.
2) Pelanggaran Aturan Formal yang Tak Bisa Ditolerir
Berikut ini, akan dicoba memberi gambaran tentang
aturan formal yang tidak bisa ditolerir oleh Ketua
Pengadilan Negeri dalam penelitian pemberian
exequatur. Patokan yang harus dijadikan pegangan
untuk menilai apakah aturan yang dilanggar tidak
bisa ditolerir:

309
i. apabila pelanggaran aturan itu sangat serius dan
fundamental,
ii. sedemikian rupa seriusnya, sehingga pelanggaran
itu nyata-nyata mengakibatkan :
• perkosaan hak dan kepentingan salah satu
pihak atau
• kedua belah pihak, atau pelanggaran itu telah
menyebabkan terjadinya unfair-trail.
iii. pada asasnya, aturan formal yang bisa
menimbulkan akibat yatig sangat serius terhadap
keabsahan putusan ialah aturan yang bersifat
imperatif yang dibarengi dengan ancaman
pembatalan.
Kira-kira begitu patokan yang mesti dipergunakan
dalam penilaian atas pelanggaran aturan formal yang
dapat dijadikan dasar untuk “menolak” pemberian
exequatur. Berikut ini akan dicoba memberi
gambaran ringkas, aturan formal. Mana yang tak
dapat ditolerir pelanggarannya. Namun apa yang
digambarkan di sini hanya sekadar contoh, dan tidak
menyeluruh.
a) Pelanggaran atas penunjukan arbiter
Pelanggaran terhadap aturan formal penunjukan
arbiter bisa meliputi beberapa aspek. Aspek-
aspek itu tergantung pada rules arbitrase yang
disepakati. Jika rules arbitrase yang disepakati
para pihak Rv, untuk menguji apakah ada
dilanggar aturan formal penunjukan arbiter,
merujuk kepada ketentuan penunjukan yang
digariskan dalam Pasal 618 dan 619 Rv.
Seandainya rules yang mereka sepakati
UNCITRAL atau BANI, rujukan pengujian
apakah ada aturan formal yang dilanggar atas
penunjukan arbiter, berpedoman kepada
ketentuan Pasal 6, 7, dan 8 UNCITRAL
Arbitration Rules atau Pasal 5 dan 6 Peraturan
Prosedur BANI.
Pelanggaran aturan yang berakibat fatal dan
serius pada penunjukan anggota arbiter bisa
terjadi apabila salah seorang arbiter yang duduk
dalam Mahkamah Arbitrase, bukan orang yang
disetujui oleh para pihak, kecuali jika
penunjukan telah mereka serahkan sepenuhnya
kepada badan arbitrase yang mereka sepakati.
Penunjukan arbiter dianggap pelanggaran yang
serius apabila dalam perjanjian para pihak telah
sepakat arbiter yang akan berfungsi menyelesai­
kan sengketa terdiri dari arbiter tunggal atau sole
arbitrator. Nyatanya badan arbitrase yang
disepakati, memaksakan menunjuk tiga orang
anggota arbiter. Bisa juga dianggap pelanggaran
yang serius atas penunjukan arbiter, salah satu
pihak telah menunjuk seorang atau beberapa
calon arbiter yang dikehendaki. Ternyata hal itu
tidak diperhatikan dan tidak diterima badan
arbitrase meskipun tidak ada keberatan dari
pihak lawan. Lantas badan arbitrase yang
bersangkutan menunjuk orang lain di luar orang-
orang yang dicalonkan. Dalam hal yang seperti
ini, badan arbitrase telah melampaui batas
kewenangan. Pelanggaran atas penunjukan ini
dianggap serius dan fundamental. Dengan
demikian Ketua Pengadilan dapat menjadikan
sebagai dasar alasan untuk menolak pemberian
exequatur terhadap putusan.
Penunjukan arbiter, dianggap juga sebagai
pelanggaran aturan formal yang fatal, apabila
para pihak dalam perjanjian telah sepakat arbiter
yang akan menyelesaikan sengketa terdiri dari
tiga orang. Tetapi badan arbitrase yang ditunjuk
memaksakan arbiter tunggal. Berarti secara
formal bentuk wujud (constitution) Mahkamah
Arbitrase yang memutus, tidak sah. Semua hasil
pemeriksaan dan putusan yang diambil dengan
sendirinya batal demi hukum. Oleh karena itu,
sangat beralasan untuk menolak pemberian
exequatur terhadap putusan yang seperti itu.

311
Pelanggaran lain terhadap aturan formal
penunjukan arbiter bisa berbentuk penolakan
badan arbitrase terhadap orang-orang yang telah
disepakati para pihak dalam perjanjian.
Misalnya, dalam perjanjian para pihak telah
mencantumkan nama-nama arbiter yang akan
bertindak menyelesaikan sengketa di antara
mereka. Ternyata hal itu tidak diterima oleh
badan arbitrase, dan menunjuk anggota arbiter
lain di luar orang yang telah disebut dalam
perjanjian. Pelanggaran atas aturan formal yang
demikian sangat serius dan fundamental.
Pelanggaran itu telah sengaja memperkosa
kehendak bebas para pihak untuk menentukan
anggota arbiter yang mereka sepakati.
Pelanggaran ini sudah cukup menjadi dasar bagi
Ketua Pengadilan untuk menolak pemberian
exequatur terhadap putusan arbitrase.
Demikian gambaran sekilas beberapa aspek
pelanggaran aturan formal yang berderajat serius
dan fundamental dalam masalah penunjukan
arbiter. Sumber utama bagi Ketua Pengadilan
untuk menilai ada atau tidak pelanggaran aturan
formal penunjukan anggota arbiter, merujuk
kepada ketentuan penunjukan arbiter yang
digariskan dalam rules yang disepakati para
pihak. Kemudian hal itu dikaitkan dengan isi
perjanjian yang disepakati para pihak, apakah
tata cara penunjukan serta jumlah arbiter yang
ditunjuk telah sesuai dengan yang digariskan.
Lebih lanjut, penelitian diteruskan memeriksa
surat penunjukan anggota arbiter. Dengan cara
penelitian tersebut, memudahkan Ketua
Pengadilan dalam memberi penilaian yang
objektif.
b) Pelanggaran atas asas audi et alteram partem
Semua rules arbitrase telah menempatkan asas
audi et alteram partem dalam proses
pemeriksaan. Asas ini tersirat dalam Pasal 626
Rv dan pasal seterusnya. Begitu juga dalam Pasal
7 dan 8 Peraturan Prosedur BANI. Juga dalam
Pasal 43,44,45, dan 46ICSID, terkandung
penegasan aturan formal untuk menegakkan asas
pemberian kesempatan yang sama untuk
membela dan mempertahankan hak dan
kepentingan mereka pada setiap tahap proses
pemeriksaan. Malahan dalam Pasal 15
UNCITRAL asas audi et alteram partem
dirumuskan secara tegas dalam kalimat yang
berbunyi : that parties are treated with equality
and that at any stage o f proceedings each party
is given a full opportunity ofpresenting his case.
Pengakuan asas audi et alteram partem dalam
setiap tahap proses pemeriksaan, tidak hanya
meliputi pemberian kesempatan yang sama
dalam pengajuan statement (jawaban) maupun
additional statement (tambahan jawaban), tapi
meliputi kesempatan mengajukan additional-
claim (tambahan tuntutan) berhadapan dengan
statement o f defence (jawaban bantahan) mau­
pun pengajuan counter-claim (gugat rekonvensi)
dari pihak respondent. Juga meliputi pemberian
kesempatan yang sama dalam pengajuan alat-alat
bukti surat dan saksi. Memberi kesempatan yang
sama kepada para pihak untuk mengajukan
keterangan secara lisan dalam proses
pemeriksaan oral hearing.
Memang diakui, terkadang sangat sulit untuk
meneliti dan menemukan fakta tentang adanya
pelanggaran yang dilakukan Mahkamah Arbi­
trase atas asas audi et alteram partem. Akan
tetapi tanpa mengurangi kesulitan tersebut,
dalam hal-hal tertentu sangat mudah menemukan
fakta adanya pelanggaran atas asas dimaksud.
Mari kita ambil contoh. Putusan telah diambil
semata-mata berdasar hal-hal yang diajukan
pihak claimant tanpa penjelasan pertimbangan
kenapa tidak ada disinggung bantahan atau bukti-

313
bukti yang diajukan pihak respondent. Atau
pihak respondent mengajukan saksi untuk
didengar keterangannya. Permintaan ditolak
tanpa alasan dalam pertimbangan putusan.
Sebaliknya, seluruh saksi yang diajukan pihak
claimant semua diperiksa. Proses pemeriksaan
yang seperti itu memberi isyarat adanya
pelanggaran asas audi et alteram partem. Dan
hal itu dapat dijadikan dasar alasan bagi Ketua
Pengadilan Negeri untuk menolak pemberian
exequatur.
Malahan apabila secara nyata dan jelas terlihat
ada tata cara pemeriksaan yang bersifat “parsial”
atau berat sebelah, dapat dikategori sebagai
pelanggaran aturan tata tertib proses pemerik­
saan dan dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran
aturan formal yang sangat serius dan
fundamental. Sebab tata cara pemeriksaan yang
parsial, jelas-jelas merupakan perkosaan ter­
hadap kepentingan salah satu pihak. Umpamanya
kepada pihak respondent telah diperintahkan
mahkamah untuk menyampaikan dokumen pada
hari dan tanggal yang ditentukan sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 28 UNCITRAL.
Ternyata hal itu tidak dipenuhi, dan berbarengan
dengan itu respondent telah menjelaskan alasan
yang cukup dasar kenapa tidak bisa memenuhi
pada hari itu. Umpamanya ia menjelaskan alasan
bahwa dokumen yang diminta untuk diserahkan
disimpan di Medan. Oleh karena itu minta
ditunda penyerahan pada hari lain. Mahkamah
Arbitrase menolak tanpa dasar pertimbangan
yang jelas. Bukankah dalam peristiwa ini telah
terjadi pelanggaran yang serius terhadap tata
tertib proses pemeriksaan? Sekiranya hal itu ada
dijumpai dalam putusan, dapat dijadikan sebagai
isyarat tentang adanya pelanggaran terhadap asas
audi et alteram partem. Oleh karena itu dapat
dijadikan alasan untuk menolak pemberian
exequatur.
Pokoknya, apabila Ketua Pengadilan Negeri
menemukan fakta adanya pelanggaran audi et
alteram partem yang sangat mcnyolok dan
serius, dapat dibenarkan sebagai dasar untuk
menolak pemberian exequatur. Tentu tidak
termasuk penolakan mahkamah untuk memeriksa
saksi ahli. Apabila salah satu pihak mengajukan
permintaan untuk memeriksa keterangan ahli.
Lantas permintaan itu ditolak. Penolakan yang
seperti itu, tidak tergolong pelanggaran terhadap
asas audi et alteram partem. Pendengaran
keterangan ahli (expert) tidak bersifat imperatif.
Sifat kebolehannya adalah fakultatif. Ilal itu
misalnya ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (4)
UNCITRAL. Di situ dijelaskan: At the request o f
either party, the expert... may be heard at a
hearing where the parties shall have the oppor­
tunity to be present and interrogate the expert.
Jadi kebolehan permintaan pemeriksaan expert
may be heard at a hearing. Oleh karena itu
seandainya pennintaan ditolak oleh Mahkamah
Arbitrase, tidak dianggap sebagai pelanggaran
tata tertib aturan formal.
Cuma apabila pennintaan dikabulkan, berlaku
aturan pemeriksaan yang bersifat imperatif yakni
asas audi et alteram partem “mesti” ditegakkan.
Para pihak mesti diberi kesempatan yang sama
untuk menghadiri pemeriksaan serta memberi
kesempatan yang sama kepada mereka untuk
mengajukan pertanyaan. Hal itu dapat dibaca
dalam kalimat yang berbunyi: the parties shall
have the ODDortunitv to be present and to
interrogate the expert. Apalagi jika para pihak
atau salah satu pihak telah memberi penegasan
kepada mahkamah bahwa dia akan hadir dalam
pemeriksaan expert yang akan dilakukan. Namun
mahkamah menolak kehadirannya atau melarang
salah satu pihak untuk mengajukan interogasi.
Dalam peristiwa yang demikian telah terjadi
pelanggaran aturan fonrtal yang sangat serius dan

315
fundamental. Karena itu dapat dijadikan sebagai
dasar untuk menolak pemberian exequatur
terhadap putusan arbitrase yang bersangkutan.
c) Putusan tidak menyelesaikan rekonvensi
Hampir semua rules arbitrase memperbolehkan
pihak respondent mengajukan gugat rekonvensi.
Gugat yang seperti itu dalam Pasal 9 ayat (2)
Peraturan Prosedur BANI diberi nama “tuntutan
balasan”. Begitu juga dalam Pasal 46 ICSID,
memberi hak kepada pihak respondent untuk
mengajukan gugat rekonvensi yang diberi istilah
counter-claims. Hal yang sama dijumpai juga
dalam Pasal 19 ayat (3) UNCITRAL, yang juga
disebut counter-claim.
Menurut tata tertib beracara, apabila ada
diajukan counter-claim terhadap claim
(rekonvensi terhadap konvensi), kedua gugatan
harus serentak diselesaikan secara bersamaan
dalam satu putusan. Apabila pada saat penelitian
pemberian exequatur Ketua Pengadilan Negeri
menemukan fakta dalam putusan bahwa pihak
respondent ada mengajukan counter-claim
(rekonvensi), tetapi tidak diperiksa dan tidak
dipertimbangkan lebih lanjut dalam putusan,
bahkan counter-claim tidak diamarkan dalam
diktum putusan.
Putusan yang diambil jelas secara nyata
melanggar ketentuan aturan formal (manifestly
error). Pelanggaran aturan formal yang ter­
kandung dalam putusan yang mengabaikan
(omission) penyelesaian counter claim, betul-
betul sangat serius dan fundamental. Pengabaian
atau pelanggaran yang demikian tidak mungkin
dimaafkan dan ditolerir. Dalam peristiwa ini,
putusan tidak sempurna dan tidak sah. Oleh
karena itu Ketua Pengadilan Negeri harus
menolak pemberian exequatur.
Akan tetapi kalau yang diabaikan dalam putusan
hanya gugat provisi yang dalam peristilahan
arbitrase disebut provisional claim, kita anggap
tidak merupakan pelanggaran aturan formal yang
berkualitas serius dan fundamental. Misalnya,
pihak claimant mengajukan provisional measures.
Ternyata hal itu diabaikan Mahkamah Arbitrase
dalam putusan. Tidak ada pertimbangan dan
amar tentang itu. Malahan tidak ada diambil
putusan sela atau interim award terhadapnya.
Kita berpendapat, pengabaian atau pelanggaran
tersebut tidak sampai membatalkan keabsahan
putusan. Pelanggaran yang demikian tidak begitu
serius. Tidak berbobot untuk menjadi dasar
penolakan pemberian exequatur. Begitu juga
mengenai pengabaian terhadap penyelesaian
eksepsi, dianggap pelanggaran aturan formal
yang kurang serius. Misalnya dalam putusan ada
disebut-sebut eksepsi mengenai yurisdiksi (a
plea about jurisdiction) dari pihak respondent.
Tapi ternyata hal itu tidak ditanggapi Mahkamah
Arbitrase dalam putusan, pelanggaran terhadap
penyelesaian eksepsi tersebut tidak sangat serius.
Oleh karena itu tidak layak dijadikan dasar untuk
menolak pemberian exequatur.
d) Pelanggaran terhadap yurisdiksi
Yang dimaksud pelanggaran terhadap yurisdiksi
ialah pelanggaran terhadap kompetensi absolut
Mahkamah Arbitrase yang memutus sengketa.
Umpamanya, dalam perjanjian para pihak telah
sepakat untuk menyerahkan penyelesaian
sengketa kepada BANI. 'Pernyata, claimant
mengajukan penyelesaian sengketa kepada ICC
atau kepada arbitrase ad hoc. Lantas ICC atau
arbitrase ad-hoc menerima dan menyelesaikan
serta memutus. Dalam kasus yang demikian,
secara faktual putusan telah dijatuhkan oleh
arbitrase yang tidak berwenang untuk itu.”
Arbitrase yang memutus telah melanggar batas-
batas kewenangan yurisdiksi. Akibatnya putusan
yang diambil dalam kasus itu batal demi hukum.

317
Apabila Ketua Pengadilan Negeri menemukan
pelanggaran yang seperti itu, mesti menolak
memberi exequatur terhadap putusan. Dengan
demikian putusan dinyatakan tidak dapat
dieksekusi atau “noneksekutabel”.
e) Rules yang diterapkan tidak sesuai dengan yang
disepakati
Pengabaian atau pelanggaran yang tergolong
serius terhadap aturan formal, apabila rules yang
diterapkan Mahkamah Arbitrase dalam proses
pemeriksaan berlainan dengan rules yang
disepakati para pihak.
Misalnya, dalam perjanjian para pihak sepakat
untuk membawa penyelesaian sengketa yang
timbul kepada arbitrase, rules yang mereka pilih
dan sepakati adalah UNCITRAL. Ternyata rules
yang diterapkan mahkamah dalam proses
pemeriksaan adalah ICC-Rules atau Peraturan
Prosedur BANI. Dalam kasus yang demikian
telah terjadi pelanggaran tata tertib beracara yang
sangat serius dan fundamental. Pelanggaran
tersebut tidak bisa ditolerir. Ketua Pengadilan
harus menolak untuk memberi exequatur
terhadap putusan. Lain halnya, kalau penerapan
rules yang tidak ditentukan para pihak hanya
mengenai hal-hal yang tidak diatur dalam rules
yang dipilih para pihak. Dan penerapan
dilakukan secara analogis demi untuk
kepentingan proses penyelesaian sengketa.
Penerapan yang demikian tidak dapat dinilai dan
dikualifikasi sebagai pelanggaran yang serius.
Untuk lebih jelas, mari kita ambil contoh. Dalam
perjanjian, para pihak telah sepakat memilih Rv
sebagai rules penyelesaian sengketa. Setelah
sengketa diputus, salah satu pihak mengajukan
permintaan interpretation o f award (tafsiran
putusan) atau mengajukan “permintaan”
additional award (penambahan putusan).
Permintaan itu dikabulkan oleh Mahkamah
Arbitrase. Padahal aturan formal yang seperti itu
tidak diatur dalam Rv. Pengabulan atas
permintaan dinyatakan mahkamah diambil secara
analogis dari ketentuan Pasal 35 atau 37
UNCITRAL Arbitration Rules. Jadi dalam kasus
ini secara terang-terangan dan nyata mahkamah
telah menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang
digariskan Rv. Padahal rules yang disepakati
para pihak dalam perjanjian adalah Rv. Peristiwa
penerapan secara analogis yang dilakukan
mahkamah, kita anggap tidak merupakan
pelanggaran. Malahan sebaliknya, merupakan
terobosan yangterpuji demi untuk menghasilkan
penyelesaian sengketa yang lebih sempurna.
Oleh karena itu, menghadapi permasalahan
penerapan rules di luar rules yang disepakati
para pihak, dapat dibenarkan asal dilakukan
melalui pendekatan analogis serta demi untuk
kelancaran dan kesempurnaan penyelesaian
sengketa.
f) Pelanggaran dalam mengambil putusan
Banyak sekali permasalahan yang perlu diteliti
Ketua Pengadilan Negeri sehubungan aturan
formal dalam mengambil putusan yang
dilakukan Mahkamah Arbitrase. Sebagian di
antara aturan formal tersebut tidak terlampau
serius pelanggarannya. Seperti penulisan
identitas nama para pihak yang kurang tepat, tapi
tidak sampai menimbulkan keraguan. Dalam hal
yang seperti itu, kesalahan itu masih dalam
batas-batas yang dapat ditolerir. Akan tetapi ada
beberapa pelanggaran yang serius, sehingga tidak
dapat dimaafkan, antara lain :
(1) putusan diambil tidak berdasar suara
terbanyak
Sebagaimana yang ditentukan dalam berbagai
rules, putusan harus diambil berdasar suara
terbanyak. Ketentuan ini merupakan asas
aturan formal dalam sistem pengambilan

319
putusan, mesti dilakukan by a majority o f the
votes o f all its members. Sistem ini
merupakan asas yang digariskan dalam Pasal
48 ayat (1) ICSID. Sistem pengambilan
putusan berdasar suara mayoritas, ditetapkan
pula sebagai asas formal dalam Pasal 31 ayat
(1) UNCITRAL yang menegaskan decision o f
the arbitral tribunal shall be made by a ma­
jority o f the arbitrators. Ilal yang sama
dijumpai juga dalam Pasal 633 Rv. Demikian
prinsip aturan formal sistem pengambilan
putusan. Pelanggaran terhadap asas ini tidak
bisa ditolerir. Cuma ada pengecualian. Jika
dalam perjanjian para pihak sepakat putusan
dapat diambil dengan sistem umpire, putusan
dapat diambil sendiri oleh ketua arbiter
apabila tidak tercapai suara mayoritas. Atau
jika rules yang disepakati para pihak adalah
UNCITRAL, dimungkinkan pengambilan
putusan dengan mempergunakan sistem
umpire. Hal itu dijelaskan dalam Pasal 31
ayat (2) yang menegaskan: when there is no
majority or when the arbitral tribunal so
authorizes, the presiding arbitrator may
decide on his own. Jadi meneliti apakah
pengambilan putusan sudah sah menurut
aturan fonnal, Ketua Pengadilan harus
memperhatikan apakah ada disepakati para
pihak dalam perjanjian penerapan sistem
umpire. Atau meneliti apakah rules yang
disepakati UNCITRAL. Sekiranya tidak ada
disepakati kebolehan menerapkan sistem
umpire atau rules yang disepakati, bukan
UNCITRAL, pengambilan putusan mutlak
berdasar suara mayoritas. Mengenai sistem
pengambilan putusan termasuk sistem umpire
sudah dijelaskan pada uraian yang
berhubungan dengan sistem pengambilan
putusan.
Seandainya putusan hanya diambil oleh ketua
arbiter, padahal rules yang disepakati bukan
UNCITRAL, atau perjanjian tidak ada
memberi wewenang yang demikian kepada
ketua arbiter, putusan secara nyata mengan­
dung pelanggaran aturan formal (manifestly
error). Pelanggaran yang seperti itu, sangat
serius dan fundamental, karena jelas-jelas
mengabaikan (omission) hak dan kewenangan
anggota arbiter yang lain. Oleh karena itu,
cukup dasar bagi Ketua Pengadilan Negeri
untuk menolak pemberian exequatur terhadap
putusan. Berbarengan dengan penolakan itu,
dapat menyatakan putusan “noneksckutabcl”
(tidak dapat dieksekusi).
(2)putusan tidak ditandatangani anggota arbiter
atau tidak menjelaskan dalam putusan alasan
kenapa salah seorang anggota arbiter tidak
ikut bertanda-tangan
Pada prinsipnya, putusan harus ditanda­
tangani oleh seluruh anggota arbiter. Prinsip
ini merupakan patokan aturan formal atas
keabsahan putusan. Namun seperti yang
dijelaskan Pasal 32 ayat (4) UNCITRAL,
putusan tetap sah :
• meskipun salah seorang anggota arbiter
tidak ikut menandatangani,
• cuma alasan tentang ketidakikutsertaan
menandatangani, harus dijelaskan dalam
putusan.
Where there are three arbitrators and one o f
them fails to sign, the award shall state the
reason for the absense o f the signature.
Kebolehan dan keabsahan putusan hanya
ditandatangani dua orang anggota arbiter saja,
sesuai dengan asas suara terbanyak dalam
pengambilan putusan. Bisa saja seorang
anggota arbiter yang berada dalam posisi
minoritas pada saat pengambilan putusan,

321
tidak mau menandatangani putusan. Hal ini
dibolehkan. Yang penting, ketidakikutsertaan
seorang anggota arbiter menandatangani,
harus dicatat alasannya dalam putusan. Jika
ketentuan tersebut diabaikan, berarti putusan
yang dijatuhkan telah melanggar aturan
formal yang sangat serius. Pelanggaran itu
cukup menjadi dasar untuk menolak
pemberian exequatur. Penggarisan aturan
formal penandatanganan putusan yang
dijelaskan di atas bukan hanya diatur dalam
UNCITRAL, tapi juga diatur dalam Pasal 48
ayat (2) ICSID yang menegaskan: The award
o f the Tribunal shall be made in writing and
shall be signed by the members o f the
Tribunal who voted for it: Tampak ada
perbedaan sedikit dfantara ketentuan ini
dengan apa yang diatur dalam Pasal 32 ayat
(4) UNCITRAL maupun yang diatur dalam
Pasal 633 Rv. Baik dalam UNCITRAL
maupun dalam Rv, pencatatan alasan
ketidakikutsertaan salah seorang arbiter
menandatangani putusan, merupakan
“kemestian”. Jadi bersifat memaksa atau
“imperatif. Sebaliknya pada ICSID kemestian
untuk mencatat alasan yang demikian dalam
putusan, sama sekali tidak disinggung.
Ketentuannya hanya menegaskan: putusan
mesti ditandatangani oleh anggota arbiter
yang telah memberi suara setuju terhadap
putusan. Berarti anggota arbiter yang tidak
setuju terhadap putusan, tapi kedudukannya
sebagai minoritas, tidak perlu ikut
menandatangani putusan. Kalau dia mau,
boleh ikut menandatangani. Tapi kalau tak
mau, boleh juga tak ikut menandatangani.
Ketidakikutan menandatangani, tidak
memerlukan catatan dalam putusan.
Dari penjelasan yang dikemukakan, Ketua
Pengadilan harus jeli meneliti masalahnya
dengan menghubungkan hal itu dengan rules
yang disepakati para pihak. Jika rules yang
disepakati para pihak adalah ICSID, tidak
adanya catatan yang menjelaskan alasan
kenapa salah seorang anggota arbiter tidak
ikut menandatangani, bukan merupakan
pengabaian atau pelanggaran formal. Sebalik­
nya kalau rules yang disepakati UN CITRA L
atau Rv dan BANI, hal itu dicatat dalam
putusan pengabaiannya dapat dikualifikasi.
3. Segi Materiil Yang Boleh Dinilai
Sudah berulangkah dijelaskan, fungsi dan kewenangan
Ketua Pengadilan dalam penelitian pemberian exequatur
hanya bersifat penilaian dari sudut formal saja, seperti yang
sudah digambarkan pada uraian yang lain. Pada prinsipnya,
penelitian pemberian exequatur “melarang” melakukan
penilaian tentang materi putusan. Prinsip ini merupakan
patokan. Ketua Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa
dan menilai benar tidaknya materi putusan arbitrase.
Untuk menguji dan menilai benar atau tidak materi
putusan, telah tersedia upaya hukum. Bisa melalui berbagai
upaya yang tersedia sesuai yang digariskan rules arbitrase
yang bersangkutan :
- dalam Rv, upaya penilaian materi putusan:
melalui upaya “banding” sebagaimana yang diatur
Pasal 641, dan
melalui upaya “pembatalan” putusan yang diatur Pasal
643.
- dalam ICS1D tersedia upaya :
upaya interpretation (penafsiran putusan, Pasal 50),
upaya revision (perbaikan putusan, Pasal 51), dan
upaya annulment (pembatalan putusan, Pasal 52).
- dalam UNCITRAL, tersedia upaya:
interpretation o f the award (penafsiran putusan, Pasal
35),

323
correction o f the award (perbaikan putusan, Pasal 36).
dan
additional award (tambahan putusan, Pasal 37).
Melalui berbagai upaya-upaya inilah dilakukan penilaian
materi putusan. Satu pun dari upaya itu, tidak ada yang
menjadi kewenangan Ketua Pengadilan Negeri dalam
penelitian pemberian exequatur. Dia tak berwenang memberi
tafsiran putusan. Dia tidak berwenang membatalkan putusan.
Tidak berhak bertindak sebagai tingkat banding. Juga tak
boleh bertindak mengoreksi putusan. Juga tak boleh
menambah atau mengurangi putusan. Oleh karena itu, dalam
melaksanakan fungsi dan kewenangan penelitian pemberian
exequatur, Ketua Pengadilan Negeri tidak boleh menyerobot
apa yang tidak menjadi haknya. Dia semata-mata meneliti dan
menilai hal-hal yang berkenaan dengan aspek aturan formal
saja. Apakah putusan ada mengandung pelanggaran aturan
formal yang serius dan fundamental atau tidak. Jika tidak ada,
harus memberi exequatur.
Akan tetapi terhadap suatu prinsip umum, selalu ada
pengecualian. Dalarri Tial ini pun ada pengecualian. Mengenai
materi putusan tertentu, Ketua Pengadilan Negeri boleh
menilainya. Jadi terhadap materi tertentu, dapat dilakukan
penilaian, dalam arti apakah materi putusan yang terkandung
tidak melampaui batas yang diberiarkan hukum dan
perundang-undangan. Cuma, kewenangan menilai materi
putusan hanya meliputi segi-segi yang sangat terbatas sekali,
seperti yang akan diuraikan berikut ini.
a. Materi Putusan Bertentangan dengan Pasal 616 Rv
Berdasar ketentuan Pasal 616 Rv ada beberapa
bidang hukum yang tidak temasuk yurisdiksi arbitrase.
Untuk lebih jelas mari kita baca bunyi pasal tersebut
secara utuh.
“Seseorang dengan ancaman kebatalan, tidak dapat
mengadakan kompromi tentang pemberian dan hibah-
wasiat untuk keperluan hidup, perumahan atau pakaian,
tentang pemisahan antara suami dan istri, baik karena
perceraian maupun pisah meja dan ranjang, dan
perpisahan haita benda, tentang perselisihan mengenai
status seseorang, demikian juga tentang sengketa-sengketa
lain yang tidak diizinkan dilakukan perdamaian menurut
ketentuan undang-undang.”
Selanjutnya, dalam pasal ini terdapat beberapa
catatan pasal-pasal yang termasuk kepada larangan
kewenangan arbitrase :
Pasal 85 KUH Perdata, tentang Pembatalan
Perkawinan,
Pasal 186 KUII Perdata, tentang Pemisahan Harta
Kekayaan (harta bersama),
Pasal 207 KUH Perdata, tentang Perceraian,
Pasal 233 KUH Perdata, tentang Pemisahan Meja dan
Ranjang,
Pasal 250 KUH Perdata, tentang Keabsahan Anak,
Pasal 261 KUH Perdata, tentang Pembuktian Anak
yang Sah.
Memperhatikan Pasal 616 Rv beserta catatan pasal-
pasal yang membarenginya, ada bidang tertentu yang
tidak boleh diserahkan penyelesaian sengketanya kepada
badan arbitrase. Perjanjian arbitrase yang menyangkut
bidang-bidang tersebut, diancam “batal demi hukum” atau
null and void. Sekiranya sengketa yang menyangkut
bidang-bidang hukum “dimaksud diajukan untuk
diselesaikan oleh arbitrase, dia hams menyatakan “tidak
berwenang” untuk memeriksa dan memutusnya.
Umumnya, bidang hukum yang persengketaannya tidak
termasuk yurisdiksi arbitrase, meliputi kasus-kasus hukum
kekeluargaan yakni bidang perkawinan dan hibah wasiat.
Sengketa-sengketa yang menyangkut bidang ini, mutlak
menjadi yurisdiksi badan kekuasaan resmi, dalam hal ini
Pengadilan. Kenapa sengketa-sengketa tersebut tidak
boleh diselesaikan badan arbitrase? Rasionya barangkali
disebabkan menyangkut kepentingan umum. Batas
keberadaan bidang hukumnya, sudah lebih berat
cenderung ke arah yang bersifat publik, dan penyelesaian
sengketanya pun sudah digariskan undang-undang sendiri
mesti melalui kekuasaan resmi. Ambil kasus sengketa
perceraian. Perceraian yang sah dan mengikat hanya

325
berdasar putusan Pengadilan. Demikian penegasan Pasal
207 KIJII Perdata, jo. Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1974, jo. Pasal 22 PPNo. 9 Tahun 1975, jo. Pasal 66 ayat
(1) dan Pasal 73 ayat(l) UU No. 7 Tahun 1989. Dalam
pasal-pasal tersebut, secara tegas telah ditentukan instansi
mana yang berwenang menyelesaikan sengketa
perceraian, yakni Pengadilan. Kewenangan resmi ini,
tidak mungkin dialihkan dan diserahkan kepada badan
swasta seperti arbitrase. Sebab sah dan mengikat
perceraian hanya berdasar putusan Pengadilan semata-
mata. Berarti dalam kasus sengketa ini, keterlibatan
kekuasaan resmi bersifat “mutlak” (absolut). Oleh karena
itu tidak boleh diselesaikan oleh badan yang bukan badan
kekuasaan resmi. Begitu pula pembatalan perkawinan,
hanya sah dan mengikat berdasar putusan Pengadilan.
Pasal 85 KUH Perdata menegaskan, batalnya suatu
perkawinan hanya dapat dinyatakan hakim. Ketentuan ini
sama dengan penegasan Pasal 25 UU No. 1 Tahun 1974
yang menyatakan permohonan pembatalan perkawinan
diajukan kepada Pengadilan. Jadi dalam hal ini pun
kewenangan Pengadilan tidak dapat disingkirkan dengan
perjanjian arbitrase. Penyingkiran kekuasaan Pengadilan
menyelesaikan sengketa pembatalan perkawinan dengan
perjanjian arbitrase, dianggap batal demi hukum.
Perjanjian tersebut mengandung kausa yang diharamkan
undang-undang (ongeoorloofde corzaak). Oleh karena itu,
sejak semula perjanjian dianggap tidak pernah ada (never
existed).
Jika demikian halnya penegasan Pasal 616 Rv, tidak
mungkin arbitrase menyelesaikan bidang sengketa-
sengketa tersebut. Sekiranya kepada Ketua Pengadilan
Negeri diminta pemberian exequatur putusan arbitrase,
dan ternyata materi putusan menyangkut salah satu bidang
yang disebut dalam Pasal 616 Rv, dia berwenang untuk
menilai putusan dari segi materiil. Terhadap putusan yang
menyangkut bidang-bidang hukum tersebut penelitian
pemberian exequatur meliputi bidang formal dan materiil.
Jika benar-benar sengketa yang diselesaikan dalam
putusan menyangkut salah satu bidang dimaksud, putusan
telah mengandung pelanggaran . hukum materiil. Oleh
karena itu harus ditolak pemberian exequatumya.
Memang pada prinsipnya batas ruang lingkup
sengketa yang dapat diselesaikan arbitrase hanya
mengenai bidang “hukum dagang” atau bidang “bisnis”
yang meliputi:
perjanjian komersial,
perjanjian penanaman modal (joint venture),
perkreditan dan asuransi, serta
alih teknologi (transfer o f technology).
Bidang ruang lingkup ini, misalnya ditegaskan dalam
Pasal 3 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 1990, bahwa putusan-
putusan Arbitrase Asing yang diakui dan dapat dieksekusi
di Indonesia hanya terbatas pada putusan-putusan yang
termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang.
Penegasan ruang lingkup tersebut dianut oleh
UNCITRAL Arbitration Rules. Hal itu dapat dibaca
dalam Resolusi Sidang Umum PBB (General Assembly),
yang melahirkan UNCITRAL. Pada alinea pertama
Resolusi dimaksud, tersurat Gambaran wawasan
yurisdiksi arbitrase, berkisar as a method o f settling
disputes arising in the context o f international
commercial relation. Dikatakan, arbitrase yang dicita-
citakan dalam Resolusi PBB dimaksud, merupakan salah
satu cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam
hubungan dagang internasional.
Pendirian yang sama, juga disinggung dalam Pasal 1
ayat (2) Konvensi New York 1958 dihubungkan dengan
bagian note yang menegaskan, pada umumnya negara
peserta Konvensi hanya menerapkan pengakuan dan
eksekusi (recognition and enforcement) terhadap putusan
arbitrase asing: it is limited to business and commercial
transaction.
Gambaran wawasan ruang lingkup yurisdiksi yang
dikemukakan di atas dapat dijadikan patokan pokok oleh
Ketua Pengadilan Negeri menilai materi putusan arbitrase.
Jadi selama batas-batas yang tersebut dalam Pasal 616 Rv,
dapat juga dipergunakan patokan yang digariskan Pasal 3
ayat (2) Perma No. 1 Tahun 1990, alinea pertama yang

327
digariskan Resolusi PBB 15 Desember 1976 No. 31/98
serta Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958. Dengan
beipegang kepada patokan tersebut, dilarang arbitrase
menerima penyelesaian sengketa yang timbul dari
transaksi tanah. Hal itu jelas tidak mungkin diselesaikan
arbitrase sebagai badan swasta. Karena dalam masalah
sengketa tanah, tersangkut beberapa kekuasaan resmi
yang hanya dapat diselesaikan oleh badan kekuasaan
resmi pula, yakni Pengadilan. Tidak mungkin arbitrase
menyatakah suatu sertifikat yang dikeluarkan Kantor
Pendaftaran Tanah, tidak mengikat (buiten effect).
Kewenangan untuk menyatakan hal yang demikian, hanya
Pengadilan. Tidak mungkin arbitrase memerintah Kantor
Pendaftaran Tanah untuk menyelesaikan pembuatan
sertifikat tanah. Perintah yang demikian hanya dapat
dilakukan oleh Pengadilan .
b. Materi Putusan Bertentangan dengan Kepentingan
Umum
Sisi materi lain yang boleh dinilai Ketua Pengadilan
Negeri dalam penelitian pemberian exequatur ialah
masalah “kepentingan umum” atau public policy. Dia
dapat menilai apakah materi putusan mengandung
pertentangan dengan kepentingan umum.
Dalam Perrna No. 1 Tahun 1990, hal itu ditegaskan
dalam Pasal 3 ayat (3). Putusan-putusan arbitrase asing
hanya dapat dieksekusi di Indonesia terbatas pada
pulusan-putusan yang tidak bertentangan dengan
“ketertiban umum”. Asas yang seperti itu juga ditegaskan
dalam Pasal V ayat (2) huruf b Konvensi New York 1958.
Di situ dirumuskan: the recognition or enforcement o f the
award would be contrary to the public policy o f that
country.
Meskipun asas yang dikemukakan ditujukan terhadap
putusan arbitrase asing, asas tersebut berlaku sepenuhnya
terhadap putusan arbitrase dalam negeri. Sebab asas
ketertiban umum merupakan asas yang bernilai universal,
penerapannya bersifat mutlak di seluruh kawasan, baik di
luar negeri maupun domestik.
Cuma yang menjadi masalah adalah batasan
pengertian dan ruang lingkup makna ketertiban umum.
Sangat sulit memberi batasan yang pas dan persis.
Meskipun asas ketertiban umum merupakan nilai
universal, namun norma konkret sulit untuk dirumuskan
secara merata untuk semua bangsa. Lain nilai ketertiban
umum yang ditegaskan antara satu bangsa dengan bangsa
lain. Terkadang penilaian dan penerapan ketertiban umum
pada sualu ketika, tidak semata-mata ditinjau dari segi
hukum dan kepribadian suatu bangsa. Sering faklor politik
ikut memainkan peranan. Tidak usah masalah pengertian
dan nilai ketertiban umum ditinjau dari segi makro, dari
segi mikro saja bisa terjadi perlainan persepsi dalam
kehidupan suatu bangsa. Ambil contoh, usaha jual beli
minuman keras di Daerah Istimewa Aceh, dianggap
melanggar ketertiban umum atau public policy. Sedang
hal itu di DKI Jakarta, dianggap legal asal ada izin usaha.
Jadi, sedemikian rupa derajat kesulitan untuk
menentukan patokan yang jelas dari tegas tentang makna
dan wujud ketertiban umum. Hal itu pun sudah pernah
disinggung. Namun daripada sama sekali tidak ada
pegangan, kembali kita kemukakan batasan pengertian
yang telah pernah dikemukakan pada waktu menjelaskan
Perma No. 1 Tahun 1990. Di situ dikatakan, yang
dimaksud dengan ketertiban umum ialah sesuatu yang
dianggap bertentangan dengan ketertiban pada suatu
lingkungan (negara) apabila di dalamnya terkandung
suatu hal atau keadaan yang bertentangan dengan sendi-
sendi dan nilai-nilai asasi sistem hukum dan kepentingan
nasional suatu bangsa.
Benar, demikian luas dan demikian mengambang
pengertian ketertiban umum. Di samping itu, nilai dan
sistem kehidupan suatu bangsa tidak terlepas dari asas
dinamika yang mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai
dan sistem. Hal itu dengan sendirinya membawa dampak
terhadap pergeseran makna dan nilai kepentingan umum.
Apa yang dianggap dan dirasa sebagai sesuatu hal yang
bernilai ketertiban umum pada hari ini, barangkali lusa
dianggap sebagai nilai yang halal dan legal.

329
Kalau begitu, sikap yang paling tepat untuk
diperankan dalam meneliti apakah materi suatu putusan
arbitrase bertentangan atau tidak dengan ketertiban
umum, hams bersikap dinamis dan aktual. Dengan
demikian untuk menilai ada atau tidak terkandung
pelanggaran terhadap ketertiban umum dalam putusan,
harus diuji terhadap sendi-sendi asasi nilai-nilai sistem
hukum dan kepentingan nasional pada saat itu. Bukan
diuji terhadap sendi-sendi asasi nilai-nilai sistem hukum
dan kepentingan nasional di masa yang lalu. Contoh
sederhana, mengadakan hubungan dagang secara
langsung dengan RRC sejak 1965 sampai, dengan 1989
dianggap bertentangan dengan ketertiban umum,
karenad ianggap bertentangan dengan sendi-sendi asasi
kepentingan nasional. Tapi sejak kembali hubungan
diplomatik dipulihkan, malah berdaya upaya untuk
memperbesar volume pefdagangan dengan RRC. Dulu
ekspor besar-besaran kayu gelondongan maupun rotan,
sangat dianjurkan. Tapi belakangan dilarang. Hanya hasil
kayu olahan dan rotan jadi yang boleh diekspor.
Sekiranya Ketua Pengadilan mempergunakan penilaian
pada sendi-sendi dan nilai-nilai asasi tata hukum
Indonesia dan kepentingan nasional lima atau sepuluh
tahun yang lalu, ekspor kayu gelondongan dan bahan
baku rotan yang diekspor masa kini, pasti tidak
bertentangan dengan public policy. Akan tetapi kalau
penilaiannya didasarkan pada saat sekarang, tindakan itu
pasti sangat bertentangan dengan ketertiban umum bangsa
Indonesia.
Yang paling gampang untuk menemukan fakta
adanya pelanggaran ketertiban umum dalam suatu putusan
arbitrase, apabila putusan nyata-nyata berten-tangan
dengan “hukum positif. Apalagi jika yang dilanggar itu
hukum positif di bidang hukum publik, sangat mudah
untuk menemukan dan menyatakan putusan arbitrase yang
bersangkutan bertentangan dengan public policy. Lain
halnya apabila yang terlanggar dalam putusan merupakan
nilai-nilai sostal, budaya, politik, dan ekonomi. Agak sulit
mengkonkretisasi ada atau tidak pelanggaran terhadap
ketertiban umum. Umpamanya hubungan dagang
narkotik. Secara gampang dapat ditemukan fakta tentang
adanya pelanggaran ketertiban umum. Sebab di Indonesia
ada hukum positif yang melarang perdagangan dan
pengedaran segala jenis narkotik. Begitu juga misalnya
perjanjian perdagangan wanita prostitusi. Mudah sekali
menemukan faktanya. Karena hal itu menyentuh berbagai
segi sendi-sendi asasi nilai-nilai budaya, kepribadian dan
agama bangsa Indonesia. Di samping itu, terdapat
larangan tentang itu dalam hukum positif seperti yang
diatur dalam Pasal 297 KUHP.
Barangkali dalam perjanjian yang menyangkut
perdagangan benda-benda purbakala, bisa juga menyentuh
pelanggaran terhadap sendi-sendi asasi budaya bangsa,
karena dapat merugikan aset bangsa Indonesia. Bisa
menimbulkan punah benda-benda bersejarah warisan
peninggalan masa lalu. Oleh karena itu, penelitian putusan
arbitrase yang menyangkut perdagangan benda-benda
purbakala dengan pihak luar negeri, harus benar-benar
dinilai dari berbagai segi.
Akan tetapi, perlu pula diperingatkan. Scdapat
mungkin jangan sampai alasan asas kepentingan umum
atau ketertiban umum dimanipulasi secara subjektif.
Jangan sampai terjebak secara gampang menerapkannya
dalam penolakan pemberian exequatur. Cara penerapan
yang tidak objektif, bisa menghambat pertumbuhan sehat
lembaga arbitrase. Kalau sempat putusan arbitrase mandul
disebabkanjumlah frekuensi penolakan pemberian
exequatur atas alasan putusan bertentangan dengan
ketertiban umum, bisa mempengaruhi rasa percaya dan
rasa hormat masyarakat, terutama pihak luar terhadap
jalannya penegakan hukum di Indonesia. Mal yang
demikian bisa berdampak negatif terhadap pertumbuhan
kelancaran hubungan perdagangan dan perekonomian
dengan dunia luar. Namun kalau jelas-jelas putusan
bertentangan dengan ketertiban umum, harus berani
menolak pemberian exequatur. Maka dalam rangka
melaksanakan fungsi dan kewenangan menilai putusan
arbitrase yang dianggap mengandung pelanggaran
terhadap ketertiban umum, sedapat mungkin harus
mampu secara efektif memanfaatkan “kebebasan relatif’
yang dimiliki hakim (Pengadilan) untuk “melenturkan”
sendi-sendi nilai asasi ke arah yang lebih rasional, aktual,
dan realistis.
4. Tata Cara Permintaan Exequatur
Mari kita lanjutkan mengenai tata cara permintaan
exequatur. Landasan pengkajian bertitik tolak dari ketentuan
Pasal 637 Rv. Sehubungan dengan apa yang diatur dalam
pasal dimaksud ada beberapa tata cara yang harus dipenuhi
dalam permintaan exequatur.
a. Tidak Dapat Diberi Exequatur yang Melampaui
Tenggang Deponir
Salah satu masalah yang diatur dalam Pasal 637 Rv
adalah pengkaitan antara pemberian exequatur dengan
pendeponiran putusan. Ditegaskan, pemberian exequatur
hanya dapat dilakukan terhadap putusan yang telah
dideponir berdasar ketentuan Pasal 634 Rv. Seperti yang
sudah dijelaskan, pendeponiran putusan arbitrase harus
dilakukan di kepaniteraan Pengadilan Negeri olejh salah
seorang anggota arbiter maupun oleh seorang kuasa yang
khusus mereka kuasakan untuk itu. Salah satu syarat
formal deponir harus dilakukan dalam batas tenggang
waktu :
- dalam waktu 14 hari dari tanggal putusan untuk daerah
Jawa-Madura,
- dalam jangka waktu 3 bulan dari tanggal putusan untuk
luar Jawa-Madura.
Hanya terhadap putusan yang memenuhi syarat
deponir dapat diberikan exequatur. Jika tenggang waktu
pendeponiran melewati tenggang waktu yang ditentukan
Pasal 634 Rv, berarti deponir tidak memenuhi syarat
formal. Akibatnya pendeponiran “tidak sah”. Oleh karena
pendeponiran tidak sah, mengakibatkan permintaan
exequatur “tidak dapat diterima”. Dengan kata lain,
terhadap putusan arbitrase yang tidak sah pendeponiran,
mengakibatkan permintaan exequatur tidak dapat
diberikan. Ketua Pengadilan harus menyatakan

332
permintaan “tidak dapat diterima “ atas alasan
pendeponiran melampaui batas tenggang waktu yang
ditentukan undang-undang.
Memang sikap yang seperti ini terasa cenderung
kepada pendirian yang terlampau formalistis. Benar
demikian! Meskipun kelalaian itu disebabkan ulah
anggota arbiter, akibat kelalaian itu harus dipikul oleh
pihak yang berkepentingan. Alasan pembebanan risiko
kelalaian arbiter mendeponir kepada pihak yang
berkepentingan, didasarkan kepada kenyataan. Dari sudut
pendekatan kenyataan, bukankah para arbiter yang
ditunjuk menyelesaikan sengketa adalah hasil kesepakatan
para pihak? Oleh karena para arbiter yang berfungsi
dalam arbitrase merupakan hasil pilihan yang disepakati
para pihak, berarti mereka telah rela mempercayakan
segala urusan penyelesaian kepada para arbiter tersebut.
Dengan demikian, sekiranya exequatur tidak dapat
diberikan disebabkan kelalaian para arbiter menyelesaikan
pendeponiran putusan, hal itu termasuk risiko yang hams
ditanggung oleh para pihak. Bukankah mereka tidak
dipaksa mesti meminta penyelesaian sengketa kepada
arbitrase? Tapi mereka sendiri yang telah mcnerftukan
pilihan dengan sukarela, agar penyelesaian sengketa yang
timbul diputus oleh arbitrase. Kalau begitu dari sejak
semula, para pihak sudah sadar bahwa mereka akan
sanggup memikul segala risiko yang timbul dari kelalaian
para arbiter yang mereka tunjuk.
Tindakan apa yang dapat ditempuh para pihak,
terutama pihak yang berkepentingan menghadapi kasus
kelalaian arbiter mendeponir putusan, yang
mengakibatkan pennintaan exequatur tidak dapat
diterima? Kita berpendapat pemecahan yang dapat
ditempuh dalam kasus ini mempunyai beberapa segi dan
alternatif.
1) Terhadap kelalaian pendeponiran, pihak yang
berkepentingan dapat mengajukan tuntutan ganti
rugi.
Kelalaian anggota arbiter mendeponir putusan, jelas
telah melanggar kewajiban, yang dibebankan hukum

333
dan undang-undang kepada mereka. Bukankah Pasal
634 ayat (1) Rv telah meletakkan kewajiban hukum
kepada para arbiter atau salah seorang arbiter, mesti
mendeponir putusan yang mereka ambil dalam batas
tenggang waktu yang ditentukan. Ternyata kewajiban
itu mereka langgar. Berarti para arbiter telah
melakukan perbuatan melawan hukum yang
menimbulkan kerugian kepada orang lain. Oleh
karena itu pihak yang dirugikan, dalam hal ini
pemohon exequatur, dapat mengajukan tuntutan
kerugian kepada pihak anggota arbiter ke Pengadilan
melalui gugat perdata biasa.
2) Segi kedua mengenai kelanjutan sengketa itu sendiri.
Jika Ketua Pengadilan Negeri menyatakan exequatur
tidak dapat diterima atas alasan pendeponiran
melampaui batas tenggang waktu, pernyataan itu
dengan sendirinya telah menutup riwayat putusan
arbitrase. Secara fisik putusan ada. Secara materiil
putusan tetap bersifat final dan binding kepada para
pihak. Namun daya eksekusinya “lumpuh” disebabkan
tata cara untuk itu tidak dipenuhi. Akibatnya, kapan
pun, putusan tidak mungkin lagi dieksekusi.
Jalan keluar atau upaya apa yang dapat ditempuh
pihak yang berkepentingan menghadapi jalan buntu
yang seperti itu? Jalan keluarnya dapat ditempuh
alternatif berikut:
a) Mengadakan pendekatan damai dengan pihak
lawan
Barangkali, jalan ini yang terpendek. Pihak yang
menang (pemohon eksekusi) mendatangi pihak
lawan untuk berdamai. Cuma, secara psikologis,
hal ini agak berat. Sebab seolah-olah pihak lawan
berada di atas angin, sehingga dapat mengajukan
syarat-syarat perdamaian yang lebih menguntung­
kan baginya. Dia tahu, eksekusi sudah mengalami
jalan buntu. Tentu dapat menekan yang berkepen­
tingan.
b) Alternatif lain, mengajak pihak lawan mencabut
persetujuan arbitrase dengan maksud sengketa
akan diajukan melalui gugat perdata ke
Pengadilan
Selama sengketa belum selesai ditangani arbitrase,
perjanjian arbitrase tetap hidup dan mengikat para
pihak. Oleh karena itu, salah satu pihak tidak
dapat mengajukan sengketa yang timbul dari
perjanjian yang memuat klausula arbitrase kc
Pengadilan selama perjanjian itu masih hidup.
Agar upaya ke arah ini dapat ditempuh, harus
lebih dulu perjanjian arbitrase dicabut. Supaya
perjanjian arbitrase dapat dicabut, diperlukan kata
sepakat yang bulat dan tegas dari kedua belah
pihak.
Namun barangkali, alternatif ini pun sulit untuk
ditempuh. Sebab pihak lawan merasa diri berada
di atas angin. Oleh karena itu mungkin enggan
untuk menerima ajakan tersebut.
c) Alternatif selanjutnya, terpaksa mengajukan
penyelesaian sengketa semula kepada arbitrase
yang bersangkutan
Alternatif ini tampaknya mengandung hambatan
yuridis. Bukankah sengketa sudah pernah diputus.
Bahkan putusannya sudah bersifat “final”. Berarti
sudah mendapat kekuatan hukum yang tetap. Oleh
karena itu pengajuan kembali sengketa untuk
diselesaikan dan diputus oleh arbitrase, telah
terbentur pada tembok nebis in idem berdasar
Pasal 1917 KUH Perdata. Memperhatikan
alternatif yang dikemukakan di atas, jalan yang
paling tepat untuk diterapkan ialah alternatif
kedua, yakni pengajuan gugat perdata biasa ke
Pengadilan. Pembenaran keabsahan upaya ini
merupakan satu-satunya jalan keluar yang paling
realistis, dengan cara konstruksi hukum.
Konstruksi hukum dimaksud, dengan adanya
putusan dijatuhkan arbitrase terhadap sengketa,
perjanjian arbitrase sudah gugur. Perjanjian

335
pokoknya masih tetap ada. Namun perjanjian
arbitrase yang gugur demi hukum terhitung sejak
putusan arbitrase dijatuhkan. Tetapi oleh karena
putusan tidak dapat dieksekusi, perjanjian pokok
masih tetap ada. Oleh karena perjanjian pokok
masih tetap ada, sengketa yang timbul, dapat
diselesaikan melalui gugat perdata biasa ke
Pengadilan. Jika kita tidak berani menerapkan dan
menghalalkan cara ini, berarti kita sendiri telah
sengaja mempertahankan aturan-aturan hukum
yang tidak mampu memberi arah dan kemudahan
akan upaya tegaknya hukum, kebenaran, dan
keadilan. Sebenarnya ada jalan yang paling
pendek. Melemparkan sikap yang terlampau
formalistis dengan cara tetap menerima pemberian
exequatur terhadap putusan, meskipun
pendeponiran telah melampaui batas tenggang
waktu yang ditentukan. Cuma pembenaran yang
seperti ini kurang mendidik. Bahkan bisa merusak
sendi-sendi tujuan penegakan kepastian hukum.
Oleh karena itu, lebih tepat menerapkan alternatif
pengajuan gugat ke Pengadilan. Penerapan ini
dapat merangkum segala aspek penegakan hukum.
Satu segi tetap mempertahankan sendi-sendi
tegaknya kepastian hukum bahwa setiap
permohonan yang melampaui tenggang waktu,
tidak dapat dibenarkan. Pelanggaran terhadapnya,
berakibat fatal. Pada segi lain membuka jalan
penyelesaian sengketa, sehingga sesuatu upaya
penyelesaian yang telah mengalami jalan buntu
oleh karena terbe.ntur pada syarat batas tenggang
waktu eksekusinya, dapat lagi diselesaikan
melalui gugat perdata, meskipun proses
penyelesaian agak berliku dan panjang.
Yang Berhak Mengajukan Exequatur
Sudah dijelaskan, exequatur terhadap putusan
arbitrase, merupakan tahap proses yang mendahului
eksekusi. Sebelum perintah eksekusi dikeluarkan, lebih
dulu diberikan exequatur terhadap putusan. Oleh karena
exequatur merupakan langkah awal eksekusi, maka tata
cara pengajuannya tunduk menyesuaikan diri dengan tata
cara pengajuan eksekusi. Dengan demikian pedoman
pengajuan exequatur merujuk kepada ketentuan Pasal 196
HIR (Pasal 207 RBG).
1) Diajukan oleh pihakyang berkepentingan atau
kuasanya
Yang berhak mengajukan permohonan pemberian
exequatur ialah pihak yang berkepentingan. Adakala­
nya pihak yang berkepentingan atas eksekusi ialah
para pihak. Misalnya jika putusan sekaligus
mengabulkan claim (konvensi) dan counter-claim
(rekonvensi). Dalam kasus ini, masing-masing pihak
mungkin sama-sama berkepentingan akan pelaksana­
an eksekusi.
Pengajuan permohonan exequatur, bukan lagi menjadi
tugas para anggota arbiter. Tugas kewajibannya,
hanya sampai pada tindakan melakukan pendeponiran
putusan. Setelah itu dilaksanakan, selesai sudah
tugasnya. Sedang mengenai tahap proses selanjutnya
guna mendapat exequatur maupun perintah eksekusi,
sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban para pihak in
person atau seorang kuasa yang merupakan kuasa
secara khusus untuk itu. Sejak selesai pendeponiran,
terserah kepada para pihak untuk menempuh
kelanjutannya sampai putusan dieksekusi.
Pada prinsipnya pennintaan exequatur baru menjadi
pilihan hukum bagi pihak yang berkepentingan,
apabila pihak lawan tidak mau melaksanakan putusan
secara “suka-rcla”. Kalau begitu, tidak selamanya
masalah exequatur menjadi keharusan hukum dalam
menyelesaikan pemenuhan isi putusan arbitrase.
Exequatur baru relevan apabila pihak lawan enggan
memenuhi dan menaati isi putusan secara sukarela.
Selama pihak yang berkepentingan tidak mengajukan
permohonan meminta pemberian exequatur, Ketua
Pengadilan Negeri bersifat pasif, tidak berwenang
memberi exequatur terhadap putusan arbitrase tanpa
ada diajukan permintaan, meskipun putusan telah

337
d id e p o n i r . P e n d e p o n ir a n b u k a n o t o m a t i s m e w a j i b k a n
p e m b e r ia n exeq u a tu r.

2) Permohonan diajukan ke Pengadilan yang


mendeponir
Permintaan exequatur ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri di tempat mana pendeponiran
dilakukan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 637
Rv yang mengait-kan tindakan exequatur dengan
pendeponiran yang digariskan Pasal 634 Rv. Berarti,
yang berwenang melaksanakan eksekusi putusan
arbitrase ialah Ketua Pengadilan Negeri di tempat
mana putusan dideponir. Kalau begitu, baik
permohonan exequatur maupun permohonan eksekusi
harus diajukan kepada Pengadilan yang telah
menerima pendeponiran putusan.
Bentuk Pemberian Exequatur
Pasal 637 Rv telah menggariskan bentuk pemberian
exequatur. Bentuknya cukup sederhana :
i. berupa catatan,
ii. catatan ditulis di atas asli putusan,
iii. isi catatan: perintah eksekusi (putusan dapat
dieksekusi), dan
iv. apabila nanti perintah itu dikeluarkan:
- dibuat salinannya,
- salinan dituangkan dalam surat penetapan perintah
eksekusi.
Demikian gambaran singkat mengenai bentuk
pemberian exequatur, apabila Ketua Pengadilan Negeri
menilai putusan dapat dijalankan eksekusinya. Tentang
pembuatan salinan yang dimaksud dalam pasal tersebut,
mengandung pengertian bentuk “surat penetapan”
perintah eksekusi. Jadi apabila Ketua Pengadilan Negeri
telah memberi exequatur terhadap putusan, akan diikuti
dengan tindak lanjut berupa pelaksanaan eksekusi.
Apabila hal itu akan dilaksanakan, Ketua Pengadilan
Negeri mengeluarkan “surat penetapan” eksekusi. Surat
penetapan berisi perintah, sesuai perintah yang dibuat
dalam catatan pemberian exequatur.
Kalau diperhatikan, pemberian exequatur terhadap
putusan arbitrase, hanya sekadar berbentuk “disposisi”
Ketua Pengadilan Negeri. Bukankah menurut Pasal 637
Rv, pemberian exequatur berupa perintah yang ditulis
atau dicantumkan di atas surat putusan asli, bisa berupa
catatan atau disposisi. Namun bisa juga ditafsir lain. Dan
tafsiran ini tidak bertentangan dengan hukum. Malahan
barangkali jauh lebih baik dan lebih sempurna. Penafsiran
ini didasarkan dari bunyi kalimat : dan akan dibuat
salinannya apabila ia “dikeluarkan. Berarti suatu perintah
yang dapat dikeluarkan salinannya adalah surat penetapan
yang telah ada kian sebelum salinan dikeluarkan. Dari
telaah yang dikemukakan, bentuk pemberian exequatur.
i. berbentuk “surat penetapan”,
ii. yang berisi dasar-dasar alasan pertimbangan dan
penilaian bahwa putusan arbitrase yang bersangkutan
dapat dieksekusi, dan
iii. pada amar penetapan berisi perintah eksekusi.
Jika bentuk ini yang diikuti, lebih memenuhi maksud
pemberian exequatur. Pada Surat Penetapan sekaligus
tercakup pemberian exequatur yang langsung dibarengi
dengan perintah eksekusi. Apabila tiba saatnya eksekusi
hendak dijalankan, cukup dikeluarkan salinan surat
penetapan- pemberian exequatur.
Ditinjau dari segi teknis dan administrasi yustisial,
lebih cenderung pada bentuk terakhir. Pemberian
exequatur tidak sekadar catatan di atas asli putusan, 'fapi
dituangkan dalam bentuk surat penetapan (besehikking)
atau decree. Dengan demikian pemberian exequatur tiada
lain daripada surat “dekrit” (decree), yang berisi perintah
eksekusi terhadap putusan. Kurang logis suatu dekrit
dicantumkan berupa catatan atau disposisi. Sebab dari
pengertian umum yang sepadan dengan decree adalah
surat penetapan atau besehikking dalam praktek peradilan.

339
5. Pengabulan atau Penolakan Exequatur Tak Dapat
Dibanding atau Dikasasi
Dari segi pendekatan hukum acara, tindakan exequatur,
murni tindakan “eksekusi”. Kalau begitu baik pengabulan
pemberian maupun penolakan exequatur atau pernyataan
exequatur tidak dapat diterima, semata-mata murni merupakan
tindakan eksekusi. Tindakan pemberian atau penolakan
exequatur, bukan tergolong pemeriksaan sengketa.
Oleh karena pengabulan, penolakan atau pernyataan
exequatur tidak dapat diterima, termasuk ruang lingkup
eksekusi, tidak ada lagi yang disengketakan. Sengketa sudah
selesai diputus sebagaimana yang tertuang dalam putusan yang
di-exequatur. Demikian asas yang dipatok dalam doktrin dan
praktek.
Lagi pula, seperti yang sudah berulangkah dikemukakan,
putusan arbitrase bersifat “final”. Pada prinsipnya, putusan
tidak dapat diganggu gugat lagi. Jika demikian halnya, apa pun
yang menjadi ketetapan pemberian exequatur, tidak dapat di
banding atau di kasasi. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal
195 H1R. Pasal itu menegaskan, eksekusi dijalankan atas
“perintah” dan di bawah “pimpinan” Ketua Pengadilan Negeri.
Pejabat yang ada di peradilan tingkat banding atau kasasi,
pada prinsipnya tidak dapat mencampuri.
Seandainya pihak lawan mengajukan banding atau kasasi
terhadap pengabulan exequatur, hal itu tidak dapat dibenarkan
hukum. Oleh karena itu, permintaan banding atau kasasi tidak
boleh dijadikan dasar alasan menunda eksekusi. Sebab
mungkin saja pihak lawan mengajukan banding atau kasasi
untuk tujuan mengulur waktu. Sering terjadi dalam praktek,
pengajuan upaya hukum, meskipun tahu hal itu tidak
dibenarkan hukum. Tindakan itu dilakukan semata-mata
dengan iktikad buruk, untuk mengulur waktu pelaksanaan
eksekusi. Oleh karena itu, Ketua Pengadilan Negeri jangan
sampai ikut terjerumus membenarkan sesuatu yang tidak
dihalalkan hukum dengan jalan menunda pelaksanaan
eksekusi.

340
6. P e n g a w a s a n P e m b e r ia n E x e q u a tu r o le h M A

Sudah dijelaskan, terhadap ketetapan pemberian


exequatur yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri, tidak
bisa di banding atau di kasasi, tertutup segala upaya hukum
terhadap pengabulan atau penolakan exequatur maupun
berupa pernyataan tidak dapat diterima. Tidak dimungkinkan
lagi koreksi terhadap penetapan exequatur yang diberikan
Ketua Pengadilan Negeri.
Satu-satunya jalan yang dapat meluruskan apakah
penetapan pemberian atau penolakan benar atau tidak, hanya
melalui jalur “pengawasan” oleh Ketua Pengadilan Tinggi,
tenitama oleh Mahkamah Agung. Pada prinsipnya, tindakan
pengawasan bukan untuk menilai, tapi memberi “saran dan
petunjuk” yang sering disebut “fatwa” maupun “instruksi”.
Misalnya. Ketua Pengadilan Negeri menolak pemberian
exequatur, atas alasan pelanggaran aturan formal dalam
putusan. Umpamanya berpendapat, putusan tidak sah karena
yang mengambil putusan hanya Ketua arbitrase, bukan
berdasar suara mayoritas. Terhadap penolakan itu pihak yang
berkepentingan mengajukan keberatan dan minta petunjuk
atau fatwa dari Mahkamah Agung. Setelah diteliti, Mahkamah
Agung berpendapat, penilaian Ketua Pengadilan Negeri atas
aturan formal tersebut keliru. Karena ternyata dalam perjanjian
arbitrase para pihak telah sepakat sistem pengambilan putusan
dapat dilakukan oleh umpire. Maka berdasar fakta ini
Mahkamah Agung mengeluarkan petunjuk atau fatwa, agar
penetapan penolakan exequatur dicabut, dan berbarengan
dengan itu menyatakan atau memerintahkan Ketua Pengadilan
Negeri mengeluarkan penetapan baru berupa pengabulan
pemberian exequatur.
Dapat dilihat. Tindakan pengawasan tidak berwenang
untuk membatalkan surat penetapan yang dikeluarkan Ketua
Pengadilan Negeri, karena pengawasan, bukan tindakan
“yustisial”. Tindakan pengawasan bukan proses pemeriksaan
peradilan, tapi tindakan pengawasan “jalannya” peradilan. Itu
sebabnya, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung tidak
mungkin membatalkan penetapan pengabulan atau penolakan
pemberian exequatur yang dikeluarkan Ketua Pengadilan
Negeri. Yang dapat dilakukan, hanya memberi petunjuk atau

341
instruksi. Kalau tidak, berupa fatwa atau perintah, agar Ketua
Pengadilan Negeri membatalkan sendiri penetapan yang
dibuatnya, yang dibarengi dengan pengeluaran penetapan
baru.
Landasan hukum tindakan pengawasan jalannya peradilan
yang diperankan Mahkamah Agung maupun yang
didelegasikan kepada Pengadilan Tinggi dalam masalah
eksekusi, bermuara dari ketentuan Pasal 10ayat(4)UUNo.
14Tahun 1970 (UUKekuasaan Kehakiman) jo. Pasal 32 UU
No. 14 Tahun 1985 (UU Mahkamah Agung). Pasal-pasal
dimaksud menegaskan :
“Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi
terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan
peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.”
Ketentuan ini memberi kewenangan bagi Mahkamah
Agung untuk melakukan tindakan pengawasan terhadap
jalannya pelaksanaan eksekusi. Mengawasi apakah
pelaksanaan sudah benar dan tepat. Apakah ada penyimpangan
atau tidak. Jika benar-benar ada penyimpangan yang serius
dan fundamental, Mahkamah Agung dapat meluruskan,
melalui fatwa, instruksi, saran, atau perintah. Sikap dan
pendirian kebijaksanaan pengawasan yang dijelaskan di atas,
telah merupakan patokan normatif dalam kehidupan peradilan
di Indonesia. Misalnya hal itu tergambar dalam salah satu
putusan Mahkamah Agung. Dalam putusan ini, antara lain
terdapat pertimbangan yang berbunyi :
“Apabila Ketua Pengadilan Negeri dalam menjalankan
eksekusi melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum
maka atas pengaduan pihak yang bersangkutan, Mahkamah
Agung dapat mengambil tindakan dalam rangka tugas
pengawasan tertinggi terhadap perbuatan pengadilan.”
Namun terkadang tindakan pengawasan yang dilakukan
sering tidak efektif, terkadang kurang dipedulikan. Dari
pengamatan dan pengalaman, ada sementara Ketua Pengadilan
Negeri yang pura-pura buta dan tuli menanggapi fatwa,
petunjuk atau instruksi, sehingga selama dia masih menjabat di
tempat itu, petunjuk atau instruksi dibenam ke dalam dasar
laut. Baru digubris setelah diganti dengan pejabat baru.
Kenapa bisa terjadi demikian? Barangkali karena tindakan
pengawasan masih terlampau lemah, sehingga sering tidak
efektif.
Ketidakefektifan itu terkadang, bukan karena sikap
membandel dari pihak yang diawasi. Tapi disebabkan simpang
siurnya pengawasan yang dilaksanakan. Terhadap suatu kasus
yang sama di suatu Pengadilan Negeri, terbit beberapa fatwa
atau instruksi yang saling bertentangan. Pejabat pengawas
yang satu memerintahkan pelaksanaan eksekusi. Besok lusa
terbit fatwa dan instruksi baru dari pejabat pengawas yang
lain, yang memerintahkan penundaan. Terkadang pahit dan
membingungkan rakyat pencari keadilan.
7. Apabila Mahkamah Agung Menyetujui Penolakan
Exequatur
Apabila Ketua Pengadilan Negeri menolak pemberian
exequatur, dan atas penolakan tersebut, pihak pemohon
mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung melalui jalur
pengawasan. Ternyata Mahkamah Agung dapat menyetujui
ketetapan penolakan yang diberikan Ketua Pengadilan Negeri.
Bagaimana akhir penyelesaian eksekusi maupun kesudahan
akhir sengketa yang bersangkutan?
Jika terjadi peristiwa yang seperti ini, eksekusi putusan
arbitrase mengalami jalan buntu. Tidak ada daya dan upaya
lain yang bisa ditempuh untuk melaksanakan eksekusi.
Misalnya, Ketua Pengadilan Negeri menolak pemberian
exequatur atas alasan putusan bertentangan dengan ketertiban
umum (public policy). Pihak pemohon mengajukan keberatan
dan minta fatwa dari Mahkamah Agung. Ketetapan penolakan
pemberian exequatur dikuatkan Mahkamah Agung, karena
memang putusan bertentangan dengan ketertiban umum.
Dalam kasus ini, eksekusi putusan sudah berada dalam
keadaar. imposibilitas. Akibatnya, putusan tidak mempunyai
nilai apa-apa. Daya kekuatan eksekusinya mati dan terbenam
ditelan oleh ketetapan penolakan. Berarti putusan dianggap
sudah “tidak ada”. Malahan dianggap “tidak pernah ada” atau
never existed.
Alternatif yang dapat ditempuh pihak yang
berkepentingan, sama dengan alternatif yang sudah dijelaskan

343
pada kasus permintaan exequatur atas alasan pendeponiran
melampaui batas tenggang waktu :
- alternatif pertama, mengajak pihak lawan untuk berdamai,
- alternatif kedua, mengajukan gugat perdata biasa ke
Pengadilan.
Sebab seperti yang sudah dijelaskan, terhadap suatu
putusan arbitrase yang ditolak pemberian exequatur tidak
mungkin diajukan penyelesaian sengketa semula kepada
arbitrase. Karena dalam putusan yang telah ditolak pemberian
exequatur, sudah melekat asas nebis in idem yang digariskan
Pasal 1917 KU H Perdata. Oleh karena itu tidak boleh lagi
diajukan, diperiksa, dan diputus dalam forum yang sama. Lagi
pula, kita berpendapat, dengan adanya putusan yang diambil
arbitrase, perjanjian arbitrase sudah gugur. Sehingga apabila
eksekusi tidak dapat dilakukan, satu-satunya jalan yang dapat
ditempuh untuk mencari penyelesaian, hanya melalui gugat
perdata ke Pengadilan.
Namun demikian saya tidak menutup kemungkinan untuk
menerapkan Pasal 52 ICSID dalam kasus ini. Barangkali
melalui pendekatan analogis, penolakan pemberian exequatur
dapat disamakan dengan anullment o f the award atau
“pembatalan putusan”. Sudah dijelaskan, baik berdasar Pasal
643 Rv maupun berdasar Pasal 52 ICSID dapat diajukan upaya
permintaan pembatalan putusan. Menurut versi Rv,
kewenangan memeriksa permohonan pembatalan menjadi
yurisdiksi Pengadilan Negeri. Sedang menurut versi ICSID
menjadi yurisdiksi ad hoc Committee. Lantas menurut Pasal
52 ayat (6). apabila permohonan dikabulkan dan ad hoc
Committee menyatakan putusan arbitrase semula “batal”,
kasus persengketaan semula dapat diajukan kembali oleh para
pihak untuk diselesaikan dan diputus oleh Mahkamah
Arbitrase “baru” yang sengaja dibentuk untuk itu (a new
Tribunal constituted). Jadi kalau menurut ICSID, suatu
putusan arbitrase yang telah dibatalkan dapat lagi diajukan
penyelesaiannya melalui forum arbitrase. Untuk kepentingan
itu lembaga arbitrase yang bersangkutan membentuk
Mahkamah Arbitrase baru menurut tata cara yang digariskan
dalam pembentukan Mahkamah Arbitrase. Di sini dapat
dilihat, ICSID menentukan dalam suatu putusan arbitrase yang
dibatalkan tidak melekat unsur “nebis in idem”. Oleh karena
itu, dapat kembali diajukan sebagai sengketa . kepada badan
arbitrase semula.
Pendirian ini ada benarnya. Suatu putusan yang telah
dibatalkan sudah melenyapkan secara keseluruhan wujud fisik
maupun nilai yuridisnya. Seolah-olah sengketa itu belum
pernah diproses dan diputus. Benar-benar secara mutlak
dianggap belum pernah ada. Lain halnya dengan putusan yang
ditolak pemberian exequatur-nya. Secara fisik wujud putusan
masih tetap ada. Sifat finalnya juga masih melekat. Cuma
eksekusinya yang tak dapat dilaksanakan sehingga dalam
putusan, tetap melekat asas nebis in idem.
Akan tetapi, kita tidak dapat mengingkari adanya
persamaan antara pembatalan putusan dengan penolakan
pemberian exequatur. Pada prinsipnya, pembatalan putusan
arbitrase didasarkan atas alasan ada cacat dan pelanggaran
aturan formal maupun materiil yang sangat serius dan
fundamental dalam putusan. Dasar alasan ini sama dengan
penolakan pemberian exequatur. Penolakan pemberian
exequatur pun didasarkan atas alasan adanya cacat dan
pelanggaran formal atau materiil yang sangat serius dan
fundamental dalam putusan. Kalau begitu ditinjau dari segi
dasar alasan pembatalan dan penolakan, pemberian exequatur
tidak ada beda. Berarti aturan tata cara yang diterapkan
terhadap pembatalan, boleh diterapkan terhadap penolakan
pemberian exequatur. Dengan kata lain, penolakan pemberian
exequatur dikonstruksi sebagai pembatalan. Oleh karena itu,
penyelesaian lebih lanjut putusan arbitrase yang ditolak
exequatur-nya, dapat diajukan kembali kepada arbitrase
semula, dengan mempergunakan Pasal 52 ayat (6) 1CSID
sebagai pedoman.
Mana yang lebih tepat di antara kedua pendapat yang
dikemukakan di atas? Kita lebih cenderung kepada pendapat
yang kedua. Dengan demikian dalam kasus ada penolakan
pemherian exequatur oleh Ketua Pengadilan Negeri, kemudian
pada tindakan pengawasan penolakan dibenarkan Mahkamah
Agung, penolakan dikonstruksi sama dengan pembatalan.
Penyelesaian selanjutnya atas sengketa, berpedoman secara
“analogis” kepada ketentuan Pasal 52 ayat (6) 1CS1D, yakni

345
penyelesaian dapat diajukan kembali sebagai sengketa baru
kepada arbitrase semula. Untuk itu badan arbitrase membentuk
Mahkamah Arbitrase baru.-Pendapat ini jauh lebih sederhana,
praktis dan realistis, jika di banding dengan pendapat yang
menyatakan penyelesaian melalui gugat perdata. Proses
penyelesaian akan memakan waktu lama, karena kemungkinan
besarpara pihak akan mempergunakan upaya banding dan
kasasi. Bahkan mungkin peninjauan kembali, sehingga proses
penyelesaian menjadi panjang.
8. Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase
Mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi putusan
arbitrase dalam negeri, digariskan dalam Pasal 639 Rv. Pasal
ini pun telah diambil oleh Peraturan Prosedur BANI sebagai
pedoman untuk melaksanakan putusan arbitrase yang
dijatuhkan BANI. Ilal itu dapat dibaca dalam Pasal 19 yang
berbunyi: “Putusan dijalankan menurut ketentuan-ketentuan
Pasal 637 dan 639 Rv.”
Menurut Pasal 639 Rv, putusan arbitrase yang telah
mendapat exequatur dari Ketua Pengadilan Negeri,
eksekusinya dilaksanakan menurut tata cara eksekusi yang
biasa berlaku terhadap pelaksanaan eksekusi putusan
Pengadilan. Tidak ada beda tata cara pelaksanaan eksekusi
putusan arbitrase dengan putusan Pengadilan. Secara
keseluruhan aturan dan tata cara eksekusi putusan Pengadilan,
berlaku sepenuhnya terhadap putusan arbitrase. Dengan
demikian semua pasal-pasal yang diatur dalam Pasal 195-200
IIIR, berlaku terhadap putusan arbitrase. Oleh karena ruang
lingkup masalah eksekusi demikian luasnya, tidak mungkin
dibahas di sini. Bagi mereka yang berminat mendalami, dapat
menelaah buku Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi
Bidang Perdata”“. Dalam buku ini secara luas telah dibahas
segi-segi tata cara eksekusi riil dan executorial verkoop.

346
A R B IT R A S E D A L A M P E R S P E K T IF IS L A M

A. PENGERTIAN ARBITRASE ISLAM


1. Menurut Bahasa
Dalam perspektif Islam Arbitrase dapat disepadankah dengan
istilah Tahkim. Tahkim berasal dari kata kerja hakkama.
Secara etimologis, kata itu berarti menjadikan seseorang
sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat
kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya. Selain
kata Arbitrase Islam yang berfungsi sebagai lembaga
penyelesaian sengketa para pihak seperti dikemukakarf di atas,
di dalam Islam dikenal juga sebagai lembaga penyelesaian
sengketa para pihak yang disebut Ash-Shulhu. Pengertian Ash-
Shulhu adalah memutus pertengkaran atau perselisihan. Dalam
pengertian syariat ash-shulhu adalah suatu jenis akad
(perjanjian, pen) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa, pen)
antara 2 (dua) orang yang berlawanan (bersengketa).
2. Menurut Fiqih
Dalam istilah Ilmu Fiqih atau Fiqih Islam, pengertian tahkim
seperti yang didefinisikan oleh Abu Al-Ainain Abdul Fatah
Muhammad, tahkim diartikan sebagai bersandarnya 2 (dua)
orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridai
keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian mereka (para
pihak, pen).
3. Menurut Imam Mazhab
Arbitrase menurut pendapat para pakar hukum Islam dari
4 (empat) Mazhab mempunyai beberapa pengertian sebagai
berikut:
a. Kelompok Hanafiah, berpendapat bahwa memisahkan
persengketaan atau memutuskan pertikaian atau
menetapkan hukum antara manusia dengan yang hak dan
atau ucapan yang mengikat yang ke luar dari yang
mempunyai kekuasaan secara umum.

347
b. Kejompok Malikiyah, berpendapat bahwa hakikat qadla
adalah pemberitaan terhadap hukum syar'i menurut jalur
yang pasti (mengikat) atau sifat hukum, yang mewajibkan
bagi pelaksanaan hukum Islam walaupun dengan ta'dil
atau tajrih tindak untuk ke-maslahatan kaum muslimin
secara umum.
c. Kelompok Syafi'iyah, berpendapat bahwa memisahkan
pertikaian antara pihak yang bertikai atau lebih dengan
hukum Allah SWT atau menyatakan hukum syara'
terhadap suatu peristiwa wajib melak-sanakahnya.
d. Kelompok Hambaliah, berpendapat bahwa penjelasan dan
kewajibannya serta penyelesaian persengketaan antara
para pihak.
Dari pengertian di atas, apabila diperhatikan, dalam setiap
perselisihan atau sengketa, di dalam membuat perjanjian
(aqad) terdapat 3 (tiga) komponen penting yang menimbulkan
persengketaan. Ketiga komponen yang menjadi persengketaan
dalam hal ini adalah : pertama, mushalih yaitu para pihak yang
mengadakan perjanjian atau akad yang berkaitan dengan
klausula perjanjian yang telah ditetapkan sebelum atau
sesudah terjadinya sengketa, Kedua, mushalih 'anhu yaitu
persoalan para pihak yang di-persengketakan barkaitan dengan
materi atau isi perjanjian yang menjadi sumber sengketa.
Ketiga, mushalih 'alaihi atau badalush Shulh yaitu Arbitrator
yang ditunjuk untuk menyelesaikan sengketa terhadap
seseorang yang melakukan wanprestasi atau pelanggaran yang
dilakukan oleh pihak lain.
B. SUMBER HUKUM ARBITRASE ISLAM
Keberadaan lembaga arbitrase sangat dianjurkan oleh Allah SWT
dan Rasulullah SAW. untuk mencapai kesepakatan dalam suatu
perselisihan atau sengketa berbagai bidang kehidupan termasuk di
dalamnya sengketa bisnis para pihak. Hal ini dimaksudkan agar
terhindarnya umat dari pertengkaran dan perselisihan yang dapat
memperlemah persatuan dan kesatuan Ukhuwah Islamiyah. Dari
penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa konsep Islam dalam
menata masyarakat agar selalu selaras dan tenteram di antara
mereka, lebih mengedepankan kewajiban daripada hak individu
atau masyarakat, sehingga perdamaian akan selalu terjaga untuk

348
menghindari sedapat mungkin terjadinya persengketaan di antara
para pihak. Sumber hukum yang mendasari keharusan adanya
Lembaga Arbitrase Islam, terdapat didalam Al Qur’an, As-Sunnah
dan Ijma’ Ulama.
1. AL Qur’an
Al Qur’am sebagai sumber hukum pertama memberikan
petunjuk kepada manusia apabila terjadi sengketa para pihak,
apakah di bidang politik, keluarga, ataupun bisnis terdapat
dalam Surat 49, Al-IIujurat: 9.78
“Jika 2 (dua) golongan orang yang beriman bertengkar,
damaikanlah mereka. Tetapi jika salah satu dari kedua
(golongan) berlaku aniaya (melakukan wanprestasi, pen)
terhadap yang lain, maka perangilah orang yang
menganiaya sampai kembali ke jalan Allah Swt. Tetapi
apabila ia telah kembali, damaikanlah keduanya dengan
adil, dan bertindaklah benar, sungguh Allah cinta kepada
orang-orang yang berlaku adil
Surat 4. An-Nisa: 3579
“Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara
keduanya (suami-istri), maka kirimkanlah seorang hakam
(Arbitrator, pen) dari keluarga perempuan. Dan jika
kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan
(perdamaian), niscaya Allah Swt. Akan memberikan taufik
kepada suami istri itu. Susungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenai ”.
2. As-Sunnah
As-Sunnah sebagai sumber hukum islam kedua telah
memberikan penjelasan bagaiman suatu persengketaan harus
segera didamaikan. Seperti sabda Rosulullah Saw. sebagai
berikut:
Riwayat At-Tarmizi, Ibnu Majah, Al-Hakim dan Ibnu
80
Hibban, menyampaikan bahwa Rosulullah Saw bersabda :
“Perjanjian di antara orang-orang muslim itu boleh, kecuali
perjanjian menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal.” Dalam hal ini At-Tamizi menambahkan bahwa

349
muamalah orang-orang muslim itu berdasarkan syarat-syarat
mereka.
Riwayat Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai, bahwa
Rasulullah bersabda : “Apabila berselisih kedua belah pihak
(penjual dan pembeli) dan tidak ada bukti-bukti di antara
mereka keduanya, maka perkataan yang (diterima) ialah yang
dikemukakan oleh pemilik barang atau saling mengembalikan
(sumpah)”.
Riwayat Abu Hanifah, 82 bahwa Rasulullah bersabda :
“Apabila terjadi perselisihan orang yang berjual beli, maka
keterangan yang disampaikan penjual itulah yang dipakai.
Karena itu, si pembeli boleh menerimanya dengan rela atau
keduanya membatalkan jual beli”.
Riwayat Bukhari dan Muslim,83 bahwa warta dari Abi
Hurairah r.a, mengabarkan Rasulullah bersabda : “Ada
seseorang laki-laki membeli pekarangan dari seseorang. Orang
yang membeli tanah perkarangan tersebut menemukan sebuah
guci yang berisikan emas. Kata orang yang memberli
pekarangan, ambillah emasmu yang ada pada saya, aku hanya
membeli daripadamu tanahnya saja dan tidak membeli
emasnya. Jawab orang memiliki tanah, aku telah menjual
kepadamu tanah dan barang-barang yang terdapat di
dalamnya. Kedua orang itu lalu bertahkim (mengangkat
arbitrator kepada seseorang. Kata orang yang diangkat
menjadi arbitrator, apakah kamu berdua mempunyai anak.
Jawab dari salah seorang dari kedua yang bersengketa, “ya”,
saya mempunyai seorang anak laki-laki. Dan yang lain
menjawab, saya mempunyai seorang anak perempuan. Kata
arbitrator lebih lanjut, kawinkanlah anak laki-laki itu dengan
anak perempuan itu dan biayailah kedua mempelai dengan
emas itu, dan kedua orang tersebut menyedekahkan (sisanya
kepada fakir miskin)”.
Ijma’ Ulama
Ijma’ Ulama sebagai sumber hukum Islam yang ketiga telah
memperkuat tentang adanya Lembaga Arbitrase Islam untuk
mengantisipasi persengketaan para pihak dalam berbagai
aspek kehidupan. Penyelesaian sengketa setelah wafat
Rasulullah SAW banyak dilakukan pada masa sahabat dan
ulama untuk menyelesaikan sengketa dengan cara
mendamaikan “para pihak melalui musyawarah dan konsensus
di antara mereka sehingga menjadi Yurisprudensi Hukum
Islam dalam beberapa kasus. Keberadaan ijma’ sahabat atau
ulama sangat dihargai dan tidak ada yang menentangnya,
karena tidak semua masalah sosial keagamaan tercantum
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah secara terinci. Bahkan,
Sayyidina Umar Ibnul Khathab84 pernah mengatakan, bahwa:
“tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena
pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan
kedengkian di antara mereka”.
Banyak terdapat produk Hukum Islam melalui proses Ijma’
Ulama yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI),
baik lokal maupun nasional dalam bidang persoalan hidup
bagi umat Islam Indonesia. Produk Ijma’ tersebut telah
disepakati oleh para ulama dan mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat secara tetap atau kontemporer. Banyak sekali
produk Ijma Ulama yang pernah ditetapkan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Salah satu contoh ijma’ (konsensus)
Ulama yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain
dibentuknya Lembaga Arbitrase Islam: Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI). Walaupun Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) ini dibentuk dan disetujui
hanya oleh se-bagian kecil Ulama atau Cendekiawan Muslim,
secara yuridis formal dan dari segi hukum Islam dianggap
mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kekuatan hukum
tetapnya terletak pada bentuk yayasan dan misinya sesuai
dengan Islam, yaitu untuk mendamaikan para pihak yang
berseng-keta agar kembali berdamai dalam bidang
perdagangan, industri, keuang-an, jasa dan lain-lain.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui, bahwa yang
menjadi dasar hukum adanya Lembaga Arbitrase Islam adalah
bersumber dari AI-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma Ulama.
Dengan menggali ketiga sumber tadi, dapat diketahui
bagaimana penyelesaian sengketa yang terjadi di antara para
pihak selalu dilakukanperdamaian melalui jalan musyawarah.
Anjuran perdamaian ini bukan hanya pada masalah bisnis saja,
melainkan juga berkembang pada masalah sosial lainnya,

351
seperti di bidang perang, politik, keluarga dan sebagainya
supaya Ukhuwah Islamiyah tetap terjamin. Bahkan, apabila
terjadi sengketa bisnis diharapkan penyelesaiannya diusahakan
melalui lembaga Ash-Shulhu atau Lembaga Arbitrase.
Penyelesaian sengketa melalui badan peradilan selalu
dihindari karena bersifat antagonists dan selalu menimbulkan
kedengkian di antara umat Islam. Kedengkian ini muncul
akibat dari keterpaksaan menerima putusan dari pihak
pengadilan, baik memenuhi rasa keadilan atau tidak. Oleh
karena itu, putusan melalui badan peradilan selalu berakibat
negatif bagi para pihak dan hal ini sangat tidak dikehendaki
oleh Islam.
C. SEJARAH PERMULAAN ARBITRASE ISLAM
Dalam catatan sejarah peradilan Islam lembaga Arbitrase telah
dikenal sejak zaman pra-lslam. Pada saat itu meskipun belum
terdapat sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada
persengketaan mengenai hak milik, hak waris dan hak-hak lainnya
sering kali diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang
ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih. Orang-orang
yang ditunjuk pada waktu itu sebagai Arbitrator adalah yang
memiliki kekuatan supranatural dan orang-orang yang mempunyai
kelebihan di bidang tertentu sesuai dengan perkembangan pada
waktu itu. Pada masa pra-lslam hakam atau juru damai atau
Arbitrator itu harus memenuhi beberapa kualifikasi. Di antara
syarat yang terpenting bagi mereka adalah harus cakap dan
memiliki kekuatan supranatural dan adikodrati. Atas dasar
persyaratan tadi, pada umumnya para hakam itu adalah ahli nujum.
Karena itu, dalam pemeriksaan dan penyelesaian persengketaan di
kalangan mereka, hakam lebih banyak menggunakan kekuatan
firasat daripada menghadirkan alat-alat bukti, seperti saksi atau
pengakuan. Para Arbitrator: pada waktu itu berpraktek di tempat
sederhana, misalnya di bawah pohon atau kemah-kemah yang
didirikan. Setelah dibangun sebuah gedung yang terkenal di
Mekkah, Darul al-’Adawah, mereka berpraktek di tempat itu.
Dalam sejarah gedung itu dibangun oleh Qusay bin Ka’ab. Pintu
gedung itu sengaja diarahkan ke Kabah.
Pada waktu Islam datang dan berkembang yang dibawakan oleh
Nabi Muhammad, lembaga perwasitan terus berjalan dan

352
dikembangkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan
memodifikasi yang pernah berlaku pada masa pra-lslam. Ilal-hal
yang bersifat takhayul dan syirik mulai dieliminir secara bertahap
dan disesuaikan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pada awal
perkembangan Islam maka tradisi penyelesaian sengketa melalui
Arbitrase lebih berkembang pada masyarakat Makkah sebagai
pusat perdagangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis di antara
mereka. Demikian juga lembaga Arbitrase berkembang di Madinah
sebagai daerah agraris untuk menyelesaikan masalah sengketa di
bidang pertanian.
Dalam catatan sejarah, bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum
diangkat menjadi Rasulullah pernah bertindak sebagai wasit dalam
perselisihan yang terjadi di,kalangan masyarakat Makkah.
Perselisihan itu berkaitan dengan peletakan kembali Hajar Aswad
ke tempat semula. Di kalangan Quraisy terjadi perselisihan tentang
siapa yang berhak meletakkan kembali ke tempat semula, karena
masing-masing pihak saling menuntut hingga nyaris terjadi
bentrokan fisik pada waktu itu. Akhirnya, mereka menemukan
jalan keluar, yaitu menunjuk orang yang pertama kali datang kc
tempat itu melalui pintu Syaibah. Kebetulan Nabi Muhammad
SAW datang lebih dulu melalui pintu tersebut dari kaum Quraisy
berseru inilah al-Amin. Kami menyetujui ialah yang
menyelesaikan perselisihan ini. Akhirnya, Nabi Muhammad
berusaha untuk menyelesaikan sengketa itu dengan pendapatnya
sendiri. Ternyata, mereka sepakat dan rela dengan keputusan yang
dilakukan oleh Muhammad itu.
Pada awalnya Nabi Muhammad SAW. bertindak sebagai Arbiter
Tunggal. Selain.menjadi wasit dalam perkara Hajar Aswad, Nabi
juga sering menjadi wasit dalam sengketa umat. Misalnya dalam
sengketa warisan antara Ka’ab ibnu Malik dan Ibnu Abi Hadrad
sebagai Arbitrator Tunggal. Kemudian, juga kepada Sa’id ibnu
Muaz dalam perselisihan di antara Abi Quraidh, Zaid Ibnu Sabit
dalam perselisihan antara Umar dengan Ubay Ibnu Ka’ab tentang
kasus nahl dan sebagainya. Akan tetapi, setelah Islam berkembang
ke berbagai daerah, maka ia memberikan kewenangan kepada
sahabat lainnya untuk menjadi hakim yang menyelesaikan per­
sengketaan di antara mereka dengan Arbitrator Tunggal atau
Majelis. Demikian juga lembaga yang dipakainya ada yang
Permanen dan juga Ad-Hcok yang disesuaikan dengan

353
perkembangan rtiasyarakat. Para sahabat dituntut oleh Nabi
Mdhammad agar melakukan ijtihad dalam berbagai kasus yang
tidak ada di dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah, seperti yang pernah
dilakukan kepada Muaz ibnu. Jabal. Demikian juga Abu Syuraih
yang menjadi tahkim di antara para sahabat.
Perkembangan Arbitrase ini lebih berkembang pada masa
pemerintahan Umar bin Khattab yang mulai melimpahkan
wewenang peradilan kepada pihak lain yang memiliki otoritas
untuk itu. Lebih daripada itu, Umar Ibnu Khattab mulai
membenahi, lembaga peradilan untuk memulihkan kepercayaan
umat terhadap lembaga peradilan. Selain adanya lembaga Arbitrase
dengan sebaik-baiknya agar mampu menjadi lembaga alternatif
tempat penyelesaian sengketa bagi umat. Bahkan, Umar berhasil
menyusun pokok-pokok pedoman beracara di pengadilan (risalat
al-qadlo) yang ditujukan kepada seorang qodhi, Abu Musa al
Asy’ari. Salah satu prinsip yang tercantum dalam risalah itu adalah
pengukuhan terhadap kedudukan Arbitrase.
Di dalam perkembangannya di- penghujung Al-Khulafaurrasyidin
perwasitan tidak hanya diterapkan pada masalah yang berhubungan
dengan hukum keluarga dan hukum bisnis, tetapi juga dalam
bidang, politik. Merambahnya perwasitan di bidang politik itu
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi politik waktu itu yang
diwarnai dengan bentrokan-bentrokan fisik, khususnya pada saat
terjadi peralihan kepemimpinan Usman Ibnu Affan kepada Ali
Ibnu Abi Thalib yang ditandai dengan terbunuhnya Usman bin
Affan pada waktu itu.
Sedangkan pada Pemerintahan Bani Umayah dari Pemerintahan
Bani Abbas, peranan Arbitrase kurang menonjol, karena peradilan
resmi yang dibentuk pemerintah pada waktu itu dapat menjalankan
fungsinya lebih baik. Akan tetapi, dalam perkembangannya setelah
para hakim (qodhi) mulai berkurang untuk berijtihad dan
terpengaruh oleh birokrasi yang sangat dominan, sehingga lembaga
peradilan bentukan pemerintah kredibilitasnya makin diragukan
oleh umat sehingga hilang kepercayaan kepada lembaga peradilan
sebagai pirjtu keadilan. Dalam situasi inilah masyarakat kemudian
mendambakan kembali lembaga alternatif untuk menyelesaikan
sengketa diperlukan kembali dengan prinsip cepat, tepat dan biaya

354
lebih murah dengan putusan lebih memenuhi rasa keadilan bagi
para pihak.
Oleh karena itu, pembicaraan Arbitrase Islam dalam perspektif
Sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dengan perkembangan Hukum
Islam itu sendiri yang mengikuti geraknya masyarakat pada waktu
itu. Nabi Muhammad SAW. sebagai figur tunggal yang sangat
dipercaya telah memberikan contoh bagi umat tentang bagaimana
beliau menyelesaikan sengketa dengan cara yang dapat diterima
oleh semua pihak tanpa menimbul-kan keraguan dan penyesalan.
Demikian juga pada masa sahabat yang mengikuti langkah-langkah
Rasulnya, telah menerapkan lembaga Arbitrase ini dengan sebaik-
baiknya, sehingga keutuhan umat tetap terjaga, setiap sengketa
dapat diselesaikan secara tuntas dengan memenuhi rasa keadilan.
Apabila diperhatikan dari jalannya sejarah perkembangan Arbitrase
Islam, dapat disimpulkan bahwa masalah yang timbul pada masa
itu sesungguhnya cukup kompleks. Wilayah yurisdiksi Arbitrase
tidak hanya berkaitan dengan perkara bisnis saja, tetapi
menyangkut masalah keluarga, politik, perdagangan dan
peperangan. Fenomena ini menjadi lapangan dan garapan lembaga
Arbitrase yang sangat luas dan banyak peluang untuk membuka
badan-badan Arbitrase yang sesuai dengan perkembangan masalah
dan kebutuhan umat di masa sekarang dan mendatang.
D. PUTUSAN ARBITRASE
Menurut pendapat Ahmad dan Abu Hanifah serta menurut suatu
riwayat dari Asy-Syafi’y, putusan arbitrase hanya dapat
dilaksanakan oleh orang yang mentahkimkan diri kepada arbitrator.
Akan tetapi, menurut riwayat yang lain, hukum yang diberikan
oleh arbitrator itu tidak mesti diikuti oleh yang bersangkutan.
Apabila para pihak yang bersengketa telah menerima putusan
seorang arbitrator, tetapi tidak menerima putusan itu, maka mereka
dapat meng-ajukan lagi perkaranya kepada arbitrator lain.
Kemudian, arbitrator itu memberikan putusan pula dengan tidak
mengetahui adanya putusan yang pertama, baik sama maupun
bertentangan antara keduanya. Maka apabila urusan itu diajukan
kepada hakim, hendaklah hakim menerapkan hukum yang sesuai
dengan pendapatnya.

355
Akan tetapi, jika suatu perkara sudah diputuskan oleh seorang
arbitrator, kemudian diajukan kapada hakim, maka hakim boleh
membenarkan putusan arbitrator itu manakala sesuai dengan
mazhabnya. Demikian juga hakim boleh membatalkan putusannya
itu apabila berlawanan dengan mazhabnya.

356
BADAN ARBITRASE MUALAMAT INDONESIA

A. SEJARAII BERDIRI BADAN ARBITRASE MUAMALAT


INDONESIA (BAMUI)
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) merupakan salah
satu wujud dari Arbitrase Islam yang pertama kali didirikan di
Indonesia. Pendiriannya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI), tanggal 05 Jumadil Awal 1414 II, bertepatan dengan
tanggal 21 Oktober 1993 M. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan sesuai
dengan Akta Notaris Yudo Paripurno, SH. Nomor 175 tanggal 21
Oktober 1993. Di dalam akta pendirian Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI), yang dimaksud dengan yayasan ini bernama:
YAYASAN BADAN ARBITRASE MUAMALAT INDONESIA
disingkat BAMUI (Pasal 1)
Kehadiran Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sangat
diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena,
dilatarbelakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk
melaksanakan syariat Islam, melainkan juga lebih dari itu adalah
menjadi kebutuhan riil adanya praktek perdata secara perdamaian
selaras dengan perkergbangan kehidupan ekonomi dan keuangan di
kalangan umat. Karena itu, tujuan didirikan Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) sebagai badan permanen yang
berfungsi menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa mua­
malat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri
keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam. Menurut H.S.
Prodjokusumo, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI),
menyebutkan bahwa gagasan pembentukan Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) ini tidak terlepas dari kdntcks
perkembangan kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Kontekstual
ini jelas dihubungkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia
(BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Syariat (BPRS)
yang lebih dulu lahir. Bersesuaian dengan diberlakukannya
perangkat hukum yang mendukung beroperasinya perbankan
sistem syariat Islam, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992,
Peraturan Pemerintah Nomor 73 dan Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 1992. Selain adanya bank berdasarkan syariah, telah
diketahui juga adanya rencana pengoperasian asuransi berdasarkan

357
syariat Islam. Perkembangan baru lembaga keuangan islam
tersebut menjadi nyata dengan diresmikannya Asuransi Takaf ul
pada Agustus 1994.
Proses berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI),
bukan tidak diwarnai perbedaan pendapat di kalangan para Ulama,
Cendekiawan Muslim dan juga di kalangan praktisi ekonomi
Islam. Persoalan yang mengemuka di antaranya perlu tidaknya
Badan Arbitrase Islam sekarang ini dikhawatirkan terjadinya
overlapping dengan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada Bank
Muamalat Indonesia maupun Bank Perkreditan Rakyat Syariat
(BPRS) yang telah mendapat legitimasi melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992. Adanya kekhawatiran akan
terjadinya tumpang-tindih sisi kerja antara Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) dan Dewan Pengawas Syariah
(DPS) merupakan yang berlebihan. Dengan mengetahui secara
rinci kedudukan, tugas dan wewenang Dewan Pengawas Syariah
(DPS) yang sangat berbeda dengan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI), maka kehadiran Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) harus disambut dengan antusias oleh kalangan
yang tidak setuju.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang tugas Dewan Pengawas
Syariah (DPS) dapat dikutip dari makalah Prof. K.II. Ali Yafie
yang disampaikan pada RAKERNAS MAJELIS ULAMA
INDONESIA (MUI) tahun 1992 yang menyebutkan, bahwa :
Dewan Pertimbangan Syariah (DPS) adalah suatu dewan sebagai
bagian yang integral dalam struktur Bank Muamalat Bank
Perkreditan Rakyat Syariat (BPRS) yang sifatnya independen dan
bertanggung jawab atas keselarasan norma syariah dalam
muamalat dengan setiap produk dan operasional bank tersebut
dengan tugas sebagai berikut:
1. Memberikan pedoman dan garis-garis besar syariah, baik
untuk menghimpun maupun untuk menyalurkan dana serta
kegiatan bank lainnya;
2. Mengadakan perbaikan seandainya suatu produk yang telah/
sedang dijalankan dinilai bertentangan dengan syariah;
3. Memberikan jawaban dalam bentuk fatwa dalam
permasalahan yang diajukan dan dihadapi oleh pihak
eksekutif;

358
4. Memeriksa buku laporan tahurian dan memberikan pernyataan
tentang kesesuaian syariah dari semua produk dan operasi
selama tahun berjalan.
Dalam rangka menjalankan tugas-tugas tersebut, Dewan Pengawas
Syariah (DPS) berhak dan mempunyai wewenahg untuk :
1. Bersama-sama maupun sendiri-sendiri dalam jam kerja kantor
perusahaan untuk menanyakan atau memeriksa segala produk
dan aktivitas perusahaan ditinjau dari sudut pandang Islam;
2. Untuk hal tersebut direksi dan aparat bank lainnya wajib untuk
memberikan penjelasan tentang segala har yang ditanyakan
oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Perbedaan Badan Arbitrase Muamalat, Indonesia (BAMUI) dan
Dewan Pengawas Syariah (DPS) tampak pada keberadaannya yang
terdapat dalam struktur bank Islam dan asuransi Islam. Sedangkan
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) berdiri secara
otonom sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan
perselisihan para pihak, baik yang datang dalam lingkungan bank
Islam, asuransi Islam maupuh pihak lain yang memerlukannya.
Bahkan, dari kalangan nonmuslim pun dapat memanfaatkan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) selama yang
bersangkutan mempercayai kredibilitasnya aaiam menyelesaikan
sengketa.
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dalam
melaksanakan tugasnya pada tahap pertama akan mendamaikan
para pihak yang ber-selisih dengan prinsip islah. Akan tetapi,
apabila para pihak yang didamaikan tidak dapat diselesaikan, maka
Arbiter Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) harus
memutuskan penyelesaian perkara. Putusan inilah yang harus
didasarkan pada fiqih muamalah. Sedangkan objek perkaranya
dengan menunjuk pada kegiatan yang telah berkembang adalah
sekitar masalah bank Islam, asuransi Islam, dan hubungan per­
buruhan Islam. Adapun masalah yang perlu diantisipasi adalah
berkembangnya pasar modal Islam, pegadaian Islam, ventura Islam
dan sebagainya. Keseluruhan perkembangan lembaga keuangan
Islam dan kegiatan bisnis umat Islam yang terantisipasi
memerlukan pegangan muamalahnya sebagai rujukan penyelesai­
annya.

359
Persoalan lain yang muncul antara yang pro dan. kontra adanya
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) juga menyangkut
bentuk organisasinya, anggaran dasarnya, presedur beracaranya
dan Lain-lain yang berkaitan dengan persjdangan. Dengan
memahami pandangan bahwa Arbitrase Islam diperlukan secara
murni untuk kepentingan bisnis dan perekonomian umat, maka
perbedaarr pandangan tersebut dapat mempersatukan visi tentang
perlunya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) ini
berdiri untuk menyelesaikan muamalat umat Islam.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang berdirinya Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) secara kronologi dapat
digambarkan sebagai berikut:
Proses awal berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI), dengan adanya pertemuan pertama dan kedua di ruang
rapat Majelis Ulama Indonesia (MUI), masing-masing tanggal 22
April 1992 dan 2 Mei 1992. Kemudian, melalui Surat Keputusan
Nomor 392/M.U.I/V/1992 memutuskan untuk mengangkat
kelompok kerja pembentukan Lembaga Arbitrase Islam. Kelompok
kerja dibagi 2 (dua) bagian, yaitu : narasumber terdiri dari Prof.
K.II. Ali Yafie; Prof. K.II. Ibrahim Hosen, LML; II. Andi Lolo
Tonang, SII.; H. Hartono Mardjono, SIT; Jimly Asshiddiqie, SII..
MA. ; Panitia Teknis terdiri dari: Abdul Rahman Saleh. SII.,
(koordinator), dengan anggotanya, Dr. Herman Rajagukguk, SIL,
LL. M.; Hidayat Achyar, SH.; Dr. Satria.Effendi; M. Zein; Dr.
Abdul Gani Abdullah, SH.; Yudo Paripurno, SH.; Drs. H. Syaidu
Syahar, SH.; H,A. Z. Umar Purba. SIL; dan Drs. K.II. Ma’ruf
Amin. Sebagai Sekretaris adalah H.M.Jsa Anshary, M.A. dan Drs.
Ahmad Dimyati.
Selama tahun 1992 telah berlangsung rapat lebih dari 10 (sepuluh)
kali untuk membicarakan mengenai: Rancangan, Anggaran Dasar,
Rancangan Anggaran Rumah Tangga, Struktur Organisasi,
Personalia Kepengurusan, Prosedur Berperkara, Biaya Berperkara,
Kriteria Arbiter dan Inventarisasi Arbiter.
Pada tanggal 29 Desember 1992 Tim Kerja Pembentukan Badan
Arbitrase melaporkan hasil kerjanya dan menjadi agenda
keputusan RAKERNAS MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI)
seluruh Indonesia tanggal 24-27 November 1992 di Jakarta.
Keputusan tersebut berkaitan dengan Badan Arbitrase Muamalat

360
Indonesia (BAMUI), bahwa: “sehubungan dengan rencana
pendirian Lembaga Arbitrase Muamalat Rakernas menyarankan
agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera merealisasikan
pembentukannya”. Sebagai realisasi dari keputusan itu, maka pada
tanggal 4 Januari 1993 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 08/M.U. 1/1/1993
tentang Panitia Persiapan dan Peresmian Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI).
Pada akhirnya peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) dilangsungkan tanggal 21 Oktober 1993. Nama yang
diberikari pada saat diresmikan adalah Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI). Peresmiannya ditandai dengan
penandatanganan akta notaris oleh dewan pendiri, yaitu Dewan.
Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat yang diwakili
K.H. Hasan Basri dan H.S. Prodjokusumo, masing-masing sebagai
Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Sebagai saksi ikut menandatangani Akta
Notaris masing-masing H.M. Soejono (Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI)) dan II. Zainulbahar Noor, S.L. (Dirut Bank
Muamalat Indonesia) saat itu.

B. TUJUAN BADAN ARBITRASE MUAMALAT INDONESIA


(BAMUI)
Sesuai dengan akta pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI), maksud dan tujuan yayasan ini (Pasal 4) ialah :
1. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam
sengketa-sengketa muamalah/perdata yang timbul dalam
bidang perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain.
2. Menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam
suatu perjanjian, tanpa adanya suatu sengketa, untuk
memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu
persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.

C. DASAR HUKUM BERDIRINYA BADAN ARBITRASE


MUAMALAT INDONESIA (BAMUI)
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) ddalah sebuah
yayasan dengan nama YAYASAN BADAN ARBITRASL
MUAMALAT INDONESIA (BAMUI). Sebagai yayasan, Badan

361
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) merupakan badan hukum
yang mempunyai legitimasi secara yuridis formal, melalui Akta
Pendirian Yayasan Nomor: 175 tanggal 21 Oktober 1993, di bawah
Notaris Nyonya Lely Roostiati Yudo Paripurno, SII. berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor:
C-190.II.T.03.07.TH.1992 tanggal tujuh Agustus seribu sembilan
ratus sembilan puluh dua (7-8-1992) sebagai pengganti sementara
dari Yudo Paripurno, SH., Notaris di Jakarta.

D. YURISDIKSI BADAN ARBITRASE MUAMALAT


INDONESIA (BAMUI)
Sesuai dengan Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI), pada BAB I YURISDIKSI (KEWENANGAN),
Pasal 1 disebutkan bahwa: Yurisdiksi Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI), meliputi :
1. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan
perdagangan, industri, keuangan, jasa dan Lain-lain di mana
para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan
penyelesaiannya kepada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) sesuai dengan Peraturan Prosedur Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI).
2. Memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya
suatu sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan
perjanjian atas permintaan para pihak.
Kesepakatan klausula yang seperti itu bisa dicantumkan dalam
perjanjian atau dalam suatu akta tersendiri setelah sengketa timbul.

E. PROSEDUR DAN PENERAPAN PUTUSAN BADAN


ARBITRASE MUAMALAT INDONESIA (BAMUI)
Setiap lembaga apa pun dalam menjalankan operasionalnya selalu
disertai dengan kewenangan dan peraturan prosedur. Demikian
juga Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sebagai
lembaga Arbitrase mem-punyai kewenangan dan peraturan dan
prosedur yang telah ditetapkan oleh lembaga itu sendiri sebagai
hukum acaranya :
Untuk mengetahui lebih pasti tentang hal itu dapat dipelajari dalam
lampir-an tentang Prosedur dan Penetapan Putusan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Sebagai gambaran

362
tentang Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) sebagai berikut. Pengajuan Permohonan Proses
Arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk
mengadakan Arbitrase oleh Sekretaris dalam register Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Dalam surat permohonan
tersebut harus memuat sekurang-kurangnya nama lengkap dan
tempat tinggal atau tempat kedudukan kedua belah pihak-atau para
pihak; suatu uraian singkat tentang salinan naskah perjanjian
Arbitrasenya dan surat kuasa khusus jika diajukan juru kuasa.
Selanjutnya, surat permohonan itu akan diperiksa oleh Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), untuk menentukan
apakah Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) berwenang
memeriksa dan memutuskan sengketa Arbitrase yang dimohonkan
tadi. Dalam hal perjanjian atau klausula Arbitrase dianggap tidak
cukup dijadikan dasar kewenangan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) untuk memeriksa sengketa yang diajukan,
maka Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) akan
menyatakan permohonan itu tidak dapat diterima (niel outvankelijk
verklaardf) yang dituangkan dalam sebuah penetapan yang
dikeluarkan oleh ketua Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) sebelum pemeriksaan dimulai atau dapat pula dilakukan
oleh Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis yang ditunjuk dalam hal
pemeriksaan telah dimulai. Sebaliknya, jika perjanjian atau
klausula Arbitrase dianggap telah mencukupi, maka Ketua Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) segera menetapkan dan
menunjuk Arbiter Tunggal atau Majelis yang akan memeriksa dan
memutus sengketa berdasarkan berat ringannya sengketa. Arbiter
yang ditunjuk tersebut dapat dipilih dari arbiter tetap atau
menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus yang diperlukan untuk
menjadi Arbiter, karena pemeriksaannya memerlukan suatu
keahlian khusus. Dengan demikian, susunan Arbiter dapat pula
dalam bentuk Tunggal atau Majelis.
Arbiter yang ditunjuk tadi memerintahkan untuk menyampaikan
salinan surat permohonan kepada termohon disertai perintah untuk
menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawabannya
secara tertulis selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak diterimanya salinan surat permohonan dan
surat panggilan. Segera setelah diterimanya jawaban dari
termohon, atas perintah Arbiter Tunggal atau ketua Arbiter

363
Majelis, salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon
dan bersamaan dengan itu memerintahkan kepada para pihak untuk
menghadap di muka sidang Arbitrase pada tanggal yang
ditetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal dikeluarkannya perintah, itu, dengan
pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada kuasa
hukumnya masing-masing dengan surat kuasa khusus.
Pemeriksaan persidangan Arbitrase dilakukan di tempat kedudukan
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), kecuali ada
persetujuan dari kedua belah pihak, pemeriksaan dapat dilakukan
di tempat lain. Arbiter Tunggal atau Majelis dapat melakukan
sidang keempat untuk memeriksa saksi, barang, atau benda
maupun dokumen yang mempunyai hubungan dengan para pihak
yang bersengketa. Sedangkan putusan harus diambil dan
dijatuhkan di tempat kedudukan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI).
Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung
Arbiter Tunggal atau Majelis Jiarus memberi perlakuan dan
kesempatan yang sama sepenuhnya terhadap para pihak (equality
before the law) untuk membela dan mempertahankan kepentingan
yang disengketakannya. Arbiter Tunggal atau Majelis, baik atas
pendapat sendiri maupun atas permintaan salah satu atau para
pihak dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterang­
an saksi, termasuk saksi ahli dan pemeriksaan secara lisan di antara
para pihak, setiap bukti atau dokumen yang disampaikan salah satu
pihak kepada Arbiter Tunggal atau Majelis, salinannya harus
disampaikan kepada pihak lawan. Namun, pemeriksaan dibolehkan
secara lisan (oral hearing). Tahap pemeriksaan dimulai, dari tahap
jawab-menjawab (replik-duplik), pembuktian dan putusan
dilakukan berdasarkan kebijakan Arbiter Tunggal atau Majelis.
Dalam jawabannya, atau paling lambat pada hari sidang pertama
pemeriksaan, termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan
(reconventie). Terhadap bantahan yang diajukan termohon,
pemohon dapat mengajukan jawaban (replik) yang dibarengi
dengan tambahan tuntutan (additional claim) asal hal itu
mempunyai hubungan erat langsung dengan pokok yang
disengketakan serta termasuk dalam yurisdiksi Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI), baik tuntutan konvensi, rekonvensi

364
maupun additional claim akan diperiksa dan diputus oleh Arbiter
Tunggal atau Majelis terlebih dahulu akan mengusahakan
tercapainya perdamaian. Apabila usaha tersebut berhasil, maka
Arbiter Tunggal atau Majelis akan membuatkan akta perdamaian
dan mewajibkan kedua belah pihak untuk memenuhi dan menaati
perdamaian tersebut. Sebaliknya, apabila perdamaian tidak
berhasil, maka Arbiter Tunggal atau Majelis akan meneruskan
pemeriksaan sengketa yang dimohon. Dalam hal diteruskan para
pihak dipersilakan untuk memberikan argumentasi dan pendirian
masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap periu
untuk mengatakannya. Seluruh pemeriksaan dilakukan secara
tertutup sesuai dengan asas Arbitrase yang tertutup.
Arbiter Tunggal'atau Majelis akan menutup pemeriksaan sengketa
Arbitrase dan menetapkan suatu hari sidang untuk mengucapkan
putusan yang diambil, bila menganggap pemeriksaan telah cukup,
dengan tidak menutup kemungkinan, dapat membuka sekali lagi
pemeriksaan (to Reopen) sebelum putusan dijatuhkan bila
dianggap perlu.
Putusan diambil dan diputuskan dalam suatu sidang yang dihadiri
kedua belah pihak. Bila para pihak telah dipanggil secara patut,
tetapi jika tidak ada yang hadir, maka putusan tetap diuacapkan.
Seluruh proses pemeriksaan sampai diucapkannya putusan oleh
Arbiter Tunggal atau Majelis akan diselesaikan selambat-
lambatnya sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan habis, terhitung
sejak dipanggilnya pertama kali para pihak untuk menghadiri
sidang pertama pemeriksaan.
Putusan Arbitrase tersebut harus memuat alasan-alasan, kecuali
para pihak menyetujui putusan tidak perlu membuat alasan. Arbiter
Tunggal atau Majelis harus memutus berdasar kepatutan dan
keahlian sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku bagi
perjanjian yang menimbulkan sengketa dan disepakati para pihak.
Putusannya bersifat final dan mengikat para pihak yang
bersengketa dan wajib menaati serta memenuhi secara sukarela
seperti yang disebut di atas. Apabila putusan tidak dipenuhi secara
sukarela, maka putusan dijalankan menurut ketentuan yang diatur
dalam Pasal 637 RV dan Pasal 639 RV.
Penjelasan Pasal 637 RV adalah :

365
“Putusan para wasit yang dilaksanakan atas kekuatan surat
perintah dari Raad van Justise (baca: Ketua Pengadilan
Negeri). Hal itu dicantumkan di atas surat putusan asli dan
disalin pada turunan yang dikeluarkan
Penjelasan Pasal 639 RV adalah :
“Putusan wasit yang dilengkapi dengan surat dari Ketua
Raad van Justise (baca: Ketua Pengadilan Negeri) yang
berwenang dilaksanakan menurut car a pelaksanaan biasa
Walaupun putusan Arbiter itu bersifat final, namun Peraturan
Prosedur Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
memberikan kemungkinan kepada salah satu pihak untuk
mengajukan secara tertulis permintaan pembatalan putusan
(annulment o f the award) Arbitrase tersebut yang disampaikan
kepada Sekretaris Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
dan tembusan kepada pihak lawan sebagai pemberitahuan.
Pengajuan pembatalan putusan paling lambat dalam waktu 60
(enam puluh) hari dari tanggal putusan diterima, kecuali mengenai
alasan penyelewengan dan hal itu berlaku paling lama dalam waktu
3 (tiga) tahun sejak putusan dijatuhkan. Permintaan pembatalan
putusan hanya dapat dilaku-kan berdasarkan salah satu alasan
berikut: penunjukan Arbiter Tunggal atau Majelis tidak sesuai
dengan ketentuan, putusan melampaui batas kewenangan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), putusan melebihi yang
diminta para pihak, terdapat penyelewengan di antara salah
seorang anggota Arbiter, putusan jauh menyimpang dari ketentuan
pokok dan putusan tidak memuat alasan-alasan yang menjadi
landasan pengambilan putusan.
Dalam tempo 40 (empat puluh) hari sejak permintaan pembatalan
putusan diterima Sekretaris, Ketua Dewan Pengurus harus segera
membentuk komite Ad.Hoc yang terdiri dari 3 (tiga) orang yang
akan bertindak memeriksa dan memutus permintaan pembantaian.
Anggota komite ditunjuk oleh Ketua Dewan Pengurus dan salah
satu orang dari mereka bertindak sebagai Ketua merangkap
anggota, dan tidak boleh ditunjuk Arbiter yang ikut dalam Majelis
yang memberi putusan yang diminta pembatalannya. Selama
pemeriksaan pembatalan berlangsung, komite dapat memerintah­
kan penuridaan eksekusi putusan jika hal itu dianggap perlu sampai
komite menjatuhkan putusan. Jika komite mengabulkan

366
pembatalan, sengketa semula timbul kembali dan atas permintaan
salah satu pihak dapat diajukan penyelesaian dengan membentuk
Arbiter baru yang di-tentukan oleh Ketua Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI).

367
368
B A D A N A R B IT R A S E N A S IO N A L IN D O N E S IA

A. KEBERADAAN BADAN ARBITRASE NASIONAL


INDONESIA (BANI)
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merupakan salah satu
lembaga arbitrase yang bersifat nasional. Keberadaannya
diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin)
yang didirikan pada tanggal 3 Desember 1977. Prakarsa Kamar
Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dalam mendirikan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri,
yang menyatakan bahwa dalam rangka pembinaan pengusaha
Indonesia, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dapat
melakukan antara lain jasa-jasa, baik dalam bentuk pemberian
surat keterangan, arbitrase dan rekomendasi mengenai bisnis
pengusaha Indonesia, termasuk legalisasi surat-surat yang
diperlukan bagi kelancaran usahanya.
Di beberapa negara berdirinya badan arbitrase selalu diprakarsai
oleh Kamar Dagang. Karena mereka sangat berkepentingan
terhadap lembaga ini untuk mengantisipasi permasalahan bisnis
dan sengketa para pihak, apabila di kemudian hari timbul
perselisihan. Seperti halnya di negara Belanda terdapat lcmbata
arbitrase dengan nama Nederlands Arbitrase Institut, di Jepang
terdapat The Japan Commercial Arbritation Association dan di
Amerika Serikat terdapat The American Arbitation Association.
Semua badan atau lembaga arbitrase tersebut masing-masing telah
mempunyai status dan telah menetapkan rules o f procedure yang
dipakai dalam arbitrase yang diselenggarakan.
Oleh karena sangat pentingnya keberadaan lembaga arbitrase ini,
maka hampir setiap negara mendirikannya untuk keperluan para
pebisnis. Apalagi di masa globalisasi ini, frekwensi bisnis sangat
padat dan hampir tanpa pemisah antarnegara. Dengan demikian, di
kemudian hari pasti akan timbul permasalahan bisnis antara para
pihak. Hal ini untuk menghindari penyelesaian perkara melalui
lembaga peradilan yang dianggap proses penyelesaiannya terlalu
lama. Penyelesaian perkara di pengadilan selain biayannya mahal,
prosedurnya juga berbelit-belit, sehingga akan mempengaruhi
kinerja bisnis. Sedangkan penyelesaian perkara melalui badan

369
arbitrase dianggap lebih murah, cepat dan dapat menjaga
kredibilitas perusahaan. Itulah alasannya, mengapa di setiap negara
didirikan badan arbitrase dan keberadaannya sangat dibutuhkan.
Terdapat sejumlah alasan, para pebisnis memilih penyelesaian
sengketa ke badan arbitrase dari pada ke lembaga peradilan, antara
lain dikemukakan oleh Roedijono bahwa daya tarik relatif dari
arbitrase adalah refleksi dan kelemahan-kelemahan litigasi. Proses­
nya bilamana secara tepat dilaksanakan, menjanjikan party
autonomy yang maksimal, campur tangan yang minimal dari
pengadilan dan berkaitan dengan arbitrase internasional,
pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan wasit. Jadi
arbitrase memberikan beberapa keunggulan; pemilihan arbitor oleh
para pihak (pemilihan ahli yang diinginkan), keterbatasan upaya
hukum atas putusan arbitor, kerahasiaan, kenyamanan pada pihak,
prosedur yang tidak formal dan eksekusi putusan akhir sebagai
vonis.
Demikian juga alasan memilih badan arbitrase dikemukakan oleh
M. Husseyn Umar dan A. Supriyani Kardono menyebutkan pula
alasan-alasan mengapa orang-orang dalam dunia bisnis cenderung
memilih arbitrase sebagai sarana penyelesaian sengketa dibanding­
kan dengan suatu pengadilan formal :
1. Pemilihan arbitrase memberikan prediktabilitas serta kepastian
dalam proses penyelesaian sengketa;
2. Selama arbiternya adalah seorang yang memang ahli dalam
bidang bisnis yang sedang disengketakan, maka para pihak
yang bersengketa memiliki kepercayaan terhadap arbiter dalam
memahami permasalahan yang disengketakan;
3. Privasi adalah faktor penting dalam proses arbitrase dan
masing-masing pihak memperoleh privasi tersebut sepanjang
proses masih merupakan proses yang tertutup bagi umum dan
putusan hanya ditujukan kepada para pihak yang bersengketa;
4. Peranan pengadilan dalam proses arbitrase pada umumnya
terbatas sehingga terjamin penyelesaiannya secara final;
5. Secara ekonomis proses arbitrase dianggap lebih cepat dan
lebih murah dibandingkan proses berperkara di pengadilan.

370
B. TUJUAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA
(BANI)
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) didirikan dengan
tujuan memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam seng­
keta-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal yang
berhubungan dengan perdagangan, industri dan keuangan, baik
yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) selain berfungsi
menyelesaikan sengketa, ia juga dapat menerima permintaan yang
diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan
suatu pendapat (legal opinion) yang mengikat mengenai sesuatu
persoalan berkenaan dengan perjanjian-perjanjian tersebut. Dalam
melakukan tugasnya, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
bersifat bebas (otonomi) dan tidak boleh dicampuri oleh sesuatu
kekuasaan lain.

C. SUSUNAN PENGURUS BADAN ARBITRASE NASIONAL


INDONESIA (BANI)
Sebagai sebuah organisasi atau badan, Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas
ketua, wakil ketua dan beberapa orang anggota tetap, beberapa
anggota tidak tetap dan sebuah sekretariat yang dipimpin oleh
seorang sekretaris. Ketua, wakil ketua dan para anggota tetap dan
sekretariat tersebut diangkat dan diberhentikan atas usulan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) oleh Kamar Dagang dan
Industri Indonesia (Kadin). Untuk pertama kali mereka diangkat
atas pengusulan Tim Inti pendiri Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI). Jangka waktu pengangkatan jabatan tersebut
adalah untuk waktu 5 (lima) tahun, setelah itu mereka dapat
diangkat kembali. Ketua, wakil ketua dan para anggota tetap
merupakan pengurus (board o f managing directors) Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), dan sekaligus menjadi
arbitrator, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia adalah ex officio penasihat. Untuk menjalankan fungsi
ini ia dapat dibantu oleh anggota-anggota Dewan Pengurus Harian
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Indonesia.

371
D. P R O S E D U R A R B IT R A S E B A D A N A R B IT R A S E N A S IO N A L
IN D O N E S IA (B A N I)

Dalam beracara menyelesaikan perselisihan para pihak, Badan


Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai badan arbitrase
mempunyai prosedur yang tetap, sesuai dengan peraturan dan
undang-undang yang berlaku. Prosedur arbitrase Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) dimulai dengan didaftarkannya surat
permohonan arbitrase sesuai dengan perjanjian para pihak yang
bersengketa, kemudian dicatat dalam register Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) oleh sekretaris, Surat permohonan
tersebut harus memuat:
1. nama lengkap dan tempat tinggal (tempat kedudukan) kedua
belah pihak;
2. serta uraian singkat tentang duduknya sengketa;
3. apa yang dituntut.
Pada surat permohonan harus dilampirkan salinan naskah atau akta
perjanjian arbitrase atau perjanjian yang dimuat klausula arbitrase.
Permohonan dapat menunjukan arbitrator itu kepada Ketua Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Apabila perjanjian arbitrase
dianggap sudah mencukupi untuk dijadikan dasar kewenangan
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) untuk memeriksa
sengketa yang diajukan itu, maka Ketua Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) mengeluarkan perintah untuk menyampaikan
salinan dari surat permohonan kepda si termohon, disertai perintah
untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawaban­
nya secara tertulis dalam waktu 30 (tiga puluh) hari serta dalam
jawaban tersebut si termohon harus pula menunjuk atau memilih
seorang arbiter atau menyerahkan penunjukan arbiter itu kepada
Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Segera setelah diterimanya jawaban dari si termohon, atas perintah
Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), maka salinan
dari jawaban tersebut diserahkan kepada si pemohon. Bersamaan
dengan itu, ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
memerintahkan kepada kedua pihak untuk menghadap di muka
sidang arbitrase pada waktu yang ditetapkan selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah
itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan
kepada seorang kuasa dengan surat kuasa khusus.

372
Apabila para pihak telah menunjuk arbiter mereka masing-masing,
maka Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
menunjuk seorang arbiter yang akan mengetuai majelis arbiter
yang akan memeriksa sengketa. Penunjukan arbiter yang akan
mengetuai majelis arbiter itu dilakukan dengan mengindahkan
usul-usul atau pertimbangan-pertimbangan dari para arbiter
masing-masing yang untuk itu dipersilahkan masing-masing
mengajukan 2 (dua) calon yang dipilihnya dari para anggota Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Apabila para pihak tidak
menunjuk seorang arbiter, maka Ketua Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) akan menunjuk suatu tim yang terdiri dari 3
(tiga) orang arbiter yang akan memeriksa dan memutus sengketa
atau menunjuk seorang arbiter tunggal bila sengketa dianggapnya
sederhana dan mudah untuk memeriksa dan memutuskannya.
Arbiter-arbiter yang ditunjuk oleh Ketua Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) tersebut dipilihnya dari para anggota Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Namun, apabila salah satu
pihak mempunyai keberatan terhadap seorang arbiter yang
ditunjuk, pihak yang berkeberatan wajib mengajukan alasannya.
Apabila alasan itu diterima, Ketua Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) akan menunjuk arbiter lain.
Dalam jangka waktu setelah lewat 30 (tiga puluh) hari, dan apabila
si termohon tidak menyampaikan jawabannya, Ketua Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) akan memerintahkan
pemanggilan kedua belah pihak dengan cara seperti disebutkan di
atas. Dalam jawabannya atau paling lambat pada hari sidang
pertama si termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan
(counter claim). Tuntutan balasan ini oleh majelis arbiter akan
diperiksa dan diputus bersama-sama dengan tuntutan asli si
pemohon.
Kemudian, dalam hal pemohon pada hari yang telah ditetapkan,
para pihak tanpa suatu alasan yang sah tidak datang menghadap,
sedangkan ia telah dipanggil secara patut, maka majelis akan
menggugurkan permohonan arbitrase. Sedangkan dalam hal
termohon pada hari yang telah ditetapkan, tanpa suatu alasan yang
sah, tidak datang menghadap, sedangkan ia telah dipanggil secara
patut, maka majelis akan memerintahkan supaya termohon
dipanggil sekali lagi untuk menghadap di muka sidang pada waktu
kemudian yang ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas)

373
hari lagi sejak dikeluarkannya perintah tersebut. Pemeriksaan akan
diteruskan tanpa hadirnya termohon yang kedua kalinya tanpa
suatu alasan yang sah dan tuntutan permohonan akan dikabulkan,
kecuali tutuntan itu oleh majelis dianggap tidak berdasarkan
hukum atau keadilan. Pada hari perlawanan diperiksa, termohon
tidak hadir pada sidang meskipun telah dipanggil secara sah, maka
arbitrase akan menguatkan putusannya.
Para arbitrator sebelum memutuskan pemeriksaan terhadap pokok
sengketa, maka diusahakan terlebih dahulu tercapainya suatu
perdamaian. Apabila usaha tersebut berhadil, maka majelis akan
membuatkan suatu akta perdamaian dan menghukum kedua belah
pihak untuk memenuhi perdamaian tersebut. Semua pemeriksaan
dilakukan secara tertutup sesuai dengan prinsip arbitrase. Selama
sidang arbitrase belum menjatuhkan putusan, pemohon dapat
mencabut permohonannya. Akan tetapi, apabila sudah ada jawaban
dari termohon, pencabutannya tersebut hanya diperbolehkan
dengan persetujuan termohon.
Sidang Arbitrase oleh arbiter atau majelis arbitrase akan
mengambil putusan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah ditutupnya
pemeriksaan. Dalam putusan tersebut dapat ditetapkan suatu
jangka waktu dalam mana putusan itu harus dipenuhi. Jika putusan
tersebut tidak dipenuhi, Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) akan menyerahkan putusan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang berwenang untuk dijalankan. Putusan sidang arbitrase
tadi dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam
Pasal 637 dan Pasal 639 Rv.
Kiprah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam
upaya menyelesaikan sengketa bisnis, sejak berdirinya sampai
dengan tahun 1995 telah menyelesaikan perkara dan mengeluarkan
60 (enam puluh) putusan. Perkara banyak yang berkenaan
dengan sengketa-sengketa tentang kontrak-kontrak konstruksi 60%
(enam pulu persen), perdagangan 20% (dua puluh persen), asuransi
10% (sepuluh persen), dan lain-lain 10% (sepuluh persen).
Beberapa dari putusan tersebut melibatkan perusahaan-perusahaan
asing, sedangkan sisanya berkaitan dengan kontrak-kontrak dalam
negeri. Cukup banyak jumlah aplikasi telah ditolak oleh Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) karena tidak memenuhi
persyaratan yang mengharuskan adanya klausula arbitrase dalam
perjanjian tentang sengketa atau perjanjian yang terpisah antara

374
kedua belah pihak berkenaan dengan penyelesaian sengketa oleh
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Walaupun Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) telah berdiri selama
kurang lebih 16 (enam belas) tahun, Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) belum cukup banyak menangani kasus-kasus
penyelesaian sengketa. Selama beberapa tahun pertama sejak
lahirnya, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) telah
memfokuskan kegiatan-kegiatannya pada aspek keorganisasian
dari lembaga tersebut dalam memperkenalkan konsep arbitrase
kepada masyarakat bisnis, perdagangan dan industri Indonesia.
Namun, 1 (satu) hal yang dapat dibanggakan bahwa peningkatan
yang tajam dari jumlah kasus yang ditangani oleh Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) telah berlangsung selama 3 (tiga)
tahun yang lalu 17 (tujuh belas) kasus. Fakta ini menunjukan
perkembangan arbitrase perdagangan yang membesarkan hati.
Apabila dilihat dari kelahiran Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI), dengan menyelesaikan masalah sebesar itu, dapat
diartikan bahwa kemungkinan banyak perkara, tetapi tidak
memenuhi persyaratan arbitrase atau mungkin tidak banyak kasus
yang terjadi dalam dunia bisnis dan perdagangan diselesaikan
di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

BIAYA DAN HONORARIUM ARBITER


Untuk kepentingan beracara, maka diperlukan biaya operasional.
Biaya arbitrase ditetapkan dalam suatu peraturan tersendiri yang
menjadi lampiran dari “Peraturan Prosedur” Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI). Biaya itu ditetapkan sebagai berikut:
1. Uang Pendaftaran: Rp 50,- ribu;
2. Biaya administrasi/pemeriksaan, yang dihitung sebagai berikut:
Jumlah yang dituntut Biaya adm inistrasi/
pemeriksaan:
Rp 5 ju ta - Rp 10 juta Rp 150 ribu ditambah 2 persen
dari jumlah yang melebihi Rp 5
juta;

375
Rp 10ju ta - R p 50juta Rp 250 ribu ditambah 1 persen
dari jumlah yang melebihi Rp 10
juta;
Rp 50 ju ta -R p 100 juta Rp 650 ribu ditambah 0,5
persen dari jumlah yang
melebihi Rp 50 juta;
Rp 100 juta atau lebih Rp 900 ribu ditambah 0,25
persen dari jumlah yang
melebihi Rp 100 juta;
Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi/ahli dibebankan kepada
pihak yang meminta dipanggilnya saksi/ahli tersebut dan biaya
harus terlebih dahulu dibayar kepada sekretaris Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI). Demikian juga apabila arbiter atau
majelis arbiter memerlukan perjalanan untuk melakukan pemerik­
saan setempat, maka biaya perjalanan dibebankan kepada 2 (dua)
belah pihak, masing-masing separo, dan biaya terlebih dahulu
harus dibayar kepada sekretaris Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI).
Honorarium arbiter ditetapkan oleh Ketua Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) untuk setiap sengketa. Jumlah
Honorarium arbiter tidak melebihi 2 (dua) kali biaya administrasi/
pemeriksaan yang telah ditetapkan untuk sengketa. Biaya
administrasi dibebankan kepada termohon jika tuntutan sepenuh­
nya dikabulkan. Sebaliknya, apabila tuntutan ditolak, biaya
administrasi/pemeriksaan dibebankan kepada pemohon. Apabila
tuntutan sebagian dikabulkan, biaya administrasi/pemeriksaan
dibebankan kepada kedua belah pihak menurut ketetapan yang adil
dari pihak Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Sedangkan
honorarium arbiter dibebankan kepada kedua belah pihak, masing-
masing separo.
Untuk biaya eksekusi suatu putusan arbitrase ditetapkan dengan
suatu peraturan bersama antara Ketua Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) dan ketua Pengadilan Negeri yang bersangkut­
an. Biaya ini dibebankan kepada pihak yang telah dikalahkan dan
tidak secara sukarela memenuhi putusan. Jika sebelum dijatuhkan
putusan pemohon mencabut permohonannya, jika pemeriksaan
belum dimulai, maka biaya pemeriksaan dikembalikan seluruhnya

376
kepada pemohon, jika pemeriksaan sudah dimulai, dari biaya
tersebut dikembalikan sebagian menurut ketetapan Ketua Badan
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sewajarnya.

1. Pemilihan arbitrase memberikan prediktabilitas serta kepastian


dalam proses penyelesaian sengketa;

377
378
ANGGARAN DASAR
BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA
(BANI)

Pasal 1
(1) Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah sebuah badan
yang didirikan atas prakarsa Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
Indonesia, yang bertujuan memberikan penyelesaian yang adil dan
cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai soal-
soal perdagangan, industri dan keuangan, baik yang bersifat
nasional maupun yang bersifat internasional.
(2) Dalam melakukan tugasnya tersebut BANI adalah bebas (otonom)
dan tidak boleh dicampuri oleh sesuatu kekuasaan lain.
(3) Tanpa adanya suatu sengketa, BANI dapat menerima per-mintaan
yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk
memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai sesuatu
persoalan berkenaan dengan perjanjian-perjanjian tersebut.

Pasal 2
Badan Arbitrase Nasional Indonesia didirikan untuk waktu yang tidak
ditentukan lamanya, berkedudukan di Jakarta dan mem-punyai cabang-
cabangnya di tempat-tempat lain di Indonesia yang dianggap perlu,
setelah diadakan mufakat dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
Indonesia.

Pasal 3
(1) Badan Arbitrase Nasional Indonesia terdiri atas seorang ketua,
seorang wakil ketua, beberapa orang anggota tetap, bebera-pa
orang anggota tidak tetap dan sebuah sekretariat yang dipim-pin
oleh seorang sekretaris.
(2) Mereka diangkat dan diberhentikan atas pengusulan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia oleh Kamar Dagang dan Industri.

379
Pasal 4
(1) Apabila perjanjian arbitrase atau klausula arbitrase menun-juk
BANI sebagai badan arbitrase yang akan memutusi sengketa, atau
apabila dengan tegas disebutkan bahwa pemutusan sengketa akan
dilakukan oleh sesuatu badan arbitrase menurut “Peraturan
Prosedur BANI”, maka sengketa akan diperiksa dan diputus
menurut ketentuan-ketentuan yang berikut.
(2) Adalah diperbolehkan bahwa BANI atas persetujuan kedua belah
pihak memeriksa dan memutusi suatu sengketa dengan memakai
ketentuan-ketentuan prosedur yang menyimpang dari ketentuan-
ketentuan tersebut. Persetujuan yang demikian harus diadakan
dengan tegas dan tertulis.

Pasal 5
(1) Apabila perjanjian yang menyerahkan pemutusan sengketa kepada
arbiter/badan arbitrase atau klausula arbitrase dianggapnya sudah
mencukupi, maka ketua BANI mengeluarkan perintah untuk
menyampaikan salinan dari surat permohonan kepada si termohon,
disertai perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan
memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu tiga puluh
hari.
(2) Dalam jawaban tersebut si termohon harus pula menunjuk
(memilih) seorang arbiter atau menyerahkan penunjukan arbiter itu
kepada ketua BANI. Jika dalam jawaban tersebut tidak ditun-juk
seorang arbiter, maka dianggap bahwa si termohon menyerah-kan
penunjukan arbiter itu kepada ketua BANI.
(3) Dalam halnya para pihak telah menunjuk arbiter mereka masing-
masing, maka ketua BANI menunjuk seorang arbiter yang akan
mengetuai majelis arbiter yang akan memeriksa sengketa.
Penunjukan arbiter yang akan mengetuai majelis itu dilakukan
dengan mengindahkan usul-usul dari para arbiter masing-masing
pihak yang untuk itu dipersilakan masing-masing mengajukan dua
calon yang dipilihnya dari para anggota BANI.
(4) Apabila para pihak tidak menunjuk seorang arbiter, maka ketua
BANI akan menunjuk suatu team terdiri atas tiga orang arbiter
yang akan memeriksa dan memutusi sengketa. Jika sengketa

380
dianggapnya sederhana dan mud ah, ia akan menunjuk seorang
arbiter tunggal untuk memeriksa dan memutusinya.
(5) Arbiter-arbiter yang ditunjuk oleh ketua BANI tersebut di atas
dipilihnya dari para anggota BANI.
(6) Apabila satu pihak mempunyai keberatan terhadap seorang arbiter
yang ditunjuk oleh ketua BANI, ia diwajibkan mengajukan
alasannya. Apabila alasan itu diterima, ketua BANI akan menunjuk
arbiter lain.

Pasal 6
Majelis (team) arbiter yang dibentuk atau arbiter tunggal yang ditunjuk
menurut ketentuan-ketentuan pasal yang lalu, akan memeriksa dan
memutusi sengketa antara kedua belah pihak, atas nam a BANI, dan
menjalankan semua kewenangan BANI yang berkenaan dengan
pemeriksaan dan pemutusan sengketa.

Pasal 7
(1) Segera setelah diterimanya jawaban dari si termohon, atas perintah
ketua BANI salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada si
pemohon.
(2) Bersamaan dengan itu ketua BANI memerintahkan kepada kedua
pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase pada waktu yang
ditetapkan selambat-lambatn ya empat belas hari ter-hitung mulai
hari dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberi-tahuan bahwa
mereka boleh mewakilkan kepada seorang kuasa dengan surat
kuasa khusus.

Pasal 8
Juga apabila si termohon, setelah lewatnya tiga puluh hari tersebut
dalam Pasal 5, tidak menyampaikan jawabannya, ketua akan
memerintahkan pemanggilan kedua pihak dengan cara seperti
disebutkan dalam ayat 2 pasal yang lalu.

Pasal 9

381
(1) Dalam jawabannya atau paling lambat pada hari sidangpcr-tama si
termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan.
(2) Tuntutan balasan ini oleh majelis arbiter akan diperiksa dan
diputus bersama-sama dengan tuntutan ash si pemohon.

Pasal 10
Apabila pada hari yang telah ditetapkan, si pemohon, tanpa sesuatu
alasan yang sah, tidak datang menghadap, sedangkan ia telah dipanggil
secara patut, maka majelis akan menggugurkan permohonan arbitrase.

Pasal 11
Apabila pada hari yang telah ditetapkan itu si termohon, tanpa sesuatu
alasan yang sah, tidak datang menghadap, sedangkan ia telah dipanggil
secara patut, maka ketua akan memerintahkan supaya ia dipanggil
sekali lagi untuk menghadap di muka sidang pada waktu kemudian
yang ditetapkan selambat-lambatnya empat belas hari lagi sejak
dikeluarkannya perintah tersebut.

Pasal 12

Apabila pada hari yang telah ditetapkan lagi itu si termohon tanpa
sesuatu alasan yang sah tidak dapat menghadap juga, maka
pemeriksaan akan ditemskan tanpa hadirnya si termohon dan tun tu tan
si pemohon akan dikabulkan, kecuali tun tut an itu oleh majelis
dianggap tidak berdasarkan hukum atau keadilan.

Pasal 13
(1) Apabila kedua belah pihak datang menghadap, maka terle-bih
dahulu majelis akan mengusahakan tercapainya suatu perdamaian.
(2) Apabila usaha tersebut berhasil, maka majelis akan mem-buatkan
suatu akte perdamaian dan menghukum kedua belah pihak untuk
memenuhi perdamaian tersebut.

382
(3) Apabila usaha untuk mencapai perdamaian tidak berhasil, maka
BANI akan meneruskan pemeriksaan terhadap pokok sengketa
yang dimintakan keputusan itu.

Pasal 14
(1) Kedua belah pihak dipersilakan untuk menjelaskan masing-masing
pendirian serta mengajukan bukti-bukti yang oleh mereka dianggap
perlu untuk menguatkannya.
(2) Apabila dianggap perlu, ketua, baik atas permintaan para pihak
maupun atas prakarsa BANI sendiri, dapat memanggil saksi-saksi
atau ahli-ahli untuk didengar keterangan mereka.
(3) Pihak yang minta dipanggilnya saksi/ahli, harus membayar lebih
dahulu kepada sekretaris segala biaya pemanggilan dan perjalanan
saksi/ahli tersebut.
(4) Sebelum memberikan keterangan mereka, para saksi maupun ahli
dapat disumpah terlebih dahulu bahwa mereka hanya akan
menerangkan apa yang mereka ketahui dengan sungguh-sungguh.
(5) Semua pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup.

Pasal 15
(1) Selama belum dijatuhkan putusan, pemohon dapat mencabut
permohonannya.
(2) Apabila sudah ada jawaban dari termohon, pencabutan tersebut
hanya diperbolehkan dengan persetujuan termohon.
(3) Apabila pemeriksaan belum dimulai, maka biaya pemeriksa-an
dikembalikan seluruhnya kepada pemohon.
(4) Apabila pemeriksaan sudah dimulai, dari biaya tersebut
dikembalikan sebagian menurut ketetapan ketua BANI
sebagaimana dianggapnya pantas.

Pasal 16
(1) Apabila majelis menganggap pemeriksaan telah cukup, maka ketua
akan menutup pemeriksaan itu dan menetapkan suatu hari sidang
untuk mengucapkan putusan yang akan diambil.

383
(2) Majelis akan mengambil putusan dalam waktu satu bulan setelah
ditutupnya pemeriksaan.

Pasal 17
Dalam putusan dapat ditetapkan suatu jangka waktu dalam mana
putusan itu harus dipenuhi.

Pasal 18
Apabila jangka waktu tersebut telah lewat tanpa dipenuhinya putusan,
ketua BANI akan menyerahkan putusan kepada ketua Pengadilan
Negeri yang berwenang, untuk dijalankan.

Pasal 19
Putusan dijalankan menurut ketentuan-ketentuan dimuat dalam pasal
637 dan 639 “Reglement op de Rechtsvordering”.

Pasal 20
Biaya arbitrase ditetapkan dalam suatu peraturan tersendiri yang
menjadi lampiran dari “Peraturan Prosedur” ini.

Pasal 21
(1) Apabila tuntutannya sepenuhnya dikabulkan atau pendirian si
pemohon seluruhnya dibenarkan, biaya administrasi/pemeriksaan
dipikulkan kepada si termohon.
(2) Apabila tuntutan ditolak, biaya administrasi/pemeriksaan dipikul­
kan kepada si pemohon.
(3) Apabila tuntutan sebagian dikabulkan, biaya administrasi/
pemeriksaan dibagi antara kedua pihak menurut ketetapan yang
dianggap adil oleh BANI.
(4) Honorarium bagi para arbiter selamanya dipikul oleh kedua belah
pihak, masing-masing separuh.

384
Pasal 22
(1) Biaya pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan arbitrase ditetapkan
dengan suatu peraturan bersama antara ketua BANI dengan para
ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
(2) Biaya pelaksanaan (eksekusi) tersebut dibebankan kepada pihak
yang telah dikalahkan dan tidak secara sukarela memenuhi putusan.

Pasal 23
Apabila dalam prosedur ada sesuatu hal yang tidak telah diatur
dalam peraturan ini, maka BANI akan menetapkan suatu ketentuan
mengenai itu.

385
386
ARBITRASE ISLAM : BADAN ARBITRASE
MUAMALAT INDONESIA (BAMUI) DALAM
PERSPEKTIF ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. SUMBER HUKUM ISLAM TENTANG ARBITRASE ISLAM :


BADAN ARBITRASE MUALAMAT INDONESIA (BAMUI)
Pada Bab Pendahuluan telah dijelaskan, bahwa yang menjadi latar
belakang dibentuknya Arbitrase Islam; dalam konteks ini adalah
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), sejalan dengan
adanya gagasan ekonomi Islam yang ditandai dengan perkembang­
an perbankan Islam, seperti lahirnya Bank Muamalat Indonesia
(BMI), Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Asuransi
Takaful. Sebagai suatu proses kegiatan, kehadiran perbankan dan
ekonomi Islam ini akan melibatkan bank sebagai lembaga
keuangari dan masyarakat sebagai nasabah, sehingga antara
keduanya akan saling berhubungan. Dalam kegiatan bisnis, pola
hubungan keduanya akan mempunyai status yang berbeda. Bank di
pihak satu akan menjadi penyalur dana (kreditur) sesuai dengan
fungsinya. Sedangkan masyarakat di pihak lain akan menjadi
nasabah atau debitur yang me-merlukan dana dari pihak bank
untuk meningkatkan kegiatan bisnisnya. Hubungan pihak bank
sebagai kreditur maupun masyarakat sebagai nasabah/debitur, akan
menimbulkan hubungan hukum antara keduanya.
Hubungan hukum dalam kaitan bisnis antarbank Islam dan
nasabah/debiturnya disebabkan oleh adanya perjanjian para pihak
secara bebas. Dalam hukum perjanjian yang diatur KUHPerdata,
bagi pembuat suatu perjanjian berlaku asas kebebasan berkontrak
(freedom o f contract). Berdasarkan kebebasan berkontrak para
pihak boleh melakukan apa saja sepanjang memenuhi kepatutan,
sesuai dengan undang-undang, dan dengan ketertiban umum.
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, disebutkan :
“suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, hanya sah
apabila perjanjian itu dibuat oleh pihak-pihak yang oleh
hukum dianggap cakap untuk memenuhi perjanjian, dan

387
dibuat berdasarkan kesepakatan diantara para pihak yang
membuatnya ” .
Hubungan hukum yang ditimbulkan dari perjanjian tersebut, bisa
saja menimbulkan hal yang positif dan bisa juga menimbulkan hal
yang negatif. Apabila hubungan antara keduanya positif,
masalahnya menjadi sederhana. Namun sebaliknya, apabila
hubungan hukum tersebut menjadi negatif, misalnya terjadi
sengketa bisnis para pihak (bank sebagai kreditur dan nasabah
sebagai debitur) masalahnya akan menjadi rumit, sehingga perlu
melibatkan pihak lain untuk menjadi penengah dalam
menyelesaikan sengketa. Apabila sengketa bisnis antara bank Islam
dan debitur itu muncul, penyelesaiannya akan sulit dilakukan.
Dilimpahkan ke Peradilan Umum tidak bisa diterima,
karena/nasalahnya tidak masuk dalam wilayah yurisdiksinya.
Demikian juga ke Peradilan Agama, tidak mungkin bisa di­
selesaikan, karena wilayah yurisdiksinya berdasarkan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terbatas di
bidang, perkawinan, warisan, wasiat, hibah dan sedekah.
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama memiliki
kekuasaan memeriksa, memutus dan menyelesaikan “perkara
perdata terfentu” di kalangan golongan rakyat tertentu”, yaitu
orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan Pengadilan Agama
diatur dalam BAB III Pasal 49 sampai dengan Pasal 53 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989. Pasal 49 ayat (1), menentukan
kewenangan Peradilan Agama sebagai berikut:
Latar belakang dan kekhawatiran inilah, para Ulama, Cendekiawan
Muslim dan para Ekonom Muslim di Indonesia yang digagas oleh
Majelis Ulama Indonesia untuk mendirikan Lembaga Arbitrase
Islam dengan nama : Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI), sebagai lembaga permanen yang berfungsi untuk
menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara
bank Islam dengan nasabah-debiturnya. Keinginan di kalangan
umat Islam untuk mempunyai suatu Lembaga Arbitrase yang dapat
menyelesaikan sengketa perdata (muamalah) secara adil, cepat,
murah dan final berdasarkan islah atau musyawarah mufakat sudah
lama sebelum adanya Bank Muamalat Indonesia dan Bank
Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Asuransi Takaful.

388
Dalam Subbab ini akan dijawab pertanyaan, apakah terdapat
sumber hukum Islam yang menjadi dasar keharusan adanya
Lembaga Arbitrase Islam? Penelitian ini akan menjawab
pertanyaan tersebut dengan mengemukakan sejumlah data dan
fakta yang berasal dari berbagai sumber penelitian, seperti buku,
literatur, karya ilmiah, dan studi langsung di lapangan melalui
wawancara dengan narasumber yang kompeten.
Sedangkan keberadaan Lembaga/Badan Arbitrase Islam pada masa
Rasulullah SAW meskipun masih bersifat ad-hoc sudah
diberlakukan, sebelum Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) lahir di Indonesia sebagai Lembaga Arbitrase Islam
yang permanen. Berdasarkan catatan sejarah telah berperan sangat
besar dalam menyelesaikan sengketa, baik masalah politik, perang,
keluarga, ekonomi dan bisnis. Keputusan yang diberikan apakah
oleh Arbiter Tunggal maupun Arbiter Majelis sangat memenuhi
harapan dan rasa keadilan di antara para pihak, sehingga lembaga
ini berkembang terus sampai sekarang. Dengan perkembangannya
itu, maka status Lembaga Arbitrase banyak berubah dari semula
bersifat ad-hoc menjadi Lembaga Arbitrase permanen dengan
penguatan ke lembagaannya melalui dukungan yuridis dalam
bentuk peraturan-peraturan dan perundang-undangan.
Keberadaan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
sebagai lembaga Arbitrase Islam di Indonesia merupakan salah
satu kajian yuridis yang sangat menarik dalam perspektif Islam.
Berdasarkan kajian yuridis, historis maupun sosiologis keislaman
dapat dikemukakan bahwa sangat kuat landasan hukum yang
bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ Ulama.
Terdapat sejumlah alasan dan argumentasi tentang ke-harusan
adanya Lembaga Arbitrase Islam seperti halnya Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI). Demikian juga kenyataan
sosiologis menunjukkan, bahwa masyarakat” di manapun sangat
membutuhkan suatu lembaga untuk menyelesaikan sengketa di
antara mereka dengan cara mudah, murah, cepat dan memenuhi
rasa keadilan.
Dari segi kajian yuridis formal keislaman, berdasarkan hasil
penelitian penulis di atas menunjukkan bahwa keharusan dan
keberadaan Lembaga Arbitrase Islam : Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa

389
atau permasalahan umat Islam merupakan suatu kewajiban, bahkan
menurut pendapat penulis menjadi suatu Fardu kifayah:
“Dalam arti sesuatu yang wajib keberadaannya walaupun
diwakili oleh suatu Lembaga Arbitrase, perseorangan maupun
kolektif, baik sifatnya ad-hoc maupun permanen ”.
Sumber hukum yang mengharuskan adanya Lembaga Arbitrase
Islam: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), yaitu Al-
Qur’an sebagai sumber hukum Islam pertama. Perintah Allah SW'I'
tentang keharusan dan keberadaan Lembaga Arbitrase Islam
terdapat dalam AI-Qur’an :
Surat 49 Al-Hujurat: 9, artinya :
"Jika 2 (dua) golongan orang beriman bertengkar,
damaikanlah mereka. Tetapi jika salah satu dari kedua
(golongan) berlaku aniaya terhadap prang lain, maka
perartgilah orang yang menganiaya sampai kembali kepada
perintah Allah Swt. Apabila ia telah kembali, damaikanlah
keduanya dengan adil dan bertindaklah benar. Sesungguhnya
Allah Swt. sangat menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Surat 4 An-Nisa: 35, artinya :
“Dan jika kamu khawatir akan terjadi persengketaan antara
keduanya (suami-istri), maka kirimkanlah seorang hakam
(Arbiter, pen.) dari keluarga perempuan dan dari keluarga
laki-laki. Jika kedua orang hakam itu mengadakan perbaikan
(perdamaian) niscaya, Allah SWT akan memberi taufik kepada
suami-istri itu. Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui
dan Mengenal ”.
Dari kedua ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa lembaga hakam
dalam perspektif Hukum Islam atau Badan Arbitrase dalam
perspektif Ilukum Positif merupakan suatu kebutuhan untuk
menyelesaikan sengketa umat/masyarakat dimanapun berada agar
Ukhuwah Islamiyah tetap terjaga secara utuh. Bahkan, pada Surat
49 Al-Hujurat : 9 di atas disebutkan apabila salah satu dari
keduanya melakukan wanprestasi atau pelanggaran (aniaya), maka
hams diberi sanksi dengan jalan upaya paksa (diperangi). Apalagi
wanprestasi dan pelanggaran tersebut mempunyai nilai ekseku-
torial, maka hams dilakukan upaya paksa tersebut sesuai dengan

390
klausula perjanjian para pihak atau putusan Badan Arbitrase, baik
putusan Tunggal atau Majelis.
Ajaran Islam memerintahkan, bahwa memenuhi kewajiban sesuai
dengan perjanjian atau yang dijanjikan merupakan kewajiban dan
apabila mengabaikannya atau melakukan wanprestasi atau
pelanggaran merupakan dosa yang hams dikenai sanksi hukum. Di
dalam Al-Qur’an Surat 5 Al-Maidah: 1, artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah penuhilah
perjanjian-perjanjian
Kata uqud di dalam AI-Qur’an mempunyai pengertian yang sangat
komprehensif, Ynencakup keseluruhan perjanjian. Seperti
perjanjian dengan Allah SWT untuk menjalankan semua ibadah
dan meninggalkan yang di-larang, atau perjanjian di antara
manusia. Jadi, kata “uqud” dalam Hukum Islam mempunyai lebih
banyak konotasi dan lebih luas daripada “kontrak atau perjanjian”
yang terdapat dalam Hukum Positif.
Sumber Hukum Islam kedua, yang mengharuskan adanya Lembaga
Arbitrase Islam, yaitu As-Sunnah/AI-Hadits. Banyak kejadian dan
peristiwa yang dialami oleh Rasulullah SAW sebagai Arbiter
dalam menyelesaikan sengketa umat dan mendamaikan para-pihak
yang berselisih. Rasulullah SAW yang mempunyai gelar Al-Amin
(orang terpercaya) dalam setiap terjadi perselisihan umat selalu
tampil sebagai Arbiter Tunggal melalui proses dan sistem Arbitrase
ad-hoc yang sesuai dengan masa itu. Ketika Islam itu terus
berkembang dan juga masalah umat Islam juga semakin luas,
dengan sendirinya muncul berbagai sengketa, tidak hanya yang
berkaitan dengan masalah perdata saja seperti konflik ekonomi dan
keluarga, tetapi juga merambah kepada masalah politik dan perang.
Sebelum lembaga peradilan berkembang, hampir semua masalah
ini diselesaikan melalui proses Arbitrase, baik Tunggal maupun
Majelis oleh Rasulullah SAW dan/atau para sahabatnya.
Di antara para perawi hadits, yaitu At-Tirmizi, Ibnu Majah, Al-
Hakim dan Ibnu Hibban, telah meriwayatkan bahwa :
“Rasulullah SAW telalf bersabda, perjanjian di antara orang-
orang muslim itu boleh, kecuali perjajnjian menghalalkan
yang haram dan mengharamkan yang halalr At-Tirmizi dalam

391
hal ini menambahkan muamalah orang-orang muslim itu
berdasarkan syarat-syarat mereka
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurajrah, bahwa :
"Rasulullah SAW bersabda, ada seorang laki-laki membeli
pekarangan dari seseorang. Orang yang membeli tanah
pekarangan tersebut menemukan sebuah guciyang berisikan
emas. Kata orang yang membeli pekarangan : ambillah
emasmu yang ada pada saya, aku hanya membeli daripadamu
tanahnya dan tidak membeli emasnya. Jawab orang memiliki
tanah, aku telah menjual kepadamu tanah dan barang-barang
yang terdapat di dalamnya. Kedua orang itu lalu bertahkim
(mengangkat arbiter) kepada seseorang. Kata orang yang
diangkat menjadi Arbiter, apakah kamu berdua mempunyai
anak. Jawab dari salah seorang dari kedua yang bersengketa,
ya, saya mempunyai seorang anak laki-laki, dan yang lain
menjawab pula, saya mempunyai seorang anak perempuan.
Kata Arbiter lebih lanjut, kawinkanlah anak laki-laki itu
dengan anak perempuan itu dan biayailah kedua mempelai
dengan emas itu. Dan kedua orang tersebut menyedekahkan
(sisanya kepada fakir miskin) ”.
Selain dasar hukum Arbitrase yang bersumber dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah, juga bersumber dari Hukum Islam ketiga, yaitu Ijma’
(konsensus) para ulama dalam menetapkan huk.um terhadap
sesuatu yang dijadikan dasar hukum Islam. Dalam catatan sejarah
Islam keberlakuan dan keber-adaan lembaga tahkim (Arbitrase)
pada masa sahabat banyak dilakukan dan mereka tidak
menentangnya. Misalnya pernyataan Sayyidina Umar Ibnul
Khattab, bahwa :
"Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena
pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan
kedengkian di antara mereka ”.
Sebagai salah satu contoh dari keberlakuan Ijma’ Ulama itu adalah
lahirnya Lembaga Arbitrase Islam : Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) atas dasar adanya kesepakatan para Ulama,
Cendekiawan Muslim dan para#ekonom Muslim di Indonesia yang
digagas oleh Majelis Ulama Indonesia untuk mendirikan lembaga
Arbitrase Islam. Ilal ini dipandang penting untuk mengantisipasi

392
perkembangan kepentingan umat dalam berbagai kasus sengketa,
terutama dl bidang bisnis dan ekonomi.
Secara sosiologis, keberadaan Lembaga Arbitrase rslam sangat
diharapkan oleh masyarakat.dimanapun mereka hidup. Islam
datang pada masyarakat yang sudah mempunyai tatanan hukum,
demi kelangsungan pergaulan hidup. Hukum Islam datang sebagai
rahmatan lil’alamin yang antara lain mengoptimalkan hal yang
positif dan mengikis habis adat yang merugikan kemudian
digantikan dengan adat yang sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Pelembagaan adat dalam Hukum Islam diketahui antara lain dari
sikap Rasulullah SAW terhadap setiap yang sedang berlaku yang
biasanya disebut sebagai Sunnah Taqririyah.
Peristiwa lembaga tahkim (Arbitrase) secara eksplisit dinyatakan
oleh Rasulullah SAW melalui dialognya dengan Abu Syurcih
(nama aslinya Mani), secara singkat dapat diungkapkan sebagai
berikut : Abu Syurcih berkata kepada Nabi bahwa rakyatnya bila
sedang terjadi persengketaan di antara mereka, selalu mendatangi
Abu Syurcih untuk bertahkim mcn-cari penyelesaian secara
sukarela. Dalam hal ini ia dapat menyelesaikan sengketa di antara
mereka dengan menyejukan hati mereka hingga diterima oleh
kedua belah pihak dengan perasaan lega. Kemudian, Rasulullah
SAW memberikan rcaksi/jawaban, alangkah baiknya hal itu.
Dengan kata lain, jawaban Rasulullah SAW itu dapat diartikan
sebagai persetujuan, go ahead.
Apa sebabnya, hukum Islam melembagakan tahkim (Lembaga
Arbitrase) sebagai tatanan yang positif atau dengan kata lain apa
sebabnya Rasulullah SAW dapat menerima tindakan Abu Syurcih
menjadi Arbiter terhadap kaumnya yang sedang berselisih?
Jawabnya karena tahkim/Arbitrase itu mengandung nilai-nilai
positif dan konstruktif adalah sebagai berikut:
1. Kedua pihak menyadari sepenuhnya perlunya penyelesaian
yang terhormat dan bertanggung jawab;
2. Secara sukarela mereka menyerahkan penyelesaian
persengketaan itu kepada orang atau lembaga yang disetujui
dan dipercayainya;
3. Secara sukarela mereka akan melaksanakan putusan dari
Arbiter, sebagai konsekuensi alas kesepakatan mereka

393
mengangkat Arbiter. Kesepakatan mengandung janji dam janji
itu harus ditepatf (Q. 17 : 24);
4. Mereka menghargai hak orang lain, sekalipun orang lain itu
adalah lawannya;
5. Mereka tidak ingin merasa benar-sendiri (bener sak karepe
dewe) dan mengabaikan kebenaran yang mungkin ada pada
orang lain;
6. Mereka memilki kesadaran hukum dan sekaligus kesadaran
ber-negara/bermasyarakat, sehingga dapat dihindari tindakan
main hakim sendiri (eigenrechting)',
7. Sesungguhnya pelaksanaan tahkim/Arbitrase itu di dalamnya
mengandung makna musyawarah dan perdamaian.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sebagai salah satu contoh
lembaga arbitase Islam yang ada di Indonesia, apabila dilihat dari
aspek yuridis mempunyai dasar hukum yang sangat kuat, yaitu
bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Ulama. Secara
historis, dapat dikatakan bahwa keberadaan lembaga Arbitrase
Islam sudah sejak masa Rasulullah SAW dan berkembang sampai
sekarang dari Lembaga Ad.IIoc menjadi Lembaga Permanen.
Demikian juga secara sosiologis, keberadaan Arbitrase Islam
merupakan kebutuhan umat dalam menyelesaikan setiap terjadi
sengketa di antara mereka yang meliputi masalah politik,
peperangan, perdagangan, keluarga, ekonomi dan bisnis. Selain
juga dapat dilakukan secara murah, mudah dan cepat dibandingkan
dengan proses pengadilan.

B. KEDUDUKAN BADAN ARBITRASE MUAMALAT


INDONESIA (BAMUI) DALAM HUKUM POSITIF
Pada Subbab ini akan dijawab pertanyaan di mana kedudukan
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dalam hukum
Positif? Untuk menjawab pertanyaan ini, penelitian dilakukan
melalui studi dokumentasi, sumber hukum sekunder, buku,
literatur, karya ilmiah dan wawancara langsung dengan nara­
sumber yang kompeten.
Keberadaan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
sebagai Lembaga. Arbitrase Islam tidak bisa dilepaskan dengan

394
adanya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan
Rakyat Syariah (BPRS) dan Asuransi 'I'akaful sebagai lembaga
keuangan yang berdasarkan prinsip syariah. Perkembangan bank
berdasarkan prinsip syariah, secara yuridis formal telah
mendapatkan legitimasi yang kuat. Setelah diberlakukan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Apabila dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, bank konvensional tidak
boleh memiliki Islamic Window dalam melakukan kegiatan
usahanya, maka dengan diubahnya undang-undang itu dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bank konvensional di
Indonesia diizinkan untuk membuka Islamic Window untuk
menawarkan di dalam usaha perbankannya di samping dengan
sistem konvensional, juga dibolehkan dengan sistem syariah.
Dengan adanya usaha perbankan sistem syariah ini, perkembangan
muamalat (Hukum Perdata) umat Islam telah berkembang; dari
masalah hukum keluarga, seperti perkawinan, kewarisan, hibah,
wasiat dan perceraian bertambah dengan hukum bisnis, seperti
perekonomian, dan dunia usaha lainnya. Apabila di kemudian hah
timbul sengketa para pihak, maka yang berkaitan dengan hukum
keluarga dapat diselesaikan di Pengadilan Agama. Demikian juga
apabila sengketa itu timbul dari masalah bisnis antara Bank
Muamalat Indonesia (BMI) dengan nasabahnya, maka
penyelesaiannya diserahkan kepada Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) sesuai dengan klausula yang dibuat para pihak
sebelum perjanjian dilakukan (pactum de compromittendo).
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI), diperoleh keterangan bahwa
sekarang ini, akta perjanjian kredit antara Bank Muamalat
Indonesia (BMI)/Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan
nasabahnya selalu memuat klausula apabila terjadi sengketa akan
diselesaikan melalui Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI). Menurut Muhammad Syafi’i. Antonio, disebutkan
bahwa perkembangan jumlah bank Islam di Indonesia sampai
dengan November 1994 sebagai berikut : Bank Umum 1 (satu)
(sekarang bertambah dengan Bank Mandiri Syariah (BMS),
tambahan penulis), Bank Desa (Bank Perkreditan Rakyat Syariah)
37 (tiga puluh tujuh) dan Baitul Maal Wat-Tamwil (BM l') 50 (lima
puluh). Melihat kenyataan ini, dengan berkembangnya lcmbaga-

395
lembaga keuangan berdasarkan sistem Islam di Indonesia, maka
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) di masa
mendatang akan memegang peranan yang sangat penting untuk
menyelesaikan sengketa brsnis para pihak. Bahkan, peranan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) tidak hanya bersifat
nasional, tetapi di masa globalisasi ini bisa saja berperan secara
internasional mengingat keberadaan bank berdasarkan Islam saat
ini justru lebih berkembang di dunia internasional daripada di
Indonesia. Menurut laporan Islamic Development Bank (IDB).
Jumlah bank Islam di dunia internasional saat ini mencapai : 36
(tiga puluh enam) bank, jumlah Bank Islam di negara muslim
sebanyak 117 (seratus tujuh betas) (termasuk di Indonesia 1 (satu)
bank umum, 37 (tiga puluh tujuh) Bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS) dan 50 (lima puluh). Baitul Maal Wat-Tamwil
(BMT)), dan bank Islam di negara nonmuslim sebanyak 9
(sembilan) bank. Suatu hal yang mungkin saja terjadi di masa
mendatang dunia perbankan Islam akan memegang peranan yang
sangat penting dalam bisnis antarnegara seperti halnya bank
konvensional yang lebih dulu mengalami kemajuan.
Peranan lembaga perbankan Islam di masa mendatang tidak hanya
sebagai lembaga keuangan, tetapi bisa menjadi lembaga penjamin
dalam dunia bisnis, ekonomi dan perdagangan melalui surat-surat
berharga.
Keberadaan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) secara
yuridis formal mempunyai legitimasi yang sangat kuat di negara
Indonesia. Terdapat dasar hukum negara sebagai hukum positif
yang berlaku saat ini memungkinkan suatu lembaga lain di luar
lembaga peradilan umum dapat menjadi wasit/hakim dalam
penyelesaian sengketa para pihak. Walaupun, penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman pada dasarnya diserahkan kepada badan
peradilan dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 14
'I'ahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman. Hal
tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan
dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan fata
Usaha Negara yang masing-masing diatur dalam undang-undang
tersendiri.

396
Namun demikian, di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain, bahwa :
“Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan
tetapi putusan Arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
eksekusi (executoir) dari pengadilan ".
Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan Arbitrase di
Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen
Acara Perdata (Reglemenl op De Rechtvordering, Staalsblad 1847:
52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Ilet
Iierziene . Indonesisch Reglement, Staalsblad 1941: 44) dan Pasal
705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staalsblad 1927: 227). Dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui Pasal 81
undang-undang tersebut secara tegas mencabut' ketiga macam
ketentuan tersebut terhitung sejak tanggal diundangkannya.
Di dalam Mukadimah Yayasan Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) dikemukakan bahwa Badan ini akan bekerja
dalam kerangka peraturan resmi nCgara yang ada dan didasarkan
pada kesadaran dan penghayatan hukum pelaku-pelaku muamalat
itu, semuanya dilandasi oleh asas musyawarah mufakat dan akhlak
Islam dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasari 945.
Dari segi kelembagaan, status hukum Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) adalah yayasan yang dibentuk berdasarkan
Akta Notaris Nomor 175 pada hari Kamis tanggal 21 Oktober 1993
bertepatan dengan tanggal 5 Jumadil Avyal 1414 Hijriah. Notaris
pembuat akta yayasan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) Nyonya Lely Roostiati Paripurno, SII. berdasarkan surat
dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor Q-
190.H.T.03.07.TII.1992 Tanggal 7 Agustus 1992 sebagai
pengganti sementara dari Yudo Paripurno, SI I. Notaris di Jakarta.
Di dalam Akta Pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI), Pasal 1 disebutkan bahwa :

397
1. Yayasan ini bernama “YAYASAN BADAN ARBITRASE
MUAMALAT INDONESIA” disingkat BAMUI.
2. Yayasan ini berasaskan PANCASILA.
Yayasan adalah Badan Hukum yang menjadi subjek hukum.
Menurut Dr. Chatamarrasyid, SI L, MI L, bahwa istilah yayasan
pada mulanya digunakan sebagai terjemahan dari istilah “stickling”
dalam bahasa Belanda ‘‘foundation” dalam bahasa Inggris.
Terdapat sejumlah definisi yayasan dikemukakan oleh para ahli,
antara lain :
> Dr. Chatamarrasyid, SH., MH., mengemukakan, bahwa :
“ Yayasan adalah suatu badan yang menjalankan usaha yang
bergerak dalam segala macam usaha, baik yang bergerak
dalam usaha yang nonkomersial maupun yang secara tidak
langsung bersifat 100% (seratus persen) komersial”.
> Paul Scholtcn, mengemukakan bahwa :
“Yayasan adalah suatu badan hukum yang dilahirkan oleh
suatu pernyataan sepihak: pernyataan itu harus berisikan
pemisahan suatu kekayaan untuk tujuan tertentu, dengan
penunjukan bagai-mana kenyataan itu harus diurus dan
dipergunakan ” .
> W.L.G. Lcmairi, menyatakan bahwa :
“Yayasan diciptakan dengan suatu perbuatan hukum, yakni
pemisahan suatu harta kekayaan untuk tujuan yang tidak
mengharapkan keuntungan (altruistishe doel) serta penyusunan
suatu organisasi (berikut pengurus), dengan mana sungguh-
sungguh dapat terwujud tujuannya dengan alat-alat itu ” . >
Berdasarkan definisi di atas, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) sebagai yayasan/badan/lembaga Arbitrase Islam
mempunyai asas, tujuan, operasional dan kewenangan yang
tercantum di dalam Akta Pendirian, Anggaran Rumah Tangga dan
Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI). Peranan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) dalam upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa
bisnis para pihak mempunyai kewenangan seperti tercantum di
dalam peraturan prosedur Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) sebagai berikut:

398
1. Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan
perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di mana
para pihak sepakat secara tertulis untuk menyelesaikan
penyelesaiannya kepada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) sesuai dengan Peraturan Prosedur Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI).
2. Memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya
suatu sengketa mengenai suatu persoafan berkenaan dengan
perjanjian atas permintaan para pihak. Kesepakatan klausula
yang seperti itu bisa dicantumkan dalam perjanjian atau dalam
suatu akta tersendiri setelah sengketa timbul.
Dari segi Tata Hukum Indonesia, keberadaan Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) sebagai Lembaga Arbitrase Islam
mempunyai legitimasi yang sangat kuat karena Hukum Positif
yang berlaku saat ini me-mungkinkan suatu lembaga lain di luar
lembaga peradilan umum dapat menjadi wasit/hakim dalam
penyelesaian sengketa para pihak. Walaupun, penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman pada dasarnya diserahkan kepada badan
peradilan dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman. Hal
tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan
dasar dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara yang masing-masing diatur dalam undang-undang
tersendiri.
Namun demikian, di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain, bahwa :
“Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan
tetapi putusan Arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perinlah untuk
eksekusi (executoir) dari pengadilan ”.

Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan Arbitrase di


Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen
Acara Perdata {Reglement op De Rechlvordering, Staatsblad 1847:
52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Ilet

399
Ilerziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941: 44) dan Pasal
705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglemenl Buiten-gewesten, Staatsblad 1927: 227).
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, melalui
Pasal 81 undang-undang tersebut secara tegas mencabut ketiga
macam ketentuan tersebut terhitung sejak tanggal diundangkannya.
Maka berarti segala ketentuan yang berhubungan dengan Arbitrase,
termasuk putusan Arbitrase asing tunduk pada-ketentuan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999, meskipun secara lex specialis
ketentuan yang berhubungan dengan (pelaksanaan) Arbitrase asing
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 yang
merupakan pengesahan atas persetujuan atas Konvensi tentang
Penyelesaian Perselisihan Antar-Negara dan Warga Negara Asing
mengenai penanaman modal (International Centre for the
Settlement o f Investment Disputes (ICSID) Convention), Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan New York
Convention 1958 dan Paraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
1990.
Berdasarkan pendapat II.M. Thahir Azhari, bahwa kehadiran
Arbitrase Islam di Indonesia merupakan suatu conditio sine qua
non. Seperti halnya kehadiran Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) di bawah koordinasi Majelis Ulama Indonesia
(MUI) secara yuridis formal dilihat dari status hukum yang berlaku
di Indonesia memiliki landasan hukum yang kokoh. Demikian juga
pendapat II. Hartono Mardjono, SI I. sebagai Ketua Dewan
Pengurus Yayasan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI), menegaskan bahwa : kehadiran “lembaga permanen”
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang berfungsi
untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di
antara pihak-pihak yang bersangkutan, di samping memang
merupakan suatu kebutuhan nyata, juga memiliki dasar-dasar
hukum yang kuat berdasarkan hukum positif yang berlaku.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa kedudukan hukum
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dalam tata hukum
Indonesia mempunyai landasan hukum yang sangat kuat. Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sebagai lembaga
Arbitrase Islam dengan status badan hukum YAYASAN diberi

400
atau mempunyai kewenangan dalam upaya penyelesaian sengketa
bisnis para pihak sesuai dengan Peraturan Prosedur Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Berdasarkan hukum
positif yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pada
Pasal 3 ayat (1) penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan
dibolehkan melalui lembaga Arbitrase. Hal demikian telah diatur
melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

C. PROSEDUR DAN PENERAPAN IIUKUM BADAN


ARBITRASE MUAMALAT INDONESIA (BAMUI) DALAM
EKSEKUSI
Pada Subbab ini akan dijawab pertanyaan, bagaimanakan prosedur
dan penerapan hukum Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) dalam eksekusi? Untuk menjawab pertanyaan ini, telah
dilakukan penelitian langsung melalui wawancara dengan
narasumber Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
Berbicara tentang penerapan hukum, maka masalah yang
dikemukakan adalah berkaitan dengan Peraturan dan Prosedur
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) sebagai hukum
acaranya seperti yang telah dijelaskan.
Kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dapat dibuat oleh
para pihak pada waktu mengadakan perjanjian sebelum sengketa
timbul. Dalam istilah hukum disebut pactum de compromittendo
atau melalui persetujuan kemudian setelah timbulnya sengketa
melalui Akta Kompromi. Menurut Ngatino, SII., MH., bahwa
bentuk klausula yang pertama diatur dalam Pasal 615 ayat (3) RV
dan diatur juga dalam Pasal II Konvensi New York 1958. Bunyi
ketentuan Pasal 615 ayat (3) yaitu :
“Adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain
untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di
kemudian ban kepada putusan seorang atau beberapa orang
Arbiter (wasit)
Bentuk perjanjian yang kedua diatur dalam Pasal 618 Rv dan
dalam Konvensi New York Pasal II. Bunyi Pasal 618 Rv adalah
sebagai berikut:

401
"(1) Persetujuan Arbitrase harus diadakan secara tertulis dan
ditandatangani kedua belah pihak, jika para pihak tidak
mampu menandatangani, maka persetujuan harus dibuat
di depan notari
"(2) Persetujuan harus memuat masalah yang menjadi
sengketa, nama dan tempat tinggal para pihak, dan juga
nama dan tempat tinggal Arbiter atau anggota para
Arbiter yang selalu harus dalam jumlah ganjil".
Kewenangan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
dalam menangani sengketa ini meliputi seluruh sengketa yang
timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan
Lain-lain. Di samping itu, Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) juga memberikan apa yang dikenal sebagai ‘‘bindend
advice”, yaitu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu
sengketa mengenai suatu persoalan ber-kenaan dengan perjanjian
atas permintaan para pihak.
Menurut narasumber, bahwa Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) sesuai dengan Peraturan dan Prosedur Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) tidak menangani sengketa-sengketa
yang dilarang oleh Pasal 616 Rv, yaitu sengketa hibah, wasiat,
nafkah, perceraian status (kedudukan hukum) seseorang dan juga
perpisahan meja dan tempat tidur. Menyatakan, bahwa : meskipun
ada perbedaan pendapat tentang kekuatan daya berlaku Rv, apakah
sekadar pedoman atau hukum positif, namun nyatanya dunia
peradilan masih mengakui eksistensinya. Apabila Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) menyimpang dari ketentuan Rv,
maka tentu tidak akan memperoleh legitimasi dalam melaksanakan
eksekusi putusan Arbitrase bagi pihak yang dikalahkan tidak
dilaksanakan secara sukarela. Dalam keadaan demikian Pengadilan
Negeri tentu akan menolak untuk mengeksekusi putusan sengketa
Arbitrase Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang
tidak masuk lingkup Rv.
Kelebihan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dengan
Lembaga Arbitrase lain pada prosedur Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) yang mengatur pula tentang kemungkinan
untuk berperkara dengan prodeo bagi mereka yang tidak mampu.
Ketidakmampuan dibuktikan dengan surat keterangan resmi
sekurang-kurangnya dari Lurah/Kepala Desa. Meskipun secara

402
eksplisit disebutkan masalah honorarium Arbiter, namun ketentuan
itu dimaksudRan juga untuk membebaskan dari honorarium bagi
Arbiter.
Ketentuan berperkara secara prodeo ini, menurut penulis
menggambarkan salah satu karakter Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) yang bernapaskan Islam sehingga dalam
kegiatannya senantiasa harus seimbang, artinya tidak melupakan
kepentingan masyarakat atau kelompok ekonomi lemah. Maka
menjadi kewajiban untuk menjaga kepentingan hukum pihak
dhu’afa apabila tidak mampu membayar biaya administrasi dan
honorarium Arbiter, demi mencari rasa keadilan proses Arbitrase
tetap berjalan. Ilal ini sesuai dengan sifat yayasan sebagai badan
hukum yang bersifat sosial tetapi diperbolehkan mencari
keuntungan.
Dalam penetapan putusan, baik Arbiter Tunggal atau Arbiter
Majelis Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
melakukan peradilan atas dasar “Demi keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa". Tiap penetapan dan putusan dimulai
dengan kalimat : “Bismillahirrahmanirrahim” diikuti dengan
“Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Apabila putusan tidak dijalankan secara sukarela oleh pihak yang
dikalah-kan, maka eksekusinya akan dijalankan menurut ketentuan
Pasal 637 dan Pasal 639 Rv, yaitu melalui Ketua Pengadilan
Negeri setempat. Putusannya tidak boleh diumumkan, kcciiali
disepakati oleh kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan sifat
sidang-sidang Arbitrase yang tertutup. Akan tetapi, apabila putusan
itu tidak dijalankan oleh pihak yang dikalahkan, maka putusan itu
tidak dapat dirahasiakan lagi, karena sudah menjadi masalah publik
terutama yang berkaitan dengan masalah cksekutorial seperti
pelelangan, penyitaan dan sebagainya. Putusan yang bersifat
cksekutorial tidak dilakukan oleh Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) secara langsung, tetapi hal ini diserahkan
kepada peradilan tempat mendeponir perkara. Oleh karena itu,
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) tidak dibenarkan
melakukan eksekusi terhadap para pihak yang tidak mematuhi
putusannya.
Dari hasil wawancara penulis dengan narasumber Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI), dapat diketahui bahwa selama

403
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) ini berdiri dan
menjalankan operasional sejak tanggal 21 Oktober 1994, terdapat 5
(lima) perkara/kasus/ sengketa bisnis yang diajukan kepada dan
telah diputus oleh Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
Dari perkara tersebut, 4 (empat) perkara/kasus antara pihak Bank
Muamalat Indonesia (BMI) sebagai kreditur di pihak 1 (satu) dan
nasabah debitur di pihak lain yang berasal dari Jakarta Selatan 2
(dua) perkara/kasus dan Jakarta Pusat 2 (dua) perkara/kasus, serta 1
(satu) perkara/kasus lagi berasal dari pihak perusahaan swasta dan
karyawannya, berasal dari Kabupaten Bekasi-Jawa Barat.
Menurut narasumber Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI), putusan hukum Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI) ditetapkan dan dideponir di Pengadilan Negeri di mana
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) berdomisili. Akan
tetapi, setelah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berlaku, putusan
hukum Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) ditetapkan
dan dideponir di mana para pihak yang bersengketa (dikalahkan)
berdomisili.
Masalah biaya yang diatur oleh prosedur Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah mengenai biaya administrasi/
pemeriksaan meliputi uang pendaftaran, biaya panggilan dan
perjalanan para saksi/ahli, perjalanan Arbiter serta pemeriksaan
setempat. Honorarium Arbiter selamanya dipikul oleh kedua belah
pihak, masing-masing separo. Besar honorarium ditetapkan oleh
Ketua Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) untuk tiap-
tiap sengketa, menurut berat ringannya perkara dan harus dibayar
di muka.
Bagian 'paling akhir dari penetapan hukum dan prosedur Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) adalah Pasal 36 yang
berbunyi:
“Apabila dalam prosedur ada sesuatu hal yang tidak telah
diatur dalam peraturan ini, maka Badan Arbitrase Muamalat
Indonesia (BAMUI) akan menetapkan suatu ketentuan
mengenai itu

404
Menurut Abdul Rahman Saleh, Pasal 36 tersebut merupakan
“kuasa blanko” yang bisa pula menimbulkan banyak persoalan di
kemudian hari.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI) sebagai Lembaga Arbitrase Islam
di Indonesia, tetapi dalam akta pendirian pada Pasal 3 Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) berasaskan Pancasila dan
bukan berasaskan Islam. Dengan demikian, penerapan hukum
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) ditetapkan
berdasarkan hukum positif yang berlaku. Seperti hal-nya pada
putusan yang mempunyai kekuatan eksckutorial, bagi pihak yang
dikalahkan apabila tidak memenuhi kewajibannya, maka eksekusi­
nya diserahkan kepada Pengadilan Negeri tempat mendeponir
perkara seperti yang diatur dalam Pasal 637 Rv dan Pasal 639 Rv.
Dalam hal ini Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
tidak dibenarkan melakukan eksekusi terhadap para pihak yang
tidak menaati keputusannya. Pada prakteknya selama ini Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) telah membuktikan dalam
menyelesaikan perkara yang diajukan dan telah memutus perkara
yang memenuhi rasa keadilan para pihak, sehingga tidak ada yang
memerlukan eksekusi pihak pengadilan. Dengan demikian, Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) dapat menjadi alternatif
penyelesaian sengketa bisnis di masa mendatang.

405
406
PELEMBAGAAN PENYELESAIAN
SENGKETA ALTERNATIF
DI INDONESIA

L Masyarakat dan Sengketanya


Masyarakat Indonesia berada pada persimpangan jalan.
Transisi dari masyarakat agraris (pedesaan) ke masyarakat industri
(perkotaan) menyebabkan terjadinya benturan-benturan nilai.
Nilai-nilai tradisional yang dipegang teguh oleh generasi dulu
mulai luntur, sedangkan nilai-nilai baru (modern) belum
sepenuhnya terbentuk dan diterima.
Sengketa yang terjadi saat ini antara lain terdiri atas: (1)
sengketa tradisional (berkisar tentang keluarga, warisan, dan
tanah), (2) sengketa bisnis yang rumit serta sarat dengan unsur
keuangan, perbankan modern, peraturan perundangan, etika,
pemenuhan kontrak, dan sebagainya, (3) sengketa lingkungan yang
rumit dengan masalah pembuktian ilmiah dan hubungan
administrasi pusat-daerah, dan (4) sengketa tenaga kerja yang
diwarnai dengan masalah hak asasi, reputasi negara, dan perhatian
masyarakat internasional.
Pada masa transisi ini, cara penyelesaian sengketa tradisional
dengan bantuan pemuka masyarakat, kepala adat dan agama, atau
sesepuh keluarga cenderung terbatas pada sengketa keluarga,
perkawinan, dan warisan. Pada kelompok masyarakat di mana
sistem tradisional ini melembaga dan membudaya (seperti
masyarakat Sumatra Barat), peranan figur-figur ini dianggap tidak
efektif lagi, apalagi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa
modern.
Masyarakat masa kini menilai kemampuan seseorang untuk
membantu menyelesaikan masalah tidak lagi hanya berdasarkan
lanjutnya usia, padatnya pengalaman, atau kearifan orang tersebut.
Dalam mencari penengah, masyarakat menuntut penengah yang
memiliki pengetahuan mengenai permasalahan yang dihadapi dan
telah mencapai prestasi tinggi di bidang objek sengketa dan
lingkungan sosialnya. Jalan lain yang banyak ditempuh oleh
masyarakat sekarang untuk menyelesaikan sengketa adalah jalur
hukum. Dengan berkembangnya kesadaran hukum masyarakat dan

407
melemahnya pengaruh lembaga-lembaga tradisional, anggota
masyarakat yang merasa dirugikan oleh pihak lain sering mencari
keadilan ke lembaga peradilan resmi.
Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa lembaga peradilan
sebagai lembaga penegak hukum modern sedang dilanda
“musibah”. Saat sekarang, kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga peradilan sangat rendah. Rendahnya kepercayaan
masyarakat terlihat dari banyaknya kasus yang diajukan ke
Mahkamah Agung untuk kasasi. Ilal ini menunjukkan bahwa
putusan pengadilan tinggi dan pengadilan negeri dianggap belum
merupakan keputusan yang terbaik dan adil.
Gambaran di atas mengarah kepada dibutuhkannya suatu cara
penyelesaian sengketa yang efektif, dipercaya, menembus akar
permasalahan, dan menyentuh rasa keadilan dan kemanusiaan
pihak yang bersengketa. Adanya cara penyelesaian sengketa ini
akan mendukung tercapai dan terpeliharanya masyarakat yang
damai dan tertib serta mengurangi tekanan-tekanan dan konflik
dalam masyarakat.
Dengan rencana pengembangan pasar bebas pada awal abad
21, Indonesia dihadapkan pada situasi perekonomian, politik, dan
sosial, kebijakan pemeritah yang tidak luput dari perhatian
masyarakat dunia. Perubahan-perubahan sosial, ekonomi, politik,
dan budaya akan terus berlangsung di abad mendatang. Ilal
tersebut perlu diikuti pengembangan sistem untuk menangani
benturan nilai dari perbedaan pendapat. Sistem tersebut diharapkan
mampu mengurangi kemungkinan munculnya sengketa atau
konflik, menyelesaikan dengan cepat, tepat, dan memuaskan
sengketa-sengketa yang ada di masyarakat.
2. Sengketa Bisnis
Sengketa dengan rekanan atau mitra bisnis adalah sesuatu
yang dianggap tabu bagi pelaku bisnis. Sengketa yang diketahui
oleh masyarakat bisnis sangat merugikan reputasi pelaku bisnis dan
berpotensi mengurangi kepercayaan klien, nasabah, atau konsumen
perusahaan itu sendiri. Berbeda dengan sengketa lingkungan dan
tenaga kerja, sengketa bisnis umumnya sangat dirahasiakan oleh
pelaku bisnisnya.
2.1. Kelemahan Jalur Penyelesaian

408
Penyelesaian sengketa bisnis yang terangkum dalam
penelitian menunjukkan bahwa jalan pengadilan dianggap
kurang menguntungkan bagi pelaku bisnis maupun
konsumen perorangan karena selain mahal, prosesnya
panjang dan berbelit-belit, kepercayaan pelaku bisnis dan
masyarakat akan kenetralan pengadilan juga tidak
mendukung dipilihnya pengadilan.
Arbitrase kurang dikenal dan dipahami oleh kalangan
bisnis maupun masyarakat luas. Klausul arbitrase dalam
perjanjian dagang atau kerjasama sering mencantumkan
kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika
arbitrase tidak berhasil padahal sifat putusannya sudah final.
Adakalanya pelaku bisnis membawa kasus sengketanya ke
pengadilan walaupun dalam perjanjian kerja tercantum
klausul arbitrase. BANI sebagai lembaga arbitrase bisnis
dianggap mahal, apalagi karena masih ada kemungkinan
putusannya tidak dapat dieksekusi dan diserahkan ke
pengadilan sehingga akan memakan waktu dan biaya lagi.
Reputasi BANI makin merosot dengan adanya kasus-kasus
yang diterima pengadilan walaupun telah diputus oleh BANI
dan dalam perjanjian kerjanya jelas-jelas menyebutkan
arbitrase sebagai pilihan penyelesaian sengketa. BANI juga
dianggap tidak kuat karena tidak mempunyai wewenang
eksekusi.
Perundingan adalah proses penyelesaian sengketa bisnis
antarpengusaha yang paling disukai walaupun masih ada
keraguan mengenai kekuatan hukum dan pematuhan
kesepakatannya. Sebaliknya, untuk sengketa antara peng­
usaha dengan konsumen, perundingan dianggap tidak
memadai.
Pihak yang menawarkan jasa perundingan atau arbitrase
untuk sektor bisnis saat sekarang ini belum banyak. Arbitrase
yang ada terbatas pada BANI, BAMUI, dan P3BI, sedangkan
jasa perundingan hanya tersedia secara informal pada asosiasi
profesi.
2.2. Bisnis dan Peluang
Perundingan dan arbitrase mempunyai peluang yang
baik dan perlu dikembangkan sebagai jalur penyelesaian

409
sengketa bisnis di luar pengadilan karena pengadilan
dianggap bukan pilihan yang menguntungkan. Pengembang­
an jasa pada asosiasi profesi untuk perundingan dan arbitrase
perlu mendapat perhatian yang serius. Penguins atau anggota
asosiasi profesi berada pada posisi yang baik untuk berlaku
sebagai penengah karena selain mengerti substansi
permasalahan yang dihadapi oleh yang bersengketa, juga
mempunyai kemampuan menjaga hubungan antaranggota
atau anggota dengan konsumen agar tetap baik.
Salah satu prospek pengembangannya adalah keberadaan
lembaga penengah/arbitrase yang setidaknya berada di bawah
naungan departemen teknis, seperti Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Kehutanan, dan
Departemen Kesehatan. Besarnya volume investasi asing dan
perdagangan internasional yang terjadi dan akan bertambah
pada abad 21 menambah pentingnya jasa juru runding dan
arbitrase prof esional berkembang di Indonesia.
Dengan dibukanya pasar dunia di Indonesia, tidak
tertutup kemungkinan masuknya tenaga mediator/arbiter
profesional dari luar negeri. Apabila Indonesia tidak
mempersiapkan diri dengan mengembangkan profesi ini,
tenaga Indonesia akan tertinggal dan memiliki daya saing
yang rendah di negeri sendiri.
3. Pelembagaan
Masalah pelembagaan diulas dengan tujuan untuk menggam­
barkan pentingnya melembagakan ADR jika diharapkan
memegang andil dalam mencegah dan menyelesaikan sengketa di
masyarakat. Pelembagaan di sini tidak terbatas pada pengertian
adanya suatu badan atau organisasi, namun mencakup adanya
perangkat-perangkat lembaga yang memungkinkan proses
perundingan/arbitrase dilaksanakan di Indonesia.
3.1. Kebutuhan
Suatu fungsi atau proses akan dilembagakan jika
memenuhi beberapa kriteria yang meliputi :
1. konsistensi/kebakuan pelaksanaan fungsi atau proses
tersebut,
2. sistematisasi atau aturan main yang jelas,

410
3. kesinambungan yang tidak tergantung pada satu atau dua
individu,
4. keberhasilan yang tidak tergantung pada satu atau dua
individu.
Berdasarkan kriteria di atas, jika perundingan dan
arbitrase diharapkan memainkan peranan yang berarti dalam
masyarakat, pilihan penyelesaian sengketa ini perlu
dilembagakan. Walaupun bukan hal yang baru bagi
masyarakat Indonesia, bentuk perundingan dan arbitrase
yang ingin dikembangkan harus diperkenalkan ke masyarakat
secara jelas agar tidak menimbulkan salah pengertian dan
penyalahgunaan. Jika perundingan/arbitrase dijadikan
sebagai suatu profesi, kesamaan persepsi dan pengertian
menjadi penting sekali.
Di samping itu, pengembangan profesi juru runding dan
wasit di Indonesia harus sejalan dengan aturan main dan
kode etik profesi yang berlaku secara internasional (badan-
badan ADR internasional) serta mampu bersaing dengan juru
runding/wasit internasional.
3.2. Unsur Kelembagaan
Unsur-unsur kelembagaan yang telah disorot dalam
penelitian, mencakup sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan
Penelitian ini secara garis besar berupaya untuk
mengenali dasar hukum yang telah ada yang mendukung
pengembangan perundingan/arbitrase. Pengalaman
penerapan ADR yang sudah ada juga dipergunakan untuk
menelaah apakah diperlukan peraturan perundangan baru
atau tidak. Akan tetapi, karena titik tolak penelitian ini
adalah kebutuhan masyarakat, penelitian ini tidak
membahas secara mendalam masalah persyaratan hukum
yang tepat untuk pengembangan ADR dan
pelembagaannya.
2. Lembaga penyedia jasa
Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan tentang
lembaga macam apa yang sesuai sebagai lembaga
penyedia jasa perundingan/arbitrase dan bagaimana
statusnya (badan pemerintah, swasta, atau lembaga
swadaya).
3. Prosedur pendayagunaan
Bagaimanakah seseorang atau sebuah lembaga yang
sedang bersengketa dapat memperoleh jasa perundingan
dan memilih juru runding atau wasit yang diinginkan.
4. Sumber daya manusia
Unsur ini adalah ujung tombak pengembangan
perundingan/arbitrase. Penelitian ini menelaah persyarat­
an menjadi juru runding/wasit, termasuk latar belakang
pendidikan dan pekerjaan serta ketrampilan sebagai
fasilitator penyelesaian sengketa. Dipikirkan pula
langkah-langkah yang paling efisien dan efektif untuk
mengembangkan profesi ini.
5. Sumber dana/pembiayaan
Dalam penelitian ini ada dua halyang perlu diperhatikan.
Pertama, penyandang dana bagi kegiatan-kegiatan
persiapan pengembangan perundingan/arbitrase. Kedua,
pembayaran biaya jasa juru runding/wasit oleh pihak-
pihak yang bersengketa.
6. Pemasyarakatan
Penelitian ini mencoba menggali segmen-segmen
masyarakat tertentu untuk mengenalkan negosiasi,
mediasi, konsiliasi, serta arbitrase. Pengamatan yang
dilakukan juga tentang harapan dan kekecewaan
masyarakat terhadap jalur-jalur penyelesaian sengketa
yang ada. Berdasarkan penelitian tersebut dapat
diidentifikasi hal-hal yang perlu dimasyarakatkan dalam
pengembangan perundingan/arbitrase.
3.3. Pelajaran dari Mancanegara
Di Sri Lanka, ADR dif ormalisasikan oleh pemerintah
pada tahun 1978 melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 1958
tentang Pendirian Conciliation Board, kemudian
diperbaharui dan diperbaiki melalui Undang-Undang No.72
'I'ahun 1988 tentang Mediation Board. Bentuk ADR yang
berlaku di Sri Lanka saat ini adalah berdasarkan atas
peraturan yang terakhir. Mediation Board Commission

412
bertanggung-jawab atas pemilihan, pemindahtugasan,
pemberhentian, serta pemberian sanksi indisiplincr terhadap
tenaga mediator. Komisi ini terdiri atas lima orang yang
diangkat oleh Presiden Sri Lanka. Anggota panel mediasi
adalah orang-orang yang dicalonkan oleh tokoh masyarakat
lokal dan sudah lulus pelatihan teknik mediasi. Pada akhir
tahun 1991, di Sri Lanka telah berdiri sekitar 211 panel
mediasi yang terdiri atas lebih kurang 5.000 tenaga mediator
untuk melayani hampir seluruh wilayahnya. Mediasi adalah
wajib bagi semua sengketa sebelum menempuh upaya
pengadilan. Batas waktu penyelesaiannya adalah 30 hari
sebelum diajukan di pengadilan.
Di Filipina, lembaga ADR dikembangkan mulai pada
tingkat pedesaan (barangay) melalui Keputusan Presiden No.
1408 tahun 1978. Dengan dibentuknya lembaga mediasi
di42.000 desa di seluruh Filipina, masyarakat mendapatkan
akses ke jasa mediasi yang mudah terjangkau. Mediasi
merupakan jalur yang wajib dilaksanakan. Gugatan tidak
dapat diajukan ke pengadilan tanpa menunjukkan sertifikat
bahwa upaya mediasi pernah dilakukan dan tidak membawa
hasil yang dikeluarkan oleh sekretaris panel mediasi.
Sengketa sektor tenaga kerja diselesaikan melalui National
Conciliation and Mediation Board sebagai lembaga
pemerintah yang menjalankan fungsi mediator swasta dan
Philippine Association o f Voluntary Arbitrator sebagai
organisasi arbitrase sukarela. Sengketa Bisnis diselesaikan
oleh Commercial Arbitration Committee yang dibentuk oleh
Kamar Dagang dan Industri Filipina. Construction Industry
Arbitration Commission yang berada dibawah Departemen
Perdagangan dan Industri dibentuk dengan tujuan untuk
menyelesaikan sengketa sektor konstruksi.
Di Malaysia, jenis ADR yang paling berkembang adalah
arbitrase di sektor bisnis. The Kuala Lumpur Regional Center
for Arbitration (KLRCA) berdiri sejak tahun 1978 dan
merupakan organisasi nirlaba yang melaksakan mediasi dan
arbitrase untuk sengketa domestik dan internasional. Di
samping itu, terdapat pula The Insurance Mediation Bureau
yang khusus menangani penyelesaian klaim asuransi umum
dan jiwa. Lembaga ini didirikan pada tahun 1991 sebagai

413
lembaga nirlaba dan mempunyai anggota semua pelaku
bisnis asuransi di Malaysia. Pelembagaan ADR di luar
arbitrase bisnis, masih terbatas. Untuk menyelesaikan
sengketa di sektor tenaga kerja, Malaysia menjalankan
sebuah pengadilan buruh yang berfungsi sebagai dewan
arbitrase buruh.
Singapura mempunyai sistem ADR yang terkait dengan
lembaga peradilan yang disebut sebagai Court Mediation
Center. Lembaga ini berada dalam naungan Subordinate
Court, dan menangani kasus-kasus dengan nilai uang
dibawah US$ 5000. Tenaga mediator yang menjalankan
fungsi mediasi adalah para hakim dan staf pengadilan,
dengan dibantu oleh Court Support Group yang terdiri atas
pengacara, pekerja sosial, profesional dari berbagai bidang,
dan sebagainya. Selain CMC, National University o f
Singapore juga menjadi pusat arbitrase yang menyediakan
jasa mediasi. Mediation center ini mempertemukan ahli-ahli
dariberbagai bidang untuk mencari sistem penyelesaian
masalahyang paling efektif, efisien, dan juga menangani
sengketa-sengketa dari luar Singapura.
3.4. Prasyarat dan Titik Lemah
Pengembangan proses perundingan dan arbitrase tidak
terlepas dari konteks sosial, ekonomi, dan politik Indonesia
secara keseluruhan dan khususnya pengembangan budaya
hukum, pembenahan lembaga peradilan, penyetaraan daya
tawar dan akses informasi bagi masyarakat masyarakat
lemah. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar
perundingan dan arbitrase berhasil. Tanpa prasyarat tersebut
ADR akan gagal memberikan pilihan yang terbaik dan
menjadi harapan keadilan yang mudah terjangkau bagi
masyarakat luas.
Salah satu prasyarat yang sangat menentukan
keberhasilan ADR adalah pandangan dan perilaku
masyarakat. Di sektor bisnis, peluang pelembagaan ADR
terletak pada pemantapan lembaga arbitrase yang telah ada
serta pengembangan fungsi mediator sengketa bisnis. Untuk
sengketa yang melibatkan konsumen perorangan,

414
pemantapan peran lembaga-lembaga pelindung konsumen
perlu mendapat perhatian.
Secara umum, perundingan dan arbitrase mempunyai
potensi untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa di
masyarakat dan mencegah terjadinya letupan sosial yang
diakibatkan oleh sengketa berskalabcsaratauberkepanjangan.
Dengan majemuknya masyarakat Indonesia serta makin
banyaknya benturan kepentingan dan pendapat, penerapan
perundingan dan arbitrase dipercaya dapat memainkan
peranan dalam memelihara keseimbangan sosial.
4. Pengembangan dan Pelembagaan
Paling tidak terdapat 5 faktor utama yang memberikan dasar
diperlukannya pengembangan ADR di Indonesia, meliputi sebagai
berikut :
1. Salah satu cara meningkatkan daya saing dalam mengundang
penanam modal ke Indonesia adalah adanya kepastian hukum,
termasuk ketersediaan sistem penyelesaian sengketa yang
efisien.
2. Tuntutan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian
sengketa yang efisien dan lebih mampu memenuhi rasa
keadilan.
3. Meningkatnya daya kritis masyarakat yang diikuti dengan
tuntutan berperan serta aktif dalam proses pembangunan.
4. Hak masyarakat berperan serta memiliki makna perlunya
pengembangan mekanisme penyelesaian konflik.
5. Menumbuhkan iklim persaingan yang sehat bagi lembaga
peradilan sehingga akan terjadi proses seleksi yang meng­
gambarkan tingkat kepercayaan masyarakat. Kehadiran
pembanding dalam bentuk lembaga ADR ini diharapkan
mendorong lembaga penyelesaian sengketa tersebut
(pengadilan) meningkatkan citranya sehingga kepercayaan
masyarakat pun meningkat.
Sebagai tindak lanjut dari usaha pelembagan ADR di
Indonesia, terdapat 2 (dua) studi yang terkait, yaitu sebagai berikut:
1. Studi dalam rangka penyusunan Makalah Kebijakan (Policy
Paper) yang diprakarsai oleh Bappenas bekerja sama dengan
The Asia Foundation. Studi ini dilaksanakan bersama-sama

415
oleh PT. Qipra Galang Kualita (konsultan), Yayasan Akatiga,
ICBL (Indonesian Center for Environmental Law), dan LPPM
(Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen).
2. Diagnostic Assessment o f Legal Development in Indonesia
yang diprakarsai oleh Bappenas dengan pendanaan dari Bank
Dunia (IDF Grant). Studi ini dilaksanakan oleh Firma Hukum
Ali Budiardjo, Nugroho, Rcksodiputro bekerja sama dengan
Mochtar, Karuwin & Komar. Salah satu obyek kajian
diagnostik ini adalah pengembangan dan pelembagaan ADR.
Studi di atas menemukan bahwa faktor-faktor prioritas dalam
mengembangkan dan melembagakan perundingan dan arbitrasedi
Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Tersedianya sumber daya manusia yang terampil dan memiliki
integritas tinggi untuk menjalankan peran sebagai juru
runding/wasit dengan netral imparsial, jujur, dan menjunjung
tinggi profesionalisme kerja.
2. Terbentuknya pemahaman masyarakat mengenai manfaat dan
kelebihan perundingan dan arbitrase dalam menyelesaikan
sengketa serta kebutuhan akan jasa mediasi dan arbitrase.
3. Terdapat konsistensi antarproduk hukum mengenai
pemanfaatan perundingan dan arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa, serta peningkatan keberlakuannya
(enforceability).
4.1. Rekomendasi Makalah Kebijakan
Bagian ini menguraikan secara rinci inti dari usulan
pelembagaan dalam Makalah Kebijakan (Policy Paper) yang
mencakup proses pelembagaan dan pengembangan profesi
yang memmtut disiapkannya sumber daya manusia untuk
menjalankan peran sebagai juru runding/wasit, serta tata
laksana untuk menjalankan peran tersebut. Di samping itu,
diuraikan pula tentang perlunya pemasyarakatan untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat luas tentang
perundingan dan arbitrase.
Dengan pengembangan sumber daya manusia, tata
laksana, serta peningkatan kebutuhan (demand) masyarakat
akan jasa juru runding dan wasit diharapkan terbentuknya
suatu kelompok profesional yang terlatih dan cermat dalam
melakukan praktek ADR. Kelompok ini pada tahun 2000
atau 2001 diharapkan sudah melewati critical mass sehingga
asosiasi profesi juri runding dapat dibentuk. Asosiasi profesi
inilah yang berfungsi untuk melanjutkan upaya menumbuh
kembangkan profesi juru runding guna memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Ringkasnya, selama tiga atau empat tahun yang akan
datang disarankan untuk diad akan program pendidikan dan
pengembangan juru runding/wasit (Gambar 2). Kedua
program ini mendapat arahan dan bimbingan dari suatu tim
pengarah yang terdiri atas wakil-wakil lembaga pemerintah,
LSM, pendidikan, swasta, dan sebagainya. Pada tahun kelima
diusulkan agar sebuah asosiasi profesi juru runding/ wasit
dibentuk secara resmi. Tim pengarah di atas berfungsi memf
asilitasi pembentukan asosiasi tersebut serta men-
sosialisasikannya sehingga menjadi perhatian nasional.
Secara lebih rinci, gagasan di atas diuraikan dalam subbagian
dibawah ini.
4.3.1. Sasaran Jangka Pendek
a. Program pendidikan dan pengembangan
Pelaksanaan program pendidikan dan pengem­
bangan bertujuan menyiapkan dasar-dasar bagi
pengembangan profesi juru runding/wasit.
Program ini mempunyai fungsi sebagai berikut:
1) Merancang kurikulum pelatihan juru runding.
2) Merancang metoda pelatihan yang tepat.
3) Menyiapkan tenaga pelatih.
4) Menyelenggarakan pelatihan umum untuk juru
runding/wasit
5) Pengembangan dasar-dasar kode etik profesi.
6) Pengembangan metode perundingan/arbitrasc.
Dalam perundingan dan arbitrase, peranan
pihak ketiga sebagai penengah atau wasit sangat
menentukan. Pihak ketiga secara obyektif
menjembatani pertukaran pandangan dan pen­
carian pemecahan antara pihak-pihak yang ber-

417
sengketa. Kriteria yang paling penting dan harus
dipenuhi pihak ketiga dalam menjalankan
fungsinya sebagai juru runding atau wasit adalah
sifat netral imparsial dan kejujuran. Pihak ketiga
tidak boleh memihak atau memenangkan salah
satu pihak, serta tidak bisa dipengaruhi oleh
siapapun. Untuk menjaga dan mempertahankan
sifat netral imparsial dan kejujuran diperlukan
suatu kode etik yang menjadi pegangan dan ditaati
oleh semua juru runding/wasit.
Pelatihan dasar yang diadakan dalam rangka
program pendidikan dan pengembangan dimak­
sudkan untuk mengajarkan teori mediasi, teknik-
teknik memecahkan jalan buntu perundingan
(deadlock), latihan role play, pengkajian studi
kasus, dan observasi juru runding/wasit
berpengalaman.

Gambar 2
Rangkuman Rekomendasi dan Bagan Alir Jadwal Kerja

Sasaran
Pelembagaan

Persiapan
Pelembagaan

1997 1998 1999 2000 2001 2002


1. Arahan fasilitas dan pengawasan program
2. Dasar-dasar kegiatan dan fungsi asosiasi profesi
3. Fasilitas pendirian asosiasi profesi

418
Lembaga yang dinilai mampu menjalankan
program pendidikan dan pengembangan adalah
lembaga yang sudah bergerak di bidang
pendidikan dan memiliki visi tentang
pengembangan perundingan dan arbitrase di
Indonesia. Salah satu unsur yang dianggap sangat
menentukan keberhasilan program ini adalah
penggabungan beberapa disiplin ilmu, seperti
psikologi (dinamika kelompok, budaya dan
sebagainya), hukum (kode etik, kesepakatan),
ekonomi, dan sebagainya.
b. Program pemasyarakatan
Pemasyarakatan merupakan salah satu unsur
yang penting dan mendesak. Suatu program
komprehensif perlu dirancang dan dilaksanakan
untuk memasyarakatkan ADR di Indonesia.
Program ini dilakukan dalam dua tahap :
Tahap pertama adalah pemasyarakatan yang
bertujuan :
1) menyebarluaskan apa yang dimaksud dengan
perundingan, arbitrase, ADR atau istilah lain
yang akan dipakai;
2) memasyarakatkan jenis sengketa yang bisa
atau lebih tepat diselesaikan dengan
perundingan/arbitrase dibandingkan dengan
pengadilan;
3) menyebarluaskan keterangan mengenai
program pendidikan dan pengembangan serta
menarik minat calon peserta pendidikan.
Tahap kedua adalah program pemasyarakatan
yang dimulai pada saat dibentukan asosiasi
profesi, meliputi :
1) fungsi asosiasi profesi;
2) bagaimana menjadi juru runding/wasit yang
baik dan kriterianya;

419
3) hal-hal lain yang berhubungan dengan fungsi
asosiasi profesi.
Sasaran program pemasyarakatan pada dasar­
nya meliputi seluruh lapisan masyarakat. Secara
khusus, untuk setiap kelompok masyarakat perlu
dirancang pesan pemasyarakatan yang berbeda,
seperti:
1) masyarakat luas digerakkan untuk memperca­
yai dan mengguna-kan perundingan/arbitrasc
dalam sengketa yang mereka hadapi serta
menarik minat anggota masyarakat menjadi
juru runding/wasit;
2) profesional di berbagai bidang dimobilisasi
untuk dilatih menjadi juru runding/wasit;
3) pengusaha diarahkan untuk mengakui juru
runding/wasit Indonesia dan mulai mengguna­
kan jasanya;
4) lembaga swadaya masyarakat dan kelompok
khusus, seperti lingkungan hidup dan tenaga
kerja, diharapkan untuk menggunakan dan atau
meny cd iakan jasajururundi ng/was it;
5) pemerintah, terutama lembaga peradilan,
diberikan pengertian akan pentingnya proses
ini dan diyakinkan tidak tersaingnya lembaga
peradilan dengan berkembangnya sistem
perundingan/ arbitrase swasta.
4.3.2. Sasaran Jangka Menengah
a. Asosiasi Profesi
Setelah program pendidikan dan pengem­
bangan serta program pemasyarakatan berjalan
selama beberapa tahun, diharapkan pada tahun
2000 atau 2001 sudah tersedia profesional dalam
jumlah yang memadai untuk mendirikan sebuah
asosiasi profesi (Gambar 3). Asosiasi profesi ini
beranggotakan perorangan yang menawarkan jasa
sebagai juru runding/wasit.

420
Gambar 3
Fungsi Asosiasi Profesi Juru Banding
Kode Etik

Prosedur dan
Metode

Intern asiona

Fungsi asosiasi profesi antara lain sebagai berikut:


1) Melaksanakan program pendidikan dan
sertifikasi bagi juru runding/wasit. Asosisasi
ini dapat mengambil alih koordinasi program
pendidikan dan pengembangan yang telah
berjalan atau menjalin kerjasama jangka
panjang dengan pusat pendidikan yang
melaksanakan program.
2) Mengembangkan prosedur dan metode
negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase
dengan peleburan teknik modern dan pola-pola
musyawarah tradisional.
3) Mengembangkan dan menerapkan kode etik
profesi diantara anggotanya. Dengan
demikian, asosiasi berwenang memberi sanksi
atau mencabut sertifikat seorang juru runding
bila terbukti menyalahi kode etik profesi.
4) Memberikan jasa referral dengan menyediakan
daftar juru runding/wasit untuk bidang-bidang
sengketa bagi pihak yang membutuhkan.
Pemilihan juru runding dilakukan oleh pihak-
pihak yang bersengketa, namun asosiasi
membantu dengan memberi akses pada nama
calon juru runding.

421
5) Menjalin kerjasama dengan lembaga serupa di
mancanegara, baik untuk pendidikan, prosedur,
maupun kode etik proses sebagai antisipasi era
globalisasi. Kerjasama ini menjadi ujung
tombak juru runding Indonesia dengan pihak
internasional.
6) Melakukan pemasyarakatan yang berhubungan
dengan profesi juru runding serta fungsi
asosiasi itu sendiri.
b. Perangkat hukum
Saat ini telah ada beberapa peraturan
perundang-undangan yang memberikan peluang
dan atau mengatur pelaksanaan perundingan umum
maupun sektoral. Secara khusus, komponen ADR
yang paling membutuhkan legitimasi hukum
adalah arbitrase. Dalam arbitrase, keputusan wasit
membutuhkan kekuatan hukum yang jelas dan
pasti penerapannya. Tanpa kekuatan hukum,
arbitrase tidak akan diminati dan dipercaya
masyarakat sebagai sistem penyelesaian sengketa
yang efektif. Apabila pelaksanaan RUU Arbitrase
yang menetapkan putusan wasit bersifat final dan
mengikat (binding) kurang memuaskan, perlu
diambil langkah-langkah untuk menjamin
legitimasi hukum yang diinginkan tanpa
mendorong ditempuhnya jalur pengadilan.
Berbeda dengan arbitrase, pelaksanaan hasil
perundingan tidak terkait pada sifat keterikatan
hukum. Pada prinsipnya, kesepakatan perundingan
dihasilkan oleh para pihak yang bersengketa
sendiri dan disepakati oleh kedua belah pihak
sehingga pelaksanaan hasil perundingan lebih
tergantung pada pribadi dan integritas pihak-pihak
yang bersengketa dalam menjalin kesepakatan.
Pihak-pihak yang menghorrriati proses perunding­
an, keadilan, hak-hak dan kewajiban asasi akan
menaati kesepakatan tanpa tekanan apa pun dari
pihak luar. Dengan demikian, setiap orang yang
memasuki proses perundingan harus sepenuhnya
memahami dan siap memenuhi tanggung
jawabnya dalam menjalankan kesepakatan.
Asosiasi dan para juru runding mempunyai
peranan yang penting dalam mendidik dan
meyakinkan para pihak bersengketa mengenai
kewajiban mereka.
Pendirian asosiasi profesi juru runding
mengharapkan agar dasar hukum yang diperlukan
tidak banyakberbeda dengan pendirian asosiasi
lainnya, seperti akte pendirian dan AD/ART.
c. Peranan pemerintah
Peranan pemerintah dalam mengembangkan
sistem ADR di Indonesia sangat dibutuhkan,
khususnya pada tahun-tahun pertama pelaksanaan
program pendidikan dan pengembangan serta
program pemasyarakatan. Peranan pemerintah
yang diharapkan meliputi sebagai berikut :
1) Pembentukan suatu tim pengarah yang
memberikan arahan bagi perencanaan dan
pelaksanaan kedua program di atas serta segala
persiapan pendirian asosiasi profesi juru
runding, termasuk masalah keanggotaan,
pendanaan, iuran anggota, sertifikasi, dan
sebagainya.
2) Memfasilitasi perubahan budaya, pandangan,
dan kebijakan di lembaga-lembaga pemerintah
yang berpotensi menangani sengketa. Di
samping itu, juga diharapkan fasilitas
pemerintah yang memberikan keleluasaan
gerak ADR sebagai pihak penengah dalam
sengketa dan peran pemerintah untuk
mengawasi pengembangannya.
3) Menyediakan dana untuk pelaksanaan kedua
program di atas serta dana awal untuk
pendirian asosiasi profesi juru runding, baik
dari anggaran dalam negeri maupun hasil kerja
sama dengan badan-badan internasional.

423
Walaupun lembaga-lembaga mediasi/arbitrase
telahada, namun minat pelaku bisnis untuk
menggunakan jasa juru runding masih perlu
dikembangkan. Pemasyarakatan untuk sektor
bisnis disarankan agar dilakukan melalui
lokakarya dan program pelatihan di lembaga-
lembaga pendidikan manajemen maupun
pelatihan-pelatihan umum. Pendekatan khusus
pada para ahli hukum perusahaan (corporate
lawyer) perlu dipertimbangkan.
Juru runding atau wasit yang tepat untuk
menyelesaikan sengketa antarpelaku bisnis adalah
perorangan yang bekerja sebagai individu atau
terkait dengan asosiasi pro'fesi/dagang, perusahaan
konsultan bisnis atau hukum, atau badan arbitrase
(BANI, P3BI, dan sebagainya). Untuk sengketa
antara pelaku bisnis dan konsumen perorangan,
dapat juga menggunakan jasa juru runding atau
wasit yang terkait dengan lembaga masyarakat.
Konsep ahli pendamping dapat juga diterapkan
dalam perundingan atau arbitrase bisnis. Ilal ini
mengingat makin rumitnya peraturan penanaman
modal, perdagangan, hukum ekonomi, perpajakan,
dan sebagainya. Para ahli tersebut dapat direkrut
dari bidang-bidang ilmu yang sesuai dengan
kebutuhan dalam suatu sengketa.
4 .2 . L ap oran Diagnostic Assesment o f Legal Development
Temuan dari kajian diagnostik menggarisbawahi
beberapa catatan yang berkaitan dengan pengembangan ADR
di luar dan di dalam pengadilan meliputi sebagai berikut:
1. Dukungan serta komitmen pemerintah terhadap ADR
sangat besar, namun perlu ditindaklanjuti dengan
berbagai langkah nyata, misalnya menyelesaikan RUU
Arbitrase dengan mengintegrasikan komponen ADR
(negosiasi, mediasi, dan konsiliasi) di dalamhya
sehingga lebih memiliki laridasan hukum yang kuat.
2. Walaupun pola penyelesaian secara konsensus telah
dikenal dan mengakar dalam masyarakat, namun

424
konsensus dan musyawarah yang merupakan embrio dari
ADR sebagai mekanisme penyelesaian konflik dalam
masyarakat modern belum dipahami oleh masyarakat
luas.
3. Peluang penerapan ADR di dalam pengadilan (court
annexed) berdasarkan Pasal 131 HIR belum didayaguna­
kan secara optimal sehingga diperlukan pengenalan
teknik ADR di kalangan hakim dan petugas pengadilan
lainnya. Petunjuk pelaksanaan ADR dari Ketua
Mahkamah Agung dalam bentuk surat edaran dapat
dijadikan sebagai pendorong penerapan ADR di dalam
pengadilan.
4. Pengembangan kelembagaan ADR di luar pengadilan
harus didasarkan pada praktek-praktek ADR dalam
masyarakat. Pengembangan kelembagaan juga perlu
dilakukan pada lembaga-lembaga kuasi pengadilan yang
telah ada, seperti MPP, Mahkamah Pelayaran, dan
P4D/P4P yang pada dasarnya juga merupakan bentuk
penyelesaian pola ADR dengan menyempurnakan
prosedur, aturan main yang lebih jelas, dan sumber daya
manusia yang profesional.
5. Pengembangan sumber daya manusia yang profesional
membutuhkan sarana pelatihan yang dapat diintegrasi­
kan melalui kurikulum fakultas hukum dan kursus
kctrampilan hukum. Asosiasi profesi advokat dan
pengacara serta LSM juga berperan dalam pengem­
bangan sumber daya manusia yang mendukung di
bidang ADR.
4.3. Rekomendasi Diagnostic Assesment
4.3.1. Sasaran Jangka Menengah
a. Pengembangan landasan peraturan perundang-
undangan (RUU) tentang arbitrase segera diajukan
ke DPR RI. Harus ada koordinasi antara Menteri
Kehakiman, Mensesneg, dan Scskab untuk
mempercepat proses pengajuan tersebut.
b. Pelaksanaan pelatihan untuk arbiter dilakukan
dengan terlebih dahulu membentuk tim yang akan

425
menyusun rekomendasi yang merupakan hasil dari
studi banding dengan Australia.
c. Melakukan kajian tentang bagaimana hakim
pengadilan dilatih menangani kasus dengan court
annexed ADR. Latihan ini dilakukan dengan
mengambil contoh court dispute resolution yang
diterapkan pada Subordinate Court di Singapura.
Dalam rangka pengembangan ADR di dalam
pengadilan juga diusulkan pengembangan
peraturan perundang-undangan baru sebagai
elaborasi dari Pasal 131 IIIR dan penerbitan surat
edaran Mahkamah Agung yang memberi petunjuk
pelaksanaan Pasal 131 I IIR.
4.3.2. Technical Reform Sasaran Jangka Panjang
a. Pemasyarakatan ADR yang ditujukan pada
terciptanya pemahaman yang benar dilakukan
melalui :
1) pengintegrasian ADR ke dalam kurikulum
fakultas hukum,
2) seminar informasi tentang ADR (di dalam dan
di luar pengadilan) kepada masyarakat luas,
3) merancang peraturan perundang-undangan
untuk memberikan landasan hukum ADR.
b. Penelitian tentang mekanisme ADR yang
diterapkan dalam masyarakat tradisional, yang
dimulai dari Indonesia bagian Timur.
Dari rekomendasi dan rancangan tindak kajian di
atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Rekomendasi dari kedua kajian tersebut tidak
bertentangan satu dengan yang lain bahkan dapat
dijadikan masukan yang saling melengkapi.
2. Masukan tentang court annexed ADR yang sudah
mendesak dilakukan di Indonesia banyak
dikedepankan oleh kajian diagnostik. Sebaliknya,
Makalah Kebijakan tidak menempat-kannya
dalam rekomendasi.

426
3. Makalah Kebijakan ADR membahas dan
memberikan masukan tentang “siapa melakukan
apa” dan rincian tentang program pemasyarakatan
ADR untuk melengkapi rekomendasi dan
rancangan tindak kajian diagnostik.
4. Kajian diagnostik menekankan pelatihan bagi para
wasit dengan pola yang diterapkan di Australia
sehingga dapat melengkapi Makalah Kebijakan
yang tidak mengupas tentang pengembangan
sumber daya manusia pada arbitrase.
5. Policy reform jangka pendek seperti yang
diusulkan oleh kajian diagnostik dapat difasilitasi
oleh tim pengarah nasional dengan dibantu dengan
tim teknis, sedangkan technical reform jangka
panjang dapat difasilitasi atau merupakan tugas
dari asosiasi profesi.
Pengintegrasian komponen ADR ke dalam RUU
Arbitrase dimaksudkan untuk menjadikan ADR
berkembang pesat, memudahkan masyarakat meng­
gunakan ADR, meningkatkan peran dari masyarakat
dengan menyelesaikan sengketanya sendiri (akses ke
keadilan), terbentuknya lembaga penyedia jasa juru
runding (publik/privat) dalam bentuk asosiasi profesi.
Pembentukan ADR sebagai alternatif penyelesaian
sengketa tidak cukup hanya dukungan budaya
musyawarah/mufakat dari masyarakat, tetapi perlu
pengembangan dan pelembagaan yang meliputi
pengaturan perundang-undangan untuk memberikan
landasan hukum dan pembentukan asosiasi profesi/
jasa profesional. RUU Arbitrase Nasional telah
disiapkan dan diprioritaskan Departemen Kehakiman
untuk diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ilal ini disebabkan dalam hukum perdata atau hukum
ekonomi makin membutuhkan penyelesaian sengketa
yang lebih cepat dan andal di luar pengadilan.
Lebih jauh, konsep RUU tentang Arbitrase meng­
alami perubahan karena adanya rencana mengintegra­
sikan komponen ADR ke dalam RUU tersebut.

427
Dimasukkannya komponen ADR ke dalam RUU
Arbitrase adalah wujiid penyelesaian sengketa
alternatif yang berkembang dengan pesat di masya­
rakat sekarang dan ditujukan agar memudahkan
masyarakat mendayagunakan ADR sebagai sarana
pilihan penyelesaian sengketa.
Komponen ADR direncanakan oleh pemerintah
untuk diatur dan dimasukkan pada bab tersendiri
dalam RUU Arbitrase Nasional, yang berisi tentang
bentuk/sifat penyelesaian sengketa secara ADR
(konsensus), bagian-bagian ADR yang akan
diterapkan (mediasi, konsiliasi, arbitrase), pihak-
pihak yang bersengketa, dan sifat putusannya.
Penulis sepakat dengan dimasukkannya komponen
ADR dalam RUU Arbitrase Nasional sehingga
terdapat landasan hukum yang tegas bagi mekanisme
penyelesaian sengketa alternatif (ADR), khususnya
dalam bidang perdagangan/bisnis. Penyusunan bentuk
policy reform jangka pendek dan technical reform
jangka panjang diperlukan agar sasaran pengem­
bangan dan pelembagaan ADR dapat tercapai.
Pengaturan ADR dalam RUU Arbitrase seharus­
nya tidak bertentangan dengan konsep dasar/filosofi
ADR yang memberikan otonomi/kebebasan para
pihak untuk menyelesaikan sengketa (dispute/
difference) secara sukarela (di luar arbitrase
pengadilan/ow/ o f court). Komponen ADR dalam
RUU Arbitrase seharusnya hanya mengatur aturan
pokok, sedangkan aturan main (rule o f the games)
diserahkan kepada para pihak yang bersengketa. Para
pihak mempunyai kebebasan memilih untuk
menyelesaikan sendiri penyelesaian sengketanya atau
menggunakan jasa profesi mediator, konsiliator, dan
arbiter profesional.
Pengembangan ADR di dalam pengadilan (court
annexed ADR) sebagai elaborasi Pasal 131 HIR
(Herziene Indonesische Reglement) dan surat edaran
Mahkamah Agung mengenai petunjuk pelaksanaan
Pasal 131 yang diusulkan dalam policy reform jangka
pendek hendaknya mengkaji lebih lanjut mengenai
pemisahan pengertian “perdamaian” sebagai
penyelesaian sengketa (dispute settlement) di dalam
pengadilan dan di luar pengadilan. Pasal 131 HIR
dimaksudkan sebagai landasan hukum mekanisme
penyelesaian sengketa perdata secara damai di dalam
pengadilan dan merupakan bagian integral dalam
sistem peradilan hukum acara perdata di Indonesia.
Penerapan court annexed ADR dengan mengambil
contoh court dispute resolution (C DR) yang
diterapkan Subordinate Court di Singapura akan
membuat penyelesaian sengketa berlarut-larut
(waste o f time). Pelaksanaan court annexed ADR
mengakibatkan penyelesaian sengketa yang sudah
dilakukan melalui ADR (konsensus) dapat dengan
mudah dikesampingkan oleh pihak-pihak tanpa
memperdulikan putusan (mediator, konsiliator,
arbiter) dan kekuatan mengikat-nya (bindingforce)-.
Mengingat hal di atas, aturan pelaksanaan
Pasal 131 1IIR sebaiknya dimasukkan kc RUU
Hukum Acara Perdata secara Nasional yang sedang
disusun. Dengan demikian, konsepsi Pasal 131 IIIR
dapat digunakan sebagai sumbcr/landasan hukum
penyelesaian sengketa damai di dalam pengadilan
dan sekaligus berfungsi sebagai suatu sistem
peradilan hukum perdata nasional yang integral.

429
430
A R B IT R A S E D I IN D O N E S IA

S E B E L U M B E R L A K U N Y A U N D A N G -U N D A N G
N O . 30 T A H U N 1999

Hukum Dagang sebagai bagian dari Hukum Perdata Materiil, dan


Hukum Perdata Formil, memberikan dua macam cara dan kemungkinan
untuk menyelesaikan sengketa yang terbit antara dua pihak yang
berselisih; pertama ialah penyelesaian sengketa lewat pengadilan, dan
kedua ialah penyelesaian sengketa lewat arbitrase. Kedua macam
penyelesaian ini memiliki sifat dan keunikannya sendiri-sendiri.
Selama ini boleh dikatakan orang lebih mengenal peradilan sebagai
pranata yang berfungsi untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di
antara para pihak yang berselisih. Namun sesungguhnya jika kita buka
lagi lembaran sejarah hukum di Indonesia, akan kita temui bahwa
pranata arbitrase ini sesungguhnya telah dikenal sejak tahun 1894,
yaktu sejak Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Perdata (Reglement op de Burger lijke
Rechtvordering atau disingkat dengan Rv.) Ketentuan mengenai
penyelesaian sengketa melalui pranata arbitrase ini diatur dalam Pasal
615 sampai dengan 651 Rv. tersebut. Dalam pasal-pasal tersebut dapat
kita temui apa, bagaimana, ruang lingkup dan kewenangan serta fungsi
arbitrase dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan ke hadapannya.
Menumpuknya perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
dan Mahkamah Agung tampaknya harus membuat kita mencoba untuk
lebih menghidupkan kembali pranata Arbitrase ini.
Sebelum kita mulai membahas pengertian arbitrase dan pelaksana­
annya menurut ketentuan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka dalam Bab II ini
akan kita lihat terlebih dahulu sejarah arbitrase di Indonesia (Hindia
Belanda), serta bagaimana pengaturan prakata arbitrase sebelum
berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, khususnya yang
diatur dalam Pasal 615 hingga Pasal 651 Rv.
1. SEJARAII ARBITRASE
A. KONDISI PADA ZAMAN PENJAJAHAN HINDIA BKI.ANDA
Sebagaimana kita ketahui, pada waktu pemerintahan
Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, penduduk

431
Indonesia dibagi ke dalam beberapa golongan. Yang
mendasarinya adalah. Pasal 131 dan 163 Indische
Staatsregeling disingkat IS. Berdasarkan IS tersebut
ditetapkan bahwa bagi golongan Iiropa dan mereka yang
disamakan berlaku hukum negeri Belanda yang juga dapat
disebut hukum Barat, sedangkan bagi golongan Bumiputcra
dan mereka yang disamakan berlaku hukum adatnya masing-
masing. Terhadap golongan Bumiputcra ini dapat juga berlaku
hukum Barat juka ada kepentingan umum dan kepentingan
sosial yang dibutuhkan. Bagi golongan Cina dan Timur asing
lainnya sejak tahun 1925 telah ditetapkan bahwa bagi mereka
berlaku hukum Barat dengan beberapa pengecualian.
Karena adanya perbedaan perlakukan hukum tersebut,
kosekuensinya adalah adanya perbedaan pula dalam badan-
badan peradilan berikut hukum acaranya. Peradilan untuk
Golongan Bropa dan mereka yang disamakan kedudukannya
dengan golongan tersebut adalah Raad van Justitie dan
Residentie-gerecht sebagai peradilan sehari-hari. Hukum acara
yang dipergunakan adalah hukum acara yang termuat dalam
Reglement op de Burgelijke Rechtsvordering yang disingkat
B.Rv. atau Rv.
Untuk golongan Bumiputcra dan mereka yang disamakan
kedudukannya dengan golongan tersebut adalah Landraad
sebagai peradilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya
seperti peradilan kabupaten, peradilan distrik dan sebagainya.
Hukum acara yang dipergunakan adalah yang termua dalam
Herziene Inlandsch Reglement disingkat IIIR, sedangkan
untuk daerah-daerah di luar pulau Jawa dan Madura diatur
menjadi satu dengan Rechtsreglement Buitengewesten atau
RBg.
Tata peradilan pada zaman Hindia Belanda diatur sebagai
berikut:
a. untuk Pulau Jawa dan Madura berlaku Peraturan
Organisasi Peradilan dan Kebijaksanaan Kehakiman di
Hindia Belanda (Reglement op de Rechlerlijke Organisatie
en het Beleid der Justitie disingkat R.O.);
b. untuk luar Pulau Jawa dan Madura berlaku Peraturan
Peradilan daerah seberang laut {Rechtsreglement
Buitengewesten/RBg.)
Sedangkan dasar hukum berlakunya arbitrase pada zaman
Kolonial Belanda ini adalah Pasal 337 IIIR atau Pasal 705
RBg. yang berbunyi :
“Jika orang Indonesia dan orang Timur asing
menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru
pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan
perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”
Jadi pasal ini jelas memberikan kemungkinan bagi pihak-
pihak yang bersengketa untuk menyelesaikannya di luar
pengadilan. Namun demikian H1R maupun RBg. tidak
membuat aturan tentang arbitrase. Untuk mengisi kekosongan
tersebut, Pasal 377 UIR atau Pasal 705 RBg. langsung
menunjuk peraturan pasal-pasal yang terdapat dalam
Reglement Ilukum Acara Perdata (Reglement op de
Burgerlijke Rechtvordering disingkat Rv.S. 1847-52 jo 1849-
63).
Dengan mengacu kepada adanya politik hukum yang
membedakan tiga kelompok penduduk tersebut di atas, bagi
golongan Bumiputera, hukum material yang berlaku pada
dasarnya diterapkan hukum adat. Pengadilannya tunduk pada
pengadilan Landraad sebagai peradilan tingkat pertama.
Ilukum acara yang dipergunakan adalah HIR untuk daerah
Pulau Jawa dan Madura dan RBg. untuk daerah di luar Pulau
Jawa dan Madura (tanah seberang).
Bagi Golongan Timur Asing dan Eropa, Hukum Perdata
material yang berlaku adalah Burgerlijke Wetboek - BW
(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Wetboek van
Kophandel — WvK (Kitab Undang-Undang Ilukum Dagang).
Hukum acaranya adalah Reglemen Acara Perdata (Rv).
Dalam Rv, pasal-pasal mengenai arbitrase, diatur dalam
Buku Ketiga tentan Aneka Acara. Pada Bab Pertama diatur
ketentuan mengenai putusan wasit (arbitrase) mulai dari Pasal
615 sampai dengan Pasal 651.
Pasal-pasal ini meliputi lima bagian pokok, yaitu :
- Bagian Pertama (Pasal 615-623) mengatur mengenai
arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter;
- Bagian Kedua (Pasal 624-630) mengatur mengenai
Pemeriksaan di muka badan arbitrase;

433
- Bagian Ketiga (Pasal 631 -640) mengatur mengenai Putusan
Arbitrase;
- Bagian Keempat (Pasal 641-647) mengatur mengenai
upaya terhadap putusan arbitrase;
- Bagian Kelima (Pasal 647-651) mengatur mengenai
Berakhirnya acara-acara arbitrase.
Pada zaman Hindia Belanda, arbitrase dipakai oleh para
pedagang baik sebagai eksportir maupun importir dan
pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga badan arbitrase
tetap yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda, yaitu :
1. badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia;
2. badan arbitrase tentang kebakaran;
3. badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.

B. 'ZAMAN PENJAJAHAN JEPANG


Pada waktu Jepang masuk menggantikan kedudukan
penjajahan Belanda, Peradilan Raad van Justitie dan Residen
liegerecht dihapuskan. Jepang membentuk satu macam
peradilan yang berlaku bagi semua orang yang diberi nama
Tiboo Ilooin. Badan peradilan ini merupakan peradilan
kelanjutan dari Landraad. Hukum acaranya tetap mengacu
pada HIR dan RBg.
Dengan demikian pada waktu penjajahan Jepang
penyelesaian kasus arbitrase juga mengacu pada Buku III Rv.
yang berjudul Rechtspleging van onderseheiden aard
(peradilan bentuk lainnya), 'I’itcl I di bawah judul van de
uitspraken van seheidsmannen (keputusan-keputusan yang
dijatuhkan juru pemisah) dan diatur dalam Pasal 615 sampai
dengan 651.
Mengenai berlakunya arbitrase ini, Pemerintah Jepang
pernah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Balatentara
Jepang yang menentukan bahwa “semua badan-badan
Pemerintahan dan kekuasaan hukum dan undang-undang dari
Pemerintah dahulu - Pemerintah Hindia Belanda tetap
diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan
aturan Pemerintah Militer Jepang.

434
C. S E T E L A H IN D O N E S IA M E R D E K A

Untuk mencegah terjadinya kevakuman hukum, pada


waktu Indonesia merdeka, diberlakukanlah Pasal II Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tertanggal 18 Agustus
1945 yang menyatakan :
“Segala Badan Negara dan peraturan yang ada langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar inU.
Pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden juga telah
mengeluarkan Peraturan Nomor 2 yang dalam Pasal 1
menyatakan “segala badan-badan Negara dan peraturan-
peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum
diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut”.
Maka demikianlah pada waktu itu, untuk penyelesaian
sengketa melalui arbitrase tetap berlaku ketentuan 111R, RBg.
dan Rv. Mengenai badan peradilannya di beberapa bagian
Republik Indonesia yang dikuasai Belanda sebagai pengganti
peradilan zaman Jepang, diadakan landrechler untuk semua
orang sebagai peradilan sehari-hari dan Appelraad sebagai
perdilan dalam perkara perdata tingkat kedua. Selanjutnya
pada waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat, landrechler
ini menjadi Pengadilan Negeri, sedangkan Appelraad menjadi
Pengadilan Tinggi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
daerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah
Belanda.
Ketika berlakunya Undang-Undang Darurat Nomor 1
Tahun 1951 tanggal 14 Januari 1951, maka pada dasarnya di
seluruh Indonesia hanya ada tiga macam badan peradilan yaitu
Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama,
Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat kedua atau
banding, dan Mahkamah Agung sebagai peradilan tingkat
kasasi. Namun diluar itu ternyata masih dikenal peradilan adat
dan swapraja.
Pada zaman Republik Indonesia Serikat, menurut
konstitusi yang berlaku saat itu (Konstitusi RI S), dalam Pasal
192 Konstitusi RIS tersebut dinyatakan bahwa :

435
“1. Peraturan-peraturan, undang-undang dan ketentuan-
ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat konsitusi
ini mulai berlaku (menurut Pasal 197 Konstitusi RIS
pada saat pemulihan kedaulatan, yaitu pada tanggal 27
Desember 1949) tetap berlaku dengan tidak merubah
sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan
RIS sendiri, selama ada sekedar peraturan-peraturan
dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau
diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan
tata usaha atas kuasa konstitusi ini.
2. Pelanjutan peraturan-peraturan undang-undang dan
ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada sebagai
diterangkan dalam ayat 1 hanya berlaku, sekedar
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini tidak
bertentangan dengan ketentuan Piagam Pemulihan
Kedaulatan Status UNI, Persetujuan peralihan ataupun
persetujuan-persetujuan yang lain yang berhubungan
dengan pemulihan kedaulatan dan sekedar peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan konstitusi ini tidak
memerlukan peraturan-peraturan undang-undang atau
tindakan menjalankan
Selanjutnya jika kita lihat ketentuan dalam Undang-
Undang Dasar Sementara 1950, Pasal 142-nya menyatakan
bahwa : “Peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan
tala usaha negara yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus
1950 tetap berlaku dengan tidak merubah sebagai peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan RI sendiri, selama dan
sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan ini
tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-Undang
Dasar ini
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa semua
peraturan-peraturan yang sudah ada sejak zaman penjajahan
Hindia Belanda dulu selama belum diubah, ditambah atau
diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase
yang diatur dalam Rv. juga tetap berlaku. Keadaan ini terus
berlanjut sampai dikeluarkannya Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
2. PENGATURAN ARBITRASE DALAM Rv.
Jika pada uraian di atas telah kita bahas sejarah arbitrase dari
sejak zaman penjajahan, maka berikut di bawah ini kita kupas
bagaimana pengaturan arbitrase dalam Rv., sebagai satu-satunya
aturan arbitrase yang berlaku umum pada masa pendudukan I lindia
Belanda sampai masa kemerdekaan Republik Indonesia hingga
dikeluarkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini.

A. PENGERTIAN ARBITRASE MENURUT Rv.


Menurut Rv., arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan
yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta
itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih agar perselisihan
mereka tersebut diselesaikan oleh hakim (-hakim) yang
mereka tunjuk sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang
diambil oleh hakim (-hakim) tersebut merupakan putusan yang
bersifat final (putusna pada tingkat terakhir) dan yang
mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakannya. 1lakim-
hakim tersebut dikenal juga dengan nama wait (menurut Rv.)
atau arbiter (menurut definisi yang kita pakai dalam buku ini).
Dari pengertian yang diberikan ini, tampak bagi kita bahwa
Arbitrase tidak lain merupakan suatu badan peradilan, yang
putusannya memiliki sifat final dan yang mengikat para pihak
yang menginginkan penyelesaian perselisihan mereka
dilakukan lewat pranata arbitrase ini. Dalam hal ini para pihak
berhak dan berwenang untuk menentukan dan mengangkat
sendiri para arbiter yang akan menyelesaikan sengketa
mereka, yang berarti pula adanya kewenangan dari para pihak
untuk menentukan sendiri cara penyelesaian sengketa yang
mereka kehendaki.
Pasal 615 ayat (1) Rv. menguraikan :
“Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat
dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang
berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk
menyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada
seorang atau beberapa orang wasit".
Selanjutnya dalam ayat (3) Pasal 615 Rv. ditentukan :

437
“Bahwa adalah diperkenankan mengikatkan diri satu
sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang
mungkin timbul di kemudian hari, kepada pemutusan
seorang atau beberapa orang wasir.
Dari ketentuan Rv. tersebut jelas bagi kita bahwa setiap
orang atau pihak yang bersengketa berhak menyerahkan
penyelesaian sengketa mereka kepada seorang atau beberapa
orang arbiter, yang akan memutuskan sengketa mereka
tersebut menurut azas-azas dan ketentuan-ketentuan yang
dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut. Dan
bahwa mereka berhak untuk melakukan penunjukan itu setelah
ataupun sebelum sengketa terbit dilakukan dengan
mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian pokok
mereka {PACTUM DE KOMPROMITENDO). Sedangkan
penunjukan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa
setelah sengketa terbit dilakukan dengan membuat persetujuan
arbitrase sendiri {AKTA COMPROMIS).
Dalam klausula atau persetujuan yang dibuat tersebut,
para pihak harus dengan jelas-jelas mencantumkan bahwa
mereka menginginkan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase, dan mereka juga telah menuangkan dengan jelas,
siapa (-siapa) saja yang akan mereka tunjuk sebagai arbiter
yang akan menyelesaikan sengketa tersebut, tata cara apa yang
harus ditempuh, bagaimana cara (para) arbiter menyelesaikan
sengketa tersebut, berapa lama sengketa tersebut harus telah
diselesaikan, serta bagaimana sifat dari putusan yang
dijatuhkan oleh (para) arbiter tersebut.
Jenis Sengketa yang Diperkenankan untuk Diselesaikan
dengan Arbitrase Menurut Rv.
Pasal 616 Rv. menyatakan :
“Tidaklah diperkenankan, atas ancaman kebatalan, untuk
mengadakan suatu persetujuan perwasitan mengenai
penghibahan atau penghibah-wasiatan nafkah; mengenai
perceraian atau perpisahan dari meja dan tempat tidur
antara suami isteri; mengenai kedudukan hukum
seseorang, ataupun mengenai lain-lain sengketa tentang
mana oleh ketentuan undang-undang tidak diperbolehkan
mengadakan suatu perdamaian ”.
Disini berarti, semua klausula atau persetujuan yang
memperjanjikan bahwa setiap sengketa yang terbit dari
perjanjian itu akan diselesaikan dengan arbitrase adalah
diperkenankan, dengan pengecualian hal-hal yang berhubung­
an dengan Buku I dan Buku II Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, tidak dapat dimintakan penyelesaiannya dengan
arbitrase, atas ancaman batal demi hukum.

B. SIFAT PERJANJIAN ARBITRASE MENURUT Rv.


Undang-undang mensyaratkan bahwa setiap persetujuan
arbitrase harus dilakukan secara tertulis, baik notariil maupun
di bawah tangan, serta ditandatangani oleh para pihak. Dalam
hal salah satu atau kedua belah pihak tidak dapat membubuh­
kan tanda tangannya, maka persetujuan tersebut harus
dilakukan secara notariil. Klausula atau persetujuan arbitrase
tersebut juga harus memuat masalah yang menjadi sengketa,
nama-nama dan tempat tinggal (kedudukan) para pihak, nama-
nama dan tempat tinggal (para) arbiter, dan juga arbiter yang
harus selalu ganjil. Jika hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka
persetujuan tersebut batal demi hukum (Pasal 618 ayat (1), (2),
dan (3) Rv.).

C. MACAM-MACAM ARBITRASE MENURUT Rv.


Secara umum orang mengenal dua macam arbitrase dalam
praktek :
1. Arbitrase Ad-Hoc ( Volunter Arbitrase);
2. Arbitrase institusional (Lembaga Arbitrase).
Disebut dengan arbitrase ad-hoc atau volunter arbitrase
karena sifat dari arbitrase ini yang tidak permanen atau
insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya memutus dan
menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah
sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad-hoc
inipun lenyap dan berakhir dengan sendirinya. (Para) arbiter
yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan
dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa; demikian
pula tata cara pengangkatan (para) arbiter, pemeriksaan dan
penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian sengketa
tidak memiliki bentuk yang baku. Hanya saja dapat dijadikan

439
patokan bahwa pemilihan dan penentuan hal-hal tersebut
terdahulu tidak boleh menyimpang dari apa yang telah
ditentukan oleh undang-undang.
Sedikit berbeda dari arbitrase ad-hoc, arbitrase institusio­
nal keberadaannya praktis bersifat permanen, dan karenanya
juga dikenal dengan nama “permanent arbitral body”.
Arbitrase institusional ini merupakan suatu lembaga arbitrase
yang khusus didirikan untuk menyelesaikan sengketa yang
terbit dari kalangan dunia usaha. Hampir pada semua negara-
negara maju terdapat lembaga arbitrase ini, yang pada umum­
nya pendiriannya diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri
Negara tersebut. Lembaga arbitrase ini mempunyai aturan
main sendiri-sendiri yang telah dibakukan. Secara umum dapat
dikatakan bahwa penunjukan lembaga ini berarti menunjukkan
diri pada aturan-aturan main dari dan dalam lembaga ini.
Untuk jelasnya, hal ini dapat dilihat dari peraturan-peraturan
yang berlaku untuk masing-masing lembaga tersebut.

D. JANGKA WAKTU DAN BERAKHIRNYA PERJANJIAN


ARBITRASE MENURUTRv.
Pasal 620 ayat (1) Rv. menegaskan bahwa :
“Persetujuan perwasitan harus menentukan jangka waktu
dalam mana sengketa yang diajukan untuk diputusi oleh wasit,
sudah harus diputusi; dan dalam hal tidak telah ditetapkan
jangka waktu seperti itu, maka kuasa yang diberikan kepada
wait atau para wasit, akan berlaku untuk enam bulan
terhitung mulai hari para wait telah menerima pengangkatan
mereka
Selanjutnya dalam Pasal 628 ayat (1) dan ayat (2) Rv.
ditentukan :
“Apabila perlu diadakan pemeriksaan kehakiman tentang
keaslian atau kepalsuan surat-surat, atau apabila secara tiba-
tiba timbul suatu perselisihan mengenai suatu peristiwa yang
bersifat pidana, maka para wasit akan mempersilahkan para
pihak untuk menempuh jalan hukum kepada pengadilan biasa
(Pasal 628 ayat (1)).
Dalam hal yang demikian, jangka waktu-jangka waktu akan
mulai berjalan lagi mulai pada hari putusan pengadilan yang

440
diberikan tentang insiden tersebut, memperoleh kekuatan
hukum tetap (Pasal 628 ayat (2)).
Persetujuan arbitrase tidak akan berakhir dengan mening­
galnya salah satu pihak (Pasal 648 ayat (1) Rv.; dan hanya
akan berakhir jik a :
1. para wasit telah memberikan putusan mereka (Pasal 649
Rv.)
2. dengan lewatnya jangka waktu yang telah ditetapkan
dalam persetujuan (Pasal 650 Rv.);
3. dengan lewatnya waktu enam bulan sejak tanggal para
wasit menerima baik tugas mereka (jika tidak ditentukan
lain) (Pasal 650 Rv.);
4. dengan penarikan kembali penugasan dan penguasaan
kepada para wasit secara bulat oleh para pihak (Pasal 650
Rv.);
5. dengan meninggalnya para wasit (pasal 651 ayat (1) Rv.)
6. dipecatnya salah satu atau beberapa wasit (Pasal 651 ayat
(1) Rv.); atau
7. dalam hal terdapat perlawanan terhadap para wasit, telah
diterimanya perlawanan terhadap mereka tersebut (Pasal
651 ayat (1) Rv.)

E. PENGANGKATAN ARBITER MENURUT Rv.


Pada dasarnya pengangkatan arbiter dilakukan oleh para
pihak dalam klausula atau persetujuan arbitrase. Arbiter
demikian tidak dapat diajukan perlawanan terhadapnya.
Demikian pula arbiter yang diangkat oleh hakim atas kuasa
para pihak tidak dapat diajukan perlawanan terhadapnya, jika
para pihak telah menerima pengangkatan itu, baik yang
dilakukan secara tegas maupun diam-diam. Adapun alasan
yang dapat dipakai untuk melakukan perlawanan terhadap para
arbiter tersebut adalah sama dengan alasan-alasan yang
dipakai untuk melawan seorang hakim yang memeriksa suatu
perkara (Pasal 621 Rv.). Sebagai konsekwensinya, para arbiter
yang telah menerima baik pengangkatan mereka tidak
diperkenankan untuk mengundurkan diri dari tugas mereka
(Pasal 263 Rv.).

441
Dalam arbitrase institusional, disamping ketentuan yang
berlaku umum tata cara pengangkatan arbiter biasanya sudah
ditentukan oleh lembaga tersebut, menurut aturan main dalam
lembaga tersebut, termasuk perlawanan yang mungkin
diadakan terhadap arbiter yang telah ditunjuk.

F. PROSES BERACARA DALAM ARBITRASE MENURUT Rv.


Dalam arbitrase ad-hoc, proses beracara dalam arbitrase
dapat ditentukan sendiri oleh para pihak menurut ketentuan
yang lazim berlaku, atau jika dikehendaki dapat diikuti proses
beracara pengadilan. Sedangkan bagi arbitrase institusional,
proses beracara dalam arbitrase tersebut biasanya mengikuti
proses beracara yang sudah baku menurut ketentuan lembaga
arbitrase tersebut.

G. PUTUSAN ARBITRASE DAN PELAKSANAANNYA


MENURUT Rv.
Putusan arbitrase harus diambil menurut peraturan hukum
yang berlaku, kecuali dalam klausula atau persetujuan arbitra­
se tersebut telah diberikan kekuasaan kepada (para) arbiter
untuk memutus menurut kebijaksanaan (ex aequo et bono)
(Pasal 631 Rv.). Dalam hal ini putusan yang telah diambil
harus menyebutkan nama-nama dan tempat tinggal para pihak
berikut amar putusannya, yang disertai dengan alasan dan
dasar pertimbangan yang dipergunakan (para) arbiter dalam
mengambil putusan, tanggal diambilnya putusan, dan tempat
dimana putusan diambil, yang ditandatangani oleh (para)
arbiter. Dalam hal salah seorang arbiter menolak menanda­
tangani putusan, hal ini harus dicantumkan dalam putusan
tersebut, agar putusan ini berkekuatan sama dengan putusan
yang ditandatangani oleh semua arbiter (Pasal 632 jo Pasal
633 Rv.).
Penyebutan tanggal dan tempat putusan diambil
merupakan hal yang penting, karena terhitung empat belas hari
sejak putusan dikeluarkan, putusan tersebut harus telah
didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negeri setempat,
yaitu tempat dimana putusan arbitrase telah diambil (Pasal 634
ayat (1) Rv.). Putusan arbitrase tersebut hanya dapat
dieksekusi, jika telah memperoleh perintah dari Ketua
Pengadilan Negeri tempat putusan itu didaftarkan, yang
berwujud pencantuman irah-irah : “DKMI KEADILAN BliR-
DASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada
bagian atas dari asli putusan arbitrase tersebut. Selanjutnya
putusan arbitrase yang telah memperoleh irah-irah “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN 'KETUHANAN YANG
MAHA ESA” tersebut dapat dilaksanakan menurut tata cara
yang biasa berlaku bagi pelaksanaan suatu putusan pengadilan
(Pasal 639 Rv).
Menurut ketentuan Pasal 641 ayat (1) Rv., terhadap
putusan arbitrase yang mempunyai nilai perselisihan pokok
lebih dari 500 rupiah dimungkinkan untuk banding kepada
Mahkamah Agung. Selanjutnya dalam Pasal 15 Undang-
Undang Nomor 1/1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan
Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia atau disingkat
Undang-Undang tentang Mahkamah Agung Indonesia
ditentukan pula bahwa hanya putusan dengan pokok perseli­
sihan yang memiliki nilai lebih dari 25.000 rupiah saja yang
dapat dimintakan bandingnya kepada Mahkamah Agung.
Walaupun menurut kedua ketentuan tersebut, putusan arbitrase
dapat dimintakan banding, ketentuan Pasal 642 Rv. dengan
jelas menyebutkan bahwa tiada kasasi maupun peninjauan
kembali dapat diajukan terhadap suatu putusan arbitrase,
meskipun para pihak telah memperjanjikan yang demikian
dalam persetujuan mereka. Dapat ditambahkan di sini bahwa
kemungkinan untuk meminta banding, seperti tersebut di atas,
dapat dikesampingkan oleh para pihak dengan mencantumkan
secara tegas kehendak tersebut dalam klausula atau
persetujuan arbitrase yang mereka buat tersebut (Pasal 641
ayat (1) Rv.).

443
444
ARBITRASE SEBAGAI SALAII SATU BENTUK
PENYELESAIAN SENGKETA
DI LUAR PENGADILAN

1. PENGANTAR

Jika pada Bab II telah kita bahas pengertian dan uraian


mengenai Arbitrase menurut Rv. dan dalam Bab III terdahulu telah
kita bahas ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA dalam
bentuk konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan pendapat
hukum lembaga arbitrase yang diatur dalam Undang-Undang No.
30 Tahun 1999, termasuk perdamaian yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, maka pada Bab IV ini akan kita
bahas pengertian dan uraian mengenai Arbitrase menurut Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999. Pembahasan mengenai arbitrase
dalam bab ini akan diikuti dengan uraian tentang penyelenggaraan
pemeriksaan arbitrase oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) dengan berbagai perbandingan dengan lembaga arbitrase
di luar negeri.
Seperti telah dijabarkan dalam Bab II, pranata arbitrase di
Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama
dikenal. Salah satu ketentuan yang dianggap merupakan sumber
pokok dapat dilaksanakannya arbitrase sebelum berlakunya
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 adalah ketentuan yang diatur
dalam Pasal 337 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Ilet
Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941 ;44) atau pasal
705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927; 227). Kedua
keterituan dasar tersebut, dianggap menjadi sumber dari
berlakunya ketentuan arbitrase yang diatur pranatanya secara
cukup lengkap dalam ketentuan Pasal 615 sampai dengan Pasal
651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering,
Staatsblad 1847,52) bagi seluruh golongan penduduk Hindia
Belanda waktu itu. Dengan diberlakukannya Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 maka seluruh ketentuan tersebut di atas,
yaitu Pasal 337 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Hct
Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 194I;44), pasal 705
Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
(Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927; 227), dan

445
Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata
(Reglcment op de Rechls-vordering, Staatsblad 1847,52)
dinyatakan tidak berlaku lagi.

2. ARBITRASE MENURUT KETENTUAN UNDANG-


UNDANG NO. 30 TAHUN 1999
Berdasarkan definisi yang diberikan dalam pasal 1 angka 1
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa. Ada tiga hal yang dapat
dikemukakan dari definisi yang diberikan dalam Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 tersebut:
1. arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian;
2. perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
3. perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk
menyelesaikan sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan
umum.

A. ARBITRASE SEBAGAI SALAII SATU PRANATA


ALTERNA-TIF PENYELESAIAN SENGKETA TINGKAT
AKHIR
Pada tulisan terdahulu, seperti telah disebutkan di atas,
telah kita ketahui bahwa menurut ketentuan pasal 6 ayat (9)
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dalam hal usaha-usaha
alternatif penyelesaian sengketa melalui konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat (hukum) yang
mengikat maupun perdamaian tidak dapat dicapai, maka para
pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat
mengajukan usaha penyelesai-annya melalui lembaga arbitrase
atau arbitrase ad-hoc. Ini berarti arbitrase dapat dikatakan
merupakan pranata alternatif penyelesai-an sengketa terakhir
dan final bagi para pihak.
Kompetensi Absolut
Dalam hukum acara, kita mengenai adanya istilah kompe­
tensi relatif dan kompetensi absolut. Kedua istilah tersebut di
atas berhubungan dengan masalah kewenangan dari pranata
peradilan atau pengadilan yang berwenang untuk

446
menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul di
antara para pihak. Pada kompetensi relatif, kewenangan
tersebut berhubungan dengan lokasi atau letak pengadilan
yang berwenang. Sedangkan kompetensi absolut mempersoal­
kan kewenangan dari pranata penyelesaian sengketa yang
berwenang untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa
yang terjadi.
Berdasarkan pada ketentuan pasal 3 Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 kita ketahui bahwa penyelesaian
perselisihan atau sengketa melalui pranata arbitrase
memiliki "kompetensi absolut” terhadap penyelesaian
perselisihan atau sengketa melalui pengadilan. Ini berarti
bahwa setiap perjanjian yang telah mencantumkan klausula
arbitrase atau suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para
pihak menghapuskan kewenangan dari pengadilan (negeri)
untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau sengketa yang
timbul daft perjanjian yang memuat klausula arbitrase tersebut
atau yang telah timbul sebelum ditandatanganinya perjanjian
arbitrase oleh para pihak.

B. ARBITRASE SEBAGAI SALAH SATU BENTUK


PERJANJIAN

Jika kita lihat definisi dari perjanjian arbitrase yang


diberikan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat
kita katakan bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat
terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan berupa:
1. klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa,
atau
2. suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa.
Sebagai salah satu bentuk perjanjian, sah tidaknya
perjanjian arbitrase digantungkan pada syarat-syarat
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.

447
Syarat Subjektif
Jika kita kembali pada definisi yang diberikan, di mana
dikatakan bahwa arbitrase adalah suatu cara alternatif
penyelesaian sengketa, maka dapat kita katakan bahwa sebagai
perjanjian, arbitrase melibatkan dua pihak yang saling
bersengketa untuk mencari penyelesaian sengketa di luar
pengadilan.
Untuk memenuhi syarat subjektif, selain harus dibuat oleh
mereka yang demi hukum cakap untuk bertindak dalam
hukum, perjanjian arbitrase harus dibuat oleh mereka yang
demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan
hal yang demikian. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
menentukan bahwa para pihak dalam perjanjian arbitrase tidak
dibatasi hanya untuk subjek hukum menurut hukum perdata
melainkan juga termasuk di dalamnya subjek hukum publik.
Namun satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa
meskipun subjek hukum publik dimasukkan di sini, tidaklah
berarti arbitrase dapat mengadili segala sesuatu yang
berhubungan dengan hukum publik. Jika kita lihat ketentuan
dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,
jelas bahwa sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
ini sifatnya terbatas. Yang pasti relevansi dari kewenangan
para pihak menjadi bagian yang sangat penting bagi para pihak
dalam perjanjian arbitrase.
Syarat Objektif
Syarat objektif dari perjanjian arbitrase ini diatur dalam
pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Menurut
ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-undang tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut, objek perjanjian
arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan
diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase (dan
atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya)
hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak ada
suatu penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dalam
ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tersebut, namun jika kita lihat pada penjelasan Pasal 66 huruf b
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, yang berhubungan
dengan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, dimana
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum
perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang :
perniagaan;
perdagangan;
keuangan;
penanaman modal;
industri;
hak kekayaan intelektual;
Ini berarti bahwa makna "perdagangan" sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1), seharusnya juga memiliki
makna yang luas sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan
Pasal 66 huruf b Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut.
Mal ini juga sejalan dengan ketentuan selanjutnya dalam Pasal
5 ayat (2), yang memberikan perumusan negatif, di mana
dikatakan bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian. Ini berarti kita harus melihat kembali ketentuan
mengenai perdamaian yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Buku III Bab Kedelapan belas Pasal
1851 sampai dengan Pasal 1864.
Perjanjian Arbitrase Harus Dibuat Secara Tertulis
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mensyaratkan
bahwa perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis. Syarat
"tertulis” dari perjanjian arbitrase dapat berwujud suatu
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam
suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa; atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa. Adanya perjanjian arbitrase
tertulis ini berarti meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang
dimuat dalam perjanjian (pokok) ke Pengadilan Negeri.
Demikian juga kiranya Pengadilan Negcn tidak berwenang
untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase. Ini berarti suatu perjanjian arbitrase
melahirkan kompetensi absolut bagi para pihak untuk

449
menentukan sendiri cara penyelesaian sengketa yang
dikehendaki-nya.
Perjanjian Arbitrase Bersijat Assesoir
Fokus perjanjian arbitrase ditujukan kepada masalah
penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian.
Perjanjian ini bukan perjanjian "bersyarat”. Pelaksanaan
perjanjian arbitrase tidak digantungkan pada sesuatu kejadian
tertentu dimasa mendatang. Perjanjian ini tidak
mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian tetapi hanya
mempersoalkan masalah cara dan pranata yang berwenang
menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara pihak.
Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi suatu kesatuan
dengan materi pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase yang
lazim disebut "klausula arbitrase" merupakan tambahan yang
diletakkan pada perjanjian pokok. Meskipun keberadaannya
hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok klausula
arbitrase maupun perjanjian arbitrase tidak bersifat assesoir
oleh karena pelaksanaannya dan sama sekali tidak
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keabsahan maupun
pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok.
Yang jelas arbitrase lahir dengan maksud dan tujuan untuk
menyelesaikan suatu perselisihan atau sengketa yang ada di
luar pengadilan.
Klausula Arbitrase
Seperti telah disinggung pada uraian Bab II di atas, dan
dari definisi yang diberikan dalam Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 seperti juga disebutkan di atas, kita mengenai
adanya dua bentuk klausula arbitrase, yaitu :
1. Pactum de compromittendo
Dalam pactum de compromittendo, para pihak mengikat
kesepakatan akan menyelesaikan perselisihan melalui
forum arbitrase sebelum terjadi perselisihan yang nyata.
Bentuk klausula pactum de compromittendo ini diatur
dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Pasal tersebut berbunyi:
“Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang
terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk
diselesaikan melalui arbitrase
Dalam Pasal II ayat 1 Konvensi New York misalnya kita
dapati klausula pactum compromettindo ini dalam
kalimat :
“Each Contracting State shall recognize an
agreement in writing under which the parties
undertake to submit to arbitration all or any
differences which have arisen or which may arise
between them in respect o f a defined legal
relationship whether contractual or not, concerning a
subject matter capable o f settlement by arbitration
Cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ada
dua cara, yaitu :
1. dengan mencantumkan klausula arbitrase yang
bersangkutan dalam perjanjian pokok, cara ini adalah
cara yang paling lazim.
2. Klausula pactum de compromettindo dibuat terpisah
dalam akta tersendiri.
2. Akta Kompromis
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 akta
kompro-mis diatur dalam Pasal 9 yang berbunyi :
“(1) Dalam hal para pihak memilih menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi,
persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat
dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani
oleh para pihak.
(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani
perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam
bentuk akta notaris.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayal
(1) harus memuat:
a. masalah yang dipersengketakan/
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;

451
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau
majelis arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan
mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang
bersengketa untuk menanggung segala biaya yang
diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.
(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi
hukum
Perbedaan antara pactum de compromittendo dan akta
kompromis hanya terletak pada “saat” pembuatan perjanjian.
Bila pactum de compromittendo dibuat sebelum perselisihan
terjadi akta kompromis dibuat setelah perselisihan atau
sengketa terjadi. Dari segi perjanjian antara keduanya tidak
ada perbedaan.
Perjanjian arbitrase merupakan suatu kontrak. Seperti
yang telah disebutkan di atas perjanjian tersebut dapat
merupakan bagian dari suatu kontrak atau merupakan suatu
kontrak yang terpisah. Perjanjian arbitrase dalam suatu
kontrak biasa disebut klausula arbitrase. Klausula arbitrase
dapat berupa perjanjian yang sederhana untuk melaksanakan
arbitrase, tetapi dapat juga berupa perjanjian yang lebih
komprehensif, memuat syaratsyarat arbitrase.
Klausula arbitrase ini penting karena akan menentukan
berlangsungnya suatu arbitrase, bagaimana pelaksanaannya,
hukum substantif apa yang berlaku, dan lain-lain.
Secara umum menurut Gary Goodpaster, Felix O.
Soebagjo, dan Fatmah Jatim, klausulaklausula arbitrase akan
mencakup :
a. komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan
arbitrase;
b. ruang lingkup arbitrase;
c. apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional
atau ad-hoc; apabila memilih bentuk ad-hoc, maka
klausula tersebut harus merinci metode penunjukan arbiter
atau majelis arbitrase;
d. aturan procedural yang berlaku;
c. tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase;
f. pilihan terhadap hukum substantif yang berlaku bagi
arbitrase;
g. klausula-klausula stabilisasi dan hak kekebalan
(imunitas), jika relevan.
Klausula arbitrase harus disusun secara cermat guna
mencegah prosedur litigasi tentang maknanya dan untuk
menghindari kejutan-kejutan yang tidak menyenangkan di
kemudian hari. Klausula arbitrase harus memuat komitmen
yang jelas terhadap arbitrase serta pernyataan tentang sengketa
apa yang diselesaikan secara arbitrase.
Berikut disajikan contohcontoh klausula arbitrase (Model
Arbitration Clause) :
1. Contoh sederhana :
“Apabila dikemudian hari timbul perselisihan yang
menyangkut perjanjian ini perselisihan itu akan
diselesaikan dengan jalan arbitrase
2. BANI :
“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan
diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir menurut
peraturan dan prosedur BANI oleh arbiter-arbiter yang
ditunjuk oleh atau menurut peraturan BANI tersebut
3. INTERNA TIONAL CHAMBER OF COMMERCE :
“All disputes arising in connection with the present
contract shall be finally settled under the Rules o f
Conciliation and Arbitration o f the International Chamber
o f Commerce by one or more arbitrators appointed in
accordance with the said Rules

453
4. UNCITRAL arbitration rules :
“Any dispute, controversy or claim arising out o f or
relating to this contract, o f the breach, termination or
invalidity thereof, shall be settled by arbitration in
accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as at
present in force
5. REGIONAL ARBITRA TION CENTRE KUALA L UMP UR :
“Any dispute, controversy or claim arising out o f or
relating to this contract, o f the breach, termination or
invalidity thereof shall be settled by arbitration in
accordance with the Rules o f KualarLumpur Region
Arbitration Centre

C. LEXARBITRI
Lex Arbitri merupakan hukum yang berkaitan dengan
arbitrase, dari negara tempat arbitrase diselenggarakan. Lex
arbitri ini menentukan apakah perjanjian arbitrase sah; apakah
sengketa tertentu dapat diselesaikan melalui arbitrase; apakah
pengadilan akan memberikan upaya hukum provisional/
sementara; apakah harus ada putusan yang berdasarkan
pertimbangan yang beralasan; apakah keputusan arbitrase
dapat ditinjau kembali mengenai materinya atau dasardasar
lainnya.
Lex arbitri juga menetapkan aturanaturan dalam hal
terjadi kekosongan (gap filling). Dengan demikian bilamana
aturanaturan arbitrase yang diterapkan pada arbitrase tidak
dapat mencakup semua persoalan atau kemungkinan yang
timbul dalam arbitrase, majelis arbitrase dapat menggunakan
lex arbitri untuk menyelesaikannya.
Dengan demikian, dalam arbitrase, yang menjadi daya
tariknya adalah lex arbitri ini. Apabila ada suatu Undang-
Undang arbitrase memberikan kewenangan pada pengadilan
untuk mengawasi, campur tangan, meneliti, dan memberikan
keputusan sebaliknya dan bukan mempermudah, arbitrase
akan kehilangan manfaatnya karena adanya proses ajudikasi
pengadilan yang berlebihan.

454
D. JENIS-JENIS ARBITRASE
Dengan mengacu konvensikonvensi seperti: Convention o f
the Settlement oj Investment Disputes Between States and
National o f Other State atau Convention on the Recognition
And Enforcement o f Foreign Arbitral Awards (Konvensi New
York 1958) maupun berdasarkan ketentuan yang terdapat
dalam UNCITRAL Arbitration Rules maka kita dapat
mengemukakan beberapa jenis arbitrase yaitu :
1. Arbitrase ad-hoc;
2. Arbitrase institusional;
Jenis arbitrase ini merupakan macam arbitrase yang diakui
eksistensi dan kewenangannya untuk memeriksa dan memutus
perselisihan yang terjadi antara para pihak yang mengadakan
perjanjian.
Arbitrase ad-hoc (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang
dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus
perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan
jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan.
Para pihak dapat mengatur cara-cara bagaimana
pelaksanaan pemilihan para arbiter, kerangka kerja prosedur
arbitrase dan aparatur administratif dari arbitrase. Namun
demikian dalam pelaksanaannya, arbitrase ad-hoc ini memiliki
kesulitan antara lain kesulitan dalam melakukan negosiasi dan
menetapkan aturanaturan prosed urai dari arbitrase serta
kesulitan dalam merencanakan metodemetode pemilihan
arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak. Karena ada
beberapa kesulitan itu seringkali dipilih bentuk arbitrase yang
kedua yaitu arbitrase institusional.
Arbitrase institusional merupakan lembaga atau badan
arbitrase yang sifatnya permanen. Karena sering juga disebut
“permanent arbitral body” sebagaimana dalam Pasal 1 ayat
(2) Konvensi New York 1958. Arbitrase ini disediakan oleh
organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung
perselisihan yang timbul dari perjanjian.
Faktor kesengajaan dan sifat permanen ini merupakan ciri
pembeda dengan arbitrase ad-hoc. Selain itu arbitrase
institusional ini sudah ada sebelum sengketa timbul yang

455
berbeda dengan arbitrase ad-hoc yang baru dibentuk setelah
perselisihan timbul. Selain itu arbitrase institusional ini berdiri
untuk selamanya dan tidak bubar meskipun perselisihan yang
ditangani telah selesai.
Arbitrase institusional ini menyediakan jasa administrasi
arbitrase yang meliputi pengawasan terhadap proses arbitrase,
aturanaturan prosedural sebagai pedoman bagi para pihak dan
pengangkatan para arbiter.
Ada beberapa lembaga yang menyediakan jasa arbitrase,
yaitu :
a. Arbitrase institusional yang bersifat nasional, yaitu
arbitrase yang ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya
hanya meliputi kawasan negara yang bersangkutan.
Misalnya :
- The Indonesian National Board of Arbitration atau
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia);
- Nederlands Arbitrage Instituut;
- The Japan Commercial Arbitration Association;
- The American Arbitration Association;
- The British Institute of Arbitrators.
b. Arbitrase institusional yang bersifat internasional, yaitu
arbitrase yang ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya
bersifat internasional, misalnya :
- Court o f Arbitration o f The International Chamber o f
Commerce (ICC);
- The International Centre For Settlement o f Investment
Disputes (ICSID) yang lazim disingkat “Center”;
- Uncitral Arbitration Rules (UAR);
c. Arbitrase institusional yang bersifat regional, yaitu
arbitrase yang ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya
berwawasan regional, misalnya: Regional Centre for
Arbitration yang didirikan oleh AsiaAfrica Legal
Consultative Committee (AAALC).
E. SYARAT-SYARAT ARBITRASE MENURUT UNDANG-
UNDANG NO. 30 TAHUN 1999
Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam tulisan di atas,
bahwa salah satu syarat pokok terjadinya arbitrase adalah
adanya kehendak dari para pihak (yang bersengketa) untuk
menyelesaikan setiap perbedaan pendapat, perselisihan
maupun sengketa yang terjadi di antara mereka melalui
pranata arbitrase, di luar pranata peradilan, yang dituangkan
atau dibuat secara tertulis dalam suatu klausula arbitrase dalam
perjanjian pokok sebelum perselisihan atau sengketa lahir,
maupun dalam bentuk suatu perjanjian arbitrase tersendiri
setelah perbedaan pendapat, perselisihan atau sengketa timbul.
Pemberitahuan Mengenai Berlakunya Syarat-syarat
Arbitrase
Meskipun secara tegas telah diatur dalam suatu klausula
arbitrase dalam perjanjian pokok mengenai maksud dan
kehendak para pihak untuk menyelesaikan perbedaan
pendapat, perselisihan atau sengketa yang timbul melalui
arbitrase, proses jalannya kegiatan penyelesaian perbedaan
pendapat, perselisihan atau sengketa melalui arbitrase itu
sendiri harus dimulai melalui suatu pemberitahuan oleh salah
satu pihak dalam perjanjian (pokok) kepada pihak lainnya
dalam perjanjian bahwa syarat-syarat penyelesaian melalui
arbitrase telah berlaku. Menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1),
pemberitahuan mengenai berlakunya syarat dan ketentuan
arbitrase tersebut, harus dibuat secara tertulis, dan dapat
disampaikan oleh salah satu pihak selaku pemohon arbitrase
dengan surat tercatat telegram, teleks, faksimili, email atau
dengan buku ekspedisi kepada pihak lainnya sebagai termohon
arbitrase. Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase
tersebut harus memuat dengan jelas :
a. nama dan alamat para pihak;
b. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang
berlaku;
c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut apabila ada;
e. cara penyelesaian yang dikehendaki;

457
f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah
arbiter atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian
semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang
jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.
Selanjutnya jika, pemilihan penyelesaian perbedaan
pendapat, perselisihan atau sengketa tersebut dilakukan setelah
perbedaan, perselisihan dan atau sengketa tepbit, yang
diputuskan untuk diselesaikan melalui suatu Perjanjian
Arbitrase yang tertulis, maka Perjanjian Arbitrase tersebut
harus memuat:
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis
arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil
keputusan;
c. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk
menanggung segala biaya yang diperlukan untuk
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Perjanjian Arbitrase tertulis yang tidak memuat ketentuan
tersebut di atas adalah batal demi hukum. Ini merupakan
syarat objektif dari Perjanjian Arbitrase, selain syarat objektif
sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 5 Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999, sebagaimana telah dibahas
sebelumnya.
Setelah pemberitahuan mengenai berlakunya klausula
arbitrase atau perjanjian arbitrase disepakati oleh para pihak,
maka para pihak harus mulai mengangkat arbiter yang akan
bertugas untuk menyelesaikan perbedaan pendapat,
perselisihan dan atau sengketa yang telah ada.
Hapusnya Perjanjian Arbitrase
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak mengatur
mengenai syarat-syarat hapusnya perjanjian arbitrase, malahan
sebaliknya mengatur secara negatif hal-hal yang tidak
menjadikan hapus atau batalnya perjanjian arbitrase, yaitu
yang diatur dalam Pasal 10, dimana dikatakan bahwa
perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh
keadaan tersebut di bawah in i:
a. meninggalnya salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. novasi;
d. insolvensi salah satu pihak;
e. pewarisan;
f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan
pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang
melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

F. SYARAT ARBITER MENURUT UNDANG-UNDANG


NO. 30 TAHUN 1999
Menurut ketentuan Pasal 12 Undang-Undang No. 30
Tahun 1999, yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter
adalah mereka yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. eakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai dengan derajad kedua dengan salah satu
pihak bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan
lain atas putusan arbitrase;
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di
bidangnya paling sedikit 15 tahun;
dengan ketentuan bahwa hakim, jaksa, panitera dan
pejabat-pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau
diangkat sebagai arbiter.
Pasal 13 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menentukan
bahwa dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan

459
mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang
dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan
Negeri dapat menunjuk arbiter atau majelis arbiter.
Untuk arbitrase ad-hoc, ditentukan bahwa dalam hal
terjadi ketidaksepakatan dalam penunjukan seorang atau
beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk seorang
arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para
pihak.
Dalam hal para pihak telah bersepakat bahwa sengketa
yang timbul akan diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal,
para pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang
pengangkatan arbiter tunggal. Untuk itu pemohon arbitrase
wajib, secara tertulis, dengan surat tercatat, telegram, teleks,
faksimili, email atau dengan buku ekspedisi, mengusulkan
kepada pihak termohon arbitrase, nama orang yang diusulkan
untuk diangkat sebagai arbiter tunggal. Jika dalam waktu
selambatlambatnya 14 (empat belas) hari setelah termohon
menerima usul pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal, atas
permohonan dari salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri
dapat mengangkat arbiter tunggal. Selanjutnya ditentukan juga
bahwa Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter
tunggal berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh para
pihak, atau yang diperoleh dari organisasi atau lembaga
arbitrase, dengan memperhatikan baik rekomendasi maupun
keberatan yang diajukan oleh para pihak terhadap orang yang
bersangkutan.
Jika para pihak sepakat bahwa penyelesaian akan
dilakukan oleh suatu majelis arbitrase yang terdiri dari tiga
orang, maka ketentuan Pasal 15 Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 menentukan bahwa penunjukan dua orang arbiter
oleh para pihak memberi wewenang kepada dua arbiter
tersebut untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga,
yang akan berfungsi sebagai ketua majelis arbitrase. Jika
kedua arbiter yang telah ditunjuk masingmasing pihak tidak
berhasil menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari setelah arbiter yang terakhir ditunjuk, atas
permohonan salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat
mengangkat arbiter ketiga. Pengangkatan arbiter yang
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat diajukan
upaya pembatalan.
Jika dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
pemberitahuan mengenai akan dimulainya penanganan
penyelesaian perselisihan melalui arbitrase diterima oleh
termohon, dan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk
seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter
yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai
arbiter tunggal dan putusannya akan mengikat kedua belah
pihak.
Penerimaan dan atau Penolakan oleh Arbiter
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dalam ketentuan
Pasal 16-nya mensyaratkan bahwa arbiter yang ditunjuk atau
diangkat wajib menentukan apakah arbiter yang bersangkutan
akan menerima atau menolak penunjukan atau pengangkatan
tersebut. Hal tersebut wajib disampaikan secara tertulis kepada
para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal penunjukan atau pengangkatan.
Sebagai konsekwensi dari ditunjuknya seorang atau lebih
arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diterimanya
penunjukan tersebut oleh seorang atau lebih arbiter tersebut,
maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima
penunjukan terjadi suatu perjanjian perdata. Penunjukan
tersebut mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan
memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima
putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah
diperjanjikan bersama. Arbiter yang bersangkutan tidak dapat
menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak. Jika arbiter
yang telah menerima penunjukan atau pengangkatan tersebut
kemudian menyatakan menarik diri, maka yang bersangkutan
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada para
pihak, yang jika disetujui oleh para pihak, maka arbiter yang
bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter. Jika
permohonan penarikan diri tidak mendapat persetujuan para
pihak, pembebasan tugas arbiter ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri. Arbiter atau majelis arbitrase yang
bertugas tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apa

461
pun atas segala tindakan yang diambil selama proses
persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya
sebagai arbiter atau majelis arbitrase; kecuali dapat dibuktikan
adanya iktikad tidak baik dari tindakan tersebut.
Perjanjian perdata yang lahir antara arbiter atau majelis
arbitrase dengan para pihak yang bersengketa akan melahirkan
konsekwensi hukum bagi para arbiter, di mana dalam hal
arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak
memberikan putusan dalam jangka waktu yang telah
ditentukan, maka arbiter tersebut dapat dihukum untuk
mengganti biaya dan kerugian yang diakibatkan karena
kelambatan tersebut kepada para pihak.

G. HAK INGKAR DAN TUNTUTAN INGKAR MENURUT


UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999
Hak ingkar sebenarnya bukanlah suatu istilah baru dalam
ilmu hukum. Hak ingkar, dalam banyak hal seringkah
dikaitkan dengan istilah Verschoningsrecht dalam bahasa
Belanda. Jika kita kembali kepada literatur hukum yang ada,
dalam perkembangannya, istilah hak ingkar ini kemudian
banyak dipertentangkan dengan istilah “kewajiban ingkar”.
Banyak pihak yang menyatakan bahwa, dalam beberapa hal
yang cukup esensiil, khususnya yang berhubungan dengan
“rahasia jabatan”, apa yang sebenarnya dikandung dalam
pengertian Verschoningsrecht tersebut bukanlah suatu hak,
melainkan merupakan suatu kewajiban yang harus dipikul oleh
mereka yang oleh undang-undang diberikan hak ingkar.
Verschoningsrecht
Dalam literatus hukum (Belanda) yang masih berlaku
sampai saat ini di Indonesia, istilah Verschoningsrecht, diatur
dalam ketentuan pasal 1909 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, pasal 146 dan pasal 277 Reglemen Indonesia yang
Diperbaharui (RIB HIR), yang merupakan ketentuan-
ketentuan dan aturan-aturan hukum yang berlaku dalam
hukum acara perdata. Ketiga ketentuan hukum tersebut
mengatur mengenai “hak ingkat” yang diberikan oleh undang-
undang kepada orang-orang tertentu, yang dapat dipergunakan
olehnya untuk mengundurkan diri sebagai saksi dalam suatu

462
perkara perdata tertentu. Disebut dengan hak ingkar karena
pada dasarnya hak tersebut merpakan pengecualian (atau
pengingkaran)dari suatu kewajiban yang dibebankan oleh
undang-undang.
Pengingkaran Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
Jika kita baca kembali ketentuanketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, seperti telah
disinggung dalam tulisan terdahulu mengenai SYARAT-
SYARAT ARBITRASK DAN ARBITl-R MENURUT
UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999, seorang atau lebih
arbiter yang ditunjuk oleh para pihak atau diangkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri wajib memutuskan apakah arbiter yang
bersangkutan akan menerima atau menolak penunjukan atau
pengangkatan tersebut, dengan cara memberitahukannya
secara tertulis kepada para pihak, dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari terhitung sejak tanggal penunjukan atau
pengangkatan.
Dengan adanya kesepakatan, yang terwujud dari
penerimaan oleh arbiter atas penunjukannya, yang
kesemuanya dilakukan secara tertulis, maka di antara pihak
yang menunjuk dengan arbiter yang menerima penunjukan
tersebut terjadilah suatu perjanjian perdata. Ini berarti arbiter
atau para arbiter akan melakukan pemeriksaan dan selanjutnya
memberikan putusannya secara jujur, adil.dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, dan para pihak juga akan menerima
putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah
diperjanjikan bersama, serta untuk melaksanakannya sesuai
dengan putusan yang giberikan oleh arbiter atau para arbiter
tersebut.
Pertentangan Kepentingan
Pada uraian di atas telah dikatakan bahwa dengan
terjadinya “perjanjian”/“hubungan hukum” keperdataan antara
arbiter dengan pihak yang menunjuk atau mengangkat mereka
untuk menyelesaikan perbedaan pendapat, perselisihan atau
sengketa yang timbul, lahirlah kewajiban bagi arbiter untuk
memutuskan perbedaan pendapat, perselisihan atau sengketa
yang dihadapi oleh para pihak secara jujur, adil dan tidak
memihak. Untuk keperluan itu, maka Undang-Undang No. 30

463
Tahun 1999 menentukan bahwa setiap calon arbiter yang
diminta oleh salah satu pihak untuk duduk dalam majelis
arbitrase, sebelum menerima atau menolak penunjukan yang
dilakukah oleh salah satu atau para pihak terhadap dirinya,
diwajibkan untuk memberitahukan kepada para pihak tentang
adanya hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang mungkin akan
mempengaruhi kebebasannya dalam mengambil keputusan,
atau menimbulkan keberpihakan atas putusan yang akan
diberikan.
Ketentuan mengenai Ilak Ingkar oleh arbiter diatur dalam
Bagian Ketiga yang dimulai dari Pasal 22 sampai dengan Pasal
26 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
Pengertian Hak Ingkar dan Tuntutan Ingkar Menurut
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak memberikan
suatu rumusan mengenai makna dari hak ingkar maupun
tuntutan ingkar. Pasal 22 yang merupakan Pasal pertama
dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang mengatur
mengenai hak ingkar. Dalam Pasal 22 yang terdiri dari 2 ayat
tersebut, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak
menyebutkan perkataan hak ingkar, melainkan tuntutan
ingkar. Adapun rumusan dari ketentuan Pasal 22 adalah
sebagai berikut:
'7. Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila
terdapat cukup alasan dan bukti otentikyang menimbul­
kan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya
tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil
keputusan.
2. Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula
dilaksanakan apabila terbukti adanya :
a. hubungan kekeluargaan;
b. hubungan keuangan; atau
c. hubungan pekerjaan dengan salah satu pihak atau
kuasanya".
Jika kita perhatikan rumusan dari PasalPasal yang
mengatur mengenai hak ingkar sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, sepintas bagi kita
tampak bahwa Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak
memberikan konsistensi penyebutan. Bila dalam Pasal 22
dikatakan tuntutan ingkar, dalam Pasal 23 disebutkan
perkataan hak ingkar, sementara dalam pasal-pasal selanjutnya
penyebutan tuntutan ingkar dan hak ingkar dilakukan secara
berganti-ganti. Namun demikian jika kita coba simak rumusan
katakata yang mendampingi penyebutan, baik tuntutan ingkar
maupun hak ingkar, dan kita hubungkan dengan tata cara
pengangkatan arbiter sebagaimana telah diuraikan pada subsub
bab terdahulu tentang SYARAT-SYARAT ARBITRASH
MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 dan
SYARAT ARBITER MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 30
TAHUN 1999, dapat kita tarik suatu kesimpulan umum bahwa
yang dimaksudkan dengan hak ingkar adalah hak yang
diberikan kepada arbiter untuk mengajukan suatu keberatan
atas penunjukan dirinya sebagai arbiter berdasarkan pada
adanya alasan bahwa ia (arbiter tersebut) karena suatu
hubungan (hukum) tertentu berkemungkinan untuk tidak dapat
bertindak secara bebas dan objektif dalam melaksanakan
tugas penyelesaian sengketa yang diserahkan kepadanya,
sedangkan tuntutan ingkar adalah hak yang diberikan kepada
pihak ketiga untuk menuntut mundurnya seorang arbiter dari
pengangkatan yang (telah) diterima olehnya atas dasar
adanya alasan bahwa arbiter yang bersangkutan
berkemungkinan untuk melakukan pemeriksaan sidang
arbitrase dan selanjutnya untuk menjatuhkan putusan
arbitrase secara tidak bebas atau objektif.
Menurut ketentuan Pasal 23 Undang-Undang No. 30
Tahun 1999, hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri
yang bersangkutan; selanjutnya hak ingkar terhadap arbiter
tunggal diajukan kepada arbiter yang bersangkutan; dan hak
ingkar terhadap anggota majelis arbitrase diajukan kepada
majelis arbitrase yang bersangkutan.
Bagi Arbiter yang diangkat tidak dengan penetapan peng­
adilan, hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang baru
diketahui pihak yang mempergunakan hak ingkarnya setelah
pengangkatan arbiter yang bersangkutan; sedangkan Arbiter
yang diangkat dengan penetapan pengadilan, hanya dapat

465
diingkari berdasarkan alasan yang diketahuinya setelah adanya
penerimaan penetapan pengadilan tersebut.
Pihak yang berkeberatan terhadap penunjukan seorang
arbiter yang dilakukan oleh pihak lain, harus mengajukan
tuntutan ingkar dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
sejak pengangkatan. Dalam hal alasan tersebut dalam Pasal 22
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
sebagaimana dikutip di atas baru diketahui kemudian, maka
tuntutan ingkar harus diajukan dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari sejak diketahuinya hal tersebut.
Tuntutan ingkar harus diajukan secara tertulis, baik
kepada pihak lain maupun kepada pihak arbiter yang
bersangkutan dengan menyebutkan alasan tuntutannya. Dalam
hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak
disetujui oleh pihak lain, arbiter yang bersangkutan harus
mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan
ditunjuk sesuai dengan cara yang ditentukan dalam Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 ini. Jika tuntutan ingkar yang
diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain
dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan
diri, maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan
tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Putusan yang
dijatuhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri ini bersifat mengikat
kedua pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan.
Selanjutnya bila Ketua Pengadilan Negeri memutuskan
bahwa tuntutan tersebut beralasan, seorang arbiter pengganti
harus diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku untuk
pengangkatan arbiter yang digantikan. Sedangkan jika Ketua
Pengadilan Negeri menolak tuntutan ingkar, maka arbiter
tersebut akan terus melanjutkan tugasnya.
Selain itu dalam rumusan Pasal 26 ayat (2) Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 kembali ditegaskan bahwa
seorang arbiter dapat dibebastugaskan bilamana terbukti
berpihak atau menunjukkan sikap tercela yang harus
dibuktikan melalui jalur hukum. Dalam hal ini, berbeda
dengan pelaksanaan “hak ingkar”, pembebastugasan tidak
dapat dilaksanakan dengan begitu saja, melainkan harus
dilakukan melalui serangkaian proses peradilan.
II. TUGAS ARBITER
Seperti telah dikatakan di atas mengenai syarat-syarat
pelaksanaan suatu arbitrase, syarat-syarat pengangkatan
seorang arbiter, dan hak ingkar yang “wajib” diajukan oleh
arbiter yang ditunjuk serta tuntutan ingkar yang dapat diajukan
terhadap arbiter atas kemungkinan tidak objektifnya
pelaksanaan jalannya arbitrase yang ditugaskan pada arbiter
yang bersangkutan, dengan diterimanya penunjukan oleh
arbiter, maka arbiter yang bersangkutan diwajibkan untuk
menyelesaikan pemeriksanaan arbitrase dan selanjutnya
menjatuhkan putusan arbitrase dalam jangka waktu yang telah
ditentukan oleh para pihak yang mengangkat atau menunjuk
arbiter tersebut. Selain dari itu yang paling esensi adalah
“independensi” dari arbiter dalam melaksanakan tugasnya,
sehingga dapat diperoleh suatu putusan yang “adil” dan
“cepat” bagi para pihak yang berbeda pendapat, berselisih
paham maupun bersengketa.
Seperti dikatakan di atas, ada satu hal terpenting yang
perlu kita tekankan di sini, adalah bahwa penyelesaian
sengketa melalui arbitrase tersebut diatur dengan sangat
“memperhatikan” sekali masalah “waktu” sebagai suatu hal
yang sangat “esensi”. Ilal ini menjadi penting karena Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 memberikan batas tenggang
waktu bagi arbiter atau majelis arbitrase untuk menyelesaikan
suatu sengketa yang diserahkan kepadanya dalam jangka
waktu 180 hari. Dan untuk keperluan tersebut di antara para
pihak yang bersengketa di satu pihak dan arbiter atau majelis
arbitrase di pihak lain disyaratkan adanya suatu perjanjian
pemeriksaan dan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
Berikut di bawah ini akan kita coba uraian sedikit hal yang
berhubungan dengan esensialia waktu dalam suatu perjanjian,
dalam kaitannya dengan perjanjian yang harus dibuat,
disepakati dan ditandatangani oleh arbiter atau majelis
arbitrase dengan para pihak yang bersengketa yang
menunjuk(nya) mereka untuk menyelesaikan sengketa yang
terjadi di antara mereka melalui arbitrase.

467
Esensialia Waktu dalam Perjanjian
Seperti telah berkalikali diterangkan bahwa perjanjian
merupakan kesepakatan antara dua (atau lebih) pihak, di mana
satu (atau lebih) pihak dalam perjanjian mengikatkan diri
untuk melakukan suatu prestasi terhadap pihak lainnya. Jika
prestasi ditujukan hanya pada satu pihak dalam perjanjian saja,
maka perjanjian tersebut dikenal dengan sebutan perjanjian
sepihak. Sedangkan jika terdapat lebih dari satu pihak yang
berkewajiban untuk melakukan prestasi satu terhadap yang
lainnya, maka disebut dengan perjanjian timbal balik.
Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukannya.
Ilmu hukum mengenai empat unsur pokok yang harus ada agar
suatu perbuatan hukum dapat disebut dengan perjanjian (yang
sah). Ke empat unsur tersebut selanjutnya digolongkan ke
dalam: dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang
mengadakan perjanjian (unsur subjektif), dan dua unsur pokok
lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian
(unsur objektif). Unsur subjektif mencakup kecakapan dari
pihak yang melaksanakan perjanjian, dan adanya kesepakatan
secara bebas dari para pihak yang berjanji. Sedangkan unsur
objektif meliputi keberadaan objek yang diperjanjikan, dan
objek tersebut haruslah sesuatu yang diperkenankan menurut
hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat
unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan
perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik batal demi
hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif), maupun
dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur
subjektif).
Perjanjian Bersyarat dan Tidak Bersyarat
Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
membedakan perjanjian dalam perjanjian yang bersyarat dan
perjanjian yang tidak bersyarat, namun dalam prakteknya
dapat dikatakan bahwa hampir semua perjanjian merupakan
perjanjian bersyarat, yang pelaksanaannya digantungkan pada
suatu keadaan, peristiwa, kejadian, atau perbuatan (hukum)
yang harus terjadi atau dipenuhi terlebih dahulu, sebelum
perjanjian tersebut melahirkan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban lebih lanjut bagi para pihak dalam perjanjian.
Keadaan, peristiwa, kejadian, atau perbuatan (hukum) ini
harujlah merupakan sesuatu yang berhubungan langsung
dengan objek dari perjanjian tersebut. Hakim bebas untuk
menilai apakah suatu persyaratan yang diajukan relevan atau
tidak dengan perjanjian yang dibuat.
Syarat-syarat perjanjian dapat berupa syarat yang bersifat
menangguhkan pelaksanaan dari perjanjian (syarat tangguh)
ataupun yang bertujuan untuk membatalkan perjanjian dengan
terjadinya peristiwa yang disyaratkan tersebut (syarat batal).
Berdasarkan pada waktu pemenuhannya, praktek mengenai
tiga macam syarat, yaitu syarat yang merupakan syarat dimuka
(condition precedent), syarat konkuren (condition concurent),
dan syarat yang mengikuti (condition subsequent).
Syarat Dimuka (Condition Precedent)
Syarat dimuka atau condition precedent dapat berupa
suatu keadaan, peristiwa atau kejadian yang berada di luar
perjanjian, maupun suatu prestasi yang harus dipenuhi terlebih
dahulu oleh salah satu pihak dalam perjanjian, sebelum
perjanjian tersebut melahirkan kewajiban pada pihak (lainnya)
untuk melaksanakan prestasi lebih lanjut. Hal yang disebut
terakhir ini, sering lata jumpai dalam berbagai macam
perjanjian pembiayaan dan perbankan.
Pada perjanjian-perjanjian yang mengandung persyaratan
ini, kewajiban pelaksanaan prestasi (duty to perform) oleh
salah satu pihak dalam perjanjian sangatlah digantungkan pada
terpenuhinya keadaan, peristiwa, kejadian, atau prestasi (awal)
yang dipersyaratkan. Tanpa terjadinya hal yang dipersyaratkan
tersebut, maka kewajiban untuk melaksanakan prestasi tidak
pernah terbit pada pihak tersebut, dan perjanjian tersebut tidak
pernah melahirkan akibat hukum bagi para pihak.
Syarat Konkuren (Condition Concurent)
Syarat ini hanya ada pada perjanjian timbal balik, di mana
kewajiban dari salah satu pihak untuk melaksanakan prestasi
baru terbit jika telah terdapat cukup bukti yang menunjukkan
bahwa pada waktu yang dijanjikan pihak lainnya telah
menunjukkan (iktikad atau kehendak) untuk melaksanakan
prestasinya. Di sini pelaksanaan prestasi oleh pihakpihak
dalam perjanjian ini harus dilakukan secara bersamaan antara
satu dengan yang lainnya.

469
Berbeda dengan perjanjian dengan syarat dimuka, pada
perjanjian dengan syarat konkuren ini, iktikad atau kehendak
dari salah satu pihak untuk melaksanakan prestasi telah
menerbitkan kewajiban dari pihak lainnya untuk
melaksanakan prestasi tersebut secara bersamaan.
Syarat yang Mengikuti (Condition Subsequent)
Apa yang disebut dengan condition subsequent ini
sebenarnya bukan syarat yang sebenarnya dalam pengertian
Umum. Condition subsequent ini merupakan suatu syarat,
yang dengan terjadinya keadaan, peristiwa atau kejadian yang
disyaratkan, akan membebaskan suatu pihak dalam perjanjian
dari kewajibannya untuk melaksanakan prestasinya yang telah
terbit sehubungan dengan perjanjian yang mendasarinya. Pada
umumnya syarat ini dapat kita temukan pada berbagai jenis
perjanjian pertanggungan, yang dipergunakan untuk
mempersingkat masa daluwarsa penuntutan klaim asuransi
yang berlaku.
Disamping ketiga macam syarat tersebut di atas, praktek
hukum juga mengenai adanya syarat yang tersurat (expressed
condition), yang dibedakan dari syarat yang tersirat (implied
condition).
Syarat yang Tersurat (Expressed Condition)
Syarat ini merupakan syarat yang secara tegas disebutkan
dalam perjanjian, jika syarat tersebut tidak dipenuhi, maka” pi­
hak dalam perjanjian ini tidak diwajibkan untuk melaksanakan
prestasi yang telah ditentukan dalam perjarijian. Syarat ini
adalah sangat jelas dan tidak dapat dipungkiri serta ditafsirkan
dengan cara apapun juga, selain dari yang secara tegas
tercantum dalam perjanjian tersebut.
Syarat yang Tersirat (Implied Condition)
Selain dari syarat yang tersurat tersebut, adakalanya
dalam perjanjian-perjanjian tertentu dapat kita temukan
adanya ketentuan-ketentuan tersirat yang mensyaratkan
terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan hukum atau prestasi
tertentu yang harus dilaksanakan terlebih dahulu sebelum
suatu prestasi (lainnya) dalam perjanjian tersebut
dilaksanakan, seperti yang dapat kita temui dalam
perjanjianperjanjian kerja sama. Perjanjian yang demikian
dinamakan perjanjian yang mengandung syarat yang tersirat.
Esensialia Waktu dalam Perjanjian Bersyarat
Pada hampir sebagian besar perjanjian (bersyarat), waktu
merupakan bagian yang terpenting, dan biasanya merupakan
syarat utama dari pelaksanaan perjanjian (timbal balik) oleh
pihak (pihak) dalam perjanjian. Dengan lampaunya waktu
tersebut dan tidak terjadinya keadaan, peristiwa, kejadian, atau
prestasi yang disyaratkan, maka perjanjian tersebut tidak
mempunyai akibat hukum terhadap para pihak dalam
perjanjian, terutama pada perjanjian dengan syarat dimuka
(condition precedent).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam ketentuan
Pasal 1258 dan 1259-nya secara tegas menekankan pentingnya
waktu dalam perjanjianperjanjian bersyarat dimuka ini
(condition precedent).
Pelanggaran atas Perjanjian (Wanprestasi atau Breach o f
Contract)
Seperti telah disebutkan, pada perjanjian dengan syarat
konkuren (condition concurent), terbit tidaknya atau ada
tidaknya akibat hukum dari perjanjian tersebut sangat
bergantung pada pelaksanaan prestasi oleh salah satu pihak
dalam perjanjian. Pelaksanaan ini tidaklah harus merupakan
prestasi yang diwajibkan melainkan dapat hanya berupa suatu
penawaran (dengan iktikad baik) yang menunjukkan iktikad
atau kehendak untuk melaksanakan prestasi yang diwajibkan
(tender to perform atau offer to perform) pada saat mana
prestasi tersebut wajib dilaksanakan. Dalam hal salah satu
pihak telah melakukan penawaran tersebut secara tegas, maka
hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam perjanjian tersebut
telah lahir, sehingga ketiadapemenuhan atau kegagalan oleh
pihak lainnya dalam perjanjian ini untuk melaksanakan kontra
prestasi merupakan suatu pelanggaran terhadap perjanjian
(wanprestasi atau breach o f contract).
Selanjutnya pada perjanjian timbal balik dengan prestasi
yang berlangsung secara terus menerus untuk suatu jangka
waktu tertentu, pelaksanaan prestasi oleh masingmasing pihak
secara timbal balik sesuai dengan jangka waktu yang telah

471
ditentukan merupakan esensi dari perjanjian. Ketiada-
pelaksanaan atau kegagalan salah satu pihak untuk
melaksanakan prestasi sesuai dengan jangka waktu yang telah
ditentukan merupakan pelanggaranterhadap perjanjian, yang
memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk
membatalkan perjanjian dan menuntut pembayaran biaya,
bunga dan kerugian yang diderita olehnya kepada pihak yang
melakukan pelanggaran tersebut, termasuk keuntungan yang
diharapkan (jika dapat dibuktikan).
PASAL 1266 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PEKDATA
Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Ilukum Perdata
merumus-kan bahwa setiap pembatalan perjanjian harus
dimintakan kepada Hakim, meskipun syarat-syarat batal
mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam
perjanjian. Ini berarti setiap perjanjian dengan syarat
konkuren, di mana salah satu pihak telah menunjukkan iktikad
atau kehendak untuk melaksanakan (pada perjanjian timbal
balik seketika), atau bahkan telah melaksanakan bagian
prestasi yang dijanjikan (pada perjanjian timbal balik yang
berlangsung terus menerus), maka pihak tersebut, terhadap
siapa juga telah mengalami kerugian sebagai akibat ketiada
pemenuhan (non-perfomance) dari pihak lainnya, jika ingin
membatalkan perjanjian tetap harus memohonkannya kepada
hakim. Hal ini jelas merugikan, baik secara moril maupun
matcril bagi pihak yang telah dengan iktikad baik (bermaksud)
melaksanakan prestasi yang dijanjikan.
Di satu sisi ketentuan Pasal ini sebenarnya memang
ditujukan untuk melindungi kepentingan pihak yang lemah
dalam perjanjian, namun dengan diterapkannya ketentuan
tersebut secara kaku jelas akan merugikan pihak yang
beriktikad baik. Suatu teguran atau bukti tertulis yang secara
jelas menunjukkan ketiadapemenuhan atau kegagalan untuk
melaksanakan prestasi yang dijanjikan dengan tepat waktu
seharusnya sudah memberikan hak bagi pihak yang beriktikad
baik untuk mengakhiri (membatalkan) perjanjian. Selanjutnya
jika pihak yang beriktikad baik ini berkehendak untuk
mengajukan gugatan ganti kerugian atas seluruh kerugian yang
diderita olehnya, maka disinilah peranan Hakim baru
diperlukan untuk menentukan dengan adil apakah benar
dengan terjadinya pelanggaran (wanprestasi atau breach o f
contract)) tersebut telah diderita sekian banyak kerugian
seperti yang digugat.
Dari uraian tersebut di atas dapat kita katakan bahwa pada
hampir tiap perjanjian (bersyarat) waktu memainkan peranan
yang cukup penting. Dan karenanya tidak pada tempatnya jika
ketentuan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
kita berlakukan begitu saja terhadap setiap perjanjian.
Pemberlakuan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata ini secara umum akan menerbitkan banyak kerugian
moril dan materil bagi pihak yang beriktikad baik. Oleh sebab
itu tidaklah mengherankan jika pada hampir semua perjanjian
timbal balik yang berlangsung secara terus menerus, klausuia
yang mengenyampingkan ketentuan Pasal 1266 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ini selalu kita temukan.
Dalam kaitannya dengan perjanjian perdata yang
terbentuk antara arbiter dengan pihak yang menunjuknya
untuk menyele-saikan sengketa yang terjadi melalui arbiter,
maka sesungguhnya perjanjian tersebut merupakan suatu
perjanjian (bersyarat) dengan ketetapan waktu yang secara
esensiil sangat dipengaruhi juga oleh pelaksanaan (kooperatif)
dari para pihak yang meminta agar sengketa di antara mereka
diputuskan oleh arbiter yang bersangkutan.
Walau demikian tidak dapat dipungkiri bahwa hapusnya
perjanjian tersebut tidaklah tunduk pada ketentuan pasal 1266
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun "permintaan"
ganti rugi atas keterlambatan putusan arbiter yang
menghapuskan perjanjian tersebut harus dan sudah
selayaknyalah untuk dinilai terlebih dahulu oleh Hakim
Pengadilan.
Berakhirnya Tugas Arbiter
Secara umum dapat dikatakan bahwa tugas arbiter sudah
dapat dianggap dimulai terhitung sejak dia menerima
penunjukannya, yang diikuti dengan penandatanganan
perjanjian di antara arbiter dengan para pihak yang berbeda
pendapat, berselisih paham maupun bersengketa; dan akan
berakhir segera setelah ia (arbiter tersebut) menjatuhkan dan

473
menyampaikan putusannya kepada para pihak tersebut. Walau
demikian tidak dapat dipungkiri bahwa ada kejadian-kejadian
atau hal-hal tertentu yang memungkinkan atau dapat
menyebabkan berakhirnya tugas arbiter sebelum waktunya.
Ketentuan yang mengatur mengenai berakhirnya tugas
arbiter dapat kita temui dalam BAB VIII dari Pasal 73 sampai
dengan Pasal 75 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
Dalam Pasal 73 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
dikatakan bahwa tugas arbiter berakhir karena :
a. putusan mengenai sengketa telah diambil;
b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian
arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah
lampau; atau
c. para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan
arbiter.
Selain hal-hal tersebut di atas, seperti telah disebutkan
dalam dua tulisan terdahulu, bahwa salah satu sebab atau
alasan utama yang dapat menyebabkan berakhirnya tugas
arbiter sebelum jangka waktu yangditetapkan adalah
diajukannya tuntutan ingkar oleh salah satu pihak yang
berbeda pendapat, berselisih paham, ataupun bersengketa
terhadap arbiter yang telah menerima penunjukannya. Selain
yang berlaku terhadap tuntutan ingkar, arbiter hanya dapat
dibebastugaskan bilamana terbukti herpihak atau menunjukkan
sikap tercela yang harus dibuktikan melalui jalur hukum.
Wewenang arbiter untuk melaksanakan tugasnya tidak
dapat dibatalkan begitu, saja dengan meninggalnya arbiter
tersebut. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dalam ketentuan
Pasal 26 ayat (l)-nya menyatakan bahwa wewenang tersebut
selanjutnya akan dilanjutkan oleh arbiter pengganti, dengan
ketentuan bahwa dalam hal seorang arbiter yang digahti
tersebut adalah arbiter tunggal atau Ketua Majelis Arbitrase,
maka semua pemeriksaan yang telah diadakan haras diulang
kembali. Jika yang diganti adalah anggota majelis, maka
pemeriksaan sengketa hanya diulang kembali secara tertib
antar arbiter. Arbiter pengganti tersebut haras diangkat sesuai
dengan tata cara pengangkatan arbiter yang telah meninggal
tersebut, dan menurat ketentuan Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 ini. Hal ini juga berlaku jika selama pemeriksaaan
sengketa berlangsung, arbiter menjadi tidak mampu (untuk
bertindak dalam hukum, maupun secara fisik) atau
mengundurkan diri, sehingga tidak dapat melaksanakan
kewajibannya, seorang arbiter pengganti akan diangkat dengan
cara sebagaimana yang berlaku bagi pengangkatan arbiter
yang digantikan tersebut.
Dalam hal tuntutan ingkar dikabulkan atau dalam hal
arbiter meninggal dunia, atau diberhentikan menurat ketentuan
tersebut di atas, maka para pihak wajib untuk dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari mengangkat arbiter pengganti,
dan jika dalam jangka waktu tersebut tidak dapat diangkat
seorang arbiter pengganti, maka Ketua Pengadilan Negeri atas
permintaan dari pihak yang berkepentingan akan mengangkat
seorang ataulebih arbiter pengganti. Kecuali ditentukan lain
oleh Undang-Undang No. 30 'Pahun 1999 sebagaimana
disebutkan di atas, maka arbiter pengganti bertugas
melanjutkan penyelesaian sengketa yang bersangkutan
berdasarkan kesimpulan terakhir yang telah diadakan.
Sebagai suatu perjanjian yang mengikat dan berlaku
sebagai undang-undang yang membuatnya, meninggalnya
salah satu pihak dalam perjanjian dengan arbiter, tidaklah
mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter
berakhir. Walau demikian ketentuan Pasal 74 ayat (2) Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 memberikan kemungkinan
perpanjangan jangka waktu tugas arbiter untuk waktu paling
lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak meninggalnya salah
satu pihak.
Biaya Arbitrase
Pasal 76 Undang-Undang No. 30 'Tahun 1999 mengatakan
bahwa biaya arbitrase sepenuhnya ditentukan oleh arbiter,
yang meliputi komponen-komponen sebagai berikut:
a. honorarium arbiter;
b. biaya perjalanan dan biaya lainnya yang dikeluarkan oleh
arbiter;
c. biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam
pemeriksaan sengketa; dan
d. biaya administrasi.

475
Selain dari komponen dalam huruf a sebagaimana
disebutkan di atas, yang benar-benar murni merupakan biaya
yang dikeluarkan untuk kepentingan (para) arbiter yang
melaksanakan tugas arbitrase mereka, komponen selanjutnya
sebagaimana disebutkan dalam huruf b, c, dan d lebih
merupakan komponen biaya yang merupakan “out o f pocket
expenses" yang secara nyata-nyata memang harus dipikul oleh
para pihak yang berbeda pendapat, berselisih paham maupun
bersengketa untuk “kepentingan mereka” sendiri dalam rangka
pelaksanaan tugas oleh arbiter yang “sebaik-baiknya”.
Kecuali ditentukan lain, maka biaya arbitrase akan
dibedakan kepada pihak yang kalah, dan jika tuntutan hanya
dikabulkan sebagian, maka biaya arbitrase tersebut akan
dibebankan kepada para pihak secara seimbang. Dengan
ketentuan yang demikian berarti secara tidak langsung dapat
dikatakan bahwa secara formal penagihan dan karenanya
pembayaran biaya arbitrase yang terjadi baru dapat
dilaksanakan setelah selesainya proses arbitrase itu sendiri.
Walau demikian tentunya tidak menutup kemungkinan untuk
dilaksanakannya pembayaran terlebih dahulu oleh salah satu
atau mungkin juga para pihak dalam penyelesaian perselisihan
secara bersama-sama, baik yang disepakati secara bersama
maupun atas permintaan arbiter, untuk menutupi biaya-biaya
tertentu yang memang telah harus dikeluarkan selama proses
arbitrase berlangsung.

PROSES PEMERIKSAAN SENGKETA DALAM


ARBITRASE
Secara umum dapat kita katakan bahwa jalannya
pemeriksaan dalam arbitrase tidak akan jauh berbeda dengan
jalannya proses pemeriksaan perkara dalam pranata peradilan
pada umumnya. Proses jalannya pemeriksaan tersebut meliputi
antara lain “acara yang dipergunakan, bahasa yang dipakai,
sistem pembuktian yang diterapkan, hak-hak para pihak dalam
proses pemeriksaan, serta alur jalannya pemeriksaan itu
sendiri yang dimulai dari sejak permohonan untuk
pemeriksaan sengketa diajukan hingga pada akhirnya
dijatuhkan suatu putusan pada tingkat akhir yang mengikat
para pihak yang meminta penyelesaian perselisihan atau
sengketa mereka melalui pranata arbitrase tersebut.
Acara yang Berlaku di Hadapan Arbitrase
Sebagai suatu bentuk “lembaga peradilan swasta” dengan
“hakim swasta”, dan seperti juga telah ditegaskan dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang ARBITRASE
DAN ALTERNATE PENYELESAIAN SENGKETA, bahwa
perselisihan atau sengketa yang dapat diperiksa dan karenanya
tunduk pada proses pemeriksaan arbitrase ini adalah
perselisihan atau sengketa yang, secara hukum, dapat
diselesaikan melalui proses perdamaian. Hal ini menunjukkan
bahwa (pranata) arbitrase merupakan suatu alternatif
penyelesaian sengketa hanya terhadap hal-hal di mana
dimungkinkan adanya kebebasan dari para pihak untuk
melakukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang berlaku
umum (dalam hal ini secara teoritis dapat dikaitkan dengan
ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Buku III Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang bersifat terbuka). Dan
karenanya berarti proses pemeriksaan oleh dan melalui pranata
arbitrase ini tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan
peradilan “perdata” yang menjurus kearah “perniagaan”.
Seperti pernah disinggung dalam tulisan sebelumnya,
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengenai dua macam
penyelesaian perselisihan melalui lembaga arbitrase, yaitu
arbitrase yang diselenggarakan secara ad-hoc; dan arbitrase
yang dilaksanakan oleh suatu lembaga arbitrase tersendiri.
Pada dasarnya para pihak diberikan kebebasan untuk
menen-tukan sendiri acara dan proses pemeriksaan sengketa
yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan oleh (para) arbiter
yang telah ditunjuk atau diangkat tersebut. Hanya saja
kehendak tersebut harus disebutkan secara tegas dart tertulis;
sehingga dapat, menjadi acuan yang jelas bagi (para) arbiter
tersebut. Satu hal lagi yang harus diperhatikan adalah bahwa
pemilihan acara dan proses tersebut tidaklah boleh
bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999.
Bagi arbitrase ad-hoc, Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 menyatakan bahwa bila para pihak tidak menentukan

477
sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan
digunakan dalam pemeriksaan, arbiter atau majelis arbitrase
ad-hoc telah terbentuk, maka semua sengketa yang
penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis
arbitrase ad-hoc tersebut akan diperiksa dan diputus menurut
ketentuan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini.
Khusus untuk penyelesaian sengketa melalui lembaga
arbitrase, ketentuan Pasal 34 Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 menentukan bahwa penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga
arbitrase nasional atau internasional berdasarkan atas
kesepakatan para pihak. Dan dalam hal yang demikian, maka
proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa melalui
lembaga arbitrase tersebut, yang dipilih oleh para pihak, akan
dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga arbitrase
yang dipilih, kecuali ditetapkan secara lain oleh para pihak.
Sidang harus Dilakukan Secara Tertutup
Berbeda dengan sidang pemeriksaan peradilan perdata
yang terbuka untuk umum, semua pemeriksaan sengketa yang
dilakukan oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara
tertutup. Ini merupakan salah satu “kelebihan” perbedaan dari
lembaga arbitrase terhadap lembaga peradilan pada umumnya.
Sifat kerahasiaan ini cenderung menjadi pilihan utama bagi
kalangan usahawan yang tidak menginginkan masyarakat
umum mengetahui adanya suatu perselisihan, sengketa atau
bahkan perkara “perdata” yang dialami oleh usahanya dengan
pihak lain yang juga merupakan “mitra usahanya”.
Bahasa yang Dipergunakan
Sejalan dengan pengakuan akan pranata alternatif
penyelesaian perselisihan oleh Indonesia, menurut ketentuan
hukum Indonesia, maka sudah selayaknyalah jika bahasa yang
digunakan dalam semua proses pemeriksaan dalam arbitrase
adalah Bahasa Indonesia, kecuali jika para pihak, berdasarkan
atas mufakat bersama memilih bahasa lain yang akan
dipergunakan selama proses pemeriksaan berlangsung.
Hak Para Pihak untuk Didengar
Sebagaimana halnya proses pemeriksaan peradilan pada
umumnya, para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan
kesempatan yang sama untuk didengar pendapatnya, serta
untuk mengemukakan pendapat mereka masing-masing. Para
pihak yang bersengketa tersebut dapat diwakili oleh kuasanya
berdasarkan suatu surat kuasa khusus.
Masuknya Pihak Ketiga Dalam Proses Arbitrase
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 memungkinkan
masuk-nya pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase, untuk turut
serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian
sengketa melalui arbitrase, jika terdapat unsur kepentingan
yang terkait. Walau demikian, sedikit berbeda dengan proses
peradilan pada umumnya, keikutsertaan pihak ketiga ini perlu
disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui
oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa
yang bersangkutan.
Jangka Waktu Pemeriksaan Arbitrase
Rumusan Pasal 48 Undang-Undang No. 30 'l’ahun 1999
mewajibkan pemeriksaaan atas sengketa untuk diselesaikan
dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh)
hari terhitung sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.
Walau demikian, atas persetujuan para pihak, dan jika
memang diperlukan sesuai ketentuan Pasal 33 Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999, maka jangka waktu tersebut
dapat diperpanjang. Adapun rumusan ketentuan Pasal 33
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:
“Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk
memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila :
a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak
mengenai hal khusus tertentu;
b. sebagai akibat ditetapkan putusan pwvisionil atau
putusan sela lainnya;, atau
c. dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase
untuk kepentingan pemeriksaan " .

479
Pilihan Hukum
Pada umumnya pilihan hukum ditentukan oleh para pihak
dalam perjanjian awal yang menjadi dasar terbitnya perbedaan
pendapat, perselisihan maupun sengketa; walau demikian
sebagaimana halnya perjanjian arbitrase itu sendiri
dimungkinkan untuk dibuat setelah perbedaan pendapat,
perselisihan atau sengketa terbit; Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 juga memungkinkan atau secara lugas kita
katakan memberikan hak kepada para pihak untuk menentukan
sendiri pilihan hukum yang dipilih untuk menyelesaikan
perbedaan pendapat, perselisihan atau sengketa yang telah ada
tersebut. Dalam hal para pihak tidak menentukan hukum mana
yang akan berlaku, penjelasan Pasal 56 ayat (2) Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa yang harus
diberlakukan adalah ketentuan hukum dari tempat di mana
arbitrase tersebut diselenggarakan.

Hukum yang Dipilih Harus Dikenal oleh Para Pihak


Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa tidak ada ketentuan
hukum materiil yang sama untuk semua negara, oleh karena
itu maka umumnya, pihak-pihak tertentu dalam setiap
perjanjian (internasional), terutama pihak yang “lebih kuat’’
dalam bargaining, cenderung lebih menyukai memilih untuk
mempergunakan ketentuan hukum yang lebih dikenal olehnya.
Pilihan hukum ini, adakalanya, bagi pihak counter party akan
menerbitkan kesulitan-kesulitan tertentu, dan karenanya untuk
meminimalkan resiko tersebut, sangat diperlukan peran dari
(non-litigation) “lawyer”, untuk memberikan pendapat dan
saran hukum (legal advise and opinion) mengenai segala
akibat hukum yang mungkin dapat ditemui.

Pilihan Hukum yang Dilakukan Secara Tegas


Pilihan hukum dengan hanya merumuskan bahwa
“perjanjian ini akan diatur oleh dan ditafsirkan menurut
ketentuan hukum dari Negara X ” saja tidaklah cukup.
Banyak negara di dunia yang mengenal berlakunya lebih dari
satu aturan hukum di dalam negaranya tersebut, terutama pada
negara-negara yang merupakan perserikatan (union/united)
dari beberapa negara bagian, dimana masing-masing negara
bagian mempunyai aturan-aturan hukum yang berbeda satu
dengan yang lainnya. Indonesia sendiri sampai saat ini masih
berlaku lebih dari satu sistem hukum. Berdasarkan pada
kenyataan tersebut, maka untuk menghindari ambiguitas lebih
jauh, adalah tugas seorang lawyer untuk mencari rumusan
hukum yang tegas dan pasti untuk klausula pilihan hukum ini.

Hukum yang Dipilih adalah yang Berlaku


Sudah lama para pakar dan praktisi hukum dari berbagai
negara mempertanyakan kewenangan dari para pihak untuk
melakukan pilihan hukum, serta sampai seberapa jauh pilihan
hukum yang telah dilakukan oleh para pihak dapat diterapkan
oleh badan peradilan termasuk arbitrase yang akan
menyelesaikan perselisihan mereka. Pertanyaan demi
pertanyaan mengenai hal tersebut di atas, pada akhirnya
melahirkan suatu kesepakatan, bahwa sampai dengan batas-
batas tertentu (yang akan diuraikan setelah ini), pilihan hukum
yang dilakukan oleh para pihak dalam tiap perjanjian harus
diakui dan dihormati oleh semua badan peradilan, termaksud
arbitrase dan karenanya harus diterapkan dalam
menyelesaikan persoalan mereka (pacla suni servanda).
Asas pada suni servanda, yang juga telah diintrodusir
oleh Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata kita, yang dikenal secara universal oleh seluruh negara
di dunia ini, menjadi dasar dari diakuinya ketentuan pilihan
hukum oleh dunia internasional. Secara logis, jika seseorang
diperkenankan untuk menentukan secara bebas isi dari tiap
penjanjian yang hendak dibuatnya, mengapa ia tidak boleh
melakukan pilihan hukum secara bebas, yang ia kenal dan
anggap baik, untuk mengatur perjanjian yang dibuat olehnya
tersebut? Bukankah ketentuan mengenai pilihan hukum itu
sendiri merupakan bagian dari isi perjanjian?.

Pembatasan Kebebasan dalam Melakukan Pilihan Hukum


Seperti telah disebutkan di atas, bahwa meskipun telah
diakui adanya kebebasan para pihak dalam melakukan pilihan
hukum, sebagai referensi bagi penafsiran perjanjian yang
mereka buat, ternyata masih belum terdapat satu keseragaman
pendapat mengenai : sampai seberapajauh pilihan hukum

481
yang telah dilakukan dapat dipergunakan dalam menajsirkan
dan menyelesaikan perselisihan yang terbit dari atau dalam
hubungannya dengan perjanjian yang memuat pilihan hukum
tersebut.
Satu hal perlu digarisbawahi di sini bahwa pembatasan
kebebasan untuk melakukan pilihan hukum ini seringkali
hanya dinilai secara relatif menurut ketentuan hukum dan
pandangan hakim di negara di mana ketentuan mengenai
pilihan hukum tersebut hendak diterapkan. Hal ini
memungkinkan suatu pilihan hukum tidak dapat drtaksanakan
di Negara X, tetapi diakui di Negara Y. Walau demikian
relatif, ternyata masih tetap dapat kita temui adanya kesamaan
pola dalam menilai dapat tidaknya diterapkan ketentuan
mengenai pilihan hukum ini. Di Negara Indonesia, meskipun
tidak dirumuskan secara eksplisit, pembatasan-pembatasan
tersebut, secara umum dapat kita temukan dalam rumusan
ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
yang membatalkan demi hukum setiap perjanjian yang dibuat
bertentangan dengan undang-undang (yang bersifat memaksa),
kesusilaan dan ketertiban umum; dan secara khusus dalam
beberapa peraturan perundang-undangan tertentu yang
melarang setiap dilaksanakannya suatu perbuatan hukum, atau
peristiwa hukum, dalam bentuk dan dengan cara apa pun, yang
akan menyebabkan terjadinya suatu penyelundupan hukum.

Pilihan Hukum Harus Patut


Kebebasan untuk melakukan pilihan hukum tidak begitu
saja memberikan kewenangan yang mutlak bagi para pihak
untuk melakukan pilihan atas ketentuan hukum dari setiap
negara, jika hukum yang dipilih tersebut tidak memiliki
hubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung
dengan perjanjian yang dibuat. Dalam hal yang demikian,
hakim bebas untuk menilai apakah suatu pilihan hukum telah
dilakukan secara patut atau tidak.

Undang-undang, Kesusilaan, Ketertiban Umum


Tidak semua pilihan hukum yang bertentangan dengan
ketentuan undang-undang adalah batal demi hukum. Hanya
ketentuan yang benar-benar bertentangan dengan undang-
undang yang bersifat memaksa sajalah yang tidak dapat
dilaksanakan.
Tergantung pada banyak faktor, kesusilaan mempunyai
nilai yang berubah-ubah. Tidak ada suatu rumusan yang pasti
mengenai definisi kesusilaan yang diperkenankan atau
dilarang. Untuk ini kepatutan dalam hukum jugalah yang pada
akhirnya akan menentukan dapat dipergunakan atau tidaknya
pilihan hukum yang telah dilakukan oleh para pihak.
Ketertiban hukum, umumnya berhubungan langsung
dengan pefsoalan falsafah, pandangan hidup dan stabilitas
nasional dari suatu negara. Suatu pilihan hukum (negara
asing), yang pada pelaksanaannya akan dapat mcnggoncang-
kan nilai-nilai luhur dalam suatu bangsa atau yang akan
merusak stabilitas politik dalam suatu negara jelas tidak
mungkin diakui keabsahannya oleh dan karenanya dapat
dilaksanakan dalam bangsa maupun negara berkenaan.

Pilihan Hukum tidak Boleh Menyebabkan Terjadinya


Penyelundupan Hukum
Seperti telah disebutkan di atas bahwa untuk dapat diakui
suatu pilihan hukum haruslah dilakukan secara patut, dan tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang (yang
bersifat memaksa), kesusilaan dan ketertiban umum yang
berlaku pada suatu negara. Kedua hal tersebut merupakan
syarat yang mutlak dipenuhi, untuk menghindari terjadinya
penyelundupan hukum oleh para pihak dalam negara tersebut.
Dalam hal telah terjadi suatu pilihan hukum yang
menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum, maka pilihan
hukum tersebut akan batal demi hukum, dan hakim berhak,
dengan mempergunakan kaedah-kacdah hukum perdata
(internasional), untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku
(proper law o f contract) untuk perjanjian tersebut dan
selanjutnya menilai dan memutuskan sendiri.

Azas ex Aequo et Bono


Rumusan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 memberikan kewenangan arbiter atau majelis arbitrase
untuk mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum atau
keadilan dan kepatutan selama hal tersebut dikehendaki oleh

483
para pihak. Dalam penjelasan ketentuan ini, dikatakan bahwa
arbiter atau majelis arbitrase adalah bebas untuk
mengenyampingkan ketentuan hukum yang tidak bersifat
memaksa untuk mencapai suatu putusan yang berdasarkan
keadilan dan kepatutan; kecuali dilarang secara tegas oleh
pihak, dengan pengertian bahwa jika para pihak menghendaki
penyelesaian menurut ketentuan hukum, maka arbiter atau
majelis arbitrase harus mengikuti kehendak para pihak tersebut
dan tidak boleh mengambil keputusan berdasarkan keadilan
dan kepatutan, serta hanya berkewajiban untuk menilai
persoalan perbedaan pendapat, perselisihan atau sengketa
tersebut menurut ketentuan hukum materiil semata-mata serta
berdasarkan pada perjanjian di antara para pihak.
Tempat Pemeriksaan Sengketa
Tempat arbitrase akan ditentukan oleh arbiter atau majelis
arbitrase, kecuali jika para pihak ingin menentukannya sendiri.
Pada pokoknya tempat arbitrase yang telah ditentukan tersebut
akan menjadi pusat dan tempat penyelenggaraan proses
pemeriksaan sengketa, walau demikian Undang-Undang No.
30 Tahun 1999 membuka kemungkinan bagi arbiter atau
majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau
mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat
tertentu di luar tempat arbitrase diadakan.
Pemeriksaan Saksi dan Saksi Ahli
Pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan arbiter atau
majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam
hukum acara perdata.
Pemeriksaan Setempat
Arbiter atau majelis arbitrase juga diperkenankan untuk
mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang
diperseng-ketakan atau hal lain yang berhubungan dengan
sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu,
para pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir
dalam pemeriksaan tersebut.
Putusan Provisional
Pasal 32 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
memungkinkan dijatuhkannya putusan provisionil atau
putusan sela lainnya jika hal tersebut dimohonkan oleh salah
satu pihak untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan
sengketa, termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan
penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang
yang mudah rusak. Jangka waktu pelaksanaan putusan
provisionil atau putusan sela lainnya tersebut di atas, tidak
dihitung dalam jangka waktu proses pemeriksaan penyelesaian
sengketa. Ketentuan ini sejalan dengan rumusan Pasal 43
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, sebagaimana telah
dikutip di atas.
Pemeriksaan harus Dilakukan Secara Tertulis
Pada prinsipnya pemeriksaan sengketa dalam arbitrase
harus dilakukan secara tertulis. Pemeriksaan secara lisan
hanya dapat dilakukan jika hal tersebut disetujui para pihak
atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Selanjutnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
memberikan hak penuh kepada arbiter atau majelis arbitrase
untuk memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti yang
diajukan oleh para pihak selama pemeriksaan arbitrase
berlangsung disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang
ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Dari rangkaian uraian tersebut dapat kita lihat bahwa
meskipun dalam beberapa hal ketentuan dalam Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 terkesan bersifat “memaksa”,
namun demikian, seperti dapat dilihat dari penjelasan yang
diberikan, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 memberikan
kelonggaran bagi para pihak, termasuk (para) arbiter untuk
menentukan sendiri jalannya proses pemeriksaan arbitrase
tersebut, selama dan sepanjang hal tersebut relevan dan
dianggap perlu untuk menunjang jalannya proses pemeriksaan,
serta dalam kerangka waktu yang ditentukan, dengan tidak
mengurangi makna esensil dari lembaga arbitrase yang bersifat
cepat disamping terjaga kerahasiaannya.

J. PROSES JALANNYA PEMERIKSAAN ARBITRASE


Seperti halnya jalannya proses persidangan dalam pranata
peradilan, jalannya proses pemeriksaan sengketa dalam pranata
arbitrase ini juga diawali dengan pemasukan surat permohonan

485
oleh pemohon, yang selanjutnya diikuti dengan proses penjawaban
surat permohonan tersebut oleh pihak termohon, sebagai bagian
dari “hak” para pihak untuk didengar selama proses pemeriksaan
berlangsung. Baiklah berikut di bawah ini kita jabarkan satu per
satu kegiatan proses pemeriksaan dalam pranata arbitrase hingga
dikeluarkannya suatu putusan oleh para (arbiter) yang memeriksa
sengketa atau perselisihan tersebut.
Pemasukan Surat Permohonan
Segera setelah arbiter atau majelis arbitrase terbentuk, maka
arbiter harus segera memberitahukan kepada para pihak akan
kewajiban untuk memasukkan surat permohonan, yang berisikan
tuntutannya kepada (majelis) arbitrase tersebut, dalam jangka
waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase tersebut.
Surat tuntutan yang diajukan tersebut harus memuat sekurang-
kurangnya :
a. nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para
pihak;
b. uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran
bukti-bukti; dan
c. isi tuntutan yang jelas.
Segera setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter
atau ketua majelis arbitrase akan menyampaikan satu salinan
tuntutan tersebut kepada termohon. Penyampaian surat yang
berisikan tuntutan tersebut wajib disertai perintah bahwa termohon
harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak
diterimanya salinan tuntutan tersebut oleh termohon.
Jawaban atas Surat Permohonan
Jika termohon setelah lewatnya jangka waktu 14 (empat belas)
hari tersebut di atas tidak menyampaikan jawabannya, maka arbiter
atau ketua majelis arbitrase wajib memanggil termohon atau
kuasanya untuk hadir dalam sidang arbitrase dalam jangka waktu
14 (empat belas) hari terhitung sejak surat perintah meng-hadap
dikeluarkan.
Jika termohon menjawab surat permohonan/tuntutan tersebut,
maka arbiter atau ketua majelis arbitrase wajib untuk segera setelah
diterimanya jawaban dari termohon, untuk menyerahkan kepada

486
termohon salinan dari jawaban tersebut kepada pemohon.
Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrase akan
memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap di
muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 (empat
belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu.
Dalam jawabannya tersebut, atau selambat-lambatnya pada
saat sidang pertama dimulai, termohon dapat mengajukan tuntutan
balasan. Pemohon selanjutnya diberikan kesempatan untuk
menanggapi tuntutan balasan yang diajukan oleh termohon
tersebut. Tuntutan balasan tersebut akan dan wajib untuk diperiksa
dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase bersama-sama
dengan pokok sengketa.
Kehadiran Para Pihak dalam Sidang Arbitrase
Jika pada hari yang ditentukan oleh arbiter atau majelis
arbitrase, berdasarkan pada surat perintah menghadap yang telah
dikeluarkan, ternyata pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak
datang menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat
tuntutannya dinyatakan gugur dan tugas arbiter atau majelis
arbitrase dianggap selesai.
Sedangkan jika pada hari yang telah ditentukan tersebut,
termohon, tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap,
sedangkan termohon telah dipanggil secara patut; maka arbiter atau
majelis arbitrase harus segera melakukan pemanggilan sekali lagi.
Selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari terhitung sejak pemanggilan
kedua diterima termohon, dan termohon, tanpa alasan sah, juga
tidak datang menghadap di muka persidangan, maka pemeriksaan
akan diteruskan tanpa hadirnya termohon, dan tuntutan pemohon
dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau
tidak berdasarkan hukum.
Perdamaian
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa jika
para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan,
maka arbiter atau majelis arbitrase harus terlebih dahulu
mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa.
Jika tercapai perdamaian di antara para pihak, maka arbiter atau
majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan
mengikat pada pihak dan memerintahkan para pihak untuk
memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.

487
Pemeriksaan Pokok Sengketa
Selanjutnya jika perdamaian tidak dapat dicapai oleh kedua
belah pihak, maka arbiter atau majelis arbitrase melanjutkan
pemeriksaan terhadap pokok sengketa. Dalam proses pemeriksaan
terhadap pokok sengketa tersebut, para pihak diberi kesempatan
yang terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian
masing-masing, serta untuk mengajukan bukti-bukti yang dianggap
perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang
ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Arbiter atau majelis
arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan
penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya
yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
arbiter atau majelis arbitrase.
Pencabutan Surat Permohonan
Sebagai suatu proses “kegiatan hukum” yang tunduk pada
lingkup Hukum Privat atau Hukum Perdata, maka pada dasarnya
sebelum ada jawaban dari termohon, pemohon dapat setiap saat
mencabut surat permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase, termasuk untuk melakukan perubahan, penambahan
maupun pengurangan terhadap isi tuntutan. Sedangkan jika sudah
ada jawaban dari termohon, perubahan atau penambahan surat
tuntutan hanya diperbolehkan dengan persetujuan termohon dan
sepanjang perubahan atau penambahan itu menyangkut hal-hal
yang bersifat fakta saja dan tidak menyangkut dasar-dasar hukum
yang menjadi dasar permohonan.
Saksi dan Saksi Ahli
Secara umum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
menyatakan bahwa pemeriksaan saksi dan saksi ahli dihadapan
arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan
dalam hukum acara perdata.
Dalam rumusan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 tersebut, disebutkan bahwa arbiter atau majelis
arbitrase, atas permintaan para pihak dapat memanggil satu orang
atau lebih saksi atau saksi ahli, untuk didengar keterangannya.
Biaya yang timbul sehubungan dengan pemanggilan dan
perjalanan saksi atau saksi ahli tersebut dibebankan kepada pihak
yang meminta. Sebelum memberikan keterangan, para saksi atau
saksi ahli wajib mengucapkan sumpah.

488
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 50 Undang-Undang No. 50
Tahun 1999 dikatakan bahwa arbiter atau majelis arbitrase dapat
meminta bantuan seorang atau lebih saksi ahli untuk memberikan
keterangan tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang
berhubungan dengan pokok sengketa.
Ini berarti Undang-undang No. 30 Tahun 1999 memungkinkan
dipanggilnya satu orang atau lebih saksi ahli, baik atas inisiatif
arbiter atau majelis arbitrase maupun atas permintaan dari para
pihak.
Selanjutnya untuk memudahkan tugas dari saksi ahli, para
pihak diwajibkan untuk memberikan segala keterangan yang
diperlukan oleh saksi ahli. Arbiter atau majelis arbitrase kemudian
meneruskan salinan keterangan saksi ahli tersebut kepada para
pihak agar dapat ditanggapi secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Jika terdapat hal yang kurang jelas, atas permintaan
para pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang bersangkutan
dapat didengar keterangannya di muka sidang arbitrase dengan
dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.
Terhadap segala kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang
arbitrase tersebut di atas dibuatlah berita acara pemeriksaan oleh
sekretaris arbiter atau majelis arbitrase. Sekretaris ini akan
berfungsi sebagaimana layaknya Panitera peradilan.
K. KEPUTUSAN ARBITRASE
Putusan arbitrase merupakan suatu putusan yang
diberikan oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga arbitrase atas
suatu perbedaan pendapat, perselisihan paham maupun
persengketaan mengenai suatu pokok persoalan yang lahir dari
suatu perjanjian dasar (yang memuat klausula arbitrase) yang
diajukan pada arbitrase ad-hoc, maupun lembaga arbitrase
untuk diputuskan olehnya. Sebagai suatu pranata (hukum),
arbitrase dapat mengambil berbagai macam bentuk yang
disesuaikan dengan kondisi dan keadaan yang dikehendaki
oleh para pihak dalam perjanjian.
Berdasarkan pada “tempat di mana arbitrase tersebut
diputuskan, secara umum putusan arbitrase dapat kita bedakan
ke dalam :

489
1. putusan arbitrase nasional, yang merupakan putusan
arbitrase yang diambil atau dijatuhkan di negara Republik
Indonesia;
2. arbitrase internasional atau arbitrase asing, yang
merupakan putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara di
luar negara Republik Indonesia.
Pembedaan tersebut penting artinya pada saat kita akan
membicarakan pelaksanaan dari suatu putusan arbitrase. Pada
pembahasan berikut di bawah ini hanya akan kita bahas hal-
hal yang berhubungan dengan masalah putusan arbitrase yang
dijatuhkan di Negara Republik Indonesia, termasuk
pelaksanaannya.
Azas ex Aequo et Bono
Azas ex aequo et bono atau yang kita “terjemahkan”
sebagai azas kepatutan dan keadilan merupakan salah satu
azas pokok yang “harus” dipakai atau dipergunakan bagi
arbiter atau majelis arbitrase dalam melakukan penilaian untuk
menjatuhkan putusan arbitrase atas perkara yang dipercayakan
untuk ditangani, diperiksa dan diputus olehnya. Walau
dikatakan “berdasarkan kepatutan dan keadilan”, arbiter atau
majelis arbitrase tetap tidak diperkenankan untuk
mengenyampingkan aturan hukum (materiil) memaksa
(dwingende regels) yang berlaku.
Penjelasan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 menyatakan bahwa dalam hal arbiter atau majelis
arbitrase tidak diberikan wewenang untuk memberikan
putusan berdasarkan “keadilan dan kepatutan”, maka arbiter
hanya dapat memberikan putusan berdasarkan kaedah hukum
materiil, sebagaimana dilakukan oleh hakim. Dari rumusan
tersebut di atas dapat kita katakan bahwa pada dasarnya, dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini, azas ex aequo et
bono merupakan lex spesialis dari kaedah hukum materiil
yang berlaku sebagai lex generalis bagi arbiter atau majelis
arbitrase dalam mengambil suatu putusan arbitrase yang
diperiksa olehnya. Dengan kata lain, azas ex aequo et bono ini
hanya berlaku bagi arbiter atau majelis arbitrase selama dan
sepanjang azas ini dikehendaki oleh para pihak untuk
dipergunakan bagi arbiter atau majelis arbitrase dalam
menyelesaikan perkara yang diserahkan padanya untuk
diputuskan.
Penjatuhan Putusan Arbitrase
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mewajibkan arbiter
atau majelis arbitrase untuk segera menjatuhkan dan
mengucapkan putusan arbitrase selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan sengketa
oleh arbiter atau majelis arbitrase. Jika ternyata dalam putusan
yang dijatuhkan tersebut terdapat “kesalahan” atau
“kekeliruan” administratif, yang bukan “substansi” dari
putusan arbitrase, maka para pihak (yang berkepentingan),
dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak
putusan diucapkan diberikan hak untuk meminta dilakukannya
“koreksi” atas putusan arbitrase tersebut. Permintaan untuk
melakukan koreksi dapat diajukan secara langsung kepada
arbiter atau majelis arbitrase yang menjatuhklan putusan
tersebut.
Putusan Arbitrase Bersifat Akhir (final) dan Mengikat
(binding)
Berbeda dengan putusan badan peradilan yang masih
dapat diajukan banding dan kasasi, putusan arbitrase, baik
yang diputuskan oleh arbitrase ad-hoc maupun lembaga
arbitrase, adalah merupakan putusan pada tingkat akhir (final),
dan karenanya secara langsung mengikat (binding) bagi para
pihak.
Isi Suatu Putusan Arbitrase
Menurut ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No. 30
Tahun 1999, suatu putusan arbitrase harus memuat:
a. kepala putusan yang berbunyi “DPMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
b. nama lengkap dan alamat para pihak;
c. uraian singkat sengketa;
d. pendirian para pihak;
e. nama lengkap dan alamat arbiter;
f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis
arbitrase mengenai keseluruhan sengketa;

491
g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan
pendapat dalam majelis arbitrase;
h. amar putusan;
i. tempat dan tanggal putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase; serta
k. suatu jangka waktu kapan putusan tersebut harus
dilaksanakan.
Meskipun dikatakan bahwa putusan arbitrase wajib
memuat tanda tangan dari arbiter atau seluruh anggota majelis
arbitrase, ketiadaan tanda tangan dari salah seorang arbiter
sebagai akibat sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi
kekuatan berlakunya putusan, selama dan sepanjang alasan
tentang tidak adanya tanda tangan tersebut dicantumkan dalam
putusan arbitrase tersebut.

L. PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE


Dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau
salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan
oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Penyerahan dan pendaftaran tersebut dilaksanakan dengan
cara melakukan pencatatan dan penandatanganan pada bagian
akhir atau dipinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri
dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan selanjutnya
catatan tersebut menjadi dan merupakan akta pendaftaran.
Pencatatan tersebut merupakan satu-satunya dasar bagi
pelaksanaan putusan arbitrase oleh pihak yang berkepentingan
atas pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, oleh karena
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menentukan bahwa jika
pencatatan tersebut tidak dilakukan sesuai atau dalam jangka
waktu yang ditentukan, maka putusan arbitrase tersebut tidak
dapat dilaksanakan. Selain itu undang-undang juga
mewajibkan arbiter atau kuasanya untuk menyerahkan putusan
dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan
otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Perlu disampaikan di sini, bahwa pendaftaran dan catatan
tersebut akan menjadi sangat berguna bagi pihak yang

492
berkepentingan atas pelaksanaan putusan arbitrase tersebut,
jika salah satu pihak dalam putusan arbitrase tidak
melaksanakan putusan arbitrase tersebut secara sukarela.
Dalam hal yang demikian maka atas permohonan dari pihak
yang berkepentingan terhadap pelaksanaan putusan arbitrase
tersebut, Ketua Pengadilan Negeri di mana putusan tersebut
didaftarkan dan dicatat, dapat menjatuhkan perintah
pelaksanaan putusan arbitrase.
Perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua
Pengadilan Negeri, diberikan dalam waktu selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi
didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Sebagai
ballancing bagi kepentingan para pihak dalam putusan
arbitrase, Ketua Pengadilan Negeri, sebelum memberikan
perintah pelaksanaan, diberikan hak untuk memeriksa terlebih
dahulu apakah putusan arbitrase tersebut telah diambil dalam
suatu proses yang sesuai, di mana :
1. arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa dan
memutuskan perkara telah “diangkat” oleh para pihak
sesuai dengan kehendak mereka; dan
2. perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter
atau majelis arbitrase tersebut adalah perkara yang
menurat hukum memang dapat diselesaikan dengan
arbitrase; serta
3. putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Satu hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa
selain ketiga hal tersebut di atas, Ketua Pengadilan Negeri
tidak dibe-rikan kewenangan untuk memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase.
Jika menurat pertimbangan Ketua Pengadilan Negeri, ada
satu atau lebih syarat dari ketiga syarat tersebut di atas yang
tidak dipenuhi, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak
permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua
Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum
apapun.

493
Perintah Pelaksanaan Putusan Arbitrase oleh Ketua
Pengadilan Negeri
Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli
dan salinan otentik putusan arbitrase. Putusan arbitrase yang
telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri tersebut,
dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam
perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Dalam hal ini maka berlakulah ketentuan umum
yang berlaku bagi pelaksanaan putusan perkara perdata.

3. BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI)


Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah sebuah
badan yang mempunyai hubungan erat dengan KAMAR
DAGANG DAN INDUSTRI (KADIN) INDONESIA. Tujuannya
memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-
sengketa perdata yang timbul mengenai soal-soal perdagangan,
industri dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun yang
bersifat internasional. Dalam melakukan tugasnya tersebut BANI
adalah bebas (otonom) dan tidak boleh dicampuri oleh sesuatu
kekuasaan lain.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia didirikan pada tanggal 3
Desember 1977 atas prakarsa KADIN sebagai sarana keperca-yaan
para pengusaha Indonesia termasuk pengusaha perdagangan bagi
kelancaran usahanya, untuk waktu yang tidak ditentukan lamanya,
berkedudukan di Jakarta dan mempunyai cabang-cabangnya di
tempat-tempat lain di Indonesia yang dianggap perlu setelah
diadakan mufakat dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
Indonesia.
Prakarsa KADIN dalam pendirian BANI karena memang
diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang
Kamar Dagang dan Industri yang antara lain menyatakan bahwa
dalam rangka pembinaan pengusaha Indonesia, Kamar Dagang dan
Industri dapat melakukan antara lain jasa-jasa baik dalam bentuk
pemberian surat keterangan, penengahan, arbitrase dan
rekomendasi mengenai usaha pengusaha Indonesia, termasuk
legalisasi surat-surat yang diperlukan bagi kelancaran usahanya.

494
A. SU SU N AN B A N I
Badan Arbitrase Nasional Indonesia terdiri atas seorang
Ketua, seorang Wakil Ketua, beberapa orang anggota tetap,
beberapa orang anggota tidak tetap dan sebuah sekretariat
yang dipimpin oleh seorang sekretaris. Ketua, Wakil Ketua,
anggota, dan sekretariat tersebut diangkat dan diberhentikan
atas pcng-usulan Badan Arbitrase Nasional Indonesia oleh
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia. Untuk
pertama kali mereka diangkat atas pengusulan Team Inti
Pendiri BANI. Jangka waktu pemangkuan jabatan tersebut
adalah untuk waktu lima tahun, setelah mana mereka dapat
diangkat kembali. Ketua, Wakil Ketua dan para anggota tetap
merupakan pengurus (Board o f Managing Directors) Badan
Arbitrase Nasional Indonesia.

B. PROSEDUR ARBITRASE BAN I


Surat Permohonan
Prosedur arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat
permohonan untuk mengadakan arbitrase, dalam register
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (disingkat: BANI), oleh
Sekretaris. Surat permohonan untuk mengadakan arbitrase itu
harus memuat:
a. nama lengkap dan tempat tinggal (tempat kedudukan)
kedua belah pihak;
b. suatu uraian singkat tentang duduknya sengketa;
c. apa yang dituntut;
Pada surat permohonan harus dilampirkan salinan dari
naskah atau perjanjian yang secara khusus menyerahkan
pemutusan sengketa kepada arbiter/badan arbitrase atau
perjanjian yang memuat klausula, yaitu ketentuan yang
menetapkan bahwa sengketa-sengketa yang timbul dari
perjanjian tersebut akan diputus oleh arbiter/badan arbitrase.
Apabila surat permohonan diajukan oleh seorang juru
kuasa, maka harus dilampirkan surat kuasa khusus dalam surat
permohonan tersebut.
Dalam suratpermohonan tersebut pemohon dapat menun­
juk (memilih) seorang arbiter, atau menyerahkan penunjukan

495
arbiter itu kepada Ketua BANI. Syarat lain yang harus
dipenuhi untuk pendaftaran itu adalah biaya administrasi/
pemeriksaan harus dibayar lunas terlebih dahulu.
BANI memiliki kewenangan untuk menyatakan bahwa
surat permohonan itu dapat diterima atau tidak dalam jangka
waktu 30 hari. BANI akan menyatakan permohonan tidak
dapat diterima, apabila perjanjian yang menyerahkan putusan
sengketa kepada arbiter/badan arbitrase atau klausula arbitrase
tersebut dianggapnya tidak cukup untuk dijadikan dasar
kewenangan BANI untuk memeriksa sengketa yang diajukan
itu. Apabila BANI menyatakan bahwa permohonan itu tidak
diterima maka biaya pemeriksaan dikembalikan kepada
pemohon.
Dalam perjanjian harus ada klausula arbitrase yang
menunjuk BANI sebagai badan arbitrase yang akan memutusi
sengketa. Klausula itu juga dapat berupa penegasan bahwa
pemutusan sengketa akan dilakukan oleh sesuatu badan
arbitrase menurut “Peraturan Prosedur BANI”.
Dalam memutus suatu perkara, BANI boleh atas
persetujuan kedua belah pihak dengan memakai ketentuan-
ketentuan prosedur yang menyimpang dari ketentuan-
ketentuan peraturan prosedur arbitrase pada BANI asal
dinyatakan dengan tegas dan tertulis.

Prosedur Pemeriksaan
Apabila ketua BANI sudah merasa bahwa perjanjian yang
menyerahkan pemutusan sengketa kepada arbiteter/badan arbi­
trase atau klausula arbitrase dianggapnya sudah mencukupi,
maka Ketua BANI mengeluarkan perintah untuk menyampai­
kan salinan dari surat permohonan kepada termohon dengan
perintah untuk menanggapinya dan memberikan jawabannya
secara tertulis dalam waktu tiga puluh hari.
Dalam jawaban tersebut termohon harus pula menunjuk
(memilih) seorang arbiter atau menyerahkan penunjukan
arbiter itu kepada Ketua BANI. Jika dalam jawaban tersebut
tidak ditunjuk seorang arbiter, maka dianggap bahwa
termohon menyerahkan penunjukan arbiter itu kepada ketua
BANI.
Jika para pihak telah menunjuk arbiter mereka masing-
masing, maka Ketua BANI menunjuk Ketua dari majelis
arbiter yang bersangkutan yang akan memeriksa sengketa.
Penunjukan ini dilakukan dengan mengindahkan usul-usul dari
para arbiter masing-masing pihak dan mereka ini dipersilahkan
masirig-masing mengajukan dua calon yang dipilihnya dari
para anggota BANI.
Apabila para pihak tidak menunjuk seorang arbiter, maka
Ketua BANI-lah yang akan menunjuk arbiter ini terdiri atas
tiga orang. Jika sengketa dianggapnya sederhana dan mudah,
maka cukup ditunjuk seorang arbiter tunggal saja. Arbiter-
arbiter yang ditunjuk oleh Ketua BANI tersebut di atas dipilih
dari para anggota BANI. Ketua BANI juga dapat menunjuk
dirinya sendiri atau Wakil Ketua BANI untuk mengetuai
majelis arbiter yang akan memeriksa dan memutusi suatu
sengketa. Majelis arbiter inilah yang menjalankan semua
kewenangan BANI yang berkenaan dengan pemeriksaan dan
pemutusan sengketa.
Apabila satu pihak mempunyai keberatan terhadap
seorang arbiter yang ditunjuk oleh Ketua BANI, harus jelas
alasannya. Apabila alasan itu diterima, maka Ketua BANI
akan menunjuk arbiter lain.
Selanjutnya segera setelah diterimanya jawaban dari si
termohon, atas perintah Ketua BANI salinan dari jawaban
tersebut diserahkan kepada pemohon. Para pihak kemudian,
atas perintah Ketua BANI menghadap dimuka sidang arbitrase
yang ditetapkan selambat-lambatnya empat belas hari
terhitung mulai hari dikeluar-kannya perintah itu. Jika para
pihak tidak dapat hadir mereka boleh mewakilkan kepada
seorang kuasa dengan surat kuasa khusus.
Dalam hal tidak ada jawaban dari pihak si termohon,
maka dikeluarkan perintah pemanggilan kedua setelah
lewatnya waktu 30 hari.
Dalam jawabannya atau paling lambat pada hari sidang
pertama termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan.
Tuntutan balasan ini akan diperiksa dan diputus bersama-sama
dengan tuntutan asli pemohon.

497
Gugurnya Perm ohonan
Jika pada sidang pertama pemohon tidak hadir, tanpa
adanya alasan yang sah, maka permohonan arbitrase akan
dinyatakan gugur. Hal ini sesuai dengan ketentuan IIIR
mengenai perkara perdata. Namun jika termohon yang tidak
datang pada sidang pertama, tanpa alasan yang sah, maka akan
dipanggil sekali lagi untuk menghadap dimuka sidang pada
waktu kemudian yang ditetapkan selambat-lambatnya empat
belas hari lagi sejak dikeluar-kannya perintah tersebut.
Jika termohon tidak datang juga, maka pemeriksaan akan
diteruskan tanpa hadirnya si termohon dan tuntutan si
pemohon akan dikabulkan, kecuali tuntutan itu oleh BANI
dianggap tidak berdasarkan hukum atau keadilan. Jadi
ketentuan ini sesuai dengan prosedur verstek dalam HIR.
Perdamaian
Apabila kedua belah pihak datang menghadap, sesuai de­
ngan acara sidang perkara perdata menurut HIR, maka terlebih
dahulu BANI akan mengusahakan tercapainya suatu
perdamaian. Jika upaya perdamaian itu berhasil maka BANI
akan membuatkan suatu akte perdamaian dan menghukum
kedua belah pihak untuk memenuhi perdamaian tersebut.
Namun jika usaha perdamaian tidak berhasil, maka BANI
akan meneruskan pemeriksaan terhadap pokok sengketa yang
dimintakan keputusan itu.
Pembuktian
Selama pemeriksaan, kedua belah pihak dipersilakan
untuk menjelaskan masing-masing pendirian serta mengajukan
bukti-bukti yang oleh mereka dianggap perlu untuk
menguatkannya. Jika perlu, Ketua, baik atas permintaan para
pihak maupun atas prakarsa BANI sendiri, dapat memanggil
saksi-saksi atau ahli-ahli untuk didengar keterangan mereka.
Saksi dan ahli ini dapat di-sumpah terlebih dahulu.
Berlainan dengan sidang perkara-perkara perdata menurut
HIR, maka semua pemeriksaan dilakukan dengan pintu
tertutup.
Pencabutan Perm ohonan
Sejalan dengan ketentuan hukum acara yang diatur dalam
HIR, dalam pemeriksaan perkara perdata, pencabutan
permohonan arbitrase dapat dilakukan sebelum dijatuhkan
keputusan. Namun jika sudah ada jawaban dari termohon,
maka pencabutan tersebut hanya diperbolehkan dengan
persetujuan termohon.
Putusan
Apabila BANI menganggap pemeriksaan telah cukup,
maka Ketua akan menutup pemeriksaan itu dan menetapkan
suatu hari sidang untuk mengucapkan putusan yangnkan
diambil. Putusan ini dilakukan dalam waktu satu bulan setelah
ditutupnya pemeriksaan. Pengucapan putusan adalah dalam
sidang yang terbuka untuk umum.
Dalam putusan dapat ditetapkan suatu jangka waktu
dalam mana putusan itu harus dipenuhi. Jika telah lewat
jangka waktu ini, maka Ketua BANI akan menyerahkan
putusan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang,
untuk dijalankan. Pelaksanaan keputusan ini adalah sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Pasal 637 dan
639 “Reglement op de Rechts-vordering" (Saat ini sudah tidak
berlaku lagi).
Biaya-biaya
Biaya arbitrase ditetapkan dalam suatu peraturan
tersendiri yang menjadi lampiran dari “Peraturan Prosedur”
BANI. Biaya itu ditetapkan sebagai berikut:
a. Uang Pendaftaran: Rp 50,-ribu;
b. Biaya administrasi/pemeriksaan, yang dihitung sebagai
berikut:
Jumlah yang dituntut Biaya administrasi/
pemeriksaan:
Rp 5 ju ta -R p 10 juta Rp 150 ribu ditambah 2
persen dari jumlah yang
melebihi Rp 5 juta;
Rp 10 ju ta -R p 50 juta Rp 250 ribu ditambah 1
persen dari jumlah yang
melebihi Rp 10 juta;

499
Rp 50 juta - Rp 100 juta Rp 650 ribu ditambah 0,5
persen dari jumlah yang
melebihi Rp 50 juta;
Rp 100 juta atau lebih Rp 900 ribu ditambah 0,25
persen dari jumlah yang
melebihi Rp 100 juta ;
Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi/ahli dipikul
oleh pihak yang meminta dipanggilnya saksi/ahli tersebut,
biaya mana harus dibayar lebih dahulu kepada Sekretaris
BANI.
Apabila Arbiter/Majelis Arbiter perlu melakukan
perjalanan untuk melakukan pemeriksaan setempat,
maka biaya perjalanan itu dibebankan kepada kedua belah
pihak masing-masing separoh, biaya mana harus dibayar
lebih dahulu kepada Sekretaris BANI.
Honorarium Arbiter
Ini ditetapkan oleh Ketua BANI untuk tiap-tiap sengketa,
tetapi jumlah honorarium untuk semua arbiter tidak
melebihi dua kali biaya administrasi/pemeriksaan yang
telah ditetapkan untuk sengketa tersebut.
Biaya administrasi/pemeriksaan dibebankan kepada
termohon, jika tuntutannya sepenuhnya dikabulkan atau
pendirian pemohon seluruhnya dibenarkan. Sebaliknya
apabila tuntutan ditolak, biaya administrasi/pemeriksaan
dipikulkan kepada pemohon. Apabila tuntutan sebagian
dikabulkan, biaya administrasi/pemeriksaan dibagi
antara kedua pihak menurut ketetapan yang dianggap
adil oleh BANI. Sedangkan Honorarium bagi para
arbiter selamanya dipikul oleh kedua belah pihak, masing-
masing separuh.
Untuk biaya pelaksanaan (eksekusi) suatu putusan arbitrase
ditetapkan dengan suatu peraturan bersama antara Ketua
BANI dengan para Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Biaya ini dibebankan kepada pihak yang
telah dikalahkan dan tidak secara sukarela memenuhi
putusan.
Jika sebelum dijatuhkan putusan pemohon mencabut
permohonannya, jika pemeriksaan belum dimulai, maka
biaya pemeriksaan dikembalikan seluruhnya kepada
pemohon. Jika pemeriksaan sudah dimulai, dari biaya
tersebut dikembalikan sebagian menurut ketetapan Ketua
BANI sebagaimana dianggapnya pantas.

501
502
PENERAPAN KONVENSI NEW YORK 1958
SEBELUM PERMA NO. 1 TAHUN 1990
DAN SESUDAII BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG NO. 30 TAIIUN 1999

Suatu karangan singkat dalam East Asian Executive Reports


mengenai keputusan Mahkamah Agung dalam perkara ini telah
menarik perhatian kita. Dikatakan antara lain bahwa keputusan tersebut
mengakibatkan, Indonesia may be inviolation o f its obligations under
international law?
Perkara ini mulai timbul ketika Navigation Maritime Bulgare
(NMB), suatu perusahaan yang berkedudukan dan tunduk pada hukum
Bulgaria, sebagai pemilik kapal, telah mengajukan klaim kepada PT.
Nizwar (Nizwar), sebuah perusahaan berkedudukan dan tunduk pada
hukum Indonesia, berkenaan dengan kelebihan waktu berlabuh
(idemurrage). Klaim tersebut menyangkut masing-masing [JS$
38,480.55 sehubungan dengan loading demurrage di Split dan US$
45,762.64 berkenaan dengan discharging demurrage di Surabaya.
Dalam Chartcrparty yang dibuat pada tanggal 5 Juni 1974, NMB
sebagai pemilik kapal telah menyewakan Rakovski kepada Nizwar
untuk suatu perjalanan dari Jugoslavia ke Indonesia. Ternyata
kemudian timbul sengketa yang menyebabkan NMB mengajukan
perkaranya ke badan arbitrase di London sebagaimana ditentukan
dalam Charterparty tertanggal 5 Juni 1974. Sampai dengan tanggal
yang ditentukan, yaitu 23 Juni 1978, Nizwar tidak memberikan
dokumen-dokumen bantahan sehubungan dengan klaim tersebut,
sehingga pada tanggal 12 Juli 1978 arbitrator memutuskan bahwa
Nizwar harus membayar klaim yang keseluruhannya berjumlah US$
72,576.39 ditambah dengan bunga 7/4% per tahun, yang dihitung sejak
1 Januari 1975 sampai dengan keputusan arbitrase dilaksanakan.
Pada tanggal 27 Agustus 1979 NMB mengajukan permohonan
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar keputusan arbitrase dapat
dUaksanakan, dengan memerintahkan agar Nizwar membayar sejumlah
uang tersebut di atas dengan bunganya di tambah biaya arbitrase
sebesar 250 poundsterling dan biaya-biaya pelaksanaan keputusan itu.
NMB mendalilkanbahwaberdasarkan Staatsblad 1933-131 yo. 132 yo.

503
133 dan konvensi Geneva 1927, keputusan arbitrase luar negeri
mempunyai kekuatan hukum sebagai suatu keputusan akhir pengadilan
yang dapat dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri di Indonesia,
setelah memperoleh fiat executic.
Nizwar selaku termohon dalam jawabannya mengatakan, bahwa
perusahaan tersebut tidak pernah menandatangani suatu perjanjian
dengan pemohon. Di samping itu menurut termohon, Staatsblad 1933-
131 yo. 132 yo. 133 tidak berlaku di Republik Indonesia dan RI tidak
terikat oleh perjanjian-perjanjian yang dalam zaman kolonial
diperlakukan oleh Netherlands untuk Hindia Belanda.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam pertimbangannya
menyatakan antara lain, bahwa berdasarkan Pasal 5 Peraturan-peraturan
Peralihan dari KMB (Konferensi Meja Bundar) berkenaan dengan
pengalihan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik
Indonesia dan Peraturan Presiden No. 2 tanggal 15 Oktober 1945, maka
persetujuan-pcrsetujuan internasional yang berlaku untuk wilayah
Republik Indonesia pada saat penyerahan kedaulatan, tetap berlaku
untuk Republik Indonesia termasuk Konvensi Geneva yang tercakup
dalam konsideran Staatblad 1933-132 yo. 133, kecuali apabila Republik
Indonesia telah membatalkannya. Atas dasar hal irii, Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat mengabulkan permohonan NMB dan memerintahkan agar
termohon membayar sejumlah uang tersebut di atas.
Termohon ternyata tidak naik banding tetapi langsung mengajukan
permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung
dalam keputusannya tanggal 29 November 1984 menyatakan bahwa
permohonan kasasi tersebut tidak dapat diterima karena pemohon
kasasi tidak mengajukan memori kasasi yang memuat alasan-alasan
dari permohonannya. Hal itu diharuskan oleh Pasal 115 ayat 1 Undang-
undang Mahkamah Agung Indonesia. Di samping itu Mahkamah
Agung menganggap perlu pula memberikan pertimbangan tambahan,
demi kepastian hukum di Indonesia dalam hubungannya dengan
Convention on the Recognition and Enforcement o f Foreign Arbitral
Awards sebagai berikut:
1. Sesuai dengan yurisprudensi di Indonesia putusan Pengadilan asing
dan putusan hakim arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan di
Indonesia kecuali kalau antara Republik Indonesia dan negara
asing yang bersangkutan diadakan perjanjian tentang pelaksanaan
putusan Pengadilan asing/putusan hakim arbitrase asing;

504
2. Republik Indonesia tidak mutlak terikat kepada perjanjian-
perjanjian internasional yang telah diadakan oleh Netherlands pada
masa penjajahan;
3. Sehubungan dengan Keputusan Presiden RI No. 34 Tahun 1981
tanggal 5 Agustus 1981 tentang Pengesahan “Convention on the
Recognition and Enforcement o f Foreign Arbitral Awards ” sesuai
dengan praktek hukum yang berlaku, masih harus ada peraturan
pelaksanaannya, yaitu apakah permohonan eksekusi putusan hakim
arbitrase dapat diajukan langsung pada Pengadilan Negeri,
termasuk kepada Pengadilan Negeri yang mana; ataukah
permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung dengan
maksud dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak
mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum
di Indonesia.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas juga, Mahkamah Agung
menyatakan bahwa permohonan pelaksanaan putusan hakim arbitrase
asing tidak dapat diterima.

Pertanyaan-pertanyaan yang Menggoda


Disamping kekeliruan Pemohon Kasasi yang tidak menyertakan
alasan-alasan permohonan kasasi, menyebabkan tidak dapat
diterimanya permohonan kasasi bersangkutan; Mahkamah Agung telah
memberikan beberapa pendapatnya yang penting sehubungan dengan
pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri di Indonesia. Pertama,
bahwa Indonesia tidak terikat pada Konvensi Geneva tahun 1927,
karena sebagai sebuah negara merdeka, tidak otomatis harus
memperlakukan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh
Netherlands pada zaman Hindia Belanda dahulu. Pendapat ini boleh
dikatakan mengukuhkan pendirian Pemerintah RI dalam hal ini
Departemen Luar Negeri, yang antara lain menyatakan bahwa
Pemerintah Indonesia tidak pernah secara resmi menyatakan ikut serta
dalam Konvensi Geneva tahun 1927, sehingga Konvensi tersebut tidak
berlaku di Indonesia.
Sebelum keputusan Mahkamah Agung ini keluar terdapat keragu-
raguan apakah keputusan arbitrase luar negeri dapat dilaksanakan di
Indonesia? Keragu-raguan tersebut sedikitnya dapat teratasi dengan ikut
sertanya Indonesia dalam Convention on the Recognition and
Hnforcement of Foreign Arbitral Awards atau yang lebih dikenal

505
dengan Ksonvensi New York 1958, berdasarkan Keputusan Presiden
No. 34 Tahun 1981 tertanggal 5 Agustus 1981. Lampiran Keputusan
Presiden No. 34 Tahun 1981 menyatakan :
“ ..., the Government o f the Republic o f Indonesia declares that it
will apply the Convention on the basis o f reciprocity, to the
recognition and enforcement o f awards made only in the territory
o f another Contracting State, and that it will apply the Convention
only to differences arising out o f legal relationships, whether
contractual or not, which are considered as commercial under the
Indonesian Law. ”
Namun dengan adanya pendapat Mahkamah Agung dalam perkara
ini, sedikitnya terdapat tiga pertanyaan pokok :
1. Apakah hakim kita tidak bisa memutus perkara-perkara yang
berhubungan dengan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri,
hanya karena peraturan pelaksanaannya belum ada, walaupun
Indonesia sudah mengesahkan berlakunya Konvensi New York
1958 ?;
2. Apakah Konvensi New York 1958 yang disahkan berlakunya di
Indonesia pada tanggal 5 Agustus 1981 dengan Keputusan
Presiden No. 31 Tahun 1981, berlaku surut; artinya dapat
diperlakukan kepada keputusan-keputusan arbitrase luar negeri
yang dibuat sebelum tanggal 5 Agustus 1981?;
3. Apakah pelaksanaan keputusan arbitrase London dalam perkara ini
akan bertentangan dengan ketertiban hukum atau public policy
Indonesia?.
Dalam upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas,
argumen pada undang-undang yang ada, tetapi juga kepada keputusan-
keputusan hakim kita sendiri yang dianggap relevan. Di samping itu
pembahasan berikut ini menyajikan juga keputusan hakim berbagai
negara yang berhubungan dengan Konvensi New York 1958, bukan
saja karena kita perlu melihat putusan-putusan tersebut sebagai bahan
perbandingan, tetapi juga Indonesia sebagai anggota masyarakat
bangsa-bangsa dalam pergaulan internasional, seperti yang dikatakan
oleh Mahkamah Agung sendiri dalam putusan ini, saling tergantung
satu sama lainnya.

506
Hakim Mencipta Hukum
Konvensi New York 1958 menunjukkan bahwa prosedur untuk
melaksanakan keputusan arbitrase luar negeri diserahkan kepada
masing-masing negara di mana keputusan tersebut akan dilaksanakan.
Pasal III Konvensi. New York; 1958 menyebutkan :
"Each Contracting State shall recognize arbitral awards as
binding and enforce them in accordance with the rules o f
procedure o f the territory where the award is relied upon, under
the condition laid down in the following articles. There shall not be
imposed substantially more onerous conditions or higher fees or
charges on the recognition or enforcement o f arbitral awards to
which this Convention applies than are imposed on the recognition
or enforcement o f domestic arbitral awards .”
Sehubungan dengan ketentuan ini, banyak negara mengeluarkan
peraturan sebagai pelaksanaannya, seperti Australia, Denmark, India,
Inggris dan Amerika Serikat.
Amerika Serikat umpamanya, melakukan amandemen atas The
United States Arbitration Act, dengan menambah sebuah Bab baru
untuk melaksanakan Konvensi ini, sebagai berikut:
1. The Convention shall be enforced in the federal Courts (201);
2. A definition o f the international agreements and awards that fall
under the terms o f the Convention (202);
3. Jurisdiction in federal courts regardless o f the amount in
controversy (203);
4. Broad and adequate venue provisions (204);
5. For removal ofiases from state courts (205);
6. Jurisdiction to compel arbitration within or without the United
States and to appoint arbitrators (206);
7. For three years within which to confirm the award (207); and
8. That the procedures o f the federal Arbitration Act followed in
domestic cases (i. e., 9 U.SC, Chapter 1, 1-14) shall apply, except to
the extent that those procedures conflict with the Convention (208).
Jerman Barat, Yunani, Itali, Mexico dan Netherlands
mencantumkan prosedur yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
31
Hukum Acara Perdata mereka.

507
Sebaliknya Perancis dan Jepang umpamanya, Prosedur
pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri tersebut diciptakan melalui
keputusan-keputusan pengadilan (case - law).
Mahkamah Agung Perancis sejak tahun 1960 - an dalam putusan
putusannya telah menciptakan ketentuan-ketentuan yang diterapkan
khususnya pada arbitrase internasional; ketentuan-ketentuan mana
berbeda dalam banyak hal dari ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Acara
Perdata mereka. Kecenderungan dari keputusan-keputusan pengadilan
tersebut dengan arbitrase internasional berbeda dengan hukum yang
berlaku untuk arbitrase dalam negeri.32
Contoh kedua adalah Jepang. Dalam Niroshi Nishi v. Compania
di navigazione ct commcrciao (1963), Pengadilan Banding Tokyo
menyatakan bahwa walaupun Jepang belum mempunyai peraturan
tentang bagaimana melaksanakan keputusan arbitrase luar negeri,
namun Pengadilan beranggapan hal itu tidak dapat menghambat
pelaksanaan keputusan-keputusan arbitrase luar negeri. Perkara ini
timbul sehubungan dengan penjualan kapal antara Niroshi Nishi
(Jepang) dengan Compania di navigazione ct commcrciao (Italia), di
mana perusahaan Italia kemudian dimenangkan oleh arbitrase yang
dilakukan di London. Pada Pengadilan tingkat pertama, hakim Jepang
telah mengabulkan permohonan agar putusan arbitrase London tersebut
dilaksanakan. Dalam tingkat banding, perusahaan Jepang yang
dikalahkan dalam arbitrase itu mendalilkan bahwa putusan arbitrase
tidak dapat dilaksanakan atas dasar antara lain Jepang belum memiliki
peraturan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri. Pengadilan
Banding Tokyo dalam pertimbangannya mengatakan, bahwa
sehubungan dengan keputusan arbitrase luar negeri baik menurut
Konvensi Geneva 1927 maupun Konvensi New York 1958, adalah
kewajiban negeri ini sebagai penandatangan konvensi-konvensi
tersebut memperlakukan keputusan-keputusan arbitrase luar negeri
sama dengan keputusan-keputusan arbitrase dalam negeri, sepanjang ia
memenuhi konvensi-konvensi tersebut. Juga tidak ada masalah yang
melanggar ketertiban umum {Public order) karena Niroshi Nishi telah
diberitahu secara patut tentang arbitrase tersebut dan adalah juga karena
sikapnya sendiri yang menyebabkan keputusan dibuat ex parte.
Secara tradisional, teori-teori sumber hukum mengatakan bahwa
pusat dari Common Law adalah keputusan-keputusan pengadilan (Case
Law) sedangkan Civil Law berpusat kepada peraturan-peraturan

508
(Legislative Product). Case Law, yang disertai teknik penguraian dalam
hubungannya dengan precedent dianggap menjadi nafas Common Law,
sementara metode interprestasi terhadap undang-undang seakan-akan
menjadi jantung kehidupan Civil Law. Namun dalam perkembangannya
perbedaan utama antara negara-negara Common Law (umpamanya
Inggris dan Amerika Serikat) dan negara-negara Civil Law
(umpamanya Perancis dan Jepang) sehubungan dengan peranan
pengadilan semakin pendek. Walaupun tetap menolak doktrin stare
decisis, dalam kenyataannya praktek-praktek pengadilan negara-negara
Civil Law, memutuskan perkara-perkara yang sama dengan putusan-
putusan yang sama, sebagaimana lazimnya negara-negara Common
Law. Yang lebih penting lagi, terjadi juga pergeseran kekuasaan dari
legislatif ke pengadilan, seakan-akan mengikis sedikit demi sedikit
supremasi dari legislatif. A legal process designed to make the law
Judge-proof has become steadily more judicialized, and today the rate
o f judicialization is accelarating throughout the civil law world, kata
Mcrryman.
Kembali kepada masalah penerapan Konvensi New York 1958 di
Indonesia, sebenarnya Mahkamah Agung dapat memutuskan
bagaimana melaksanakan putusan-putusan arbitrase luar negeri
berdasarkan hal-hal berikut ini. Pertama, hakim mencipta hukum bagi
Indonesia sebagai negeri Civil Law bukan merupakan hal yang baru.
Babkan dikatakan bahwa hakim kita wajib mencari dan menemukan
hukum yang berlaku, sekalipun itu tidak terdapat di dalam undang-
undang maupun dalam sesuatu kebiasaan yang berlaku, sebab hakim
dilarang menolak memberikan hukum atau keadilan dengan dalih
bahwa undang-undang tidak atau belum mengaturnya (Pasal 22 A.B.).
Dalam beberapa kasus Mahkamah Agung dengan menganut sikap ini
telah melakukan pembaharuan hukum. Dalam perkara Sitepu v. S.
Ginting, Mahkamah Agung telah membuat suatu putusan yang
bersejarah pada tahun 1961 dengan melakukan pembaharuan hukum
warisan masyarakat Batak di Tanah Karo. Mahkamah Agung
memutuskan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan harus
mendapatkan bagian yang sama atas warisan orang tuanya. Anak
perempuan sebagaimana juga anak laki-laki mendapatkan masing-
masing seperdua dari harta peninggalan. Keputusan ini sempat
menggoncangkan masyarakat Batak Karo saat itu, karena ia dianggap
bertentangan dengan hukum adat setempat yang menentukan bahwa
anak perempuan tidak dapat mewaris. Penggugat, Lang tewas Sitepu

509
dan Ngadu Sitepu telah menggugat Benin Ginting dengan alasan bahwa
para Penggugat adalah anak laki-laki dari kakak Rolak Sitepu, yang
merupakan ahli waris. Menurut Keputusan Kerapan Adat No. 69
tanggal 1 Maret 1929, anak perempuan dari Rolak Sitepu hanya
mempunyai hak pakai atas tanah warisan yang menjadi sengketa.
Pengadilan Negeri Kabanjahe dalam putusannya tanggal 8 September
1958 menguatkan keputusan Kerapatan Adat tersebut. Pengadilan
Tinggi membatalkan keputusan Pengadilan Negeri ini. Dalam tingkat
kasasi, Mahkamah Agung mengatakan antara lain bahwa persamaan
hak antara laki-laki dan wanita telah diterima oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia. Oleh karenanya dalam hal pembagian warisan
persamaan hak itu juga diterapkan. Jelas Mahkamah Agung tidak
memutus berdasarkan hukum adat setempat, melainkan berdasarkan
prinsip keadilan dan persamaan hak antara wanita dan laki-laki.
Mahkamah Agung menerapkan prinsip ini dengan konsisten. Dalam
perkara Atimah cs v. Rasini, para penggugat Imaq Atimah cs telah
menggugat Imaq Rasini dengan dalil bahwa berdasarkan hukum adat
Lombok Imaq Rasini sebagai perempuan yang sudah kawin tidak
berhak mewarisi harta peninggalan Bapaknya, yang dalam perkara ini
berbentuk tanah. Dengan tegas, Mahkamah Agung mengutip keputusan
terdahulu mengenai warisan di Tanah Karo, kemudian menetapkan
bahwa anak perempuan dan anak laki-laki di pulau Lombok
mempunyai hak yang sama atas warisan orang tuanya. Karena dalam
perkara ini Imaq Rasini merupakan satu-satunya anak, maka
Mahkamah Agung memutuskan bahwa ia yang berhak atas seluruh
warisan almarhum bapaknya.
Mahkamah Agung bukan saja telah melakukan pembaharuan
hukum melalui perkara-perkara yang diajukan kepadanya, tetapi juga
melalui anjurannya untuk tidak lagi memperlakukan suatu ketentuan
undang-undang yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan
dan kenyataan. Dengan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 Mahkamah
Agung menyatakan bahwa beberapa pasal dari Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tidak berlaku lagi. Umpamanya Pasal 108 Kitab
Undang-Undang Ilukum Perdata tentang ketidakcakapan seorang istri.
Keputusan-keputusan Pengadilan mengenai hapusnya pasal tersebut
baru 10 tahun kemudian mendapatkan konsolidasi dalam Pasal 31(2)
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan :
Masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

510
Contoh lain yang cukup menarik mengenai peranan Mahkamah
Agung mengisi kekosongan pcrundang-undangan kita adalah
bersangkutan dengan lembaga Peninjauan Kembali. Dalam
pertimbangannya Mahkamah Agung mengatakan bahwa belum adanya
peraturan yang mengatur pelaksanaan Pasal 21 Undang-Undang No. 14
Tahun 1970 dan tidak adanya sarana hukum lain yang memungkinkan
menampung dan menyelesaikan permasalahan Peninjauan Kembali
sebagai upaya hukum yang sangat diperlukan; ... memandang perlu
untuk sambil menunggu peraturan pcrundang-undangan ... mengeluar­
kan peraturan Mahkamah Agung tentang Peninjauan Kembali putusan
yang telah memperoleh kekuatan yang tetap.
Berdasarkan contoh-contoh di atas adalah jelas Mahkamah Agung
dapat menjalankan salah satu fungsinya yang penting, yaitu mengisi
kekosongan perundang-undangan.
Alasan kedua bahwa Mahkamah Agung dapat memutuskan
bagaimana melaksanakan keputusan-keputusan arbitrase luar negeri,
ialah karena hal itu menurut hemat saya merupakan masalah
proscdural. Dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 34 'I'ahun 1981
mengenai pengesahan berlakunya Konvensi New York 1958 itu bagi
Indonesia, artinya kita telah menerima substansi dari Konvensi tersebut.
Akhirnya, alasan belum adanya peraturan pelaksanaan
menyebabkan permohonan pelaksanaan keputusan arbitrase asing tidak
dapat diterima; pertimbangan mana telah bertentangan dengan Pasal 14
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 mengenai Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Penjelasan dari Pasal 14 dengan terang
menyebutkan: “... Pencari keadilan datang padanya untuk mohon
keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis ia wajib
menggali hukum tidak tertulis... ”

Berlaku Surut atau Tidak ?


Bulgaria ikut serta dalam Konvensi New York 1958 setelah negara
itu melakukan ratifikasi pada 10 Oktober 1961. Berdasarkan asas
reciprocity yang sama-sama dianut oleh Bulgaria dan Indonesia
sehubungan dengan Konvensi ini, maka keputusan-keputusan arbitrase
luar negeri yang bersangkutan dengan pihak-pihak dari kedua negara
akan masuk dalam ruang lingkup Konvensi New York 1958.
Andaikata pemohon kasasi memasukkan alasan-alasan dalam
permohonan kasasinya sehingga permohonan itu dapat diterima dan

511
andaikata, walaupun belum ada peraturan pelaksanaan keputusan
arbitrase luar negeri di Indonesia, Mahkamah Agung berpendirian dapat
memeriksa masalah tersebut; masih tetap ada soal-soal yang harus
dipertimbangkan dalam memutus perkara ini. Sal ah satu pertanyaan
adalah apakah Konvensi New York 1958 yang dinyatakan sah
berlakunya di Indonesia pada tanggal 5 Agustus 1981 dapat
diperlakukan terhadap keputusan arbitrase luar negeri yang dibuat
sebelum tanggal tersebut, dalam perkara ini keputusan arbitrase yang
dibuat di London tanggal 12 Juli 1978?
Konvensi New York 1958 sendiri tidak memuat ketentuan tentang
hal ini. Dalam suatu perdebatan mengenai apakah Konvensi berlaku
surut atau tidak, usul Jugoslavia agar Konvensi harus diperlakukan
hanya kepada keputusan-keputusan arbitrase yang dibuat sesudah
Konvensi ini menjadi efektif berlaku, mendapat dukungan 17 negara,
11 menentang dan 10 abstain. Oleh karena tidak mencapai dua pertiga
suara mayoritas, ketentuan ini tidak dicantumkan dalam Konvensi.
Selanjutnya dalam praktek, negara-negara tetap berbeda pendirian.
Umpamanya, India mencantumkan dalam undang-undang mereka
bahwa Konvensi ini berlaku hanya untuk keputusan-keputusan arbitrase
luar negeri yang dibuat pada atau sesudah tanggal 11 Oktober 1960.
India meratifisir Konvensi New York 1958 pada tanggal 13 Juli 1960.
Sama dengan India, Botswana menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan
Konvensi berlaku terhadap keputusan-keputusan yang dibuat setelah
tanggal berlakunya Undang-Undang pelaksanaan keputusan arbitrase
luar negeri mereka yaitu tanggal 22 Desember 1971. Negara itu ikut
serta dalam Konvensi melalui pernyataan (accession) pada 20
Desember 1971.
Sikap yang sama dianut juga oleh Switzerland dalam perkara
Commoditex S.A. v. Alexandria Commercial Co. Alexandria
Commercial, suatu perusahaan Mesir, telah dimenangkan oleh
keputusan arbitrase yang dibuat Association o f Cotton Exporters Mesir
pada 29 Juni 1961. Keputusan itu bersangkutan dengan sengketa
kontrak jual beli yang telah diadakan oleh para pihak. Perusahaan Mesir
kemudian mengajukan keputusan arbitrase tersebut di Pengadilan
tingkat pertama sebagai barang bukti dan bukan untuk minta supaya
keputusan itu dilaksanakan, terhadap Commoditex secara bersama-
sama dengan Swiss Bank Union. Pengadilan kemudian menghukum
Commaditex agar membayar jumlah uang yang sama dengan yang
diputuskan oleh para arbitrator. Kedua belah pihak naik banding.

512
Dalam tingkat banding Alexandria meminta agar keputusan arbitrase
terdahulu dilaksanakan terhadap lawannya berdasarkan Konvensi New
York 1958 dimana Switzerland telah ikut serta sebagai anggota. Namun
dalam keputusannya, Pengadilan Banding menolak permohonan, antara
lain dengan mengatakan Konvensi New York 1958 tidak dapat berlaku
surut terhadap keputusan-keputusan arbitrase sebelum Switzerland
melakukan ratifikasi atas Konvensi tersebut. Switzerland baru
meratifisirnya pada tanggal 1 Juni 1965.
Sementara itu pengadilan-pengadilan Inggris berbeda pendirian
mengenai hal ini. Admiralty Court di London menyatakan secara umum
bahwa Konvensi must be treated as having retrospective effect dan ini
ditunjukkannya dalam memutus perkara Moscow v/c Exportkhleb v.
Helmville Ltd. Dalam perkara ini hakim memutuskan Konvensi New
York 1958 diperlakukan kepada perjanjian arbitrase yang dibuat
sebelum Inggris mengesahkan berlakunya Konvensi tersebut pada 24
September 1975. Akan tetapi dalam perkara yang lain Pengadilan
Tinggi (Commercial Court) menyatakan bahwa Konvensi New York
tidak dapat diterapkan pada keputusan arbitrase yang dibuat sebelum
Arbitration Act 1975 menjadi efektif berlaku yaitu tanggal 23
Desember 1975. Dalam The Government of Kuwait v. Sir Frederick
S. Snow and Partners and Other, kontrak telah ditandatangani pada
tanggal 15 Juli 1958 antara Pemerintah Kuwait dan Frederick S. Snow
and Partners, sebuah konsultan civil engineering dari Inggris, untuk
pembangunan lapangan terbang internasional di Kuwait. Sengketa
timbul mengenai pelaksanaan kontrak tersebut, sampai masalahnya
diputus oleh arbitrator. Dengan keputusan arbitrase yang didaftarkan di
Kuwait tanggal 18 September 1973, pihak Inggris diharuskan
membayar kepada Pemerintah Kuwait sekitar 3,5 million poundsterling.
Tidak ada langkah-langkah yang diambil oleh Pemerintah Kuwait
untuk melaksanakan keputusan tersebut sampai 23 Maret 1979, tanggal
mana keputusan baru diajukan kepada Pengadilan Tinggi di London
supaya dilaksanakan terhadap Frederick S. Snow dan partner.
Pengadilan dalam pertimbangannya antara lain mengatakan bahwa
keputusan arbitrase tersebut dibuat pada waktu baik Kuwait maupun
Inggris belum menjadi anggota Konvensi New York 1958. Inggris
mengesahkan Konvensi tersebut pada 23 Desember 1975 dan di Kuwait
pengesahannya baru berlaku pada tanggal 27 Juli 1978. Disebutkan
pula selanjutnya: “There is no doubt that ‘It is a fundamental rule o f
English Law that no statute shall be construed so as to have a

513
retrospective operation unless its language is such as plainly to require
such a construction...”
Sebaliknya Pengadilan-pengadilan Amerika Serikat mempunyai
alasan-alasan tersendiri memperlakukan Konvensi New York 1958
secara retroactive. Dalam Fotochrome v Copal. Pengadilan Distrik
New York memperlakukan Konvensi New York 1958 yang disahkan
berlakunya oleh Pemerintah Amerika Serikat pada 30 September 1970
terhadap keputusan Japan Commercial Arbitration Association yang
dibuat di Tokyo pada 18 September 1970. Perkara ini mulai timbul
sehubungan dengan tuduhan penjualan camera-camera yang cacat oleh
Copal Co. Ltd., suatu perusahaan Jepang, kepada Fotochrome Inc.,
sebuah perusahaan Amerika sebagai pembeli. Ketika sidang arbitrase
belum mencapai keputusan, Fotochrome mengajukan permohonan
bangkrut di Pengadilan Amerika. Hakim memerintahkan agar segala
langkah yang ditempuh oleh para kreditor termasuk proses arbitrase
supaya dihentikan. Namun arbitrase yang berlangsung di Jepang tetap
meneruskan sidang-sidangnya dan memberikan keputusan yang
menguntungkan pihak Copal. Keputusan arbitrase tersebut kemudian
diajukan di Pengadilan Tokyo, yang menyatakan berdasarkan hukum
Jepang, keputusan arbitrase tersebut adalah Final. Copal kemudian
mengajukan putusan tersebut kepada Bankruptcy Court, dan hakim
memutuskan bahwa Bankruptcy Court akan mempertimbangkan untuk
memeriksa perkara ini. Pengadilan Distrik New York membatalkan
putusan Bankruptcy Court tersebut dan memutuskan bahwa perintah
pencegahan oleh Bankruptcy Court tidak mempunyai daya laku ekstra-
teritorial. Keputusan arbitrase yang dibuat di Jepang adalah keputusan
final berdasarkan hukum Jepang dan Konvensi New York 1958
memberikan hak kepada Copal untuk meminta pengesahannya sebagai
suatu keputusan di Amerika Serikat. Pengadilan Distrik berpendirian
bahwa Konvensi New York 1958 dapat diterapkan kepada keputusan
arbitrase yang dibuat tanggal 18 September 1970 tersebut, walaupun
Amerika Serikat sendiri baru mengesahkan (accession) konvensi yang
bersangkutan pada tanggal 30 September 1970. Pengadilan Banding
memperkuat keputusan Pengadilan Distrik. Pengadilan Banding
menyatakan bahwa public policy sebagai pembatasan haruslah
ditafsirkan secara terbatas dan hanya diterapkan bila pelaksanaan
keputusan arbitrase luar negeri akan melanggar the forum state ’s most
basic notion o f morality andjustice.

514
Selanjutnya Mahkamah Agung Amerika Serikat menerapkan
Konvensi New York 1958 tidak saja kepada kcputusan arbitrase yang
dibuat sebelum Amerika Serikat ikut serta dalam Konvensi, tetapi juga
kepada perjanjian arbitrase yang dibuat sebelum itu. Dalam Scherck v.
Alberto-Culvcr, Mahkamah Agung telah menerapkan Konvensi New
York 1958 terhadap perjanjian dagang internasional yang dibuat di
Wina (Austria) pada Februari 1969. Kontrak antara lain berisi
ketentuan any controversy claim (that) shall arise out o f this agreement
or the breach thereof would be reffered to arbitration before the
International Chamber o f Commerce in Paris, France and that (t) he
laws o f the State oflllionis, USA, shall apply to and govern this
agreement, its interpretation and performance.
Alberto-Culver adalah suatu perusahaan Amerika Serikat yang
memproduksi dan mendistribusikan alat-alat yang bersangkutan dengan
kecantikan dan rambut di Amerika Serikat dan luar negeri. Dalam
rangka memperluas usahanya, Alberto-Culver membeli dari Frits
Scherk, seorang warga negara Jerman, tiga buah perusahaannya yang
tunduk pada hukum Jerman dan Lichtenstein, termasuk hak-hak atas
merek dagang „ketiga perusahaan tersebut.
Namun menjelang 1 tahun kemudian, Alberto-Culver menduga
banyak trade-mark rights yang dibeli berdasarkan kontrak tersebut
mempunyai rintangan besar yang mencegah pemberian other superior
rights terhadap merk dagang itu dan membatasi Alberto-Culver
memakainya. Alberto-Culver kemudian menawarkan untuk mengem­
balikan barang-barang yang diserahkan kepadanya dan kemudian
pembatalan kontrak yang telah diadakan. Karena Scherk menolak,
Alberto-Culver membawa sengketa tersebut ke Pengadilan Distrik di
Illionis. Scherk kemudian mengajukan dalil bahwa proses pengadilan
tersebut harus dihentikan sehubungan dengan proses arbitrase di Paris.
Alberto-Culver menjawab, bahwa karena penjualan perusahaan
menyangkut saham-saham, oleh karenanya berdasarkan Wilko v.
Swan, 346 US. 427, in which a domestic contract for the sale of
securities, tidak masuk dalam ruang lingkup arbitrase (Securities
Exchange Act 1933). Pengadilan Distrik ternyata membenarkan
pendapat Alberto-Culver. Scherk naik banding. Pengadilan Banding
(Seveth Circuit), 484 F. 2d 611, memperkuat putusan Pengadilan
Distrik Illionis.
Mahkamah Agung AS ternyata berpendapat lain, dengan
mengatakan bahwa berlainan dengan perkara Wilko v. Swan, kontrak

515
antara Alberto-Culv§r dan Scherk sekarang ini adalah a truly
international agreement. Selanjutnya dikatakan oleh Mahkamah
Agung, bahwa penolakan picik oleh pengadilan suatu negara untuk
memperlakukan arbitrase internasional tidak saja membuat frustasi
tujuan-tujuan perjanjian tersebut, but would invite unseemly and
mutually destructive jockeying by the parties to secure tactical
litigation advantages. Akhirnya Mahkamah Agung menekankan,
bahwa tujuan Konvensi New York 1958 adalah untuk mendorong
pengakuan dan pelaksanaan perjanjian arbitrase internasional, dan
untuk mempersatukan standar, dengan mana perjanjian arbitrase dan
keputusan arbitrase dilaksanakan di negara-negara penandatangan.
Tanpa secara langsung menyebutkan menganut asas “retroactive”,
Mahkamah Agung mengatakan: This country’s adoption and
ratification o f the Convention, implemented by Chapter 2 the United
Stales Arbitration Act, provide strongly persuasive evidence o f
congressional policy consistent with the decision we reach to day.
Sebagai selingan, saya ingin mengemukakan sebuah perkara yang
diputus Mahkamah Agung kita setelah Indonesia mengesahkan
berlakunya Konvensi New York 1958. Dalam Sutomo v. Ahyu
Forestry Company, Sutomo sebagai Direktur PT. Balapan Jaya
(Indonesia) menggugat partner joint-venture-nya Ahyu Forestry
Company, sebuah perusahaan Korea Selatan. Keduanya telah
mendirikan sebuah perusahaan patungan dengan nama PT. Ahyu
Balapan Timber yang bergerak di bidang pengusahaan hutan di
Kalimantan. Pasal 15 dari Basic Agreement menyebutkan bahwa setiap
dan segala perbedaan maupun perselisihan yang timbul dari perjanjian
ini akan diselesaikan melalui arbitrase, yang dijalankan oleh 2 arbitrator
dan kedua arbitrator secara bersama-sama akan mengangkat seorang
umpire. Jika kedua arbitrator gagal mengangkat umpire yang dimaksud,
maka Ketua dari International Chamber of Commerce di Paris akan
mengangkat umpire untuk maksud tersebut.
Kedua belah pihak telah melakukan perundingan untuk mengubah
Basic Agreement, tetapi ternyata gagal mencapai kesepakatan karena
pihak Indonesia meminta partisipasi nyata dalam menjalankan
perusahaan sehari-hari yang menyangkut juga masalah personalia dan
keuangan.
Umpamanya, pihak Indonesia menginginkan kekuasaan untuk dapat
ikut serta menandatangani dokumen-dokumen keuangan termasuk
pengeluaran check. Pada tanggal 21 Juli 1980, Sutomo selaku Direktur

516
PT. Baiapan Jaya menggugat Ahyu Forestry Company di Pengadilan
Jakarta Utara, atas dasar bahwa tergugat tidak melaksanakan Basic
Agreement dengan itikad baik. Penggugat memohon agar Basic
Agreement diakhiri, management dari perusahaan joint venture
diserahkan kepada penggugat dan juga pengalihan semua saham Ahyu
dalam joint venture tersebut kepada Balapan Ahyu menolak dan
mendalilkan bahwa Pengadilan tidak berwenang dalam perkara ini,
karena Pasal 15 Basic Agreement menyebutkan bahwa perselisihan
diselesaikan melalui arbitrase. Ilakim berpendapat bahwa usaha-usaha
perdamaian yang dilakukannya tidak berbeda dengan arbitrase dan
semenjak para pihak gagal mencapai penyelesaian secara perdamaian
itu, pengadilan menganggap ia berwenang mengadili perkara ini.
Akhirnya Pengadilan Negeri memutuskan mengabulkan gugatan agar
perusahaan joint venture tersebut dijalankan oleh Penggugat, namun
menolak permohonan selebihnya.
Dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi dalam keputusannya
tanggal 7 Mei 1981 memperkuat keputusan Pengadilan Negeri tanpa
uraian lebih lanjut. Namun Mahkamah Agung dalam keputusannya
tanggal 8 Februari 1982 membatalkan keputusan-keputusan pengadilan
rendahan tersebut, atas dasar Pasal 15 Basic Agreement dan Pasal 1338
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Mahkamah Agung
memutuskan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak berwenang
dalam perkara ini, karena para pihak dalam Basic Agreement telah
setuju untuk menyerahkan segala perselisihan kepada badan arbitrase.
Sayang Mahkamah Agung dalam pertimbangannya tidak menyinggung
Konvensi New York 1958 yang telah disahkan berlakunya pada 5
Agustus 1981.
Kembali kepada pokok pembahasan, apakah Indonesia akan
menganut asas retroactive atau tidak sehubungan dengan penerapan
Konvensi New York 1958 tergantung juga kepada pertimbangan-
pertimbangan tertentu. Namun menurut hemat saya, sebaiknya
Indonesia menerapkan Konvensi New York berlaku surut atas dasar
alasan-alasan berikut ini.
Sejak Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Modal Asing No.
1 Tahun 1967; telah mengakui pentingnya arbitrase internasional dalam
usaha mendapatkan kepercayaan dunia bahwa Indonesia tidak egois
dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dagang yang mungkin timbul.
Penanam modal dari negara-negara maju selalu curiga kepada sistem
pengadilan negara-negara berkembang percaya bahwa pengadilan-

517
pengadilan tersebut akan bersikap subjektif terhadap mereka, karena
salah satu hal :
(1) Because such system are vastly different in their origin and
application, their substantive and procedural rules from that o f the
investor ’s native countries; or
(2) because in fact, the treatment foreigners receive, even if
comparable to that afforded nationals, may be below that o f their
own countries;
(3) because some local courts system simply lack the sophistication
needed to resolve complex commercial disputes.

Walaupun anggapan di atas tidak selalu betul, namun dalam


kenyataannya sebagian besar dari perjanjian-perjanjian joint venture
antara pihak Indonesia dan luar negeri memilih klausula arbitrase untuk
penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di antara mereka. Menurut
riset yang diadakan oleh Pusat Studi Hukum dan Fkonomi Fakultas
Ilukum Universitas Indonesia tahun 1979, 98% dari perusahaan-
perusahaan joint venture telah memilih arbitrase sebagai tempat
penyelesaian sengketa. Oleh karenanya Indonesia perlu konsisten
dengan pendiriannya yang mengakui arbitrase internasional sebagai
institusi penting dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dagang.
Situasi ekonomi Indonesia dewasa ini menyebabkan kita masih perlu
mengundang modal asing dan lebih memajukan perdagangan luar
negeri dengan sebanyak mungkin negara.

Alasan-alasan Penolakan Putusan Arbitrase


Konvensi New York 1958 memuat dua kategori utama alasan-
alasan di mana pengadilan negara setempat dapat menolak pelaksanaan
keputusan arbitrase luar negeri. Pertama, adalah hal-hal yang tercakup
dalam pasal V (1) (a) sampai dengan V (1) (e), dan V (2) (a). Penolakan
misalnya karena tidak berwenangnya para pihak membuat perjanjian
arbitrase. Pasal V (1) (a); tidak diberitahukannya dengan lazim tentang
akan atau sedang berlangsungnya proses arbitrase kepada pihak yang
berkepentingan, Pasal V (1) (b); arbitrator telah melampaui batas
wewenangnya, Pasal V (1) (c); komposisi dari arbitrator atau prosedur
arbitrase tidak sesuai dengan apa yang telah disetujui, Pasal V (1) (d);
keputusan arbitrase belum mengikat. Pasal V (1) (e), kesemuanya
tersebut diatas harus dibuktikan oleh pihak yang menentang
pelaksanaan keputusan arbitrase. Selanjutnya pelaksanaan keputusan

518
arbitrase dapat juga ditolak karena pokok perkara menurut hukum yang
berlaku dari negara di mana pelaksanaan keputusan itu diminta, tidak
boleh diputuskan melalui arbitrase, Pasal V (2) (a).
Kategori kedua ialah, pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri
dapat ditolak karena akan bertentangan dengan public policy negara
bersangkutan, Pasal V (2) (b). Istilah public policy juga saya kira
mencakup apa yang dimaksud dengan order public di negara-negara
Civil Law. Tidak ada suatu defmisi yang komprehensif mengenai public
policy. Namun jelas apa yang dimaksud adalah pencerminan norma-
norma atau standar yang bersangkutan dengan ekonomi, hukum, moral,
politik agarna dan sosial yang fundamental bagi suatu negara atau
masyarakat. Dengan demikian apa yang dimaksud oleh Mahkamah
Agung kita dengan ketertiban hukum dalam perkara yang sedang kita
bicarakan ini, saya kira tercakup dalam pengertian public policy
sebagaimana yang dimaksud oleh Konvensi New York 1958.
Dalam keputusan hakim berbagai negara, public policy
menampakkan wujudnya yang beraneka ragam. Umpamanya,
Pengadilan Banding di Paris dalam putusannya dalam perkara
Compagnic de Saint Gobain-Pon a Mousson v. The Fertilizer
Corporation of India, Ltd. telah memperbuat keputusan Pengadilan
tingkat pertama, bahwa tidak ada pelanggaran terhadap Public order,
sekalipun arbitrator tidak lagi memerintahkan untuk mendengarkan
saksi-saksi, setelah Saint Gobain menyampaikan dokumen-dokumen.
The Fertilizer Corporation of India, Ltd. (FCIL) mengadakan kontrak
dengan sebuah perusahaan Perancis, Compagnie de Saint Gobain-Pon a
Mousson, untuk pembangunan sebuah pabrik pupuk tersebut. Perkara
ini timbul ketika terjadi keterlambatan dan kerusakan dalam
pembangunan pabrik tersebut. Perusahaan India kemudian mengajukan
ganti rugi, sampai masalahnya diajukan oleh pihak India ke badan
arbitrase yang bersidang di New Delhi. Pihak India telah dimenangkan,
di mana arbitrator memutuskan agar perusahaan Perancis membayar
sejumlah ganti rugi akibat keterlambatan dan kerusakan yang
dimaksud. Saint Gobin mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Tinggi di New Delhi agar keputusan arbitrase tersebut dinyatakan tidak
mempunyai akibat hukum sampai ia mendapat persetujuan dari
Pengadilan. Sebelum keputusan ini keluar, pihak India mengajukan
permohonan kepada Pengadilan tingkat pertama di Paris agar keputusan
arbitrase tersebut dilaksanakan terhadap lawannya. Pengadilan tingkat
pertama Paris berpendapat bahwa keberatan Saint Gobin tidak

519
beralasan. Pengadilan mengatakan, bahwa menurut Konvensi New
York 1958, suatu keputusan mengikat bila keputusan tersebut dibuat
sebagaimana lazimnya dan telah memenuhi formalitas yang diharuskan
oleh suatu keputusan arbitrase. Kedua unsur itu telah dipenuhi,
sehingga keputusan arbitrase New Delhi itu telah mengikat. Pada
tingkat banding persoalan itu dikesampingkan karena Mahkamah
Agung India telah menyatakan bahwa keputusan arbitrase tersebut
adalah final dan mengikat. Saint Gobin kemudian mengajukan alasan
berikutnya, yaitu tidak dipanggilnya lagi saksi-saksi setelah Saint
Gobin mengajukan dokumen-dokumen. Keberatan inipun ditolak oleh
Pengadilan Tingi, karena hal itu tidak melanggar Public order.
Contoh berikut ini menyangkut komposisi arbitrator dan tidak
dimuatnya alasan-alasan arbitrase. Dalam Exfinos Shipping Co. Ltd.
v. Rawi Shipping Lines Ltd. Exfinos, sebuah perusahaan Yunani,
menyewakan kapal M/S “Aspaki” kepada Rawi, sebuah perusahaan
Libanon untuk masa enam bulan. Ketika Rawi gagal untuk membayar
sewa, Exfinos mengambil kembali kapal sesuai dengan klausula 5
Charterparty. Di samping itu sekaligus membawa perkaranya ke badan
arbitrase di London sesuai dengan klausula 17 Charterparty. Dalam
keputusan:arbitrase yang tidak memuat alasan-alasannya pada 6 Juni
1978, Rawi Shipping diharuskan membayar kepada Exfinos $
199,635.63 dan bunga 7,5% untuk periode mulai 21 Juli 1977 sampai 6
Juni 1979, bersamaan dengan $ 13,126.72 dengan bunga 10% untuk
periode 6 Juni 1979 sampai dengan tanggal pembayarannya, ditambah
dengan 301 poundsterling untuk biaya arbitrase. Pengadilan Banding
Geneva dalam pertimbangannya antara lain mempermasalahkan dua
hal, yaitu tentang komposisi arbitrator dan tidak adanya alasan-alasan
keputusan arbitrase tersebut. Pertama, klausula arbitrase memuat bahwa
arbitrator harus terdiri dari 3 orang, one to be appointed by each parly,
and the third by the two thus chosen. Rawi tidak mengangkat arbitrator,
sementara Exfinos mengangkat arbitrator untuknya. Pengadilan
mempertanyakan apakah keputusan yang dibuat oleh arbitrator tunggal
yang secara hukum sah menu rut hukum Inggris, akan bertentangan
dengan public policy Italia? Pengadilan menyatakan bahwa jika
walaupun Italian legal order provides differently for the case under
discussion in that judicial authority appoints the arbitrator for the
party who fails to do so, the provision o f the English Arbitration Act
cannot be deemed absolutely contrary to the rule o f public policy o f the
impartially o f the arbitrator. Kedua, mengenai masalah ada tidaknya
alasan-alasan keputusan arbitrase; pengadilan berpendapat bahwa tidak

520
bertentangan dengan public policy Italia keputusan-keputusan arbitrase
yang tidak memuat alasan-alasannya, dimana para pihak telah setuju
sebelumnya bahwa alasan-alasan tersebut tidak akan dicantumkan.
Selanjutnya juga dikatakan, bahwa tidaklah bertentangan dengan public
policy Italia, jika keputusan arbitrase yang bersangkutan menurut
prosedurnya tidak biasa untuk memberikan alasan-alasan suatu
keputusan. Akhirnya Pengadilan menyimpulkan bahwa keputusan
arbitrase Inggris yang tidak memuat alasan-alasan tidaklah menyalahi
public policy Italia.
Pengadilan-pengadilan Amerika secara konsisten telah
menempatkan international public policy di atas national public policy
mereka, sebagaimana dalam perkara-perkara berikut ini. Dalam Schcrk
v. Albcrto-Culver Company, seperti telah disinggung sebagian di
depan, di mana antara lain Alberto-Culver mendalilkan, bahwa karena
penjualan salah satu perusahaan menyangkut penjualan saham-saham,
berdasarkan Wilko v. Swan, 346 U.S. 427, in which a domestic
contract for the sale o f securities, tidak masuk dalam ruang lingkup
arbitrase berdasarkan Securities Exchange Act 1933. Pendapat ini
disetujui oleh Pengadilan tingkat pertama maupun Pengadilan Banding.
Namun Mahkamah Agung berpendapat, bahwa berlainan dengan
Wilko v. Swan, kontrak antara Alberto-Culver dan Schcrk sekarang ini
adalah menyangkut perjanjian internasional, dan juga diperjanjikan
dimana sengketa akan diselesaikan dan hukum apa yang akan
diterapkan. Sebagai kesimpulannya Mahkamah Agung melaksanakan
perjanjian arbitrase dalam kaitannya dengan perjanjian internasional.
Walaupun menurut public policy domestik sebagaimana ditentukan
oleh undang-undang federal, tidak memperbolehkan penyelesaian
arbitrase terhadap kontroversi penjualan saham-saham.
Dalam kasus lain, Antco Shipping Company, Ltd. v. Sidcmar
S.P.A., arbitrase telah diperintahkan untuk menyelesaikan sengketa
yang juga menyangkut perdagangan internasional, sekalipun ada
keberatan bahwa transaksi tersebut menyalahi public policy nasional
yang melarang pemboikotan perdagangan. Perkara ini timbul dari
kontrak pengangkutan tanggal 13 Februari 1973 antara Sidemar S.P.A.
pemilik kapal yang tak bernama, dan Antco Shipping Co. Ltd., suatu
perusahaan Bahama, sebagai penyewa. Bagian A dari kontrak meliputi
jangka waktu satu tahun, mulai 1 Agustus s/d 31 Oktober 1973 untuk
mengangkut 500.000 ton minyak mentah. Bagian B adalah untuk
jangka waktu 5 tahun, mulai bulan April-Juli 1974 untuk mengangkut

521
1.100.000 ton minyak mentah setiap tahunnya. Pasal 4 kontrak
menyebutkan,... with respect to loading and discharging ports, for
loading in one (I) or two (2) safe port(s) in the Mediterranean Sea,
excluding Israel, or in case o f necessity, at charterer ’s option, one(l) or
two(2) safe port(s) in Nigeria. Pasal 23 selanjutnya menyebutkan
bahwa jika arbitrase diperlukan berdasarkan Pasal 24 Essovoy (1969),
maka arbitrase akan dilaksanakan di New York.
Setelah menyelesaikan bagian A dari kontrak dan mengangkut
sekali jalan minyak mentah dalam rangka kontrak bagian B, Antco
memutuskan untuk mengakhiri kontrak tersebut. Sidcmar kemudian
menuduh Antco telah melanggar kontrak, sekaligus mengajukan Antco
dan Nepco (New England Petroleum Corporation) sebagai penjamin,
kepada badan arbitrase. Sebaliknya Antco berpendapat, bahwa seluruh
isi kontrak termasuk klasula arbitrase adalah tidak berdasarkan hukum
dan tidak dapat dilaksanakan, karena bertentangan dengan public policy
Amerika Serikat dan Negara Bagian New York. Antco mendasarkan
hal itu pada Pasal 4 dari kontrak yang mengeluarkan Israel dari
Mediterranean loading ports. Antco menganggap bahwa ketentuan itu
telah memboikot Israel atau memasukannya dalam daftar hitam, negara
yang menjadi sahabat Amerika Serikat. Sebaliknya Sidcmar
mengatakan, bahwa ketentuan tersebut bukan berhubungan dengan
masalah boikot, tetapi dengan masalah pelabuhan yang aman karena
situasi di sekitar wilayah tersebut. Kedua, kontrak Sidcmar-Anteo tidak
bersangkutan dengan ekspor dari Amerika Serikat, sehingga Export
Administration Act 1969 yang mencantumkan hal mengenai boikot itu
atau public policy tidak dapat disangkut-pautkan. Akhirnya Sidcmar
menekankan pula bahwa public policy Amerika Serikat mendukung
pelaksanaan perjanjian arbitrase dalam perdagangan internasional
berdasarkan Konvensi New York 1958. Dalam pertimbangannya,
Pengadilan berpendapat antara lain bahwa Sidemar benar dengan
mengatakan Amerika Serikat mendukung klasula arbitrase dalam
kontrak-kontrak perdagangan internasional. Dalam hal ini Pengadilan
mengutip keputusan Scherk v. Alberto-Culver dan kesimpulan dalam
Parson & Whittemore Overseas Co Inc. v. Socicte Generate de
L’Industric du Papier. Oleh karena itu Pengadilan memutuskan
bahwa pelaksanaan perjanjian arbitrase Sidemar-Anteo tidak
bertentangan dengan public policy Amerika Serikat.
Sikap ini juga dilanjutkan oleh Pengadilan Banding dalam perkara
Becker Autoradio USA Inc. v. Becker Autoradiowcrk Gmbh, 585

522
F.2d.39 (3d Cir. 1978). Dengan mengutip putusan dalam Seherk v.
Alberto Culver Co., 417, US 506 (1974) Pengadilan menyimpulkan
perjanjian yang diadakan para pihak masuk dalam klasula arbitrase
internasional.
Keputusan-keputusan hakim berbagai negara yang diuraikan di
atas menunjukkan dukungan kepada Konvensi New York 1958
terhadap perjanjian-perjanjian dagang internasional, walaupun
kadangkala hal itu bertentangan dengan ketertiban hukum setempat.
Kembali kepada perkara Navigation Maritime Bulgare v. PT.
Nizwar yang menjadi pokok pembahasan karangan ini, hakim kita
dapat memeriksa prosedur tercapainya keputusan arbitrase London
tersebut (tanpa memeriksa pokok perkara kembali) dan
mempertimbangkan apakah ada masalah-masalah public policy yang
menyebabkan keputusan itu tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.
Namun dalam mempertimbangkan masalah tersebut, adalah menarik
untuk direnungkan apa yang dikutip hakim Stewart waktu
menyampaikan pendapat Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam
Seherk v. Alberto-Culvcr, yang menjadi titik-tolak keputusan-
keputusan pengadilan di Amerika dalam memutus perkara-perkara yang
bersangkutan dengan Konvensi New York 1958:... We can not have
trade and commerce in world markets and international water
exclusively on our terms, governed by our law, and resolve in our
courts.
Saya belum dapat mengatakan bahwa dengan keputusan
Mahkamah Agung kita dalam perkara ini menyebabkan Indonesia bisa
dianggap melanggar hukum internasional, sedikitnya atas alasan berikut
ini. Pertama, Konvensi New York 1958 membedakan antara pengakuan
{recognition) dan pelaksanaan {enforcement). Umpamanya keputusan
arbitrase London tersebut diajukan sebagai barang bukti dalam suatu
gugatan perdata, maka keputusan tersebut akan diakui sah sebagai
barang bukti. Namun di dalam melaksanakan keputusan arbitrase
London, secara juridis formal ia terbentur kepada ketentuan Konvensi
New York 1958 sendiri yang menyatakan bahwa pelaksanaan
keputusan tersebut didasarkan menurut ketentuan-ketentuan yang ada di
negara di mana keputusan itu akan dilaksanakan.
Kedua, seandainya nanti telah ada peraturan tentang pelaksanaan
keputusan arbitrase luar negeri; pelaksanaan keputusan arbitrase
London ini masih bisa diminta melalui dua kemungkinan.
Mengajukannya kembali kepada Pengadilan yang ditunjuk untuk itu

523
oleh peraturan baru tersebut atau melalui Peninjauan Kembali
keputusan Mahkamah Agung ini, seandainya bisa dianggap bahwa
peraturan yang baru keluar itu adalah bukti baru yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak ditemukan.
Namun keputusan arbitrase London ini akan tetap berhadapan dengan
masalah apakah juga peraturan baru tersebut menentukan Konvensi
New York 1958 bisa dilaksanakan secara retroactive ?
Walaupun saya cenderung berpendapat bahwa Indonesia belum
dapat dianggap melanggar hukum internasional, namun keputusan
Mahkamah Agung mengenai perkara ini tidaklah tepat, sebagaimana
argumentasi-argumentasi yang saya sampaikan terdahulu. Suatu
keragu-raguan baru dari dunia luar dapat timbul mengenai commitment
Indonesia atau pentingnya arbitrase internasional, khususnya Konvensi
New York 1958. Hal ini sedikit banyak berpengaruh kepada
kebijaksanaan ekonomi luar negeri kita yang berusaha mengundang
modal asing dan memajukan perdagangan luar negeri dengan sebanyak
mungkin negara. Kemungkinan lain adalah, seandainya pihak Indonesia
memenangkan suatu keputusan arbitrase internasional dan minta
dilaksanakan disuatu negara peserta Konvensi, berdasarkan asas
reciprocity hakim negara yang bersangkutan bisa mengatakan: “Maaf
tuan, kami tidak bisa melaksanakan keputusan ini karena di negara
tuan sendiri keputusan arbitrase luar negeri belum dapat dilaksanakan
...” Bukankah Indonesia menderita kerugian lagi ?.

Penutup
Uraian tersebut di atas ditulis sebelum keluarnya Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 dan Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang No. 30 tampaknya berbeda dengan ketentuan dalam
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990, yaitu yang berwenang
menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 65).
Putusan Arbitrase Internasional tersebut baru dapat dilaksanakan di
Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990
Mahkamah Agung yang memberikan eksekuatur. Dalam Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999, bila putusan Arbitrase Internasional
tersebut menyangkut negara Republik Indonesia, baru Mahkamah
Agung yang memberikan eksekuatur. Terhadap putusan Ketua

524
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66d yang mengakui dan melaksanakan putusan Arbitrase Internasional,
tidak dapat diajukan banding atau kasasi (Pasal 68 ayat (1)). Namun
terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66d yang menolak untuk mengakui dan
melaksanakan putusan Arbitrase Internasional, dapat diajukan kasasi
(Pasal 68 ayat (2)). Mahkamah Agungjmempertimbangkan serta
memutuskan setiap pengajuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari
setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung
(Pasal 68 ayat (3)). Akhirnya, menurut ayat (4), terhadap putusan
Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66e, tidak dapat
diajukan perlawanan. Pasal 69 ayat (1) mengatakan setelah Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, maka pelaksanaan selanjutnya
dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif
berwenang melaksanakannya. Ayat (2) pasal ini menyatakan bahwa sita
eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik
termohon eksekusi. Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan
mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara
Perdata (ayat 3).
Tidak jelas mengapa Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini tidak
langsung menyatakan tidak berlaku Peraturan Mahkamah Agung No. 1
Tahun 1990.

525
526
PERANAN PENGADILAN DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA MELALUI ARBITRASE

Arbitrase adalah institusi hukum alteraatif bagi penyelesaian


sengketa di luar Pengadilan. Sebagian besar pengusaha lebih suka
menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui arbitrase
daripada Pengadilan karena beberapa alasan.
Pertama, pengusaha asing lebih suka menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase di luar negeri karena menganggap sistim hukum dan
Pengadilan setempat asing bagi mereka. Sebenarnya alasan inipun tidak
selalu benar karena mereka bisa menunjuk pengacara setempat untuk
mewakili mereka didepan Pengadilan.
Kedua, pengusaha-pengusaha negara maju beranggapan hakim-hakim
negara berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang
melibatkan hubungan-hubungan niaga dan keuangan internasional yang
rumit. Alasan ini juga sepenuhnya tidak benar karena hakim dapat
memanggil saksi ahli. Sistim Pengadilan tertentu, seperti Pengadilan
Niaga di Indonesia memungkinkan pengangkatan hakim ad hock atau
hakim yang diangkat karena keahliannya.
Ketiga, pengusaha negara maju beranggapan penyelesaian sengketa
melalui Pengadilan akan memakan waktu yang lama dan ongkos yang
besar, karena proses Pengadilan yang panjang dari tingkat pertama
sampai dengan tingkat Mahkamah Agung. Penyelesaian sengketa
melalui arbitrase untuk beberapa kasus ternyata juga memakan waktu
yang lama.
Keempat, keengganan pengusaha asing untuk menyelesaikan sengketa
didepan Pengadilan bertolak dari anggapan bahwa Pengadilan akan
bersikap subjektif kepada mereka, karena sengketa diperiksa dan diadili
berdasarkan bukan hukum negara mereka, oleh hakim bukan dari
negara mereka.
Kelima, penyelesaian sengketa di Pengadilan akan mencari siapa yang
salah dan siapa yang benar, dan hasilnya akan dapat merenggangkan
hubungan dagang diantara mereka. Penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dianggap dapat melahirkan putusan yang kompromistis, yang
dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Penelitian
yang dilakukan terhadap arbiter-arbiter dari American Arbitration
Association (AAA) mengatakan, 75% dari mereka mengambil

527
keputusan berdasarkan konsensus. Konsensus informal adalah metode
yang normal untuk menghasilkan putusan. 17% dari arbiter mengatakan
mereka mengatasi perbedaan pendapat secara informal. I lanya 3 arbiter
yang diwawancarai dalam penelitian tersebut yang mengungkapkan
perbedaan pendapat diselesaikan melalui voting. Biasanya arbiter
pertama-tama membahas masalah yang timbul (issue), berusaha
mencapai konsensus. Jika usaha ini gagal, negosiasi diantara anggota
panel biasanya melahirkan putusan yang komprimistis. Tidak selalu
harus melalui pemungutan suara (voting). Bahkan arbiter yang tidak
setuju, biasanya mengikuti pendapat dua arbiter lainnya, sehingga
akhirnya putusan diambil dengan suara bulat. 88% responden dalam
penelitian ini mengatakan bahwa dua arbiter rekan mereka lainnya
selalu bersikap netral. Sebagian besar arbiter percaya keahlian mereka
amat membantu untuk mencapai putusan, mungkin yang paling penting
berkenaan dengan pemecahan perselisihan-perselisihan teknis. Tujuh
arbiter berpendapat bahwa pengalaman bisnis yang khususnya
diterapkan untuk mendapatkan putusan. Seorang arbiter mengatakan
bahwa pengalaman dan pengetahuan hukum tidaklah begitu
menentukan.
Keenam, penyelesaian sengketa melalui arbitrase tertutup sifatnya,
sehingga tidak ada publikasi mengenai sengketa yang timbul. Publikasi
mengenai sengketa suatu yang tidak disukai oleh para pengusaha.
Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan, dilakukan melalui sidang
yang terbuka, dapat disiarkan oleh mass media, yang mungkin bisa
melahirkan penilaian yang tidak baik bagi kedua belah pihak yang
bersengketa.
India malah mencantumkan dalam konstitusi negara itu
kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa dagang internasional
melalui arbitrase. Pasal 51 dari Konstitusi India (1950) menyatakan :
"the state shall endeavour to encourage settlement o f international
disputes by arbitration”. India, seperti negara-negara lainnya, pada
waktu melakukan ratifikasi Konvensi New York 1958, mencantumkan
juga pembatasan berlakunya Konvensi ini hanya pada ... "differences
arising out o f legal relationships which were considered as commercial
under the law in force in India”. Penafsiran suatu hubungan tersebut
"commercial" dapat menimbulkan persoalan. Pengadilan Tinggi
Bombay, umpamanya, berpendapat bahwa mesti ada peraturan tertulis
yang menetapkan suatu hubungan bersifat komersil. Bila ketentuan itu
tidak ada keputusan arbitrase luar negeri tidak dapat di laksanakan,

528
sebagaimana disebutkan dalam Indian Organic Chemicals Ltd. v.
Chembex Fibers (1978). Keputusan tersebut di atas tidak bertahan
lama. Dalam perkara European Grain and Shipping Ltd. v. Bombay
Extraction Ltd. (1981), hakim berpendapat tidak perlu ada peraturan
tertulis menetapkan definisi “commercial" tersebut, “... purchase and
sale o f goods between two trading companies is a classic commercial
relationship covered by the New York Convention and by the Act o f
1961 “.
Arbitrase merupakan alternatif dari Pengadilan. Namun bantuan
Pengadilan agar institusi arbitrase bisa efektif amat menentukan diakui
baik oleh hukum nasional maupun hukum internasional sejak lama,
yaitu mulai dari Protocol Geneva 1923 sampai dengan Konvensi New
York 1958. Umpamanya, Pasal II (3) Konvensi New York 1958
menyatakan :
“The Court o f a Contracting State, when seized o f an action in a
matter in respect o f which the parties have made an agreement
within the meaning o f this article shall, at the request o f one o f the
parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that the said
agreement is null and void, inoperative or in capable o f being
performed”.
Selanjutnya Pengadilan diminta campur tangan manakala proses
arbitrase telah selesai dan salah satu pihak tidak bersedia melaksanakan
putusan arbitrase tersebut. Bukan lembaga arbitrase yang dapat
memaksakan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut, melainkan
lembaga Pengadilan yang harus memaksa pihak yang menolak
melaksanakan putusan arbitrase tersebut untuk mematuhinya. Konvensi
New York 1958 mencantumkan peranan Pengadilan dalam pelaksanaan
putusan arbitrase. Peranan Pengadilan ini dapat dilihat juga dalam
UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration yang
menjadi rekomendasi Majelis Umum PBB kepada para anggota pada
tahun 1985 sebagai Standard hukum yang modern dalam arbitrase. Di
beberapa negara campur tangan Pengadilan di mungkinkan pada waktu
proses arbitrase sedang berjalan atas permintaan pihak yang merasa
dirugikan. Berdasarkan “Model Law", Pengadilan cenderung
mengambil peranan pendukung, sementara proses arbitrase terus
berjalan. Campur tangan Pengadilan itu, umpamanya menunjuk arbiter
ketiga, apabila dua dua arbiter pertama gagal menunjuk arbiter ketiga.
Campur tangan Pengadilan berikutnya, mungkin dalam membantu

529
proses arbitrase mendapatkan bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang
diperlukan bagi pemeriksaan. Campur tangan Pengadilan tidak lebih
dari tindakan-tindakan yang demikian itu. Di Scotland “yudicial
review” yang dimiliki oleh Pengadilan tidak berlaku bagi arbitrase.
Dalam perkara Saveway Food Stores Ltd. v. Scottish Provident
Institution, 1989 SLT 131 Lord Mayfield memutuskan “that the
behaviour o f a private arbitrator was not subject to judicial review ...”
Namun pernah dipertanyakan kewenangan Pengadilan mencampuri
proses arbitrase. Ada yang beranggapan bahwa Pengadilan merupakan
pengawas berlangsungnya arbitrase dengan adil. Lord Cullen dalam
Shanks & Me Ewan Ltd. v. Mifflin Ltd. menekankan : “... that
wherever an arbiter has a discreation, he is subject to the supervisory
jurisdiction if he exercises that discreation unreasonably. Sehubungan
dengan pendapat di atas, harus diingat bahwa Model Law disusun untuk
memberikan kerangka hukum yang kondusif bagi berjalannya arbitrase
komersil internasional, menjamin adanya lingkungan yang bersahabat
bagi para pengusaha memilih forum arbitrase yang cocok bagi mereka.
Arbitrase yang demikian itu hampir selalu tidak ada hubungannya
dengan negara. Model Law disusun untuk mengenyampingkan campur
tangan Pengadilan hingga seminimal mungkin dalam usaha
berlangsungnya proses arbitrase yang seadil mungkin.
Di Singapura, pengadilan dapat mengenyampingkan keputusan
arbitrase dalam keadaan-keadaan yang amat terbatas, dengan
mengangkat ketentuan-ketentuan yang sama dengan Model Law. Untuk
arbitrase internasional, Pasal 34 ayat (2) Model Law menyebutkan :
1. where a party is under some incapacity, or the arbitration
agreement is not valid;
2. where proper notice o f the arbitration was not given to a party
or a party was unable to present this case;
3 where the dispute falls outside the submission to arbitration;
4. where the composition o f the arbitral tribunal or the arbitral
procedure is not in accordance with the arbitration
agreemenel;
5. where the dispute is deemed to be not arbitrable; 6. where the
award conflicts with state public policy.

530
Juridiksi Badan Arbitrase atau Pengadilan :
Apabila Perlunya Tindakan Sementara
Untuk Kepentingan Salah Satu Pihak

Masalah penentuan juridiksi arbitrase atau pengadilan menjadi


masalah yang mencuat manakala para pihak yang sepakat
menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase, memerlukan tindakan
sementara untuk suatu perlindungan kepentingan tertentu, seperti,
pembekuan rekening bank, penyitaan kapal atau pesawat terbang,
pengangkatan seorang likuidator, dan sebagainya.
Lord Mustill, dalam suatu konperensi internasional tentang arbitrase
mencoba membandingkan hubungan Pengadilan dan Arbitrase dengan
“relay race
“Ideally, the handling o f arbitrable disputes should resemble a
relay-race in the initial stages, before the arbitrators are seized o f
the dispute, the paton is in the grasp o f the court; for at that stage
there is no other organization which could take steps to prevent the
arbitration agreement from being in effectual. When the
arbitrators take charge they take over the baton and retain in until
they have made an award. At this point, having no longer a
function to fulfil, the arbitrators hand back the baton so that the
court can in case o f need lend its coercive powers to the
enforcement o f the award”.
Pada prinsipnya tidak ada konflik yang berarti antara Pengadilan yang
sifatnya publik dengan Arbitrase yang sifatnya pribadi. Baik
berdasarkan hukum nasional maupun hukum internasional, Pengadilan
yang mempunyai kekuatan memaksa, agar para pihak yang sejak
semula telah sepakat menyelesaikan perselisihan mereka melalui
arbitrase, mematuhi persetujuan itu. Selanjutnya, Pengadilan pula yang
mempunyai kekuatan memaksa agar putusan arbitrase tersebut dipatuhi
oleh para pihak. Adalah menjadi mudah apabila wilayah masing-
masing telah ditetapkan dengan jelas sehingga tidak ada
kesimpangsiuran antara Pengadilan dan Arbitrase. Namun dalam
kenyataannya tidaklah demikian, Lord Mustill mengatakan lagi :
“In real life the position is not so clear cut. Very few commentators
would now assert that the legitimate functions o f the court entirely
cease when the arbitrators receive the file, and conversely very few
would doubt that there is a point at which the court takes on a

531
purely subordinate role. But when does this happen ? And what is
the position at the further end o f the process ? Does the court
retake the baton only if and when invited to enforce the award, or
does it have functions to be exercised at an earlier stage, if
something has gone wrong with the arbitration, by setting aside the
award or intervening in some other way? ”
Tidak ada jawaban yang sederhana terhadap pertanyaan-pertanyaan di
atas. Seharusnya ada garis pemisah terdepan antara Pengadilan dan
Arbitrase, : “some domein where the arbitrators are in charge, some
territory which belongs to the arbitrators and not to the c o u r t s Ini
adalah kegunaan dasar dari Konvensi New York 1958 yang mengatur
pelaksanaan internasional dari perjanjian arbitrase yang tidak
memperkenankan Pengadilan kembali mengurusi perjanjian yang
didalamnya memuat klausula arbitrase. Kegunaan ini bergema dalam
putusan yang terkenal dari US Third Circuit berkenaan dengan perkara
McCreary Tire & Rubber Co v. Ceat S.p.A, 501 F2d 1032 (3d
CIR.1974). Dalam perjanjian distribusi antara McCreary and Ceat,
suatu perusahaan Italia, dicantumkan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.” McCreary sought and obtained an attachment o f funds owed
to Ceat by a bank in Pittsburgh”. Pengadilan banding memerintahkan
agar hal itu dibatalkan dan klaim harus diajukan melalui arbitrase.
Pengadilan banding berpendapat bahwa litigasi yang dilakukan
McGrcary adalah :
“a violation o f McCreary’s agreement to submit the underlying
disputes to arbitration... Quite possibly foreign attachment may be
available for the enforcement o f an arbitration award. This
complaint does not seek to enforce an arbitration award by foreign
attachment. It seeks to bypass the agreed upon method o f settling
disputes. Such a bypass is prohibited by the Convention ... The
Convention forbids the courts o f a contracting state from
entertaining a suit which violates an agreement to arbitrate ”.
McGreary dikritik baik di Amerika dan di tempat-tempat lain.
Uncitral Model Law melarang juga campur tangan pengadilan dalam
arbitrase, kecuali hal-hal yang telah diatur dalam Model Law, dengan
menyatakan secara jelas :
“In matters governed by this law, no court shall intervene except
where so provided in this law ”.

532
Model Law mengakui perlunya bantuan pengadilan, seperti mengambil
barang bukti, mengenyampingkan putusan arbitrase berdasarkan hal-hal
yang spesifik, dan mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase.
Model Law mengakui pula bahwa :
“it is not incompatible with an arbitration agreement for a party to
request, before or during arbitral proceedings, from a court an
interim measure o f protection and for a court to grant such
measure
“it is not incompatible with an arbitration agreement for a parly to
request, before or during arbitral proceedings, from a court an interim
measure o f protection andfor a court to grant such measure “ .
Namun demikian pasal 17 Model Law mengatakan :
“Unless otherwise agreed by the parties, the arbitral tribunal may,
at the request o f a party, order any party to take such interim
measures o f protection as the arbitral tribunal may consider
necessary in respect o f the subject-matter o f the dispute. The
arbitral tribunal may require any party to provide appropriate
security in connection with such measure
Oleh karenanya ada pilihan, baik arbiter maupun pengadilan
mempunyai wewenang untuk mengambil tindakan sementara bagi
kepentingan para pihak. Hal ini tidak mudah bagi para pihak, baik
karena majelis arbiter belum terbentuk maupun kekurangan wewenang
yang diperlukan atau tidak cfcktimya perintah tersebut. Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, memungkinkan arbiter atau majelis arbiter di
Indonesia mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya
untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk
penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak
ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak (Pasal 32).

Peranan Pengadilan Di Indonesia


Dalam Proses Arbitrase

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mencantumkan peranan


Pengadilan di Indonesia untuk memperkuat proses arbitrase sejak awal
sampai dengan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut. Pasal 11(1)
menyatakan bahwa dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis
meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa

533
atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan
Negeri. Ayat (2) pasal ini menyatakan, Pengadilan Negeri wajib
menolak dan tidak akan campur tangan didalam suatu penyelesaian
sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal
tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Bantuan
Pengadilan untuk mengembangkan arbitrase dapat dicermati mulai dari
Pasal 13. Pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam hal para pihak
tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau
tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua
Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase. Dalam suatu
arbitrase ad-hoc bagi setiap” ketidaksepakatan dalam penunjukan
seorang atau beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk seorang
arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak.
Begitu juga, apabila dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
setelah termohon menerima usul pemohon, para pihak tidak berhasil
menentukan arbiter tunggal, atas permohonan dari salah satu pihak,
Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter tunggal (Pasal 14
ayat (3)). Ayat (4) pasal ini “mengatakan, Ketua Pengadilan Negeri
akan mengangkat arbiter tunggal berdasarkan daftar nama yang
disampaikan oleh para pihak, atau yang diperoleh dari organisasi atau
lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam pasal 34, dengan
memperhatikan baik rekomendasi maupun keberatan yang diajukan
oleh para pihak terhadap orang yang bersangkutan.
Dalam pembentukan majelis arbitrase, adakalanya 2 arbiter yang
telah ada gagal menunjuk arbiter ketiga sebagaimana telah disepakati.
Menghadapi masalah ini, Pasal 15 ayat (4) menyebutkan bahwa dalam
hal kedua arbiter yang telah ditunjuk masing-masing pihak tidak
berhasil menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari setelah arbiter yang terakhir ditunjuk, atas permohonan salah
satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.
Ayat (5) pasal ini mengatakan, terhadap pengangkatan arbiter yang
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4), tidak dapat diajukan upaya pembatalan. Dalam beberapa hal,
adakalanya arbiter yang ditunjuk telah bersedia, tetapi kemudian ingin
menarik diri menjadi arbiter. Pasal 19 ayat (3) menyebutkan bahwa
dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri
sebagaimana dimaksud, maka yang bersangkutan, dapat dibebaskan
dari tugas sebagai arbiter. Dalam hal permohonan penarikan diri tidak

534
mendapat persetujuan para pihak, pembebasan tugas arbiter ditetapkan
oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 19 ayat (4)).
Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat
cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan keraguan
bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan
berpihak dalam mengambil putusan (Pasal 22 ayat (1)). Tuntutan ingkar
terhadap seorang arbiter dapat pula dilaksanakan apabila terbukti
adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah
satu pihak atau kuasanya (Pasal 22 ayat (2)). Kemudian Pasal 23 ayat
(1) menyatakan bahwa hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu
pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan
tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan dapat
mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang putusannya
mengikat kedua pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan (Pasal 25
ayat (1)). Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri memutuskan bahwa
tuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut di atas
beralasan, seorang arbiter pengganti harus diangkat dengan cara
sebagaimana, yang berlaku untuk pengangkatan arbiter yang digantikan
(Pasal 25 ayat (2)). Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolak
tuntutan ingkar, arbiter melanjutkan tugasnya (Pasal 25 ayat (3)).
Pengadilan Negeri juga berperanan sebagai tempat pendaftaran
putusan arbitrase dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional.
Pasal 59 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau
salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter
atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Penyerahan dan
pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan
pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau dipinggir
putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya
yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran
(Pasal 59 ayat (2)). Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan
dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya
kepada Panitera Pengadilan Negeri (Pasal 59 ayat (3)). Tidak
dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan (Pasal 59 ayat (4)).
Adakalanya pihak yang harus melaksanakan putusan arbitrase tidak
bersedia melaksanakannya. Dalam hal ini menurut Pasal 61, Ketua

535
Pengadilan Negeri dapat memerintahkan agar pihak yang bersangkutan
melaksanakan putusan arbitrase dimaksud. Perintah tersebut
berdasarkan permohonan eksekusi yang didaftarkan kepada Panitera
Pengadilan Negeri. Perintah tersebut diberikan dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan didaftarkan (Pasal 62
ayat (1)). Ketua Pengadilan Negeri sebelum memberikan perintah
pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase
memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 62 ayat (2)). Dalam hal
putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2). Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan
pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri
tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun (Pasal 62 ayat (3)).
Menurut Pasal 62 ayat (4), Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa
alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Pasal 63 menentukan
bahwa perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan
salinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan. Akhirnya, Pasal 64
menyatakan bahwa putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah
Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Mengenai pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional, Pasal 65
menyatakan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan
dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Pasal 66d menyebutkan lebih lanjut bahwa
Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pasal 66e menyatakan bahwa Putusan Arbitrase Internasional yang
menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam
sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur
dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya
dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pasal 67 ayat (1)
mengatakan bahwa permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Selanjutnya Pasal 68 ayat (1) menyatakan,
terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66d yang mengakui dan melaksanakan Putusan
Arbitrase Internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi.
Sebaliknya terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

536
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66d yang menolak untuk mengakui
dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional, dapat
diajukan kasasi (Pasal 68 ayat (2)). Mahkamah Agung memper­
timbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan
puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh
Mahkamah Agung (Pasal 68 ayat (3)). Terhadap putusan Mahkamah
Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66e, tidak dapat diajukan
upaya perlawanan (Pasal 68 ayat (4)).
Pasal 69 menyatakan bahwa setelah Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 64, maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang
melaksanakannya. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 ini juga
mengatur tentang kemungkinan pembatalan putusan arbitrase oleh
Pengadilan. Pasal 70 menyebutkan bahwa terhadap putusan arbitrase
para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan
tersebut diduga mengandung unsur-unsur Sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Menurut Pasal 71, permohonan pembatalan putusan arbitrase harus
diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
kepada Panitera Pengadilan Negeri. Permohonan pembatalan putusan
arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 72 ayat
(1) ). Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat
pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase (Pasal 72 ayat
(2) ). Ayat (3) menyatakan bahwa putusan atas permohonan pembatalan
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diterima. Pasal 72 ayat (4) membuka kemungkinan bahwa terhadap
putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke
Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.

537
Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan
banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima
oleh Mahkamah Agung (Pasal 72 ayat (5)).

Kesimpulan
Manakala para pihak sudah sepakat memilih arbitrase sebagai tempat
penyelesaian sengketa, maka pengadilan harus menolak untuk
memeriksa sengketa tersebut. Tujuan arbitrase sebagai alternatif
penyelesaian sengketa akan sia-sia,bila pengadilan masih bersedia
memeriksa sengketa, yang sejak semula disepakati untuk diselesaikan
melalui arbitrase. Namun pengadilan berperanan besar dalam
mengembangkan arbitrase, manakala proses arbitrase perlu mendapat
campur tangan pengadilan, demi memperlancar proses arbitrase itu
sendiri. Begitu juga pengadilan berperanan besar menentukan proses
arbitrase itu berhasil atau tidak, sehubungan dengan penolakan salah
satu pihak untuk melaksanakan putusana arbitrase. Pengadilan memiliki
kekuatan mamaksa agar pihak yang bersangkutan tunduk pada putusan
arbitrase yang telah diambil. Pengadilan juga berperanan agar proses
dan putusan arbitrase tidak berdasarkan bukti-bukti palsu, melanggar
kesepakatan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-
Undang.

538
KLAUSULA ARBITRASE
DAN KOMPETENSI ABSOLUT

Berkembangnya Badan Arbitrase banyak bergantung kepada itikad


baik pihak yang memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian
sengketa dan sikap Pengadilan terhadap pelaksanaan arbitrase tersebut.
Pertama, jika para pihak telah memilih arbitrase sebagai tempat
penyelesaian sengketa, sebagaimana dicantumkan dalam perjanjian,
scmestinyalah kedua belah pihak tunduk kepada ketentuan yang telah
mereka setujui tersebut. Namun apabila salah satu pihak dengan
berbagai alasan, akhirnya membawa sengketanya ke Pengadilan atau
tidak mentaati putusan arbitrase, maka terbuka kemungkinan
penyelesaian sengketa akan menjadi berlarut-larut. Kedua, apabila salah
satu pihak mengajukan sengketa ke Pengadilan, padahal sejak semula
sudah memilih arbitrase sebagai tempat penyelesaian sengketa, maka
berhasil tidaknya langkah itu banyak bergantung kepada sikap
Pengadilan terhadap pilihan jurisdiksi tersebut atau terhadap putusan
arbitrase yang bersangkutan.
Pengadilan-Pengadilan tetap mempunyai peranan penting dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis, walaupun para pihak telah
sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang bersangkutan melalui
Badan Arbitrase.
Walaupun para pihak semula sudah sepakat menyelesaikan
sengketa yang mungkin timbul diantara mereka melalui badan arbitrase,
namun adakalanya salah satu pihak tetap mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri dengan berbagai alasan.
Paragraph-paragraph berikut ini mencoba menguraikan beberapa
sengketa yang didalam perjanjiannya memilih arbitrase sebagai
alternatif penyelesaian sengketa, namun diajukan juga kedepan
pengadilan oleh salah satu pihak.
Beberapa perkara menunjukkan bahwa walaupun perjanjian telah
memuat klausula arbitrase namun salah satu pihak tetap mengajukan
sengketa kedepan pengadilan karena beberapa alasan.
Sebagai contoh pertama, adalah putusan Mahkamah Agung RI
dalam perkara Dato Wong Guong es v. PT. Metropolitan Timber
Ltd, No. 225 K/Sip/1976. Perkara ini timbul karena sengketa mengenai
kerjasama eksploitasi kayu di kepulauan Sanasa Kasiruta dan Mandioli
Propinsi Maluku sehubungan dengan HPH yang dikeluarkan tahun

539
1969. Andries Geraldus Pangemanan sebagai Direktur PT. Gapki
Trading Co. Ltd. telah menggugat Dato Wong Guong dan PT.
Metropolitan Timber Ltd. di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
sehubungan kekurangan pembayaran dari hasil eksport kayu dalam
rangka kerjasama. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya
No. 310/1972 G tanggal 21 Maret 1973 mengabulkan gugatan
Penggugat sebagian. Ternyata kemudian Pengadilan Tinggi
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, walaupun
menyatakan bahwa Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan
mengadili perkara tersebut. Dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung RI
berpendirian sebagai berikut:
“I f there any dispute arising that cannot be settled by both parties
amicably then the matter concerned is subject just to an arbitration
consisting o f three arbitrator, one arbitrator shall be elected by
each party and the third arbitrator to be elected jointly by the two
arbitrator to act as refree
Ketentuan art. 11 tersebut adalah menyangkut kekuasaan absolut untuk
menyelesaikan perselisihan dalam perkara ini ; Di mana tegas-tegas
ditentukan bahwa pada tingkat pertama bilamana timbul perselisihan
(dalam melaksanakan agreement tersebut) yang tidak dapat diselesaikan
oleh kedua belah pihak secara musyawarah maka Bad an Arbitraselah
yang terdiri dari tiga orang yang telah disetujui oleh kedua belah pihak
untuk menyelesaikan perselisihan tersebut; Ketentuan mana bagi pihak-
pihak mempunyai kekuatan sebagai Undang-Undang yang harus ditaati,
sedangkan ketentuan art. 12 hanyalah menentukan domisili yang dipilih
oleh kedua belah pihak yaitu untuk itu dipilih Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Menimbang, bahwa Pengadilan Negeri dalam pertimbangan
putusannya tidak menyinggung sama sekali masalah tersebut,
sedangkan Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya pada pokoknya
antara lain sebagai berikut:
“bahwa pertama-tama meskipun antara kedua belah pihak dalam
agreement no. 25 tanggal 25 November 1969 diperjanjikan bahwa
apabila sengketa akan diselesaikan dengan Arbitrase dahulu namun
karena kedua belah pihak tidak mengajukan perlawanan ketika
perkara ini diperiksa di Pengadilan Negeri, maka dengan demikian
Pengadilan Negeri berwenang untuk mengadili perkara ini”.

540
Menimbang, bahwa pertimbangan Pengadilan Tinggi tersebut, hemat
Mahkamah Agung keliru karena seolah-olah mengenai kewcnangan
absolut untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, oleh Pengadilan
Negeri digantungkan kepada ada-tidaknya hal tersebut diajukan sebagai
eksepsi/perlawanan dalam pemeriksaan dipersidangan.
Sebagai kesimpulan Mahkamah Agung RI menyatakan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta tidak berwenang
memeriksa dan mengadili gugatan konpensi maupun gugatan
rekonpensi.
Contoh kedua, adalah perkara PT. Aji Karsa Engineering v.
Pemerintah RI, 432/Pdt.G/1984/PN.Jkt.Pst (1985). Dalam perkara ini,
gugatan didasarkan pada Pasal 615 dan 619 dari Reglement op de
Burgerlijke Rechsvordering disingkat Rv. Indonesia untuk memaksakan
arbitrase dari suatu sengketa yang timbul dari Surat Perjanjian
Pemborongan Pembangunan Rumah Dinas No.JHS 28/5/10 tgl. 6
Januari 1981 yang ditanda tangani antara Penggugat dengan Tergugat;
Bahwa berdasarkan Surat Perjanjian tersebut, Penggugat telah
ditugaskan untuk mengerjakan pembangunan ke 26 (dua puluh enam)
rumah dinas di Tangerang, bagi kepentingan Tergugat; Sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam pasal XI dari Surat Perjanjian Penggugat
mohon pengadilan memerintahkan arbitrase untuk menyelesaikan
sengketa yang bersangkutan di Indonesia dihadapan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) atau diselesaikan dihadapan Pengadilan
Negeri sekarang ini berkenaan dengan sisa pembayaran yang belum
seluruhnya diselesaikan oleh Tergugat.
Menurut Penggugat, bahwa untuk pelaksanaan pembangunan rumah-
rumah dinas tersebut, atas dasar saran dan pertimbangan Panitia
Penyelenggara Pelelangan Rumah Dinas Tangerang, Pimpinan Proyek
Peningkatan Fasilitas Dan Prasarana Fisik Ditjen Hukum dan
Pcrundang-undangan, Penggugat telah ditetapkan diberi pekerjaan
untuk melaksanakan pembangunan Perumahan Dinas type B,C dan D
serta pengadaan air bersih, penyambungan aliran listrik dan pemagaran
dengan harga sejumlah Rp. 125.902.000,- sebagaimana ternyata dari
Surat Pelulusan Pekerjaan (Gunning) No. JUS 28/4/22 tgl. 22
Desember 1980.
Dalam Pasal V adendum No. JHS 28/1/12 tgl. 31 Oktober 1981
ditentukan; jumlah harga borongan untuk pekerjaan tersebut dalam
pasal (1) sebesar Rp. 125.902.000,- (seratus dua puluh lima juta
sembilan ratus dua ribu rupiah) dirubah sebagai berikut : harga

541
borongan sebesar Rp. 125.902.000,- + Rp. 5.212.675,-menjadi sebesar
Rp. 131.114.675,- sudah termasuk segala pajak dan biaya
pemborongan;
Menurut Penggugat dalam rangka pekerjaan jjembangunan ke-26
rumah dinas di Tangerang tersebut, Penggugat telah mengerjakan
rumah-rumah itu dan telah selesai seluruhnya, akan tetapi untuk
pekerjaan mana Tergugat baru membayarnya sampai angsuran ke-4
yaitu sejumlah Rp. 104.631.106,25,- sehingga sisa yang masih harus
dilunasi oleh Tergugat masih sejumlah Rp. 26.483.568,75,-
Bahwa Penggugat telah menegur Tergugat secara tertulis agar Tergugat
membayar sisa pembayaran yang masih harus diselesaikan Tergugat
dan juga Penggugat telah meminta kepada Tergugat untuk menyetujui
melakukan arbitrase menyelesaikan sengketa yang timbul di hadapan
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Akan tetapi hingga saat
gugatan ini diajukan, Tergugat tidak mengindahkan dan tidak
memberikan jawabannya.
Pengadilan Negeri berpendapat antara lain, bahwa petitum
Penggugat bersifat alternatif, dimana primair menuntut agar Pengadilan
memerintahkan bahwa sengketa antara para pihak seperti terurai di atas,
harus diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
di Jakarta, dalam waktu 8 (delapan) hari setelah keputusan ini
diucapkan, dengan ketentuan bahwa Tergugat dihukum untuk
membayar uang paksa sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk
setiap hari Tergugat lalai memenuhi perintah ini, jumlah mana dapat
ditagih seketika dan sekaligus.
Selanjutnya Pengadilan menyatakan, bahwa ketentuan yang diatur
dalam Pasal XI dari perjanjian memang memuat hal yang meragukan
sebab selain memuat hal ketentuan arbitrase juga memuat pemilihan
domisili yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, lagi pula memuat
ketentuan Pasal XI ayat (2) badan arbitrase yang disebutkan itu tidaklah
otomatis berarti BANI dan dalam hal ini Penggugat tidak membuktikan
bahwa Badan Arbitrase ex Pasal XI tersebut adalah BANI;
Pengadilan menimbang pula bahwa walaupun tuntutan subsidair
Penggugat yaitu mohon agar para pihak menyelesaikan sengketa di
hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akan tetapi petitum
Penggugat hanya sampai disitu saja dan tidak memuat petitum lebih
lanjut apa yang dimohonkan untuk diputus oleh Pengadilan. Dengan
demikian petitum subsidair ini tidak lengkap atau tidak sempurna dan
karenanya haruslah dinyatakan tidak dapat diterima.

542
Berdasarkan pertimbangan di atas, keseluruhan gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima oleh Pengadilan Negeri. Sayangnya tidak diketahui
apakah perkara ini dilanjutkan ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
Berdasarkan kasus tersebut di atas, suatu, perjanjian yang memuat
klausula arbitrase, seharusnya mencantumkan dengan jelas apakah
arbitrase tersebut dilaksanakan melalui arbitrase “ad hoc” atau melalui
arbitrase permanen.
Bila menunjukan arbitrase “ad hoc", perjanjian harus mencantumkan
bagaimana pemilihan para wasit akan dilaksanakan. Bila penyelesaian
sengketa melalui arbitrase permanen, maka harus disebutkan dengan
jelas badan arbitrase mana yang ditunjuk oleh para pihak.
Menurut hemat saya, sebagian besar putusan Mahkamah Agung RI
konsisten mengenai kompetensi absolut, yaitu tidak berwenangnya
Pengadilan memeriksa dan mengadili sengketa yang di dalam
perjanjian antara para pihak sebelumnya dicantumkan klausula arbitrase
kecuali putusan dalam perkara terakhir dalam uraian ini. Contoh
Pertama, bersangkutan dengan perkara Ahju Forestry Company
Limited v. Sutomo/Direktur Utama FT. Balapan Jaya, 2924
K/Sip/1981. Pada tanggal 7 November 1977 Ahju Foresty Company
Limited (penggugat), memperoleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
untuk jangka waktu 20 tahun atas areal hutan seluas 115.000 Ha di
wilayah Propinsi Kalimantan Barat. Untuk melaksanakan IIPH tersebut
Penggugat dan Tergugat telah mendirikan Perseroan Terbatas
Penanaman Modal Asing yang bernama PT. Ahju Balapan Timber.
Kemudian timbul perselisihan antara Penggugat dan Tergugat
mengenai pendayagunaan hutan. Menurut Penggugat, Choi Myeong
Hoeng sebagai Presiden Direktur dari PT. Ahju Balapan Timber telah
menunjukkan sikap yang bertentangan dengan kebijaksanaan
Pemerintah sehingga menimbulkan kerugian bagi Penggugat. Atas
dasar alasan tersebut kemudian Penggugat telah mengajukan gugatan
ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Pengugat dalam gugatan provisi
mohon kepada Pengadilan agar managemen dari PT. Ahju Balapan
Timber untuk seluruhnya ditangani/dipegang oleh penggugat untuk
waktu yang tidak ditentukan sampai ada penyelesaian perkara.
Penggugat asli memohon pula kepada pengadilan agar mencairkan dana
PT. Ahju Balapan Timber yang dibekukan Bank Dagang Negara
Jakarta dan mengalihkan saham Tergugat kepada Penggugat.

543
Terhadap gugatan tersebut, Tergugat mengajukan eksepsi yang
pada intinya adalah bahwa Choi Myeong Hoeng bukan lagi sebagai
Presiden Direktur dari Ahju Forestry Company Co. Ltd. Kemudian,
sesuai Basic Agreemant For Joint Venture tertanggal 20 Maret 1974
pasal 15, semua sengketa antara para pihak berdasarkan perjanjian
tersebut harus diselesaikan melalui arbitrase dan apabila tidak dapat
mencapai persetujuan dalam jangka waktu 30 hari akan diselesaikan
melalui Umpire of Commerce di Paris.
Pengadilan Negeri Jakarta Utara melalui putusannya No. 113/1980
menolak Eksepsi Tergugat. Pengadilan menolak Eksepsi Tergugat,
dengan alasan Penggugat mengajukan perkara ke Pengadilan dalam
rangka mencari dan mewujutkan kebenaran. Ilakim mengatakan
akankah Tergugat meragukan Pengadilan Indonesia ... cara
penyelesaian melalui perdamaian oleh Pengadilan tidak berbeda makna
dan tugasnya dengan apa yang disebut arbitrase itu, bahkan tidak
berlebihan dikemukakan bukankan peradilan dilakukan dengan putusan
diucapkan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”. Pengadilan kemudian mengabulkan sebagian
gugatan Penggugat, yaitu yang menyangkut pengurusan perusahaan
diserahkan kepada Penggugat. Gugatan selebihnya ditolak. Pengadilan
Tinggi Jakarta dengan keputusannya tanggal 7 Mei 1981 No.
57/1981/PT. Perdata menguatkan keputusan Pengadilan Negeri
tersebut.
Namun dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Utara dengan menyatakan bahwa
Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak berwenang mengadili perkara
ini. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa
ketentuan mengenai Dewan Arbitrase dalam pasal 15 Basic Agreement
for Joint Venture telah mengikat para pihak sebagai undang-undang
(Pasal 1338 B W). Oleh karena itu keputusan Judeks Factie telah
bertentangan dengan Pasal 615 dan seterusnya dari Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Perdata (Rv.) dan dengan demikian telah
melanggar ketentuan tentang kompetensi absolut.
Seandainya perkara ini diperiksa sekarang, yaitu setelah lahirnya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas,
mungkin Mahkamah Agung bersikap lain. Pasal 54 ayat (2) Undang-
undang ini mengatakan, bahwa setiap pemegang saham berhak
mengajukan gugatan terhadap perseroan di Pengadilan Negeri, apabila
dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa

544
alasan wajar sebagai akibat kcputusan RUPS, Direksi atau Komisaris.
Selanjutnya Pasal 85 ayat (3) menyatakan, atas nama perseroan,
pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh)
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi
yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kcrtigian pada
perseroan. Kedua pasal ini dapat memperlemah klausula arbitrase yang
semula disepakati para pihak.
Kompetensi absolut sehubungan klausula arbitrase juga tergambar
dalam perkara PT. Asuransi Royal Indrapura v. Sohandi
Kawilarang, 794 K/Sip/1982.
Perkara tersebut timbul dari gugatan Penggugat, Sohandi
Kawilarang, dimuka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Soehanto Kawilarang adalah pemegang Polis Kecelakaan Pribadi dari
Tergugat No. 49/00137/08 dengan jumlah pertanggungan
Rp.50.000.000,- dalam hal kematian dan Rp. 50.000.000.000.,- dalam
hal cacat selamanya, dengan jangka waktu pertanggungan mulai 1
Agustus 1978 hingga tanggal 1 Agustus 1979. Soehanto Kawilarang
tersebut telah memenuhi kewajibannya untuk membayar premi kepada
Tergugat sebesar Rp. 146.275,-. Pada tanggal 27 Desember 1978
Soehanto Kawilarang mengalami kecelakaan lalu lintas di Solo dan
meninggal dunia. Dengan adanya kecelakaan yang mengakibatkan
kematian Soehanto Kawilarang, maka Penggugat sebagai ahli waris
yang ditunjuk oleh almarhum Soehanto Kawilarang telah mengklaim
Tergugat, PT. Asuransi Royal Indrapura, sebesar Rp. 50.000.000,-
tetapi Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya tersebut sehingga
Penggugat menuntut Tergugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Penggugat memohon Pengadilan agar 'Tergugat dinyatakan wanprestasi
dan agar menghukum Tergugat untuk membayar sebesar Rp.
50.000.000,- dengan bunga 5% per bulan terhitung sejak meninggalnya
Soehanto Kawilarang sampai dibayar lunas.
'Terhadap gugatan Penggugat telah diajukan eksepsi oleh Tergugat,
yang pada intinya bahwa Penggugat tidak dapat membuktikan sebagai
ahli waris tertanggung berikut Identitas dari Penggugat. Pengadilan
Negeri melalui putusannya tanggal 14 Juli 1980 No. 869/1979 G. telah
menolak eksepsi Tergugat dan dalam pokok perkara mengabulkan
gugatan Penggugat. Putusan Pengadilan Negeri tersebut kemudian
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya tanggal 4
November 1981 No. 225/1980/PT Perdata. Mahkamah Agung dalam

545
putusannya menerima permohonan kasasi Tergugat, PT. Asuransi
Royal Indrapura, dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi. Dengan mengadili sendiri, Mahkamah Agung
menyatakan Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili
perkara ini. Dalam salah satu pertimbangannya Mahkamah Agung
menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi telah .salah menerapkan hukum.
Berdasarkan Polis no. 49/00137/08 tanggal lOAgustus 1978 di bawah
bagian “Conditions ” telah diuraikan bahwa :
“all differences arising out o f this policy shall be referred to the
decision o f an arbitration to be appointed in writing by parties in
difference or if they can not agree upon a single arbitration
Dengan demikian perkara tersebut secara absolut berada pada
kewenangan arbitrase bukan pada lembaga peradilan biasa.
Selanjutnya Mahkamah Agung menunjukkan sikap yang sama
dalam, Dato Wong Guong dan PT. Metropolitan Timbers Ltd v.
GAPKI Trading Co Ltd PT, 225 K/Sip/1976 (1983). Dalam perkara
ini Penggugat mendalihkan bahwa ia telah mendapat Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) di kepulauan Sanasa Kasiruta Mandirli di Propinsi
Maluku pada tahun 1969. Kemudian pada tanggal 25 November 1969
Penggugat mengadakan perjanjian kerja sama ekspoitasi kayu di
kepulauan tersebut. Menurut Penggugat, berdasarkan jumlah ekspor
kayu yang ada Tergugat harus membayar kepada Penggugat US $
72.565,45 ditambah biaya administrasi US $ 6,000,-. Namun jumlah
tersebut, menurut Penggugat belum pernah dibayar. Pengadilan Negeri
dalam putusan mengabulkan gugatan Penggugat sebagian. Putusan
mana dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding. Pada
tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpendapat lain. Menurut
Mahkamah Agung, perselisihan perdata yang timbul antara pihak-pihak
sekarang ini ialah didalam melaksanakan perjanjian tersebut berbunyi :
“I f there any dispute arising that cannot be settled by both parties
amicably then the matter concerned is subject just to an arbitration
consisting o f three arbitrator, one arbitrator shall be elected by
each party and the third arbitrator to be elected jointly by the two
arbitrator to act as referee
Mahkamah Agung berpendapat bahwa, ketentuan Pasal 11 tersebut
adalah menyangkut kekuasaan lembaga arbitrase untuk menyelesaikan
perselisihan dalam perkara ini, dimana tegas-tegas ditentukan bahwa
pada tingkat pertama bilamana timbul perselisihan (dalam

546
melaksanakan agreement tersebut) yang tidak dapat diselesaikan oleh
kedua belah pihak secara musyawarah maka badan arbitrase yang
terdiri dari tiga orang yang telah disetujui oleh kedua belah pihak untuk
menyelesaikan perselisihan. Ketentuan mana bagi pihak-pihak
mempunyai kekuatan sebagai undang-undang yang harus ditaati,
sedangkan ketentuan Pasal 12 hanyalah menentukan domisili yang
dipilih oleh kedua belah pihak yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut Mahkamah Agung lagi, bahwa pengadilan Negeri dalam
pertimbangan putusannya tidak menyinggung sama sekali masalah
tersebut, sedangkan Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya pada
pokoknya antara lain sebagai berikut:
“bahwa pertama-tama meskipun antara kedua belah pihak dalam
agreement No. 25 tgl. 25 November 1969 diperjanjikan bahwa
apabila sengketa akan diselesaikan dengan arbitrase dahulu namun
karena kedua belah pihak tidak mengajukan perlawanan ketika
perkara ini diperiksa di Pengadilan Negeri, maka dengan demikian
Pengadilan Negeri berwenang untuk mengadili perkara ini”;
Pertimbangan Pengadilan Tinggi tersebut menurut hemat Mahkamah
Agung keliru karena seolah-olah mengenai kewenangan absolut untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut, oleh Pengadilan Negeri
digantungkan pada perlawanan dalam pemeriksaan dipersidangan.
Karena dalam tingkat pemeriksaan Pengadilan Negeri kedua belah
pihak tidak menyinggung masalah kompetensi absolut tersebut, lalu
Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa atas dasar salah satu pihak tidak
mengajukan perlawanan ketentuan Pasal 11 dapat dikesampingkan,
sehingga Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi berwenang untuk
mengadili perkara ini. Menurut Mahkamah Agung argumentasi tersebut
bertentangan dengan pasal 11 dari Perjanjian yang berlaku sebagai
undang-undang bagi kedua belah pihak.
Dengan demikian pula maka pertimbangan Pengadilan Tinggi
tersebut adalah bertentangan dengan maksud dan pengertian yang
terdapat dalam ketentuan Pasal 134 HIR, karena mengenai kewenangan
absolut ini Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi harus
menyatakan dirinya tidak berwenang manakala oleh suatu ketentuan
undang-undang menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa.
Persetujuan yang terdapat dalam Pasal 11 adalah bersifat hukum
keperdataan, sekalipun demikian hal itu harus dihormati dan ditaati
oleh Pengadilan karena sebagaimana dalam sistim Hukum Acara
Perdata yang berlaku yakni walaupun Hukum Acara Perdata adalah

547
merupakan ketentuan-ketentuan Hukum Publik dalam beberapa segi
masih dapat dikesampingkan berlakunya oleh sesuatu persetujuan yang
diciptakan oleh kedua belah pihak yang berselisih antara lain
umpamanya dalam hal terjadinya suatu dading ; sehingga
kedudukan/kekuatan dari ketentuan Pasal 11 dari agreement tersebut
karena mengenai kekuasaan absolut harus ditempuh sesuai dengan
ketentuan Pasal 134 HIR. Demikian pula dalam masalah sekarang ini
soal kewenangan menyelesaikan perselisihan antara pihak-pihak
tersebut oleh mereka telah disepakati pertama-tama harus diselesaikan
oleh badan arbitrase dan bukan oleh Pengadilan Negeri, ketentuan
mana harus juga ditaati oleh Pengadilan Negeri maupun Pengadilan
Tinggi.
Menurut Mahkamah Agung, berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut di atas permohonan kasasi yang diajukan oleh
pemohon-pemohon kasasi Dato Wong Ileck Guong dan kawan dapat
diterima dengan membatalkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Mahkamah Agung dengan mengadili lagi perkara ini
menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara
tersebut baik dalam konpensi maupun rekonpensi.
Pendirian yang sama ditunjukkan pula oleh Mahkamah Agung
dalam PT. Maskapai Asuransi Ramayana v. Soehandi Kawilarang,
No. 455 K/Sip/1982 (1983). Dalam perkara ini Sohandi Kawilarang
telah mengajukan gugatan terhadap PT. Maskapai Asuransi Ramayana
karena ia sebagai ahli waris tunggal dari almarhum Sochanto
Kawilarang sebagai Pemegang Polis Kccelakan sebesar Rp.
75.000. 000,-. Almarhum telah mengalami kecelakaan di Solo pada 27
Desember 1978. Oleh karena itu Penggugat mengklaim agar 'I’crgugat
membayar Rp.75.000.000,- Singkat kata, gugatan tersebut Pengadilan
Negeri memutuskan menghukum Tergugat untuk membayar Rp.
75.000. 000,- ditambah bunga 2% per bulan. Putusan tersebut kemudian
dikuatkan dalam tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Jakarta tgl. 18
November 1981. Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung RI
berpendapat, bahwa terlepas dari alasan-alasan kasasi yang diajukan,
putusan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri harus dibatalkan
karena Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum. Hal tersebut
dikarenakan dalam Polis Kecelakaan Pribadi No. 210 PA/20.318
tanggal 10 Agustus 1978 di bawah ketentuan umum dicantumkan (sub

548
7) “Pertikaian berkenaan dengan polis ini, diselesaikan dalam tingkat
tertinggi di Jakarta oleh 3 orang juru pemisah (arbitrase)”.
Menurut Mahkamah Agung, berdasarkan klausula tersebut Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini
sesuai Pasal 2 Undang-Undang No. 14/1970,. khususnya memori
penjelasan pasal tersebut.
Mahkamah Agung juga bersikap sama dalam perkara PT. Arpcn
Pratama Ocean Line v. PT. Shore Mas, No. 3179 K/Pdt/1984 (1988).
Perkara ini bermula dengan ditandatanganinya suatu kontrak yang
isinya bahwa Penggugat akan menyewakan kapal lautnya yang
bernama M.V. Ekowati atau pengganti kepada Tergugat untuk
mengangkut kayu gelondongan dari Samarinda ke Tanjung Priok.
'I'ernyata di dalam pelaksanaan kontrak tersebut, menurut Penggugat
terjadi kelebihan hari pemuatan yang menurut Penggugat memakan
biaya dan denda US $ 81.053,00 dan Rp. 13.801.330,-
Tergugat dalam eksepsinya menyatakan bahwa sesuai dengan
Pasal 17, jelas tercantum adanya klausula arbitrase yang harus diadakan
di Jakarta.
Pengadilan Jakarta Timur dalam putusannya antara lain
menyatakan eksepsi Tergugat tidak dapat diterima. Pengadilan Tinggi
dalam tingkat banding menerima eksepsi Tergugat dan membatalkan
putusan Pengadilan Negeri tersebut serta menyatakan Pengadilan
Negeri tidak berwenang mengadili perkara ini. Pada tingkat kasasi,
Mahkamah Agung menguatkan putusan Pengadilan Tinggi tersebut.
Pendapat Mahkamah Agung dalam perkara Batu Mulia Utama v.
SS.C, No. 3992 K/Pdt/1985 telah mempertegas pengertian pilihan
hukum dan pilihan domisili dalam hubungannya dengan klausula
arbitrase. Mahkamah Agung berpendapat, bahwa mengenai dipakainya
hukum Indonesia dalam perjanjian, tidak berarti bahwa perkara harus
diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
sebagaimana diputuskan oleh Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding.
Menurut Mahkamah Agung perkara harus diselesaikan melalui
arbitrase dibawah ICC Rules, dengan hukum Indonesia, dan tempat
arbitrase harus di Jakarta, sebagaimana di perjanjikan dalam Pasal
XXIII. Pasal XXIII dari perjanjian menentukan :
"All disputes arising in connection with this Agreement shall be
finally settled under the Rules o f Conciliation and Arbitration o f
the International Chamber o f Commerce by one or more

549
arbitrators appointed in accordance with the Rules the arbitration
shall be held in Jakarta, Indonesia ".
Bahwa Pasal XVIII dari perjanjian yang menentukan :
“This Agreement shall be governed by the laws o f the Republic o f
Indonesia. For the implementation and consequences o f this
Agreement, all parties choose permanent and irrevocable domicile
at the office o f the Register at the Court o f First Instance in
Jakarta
menurut Mahkamah Agung lagi, tidak mempengaruhi pasal XXIII,
karena meskipun dipilih hukum Indonesia dan pilihan domisili adalah
di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta, hal ini tidak mengakibatkan
bahwa karenanya yang sekarang menyelesaikan arbitrase a quo adalah
BANI.
Mahkamah Agung RI bisa berpendapat lain pula mengenai
kompetensi absolut ini, seperti diuraikan dalam sengketa berikut.
Dalam perkara S.M. Pardcde v. Syafei Juremi es, 70/Pts.Pdt/l 982/
PN.P.Bun, Pengadilan Negeri Pangkalan Bun telah memeriksa sengketa
jual beli 6 (enam) buah tractor merek Komatsu. Dalam eksepsinya para
Tergugat menyampaikan antara lain bahwa Pengadilan Negeri
Pangkalan Bun tidak berwenang untuk mengadili perkara ini karena
jika timbul perselisihan sebagai akibat dari perjanjian jual beli tersebut,
maka akan diserahkan penyelesaiannya kepada BANI. Dalam jawaban
eksepsinya, Penggugat menjawab antara lain, bahwa tidak ada
kewajiban hukum untuk Penggugat harus mengajukan masalah
sengketa kepada BANI, dengan alasan bahwa peralatan yang sudah
diserahkan kepada Penggugat, dirampas kembali oleh Tergugat, sedang
BANI tidak dapat mengadili kasus-kasus yang sangat mendesak.
Tergugat kemudian menjawab, antara lain, mohon perhatian khusus
kepada Majelis Hakim akan surat Penggugat yang ditujukan kepada
Tergugat tgl. 29 Nopember 1982 No. 50/DIR/APN/1982 (bukti T-I)
dimana jelas pada hal 2 butir 7, Penggugat sendiri mengakui agar
perkara ini diselesaikan oleh BANI. Pengadilan dalam memutus
perkara ini pertama-tama menyatakan perjanjian jual beli tersebut
adalah sah, dimana antara lain pasal 21 memuat, bahwa tiap sengketa
yang timbul harus diselesaikan dengan musyawarah, dan apabila gagal,
menyerahkan kepada Badan Arbitrase. Pengadilan berpendapat klaim
ganti rugi sebesar Rp. 144.000.000,- telah diusahakan Penggugat secara
baik-baik, tetapi tidak mendapat tanggapan positif, babkan sebaliknya

550
pihak Tergugat mengambil secara paksa 3 ufiit ffaktor yang sudah
diserahkan kepada Penggugat, sehingga tindakan para Tergugat
tersebut bertentangan dengan hukum, yaitu menjadi hakim sendiri.
Melihat keadaan tersebut di atas, Pengadilan Negeri berpendapat,
bahwa penyelesaian di BANI sebagaimana dicantumkan dalam klausula
perjanjian pasal 21, hanyalah merupakan formalitas saja dari perjanjian
tersebut, sedang dihati para pihak tidak ada niat untuk mempergunakan
lembaga arbitrase BANI tersebut. Pengadilan Negeri menimbang pula,
khususnya dalam dunia perdagangan dewasa ini, telah timbul adagium
bahwa penyelesaian di lembaga BANI belum dapat memberikan
penyelesaian sebagaimana diharapkan, dan masyarakat masih enggan
untuk menyerahkan persoalan ke Lembaga BANI tersebut,
sebagaimana telah dilansir pendapat para ahli hukum antara lain Prof.
R. Soebekti, SI I. dan Z. Asikin Kusumah Atmadja, SII., sebagai berikut

“... di Indonesia Arbitrase sudah dikenal sebelum Perang Dunia II


dan dijalankan dalam praktek, akan tetapi masih jarang sekali
dipergunakan disebabkan kecuali karena kurang pengertian, juga
karena tidak ada keyakinan tentang manfaatnya.” (Lihat Hukum
Acara Perdata Indonesia karangan Prof .Dr. Socdikno
Mertokusumo, SIL, terbitan Liberty Yogyakarta 1981, h. 206).
Pengadilan Negeri dalam pertimbangannya kemudian menyatakan,
bahwa berdasarkan keyakinan masyarakat umumnya dan pendapat
tersebut di atas Pengadilan Negeri berwenang untuk menerima,
memeriksa dan mengadili perkara ini.
Dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah di
Palangkaraya dalam putusannya No. 31/1983/PT.PR berkesimpulan
bahwa pemeriksaan yang dilakukan oleh Hakim Pertama sudah tepat
dan benar, karenanya pertimbangan-pertimbangan tersebut oleh
Pengadilan Tinggi dijadikan pertimbangan sendiri, maka oleh karena
itu putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun dapat dikuatkan.
Selanjutnya, Mahkamah Agung RI dalam tingkat kasasi telah
memeriksa, antara lain memori kasasi para pemohon kasasi yang
menyatakan Pengadilan Tinggi Palangkaraya dan Pengadilan Negeri
Pangkalan Bun memutus tanpa dasar hukum, karenanya jelas tidak
menerapkan hukum dengan benar.
Pertimbangan pemohon kasasi, yaitu, bahwa perjanjian yang oleh
Pengadilan Negeri Pangkalan Bun sendiri telah dinyatakan sah itu

551
adalah suatu kesatuan yang utuh, terbagi-bagi dalam pasal, kemudian
rumusan;
Menurut pemohon kasasi, Pasal 21 dari perjanjian tersebut
dirumuskan demikian: ... yang pada pokoknya mengandung arti bahwa
“setiap sengketa” yang timbul harus diselesaikan dengan musyawarah
dan apabila gagal, menyerahkan pada Badan Arbitrase;
Bahwa dengan menyatakan sah perjanjian tersebut oleh Pengadilan
Negeri Pangkalan Bun sendiri maka berarti bahwa Pasal 21 dari
perjanjian itu adalah sah pula, Pengadilan tidak dapat menyatakan
bahwa suatu perjanjian secara keseluruhan adalah sah sekaligus
menyatakan pula bahwa salah satu bagiannya adalah tidak sah karena
berarti bahwa:
PERTAMA : pernyataan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun tersebut
karena mengandung pertentangan dalam isinya (innerlijke
tegenstrijdigheden) adalah tidak sah, atau KEDUA: perjanjian itu
sendiri adalah tidak sah karena salah satu bagiannya yaitu Pasal 21
dianggap sebagai “formalitas” belaka oleh Pengadilan Negeri
Pangkalan Bun.
Menurut pemohon kasasi lagi, oleh karena itu Pengadilan Negeri
Pangkalan Bun telah menilai bahwa secara keseluruhan perjanjian itu
sah maka secara implisit Pengadilan tersebut telah menyatakan pula
bahwa Pasal 21 dari perjanjian adalah sah pula, entah sebagai
formalitas akan tetapi yang mengikat para pihak oleh karena perjanjian
tersebut baik secara keseluruhan maupun menurut pasal dan rumusan
adalah sah menurut hukum maka menjadi jelas sudah, bahwa
pertimbangan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun tentang perjanjian itu
dengan menyampingkan Pasal 21 adalah tidak sah karena sengketa
yang timbul karena perjanjian tersebut harus diadili oleh Badan
Arbitrase menuruti kehendak bersama para pihak dan oleh karena itu
berlaku sebagai Undang-undang, setiap warga mengetahui secara pasti
bahwa Undang-undang adalah lebih tinggi dari Pengadilan Negeri;
Pemohon kasasi bertanya, apakah masih diragukan bahwa perkara
in casu adalah bukan sengketa, dan bila perkara tersebut adalah suatu
sengketa maka, apakah Pengadilan Negeri Pangkalan Bun berwenang
mengadili sengketa tersebut, sedangkan para pihak menghendaki lain
yaitu pertama diselesaikan dengan musyawarah dan apabila gagal
menyerahkan sengketa tersebut pada Badan Arbitrase;

552
Bahwa penyerahan pada Badan Arbitrase menurut perjanjian
tersebut adalah bukan secara langsung akan tetapi bertahap;
PERTAMA : adanya sengketa.
KEDUA : adanya musyawarah.
KETIGA : adanya gagal musyawarah, barulah pada tahap;
KEEMPAT : penyerahan pada Badan Arbitrase.
Namun, baru pada tahap pertama yaitu tahap adanya sengketa,
Pengadilan Negeri Pangkalan Bun telah menyatakan dirinya berwenang
memeriksa suatu hal yang secara tepat oleh Pengadilan Negeri
Pangkalan Bun sendiri telah disitir sebagai “karena kurang pengertian”
(halaman 206 alinea kedua) dalam hal ini pengertian para Hakim
mengenai Badan Arbitrase.
Bahwa tidak disangkal menurut pemohon kasasi, bahwa
Pengadilan Negeri Pangkalan Bun berwenang mengadili perkara in
casu, akan tetapi hanya terbatas pada pernyataan bahwa dirinya tidak
berwenang mengadili perkara dan bukannya mengabulkan tuntutan
penggugat secara sepihak tanpa sesuatu musyawarah, tanpa suatu
pernyataan tentang gagalnya musyawarah itu dan tanpa pula diadili
oleh Badan Arbitrase.
Berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah bahwa Pengadilan
Negeri Pangkalan. Bun bukan saja telah menyalahi Undang-undang
akan tetapi telah nyata-nyata menyalahgunakan wewenangnya menarik
dalam kekuasaan mengadilinya hal-hal yang bukan menjadi urusannya
dan oleh karena itu adalah tidak sah, setidak-tidaknya batal demi
hukum atau dapat dibatalkan, kata pemohon kasasi.
Selanjutnya dikatakan, Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri telah
salah menerapkan hukum dengan menyatakan bahwa Pengadilan
Negeri Pangkalan Bun berwenang mengadili perkara ini.
Mahkamah Agung dalam putusannya No. 1851 K/Pdt./1984
tertanggal 10 Desember 1985 menyatakan antara lain bahwa keberatan
tersebut di atas tidak dapat dibenarkan, karena judex faetie tidak salah
menerapkan hukum dan menolak permohonan kasasi tersebut.
Mahkamah Agung RI ternyata tidak membahas argumen-argumen
pihak Tergugat dan Penggugat, sehubungan dengan kompetensi absolut
ini, selain mengambil alih begitu saja pertimbangan Pengadilan Tinggi
dan Pengadilan Negeri.

553
Dari uraian tersebut di atas, tampak Mahkamah Agung adakalanya
mengambil sikap yang berbeda mengenai tidak berwenangnya
pengadilan memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang didalam
perjanjian antara para pihak memuat klausula arbitrase sebagai tempat
penyelesaian sengketa.
Mengenai kompetensi absolut ini Pasal 3 Undartg-Undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase. Selanjutnya Pasal 11 ayat (l) menekankan lagi, bahwa adanya
suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk
mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat
dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Ayat (2) kemudian
menyebutkan, Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur
tangan didalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan
melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini.
Campur tangan pengadilan dalam hal-hal tertentu tersebut adalah
diperkenankan sepanjang tindakan tersebut untuk memperlancar proses
arbitrase, pelaksanaan putusan arbitrase, atau putusan arbitrase telah
diambil berdasarkan salah satu hal-hal berikut. Pertama, putusan tidak
sesuai dengan perjanjian; kedua, putusan dijatuhkan berdasarkan
dokumen palsu; ketiga, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan
yang disembunyikan pihak lawan; keempat, putusan diambil dari hasil
tipu muslihat (Pasal 70). Campur tangan pengadilan ini telah diuraikan
dalam topik pertama.

554
IIU K U M P E R W A S IT A N

1. PENGERTIAN PERWASITAN
Perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris),
Arbitrage/Schiedspruch (Jerman),1arbitrage (Prancis), arbitrari
(Latin) ialah penyelesaian sengketa oleh para wasit. Perwasitan
adalah suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak
bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang
dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh
hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak
sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak. Dari
definisi ini terkandung beberapa unsur dalam perwasitan, yaitu

a. Peradilan perdamaian
Lembaga peradilan perdamaian itu terletak di luar
peradilan umum, yaitu peradilan yang diselenggarakan
oleh swasta. Peradilan perdamaian terjadi di luar sidang
pengadilan (dading), dalam rapat desa dan di tempat lain-
lain. Cara mencapai putusan terakhir pada peradilan
perdamaian ini biasanya dilakukan dengan sistem
pendekatan, saling memberi dan menerima untuk menuju
kepada kese-pakatan bersama tentang penyelesaian
sengketa.
b. Para Pihak
Pada peradilan wasit ini para pihak biasanya terdiri dari
pengusaha, yakni orang-orang yang melakukan
perusahaan, yang tidak mempunyai waktu banyak untuk
menyelesaikan sengketanya dengan pengusaha lain di
muka pengadilan umum. Mereka itu lebih mementingkan
waktu daripada hal lainnya. Adalah menjadi keinginan
mereka untuk menyelesaikan perkaranya secara cepat,
agar waktu yang terhemat dapat dipakai untuk mencari
keuntungan.
c. Kesepakatan untuk menyelesaikan perkaranya dengan
perwasitan
Hal ini merupakan unsur mutlak bagi adanya perwasitan,
yakni kesepakatan untuk menyelesaikan persengketaannya

555
dengan melalui peradilan wasit. Kesepakatan ini harus ada
dan tertulis, baik berujud suatu klausul dalam perjanjian
induk, yang disebut “pactum de compromittendo”,
maupun berujud suatu perjanjian khusus, yang berdiri
sendiri, terpisah dari perjanjian induk, yang disebut “akta
kompromis”. Jika kesepakatan ini tidak ada, maka
peradilan wasit tidak bisa dilakukan.
d. Hak yang dipersengketakan
I lak yang dipersengketakan ini haruslah hak pribadi yang
dapat dikuasai sepenuhnya. Suatu hak pribadi, yang
negara turut mengaturnya atau menguasainya, kalau ada
persengketaan, tidak boleh diajukan kepada peradilan
wasit, misalnya persoalan perkawinan.
e. Wasit
Persengketaan mengenai hak pribadi yang dapat dikuasai
sepenuhnya tersebut diajukan di muka peradilan wasit.
Wasit ini haruslah seorang Hakim yang tidak memihak,
ahli dalam bidang tentang hak pribadi yang
diperselisihkan itu. Wasit itu ditunjuk oleh para pihak.
Tiap-tiap pihak menunjuk seorang wasit dan kedua orang
wasit ini bermusyawarah untuk mendapatkan seorang
Hakim ketiga yang bisa diterima kedua belah pihak.
f. Putusan peradilan wasit
Karena para wasit itu ditunjuk oleh masing-masing pihak
yang bersengketa, maka logisnya putusannya harus ditaati
oleh kedua belah pihak. Kalau ada pihak yang tidak mau
tunduk pada putusan peradilan wasit yang sudah
dipilihnya sendiri itu adalah pihak yang melakukan
“wanprestasi”. Adalah sudah sewajarnya bila ada pihak
yang melakukan wanprestasi ini diberi sanksi yang
seimbang dengan perbuatannya itu, sebab kedua belah
pihak sudah sepakat untuk menundukkan diri pada
putusan wasit tersebut.
g. Putusan perwasitan adalah putusan terakhir
Termasuk dalam kesepakatan kedua belah pihak, bahwa
putusan wasit merupakan putusan terakhir, jadi tidak ada
banding atau kasasi. Ini pada hakekatnya. Hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa undang-undang

556
mengizinkan adanya banding (lihat UU No. 1 'I’ahun 1950,
pasal 108-111).

2. MAKSUD DAN ARTI PENTINGNYA PERADILAN WASIT


Untuk dapat mencapai laba sebanyak-banyaknya, maka semua
perbuatan dalam bidang perusahaan harus didasarkan atas
prinsip ekonomi, yakni untuk mendapat keuntungan sebesar-
besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Prinsip ini
mendorong agar perbuatan dilaksanakan secepat mungkin,
seefisien dan seadil mungkin. Begitupun dalam hal
penyelesaian sengketa. Dalam dunia perusahaan dibutuhkan
cara penyelesaian sengketa yang cepat dan lebih sesuai dengan
perasaan keadilan para pengusaha. Kebutuhan inilah yang
mendorong adanya lembaga peradilan perwasitan (arbitrase).
Para wasit itu biasanya terdiri dari para pengusaha yang
ahli dalam cabang perniagaan atau perusahaan, dalam mana
terjadi sengketa yang harus diselesaikan. Para wasit tersebut
adalah ahli-ahli yang berpengalaman, sehingga dapat
diharapkan mampu menyelesaikan segala macam sengketa
dalam lingkungan perusahaan, secara adil, praktis dan cepat,
tanpa terlalu terikat pada peraturan-peraturan hukum menurut
undang-undang. Ini tidak berarti bahwa para wasit boleh
menyimpang dari peraturan-peraturan hukum yang bersifat
memaksa (dwing-enrecht). Peradilan wasit ini hanya
memberikan kebebasan prosedur untuk menentukan pihak
manakah yang sungguh-sungguh berhak atas hak pribadi
(subjektief recht) yang disengketakan. Untuk kepentingan ini
perlu sekali adanya seorang sarjana hukum atau lebih sebagai
anggota peradilan wasit yang menduduki ketua atau sebagai
anggota biasa.
Adapun arti pentingnya peradilan wasit ialah :
a . Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat;
b . Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang
dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat
putusan yang memuaskan para pihak;

557
c. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para
pihak;
d. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum
tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan
perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan
perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.

3. DASAR HUKUM YANG MEMPERBOLEHKAN


ADANYA PERADILAN WASIT
Dalam perkara perdata pada umumnya, Hakim pada
pengadilan negerilah yang berwenang memeriksa dan
mengadilinya. Tetapi mengenai sengketa Dalam hukum
dagang atau perusahaan, yang merupakan hukum khusus
terhadap hukum perdata, ada beberapa kemungkinan yang
memberi jalan untuk adanya peradilan wasit, yaitu :
a. Dalam hukum ada asas yang berbunyi : “Bertentangan
dengan kemauannya, tidak seorang juapun dapat
dipisahkan daripada Hakim yang diberikan kepadanya
oleh aturan hukum yang berlaku.” Asas ini erat
hubungannya dengan aturan mengenai kompetensi absolut
dan kompetensi relatif Hakim. Kalau asas ini ditafsirkan
secara a kontrario, maka berdasarkan kehendak bebas dan
tertib daripada para pihak yang bersengketa dalam
bidang hukum perdata, mereka dapat minta kepada Hakim
lain daripada Hakim yang diberikan oleh peraturan hukum
yang berlaku, untuk menyelesaikan sengketanya. Hakim
lain tersebut adalah wasit.
b. Kemungkinan adanya perdamaian di muka Ilakim (Pasal
130 ayat (1) HIR), dan di luar Hakim dengan perjanjian
yang disebut “dading” (Pasal 1851 KUHPKR). Perlu
diketahui bahwa wasit adalah semacam Hakim
perdamaian, yang ditunjuk oleh para pihak yang
berkepentingan atas dasar kesepakatan.
c. Pasal 377 HIR atau RID berbunyi: “Jika orang golongan
Bumi-putera dan Timur Asing hendak menyelesaikan
perselisihannya melalui para wasit, maka mereka wajib
tunduk pada peraturan mengadili perkara bagi golongan
Eropah.” Meskipun IIIR pada asasnya dapat dipakai

558
sebagai pedoman, tetapi pasal ini materiil benar-benar
masih hidup, sebab tidak bertentangan dengan asas-asas
hukum Indonesia dan masih sesuai dengan kesadaran
hukum bangsa Indonesia.
d. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 (LN
1950- 30), tentang “Susunan, Kekuasaan dan Jalannya
Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia”, menetapkan
adanya banding pada Mahkamah Agung Indonesia atas
putusan-putusan wasit yang bernilai Rp 25.000,- atau
lebih. Sedang Pasal 108 sampai dengan Pasal 111
mengatur tentang acara banding atas putusan-putusan
wasit tersebut.
e. Dalam “Reglement op de Rechtsvordering”, Buku III, Bab
I, Pasal 615 sampai dengan Pasal 651, merupakan aturan
tentang acara peradilan wasit yang agak lengkap. Tetapi
soalnya apakah Rv. ini masih berlaku? Sebab sejak zaman
pendudukan Jepang, tahun 1942-1945, peraturan Rv. ini
sudah dibekukan. Ditambah dengan telah berlakunya
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, tentang
“Tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-
pengadilan sipil”, maka paling banter peraturan Rv.
tersebut hanya dapat berfungsi sebagai “pedoman” (LN
1951- 9 bsd. 1955-36). Yang saya maksud dengan
“pedoman” iaiah, sebelum ada peraturan perundangan RI
yang khusus bagi perwasitan, maka untuk sementara
waktu kita bisa mempergunakan ketentuan-ketentuan dari
Rv., kecuali kalau ketentuan-ketentuan itu bertentangan
dengan asas-asas hukum Indonesia dan Pancasila.
f. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
(LN 1970-74), tentang “Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman”, penjelasan pasal demi pasal,
Pasal 3 ayat (1), kalimat kedua berbunyi: “Penyelesaian
perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau
melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.”
g. Pasal 1851 KUIIPER berbunyi : (1) “Dading - adalah
suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak, dengan
menyerahkan, memperjanjikan atau menahan suatu

559
barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung
ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.”
(2) Perjanjian ini tidak sah, kecuali kalau dibuat secara
tertulis. ’’Lembaga ini dalam bahasa Belanda disebut
Mading”. yang tidak saya terjemahkan dengan
“perdamajan”, sebab “dading” ini adalah bentuk
perdamaian yang khusus (lex specialis), yang tidak sama
persis dengan perdamaian biasa. Lembaga ini dapat
dipakai sebagai dasar bagi perwasitan, sebab hakekat
perwasitan adalah juga perdamaian. Pactum de
compromittendo dan akta kompromis juga merupakan
perjanjian yang dapat dimasukkan dalam pengertian
“perdamaian”, sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1851
KUIIPER tersebut di atas. Ingat bahwa “dading” menurut
saya adalah juga perdamaian dengan bentuk khusus, yaitu
suatu perdamaian yang terjadi pada suatu perkara yang
sedang ditangani oleh Hakim pengadilan negeri, sedang
perdamaian itu tercapai di luar pengadilan dan bukan
tercapai di muka Hakim pengadilan negeri.
h. Pada zaman Hindia Belanda, yurisprudensi tetap
mengenai Pasal 393 HIR menyatakan, bila dibutuhkan
dalam acara pada Pengadilan Negeri, tetapi tidak diatur
dalam HIR, maka Hakim diwenangkan untuk
menggunakan lembaga-lembaga hukum acara yang diatur
Dalam Rv. Yurisprudensi tetap tersebut dilanjutkan dalam
zaman kemerdekaan Indonesia sekarang, malahan
diperluas dengan bentuk-bentuk hukum acara asing pada
umumnya, asal saja tidak bertentangan dengan ketertiban
umum Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 377 HIR
tersebut di atas, mengenai kemungkinan dimasukkannya
hukum acara peradilan wasit yang diatur dalam Rv. ke
dalam perwasitan. Pasal 393 HIR berbunyi: “(1) Dalam
hal mengadili perkara di muka pengadilan untuk golongan
Bumiputera, tidak boleh diperhatikan peraturan lain
daripada yang ditentukan dalam reglemen ini.”
(2) Akan tetapi Presiden RI sesudah berbicara dengan
Mahkamah Agung Indonesia, untuk mengadili perkara
perdata, berwenang menetapkan peraturan lain yang lebih
sesuai dengan hukum acara di muka pengadilan untuk

560
golongan liropah, yaitu untuk Pengadilan Negeri Jakarta,
Semarang dan Surabaya, apabila ternyata menurut
pengulaman bahwa peraturan demikian sangat diperlukan,
sedangkan bagi pengadilan negeri lainnya, bila terdapat
keperluan mendesak seperti demikian.
i. UU Nomor 5 Tahun 1968 (LN 1968-32) tentang
persetujuan atas Konvensi tentang penyelesaian
perselisihan antara Negara dan Warganegara asing
mengenai penanaman modal. Undang-undang ini
mengenai perwasitan.
j. Keputusan Presiden RI No. 34. Tahun 1981 (LN 198140)
tentang “Pengesahan “Convention on the Recognition and
Enforcement o f Foreign Arbitral Awards”, yang telah
ditandatangani di New York pada tanggal 10 Juni 1958
dan telah mulai berlaku pada tanggal 7 Juni 1989. Kepres
ini berlaku pada tanggai diumumkannya, yaitu tanggal 8
Agustus 1981. Juga Kepres ini mengenai perwasitan.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas merupakan dasar hukum
yang membolehkan adanya peradilan perwasitan di Indonesia.
Karena dalam pelajaran selanjutnya saya akan
membicarakan hukum acara peradilan perwasitan menurut
Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv.), maka
peraturan tersebut saya lampirkan dalam buku ini (lihat
lampiran No. 1).
4. DUA CARA YANG MEMBUKA JALAN UNTUK
ADANYA PERADILAN WASIT
Para pihak dalam perjanjian yang menghendaki agar
penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dari perjanjian itu
akan diselesaikan dengan pengadilan wasit. dapat
mempergunakan salah satu dari dua cara yang dapat membuka
jalan timbulnya, peradilan wasit, yaitu :
a. dengan dicantumkannya sebuah klausul dalam perjanjian
pokok, yang berisi bahwa penyelesaian sengketa yang
mungkin timbul daripada pelaksanaan perjanjian itu akan
diselesaikan dengan peradilan wasit. Cara yang demikian
itu disebut Upactum de compromittendo” (Pasal 615 ayat
(3) Rv.);

561
b. dengan suatu perjanjian tersendiri, di luar perjanjian
pokok. Perjanjian itu dibuat secara khusus bila telah
timbul sengketa dalam melaksanakan perjanjian pokok.
Surat perjanjian macam ini disebut “akta kompromis”
(Pasal 618 Rv.).
Pasal 615 ayat (3) Rv. berbunyi: “Malahan orang dapat lebih
dulu mengikatkan diri untuk tunduk pada putusan wasit
mengenai sengketa yang mungkin timbul dari perjanjian.”
Pasal 618 Rv. berbunyi: “Akta kompromis itu harus ditulis
dalam suatu akta dan ditandatangani oleh para pihak. Kalau
para pihak tidak dapat menandatangani, akta kompromis itu
harus dibuat di muka notaris dan saksi-saksi. Akta kompromis
itu berisi pokok-pokok dari perselisihan, nama dan tempat
tinggal para pihak, pula nama dan tempat tinggal wasit atau
para wasit, yang jumlahnya selalu ganjil. Semua itu atas
ancaman batal.”

5. URAIAN DAN CONTOH MENGENAI PACTUM DE


COMPROMITTENDO DAN AKTA KOMPROMIS
Telah saya bicarakan dalam pelajaran di muka bahwa ada dua
cara untuk membuka jalan adanya peradilan perwasitan, yaitu
dengan cara “pactum de compromittendo” dan “akta
kompromis”. Cara “pactum de compromittendo” dilakukan
dengan menambah sebuah klausul dalam perjanjian pokok,
yang menyatakan bahwa bila terjadi sengketa mengenai
penafsiran atau pelaksanaan perjanjian pokok akan
diselesaikan dengan melalui peradilan wasit, sedangkan cara
“akta kompromis” dilakukan dengan membuat perjanjian baru
di luar perjanjian pokok, yang menyatakan kesepakatan para
pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan melalui
peradilan wasit. Akta kompromis ini dibuat karena dalam
perjanjian pokok tidak ada klausul sebagai dimaksud dalam
“pactum de compromittendo”. Jadi, akta kompromis itu baru
dibuat, jika sengketa itu betul-betul timbul, tetapi kalau tidak
ada sengketa, sudah tentu tidak ada gunanya untuk membuat
akta kompromis.

562
Klausul “pactum de compromittendo” dan akta
kompromis harus dibuat secara tertulis, kalau tidak batal.
Malahan jika para pihak tidak mampu untuk menandatangani,
akta kompromis itu harus dibuat di muka notaris. Jadi, dengan
akta notaris. Dalam akta kompromis itu harus dimuat :
a. Hal-hal kongkret yang menjadi perselisihan;
b. Nama, pekerjaan dan tempat tinggal para pihak yang
bersengketa;
c. Nama dan tempat tinggal wasit-wasit yang jumlahnya
harus ganjil; segala sesuatu itu dengan ancaman batal
(Pasal 618 ayat (3) Rv.).
Ada kemungkinan dalam “pactum de compromittendo”,
para wasit belum ditunjuk. Bila perselisihan timbul, sedangkan
wasit belum ditunjuk, maka para pihak mengadakan
perundingan. Kalau perundingan ini gagal, pihak yang
berkepentingan, biasanya pihak yang akan menggugat dalam
prosedur resmi, dapat minta kepada Hakim Pengadilan Negeri
untuk menunjuk para wasit itu. Pengadilan Negeri di sini ialah
Pengadilan Negeri, dalam daerah hukum mana pihak tergugat
bertempat tinggal (Pasal 118 ayat (1) H1R/RID atau Pasal 142
R.Bgw.).
Di bawah ini ada satu contoh “pactum de compromitten­
do "yang ditulis dalam Polis Kebakaran Indonesia, yaitu polis
yang dikeluarkan oleh Dewan Asuransi Indonesia, merupakan
polis baku (standaard), yang syarat-syaratnya sudah
diseragamkan untuk pertanggungan kebakaran di Indonesia,
yakni dalam Pasal XIX, tentang perselisihan, yang berbunyi
sebagai berikut:
“(I) Segala perselisihan yang timbul berkenaan dengan
pelaksanaan atau tafsiran perjanjian ini akan diputuskan
dalam tingkat tertinggi oleh tiga orang juru pisah (wasit);
(2) Pihak yang menghendaki arbitrase harus
memberitahukan hal itu dengan surat kepada pihak lain.
Ketiga juru pisah (wasit) tersebut dipilih oleh kedua
belah pihak dengan jalan perundingan bersama.
Bilamana dalam jangka waktu empat minggu sesudah
tanggal pemberitahuan tidak tercapai persetujuan
mengenai pemilihan para juru pisah, maka pihak yang

563
menghendaki arbitrase harus mengajukan permohonan
kepada Ketua Gabungan Perusahaan Sejenis Asuransi
Kerugian (Dewan Asuransi Indonesia), supaya menunjuk
instansi yang akan mengangkat para juru pisah tersebut;
(3) Para juru pisah tersebut akan mengadili selaku orang
budiman dan menurut keadilan;
(4) Para juru pisah akan menetapkan peraturan arbitrase;
(5) Para juru pisah akan menetapkan pada putusan mereka
yang terakhir, pihak atau pihak-pihak yang mana yang
harus memikui semua atau sebagian daripada biaya
arbitrase, dalam mana termasuk pembayaran-
pembayaran di muka (porsekot) dan upah para juru
pisah seria biaya bantuan ahli hukum untuk kedua belah
pihak;
(6) Para juru pisah akan mengurus supaya surat putusan atau
putusan-putusan mereka diserahkan kepada Kepaniteraan
Pengadilan Negeri setempat;
Tugas yang diberikan kepada juru pisah akan berlangsung,
hingga putusan mereka diserahkan kepada Kepaniteraan
Pengadilan Negeri setempat dan sesuai dengan bunyi ayat (6)
tersebut di atas.”
Adapun contoh akta kompromis sebagai dimaksud dalam
Pasal 618 Rv. saya kutipkan dari bukunya Prof. Dr. S.
Gautama sebagai berikut :

AKTA KOMPROMIS

1975

Yang bertanda tangan dibawah ini:


1..........................................

menerangkan:
bahwa berhubung dengan kontrak yang diadakan di antara mereka
pada tanggal ........... No. ...................... , makelar
........................ telah timbul di antara mereka perselisihan yang
uaraiannya adalah sebagai berikut
.......................... ................................................. bahwa sesuai

564
dengan reglemen Panitia-Panitia Arbitrase Organisasi Hxporteur Hasil
Bumi Indonesia, mereka telah menyerahkan perselisihan yang
diuraikan di atas untuk mendapat putusan kepada wasit-wasit tersebut
di bawah ini:
1) ......... .................... ;....
2)

bahwa wasit-wasit itu dengan turut menandatangani akta ini


menerangkan, bahwa mereka merima tugas kewajiban tersebut di atas.

Wasit-wasit: Pihak-pihak yang


bersangkutan
a) ............. a..........................................
b) ............. b............. (tanda tangan).......
c) .............

CATATAN:
1) Nama-nama para pihak, tempat tinggal dan kedudukan;
2) Nama dan alamat makelar yang bersangkutan ;
3) Uraian tentang pokok-pokok perselisihan. Jika para pihak tidak
sepaham tentang hal ini, masing-masing pihak menguraikan
sendiri-sendiri;
4) Nama, alamat dan kedudukan para wasit,

6. PERSELISIHAN APA SAJA YANG BIASANYA


DIMINTAKAN PENYELESAIAN KEPADA WASIT
Perselisihan yang biasanya oleh para pihak dimintakan
penyelesaian kepada wasit, misalnya penyelesaian mengenai:
a jual beli perusahaan;
b. perjanjian perburuan/kerja;
c. bidang makelar dan komisioner;
d. perjanjian pengakuan dan lain-lain.
Hal-hal ini semua terletak dalam bidang hukum dagang, yang
tidak berlaku bagi golongan Bumiputera. Orang-orang Indonesia
golongan Bumiputera yang melakukan perbuatan-perbuatan seperti

565
diatur dalam hukum dagang tersebut, dianggap telah menundukkan
diri secara sukarela pada hukum Eropah dengan melalui S. 1917-12
pasal 29. Mungkin pula mereka menundukkan diri dengan sukarela
melalui pasal 1, 18 atau 26 dari S.1917-12 tersebut. Dengan
demikian perselisihan dalam hukum adat, hukum Islam dan hukum
perdata materiil yang bersifat memaksa tidak dapat diajukan kepada
wasit.
Pasal 615 ayat (1) Rv. Berbunyi : “Siapa saja dapat minta
putusan dari wasit mengenai perselisihan hal pribadi, di mana dia
mempuyai kekuasaan bebas atas hak tersebut.” Jadi, yang dapat
diajukan di muka peradilan wasit ialah perselisihan mengenai hak
pribadi, di mana para pihak mempunyai kekuasaan sepenuhnya.
Perselisihan-perselisihan dalam lingkungan hukum perkawinan,
warisan dan perorangan misalnya, tidak boleh diajukan di muka
peradilan wasit, sebab dalam linkungan hukum-hukum tersebut
kekuasaan Negara turut campur di dalamnya.

7. BEBERAPA ASAS DARI BAB. I, BUKU KETIGA RV.


DAPAT DIPAKAI PEDOMAN
Telah saya katakana dala pelajaran yang lalu bahwa “Rcglement
op de Rechtvordering”, Buku Ketiga, Titel I, dapat dipakai pedoman.
Adapun alasannya adalah sebagai berikut:
a. Perselisihan-perselisihan yang penyelesaiannya dimintakan jasa-
jasa wasit itu biasanya perselisihan-perselisihan mengenai hak
pribadi yang timbuk dari hukum perdata materiil Barat, yaitu
KUIID Dan hukum acara bagi hukum perdata materiil Barat
tersebut adalah “Rcglement op de Rechtvordering’.
b. Peraturan acara bagi peradilan wasit tingkat banding dapat
ditemui dalam UU tentang Mahkamah Agung Indonesia (UU
No. 1 Tahun 1950, LN 1950-30, pasal 108-111). Tetapi dalam
undang-undang tersebut tidak terdapat peraturan mengenail acara
peradilan wasit tingkat pertama. Peraturan terakhir ini hanya
terdapat dalam “Rcglement op de Rechtvordering”, Buku Ketiga,
Bab I, pasal 615 sampai dengan pasal 651.
Karena itu pasal-pasal dalam “Reglement op de Rechtvordering”
tersebut dapat dipakai sebagai pedoman, sekedar tidak bertentangan
dengan ketentuan hukum Indonesia. Asas-asas dari Bab I, Buku
Ketiga Rv. Tersebut akan saya bicarakan dalam pelajaran-pelajaran
berikut.

566
8. HANYA HAK-HAK PERDATA YANG SEPENUHNYA
DAPAT DIKUASAI OLEH PARA PIHAK SAJA YANG
DAPAT DIAJUKAN KEPADA PERADILAN WASIT
Tidak semua perselisihan mengenai hak pribadi dapat diserahkan
kepada peradilan wasit untuk diselesaikan, melainkan hanya hak-hak
pribadi yang sepenuhnya dapat dikuasai oleh para pihak saja (pasal
615 ayat (1) Rv.). Adapun yang dimaksud dengan hak pribadi di sini
ialah hak-hak yang untuk menegakkannya tidak bersangkut paut
dengan ketertiban atau kepentingan umum. Misal dari hak pribadi
yang untuk menegakkannya bersangkut-paut dengan ketertiban atau
kepentingan umum ialah: proses-proses mengenai perceraian, status
anak, pengakuan anak, penetapan wali, pengampunan dan lain-lain.

9. SIAPA YANG BERWENANG MENJADI WASIT


1. Menurut pasal 617 ayat (1) Rv. barang siapa yang cakap menjadi
pemegang kuasa dapat ditunjuk sebagai wasit. Asas ini tidak
dapat diterima, karena:
a. Seorang wasit bukanlah seorang pemegang kuasa, sebab
pemegang kuasa bertindak atas nama pemberi kuasa (pasal
1792 KUHPER), sedangkan seorang wasit mempunyai tugas
khusus yang berbeda dengan tugas seorang pemegang kuasa,
yaitu memeriksa, mempertimbangkan dan memutus
perselisihan sebagai seorang Ilakim yang bijaksana dan tidak
memihak.
b. Seorang wasit yang telah menerima penunjukannya sebagai
wasit, tidak boleh begitu saja dapat melepaskan tugasnya
sebagai halnya dengan seorang pemegang kuasa. Melepaskan
tugas sebagai seorang wasit barulah mungkin, bila alasan-
alasannya telah dibenarkan oleh Ilakim pada Pengadilan
Negeri setempat.
c. Seorang wasit tidak boleh terdiri dari seorang wanita atau
anak dibawah umur (pasal 617 ayat (2) Rv.), sedangkan
mereka dapat ditunjuk sebagai pemegang kuasa (pasal 1798
KUHPER).
d. Bagi seorang wasit dibutuhkan seseorang dengan syarat-
syarat tertentu (pasal 617 Rv.), tidak seperti halnya seorang
pemegang kuasa, yang syarat-syaratnya tidak jelas.
2. Menurut pasal 617 ayat (2) Rv., wanita yang kawin tidak boleh
menjadi wasit. Asas ini tidak dapat kami terima, karena wanita
Indonesia, baik yang belum maupun yang sudah kawin, selalu
cakap untuk melakukan perbuatan hukum, asal sudah cukup
umur menurut hukum tidak ada unsur-unsur yang mengurangi

567
atau meniadakan kecakapan berbuat itu. Cukup umur di sini
artinya telah berumur penuh 21 tahun atau sudah kawin (pasal
330 KUHPER bsd. S. 1931-54).
3. Hakim, Penuntut Umum, Panitera da Panitera Muda tidak boleh
ditunjuk sebagai wasit (pasal 617 ayat (2) Rv.). Asas ini dapat
dipakai pedoman.
4. Anak-anak di bawah umur tidak boleh menjadi wasit (pasal 617
ayat (2) Rv.). Asas ini juga masih dapat dipakai pedoman.

10. JUMLAH DAN CARA MENERIMATUCAS WASIT


Jumlah wasit harus ganjil, untuk memudah pengambilan putusan
(pasal 618 ayat (2) Rv.)
Seorang wasit yang ditunjuk oleh para pihak atau diangkat oleh
Hakim pada Pengadilan Negeri menurut pasal 619 Rv., baru
berkewajiban melakukan tugasnya, bila dia sudah menerima
penunjukan itu secara tertulis (pasal 622 ayat (1) Rv.).

11. ACARA FORMAL DI MUKA WASIT


Hal acara formal di muka wasit diatur sendiri oleh para pihak
dalam klausul “pactum de compromittendo” atau dalam “akta
kompromis “yang bersangkutan. Jika para pihak tidak mengaturnya,
maka para wasit berhak menetapkan peraturan peraturan acaranya
(pasal 624 Rv). Kebebasan para pihak dan wasit dalam mengatur
acara perwasitan di batasi dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Peraturan acara itu harus berjiwa sederhana dan tidak formalistis,
sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam peraturan HIR dan
R.Bgw.
b. Dalam peraturan acara itu tidak boleh ada ketentuan-ketentuan
yang menyimpang peraturan HIR atau R.Bgw yang bersifat
memaksa atau menyerobot kekuatan yang diberikan oleh
undang-undang khusus kepada kepada Hakim pada Pengadilan
Negeri. Misalnya penyimpangan tersebut ialah, apabila dalam
peraturan acara tersebut ditentukan bahwa gugatan balasan
(rekomendasi) tidak diperkenan-kan. Hal ini bertentanngan
dengan asas dalam HIR bahwa kedudukan para pihak di muka
Hakim adalah sama (pasal 132a bsd 135 IIIR). Misal
penyerobotan kekuasaan Hakim pada Pengadilan Negeri ialah,
bila wasit diperbolehkan memberi perintah kepada seorang
pegawai negeri yang menyimpang surat-surat tertentu untuk
ditunjukkan di muka sidang wasit (wasit 138 HIR). Dalam hal ini

568
wasit harus minta kepada para pihak supaya mengajukan insiden
keacaraan ini kepada Hakim Negeri yang berwenang,
c. Acara banding bagi perwasitan di muka Mahkamah Agung telah
diatur dalam pasal 108 sampai dengan pasal 111 UU tentang
Mahkamah Agung Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun
1950 (LN 1950-30).

12. KETENTUAN TENGGANG DAN KESUKARAN


DALAM IIAL SAKSI
Dalam menyelesaikan perselisihan, para wasit dan para pihak
harus memperhatikan tenggaang-tenggang yang sudah ditentukan
dalam akta kompromis (pasal 623 kalimat kedua Rv., pasal 624, 625
dan 626 Rv.). Malahan menurut pasal 623 kalimat kedua Rv wasit
dapat dihukum menggantikan kerugian, biaya dan bunga , apabila
dia tanpa alasan yang sah tidak memberikan putusannya pada waktu
yang telah ditentukan. Bila hal tersebut disebabkan karena para
pihak alpa dalam mengajukan surat-surat yang diharuskan misalnya,
maka wasit dapat bertindak:
a. memberi perpanjangan tengganng waktu, atau
b. bila para pihak tampak sudah tidak mengharap/menghajatkan
putusan wasit, maka wasit dapat menyatakan bahwa tugasnya
telah berakhir.
Bila ada kesukaran dalam hal saksi yang tidak mau hadir atau tidak
mau disumpah dan lain-lain, maka bantuan Hakim pada Pengadilan
Negeri perlu diminta.

13. BERDASAR APAKAH WASIT MEMBERIKAN


PUTUSANNYA
Para wasit memberikan putusannya berdasar:
a. peraturan hukum, kecuali kalau akta kompromis
memperbolehkan mereka untuk memberi.
b. Pertimbangan yang layak sebagai orang yang baik (als geode
mannen naar billijkhead - pasal 631 Rv)
Sampai di mana wasit itu dapat menyimpang dari peraturan-
peraturan hukum? Prof. Sockardono 2 mengemukakan pendapatnya,
bahwa wasit itu tidak boleh dengan begitu saja mengabaikan
peraturan-peraturan hukum yang bersifat memaksa. Dalam hal isi
harus ditinjau peristiwa demi peristiwa secara saksama.
14. ISI PUTUSAN WASIT DAN DI MANA DI SIMPAN

569
Putusan wasit harus berisi:
a. Nama dan tempat tinggal para pihak;
b. kesimpulan dari para pihak;
c. alasan-alasan hukum danputusan
Putusan itu ditanggali dan ditulis nama tempat, di mana putusan
itu dijatuhkan dan diakhimya ditandatangani oleh tiap-tiap wasit
yang menjatuhkan putusan itu yang menjatuhkan putusan itu (pasal
632 Rv).
Dalam hal ada wasit yang tidak bersedia menandatangi surat
putusan itu, para wasit lainnya menyatakan hal dalam surat putusan ,
dan putusan ini mempunyai kekuatan hukum sama dengan bilamana
semua wasit menandatanganinya (pasal 634 Rv).

15. TIDAK MUNGKIN MELAWAN DAN KASASI, IIANYA


BOLEII BANDING
Terhadap putusan wasit tidak diberikan kesempatan untuk
melawan (verzet) atau kasasi (pasal 636 bsd 634 Rv), tetapi putusan
itu dapat dimintakan banding kepada Mahkamah Agung, bila perkara
yang diputus itu bernilai Rp. 25.000,- atau lebih (pasal 15 UU
Mahkamah Ahung 1950, LN 1950-30).
Acara banding itu diatur dalam pasal 108 sampai dengan 111 UU
Mahkamah Agung tersebut. Dalam pemeriksaan banding itu
Mahkamah Agung memeriksa soal-soal materiil dari putusan wasit
yang dimintakan banding itu (pasal 110 UU Mahkamah Agung
1950).
Mengenai perkara banding pada putusan arbitrase (wasit), pernah
ada putusan Mahkamah Agung tanggal 5 September 1959, Register
nomor :1/1959, Pern. Put. Wst, yang menyimpulkan sebagai berikut:
“Menurut pasal 108 ayat (2) UU Mahkamah Agung 1950, putusan
panitia arbitrase dapat dimintakan banding ini dapat ditiadakan oleh
kedua belah pihak dalam perjanjian arbitrase, hal mana in casu
terjadi”3.

16. PELAKSANAAN PUTUSAN WASIT


Putusan wasit harus dilaksanakan oleh para pihak dengan
sukarela dan iklas. Kalau ada pihak yang tidak mau menjalankan
putusan wasit itu dengan sukarela, maka putusan itu harus
dimintakan “executoir verklaring” kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat (pasal 637 bsd 634 Rv).

570
Sebelum memberikan “executoir verklaring” tersebut, Hakim
yang berwenang menyelidiki dulu, apakah putusan wasit itu benar-
benar diberikan oleh wasit-wasit yang dengan sah menjalankan
tugasnya. Setelah ternyata benar, maka asli surat putusan (minuut)
wasit itu diberi perintah “eksekusi”, yang harus berkepala “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 4 UU
nomor 14 Tahun 1970, LN 1970-74). Perintah semacam itu ditulis
juga dalam helai salinan resmi (grosse) pertama yang akan dijalanka.
Di sini Hakim yang bersangkutan tidak boleh memeriksa kebenaran
material dari putusan wasit itu, melainkan hanya diperbolehkan
memeriksa kebenaran formal saja.
Setelah diberi “executoir verklaring”, putusan wasit itu dapat
dijalankan sebagai putusan Hakim Negara biasa.
Mengenai soal ini telah ada putusan Hakim, yakni putusan
Pengadilan Negeri di Surabaya, tanggal 1-10-1956, Nomor 373/1955
Perdata, yang kesimpulannya ialah: “Gugatan agar suatu putusan
arbitrase dibatalkan, dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karena
putusan arbitase itu telah dinyatakan “executoir” oleh Pengadilan
Negeri.”
Dalam Banding mengenai perkara ini , Pengadilan Tinggi
Surabaya, dengan putusan tanggal 3-7-1959, No. 97/1957 Pdr.,
menyatakan “bahwa gugatan agar suatu putusan arbitrase dibatalkan,
dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karena terhadap putusan
arbitrase itu tidak dimintakan banding kepada Mahkamah Agung.”
Dalam Kasasi mengenai perkara ini, Mahkamah Agung, dengan
putusannya tanggal 20-1-1960, Reg. 10 K/Sip/1960, menyimpulkan:
“Dalam hak ada perkara arbitrase antara kedua belah pihak, maka
pencabutan gugat yang sama oleh penggugat di depan Pengadilan
Negeri terhadap tergugat tidak berarti bahwa perkara arbitrase itu
juga gugur.”4

17. BERAKHIRNYA TUGAS SEBAGAI WASIT


Tugas sebagai wasit berakhir :
a. Bila wasit sudah memutus (pasal 649 Rv);
b. Lampaunya tenggang waktu yang sudah ditentukan dalam akta
kompromis tanpa ada putusan (pasal 650 ayat (!) Rv.);
c. Setelah lampaunya waktu enam bulan sesudah seorang wasit
menerima angkatannya, sejauh tidak ditetapkan tenggang yang
lain (pasal 650 kalimat kedua bsd, pasal 620 ayat (1) dan 622
Rv.);

571
d. Pencabutan tugas sebagai wasit untuk memutus oleh para pihak
(pasal 650 ayat (3) Rv.);
e. Seorang wasit tunggal meninggal dunia atau ditolak oleh salah
satu pihak, karena sifat “tidak memihaknya’ diragukan
(gewraaktO atau permintaan berhentinya telah disahkan oleh
Hakim Negara. Dalam hal yang meninggal dunia itu salah satu
seorang dari para wasit, maka sebagai gantinya dapat diusahakan
wasit lain (pasal 651 Rv);

18. PERBEDAAN ANTARA SISTEM “PARTY


ARBITRAGE” DENGAN SISTEM “UMPIRE”.
Arbitration Act 1934 di Inggris berlaku pada tanggal 1 Januari
1935). Dalam peraturan ini sistem “Party Arbitrage” diganti dengan
sistem “Umpire”. Perbedaan antara “Party Arbitrage” dengan
“Umpire” adalah sebagai berikut:
a. Dalam system “party arbitrage11, para pihak masing-masing
menunjukan seorang wasit dan kedua wasit itu bersama-sama
menunjuk wasit ketiga. Mereka bertiga memeriksa dan memutus
dengan “kelebihan suara “. Sistem ini dianggap kurang praktis
dan kurang baik, karena dikhatirkan bahwa kedua wasit dari para
pihak itu masih terlalu banyak melihat dan berikhtiar untuk
menyenangkan wasit ketiga itu. Dari itu sistem “party arbitrage”
itu lalu diganti dengan sistem “Umpire”. Di sini sifat “tidak
memihaknya” para wasit dari para pihak diragukan.
b. Dalam sistem “Umpire’ ini, bila kedua wasit dari para pihak itu
tidak ada kesesuaian pendapat, maka wasit ketiga memutus
sendiri sebagai “Umpire”, dengan tidak memperhatikan pendapat
dari wasit-wasit lainnya. Undang-undang “Arbitration Act
1934” dari Inggris ini berasal dari Arbitration Act 1697, yakni
undang-undang arbitrase yang tertua didunia, dan yang sudah
beberapa kali dirubah dan ditambah, hingga akhirnya menjadi
“Arbitration Act 1950” yang berlaku sampai sekarang.6)

19. IIUBUNGAN ANTARA PERWASITAN DENGAN


KAMAR DAGANG
Dalam pelajaran nomor 2 saya telah menunjukkan adanya
kebutuhan para pengusaha akan lembaga perwasitan dalam
menyelesaikan perselisihannya dengan teman pengusaha lainnya,
sebab lembaga perwasitan tersebut dianggap lebih cocok dengan
selera para para pengusaha yang menghendaki kecepatan bertindak
dan keadilan yang sesuai dengan dunia perusahaan. Karena adanya

572
sengketa antara para pengusaha itu sering terjadi, yang biasanya
berkisar pada perbedaaan penafsiran atau pelaksanaan suatu
perjanjian dagang, maka kebutuhan akan adanya “peradilan
perwasitan” itu menjadi mutlak. Kebutuhan ini diperhatikan oleh
kamar dagang, yakni suatu organisasi para pengusaha dari suatu
negara tertentu! Tiap-tiap negara mempunyai organisasi yang disebut
“Kamar Dagang dan Industri Indonesia”, di singkat “Kadin”. Kadin
inilah di Indonesia yang memprakarsai berdirinya lembaga peradilan
perwasitan yang disebut “Badan Arbitrase Nasional Indonesia”, di
singkat “BANI” pada tanggal 3 Desember 1977. Di bawah ini saya
memberikan beberapa contoh bagaimana erat hubungan antara
kamar dagang dengan lembaga perwasitan.
a. Di Indonesia, “BANI” adalah sebuah badan perwasitan yang
didirikan atas prakarsa Kadin, yang bertujuan untuk memberikan
penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa perdata
mengenai soal perdagangan, industri, dan keuangan, baik yang
bersifat nasional maupun yang bersifat internasional (pasal 1 ayat
(1) Anggaran Dasar Bani);
b. Di Paris telah didirikan “Court of Arbitration” pada tahun 1919
oleh Internasional Chamber of Commerce (ICC);
c. Di negeri Belanda ada perwasitan yang disebut “The Japan
Commercial Arbitration Association” yang termasuk dalam
lingkungan Kamar Dagang dan Industri Jepang;
d. Di Amerika Serikat terdapat “The American Arbitration
Association” yang juga didukung oleh Kamar Dagang Amerika.

20. ARBITRASE DENGAN PIIIAK ASING


Dengan adanya UU Nomor 1 Tahun 1967 (LN 1967-1), tentang
“Penanaman Modal Asing”, timbul kemungkinan adanya
perselisihan antara penanam modal warga negara asing, dengan
Pemerintah Indonesia. Dalam hal ini UU Nomor 1 Tahun 1967
tersebut mengaturnya sebagai berikut:
a. Pasal 22 ayat (2) berbunyi : “Jikalau antara kedua belah pihak
tidak tercapai mengenai jumlah, macam dan cara pembayaran
komperensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase, yang
putusan-nya mengikat kedua belah pihak.”
b. Pasal 22 ayat (3) berbunyi: “Badan arbitrase terdiri dari tiga
orang yang dipilih oleh Pemerintah dan pemilik modal, masing-
masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya, yang
dipilih bersama-sama oleh Pemerintah dan pemilik modal.”

573
Dari ketentuan-ketentuan ini tidak bisa dijawab persoalan,
apabila ada perselisihan tentang pemilihan arbiter (wasit) ketiga
sebagai ketuanya. Kesulitan ini terpaksa ditampung dalam peraturan
internasional, yaitu:
1) Konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara negara dengan
warga negara asing mengenai penanaman modal (Convention on
the settlement of investment dispute between States dan National
of other States) atau juga disebut “World Bank Convention”
(Konvensi Bank Dunia). Sebagai pelaksanaan konvensi Bank
Dunia ini lalu dibentuk “The International Centre for Settlement
of Internasional Disputes”, yang disingkat menjadi “Centre”,
yang merupakan badan perwasitan international yang berdiri
sendiri. Konvensi ini telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia
dengan UU Nomor 5 Tahun 1968 (LN 1968-32). Hal-hal penting
dalam undang-undang ini ialah:
1.1. Sebelum suatu perselisihan diajukan kepada “Centre” lebih
dulu harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Indonesia
(pasal 2). Kalau Pemerintah Indonesia tidak dapat
mengizinkan, perselisihan itu sudah tentu tidak bisa diadili
oleh “Centre”. Kalau Pemerintah Indonesia harus
mengizinkan setiap perselisihan yang akan diajukan kepada
“Centre” maka fungsi R.I sebagai negara yang berdaulat
penuh, kurang mempunyai arti.
1.2. Untuk melaksanakan putusan Mahkamah Arbitrase
“Centre” itu diharuskan adanya pernyataan dari Mahkamah
Agung R.I, bahwa putusan itu dapat dilaksanakan. Sekarang
soalnya ialah, apakah Mahkamah Agung Indonesia dapat
menolak untuk mengeluarkan pernyataan yang demikian
itu?
Kalau dapat, bagaimana dengan izin yang telah dikeluarkan oleh
Pemerintah RI atas dasar pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1968. Jika
Mahkamah Agung R.I tidak dapat menolak pernyataan itu, lalu
bagaimana fungsi Mahkamah Agung yang mempunyai hak
kontrol peradilan yang tertinggi, bilamana putusan arbitrase asing
itu tidak sesuai dengan :
a. Undang-undang Dasar R.I 1945 atau Pancasila ;
b. Kesusilaan, keadilan atau kepatutan Indonesia;
c. Ketertiban Umum R.I;
d. Ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat memaksa?
Peraturan arbitrase “Centre” dapat dipakai, bila pihak warga
negara asing yang menjadi lawan pihak negara Indonesia adalah
anggota dari “World Bank Convention”. Dalam hal pihak asing
menjadi anggota “World Bank Convention”, maka di dalam
permohonan “form B”, yang diajukan kepada Pemerintah Indonesia
untuk mendapat izin menjalankan perusahaan asing di Indonesia,
tercantum sebuah klausul yang berbunyi: “With explicit of
preclusion of disputes concerning tax matters, it is agreed that in all
disputes regarding the interpretation or implementation, of this
investment agreement arising between the Joint Venture Company
and the Government of Republic of Indonesia which cannot be
settled amicably, both parties shall settle the dispute under the
dispute the rules of the Convention on the Settlement of Investment
Disputes between States and National of other States, of which the
Republic of Indonesia is a member (Law No. 5 of 1968).”
2) . Sebagai tersebut dalam nomor I di atas, kita harus
mempergunakan “Centre”, bila warga negara asing yang menjadi
pihak dalam perselisihan dengan negara Republik Indonesia itu,
negaranya menjadi anggota dari Konvensi Bank Dunia. Tetapi
bila negara dari warga negara asing pemilik modal itu tidak
menjadi anggota dari Konvensi Bank Dunia, maka klausul dalam
“form B “ tersebut dirubah menjadi sebagai berikut: “In the event
that the services of the International Centre for Settlement of
Investment Disputes of Washington D.C are unavaibie to any of
the parties in this Invesment Agreement, then such disputes shall
be settled through a Board of Arbitration of three members,
consisting of two arbitrators and one umpire. Bach party will
appoint an arbitrator and the two arbitrators so appointed shall
appoint the umpire. In the two arbitrators cannot agree on the
umpire, the laters shall be appointed by the Chairman of the
International Chamber of Commerce at Paris, France, on the
request of either party. The aforesaid arbitration shall be final and
binding upon both parties.”
3) . Dalam “Joint Venture Agreement” pada umumnya ketentuan
mengenai perwasitan itu dirumuskan sebagai berikut: “All
disputes arising in connection with present contract shall be
finally settled under the Rules of Conciliation and Arbitration of
the International Chamber of Comment by one or more
arbitrators appointed in accordance with the Rules.” Inilah yang
disebut “I.C.C. Clause”.
4) . Bilamana Pemerintah R.I dan negara investor asing itu ada suatu
“bilateral agreement” yang disebut “Investment Guarantee
Agreement”, maka semua perselisihan antara Pemerintah R.I
dengan warga asing tersebut dapat diajukan kepada “Dewan
Perwasitan” yang terdiri dari tiga anggota. Bila salah seorang
wasit tidak diangkat oleh salah satu pihak, atau wasit tidak

575
berhasil memilih ketua perwasitan, maka “International Court of
Justice” mengangkat wasit anggota atau ketua perwasitan itu.
Sampai sekarang Pemerintah R.I sudah mengikat beberapa buah
negara dalam “Investment Guarantee Agreement”, misalnya
Amerika Serikat, Perancis, Swiss, Belgia, Belanda dan lain-lain.
5). Akhirnya saya merasa perlu untuk mengingatkan dengan telah
berdirinya “Badan Arbitrase Nasional Indonesia" di Jakarta pada
tanggal 3 Desember 1977 dan “Pusat Arbitrase” di Kualalumpur
(Malaysia) untuk lingkungan Asia pada bulan Oktober 1978,
kiranya klausul dalam “form B “ tersebut perlu disesuaikan
dengan keadaan baru yang terjadi dalam bidang arbitrase di
kawasan Indonesia pada khususnya dan Asia pada umumnya.

21. BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA


Pada pelajaran di muka saya telah beberapa kali menyinggung
adanya suatu perwasitan di Indonesia yang disebut “Badan Arbitrase
Nasional Indonesia” disingkat “BANI”. Karena saya berpendapat
bahwa mengenai Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ini
perlu diketahui oleh setiap orang, khususnya para pengusaha, yakni
setiap orang yang melakukan perusahaan, maka saya akan
menguraikan tentang “BANI” itu lebih lanjut, sebagai berikut:
a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ini didirikan atas
prakarsa Kamar Dagang dan Industri Indonesia , disingkat
“Kadin”, untuk memenuhi kebutuhan para pengusaha Indonesia
yang ingin menyelesaikan persengketaan dengan pengusaha
lainnya melalui perwasitan. BANI ini didirikan di Jakarta pada
tanggal 3 Desember 1977 dan dapat mempunyai cabang-cabang
di tempat-tempat lain di Indonesia yang dianggap perlu (pasal 2
Anggaran Dsar BANI, disingkat AD BANI).
b. BANI ini didirikan dengan tujuan untuk dapat menyelesaikan
yang adil dan cepat mengenai sengketa-sengketa perdata yang
timbul mengenai soal-soal perdagangan, industri dan keuangan,
baik yang bersifat nasional maupun International (pasal 1 ayat (1)
AD BANI). Dengan ketentuan ini, maka BANI berwenang untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa perdata yang terjadi antara
Pemerintah Indonesia dengan warga negara asing atau warga
negara Indonesia dengan warga negara asing.
c. BANI tidak hanya berwenang untuk menyelesaikan sengketa-
sengketa perdata saja, tetapi juga berweanang untuk memberikan
suatu pendapat yang mengikat (binding opinion atau bindend
advies) tanpa adanya suatu sengketa tertentu, kalau diminta oleh

576
para pihak dalam perjanjian (pasal 1 ayat (3) AD BANI). Bila
dalam suatu perjanjian dagang yang telah dibuat antara para
pihak, di belakang hari ternyata:
1) . Ada hal-hal yang kurang jelas;
2) . Ada beberapa ketentuan yang terlupa tidak dibuat;
3) . Timbul keadaan b.aru yang tadinya tidak tampak* sehingga
perjanjian perlu disesuaikan dengan keadaan yang sudah
berubah itu;
Maka para pihak berusaha untuk bersama-sama menyelesaikan
hal-hal tersebut. Jika para pihak tidak mampu untuk berbuat
demikian, maka mereka dapat mempergunakan jasa BANI untuk
melakukan hal-hal tersebut. Putusan BANI merupakan suatu
“pendapat yang mengikat”, yang wajib ditaati oleh para pihak.
Kalau salah satu dari para pihak itu tidak mau melaksanakan
putusan tersebut, maka pihak itu dianggap telah melanggar
perjanjian (breach of contract), untuk man dia dapat diajukan di
muka pengadilan negara.
d). Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) terdiri dari seorang
Ketua, seorang Wakil Ketua, beberapa orang tetap, beberapa
orang anggota tidak tetap dan sebuah sekretariat yang dipimpin
oleh scoranng sekretaris (pasal 3 ayat (1) AD BANI). Mereka di
angkat dan di berhentikan oleh Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (Kadin) atas usul dari Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI). Pengangkatan tersebut untuk jangka waktu
lima tahun, setelah mana mereka dapat diangkat kembali (pasal 3
ayat (3) AD BANI). Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia
(Kadin) ex officio menjadi Penaschat BANI (pasal 4 ayat (2) AD
BANI).
c). Mengenai biaya arbitrase dapat saya uraikan sebagai berikut:
e. 1. Biaya pendaftaran Rp. 50.000,-
e.2. Biaya administrasi/pemeriksaan dihitung menurut jumlah
uang yang dituntut, yaitu :
- di bawah Rp. lOn juta, biaya 2% (dua per seratus)
dengan maksimum Rp. 50.000,-
Rp. 10 juta sampai Rp. 25 juta, biaya Rp. 100.000,-
- Rp. 25 juta sampai Rp. 50 juta, biaya Rp. 200.000,-
Rp. 50 juta sampai Rp. 100 juta, biaya Rp. 350.000,-
Rp. 100 juta lebih, biaya Rp. 500.000,-(flarond).
e.3. Tarif ini berlaku mulai tanggal 1 September 1979.

577
e.4. Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi/ahli, dipikul oleh
pihak yang minta saksi/ahli itu dipanggil. Biaya mana harus
dibayar lebih dulu kepada Sekretaris BANI;
e.5. Apabila wasit/majelis wasit perlu melakukan perjalanan
untuk mengadakan pemeriksaan setempat, maka biaya
perjalanan itu dibebankan kepada kedua belah pihak,
masing-masing separuh, biaya mana harus dibayar lebih
dulu kepada Sekretaris BANI;
e.6. Biaya untuk ‘pendapat yang mengikat” ditetapkan oleh
Ketua BANI menurut berat ringannya persoalan yang
dimintakan pendapat.
Untuk lengkapnya bersama ini saya sertakan Anggaran Dasar serta
Peraturan Prosedur Arbitrase pada Badan Arbitrase Nasional
Indonesia, lihat lampiran nomor II.

22. KONVENSI-KONVENSI INTERNASIONAL MENGENAI


PERWASITAN
Sesudah saya membicarakan Badan Arbitrase Nasional
Indonesia, saya ingin membicarakan konvensi-konvensi
internasional inilah yang menjadi dasar hukum berdirinya pusat-
pusat peradilan perwasitan yang bersifat internasional. Konvensi-
konvensi internasional tersebut dapat saya uraikan sebagai berikut:
a. Pada tahun 1927 Pemerintah Belanda telah menandatangi suatu
konvensi internasional mengenai perwasitan di Gcncwa yang
dikenal dengan nama “Convention on the execution of Foreign
Arbitral Award” (Konvensi mengenai pelaksanaan putusan
arbitrase asing). Putusan perwasitan yang diberikan oleh majelis
perwasitan dari salah satu negara penandatangan konvensi
Genewa itu dapat dilaksanakan di negara penandatangan
konvensi lainnya. Konvensi ini ditandatangi oleh Belanda, juga
atas nama Hindia Belanda, yang pada waktu itu masih menjadi
jajahan Belanda. Persoalan timbul, apakah konvensi ini berlaku
bagi Indonesia sekarang? Persoalan ini telah dijawab oleh
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Deparlu, yang menyatakan
bahwa barulah suatu konvensi yang telah terjadi pada waktu yang
lalu, berlaku di Indonesia, bila telah dinyatakan dengan tegas
oleh Pemerintah Indonesia.7)
b. Pada tanggal 10 Juni 1958 oleh PBB telah ditandatangani suatu
konvensi tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan-putusan
perwasitan asing (Convention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Award) yang menjadi terkenal
dengan nama “The 1958 New York Convertion”. Tampaknya

578
convensi ini menggantikan konvensi Genewa tahun 1927 tersebut
di atas. Konvensi ini telah disetujui oleh Pemerintah Indonesia
dan disahkan dengan Keputusan Presiden R.I Nomor 34 Tahun
1981 (LN 1981-40), lihat lampiran nomor V.
c. Pada tanggal 16 februari 1968, dengan disponsori oleh Bank
Dunia (World Bank) telah ditandatangani suatu konvensi yang
disebut “Convention on the Settlement of Invenstment Dispute
between States and National of other States” (konvensi tentang
penyelesaian perselisihan antara negara dengan warga negara
asing mengenai penanaman modal) atau disebut “World Bank
Convention”. Sebagai pelaksanaan konvensi ini, telah didirikan
“The International Centre for Settlement of International
Disputes’, disingkat “Centre”. Konvensi ini telah disetujui
Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1968(LN 1968-32). Lihat lampiran nomor III.
d. Pada tanggal 15 Desember 1976, sidang umum PBB telah
menerima sebuah resolusi, yang menganjurkan kepada dunia
arbitrase, bila melakukan perwasitan agar suka mempergunakan
“Uncitra! Arbitration Rules”, disingkat UAR., yaitu peraturan
perwasitan yang telah disusun oleh “Panitia PBB untuk Ilukum
Dagang International”, (united Nations Commission on
International Trade Law). “Uncitral Arbitration Rules (UAR) ini
bertujuan untuk memberi peraturan mengenai perwasitan yang
dapat diterima oleh segala pihak dalam melakukan perwasitan
antara warga-warga negara yang sistem hukum dan sosialnya
tidak sama. Republik Indonesia sudah menandatangani resolusi
tersebut, lihat lampiran nomor IV.

23. PUSAT-PUSAT PERWASITAN INTERNATIONAL DAN


REGIONAL
Saya telah membicarakan mengenai pusat perwasitan Indonesia,
yaitu “Badan Arbitrase Nasional Indonesia “(BANI) yang
berkedudukan di Jakarta. Sekarang tibalah saatnya untuk
membicarakan pusat-pusat perwasitan international dan regional
sebagai berikut:
a. Pusat perwasitan yang tertua dan terkenal ialah “Court of
Arbitration of The International Chamber of Commerce” (ICC)
di Paris, yang didirikan pada tahun 1919. Badan perwasitan ini
sudah berpuluh-puluh tahun menjalankan tugasnya dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa perdata yang bersifat
international, di mana kedua belah pihak adalah warga-warga
negara dari negara-negara yang berlainan. “Court of Arbitration”
ini sampai sekarang masih melakukan tugasnya.

579
b. Pusat perwasitan di Amerika, yang dikenal dengan nama “The
American Arbitration Association”;
c. Di Inggris yang dikenal dengan nama “The British Institute of
Arbitration”;
d. London yang dikenal dengan nama “The London Court og
Arbitration”;
c. Pusat perwasitan regional yang berasal dari dunia ketiga, yang
mempunyai riwayatnya tersendiri sebagai berikut. Sudah sejak
lam dirasakan oleh dunia ketiga bahwa putusan-putusan dari
“Court of Arbitration of International Chamber of Commerce” di
Paris itu kurang memuaskan bagi negara-negara dunia ketiga,
sebab putusan ICC itu kurang memperhatikan kepentingan-
kepentingan negara berkembang. Kelompok ahli-ahli dari dunia
ketiga lalu berkumpul dalam suatu organisasi yang disebut “Asia
Afrika Legal Consultative Commitee”, disingkat AALCC, yang
kantor pusatnya di New Dclhi(India). Gerakan AALCC ini
berusaha untuk melepaskan diri dari kekuasaan ICC dan
mebentuk pusat perwasitan sendiri.
Pada sidangnya di Kualalumpur tahun 1978, AALCC berhasil
membentuk perwasitan sendiri di Kualalumpur untuk kawasan
Asia dan sidang tahun 1979 berhasil mendirikan pusat perwasitan
di Kairo untuk kawasan benua Afrika.
Dalam sidang di Kualalumpur terebut AALCC juga telah
menetapkan bahwa pusat-pusat perwasitan tersebut akan
mempergunakan peraturan perwasitan “Uncitral Arbitration
Rules”, yaitu suatu peraturan prosedur arbitrase yang telah
diterima oleh PBB dalam sidang umumnya pada tanggal 15
Desember 1976, dimana Indonesia telah turut serta
menandatangani resolusi tersebut (lihat pelajaran nomor 22).

24. HAMBATAN PADA PELAKSANAAN PUTUSAN


PERWASITAN ASING
Putusan perwasitan itu harus dilaksanakan, baik putusan itu
dibuat oleh peradilan perwasitan dalam negeri maupun yang dibuat
oleh peradilan perwasitan adalah meniadakan sengketa yang ada
pada para pihak. Kalau putusan perwasitan itu tidak dijalankan,
maka sengketa masih tetap ada dan mungkin lebih parah lagi. Kalau
putusan perwasitan itu diberikan oleh peradilan dalam negeri, maka
dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melaksanakan, maka ada
upaya hukum yang tersedia bagi hal yang demikian, yaitu dengan
cara mengajukan permohonan “executoir verklaring” kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang dan putusan perwasitan itu dapat

580
dijalankan sebagai putusan pengadilan negeri biasa (pasal 637 bsd
634 Rv).
Tetapi jika putusan itu datang dari peradilan perwasitan asing,
maka persoalannya menjadi lain, yakni menyinggung, “kedaulatan
negara”, tempat putusan perwasitan itu dilaksanakan . Walaupun
persoalan itu mengenai “kedaulatan negara”, yang harus dijaga
keutuhannya secara bulat, tetapi bila sudah ada persetujuan antara
para pihak yang bersangkutan untuk mengizinkan pelaksanaan
putusan wasit di wilayah negaranya, tempat dilaksanakan putusan
perwasitan itu. Selanjutnya, jika putusan itu melanggar asas hukum
dari negara, tempat putusan itu dilaksanakan, maka saya berpendapat
bahwa negara yang bersangkutan berhak menolaknya. Pendapat saya
tersebut tampaknya mendapat dukungan dari pasal 55 Konvensi
Bank Dunia (Centre), yang menyatakan bahwa pelaksanaan putusan
wasit sebagai maksud dalam pasal 54 Centre tidak boleh mengurangi
hukum dari setiap negara peserta. Menurut pengamatan saya para
ahli hukum di Indonesia banyak yang berpendapat seperti tersebut di
atas.
Persoalan tersebut mengenai penafsiran pasal 54 Centre, yang
menyatakan bahwa negara peserta konvensi harus mengakui
putusan wasit asing tersebut sebagai mengikat, dan mengizinkan
untuk dilaksanakan dalam wilayah negaranya, seolah-olah
merupakan putusan terakhir dari pengadilan setempat. Akan tetapi
pasal 3 ayat (I) UU No.5/1968 tersebut menyatakan bahwa putusan
perwasitan dari “Centre” itu dapat dijalankan dalam wilayah
Republik Indonesia. Persoalan lalu timbul, apakah Mahkamah
Agung Republik Indonesia berwenang menolak putusan perwasitan
tersebut? Persoalan ini mendapat dua macam jawaban:
a. Aliran pertama menjawab: Mahkamah Agung Republik
Indonesia tidak berwenang menolak berlakunya putusan
perwasitan itu;
b. Aliran kedua menjawab: Mahkamah Agung Republik Indonesia
boleh menolak putusan perwasitan tersebut, asal putusan
perwasitan itu melanggar asas-asas hukum Indonesia atau
Pancasila. Saya termasuk kelompok ini, sebab apa artinya
kedudukan Mahkamah Agung R.I sebagai penjaga/pelindung/
pelaksana keadilan, kalau tidak diperrbolchkan menolak hal-hal
yang tidak adil dan melanggar tata tertib serta kepentingan umum
bangsa/rakyat Indonesia.
Untuk lebih menjelaskan lagi tentang apa yang baru saya bicarakan,
maka saya kutipkan di bawah ini pasal-pasal yang bersangkutan :

581
1) . Pasal 54 ayat (1) kalimat pertama “Centre”; “Each Contracting
State shall rccoqnize an award rendered pursuant to this
Convention as binding and enforce the pecuniary obligations
imposed by that award within its territories as if it were a final
judgment of a court in that State”
2) . Pasal 55 Centre: “Nothing in Article 54 shall be construed as
derogating from the law in force in any Contracting State relating
to immunity of that State or of any forcifn State from execution”
3) . Pasal 3 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1968 berbunyi: “ (1) Untuk
melaksanakan putusan Mahkamah Arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam Konvensi tersebut mengenai perselisihan antara
Republik Indonesia dan Warganegara Asing di wilayah
Indonesia, diperlukan surat pernyataan Mahkamah Agung bahwa
putusan tersebut dapat dilaksanakan.”
Banding Terhadap
Putusan Wasit (Arbitrase)

Menurut ketentuan Pasal 15 jo Pasal 108 Undang-Undang No. 1


'I'ahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan
Mahkamah Agung Republik Indonesia, maka Mahkamah Agung juga
memutus pada tingkat peradilan kedua (maksudnya : banding) atas
putusan-putusan wasit yang ternyata mengenai nilai harga Rp 25.000,-
atau lebih.
Akan tetapi ternyata bahwa menurut Pasal 13 alinea terakhir
akta pengikatan tanggal 18 Maret 1977 “Keputusan Panitia Arbitrase
merupakan keputusan terakhir yang mengikat untuk semua fihak,
demikian juga mengenai biaya-biaya yang Panitia Arbitrase itu”;
dengan demikian maka hal ini berarti para pihak telah bersepakat
bahwa terhadap putusan Panitia Arbitrase tidak dapat diajukan banding
(Pasal 641 Rv. jo Pasal 377 R.I.D.), oleh karena mana permohonan
banding terhadap putusan Panitia Arbitrase tersebut tidak dapat
diterima
o Mahkamah Agung RI No. 1 Banding/Wasit/1981, tanggal 10 Juli 1984.
o Keputusan W ASIT- No. 01/XII/P.Ar/80, tanggal 15 Desember 1980.

MAHKAMAH AGUNG
PUTUSAN
Reg. No. 1 BANDING/WASIT/1981

DKMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG,
memeriksa perkara wasit dalam tingkat banding telah mengambil putusan
sebagai berikut dalam perkara :
PT. MULTI PLAZA PROPERTIES, berkedudukan di Jalan Pinangsia Raya
Jakarta Barat, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya : TALAS SIANTUR1, SIL
berkantor di Jakarta, Jalan Gajah Mada No. 219 C dan Jalan Hayam Wuruk
Glodok Baru, Lantai II Blok D-8-34-35, Pcmbanding/scmula pihak pertama;

583
melawan :
YAHYA WIJAYA, bertempat tinggal di Jalan A-l No. 4 A, Teluk Gong
Jakarta Utara, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya : SI I1NTA ANASTASIA,
SIT, berkantor di Jalan Pademangan I Gg. IX/23 A, Jakarta Utara, Terbanding/
semula pihak kedua;
Mahkamah Agung tersebut;
Melihat surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekraang pem-
banding/semula pihak pertama telah mengajukan pemeriksaan ulangan
terhadap Putusan Wasit No. 01/XII/P.Ar/80 tanggal 15 Desember 1980 pada
pokoknya berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
Bahwa pemohon asli adalah pemilik gedung pusat pertokoan/perkantoran
(shoping center) yang dikenal dengan nama “Glodok Plaza” terletak di Jalan
Pinangsia Raya Jakarta; dan termohon asli Yahya Wijaya adalah penyewa dari
sebuah ruangan pertokoan No. 65 Blok A lantai II di Gedung Glodok Plaza
tersebut;
Bahwa termohon asli telah ingkar janji tidak melakukan pembayaran dan
pelunasan angsuran uang sewa ke-4, 5, 6 dan 7, seperti telah dipcrikatkan
semula dalam akte pengikatan sebagai suatu perikatan pendahuluan yang
kemudian hari akan dituangkan menjadi perjanjian sewa-menyewa di hadapan
notaris;
Bahwa sebaliknya dari pemohon asli akan memperoleh tambahan
pembayaran uang sewa berikut pembayaran-pembayaran denda ingkar janji
dan lain-lain pembayaran sebagai akibat pemutusan hubungan sewa-menyewa,
termohon asli dengan sangat ganjil telah mengajukan seorang arbiter Kami
Kresno Widagdo, SH. untuk memeriksa/memutuskan tuntutan pengembalian
beberapa angsuran uang sewa, berikut ganti rugi (bukti PP-14);
Bahwa karena pemohon asli tidak merasa berhutang pada tennohon asli,
surat pemberitahuan wasit Kami Kresno Widagdo, SH. tersebut tidak dijawab
secara tertulis, tetapi secara lisan;
Bahwa wasit Kami Kresno Widagdo, SH. terus melakukan sidang arbitrase
sebagai wasit tunggal yang mcmutuskan/mcngabulkan tuntutan termohon asli
tersebut; (bukti PP-15);
Bahwa surat putusan wasit tersebut tidak wajar dan melawan hukum, yaitu:
a) Pada satu pihak wasit bertindak sebagai “Wasit” yang memberitahukan
telah dibuatnya Keputusan Wasit dan telah didaftarkannya Keputusan
Wasit tersebut pada kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan
b) Pada pihak lain Wasit telah bertindak sebagai kuasa atau bertindak untuk
mewakili kepentingan dari termohon/pihak kedua;

584
Bahwa berdasarkan Pasal 15 dan Pasal 103 s.d. 111 UU 1/1950 pcrmohon/
pihak pertama dalam waktu 1 bulan setelah mendapat pemberitahuan
keputusan Wasit PP-16, berhak mengajukan pemeriksaan ulangan kepada
Ketua Mahkamah Agung dalam sengketa perwasitan;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, pemohon asli menuntut
agar Mahkamah Agung memberikan putusan sebagai berikut:
1. Membatalkan keputusan Wasit a quo\
2. Menolak tuntutan/gugatan termohon/pihak kedua, setidak-tidaknya
menyatakan tuntutan/gugatan termohon/pihak kedua tidak dapat diterima;
3. Menyatakan termohon/pihak kedua telah ingkar janji dan melakukan
perbuatan melawan hukum;
4. Menghukum termohon/pihak kedua untuk membayar kepada pemohon/
pihak pertama kekurangan atau penggantian biaya-biaya/ongkos-ongkos
sewa, pajak penjualan, biaya perawatan, listrik, meterai, denda angsuran,
denda biaya perawatan dan pembatalan dan biaya administrasi sebesar Rp
2.761.216,00 (dua juta tujuh ratus enam puluh satu ribu dua ratus enam
belas rupiah);
5. Menghukum termohon/pihak kedua untuk membayar ongkos perkara;
Menimbang, bahwa menurut surat-surat yang terdapat dalam berkas ini
Keputusan Wasit No. 01/Xll/P.Ar/80 tanggal 15 Desember 1980 telah
diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 23
Desember 1980 kemudian diberitahukan kepada Pcmbanding/scmula pihak
pertama pada tanggal 24 Desember 1980. Sedangkan Pcmbanding/scmula
pihak pertama telah mengajukan permohonan banding pada tanggal 23 Januari
1981, maka sesuai Pasal 15 jo Pasal 108 UU No. 1/1950 tentang Susunan,
Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia
permohonan banding tersebut telah dinyatakan diterima;
Memperhatikan jawaban tanggal 26 Juni 1982 atas permohonan banding
Keputusan Wasit No. Ol/XlI/P.Ar/80 tanggal 15 Desember 1980 yang
diajukan oleh terbanding/semula pihak kedua;
Menimbang, bahwa kata-kata pemohon/pihak pertama dalam permohonan
pemeriksaan ulangan tersebut harus dibaca sebagai Pembanding/scmula pihak
pertama sedangkan kata-kata termohon/pihak kedua harus dibaca sebagai
Terbanding/semula pihak kedua;
Bahwa selanjutnya mengenai alasan-alasan banding yang diajukan oleh
Pembanding/semula pihak pertama, menurut pendapat Mahkamah Agung
alasan-alasan tersebut tidak dapat diperhatikan, karena ternyata menurut Pasal
13 alinea terakhir Akta Pengikatan tanggal 18 Maret 1977 “Keputusan Panitia
Arbitrase merupakan keputusan terakhir yang mengikat untuk semua pihak,
demikian juga mengenai biaya-biaya Panitia Arbitrase itu”;

585
Bahwa hal ini berarti para pihak telah bersepakat terhadap putusan Panitia
Arbitrase tidak dapat diajukan banding (Pasal 641 Rv. yo Pasal 377 R.I.D.),
oleh karena mana permohonan banding terhadap putusan Panitia Arbitrase
tersebut tidak dapat diterima;
Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal yang dipertimbangkan di atas,
maka permohonan banding yang diajukan oleh pemohon PT. Multi Plaza
Properties tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
Memperhatikan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, Undang-Undang No.
1 Tahun 1950 dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 serta Reglemen
Indonesia yang dibaharui;
MENGADILI :
Menyatakan, bahwa permohonan banding dari pemohon banding : PT.
MULTI PLAZA PROPERTIES tersebut tidak dapat diterima;
Menghukum pembanding dengan membayar biaya perkara dalam tingkat
banding ini ditetapkan sebanyak Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaran Mahkamah Agung
pada hari : Rabu, tanggal 14 Maret 1984 dengan Prof. Z. Asikin Kusumah
Atmadja, SI I. Ketua Muda ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Sidang, Th. Kctut Suraputra, SII. dan Ny. H. Poerbowati Djoko
Soedomo, SH. sebagai Hakim-hakim Anggota, dan diucapkan dalam sidang
terbuka pada hari : Selasa, tanggal 10 Juli 1984, oleh Ketua Sidang tersebut
dengan dihadiri oleh Danny, SII. dan Ny. Poerbowati Djoko Soedomo, SII.
Hakim-hakim Anggota, dan Martini, SII. Panitera Pengganti, dengan tidak
dihadiri oleh kedua belah pihak.

Hakim Ketua,
ttd.
(Prof. Z. Asikin Kusuma Atmadja, SIL)

Hakim-hakim Anggota,
ttd.
(Th. Ketut Suraputra, SIL)
ttd.
(Ny. II. Poerbowati Djoko Soedomo, SII.)

586
K E P U T U S A N W A S IT
N o . 0 I /X I I /P .A r /’8 0

Yang bertaNda tangan di bawah ini, saya Kami Krcsno Widagdo, SU.,
Advokat dan Pengacara di Jakarta, berkantor di Jalan Kyai Tapa No. 1 Blok
A/I7 Lantai III Tomang Plaza, Jakarta Barat, dalam hal ini bertindak sebagai
Wasit berdasarkan Surat Penunjukan tertanggal 7 November 1980 yang dibuat
oleh Tuan Yahya Wijaya dan penunjukan itu telah saya terima dengan
membubuhkan tanda tangan saya pada Surat Penunjukan itu.
Menimbang, bahwa telah timbul perselisihan tentang hubungan sewa-
menyewa antara PT. Multi Plaza Properties, sebagai Pihak Pertama dan Yahya
Wijaya, sebagai Pihak Kedua;
Menimbang, bahwa sesuai dengan perjanjian dan kebiasaan setempat,
maka Pihak Pertama maupun Pihak Kedua menyetujui dalam hal tidak terdapat
penyelesaian sengketa secara damai, menyerahkan permasalahnnya kepada
Panita Arbitrase (Perwasitan).
Menimbanga, bahwa dengan surat No. 16/PA/XI/80 tanggal 10 November
1980, saya telah memberitahukan penunjukan diri saya sebagai wakil Wasit
dari Pihak Kedua dan adanya hak dari Pihak Pertama untuk menunjuk
Wasitnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, namun demikian sampai lewat dari
waktu yang telah ditentukan ternyata Pihak Pertama tidak menunjuk seorang
Wasit untuk mewakilinnya;
Menimbang, bahwa oleh karena itu, saya, Kami Krcsno Widagdo, SH.,
menurut ketentuan yang dibuat dan disetujui oleh Pihak Pertama dan Pihak
Kedua, akan bertindak sebagai Panitia Arbitrase sendiri;
Menimbang, bahwa ternyata antara Pihak Pertama dengan Pihak Kedua
tidak lagi terdapat kata sepakat untuk mengadakan perdamaian;
Menimbang, bahwa menurut Akte Pengikatan tertanggal 18 Maret 1977,
yang telah diperbaharui dengan perjanjian tertanggal 14 September 1978,
maka pokok perselisihan antara kedua belah pihak adalah sebagai berikut:
1. Bahwa pada bulan Maret, April dan Mei 1977, Pihak Kedua telah
menyerahkan uang sewa kepada Pihak Pertama sebesar 35% atau Rp.
3.351.250,00 (tiga juta tiga ratus lima puluh satu ribu dua ratus lima puluh
rupiah) (bukti kwitansi P-IA, P-IB, P-IC);
2. Bahwa uang sejumlah pada ad. 1 itu dimaksudkan untuk pembayaran
uang sewa ruangan lantai II Blok A No. 65 milik Pihak Pertama selama
10 tahun untuk usaha pertokoan;
3. Bahwa karena semua ruangan pada lantai II Blok A itu hanya boleh
dipergunakan untuk pertokoan, sedangkan Pihak Kedua pada bulan Juni
1977 karena adanya perpecahan diantara kawan usahanya tidak mungkin

587
membuka tokonya di lantai II, maka dengan terpaksa Pihak Kedua
menangguhkan pembayaran uang sewa kepada Pihak Pertama;
4. Bahwa atas penangguhan pembayaran sewa itu Pihak Pertama tidak
pernah memberikan teguran atau peringatan kepada Pihak Kedua bahkan
Pihak Pertama pada tanggal 18 Agustus 1977 telah menyerahkan ruangan
yang disewa pada lantai II Blok A No. 65 kepada Pihak Kedua dan Pihak
Kedua juga menerimanya, karena Pihak Kedua tetap bermaksud menepati
perikatan-nya dengan Pihak Pertama (bukti P-II);
5. Bahwa Pihak Kedua meskipun telah menerima penyerahan ruangan lantai
II Blok A No. 65, tetapi sama sekali belum pernah menikmati atau
mempergu-nakannya, karena Pihak Kedua bermaksud merubah usahanya
di bidang perusahaan perjalanan (travel biro), usaha mana tidak
diperbolehkan di lantai II Blok A No. 65;
6. Bahwa pada tanggal 24 Juli 1978 dan 28 Juli 1978 barulah dikeluarkan
surat teguran oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua untuk meneruskan
angsuran-angsurannya;
7. Bahwa ternyata pada bulan Agustus 1978, Pihak Pertama telah
menyewakan lagi kepada pihak ketiga c.q. Dra. Ina Damayanti, ruangan
lantai II Blok A No. 65, sebelum ada penyelesaian dengan Pihak Kedua,
dengan harga sewa yang dinaikkan menjadi Rp 1.107.500,00 (satu juta
seratus tujuh ribu lima ratus rupiah) (bukti P-V, P-X);
8. Bahwa pada tanggal 14 September 1978 Pihak Kedua menemui Pihak
Pertama dan menerangkan apakah di lantai II diperbolehkan untuk kantor.
Hasil pertemuan ini ialah diadakannya pembaharuan perikatan dengan
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Pihak Pertama menawarkan kepada Pihak Kedua untuk menukar
ruangan lantai II Blok A No. 65 dengan ruangan lantai IV Blok A No.
1 untuk menjalankan usaha perjalanan (travel biro);
b. Bahwa harga sewa ruangan tersebut huruf a setahun Rp 1.406.160,00
selama 2 (dua) tahun menjadi sejumlah Rp 2.812.320,00 ditambah
Pajak Penjualan 5%;
c. Pihak Pertama menyetujui seperti halnya Pihak Kedua menerima
persetujuan itu yang menentukan bahwa pembayaran uang sewa
selama dua tahun diperhitungkan dari uang yang disetorkan oleh
Pihak Kedua kepada Pihak Pertama sejumlah Rp 3.561.250,00
dikurangi dengan kerugian Pihak Pertama sebesar Rp. 740.930,00
(bukti P-IV);
d. Bahwa Pihak Pertama berjanji akan menyerahkan ruangan lantai IV
Blok A No. 1 itu pada tanggal 1 Februari 1979 kepada Pihak Kedua,
tetapi janji itu tidak ditepati, bahkan untuk kedua kalinya Pihak
Pertama menyewakan lagi ruangan lantai IV Blok A No.l kepada
pihak lain;

588
9. Bahwa dengan tidak adanya penyerahan ruangan lantai IV Blok A No. 1
itu Pihak Pertama telah mengingkari janjinya kepada Pihak Kedua,
sehingga Pihak Kedua telah menderita kerugian :
a. Pihak Kedua tidak dapat membuka kantornya di lantai IV Blok A No.
1, sedangkan untuk usaha biro perjalanan di lingkungan Glodok Plaza
itu hanya ada sebuah perusahaan pada waktu itu;
b. Pihak Kedua harus menyewa lagi kantor di tempat lain yang tidak
menguntungkan seperti di Glodok Plaza;
10. Bahwa Pihak Pertama sejak semula tidak ada itikad baik untuk
melaksana-kan perjanjian (perikatan) ini sebagaimana seharusnya,
terbukti dari:
a. Menyewakan kembali ruangan lantai II Blok A No. 65 kepada dra. Ina
Damayanti pada tanggal 14 Agustus 1978 (bukti P-III, P-V);
b. Menyewakan kembali ruangan lantai IV Blok A No. 1 kepada P.D.
Sanjaya (bukti iklan harian Kompas 22 November 1980; P-VI);
c. Tidak melaksanakan perjanjian yang telah disetujui oleh Direksi PT.
Multi Plaza Properties tanggal 14 September 1978 (bukti P-IV);
d. Membuat keputusan berupa teguran, peringatan ataupun pembatalan
perikatan secara sepihak tanpa memperhatikan perjanjian yang telah
disetujui oleh kedua pihak;
e. Surat peringatan/teguran tertanggal 24 Juli 1978 dan 28 Juli 1978
yang ditujukan kepada Pihak Kedua telah melanggar Pasal 9 Akte
Pengikat-an tertanggal 18 Maret 1977 (bukti P-VII, P-VI1I, P-IX);
11. Bahwa dalam perundingan perdamaian ternyata Pihak Pertama hanya
menyetujui pembayaran/pengendalian uang sewa kepada Pihak Kedua
selama 5 (lima) bulan sewa, yaitu bulan September 1980 sampai dengan
Januari 1981), yang ditolak oleh Pihak Kedua;
12. Bahwa oleh sebab itu Pihak Kedua tetap menuntut kepada Pihak Pertama
agar supaya:
I. Membayar dan/atau mengembalikan :
a. Uang sewa selama 2 (dua) tahun = Rp 2.812.320,00
b. Pajak Penjualan 5% x Rp 2.812.320,00 = Rp 140,616,00
Jumlah = Rp 2.952.936,00
c. Sanksi tidak adanya penyerahan ruangan
maksimum 5% x Rp 2.812.320,00 = Rp 140.616,00
Jumlah Rp 3.093.552,00
d. Ganti kerugian : 2% per bulan dari
Rp 2.812.320,00 dari sejak 14 September
1978 sampai dengan 1981 == Rp 1.574.899,00
Jumlah Rp 4.668.451,00

589
II. Membayar uang paksa sebesar Rp 5.000,00 setiap hari Pihak
Pertama tidak mcmbayar/lalai membayar tuntutan Pihak Kedua
tersebut Angka I.
Tentang Hukumnya:
Menimbang, bahwa perlu ditetapkan terlebih dahulu dasar hubungan
hukum transaksi antara Pihak Pertama, PT. Multi Plaza Properties dengan
Pihak Kedua, Yahya Wijaya;
Bahwa antara Pihak Pertama dengan Pihak Kedua telah mengikatkan diri
dalam hubungan sewa-menyewa yang tertuang di dalam Akte Pengikatan
tertanggal 18 Maret 1977 (bukti P-VII);
Menimbang, bahwa sertclah mempelajari kejadian perkaranya dan
memperhatikan bukti-bukti yang dilampirkan oleh Pihak Kedua, maka perlu
diperhatikan tuntutan Pihak Kedua kepada Pihak Pertama;
Menimbang, bahwa Pihak Kedua telah menyatakan Pihak Pertama telah
beberapa kali mengingkari janjinya dan beranggapan bahwa Pihak Pertama
telah beritikad tidak baik dalam perikatan tersebut, oleh sebab itu Pihak Kedua
menuntut Pihak Pertama seperti tersebut di atas;
Menimbang, bahwa apakah benar ada hubungan sewa-menyewa antara
Pihak Pertama dengan Pihak Kedua, telah diakui oleh kedua pihak dan terbukti
dari akte pengikatan tertanggal 18 Maret 1977 (bukti P-VII) dan kemudian
diperbaharui dengan perjanjian tertanggal 14 September 1978 (bukti P-IV) dan
untuk mempersingkat kepada pihak-pihak yang berkepentingan dipersilahkan
membaca bukti-bukti terlampir;
Menimbang, bahwa dari bukti-bukti tersebut ternyata Pihak Kedua
juga pemah mengingkari janjinya, namun demikian Pihak Pertama tidak
memutuskan hubungan sewa-menyewa itu dengan Pihak Kedua dan antara
kedua pihak berhasil memperbarui perikatannya dalam perjanjian tertanggal
14 September 1978 yang isinya seperti tersebut pada pokok tuntutan angka 8;
Bahwa Pihak Kedua yang telah mengingkari janji telah dihukum
untuk membayar ganti kerugian kepada Pihak Pertama, dengan demikian :
Pajak Penjualan 5%, sewa listrik bulan September 1977 sampai dengan
Agustus 1978, kerugian 5%, yang seluruhnya meliputi jumlah Rp 748.930,-
(bukti P-IV);
Menimbang, bahwa karena Pihak Kedua yang telah mengingkari janji
telah dihukum mengganti kerugian Pihak Pertama, maka demikian pula sudah
sepantasnya jika Pihak Pertama mengingkari janjinya harus dihukum pula
untuk mengganti kerugian kepada Pihak Kedua;
Menimbang, bahwa Pihak Kedua sejak tanggal 14 September 1978
dengan adanya pembaharuan perjanjian penukaran memiliki hak sewa atas
ruangan lantai IV Blok A No. I selama 2 (dua) tahun, mulai 1 Februari 1979
sampai dengan 31 Januari 1981;

590
Bahwa Pihak Pertama berjanji akan menyerahkan ruangan tersebut pada
tanggal 1 Februari 1979, tetapi janji tersebut tidak pernah ditepati oleh Pihak
Pertama, tanpa pemberitahuan sedikitpun kepada Pihak Kedua;
Bahwa ternyata Pihak Pertama malahan menyewakan lagi ruangan
yang seharusnya telah disewakan kepada Pihak Kedua itu kepada pihak lain
(bukti P-VI);
Bahwa dengan demikan Pihak Pertama telah dengan sengaja beritikad
tidak baik mengingkari janji kepada Pihak Kedua;
Menimbang, bahwa Wasit memandang adil jika kepada Pihak Pertama
juga harus dibebani membayar ganti kerugian seperti halnya yang dikenakan
kepada Pihak Kedua ketika Pihak Kedua berbuat ingkar janji;
Menimbang, bahwa masa sewa dari Pihak Kedua adalah masih tetap utuh
selama 2 (dua) tahun dan tidak akan berakhir oleh lewatnya waktu, karena
Pihak Pertama belum pernah menerima penyerahan atas ruangan lantai IV
Blok A No. 1 milik Pihak Pertama, sedangkan ruang sewa untuk 2 (dua) tahun
sebesar Rp 2.812.320,00 dan Pajak Penjualan 5% sebesar Rp 140.616,00 telah
dibayar lunas kepada Pihak Pertama, maka dari itu uang sewa ditambah
dengan Pajak Penjualan 5% yang telah dibayarkan oleh Pihak Kedua kepada
Pihak Pertama harus juga dikembalikan;
Bahwa oleh sebab itu Wasit tidak sependapat dengan Pihak Pertama yang
hanya akan mau mengembalikan uang sewa selama masa sewa 6 (enam) bulan
kepada Pihak Kedua;
Bahwa tentang pengertian ganti kerugian, Wasit berpendapat bahwa lebih
adil jika pengertian itu dihubungkan dengan keuntungan yang wajar bagi
seseorang dengan bunga menurut hukum selama 2 (dua) tahun masa sewa;
Menimbang, bahwa wasit memandang perlu untuk mempertimbangkan
juga kemungkinan tidak ditaatinya putusan ini oleh Pihak yang dikalahkan,
sehingga Wasit menetapkan sanksi tambahan untuk memperkuat putusannya;
Menimbang, bahwa masing-masing pihak harus menanggung biaya
Perwasitan sebesar separuh dari jumlah seluruhnya sebanyak Rp 500.000,00
ditambah dengan biaya Pengadilan;
Mengingat, Buku III Bab I, II, VII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dan Akte Pengikatan tertanggal 18 Maret 1977.

Memberikan Keputusan :
1. Menyatakan Pihak Pertama telah bersalah melakukan perbuatan ingkar
janji kepada Pihak Kedua;
2. Mewajibkan kepada Pihak Pertama untuk membayar dan mengembalikan
kepada Pihak Kedua uang sejumlah :

591
a. Uang sewa selama 2 (dua) tahun Rp 2.812.320,00
b. Pajak Penjualan 5% x Rp 2.812.320,00 Rp 140,616.00
Jumlah Rp 2.952.936,00
c. Sanksi tidak adanya penyerahan ruangan
maksimum 5% x Rp 2.812.320,00 Rp 140.616,00
Jumlah Rp 3.093.552,00
d. Ganti kerugian berdarakan bunga menurut
hukum selama 2 (dua) tahun :
2%x6xRp 2.812.320,00 Rp. 337.478,00
Jumlah Rp 3.431.030,00
(Tiga juta empat ratus tiga puluh satu ribu tiga puluh rupiah).
3. Mewajibkan kepada Pihak Pertama untuk membayar bunga kepada Pihak
Kedua sebesar 2% tiap bulan selama Pihak Pertama tidak/belum mentaati
keputusan Wasit tersebut angka 2;
4. Mewajibkan kepada Pihak Pertama dan Pihak Kedua untuk membayar
biaya Perwasitan masing-masing sebesar Rp 250.000,00 dan untuk
masing-masing membayar setengah dari biaya pendaftaran di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat;
5. Mewajibkan kepada Pihak Kedua untuk mentaati dan melaksanakan
keputusan ini dengan sebaik-baiknya.

Demikianlah telah diputuskan dan ditandatangani oleh saya, Kami Kresno


Widagdo, SIT., Wasit di Jakarta, yang bersidang di Jalan Mori 13, 1/14
Jakarta Pusat, pada hari Senin, tanggal lima belas Desember 1900 delapan
puluh dan asli surat keputusan ini diletakkan pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dan kepada Pihak-pihak diberikan salinan yang sesuai dengan aslinya.

Disalin sesuai aslinya;


Yang menyalin,

Kami Kresno Widagdo, SH.


Wasit,
ttd. + meterai seratus rupiah
Kami Kresno Widagdo, SII.

592
MAHKAMAH A G U N G, Mr. R. Wirjono Prodjodikoro (Ketua) Mr.
M.H. Tirtamidjaja dan Mr. R. Subckti
(Hakim-hakim anggauta).
Keputusan t.t. 5-9-1959.

Panitya Arbitrasi.
Menurut Pasal 108 (2) Undang-Undang Mahkamah Agung dari putusan
Panitya Arbitrase dapat dimintakan banding kepada Mahkamah Agung, tetapi
kemungkinan minta banding ini dapat ditiadakan oleh kedua belah pihak
dalam perdjandjian Undang Arbitrasi, hal mana in casu terdjadi.
Reg. No. 1/1959 Pemb. Put. Wst.

A'l’AS NAMA KEADILAN


MAHKAMAH AGUNG
mengadili dalam tingkatan banding telah mengambil putusan sebagai berikut
dalam perkara:
INDONESIA COTTON TRADING CO LTD., berkedudukan di
Djakarta, Pasal Pagi, 12 Djakarta-Kota, pembanding,
melawan:

FIRMA RAYUN, berkedudukan di Djakarta, Roa Malaka


Selatan No. 67 Djakarta-Kota, terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Melihat surat-surat jang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut temjata bahwa Firma Ruyun
sebagai pihak penggugat dan Indonesia Cotton Trading Co Ltd., sebagai pihak
tergugat telah minta kepada Panitya Arbitrasi dari Organisasi Exporteur Hasil
Bumi Indonesia, disingkat O.E.II.I., di Djakarta untuk memberi arbitrasi
mengenai perselisihan antara kedua belah pihak dan bahwa oleh pihak
penggugat dituntut agar supaya pihak tergugat dihukum untuk membajar
kepada pihak lawannja uang sedjumlah Rp 124.051,43 ditambah dengan bunga
atas djumlah itu serta biaja-biaja arbitrasi ini;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan tersebut Panitya Arbitrase O.E.II.I.
di Jakarta telah mengambil putusan pada tanggal 29 April 1959, jang
diktumnja berbunji sebagai berikut:
“Menghukum pihak tergugat untuk membajar kepada penggugat, dengan
menerima bukti pembajaran jang sah, uang sebesar Rp 121.809,59 (seratus dua
puluh satu ribu delapan ratus sembilan rupiah lima puluh sembilan sen),

593
ditambah dengan bunga 6% sctahunja dihitung mulai tgl. 12 Nopcmbcr 1958
sampai hari dipenuhi semuanja;
“menolak tuntutan penggugat mengenai selainnja;
“menghukum penggugat dan pihak tergutat untuk membajar biaja-biaja
arbitrasi ini, sampai dengan penjimpanan keputusan ini pada Kantor Panitera
pengadilan Negeri di Djakarta seluruhnja berdjumlah Rp 7.500,- (tudjuhribu
lima ratus rupiah), jakni penggugat sebesar Rp 150,- (seratus lima puluh
rupiah) dan pihak tergugat sebesar Rp 7.350,- (tudjuhribu tiga ratus lima puluh
rupiah);
“memerintahkan penggugat untuk membajar kepada O.E.H.I. seluruh
biaja-biaja arbitrasi ini, sebesar Rp 7.500,-;
“menghukum pihak tergugat untuk membajar kembali kepada penggugat,
dengan menerima bukti pembajaran jang sah, bagian daripada biaja-biaja
arbitrasi ini jang harus dibajar oleh pihak tergugat sebesar Rp 7.350,-”;
Menimbang, bahwa putusan arbitrasi ini telah diberitahukan kepada
kedua belah pihak jang berperkara pada tanggal 30 April 1959;
Bahwa sesudah penerimaan putusan arbitrasi itu terhadapnja oleh tergugat
dengan perantaraan kuasanja chusus telah diadjukan permohonan untuk
pemeriksaan banding dengan surat jang diterima di kepaniteraan Mahkamah
Agung pada tanggal 1 Djuni 1959, surat mana sekaligus memuat alasan-alasan
permohonannja;
Bahwa permohonan banding beserta memori alasan-alasan banding telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan sepatutnja;
Menimbang, bahwa terlebih dahulu harus dipertimbangkan soal apakah
permintaan banding ini materiel dapat diterima atau tidak;
Menimbang, bahwa pada umumnja menurut Pasal 108 (2) Undang-
Undang Mahkamah Agung Indonesia terhadap perkara ini dapat dimohonkan
banding;
Menimbang, bahwa akan tetapi menurut sjarat-sjarat umum buat
pendjualan hasil bumi (Pasal 2 ajat 2) dan Reglemen Panitya Arbitrase O.E.H.I
(Pasal 8 ajat 3), jang dipakai oleh dan berlaku antara kedua belah pihak pada
waktu persetudjuan jang bersangkutan dibuat, keputusan arbitrasi tidak akan
dapat dibanding;
Menimbang, bahwa hal demikian ini tidaklah bertentangan dengan Pasal
108 (2) Undang-Undang Mahkamah Agung tersebut atau dengan sesuatu
peraturan tentang ketertiban umum;
Menimbang, bahwa berdasarkan semua itu permohonan banding tersebut
harus dinjatakan tidak dapat diterima;
Memperhatikan pasal-pasal Undang-Undang jang bersangkutan dan Pasal
120 Undang-Undang Mahkamah Agung Indonesia;

594
M E M U T U S K A N :

Mcnjatakan bahwa permohonan banding dari pembanding : INDONESIA


COT TON TRADING CO LTD. tersebut tidak dapat diterima;
Menghukum pembanding untuk membajar biaja perkara dalam tingkatan
ini jang ditetapkan banjaknja Rp. 38,75 (tiga puluh delapan rupiah tudjuh
puluh lima sen).

595
596
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE
NEGARA-NEGARA ASEAN

A. INDONESIA
Pengaturan Putusan Arbitrase Di Indonesia
1. Pengaturan Hukum Arbitrase Ke Dalam Pcrundang-
undangan
Pengaturan hukum arbitrase ke dalam perundang-
undangan mengikuti salah satu dari tiga metode yaitu :
(1) Metode Pengaturan Terperinci.
(2) Metode Pengaturan Ringkas.
(3) Metode Pengaturan Tidak Ringkas tetapi juga Tidak
Terperinci.
Berikut ini penjelasan dari masing-masing metode
tersebut, yaitu sebagai berikut:
(1) Metode Pengaturan Terperinci
Metode pengaturan terperinci ini mensyaratkan
pengaturan masalah arbitrase ke dalam peraturan
perundang-undangan secara terperinci. Metode ini
biasanya dilaksanakan secara evolusioner. Semula
pengaturannya kurang terperinci, tetapi seiring dengan
perkembangan dalam praktik, peraturan peraturan tentang
arbitrase diubah dan dikembangkan terus, bahkan jika
mungkin dalam membuat aturan tersebut juga diantisipasi
berbagai kemungkinan yang mungkin akan terjadi dimasa
yang akan datang. Contoh dari negara yang menganut
paham pengaturan arbitrase secara terperinci adalah apa
yang dilakukan di Negara-negara Eropa Barat, seperti
Belanda dengan hukum arbitrase yang terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata setelah
direvisi.
(2) Metode Pengaturan Ringkas
Metode lain adalah mengatur masalah arbitrase dalam
suatu peraturan perundang-undangan tetapi yang diatur
hanyalah prinsip-prinsipnya saja.

597
Sementara bagian terbesar dan detail-detailnya dari
masalah arbitrase tersebut diberikan kebebasan untuk
diatur sendiri oleh para pihak sesuai dengan prinsip
kebebasan berkontrak. Metode pengaturan secara ringkas
ini dipakai misalnya oleh negara Pcrancis atau Swiss
dalam mengatur arbitrase internasional.
(3) Metode Pengaturan Tidak Ringkas tetapi juga Tidak
Terperinci
Kategori ketiga adalah metode pengaturan masalah
arbitrase ke dalam peraturan Pcrundang-undangan secara
tidak terlalu ringkas, tetapi juga tidak terlalu terperinci.
Jadi rnemakai jalan tengah di antara dua ujung ekstrem-
Metode seperti ini dapat dicontohkan dengan pengaturan
arbitrase internasional dalam UNCITRAL. Model Law,
yang telah diadopsi ke dalam beberapa arbitrase nasional
maupun internasional di beberapa negara termasuk yang
dilakukan di negara Jerman.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan Penyelesaian
Sengketa Alternatif
Undang-undang ini telah lama dinanti-nantikan oleh
banyak kalangan di Indonesia. Pada bulan Agustus 1999,
pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang
Arbitrase). Pada waktu dulu, ada banyak suara yang mendesak
pemberlakuan undang-undang ini sebagai tanggapan terhadap
kebutuhan yang berkembang mengenai penyelesaian sengketa
komersial yang efektif, singkat dan terpercaya di Indonesia.
Sebelum undang-undang ini disahkan, hukum tentang
arbitrase di Indonesia diatur oleh Pasal 615-651 Reglemen
Hukum Acara Perdata (Rv). Sebenarnya, Rv itu sendiri
bersumber dari Rv Belanda, dan bukan merupakan hukum
dalam arti sebenarnya. Mahkamah Agung Indonesia sendiri
mempertimbangkan Rv tersebut sebagai “pedoman”. Rv tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dapat dimengerti
kemudian jika pada waktu itu pengadilan di Indonesia
umumnya memiliki kewenangan yang besar untuk
menerapkan dan menafsirkan ketentuan hukum tersebut
terhadap praktik arbitrase di Indonesia.
Usaha-usaha untuk mengeksplorasi kemungkinan
pemberlakuan Undang-Undang Arbitrase telah dimulai sejak
tahun 1980-an. Pada masa itu, Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPIIN), mengajukan draf RUU Perdagangan
Indonesia yang salah satu bagian di dalamnya mengandung
pengaturan tentang arbitrase.
BPIIN telah befhasil membuat draf RUU Perdagangan
tersebut dan diajukan kepada Sekretariat Negara untuk
dipelajari sebelum secara resmi diajukan kepada DPR.
Sayangnya, draf RUU tersebut tidak pernah ‘tersentuh’ oleh
Sekretariat Negara. Draf tersebut hanya tersimpan begitu saja
dalam file Sekretariat Negara. Alasan utamanya adalah bahwa
Sekretariat Negara juga telah dipenuhi oleh draf RUU bidang
ekonomi lain yang dirasakan lebih penting.
Pergantian pemerintahan pada tahun 1997 melahirkan
tekanan baru mengenai permintaan dari kalangan masyarakat
bisnis untuk memberlakukan Undang-undang Arbitrase.
Akhirnya tekanan-tekanan tersebut dapat membuat pemerintah
memutuskan untuk mengesahkan RUU tersebut.
Undang-undang tersebut di sana sini tampaknya juga
mengadopsi prinsip dan ketentuan arbitrase dalam the
UNCfTRAL Model Law on Internatinal Commercial
Arbitration o f 1985 (UNCITRAL Model Law). Kebanyakan
ketentuan Undang-undang tersebut secara esensial merupakan
perpanjangan dari Rv dan aturan-aturan yang dikembangkan
sebelum arbitrase dikenal di Indonesia.
Dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999, Indonesia untuk pertama kali memiliki Undang-Undang
Arbitrase. Mungkin tidak biasa bagi banyak negara bahwa
undang-undang itu juga mengandung ketentuan tentang
alternatif penyelesaian sengketa (ADR), kendati undang-
undang tersebut hanya memiliki satu pasal saja mengenai
ADR (yaitu pasal 6) dari keseluruhan 82 pasal.
Sebagai tambahan terhadap undang-undang ini, Indonesia
juga terikat terhadap New York Convention on the Recognition
and Enforcement o f Foreign Arbitral Awards o f 1958

599
(Konvensi New York 1958) sebagaimana telah diratifikasi
dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981. Indonesia
juga merupakan anggota Washington Convention on the
Settlement o f Investment Disputes between States and National
o f Other States o f 1965 diratifikasi dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1968.
Menelusuri alur-alur ketentuan dalam Undang-Undang
Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 maka di samping undang-
undang tersebut mengatur secara panjang lebar tentang
arbitrase, memperlihatkan kepada kita bahwa sebenarnya
undang-undang tersebut juga menekankan kepada
penyelesaian sengketa alternatif berbentuk mediasi (dan
pemakaian tenaga ahli). Bahkan tidak menutup kemungkinan
penyelesaian sengketa melalui alternatif-alternatif yang lain.
Seperti juga terhadap institusi hukum arbitrase, terhadap
penyelesaian alternatif lainnyapun mendapat pengaturan dalam
Undang-Undang tentang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999,
mengenai penyelesaian alternatif ini, Undang-Undang
Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 menentukan sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan
oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa
yang didasarkan pada iktikad baik dengan
mcngenyampingkan penyelesaian Secara litigasi di
pengadilan negeri.
(2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dalam ayat
(1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para
pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan
hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
(3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka
atas kesepakatan tertulis para pihak sengketa atau beda
pendapat diselesaikan melalui seorang atau lebih
penasihat ahli maupun melalui seorang mediator.
(4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih
penasihat ahli maupun melalui seorang mediator tidak
berhasil mencapai kata sepakat maka para pihak dapat
menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang
mediator.
(5) Setelah penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah
dapat dimulai.
(6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan
memegang teguh kerahasiaan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk
tertulis yang ditandatangani oieh sernua pihak yang
terkait.
(7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
secara tertulis adalah final dan para pihak untuk
dilaksanakan dengan iktikad baik, serta wajib didaftarkan
di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak penanda-tanganan.
(8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat
sebagaimana dimaksud ayat (7) wajib selesai
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak pendaftaran.
(9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat tercapai, maka
para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat
mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga
arbitrase atau arbitrase ad hoc.
Dalam bagian penjelasan umum dari Undang-Undang
Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 ditentukan bahwa
alternatif penyelesaian sengketa dilakukan melalui
musyawarah para pihak yang bersengketa. Alternatif
penyelesaian sengketa ini adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati
para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Dengan demikian, sungguh pun Undang-Undang Arbitrase
kelihatannya lebih menekankan kepada penyelesaian sengketa

601
alternatif melalui kesepakatan para pihak sendiri, mediasi,
pengguna-an4cmbaga ahli atau arbitrase tetapi Sebenarnya
dimaksudkan dengan alternatif penyelesaian sengketa tersebut
termasuk semua jenis penyelesaian sengketa di luar badan
pengadilan.
Elemen-Elemen Dari Penyelesaian Sengketa Alternatif
Dari ketentuan dalam Pasal 6 Undang-Undang Arbitrase
Nomor 30 Tahun 1999 dapat ditarik beberapa elemen dari
suatu alternatif penyelesaian sengketa selain Arbitrase yang
diinginkan oleh Undang-Undang tentang Arbitrase tersebut.
Elemen-elemen tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Penyelesaian sengketa didasarkan pada unsur iktikad baik.
(2) Penyelesaian lewat pengadilan dikesampingkan.
(3) Penyelesaiannya dilakukan dalam pertemuan langsung
oleh para pihak (upaya tingkat pertama).
(4) Waktu penyelesaian paling lama 14 (empat belas ) hari.
(5) Hasil penyelesaiannya dituangkan dalam suatu kesepa­
katan tertulis.
(6) Apabila penyelesaian tingkat pertama (secara langsung)
tidak membuahkan hasil, maka dapat ditempuh upaya
tingkat kedua.
(7) Upaya tingkat kedua tersebut baik berupa bantuan seorang
atau lebih penasihat ahli.
(8) Upaya tingkat kedua tersebut di samping berupa penasihat
ahli, maupun berupa upaya melalui seorang mediator.
(9) Upaya tingkat kedua tersebut (penasihat ahli atau
mediator) ditempuh dengan berlandaskan suatu
“kesepakatan tertulis”, untuk itu dari para pihak.
(10) Waktu penyelesaian hingga tercapai kata sepakat
melalui penasihat ahli atau mediator tersebut adalah
14 (empatbelas) hari.
(11) Jika upaya tingkat kedua tersebut gagal dalam waktu
14 (empat belas) hari, maka ditempuh upaya tingkat
ketiga berupa penunjukan seorang mediator oleh lembaga
arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa.
(12) Mediator dalam upaya tingkat ketiga ini harus sudah
dilakukan upaya mediasinya dalam waktu paling lama
7 (tujuh) hari.
(13) Mediator dalam upaya tingkat ketiga ini harus sudah
selesai melaksanakan tugasnya dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari. Maksudnya dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari tersebut harus sudah tercapai kata sepakat
di antara para pihak dalam bentuk tertulis.
(14) Kesepakatan tertulis di antara para pihak tersebut adalah
final dan mengikat para pihak.
(15) Kesepakatan tertulis tersebut harus sudah didaftarkan
di Pengadilan Negeri dalam jangka waku 30 (tiga puluh)
hari.
(16) Jangka waktu pelaksanaan putusan dalam kesepakatan
tertulis tersebut adalah dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak pendaftaran di Pengadilan Negeri.
(17) Apabila tidak tercapai kesepakatan (dalam upaya tingkat
satu sampai ketiga), maka para pihak dapat menempuh
upaya tingkat keempat, yaitu upaya penyelesaian melalui
lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.
(18) Upaya tingkat keempat (arbitrase) tersebut diajukan oleh
para pihak melalui kesepakatan secara tertulis.
(19) Terhadap penyelesaian upaya di tingkat keempat tersebut
(arbitrase) berlaku ketentuan-ketentuan dalam Undang-
Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
(20) Sungguhpun tidak disebut-sebut dengan cara tegas
dalam Pasal 6 dari Undang-Undang Arbitrase, para pihak
tidak harus mengikuti prosedur alternatif penyelesaian
sengketa tingkat demi tingkat sampai tingkat keempat
tetapi dapat saja mengabaikan tingkat-tingkat tertentu.
Hal ini di sebabkan :
(a) Sifat penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
cepat dan efisien.
(b) Undang-undang tidak mengharuskan secara tegas
untuk mengikuti setiap tahap tersebut.

603
(c) Masih tercakup dalam kewenangan dan kebebasan
para pihak untuk berkontrak, termasuk untuk memilih
cara penyelesaian sengketa yang dikehendakinya.
(d) Untuk kepentingan efektivitas. Maksudnya jika
para pihak sudah tidak mau menggunakan salah satu
atau lebih tahap-tahap penyelesaian sengketa (di
antara empat tahap tersebut), tidak ada gunanya
dipaksakan karena kemungkinan besar kata sepakat
juga tidak akan tercapai. Dengan demikian,
sungguhpun tidak disebutkan dengan jelas dalam
Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999,
tahap-tahap penyelesaian sengketa tersebut (empat
tahap) bukanlah hukum memaksa (dwingend recht)
melainkan hanya hukum mengatur. Akan tetapi sekali
tahap tersebut sudah disetujui oleh para pihak, maka
para pihak tersebut wajib mengikutinya.

Tahap-Tahap Penyelesaian Sengketa Alternatif


Dengan demikian, tahap-tahap penyelesaian sengketa
melalui alternatif penyelesaian sengketa menurut Undang-
Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 adalah sebagai
berikut:
Tahap Pertama : Pertemuan langsung para pihak.
Tahap Kedua : Penunjukan penasihat ahli atau mediator
oleh para pihak.
Tahap Ketiga : Penunjukan mediator oleh lembaga
arbitrase atau lembaga penyelesaian
sengketa.
Tahap Keempat : Penyelesaian oleh lembaga arbitrase atau
oleh arbitrase ad hoc.
Tentang bagaimana penyelesaian sengketa alternatif
menurut Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999
tersebut, dapat dilihat dalam diagram berikut in i:
D ia g r a m P e n y e le s a ia n S e n g k e ta A lt e r n a t if

PERTEMUAN
TAHAP I
LANGSUNG PARA 14 HARI
I
I
I
MENGGUNAKAN PENASIHAT
TAHAP II
AHLI MEDIATOR 14 HARI
I
I
I PENGANGKATAN MEDIATOR
TAHAP III OLEH LEMBAGA ARBITRASE 14 HARI
I
I
I PENGANGKATAN MEDIATOR
TAHAP IV OLEH LEMBAGA ARBITRASE 14 HARI
AD HOC

Dalam rangka menjalankan tugasnya dalam keempat


tahap dari penyelesaian sengketa alternatif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30
Tahun 1999 tersebut, terdapat suatu limit waktu untuk masing-
masing tahap sebagai mana dilukiskan dalam diagram berikut
ini :
L im it W a k tu D a la m P e n y e le sa ia n S e n g k e ta A lt e r n a t if

X X.....X X...... X X.....X x ...... X X.....X

TAHAP 1 TAHAP 2 TAHAP 3 PENDAFTARAN PELAKSANAAN TAHAP 4


(14 HARI) (14 HARI) (7 HARI + 30 HARI) (30 HARI) (30 HARI) (180

Keterangan Diagram
Tahap 1 : Pertemuan langsung para pihak. Putusan harus
sudah diambil dalam jangka waktu 14 (empat

605
belas) hari sejak dimulainya penyelesaian
sengketa.
Tahap 2 : Penunjukan dan penyelesaian oleh penasihat
ahli atau mediator oleh para pihak. Penasihat
ahli atau mediator ini sudah harus mengambil
keputusan 14 (empat belas) hari sejak
penunjukannya.
Tahap 3 : Penunjukan mediator oleh lembaga arbitrase
atau lembaga penyelesaian sengketa dalam
waktu 7 (tujuh) hari setelah penunjukannya,
mediator sudah harus mulai bekerja. Putusan
dari mediator ini harus sudah diambil dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
dimulainya pekerjaan mediasi.
Tahap 4 : Penyelesaian oleh lembaga arbitrase atau oleh
arbitrase ad hoc. Jangka waktu penyelesaian­
nya 180 (seratus delapan puluh) hari sejak
arbiter terbentuk (Pasal 48 ayat (1)).
Pendaftaran : Merupakan pendaftaran kesepakatan tertulis
yang telah dicapai, pendaftarannya dilakukan
ke Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari sejak penandatanganan,
kesepakatan tersebut.
Pelaksanaan : Merupakan pelaksanaan kesepakatan yang
telah dicapai, pelaksanaan tersebut harus sudah
dilakukan dalam jangka wakm 30 (tiga puluh)
hari sejak pendaftaran Keputusan di Pengadilan
Negeri.
B. SINGAPURA
Pengaturan Hukum Arbitrase di Singapura
Apabila tempat arbitrase adalah di Singapura, para pihak pada
umumnya bebas untuk memilih prosedur arbitrase. Apabila tidak
terdapat kesepakatan antara para pihak tentang prosedur, majelis
arbiter akan melaksanakan arbitrase dengan cara yang dianggap
layak. Baik Arbitration Act maupun IAA mewajibkan pengajuan
dan penyampaian pernyataan tuntutan dan pembelaan (service o f
statemens o f claim and defence) dalam jangka waktu yang disetujui
atau ditentukan oleh majelis. Apabila S1AC Rules yang diambil

606
dan dalam hal tidak adanya petunjuk dari majelis, pihak yang
menggugat diharuskan untuk mengajukan dan menyampaikan
pernyataan kasus (statement o f case) dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak dibentuknya majelis. Pihak yang digugat
diwajibkan untuk mengajukan dan menyampaikan pernyataan
pembelaan (statement o f defence) dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak diterimanya kasus tersebut.
Proses beracara lisan umumnya dilakukan di dalam proses
arbitrase berdasarkan Arbitration Act kecuali para pihak setuju
untuk mengizinkan majelis arbiter untuk melakukan pemeriksaan
dokumen saja. Di dalam arbitrase berdasarkan Arbitration Act,
IAA dan/atau SIAC Rules, majelis mempunyai kewenangan untuk
menentukan apakah akan melaksanakan proses beracara lisan
untuk pengajuan bukti atau untuk argumentasi lisan atau untuk
melaksanakan arbitrase berdasarkan pemeriksaan dokumen saja,
dengan tunduk pada kesepakatan yang menyatakan sebaliknya.
Arbiter di Singapura tidak terikat pada aturan pembuktian di
persidangan pengadilan. Undang-undang tentang bukti (evidence)
yang berlaku di semua persidangan pengadilan, secara tegas
mcngecualikan keberlakuannya pada arbitrase. Aturan-aturan yang
misalnya menentang rumor (hearsay), extrince evidence atau bukti
yang diperoleh secara tidak sah tidak berlaku di dalam arbitrase.
Kekuasaan untuk menentukan dapat diterimanya, relevansi,
materialitas dan bobot bukti ada pada majelis arbiter.
Untuk arbitrase berdasarkan Arbitration Act Domestic, para
pihak dapat menyetujui kewenangan-kewenangan yang akan
dilaksanakan oleh majelis. Arbitration Act memberikan kewenang­
an tertentu kepada majelis (tanpa mengurangi kewenangan yang
diberikan oleh para pihak) termasuk kekuasaan untuk
mengeluarkan perintah atau petunjuk pengamanan bagi biaya-biaya
{cost, penemuan (discovery)), perlindungan {preservation) dan
penitipan sementara (interim custody) bukti-bukti untuk
kepentingan proses beracara dan mengatur sumpah (oaths) atau
penegasan (affirmations). Kewenagan-kewenangan yang diberikan
oleh IAA pada majelis juga serupa. Selain itu, berdasarkan IAA,
majelis mempunyai kekuasaan untuk memberikan putusan
sementara {interim injunction) atau langkah langkah sementara
lainnya atau untuk mengamankan jumlah uang yang
dipersengketakan. Jaminan mungkin diberikan dalam bentuk tunai

607
atau dengan pemberian bank garansi atau pernyataan pengacara
(solicitor’s undertakings). Lebih lanjut, arbiter yang bertindak di
dalam arbitrase berdasarkan IAA, Arbitration Act atau SIAC Rules
telah diberikan kewenangan tertentu untuk memberikan perintah
perlindungan sementara (interim preservation), penyimpanan
(storage), penitipan (custody), penjualan atau pelepasan lainnya
atas barang-barang atau aset yang adalah atau merupakan bagian
dari objek permasalahan.
Perintah atau petunjuk yang dikeluarkan oleh majelis, baik
berdasarkan Arbitration Act maupun IAA, dapat dilaksanakan
dengan izin dari Pengadilan Tinggi (High Court), dengan cara yang
sama apabila hal tersebut dikeluarkan oleh pengadilan. Apabila
izin dikabulkan, putusan dapat diberikan dalam bentuk perintah
atau petunjuk.
Kewenangan yang diberikan kepada arbiter berdasarkan
Arbitration Act dan IAA, dapat dilaksanakan oleh Pengadilan
Tinggi (High Court). Para pihak karenanya bebas untuk
mengajukan permohonan baik ke majelis tribunal ataupun ke
pengadilan sesuai kebutuhan. Akan tetapi, perintah-perintah
tertentu akan lebih tepat apabila dikeluarkan oleh pengadilan,
misalnya putusan sela (injunctions).
Lebih lanjut, sehubungan dengan Arbitration Act, perintah
pengadilan yang diberikan berdasarkan Sect. 31 menjadi tidak
berlaku apabila majelis arbiter yang mempunyai kewenangan
untuk bertindak atas hal terkait, memberikan perintah yang
permasalahannya terkait dengan perintah pengadilan tersebut.
Dengan kata lain, perintah arbitrase mengalahkan perintah
pengadilan dalam rezim domestik.
C. THAILAND
Hukum Arbitrase Thailand
Seperti halnya hukum arbitrase di negara-negara ASEAN,
hukum arbitrase di Thailand relatif masih baru. Undang-undang
Arbitrase Negara ini, Undang-undang Arbitrase Thailand B.E.
2545, dipublikasi pada tanggal 29 April 2002 yang mulai berlaku
pada tanggal 30 April 2002. Undang-undang ini mengalami
perubahan pada tahun 2003.

608
Undang-Undang Arbitrase Thailand tahun 2002 ini sebenarnya
menggantikan Undang-Undang Arbitrase Thailand sebelumnya
tahun 1987. Undang-Undang Arbitrase 1987 ini memberikan dasar
hukum bagi eksistensi arbitrase di Thailand. Respon atau keinginan
politik dari pemerintah Thailand terhadap arbitrase dipandang
positif, karena Negara ini mendukung pembentukan badan
arbitrase di Thailand yaitu the Thai Arbitration Institute yang
berada di bawah Menteri Kehakiman.
Pemerintahpun mendorong para pihak (Pengusaha-nya) untuk
menggunakan lembaga arbitrase tersebut di dalam menyelesaikan
sengketa-sengketa dagangnya, termasuk sengketa-sengketa yang
menyangkut pengadaan barang dan jasa pemerintah. Namun dalam
perkembangannya kemudian Undang-undang Arbitrase 1987 ini
memiliki kelemahan.
Salah satu kelemahan yang menyolok adalah tidak sesuainya
aturan dalam Undang-undang ini dengan muatan yang terdapat
dalam UNCITRAL Model Law mengenai Arbitrase Internasional.
Karena itu, Undang-undang Arbitrase Thailand yang baru
berupaya mengadopsi aturan-aturan yang termuat dalam
UNCITRAL Model Law.
Undang-undang Arbitrase Thailand B.E. 2545 (2002) di atas
tidak berdiri sendiri. Peraturan nasional Thailand yang juga
mengatur arbitrase adalah Hukum Acara Perdata Thailand dan
Undang-undang Hukum Perdata Internasional Thailand yaitu
Undang-undang (2481) tahun 1938. Undang-Undang Arbitrase
baru Thailand mengatur berbagai hal mengenai arbitrase,
kebebasaran para pihak dalam memilih arbitrase di samping
pengadilan.
Dengan adanya Undang-undang baru ini, lembaga arbitrase
Thailand, yaitu the Thai Arbitration Institute (“TAI”) telah pula
merevisi hukum acara arbitrasenya. Hukum acara yang direvisi ini
mulai berlaku pada tanggal 2 Mei 2003. Pada tahun yang sama.
TAI juga mempublikasikan “Code o f Ethics for Arbitrators ” yang
baru.
UU Arbitrase Thailand yang baru memuat 8 bab yang berada
di bawah judul berikut:
Babi - Perjanjian Arbitrase (Pasal 11-16)
Bab 2 - Peradilan Arbitrase (Pasal 17-23)

609
Bab 3 - Kewenangan Peradilan Arbitrase (Pasal 24)
Bab 4 - Persidangan Arbitrase (Pasal 25-33)
Bab 5 - Putusan Arbitrase dan Berakhirnya Persidangan
Arbitrase (Pasal 34-39)
Bab 6 - Pengenyampingan Putusan Arbitrase (Pasal 40)
Bab 7 - Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Pasal
41-45)
Bab 8 - Biaya, Ongkos dan Penghasilan Arbiter (Pasal 46-48).
Berikut di bawah ini adalah beberapa ketentuan baru yang diatur
dalam Undang-Undang Arbitrase Thailand yang baru.
a. Pengaturan Kontrak Administratif ( “Administrative Contracts “)
Pemerintah Thailand pada tahun 2001 membentuk suatu
pengadilan khusus yaitu pengadilan administratif (the
Administrative Court) untuk menangani sengketa-sengketa
yang timbul dari kontrak-kontrak administratif. Yang
dimaksud kontrak administratif menurut hukum Thailand
adalah kontrak-kontrak yang salah satu pihaknya adalah
pemerintah dan kontrak yang dibuat para pihak adalah
kontrak-kontrak konsesi atau kontrak-kontrak yang terkait
dengan pembangunan untuk umum atau kontrak di bidang
pertambangan.
Sebelumnya sempat muncul permasalahan mengenai
kewenangan eksklusif peradilan administratif ini untuk
menangani sengketa kontrak administratif yang para pihak
sebelumnya telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa
tersebut kepada arbitrase. Masalah ini sekarang sudah
terpecahkan.
Undang-Undang Thailand yang baru menyatakan bahwa
perjanjian arbitrase tersebut adalah berlaku. Karena itu
meskipun pokok sengketanya menyangkut kontrak
administratif, namun karena pihak pemerintah dengan pihak
lainnya sepakat dalam suatu perjanjian arbitrase untuk
menyerahkan sengketanya kepada arbitrase, maka badan
arbitrase menjadi memiliki kewenangan untuk
menyelesaikannya.
b. Tanda Tangan Elektronik

610
Undang-undang Arbitrase Thailand memuat di dalamnya
ketentuan mengenai perjanjian arbitrase yang dilakukan
melalui tanda tangan elektronik (misalnya melalui pertukaran
surat elektronik atau email). Berdasarkan Pasal 11 Undang-
undang Arbitrase ini, tanda tangan clckctronik demikian
sekarang diakui. Dalam Undang-undang Arbitrase yang lama,
pengaturan demikian tidak ada.
c. Banding terhadap Putusan Pengadilan (Appeal lo Court Order
or Judgment)
Undang-undang Arbitrase baru menyatakan bahwa
putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kecuali untuk
hal-hal berikut:
(1) putusan arbitrase tersebut melanggar ketertiban umum,
moral;
(2) putusan arbitrase tersebut melanggar hukum yang terkait
dengan ketertiban umum;
(3) Majelis arbitrase atau arbiter yang memutus sengketa
telah memberi pendapat yang berbeda ("dissenting
opinion”); atau
(4) putusan atau perintah majelis arbiterasc berkaitan dengan
putusan sela ( “provisional measures”) sebelum atau
sewaktu berlangsungnya persidangan arbitrase.
Upaya banding tersebut harus dimohonkan kepada
Mahkamah Agung atau Peradilan Administrasi (the Supreme
Court or the Administrative Court). Banding ke Peradilan
Administrasi hanya untuk sengketa yang terkait dengan
administrative contracts .
d. Tindakan Perlindungan Sementara (Temporary Relief)
UNCITRAL Model Law mengizinkan arbiter untuk
memerintahkan suatu pihak untuk mengambil tindakan
perlindungan (protective measures) berkaitan dengan pokok
sengketa sebelum putusan arbitrase dikeluarkan. Namun
undang-undang Thailand mensyaratkan suatu pihak untuk
meminta pengadilan apabila pihak tersebut berupaya
mendapatkan tindakan sementara ( “temporary order ”)
sewaktu persidangan arbitrase berlangsung (Pasal 169).
e. 'Panggung Jawab Arbiter

611
Pasal 23 Undang-undang Arbitrase Thailand yang baru
menyatakan bahwa arbiter tidak bertanggung jawab terhadap
setiap kerugian yang terjadi sebagai akibat dari pelaksanaan
pekerjaannya kecuali kerugian tersebut dilakukan karena
tindakan sengaja atau kecerobohannya. Arbiter akan
bertanggung jawab atas tindakan criminal dengan ancaman
pengurungan maksimal 10 tahun atau denda maksimum
100,000 THB atau keduanya apabila ia meminta secara tidak
sah, menerima atau setuju menerima kekayaan atau setiap
keuntungan untuk dirinya atau pihak lain untuk melaksanakan
atau tidak melaksanakan kewajibannya.
Setiap orang yang memberi atau setuju memberi atau
menjanjikan untuk memberi kekayaan atau keuntungan kepada
arbiter untuk mempengaruhi untuk melakukan atau tidak
melakukan atau menunda pekerjaan ataulcewajibannya juga
dapat dikenakan pelanggaran pindana dengan sanksi yang
sama seperti halnya dijatuhkan kepada arbiter.
f. Jumlah Arbiter
Undang-Undang Arbitrase Thailand baru menyatakan
bahwa jumlah arbiter haruslah ganjil (Pasal 17). Apabila para
pihak menyepakati jumlah genap, Undang-undang Arbitrase
menyatakan bahwa arbiter yang ditunjuk kedua pihak harus
bersama-sama menunjuk arbiter ketiga sebagai ketua Majelis
arbitrase (Pasal 18). Apabila para pihak gagal mencapai
sepakat mengenai jumlah arbiter, maka jumlah arbiternya
adalah arbiter tunggal.
g. Pelaksanaan Persidangan Arbitrase
Pasal 27 Arbitrase Thailand baru memberikan 4 keadaan
yang menunjukkan kapan suatu persidangan arbitrase
dianggap telah dilakukan :
(1) suatu permohonan untuk penyelesaian sengketa oleh
arbitrase diterima oleh suatu pihak kepada pihak lainnya
dalam sengketa; atau
(2) suatu pihak dalam sengketa memberitahukan secara
tertulis kepada pihak lainnya untuk penunjukan seorang
arbiter; atau

612
(3) suatu pihak dalam sengketa memberitahukan secara
tertulis kepada majelis arbitrase yang ditunjuk dalam
kontrak untuk menyelesaikan sengketa; atau
(4) suatu pihak dalam sengketa menyerahkan kepada suatu
lembaga arbitrase yang ditunjuk dalam kontrak untuk
menyelesaikan sengketa.
h. Putusan Majelis Arbitrase
Kecuali tidak dinyatakan lain oleh para pihak, putusan
majelis arbitrase harus didasarkan pada putusan mayoritas dari
para arbiter dalam majelis arbitrase. Apabila putusan
mayoritas tidak tercapai, Undang-Undang Arbitrase Thailand
yang baru menyatakan bahwa putusan dibuat oleh ketua
majelis arbitrase.

i. Biaya, Ongkos dan Penghasilan Arbiter


Kecuali dinyatakan lain oleh para pihak, biaya, ongkos
dan penghasilan arbiter harus dinyatakan dalam putusan
majelis arbitrase. Apabila putusan arbitrase tidak menyatakan
demikian, maka suatu pihak dapat memohon pengadilan untuk
membuat putusan tentang biaya, ongkos dan penghasilan
arbiter. Undang-Undang Arbitrase Thailand juga
membolehkan lembaga arbitrase yang disebut di dalam
kontrak untuk menetapkan biaya, ongkos dan penghasilan
arbiter dalam suatu persidangan arbitrase.
D. MALAYSIA
Pengaturan Hukum Arbitrase di Malaysia
Arbitrase komersial di Malaysia diatur oleh Arbitration Act
1952, yang mencontoh English Arbitration Act of 1950.
Arbitration Act 1952 itu kemudian diperbaharui pada tahun 1972
dan diperluas penggunaannya ke seluruh negara bagian di
Malaysia. Pada tahun 1980 Arbitration Act 1972 kembali
diamandemen dengan tambahan sebuah bab yang mengatur
mengenai pengurangan kontrol judicial arbitrase internasional, dan
tidak memasukkan arbitrase yang diadakan menurut ketentuan
ICSID atau Regional Centre dalam lingkup Arbitration Act.
Dalam proses berdirinya Kuala Lumpur Regional Centre,
dewan legislasi Malaysia mengamandemen Pasal 34 ayat (1)

613
undang-undang arbitrase di atas yang menyatakan bahwa ketentuan
dalam Arbitration Act 1952 tidak berlaku terhadap putusan
Regional Centre kecuali bila diatur sebaliknya, dengan tidak
memasukkan putusan semacam itu dalam registrasi umum dan
ketentuan pelaksanaan, dan juga dalam jurisdiksi pengawasan
Pengadilan Tinggi. Sebaliknya, Pasal 34 ayat (2) menyatakan
bahwa apabila sebuah putusan dibuat berdasarkan ketentuan
Konvensi New York atau ICSID, maka pelaksanaannya akan
dilaksanakan sesuai dengan konvensi-konvensi tersebut.
Saat ini Arbitration Act 1952 telah dilengkapi dengan Rules o f
the High Court 1980, meskipun ada undang-undang lain yang
berlawanan, undang-undang ini tidak berlaku pada arbitrase yang
diselenggarakan menurut ketentuan Convention on the Settlement
o f Insvesment Disputes between States dan National o f Other
States 1965. Legislasi implementasi untuk arbitrase ICSLD adalah
Convention on the Settlement o f Insvestment Disputes Act 1966
(direvisi tahun 1989).
Dalam perkembangannya kemudian Undang-Undang
Arbitrase Tahun 1952 ini diamandemen kembali dengan Undang-
Undang Tahun 2005 (Undang-Undang Arbitrase 2005). Undang-
undang baru ini mulai berlaku pada tanggal 14 Maret 2006.
Undang-undang Arbitrase tahun 1952 seperti diuraikan di atas
sebagian besar mengadopsi UU Arbitrase Inggris tahun 1950.
Undang-undang Arbitrase tahun 2005 berlaku baik untuk
arbitrase nasional dan arbitrase internasional. Arbitrase
internasional diberi batasan sebagai berikut:
uthat where one o f the parties has its place o f business outside
Malaysia, or where the seat o f the arbitration is outside
Malaysia or where the substantial part o f the obligations o f
any commercial or other relationship is performed outside
Malaysia or the pjace where the subject matter o f the dispute
is most closely connected with. A domestic arbitration is
defined as any arbitration, which is not an international
arbitration.”
Dari batasan di atas tampak bahwa yang dimaksud dengan
arbitrase internasional adalah:
(1) apabila salah satu pihak memiliki tempat usahanya di luar
Malaysia; atau

614
(2) di mana tempat arbitrase dilangsungkan di luar Malaysia; atau
(3) sebagian besar kewajiban yang timbul dari adanya hubungan
bisnis dilakukan di luar Malaysia.
Sedangkan yang dimaksud dengan arbitrase domestik adalah
arbitrase yang bukan termasuk dalam ruang lingkup arbitrase
internasional.
E. PHILIPPINA
1. Pengantar
Republik Philippina adalah salah satu negara yang masih
relatif baru memiliki peraturan perundang-undangan di bidang
arbitrase. Philippina menerbitkan perandangan arbitrasenya di
tahun 2004. Undang-undang arbitrase negara ini mengadopsi
UNCITRAL Model Law 1985. Philippina juga anggota
Konvensi New York 1958 pada tahun 1967. Seperti halnya
Negara-negara lain, meski sudah aksesi atau ratifikasi
Konvensi New York, Philippina tidak memiliki Undang-
undang khusus yang mengimplementasi arbitrase khususnya
arbitrase komersial internasional. Muatan Konvensi New York
diintegrasikan ke dalam Undang-undang tahun 2004 (tentang
arbitrase ini).
2. Ilukum Arbitrase Philippina
Undang-undang Philippina mengenai arbitrase adalah
Republic Act 9285 yang dikeluarkan pada tanggal 4 February
2004. Undang-undang ini disahkan oleh Senate dan House o f
Representatives Philippina. Presiden Gloria Macapagal Arroyo
menyetujui Undang-undang tersebut pada tanggal 2 April
2004.
Undang-undang Philippina tentang arbitrase ini berada di
bawah judul the Alternative Dispute Resolution Act o f 2004.
Sesuai dengan namanya Undang-undang tersebut mencakup
pula pengaturan tentang Alternatif Penyelesaian Sengketa
(APS) yang termasuk di dalamnya pengaturan tentang
arbitrase komersial internasional.
Mukadimah Undang-undang ini menggambarkan
Undang-undang ini sebagai “An Act to institutionalize the use
o f An Alternative Dispute Resolution system in the Philippines

615
and to establish the Office for Alternative Dispute Resolution,
andfor other purposes
Pernyataan kebijakan Undang-undang ini termuat dalam
Section 2 Undang-undang yang memuat suatu ‘Declaration o f
Policy’ yang antara lain menyatakan, “...it is hereby declared
the policy o f the State to actively promote party autonomy in
the resolution o f disputes ...” Dinyatakan pula bahwa “... the
State shall encourage and actively promote the use o f
Alternative Dispute Resolution (ADR) as an important means
to achieve speedy and impartialjustice... ”.
Undang-undang tersebut sebagaimana dinyatakan dalam
Mukadimah menyatakan pula bahwa Undang-undang tersebut
mengatur bentuk-bentuk APS yakni mediasi, arbitrase baik
nasional maupun internasional termasuk arbitrase konstruksi
yang berada di bawah pengaturan Executive Order 1008 yang
juga disebut sebagai the Construction Industry Arbitration
Law (CIAC).
Aturan khusus tentang arbitrase internasional undang-
undang ini terdapat dalam Bab 4 dan juga khususnya Bab 7
yang mengatur pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing.
Bab 4 Undang-undang Republik 9285 secara khusus
memuat hukum arbitrase komersial internasional. Bab ini-
memuat di dalamnya filosofi dan prinsip-prinsip arbitrase
komersial internasional yang terdapat dalam UNCITRAL
Model Law. Telah disebut di atas bahwa Philippina
mengadopsi sebagian besar ketentuan UNCITRAL Model Law.
Bab ini diawali dengan Section 19 Undang-undang yang
menyatakan bahwa “International commercial arbitration
shall be governed by the Model Law on International
Commercial Arbitration (the “Model Law”) adopted by the
United Nations Commission on International Trade Law on
June 21, 1985... ”.
Bagian (Section) 21 memberi batasan arbitrase sebagai
‘‘commercial ’ yaitu apabila arbitrase tersebut mencakup
masalah-masalah yang timbul dari semua hubungan yang
sifatnya komersial, apakah sifatnya kontraktual ataupun
bukan.
Bagian (Section) 23 mengatur sifat kerahasiaan dari
persidangan arbitrase, termasuk catatan, bukti-bukti dan
putusan arbitrase. Bagian ini memuat pula pengaturan tentang
keadaan-keadaan kapan atau bilamana prinsip “cloak o f
confidentiality’’ (lingkup kerahasiaan) ini dapat diangkat.
Bagian (Section) 24 mewajibkan pengadilan (nasional)
untuk “stay" ‘any action... which is the subject matter o f an
arbitration agreement..: atas permintaan atas salah satu pihak
sehubungan dengan adanya penunjukkan pada arbitrase.
Ketentuan ini dapat dikesampingkan apabila pengadilan
menemukan bahwa perjanjian arbitrase tersebut batal, tidak
berlaku atau tidak dapat dilakukan ( ‘null and void, inoperative
or incapable o f being performed j. (Cf 8 (1) Model Law).
Menunda atau memberhentikan persidangan manakala
para pihak dalam suatu perjanjian telah terikat pada perjanjian
arbitrase.
Bagian (Section) 25 memberi tekanan dan perhatian yang
khusus kepada arbitrase. Kalimat pertama dari bagian ini
dengan tegas menyatakan bahwa dalam menafsirkan undang-
undang ini pengadilan harus mempertimbangkan kebijakan
hukum yang memberi keuntungan atau kedudukan yang lebih
besar kepada arbitrase. Pasal 25 ini menyatakan sebagai
berikut:
“S E C 25. Interpretation o f the Act. - In interpreting the
Act, the court shall have due regard to the policy o f the
law in favor o f arbitration. Where action is commenced by
or against multiple parties, one or more o f whom are
parties who are bound by the arbitration agreement
although the civil action may continue as to those who are
not bound by such arbitration agreement
Bagian (Section) 26 mengatur tentang the Appointing
Authority. Undang-undang ini memberi batasan the Appointing
Authority sebagai orang atau pihak atau lembaga yang
ditunjuk dalam perjanjian arbitrase atau aturan lembaga
arbitrase yang disepakati para pihak. The appointing authority
berfungsi memilih (para) arbiter apabila para pihak gagal
dalam mencapai kesepakatan mengenai arbiter-arbiter yang
akan duduk dalam majelis arbitrase.

617
Dalam ha I arbitrase ad hoc yang tidak ada kesepakatan
para pihak mengenai siapa yang menjadi the appointing
authority, bagian (Section) 26 ini menetapkan the National
President o f the Integrated Bar o f the Philippines (IBP) atau
kuasanya sebagai the appointing authority.
Bagian (Sections) 28 and 29 mengatur ketentuan interim,
provisional and conservatory remedies, yang dapat digunakan
atau dimanfaatkan para pihak dalam arbitrase komersial
internasional.
Bagian (Section) 30 mengatur tempat arbitrase. Bagian ini
menyatakan apabila tidak ada kesepakatan para pihak tentang
tempat arbitrase, maka tempat arbitrase adalah Metro Manila.
Pasal 30 ini sclcngkapanya menyatakan :
“SE C. 30. Place o f Arbitration. - The parties are free to
agree on the place o f arbitration. Failing such agreement,
the place o f arbitration shall be in Metro Manila, unless
the arbitral tribunal, having regard to the circumstances
o f the case, including the convenience o f the parties shall
decide on a different place o f arbitration.
The arbitral tribunal may, unless otherwise agreed by the
parties, meet at any place it considers appropriate for
consultation among its members, for hearing witnesses,
experts, or the parties, or for inspection o f goods, other
property or documents ”.
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE
NEGARA-NEGARA ASEAN

A. INDONESIA
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Di Indonesia
1. Ketentuan Undang-Undang Tentang Eksekusi Putusan
Arbitrase Nasional Indonesia
Dalam hubungan dengan eksekusi atau pelaksanaan
putusan arbitrase ini khususnya arbitrase nasional. Undang-
Undang Arbitrase Nomor 30 'I'ahun 1999 menentukan sebagai
berikut :
Pasal 59
(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan
otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh
arbiter atau kuasanya kepada panitera Pengadilan Negeri.
(2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan
penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir
putusan oleh panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau
kuasanya yang menyerahkan dan catatan tersebut
merupakan akta pendaftaran.
(3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan
lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan
otentiknya kepada panitera Pengadilan Negeri.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat
dilaksanakan.
(5) Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta
pendaftaran dibebankan kepada para pihak.

Pasal 60
Putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mengikat para pihak.

619
P e n j e la s a n a ta s P a s a l 6 0

Putusan Arbitrase merupakan putusan final dan dengan


demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan
kembali.
Pasal 61
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase
secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah
ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak
yang bersengketa.
Pasal 62
(1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
permohonan eksekusi didaftarkan kepada panitera
Pengadilan Negeri.
(2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan,
memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase
memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
(3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ketua Pengadilan
Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan
terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak
terbuka upaya hukum apapun.
(4) Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase.
Penjelasan atas Pasal 62 ayat (4)
Tidak diperiksanya alasan atau pertimbangan putusan arbitrase
oleh Ketua Pengadilan Negeri agar putusan arbitrase tersebut
benar-benar mandiri, final, dan mengikat.
Pasal 63
Perintah ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan
salinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan.
P asal 6 4

Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah ketua


Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan
putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional Secara Sukarela
Dan Tindakan Mendeponir Putusan
Pelaksanaan (eksekusi) putusan arbitrase nasional dapat
dilakukan baik secara suka rela atau secara paksa. Eksekusi
putusan arbitrase secara sukarela dimaksudkan' sebagai
pelaksanaan putusan yang tidak memerlukan campur tangan
dari pihak ketua Pengadilan Negeri, melainkan para pihak
yang berkewajiban melaksanakan eksekusi tersebut,
melaksanakan sendiri isi putusan arbitrase tersebut. Sedangkan
eksekusi secara paksa dimaksudkan jika pihak yang
berkewajiban melaksanakan kewajibannya itu, maka
diperlukan campur tangan ketua Pengadilan Negeri dan
aparatnya untuk memaksakan pelaksanaan eksekusi yang
bersangkutan. Agar dapat dieksekusinya suatu putusan
arbitrase, sebelumnya harus dilakukan suatu prosedur hukum
yang disebut dengan “Akta Pendaftaran”. Yang dimaksudkan
dengan akta pendaftaran adalah pencatatan dan
penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir dari
putusan arbitrase asli atau salinan otentik yang ditandatangani
bersama-sama oleh panitera.
Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang
menyerahkan putusan arbitrase tersebut. Penandatanganan
tersebut dilakukan pada saat pencatatan dan pendaftaran
putusan arbitrase di Pengadilan Negeri dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak putusan
diucapkan. (Lihat Pasal 59 Undang-Undang Arbitrase Nomor
30 Tahun 1999).
Perlu pula ditekankan bahwa tanpa dilakukan penyerahan
dan pendaftaran: putusan arbitrase di Pengadilan Negeri pada
waktunya, maka putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan.
Jadi, seandainya pihak yang putusan arbitrasenya dieksekusi
tidak mau melaksanakan sendiri putusan tersebut secara
sukarela dan berbuat kelalaian dalam melakukan penyerahan

621
dan pendaftaran putusan arbitrase di Pengadilan Negeri
tersebut, mengakibatkan pelaksanaan putusan arbitrase
tersebut tidak dapat dipaksakan oleh aparat peme-rintah.
Tindakan penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase di
Pengadilan Negeri ini dalam praktik sering disebut dengan
istilah “deponir”. Jadi tindakan deponir putusan arbitrase
bukan hanya merupakan tindakan pendaftaran yang bersifat
administratif belaka, tetapi telah bersifat konstitutif, dalam arti
merupakan satu rangkaian dalam mata rantai proses arbitrase,
dengan risiko tidak dapat dieksekusi putusan jika tidak
dilakukan pendeponir tersebut. Lihat Pasal 59 ayat (4)
Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional Secara Paksa
Seperti telah disebutkan bahwa pelaksanaan (eksekusi)
putusan arbitrase nasional dapat dilakukan baik secara
sukarela atau secara paksa.
Pelaksanaan secara sukarela haras dilaksanakan dalam
jangka waktu maksimum 30 (tiga puluh) hari setelah
permohonan eksekusi didaftarkan di panitera Pengadilan
Negeri. Jika dalam waktu tersebut putusan belum dieksekusi,
pemerintah untuk melaksanakan eksekusi (secara paksa), harus
diberikan oleh ketua Pengadilan Negeri. Putusan arbitrase
yang telah dibubuhi perintah oleh Ketua Pengadilan Negeri ini
dapat dieksekusi secara paksa sebagaimana juga eksekusi
terhadap putusan pengadilan biasa. Eksekusi secara paksa atas
putusan arbitrase tersebut dilakukan sesuai dengan aturan
eksekusi terhadap putusan pengadilan umum yang telah
mempunyai kekuatan tetap, lihat Pasal 64 Undang-Undang
Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.
Ada satu prinsip hukum dalam eksekusi putusan arbitrase
ini yaitu putusan arbitrase bersifat independen, sehingga tidak
dapat dicampuri oleh ketua Pengadilan Negeri ketika
diiaksanakan eksekusi. Pasai 62 ayat (4) dari Undang-Undang
Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 dengan tegas melarang ketua
Pengadilan Negeri untuk memeriksa alasan atau pertimbangan
dari putusan arbitrase.
Dengan demikian, ketua Pengadilan Negeri tidak mempunyai
kewenangan untuk meninjau suatu putusan arbitrase secara
material. Akan tetapi ketua Pengadilan Negeri tersebut
memiliki kewenangan untuk meninjau suatu putusan arbitrase
secara formal. Kewenangan peninjauan putusan arbitrase
secara formal tersebut diberikan kepada Ketua Pengadilan
Negeri berdasarkan Pasal 62 ayat (3).
Berdasarkan kewenangan formal tersebut, maka pihak
ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan
pelaksanaan eksekusi, dimana terhadap penolakan eksekusi ini
tidak mempunyai upaya hukum apapun. Penolakan eksekusi
oleh ketua Pengadilan Negeri tersebut dilakukan jika ada
alasan-alasan sebagai berikut:
(1) Arbiter memutus melebihi kewenangan yang diberikan
kepadanya.
(2) Putusan arbitrase bertentangan dengan kesusilaan.
(3) Putusan arbitrase bertentangan dengan ketertiban umum.
(4) Arbiter memutus perkara tidak memenuhi keseluruhan
syarat sebagai berikut:
(a) Mengenai perdagangan.
(b) Mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
berseng-keta.
(c) Mengenai sengketa yang menurut hukum dan
perundang-undangan tidak dapat dilakukan
perdamaian.
(Lihat Pasal 62 juneto Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Arbitrase
Nomor 30 Tahun 1999).
Sedangkan contoh dari sengketa mengenai perdagangan
(untuk mana arbitrase dinyatakan berwenang) antara lain
sengketa dalam bidang-bidang sebagai berikut:
(1) Perniagaan;
(2) Perbankan;
(3) Keuangan;
(4) Penanaman modal;
(5) Industri;
(6) Hak kekayaan intelektual.

623
(Lihat penjelasan atas Pasal 66 huruf b dari Undang-Undang
Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999).
Secara skematis, berikut ini diagram tentang pelaksanaan
penolakan eksekusi atas suatu putusan arbitrase, yaitu sebagai
berikut:

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE


OLEH PENGADILAN NEGERI

PUTUSAN MELEBIHI PUTUSAN BERTENTANGAN


KEWENANGAN ARBITER DENGAN KETERTIBAN UMUM

PUTUSAN BERTENTANGAN
PUTUSAN TIDAK MEMENUHI DENGAN KESUSILAAN
SYARAT

PUTUSAN BUKAN DALAM PUTUSAN BUKAN TENTANG


BIDANG PERDAGANGAN SENGKETA YANG TIDAK BOLEH
DIDAMAIKAN

BUKAN TENTANG HAK DALAM SENGKETA


YANG TIDAK BOLEH DIDAMAIKAN

BUKAN BIDANG BUKAN BUKAN BIDANG


PERNIAGAAN BIDANG PENANAMAN MODAL

BUKAN BIDANG HAK


MILIK INTELEKTUAL
BUKAN
BIDANG

624
Dari diagram tersebut di atas terlihat bahwa penolakan
eksekusi oleh Pengadilan Negeri terhadap suatu putusan
arbitrase hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan yang
sangat terbatas dan khusus. Karena itu, penolakan eksekusi
tersebut oleh Pengadilan Negeri oleh hukum sendiri
diharapkan tidak akan menimbulkan distorsi terhadap sifat
“final” dan “mengikaf’nya suatu putusan arbitrase.
B. SINGAPURA
Pelaksanaan Putusan Arbitrase di Singapura
Arbitrase di Singapura dapat dilaksanakan berdasarkan aturan
ad hoc atau diatur oleh suatu badan arbitrase. Singapura
Internasional Arbitration Centre (SIAC) mengatur sebagian besar
perkaranya berdasarkan Peraturan Arbitrasenya sendiri yang
diadopsi oleh para pihak di dalam perjanjian arbitrase mereka.
SIAC dapat pula mengatur arbitrase berdasarkan aturan lainnya
yang disetujui oleh para pihak, misalnya Peraturan Arbitrase
UNCITRAL Tahun 1976 (UNCITRAL Arbitration Rules 1976).
SIAC mempunyai suatu panel Arbiter Yang Terakreditasi
{Panel o f Accedited Arbitrators) yang terdiri dari panel regional
dan panel internasional yang beranggotakan para ahli yang
pengangkatan sebagian besar dari mereka dilakukan untuk
arbitrase yang diatur oleh SIAC. SIAC akan menunjuk pula arbiter
untuk arbitrase ad hoc. Wakil Ketua SIAC Adalah pejabat yang
berwenang untuk menunjuk arbiter (apabila para pihak tidak
berhasil menunjuk arbiter) berdasarkan IAA dan Arbitration Act Di
samping penunjukan arbiter, jasa lain yang ditawarkan oleh SIAC
termasuk pula manajemen keuangan, fungsi administratif dan
penyediaan fasilitas dan logistik sehubungan dengan persidangan
arbitrase.
Apabila suatu kasus dilaksanakan berdasarkan aturan arbitrase
SIAC, para pihak membayar biaya manajemen dan tidak ada biaya
tambahan yang harus dibayar untuk penunjukan arbiter. Untuk
kasus-kasus yang tidak menggunakan aturan arbitrase SIAC, dan
SIAC hanya diminta untuk menunjuk seorang arbiter, maka biaya
penunjukan akan dibebankan. Penetapan besarnya biaya
manajemen tergantung pada jumlah klaim atau klaim-konter
berdasarkan suatu skala. Biaya penunjukan arbiter, dilain pihak,
adalah biaya tetap yang tidak tergantung pada jumlah klaim. Untuk

625
arbitrase internasional, jumlah maksimum “Biaya manajemen”
yang dapat dikenakan pada saat ini dibatasi setinggi-tingginya S$
25.000.
Perwakilan dalam Proses Arbitrase; Pengacara Asing
Walaupun pengacara pada umumnya digunakan dalam proses
arbitrase, para pihak dapat diwakili oleh siapapun yang mereka
pilih. Apabila hukum yang berlaku adalah hukum Singapura, suatu
perubahan baru telah dibuat atas Undang-Undang Profesi Hukum
{Legal Profession Act, Cap 161) sehingga orang-orang yang tidak
berwenang untuk berpraktik hukum di Singapura diizinkan untuk
mewakili suatu pihak di dalam proses arbitrase yang dilaksanakan
di Singapura dan dapat memberikan nasihat, menyiapkan dokumen
dan memberikan bantuan lainnya sehubungan dengan atau yang
timbul dari proses arbitrase.
Akan tetapi, pengacara asing tidak berhak untuk beracara di
sidang pengadilan. Apabila hukum yang berlaku adalah bukan
hukum Singapura, pengacara asing (dan orang-orang lain yang
tidak berwenang untuk praktik hukum di Singapura), sejak 1992
telah diizinkan oleh Undang-Undang Profesi Hukum {Legal
Profession Act) yang ketika itu belum diubah untuk mewakili para
pihak di dalam proses arbitrase, termasuk untuk nadir pada
persidangan arbitrase.
1. Putusan Arbitrase; Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Pelaksanaan putusan arbitrase yang diputuskan di
Singapura dengan cara pelaksanaan beracara (execution
proceedings), baik arbitrase domestik maupun arbitrase
internasional, memerlukan izin pengadilan. Permohonan
diajukan kepada Pengadilan Tinggi (High Court). Dalam
keadaan yang mendesak, permohonan ex parte (persidangan
yang melibatkan hanya satu pihak) diperbolehkan dengan
syarat-syarat yang ditentukan oleh pengadilan. Apabila izin
untuk melaksanakan putusan arbitrase itu ditolak, banding
dapat diajukan kepada Pengadilan Banding (Court o f Appeal)
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal penolakan
izin diberikan. Permohonan izin untuk melaksanakan putusan
arbitrase harus diajukan dalam jangka waktu 6 (enam) tahun
sejak putusan diberikan.

626
Izin untuk melaksanakan putusan arbitrase sebagai
putusan atau perintah pengadilan sering kali diberikan secara
exparte dan perintah yang diperoleh terhadap debitor. Dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak perintah yang
memberikan izin atau jangka waktu lain yang ditentukan oleh
pengadilan yang memberikan izin, debitor dapat mengajukan
permohonan untuk menyampingkan perintah pengadilan
tersebut. Putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan selama
jangka waktu itu atau apabila debitor mengajukan permohonan
untuk menyampingkan perintah tersebut, putusan tidak dapat
dilaksanakan sampai dengan permohonan akhirnya telah
diputuskan.
Pihak yang gagal permohonannya untuk menyampingkan
perintah pengadilan yang memberikan izin untuk
melaksanakan putusan arbitrase dapat mengajukan banding
kepada Pengadilan Banding (Court o f Appeal). Suatu upaya
banding terhadap perintah pengadilan yang memberikan izin
untuk melaksanakan putusan arbitrase tidak akan menghalangi
atau menunda pelaksanaan putusan arbitrase.
Akan tetapi, Pengadilan Banding (Court o f Appeal) dapat
mengeluarkan perintah sebagaimana dianggap layak untuk
menghindari hal-hal yang merugikan salah satu pihak selama
proses banding.
Arbitrations Act tidak mengatur tentang dasar-dasar yang
menjadi alasan agar pengadilan dapat menolak pelaksanaan
putusan arbitrase. Akan tetapi, untuk mempertahankan maksud
Sect. 47 Arbitration Act (yang membatasi penentangan-
penentangan terhadap putusan arbitrase pada hal-hal yang
disebutkan di dalam Arbitration Act), dasar-dasar untuk
menolak pelaksanaan seharusnya tidak lebih luas dari pada
dasar-dasar penyampingan putusan arbitrase. Putusan
Arbitrase yang dibuat berdasarkan IAA hanya dapat ditolak
pelaksanaannya apabila terdapat dasar-dasar untuk
penyampingan yang merupakan upaya eksklusif menentang
putusan arbitrase.
Prosedur pelaksanaan putusan arbitrase asing yang dibuat
di Negara peserta Konvensi New York (New York Convention)
selain Singapura terdapat di dalam Part III IAA - Singapura
telah mengecualikan prinsip resiprositas sebagaimana

627
disebutkan di dalam Art. 1 ('i) New York Convention. Putusan
arbitrase tersebut dapat dilaksanakan di Singapura baik
berdasarkan tindakan atau dengan izin Pengadilan Tinggi
(High Court). Apabila izin diberikan, maka putusan
pengadilan akan dikeluarkan sehubungan dengan putusan
arbitrase tersebut. Putusan arbitrase tersebut juga dianggap
mengikat untuk semua keperluan terhadap orang-orang untuk
siapa putusan arbitrase itu dibuat dan karenanya dapat
diandalkan oleh para pihak tersebut baik dengan cara
pembelaan (defence), set-off atau upaya hukum lainnya di
Singapura.
Permohonan atas izin untuk melaksanakan putusan
arbitrase asing yang dibuat di Negara peserta New York
Convention harus disampaikan dalam jangka waktu 6 (enam)
tahun sejak dikeluarkannya putusan arbitrase tersebut. Untuk
melaksanakan putusan arbitrase asing, pihak pemohon harus
menyampaikan permohonan panggilan awal (originating
summons) bersama-sama dengan pernyataan fakta di bawah
sumpah (affidavit) :
(a) yang melampirkan perjanjian arbitrase dan putusan
arbitrase asli yang telah disahkan atau kopi sesuai aslinya;
(b) yang menyatakan nama dan tempat tinggal atau tempat
usaha yang lazim atau yang terakhir diketahui dari pihak
yang mengajukan permohonan dan pihak yang dimintakan
pelaksanaan putusan arbitrase tersebut;
(c) yang menyatakan bahwa putusan arbitrase yang
bersangkutan atau bagian tertentu putusan arbitrase belum
dipenuhi.
Izin untuk melaksanakan putusan arbitrase asing sebagai
putusan atau perintah pengadilan biasanya diberikan secara ex
parte dan perintah tersebut berlaku terhadap debitor. Dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak perintah yang
memberikan izin atau jangka waktu lain yang ditentukan oleh
pengadilan yang memberikan izin, debitor dapat mengajukan
permohonan untuk menyampingkan perintah tersebut. Putusan
arbitrase asing itu tidak dapat dilaksanakan selama
permohonan tersebut masih diperiksa dan sampai dengan
permohonan tersebut akhirnya diputuskan.
Pengadilan yang memeriksa permohonan pelaksanaan
putusan arbitrase asing tidak dapat memeriksa pokok gugatan
(the merits). Pengadilan akan tetap dapat menolak
memberikan izin pelaksanaan putusan arbitrase di Singapura
apabila dasar-dasar yang disebutkan di dalam Sect. 31 (2) IAA
terbukti ada. Dasar-dasar ini serupa dengan dasar-dasar yang
disebutkan di dalam Art. V New York Convention. Banding
terhadap Pengadilan Tinggi (High Court) ten tang pelaksanaan
putusan arbitrase asing dapat diajukan ke Pengadilan Banding
(Court o f Appeal).
Setelah adanya perubahan baru-baru ini atas Arbitration
Act. (Cap. 10) yang mulai berlaku pada tanggal 16 Mei 2003,
putusan arbitrase asing yang dibuat di negara-negara atau
teritori-teritori yang bukan penandatanganan New York
Convention, dapat pula dilaksanakan di Singapura dengan
cara-cara yang sama dengan putusan atau perintah pengadilan
untuk hal yang sama, dengan memperoleh izin dari Pengadilan
Tinggi (High Court). Apabila izin diberikan, maka suatu
putusan pengadilan akan dikeluarkan mengenai putusan
arbitrase tersebut.
Prosedur pelaksanaan putusan arbitrase yang dibuat
berdasarkan Konvensi Internasional untuk Penyelesaian
Perselisihan Investasi antara Negara dengan Warga Negara
dari Negara Lain (International Convention for the Settlement
o f Investment Disputes between States and National o f Other
States) ( “ICSID Convention") disebutkan di dalam Aturan
Arbitrase (Perselisihan Investasi Internasional) (Arbitration
(Internasional Investment Disputes Rules) yang dibaca
bersamaan dengan Order 67 of the Rules of court) (1997 ed).
Hingga saat ini , belum pernah ada upaya yang dilakukan
untuk melaksanakan putusan ICSID di Singapura.
Putusan arbitrase yang dibuat di Inggris atau di salah satu
Negara Persemakmuran yang mempunyai kesepakatan timbal
balik dengan Singapura untuk pengakuan putusan-putusan,
dapat dilaksanakan apabila putusan arbitrase tersebut sesuai
dengan hukum yang berlaku di tempat dimana putusan
arbitrase tersebut dibuat sehingga putusan itu menjadi dapat
dilaksanakan sebagai putusan dari pengadilan tersebut. Karena
prosedur tersebut lebih memberatkan pihak yang mengajukan

629
permohonan dan karena banyak Negara anggota
Persemakmuran sekarang telah menjadipihak dalam New York
Convention, maka prosedur ini sekarang menjadi lebih tidak
praktis.
Permohonan pendaftaran putusan berdasarkan suatu
putusan arbitrase yang dibuat di Negara Persemakmuran harus
disampaikan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal putusan tersebut. Pengadilan yang memeriksa
permohonan tersebut mempunyai kewenangan untuk
mengizinkan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut di
Singapura apabila hal tersebut dinilai “adil dan baik” ( “just
and convenien”). Pengadilan tidak boleh mengizinkan
pendaftaran suatu putusan pengadilan apabila pengadilan yang
mengeluarkan putusan tersebut telah bertindak tanpa
kewenangan, apabila debitor tidak secara sukarela nadir atau
tunduk atau setuju untuk tunduk pada yurisdiksi arbitrase itu,
apabila debitor tidak dipanggil sebagaimana mestinya, apabila
putusan diperoleh dengan penipuan, apabila proses banding
masih berjalan atau apabila ia bertentangan dengan kebijakan
umum di Singapura.
2. Putusan Arbitrase: Sertifikasi dan Pengesahan Putusan
Arbitrase untuk Pelaksanaan di Luar Negeri
Pihak yang ingin melaksanakan putusan arbitrase di luar
Singapura diwajibkan berdasarkan Article IV (I) Konvensi
PBB sehubungan dengan Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing, New York tahun 1958 (UN Convention for
the Recognition and Enforcement o f foreign Arbitral Awards,
New York 1958) (“New York Convention”) untuk
menyampaikan dokumen-dokumen di bawah ini kepada
pengadilan asing yang dimintakan izin untuk melaksanakan
putusan arbitrase :
a. Putusan arbitrase asli yang telah disahkan atau salinan
sesuai aslinya;
b. Asli perjanjian arbitrase atau salinan sesuai aslinya. •
Pengadilan di yurisdiksi yang berbeda dapat menafsirkan
ketentuan ini secara berbeda dan dapat meminta agar
formalitas tertentu dipenuhi sebelum memberikan pengakuan
pada putusan arbitrase yang dimintakan pelaksanaannya itu.

630
Putusan yang dibuat dalam arbitrase SIAC akan disertifikasi
dan disahkan oleh Panitera SIAC apabila diminta oleh salah
satu pihak. Sertifikasi dan pengesahan tersebut telah diterima
di banyak yurisdiksi di seluruh dunia. Akan tetapi, tidak ada
badan publik yang memberikan sertifikasi atau pengesahan
atas putusan arbitrase yang dibuat oleh arbitrase ad hoc di
Singapura. SIAC karenanya telah memperluas pelayanannya
untuk mencakup pula arbitrase ad hoc .
Sejak tanggal 1 Januari 2005, putusan arbitrase yang
dibuat di Singapura oleh arbitrase ad hoc dapat disimpan pada
SIAC dan sertifikasi dapat diperoleh dengan tunduk pada hal-
hal sebagai berikut:
Putusan dibuat di Singapura atau putusan dibuat oleh
arbitrase yang dilaksanakan di Singapura.
Putusan arbitrase asli yang ditandatangani disampaikan
oleh arbiter tunggal atau dalam hal majelis dengan 3 (tiga)
arbiter, oleh salah satu anggota majelis, dengan dilampiri
perjanjian arbitrase atau dokumen yang mengandung klausula
arbitrase.
Putusan arbitrase harus disampaikan dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan sejak putusan itu dikeluarkan.
Panitera dapat menolak penyampaian putusan arbitrase
apabila ia mempunyai alasan untuk meragukan keabsahannya.
Kantor Pendaftaran Putusan Arbitrase SIAC (SIAC
Registry o f Arbitral Awards) adalah badan pendaftar yang
tertutup. Kerahasiaan sangat dijaga. Hanya pihak-pihak dalam
arbitrase dan wakil mereka yang diberikan wewenang yang
dapat memeriksa putusan yang dibuat sehubungan dengan
arbitrase mereka.
C. THAILAND
Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase (Asing)
Negara ini juga telah meratifikasi konvensi New York 1958
mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing.
Thailand ikut serta melalui aksesi terhadap Konvensi New
York pada tanggal 21 Desember 1959 dan Konvensi ini mulai
berlaku di Thailand pada tanggal 20. Maret 1960.

631
Undang-undang Arbitrase Thailand baru mengatur masalah
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing begitu pula
domestik. Undang-undang ini menyamakan perlakuan terhadap
kedua putusan arbitrase ini. Putusan arbitrase dianggap asing
apabila putusan tersebut dibuat di luar wilayah Thailand. Undang-
undang ini mensyaratkan 'Thailand hanya akan mengakui dan
melaksanakan putusan arbitrase asing apabila Negara di mana
putusan tersebut dibuat telah mengadakan perjanjian internasional
di mana Thailand juga telah terikat tcrhadapnya.-Undang-undang
Arbitrase baru 'Thailand ini mensyaratkan bahwa putusan arbitrase
hanya akan diakui dan dilaksanakan apabila memenuhi syarat-
syarat berikut :
- menyerahkan salinan resmi atau putusan arbitrase asli;
- menyerahkan salinan resmi atau asli perjanjian arbitrase; dan
- menyerahkan terjemahan ke dalam Bahasa Thailand oleh
penerjemah yang telah disumpah atau penerjemah yang
bersangkutan bersumpah di hadapan pengadilan atau
terjemahan yang telah disahkan oleh pejabat resmi atau oleh
konsul 'Thailand di negara tempat putusan dikeluarkan.
Jaminan bahwa putusan arbitrase asing akan diakui dan
dilaksanakan di Tahiland termuat dalam Pasal (See). 41 Undang-
undang Arbitrase Thailand. Pasal 41 ini menyatakan :
“In the case where an award is made in a foreign country, the
competent court shall enforce such award only if it is
governed by a treaty, convention or international agreement to
which Thailand is a party, and it shall have effect only to the
extent that Thailand agrees to be bound. ”
D. MALAYSIA
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Di Malaysia
Arbitration Act 1952 (Malaysia) menetapkan aturan yang
mengatur prosedur, kekuasaan arbiter, pembentukan Mahkamah
Arbitrase, pelaksanaan putusan arbitrase dan kontrol pengadilan.
Putusan yang dibuat oleh Mahkamah arbitrase dapat dilaksanakan
oleh Pengadilan Tinggi dengan cara yang sama seperti sebuah
putusan pengadilan atau perintah dengan maksud yang sama,
sesuai Pasal 27 Arbitration Act 1952.

632
Di dalam Pasal 25 (2) Arbitration Act., dinyatakan bahwa
apabila perselisihan antara para pihak terjadi karena kesalahan
yang berkaitan dengan penipuan oleh salah satu pihak, maka
Pengadilan Tinggi memiliki kekuasaan untuk menghentikan
pemberlakukan kesepakatan arbitrase, dan memberikan izin untuk
mencabut otoritas arbiter. Sedang dalam Pasal 5 (1) (iv) Undang-
Undang Tahun 1958 dinyatakan bahwa pengadilan Malaysia juga
akan mengkesampingkan sebuah putusan sah yang didapat melalui
penipuan.-Hukum di Singapura serupa dengan yang berlaku di
Malaysia dimana Arbiter harus mengikuti peraturan pemeriksaan
arbitrase. Sebaliknya, arbiter memiliki kekuasaan yang luas
menerapkan peraturan-peraturan pokok peradilan dasar
sehubungan dengan prosedur arbitrase selama ia bertindak secara
sah. Kekuasaan arbiter termasuk kekuasaan untuk mengambil
sumpah, dan memberi atau meminta penegasan dari para pihak dan
saksi.
Otoritas arbiter di atas termasuk baru dan paralel dengan
kekuasaan yang dapat digunakan oleh Pengadilan Tinggi. Namun
arbiter jelas tidak memiliki otoritas konstitusional untuk
menyelenggarakan perintah seperti itu. Mahkamah arbitrase dalam
proses arbitrase dapat dilaksanakan, sebagaimana perintah yang
dibuat pengadilan, atau hakim, atau dengan cara yang sama seperti
sebuah putusan, atau perintah dengan maksud yang sama. Dengan
kata lain, perintah pengadilan arbitrase dapat secara efektif
dilaksanakan seperti perintah pengadilan, walaupun Pengadilan
Tinggi tetap memiliki kekuasaan untuk mengendalikan
pelaksanaan perintah arbitrase.
Malaysia juga merupakan anggota tetap dari International
Chamber o f Commerce (ICC), dimana perselisihan dapat
diselesaikan dengan Rules o f Conciliation and Arbitration o f the
International Chamber o f Commerce (ICC) yang berkedudukan di
Paris atau menurut UNCITRAL 1976.
Apabila sebuah putusan dibuat di Negara Persemakmuran
Inggris atau wilayah lain dimana Reciprocal Enforcement o f
Judgments Act 1958 berlaku, maka putusan tersebut dapat
didaftarkan sebagai sebuah putusan pengadilan in reciproting
countries dan selanjutnya didaftarkan sebagai putusan Pengadilan
Tinggi di Malaysia dan diselenggarakan sebagai putusan hukum
Malaysia. Selajutnya, putusan asing yang dibuat di Negara-negara

633
non-persemakmuran dapat dilaksanakan di Malaysia, karena
Malaysia telah mengesahkan Konvensi New York.

E. PHILIPPINA
1. Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
Pengaturan mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing diatur dalam Bab 7 (Bagian B) Undang-
Undang Republik 9285. Bagian {Section 42) (Bab 7 Bagian B)
Undang-undang ini memuat pemberlakuan ketentuan
Konvensi New York 1958 untuk pengakuan dan pelaksanaan
putusan asing.
Bagian 42 menyatakan bahwa permohonan untuk
pengakuan dan pelaksaan putusan arbitrase harus ditujukan
kepada pengadilan (regional) sesuai dengan aturan (hukum
acara) yang ditetapkan Mahkamah Agung (the Supreme
Court).
Bagian (Section) 43, yang mengatur masalah pengakuan
dan pelaksanaan dari putusan yang tidak tunduk pada konvensi
New York merupakan bagian yang patut mendapat perhatian.
Bagian (Section) 43 ini lebih eksplisit mirip didasarkan kepada
prinsip resiprositas untuk pengakuan putusan arbitrase ini.
Karena itu putusan arbitrase yang dibuat di wilayah
negara lain yang bukan menjadi anggota Konvensi New York,
tetapi negara tersebut memiliki perjanjian bilateral atau timbal
balik dalam hal pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase,
maka putusan tersebut wajib diakui dan dilaksanakan di
wilayahnya.
Putusan Arbitrase Asing yang bukan putusan Asing
(Foreign Arbitral Award Not Foreign Judgment).
Karakteristik dari suatu putusan arbitrase asing untuk
maksud pengakuan dan pelaksanaan putusan terdapat dalam
Section 44 Undang-undang.
Bunyi pasal ini agak membingungkan. Bagian (Section)
44 ini berbunyi sebagai berikut :
“SEC. 44. Foreign Arbitral Award Not Foreign Judgment.
A foreign arbitral award when confirmed by a court o f a
foreign country, shall be recognized and enforced as a

634
foreign arbitral award and not a judgment o f a foreign
court”
Paragrap pertama menunjukkan bahwa suatu putusan
arbitrase asing tidak diperlakukan sebagai suatu putusan asing
tetapi putusan arbitrase asing. Hal ini cukup jelas karena itu
sangatlah sulit untuk memahami latar belakang dari bahasa
yang tercantum dalam paragaph Section ini.
Namun demikian kalimat berikutaya dari paragraph ini
menjadi jelas, yaitu bahwa ketentuan pasal ini membolehkan
putusan arbitrase asing apabila dikuatkan oleh suatu
pengadilan regional (sudah barang tentu karena adanya
permohonan dari salah satu pihak) yang tampaknya sama
seperti halnya Section 42.
Bagian (Section) 45 memuat hak bagi para pihak untuk
menentang putusan dengan alasan yang terdapat dalam Pasal
V Konvensi New York.
Banding kepada pengadilan terhadap putusan arbitrase
diatur dalam Bagian (Section) 46 Undang-undang. Bagian
(Section) 46 ini berbunyi sebagai berikut:
SEC. 46. Appeal from Court Decisions on Arbitral
Awards. A decision o f the regional trial court confirming,
vacating, setting aside, modifying or correcting an
arbitral award may be appealed to the Court o f Appeals
in accordance with the rules o f procedure to be
promulgated by the Supreme Court.
The losing party who appeals from the judgment o f the
court confirming an arbitral award shall be required by
the appealant court to post counterbond executed in favor
o f the prevailing party to the amount o f the award in
accordance with the rules to be promulgated by the
Supreme Court.
Bagian (Section) ini menyatakan bahwa suatu banding
terhadap putusan arbitrase asing adalah dimungkinkan
terhadap putusan pengadilan regional yang memperkuat,
mengenyampingkan, mengubah atau memperbaiki putusan
arbitrase ( “...confirming, vacating, setting aside, modifying
orrorrecting an arbitral award... ").

635
636
PT. Istana Noodle House
vs
PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk.
Reg. No. 296/II/ARB-BANI/2009

A. ABSTRAK
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, para pihak yang terikat
dalam perjanjian bebas untuk menentukan apa yang mereka
kehendaki dalam perjanjian, sepanjang memenuhi syarat-syarat
sahnya perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Namun, perlu diingat bahwa asas kepatutan dan asas
ketertiban umum berada dalam tingkatan yang lebih tinggi
daripada asas kebebasan berkontrak. Dengan demikian, perjanjian
yang melanggar asas kepatutan dan asas ketertiban umum dapat
dibatalkan seluruhnya ataupun sebagian oleh Pengadilan.
Dalam perkara antara PT. Istana Noodle House melawan
PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk., perjanjian yang dibuat terbukti
telah mengabaikan asas kepatutan dan asas ketertiban umum.
Dalam Perjanjian tersebut, PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk. selaku
pemilik gedung dan pemberi sewa mencantumkan klausula-
klausula yang pada intinya melepaskan pihaknya dari segala
kewajiban dan tanggung jawab hukum, apabila terjadi suatu
kecelakaan yang menyebabkan kerugian bagi Tenant (penyewa),
baik atas kecelakaan yang disebabkan oleh Pemberi sewa, oleh
Penyewa sendiri maupun yang diakibatkan oleh Pihak ketiga.
Pada dasarnya, Perjanjian haruslah memenuhi unsur
kesepakatan, karena dengan adanya- kesepakatan, perjanjian
dianggap sah dan berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya (asas pacta sunt servanda atau agreement must
be kept). Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya sepanjang perjanjian yang bersangkutan
tidak melanggar syarat sah perjanjian sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sebagai konsekuensi dari asas
pacta sunt servanda tersebut, maka hakim maupun pihak ketiga
tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak
tersebut.

637
Namun, pada kenyataannya Perjanjian antara PT. Istana
Noodle House dan PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk., telah
mencantumkan klausul yang membebaskan PT. Plaza Indonesia
Realty, Tbk. dari seluruh kewajiban dan tanggung jawabnya saat
timbul kecelakaan yang merugikan tenant, in litis, kecelakaan ter­
sebut disebabkan oleh kontraktor yang dipekerjakan oleh PT. Plaza
Indonesia Realty, Tbk. Walaupun apabila dipandang dari asas
kebebasan berkontrak, perjanjian tersebut telah memenuhi unsur
tersebut, kedua belah pihak telah menandatanganinya sehingga
dapat dikatakan tunduk terhadap perjanjian tersebut. Namun,
nyatanya perjanjian yang tidak seimbang tersebut, ditinjau ulang
oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan terhadap
Pasal yang tidak seimbang ataupun tidak patut tersebut, dianggap
tidak pernah ada oleh BANI, hal ini sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata :
Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas
ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang
menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan,
kebiasaan, atau undang-undang.
Penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase khususnya
melalui BANI, sesungguhnya memiliki keunggulan tersendiri
dibandingkan apabila suatu persengketaan diselesaikan melalui
jalur peradilan. Salah satu keunggulannya adalah sifat putusan
BANI yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa
(bindingj, serta berlaku sebagai keputusan dalam tingkat pertama
dan terakhir (final).
Akan tetapi, disamping keunggulan tersebut, Putusan
Arbitrase daiam perkara a quo mengandung adanya inkonsistensi,
yaitu meskipun PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk. Dinyatakan
telah bersalah dan terbukti telah melakukan perbuatan melawan
hukum, pembebanan biaya perkara tetap dibebankan kepada kedua
belah pihak dengan bagian masing-masing setengah. Hal in dirasa
tidak adil, mengingat timbulnya Permohonan Penyelesaian
Sengketa a quo timbul karena adanya perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk. sehingga
sudah sepatutnya PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk. yang harus
menanggung seluruh biaya perkara a quo. Terlebih lagi, dasar
pengambilan Putusan tersebut tidak disertai dengan pertimbangan

638
hukum yang cukup, tidak ada dasar hukum apapun yang menjadi
pertimbangan dari Majelis Arbitrase untuk menetapkan demikian.
B. SOMASI
No. 171/OCK.I/2009
Jakarta, 29 Januari 2009
Kepada Yth
Bapak Rosano Barack
Presiden Direktur
PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk.
Jalan MH. Thamrin Kav. 28-30
Jakarta 10350
Perihal : Mohon Perhatian atas Penyelesaian
Permasalahan yang dihadapi oleh Klien kami
Dengan hormat,
Kami, Prof. Dr. O.C. Kaligis, SII., MH., Advokat dan
Penasihat Hukum, berkantor di Otto Cornelis Kaligis & Associates,
beralamat di Jalan Majapahit No. 18-20, Kompleks Majapahit
Permai Blok B.122-123, Jakarta Pusat, dalam hal ini bertindak
untuk dan atas nama PT. Istana Noodle House, Badan Hukum
Indonesia berkedudukan di Jalan Gatot Subroto Kav. 99 Lantai 3
Tegal Parang, Mampang Jakarta Selatan 12790 (surat kuasa
teriampir), dengan ini mensomeer PT. PLAZA INDONESIA
REALTY, TBK., dengan alasan sebagai berikut :
1. Bahwa Klien kami adalah tenant yang menyewa tempat yang
digunakan sebagai restaurant dengan nama Imperial Treasure
di PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk. berdasarkan Perjanjian
No. LAR-1241 /25/07/07/L1113 tertanggal 25 Juli 2007.
2. Bahwa pada tanggal 19 September 2008. telah terjadi
kecelakaan yang berupa ledakan pada saat diadakannya
pekerjaan penggantian meteran air dan gas yang dilakukan
oleh kontraktor yang ditentukan oleh PT. Plaza Indonesia
Realty, Tbk.
3. Bahwa oleh karena adanya kejadian kecelakaan tersebut,
seluruh ruangan dapur restaurant milik Klien Kami
mengalami kerusakan yang parah.
4. Bahwa karena adanya kerusakan pada bagian dapur restaurant
tersebut, restaurant milik Klien Kami terpaksa berhenti

639
beroperasi sejak tanggal 19 September 2008. sampai dengan
15 Desember 2008. karena harus menjalani proses renovasi.
Sehingga Klien Kami mengalami kerugian besar akibat tidak
dapat dioperasikan restaurant tersebut.
5. Bahwa selanjutnya, pihak PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk.
bertanggung jawab untuk mengganti kerugian bisnis Klien
yang diderita oleh Klien Kami yang telah Kami hitung
berdasarkan hasil perhitungan perkiraan keuntungan yang
seharusnya diperoleh sebesar:
Pendapatan bersih : Rp 3.133.500.000.00 (tiga miliar seratus
tiga puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah)
6. Bahwa dengan ini Kami meminta perhatian kepada PT. Plaza
Indonesia Realty, Tbk. untuk dapat segera menyelesaikan
segala permasalahan ini dan segera membayarkan kepada
Klien Kami segala kerugian bisnis yang telah diderita Klien
Kami dengan perkiraan jumlah total sebesar Rp
3.133.500.000.00 (tiga miliar seratus tiga puluh tiga juta lima
ratus ribu rupiah) tersebut.
7. Bahwa nilai kerugian yang Kami sampaikan ini adalah tidak
tetap jumlahnya, sehingga tetap dibukanya peluang untuk
segala koreksi ataupun tambahan atas biaya-biaya yang tidak
dan belum dapat dirinci.
8. Bahwa dengan ini Kami sampaikan pula telah adanya sikap
dari Klien Kami untuk mengambil langkah hukum lebih lanjut,
apabila penyelesaian perkara tidak dapat ditempuh melalui
jalan damai.
9. Bahwa mengenai jumlah kerugian bisnis yang Kami sampai­
kan adalah tidak mengikat, sehingga apabila tidak terjadi
penyelesaian melalui jalan damai, terbuka peluang untuk
dilakukannya koreksi atas jumlah tersebut di atas.
Demikian surat ini kami sampaikan, Kami ucapkan terima
kasih atas perhatian dan kerja samanya.
Hormat Kami,
OTTO CORNELIS KALIGIS & ASSOCIATES
ttd.
Prof. Dr. O.C. kaligis, SH., MH.

640
C. JAWABAN ATAS SOMASI
PT. PLAZA INDONESIA REALTY TBK.
Plaza Indonesia Shopping Centre Lt. 4
Jl. MH. Thamrin Kav. 28-30
JKT 10350 PO. Box 4290/JKT 1001,
Phone : 3107272,3903728,322906,
Fax : (021) 3107644, 3903718, http.V/www.plazaindonesia.com

Jakarta, 10 Februari 2009


No. 013/LGL-PIR/II/2009

Kepada Yth :
O. C. Kaligis & Associates
Majapahit Permai, Blok B 122-123, Blok C 101
Jl. Majapahit No. 18-20 Jakarta 10160
U.p. Bp. Prof. Dr. O.C. Kaligis, SH„ MIL

Ilal: PT. Istana Noodle House


(Imperial Treasure Restaurant)

Dengan hormat,
Sehubungan dengan Surat O.C. Kaligis & Associates No.
171/OCK.I/2009 tertanggal 29 Januari 2009, Perihal : Mohon
Perhatian atas Penyelesaian Permasalahan yang Dihadapi oleh
Klien Kami (selanjutnya disebut “Surat Bapak No. 171”), bersama
ini Kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa Kami dan Klien Bapak (selanjutnya disebut “Para
Pihak”) telah menandatangani Lease Agreement (Perjanjian
Sewa Menyewa) No. LAR-1241/25/07/07/L1113 tertanggal 25
Juli 2007 (selanjutnya disebut “Lease Agreement") dan Lease
Conditions tertanggal 25 Juli 2007 (selanjutnya disebut “Lease
Conditions').
2. Bahwa Para Pihak telah sepakat, sesuai dengan Clause 9.1.1
Lease Conditions, bahwa : i f any merchandise, property, office
equipment or other effects o f Lessee, its employees, agents or
invitees or o f any other person claiming through or under
Lessee that may be in Demised Premises during the Term o f
this Lease shall be injured or destroyed by water, electricity
stoppages, current surges, or the acts o f any third parties

641
(including theft or vandalism) or otherwise howsoever, no part
o f the loss or damage occasioned thereby shall be borne by or
recoverable from the Lessor whether the same shall occur by
reason o f the state o f repair o f the Demised Premises or
howsoever otherwise.
Karena itu, secara hukum Kami tidak bertanggung jawab atas
setiap dan seluruh kerugian atau kerusakan yang timbul dari
kecelakaan yang terjadi terkait dengan pekerjaan penggantian
meteran gas di dalam arca sewa Klien Bapak yang sedang
dilakukan oleh kontraktor Kami (selanjutnya disebut
kecelakaan).
3. Bahwa Para Pihak telah sepakat, sesuai dengan Clause 7.2
Lease Conditions, bahwa : The Lessee shall allow the Lessor
and the Lessor’s engineers, mechanics, workmen and other
employees or agents to enter the Demised Premises at any
time to examine, maintain, repair, install, remove, modify, or
replace all or any o f the air conditioning, plant, elevators (if
applicable) sprinkler or fire alarm installations, pipes, ducts,
conduits, wires or any other property o f the Lessor installed in
or passing through or adjacent to the Demised Premises,
providing that in and about such work the Lessor shall cause
no more interference with the Lessee’s use o f occupation o f
the Demised Premises than is in the opinion o f the Lessor
reasonably Lessor reasonably necessary. The Lessor shall
remove from the Demised Premisis all rubbish resulting from
such work and shall leave those parts o f the Demised Premises
used therein in a clean state and condition. Jadi, pekerjaan
penggantian meteran gas di dalam area sewa Klien Bapak
yang dilakukan oleh kontraktor Kami adalah atas izin/
pengetahuan Klien Bapak, pekerjaan tersebut dilakukan pada
malam hari (ketika Plaza Indonesia tutup) sehingga tidak
menggangu Klien Bapak dalam penggunaan area sewanya.
4. Bahwa Para Pihak telah sepakat, sesuai dengan Clause 14.1.1.
Lease Conditions, bahwa : The Lessee release to the full extent
permitted by law, the Lessor, the manager and their respective
officers, directors, commissioners, agents, employees and
contractors from all claims and demands o f every kind
resulting from any accident, damage, loss, death or injury
occurring in the Demised Premises or in any other part o f the

642
Complex or outside the Complex ecept to the extent that the
same is caused by the willful act or omission on the part o f the
Lessor. Karena itu, secara hukum Klien Bapak telah
melepaskan Kami dan kontraktor Kami dari setiap dan seluruh
gugatan dan tuntutan dalam bentuk apapun atas setiap dan
seluruh kerugian atau kerusakan yang timbul dari Kecelakaan.
5. Bahwa apabila Klien Bapak mengacu kepada Clauses 7.2,
9.1.1. dan 14.1.1. Lease Conditions, alasan Klien Bapak
sebagaimana dimaksud dalam angka 5 Surat Bapak No. 171
yang menyatakan Kami bertanggung jawab untuk mengganti
kerugian bisnis yang diderita oleh Klien Bapak karena Klien
Bapak terpaksa berhenti untuk beroperasi untuk melakukan
renovasi dapur restoran Klien Bapak yang mengalami
kerusakan akibat dari Kecelakaan, yang menurut perhitungan
Klien Bapak berjumlah Rp 3.133.500.000,00 (tiga miliar se­
ratus tiga puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah) (selanjutnya
disebut kerugian), secara hukum tidak mempunyai dasar yang
kuat.
6. Bahwa dengan memperhatikan angka 5 di atas, alasan Klien
Bapak sebagaimana dimaksud dalam angka 6 Surat Bapak No.
171 yang meminta Kami untuk segera membayar keru-gian
kepada Klien Bapak dengan sendirinya tidak mempunyai.
relevancy lagi.
7. Bahwa Para Pihak telah sepakat, sesuai dengan Clause 9.2
Lease Conditions, bahwa: The lessee shall keep and cause
all persons, if any, occupying or using a portion o f the
Demised Premises through or under the Lessee to keep current
at all times during its occupation o f the Demised Premises:
(a) policy o f the public risk general liability insurance
applicable to the Demised Premises and the business carried
on therein, (b) insurance policy for the full insurable value on
a replacement basis against all insurable risk covering all
glasses; (c) insurance policy for the full insurable value on
a replacement basis against all insurable risks covering
all additions to the Demised Premises carried out by the
Lessee and all the properties o f the Lessee and any other
person; (d) workers compensation insurance; (e) policy o f
builder's risk insurance; and (f) insurance policy covering
any damage to the Demised Premises or the Building due to

643
the Lessees use o f the Demised Premises or caused by the
Lessee, its agents, employees, invitees or other person. Jadi,
guna meminimalisasi kerugian yang mungkin diderita oleh
Klien Bapak, Kami meminta Klien Bapak untuk menutup
asuransi-asuransi sebagaimana dimaksud dalam Clause 9.2.
Lease Conditions. Namun, hal ini bukan berarti bahwa
Kami lalai untuk meminta Klien Bapak atau Klien Bapak tidak
perlu menutup asuransi-asuransi yang tidak dimaksud Clause
9.2. Lease Conditions dalam hal ini business interruption
insurance, loss o f business insurance, asuransi kerugian bisnis
atau istilah lain yang mempunyai arti yang sama.
Karena mengenai kerugian bisnis (apapun penyebabnya)
sebenarnya adalah pertimbangan penuh Klien Bapak, sehingga
semuanya kembali atau terserah kepada Klien Bapak apakah
perlu atau tidak perlu menutup asuransi kerugian bisnis. Jadi,
bukan karena kelalaian Kami atau semata-mata karena tidak
diatur dalam Lease Conditions.
8. Bahwa alasan Klien Bapak sebagaimana dalam angka 7 Surat
Bapak No. 171 yang menyatakan Kerugian adalah tidak tetap
jumlahnya sehingga dibuka peluang untuk segala koreksi atau
tambahan atas biaya-biaya yang tidak dan belum dapat dirinci,
menunjukkan bahwa Klien Bapak tidak mempunyai dasar
yang jelas untuk menentukan kerugian.
9. Bahwa Kami sejujurnya merasakan apa yang dirasakan oleh
Klien Bapak, tetapi sebagaimana telah disepakati bersama oleh
Para Pihak, Kami hanya menggunakan hak-hak Kami yang
diatur dalam Lease Agreement dan Lease Conditions, tidak
lebih dan tidak kurang. Dan sesuai dengan Lease Agreement
dan Lease Conditions, Kami tidak bertanggung jawab atas
setiap kerugian yang diderita dari setiap Kecelakaan yang
terjadi. Namun, Kami selalu bersedia untuk membantu
penyewa-penyewa Kami (dalam hal ini Klien Bapak)
semaksimal mungkin sebatas hal-hal yang wajar termasuk
usaha Kami untuk mengajukan klaim ke perusahaan asuransi
Kami.
10. Bahwa terlepas dari hal-hal yang telah Kami sampaikan di
atas, sebagai rekan bisnis, Kami sangat menghargai hubungan
kerja sama yang telah terjalin sekian lama di antara Kami dan
Klien Bapak. Sejak Kecelakaan terjadi, Kami tidak pernah

644
mengalihkan perhatian Kami dari Klien Bapak. Karena itu,
Kami dengan mengingat perlu atau tidak perlu menutup
asuransi kerugian bisnis pertimbangan penuh Klien Bapak,
secara tertulis telah menyampaikan kepada Klien Bapak
bahwa Kami setuju untuk :
a. Mengkompensasikan premi asuransi tambahan selama
periode perpanjangan polis asuransi Klien Bapak;
b. Membebaskan Klien Bapak dari setiap base rent, service
charge dan utility charge sejak tanggal Klien Bapak tutup
usaha, 19 September 2008, hingga buka kembali, 18
Desember 2008;
c. Meneruskan klaim Klien Bapak kepada perusahaan
asuransi Kami; dan
d. Membayarkan down payment kepada kontraktor Klien
Bapak sebesar Rp 512.332.385 (lima ratus dua betas juta
tiga ratus tiga puluh dua ribu tiga ratus delapan puluh lima
rupiah) setelah kami menerima Policy Endoorsment dari
PT. Asuransi Permata Nipponkoa Indonesia, perusahaan
asuransi Klien Bapak.
Demikian kami sampaikan. Kiranya, Klien Bapak dapat
mengerti dan menerima kesediaan Kami dalam membantu Klien
Bapak dengan mengingat bahwa Kecelakaan yang sama pun dapat
menimpa Klien Bapak ketika sedang melakukan renovasi arca
sewa yang lain dan risiko atas setiap kerugian tersebut seharusnya
ditutup dengan asuransi yang memadai oleh masing-masing pihak.
'I’erima kasih atas perhatian Bapak.
Hormat saya,
PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk.
ttd.
M. Siohirin
Direktur

645
D. PERMOHONAN ARBITRASE
No. 33 8/OCK.11/2009
Jakarta, 18 Februari 2009
Kepada Yth,
Badan Arbitrase Nasionai Indonesia (BANI)
Wahana Graha Lantai 2
Jl. Mampang Prapatan No. 2
Jakarta Selatan
Hal: Permohonan Arbitrase
Dengan hormat,
Kami, Prof. Dr. (Jur) O.C. KALIGIS, Advokat dan Konsultan
Hukum, berkantor di O.C. KALIGIS & ASSOCIATES, beralamat
di Jl. Majapahit No. 18-20, Kompleks Majapahit Permai Blok B
122-123 Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
(terlampir), bertindak untuk dan atas nama Klien Kami PT. Istana
Noodle House, suatu Perseroan Terbatas yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia, berkedudukan di Jalan Gatot
Subroto Kav. 99 Lantai 3 Tegal Parang, Mampang Jakarta Selatan
12790, (PEMOHON), dengan ini mengajukan Permohonan
Arbitrase terhadap :
PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk., berkedudukan di Jalan MH.
Thamrin Kav. 28-30 Jakarta 10350, (TERMOHON); karena
TERMOHON telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang
merugikan PEMOHON terkait dengan peristiwa meledaknya pipa
gas pada lahan yang disewa oleh PEMOHON yang digunakan
sebagai rumah makan dengan nama dagang Imperial Treasure,
rumah makan pada TERMOHON.
Bahwa sebelum masuk kepada pokok perkara, terlebih dahulu
Kami sampaikan bahwa perkara ini adalah tepat untuk dfajukan
kepada Badan Arbitrase Nasionai Indonesia (BANI) berdasar­
kan ketentuan Pasal 21 ayat 2, Perjanjian Sewa No. LAR-1241/25/
07/07/L1113 tertanggal 25 Juli 2007 yang dibuat dan diadakan
oleh dan antara PEMOHON dan TERMOHON.
Setiap ketidaksepakatan atau perselisihan yang tidak dapat
diselesaikan secara baik-baik oleh dan antara para pihak,
akan, kecuali jika ditentukan lain dalam Kontrak Sewa ini,
diserahkan kepada Dewan Arbitrasi yang dibentuk

646
berdasarkan peraturan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) dan ketentuan dari bagian 21.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat 1 Perjanjian,
selanjutnya Kami mengajukan Permohonan Arbitrase sebagaimana
akan Kami uraikan lebih lanjut di bawah ini :
1. Bahwa antara PEMOHON dan TERMOHON telah ditanda­
tangani Perjanjian Sewa No. LAR-1241/25/07/07/L1113 ter­
tanggal 25 Juli 2007 (Perjanjian) (Bukti P-l). Bahwa dalam
Perjanjian tersebut PEMOHON bertindak sebagai Penyewa
lahan dan TERMOHON adalah sebagai Pemberi Sewa.
Adapun penggunaan lahan sewa sebagaimana dimaksud,
PEMOHON peruntukkan sebagai rumah makan dengan merek
dagang Imperial Treasure.
2. Bahwa pada tanggal 23 Juli 2008, PEMOHON menerima surat
No. L048/BM-PISC/VII/2008 dari TERMOHON yang pada
intinya TERMOHON meminta izin kepada PEMOHON untuk
memasuki lahan sewa yang ditempati oleh PEMOHON pada
hari Kamis, 24 Juli 2008, untuk melakukan pekerjaan
penggantian Water Meter & Gas Meter dari yang semula
bersistem analog menjadi sistem digital, dan hal ini dilakukan
oleh pihak kontraktor TERMOHON, yaitu: PT. Jaga Citra Inti.
(Bukti P-2).
3. Bahwa dalam menanggapi surat tersebut, pihak PEMOHON,
memberikan izin untuk dilakukannya penggantian Water
Meter & Gas Meter tersebut pada hari Jumat, 25 Juli 2008,
tetapi TERMOHON tidak melakukan pekerjaan tersebut tanpa
adanya pemberitahuan kepada PEMOHON, serta tidak pula
memberitahukan kapan waktu akan dilaksanakannya pekerja­
an tersebut.
4. Bahwa faktanya, penggantian Water Meter & Gas Meter, baru
dilaksanakan oleh pihak TERMOHON melalui pihak
kontraktor TERMOHON, yaitu: PT. Jaga Citra Inti pada hari
Jumat, 19 September 2008, tanpa adanya permintaan tertulis
dari pihak TERMOHON.
5. Bahwa sesuai dengan Perjanjian Pasal 7 ayat 2 : Penyewa
harus memperbolehkan Pemberi Sewa dan para teknisi,
mekanik, pekerja dan karyawan atau agen lain dari Pemberi
Sewa untuk memasuki Tempat-tempat sewaan setiap saat

647
untuk memeriksa, memelihara, memperbaiki, memasang,
mencabut, memodifikasi atau mengganti semua peralatan
Air-conditioner, Elevator (jika sesuai), alat penyiram atau
instalasi-instalasi alarm kebakaran, pipa, saluran air, pipa
kabel listrik, kabel atau setiap properti lain Pemberi Sewa
yang dipasang didalam atau melewati atau berdekatan
dengan tempat-tempat sewaan, dengan ketentuan bahwa di
dalam dan di sekitar pekerjaan tersebut Pemberi Sewa tidak
bo/eh menyebabkan gangguan lebih jauh terhadap
penggunaan Penyewa atas Tempat-tempat sewaan dan pada
yang menurut pendapat Pemberi Sewa sewajarnya
diperlukan....
(Cetak tebal dari PEMOHON)
Bahwa PEMOHON telah menunjukkan iktikad baiknya untuk
mematuhi Perjanjian, dengan telah memperbolehkan pihak
TERMOHON yang melakukan penggantian Water Meter & Gas
Meter pada hari Jumat, 19 September 2008, tanpa adanya
permintaan ulang tertulis dari pihak TERMOHON.
TERGUGAT TELAII MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN
HUKUM
1. Bahwa pada pukul 22.00 WIB tanggal 19 September 2008,
pihak yang ditunjuk oleh TERMOHON untuk mengganti pipa
gas datang ke lokasi yang disewa oleh PEMOHON dan
bermaksud untuk mengganti pipa gas dari sistem analog ke
sistem digital. Namun, pekerjaan penggantian pipa gas
tersebut telah menyebabkan ledakan yang mengakibatkan
kerusakan parah atas lahan yang disewa oleh PEMOHON.
Terjadinya ledakan yang menimbulkan kerusakan bagi
PEMOHON terjadi disebabkan kelalaian dari pihak
TERMOHON.
Bahwa terdapat bukti yang berupa foto-foto yang menggam­
barkan dengan jelas kerusakan parah yang terjadi pada rumah
makan milik PEMOHON telah diakibatkan oleh kelalaian
TERMOHON. (Bukti P-3)
2. Bahwa karena adanya kerusakan pada rumah makan tersebut,
sehingga rumah makan milik PEMOHON terpaksa berhenti
beroperasi selama 88 (delapan puluh delapan) hari terhitung

648
sejak tanggal 19 September 2008 sampai dengan 15 Desember
2008, disebabkan harus menjalani proses renovasi.
Bahwa karena adanya proses renovasi tersebut, PEMOHON
tidak dapat menjalankan usahanya dan hal tersebut meng­
akibatkan timbulnya kerugian yang besar yang harus
ditanggung oleh PEMOHON sebagai pemilik rumah makan
tersebut.
3. Bahwa seluruh kerugian yang dialami oleh PEMOHON
disebabkan perbuatan TERMOHON yang telah melakukan
suatu kelalaian dalam proses penggantian pipa gas.
Berdasarkan Pasal 1369 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dijelaskan bahwa:
Pemilik sebuah gedung bertanggung jawab atas
kerugian yang disebabkan oleh ambruknya gedung itu
seluruhnya atau sebagian, jika itu terjadi karena
kelalaian dalam pemeliharaan atau karena kekurangan
dalam pembangunan ataupun dalam penataannya.
(Cetaktebal dari PEMOHON);
4. Bahwa selain hal tersebut di atas, berdasarkan ketentuan Pasal
1366 KUH Perdata:
Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas
kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melain­
kan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau
kesembronoannya. (Cetaktebal dari PEMOHON)
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, TERMOHON harus
bertanggung jawab atas kelalaiannya dalam proses peng­
gantian pipa gas yang menyebabkan terjadinya ledakan di
tempat yang disewa oleh PEMOHON.
5. Bahwa menurut pendapat Rutten, 1979, perbuatan melalaikan
sesuatu adalah suatu Perbuatan Melawan Hukum. Dengan
demikian, kelalaian yang dilakukan oleh TERMOHON dapat
dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum, sehingga
TERMOHON dapat dimintakan pertanggungjawabannya ter­
hadap Perbuatan Melawan Hukum yang telah dilakukan oleh
TERMOHON yang menimbulkan kerugian bagi PEMOHON.
(Lihat: M.A. Moegni Djojodirojo, SIT, Perbuatan Melawan
Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, him. 42-43).

649
6. Bahwa hukum Indonesia mengatur Perbuatan Melawan
Hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.
Bahwa sesuai ketentuan dalam Pasal 1365 KUH Perdata
tersebut di atas, suatu perbuatan melawan hukum haruslah
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya suatu perbuatan.
2. Perbuatan tersebut dari pihak pelaku.
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku.
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan
kerugian.
Bahwa adanya suatu perbuatan yang dilakukan oleh
TERMOHON tercermin dalam tindakan TERMOHON untuk
mengganti saluran pipa gas yang terjadi pada tanggal 19
September 2008. Bahwa selanjutnya terdapat kesalahan dalam
penggantian pipa gas sehingga mengakibatkan meledaknya
pipa gas tersebut dan mengakibatkan kerugian bagi
PEMOHON. Dengan demikian, telah jelas bahwa TER­
MOHON telah melakukan suatu Perbuatan Melawan Hukum
sehingga wajib untuk mengganti segala kerugian PEMOHON.
7. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata :
Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas
kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri,
melainkan juga atas kerugian yang disebabkan
perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya
atau disebabkan barang-barang yang berada dibawah
pengawasannya .... Majikan dan orang yang
mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan
mereka, .... bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam
melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-
orang itu.
(Cetak tebal dari PEMOHON)

650
Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Putusan Iloge Raad tanggal
23 November 1917 dalam pertimbangannya, sebagai berikut:
Kenyataan bahwa seseorang membangun gedung tidak
dengan tenaganya sendiri, melainkan memborongkan
pekerjaan tersebut, tidaklah dapat membebaskannya
dari segala pertanggungjawaban sekalipun si pemborong
bukanlah bawahannya dalam arti Pasal 1367KUII
Perdata.
Dengan demikian, walaupun pekerjaan penggantian pipa gas
tidak dilakukan sendiri oleh pihak TERMOHON, tetapi
dilaku-kan oleh pihak kontraktor TERMOHON (PT. Jaga
Citra Inti), TERMOHON tetap wajib untuk mempertanggung­
jawabkan segala kerugian PEMOHON atas kelalaian dalam
penggantian pipa gas yang menyebabkan ledakan yang
merusak rumah makan milik PEMOHON.
Bahwa dalam surat TERMOHON No. L048/BM-PISC/VII/
2008. tertanggal 23 Juli 2008 (Vide Bukti-2), TERMOHON
sendiri telah mengakui bahwa PT. Jaga Citra Inti adalah
Kontraktor yang ditunjuk oleh TERMOHON. Pengakuan itu
PEMOHON kutip sebagai berikut : Demi kelancaran
pekerjaan oleh Kontraktor Kami (PT. Jaga Citra Inti), Kami
harap pihak Bapak menyiapkan 1 (satu) orang petugas jaga
untuk mendampingi selama pekerjaan tersebut berlangsung.
8. Bahwa PEMOHON melalui kuasa hukumnya Otto Cornel is
Kaligis & Associates, telah mengirimkan surat No. 171/
OCK.I/2009 Perihal: Mohon Perhatian atas Penyelesaian
Permasalahan yang dihadapi oleh Klien Kami kepada
TERMOHON, yang pada intinya meminta kepada
TERMOHON untuk bertanggung jawab dan mengganti
kerugian bisnis PEMOHON. (Bukti P-4)
9. Bahwa TERMOHON telah menanggapi surat PEMOHON
tersebut dengan surat No. 013/LGL-PIR/II/2009 hal : PT.
Istana Noodle House (Imperial Treasure rumah makan) yang
pada intinya menyatakan TERMOHON menolak untuk
membayar kepada PEMOHON kerugian yang diderita oleh
PEMOHON. (Bukti P-5)

651
TERMOIION WAJIB MEMBAYAR KEPADA PEMOIION
KERUGIAN YANG DIDERITA OLEII PEMOHON
1. Bahwa menurut ketentuan dalam Pasal 1246 KUI IPer :
Biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur,
terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan
yang sedianya dapat diperolehnya, tanpa mengurangi
pengecualian dan perubahan yang disebut di bawah ini.
(Cetak tebal dari PEMOHON )
Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, para pelaku perbuatan
melawan hukum tidak hanya mengganti kerugian yang diderita
PEMOHON karena adanya kesalahan dari TERMOHON,
tetapi juga harus mengganti winstderving (keuntungan yang
. dapat diharapkan diterima).
Pelaku dalam hal kerusakan terjadi secara melawan hukum,
wajib mengganti tidak hanya biaya reparasi, melainkan juga
sejumlah uang sebesar penghasilan yang tidak dapat diterima
karena adanya kerusakan tersebut. (Lihat: M.A. Moegni
Djojodirojo, SH., Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1979, him. 77).
2. Bahwa berdasarkan uraian di atas, karena adanya kelalaian
dari TERMOHON dalam melakukan penggantian saluran pipa
gas, perbuatan TERMOHON tersebut dapat dikategorikan
sebagai suatu Perbuatan Melawan Hukum.
3. Bahwa sebagai akibat Perbuatan Melawan Hukum yang
dilakukan oleh TERMOHON, PEMOHON telah mengalami
kerugian baik materiil maupun immateriil sebagai berikut:
Kerugian Materiil:
1) Berupa kerugian atas segala pengeluaran tetap (fixed cost)
yang tetap harus dikeluarkan oleh PEMOHON, selama
tutupnya rumah makan Imperial Treasure milik
PEMOHON sebagai berikut: (dalam rupiah)
Periode 19 September 2008 sampai dengan 30 September 2008.

Biaya Gaji Pegawai Lokal Rumah Makan (*)33.646.449


Biaya Tunjangan Kesejahteraan 76.978.332
Biaya Tunjangan Pesangon 2.558.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 148.382.721

652
Biaya Pembayaran Cuti Pegawai Asing 7.960.902
Biaya Tunjangan Hari Libur Pegawai Asing 4.975.564
Biaya Tunjangan Pesangon Pegawai Asing 14.926.692
Biaya Pembayaran Kartu Kredit 13.965.155
Biaya Pemanas, Lampu, Air 28.359.800
Biaya Listrik dan PAM 67.275.265
Biaya Alat Tulis 488.900
Biaya Cetak 44.500
Biaya Parkir dan Tol 66.000
Biaya Makan Pegawai 11.910.900
Biaya Operasional Lainnya 90.000
Biaya Hiburan 70.900.356
Biaya Dapur 145.500
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 317.340
Biaya Laundry 117.000
Biaya Perlengkapan 3.780.000
Biaya Renovasi Interior 5.405.772
Biaya Tiket Pegawai Asing 1.427.250
Biaya Gudang 500.000
Biaya Bensin 400.000
Biaya Onderdil Mobil 280.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Rcstauran (*>3.337.351
Biaya Gaji Pegawai Lokal Kantor (*>23.326.487
Biaya Tunjangan Kesejahteraan Pegawai Lokal 34.502.407
Biaya Listrik dan PAM 7.143.296
Biaya Telepon, Telex, Faximile 200.000
Biaya Alat Tulis 62.817
Biaya Koran dan Majalah 90.000
Biaya Parkir dan Tol 314.500
Biaya Makan Pegawai 278.000
Biaya Operasional Lainnya 154.000
Biava Pemeliharaan Gudang 80.000
Biaya Sosial 20.000
Biaya Sewa Gedung (*>4.886.129
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 1.379.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 314.750

653
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor (*)387.343
Biaya Depresiasi Kendaraan Pegawai (*)2.350.806
Biaya Lain-lain 573
Biaya Provisi dan Administrasi 533.000
Biaya Sewa Rumah Makan 135.636.435
Biaya Sewa Apartemen 6.154.839
TOTAL 716.054.131

(Bukti P-6)
(*) Bahwa biaya-biaya gaji tersebut di atas termasuk pula
biaya overtime, pembayaran cuti biaya tunjangan hari
libur dan biaya tunjangan kesehatan yang telah Kami
bagi secara prorata, sehingga angka di atas adalah
biaya bulan September sejak rumah makan terpaksa
ditutup (12 hari).
(*) Bahwa biaya sewa gedung tersebut di atas telah Kami
bagi secara prorata, sehingga angka di atas adalah
biaya bulan September sejak rumah makan terpaksa
ditutup (12 hari).
Periode 1 Oktober 2008. sampai dengan 31 Oktober 2008

Biaya Gaji 78.586.000


Biaya Overtime 3.295.462
Biaya Tunjangan Hari Libur 79.306
Biaya Tunjangan Kesehatan 100.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 132.563.920
Biaya Pembayaran Cuti Pegawai Asing 7.087.480
Biaya Tunjangan Hari Libur Pegawai Asing 347.360
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 550.786
Biaya Kesejahteraan Pegawai Asing 28.876.600
Biaya Tunjangan Pesangon Pegawai Asing 31.863.600
Biaya Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.502.261
Biaya Telepon, Telex, Faximile 2.643.893
Biaya Alat Tulis 15.900
Biaya Cetak 600.000
Biaya Parkir dan Tol 373.000
Biaya Makan Pegawai 1.801.469
Biaya Operasional Lainnya 49.600
Biaya Service Charge Plaza Indonesia 110.000
Biaya Laundry 178.000
Biaya Perlengkapan 5.020.649
Biaya Renovasi Interior 13.964.912
Biaya Onderdil Ac, Kulkas 4.750.000
Biaya Jasa Profesional Lainnya 46.840.909
Biaya Tiket Pegawai Asing 23.456.075
Biaya Dokumen Pegawai Asing 12.705.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Asing 1.720.000
Biaya Asuransi Pegawai Asing 351.334
Biaya Depresiasi Perlengkapan Restauran 8.669.158
Biaya Gaji Pegawai Lokal 50.269.513
Biaya Overtime Pegawai Lokal 1.958.584
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Lokal 1.914.324
Biaya Asuransi Pegawai Lokal 676.532
Biaya Listrik dan PAM 3.387.092
Biaya Telepon, Telex, Faximile 1.484.344
Biaya Alat Tulis 76.583
Biaya Pengiriman 39.500
Biaya Parkir dan Tol 785.000
Biaya Makan Pegawai 120.718
Biaya Operasional Lainnya 960.000
Biaya Pemanas, Air, dan Jasa Gudang 10.363.765
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 129.810
Biaya Pemeliharaan Gudang 903.465

Biaya Sosial 152.000


Biaya Sewa Gedung 12.622.500
Biaya Sewa Apartemen Pegawai Asing 14.900.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 3.357.000
Biaya Onderdil Kendaraan Pegawai Lokal 575.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 642.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor 1.084.803
Biaya Depresiasi Kendaraan 3.135.417
Biaya Lain-lain 163

655
Biaya Provisi dan Administrasi 923.000
TOTAL 522.858.870
(Bukti P-7)

Periode 1 November 2008 sampai dengan 30 November 2008

Biaya Gaji 78.266.000


Biaya Overtime 3.393.670
Biaya Tunjangan Kesehatan 195.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 121.447.913
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 176.388
Biaya Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.171.561
Biaya Telepon, Telex, Faximile 940.160
Biaya Cetak 6.867.525
Biaya Pengiriman 13.500
Biaya Parkir dan Tol 304.500
Biaya Makan Pegawai 3.057.800
Biaya Dapur 1.673.340
Biaya Perlengkapan 2.184.849
Biaya Renovasi Interior 13.964.912
Biaya Onderdil Ac, Kulkas 1.850.000
Biaya Dokumen 200.000
Biaya Tiket Pegawai Asing 21.988.735
Biaya Dokumen Pegawai Asing 21.005.000
Biaya Gudang 500.000
Biaya Bahan Bakar 1.150.000
Biaya Asuransi 597.667
Biaya STNK 1.838.300
Biaya Depresiasi Perlengkapan Restauran 8.569.158
Biaya Gaji Pegawai Lokal 49.799.112
Biaya Overtime Lokal 2.743.150
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Lokal 2.081.766
Biaya Asuransi Pegawai 676.532
Biaya Listrik dan PAM 3.408.804
Biaya Telepon, Telex, Faximile 1.784.346
Biaya Alat Tulis 90.933
Biaya Koran Dan Majalah 74.500
Biaya Parkir dan Tol 770.500
Biaya Makan Pegawai 135.000
Biaya Operasional Lainnya 647.000
Biaya Pemanas, Air, Servis Gudang 7.833.980
Biaya Gudang 335.775
Biaya Perlengkapan Kantor 350.000
Biaya Sosial 150.000
Biaya Sewa Gedung 12.622.500
Biaya Sewa Istana Harmoni 14.900.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 3.363.000
Biaya Onderdil Kendaraan Pegawai Lokal 15.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 642.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor 1.084.803
Biaya Depresiasi Kendaraan Pegawai 3.135.417
Biaya Lain-lain 47
Biaya Provisi dan Administrasi 849.250
TOTAL 403.144.476

(Bukti P-8)
Periode 1 Desember 2008 sampai dengan 19 Desember 2008

Biava Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 227.500


Biava Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.171.541
Biava Telepon, Telex, Faximilc 880.160
Biaya Alat Tulis 426.500
Biaya Cetak 2.100.000
Biaya Parkir dan Tol 377.500
Biaya Makan.Pegawai 5.901.247
Biaya Operasional Lainnya 160.000
Biaya Dapur 7.564.485
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 907.090
Biaya Perlengkapan Kantor 5.542.849
Biaya Dokumen Pegawai Asing 16.005.000
Biaya Gudang 500.000

657
Biaya Pajak Perforasi 60.000
Biaya Bahan Bakar 1.870.000
Biaya Asuransi 597.667
Biaya Seragam 1.171.800
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai 676.532
Biaya Telepon, Telex, Faximile 1.181.483
Biaya Cetak 10.000
Biaya Koran Dan Majalah 90.000
Biaya Pengiriman 183.500
Biaya Parkir dan Tol 557.000
Biaya Operasional Lainnya 358.000
Biaya Pemanas, Air, Servis Gudang 5.846.081
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 18.000
Biaya Gudang 768.040
Biaya Perlengkapan Kantor 300.000
Biaya Sosial 10.000
Biaya Sewa Istana Harmoni 9.745.161
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 2.047.000
Biaya Asuransi Pegawai Lokal 327.250
Biaya Lain-lain 538
Biaya Provisi dan Administrasi 90.000
Biaya Gaji Pegawai Lokal Rumah Makan 88.700.316
Biaya Gaji Pegawai Lokal Kantor 20.383.566
Depresiasi Rumah Makan 13.794.492
Depresiasi Kantor 2.586.586
Biaya Sewa Gedung 7.736.371
TOTAL 205.168.338

(Bukti P-9)
Sehingga jumlah kerugian materiil yang berupa pem­
bayaran atas biaya-biaya tetap (fixed cost) yang tetap
harus dibayar oleh PEMOIION walaupun rumah makan
terpaksa ditutup selama 88 hari, adalah sebesar Rp
1.847.225.815,00 (satu miliar delapan ratus empat puluh
tujuh juta dua ratus dua puluh lima ribu delapan ratus lima
betas rupiah).
2) Berupa winstderving atau keuntungan yang seharusnya
diharapkan yang dapat Kami rinci sebagai berikut :
(Perhitungan ini diperoleh dari hasil perhitungan rata-rata
pendapatan bulanan berdasarkan Laporan Rugi-Laba
PEMOHON Tahun 2008). (Bukti P-10).
❖ Bulan Januari 2008 : Rp 181.430.030,00
(seratus delapan puluh satu juta empat ratus tiga puluh
ribu tiga puluh rupiah)
❖ Bulan Februari 2008 : Rp 134.793.535,00
(seratus tiga puluh empat juta tujuh ratus sembilan
puluh tiga ribu lima ratus tiga puluh lima rupiah)
❖ Bulan Maret 2008 : Rp 203.437.414,00
(dua ratus tiga juta empat ratus tiga puluh tujuh ribu
empat ratus empat belas rupiah)
❖ Bulan April 2008 : Rp 208.319.360,00
(dua ratus delapan juta tiga ratus sembilan belas ribu
tiga ratus enam puluh rupiah)
❖ Bulan Mei 2008 : Rp 277.586.215,00
(dua ratus tujuh puluh tujuh juta lima ratus delapan
puluh enam ribu dua ratus lima belas rupiah)
❖ Bulan Juni 2008 : Rp 254.334.366,00
(dua ratus lima puluh empat juta tiga ratus tiga puluh
empat ribu tiga ratus enam puluh enam rupiah)
❖ Bulan Juli 2008 : Rp 235.754.779,00
(dua ratus tiga puluh lima juta tujuh ratus lima puluh
empat ribu tujuh ratus tujuh puluh sembilan rupiah)
❖ Bulan Agustus 2008 : Rp 200.548.810,00
(dua ratus juta lima ratus empat puluh delapan ribu
delapan ratus sepuluh rupiah)
Total: Rp 1.696.204.509,00
(satu miliar enam ratus sembilan puluh enam juta dua
ratus empat ribu lima ratus sembilan rupiah) selama
243 hari.
Sehingga kerugian materiil yang dialami oleh
PEMOHON adalah sebesar Rp 1.696.204.509,00 di­
bagi dengan 243 hari dikalikan dengan 88 hari, yaitu :

659
Rp 614.263.362,00 (enam ratus empat belas juta dua
ratus enam puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh dua
rupiah).
Kerugian Immatcriil akibat perbuatan TERMOHON
yang jelas-jelas telah merusak nama baik PEMOHON,
selaku pemillik rumah makan Imperial Treasure yang
berkredibilitas baik. PEMOHON juga harus kehilangan
konsumen setia yang selama ini menjadi pelanggan tetap
pada PEMOHON. PEMOHON juga telah dirugikan baik
waktu, tenaga dan pikiran yang semuanya tidak dapat
diukur dengan uang, tetapi dalam perkara ini, untuk
memberikan kepastian hukum atas perbuatan
TERMOHON, PEMOHON menuntut ganti rugi sebesar
Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Kerugian
Materiil dan Imateriil tersebut harus dibayar tunai dan
sekaligus selambaT-lambatnya 8 (delapan) hari terhitung
sejak Keputusan BANI atas perkara ini mempunyai
kekuatan hukum (inkracht van gewijsde).
4. Bahwa guna mencegah adanya iktikad tidak baik dari
TERMOHON, untuk tidak tunduk pada Putusan Arbitrase ini,
Kami mohonkan kepada TERMOHON untuk membayar uang
paksa (Dwangsom) sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
per hari, sejak putusan ini dibacakan, apabila TERMOHON
lalai dalam melaksanakan isi putusan ini.
5. Bahwa Permohonan Penyelesaian Sengketa melalui lembaga
Arbitrase ini timbul karena adanya Perbuatan Melawan
Hukum yang dilakukan oleh TERMOHON, untuk itu adalah
wajar apabila biaya konsultan hukum yang ditanggung oleh
PEMOHON dan biaya perkara di Arbitrase ini ditanggung
sepenuhnya oleh TERMOHON.
Berdasarkan fakta dan ketentuan hukum tersebut di atas,
PEMOHON dengan ini memohon kepada Majelis Arbitrase agar
berkenan memutus sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan PEMOHON untuk seluruhnya;
2. Menyatakan TERMOHON telah melakukan Perbuatan Melawan
Hukum terhadap PEMOHON;
3. Menghukum TERMOHON untuk membayar ganti rugi kepada
PEMOHON yang berupa :

660
Kerugian Materiil:
1) Berupa kerugian atas segala pengeluaran tetap (fixed cost)
yang tetap harus dikeluarkan oleh PEMOHON, selama
tutupnya rumah makan Imperial Treasure milik PEMOHON
sebagai berikut:
(dalam rupiah)
Periode 19 September 2008 sampai dengan 30 September 2008.

Biaya Gaji Pegawai Lokal Rumah Makan (*)33.646.449


Biaya Tunjangan Kesejahteraan 76.978.332
Biaya Tunjangan Pesangon 2.558.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 148.382.721
Biaya Pembayaran Cuti Pegawai Asing 7.960.902
Biaya Tunjangan Mari Libur Pegawai Asing 4.975.564
Biaya Tunjangan Pesangon Pegawai Asing 14.926.692
Biaya Pembayaran Kartu Kredit 13.965.155
Biaya Pemanas, Lampu, Air 28.359.800
Biaya Listrik dan PAM 67.275.265
Biaya Alat Tulis 488.900
Biaya Cetak 44.500
Biaya Parkir dan Tol 66.000
Biaya Makan Pegawai 11.910.900
Biaya Operasional Lainnya 90.000
Biaya Iliburan 70.900.356
Biaya Dapur 145.500
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 317.340
Biaya Laundry 117.000
Biaya Perlengkapan 3.780.000
Biaya Renovasi Interior 5.405.772
Biaya Tiket Pegawai Asing 1.427.250
Biaya Gudang 500.000
Biaya Bensin 400.000
Biaya Onderdil Mobil 280.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Rcstauran (*)3.337.351
Biaya Gaji Pegawai Lokal Kantor (*)23.326.487
Biaya Tunjangan Kesejahteraan Pegawai Lokal 34.502.407

661
Biaya Listrik dan PAM 7.143.296
Biaya Telepon, Telex, Faximile 200.000
Biaya Alat Tulis 62.817
Biaya Koran dan Majalah 90.000
Biaya Parkir dan Tol 314.500
Biaya Makan Pegawai 278.000
Biaya Operasional Lainnya 154.000
Biava Pemeliharaan Gudang 80.000
Biaya Sosial 20.000
Biaya Sewa Gedung (*)4.886.129
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 1.379.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 314.750
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor (*)387.343
Biaya Depresiasi Kendaraan Pegawai (*)2.350.806
Biaya Lain-lain 573
Biaya Provisi dan Administrasi 533.000
Biaya Sewa Rumah Makan 135.636.435
Biaya Sewa Apartemen 6.154.839
TOTAL 716.054.131

(Bukti P-6)
(*) Bahwa biaya-biaya gaji tersebut di atas termasuk pula
biaya overtime, pembayaran cuti biaya tunjangan hari
libur dan biaya tunjangan kesehatan yang telah Kami bagi
secara prorata, sehingga angka di atas adalah biaya bulan
September sejak rumah makan terpaksa ditutup (12 hari).
(*) Bahwa biaya sewa gedung tersebut di atas telah Kami
bagi secara prorata, sehingga angka di atas adalah biaya
bulan September sejak rumah makan terpaksa ditutup (12
hari).
Periode 1 Oktober 2008. sampai dengan 31 Oktober 2008

Biaya Gaji 78.586.000


Biaya Overtime 3.295.462
Biaya Tunjangan Hari Libur 79.306
Biaya Tunjangan Kesehatan 100.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 132.563.920
Biaya Pembayaran Cuti Pegawai Asing 7.087.480
Biaya Tunjangan Hari Libur Pegawai Asing 347.360
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 550.786
Biaya Kesejahteraan Pegawai Asing 28.876.600
Biaya Tunjangan Pesangon Pegawai Asing 31.863.600
Biaya Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.502.261
Biaya Telepon, Telex, Faximile 2.643.893
Biaya Alat Tulis 15.900
Biaya Cetak 600.000
Biaya Parkir dan Tol 373.000
Biaya Makan Pegawai 1.801.469
Biaya Operasional Lainnya 49.600
Biaya Service Charge Plaza Indonesia 110.000
Biaya Laundry 178.000
Biaya Perlengkapan 5.020.649
Biaya Renovasi Interior 13.964.912
Biaya Onderdil Ac, Kulkas 4.750.000
Biaya Jasa Profesional Lainnya 46.840.909
Biaya Tiket Pegawai Asing 23.456.075
Biaya Dokumen Pegawai Asing 12.705.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Asing 1.720.000
Biaya Asuransi Pegawai Asing 351.334
Biaya Depresiasi Perlengkapan Restauran 8.669.158
Biaya Gaji Pegawai Lokal 50.269.513
Biaya Overtime Pegawai Lokal 1.958.584
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Lokal 1.914.324
Biaya Asuransi Pegawai Lokal 676.532
Biaya Listrik dan PAM 3.387.092
Biaya Telepon, Telex, Faximile 1.484.344
Biaya Alat Tulis 76.583
Biaya Pengiriman 39.500
Biaya Parkir dan Tol 785.000
Biaya Makan Pegawai 120.718
Biaya Operasional Lainnya 960.000
Biaya Pemanas, Air, dan Jasa Gudang 10.363.765

663
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 129.810
Biaya Pemeliharaan Gudang 903.465

Biaya Sosial 152.000


Biaya Sewa Gedung 12.622.500
Biaya Sewa Apartemen Pegawai Asing 14.900.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 3.357.000
Biaya Onderdil Kendaraan Pegawai Lokal 575.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 642.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor 1.084.803
Biaya Depresiasi Kendaraan 3.135.417
Biaya Lain-lain 163
Biaya Provisi dan Administrasi 923.000
TOTAL 522.858.870
(Bukti P-7)

Periode 1 November 2008 sampai dengan 30 November 2008

Biaya Gaji 78.266.000


Biaya Overtime 3.393.670
Biaya Tunjangan Kesehatan 195.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 121.447.913
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 176.388
Biaya Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.171.561
Biaya Telepon, Telex, Faximile 940.160
Biaya Cetak 6.867.525
Biaya Pengiriman 13.500
Biaya Parkir dan Tol 304.500
Biaya Makan Pegawai 3.057.800
Biaya Dapur 1.673.340
Biaya Perlengkapan 2.184.849
Biaya Renovasi Interior 13.964.912
Biaya Onderdil Ac, Kulkas 1.850.000
Biaya Dokumen 200.000
Biaya Tiket Pegawai Asing 21.988.735
Biaya Dokumen Pegawai Asing 21.005.000
Biaya Gudang 500.000
Biaya Bahan Bakar 1.150.000
Biaya Asuransi 597.667
Biaya STNK 1.838.300
Biaya Depresiasi Perlengkapan Restauran 8.569.158
Biaya Gaji Pegawai Lokal 49.799.112
Biaya Overtime Lokal 2.743.150
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Lokal 2.081.766
Biaya Asuransi Pegawai 676.532
Biaya Listrik dan PAM 3.408.804
Biaya Telepon, Telex, Faximile 1.784.346
Biaya Alat Tulis 90.933
Biaya Koran Dan Majalah 74.500
Biaya Parkir dan Tol 770.500
Biaya Makan Pegawai 135.000
Biaya Operasional Lainnya 647.000
Biaya Pemanas, Air, Servis Gudang 7.833.980
Biaya Gudang 335.775
Biaya Perlengkapan Kantor 350.000
Biaya Sosial 150.000
Biaya Sewa Gedung 12.622.500
Biaya Sewa Istana Harmoni 14.900.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 3.363.000
Biaya Onderdil Kendaraan Pegawai Lokal 15.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 642.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor 1.084.803
Biaya Depresiasi Kendaraan Pegawai 3.135.417
Biaya Lain-lain 47
Biaya Provisi dan Administrasi 849.250
TOTAL 403.144.476

(Bukti P-8)
Periode 1 Desember 2008 sampai dengan 19 Desember 2008

Biava Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 227.500


Biava Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.171.541

665
Biava Telepon, Telex, Faximilc 880.160
Biaya Alat Tulis 426.500
Biaya Cetak 2.100.000
Biaya Parkir dan Tol 377.500
Biaya Makan Pegawai 5.901.247
Biaya Operasional Lainnya 160.000
Biaya Dapur 7.564.485
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 907.090
Biaya Perlengkapan Kantor 5.542.849
Biaya Dokumen Pegawai Asing 16.005.000
Biaya Gudang 500.000
Biaya Pajak Perforasi 60.000
Biaya Bahan Bakar 1.870.000
Biaya Asuransi 597.667
Biaya Seragam 1.171.800
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai 676.532
Biaya Telepon, Telex, Faximile 1.181.483
Biaya Cetak 10.000
Biaya Koran Dan Majalah 90.000
Biaya Pengiriman 183.500
Biaya Parkir dan Tol 557.000
Biaya Operasional Lainnya 358.000
Biaya Pemanas, Air, Servis Gudang 5.846.081
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 18.000
Biaya Gudang 768.040
Biaya Perlengkapan Kantor 300.000
Biaya Sosial 10.000
Biaya Sewa Istana Harmoni 9.745.161
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 2.047.000
Biaya Asuransi Pegawai Lokal 327.250
Biaya Lain-lain 538
Biaya Provisi dan Administrasi 90.000
Biaya Gaji Pegawai Lokal Rumah Makan 88.700.316
Biaya Gaji Pegawai Lokal Kantor 20.383.566
Depresiasi Rumah Makan 13.794.492
Depresiasi Kantor 2.586.586
Biaya Sewa Gedung 7.736.371
TOTAL 205.168.338

(Bukti P-9)
Sehingga jumlah kerugian materiil yang berupa pembayaran
atas biaya-biaya tetap (fixed cost) yang tetap harus dibayar
oleh PEMOHON walaupun rumah makan terpaksa ditutup
selama 88 hari, adalah sebesar Rp 1.847.225.815,00 (satu
miliar delapan ratus empat puluh tujuh juta dua ratus dua
puluh lima ribu delapan ratus lima betas rupiah).
2) Berupa winstderving atau keuntungan yang seharusnya
diharapkan yang dapat Kami rinci sebagai berikut :
(Perhitungan ini diperoleh dari hasil perhitungan rata-rata
pendapatan bulanan berdasarkan Laporan Rugi-Laba
PEMOHON Tahun 2008). (Bukti P-10).
❖ Bulan Januari 2008 : Rp 181.430.030,00
(seratus delapan puluh satu juta empat ratus tiga puluh ribu
tiga puluh rupiah)
❖ Bulan Februari 2008 : Rp 134.793.535,00
(seratus tiga puluh empat juta tujuh ratus sembilan puluh
tiga ribu lima ratus tiga puluh lima rupiah)
❖ Bulan Maret 2008 : Rp 203.437.414,00
(dua ratus tiga juta empat ratus tiga puluh tujuh ribu empat
ratus empat belas rupiah)
❖ Bulan April 2008 : Rp 208.319.360,00
(dua ratus delapan juta tiga ratus sembilan belas ribu tiga
ratus enam puluh rupiah)
❖ Bulan Mei 2008 : Rp 277.586.215,00
(dua ratus tujuh puluh tujuh juta lima ratus delapan puluh
enam ribu dua ratus lima belas rupiah)
❖ Bulan Juni 2008 : Rp 254.334.366,00
(dua ratus lima puluh empat juta tiga ratus tiga puluh empat
ribu tiga ratus enam puluh enam rupiah)
❖ Bulan Juli 2008 : Rp 235.754.779,00
(dua ratus tiga puluh lima juta tujuh ratus lima puluh empat
ribu tujuh ratus tujuh puluh sembilan rupiah)

667
❖ Bulan Agustus 2008 : Rp 200.548.810,00
(dua ratus juta lima ratus empat puluh delapan ribu delapan
ratus sepuluh rupiah)
Total : Rp 1.696.204.509,00
(satu miliar enam ratus sembilan puluh enam juta dua ratus
empat ribu lima ratus sembilan rupiah) selama 243 hari.
Sehingga kerugian materiil yang dialami oleh PEMOHON
adalah sebesar Rp 1.696.204.509,00 di-bagi dengan 243
hari dikalikan dengan 88 hari, yaitu :
Rp 614.263.362,00 (enam ratus empat belas juta dua ratus
enam puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh dua rupiah).
Kerugian Immatcriil akibat perbuatan TERMOHON yang
jelas-jelas telah merusak nama baik PEMOHON, selaku
pemillik rumah makan Imperial Treasure yang berkredibilitas
baik. PEMOHON juga harus kehilangan konsumen setia yang
selama ini menjadi pelanggan tetap pada PEMOHON.
PEMOHON juga telah dirugikan baik waktu, tenaga dan
pikiran yang semuanya tidak dapat diukur dengan uang, tetapi
dalam perkara ini, untuk memberikan kepastian hukum atas
perbuatan TERMOHON, PEMOHON menuntut ganti rugi
sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Kerugian Materiil dan Imateriil tersebut harus dibayar tunai
dan sekaligus selambaT-lambatnya 8 (delapan) hari terhitung
sejak Keputusan BANI atas perkara ini mempunyai kekuatan
hukum (inkracht van gewijsde).
4. Menghukum TERMOHON untuk membayar uang paksa
(Dwangsom) sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) per
hari, sejak putusan ini dibacakan, apabila TERMOHON lalai
dalam melaksanakan isi putusan ini;
5. Menghukum TERMOHON untuk melakukan pembayaran
kepada PEMOHON atas biaya konsultan hukum yang
ditanggung oleh PEMOHON dan biaya perkara di Arbitrase
ini ditanggung sepenuhnya oleh TERMOHON.
Apabila Majelis Arbitrase berpendapat lain, PEMOHON
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

668
Hormat Kami,
OTTO CORNELIS KALIGIS & ASSOCIATES
ttd.
Prof. Dr. (Jur) O.C. Kaligis, SI I., MIL
ttd.
Dr. Y.B. Purwaning M. Yanuar, SI L, MCL,. CN.
ttd.
T.IL Ratna Dewi, SIL, M.Kn.
ttd.
Dca Tunggacsti, SI L, MM.

PENUNJUKAN ARBITER
No. 340/OCK.II/2009
Jakarta, 18 Februari 2009
Kepada Yth,
BAPAK KETUA Badan Arbitrase Nasionai Indonesia (BANI)
Wahana Graha Lantai 2
Jl. Mampang Prapatan No. 2
Jakarta Selatan
PERIIIAL : PENYELESAIAN MELALUI ARBITRASE DAN
PENUNJUKKAN ARBITER
Dengan hormat,
Kami, Prof. Dr. (Jur) O.C. KAIJGIS, Advokat dan Penasihat
Hukum, berkantor di O.C. KALIGIS & ASSOCIATES, beralamat
di Jalan Majapahit No. 18-20, Komplek Majapahit Permai Blok
B. 122-123, Jakarta Pusat, berdasarkan surat kuasa khusus
(terlampir), dengan ini bertindak untuk dan atas nama klien kami :
PT. Istana Noodle House (PEMOIION), berkedudukan di Jalan
Gatot Subroto Kav. 99 Lantai 3 Tegal Parang, Mampang Jakarta
Selatan 12790, dengan ini menyampaikan Permohonan Penunjukan
Arbiter sebagai berikut:
Sehubungan dengan adanya permasalahan antara Klien kami
selaku PEMOHON dan PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk.,

669
berkedudukan di Jalan MIL Thamrin Kav. 28-30 Jakarta 10350
selaku TERMOHON, kami mengajukan permohonan penyelesaian
perkara melalui arbitrase kepada BANI Jakarta agar berkenan
memeriksa dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh
Klien kami. Dengan ini, kami sampaikan pula permohonan
penunjukan untuk menjadi Arbiter kepada :
Nama : II. Priyatna Abdurrasyid
Demikian permohonan kami sampaikan, atas perhatiannya
kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
OTTO CORNELIS KALIGIS & ASSOCIATES
ttd.
Prof. Dr. (Jur) O.C. Kaligis, SH., MIL
ttd.
Dr. Y.B. Purwaning M. Yanuar, SH., MCL,. CN.
ttd.
T.H. Ratna Dewi, SH., M.Kn.
ttd.
Dca Tunggaesti, SH., MM.
F. JAWABAN
Jakarta 16 April 2009
Kepada Yth.
BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA
Wahana Graha, Lantai 2,
Mampang Prapatan No. 2
Jakarta, 12760
PERIHAL : JAWABAN DALAM PERKARA ARBITRASE
NOMOR: 296/1 l/ARB-BANI/2009

Dengan hormat,
Yang bertanda tangan dibawan ini, DR. M aqdir Ismail, SIL,
LL.M., DR. S.F. Marbun, SIL, M.IIum., Libertino Nainggolan,
SIL, Andi Abdurrahman Nawawi, SIL, dan Masayu Donny
Kertopati, SH. Advokat dan Pengacara pada kantor konsultan
hukum Maqdir Ismail & Partners, beralamat di Jl. Bandung No.

670
4, Menteng, Jakarta 10310, dalam hal ini berdasarkan surat kuasa
khusus tertanggal 16 Maret 2009, bertindak untuk dan atas nama
PT. Plaza Indonesia Realty (untuk selanjutnya disebut sebagai
TERMOHON) dengan ini mengajukan jawaban dalam perkara
No. 296/II/ARB-BANI/2009 Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) atas gugatan Wanprestasi yang diajukan oleh PT. Istana
Noodle House melalui kuasa hukumnya Otto Cornclis Kaligis &
Associates (untuk selanjutnya disebut PEMOHON).
Bahwa TERMOHON dengan ini mengajukan jawaban atas
gugatan yang diajukan oleh PEMOHON sebagai berikut:
1. Bahwa TERMOHON menolak dengan tegas seluruh dalil dan
argumentasi hukum gugatan yang diajukan oleh PEMOHON
tertanggal 17 Februari 2009, kecuali terhadap dalil dan
argumentasi hukum yang diakui secara tegas kebenarannya
oleh TERMOHON.
2. Bahwa dalil-dalil PEMOHON didalam surat gugatan butir 1-9
halaman 4 sampai dengan halaman 11, secara yuridis tidak
perlu dipertimbangkan dan harus dikesampingkan karena
antara PEMOHON dan TERMOHON telah menandatangani
Lease Agreement (Perjanjian Sewa Menyewa) No. LAR/
1241/25/07/07/L1113 tertanggal 25 Juli 2007 (selanjutnya
disebut nLease Agreement”) dan Lease Conditions tertanggal
25 Juli 2007 (selanjutnya disebut ‘‘Lease Conditions ’j (Bukti
T-l, Vide Bukti P-la).
3. Bahwa karena PEMOHON dan TERMOHON terikat pada
suatu perjanjian, seharusnya PEMOHON dan TERMOHON
dalam menuntut hak dan kewajibannya terhadap sesuatu hal
yang telah diperjanjikan terlebih dahulu melaksanakan atau
tunduk pada ketentuan dalam perjanjian sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang
menyebutkan :
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-
undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditank
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan
iktikad baik.

671
4. Bahwa PEMOIION telah salah mendalilkan TERMOHON
telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana di­
maksud dalam Pasal 1365 BW juncto Pasal 1367 BW juncto
Pasal 1369 BW dimana ketentuan tersebut seharusnya
dikesampingkan berdasarkan ketentuan-ketentuan dari isi
Lease Agreement dan Lease Conditions.
5. Bahwa menurut asas kebebasan berkontrak yang menyatakan
bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak
(perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak
bertentangan dengan undang-undang (Vide Prof. Subekti,
Hukum Perjanjian, Internusa, Jakarta Cet. VI, 1979 P. 13)
sehingga orang dapat menciptakan hak-hak yang tidak diatur
dalam Buku III BW tetapi diatur sendiri dalam perjanjian, dan
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.
6. Bahwa menurut ketentuan Lease Agreement dan Lease
Condition Pasal 9.1. Para Pihak telah sepakat, bahwa
TERMOHON tidak bertanggungjawab atas kerusakan yang
terjadi di dalam lokasi yang disewakan, hal ini sesuai dengan
Ciause 9.1. Lease Conditions, bahwa :
if any merchandise, property, office equipment or other o f
Lessee, its employes, agents or invitees or o f any other
person claiming through or under Lessee that may b,e in
the Demised Premises during the Term o f this Lease shall
be injured or destroyed by water, electricity stoppages,
current surges, or the acts o f any third parties (including
theft or vandalism) or otherwise howsoever, no part o f the
loss or damage occasioned thereby shall be borne by or
recoverable from the Lessor whether the same shall occur
by reason o f the state o f repair o f the Demised Premises
or howsoever otherwise.
Terjemahan bebasnya :
Jika setiap barang dagangan, property, perlengkapan
kantor atau barang lain milik Penyewa, para agent
karyawan, undangannya dan semua orang yang memiliki
hak melalui atau di bawah Penyewa yang bisa berada
dalam Tempat-Tempat Sewaan selama Jangka Waktu
Kontrak Sewa ini rusak atau hancur karena air,
terhentinya listrik, turun-naik mendadak arus listrik, atau

672
tindakan-tindakan setiap pihak ketiga (termasuk pencurian
atau vandalisme) atau apapun yang lainnya, setiap bagian
dari kehilangan atau kerusakan tersebut yang disebabkan
oleh hal-hal tersebut diatas tidak ditanggung oleh atau
harus dipulihkan oleh Pemberi Sewa baik kehilangan atau
kerusakan tersebut terjadi karena keadaan Tempat-Tempat
Sewaan maupun jika karena hal lain apapun.
Karena sesuai dengan ketentuan diatas secara hukum
TERMOHON tidak bertanggung jawab atas setiap dan seluruh
kerugian atau kerusakan yang timbul dari kecelakaan yang
terjadi terkait dengan pekerjaan penggantian meteran gas di
dalam area sewa PEMOHON yang sedang dilakukan oleh
kontraktor TERMOHON.
7. Bahwa lebih lanjut menurut ketentuan Lease Agreement dan
Lease condition antara PEMOHON dan TERMOHON telah
sepakat melepaskan TERMOHON dan Pihak Ketiga dari
setiap dan seluruh gugatan dan tuntutan dalam bentuk apapun
atas setiap dan seluruh kerugian atau kerusakan yang timbul
dari setiap kecelakaan, kerusakan, kehilangan, kematian atau
cedera yang terjadi di lokasi yang disewakan berdasarkan
Clause 14.1.1 Lease Conditions, yang menyatakan hal-hal
sebagai berikut :
14.1.1. The Lessee releases to the full extent permitted by
law, the Lessor, the manager and their respective
officers, directors, commissioners, agents,
employees and contractors from all claims and
demands o f every kind resulting from any
accident, damage, loss, death or injury occuning
in the Demised Premises.
Terjemahan bebasnya:
14.1.1. Penyewa membebaskan Pemberi Sewa, Manajer,
dan petugas, Direktur, Komisaris, agent pegawai
dan kontraktor Pemberi Sewa sejauh yang
diizinkan oleh hukum dari semua klaim dan
tuntutan dengan jenis apapun yang timbul akibat
setiap kecelakaan, kerusakan, kehilangan,
kematian atau cedera yang terjadi di tempat
Sewaan atau di bagian lain dari Kompleks atau di
luar Kompleks kecuali jika kecelakaan tersebut

673
disebabkan oleh tindakan yang disengaja atau
pengabaian dari pihak Pemberi Sewa.
14.1.2 The Lessee hereby acknowledges and agrees that
the doing o f any act, matter or tiling which the
Lessee Is obliged or required or permited
hereunder, and tile Lessee ’s occupying, using and
keeping the Demised Premises, shall be at the
sole risk and expense o f the lessee.
Terjemahan bebasnya:
14.1.2. Penyewa dengan ini mengakui dan menyetujui
bahwa pelaksanaan semua tindakan, atau hal yang
diwajibkan atau diharuskan atau diizinkan dalam
Perjanjian ini, dan penempatan, penggunaan, dan
pemeliharaan Tempat di Sewakan oleh Penyewa
menjadi risiko dan, tanggungan sepenuhnya dari
Penyewa.
Karena itu, secara hukum PEMOHON telah melepaskan
TERMOHON dan kontraktor dari setiap dan seluruh gugatan
dan tuntutan dalam bentuk apapun atas setiap dan seluruh
kerugian atau kerusakan yang timbul dari kerusakan,
kehilangan, kematian atau cedera yang terjadi di lokasi yang
disewakan.
Bahwa berdasarkan dalil-dalil TERMOHON di atas khususnya
mengenai pelepasan tanggung jawab TERMOHON atas setiap
dan seluruh kerugian atau kerusakan yang timbul dari
kecelakaan yang terjadi terkait dengan pekerjaan penggantian
meteran gas di dalam area sewa PEMOHON dan pelepasan
tanggung jawab atas seluruh gugatan dan tuntutan dalam
bentuk apapun atas setiap dan seluruh kerugian atau kerusakan
yang timbul dari kerusakan, kehilangan, kematian atau cedera
yang terjadi di lokasi yang disewakan, sehingga kedudukan
rangkaian pasal-pasal Buku III BW khususnya pasal-pasal
pada title V sampai dengan XVIII hanya bersifat hukum
pelengkap saja, artinya pasal-pasal tersebut boleh
dtkesampingkan terlebih lagi kedua belah pihak telah
membuat ketentuan sendiri untuk mengatur kepentingan
mereka berdasarkan Lease Agreement dan Lease Condition.
9. Bahwa apa yang didalilkan oleh PEMOHON baru dapat
mengikat TERMOHON, jika Lease Agreement dan Lease
Condition tidak mengatur Clauses 9.1.1 dan 14.1.1 dan 14.1.2
Lease Conditions di atas atau mengaturnya dalam perjanjian
tetapi tidak lengkap, sehingga soal-soal yang tidak diatur
tersendiri itu baru dapat diberlakukan pasal-pasal hukum
perikatan.
10. Bahwa berdasarkan dalil-dalil TERMOHON di atas, terbuka”
dalil-dalil PEMOHON yang menyatakan TERMOHON telah
melakukan perbuatan melawan hukum tidak dapat diterima,
sehinga TERMOHON memohon Majelis Arbiter yang
memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan gugatan
PEMOHON tidak dapat diterima (Met Onvankelijk
Verklaard).
11. Bahwa sehubungan dnegan dalil-dalil PEMOHON butjr 1-5
halaman 2 sampai dengan halaman 4 di dalam surat gugatan,
sesuai dengan Lease Agreement dan Lease Condition dalam
Clause 7.2 Accesed to Demised Premises for Maintenance o f
Air-Conditioning Plant etc. tentang akses terhadap tempat-
tempat sewaan untuk perawatan perlengkapan air-conditioncr,
menyebutkan bahwa :
The Lessee shall allow the Lessor and the Lessor’s
engineers, mechanics, workmen and other employees or
agents to enter the Demised Premises at any time to
examine, maintain, repair, install, remove, modify or
replace all or any o f the air conditioning plant elevators
(if applicable), sprinkler or fire alarm installation, pipes,
ducts, conduits, wires or any other property o f the lessor
installed in or passing through or adjacent to the Demised
Premises, providing that in and about such work the
Lessor shall cause no more interference with the Lessee ’s
use and occupation o f the Demised Premises than is in the
opinion o f the Lessor reasonably necessary. The Lessor
shall remove from the Demised Premises all rubbish
resulting from such work and shall leave those parts o f
the Demised Premises used therein in a clean state and
condition.

675
Terjemahan bebasnya:
Penyewa harus memperbolehkan Pemberi Sewa dan para
teknisi, mekanik, pekerja dan karyawan atau agen lain
dari Pemberi Sewa untuk memasuki Tempat-Tempat
Sewaan setiap saat untuk memeriksa, memelihara,
memperbaiki, memasang, mencabut, memodifikasi atau
mengganti semua dan setiap Peralatan Air-Conditioner,
Elevator (jika sesuai), alat atau instalasi-instalasi alarm
kebakaran, pipa, saluran air, pipa kabel listrik, kabel atau
setiap properti lain dari Pemberi Sewa yang dipasang di
dalam atau melewati atau berdekatan dengan Tempat-
tempat Sewaan, dengan ketentuan bahwa di dalam dan di
sekitar pekerjaan tersebut Pemberi Sewa tidak boleh
menyebabkan gangguan lebih jauh terhadap penggunaan
Penyewa atas Tempat-tempat Sewaan daripada yang
menurut pendapat Pemberi Sewa sewajarnya diperlukan.
Pemberi Sewa harus mengeluarkan dari Tempat-tempat
Sewaan semua sampah yang dihasilkan dari pekerjaan
tersebut dan harus meninggalkan bagian-bagian Tempat-
tempat Sewaan yang digunakan dalam pekerjaan tersebut
dalam keadaan bersih.
Dengan demikian, pekerjaan penggantian meteran gas di
dalam area sewa PEMOIION yang dilakukan oleh kontraktor
TERMOHON adalah atas izin/pengetahuan PEMOIION,
pekerjaan tersebut dilakukan pada malam hari (ketika Plaza
Indonesia tutup) sehingga tidak mengganggu PEMOHON
dalam penggunaan area sewanya.
12. Bahwa mengacu pada Clauses 9.1.1 dan 14.1.1 dan 14.1.2
Lease Conditions diatas, dalil-dalil PEMOHON di dalam surat
gugatan butir 1-11 him. 8 sampai dengan him. 17 yang pada
pokoknya menyatakan TERMOHON bertanggung jawab
untuk mengganti kerugian bisnis yang diderita oleh
PEMOHON. PEMOHON mendalilkan terpaksa berhenti
beroperasi karena melakukan renovasi dapur restoran
PEMOHON yang meng-alami kerusakan akibat dari
kecelakaan, sehingga kerugian PEMOHON terdiri dari
kerugian materiil berupa kerugian atas segala pengeluaran
tetap (fixed cost) adalah sebesar Rp 1.847.225.815,00 (satu
miliar delapan ratus empat puluh tujuh juta dua ratus dua

676
puluh lima ribu delapan ratus lima belas rupiah) dan berupa
winstderving atau keuntungan yang seharusnya diharapkan
sebesar Rp 614.263.362,00 (enam ratus empat belas juta dua
ratus enam puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh dua rupiah)
serta kerugian immateriil yang dituntut PEMOHON sebesar
Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) secara
hukum tidak mempunyai dasar.
13. Bahwa karena Gugatan PEMOHON yang didasarkan pada
perbuatan melawan hukum tidak dapat dibuktikan, sehingga
dengan sendirinya TERMOHON tidak dapat dibebankan atas
tuntutan ganti kerugian.
14. Bahwa penolakan TERMOHON atas ganti rugi yang diajukan
oleh PEMOHON didasarkan pada tuntutan ganti kerugian
yang dimohonkan oleh PEMOHON bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1247
Debitur hanya diwajibkan mengganti biaya, kerugian dan
bunga, yang diharap atau sedianya dapat diduga pada
waktu perikatan diadakan, kecuali jika tidak dipenuhinya
perikatan itu disebabkan oleh tipu daya yang
dilakukannya.
Pasal 1248
Bahkan, jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan
oleh tipu daya debitur, penggantian biaya, kerugian dan
bunga, yang menyebabkan kreditur menderita kerugian
dan kehilangan keuntungan, hanya mencakup hal-hal
yang menjadi akibat langsung dari tidak dilaksanakannya
perikatan itu.
15. Bahwa dalam Lease Condition telah disepakati bahwa
Penyewa harus mendapatkan asuransi risiko yang berlaku
umum atas alat perlengkapan termasuk barang pecah
belah sebagaimana disebutkan dalam clause 9.2 Lease to
effect Public Risk, Glass and Putting and stock Insurance
sebagai berikut:
9.2.1. a policy o f public risk general liability insurance
applicable to the Demised Premises and the
busness carried on therein suitably endorsed
whereby the indemnity undersuch policy is

677
extended to include claims arising out o f or in
connection with this Lease for an amount not less
than US $1,000,000 (being the amount which may
be paid out arising from any one single accident
or event) or such higher amount as the Lessor
may from time to time reasonably require;
9.2.2. an insurance policy for the full insurable value on
a replacement basis against all insurable risks
covering all glass (including any plate glass but
excluding any glass located in exterior windows
o f the Building where such windows do not about
a public area) in or enclosing the Demised
Premises;
9.2.3. an insurance policy for the full insurable value on
a replacement basis against all insurable risks
covering all additions to the Demised Premises
carried out by the Lessee and all o f the property,
including fixtures and fittings, merchandise,
office equipment and stock in the Dmised
Premises, o f the Lessee and any other person
claiming through or under the Lessee;
9.2.4. to the extent required by applicable law, worker ’s
compensation insurance or similar coverage for
its employees;
9.2.5. to the extent any construction or fit out work is
being performed relating to the Demised
Premises, a policy o f builder ’s risk insurance for
the full replacement value o f the Demised
Premises or such other amount as required by the
Lessor; and
9.2.6. if not included in any o f the foregoing, an
insurance policy in the amount set forth in Clause
9.2.1 covering any damage to the Common Area
or the Building, including the premises demised
to other tenants and occupants thereof, due to the
Lessee ’s use o f the Demised Premises or caused
by the Lessee or its agents, employees, invitees or
other person’s claiming through or under the
Lessee;

678
Jadi, guna meminimalisasi kerugian yang mungkin diderita
oleh PEMOHON, TERMOHON telah meminta PEMOHON
untuk menutup asuransi-asuransi sebagaimana dimaksud
dalam Clause 9.2 Lease Conditions. Namun, hal ini bukan
berarti bahwa TERMOHON lalai untuk meminta PEMOHON
atau PEMOHON tidak perlu menutup asuransi-asuransi yang
tidak dimaksud Clause 9.2 Lease Conditions dalam hal ini
business interruption insurance, loss o f business insurance,
asuransi kerugian bisnis atau istilah lain yang mempunyai arti
yang sama. Karena mengenai kerugian bisnis (apapun
penyebabnya) sebenarnya adalah pertimbangan penuh
PEMOHON, sehingga semuanya kembali atau terserah kepada
PEMOHON apakah perlu atau tidak perlu menutup asuransi
kerugian bisnis. Jadi, bukan karena kelalaian TERMOHON
atau semata-mata karena tidak diatur dalam Lease Conditions.
16. Bahwa berdasarkan iktikad baik TERMOHON, TERMOHON
menggunakan hak-haknya yang diatur dalam Lease Agreement
dan Lease Conditions. Sesuai dengan Lease Agreement dan
Lease Conditions, 'TERMOHON tidak bertanggung jawab,
atas setiap kerugian yang diderita dan setiap kecelakaan yang
terjadi. Namun, TERMOHON selalu bersedia untuk
membantu PEMOHON semaksimal mungking/sebatas hal-hal
yang wajar untuk mengajukan klaim ke perusahaan asuransi
TERMOHON.
17. Bahwa terlepas dari hal-hal yang telah TERMOHON
sampaikan di atas, sebagai rekan bisnis, TERMOHON sangat
menghargai hubungan kerja sama yang telah terjalin sekian
lama. Bahwa untuk mengurangi kerugian bisnis yang
diakibatkan kecelakaan di tempat yang disewakan kepada
PEMOHON, TERMOHON bersedia membantu PEMOHON
sebagaimana disampaikan dalam suratnya No. 013/LGL-
PIR/II/2009 tertanggal 10 Februari 2009 (Bukti T-2, Vide
Bukti P-5) sebagai berikut :
a. Mcngkompensasikan premi asuransi tambahan selama
periode perpanjangan polis asuransi PEMOHON;
b. Membebaskan PEMOHON dari pembayaran Base Rent,
Service Charge dan Utility Charge sejak tanggal
PEMOHON menutup usaha tanggal 19 September 2008,
hingga buka kembali tanggal 18 Desember 2008;

679
c. Meneruskan klaim asuransi PEMOHON kepada asuransi
TERMOHON;
d. Membayarkan down payment kepada kontraktor
PEMOHON sebesar Rp 512.332.385 (lima ratus dua
belas juta tiga ratus tiga puluh dua ribu tiga ratus delapan
puluh lima rupiah) setelah kami menerima Policy
Endorsement dari PT Asuransi Permata;
18. Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas, terbukti tuntutan
PEMOHON kepada TERMOHON berupa ganti kerugian
materiil dan immateriil tidak dapat diterima dan haruslah
ditolak.
19. Bahwa tuntutan PEMOHON mengenai pembayaran uang
dwangson (Vide butir 10 him. 16) sangatlah berdasarkan
hukum apabila juga ditolak mengingat Yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan No.
496K/SIP/1971 tertanggal 1 September 1971 telah menyatakan
bahwa:
pembayaran uang paksa hanya mungkin dikabulkan ter­
hadap perbuatan yang harus dilakukan oleh TERMOHON
yang tidak terdiri dari pembayaran suatu jumlah uang.
sedang dalam perkara a quo PEMOHON juga mengajukan
tuntutan ganti kerugian materiil berupa kerugian atas
segala pengeluaran tetap (fixed cost) adalah sebesar
Rp 1.847.225.815,00 (satu miliar delapan ratus empat puluh
tujuh juta dua ratus dua puluh lima ribu delapan ratus lima
belas rupiah) dan berupa winstderving atau keuntungan
yang seharusnya diharapkan sebesar Rp 614.263.362,00 (enam
ratus empat belas juta dua ratus enam puluh tiga ribu tiga
ratus enam puluh dua rupiah) serta kerugian immateriil yang
dituntut PEMOHON sebesar Rp 2.500.000,000,00 (dua miliar
lima ratus juta rupiah).
20. Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas, sangatlah beralasan
dan berdasarkan hukum apabila Majelis Arbiter Yang
Terhormat menolak permintaan pembayaran uang dwangson
yang dimintakan oleh PEMOEION.
Berdasarkan seluruh uraian-uraian di atas, TERMOHON
memohon kepada Majelis Arbiter Yang Terhormat yang
memeriksa dan mengadili permohonan arbitrase ini berkenan untuk

680
menyelesaikan perselisihan yang terjadi dengan memberikan
putusan sebagai berikut:
- Menolak gugatan PEMOHON untuk seluruhnya;
- Menyatakan gugatan PEMOHON tidak dapat diterima (Viet
Onvankelijk Verklaard);
- Menghukum PEMOHON untuk membayar biaya perkara. Atau
apabila Majelis Arbiter Yang Terhormat berpendapat lain, kami
mohon putusan yang seadil-adilnya (exaequo et bono).
Hormat kami,
M aqdir Ismail & Partners
ttd.
Dr. Maqdir Ismail, SH., LEM.
ttd.
Libertino Nainggolang, SH.
ttd.
Masayu Donny Kertopati, SH.
ttd.
Dr. SF. Marbun, SH., M.Hum.
ttd.
Andi Abdurrahman Nawawi, SII.
G. REPLIK
No. 804/OCK.IV/2009
Jakarta, 27 April 2009
Kepada Yth,
Majelis Arbiter Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Wahana Graha Lantai 2
JI. Mampang Prapatan No. 2
Jakarta Selatan
Ilal: REPLIK

Dengan hormat,
Kami, Prof. Dr. (Jur) O.C. Kaligis, Advokat dan Konsultan
Hukum, berkantor di O.C. KALIGIS & ASSOCIATES, beralamat
di Jl. Majapahit No. 18-20, Kompleks Majapahit Permai Blok B.
122-123 Jakarta Pusat, berdasarkan Surat Kuasa Khusus

681
(terlampir), bertindak untuk dan atas nama Klien kami PT. Istana
Noodle House, suatu Perseroan Terbatas yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia, berkedudukan di Jalan Gatot
Subroto Kav. 99 Lantai 3 Tegal Parang, Mampang Jakarta Selatan
12790, (PEMOHON) dengan ini mengajukan Replik, melawan:
PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk., berkedudukan di Jalan MH.
Thamrin Kav. 28-30 Jakarta 10350, (TERMOHON); karena
TERMOHON telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang
merugikan PEMOHON terkait dengan peristiwa meledaknya pipa
gas pada lahan yang disewa oleh PEMOHON yang digunakan
sebagai rumah makan dengan nama dagang Imperial Treasure.
1. Bahwa PEMOHON menyatakan tetap pada dalil-dalil
PEMOHON yang telah disampaikan dalam Permohonan
tertanggal 17 Februari 2009. PEMOHON menolak dengan
tegas seluruh dalil-dalil yang diajukan oleh TERMOHON
dalam jawabannya tertanggal 16 April 2009, kecuali terhadap
dalil-dalil TERMOHON yang diakui secara tegas
kebenarannya oleh PEMOHON.
2. Bahwa PEMOHON mengakui dalil TERMOHON yang
menyatakan antara PEMOHON dan TERMOHON telah
ditandatangani Lease Agreement (Perjanjian Sewa Menyewa)
No. LAR-1241/25/07/07/L1113 tertanggal 25 Juli 2007
(Perjanjian) (Bukti P-la, Vide Bukti Tl). Namun, yang
menjadi dasar permasalahan yang diajukan oleh PEMOHON
kepada BANI adalah karena adanya peiedakan pipa gas pada
lahan sewa milik PEMOHON yang diakibatkan oleh kelalaian
dalam perbaikan pipa gas oleh kontraktor yang ditunjuk oleh
TERMOHON. Adapun mengenai perbuatan kelalaian adalah
diluar Perjanjian, sehingga PEMOHON tidak akan membahas
ataupun merinci lebih lanjut mengenai Perjanjian tersebut.
Demikian juga mengenai dalil-dalil TERMOHON dalam
jawabannya sepanjang mengenai pasal-pasal dalam
Perjanjian, akan diabaikan, sebab tidak ada hubungannya
dengan kejadian peiedakan pipa gas yang disebabkan oleh
kelalaian TERMOHON, yang berada diluar batas-batas
Perjanjian.
3. Bahwa walaupun Perjanjian bukan merupakan dasar diajukannya
permohonan dalam perkara a quo, tetapi PEMOHON akan

682
menyanggah mengenai dalil-dalil TERMOHON mengenai
Perjanjian khususnya mengenai pasal-pasal yang dijadikan dasar
bagi TERMOHON untuk menghindar dari kewajibannya.
4. Bahwa Perjanjian tersebut telah dibuat atas adanya suatu
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandingheden)
yang diawali dengan adanya ketidakseimbangan posisi tawar
antara para pihak sehingga isi perjanjian lebih memihak
kepada pihak yang posisi tawarnya yang lebih tinggi.
Ketidakseimbangan posisi tawar antara lain dapat disebabkan
oleh ketidakseimbangan secara ekonomi maupun sosial.
Bahwa TERMOHON tidak dapat berlindung di balik
Perjanjian yang telah dibuat, karena Perjanjian tersebut dibuat
dengan didasari pada suatu penyalahgunaan keadaan (misbruik
van omstandingheden). Dengan adanya penyalahgunaan
keadaan tersebut, TERMOHON memiliki kedudukan dengan
posisi tawar yang lebih tinggi daripada PEMOHON, sehingga
TERMOHON dapat menggunakan kelemahan posisi tawar
PEMOHON dalam penandatanganan Perjanjian tersebut.
TERMOHON telah menyiapkan Perjanjian yang akan
ditandatangani oleh PEMOHON dan TERMOHON, dimana
Perjanjian tersebut sifatnya telah baku dan PEMOHON tidak
ada mempunyai pilihan lain serta tidak memperoleh
kesempatan untuk menegosiasikan isi dari Perjanjian sebelum
PEMOHON menandatangani Perjanjian tersebut.
Dengan digunakannya doktrin penyalahgunaan keadaan,
hakim harus meneliti sejarah terbentuknya perjanjian atau
sejarah terbentuknya kata sepakat (kesepakatan) diantara para
pihak. Pengadilan harus mempertimbangkan dengan adanya
perbedaan posisi tawar salah satu pihak dalam perjanjian
mengakibatkan pemanfaatan posisi tawar yang lebih tinggi
untuk menarik keuntungan secara tidak patut terhadap pihak
yang memiliki kedudukan/posisi tawar lebih rendah atau
lemah. Kedudukan posisi tawar yang lemah itu dapat
disebabkan oleh adanya keunggulan ekonomis ataupun
keunggulan kejiwaan oleh pihak lain, tanpa disertai adanya
unsur paksaan atau tipuan. (Lihat : Buku Iktikad baik dalam
kebebasan berkontrak, Ridwan Khairandy, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004).

683
5. Bahwa menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam
perkara Sri Setyaningsih melawan Ny. Boesono dan R.
Boesono No. 3431 K/Pdt/1985 tertanggal 7 Januari 1987,
menjelaskan sebagai berikut:
“Oleh karena adanya ketidakpatutan atau ketidak­
adilan prestasi yang dipikul oleh salah satu pihak, maka
telah jelas bahwa asas iktikad baik yang merupakan
unsur utama dalam pelaksanaan kontrak telah
dilanggar, sehingga terhadap perjanjian yang demikian
haruslah dibatalkari’.
(Cetak tebal dari PEMOI ION)
6. Bahwa sesuai dengan apa yang didalilkan oleh
TERMOHON dalam jawabannya him. 3 poin 3, mengenai
bunyi Pasal 1338 KUIIPerdata, yaitu :
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak
dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus
dilaksanakan dengan iktikad baik.
(Cetak tebal dari PEMOHON)
Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal tersebut
di atas, persetujuan harus dilandasi oleh suatu iktikad
baik. Bahwa mengenai iktikad baik ini, Ridwan
Khairandy dalam bukunya Iktikad baik dalam kebebasan
berkontrak menjelaskan sebagai berikut:
Dalam konteks iktikad baik, kepatutan tersebut harus
dikaitkan dengan kepatutan yang hidup dalam
masyarakat. Iktikad baik tidak hanya dinilai dari
iktikad baik menurut anggapan para pihak saja,
tetapi iktikad baik menurut anggapan umum yang
hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, jika
seseorang bertindak dengan iktikad baik, ia harus
bertindak sesuai dengan standar objektifyang
didasarkan pada kebiasaan sosial yang ada.
(Cetak tebal dari PEMOHON)

684
7. Bahwa perbuatan TERMOHON yang tidak bersedia
bertanggung jawab serta menanggung kerugian yang
timbul yang dialami oleh PEMOHON atas peristiwa
ledakan pipa gas yang menghancurkan bisnis PEMOHON
yang dilakukan oleh kontraktor TERMOHON atas
perintah dari TERMOHON, telah melanggar asas iktikad
baik serta tidak didasari oleh kebiasaan sosial yang ada.
Adalah kelaziman, apabila seseorang karena kelalaiannya
mengakibatkan rusaknya barang milik orang lain,
merupakan kewajiban bagi orang tersebut untuk
menggantinya. Lebih lanjut, mengenai perbuatan
7'ERMOHON yang telah melakukan suatu kelalaian
dalam proses peng-gantian pipa gas. Berdasarkan Pasal
1369 KUHPerdata telah diatur bahwa :
Pemilik sebuah gedung bertanggung jawab atas
kerugian yang disebabkan oleh ambruknya gedung
itu seluruhnya atau sebagian, jika itu terjadi karena
kelalaian dalam pemeliharaan atau karena
kekurangan dalam pembangunan ataupun dalam
penataannya.
(Cetak tebal dari PEMOHON)
Bahwa selain hal tersebut di atas, berdasarkan ketentuan
Pasal 1366 KUHPerdata:
Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas
kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan,
melainkan juga atas kerugian yang disebabkan
kelalaian atau kesembronoannya.
(Cetak tebal dari PEMOHON)
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, TERMOHON
harus bertanggung jawab atas kelalaiannya dalam
proses penggantian pipa gas yang menyebabkan
terjadinya ledakan di tempat yang disewa oleh
PEMOHON. TERMOHON tidak dapat melepaskan
tanggung jawab akibat kelalaian yang dilakukannya dalam
proses penggantian pipa gas tersebut. Berdasarkan hal
tersebut, jelas terbukti TERMOHON tidak memiliki
iktikad baik dalam pembuatan dan penandatanganan
Perjanjian tersebut, sehingga Perjanjian yang demikian

685
telah bertentangan dengan asas iktikad baik sebagaimana
diatur dalam Pasal 1338 KUHPcrdata. Dengan demikian,
terhadap pasal-pasal dalam perjanjian yang sifatnya
melanggar asas iktikad baik haruslah dianggap tidak ada
keberadaannya.
8. Bahwa sebagaimana dalil TERMOHON dalam jawaban­
nya halaman 3 Poin 5, yang kami kutip sebagai berikut:
. . . dengan demikian orang dapat menciptakan hak-
hak yang tidak diatur dalam Buku III B W tetapi
diatur sendiri dalam perjanjian, oleh sebab itu
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya.
Bahwa sebagaimana yang didalilkan oleh TERMOHON,
perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para
pihak yang membuatnya sepanjang mengenai hak-hak
yang tidak diatur dalam Buku III KUHPerdata, sehingga
mengenai hak-hak yang telah jelas dan tegas diatur oleh
Buku III KUHPerdata, merupakan keharusan bagi para
pihak untuk tunduk pada ketentuan Buku III KUHPerdata
tersebut. Dengan demikian, dalam Buku III KUHPerdata
yang mengatur mengenai Perbuatan Melawan Hukum,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.
Serta ketentuan dalam Buku III KUHPerdata, khususnya
Pasal 1369 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dijelaskan bahwa:
Pemilik sebuah gedung bertanggung jawab atas
kerugian yang disebabkan oleh ambruknya gedung
itu seluruhnya atau sebagian, jika itu terjadi
karena kelalaian dalam pemeliharaan atau karena
kekurangan dalam pembangunan ataupun dalam
penataannya.
(Cetak tebal dari PEMOHON)
Adalah tetap berlaku dan mengikat bagi para pihak.
Sehingga kerugian yang dialami oleh PEMOHON
disebabkan oleh perbuatan TERMOHON yang telah
melakukan suatu kelalaian dalam proses penggantian pipa
gas tidak dapat dialihkan kepada PEMOHON.
9. Bahwa PEMOHON tidak sependapat dengan dalil-dalil
TERMOHON pada poin 6 dan 7, yang pada intinya
menyatakan PEMOHON telah melepaskan TERMOHON
dari seluruh gugatan dan tuntutan. Bahwa dalil yang
diajukan oleh TERMOHON tersebut didasar-kan pada
Perjanjian yang dibuat dengan adanya suatu
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandingheden),
sehingga klausula-klausula yang disebutkan oleh
TERMOHON yang menyatakan bahwa 7'ERMOHON
tidak dapat diminta pertanggungjawaban, merupakan
klausula yang tidak berimbang karena hanya
menguntungkan pihak 'I'ERMOHON. Pasal-pasal tersebut
justru lebih membuktikan adanya iktikad tidak baik dari
TERMOHON, karena 7’ERMOHON memanfaatkan
kedudukan PEMOHON yang lemah, sehingga dalam
kedudukan yang lemah PEMOHON mau tidak mau
harus menandatangani Perjanjian yang disodorkan oleh
7'ERMOHON.
10. Bahwa menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 1553
KUIIPerdata, ditentukan bahwa dalam hal terjadi
hubungan hukum sewa menyewa, mengenai risiko barang
yang disewakan dipikul oleh si pemilik barang atau pihak
yang menyewakan. Dengan demikian, berdasarkan Pasal
1553 KUHPerdata segala risiko yang terjadi akibat
kelalaian 7'ERMOIION pada saat penggantian pipa gas
yang mengakibatkan meledaknya tempat yang disewa
oleh PEMOHON, menjadi risiko yang harus ditanggung
oleh 7’ERMOHON, sehingga adalah hal yang wajar
apabila PEMOHON meminta ganti atas kerugian yang
telah diderita oleh PEMOHON akibat meledaknya tempat
yang disewa oleh PEMOHON.
11. Bahwa selain itu, dalam Pasal 1560 KUHPerdata yang
mengatur ketentuan tentang kewajiban dari pihak
penyewa ditentukan bahwa apabila terjadi kebakaran

687
yang memusnahkan barang yang disewa tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada si penyewa, kecuali
jika dapat dibuktikan bahwa terjadinya kebakaran
akibat kesalahan dan kelalaian si penyewa.
Berdasarkan ketentuan tersebut, PEMOHON tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban terhadap ledakan yang
terjadi di tempat yang disewa oleh PEMOHON, apalagi
terbukti ledakan tersebut terjadi bukan karena kesalahan
atau kelalaian dari PEMOHON, melainkan merupakan
kesalahan dari kontraktor yang ditunjuk oleh
TERMOHON sehingga TERMOHON-lah yang harus
menang-gung segala risiko yang terjadi akibat ledakan
tersebut.
12. Bahwa apabila dilihat dari segi kewajiban yang dimiliki
oleh pihak yang menyewakan (TERMOHON),
sebagaimana diatur dalam Pasal 1550 KUHPcrdata, pihak
yang menyewakan memiliki kewajiban antara lain bagi
pihak yang menyewakan untuk mcmciihara barang
yang disewa selama waktu yang dipejanjikan, sehingga
barang yang disewa tadi tetap dapat dipergunakan
dan dinikmati sesuai dengan bajad yang dimaksud
pihak penyewa;
13. Menurut M. Yahya Harahap, SH. dalam bukunya
Segi-segi Hukum Perjanjian, kewajiban pihak yang
menyewakan memiliki kewajiban untuk memelihara
dan melakukan perbaikan (reparasi) selama perjanjian
berjalan, tetapi untuk reparasi-reparasi kecil akibat
pemakaian menjadi tanggung jawab dari si penyewa,
sedangkan untuk reparasi dan pemeliharaan berat menjadi
kewajiban dari pihak yang menyewakan. Apabila
dikaitkan dengan perkara a quo, akibat terjadinya ledakan
yang disebabkan adanya penggantian pipa gas, harus
dilakukan reparasi berat/besar terhadap tempat yang
disewa oleh PEMOHON. Dengan demikian, segala
kerugian yang timbul akibat dari ledakan tersebut harus
dipikul oleh TERMOHON selaku pihak yang
menyewakan.
14. Bahwa selain hal tersebut di atas, dalam memandang
keberlakuan asas kebebasan berkontrak, terlebih dahulu
para pihak dalam kontrak harus memiliki posisi tawar
yang seimbang. Karena itu, dengan tidak adanya posisi
tawar yang seimbang antara PEMOHON bila
dibandingkan dengan TERMOHON dalam memasuki
Perjanjian, dengan sendirinya asas kebebebasan
berkontrak akan dikesampingkan.
15. Bahwa dalam perkara Ny. Lie Lian Joun melawan Arthur
Tutuarina, No. 91/1970/Perd./P.T.B., Pengadilan Bandung
menafsirkan iktikad baik yang dimaksud Pasal 1338 ayat
(3) KUIIPerdata. Bahwa Perjanjian harus dilaksanakan
dengan iktikad baik. Melaksanakan perjanjian dengan
iktikad baik berarti perjanjian harus dilaksanakan sesuai
dengan kepatutan dan keadilan (naar redelijkheld en
billijkheid). Menurut Pengadilan Negeri Bandung,
apabila dalam perjanjian itu tidak terdapat kepatutan
dan keadilan, hakim dapat mengubah perjanjian
tersebut. Perubahan tersebut adalah mengubah isi
perjanjian. Perjanjian tidak hanya ditentukan oleh
rangkaian kata-kata yang disusun oleh para pihak,
tetapi juga ditentukan oleh kepatutan dan keadilan.
16. Bahwa berdasarkan dalil-dalil dari PEMOHON di atas,
yang menyatakan gugatan PEMOHON mengenai
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
TERMOHON untuk dinyatakan tidak dapat diterima (Met
Onvankelijk Verklaard), dengan sendirinya telah
terpatahkan.
17. Bahwa terbukti dalil-dalil yang disampaikan TERMOHON
dalam Jawabannya yang pada intinya menyatakan
TERMOHON tidak wajib bertanggung jawab atas
perbuatan TERMOHON yang dengan kecerobohan atau
ketidakhati-hatiannya menyebabkan meledaknya pipa gas
pada lahan usaha PEMOHON dengan alasan adanya
Perjanjian, kami mohon kepada Majelis Arbitrase yang
terhormat, untuk menghukum TERMOHON untuk
mengganti seluruh kerugian yang dialami oleh
PEMOHON sebagaimana telah PEMOHON sampaikan
dalam Permohonannya.
18. Bahwa mengenai dalil TERMOHON dalam jawabannya
halaman 10 poin 16 sampai dengan 17 yang menyatakan :

689
... TERMOHON tidak bertanggung jawab, atas
setiap kerugian yang diderita dan setiap kecelakaan
yang terjadi, tetapi, TERMOHON selalu bersedia
membantu PEMOHON semaksimal mungkin sebatas
hal-hal yang wajar untuk mengajukan klaim ke
perusahaan a suran si TERMOHON.
Bahwa TERMOHON sendiri telah mengakui bahwa
pihaknyalah yang bertanggung jawab atas kerugian yang
dialami oleh PEMOHON, padahal nyata-nyata dan
sebagaimana dalam Perjanjian hal tersebut menurut
TERMOHON bukan termasuk pada tanggung jawab
TERMOHON, dengan sendirinya telah membuktikan
bahwa TERMOHON sendiri telah keluar dari pengaturan
pasal-pasal dalam Perjanjian, sehingga mengenai pasal-
pasal pelepasan tanggung jawab dari TERMOHON
haruslah diabaikan keberadaannya.
19. Bahwa selain hal tersebut di atas, janji-janji sebagaimana
yang disampaikan oleh TERMOHON dalam jawabannya
berkenaan dengan iktikad baik TERMOHON yang
disampaikan dalam suratnya No. 013/LGL-PIR/II/2009
tertanggal 10 Februari 2009 (Bukti P-5, Vide Bukti T-2)
yang berisikan kewajiban dari TERMOHON yang berupa:
- Meneruskan klaim asuransi PEMOHON kepada
asuransi TERMOHON.
- Membayarkan down payment kepada kontraktor PE­
MOHON sebesar Rp 512.332.385,00 (lima ratus dua
belas juta tiga ratus tiga puluh dua ribu tiga ratus
delapan puluh lima rupiah) setelah pihaknya menerima
Policy Endorsement dari PT. Asuransi Permata.
Bahwa mengenai janji-janji yang telah disampaikan oleh
TERMOHON dalam suratnya tersebut, hingga saat ini
tidak pernah terealisasi sama sekali, TERMOHON
terkesan sengaja menghindar dari tanggung jawab
sebagaimana dalam surat yang dibuatnya tersebut.
Bahkan, lain daripada itu, TERMOHON terkesan
mempersulit PEMOHON dalam menagih janji-janji
TERMOHON tersebut dengan meminta PEMOHON
untuk melengkapi berbagai surat-surat. Namun, walaupun
persyaratan tersebut telah dipenuhi oleh PEMOHON,
TERMOHON tetap saja tidak bersedia memenuhi janji-
janji yang dibuatnya sendiri.
20. Bahwa Bukti tersebut di atas (Bukti P-5, Vide Bukti T-2),
adalah sebuah bentuk pengakuan dan PEMOHON juga
mengakui adanya kewajiban bagi TERMOHON untuk
membayar ganti rugi yang dialami oleh PEMOHON
sehubungan dengan peristiwa meledaknya pipa gas pada
lahan usaha PEMOHON yang diakibatkan oleh kelalaian
dari TERMOHON.
21. Bahwa pengakuan sebagai salah satu alat bukti yang sah
sebagaimana diatur dalam Pasal 1866 KUHPerdata,
sehingga Pengakuan sebagaimana yang telah disampaikan
oleh TERMOHON dalam suratnya (Bukti P-5, Vide Bukti
T-2) tersebut serta dalam Jawaban TERMOHON
khususnya pada him. 11 poin 17, yang disampaikan di
depan Majelis Sidang Arbitase merupakan suatu bentuk
bukti yang sempurna yang dapat membuktikan dalil
PEMOHON bahwa TERMOHON wajib bertanggung
jawab untuk mengganti segala kerugian yang dialami oleh
PEMOHON.
22. Bahwa mengenai hal tersebut di atas, diperkuat dengan
ketentuan Pasal 1925 KUHPerdata yang mengatur sebagai
berikut: Pengakuan yang diberikan di hadapan Hakim,
merupakan suatu bukti yang sempurna terhadap orang
yang telah memberikannya, baik sendiri maupun dengan
perantaraan seseorang yang diberi kuasa khusus untuk
itu. (Cetak tebal dari PEMOHON)
23. Bahwa dengan demikian telah tepat dan beralasan hukum
segala permintaan ganti rugi yang telah dialami oleh
PEMOHON yang berupa :
a. Kerugian Meteriil :
- Biaya-biaya tetap (fixed cost) yang tetap harus
dibayar oleh PEMOHON walaupun rumah makan
ter-paksa ditutup selama 88 hari, adalah sebesar
Rp 1.847.225.815,00 (satu miliar delapan ratus
empat puluh tujuh juta dua ratus dua puluh lima
ribu delapan ratus lima belas rupiah).

691
- Berupa winstderving atau keuntungan yang
seharusnya diharapkan sebesar Rp 1.696.204.509,00
dibagi dengan 243 hari dikalikan dengan 88 hari,
yaitu: Rp 614.263.362,00 (enam ratus empat belas
juta dua ratus enam puluh tiga ribu tiga ratus enam
puluh dua rupiah).
- Sehingga TOTAL KERUGIAN MATERIIL
adalah sejumlah Rp 2.461.489.177 (dua miliar
empat ratus enam puluh satu juta empat ratus
delapan puluh sembilan ribu seratus tujuh puluh
tujuh rupiah).
b. Kerugian Imateriil: Akibat perbuatan TERMOHON
yang jelas-jelas telah merusak nama baik PEMOI ION,
selaku pemillik rumah makan Imperial Treasure
yang berkredibilitas baik. PEMOHON juga harus
kehilangan konsumen setia yang selama ini menjadi
pelanggan tetap pada PEMOHON. PEMOHON juga
telah dirugikan baik waktu, tenaga dan pikiran yang
semuanya tidak dapat diukur dengan uang, tetapi
dalam perkara ini untuk memberikan kepastian hukum
atas perbuatan TERMOHON, PEMOHON menuntut
ganti rugi sebesar Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar
lima ratus juta rupiah)
Berdasarkan fakta-fakta dan ketentuan hukum sebagai­
mana PEMOHON sampaikan di atas, PEMOHON dengan ini
me-mohon kepada Majelis Arbitrase agar berkenan memutus
sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan PEMOHON untuk seluruhnya;
2. Menyatakan TERMOHON telah melakukan Perbuatan
Melawan Hukum terhadap PEMOHON;
3. Menghukum TERMOHON untuk membayar ganti rugi
kepada PEMOHON yang berupa :
Kerugian M ateriil:
1) Berupa kerugian atas segala pengeluaran tetap (fixed
cost) yang tetap harus dikeluarkan oleh PEMOHON,
selama tutupnya rumah makan Imperial Treasure
milik PEMOHON sebagai berikut:
(dalam rupiah).
P eriode 19 S eptem ber 2 008 sam pai dengan 30 S eptem ber 2008.

Biaya Gaji Pegawai Lokal Rumah Makan (*)33.646.449


Biaya Tunjangan Kesejahteraan 76.978.332
Biaya Tunjangan Pesangon 2.558.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 148.382.721
Biaya Pembayaran Cuti Pegawai Asing 7.960.902
Biaya Tunjangan Hari Libur Pegawai Asing 4.975.564
Biaya Tunjangan Pesangon Pegawai Asing 14.926.692
Biaya Pembayaran Kartu Kredit 13.965.155
Biaya Pemanas, Lampu, Air 28.359.800
Biaya Listrik dan PAM 67.275.265
Biaya Alat Tulis 488.900
Biaya Cetak 44.500
Biaya Parkir dan Tol 66.000
Biaya Makan Pegawai 11.910.900
Biaya Operasional Lainnya 90.000
Biaya Hiburan 70.900.356
Biaya Dapur 145.500
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 317.340
Biaya Laundry 117.000
Biaya Perlengkapan 3.780.000
Biaya Renovasi Interior 5.405.772
Biaya Tiket Pegawai Asing 1.427.250
Biaya Gudang 500.000
Biaya Bensin 400.000
Biaya Onderdil Mobil 280.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Restauran (*)3.337.351
Biaya Gaji Pegawai Lokal Kantor (*)23.326.487
Biaya Tunjangan Kesejahteraan Pegawai Lokal 34.502.407
Biaya Listrik dan PAM 7.143.296
Biaya Telepon, Telex, Faximile 200.000
Biaya Alat Tulis 62.817
Biaya Koran dan Majalah 90.000
Biaya Parkir dan Tol 314.500
Biaya Makan Pegawai 278.000
Biaya Operasional Lainnya 154.000

693
Biava Pemeliharaan Gudang 80.000
Biaya Sosial 20.000
Biaya Sewa Gedung (*>4.886.129
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 1.379.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 314.750
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor (*>387.343
Biaya Depresiasi Kendaraan Pegawai (*>2.350.806
Biaya Lain-lain 573
Biaya Provisi dan Administrasi 533.000
Biaya Sewa Rumah Makan 135.636.435
Biaya Sewa Apartemen 6.154.839
TOTAL 716.054.131

(Bukti P-6)
(*) Bahwa biaya-biaya gaji tersebut di atas termasuk pula
biaya overtime, pembayaran cuti biaya tunjangan hari
libur dan biaya tunjangan kesehatan yang telah Kami
bagi secara prorata, sehingga angka di atas adalah
biaya bulan September sejak rumah makan terpaksa
ditutup (12 hari).
(*) Bahwa biaya sewa gedung tersebut di atas telah Kami
bagi secara prorata, sehingga angka di atas adalah
biaya bulan September sejak rumah makan terpaksa
ditutup (12 hari).
(*) Bahwa biaya depresiasi tersebut di atas telah kami
bagi secara prorata, sehingga angka di atas adalah
biaya bulan September sejak rumah makan terpaksa
ditutup.
Periode 1 Oktober 2008. sampai dengan 31 Oktober 2008

Biaya Gaji 78.586.000


Biaya Overtime 3.295.462
Biaya Tunjangan Hari Libur 79.306
Biaya Tunjangan Kesehatan 100.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 132.563.920
Biaya Pembayaran Cuti Pegawai Asing 7.087.480
Biaya Tunjangan Hari Libur Pegawai Asing 347.360
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 550.786
Biaya Kesejahteraan Pegawai Asing 28.876.600
Biaya Tunjangan Pesangon Pegawai Asing 31.863.600
Biaya Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.502.261
Biaya Telepon, Telex, Faximile 2.643.893
Biaya Alat Tulis 15.900
Biaya Cetak 600.000
Biaya Parkir dan Tol 373.000
Biaya Makan Pegawai 1.801.469
Biaya Operasional Lainnya 49.600
Biaya Service Charge Plaza Indonesia 110.000
Biaya Laundiy 178.000
Biaya Perlengkapan 5.020.649
Biaya Renovasi Interior 13.964.912
Biaya Onderdil Ac, Kulkas 4.750.000
Biaya Jasa Profesional Lainnya 46.840.909
Biaya Tiket Pegawai Asing 23.456.075
Biaya Dokumen Pegawai Asing 12.705.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Asing 1.720.000
Biaya Asuransi Pegawai Asing 351.334
Biaya Depresiasi Perlengkapan Restauran 8.669.158
Biaya Gaji Pegawai Lokal 50.269.513
Biaya Overtime Pegawai Lokal 1.958.584
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Lokal 1.914.324
Biaya Asuransi Pegawai Lokal 676.532
Biaya Listrik dan PAM 3.387.092
Biaya Telepon, Telex, Faximile 1.484.344
Biaya Alat Tulis 76.583
Biaya Pengiriman 39.500
Biaya Parkir dan Tol 785.000
Biaya Makan Pegawai 120.718
Biaya Operasional Lainnya 960.000
Biaya Pemanas, Air, dan Jasa Gudang 10.363.765
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 129.810
Biaya Pemeliharaan Gudang 903.465

695
Biaya Sosial 152.000
Biaya Sewa Gedung 12.622.500
Biaya Sewa Apartemen Pegawai Asing 14.900.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 3.357.000
Biaya Onderdil Kendaraan Pegawai Lokal 575.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 642.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor 1.084.803
Biaya Depresiasi Kendaraan 3.135.417
Biaya Lain-lain 163
Biaya Provisi dan Administrasi 923.000
TOTAL 522.858.870
(Bukti P-7)
Periode 1 November 2008 sampai dengan 30 November 2008

Biaya Gaji 78.266.000


Biaya Overtime 3.393.670
Biaya Tunjangan Kesehatan 195.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 121.447.913
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 176.388
Biaya Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.171.561
Biaya Telepon, Telex, Faximile 940.160
Biaya Cetak 6.867.525
Biaya Pengiriman 13.500
Biaya Parkir dan Tol 304.500
Biaya Makan Pegawai 3.057.800
Biaya Dapur 1.673.340
B iay a Perl engkapan 2.184.849
Biaya Renovasi Interior 13.964.912
Biaya Onderdil Ac, Kulkas 1.850.000
Biaya Dokumen 200.000
Biaya Tiket Pegawai Asing 21.988.735
Biaya Dokumen Pegawai Asing 21.005.000
Biaya Gudang 500.000
Biaya Bahan Bakar 1.150.000
Biaya Asuransi 597.667
Biaya STNK 1.838.300
Biaya Depresiasi Perlengkapan Restauran 8.569.158
Biaya Gaji Pegawai Lokal 49.799.112
Biaya Overtime Lokal 2.743.150
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Lokal 2.081.766
Biaya Asuransi Pegawai 676.532
Biaya Listrik dan PAM 3.408.804
Biaya Telepon, Telex, Faximile 1.784.346
Biaya Alat Tulis 90.933
Biaya Koran Dan Majalah 74.500
Biaya Parkir dan Tol 770.500
Biaya Makan Pegawai 135.000
Biaya Operasional Lainnya 647.000
Biaya Pemanas, Air, Servis Gudang 7.833.980
Biaya Gudang 335.775
Biaya Perlengkapan Kantor 350.000
Biaya Sosial 150.000
Biaya Sewa Gedung 12.622.500
Biaya Sewa Istana Harmoni 14.900.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 3.363.000
Biaya Onderdil Kendaraan Pegawai Lokal 15.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 642.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor 1.084.803
Biaya Depresiasi Kendaraan Pegawai 3.135.417
Biaya Lain-lain 47
Biaya Provisi dan Administrasi 849.250
TOTAL 403.144.476

(Bukti P-8)
Periode 1 Desember 2008 sampai dengan 19 Desember 2008

Biava Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 227.500


Biava Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.171.541
Biava Telepon, Telex, Faximile 880.160
Biaya Alat Tulis 426.500
Biaya Cetak 2.100.000

697
Biaya Parkir dan Tol 377.500
Biaya Makan Pegawai 5.901.247
Biaya Operasional Lainnya 160.000
Biaya Dapur 7.564.485
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 907.090
Biaya Perlengkapan Kantor 5.542.849
Biaya Dokumen Pegawai Asing 16.005.000
Biaya Gudang 500.000
Biaya Pajak Perforasi 60.000
Biaya Bahan Bakar 1.870.000
Biaya Asuransi 597.667
Biaya Seragam 1.171.800
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai 676.532
Biaya Telepon, Telex, Faximile 1.181.483
Biaya Cetak 10.000
Biaya Koran Dan Majalah 90.000
Biaya Pengiriman 183.500
Biaya Parkir dan Tol 557.000
Biaya Operasional Lainnya 358.000
Biaya Pemanas, Air, Servis Gudang 5.846.081
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 18.000
Biaya Gudang 768.040
Biaya Perlengkapan Kantor 300.000
Biaya Sosial 10.000
Biaya Sewa Istana Harmoni 9.745.161
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 2.047.000
Biaya Asuransi Pegawai Lokal 327.250
Biaya Lain-lain 538
Biaya Provisi dan Administrasi 90.000
Biaya Gaji Pegawai Lokal Rumah Makan 88.700.316
Biaya Gaji Pegawai Lokal Kantor 20.383.566
Depresiasi Rumah Makan 13.794.492
Depresiasi Kantor 2.586.586
Biaya Sewa Gedung 7.736.371
TOTAL 205.168.338

(Bukti P-9)
Sehingga jumlah kerugian materiil yang berupa
pembayaran atas biaya-biaya tetap (fixed cost) yang
tetap harus dibayar oleh PEMOHON walaupun rumah
makan terpaksa ditutup selama 88 hari, adalah sebesar
Rp 1.847.225.815,00 (satu miliar delapan ratus empat
puluh tujuh juta dua ratus dua puluh lima ribu delapan
ratus lima betas rupiah).
2) Berupa winstderving atau keuntungan yang seharusnya
diharapkan yang dapat Kami rinci sebagai berikut :
(Perhitungan ini diperoleh dari hasil perhitungan rata-rata
pendapatan bulanan berdasarkan Laporan Rugi-Laba
PEMOHON Tahun 2008).
❖ Bulan Januari 2008 : Rp 181.430.030,00
(seratus delapan puluh satu juta empat ratus tiga puluh
ribu tiga puluh rupiah)
❖ Bulan Februari 2008 : Rp 134.793.535,00
(seratus tiga puluh empat juta tujuh ratus sembilan
puluh tiga ribu lima ratus tiga puluh lima rupiah)
❖ Bulan Maret 2008 : Rp 203.437.414,00
(dua ratus tiga juta empat ratus tiga puluh tujuh ribu
empat ratus empat belas rupiah)
❖ Bulan April 2008 : Rp 208.319.360,00
(dua ratus delapan juta tiga ratus sembilan belas ribu
tiga ratus enam puluh rupiah)
❖ Bulan Mei 2008 : Rp 277.586.215,00
(dua ratus tujuh puluh tujuh juta lima ratus delapan
puluh enam ribu dua ratus lima belas rupiah)
❖ Bulan Juni 2008 : Rp 254.334.366,00
(dua ratus lima puluh empat juta tiga ratus tiga puluh
empat ribu tiga ratus enam puluh enam rupiah)
❖ Bulan Juli 2008 : Rp 235.754.779,00
(dua ratus tiga puluh lima juta tujuh ratus lima puluh
empat ribu tujuh ratus tujuh puluh sembilan rupiah)
❖ Bulan Agustus 2008 : Rp 200.548.810,00
(dua ratus juta lima ratus empat puluh delapan ribu
delapan ratus sepuluh rupiah)

699
Total : Rp 1.696.204.509,00
(satu miliar enam ratus sembilan puluh enam juta dua
ratus empat ribu lima ratus sembilan rupiah) selama
243 hari.
Sehingga kerugian materiil yang dialami oleh
PEMOHON adalah sebesar Rp 1.696.204.509,00 di­
bagi dengan 243 hari dikalikan dengan 88 hari, yaitu :
Rp 614.263.362,00 (enam ratus empat belas juta dua
ratus enam puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh dua
rupiah).
Kerugian Immateriil akibat perbuatan TERMOHON
yang jelas-jelas telah merusak nama baik PEMOHON,
selaku pemillik rumah makan Imperial Treasure yang
berkredibilitas baik. PEMOHON juga harus kehilangan
konsumen setia yang selama ini menjadi pelanggan tetap
pada PEMOHON. PEMOHON juga telah dirugikan baik
waktu, tenaga dan pikiran yang semuanya tidak dapat
diukur dengan uang, tetapi dalam perkara ini, untuk
memberikan kepastian hukum atas perbuatan
TERMOHON, PEMOHON menuntut ganti rugi sebesar
Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Kerugian Materiil dan Imateriil tersebut harus dibayar
tunai dan sekaligus selambaT-lambatnya 8 (delapan) hari
terhitung sejak perkara ini mempunyai kekuatan hukum
(inkracht van gewijsde).
4. Menghukum TERMOHON untuk membayar uang paksa
(dwangsom) sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari, sejak putusan ini dibacakan, apabila TERMOHON lalai
dalam melaksanakan isi putusan ini;
5. Menghukum TERMOHON untuk melakukan pembayaran
kepada PEMOHON atas biaya konsultan hukum yang
ditanggung oleh PEMOHON dan biaya perkara di Arbitrase
ini ditanggung sepenuhnya oleh TERMOHON.
Apabila Majelis Arbitrase berpendapat lain, PEMOHON
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo etbono).

700
Hormat kami,
O.C. KALIGIS & ASSOCIATES
ttd.
Prof. DR. (Jur) O.C. Kaligis, SH., MH.
ttd.
DR. Y.B. Purwaning M. Yanuar, SH., MCL,. CN.
ttd.
T.H. Ratna Dewi, SH., M.Kn.
ttd.
Dea Tunggacsti, SH., MM.
II. DUPLIK

Jakarta, 13 Mei 2009

Kepada Yth.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Wahana Graha, Lantai 2
Jl. Mampang Prapatan Mo. 2
Jakarta, 12760
Perihal : Duplik dalam Perkara Arbitrase Nomor: 296/11/
ARB-BANI/2009
Dengan hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini, Dr. M aqdir Ismail, SII.,
L.L.M., Dr. S.F M arbun, SII. M.IIum., Libertino Nainggolan,
SH., Andi Abdurrahman Nawawi, SII. dan Masayu Donny
Kertopati, SII. Advokat dan Pengacara pada kantor konsultan
hukum M aqdir Ismail dan Parters, beralamat di Jl. Bandung No.
4, Menteng, Jakarta 10310, dalam hal ini berdasarkan surat kuasa
khusus tertanggal 16 Maret 2009, bertindak untuk dan atas nama
PT. Plaza Indonesia Reality, Tbk. (untuk selanjutnya disebut
sebagai TERMOHON) dengan ini mengajukan Duplik dalam
perkara No. 296/II/ARB-BANI/2009 Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) atas Replik dan Gugatan Wanprcstasi yang

701
diajukan oleh PT. Istana Noodle House melalui kuasa hukumnya
Otto Cornelis Kaligis & Associates (untuk selanjutnya disebut
sebagai PEMOHON);
Bahwa TERMOHON dengan ini mengajukan Duplik atas
Replik yang diajukan oleh PEMOHON sebagai berikut:
1. Bahwa TERMOHON menolak dengan tegas seluruh dalil dan
argumentasi hukum dalam Gugatan maupun dalam Replik
yang diajukan oleh PEMOHON, kecuali terhadap dalil dan
argumentasi hukum yang diakui secara tegas kebenarannya
oleh TERMOHON;
2. Bahwa TERMOHON tetap pada dalil-dalilnya semula
sebagaimana tersebut dalam jawabannya Termohon 16 April
2009;
3. Bahwa TERMOHON menolak secara tegas dalil PEMOHON
di dalam Repliknya butir 2 halaman 4, yang pada dasarnya
menyatakan bahwa ledakan pipa gas dalam lahan sewa milik
PEMOHON adalah kelalaian TERMOHON di luar batas-batas
yang telah diperjanjikan dalam lease agreement (Perjanjian
Sewa Menyewa) No. LAR/1241/25/07/07/L1113 tertanggal
25 Juli 2007 (selanjutnya disebut Lease Agreement) dan Lease
Conditions tertanggal 25 Juli 2007 (selanjutnya disebut Lease
Conditions) (Bukti P-l, Vide Bukti T-la).
4. Bahwa di dalam ketentuan Lease Agreement khususnya
ketentuan Pasal 9.1., Lease Agreement telah mengatur keten­
tuan tentang kerusakan dan hancurnya barang dagangan,
properti, agen, karyawan, tamu dan setiap orang yang berada
di tempat penyewa atau berada dalam tempat yang disewakan
selama jangka waktu kontrak sewa karena tindakan pihak
ketiga dan atau apapun lainnya termasuk dan tidak terbatas
pada kehiiangan atau kerusakan yang disebabkan perbaikan
tempat yang disewakan ataupun karena hal apapun tidak
ditanggung oleh Pemberi Sewa. Oleh karena sesuai dengan
ketentuan Lease Agreement secara hukum TERMOHON tidak
bertanggung jawab atas setiap dan seluruh kerugian atau
kerusakan yang timbul dari kecelakaan yang terjadi terkait
dengan pekerjaan penggantian meteran gas di dalam area
sewa PEMOHON yang sedang dilakukan oleh kontraktor
TERMOHON.

702
5. Bahwa lebih lanjut menurut ketentuan Lease Agreement dan
Lease Condition antara PEMOHON dan TERMOHON telah
sepakat melepaskan TERMOHON dan Pihak Ketiga dari
setiap dan seluruh gugatan dan tuntutan dalam bentuk apapun
atas setiap dan seluruh kerugian atau kerusakan yang timbul
dari setiap kecelakaan, kerusakan, kehiiangan, kematian atau
cedera yang terjadi di lokasi yang disewakan berdasarkan
Clause 14.11 Lease Conditions, sehingga secara hukum
PEMOHON telah meiepaskan TERMOHON dan kontraktor
dari setiap dan seluruh gugatan dan tuntuan dalam bentuk
apapun atas setiap dan seluruh kerugian atau kerusakan yang
timbul dari kerusakan, kehiiangan, kematian atau cedera yang
terjadi di lokasi yang disewakan.
6. Bahwa berdasarkan dalil-dalil TERMOHON di atas,
khususnya mengenai pelepasan tanggung jawab TERMOHON
atas setiap dan seluruh kerugian atau kerusakan yang timbul
dari kecelakaan yang terjadi terkait dengan pekerjaan
penggantian meteran gas di dalam area sewa PEMOHON dan
pelepasan tanggung jawab atas seluruh gugatan dan tuntutan
dalam bentuk apapun atas setiap dan seluruh kerugian atatu
kerusakan yang timbul dari kerusakan, kehilangan, kematian
atau cedera yang terjadi di lokasi yang disewakan, kedudukan
rangkaian pasal-pasal Buku III BW khususnya pasal-pasal
pada titel V sampai dengan XVIII hanya bersifat hukum pe­
lengkap saja, artinya pasal-pasal tersebut boleh dikesamping­
kan terlebih lagi kedua belah pihak telah membuat ketentuan
sendiri untuk mengatur kepentingan mereka berdasarkan
Lease Agreement dan Lease Condition.
7. Bahwa apa yang didalilkan oleh PEMOHON baru dapat
mengikat TERMOHON, jika Lease Agreement dan Lease
Condition tidak mengatur klausul Clauses 9.1.1 dan 14.1.1 dan
14.1.2 Lease Conditions di atas atau mengaturnya dalam
perjanjian tidak lengkap, sehingga soal-soal yang tidak diatur
tersendiri itu baru dapat diberlakukan pasal-pasal hukum
perikatan.
8. Bahwa berdasarkan dalil-dalil TERMOHON di atas, terbukti
dalil-dalil PEMOHON yang menyatakan TERMOHON telah
melakukan perbuatan melawan hukum tidak dapat diterima.
Oleh karena itu, TERMOI ION memohon Majelis Arbiter yang

703
memeriksa dan mengadili perkara ini menyatakan gugatan
PEMOHON tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard)
9. Bahwa TERMOHON menolak dengan tegas seluruh dalil
PEMOHON dalam repliknya, terutama butir 3 s.d. 8 halaman
2 s.d. 7, karena PEMOHON tidak konsisten dengan dalil-dalil
dalam gugatannya.
10. Bahwa sebagaimana telah dinyatakan di atas, dalil-dalil
PEMOHON tersebut menunjukkan ketidakkonsistenan
PEMOHON dalam menguraikan argumentasi hukumnya
pada perkara a quo. Hal ini disebabkan PEMOHON dalam
gugatannya secara tegas mengatakan hubungan hukum antara
PEMOHON dan TERMOHON adalah didasarkan pada Lease
Agreement dan konsensualisme dalam perjanjian sedangkan
dalam Repliknya TERMOHON Perjanjian tersebut didasari
pada suatu penyalahgunaan keadaan (Misbruik Van
Omstandinghederi).
11. Bahwa seandaimya -Quad Noun- telah dinyatakan oleh
PEMOHON bahwa adanya perbedaan posisi tawar salah
satu pihak dalam perjanjian keuntungan secara tidak patut
terhadap pihak yag memiliki kedudukan/posisi tawar lebih
rendah atau lemah, PEMOHON tidak pernah mengajukan
permohonan untuk memutuskan Lease Agreement dan Lease
Condition ini secara tertulis kepada TERMOHON, atau
setidak-tidaknya mengajukan pembatalan Lease Agreement
dan Lelase Condition.
12. Berdasarkan dalil-dalil TERMOHON di atas, terbukti dalil-
dalil PEMOHON yang menyatakan TERMOHON telah
bertentangan dengan asas iktikad baik tidak dapat di
pertanggungjawabkan secara hukum karena Majelis Arbiter
yang memeriksa dan mengadili perkara a quo menolak dalil-
dalil a quo.
13. Bahwa TERMOHON menolak dengan tegas seluruh dalil
PEMOHON dalam Repliknya, terutama butir 7 dan 8, karena
dalil-dalil PEMOHON bertentangan dengan asas sistem
terbuka dari hukum perjanjian yaitu memberikan kebebasan
untuk mengadakan perjanjian yang berisikan apa saja asal
tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.

704
14. Bahwa ketentuan dari hukum perjanjian merupakan hukum
pelengkap yang berarti ketentuan itu dapat dikesampingkan
mana kala dikehendaki oleh para pihak
15. Bahwa ketentuan Lease Agreement dan Lease Condition
khususnya mengenai pelepasan tanggung TERMOHON atas
setiap dan seluruh kerugian atau kerusakan yang timbul dari
kecelakaan yang terjadi terkait dengan pekerjaan penggantian
meteran gas di dalam area sewa PEMOHON dan pelepasan
tanggung jawab dari seluruh kerugian atau kerusakan yang
bentuk apapun atas setiap dan seluruh kerugian atau kerusakan
yang timbul dimaksudkan agar risiko atas kerusakan akibat
suatu kelalaian apapun sebelumnya telah dialihkan oleh
PEMOHON dan TERMOHON dalam suatu bentuk proteksi
oleh suatu polis asuransi.
16. Bahwa sebagaimana yang telah disyaratkan dalam Lease
Agreement, PEMOHON juga telah diwajibkan untuk meng­
asuransikan semua risiko yang mungkin terjadi termasuk
di dalamnya kerugian atau kerusakan yang timbul dari
kecelakaan yang terjadi terkait dengan pekerjaan penggantian
meteran gas di dalam area sewa PEMOHON.
17. Bahwa pelepasan tanggung jawab TERMOHON atas setiap
dan seluruh kerugian atau kerusakan yang timbul dari
kecelakaan yang terjadi terkait dengan pekerjaan penggantian
meteran gas di dalam area sewa PEMOHON dan pelepasan
tanggung jawab atas seluruh gugatan dan tuntutan dalam
bentuk apapun atas setiap dan seluruh kerugian atau kerusakan
yang ditimbulkan sebagaimana dimaksud dalam Clause 9.2
Lease Conditions dalam hal ini business interruption
insurance, loss o f business insurance, asuransi kerugian bisnis
atau istilah lain yang mempunyai arti yang sama. Mengenai
Kerugian Bisnis (apapun penyebabnya) sebenarnya adalah
pertimbangan penuh PEMOHON.
18. Bahwa karena Gugatan Pemohon yang didasarkan pada
perbuatan melawan hukum tidak dapat dibuktikan, dengan
sendirinya TERMOHON tidak dapat dibebankan atas tuntutan
ganti kerugian.
19. Bahwa TERMOHON menolak dengan tegas seluruh
dalil PEMOHON dalam Repliknya, terutama butir 9 s.d. 17,
karena dalil-dalil PEMOHON bertentangan dengan asas

705
konsensual-isme dalam hukum perjanjian karena perjanjian
Lease Agrement sudah disepakati oleh PEMOHON dan
TERMOHON sehingga Lease Agreement adalah sah mengikat
PEMOHON dan TERMOHON.
20. Bahwa tidak benar t klaus dalam Lease Agreement tidak
berimbang, karena pembebasan risiko atas kerusakan tempat
yang disewakan telah diperjanjikan dalam Lease Agreement
termasuk dan tidak terbatas pada pengalihan penanggungan
risiko yang mungkin terjadi yang mengakibatkan kerugian
pada PEMOHON agar dilindungi oleh polis asuransi yang
ditanggung oleh PEMOHON.
21. Bahwa keharusan PEMOHON untuk melindungi tempat
sewaan dari semua risiko kerusakan dan kerugian terhadap
tempat sewa dan usaha yang dijalankan TERMOHON juga
telah diatur dalam ketentuan Lesseee’s Property; Insurance,
khususnya pada klausul 9.2 lessee to Effect Public Risk, Glass
and Fittings and Stock Insurance. Berdasarkan ketentuan
tersebut, TERMOHON tidak dapat dimintai pertanggung­
jawaban atau tanggung gugat atas segala risiko kerusakan dan
kerugian yang timbul di tempat yang disewakan selama masa
kontrak dalam perjanjian. Dengan demikan, Lease Agremment
sebagai aturan yang bersifat khusus antara PEMOHON dan
TERMOHON telah mengesampingkan ketentuan sewa
menyewa yang didalilkan oleh PEMOHON dalam Repliknya.
22. Bahwa TERMOHON menolak dengan tegas seluruh dalil
PEMOHON dalam Repliknya, terudatama butuir 18 s.d. 23,
karena dalam Lease Agreement sudah disepakati oleh
PEMOHON dan TERMOHON untuk membebaskan
TERMOHON dan penggantian kerugian yang mungkin terjadi
menjadi tanggung jawab TERMOHON atas kecelakaan,
kerusakan, kehiiangan, kematian atau cedera yang terjadi
dalam tempat yang disewakan.
23. Bahwa selama jangka waktu berlaku kontrak sewa,
PEMOHON telah diwajibkan untuk mengasuransikan semua
klaim atau tuntutan yang menjadi tanggung jawabnya
sehubungan dengan hal yang mungikn menjadi tanggung
jawab TERMOHON.
24. Bahwa sebagaimana diisyaratkan dalam ketentuan Pembe­
banan dan Ganti Rugi dalam Lease Agrement, PEMOHON

706
telah mengakui dan menyetujui untuk pembebasan dan
melepaskan TERMOHON dan kontraktor TERMOHON dari
semua klaim, tuntutan, biaya dan pengeluaran (termasuk biaya
pengacara dan litigasi) sehubungan dengan hal yang mungkin
menjadi tanggung jawab TERMOHON dan atau kontraktornya
yang timbul dari kecelakaan yang terjadi terkait dengan
pekerjaan penggantian meteran gas di dalam area sewa
PEMOHON.
25. Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas, terbukti tuntutan
PEMOHON kepada TERMOHON berupa ganti kerugian
materiil dan immatenil tidak dapat diterima dan haruslah
ditolak.
Berdasarkan seluruh uraia-uraian di atas, TERMOHON
memohon kepada Majelis Arbiter Yang Terhormat yang
memeriksa dan mengadili permohonan arbitrase ini berkenan untuk
menye-lesaikan perselisihan yang terjadi dengan memberikan
putusan sebagai berikut :
- Menolak gugatan PEMOHON untuk seluruhnya;
- Menyatakan gugatan PEMOHON tidak dapat diterima (Niet
Onvankelijk Verlaard);
- Menghukum Pemohon untuk membayar biaya PERKARA.
Atau apabila Majelis Hakim Arbiter Yang Terhormat
berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex
aequobono).
Hormat kami,
Maqdir Ismail & Partners
ttd.
Dr. Maqdir Ismail, SH., LL.M.
ttd.
Dr. Marbun SIT., M.Hum.
ttd.
Libcrtino Nainggolan, SH.
ttd.
Andi Abdurrahman Nawawi, SH.
ttd.
Masayu Donny Kertopati, SH.

707
I. A K TA BUK TI D A R I PEM O H O N

1. A k ta B u k ti d a r i P em o h o n

NO. 339/OCK.II/2009
Jakarta, 17 Februari 2009
Kepada Yth,
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Wahana Graha Lantai 2
Jl. Mampang Prapatan No. 2
Jakarta Selatan

PERIIIAL : DAFTAR BUKIT

Dengan hormat,
Kami, Prof. Dr. (Jur) O.C. KALIGIS, Advokat dan
Penasihat Hukum, berkantor di O.C. KALIGIS &
ASSOCIATES, beralamat di Jalan Majapahit No. 18-20,
Komplek Majapahit Permai Blok B. 122-123, Jakarta Pusat,
berdasarkan surat kuasa khusus (terlampir), dengan ini
bertindak untuk dan atas nama: PT. Istana Noodle House
(PEMOHON), berkedudukan di Jalan Gatot Subroto Kav. 99
Lantai 3 Tegal Parang, Mampang Jakarta Selatan 12790,
selaku TERMOHON adalah PT. Plaza Indonesia Realty,
Tbk., berkedudukan di Jalan M.H. Thamrin Kav. 28-30 Jakarta
10350. Dengan ini menyampaikan Daftar Bukti sebagai
berikut:

No. BUKTI JENIS BUKTI


1. Bukti T -la Lease Conditions No. LAR-1241/25/07/07/ LI 113
dated 25 July 2007.
2. Bukti T -1b Perjanjian Sewa No. LAR-1241/25/07/07/ LI 113
tertanggal 25 Juli 2007 yang sudah diterjemahkan
oleh Penerjemah Tersumpah.
3. Bukti T-2 Surat No. L048/BM-PISCA/II/2008. dari
TERMOHON yang ditujukan kepada PEMOHON.
4. Bukti T-3 Foto-foto yang menggambarkan dengan jelas
kerusakan parah yang terjadi pada rumah makan
milik PEMOHON.

708
5. Bukti T-4 Surat No. 171/OCK.I/2009 dari Kuasa Hukum
PEMOHON O.C. KALIGIS yang ditujukan kepada
TERMOHON, Perihal:. Mohon Perhatian atas
Penyelesaian Permasalahan yang dihadapi oleh
Klien kami.
6. Bukti T-5 Surat No. 013/LGL-PIR/II/2009 dari TERMOHON
kepada PEMOHON hal: PT. Istana Noodle House
(Imperial Treasure Restaurant).

7. Bukti T-6 Laporan Keuangan PEMOHON Periode 19


September 2008. sampai dengan 30 September
2008.
8. Bukti T-7 Laporan Keuangan PEMOHON Periode 1 Oktober
2008. sampai dengan 31 Oktober 2008.
9. Bukti T-8 Laporan Keuangan PEMOHON Periode 1
November 2008. sampai dengan 30 November
2008.
10. Bukti T-9 Laporan Keuangan PEMOHON Periode 1
Desember 2008. sampai dengan 19 Desember
2008.
11. Bukti T -10 Laporan Rugi-Laba PEMOHON Tahun 2008.

Demikianlah Daftar Bukti ini kami sampaikan. Atas


perhatian Majelis Arbitrase yang memeriksa perkara,
diucapkan terima kasih.
Hormat kami,
O.C. KALIGIS & ASSOCIATES
ttd.
Prof. DR. (Jur) O.C. Kaligis, SFL, MIL
ttd.
DR. Y.B. Purwaning M. Yanuar, SU., MCL,. CN.
ttd.
T.H. Ratna Dewi, SIL, M.Kn.
ttd.
Dca Tunggaesti, SH., MM.

709
2. A k ta B u k ti T a m b a h a n d a r i P e m o h o n

No. 1027/OCK.V/2009
Jakarta, 3 Juni 2009
Kepada Yth,
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
Wahana Graha Lantai 2
Jl. Mampang Prapatan No. 2
Jakarta Selatan,

PERIIIAL : AKTA BUKTI TAMBAHAN

Dengan hormat,
Kami, Prof. Dr. (Jur) O.C. KALIGIS, Advokat dan
Penasihat Hukum, berkantor di O.C. KALIGIS &
ASSOCIATES, beralamat di Jalan Majapahit No. 18-20,
Komplek Majapahit Permai Blok B. 122-123, Jakarta Pusat,
berdasarkan surat kuasa khusus (terlampir), dengan ini
bertindak untuk dan atas nama: PT. Istana Noodle House
(PEMOHON), berkedudukan di Jalan Gatot Subroto Kav. 99
Lantai 3 Tegal Parang, Mampang Jakarta Selatan 12790,
selaku TERMOHON adalah PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk.,
berkedudukan di Jalan M.H. Thamrin Kav. 28-30 Jakarta
10350. Dengan ini menyampaikan Daftar Bukti Tambahan
sebagai berikut:

No. BUKTI JENIS BUKTI


1 Bukti P -11 Bank Out Voucher No. BBK 080.977 tertanggal 25
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan biaya gaji karyawan Imperial
Treasure La Mian Xiao Long Bao pada bulan
September sejumlah Rp 115.007.855,00 (seratus
lima belas juta tujuh ribu delapan ratus lima puluh
lima rupiah) melalui Klik BCA.
2 Bukti P-12 Bank Out Voucher No. BBK 080.964 tertanggal 22
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan THR para karyawan Imperial
Treasure La Mian Xiao Long Bao pada bulan

710
September sejumlah Rp 76.634.982,00 (tujuh puluh
enam juta enam ratus tiga puluh empat ribu
sembilan ratus delapan puluh dua rupiah) melalui
Klik BCA.
3 Bukti P-13 Bank Out Voucher No. BBM 080.960 tertanggal 24
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan biaya gaji kepada Koki Imperial
Treasure La Mian Xiao Long Bao pada bulan
September sejumlah Rp 37.401.080,00 (tiga puluh
tujuh juta empat ratus satu ribu delapan puluh
rupiah).
4 Bukti P-14 Bank In Voucher No. BBM 080.346 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Tagihan kepada BCA sejumlah Rp
517.775.246,00 (lima ratus tujuh belas juta tujuh
ratus tujuh puluh lima ribu dua ratus empat puluh
enam rupiah).
5 Bukti P I5 Bank In Voucher No. BBM 080.349 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Tagihan Lippo sejumlah Rp
294.789.279,00 (dua ratus sembilan puluh empat
juta tujuh ratus delapan puluh sembilan ribu dua
ratus tujuh puluh sembilan rupiah).
6 Bukti P-16 Journal Voucher No. 085/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan biaya tetap seperti Gas. Air dan
Listrik periode Agustus dengan jumlah Rp
95.635.065,00 (sembilan puluh lima juta enam
ratus tiga puluh lima ribu enam puluh lima rupiah).
7 Bukti P-17 Cash Out Voucher No. BFF 080.877 tertanggal 25
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Restoran, Stationary, meal
staff dan cuci foto sejumlah Rp 644.050,00 (enam
ratus empat puluh empat ribu lima puluh rupiah).
8 Bukti P-18 Journal Voucher No. 083/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Stationary untuk Restaurant
dan Office, dengan jumlah Rp 417.817,00 (empat
ratus tujuh belas ribu delapan ratus tujuh belas
rupiah).
9 Bukti P-19 Cash Out Voucher No. BKK 080.873 tertanggal 24
September 2008.

711
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, parkir dan tol
untuk kebutuhan Restoran sejumlah Rp 746.000,00
(tujuh ratus empat puluh enam ribu rupiah).
10 Bukti P-20 Cash Out Voucher No. BKK 080.869 tertanggal 24
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Makan Pegawai sejumlah Rp
1.920.000,00 (satu juta sembilan ratus dua puluh
ribu rupiah).
11 Bukti P-21 Cash Out Voucher No. BKK 080.878 tertanggal 25
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Makan pegawai sejumlah Rp
20.000,00 (dua puluh ribu rupiah).
12 Bukti P-22 Journal Voucher No. 0567JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayar Biaya Makan Staff Lokal dan Asing Rp
9.505.250,00 (sembilan juta lima ratus lima ribu
dua ratus lima puluh rupiah).
13 Bukti P-23 Cash Out Voucher No. BKK 080.881 tertanggal 26
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah).
14 Bukti P-24 Journal Voucher No. 034/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayar biaya makan, dapur, washroom,
transportasi dan equipment. Biaya Pengeluaran
Restoran sejumlah Rp 944.900,00 (sembilan ratus
empat puluh empat ribu sembilan ratus rupiah).
15 Bukti P-25 Journal Voucher No. 057/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayar Biaya Makanan untuk Restoran
sejumlah Rp 70.900.356,00 (tujuh puluh juta
sembilan ratus ribu tiga ratus lima puluh enam
rupiah).
16 Bukti P-26 Cash Out Voucher No. BKK 080.883 tertanggal 26
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Restoran untuk gas
dan laundry sejumlah Rp 197.000,00 (seratus
sembilan puluh tujuh ribu rupiah).
17 Bukti P-27 Bank Out Voucher No. BBK 080.976 tertanggal 23
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Upgrade PC dan
CCTV sejumlah Rp 3.600.000,00 (tiga juta enam
ratus ribu rupiah) kepada PT. Secumindo
Multikarya.
18 Bukti P-28 Journal Voucher No. 066/JV/1X/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Renovasi Restoran sejumlah
Rp 13.964.912,00 (tiga belas juta sembilan ratus
enam puluh empat ribu sembilan ratus dua belas
rupiah).
19 Bukti P-29 Journal Voucher No. 081/JV/1X/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayar Biaya Renovasi Interior Restoran
sejumlah Rp 96.449.861,00 (sembilan puluh enam
juta empat ratus empat puluh sembilan ribu delapan
ratus enam puluh satu rupiah).
20 Bukti P-30 Cash Out Voucher No. BKK 080.879 tertanggal 26
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Tiket dan Fiskal Pekerja
Asing yang bernama Winnie Lee sejumlah Rp
1.427.250,00 (satu juta empat ratus dua puluh tujuh
ribu dua ratus lima puluh ribu rupiah).
21 Bukti P -3 1 Cash Out Voucher No. BKK 080.876 tertanggal 25
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Sewa kost pekerja
sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
22 Bukti P-32 Journal Voucher No. 059/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya depresiasi mesin Fax sejumlah
Rp 17.916.00 (tujuh belas ribu sembilan ratus enam
belas rupiah).
23 Bukti P-33 Journal Voucher No. 060/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya depresiasi tinta dan printer
sejumlah Rp 117.900.00 (seratus tujuh belas ribu
sembilan ratus rupiah).
24 Bukti P-34 Journal Voucher No. 061/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya depresiasi mesin absen
sejumlah Rp 47.667.00 (empat puluh tujuh ribu

713
enam ratus enam puluh tujuh rupiah).

25 Bukti P-35 Journal Voucher No. 062/JV/IX/08 tertanggal 30


September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya kompresor, brankas dan AC
sejumlah Rp 5.447.875.00 (lima juta empat ratus
empat puluh tujuh ribu delapan ratus tujuh puluh
lima rupiah).
26 Bukti P-36 Journal Voucher No. 063/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya depresiasi dishwashing
machine sejumlah Rp 1.628.000.00 (satu juta enam
ratus dua puluh delapan ribu rupiah).
27 Bukti P-37 Journal Voucher No. 064/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya depresiasi trolley tutup
sejumlah Rp 100.000.00 (seratus ribu rupiah).
28 Bukti P-38 Journal Voucher No. 065/JV/1X/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya depresiasi digital camera dan
printer sejumlah Rp 151.634.00 (seratus lima puluh
satu ribu enam ratus tiga puluh empat rupiah).
29 Bukti P-39 Journal Voucher No. 082/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya depresiasi equipment PIM 2
sejumlah Rp 1.145.833,00 (satu juta seratus empat
puluh lima ribu delapan ratus tiga puluh tiga
rupiah).
30 Bukti P-40 Journal Voucher No. 074/JV/1X/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya depresiasi pembelian 3 (tiga)
buah lukisan sejumlah Rp 1.725.000,00 (satu juta
tujuh ratus dua puluh lima ribu rupiah).
31 Bukti P-41 Journal Voucher No. 075/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya depresiasi mesin photocopy
sejumlah Rp 258.441,00 (dua ratus lima puluh
delapan ribu empat ratus empat puluh satu rupiah).
32 Bukti P-42 Journal Voucher No. 076/JV/1X/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya depresiasi pesawat telepon
sejumlah Rp 84.791.00 (delapan puluh empat ribu
tujuh ratus sembilan puluh satu rupiah).
33 Bukti P-43 Journal Voucher No. 077/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan depresiasi Pos Gourmate sejumlah
Rp 618.064.00 (enam ratus delapan belas ribu
enam puluh empat rupiah).
34 Bukti P-44 Journal Voucher N o. 078/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan depresiasi lukisan dan Pos Gourmate
sejumlah Rp 4.845.329.00 (empat juta delapan
ratus empat puluh lima ribu tiga ratus dua puluh
sembilan rupiah).
35 Bukti P-45 Journal Voucher No. 079/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan depresiasi printer sejumlah Rp
84.792..00 (delapan puluh empat ribu tujuh ratus
sembilan p u lu h d u a rupiah).
36 Bukti P-46 Journal Voucher No. 080/JV/1X/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan depresiasi lukisan sejumlah Rp
943.333.00 (sembilan ratus empat puluh tiga ribu
tiga ratus tiga puluh tiga rupiah).
37 Bukti P-47 Bank Out Voucher No. BBK 080.959 tertanggal 24
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya/Gaji karyawan Imperial
Treasure La Mian Xiao Long Bao sejumlah Rp
52.571.084,00 (lima puluh dua juta lima ratus tujuh
puluh satu ribu delapan puluh empat rupiah)
dengan N o. Cek CB 317082.
38 Bukti P-48 Bank Out Voucher No. BBK 080.951 tertanggal 24
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan THR karyawan Imperial Treasure La
Mian Xiao Long Bao sejumlah Rp 32.578.360,00
(tiga puluh dua juta lima ratus tujuh puluh delapan
ribu tiga ratus enam puluh rupiah) dengan No. Cek
CB 317083.
39 Bukti P-49 Bank Out Voucher No. BBK 080.933 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Listrik, In te r n e t d a n R e n ta l

715
office sejumlah Rp 19.965.796,00 (sembilan belas
juta sembilan ratus enam puluh lima ribu tujuh
ratus sembilan puluh enam rupiah) dengan No.
Giro M 780255.
40 Bukti P-50 Cash Out Voucher No. BKK 080.886 tertanggal 26
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Koran sejumlah Rp 90.000,00
(sembilan puluh ribu rupiah).
41 Bukti P-51 Cash Out Voucher No. BKK 080.862 tertanggal 19
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Parkir dan Tol
sejumlah Rp 413.500,00 (empat ratus tiga belas
ribu lima ratus rupiah).
42 Bukti P-52 Cash Out Voucher No. BKK 080.864 tertanggal 22
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Parkir dan Tol
sejumlah Rp 422.000,00 (empat ratus dua puluh
dua ribu rupiah).
43 Bukti P-53 Cash Out Voucher No. BKK 080.871 tertanggal 24
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Parkir dan Tol
sejumlah Rp 440.500,00 (empat ratus empat puluh
ribu lima ratus rupiah).
44 Bukti P-54 Cash Out Voucher No. BKK 080.875 tertanggal 24
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Parkir dan Tol
sejumlah Rp 70.500,00 (tujuh puluh ribu lima ratus
rupiah).
45 Bukti P-55 Cash Out Voucher No. BKK 080.880 tertanggal 26
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Parkir dan Tol
sejumlah Rp 412.500,00 (empat ratus dua belas
ribu lima ratus rupiah).
46 Bukti P-56 Cash Out Voucher No. BKK 080.863 tertanggal 19
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Makan Pegawai sejumlah Rp
18.000,00 (delapan belas ribu rupiah).
47 Bukti P-57 Cash Out Voucher No. BKK 080.865 tertanggal 29
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi dan makan
Pegawai sejumlah Rp 60.000,00 (enam puluh ribu
rupiah).
48 Bukti P-58 Cash Out Voucher No. BKK 080.884 tertanggal 26
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Makan Pegawai Restoran
sejumlah Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu
rupiah).
49 Bukti P-59 Cash Out Voucher No. BKK 080.887 tertanggal 26
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Makan Pegawai sejumlah Rp
80.000,00 (delapan puluh ribu rupiah).
50 Bukti P-60 Cash Out Voucher No. BKK 080.870 tertanggal 22
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
35.000,00 (tiga puluh lima ribu rupiah).
51 Bukti P-61 Cash Out Voucher No. BKK 080.885 tertanggal 26
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
14.000,00 (empat belas ribu rupiah).
52 Bukti P-62 Cash Out Voucher No. BKK 080.882 tertanggal 26
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Sosial sejumlah Rp 20.000,00
(dua puluh ribu rupiah).
53 Bukti P-63 Journal Voucher No. 055/JV/IX/08 tertanggal 20
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Insurance Mobil sejumlah Rp
314.750,00 (tiga ratus empat beias ribu tujuh ratus
lima puluh rupiah).
54 Bukti P-64 Journal Voucher No. 047/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Komputer sejumlah Rp
191.708,00 (seratus sembilan puluh satu ribu tujuh
ratus delapan rupiah).
55 Bukti P-65 Journal Voucher No. 068/JV/IX/08 tertanggal 30
September
2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Interior sejumlah
Rp 131.846,00 (seratus tiga puluh satu ribu delapan
ratus empat puluh enam rupiah).

717
56 Bukti P-66 Journal Voucher No. 069/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Interior sejumlah
Rp 16.833,00 (enam belas ribu delapan ratus tiga
puluh tiga rupiah).
57 Bukti P-67 Journal Voucher No. 070/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Printer, Komputer
dan Perlengkapan sejumlah Rp 285.416,00 (dua
ratus delapan puluh lima ribu empat ratus enam
belas rupiah).
58 Bukti P-68 Journal Voucher No. 071/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi lemari kantor dan
printer sejumlah Rp 434.167,00 (empat ratus tiga
puluh empat ribu seratus enam puluh tujuh rupiah).
59 Bukti P-69 Journal Voucher N o. 072/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi kursi sejumlah Rp
24.833,00 (dua puluh empat ribu delapan ratus tiga
puluh tiga rupiah).
60 Bukti P-70 Journal Voucher No. 067/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Peralatan Mobil
sejumlah Rp 2.937.500,00 (dua juta sembilan ratus
tiga puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).
61 Bukti P-71 Journal Voucher No. 073/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Perlengkapan
Mobil sejumlah Rp 3.135.417,00 (tiga juta seratus
tiga puluh lima ribu empat ratus tujuh belas
rupiah).
62 Bukti P-72 Journal Voucher No. 084/JV/IX/08 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Lain-lain sejumlah Rp 228,00
(dua ratus dua puluh delapan rupiah).
63 Bukti P-73 Bank In Voucher No. BBM 080.346 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan sejumlah Tagihan Kartu Kredit
sejumlah Rp 517.775.246,00 (lima ratus tujuh belas
juta tujuh ratus tujuh puluh lima ribu dua ratus
empat puluh enam rupiah) melalui BCA.
64 Bukti P-74 Bank Out Voucher No. BBK 080.978 tertanggal 25
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pengeluaran Kas dalam
bentuk Giro sejumlah Rp 250.030.000,00 (dua
ratus lima puluh juta tiga puluh ribu rupiah) dengan
No. Cek DH 975328.
65 Bukti P-75 Bank Out Voucher No. BBK 080.980 tertanggal 25
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pengeluaran Kas dalam
bentuk Giro sejumlah Rp 200.030.000,00 (dua
ratus juta tiga puluh ribu rupiah) dengan No. Cek
WNR 278470.
66 Bukti P-76 Bank Out Voucher No. BBK 081.005 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Administrasi Bank Mandiri
sejumlah Rp 31.000,00 (tiga puluh satu ribu rupiah)
67 Bukti P-77 Bank Out Voucher No. BBK 081.006 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Administrasi Bank BCA-
KJNH sejumlah Rp 30.000,00 (tiga puluh ribu
rupiah)
68 Bukti P-78 Bank Out Voucher No. BBK 081.025 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Administrasi Bank N1SP
sejumlah Rp 56.000,00 (lima puluh enam ribu
rupiah)
69 Bukti P-79 Bank Out Voucher No. BBK 081.027 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Biaya Administrasi Bank
LIPPO sejumlah Rp 36.000,00 (tiga puluh enam
ribu rupiah)
70 Bukti P-80 Bank Out Voucher No. BBK 081.007 tertanggal 30
September 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Biaya Administrasi Bank
BCA sejumlah Rp 30.000,00 (tiga puluh ribu
rupiah)
71 Bukti P-81 Bank Out Voucher No. BBK 081.031 tertanggal 15
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah |

719
membayarkan Biaya gaji karyawan sejumlah Rp
729.306,00 (tujuh ratus dua puluh sembilan ribu
tiga ratus enam rupiah)
72 Bukti P-82 Bank Out Voucher No. BBK 081.055 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Gaji Pegawai Restoran periode
Oktober sejumlah Rp 84.485.312,00 (delapan puluh
empat juta empat ratus delapan puluh lim ribu tiga
ratus dua belas rupiah) meialui Klik BCA
73 Bukti P-83 Journal Voucher No. 041/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Gaji, Tunjangan Kesehatan,
dll sejumlah Rp 402.496.306,00 (empat ratus dua
juta empat ratus sembilan puluh enam ribu tiga
ratus enam rupiah).
74 Bukti P-84 Cash Out Voucher No. BKK 080.943 tertanggal 29
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
memba-yafkan Biaya tunjangan kesehatan
sejumlah Rp 500.200,00 (lima ratus ribu dua ratus
rupiah).
75 Bukti P-85 Journal Voucher No. 037/JV/X/08 tertanggal 1
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Asuransi sejumlah Rp
1.295.083,00 (satu juta dua ratus sembilan puluh
lima ribu delapan puluh tiga rupiah).
76 Bukti P-86 Bank Out Voucher No. BBK 080.986 tertanggal 9
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Asuransi Pegawai sejumlah Rp
6.482.112,00 (enam juta empat ratus delapan puluh
dua ribu seratus dua belas rupiah) dengan No. Cek
DPI 975329.
77 Bukti P-87 Cash Out Voucher No. BKK 080.908 tertanggal 16
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan kepada Asuransi Bumiputra
sejumlah Rp 177.800,00 (seratus tujuh puluh tujuh
ribu delapan ratus rupiah).
78 Bukti P-88 Cash Out Voucher No. BKK 080.890 tertanggal 6
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Telepon sejumlah Rp
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
79 Bukti P-89 Cash Out Voucher No. BKK 080.922 tertanggal 16
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Telepon dan Biaya
Administrasi Bank sejumlah Rp 2.203.900,00 (dua
juta dua ratus tiga ribu sembilan ratus rupiah).
80 Bukti P-90 Cash Out Voucher No. BKK 0 8 0 .9 5 6 tertanggal 29
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Perlengkapan dan makan
pegawai sejumlah Rp 32.500,00 (tiga puluh dua
ribu lima ratus rupiah)
81 Bukti P-91 Journal Voucher N o. 040/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Perlengkapan sejumlah Rp
77.983,00 (tujuh puluh tujuh ribu sembilan ratus
delapan puluh tiga rupiah).
82 Bukti P-92 Bank Out Voucher No. BBK 080.965 tertanggal 7
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Kartu Nama sebanyak 10 (sepuluh)
box sejumlah Rp 600.000,00 (enam ratus ribu
rupiah) melalui Klik BCA.
83 Bukti P-93 Cash Out Voucher No. BKK 080.888 tertanggal 6
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Parkir dan Tol
sejumlah Rp 609.500,00 (enam ratus sembilan ribu
lima ratus rupiah).
84 Bukti P-94 Cash Out Voucher No. BKK 080,933 tertanggal 20
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Parkir dan Tol
sejumlah Rp 779.500,00 (tujuh ratus tujuh puluh
sembilan ribu lima ratus rupiah).
45 Bukti P-95 Cash Out Voucher N o. BKK 080.912 tertanggal 28
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Parkir dan Tol
sejumlah Rp 704.000,00 (tujuh ratus empat ribu
rupiah).
86 Bukti P-96 Cash Out Voucher No. BKK 080.924 tertanggal 14
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Makan pegawai sejumlah
Rp 150.000,-(seratus lima puluh ribu rupiah).

721
87 Bukti P-97 Cash Out Voucher No. BKK 080.941 tertanggal 26
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Makan Pegawai sejumlah Rp
565.000,00 (lima ratus enam puluh lima ribu
rupiah).
88 Bukti P-98 Cash Out Voucher No. BKK 080.951 tertanggal 28
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Test Food Wong
Chi Chung sejumlah Rp 1.041.000,00 (satu juta
empat puluh satu ribu rupiah).
89 Bukti P-99 Cash Out Voucher No. BKK 080.961 tertanggal 29
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Makan Pegawai sejumlah Rp
27.500,00 (dua puluh tujuh ribu lima ratus rupiah).
90 Bukti P-100 Cash Out Voucher No. BKK 080.889 tertanggal 6
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
49.600,00 (empat puiuh sembilan ribu enam ratus
rupiah).
91 Bukti P-101 Cash Out Voucher No. BKK 080.930 tertanggal 30
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pengolahan Limbah sejumlah
Rp 110.000,00 (seratus sepuiuh ribu rupiah).
92 Bukti P-102 Cash Out Voucher No. BKK 080.921 tertanggal 14
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Laundry sejumlah
Rp48.000,00 (empat puluh delapan ribu rupiah).
93 Bukti P-103 Cash Out Voucher No. BKK 080.953 tertanggal 28
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Laundry dan Gas sejumlah Rp
300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah).
94 Bukti P-104 Journal Voucher No. 019/JV/X/08 tertanggal 5
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Sparepart Post Gourmet
sejumlah R pl.734.849,00 (satu juta tujuh ratus tiga
puluh empat ribu delapan ratus empat puluh
sembilan rupiah).
95 Bukti P-105 Bank Out Voucher No. BBK 080.975 tertanggal 7
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Instalasi CCTV Restoran
kepada PT. Secumindo Multikarya sejumlah Rp
1.915.000,00 (satu juta sembilan ratus lima belas
ribu rupiah).
96 Bukti P-106 Journal Voucher No. 027/JV/X/08 tertanggal 29
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Perlengkapan sejumlah Rp
1.370.800,00 (satu juta tiga ratus tujuh puluh ribu
delapan ratus rupiah).
97 Bukti P-107 Journal Voucher No. 020/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Renovasi Interior sejumlah Rp
13.964.912,00 (tiga belas juta sembilan ratus enam
puluh empat ribu sembilan ratus dua belas rupiah).
98 Bukti P-108 Bank Out Voucher No. BBK 080.982 tertanggal 14
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya AC kepada PT. Gunawan
Servindo Ekatama sejumlah Rp 4.750.000,00
(empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
99 Bukti P-109 Journal Voucher No. 002/JV/X/08 tertanggal 1
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Renovasi Restoran kepada
Adi sejumlah Rp 46.840.909,00 (empat puluh enam
juta delapan ratus empat puluh ribu sembilan ratus
sembilan rupiah).
100 Bukti P-110 Cash Out Voucher No. BKK 080.910 tertanggal 13
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Restoran kepada
Yang Yong Feng sejumlah Rp 1.100.000,00 (satu
juta seratus ribu rupiah).
101 Bukti P -111 Bank Out Voucher No. BBK 081.042 tertanggal 22
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Restoran kepada
Achmad Fariza sejumlah Rp 22.356.750,00 (dua
puluh dua juta tiga ratus lima puluh enam ribu
tujuh ratus lima puluh rupiah) melalui Klik BCA.
102 Bukti P-112 Bank Out Voucher No. BBK 080.983 tertanggal 14
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pengurusan Surat-Surat
kepada PT. Dutasindo Prima sejumlah Rp
5.395.000,00 (lima juta tiga ratus sembilan puluh

723
lima ribu rupiah) dengan Giro AA 780.283.

103 Bukti P -113 Bank Out Voucher No. BBK 081.029 tertanggal 21
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pengurusan Surat-Surat
kepada PT. Dutasindo Prima sejumlah Rp
7.310.000,00 (tujuh juta tiga ratus sepuluh ribu
rupiah) melalui Klik BCA.
104 Bukti P-114 Journal Voucher No. 038/JV/X/08 tertanggal 1
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Asuransi sejumlah Rp
351.334.000,00 (tiga ratus lima puluh satu juta tiga
ratus tiga puluh empat ribu rupiah).
105 Bukti P -115 Journal Voucher No. 003/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Peralatan
sejumlah Rp 1.145.833,00 (satu juta seratus empat
puluh lima ribu delapan ratus tiga puluh tiga
rupiah).
106 Bukti P-116 Journal Voucher No. 021/.1V/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Mesin Pax
sejumlah Rp 17.916,00 (tujuh belas ribu sembilan
ratus enam belas rupiah).
107 Bukti P -117 Journal Voucher No. 022/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Printer sejumlah
Rp 151.634,00 (seratus lima puluh satu ribu enam
ratus tiga puluh empat rupiah).
108 Bukti P-118 Journal Voucher No. 023/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Trolley tutup
sejumlah Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
109 Bukti P -119 Journal Voucher No. 024/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Mesin Pax
sejumlah Rp 5.447.875,00 (lima juta empat ratus
empat puluh tujuh ribu delapan ratus tujuh puluh
lima rupiah).
110 Bukti P-120 Journal Voucher No. 025/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Mesin Fax
sejumlah Rp 177.900,00 (seratus tujuh puluh tujuh
ribu sembilan ratus rupiah).
111 Bukti P-121 Journal Voucher No. 026/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Mesin Fax
sejumlah Rp 1.628.000,00 (satu juta enam ratus dua
puluh delapan ribu rupiah).
112 Bukti P-122 Bank Out Voucher No. BBK 081.044 tertanggal 29
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Gaji Pegawai periode Oktober
sejumlah Rp 42.071.411,00 (empat puluh dua juta
tujuh puluh satu ribu empat ratus sebelas rupiah)
dengan No. Cek CB 317087.
113 Bukti P-123 Bank Out Voucher No. BBK 081.035 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Restoran kepada
PT. ASPP sejumlah Rp 15.062.092,00 (lima belas
juta enam puluh dua ribu sembilan puluh dua
rupiah) dengan No. Cek AB 463708.
114 Bukti P-124 Cash Out Voucher No. BKK 080.923 tertanggal 16
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Restoran kepada
Lippo Bank sejumlah Rp 1.289.400,00 (satu juta
dua ratus delapan puluh sembilan ribu empat ratus
rupiah).
115 Bukti P-125 Cash Out Voucher No. BKK 080.959 tertanggal 28
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pos kepada Linda sejumlah
Rp 36.000,00 (tiga puluh enam ribu rupiah).
116 Bukti P-126 Cash Out Voucher No. BKK 080.893 tertanggal 7
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transport sejumlah Rp
125.500,00 (seratus dua puluh lima ribu lima ratus
rupiah).
117 Bukti P-127 Cash Out Voucher No. BKK 080.894 tertanggal 8
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp

725
431.000,00 (empat ratus tiga puluh satu ribu
rupiah).
118 Bukti P-128 Cash Out Voucher No. BKK 080.895 tertanggal 8
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
134.500,00 (seratus tiga puluh empat ribu lima
ratus rupiah).
119 Bukti P-129 Cash Out Voucher No. BKK 080.896 tertanggal 8
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
8.000,00 (delapan ribu rupiah).
120 Bukti P-130 Cash Out Voucher No. BKK 080.906 tertanggal 10
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
442.000,00 (empat ratus empat puluh dua ribu
rupiah).
121 Bukti P-131 Cash Out Voucher No. BKK 080.907 tertanggal 10
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
128.500,00 (seratus dua puluh delapan ribu lima
ratus rupiah).
122 Bukti P-132 Cash Out Voucher No. BKK 080.909 tertanggal 13
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
395.500,00 (tiga ratus sembilan puluh lima ribu
lima ratus rupiah).
123 Bukti P-133 Cash Out Voucher No. BKK 080.925 tertanggal 14
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
131.500,00 (seratus tiga puluh satu ribu lima ratus
rupiah).
124 Bukti P-134 Cash Out Voucher No. BKK 080.905 tertanggal 15
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah
Rp429.000,00 (empat ratus dua puluh sembilan
ribu rupiah).
125 Bukti P-135 Cash Out Voucher No. BKK 080.929 tertanggal 16
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
414.500,00 (empat ratus empat belas ribu lima
ratus rupiah).

126 Bukti P-136 Cash Out Voucher No. BKK 080.932 tertanggal 20
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
401.500,00 (empat ratus satu ribu lima ratus
rupiah).
127 Bukti P-137 Cash Out Voucher No. BKK 080.942 tertanggal 22
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
387.000,00 (tiga ratus delapan puluh tujuh ribu
rupiah).
128 Bukti P-138 Cash Out Voucher No. BKK 080.946 tertanggal 24
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
387.500,00 (tiga ratus delapan puluh tujuh ribu
lima ratus rupiah).
129 Bukti P-139 Cash Out Voucher No. BKK 080.949 tertanggal 27
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
235.500,00 (dua ratus tiga puluh lima ribu lima
ratus rupiah).
130 Bukti P-140 Cash Out Voucher No. BKK 080.966 tertanggal 28
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Tol dan Transportasi sejumlah
Rp 118.500,00 (seratus delapan belas ribu lima
ratus rupiah).
131 Bukti P-141 Cash Out Voucher No. BKK 080.955 tertanggal 29
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar. Parkir dan Tol
sejumlah Rp 392.500,00 (tiga ratus sembilan puluh
dua ribu lima ratus rupiah).
132 Bukti P-142 Cash Out Voucher No. BKK 080.963 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Parkir, Tol, Ban dan Bahan
Bakar sejumlah Rp 420.000,00 (empat ratus dua
puluh ribu rupiah).
133 Bukti P-143 Cash Out Voucher No. BKK 080.891 tertanggal 6
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Ganti aki dan Makan Pegawai

727
sejumlah Rp 573.500,00 (lima ratus tujuh puluh
tiga ribu lima ratus rupiah).
134 Bukti P-144 Cash Out Voucher No. BKK 080.927 tertanggal 15
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Makan Pegawai sejumlah Rp
102.200,00 (seratus dua ribu dua ratus rupiah).
135 Bukti P-145 Cash Out Voucher No. BKK 080.928 tertanggal 16
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
80.000,00 (delapan puluh ribu rupiah).
136 Bukti P-146 Cash Out Voucher No. BKK 080.931 tertanggal 17
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
15.000,00 (lima belas ribu rupiah).
137 Bukti P-147 Cash Out Voucher No. BKK 080.944 tertanggal 22
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
15.000,00 (lima belas ribu rupiah).
138 Bukti P-148 Cash Out Voucher No. BKK 080.950 tertanggal 27
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
18.000,00 (delapan belas ribu rupiah).
139 Bukti P-149 Cash Out Voucher No. BKK 080.965 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi sejumlah Rp
15.000,00 (lima belas ribu rupiah).
140 Bukti P-150 Bank Out Voucher No. BBK 080.981 tertanggal 10
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Listrik, Air, dll PT. Istana
Harmoni sejumlah Rp 5.947.497,00 (lima juta
sembilan ratus empat puluh tujuh ribu empat ratus
sembilan puluh tujuh rupiah) melalui Klik BCA.
141 Bukti P-151 Journal Voucher No. 030/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Listrik, Air dan Maintenance
sejumlah Rp 3.504.203,00 (tiga juta lima ratus
empat ribu dua ratus tiga rupiah).
142 Bukti P-152 Journal Voucher No. 029/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Listrik, Air dan Maintenance
sejumlah Rp 912.065,00 (sembilan ratus dua belas
ribu enam puluh lima rupiah).
143 Bukti P-153 Cash Out Voucher No. BKK 080.947 tertanggal 24
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan lain-lain sejumlah
Rp 129.800,00 (seratus dua puluh sembian ribu
delapan ratus rupiah).
144 Bukti P-154 Cash Out Voucher No. BKK 080.904 tertanggal 9
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya perlengakapan rumah tangga
Winnie Lee sejumlah Rp 481.465,00 (empat ratus
delapan puluh satu ribu empat ratus enam puluh
lima rupiah).
145 Bukti P-155 Cash Out Voucher No. BKK 080.892 tertanggal 14
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya keperluan gudang PT.
Watcrindex Tirta Lestari (Grand) sejumlah Rp
252.000,00 (dua ratus lima puluh dua ribu rupiah).
146 Bukti P-156 Cash Out Voucher No. BKK 080.920 tertanggal 14
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya THR sejumlah Rp 152.000,00
(seratus lima puluh dua ribu rupiah).
147 Bukti P-157 Journal Voucher No. 034/JV/X/08 tertanggal 1
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Sewa apartemen pegawai asing
sejumlah Rp 5.500.000,00 (lima juta lima ratus ribu
rupiah).
148 Bukti P-158 Journal Voucher No. 035/JV/X/08 tertanggal 1
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Sewa apartemen pegawai asing
sejumlah Rp 4.400.000,00 (empat juta empat ratus
ribu rupiah).
149 Bukti P-159 Journal Voucher No. 036/JV/X/08 tertanggal 1
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Sewa apartemen pegawai asing
sejumlah Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
150 Bukti P-160 Journal Voucher No. 039/JV/X/08 tertanggal 20
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Asuransi Mobil sejumlah Rp

729
314.750,00 (tiga juta empat belas ribu tujuh ratus
lima puluh rupiah).
151 Bukti P-161 Journal Voucher No. 033/JV/X/08 tertanggal 14
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Sewa apartemen pegawai asing
sejumlah Rp 327.250,00 (tiga ratus dua puluh tujuh
ribu dua ratus lima puluh rupiah).
152 Bukti P-162 Journal Voucher No. 013/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Kursi sejumlah Rp
24.833,00 (dua puluh empat ribu delapan ratus tiga
puluh tiga rupiah).
153 Bukti P-163 Journal Voucher No. 014/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya depresiasi printer dan lemari
kantor sejumlah Rp 434.167,00 (empat ratus tiga
puluh empat ribu seratus enam puluh tujuh rupiah).
154 Bukti P-164 Journal Voucher No. 015/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Depresiasi Printer, Komputer 2 (dua)
unit, dll sejumlah Rp 285.416,00 (dua ratus delapan
puluh lima ribu empat ratus enam belas rupiah).
155 Bukti P-165 Journal Voucher No. 016/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Depresiasi Interior sejumlah Rp
16.833,00 (enam belas ribu delapan ratus tiga puluh
tiga rupiah).
156 Bukti P-166 Journal Voucher No. 017/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Depresiasi Interior sejumlah Rp
131.846,00 (seratus tiga puluh satu ribu delapan
ratus empat puluh enam rupiah).
157 Bukti P-167 Journal Voucher No. 018/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Depresiasi Laptop sejumlah Rp
191.708,00 (seratus sembilan puluh satu ribu tujuh
ratus delapan rupiah).
158 Bukti P-168 Journal Voucher No. 012/JV/X/08 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Depresiasi Mobil sejumlah R
p3.135.417.00 (tiga juta seratus tiga puluh lima ribu
empat ratus tujuh belas rupiah).

159 Bukti P-169 Bank Out Voucher No. BBK 080.984 tertanggal 9
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Pajak ke Kas Negara sejumlah Rp
51.299.350,00 (lima puluh satu juta dua ratus
sembilan puluh sembilan ribu tiga ratus lima puluh
rupiah) dengan No. Cek CB 317085.
160 Bukti P-170 Cash Out Voucher No. BKK 080.918 tertanggal 24
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Restoran kepada
sejumlah Rp 729.000,00 (tujuh ratus dua puluh
sembilan ribu rupiah).
161 Bukti P-171 Cash Out Voucher No. BKK 080.868 tertanggal 21
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Restoran kepada
PT. Heinz ABC Indonesia sejumlah Rp 484.500,00
(empat ratus delapan puluh empat ribu lima ratus
rupiah).
162 Bukti P-172 Bank Out Voucher No. BBK 080.059 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Administrasi Bank Mandiri sejumlah
Rp 31.000,00 (tiga puluh satu ribu rupiah)
163 Bukti P-173 Bank Out Voucher No. BBK 081.060 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Administrasi BCA.KJNH sejumlah
Rp 30.000,00 (tiga puiuh ribu rupiah).
164 Bukti P-174 Bank Out Voucher No. BBK 081.061 tertanggal 31
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Administrasi BCA.INH
sejumlah Rp 530.000.00 (lima ratus tiga puluh ribu
rupiah)
165 Bukti P-175 Bank Out Voucher No. BBK 081.064 tertanggal 31
Oktober
2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Administrasi NISP sejumlah
Rp 56.000,00 (lima puluh enam ribu rupiah). '
166 Bukti P-176 Bank Out Voucher No. BBK 081.069 tertanggal 31
Oktober
2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah

731
membayarkan Biaya Administrasi Lippo sejumlah
Rp 36.000,00 (tiga puluh enam ribu rupiah).
167 Bukti P-177 Cash Out Voucher No. BBK 080.897 tertanggal 9
Oktober 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan kepada Ita sejumlah Rp 30.000,00
(tiga puluh ribu rupiah).
168 Bukti P-178 Bank Out Voucher No. BBK 081.078 tertanggal 30
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan gaji karyawan Imperial Treasure La
Mian Xiao Long Bao pada bulan November 2008.
sejumlah Rp 79.004.085.00 (tujuh puluh sembilan
juta empat ribu delapan puluh lima rupiah) melalui
Klik BCA.
169 Bukti P-179 Bank Out Voucher No. BBK 081.075 tertanggal 26
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan gaji koki restoran dan biaya
kesehatan periode November 2008. sejumlah Rp
93.681.000,00 (sembilan puluh tiga juta enam ratus
delapan puluh satu ribu rupiah) dcnganNo. Cek CB
317089.
170 Bukti P-180 Cash Out Voucher No. BKK 080.989 tertanggal 14
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan biaya kesehatan kepada Winnie Lee
periode November 2008. sejumlah Rp 136.000,00
(seratus tiga puluh enam ribu).
171 Bukti P-181 Journal Voucher No. 030/.IV/XI/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayar Biaya Asuransi Permata Nippon dengan
jumlah Rp 1.295.083,00 (satu juta dua ratus
sembilan puluh lima ribu delapan puluh tiga
rupiah).
172 Bukti P-182 Bank Out Voucher No. BBK 081.068 tertanggal 13
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan kepada Jamsostek sejumlah Rp
6.151.392,00 (enam juta seratus lima puluh satu
ribu tiga ratus sembilan puluh dua rupiah) dengan
No. Cek/Giro DH 975331.
173 Bukti P-183 Cash Out Voucher N o. BKK 080.986 tertanggal 18
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan asuransi AKDHK kepada Bumida
Bumiputera bulan November 2008. sejumlah Rp
177.800,00 (seratus tujuh puluh tujuh ribu delapan
ratus rupiah).
174 Bukti P-184 Cash Out Voucher No. BKK 080.981 tertanggal 10
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan biaya komunikasi Pegawai Asing
(Manager Restoran) atas nama Winnie Lee
sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
175 Bukti P-185 Cash Out Voucher No. BKK 080.995 tertanggal 18
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya komunikasi Pegawai Asing
kepada Bll sejumlah Rp 440.200,00 (empat ratus
empat puluh ribu dua ratus rupiah).
176 Bukti P-186 Bank Out Voucher No. BBK 081.052 tertanggal 4
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Tagihan kepada Abadi Jaya
sejumlah Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu
rupiah) dengan Giro A B 463709.
177 Bukti P-187 Bank Out Voucher No. BBK 081.041 tertanggal 7
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pembayaran Barang Pecah
Belah kepada Nuprindo Utama Printing sejumlah
Rp 4.000.000,00 (empat juta rupiah) melalui Klik
BCA
178 Bukti P-188 Cash Out Voucher No. 080.982 tertanggal 11
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Dokumentasi dan Tiket
Pegawai Asing atas nama Wong Chi Chung
sejumlah Rp 5.220.600,00 (lima juta dua ratus dua
puluh ribu enam ratus rupiah).
179 Bukti P-189 Bank Out Voucher No. BBK 081.073 tertanggal 25
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pembayaran Design dan
Cetak Kartu Anggota kepada Creative sejumlah Rp
1.150.000,00 (satu juta seratus lima puluh ribu
rupiah) melalui Klik BCA.
180 Bukti P-190 Cash Out Voucher No. BKK 080.985 tertanggal 12
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pengiriman Dokumen Via Pos
kepada Tumino sejumlah Rp 13.500,00 (tiga belas
ribu lima ratus rupiah).

733
181 Bukti P-191 Cash Out Voucher No. BKK 080.976 tertanggal 10
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Tol dan Parkir
kepada Tarmo sejumlah Rp 389.500,00 (tiga ratus
delapan puluh sembilan ribu lima ratus rupiah).
182 Bukti P-192 Cash Out Voucher No. BKK 080.999 tertanggal 19
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Tol dan Parkir
kepada Tarmo sejumlah Rp 460.000,00 (empat
ratus enam puluh ribu rupiah).
183 Bukti P-193 Cash Out Voucher No. BKK 081.014 tertanggal 26
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Biaya Bahan Bakar, Tol dan
Parkir kepada Tarmo sejumlah Rp 455.000,00
(empat ratus lima puluh lima ribu rupiah).
184 Bukti P-194 Cash Out Voucher No. BKK 080.964 tertanggal 3
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Makan Security sejumlah Rp
300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah).
185 Bukti P-195 Cash Out Voucher No. BKK 080.967 tertanggal 3
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Makan Pegawai kepada Min
sejumlah Rp 71.500,00 (tujuh puluh satu ribu lima
ratus rupiah).
186 Bukti P-196 Cash Out Voucher No. BKK 080.977 tertanggal 7
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Uang Makan Security kepada Sayuti
sejumlah Rp 640.000,00 (enam ratus empat puluh
ribu rupiah).
187 Bukti P-197 Cash Out Voucher No. BKK 080.978 tertanggal 10
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayar kepada Driver untuk Biaya Makan
Pegawai sejumlah Rp60.000,- (enam puluh ribu
rupiah).
188 Bukti P-198 Cash Out Voucher No. BKK 080.990 tertanggal 14
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Uang Makan kepada Sayuti
sejumlah Rp 640.000,00 (enam ratus empat puluh
ribu rupiah).
189 Bukti P-199 Cash Out Voucher No. BKK 080.992 tertanggal 18
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya pembelian aquo dan
transportasi kepada Suyati sejumlah Rp 114.000,00
(seratus empat belas ribu rupiah).
190 Bukti P-200 Cash Out Voucher No. BKK 081.008 tertanggal 24
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Makan Security sejumlah Rp
640.000,00 (enam ratus empat puluh ribu rupiah).
191 Bukti P-201 Cash Out Voucher No. BKK 081.016 tertanggal 24
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Test Food untuk Foto Menu
kepada Wong Chi Chung sejumlah Rp 670.300,00
(enam ratus tujuh puluh ribu tiga ratus rupiah).
192 Bukti P-202 Cash Out Voucher No. BKK 081.018 tertanggal 27
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Peralatan Dapur Restoran dan
serta Visa Wong Chi Chung sejumlah Rp
9.719.000,00 (sembilan juta tujuh ratus sembilan
belas ribu rupiah).
193 Bukti P-203 Journal Voucher No. 025/JV/XI/08 tertanggal 5
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Sparepart Pos Gourmate
sejumlah Rp 1.734.849,00 (satu juta tujuh ratus tiga
puluh empat ribu delapan ratus empat puluh
sembilan rupiah).
194 Bukti P-204 Bank Out Voucher No. BBK 081.062 tertanggal 7
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya perlengkapan sparepart
komputer Pegawai Asing (Winnie) kepada Reynier
Tjahadi sejumlah
Rp 450.000,00 (empat ratus lima puluh ribu rupiah)
melalui Klik BCA.

195 Bukti P-205 Journal Voucher No. 018/JV/XI/08 tertanggal 1


November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Renovasi Interior Restoran
kepada Gita Laras sebesar Rp 13.964.912,00 (tiga
belas juta sembilan ratus enam puluh empat ribu
sembilan ratus dua belas rupiah).

735
196 Bukti P-206 Bank Out Voucher No. BBK 081.053 tertanggal 4
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Perbaikan 1 (satu) unit Under
Counter kepade Fascool Refrigeration Engineering
sejumlah Rp 1.850.000,00 (satu juta delapan ratus
lima puluh ribu rupiah) dengan No. Cek AB
463716.
197 Bukti P-207 Cash Out Voucher No. BKK 081.009 tertanggal 25
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya dokumen perpanjangan wajib
lapor (Restoran) ketenagakerjaan kepada Bu Yati
sejumlah Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).
198 Bukti P-208 Cash Out Voucher No. BKK 081.005 tertanggal 24
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Fiskal dan Airport Tax atas
nama Yang Jian Oking sejumlah Rp 1.154.000,00
(satu juta seratus lima puluh empat ribu rupiah).
199 Bukti P-209 Cash Out Voucher No. BKK 081.006 tertanggal 24
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Fiskal dan Airport Tax atas
nama Cheung Yin Kwan sejumlah Rp 1.100.000,-
(satu juta seratus ribu rupiah).
200 Bukti P-210 Cash Out Voucher No. BKK 081.021 tertanggal 28
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya pembayaran tiket dengan uang
tunai atas nama Cheung Yin Kwan sejumlah Rp
60.000,00 (enam puluh ribu rupiah).
201 Bukti P-211 Bank Out Voucher No. BBK 081.063 tertanggal 18
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya SKLD, SKPPS, SKK dan
pencabutan SKDL kepada PT. Dutasindo Prima
sejumlah Rp 6.305.000,00 (enam juta tiga ratus
lima ribu rupiah) dengairNo. Gek AB 463717.
202 Bukti P-212 Bank Out Voucher No. BBK 081.070 tertanggal 20
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Dokumentasi Pegawai Asing
atas nama Wong Chi Cheung kepada Achmad
Fariza sebesar Rp 14.700.000,00 (empat belas juta
tujuh ratus ribu rupiah).
203 Bukti P-213 Cash Out Voucher No. BKK 080.969 tertanggal 3
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pemeliharaan Peristirahatan
Karyawan sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah).
204 Bukti P -214 Cash Out Voucher No. BKK 080.993 tertanggal 18
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar Pegawai Asing
kepada Tumino sejumlah Rp 150.000,00 (seratus
lima puluh ribu rupiah).
205 Bukti P-215 Journal Voucher No. 031/JV/XI/08 tertanggal 15
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Asuransi Kendaran kepada
PT.ACA sebesar Rp 597.667,- (lima ratus sembilan
puluh tujuh ribu enam ratus enam puluh tujuh
rupiah). I
206 Bukti P-216 Journal Voucher No. 001/JV/IX/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Dishwasing Machine kepada
Ecolab Indonesia sebesar Rp 1.628.000,- (satu juta
enam ratus dua puluh delapan ribu rupiah).
207 Bukti P-217 Journal Voucher No. 002/.IV/X1/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Perlenqkapan PIM 2 sebesar
Rp 1.145.833,00
(satu juta seratus empat puluh lima ribu delapan
ratus tiga puluh tiga rupiah).
208 Bukti P-218 Journal Voucher No. 019/JV/XI/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya mesin Fax sebesar Rp
17.916,00 (tujuh belas ribu sembilan ratus enam
betas rupiah).
209 Bukti P-219 Journal Voucher No. 020/JV/XI/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Digital Camera
dan Printer sebesar Rp 151.634,00 (seratus lima
puluh satu ribu enam ratus tiga puluh empat
rupiah).
210 Bukti P-220 Journal Voucher No. 022/JV/XI/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Kompresor,
Brankas, AC sebesar Rp 5.447.875,00 (lima juta

737
empat ratus empat puluh tujuh ribu delapan ratus
tujuh puluh lima rupiah).
211 Bukti P-221 Journal Voucher No. 023/JV/XI/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Printer dan Tinta
sebesar Rp 177.900,00 (seratus tujuh puluh ribu
sembilan ratus rupiah)
212 Bukti P-222 Bank Out Voucher No. BBK 081.058 tertanggal 5
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Perpanjangan STNK B 2309
QG kepada A.M. Jaya sejumlah Rp 1.838.300,00
(satu juta delapan ratus tiga puluh delapan ribu tiga
ratus rupiah) melalui Klik BCA.
213 Bukti P-223 Bank Out Voucher No. BBK 081.080 tertanggal 28
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Gaji Karyawan periode November
sejumlah Rp 47.224.024,00 (empat puluh tujuh juta
dua ratus dua puluh empat ribu dua puluh empat
rupiah) dengan No. Cek CB 317090.
214 Bukti P-224 Cash Out Voucher No. BKK 080.996 tertanggal 18
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pembayaran Rekening
Telepon kepada Lippo Bank sejumlah Rp
1.584.350,00 (satu juta lima ratus delapan puluh
empat ribu tiga ratus lima puluh rupiah).
215 Bukti P-225 Cash Out Voucher No. BKK 081.023 tertanggal 28
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pembayaran Internet bulan
November 2008 kepada PT. ASPP sejumlah Rp
200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).
216 Bukti P-226 Journal Voucher No. 033/JV/XI/08 tertanggal 30
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Peralatan Kantor sebesar Rp
90.933,00 (sembilan puluh ribu sembilan ratus tiga
puluh tiga rupiah).
217 Bukti P-227 Cash Out Voucher No. BKK 080.974 tertanggal 6
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pembayaran Koran Kompas
bulan Novemver 2008. kepada Kurnia Agency
sejumlah Rp 69.000,00 (enam puluh sembilan ribu
rupiah).
218 Bukti P-228 Cash Out Voucher No. BKK 080.975 tertanggal 6
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pembayaran Koran Jakarta
Post kepada Mince sejumlah Rp 7.500,00 (tujuh
ribu lima ratus rupiah).
219 Bukti P-229 Cash Out Voucher No. BKK 080.970 tertanggal 4
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar Kendaraan,
Parkir dan Tol kepada Tumino sejumlah Rp
355.500,00 (tiga ratus lima puluh lima ribu lima
ratus rupiah).
220 Bukti P-230 Cash Out Voucher No. BKK 080.972 tertanggal 4
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi dan Tol kepada
Linda sejumlah Rp 105.500.00 (seratus lima ribu
lima ratus rupiah).
221 Bukti P-231 Cash Out Voucher No. BKK 080.973 tertanggal 6
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar Kendaraan,
Parkir dan Tol kepada Tumino sejumlah Rp
356.000,00 (tiga ratus lima puluh enam ribu
rupiah).
222 Bukti P-232 Cash Out Voucher No. BKK 080.979 tertanggal 10
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar Kendaraan.
Parkir dan Tol kepada Tumino sejumlah Rp
356.000,00 (tiga ratus lima puluh enam ribu
rupiah).
223 Bukti P-233 Cash Out Voucher No. BKK 080.984 tertanggal 12
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar Kendaraan.
Parkir dan Tol kepada Tumino sejumlah Rp
347.000,00 (tiga ratus empat puluh tujuh ribu
rupiah).
224 Bukti P-234 Cash Out Voucher No. BKK 080.987 tertanggal 14
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar Kendaraan,
Parkir dan Tol kepada Tumino sejumlah Rp
384.000,00 (tiga ratus delapan puluh empat ribu
rupiah).

739
225 Bukti P-235 Cash Out Voucher No. BKK 080.988 tertanggal 14
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar Kendaraan,
Tambal Ban, Parkir dan Tol kepada Tarmo
sejumlah Rp 531.000,00 (lima ratus tiga puluh satu
ribu rupiah).
226 Bukti P-236 Cash Out Voucher No. BKK 080.991 tertanggal 17
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Tansportasi dan Tol kepada
Linda sejumlah Rp 255.500,00 (dua ratus lima
puluh lima ribu lima ratus rupiah).
227 Bukti P-237 Cash Out Voucher No. BKK 080.997 tertanggal 18
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar Kendaraan,
Parkir dan Tol kepada Tumino sejumlah Rp
330.500,00 (tiga ratus tiga puluh ribu lima ratus
rupiah).
228 Bukti P-238 Cash Out Voucher No. BKK 080.998 tertanggal 18
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Tansportasi dan Tol kepada
Linda sejumlah Rp 105.500,00 (seratus lima ribu
lima ratus rupiah).
229 Bukti P-239 Cash Out Voucher No. BKK 081.000 tertanggal 20
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar Kendaraan,
Parkir dan Tol kepada Tumino sejumlah Rp
354.000,00 (tiga ratus lima puluh empat ribu
rupiah).
230 Bukti P-240 Cash Out Voucher No. BKK 081.003 tertanggal 24
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar Kendaraan,
Parkir dan Tol kepada Tumino sejumlah Rp
343.500,00 (tiga ratus empat puluh tiga ribu lima
ratus rupiah).
231 Bukti P-241 Cash Out Voucher No. BKK 081.013 tertanggal 26
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar Kendaraan,
Parkir dan Tol kepada Tumino sejumlah Rp
401.000,00 (empat ratus seribu rupiah).
232 Bukti P-242 Cash Out Voucher N o. BKK 081.019 tertanggal 28
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar Kendaraan,
Parkir dan Tol kepada Tumino sejumlah Rp
363.500,00 (tiga ratus enam puluh tiga ribu lima
ratus rupiah).
233 Bukti P-243 Cash Out V o u c h e r No. BKK 080.980 tertanggal 18
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Makan kepada PT. Sinar
Sosro sejumlah Rp 135.000,00 (seratus tiga puluh
lima ribu rupiah).
234 Bukti P-244 Cash Out Voucher No. BKK 081.012 tertanggal 25
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Tansportasi (Taxi) kepada
Sayuti sejumlah Rp 95.000,00 (sembilan puluh
lima ribu rupiah).
235 Bukti P-245 Cash Out Voucher No. BKK 080.017 tertanggal 26
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Tansportasi untuk Keperluan
Restoran kepada Min sejumlah Rp 32.000,00 (tiga
puluh dua ribu rupiah).
236 Bukti P-246 Bank Out Voucher No. BBK 081.066 tertanggal 13
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Sewa Apartemen Istana
Harmoni kepada Istana Harmoni sejumlah Rp
7.833.464,00 (tujuh juta delapan ratus tiga puluh
tiga ribu empat ratus enam puluh empat rupiah)
melalui Klik BCA.
237 Bukti P-247 Cash Out Voucher No. BKK 080.983 tertanggal 11
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Perlengkapan Dapur kepada
Teguh sejumlah Rp 155.750,00 (seratus lima puluh
lima ribu tujuh ratus lima puluh rupiah).
238 Bukti P-248 Cash Out Voucher No. BKK 080.002 tertanggal 18
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Gudang kepada
PT. Waterindex Tirta Lestari (Grand) sejumlah Rp
180.000,00 (seratus delapan puluh ribu rupiah).
239 Bukti P-249 Cash Out Voucher No. BKK 081.001 tertanggal 21
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pembelian 2 (dua) unit
sparepart Mesin Tik Brother kepada PT. Sindasa

741
Agung sejumlah Rp 350.000,00 (tiga ratus lima
puluh ribu rupiah).
240 Bukti P-250 Cash Out Voucher No. BKK 081.011 tertanggal 25
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Potongan Absen dan Biaya
Sosial kepada Intan sejumlah Rp 550.000.00 (lima
ratus lima puluh ribu rupiah).
241 Bukti P-251 Bank Out Voucher No. BBK 081.067 tertanggal 30
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Sewa Kantor kepada PT.
ASPP sejumlah Rp 14.883.804.00 (empat belas juta
delapan ratus delapan puluh tiga ribu delapan ratus
empat rupiah).
242 Bukti P-252 Journal Voucher No. 027/.IV/X1/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon lelah
membayarkan Biaya Sewa Apatcmcn Pegawai
Asing sebesar Rp 5.500.000.00 (lima juta lima
ratus ribu rupiah).
243 Bukti P-253 Journal Voucher No. 028/JV/XI/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Sewa Apatemcn Pegawai
Asing sebesar Rp 4.400.000,00 (empat juta empat
ratus ribu rupiah).
244 Bukti P-254 Journal Voucher No. 029/JV/XI/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Sewa Apatcmcn Pegawai
Asing sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
245 Bukti P-255 Journal Voucher No. 026/JV/XI/08 tertanggal 14
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Asuransi sebesar Rp
327.250,00 (tiga ratus dua puluh tujuh ribu dua
ratus lima puluh rupiah).
246 Bukti P-256 Journal Voucher No. 032/JV/XI/08 tertanggal 20
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Asuransi sebesar Rp
314.750,00 (tiga ratus empat belas ribu tujuh ratus
lima puluh rupiah).
247 Bukti P-257 Journal Voucher No. 012/JV/XI/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Kursi sebesar Rp
24.833,00 (dua puluh empat ribu delapan ratus tiga
puluh tiga rupiah).
248 Bukti P-258 Journal Voucher No. 013/JV/XI/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Lemari dan Printer
sebesar Rp 434.167,00 (empat ratus tiga puluh
empat ribu seratus enam puluh tujuh rupiah).
249 Bukti P-259 Journal Voucher No. 014/JV/XI/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Printer, Komputer
dan Tinta sebesar Rp 327.250,00 (tiga ratus dua
puluh tujuh ribu dua ratus lima puluh rupiah).
250 Bukti P-260 Journal Voucher No. 015/JV/X1/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Peralatan Kantor
sebesar Rp 16.833,00 (enam belas ribu delapan
ratus tiga puluh tiga rupiah).
251 Bukti P-261 Journal Voucher No. 016/JV/XI/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Interior sebesar Rp
131.846,00 (seratus tiga puluh satu ribu delapan
ratus empat puluh enam rupiah).
252 Bukti P-262 Journal Voucher No. 017/JV/X1/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Laptop sebesar Rp
191.708,00 (seratus sembilan puluh satu ribu tujuh
ratus delapan rupiah).
253 Bukti P-263 Journal Voucher No. 0 1 1/JV/XI/08 tertanggal 1
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Kendaraan
sebesar Rp 3.135.417,00 (tiga juta seratus tiga
puluh lima ribu empat ratus tujuh belas rupiah).
254 Bukti P-264 Bank Out Voucher No. BBK 081.057 tertanggal 6
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Pajak kepada Kas Negara sejumlah
Rp 9.945.700,00 (sembilan juta sembilan ratus
empat puluh lima ribu tujuh ratus rupiah) dengan
No. Cek CB 317088
255 Bukti P-265 Cash Out Voucher No. BKK 080.968 tertanggal 3
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah

743
membayarkan Biaya Administrasi Bank kepada
Linda sejumlah Rp 70.000,00 (tujuh puluh ribu
rupiah).
256 Bukti P-266 Cash Out Voucher No. BKK 081.004 tertanggal 24
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Administrasi Bank kepada
Intan sejumlah Rp 549.250,00 (lima ratus empat
puluh sembilan ribu dua ratus lima puluh rupiah).
257 Bukti P-267 Bank Out Voucher No. BBK 0 8 1.095 tertanggal 26
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Administrasi Bank kepada
Lippo sejumlah Rp 33.000,00 (tiga puluh tiga ribu
rupiah).
258 Bukti P-268 Bank Out Voucher No. BBK 081.089 tertanggal 30
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Administrasi Bank kepada
BCA sejumlah Rp 35.000,00 (tiga puluh lima ribu
rupiah).
259 Bukti P-269 Bank Out Voucher No. BBK 081.090 tertanggal 30
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Administrasi Bank kepada
BCA sejumlah Rp 30.000,00 (tiga puluh ribu
rupiah).
260 Bukti P-270 Bank Out Voucher No. BBK 081.092 tertanggal 30
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Administrasi Bank kepada
NISP sejumlah Rp 56.000,00 (lima puluh enam
ribu rupiah).
261 Bukti P-271 Bank Out Voucher No. BKK 081.094 tertanggal 30
November 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Administrasi Bank kepada
Mandiri sejumlah Rp 31.000,00 (tiga puluh satu
ribu rupiah).
262 Bukti P-272 Journal Voucher N o. 026/JV/X1I/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Renovasi Interior kepada Gita
Laras sejumlah Rp 13.964.912,00 (tiga belas juta
sembilan ratus enam puluh empat ribu sembilan
ratus dua belas rupiah).
263 Bukti P-273 Journal Voucher No. 009/JV/XII/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Dishwashing
Machine sejumlah Rp 1.628.000,00 (satu juta enam
ratus dua puluh delapan ribu rupiah).
264 Bukti P-274 Journal Voucher No. 010/JV/XII/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Peralatan Kantor
sejumlah Rp 1.145.833,00 (satu juta seratus empat
puluh lima ribu delapan ratus tiga puluh tiga
rupiah).
265 Bukti P-275 Journal Voucher No. 027/JV/XII/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Mesin Fax
sejumlah Rp 17.916,00 (tujuh belas ribu sembilan
ratus enam belas rupiah).
266 Bukti P-276 Journal Voucher No. 028/JV/XII/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Printer sejumlah
Rp 84.167,00 delapan puluh empat ribu seratus
enam puluh tujuh rupiah).
267 Bukti P-277 Journal Voucher No. 029/JV/XII/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Kompresor,
Brankas dan AC
Sejumlah Rp 5.447.975,00 (lima juta empat ratus
empat puluh tujuh ribu sembilan ratus tujuh puluh
lima rupiah).
268 Bukti P-278 Journal Voucher No. 030/JV/XII/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi 2 (dua) unit Printer
sejumlah Rp 177.900,00 (seratus tujuh puluh tujuh
ribu sembilan ratus rupiah).
269 Bukti P-279 Journal Voucher No. 032/JV/XII/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Timbangan
sejumlah Rp 40.000,00 (empat puluh ribu rupiah).
270 Bukti P-280 Journal Voucher No. 019/JV/XII/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Kendaraan
sejumlah Rp 3.135.417,00 (tiga juta seratus tiga
puluh iima ribu empat ratus tujuh belas rupiah).

745
271 Bukti P-281 Journal Voucher No. 020/JV/XII/08 tertanggal 3 1
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Kursi sejumlah Rp
24.833,00 (dua puluh empat ribu delapan ratus tiga
puluh tiga rupiah).
272 Bukti P-282 Journal Voucher No. 021/JV/X1I/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Lemari dan Printer
sejumlah Rp 434.167,00 (empat ratus tiga puluh
empat ribu seratus enam puluh tujuh rupiah).
273 Bukti P-283 Journal Voucher No. 022/JV/X1I/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Printer, Komputer
dan Tinta sejumlah Rp 285.416,00 (dua ratus
delapan puluh lima ribu empat ratus enam belas
rupiah).
274 Bukti P-284 Journal Voucher No. 023/JWXII/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Peralatan Kantor
sejumlah Rp 16.833,00 (enam belas ribu delapan
ratus tiga puluh tiga rupiah).
275 Bukti P-285 Journal Voucher No. 024/JV/XI1/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Interior sejumlah
Rp 131.846,00 (seratus tiga puluh satu ribu delapan
ratus empat puluh enam rupiah).
276 Bukti P-286 Journal Voucher No. 025/JV/XII/08 tertanggal 31
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Depresiasi Laptop sejumlah
Rp 191.708,00 (seratus sembilan puluh satu ribu
tujuh ratus delapan rupiah).
277 Bukti P-287 Bank Out Voucher No. BBK 081.102 tertanggal 22
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Gaji Pegawai dan Tunjangan
Kesehatan bulan Desember sejumlah Rp
113.185.800,00 (seratus tiga belas juta seratus
delapan puluh lima ribu delapan ratus rupiah)
dengan No. Cek CB 317093.
278 Bukti P-288 Cash Out Voucher No. BKK 081.073 tertanggal 22
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya gaji pegawai periode
Desember sejumlah Rp 8.746.500,00 (delapan juta
tujuh ratus empat puluh enam ribu lima ratus
rupiah).
279 Bukti P-289 Bank Out Voucher No. BBK 081.104 tertanggal 23
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan gaji pegawai periode Desember
sejumlah Rp 46.684.200,00 (empat puluh enam juta
enam ratus delapan puluh empat ribu dua ratus
rupiah) dengan No. Cek CW 548566
280 Bukti P-290 Bank Out Voucher No. BBK 081.105 tertanggal 24
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan gaji pegawai periode Desember
sejumlah Rp 78.258.884,00 (tujuh puluh delapan
juta dua ratus lima puluh delapan ribu delapan ratus
delapan puluh empat rupiah) melalui Klik BCA.
281 Bukti P-291 Cash Out Voucher No. BKK 081.039 tertanggal 9
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Tinta Printer dan Tunjangan
Kesehatan kepada Winnie Lee sejumlah Rp
437.000,00 (empat ratus tiga puluh tujuh ribu
rupiah).
282 Bukti P-292 Journal Voucher No. 006/JV/XI1/08 tertanggal 1
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Asuransi sejumlah Rp
1.295.083,00 (satu juta dua ratus sembilan puluh
lima ribu delapan puluh tiga rupiah).
283 Bukti P-293 Bank Out Voucher No. BBK 081.088 tertanggal 10
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan biaya Jamsostek sejumlah Rp
6.151.392,00 (enam juta seratus lima puluh satu
ribu tiga ratus sembilan puluh dua rupiah) dengan
Giro DH 975332.
284 Bukti P-294 Cash Out Voucher No. BKK 081.037 tertanggal
15 Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Asuransi AKDI1K periode
Desember kepada Bumida Bumiputcra sejumlah
Rp 177.800,00 (seratus tujuh puluh tujuh ribu
delapan ratus rupiah).
285 Bukti P-295 Cash Out Voucher No. BKK 081.025 tertanggal 1
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah

747
membayarkan Biaya Telepon kepada Winnie Lee
sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
286 Bukti P-296 Cash Out Voucher No. BKK 081.055 tertanggal
16 Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Telepon dan Administrasi
kepada Bll sejumlah Rp 440.200,00 (empat ratus
empat puluh ribu dua ratus rupiah).
287 Bukti P-297 Cash Out Voucher No. BKK 081.026 tertanggal
4 Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Perlengkapan Apartemen dan
Alat Tulis kepada Winnie Lee sejumlah Rp
539.300,00 (lima ratus tiga puluh sembilan ribu
tiga ratus rupiah).
288 Bukti P-298 Cash Out Voucher No. BKK 081.053 tertanggal
19 Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pengeluaran Makan Pegawai
kepada Winnie Lee sejumlah Rp 10.238.950,00
(sepuluh juta dua ratus tiga puluh delapan ribu
sembilan ratus lima puluh rupiah).
289 Bukti P-299 Bank Out Voucher No. BBK 081.079 tertanggal
2 Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon
telah membayarkan Biaya Food Photography
kepada Sketsa Imaji Photography sejumlah
Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah)
melalui Klik BCA.
290 Bukti P-300 Bank Out Voucher No. BBK 081.084 tertanggal 10
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Food Photography kepada
Sketsa Imaji Photography sejumlah Rp 600.000,00
(enam ratus ribu rupiah) melalui Klik BCA.
291 Bukti P-301 Cash Out Voucher No. BKK 081.015 tertanggal 1
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Parkir Pegawai Asing kepada
Tarmo sejumlah Rp 125.000,00 (seratus dua puluh
lima ribu rupiah).
292 Bukti P-302 Cash Out Voucher No. BKK 081.033 tertanggal 4
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Tol dan Parkir
kepada Tarmo sejumlah Rp 719.500,00 (tujuh ratus
sembilan belas ribu lima ratus rupiah).
293 Bukti P-303 Cash Out Voucher No, BKK 081.041 tertanggal 9
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Tol dan Parkir
kepada Tarmo sejumlah Rp 488.500,00 (empat
ratus delapan puluh delapan ribu lima ratus rupiah).
294 Bukti P-304 Cash Out Voucher No. BKK 081.049 tertanggal 12
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Tol dan Parkir
kepada Tumino sejumlah Rp 190.000,00 (seratus
sembilan puluh ribu rupiah).
295 Bukti P-305 Cash Out Voucher No. BKK 081.059 tertanggal 16
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Tol dan Parkir
kepada Tarmo sejumlah Rp 754.500,00 (tujuh ratus
lima puluh empat ribu lima ratus rupiah).
296 Bukti P-306 Cash Out Voucher No. BKK 081.010 tertanggal 2
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Uang Makan Pegawai kepada
Sayuti sejumlah Rp 3.560.000.00 (tiga juta lima
ratus enam puluh ribu rupiah).
297 Bukti P-307 Cash Out Voucher No. BKK 081.022 tertanggal 2
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Uang Makan Security kepada
Sayuti sejumlah Rp 640.000,00 (enam ratus empat
puluh ribu rupiah).
298 Bukti P-308 Cash Out Voucher No. BKK 081.035 tertanggal 5
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Uang Makan Security kepada
Ranto sejumlah Rp 640.000,00 (enam ratus empat
puluh ribu rupiah).
299 Bukti P-309 Cash Out Voucher No. BKK 081.040 tertanggal 9
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Makanan Untuk I'oto
Menu kepada Wong Chi Chung sejumlah Rp
165.650,00 (seratus enam puluh lima ribu enam
ratus lima puluh rupiah).
300 Bukti P-310 Cash Out Voucher No. BKK 0 8 1.052 tertanggal 15
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah

749
membayarkan Biaya Uang Makan Security kepada
Sayuti sejumlah Rp 640.000,00 (enam ratus empat
puluh ribu rupiah).
301 Bukti P -311 Cash Out Voucher No. BKK 081.064 tertanggal 17
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi kepada Driver
ASPP sejumlah Rp 125.000,00 (seratus dua puluh
lima ribu rupiah).
302 Bukti P-312 Journal Voucher No. 050/JV/XI1/08 tertanggal 17
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Restoran sejumlah
Rp 21.123.700,00 (dua puluh satu juta seratus dua
puluh tiga ribu tujuh ratus rupiah).
303 Bukti P-313 Cash Out Voucher No. BKK 081.065 tertanggal 17
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon
telah membayarkan Biaya Perlengkapan Restoran
kepada CV. Panca Usaha Indah sejumlah
Rp 375.000,00 (tiga ratus tujuh puluh lima ribu
rupiah).
304 Bukti P-314 Cash Out Voucher No. BKK 081.075 tertanggal 19
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Restoran kepada
Winnie Lee sejumlah Rp 1.147.750,00 (satu juta
seratus empat puluh tujuh ribu tujuh ratus lima
puluh rupiah).
305 Bukti P-315 Journal Voucher No. 052/JV/XII/08 tertanggal 19
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon
telah membayarkan Biaya Keperluan Restoran
sejumlah Rp 22.119.500,00 (dua puluh dua juta
seratus sembilan belas ribu lima ratus rupiah).
306 Bukti P-316 Cash Out Voucher No. BKK 081.031 tertanggal 4
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Service Baby Chair kepada
Sayuti sejumlah Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
307 Bukti P -317 Journal Voucher No. 001/JV/XII/08 tertanggal 5
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Sparepart Restoran sejumlah
Rp 1.734.849,00 (satu juta tujuh ratus tiga puluh
empat ribu delapan ratus empat puluh sembilan
rupiah).
308 Bukti P-318 Cash Out Voucher No. BKK 081.045 tertanggal 10
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Setting Printer kepada Winnie
Lee sejumlah Rp 50.000,00 (lima puluh ribu
rupiah).
309 Bukti P-319 Bank Out Voucher No. BBK 081.096 tertanggal 12
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Perbaikan instalasi kepada
Karya Guna Bersama sejumlah Rp 2.599.000,00
(dua juta lima ratus sembilan puluh sembilan ribu
rupiah) melalui Klik BCA.
310 Bukti P-320 Bank Out Voucher No. BBK 081.076 tertanggal 2
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Dokumen Pegawai Asing
kepada PT. Dutasindo Prima sejumlah Rp
1.025.000,00 (satu juta dua puluh lima ribu rupiah)
melalui Klik BCA.
311 Bukti P-321 Bank Out Voucher No. BBK 081.087 tertanggal 16
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Dokumen Pegawai Asing
kepada PT. Dutasindo Prima sejumlah Rp
2.605.000,00 (dua juta enam ratus lima ribu rupiah)
dengan Giro AB 463720
312 Bukti P-322 Journal Voucher No. 033/JV/XII/08 tertanggal 18
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Dokumen Pegawai Asing
kepada PT. Dutasindo Prima sejumlah Rp
12.375.000,00 (dua belas juta tiga ratus tujuh puluh
lima ribu rupiah) dengan Giro AB 463720.
313 Bukti P-323 Cash Out Voucher No. BKK 081.029 tertanggal 2
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Kos Karyawan sejumlah Rp
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
314 Bukti P-324 Cash Out Voucher No. BKK 081.042 tertanggal 9
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Keperluan Restoran kepada
Min sejumlah Rp 30.000,00 (tiga puluh ribu
rupiah).

751
315 Bukti P-325 Journal Voucher No. 007/JV/XI1/08 tertanggal 18
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Asuransi sejumlah Rp
597.667,00 (lima ratus sembilan puluh tujuh ribu
enam ratus enam puluh tujuh rupiah).
316 Bukti P-326 Cash Out Voucher No. BKK 081.057 tertanggal 17
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Seragam Karyawan kepada
Wong Chi Chung sejumlah R p l.171.800,00 (satu
juta seratus tujuh puluh satu ribu delapan ratus
rupiah).
317 Bukti P-327 Cash Out Voucher No. BKK 081.047 tertanggal 11
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Internet kepada Intan
sejumlah Rp 69.500,00 (enam puluh sembilan ribu
lima ratus rupiah).
318 Bukti P-328 Cash Out Voucher No. BKK 081.054 tertanggal 16
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Telepon kepada Lippo Bank
sejumlah Rp 1.117.000,00 (satu juta seratus tujuh
belas ribu rupiah).
319 Bukti P-329 Cash Out Voucher No. BKK 081.067 tertanggal 18
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pembelian Formulir kepada
BNI sejumlah Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
320 Bukti P-330 Cash Out Voucher No. BKK 081.027 tertanggal 1
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Koran Kompas kepada Kurnia
Agency sejumlah Rp 90.000,- (sembilan puluh ribu
rupiah).
321 Bukti P-331 Cash Out Voucher No. BKK 081.058 tertanggal 16
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Materai kepada Tumino
sejumlah Rp 180.000,00 (seratus delapan puluh
ribu rupiah).
322 Bukti P-332 Cash Out Voucher No. BKK 081.063 tertanggal 17
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Parkir, Tol dan Bahan Bakar
kepada Tumino sejumlah Rp 391.000,00 (tiga ratus
sembilan puluh satu ribu rupiah).
323 Bukti P-333 Cash Out Voucher No. BKK 081.030 tertanggal 2
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Tol dan Parkir
kepada Tumino sejumlah Rp 3 6 4 . 0 0 0 , 0 0 (tiga ratus
enam puluh empat ribu rupiah).
324 Bukti P-334 Cash Out Voucher No. BKK 081.034 tertanggal 4
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Tol dan Parkir
kepada Tumino sejumlah Rp 364.000,00 (tiga ratus
enam puluh empat ribu rupiah).
325 Bukti P-335 Cash Out Voucher No. BKK 081.038 tertanggal 9
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Tol dan Parkir
kepada Tumino sejumlah Rp 371.500,00 (tiga ratus
tujuh puluh satu ribu lima ratus rupiah).
326 Bukti P-336 Cash Out Voucher N o. BKK 081.046 tertanggal 11
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Tol dan Parkir
kepada Tumino sejumlah Rp 374.500,- (tiga ratus
tujuh puluh empat ribu lima ratus rupiah).
327 Bukti P-337 Cash Out Voucher No. BKK 081.050 tertanggal 12
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi dan Tol kepada
Bu Suyati sejumlah Rp 138.000,00 (seratus tiga
puluh delapan ribu rupiah).
328 Bukti P-338 Cash Out Voucher N o. BKK 081.051 tertanggal 12
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi dan Tol kepada
Intan sejumlah Rp 78.500,00 (tujuh puluh delapan
ribu lima ratus rupiah).
329 Bukti P-339 Cash Out Voucher No. BKK 081.056 tertanggal 15
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Tol dan Parkir
kepada Tumino sejumlah Rp 345.000,00 (tiga ratus
empat puluh lima ribu rupiah).
330 Bukti P-340 Cash Out Voucher No. BKK 081.071 tertanggal 19
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Bahan Bakar, Tol dan Parkir
kepada Tumino sejumlah Rp 384.000,00 (tiga ratus
delapan puluh empat ribu rupiah).

753
331 Bukti P-341 Cash Out Voucher No. BKK 081.028 tertanggal 1
Desember
2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi kepada Bu Yati
sejumlah Rp 40.000,00 (empat puluh ribu rupiah).
332 Bukti P-342 Cash Out Voucher No. BKK 081.032 tertanggal 3
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi kepada Min
se’jumlah Rp 30.000,00 (tiga puluh ribu rupiah).
333 Bukti P-343 Cash Out Voucher No. BKK 081.066 tertanggal 18
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Transportasi kepada Bu Yati
sejumlah Rp 85.000.00 (delapan puluh lima ribu
rupiah).
334 Bukti P-344 Bank Out Voucher No. BBK 081.093 tertanggal 10
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Listrik, Air untuk Apartemen
Istana Harmoni sejumlah Rp 5.846472,00 (lima
juta delapan ratus empat puluh enam ribu empat
ratus tujuh puluh dua rupiah) melalui Klik BCA.
335 Bukti P-345 Cash Out Voucher No. BKK 081.062 tertanggal 16
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Perlengkapan kepada Min
sejumlah Rp 18.000,00 (delapan belas ribu rupiah).
336 Bukti P-346 Cash Out Voucher No. BKK 081.044 tertanggal 10
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon
telah membayarkan Biaya Gas Apartemen Istana
Harmoni sejumlah Rp 166.000,00 (seratus enam
puluh enam ribu rupiah).
337 Bukti P-347 Cash Out Voucher No. BKK 081.060 tertanggal 16
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Gas kepada Teguh sejumlah
Rp 168.000,00 (seratus enam puluh delapan ribu
rupiah).
338 Bukti P-348 Cash Out Voucher No. BKK 081.024 tertanggal 1
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon
telah membayarkan Biaya Instalasi Kabel kepada
PT. ASPP sejumlah Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu
rupiah).
339 Bukti P-349 Cash Out Voucher N o. BKK 081.043 tertanggal 12
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Sosial kepada Tumino
sejumlah Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
340 Bukti P-350 Journal Voucher No. 003/JV/X1I/08 tertanggal 1
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Sewa Aparteman Istana
Harmoni Pegawai Asing sebesar Rp 5.500.000,00
(lima juta lima ratus ribu rupiah).
341 Bukti P-351 Journal Voucher No. 004/JV/X1I/08 tertanggal 1
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Sewa Aparteman Istana
Harmoni Pegawai Asing sebesar Rp 4.400.000,00
(empat juta empat ratus ribu rupiah).
342. Bukti P-352 Journal Voucher No. 005/JV/XII/08 tertanggal 1
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Sewa Aparteman Istana
Harmoni Pegawai Asing sebesar Rp 6.000.000,00
(enam juta rupiah).
343 Bukti P-353 Journal Voucher No. 002/JV/XII/08 tertanggal 14
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Asuransi sebesar Rp
327.250,00 (tiga ratus dua puluh tujuh ribu dua
ratus lima puluh rupiah).
344 Bukti P-354 Cash Out Voucher No. BKK 080.958 tertanggal 16
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Perlengkapan kepada PT.
Heinz ABC Indonesia sejumlah Rp 300.800,00
(tiga ratus ribu delapan ratus rupiah).
345 Bukti P-355 Bank Out Voucher No. BBK 081.097 tertanggal 12
Desember 2008.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Pemohon telah
membayarkan Biaya Pembayaran Kartu Kredit
kepada BCA INI! sejumlah Rp 220.025.000,00
(dua ratus dua puluh juta dua puluh lima ribu
rupiah) dengan No. Cheque C W 5 4 8 5 6 5 .
346 Bukti Surat dari PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk. No.
P-356a 0 1 12/COF/11/09 tertanggal 28 Januari 2009 kepada
Mr. Jonathan Yuwono dari Friven & Co.
Surat tersebut menunjukan bahwa Termohon telah
mempunyai kebijakan yang berbeda dan tidak adil
terhadap Pemohon, sebab dalam surat tersebut.

755
Termohon bersedia memberikan ganti rugi kepada
Frivcn & Co, sesama te n a n t pada Termohon yang
mengalami peristiwa kebocoran pipa air yang
disebabkan oleh kelalaian dari Termohon.
Bahwa antara Pemohon dan Friven & Co.
Menandatangani Perjanjian Lease Agreement
dengan Termohon yang memiliki Klausul-klausul
yang sama mengenai terjadinya kecelakaan. Baik
kecelakaan akibat kebocoran pipa air yang dialami
oleh F'riven & Co. maupun kecelakaan yang
disebabkan oleh kebocoran pipa gas yang dialami
oleh Pemohon.
Bahwa akibat dari terjadinya kebocoran pipa air
tersebut, Frivcn & Co mengalami kerugian berupa
terpaksa ditutupnya toko selama beberapa waktu,
serta kerugian materiil berupa kerusakan barang-
barang yang didisplay pada toko Friven & Co.
Bahwa bukti ini menunjukan pula adanya iktikad
tidak baik dari Termohon yang memberikan
kebijakan penggantian ganti rugi kepada Friven &
Co, sedangkan terhadap kerugian yang dialami oleh
Pemohon, Termohon tidak memilki kebijakan yang
sama dan adil untuk mengganti pula kerugian yang
dialami oleh Pemohon. Bahwa dalam Bukti ini.
Termohon telah menyatakan untuk mengganti
kerugian yang dialami oleh Friven & Co. yang
berupa:
1. Pembebasan Biaya Sewa
2. Kompensasi kerugian, berupa :
- Biaya Konstruksi
- Biaya Persediaan Rusak
- Biaya Iklan
- Biaya Operasional dari pengeluaran lembur
Bahwa dengan demikian, telah jelas bagi kerugian
yang dialami oleh Pemohon seharusnya ditanggung
pula oleh Termohon, sebagaimana Termohon telah
mengggambil kebijakan yang demikian kepada
Friven & Co. Bahwa tentu saja, jenis-jenis kerugian
yang dimintakan kepada Termohon oleh Pemohon
akan berbeda dengan jenis-jenis kerugian yang
dimintakan oleh Friven & Co, sebab jenis usaha
yang berbeda diantara keduanya. Pemohon
memiliki bidang usaha yang berupa restaurant
sedangkan Friven & Co. memiliki bidang usaha
yang berupa toko furniture. Sehingga jenis ganti
kerugian yang dimintakan oleh Pemohon adalah
berupa:
- Kerugian yang berupa pengeluaran tetap ( f ix e d
c o s t) ______ _________________________________
- Kerugian Immateriil yang jelas-jelas telah
merusak nama baik PEMOHON, selaku
pemillik rumah makan Imperial Treasure yang
berkredibilitas baik.
347 Bukti P- Terjemahan surat dari PT. Plaza Indonesia Realty,
356b Tbk. No. 0 1 12/COF/II/09 tertanggal 28 Januari
2009 kepada Mr. Jonathan Yuwono dari Friven &
Co. yang telah diterjemahkan oleh Penerjemah
Tersumpah.
348 Bukti Surat dari PT. Plaza Indonesia Realty, Tbk. No.
P-357a 0172/COF/ 11/09 tertanggal 25 Februari 2009
kepada Mr. Jonathan Yuwono dari Friven & Co.
Surat tersebut menunjukkan bahwa Termohon telah
mempunyai kebijakan yang berbeda dan tidak adil
terhadap Pemohon, sebab dalam surat tersebut,
Termohon bersedia memberikan ganti rugi kepada
Friven & Co, sesama tenant pada Termohon yang
mengalami peristiwa kebocoran pipa air yang
disebabkan oleh kelalaian dari Termohon. Bahwa
antara Pemohon dan Friven & Co. Menandatangani
Perjanjian Lease Agreement yang memiliki
Klausul-klausul yang sama mengenai terjadinya
kecelakaan. Baik kecelakaan akibat kebocoran pipa
air yang dialami oleh Friven & Co. maupun
kecelakaan yang disebabkan oleh kebocoran pipa
gas yang dialami oleh Pemohon. Bahwa akibat dari
terjadinya kebocoran pipa air tersebut, Friven & Co
mengalami kerugian berupa terpaksa ditutupnya
toko selama beberapa waktu, serta kerugian
materiil berupa kerusakan barang-barang yang di-
display pada toko Friven & Co.
Bahwa bukti ini menunjukan pula adanya iktikad
tidak baik dari 'l'ermohon yang memberikan
kebijakan penggantian ganti rugi kepada Friven &
Co, sedangkan terhadap kerugian yang dialami oleh
Pemohon, Termohon tidak memilki kebijakan yang
sama dan adil untuk mengganti pula kerugian yang
dialami oleh Pemohon. Bahwa dalam Bukti ini.
Termohon telah menyatakan untuk mengganti
kerugian yang dialami oleh Friven & Co. yang
berupa:
1. Pembebasan Biaya Sewa { R e n t) selama periode
15 Januari sampai dengan 22 April 2009;
2. Pembebasan Biaya Service (S e r v i c e C h a r g e )
selama periode 15 Januari sampai dengan 22
Februari 2009:
3. Kompensasi kerugian sebesar Rp 108.816.292,00
(Seratus delapan juta delapan ratus enam belas
ribu dua ratus sembilan puluh dua rupiah).

757
Bahwa dengan demikian, telah jelas bagi kerugian
yang dialami oleh Pemohon seharusnya ditanggung

sebagaimana Termohon telah mengggambil


kebijakan vane demikian kepada Friven & Co.
349 Bukti Terjemahan surat dari PT. Plaza Indonesia Realty,
P-357b Tbk. No. 0172/COF/II/09 tertanggal 25 Februari
2009 kepada Mr. Jonathan Yuwono dari Friven &
Co. yang telah diterjemahkan oleh Penerjemah
Tersumpah.
350 Bukti Surat dari Istana Noodle House Kepada Ibu Mia
P-358a Egron (Plaza Indonesia), (PEMOHON kepada
TERMOHON). Surat ini menunjukan bahwa telah
terjadi beberapa pertemuan antar pihak
PEMOHON dan TERMOHON untuk membahas
peristiwa peladakan pipa gas yang terjadi pada
restaurant PEMOHON. Dalam pertemuan-
pertemuan tersebut, telah disepakati bahwa
penyebab terjadinya peledakan pipa gas tersebut
adalah karena kesalahan dari pihak kontraktor
(pihak ketiga) yang ditunjuk oleh TERMOHON.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1367 KIJI I Perdata :
“Seseorang tidak hanya bertanggung
jawab, atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga
atas kerugian yang disebabkan perbuatan
perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan barang-barang
yang berada di bawah pengawasannya.............
Majikan dan orang yang mengangkat orang
lain untuk mewakili urusan-urusan mereka,
.......... bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka
dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan
kepada orang-orang itu.”
(Cetak tebal dari PEMOHON)
Dengan diketahui bahwa yang melakukan kelalaian
adalah pihak kontraktor yang ditunjuk oleh
TERMOHON, secara hukum berdasar ketentuan
Pasal 1367 KUHPer TERMOHON bertanggung
jawab untuk mengganti segala kerugian yang
dilami oleh PEMOHON sehubungan dengan
kelalaian yang dibuat oleh pihak yang ditunjuk oleh
TERMOHON.
351 Bukti Terjemahan Surat dari Istana Noodle House
P-358b Kepada Kepada Ibu Mia Egron (Plaza Indonesia),
(PEMOHON kepada TERMOHON).
352 Bukti Surat dari Istana N oodle House Kepada Plaza
P-3 59a Indonesia, (PEMOHON kepada TERMOHON).
Perihal: Ganti Rugi Keuangan kepada PEMOHON.
Dalam surat ini, PEMOHON meminta kepada
TERMOHON untuk dapat segera menyelesaikan
pembayaran ganti rugi yang dialami oleh
PEMOHON, termasuk pula pembayaran iiang
muka kepada kontraktor yang akan merenovasi
restaurant PEMOHON, agar PEMOHON dapat
kembali beroperasi.
Bahwa bukti ini menunjukkan iktikad baik dari
PEMOHON untuk menegur secara baik-baik,
tindakan dari TERMOHON yang lambat merespon
keluhan dari PEMOHON, terlebih PEMOHON
bermaksud untuk segera membuka kembali
usahanya supaya kerugian yang dialami tidak
menjadi lebih besar, hal ini juga turut
menguntungkan bagi TERMOHON dalam
mengganti segala kerugian bisnis yang dialami oleh
PEMOHON.
353 Bukti Terjemahan Surat dari Istana N oodle House
P-359b Kepada Plaza Indonesia, (PEMOHON kepada
TERMOHON). Perihal: Ganti Rugi Keuangan
kepada PEMOHON.
354 Bukti Surat dari Istana Noodle House kepada Plaza
P-360a Indonesia (PEMOHON kepada TERMOHON)
tertanggal 24 Oktober 2008.
Dalam surat ini, PEMOHON mengajukan perincian
per-hitungan kerugian yang dialami oleh
PEMOHON.
355 Bukti Terjemahan Surat dari Istana Noodle House kepada
P-360b Plaza Indonesia (PEMOHON kepada
TERMOHON) tertanggal 24 Oktober 2008.
356 Bukti Surat dari Istana Noodle House kepada Plaza
P-36 la Indonesia (PEMOHON kepada TERMOHON)
tertanggal 18 November 2008. Perihal: Uang Muka
untuk kontraktor Imperial Treasure La Mian.
Bahwa dalam surat ini, PEMOHON kembali
meminta kepada TERMOHON untuk
membayarkan uang muka bagi kontraktor yang
merenovasi Restaurant PEMOHON.
357 Bukti Terjemahan Surat dari Istana Noodle House kepada
P-361 b Plaza Indonesia (PEMOHON kepada
TERMOHON) tertanggal 18 November 2008.
Perihal: Uang Muka untuk kontraktor Imperial
Treasure La Mian.
358 Bukti Surat dari Istana Noodle House kepada Plaza
P-3 62a Indonesia (PEMOHON kepada TERMOHON)

759
tertanggal 27 November 2008. Perihal: Laporan
Terinci Imperial Treasure La Mian. Bahwa dalam
surat ini, PEMOHON kembali menjelaskan kepada
TERMOHON kerugian-kerugian yang dialami oleh
PEMOHON.
359 Bukti Terjemahan Surat dari Istana Noodle House kepada
P-362b Plaza Indonesia (PEMOHON kepada TERMO­
HON) tertanggal 27 November 2008. Perihal:
Laporan Terinci Imperial Treasure La Mian.
360 Bukti Surat dari Istana Noodle House kepada Plaza
P-363a Indonesia (PEMOHON kepada TERMOHON)
tertanggal 17 Desember 2008 Perihal Penggantian
Kerugian usaha dan klarifikasi atas ketiadaan biaya
sewa, biaya jasa dan perlengakapan selama periode
renovasi.
Bahwa dalam surat ini, PEMOHON kembali
mengkonfirmasi kepada TERMOHON kerugian-
kerugian yang dialami oleh PEMOHON.
361 Bukti Terjemahan Surat dari Istana Noodle House kepada
P-363b Plaza Indonesia (PEMOHON kepada TERMO­
HON) Tertanggal 17 Desember 2008, Perihal
Penggantian Kerugian usaha dan klarifikasi atas
ketiadaan biaya sewa, biaya jasa dan perlengkapan
selama periode renovasi.
362 Bukti Surat dari TERMOHON kepada PEMOHON,
P-364a No. 033/PIR/TCR/IX/2008. tertanggal 25 September
2008. Perihal: Nilai Pertanggungan.
Bahwa surat ini menunjukkan adanya
PENGAKUAN dari TERMOHON, tentang
kecelakaan pada tanggal 19 September 2008. yang
terjadi pada restaurant PEMOHON adalah
kecerobohan kontraktor yang kami tunjuk selama
pekerjaan pemeliharaan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata:


“Seseorang tidak hanya bertanggung
jawab, atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan perbuatan
perbuatan orang-orang yang m enjadi
tanggungannya atau disebabkan barang-
barang yang berada di bawah
pen gaw asan n ya ....... Majikan dan
orang yang mengangkat orang lain
untuk mewakili urusan-urusan mereka,
... bertanggung jaw ab atas kerugian
yang disebabkan oleh pelayan atau
bawahan m ereka dalam melakukan
pekerjaan yan g ditugaskan kepada
orang-orang itu .”
(Cetaktebaldari PEMOHON)
Dengan diketahui bahwa yang melakukan kelalaian
adalah pihak kontraktor yang ditunjuk oleh
TERMOHON, secara hukum berdasar ketentuan
Pasal 1367 KUHPer TERMOHON bertanggung
jawab untuk mengganti segala kerugian yang
dilami oleh PEMOHON sehubungan dengan
kelalaian yang dibuat oleh pihak yang ditunjuk oleh
TERMOHON.
363 Bukti Terjemahan Surat dari TERMOHON kepada
P-364b PEMOHON, No. 033/PIR/TCR/IX/2008. tertang­
gal 25 September 2008. Perihal: Nilai Pertang­
gungan
364 Bukti Surat dari TERMOHON kepada PEMOHON, No.
P-365a 915/COI-7 X/08 tertanggal 24 Oktober 2008.
Perihal: Ganti Rugi Keuangan untuk TERMOHON
atas kejadian tanggal 19 September 2008.
365 Bukti Terjemahan Surat dari TERMOHON kepada
P-365b PEMOHON, No. 915/COF/X/08 tertanggal 24
Oktober 2008. Perihal: Ganti Rugi Keuangan untuk
TERMOHON atas kejadian tanggal 19 September
2008.
366 Bukti Faks tertanggal 2 Desember 2008. kepada PT.
P-366a Asuransi Permata Nipponkoa Indonesia Perihal:
Pengiriman uang muka bagi kontraktor di lokasi
renovasi PEMOHON tanggal kerugian 19
September 2008.
367 Bukti Terjemahan Faks tertanggal 2 Desember 2008.
P-366b kepada PT. Asuransi Permata Nipponkoa Indonesia
Perihal: Pengiriman uang muka bagi kontraktor di
lokasi renovasi PEMOHON tanggal kerugian 19
September 2008.
368 Bukti Surat dari TERMOHON kepada PEMOHON, No.
P-367a L001-HH/ BOD/1/2009 tertanggal 6 Januari 2009
Perihal: Penggantian Kerugian Usaha dan
Klarifikasi mengenai ketiadaan uang sewa, biaya
jasa dan perlengkapan selama periode renovasi.
369 Bukti Terjemahan Surat dari TERMOHON kepada
P-367b PEMOHON, No. L 001-HH/BOD/I/2009 tertanggal
6 Januari 2009 Perihal: Penggantian Kerugian
Usaha dan Klarifikasi mengenai ketiadaan uang
sewa, biaya jasa dan perlengkapan selama periode
renovasi.

761
370 Bukti P-368 Surat TERMOHON kepada PEMOHON No. Ref:
024/PIR-PNR/TCR/1X/08, tertanggal 22 Septem­
ber 2008., Perihal: Surat Pemberitahuan
Bahwa surat ini adalah bentuk suatu pernyataan
resmi dari TERMOHON tentang adanya kejadian
peledakan meteran pipa gas oleh Kontraktor
TERMOHON. Bahwa dengan adanya pernyataan
ini, membuktikan TERMOHON mengakui
penyebab meledaknya pipa gas pada restaurant
PEMOHON adalah disebabkan oleh kelalaian
kontraktor TERMOHON.
371 Bukti P-369 Surat TERMOHON kepada PEMOHON No.
0133/COF/II/09 tertanggal 10 Februari 2009
Perihal: tanggapan Klaim Kerugian Imperial
'I'reasure La Mian XLB.
372 Bukti P-370 Surat TERMOHON kepada PEMOHON No.
026/PIRATCR/ XI/08 Perihal: Kronologis Incident
tanggal 19 September 2008.
Bahwa surat ini adalah bentuk suatu pernyataan
resmi dari TERMOHON tentang adanya kejadian
peladakan meteran pipa gas oleh Kontraktor
TERMOHON. Bahwa dengan adanya pernyataan
ini, membuktikan TERMOHON mengakui
penyebab meledaknya pipa gas pada restaurant
PEMOHON adalah disebabkan oleh kelalaian
kontraktor TERMOHON.
378 Bukti Surat PEMOHON kepada TERMOHON, mengenai
P-371a klarifikasi ganti rugi keuangan yang harus
dibayarkan oleh TERMOHON kepada
PEMOHON. Bukti ini membuktikan bahwa
PEMOHON telah menginformasikan kepada
TERMOHON mengenai kerugian yang diderita
oleh PEMOHON akibat terjadinya ledakan pipa
gas pada lahan PEMOHON.
379 Bukti Terjemahan Surat PEMOHON kepada
P-371b TERMOHON, mengenai klarifikasi ganti rugi
keuangan yang harus dibayarkan oleh
TERMOHON kepada PEMOHON.
Bukti ini membuktikan bahwa PEMOHON
telah menginformasikan kepada TERMOHON
mengenai kerugian yang diderita oleh PEMOHON
akibat terjadinya ledakan pipa gas pada lahan
PEMOHON.
380 Bukti P-372 Polis Asuransi yang dimiliki oleh PEMOHON
dengan N o. DFPAJK0101103907.
381 Bukti P-373 Daftar Nilai Klaim Yang diajukan PEMOHON
kepada TERMOHON terkait dengan penilaian dari
Adjuster.
382 Bukti Final Report dari PT. Japanensi Nusantara-TopliS
P-374a & Harding International Adjuster & Surveyors
terhadap Klaim yang diajukan oleh PEMOHON
menyangkut peristiwa peledakan pipa gas.
383 Bukti Terjemahan Final Report dari PT. Japanensi
P-374b Nusantara-Toplis & Harding International Adjuster
& Surveyors terhadap Klaim yang diajukan oleh
PEMOHON menyangkut peristiwa peledakan pipa
M l ____________________________________________
Demikianlah Akta Bukti Tambahan ini kami sampaikan.
Atas perhatian Majelis Arbitrase yang memeriksa perkara ini,
diucapkan terima kasih.
Hormat kami,
O ITO CORNELIS KALIGIS & ASSOCIA TES
ttd.
PROF. DR. (Jur) O.C. Kaligis

J. AKTA BUKTI DARI TERMOHON


Kepada Yth,
BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA
Wahana Graha Lantai 2
Jl. Mampang Prapatan No. 2
Jakarta, 12760

Perihal : Akta Bukti

Dengan hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini, DR. Maqdir Ismail, S.H.,
L.L.M., DR. S.F. Marbun, S.H., M.Hum., Libertino Nainggolan,
S.H., Andi Abdurrahman Nawawi, S.II., dan Masayu Donny
Kertopati, S.H. Advokat dan Pengacara pada kantor konsultan
hukum Maqdir Ismail & Partners, beralamat di Jl. Bandung No. 4,
Menteng, Jakarta 10310, dalam hal ini berdasarkan surat kuasa
khusus tertanggal 16 Maret 2009, bertindak untuk dan atas nama
PT. Plaza Indonesia Realty (untuk selanjutnya disebut sebagai
TERMOHON) dengan ini mengajukan jawaban dalam perkara No.
296/II/ARB-BANI/2009 Badan Arbitrase Nasional Indonesia

763
(BANI) atas gugatan Wanprestasii yang diajukan oleh PT. Istana
Noodle House melalui kuasa hukumnya Otto Cornells Kaligis &
Associates (untuk selanjutnya disebut PEMOHON).
Bahwa TERMOHON dengan ini mengajukan Akta Bukti
sebagai berikut:
No. BUKTI PERIHAL
1. Bukti T-1A Akta Perjanjian Pengikatan Sewa Menyewa Nomor LAR-
1241/25/07/07/L1113 antara PEMOHON dan TERMOI ION
(Perjanjian Pengikatan) (dan terjemahannya).

2. Bukti T -1B Lease Condition (Ketentuan Sewa Menyewa) (dan ter­


jemahannya).
3. Bukti T-2 Surat Nomor 013/LGL-PIR/II/2009 tertanggal 10 Februari
2009 mengenai PT. Istana Noodle House (Imperial Treasure
Restaurant).
4. Bukti T-3 Surat tanpa nomor tertanggal 21 November 2008 mengenai
Uang Muka untuk kontraktor Renovasi ruang di Imperial
Treasure yang ditujukan kepada Ibu Amalia Lesmana dari
PT. Asuransi Permata Nipponkoa Indonesia dengan lampiran
surat tanpa nomor tanggal 18 November 2008 mengenai
Uang Muka untuk Kontraktor Renovasi di Ruang Imperial
Treasure yang ditujukan kepada Bapak Hendra Hartono dari
PT. Plaza Indonesia Realty.

5. Bukti T-4 Surat Nomor 415/LGL/PISC/XII/2008 bertanggal 19 Desem­


ber 2008 mengenai tanggung jawab Lessor yang ditujukan
kepada PT. ACE INA Insurance dengan lampiran surat tanpa
nomor bertanggal 17 Desember yang ditujukan kepada Bpk.
Hendra Hartono dan surat tanpa nomor tertanggal 2
Desember 2008 yang ditujukan kepada PT. Istana Noodle
House.
6. Bukti T-5 Surat Nomor L001-HH/BOD/I/2009 bertanggal 6 Januari
2009 mengenai Kompensasi kerugian dan klarifikasi
pembesasan sewa tagihan servis dan Utilities selama masa
renovasi.
7. Bukti T-6 Surat Nomor 0133/COF/II/09 bertanggal 10 Februari 2009
mengenai tanggapan klaim kerugian Imperial Treasure La
Mian XLB.
8. Bukti T-7 Property/Industrial All Risks Policy yang dikeluarkan oleh
PT. Asuransi Permata Nipponkoa Indonesia dengan nomor
polis DEPAJK0101103907 atas nama PT. Istana Noodle
House yang berakhir pada tanggal 2 Oktober 2008.

764
9. Bukti T-8 Final Report Property All Risks (Explosion) Claim yang
dikeluarkan oleh PT. Japanensi Nusantara Toplis & Harding
bertanggal 16 Februari 2009 bernomor 2008.09022-WW/wr.

10. Bukti T-9 Foto tampak depan dan foto tampak samping dari restaurant
Imperial Treasure La Mian Xiao Long Bao yang diambil pada
tanggal 18 Juni 2009.

Demikian Kami sampaikan.

Hormat kami,
Maqdir Ismail & Partners
ttd.
Dr. Maqdir Ismail, SH., LL.M.
ttd.
Dr. SF. Marbun, SH., M.Hum.
ttd.
Libcrtino Nainggolang, SH.
ttd.
Andi Abdurrahman Nawawi, SH.
ttd.
Masayu Donny Kertopati, SII.

K. PUTUSAN

BANI
BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA
(BANI ARBITRATION CENTER)
HOME PAGE : www.bani-arb.ora. E-mail : bani-arb@indo.net.id
Wahana Graha Lt.2, Jl. Mampang Prapatan No. 2, Jakarta 12760,
Indonesia, Telp. (62-21) 7940542, Fax. 7940543

765
PUTUSAN
atas
Perkara No. : 296/II/ARB-BANI/2009

DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Majelis Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)


yang dibentuk dengan Surat Keputusan Dewan Pengurus BANI
No. : 09.032/IV/SK-BANI/IIS tanggal 6 April 2009 yang
memeriksa dan memutus perkara dalam tingkat pertama dan
terakhir dengan ini menjatuhkan Putusan dalam perkara antara :
PT. ISTANA NOODLE HOUSE, berkedudukan di Jalan
Gatot Subroto Kav. 99 Lantai 3, Tegal Parang, Mampang,
Jakarta Selatan 12790, dalam hal ini diwakili oleh Prof. Dr.
(Jur) O.C. Kaligis, SI L, M.H., T.IL Ratna Dewi, SI L, M.Kn.,
dan Dea Tunggaesti, SH., M.M., para advokat dan Konsultan
Hukum pada Kantor Advokat O.C. Kaligis & Associates,
beralamat di Jl. Majapahit No. 18-20, Kompleks Majapahit
Permai Blok B. 122-123, Jakarta Pusat, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus No. 099/SK. 11/2009 tertanggal 29 Januari 2009,
selanjutnya disebut sebagai................... PEMOHON;
PT. PLAZA INDONESIA REALTY, Tbk., berkedudukan di
Jalan Thamrin Kav. 28-30, Jakarta 10350, dalam hal ini
diwakili oleh Dr. Maqdir Ismail, SH., LLM., Dr. S.E. Marbun,
SH., M.Hum., Andi Abdurrahman Nawawi, SII. dan Masayu
Donny Kertopati, SH., Para Advokat dan Konsultan Hukum
dari Kantor Maqdir Ismail & Partners Law Firm, beralamat di
Jalan Bandung No. 4 Menteng, Jakarta 10310, berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tanggal 16 Maret 2009, selanjutnya
disebut sebagai TERMOHON;
Majelis Arbiter pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) tersebut;
Telah membaca surat Permohonan Arbitrase dari Pemohon
No. 338/OCK.II/2009 tanggal 17 Februari 2009;

766
Telah membaca Pasal 21 ayat 2 Perjanjian Sewa Menyewa
No. LAR-1241/25/07/07/L1113 tertanggal 25 Juli 2007 yang
dibuat dan diadakan oleh dan antara Pemohon dan Termohon
(Bukti P-la dan T.la) yang berbunyi:
Setiap ketidaksepakatan atau perselisihan yang tidak dapat
diselesaikan secara baik-baik oleh dan antara para pihak, akan
kecuali jika ditentukan lain dalam Kontrak Sewa ini, diserahkan
kepada Dewan Arbitrasi yang dibentuk berdasarkan peraturan
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Telah membaca surat dari Kantor Ilukum O.C. Kaligis &
Associates selaku Kuasa Hukum PT. Istana Noodle House sebagai
Pemohon No. 340/OCK.II/2009 tanggal 18 Februari 2009 tentang
penunjukan Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, sebagai Arbiter;
Telah membaca surat dari Kantor Konsultan Hukum Maqdir
Ismail & Partners selaku Kuasa Hukum PT. Plaza Indonesia, Tbk.
sebagai Termohon No. 039/MIP/AN/III/2009 tanggal 25 Maret
2009 tentang penunjukan Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SII.,
sebagai Arbiter;
Telah membaca Surat Keputusan Dewan Pengurus BANI No.
09.032/IV/SK-BANI/HS tanggal 6 April 2009 tentang Pengang­
katan Majelis Arbiter yang terdiri dari M. Ilusseyn Umar, SII.,
Ph.D., FCBArb. Sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. Priyatna
Abdurrasyid, SH., Ph.D., FCBArb., dan Prof.Dr. Sutan Remy
Sjahdeini, SH., masing-masing sebagai Anggota Majelis Arbirase
untuk memeriksa dan memutus dalam tingkat pertama dan terakhir
Perkara No.: 296/1 l/ARB-BANI/2009;
Telah membaca Surat Jawaban dari Termohon tertanggal
16 April 2009;
Telah mendengar kedua belah pihak dalam persidangan;
Telah membaca surat-surat dalam perkara ini;
Telah mengupayakan agar kedua belah pihak menempuh
upaya perdamaian, tetapi tidak berhasil;

TENTANG DUDUKNYA PERKARA


Menimbang bahwa Pemohon dalam surat Permohonan
Arbitrase dari Pemohon No. 338/OCK.II/2009 tanggal 17 Februari
2009 yang telah didaftarkan di Sekretariat BANI pada tanggal 18

767
Februari 2009 di bawah No. : 296/II/ARB-BANI/2009 telah
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa antara PEMOHON dan TERMOHON telah
ditandatangani Perjanjian Sewa No. EAR-1241/25/07/07/
LI 113 tertanggal 25 Juli 2007 (Perjanjian) (Bukti P-l). Bahwa
dalam Perjanjian tersebut PEMOHON bertindak sebagai
Penyewa lahan dan TERMOHON adalah sebagai Pemberi
Sewa. Adapun penggunaan lahan sewa sebagaimana
dimaksud, PEMOHON peruntukan sebagai rumah makan
dengan merek dagang Imperial Treasure.
2. Bahwa pada tanggal 23 Juli 2008, PEMOHON menerima surat
NO.L048/BM-PISC/VII/2008. dari TERMOHON yang pada
intinya TERMOHON meminta izin kepada PEMOHON untuk
memasuki lahan sewa yang ditempati oleh PEMOHON pada
hari Kamis, 24 Juli 2008, untuk melakukan pekerjaan
penggantian Water Meter & Gas Meter dari yang semula
bersistem analog menjadi sistem digital, yang mana hal ini
dilakukan oleh pihak kontraktor TERMOHON, yaitu: PT. Jaga
Citra Inti. (Bukti P-2).
3. Bahwa dalam menanggapi surat tersebut, pihak PEMOHON,
memberikan izin untuk dilakukannya penggantian Water
Meter & Gas Meter tersebut pada hari Jumat, 25 Juli 2008,
akan tetapi TERMOHON tidak melakukan pekerjaan tersebut
tanpa adanya pemberitahuan kepada PEMOHON, serta tidak
pula memberitahukan kapan waktu akan dilaksanakannya
pekerjaan tersebut.
4. Bahwa faktanya, penggantian Water Meter & Gas Meter, baru
dilaksanakan oleh pihak TERMOHON melalui pihak
kontraktor TERMOHON, yaitu: PT. Jaga Citra Inti pada hari
Jumat, 19 September 2008, tanpa adanya permintaan tertulis
dari pihak TERMOHON.
5. Bahwa sesuai dengan Perjanjian Pasal 7 ayat 2 :
Penyewa harus memperbolehkan Pemberi Sewa dan para
teknisi, mekanik, pekerja dan karyawan atau agen lain dari
Pemberi Sewa untuk memasuki tempat-tempat sewaan setiap
saat untuk memeriksa, memelihara, memperbaiki, memasang,
mencabut, memodifikasi atau mengganti semua peralatan
Air-conditioner, Elevator (jika sesuai), alat penyiram atau
instalasi-instalasi alarm kebakaran, pipa, saluran air, pipa

768
kabel listrik, kabel atau setiap properti lain Pemberi Sewa
yang dipasang didalam atau melewati atau berdekatan
dengan tempat-tempat sewaan, dengan ketentuan bahwa di
dalam dan di sekitar pekerjaan tersebut Pemberi Sewa tidak
boleh menyebabkan gangguan lebihjauh terhadap penggunaan
Penyewa atas Tempat-tempat sewaan dari pada yang menurut
pendapat Pemberi Sewa sewajarnya diperiukan. . .
(Cetak tebal dari PEMOHON)
Bahwa PEMOHON telah menunjukkan iktikad baiknya untuk
mematuhi Perjanjian, dengan telah memperbolehkan pihak
TERMOHON yang melakukan penggantian Water Meter &
Gas Meter pada hari Jumat, 19 September 2008, tanpa adanya
permintaan ulang tertulis dari pihak TERMOHON.

TERGUGAT TELAH MELAKUKAN PERBUATAN


MELAWAN HUKUM
1. Bahwa pada pukul 22.00 WIB tanggal 19 September 2008,
pihak yang ditunjuk oleh TERMOHON untuk mengganti pipa
gas datang ke lokasi yang disewa oleh PEMOHON dan
bermaksud untuk mengganti pipa gas dari sistem analog ke
sistem digital. Namun, pekerjaan penggantian pipa gas
tersebut telah menyebabkan ledakan yang mengakibatkan
kerusakan parah atas lahan yang disewa oleh PEMOHON.
Terjadinya ledakan yang menimbulkan kerusakan bagi
PEMOHON terjadi disebabkan kelalaian dari pihak
TERMOHON. Bahwa terdapat bukti yang berupa foto-foto
yang meng-gambarkan dengan jelas kerusakan parah yang
terjadi pada rumah makan milik PEMOHON telah diakibatkan
oleh kelalaian TERMOHON. (Bukti P-3).
2. Bahwa karena adanya kerusakan pada rumah makan tersebut,
rumah makan milik PEMOHON terpaksa berhenti beroperasi
selama 88 (delapan puluh delapan) hari terhitung sejak tanggal
19 September 2008 sampai dengan 15 Desember 2008,
disebabkan harus menjalani proses renovasi. Bahwa oleh
karena adanya proses renovasi tersebut, PEMOHON tidak
dapat menjalankan usahanya dan hal tersebut mengakibatkan
timbulnya kerugian yang besar yang harus ditanggung oleh
PEMOHON sebagai pemilik rumah makan tersebut.

769
3. Bahwa seluruh kerugian yang dialami oleh PEMOHON
disebabkan perbuatan TERMOHON yang telah melakukan
suatu kelalaian dalam proses penggantian pipa gas.
Berdasarkan Pasal 1369 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dijelaskan bahwa:
Pemilik sebuah gedung bertanggung jawab atas kerugian
yang disebabkan oleh ambruknya gedung itu seluruhnya atau
sebagian, jika itu terjadi karena kelalaian dalam
pemeliharaan atau karena kekurangan dalam pembangunan
ataupun dalam penataannya. (Cetak tebal dari PEMOHON)
4. Bahwa selain hal tersebut di atas, berdasarkan ketentuan Pasal
1366 KUH Perdata:
Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian
yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga alas
kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesemhronoannya.
(Cetak tebal dari PEMOHON)
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, TERMOHON harus
bertanggung jawab atas kelalaiannya dalam proses peng­
gantian pipa gas yang menyebabkan terjadinya ledakan di
tempat yang disewa oleh PEMOHON.
5. Bahwa menurut pendapat Rutten, 1979, perbuatan melalaikan
sesuatu adalah suatu Perbuatan Melawan Hukum. Dengan
demikian, kelalaian yang dilakukan oleh TERMOHON dapat
dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum, sehingga
TERMOHON dapat dimintakan pertanggungjawabannya
terhadap Perbuatan Melawan Hukum yang telah diiakukan
oleh TERMOHON yang menimbulkan kerugian bagi
PEMOHON. (Lihat: M.A. Moegni Djojodirojo, SIL,
Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979,
him. 42-43).
6. Bahwa hukum Indonesia mengatur Perbuatan Melawan
Hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata :
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Bahwa sesuai ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata
tersebut di atas, suatu perbuatan melawan hukum haruslah
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1) Adanya suatu perbuatan.
2) Perbuatan tersebut dari pihak pelaku.
3) Adanya kesalahan dari pihak pelaku.
4) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan
kerugian.
Bahwa adanya suatu perbuatan yang diiakukan oleh
TERMOHON tercermin dalam tindakan TERMOHON untuk
mengganti saluran pipa gas yang terjadi pada tanggal 19
September 2008. Bahwa selanjutnya terdapat kesalahan
dalam penggantian pipa gas sehingga mengakibatkan
meledaknya pipa gas tersebut dan mengakibatkan kerugian
bagi PEMOHON. Dengan demikian, telah jelas bahwa
TERMOHON' telah melakukan suatu Perbuatan Melawan
Hukum sehingga wajib untuk mengganti segala kerugian
PEMOHON.
7. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata :
Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian
yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang
menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang
berada di bawah pengawasannya ... Majikan dan orang yang
mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan
mereka, ... bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan
oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan
pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu.
(Cetak tebal dari PEMOHON)
Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Putusan Hoge Raad tanggal
23 November 1917 dalam pertimbangannya, sebagai berikut:
Kenyataan bahwa seseorang membangun gedung tidak dengan
tenaganya sendiri, melainkan memborongkan pekerjaan
tersebut, tidaklah dapat membebaskannya dari segala
pertanggungjawaban sekalipun si pemborong bukanlah
bawahannya dalam arti Pasal 1367KUII Perdata.
Dengan demikian, walaupun pekerjaan penggantian pipa
gas tidak dilakukan sendiri oleh pihak TERMOHONJ tetapi
dilakukan oleh pihak kontraktor TERMOHON (PT. Jaga
Citra Inti), TERMOHON tetap wajib untuk mempertanggung­
jawabkan segala kerugian PEMOHON atas kelalaian dalam

771
penggantian pipa gas yang menyebabkan ledakan yang
merusak rumah makan milik PEMOHON.
Bahwa dalam surat TERMOHON No. L048/BM-PISC/VII/
2008 tertanggal 23 Juli 2008 (Vide Bukti-2), TERMOHON
sendiri telah mengakui bahwa PT. Jaga Citra Inti adalah
Kontraktor yang ditunjuk oleh TERMOHON. Pengakuan itu
PEMOHON kutip sebagai berikut:
Demi kelancaran pekerjaan oleh Kontraktor kami (PT. Jaga
Citra Inti), kami harap pihak Bapak menyiapkan 1 (satu) orang
petugas jaga untuk mendampingi selama pekerjaan tersebut
berlangsung.
8. Bahwa PEMOHON melalui kuasa hukumnya O.C. Kaligis &
Associates, telah mengirimkan surat No. 171/OCK. 1/2009
Perihal : Mohon Perhatian atas Penyelesaian Permasalahan
yang dihadapi oleh Klien kami kepada TERMOHON, yang
pada intinya meminta kepada TERMOHON untuk
bertanggung jawab dan mengganti kerugian bisnis
PEMOHON. (Bukti P-4)
9. Bahwa TERMOHON telah menanggapi surat PEMOHON
tersebut dengan surat No. 013/LGL-PIR/II/2009 hal : PT.
Istana Noodle House (Imperial Treasure Rumah makan) yang
pada intinya menyatakan TERMOHON menolak untuk
membayar kepada PEMOHON kerugian yang diderita oleh
PEMOHON. (Bukti P-5)

TERMOHON WAJIB MEMBAYAR KEPADA PEMOHON


KERUGIAN YANG DIDERITA OLEII PEMOHON
1. Bahwa menurut ketentuan dalam Pasal 1246 KUPer :
“Biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur,
terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan
yang sedianya dapat diperolehnya, tanpa mengurangi
pengecualian dan perubahan yang disebut di bawah ini.”,
(Cetak tebal dari PEMOHON)
Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, para pelaku perbuatan
melawan hukum tidak hanya mengganti kerugian yang diderita
PEMOHON karena adanya kesalahan dari TERMOHON,
tetapi juga harus mengganti winstderving (keuntungan yang
dapat diharapkan diterima).

772
Pelaku dalam hal kerusakan terjadi secara melawan
hukum, wajib mengganti tidak hanya biaya reparasi,
melainkan juga sejumlah uang sebesar penghasilan yang tidak
dapat diterima karena adanya kerusakan tersebut. (Lihat :
M.A. Moegni Djojodirojo, SU., Perbuatan Melawan Hukum,
Pradnya Paramita, Jakarta, 1979, him. 77).
2. Bahwa berdasarkan uraian di atas, karena adanya kelalaian
dari TERMOHON dalam melakukan penggantian saluran pipa
gas, perbuatan TERMOHON tersebut dapat dikategorikan
sebagai suatu Perbuataan Melawan Hukum.
3. Bahwa sebagai akibat Perbuataan Melawan Hukum yang
dilakukan oleh TERMOHON, PEMOHON telah mengalami
kerugian baik materiil maupun immateriil sebagai berikut :
Kerugian Materiil:
1) Berupa kerugian atas segala pengeluaran tetap {fixed cost)
yang tetap harus dikeluarkan oleh PEMOHON, selama
tutupnya rumah makan Imperial Treasure milik
PEMOHON sebagai berikut:
(dalam rupiah)
Periode 19 September 2008 sampai dengan 30 September 2008.

Biaya Gaji Pegawai Lokal Rumah Makan (*>33.646.449


Biaya Tunjangan Kesejahteraan 76.978.332
Biaya Tunjangan Pesangon 2.558.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 148.382.721
Biaya Pembayaran Cuti Pegawai Asing 7.960.902
Biaya Tunjangan Hari Libur Pegawai Asing 4.975.564
Biaya Tunjangan Pesangon Pegawai Asing 14.926.692
Biaya Pembayaran Kartu Kredit 13.965.155
Biaya Pemanas, Lampu, Air 28.359.800
Biaya Listrik dan PAM 67.275.265
Biaya Alat Tulis 488.900
Biaya Cetak 44.500
Biaya Parkir dan 'Tol 66.000
Biaya Makan Pegawai 1L910.900
Biaya Operasional Lainnya 90.000
Biaya Hiburan 70.900.356

773
Biaya Dapur 145.500
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 317.340
Biaya Laundry 117.000
Biaya Perlengkapan 3.780.000
Biaya Renovasi Interior 5.405.772
Biaya Tiket Pegawai Asing 1.427.250
Biaya Gudang 500.000
Biaya Bensin 400.000
Biaya Onderdil Mobil 280.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Restauran (*)3.337.351
Biaya Gaji Pegawai Lokal Kantor (*)23.326.487
Biaya Tunjangan Kesejahteraan Pegawai Lokal 34.502.407
Biaya Listrik dan PAM 7.143.296
Biaya Telepon, Telex, Faximile 200.000
Biaya Alat Tulis 62.817
Biaya Koran dan Majalah 90.000
Biaya Parkir dan Tol 314.500
Biaya Makan Pegawai 278.000
Biaya Operasional Lainnya 154.000
Biava Pemeliharaan Gudang 80.000
Biaya Sosial 20.000
Biaya Sewa Gedung (*)4.886.129
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 1.379.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 314.750
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor (*)387.343
Biaya Depresiasi Kendaraan Pegawai (*)2.350.806
Biaya Lain-lain 573
Biaya Provisi dan Administrasi 533.000
Biaya Sewa Rumah Makan 135.636.435
Biaya Sewa Apartemen 6.154.839
TOTAL 716.054.131

(Bukti P-6)
(*) Bahwa biaya-biaya gaji tersebut di atas termasuk pula
biaya o v e r tim e , pembayaran cuti biaya tunjangan hari
libur dan biaya tunjangan kesehatan yang telah Kami
bagi secara prorata, sehingga angka di atas adalah
biaya bulan September sejak rumah makan terpaksa
ditutup (12 hari).
(*) Bahwa biaya sewa gedung tersebut di atas telah Kami
bagi secara prorata, sehingga angka di atas adalah
biaya bulan September sejak rumah makan terpaksa
ditutup (12 hari).
(*) Bahwa biaya depresiasi tersebut di atas telah kami
bagi secara prorata, sehingga angka di atas adalah
biaya bulan September sejak rumah makan terpaksa
ditutup.
Periode 1 Oktober 2008. sampai dengan 31 Oktober 2008

Biaya Gaji 78.586.000


Biaya Overtime 3.295.462
Biaya Tunjangan Hari Libur 79.306
Biaya Tunjangan Kesehatan 100.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 132.563.920
Biaya Pembayaran Cuti Pegawai Asing 7.087.480
Biaya Tunjangan Hari Libur Pegawai Asing 347.360
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 550.786
Biaya Kesejahteraan Pegawai Asing 28.876.600
Biaya Tunjangan Pesangon Pegawai Asing 31.863.600
Biaya Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.502.261
Biaya Telepon, Telex, Faximilc 2.643.893
Biaya Alat Tulis 15.900
Biaya Cetak 600.000
Biaya Parkir dan Tol 373.000
Biaya Makan Pegawai 1.801.469
Biaya Operasional Lainnya 49.600
Biaya Service Charge Plaza Indonesia 110.000
Biaya Laundry 178.000
Biaya Perlengkapan 5.020.649
Biaya Renovasi Interior 13.964.912
Biaya Onderdil Ac, Kulkas 4.750.000
Biaya Jasa Profesional Lainnya 46.840.909

775
Biaya I'iket Pegawai Asing 23.456.075
Biaya Dokumen Pegawai Asing 12.705.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Asing 1.720.000
Biaya Asuransi Pegawai Asing 351.334
Biaya Depresiasi Perlengkapan Restauran 8.669.158
Biaya Gaji Pegawai Lokal 50.269.513
Biaya Overtime Pegawai Lokal 1.958.584
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Lokal 1.914.324
Biaya Asuransi Pegawai Lokal 676.532
Biaya Listrik dan PAM 3.387.092
Biaya Telepon, Telex, Faximile 1.484.344
Biaya Alat Tulis 76.583
Biaya Pengiriman 39.500
Biaya Parkir dan Tol 785.000
Biaya Makan Pegawai 120.718
Biaya Operasional Lainnya 960.000
Biaya Pemanas, Air, dan Jasa Gudang 10.363.765
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 129.810
Biaya Pemeliharaan Gudang 903.465
Biaya Sosial 152.000
Biaya Sewa Gedung 12.622.500
Biaya Sewa Apartemen Pegawai Asing 14.900.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 3.357.000
Biaya Onderdil Kendaraan Pegawai Lokal 575.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 642.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor 1.084.803
Biaya Depresiasi Kendaraan 3.135.417
Biaya Lain-lain 163
Biaya Provisi dan Administrasi 923.000

TOTAL 522.858.870
(Bukti P-7)

Periode 1 November 2008 sampai dengan 30 November 2008

Biaya Gaji 78.266.000


Biaya Overtime 3.393.670
Biaya Tunjangan Kesehatan 195.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 121.447.913
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 176.388
Biaya Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.171.561
Biaya Telepon, Telex, Faximile 940.160
Biaya Cetak 6.867.525
Biaya Pengiriman 13.500
Biaya Parkir dan Tol 304.500
Biaya Makan Pegawai 3,057.800
Biaya Dapur 1.673.340
Biaya Perlengkapan 2.184.849
Biaya Renovasi Interior 13.964.912
Biaya Onderdil Ac, Kulkas 1.850.000
Biaya Dokumen 200.000
Biaya Tiket Pegawai Asing 21.988.735
Biaya Dokumen Pegawai Asing 21.005.000
Biaya Gudang 500.000
Biaya Bahan Bakar 1.150.000
Biaya Asuransi 597.667
Biaya STNK 1.838.300
Biaya Depresiasi Perlengkapan Restauran 8.569.158
Biaya Gaji Pegawai Lokal 49.799.112
Biaya Overtime Lokal 2.743.150
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Lokal 2.081.766
Biaya Asuransi Pegawai 676.532
Biaya Listrik dan PAM 3.408.804
Biaya Telepon. Telex, Faximile 1.784.346
Biaya Alat Tulis 90.933
Biaya Koran Dan Majalah 74.500
Biaya Parkir dan Tol 770.500
Biaya Makan Pegawai 135.000
Biaya Operasional Lainnya 647.000
Biaya Pemanas, Air, Servis Gudang 7.833.980
Biaya Gudang 335.775
Biaya Perlengkapan Kantor 350.000
Biaya Sosial 150.000

in
Biaya Sewa Gedung 12.622.500
Biaya Sewa Istana Harmoni 14.900.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 3.363.000
Biaya Onderdil Kendaraan Pegawai Lokal 15.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 642.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor 1.084.803
Biaya Depresiasi Kendaraan Pegawai 3.135.417
Biaya Lain-lain 47
Biaya Provisi dan Administrasi 849.250

TOTAL 403.144.476

(Bukti P-8)
Periode 1 Desember 2008 sampai dengan 19 Desember 2008

Biava Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 227.500


Biava Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.171.541
Biava Telepon, Telex, Faximile 880.160
Biaya Alat Tulis 426.500
Biaya Cetak 2.100.000
Biaya Parkir dan Tol 377.500
Biaya Makan Pegawai 5.901.247
Biaya Operasional Lainnya 160.000
Biaya Dapur 7.564.485
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 907.090
Biaya Perlengkapan Kantor 5.542.849
Biaya Dokumen Pegawai Asing 16.005.000
Biaya Gudang 500.000
Biaya Pajak Perforasi 60.000
Biaya Bahan Bakar 1.870.000
Biaya Asuransi 597.667
Biaya Seragam 1.171.800
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai 676.532
Biaya Telepon, Telex, Faximile 1.181.483
Biaya Cetak 10.000
Biaya Koran Dan Majalah 90.000
Biaya Pengiriman 183.500
Biaya Parkir dan Tol 557.000
Biaya Operasional Lainnya 358.000
Biaya Pemanas, Air, Servis Gudang 5.846.081
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 18.000
Biaya Gudang 768.040
Biaya Perlengkapan Kantor 300.000
Biaya Sosial 10.000
Biaya Sewa Istana Harmoni 9.745.161
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 2.047.000
Biaya Asuransi Pegawai Lokal 327.250
Biaya Lain-lain 538
Biaya Provisi dan Administrasi 90.000
Biaya Gaji Pegawai Lokal Rumah Makan 88.700.316
Biaya Gaji Pegawai Lokal Kantor 20.383.566
Depresiasi Rumah Makan 13.794.492
Depresiasi Kantor 2.586.586
Biaya Sewa Gedung 7.736.371

TOTAL 205.168.338

(Bukti P-9)
Sehingga jumlah kerugian materiil yang berupa
pembayaran atas biaya-biaya tetap (fixed cost) yang
tetap harus dibayar oleh PliMOIION walaupun rumah
makan terpaksa ditutup selama 88 hari, adalah sebesar
Rp 1.847.225.815,00 (satu miliar delapan ratus empat
puluh tujuh juta dua ratus dua puluh lima ribu delapan
ratus lima betas rupiah).
2) Berupa winstderving atau keuntungan yang seharusnya
diharapkan yang dapat Kami rinci sebagai berikut :
(Perhitungan ini diperoleh dari hasil perhitungan rata-rata
pendapatan bulanan berdasarkan Laporan Rugi-Laba
PEMOHON Tahun 2008).
❖ Bulan Januari 2008 : Rp 181.430.030,00
(seratus delapan puluh satu juta empat ratus tiga puluh
ribu tiga puluh rupiah)

779
❖ Bulan Februari 2008 : Rp 134.793.535,00
(seratus tiga puluh empat juta tujuh ratus sembilan
puluh tiga ribu lima ratus tiga puluh lima rupiah)
❖ Bulan Maret 2008 : Rp 203.437.414,00
(dua ratus tiga juta empat ratus tiga puluh tujuh ribu
empat ratus empat belas rupiah)
❖ Bulan April 2008 : Rp 208.319.360,00
(dua ratus delapan juta tiga ratus sembilan belas ribu
tiga ratus enam puluh rupiah)
❖ Bulan Mei 2008 : Rp 277.586.215,00
(dua ratus tujuh puluh tujuh juta lima ratus delapan
puluh enam ribu dua ratus lima belas rupiah)
❖ Bulan Juni 2008 : Rp 254.334.366,00
(dua ratus lima puluh empat juta tiga ratus tiga puluh
empat ribu tiga ratus enam puluh enam rupiah)
❖ Bulan Juli 2008 : Rp 235.754.779,00
(dua ratus tiga puluh lima juta tujuh ratus lima puluh
empat ribu tujuh ratus tujuh puluh sembilan rupiah)
❖ Bulan Agustus 2008 : Rp 200.548.810,00
(dua ratus juta lima ratus empat puluh delapan ribu
delapan ratus sepuluh rupiah)
Total : Rp 1.696.204.509,00
(satu miliar enam ratus sembilan puluh enam juta dua
ratus empat ribu lima ratus sembilan rupiah) selama
243 hari.
Sehingga kerugian materiil yang dialami oleh
PEMOHON adalah sebesar Rp 1.696.204.509,00
dibagi dengan 243 hari dikalikan dengan 88 hari, yaitu:
Rp 614.263.362,00 (enam ratus empat belas juta dua
ratus enam puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh dua
rupiah).
Kerugian Immateriii akibat perbuatan TERMOHON
yang jelas-jelas telah merusak nama baik PEMOHON,
selaku pemillik rumah makan Imperial Treasure yang
berkredibilitas baik. PEMOHON juga harus kehilangan
konsumen setia yang selama ini menjadi pelanggan tetap
pada PEMOHON. PEMOHON juga telah dirugikan
baik waktu, tenaga dan pikiran yang semuanya tidak
dapat diukur dengan uang, akan tetapi dalam perkara ini,
untuk memberikan kepastian hukum atas perbuatan
TERMOHON, PEMOHON menuntut ganti rugi sebesar
Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Kerugian Materiil dan Imateriil tersebut harus dibayar
tunai dan sekaligus selambaT-lambatnya 8 (delapan) hari
terhitung sejak Keputusan BANI atas perkara ini
mempunyai kekuatan hukum (inkracht van gewijsde)
4. Bahwa guna mencegah adanya iktikad tidak baik dari
TERMOHON, untuk tidak tunduk pada Putusan Arbitrase ini,
kami mohonkan kepada TERMOHON untuk membayar uang
paksa (Dwangsom) sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
per hari, sejak putusan ini dibacakan, apabila TERMOHON
lalai dalam melaksanakan isi putusan ini.
5. Bahwa Permohonan Penyelesaian Sengketa melalui lembaga
Arbitasc ini timbul karena adanya Perbuatan Melawan Hukum
yang dilakukan oleh TERMOHON, untuk itu adalah wajar
apabila biaya konsultan hukum yang ditanggung oleh
PEMOHON dan biaya perkara di Arbitrase ini ditanggung
sepenuhnya oleh TERMOHON.
Berdasarkan fakta dan ketentuan hukum tersebut di atas,
PEMOHON dengan ini memohon kepada Majelis Arbitrase
agar berkenan memutus sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan PEMOHON untuk seluruhnya;
2. Menyatakan TERMOHON telah melakukan Perbuatan
Melawan Hukum terhadap PEMOHON;
3. Menghukum TERMOHON untuk membayar ganti rugi
kepada PEMOHON yang berupa :
Kerugian Materiil :
1) Berupa kerugian atas segala pengeluaran tetap (fixed
cost) yang tetap harus dikeluarkan oleh PEMOI ION,
selama tutupnya rumah makan Imperial 'l’rcasurc
milik PEMOHON sebagai berikut:
(dalam rupiah).

781
P eriode 19 S eptem ber 2008 sam pai dengan 30 S eptem ber 2008.

Biaya Gaji Pegawai Lokal Rumah Makan (*>33.646.449


Biaya Tunjangan Kesejahteraan 76.978.332
Biaya Tunjangan Pesangon 2.558.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 148.382.721
Biaya Pembayaran Cuti Pegawai Asing 7.960.902
Biaya Tunjangan Hari Libur Pegawai Asing 4.975.564
Biaya Tunjangan Pesangon Pegawai Asing 14.926.692
Biaya Pembayaran Kartu Kredit 13.965.155
Biaya Pemanas, Lampu, Air 28.359.800
Biaya Listrik dan PAM 67.275.265
Biaya Alat Tulis 488.900
Biaya Cetak 44.500
Biaya Parkir dan Tol 66.000
Biaya Makan Pegawai 11.910.900
Biaya Operasional Lainnya 90.000
Biaya Hiburan 70.900.356
Biaya Dapur 145.500
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 317.340
Biaya Laundry 117.000
Biaya Perlengkapan 3.780.000
Biaya Renovasi Interior 5.405.772
Biaya Tiket Pegawai Asing 1.427.250
Biaya Gudang 500.000
Biaya Bensin 400.000
Biaya Onderdil Mobil 280.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Restauran (*>3.337.351
Biaya Gaji Pegawai Lokal Kantor (*>23.326.487
Biaya Tunjangan Kesejahteraan Pegawai Lokal 34.502.407
Biaya Listrik dan PAM 7.143.296
Biaya Telepon, Telex, Faximile 200.000
Biaya Alat Tulis 62.817
Biaya Koran dan Majalah 90.000
Biaya Parkir dan Tol 314.500
Biaya Makan Pegawai 2,78.000
Biaya Operasional Lainnya 154.000
Biava Pemeliharaan Gudang 80.000
Biaya Sosial 20.000
Biaya Sewa Gedung (*)4.886.129
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 1.379.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 314.750
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor 0)3 8 7 .3 4 3
Biaya Depresiasi Kendaraan Pegawai 0)2 .3 5 0 .8 0 6
Biaya Lain-lain 573
Biaya Provisi dan Administrasi 533.000
Biaya Sewa Rumah Makan 135.636.435
Biaya Sewa Apartemen 6.154.839

TOTAL 716.054.131

(Bukti P-6)
(*) Bahwa biaya-biaya gaji tersebut di atas termasuk
pula biaya overtime, pembayaran cuti biaya
tunjangan hari libur dan biaya tunjangan
kesehatan yang telah Kami bagi secara prorata,
sehingga angka di atas adalah biaya bulan
September sejak rumah makan terpaksa ditutup
(12 hari).
(*) Bahwa biaya sewa gedung tersebut di atas telah
Kami bagi secara prorata, sehingga angka di atas
adalah biaya bulan September sejak rumah
makan terpaksa ditutup (12 hari).
(*) Bahwa biaya depresiasi tersebut di atas telah
kami bagi secara prorata, sehingga angka di atas
adalah biaya bulan September sejak rumah
makan terpaksa ditutup.

Periode 1 Oktober 2008. sampai dengan 31 Oktober 2008

Biaya Gaji 78.586.000


Biaya Overtime 3.295.462
Biaya Tunjangan Hari Libur 79.306
Biaya Tunjangan Kesehatan 100.000

783
Biaya Gaji Pegawai Asing 132.563.920
Biaya Pembayaran Cuti Pegawai Asing 7.087.480
Biaya Tunjangan Hari Libur Pegawai Asing 347.360
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 550.786
Biaya Kesejahteraan Pegawai Asing 28.876.600
Biaya Tunjangan Pesangon Pegawai Asing 31.863.600
Biaya Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.502.261
Biaya Telepon, Telex, Faximile 2.643.893
Biaya Alat Tulis 15.900
Biaya Cetak 600.000
Biaya Parkir dan 'Tol 373.000
Biaya Makan Pegawai 1.801.469
Biaya Operasional Lainnya 49.600
Biaya Service Charge Plaza Indonesia 110.000
Biaya Laundry 178.000
Biaya Perlengkapan 5.020.649
Biaya Renovasi Interior 13.964.912
Biaya Onderdil Ac, Kulkas 4.750.000
Biaya Jasa Profesional Lainnya 46.840.909
Biaya Tiket Pegawai Asing 23.456.075
Biaya Dokumen Pegawai Asing 12.705.000 j
Biaya Bahan Bakar Pegawai Asing 1.720.000}
Biaya Asuransi Pegawai Asing 351.33-7!
Biaya Depresiasi Perlengkapan Rcstauran 8 .6 6 9 .15.'; -
Biaya Gaji Pegawai Lokal 50.269.5 i ;
Biaya Overtime Pegawai Lokal 1.958.58!
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Lokal 1.914.324;
Biaya Asuransi Pegawai Lokal 676.532
Biaya Listrik dan PAM 3.387.092 i
Biaya Telepon, Telex, Faximile 1.484.344;
Biaya Alat Tulis 76.583!
Biaya Pengiriman 39.500
Biaya Parkir dan Tol 785.000
Biaya Makan Pegawai 120.718
Biaya Operasional Lainnya 960.000
Biaya Pemanas, Air, dan Jasa Gudang 10.363.765
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 129.810
Biaya Pemeliharaan Gudang 903.465

Biaya Sosial 152.000


Biaya Sewa Gedung 12.622.500
Biaya Sewa Apartemen Pegawai Asing 14.900.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 3.357.000
Biaya Onderdil Kendaraan Pegawai Lokal 575.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 642.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor 1.084.803
Biaya Depresiasi Kendaraan 3.135.417
Biaya Lain-lain 163
Biaya Provisi dan Administrasi 923.000
TOTAL 522.858.870
(Bukti P-7)

Periode 1 November 2008 sampai dengan 30 November 2008

Biaya Gaji 78.266.000


Biaya Overtime 3.393.670
Biaya Tunjangan Kesehatan 195.000
Biaya Gaji Pegawai Asing 121.447.913
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 176.388
Biaya Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.171.561
Biaya Telepon, Telex, Faximilc 940.160
Biaya Cetak 6.867.525
Biaya Pengiriman 13.500
Biaya Parkir dan Tol 304.500
Biaya Makan Pegawai 3.057.800
Biaya Dapur 1.673.340
Biaya Perlengkapan 2.184.849
Biaya Renovasi Interior 13.964.912
Biaya Onderdil Ac, Kulkas 1.850.000
Biaya Dokumen 200.000
Biaya Tiket Pegawai Asing 21.988.735
Biaya Dokumen Pegawai Asing 21.005.000

785
Biaya Gudang 500.000
Biaya Bahan Bakar 1.150.000
Biaya Asuransi 597.667
Biaya STNK 1.838.300
Biaya Depresiasi Perlengkapan Restauran 8.569.158
Biaya Gaji Pegawai Lokal 49.799.112
Biaya Overtime Lokal 2.743.150
Biaya Tunjangan Kesehatan Pegawai Lokal 2.081.766
Biaya Asuransi Pegawai 676.532
Biaya Listrik dan PAM 3.408.804
Biaya Telepon, Telex, Faximile 1.784.346
Biaya Alat Tulis 90.933
Biaya Koran Dan Majalah 74.500
Biaya Parkir dan Tol 770.500
Biaya Makan Pegawai 135.000
Biaya Operasional Lainnya 647.000
Biaya Pemanas. Air, Servis Gudang 7.833.980
Biaya Gudang 335.775
Biaya Perlengkapan Kantor 350.000
Biaya Sosial 150.000
Biaya Sewa Gedung 12.622.500
Biaya Sewa Istana Harmoni 14.900.000
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 3.363.000
Biaya Onderdil Kendaraan Pegawai Lokal 15.000
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai Lokal 642.000
Biaya Depresiasi Perlengkapan Kantor 1.084.803
Biaya Depresiasi Kendaraan Pegawai 3.135.417
Biaya Lain-lain 47
Biaya Provisi dan Administrasi 849.250

TOTAL 403.144.476

(Bukti P-8)
Periode 1 Desember 2008 sampai dengan 19 Desember 2008

Biava Tunjangan Kesehatan Pegawai Asing 227.500


Biava Asuransi 1.295.083
Biaya Asuransi Pegawai 4.171.541
Biava Telepon, Telex, Faximile 880.160
Biaya Alat Tulis 426.500
Biaya Cetak 2.100.000
Biaya Parkir dan Tol 377.500
Biaya Makan Pegawai 5.901.247
Biaya Operasional Lainnya 160.000
Biaya Dapur 7.564.485
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 907.090
Biaya Perlengkapan Kantor 5:542.849
Biaya Dokumen Pegawai Asing 16.005.000
Biaya Gudang 500.000
Biaya Pajak Perforasi 60.000
Biaya Bahan Bakar 1.870.000
Biaya Asuransi 597.667
Biaya Seragam 1.171.800
Biaya Asuransi Kendaraan Pegawai 676.532
Biaya Telepon. Telex, Faximile 1.181.483
Biaya Cetak 10.000
Biaya Koran Dan Majalah 90.000
Biaya Pengiriman 183.500
Biaya Parkir dan Tol •557.000
Biaya Operasional Lainnya 358.000
Biaya Pemanas, Air, Servis Gudang 5.846.081
Biaya Pemeliharaan Kamar Mandi 18.000
Biaya Gudang 768.040
Biaya Perlengkapan Kantor 300.000
Biaya Sosial 10.000
Biaya Sewa Istana Harmoni 9.745.161
Biaya Bahan Bakar Pegawai Lokal 2.047.000
Biaya Asuransi Pegawai Lokal 327.250
Biaya Lain-lain 538
Biaya Provisi dan Administrasi 90.000
Biaya Gaji Pegawai Lokal Rumah Makan 88.700.316
Biaya Gaji Pegawai Lokal Kantor 20.383.566
Depresiasi Rumah Makan 13.794.492
Depresiasi Kantor 2.586.586

787
Biaya Sewa Gedung 7.736.371
TOTAL 205.168.338

(Bukti P-9)
Sehingga jumlah kerugian materiil yang berupa
pembayaran atas biaya-biaya tetap (fixed cost) yang
tetap harus dibayar oleh PEMOHON walaupun rumah
makan terpaksa ditutup selama 88 hari, adalah sebesar
Rp 1.847.225.815,00 (satu miliar delapan ratus empat
puluh tujuh juta dua ratus dua puluh lima ribu delapan
ratus lima betas rupiah).
2) Berupa winstderving atau keuntungan yang seharusnya
diharapkan yang dapat Kami rinci sebagai berikut :
(Perhitungan ini diperoleh dari hasil perhitungan rata-rata
pendapatan bulanan berdasarkan Laporan Rugi-Laba
PEMOHON Tahun 2008).
❖ Bulan Januari 2008 : Rp 181.430.030,00
(seratus delapan puluh satu juta empat ratus tiga puluh
ribu tiga puluh rupiah)
❖ Bulan Februari 2008 : Rp 134.793.535,00
(seratus tiga puluh empat juta tujuh ratus sembilan
puluh tiga ribu lima ratus tiga puluh lima rupiah)
❖ Bulan Maret 2008 : Rp 203.437.414,00
(dua ratus tiga juta empat ratus tiga puluh tujuh ribu
empat ratus empat belas rupiah)
❖ Bulan April 2008 : Rp 208.319.360,00
(dua ratus delapan juta tiga ratus sembilan belas ribu
tiga ratus enam puluh rupiah)
❖ Bulan Mei 2008 : Rp 277.586.215,00
(dua ratus tujuh puluh tujuh juta lima ratus delapan
puluh enam ribu dua ratus lima belas rupiah)
❖ Bulan Juni 2008 : Rp 254.334.366,00
(dua ratus lima puluh empat juta tiga ratus tiga puluh
empat ribu tiga ratus enam puluh enam rupiah)
❖ Bulan Juli 2008 : Rp 235.754.779,00
(dua ratus tiga puluh lima juta tujuh ratus lima puluh
empat ribu tujuh ratus tujuh puluh sembilan rupiah)
❖ Bulan Agustus 2008 : Rp 200.548.810,00
(dua ratus juta lima ratus empat puluh delapan ribu
delapan ratus sepuluh rupiah)
Total : Rp 1.696.204.509,00
(satu miliar enam ratus sembilan puluh enam juta dua
ratus empat ribu lima ratus sembilan rupiah) selama
243 hari.
Sehingga kerugian materiil yang dialami oleh
PEMOHON adalah sebesar Rp 1.696.204.509,00
dibagi dengan 243 hari dikalikan dengan 88 hari, yaitu:
Rp 614.263.362,00 (enam ratus empat belas juta dua
ratus enam puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh dua
rupiah).
Kerugian Immatcriil akibat perbuatan TERMOHON
yang jelas-jelas telah merusak nama baik PEMOHON,
selaku pemillik rumah makan Imperial Treasure yang
berkredibilitas baik. PEMOHON juga harus kehilangan
konsumen setia yang selama ini menjadi pelanggan
tetap pada PEMOHON. PEMOHON juga telah dirugikan
baik waktu, tenaga dan pikiran yang semuanya tidak
dapat diukur dengan uang, tetapi dalam perkara ini,
untuk memberikan kepastian hukum atas perbuatan
TERMOHON, PEMOHON menuntut ganti rugi sebesar
Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Kerugian Materiil dan Imateriil tersebut harus dibayar
tunai dan sekaligus selambaT-lambatnya 8 (delapan) hari
terhitung sejak perkara ini mempunyai kekuatan hukum
(inkracht van gewijsde).
4. Menghukum TERMOHON untuk membayar uang paksa
(dwangsom) sebesar Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) per
hari, sejak putusan ini dibacakan, apabila TERMOHON lalai
dalam melaksanakan isi putusan ini;
5. Menghukum TERMOHON untuk melakukan pembayaran
kepada PEMOHON atas biaya konsultan hukum yang
ditanggung oleh PEMOHON dan biaya perkara di Arbitrase
ini ditanggung sepenuhnya oleh TERMOHON.
Apabila Majelis Arbitrase berpendapat lain, PEMOHON mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo etbono).

789
Menimbang, bahwa Termohon dalam Surat Jawabannya tertanggal
16 April 2009 telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa TERMOHON menolak dengan tegas seluruh dalil dan
argumentasi hukum gugatan yang diajukan oleh PEMOHON
tertanggal 17 Februari 2009, kecuali terhadap dalil dan
argumentasi hukum yang diakui secara tegas kebenarannya oleh
TERMOHON.
2. Bahwa dalil-dalil PEMOHON didalam surat gugatan butir 1-9
halaman 4 sampai dengan halaman 11, secara yuridis tidak
perlu dipertimbangkan dan harus dikesampingkan karena
antara PEMOHON dan TERMOHON telah menandatangani
Lease Agreement (Perjanjian Sewa Menyewa) No. LAR/1241/
25/07/07/L1113 tertanggal 25 Juli 2007 (selanjutnya disebut
Lease Agreement) dan Lease Conditions tertanggal 25 Juli 2007
(selanjutnya disebut Lease Conditions) (Bukti T-l, Vide Bukti P-la).
3. Bahwa karena PEMOHON dan TERMOHON terikat pada suatu
perjanjian, seharusnya PEMOHON dan TERMOHON dalam
menuntut hak dan kewajibannya terhadap sesuatu hal yang telah
diperjanjikan terlebih dahulu melaksanakan atau tunduk pada
ketentuan dalam perjanjian sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan :
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan
dengan iktikad baik.
4. Bahwa PEMOHON telah salah mendalilkan TERMOHON telah
melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1365 BW juneto Pasal 1367 BW juneto Pasal 1369
BW dan ketentuan tersebut seharusnya dikesampingkan
berdasarkan ketentuan-ketentuan dari isi Lease Agreement dan
Lease Conditions.
5. Bahwa menurut asas kebebasan berkontrak yang menyatakan
bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak
(perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan
dengan undang-undang (Vide Prof. Subekti, Hukum Perjanjian,
Internusa, Jakarta Cet. VI, 1979 P. 13) sehingga orang dapat
menciplakan hak-hak yang tidak diatur dalam Buku III BW tetapi

790
diatur sendiri dalam perjanjian, dan perjanjian yang dibuat secara
sah itu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
6. Bahwa menurut ketentuan Lease Agreement dan Lease Condition
Pasal 9.1. Para Pihak telah sepakat, bahwa TERMOHON tidak
bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi di dalam lokasi
yang disewakan, hal ini sesuai dengan Clause 9.1. I.ease
Conditions, bahwa :
if any merchandise, property, office equipment or other of Lessee, its
employes, agents or invitees or of any other person claiming through
or under Lessee that may be in the Demised Premises during the
Term of this Lease shall be injured or destroyed by water, electricity
stoppages, current surges, or the acts of any third parties (including
theft or vandalism) or otherwise howsoever, no part of the loss or
damage occasioned thereby shall be borne by or recoverable from
the Lessor whether the same shall occur by reason of die state of
repair of the Demised Premises or howsoever otherwise.
Terjemahan bebasnya :
Jika setiap barang dagangan, property, pedengkapan kantor atau
barang lain milik Penyewa, para agent karyawan, undangannya dan
semua orang yang memiliki hak melalui atau di bawah Penyewa
yang bisa berada dalam Tempat-tempat Sewaan selama Jangka
Waktu Kontrak Sewa ini rusak atau hancur karena air, terhentinya
listrik, turun-naik mendadak arus listrik, atau tindakan-tindakan
setiap pihak ketiga (termasuk pencurian atau vandalisme) atau
apapun yang lainnya, setiap bagian dan kehilangan atau kerusakan
tersebut yang disebabkan oleh hal-hal tersebut diatas tidak
ditanggung oleh atau harus dipulihkan oleh Pemberi Sewa baik
kehilangan atau kerusakan tersebut terjadi karena keadaan Tempat-
Tempat Sewaan maupunjika karena hal lain apapun.
Karena sesuai dengan ketentuan di atas, secara hukum
TERMOHON tidak bertanggung jawab atas setiap dan seluruh
kerugian atau kerusakan yang timbul dari kecelakaan yang terjadi
terkait dengan pekerjaan penggantian meteran gas di dalam arca
sewa PEMOHON yang sedang dilakukan oleh kontraktor
TERMOHON.
7. Bahwa lebih lanjut menurut ketentuan Lease Agreement dan Lease
condition antara PEMOHON dan TERMOHON telah sepakat
melepaskan TERMOHON dan Pihak Ketiga dari setiap dan seluruh
gugatan dan tuntutan dalam bentuk apapun atas setiap dan seluruh

791
kerugian atau kerusakan yang timbul dari setiap kecelakaan,
kerusakan, kehilangan, kematian atau cedera yang terjadi di lokasi
yang disewakan berdasarkan Clause 14.1.1 Lease Conditions, yang
menyatakan hal-hal sebagai berikut ;
14.1.1. The Lessee releases to the full extent permitted by law, the
Lessor, the manager and their respective officers, directors,
commissioners, agents, employees and contractors from all
claims and demands of every kind resulting from any
accident, damage, loss, death or injury occurring in the
Demised Premises.
Terjemahan bebasnya :
14.1.1. Penyewa membebaskan Pemberi Sewa, Manajer, dan
petugas, Direktur, Komisaris, agent pegawai dan kontraktor
Pemberi Sewa sejauh yang diizinkan oleh hukum dari semua
klaim dan tuntutan dengan jenis apapun yang timbul akibat
setiap kecelakaan, kerusakan, kehilangan, kematian atau
cedera yang terjadi di tempat Sewaan atau dibagian lain dari
Kompleks atau di luar Kompleks kecuali jika kecelakaan
tersebut disebabkan oleh tindakan yang disengaja atau
pengabaian dari pihak Pemberi Sewa.
14.1.2. The Lessee hereby acknowledges and agrees that the doing
of any act, matter or thing which the Lessee Is obliged or
required orpermited hereunder, and tile Lessee ’s occupying,
using and keeping the Demised Premises, shall be at the
sole risk and expense of the Lessee.

Terjemahan bebasnya:
14.1.2. Penyewa dengan ini mengakui dan menyetujui bahwa
pelaksanaan semua tindakan, atau hal yang diwajibkan atau
diharuskan atau diizinkan dalam Perjanjian ini, dan
penempatan, penggunaan, dan pemeliharaan 'Tempat di
Sewakan oleh Penyewa menjadi risiko dan, tanggungan
sepenuhnya dari Penyewa.
Karena itu, secara hukum PEMOHON telah melepaskan
TERMOHON dan kofrtraktor dari setiap dan seluruh gugatari dan
tuntutan dalam bentuk apapun atas setiap dan seluruh kerugian atau
kerusakan yang timbul dari kerusakan, kehilangan, kematian atau
cedera yang terjadi di lokasi yang disewakan.
8. Bahwa berdasarkan dalil-dalil TERMOHON di atas khususnya
mengenai pelepasan tanggung jawab TERMOHON atas setiap dan

792
seluruh kerugian atau kerusakan yang timbul dari kecelakaan yang
terjadi terkait dengan pekerjaan penggantian meteran gas di dalam
arca sewa PEMOHON dan pelepasan tanggung jawab atas seluruh
gugatan dan tuntutan dalam bentuk apapun atas setiap dan seluruh
kerugian atau kerusakan yang timbul dari kerusakan, kehilangan,
kematian atau cedera yang terjadi di lokasi yang disewakan,
kedudukan rangkaian pasal-pasal Buku III BW khususnya pasal-
pasal pada title V sampai dengan XVIII hanya bersifat hukum
pelengkap saja, artinya pasal-pasal tersebut boleh dikesampingkan
terlebih lagi kedua belah pihak telah membuat ketentuan sendiri
untuk mengatur kepentingan mereka berdasarkan Lease Agreement
dan Lease Condition.
9. Bahwa apa yang didalilkan oleh PEMOHON baru dapat mengikat
TERMOHON, jika Lease Agreement dan Lease Condition tidak
mengatur Clauses 9.1.1 dan 14.1.1 dan 14.1.2 Lease Conditions di
atas atau mengaturnya dalam perjanjian tetapi tidak lengkap,
sehingga soal-soal yang tidak diatur tersendiri itu baru dapat
diberlakukan pasal-pasal hukum perikatan.
10. Bahwa berdasarkan dalil-dalil TERMOHON di atas, terbukti dalil-
dalil PEMOHON yang menyatakan TERMOHON telah melakukan
perbuatan melawan hukum tidak dapat diterima sehingga
TERMOHON memohon Majelis Arbiter yang memeriksa dan
mengadili perkara ini menyatakan gugatan PEMOHON tidak dapat
diterima (Niet Onvankelijk Verklaard).
11. Bahwa sehubungan dengan dalil-dalil PEMOHON butir 1-5
halaman 2 sampai dengan halaman 4 di dalam surat gugatan,
maka sesuai dengan Lease Agreement dan Lease Condition
dalam Clause 7.2 Accesed to Demised Premises for Maintenance
o f Air-Conditioning Plant etc tentang akses terhadap tempat-
tempat sewaan untuk perawatan perlengkapan air-conditioncr,
menyebutkan bahwa:
The Lessee shall allow the Lessor and the Lessor's engineers,
mechanics, workmen and other employees or agents to enter the
Demised Premises at any time to examine, maintain, repair, install,
remove, modify or replace all or any of the air conditioning plant
elevators (if applicable), sprinkler or fire alarm installation, pipes,
ducts, conduits, wires or any other property of the Lessor installed in
or passing through or adjacent to the Demised Premises, providing
that in and about such work the Lessor shall cause no more
interference with the Lessee’s use and occupation of the Demised

793
Premises than is in the opinion of the Lessor reasonably necessary.
The Lessor shall remove from the Demised Premises all rubbish
resultingfrom such work and shall leave those parts of the Demised
Premises used therein in a clean state and condition.
Terjemahan bebasnya:
Penyewa harus memperbolehkan Pemberi Sewa dan para teknisi,
mekanik, pekerja dan karyawan atau agen lain dari Pemberi
Sewa untuk memasuki Tempat-Tempat Sewaan setiap saat
untuk memeriksa, memelihara, memperbaiki, memasang, mencabut,
memodifikasi atau mengganti semua dan setiap Peralatan Air-
Conditioner, Elevator (jika sesuai), alat atau instalasi-instalasi alarm
kebakaran, pipa, saluran air, pipa kabel listrik, kabel atau setiap
properti lain dari Pemberi Sewa yang dipasang di dalam atau
melewati atau berdekatan dengan Tempat-tempat Sewaan, dengan
ketentuan bahwa di dalam dan di sekitar pekerjaan tersebut Pemberi
Sewa tidak boleh menyebabkan gangguan lebih jauh terhadap
penggunaan Penyewa atas Tempat-tempat Sewaan daripada yang
menurut pendapat Pemberi Sewa sewajarnya diperlukan. Pemberi
Sewa harus mengeluarkan dari Tempat-tempat Sewaan semua
sampah yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut dan harus
meninggalkan bagian-bagian Tempat-tempat Sewaan yang
digunakan dalam pekerjaan tersebut dalam keadaan bersih.
Dengan demikian, pekerjaan penggantian meteran gas di dalam
arca sewa PEMOHON yang dilakukan oleh kontraktor
TERMOHON adalah atas izin/pengetahuan PEMOHON, pekerjaan
tersebut dilakukan pada malam hari (ketika Plaza Indonesia tutup)
sehingga tidak mengganggu PEMOHON dalam penggunaan arca
sewanya.
12. Bahwa mengacu pada Clauses 9.1.1 dan 14.1.1 dan 14.1.2 Lease
Conditions diatas, dalil-dalil PEMOHON di dalam surat gugatan
butir 1-11 halaman 8 sampai dengan halaman 17 yang pada
pokoknya menyatakan TERMOHON bertanggung jawab untuk
mengganti kerugian bisnis yang diderita oleh PEMOHON.
PEMOHON mendalilkan terpaksa berhenti beroperasi karena
melakukan renovasi dapur restoran PEMOHON yang mengalami
kerusakan akibat dari kecelakaan, sehingga kerugian PEMOHON
terdiri dari kerugian materiil berupa kerugian atas segala
pengeluaran tetap (fixed cost) adalah sebesar Rp 1.847.225.815,00
(satu miliar delapan ratus empat puluh tujuh juta dua ratus dua
puluh lima ribu delapan ratus lima belas rupiah) dan berupa
winstderving atau keuntungan yang seharusnya diharapkan sebesar

794
Rp 614.263.362,00 (enam ratus empat belas juta dua ratus enam
puluh tiga ribu tiga ratus enam puluh dua rupiah) serta kerugian
immateriil yang dituntut PEMOHON sebesar Rp 2.500.000.000,00
(dua miliar lima ratus juta rupiah) secara hukum tidak mempunyai
dasar.
13. Bahwa karena Gugatan PEMOHON yang didasarkan pada
perbuatan melawan hukum tidak dapat dibuktikan, sehingga
dengan sendirinya TERMOHON tidak dapat dibebankan atas
tuntutan ganti kerugian.
14. Bahwa penolakan TERMOHON atas ganti rugi yang diajukan oleh
PEMOHON didasarkan pada tuntutan ganti kerugian yang
dimohonkan oleh PEMOHON bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
Pasal 1247
Debitor hanya diwajibkan mengganti biaya, kerugian dan bunga,
yang diharap atau sedianya dapat diduga pada waktu perikatan
diadakan, kecuali jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan
oleh tipu daya yang dilakukannya.
Pasal 1248
Bahkan, jika tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh tipu
daya debitur, penggantian biaya, kerugian dan bunga, yang
menyebabkan kreditur menderita kerugian dan kehilangan
keuntungan, hanya mencakup hal-hal yang menjadi akibat langsung
dari tidak dilaksanakannya perikatan itu
15. Bahwa dalam Lease Condition telah disepakati bahwa Penyewa
harus mendapatkan asuransi risiko yang berlaku umum atas
alat perlengkapan termasuk barang pecan belah sebagaimana
disebutkan dalam clause 9.2 Lease to effect Public Risk, Glass
and Fitting and Stock Insurance sebagai berikut:
9.2.1. a policy of public risk general liability insurance applicable
to the Demised Premises and the busness carried on therein
suitably endorsed whereby the indemnity>undersuch policy is
extended to include claims arising out of or in connection
with this Lease for an amount not less than US $1,000,000
(being the amount which may be paid out arising from any
one single accident or event) or such higher amount as the
Lessor mayfrom time to time reasonably reqidre;
9.2.2. an insurance policy for the full insurable value on a
replacement basis against all insurable risks covering all

795
glass (including any plate glass but excluding any glass
located in exterior windows of the Building where such
windows do not about a public area) in or enclosing the
. Demised Premises;
9.2.3. an insurance policy for the full insurable value on a
replacement basis against all insurable risks covering all
additions to the Demised Premises carried out by the Lessee
and all of the property, including fixtures and fittings,
merchandise, office equipment and stock in the Dmised
Premises, of the Lessee and any other person claiming
through or under the Lessee;
9.2.4. to the extent required by applicable law, worker’s
compensation insurance or similar coverage for its
employees;
9.2.5. to the extent any construction or fit out work is being
performed relating to the Demised Premises, a policy of
builder’s risk insurance for the full replacement value of the
Demised Premises or such other amount as required by the
Lessor; and
9.2.6. if not included in any of the foregoing, an insurance policy in
the amount set forth in Clause 9.2.] covering any damage to
the Common Area or the Building, including the premises
demised to other tenants and occupants thereof, due to the
Lessee’s use of the Demised Premises or caused by the Lessee
or its agents, employees, invitees or other person ’s claiming
through or under the Lessee;
Jadi, guna meminimalisasi kerugian yang mungkin diderita oleh
PEMOHON, TERMOHON telah meminta PEMOHON untuk
menutup asuransi-asuransi sebagaimana dimaksud dalam Clause
9.2 Lease Conditions. Namun, hal ini bukan berarti bahwa
TERMOHON lalai untuk meminta PEMOHON atau PEMOHON
tidak perlu menutup asuransi-asuransi yang tidak dimaksud Clause
9.2 Lease Conditions dalam hal ini business interruption
insurance, loss o f business insurance, asuransi kerugian bisnis atau
istilah lain yang mempunyai arti yang sama. Karena mengenai
kerugian bisnis (apapun penyebab-nya) sebenarnya adalah
pertimbangan penuh PEMOHON, sehingga semuanya kembali
atau terserah kepada PEMOHON apakah perlu atau tidak perlu
menutup asuransi kerugian bisnis. Jadi, bukan karena kelalaian
TERMOHON atau semata-mata karena tidak diatur dalam Lease
Conditions.

796
16. Bahwa berdasarkan iktikad baik TERMOHON, TERMOHON
menggunakan hak-haknya yang diatur dalam Lease Agreement dan
Lease Conditions. Sesuai dengan Lease Agreement dan Lease
Conditions, I'ERMOHON tidak ber-tanggung jawab, atas setiap
kerugian yang diderita dan setiap kecelakaan yang terjadi. Namun,
I'ERMOHON selalu bersedia untuk membantu PEMOHON
semaksimal mungkin/sebatas hal-hal yang wajar untuk mengajukan
klaim ke perusahaan asuransi TERMOHON.
17. Bahwa terlepas dari hal-hal yang telah TERMOHON sampaikan di
atas, sebagai rekan bisnis, TERMOHON sangat menghargai
hubungan kerja sama yang telah terjalin sekian lama. Bahwa untuk
mengurangi kerugian bisnis yang diakibatkan kecelakaan di tempat
yang disewakan kepada PEMOHON, TERMOHON bersedia
membantu PEMOHON sebagaimana disampaikan dalam suratnya
No. 013/LGL-PIR/II/2009 tertanggal 10 Februari 2009 (Bukti T-2,
Vide Bukti P-5) sebagai berikut:
a. Mengkompensasikan premi asuransi tambahan selama periode
perpanjangan polis asuransi PEMOHON;
b. Membebaskan PEMOHON dari pembayaran Base Rent,
Service Charge dan utility charge sejak tanggal PEMOHON
menutup usaha tanggal 19 September 2008, hingga’buka
kembali tanggal 18 Desember 2008;
c. Meneruskan klaim asuransi PEMOHON kepada asuransi
TERMOHON;
d. Membayarkan down payment kepada kontraktor PEMOHON
sebesar Rp 512.332.385,00 (lima ratus dua belas juta tiga ratus
tiga puluh dua ribu tiga ratus delapan puluh lima rupiah) setelah
kami menerima Policy Endorsement dari PT Asuransi Permata;
18. Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas, terbukti tuntutan
PEMOHON kepada 'TERMOHON berupa ganti kerugian materiil
dan immateriil tidak dapat diterima dan haruslah ditolak.
19. Bahwa tuntutan PEMOHON mengenai pembayaran uang
dwangson (Vide butir 10 halaman 16) sangatlah berdasarkan
hukum apabila juga ditolak mengingat Yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia dalam Putusan No. 496K/ S1P/1971
tertanggal 1 September 1971 telah menyatakan bahwa:
pembayaran uang paksa hanya mungkin dikabulkan terhadap
perbuatan yang harus dilakukan oleh TERMOHON yang tidak

797
terdiri dari pembayaran suatu jumlah uang sedang dalam perkara
a quo PKMOHON juga mengajukan tuntutan ganti kerugian
materiil berupa kerugian atas segala pengeluaran tetap (fixed cost)
adalah sebesar Rp 1.847.225.815,00 (satu miliar delapan ratus
empat puluh tujuh juta dua ratus dua puluh lima ribu delapan ratus
lima belas rupiah) dan berupa winstderving atau keuntungan yang
seharusnya diharapkan sebesar Rp 614.263.362,00 (enam ratus
empat belas juta dua ratus enam puluh tiga ribu tiga ratus enam
puluh dua rupiah) serta kerugian immateriil yang dituntut
PEMOHON sebesar Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus
juta rupiah).
20. Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas, sangatlah beralasan dan
berdasarkan hukum apabila Majelis Arbiter Yang Terhormat
menolak permintaan pembayaran uang dwangsom yang dimintakan
oleh PEMOHON. Berdasarkan seluruh uraian-uraian di atas,
TERMOHON memohon kepada Majelis Arbiter Yang Terhormat
yang memeriksa dan mengadili permohonan arbitrase ini berkenan
untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi dengan mem­
berikan putusan sebagai berikut:
- Menolak gugatan PEMOHON untuk seluruhnya.
- Menyatakan gugatan PEMOHON tidak dapat diterima (Met
Onvankelijk Verklaard).
- Menghukum PEMOHON untuk membayar biaya perkara.
Atau apabila Majelis Arbiter Yang Terhormat berpendapat lain,
kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo etbono).
Menimbang bahwa pada sidang ke-1 tanggal 16 April 2009 telah
hadir T.H. Ratna Dewi, S.II., M.Kn. dan Dea Tunggaesti, S.II., M.M.,
selaku Kuasa Pemohon, sedangkan dari pihak Termohon telah hadir Dr.
S.F. Marbun, S.H., M.Hum. dan Andi Abdurahman Nawawi, S.II.
selaku Kuasa Hukum Termohon;
Menimbang bahwa telah membaca Replik dari Pemohon No.
804/OCK.IV/2009 tanggal 27 April 2009;
Menimbang bahwa telah membaca Duplik dari Termohon tanggal
13 Mei 2009;
Menimbang bahwa pada sidang ke-3 tanggal 10 Juni 2009 telah
mendengar keterangan saksi ahli dari Pemohon yaitu Prof. Dr. Tan
Kamello, S.H., M.S.;

798
Menimbang bahwa pada sidang ke-4 tanggal 25 Juni 2009 telah
mendengar keterangan saksi ahli dari Termohon yaitu Ridwan
Khairandy;
Menimbang bahwa pada sidang ke-5 tanggal 7 Juli 2009 telah
mendengar keterangan saksi ahli dari Termohon yaitu Frans Lamury;
Menimbang bahwa untuk menguatkan dalam Permohonan
Arbitrase Pemohon telah mengajukan surat-surat bukti yang diberi
tanda P-la s/d P-374b;
Menimbang bahwa untuk menguatkan dalam Jawaban Termohon
telah mengajukan surat-surat bukti yang diberi tanda T'-1A s/d T-8;
Menimbang bahwa telah membaca Kesimpulan dari Pemohon No.:
1347/OCK.VI1/2009 tanggal 21 Juli 2009;
Menimbang bahwa telah membaca Kesimpulan dari Termohon
tanggal 21 Juli 2009;
Menimbang bahwa selanjutnya untuk mempersingkat bunyi
putusan ini, maka bukti-bukti, dokumen tambahan lainnya yang
diajukan, baik oleh Pemohon maupun oleh Termohon serta Berita
Acara persidangan dianggap sebagai sudah termasuk dala Putusan
Arbitrase ini, dan dianggap telah dipertimbangkan secukupnya dimaan
akhirnya kedua belah pihak memohon putusan;

PERTIMBANGAN IIUKUM
1. Menimbang bahwa seperti telah dikemukakan dalam uraian
tentang duduk perkara, sengketa antara Pemohon dan 'Termohon
adalah sengketa yang menyangkut perjanjian yang dibuat oleh
kedua belah pihak yaitu FT. Istana Noodle House dengan FT. Pla/a
Indonesia Realty, 'Tbk. yaitu Perjanjian Sewa Menyewa Lease
Agreement Number LAR-1241/25/ 07/07/L1113 dan Lease
Conditions Number LAR-1241/25/ 07/07/L1113, masing-masing
tertanggal 25 Juli 2007 dan tangggal 25 Juli 2007 (Lease
Agreement/Lease Conditions) (P-la, P-lb dan T-la dan T-lb);
2. Menimbang bahwa Pemohon menuntut ganti rugi atas kerugian
yang dialami sebagai akibat pekerjaan yang dilakukan oleh PT.
Jaga Citra Inti, yang ditugasi oleh 'Termohon untuk melakukan
pekerjaan penggantian water meter dan gas dari sistim analog
menjadi sistem digital pada tempat/ruangan yang disewa oleh
Pemohon dari Termohon yang menimbulkan ledakan dan
mengakibatkan kerusakan parah atas tempat/ruangan yang

799
disewa oleh Pemohon sehingga atas peristiwa tersebut
Pemohon menuntut ganti berupa kerugian materiil sejumlah
Rp 1.847.225.815,00 dan winstderving karena kehilangan
keuntungan/pendapatan yang sedianya dapat diperoleh oleh
Pemohon yang jumlahnya Rp 614.263.362,00 serta ganti rugi
immateriil sebesar Rp 2.500.000.000,00;
3. Menimbang, bahwa pada pokonya Pemohon mendasarkan tuntutan
ganti rugi tersebut pada Lease Agreement/Lease Condition, harus
bertanggung jawab atas perbuatan PT. Jaga Citra Inti yang
ditugasi/dipekerjakan oleh I’ermohon yang menimbulkan kerugian
bagi Pemohon;
4. Menimbang, bahwa Termohon menolak tuntutan Pemohon tersebut
berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Lease Condition dimana
terdapat Clause 9.2 yang menyatakan bahwa Pemohon selaku
Penyewa wajib menutup suatu asuransi yang disebut general
liability insurance yang meliputi jaminan atas berbagai risiko
kerusakan/kerugian yang timbul pada ruangan tempat usaha
Pemohon sehingga Termohon menganggap dirinya tidak
bertanggung jawab;
5. Menimbang, bahwa Pemohon mendasarkan tuntutannya baik pada
berbagai ketentuan yang terdapat dalam Buku III KUH Perdata,
khususnya yang menyangkut hak dan kewajiban para pihak dalam
suatu perjanjian, dan menekankan pada tanggung jawab terhadap
kerugian yang ditimbulkan pada pihak lain, maupun dalam rangka
perbuatan melawan hukum, sedangkan Termohon menganggap
bahwa ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUH Perdata hanya
merupakan ketentuan-ketentuan pelengkap yang dapat disimpangi
oleh para pihak atas dasar kebebasan berkontrak. Dalam hubungan
ini Termohon merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam I.ease
Agreement/Lease Condition, khususnya pada Clause 9.2 Lease
Condition bahwa Pemohon terikat dan wajib mengasuransikan
risiko-risiko kerusakan/kerugian yang dise-butkan dalam Clause
tersebut, yang menurut Termohon ternyata kerusakan/kerugian
yang dituntut oleh Pemohon itu adalah kerusakan/kerugian yang
seharusnya diasuransikan oleh Pemohon;
6. Menimbang, bahwa kedua belah pihak telah mengajukan saksi-
saksi ahli yang didengar oleh Majelis dimana masing-masing saksi
tersebut telah mengemukakan pendapatnya dari segi keahliannya
masing-masing, yaitu di bidang hukum perdata dan di bidang

800
asuransi yang oleh Majelis dijadikan pula pertimbangan dalam
memeriksa dan mempertimbangkan perkara a quo,
7. Menimbang, Bahwa Termohon mendalilkan alasan bagi
penolakannya terhadap tuntutan Pemohon adalah bahwa dengan
adanya Clause 9.2 Lease Condition, 'I'ermohon selaku pemberi
sewa telah terlepas dari tanggung jawab berhubung terjadinya
risiko-risiko tersebut;
8. Menimbang, bahwa dengan demikian, hal yang perlu
dipertimbangkan oleh Majelis adalah mengenai bagaimanakah
kedudukan Clause 9.2 Lease Condition dalam hubungannya
dengan kedudukan kedua belah pihak berkenaan dengan ketentuan-
ketentuan dalam Buku III KUII Perdata; Seberapa jauh atau
apakah dengan adanya Clause tersebut, maka berarti Termohon
memang terlepas dari suatu tanggung jawab berkenaan dengan
kerusakan yang timbul terhadao barang-barang yang harus
diasuransikan oleh Pemohon sebagai pelaksanaan Clause 9.2 Lease
Condition tersebut;
Bahwa benarkah ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUIIPerdata
semata-mata merupakan ketentuan pelengkap;
9. Menimbang, bahwa hal seperti itu perlu dipertimbangkan oleh
Majelis, mengingat menurut pendapat saksi ahli Ridwan Khairandy
bahwa dalam Buku III KUII Perdata terdapat ketentuan-ketentuan
yang merupakan ranah kewenangan hakim untuk memutuskan;
10. Menimbang, bahwa menurut Pasal 1339 KUII Perdata, bukan saja
hal-hal yang sudah secara tegas diperjanjikan dalam suatu
perjanjian mengikat para pihak yang membuat perjanjian, tetapi
juga hal-hal yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan atau undang-undang juga mengikat para
pihak;
11. Menimbang, bahwa Majelis mempertimbangkan sepenuhnya baik
ketentuan-ketentuan Buku III KUH Perdata, mengenai hubungan
sewa-menyewa maupun mengenai beban tanggung jawab pemilik
suatu bangunan/gedung atas suatu bangunan/gedung; Menimbang,
bahwa Majelis juga mem-pertibangkan aspek-aspek kewajiban dan
tanggung jawab para pihak dalam suatu perikatan asuransi dan
keterkaitannya dengan perjanjian pokok yang diadakan oleh pihak
yang terkait dengan insurable interest seperti yang dikemukakan
oleh saksi ahli Frans Lamury dan Tan Kamello;

801
12. Menimbang, bahwa merupakan kebiasaan dalam praktik bahwa
pemilik bangunan/gedung yang dalam hal ini pemberi sewa
mengasuransikan segala risiko yang menyangkut bangunan/gedung
yang bersangkutan, satu dan lain mengingat adanya ketentuan
Pasal 1366 KUHPerdata yang menetapkan bahwa pemilik sebuah
gedung bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh
ambruknya gedung yang bersangkutan seluruhnya atau
sebagiannya jika hal itu terjadi karena kelalaian dalam
pemeliharaan atau karena kekurangan dalam pembangunan
ataupun dalam penataannya;
13. Menimbang, bahwa Majelis berpendapat bahwa karena PT. Jaga
Citra Inti adalah kontraktor yang ditugasi/dipekerjakan oleh
Termohon, PT. Jaga Citra Inti bukanlah pihak ketiga (third party)
sebagaimana dimaksud dalam Clause 9.1 Lease Condition.
Menimbang, bahwa secara hukum kedudukan PT. Jaga Citra Inti
terhadap Pemohon merupakan kuasa atau pemangku otoritas dari
Termohon sehingga segala akibat yang timbul dari
perbuatan/pekerjaan PT. Jaga Citra Inti menjadi tanggung jawab
sepenuhnya dari Termohon;
14. Menimbang, bahwa PT. Jaga Citra Inti selaku kuasa atau
pemangku otoritas dari Termohon telah melakukan perbuatan yang
menimbulkan kerugian bagi Pemohon, sehingga perbuatan yang
merugikan tersebut secara hukum menimbulkan hak bagi
Termohon untuk menuntut ganti rugi kepada PT. Jaga Citra Inti
sebagai pengganti kerugian yang wajib dibayar oleh Termohon
kepada Pemohon seandainya gugatan Pemohon dikabulkan oleh
Majelis;
15. Menimbang, bahwa dari barang bukti yang diajukan oleh Pemohon
dapat diketahui bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Clause
9.2 Lease Condition, Pemohon telah membayar premi asuransi
kepada perusahaan asuransi kerugian PT. Asuransi Permata
Nipponkoa Indonesia sehingga dengan demikian Majelis
berpendapat Pemohon telah tidak lalai untuk mengasuransikan isi
tempat/ruangan yang disewanya dari Termohon berupa alat
perlengkapan sebagaimana disebutkan dalam Clause 9.2 Lease
Condition;
16. Menimbang, bahwa seandainya Pemohon memang telah tidak
mengasuransikan isi/ruangan yang disewanya dari Termohon
berupa alat perlengkapan sebagaimana disebutkan dalam Clause

802
9.2 Lease Condition tersebut, yang menjadi tanggung jawab
Pemohon sendiri hanyalah kerugian yang timbul karena objek
asuransi yang menurut Clause 9.2 Lease Condition tersebut harus
diasuransikan telah mengalami kerusakan; Namun, biaya-biaya
berupa biaya tetap (fix cost) yang telah dibayarkan oleh Pemohon
selama 88 (delapan puluh delapan) hari karena Pemohon terpaksa
tidak dapat berusaha karena terjadinya renovasi akibat kerusakan
pada tempat/ruangan yang disewa dari Termohon menjadi
tanggung jawab Termohon;
17. Menimbang, bahwa menurut Majelis perbuatan Termohon/
PT. Jaga Citra Inti merupakan perbuatan melawan hukum yang
menimbulkan kerugian kepada Pemohon sebagimana dimaksud
dalam Pasal 1365 KUH Perdara sehingga Majelis berpendapat
kerugian tersebut memiliki dasar hukum untuk dapat dituntut oleh
Pemohon guna memperoleh penggantian dari Termohon;
18. Menimbang, bahwa kewajiban Termohon untuk mengganti
kerugian kepada Pemohon atas perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh Termohon/PT. Jaga Citra Inti tidak dapat dielakkan
karena menurut ketentuan Pasal 1367 KUII Perdata seseorang
tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan oleh
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
oleh perbuatan orang lain yang menjadi tanggungannya.
Menimbang, bahwa selain itu, Pasal 1367 KUHPerdata juga
menentukan bahwa mereka yang mengangkat orang lain untuk
mewakili urusan-urusan mereka itu harus bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan oleh orang-orang yang diangkatnya itu
dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka;
Majelis berpendapat bahwa PT. Jaga Citra Inti adalah pihak yang
dimaksudkan sebagai pihak yang menjadi tanggungan Termohon
dan juga merupakan pihak yang diangkat dan ditugasi untuk
melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan Termohon sebagai
yang mengangkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1367 KUII
Perdata;
19. Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 1243 dan 1244 KUII
Perdata, kreditor dapat menuntut penggantian kerugian yang terdiri
atas biaya (konsteri), rugi (schaderi) dan bungan (interest) apabila
debitor merugikan kreditor karena tidak dipenuhinya perikatan di
antara mereka. Menimbang, bahwa dengan terhentinya kegiatan
usaha Pemohon selama 88 (delapan puluh delapan) hari sebagai

803
akibat dilakukannya renovasi pada tempat/ruangan yang disewanya
dari Termohon, Majelis berpendapat bahwa Pemohon memiliki
dasar hukum untuk menuntut penggantian atas segala biaya
yang berupa biaya tetap (fix cost) yang telah dikeluarkan oleh
Pemohon selama 88 (delapan puluh delapan) hari itu. Namun,
Majelis harus mendapat keyakinan yang tidak mungkin ada
keraguan di dalamnya bahwa biaya-biaya tersebut benar-benar
merupakan biaya-biaya yang secara riil telah dikeluarkan oleh
Pemohon, baik mengenai jenis-jenisnya maupun mengenai jumlah
masing-masing jenis tersebut;
20. Menimbang, bahwa Majelis harus mendapatkan keyakinan yang
tidak terdapat keraguan di dalamnya sebagaimana dimaksud
di atas, Majelis hanya akan mengakui jenis-jenis dan besarnya
biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemohon apabila didukung oleh
bukti-bukti yang meyakinkan dan telah diverivikasi oleh Kantor
Akuntan Publik mengenai kebenaran-nya baik atas keaslian bukti-
bukti tersebut dan atas jumlah biaya yang telah dikeluarkan oleh
Pemohon;
21. Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 1246 KUHPcrdata
dimungkinkan bagi kreditor/penggugat untuk menuntut peng­
gantian bukan saja atas biaya, rugi dan bunga tetapi juga
winstderving (keuntungan yang sedianya dapat diperoleh oleh
kreditor seandainya debitor tidak lalai), Majelis berpendapat bahwa
tuntutan Pemohon agar Termohon mengganti juga winstderving
memiliki dasar hukum yang kuat. Namun, sekalipun Majelis
berpendapat bahwa Pemohon berhak secara hukum untuk
menuntut winstderving tersebut, mengenai besarnya winstderving
tersebut Majelis tidak sependapat dengan Pemohon sebagaimana
dituntut oleh Pemohon;
22. Menimbang, bahwa besarnya winstderving masih perlu ditentukan,
Majelis berpendapat untuk menentukan besarnya winstderving
tersebut secara seadil-adilnya, sehingga menurut Majelis agar
dilakukan sebagai berikut:
a. Besarnya keuntungan setiap bulan ditentukan berupa besarnya
rata-rata keuntungan selama satu tahun terakhir yang jangka
waktunya dihitung ke belakang dari saat kegiatan usaha
Pemohon dihentikan sampai satu tahun.

804
b. Setelah diketahui besarnya keuntungan rata-rata selama satu
tahun terakhir itu, selanjutnya dihitung berapa rata-rata
keuntungan setiap hari.
c. Besarnya keuntungan yang wajib dibayar oleh Termohon
adalah rata-rata keuntungan setiap hari dikalikan 88 (delapan
puluh delapan) hari.
d. Perhitungan di atas dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik.
23. Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 606 RV, uang paksa
(dwangsom) hanya dapat dituntut berkaitan dengan Putusan hakim
yang bersifat kondemnator yang berupa ke-wajiban menyerahkan
suatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau bangunan,
melakukan suatu perbuatan tertentu, tidak melakukan suatu
perbuatan dan menghentikan suatu perbuatan kejadian.
Menimbang, bahwa pendirian yang selama ini sudah dianut secara
luas di Indonesia, bahwa putusan kondemnator yang berupa
pembayaran sejumlah uang adalah bertentangan dengan ketentuan
Pasal 606a RV dan juga Putusan Mahkamah Agung RI No.:
307K/Sip/1976 tanggal 07 Desember 1976. Tegasnya, pendirian
yang dianut adalah tuntutan uang paksa/dwangsom tidak berlaku
terhadap tindakan untuk membayar uang, karena permohonan
Pemohon agar Termohon dikenakan uang paksa (dwangsom) untuk
keterlambatan adalah berkenaan dengan tindakan untuk membayar
uang, sehingga bertentangan dengan Pasal 606a RV dan juga
Putusan Mahkamah Agung RI No.: 307K/Sip/1976 tanggal 07
Desember 1976, sehingga Majelis menolak untuk mengabulkan
permohonan Pemohon yang demikian;
24. Menimbang, bahwa oleh karena permohonan Pemohon dikabulkan
sebagian, biaya arbitrase dalam perkara a-quo dibebankan kepada
Pemohon dan Termohon masing-masing 'A (seperdua) bagian.
Karena Pemohon telah membayar seluruhnya biaya arbitrase,
Termohon harus mengembalikan 'A (seperdua) bagian biaya
arbitrase kepada Pemohon yaitu Rp 149.227.000,00 (seratus
empat puluh sembilan juta dua ratus dua puluh tujuh ribu rupiah);
25. Menimbang, bahwa permohonan Pemohon, jawaban Termohon,
Replik, Duplik, bukti-bukti, keterangan saksi, Kesimpulan, yang
diajukan oleh Pemohon dan Termohon, serta Berita Acara
Persidangan telah dijadikan bahan pertimbangan hukum
sebagaimana mestinya oleh Majelis;

805
26. Mengingat dan memperhatikan Peraturan dan Prosedur BANI,
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku;

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan perbuatan Termohon sebagaimana perbuatan itu
dilakukan oleh PT. Jaga Citra Inti sebagai kontraktor yang diangkat
dan ditugasi oleh Termohon sebagai perbuatan melawan hukum;
3. Menghukum Termohon untuk membayar ganti rugi kepada
Pemohon yang merupakan penggantian atas biaya-biaya tetap
(fixed cost) yang telah dikeluarkan oleh Pemohon selama jangka
waktu 88 (delapan puluh delapan) hari karena kegiatan usahanya
terhenti sebagai akibat dilakukannya renovasi atas tempat/ruangan
yang disewa oleh Pemohon dari Termohon;
4. Menentukan besarnya biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh
Pemohon yang harus diganti oleh Termohon hanyalah apabila
didukung oleh bukti-bukti pengeluaran yang telah diverifikasi oleh
Kantor Akuntan Publik mengenai kebenarannya, baik mengenai
keaslian bukti-bukti tersebut maupun mengenai besarnya biaya;
5. Memutuskan Termohon membayar winstderving, yaitu keuntungan
yang sedianya dapat diperoleh oleh Pemohon seandainya
Termohon tidak lalai, yang besarnya dilakukan menurut
perhitungan :
a. Besarnya keuntungan setiap bulan ditentukan berupa besarnya
rata-rata keuntungan selama satu tahun terakhir yang jangka
waktunya dihitung ke belakang dari saat kegiatan usaha
Pemohon dihentikan sampai satu tahun.
b. Setelah diketahui besarnya keuntungan rata-rata selama satu
tahun terakhir itu, selanjutnya dihitung berapa rata-rata
keuntungan setiap hari.
c. Besarnya keuntungan yang wajib dibayar oleh Termohon
adalah rata-rata keuntungan setiap hari dikalikan 88 (delapan
puluh delapan) hari.

806
d. Perhitungan di atas wajib dilakukan oleh Kantor Akuntan
Publik.
6. Memutuskan agar Kantor Akuntan Publik yang ditugasi untuk
melakukan verifikasi terhadap biaya-biaya tetap yang telah
dikeluarkan oleh Pemohon dan menghitung besarnya winstderving
adalah Kantor Akuntan Publik yang disetujui oleh Pemohon dan
Termohon dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Putusan
Majelis dibacakan;
7. Memutuskan apabila Pemohon dan Termohon tidak berhasil
mencapai kesepakatan mengenai penunjukan Kantor Akuntan
Publik tersebut dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari,
penunjukan Kantor Akuntan Publik akan dilakukan oleh Majelis
setelah Majelis memperoleh laporan dari salah satu pihak
berperkara, yaitu dari Pemohon atau dari Termohon. Biaya Kantor
Akuntan Publik, baik yang ditunjuk oleh Pemohon dan Termohon
maupun yang ditunjuk oleh Majelis ditanggung oleh Pemohon dan
Termohon masing-masing sebesar 50 % (lima puluh persen);
8. Memutuskan menolak permohonan Pemohon agar 'I'ermohon
dibebani uang paksa (dwangsom) atas keterlambatannya membayar
ganti rugi yang telah ditetapkan oleh Majelis;
9. Menolak permohonan Pemohon selebihnya;
10. Menyatakan Putusan Arbitrase ini adalah putusan dalam tingkat
pertama dan terakhir serta mengikat kedua belah pihak;
11. Menghukum Pemohon dan Termohon untuk membayar biaya
arbitrase untuk perkara a quo masing-masing Vi (seperdua) bagian.
Karena Pemohon telah membayar seluruh biaya arbitrase,
Termohon harus membayar !4 (seperdua) bagian biaya arbitrase
kepada Pemohon yaitu Rp 149.227.000,00 (seratus empat puluh
sembilan juta dua ratus dua puluh tujuh ribu rupiah) paling lambat
14 (empat belas) hari terhitung sejak putusan didaftarkan di
Pengadilan Negeri;
12. Memerintahkan kepada Sekretaris Majelis BANI untuk
mendaftarkan turunan resmi Putusan Arbitrase ini pada
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas biaya Pemohon
dan Termohon dalam tenggang waktu sebagaimana ditetapkan
Undang-Undang No. 30 rFahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa;

807
Demikian diputuskan dan diucapkan pada hari Senin, 14
September 2009 di Ruang Sidang kantor BANI, Wahana Graha Lt. 2
Jalan Mampang Prapatan No. 2 Jakarta 12760 oleh M. Husscyn,
S.II./FCBArb., sebagai Ketua Majelis, Pro. Dr. II. Priyatna
Abdurrasyid, S.II., Ph.D., FCBArb., dan Prof. Dr. Remy Sjahdcni,
S.II., masing-masing sebagai anggota Majelis serta Sekretaris Majelis
Eko Dwi Prasetio, S.H. di depan Sidang Arbitrase dengan dihadiri oleh
Kuasa Hukum Pemohon dan Kuasa Hukum Termohon.

Jakarta, 14 September 2009


M. Hussevn. S.II./FCBArb.
Ketua

Pro. Dr. II. Privatna Abdurrasyid, S.H.. Ph.D., FCBArb.


Anggota

Prof. Dr. Remy Sjahdcni. S.II.


Anggota

808
ATAS NAMA KEADILAN
Reg. No. 1/1959 Pem.PutWst
MAHKAMAH AGUNG

mengadili dalam tingkat banding telah mengambil putusan sebagai


berikut dalam perkara:
INDONESIA COTTON TRADING CO LTD., berkedudukan di
Jakarta, Pasar Pagi 12 Jakarta Kota, pembanding,
melawan
FIRM A RAYUN, berkedudukan di Jakarta, Roa Malaka Selatan
No. 67 Jakarta Kota, terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Melihat surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa Firma
Rayun sebagai pihak penggugat dan Indonesia Cotton Trading Co. Ltd.,
sebagai pihak tergugat telah minta kepada Panitia Arbitrase dari
Organisasi Eksportir Hasil Bumi Indonesia, disingkat O.E.FI.I., di
Jakarta untuk memberi arbitrase mengenai perselisihan antara kedua
belah pihak dan bahwa oleh pihak penggugat dituntut agar pihak
tergugat dihukum untuk membayar kepada pihak lawannya uang
sejumlah Rp. 124.051,43 ditambah dengan bunga atas jumlah itu serta
biaya-biaya arbitrase ini;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan tersebut Panitia Arbitrase
O.E.H.I. di Jakarta telah mengambil putusan pada tanggal 29 April
1959, yang diktumnya berbunyi sebagai berikut:
“menghukum pihak tergugat untuk membayar kepada penggugat,
dengan menerima bukti pembayaran yang sah, uang sebesar
Rp. 121.809,50 (seratus duapuluh satu ribu delapan ratus sembilan
rupiah lima puluh sen), ditambah dengan bunga 6% setahunnya
dihitung mulai tanggal 12 Nopember 1958 sampai hari dipenuhi
semuanya;
“menolak tuntutan penggugat mengenai selainnya;
“menghukum penggugat dan pihak tergugat untuk membayar
biaya-biaya arbitrase ini, sampai serta penyimpanan keputusan ini
pada Kantor Panitera Pengadilan Negeri di Jakarta seluruhnya
berjumlah Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah), yakni penggugat

809
sebesar Rp. 150,-(seratus lima puluh rupiah) dan pihak tergugat
sebesar Rp. 7.350,- (tujuh ribu tiga ratus lima puluh rupiah);
“memerintahkan penggugat untuk membayar kepada O.H.II.l.
seluruh biaya-biaya arbitrase ini, sebesar Rp. 7.500,-;
“menghukum pihak tergugat untuk membayar kembali kepada
penggugat, dengan menerima bukti pembayaran yang sah, bagian
daripada biaya-biaya arbitrase ini yang harus dibayar oleh pihak
tergugat sebesar Rp. 7.350,-”;
Menimbang, bahwa putusan arbitrase ini telah diberitahukan
kepada kedua belah pihak yang berperkara pada tanggal 30 April 1959;
Bahwa sesudah penerimaan putusan arbitrase itu terhadapnya
oleh tergugat dengan perantaraan kuasanya khusus telah diajukan
permohonan untuk pemeriksaan banding dengan surat yang diterima
di kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 1 Juni 1959, surat
mana sekaligus memuat alasan-alasan permohonannya;
bahwa permohonan banding beserta memori alasan-alasan banding
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan sepatutnya;
Menimbang, bahwa terlebih dahulu harus dipertimbangkan soal
apakah permintaan banding ini material dapat diterima atau tidak;
Menimbang, bahwa pada umumnya menurut pasal 108 (2)
Undang-Undang Mahkamah Agung Indonesia terhadap perkara ini
dapat dimohonkan banding;
Menimbang, bahwa akan tetapi menurut syarat-syarat umum buat
penjualan hasil bumi (Pasal 2 ayat 2) dan Reglemen Panitia Arbitrase
O.E.II.I. (Pasal 8 ayat 3), yang dipakai oleh dan berlaku antara kedua
belah pihak pada waktu persetujuan yang bersangkutan dibuat,
keputusan arbitrase tidak akan dapat dibanding;
Menimbang, bahwa hal demikian ini tidaklah bertentangan dengan
pasal 108 (2) Undang-Undang Mahkamah Agung tersebut atau dengan
sesuatu peraturan tentang ketertiban umum;
Menimbang, bahwa berdasarkan semua itu permohonan banding
tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
Memperhatikan pasal-pasal undang-undang yang bersangkutan
dan Pasal 120 Undang-Undang Mahkamah Agung Indonesia;

810
MEMUTUSKAN:
Menyatakan bahwa permohonan banding dari pembanding :
INDONESIA COTTON TRADING CO LID tersebut tidak dapat
diterima;
Menghukum pembanding untuk membayar biaya perkara dalam
tingkatan ini yang ditetapkan banyaknya Rp. 38,75 (tiga puluh delapan
rupiah tujuh puluh lima sen).
MAHKAMAH AGUNG RI
PUTUSAN
Rcg.No. 2944 K/Pdf/1983

DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil


putusan sebagai berikut dalam perkara :
P.T. NIZWAR, alamat Jalan Taman Matraman Timur No. 19A.
Jakarta Pusat, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya: Harjono
Tjitrosoebono, SIT, bertempat tinggal di Jalan Plaju No. 1 Jakarta
Pusat, pemohon kasasi dahulu termohon asli;
melawan:
NAVIGATION MARITIME BULGARE, Varna, Blvd.
Chervenoermeiski, memilih tempat kediaman hukum dikantor
Pengacaranya Mr. DR. S. Gautama (Gouw Giok Siong) di Jalan
Medan Merdeka Timur No. 9 Jakarta Pusat, termohon kasasi
dahulu pemohon asli;
Mahkamah Agung tersebut;
Melihat surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa
sekarang termohon kasasi semula pemohon asli telah mengajukan
permohonan yang berbunyi sebagai berikut:
bahwa dalam keputusan Arbitrator di London tanggal 12 Juli 1978
dalam perkara antara :
Client kami sebagai claimants dengan PT. Nizwar sebagai
respondents maka telah diputuskan bahwa :
pihak PT. Nizwar harus membayar client kami uang sejumlah US$
72.576.39 (tujuh puluh dua ribu lima ratus tujuh puluh enam 39/100
United States Dollars) ditambah dengan bunganya 7 / 2% setiap
tahunnya terhitung sejak tanggal 1 Januari 1975 sampai lunas dibayar

812
dan biaya arbitrase f 250,- (dua ratus lima puluh pound sterling) (bukti
terlampir P-l);
bahwa dengan adanya Staatsblad 1933 - 131 yo. 132 yo. 133
tentang Voorziening voor Indonesia ter uitvoering van het Verdrag nopens de
tenuitvoerlegging van in het buitenland gewezen scheidsrechterlijke uitspraken
van 26September 1927dan Konvensi Geneva tanggal 26 September 1927
(lihat Kitab Undang-undang, Undang-undang dan Peraturan-peraturan
Republik Indonesia dari Mr. W.A. Engelbrecht 1960, halaman 2841)
yang berlaku baik untuk Indonesia maupun Negara Inggris, maka suatu
keputusan Arbitrase luar negeri (dari Inggris) mempunyai kekuatan
hukum sebagai suatu keputusan akhir Pengadilan yang dapat segera
dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri di Indonesia, setelah
memperoleh (fiat executie)',
Maka bersama ini atas nama client kami mohon supaya Bapak
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berkenan memberikan fiat
executie dan memerintahkan kepada PT. Nizwar, di Jalan Taman
Matraman Timur No. 19A Jakarta Pusat untuk melaksanakan keputusan
arbitrase London No. 1950 tanggal 12 Juli 1978, yaitu segera dan
sekaligus membayar kepada pemohon asli, uang US$ 72.576.39 (tujuh
puluh dua ribu lima ratus tujuh puluh enam 39/100 United States
dollars ditambah dengan bunganya sebesar 7 1/2% setahun sejak
tanggal 1 Januari 1975 sampai lunas dibayar ditambah dengan biaya
arbitrase sejumlah 250,- (dua ratus lima puluh pound sterling); bahwa
berdasarkan permohonan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dengan penetapan No. 2288/1979 P. tanggal 10 Juni 1981 telah
memberikan putusan sebagai berikut:
Mengabulkan permohonan pemohon;
Memerintahkan kepada termohon yaitu PT. Nizwar, beralamat di
Jalan Matraman Timur No. 19A Jakarta Pusat untuk melaksanakan
keputusan Arbitrase London No. 1950, tanggal 12 Juli 1978 untuk
dengan segera dan sekaligus membayar kepada pemohon uang US$
72.576.39 (tujuh puluh dua ribu lima ratus tujuh puluh enam 39/100
United States dollars) ditambah dengan bunganya sebesar 714% setahun
terhitung sejak tanggal 1 Januari 1975 sampai lunas dibayar ditambah
dengan biaya arbitrase sejumlah 250,- (dua ratus lima puluh
poundsterling);
Menghukum Termohon membayar biaya perkara ini yang sampai
pada hari ini kami taksir sebesar Rp. 4.300,- (empat ribu tiga ratus
rupiah);

813
Menimbang, bahwa menurut surat permohonan kasasi No.
060/Srt.Pdt/G/1981. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari Rabu
tanggal 1 Juli 1981 termohon asli telah mengajukan permohonan
pemeriksaan dalam tingkat kasasi terhadap penetapan No.
2288/Pdt.P/1979 tanggal 10 Juni 1981, sedangkan tidak diketahui
kapan penetapan tersebut diberitahukan kepadanya;
Bahwa akan tetapi sesuai surat pengantar tanggal 17 Oktober 1983
No. 107.DC.IIT/Pan/6969/2288/79.P/1983 dan surat keterangan
Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 12 Oktober 1983 No.
060 /Srt.Pdt.G/81/PN.Jkt.Pst. pemohon kasasi tidak mengajukan risalah
kasasi;
Menimbang terlebih dahulu, bahwa dengan berlakunya Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang telah mencabut Undang-Undang No. 19
Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (yang lama) dan Hukum Acara Kasasi seperti yang
dimaksudkan dalam Pasal 49 (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 1965
sampai kini belum ada, maka Mahkamah Agung menganggap perlu
untuk menegaskan Hukum Acara Kasasi yang harus dipergunakan;
Bahwa mengenai hal ini berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang No.
14 Tahun 1970, maka Pasal 70 Undang-Undang No. 13 Tahun 1965
harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga yang dinyatakan tidak
berlaku itu bukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 secara
keseluruhan, melainkan sekedar mengenai hal-hal yang telah diatur
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 kecuali kalau bertentangan
dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970;
Bahwa dengan demikian, maka yang berlaku sebagai Hukum
Acara Kasasi adalah Hukum Acara Kasasi yang diatur dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1950, sekedar tidak bertentangan dengan Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini pemohon kasasi tidak
mengajukan memori/risalah kasasi dimana dimuat alasan-alasan dari
permohonannya sebagaimana yang diharuskan oleh Pasal 115 ayat (1)
Undang-Undang Mahkamah Agung Indonesia, sehingga berdasarkan
ayat 2 Pasal 115 itu permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak
dapat diterima;
Menimbang, bahwa disamping itu meskipun permohonan kasasi
harus dinyatakan tidak dapat diterima, Mahkamah Agung menganggap

814
perlu demi kepastian hukum dan perkembangan hukum di Indonesia
khususnya tentang hal pelaksanaan putusan Hakim Arbitrase Asing
untuk memberikan pertimbangan sebagai berikut:
- bahwa pada azasnya sesuai dengan Yurisprudensi di Indonesia
putusan Pengadilan Asing dan putusan Hakim Arbitrase Asing tidak
dapat dilaksanakan di Indonesia kecuali kalau antara Republik
Indonesia dan Negara Asing yang bersangkutan diadakan perjanjian
tentang pelaksanaan putusan Pengadilan Asing/putusan Hakim
Arbitrase Asing;
bahwa meskipun menurut pasal 5 Peraturan Peradilan dari perjanjian
Konperensi Meja Bundar perihal penyerahan Kedaulatan dari
Kerajaan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia,
perjanjian-perjanjian Internasional yang berlaku untuk wilayah
Indonesia tetap berlaku bagi Republik Indonesia namun hal ini tidak
berarti Republik Indonesia mutlak terikat pada perjanjian-perjanjian
Internasional yang dahulu oleh Pemerintah Kerajaan Belanda,
dengan alasan Perjanjian Internasional tersebut (i.c.s. 1933 No. 132)
terjadi pada waktu keadaan dunia Internasional sepenuhnya dikuasai
oleh negara-negara penjajah, dengan demikian prinsip State
Succession berdasarkan Hukum Internasional juga dikuasai oleh
keadaan tersebut, dimana kalau kelak suatu negara jajahan
memperoleh kemerdekaannya, maka negara jajahan tersebut
otomatis (sesuai passief stelsel) terikat pada perjanjian-perjanjian
Internasional yang telah diadakan oleh negara penjajahnya;
Bahwa pada dewasa ini, dimulai setelah perang dunia ke II praktis
keadaan dunia telah berubah, karena timbulnya kekuatan-kekuatan baru
dalam bentuk negara-negara yang sedang berkembang bahkan dunia
sekarang dikuasai oleh aliran Interpedensi (saling ketergantungan) yang
intinya ialah adanya common concern dari family o f nations tentang
keadaan didunia;
Bahwa selanjutnya mengenai keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 34 tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981 dan lampirannya
tentang mengesahkan “Convention on the Recognation and
Enforcement o f Foreign Arbitral Awards” sesuai dengan praktek
hukum yang berlaku masih harus ada peraturan pelaksanaannya tentang
apakah permohonan eksekusi putusan Hakim Arbitrase dapat diajukan
langsung pada Pengadilan Negeri, kepada Pengadilan Negeri yang
mana ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah
Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut

815
tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum
di Indonesia;
Bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, permohonan
pelaksanaan putusan Hakim arbitrase Asing seharusnya dinyatakan
tidak dapat diterima; Memperhatikan pasal 40 Undang-Undang No. 14
tahun 1970, Undang-Undang No. 13 tahun 1965 dan Undang-Undang
No. 1 tahun 1950;
MENGADILI :
Menyatakan, bahwa permohonan kasasi dari pemohon kasasi : PT.
Nizwar tersebut tidak dapat diterima;
Menghukum pemohon kasasi semula termohon membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp. 10.000,-
(sepuluh ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari: Senin tanggal 20 Agustus 1984 dengan Prof. Z.
Asikin Kusumah Atmadja, SI I. Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua
Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang, Ny. II. Poerbowati Djoko
Socdomo, SH, dan Danny, SH. Sebagai Hakim-hakim anggota dan
diucapkan dalam sidang terbuka pada hari: Kamis, Tanggal 29
Nopcmber 1984 oleh Ketua Sidang tersebut dengan dihadiri oleh
Ny. II. Poerbowati Djoko Soedomo, SH. dan Danny, SH. Hakim-hakim
Anggota, dan I.G.A. Retisni Radika, SII. Panitera Pengganti, dengan
tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.

Hakim-hakim Anggota: Ketua


ttd./ ttd./
Ny. H.Poerbawati Djoko Soedomo, SH. Prof. Z. Asikin Kusumah
Atmadja, SH.
ttd./
Danny, SH.

Panitera Pengganti,
ttd./
I.G.A. Restini Radika, SII.

816
MAIIKAMAII AGUNG RI
PUTUSAN
Reg. No. 225 K/Sip/1976

DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAIIA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil


putusan sebagai berikut dalam perkara :
1. DATO WONG GUONG, pedagang tinggal di Singapura.
2. PT. METROPOLITAN TIMBERS LTD., keduanya beralamat di
Jl. Melawai VI No. 21 Jakarta, dalam hal mi diwakili oleh
kuasanya M.F. Sukayat Kartodiprodjo, SH. alamat Jalan Merdeka
Timur No. 9 Jakarta;
Pemohon-pemohon kasasi, dahulu Tcrgugat-tergugat Terbanding,
melawan
ANDREWS GERARDUS PANGEMANAN, sebagai Direktur bertindak
untuk dan atas nama GAPKI TRADING CO LTD PT, dalam hal ini
memilih domisili di kantor kuasanya : Andi Walionan, SI I. Glodok
Baru lantai U No. 22 Jakarta,
Termohon kasasi, dahulu Penggugat Pembanding; Mahkamah Agung
tersebut,
Melihat surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa
sekarang Termohon kasasi sebagai penggugat asli telah menggugat
sekarang Pemohon-pemohon kasasi sebagai tcrgugat-tergugat asli
dimuka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pokoknya
atas dalil-dalil :
Bahwa dalam rangka Undang-Undang No. 6 tahun 1968 penggugat
asli telah memperoleh dari Dirjen Kehutanan Departemen Pertanian
suatu konsesi kayu (Ilak Pengusahaan Hutan) atas kepulauan
Sanasa Kasiruta dan Mandioli Propinsi Maluku No. 233/kpts/Um/l 969
(bukti P-l);

817
Bahwa pada tanggal 25 November 1969 antara penggugat asli dan
Tergugat asli I telah dibuat suatu perjanjian (agreement) dihadapan
notaris JFBT Sinyal di Jakarta No. 25 mengenai kerja sama eksploitasi
kayu di kepulauan tersebut (bukti P-2);
Bahwa menurut agreement tersebut kepada tergugat asli I diberi
kuasa oleh penggugat asli untuk melaksanakan eksploitasi dari konsesi
kayu yang bersangkutan atas nama penggugat asli bahwa dengan
suratnya tanggal 30 September 1970 (bukti P-3) tergugat asli 1
menyatakan kepada penggugat asli bahwa tergugat asli II adalah
sekutunya yang akan menjalankan pelaksanaan eksploitasi kayu sesuai
dengan perjanjian No. 25 tersebut;
Bahwa status para tergugat asli dalam hal ini adalah sebagai
kontraktor asing, hal mana dibuktikan dengan surat Ditjen Kehutanan
tanggal 6 April 1971 No. 1173/12/DD/71 yang menentukan besarnya
areal khutanan yang telah dikerjakan kontraktor asing/tergugat asli II
yaitu 5.000 (lima ribu) hektar di atas pulau Sanasa (bukti P-4);
Bahwa menurut pasal 6 dari Agreement No. 25 tersebut para pihak
tergugat asli harus membayar kepada penggugat asli sebesar US $ 3,-
(tiga US $) per meter kubik yang dijual menurut bill o f lading (invoice)
dan pembayaran tersebut harus dilakukan satu bulan setelah datum dari
masing-masing shipment, pembayaran mana kemudian dinaikkan
menjadi US $ 3,25 per meter kubik menurut agreement No. 4 tanggal 6
Juni 1971 yang dibuat di hadapan notaris Sinyal tersebut;
Bahwa menurut bukti-bukti yang diperoleh dalam rangka kerja
sama agreement No. 25 ini para tergugat asli telah mengekspor kayu
dari pulau Sanana sampai pada tanggal 22 Januari 1972 sebanyak
22.450,910 meter kubik (bukti P-7), dengan demikian para tergugat asli
harus membayar sebanyak 22.450,910 x US $ 3,25 US $ 72.565,45.
Jumlah mana hingga sekarang belum dipenuhi walaupun sudah ditegur
baik secara lisan maupun tertulis (bukti P-7),
Bahwa selanjutnya menurut pasal 8 dari agreement tersebut para
tergugat asli harus pula membayar kepada penggugat asli US $ 500
sebulan terhitung mulai 1 Desember 1969 sebagai biaya administrasi,
biaya mana kemudian dinaikkan menjadi US $ 1000 (seribu US $)
sebulan menurut agreement No. 4 tanggal 3 Juni 1971 tersebut;
Bahwa para tergugat asli telah lalai memenuhi pembayaran
administrasi tersebut sejak tanggal 1 Agustus 1972 sehingga penggugat
asli harus menuntut 6 x US $ 1000,- = US $ 6.000,-

818
Bahwa untuk menjamin supaya penggugat-asli memperoleh
kembali uang yang digugatnya itu penggugat-asli telah mohon kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar diletakkan Conservatoir beslag
atas barang-barang milik tergugat-aslfdah selanjutnya penggugat asli
menuntut kepada Pengadilan Negeri tersebut supaya memberikan
keputusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu :
1. Mengabulkan gugatan;
2. Menyatakan sebagai hukum, bahwa para tergugat I dan tergugat II
terikat sepenuhnya segala ketentuan yang tercantum dalam
agreement No. 25 tanggal 25 Nopember 1969 berikut agreement
No. 4 tanggal 3 Juni 1971 yang dibuat dihadapan Notaris Sinyal;
3. Menghukum para tergugat I dan tergugat II secara tanggung
renteng untuk membayar kepada penggugat;
a. hasil ekspor kayu 7 pengapalan (sesuai daftar terlampir) sebesar
US $ 72.965,45 atau nilainya dalam rupiah;
b. pembayaran biaya administrasi sebanyak 6 x US $ 1000 ■- US $
6000 (enam ribu US $) atau nilainya dalam rupiah;
4. Mengadakan dan atau menguatkan sitaan Conservatoir beslag atas
barang-barang milik para tergugat baik bergerak maupun tidak
bergerak;
5. Menyatakan keputusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu
(uitvoorbaar bij voorraad);
6. Menghukum para tergugat membayar biaya perkara; ini berarti
bertentangan dengan agreement art. I I yang berlaku sebagai
undang-undang bagi kedua belah pihak. Atas dasar salah satu pihak
tidak mengajukan perlawanan ketentuan agreement art No. 11
dapat dikesampingkan;
7. Dengan demikian maka pertimbangan Pengadilan Tinggi tersebut
adalah bertentangan dengan maksud dan pengertian yang terdapat
dalam ketentuan Pasal 134 HIR., karena mengenai kewenangan
absolut ini Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi harus
menyatakan dirinya tidak berwenang manakala oleh suatu
ketentuan undang-undang dinyatakan dirinya tidak berwenang
untuk memeriksa;
8. Persetujuan yang terdapat dalam art 11. adalah bersifat hukum
keperdataan sekalipun demikian hal itu harus dihormati dan ditaati
oleh Pengadilan karena sebagaimana dalam sistim Hukum Acara

819
Perdata yang berlaku yakni walaupun Hukum Acara Perdata adalah
merupakan ketentuan-ketentuan Hukum Publik dalam beberapa
segi masih dapat disimpangi berlakunya oleh sesuatu persetujuan
yang diciptakan oleh kedua belah pihak yang berselisih antara lain
umpamanya dalam hal terjadinya suatu dading; sehingga
kedudukan/kekuatan dari ketentuan art. 11 dari agreement tersebut
karena mengenai kekuasaan absolut harus ditempuh sesuai dengan
ketentuan pasal 134 HIR. Demikian pula dalam masalah sekarang
ini soal kewenangan menyelesaikan perselisihan antara pihak-
pihak tersebut oleh mereka telah disepakati pertama-tama harus
diselesaikan oleh Bad an Arbitrase dan bukan oleh Pengadilan
Negeri, ketentuan mana harus juga ditaati oleh Pengadilan Negeri
maupun Pengadilan Tinggi.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon-
pemohon kasasi DATO WONG HECK GUONG dan kawan dapat
diterima dengan membatalkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dan Mahkamah Agung dengan mengadili lagi perkara ini
menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara
tersebut baik dalam konpensi maupun rekonpensi;
Menimbang, bahwa Tergugat-tergugat asli telah mengajukan
eksepsi atas dalil-dalil gugatan penggugat asli tersebut pada pokoknya
sebagai berikut:
Bahwa yang menjadi dasar daripada gugatan ini adalah agreement
No. 25 tanggal 25 Nopember 1969 dan agreement No. 4 tanggal 3 Juni
1971 dan terhadap hal-hal tersebut Tergugat-asli I telah mengajukan
gugatan pada tanggal 27 Nopember 1971 dengan rol No. 514/1971 G.
Perkara tersebut hingga saat ini masih dalam taraf kasasi, oleh karena
itu tergugat asli mohon agar gugatan tersebut diatas dinyatakan tidak
dapat diterima;
Bahwa eksepsi tersebut telah ditolak oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Menimbang selanjutnya bahwa Tergugat asli juga telah
menyangkal akan kebenaran dalil-dalil gugatan penggugat-penggugat
asli tersebut dan sebaliknya telah mengajukan gugatan balik/rekonpensi
pada pokoknya sebagai berikut:

820
Bahwa Penggugat rekonpensi/ Tergugat asli mohon agar segala
sesuatu yang diajukan dalam konpensi dianggap termasuk dalam
rekonpensi ini,
Bahwa betul sesuai dalil Tergugat rekonpensi/Penggugat asli
dalam sub. 2 dan 3 surat gugatan antara Penggugat I rekonpensi/
Tergugat asli dengan Tergugat rekonpensi/Penggugat asli dibuat
perjanjian No. 25 dan No. 26 tanggal 25 Nopember 1969 di hadapan
Notaris JFBT Sinyal tentang kerja sama dalam bidang eksploitasi kayu
di kepulauan Sanana, Mandioli dan Kasiruta (P-2);
Bahwa yang menjadi objek perjanjian HPH yang diperoleh
Tergugat rekonpensi/penggugat asli dari Dirjen Kehutanan Pcfranian;
Bahwa untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan agreement-
agreement tersebut, para Penggugat rekonpensi atau Tergugat-tergugat
asli sebagai pelaksanaan dari eksploitasi konsesi kayu tersebut telah
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menyediakan modal kerja
dalam bentuk perkakas dan alat-alat dan biaya-biaya lainnya sejumlah
Rp.605.800.000,- (enam ratus lima juta delapan ratus ribu rupiah),
dengan perincian sebagaimana diuraikan dalam gugatan rekonpensi;
Bahwa selain itu Penggugat rekonpensi/tergugat asli telah
dimasukkan ke pulau Sanana equipment sebagaimana diuraikan dalam
gugatan rekonpensi;
Bahwa tergugat rekonpensi/penggugat asli tanpa izin penggugat
rekonpensi/tergugat asli telah mengembalikan IIP1I tersebut kepada
Pemerintah dengan suratnya tanggal 20 Mei 1971 dan ternyata
kemudian HPH tersebut memang dicabut oleh Pemerintah dengan S.K.
Menteri Pertanian No. 356/Kpts/Um/8/1971 (P-3),
Bahwa karena perbuatan Tergugat rekonpensi/penggugat asli
tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum karena telah begitu
saja tanpa izin Penggugat rekonpensi/Tergugat asli menghilangkan
obyek perjanjian dalam agreement No. 25 jo. No. 26 tersebut, bahwa
karena perbuatan Tergugat rekonpensi/Penggugat-penggugat asli telah
mengalami kerugian-kerugian selain uang modal dan equipment juga
Penggugat rekonpensi/Tergugat-tergugat asli kehilangan keuntungan
yang seharusnya didapat. Karena tindakan 'bergugat rekonpensi/
Penggugat asli tersebut, Penggugat rekonpensi/Tergugat-tergugat asli
telah dilarang untuk melakukan pelaksanaan eksploitasi hutan tersebut
sejak September sampai Desember 1971. Sedangkan para buruh tidak
dapat begitu saja diberhentikan mend ad ak sehingga dalam keadaan

821
tidak bekerja itu tetap harus digaji. Equipment yang telah dibeli guna
memenuhi perjanjian no. 25 jo No. 26 tersebut pun menjadi percuma
saja. Dan untuk menentukan besarnya rente yang sekarang berlaku 5%
sebulannya dari seluruh pengeluaran-pengeluaran para Penggugat
rekonpensi/Tergugat-tergugat asli tersebut di atas;
Bahwa karena perbuatan Tergugat rekonpensi/Pcnggugat asli
tersebut mengakibatkan pula adanya tuntutan-tuntutan dari pihak ketiga
terhadap para Penggugat rekonpcnsi/Tcrgugat asli khususnya yang
melakukan tuntutan tersebut PT. GREEN TIMBER JAYA.
Bahwa untuk lebih menjamin hak Penggugat rekonpensi/
Tergugat asli karena ada kekhawatiran Tergugat rekonpensi/
Penggugat asli akan menggelapkan barang-barangnya, maka para
Penggugat rekonpensi/Tergugat asli motion agar Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat meletakkan sita jaminan atas barang-barang milik
Tergugat rekonpensi/Penggugat asli dan selanjutnya para Penggugat
rekonpensi/Tergugat asli menuntut kepada Pengadilan Negeri tersebut
supaya memberi keputusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu
sebagai berikut:
1. Meletakan sita jaminan atas seluruh barang-barang bergerak
maupun tidak bergerak milik tergugat rekonpensi,
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan tersebut,
3. Menghukum tergugat, karena telah melakukan perbuatan melawan
hukum mengembalikan hak pengusaan hutan menjadi obyek
sengketa perjanjian No. 25 jo No. 26 Nopember 1969 di hadapan
Notaris JFBT Sinyal tanpa seijin penggugat, untuk membayar ganti
kerugian kepada Penggugat secara sekaligus dan segera setelah
keputusan ini diucapkan :
uang biaya yang telah dikeluarkan penggugat sejumlah
Rp.605.800.000,00 (enam ratus lima juta delapan ratus ribu
rupiah). Uang kehilangan keuntungan yang seharusnya didapat
sejumlah 5% dari pada Rp. 605.800.000,00 tiap bulannya dihitung
sejak September 1971 sampai dengan lunas dibayar; bunga
menurut Undang-Undang 6% setahunnya dari pada jumlah tersebut
dalam sub I dan sub 2 terhitung sejak gugatan ini dimasukkan ke
Paniteraan Pengadilan Negeri,
4. Menyatakan keputusan ini dapat dijalankan lebih dahulu walaupun
ada banding, verzet atau kasasi;
5. Biaya menurut hukum ;

822
bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
telah mengambil keputusan, yaitu keputusannya tanggal 12 maret 1973
No. 310/1972 G., yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

DALAM KONPENSI :
dalam eksepsi :
Menolak eksepsi para tergugat:
dalam pokok perkara:
Menolak seluruh gugatan penggugat:

DALAM REKONPENSI:
dalam eksepsi:
Menolak eksepsi tergugat;
dalam pokok perkara:
Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;
Menyatakan perbuatan tergugat perihal pengembalian Hak
Penguasaan Ilutan di kepulauan Sanasa Kasiruta dan Mandioli
adalah melanggar hukum;
Menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi kepada
penggugat sekaligus dan seketika sebesar 10% (Rp. 300.000.000,- t
Rp. 322.384.567,91) = Rp. 62.384.456,79 ditambah bunga sebesar 6%
terhitung mulai saat keputusan tersebut diucapkan;

DALAM KONPENSI/REKONPENSI
Menghukum penggugat konpensi/tergugat rekonpensi untuk
membayar biaya-biaya dalam perkara ini yang ditaksir sebesar Rp.
10.535,- (sepuluh ribu lima ratus tiga puluh lima rupiah) ; keputusan
mana dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat telah
dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan keputusannya
tanggal 10 Juli 1975 No. 145/1973 PT. Perdata, yang amarnya berbunyi
sebagai berikut:
Menerima permohonan banding dari Pcnggugat-Pcm banding,
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 21
Maret 1973 No. 310/1972 G., dalam konpensi yang dimohonkan
banding kecuali perihal eksepsi,

823
MENGADILI SENDIRI
Dalam pokok perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat-pembanding untuk sebagian;
2. Menyatakan sebagai hukum bahwa para Tergugat Terbanding
terikat sepenuhnya pada segala ketentuan yang tercantum dalam
agreement No. 25 tanggal 25 Nopember 1969 berikut agreement
No. 4 tanggal 3 Juni 1971 yang dibuat di hadapan Notaris Sinyal
sepanjang tidak mengenai hak Penguasaan Ilutan, sampai dengan
selesainya shipment kayu tanggal 22 Januari 1972;
3. Menghukum para Tergugat Terbanding untuk membayar kepada
Penggugat-Pembanding ;
a. Hasil ekspor kayu sebanyak 7 (tujuh) pengapalan sebesar $
72.965,45 (tujuh puluh dua ribu sembilan ratus enam puluh lima
U.S. dollar empat puluh lima U.S. dollar sen) atau nilainya
dalam rupiah;
b. Pembayaran biaya administrasi sebanyak 6 (enam) kali - $
6.000,- (enam ribu U.S. dollar) atau nilainya dalam rupiah;
4. Menyatakan permohonan pengesahan conservatoir beslag tidak
dapat diterima;
5. Menolak gugatan untuk selebihnya;
DALAM REKONPENSI:
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pus at tanggal 21
Maret 1973 No. 310/1972 G. dalam rekonpensi yang dimohonkan
banding;
Mengadili sendiri:
Menyatakan gugatan para Tergugat Terbanding/Penggugat dalam
rekonpensi tidak dapat diterima;
Dalam konpensi dan rekonpensi :
Menghukum para Tergugat Terbanding/Penggugat dalam
rekonpensi untuk membayar biaya perkara dalam dua tingkatan, biaya
mana dalam tingkat banding diperkirakan Rp. 1.165,- (seribu seratus
enam puluh lima rupiah);
Bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada kedua
belah pihak pada tanggal 16 Oktober 1975 kemudian terhadapnya
oleh Tergugat-Terbanding (dengan perantaraan kuasanya khusus,

824
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 21 Oktober 1975) diajukan
permohonan untuk pemeriksaan kasasi secara lisan pada tanggal
24 Oktober 1975 sebagaimana ternyata dari surat keterangan
No. 059/75/Kas/310/1972 G. yang dibuat oleh Panitera Bagian
Banding/Kasasi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan mana
kemudian disusul oleh memori alasan-alasannya yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 29 Oktober
1975;
Bahwa setelah itu oleh Penggugat-Terbanding yang pada tanggal
11 Nopember 1975 telah diberitahu tentang memori kasasi dari
'l’ergugat-Pembanding, diajukan jawaban memori kasasi yang diterima
di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 24
Nopember 1975;
Menimbang terlebih dahulu, bahwa dengan berlakunya Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang telah mencabut Undang-Undang No. 19
Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (yang lama) dan Hukum Acara Kasasi seperti yang
dimaksudkan dalam Pasal 49 (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 1965
sampai kini belum ada, maka Mahkamah Agung menganggap perlu
untuk menegaskan Hukum Acara Kasasi yang harus dipergunakan;
Bahwa mengenai hal ini berdasarkan pasal 40 Undang-Undang No.
14 Tahun 1970, maka Pasal 70 Undang-Undang No. 13 Tahun 1965
harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga yang dinyatakan tidak
berlaku itu bukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 secara
keseluruhan, melainkan sekedar hal-hal yang telah diatur dalam
Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 kecuali kalau bertentangan dengan
Undang-Undang No. 14 tahun 1970;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-
alasannya yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan
seksama diajukan dalam tenggang-tenggang waktu dan dengan cara
yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu dapat
diterima;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh
pemohon kasasi dalam memori kasasi tersebut pada pokoknya :
1. Bahwa sesuai dengan bunyi agreement No. 25 tanggal 25
Nopember 1969 yang dibenarkan pula oleh Pengadilan Tinggi
Jakarta maka untuk perkara ini sebenarnya harus diselesaikan oleh

825
Arbitrase. Sehingga sesuai dengan Pasal 134 IIIR, maka pemohon
kasasi merasa sangat keberatan perkara ini diadili oleh Badan
Pengadilan. Sehingga dapat kiranya Mahkamah Agung
menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara ini;
2. Akan tetapi bila Mahkamah Agung berpendapat lain, maka dengan
ini diajukan jawaban dalam pokok perkara sebagai berikut :
DALAM KOMPENSI :
Bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 310/1972
G. telah dengan tepat memutus dan mempertimbangkan perkara ini
dengan menolak seluruh gugatan asal. Karena Penggugat-asal/
Termohon kasasi telah melakukan wanprestasi dan tidak
melaksanakan perjanjian yang ada dengan itikad baik seperti akan
terlihat dalam uraian ini;
3. Bahwa Penggugat-asal/Termohon kasasi telah mengakui
mengembalikan Hak Penguasaan Hutan/Konsesi di Kepulauan
Sanasa, Kasiruta dan Mandioli No. 233/Kpts/Um/7/1969 kepada
Pemerintah tanpa sepengetahuan dan seijin Pemohon kasasi I;
Padahal perbuatan tersebut tidak dapat dibenarkan karena
Penggugat asal/Termohon kasasi terikat oleh perjanjian No. 25
tanggal 25 Nopember 1969 dan pemberian kuasa secara
irrevocable dari Penggugat-asal/Termohon kasasi kepada Pemohon
kasasi I dibuat dihadapan Notaris Jfbt Sinyal menurut akte No. 26
tanggal 25 Nopember 1969. Dengan surat kuasa mana eksploitasi
hutan kayu tersebut diserahkan kepada Pemohon kasasi, sehingga
tidak pada tempatnya untuk menyerahkannya tanpa izin Pemohon
kasasi kepada Pemerintah;
4. Bahwa dengan diserahkannya Hak Penguasaan Hutan tersebut oleh
Termohon kasasi kepada Pemerintah dengan suratnya tertanggal 20
Mei 1971 No. 0884/JJ/74, yang kemudian oleh Menteri Pertanian
telah dikeluarkan Surat Keputusannya No. 356/Kpts/Um/8/1971,
tanggal 12 Agustus 1971. Padahal Pemohon kasasi telah
mengeluarkan perjanjian No. 25 jo No. 26 tersebut;
5. Bahwa Termohon kasasi telah melanggar Pasal 1338 BW dan hal
ini sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi
Jakarta. Pasal 1338 BW mana menentukan bahwa perjanjian
mengikat kedua belah pihak dan tidak dapat diputuskan secara
sepihak. Pelaksanaannya juga harus secara itikad baik.

826
6. Pemohon kasasi sangat keberatan terhadap putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta yang menghukum pemohon kasasi untuk membayar
hasil ekspor kayu dari tanggal 21 September 1971 sampai dengan
tanggal 22 Januari 1972 dan uang administrasi dari tanggal 1
Agustus 1971 sampai dengan tanggal 31 Januari 1972, karena sejak
Termohon kasasi mengembalikan Hak Penguasaan Hutan kepada
Pemerintah atau setidak-tidaknya sejak adanya S.K. Menteri
Pertanian tanggal 12 Agustus 1971 No. 356/Kpts/Um/8/1971,
maka sebenarnya ia sudah memutuskan secara sepihak perjanjian
No. 25 dengan pemohon kasasi, sehingga sejak tanggal tersebut fa
tidak berhak lagi menuntut apa-apa lagi,
7. Apakah adil termohon kasasi yang telah melakukan perbuatan
melawan hukum itu masih saja dilindungi Pengadilan, bahkan
kepadanya harus diserahkan uang hasil ekspor kayu dan uang
administrasi ?
Menurut Pengadilan Tinggi Jakarta adanya “hak” Termohon kasasi
terbukti dari P-6, P-8 yang katanya walaupun pemohon kasasi tidak
sependapat dengan pertimbangan Pengadilan Tinggi Jakarta
(halaman 3 alinea 6) yang menyatakan adanya “hak” Termohon
kasasi terbukti dari bukti P-6, P-8. Karena menurut pasal 1865 BW
maka Termohon kasasi/Penggugat-asal yang harus membuktikan
kebenaran isi bukti-bukti tersebut karena telah disangkal oleh
Pemohon kasasi, apalagi bila" diingat bahwa P-6 merupakan
“eenzijdige verklaring” dari Termohon kasasi sendiri yang tidak
benar isinya. Dan bukti P-5 dan P-8 tersebut dapat dipatahkan
dengan adanya bukti Termohon kasasi yang tidak berhak lagi
menuntut uang tersebut, karena uang untuk pembayaran utangnya
Penggugat-asal/Termohon kasasi;
8. Lagi pula mohon perhatian Mahkamah Agung tentang hal-hal
tersebut di bawah ini, bahwa sangat disayangkan Pengadilan
Tinggi Jakarta tidak mempertimbangkan adanya fakta-fakta
sebagai berikut: Pemohon kasasi sebagai pelaksanaan eksploitasi
dari konsesi-konsesi kayu atas nama PT. GAPKI, telah melakukan
pelaksanaan eksploitasi dari konsesi ini jauh sebelum adanya
perkara ini, atas dasar S.K. Dinas Kehutanan Propinsi Maluku
tanggal 8 Maret 1972 No. 182/TV/7 dimana antara lain diterangkan
bahwa PT. METROPOLITAN (DATO WONG) resminya
dilakukan atas nama Dinas Kehutanan Propinsi Maluku;

827
9. Sehingga seluruh deviden dari ekspor kayu yang ada resminya
sementara adalah milik Dinas Kehutanan Propinsi Maluku (lihat
Bukti T-4/bukti Pemohon kasasi I) yaitu surat dari Kepala Dinas
Kehutanan Propinsi Maluku kepada Pimpinan Bank EXIM
Indonesia cabang Ambon di Ambon;
10. Selain itu PT. GAPKI/Tefmohon kasasi telah mempunyai utang
kepada Pemerintah (Dir.Jen Kehutanan Propinsi Maluku), sehingga
segala uang hasil ekspor dan uang biaya administrasi, yang telah
disetor Pemohon kasasi yang merupakan bagian dari Termohon
kasasi telah ditahan/diambil oleh Pemerintah sebagai kompensasi
utang Termohon kasasi tersebut (bukti T-13). Tetapi ini sama
sekali tidak dipertimbangkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta;
11. Bahwa dari bukti T-13 surat yang ditujukan kepada PT.
GAPKI/Termohon kasasi dari Dinas Kehutanan Propinsi Maluku
dihubungkan dengan T-4 telah terbukti bahwa uang yang telah
disetor Pemohon kasasi sebagai hasil ekspor kayu bagian PT.
GAPKI/Termohon kasasi telah ditahan/diambil Pemerintah karena
Termohon kasasi mempunyai utang kepada Pemerintah. Dan dari
bukti 'P-13 terbukti pula bahwa Termohon kasasi telah menerima
uang dari Pemohon kasasi dari hasil ekspor kayu ini sebesar Rp.
17.714.608,17 (tujuh belas juta tujuh ratus empat belas ribu enam
ratus delapan 17/100 rupiah);
12. Mohon pula perhatian Pengadilan atas PENGAKUAN termohon
kasasi dalam repliknya sub 18 dan 21 bahwa hak-hak Termohon
kasasi sebelum bulan September 1971 sudah diterimanya, tetapi
anehnya Termohon kasasi dalam petitumnya No. 3b, menuntut
“haknya” dihitung sejak tanggal 1 Agustus 1971; Jadi jelas adanya
itikad buruk Termohon kasasi, yakni menuntut lagi apa yang
sebenarnya ia telah terima.
13. Lihat juga bukti P-7 yang diajukan sendiri oleh Termohon kasasi,
terlepas benar tidaknya seluruh isi P-7 tersebut, maka ditulis bahwa
“hak” Penggugat-asal/Termohon kasasi hanya sampai dicabutnya
Hak Penguasaan Ilutan (tanggal 12 Agustus 1971). Sehingga jelas
Keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengabulkan gugatan
Penggugat-asal/Termohon kasasi telah bertentangan dengan fakta-
fakta dan bukti-bukti yang ada;
14. Terlampir pula bukti-bukti Pemohon kasasi III, surat dari Dinas
Kehutanan Propinsi Maluku tanggal 2 Maret 1972 dari mana sekali
lagi terbukti uang PT. GAPKI/Termohon kasasi yang telah disetor

828
oleh Pemohon kasasi telah ditahan Pemerintah karena PT.
GAPKI/Termohon kasasi m e m p u n y a i u ta n g - u ta n g License, fee,
Ngase dan Pajak. Jadi jelas kewajiban Pemohon kasasi telah
dipenuhi, hanya uang dari hak Termohon kasasi telah dipenuhi,
hanya uang tersebut ditahan oleh Pemerintah, sehingga yang harus
digugat bukan Pemohon kasasi tetapi Pemerintah.
15. Bahwa utang PT. GAPKI/Termohon kasasi tersebut berjumlah US
$ 30.000,- + Rp. 8.721.448,40 + Rp. 8.304.343,84. Jadi lebih besar
utang tersebut daripada uang US $ 72.965,45 yang dituntut
Termohon kasasi sekarang (terlampir bukti Pemohon kasasi-4 surat
tanggal 1 April 1972);
16. Terlampir pula surat PT. GAPKI/ Termohon kasasi tanggal 12
April 1972 kepada Bank Exim Pusat Jakarta (P.u.K - 5). Dari surat
mana telah terbukti karena diakui oleh Termohon kasasi bahwa
benar Pemerintah telah menahan uang PT GAPKI/Termohon
kasasi hasil ekspor kayu dari kerja sama Termohon kasasi dengan
Pemohon kasasi yang berarti Termohon kasasi tidak berhak
menuntut lagi uang dari Pemohon kasasi. Atas dasar uraian-uraian
tersebut dapat kiranya Mahkamah Agung membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta yang dikasasi ini;
17. Perlu dijelaskan bahwa dalam pemeriksaan banding Pemohon
kasasi tidak mendapat kesempatan untuk membela diri karena
berkas perkara yang dibanding dikirim ke Pengadilan Tinggi
Jakarta tanpa Pemohon kasasi diberitahu sebagaimana menurut
kebiasaan, diberi kesempatan untuk mempelajari atau menyusun
kontra memori bandingnya;

DALAM REKOPENSI :
18. Bahwa Pemohon kasasi berkeberatan dengan keputusan Pengadilan
Tinggi Jakarta yang telah menyatakan gugatan Rekonpensi tidak
dapat diterima dengan alasan gugatan ini sama dengan perkara rol.
No. 541/1971 G dan dengan Pasal 2 Perjanjian No. 25 karena :
a. Perkara sekarang ini tidak sama dengan perkara rol. No.
541/1971 G. karena pihaknya yang berlainan. Dan petitumnya
juga berbeda.
b. Para pihak dalam perkara No. 541/71 G adalah : Dato Wong
Heck Guong.

PT. GAPKI TRADING CO LTD.

829
PT. GREEN TIMBER JAYA.

Para pihak dalam perkara No. 310/72 G adalah :


Dato Wong Heck Guong
PT. GAPKI TRADING CO LTD.
PT. METROPOLITAN TIMBER LTD.
Sehingga tidak pada tempatnya PT. Jakarta menyatakan
gugatan ini tidak dapat diterima;
19. Pengadilan Tinggi Jakarta mendasarkan keputusannya pada Pasal 2
Agreement No. 25 yang menentukan bahwa Pemohon kasasi harus
menanggung segala biaya dan resiko dalam pelaksanaan perjanjian
tersebut. Pemohon kasasi berkeberatan dengan pertimbangan ini,
karena Pasal 2 ini baru berlaku dalam hal Termohon kasasi
beritikad baik melaksanakan perjanjian tersebut. Pemohon kasasi
berkeberatan dengan pertimbangan ini, karena Pasal 2 ini baru
berlaku dalam hal Termohon kasasi beritikad baik melaksanakan
perjanjian tersebut. Tetapi seperti jelas dari Pengakuan Termohon
kasasi, maka Termohon kasasi mengakui bahwa Termohon kasasi
benar telah melakukan perbuatan melawan hukum, yakni
mengembalikan Hak Pengusahaan Objek Perjanjian No. 25
tersebut kepada Pemerintah tanpa setahu Pemohon kasasi.
Sehingga dengan adanya perbuatan curang tersebut maka Pasal 12
tersebut tidak pada tempatnya untuk tetap dilaksanakan, Termohon
kasasi sendiri telah melanggar Pasal 1338 BW., sehingga kiranya
Mahkamah Agung menolak pertimbangan Pengadilan Tinggi yang
tidak benar tersebut;
20. Pengadilan Tinggi Jakarta juga tidak mempertimbangkan adanya
pengeluaran-pengeluaran biaya dan pembelian-pembelian
equipment-equipment oleh Pemohon kasasi yang menelan biaya
yang tidak sedikit. Sesuai dengan bukti T-6 sampai dengan T-12
maka telah terbukti adanya pengeluaran biaya saja Rp.
605.800.000,- (enam ratus lima juta delapan ratus ribu rupiah) di
samping biaya-biaya equipment-equipment;
21. Adanya perbuatan melawan hukum : Telah terbukti dengan
adanya pengakuan Termohon kasasi dan surat-surat bukti : T-l
surat Termohon kasasi tanggal 20 Mei 1971 yang mengambalikan
hak Penguasaan Hutan kepada Pemerintah. T-2 Keputusan Menteri

830
Pertanian No. 356/Keputusan/UM/8/1971 tanggal 12 Agustus 1971
yang membuktikan dicabutnya Ilak Penguasaan Hutan tersebut;
22. Tentang uang ganti-rugi : Berdasarkan Pasal 1267 BW, maka
Pemohon kasasi berhak menuntut ganti-kerugian yang jumlahnya
adalah sebesar 5% x Rp. 605.800.000,- tiap bulannya, terhitung
sejak September 1971 sampai lunas dibayar. Atau sejumlah
yang menurut Mahkamah Agung dianggap adil, sesuai dengan
jurisprudensi, maka besarnya suatu kerugian karena wanprestasi
atau perbuatan melawan hukum adalah dapat dikabulkan oleh
Pengadilan berdasarkan rasa keadilan;
Menimbang, bahwa alasan kasasi ad. 1 dapat dibenarkan dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi Jakarta telah
menerima untuk diperiksa gugatan penggugat asal dengan
keputusan-keputusan masing-masing sebagaimana diuraikan di
muka;
2. Bahwa perselisihan perdata yang timbul antara pihak-pihak
sekarang ini ialah di dalam melaksanakan perjanjian {agreement
No. 25 tertanggal 25 Nopember 1969);
3. Di dalam ketentuan art. 11 dari agreement tersebut ditentukan
bahwa;
“I f there any dispute arising that cannot be settled by both
parties amicably then the matter concerned is subject just to
an arbitration consisting o f three arbitrator, one arbitrator
shall be elected by each party and the third arbitrator to be
electedjointly by the two arbitrator to act as refree
4. Ketentuan art. 11 tersebut adalah menyangkut kekuasaan absolut
untuk menyelesaikan perselisihan dalam perkara ini; Di mana
tegas-tegas ditentukan bahwa pada tingkat pertama bilamana
timbul perselisihan (dalam melaksanakan agreement tersebut) yang
tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak secara
musyawarah maka Badan Arbitraselah yang terdiri dari tiga orang
yang telah disetujui oleh kedua belah pihak untuk menyelesaikan
perselisihan tersebut; Ketentuan mana bagi pihak-pihak
mempunyai kekuatan sebagai Undang-Undang yang harus ditaati,
sedangkan ketentuan art. 12 hanyalah m e n e n t u k a n domisili yang

831
dipilih oleh kedua belah pihak yaitu untuk itu dipilih Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat.
5. Menimbang, bahwa Pengadilan Negeri dalam pertimbangan
putusannya tidak menyinggung sama sekali masalah tersebut,
sedangkan Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya pada
pokoknya antara lain sebagai berikut:
“bahwa pertama-tama meskipun antara kedua belah pihak dalam
agreement No. 25 tanggal 25 Nopember 1969 diperjanjikan bahwa
apabila sengketa akan diselesaikan dengan Arbitrase dahulu namun
karena kedua belah pihak tidak mengajukan perlawanan ketika
perkara ini diperiksa di Pengadilan Negeri, maka dengan demikian
Pengadilan Negeri berwenang untuk mengadili perkara ini”;
6. Menimbang, bahwa pertimbangan Pengadilan Tinggi tersebut,
hemat Mahkamah Agung keliru karena seolah-olah mengenai
kewenangan absolut untuk menyelesaikan perselisihan tersebut,
oleh Pengadilan Negeri digantungkan kepada ada-tidaknya hal
tersebut diajukan sebagai eksepsi/perlawanan dalam pemeriksaan
dipersidangan. Karena dalam tingkat pemeriksaan Pengadilan
Negeri kedua belah pihak tidak menyinggung masalah kompetensi
absolut tersebut, lalu Pengadilair Tinggi berpendapat bahwa
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi berwenang untuk
mengadili perkara ini;
Menimbang, bahwa sudah selayaknya menghukum kedua belah
pihak untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkatan peradilan
masing-masing separoh bagian;
Memperhatikan Pasal 40 Undang-Undang No. 14 tahun 1970,
Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 dan Undang-Undang No. 1 tahun
1950;

MENGADILI
Menerima permohonan kasasi dari pemohon-pemohon kasasi :
1. DATO WONG HECK GUONG;
2. PT. METROPOLITAN TIMBERS LTD tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 10 Juli
1975 No. 145/1973 Pt. Perdata dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tanggal 21 Maret 1973 No. 310/1972 G;

832
MENGADILI LAGI
Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan
Tinggi Jakarta tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan
konpcnsi maupun gugatan rekonpensi;
Menghukum Penggugat maupun Tergugat membayar biaya perkara
di semua tingkat peradilan, baik pada tingkat pertama, tingkat banding
maupun dalam tingkat kasasi dan biaya perkara dalam tingkat kasasi ini
ditetapkan sebanyak Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) masing-
masing secara separoh-separoh;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari : Kamis, tanggal 11 Agustus 1983 dengan Indroharto,
SII. Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang, Ny. II. Martina
Notowidagdo, SH. dan Soegiri, SH. sebagai Hakim-Hakim Anggota
diucapkan dalam sidang terbuka pada hari: Jumat, tanggal
30 September 1983 oleh Ketua Sidang tersebut dengan dihadiri oleh
Ny. II. Martina Notowidagdo, SH. Hakim-hakim Anggota dan Asma
Samik Ibrahim, SII. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh
kedua belah pihak;

833
834
PUTUSAN
No. 113/1980 G
DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAIIA ESA

Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memeriksa dan mengadili


perkara perdata dalam tingkat pertama, bersidang di Gedung yang telah
ditentukan untuk itu di Jalan Jenderal A. Yani Pulo Mas (By Pass)
Jakarta, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara
antara :
SUTOMO / DIREKTUR UTAMA P.T. BALAPAN JAYA,
berkedudukan di Jakarta Pusat, Jalan Basuki No. 37, dalam hal ini
memilih domisili hukum di kantor kuasanya Mr. BASARUDDIN
NASUTION, Pengacara di Jakarta, berdasarkan surat kuasa khusus
tertanggal 24 Mei 1980, yang selanjutnya disebut sebagai
PENGGUGAT;
lawan
AIIJU FORESTRY COMPANY LIMITED, berkedudukan hukum di
967, Dohwa Dong, Namku, Incheon Korea, dalam hal ini memilih
domisili hukum di kantor kuasanya Prof. Mr. Dr.S. GAUTAMA,
Pengacara di Jakarta, beralamat di Jalan Medan Merdeka Timur No. 9,
Jakarta berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 5 Agustus 1980,
yang selanjutnya disebut TERGUGAT;
PENGADILAN NEGERI tersebut;
Setelah membaca surat-surat perkara;
Setelah mendengar pihak-pihak yang berperkara;

TENTANG DUDUK PERKARANYA


Menimbang, bahwa Penggugat dengan surat gugatannya tertanggal
16 Juli 1980 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Jakarta Utara pada tanggal 21 Juli 1980 di bawah No. 113/1980 G telah
mengemukakan sebagai berikut:
1. Bahwa pada tanggal 7 November 1977 oleh Menteri Pertanian RI
dengan SURA I' KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN No. 673
KPTS/UM/11/1977, yang bersama ini dilampirkan bukti P.I. telah

835
menetapkan PT. BALAPAN JAYA sebagai pemegang IIAK
PENGUSAHAAN HUTAN (HPH) untuk jangka waktu 20 tahun
atas areal hutan seluas 115.000 Ha yang terletak di wilayah
Propinsi Kalimantan Barat;
2. Bahwa dalam rangka Undang-Undang No. 1 Tahun 1967, tentang
Penanaman Modal Asing antara penggugat dengan Tergugat
bersama-sama mendirikan suatu perseroan terbatas Penanaman
Modal Asing (PMA) yang bernama PT. AHJU BALAPAN
TIMBER yang bersama ini dilampirkan bukti P-2, dengan maksud
dan tujuan perusahaan adalah berusaha di bidang perkayuan,
penggergajian, industri pengolahan kayu dan memperdagangkan
hasil-hasil usaha tersebut, baik di dalam maupun diluar negeri;
3. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat telah diadakan sejumlah
BASIC AGREEMENT FOR JOINT VENTURE, yang bersama
dilampirkan bukti-bukti P-3, P-4, P-5, P-6 dan P-7;
4. Bahwa dalam bidang pendayagunaan hutan oleh PT. AIIJU
BALAPAN TIMBER, telah terjadi perbedaan pendapat dalam
Rapat Pemegang Saham dan Rapat Dewan Direksi, di mana
pihak Penggugat menghendaki kembali atau uto review the
forestry projec contract” dan menginginkan partisipasi nyata
dalam Management Perusahaan Joint venture sesuai dengan
kebijaksanaan Pemerintah RI yang pelaksanaannya telah
digariskan oleh Direktorat Jenderal Kehutanan RI dan pihak
Tergugat ingin tetap bertahan pada struktur dan cara-cara bekerja
perusahaan yang lama dan nampak menyambut tidak gembira
kebijaksanaan Pemerintah RI di bidang pendayagunaan hutan yang
baru sekarang ini;
5. Bahwa sesuai dengan Akta Pendirian perseroan terbatas “PT AHJU
BALAPAN TIMBER” susunan Pengurus perseroan terbatas
tersebut adalah :
Presiden Direktur : tuan ClIOI MYEONG HAENG
Wakil Presiden Direktur : tuan SUTOMO (Penggugat)
Presiden Komisaris : tuan LEE SANG KAI
Komisaris II : tuan CHOI MOON IIOON
Bahwa adapun yang menjadi persoalan antara Penggugat (partner
Indonesia) dengan Tergugat (partner Korea) dapat kami utarakan
sebagai berikut:

836
6. Bahwa pada tanggal 30 Juli 1979, tuan SUTOMO, Wakil Presiden
Direktur, Penggugat, telah membuat surat kepada tuan CHOI
MYEONG HAENG, Presiden Direktur, terlampir bukti P-8a dan
bukti P-8b, mengenai perlakuan yang tidak wajar terhadap
karyawan Indonesia oleh pihak asing (partner Korea);
7. Bahwa KANTOR AKUNTAN (PUBLIK) Drs. TANOK, telah
membuat surat kepada PT. AHJU BALAPAN TIMBER, terlampir
bukti P-9, yang menjelaskan bahwa Akuntan hanya melihat
buku-buku perusahaan yang dijamin oleh Presiden Direktur tuan
CHOI MYEONG HAENG, bahwa angka-angka yang terdapat
dalam pembukuan perusahaan adalah betul, Akuntan tidak melihat
convidences (kuitansi-kuitansi, tanda-tanda pembelian penerimaan
barang-barang dan sebagainya) dan dalam hal ini Akuntan tidak
melihat Wakil Presiden Direktur (tuan SUTOMO) atau Penggugat
ikut menandatangani kebenaran angka-angka dalam buku
perusahaan;
8. Bahwa Penggugat telah membuat surat kepada Akuntan Drs”.
TANOK terlampir bukti P-10, menyatakan tidak ikut bertanggung
jawab atas laporan keuangan tahun 1977-1978 dan menurut
Penggugat, seorang Akuntan tidak dapat membuat surat pernyataan/
statement mengenai hasil sesuatu pemeriksaan tanpa melihat bukti-
bukti (evidence) seperti kuitansi-kuitansi dan sebagainya;
9. Bahwa PT. BALAPAN JAYA sebagai pemegang HPH telah
membuat surat kepada Pemerintah RI, terlampir bukti P-l 1, mohon
agar partner Asing (Korea) diperintahkan untuk counter sign atas
Cheque-Cheque dan dokumen Bank lainnya, tetapi pihak Korea
tidak dapat menerima usul-usul pihak Indonesia dalam hal
pelaksanaan joint-management bersama di bidang keuangan
dengan counter sign Cheque-Cheque dan sebagainya;
Usul pihak Indonesia tersebut jelas adalah merupakan dukungan
terhadap policy Pemerintah di bidang Kehutanan dan dalam hal ini
juga Penggugat mohon kepada Bank agar uang pihak Asing
(Korea) di Bank diamankan;
10. Bahwa pada tanggal 26 Januari 1980 Direktur Jenderal Kehutanan
membuat surat kepada Direksi PT. Ahju Balapan Timber, terlampir
bukti P-12, anjuran agar selayaknya diperhatikan dan diindahkan
kebijaksanaan dalam mengelola perusahaan hutan harus dilandasi
itikad baik dari kedua belah pihak dan agar tidak menimbulkan hal-
hal yang tidak diinginkan, maka manajemen pengusahaan hutan

837
haras terbuka misalnya semua surat, dokumen Bank, Cheque dan
pembayaran lainnya ditandatangani oleh pihak Indonesia dan pihak
Korea;
11. Bahwa dalam pertemuan informal antara para pemegang saham
di Hotel Presiden pada tanggal 30 Januari 1980 dengan disaksikan
oleh Ir. PRIJONO dan Ir. SADIKIN (Consultan Kehutanan) serta
pemegang saham kedua belah pihak, Presiden Direktur PT. AHJU
BALAPAN TIMBER (Tuan CHOI MYEONG HAENG) dengan
tegas menyatakan : “bagaimanapun juga masalah personal dan
masalah keuangan haras dikuasai sepenuhnya oleh pemegang
saham terbesar (maksudnya oleh pihak Korea)”. Mendengar
ucapan tuan CIIOI MYEONG IIAENG tersebut jelas
menunjukkan sikap yang bertentangan dengan kebijaksanaan
Pemerintah/Direktur Jenderal Kehutanan RI;
12. Bahwa pada tanggal 1 Februari 1980 PT BALAPAN JAYA
membuat surat kepada tuan SUTOMO sebagai Wakil Presiden
Direktur PT. AHJU BALAPAN TIMBER, terlampir bukti P-13,
agar bersiap-siap menghadapi akan bubarnya joint-company dalam
mematuhi surat Direktur Jenderal Kehutanan RI tanggal 26 Januari
1980 (lihat bukti P-12);
13. Bahwa dengan adanya point 12 di atas, tuan SUTOMO dan sebagai
Wakil Presiden Direktur PT AIIJU BALAPAN TIMBER (tuan
CHOI MYEONG HAENG), terlampir bukti P-14, yang maksudnya
menegaskan agar mematuhi petunjuk Direktur Jenderal Kehutanan
RI dengan menyetujui semua Cheque-Cheque dan sebagainya
ditandatangani oleh kedua belah pihak/bersama-sama;
14. Bahwa atas perlakuan Presiden Direktur PT AIIJU BALAPAN
TIMBER (tuan CHOI MYEONG HAENG) maka tuan SUTOMO
(Wakil Presiden Direktur PT AHJU BALAPAN TIMBER)
melaporkan kepada Direktur Jenderal Kehutanan RI terlampir
bukti P-15, mengenai pelaksanaan Surat No. 315/DJ/80 (lihat bukti
P-12);
15. Bahwa PT BALAPAN JAYA (pemegang HPH) membuat surat
kepada Kantor Akuntan Drs. TANOK memeriksa kembali/
mengadakan perhitungan kembali atas laporan keuangan tahun
1977-1978 dengan mengadakan laporan baru, setelah memeriksa/
melihat bukti autentik, tetapi dalam hal ini pihak Korea tidak suka
diperiksa bukti-bukti keuangan perusahaan yang tercatat dalam
pembukuan, Akuntan hanya memeriksa pembukuan dan tidak

83«
ditunjukkan pembuktian seperti kuitansi dan lain-lainnya secara
lengkap;
16. Bahwa karena keresahan para karyawan Indonesia, terutama di
Rase Camp Bangsake, Sintan, Kalimantan Barat, maka tuan
SUTOMO (Penggugat) membuat “Pengumuman” terlampir bukti
P-17, agar para karyawan bersatu dan bekerja tenang karena tanpa
orang asing, bangsa Indonesia dapat bekerja dengan baik;
17. Bahwa kemudian tuan SUTOMO (Penggugat) membuatkan
penjelasan dan instruksi sehubungan dengan “Pengumuman” pada
point 16 di atas dan hal penjelasan dan instruksi ini dapat dilihat
dari bukti P-18 terlampir;
18. Bahwa Kantor Akuntan Drs. Tanok membuat surat kepada PT
AIIJU BALAPAN TIMBER, terlampir bukti P-19, agar pihak
Asing segera menyerahkan bukti-bukti seperti kuitansi dan lain-
lain kepada Akuntan dan khusus hasil shipment kc-9 yang
jumlahnya lebih dari Rp. 60.000.000.-
19. Bahwa PT BALAPAN JAYA membuat surat kepada Ketua Badan
Koordinasi Penanaman Modal RI berikut lampirannya (lihat bukti
P-20 dan bukti P-21) dalam hal ini untuk pemeriksaan oleh
Akuntan atas keuangan PT. AHJU BALAPAN TIMBER dan
tentang usaha manipulasi ekspor shipment kc-9 tahun 1979;
20. Bahwa Badan Koordinasi Penanaman Modal RI membuat surat
kepada Kepala Inspeksi Pajak Penanaman Modal Asing, terlampir
bukti P-22, minta agar inspeksi Pajak dapat memeriksa evidences
kuitansi-kuitansi dan sebagainya) dari PT AHJU BALAPAN
TIMBER dan dalam hal ini dijalankan karena Akuntan Publik
belum berhasil dapat memeriksa kuitansi-kuitansi dan sebagainya
yang seolah-olah disembunyikan oleh pihak asing (Korea);
21. Bahwa Presiden Direktur PT AIIJU BALAPAN TIMBER (tuan
CHOI MYEONG HAENG) membuat surat kepada tuan SUTOMO
(Penggugat) dan sebagai Wakil Presiden Direktur P'I' AIIJU
BALAPAN JAYA bukan sebagai Wakil Presiden Direktur PT
AIIJU BALAPAN TIMBER, terlampir bukti P-23, yang
mendiskreditkan (menyatakan) tuan SUTOMO atas laporannya
kepada Direktur Jenderal Kehutanan RI mengenai pelaksanaan
counter sign cek-cek dan sebagainya dan bersama surat ini turut
dilampirkan bukti P-24 dan bukti P-25 yaitu copy Cheque No.
F015130 dan laporan PT AHJU BALAPAN TIMBER;

839
22. Bahwa atas surat tersebut di atas tuan SUTOMO (Penggugat)
membuat surat kepada tuan CHOI MYEONG IIAENG, terlampir
bukti P-26, yang membuktikan sifat-sifat pihak asing yang benar-
benar suka bohong dan memutarbalikkan fakta dan lain
sebagainya;
23. Bahwa PT BALAPAN JAYA membuat surat kepada tuan CIIOI
MYEONG IIAENG melalui PT WANA NUSA (Konsultan
Kehutanan) terlampir bukti P-27, tanggapan atas surat tuan CIIOI
MYEONG IIAENG yang meminta agar PT AHJIJ BALAPAN
JAYA mencabut suratnya kepada Bank Dagang Negara (BDN) dan
pemutusan kerja sama tanggal 6 Februari 1980;
24. Bahwa tuan CIIOI MYEONG IIAENG seolah-olah menghendaki
kenormalan dan mencoba melemparkan kesalahan kepada pihak
Indonesia dan tuan CHOI MYEONG IIAENG memutarbalikkan
kenyataan seolah-olah pihak Indonesia penyebabnya sedangkan
sesungguhnya karena ulah pihak Asinglah yang menyebabkan
keuangan macet dan menyebabkan pula pihak pemegang IIPII
memutuskan kerja sama;
25. Bahwa untuk mengatasi kesulitan dan kemacetan yang timbul
karena sengketa antara pihak Indonesia dan pihak Korea dalam
perusahaan patungan kontraktor kayu (PT AHJU BALAPAN
TIMBER) maka Direktur Jenderal Kehutanan RI terlampir bukti P-
28, telah menentukan menunggu pembubaran resmi joint-company,
agar pelaksanaan ekspornya dilakukan PT INHUTANI II, dan PT
INHUTANI II akan menyerahkan uang diblokir tersebut
(pembagian antara PT BALAPAN nantinya kepada joint-company,
setelah sengketa habis atau pembagian uang hasil ekspor tersebut
(pembagian antara PT BALAPAN JAYA dengan PT AIIJU
FORESTRY COMPANY LIMITED));
26. Bahwa tuan SUTOMO (Penggugat) dan sebagai Wakil Presiden
Direktur PT AHJU BALAPAN TIMBER, membuat surat kepada
Pimpinan Cabang PT AIIJU BALAPAN TIMBER Pontianak,
terlampir bukti P-29 agar mematuhi dan melaksanakan
kebijaksanaan Direktur Jenderal Kehutanan RI dalam hal
pelaksanaan ekspor kayu-kayu PT AHJU BALAPAN TIMBER
dan PT PERHUTANIII;
27. Bahwa akhirnya tuan SUTOMO (Penggugat) dan sebagai Wakil
Presiden Direktur PT AIIJU BALAPAN TIMBER melaporkan

840
kepada Direktur Jenderal Kehutanan RI terlampir bukti P-30
tentang pelaksanaan surat No. 315/DJ/I/80, LIHAT BUKTI P-12;
28. Bahwa pada tanggal 6 Desember 1979, PT BALAPAN JAYA
(partner Indonesia) telah membuat surat kepada Direksi Bank
Dagang Negara di Jakarta, terlampir bukti P-31, surat mana
dimintakan agar setiap penarikan Cheque dan dokumen perbankan
lainnya harus dicounter oleh pihak Indonesia dari setiap penarikan
Cheque PT AHJU BALAPAN TIMBER;
29. Bahwa pada tanggal 17 Januari 1980, Bank Dagang Negara
membuat surat kepada PT BALAPAN JAYA, terlampir bukti P-32
berikut lampirannya bukti P-32a, dimana disebutkan sikap Bank
Dagang Negara atas kasus yang timbul antara Wakil Presiden
Direktur dengan Presiden Direktur PT AHJU BALAPAN
TIMBER maupun antara partner Korea dan perusahaan yang
dimaksud, sedangkan dalam lampirannya ada surat Bank Dagang
Negara kepada Presiden Direktur PT. AHJU BALAPAN TIMBER
(tuan CHOI MYEONG HAENG) yang pada pokoknya
mengutarakan rekening-rekening perusahaan PT AHJU
BALAPAN TIMBER telah dibekukan dan masalah pembekuan
tersebut semata-mata dalam rangka pengamanan dana dalam
rekening yang bersangkutan dan pembekuan tersebut sewaktu-
waktu dapat dicairkan asalkan syarat-syarat sesuai dengan
kesepakatan para pesero perusahaan patungan (joint venture) dapat
dipenuhi; Bahwa pada tanggal 6 Februari 1980 PT BALAPAN
JAYA membuat surat pemberitahuan kepada Direksi Bank Dagang
Negara, terlampir bukti P-33, perihal putusnya hubungan kerja
sama di bidang pengusahaan hutan dengan PT AHJU BALAPAN
TIMBER;
30. Bahwa pada tanggal 7 Februari Presiden Direktur PT AHJU
BALAPAN TIMBER (tuan CHOI MYEONG HAENG), terlampir
bukti P-34, surat mana pada pokoknya membuktikan sikap yang
tidak baik atau tidak ada kemauan untuk kerja sama dalam
pengusahaan hutan terutama dalam bidang Standard Operasional
Prosedure yang meliputi Personnel Management sesuai dengan
yang dimintakan partner Indonesia selama ini;
31. Bahwa pada tanggal 19 Mei 1980, PT BALAPAN JAYA membuat
surat kepada Ketua Badan Penanaman Modal (BKPM) di Jakarta,
terlampir bukti P-35, dalam surat mana pada pokoknya
mengutarakan sikap yang tidak wajar dari pihak Korea dalam

841
N
, perusahaan PT AHJU BALAPAN TIMBER yang pada akhirnya
PT BALAPAN JAYA mohon agar dapat dilakukan pencabutan
izin usaha dari PT AHJU BALAPAN TIMBER dalam waktu yang
singkat;
32. Bahwa Drs. TANOK (Akuntan) membuat surat kepada PT AHJU
BALAPAN TIMBER, tentang Financial Report for the period
1979 dari pada joint-company tersebut dan surat ini diketahui oleh
PT BALAPAN JAYA (pemegang saham dari PT AI1JU
BALAPAN TIMBER) dan menanggapinya dengan membuat surat
kepada Akuntan Drs. TANOK, yang isinya menanyakan arti dari
“No Opinion” menurut kaca mata seorang Akuntan Drs. TANOK
menjawabnya, bahwa memang benar dalam laporan tersebut
Akuntan tidak memperoleh data-data lengkap akibat perbuatan
pihak Tergugat, tidak memberikan informasi tentang perusahaan,
terlampir bukti P-36;
33. Bahwa akhirnya PT BALAPAN JAYA menyampaikan dalam
bukti P-37 faktor-faktor yang mendorong mengapa diajukan
permohonan agar dapat dilakukan pencabutan izin usaha dari PT
AHJU BALAPAN TIMBER dalam waktu yang singkat;
34. Bahwa selama ini telah timbul kemacetan untuk mengekspor kayu,
sekalipun sudah siap dikapalkan di Teluk Ayer untuk (Kalimantan
Barat) dan untuk mengatasi kemacetan ekspor ini, Pemerintah,
didalam hal ini Direktur Jenderal Kehutanan telah mengambil
keputusan (sambil menunggu selesainya sengketa) untuk
mengekspor kayu tersebut yang dilakukan oleh INIIUTANIU
(terlampir bukti P-38);
35. Bahwa atas kebijaksanaan INHUTANI II ini pada mulanya pihak
Korea (Tergugat) berjanji akan mengusahakan pembeli kayu dan
kapal untuk mengangkutnya, tetapi kemudian menghalanginya
dengan cara-cara sebagai berikut;
a. Branch Manager PT AHJU BALAPAN TIMBER di Pontianak
(orang Korea) tidak mau ikut-ikutan dalam mengurus ekspor
kayu tersebut;
b. Setelah 3 (tiga) bulan sejak keluarnya keputusan Direktur
Jenderal Kehutanan (INHUTANI II) tersebut dimana pihak
Korea (Tergugat) berjanji untuk mencari pembeli {buyer)
pembukaan L/C dan kapal yang akan mengangkutnya tidak
kunjung tiba atau sama sekali tidak ada;

842
36. Bahwa karena sikap orang Korea (Tergiigat) tersebut petugas-
petugas INHUTANI II di Kalimantan Barat menjadi gelisah dan
jengkel sekali, karena mereka tidak mengambil suatu tindakan
untuk menyelamatkan ribuan meter kubik kayu yang telah berada
di tempat pengapalan dan dapat mengakibatkan rusaknya kualitas
kayu tersebut, karena sudah terlalu lama terendam di dalam air;
37. Bahwa seandainya hal-hal tersebut dibiarkan begitu lama, dimana
kayu-kayu tersebut tidak dapat diekspor lagi, maka selain
Penggugat sebagai pemegang IIPII mengalami kerugian, maka
perintah RI pun akan mengalami kerugian berupa tidak
diterimanya devisa/valuta asing;
Bahwa dari segala yang diutarakan oleh Penggugat di atas, jelas
Tergugat sebagai partner asing dalam perusahaan kerja sama (joint-
company) pengusahaan hutan tersebut menunjukkan sikap yang tidak
baik, terutama dalam pelaksanaan peraturan Pemerintah c.q. Direktur
Jenderal Kehutanan RI mengenai Standard Operasional Prosedure
yang mencakup Personnel Management dan Financial Management,
disamping tindakan tergugat yang “onrechmatigedaad’’ (perbuatan
yang melanggar hukum) melakukan kebijaksanaan yang bertentangan
dengan kepentingan dari pemegang saham kecil (minoritas) yaitu
Penggugat;
Bahwa Penggugat juga beranggapan, seandainya perusahaan
tersebut masih terus dipegang oleh Tergugat, maka bakal terjadi sesuatu
yang tidak diingini, yaitu kemungkinan sekali akan menebangi hutan-
hutan kayu yang masih muda secara membabi buta untuk mendapatkan
hasil yang banyak tanpa memperhitungkan apa akibatnya, yang
nyatanya berakibat akan merugikan Pemerintah RI (ingat reboisasi)
sekaligus merugikan Penggugat sebagai pemegang IIPII;
Bahwa dari segala apa yang dikerjakan oleh Akuntan Drs.
TANOK, Penggugat dapat menyimpulkan hasilnya tidak ada karena
laporan secara terperinci tidak ada akibat perbuatan Tergugat yang
tidak mau memberikan informasi tentang keadaan perusahaan PT
Al IJU BALAPAN TIMBER;
Maka dengan ini Penggugat mohon kepada Bapak Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar berkenan, sebelum memeriksa
pokok perkara, supaya terlebih dahulu memberikan PUTUSAN
PROVISI yaitu :

843
- Menyatakan, supaya Management (Pengurusan) dari PT AIIJU
BALAPAN TIMBER untuk seluruhnya, ditangani/dipegang oleh
Penggugat dan untuk waktu yang tidak ditentukan sampai ada
penyelesaian perkara ini baik diluar persidangan maupun didalam
persidangan antara Penggugat dengan Tergugat;
- Mencairkan dana PT AIIJU BALAPAN TIMBER yang dibekukan
oleh Bank Dagang Negara Jakarta, Jalan Thamrin, pencairan mana
sangat diperlukan untuk biaya-biaya lainnya demi lancarnya
perusahaan tersebut;
Bahwa berdasarkan hal-hal yang diutarakan di atas dan
berdasarkan keterangan-keterangan yang disertai dengan bukti-bukti
yang authentik, maka Penggugat mohon dalam Pokok Perkara kepada
Bapak Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar berkenan :
I. PRIMAIR:
- Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk
seluruhnya;
- Menyatakan sah menurut hukum putusan Provisi;
- Menyatakan menurut hukum agar kerja sama pengusahaan
hutan oleh Penggugat dengan Tergugat, menjadi putus karena
hukum;
- Menyatakan semua saham Tergugat, beralih menjadi saham
Penggugat sesuai dengan Pasal 4 dari Akta Pendirian P.T.
AIIJU BALAPAN TIMBER (lihat bukti P-2), sebagai akibat
perbuatan (onrechmatigedaad) dari Tergugat selama ada joint
company yang merugikan Penggugat;
- Menyatakan putusan Provisi maupun putusan Dalam Pokok
Perkara dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada
bantahan, verzet, banding atau kasasi;
II. SUBSIDAIR:
- Memberikan putusan yang adil dan bijaksana;
- Biaya perkara menurut hukum;
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang ditentukan kedua
belah pihak yang berperkara diwakili oleh kuasanya masing-masing
untuk Penggugat telah datang menghadap kuasanya Mr.
BASARUDDIN NASUTION, Pengacara di Jakarta, beralamat di Jalan
Medan Merdeka Timur No. 7 Jakarta, berdasarkan surat kuasa khusus

844
tertanggal 24 Mei 1980, sedangkan untuk Tergugat telah datang
menghadap kuasanya Prof. Mr. Dr. S. GAUTAMA, Pengacara di
Jakarta beralamat di Jalan Medan Merdeka Timur No. 9 Jakarta,
berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal ....... (pada bahan
bahasan/tulisan tidak nyambung) pihak akan tetapi tidak berhasil,
oleh karenanya pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan
surat gugatan yang atas pertanyaan Ketua, penggugat menerangkan ia
bertetap atas surat gugatannya;
Menimbang, bahwa kecuali Tergugat menyangkal gugatan yang
mengajukan Eksepsi yang berbunyi sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI:
PENGADILAN YANG KELIRU :
1. Bahwa perkara gugatan ini dilanjutkan oleh Penggugat terhadap
AHJU FORESTRY COMPANY LTD., yang menurut surat
gugatan dari Penggugat sendiri berkedudukan di Incheon, Republik
Korea, suatu perseroan dagang yang didirikan berdasarkan
Undang-Undang dari Negara Republik Korea;
2. Sewajarnya maka surat panggilan untuk perkara ini, sesuai dengan
118 HIR., harus disampaikan kepada alamat resmi dari pihak.
Tergugat yaitu di Korea. Alamat AIIJU FORESTRY COMPANY
LIMITED pada waktu sekarang ini adalah 967, Dohwa-Dong,
Nam-Ku, Incheon, Korea Selatan;
3. Menurut hukum acara perdata yang berlaku, surat panggilan harus
diajukan pada alamat daripada Tergugat di Korea tersebut dan
tidak dapat dialamatkan pada Presiden Direktur dari PT AHJU
BALAPAN TIMBER, berkedudukan di Jalan Jenderal Sudirman,
Arthaloka Building Tingkat XVI, Jakarta Pusat, seperti telah
dilakukan dalam hal sekarang ini;
Tuan CHOI MYEONG HAENG, bukan lagi merupakan Presiden
Direktur dari AHJU FORESTRY COMPANY LTD, sejak tahun
1977, “karena itu maka secara keliru telah dilakukan panggilan
pada alamat yang salah, apalagi alamat ini adalah di dalam wilayah
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat” (Arthaloka Building Tingkat
XVI, Jalan Jenderal Sudirman);
Maka panggilan dalam perkara ini telah dilakukan tidak sesuai
dengan hukum acara yang berlaku, dan karenanya kiranya tidak
dapat diterima surat gugatan ini;

845
PENGADILAN NEGERI JAKARTA UTARA TIDAK
BERWENANG MEMERIKSA PERKARA IN I:
4. Tambahan lagi Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak mempunyai
yurisdiksi untuk mengadili perkara ini, oleh karena baik Tergugat
maupun Penggugat tidak berkedudukan di dalam wilayah
Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Menurut surat gugatan dari
Penggugat sendiri, maka Tergugat berkedudukan hukum di Korea,
hingga harus diajukan perkara terhadap Tergugat di hadapan
Pengadilan Negeri di Incheon, Korea, sesuai dengan ketentuan
Pasal 118 HIR. Permohonan ini secara kelirunya serta dialamatkan
panggilan pada Presiden Direktur PT AHJU BALAPAN TIMBER
yang juga tidak berkedudukan di dalam wilayah Pengadilan Negeri
Jakarta Utara melainkan di dalam wilayah Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, yaitu di Jalan Jenderal Sudirman, Arthaloka Building
Tingkat XVI, Jakarta Pusat;
5. Penggugat sendiri mendalilkan bahwa ia bertempat tinggal di Jalan
Basuki No. 37, Jakarta Pusat;
6. Jadi teranglah tidak ada pihak-pihak yang berperkara sekarang ini
yang berkedudukan di wilayah Pengadilan Negeri Jakarta Utara,
juga tidak ada objek sengketa (harta tetap) yang terletak di dalam
wilayah Pengadilan Negeri Jakarta Utara ini, hingga dengan
demikian tidak mungkin perkara ini diajukan kehadapan dan
diperiksa oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sesuai dengan
Pasal 118 HIR. Maka perkara perdata harus diajukan dihadapan
Pengadilan Negeri dimana termasuk tempat tinggal daripada pihak
Tergugat;
7. Oleh karena syarat ini tidak dipenuhi, maka sudah teranglah
gugatan sekarang ini harus dinyatakan tidak dapat diterima dan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara kiranya seharusnya menyatakan
diri tidak berwenang untuk mengadili perkara sekarang ini;

MENGENAI SYARAT ARBITRASE :


8. Penggugat mendapatkan seluruh gugatannya atas perjanjian kerja
sama mengenai perusahaan hutan antara Penggugat dan AHJU
FORESTRY LTD, yang sesuai dengan tuntutan pokoknya
dimintakan untuk dinyatakan putus karena hukum (tuntutan
primair). Menurut Basic Agreement for Joint venture tertanggal 20

846
Maret 1974 tersebut, Pasal 15, maka semua sengketa antara para
pihak berdasarkan perjanjian tersebut harus diselesaikan melalui
Arbitrase terdiri dari dua Arbitrator dan seorang Umpire. Pihak
Penggugat dan AHJU FORESTRY COMPANY LTD, masing-
masing mengangkat seorang Umpire. Apabila para Arbitrator yang
telah diangkat oleh para pihak tersebut tidak dapat mencapai
persetujuan tentang Umpire ini dalam 30 hari setelah pengangkatan
dari pada Arbitrator kedua maka Umpire ini akan ditunjuk oleh
Ketua dari pada International Chamber of Commerce di Paris.
9. Dewan Arbitrase inilah yang akan menentukan kaidah-kaidah
prosedure (pengacaraan dan tempat daripada Arbitrase ini).
Keputusan dari pada Dewan Arbitrase ini akan diambil dengan
suara terbanyak dan putusan Arbitrase ini adalah mengikat dan
merupakan instansi terakhir (final and Binding) atas para pihak.
10. Karena adanya Arbitrase clasule yang sudah disetujui kedua belah
pihak dan karenanya mengikat mereka sebagai undang-undang
(Pasal 1338 BW), maka sudah teranglah sengketa ini tidak dapat
diperiksa oleh Pengadilan tetapi harus diselesaikan oleh Dewan
Arbitrase yang telah dimufakati dalam perjanjian para pihak itu;
11. Atas dasar ini pula Pengadilan Negeri Jakarta Utara harus
menyatakan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara ini
dan tuntutan Penggugat sekarang harus dinyatakan tidak dapat
diterima;

TENTANG TUNTUTAN PROVISI YANG MERUPAKAN


TUNTUTAN DALAM POKOK PERKARANYA :
12. Ternyata bahwa Penggugat telah minta suatu putusan Provisi yang
sesungguhnya bukan merupakan pemilihan status qou tetapi
tuntutan ini yang minta supaya “management dari PT AHJU
BALAPAN TIMBER untuk seluruhnya ditangani/dipegang oleh
Penggugat untuk waktu yang tidak ditentukan sampai ada
penyelesaian perkara ini”, maka sudah teranglah permohonan
demikian ini merupakan suatu tuntutan Provisi seperti ini
sebenarnya merupakan suatu tuntutan dalam pokok perkara
(bodemgeschil) yang tidak dibenarkan menurut hukum secara
berperkara. Juga permohonan pencairan dana PT AIIJU
BALAPAN TIMBER yang dibekukan oleh Bank Dagang Negara
Jakarta, bukan merupakan suatu putusan provisi yang
sesungguhnya hanya dapat dibatasi pada keadaan status qou, tetapi

847
merupakan seperti juga tuntutan mengenai pengalihan
management, suatu tuntutan dalam pokok perkara dan pada
hakikatnya merupakan suatu penuntutan “dapat dijalankan lebih
dahulu (uitvoerbaar bij voorrad)”, yang dilarang oleh Sirkulasi
Mahkamah Agung No. 3/1978 tertanggal 1 April 1978;
13. Nyatalah bahwa keputusan Provisi yang sesungguhnya merupakan
pernyataan uitvoerbaar bij voorrad tidak dapat diterima
Pengadilan; TIDAK DAPAT DIBENARKAN GUGATAN
MENGENAI PENGALIHAN SEMUA SAHAM DARI AIIJU
FORESTRY COMPANY LTD, KEPADA PENGGUGA T :
14. Bahwa Penggugat telah mohon supaya saham dari AHJU
FORESTRY COMPANY LTD, dalam PT AHJU BALAPAN
TIMBER dinyatakan “beralih menjadi saham Penggugat”,
15. Bahwa sesungguhnya permohonan sedemikian ini melanggar
segala ketentuan mengenai hukum yang berlaku. Bagaimana
mungkin atas dasar tuntutan “onrechmatigedaad” dapat saham-
saham dari seorang pemegang saham dialihkan menjadi saham dari
pihak Penggugat. Sama sekali tidak ada dasar hukum untuk ini.
Bukankah tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum
(onrechmatigedaad) hanya dapat mengakibatkan pembayaran ganti
rugi oleh yang bersalah sesuai dengan prosedur yang ditentukan
dalam Anggaran Dasar dari pada Perseroan Terbatas yang
bersangkutan;
16. Tentang hal ini Pasal 5 ayat 4 dari pada Anggaran Dasar Perseroan
Terbatas PT AHJU FORESTRY TIMBER, seperti diumumkan
dalam Tambahan Berita Negara No. 710 tahun 1977 (Akta Notaris
Raden Oerip, SH No. 17 tertanggal 30 Juli 1977) menentukan
sebagai berikut: “Balik saham dilakukan atas persetujuan Rapat
Umum para pemegang saham” dengan ketentuan Akta Pengoperan
(overdracht) yang ditandatangani oleh orang yang melepaskannya
dan orang yang mendapatkannya atau atas kekuatan-kekuatan
surat-surat yang menurut pertimbangan rapat tersebut cukup
menyatakan pindahnya saham ke tangan lain (overgang), dengan
demikian tidak mengurangi apa yang ditetapkaq. da|am ayat 3
pasal ini dan izin yang berwajib berdasarkan peraturan perundang-
undangan tentang penanaman modal asing;
17. Jadi tegaslah bahwa ada prosedur tertentu mengenai Anggaran
Dasar Perseroan Terbatas bersangkutan mengenai balik nama
saham itu. Yaitu syarat-syaratnya adalah antara lain;

848
i) Persetujuan Rapat Umum para Pemegang Saham;
ii) Adanya Akta Pengoperan yang ditandatangani oleh orang
yang melepaskan saham-saham itu;
Maka sudah jelaslah apa yang diminta sekarang ini oleh Penggugat
dengan gugatannya adalah suatu yang tidak dapat ditolak, karena
tidak mempunyai dasar hukum sama sekali;
18. Bahwa semua alasan alasan tersebut di atas yang pada pokoknya
merupakan Eksepsi mengenai kompetensi dan juga mengenai hal-
hal lain soal hukum tersebut di atas, kiranya harus diperiksa dan
diputuskan lebih dahulu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara,
sebelum dapat dilanjutkan pokok perkara bersangkutan ini sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 133-135 HIR;
19. Baru setelah Pengadilan Negeri memeriksa masalah kompetensi
dan berlainan dari pada apa yang diutarakan di atas, menyatakan
dirinya tetap berwenang untuk mengadili perkara ini, maka
Tergugat akan mengajukan pembelaan dalam pokok perkara, untuk
mana ia dengan ini mereservir haknya;
Maka berdasarkan atas uraian-uraian tersebut di atas dengan ini
mohon kiranya Pengadilan Negeri Jakarta Utara dapat menyatakan
dirinya tidak berwenang mengadili perkara ini, setidak-tidaknya
menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima; biaya-biaya
menurut hukum;
Menimbang, bahwa karena Tergugat kecuali menyangkal juga
mengajukan Eksepsi kepada Penggugat dibebankan membuktikan
dalil gugatannya serta menangkis Eksepsi tersebut, untuk mana
Penggugat menyerahkan di persidangan bukti surat berupa foto
copy diberi tanda P.l sampai dengan P.38 dan P.41 sampai P.A 12,
sebaliknya untuk menguatkan dalil sangkalannya Tergugat
mengajukan bukti yang sama dengan bukti Penggugat diberi tanda
P.l dan P.2 mana telah disesuaikan dengan aslinya dan telah pula
dibubuhi materai sebagaimana mestinya serta tidak pula disangkal
kebenaran formal dan dapat diterima sebagai alat bukti yang sah;
Menimbang, bahwa selanjutnya telah terjadi peristiwa-
peristiwa yang untuk singkatnya berita acara persidangan dianggap
sebagai termasuk dalam putusan ini; Menimbang, bahwa akhirnya
kedua belah pihak bermohon putusan;

849
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa gugatan Penggugat bermaksud seperti tersebut
di atas;
Menimbang, bahwa kecuali Tergugat menyangkal gugatan
Penggugat, juga mengajukan Eksepsi tentang kewenangan Penggugat
mengadili perkara ini, kepada Penggugat dibebankan untuk
membuktikan dalil gugatannya serta menangkis Eksepsi Tergugat
kecuali yang secara tegas diakui atau tidak disangkal Tergugat;
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalilnya masing-masing
telah mengajukan bukti surat berupa foto copy yang diberi tanda
sebagaimana tersebut di atas, bukti mana telah disesuaikan dengan
aslinya serta tidak disangkal kebenaran formalnya dan telah dibubuhi
materai sebagaimana mestinya oleh karena itu patut diterima sebagai
alat bukti yang sah;

DALAM EKSEPSI
Menimbang karena Tergugat mengajukan Eksepsi tentang
kewenangan relatif berdasarkan Pasal 118 HIR yakni tempat tinggal
Tergugat bukan diwilayah Pengadilan Negeri Jakarta Utara demikian
juga tergugat bertempat tinggal di luar negeri demikian penyelesaian
sengketa dalam hal ini ada sengketa harus berdasar Anggaran Dasar
Perusahaan melalui Arbitrase dan sebagainya.
Menimbang, bahwa atas Eksepsi Tergugat tersebut Penggugat
menangkis yang pada pokoknya yang menjadi tujuan ialah mencari dan
mewujudkan keadilan, karena itu Penggugat tidak salah dalam hal ini ia
berkeyakinan mengajukan perkara ini di Pengadilan Negeri Jakarta
Utara adalah dalam rangka mencari dan mewujudkan keadilan, serta
tentang Arbitrase di Pengadilan pun selalu terbuka kesempatan
menyelesaikan secara musyawarah yang ternyata telah berulang kali
dilakukan akan tetapi belum berhasil;
Menimbang, bahwa tentang Eksepsi Tergugat tentang kewenangan
relatif Pengadilan mempertimbangkan khusus di wilayah Pengadilan
Negeri di Jakarta, telah menjadi kenyataan seringkah diajukan gugatan
tidak di Pengadilan Negeri Tergugat bertempat tinggal dan dengan
demikian pada pokoknya tidak merugikan kepentingan Tergugat,
apalagi bilamana dari kenyataan diantara 5 (lima) Pengadilan yang
berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta, seringkah ada

850
pilihan disebabkan faktor kecepatan dan ketepatan memperoleh
keadilan oleh para pencari keadilan;
Menimbang, bahwa walaupun dalam Pasal 118 IIIR ditetapkan
gugatan diajukan di tempat tergugat seyogyanya tidak lagi menjadi
alasan yang prinsipal yang menyebabkan Pengadilan tersebut
menyatakan dirinya tidak berwenang memeriksa gugatan menyimpang
dari ketentuan tersebut;
Menimbang, bahwa tuntutan dan kenyataan yang demikian khusus
untuk Pengadilan Negeri di wilayah Jakarta, ternyata sudah lazim
adanya pihak yang memilih Pengadilan tertentu dimana dan kemana ia
mengajukan gugatannya seperti halnya dalam perkara ini;
Menimbang, bahwa tentang gugatan yang harus diajukan diluar
negeri ditempat kedudukan Tergugat secara formal memang ada
ketepatannya, akan tetapi secara fakta yang normal tidak selalu layak
dan tepat, terutama sampai saat ini patut diakui bagi pengusaha
Indonesia khususnya, yang kedudukannya lemah tidak seimbang
dengan pengusaha asing itu, bilamana harus mengajukan gugatannya
di luar negeri sungguh tidak menguntungkan baik ditinjau dari waktu
juga biaya serta lebih utama lagi bukankah kepentingan sengketaan
terletak di Indonesia ?
Menimbang, bahwa kecuali tentang kewenangan relatif demikian
juga dikemukakan penyelesaian menurut Anggaran Dasar yakni dengan
Arbitrase dengan menunjuk anggota melalui pilihan pihak-pihak
demikian pula bilamana tidak tercapai diajukan menurut ketentuan
perjanjian Internasional;
Menimbang, bahwa tentang keberatan Arbitrase serta hukum
perjanjian Internasional demikian tidak dapat diterima, karena akankah
Tergugat meragukan peradilan yang dilakukan Indonesia, kalau yang
demikian pertama-tama diutamakan ialah cara penyelesaian melalui
perdamaian oleh Pengadilan tidak berbeda makna dan tugasnya
dengan apa yang disebut Arbitrase itu, bahkan tidak berlebihan
dikemukakan bukankah peradilan dilakukan dengan putusan diucapkan
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN-,, YANG
MAHA ESA”.
Menimbang, bahwa sebagai penggugat patut dicatat oleh pihak-
pihak pun secara sungguh-sungguh telah sama berkeinginan
menyelesaikan sengketa ini secara damai tanpa melalui apa yang
disebut Arbitrase itu dan oleh pihak-pihak telah dibuat konsep

851
perdamaian sebagai terlampir dalam berkas perkara akan tetapi tidak
dapat diwujudkan dalam kenyataan;
Menimbang, bahwa penyelesaian perdamaian demikian pula
diupayakan sebagaimana mestinya yang telah berjalan berulang kali
sampai pun sebelum putusan diucapkan, akan tetapi tidak berhasil dan
karena usaha demikian itulah antara lain penyebab pemeriksaan perkara
ini berjalan menyimpang dari kebiasaan sampai jangka waktu 5 (lima)
bulan;
Menimbang, bahwa karenanya Tergugat, baik tentang wewenang
relatif demikian pula tidak ditempuhnya penyelesaian secara damai
melalui Arbitrase tidak dapat diterima dan pemeriksaan dalam pokok
perkara patut dilanjutkan;
Menimbang, bahwa gugatan Penggugat pada pokoknya terdiri dari
Dalam Provisi dan Dalam Pokok Perkara, karenanya sebelum
mempertimbangkan tuntutan Dalam Pokok Perkara patut dipertimbang­
kan lebih dahulu tuntutan Dalam Provisi;

DALAM PROVISI:
Menimbang, bahwa gugatan Penggugat Dalam Provisi pada
pokoknya ialah agar bekerja sama pengusahaan hutan antara Penggugat
dan Tergugat yang hak pengusahaan diberikan kepada Penggugat
dinyatakan putus karena hukum dengan alasan Tergugat lalai dan tidak
memenuhi apa yang telah disepakati dan diperjanjikan dalam
pengelolaan hutan tersebut, yang sangat merugikan, kecuali
kepentingan Penggugat disatu pihak, juga Tergugat dilain pihak serta
tidak terkecuali pembangunan nasional di bidang perekonomian;
Menimbang, bahwa karena adanya perbedaan antara Penggugat dan
dengan Tergugat, yang masing-masing mempertahankan kebenarannya
patut menjadi pertanyaan sejauh manakah dalil Penggugat beralasan,
demikian pula sejauh manakah pula tangkisan Tergugat patut diterima;
Menimbang, bahwa dari segala sesuatu yang.terjadi di persidangan
nyatalah hal-hal sebagai berikut :
1. Bahwa benar kepada Penggugat atas nama PT BALAPAN JAYA
diberikan hak pengusahaan hutan seperti terlampir dalam surat
keputusan Menteri Pertanian No. 673/Kpts/UM/l 1/1977 tertanggal
7 November 1977 berikut lampirannya (P-l);
2. Bahwa dengan mempergunakan Badan Hukum PT AHJU
BALAPAN TIMBER dibuat dengan akta notaris RADEN OERD?

852
No. 17 tanggal 30 Juli 1977 (P-2), antara Penggugat dengan
Tergugat dalam perjanjian kerja sama mengelola hutan ditetapkan
dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian itu di Kalimantan
Barat, yang sebelumnya dituangkan dalam perjanjian antara
Penggugat dengan Tergugat tanggal 20 Maret 1974 (P-3),
kemudian diadakan penyempurnaan lagi tanggal 12 Agustus 1974
(P-4) serta penyempurnaan lagi tanggal 5 Maret 1977 (P-5) dan
September 1977 (P-7);
3. Bahwa dalam akta pendirian PT AHJU BALAPAN TIMBER, akta
Notaris Raden OERIP No. 17 tanggal 30 Juli 1977 (P-2) tersebut,
telah ditetapkan tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak
antara lain pertimbangan saham tercantum dalam Pasal 4 demikian
pula tentang kepengurusan dicantumkan dalam Pasal 8, Pasal 11,
Pasal 23 serta pembagian keuntungan diatur Pasal 8;
4. Bahwa dalam rangka pengelolaan hutan ditetapkan dalam Hak
Pengusahaan Hutan No. 673/Kpts/Um/1977 tertanggal 7 November
1977 tersebut (P-l), ditetapkan kewajiban dalam rangka
pembangunan nasional di bidang kehutanan, kecuali penebangan
hutan untuk ekspor, harus disertai pembangunan industri
pengolahan kayu disebut Sawmill;
5. Bahwa walaupun persyaratan demikian telah ditetapkan setelah
perusahaan berjalan lebih lima tahun sampai dengan gugatan
diajukan segala sesuatu yang dilakukan baru bersifat penebangan
dengan tujuan ekspor logs dan belum terlaksana pembangunan
industri dimaksud;
6. Bahwa adanya sengketa antara pihak-pihak yang terus
menerus kecuali menimbulkan keterlambatan pengelolaan hutan
merugikan kepentingan pihak serta pembangunan nasional
perekonomian sehingga ikut campurnya Pemerintah dalam hal
ini Direktur Jenderal Kehutanan sesuai surat tanggal 26 Januari
1980 No. 315/DJ/I/l 980 (P-2) dan surat tanggal 23 April 1980
No. 133 l/DJ/I/1980 (P-28) patut mendapat perhatian serta
pertimbangan;
7. Bahwa sengketa tersebut telah sedemikian rupa khusus di bidang
keuangan dalam rangka mengatasinya oleh Direktur Bank Dagang
Negara dengan suratnya tanggal 17 Januari 1980 No. 21/16/Dir.
menyarankan agar ditempuh penyelesaian melalui Pengadilan
(ad.2, 3, 4, 5) (P-32A).

853
8. Bahwa sesungguhnya Direktur Jenderal Kehutanan dengan
suratnya tanggal 26 Januari 1980 No. 315/DJ/I/l 980 antara lain
menetapkan :
1) tentang kebijaksanaan mengelola pengusahaan hutan harus
dilandasi itikad baik dari kedua belah pihak;
2) ada keharasan tanda tangan kedua belah pihak atas segala surat
dan Cheque dan sebagainya (P-12);
sub 1) dan sub 2) kemudian dengan surat Direktur Jenderal
Kehutanan tanggal 23 April 1980 No. 1331/DJ/I/l 980 (P-28) perlu
dinyatakan diambil alihnya hak ekspor kayu oleh PT AHJU
BALAPAN TIMBER serta pemblokiran hasil ekspor kecuali
dengan persetujuan Direktur Jenderal Kehutanan;
9. Bahwa puncak dari segala kejadian ialah keluarnya 27 tenaga asing
dalam hal ini dari Tergugat dari Kalimantan Barat, seperti terbukti
dari foto copy Kepala Kantor Wilayah II Direktur Jenderal Pajak
Jakarta Raya Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri No. Ket.
49141/WPJ03/BD03/1980 tanggal 17 November 1980, serta
laporan Staf B-K.P.M.D yang diperintahkan ke Jakarta kepada
Gubernur K.D.II. tanggal 29 Oktober 1980 ad.III.2., serta surat
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Barat tanggal 15
Oktober 1980 No. BKPMD/1027/B-II/H, ad.l belum dipenuhi
perjanjian tentang pengusahaan hutan tanggal 2 Desember 1974
No. FA/N/074/XII/74 serta ad.3. bahwa 23 orang karyawan
perusahaan asing (Korea) pada akhir bulan Oktober 1980 harus
meninggalkan Indonesia karena masa berlakunya izin tinggal
sudah habis;
10. Bahwa bilamana keadaan demikian tidak segera diatasi, kecuali
kepentingan buruh yang menuntut hak tentang biaya hidup dan
perusahaan yang terus dalam sengketa tidak akan membawa
penyelesaian yang menguntungkan pihak manapun juga tidak
terkecuali pembangunan nasional;
Menimbang, bahwa berdasar alasan tersebut di atas yang pertama-
tama patut diperhati kan ialah bagaimana menyelamatkan perusahaan
dari segi pimpinan agar tidak mengalami ketidakpastian yang tidak
hanya menyangkut kepentingan pihak-pihak tetapi juga sangat
mengganggu rencana pembangunan nasional;
Menimbang bahwa karena walaupun tuntutan Provisi sejak semula
telah diajukan Penggugat, putusan tersebut belum dipertimbangkan

854
dalam rangka usaha perdamaian ternyata tidak berhasil tidak ada
pilihan kecuali berdasarkan fakta dan kenyataan seperti dikemukakan
di atas sekarang dipertimbangkan layak dan patutlah sekarang tuntutan
Provisi dikabulkan?
Menimbang, bahwa berdasar fakta-fakta tersebut di atas tidaklah
diragukan keadaan sudah demikian mendesak adanya pimpinan dan
kepengurusan yang bertanggung jawab, serta mengingat diantara pihak
tidak dapat dicapai kesepakatan tentang pimpinan dan kepengurusan itu
baik di pusat dan atau di daerah Kalimantan Barat, Pengadilan tidak
melihat pilihan lain kecuali Penggugatlah sebagai pihak yang
berkewajiban mengambil alih tugas dan tanggung jawab perusahaan
tersebut;
Menimbang, bahwa akan tetapi sebelum mengabulkan tuntutan
dalam Provisi tersebut patut terlebih dahulu dipertimbangkan sejauh
manakah Penggugat bertanggung jawab atas hak dan kepentingan
Tergugat sepanjang belum ada penyelesaian pokok perkara tidak
berlebihan walaupun tidak menjadi kebiasaan Pengadilan
mengetengahkan garis hukum yang diambil dari iman Penggugat dalam
hal ini Islam yang tidak bertentangan bahkan menunjang tegaknya
peradilan, diucapkan surat Al Baqarah ayat 188 yang berbunyi; “Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta benda sebagian yang lain
dengan jalan bathil. Dan janganlah mempergunakannya sebagai
umpan guna menyuap Hakim, dengan maksud supaya kamu makan
sebagian harta orang lain dengan jalan dosa padahal kamu tahu” ,
yang atas pertanyaan, Penggugat menjawab ia memahami sepenuhnya
makna ayat tersebut karenanya dan tidak berniat untuk merugikan
kepentingan Tergugat;
Menimbang, bahwa selanjutnya Penggugat mengemukakan dalam
rangka itulah ia menyarankan diadakannya pemeriksaan pembukuan
yang terbuka agar jelas sejauh manakah hak dan kepentingan pihak-
pihak, kalau benar apa yang dikemukakan Tergugat agar Penggugat
harus membayar : ... US $ 7.000.000,- Penggugat menegaskan lebih
dari itu pun akan dibayarnya demi takutnya kepada Allah S.W.T seperti
diperingatkan dalam S u r a ti/Baqarah itu;
Menimbang, bahwa setelah mendengar ikrar tersebut, Pengadilan
tidak melihat sesuatu alasan apapun juga untuk meragukan itikad
penggugat, karenanya tuntutan dalam Provisi yang menyangkut
pimpinan dan kepengurusan patut dikabulkan;

855
Menimbang, bahwa kecuali tuntutan pimpinan dan kepcngurusan
itu masih ada tuntutan pencairan dana PT. AHJU BALAPAN TIMBER
yang dibekukan oleh Bank Dagang Negara tanggal 17 Januari 1980
(P-32a) dan surat Direktur Jenderal Kehutanan tanggal 23 April 1980
(P-38) serta surat Komisaris PT. AHJU BALAPAN TIMBER tanggal
8 Desember 1980, Pengadilan mempertimbangkan karena sudah
nyata perusahaan tidak dapat berjalan tanpa dana, serta uang tersebut
adalah milik PT. AHJU BALAPAN TIMBER yang kepcngurusan dan
pimpinannya diserahkan kepada Penggugat, pencairan dana tersebut
patut dikabulkan dengan tetap memperhatikan kepentingan 'Tergugat
sepanjang belum ada penyelesaian secara menyeluruh berpedoman
atas surat Direktur Jenderal Kehutanan tanggal 23 April 1980 No.
1331/DJ/l 980 (P-28) dan surat Direktur Jenderal Kehutanan tanggal
23 April 1980 No. 1336/DJ/1980 (P-23);

DALAM POKOK PERKARA :


Menimbang, bahwa gugatan Penggugat adalah seperti tersebut
di atas;
Menimbang, bahwa karena gugatan dalam Provisi dinyatakan
terbukti dan dikabulkan;
Menimbang, bahwa gugatan Penggugat pada pokoknya hanyalah
dinyatakan kerja sama pengusahaan hutan putus karena hukum serta
dialihkannya saham Tergugat sesuai Pasal 4 Akta Pendirian PT AHJU
BALAPAN TIMBER, karena perbuatan melanggar hukum dari
Tergugat, Pengadilan mempertimbangkan bahwa :
I. Dengan dikabulkannya tuntutan dalam Provisi dan sebelum
diadakannya penyelesaian secara menyeluruh tentang jalannya
perusahaan selama pimpinan Tergugat dan karenanya belum
ternyata ada pelanggaran hukum tuntutan putusnya perjanjian kerja
sama antara Penggugat dengan Tergugat patut dinyatakan tidak
dapat diterima;
II. Seperti dipertimbangkan di atas tentang tuntutan diambil alih
saham Tergugat oleh Penggugat, walaupun Penggugat sendiri telah
mengemukakan, bahwa ia tidak akan/ingin mengambil hak orang
lain biar satu sen pun tanpa melalui hukum, sepanjang belum jelas
hak dan kewajiban patut pula dinyatakan tidak dapat diterima;
Menimbang, bahwa tentang tuntutan Provisi dapat dijalankan lebih
dahulu karena sudah jelas tuntutan tersebut menyangkut pimpinan
perusahaan dan untuk mencegah jangan sampai terjadi kekosongan

856
yang akan menimbulkan kerugian yang lebih besar tuntutan
tersebut dapat dikabulkan;
Menimbang, bahwa karena pihak Tergugat di pihak yang
dikalahkan, biaya perkara dibebankan kepadanya;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang yang bersangkutan;

MENGADILI
DALAM EKSEPSI
Menyatakan Eksepsi Tergugat baik tentang Kompetensi Absolut
maupun Kompetensi Relatif tidak beralasan hukum, karenanya ditolak;

DALAM PROVISI
Mengabulkan gugatan Penggugat dalam Provisi;
Menyatakan Penggugat berhak melakukan kepengurusan
{Management) PT. AHJU BALAPAN TIMBER untuk seluruhnya
dipegang dan dilaksanakan oleh PT BALAPAN JAYA;
Mencairkan dana PT AIIJU BALAPAN TIMBER yang dibekukan
oleh Bank Dagang Negara, Jalan Thamrin Jakarta dengan
mengindahkan surat Direktur Jenderal Kehutanan tanggal 23 April
1980 No. 1336/DJ/I/1980 sub.2.c;

DALAM POKOK PERKARA :


Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
Menguatkan putusan dalam Provisi tersebut di atas;
Menyatakan putusan dalam Provisi dapat dijalankan lebih dahulu
walaupun ada bantahan, banding atau kasasi;
Menghukum Tergugat membayar biaya perkara yang hingga kini
ditaksir sebesar Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Menyatakan
gugatan selebihnya tidak dapat diterima;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis
Hakim pada hari KAMIS, tanggal 18 Desember 1980 keputusan mana
pada hari itu juga diucapkan dimuka umum oleh kami, BISMAR
SIREGAR, SIT., Ketua, Ny. MARIANA SUTADI, SIL, dan

857
MANSYUR IDRIS, SH., masing-masing sebagai Hakim Anggota,
dengan dihadiri oleh Penggugat dan kuasa Penggugat dan kuasa
Tergugat serta ROBBAH SOHIRI, SII., Panitcra-Pcngganti pada
Pengadilan Negeri tersebut.

Hakim-Hakim anggota Ketua Tersebut,


ttd. ttd.
(Ny. Mariana Sutadi, SII.) (Bismar Sircgar, SII.)

Panitera Penganti,
ttd.
(Robbah Sohiri, SH.)

858
MAHKAMAH AGUNG RI
PUTUSAN
Reg. No. 1 BANDINGAVASIT/198I

DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa perkara wasit dalam tingkat banding mengambil kcputusan sebagai


berikut dalam perkara:
PT. Multi Plaza Properties, berkedudukan di Jalan Pinangsia Raya
Jakarta Barat, dalam ha) ini diwakili oleh kuasanya, Talas Sianturi, SI {.,
berkantor di Jakarta, Jalan Gajah Mada No. 219 C dan Jalan Ilayam
Wuruk Glodok Baru, lantai II Blok D-8-34-35, Pembading semula pihak
Pertama;
melawan
YAHYA WIJAYA, bertempat tinggal di Jalan A-I No. 4A, Teluk Gong,
Jakarta Utara, Terbanding semula pihak Kedua;
Mahkamah Agung tersebut;
Melihat surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
Pembanding semula pihak pertama telah mengajukan pemeriksaan ulangan
terhadap putusan Wasit No. 01/XII/PAR/80 tanggal 15 Desember 1980 pada
pokoknya berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
Bahwa Pemohon asli adalah pemilik gedung pusat pertokoan/perkantoran
{shopping center) yang dikenal dengan nama Glodok Plaza terletak di Jalan
Pinangsia Raya Jakarta dan Termohon asli Yahya Wijaya adalah penyewa dari
sebuah ruangan pertokoan No. 65 Blok A lantai II di gedung Glodok Plaza
tersebut;
Bahwa Termohon asli telah ingkar janji, tidak melakukan pembayaran
dan pelunasan angsuran-angsuran uang sewa ke-4, 5, 6 dan 7 seperti yang telah
diperikatkan semula dalam akte pengikatan sebagai suatu perikatan
pendahuluan yang kemudian hari akan ditingkatkan menjadi perjanjian sewa-
menyewa dihadapan Notaris;
Bahwa sebaliknya dari Pemohon asli akan memperoleh tambahan
pembayaran uang sewa berikut pembayaran-pembayaran sebagai akibat
pemutusan hubungan sewa-menyewa, Termohon asli dengan sangat ganjil

859
telah mengajukan seorang arbiter Kami Krcsno Widagdo, SH. untuk
memeriksa/ memutuskan tuntutan pengembalian beberapa angsuran uang
sewa, berikut ganti rugi (bukti PP 14);
Bahwa karena Pemohon asli pemberitahuan Wasit Kami Kresno
Widagdo, SH. tersebut tidak dijawab secara tertulis, tetapi secara lisan;
Bahwa Wasit Kami Kresno Widagdo, SH. tems melakukan sidang
arbitrase sebagai wasit tunggal yang memutuskan/mcngabulkan tuntutan
Termohon asli tersebut (bukti PP 15);
Bahwa surat Keputusan wasit tersebut tidak wajar dan melawan hukum
yaitu:
1. Pada satu pihak Wasit bertindak sebagai “Wasit” yang
memberitahukan telah dibuatnya Keputusan Wasit tersebut pada
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan
2. Pada pihak lain Wasit telah bertindak sebagai kuasa atau bertindak
untuk mewakili kepentingan dan Termohon/pihak kedua. Bahwa
berdasarkan pasal 15 dan pasal 103 Undang-Undang No. 1/1950
Pemohon/Pihak pertama dalam waktu 1 bulan setelah mendapat
pemberitahuan keputusan Ketua Mahkamah Agung dalam sengketa
perwasitan;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Pemohon asli
menurut Mahkamah Agung memberikan putusan sebagai berikut:
1. Membatalkan keputusan wasit a quo\
2. Menolak tuntutan/gugatan Termohon/pihak kedua, setidak-
tidaknya menyatakan tuntutan/gugatan Termohon/pihak kedua
tidak dapat diterima;
3. Menyatakan Termohon/pihak kedua telah ingkar janji dan
melakukan perbuatan melawan hukum;
4. Menghukum Termohon/pihak kedua untuk membayar kepada
Pemohon/pihak pertama kekurangan atau penggantian biaya-
biaya ongkos-ongkos sewa, pajak penjualan, biaya perawatan,
listrik, materai, denda asuransi, denda biaya perawatan dan
pembatalan dan biaya administrasi sebesar Rp. 2.761.216,- (dua
juta tujuh ratus enam puluh satu ribu dua ratus enam belas
rupiah);
5. Menghukum, bahwa menurut surat-surat yang terdapat dalam
berkas ini Keputusan Wasit No. 01/XB./PAR/80 tanggal 15
Desember 1980 telah diletakkan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 23 Desember 1980 kemudian
diberitahukan kepada Pembanding/semua pihak Pertama pada
tanggal 24 Desember 1980 sedangkan Pembanding/semula
pihak pertama telah mengajukan permohonan banding pada
tanggal 23 Januari 1981, maka sesuai Pasal 15 jo Pasal 108 UU
No. 1/1950 tentang susunan, kekuasaan dan jalan Pengadilan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Permohonan banding
tersebut harus dinyatakan diterima.
Memperhatikan jawaban tanggal 26 Juni 1982 atas Permohonan banding
oleh Terbanding/semula pihak kedua;
Menimbang, bahwa kata-kata Pemohon/pihak Pertama dalam
Permohonan pemeriksaan ulangan tersebut harus dibaca sebagai
Pembanding/semula pihak Pertama sedangkan kata-kata Termohon/pihak
kedua harus dibaca sebagai Terbanding/semula pihak kedua;
Bahwa selanjutnya mengenai alasan-alasan banding yang diajukan oleh
Pembanding/semula pihak Pertama, menurut pendapat Mahkamah Agung
alasan-alasan tersebut tidak dapat diperhatikan, karena ternyata menurut pasal
13 alinea terakhir Akta Pengikatan tanggal 18 Maret 1977 “Keputusan
Panitia Arbitrase merupakan keputusan terakhir yang mengikat untuk
semua pihak, demikian juga mengenai biaya-biaya Panitia Arbitrase itu”,
Bahwa hal ini berarti para pihak telah bersepakat terhadap putusan Panitia
Arbitrase tidak dapat diajukan banding (Pasal 641 RV. jo Pasal 377 RID), oleh
karena mana permohonan banding terhadap putusan Panitia Arbitrase tersebut
tidak dapat diterima;
Menimbang, bahwa berdasarkan hal yang dipertimbangkan di atas, maka
permohonan banding yang diajukan oleh Pemohon : PT. Multi Plaza Properties
tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;
Memperhatikan Undang-Undang No. 13 Tahun 1970, Undang -Undang
No. 1 Tahun 1950 dan Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 serta Reglemen
Indonesia yang diperbaharui;
MENGADILI
Menyatakan, bahwa pemohonan banding dari Pemohon banding : PT
Multi Plaza Properti tersebut tidak dapat diterima;
Menghukum pembanding membayar biaya perkara dalam tingkat banding
ini ditetapkan sebanyak Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari: Rabu, tanggal 14 Maret 1984 dengan Prof. Z. Asikic
Kusumah Atmadja, SH. sebagai Hakim-Hakim Anggota, dan diucapkan dalam
sidang terbuka pada hari: Selasa, tanggal 10 Juli 1984 oleh Ketua Sidang
tersebut dengan dihadiri oleh Danny, SH. dan Ny. II. Poerbowati Djoko
Soedomo, SH. Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh kedua belah
pihak.

861
862
MAHKAMAH AGUNG RI
PUTUSAN
Reg. No. 794 K/Sip/1982

DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAIIA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Mengadili dalam tingkat kasasi telah menjatuhkan putusan sebagai berikut


dalam perkara Reg.No. 794K/Sip/1982.
PT. ASURANSI ROYAL INDRAPURA, beralamat di Wisma Kosgoro 3rd.
Floor Jalan M.H. Thamrin No. 53 Jakarta Pusat, diwakili oleh kuasanya
Baharuddin Lubis, SH. beralamat di Setiabudi Building Blok l-C-8, Jalan H.R.
Rasuna Said, Jakarta Penggugat untuk kasasi dahulu Tergugat Pembanding;
mel awan
SOHANDI KAWILARANG, bertempat tinggal di Jalan Mangga Besar IV
M/21/Jakarta, Tergugat untuk kasasi dahulu Penggugat Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Melihat surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
Tergugat untuk kasasi sebagai Penggugat asli telah menggugat sekarang
Penggugat untuk kasasi sebagai Tergugat asli di muka Persidangan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat pada pokoknya atas dalil-dalil:
Bahwa saudara Penggugat asli yang bernama Soehanto Kawilarang
adalah pemegang Polis Kecelakaan Pribadi dari Tergugat asli No. 49/00137/08
dengan jumlah pertanggungan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dalam
hal kematian dan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dalam hal cacat
selama-lamanya, dengan jangka waktu pertanggungan mulai tanggal 1 Agustus
1978 hingga tanggal 1 Agustus 1979 (P. 1),
Bahwa Soehanto Kawilarang tersebut telah memenuhi kewajibannya
untuk membayar premi kepada Tergugat asli sebesar Rp. 146.275,- (seratus
empat puluh enam ribu dua ratus tujuh puluh lima rupiah) (P.2),
Bahwa menurut bukti P.l tersebut maka Penggugat asli telah» ditunjuk
sebagai ahli waris tunggal dari Soehanto Kawilarang dalam hal terjadi
kecelakaan yang mengakibatkan kematiannya;
Bahwa pada tanggal 27 Desember 1978 Soehanto Kawilatang-ialah
mengalami kecelakaan lalu lintas di Solo, sesuai dengan bukti P.3;

863
Bahwa walaupun telah memperoleh fasilitas sebaik-baiknya di Rumah
Sakit akhirnya dia meninggal dunia juga karena memar otak, sesuai dengan
visum (P.4);
Bahwa segera setelah terjadinya hal tersebut maka setelah dan sebelum
meninggalnya, Penggugat asli telah memberitahukan kepada Tergugat asli
akan adanya kecelakaan tersebut;
Bahwa dengan adanya kecelakaan yang mengakibatkan kematian
Soehanto Kawilarang, maka Penggugat asli sebagai ahli waris yang ditunjuk
oleh almarhum Soehanto Kawilarang telah mengklaim Tergugat asli agar
membayar kepada Penggugat asli sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) sesuai dengan jumlah pertanggungan menurut Polis Kecelakaan
Pribadi No. 49/00137/08 tanggal 10 Agustus 1978;
Bahwa sampai diajukannya surat gugatan ini, Tergugat asli tidak
melaksanakan kewajibannya tersebut walaupun telah beberapa kali ditegur
oleh Penggugat asli, Bahwa Penggugat asli mohon terlebih dahulu diletakkan
Conservatoir beslag atas barang-barang milik Tergugat asli yang bergerak
maupun yang tidak bergerak seperti diperinci dalam surat gugatan;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Penggugat asli
menuntut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memberikan putusan
sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat secara keseluruhan;
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan tersebut;
3. Menyatakan bahwa perbuatan Tergugat yang tidak membayar klaim
Penggugat tersebut merupakan perbuatan wanprestasi;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat sebesar Rp.
50.000.000,- sesuai dengan jumlah pertanggungan menurut Polis
Kecelakaan Pribadi No. 210.PA/20.318 tanggal 10 Agustus 1978
ditambah dengan bunga sebesar 5% per bulan terhitung sejak tanggal
meninggalnya Soehanto Kawilarang tersebut yaitu tanggal 3 Januari 1979
sampai dibayar secara lunas klaim Penggugat sebesar Rp. 75.000.000,-
tersebut yangTiarus dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat secara tunai
dan sekaligus;
5. Menyatakan keputusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada
verzet, banding ataupun kasasi (uitvoerbaar bij voorraad)-
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini; Atau
7. memberikan keputusan lain sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan;
Bahwa terhadap gugatan Penggugat asli, telah diajukan eksepsi oleh
Tergugat asli yang menyatakan bahwa di dalam berkas perkara ini Penggugat
tidak melampirkan bukti-bukti:
1. Penggugat adalah ahli waris tertanggung berikut identitas dari Penggugat,

864
2. Identitas Tertanggung;
3. Bukti WNI dari Tertanggung;
4. Ganti nama Tertanggung;
5. Akta kematian Tertanggung;
6. Bukti adanya kecelakaan yang bukan sebagai akibat dari kesalahan
Tertanggung atau yang disengaja oleh Tertanggung atau disebabkan
kesalahan besar dari orang-orang yang mempunyai kepentingan;
Bahwa oleh karena itu Penggugat asli belum berhak mengajukan gugatan
a quo\
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah
mengambil putusan, yaitu putusannya tanggal 14 Juli 1980 No. 869/1979 G.
yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI:
- Menolak eksepsi dari Tergugat untuk seluruhnya;
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan bahwa perbuatan Tergugat yang tidak membayar klaim
Penggugat tersebut merupakan perbuatan wanprestasi;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat sebesar Rp.
50.000.000,- sesuai dengan jumlah pertanggungan menurut Polis
Kecelakaan Pribadi No. 49/00137/08 tanggal 10 Agustus 1978 ditambah
dengan bunga 6% setahun dihitung sejak tertanggung meninggal dunia
yaitu tanggal 3 Januari 1979 sampai dibayar lunas;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara, yang hingga kini
ditaksir sebesar Rp. 4.050,- (empat ribu lima puluh rupiah);
5. Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya;
Putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat telah
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan keputusannya tanggal 4
November 1981 No. 225/1980/PT. Perdata;
Bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada kedua belah
pihak pada tanggal 10 Desember 1981 kemudian terhadapnya oleh Tergugat
Pembanding dengan perantaraan kuasanya khusus, berdasarkan sitrat kuasa
khusus tanggal 11 Desember 1981 diajukan permohonan untuk pemeriksaan
kasasi secara lisan keterangan No. 090/Srt.Pdt.G/PN. Jakarta Pusat yang dibuat
oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan mana kemudian
disusul oleh memori alasan-alasannya yang diterima di kepaniteraan
pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 28 Desember 1981 itu juga;
Bahwa setelah itu oleh Penggugat Terbanding yang pada tanggal 27
Januari 1982 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Tergugat

865
Pembanding, diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di kepaniteraan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 9 Februari 1982;
Menimbang terlebih dahulu bahwa dengan berlakunya Undang-Undang
No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
yang telah mencabut Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (yang lama) dan Hukum Acara Kasasi
seperti yang dimaksudkan dalam pasal 49 (4) Undang-Undang No. 13 Tahun
1965 sampai kini belum ada, maka Mahkamah Agung menganggap perlu
untuk menegaskan Hukum Acara Kasasi yang harus dipergunakan;
Bahwa mengenai hal ini berdasarkan pasal 40 Undang-Undang No. 14
tahun 1970, maka Pasal 70 Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 harus
ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga yang dinyatakan tidak berlaku itu bukan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 secara keseluruhan, melainkan sekedar
mengenai hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1970;
Bahwa dengan demikian, maka yang berlaku sebagai Hukum Acara
Kasasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950, sekadar tidak
bertentangan dengan Undang-Undang No. 14 tahun 1970;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya
yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama diajukan dalam
tenggang-tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam Undang-
Undang, maka oleh karena itu dapat diterima;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh Penggugat
untuk kasasi dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
1. Bahwa jelaslah Pengadilan Tinggi Jakarta telah salah menafsirkan/
menerapkan Pasal 250 KUIID tersebut, seakan-akan pasal 250 KUI ID itu
dalam hal mengenai kepentingan membedakan antara “Asuransi oleh
seseorang yang : berkepentingan mengenai wafatnya orang ketiga” dan
“Asuransi/verzekering van eigen leven” untuk keabsahan suatu perjanjian
Asuransi, kepentingan tersebut harus ada, baik dalam hal perjanjian
Asuransi kerugian maupun dalam hai Asuransi jiwa dari jenis apapun;
2. Bahwa pada asasnya, penanggung mengganti kerugian yang diderita,
akan tetapi pada Asuransi yang menyangkut jiwa seseorang, dalam hal
mana sukar ditentukan/dinilai jumlah kerugian yang diderita, naaka oleh
perundang-undangan diberi kelongkaran yang diderita, maka oleh
perundang-undangan diberi kelonggaran vide Pasal 305-KUHD, yang
membolehkan dalam hal demikian penentuan terlebih dahulu jumlah ganti
rugi tertentu;
Bahwa akan tetapi Pasal 305 KUHD tersebut sekali-sekali tidak
menghilangkan keharusan adanya kepentingan pada setiap perjanjian
Asuransi dari jenis apapun juga;
Bahwa kepentingan itu tetap harus ada pada orang yang akan menerima
uang Asuransi (de tot uitkering gerechtigde), meskipun telah terima

866
pendapat bahwa dalam hal sommenverzekering atau Asuransi yang ada
penentuan jumlah kerugian terlebih dahulu, adanya kepentingan idieel
saja, umpamanya hubungan kekeluargaan (familierelatie) sudah cukup
untuk membuktikan adanya kepentingan termaksud;
3. Bahwa dalam perkara a quo, Soehanto Kawilarang mempertanggungkan
dirinya (dengan perantara seorang yang bernama Effendi Lismanto) untuk
kebutuhan Soehandi Kawilarang yang dikatakan adalah saudara
kandungnya;
Bahwa Asuransi demikian memang mungkin, asal saja orang yang
ditunjuk sebagai yang berhak menerima uang Asuransi dalam hal
kematiannya tertanggung, dalam hal ini Soehandi Kawilarang memang
sungguh-sungguh adalah saudara dari tertanggung seperti yang telah
didalilkan itu, karena seperti telah dijelaskan di atas, hubungan
kekeluargaan sudah cukup untuk memenuhi syarat mutlak dari perjanjian
Asuransi untuk keabsahannya, yaitu syarat adanya kepentingan;
Bahwa Termohon kasasi/Soehandi Kawilarang tidak dapat membuktikan
adanya kepentingan dimaksud karena akta lahir yang dipergunakannya
untuk membuktikan hubungan kekeluargaan dengan Tertanggung
Soehanto Kawilarang dinyatakan tidak benar oleh Kepala Catatan Sipil
Ujung Pandang vide surat tertanggal 12 Februari 1980 (T-4) dan dengan
demikian perjanjian Asuransi bersangkutan menjadi tidak sah, menjadi
batal;
4. Tentang Kartu Tanda Penduduk; Bahwa bukti sebaliknya dari Termohon
kasasi tidak mengurangi kebenaran bukti T-6, karena dari bukti T-6
terbukti bahwa Soehanto Kawilarang bukan seorang pribumi seperti
didalilkan oleh Termohon kasasi, dalil mana diperkuatnya pula dengan
mengemukakan akta lahir yang ternyata tidak benar pula;
Bahwa begitupun, bukti-bukti sebaliknya dari Termohon kasasi tidak
mengurangi kebenaran dari pernyataan Kepala Catatan Sipil Ujung
Pandang, yaitu bahwa akta lahir termaksud adalah tidak benar,
Bahwa surat-surat bukti sebaliknya dari termohon kasasi bertopang pada
presumsi bahwa akta-akta lahir yang dikemukakan oleh Termohon kasasi
sebagai penunjang Claimnya, adalah benar, akan tetapi karena telah
terbukti bahwa akta lahir itu tidak benar (P-3,4) maka surat-surat bukti
sebaliknya itu menjadi tidak benar pula;
5. Bahwa Pengadilan Tinggi Jakarta telah salah menafsirkan pasal 251
KUHD, seakan-akan pasal tersebut bersifat preventif, padahal pasal
tersebut bersifat repressif;
Bahwa jika belakangan ternyata bahwa ada keterangan-keterangan yang
tidak benar atau ada hal-hal yang didiamkan oleh pihak Tertanggung,
maka hal demikian akan membatalkan perjanjian Asuransi bersangkutan;

867
Bahwa Pengadilan Tinggi Jakarta sama sekali tidak mempertimbangkan
keterangan yang tidak benar diberikan oleh pihak Tertanggung waktu
mengadakan perjanjian Asuransi a quo, yang bahwa Tertanggung
Sochanto Kawilarang sebagai pengusaha besar sering bepergian ke Luar
Negeri dan karena itu wajarlah kalau diminta penutupan Asuransi untuk
jumlah yang cukup besar;
Bahwa keterangan demikian dengan sengaja diberikan agar pihak
Asuransi tidak curiga, seperti telah terbukti dari surat Direktorat Jenderal
Imigrasi tertanggal 6 September 1979 No. 4673/05.BRT/IX/1979
(putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat halaman 7); Bahwa setelah
dilakukan penelitian dan pengecekan data exit permit, ternyata tidak
ditemui nama Soehanto Kawilarang pernah memperoleh exit permit
terutama pada sekitar bulan Desember 1978 maupun bulan Januari 1979;
Disamping itu, pihak Tertanggung tidak memberitahukan tentang
mengambil atau akan menutup Asuransi pada Perusahaan Asuransi
Ramayana untuk jumlah Rp. 7S.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah),
hal mana jika diketahui oleh pihak Asuransi tentu akan menimbulkan
kecurigaan dan akan di ad akan penelitian;
6. Bahwa semua surat-surat bukti sebaliknya yang diajukan oleh Termohon
kasasi, tidak mengurangi ketidakbenarannya akta-akta lahir bersangkutan
dan tidak mengurangi pula kebenaran pernyataan Kepala Lingkungan
Pattunuang mengenai K.T.P. Soehanto Kawilarang;
Bahwa dengan terbuktinya akta lahir itu tidak benar, maka semua surat-
surat yang didasarkan akta lahir yang tidak benar itu, dengan sendirinya
menjadi tidak benar pula;
7. Bahwa perlu kiranya diperiksa motif dari penggunaan akta-akta lahir
palsu, setidak-tidaknya akta-akta lahir yang tidak benar, lebih-lebih
karena menurut pengakuan Termohon kasasi, Sochandi Kawilarang masih
ada hubungan kekeluargaan dengan Effendi Lismanto, yaitu orang yang
mengurus per-Asuransian a quo\
Bahwa berhubungan pula dengan adanya berita di Mass Media mengenai
seorang pedagang yang ditemui sudah meninggal dalam mobilnya karena
pembunuhan dan tersangkutnya nama FL sebagai orang yang mengurus
hal perasuransiaan bersangkutan dan yang kini sedang meringkuk dalam
tahanan Polisi, maka oleh pihak Asuransi telah dimohon pemeriksaan
oleh Polisi tentang titik-titik pertautan dengan kasus a quo karena ada
dugaan keras bahwa FL sama dengan Effendi Lismanto;
Menimbang, bahwa terlepas dari alasan kasasi yang diajukan, putusan
Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri harus dibatalkan dengan alasan
Mahkamah Agung sendiri karena Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum.
Memperhatikan Policy No. 49/00137/08, tanggal 10 Agustus 1978 (surat bukti
P.l) di bawah bagian tentang Conditions telah diuraikan bahwa “all differences

868
arising out of this Policy shall be referred to the decision of an arbitrator to be
Appointed in writing by the parties in difference or if they can not agree upon
a single arbitrator”,
Menimbang, bahwa dengan demikian Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini, sesuai Pasal 3
Undang-Undang No. 14/1970 khususnya memori penjelasan pasal tersebut,
Bahwa meskipun hal ini tidak diajukan sebagai eksepsi oleh Pihak
Tergugat, namun berdasarkan Pasal 134 IIIR Hakim berwenang untuk
menambahkan pertimbangan dan alasan hukum secara jabatan;
Bahwa seandainya para pihak berkehendak menyimpang dari ketentuan
Polis tersebut maka hal ini harus secara tegas dikemukakan oleh para pihak
sewaktu mengajukan gugatan di muka Pengadilan Negeri;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk
menerima permohonan kasasi yang diajukan oleh Penggugat Untuk kasasi PT.
Asuransi Royal Indrapura tersebut dan untuk membatalkan putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta tanggal 4 November 1981 No. 225/1980/PT. Perdata dan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 14 Juli 1980 No. 869/1979
G., sehingga Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini yang
amarnya berbunyi seperti yang akan disebut di bawah ini;
Menimbang, bahwa Tergugat untuk kasasi/Penggugat asal adalah pihak
yang dikalahkan harus membayar semua biaya perkara, baik yang timbul
dalam tingkat pertama dan tingkat banding maupun biaya dalam tingkat kasasi;
Memperhatikan pasal 40 Undang-Undang No. 14 tahun 1970, Undang-
Undang No. 13 tahun 1965 dan Undang-Undang No. 1 tahun 1950;

MEMUTUSKAN

Menerima permohonan kasasi dari Penggugat untuk kasasi;


PT. ASURANSI ROYAL INDRAPURA tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 4 November
1981 No. 225/1980/TPT. Perdata, dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
tanggal 14 Juli 1980 No. 869/1979 G.;

DAN DENGAN MENGADILI SENDIRI

Menyatakan Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili


perkara ini;
Menghukum Tergugat untuk kasasi/Penggugat asal untuk membayar
semua biaya perkara baik yang timbul dalam tingkat pertama dan tingkat

869
banding maupun biaya dalam tingkat kasasi dan dalam tingkat kasasi ini
ditetapkan sebanyak Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari : Kamis tanggal 20 Januari 1983 dengan Prof. Z. Asikin
Kusumah Atmadja, SII. Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah
Agung sebagai Ketua Sidang, R. Soehono Soedja, SII. dan Danny, SII. sebagai
Ilakim-hakim Anggota dan diucapkan dalam Sidang terbuka pada hari :
KAMIS TANGGAL 27 JANUARI 1983 oleh Ketua Sidang tersebut dengan
dihadiri oleh R. Soehono Soedja, SII. dan Danny, SII. Hakim-hakim Anggota
dari Fatimah Achyar, SII., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh kedua
belah pihak.

870
MAHKAMAH AGUNG RI
Rcg.No. 455 K/Sip/1982

DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi mengambil putusan sebagai


berikut dalam perkara:
PT. Maskapai Asuransi Ramayana, beralamat di Jalan Kalibesar Barat No. 4
Jakarta VI/13, diwakili oleh kuasanya Baharuddin Lubis, SII, beralamat di
Setiabudi Building Blok l-C-8, Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta,
Penggugat untuk kasasi daahulu Tergugat Pembanding;
Melawan
Sohandi Kawilarang, bertempat tinggal di Jalan Mangga Besar IV
M/21/Jakarta, diwakili oleh kuasanya Wisnoe Widjaja, SH, beralamat di Jalan
Kalibesar Barat No. 5 Jakarta-Kota, Tergugat untuk kasasi dahulu Penggugat-
Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Menimbang surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
Tergugat untuk kasasi sebagai Penggugat asli telah menggugat sekarang
Penggugat untuk kasasi sebagai 'I'ergugat asli di muka Persidangan Pengadilan
Negeri Jakarta Barat pada pokoknya atas dalil-dalil;
Bahwa saudara Penggugat asli yang bernama Soehanto Kawilarang
adalah pemegang Polis Kecelakaan Pribadi dari Tergugat asli No.
210.PA/20/318 dengan jumlah pertanggungan Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh
lima juta rupiah) dalam hal kematian dan Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima
juta rupiah) dalam cacat selama-lamanya, dengan jangka waktu pertanggungan
mulai tanggal 10 Agustus 1979 (P.l);
Bahwa Soehanto Kawilarang tersebut telah memenuhi kewajibannya
untuk membayar premi kepada 'I'ergugat asli sebesar Rp. 307.695,- (tiga ratus
tujuh ribu enam ratus sembilan puluh lima rupiah);
Bahwa menurut bukti P.l tersebut, maka Penggugat asli telah ditunjuk
sebagai ahli waris tunggal dari Soehanto Kawilarang dalam hal terjadi
kecelakaan yang mengakibatkan kematiannya; Bahwa pada tanggal 27

871
Desember 1978 Soehanto Kawilarang tersebut telah mengalami kecelakaan
lalu lintas di Solo, sesuai dengan bukti P.3;
Bahwa walaupun telah memperoleh fasilitas yang sebaik-baiknya di
rumah sakit, akhirnya dia meninggal dunia juga karena memar otak, sesuai
dengan visum (P.4);
Bahwa segera setelah terjadinya hal tersebut maka setelah dan sebelum
meninggalnya, Penggugat asli telah memberitahukan kepada Tergugat asli
akan adanya kecelakaan tersebut;
Bahwa oleh karena adanya kematian tersebut maka Penggugat asli
mengklaim Tergugat asli agar membayar kepada Penggugat asli sebesar Rp.
75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) sesuai dengan jumlah
pertanggungan, tetapi sampai diajukan gugatan ini dan beberapa kali ditegur
Tergugat asli tidak memenuhi kewajibannya;
Bahwa Penggugat asli mohon terlebih dahulu diletakkan Conservatoir
beslag atas seluruh harta kekayaan Tergugat asli, yang bergerak maupun yang
tidak bergerak seperti diperinci dalam surat gugatan;
Bahwa mohon putusan uitvoerbaar bij \oorraad\
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Penggugat asli
menuntut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Barat agar memberikan putusan
sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat secara keseluruhan;
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan tersebut;
3. Menyatakan bahwa perbuatan Tergugat yang tidak membayar klaim
Penggugat tersebut, merupakan perbuatan wanprestasi;
4. Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat sebesar Rp.
75.000.000,- sesuai dengan jumlah pertanggungan menurut Polis
Kecelakaan Pribadi No. 210.PA/20.318 tanggal 10 Agustus 1978
ditambah dengan bunga sebesar 5% per bulan terhitung sejak tanggal
meninggalnya Soehanto Kawilarang tersebut yaitu tanggal 3 Januari 1979
sampai dibayar secara lunas klaim Penggugat sebesar Rp. 75.000.000,-
tersebut yang harus dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat secara tunai
dan sekaligus;
5. Menyatakan keputusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu walaupun ada
verzet, banding ataupun kasasi (uitvoerbaar bij voorraad)\
6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini; Atau
7. memberikan keputusan lain sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan;
Bahwa terhadap gugatan Penggugat asli, telah diajukan eksepsi oleh
Tergugat asli yang menyatakan bahwa di dalam berkas perkara ini Penggugat
tidak melampirkan bukti-bukti:

872
1. Penggugat sebagai keluarga adalah ahli waris Tertanggung berikut
identitas dari Penggugat;
2. Identitas Tertanggung;
3. Bukti WNI dari Tertanggung;
4. Ganti nama Tertanggung;
5. Akta kematian Tertanggung;
6. Bukti adanya kecelakaan yang bukan sebagai akibat dari kesalahan
tertanggung atau yang disengaja oleh Tertanggung atau disebabkan
kesalahan besar dari orang-orang yang mempunyai kepentingan;
Bahwa oleh karena itu Penggugat asli belum berhak mengajukan gugatan
a quo;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah
mengambil putusan, yaitu keputusannya tanggal 2 Juli 1980 No. 338/1979
B.G. yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi Tergugat:
Dalam Pokok Perkara :
Menyatakan, bahwa perbuatan Tergugat yang tidak membayar klaim
Penggugat tersebut, merupakan perbuatan wanprestasi;
Menghukum 7'ergugat untuk membayar kepada Penggugat sebesar Rp.
75.000.000,- sesuai dengan jumlah pertanggungan menurut Polis Kecelakaan
Pribadi No. 210 PA/20.318 tanggal 10 Agustus 1978 ditambah dengan bunga
2% per bulan terhitung sejak tanggal 21 Desember 1979 (yaitu sejak
didaftarkan gugatan di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Barat)
sampai dibayar secara lunas klaim Penggugat sebesar Rp. 75.000.000,-
tersebut harus dibayar oleh Tergugat kepada Penggugat secara tunai dan
sekaligus;
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini ditaksir sebesar
Rp. 13.600,- (tiga belas ribu enam ratus rupiah);
Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya;
Putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat telah
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan keputusannya tanggal 18
November 1981 No. 236/1980/PT.Perdata;
Bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada kedua be 1 ah
pihak pada tanggal 29 Desember 1981 kemudian terhadapnya, oleh Tergugat
Pembanding dengan perantaraan kuasa khususnya, berdasarkan surat kuasa
khusus tanggal 29 Desember 1981 sebagaimana ternyata dari surat keterangan
No. 53/198l/Kas/338/1979 G. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Barat, permohonan mana kemudian dengan kasasi beserta alasan-

873
alasannya diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal
30 Desember 1981;
Bahwa setelah itu oleh Penggugat Terbanding yang pada tanggal 5
Januari 1982 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Tergugat
Pembanding, diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tanggal 19 Februari 1981;
Menimbang terlebih dahulu bahwa dengan berlakunya Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang telah mencabut Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (yang lama) dan Hukum
Acara Kasasi seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 49 (4) Undang-Undang
No. 13 Tahun 1965 sampai kini belum ada, maka Mahkamah Agung
menganggap perlu untuk menegaskan Hukum Acara Kasasi yang harus
dipergunakan;
Bahwa mengenai hal ini didasarkan pasal 40 Undang-Undang No. 14
Tahun 1970, maka Pasal 70 Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 harus
ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga yang dinyatakan tidak berlaku itu bukan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 secara keseluruhan, melainkan sekedar
mengenai hal-hal yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1965
kecuali bertentangan dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya
yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama dalam Undang-
Undang, maka oleh karena itu dapat diterima;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh Penggugat
untuk kasasi dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
1. Bahwa Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta telah salah menafsirkan/
menerapkan Pasal 250 KUIID;
2. Bahwa tidak terbukti ada hubungan kakak beradik antar Tergugat untuk
kasasi dengan Tertanggung seperti didalilkan Termohon kasasi dan
dengan demikian tidak terbukti adanya kepentingan seperti yang
termaksud pada Pasal 250 KUIID, kepentingan mana merupakan syarat
mutlak untuk keabsahan suatu perjanjian asuransi;
3. Bahwa Termohon kasasi tidak berhasil membantah ke tidakabsahan dari
akta-akta lahir yang dikemukannya sebagai dokumen-dokumen
penunjang lainnya;
4. Bahwa surat-surat bukti sebaliknya dari Termohon kasasi tetap
berdasarkan akta-akta lahir yang tidak benar dan dengan demikian dengan
sendirinya adalah tidak benar pula;
5. Bahwa karena dalam kasus ini ada unsur pidananya oleh para pihak
asuransi telah dilaporkan kepada Kejaksaan Jakarta Pusat;

874
6. Bahwa karena ada dugaan keras karena FL yang tersangkut dalam kasus
pembunuhan yang juga mempunyai segi personal accident dan juga
karena menurut pengakuannya Termohon kasasi masih ada hubungan
keluarga dengan Effendi Lismantoro (T-8) adalah sama dengan Effendi
Lismanto teiah diminta pemeriksaan polisi tentang titik-titik pertautan
dengan perkara a quo;
Menimbang, bahwa terlepas dari alasan-alasan kasasi yang diajukan,
putusan Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri harus dibatalkan dengan alasan
Mahkamah Agung sendiri, karena Pengadilan Tinggi salah menerapkan
hukum. Dalam Polis Kecelakaan Pribadi No. 210.A/20.318 tanggal 10 Agustus
1978 dibawah ketentuan umum dicantumkan (sub.7) bahwa “pertikaian
berkenaan dengan polis ini, diselesaikan dalam tingkat tertinggi di Jakarta oleh
3 orang juru pemisah (arbitrase)”.
Menimbang, bahwa dengan demikian Pengadilan Negeri tidak berwenang
untuk memeriksa dan mengadili perkara sesuai Pasal 2 Undang-Undang No.
14/1970 khususnya memori penjelasan pasal tersebut;
Bahwa meskipun hal ini tidak diajukan sebagai eksepsi oleh Pihak
Tergugat namun berdasarkan Pasal 134 HIR Hakim berwenang untuk
menambahkan pertimbangan dan alasan hukum secara jabatan;
Bahwa seandainya para pihak berkehendak menyimpang dari ketentuan
Polis tersebut, maka hal ini harus secara tegas dikemukakan oleh para pihak
sewaktu mengajukan gugatan dimuka Pengadilan Negeri.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk
menerima permohenan kasasi yang diajukan oleh Penggugat untuk kasasi PT.
Maskapai Asuransi Ramayana tersebut dan untuk membatalkan putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 18 November 1981 No. 236/1980/PT.
Perdata dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 2 Juli 1980 No.
338/1979 G.B., sehingga Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini
amarnya berbunyi seperti yang akan disebutkan dibawah ini;
Menimbang, bahwa Tergugat untuk kasasi/Penggugat asal adalah pihak
yang dikalahkan karena itu harus membayar semua biaya perkara baik yang
timbul dalam tingkat pertama dan tingkat banding maupun biaya dalam tingkat
kasasi;
Memperhatikan pasal 40 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, Undang-
Undang No. 13 Tahun 1965 dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950;
MENGADILI
Menerima permohonan kasasi dari Penggugat untuk kasasi PT. Maskapai
Asuransi Ramayana tersebut:

875
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 18 November
1981 No. 236/1980/Perdata, dan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat
tanggal 2 Juli 1980 No. 338/1979 G.B.,

DAN DENGAN MENGADILI SENDIRI


Menyatakan Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili
perkara ini;
Menghukum Tergugat untuk kasasi/Penggugat asal untuk membayar
semua biaya perkara baik yang timbul dalam tingkat pertama dan tingkat
banding maupun biaya-biaya dalam tingkat kasasi, dan dalam tingkat kasasi ini
ditetapkan sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Kamis tanggal 20 Januari 1983 dengan Prof. Z. Asikin
Kusumah Atmadja, SH. Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah
Agung sebagai Ketua Sidang, Ny. H. Poerbawati Djoko Soedomo, Sl I dan Th.
Ketut Suraputra, SH sebagai Hakim-Hakim Anggota dan diucapkan dalam
Sidang terbuka pada hari: Kamis tanggal 27 Januari 1983 oleh Ketua Sidang
tersebut, dengan dihadiri oleh Ny. H. Poerbawati Djoko Soedomo, SH dan 'l'h.
Ketut Suraputra, SH, Hakim-Hakim Anggota dan Ny. Fatimah Achyar, SH
Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.

876
MAHKAMAH AGUNG RI
PUTUSAN
Reg. No. 3179 K/Pdt/1984

DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil putusan


sebagai berikut dalam perkara :
PT. ARPENIPRATAMA OCEAN LINE, berkedudukan di Jalan Abdul
Muis No. 40 Jakarta, dalam hal ini diwakili kuasanya : Benny Sudibyo Pontjo
Socgito, SII. dengan alamat Jalan Kebon Sirih No. 16 Jakarta, pemohon kasasi
dahulu Penggugat terbanding;
melawan
PT. SIIOREA MAS, berkedudukan di Jalan Nangka Tengah, Kompleks
Pertokoan Pulo Mas ViI/12 Jakarta Timur, termohon kasasi dahulu Tcrgugat-
pembanding;
Mahkamah Agung tersebut,
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
menimbang, bahwa surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
pemohon kasasi sebagai Penggugat asli telah menggugat sekarang Termohon
kasasi sebagai Tergugat asli di muka persidangan Pengadilan Negeri Jakarta
Timur pada pokoknya atas dalil-dalil:
Bahwa pada tanggal 9 April 1981 antara Penggugat asli dengan 'l’ergugat
asli telah ditanda tangani suatu kontrak {Fixture Note) yang isinya bahwa
Penggugat asli akan menyewakan kapal lautnya yang bernama M.V. Ekowati
atau pengganti kepada Tergugat asli untuk mengangkut kayu gelondongan dari
Samarinda ke Tanjung Priok (P.I.P.I.A);
Bahwa untuk pelaksanaan kontrak tersebut penggugat asli telah
mengirimkan kapal tersebut pada tanggal 7 Mei 1981 (P.8) karena itu
besoknya tanggal 8 Mei 1981 telah mengikat Tergugat asli seperti yang
diuraikan dalam gugatan, sehingga lamanya pemuatan adalah 7 hari 57 jam 41
menit, sedangkan menurut kontrak kecepatan muat 1.200 m2 per waktu yang
sebenarnya;

877
Bahwa dengan demikian banyak kayu yang dimuat 4783.09 : 1.200 m7',
memakan waktu 3 hari 23 jam 40 menit sebagai hari yang diperjanjikan;
Bahwa dengan demikian kelebihan hari yang terpakai oleh Tergugat asli
harus dibayar kepada Penggugat asli berupa denda seperti diperintl dalam
gugatan dengan jumlah US $ 81.053.00 dan Rp. 13.801.330,-.
Bahwa sampai sekarang uang tersebut tidak dibayar oleh Tergugat asli
pada Penggugat asli, dengan demikian tergugat asli cidera janji;
Bahwa untuk jaminan gugatan, mohon diletakkan sita jaminan terhadap
harta milik Tergugat asli yang diperinci dalam gugatan :
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Penggugat menuntut
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Timur agar memberikan putusan sebagai
berikut:
1. Mengesahkan dan menyatakan benar dan berharga sita jaminan tersebut
di atas (goeden van waarde verklaren)',
2. Menghukum Tergugat agar dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan ini
diucapkan atau diberitahukan, membayar kepada Penggugat dengan
menerima tanda pelunasan yang sah dari Penggugat, uang sejumlah US $
81.053.00 (delapan puluh satu ribu lima puluh tiga United State Dollars)
ditambah dengan :
a. Bunga sebesar 3 % per bulan dari US $ 81.053.00 tersebut di atas,
terhitung mulai dari tergugat melakukan wanprestasi, yaitu tanggal 19
Mei 1981 (Kapal selesai muat), sampai jumlah seluruhnya dibayar
lunas; dan
b. Membayar biaya sewa tempat penyimpanan kayu gelondongan (Open
Storage) pada bulan pertama (9 Juni 1981) sebesar Rp. 13.521.830,-
(tiga belas juta lima ratus dua puluh satu ribu delapan ratus tiga puluh
rupiah), ditambah dengan 30% kali Rp. 13.521.830,- per bulan
terhitung mulai tanggal 9 Juli 1981, sampai jumlah seluruhnya dibayar
lunas; dan
c. Membayar upah perangsang buruh untuk mempercepat
pembongkaran, sebesar Rp. 279.500,- berikut bunga 3% per bulan,
terhitung mulai tanggal kapal selesai bongkar yaitu 13 Juni 1981,
sampai jumlah tersebut dibayar lunas dan;
Agar Pengadilan Negeri Jakarta Timur berkenan menyatakan bahwa
keputusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada kemungkinan
diadakan pemeriksaan dalam tingkat banding, kasasi ataupun verzet;
Menghukum Tergugat untuk membayar segala biaya perkara, termasuk
juga ongkos-ongkos juru sita dan beslag;
Bahwa terhadap gugatan Penggugat asli tersebut, Tergugat asli telah
mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut;

878
Bahwa gugatan tidak tepat, sebab sesuai dengan Pasal 17 (P.l) jelas
tercantum adanya clausula arbitrase yang harus diadakan di Jakarta tapi
kenyataannya Penggugat asli langsung saja mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri Jakarta Timur;
Bahwa terhadap gugatan Penggugat asli tersebut, Tergugat asli juga telah
mengajukan gugatan rekonvensi yang pada pokoknya sebagai berikut :
Bahwa jumlah kayu Tergugat asli yang ditahan oleh Penggugat asli
seperti yang diperinci dalam gugatan;
Bahwa tindakan Penggugat asli tersebut bertentangan dengan kontrak
yang telah disetujui;
Bahwa tindakan Penggugat asli sangat merugikan Tergugat asli dan
sangat merusak nama baik Tergugat asli karena itu patut Tergugat asli
menuntut ganti rugi seperti yang terperinci dalam gugatan;
Bahwa untuk jaminan gugatan mohon diletakkan sita jaminan terhadap
harta milik Penggugat asli;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Tergugat asli menuntut
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Timur agar menjatuhkan putusan sebagai
berikut:
1. Pengadilan Negeri Jakarta Timur memerintahkan melakukan sita jaminan
atas barang-barang bergerak maupun tidak bergerak milik Tergugat
rekonvensi sampai sejumlah harga yang sekiranya cukup untuk
memenuhi tuntutan Penggugat rekonvensi;
2. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan tersebut;
3. Menyatakan Tergugat rekonvensi telah melakukan cidera janji terhadap
Penggugat rekonvensi berupa:
a. lalai mengangkut sisa kayu sejumlah 1.016,54 mJ yang tertinggal di
Sangkulirang, Samarinda;
b. tidak melakukan kewajibannya menyerahkan sisa kayu sejumlah
1.707,29 m3 yang ditahan dikade 106 x melalui agennya PT Pelni
cabang Tanjung Priok;
4. Menghukum Tergugat rekonvensi membayar kepada Penggugat
rekonvensi sejumlah uang tersebut dibawah ini atau sejumlah yang
dianggap tepat oleh Pengadilan;
5. a. Rp. 53.578.900,- harga kayu yang ditinggalkan di Sangkulirang, dalam
hal ini Tergugat rekonvensi tidak bersedia mengangkutnya ke Tanjung
Priok dan menyerahkan kepada Penggugat konvensi;
b. Rp. 72.516.603,90,- besarnya klaim yang diajukan oleh PT Kcrta Niaga
akibat kayu yang tertahan dikade PT Pelni cabang Tanjung Priok, dalam
hal ini Tergugat rekonvensi tidak mentaati putusan provisionil;

879
c. Denda sebesar 1% (satu persen) setiap harinya dari Rp.72.516.603,90
terhitungmulai tanggal 1 Agustus 1981 sampai jumlah klaim dari PT
Kerta Niaga dibayar lunas seluruhnya;
d. Membayar kepada Penggugat rekonvensi sesuai dengan besarnya bukti
klaim dari PT Palapa Sakti cq Duhita Veem;
e. Rp. 3.800.000,- membayar kepada Penggugat rekonvensi sebagai biaya
penumpukan dikade PT Pelni cabang Tanjung Priok.
6. Menyatakan sebagai hukum kelambatan dan penahanan muatan kayu
gelondongan sebagai mencemarkan nama baik Penggugat rekonvensi;
7. Menghukum Tergugat rekonvensi karena pencemaran tersebut sebesar
Rp. 48.000.000,- atau sejumlah yang dianggap lebih tepat oleh
Pengadilan;
8. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu
meskipun ada banding, bantahan ataupun kasasi; Biaya menurut hukum;
9. Biaya menurut Hukum :
Subsidair:
Mohon keadilan:
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah
mengambil keputusan yaitu putusannya tanggal 10 November 1981 No.
145/T/1981/G, yang amarnya berbunyisebagai berikut:
Dalam Konvensi:
Mengenai Eksepsi:
1. Menyatakan eksepsi Tergugat sebagai tidak tepat dan berdasar hukum;
2. Menolak eksepsi Tergugat tersebut;
a. Uang demurrage eksepsi kapal M.V. Ekowati di Pelabuhan
Sangkulirang sebesar US $ 15.426,-;
b. Sisa uang tambang kapal M.V. Ekowati, dengan perhitungan sebagai
berikut:
Uang tambang 5.510 m3 x US $ 16 = US $ 88.160,-Uang muka yang
sudah diterima per 9 Mei 1981 Rp. 14.500.000,-pembayaran per 25
Mei 1981 - Rp. 33.330.000,- atau dengan kurs Rp. 625,-/1 US $
adalah US $ 76.624 yang masih harus dibayar Tergugat US $ 11.536,-
c. Uang demurrage kapal M.V. Ekowati di Pelabuhan Tanjung Priok
sebesar US $ 22.134,- seluruhnya berjumlah US $ 49.096,-
3. Menolak gugatan Penggugat yang selebihnya;
Dalam Rekonvensi:
- Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya :

880
Dalam Konvensi dan Rekonvensi:
Menghukum Tergugat/Penggugat rekonvensi untuk membayar biaya
perkara ini, yang hingga kini dirancang sebesar Rp. 7.500,-
Putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat telah
dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya tanggal 22
November 1983 No. 87/1982/PT. Perdata, yang amarnya berbunyi sebagai
berikut:
Menerima permohonan banding dari Pembanding, semula Tergugat
dalam konvensi/Penggugat dalam rekonvensi: PT. Shorea Mas tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Jakarta Timur tanggal 10 November
1981 No. 145/T/1981 G, yang dimohonkan banding tersebut; Dan Mengadili
Sendiri:
1. Menyatakan eksepsi 'I'ergugat dalam konvensi/Penggugat dalam
rekonvensi, sekarang Pembanding tersebut;
2. Menerima eksepsi 'I'ergugat dalam konvensi/Penggugat dalam
rekonvensi, sekarang Pembanding tersebut;
3. Menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan
mengadili gugatan konvensi, maupun rekonvensi tersebut;
4. Menghukum Pembanding, semula 'I'ergugat dalam konvensi/Penggugat
dalam rekonvensi, maupun Terbanding, semula Penggugat dalam
konvensi/Tergugat dalam rekonvensi untuk membayar biaya perkara
dalam dua tingkatan peradilan, yang untuk tingkat banding ditaksir
sebesar Rp. 2.575,- (dua ribu lima ratus tujuh puluh lima rupiah);
Bahwa sesudah putusan akhir ini diberitahukan kepada para pihak pada
tanggal 31 Juli 1984 kemudian terhadapnya oleh Penggugat-Tcrbanding
dengan perantaraan kuasa khususnya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal
6 Agustus 1984 sebagaimana ternyata dari akta permohonan kasasi No.
55/TlM/84/Kas/1981 yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta
Timur, permohonan mana kemudian disusul oleh memori kasasi yang memuat
alasan-alasan yang diterima di Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 20
Agustus 1984;
Bahwa setelah itu oleh Tergugat-Pembanding yang pada tanggal 23
Agustus 1984 telah diberitahukan tentang memori kasasi dari Penggugat-
Terbanding, diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada tanggal 1 September 1984;
Menimbang, bahwa walaupun perkara kasasi ini diperiksa dan diputus
pada waktu Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sudah berlaku, namun oleh
karena pemberitahuan isi putusan Pengadilan Tinggi dan permohonan kasasi
telah dilakukan sebelum Undang-Undang yang lama (Undang-Undang No. 1
tahun 1950);

881
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan -alasannya
yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka
oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formil dapat diteruna;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon
kasasi dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
1. Bahwa Termohon kasasi sudah setuju perkara diajukan ke Pengadilan
Negeri (P.39);
2. Bahwa Pemohon kasasi telah mengangkut kayu milik Termohon kasasi
sampai di tempat tujuan sehingga Termohon kasasi harus membayar upah
pengangkutan kepada Pemohon kasasi (Pasal 491 KUI1D). 'Pernyata
Termohon kasasi telah melakukan wanprestasi. Wanprestasi adalah
wewenang Pengadilan Negeri karena Pasal 491 KUI1D adalah dwingend
rechf,
3. Bahwa Pengadilan Tinggi Jakarta salah menerapkan Pasal 2 Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 dimana ditegaskan Pengadilan tidak boleh
memeriksa dan mengadili suatu perkara dalam hal Pengadilan tidak
berwenang untuk itu;
Menimbang, bahwa mengenai keberatan ad. 1 :
Bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena Pengadilan Tinggi
tidak salah menerapkan hukum;
Bahwa melepaskan clausule arbitrase harus dilakukan secara tegas
dengan suatu persetujuan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak;
Mengenai keberatan ad.2 :
Bahwa keberatan ini tidak relevan karena tidak mengenai pokok perkara;
Mengenai keberatan ad.3 :
Bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena Pengadilan Tinggi
tidak salah menerapkan hukum;
Menimbang, bahwa terlepas dari pertimbangan tersebut di atas, menurut
pendapat Mahkamah Agung amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal
22 November 1983 No. 87/1982/PT. Perdata adalah kurang tepat sehingga
memerlukan perbaikan;
Menimbang, bahwa berdasarkan apa yang telah dipertimbangkan di atas,
maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon kasasi : PT Arpeni
Pratama Ocean Line tersebut, harus ditolak dengan perbaikan amar putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 22 November 1983 No. 87/1982/PT.
Perdata yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tanggal
10 November 1981 No. 145/T/l 981 G, sehingga amarnya berbunyi seperti
dibawah ini;

882
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 14 tahun 1970,
Undang-Undang No. 1 tahun 1950 dan Undang-Undang No. 14 tahun 1985
yang bersangkutan;
MENGADILI
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon kasasi : PT. Arpcni Pratama
Ocean Line tersebut dengan perbaikan amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta
tanggal 22 November 1983 No. 87/1982/PT. Perdata yang membatalkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tanggal 10 November 1981 No.
145/T/1981 G, sehingga amarnya berbunyi sebagai berikut:
Dalam konvensi:
Dalam eksepsi:
Menerima eksepsi Tergugat dalam konvensi/Penggugat dalam rekonvensi
sekarang Pembanding tersebut;
Menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan
mengadili gugatan dalam rekonvensi tersebut;
Dalam rekonvensi:
Menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan
mengadili gugatan dalam rekonvensi tersebut;
Dalam konvensi dan rekonvensi:
Menghukum Pemohon kasasi dahulu Penggugat dalam konvensi/Tergugat
dalam rekonvensi/Terbanding untuk membayar seluruh biaya perkara baik
yang jatuh dalam tingkat pertama dan tingkat banding maupun yang jatuh
dalam tingkat kasasi dan biaya perkara dalam tingkat kasasi mi ditetapkan
sebanyak Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah);
Demikianlah keputusan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung
pada hari: Selasa, tanggal 26 April 1988 dengan Prof. Z. Asikin Kusumah
Atmadja, SH., Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung
sebagai Ketua Sidang, T. Boestomi, SH., dan Gunawan, SH., sebagai Hakim-
Hakim Anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka pada hari: Rabu, tanggal
4 Mei 1988 oleh Ketua Sidang tersebut, dengan dihadiri oleh T. Boestomi,
SH., dan Gunawan, SH., Hakim-Hakim Anggota dan II inn an Purwanasuma,
SH., Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.

883
884
MAHKAMAH AGUNG RI
PUTUSAN
Reg.No. 1851 K/Pdt./1984

DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil


putusan sebagai berikut dalam perkara :
1. Ir. SYAFEI JUREMI, beralamat PT. United Tractor Cabang
Banjarmasin.
2. PT. UNITED TRACTOR, beralamat di Jalan Kramat Raya No.
43 Jakarta Pusat;
3. SYARIFUDIN NOOR, alamat sementara Desa Rungun
Kotawaringin, dalam hal ini diwakili oleh kuasa mereka: 1. O.C.
KALIGIS, SII, 2. POLTAK IIUTAJULU, SI I., advokat/pengacara,
berkedudukan di Jalan Majapahit No. 34 Jakarta Pusat. Pemohon-
pemohon kasasi, dahulu Tergugat-tergugat/Pembanding;
melawan :
S.M. PARDEDE, Direktur PT. Pulau Intan Cemerlang dan Wakil
Direktur PT. Gunung Berlian Murni, dalam hal ini bertindak untuk dan
atas nama kedua perusahaan tersebut, berkedudukan di Jalan Tebet
Barat Dalam No. 182 Jakarta Selatan, alamat sementara di Jalan
Samudra Komplek Kodim Pangkalan Bun, dalam hal ini diwakili
kuasanya: 1. SYAHRIR SJREGAR, SH., 2. PRANGGONO, S., SII,
advokat/pengacara berkedudukan di Jalan Pangeran Jayakarta 46/12-B
Jakarta Termohon kasasi dahulu Penggugat/Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Melihat surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut nyata bahwa sekarang
Termohon kasasi sebagai penggugat asli telah menggugat sekarang
pemohon-pemohon kasasi sebagai tergugat-tergugat asli di muka

885
persidangan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun pada pokoknya atas
dalil-dalil:
Bahwa penggugat asli pada tanggal 14 Juli 1982 telah membeli
enam (6) buah traktor merk Komatsu dari tergugat I asli, tergugat n asli
di-Banjarmasin untuk perjanjian jual-beli antara penggugat asli dan
tergugat I asli tergugat II asli telah diperbuat kontrak jual-beli No. PJB.
028, 029 dan 030 (terlampir) bukti P.I, P.II, P.III;
Bahwa di dalam perjanjian jual-beli termaksud ada dicantumkan,
sesudah penggugat asli membayar uang muka, untuk masing-masing
peralatan tersebut sisanya pembayaran baru dibayar sesudah barang itu
tiba di lokasi;
Bahwa tergugat I asli, tergugat II asli berkewajiban sesudah
menerima uang muka (bukti P.IV, P.V, P.VI) harus menyerahkan
peralatan tersebut akhir Juli 1982 dan selambat-lambatnya permulaan
(minggu pertama Agustus 1982);
Bahwa nyatanya tergugat asli I, asli II baru menyerahkan lengkap
peralatan tersebut minggu pertama bulan Oktober 1982, hal mana dapat
dibuktikan dari surat pemuatan barang (bukti P.VII, P.VIII) sehingga
dengan demikian tergugat I asli, tergugat II asli terlambat menyerahkan
barang selama 60 (enam puluh) hari menurut kontrak (cidera janji),
penyerahan peralatan tanggal 8 Oktober 1982 melalui tergugat III asli
(bukti P.VIII A);
Bahwa akibat keterlambatan penyerahan/pengiriman, penggugat
asli dirugikan sebesar Rp. 144.000.000,- (seratus empat puluh empat
juta rupiah) dengan penncian : 6 unit traktor x 60 hari x 2 ha x Rp.
240.000,-(dua ratus empat puluh ribu rupiah), (jumlah harga borongan
dari Pemerintah) bahwa nyatanya jumlah areal penggugat asli dikurangi
900 sembilan ratus) ha dan menjadi 450 (empat ratus lima puluh) ha
untuk tahun 1982/1983 untuk proyek Nanga Bulik IX C.I.;
Bahwa teguran terhadap klain ganti rugi sudah diberikan oleh
penggugat asli akan tetapi tergugat asli I, tergugat asli II tidak ada
tanggapan (positif) P.IX, P.X sehingga cukup beralasan untuk gugatan
ini disampaikan;
Bahwa sesudah peralatan tersebut diserahkan kepada penggugat
asli oleh tergugat I asli, tergugat II asli tanggal 2 Oktober 1982 tergugat
I asli, tergugat II asli menagih penggugat asli terhadap sisa
pembayaran, sementara itu penggugat asli telah pula mengajukan
permintaan klaim ganti rugi kepada tergugat I asli dan tergugat II asli,

886
pihak tergugat I asli dan tergugat II asli telah mengambil secara
melawan hukum 2 (dua) traktor dari lokasi penggugat asli, di Nanga
Bulik dan menempatkannya di Kotawaringin;
Bahwa berdasarkan atas alasan-alasan tersebut di atas, penggugat
asli mohon supaya diletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) lebih
dahulu atas 2 (dua) buah traktor yang berada di Kotawaringin yang
sedang dikuasai oleh tergugat III asli, dan selanjutnya menurut kepala
Pengadilan Negeri Pangkalan Bun supaya memberikan putusan yang
dapat dilaksanakan lebih dahulu sebagai berikut: *
a. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan; :
b. Menyatakan sah menurut hukum perjanjian jual beli No. PJB.028,
029, 030 yang telah diperbuat oleh Penggugat dan Tergugat I dan
Tergugat II tanggal 14 Juli 1982;
c. Menyatakan perbuatan Tergugat I dan Tergugat II serta Tergugat III
suatu perbuatan wanprestasi (cidera janji) terhadap Penggugat;
d. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II serta Tergugat III untuk
membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar Rp. 144.000.000,-
(seratus empat puluh empat juta rupiah) dengan perincian 6 (enam)
x 60 (hari keterlambatan penyerahan) x 2 ha (hektar) x Rp.
240.000,-(dua ratus empat puluh ribu rupiah) (harga borongan yang
dibayarkan Pemerintah kepada Penggugat) secara tanggune renteng)
(Hofdelijk);
e. Bahwa gugatan Penggugat berdasarkan bukti-bukti yang otentik
karenanya putusan bersifat serta merta;
f. Biaya menurut hukum.
Bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat I; II; III asli,
mengajukan eksepsi yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut:
Dari tergugat asli I :
Bahwa gugatan penggugat asli adalah salah alamat karena
ditujukan kepada tergugat asli (Ir. Syafei Juremi) pribadi dan bukan
kepada PT. United Tractors, Cabang Banjarmasin, sedangkan tergugat
asli I secara pribadi tidak mempunyai hubungan hukum dengan
penggugat asli;
Bahwa seandainya tergugat I asli mempunyai hubungan hukum
secara pribadi dengan penggugat asli, gugatan tersebut seharusnya
diajukan di Pengadilan Negeri Banjarmasin, karena tergugat I asli
bertempat tinggal di Banjarmasin;

887
Demikian pula kalau seandainya benar gugatan ditujukan kepada
Ir. Syafei Juremi selaku Kepala Cabang PT. United Tractors
Banjarmasin quod non, gugatan tersebut juga tidak dapat diajukan di
Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, karena ketentuan dalam pasal 142
Rbg/pasal 118H.I.R.;
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut tergugat I asli menuntut
kepada Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, supaya memberikan putusan
sebagai berikut:
I. Menerima eksepsi tergugat I;
II. Menyatakan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun tidak berwenang
untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut;
III. Menolak seluruh gugatan penggugat atau setidak-tidaknya
menyatakan tidak dapat diterima;
Dari tergugat II asli:
Bahwa jika timbul perselisihan sebagai akibatdari perjanjianjual-
beli tersebut (vide Pasal 21 perjanjian termaksud), maka
penyelesaiannya akan diserahkan kepada BANI (Badan Arbitrase
Nasional Indonesia);
Bahwa berdasarkan atas alasan-alasan tersebut di atas, tergugat II
asli menuntut kepada Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, supaya
memberikan putusan sebagai berikut:
I. Menerima eksepsi tergugat II;
II. Menyatakan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun tidak berwenang
untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dan menyatakan
yang berwenang adalah BANI;
III. Menolak seluruh gugatan penggugat atau setidak-tidaknya
menyatakan tidak dapat diterima;
Dari tergugat III asli:
Bahwa gugatan penggugat asli salah alamat di mana gugatan
diajukan kepada Syarifudin Noor pribadi dan bukan kepada PT. United
Tractors Cabang Banjarmasin, karena tergugat III asli tidak mempunyai
hubungan hukum dengan penggugat asli; Bahwa seandainya tergugat
asli III mempunyai hubungan hukum dengan penggugat asli, gugatan
harus diajukan di Pengadilan Negeri Banjarmasin, dan bukan di
wilayah hukum Pengadilan Negeri Pangkalan Bun;

888
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut tergugat III asli
menuntut kepada Pengadilan Negeri Pangkalan Bun supaya
memberikan putusan sebagai berikut:
I. Menerima eksepsi tergugat III;
II. Menyatakan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun tidak berwenang
untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut;
III. Menolak seluruh gugatan penggugat atau setidak-tidaknya
menyatakan tidak dapat diterima;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Pangkalan
Bun telah mengambil putusan, yaitu putusannya tanggal 14 April 1983
No. 70/Pts.Pdt.G/1982/PN.P. Bun yang amarnya berbunyi sebagai
berikut:
DALAM EKSEPSI/DALAM GUGATAN POKOK
1. Menolak eksepsi para Tergugat;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
3. Menyatakan sah menurut hukum perjanjian jual-bcli Nomor :
PJB.028; 029; 030 yang telah diperbuat oleh Penggugat dan
Tergugat I dan Tergugat II pada tanggal 14 Juli 1982;
4. Menyatakan perbuatan Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III
suatu perbuatan wanprestasi (cidera janji) terhadap Penggugat;
5. Menghukum Tergugat II untuk membayar ganti rugi kepada
Penggugat sebesar Rp. 144.000.000,- (seratus empat puluh empat
juta rupiah), dengan perincian 6 x 60 hari keterlambatan
penyerahan x 2 ha x Rp. 240.000,- (harga borongan yang
dibayarkan Pemerintah kepada Penggugat);
6. Menghukum Tergugat I dan Tergugat III sekadar untuk memenuhi
bunyi keputusan ini;
7. Menghukum Tergugat II untuk membayar biaya yang timbul dalam
perkara ini, yang sampai saat ini berjumlah Rp. 182.215,-
8. Menyatakan sah dan berharga atas sita jaminan yang telah
dijalankan dalam perkara ini;
9. Menolak gugatan untuk selebihnya;
putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan tergugat-
tergugat telah dikuatkan oleh Pengadilan 'Tinggi Kalimantan Tengah di

889
Palangkaraya dengan putusannya tanggal 21 Februari 1984 No.
31/1983/Pdt./PT.PR;
Bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada
Penggugat-terbanding pada tanggal 10 April 1984, Tergugat-tcrgugat/
Pembanding pada tanggal 18 April 1984 kemudian terhadapnya oleh
Tergugat-tergugat/Pembanding (dengan perantaraan kuasanya khusus,
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 26, 27, dan 30 April 1984)
diajukan permohonan untuk pemeriksaan kasasi secara lisan pada
tanggal 1 Mei 1984 sebagaimana ternyata surat keterangan No.
70/1982/Pdt.G/PN.P.Bun, yang diterima oleh Panitera Kepala
Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, permohonan mana kemudian di
susul oleh memori alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 12 Mei 1984;
Bahwa setelah itu oleh Penggugat terbanding yang pada tanggal 15
Mei 1984 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Tcrgugat-
tergugat-pembanding diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun pada tanggal 9 Juni
1984 dengan demikian jawaban memori/risalah kasasi diajukannya
setelah tenggang yang ditentukan dalam Pasal 115 ayat (3) Undang-
Undang Mahkamah Agung Indonesia telah lampau, maka jawaban
memori/risalah kasasi itu tidak dapat diperhatikan;
Menimbang, terlebih dahulu, bahwa dengan berlakunya Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, yang telah mencabut Undang-Undang No. 19
Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (yang lama) dan Hukum Acara Kasasi seperti yang
dimaksudkan dalam Pasal 49 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun
1965 sampai kini belum ada, maka Mahkamah Agung menganggap
perlu untuk menyatakan Hukum Acara Kasasi yang harus
dipergunakan;
Bahwa mengenai hal ini berdasarkan pasal 40 Undang-Undang No.
14 Tahun 1970, maka Pasal 70 Undang-Undang No. 13 Tahun 1965
harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga yang dinyatakan tidak
berlaku itu bukan Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 secara
keseluruhan, melainkan sekadar mengenai hal-hal yang telah diatur
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 kecuali kalau bertentangan
dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970;
Bahwa dengan demikian, maka yang berlaku sebagai Hukum
Acara Kasasi adalah Hukum Acara Kasasi yang diatur dalam Undang-

890
Undang No. 1 Tahun 1950 sekadar tidak bertentangan dengan Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasan
yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama diajukan
dalam tenggang-tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan
dalam Undang-undang, maka oleh karena itu dapat diterima;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh pemohon
kasasi dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:
1. Bahwa Pengadilan Tinggi Palangkaraya dan Pengadilan Negeri
Pangkalan Bun, dalam putusan a quo memutuskan tanpa dasar
hukum, karenanya jelas tidak menerapkan hukum dengan benar.
2. EKSEPSI/GUGATAN POKOK :
Mengenai pertimbangan fakta/hukumnya :
Bahwa Pengadilan Negeri Pangkalan Bun dalam awal
pertimbangannya telah/mengkonstatir sendiri perjanjian antara
penggugat dan tergugat menurut Pasal 1320 BW adalah sah;
Bahwa perjanjian yang oleh Pengadilan Negeri Pangkalan Bun
sendiri telah dinyatakan sah itu adalah suatu kesatuan yang utuh,
terbagi-bagi dalam pasal, kemudian rumusan;
Bahwa Pasal 21 dari perjanjian tersebut dirumuskan demikian:
... yang pada pokoknya mengandung arti bahwa “setiap sengketa”
yang timbul harus diselesaikan dengan musyawarah dan apabila
gagal, menyerahkan pada Badan Arbitrase;
Bahwa dengan menyatakan sah perjanjian tersebut oleh
Pengadilan Negeri Pangkalan Bun sendiri maka berarti bahwa
Pasal 21 dari perjanjian itu adalah sah pula, Pengadilan tidak dapat
menyatakan bahwa suatu perjanjian secara keseluruhan adalah sah
sekaligus menyatakan pula bahwa salah satu bagiannya adalah
tidak sah karena berarti bahwa :
PERTAMA : pernyataan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun
tersebut karena mengandung pertentangan dalam isinya (innerlijke
tegenstrijdigheden) adalah tidak sah, atau KEDUA: perjanjian ita
sendiri adalah tidak sah karena salah satu bagiannya yaitu Pasal 21
dianggap sebagai “formalitas” belaka oleh Pengadilan Negeri
Pangkalan Bun;
Bahwa oleh karena itu Pengadilan Negeri Pangkalan Bun telah
menilai bahwa secara keseluruhan perjanjian itu sah maka secara

891
implisit Pengadilan tersebut telah menyatakan pula bahwa Pasal 21
dari perjanjian adalah sah pula, entah sebagai formalitas akan tetapi
yang mengikat para pihak;
Bahwa oleh karena perjanjian tersebut baik secara keseluruhan
maupun menurut pasal dan rumusan adalah sah menurut hukum
maka menjadi jelas sudah, bahwa pertimbangan Pengadilan Negeri
Pangkalan Bun tentang perjanjian itu dengan menyampingkan
Pasal 21 adalah tidak sah karena sengketa yang timbul karena
perjanjian tersebut harus diadili oleh Badan Arbitrase menuruti
kehendak bersama para pihak dan oleh karena itu berlaku sebagai
Undang-undang, setiap warga mengetahui secara pasti bahwa
Undang-undang adalah lebih tinggi dari Pengadilan Negeri;
Bahwa apakah masih diragukan bahwa perkara in casu adalah
bukan sengketa, dan bila perkara tersebut adalah suatu sengketa
maka, apakah Pengadilan Negeri Pangkalan Bun berwenang
mengadili sengketa tersebut, sedangkan para pihak menghendaki
lain yaitu pertama diselesaikan dengan musyawarah dan apabila
gagal menyerahkan sengketa tersebut pada Badan Arbitrase;
Bahwa penyerahan pada Badan Arbitrase menurut perjanjian
tersebut adalah bukan secara langsung akan tetapi bertahap;
PERTAMA :adanya sengketa.
KEDUA :adanya musyawarah.
KETIGA :adanya gagal musyawarah, barulah pada tahap;
KEEMPAT :penyerahan pada Badan Arbitrase;
Namun, baru pada tahap pertama yaitu tahap adanya sengketa,
Pengadilan Negeri Pangkalan Bun telah menyatakan dirinya
berwenang memeriksa suatu hal yang secara tepat oleh Pengadilan
Negeri Pangkalan Bun sendiri telah disitir sebagai “karena kurang
pengertian” (halaman 206 alinea kedua) dalam hal ini pengertian
para Hakim mengenai Badan Arbitrase;
Bahwa tidak disangkal, bahwa Pengadilan Negeri Pangkalan
Bun berwenang mengadili perkara in casu, akan tetapi hanya
terbatas pada pernyataan bahwa dirinya tidak berwenang mengadili
perkara dan bukannya mengabulkan tuntutan penggugat secara
sepihak tanpa sesuatu musyawarah, tanpa suatu pernyataan tentang
gagalnya musyawarah itu dan tanpa pula diadili oleh Badan
Arbitrase;

892
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas jelaslah bahwa
Pengadilan Negeri Pangkalan Bun bukan saja telah menyalahi
Undang-undang akan tetapi telah nyata-nyata menyalahgunakan
wewenangnya menarik dalam kekuasaan mengadilinya hal-hal
yang bukan menjadi urusannya dan oleh karena itu adalah tidak
sah, setidak-tidaknya batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
“Bahwa Pengadilan Tinggi/ Pengadilan Negeri telah salah
menerapkan hukum dengan menyatakan bahwa Pengadilan Negeri
Pangkalan Bun berwenang mengadili perkara ini;
Bahwa Pengadilan Negeri Pangkalan Bun tidak berwenang
mengadili perkara ini, karena tidak satu pun dari pemohon-
pemohon kasasi/tergugat I sampai dengan III asli bertempat tinggal
di wilayah hukum Pengadilan Negeri Pangkalan Bun;
Bahwa jelas dari bukti-bukti yang diajukan tergugat dalam
kasus (vide T.III dan T.III 2) beradanya tergugat III di Desa
Rungun adalah bersifat sementara dalam rangka mgasnya, bukti P
IX yang diajukan penggugat memperjelaskan bahwa beradanya
tergugat III di wilayah hukum Pengadilan Negeri Pangkalan Bun
hanya sejak tanggal 23 September 1982, dan jika memang
pemohon kasasi/tergugat III asli bertempat tinggal di Desa Rungun
quod non tentu dilengkapi/ mempunyai Kartu Tanda Pengenal
Daerah itu, dan dari bukti II. II dan III/l dapat dilihat bahwa
tergugat III telah kembali ke Banjarmasin sejak tanggal 2
November 1982 dan tidak berada lagi di Desa Rungun, Kecamatan
Kotawaringin Lama pada saat sita jaminan, pemohon
kasasi/tergugat III asli sudah tidak berada lagi di wilayah hukum
Pengadilan Negeri Pangkalan Bun (vide bukti T.H);
Bahwa dengan demikian Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri
telah melanggar Pasal 142 Rbg.;
Bahwa Pengadilan Negeri Pangkalan Bun pada halaman 12
putusannya mempertimbangkan antara lain dengan demikian
Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa baik tergugat I (If. Syafei
Juremi) maupun tergugat III (Syarifudin Noor) patut dibebaskan
dari pertanggungan jawab secara pribadi (garis bawah dari
pemohon kasasi atas pembayaran ganti rugi yang dituntut oleh
penggugat namun secara hukum mereka) (tergugat I, III) harus
dihukum untuk memenuhi bunyi putusan;
Bahwa walaupun Pengadilan Negeri telah mempertimbangkan
bahwa tergugat I maupun tergugat III patut dibebaskan dari

893
pertanggungan jawab secara pribadi dan dalam diktum No. 5
putusan tergugat I dan III tidak dihukum untuk membayar ganti
rugi, tetapi dalam diktum putusan No. 4 dinyatakan perbuatan
tergugat I, tergugat II dan tergugat III (sekarang para penggugat
dalam kasasi) suatu perbuatan wanprestasi (cidera janji) terhadap
penggugat (sekarang tergugat dalam kasasi) sedangkan ganti rugi
itu, adalah akibat dari wanprestasi;
Bahwa jelas Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi tidak
melaksanakan cara untuk melakukan peradilan karena
pertimbangannya bertentangan dengan diktum putusan;
Bahwa Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi tidak
melaksanakan cara untuk melakukan peradilan, bahwa seharusnya
Pengadilan Negeri menyatakan gugatan dari tergugat dalam kasasi
dahulu penggugat/terbanding tidak dapat diterima (niet
ontvankelijke), karena Ir. Syafei Jurcmi dan Syarifudin Noor telah
digugat secara pribadi, sedangkan menurut kenyataan, mereka ini
bertindak sebagai kuasa dari tergugat III asli (PT. UNITED
TRACTOR);
3. MENGENAI DIKTUM PUTUSAN :
Bahwa diktum dari suatu putusan mengandung apa yang
merupakan hukum dan karena adanya hukum maka harus ada pula
kewajiban hukum yang berupa membayar sejumlah uang,
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
Bahwa diktum putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun
butir 6 berbunyi demikian: “Menghukum tergugat I dan tergugat
III sekadar untuk memenuhi keputusan ini”;
Bahwa bila bunyi butir 6 tersebut dihubungkan dengan butir 5,
maka maksudnya adalah tidak lain daripada hanya membuat penuh
bunyi keputusan, maknanya tidak ada sama sekali karena
“membuat penuh bunyi keputusan” tidak dikenal dalam hukum
begitu pula bila dititikberatkan pada istilah “menghukum” maka
penggugatnya adalah berkelebihan karena bentuk/isi dari yang
dihukum itu harus dicari yang pasti tidak akan diketemukan;
Bahwa diktum sedemikian gelapnya karena tidak dapat
dipertanggungjawabkan menurut hukum mengakibatkan bahwa
seluruh keputusan adalah batal demi hukum, setidak-tidaknya
bahwa Pengadilan Negeri Pangkalan Bun sependapat dengan

894
eksepsi tergugat, bahwa baik tergugat I maupun tergugat III, tidak
dapat ditarik sebagai pihak dalam perkara;
Bahwa Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri telah melanggar
pasal 189 (3) Rbg yang berbunyi demikian: “het in hem verboden
uitspraak te doen omtrent zaken, welke niet zijn geeist, o f meer toe
te wijzen, dan geeist is geworden”.
Hakim dilarang memutuskan mengenai hal-hal, yang tidak
dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut;
Bahwa Pengadilan Negeri dalam diktum putusannya No. 6 :
“menghukum tergugat I dan tergugat III sekadar untuk memenuhi
bunyi keputusan ini, sedangkan dalam petitum penggugat hal ini
tidak dituntut;
Bahwa bunyi diktum No. 6 putusan Pengadilan Negeri :
Menghukum tergugat I dan tergugat III sekadar (garis bawah dari
penggugat dalam kasasi) untuk memenuhi bunyi keputusan ini;
Bahwa arti kata “sekadar” menurut kamus bahasa Indonesia
susunan P.J.S. Poerwodarminta halaman 899 “sekadar” berarti
“hanya”, jadi tergugat I dan tergugat III dihukum hanya untuk
memenuhi bunyi keputusan ini, akan tetapi bunyi diktum No. 4
menyatakan perbuatan tergugat I dan tergugat II dan tergugat III
suatu perbuatan wanprestasi terhadap penggugat, jadi bunyi diktum
No. 6 ini bertentangan dengan bunyi diktum No. 4;
Bahwa pada diktum No. 6 tergugat III dihukum hanya untuk
memenuhi keputusan, sedangkan pada diktum No. 4 tergugat I dan
tergugat III dinyatakan sebagai pihak aktif dalam perkara ini;
Bahwa dengan demikian Pengadilan Tinggi/Pengadilan Negeri
telah tidak melaksanakan cara untuk melakukan peradilan;
Bahwa mengenai sita jaminan (conservatoir beslag), bahwa
Pengadilan Negeri telah mengabulkan permohonan sita jaminan
dari penggugat/terbanding sekarang tergugat dalam kasasr, dengan
alasan untuk menjamin kepentingan penggugat atas tuntutan
(halaman 7 putusan sedangkan alasan permohonan sita jaminan
dari tergugat dalam kasasi dahulu penggugat/terbanding untuk
menjamin kepentingan penggugat atas tuntutan (halaman 3 putusan
Pengadilan Negeri);
Bahwa baik alasan dari permohonan maupun dari Pengadilan
Negeri untuk mengabulkan permohonan sita jaminan tidak sesuai

895
dengan alasan yang diberikan Undang-undang dalam Pasal 261
ayat (1) Rbg.;
Bahwa menurut Pasal 261 ayat (1) Rbg. suatu permohonan sita
jaminan dapat dikabulkan apabila ada dugaan beralasan bahwa
seseorang yang berhutang (tergugat) sebelum dijatuhkan putusan
kepadanya, atau sedang putusan yang dijatuhkan kepadanya, belum
dapat dijalankan berusaha akan menggelapkan atau mengangkut,
baik yang bergerak, maupun yang tidak bergerak, dengan maksud
akan menjauhkan barang-barang itu dari tuntutan dari yang
berpiutang (penggugat);
Bahwa jelas Pasal 261 ayat (1) Rbg. mensyaratkan “harus ada
dugaan beralasan”, bukan semata-mata untuk menjamin
kepentingan penggugat seperti telah dipertimbangkan oleh
Pengadilan Negeri;
Bahwa dengan demikian Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi
telah sal ah menerapkan hukum;
Bahwa baik ditinjau dari segi batalnya keputusan tersebut
menurut hukum maupun dari segi eksepsi yang benar menjadi jelas
bahwa Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, nyata-nyata hendak
memforsir bila perlu dengan mengorbankan hukum bahwa gugatan
tersebut diterima sehingga telah jelas pula bahwa Pengadilan
Negeri Pangkalan Bun tidak berlaku objektif dalam menangani
perkara ini hal mana sangat disesalkan;
Menimbang:
Mengenai keberatan ad. 1 :
Bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena judex faeti
tidak salah menerapkan hukum;

Mengenai keberatan ad. 2 dan ad. 3 :


Bahwa keberatan-keberatan inipun tidak dapat dibenarkan, karena
judex faeti tidak salah menerapkan hukum, lagi pula mengenai
penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu
kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan
tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya
berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam
pelaksanaan hukum, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18

896
Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia (Undang-Undang No. 1
Tahun 1950);
Menimbang, bahwa berdasarkan apa yang dipertimbangkan di atas,
lagi pula dari sebab tidak ternyata bahwa putusan judex facti dalam
perkara ini bertentangan dengan hukum dan/atau Undang-undang,
maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi Ir. Syafei
Juremi dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;
Memperhatikan pasal 40 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970,
Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 dan Undang-Undang No. 1 Tahun
1950;
MENGADILI:
Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi;
1. Ir. SYAFEI JUREMI.
2. PT. UNITED TRACTOR.
3. SYARIFUDIN NOOR, dalam hal ini oleh kuasa mereka :
1. O.C. KALIGIS, SFI.,
2. POLTAK HUTAJULU, SH., advokat/pengacara tersebut;
Menghukum pemohon-pemohon kasasi akan membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp. 20.000,- (dua
puluh ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Kamis tanggal 10 Desember 1985 dengan Palti Radja
Siregar, SH., Hakim Agung yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah
Agung selaku Ketua Sidang, H. Agus Djamili, SH. dan R.
Soebijantono, SH., sebagai Hakim-hakim Anggota, dan diucapkan
dalam sidang terbuka pada hari SELASA tanggal 24 Desember 1985,
oleh Ketua Sidang tersebut, dengan dihadiri oleh II. Agus Djamili, SH.,
dan Soebijantono, SH., Hakim-hakim Anggota, dan Ny. Endah
Rahadjeng K.S., SIL, Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh
kedua belah pihak Untuk Salinan MAHKAMAH AGUNG RI Direkmr
Perdata J.DJOHANSJAH, SH.

897
898
MAHKAMAH AGUNG RI
PUTUSAN
Reg. No. 3992 K/Pdt/1985

DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAIIA ESA

MAHKAMAH AGUNG

memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil


putusan sebagai berikut dalam perkara :
PT. BATU MULIA UTAMA, bertempat tinggal di B.P. Jaya
Building 6 Floor Jl. Ir.H. Juanda BI No. 7-9 Jakarta Pusat diwakili
oleh kuasanya ROSALINA, SH. dengan alamat Jl. Ilayam Wuruk
No. 3-3 KK, Jakarta Pusat, Pemohon Kasasi I juga Termohon
Kasasi B/Penggugat Pembanding;

melawan
S.S.C. (SAINRAPT ET BRICK-SOCIETE AUXILIARE
D’ENTERPRISES SOCIETE ROUTIERE COLAS), bertempat
tinggal di Kantor S. TASRJF, SH. & REKAN PENGACARA Jl.
Ir. H. Juanda II/4-B Jakarta Pusat, diwakili oleh kuasanya
TASRJF, SH. & ASSOCIATES, dengan alamat Jl. Ir. H. Juanda
II/4-B Jakarta Pusat, Termohon Kasasi I juga Pemohon Kasasi I
juga Pemohon Kasasi BTTcrgugat Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa
sekarang Pemohon Kasasi I juga Termohon Kasasi II sebagai
Penggugat asli telah menggugat sekarang Termohon Kasasi I juga
Pemohon Kasasi II sebagai Tergugat asli di muka persidangan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pokoknya atas dalil-dalil:
bahwa permohonan ini didasarkan pada Pasal 615 dan 619 dari
Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (R.V.) untuk
memaksakan arbitrase dari suatu sengketa yang timbul dari Agreement
(persetujuan) tertanggal 14 November 1981 yang ditandatangani antara
Penggugat asli dan Tergugat asli, berikut Amendment-Amendmentnya\

899
bahwa berdasarkan Pasal 23 dari Agreement tersebut Penggugat
asli dengan ini mohon diperintahkan arbitrase daripada sengketa ini di
Indonesia di hadapan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau
secara Subsidair diselesaikan sengketa ini di hadapan Pengadilan
Negeri sekarang ini, sehubungan dengan tuntutan ganti kerugian;
bahwa Penggugat asli yang bekerja sama dengan DAIICII1UNYU
SAGYO CO. Ltd. dan Tergugat asli yang bekerja sama dengan PT.
WASKITA KARYA, telah menandatangani “AGREEMENT’ tersebut
mengenai jual beli pasir laut, dan atas Agreement ini, Penggugat asli
dan Tergugat asli menyetujui diperlakukan hanya hukum Republik
Indonesia;
bahwa Penggugat asli telah melaksanakan kewajibannya
sebagaimana diatur dalam Agreement tersebut berikut Amendment-
Amandmentnya, bahkan melampaui target;
bahwa sewaktu Penggugat asli melakukan penagihan pembayaran,
maka Tergugat asli menolaknya dengan berbagai alasan;
bahwa Penggugat asli dengan Surat tanggal 23 April 1984 No.
347/EG/1984, telah minta persetujuan Tergugat asli agar sengketa ini
dilakukan Arbitrase Nasional Indonesia di hadapan BANI, akan tetapi
tidak mendapat tanggapan;
bahwa suatu penyelesaian secara cepat dan praktis dari sengketa
ini, untuk menghindari kerugian lebih lanjut mungkin timbul;
bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Penggugat asli
mohon Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan putusan sebagai
berikut:
PRIMAIR:
1. Memeriksa permohonan ini secara acara dipercepat, dan
menentukan;
2. Memerintahkan bahwa sengketa antara Penggugat dan Tergugat
Ilarus diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) di Jakarta, dalam waktu 8(delapan) hari sejak diucapkan
putusan ini, dengan sanksi; Tergugat dihukum membayar uang
paksa sebesar Rp. 1.000.000,-(satu juta rupiah) per hari untuk
setiap hari kelalaiannya memenuhi perintah ini, yang dapat ditagih
secara seketika dan sekaligus oleh Penggugat;

900
SUBSIDAIR:
3. Memerintahkan kepada para pihak (Penggugat dan Tergugat)
supaya menyelesaikan sengketa ini di hadapan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
4. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu,
walaupun ada upaya hukum lainnya dari Tergugat, (uitvoor baarhij
voorraid),
5. Menghukum tergugat Ilntuk membayar segala biaya yang timbul
dalam perkara ini;
bahwa terhadap gugatan tergugat asli tersebut di atas Tergugat asli
mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:
bahwa Pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa dan
mencampuri perkara ini, karena apabila dalam suatu perjanjian telah
ditentukan Klausula Arbitrase maka persoalannya tidak dapat diajukan
di hadapan Pengadilan;
bahwa terhadap gugatan tersebut telah dinyatakan tidak dapat
diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yaitu putusannya
tanggal 15 November 1984 No. 301/Pdt.G/1984. Putusan mana dalam
tingkat banding atas permohonan Penggugat telah dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya tanggal 31 Juni 1985 No.
270/PDT/1985/PT.DKI. yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI:
Menerima Eksepsi Tergugat;
DALAM POKOK PERKARA :
PRIMAIR:
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Memerintahkan bahwa sengketa antara Penggugat dan Tergugat
harus diselesaikan melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) di Jakarta, dalam waktu 8 (delapan) hari sejak perkara ini
mempunyai kekuatan hukum pasti;
- Menolak gugatan Penggugat untuk selebihnya;
- Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara dalam kedua
tingkatan peradilan, biaya mana dalam tingkat banding dirancang
sebesar Rp. 3.750,- (tiga ribu tujuh ratus lima puluh rupiah);

901
bahwa sesudah putusan akhir ini diberitahukan kepada para pihak
pada tanggal 3 September 1985 dan tanggal 9 September 1985
kemudian terhadapnya oleh Penggugat pembanding dan Tergugat
Terbanding dengan perantaraan kuasanya khusus, berdasarkan surat
kuasa khusus tanggal 6 September 1985 dan tanggal 23 September
1985 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 20
September 1985 dan tanggal 27 September 1985 sebagaimana ternyata
dari akta permohonan kasasi No. 167/Srt.Pdt.G/1985/PN.Jkt.Pst. dan
No. 171/Srt.Pdt.G./PN.Jkt.Pst. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, permohonan mana kemudian disusul oleh memori
kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di kepaniteraan
Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 2 Oktober 1985 dan tanggal 3
Oktober 1985;
bahwa setelah itu oleh Tergugat Terbanding dan Penggugat
Pembanding yang pada tanggal 10 Oktober 1985 dan tanggal 14
Oktober 1985 telah diberitahu tentang memori kasasi dari Penggugat
pembanding dan Tergugat Terbanding, diajukan jawaban memori
kasasi yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pada tanggal 21 Oktober 1985 dan tanggal 24 Oktober 1985;
Menimbang, bahwa walaupun perkara kasasi ini diperiksa dan
diputus pada waktu Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sudah berlaku,
namun oleh karena pemberitahuan isi putusan Pengadilan Tinggi dan
permohonan kasasi telah dilakukan sebelum Undang-Undang yang baru
tersebut berlaku, maka diberlakukan tenggang-tenggang waktu kasasi
menurut Undang-Undang yang lama (Undang-Undang No. 1 tahun
1950),
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-
alasannya yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan
saksama diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang
ditentukan dalam Undang-Undang, maka oleh karena itu permohonan
kasasi tersebut formal dapat diterima;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh
Permohonan Kasasi I dan Pemohon Kasasi II dalam memori kasasinya
tersebut pada pokoknya ialah :
Pemohon Kasasi I :
- Bahwa judex faeti tingkat banding telah salah menerapkan hukum
dan/atau melanggar peraturan perundangan yang berlaku;

902
- • Bahwa pertimbangan hukum Judex facti tingkat banding yang telah
mengabaikan begitu saja terhadap permohonan pembayaran uang
paksa sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) per hari untuk setiap
hari kelalaian. Termohon Kasasi/Tergugat terbanding memenuhi
perintah untuk menyelesaikan sengketa antara Pemohon Kasasi dan
Termohon Kasasi melalui BANI dalam waktu 8 (delapan) hari sejak
perkara ini mempunyai kekuatan hukum yang pasti, merupakan
pertimbangan hukum yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan
hukum acara perdata;
- Bahwa Yurisprudensi Mahkamah Agung yang berlaku saat ini
mengharuskan judex facti melakukan dan memberikan
pertimbangan hukum yang cukup/tepat;
Pemohon Kasasi I I :
1. Bahwa judex facti tingkat banding telah melanggar ketentuan
hukum dan tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya;
2. Bahwa judex facti tingkat banding dalam keputusannya telah
menerima eksepsi dari Pemohon Kasasi II juga Termohon Kasasi/
Tergugat Terbanding tersebut, seharusnya secara konsekuen
menyatakan dirinya tidak berwenang memeriksa perkara ini, dan
menguatkan judex facti tingkat Pengadilan Negeri;
3. Bahwa judex facti tingkat banding masih juga mencampuri pokok
perkara, dengan memerintahkan agar perkara ini diselesaikan
melalui BANI, sedangkan para pihak dalam “Agreement” tegas-
tegas memilih Arbitrase di bawah ketentuan International
Chamber o f Commerce (ICC Rules),
4. Bahwa pendapat Judex facti tingkat banding, bahwa perkara ini
harus diajukan ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
jelas bertentangan dengan keputusannya sendiri yang telah
menerima eksepsi Pemohon Kasasi II juga Termohon
Kasasi/Tergugat Terbanding, yaitu bahwa Pengadilan secara
absolut tidak berwenang memeriksa perkara sekarang ini,
5. Bahwa mengenai dipakainya hukum Indonesia dalam
menyelesaikan masalah ini, tidak berarti, bahwa perkara ini harus
diajukan di muka Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi melalui
Arbitrase di bawah BANI, akan tetapi sesuai dengan Pasal XXIII
bukti P-l, perkara ini harus diselesaikan melalui Arbitrase di bawah
ICC Rules, dengan hukum Indonesia, dan tempat arbitrase harus di
Jakarta;

903
6. Bahwa mengenai pilihan domisili hukum di Kantor Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ialah, apabila salah satu pihak
tidak mau melaksanakan keputusan Arbitrase oleh Badan Arbitrase
yang dibentuk berdasarkan ICC Rules, maka eksekusinya harus
diajukan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;
7. Bahwa Arbitrase di bawah ICC Rules tersebut bisa dilakukan di
Paris atau di tempat lain di luar negeri;
8. Bahwa pertimbangan Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi bahwa
dalam perkara ini dengan menunjuk Pasal XXIII bukti P-l, bahwa
perkara sekarang ini harus diajukan kepada BANI adalah sama
sekali tidak tepat, karena bertentangan dengan Pasal 1338 jo Pasal
XXIII bukti P-l itu sendiri, karenanya dimohon agar Mahkamah
Agung berkenan membatalkan keputusan Pengadilan Tinggi dan
menguatkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
9. Bahwa dalam peraturan prosedur yang berlaku pada BANI ada
ketentuan sebagai berikut: (bukti P-2).
“BANI” akan menyatakan permohonan tidak dapat diterima,
apabila perjanjian yang menyerahkan putusan sengketa kepada
arbiter/badan arbitrase atau klausula arbitrase tersebut di atas
dianggapnya tidak cukup untuk dijadikan dasar kewenangan BANI
untuk memeriksa sengketa yang diajukan itu, yang berarti
berdasarkan ketentuan tersebut di atas, apabila persoalan sekarang
ini diajukan pada BANI maka BANI akan menolaknya, karena
Pasal XXIII bukti P-l tidak memberi wewenang kepada BANI
untuk menyelesaikannya;
10. Bahwa pertimbangan Judex faeti tingkat Pengadilan Negeri adalah
tepat dan benar, karenanya keputusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat a quo harus dikuatkan, dengan alasan bahwa karena klausula
dalam Pasal XXIII bukti P-l mengikat sebagai Undang-Undang
bagi para pihak/bagi Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi;
Menimbang, bahwa mengenai keberatan Pemohon Kasasi I ini
tidak dapat dibenarkan, karena putusan judex faeti sudah tepat;
Mengenai keberatan Pemohon Kasasi II ad.l dan 2.
bahwa keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena putusan judex
faeti sudah tepat, sebab yang dapat diterima dalam eksepsi ialah bahwa
perselisihan paham mengenai pokok Agreement adalah wewenang
Arbitrase, tetapi apakah yang bertindak selaku Arbitrator adalah ICC

904
{International Chamber o f Commerce) atau BANI (Badan Arbitrase
Nasional Indonesia), merupakan wewenang Pengadilan;
Mengenai keberata-keberatan ad. 1 sampai dengan 9. bahwa
keberatan-keberatan ini dapat diterima, karena Pengadilan Tinggi
Jakarta salah menerapkan hukum dengan alasan-alasan sebagai berikut:
- Bahwa article XXIII dari Agreement (bukti P-l) ditentukan: “Ali
disputes arising in connection with this Agreement shall be finally
settled under the Rules o f Conciliation and Arbitration o f the
International Chamber o f Commerce by one or more arbitrators
appointed in accordance with the Rules the arbitration shall be held
in Jakarta, Indonesia
- Hal ini secara tegas menentukan ICC yang akan menyelesaikan
perselisihan paham {disputes) mengenai/yang timbul karena
Agreement ini sesuai peraturan-peraturan yang berlaku bagi ICC;
- Bahwa article XVIII Agreement yang menentukan :
“This Agreement shall be governed by the laws o f the Republic o f
Indonesia, For the implementation and consequences o f this
Agreement, all parties choose permanent and irrevocable domicile
at the office o f the Register at the Court o f First Instance in
Jakarta”, tidak merupakan pengaruh terhadap artikel XXIII, karena
meskipun dipilih hukum Indonesia dan pilihan domisili adalah di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta, hal ini tidak
mengakibatkan bahwa karenanya yang harus menyelesaikan
arbitrase a quo adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI);
Dengan demikian para pihak dengan tegas-tegas telah menentukan ICC
sebagai badan Arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan paham
{disputes) yang timbul berdasarkan Agreement,
Bahwa di samping itu eksepsi yang diajukan harus ditolak karena
eksepsi adalah mengenai pokok sengketa, yaitu apakah yang berlaku
peraturan ICC atau peraturan BANI. Hal ini tidak berarti bahwa
Mahkamah Agung memasuki materi yang diperiksa arbitrase;
Menimbang, bahwa berdasarkan apa yang telah dipertimbangkan
di atas, dengan tidak perlu mempertimbangkan keberatan kasasi
lainnya, maka menurut Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk
menerima permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi B
SSC (SAINRAPT ET BRICE/SOCIETE AHXILIARE D’ENTRE
PRISES/COLAS), dengan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Jakarta tanggal 31 Juli 1985 No. 270/Pdt/I985/PT.DKI., sehingga

905
Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini yang amarnya
berbunyi seperti yang akan disebut di bawah in i:
Menimbang, bahwa Pemohon Kasasi I ada di pihak yang
dikalahkan, maka harus membayar semua biaya perkara baik yang
timbul dalam tingkat pertama maupun dalam tingkat banding dan dalam
tingkat kasasi;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 14 Tahun
1970, Undang-Undang No. 1 tahun 1950 dan Undang-Undang No. 14
Tahun 1985 yang bersangkutan;

MENGADILI
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I PT. BATU
MULIA UTAMA tersebut, Mengabulkan permohonan kasasi dari
Pemohon Kasasi B : S.S.C. (SAINRAPT ET BRICE-SOCIETE
AUXILIARE D’ENTRE PRISES SOCIETE ROUTIERE COLAS)
tersebut;
Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 31 Juli
1985 No. 270/Pdt/1985/PT.DKL,

DAN DENGAN MENGADILI SENDIRI :


DALAM EKSEPSI:
- Menolak eksepsi tergugat,
DALAM POKOK PERKARA:
- Menolak gugatan penggugat seluruhnya;
- Menghukum Pemohon Kasasi I/Penggugat asal membayar biaya
perkara baik dalam tingkat pertama dan tingkat banding, maupun
dalam tingkat kasasi, yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan
sebanyak Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah).
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Selasa tanggal 12 April 1988 dengan Prof. Z. Asikin
Kusumah Atmadja, SH. Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua
Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang, T. Boestomi, SII. dan
Goenawan, SH. sebagai Hakim-hakim Anggota dan diucapkan dalam
sidang terbuka pada hari RABU, TANGGAL 4 MEI 1988 oleh Ketua
Sidang tersebut dengan dihadiri oleh T. Boestomi, SH. dan Goenawan,
SH. Hakim-hakim Anggota dan Soejoedi, SH. Panitera Pengganti
dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.

906
MAIIKAMAII AGUNG RI
PUTUSAN
Reg. No. 2 Banding/Wasit/1986

DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil


putusan sebagai berikut dalam perkara :
CV “Lempuing Bengkulu”, dalam hal ini diwakili oleh
pimpinannya Abdul Muis, beralamat di Kebun Geran Gang
Laksana No.29 Rt. VD3 Bengkulu, Pemohon Kasasi dahulu
Terlawan;
melawan
Ny. H ajar Rifa’i, beralamat di Jalan A. Yani Bengkulu, dalam hal
ini diwakili oleh Drs. M. Wasik Salik, beralamat di Jalan
Soeprapto No.5 Bengkulu, Termohon Kasasi dahulu Pemohon;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa
sekarang Termohon Kasasi sebagai Pemohon telah menggugat sekarang
Pemohon Kasasi sebagai Termohon dimuka Persidangan Badan
Pemisah sengketa CV Lempuing Bengkulu pada pokoknya atas dalil-
dalil;
Bahwa almarhum suami Pemohon, A. Rifa’i Darwis, dengan
Termohon pada tanggal 16 Maret 1973 mendirikan sebuah “Perseroan
Komanditer dibawah Firma” di hadapan notaris Abdul Latief di Jakarta,
dengan akte No. 91 dengan nama CV “Lempuing” (P.l);
Pada Pasal 12 akte CV “Lempuing” disebutkan, bahwa apabila di
antara persero terjadi perselisihan, salah seorang dari mereka berhak
meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat kedudukan
perseroan, dalam hal ini Ketua Pengadilan Negeri Bengkulu
pengangkatan suatu badan pemisah (P.l);
Atas dasar inilah Pemohon mengajukan permohonan ini kepada
Bapak Ketua Pengadilan Negeri Bengkulu;

907
Perlu Pemohon memberi penjelasan yang CV “Lempuing”
merupakan anggota dari PT “Benucom” dan sebagai anggota PT
“Benucom”, sebagian keuntungan yang diperoleh PT “Benucom” di
salurkan ke CV “Lempuing”;
Bahwa pada Pasal 5 akte perseroan disebutkan, yang Termohon
adalah pesero pengurus satu-satunya yang bertanggung jawab penuh
sebagai “Direktur”;
Bahwa pada Pasal 9 akte perseroan disebutkan, Termohon harus
membuat neraca dan perhitungan laba-rugi setiap tahunnya (terlampir);
Bahwa pada Pasal 10 akte perseroan disebutkan keuntungan-
keuntungan dan kerugian-kerugian yang diderita perseroan dibagi
antara dan dipikul oleh para pesero, masing-masing menurut
perbandingan penyetoran mereka dalam modal perseroan;
Bahwa pada Pasal 11 akte perseroan disebutkan, jika salah seorang
pesero meninggal dunia, maka perseroan diteruskan oleh persero
lainnya dengan ahli waris pesero yang meninggal dunia atau mereka
yang mendapatkan haknya;
Bahwa pada tanggal 8 Oktober 1981 suami Pemohon meninggal
dunia, dan sesuai dengan Pasal 11 akte perseroan, yang menggantikan
kedudukannya sebagai pesero ialah Pemohon sebagai istri yang sah dari
almarhum (P2);
Bahwa baik semasa suami Pemohon masih hidup maupun setelah
kedudukannya digantikan Pemohon sebagai pesero, sering kali kami
meminta kepada Termohon untuk menunjukkan neraca dan perhitungan
laba-rugi sejak perseroan didirikan pada tahun 1973 hal mana harus
dibuat Termohon sesuai dengan Pasal 9 akte perseroan tetapi hingga
saat suami Pemohon meninggal dunia dan permohonan ini dimasukkan
ke Pengadilan Negeri Bengkulu, Termohon tidak pernah sekalipun mau
menunjukkan neraca dan perhitungan laba rugi tersebut;
Sedangkan menurut Pasal 7 dari akte perseroan tersebut yang
diminta Pemohon di atas adalah hak Pemohon;
Bahwa rincian dari tahun dimana perseroan mendapat keuntungan
bersih dan kotor sejak suami Pemohon meninggal dunia adalah sebagai
berikut:
Keuntungan kotor:
a. 29Nopember 1982 Rp 7.487.356,70 (P.3)
b. 13 Februari 1984 Rp 14.510.911,90 (P.4)

908
c. 21 Januari 1985 Rp 38.515.635,55 (P.5)
d. 09 April 1985 Rp 750.000,00 (P.6)
e. 29 Mei 1985 Rp 1.500.000,00 (P.7)
f. 15 Agustus 1985 Rp 750.000,00 (P:8)
g. 28 Nopember 1985 Rp 1.500.000,00 tP.91
Jumlah Rp 65.013.904.15

Dari keuntungan 29 Nopember 1982, keuntungan 13 Februari 1984


dan keuntungan 21 Januari 1985, Termohon hanya memberikan kepada
Pemohon sejumlah Rp 300.000,- + Rp 1.000.000,- t Rp 2.000.000,-
Rp 3.300.000,-
Sedangkan keuntungan ad. d sampai g tidak ada diberikan
Termohon kepada Pemohon;
Keuntungan bersih:
Keuntungan bersih yang diterima Termohon adalah :
- Keuntungan kotor Rp 65.013.904,15
- Biaya-biaya dan pajak-pajak (butir 9) Rp 10.000.000,00
- Honor pengurus (butir 11) Rp 6.501,390.40
Jumlah Rp 48.512.513.75
Bahwa perseroan dimana Termohon menjadi Direktur yaitu
pengurus satu-satunya tidak pernah memiliki:
a. Kantor.
b. Karyawan.
c. Administrasi.
d. dan lain-lain.
Atau segala bentuk sarana yang diperlukan untuk menggerakkan
sebuah perseroan;
Aktivitas perseroan tersebut hanya dalam menerima keuntungan,
sebagaimana Pemohon uraikan pada butir No. 8;
Karena perseroan yang dipimpin Termohon tidak memiliki sarana
tersebut, pengeluaran ataupun pembiayaan yang dikeluarkan Termohon
tidak ada, terkecuali pengurusan SIUP di Kanwil Departemen
Perdagangan Bengkulu dan HO dari Kotamadya Bengkulu serta pajak-
pajak Dividen lebih kurang Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah),
perkiraan ini sudah jauh di atas maksimal;

909
Bahwa walaupun Termohon tidak pernah mengeluarkan biaya-
biaya untuk menggerakkan perseroan tersebut, tetapi sebagai pengurus
satu-satunya, Termohon pantas mendapat honor yang wajar;
Bahwa karena Termohon hanya merupakan “Sleeping Director'”
yaitu direktur yang tidak mengerjakan apa-apa sudah sepantasnya
honor yang diterima sebagai suatu kebijaksanaan sebesar 10% dari
jumlah penerimaan kotor yaitu Rp 6.501.390,40 (lihat butir 8);
Bahwa keuntungan perseroan yang diterima Pemohon jauh sekali
berkurang dari yang seharusnya diterima sebagai haknya; Bahwa
Pemohon di satu pihak maupun Termohon di pihak lain tidak pernah
melakukan penyetoran dalam modal perseroan, penyetoran para pesero
ke dalam perseroan sama jumlahnya yaitu 0 (nol) rupiah;
Bahwa karena Pemohon dan Termohon sama-sama tidak pernah
melakukan penyetoran ke dalam modal perseroan, maka perbandingan
saham para persero sama besarnya dan oleh sebab itu keuntungan yang
diperoleh persero dalam hal ini, keuntungan yang disebut pada butir
No. 8 harus dibagi rata atau harus dibagi dua, sesuai dengan ketentuan
yang terdapat di dalam Pasal 10 akta perseroan;
Keuntungan yang seharusnya diterima Pemohon adalah
Rp.48.512.513,75,- dibagi 2 (dua) = Rp.24.256.256,87,- dan bukan
Rp.3.300.000,-;
Termohon selama bertahun-tahun menikmati keuntungan yang
menjadi hak Pemohon, oleh sebab itu sudah sepantasnya Pemohon
meminta bunga;
Bahwa almarhum suami Pemohon dan Pemohon sering sekali
menghubungi Termohon untuk menyelesaikan dan melunasi
keuntungan yang belum dibayar oleh Termohon, tetapi Termohon tidak
pernah berkeinginan untuk melakukan penyelesaian atau pelunasan;
Dengan dimilikinya oleh Termohon, keuntungan-keuntungan yang
merupakan hak dan milik Pemohon secara melawan hukum, Termohon
telah melakukan tindak Pidana penggelapan;
Mengenai penyelesaian tindak Pidana ini dalam waktu dekat akan
diselesaikan Pemohon sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku;
Bahwa Termohon bertindak lebih jauh lagi dengan membuat
akte baru di hadapan Notaris Muhammad Thaim, SI1. wakil notaris
sementara di Bengkulu pada tanggal 15 Februari 1984 dengan No. 112
(P -10);

910
bahwa di dalam akte tanggal 15 Februari 1984 ditambah 2 anggota
baru :
a. Hajrah Musa Rezai, istri Termohon.
b. Mansyur Yunus, ipar Termohon.
Bahwa sesuai Pasal 13 akte perseroan, yang disetujui Pemohon
sebagai pesero baru, hanya Hajrah Musa Rezai sedangkan Mansyur
Yunus tidak;
Bahwa persetujuan permohonan atas masuknya Hajrah Musa Rezai
sebagai pesero baru, Pemohon menyatakan di dalam satu surat
pernyataan awal 1984, kalau di dalam surat pernyataan tersebut di atas
dicantumkan nama Mansyur Yunus, maka penambahan nama ini tidak
dilakukan sendiri oleh Termohon;
Penambahan nama Mansyur di dalam akte perseroan diluar
pengetahuan dan tanpa izin dari Pemohon, tindakan Termohon ini jelas
merupakan tindak Pidana pemalsuan dan penyelesaian tindak Pidana ini
akan Pemohon salurkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku;
Bahwa kalaulah Pemohon, almarhum suami Pemohon dan
Termohon sebagai pesero pendiri dan direktur tidak pernah menyetor
modal ke dalam perseroan sebagaimana sudah Pemohon dalilkan pada
butir No. 13 di atas konon lagi kedua anggota baru tersebut yaitu
Hajrah Musa Rezai dan Masyur Yunus, tegasnya kedua anggota baru
ini juga tidak ada menyetor modal ke dalam perseroan;
Bahwa maksud Termohon memasukkan kedua anggota baru
tersebut di atas tidak lain hanya untuk memperkecil penerimaan
keuntungan oleh Pemohon, karena pembagian keuntungan menurut
Pasal 10 akte perseroan, menjadi 1/4 bagian untuk Pemohon sedangkan
Termohon menerima 3/4 bagian (1/4 bagian Termohon, 1/4 bagian
isterinya dan 1/4 bagian iparnya);
Bahwa sewaktu Pemohon menanyakan mengenai tambahan akte
tanggal 15 Februari 1984 (P. 10) ke Kantor Notaris yang membuatnya
jawaban yang diperoleh Pemohon ialah bahwa Termohon dan kedua
anggota baru belum menandatangani akte tersebut dan Termohon
meminta agar pembuatan akte tersebut dihentikan dengan meminta
kembali dari Notaris surat pernyataan yang dibuat Pemohon tertanggal
awal 1984;
Bahwa seandainya Termohon membuat akte baru lagi pada Notaris
lain dengan mencantumkan kedua nama anggota-anggota baru tersebut
yaitu Hajrah Musa Rizai dan Mansyur Yunus, maka sifat akte tersebut

911
sama saja sebagaimana Pemohon dalilkan pada butir No. 19 di atas
dan maksud pembuatannya sebagaimana Pemohon dalilkan pada butir
No. 21 di atas;
Bahwa berdasarkan uraian Pemohon di atas khususnya pada butir-
butir No. 7, No. 8, No. 9, No. 12, No. 15, No. 16, No. 18, No. 19, dan
No. 21 jelaslah sudah Termohon sebagai satu-satunya pengurus pesero
tersebut, tidak jujur dalam mengelola dan memimpin perseroan
tersebut, bahkan Termohon sudah mengaggap seolah-olah perseroan
tersebut milik pribadinya;
Bahwa Pemohon sekarang ini dalam keadaan 1/2 lumpuh. Dari
cara-cara Pemohon mengelola dan memimpin perseroan tersebut, mau
tidak mau menjadi pikiran bagi Pemohon;
Karena pikiran ini merupakan sesuatu yang tidak mengenakkan,
pikiran ini berakibat tekanan mental berat bagi Pemohon, sehingga
belakangan ini memperburuk kondisi kesehatan Pemohon, sedangkan
Pemohon masih ingin hidup lebih lama lagi dalam keadaan sehat;
Bahwa untuk dapat membebaskan Pemohon dari tekanan mental
yang berat ini hanya ada dua alternatif yaitu :
I. Termohon membayar semua kekurangan pembagian
keuntungan yang merupakan hak Pemohon dalam jangka
waktu tertentu, berikut bunganya;
II. Atau membubarkan CV Lempuing kalau ad. II tidak dipenuhi;
Bahwa untuk tidak terlalu memberatkan Termohon dalam
pembayaran hak Pemohon, Pemohon tidak mengklaim Termohon
dengan bunga berbunga {Rente o f Rente) tetapi cukup sebagai berikut :
1. Pembayaran 1/2 dari keuntungan
bersih: 1/2 X Rp 48.512,513,75 = Rp 24.256.256,87
2. Bunga 10% X Rp 24.256.625,87 = Rp 2.425.625.00
Jumlah = Rp 26.681.881,87
Berhubung Pemohon sebelumnya sudah menerima keuntungan
sejumlah Rp. 3.300.000,- dari Termohon, maka sisa yang harus
dibayar Termohon kepada Pemohon berjumlah Rp. 26.681.881,87 -
Rp.3.300.000,- = Rp. 23.381.881,87,-;
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemohon memohon kepada
Badan Pemisah yang diangkat oleh Bapak Ketua Pengadilan Negeri
Bengkulu agar memberikan putusan sebagai berikut:

912
a. Menyatakan perbuatan Termohon sebagai “perbuatan yang
melanggar hukum;
b. Menghukum Termohon membayar kepada Pemohon hak
keuntungan Pemohon yang berjumlah sebagai berikut:
Keuntungan bersih = Rp 24.256.256,87
Bunga 10% = Rp 2.425.625.00
Jumlah = Rp 26.681.881.87
dikurang - Rp 3.300.000.00
Jumlah = Rp 23.381.881,87
(dua puluh tiga juta tiga ratus delapan puluh satu ribu delapan ratus
delapan puluh satu 87/100 rupiah), dalam waktu 30 hari setelah
permohonan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Bengkulu;
c. Membubarkan CV “Lempuing” apabila ketentuan-ketentuan pada
ad. b di atas tidak dipenuhi Termohon;
Bahwa terhadap gugatan tersebut Badan Pemisah CV Lempuing
Bengkulu telah mengambil keputusan, yaitu putusannya tanggal 17
April 1986 No. Ol/IV/P.Arb.1986, yang amarnya berbunyi sebagai
berikut:
1. Menyatakan, bahwa pihak Termohon telah tidak memenuhi
kewajibannya sebagai pesero pengurus kepada pihak Pemohon,
dan perbuatan Termohon ini sebagai perbuatan yang melanggar
hukum;
2. Mewajibkan kepada pihak Termohon untuk memberikan hak
keuntungan CV Lempuing Bengkulu yang menjadi haknya
Pemohon kepada Pemohon sebesar Rp 22.881.881,87,- (dua puluh
dua juta delapan ratus delapan puluh satu ribu delapan ratus
delapan puluh satu 87/100 rupiah) yang harus dibayar dalam waktu
3 (tiga) bulan;
3. Menyatakan bahwa CV Lempuing dibubarkan dengan segala
akibat hukumnya, apabila pihak Termohon di dalam jangka waktu
3 (tiga) bulan seperti tersebut pada butir 2 (dua) tidak memenuhi
kewajibannya kepada pihak Pemohon;
4. Mewajibkan kepada pihak Pemohon dan pihak Termohon untuk
membayar biaya perwasitan masing-masing sebesar Rp 375.000,-
(tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah);

913
5. Mewajibkan kepada kedua belah pihak untuk mentaati dan
melaksanakan putusan ini dengan sebaik-baiknya;
Bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada kedua
belah pihak pada tanggal 30 Desember 1985 kemudian terhadapnya
oleh Termohon diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal
25 April 1986 sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No.
01/Arb/1986/PN.Bkl. Yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri
Bengkulu, permohonan mana dengan disertai oleh memori kasasi yang
memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Bengkulu pada tanggal 25 April 1986;
Bahwa setelah itu oleh Pemohon yang pada tanggal 26 April 1986
telah diberitahukan tentang memori kasasi dari Termohon diajukan
jawaban memori kasasi yang diterima di kepaniteraan Pengadilan
Negeri Bengkulu pada tanggal 9 Mei 1986;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh
Pemohon kasasi dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya
ialah;
1. Sesuai dengan tangkisan kami mengenai duduknya Drs. A. Wasik
Salik sebagai kuasa dari Pemohon, karena kuasa tersebut bukan
penasehat hukum dan bukan famili dari Pemohon;
Sangat disayangkan Panitia Wasit tidak memberi jawaban atau
tanggapan atas tangkisan kami;
Sepanjang pengetahuan kami Drs.A.Wasik Salik bukan
penasehat hukum, jadi kalau bukan penasehat hukum dibiarkan
menjadi penasehat hukum akan rusak hukum di Indonesia, dan
bagaimana Pengawasan terhadap penasehat hukum?
Pengetahuan kami Drs. A. Wasik Salik adalah kuasa dari PT
“Benucom” sebab saat ini kami sedang menggugat PT Benucom,
karena deviden kami di tahan oleh PT “Benucom”, kuasanya
adalah Drs. A. Wasik Salik;
Sebenarnya permohonan Pemohon merupakan latar belakang
gugatan kami. Dalam hal ini kami menggugat karena deviden
ditahan, Perkara 15/Pdt.G/1985/PN/Bkl, saat ini menunggu
keputusan;
Cara untuk membalas maka melalui Ny. Hajar Rifai dengan
kuasanya Drs. A. Wasik Salik mengajukan permohonan yang
diselesaikan dengan Panitia Wasit;

914
Perlu kami jelaskan bahwa CV “Lempuing” bergabung dengan
PT “Benucom” mulai tahun 1973, dengan usaha dagang kopi
(pembagian kopi), jadi CV “Lempuing” menerima Deviden dari
PT Benucom. Dengan Drs. Wasik Salik menjadi kuasa dari
Pemohon dan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri
Bengkulu untuk diselesaikan karena ada perselisihan;
Dengan cara demikian maka CV “Lempuing” dibubarkan dari
PT “Benucom” untuk deviden tahun 1984/1985 dan selanjutnya
tidak membayar deviden kepada kami, untuk itu kami berkeberatan
diadakannya Drs. Wasik Salik sebagai kuasa Pemohon, selain itu
seenaknya menjadi kuasa/pengikat hukum;
Yang menjadi keberatan kami, Panitia Wasit tidak menjawab
tangkisan kami, dan seakan-akan mengesampingkan. Kalau Panitia
wasit sebagai Pemisah, harus bertindak obyektif, sebenarnya kuasa
tersebut merupakan hal yang penting;
2. Bahwa diadakannya Panitia wasit/Badan Pemisah tersebut atas
dasar penunjukan Ketua Pengadilan negeri Bengkulu tanggal 17
Februari 1986.
Panitia Wasit atas dasar permohonan Pemohon bahwa telah
ada perselisihan. Menurut pendapat kami belum ada perselisihan,
dengan alasan bahwa Pemohon (bukan kuasa Pemohon) telah
menerima deviden dari kami mulai tahun 1982 sampai dengan
tahun 1985 tanpa ada bantahan apa menerima dengan baik, ini
sesuai dengan pernyataan Pemohon dan kwitansi telah
ditandatangani oleh kami, dan kami ikut sertakan sebagai bukti;
Karena selama itu tidak ada bantahan, gaji tidak ada/dapat
perselisihan, hal ini dibuktikan belum ada sangkalan atau tidak
puas, Pemohon menerima saja uang deviden tanpa keluhan seperti
permohonan saat ini. Jadi dalam hal ini Panitia Wasit kurang tepat
menerapkan apakah perselisihan, karena dalam acara tidak ada
perselisihan maka seharusnya sebagai pemisahan harus obyektif;
Mengenai perselisihan yang diuraikan oleh Panitia Wasit
hanya versi perselisihan dari kuasa Pemohon (Drs. A. Wasik
Salik). Perselisihan yang dikehendaki oleh Drs. A. Wasik Salik
(sebagai kuasa) Pemohon, padahal harus diingat Pemohon mulai
tahun 1982 sampai dengan tahun 1985 telah menerima dengan
baik. Memang tahun 1984 belum dibayar karena uang deviden
ditahan oleh PT “Benucom” sesuai dengan uraian kami di atas;

915
Pemohon antara tahun 1982 sampai 1985 diam, karena
Pemohon tahu bahwa Pemohon di CV “ Lempuing” tanpa modal,
buktinya dalam permohonan tidak menjelaskan berapa modalnya
yang ada di CV “Lempjiiing”, Pemohon tanpa memberikan modal,
tapi Pemohon menerima Deviden dengan enak dan baik, pada hal
dapat dikatakan pemegang saham yang pasip, seperti diuraikan di
atas CV “Lempuing” bergabung dalam PT “Benucom”, selain itu
ada usaha lain, semuanya dari kami untuk mendapat uang, jadi
sebagai/pemegang saham pasip harus dibedakan dengan pemegang
saham aktif. Dengan alasan demikian Pemohon menerima deviden
dengan diam tanpa perselisihan, tetapi versi kuasa Pemohon maka
ada perselisihan dengan tujuan seperti tersebut di atas;
3. Dalam permohonan Pemohon melalui kuasa Pemohon memohon
keuntungan, hal ini dapat kalau Pemohon menyerahkan modal dan
aktif sebagai pesero, kalau tidak menyerahkan modal apakah dapat
diminta keuntungan jadi seharusnya cukup menerima apa yang
telah diterima kenyataan Pemohon (Ny Hajar Rifai) menerima
uang tetapi dengan adanya kuasanya menganggap ada perselisihan;
Pertimbangan Hukum yang dikemukakan oleh Panitia Wasit
kiranya tidak menguraikan mengenai tangkisan kami. Juga tidak
menguraikan bagaimana seharusnya terjadinya perselisihan yang
harus diselesaikan oleh pemisah, kiranya inilah yang harus
diuraikan oleh Panitia wasit secara formil, kalau ini terbukti baru
mengenai pokok materialnya. Dalam hal ini perselisihan kabur,
tetapi patutnya perselisihan setelah kuasa Pemohon mempengaruhi
dengan tujuan tersebut di atas;
Tetapi dalam pertimbangan hukumnya Panitia wasit langsung
menyalahkan Termohon (kami), dan tidak berbeda dengan
pendapat versi kuasa Termohon atau dapat dikatakan sama. Dalam
hal ini Panitia Wasit lupa bahwa yang dimintakan oleh Pemohon
melalui kuasanya adalah hak dan keuntungan, juga lupa bahwa
Pemohon tidak bermodal, tetapi minta keuntungan. Dalam hal
yang ganjil, atau seenaknya sendiri, Pemohon tidak mengerti
atau mengetahui bagaimana liku-liku mengelola CV tersebut
termasuk hubungan dengan PT Benucom, juga bagaimana cara
mendirikannya;
Pengetahuan termasuk liku-liku dari CV Lempuing, baik
suami Pemohon atau Pemohon sendiri tidak tahu, selanjutnya
Pemohon melalui kuasa Pemohon tidak membenarkan (menyalah­

916
kan) dari CV “Lempuing” kemudian diminta keuntungan menurut
perhitungan versi kuasanya. Tetapi Pemohon tidak ingat mulai
diterima karena kalau kuasanya wajar sebab belum pernah
menerima dari kami, untuk itu kuasanya minta keuntungan,
sebagaimana uraian CV “Lempuing” adalah CV yang kecil,
semua keuntungan tergantung PT Benucom”. Kalau oleh
PT Benucom, keuntungan atau deviden kami ditahan, tindakan
selanjutnya melalui kuasa PT Benucom yang menjadi kuasa dari
Pemohon, dengan mengajukan permohonan memohon bubarnya
CV Lempuing, dengan maksud supaya CV Lempuing habis
devidennya di PT Benucom;
Benar sewaktu kami dipanggil ke Pengadilan Negeri, kami
tidak mengerti, bahwa akan ada sidang dari Panitia wasit,
permohonannya baru diberikan di persidangan (akan bersidang),
jadi kami tidak mengerti, maklumlah kami manusia awam dalam
pengertian hukum, kami oleh Panitia Wasit dianggap mengerti
pada prinsipnya kami tidak sependapat, lebih sempurna diadili oleh
hukum Pengadilan Negeri saja. Lebih tidak puas lagi kami tidak
ada tanggapan;
Panitia Wasit tanpa menguraikan pokok perselisihan dalam
pertimbangan hukumnya langsung mengalahkan CV Lempuing,
Panitia harus jangan lupa bagaimana latar belakang CV tersebut
memang CV Lempuing harus mentaati ketentuan yang ada, tetapi
Panitia Wasit harus memperhatikan latar belakang kesalahan yang
diuraikan Panitia Wasit dalam pertimbangan hukumnya terhadap
kami, hanya merupakan kesalahan kami tidak dipertimbangkan
dengan keterangan Pemohon, sehingga kelihatannya bukan badan
pemisah, kelihatannya seperti tuntutan Jaksa dalam perkara Pidana;
Selain tindakan dari Panitia Wasit tersebut di atas, tindakan
Panitia wasit setelah putusan, kami akan mengajukan banding,
karena banding tidak diperkenankan, kami mencoba mengajukan
kasasi, rupanya seperti dipersulit, dari Panitia Wasit, kami disuruh
ke Panitia begitu selanjutnya. Begitu juga kami akan minta turunan
putusan kami dimintakan uang/ongkos Rp 375.000,- dalam
keterangan telah ada kompromi ongkos sebanyak Rp 750.000,-
dibagi dua. Padahal kami tidak pernah kompromi, umpama
kompromi kami tidak menyetujui;
4. Dalam Pertimbangan hukumnya Panitia Wasit menyalahkan kami
karena menambah anggota, seperti uraian kami di atas, itu us aha

917
kami untuk memajukan CV Lempuing untuk memperoleh
keuntungan;
Menurut Panitia Wasit pokok sengketa adalah tidak
diterimanya keseluruhan yang menjadi hak Pemohon kiranya
Panitia Wasit kurang benar menerapkan hukum acaranya.
Sebaiknya pokok” pangkal perselisihan dari Pemohon dengan
Termohon kalau sudah terbukti adanya perselisihan baru
materinya;
Mengenai keuntungan kiranya sudah diterima mulai tahun
1982/dengan saat ini mereka diam;
Pemohon harus ingat adalah pemegang saham tanpa modal
dan pasip, seperti uraian kami di atas;
Mengenai perhitungan keuntungan atau keuangan, itulah
perhitungan kami sebenarnya;
Sebab kalau Panitia Wasit mengikuti perhitungan versi kuasa
Pemohon, kami akan sal ah semua, seperti maksud uraian kami
di atas;
Menimbang, bahwa terhadap permohonan Pemohon tersebut
Mahkamah Agung pertama-tama perlu memutuskan terlebih
dahulu apakah permohonan kasasi sebagaimana yang dimaksud
oleh Pemohon tersebut dapat diterima sebagai permohonan
kasasi biasa menurut ketentuan Pasal 29 Undang-Undang No. 14
Tahun 1970;
Menimbang, bahwa Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang No. 14
Tahun 1970 menyatakan terhadap putusan-putusan yang diberikan
tingkat terakhir oleh Pengadilan lain daripada Mahkamah Agung,
kasasi dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung;
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan Pengadilan-
pengadilan lain daripada Mahkamah Agung tersebut adalah Badan-
Badan Pengadilan yang melakukan kekuasaan Kehakiman yang
termasuk di dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana
satu-persatu disebutkan dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970;
Menimbang, bahwa ternyata Peradilan Perwasitan dalam hal
ini Badan Pemisah Sengketa CV Lempuing Bengkulu adalah tidak
termasuk salah satu Badan Pengadilan yang disebut dalam Pasal 10
ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970;

918
Menimbang, bahwa menurut Pasal 15 Undang-Undang No. 1
Tahun 1950 terhadap putusan perwasitan dapat dimintakan
banding kepada Mahkamah Agung akan tetapi Undang-Undang
No. 1 Tahun 1950 tersebut telah dicabut oleh Undang-Undang
No. 13 Tahun 1965;
Menimbang, bahwa menurut Undang-Undang No. 14 Tahun
1985 ternyata tidak ada kewenangan lagi Mahkamah Agung untuk
mengadili baik sebagai peradilan banding maupun peradilan kasasi
terhadap putusan perwasitan sehingga oleh karenanya Mahkamah
Agung tidak berwenang untuk memeriksa permohonan kasasi ini;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di
atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon kasasi :
CV Lempuing Bengkulu (Abdul Muis) tersebut dinyatakan tidak
dapat diterima; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang
No. 14 Tahun 1970, Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 dan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang bersangkutan;

MENGADILI
Menyatakan permohonan kasasi dari Pemohon kasasi:
CV Lempuing Bengkulu/Abdul Mu’is tersebut tidak dapat
diterima;
Menghukum Pemohon kasasi membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp 20.000,- (dua puluh ribu
rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan
Mahkamah Agung pada hari : Rabu tanggal 22 April 1900 delapan
puluh tujuh dengan H. Martina Notowidagdo, SH. Hakim Agung
yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang,
FX. Soenarta, SH., dan Firdaus Chairani, SH., sebagai Hakim-
hakim Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka pada hari:
Senin tanggal 29 Juni 1900 delapanpuluhtujuh oleh Ketua Sidang
tersebut dengan dihadiri oleh FX. Soenarta, SH., dan Firdaus
Chairani, SH., Hakim-hakim Anggota, dan Yustinar, SH. Panitera
Pengganti dan dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak.

919
920
PENETAPAN
No : 1 Pcn.Es’r/Arb.Int/Pdt/1991

DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAIIA ESA

KETUA MAHKAMAH AGUNG


REPUBLIK INDONESIA

Mahkamah Agung tersebut:


Memperhatikan perkara permohonan EXEQUATUR dalam
Putusan Arbitrase Asing tanggal 17 Nopember 1989 antara :

E.D. & F. MAN (SUGAR) LIMITED se b a g a i p em oh on

d en g a n

Y. IIARYANTO seb a g a i term o h o n

berdasarkan Queen’s Counsel of The English Bar sebagai Arbiter


tunggal di London.

MEMPERHATIKAN :
Permohonan yang diajukan oleh WINITA E. KUSNANDAR, SU.
selaku kuasa dari Andrew Hillyer Scott and John Martincau Kinder
kedua-duanya Directors of E.D. & F MAN (SUGAR) LIMITED
memohon agar Ketua Mahkamah Agung RI berkenan memberikan
EXEQUATUR terhadap putusan The Queen’s Counsel of The English
Bar di London tanggal 17 Nopember 1989.

MEMPERTIMBANGKAN :
Bahwa Putusan Arbitrase Asing tersebut mengenai pembayaran
sejumlah uang US $ 22.000.000,- yang harus dibayar oleh termohon
kepada pemohon sesuai perjanjian yang dimaksud dalam Article II New
York Convention 1958 10 Juni 1958;
Bahwa putusan Arbitrase Asing tersebut telah didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;

921
Bahwa dengan demikian permohonan tersebut tidaklah
bertentangan dengan sendi-sendi azasi dari seluruh sistim hukum dan
masyarakat di Indonesia (ketertiban umum), oleh karena mana
permohonan EXEQUATUR dapat dikabulkan.

MEMPERHATIKAN :
Undang-Undang No. 1 Tahun 1950, Undang-Undang No. 14
Tahun 1970, Undang-Undang No. 14 Tahun 1958, New York
Convention 1958 10 Juni 1958, KEPPRES No. 34 Tahun 1981 LN
No. 40, PERMA No. 1 Tahun 1990.

MENETAPKAN:
Mengabulkan permohonan EXEQUATUR dalam putusan The
Queen’s Counsel of The English Bar di London tertanggal 17
Nopember 1989 yang didaftarkan dengan akta No. 01/PDT/
ABT.INT/1990 tanggal 5 Nopember 1990.
Biaya pemberian EXEQUATUR ditentukan sebesar Rp. 250.000,-
(dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
agar memberitahukan kepada kedua belah pihak.
Demikian ditetapkan pada hari mi Jum’at tanggal 1 Maret 1991
oleh ALI SAID, SH. Ketua Mahkamah Agung RI.

922
MAHKAMAH AGUNG RI
PUTUSAN
Reg. No. 1203 K/Pdt/1990

DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAIIA ESA

MAHKAMAH AGUNG

memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil


putusan sebagai berikut dalam perkara :
E.D. & F.MAN (SUGAR) LTD, berkedudukan di Sugar Quay,
Lower Thames Street, London EC3R 6 DU, Inggris, dalam hal ini
oleh kuasanya: WINITA E. KUSNANDAR, SIL, dan kawan-
kawan berkantor di Central Plaza, Lantai 16, Jalan Jenderal
Sudirman Kav. 47 Jakarta, Pemohon Kasasi, dahulu penggugat-
pembanding;
melawan
YANI HARYANTO, bertempat tinggal di Jalan Cendana, No. 15
Jakarta Pusat, dalam hal ini oleh kuasanya : Prof. Mr. Dr. S.
GAUTAMA dan kawan-kawan, Pengacara berkantor di Jalan
Medan Merdeka Timur No. 9 Jakarta, Termohon Kasasi, dahulu
Penggugat-Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa
sekarang Termohon Kasasi sebagai penggugat asli telah menggugat
sekarang Pemohon Kasasi sebagai tergugat asli di muka persidangan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pokoknya atas dalil-dalil:
bahwa penggugat asli mempunyai kewajiban untuk membayar
hutang tergugat asli kepada penggugat asli sebesar US $ 9.000.000,s
bahwa atas hutang tersebut berikut cara pembayarannya, secara
tegas dan ringkas telah dituangkan di dalam akta Pengakuan Hutang
No. 89 tertanggal 23 Oktober 1986, yang dibuat oleh Kartini Mulyadi,
SIL, Notaris di Jakarta (P-l) dan untuk mana telah pula dikeluarkan
Grosse Pertama dari akta Pengakuan Hutang itu pada tanggal 24

923
November 1986 yang berkepala “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” (P-2);
bahwa berdasarkan Pasal 1 (b) dari akta P-l dan P-2 tergugat asli
diwajibkan membayar kembali hutangnya sebesar US $ 9.000.000,-
kepada penggugat asli pada tanggal 31 Juli 1988;
bahwa untuk menjamin pembayaran kembali hutang tergugat asli
kepada penggugat asli, penggugat asli telah menerima jaminan berupa
gadai saham dari PT. Pipit Indah atas saham-sahamnya di dalam PT.
Gunung Madu Plantation (P-3);
bahwa ternyata sampai dengan saat gugatan ini diajukan, tergugat
asli tidak pernah membayar kembali hutangnya kepada penggugat asli;
bahwa tergugat asli telah ditegur supaya melunasi hutangnya, akan
tetapi teguran mana ternyata telah tidak diindahkan oleh tergugat asli,
bahkan tergugat asli mencari-cari alasan yang tidak masuk akal untuk
menunda-nunda pemenuhan kewajibannya. Hal mana telah cukup
membuktikan bahwa tergugat asli berada dalam keadaan wanprestasi
(ingkar janji) dalam melaksanakan kewajibannya akta P-l dan P-2;
bahwa karena terbukti dengan sah dan meyakinkan bahwa tergugat
asli telah lalai melaksanakan kewajiban pembayaran hutangnya kepada
penggugat asli sesuai dengan apa yang telah ditentukan di dalam akta
P-l dan P-2, maka penggugat asli secara hukum berhak dan dengan ini
menuntut pembayaran semua hutang berikut biaya-biaya yang sudah
maupun yang akan dikeluarkan hingga hutang ini dibayar lunas yang
jumlahnya diperkirakan sebesar US $ 100.000,- sehingga seluruhnya
adalah sebagai berikut:
a. hutang pokok ... = US $ 9.000.000,-
b. biaya-biaya lainnya .... = US $ 100.000,-
Jumlah.............................. = US $9.100.000,-
ditambah dengan bunga 2% per bulan serta denda keterlambatan
sebesar US$ 100,- per hari keterlambatan, yang akan dihitung sejak
gugatan diajukan sampai dengan dibayar secara lunas oleh tergugat asli,
dalam tempo 8 hari setelah putusan perkara ini dijatuhkan;
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas penggugat asli mohon
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar meletakkan sita jaminan
atas harta kekayaan tergugat asli dan istri yang merupakan harta
bersama berupa:

924
A. Harta Tetap, terdiri atas : a sampai dengan d;
B. Saham-saham, terdiri atas : a sampai dengan g;
C. Rekening Bank, dimana uraian selengkapnya sebagaimana tersebut
dalam surat gugatan;
dan selanjutnya penggugat asli menuntut kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tersebut agar memberikan putusan yang dapat
dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada verzet, banding atau
kasasi sebagai berikut:
PRIMAIR:
1. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;
2. Menyatakan secara hukum bahwa tergugat telah melakukan ingkar
janji/wanprestasi;
3. Menghukum tergugat untuk membayar kepada penggugat seluruh
hutangnya berikut biaya-biaya lainnya yang telah maupun yang
akan dikeluarkan untuk mengurus perkara ini hingga tuntas secara
seketika dan sekaligus dalam waktu 8 (delapan) hari sejak
keputusan perkara ini diucapkan dengan perincian sebagai berikut:
a. hutang pokok ... ~ US $ 9.000.000,-
b. biaya-biaya lainnya .... = US $ 100.000,-
Jumlah.............................. = US $9.100.000,-
ditambah dengan bunga 2% per bulan yang dihitung sejak gugatan
ini diajukan dan denda keterlambatan sebesar US $ 100,- setiap
hari keterlambatan;
4. Menetapkan dan memerintahkan pegawai yang cakap dan
berwenang untuk meletakkan sita jaminan sebelum pemeriksaan
ini dimulai atas seluruh harta kekayaan tergugat dan atau isteri baik
yang bergerak maupun yang tidak bergerak berupa :
A. Harta Tetap :
a. Rumah tinggal beserta tanahnya yang terletak di Jalan
Cendana No. 15, Menteng, Jakarta Pusat, milik tergugat
dan/atau istri;
b. Bangunan beserta tanahnya yang terletak di Jalan Kebon
Sirih No. 39, Jakarta Pusat;
c. Bangunan beserta tanahnya yang terletak di Jalan K.H.
Wahid Hasyim No. 59, Jakarta Pusat;

925
d. Bangunan beserta tanahnya yang terletak di Jalan Cemara
No. 19 Menteng, Jakarta Pusat;
B. Saham-saham:
a. Seluruh saham-saham milik tergugat dan istri di dalam
PT. Pipit Indah (PT. PI) yang terdiri dari 40 (empat puluh)
saham istimewa dan 400 (empat ratus) saham biasa atas
nama tergugat dan 60 (enam puluh) saham istimewa atas
nama istri atau seluruh 400 (empat ratus) saham biasa dan
100 (seratus) saham istimewa atau 100% (seratus persen)
dari saham-saham yang telah dikeluarkan di dalam PT. PT;
b. Sejumlah 1375 (seribu tiga ratus tujuh puluh lima) saham
atas nama PT. PI di dalam PT. Gunung Madu Plantation
(PT. GMP) atau 27,5% dari saham-saham yang telah
dikeluarkan di dalam PT. GMP atas nama PT. PI atau
seluruh saham-saham PT. PI di dalam PT. GMP;
c. Sejumlah 85 (delapan puluh lima) saham milik tergugat
dan istri di dalam PT. Supitron Pramesti (PT. Supitron)
atau 85% dari saham-saham yang telah dikeluarkan di
dalam PT. Supitron atas nama tergugat dan istri atau
seluruh saham-saham tergugat dan istri di dalam PT.
Supitron;
d. Sejumlah 4600 (empat ribu enam ratus) saham atas nama
PT. Supitron di dalam PT. Santika Pramesti (PT. Santika)
atau 50% dari saham-saham yang telah dikeluarkan di
dalam PT. Santika atas nama PT. Supitron atau saham-
saham di dalam PT. Santika yang sebanding dengan
kepemilikan saham tergugat dan istri di dalam PT.
Supitron;
e. Sejumlah 90 (sembilan puluh) saham prioriteit dan 342
(tiga ratus empat puluh dua) saham biasa milik tergugat
dan/atau istri di dalam PT. Janita Indonesia (PT. Janita)
atau 36% dari saham-saham yang telah dikeluarkan di
dalam PT. Janita atas nama tergugat dan/atau istri atau
seluruh saham-saham milik tergugat dan/atau istri PT.
Janita;
f. Sejumlah 550 (lima ratus lima puluh) saham atas nama PT.
Janita di dalam PT.Tondong Garut (PT. CG) atau 50% dari
saham-saham yang telah dikeluarkan di dalam PT. CG atau

926
saham-saham di dalam PT. CG yang sebanding dengan
kepemilikan saham tergugat dan/atau istri di dalam PT.
Janita;
g. Seluruh saham-saham milik tergugat dan/atau istri di dalam
PT. Super Picture Video;
C. Rekening Bank:
No. 665-1-17714-7(179) atas nama tergugat pada Chase
Manhattan Bank NA, Jalan Jenderal Sudirman Jakarta;
5. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas semua harta
kekayaan tergugat dan/atau istri tersebut di atas;
6. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan lebih
dahulu (uitvoerbaar bij voorraad) meskipun ada verzct, banding
maupun kasasi;
7. Menghukum tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara;

SUBSIDAIR :
- Jikalau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat lain, maka
penggugat mohon keputusan yang seadil-adilnya dengan hukum
yang berlaku (ex aequo et bono);
bahwa selanjutnya terhadap gugatan penggugat asli tersebut telah
diajukan eksepsi oleh tergugat asli sebagai berikut:
bahwa Surat Kuasa penggugat asli tidak sah, karena tidak di
legalisir oleh KBRI Konsul Jenderal RI;
bahwa Grosse Pertama Akta Pengakuan Hutang tanggal 23
Oktober 1986 Notaris Kartini Mulyadi, SH., masing-masing No. 88, 89,
90 dibuat karena ada Settlement Agreement tanggal 7 Juli 1986 yang
bersumber dan mendasarkan pada perjanjian Jual Beli Gula Pasir
masing-masing No. 7458 tanggal 12 Februari 1982 dan No. 7527
tanggal 23 Maret 1982 (vide bukti T-l dan T-2);
Oleh karena adanya gugatan rol No. 499/PdtvG/VI/1988/PN.Jkt.
Pst. yang masih sedang dalam proses pemeriksaan mengenai bukti T-l
dan T-2 tersebut, maka perkara sekarang ini masih bersifat tergantung;
bahwa terlepas benar tidaknya isi gugatan, maka PT. Pipit Indah
harus ikut digugat, karena menurut penggugat asli, PT. tersebut telah
memberikan jaminannya menurut bukti P-3, yaitu perjanjian gadai
saham; bahwa oleh karenanya gugatan tersebut harus ditolak atau
setidak-tidaknya tidak dapat diterima;

927
bahwa sebaliknya oleh tergugat asli telah diajukan gugatan
rekonvensi yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut:
bahwa tergugat asli menyangkal gugatan, karena bukti-bukti P-l,
P-2, P-4 dan P-5 bukanlah bukti yang sempurna, karena tidak ada bukti
kuitansi bahwa tergugat asli telah menerima uang sejumlah US $
27.000.000,- dan di dalam akta tersebut tidak ditulis bahwa akta itu
merupakan tanda terima uang oleh tergugat asli;
Sebaliknya akta-akta Pengakuan Hutang tersebut sesungguhnya
bersumber pada perjanjian Jual Beli Gula yang dicantumkan dalam
bukti T-l dan T-2, sehingga sebenarnya tidak pernah ada hutang
sengketa dan akta-akta tersebut bukanlah merupakan akta pengakuan
hutang yang murni;
bahwa perjanjian-perjanjian pada bukti T-8, P-l, P-2 dan P-3
adalah batal demi hukum karena bertentangan dengan keputusan
Presiden RI tanggal 14 Juli 1971 No. 43 (T.3) dan tanggal 6 November
1978 No. 39/1978 (T-4);
Maka dengan ini tergugat asli mohon agar Pengadilan membatalkan
perjanjian T.8 dan P.l sampai dengan P.3 tersebut;

Dalam Provisi:
bahwa Akta Pengakuan Hutang No. 89 tanggal 23 Oktober 1986
jatuh waktu pada tanggal 31 Juli 1988 sehingga ada urgensinya untuk
memelihara status quo, dapat kiranya Pengadilan :
Memerintahkan kepada penggugat asli atau siapa saja yang mendapat
hak daripadanya untuk tidak melakukan tindakan apapun terhadap
Grosse Pertama Akta Pengakuan Berhutang No. 89 dan Grosse
Pertamanya (P. 1,2) dan atas perjanjian Gadai Saham No. 91 tanggal 23
Oktober 1986 kesemuanya dibuat di hadapan Notaris Ny. Kariini
Mulyadi, SH. (P.3) dan seluruh saham-saham Sertifikat PT. Gunung
Madu yang dijaminkan tersebut di atas dan atas Settlement Agreement
tanggal 7 Juli 1986 (T.8), dengan ketentuan penggugat asli dikenakan
uang pakTaKp. 1.000.000,-setiap harinya perintah tersebut dilanggar
yang hams dibayar kepada tergugat asli dengan segera dan sekaligus;
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas tergugat asli menuntut
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar memberikan putusan yang
dapat dilaksanakan lebih dahulu walaupun ada verzet, banding atau
kasasi sebagai berikut:

928
Dalam Provisi:
- Memerintahkan kepada tergugat atau siapa saja yang mendapat hak
daripadanya untuk tidak melakukan tindakan-tindakan apapun
terhadap Grosse Pertama Akta Pengakuan Hutang No. 89 tanggal 23
Oktober 1986 dan Grosse Pertamanya (P. 1,2) dan atas Perjanjian
Gadai Saham No. 91 tanggal 23 Oktober 1986 kesemuanya dibuat di
hadapan Notaris Ny. Kartini Mulyadi, SH., dan atas seluruh
sertifikat saham-saham PT. Gunung Madu yang dijaminkan tersebut
di atas dan atas Settlement Agreement tanggal 7 Juli 1986 (T.8)
dengan ketentuan tergugat dikenakan uang paksa Rp. 1.000.000,-
setiap harinya perintah tersebut dilanggar yang harus dibayar kepada
penggugat dengan segera dan sekaligus;
Dalam Rekonpcnsi:
1. Membatalkan setidak-tidaknya menyatakan batal dengan segala
akibat hukumnya dan tidak mempunyai kekuatan Eksekutorial;
- Akta Pengakuan Berhutang dibuat di hadapan Notaris Ny.
Kartini Mulyadi, SH., tanggal 23 Oktober 1986 No. 89 dan
Grosse Pertama Akta tersebut P. 1 dan P.2 dan Settlement
Agreement tanggal 7 Juli 1986 (T.8);
- Akta Gadai Saham dibuat di hadapan Notaris Ny. Kartini
Mulyadi, SH., tanggal 23 Oktober 1986 (P.3);
2. Menghukum tergugat untuk selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 8 hari setelah tanggal keputusan ini diucapkan
mengembalikan kepada penggugat seluruh sertifikat saham-saham
PT. Gunung Madu yang dijaminkan menurut Akta Gadai Saham
tanggal 23 Oktober 1986 No. 91 tersebut di atas, dengan ketentuan
tergugat di kenakan uang paksa Rp. 1.000.000,- setiap harinya
perintah tersebut dilanggar yang hams dibayar segera dan sekaligus
kepada penggugat;
3. Menyatakan keputusan dalam perkara ini dapat dijalankan lebih
dahulu walaupun ada bantahan, bandingan atau kasasi;
4. Menghukum penggugat konvensi/tergugat rekonvensi membayar
biaya perkara;
bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
telah mengambil putusan, yaitu putusannya tanggal 29 Juni 1989
No. 836/Pdt.G/VI/1988/PN.Jkt.Pst, yang amarnya berbunyi sebagai
berikut:

929
DALAM KONVENSI:
Dalam Eksepsi:
- Menolak eksepsi tergugat untuk seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara :
- Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya;
DALAM REKONVENSI:
- Menolak permohonan provisi penggugat rekonvensi;
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan rekonvensi untuk sebahagian;
2. Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial
Akta Pengakuan Berhutang dibuat di hadapan Notaris Ny. Kartini
Mulyadi, SH., tanggal 23 Oktober 1986 No. 89 dan Grossc
Pertama Akta tersebut (bukti P-l dan P-2), Akta Gadai Saham
dibuat di hadapan Notaris Ny. Kartini Mulyadi, SM., tanggal 23
Oktober 1986 No. 91 (bukti P-3), dan Settlement Agreement
tanggal 7 Juli 1986 (bukti T-8);
3. Menghukum tergugat rekonvensi untuk segera selambat-lambatnya
dalam jangka waktu 8 hari setelah putusan ini mempunyai
kekuatan tetap mengembalikan kepada penggugat rekonvensi
seluruh sertifikat saham PT. Gunung Madu yang dijaminkan
menurut Akta Gadai Saham tanggal 23 Oktober 1986 No. 91
tersebut di atas dengan ketentuan bahwa tergugat rekonvensi di
kenakan uang paksa sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah)
setiap harinya jika perintah tersebut dilanggar, yang harus dibayar
segera dan sekaligus kepada penggugat rekonvensi;
4. Menolak gugatan rekonvensi untuk, selain dan selebihnya;

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI:


- Menghukum tergugat rekonvensi/penggugat konvensi untuk
membayar biaya perkara yang diperhitungkan sebesar Rp. 27.000,-
(dua puluh tujuh ribu rupiah);
putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan penggugat
telah diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya
tanggal 14 Oktober 1989 No. 485/Pdt/PT.DKI., yang amarnya berbunyi
sebagai berikut:

930
- Menerima permohonan banding yang diajukan oleh pembanding
semula penggugat dalam konvensi/tergugat dalam rekonvensi E.D.
& F. MAN (SUGAR) LIMITED tersebut;
DALAM KONVENSI:
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 29
Juni 1989 No. 736/Pdt.G/VI/1988/PN.Jkt.Pst., yang dimohonkan
banding tersebut;
DALAM REKONVENSI:
DALAM PROVISI :
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 29
Juni 1989 No. 736/Pdt.G/VI/1988/PN.Jkt.Pst„ yang dimohonkan
banding tersebut;

DALAM POKOK PERKARA:


- “Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 29
Juni 1989 No. 736/Pdt.G/W1988/PN.Jkt.Pst., yang dimohonkan
banding tersebut sekedar mengenai gugatan dalam petitum butir 2,
sehingga amarnya menjadi berbunyi :
- Menghukum tergugat rekonvensi untuk mengembalikan kepada
penggugat rekonvensi seluruh sertifikat saham PT. Gunung Madu
yang dijaminkan menurut Akta Gadai Saham tanggal 23 Oktober
1986 No. 91 tersebut di atas dengan ketentuan bahwa tergugat
rekonvensi di atas dengan ketentuan bahwa tergugat rekonvensi di
kenakan uang paksa sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) setiap
harinya jika perintah tersebut dilanggar yang harus dibayar segera
dan sekaligus kepada penggugat rekonvensi;
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 29
Juni 1989 No. 736/Pdt.G/VI/1988/PN.Jkt.Pst., yang dimohonkan
banding tersebut untuk selebihnya;

DALAM KONVENSI DAN REKONVENSI:


- Menghukum pembanding, semula penggugat konvensi/tergugat
rekonvensi untuk membayar biaya perkara ini dalam kedua
tingkatan peradilan, yang untuk peradilan tingkat banding ditaksir
sebesar Rp. 15.000,- (lima belas ribu rupiah);
bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada kedua
belah pihak pada tanggal 16 Januari 1990 kemudian terhadapnya

931
oleh penggugat/pembanding dengan perantaraan kuasanya khusus,
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 14 Desember 1989 diajukan
permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 26 Januari 1990
sebagaimana ternyata dari akta permohonan kasasi No. 019/Srt.Pdt.G/
VI/1990/PN.Jkt.Pst., yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, permohonan mana kemudian disusul oleh memori kasasi
yang memuat alasan-alasan yang diterima di kepaniteraan Pengadilan
Negeri tersebut pada tanggal 7 Februari 1990;
bahwa setelah itu oleh tergugat/terbanding yang pada tanggal 1
Maret 1990 telah diberitahu tentang memori kasasi dari penggugat/
pembanding, diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di
kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 1 Maret
1990 hari itu juga;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-
alasannya yang telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan
saksama diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang
ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan
kasasi tersebut formal dapat diterima;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh
pemohon kasasi dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah :
1. Bahwa judex faeti telah salah mengerti tentang kasus posisi dalam
perkara a quo. Hal ini terbukti dari analisisnya yang berfokus
kepada masalah dapat/tidaknya putusan banding Inggris (bukti TR-
1) dan putusan Pengadilan Tinggi Inggris (bukti TR-3b)
dilaksanakan (eksekusi) di Indonesia. Padahal dari gugatan yang
diajukan pemohon kasasi/penggugat asal bukanlah masalah itu,
melainkan bertitik pangkal kepada wanprestasi uang dilakukan
oleh termohon/kasasi tergugat asal dalam memenuhi kewajibannya
membayar hutang kepada pemohon kasasi/penggugat asal seperti
tercantum dalam Akta Pengakuan Hutang No. 89 (bukti P-2) yang
telah jatuh tempo pada tanggal 31 Juli 1988;
bahwa kedua bukti tersebut (P-l dan P-2) adalah merupakan Akta
Otentik, maka merupakan bukti yang sempurna, di samping itu
bukti P-2 pun telah memenuhi syarat pasal 224 HIR, sehingga
berkekuatan eksekutorial;
2. Bahwa kontrak Jual Beli Gula Pasir (T-l dan T-2) adalah kontrak
yang dibatalkan dengan perjanjian perdamaian (T-8), bukan karena
adanya Keppres No. 43/1971, Keppres No. 39/1978 dan Keputusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 499/Pdt.G/1988/ PN.Jkt.Pst.,;

932
Bahwa bukti P-l dan P-2 merupakan realisasi dari pasal 1 b jo.
pasal 2 Perjanjian Perdamaian (T-8). Kewenangan untuk
membatalkan bukti T-8 bukan ada pada wewenang Pengadilan
melainkan wewenang Arbitrase sesuai dengan bunyi pasal 18 dari
T-8 yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia berbunyi antara
lain;
’’Semua perselisihan atau perbedaan pendapat antara para pihak
yang timbul dari atau sehubungan dengan Perjanjian ini akan
menunjuk kepada dan diputuskan oleh Queen’s Counsel dari
English bar sebagai Arbiter (“Arbiter”). Arbitrase ini akan
diadakan di London”;
Bahwa karena Perjanjian Perdamaian (T-8) tersebut telah
disepakati bersama (kedua belah pihak) maka perjanjian itu
mengikat kedua belah pihak sebagai undang-undang (pasal 1338
KUH Perdata);
3. Bahwa seandainya T-l dan T-2 tidak dianggap telah dibatalkan
berdasarkan kepada pilihan forum/yurisdiksi yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak di dalam T-l dan T-2 tersebut. Yurisdiksi
yang dipilih dan disepakati oleh para pihak adalah The Council o f
the Refined Sugar Association di London, sehingga pertimbangan
hukum judex facti yang hendak mengenyampingkan klausula
arbitrase dalam kaitannya dengan ketidakabsahan T-l dan T-2 telah
melanggar atau bertentangan dengan the autonomy o f the
arbitration clause “atau doktrin” “separability o f the arbitration
clause” yang menentukan bahwa hanya para arbiter saja yang
mempunyai kewenangan pada tingkat pertama untuk memutuskan
keabsahan suatu kontrak;
4. Bahwa seandainya kontrak T-8 dianggap dapat dibatalkan, maka
pembatalan kontrak T-8 juga harus dilakukan sesuai dengan
prosedur pembatalan yang berlaku di dalam kontrak T-l dan T-2
yakni klausula arbitrase yang telah disepakati harus diajukan
kepada Queen’s Council o f the English Bar dan bukan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Dalam hal pembatalan kontrak T-8, klausula
arbitrase tersebut bukannya lalu menjadi batal pula oleh karena
adanya daya otonomi dan kemandirian klausula arbitrase
sebagaimana telah diuraikan di atas;

933
mengenai keberatan-keberatan ad. 1 dan 2.
bahwa keberatan-keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena
Pengadilan Tinggi Jakarta tidak salah menerapkan hukum, lagi pula hal
ini pada hakikatnya adalah mengenai penilaian hasil pembuktian yang
bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat
dipertimbangkan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak
dilaksanakan atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum;

mengenai keberatan-keberatan ad 3 dan 4.


bahwa keberatan inipun tidak dapat dibenarkan, karena hal ini
adalah mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan
dan seperti yang telah dipertimbangkan di atas, keberatan serupa itu
tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi;
Menimbang, bahwa namun demikian menurut pendapat
Mahkamah Agung perlu juga ditambahkan sebagai pertimbangan
dalam perkara ini, walaupun secara berlebihan yakni tentang Penetapan
Mahkamah Agung RI tanggal 1 Maret 1991 No. 1 Pen.Ex’r/Arb.Int./
Pdt/1991, yang meskipun dalam surat-surat perkara ini tidak
disinggung, akan tetapi hal tersebut bertalian erat dengan perkara ini;
Menimbang, bahwa Penetapan tersebut di atas adalah mengenai
mengabulkan permohonan Exequatur terhadap putusan The Queen’s
Counsel of the English Bar di London tertanggal 17 November 1989;
Menimbang, bahwa suatu Penetapan Exequatur hanya bersifat
prime facie, jadi Penetapan tersebut tidak merupakan penilaian hukum
terhadap isi dari perjanjian-perjanjian yang dibuat;
Menimbang, bahwa Penetapan Exequatur ini hanya memberikan
titel Eksekutorial bagi putusan Arbitrase asing tersebut, yang
pelaksanaannya tunduk pada Hukum Acara Indonesia;
Menimbang, bahwa oleh karena itu, dengan adanya putusan
Mahkamah Agung RI dalam perkara ini, maka Penetapan Mahkamah
Agung RI tanggal 1 Maret 1991 No. 1 Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991
tersebut, menjadi irrelevent untuk dilaksanakan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon
kasasi:

934
E.D. & F MAN (SUGAR) LIMITED, dalam hal ini oleh kuasanya :
WINITA E. KUSNANDAR, SH, dan kawan-kawan tersebut harus
ditolak;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 14 Tahun
1970, dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 yang bersangkutan;
MENGADILI :
Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi: E.D. & F. MAN
(SUGAR) LIMITED, dalam hal ini oleh kuasanya : WINITA E.
KUSNANDAR, SH, dan kawan-kawan tersebut;
Menghukum pemohon kasasi/penggugat asal membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp. 20.000,- (dua
puluh ribu rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari : Rabu, tanggal 4 Desember 1991 dengan
Prof.II.Busthanul Arifin, SH., Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua
Mahkamah Agung sebagai Ketua Sidang, H. Masrani Basran, SI L, dan
H. Amiroeddin Noer, SH., Hakim-hakim Anggota dan Poetoet
Soerendro, SH., Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh kedua
belah pihak.

Hakim-hakim Anggota; Ketua;


ttd./ ttd./
H. Masrani Basran, SH. Prof. H. Busthanul Arifin, SH.
ttd./
II. Amiroeddin Noer, SH.

Panitera Pengganti
ttd./
Poetoet Soerendro, SH.
Biaya-biaya:
I. Meterai Rp. 1.000,-
2. Redaksi Rp. 1.000,-
3. Panggilan Rp. 18,000,-
Jumlah Rp. 20.000,-

935
UNTUK SALINAN
MAIIKAMAII AGUNG RI
DIREKTUR PERDATA
u.b.
KEPALA SUB DIREKTORAT KASASI PERDATA
(NY.I.G.A.RUIJATI TEMADJA, SII)

Dicatat di sini bahwa putusan tersebut telah diberitahukan kepada


masing-masing pihak :
1. YANIHARYANTO, pada tanggal 6 Februari 1992.
2. E.D. & F. MAN LTD., belum diberitahukan.
Dicatat pula di sini bahwa salinan putusan ini diberikan untuk dan atas
permintaan kuasa Termohon kasasi dahulu Tergugat terbanding pada
tanggal 8 Februari 1992.

Jakarta, 8 Februari 1992


PANITERA KEPALA,

D. KUSDWILANDRIJO, SH.
Nip. 040011263

936
MAHKAMAH AGUNG RI
PUTUSAN
Reg.No. 1205 K/Pdt/1990

DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

memeriksa perkara perdata dalam tingkat kasasi telah mengambil


putusan sebagai berikut dalam perkara:
E.D. & F.MAN (SUGAR) LTD, berkedudukan di Sugar Quay,
Lower Thames Street, London EC3R 6 DU, Inggris, dalam hal ini
oleh kuasanya : WINITA E. KUSNANDAR, SIL, Pengacara
berkantor di Central Plaza, Lantai 16, Jalan Jenderal Sudirman
Kav. 47 Jakarta, Pemohon Kasasi, dahulu Tergugat/Pembanding;
melawan
YANI HARYANTO, Bertempat tinggal di Jalan Cendana, No. 15
Jakarta Pusat, dalam hal ini oleh kuasanya : Prof. Mr. Dr. S.
GAUTAMA dan kawan-kawan, Pengacara berkantor di Jalan
Medan Merdeka Timur No. 9 Jakarta, Termohon Kasasi, dahulu
Penggugat-Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa
sekarang Termohon Kasasi sebagai penggugat asli telah menggugat
sekarang Pemohon Kasasi sebagai tergugat asli di muka persidangan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pokoknya atas dalil-dalil:
bahwa antara penggugat asli dan tergugat asli telah dibuat
perjanjian-pemjanjian:
P-l : “Contract for white sugar No. 7458 dated Februari 12, tahun
1982”;
P-2 : “Contract for white sugar No. 7527 dated March 23 Rd 1982”;
Masing-masing mengenai jual beli gula pasir putih yang akan
diimpor ke negara Republik Indonesia;

937
bahwa pembuatan perjanjian tersebut mempunyai sebab yang
dilarang, melanggar Keputusan Presiden RI. No. 43/1971 tanggal 14
Juli 1971 mengenai “Penyelenggaraan Koordinasi dan Pengawasan atas
Pelaksanaan Kebijaksanaan Dalam Bidang Pengadaan Penyaluran dan
Pemasaran gula pasir” (P-3) dan Keputusan Presiden RI. No. 39/1978
tanggal 8 November 1978 tentang “Badan Urusan Logistik” (P-4).
bahwa menurut Pasal 1320 KUII Perdata ayat 4 ditentukan untuk
sahnya suatu perjanjian itu harus antara lain adanya suatu sebab yang
halal. Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena
sebab palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan;
Menurut pasal 1337 KUH Perdata :
Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum;
bahwa adapun di dalam Keputusan Presiden No. 43/1971 tanggal
14 Juli 1971 (P-3) yang isinya adalah sebagai tersebut dalam surat
gugatan;
bahwa dalam Keppres No. 38/1978 tanggal 6 November 1978
(P-4), maka dalam Pasal 2 ditentukan bahwa : “Bulog mempunyai tugas
pokok melaksanakan pengendalian harga beras, gabah, gula, gandum
dan bahan lainnya guna menjaga kestabilan harga, baik produsen
maupun bagi konsumen sesuai dengan kebijaksanaan umum
Pemerintah”;
bahwa dalam perjanjian P-l, P-2 maka yang menjadi “Pembeli”
adalah pribadi, perorangan Tergugat asli yang seharusnya semata-mata
hanya dapat dilakukan BULOG. Maka dengan demikian perjanjian P-l,
P-2 tersebut batal demi hukum dengan segala akibatnya;
bahwa di dalam suratnya tergugat asli kepada penggugat asli P-5
tanggal 10 September 1982 dapat dibaca bahwa Tergugat aslipun
mengetahui bahwa yang berwenang mengadakan jual beli gula pasir
diimport ke negara Republik Indonesia adalah BULOG, seperti tertulis
dalam surat asli sebagai berikut: “it is clear that these two contract
were entered into by BULOG and that a reciprocal contractual
obligation exists between ourselves and them". Kemudian dalam
suratnya P-6 tanggal 20 September 1982, antara lain ditulis :
“There is no doubt on either side that a contractual obligation
exists between ourselves and BULOG

938
bahwa dari P-5, P-6 sesungguhnya sudah diketahui oleh tergugat
asli bahwa penggugat asli pribadi tidak berwenang untuk mengadakan
kontrak jual beli gula pasir putih untuk diimpor ke Indonesia, kecuali
Bulog dan bahwa tidak dapat dilaksanakan perjanjian jual beli P-l, P-2
tersebut disebabkan ada larangan dari Pemerintah RI;
Akan tetapi ternyata kemudian oleh tergugat asli terhadap-penggugat
asli dilakukan tindakan-tindakan agar perjanjian-perjanjian tersebut
tetap dilaksanakan, padahal perjanjian P-l, P-2 tersebut batal demi
hukum. Perbuatan tersebut melanggar hak penggugat asli dan
bertentangan dengan keputusan-keputusan Presiden P-3, P-4 tersebut.
Penggugat asli mereserver haknya untuk menuntut uang ganti rugi
karena ada perbuatan melawan hukum tersebut;
bahwa ada kekhawatiran tergugat asli dalam waktu dekat ini akan
mengadakan tindakan-tindakan yang bersumber pada perjanjian P-l,
P-2 yang batal demi hukum itu;
Maka dapat kiranya Pengadilan menjatuhkan keputusan Provisi terlebih
dahulu, yaitu;
Memerintahkan kepada tergugat asli atau siapa saja yang mendapat hak
daripadanya untuk tidak melakukan tindakan apapun didasarkan/
bersumber pada perjanjian P-l “contract for white sugar No. 7458”
tanggal 12 Februari 1982 dan P-2 “contract for while sugar No. 7527”
tanggal 23 Maret 1982 dengan ketentuan tergugat asli dikenakan uang
paksa Rp. 1.000.000,- setiap harinya perintah tersebut dilanggar yang
harus dibayar kepada penggugat asli dengan segera dan sekaligus;
bahwa gugatan diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sesuai
dengan ketentuan pasal 100 RV; bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di
atas penggugat asli menuntut kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
agar dapat memberikan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu
walaupun ada verzet, banding atau kasasi sebagai berikut:
DALAM PROVISI
- Memerintahkan kepada Tergugat atau siapapun saja yang
dapat hak daripadanya untuk tidak melakukan tindakan apapun
didasarkan/bersumber pada perjanjian P -l “ c o n t r a c t f o r w h ite
s u g a r No. 7458” tanggal 12 Februari 1982 dan P-2 “ c o n t r a c t
f o r w h ite s u g a r No. 7527” tanggal 23 Maret 1982 dengan
ketentuan Tergugat dikenakan uang paksa Rp. 1.000.000,-
setiap harinya perintah tersebut dilanggar yang harus dibayar
kepada Penggugat dengan segera dan sekaligus;

939
DALAM POKOK PERKARA :
1. Membatalkan setidak-tidaknya menyatakan batal demi hukum
dengan segala akibat hukumnya Perjanjian P-1 “contract for white
sugar No, 7458” tanggal 12 Februari 1982 dan P-2 “contract for-
white sugar No. 7527,” tanggal 23 Maret 1982;
2. Menghukum Tergugat untuk taat dan tunduk pada kcputusan
tersebut di atas;
3. Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara;
4. Menyatakan keputusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih
dahulu walaupun ada bantahan, banding atau kasasi;
bahwa selanjutnya terhadap gugatan Penggugat asli tersebut, telah
diajukan oleh Tergugat asli sebagai berikut:
I. Gugatan tidak memenuhi syarat hukum formal
bahwa surat panggilan dalam perkara ini telah disampaikan
kepada alamat yang salah, surat panggilan dialamatkan kepada
E.D. & F. MAN (Sugar) Ltd. INTERNASIONAL, suatu
perusahaan yang tidak pernah ada, sedangkan surat gugatan
penggugat asli ditujukan kepada E.D. & F. Man (Sugar) Limited,
sehingga karenanya cara pemanggilan tersebut tidak sah;
bahwa gugatan penggugat asli ini secara keliru diajukan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Indonesia, sebab Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang dalam kasus ini karena
perkara ini adalah berkenaan dengan kontrak yang telah menunjuk
penyelesaian melalui badan arbitrase asing tertentu yakni The
Council o f The Refined Sugar Association (Dewan Arbitrase) di
London, dan tunduk pada The Rules of The Refined Sugar
Association relating to Arbitration (Peraturan Arbitrase) yang
menunjuk pada hukum Inggris di Negara Inggris, sedangkan
Tergugat asli bukan penduduk dan tidak berdomisili maupun
bertempat tinggal atau memilih domisili di Indonesia;
bahwa surat panggilan kepada tergugat asli yang disampaikan
melalui Kedutaan Besar Indonesia di London dilakukan dalam
jangka waktu yang kurang dari dua bulan sebelum tanggal
ketentuan Departemen Kehakiman. Panggilan diserahkan kepada
Tergugat asli di London pada tanggal 11 November 1988
sedangkan sidang pertama diadakan pada tanggal 1 Desember
1988;

940
II. Gugatan bersifat Ne Bis in Idem :
bahwa sengketa antara penggugat asli dan tergugat asli sudah
pernah diajukan kepada Dewan Arbitrase di London berkenaan
dengan gugatan tergugat asli terhadap penggugat asli untuk
membayar ganti rugi sejumlah US $ 146.300.000,- sebagai akibat
wanprestasi pihak penggugat asli;
bahwa dalam keputusan Arbitrase tersebut telah dinyatakan
keabsahan kontrak-kontrak dan pilihan hukum mengenai forum
arbitrase dan bahwa memang benar menurut hukum Inggris;
bahwa mengingat gugatan penggugat asli sekarang ini yang
diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mencakup pihak dan
objek yang sama dengan sengketa yang telah diperiksa dan diputus
oleh Dewan Arbitrase di London serta disepakati oleh penggugat
asli, maka sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta
jurisprudensi dan doktrin di Indonesia, gugatan penggugat asli ini
harus dinyatakan nebis in idem.
III. Azas kebebasan berkontrak dan pengakuan atau setidak-
tidaknya penghormatan kepada keputusan Pengadilan asing
tentang hal itu;
bahwa kedua belah pihak sebelumnya telah setuju untuk
menyelesaikan segala sengketa yang timbul dari kontrak-kontrak
melalui Dewan Arbitrase dan persetujuan demikian itu berdasarkan
pasal 1338 KUH Perdata adalah mengikat para pihak sebagai
undang-undang yang karenanya harus ditaati dan dilaksanakan;
bahwa sehubungan dengan gugatan tergugat asli melalui
Dewan Arbitrase maupun keputusan Pengadilan di Inggris,
penggugat asli dan tergugat asli dalam suatu Akte Perdamaian
telah setuju untuk menyelesaikan dan melepaskan serta segala
sengketa dan tuntutan yang timbul diantara mereka, baik yang
tertunda, benar-benar terjadi atau akan datang berkenaan dengan
segala hal yang timbul sehubungan dengan kontrak-kontrak yang
sesuai dengan ketentuan ketentuan dalam Akta Perdamaian;
Akta Perdamaian tersebut tunduk pada hukum Inggris dan
memilih forum arbitrase di Inggris sehingga dengan demikian
penggugat asli tidak lagi berhak mengajukan gugatan ini ke
Pengadilan di Jakarta Pusat;
bahwa sekalipun Pengadilan menganggap bahwa keputusan
Pengadilan asing tidak atau belum dapat dilaksanakan di Indonesia,

941
namun demikian Pengadilan Indonesia harus menghormati putusan
Pengadilan Asing yang sekedar menegaskan berlakunya ketentuan
di dalam suatu kontrak tentang disetujuinya suatu pilihan hukum
maupun pilihan forum tertentu yang berlaku di negaranya.
IV. Kompetensi absolut:
bahwa penggugat asli dan tergugat asli telah menandatangani
2 (dua) buah kontrak jual beli gula pasir putih, yaitu masing-
masing nomor 7458 tertanggal 12 Februari 1982 (bukti P-l) dan
nomor 7527 tertanggal 23 Maret 1982 (bukti P-2);
bahwa di dalam pasal 14 dari kontrak-kontrak tersebut secara
tegas dinyatakan bahwa “segala sengketa yang timbul dari kontrak-
kontrak ini akan diselesaikan oleh The Council o f The Refined
Sugar Association (Dewan Arbitrase) di London sesuai dengan The
Rules o f Refined Sugar Association Relating to Arbitration
(Peraturan Arbitrase);
bahwa oleh karenanya atas dasar kompetensi absolut maka
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan
mengadili perkara ini, dan oleh karenanya gugatan tersebut harus
ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima;
bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat telah mengambil putusan, yaitu putusannya tanggal 29 Juni
1989 No. 499/Pdt/G/VI/1988/PN.Jkt.Pst, yang amarnya berbunyi
sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI
- Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;
DALAM PROVISI
- Menolak permohonan provisi Penggugat;
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebahagian;
2. Membatalkan dengan segala akibat hukunmya Perjanjian P-l
“Contract for white sugar No. 7458” tanggal 12 Februari 1982
dan perjanjian P-2 “Contract for white sugar No. 7527”
tanggal 23 Maret. 1982;
3. Menghukum tergugat untuk taat dan tunduk pada putusan;

942
4. Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara yang
diperhitungkan sebesar Rp. 27.000,- (dua puiuh tujuh ribu
rupiah);
5. Menolak gugatan untuk selainnya dan selebihnya;
putusan mana dalam tingkat banding atas permohonan
Tergugat telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta
dengan putusannya tanggal 14 Oktober 1989 No. 486/Pdt/
1989/PT.DKI;
bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada
kedua belah pihak pada tanggal 16 Januari 1990 kemudian
terhadapnya oleh Tergugat/Pembanding dengan perantaraan
kuasanya khusus, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 14
Desember 1989 diajukan permohonan kasasi secara lisan pada
tanggal 26 Januari 1990 sebagaimana ternyata dari akta
permohonan kasasi No. 020/Srt.Pdt/1990/PN.Jak-Pus, yang dibuat
oleh Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan mana
kemudian disusul oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan
yang diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada
tanggal 7 Februari 1990;
bahwa sengketa itu oleh Penggugat/Terbanding yang pada
tanggal 1 Maret 1991 telah diberitahukan tentang memori kasasi
dari Tergugat/Pembanding diajukan jawaban memori kasasi yang
diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada
tanggal 1 Maret 1991 hari itu juga;
Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-
alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan
dalam undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi
tersebut formal dapat diterima;
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan yang diajukan oleh
pemohon kasasi dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya
ialah :
1. Bahwa kenyataannya pemohon kasasi/tergugat asal tidak
pernah menerima panggilan sidang, sebagaimana diharuskan
dalam Pasal 121 ayat 1 HIR; bahwa pemanggilan sidang
terbukti dikirim kepada E.D. & F. MAN (Sugar) Limited
Internasional (bukti T-l) suatu perusahaan yang lain sama
sekali dengan perusahaan pemohon kasasi/tergugat asal

943
bahkan diidentifikasi sebagai perusahaan yang tidak pernah
ada;
Bahwa seandainya pemanggilan sidang tersebut dianggap
benar, maka pemanggilan sidang tersebut adalah cacat hukum,
sebab :
- Panggilan sidang tidak disampaikan secara patut;
- Diterima oleh seorang bernama Robsen dalam kapasitas
sekretaris (bukti T-l);
Bahwa seandainya pemanggilan sidang dianggap benar,
maka tenggang waktu pemanggilan sidang sekurang-
kurangnya harus 2 (dua) bulan sebelum sidang pertama
dimulai (Surat Edaran Departemen Kehakiman RI. No. D-AT-
02.01-21-88 tertanggal 17 Maret 1988), maka pemanggilan
sidang telah melanggar surat edaran tersebut, karena :
- Surat dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 4
Oktober 1988 kepada Direktur Jenderal Protokol dan
Konsuler Departemen Luar Negeri perihal bantuan
panggilan sidang dalam rangka menghadiri sidang di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 1 Desember
1988, berarti tenggang waktu antara surat panggilan
tertanggal 4 Oktober 1988 sampai dengan tanggal 1
Desember 1988 kurang dari 2 (dua) bulan yakni hanya
bertenggang waktu 1 (satu) bulan saja (belum lagi terhitung
waktu panggilan itu disampaikan);
Bahwa judex faeti telah salah menerapkan hukum dengan
menyatakan dalam pertimbangan hukumnya bahwa gugatan
yang diajukan terhadap pemohon kasasi/tergugat asal adalah
dimungkinkan berdasarkan Pasal U Aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar 1945 dan pasal 393 HIR Jo. Pasal 100 Rv yang
digunakan oleh termohon kasasi/penggugat asal untuk
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sudah
tidak relevan lagi bahkan tidak berlaku lagi. Kalaupun
ketentuan Rv ini hendak dijadikan pedoman tentunya harus
memenuhi kriteria antara lain :
- HIR tidak mengaturnya;
- Kontrak yang dibuat para pihak tidak mengaturnya;
Bahwa pasal 118 ayat 1 HIR tegas-tegas dinyatakan bahwa
gugatan diajukan di Pengadilan Negeri di tempat tinggal
tergugat, sedangkan tempat tinggal tergugat adalah di
Sugar Quay, Lower Thames Street, London EC 3R 6 DU,
Inggris;
Maka gugatannya harus diajukan di Penngadilan Tingkat
Pertama di Inggris atau di Pengadilan New Mexico
sebagaimana yang tertera dalam Pledge and Security
Agreement; Namun demikian menurut kontrak P-l dan P-2,
telah mengatur bahwa para pihak telah memilih domisili
hukum di hadapan suatu dewan arbitrase yang dikenal dengan
nama “The Council of The Refined Sugar Association” di
London, oleh karena itu seharusnya termohon
kasasi/penggugat asal mengajukan gugatannya melalui dewan
arbitrase sesuai bukti P-1 dan P-2;
3. Bahwa dengan telah dibuat perjanjian perdamaian antara
pemohon kasasi/tergugat asal dengan termohon kasasi/
penggugat asal pada tanggal 7 Juli 1986 (bukti P-2) yang
selain menggantikan kedudukan P-l dan P-2 dan juga untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa antara pemohon kasasi/
tergugat asal dengan termohon kasasi/penggugat asal,
sehubungan adanya P-l dan P-2, maka secara yuridis P-l dan
P-2 harus dianggap tidak ada lagi, karena tidak mungkin lagi
judex faeti memeriksa dan mengadili suatu sengketa yang
bersumberkan kepada kontrak yang tidak ada lagi karena jelas-
jelas telah dimatikan oleh para pihak;
Maka oleh karena itu judex faeti yang mengadili kontrak-
kontrak (P-l dan P-2) yang tidak eksis lagi;
- Bahwa masalahnya bukan pelaksanaan putusan arbitrase
asing, dengan membuat pertimbangan seperti No. 3 (a),
judex faeti telah salah menjabarkan sanggahan pemohon
kasasi/tergugat asal, karena :
- Hingga kini sengketa masih belum sampai pada tahap
melaksanakan putusan arbitrase asing, oleh karena
putusan yang demikian belum pernah ada;
- Bahwa putusan arbitrase yang dipilih oleh kedua belah
pihak belum pernah ada, pertimbangan judex faeti No. 3
(a) adalah terlalu dini sehingga tidak pada tempatnya;
Bahwa dengan demikian maka judex faeti telah salah
menerapkan hukum dalam hal memahami jugatan ini;

945
4. Bahwa didalam kontrak P-l dan P-2 maupun didalam
Perjanjian Perdamainan (P-21) yang biar bagaimanapun masih
sah berlaku, para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan
segala sengketa yang timbul dari kontrak/perjanjian tersebut
dihadapan Lembaga Arbitrase baik itu The Council of The
Refined Sugar Association maupun Queen’s Counsel dari
English Bardi London. Maka adanya kesepakatan untuk
menyelesaikan masalah sengketa melalui arbitrase
menyebabkan Pengadilan tidak berwenang lagi untuk
memeriksa dan mengadili perkara tersebut;
Bahwa berdasarkan Pasal 1338 KUHP Perdata, maka
perjanjian tersebut mengikat sebagai undang-undang bagi
kedua belah pihak; Maka karena telah sepakat untuk
menyelesaikan sengketa ini melalui ruang lingkup arbitrase
dan hukum Inggris, maka pemeriksaan perkara ini yang
dilakukan oleh judex faeti telah melanggar asas kompetensi
absolut (pasal 134 dan pasal 136 HIR);
5. Bahwa tidak berlakunya kontrak P-l dan P-2 bukan
disebabkan bertentartgan dengan Keppres No. 43/1971 dan
No. 39/1978 atau pun Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat No. 499/Pdt/G/1988/PN Jkt.Pst. Melainkan adanya
Perjanjian Perdamaian (bukti P-21). Ketentuan dalam Keppres
a quo sesungguhnya telah dikesampingkan sendiri oleh
termohon kasasi/penggugat asal sebagaimana dapat dilihat dari
Pasal 13 P-l dan P-2 yang menyatakan :
“Para pembeli bertanggung jawab sepenuhnya untuk
memperoleh ijin import yang diperlukan dan digagalkan untuk
memperoleh ijin import tersebut tidak akan dianggap sebagai
alasan yang cukup untuk keadaan yang memaksa”.
Bahwa termohon kasasi/penggugat asal memberi jaminan
kepada pemohon kasasi/tergugat asal seperti yang
dicantumkan dalam Pasal 13 C dari Perjanjian Perdamaian (P-
21) yang menyatakan :
“Sepanjang pengetahuan dan keyakinan Tuan Haryanto maka
penandatanganan dan penyerahan dari pelaksanaan kewajiban-
kewajibannya menurut dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dari perjanjian ini oleh Tuan Haryanto tidak akan :

946
1.
Bertentangan dengan hukum yang berlaku, undang-
undang, ketentuan-ketentuan atau keputusan, ketetapan
atau ijin terhadap mana Tuan Haryanto harus tunduk,
atau;
2. Bertentangan dengan, atau mengakibatkan pelanggaran
terhadap syarat-syarat dari atau merupakan pelanggaran
terhadap suatu perjanjian atau dokumen-dokumen lain
didalam mana Tuan Haryanto merupakan salah satu pihak
atau terhadap mana Tuan Haryanto harus tunduk dengan
mana ia atau kekayaannya terikat”.
Maka terbukti itikad buruk termohon kasasi/penggugat
asal yang hendak menggunakan Keppres No. 43/1971 dan
No. 39/1978 untuk membatalkan P-l dan P-2, padahal
jarak waktu antara ditandatanganinya kontrak dengan
upaya pembatalan ini sudah berselang kurang lebih 6
(enam) tahun;
6. Bahwa dalam menentukan sah atau tidaknya kontrak P-l dan
P-2 hal mana menyangkut wewenang yurisdiksi, sedangkan
yurisdiksi yang dipilih dan disepakati oleh para pihak adalah
The Council o f the Refined Sugar Association di London,
sehingga pertimbangan judex facti yang menyampingkan
klausula arbitrase dalam kaitannya tidak absahnya P-1 dan P-2
telah melanggar atau bertentangan dengan the authonomy of
the arbitration clause atau doktrin “separability o f the
arbitration clause”;
7. Bahwa pertimbangan judex facti dalam butir (3) sama sekali
tidak relevan karenanya harus ditolak sebab : pemohon
kasasi/tergugat asal tidak bermaksud untuk mohon flat
eksekusi sehubungan adanya keputusan Pengadilan Banding
dan Pengadilan Tinggi Inggris, melainkan hanya mohon
penegasan tentang adanya klausula arbitrase;
Hal ini timbul sebagai akibat wanprestasi termohon
kasasi/penggugat asal yang mengenyampingkan arbitrase
dalam kontrak atau Perjanjian Perdamaian yang telah
disepakati dan ditandatangani oleh termohon kasasi/penggugat
asal dan pemohon kasasi/tergugat asal;
Menimbang :
m e n g e n a i k eb era ta n -k e b e ra ta n ad. 1 ,3 d an 7

947
bahwa keberatan-keberatan ini tidak dapat dibenarkan, karena
judex faeti tidak salah menerapkan hukum;
mengenai keberatan-keberatan ad. 2, 5 dan 6
bahwa keberatan-keberatan ini pula tidak dapat dibenarkan, karena
judex faeti tidak salah menerapkan hukum, lagi pula hal ini pada
hakikatnya adalah mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi, karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak
dilaksanakan atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum;
mengenai keberatan ad. 4
bahwa keberatan inipun tidak dapat dibenarkan, karena hal ini
adalah mengenai penilaian hasil pembuktian, dan seperti yang telah
dipertimbangkan di atas, keberatan serupa itu tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
Menimbang, bahwa namun demikian menurut pendapat
Mahkamah Agung perlu juga ditambahkan sebagai pertimbangan dalam
perkara ini walaupun secara berlebihan, yakni tentang Penetapan
Mahkamah Agung RI. tanggal 1 Maret 1991 No. 1 Pen.Ex’r/Arb.Int/
Pdt.1991, yang meskipun dalam surat-surat perkara ini tidak
disinggung, akan tetapi hal tersebut bertalian erat dengan perkara ini.
Menimbang, bahwa Penetapan tersebut di atas adalah mengenai
mengabulkan permohonan Exequatur terhadap putusan The Queen’s
Counsel ofthe English Bar di London tertanggal 17 Nopember 1989.
Menimbang, bahwa suatu Penetapan Exequatur hanya bersifat
Prime facie, jadi Penetapan tersebut tidak merupakan penilaian hukum
terhadap isi dari perjanjian-perjanjian yang dibuat;
Menimbang, bahwa Penetapan Exequatur jni hanya memberikan
titel Eksekutorial bagi putusan Arbitrase Asing tersebut, yang
pelaksanaannya tunduk pada hukum Acara Indonesia;
Menimbang, bahwa oleh karena itu, dengan adanya putusan
Mahkamah Agung dalam perkara ini, maka Penetapan Mahkamah
Agung RI. tanggal 1 Maret 1991 No. l.Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1991
tersebut, menjadi irrelevant untuk dilaksanakan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon
kasasi : E.D. & F. MAN (SUGAR) LTD. dalam hal ini oleh kuasanya:

948
WINITA E. KUSNANDAR, SH. dan kawan-kawan tersebut harus
ditolak; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 14tahun
1970, dan Undang-undang No. 14 tahun 1985 yang bersangkutan;

MENGADUJ

Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi : E.D. & F. MAN


(SUGAR) LTD., dalam hal ini oleh kuasanya : WINITA E.
KUSNANDAR, SH. dan kawan-kawan tersebut;
Menghukum pemohon kasasi/Tergugat asal membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp. 20.000,- (dua
puluh ribu rupiah);
Demikianlah dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung
pada hari: Rabu tanggal 4 Desember 1991 dengan Prof. II. Busthanul
Arifin, SH., Ketua Muda yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung
sebagai Ketua Sidang, H. Amiroeddin Noer, SII. dan II. Masrani
Basran, SH., sebagai Hakim-Hakim Anggota dan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum pada hari : Sabtu, tanggal 14 Desember
1991, oleh Ketua Sidang tersebut, dengan dihadiri oleh II. Amiroeddin
Noer, SH. dan H. Masrani Basran, SII., hakim-Hakim Anggota dan
Poetoet Soerendro, SH., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh
kedua belah pihak.

949
950
PENGADILAN NEGERI
PUTUSAN
N om or: 764/Pdt.P/1996/PN.JKT.BAR

DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAIIA ESA

Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang memeriksa dan mengadili


perkara-perkara permohonan dalam peradilan tingkat pertama, telah
memberikan Penetapan sebagai berikut dibawah ini dalam permohonan
yang diajukan oleh :
PT. DHARMA NIAGA Ltd., berkedudukan di Jalan Kali Besar Barat
nomor 11, Jakarta Barat, dalam hal ini diwakili oleh Direktur Utamanya
Drs. Benarto yang diwakili oleh Kuasa khususnya dan memilih domisili
hukum di Kantor Prof MR.Dr.S. Gautama & Associates dan Kantor
Prof Oemar Seno Adji, SH. & Rekan, alamat untuk perkara ini di Jalan
Medan Merdeka Timur nomor 9, Jakarta Pusat, berdasarkan surat kuasa
khusus tanggal 24 September 1996 yang untuk selanjutnya disebut
sebagai PEMOHON;
melawan:
IIATI PRIMA POTASH PTE Ltd, beralamat di 10 Anson Road, 23-
11 International Plaza Singapore 0207, dalam hal ini diwakili oleh
Managing Director Rusdi R. Latif yang memberi kuasa khusus kepada
Prof Erman Radjagukguk, SH., LL.M, Ph. D dan Rekan
Advokat/Pengacara, berkantor di Gedung Arthaloka Lt. 15 Jalan
Jenderal Sudirman Kav. 2 Jakarta 10220, dan selanjutnya memberi
Kuasa Subtitusi kepada Chandra M Hamzah, SII. Pengacara berkantor
di Law Firm “Erman & Associates” Gedung Arthaloka Lt. 15 Jalan
Jenderal Sudirman Kav. 2 Jakarta 10220 yang untuk selanjutnya
disebut sebagai TERMOHON;
Pengadilan Negeri tersebut;
Telah membaca surat-surat dalam berkas permohonan;
Setelah mendengar keterangan Pemohon dan Termohon di
persidangan;

951
Menimbang, bahwa Pemohon berdasarkan surat permohonannya
tertanggal 25 September 1996 yang didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada tanggal 30 September 1996
dibawah register nomor: 764/Pdt.P/1996/PNJKT.BAR, telah menge­
mukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Bahwa antara Pemohon dengan Termohon telah diadakan
Perjanjian “Sale and Purchase Agreement'’ tanggal 27 Juni 1996
nomor 298A/HPP/VI/96 (P-l). Dalam Perjanjian P-l tersebut
Pemohon adalah Pembeli dan Termohon adalah Penjual dari :
COMMODITY:
MURIATE OF POTASH (MOP/KCL).
SPECIFICATION :
POTASSIUM CONTENT SOLUBLE : 60 PCT AS K20
MINIMUM
- MOISTURE CONTENT : 0,5 PCT AS H”) MAXIMUM
- PHYSICAL CONDITION : STANDARD GRADE
Selanjutnya dalam P-I juga ditentukan syarat-syarat dan banyaknya
barang yang dibeli, karenanya akan isi P-l sudah termasuk disini;-
2. Menurut Perjanjian P-l, barang-barang yang dibeli diangkut dengan
Kapal MV “ SUNDANCE “ dari Pelabuhan Aqaba Yordan menuju
Pelabuhan Belawan, Medan, yang dikapalkan pada tanggal 15 Juli
1996;
3. Ternyata bahwa barang-barang yang dibeli Pemohon seluruhnya
tidak pernah sampai ditempat tujuan Pelabuhan Belawan, Medan;
4. Dalam butir 18 dari P-l, para pihak Pemohon dan Termohon sudah
sepakat untuk menyerahkan sengketa yang mungkin timbul
kemudian yang tidak dapat diselesaikan secara baik-baik kepada
pemutusan wasit di Indonesia dengan hukum yang berlaku di
Indonesia; Adapun bunyi butir P-l ialah :
“Arbitration ”
“Any dispute arising under or relating to this Sale and Purchase
Agreement, or the breach there of, which can not be settled
amicably between the parties shall be referred to and settled in
Indonesia under the rules o f Indonesia Law ”
5. Para pihak Penjual dan Pembeli sudah berusaha untuk
menyelesaikan sengketa ini secara baik, akan tetapi Jtidak berhasil.
Kepada pihak Termohon sudah ditulis surat agar Termohon dapat

952
mengangkat seorang wasit arbiter akan tetapi Termohon tidak
menanggapinya dengan baik (terlampir surat Pemohon tertanggal
25 September 1996, P-2);
6. Menurut Pasal 619 Reglemen Acara Perdata (RV) ditentukan :
“Apabila, dalam hal seperti yang diterangkan dalam ayat ketiga
dari Pasal 615, pada waktunya sengketa timbul, para pihak tidak
mencapai tentang hal memilih wasit, maka atas permohonan pihak
yang paling berkepentingan, wasit atau para wasit itu akan
diangkat oleh Hakim yang sedianya berwenang memeriksa
sengketanya seandainya tidak ada persetujuan perwasitan”;
7. Termohon berkedudukan di luar negeri : 10 Anson Road 23-11-
International Plaza, Singapore 0207; Pemohon berkedudukan di:
Jalan Kalibesar Barat nomor 11, Jakarta Barat;
Karena dalam HIR tidak diatur, maka dengan berpedoman pada
Pasal 100 dan 99 ayat 3 Reglemen Acara Perdata, maka
permohonan ini tepat diajukan dihadapan Pengadilan Negeri
Jakarta Barat;
- Pertama-tama bersama ini Pemohon mohon supaya dapat
diangkat BANI sebagai Badan Arbitrase Nasional Indonesia
untuk melaksanakan Arbitrase ini, dan apabila pihak Termohon
tidak menyetujui, maka Pemohon mohon pengangkatan dari 3
(tiga) orang Arbiter, yang masing-masing diusulkan oleh
Pemohon dan Termohon serta Ketuanya yang diangkat oleh
Pihak Pengadilan;
Dari pihak Pemohon diusulkan sebagai wasit: Prof Dr. II.
Priyatna Abdurrasyid, SIT, Ph.D yang telah menyetujui
pencalonan ini;
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon memohon kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk menetapkan :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon; Primair;
2. Mengangkat BANI untuk melaksanakan pemeriksaan perkara
Arbitrase ini; Sekundair;
3. Mengangkat 3 (tiga) orang Arbiter/was it untuk memutus
perselisihan tersebut melalui Arbitrase, sesuai dengan
ketentuan Arbitrase yang berlaku;
4. Biaya menurut hukum;

953
Menimbang, bahwa pada persidangan yang telah ditentukan
Pemohon datang menghadap kuasanya dan Termohon juga datang
menghadap kuasanya, Hakim telah mengusahakan agar Pemohon
dan Termohon dapat menyelesaikan perselisihan permohonan
Pemohon dengan perdamaian, akan tetapi tidak berhasil, karena itu
... dengan pembacaan surat permohonan Pemohon dan isinya tetap
dipertahankan oleh Pemohon;
Menimbang, bahwa atas permohonan Pemohon tersebut,
Termohon telah mengajukan jawaban tertanggal 21 Mei 1997 yang
pada pokoknya berisikan sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon telah mengirimkan surat dengan nomor
555/KL-96/ct tertanggal 25 September 1996 kepada Termohon
yang isinya antara lain dalam butir 5 :
Apabila masalahnya tidak dapat diselesaikan secara baik,
maka sesuai dengan “Sale and Purchase Agreement” butir 18,
dapat kiranya pihak sdr. menunjuk seorang arbiter dalam
jangka waktu 8 (delapan) hari setelah tanggal surat ini, untuk
menghindarkan pengangkatan arbiter oleh Pengadilan Negeri
sesuai dengan Pasal 619 RV yang tentunya akan memakan
biaya lebih banyak lagi (T.l);
2. Bahwa dengan pernyataannya a quo, Pemohon telah
memberikan tenggang waktu selama 8 (delapan) hari terhitung
sejak tanggal 25 September 1996 kepada Termohon untuk
menunjuk seorang arbiter, artinya batas waktu a quo, yang
ditetapkan sendiri oleh Pemohon, adalah sampai dengan
tanggal 3 Oktober 1996;
3. Bahwa Termohon telah mengirimkan surat nomor
041/ER/X/96 tertanggal 2 Oktober 1996 kepada Pemohon,
yang isinya pada pokoknya adalah bahwa Termohon telah
menunjuk Sdr. Dr. Adnan Buyung Nasution, SII. sebagai
arbiter yang diminta oleh Pemohon (T.2);
4. Bahwa surat sebagaimana dimaksud dalam butir 3 diatas, telah
diterima oleh Kuasa Hukum Pemohon pada tanggal 3 Oktober
1996 artinya penunjukan arbiter yang diminta oleh Pemohon
tersebut telah dipenuhi dalam tenggang waktu yang ditetapkan
oleh Pemohon sendiri (T.3 dan T.4);
5. Bahwa Pemohon telah mengajukan Surat Permohonan
tertanggal 25 September 1996 dan didaftarkan di Kepaniteraan

954
Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan Nomor
764/Pdt.P/l996/PN.JKT.BAR tertanggal 30 September 1996,
yang pada pokoknya meminta Pengadilan Negeri Jakarta Barat
untuk mengangkat BANI untuk melaksanakan pemeriksaan
perkara arbitrase (primair) atau meminta Pengadilan Negeri
Jakarta Barat untuk mengangkat 3 (tiga) orang arbiter/wasit
untuk memutus perselisihan tersebut melalui arbitrase
(sekundair) (T. 5);
Hal ini berarti sejak dari awal Pemohon sudah beritikad
tidak baik, yang terbukti dengan samanya tanggal Surat
Nomor 555/KL-96/ct dengan tanggal Surat Permohonan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Barat (vide : bukti T.l dan T.5);
Selain itu tindakan Pemohon a quo telah mengingkari jangka
waktu yang ditetapkan oleh Pemohon sendiri dalam upaya
penunjukan arbiter;
6. Bahwa sebenarnya antara arbiter yang diangkat oleh Pemohon,
Sdr. Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, SPI.,Ph.D. dan arbiter
yang diangkat oleh Termohon Sdr. Dr. Adnan Buyung
Nasution, SH. telah memulai proses untuk mengangkat arbiter
ketiga (T. 6);
Menimbang, bahwa Pemohon dan Termohon tidak
mengajukan Replik dan Duplik tetapi tetap pada permohonan dan
jawabannya;
Menimbang, bahwa Pemohon dan Termohon untuk
meneguhkan permohonan dan jawabannya telah mengajukan surat-
surat bukti:
Bukti Pemohon
1. Sale and Purchase Agreement tanggal 27 Juni 1996 nomor
298 A/HPP/VI/96 antara PT. Dharma Niaga LTD (Pembeli)
dengan Hati Prima Potash PTE.
2. Terjemahan dalam bahasa Indonesia dari bukti P-l (P-la);
3. Surat Somasi dari Kuasa Pemohon kepada Termohon tanggal
25 September 1996 (P-2);
Bukti Termohon
1. Surat Kuasa Pemohon nomor 555/KL-96/ct tanggal 25
September 1996 kepada Termohon (T-l);

955
2. Surat Kuasa Termohon nomor 041/ER/X/96 tanggal 2 Oktober
1996 kepada Kuasa Pemohon (T-2);
3. Tanda terima surat nomor 041 /ER/X/96 tanggal 2 Oktober
1996 oleh Kuasa Hukum Pemohon (T-3);
4. Tanda terima surat nomor 041/ER/X/96 tanggal 3 Oktober
1996 oleh Kuasa Hukum Pemohon (T-4);
5. Surat permohonan Pemohon tanggal 25 September 1996 dan
nomor register Pengadilan Negeri Jakarta Barat nomor
764/Pdt.P/l 996/PN.JKT.BAR (T-5);
6. Surat dari Dr. Adrian Buyung Nasution, SII. tanggal 5
Februari 1997 kepada Termohon (T-6);
Menimbang, bahwa akhirnya baik Pemohon maupun Termohon
tidak mengajukan saksi dan tidak mengajukan kesimpulan serta sesuatu
apa lagi dan mohon penetapan;
Menimbang, bahwa untuk menyingkat uraian penetapan ini, maka
segala sesuatu yang terjadi dipersidangan sebagaimana tertera dalam
berita acara sidang permohonan ini dianggap termuat dalam penetapan
ini;
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon
adalah untuk menyelesaikan ketidak terpenuhinya surat Perjanjian Jual
Beli antara Hati Prima Potash PTE LTD 10 Anson Road 23-11
International Plaza Singapore 0207 selaku Penjual dengan PT. Dharma
Niaga LTD, Jalan Kalibesar Barat nomor 11 Jakarta selaku Pembeli
sebagaimana surat Perjanjian Jual Beli tanggal 27 Juni 1996 (P-l dan
P-la);
Menimbang, bahwa oleh karena surat Perjanjian Jual Beli tanggal
27 Juni 1996 (P-l dan P-la) tidak dapat dipenuhi oleh Termohon maka
Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Barat untuk diperlakukan surat Perjanjian Jual Beli tanggal 27 Juni
1996 (P-l dan P-la) khusus mengenai butir ke 18 surat Perjanjian Jual
Beli tanggal 27 Juni 1996 (P-l dan P-la) yang berbunyi sebagai berikut:
Butir 18 surat Perjanjian Jual Beli tentang Arbitrase
Perselisihan yang timbul berdasarkan atau sehubungan dengan
Perjanjian Jual Beli ini, atau cidera janji, yang tidak dapat
diselesaikan secara musyawarah antara para pihak, harus diajukan
dan diselesaikan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-
undangan negara Indonesia.

956
Menimbang, bahwa Hakim memperhatikan pula apakah
permohonan Pemohon sudah tepat dan benar diajukan terlebih dahulu
di Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk suatu penetapan;
Menimbang, bahwa permohonan yang diajukan Pemohon
berkenaan tentang perselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh
Pemohon dan Termohon yang harus diselesaikan melalui arbitrase,
karena hukum acaranya tidak ditemui dalam HIR maka Hakim akan
memperlakukan Hukum Acara Perdata yang terdapat dalam RV;
Menimbang, bahwa dalam hal mengajukan permohonan terlebih
dahulu oleh Pemohon ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat, maka Hakim
memperhatikan ketentuan Pasal 99 dan Pasal 100 RV yang pada
pokoknya menyebutkan : Seorang asing bukan penduduk, bahkan tidak
berdiam di Indonesia, dapat digugat dihadapan Hakim Indonesia
perikatan-perikatan yang dilakukan di Indonesia atau dimana saja
dengan warga negara Indonesia, demikian pula dalam jawaban
Termohon tanggal 21 Mei 1997 tidak mempermasalahkan permohonan
Pemohon diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan oleh
karenanya permohonan Pemohon dapat diterima dan ditetapkan oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Barat;
Menimbang, bahwa memperhatikan Pasal 615 alinea ke 3 dan
Pasal 619 RV menyatakan Hakim berwenang menunjuk/mengangkat
arbiter/wasit terlebih dahulu sebelum permasalahannya diselesaikan
oleh Arbitrase yang untuk Indonesia adalah BANI sebagai Badan
Arbitrase Nasional Indonesia;
Menimbang, bahwa Hakim dapat menyetujui untuk menunjuk/
mengangkat Arbiter/wasit yang diusulkan Pemohon sebagaimana surat
permohonannya guna mewakili Pemohon yaitu Prof Dr. II. Priyatna
Abdurrasyid, SH.,Ph.D. dan dari pihak Termohon yang telah
ditunjuk/diusulkan oleh Termohon untuk mewakili Termohon yaitu Dr.
Adnan Buyung Nasution, SH. (T-2 dan T-6);
Menimbang, bahwa pengangkatan/penunjukan Ketua dari Arbiter/
wasit untuk menyelesaikan sengketa antara Pemohon dengan
Termohon, Hakim berpendapat pengangkatan dan penunjukan Ketua
tersebut diserahkan sepenuhnya kepada BANI;
Menimbang, bahwa adapun jumlah Arbiter/wasit 3 atau 5 orang
bersama Ketua yang disebut majelis, dalam hal ini Hakim memberikan
kewenangan penuh kepada BANI untuk menentukannya, terkecuali 2
(dua) nama-nama Arbiter/wasit yang telah ditentukan tersebut diatas

957
sebagai wakil dari Pemohon dan Termohon tetap harus duduk sebagai
anggota Team Majelis;
Menimbang, bahwa berdasarkan surat-surat bukti P-l/P-la T-2 dan
T-6 yang dikuatkan dengan keterangan Pemohon dan Termohon
dipersidangan dalil-dalil permohonannya dan oleh karenanya
permohonan Pemohon dapat dikabulkan;
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan Pemohon dikabulkan,
maka biaya permohonan dibebankan kepada pemohon;
Memperhatikan pasal-pasal dari undang-undang serta ketentuan
hukum lain yang bersangkutan;

MENETAPKAN
- Mengabulkan permohonan Pemohon tersebut;
- Mengangkat Badan Arbitrase Nasionalindonesia (BANI) untuk
melaksanakan pemeriksaan perkara arbitrase ini;
- Mengangkat Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, SH.,Ph.D.
selaku Arbiter/wasit untuk mewakili Pemohon dan Dr. Adnan
Buyung Nasution, SII. selaku Arbiter/wasit mewakili
Termohon, dalam pemeriksaan perkara Arbitrase ini;
- Memberikan kewenangan kepada Badan Arbitrase Nasional
Indonesia untuk menentukan komposisi majelis dan ketua
majelis pemeriksaan perkara Arbitrase ini;
- Memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Barat atau
pejabat yang ditunjuk untuk mengirimkan salinan Penetapan ini
kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Jakarta;
- Membebankan biaya permohonan ini kepada Pemohon sebesar
Rp. 38.000 (tiga puluh delapan ribu rupiah);
Demikianlah ditetapkan dan diucapkan pada persidangan yang
terbuka untuk umum pada h ari: Rabu tanggal 18 Juni 1997 oleh kami :
II. FADIILY ILHAMY, SII. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat,
dengan dibantu oleh : NY. LASMIATI, SH. Panitera Pengganti dan
Kuasa Termohon.
PANITERA PENGGANTI, HAKIM,
ttd. ttd.
NY. LASMIATI, SH. H. FADHLY ILHAMY, SII.

958
Biaya-biaya:
Administrasi Rp. 15.000,-
Redaksi Rp. 1.000,-
Meterai Rp. 2.000,-
Panggilan Rp. 20.000,-
Juml ah Rp. 38.000,-

Fotokopi sesuai dengan aslinya diberikan kepada dan atas permohonan


Kuasa Termohon untuk yang pertama.

Jakarta, 15 Juli 1997


PANITERA PENGGANTI,

NY. LASMIATI, SIT

959
960
L A M P IR A N I

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

No. 32, 1968. KONVENSI. PENJELESAIAN PERSELISIHAN.


PENANAMAN MODAL. PERSETUDJUAN. Undang-undang
No. 5 tahun 1968 tentang persetudjuan atas Konvensi tentang
penjelesaian perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing
mengenai penanaman modal. (Pendjelasan dalam Tambahan
Lembaran-Negara No. 2852).

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1968


tentang
PERSETUJUAN ATAS KONVENSI TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN ANTARA NEGARA DAN
WARGA NEGARA ASING MENGENAI PENANAMAN MODAL

DENGAN RACHMAT TUHAN YANG MAIIA ESA,


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk mendorong dan membina penanaman


modal asing di Indonesia dan sesuai dengan
Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara No. XII/MPRS/1966 dan No.
XXII/MPRS/1966, maka dianggap perlu agar
Pemerintah Republik Indonesia ikut serta dalam
Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara
Negara dan Warga negara Asing mengenai
Penanaman Modal (Convention on the Settlement o f
Investment Disputes between States and Nationals
o f other States);
b. bahwa Republik Indonesi adalah Anggota
Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan
Pembangunan (International Bankfor Reconstruction

961
and Development), sehingga memenuhi syarat untuk
dapat ikut serta dalam Konvensi tersebut di atas;
c. bahwa untuk tujuan tersebut pada huruf a
Pemerintah Republik Indonesia telah menanda­
tangani Konvensi tersebut pada anggai 16
Februari 1968.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 dan Pasal 20 Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara No. XII/MPRS/1966 dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
No. XXIII/MPRS/1966;
3. Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanam-an Modal Asing (Lembaran Negara
tahun 1967 No. I, Tambahan Lembaran Negara
No. 2818);
4. Undang-undang No. 9 tahun 1966 tentang
Keanggotaan Kembali Republik Indonesia dalam
Dana Moneter Internasional {International
Monetary Fund) dan Bank International untuk
Rekonstruksi dan Pembangunan {International
Bank for Reconstruction and Development
(Lembaran Negara tahun 1966 No. 36);
5. Undang-undang No. 2 tahun 1967 tentang
Perubahan Undang-undang No. 9 Tahun 1966
tentang Keanggotaan Kembali Republik Indonesia
dalam Dana Moneter Internasional (International
Monetary Fund) dan Bank International untuk
Rekonstruksi dan Pembangunan {International
Bank for Reconstruction and Development)
(Lembaran Negara Tahun 1967 No. 2, Tambahan
Lembaran Negara No. 2819).
Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong.

962
M E M U T U S K A N :

Menetapkan : Undang-undang tentang Persetujuan


atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan
antara negara dan Warga negara Asing mengenai
Penanaman Modal.
Pasal 1
Menyetujui Konvensi tentang Penyelesaian
Perselisihan antara Negara dan Warga negara Asing
mengenai Penanaman Modal (Convention on the
Settlement o f Investment Disputes between States
and Nationals o f other States), yang salinannya
dilampirkan pada undang-undang ini.

Pasal 2
Pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan
persetujuan bahwa sesuatu perselisihan tentang
penanaman modal antara Republik Indonesia dan
Warga negara Asing diputuskan menurut Konvensi
termasuk dan untuk mewakili Republik Indonesia
dalam perselisihan tersebut dengan hak substitusi.

Pasal 3
(1) Untuk melaksanakan putusan Mahkamah
Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam
Konvensi tersebut mengenai perselisihan antara
Republik Indonesia dan Warga negara Asing
di wilayah Indonesia, diperlukan surat pernyataan
Mahkamah Agung bahwa putusan tersebut dapat
dilaksanakan.
(2) Mahkamah Agung mengirimkan surat pernyataan
termaksud dalam ayat (1) pasal ini kepada
Pengadilan Negeri dalam daerah hukum mana
putusan itu harus dijalankan dan memerintahkan
untuk melaksanakannya.
(3) Surat pernyataan dan perintah yang dimaksud
dalam ayat (2) pasal ini disampaikan kepada

963
Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui
Pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya
meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri
tersebut.

Pasal 4
Hal-hal yang belum atau belum cukup diatur dalam
Undang-undang ini akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Perundangan.

Pasal 5
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari
diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

Diundangkan di Jakarta pada Disahkan di Jakarta pada


tanggal 29 Juni 1968 tanggal 29 Juni 1968
Sekretaris Negara RI, Presiden Republik Indonesia,
ttd. ttd.

ALAMSJAH SOEIIARI'O
Major Jenderal TNI Jenderal TNI

964
L A M P I R A N II

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA R.I.

No. 2852. KONVENSI. PENJELESAIAN PERSELISIHAN.


PENANAMAN MODAL. PERSETUDJUAN. Pendjelasan atas
Undang-undang No. 5 tahun 1968 tentang persetudjuan atas
konvensi tentang penjelesaian perselisihan antara negara dan
warga-negara asing mengenai penanaman modal.

PENJELASAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAIIUN 1968
tentang
PERSETUJUAN ATAS KONVENSI TENTANG
PENYELESAIAN PERSELISIHAN ANTARA NEGARA DAN
WARGA NEGARA ASING MENGENAI PENANAMAN MODAL

PENJELASAN UMUM

Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan


Warga negara Asing mengenai Penanaman Modal {Convention on the
Settlement o f Investment Disputes between States and Nationals o f
other States), untuk selanjutnya disebut Konvensi, mengatur
penyelesaian perselisihan antara suatu Negara dengan perorangan atau
Perusahaan Asing yang menanam Modalnya di Negara tersebut dengan
jalan damai (conciliation) atau arbitrase {arbitration).
Suatu Negara yang hendak mempergunakan fasilitas itu harus :
a. Anggota Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan
(International Bank for Reconstruction and Development), sesuai
dengan Pasal 67 Konvensi;
b. Terlebih dahulu menandatangani Konvensi dan setelah itu
menyetujuinya (ratifikasi) menurut hukum yang berlaku untuk
Negara yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 68 Konvensi.

965
Walaupun Konvensi telah berlaku untuk sesuatu Negara, namun
tidaklah ada suatu kewajiban bahwa setiap perselisihan harus
diselesaikan menurut Konvensi. Sebab syarat mutlak untuk
penyelesaian perselisihan menurut Konvensi adalah persetujuan dari
kedua belah pihak yang berselisih.
Untuk mendorong dan membina Penanaman Modal Asing di
Indonesia sejalan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing, maka Republik Indonesia telah
menandatangani Konvensi yang memerlukan persetujuan dengan
Undang-undang supaya berlaku di Indonesia.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Menurut Pasal-pasal 25 ayat (1) dan 36 ayat (2) Konvensi setiap
perselisihan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari kedua
belah pihak yang berselisih, sebelum dapat diajukan di depan
Mahkamah Arbitrase (Arbitral Tribunal). Dengan pasal ini dipastikan
bahwa Pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan
persetujuan yang dimaksud itu serta untuk mewakili Republik
Indonesia dalam perselisihan tersebut dengan hak substitusi di mana
perlu.
P a sa l 3

A yat (1)
a. Pasal 54 ayat (1) dan ayat (3) Konvensi menentukan bahwa
putusan Mahkamah Arbitrase dipersamakan dengan putusan
terakhir dari Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Putusan
tersebut harus dilaksanakan menurut hukum Negara itu.
b. Untuk kepastian cara pelaksanaan putusan itu di Indonesia,
maka pasal 3 ayat (1) menentukan bahwa Mahkamah Agung
harus terlebih dahulu menyatakan bahwa putusan Mahkamah
Arbitrase itu dapat dijalankan dalam wilayah Republik
Indonesia.
c. Perselisihan yang dimaksud dalam ayat (1) ini ialah
perselisihan antara Republik Indonesia dan Warga negara

966
Asing mengenai Penanaman Modal di wilayah Indonesia.
Tidak termasuk di dalamnya perselisihan antara Negara lain
dengan Warga negara Asing lain pula yang hendak
menjalankan putusan Mahkamah Arbitrase mengenai
penanaman modal di dalam wilayah Indonesia (Pasal 55
Konvensi).
d. Surat pernyataan diBerikan oleh Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Tertinggi yang berkedudukan di Ibu Kota Republik
Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Surat pernyataan dan perintah diberikan kepada Pengadilan Tinggi
sebagai tingkatan bawahan untuk diteruskan kepada Pengadilan
Negeri yang bersangkutan.

Pasal 4
Pasal ini dimaksudkan untuk mengatur follow-up dari pelaksanaan
penandatanganan Konvensi sepanjang yang sedemikian itu belum atau
belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 4
Pasal ini dimaksudkan untuk mengatur follow-up dari pelaksanaan
penandatanganan Konvensi sepanjang yang sedemikian itu belum atau
belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.

Pasal 5
Cukup jelas.

967
968
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
tentang
ARBITRASE DAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan


yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata
disamping dapat diajukan ke peradilan umum juga
terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase
dan alternatif penyelesaian sengketa;
b. bahwa peraturan perundang-undangan yang kini
berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui
arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkem­
bangan dunia usaha dan hukum pada umumnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b, perlu membentuk
Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun
1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2951);

Dengan Persetujuan :
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG ARBITRASE DAN
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA.

969
BABI
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini dimaksud dengan :
1. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengketa.
2. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut
hukum perdata maupun hukum publik.
3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa
kausual arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitarse
tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa.
4. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang
daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon.
5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan
permohonan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.
6. Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
7. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh
para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh
Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase,
untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui
arbitrase.
8. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh
para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu
dalam hal belum timbul sengketa.

970
9. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang
dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum Republik
Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau
arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum
Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan
arbitrase internasional.
10. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.
Pasal 2
Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa
atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu
hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan
perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan
bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul
atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum
tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau
melalui alternatif penyelesaian sengketa.

Pasal 3
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili
sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase.

P a sa l 4

(1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa


sengketa di antara mereka akan diselesaikan
melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan
wewenang, maka arbiter berwenang menentukan
dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban
para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian
mereka.
(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

971
dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani
oleh para pihak.
(3) Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa
melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran
surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili,
e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi
lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan
penerimaan oleh para pihak.

Pasal 5
(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
hanya sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa.
(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak dapat di diadakan
perdamaian.

BAB II
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 6
(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad
baik dengan mengesampingkan penyelesaian
secara litigasi di Pengadilan Negeri.
(2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam
pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya
dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
(3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat
diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para
pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan
melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli
maupun melalui seorang mediator.
(4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan
seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui
seorang mediator tidak berhasil mencapai kata
sepakat, atau mediator tidak berhasil
mempertemukan kedua belah pihak, maka para
pihak dapat menghubungi sebuah lembaga
arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengeketa untuk menunjuk seorang mediator.
(5) Setelah penunjukan mediator oleh Lembaga
arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari
usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
(6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui mediator sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan,
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis
yang ditandatangani oleh semua pihak yang
terkait.
(7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat
para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik
serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penandatanganan.
(8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7)
wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
(9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat
dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan

973
secara tertulis dapat mengajukan penyelesaian
melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.

BAB III
SYARAT ARBITRASE, PENGANGKATAN
ARBITER, DAN HAK INGKAR
Bagian Pertama
Syarat Arbitrase

Pasal 7
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang
terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk
diselesaikan melalui arbitrase.

Pasal 8
(1) Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus
memberitahukan dengan surat tercatat, telegram,
teleks, faksimili, email atau dengan buku ekspedisi
kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang
diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
(2) Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat
dengan jelas :
a. nama dan alamat para pihak;
b. penunjukan kepada klausula atau perjanjian
arbitrase yang berlaku;
c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut,
apabila ada;
e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak
tentang jumlah arbitrasi atau apabila tidak
pernah diadakan perjanjian semacam itu,
pemohon dapat mengajukan usul tentang
jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah
ganjil.
Pasal 9
(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian
sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi,
persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat
dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani
oleh para pihak.
(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani
perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat
dalam bentuk akta notaris.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus memuat:
a. masalah yang dipersengketaan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau
mejelis arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan
mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang
bersengketa untuk menanggung segala biaya
yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa
melalui arbitrase.
(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi
hukum.

Pasal 10
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal
disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini :
a. meninggalnya salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. novasi;
d. insolvensi salah satu pihak;

975
e. pewarisan;
f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialih-
tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan
pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut;
atau
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Pasal 11
(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis
meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang
termasuk dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Ne geri wajib menolak dan tidak akan
campur tangan di dalam suatu penyelesaian
sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase,
kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan
dalam Undang-undang ini.

Bagian Kedua
Syarat Pengangkatan Arbiter

Pasal 12
(1) Yang dapat ditunjuk atau diangkat menjadi arbiter
harus memenuhi syarat:
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai dengan derajat kedua
dengan salah satu pihak bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau
kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara
aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
(2) Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan
lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai
arbiter.

Pasal 13
(1) Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan
mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan
yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua
Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis
arbitrase.
(2) Dalam suatu arbitrase ad-hoc bagi setiap
ketidakkesepakatan dalam penunjukan seorang atau
beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk
menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka
penyelesaian sengketa para pihak.

Pasal 14
(1) Dalam hal para pihak telah bersepakat bahwa
sengketa yang timbul akan diperiksa dan diputus
oleh arbiter tunggal, para pihak wajib untuk
mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan
arbiter tunggal.
(2) Pemohon dengan surat tercatat, telegram, teleks,
faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi harus
mengusulkan kepada pihak termohon nama orang
yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal.
(3) Apabila dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari setelah termohon menerima usul pemohon
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) para pihak
tidak berhasil menentukan arbiter tunggal, atas
permohonan dari salah satu pihak, Ketua
Pengadilan negeri dapat mengangkat arbiter
tunggal.
(4) Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat
arbiter tunggal berdasarkan daftar nama yang
disampaikan oleh para pihak, atau yang diperoleh
dari organisasi atau lembaga arbitrase sebagai­

977
mana dimaksud dalam Pasal 34, dengan
memperhatikan baik rekomendasi maupun
keberatan yang diajukan oleh para pihak terhadap
orang yang bersangkutan.

Pasal 15
(1) Penunjukan dua orang arbiter oleh para pihak
memberi wewenang kepada dua arbiter tersebut
untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga.
(2) Arbiter ketiga sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diangkat sebagai ketua majelis arbitrase.
(3) Apabila dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah pemberitahuan diterima oleh pemohon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dan
salah satu pihak tidak menunjuk seseorang yang
akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter
yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak
sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat
kedua belah pihak.
(4) Dalam hal kedua arbiter yang telah ditunjuk
masing-masing pihak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak berhasil menunjuk arbiter
ketiga dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari setelah arbiter yang terakhir ditunjuk, atas
permohonan salah satu pihak, Ketua Pengadilan
negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.
(5) Terhadap pengangkatan arbiter yang dilakukan
oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4), tidak dapat diajukan
upaya pembatalan.

Pasal 16
(1) Arbiter yang ditunjuk atau diangkat dapat
menerima atau menolak penunjukan atau
pengangkatan tersebut.
(2) Penerimaan atau penolakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), wajib memberitahukan
secara tertulis kepada pihak dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal
penunjukan atau pengangkatan.

Pasal 17
(1) Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa
arbiter oleh para pihak secara tertulis dan
diterimanya penunjukan tersebut oleh seorang
arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka
antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang
menerima penunjukan terjadi suatu perjanjian
perdata.
(2) Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter
akan memberikan putusannya secara jujur, adil,
dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan
para pihak akan menerima putusannya secara final
dan mengikat seperti yang telah diperjanjikan
bersama.

Pasal 18
(1) Seorang calon arbiter yang diminta oleh satu pihak
untuk duduk dalam majelis arbitrase, wajib
memberitahukan kepada pihak tentang hal yang
mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau
menimbulkan keberpihakan putusan yang akan
diberikan.
(2) Seorang yang menerima penunjukan sebagai
arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
harus memberitahukan kepada para pihak
mengenai penunjukannya.

Pasal 19
(1) Dalam hal arbiter telah menyatakan menerima
penunjukan atau pengangkatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16, maka yang

979
bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas
persetujuan para pihak.
(2) Dalam hal arbiter sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) yang telah menerima penunjukan atau
pengangkatan, menyatakan menarik diri, maka
yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan
secara tertulis kepada para pihak.
(3) Dalam hal para pihak dapat menyetujui
permohonan penarikan diri sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat
dibebaskan dari tugas sebagai arbiter.
(4) Dalam hal permohonan penarikan diri mendapat
persetujuan para pihak, pembebasan tugas arbiter
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Pasal 20
Dalam hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan
yang sah tidak memberikan putusan dalam jangka
waktu yang telah ditentukan, arbiter dapat dihukum
untuk mengganti biaya dan kerugian yang diakibatkan
karena kelambatan tersebut kepada para pihak.

Pasal 21
Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan
tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan
yang diambil selama proses persidangan berlangsung
untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau
majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya
itikad tidak baik dari tindakan tersebut.

Bagian ketiga
Hak Ingkar

Pasal 22
(1) Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar
apabila terdapat cukup bukti otentik yang
menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan
melakukan tugas nya tidak secara bebas dan akan
berpihak dalam mengambil keputusan.
(2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat
pula dilaksanakan apabila terbukti adanya
hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan
dengan salah satu pihak atau kuasanya.

Pasal 23
(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada
Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal diajukan
kepada arbiter yang bersangkutan.
(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrase
diajukan kepada majelis arbitrase yang
bersangkutan.

Pasal 24
(1) Arbiter yang diangkat tidak dengan penetapan
pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan
alasan yang baru diketahui pihak yang
mempergunakan hak ingkarnya setelah
pengangkatan arbiter yang bersangkutan.
(2) Arbiter yang diangkat dengan penetapan
pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan
alasan yang diketahuinya setelah adanya
penerimaan penetapan pengadilan tersebut.
(3) Pihak yang keberatan terhadap penunjukan
seorang arbiter yang dilakukan oleh pihak lain,
harus mengajukan tuntutan ingkar dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari sejak
pengangkatan.
(4) Dalam hal alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (10) dan (2) diketahui kemudian,
tuntutan ingkar harus diajukan dalam waktu paling

981
lama 14 (empat belas) hari sejak diketahuinya hal
tersebut.
(5) Tuntutan ingkar harus secara tertulis, baik kepada
pihak lain maupun kepada pihak arbiter yang
bersangkutan dengan menyebutkan alasan
tuntutannya.
(6) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh
salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain,
arbiter yang bersangkutan harus mengundurkan
diri dan seorang arbiter pengganti akan ditunjuk
sesuai dengan cara yang ditentukan dalam
Undang-undang ini.

Pasal 25
(1) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh
salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan
arbiter yang bersangkutan tidak bersedia
mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan
dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua
Pengadilan negeri yang putusannya mengikat
kedua belah pihak, dan tidak dapat diajukan
perlawanan.
(2) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri memutuskan
bahwa tuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) beralasan, seorang arbiter pengganti harus
diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku
untuk pengangkatan arbiter yang digantikan.
(3) Dalam hal Ketua Pengadilan negeri menolak
tuntutan ingkar, arbiter melanjutkan tugasnya.

Pasal 26
(1) Wewenang arbiter tidak dapat dibatalkan dengan
meninggalnya arbiter dan wewenang tersebut
selanjutnya dilanjutkan oleh penggantinya yang
kemudian diangkat sesuai dengan Undang-
undang ini.
(2) Arbiter dapat dibebastugaskan bilamana berpihak
atau menunjukkan sikap tercela yang harus
dibuktikan melalui jalur hukum.
(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa
berlangsung, arbiter meninggal dunia, tidak
mampu, atau mengundurkan diri, sehingga tidak
dapat melaksanakan kewajibannya, seorang arbiter
pengganti akan diangkat dengan cara sebagaimana
yang berlaku bagi pengangkatan arbiter yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal seorang arbiter tunggal atau ketua
majelis arbitrase diganti, semua pemeriksaan yang
telah diadakan harus diulang kembali.
(5) Dalam hal anggota majelis yang diganti,
pemeriksaan sengketa hanya diulang kembali
secara tertib antara arbiter.

BAB IV
ACARA YANG BERLAKU DIHADAPAN
MAJELIS ARBITRASE
Bagian Pertama
Acara Arbiter
Pasal 27
Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis
arbitrase dilakukan secara tertutup.

Pasal 28
Bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase
adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan
arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih
bahasa lain yang akan digunakan.

Pasal 29
(1) Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan
kesempatan yang sama dalam mengemukakan
pendapat masing-masing.

983
(2) Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh
kuasanya dengan surat kuasa khusus.

Pasal 30
Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut
serta dan menggabungkan diri dalam proses
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila
terdapat unsur kepentingan yang terkait dan
keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang
bersengketa serta disetujui oleh arbiter majelis
arbitrase yang memeriksa sengeka yang bersangkutan.

Pasal 31
(1) Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan
tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase
yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Undang-undang ini.
(2) Dalam hal para pihak tidak menentukan sendiri
ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan
digunakan dalam pemeriksaan, dan arbiter atau
majelis arbitrase telah terbentuk sesuai dengan
Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, semua sengketa
yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter
atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputus
menurut ketentuan dalam Undang-undang ini.
(3) Dalam hal para pihak yang telah memilih acara
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka
waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan
apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak
ditentukan, arbiter atau mejalis arbitrase yang akan
menentukan.

Pasal 32
(1) Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau
majelis arbitrase dapat mengambil putusan
provisionil atau putusan sela lainnya untuk
mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan
sengketa termasuk penetapan sita jaminan,
memerintahkan penitipan barang kepada pihak
ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak.
(2) Jangka waktu pelaksanaan putusan provisionil
atau putusan sela lainnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak dihitung dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.

Pasal 33
Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk
memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila :
a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak
mengenai hal khusus tertentu;
b. sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau
putusan sela lainnya; atau
c. dianggap perlu oleh arbiter atau mejalis arbitrase
untuk kepentingan pemeriksaan.

Pasal 34
(1) Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat
dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase
nasional atau internasional berdasarkan
kesepakatan para pihak.
(2) Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
menurut peraturan dan acara dari lembaga dipilih,
kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.

Pasal 35
Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan
agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan
terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh
arbiter atau majelis arbitrase.

985
Pasal 36
(1) Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus
diajukan secara tertulis.
(2) pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila
disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh
arbiter atau majelis arbitrase.

Pasal 37
(1) Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau
majelis atau majelis arbitrase, kecuali ditentukan
sendiri oleh para pihak.
(2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar
keterangan saksi atau mengadakan pertemuan
yang dianggap perlu pada tempat tertentu di luar
tempat arbitrase diadakan.
(3) Pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan
arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan
menurut ketentuan dalam hukum acara perdata.
(4) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan
pemeriksaan setempat atas barang yang
dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan
dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam
hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil
secara sah agar dapat juga hadir dalam
pemeriksaan tersebut.

Pasal 38
(1) Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus
menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter
atau majelis arbitrase.
(2) Surat tuntutan tersebut harus memuat sekurang-
kurangnya :
a. nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat
kedudukan para pihak;
b. uraian singkat tentang sengketa disertai dengan
lampiran bukti-bukti; dan
c. isi tuntutan yang jelas.

Pasal 39
Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter
atau ketua majelis arbitrase menyampaikan satu salinan
tuntutan tersebut kepada termohon dengan disertai
perintah bahwa termohon harus menanggapi dan
memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya
salinan tuntutan tersebut oleh termohon.

Pasal 40
(1) Segera setelah diterimananya jawaban dari
termohon atas perintah arbiter atau ketua majelis
arbitrase, salinan jawaban tersebut diserahkan
kepada pemohon.
(2) Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis
arbitrase memerintahkan agar para pihak atau
kuasa mereka menghadap di muka sidang arbitrase
yang ditetapkan paling lama 14 (empat belas) hari
terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu.

Pasal 41
Dalam hal termohon setelah lewat 14 (empat belas)
hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 tidak
menyampaikan jawabannya, termohon akan dipanggil
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (2).

Pasal 42
(1) Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada
sidang pertama termohon dapat mengajukan
tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan

987
tersebut pemohon diberi kesempatan untuk
menanggapi.
(2) Tuntutan balasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), diperiksa dan diputus oleh arbiter atau
majelis arbitrase bersama-sama dengan pokok
sengketa.

Pasal 43
Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) pemohon tanpa
suatu alasan yang sah tidak datang menghadap,
sedangkan telah dipanggil secara patut, surat
tuntutannya dinyatakan gugur arbiter atau majelis
arbitrase dianggap selesai.

Pasal 44
(1) Apabila pada hari yang telah ditentukan sebagai­
mana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), termohon
tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap,
sedangkan termohon telah dipanggil secara patut,
arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan
pemanggilan sekali lagi.
(2) Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan
kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah
termohon juga tidak datang menghadapi di muka
persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa
hadirnya termohon dan tuntutan pemohon
dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak
beralasan atau tidak berdasarkan hukum.

Pasal 45
(1) Dalam hal para pihak datang menghadap pada hai
yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase
terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara
para pihak yang bersengketa.
(2) Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter
atau majelis arbitrase membuat suatu akta
perdamaian yang final dan mengikat para pihak
dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi
ketentuan perdamaian tersebut.

Pasal 46
(1) Pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan
apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (1) tidak berhasil.
(2) Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk
menjelaskan secara tertulis pendirian masing-
masing serta mengajukan bukti yang dianggap
perlu untuk menguatkan perndiriannya dalam
jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase.
(3) Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta
kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan
tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti
lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu
yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Pasal 47
(1) Sebelum ada jawaban dari termohon, pemohon
dapat mencabut surat permohonan untuk
menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
(2) Dalam hal sudah ada jawaban dari termohon,
perubahan atau penambahan surat tuntutan hanya
diperbolehkan dengan persetujuan termohon dan
sepanjang perubahan atau penambahan itu
menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja dan
tidak menyangkut dasar-dasar yang menjadi dasar
permohonan.

Pasal 48
(1) Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan
dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan
puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase
terbentuk.

989
(2) Dengan persetujuan para pihak dan apabila
diperlukan sesuai Pasal 33, jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperpanjang.

Bagian Kedua
Saksi dan saksi Ahli
Pasal 49
(1) Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau
atas permintaan para pihak dapat dipanggil
seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli
atau lebih, untuk didengar keterangannya.
(2) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi
ahli dibebankan kepada pihak yang meminta.
(3) Sebelum memberikan keterangan, para saksi atau
saksi ahli wajib mengucapkan sumpah.

Pasal 50
(1) Arbiter atau mejalis arbitrase dapat meminta
bantuan seorang atau lebih saksi ahli untuk
memberikan keterangan tertulis mengenai suatu
persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok
sengketa.
(2) Para pihak wajib memberikan segala keterangan
yang diperlukan oleh para saksi ahli.
(3) Arbiter atau majelis arbitrase meneruskan salinan
keterangan saksi ahli tersebut pada para pihak agar
dapat ditanggapi secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.
(4) Apabila terdapat hal yang kurang jelas, atas
permintaan para pihak yang berkepentingan,
saksi ahli yang bersangkutan dapat didengar
keterangannya di muka sidang arbiter dengan
dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.
Pasal 51
Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang
arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh
sekretaris.

BAB V
PENDAPAT DAN PUTUSAN ARBITRASE
Pasal 52
Para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk
memohon pendapat yang mengikat dari lembaga
arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu
perjanjian.

Pasal 53
Terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 tidak dapat dilakukan
perlawanan melalui upaya hukum apapun.

Pasal 54
(1) Putusan arbitrase harus memuat:
a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA”;
b. nama lengkap dan alamat para pihak;
c. uraian singkat sengketa;
d. pendirian para pihak;
e. nama lengkap dan alamat arbiter;
f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau
majelis arbitrase mengenai keseluruhan
sengketa;
g. pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat
perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase;
h. amar putusan;
i. tempat dan tanggal putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau mejelis arbitrase.

991
(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbitrase oleh
salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau
meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan
berlakunya putusan dipenuhinya ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat
putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
dicantumkan dalam putusan.
(4) Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu
putusan tersebut harus dilaksanakan.

Pasal 55
Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai,
pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang
untuk mengucapkan arbitrase.

Pasal 56
(1) Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan
berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan
keadilan dan kepatutan.
(2) Para pihak berhak menentukan pilihan hukum
yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa
yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.

Pasal 57
Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.

Pasal 58
Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah
putusan diterima, para pihak dapat mengajukan
permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk
melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif
dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan
putusan.
BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE
Bagian Pertama
Arbitrase Nasional
Pasal 59

(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari


terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar
asli atau salinan otentik putusan arbitrase
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau
kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan
pencatatan dan penandatanganan pada bagian
akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera
Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang
menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta
pendaftaran.
(3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan
dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau
salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan
Negeri.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan
arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
(5) Semua biaya yang berhubungan dengan
pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada
para pihak.

Pasal 60
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.

993
Pasal 61
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan
arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan
berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas
permohonan salah satu pihak yang bersengketa.

Pasal 62
(1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan
kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah
pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah
putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan
Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum.
(3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan
pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua
Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya
hukum apapun.
(4) Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan
atau pertimbangan dari putusan atbitrase.

Pasal 63
Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar
asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang
dikeluarkan.

Pasal 64
Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua
Pengadilan Negeri, dilaksankaan sesuai ketentuan
pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang
putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bagian Kedua
Arbitrase Internasional
Pasal 65
Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan
pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah
Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat.

Pasal 66
Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta
dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik
Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh
arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang
dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian,
baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai
pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrasi
Internasional.
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dalam
huruf a terbatas pada putusan yang menurut
ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang
lingkup hukum perdagangan.
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana
dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan
di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan
di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana
dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara
Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam
sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah
memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan
kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

995
Pasal 67
(1) Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional dilakukan setelah putusan tersebut
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau
kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
(2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
disertai dengan:
a. lembar asli atau salinan otentik Putusan
Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan
perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah
terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang
menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional
sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen
asing, dan naskah terjemahan resminya dalam
bahasa Indonesia; dan
c. keterangan dari perwakilan diplomatik
Republik Indonesia di negara tempat Putusan
Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan,
yang menyatakan bahwa segera bahwa negara
pemohon terkait pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral dengan negara
Republik Indonesia perihal pengakuan dan
pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

Pasal 68
(1) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan
Putusan Arbitrasi Internasional, tidak dapat
diajukan banding atau kasasi.
(2) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
66 huruf d yang menolak untuk mengakui dan
melaksanakan suatu Putusan Arbitrase
Internasional, dapat diajukan kasasi.
(3) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta
memutuskan setiap pengajuan kasasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), dalam jangka waktu
paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah
permohonan kasasi tersebut diterima oleh
Mahkamah Agung.
(4) Terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 66 huruf e, tidak dapat
diajukan upaya perlawanan.

Pasal 69
(1) Setelah Ketua Pengadilan Jakarta Pusat
memberikan perintah eksekusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 maka pelaksanaan
selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri yang secara relatif berwenang
melaksanakannya.
(2) Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan
serta barang milik termohon eksekusi.
(3) Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan
mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam
Ilukum Acara Perdata.

BAB VII
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

Pasal 70
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat
mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan
tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui
palsu atau dinyatakan palsu;

997
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang
bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh
pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan
sengketa.

Pasal 71
Permohonan pembatalan putusan arbitrasi harus
diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan
pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera
Pengadilan Negeri.

Pasal 72
(1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan
Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan
seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
(3) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan
oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat
diajukan permohonan banding ke Mahkamah
Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan
terakhir.
(5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta
memutuskan permohonan banding sebagaimana
dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding
tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
BAB VIII
BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER

Pasal 73
Tugas arbiter berakhir karena :
a. putusan mengenai sengketa telah diambil;
b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh
para pihak telah lampau; atau
c. para pihak sepakat untuk menarik kembali
penunjukan arbiter.

Pasal 74
(1) Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibat­
kan tugas yang telah diberikan kepada arbiter
berakhir.
(2) Jangka waktu tugas arbiter sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ditunda paling lama 60 (enam
puluh) hari sejak meninggalnya salah satu pihak.

Pasal 75
(1) Dalam hal arbiter meninggal dunia, dikabulkannya
tuntutan ingkar atau pemberhentian seorang atau
lebih arbiter, para pihak harus mengangkat arbiter
pengganti.
(2) Apabila para pihak dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari tidak mencapai kesepakatan
mengenai pengangkatan arbiter pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka
Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan dari
pihak yang berkepentingan, mengangkat seorang
atau lebih arbiter pengganti.
(3) Arbiter pengganti bertugas melanjutkan penyele­
saian sengketa yang bersangkutan berdasarkan
kesimpulan terakhir yang telah diadakan.

999
B A B IX

BIAYA ARBITRASE

Pasal 76
(1) Arbiter menentukan biaya arbitrase.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi:
a. honorarium arbiter;
b. biaya saksi dan atau saksi ahli yang
dikeluarkan oleh arbiter;
c. biaya saksi dan atau saksi ahli yang dipelrukan
dalam pemeriksaan sengketa; dan
d. biaya administrasi.

Pasal 77
(1) Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang
kalah.
(2) Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian,
biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak
secara seimbang.

BAB X
KETENTUAN PERLAIIIAN

Pasal 78
Sengketa yang pada saat Undang-undang ini berlaku
sudah diperiksa kepada arbiter atau lembaga arbitrase
tetapi belum dilakukan pemeriksaan, proses
penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Undang-
undang ini.

Pasal 79
Sengketa yang pada saat Undang-undang ini mulai
berlaku sudah diperiksa tetapi belum diputus, tetap
diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lama.

Pasal 80
Sengketa yang pada saat Undang-undang ini mulai
berlaku sudah diputus dan putusannya telah
memperoleh kekuataan hukum tetap, pelaksanaannya
dilakukan berdasarkan Undang-undang ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 81
Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal
615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata
(Reglement of de Rechtsvodering, Staatsblad 1847:52)
dan Pasal 377 Reglement Indonesia Yang Diperbaharui
(Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad
1941:44) dan Pasal 705 Reglement Acara Untuk
Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Buitengewesten, Staatsblad 1927:227), dinyatakan
tidak berlaku.

Pasal 82
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta,
Pada Tanggal 12 Agustus 1999
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

1001
Diundangkan di Jakarta
Pada Tanggal 12 Agustus 1999
MENTERI NEGARA/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MULADI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 138

N.

1002

Anda mungkin juga menyukai