PADA PT PERTAMINA
Skripsi
Oleh :
11000117130229
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2021
1
HALAMAN PENGESAHAN
PADA PT PERTAMINA
PENULISAN HUKUM
Oleh :
NIM 11000117130229
Penulisan hukum dengan judul di atas telah disahkan dan telah disetujui untuk
diperbanyak
Pembimbing I Pembimbing II
i
HALAMAN PENGUJIAN
PADA PT PERTAMINA
NIM 11000117130229
Dewan Penguji
Ketua Penguji
Mengesahkan : Mengetahui :
Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Ketua Program Studi S1 Ilmu Hukum
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Penulisan Hukum ini tidak pernah diajukan
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain, dan sepanjang
pengetahuan saya di dalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Semarang, …… 2021
Penulis,
NIM 11000117130229
iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Saya persembahkan karya ini untuk Tuhan, orang tua, teman-teman dan orang-
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan berkat dan
karunia-Nya sejak awal masuk perkuliahan hingga tahap Penulisan Hukum yang
Pertamina” terselesaikan dengan tepat waktu. Penulisan Hukum ini disusun demi
hukum ini tidak terlepas atas bimbingan dan bantuan dari banyak pihak, baik
sekaligus motivator yang mendukung penulis dari awal masa perkuliahan hingga
sekarang sampai terselesaikannya tesis ini. Oleh sebab itu, Penulis ingin
1. Bapak Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum. selaku Rektor
Universitas Diponegoro.
2. Ibu Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas
4. Ibu Dewi Hendrawati, S.H., M.H. selaku Dosen wali selama proses
v
5. Ibu Siti Mahmudah,S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing Pertama yang
Hukum ini.
6. Ibu Aisyah Ayu Musyafah, S.H., M.Kn selaku Dosen Pembimbing Kedua
7. Ibu Rinitami Njatrijani S.H., M.Hum selaku Dosen Penguji yang telah
Penulisan Hukum.
Diponegoro
9. Kepada kedua orang tua penulis, terima kasih atas cinta, kasih sayang,
seluruh hal baik yang penulis terima dari orang tua bisa menjadi bekal di
vi
10. Ismi Aulia Aziza selaku kekasih penulis dan peran peran penting lain yang
11. Tio Busono Fathrizqi, S.H selaku teman penulis yang dengan sabar
banyak atas pengalaman, kepercayaan, dan suka duka yang telah diterima
13. Kepada CCTH Crew, penulis mengucapkan terima kasih banyak telah
menjadi teman yang baik dan suportif sehingga penulis dapat melewati
terarah.
Penulis sadar jika Penulisan Hukum ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis sangat terbuka atas kritik dan saran yang
berharap, Penulisan Hukum ini dapat membawa manfaat bagi setiap pihak yang
membutuhkan.
Akhir kata, atas segala bantuan dan perhatian yang telah diberikan untuk
penulisan hukum ini, penulis ucapkan banyak terima kasih. Semoga penulisan
vii
ABSTRAK
viii
Abstract
The juridical basis of the BUMN Holding Company used so far is PP No.
72 of 2016 concerning procedures for state capital participation in BUMN and PT.
However, there are many inconsistencies between the PP and the laws above, such
as the BUMN Law, the PT Law, and the State Finance Law. One of them is
regarding the status of subsidiaries that are members of a BUMN Holding
Company. With this background, the researcher will examine the regulation of
BUMN Holding Companies in Indonesia and their impact on the status of
subsidiaries incorporated in PT Pertamina as BUMN Holding Companies in the
oil and gas sector.
ix
DAFTAR ISI
x
BAB V ...............................................................................................................................66
PENUTUP..........................................................................................................................66
A. Kesimpulan ...........................................................................................................66
B. Saran ....................................................................................................................68
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada, 2006. hal. 15-16.
1
2003 tentang BUMN, tepatnya pada Pasal 1 angka (1), dijelaskan bahwa
pengertian BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Dari apa yang tertulis
dalam Pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang dimiliki
Negara digunakan untuk mensejahterakan rakyat, dengan BUMN
melakukan kegiatan usaha yang menjadi salah satu kekuatan
perekonomian bangsa. Sedangkan kekayaan negara yang dipisahkan
artinya adalah pemisahan kekayaan Negara dari Anggaran Pendapatan dan
Penerimaan Negara pada BUMN.
2
R.T. Sutantya R: Hadikusuma, S.H. dan Dr. Sumantoro, Pengertian Pokok hukum Perusahaan,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.3.
2
2. Bedrijf, yang berarti kesatuan teknik produksi seperti misalnya
Huisvlijt (industri rumah tangga atau rumahan), Nijverheid
(kerajinan atau suatu keterampilan khusus).
3
Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN 2004-2014, hlm.80.
4
“Restrukturisasi BUMN Menjadi Holding Company”, Tim Riset Lembaga Manajemen FEUI.
3
perusahaan5. Holding Company dapat dikatakan sebagai perusahaan induk
yang memegang saham beberapa anak perusahaannya guna meningkatkan
kinerja perusahaan serta memungkinkan terciptanya nilai pasar perusahaan
(market value creation).
5
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, (Jakarta : Rajawali
Pers, 1999) hlm. 153.
6
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013) hlm 51.
4
permasalahan hukum yang timbul atas pembentukan Holding Company
BUMN, karena secara substansial, Peraturan Pemerintah ini bertentangan
dengan peraturan yang berada diatasnya yaitu UU BUMN, UU PT, dan
UU Keuangan Negara. Hal ini tentu akan menimbulkan potensi persoalan
hukum yang dapat muncul terkait kebijakan Holding Company BUMN
yang digagas pemerintah.
Jenis usaha BUMN berbentuk Holding Company yang telah
diwujudkan di Indonesia salah satunya adalah perusahaan minyak dan gas
bumi, yaitu PT. Pertamina (persero) resmi menjadi induk holding dari PT
Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dan PT Pertamina Gas (Pertagas) pada
11 April 2018. Terbentuknya holding BUMN Migas secara hukum terjadi
saat dilakukannya penandatanganan Akta Pengalihan Saham dimana
seluruh hak-hak Negara RI selaku pemegang 56,96% saham Seri B di
PGN secara hukum telah beralih kepada Pertamina. Pembentukan PT.
Pertamina menjadi induk holding perusahaan migas ini dijalankan oleh
Negara menggunakan skema penyertaan modal sesuai dengan yang diatur
di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik
Negara dan Perseroan Terbatas serta peraturan mengenai penyertaan
modal yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2018
tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke
Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina, yang
telah ditandatangani pada 28 Februari 2018.
Pendirian PT Pertamina sebagai Holding Company BUMN pada
bidang migas menuai beberapa kontroversi, diantaranya terkait status dari
anak perusahaan yang tergabung ke dalam konsep Holding Company
BUMN di bawah PT Pertamina ini. Dimana sampai saat ini, PT Pertamina
telah memiliki beberapa perusahaan subholding dibawahnya termasuk
PGN seperti yang telah dibahas sebelumnya. Timbulnya pertentangan ini
disebabkan karena adanya ketidaksesuaian antara landasan yang menjadi
5
payung hukum terbentuknya PT Pertamina sebagai Holding Company
BUMN Migas, dengan peraturan-peraturan lain diatasnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
membuat penulisan hukum berjudul “KAJIAN YURIDIS TERHADAP
PEMBENTUKAN HOLDING COMPANY PADA PT PERTAMINA”.
6
B. Rumusan Masalah
7
Diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis, dan khususnya bagi pembaca yang sedang
membutuhkan bahan dalam keingintahuannya.
b. Manfaat Praktis
Diharapakan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan membantu
peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian lebih lanjut di
bidang pengaturan Holding Company khususnya bagi perusahaan
BUMN.
D. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini adalah bagian pembuka, dimana dalam bab ini akan diuraikan
tentang pendahuluan, yang dirinci dalam beberapa sub, yaitu: Latar
Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Sistematika Penulisan.
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai peraturan yang mendasari serta
berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Bab ini akan
menjelaskan tentang Kajian Umum mengenai Badan Usaha Milik Negara,
Kajian Umum mengenai Holding Company, dan Kajian Umum mengenai
PT Pertamina Indonesia.
8
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan disajikan mengenai hasil penelitian dan pembahasannya
yang didasari pada data-data yang diperoleh dari penelitian. Pembahasan
dilakukan dengan mengolah dan menganilisis data yang diperoleh untuk
memecah pokok permasalahan.
BAB V : PENUTUP
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
Dr.Toto Pranoto, Holding Company BUMN : Konsep, Implementasi, dan Benchmarking, (Jakarta
: Lembaga Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017), hlm4.
10
mewujudkan kemakmuran rakyat. Maka dari itu, BUMN bukan hanya
sebuah perusahaan yang hanya mencari keuntungan, namun juga dapat
berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan menyediakan barang maupun
jasa untuk masyarakat.
2. Tujuan Badan Usaha Milik Negara
Sebagai milik negara, BUMN berdiri dan beroperasi dengan
memegang tujuan-tujuan penting. Adapun tujuan tersebut tidak dapat
dipisahkan dari dasar filosofis pendiriannya, sebagaimana tertuang dalam
Pasal 33 UUD 1945 khususnya ayat (2) dan (3) yaitu : “Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh Negara. Selanjutnya, bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
11
Diharapkan dengan adanya tujuan seperti ini, hasil kegiatam usaha
BUMN baik pada bidang jasa maupun barang dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa dengan jumlah yang tepat
dan harga terjangkau serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi.
Kegiatan yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan
koperasi dalam hal ini adalah segala kegiatan usaha yang kurang
menguntungkan secara komersial bagi sektor swasta dan koperasi.
BUMN diharapkan menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha tersebut
dan peran BUMN dalam perkembangan daerah semakin meningkat.
e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Salah satu fungsi BUMN adalah pelayanan kemanfaatan umum untuk
melaksanakan program kemitraan dengan pengusaha golongan
ekonomi lemah dan masyarakat. Diharapkan BUMN dapat menjadi
teladan serta penolong bagi pengusaha golongan ekonomi lemah,
koperasi dan masyarakat.
12
kepentingan umum serta mencari keuntungan sebanyak mungkin.
Kepemilikan Perum seluruhnya dimiliki oleh pemerintah, sehingga
kekayaan Perum dipisahkan dari aset negara karena Perum merupakan
badan hukum. Perum bergerak pada bidang produksi, penyedia layanan
atau bidang ekonomi lainnya yang dapat memenuhi dua tujuan utama
Perum. Adapun pengaturan mengenai Perum diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum. Contoh
dari BUMN Perum adalah : Perum Pegadaian, Perum Bulog, Perum
Pelayaran dan sebagainya.
b. Perusahaan Perseroan (Persero)
Berbeda dengan Perum, Persero adalah perusahaan negara yang
modal atau sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh pemerintah dan
sisanya dari pihak lain. Pengaturan khusus mengenai perseroan diatur
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Contoh dari BUMN Perseroan yaitu PT. Pertamina, PT
Kereta Api Indonesia, PT Pos Indonesia, PT Semen Gresik dan lain
sebagainya.
13
Peraturan perundangan yang terkait meliputi : Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha
Negara Menjadi Undang-Undang, serta Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan
Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan
Perseroan (Persero).
b. Mulai tahun 1993-1998
Pada masa ini, lembaga yang menangani pembinaan pada Departemen
Keuangan berubah menjadi Tingkat Eselon I, yakni Direktorat Jenderal
Pembinaan BUMN. Pada tahun 1998, setelah ditetapkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan
Umum, pembinaan teknis maupun keuangan dilakukan oleh
Departemen Keuangan yaitu Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN.
Sedangkan Departemen Teknis berperan sebagai regulator.
c. Sejak tahun 1998 hingga saat ini
Sampai saat ini, lembaga yang menangani pembinaan BUMN adalah
Kementerian Negara BUMN, kecuali pada tahun 2001, pembinaan
kembali dilakukan oleh lembaga setingkat Eselon I pada Departemen
Keuangan, yakni Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN.
14
B. Tinjauan Umum Perseroan Terbatas
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Perseroan Terbatas, selanjutnya disebut PT adalah perusahaan yang
modalnya terdiri dari saham-saham dan tanggung jawab dari sekutu
pemegang saham terbatas, yang sesuai dengan jumlah saham yang
dimilikinya. Istilah perseroan pada perseroan terbatas menunjuk pada cara
penentuan modal pada badan hukum itu yang terdiri dari sero-sero atau
saham-saham dan istilah terbatas menunjukkan pada batas tanggung jawab
para persero yang dimiliki, yaitu hanya terbatas pada jumlah nilai nominal
dari semua saham-saham yang dimiliki.
Sejarah awal pengaturan mengenai PT sebenarnya dimulai dari
KUHD. Dimana tercantum bahwa suatu badan usaha dapat disebut PT
apabila memiliki ciri ciri antara lain sebagai berikut :
(1) Badan usaha dapat disebut sebagai PT apabila kekayaan badan
usaha yang dimiliki terpisah dari kekayaan pribadi masing-
masing persero (pemegang saham), yang bertujuan untuk
membentuk sejumlah dana sebagai jaminan bagi perseroan.
(2) Disebut sebagai PT apabila adanya persero yang tanggung
jawabnya terbatas pada jumlah nominal saham yang
dimilikinya, dan RUPS merupakan kekuasaan tertinggi dalam
organisasi perseroan, yang memiliki kewenangan mengangkat
dan memberhentikan Komisaris dan Direksi, berhak
menetapkan garis-garis besar kebijaksanaan pengelolaan
perusahaan dan memilikiyang belum ditetapkan dalam
Anggaran Dasar dan hal lainnya yang berkaitan dengan
pengelolaan perseroan. kewenangan menetapkan hal-hal yang
belum ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan hal lainnya yang
berkaitan dengan pengelolaan perseroan.
(3) Badan usaha dapat disebut sebagai PT apabila pengurus
(Direksi dan Komisaris) yang merupakan satu kesatuan
pengurusan dan pengawasan terhadap perseroan tanggung
15
jawabnya terbatas pada tugasnya, yaitu harus sesuai dengan
Anggaran Dasar atau keputusan RUPS.
8
Ahmad Yani dan Widjaya Gunawan, 2000, Seri Hukum Bisnis : Perseroan Terbatas, PT.
Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 7.
16
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang
Perseroan Terbatas (PT) mengatur pengertian PT yaitu “badan hukum
yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan
modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya”. Dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah badan usaha
dapat dikatakan PT apabila memenuhi unsur :
17
perseroan minimal Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah).
4) Modal terbagi atas saham
5) Memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 ini serta peraturan
pelaksanaannya.
b. Kekayaan tersendiri.
18
Perseroan memiliki kekayaan tersendiri berupa modal dasar yang
terdiri dari seluruh nilai nominal saham (pasal 31 ayat (1) UUPT)
dan kekayaan dalam bentuk lain yang berupa benda bergerak atau
tidak bergerak. Kekayaan tersendiri perseroan tersebut memberikan
konsekuensi yuridis bagi perseroan terkait pertanggung
jawabannya sebagai debitur/pihak ketiga yaitu hanya sebatas
kekayaan yang dimiliki oleh perseroan saja.
2. Kepemilikan Saham
Bentuk dan mekanisme perseroan memiliki keunikan yaitu
modalnya terbagi atas saham. Artinya, semua bentuk penanaman modal
pada perseroan itu dihitung lalu dibagi menjadi saham-saham. Saham
dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau kepemilikan
seseorang/badan hukum dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas.
Porsi kepemilikan saham ditentukan berdasarkan seberapa besar
penyertaan yang ditanamkan didalam perusahaan tersebut. Dalam PT
tertutup, saham hanya dapat dialihkan melalui RUPS untuk selanjutnya
9
Mulhadi, 2010, Hukum Perusahaan (Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia), Ghalia
Indonesia, Bogor, hal. 83.
19
dilakukan perubahan anggaran dasar perseroan, sedangkan saham pada PT
terbuka sangatlah beraneka ragam dan lebih rumit.
Jenis-jenis saham dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
(1) Saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;
(2) Saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota direksi
dan/atau anggota dewan komisaris;
(3) Saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau
ditukar dengan klasifikasi saham lain;
(4) Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas
pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif;
(5) Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian
sisa kekayaan perseroan dalam likuidasi10.
Sebagian besar jenis – jenis saham diatas adalah saham yang dapat
ditemukan di perseroan yang telah go public, artinya perseroan tersebut
telah menjual sahamnya dan telah terdaftar di pasar modal.
3. Karakteristik Perseroan
Para pengusaha dalam melangsungkan suatu usaha, membutuhkan
suatu wadah untuk dapat bertindak dan melakukan perbuatan hukum.
Pemilihan jenis badan usaha ataupun badan hukum yang akan dijadikan
sebagai sarana usaha tergantung pada keperluan para pihak yang
berkepentingan. Sarana usaha yang paling populer digunakan adalah
perseroan terbatas (PT), karena memiliki sifat, ciri khas dan keistimewaan
yang tidak dimiliki oleh bentuk badan usaha lainnya, antara lain:
a. Merupakan persekutuan yang berbadan hukum.
b. Merupakan kumpulan dari modal/saham,
10
Jamin Ginting, 2007, Hukum Perseroan Terbatas (UU 40 Tahun 2007), PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 76.
20
c. Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan para
pemegang sahamnya,
d. Pemegang saham memiliki tanggung jawab terbatas,
e. Adanya pemisahan fungsi antara pemegang saham dan
pengurus perseroan atau direksi,
f. Memiliki komisaris yang bertugas sebagai pengawas
pengelolaan perseroan,
g. Kekuasaan tertinggi terletak pada RUPS.
21
f. Struktur kepengurusan perseroan adalah adanya direktur
minimal 1 orang dan 1 orang komisaris (pasal 92 ayat (3)
dan pasal 108 ayat (3) UUPT)
22
C. Tinjauan Umum Holding Company
1. Pengertian Holding Company
Penulis akan membedah kata Holding Company sebagai batasan
sebelum membahas mengenai Holding Company, dimana Holding
Company merupakan gabungan dari suku kata holding dan company. Kata
holding berarti pengaruh atau jumlah saham yang dimiliki dan dipegang
oleh seseorang dalam menjalankan roda perusahaan. Sedangkan bila
dikaitkan dengan company, berarti bahwa suatu usaha dalam bentuk badan
hukum dan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya
mempunyai ikatan terutama dalam hal produksi. Oleh karena itu, company
juga disebut maskapai yakni perusahaan yang terkait dalam satu grup.
Dengan demikian, Holding Company adalah lebih dari satu perusahaan
yang saling terkait terutama dalam hal produksi hasil usahanya.
Holding Company adalah sebuah perusahaan yang memiliki saham
pada satu atau lebih perusahaan dan/atau mengatur perusahaan lain
tersebut11. Pembentukan holding merupakan strategi pada level korporasi
(corporate level strategy) yang mana perusahaan dari berbagai lini bisnis
digabungkan, dan dibentuk suatu induk perusahaan yang menaungi
perusahaan-perusahaan tersebut. Pembentukan holding BUMN merupakan
sebuah upaya Pemerintah untuk melakukan rightsizing BUMN guna
meningkatkan value creation BUMN.
Holding Company memiliki konsentrasi saham-saham yang
bertujuan untuk mencapai pengaruh pada perusahaan tertentu dengan
maksud untuk mengendalikannya. Holding Company merupakan
perusahaan mandiri, yang mengeluarkan saham-saham badan usaha lain
dan dividen yang tercapai dengannya. Dimana perusahaan induk dengan
kepemilikan saham 40% hingga 50% dapat mengendalikan anak
perusahaannya.
2. Jenis-Jenis Holding Company
11
Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 2008), hlm. 83.
23
Holding Company sendiri dapat dikelompokkan menjadi beberapa
jenis, yaitu berdasarkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan,
keterlibatan saham, dan keterlibatan dalam berbisnis dengan penjelasan
sebagai berikut :
a. Berdasarkan Keterlibatan dalam Pengambilan Keputusan
Dalam kategori ini, Holding Company dapat dibedakan menjadi :
1) Holding Company Investasi (Pemegang Saham Pasif)
Kepemilikan saham anak perusahaan oleh perusahaan holding
disini hanya untuk tujuan investasi saja dan tidak turut campur
tangan pada kegiatan manajemen dari perusahaan anak tersebut.
2) Holding Company Manajemen
Perusahaan holding disini ikut andil atau mengawasi pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh anak perusahaan.
b. Berdasarkan Kegiatan Perusahaan Induk
Berdasarkan kegiatan dari perusahaan induk, Holding Company dapat
dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Investment Holding Company
Pada kategori ini, perusahaan holding melakukan penyertaan
saham kepada anak perusahaan tanpa melakukan kegiatan
operasional, dan mendapat keuntungan hanya dari deviden yang
diberikan anak perusahaan.
2) Operating Holding Company
Pada jenis ini, perusahaan holding menjalankan kegiatan usaha
serta turut mengatur anak perusahaan.
c. Berdasarkan Sifat
Berdasarkan sifatnya, Holding Company dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu :12
1) Grup Usaha Vertikal
12
Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2010), hlm 25.
24
Jenis usaha masing-masing perusahaan dalam grup ini masih
tergolong serupa, hanya produk yang dihasilkan saja yang berbeda.
Pada umumnya grup usaha ini menguasai suatu jenis produksi dari
awal sampai akhir.
2) Grup Usaha Horizontal
Dalam grup usaha ini, jenis usaha dari masing-masing perusahaan
sangat berbeda dan tidak berkaitan sama sekali antara satu dengan
lainnya.
3) Grup Usaha Kombinasi
Di dalam grup ini, terdapat beberapa perusahaan yang memiliki
jenis usaha serupa, namun beberapa perusahaan lainnya tidak
memiliki kesamaan jenis usaha dan tidak berkaitan antara satu
dengan lainnya.
d. Berdasarkan Keterlibatan Saham
Dilihat dari sejauh mana Holding Company terlibat dalam saham,
maka dapat dibedakan sebagai berikut :13
1) Holding Company Afiliasi
Perusahaan holding disini memegang saham sebanyak kurang dari
51% saham milik anak perusahaannya.
2) Holding Company Subsidiary
Dalam kategori ini, perusahaan holding memiliki 51% bahkan
lebih saham dari anak perusahaannya.
3) Holding Company Non-Kompetitif
Holding Company dalam kategori ini memiiliki kurang dari 51%
saham anak perusahaannya, tetapi tetap tidak kompetitif dengan
pemengang saham lainnya.
4) Holding Company Kombinasi
Perusahaan holding ini adalah kombinasi dari ketiga jenis Holding
Company di atas, dimana perusahaan holding memegang saham
13
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 2002), hlm. 95-103.
25
pada beberapa anak perusahaan sekaligus memiliki 51% saham
bahkan lebih, dan ada pula yang memiliki kurang dari 51% saham
anak perusahaannya, bersifat kompetitif dan non-kompetitif.
e. Berdasarkan Keterlibatan dalam Berbisnis
Dilihat dari keterlibatan perusahaan holding dalam berbisnis, dapat
dikategorikan menjadi :
1) Holding Company Semata
Secara de facto, perusahaan holding kategori ini tidak melakukan
bisnis sendiri dalam praktek, dan hanya memegang saham serta
mengontrol anak perusahaannya.
2) Holding Company Beroperasi
Selain memegang saham dan mengontrol anak perusahaannya,
perusahaan holding kategori ini juga melakukan bisnis sendiri.
14
Andri Irawan, Kualitas Pelayanan PT Pertamina (Persero) Dalam Penyaluran Bahan Bakar
Minyak (BBM) di Kabupaten Merauke, (Merauke: Madani Jurnal Politik Sosian dan Masyarakat,
2019), hlm. 154.
26
2. Sejarah PT Pertamina
27
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang
Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Negara (PERTAMINA) Menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO),
pada tanggal 18 Juni 2003, Perusahaan Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi Negara berubah nama menjadi PT Pertamina (Persero)
yang melakukan kegiatan usaha migas pada Sekotr Hulu hingga
Sektor Hilir. Pada 10 Desember 2005, Pertamina mengubah lambang
kuda laut menjadi anak panah dengan warna dasar hijau, biru, dan
merah yang merefleksikan unsur dinamis dan kepedulian lingkungan.
d) Tahun 2006
Pada tanggal 20 Juli 2006, PT Pertamina (Persero) melakukan
transformasi fundamental dan usaha perusahaan. PT Pertamina
(Persero) mengubah visi Perusahaan yaitu “Menjadi Perusahaan
Minyak Nasional Kelas Dunia” pada 10 Desember 2007. Pertamina
melalui anak usaha PT Pertamina International EP mengakuisisi
saham perusahaan migas Prancis Maurel et Prom (M&P) dengan
kepemilikan saham sebesar 72,65% saham pada tanggal 10 Desember
2007. Kemudian tahun 2011, Pertamina menyempurnakan visinya,
yaitu “Menjadi Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia”. Melalui
RUPSLB (Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa) tanggal 19 Juli
2012, Pertamina menambah modal ditempatkan dan modal disetor,
serta memperluas kegiatan usaha Perusahaan.
e) Tahun 2015
Tanggal 14 Desember 2015, Menteri BUMN dalam RUPS menyetujui
perubahan Anggaran Dasar Pertamina dalam hal optimalisasi
pemanfaatan sumber daya, peningkatan modal ditempatkan dan
diambil bagian oleh negara serta perbuatan-perbuatan direksi yang
membutuhkan persetujuan tertulis dewan komisaris.
f) Tahun 2016
Pada 24 November 2016, Menteri BUMN pada RUPS sesuai dengan
SK BUMN Nomor S-690/MBU/11/2016, menyetujui perubahan
28
Anggaran Dasar Pertamina terkait dengan komposisi direksi dan
dewan komisaris, kewenangan atas nama direktur utama, pembagian
tugas dan wewenang direksi, kehadiran rapat direktur utama dan
dewan komisaris.
g) Tahun 2017
Pada 2017, salah satu langkah nyata mewujudkan visi menjadi
perusahaan energi nasional kelas dunia adalah keberhasilan
menuntaskan akuisisi saham perusahaan migas Prancis Maurel et
Prom (M&P). Terhitung mulai 1 Februari 2017 melalui anak usaha PT
Pertamina International EP, Pertamina menjadi pemegang saham
mayoritas M&P dengan 72,65% saham. Melalui kepemilikan saham
mayoritas di M&P, Pertamina memiliki akses operasi di 12 negara
yang tersebar di 4 benua. Pada masa mendatang, Pertamina
menargetkan produksi 650 ribu BOEPD (Barrels of Oil Equivalents
Per Day) di 2025 dari operasi internasional, sebagai bagian dari target
produksi Pertamina 1,9 juta BOEPD di 2025, dalam upaya nyata
menuju ketahanan dan kemandirian energi Indonesia.
h) Tahun 2020
Melanjutkan transformasi perusahaan untuk menjadi perusahaan kelas
dunia, Pada 12 Juni 2020, pemegang saham (Pemerintah melalui
Kementerian BUMN) menetapkan struktur baru perusahaan. Dimana
kini, Pertamina berlaku sebagai holding yang memiliki lima
subholding, yaitu Upstream Subholding yang operasionalnya
diserahkan kepada PT Pertamina Hulu Energi, Gas Subholding (PT
Perusahaan Gas Negara), Refinery & Petrochemical Subholding (PT
Kilang Pertamina Internasional), Power & NRE Subholding (PT
Pertamina Power Indonesia) dan Commercial & Trading Subholding
(PT Patra Niaga). Selain itu juga terdapat ShiPeraturan Pemerintahing
Company yang operasionalnya diserahkan kepada PT Pertamina
International ShiPeraturan Pemerintahing.
29
3. Bidang Usaha Pertamina
30
Pemerintah No. 45 tahun 2001 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah No. 12 tahun 1998 dan peralihannya berdasarkan Peraturan
Pemerintah No.31 Tahun 2003 "Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan
Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (Pertamina) Menjadi
Perusahaan Perseroan (Persero)" Sesuai akta pendiriannya, maksud dari
Perusahaan Perseroan adalah untuk menyelenggarakan usaha di bidang
minyak dan gas bumi, baik di dalam maupun di luar negeri serta kegiatan
usaha lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang minyak
dan gas bumi tersebut.
31
BAB III
Metode Penelitian
15
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, hlm. 295.
16
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 13-14.
32
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan deskriptif analisis yaitu metode
penelitian yang digunakan bertujuan untuk melukiskan sesuatu permalasahan
di daerah tertentu atau pada saat tertentu. Peneliti berusaha mengungkapkan
fakta selengkap-lengkapnya dan apa adanya 17. Penelitian deskriptif bertujuan
menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik
mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Data yang dikumpulkan
semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan,
menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi.
17
Suteki dan Galang Taufani. 2018. Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, Teori, dan Praktik,
(Depok: Rajawali Press), Hlm 133.
33
f. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha
Milik Negara dan Perseroan Terbatas;
g. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor :
PER-03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota
Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan
Usaha Milik Negara.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami
bahan hukum primer, terdiri dari:
a. Buku-buku bacaan yang terkait dengan judul
b. Jurnal-jurnal hukum yang terkait dengan judul
c. Berita yang faktual dan terkait dengan judul
d. Makalah yang terkait dengan judul
e. Tulisan ilmiah yang berkaitan dengan materi penelitian
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
terdiri dari :
a. Kamus Besar Bahasa Indonesia
b. Kamus Ilmiah Populer
c. Kamus Hukum
d. Ensikopledia Hukum
4. Internet
Pentingnya penggunaan internet untuk penelitian hukum berkaitan
dengan kemudahan untuk mendapatkan bahan hukum. Penjelajahan
internet sebenarnya hampir sama dengan studi kepustakaan yaitu sama-
sama mencari bahan pustaka. Dalam menjelajahi internet, peneliti
melakukan penelusuran terhadap data-data yang berhubungan dengan
pokok permasalahan.
34
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan ini, dilakukan melalui penelitian
kepustakaan, dimana data dikumpulkan sebanyak mungkin melalui proses
membaca serta mengutip bahan hukum primer dan sekunder mengenai
masalah yang berhubungan dengan penelitian kemudian data-data tersebut
penulis analisa dan kembangkan.
E. Metode Analisis Data
Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Pekerjaan analisis data dalam hal ini ialah mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberikan kode dan mengkategorikannya.
Pengorganisasian dan pengelolaan data tersebut bertujuan menemukan tema
dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif18.
Penelitian ini bersifat kualitatif dikarenakan penelitian ini lebih
menitikberatkan atau mengandalkan pada kedalaman data bukan banyaknya
data yang diperoleh. Teknik analisis data yang digunakan adalah logika
deduktif, dimana teknik ini menjelaskan suatu hal yang bersifat umum dan
kemudian akan ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Analisis dilakukan dengan mengkaji serta menelaah peraturan
perundang-undangan serta pendapat ahli yang berkaitan dengan judul karya
ilmiah ini. Kemudian dilanjutkan dengan mengkaji dan menelaah bagaimana
pembentukan PT Pertamina menjadi Holding Company, serta mengaitkannya
dengan peraturan perundangan yang berlaku dan selanjutnya ditarik
kesimpulan mengenai topologi strategis apa yang digunakan dalam
pembentukan PT Pertamina sebagai perusahaan holding serta dampak yang
ditimbulkan dari kegiatan tersebut.
18
Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999),
halaman 103.
35
BAB IV
36
Terdapat dua hal yang menjadi perhatian khusus apabila
menjadikan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT
sebagai payung hukum pembentukan Holding Company BUMN. Yang
pertama terkait dengan perubahan kekayaan negara menjadi aset BUMN
dan PT, menurut Dr. Toto Pranoto dalam bukunya “Holding Company
BUMN ; Konsep, Implementasi, dan Benchmarking” menyebutkan bahwa
perubahan ini tidak dapat langsung dieksekusi oleh pemerintah karena
perubahan kekayaan tersebut harus dibahas dengan DPR melalui Komisi
VI dan Komisi XI sesuai amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang Keuangan Negara. Ini artinya terdapat paradox antara Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2007, dimana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia,
posisi Undang-Undang lebih tinggi daripada Peraturan Pemerintah,
sehingga Undang-Undang harus menjadi rujukan pertama apabila ada hal
yang bertolak belakang19.
Perihal kedua yang menjadi poin perhatian adalah terkait status
anak perusahaan BUMN, dimana menurut Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang BUMN, anak perusahaan dari Holding Company
BUMN bukanlah termasuk dalam BUMN, sehingga tidak dapat
diperlakukan selayaknya BUMN, khususnya dalam hal penugasan dan
pengelolaan sumber daya strategis. Namun sebagaimana tertulis pada
Pasal 33 ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tertulis bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara”, maka dari itu dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa seluruh
19
Dr.Toto Pranoto, Holding Company BUMN; Konsep, Implementasi, dan Benchmarking, (Jakarta :
LMFEUI, 2017), hal 95.
37
aset strategis nasional harus dikelola oleh negara, oleh negara dalam hal
ini adalah melalui BUMN20.
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam
dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat. Sehingga monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan
hubungan hukumnya berada pada negara. Dalam Pasal 33 ini menjelaskan
bahwa perekonomian indonesia akan ditopang oleh 3 pelaku utama yaitu
Koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan Swasta
yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme
pasar, serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik
perseorangan.
Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (2) dan
(3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk
kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan
pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan
mayoritas masyarakat, dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Beberapa poin kritis dapat timbul apabila Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 2016 ini dibedah lebih dalam. Yang pertama, pada Pasal
2A ayat (3 dan 4), dimana penyertaan modal negara di BUMN berubah
menjadi kekayaan BUMN atau PT. Kemudian pada Pasal 2A ayat (7)
mengenai perlakuan terhadap anak usaha BUMN, dimana dituliskan pada
intinya anak BUMN diperlakukan seperti BUMN dalam hal mendapatkan
penugasan pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum serta
mendapatkan kebijakan negara termasuk dalam pengelolaan sumber daya
alam. Artinya, sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Keuangan Negara, apabila
peruntukan dana APBN berubah, maka harus melalui pembahasan dengan
DPR.
20
Ibid, hal 96.
38
Agus Pambagio mengatakan bahwa pada Pasal 2A ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 disebutkan bahwa
“penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa
saham milik negara pada BUMN atau PT sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf d, kepada BUMN atau PT lain dilakukan oleh
pemerintah pusat tanpa melalui APBN”. Dimana artinya ini menandakan
tidak adanya peran DPR dalam merumuskan kebijakan strategis tersebut.
Pasal 2A ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016
menyebutkan “Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara
pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian
besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi
anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham
dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar”. Serta pada Pasal
2A ayat (3) : “kekayaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN atau Perseroan
Terbatas, bertransformasi menjadi saham/ modal negara pada BUMN atau
Perseroan Terbatas tersebut”. Terlihat bahwa mekanisme inbreng
(pemasukan barang sebagai modal perusahaan) kekayaan negara berupa
saham di suatu BUMN, misalnya aset BUMN X dipindahkan ke BUMN
Y, sehingga BUMN Y berubah menjadi swasta atau PT lalu harta
kekayaan negara dapat berubah menjadi kekayaan BUMN atau bahkan PT.
Beberapa hal yang tertulis pada payung hukum Holding Company
BUMN yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 ini perlu
diperhatikan secara khusus oleh pemerintah. Hal ini menjadi penting
sebagai upaya pemerintah untuk menepis berbagai spekulasi negatif terkait
pembentukan dan pelaksanaan Holding Company BUMN ini. Pelaksanaan
Holding Company BUMN ini harus sesuai dengan tujuan awal
pembentukannya yaitu menjadikan BUMN Indonesia lebih luas dan lincah
dalam bergerak pada persaingan global. Sehingga, semangat perbaikan
39
BUMN Indonesia tidak disalahartikan karena masih belum kuatnya
payung hukum pembentukan Holding Company BUMN ini.
Menurut penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
(PSHK), terdapat sedikitnya beberapa potensi mengenai persoalan hukum
yang mungkin dapat muncul terkait kebijakan Holding Company BUMN
ini. Yang pertama, berkaitan dengan status hukum BUMN, berangkat dari
definisi BUMN sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka (1) UU Nomor
19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dengan merujuk pada pasal tersebut,
berarti yang termasuk dalam BUMN hanya perusahaan induknya saja.
Padahal dalam hal ini anak perusahaan juga mengelola sumber daya alam
strategis yang mana hal ini bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD
NRI 1945 yang menyebutkan bahwa “cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.”
Berdasarkan UU BUMN, BUMN mendapatkan penyertaan modal
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Terdapat
multitafsir antara hak dan kewajiban negara terhadap BUMN atas
pengertian “kekayaan negara yang dipisahkan”. Menjadi sebuah
perdebatan apakah pemerintah hanya berfungsi sebagai penatausahaan
atau ikut bertanggung jawab penuh atas pengelolaan kekayaan negara
tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa
kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN termasuk ke dalam
lingkup keuangan negara sehingga kewenangan pengawasan tetap
dilakukan oleh pemerintah.
Kekayaan negara yang telah disertakan menjadi modal BUMN
pengelolaannya tunduk pada paradigma usaha (business judgment rules).
Namun demikian, dengan adanya pemisahan kekayaan negara tersebut,
bukan berarti menjadikan kekayaan BUMN beralih dan terlepas dari
kekayaan negara. Apabila dilihat dari perspektif transaksi, kejadian
tersebut hanya pemisahan yang tidak dapat dikonstruksikan sebagai
pengalihan kepemilikan. Maka dari itu, negara tetap berwenang atas
40
pengawasan terhadap BUMN. BPK juga tetap dapat melakukan
pengawasan terhadap holding BUMN berdasarkan paradigma usaha
(business judgment rules) dengan menilai apakah holding BUMN telah
menerapkan Good Coprorate Governance dalam praktik bisnisnya.
Potensi lain yang mungkin muncul adalah terkait dengan aspek
persaingan usaha tidak sehat sesuai UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Potensi
persaingan usaha yang tidak sehat mencakup struktur pasar menjadi
oligopoli, pembagian wilayah, kepercayaan, integrasi vertikal, pemilikan
saham, serta pengggabungan, peleburan dan pengambilalihan. Dalam
kaitannya dengan praktik persaingan usaha yang tidak sehat, hanya Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) semata yang berwenang dan bisa
menilai potensi Holding Company BUMN dari segi persaingan usaha.
Berdasarkan Pasal 35 huruf e UU Nomor 5 Tahun 1999, KPPU
bisa memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan praktik persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena
itu diperlukan sinergi antara pemerintah dan Peraturan Pemerintah terkait
Holding Company BUMN agar tidak menyebabkan terjadinya praktik
persaingan usaha tidak sehat. Melalui pertimbangan KPPU, diharapkan
pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang mendukung terciptanya
praktik persaingan usaha yang sehat.
Pelanggaran atas hukum persaingan dapat mengakibatkan
hilangnya kesejahteraan dari sebagian konsumen dan/atau pelaku usaha.
Untuk itu, Peraturan Pemerintah sebagai lembaga penegak hukum
persaingan, memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tindakan
administratif untuk mencegah dan/atau mengembalikan kesejahteraan
yang hilang tersebut. Ketentuan mengenai sanksi yang dapat diberikan
oleh Peraturan Pemerintah diatur di dalam Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999
yaitu yang pertama adalah sanksi administratif yang meliputi penetapan
pembatalan perjanjian, perintah untuk menghentikan kegiatan yang
terbukti menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan
41
masyarakat, penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan
badan usaha dan pengambilalihan saham, dan denda serendah-rendahnya
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp
25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Perlu menjadi catatan penting bahwa BUMN bukanlah hanya
merupakan tempat pemerintah untuk berinvestasi atau berusaha dengan
menanamkan modal, tetapi juga memiliki fungsi strategis sebagai alat
negara untuk menjalankan fungsi penguasaan negara dalam aspek
pengelolaan, terutama di dalam sektor strategis. Hal terpenting bagi negara
adalah menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga BUMN tidak boleh
hanya dianggap sebagai korporasi biasa (PT). Oleh karena itu, payung
hukum yang dikeluarkan pemerintah selayaknya dapat menyeimbangkan
dua peran BUMN, yaitu antara kepentingan BUMN untuk semakin lincah
bergerak di dunia bisnis yang semakin kompetitif dan tetap menjadi agen
pembangunan bangsa.
42
2003 tentang BUMN, dimana Holding Company tidak diatur di dalam
Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, melainkan
hanya sedikit menyinggung dalam Pasal 14 mengenai kewenangan RUPS
untuk membentuk anak perusahaan dan Pasal 86 mengenai hasil
privatisasi anak perusahaan yang ditetapkan sebagai dividen interim.
43
saham yang dapat ditempuh oleh BUMN untuk meningkatkan kinerjanya
atau membangun sinergi dengan BUMN lain, yaitu penggabungan,
peleburan, pengambilalihan dan pemisahan.
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan diatur lebih lanjut
di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pembubaran BUMN,
sesuai dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pembubaran BUMN
tersebut, penggabungan, peleburan dan pengambilalihan BUMN memiliki
ketentuan yaitu :
a) Penggabungan yang dilakukan antara perum dengan perum
lainnya, atau persero dengan persero lainnya;
b) Peleburan yang dilakukan antara perum dengan perum lainnya,
atau persero dengan persero lainnya;
c) Pengambilalihan yang dilakukan perum terhadap persero, perum
terhadap perseroan terbatas, persero terhadap persero lainnya,
atau persero terhadap perseroan terbatas.
Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan BUMN hanya
dapat dilakukan dengan persetujuan RUPS untuk persero, dan menteri
untuk perum. Namun untuk pembentukan Holding Company BUMN
hanya bisa ditempuh dengan beberapa metode yaitu pengambilalihan, dan
pemisahan tidak murni (spin off). Mengapa penggabungan dan peleburan
tidak bisa menimbulkan pembentukan Holding Company, karena apabila
menggunakan metode penggabungan, menurut Pasal 1 angka (9) UU PT,
perseroan yang menggabungkan diri aktiva dan pasivanya akan beralih ke
perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan
hukum perseroan yang menggabungkan diri akan berakhir karena hukum.
Artinya, walaupun perseroan yang menerima penggabungan itu memiliki
lebih dari 50% saham perseroan yang menggabungkan diri, tetapi
perseroan yang menerima penggabungan tidak dapat dikatakan sebagai
44
Holding Company karena perseroan yang menerima penggabungan tidak
memiliki anak perusahaan dibawahnya.
Perbuatan hukum peleburan menurut Pasal 1 angka 10 UU PT,
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih
untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang
karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang
meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri
berakhir karena hukum, artinya dengan menggunakan metode peleburan
hanya akan menghasilkan 1 entitas baru, dan entitas atau perusahaan
sebelumnya akan berakhir. Perseroan hasil peleburan tidak dapat dikatakan
sebagai Holding Company karena tidak memiliki anak perusahaan
dibawahnya.
a. Pengambilalihan
45
badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih
saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian
atas Perseroan tersebut.
46
dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh perseroan
melalui direksi perseroan atau langsung dari pemegang
saham. Dimana yang dapat melakukan pengambilalihan
dapat berupa badan hukum atau orang perseorangan.
Pengambilalihan saham yang dimaksud dalam pasal 125
ayat (1) UU PT adalah pengambilalihan yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan
nantinya seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 angka (11)
UU PT. Berikut adalah proses pengambilalihan melalui
direksi perseroan :
Keputusan RUPS
Berdasarkan Pasal 125 ayat (4) UU PT,
pengambilalihan yang dilakukaan oleh badan hukum
berbentuk perseroan, direksi sebelum melakukan
perbuatan hukum pengambilalihan harus berdasarkan
RUPS yang memenuhi kuorum kehadiran dan
ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan
RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 UU PT
yaitu paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau
diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika
disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari
jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar
menentukan kuorum kehadiran atau ketentuan RUPS
yang lebih besar.
Pemberitahuan kepada Direksi Perseroan
Pasal 125 ayat (5) UU PT mengatur bahwa dalam hal
pengambilalihan dilakukan oleh direksi, pihak yang
akan mengambil alih menyampaikan maksudnya untuk
melakukan pengambilalihan kepada direksi perseroan
yang akan diambil alih.
47
Penyusunan Rancangan Pengambilalihan
Sesuai dengan Pasar 125 ayat (6) UU PT, direksi
perseroan yang akan diambilalih dengan persetujuan
komisaris masing-masing perseroan menyusun
rancangan pengambilalihan yang memuat sekurang-
kurangnya :
- Nama dan tempat kedudukan dari Perseroan
yang akan diambilalih dan perseroan yang akan
mengambilalih.
- Alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang
akan mengambilalih dan Direksi Perseroan yang
akan diambilalih.
- Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 ayat (2) UUPT untuk tahun
buku terakhir dari Perseroan yang akan
mengambilalih dan Perseroan yang akan
diambilalih.
- Tata cara penilaian dan konversi saham dari
perseroan yang akan diambilalih terhadap
saham penukarnya apabila pembayaran
pengambilalihan dengan saham.
- Jumlah saham yang akan diambilalih.
- Kesiapan pendanaan.
- Neraca konsolidasi performa Perseroan yang
akan mengambilalih setelah pengambilalihan
yang disusun sesuai dengan prinsip akuntasi
yang berlaku umum di Indonesia.
- Cara penyelesaian hak Pemegang Saham yang
tidak setuju terhadap pengambilalihan
48
- Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban
anggota Direksi, Komisaris dan Karyawan
Perseoran yang diambilalih.
- Perkiraan jangka waktu pelaksanaan
pengambilalihan, termasuk jangka waktu
pemberian kuasa pengalihan saham dari
Pemegang Saham kepada Direksi Perseroan.
- Rancangan perubahan Anggaran Dasar
Perseroan hasil pengambilalihan jika ada.
Pengumuman Ringkasan Rancangan
Kemudian, direksi perseroan wajib mengumumkan
ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat
kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada
karyawan dari perseroan yang akan melakukan
pengambilalihan dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS (Pasal
127 ayat (2) UU PT). Pengumuman tersebut juga
memuat mengenai pemberitahuan bahwa pihak yang
berkepentingan dapat memperoleh rancangan
pengambilalihan di kantor perseroan terhitung sejak
tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS
diselenggarakan.
Pengajuan Keberatan Kreditor
Kreditor dapat mengajukan keberatan terhadap
perseroan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat
belas) hari setelah pengumuman mengenai
pengambilalihan sesuai dengan rancangan tersebut.
Kreditor dianggap setuju dengan pengambilalihan
tersebut apabila kreditor tidak mengajukan keberatan.
Tetapi apabila keberatan kreditor tidak diselesaikan
oleh direksi hingga tanggal RUPS diselenggarakan,
49
maka keberatan tersebut harus disampaikan dalam
RUPS untuk mendapat penyelesaian. Jika penyelesaian
belum tercapai maka pengambilalihan tidak dapat
dilaksanakan.
Pembuatan Akta Pengambilalihan dihadapan Notaris
Menurut Pasal 128 ayat (1) menyatakan, Rancangan
Pengambilalihan yang telah disetujui RUPS dituangkan
ke dalam akta Pengambilalihan yang dibuat dihadapan
notaris dalam bahasa Indonesia.
Pemberitahuan kepada Menteri
Kemudian, salinan akta Pengambilalihan Perseroan
wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan
kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
UUPT. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
29 dan Pasal 30 UUPT mengenai Daftar Perseroan dan
Pengumuman berlaku juga bagi Pengambilalihan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengambilalihan
Perseroan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengumuman Hasil Pengambilalihan
Menurut Pasal 133 ayat (2) UUPT, Direksi Perseroan
yang sahamnya diambilalih wajib mengumumkan hasil
Pengambilalihan tersebut dalam 1 (satu) surat kabar
atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya
Penggambilalihan tersebut.
50
proses Pengambilan saham secara langsung dari Pemegang
Saham dimana prosedurnya dilakukan lebih sederhana :
Perundingan dan kesepakatan
Cara pengambilalihan saham yang dikeluarkan dan/atau
akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui pemengang
saham langsung dilakukan melalui perundingan dan
kesepakatan oleh para pihak yang akan mengambil alih
dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan
anggaran dasar Perseroan yang diambilalih tentang
pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah
dibuat oleh Perseroan dengan Pihak lain (Pasal 125 ayat
(6) dan (7) UUPT). Jika Pengambilalihan tersebut
dilakukan oleh badan hukum berbentuk Perseroan,
sebelumnya Direksi harus mendapat persetujuan RUPS
dahulu sebelum melakukan perundingan dan
kesepakatan pembelian saham yang langsung dari
pemegang saham.
Pengumuman rencana kesepakatan
Tahap selanjutnya, walaupun Pengambilalihan saham
tersebut langsung melalui pemegang saham dan tidak
menyusun rancangan Pengambilalihan dahulu namun
tetap harus mengumumkan rencana kesepakatan
pengambilalihan dalam 1 (satu) surat kabar dan
mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari
Perseroan yang akan melakukan Pengambialihan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sebelum pemanggilan RUPS. Hal ini dilakukan
berdasarkan Pasal 127 ayat (8) UUPT dimana
ketentuan tersebut berlaku mutatis mutandis berlaku
bagi pengumuman dalam rangka Pengambilalihan
51
saham yang dilakukan langsung dari pemegang saham
dalam Perseroan.
Pengajuan keberatan kreditor
Dengan demikian Pasal 127 ayat (2), (3), (5), (6) dan
(7) UUPT juga berlaku. Dalam hal Kreditor yang ingin
mengajukan keberatan kepada Perseroan dapat
mengajukan dalam jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari setelah pengumuman, namun jika
dalam jangka waktu tersebut kreditor tidak mengajukan
keberatan maka kreditor dianggap menyetujui
Pengambilalihan. Dalam hal keberatan kreditor sampai
dengan tanggal diselenggarakan RUPS tidak dapat
diselesaikan oleh Direksi, keberatan tersebut harus
disampaikan dalam RUPS guna mendapat
penyelesaian. Selama penyelesaian tersebut belum
tercapai Pengambilalihan tidak dapat dilaksanakan.
Pembuatan akta pengambilalihan dihadapan notaris
Kemudian, menurut Pasal 128 ayat (2) UUPT, akta
pengambilan saham yang dilakukan langsung dari
pemegang saham wajib dinyatakan dengan akta notaris
dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena Pengambilalihan
dilakukan secara langsung dari pemegang saham, Pasal
131 ayat (2) UUPT menyebutnya akta pemindahan hak
atas saham.
Pemberitahuan kepada menteri
Menurut Pasal 131 ayat (2) UUPT, Salinan akta
pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada
penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang
perubahan susunan pemegang saham.
Pengumuman hasil pengambilalihan
52
Pada tahap terakhir berdasarkan Pasal 133 ayat (2)
UUPT, Direksi Perseroan yang sahamnya diambil alih
wajib mengumumkan hasil Pengambilalihan dalam 1
(satu) Surat Kabar atau lebih, kewajiban untuk
mengumumkan dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
berlakunya Pengambilalihan.
b. Pemisahan
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
(“UU PT”) mendefinisikan Pemisahan sebagai perbuatan hukum
yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang
mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena
hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva
dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu)
Perseroan atau lebih.
UU PT membedakan Pemisahan kedalam 2 (dua) jenis
pemisahan yaitu Pemisahan murni dan Pemisahan tidak murni.
Pemisahan murni adalah Pemisahan yang mengakibatkan seluruh
aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua)
Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan
yang melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena hukum.
Sedangkan pada Pemisahan tidak murni atau spin off adalah
Pemisahan yang mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva
Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan lain
atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang melakukan
Pemisahan tetap ada.
Persamaan dari kedua Pemisahan ini adalah adanya
peralihan karena hukum atas aktiva dan pasiva dari Perseroan yang
melakukan pemisahan. Sedangkan perbedaannya terletak pada
eksistensi Perseroan yang melakukan Pemisahan setelah pemisahan
tersebut dilakukan. Pada Pemisahan murni, Perseroan yang
53
melakukan pemisahan berakhir karena hukum, sedangkan pada
Pemisahan tidak murni, Perseroan yang melakukan Pemisahan
tidak berakhir. Yang dapat menjadi salah satu cara untuk
pembentukan Holding Company BUMN adalah pemisahan tidak
murni (spin off).
Pasal 126 ayat (1) UU PT menyebutkan bahwa perbuatan
hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan
wajib memperhatikan kepentingan beberapa pihak, yaitu :
1. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan
perseroan;
2. kreditur dan mitra usaha lainnya dari perseroan;
3. dan Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan
usaha.
1. Persiapan
Persiapan melakukan pemisahan perusahaan dilakukan dengan
membuat rancangan pemisahan. Kemudian Direksi perusahaan
wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam
1 surat kabar. Bagi kreditur yang keberatan dengan adanya
Pemisahan perusahaan, kreditur dapat mengajukan keberatan
paling lambat 14 hari setelah pengumuman pemisahan sesuai
rancangan pemisahan. Direksi juga mengumumkan secara
tertulis kepada karyawan dari perusahaan yang akan melakukan
pemisahan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sebelum
pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
2. Menyelenggarakan RUPS
54
Selanjutnya, Pemisahan perusahaan harus dilakukan dengan
pengambilan keputusan melalui RUPS. Ketentuan
penyelenggaraan RUPS tertulis pada Pasal 89 UU PT, yaitu
RUPS dilakukan sebagai berikut:
a) Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah
mufakat.
b) RUPS untuk menyetujui pemisahan dilangsungkan
apabila dalam rapat dihadiri paling sedikit ¾ (tiga
perempat) dari jumlah seluruh pemegang saham dengan
hak suara atau diwakili dalam RUPS dan keputusannya
adalah sah apabila disetujui paling sedikit sedikit ¾ (tiga
perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan,
kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran
dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan
keputusan RUPS yang lebih besar.
c) Dalam hal kuorum kehadiran tersebut tidak tercapai,
maka dapat dilakukan RUPS kedua.
d) RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika
dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau
diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika
disetujui oleh paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian
dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran
dasar menentukan korum kehadiran dan/atau ketentuan
tentang persyarataan pengambilan keputusan RUPS yang
lebih besar.
3. Proses pemisahan
Jika semua atau sebagian pemegang saham dalam RUPS telah
sepakat melakukan Pemisahan dan kreditur tidak keberatan,
maka proses Pemisahan dapat dilakukan. Proses Pemisahan
dilakukan dengan mendirikan PT baru. Pendirian PT baru
55
dilakukan dengan menyertakan pemisahan sebagian aktiva dan
pasiva dari PT awal yang dilakukan pemisahan.
4. Pengesahan pemisahan
Pengesahaan Pemisahan dilakukan untuk mendapatkan status
secara hukum. Pengesahan pemisahan perusahaan dilakukan
dengan akta pemisahan yang dibuat di hadapan notaris dalam
bahasa Indonesia.
21
Elia Massa Manik, Pedoman Tata Kelola Perusahaan, (Jakarta : PT Pertamina, 2017), hal i.
56
mengenai pembentukan Subholding, khusunya Pasal 127 Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Pengamat politik anggaran Uchok Sky Khadafi mengatakan bahwa
kajian yang dibuat oleh PT Pertamina tidak cermat dan bertentangan
dengan Undang-Undang. Menurutnya, tindakan Komisaris maupun
Direksi yang tidak melakukan tahapan-tahapan pembentukan subholding
sebagaimana ketentuan Pasal 127 UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas, adalah tindakan perbuatan melawan hukum.22
"Pembentukan subholding-subholding Pertamina ini melawan
hukum. Dan adanya uang negara yang dipergunakan bukan hanya
menghambur-hamburkan uang negara, tapi mengarah kepada potensi
merugikan keuangan negara," ujar Direktur Center for Budget Analysis
(CBA) itu.
CBA dan KAKI Publik sebelumnya sempat melayangkan somasi
terbuka kepada Price Waterhouse Cooper (PWC), Menteri BUMN, Dewan
Komisaris PT Pertamina (Persero), dan Direksi PT Pertamina (Persero).
Somasi tersebut meminta agar dalam waktu 7 x 24 jam untuk:
22
Politik.rmol.id (2020, 16 Oktober). Uchok Sky: Pembentukan Subholding
Pertamina Bertentangan Dengan UU, Harus Dibatalkan.
57
3. Mengembalikan Stuktur Organisasi PT. Pertamina seperti
semula yaitu Direktorat Hulu, Direktorat Pengolahan, Direktorat
Pemasaran Korporat, Direktorat Pemasaran Retail, Direktorat
Keuangan, Direktorat SDM, Direktorat Logistik, SuPeraturan
Pemerintahly Chain dan Infrastruktur, Direktorat Megaproyek
Pengolahan dan Petrokimia, Direktorat Perancanaan Investasi dan
Manajemen Risiko dan Direktorat Manajemen Aset.
23
MKRI.id (2020, 23 November). Ahli: Pembentukan Subholding Pertamina,
Buka Peluang Praktik Unbundling. Diakses pada 4 Juli 2021.
58
Terkait praktik unbundling yang terjadi pada PT Pertamina Persero
ini, Juajir melihat dengan kedudukan subholding yang menjadikannya
serupa perusahaan swasta akan membawa konsekuensi pada penetapan
harga dari bahan bakar minyak dan gas yang diterima rakyat cenderung
ditentukan berdasarkan mekanisme pasar yang berbasis pada profit. Atas
hal ini, ia pun berpendapat, negara akan kehilangan dan kesulitan dalam
menjalankan kebijakan energi nasional, khususnya di bidang minyak dan
gas bumi melalui penugasan-penugasan khusus yang berpihak pada
kepentingan rakyat. Jika hal ini terjadi, ia pun menilai akan ada
konsekuensi terjadinya praktik pengelolaan minyak dan gas bumi yang
tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.
59
gas bumi sebagai cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak, menjadi tidak sepenuhnya berada
dalam penguasaan negara. Artinya, negara kehilangan kontrol langsung
karena pembentukan subholding dan anak-anak perusahan tersebut telah
mendegradasi kedudukan hukum PT Pertamina (Persero), yang awalnya
merupakan operating Holding Company menjadi strategic Holding
Company.
60
Minyak dan Gas, dan UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.
Rencana Menteri BUMN untuk melakukan IPO terhadap
subholding PT Pertamina juga sudah tepat, karena menurut Mamit
Setiawan, melalui IPO PT Pertamina bisa mendapatkan pembiayaan tanpa
menerbitkan surat hutang untuk mengerjakan blok blok besar yang
membutuhkan biaya yang besar pula.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat ahli yang
pro dan kontra mengenai pembentukan subholding PT Pertamina ini
adalah, dalam restrukturisasi PT Pertamina sebagai Holding Company
BUMN, Pembentukan Subholding PT Pertamina dinilai oleh beberapa
pakar telah melanggar hukum atau Undang Undang yang berlaku di
Indonesia, karena peraturan dan mekanismenya yang belum jelas. Namun
pendapat dari beberapa pakar yang menilai bahwa PT Pertamina
melanggar Undang-Undang khususnya UU PT tersebut terpatahkan.
Mengenai pendapat para pakar yang menilai bahwa pembentukan
subholding PT Pertamina tidak sesuai dengan Undang-Undang, hal itu
merupakan murni pendapat dari para pakart tersebut yang disampaikan
ketika proses pembentukan subholding ini belum final. Karena pada
akhirnya pembentukan subholding PT Pertamina tetap dilaksanakan dan
tidak terbukti melanggar hukum maupun ketentuan manapun yang berlaku
di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena PT Pertamina yang
mempertimbangkan pendapat pendapat kontra yang kritis dari beberapa
ahli yang telah penulis sampaikan di atas.
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Pertamina pada awal
bulan Juni 2020 lalu, telah menyepakati pemangkasan jumlah direksi dari
PT Pertamina.24 Direksi Pertamina yang semula berjumlah 11 (sebelas)
orang, kini tinggal 6 (enam) orang direksi atau berkurang separuhnya.
24
Teropongsenayan.com (2020, 16 Oktober). Berpotensi Rugikan Keuangan
Negara, Pertamina Didesak Batalkan Pembentukan Subholding. Diakses pada 3
Juli 2021
61
Dalam keterangan resmi perusahaan dijelaskan direktorat operasional yang
sebelumnya ada di PT Pertamina akan masuk ke dalam beberapa
subholding yang telah dibentuk yaitu subholding upstream, subholding
refinery & petrochemical, subholding commercial & trading, subholding
power & new and renewable energi, serta shipping company.
Semua subholding tersebut akan menjalankan bisnis bersama
dengan subholding gas yang sebelumnya telah terbentuk di bawah
Pertamina melalui PT Perusahaan Gas Negara Tbk sejak tahun 2018. Pada
intinya, pembentukan holding dan subholding PT Pertamina tidak
menyalahi aturan apapun, dan telah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia.
25
PT Pertamina (Persero), Code of Corporate Governance : Tata Kelola Perusahaan.
62
Digunakannya Peraturan Pemerintah tersebut sebagai payung
hukum Holding Company BUMN tidak serta merta menyelesaikan
permasalahan hukum yang timbul atas pembentukan holding BUMN,
karena secara substansial, Peraturan Pemerintah ini bertentangan dengan
peraturan yang ada diatasnya yaitu UU BUMN, UU PT, dan UU
Keuangan Negara.
Terkait status anak perusahaan BUMN, menurut UU No 19 Tahun
2003 tentang BUMN, anak perusahaan BUMN bukanlah termasuk dalam
BUMN, sehingga tidak dapat diperlakukan selayaknya BUMN, khususnya
dalam hal penugasan dan pengelolaan sumber daya strategis. Padahal
Pasal 33 UUD 1945, mengamanatkan bahwa seluruh aset strategis
nasional harus dikelola oleh negara, dalam hal ini melalui BUMN.
Berdasarkan UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, Pertamina
hanya boleh dikuasai 100% oleh negara karena bidang yang dikelola oleh
PT Pertamina adalah bidang yang sangat strategis dan menyangkut hajat
hidup orang banyak. Sedangkan menurut UU No. 19 Tahun 2003 tentang
BUMN, anak perusahaan BUMN bukanlah termasuk BUMN, sehingga
timbul pertanyaan bagaimana mungkin sebuah perusahaan yang tidak
dikelola oleh pemerintah dapat menjalankan dan mengelola minyak dan
gas bumi yang mana sesuai UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas
termasuk ke dalam sumber daya strategis yang menyangkut hajat hidup
orang banyak.
Timbul sebuah pertanyaan besar, yaitu apakah PT Pertamina dapat
dikatakan melanggar hukum khususnya Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi? Hal ini dapat terjawab dengan melihat dari
pengertian anak perusahaan BUMN itu sendiri menurut Undang-Undang.
Pengertian dari anak perusahaan BUMN diatur dalam Peraturan
Menteri Negara BUMN No. PER-03/MBU/2012 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris
Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (“Permeneg BUMN
63
3/2012”). Di dalam Pasal 1 angka 2 Permeneg BUMN 3/2012 dijelaskan
bahwa Anak Perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian
besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang
dikendalikan oleh BUMN.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah jelas bahwa anak perusahaan
BUMN (termasuk BUMN Persero) tidak termasuk BUMN karena
sahamnya tidak dimiliki oleh negara secara langsung, melainkan saham
anak perusahaan tersebut dimiliki oleh BUMN induk diatasnya. Jadi
walaupun anak perusahaan dari Holding Company BUMN bukanlah
termasuk BUMN, tetapi anak perusahaan tersebut dikendalikan oleh induk
perusahan diatasnya yang secara tidak langsung berarti dikendalikan pula
oleh pemerintah.
Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) UU BUMN, Menteri BUMN
memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan Direksi
serta Komisaris BUMN Persero yang sahamnya dimiliki langsung oleh
Negara. Mengenai kewenangan menteri terhadap anak perusahaan yang
bukan merupakan BUMN, khususnya untuk mengangkat dan
memberhentikan Direksi serta Komisaris BUMN Persero secara logika,
Menteri tidak memiliki kewenangan terhadap Anak Perusahaan BUMN
karena selain bukan berstatus sebagai BUMN, Anak Perusahaan BUMN
tidak dimiliki sahamnya oleh Negara.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UU BUMN Menteri (dalam hal ini
Menteri Negara BUMN) bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham
Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada
Persero dan perseroan terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki
oleh Negara. Apabila dalam Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh
Negara, maka Menteri bertindak sebagai RUPS, sehingga dalam hal ini
Menteri berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan Direksi (Pasal
15 UU BUMN), serta mengangkat dan memberhentikan Komisaris (Pasal
27 UU BUMN).
Pasal 2 ayat (2) Permeneg BUMN 3/2012 menyebutkan:
64
“Pengangkatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Anak
Perusahaan dilakukan oleh RUPS Anak Perusahaan yang bersangkutan
melalui proses pencalonan berdasarkan pedoman yang diatur dalam
Peraturan Menteri ini.”
Menteri Negara BUMN hanya memiliki kewenangan terhadap
BUMN saja, sedangkan anak perusahaan BUMN bersifat mandiri terhadap
pengangkatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari latar belakang sampai dengan pembahasan dan penelitian,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
1. a. Tidak ada pengaturan yang mengatur secara khusus mengenai
pembentukan Holding Company BUMN, tetapi mengingat bahwa
UUPT berlaku bagi PT Pertamina dan karena PT Pertamina merupakan
BUMN Persero, maka secara tersirat dapat kita lihat dari UU PT,
dimana menurut UU PT Pasal 84 menyinggung mengenai adanya anak
dan induk perusahaan dan secara tersirat menurut Pasal 125 UU PT
Holding Company dapat terbentuk melalui akuisisi dan spinoff,
pengaturan mengenai akuisisi BUMN diatur secara khusus melalui PP
Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, Dan Perubahan Bentuk Badan Hukum Badan Usaha
Milik Negara pada Pasal 3 sampai dengan Pasal 8. Pengaturan
mengenai BUMN diatur secara khusus didalam UU BUMN, tetapi
untuk Holding Company tidak diatur di dalam UU BUMN, melainkan
hanya sedikit menyinggung dalam Pasal 14 mengenai kewenangan
RUPS untuk membentuk anak perusahaan dan Pasal 86 mengenai hasil
privatisasi anak perusahaan yang ditetapkan sebagai dividen interim.
b. Mengenai mekanisme pembentukan Holding Company BUMN di
Indonesia, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan
Pembubaran BUMN, yang mana di dalam Pasal 11 Peraturan
Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa tata cara perbuatan yang dapat
mengakibatkan terbentuknya Holding Company BUMN Persero
dilakukan sesuai dengan peraturan di bidang perseroan terbatas yaitu
UU PT. Perbuatan atau aksi korporasi yang dapat menyebabkan
terbentuknya Holding Company adalah pengambilalihan (akuisisi) dan
66
pemisahan tidak murni (spin off) yang tata caranya diatur di dalam UU
PT Pasal 125 sampai dengan Pasal 136.
2. a. Pembentukan Holding Company BUMN Migas khususnya
pembentukan subholding dari PT. Pertamina, walaupun sempat menuai
kontra dan ada beberapa yang mengklaim bahwa pembentukan
subholding ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), namun sudah dapat
dibuktikan bahwa kebijakan pembentukan subholding ini tidak
melanggar hukum dan sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku di Indonesia. Karena pada akhirnya pembentukan subholding
PT Pertamina tetap dilaksanakan dan tidak terbukti melanggar hukum
maupun ketentuan manapun yang berlaku di Indonesia.Dan sampai saat
ini, tidak ada berita atau perbuatan dari PT Pertamina yang seelumnya
sempat diduga akan menimbulkan potensi persaingan usaha tidak sehat
dalam pelaksanannya sebagai Holding Company BUMN.
b. Mengenai status hukum anak perusahaan PT. Pertamina terkait
pembentukan Holding Company BUMN, sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, anak perusahaan
BUMN bukanlah termasuk dalam BUMN, sehingga tidak dapat
diperlakukan selayaknya BUMN. Tetapi hal ini juga tidak melanggar
UUD NRI 1945 khususnya Pasal 33 yang menyebutkan bahwa aset
strategis nasional harus dikelola oleh negara, karena lebih dari 50%
saham anak perusahaan PT. Pertamina, dimiliki oleh PT.Pertamina
yang merupakan BUMN. Artinya secara tidak langsung aset strategis
nasional yang dikelola oleh anak perusahaan PT.Pertamina dikelola
oleh negara.
67
B. Saran
Saran dari penulis terhadap pembentukan Holding Company BUMN pada PT.
Pertamina adalah sebagai berikut:
1. Terhadap pengaturan Holding Company BUMN di Indonesia, perlu
diingat kembali bahwa BUMN juga menguasai hajat hidup orang
banyak, sehingga BUMN tidak boleh hanya dianggap sebagai korporasi
biasa (PT). Oleh karena itu, payung hukum yang dikeluarkan
pemerintah selayaknya dapat menyeimbangkan dua peran BUMN, yaitu
antara kepentingan BUMN untuk semakin lincah bergerak di dunia
bisnis yang semakin kompetitif dan tetap menjadi agen pembangunan
bangsa.
2. Mengenai status hukum anak perusahaan PT.Pertamina dan
pelaksanaan Holding Company BUMN pada PT.Pertamina, sebaiknya
perlu dipublikasikan lebih lengkap kepada pihak terkait dan publik
secara terbuka (transparansi) mengenai peraturan yang menjadi
landasan formil pelaksanaan Holding Company BUMN sehingga tidak
timbul pendapat-pendapat yang kontradiktif serta meminimalisir resiko
yang dapat timbul terhadap pembentukan Holding Company BUMN.
Seharusnya ada suatu sistem yang dapat diubah untuk mempublikasikan
apa yang telah dilakukan oleh BUMN agar rakyat dapat paham betul
hal-hal apa yang telah dilakukan BUMN sehingga masalah ini tidak
terulang kembali.
68
Daftar Pustaka
Buku :
Dr. Toto Pranoto, 2017, “Holding Company BUMN: Konsep, Implementasi, dan
Benchmarking”, Jakarta : Lembaga Management Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Indonesia.
69
Mulhadi, 2010, “Hukum Perusahaan (Bentuk-Bentuk Badan Usaha di
Indonesia)”, Bogor : Ghalia Indonesia.
Yani, Ahmad dan Widjaya Gunawan, 2000, “Seri Hukum Bisnis : Perseroan
Terbatas”, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Jurnal :
70
Kementerian BUMN, “Master Plan Kementrian BUMN 2004-2014”. Jakarta.
Purba, Hasim, 2003, “Tinjauan Terhadap Holding Company, Trust, Cartel, dan
Concern”, Sumatera Barat : FH Bagian Hukum Keperdataan
Universitas Sumatera Barat.
Internet :
71
Politik.rmol.id (2020, 16 Oktober). Uchok Sky: Pembentukan Subholding
Pertamina Bertentangan Dengan UU, Harus Dibatalkan. Diakses pada 3 Juli 2021,
dari https://politik.rmol.id/read/2020/10/16/456883/uchok-sky-pembentukan-
subholding-pertamina-bertentangan-dengan-uu-harus-dibatalkan
Peraturan-Peraturan :
72