Anda di halaman 1dari 84

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBENTUKAN HOLDING COMPANY

PADA PT PERTAMINA

Skripsi

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna

menyelesaikan Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum

Oleh :

JOSHUA BAGUS CHRISTIAN WIDJOSENO

11000117130229

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBENTUKAN HOLDING COMPANY

PADA PT PERTAMINA

PENULISAN HUKUM

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna


menyelesaikan Program Sarjana (S1) Ilmu Hukum.

Oleh :

Joshua Bagus Christian Widjoseno

NIM 11000117130229

Penulisan hukum dengan judul di atas telah disahkan dan telah disetujui untuk
diperbanyak

Pembimbing I Pembimbing II

Siti Mahmudah, S.H.,M.H. Aisyah Ayu Musyafah, S.H.,M.Kn.


NIP.196209241989022001 NIP. 199211192018072001

i
HALAMAN PENGUJIAN

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBENTUKAN HOLDING COMPANY

PADA PT PERTAMINA

Dipersiapkan dan disusun oleh :

Joshua Bagus Christian Widjoseno

NIM 11000117130229

Telah diujikan di depan Dewan Penguji pada tanggal 24 September 2021

Dewan Penguji
Ketua Penguji

Siti Mahmudah, S.H.,M.H.


NIP.196209241989022001
Anggota Penguji I Anggota Penguji II

Aisyah Ayu Musyafah, S.H.,M.Kn. Rinitami Njatrijani, S.H., M.Hum.


NIP. 199211192018072001 NIP. 196108171987032001

Mengesahkan : Mengetahui :

Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Ketua Program Studi S1 Ilmu Hukum

Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum Marjo, S.H.,M.Hum


NIP. 196711191993032002 NIP. 196503181990031001

ii
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Penulisan Hukum ini tidak pernah diajukan
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi lain, dan sepanjang
pengetahuan saya di dalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Semarang, …… 2021

Penulis,

JOSHUA BAGUS CHRISTIAN WIDJOSENO

NIM 11000117130229

iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

"A pessimist sees the difficulty in every opportunity,

an optimist sees the opportunity in every difficulty"

(Sir Winston Churchill)

“Saya persembahkan karya ini untuk Tuhan, orang tua, teman-teman dan orang-

orang disekitarku yang setia mendukungku”

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan berkat dan

karunia-Nya sejak awal masuk perkuliahan hingga tahap Penulisan Hukum yang

berjudul “Kajian Yuridis Terhadap Pembentukan Holding Company Pada PT

Pertamina” terselesaikan dengan tepat waktu. Penulisan Hukum ini disusun demi

melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan Program

Sarjana (S1) Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Pada kesempatan kali ini, penulis menyadari bahwa selesainya penulisan

hukum ini tidak terlepas atas bimbingan dan bantuan dari banyak pihak, baik

secara langsung maupun tidak langsung. Beliau-beliau tersebut adalah inspirasi

sekaligus motivator yang mendukung penulis dari awal masa perkuliahan hingga

sekarang sampai terselesaikannya tesis ini. Oleh sebab itu, Penulis ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum. selaku Rektor

Universitas Diponegoro.

2. Ibu Prof. Dr. Retno Saraswati, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro.

3. Bapak Muhyidin, S.Ag., M.Ag., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum

Perdata Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

4. Ibu Dewi Hendrawati, S.H., M.H. selaku Dosen wali selama proses

perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

v
5. Ibu Siti Mahmudah,S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing Pertama yang

telah dengan sabar membimbing dan telah memberikan banyak masukan

serta arahan yang berarti kepada penulis dalam menyelesaikan Penulisan

Hukum ini.

6. Ibu Aisyah Ayu Musyafah, S.H., M.Kn selaku Dosen Pembimbing Kedua

yang telah dengan sabar membimbing dan telah memberikan banyak

masukan serta arahan yang berarti kepada penulis dalam menyelesaikan

Penulisan Hukum ini.

7. Ibu Rinitami Njatrijani S.H., M.Hum selaku Dosen Penguji yang telah

dengan sabar menguji dan memberikan evaluasi dalam penyelesaiaan

Penulisan Hukum.

8. Seluruh dosen, staf beserta karyawan lain di Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro yang telah memberikan waktu, tenaga dan pelayanan kepada

Penulis selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro

9. Kepada kedua orang tua penulis, terima kasih atas cinta, kasih sayang,

dukungan dan restu yang diberikan sehingga penulis bisa melanjutkan

studi ke tingkatan yang lebih tinggi serta diberikan kesempatan untuk

melakukan banyak kegiatan yang bermanfaat bagi penulis. Semoga

seluruh hal baik yang penulis terima dari orang tua bisa menjadi bekal di

masa yang akan datang.

vi
10. Ismi Aulia Aziza selaku kekasih penulis dan peran peran penting lain yang

penulis butuhkan, yang selalu memberikan afeksi, dorongan dan semangat

selama penulisan skripsi ini kepada penulis.

11. Tio Busono Fathrizqi, S.H selaku teman penulis yang dengan sabar

memberi nasihat dan masukan untuk penulisan skripsi ini.

12. Kepada teman-teman kepanitiaan dan organisasi selama masa studi di

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, penulis ucapkan terima kasih

banyak atas pengalaman, kepercayaan, dan suka duka yang telah diterima

selama masa jabatan.

13. Kepada CCTH Crew, penulis mengucapkan terima kasih banyak telah

menjadi teman yang baik dan suportif sehingga penulis dapat melewati

masa studi di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dengan baik dan

terarah.

Penulis sadar jika Penulisan Hukum ini masih sangat jauh dari

kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis sangat terbuka atas kritik dan saran yang

membangun demi kebaikan dan kesempurnaan Penulisan Hukum ini. Penulis

berharap, Penulisan Hukum ini dapat membawa manfaat bagi setiap pihak yang

membutuhkan.

Akhir kata, atas segala bantuan dan perhatian yang telah diberikan untuk

penulisan hukum ini, penulis ucapkan banyak terima kasih. Semoga penulisan

hukum ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

vii
ABSTRAK

Landasan yuridis Holding Company BUMN yang digunakan selama ini


adalah PP No. 72 Tahun 2016 tentang tata cara penyertaan modal negara pada
BUMN dan PT. Namun banyak ketidaksesuaian antara PP tersebut dengan UU
diatasnya, seperti UU BUMN, UU PT, dan UU Keuangan Negara. Salah satunya
mengenai status anak perusahaan yang tergabung dalam Holding Company
BUMN. Dilatarbelakangi hal tersebut, peneliti akan meneliti tentang pengaturan
Holding Company BUMN di Indonesia serta dampaknya bagi status anak
perusahaan yang tergabung dalam PT Pertamina sebagai Holding Company
BUMN pada bidang minyak dan gas.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prosedur pembentukan


Holding Company BUMN, dan pengaturannya dalam peraturan perundangan di
Indonesia serta untuk mengetahui pelaksanaan Holding Company pada PT
Pertamina dan dampaknya bagi status anak perusahaan PT Pertamina. Metode
pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu meneliti bahan pustaka
atau data sekunder.

Tidak ada pengaturan khusus mengenai Holding Company BUMN di


Indonesia, UU dan peraturan yang ada hanya menyinggung secara tersirat
mengenai Holding Company. Mengenai status hukum anak perusahaan PT.
Pertamina, sesuai dengan UU BUMN, anak perusahaan BUMN bukanlah
termasuk dalam BUMN, sehingga tidak dapat diperlakukan selayaknya BUMN.

Kata Kunci : Holding Company, BUMN dan PT Pertamina Persero

viii
Abstract

The juridical basis of the BUMN Holding Company used so far is PP No.
72 of 2016 concerning procedures for state capital participation in BUMN and PT.
However, there are many inconsistencies between the PP and the laws above, such
as the BUMN Law, the PT Law, and the State Finance Law. One of them is
regarding the status of subsidiaries that are members of a BUMN Holding
Company. With this background, the researcher will examine the regulation of
BUMN Holding Companies in Indonesia and their impact on the status of
subsidiaries incorporated in PT Pertamina as BUMN Holding Companies in the
oil and gas sector.

The purpose of this study is to determine the procedure for the


establishment of a BUMN Holding Company, and its arrangements in the laws
and regulations in Indonesia and to determine the implementation of a Holding
Company at PT Pertamina and its impact on the status of a subsidiary of PT
Pertamina. The approach method used is normative juridical, namely researching
library materials or secondary data.

There are no special regulations regarding BUMN Holding Companies in


Indonesia, existing laws and regulations only mention implicitly regarding
Holding Companies. Regarding the legal status of the subsidiary PT. Pertamina, in
accordance with the BUMN Law, subsidiaries of BUMN are not included in
BUMN, so they cannot be treated like BUMN.

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................................... i


HALAMAN PENGUJIAN ....................................................................................................... ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................................................ iv
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. v
ABSTRAK ......................................................................................................................... viii
BAB I...................................................................................................................................1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................1
A. Latar Belakang ........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................7
D. Sistematika Penulisan.............................................................................................8
BAB II................................................................................................................................10
TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................................................10
A. Tinjauan Umum Badan Usaha Milik Negara .........................................................10
B. Tinjauan Umum Perseroan Terbatas ....................................................................15
C. Tinjauan Umum Holding Company .......................................................................23
D. Tinjauan Umum PT Pertamina..............................................................................26
BAB III...............................................................................................................................32
Metode Penelitian ...........................................................................................................32
A. Metode Pendekatan .............................................................................................32
B. Spesifikasi Penelitian ............................................................................................33
C. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................................33
D. Metode Pengumpulan Data .................................................................................35
E. Metode Analisis Data ...........................................................................................35
BAB IV ..............................................................................................................................36
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................................................................36
A. Pembentukan Holding Company BUMN Serta Pengaturannya Dalam Peraturan
Perundang-Undangan yang Berlaku di Indonesia ........................................................36
B. Pelaksanaan Holding Company Pada PT Pertamina Serta Dampaknya Bagi Status
Anak Perusahaan Holding Company ............................................................................56

x
BAB V ...............................................................................................................................66
PENUTUP..........................................................................................................................66
A. Kesimpulan ...........................................................................................................66
B. Saran ....................................................................................................................68

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara hukum adalah negara yang pemerintahannya dapat


menjamin kesejahteraan rakyatnya terselenggara dengan baik. Menurut E.
Utrecht, sejak negara turut serta secara aktif dalam kegiatan
kemasyarakatan, lapangan pekerjaan pemerintah akan semakin luas. Hal
tersebut selaras dengan ide dasar tujuan negara dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu
memajukan kesejahteraan umum atau dalam rumusan lainnya untuk
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 1 Meningkatnya
pertumbuhan penduduk di Indonesia, berbanding lurus dengan permintaan
masyarakat akan berbagai macam barang dan jasa untuk menunjang
kebutuhan hidup. Beberapa penunjang kebutuhan hidup itu antara lain air,
listrik, bahan pangan, bahan bakar migas, telekomunikasi, transportasi,
perbankan dan berbagai macam jasa serta barang lain. Dimana kebutuhan
publik akan beberapa hal di atas, sebagian besar masih dikerjakan dan
dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara.

Badan Usaha Milik Negara, selanjutnya disebut BUMN (State


Owned Enterprises) merupakan pelaku bisnis yang dominan di banyak
negara berkembang, termasuk Indonesia. Kinerja operasional BUMN
memang belum optimal, tetapi perannya dalam perekonomian Indonesia
sangatlah besar. Di Indonesia, kontribusi BUMN terhadap APBN memiliki
dampak positif terhadap perekonomian. Karena penerimaan APBN dari
BUMN tersebut akan diwujudkan dalam belanja modal dan belanja
operasional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, oleh karena itu
BUMN harus diperhatikan serta dioptimalkan kinerjanya. Sesuai dengan
landasan normatif BUMN sendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun

1
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada, 2006. hal. 15-16.

1
2003 tentang BUMN, tepatnya pada Pasal 1 angka (1), dijelaskan bahwa
pengertian BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Dari apa yang tertulis
dalam Pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang dimiliki
Negara digunakan untuk mensejahterakan rakyat, dengan BUMN
melakukan kegiatan usaha yang menjadi salah satu kekuatan
perekonomian bangsa. Sedangkan kekayaan negara yang dipisahkan
artinya adalah pemisahan kekayaan Negara dari Anggaran Pendapatan dan
Penerimaan Negara pada BUMN.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk


Usaha Negara, menyebutkan bahwa BUMN dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan
Perusahaan Perseroan (Persero). Namun, setelah adanya Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, bentuk dari BUMN hanya ada dua
jenis, yaitu Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan
(Persero). Setiap bentuk dari BUMN ini tunduk kepada sebuah peraturan
yang bersifat lex specialis, seperti contohnya BUMN yang berbentuk
Perusahaan Perseroan akan tunduk pada Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pada dasarnya BUMN adalah
sebuah badan hukum yang berbentuk perusahaan negara, dimana negara
sendiri memiliki arti :2

1. Onderneming, yang berarti suatu bentuk hukum (rechtsform) dari


sesuatu perusahaan misalnya PT, Firma, Persekutuan Komanditer
(CV). Jadi jika dikatakan onderneming, maka maksudnya adalah
menunjuk pada bentuk hukumnya, yaitu Badan Hukum atau Bukan
Badan Hukum.

2
R.T. Sutantya R: Hadikusuma, S.H. dan Dr. Sumantoro, Pengertian Pokok hukum Perusahaan,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm.3.

2
2. Bedrijf, yang berarti kesatuan teknik produksi seperti misalnya
Huisvlijt (industri rumah tangga atau rumahan), Nijverheid
(kerajinan atau suatu keterampilan khusus).

Kinerja BUMN saat ini dapat dikatakan belum maksimal. Di dalam


pengelolaannya BUMN masih mengalami kerugian sehingga tujuan
BUMN yaitu kesejahteraan sosial belum dapat terwujud secara optimal.
Maka dari itu restrukturisasi BUMN sedang diprioritaskan oleh
pemerintah Indonesia agar dapat membentuk efektivitas serta
meningkatkan nilai perusahaan negara. Dalam restrukturisasi ini, terdapat
program utama yang berpedoman pada Pasal 33 UUDNRI 1945 yaitu
penataan kembali BUMN dengan cara pemetaan secara lebih tajam, untuk
mencapai jumlah serta skala usaha BUMN yang lebih ideal 3. Melihat
metode yang dijalankan di berbagai negara, terdapat beberapa metode
restrukturisasi, seperti penggabungan, peleburan dan pengambilalihan
(merger dan akuisisi), penjualan saham kepada publik (IPO), penjualan
mitra strategis (strategic sale), penjualan kepada menejemen pengelola
(MBO), Kontrak Manajemen, dan Pembentukan Holding Company4. Jika
beberapa BUMN pada sektor sejenis disatukan dalam bentuk Holding
Company maka akan meningkatkan fleksibilitas perusahaan, yang
nantinya akan membuat anak perusahaan bergerak sebagai pure corporate.

Holding Company sendiri memiliki arti perusahaan utama yang


membawahi perusahaan lain yang berada dalam satu grup perusahaan.
Sebagaimana ditulis dalam Black’s Law Dictionary, yang dimaksud
dengan perusahaan Holding Company adalah perusahaan yang kegiatan
utamanya adalah melaksanakan investasi pada anak-anak perusahaan dan
selanjutnya melakukan pengawasan atas kegiatan manajemen anak-anak

3
Kementrian BUMN, Master Plan Kementrian BUMN 2004-2014, hlm.80.
4
“Restrukturisasi BUMN Menjadi Holding Company”, Tim Riset Lembaga Manajemen FEUI.

3
perusahaan5. Holding Company dapat dikatakan sebagai perusahaan induk
yang memegang saham beberapa anak perusahaannya guna meningkatkan
kinerja perusahaan serta memungkinkan terciptanya nilai pasar perusahaan
(market value creation).

Peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak ada yang


mengatur secara spesifik mengenai Holding Company BUMN. Dalam
buku yang berjudul Hukum Perseroan Terbatas karya M. Yahya Harahap,
S.H, tertulis bahwa dalam rangka memanfaatkan prinsip limited liability
atau pertanggungjawaban terbatas, sebuah perseroan dapat mendirikan
“Perseroan Anak” atau Subsidiary untuk menjalankan bisnis “Perseroan
Induk”. Dengan demikian aset Perseroan Induk dengan Perseroan Anak
akan “terisolasi” terhadap kerugian potensial yang dapat dialami oleh salah
satu diantaranya karena menggunakan prinsip keterpisahan dan perbedaan
(separate entity).

Holding Company atau Parent Company merupakan penciptaan


Perseroan yang khusus disiapkan untuk memegang Perseroan lain dengan
tujuan investasi baik tanpa maupun dengan “kontrol” yang nyata (without
or with actual control)6. Walaupun tidak ada yang mengatur secara
spesifik mengenai Holding Company, tetapi Landasan Yuridis yang
selama ini dijadikan legitimasi secara legal pelaksanaan Holding Company
BUMN adalah Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2016 yang merupakan
Perubahan atas Peraturan Pemerintah no 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik
Negara dan Perseroan Terbatas.

Digunakannya Peraturan Pemerintah tersebut sebagai dasar dari


pembentukan Holding Company BUMN, tidak serta merta menyelesaikan

5
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, (Jakarta : Rajawali
Pers, 1999) hlm. 153.
6
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013) hlm 51.

4
permasalahan hukum yang timbul atas pembentukan Holding Company
BUMN, karena secara substansial, Peraturan Pemerintah ini bertentangan
dengan peraturan yang berada diatasnya yaitu UU BUMN, UU PT, dan
UU Keuangan Negara. Hal ini tentu akan menimbulkan potensi persoalan
hukum yang dapat muncul terkait kebijakan Holding Company BUMN
yang digagas pemerintah.
Jenis usaha BUMN berbentuk Holding Company yang telah
diwujudkan di Indonesia salah satunya adalah perusahaan minyak dan gas
bumi, yaitu PT. Pertamina (persero) resmi menjadi induk holding dari PT
Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dan PT Pertamina Gas (Pertagas) pada
11 April 2018. Terbentuknya holding BUMN Migas secara hukum terjadi
saat dilakukannya penandatanganan Akta Pengalihan Saham dimana
seluruh hak-hak Negara RI selaku pemegang 56,96% saham Seri B di
PGN secara hukum telah beralih kepada Pertamina. Pembentukan PT.
Pertamina menjadi induk holding perusahaan migas ini dijalankan oleh
Negara menggunakan skema penyertaan modal sesuai dengan yang diatur
di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik
Negara dan Perseroan Terbatas serta peraturan mengenai penyertaan
modal yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2018
tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke
Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina, yang
telah ditandatangani pada 28 Februari 2018.
Pendirian PT Pertamina sebagai Holding Company BUMN pada
bidang migas menuai beberapa kontroversi, diantaranya terkait status dari
anak perusahaan yang tergabung ke dalam konsep Holding Company
BUMN di bawah PT Pertamina ini. Dimana sampai saat ini, PT Pertamina
telah memiliki beberapa perusahaan subholding dibawahnya termasuk
PGN seperti yang telah dibahas sebelumnya. Timbulnya pertentangan ini
disebabkan karena adanya ketidaksesuaian antara landasan yang menjadi

5
payung hukum terbentuknya PT Pertamina sebagai Holding Company
BUMN Migas, dengan peraturan-peraturan lain diatasnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk
membuat penulisan hukum berjudul “KAJIAN YURIDIS TERHADAP
PEMBENTUKAN HOLDING COMPANY PADA PT PERTAMINA”.

6
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,


permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana proses terbentuknya Holding Company BUMN serta


pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia?
2. Bagaimana pelaksanaan Holding Company BUMN pada PT Pertamina
serta akibat pembentukan Holding Company BUMN terhadap status
anak perusahaan yang tergabung dalam Holding Company PT
Pertamina?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian merupakan pencerminan arah dan penjabaran
strategi terhadap masalah yang muncul dalam penulisan, sekaligus
agar penulisan yang sedang dilaksanakan tidak menyimpang dari
tujuan semula. Kemudian dirumuskanlah tujuan dari penelitian ini
sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui prosedur pembentukan Holding Company
BUMN, serta pengaturannya dalam peraturan perundangan di
Indonesia.
b. Untuk mengetahui pelaksanaan PT Pertamina sebagai Holding
Company serta dampak yang ditimbulkan bagi anak perusahaan
Holding Company tersebut.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis

7
Diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis, dan khususnya bagi pembaca yang sedang
membutuhkan bahan dalam keingintahuannya.
b. Manfaat Praktis
Diharapakan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan membantu
peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian lebih lanjut di
bidang pengaturan Holding Company khususnya bagi perusahaan
BUMN.

D. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini mengacu pada buku


Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi) Program Sarjana (S1) Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro. Skripsi ini terbagi menjadi 5 (lima) bab,
dimana masing-masing bab terdapat keterkaitan antara satu dengan
lainnya. Adapun gambaran yang jelas mengenai skripsi ini akan diuraikan
dalam sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini adalah bagian pembuka, dimana dalam bab ini akan diuraikan
tentang pendahuluan, yang dirinci dalam beberapa sub, yaitu: Latar
Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai peraturan yang mendasari serta
berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Bab ini akan
menjelaskan tentang Kajian Umum mengenai Badan Usaha Milik Negara,
Kajian Umum mengenai Holding Company, dan Kajian Umum mengenai
PT Pertamina Indonesia.

8
BAB III : METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai metode penelitian yang


digunakan sebagai dasar penelitian yang meliputi : metode pendekatan,
metode spesifikasi penelitian, teknik pengumpulan data, metode
pengumpulan data, metode analisis data.

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan disajikan mengenai hasil penelitian dan pembahasannya
yang didasari pada data-data yang diperoleh dari penelitian. Pembahasan
dilakukan dengan mengolah dan menganilisis data yang diperoleh untuk
memecah pokok permasalahan.

BAB V : PENUTUP

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan yang merupakan


jawaban dari permasalahan yang ada dan saran yang mungkin berguna
bagi para pihak.

9
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Badan Usaha Milik Negara


1. Pengertian Badan Usaha Milik Negara

BUMN didefinisikan sebagai badan usaha yang kepemilikan


pemerintahnya diatas 50% (lima puluh persen)7. BUMN dapat pula berupa
perusahaan nirlaba yang bertujuan untuk menyediakan barang atau jasa
bagi masyarakat. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, BUMN adalah adalah
badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh
negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan. Pada intinya, BUMN merupakan perusahaan
milik negara yang memiliki tujuan membangun serta mengembangkan
ekonomi nasional dan memenuhi kebutuhan rakyat guna menciptakan
suatu masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan landasan negara
Indonesia yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dapat disimpulkan bahwa BUMN merupakan
perusahaan negara yang merupakan bagian dan kesatuan produksi yang
memiliki tujuan memberikan jasa atau pelayanan publik, memperoleh
keuntungan dan menyelenggarakan kepentingan publik. Adapun beberapa
sektor BUMN seperti sektor pertanian, sektor kehutanan, sektor keuangan,
sektor perkebunan, sektor pertambangan, sektor manufaktur, sektor
transportasi, sektor listrik, sektor konstruksi serta sektor perdagangan.
BUMN di Indonesia, sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya
dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. BUMN memberikan kontribusi
yang positif dalam perekonomian Indonesia, BUMN turut serta berperan
dalam menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan dalam rangka

7
Dr.Toto Pranoto, Holding Company BUMN : Konsep, Implementasi, dan Benchmarking, (Jakarta
: Lembaga Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017), hlm4.

10
mewujudkan kemakmuran rakyat. Maka dari itu, BUMN bukan hanya
sebuah perusahaan yang hanya mencari keuntungan, namun juga dapat
berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan menyediakan barang maupun
jasa untuk masyarakat.
2. Tujuan Badan Usaha Milik Negara
Sebagai milik negara, BUMN berdiri dan beroperasi dengan
memegang tujuan-tujuan penting. Adapun tujuan tersebut tidak dapat
dipisahkan dari dasar filosofis pendiriannya, sebagaimana tertuang dalam
Pasal 33 UUD 1945 khususnya ayat (2) dan (3) yaitu : “Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh Negara. Selanjutnya, bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha


Milik Negara, menyebutkan bahwa maksud dan tujuan dari pendirian
BUMN adalah :
a. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian
nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.
Diharapkan dengan didirikannya BUMN dapat meningkatkan
anggaran belanja dan investasi BUMN, serta tercukupinya
ketersediaan sarana prasarana ekonomi.
b. Mengejar keuntungan.
Dalam pengoperasiannya, BUMN tetap bertujuan untuk memperoleh
keuntungan (profit) sebagaimana perhitungan bisnis pada sebuah
perusahaan. Diharapkan kinerja BUMN dapat memperoleh laba usaha
dan dividen, serta meningkatkan kapitalisasi saham BUMN di pasar
modal.
c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan
barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi
pemenuhan hajat hidup orang banyak.

11
Diharapkan dengan adanya tujuan seperti ini, hasil kegiatam usaha
BUMN baik pada bidang jasa maupun barang dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat akan barang dan jasa dengan jumlah yang tepat
dan harga terjangkau serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
d. Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat
dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi.
Kegiatan yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan
koperasi dalam hal ini adalah segala kegiatan usaha yang kurang
menguntungkan secara komersial bagi sektor swasta dan koperasi.
BUMN diharapkan menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha tersebut
dan peran BUMN dalam perkembangan daerah semakin meningkat.
e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Salah satu fungsi BUMN adalah pelayanan kemanfaatan umum untuk
melaksanakan program kemitraan dengan pengusaha golongan
ekonomi lemah dan masyarakat. Diharapkan BUMN dapat menjadi
teladan serta penolong bagi pengusaha golongan ekonomi lemah,
koperasi dan masyarakat.

3. Bentuk Perusahaan Badan Usaha Milik Negara

Sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal 9 Undang-Undang


Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, bentuk dari
perusahaan BUMN dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Badan Usaha
Umum (Perum) serta Badan Usaha Perseroan (Persero), adapun
penjelasannya mengenai dua jenis BUMN tersebut yaitu :

a. Perusahaan Umum (Perum)


Perusahaan Umum merupakan perusahaan yang seluruh modalnya
berasal dari negara. Modal Perum berasal dari kekayaan negara yang
dipisahkan. Perum memiliki dua tujuan utama yaitu melayani

12
kepentingan umum serta mencari keuntungan sebanyak mungkin.
Kepemilikan Perum seluruhnya dimiliki oleh pemerintah, sehingga
kekayaan Perum dipisahkan dari aset negara karena Perum merupakan
badan hukum. Perum bergerak pada bidang produksi, penyedia layanan
atau bidang ekonomi lainnya yang dapat memenuhi dua tujuan utama
Perum. Adapun pengaturan mengenai Perum diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum. Contoh
dari BUMN Perum adalah : Perum Pegadaian, Perum Bulog, Perum
Pelayaran dan sebagainya.
b. Perusahaan Perseroan (Persero)
Berbeda dengan Perum, Persero adalah perusahaan negara yang
modal atau sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh pemerintah dan
sisanya dari pihak lain. Pengaturan khusus mengenai perseroan diatur
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Contoh dari BUMN Perseroan yaitu PT. Pertamina, PT
Kereta Api Indonesia, PT Pos Indonesia, PT Semen Gresik dan lain
sebagainya.

4. Sejarah Pengaturan BUMN di Indonesia

Berdasarkan kebijakan pemerintah yang telah dikeluarkan untuk


pengelolaan BUMN, maka dapat ditelusuri transformasi kelembagaan
yang secara historis dapat diurutkan sebagai berikut :
a. Dalam kurun waktu tahun 1973-1993
Pembinaan BUMN secara teknis dilakukan oleh Departemen Teknis,
sedangkan pembinaan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan
(saham dipegang oleh Menteri Keuangan), yang dilaksanakan oleh
lembaga setingkat Eselon II sebagai berikut :
a) Direktorat Persero dan PKPN
b) Direktorat Persero dan BUN
c) Direktorat Pembinaan BUMN

13
Peraturan perundangan yang terkait meliputi : Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha
Negara Menjadi Undang-Undang, serta Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan
Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan
Perseroan (Persero).
b. Mulai tahun 1993-1998
Pada masa ini, lembaga yang menangani pembinaan pada Departemen
Keuangan berubah menjadi Tingkat Eselon I, yakni Direktorat Jenderal
Pembinaan BUMN. Pada tahun 1998, setelah ditetapkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan
Umum, pembinaan teknis maupun keuangan dilakukan oleh
Departemen Keuangan yaitu Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN.
Sedangkan Departemen Teknis berperan sebagai regulator.
c. Sejak tahun 1998 hingga saat ini
Sampai saat ini, lembaga yang menangani pembinaan BUMN adalah
Kementerian Negara BUMN, kecuali pada tahun 2001, pembinaan
kembali dilakukan oleh lembaga setingkat Eselon I pada Departemen
Keuangan, yakni Direktorat Jenderal Pembinaan BUMN.

14
B. Tinjauan Umum Perseroan Terbatas
1. Pengertian dan Dasar Hukum
Perseroan Terbatas, selanjutnya disebut PT adalah perusahaan yang
modalnya terdiri dari saham-saham dan tanggung jawab dari sekutu
pemegang saham terbatas, yang sesuai dengan jumlah saham yang
dimilikinya. Istilah perseroan pada perseroan terbatas menunjuk pada cara
penentuan modal pada badan hukum itu yang terdiri dari sero-sero atau
saham-saham dan istilah terbatas menunjukkan pada batas tanggung jawab
para persero yang dimiliki, yaitu hanya terbatas pada jumlah nilai nominal
dari semua saham-saham yang dimiliki.
Sejarah awal pengaturan mengenai PT sebenarnya dimulai dari
KUHD. Dimana tercantum bahwa suatu badan usaha dapat disebut PT
apabila memiliki ciri ciri antara lain sebagai berikut :
(1) Badan usaha dapat disebut sebagai PT apabila kekayaan badan
usaha yang dimiliki terpisah dari kekayaan pribadi masing-
masing persero (pemegang saham), yang bertujuan untuk
membentuk sejumlah dana sebagai jaminan bagi perseroan.
(2) Disebut sebagai PT apabila adanya persero yang tanggung
jawabnya terbatas pada jumlah nominal saham yang
dimilikinya, dan RUPS merupakan kekuasaan tertinggi dalam
organisasi perseroan, yang memiliki kewenangan mengangkat
dan memberhentikan Komisaris dan Direksi, berhak
menetapkan garis-garis besar kebijaksanaan pengelolaan
perusahaan dan memilikiyang belum ditetapkan dalam
Anggaran Dasar dan hal lainnya yang berkaitan dengan
pengelolaan perseroan. kewenangan menetapkan hal-hal yang
belum ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan hal lainnya yang
berkaitan dengan pengelolaan perseroan.
(3) Badan usaha dapat disebut sebagai PT apabila pengurus
(Direksi dan Komisaris) yang merupakan satu kesatuan
pengurusan dan pengawasan terhadap perseroan tanggung

15
jawabnya terbatas pada tugasnya, yaitu harus sesuai dengan
Anggaran Dasar atau keputusan RUPS.

Perseroan Terbatas adalah komponen bisnis yang penting dan


banyak terdapat di dunia, termasuk di Indonesia yang merupakan badan
hukum (legal entity) yang memiliki sifat dan ciri kualitas yang berbeda
dari bentuk usaha yang lain. Salah satu ciri yang membedakan PT dengan
badan usaha lainnya dapat dilihat dari doctrine of separate legal
personality yang intinya menjelaskan bahwa terdapat pemisahan kekayaan
antara pemilik atau pemodal (pemegang saham) dengan kekayaan badan
hukum itu sendiri8. Setiap orang dapat memiliki lebih dari satu saham
yang akan menjadi bukti kepemilikan atas perusahaan tersebut, sekaligus
menjadi tanggung jawab pemegang saham sesuai dengan jumlah saham
yang dimilikinya. Jika hutang perusahaan lebih besar daripada kekayaan
perusahaan, maka kelebihan hutang tersebut tidak menjadi tanggung jawab
dari para pemegang saham. Tetapi apabila perusahaan mendapat
keuntungan, maka keuntungan tersebut dibagikan sesuai dengan jumlah
kepemilikan masing-masing pemegang saham. Bagian keuntungan yang
diberikan kepada pemegang saham disebut dividen, dimana besarnya
dividen yang akan diterima, tergantung dengan jumlah saham yang
dimiliki pemegang saham. Selain berasal dari saham, modal PT dapat pula
berasal dari obligasi. Keuntungan yang diperoleh para pemilik obligasi
adalah mereka mendapatkan bunga tetap tanpa menghiraukan untung atau
ruginya perseroan terbatas tersebut. Pengaturan PT dalam KUHD
kemudian dirumuskan ke dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995
yang merupakan Undang-Undang khusus pertama yang mengatur
mengenai Perseroan Terbatas.

8
Ahmad Yani dan Widjaya Gunawan, 2000, Seri Hukum Bisnis : Perseroan Terbatas, PT.
Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 7.

16
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang
Perseroan Terbatas (PT) mengatur pengertian PT yaitu “badan hukum
yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan
modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya”. Dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah badan usaha
dapat dikatakan PT apabila memenuhi unsur :

1) Berbentuk badan hukum


PT memiliki hak dan kewajiban seperti seorang manusia,
mempunyai harta sendiri yang dipisahkan dari harta pribadi
pemiliknya, dapat membuat perjanjian, dan dapat bertindak
sebagai pihak di depan Pengadilan. Status PT dalam hukum
Indonesia memberikan kewenangan pada PT untuk berbuat
selayaknya subjek hukum.
2) Didirikan atas dasar perjanjian
Pendirian sebuah PT harus terdiri dari paling sedikit dua
orang/pihak, karena dibutuhkan lebih dari satu orang/pihak
untuk membuat perjanjian. Sebagaimana tercantum dalam
rumusan pasal 7 ayat (1) UU PT Tahun 1995 yang
mengatur bahwa perseroan terbatas didirikan oleh dua
orang/pihak atau lebih dengan akta Notaris yang dibuat
dalam bahasa Indonesa.
3) Melakukan kegiatan usaha
Tidak ada penetapan batas minimum modal dasar dalam
KUHD, tetapi dalam UU No. 1 Tahun 1995 Tentang PT,
khususnya Pasal 25, menyebutkan bahwa besarnya jumlah
minimum modal dasar PT adalah Rp. 20.000.000,- (dua
puluh juta rupiah). Ketentuan ini kemudian mengalami
perubahan sebagaimana ditentukan selanjutnya dalam pasal
32 ayat (1) UUPT yang mengatur bahwa besarnya modal

17
perseroan minimal Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah).
4) Modal terbagi atas saham
5) Memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 ini serta peraturan
pelaksanaannya.

Lahirnya Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang


Perseroan Terbatas (UUPT) menghadirkan dasar hukum dan pedoman
terbaru bagi perseroan terbatas di Indonesia. Istilah “perseroan” menunjuk
kepada cara menentukan modal, yaitu terbagi dalam saham, dan istilah
“terbatas” mengacu pada batas tanggung jawab pemegang saham, yaitu
hanya sebatas jumlah saham yang dimiliki. Perseroan Terbatas adalah
perusahaan persekutuan badan hukum. Hal ini ditegaskan dalam pasal 1
butir (1) UUPT : “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan
adalah badan hukum yang didirikan berdasarakan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham,
dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini,
serta peraturan pelaksanaannya”.

Sebagai badan hukum, perseroan harus memenuhi unsur-unsur


badan hukum seperti ditentukan dalam UUPT yaitu :

a. Organisasi yang teratur.

Sebagai organisasi yang teratur, di dalam perseroan dikenal adanya


organ perseroan yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), Direksi, dan Komisaris (pasal 1 ayat (2) UUPT). Ketiga
komponen inilah yang menjadi penggerak suatu perseroan,
sehingga konsep organisasi yang teratur tersebut dapat
direalisasikan.

b. Kekayaan tersendiri.

18
Perseroan memiliki kekayaan tersendiri berupa modal dasar yang
terdiri dari seluruh nilai nominal saham (pasal 31 ayat (1) UUPT)
dan kekayaan dalam bentuk lain yang berupa benda bergerak atau
tidak bergerak. Kekayaan tersendiri perseroan tersebut memberikan
konsekuensi yuridis bagi perseroan terkait pertanggung
jawabannya sebagai debitur/pihak ketiga yaitu hanya sebatas
kekayaan yang dimiliki oleh perseroan saja.

c. Melakukan hubungan hukum sendiri.

Sebagai badan hukum, status perseroan menjadi jelas di muka


hukum karena tergolong dan dapat menjadi subjek hukum sehingga
secara sah berhak dan berwenang melakukan hubungan
hukum/perbuatan hukum sendiri dengan pihak kedua/ketiga
dengan diwakili oleh Direksi (pasal 14 UUPT).

d. Mempunyai tujuan sendiri. Sebagai badan hukum yang


melakukan kegiatan usaha, perseroan wajib mempunyai tujuan
tersendiri. Tujuan tersebut ditentukan dalam Angaran Dasar
perseroan (pasal 2 UUPT)9.

2. Kepemilikan Saham
Bentuk dan mekanisme perseroan memiliki keunikan yaitu
modalnya terbagi atas saham. Artinya, semua bentuk penanaman modal
pada perseroan itu dihitung lalu dibagi menjadi saham-saham. Saham
dapat didefinisikan sebagai tanda penyertaan atau kepemilikan
seseorang/badan hukum dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas.
Porsi kepemilikan saham ditentukan berdasarkan seberapa besar
penyertaan yang ditanamkan didalam perusahaan tersebut. Dalam PT
tertutup, saham hanya dapat dialihkan melalui RUPS untuk selanjutnya

9
Mulhadi, 2010, Hukum Perusahaan (Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia), Ghalia
Indonesia, Bogor, hal. 83.

19
dilakukan perubahan anggaran dasar perseroan, sedangkan saham pada PT
terbuka sangatlah beraneka ragam dan lebih rumit.
Jenis-jenis saham dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
(1) Saham dengan hak suara atau tanpa hak suara;
(2) Saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota direksi
dan/atau anggota dewan komisaris;
(3) Saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau
ditukar dengan klasifikasi saham lain;
(4) Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas
pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif;
(5) Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima
lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian
sisa kekayaan perseroan dalam likuidasi10.

Sebagian besar jenis – jenis saham diatas adalah saham yang dapat
ditemukan di perseroan yang telah go public, artinya perseroan tersebut
telah menjual sahamnya dan telah terdaftar di pasar modal.

3. Karakteristik Perseroan
Para pengusaha dalam melangsungkan suatu usaha, membutuhkan
suatu wadah untuk dapat bertindak dan melakukan perbuatan hukum.
Pemilihan jenis badan usaha ataupun badan hukum yang akan dijadikan
sebagai sarana usaha tergantung pada keperluan para pihak yang
berkepentingan. Sarana usaha yang paling populer digunakan adalah
perseroan terbatas (PT), karena memiliki sifat, ciri khas dan keistimewaan
yang tidak dimiliki oleh bentuk badan usaha lainnya, antara lain:
a. Merupakan persekutuan yang berbadan hukum.
b. Merupakan kumpulan dari modal/saham,

10
Jamin Ginting, 2007, Hukum Perseroan Terbatas (UU 40 Tahun 2007), PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 76.

20
c. Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan para
pemegang sahamnya,
d. Pemegang saham memiliki tanggung jawab terbatas,
e. Adanya pemisahan fungsi antara pemegang saham dan
pengurus perseroan atau direksi,
f. Memiliki komisaris yang bertugas sebagai pengawas
pengelolaan perseroan,
g. Kekuasaan tertinggi terletak pada RUPS.

Dasar hukum pembentukan PT, dapat ditentukan sebagai berikut:


a. PT Tertutup (PT Biasa) : berdasarkan UU Nomor 40/2007
Tentang Perseroan Terbatas,
b. PT Terbuka (PT go public) : berdasarkan UU Nomor
40/2007 dan UU No. 8/1995 Tentang Pasar Modal,
c. UU Nomor 25/2007 Tentang Penanaman Modal.

Adapun syarat-syarat pendirian PT secara formal berdasarkan UUPT


adalah sebagai berikut:

a. Didirikan oleh minimal 2 orang atau lebih (pasal 7 ayat (1)


UUPT)
b. Dibuat dengan Akta Notaris yang berbahasa Indonesia
(pasal 7 ayat (1) UUPT)
c. Setiap pendiri harus mengambil bagian atas saham, kecuali
dalam rangka peleburan perseroan (pasal 7 ayat (2) dan ayat
(3) UUPT)
d. Akta pendirian harus disahkan oleh Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia dan diumumkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia (BNRI) (pasal 7 ayat (4)UUPT)
e. Modal dasar minimal sejumlah Rp. 50.000.000,- dan modal
disetor minimal 25% dari modal dasar (pasal 32 dan pasal
33 UUPT)

21
f. Struktur kepengurusan perseroan adalah adanya direktur
minimal 1 orang dan 1 orang komisaris (pasal 92 ayat (3)
dan pasal 108 ayat (3) UUPT)

22
C. Tinjauan Umum Holding Company
1. Pengertian Holding Company
Penulis akan membedah kata Holding Company sebagai batasan
sebelum membahas mengenai Holding Company, dimana Holding
Company merupakan gabungan dari suku kata holding dan company. Kata
holding berarti pengaruh atau jumlah saham yang dimiliki dan dipegang
oleh seseorang dalam menjalankan roda perusahaan. Sedangkan bila
dikaitkan dengan company, berarti bahwa suatu usaha dalam bentuk badan
hukum dan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya
mempunyai ikatan terutama dalam hal produksi. Oleh karena itu, company
juga disebut maskapai yakni perusahaan yang terkait dalam satu grup.
Dengan demikian, Holding Company adalah lebih dari satu perusahaan
yang saling terkait terutama dalam hal produksi hasil usahanya.
Holding Company adalah sebuah perusahaan yang memiliki saham
pada satu atau lebih perusahaan dan/atau mengatur perusahaan lain
tersebut11. Pembentukan holding merupakan strategi pada level korporasi
(corporate level strategy) yang mana perusahaan dari berbagai lini bisnis
digabungkan, dan dibentuk suatu induk perusahaan yang menaungi
perusahaan-perusahaan tersebut. Pembentukan holding BUMN merupakan
sebuah upaya Pemerintah untuk melakukan rightsizing BUMN guna
meningkatkan value creation BUMN.
Holding Company memiliki konsentrasi saham-saham yang
bertujuan untuk mencapai pengaruh pada perusahaan tertentu dengan
maksud untuk mengendalikannya. Holding Company merupakan
perusahaan mandiri, yang mengeluarkan saham-saham badan usaha lain
dan dividen yang tercapai dengannya. Dimana perusahaan induk dengan
kepemilikan saham 40% hingga 50% dapat mengendalikan anak
perusahaannya.
2. Jenis-Jenis Holding Company
11
Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 2008), hlm. 83.

23
Holding Company sendiri dapat dikelompokkan menjadi beberapa
jenis, yaitu berdasarkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan,
keterlibatan saham, dan keterlibatan dalam berbisnis dengan penjelasan
sebagai berikut :
a. Berdasarkan Keterlibatan dalam Pengambilan Keputusan
Dalam kategori ini, Holding Company dapat dibedakan menjadi :
1) Holding Company Investasi (Pemegang Saham Pasif)
Kepemilikan saham anak perusahaan oleh perusahaan holding
disini hanya untuk tujuan investasi saja dan tidak turut campur
tangan pada kegiatan manajemen dari perusahaan anak tersebut.
2) Holding Company Manajemen
Perusahaan holding disini ikut andil atau mengawasi pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh anak perusahaan.
b. Berdasarkan Kegiatan Perusahaan Induk
Berdasarkan kegiatan dari perusahaan induk, Holding Company dapat
dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Investment Holding Company
Pada kategori ini, perusahaan holding melakukan penyertaan
saham kepada anak perusahaan tanpa melakukan kegiatan
operasional, dan mendapat keuntungan hanya dari deviden yang
diberikan anak perusahaan.
2) Operating Holding Company
Pada jenis ini, perusahaan holding menjalankan kegiatan usaha
serta turut mengatur anak perusahaan.
c. Berdasarkan Sifat
Berdasarkan sifatnya, Holding Company dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu :12
1) Grup Usaha Vertikal

12
Sulistiowati, Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, (Jakarta:
Erlangga, 2010), hlm 25.

24
Jenis usaha masing-masing perusahaan dalam grup ini masih
tergolong serupa, hanya produk yang dihasilkan saja yang berbeda.
Pada umumnya grup usaha ini menguasai suatu jenis produksi dari
awal sampai akhir.
2) Grup Usaha Horizontal
Dalam grup usaha ini, jenis usaha dari masing-masing perusahaan
sangat berbeda dan tidak berkaitan sama sekali antara satu dengan
lainnya.
3) Grup Usaha Kombinasi
Di dalam grup ini, terdapat beberapa perusahaan yang memiliki
jenis usaha serupa, namun beberapa perusahaan lainnya tidak
memiliki kesamaan jenis usaha dan tidak berkaitan antara satu
dengan lainnya.
d. Berdasarkan Keterlibatan Saham
Dilihat dari sejauh mana Holding Company terlibat dalam saham,
maka dapat dibedakan sebagai berikut :13
1) Holding Company Afiliasi
Perusahaan holding disini memegang saham sebanyak kurang dari
51% saham milik anak perusahaannya.
2) Holding Company Subsidiary
Dalam kategori ini, perusahaan holding memiliki 51% bahkan
lebih saham dari anak perusahaannya.
3) Holding Company Non-Kompetitif
Holding Company dalam kategori ini memiiliki kurang dari 51%
saham anak perusahaannya, tetapi tetap tidak kompetitif dengan
pemengang saham lainnya.
4) Holding Company Kombinasi
Perusahaan holding ini adalah kombinasi dari ketiga jenis Holding
Company di atas, dimana perusahaan holding memegang saham

13
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya
Bhakti, 2002), hlm. 95-103.

25
pada beberapa anak perusahaan sekaligus memiliki 51% saham
bahkan lebih, dan ada pula yang memiliki kurang dari 51% saham
anak perusahaannya, bersifat kompetitif dan non-kompetitif.
e. Berdasarkan Keterlibatan dalam Berbisnis
Dilihat dari keterlibatan perusahaan holding dalam berbisnis, dapat
dikategorikan menjadi :
1) Holding Company Semata
Secara de facto, perusahaan holding kategori ini tidak melakukan
bisnis sendiri dalam praktek, dan hanya memegang saham serta
mengontrol anak perusahaannya.
2) Holding Company Beroperasi
Selain memegang saham dan mengontrol anak perusahaannya,
perusahaan holding kategori ini juga melakukan bisnis sendiri.

D. Tinjauan Umum PT Pertamina


1. Pengertian PT Pertamina
PT. Pertamina (Persero) adalah BUMN yang mengelola Sumber
Daya Migas. Sebagai lokomotif perekonomian bangsa PT. Pertamina
(Persero) merupakan perusahaan milik negara yang bergerak di bidang
energi meliputi minyak, gas serta energi baru dan terbarukan. PT.
Pertamina (Persero) menjalankan kegiatan bisnisnya berdasarkan prinsip-
prinsip tata kelola korporasi yang baik sehingga dapat berdaya saing yang
tinggi di dalam era globalisasi. Dengan pengalaman lebih, PT. Pertamina
(Persero) semakin percaya diri untuk berkomitmen menjalankan kegiatan
bisnisnya secara professional dan penguasaan teknis yang tinggi mulai dari
kegiatan hulu sampai hilir. Berorientasi pada kepentingan pelanggan juga
merupakan suatu hal yang menjadi komitmen Pertamina, agar dapat
berperan dalam memberikan nilai tambah bagi kemajuan dan
14
kesejahteraan bangsa Indonesia .

14
Andri Irawan, Kualitas Pelayanan PT Pertamina (Persero) Dalam Penyaluran Bahan Bakar
Minyak (BBM) di Kabupaten Merauke, (Merauke: Madani Jurnal Politik Sosian dan Masyarakat,
2019), hlm. 154.

26
2. Sejarah PT Pertamina

PT Pertamina Persero, pada awalnya nama perusahaan ini adalah


Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Sebagai sebuah
perusahaan, PT.Pertamina sempat mengalami beberapakali perubahan
status dan struktur perusahaannya. Tonggak sejarah Pertamina diawali
sekitar tahun 1950-an, Pemerintah Republik Indonesia menunjuk
Angkatan Darat yang kemudian mendirikan PT Eksploitasi Tambang
Minyak Sumatera Utara untuk mengelola lading minyak di wilayah
Sumatera, kemudian rincian dari perjalanan sejarah perusahaan ini dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a) Tahun 1957
Pada tanggal 10 Desember 1957, perusahaan tersebut berubah nama
menjadi PT Perusahaan Minyak Nasional (PERMINA). Hingga saat
ini, tanggal tersebut diperingati sebagai hari lahirnya Pertamina. Lalu
pada tahun 1960, PT Pertamina berubah status menjadi Perusahaan
Negara (PN) Permina. Kemudian, PN Permina bergabung dengan PN
Pertamin menjadi PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
(Pertamina) pada 20 Agustus 1968.
b) Tahun 1971
Kemudian Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971
tentang perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
mengatur peran Pertamina untuk menghasilkan dan mengolah migas
dari ladang-ladang minyak serta menyediakan kebutuhan bahan bakar
dan gas di Indonesia. Kemudian melalui Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pemerintah mengubah
kedudukan Pertamina sehingga penyelenggaraan Public Service
Obligation (PSO) dilakukan melalui kegiatan usaha.
c) Tahun 2003

27
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang
Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
Negara (PERTAMINA) Menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO),
pada tanggal 18 Juni 2003, Perusahaan Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi Negara berubah nama menjadi PT Pertamina (Persero)
yang melakukan kegiatan usaha migas pada Sekotr Hulu hingga
Sektor Hilir. Pada 10 Desember 2005, Pertamina mengubah lambang
kuda laut menjadi anak panah dengan warna dasar hijau, biru, dan
merah yang merefleksikan unsur dinamis dan kepedulian lingkungan.
d) Tahun 2006
Pada tanggal 20 Juli 2006, PT Pertamina (Persero) melakukan
transformasi fundamental dan usaha perusahaan. PT Pertamina
(Persero) mengubah visi Perusahaan yaitu “Menjadi Perusahaan
Minyak Nasional Kelas Dunia” pada 10 Desember 2007. Pertamina
melalui anak usaha PT Pertamina International EP mengakuisisi
saham perusahaan migas Prancis Maurel et Prom (M&P) dengan
kepemilikan saham sebesar 72,65% saham pada tanggal 10 Desember
2007. Kemudian tahun 2011, Pertamina menyempurnakan visinya,
yaitu “Menjadi Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia”. Melalui
RUPSLB (Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa) tanggal 19 Juli
2012, Pertamina menambah modal ditempatkan dan modal disetor,
serta memperluas kegiatan usaha Perusahaan.
e) Tahun 2015
Tanggal 14 Desember 2015, Menteri BUMN dalam RUPS menyetujui
perubahan Anggaran Dasar Pertamina dalam hal optimalisasi
pemanfaatan sumber daya, peningkatan modal ditempatkan dan
diambil bagian oleh negara serta perbuatan-perbuatan direksi yang
membutuhkan persetujuan tertulis dewan komisaris.
f) Tahun 2016
Pada 24 November 2016, Menteri BUMN pada RUPS sesuai dengan
SK BUMN Nomor S-690/MBU/11/2016, menyetujui perubahan

28
Anggaran Dasar Pertamina terkait dengan komposisi direksi dan
dewan komisaris, kewenangan atas nama direktur utama, pembagian
tugas dan wewenang direksi, kehadiran rapat direktur utama dan
dewan komisaris.
g) Tahun 2017
Pada 2017, salah satu langkah nyata mewujudkan visi menjadi
perusahaan energi nasional kelas dunia adalah keberhasilan
menuntaskan akuisisi saham perusahaan migas Prancis Maurel et
Prom (M&P). Terhitung mulai 1 Februari 2017 melalui anak usaha PT
Pertamina International EP, Pertamina menjadi pemegang saham
mayoritas M&P dengan 72,65% saham. Melalui kepemilikan saham
mayoritas di M&P, Pertamina memiliki akses operasi di 12 negara
yang tersebar di 4 benua. Pada masa mendatang, Pertamina
menargetkan produksi 650 ribu BOEPD (Barrels of Oil Equivalents
Per Day) di 2025 dari operasi internasional, sebagai bagian dari target
produksi Pertamina 1,9 juta BOEPD di 2025, dalam upaya nyata
menuju ketahanan dan kemandirian energi Indonesia.
h) Tahun 2020
Melanjutkan transformasi perusahaan untuk menjadi perusahaan kelas
dunia, Pada 12 Juni 2020, pemegang saham (Pemerintah melalui
Kementerian BUMN) menetapkan struktur baru perusahaan. Dimana
kini, Pertamina berlaku sebagai holding yang memiliki lima
subholding, yaitu Upstream Subholding yang operasionalnya
diserahkan kepada PT Pertamina Hulu Energi, Gas Subholding (PT
Perusahaan Gas Negara), Refinery & Petrochemical Subholding (PT
Kilang Pertamina Internasional), Power & NRE Subholding (PT
Pertamina Power Indonesia) dan Commercial & Trading Subholding
(PT Patra Niaga). Selain itu juga terdapat ShiPeraturan Pemerintahing
Company yang operasionalnya diserahkan kepada PT Pertamina
International ShiPeraturan Pemerintahing.

29
3. Bidang Usaha Pertamina

PT Pertamina dalam perannya sebagai Holding Company, tentunya


memiliki beberapa anak perusahaan, berdasarkan Keputusan Menteri
BUMN pada 12 Juni 2020, sejumlah direktorat operasional Pertamina
telah resmi menjadi subholding, yaitu Upstream Subholding yang
operasionalnya diserahkan kepada PT Pertamina Hulu Energi, Gas
Subholding (PT Perusahaan Gas Negara), Refinery & Petrochemical
Subholding (PT Kilang Pertamina Internasional), Power & NRE
Subholding (PT Pertamina Power Indonesia) dan Commercial & Trading
Subholding (PT Patra Niaga). Selain itu juga terdapat Shipping Company
yang operasionalnya diserahkan kepada PT Pertamina International
Shipping.
Secara umum tugas Pertamina sebagai holding akan diarahkan
pada pengelolaan portofolio dan sinergi bisnis di seluruh Pertamina Grup,
mempercepat pengembangan bisnis baru, serta menjalankan program-
program nasional. Sementara subholding akan menjalankan peran untuk
mendorong operational excellence melalui pengembangan skala dan
sinergi masing-masing bisnis, mempercepat pengembangan bisnis dan
kapabilitas bisnis existing serta meningkatkan kemampuan dan
fleksibilitas dalam kemitraan dan pendanaan yang lebih menguntungkan
perusahaan.

4. Landasan Hukum PT Pertamina


PT Pertamina (Persero) didirikan berdasarkan akta Notaris Lenny
Janis Ishak, SH No. 20 tanggal 17 September 2003, dan disahkan oleh
Menteri Hukum & HAM melalui Surat Keputusan No. C-24025 HT.01.01
pada tanggal 09 Oktober 2003. Pendirian Perusahaan ini dilakukan
menurut ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang No.
1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah No. 12
Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero), dan Peraturan

30
Pemerintah No. 45 tahun 2001 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah No. 12 tahun 1998 dan peralihannya berdasarkan Peraturan
Pemerintah No.31 Tahun 2003 "Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan
Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara (Pertamina) Menjadi
Perusahaan Perseroan (Persero)" Sesuai akta pendiriannya, maksud dari
Perusahaan Perseroan adalah untuk menyelenggarakan usaha di bidang
minyak dan gas bumi, baik di dalam maupun di luar negeri serta kegiatan
usaha lain yang terkait atau menunjang kegiatan usaha di bidang minyak
dan gas bumi tersebut.

31
BAB III

Metode Penelitian

Untuk mencari dan menemukan suatu kebenaran ilmiah dan untuk


mendapatkan hasil yang optimal dalam melengkapi bahan-bahan bagi
penulisan skripsi ini maka penulis mengadakan penelitian dengan metode
sebagai berikut :
A. Metode Pendekatan

Penelitian ini akan disusun dengan menggunakan tipe penelitian yuridis


normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-
kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.15 Yuridis Normatif, yaitu
pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep ini
memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan
diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Konsepsi ini
memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat mandiri,
tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata. 16
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengetahui
keseluruhan peraturan hukum khususnya pengaturan mengenai Holding
Company bagi BUMN di Indonesia. Metode pendekatan tersebut digunakan
secara deduktif dimulai dari analisa pasal-pasal dalam perundangan yang
mengatur hal-hal yang menjadi permasalahan di atas. Metode pendekatan
digunakan dengan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada
peraturan perundang-undangan yaitu hubungan peraturan satu dengan
peraturan lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktik.

15
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, hlm. 295.
16
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 13-14.

32
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan deskriptif analisis yaitu metode
penelitian yang digunakan bertujuan untuk melukiskan sesuatu permalasahan
di daerah tertentu atau pada saat tertentu. Peneliti berusaha mengungkapkan
fakta selengkap-lengkapnya dan apa adanya 17. Penelitian deskriptif bertujuan
menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik
mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Data yang dikumpulkan
semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud mencari penjelasan,
menguji hipotesis, membuat prediksi, maupun mempelajari implikasi.

C. Teknik Pengumpulan Data


Data dalam penulisan ini adalah data sekunder, yaitu bahan pustaka yang
mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku perpustakaan, peraturan
perundang-undangan, karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen yang
berkaitan dengan materi penelitian. Dari bahan hukum sekunder tersebut
mencakup tiga bagian, yaitu:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
peraturan perundang-undangan, yaitu:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
b. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas;
c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara;
d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Keuangan Negara;
e. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penambahan
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Ke Dalam Modal
Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina;

17
Suteki dan Galang Taufani. 2018. Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, Teori, dan Praktik,
(Depok: Rajawali Press), Hlm 133.

33
f. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha
Milik Negara dan Perseroan Terbatas;
g. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor :
PER-03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota
Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan
Usaha Milik Negara.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami
bahan hukum primer, terdiri dari:
a. Buku-buku bacaan yang terkait dengan judul
b. Jurnal-jurnal hukum yang terkait dengan judul
c. Berita yang faktual dan terkait dengan judul
d. Makalah yang terkait dengan judul
e. Tulisan ilmiah yang berkaitan dengan materi penelitian
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
terdiri dari :
a. Kamus Besar Bahasa Indonesia
b. Kamus Ilmiah Populer
c. Kamus Hukum
d. Ensikopledia Hukum
4. Internet
Pentingnya penggunaan internet untuk penelitian hukum berkaitan
dengan kemudahan untuk mendapatkan bahan hukum. Penjelajahan
internet sebenarnya hampir sama dengan studi kepustakaan yaitu sama-
sama mencari bahan pustaka. Dalam menjelajahi internet, peneliti
melakukan penelusuran terhadap data-data yang berhubungan dengan
pokok permasalahan.

34
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan ini, dilakukan melalui penelitian
kepustakaan, dimana data dikumpulkan sebanyak mungkin melalui proses
membaca serta mengutip bahan hukum primer dan sekunder mengenai
masalah yang berhubungan dengan penelitian kemudian data-data tersebut
penulis analisa dan kembangkan.
E. Metode Analisis Data
Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat ditemukan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Pekerjaan analisis data dalam hal ini ialah mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberikan kode dan mengkategorikannya.
Pengorganisasian dan pengelolaan data tersebut bertujuan menemukan tema
dan hipotesis kerja yang akhirnya diangkat menjadi teori substantif18.
Penelitian ini bersifat kualitatif dikarenakan penelitian ini lebih
menitikberatkan atau mengandalkan pada kedalaman data bukan banyaknya
data yang diperoleh. Teknik analisis data yang digunakan adalah logika
deduktif, dimana teknik ini menjelaskan suatu hal yang bersifat umum dan
kemudian akan ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
Analisis dilakukan dengan mengkaji serta menelaah peraturan
perundang-undangan serta pendapat ahli yang berkaitan dengan judul karya
ilmiah ini. Kemudian dilanjutkan dengan mengkaji dan menelaah bagaimana
pembentukan PT Pertamina menjadi Holding Company, serta mengaitkannya
dengan peraturan perundangan yang berlaku dan selanjutnya ditarik
kesimpulan mengenai topologi strategis apa yang digunakan dalam
pembentukan PT Pertamina sebagai perusahaan holding serta dampak yang
ditimbulkan dari kegiatan tersebut.

18
Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999),
halaman 103.

35
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pembentukan Holding Company BUMN Serta Pengaturannya Dalam


Peraturan Perundang-Undangan yang Berlaku di Indonesia
1. Pengaturan Holding Company BUMN di Indonesia
Pembentukan Holding Company pada dasarnya bertujuan untuk
meningkatkan daya saing BUMN (competitiveness). Melalui pembentukan
holding kapabilitas BUMN juga diharapkan dapat meningkat, dan aset
yang diholdingkan akan bertambah besar. Pembentukan Holding Company
pada BUMN di Indonesia sudah dicanangkan oleh pemerintah dan mulai
disahkan sejak tahun 2018 yang lalu, akan tetapi peraturan perundang-
undangan di Indonesia memang tidak ada yang membahas dan mengatur
Holding Company secara rinci dan spesifik.
Menurut pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio, ada beberapa
peraturan perundang-undangan yang harus diberi perhatian khusus saat
akan melakukan pembentukan Holding Company BUMN, yaitu Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2007 tentang Keuangan Negara. Tetapi landasan yuridis yang
selama ini dijadikan legitimasi secara legal pelaksanaan holding BUMN
adalah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 yang merupakan
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT.
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah tersebut tidak serta merta
dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul atas pembentukan
Holding Company BUMN, karena apabila dilihat secara substansial,
Peraturan Pemerintah ini bertentangan dengan peraturan yang ada
diatasnya yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN,
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Keuangan Negara.

36
Terdapat dua hal yang menjadi perhatian khusus apabila
menjadikan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT
sebagai payung hukum pembentukan Holding Company BUMN. Yang
pertama terkait dengan perubahan kekayaan negara menjadi aset BUMN
dan PT, menurut Dr. Toto Pranoto dalam bukunya “Holding Company
BUMN ; Konsep, Implementasi, dan Benchmarking” menyebutkan bahwa
perubahan ini tidak dapat langsung dieksekusi oleh pemerintah karena
perubahan kekayaan tersebut harus dibahas dengan DPR melalui Komisi
VI dan Komisi XI sesuai amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007
tentang Keuangan Negara. Ini artinya terdapat paradox antara Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2007, dimana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia,
posisi Undang-Undang lebih tinggi daripada Peraturan Pemerintah,
sehingga Undang-Undang harus menjadi rujukan pertama apabila ada hal
yang bertolak belakang19.
Perihal kedua yang menjadi poin perhatian adalah terkait status
anak perusahaan BUMN, dimana menurut Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang BUMN, anak perusahaan dari Holding Company
BUMN bukanlah termasuk dalam BUMN, sehingga tidak dapat
diperlakukan selayaknya BUMN, khususnya dalam hal penugasan dan
pengelolaan sumber daya strategis. Namun sebagaimana tertulis pada
Pasal 33 ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tertulis bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
negara”, maka dari itu dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa seluruh

19
Dr.Toto Pranoto, Holding Company BUMN; Konsep, Implementasi, dan Benchmarking, (Jakarta :
LMFEUI, 2017), hal 95.

37
aset strategis nasional harus dikelola oleh negara, oleh negara dalam hal
ini adalah melalui BUMN20.
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam
dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat. Sehingga monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan
hubungan hukumnya berada pada negara. Dalam Pasal 33 ini menjelaskan
bahwa perekonomian indonesia akan ditopang oleh 3 pelaku utama yaitu
Koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan Swasta
yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme
pasar, serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik
perseorangan.
Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (2) dan
(3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk
kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan
pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan
mayoritas masyarakat, dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Beberapa poin kritis dapat timbul apabila Peraturan Pemerintah
Nomor 72 Tahun 2016 ini dibedah lebih dalam. Yang pertama, pada Pasal
2A ayat (3 dan 4), dimana penyertaan modal negara di BUMN berubah
menjadi kekayaan BUMN atau PT. Kemudian pada Pasal 2A ayat (7)
mengenai perlakuan terhadap anak usaha BUMN, dimana dituliskan pada
intinya anak BUMN diperlakukan seperti BUMN dalam hal mendapatkan
penugasan pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum serta
mendapatkan kebijakan negara termasuk dalam pengelolaan sumber daya
alam. Artinya, sesuai dengan yang tercantum pada Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Keuangan Negara, apabila
peruntukan dana APBN berubah, maka harus melalui pembahasan dengan
DPR.

20
Ibid, hal 96.

38
Agus Pambagio mengatakan bahwa pada Pasal 2A ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 disebutkan bahwa
“penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa
saham milik negara pada BUMN atau PT sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf d, kepada BUMN atau PT lain dilakukan oleh
pemerintah pusat tanpa melalui APBN”. Dimana artinya ini menandakan
tidak adanya peran DPR dalam merumuskan kebijakan strategis tersebut.
Pasal 2A ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016
menyebutkan “Dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara
pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian
besar saham dimiliki oleh BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi
anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham
dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar”. Serta pada Pasal
2A ayat (3) : “kekayaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN atau Perseroan
Terbatas, bertransformasi menjadi saham/ modal negara pada BUMN atau
Perseroan Terbatas tersebut”. Terlihat bahwa mekanisme inbreng
(pemasukan barang sebagai modal perusahaan) kekayaan negara berupa
saham di suatu BUMN, misalnya aset BUMN X dipindahkan ke BUMN
Y, sehingga BUMN Y berubah menjadi swasta atau PT lalu harta
kekayaan negara dapat berubah menjadi kekayaan BUMN atau bahkan PT.
Beberapa hal yang tertulis pada payung hukum Holding Company
BUMN yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 ini perlu
diperhatikan secara khusus oleh pemerintah. Hal ini menjadi penting
sebagai upaya pemerintah untuk menepis berbagai spekulasi negatif terkait
pembentukan dan pelaksanaan Holding Company BUMN ini. Pelaksanaan
Holding Company BUMN ini harus sesuai dengan tujuan awal
pembentukannya yaitu menjadikan BUMN Indonesia lebih luas dan lincah
dalam bergerak pada persaingan global. Sehingga, semangat perbaikan

39
BUMN Indonesia tidak disalahartikan karena masih belum kuatnya
payung hukum pembentukan Holding Company BUMN ini.
Menurut penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
(PSHK), terdapat sedikitnya beberapa potensi mengenai persoalan hukum
yang mungkin dapat muncul terkait kebijakan Holding Company BUMN
ini. Yang pertama, berkaitan dengan status hukum BUMN, berangkat dari
definisi BUMN sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angka (1) UU Nomor
19 Tahun 2003 tentang BUMN. Dengan merujuk pada pasal tersebut,
berarti yang termasuk dalam BUMN hanya perusahaan induknya saja.
Padahal dalam hal ini anak perusahaan juga mengelola sumber daya alam
strategis yang mana hal ini bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) UUD
NRI 1945 yang menyebutkan bahwa “cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.”
Berdasarkan UU BUMN, BUMN mendapatkan penyertaan modal
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Terdapat
multitafsir antara hak dan kewajiban negara terhadap BUMN atas
pengertian “kekayaan negara yang dipisahkan”. Menjadi sebuah
perdebatan apakah pemerintah hanya berfungsi sebagai penatausahaan
atau ikut bertanggung jawab penuh atas pengelolaan kekayaan negara
tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa
kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN termasuk ke dalam
lingkup keuangan negara sehingga kewenangan pengawasan tetap
dilakukan oleh pemerintah.
Kekayaan negara yang telah disertakan menjadi modal BUMN
pengelolaannya tunduk pada paradigma usaha (business judgment rules).
Namun demikian, dengan adanya pemisahan kekayaan negara tersebut,
bukan berarti menjadikan kekayaan BUMN beralih dan terlepas dari
kekayaan negara. Apabila dilihat dari perspektif transaksi, kejadian
tersebut hanya pemisahan yang tidak dapat dikonstruksikan sebagai
pengalihan kepemilikan. Maka dari itu, negara tetap berwenang atas

40
pengawasan terhadap BUMN. BPK juga tetap dapat melakukan
pengawasan terhadap holding BUMN berdasarkan paradigma usaha
(business judgment rules) dengan menilai apakah holding BUMN telah
menerapkan Good Coprorate Governance dalam praktik bisnisnya.
Potensi lain yang mungkin muncul adalah terkait dengan aspek
persaingan usaha tidak sehat sesuai UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Potensi
persaingan usaha yang tidak sehat mencakup struktur pasar menjadi
oligopoli, pembagian wilayah, kepercayaan, integrasi vertikal, pemilikan
saham, serta pengggabungan, peleburan dan pengambilalihan. Dalam
kaitannya dengan praktik persaingan usaha yang tidak sehat, hanya Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) semata yang berwenang dan bisa
menilai potensi Holding Company BUMN dari segi persaingan usaha.
Berdasarkan Pasal 35 huruf e UU Nomor 5 Tahun 1999, KPPU
bisa memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan praktik persaingan usaha tidak sehat. Oleh karena
itu diperlukan sinergi antara pemerintah dan Peraturan Pemerintah terkait
Holding Company BUMN agar tidak menyebabkan terjadinya praktik
persaingan usaha tidak sehat. Melalui pertimbangan KPPU, diharapkan
pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang mendukung terciptanya
praktik persaingan usaha yang sehat.
Pelanggaran atas hukum persaingan dapat mengakibatkan
hilangnya kesejahteraan dari sebagian konsumen dan/atau pelaku usaha.
Untuk itu, Peraturan Pemerintah sebagai lembaga penegak hukum
persaingan, memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tindakan
administratif untuk mencegah dan/atau mengembalikan kesejahteraan
yang hilang tersebut. Ketentuan mengenai sanksi yang dapat diberikan
oleh Peraturan Pemerintah diatur di dalam Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999
yaitu yang pertama adalah sanksi administratif yang meliputi penetapan
pembatalan perjanjian, perintah untuk menghentikan kegiatan yang
terbukti menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan

41
masyarakat, penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan
badan usaha dan pengambilalihan saham, dan denda serendah-rendahnya
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp
25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
Perlu menjadi catatan penting bahwa BUMN bukanlah hanya
merupakan tempat pemerintah untuk berinvestasi atau berusaha dengan
menanamkan modal, tetapi juga memiliki fungsi strategis sebagai alat
negara untuk menjalankan fungsi penguasaan negara dalam aspek
pengelolaan, terutama di dalam sektor strategis. Hal terpenting bagi negara
adalah menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga BUMN tidak boleh
hanya dianggap sebagai korporasi biasa (PT). Oleh karena itu, payung
hukum yang dikeluarkan pemerintah selayaknya dapat menyeimbangkan
dua peran BUMN, yaitu antara kepentingan BUMN untuk semakin lincah
bergerak di dunia bisnis yang semakin kompetitif dan tetap menjadi agen
pembangunan bangsa.

Tidak ada pengaturan secara khusus yang mengatur mengenai


pembentukan Holding Company BUMN, tetapi secara tersirat dapat kita
lihat dari Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, mengingat Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas berlaku bagi PT Pertamina, karena PT Pertamina
merupakan BUMN Persero, dimana menurut Undang-Undang Nomor 40
tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 84 menyinggung mengenai
adanya anak dan induk perusahaan dan secara tersirat menurut Pasal 125
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Holding Company dapat terbentuk melalui akuisisi dan spinoff, pengaturan
mengenai akuisisi BUMN diatur secara khusus melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, dan Perubahan Bentuk Badan Hukum Badan Usaha
Milik Negara pada Pasal 3 sampai dengan Pasal 8. Pengaturan mengenai
BUMN diatur secara khusus didalam Undang – Undang Nomor 19 Tahun

42
2003 tentang BUMN, dimana Holding Company tidak diatur di dalam
Undang – Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, melainkan
hanya sedikit menyinggung dalam Pasal 14 mengenai kewenangan RUPS
untuk membentuk anak perusahaan dan Pasal 86 mengenai hasil
privatisasi anak perusahaan yang ditetapkan sebagai dividen interim.

2. Mekanisme Pembentukan Holding Company BUMN


Pembentukan Holding Company BUMN di Indonesia telah dimulai
sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto. Melalui pembentukan
Kementerian Badan Usaha Miliki Negara (BUMN), pemerintah
menargetkan BUMN di Indonesia mampu menjadi perusahaan-perusahaan
berskala global. Proses perjalanan implementasi konsep Holding Company
BUMN ini dimulai dengan pembentukan Holding Company BUMN
Semen (tahun 1995) dan BUMN Pupuk (tahun 1998). Menjadi penting
untuk diketahui bahwa pembentukan induk perusahaan, konsolidasi anak
perusahaan, dan transformasi Holding Company BUMN tidaklah
berlangsung secara sekejap.
Proses pembentukan Holding Company BUMN di Indonesia
diawali dengan kepemilikan 100% saham BUMN yang akan ditunjuk
menjadi Holding Company oleh pemerintah. Perusahaan yang dicalonkan
menjadi induk perusahaan harus memenuhi kualifikasi dan dianggap
kompeten dalam sektornya serta memegang peranan penting dalam rantai
nilai di industrinya. Dimana kemudian calon induk perusahaan akan
menerima inbreng penerbitan saham baru sebagai tambahan modal.
Manajemen holding dan anak perusahaan akan ditetapkan sepenuhnya
oleh pemerintah.
BUMN yang memiliki Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara sebagai payung hukumnya, maka
secara otomatis pembentukan Holding Company BUMN juga tunduk pada
UU BUMN. Dimana dalam UU BUMN, terdapat beberapa kepemilikan

43
saham yang dapat ditempuh oleh BUMN untuk meningkatkan kinerjanya
atau membangun sinergi dengan BUMN lain, yaitu penggabungan,
peleburan, pengambilalihan dan pemisahan.
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan diatur lebih lanjut
di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pembubaran BUMN,
sesuai dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pembubaran BUMN
tersebut, penggabungan, peleburan dan pengambilalihan BUMN memiliki
ketentuan yaitu :
a) Penggabungan yang dilakukan antara perum dengan perum
lainnya, atau persero dengan persero lainnya;
b) Peleburan yang dilakukan antara perum dengan perum lainnya,
atau persero dengan persero lainnya;
c) Pengambilalihan yang dilakukan perum terhadap persero, perum
terhadap perseroan terbatas, persero terhadap persero lainnya,
atau persero terhadap perseroan terbatas.
Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan BUMN hanya
dapat dilakukan dengan persetujuan RUPS untuk persero, dan menteri
untuk perum. Namun untuk pembentukan Holding Company BUMN
hanya bisa ditempuh dengan beberapa metode yaitu pengambilalihan, dan
pemisahan tidak murni (spin off). Mengapa penggabungan dan peleburan
tidak bisa menimbulkan pembentukan Holding Company, karena apabila
menggunakan metode penggabungan, menurut Pasal 1 angka (9) UU PT,
perseroan yang menggabungkan diri aktiva dan pasivanya akan beralih ke
perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan
hukum perseroan yang menggabungkan diri akan berakhir karena hukum.
Artinya, walaupun perseroan yang menerima penggabungan itu memiliki
lebih dari 50% saham perseroan yang menggabungkan diri, tetapi
perseroan yang menerima penggabungan tidak dapat dikatakan sebagai

44
Holding Company karena perseroan yang menerima penggabungan tidak
memiliki anak perusahaan dibawahnya.
Perbuatan hukum peleburan menurut Pasal 1 angka 10 UU PT,
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih
untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang
karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang
meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri
berakhir karena hukum, artinya dengan menggunakan metode peleburan
hanya akan menghasilkan 1 entitas baru, dan entitas atau perusahaan
sebelumnya akan berakhir. Perseroan hasil peleburan tidak dapat dikatakan
sebagai Holding Company karena tidak memiliki anak perusahaan
dibawahnya.

Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang


Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pembubaran BUMN
menyebutkan, bahwa tata cara penggabungan, peleburan dan
pengambilalihan BUMN persero dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang perseroan terbatas, yakni UUPT. Dimana
dalam Pasal 126 UUPT menyebutkan bahwa :

Perseroan dalam melaksanakan Penggabungan, Peleburan,


Pengambilalihan dan Pemisahan wajib memperhatikan :
1. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan.
2. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari perseroan.
3. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha

Pembentukan Holding Company BUMN dengan cara


pengambilalihan dan pemisahan berdasarkan UUPT adalah sebagai
berikut:

a. Pengambilalihan

Dalam Pasal 1 angka (11) UUPT menyebutkan bahwa


pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh

45
badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih
saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian
atas Perseroan tersebut.

Pasal 125 ayat (1) UU PT juga menjelaskan bahwa


pengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham
yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh perseroan
melalui direksi perseroan atau langsung dari pemegang saham, dan
yang dapat melakukan tersebut ialah badan hukum atau
perseorangan.

Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada pasal


tersebut adalah pengambilalihan saham yang mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap Perseroan tersebut, seperti yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan,
seperti yang dimaksud pada Pasal 1 angka (11) UU PT. Ada dua
metode yang dapat dilakukan untuk melakukan perbuatan hukum
pengambilalihan, yaitu melalui direksi perseroan atau dari
pemegang saham langsung yang pengaturannya pun juga berbeda
di dalam UU PT. Pengambilalihan saham suatu perseroan ada yang
dapat mengakibatkan perubahan pengendalian maupun tidak
menimbulkan perubahan pengendalian dalam perseroan tersebut.

Pengambilalihan yang mengakibatkan perubahan pengendalian

Proses pengambilalihan yang dapat mengakibatkan


perubahan pengendalian dalam perseroan terbagi menjadi dua,
yaitu :

1. Proses Pengambilalihan melalui Direksi Perseroan


Menurut Pasal 125 ayat (1) UUPT, pengambilalihan
dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah

46
dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh perseroan
melalui direksi perseroan atau langsung dari pemegang
saham. Dimana yang dapat melakukan pengambilalihan
dapat berupa badan hukum atau orang perseorangan.
Pengambilalihan saham yang dimaksud dalam pasal 125
ayat (1) UU PT adalah pengambilalihan yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan
nantinya seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 angka (11)
UU PT. Berikut adalah proses pengambilalihan melalui
direksi perseroan :
 Keputusan RUPS
Berdasarkan Pasal 125 ayat (4) UU PT,
pengambilalihan yang dilakukaan oleh badan hukum
berbentuk perseroan, direksi sebelum melakukan
perbuatan hukum pengambilalihan harus berdasarkan
RUPS yang memenuhi kuorum kehadiran dan
ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan
RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 UU PT
yaitu paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau
diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika
disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari
jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar
menentukan kuorum kehadiran atau ketentuan RUPS
yang lebih besar.
 Pemberitahuan kepada Direksi Perseroan
Pasal 125 ayat (5) UU PT mengatur bahwa dalam hal
pengambilalihan dilakukan oleh direksi, pihak yang
akan mengambil alih menyampaikan maksudnya untuk
melakukan pengambilalihan kepada direksi perseroan
yang akan diambil alih.

47
 Penyusunan Rancangan Pengambilalihan
Sesuai dengan Pasar 125 ayat (6) UU PT, direksi
perseroan yang akan diambilalih dengan persetujuan
komisaris masing-masing perseroan menyusun
rancangan pengambilalihan yang memuat sekurang-
kurangnya :
- Nama dan tempat kedudukan dari Perseroan
yang akan diambilalih dan perseroan yang akan
mengambilalih.
- Alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang
akan mengambilalih dan Direksi Perseroan yang
akan diambilalih.
- Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 ayat (2) UUPT untuk tahun
buku terakhir dari Perseroan yang akan
mengambilalih dan Perseroan yang akan
diambilalih.
- Tata cara penilaian dan konversi saham dari
perseroan yang akan diambilalih terhadap
saham penukarnya apabila pembayaran
pengambilalihan dengan saham.
- Jumlah saham yang akan diambilalih.
- Kesiapan pendanaan.
- Neraca konsolidasi performa Perseroan yang
akan mengambilalih setelah pengambilalihan
yang disusun sesuai dengan prinsip akuntasi
yang berlaku umum di Indonesia.
- Cara penyelesaian hak Pemegang Saham yang
tidak setuju terhadap pengambilalihan

48
- Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban
anggota Direksi, Komisaris dan Karyawan
Perseoran yang diambilalih.
- Perkiraan jangka waktu pelaksanaan
pengambilalihan, termasuk jangka waktu
pemberian kuasa pengalihan saham dari
Pemegang Saham kepada Direksi Perseroan.
- Rancangan perubahan Anggaran Dasar
Perseroan hasil pengambilalihan jika ada.
 Pengumuman Ringkasan Rancangan
Kemudian, direksi perseroan wajib mengumumkan
ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat
kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada
karyawan dari perseroan yang akan melakukan
pengambilalihan dalam jangka waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS (Pasal
127 ayat (2) UU PT). Pengumuman tersebut juga
memuat mengenai pemberitahuan bahwa pihak yang
berkepentingan dapat memperoleh rancangan
pengambilalihan di kantor perseroan terhitung sejak
tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS
diselenggarakan.
 Pengajuan Keberatan Kreditor
Kreditor dapat mengajukan keberatan terhadap
perseroan dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat
belas) hari setelah pengumuman mengenai
pengambilalihan sesuai dengan rancangan tersebut.
Kreditor dianggap setuju dengan pengambilalihan
tersebut apabila kreditor tidak mengajukan keberatan.
Tetapi apabila keberatan kreditor tidak diselesaikan
oleh direksi hingga tanggal RUPS diselenggarakan,

49
maka keberatan tersebut harus disampaikan dalam
RUPS untuk mendapat penyelesaian. Jika penyelesaian
belum tercapai maka pengambilalihan tidak dapat
dilaksanakan.
 Pembuatan Akta Pengambilalihan dihadapan Notaris
Menurut Pasal 128 ayat (1) menyatakan, Rancangan
Pengambilalihan yang telah disetujui RUPS dituangkan
ke dalam akta Pengambilalihan yang dibuat dihadapan
notaris dalam bahasa Indonesia.
 Pemberitahuan kepada Menteri
Kemudian, salinan akta Pengambilalihan Perseroan
wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan
kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3)
UUPT. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
29 dan Pasal 30 UUPT mengenai Daftar Perseroan dan
Pengumuman berlaku juga bagi Pengambilalihan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengambilalihan
Perseroan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 Pengumuman Hasil Pengambilalihan
Menurut Pasal 133 ayat (2) UUPT, Direksi Perseroan
yang sahamnya diambilalih wajib mengumumkan hasil
Pengambilalihan tersebut dalam 1 (satu) surat kabar
atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya
Penggambilalihan tersebut.

2. Proses Pengambilalihan melalui pemegang saham


Proses Pengambilalihan saham perusahaan melalui Direksi
Perseroan telah penulis jelaskan di atas. Berikut ini adalah

50
proses Pengambilan saham secara langsung dari Pemegang
Saham dimana prosedurnya dilakukan lebih sederhana :
 Perundingan dan kesepakatan
Cara pengambilalihan saham yang dikeluarkan dan/atau
akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui pemengang
saham langsung dilakukan melalui perundingan dan
kesepakatan oleh para pihak yang akan mengambil alih
dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan
anggaran dasar Perseroan yang diambilalih tentang
pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah
dibuat oleh Perseroan dengan Pihak lain (Pasal 125 ayat
(6) dan (7) UUPT). Jika Pengambilalihan tersebut
dilakukan oleh badan hukum berbentuk Perseroan,
sebelumnya Direksi harus mendapat persetujuan RUPS
dahulu sebelum melakukan perundingan dan
kesepakatan pembelian saham yang langsung dari
pemegang saham.
 Pengumuman rencana kesepakatan
Tahap selanjutnya, walaupun Pengambilalihan saham
tersebut langsung melalui pemegang saham dan tidak
menyusun rancangan Pengambilalihan dahulu namun
tetap harus mengumumkan rencana kesepakatan
pengambilalihan dalam 1 (satu) surat kabar dan
mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari
Perseroan yang akan melakukan Pengambialihan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sebelum pemanggilan RUPS. Hal ini dilakukan
berdasarkan Pasal 127 ayat (8) UUPT dimana
ketentuan tersebut berlaku mutatis mutandis berlaku
bagi pengumuman dalam rangka Pengambilalihan

51
saham yang dilakukan langsung dari pemegang saham
dalam Perseroan.
 Pengajuan keberatan kreditor
Dengan demikian Pasal 127 ayat (2), (3), (5), (6) dan
(7) UUPT juga berlaku. Dalam hal Kreditor yang ingin
mengajukan keberatan kepada Perseroan dapat
mengajukan dalam jangka waktu paling lambat 14
(empat belas) hari setelah pengumuman, namun jika
dalam jangka waktu tersebut kreditor tidak mengajukan
keberatan maka kreditor dianggap menyetujui
Pengambilalihan. Dalam hal keberatan kreditor sampai
dengan tanggal diselenggarakan RUPS tidak dapat
diselesaikan oleh Direksi, keberatan tersebut harus
disampaikan dalam RUPS guna mendapat
penyelesaian. Selama penyelesaian tersebut belum
tercapai Pengambilalihan tidak dapat dilaksanakan.
 Pembuatan akta pengambilalihan dihadapan notaris
Kemudian, menurut Pasal 128 ayat (2) UUPT, akta
pengambilan saham yang dilakukan langsung dari
pemegang saham wajib dinyatakan dengan akta notaris
dalam Bahasa Indonesia. Oleh karena Pengambilalihan
dilakukan secara langsung dari pemegang saham, Pasal
131 ayat (2) UUPT menyebutnya akta pemindahan hak
atas saham.
 Pemberitahuan kepada menteri
Menurut Pasal 131 ayat (2) UUPT, Salinan akta
pemindahan hak atas saham wajib dilampirkan pada
penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang
perubahan susunan pemegang saham.
 Pengumuman hasil pengambilalihan

52
Pada tahap terakhir berdasarkan Pasal 133 ayat (2)
UUPT, Direksi Perseroan yang sahamnya diambil alih
wajib mengumumkan hasil Pengambilalihan dalam 1
(satu) Surat Kabar atau lebih, kewajiban untuk
mengumumkan dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
berlakunya Pengambilalihan.
b. Pemisahan
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
(“UU PT”) mendefinisikan Pemisahan sebagai perbuatan hukum
yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang
mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena
hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva
dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu)
Perseroan atau lebih.
UU PT membedakan Pemisahan kedalam 2 (dua) jenis
pemisahan yaitu Pemisahan murni dan Pemisahan tidak murni.
Pemisahan murni adalah Pemisahan yang mengakibatkan seluruh
aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua)
Perseroan lain atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan
yang melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena hukum.
Sedangkan pada Pemisahan tidak murni atau spin off adalah
Pemisahan yang mengakibatkan sebagian aktiva dan pasiva
Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan lain
atau lebih yang menerima peralihan dan Perseroan yang melakukan
Pemisahan tetap ada.
Persamaan dari kedua Pemisahan ini adalah adanya
peralihan karena hukum atas aktiva dan pasiva dari Perseroan yang
melakukan pemisahan. Sedangkan perbedaannya terletak pada
eksistensi Perseroan yang melakukan Pemisahan setelah pemisahan
tersebut dilakukan. Pada Pemisahan murni, Perseroan yang

53
melakukan pemisahan berakhir karena hukum, sedangkan pada
Pemisahan tidak murni, Perseroan yang melakukan Pemisahan
tidak berakhir. Yang dapat menjadi salah satu cara untuk
pembentukan Holding Company BUMN adalah pemisahan tidak
murni (spin off).
Pasal 126 ayat (1) UU PT menyebutkan bahwa perbuatan
hukum penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau pemisahan
wajib memperhatikan kepentingan beberapa pihak, yaitu :
1. Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan
perseroan;
2. kreditur dan mitra usaha lainnya dari perseroan;
3. dan Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan
usaha.

Perseroan yang akan melakukan pemisahan, perseroan


melakukannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan
persiapan pemisahan itu tertulis pada Pasal 127 UU PT. Berikut
merupakan tahapan yang harus dipersiapkan perusahaan untuk
melakukan pemisahan :

1. Persiapan
Persiapan melakukan pemisahan perusahaan dilakukan dengan
membuat rancangan pemisahan. Kemudian Direksi perusahaan
wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam
1 surat kabar. Bagi kreditur yang keberatan dengan adanya
Pemisahan perusahaan, kreditur dapat mengajukan keberatan
paling lambat 14 hari setelah pengumuman pemisahan sesuai
rancangan pemisahan. Direksi juga mengumumkan secara
tertulis kepada karyawan dari perusahaan yang akan melakukan
pemisahan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sebelum
pemanggilan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
2. Menyelenggarakan RUPS

54
Selanjutnya, Pemisahan perusahaan harus dilakukan dengan
pengambilan keputusan melalui RUPS. Ketentuan
penyelenggaraan RUPS tertulis pada Pasal 89 UU PT, yaitu
RUPS dilakukan sebagai berikut:
a) Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah
mufakat.
b) RUPS untuk menyetujui pemisahan dilangsungkan
apabila dalam rapat dihadiri paling sedikit ¾ (tiga
perempat) dari jumlah seluruh pemegang saham dengan
hak suara atau diwakili dalam RUPS dan keputusannya
adalah sah apabila disetujui paling sedikit sedikit ¾ (tiga
perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan,
kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran
dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan
keputusan RUPS yang lebih besar.
c) Dalam hal kuorum kehadiran tersebut tidak tercapai,
maka dapat dilakukan RUPS kedua.
d) RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika
dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau
diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika
disetujui oleh paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian
dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran
dasar menentukan korum kehadiran dan/atau ketentuan
tentang persyarataan pengambilan keputusan RUPS yang
lebih besar.
3. Proses pemisahan
Jika semua atau sebagian pemegang saham dalam RUPS telah
sepakat melakukan Pemisahan dan kreditur tidak keberatan,
maka proses Pemisahan dapat dilakukan. Proses Pemisahan
dilakukan dengan mendirikan PT baru. Pendirian PT baru

55
dilakukan dengan menyertakan pemisahan sebagian aktiva dan
pasiva dari PT awal yang dilakukan pemisahan.
4. Pengesahan pemisahan
Pengesahaan Pemisahan dilakukan untuk mendapatkan status
secara hukum. Pengesahan pemisahan perusahaan dilakukan
dengan akta pemisahan yang dibuat di hadapan notaris dalam
bahasa Indonesia.

B. Pelaksanaan Holding Company Pada PT Pertamina Serta Dampaknya


Bagi Status Anak Perusahaan Holding Company
1. Pelaksanaan Holding Company Pada PT Pertamina
PT Pertamina sebagai BUMN didirikan dengan maksud untuk
menyelenggarakan usaha di bidang minyak dan gas bumi baik di dalam
maupun di luar negeri serta kegiatan usaha lain yang terkait atau
menunjang kegiatan usaha di bidang minyak dan gas bumi tersebut.21
PT Pertamina dalam pelaksanannya sebagai Holding Company
memiliki beberapa anak perusahaan subholding, yang mana terdapat 5
(lima) subholding yang telah dibentuk, yakni upstream subholding yang
operasionalnya dipegang PT Pertamina Hulu Energi, gas subholding (PT
Perusahaan Gas Negara), refinery and pe-trochemical subholding (PT
Kilang Pertamina Internasional). Power and NRE subholding (PT
Pertamina Power Indonesia), dan commercial and trading subholding (PT
Patra Niaga). Sementara itu, operational shipping company dipegang PT
Pertamina International pping.
Pembentukan subholding di PT Pertamina menjadi sorotan banyak
pihak. Pasalnya, dalam pembentukan subholding-subholding tersebut,
Konsultan Pertamina yakni Price Waterhouse Coopers (PwC) tidak
menjadikan UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
sebagai salah satu dasar/rujukan dalam memberikan pertimbangan

21
Elia Massa Manik, Pedoman Tata Kelola Perusahaan, (Jakarta : PT Pertamina, 2017), hal i.

56
mengenai pembentukan Subholding, khusunya Pasal 127 Undang-undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Pengamat politik anggaran Uchok Sky Khadafi mengatakan bahwa
kajian yang dibuat oleh PT Pertamina tidak cermat dan bertentangan
dengan Undang-Undang. Menurutnya, tindakan Komisaris maupun
Direksi yang tidak melakukan tahapan-tahapan pembentukan subholding
sebagaimana ketentuan Pasal 127 UU Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas, adalah tindakan perbuatan melawan hukum.22
"Pembentukan subholding-subholding Pertamina ini melawan
hukum. Dan adanya uang negara yang dipergunakan bukan hanya
menghambur-hamburkan uang negara, tapi mengarah kepada potensi
merugikan keuangan negara," ujar Direktur Center for Budget Analysis
(CBA) itu.
CBA dan KAKI Publik sebelumnya sempat melayangkan somasi
terbuka kepada Price Waterhouse Cooper (PWC), Menteri BUMN, Dewan
Komisaris PT Pertamina (Persero), dan Direksi PT Pertamina (Persero).
Somasi tersebut meminta agar dalam waktu 7 x 24 jam untuk:

1. Mencabut Keputusan Menteri BUMN Selaku Rapat Umum


Pemegang Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Pertamina
Nomor: SK-198/MBU/06/2020, tanggal 12 Juni 2020 Tentang
Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan
Tugas dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan
Perseroan (Persero) PT. Pertamina;

2. Mencabut Surat Keputusan No. Kpts-18/C00000/2020-S0


Tentang Struktur Organisasi Dasar PT. Pertamina (Persero) tanggal
12 Juli 2020;

22
Politik.rmol.id (2020, 16 Oktober). Uchok Sky: Pembentukan Subholding
Pertamina Bertentangan Dengan UU, Harus Dibatalkan.

57
3. Mengembalikan Stuktur Organisasi PT. Pertamina seperti
semula yaitu Direktorat Hulu, Direktorat Pengolahan, Direktorat
Pemasaran Korporat, Direktorat Pemasaran Retail, Direktorat
Keuangan, Direktorat SDM, Direktorat Logistik, SuPeraturan
Pemerintahly Chain dan Infrastruktur, Direktorat Megaproyek
Pengolahan dan Petrokimia, Direktorat Perancanaan Investasi dan
Manajemen Risiko dan Direktorat Manajemen Aset.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar


Juajir Umardi selaku Ahli yang dihadirkan Federasi Serikat Pekerja
Pertamina Bersatu (FSPPB/Pemohon) dalam sidang pengujian Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU
BUMN) menyebutkan bahwa “Pembentukan subholding menjadi ancaman
terhadap kelangsungan bisnis dan eksistensi PT Pertamina (Persero)
sebagai BUMN. Karena subholding yang dibentuk merupakan wujud dari
praktik unbundling terhadap BUMN. Padahal secara konstitusional,
BUMN diamanahkan untuk dapat menjalankan fungsi entrepreneur negara
dan bertanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat”23.

Juajir menerangkan, untuk menjaga agar tidak terjadi praktik


unbundling terhadap PT Pertamina, maka larangan privatisasi yang
terdapat dalam pengaturan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN harus
dimaknai „termasuk keseluruhan perusahaan turunannya, yakni BUMN
(Persero) beserta subholding dan anak perusahaan‟. Apabila norma
tersebut tidak dimaknai sebagai keseluruhan entitas dari perusahaan
Persero beserta perusahaan turunannya, maka hal tersebut dapat kemudian
membuka peluang terjadinya praktik unbundling perusahaan perseroan
yang diatur di dalamnya. “Sehingga hal ini tidak sejalan dengan amanah
yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945,” sebut Juajir dalam sidang yang digelar secara virtual tersebut.

23
MKRI.id (2020, 23 November). Ahli: Pembentukan Subholding Pertamina,
Buka Peluang Praktik Unbundling. Diakses pada 4 Juli 2021.

58
Terkait praktik unbundling yang terjadi pada PT Pertamina Persero
ini, Juajir melihat dengan kedudukan subholding yang menjadikannya
serupa perusahaan swasta akan membawa konsekuensi pada penetapan
harga dari bahan bakar minyak dan gas yang diterima rakyat cenderung
ditentukan berdasarkan mekanisme pasar yang berbasis pada profit. Atas
hal ini, ia pun berpendapat, negara akan kehilangan dan kesulitan dalam
menjalankan kebijakan energi nasional, khususnya di bidang minyak dan
gas bumi melalui penugasan-penugasan khusus yang berpihak pada
kepentingan rakyat. Jika hal ini terjadi, ia pun menilai akan ada
konsekuensi terjadinya praktik pengelolaan minyak dan gas bumi yang
tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.

Juajir menjelaskan bahwa berdasarkan kedudukan hukumnya,


subholding Pertamina dan anak perusahaannya bukan lagi sebagai BUMN
(Persero). Karena negara tidak memiliki saham secara langsung pada
perusahaan subholding dan anak-anak perusahaan tersebut. Dengan
demikian, terbuka peluang bagi subholding beserta anak-anak perusahaan
PT Pertamina untuk melakukan initial public offering atau go public. Hal
ini, jelas Juajir, bukanlah lagi menjadi objek pengaturan berdasarkan Pasal
77 huruf c dan huruf d UU BUMN.

Juajir di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK


Anwar Usman memaparkan “Dengan tidak adanya kepemilikan saham
negara pada perusahaan subholding beserta anak perusahaannya, maka
pembentukannya telah mendegradasi perusahaan dan pengawasan negara
secara langsung. Akibatnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun turut
kehilangan kompetensinya untuk melakukan pemeriksaan terhadap
subholding dan anak-anak perusahaannya yang tidak berstatus sebagai
BUMN lagi”.

Tidak adanya saham negara pada subholding dan anak-anak


perusahaan PT Pertamina tersebut mengakibatkan pengelolaan minyak dan

59
gas bumi sebagai cabang produksi yang penting bagi negara dan
menguasai hajat hidup orang banyak, menjadi tidak sepenuhnya berada
dalam penguasaan negara. Artinya, negara kehilangan kontrol langsung
karena pembentukan subholding dan anak-anak perusahan tersebut telah
mendegradasi kedudukan hukum PT Pertamina (Persero), yang awalnya
merupakan operating Holding Company menjadi strategic Holding
Company.

Juajir mengatakan “Jadi, PT Pertamina Persero hanya menjadi


perusahaan yang memiliki saham pada subholding saja. Dan ini tidak
sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat
(3) UUD 1945. Sehingga, pengaruh terhadap esensi kedaulatan energi dan
keamanan energi yang harus dimiliki oleh negara pun menjadi
terdegradasi”.

Pendapat yang bertentangan dengan pendapat Juajir diberikan oleh


pakar hukum Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya, tidak ada hukum atau
konstitusi yang dilanggar dari pembentukan subholding ini, karena
pembentukan Holding dan subholding terhadap PT Pertamina ini
dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 33 UUD 1945, baik sebelum
maupun sesudah amandemen, juga berlandaskan Pasal 1 ayat (11) UU
19/2003 tentang BUMN yang berbunyi, ”Restrukturisasi adalah upaya
yang dilakukan dalam rangka penyehatan BUMN yang merupakan salah
satu langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal perusahaan
guna memperbaiki kinerja dan meningkatkan nilai perusahaan”. Selain itu,
juga berlandaskan Pasal 72 ayat (1) UU BUMN, yang menyatakan,
”Restrukturisasi dilakukan dengan maksud untuk menyehatkan BUMN
agar dapat beroperasi secara efisien, transparan, dan profesional”.
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan, mengatakan,
restrukturisasi PT. Pertamina dan pembentukan subholdingnya tidak
menyalahi aturan hukum. Langkah yang ditempuh Menteri BUMN itu
sudah sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33, UU No.22 Tahun 2001 tentang

60
Minyak dan Gas, dan UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara.
Rencana Menteri BUMN untuk melakukan IPO terhadap
subholding PT Pertamina juga sudah tepat, karena menurut Mamit
Setiawan, melalui IPO PT Pertamina bisa mendapatkan pembiayaan tanpa
menerbitkan surat hutang untuk mengerjakan blok blok besar yang
membutuhkan biaya yang besar pula.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pendapat ahli yang
pro dan kontra mengenai pembentukan subholding PT Pertamina ini
adalah, dalam restrukturisasi PT Pertamina sebagai Holding Company
BUMN, Pembentukan Subholding PT Pertamina dinilai oleh beberapa
pakar telah melanggar hukum atau Undang Undang yang berlaku di
Indonesia, karena peraturan dan mekanismenya yang belum jelas. Namun
pendapat dari beberapa pakar yang menilai bahwa PT Pertamina
melanggar Undang-Undang khususnya UU PT tersebut terpatahkan.
Mengenai pendapat para pakar yang menilai bahwa pembentukan
subholding PT Pertamina tidak sesuai dengan Undang-Undang, hal itu
merupakan murni pendapat dari para pakart tersebut yang disampaikan
ketika proses pembentukan subholding ini belum final. Karena pada
akhirnya pembentukan subholding PT Pertamina tetap dilaksanakan dan
tidak terbukti melanggar hukum maupun ketentuan manapun yang berlaku
di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena PT Pertamina yang
mempertimbangkan pendapat pendapat kontra yang kritis dari beberapa
ahli yang telah penulis sampaikan di atas.
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Pertamina pada awal
bulan Juni 2020 lalu, telah menyepakati pemangkasan jumlah direksi dari
PT Pertamina.24 Direksi Pertamina yang semula berjumlah 11 (sebelas)
orang, kini tinggal 6 (enam) orang direksi atau berkurang separuhnya.

24
Teropongsenayan.com (2020, 16 Oktober). Berpotensi Rugikan Keuangan
Negara, Pertamina Didesak Batalkan Pembentukan Subholding. Diakses pada 3
Juli 2021

61
Dalam keterangan resmi perusahaan dijelaskan direktorat operasional yang
sebelumnya ada di PT Pertamina akan masuk ke dalam beberapa
subholding yang telah dibentuk yaitu subholding upstream, subholding
refinery & petrochemical, subholding commercial & trading, subholding
power & new and renewable energi, serta shipping company.
Semua subholding tersebut akan menjalankan bisnis bersama
dengan subholding gas yang sebelumnya telah terbentuk di bawah
Pertamina melalui PT Perusahaan Gas Negara Tbk sejak tahun 2018. Pada
intinya, pembentukan holding dan subholding PT Pertamina tidak
menyalahi aturan apapun, dan telah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia.

2. Dampak Pembentukan PT Pertamina Sebagai Holding Company


BUMN Terhadap Status Anak Perusahaan PT Pertamina
Secara umum, anak perusahaan adalah perusahaan yang dikuasai
atau dimiliki, baik secara langsung maupun tidak, oleh perusahaan lain
yang disebut perusahaan induk atau holding. Anak perusahaan dapat
berupa firma, persekutuan, atau perseroan. Dalam beberapa kasus, dapat
berupa BUMN.
Anak Perusahaan adalah perusahaan yang (a) lebih dari 50%
sahamnya dimiliki oleh PT Pertamina (Persero) , atau (b) lebih dari 50%
suara dalam RUPS-nya dikuasai oleh PT Pertamina (Persero), atau (c)
jalannya perusahaan, pengangkatan, pemberhentian Direksi dan Komisaris
dikendalikan oleh PT Pertamina (Persero).25
Landasan Yuridis yang selama ini dijadikan legitimasi secara legal
pelaksanaan holding BUMN adalah Peraturan Pemerintah No 72 Tahun
2016 yang merupakan Perubahan atas Peraturan Pemerintah no 44 Tahun
2005 tentang tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada
BUMN dan PT.

25
PT Pertamina (Persero), Code of Corporate Governance : Tata Kelola Perusahaan.

62
Digunakannya Peraturan Pemerintah tersebut sebagai payung
hukum Holding Company BUMN tidak serta merta menyelesaikan
permasalahan hukum yang timbul atas pembentukan holding BUMN,
karena secara substansial, Peraturan Pemerintah ini bertentangan dengan
peraturan yang ada diatasnya yaitu UU BUMN, UU PT, dan UU
Keuangan Negara.
Terkait status anak perusahaan BUMN, menurut UU No 19 Tahun
2003 tentang BUMN, anak perusahaan BUMN bukanlah termasuk dalam
BUMN, sehingga tidak dapat diperlakukan selayaknya BUMN, khususnya
dalam hal penugasan dan pengelolaan sumber daya strategis. Padahal
Pasal 33 UUD 1945, mengamanatkan bahwa seluruh aset strategis
nasional harus dikelola oleh negara, dalam hal ini melalui BUMN.
Berdasarkan UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, Pertamina
hanya boleh dikuasai 100% oleh negara karena bidang yang dikelola oleh
PT Pertamina adalah bidang yang sangat strategis dan menyangkut hajat
hidup orang banyak. Sedangkan menurut UU No. 19 Tahun 2003 tentang
BUMN, anak perusahaan BUMN bukanlah termasuk BUMN, sehingga
timbul pertanyaan bagaimana mungkin sebuah perusahaan yang tidak
dikelola oleh pemerintah dapat menjalankan dan mengelola minyak dan
gas bumi yang mana sesuai UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas
termasuk ke dalam sumber daya strategis yang menyangkut hajat hidup
orang banyak.
Timbul sebuah pertanyaan besar, yaitu apakah PT Pertamina dapat
dikatakan melanggar hukum khususnya Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi? Hal ini dapat terjawab dengan melihat dari
pengertian anak perusahaan BUMN itu sendiri menurut Undang-Undang.
Pengertian dari anak perusahaan BUMN diatur dalam Peraturan
Menteri Negara BUMN No. PER-03/MBU/2012 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris
Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (“Permeneg BUMN

63
3/2012”). Di dalam Pasal 1 angka 2 Permeneg BUMN 3/2012 dijelaskan
bahwa Anak Perusahaan BUMN adalah perseroan terbatas yang sebagian
besar sahamnya dimiliki oleh BUMN atau perseroan terbatas yang
dikendalikan oleh BUMN.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah jelas bahwa anak perusahaan
BUMN (termasuk BUMN Persero) tidak termasuk BUMN karena
sahamnya tidak dimiliki oleh negara secara langsung, melainkan saham
anak perusahaan tersebut dimiliki oleh BUMN induk diatasnya. Jadi
walaupun anak perusahaan dari Holding Company BUMN bukanlah
termasuk BUMN, tetapi anak perusahaan tersebut dikendalikan oleh induk
perusahan diatasnya yang secara tidak langsung berarti dikendalikan pula
oleh pemerintah.
Sesuai dengan Pasal 15 ayat (2) UU BUMN, Menteri BUMN
memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan Direksi
serta Komisaris BUMN Persero yang sahamnya dimiliki langsung oleh
Negara. Mengenai kewenangan menteri terhadap anak perusahaan yang
bukan merupakan BUMN, khususnya untuk mengangkat dan
memberhentikan Direksi serta Komisaris BUMN Persero secara logika,
Menteri tidak memiliki kewenangan terhadap Anak Perusahaan BUMN
karena selain bukan berstatus sebagai BUMN, Anak Perusahaan BUMN
tidak dimiliki sahamnya oleh Negara.
Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UU BUMN Menteri (dalam hal ini
Menteri Negara BUMN) bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham
Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada
Persero dan perseroan terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki
oleh Negara. Apabila dalam Persero yang seluruh sahamnya dimiliki oleh
Negara, maka Menteri bertindak sebagai RUPS, sehingga dalam hal ini
Menteri berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan Direksi (Pasal
15 UU BUMN), serta mengangkat dan memberhentikan Komisaris (Pasal
27 UU BUMN).
Pasal 2 ayat (2) Permeneg BUMN 3/2012 menyebutkan:

64
“Pengangkatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Anak
Perusahaan dilakukan oleh RUPS Anak Perusahaan yang bersangkutan
melalui proses pencalonan berdasarkan pedoman yang diatur dalam
Peraturan Menteri ini.”
Menteri Negara BUMN hanya memiliki kewenangan terhadap
BUMN saja, sedangkan anak perusahaan BUMN bersifat mandiri terhadap
pengangkatan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris.

65
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan dari latar belakang sampai dengan pembahasan dan penelitian,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
1. a. Tidak ada pengaturan yang mengatur secara khusus mengenai
pembentukan Holding Company BUMN, tetapi mengingat bahwa
UUPT berlaku bagi PT Pertamina dan karena PT Pertamina merupakan
BUMN Persero, maka secara tersirat dapat kita lihat dari UU PT,
dimana menurut UU PT Pasal 84 menyinggung mengenai adanya anak
dan induk perusahaan dan secara tersirat menurut Pasal 125 UU PT
Holding Company dapat terbentuk melalui akuisisi dan spinoff,
pengaturan mengenai akuisisi BUMN diatur secara khusus melalui PP
Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, Dan Perubahan Bentuk Badan Hukum Badan Usaha
Milik Negara pada Pasal 3 sampai dengan Pasal 8. Pengaturan
mengenai BUMN diatur secara khusus didalam UU BUMN, tetapi
untuk Holding Company tidak diatur di dalam UU BUMN, melainkan
hanya sedikit menyinggung dalam Pasal 14 mengenai kewenangan
RUPS untuk membentuk anak perusahaan dan Pasal 86 mengenai hasil
privatisasi anak perusahaan yang ditetapkan sebagai dividen interim.
b. Mengenai mekanisme pembentukan Holding Company BUMN di
Indonesia, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan
Pembubaran BUMN, yang mana di dalam Pasal 11 Peraturan
Pemerintah tersebut menyebutkan bahwa tata cara perbuatan yang dapat
mengakibatkan terbentuknya Holding Company BUMN Persero
dilakukan sesuai dengan peraturan di bidang perseroan terbatas yaitu
UU PT. Perbuatan atau aksi korporasi yang dapat menyebabkan
terbentuknya Holding Company adalah pengambilalihan (akuisisi) dan

66
pemisahan tidak murni (spin off) yang tata caranya diatur di dalam UU
PT Pasal 125 sampai dengan Pasal 136.
2. a. Pembentukan Holding Company BUMN Migas khususnya
pembentukan subholding dari PT. Pertamina, walaupun sempat menuai
kontra dan ada beberapa yang mengklaim bahwa pembentukan
subholding ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), namun sudah dapat
dibuktikan bahwa kebijakan pembentukan subholding ini tidak
melanggar hukum dan sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku di Indonesia. Karena pada akhirnya pembentukan subholding
PT Pertamina tetap dilaksanakan dan tidak terbukti melanggar hukum
maupun ketentuan manapun yang berlaku di Indonesia.Dan sampai saat
ini, tidak ada berita atau perbuatan dari PT Pertamina yang seelumnya
sempat diduga akan menimbulkan potensi persaingan usaha tidak sehat
dalam pelaksanannya sebagai Holding Company BUMN.
b. Mengenai status hukum anak perusahaan PT. Pertamina terkait
pembentukan Holding Company BUMN, sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, anak perusahaan
BUMN bukanlah termasuk dalam BUMN, sehingga tidak dapat
diperlakukan selayaknya BUMN. Tetapi hal ini juga tidak melanggar
UUD NRI 1945 khususnya Pasal 33 yang menyebutkan bahwa aset
strategis nasional harus dikelola oleh negara, karena lebih dari 50%
saham anak perusahaan PT. Pertamina, dimiliki oleh PT.Pertamina
yang merupakan BUMN. Artinya secara tidak langsung aset strategis
nasional yang dikelola oleh anak perusahaan PT.Pertamina dikelola
oleh negara.

67
B. Saran
Saran dari penulis terhadap pembentukan Holding Company BUMN pada PT.
Pertamina adalah sebagai berikut:
1. Terhadap pengaturan Holding Company BUMN di Indonesia, perlu
diingat kembali bahwa BUMN juga menguasai hajat hidup orang
banyak, sehingga BUMN tidak boleh hanya dianggap sebagai korporasi
biasa (PT). Oleh karena itu, payung hukum yang dikeluarkan
pemerintah selayaknya dapat menyeimbangkan dua peran BUMN, yaitu
antara kepentingan BUMN untuk semakin lincah bergerak di dunia
bisnis yang semakin kompetitif dan tetap menjadi agen pembangunan
bangsa.
2. Mengenai status hukum anak perusahaan PT.Pertamina dan
pelaksanaan Holding Company BUMN pada PT.Pertamina, sebaiknya
perlu dipublikasikan lebih lengkap kepada pihak terkait dan publik
secara terbuka (transparansi) mengenai peraturan yang menjadi
landasan formil pelaksanaan Holding Company BUMN sehingga tidak
timbul pendapat-pendapat yang kontradiktif serta meminimalisir resiko
yang dapat timbul terhadap pembentukan Holding Company BUMN.
Seharusnya ada suatu sistem yang dapat diubah untuk mempublikasikan
apa yang telah dilakukan oleh BUMN agar rakyat dapat paham betul
hal-hal apa yang telah dilakukan BUMN sehingga masalah ini tidak
terulang kembali.

68
Daftar Pustaka

Buku :

Dr. Toto Pranoto, 2017, “Holding Company BUMN: Konsep, Implementasi, dan
Benchmarking”, Jakarta : Lembaga Management Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Indonesia.

Fuady, Munir, 2008, ”Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis”,


Bandung: Citra Aditya Bhakti.

Ginting, Jamin, 2007, “Hukum Perseroan Terbatas (UU 40 Tahun 2007)”,


Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Harahap, M. Yahya, 2013, “Hukum Perseroan Terbatas”, Jakarta : Sinar


Grafika.

HR, Ridwan, 2006, “Hukum Administrasi Negara”, Jakarta: Raja Grafindo


Persada.

Ibrahim, Johnny, 2006, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”,


Malang: Bayumedia Publishing.

Irawan, Andri, 2019, “Kualitas Pelayanan PT Pertamina (Persero) Dalam


Penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) di Kabupaten Merauke”,
Merauke: Madani Jurnal Politik Sosian dan Masyarakat.

Manik, Elia Massa,2017, “Pedoman Tata Kelola Perusahaan”, Jakarta : PT


Pertamina.

Moelong, Lexy J., “Metodologi Penelitian Kualitatif “. Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya.

69
Mulhadi, 2010, “Hukum Perusahaan (Bentuk-Bentuk Badan Usaha di
Indonesia)”, Bogor : Ghalia Indonesia.

R.T. Sutantya R: Hadikusuma, S.H. dan Dr. Sumantoro, 1996, “Pengertian


Pokok hukum Perusahaan”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1988, “Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri”,


Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sulistiowati, 2010, “Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di


Indonesia”, Jakarta: Erlangga.

Suteki dan Galang Taufani, 2018, “Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat,


Teori, dan Praktik,” Depok: Rajawali Press.

Yani, Ahmad dan Widjaya Gunawan, 2000, “Seri Hukum Bisnis : Perseroan
Terbatas”, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Jurnal :

Chairan, A. Tenripadang, 2010, “Tinjauan Hukum Holding Company Dalam


Kaitannya Dengan Perseroan Terbatas”, Jurnal Hukum Diktum
STAIN.

Fatzgani, Arya Devendra, 2017, “Tinjauan Hukum Terhadap Pembentukan


Induk Perusahaan (Holding) Pada BUMN”, Jurnal Hukum
Universitas Hasanuddin.

Irawan, Andri, 2019, “Kualitas Pelayanan PT. Pertamina (Persero) Dalam


Penyaluran Bahan Bakar Minyak (BBM) di Kabupaten Merauke”,
Madani Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan. Vol 11 No. 2, (P-
ISSN 2085 – 143X) (E-ISSN 2620 – 8857).

70
Kementerian BUMN, “Master Plan Kementrian BUMN 2004-2014”. Jakarta.

Nauvaldy, Moch. Faizal, “Keabsahan Pembentukan Holding Company BUMN”,


Surabaya : Perpustakaan Universitas Airlangga.

Tim Riset Lembaga Manajemen FEUI, “Restrukturisasi BUMN Menjadi


Holding Company”, Jakarta.

Purba, Hasim, 2003, “Tinjauan Terhadap Holding Company, Trust, Cartel, dan
Concern”, Sumatera Barat : FH Bagian Hukum Keperdataan
Universitas Sumatera Barat.

Pratiwi, Putri Ayu, 2019, “Analaisis Hukum Terhadap Restrukturisasi BUMN


Sektor Minyak dan Bumi”, Sumatera Utara : USU Law Journal.

Internet :

Finance.detik.com (2020, 22 Oktober). Subholding Pertamina Melanggar UU? Ini


Kata Kementerian BUMN. Diakses pada 21 Juni 2021, dari
https://finance.detik.com/energi/d-5224348/subholding-pertamina-melanggar-uu-ini-
kata-kementerian-bumn

Liputan6.com (2020, 22 Oktober). Pertamina Pastikan Pembentukan Subholding


Tak Salahi Aturan. Diakses pada 21 Juni 2021, dari
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4389356/pertamina-pastikan-pembentukan-
subholding-tak-salahi-aturan

Liputan6.com (2020, 16 Juli). Pakar Hukum: IPO Subholding Pertamina Sesuai


Konstitusi dan Perundangan. Diakses pada 21 Juni 2021, dari
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4307519/pakar-hukum-ipo-subholding-
pertamina-sesuai-konstitusi-dan-perundangan

MKRI.id (2020, 23 November). Ahli: Pembentukan Subholding Pertamina, Buka


Peluang Praktik Unbundling. Diakses pada 4 Juli 2021 dari
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16772&menu=2

71
Politik.rmol.id (2020, 16 Oktober). Uchok Sky: Pembentukan Subholding
Pertamina Bertentangan Dengan UU, Harus Dibatalkan. Diakses pada 3 Juli 2021,
dari https://politik.rmol.id/read/2020/10/16/456883/uchok-sky-pembentukan-
subholding-pertamina-bertentangan-dengan-uu-harus-dibatalkan

Teropongsenayan.com (2020, 16 Oktober). Berpotensi Rugikan Keuangan


Negara, Pertamina Didesak Batalkan Pembentukan Subholding. Diakses pada 3
Juli 2021, dari https://www.teropongsenayan.com/116990-berpotensi-rugikan-
keuangan-negara-pertamina-didesak-batalkan-pembentukan-subholding

Peraturan-Peraturan :

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Penggabungan, Peleburan,


Pengambilalihan dan Pembubaran BUMN

Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-03/MBU/2012 Tahun 2012 tentang


Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan
Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 yang merupakan Perubahan atas


Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN dan PT.

72

Anda mungkin juga menyukai