Diajukan Oleh:
Nama : Ni Kadek Putri Sita Rahayu
NIM : 8.19.2.1964
Diajukan Oleh:
Nama : Ni Kadek Putri Sita Rahayu
NIM : 8.19.2.1964
Di bawah Bimbingan
Dr. A.A.A. Ngurah Tini Rusmini Gorda, S.H., M.M., M.H., CCD
i
PERSETUJUAN SKRIPSI
(Skripsi)
Disusun Oleh
Nama : Ni Kadek Putri Sita Rahayu
NIM : 8.19.2.1964
Telah disetujui untuk
Dipertahankan dalam Ujian Sidang Kesarjanaan
Pada Tanggal 6 Desember 2022
Dr. A.A.A. Ngurah Rusmini Gorda, S.H., M.M., M.H., CCD Ni Kadek Putri Sita Rahayu
NIM :8.19.2.1964
NIP: 1967 12 31 1991 03 2 001
Mengetahui,
A.n. Dekan Fakultas Hukum
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
ii
LEMBAR PERNYATAAN
NIM : 8.19.2.1964
a. Asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik baik di
Fakultas Hukum Undiknas maupun perguruan tinggi lainnya;
b. Murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen
pembimbing;
c. Tidak memuat karya-karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang laian, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan namaa pengarang atau
dicantumkan dalam Pustaka.
Pembuat pernyataan
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya penyusunan Skripsi yang berjudul “Pertanggung
Jawaban Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Analisa Putusan
Nomor 11/Pid.Sus-Anak/2022/PN Dps)” dapat diselesaikan dengan baik. Penulis
menyadari bahwa Skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh Karena itu,
penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna
penulisan Skripsi yang lebih baik lagi sebagai syarat menyelesaikan Tugas Akhir
untuk menyelesaikan pendidikan S1. Dalam penyusunan Skripsi ini penulis banyak
mendapatkan saran, kritik, dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga pada
kesempatan ini perkenalkan penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir Nyoman Sri Subawa, S.T., S.Sos., M.M., IPM., ASEAN.Eng
selaku Rektor Universitas Pendidikan Nasional Denpasar.
2. Ir. I Wayan Sutama, M.T, IPM. selaku Kepala Lembaga Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Pendidikan Nasional (UNDIKNAS) Denpasar.
3. Dr. Ni Nyoman Juwita Arsawati, S.H., M. Hum., CCD selaku Dekan
Fakultas Hukum Unversitas Pendidikan Nasional Denpasar sekaligus
sebagai Dosen Penguji Skripsi 1.
4. Putu Eva Ditayani Antari, S.H., M.H., CCD selaku Ketua Program Studi
Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar sekaligus sebagai
Dosen Pembimbing Akademik
5. Dr. A.A.A Ngurah Tini Rusmini Gorda, S.H., M.M., M.H., CCD selaku
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar,
khususnya sebagai Dosen Pembimbing.
6. Ni Gusti Agung Ayu Mas Tri Wulandari, S.H., M.H selaku Dosen Fakultas
Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar sekaligus sebagai Dosen
Penguji Skripsi 2.
7. Kepala Pengadilan Negeri Denpasar
8. Kepala Kejaksaan Negeri Denpasar
9. Kepala Kepolisian Resor Kota Denpasar
iv
10. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas
Pendidikan Nasional Denpasar atas Pendidikan dan Pelatihannya selama
penulis menempuh perkuliahan di Universitas Pendidikan Nasional
Denpasar.
11. Seluruh Staff Universitas Pendidikan Nasional (UNDIKNAS) Denpasar.
12. Kepada Orang tua penulis, Bapak I Nyoman Sukarta dan Ibu Ni Wayan
Sariani yang selama ini selalu mendoakan dan mendukung serta
memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
13. Terimakasih Kepada Indra Raditya dan Intan Kirana yang telah memberikan
semangat, masukan, serta memberikan motivasi kepada penulis untuk
menyelesaikan Skripsi ini.
14. Teman-Teman, Sahabat dan Orang-Orang Terkasih Penulis yang selalu
memberikan masukan dan semangat dalam penyusunan Skripsi ini.
Penulis menyadari Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, berbagai
kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan sebagai dasar untuk
menyempurnakan Skripsi ini. Akhir kata, semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan bagi yang memerlukannya, terutama dalam lingkungan Fakultas
Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar.
v
ABSTRAK
Permasalahan terkait tindak pidana narkotika pada saat ini semakin hari semakin
memprihatinkan, dengan adanya permasalahan ini pemerintah terus berupaya untuk
menanggulangi pengedaran gelap narkotika di Indonesia. Pada masa sekarang ini
anak bukan hanya menjadi korban tindak pidana tetapi anak juga bisa menjadi
pelaku tindak pidana, seperti beberapa kasus penyalahgunaan narkotika yang tidak
memandang usia, mulai dari orang dewasa, orang tua, remaja bahkan anak-anak
sekalipun. Dengan hal tersebut timbulah rumusan masalah, Dasar Pertimbangan
Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana
Narkotika. Penggunaan metode penelitian ini menggunakan metode penelitian
empiris, dengan menggunakan pendekatan kasus dan fakta serta data menggunakan
Teknik wawancara dan studi kepustakaan. Dalam membahas rumusan masalah
penulis menggunakan teori pertanggung jawaban pidana dan teori perlindungan
hukum. Aparat penegak hukum dalam memproses dan memutuskan suatu perkara
harus benar – benar yakin bahwa keputusan yang diambil bisa menjadi satu dasar
yang kuat untuk mengembalikan dan mengatarkan anak menuju masa depan yang
baik agar bisa terus mengembangkan dirinya sebagai warga masyarakat Indonesia
yang dapat mempertanggungjawabkan kehidupannya dalam berbangsa dan
bernegara.
vi
ABSTRACT
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. vi
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
BAB II
viii
2.4. Definisi Oprasional ................................................................................. 22
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
PENUTUP ............................................................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
yang tidak memandang usia, mulai dari orang dewasa, orang tua, remaja bahkan
anak-anak sekalipun. Usia anak-anak merupakan target empuk dan merupakan usia
yang paling rawan terhadap pengedaran dan penyalahgunaan narkotika, karena
pada usia ini anak-anak berada pada tahap pencarian identitas jati diri, saat dimana
anak-anak memiliki rasa penasaran dan keingintahuan yang sangat besar, serta
ingin mencoba hal-hal baru dan bahkan beresiko tinggi bagi diri sianak.(Sihotang,
2019, p. 7) Selain itu kurangnya pengetahuan tentang narkotika dan ketidak
mampuan anak untuk menolak ataupun melawan, hal inilah yang dapat
dimanfaatkan oleh bandar narkotika untuk menjadikan anak sebagai sasaran untuk
dijadikan pengedar narkotika ataupun sebagai pengguna narkotika secara luas dan
tersembunyi.(Nurlisa, 2022, p. 4) Menurut pasal 1 ayat (1) Undang – Undang
Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak menyatakan; “anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih
dalam kandungan.” Sedangkan menurut pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan; “anak yang
berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang
diduga melakukan tindak pidana”.
Pada dasarnya di dalam Konstitusi Indonesia, anak memiliki peran penting
yang secara jelas diatur didalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945,
yang menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
dengan demikian kepentingan terbaik bagi anak perlu memperoleh perlindungan
dan jaminan sehingga hak-haknya sebagai anak dapat terpenuhi.(Paramarta, 2016,
p. 2) Hukum di Indonesia memiliki beberapa aturan khusus terkait perlindungan
anak yang berhadapan dengan hukum yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dengan adanya beberapa peraturan terkait perlindungan anak
yang telah diatur ini, tetapi dalam prakteknya dirasa masih kurang efektif dalam
menyelesaikan kasus kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Pada dasarnya
segala bentuk penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan masalah hukum,
dalam hal ini berhadapan dengan masalah penyalahgunaan narkotika harus
dilakukan dengan memprioritaskan kepentingan terbaik bagi anak. (Setiawan,
2017, p. 7)
Pada dasarnya seorang anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari
segala bentuk perbuatan yang menimbulkan kerugian dalam hal mental, fisik, dan
sosial dalam menjalankan suatu kehidupan. Seluruh anak yang berhadapan dengan
hukum harus mendapatkan perlindungan hukum baik sebagai korban ataupun
pelaku. Seperti salah satu contoh kasus tindak pidana narkotika yang terjadi di Kota
Denpasar Selatan yang melibatkan seorang anak dibawah umur yang berinisial STP
terbukti melakukan tindak pidana tanpa hak atau melawan hukum menjadi
pengguna dalam tindak pidana penyalahgunaan Narkotika golongan I dengan
barang bukti berupa 1 (satu) klip kristal bening yang berisikan kristal bening shabu
dengan berat bruto 0,24 gram dan netto 0,13 gram yang terbungkus didalam
potongan pipet warna putih, 1 (satu) buah pipa kaca, 1 (satu) korek api gas, 1 (satu)
buah gunting, dan 1 (satu) HP OPPO warna hitam. Anak membeli narkotika ini
bahwa tujuannya adalah untuk digunakan sendiri. Semestinya dalam hal ini pelaku
anak penyalahgunaan narkotika bernisial STP yang sepatutnya menghabiskan
waktunya untuk belajar serta meningkatkan kemampuan yang dipunyai harus
mengalami permasalahan hukum serta menempuh proses peradilan yang nyaris
sama dengan peradilan orang dewasa. Hal ini membuat berbagai macam pandangan
dari berbagai pihak. Satu sisi menggangap penjatuhan pidana bagi anak itu tidak
bijak atau tidak sesuai, dan disatu sisi berpandangan bahwa penjatuhan pidana bagi
anak dapat memberikan efek jera agar anak yang melakukan tindak pidana tidak
melakukan perbuatannya kembali. Pengawasan dari orang tua dan keluarga
merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.
Lingkungan menjadi salah satu faktor penting dalam pengaruh kehidupan seorang
anak, terlebih lagi pengetahuan dalam hal-hal yang tidak boleh dilakukan atau
perbuatan yang melanggar hukum.
Berdasarkan kasus yang penulis teliti, yaitu putusan Pengadilan Negeri
Denpasar Nomor 11/Pid.Sus-Anak/2022/PN Dps dimana dakwaaan yang diajukan
Jaksa penuntut Umum kepada terdakwa anak adalah yaitu pasal 112 ayat (1) dan
pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Penjatuhan hukuman terhadap perkara yang dihadapi oleh seorang anak pada kasus
penyalahgunaan narkotika ini, terdapat sistem peradilan pidana yang dianggap
belum memperdulikan hak – hak asasi anak yang menjadi pelaku tindak pidana
narkotika. Hal ini sama dengan penjatuhan hukuman terhadap orang dewasa yang
menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika, artinya didalam perkara ini masih ada
hak – hak asasi anak yang belum terlindungi dan ditegakkan secara proporsional
dan professional.
Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, berdasarkan pasal 2
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menyatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan beradasarkan asas;
“a. pelindungan; b. keadilan; c. nondiskriminasi; d. kepentingan terbaik bagi Anak;
e. penghargaan terhadap pendapat Anak; f. kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang Anak; g. pembinaan dan pembimbingan Anak h. proporsional; i.
perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan j.
penghindaran pembalasan”.
Selain itu dalam pasal 79 ayat (2) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
menyatakan; bahwa “Bagi anak yang diancam pidana penjara, maka ancamannya
dikurangi ½ dari ancama pidana pokok yang diperuntukan pada orang dewasa”.
Dalam tumbuh kembang anak, perlu mendapatkan perlindungan dan binaan agar
bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Setiap anak yang berhadapan dengan
hukum atau melakukan kejahatan seharusnya tidak untuk di hukum pidana secara
langsung, melainkan untuk diberikan pengertian ataupun pembinaan terlebih
dahulu agar dapat tumbuh dan berkembang untuk menyadari kesalahan dan tidak
melakukannya kembali agar dapat menjalani kehidupannya sebagai anak yang
sehat, normal, dan cerdas seutuhnya untuk dapat melanjutkan pendidikannya demi
masa depan yang baik. Perlindungan khusus diberikan kepada anak yang
berhadapan dengan hukum yaitu dengan menjatuhkan sanksi yang tepat agar tetap
memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak yang dapat mendukung pembinaan
dan perlindungan bagi anak.(Saeful Bahri, 2020, p. 35)
Berdasarkan pasal 64 Undang – Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
perlindungan anak, menyatakan;
“perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum, sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui: a) perlakuan
secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; b)
pemisahan dari orang dewasa; c) pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara
efektif; d) pemberlakuan kegiatan rekreasional; e) pembebasan dari penyiksaan,
penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan
martabat dan derajatnya; f) penghindaran dari penjatuhan pidana mati dan/atau
pidana seumur hidup; g) penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara,
kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; g) pemberian
keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang
yang tertutup untuk umum; h) penghindaran dari publikasi atas identitasnya. i)
pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak; j)
pemberian advokasi sosial; k) pemberian kehidupan pribadi; l) pemberian
aksesibilitas, terutama bagi Anak Penyandang Disabilitas; m) pemberian
pendidikan; n) pemberian pelayanan kesehatan; dan o) pemberian hak lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Selanjutnya berdasarkan pasal 67 Undang – Undang Nomor 35 tahun 2014
tentang perlindungan anak, menyatakan; “Perlindungan khusus bagi Anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf e dan Anak yang
terlibat dalam produksi dan distribusinya dilakukan melalui upaya pengawasan,
pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi.”
Hakim pada saat menjatuhkan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana
wajib mempertimbangkan masa depan dan psikologis anak. Pertimbangan hakim
dalam memutus suatu perkara merupakan aspek yang sangat penting agar
terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan dan
mengandung kepastian hukum. Selain itu, agar dapat memberi manfaat bagi seluruh
pihak yang bersangkutan khususnyaa anak sehingga pertimbangan hakim ini harus
disikapi dengan teliti, baik dan cermat. Hakim dalam memutus suatu perkara tindak
pidana yang dilakukan oleh anak harus mempertimbangkan faktor-faktor lainnya
seperti keadaan di lingkungan tempat anak tinggal, status sosial anak dan kondisi
keluarga anak.(Nabila, 2022, p. 4) Tindakan hukum yang dilakukan pada anak di
bawah umur yang melakukan penyalahgunaan narkotika dalam hal ini anak pelaku
pengguna narkotika berinisial STP sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang
sangat serius. Aparat penegak hukum dalam memproses dan memutuskan suatu
perkara harus benar – benar yakin bahwa keputusan yang diambil bisa menjadi satu
dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengatarkan anak menuju masa depan
yang baik agar bisa terus mengembangkan dirinya sebagai warga masyarakat
Indonesia yang dapat mempertanggungjawabkan kehidupannya dalam berbangsa
dan bernegara.(Nurlisa, 2022, p. 6) kesejahteraan anak merupakan hal yang utama
seperti pendapat Yuliana Yuli W,dkk menyatakan dengan terjemahannya:
Law Number 11 of 2012 concerning the Child Criminal Justice System (SPPA) can
be an effort to protect and create child welfare and guarantee the rights of a child
without discrimination. (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (SPPA) dapat menjadi upaya untuk melindungi dan
mewujudkan kesejahteraan anak serta menjamin hak-hak anak tanpa
diskriminasi).(Azaria et al., 2021, p. 1073)
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis akan membahas terkusus
terhadap pertimbangan hakim dalam memutus perkara anak pelaku tindak pidana
narkotika. Selama penulisan penelitian proposal ini, penulis telah membaca putusan
terkait tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak dibawah umur
berdasarkan Putusan Nomor 11/Pid.Sus-Anak/2022/PN Dps. Dalam kasus ini
penulis tertarik untuk meneliti terkait dasar pertimbangan hakim dalam memutus
suatu perkara Tindak Pidana Narkotika yang dilakukan oleh anak dibawah umur.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis menemukan permasalahan
terkait sistem peradilan pidana yang dianggap belum mengutamakan hak – hak
asasi anak yang menjadi pelaku tindak pidana narkotika. Oleh karena itu penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pertanggung Jawaban Pidana
Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Analisa Putusan Nomor
11/Pid.Sus-Anak/2022/PN Dps)”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah
yang menjadi bahasan penelitian ini adalah:
Bagaimana Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap
Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Putusan terhadap anak sebagai pelaku
tindak pidana penyalahgunaan narkotika
2. Tujuan Subyektif
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum atau
Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional Denpasar.
8
9
menggunakan metode
penelitian empiris.
Anak adalah pelanjut dari suatu keluarga, anak juga memiliki pengertian
sebagai manusia yang masih kecil dan belum mampu mempertanggung jawabkan
kehidupannya. Dalam hidup Anak merupakan anugrah dan karunia yang diberikan
oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang patut kita jaga dan patut kita lindungi harkat dan
martabatnya sebagai manusia seutuhnya. Anak adalah bagian dari sebuah
keberlangsungan hidup manusia dan perihal keberlangsungannya sebuah bangsa
dan Negara. Setiap kehidupan anak harus mendapatkan perhatian baik itu dari segi
ilmu pengetahuan, kebutuhan pangannya, Pendidikan, Kesehatan, tempat tinggal,
dan perlindungan hukum agar menjadikan anak tersebut menjadi rasional dan actual
dalam lingkungan sosial hidupnya.(Manik, 2020, p. 7)
Setiap Anak agar kedepannya mampu menjadi generasi muda penerus cita-
cita bangsa maka harus diberikan kesempatan yang luas dalam tumbuh
kembangnya agar mampu mempertanggung jawabkan kehidupan, bangsa dan
negara sehingga perlu diberikan perlindungan hukum untuk mewujudkan
kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap hak-haknya dengan
perlakuan tanpa diskriminasi.(Hutahaean, 2013) Setiap anak-anak baik itu
perempuan ataupun laki-laki yang belum berumur 18 Tahun harus memperoleh
segala bentuk perlindungan dari peraturan mengenai peradilan anak. Apapun alasan
dan permasalahannya standar maksimal seorang anak dapat dipidana harus
ditingkatkan dan sangat penting apabila standar tersebut mendekati batasan usia 18
Tahun yang sudah tertuang didalam Konvensi Hak Anak. (Rosmi, 2016, p. 441)
b. Konvensi Hak Anak
Anak merupakan seorang yang masih berusia dibawah 18 tahun, dimana
anak yang masih berusia dibawah 18 tahun wajib diberikan perlindungan hukum
dari suatu peraturan yang mengenainya. Penjabaran terhadap pengaturan
perlindungan anak dalam instrumen hukum internasional nampak dalam
Kesepakatan Hak- Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child)
dimana kesepakatan ini ialah pangkal dari perlindungan anak secara universal
dalam hukum internasional, tetapi Pasal 40 dalam kesepakatan ini yang khusus
mengendalikan tentang Perlindungan Anak Pelaku Tindak Pidana dalam Proses
12
berkompeten, bebas dan tidak memihak atau badan yudisial yang sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.
f) Anak yang tidak mampu memahami atau tidak bisa berbicara Bahasa yang
dipergunakan, harus dibantu dan didampingi oleh seorang penerjemah
yang bebas.
g) Anak berhak memperoleh Privacy nya di semua tingkatan dalam
pemeriksaan.
2) Perlindungan hukum dalam instrument internasional khusus terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana telah diatur didalam The United Nation Standard
Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules)
yang menyatakan bahwa setiap negara harus mengutamakan kepentingan
kesejahteraan anak dan keluarganya.(Rosmi, 2016, p. 443) Sehingga
memperoleh perlindungan bagi anak pelaku tindak pidana agar bisa tumbuh
dan berkembang dengan baik. Beijing Rules memberikan penegasan bahwa
seluruh kasus anak yang berhadapan dengan hukum haruslah diajukan
penggunaan upaya diversi atau restorative justice dalam proses peradilan
pidana anak, agar menghindarkan anak dari dampak negatif pemidanaan oleh
pihak yang berwenang. The Beijing Rules mencantumkan bahwa setiap
penangan kasus tindak pidana, maka hak-hak anak harus dilaksanakan sistem
peradilan pidana anak sebagai berikut(Rosmi, 2016, p. 443):
a) General Principles (Asas Umum).
Bagian ini secara universal berisi tentang perlunya Kebijakan Sosial yang
Komprehensif yang bertujuan untuk menunjang tercapainya kesejahteraan
anak, yang pada tujuannya untuk mengurangi campur tangan sistem peradilan
anak. Maksudnya kebijakan sosial yang diatur dalam bagian ini betul- betul
bertujuan untuk kesejahteraan terhadap anak, hal tersebut bisa tercapai apabila
dilakukan dengan tidak mendekatkan ataupun mengaitkan anak dengan sistem
peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana.
b) Penyidik dan Penuntutan.
Penindakan anak di tingkatan penyidikan wajib dihindari dari perilaku yang
menuju pada penekanan terhadap anak semacam persoalan yang bersifat
14
gertakan bernada keras ataupun aksi kekerasan (kontak fisik), supaya tidak
memunculkan ketakutan dari dalam diri anak. Diversi (pengalihan), sesuatu
mekanisme yang membolehkan anak dialihkan dari proses peradilan mengarah
ke proses pelayanan sosial harus diprioritaskan, sebab keterlibatan anak dalam
proses peradilan sesungguhnya sudah menghadapi proses stigmatisasi.
c) Batas Usia Anak.
Batas usia anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang berusia 12
tahun sampai dengan 18 tahun. Ketentuan batas usia anak ini telah sesuai
dengan Beijing Rules yang menentukan bahwa dalam menentukan batas usia
anak yang berkonflik dengan hukum harus memperhatikan keadaan anak dan
tidak ditentukan terlalu rendah.
2.2.2. Tindak Pidana Narkotika
a. Tindak Pidana
Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum atau aturan
yang berlaku, yang dilakukan baik itu dengan sengaja ataupun tidak sengaja yang
dapat menyebakan pelanggaran pidana. Dalam perundang-undangan, istilah dari
perbuatan atau tindak pidana sering disebut dengan delict. Perbuatan atau tindak
pidana adalah suatu makna yang memiliki pengertian dasar dalam ilmu hukum
pidana yang dibentuk oleh kesadaran untuk memberikan ciri hal tertentu pada
peristiwa hukum pidana.(Mukhlis, 2019, p. 202) Menurut Wirjono Prodjodikoro
mengatakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dapat dijatuhkan
hukuman pidana dan pelaku dari tindak pidana atau kejahatan ini dapat dikatakan
sebagai subjek tindak pidana.(Mukhlis, 2019, p. 203) Pengertian tentang tindak
pidana atau suatu perbuatan yang melanggar aturan norma dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) disebut dengan istilah Strafbaafeit dan didalam
kepustakaan hukum sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat
Undang-Undang merumuskan suatu Undang-Undang mempergunakan istilah
peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. (Wahyuni, 2017, p. 35)
Jonkers merumuskan bahwa Strafbaarfeit sebagai kejadian atau peristiwa
tindak pidana yang diartikan sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum
(wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang
15
2) Golongan II
Gologan Narkotika yang dapat berkhasiat sebagai pengobatan, yang
dipergunakan sebagai alat pengobatan pada terapi dan dapat digunakan sebagai
tujuan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan memiliki potensi tinggi
menyebabkan ketergantungan bagi penggunanya. Contoh Narkotika Golongan
II yaitu Morfin, Pethidin, dan Metadona.
3) Golongan III
Golongan Narkotika yang memilki khasiat sama dengan narkotika golongan II
yang berkhasiat sebagai pengobatan terapi dan dipergunakan juga sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan, yang memilki potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan bagi penggunanya. Contoh Codein dan Entil
Morfin.
c. Tindak Pidana Narkotika
Pengertian tindak pidana narkotika di dalam Undang-Undang No 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak dijelaskan, tetapi dapat diartikan Tindak
pidana narkotika adalah suatu perbuatan melanggar hukum dan merupakan
kejahatan yang terorganisir. Tindak pidana narkotika adalah suatu kejahatan
transnasional yang merupakan suatu bentuk kejahatan lintas batas negara. Hal ini
dapat menyebabkan perkembangan kejahatan narkotika yang terjadi di negara-
negara didunia perlu untuk dicegah dan diberantas secara tuntas. Tindak Pidana
Narkotika (psikotropika, narkotika dan bahan zat adiktif lainya) sudah dapat
dipastikan membahayakan kehidupan manusia, jika dikomsumsi dengan cara yang
salah dapat mengakibatkan kematian bagi penggunanya. Tindak pidana narkotika
merupakan kejahatan yang didasarkan atas 2 faktor yaitu faktor yang datang dari
diri sendiri pelaku tindak pidana narkotika dan faktor yang datang dari luar diri
pelaku tindak pidana narkotika.(Raja Gukguk & Jaya, 2019, p. 340)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
setiap orang yang melakukan perbuatan tindak pidana penyalahgunaan narkotika
dapat dikenakan pidana yang telah tercantum didalam Undang-Undang Nomer 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika dimana telah diklasifikasikan sesuai perbuatan
tindak pidana yang dilakukan sebagai berikut:
17
1) Sebagai Pengguna
Pelaku pengguna narkotika dalam Undang-Undang Narkotika dikenakan
ketentuan pidana telah diatur dalam pasal 127 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika, dengan ancaman hukuman pidana paling
singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun penjara.
2) Sebagai Pengedar
Pelaku pengedaran narkotika dalam Undang-Undang Narkotika dikenakan
ketentuan dalam pasal 115 Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) Tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah), pasal 120
Narkotika Golongan Il, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp600.000.000,00 enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), dan pasal 125 Golongan III, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 empat ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
3) Sebagai Produsen
Pelaku produsen narkotika dalam Undang-Undang Narkotika dikenakan
ketentuan dalam pasal 113 dengan ancaman pidana paling lama 20 tahun
penjara dan denda mksimum.
2.2.3. Teori Pertanggung Jawaban Pidanan Menurut Van Hamel
Pertanggungjawaban pidana merupakan penjatuhan hukuman kepada
pelaku karena perbuatan yang dilakukan melanggar larangan atau menimbulkan
keadaan yang terlarang (Fadlian, 2020, p. 4). Pertanggungjawaban pidana atau
criminal liability memiliki arti yaitu setiap orang yang melakukan suatu perbuatan
tindak pidana itu belum berarti pelakunya harus dipidana, akan tetapi pelaku harus
mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuat apabila ditemukan
unsur kesalahan padanya yang terdiri atas dua unsur yaitu a criminal act actus reus
18
(perbuatan pidana) dan a criminal intent mens rea (niat untuk melakukan tindak
pidana) (F. Sjawie, 2017, p. 10). Menurut Van Hamel, mengatakan
pertanggungjawaban pidana merupakan suatu keadaan normal dimana keaadan
tersebut memiliki kesanggupan psikis untuk dapat membawa tiga macam
kemampuan yaitu(Sriwidodo, 2019, p. 171):
a. Memahami arti dan akibat dari perbuatannya sendiri.
b. Menyadari bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh
masyarakat dan,
c. Mampu untuk menentukan kehendak dalam berbuat.
2.2.4. Teori Perlindungan Hukum Menurut Phillipus M. Hadjon
Perlindungan hukum merupakan perlindungan yang memberikan
pengayoman kepada setiap Hak Asasi Manusia yang dirugikan oleh orang lain dan
perlindungan tersebut diberikan kepada seluruh masyarakat agar dapat menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan
hukum adalah upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum
kepada seluruh masyarakat untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran
maupun fisik dari seluruh ganguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun. Pada
prakteknya teori Perlindungan Hukum yang berkembang dan sering dipakai adalah
teori perlindungan hukum dari Phillipus M. Hadjon.
Menurut Phillipus M. Hadjon perlindungan hukum adalah perlindungan
akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap Hak Asasi Manusi yang dimilki
oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan umum dari kesewenangan atau sebagai
kumpulan peraturan atau kaidah yang dapat melindungi suatu hal lain. (Juliana &
Arifin, 2019)
Phillipus M. Hadjon menggolongkan sarana perlindungan hukum menjadi 2 macam
yaitu:
1) Sarana perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan hukum preventif merupakan perlindungan hukum yang subyek
hukumnya diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapat
sebelum adanya suatu keputusan pemerintah. Tujuan dari perlindungan hukum
preventif ini adalah mencegah terjadinya pelanggaran. Perlindungan hukum
19
preventif ini sangat penting bagi tindakan pemerintah yang didasarkan atas
kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum preventif
pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati didalam mengambil suatu
keputusan yang didasarkan pada diskresi.(Juliana & Arifin, 2019)
2) Sarana perlindungan hukum Represif
Perlindungan hukum Represif merupakan proses perlindungan hukum yang
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum represif adalah
penangan perlindungan hukum di lingkungan Peradilan Umum, bahwa
perlindungan hukum baru diberikan Ketika masalah ataua sengketa sudah
terjadi sehingga perlindungan hukum yang diberikan oleh Peradilan Umum
bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa.
2.2.5. Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak
Berdasarkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak pada pasal 2 huruf d UU SPPA dianut asas kepentingan
terbaik bagi anak dimana dalam proses upaya penyelesaian perkara anak yang
berkonflik dengan hukum, Asas kepentingan terbaik bagi anak secara tegas
menyatakan bahwa pidana merupakan jalan terakhir (ultimum remidium) di dalam
proses perkara anak yang berkonflik dengan hukum. Sebelum masuk ke tahap
pidana, penyelesaian perkara pidana anak harus melaksanakan upaya diluar
pengadilan terlebih dahulu melalui proses diversi, di dalam UU ini mengharapkan
pada penghindaran stigma buruk peradilan pidana bagi anak yg berkonflik dengan
hukum dengan berorientasi kepada pemulihan dan bukan pembalasan.(Anwar &
Wijaya, 2020, p. 268)
Pada pasal 71 UU SPPA memberikan beberapa opsi kepada aparat
penegak hukum khususnya hakim dalam memutus dan menjatuhkan pidana kepada
anak yang berkonflik dengan hukum, dimana dalam penyelesaian perkara anak
dapat menggunakan upaya “pidana peringatan, pidana dengan syarat yaitu
pembinaan diluar Lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan, pelatihan
kerja, pembinaan Lembaga dan pidana penjara upaya terakhir”. Asas kepentingan
terbaik bagi anak ini memberikan batasan kebebasan hakim dalam menjatuhkan
putusan, sebab hakim dalam memeriksa perkara anak tidak hanya melihat perbuatan
20
yang dilakukan oleh anak tersebut dari aspek formil saja, melainkan harus
mempertimbangkan keadaan pribadi dari anak serta motif anak melakukan tindak
pidana sehingga putusan hakim diharapkan dapat mengutamakan aspek
kemanusiaan anak sehingga sesuai dengan asas kepentingan terbaik bagi anak yang
telah diatur didalam Pasal 71 UU SPPA. (Anwar & Wijaya, 2020, p. 269)
21
23
24
26
27
KASAT NARKOBA
KBO
KAURMINT
KANIT 1 KANIT 2
Negeri Denpasar dimana perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak
dibawah umur ini masuk ke bagian Pidana Umum yang dimana Pidana umum ini
memiliki tugas penyiapan perumusan kebijaksanaan teknis di bidang tindak pidana
umum berupa pemberian bimbingan, pembinaan dan pengamanan teknis;
penyiapan rencana, pelaksanaan dan penyiapan bahan pengendalian kegiatan
prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan dalam 8 perkara tindak pidana
terhadap keamanan negara dan ketertiban umum, tindak pidana terhadap orang dan
harta benda serta tindak pidana umum lain yang diatur di luar KUHP; Menyiapkan
bahan pengendalian dan atau pelaksanaan penetapan hakim dan putusan
pengadilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas
bersyarat dan tindakan hukum lain dalam perkara tindak pidana umum serta
pengadministrasiannya ; pembinaan kerjasama dan melakukan koordinasi dengan
instansi serta pemberian bimbingan serta petunjuk teknis dalam penanganan
perkara tindak pidana umum kepada penyidik; penyiapan bahan saran, konsepsi
tentang pendapat dan atau pertimbangan hukum Jaksa Agung mengenai perkara
tindak pidana umum dan masalah hukum lainnya dalam kebijaksanaan penegakan
hukum.
4.2.1. Struktur Organisasi Kejaksaan Negeri Denpasar
Sumber: https://www.pn-denpasar.go.id/tentang-pengadilan/struktur-organisasi
Diakses pada tanggal 17 November 2022 pukul 16.30 Wita
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
30
31
intervensi singkat dengan dilakukannya Tanya jawab saja, rehab awal 1 bulan atau
rehab lanjutan dengan durasi 3 bulan sampai 6 bulan. Jadi berdasarkan hasil
penelitian yang penulis lakukan di Kepolisian Resor Kota Denpasar bersama Bapak
IPDA I Gede Eka Parnama selaku Kaurbinopsnal Satresnarkoba Polresta Denpasar
dan Bapak AIPTU I Wayan Suarjaya, selaku Penyidik Satresnarkoba Polresta
Denpasar bahwa terkait dengan kasus perkara tindak pidana narkotika yang
dilakukan oleh anak dibawah umur berdasarkan putusan nomor 11/Pid.Sus-
Anak/2022/PN Dps tetap dilimpahkan ke kejaksaan dikarenakan terkait pada proses
penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian bahwa benar
anak melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika sesuai dengan delik-delik
pidana yang telah diatur.
Berdasarkan hasil dari penelitian kedua yang penulis laksanakan melalui
teknik wawancara di Kejaksaan Negeri Denpasar bersama Ibu Ni Ketut Muliani,
selaku jaksa penuntut umum yang menangani kasus perkara anak berdasarkan
Putusan Nomor 11/Pid.Sus-Anak/2022/PN Dps yang memiliki jabatan Jaksa
Fungsional Kejaksaan Negeri Denpasar bahwa tindakan awal yang dilaksanakan
oleh jaksa penuntut umum pada saat diberikan surat SPDP (Surat Pemberitahuan
Diadakan Penyelidikan/Penyidikan) oleh penyidik yaitu dimana kepala kejaksaan
negeri akan menunjuk jaksa untuk mempelajari dan mengikuti perkembangan
penyidikan dan dikeluarkanlah P-16 untuk menunjuk siapa jaksa penuntut yang
akan menangani kasus perkara tersebut, dan berasarkan P-16 yang dikeluarkan oleh
kepala kejaksaan negeri bahwa ibu Ni Ketut Muliani, yang ditugaskan sebagai jaksa
penuntut umum didalam kasus perkara anak penyalahguna narkotika berdasarkan
putusan nomor 11/Pid.Sus-Anak/2022/PN Dps. Saat diterimanya SPDP ada batas
waktu sesuai dengan SOP yaitu selama 30 hari harus dikirim berkas perkara apabila
dalam 30 hari dari penyidik tidak mengirimkan hasil dari penyidikannya maka dari
jaksa penuntut umum akan bersurat yaitu mengirimkan P17 untuk menanyakan
kembali terkait bagaimana perkembangan dari penyidikan yang telah dilakukan.
Setelah dikirimnya berkas perkara maka akan dipelajari berkas perkara tersebut
dimana pada saat anak dilakukan penahanan anak dengan batas waktu yang singkat
yaitu maksimal 15 hari maka dalam jangka waktu 15 hari. Jangka waktu dari
33
diterimanya berkas sampai JPU menentukan sikap yaitu memiliki jangka waktu 7
hari untuk P21 dan apabila ada hal-hal yang kurang terpenuhi maka jaksa akan
melakukan perpanjangan 8 hari untuk mengirimkan P18 yaitu pemberitahuan
berkas tidak lengkap kepada penyidik dan P19 yaitu petunjuk apa saja dari berkas
berkas yang belum terpenuhi jadi totalnya 15 hari, dalam perkara anak dengan
nomor putusan 11/Pid.Sus-Anak/2022/PN Dps Oleh Penuntut Umum pada
Kejaksaan Negeri Denpasar anak ditahan Rutan sejak tanggal 05 September 2022
sampai dengan tanggal 09 September 2022. Jaksa penuntut umum akan memeriksa
berkas perkara dan menentukan sikap apakah berkas tersebut lengkap atau P21 atau
tidak dalam arti apakah syarat formil dan materiilnya sudah memenuhi syarat, jika
tidak memenuhi syarat formil dan materiil maka akan dibuatkan petunjuk ke
penyidik dan bersurat disertai dengan petunjuk syarat-syarat formil dan materil apa
yang belum terpenuhi dalam berkas perkara, artinya jaksa beracu kepada unsur-
unsur pasal yang disangkakan jadi berdasarkan pasal yang disangkakan tersebut
maka harus sesuai dengan unsur-unsur yang disangkakan jika tidak sesuai maka
berkas akan ditanyakan kembali kepada penyidik terkait dengan unsur-unsur yang
disangkakan dan jika masih ada yang kurang maka akan dikembalikan ke penyidik
untuk dilengkapi. Apabila batas waktu yang ditentukan lewat maka tahanan anak
akan dibebaskan demi hukum dan apabila masih perlu dilaksanakan penyidikan
maka anak boleh ditangkap kembali.
Dalam hal cara meneliti berkas perkara tindak pidana narkotika yang
dilakukan oleh anak sama halnya dengan cara meneliti berkas perkara yang
dilakukan oleh orang dewasa tetapi khusus untuk pelaku anak didalam berkas berisi
penelitian dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS), dan penelitian masyarakat
(LITMAS) jadi harus dicantumkan didalam berkas perkara anak. Dari pihak
BAPAS akan ditunjuk untuk melaksanakan penelitian terhadap anak dari segi
ekonomi, latar belakang si anak dan motif anak melakukan perbuatan tersebut dari
hasil penelitian BAPAS dan LITMAS tersebut maka akan dibuatkan laporan yang
berisi Analisa, kesimpulan dan saran dari bapas bahwa dari perkara anak tersebut
dapat dilakukan tindakan seperti apa yang wajib dilampirkan diberkas perkara.
Dalam hal penelitian berkas tersebut harus sesuai dengan syarat formil dan materiil
34
sesuai dengan KUHAP. syarat Formil meliputi identitas anak, kelengkapan berkas
seperti daftar isi dan lain-lain dan untuk syarat materiilnya yaitu mengenai unsur-
unsur dari pasal yang disangkakan itu apakah sudah terpenuhi dalam berkas seperti
BAP saksi, BAP tersangka, saksi ahli, alat bukti surat, dan barang bukti yang disita
apakah setiap unsur ini sudah memenuhi 2 alat bukti tersebut, dan apabila belum
memenuhi kedua alat bukti tersebut maka jaksa penuntut umum akan meminta
penyidik untuk memperdalam lagi unsur-unsur tersebut untuk mencari saksi guna
memperkuat pembuktian dan memperoleh alat bukti yang mendukung unsur-unsur
yang didakwakan. Jadi yang membedakan penelitian berkas perkara anak dengan
orang dewasa yaitu harus dilengkapi dengan BAPAS, LITMAS dan identitas anak
harus jelas harus dilampirkan akta kelahiran, ijazah ataupun kartu keluarga yang
menyebutkan identitas tahun kelahirannya yang membuktikan bahwa anak tersebut
masih anak-anak dan apabila identitas tersebut sama sekali tidak ada maka dapat
dibuatkan surat pernyataan dengan dibubuhkan materai bahwa memang benar anak
tersebut merupakan anak dibawah umur, dalam perkara narkotika yang dilakukan
oleh anak bahwa memang terbukti anak tersebut baru berumur 17 (tujuh belas)
tahun 11 (sebelas) bulan dengan bukti Akta kelahiran dan kartu keluarga (KK) yang
telah terlampir didalam berkas acara persidangan.
Pada saat pemeriksaan pra penuntutan yang membedakan perlakuan jaksa
penuntut umum terhadap anak dengan orang dewasa yaitu didalam pemeriksaan
berkas perkara anak harus dilampirkan penelitian yang dilakukan oleh BAPAS dan
LITMAS selain itu anak juga didampingi oleh orang tua atau wali sampai dengan
proses persidangan. Perlakuan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum didalam
persidangan yaitu pada saat persidangan dilakukan diruangan khusus sidang anak,
tidak menggunakan baju kedinasan atau toga dan tidak menggunakan atribut seperti
dalam persidangan orang dewasa, menggunakan hakim tunggal dan menciptakan
suasana yang ramah anak sehingga anak merasa nyaman dan tidak takut sehingga
anak bisa jujur dan mengakui perbuatannya Pada saat anak di tanyakan didalam
persidangan penyampaian kata”nya juga tidak ada kalimat yang membuat anak
takut ataupun tertekkan selain itu orang tua, balai pemasyarakatan juga hadir
didalam persidangan untuk menyampaikan hasil penelitian yang telah diperoleh,
35
selain itu Lembaga pemerhati anak juga datang didalam persidangan dan anak juga
didampingi oleh kuasa hukumnya.
Adapun pertimbangan jaksa penuntut umum didalam menuntut perkara
narkotika yang dilakukan oleh anak yaitu berdasarkan dari bagaimana kronologi
kasus atau Tindakan yang dilakukan oleh pelaku penyalahguna narkotika tersebut
dan untuk tuntutannya ½ dari orang dewasa selain itu dilihat dari hal-hal yang
memberatkan dan hal hal yang meringankan. Didalam menuntut jaksa penuntut
umum juga memiliki tolak ukur atau aturan intern dari kejaksaan mengenai
penuntutan yang terdiri dari faktor obyektif dan faktor subyektif yaitu dari faktor
obyektifnya seperti barang bukti dengan jenis dan golongan narkotika dan
subyektifnya yaitu terkait dari diri terdakwa anak mengenai motif melakukan tindak
pidana penyalahgunaan narkotika. Dari faktor obyektif dan subyektif inilah yang
nantinya diberikan pint point, dari pont inilah dijumlahkan, dari situlah jaksa
penuntut umum menentukan rentang waktu penuntutan berapa lama dan terkait
dengan denda rentan waktunya juga diatur didalam aturan tersebut dan hukuman
denda diganti dengan pelatihan kerja yang dilakukan oleh terdakwa anak sesuai
dengan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Menurut Ibu Ni Ketut
Muliani, S.H., M.H selaku jaksa penuntut umum yang menangani kasus perkara
anak berdasarkan putusan nomor 11/Pid.Sus-Anak/2022/PN beliau tidak
mengupayakan diversi dikarenakan beliau selaku jaksa penuntut umum
berpendapat, proses diversi pada tingkat penuntutan tidak menghasilkan
kesepakatan/ kesepakatan diversi tidak dilaksanakan sepenuhnya dan dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan dengan dakwaan telah melakukan tindak
pidana sebagaimana diuraikan dan diancam dengan pidana yaitu pasal 112 ayat (1)
dan pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika karena pada pasal 112 ayat (1) Undang-Undang No 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika diancam dengan pidana penjara diatas 7 (tujuh) tahun sehingga
jaksa penuntut umum tidak mengajukan upaya diversi dan melanjutkan proses
perkara narkotika yang dilakukan oleh anak dibawah umur ke persidangan.
Berdasarkan hasil dari penelitian ketiga yang penulis laksanakan melalui
teknik wawancara di Pengadilan Negeri Denpasar Bersama bapak hakim Hari
36
Supriyanto, S.H., M.H. selaku hakim yang menangani kasus perkara anak dalam
putusan nomor 11/Pid.Sus-Anak/2022/PN Dps yang memiliki jabatan Hakim pada
Pengadilan Negeri Denpasar bahwa dalam pelimpahan berkas perkara dari penuntut
umum terlebih dahulu dilimpahkan ke bagian PTSP untuk dipelajari dan berkas
tersebut didisposisi kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk dipelajari terlebih
dahulu guna menentukan/ menunjuk majelis hakim untuk menangani perkara anak
dan panitera pengadilan akan menunjuk PP dan Juru sita. setelah ketua pengadilan
menunjuk majelis hakim dalam perkara anak, barulah hakim menerima berkas
perkara untuk dipelajari mulai dari dakwaan, BAP dari penyidik beserta surat surat
terlampir kemudia hakim menentukan jika itu perkara anak dilihat dari dakwaan
apakah perkara tersebut wajib diversi atau tidak. Apabila wajib diversi maka hakim
akan menetapkan tanggal diversi dengan memerintahkan penuntut umum untuk
menghadapkan anak beserta orang tuanya, penasehat hukum anak, pembimbing
kemasyarakatan anak, tokoh masyarakat dan tokoh agama, dan apabila dari
dakwaan tidak bisa diupayakan diversi karna ancamannya lebih dari 7 tahun atau
anak sudah pernah dipidana maka hakim langsung menentukan hari sidang sesuai
proses peradilan anak dimulai dari pembacaan dakwaan, pembuktian, saksi-saksi,
bukti surat sampai dengan tuntutan, pembelaan, dan terakhir putusan. Didalam
meneliti berkas perkara hakim membaca seluruh berkas perkara yang terdiri dari
berbagai macam dokumen mulai dari surat pelimpahan dari kejaksaan, penahan
oleh jaksa, penunjukan jaksa, BAP penyidik dan lain-lain, Hakim akan mempelajari
dakwaan dari jaksa penuntut umum apakah sesuai dengan pasal yang didakwakan
dan sesuai dengan fakta yang ada di dalam persidangan. Berdasarkan perkara
dengan nomor putusan 11/Pid.Sus-Anak/2022/PN Dps oleh Hakim Pengadilan
Negeri Denpasar anak dikenakan penahanan Rutan sejak tanggal 6 September 2022
sampai dengan tanggal 15 September 2022. Perpanjangan Penahanan oleh Ketua
Pengadilan Negeri Denpasar diperpanjang penahanan Rutan sejak tanggal 16
September 2022 sampai dengan tanggal 30 September 2022.
Tugas utama pengadilan adalah menerima, memeriksa dan mengadili
setiap perkara yang dilimpahkan kepada pengadilan, jadi hakim tidak boleh
menolak perkara, perkara apapun yang sudah dilimpahkan dan sudah ditunjuk
37
hakimnya oleh ketua pengadilan, maka hakim harus tetap memeriksa dan
disidangkan. Apabila terbukti merupakan tindak pidana maka dihukum pidana dan
apabila terbukti dan bukan merupakan tindak pidana maka terdakwa dibebaskan.
Pada saat jalananya persidangan hakim tidak menggunakan toga ataupun atribut
kedinasan dan dalam persidangan mengunakan hakim tunggal. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Bapak hakim Hari Supriyanto, S.H., M.H. selaku hakim yang
menangani kasus perkara anak dalam putusan nomor 11/Pid.Sus-Anak/2022/PN
Dps bahwa Diversi diutamakan apabila suatu tindak pidana mengakibatkan adanya
korban, diversi merupakan pemulihan hak terhadap korban dan tersangka sehingga
dalam hal tersebut munculah diversi. Dalam perkara narkotika tidak ada diversi,
diversi muncul dari Mahkamah Agung. Tidak semua perkara dapat dilakukan
diversi dalam kasus ini sudah dilaksanakan upaya diversi dan langsung dinyatakan
gagal, diversi memiliki batas waktu sementara dalam perkara anak memiliki batas
waktu dengan penahanan. Batas waktu penahanan oleh hakim yaitu maksimal 25
hari sudah harus diputus dan apabila lewat dari batas waktu tersebut maka anak
bebas demi hukum. Pada saat pelimpahan beras ke pengadilan, posisi anak masih
dilakukan penahanan di kejaksaan dan saat berkas sudah dilimpahkan ke
pengadilan maka penahanan berwenang dihakim, setelah hakim menerima berkas
perkara maka hakim menetapkan 7 hari untuk sidang dan apabila ancaman dibawah
7 tahun maka perkara tersebut wajib dilaksanakan diversi pada hari itu juga,
sementara untuk perkara narkotika yang berwenang untuk menyetujui diversi
adalah penyidik dan kejaksaan karena penyidik dan kejaksaan mewakili negara
karna dalam hal perkara narkotika yang dilakukan oleh anak ini tidak ada korban,
dalam perkara narkotika ini penyidik dan kejaksaan menganggap bahwa perkara
narkotika terhadap anak ini tidak dapat dilaksanakan diversi sehingga diversi
pertama kali dinyatakan gagal dengan dinyatakan gagalnya proses diversi ini maka
proses dilanjutkan ke persidangan karna diversi diutamakan untuk perkara yang
mengakibatkan adanya korban. Dalam perkara narkotika anak ini gagal karena
dalam perkara anak, pedoman penjatuhan pidana yang tidak boleh dikesampingkan
adalah hasil dari penelitian masyaratkat (LITMAS) bahwa hasil dari penelitian
masyarakat menimbang bahwa dalam perkara anak STP telah dilakukan Penelitian
38
Pasal 127 ayat (1) huruf a UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dengan
unsur-unsur sebagai berikut :
1. Unsur setiap orang
- Bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah subyek hukum yang
mempunyai hak dan kewajiban yang mampu melakukan perbuatan hukum dan
atas perbuatannya tersebut dapat dimintai pertanggungjawabannya serta pada
dirinya tidak terdapat alasan pembenar, alasan pemaaf, maupun yang
menghapus pidana.
- Bahwa kemampuan bertanggung jawab itu sendiri menurut para ahli hukum
pidana dapat dideskripsikan bahwa pelaku tindak pidana sebagai subyek
hukum mempunyai kemampuan untuk membedakan mana perbuatan yang baik
dan mana yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum,
di samping itu pelaku tindak pidana mempunyai kemampuan untuk
menentukan mengerti akan perbuatannya dan dapat menentukan kehendaknya
secara sadar.
- Bahwa unsur ”setiap orang” dalam ketentuan pasal tersebut adalah bukan
merupakan delik inti atau bestanddel delict, tapi merupakan element delict
yang merupakan subyek hukum yang diduga melakukan tindak pidana yang
pembuktiannya bergantung pada pembuktian delik intinya.
dalam hal mental, fisik, dan sosial dalam menjalankan suatu kehidupan. Menurut
Van Hamel, menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana merupakan suatu
keadaan normal dimana keaadan tersebut memiliki kesanggupan psikis untuk dapat
membawa tiga macam kemampuan yaitu (Sriwidodo, 2019, p. 171):
a. Memahami arti dan akibat dari perbuatannya sendiri.
b. Menyadari bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh
masyarakat dan,
c. Mampu untuk menentukan kehendak dalam berbuat.
Pada kasus perkara narkotika yang dilakukana oleh anak STP berdasarkan hasil dari
penelitian masyarakat yang penulis teliti di Berita Acara Persidangan dan kaitannya
dengan pertanggungjawaban menurut Van Hamel terkait point ke 3 (tiga) yaitu
mampu untuk menentukan kehendak dalam berbuat bahwa faktor penyebab
terjadinya tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak STP
adalah dilatarbelakangi oleh kurangnya kasih sayang dan pengawasan yang intens
dari orang tua juga keluarga dekatnya, selain itu kondisi pisikologis anak atau
ketidak mampuan berpikir logis dan komposisi kematangan emosional dan juga
kondisi lingkungan sosial pergaulan anak yanag cenderung kearah yang kurang
baik sehingga dalam hal ini anak belum mampu untuk menentukan kehendaknya
didalam berbuat.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis peroleh melalui proses
wawancara dengan Ibu Ni Ketut Muliani selaku jaksa penuntut umum yang
menangani kasus perkara anak berdasarkan putusan nomor 11/Pid.Sus-
Anak/2022/PN Adapun pertimbangan jaksa penuntut umum didalam menuntut
perkara narkotika yang dilakukan oleh anak yaitu berdasarkan dari bagaimana
kronologi kasus atau Tindakan yang dilakukan oleh pelaku penyalahguna narkotika
tersebut dan untuk tuntutannya ½ dari orang dewasa selain itu dilihat dari hal-hal
yang memberatkan dan hal hal yang meringankan. Menurut Ibu Ni Ketut Muliani,
selaku jaksa penuntut umum yang menangani kasus perkara anak berdasarkan
putusan nomor 11/Pid.Sus-Anak/2022/PN beliau tidak mengupayakan diversi
dikarenakan beliau selaku jaksa penuntut umum berpendapat, proses diversi pada
tingkat penuntutan tidak menghasilkan kesepakatan/ kesepakatan diversi tidak
46
Karangasem agar klien mendapatkan pembinaan sesuai Pasal 85 ayat (1), (2),
dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Melalui putusan tersebut maka Klien akan mendapatkan pembinaan di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 85 UURI
No. 11 tahun 2012 tentan sistem Peradilan Pidana Anak. Hal ini sebagai bentuk
pertanggung jawaban atas perbuatannya.
b. Pembinaan di Lembaga Khusus Anak merupakan upaya untuk menyadarkan
klien agar insyaf menyadari kesalahannya dan dapat merubah sikap serta
mentalnya supaya tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum.
c. Didalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak maka Klien berhak untuk
pembimbingan, pengawasan, pendampingan, memperoleh pembinaan,
pendidikan dan pelatihan sera hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Menurut bapak hakim Hari Supriyanto selaku majelis hakim yang
menangani perkara narkotika anak ini berpendapat bahwa pedoman penjatuhan
pidana yang tidak boleh dikesampingkan dalam hal perkara tindak pidana yang
dilakukan oleh anak dibawah umur adalah hasil dari penelitian masyarakat
(LITMAS) hakim menerangkana bahwa dalam hal ini LITMAS yang pertama kali
melaksanakan penelitian yaitu memeriksa kejiwaan anak, lingkungan anak, sosial,
Pendidikan dari penelitian inilah LITMAS memberikan rekomendasi bahwa anak
dinyatakan bersalah kiranya dapat di dijatuhi dengan pidana penjara dan apabila
LITMAS merekomendasikan terhadap anak ini masih bisa dibina dan di rehabilitasi
maka penyidik tidak boleh meneruskan perkara ini. Berdasarkan perkara
penyalahgunaan narkotika ini hakim mengatakan bahwa tidak semua perkara dapat
dilakukan diversi. Diversi diutamakan apabila suatu tindak pidana mengakibatkan
adanya korban, diversi merupakan pemulihan hak terhadap korban dan tersangka
sehingga dalam hal tersebut munculah diversi. Dalam perkara narkotika tidak ada
diversi, diversi muncul dari Mahkamah Agung. Tidak semua perkara dapat
dilakukan diversi dalam kasus ini sudah dilaksanakan upaya diversi dan langsung
dinyatakan gagal, diversi memiliki batas waktu sementara dalam perkara anak
memiliki batas waktu dengan penahanan. Sementara untuk perkara narkotika yang
50
terbaik bagi anak yang telah diatur didalam Pasal 71 UU SPPA (Anwar & Wijaya,
2020, p. 269). Jika asas kepentingan terbaik bagi anak dikaitkan dalam kasus
penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak yang berinisial STP ini dimana
hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 7 (Tujuh) bulan, dimana dalam
kasus ini anak bukan hanya sebagai pelaku tetapi anak juga merupakan korban
karena dengan mengonsumsi sabhu atau narkotika golongan I dapat merusak
Kesehatan dan masa depan sianak, selain dijatuhi hukuman pidana penjara dalam
kasus ini anak juga bisa mendapatkan upaya rehabilitasi agar anak mendapatkan
hak-haknya karena dalam hal penyalahgunaan narkotika pelaku tidak hanya
dihukum penjara untuk menghilangkan kecanduannya atas barang-barang terlarang
tetapi pelaku penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak juga mempunyai
hak-haknya untuk diupayakan rehabilitasi mengingat kepentingan terbaik bagi
masa depan si anak.
BAB VI
PENUTUP
6.1. KESIMPULAN
6.2. SARAN
52
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Denpasar, …….2022
Wawancara Bersama Bapak IPDA I Gede Eka Parnama, S.Kom., S.H. selaku
Kaurbinopsnal Satresnarkoba Polresta Denpasar dan Bapak AIPTU I Wayan
Suarjaya, S.H selaku Penyidik Satresnarkoba Polresta Denpasar
2. Kejaksaan Negeri Denpasar
Penulis melaksanakan wawancara Bersama Ibu Ni Ketut Muliani, S.H., M.H selaku
jaksa penuntut umum yang menangani perkara anak dalam putusan nomor
11/Pid.Sus-Anak/2022/PN Dps yang memiliki jabatan jaksa fungsional kejaksaan
negeri Denpasar
3. Pengadilan Negeri Denpasar
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap
Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika?