Anda di halaman 1dari 184

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA

PEMBAKARAN LAHAN HUTAN DI PELALAWAN RIAU


(Studi Kasus Putusan No. 97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw)

SKRIPSI

NAMA : ILLA DESIYANA


NIM : 2101151407

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUNG KARNO
JAKARTA
2019
ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA
PEMBAKARAN LAHAN HUTAN DI PELALAWAN RIAU
(Studi Kasus Putusan No. 97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum Strata Satu

NAMA : ILLA DESIYANA


NIM : 2101151407

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUNG KARNO
JAKARTA
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA


PEMBAKARAN LAHAN HUTAN DI PELALAWAN RIAU
(Studi Kasus Putusan No. 97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum Strata Satu

Disusun Oleh:

NAMA : ILLA DESIYANA


NIM : 2101151407

Skripsi ini telah disetujui oleh dosen pembimbing pada tanggal


___ _______________ 2019

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Daniel Panda, M.H. Dr. Azmi Syahputra, S.H., M.H.

ii
LEMBAR PENGESAHAN

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA


PEMBAKARAN LAHAN HUTAN DI PELALAWAN RIAU
(Studi Kasus Putusan No. 97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw)

SKRIPSI

Disusun Oleh:
NAMA : ILLA DESIYANA
NIM : 2101151407

Skripsi ini telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan


dinyatakan LULUS pada hari ______ tanggal _______________

Denqan Penguji:
Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua :

Anggota :

Anggota :

Disahkan Oleh
Dekan,

Drs. Daniel Panda, M.H.

iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI

Saya menyatakan bahwa materi yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar

hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain baik sebagian

atau seluruhnya. Pendapat dan temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi

ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah dan arahan Dosen

Pembimbing.

Jakarta, _______________ 2020

ILLA DESIYANA

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi

ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Bung Karno. Saya

menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa

perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya

untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Ibu Hj. Rachmawati Soekarnoputri, S.H., selaku Pendiri sekaligus Ketua

Yayasan Pendidikan Bung Karno.

2. Bapak Drs. Soenarto Sardiatmadja, MBA., M.M. selaku Rektor

Universitas Bung Karno Jakarta.

3. Bapak Tarmudi, SH., SE., M.M., selaku Wakil Rektor I Universitas Bung

Karno Jakarta.

4. Bapak M. Marhaendraputra S., S.H., selaku Wakil Rektor II Universitas

Bung Karno Jakarta.

v
5. Bapak Ir. Boas Panjaitan, M.M., MBA., selaku Wakil Rektor III

Universitas Bung Karno Jakarta.

6. Bapak Teguh Santosa, S.IP., M.A., selaku Wakil Rektor IV Universitas

Bung Karno Jakarta.

7. Bapak Drs. Daniel Goerge Hendrik Panda, M.H. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Bunga Karno Jakarta sekaligus sebagai Dosen

Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada

penulis untuk mengembangkan ilmu hukum melalui penulisan skripsi.

8. Bapak Dr. Azmi Syahputra, S.H., M.H., selaku Ketua Program Studi Ilmu

Hukum, Universitas Bung Karno Jakarta sekaligus sebagai selaku Dosen

Pembimbing Skripsi II yang telah menyediakan waktu serta pikirannya,

memberikan ilmu, bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini.

9. Bapak Dr. Sujudiman Saleh, SE., MM., MBA, selaku Kepala Badan

Penjamin Mutu, Universitas Bung Karno Jakarta.

10. Bapak Eko Suryo Santjoyo, S.H., M.H., selaku Kepala Lembaga

Penelitian & Pengabdian Pada Masyarakat, Universitas Bung Karno

Jakarta.

11. Ibu Ir. Bernadette Nurmawati, S.H., M.H., selaku Sekretaris Lembaga

Penelitian, Universitas Bung Karno Jakarta.

vi
12. Ibu Dr. Sri Mumpuni Ngesti Rahayu, M.Si., selaku Sekretaris Lembaga

Pengabdian Pada Masyarakat, Universitas Bung Karno Jakarta.

13. Bapak Suardi, S. Kom, selaku Sekretaris Badan Penjamin Mutu,

Universitas Bung Karno Jakarta.

14. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Karno

Jakarta yang telah memberikan ilmu kepada penulis, dan semoga dapat

penulis amalkan dalam kehidupan masa depan nantinya.

15. Segenap staf Perpustakaan Bung Karno atas bantuannya yang

memudahkan penulis mencari bahan-bahan referensi untuk penulisan

penelitian ini.

16. Bapak dan Ibu tercinta, terimakasih atas ketulusan hati menyayangi

penulis, dengan segala pengorbanannya selalu memberikan yang terbaik

bagi penulis serta doa yang tak pernah putus.

17. Kakak dan adekku tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, motivasi

dan selalu mendengar keluh kesah penulis. Serta si kecil _____ yang selalu

memberikan tawa bagi penulis di tengah kelelahannya.

18. Sahabat terbaik di kampus Harun Tambun, Suratno, Imron Saputra, Asisah

dan Rohimah (sahabat yang tak lekang oleh waktu), terimakasih atas

vii
persahabatan dan kebaikan kalian selama ini, maaf telah banyak

merepotkan kalian.

19. Seluruh teman-teman Angkatan 2015 FH UBK yang telah mengisi hari-

hari kuliah penulis selama ini. Maaf tidak bisa menyebutkan kalian satu

persatu.

20. Seluruh Guru serta teman-teman SD, SMP, SMU yang telah menjadi

bagian hidup penulis.

21. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas

segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini

membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, _______________ 2020

Penulis,

ILLA DESIYANA

viii
ABSTRAK

A. Nama : Illa Desiyana


B. NIM : 2101151407
C. Judul : ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA
PEMBAKARAN LAHAN HUTAN DI PELALAWAN
RIAU (Studi Kasus Putusan No.
97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw)
D. Kata Kunci : Tindak Pidana Pembakaran Lahan Hutan, baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup
E. Halaman : xiii halaman permulaan + 168 halaman isi
F. Daftar Acuan : 26 jenis buku referensi + 9 situs internet + 32 peraturan
dan undang-undang
G. Isi Abstrak :
Permasalahan lingkungan khususnya kebakaran hutan merupakan
permasalahan yang komplek dan menarik untuk dikaji lebih mendalam, maka
dari itu penulis tertarik mengkaji lebih dalam dan meneliti permasalahan
tersebut ke dalam penulisan skripsi yang berjudul: “ANALISIS YURIDIS
TINDAK PIDANA PEMBAKARAN LAHAN HUTAN DI
PELALAWAN RIAU (Studi Kasus Putusan Nomor 97/Pid.B/LH/2018/
PN.Plw)”.
Adapun pokok permasalahan yang dikupas dalam skirpsi ini adalah
perihal: 1) Apakah Pengadilan Negeri Pelalawan dalam menjatuhkan putusan
terhadap kasus tindak pidana pembakaran hutan dalam perkara Nomor
97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009?, dan 2) Apakah putusan hakim
Pengadilan Negeri Pelalawan terhadap tindak pidana pembakaran hutan
dalam Perkara Nomor 97/Pid.B/LH/2018/ PN.Plw sudah memenuhi rasa
keadilan pada masyarakat?
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif, artinya bahwa penelitian ini mengacu kepada norma-norma hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Perkara pidana pembakaran lahan Kecamatan Teluk Meranti,
Kabupaten Pelalawan ini menyeret MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias
UDIN, petani setempat yang pada saat itu telah membakar lahan miliknya
sendiri dalam rangka membuka dan menyiapkan lahan (membersihkan lahan)
guna keperluan menanam cabe yang kemudian didakwa melamnggar Pasal 99
ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang karena kelalaiannya
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku
mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

ix
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Bermimpilah untuk memimpin negeri, karena berawal dari mimpilah kita bisa

taklukan semuanya.

PERSEMBAHAN

Aku persembahkan cinta dan sayangku kepada Orang Tua-ku beserta keluarga,

serta kekasih tersayang yang telah menjadi motivator dan inspirator di mana

selalu memberikan dukungan dan do’anya yang tiada hentinya, karena mereka

adalah pelita harapanku.

x
DAFTAR ISI

halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI .......................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Pokok Permasalahan ............................................................... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 12
D. Metode Penelitian.................................................................... 13
E. Sistematika Penulisan.............................................................. 16

BAB II TINJAUAN UMUM


A. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana ............................. 19
B. Unsur-Unsur Tindak Pidana .................................................... 26
C. Macam-Macam Jenis Tindak Pidana ...................................... 37
D. Pertanggungjawaban Tindak Pidana ....................................... 42

BAB III TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA


LINGKUNGAN MENURUT PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
A. Pengertian Tindak Pidana Lingkungan ................................... 50

xi
1. Konsep dan Kriteria Masalah Lingkungan ...................... 50
2. Perwujudan Masalah-Masalah Lingkungan .................... 56
3. Tolok Ukur Pencemaran dan Perusakan Lingkungan
Hidup............................................................................... 57
B. Hukum Lingkungan Hidup ..................................................... 61
1. Pengaturan Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia...... 61
a. Ketentuan perundang-undangan yang berkaitan
dengan tindak pidana lingkungan .............................. 61
b. Peraturan Pengendalian Kerusakan Atau
Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan
Dengan Kebakaran Hutan Atau Lahan ...................... 76
2. Pengaturan Mengenai Pertanggungjawaban Tindak
Pidana Lingkungan Hidup Menurut Hukum Pidana di
Indonesia ......................................................................... 83
3. Pengaturan Mengenai Pertanggungjawaban Tindak
Pidana Lingkungan Hidup Menurut Hukum Pidana di
Masa Yang Akan Datang ................................................ 88
C. Kelemahan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 90

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA


PEMBAKARAN LAHAN HUTAN DI PELALAWAN RIAU
(Studi Kasus Putusan Nomor 97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw)
A. Duduk Perkara ......................................................................... 100
1. Pihak Dalam Perkara........................................................ 100
2. Posisi Kasus ................................................................... 101
3. Saksi-Saksi ..................................................................... 129
4. Barang Bukit .................................................................. 139

xii
B. Pertimbangan Hukum.............................................................. 139
C. Putusan Majelis Hakim ........................................ 151
D. Analisa Kasus .......................................................................... 152

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 158
B. Saran ........................................................................................ 159

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 161

LAMPIRAN-LAMPIRAN............................................................................... 169

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

halaman

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PELALAWAN NOMOR


97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw............................................................................... 170

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN


2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP ................................................................................. 197

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hutan merupakan sumber daya alam yang menempati posisi yang

sangat strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekitar dua-

pertiga dari 191 juta hektar daratan Indonesia adalah kawasan hutan dengan

ekosistem yang beragam, mulai dari hutan tropika dataran rendah, hutan

tropika dataran tinggi, sampai hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan

hutan bakau (mangrove). Nilai penting sumber daya tersebut kian

bertambah karena hutan merupakan sumber hajat hidup orang banyak.1

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, tercantum dalam Pasal 1 angka 2 yang berbunyi:

“Hutan adalah satu kesatuan sistem berupa hamparan lahan berisi


sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya
tidak dapat dipisahkan.” 2

Menurut FAO (Food and Agriculture Organization) vegetasi hutan di

Indonesia menghasilkan lebih dari 14 miliar ton biomassa yang setara

1
Nandika Dodi, Hutan Bagi Ketahanan Nasional, Muhammadiyah University Press,
Surakarta, 2005, hlm. 1
2
Supriyadi Bambang Eko, Hukum Agraria Kehutanan: Aspek Hukum Pertanahan Dalam
Pengelolaan Hutan Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 68-69

1 Universitas Bung Karno


2

dengan 20% biomassa diseluruh hutan tropis di Afrika. Bahkan berdasarkan

perhitungan tahun 2005, total potensi karbon dari hutan Indonesia mencapai

5,5 miliar ton. Oleh karena itu tepat jika dikatakan bahwa Indonesia

merupakan paru-paru dunia yang menyangga sistem kehidupan umat

manusia. Akan tetapi akhir-akhir ini hutan di Indonesia mengalami

degradasi dan juga deforestasi atau penghilangan hutan akibat dari

pembukaan lahan yang cukup besar, dan bahkan Indonesia merupakan

negara dengan tingkat deforestasi paling parah di dunia. 3

Salah satu penyebab terjadinya degradasi dan deforestasi hutan adalah

kebakaran hutan. Pembakaran hutan, penggundulan hutan, menipisnya

lapisan ozon, pemanasan global, dan punahnya species tertentu adalah

beberapa contoh dari masalah dilingkungan hidup. Dalam literatur masalah-

masalah lingkungan dapat dikelompokan ke dalam tiga bentuk, yaitu

pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan secara sah (land

misuse) dan pengurasan atau habisnya sumberdaya alam (natural resource

depeletion). 4 Akan tetapi jika dilihat dari perspektif hukum yang berlaku di

Indonesia, masalah-masalah lingkungan hanya dikelompokan ke dalam dua

bentuk, yakni pencemaran lingkungan (environmental pollution) dan

3
www.eprints.ums.ac.id hlm. 2
4
Richard Stewart and James E. Krier, Environmental Law and Policy, The Bobbs Merril Co.
Inc, Indianapolis, New York, 1978, hlm. 3-5

Universitas Bung Karno


3

perusakan lingkungan hidup. Pembedaan masalah lingkungan hidup ke

dalam dua bentuk dapat di lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UULH) yang kemudian dicabut oleh Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPLH).

Pengertian pencemaran lingkungan adalah sebagaimana dirumuskan

dalam Pasal 1 butir 12 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23

Tahun 1997, yakni:

“Masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau


komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan, sehingga
kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan hidup tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya”.

Pengertian perusakan lingkungan sebagaimana dirumuskan dalam

Pasal 1 butir 14, yaitu:

“Tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak


langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati yang mengakibatkan
lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan”. 5

Literatur hukum lingkungan umumnya merujuk pada Konferensi

Stockholm yang diselenggarakan pada tanggal 5-16 Juni 1972 di Swedia.

Konferensi Stockholm tersebut sebagai cikal bakal dari tumbuh dan

5
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, edisi kelima, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, September 2015, hlm. 1.

Universitas Bung Karno


4

berkembangnya hukum lingkungan Internasional maupun Nasional karna

konferensi ini menghasilkan sebuah dokumen yaitu: Deklarasi tentang

Lingkungan hidup manusia yang juga disebut sebagai Deklarasi Stockholm.

Yang dianggap sebagai sumber bagi pengembangan hukum lingkungan.

Deklarasi Stockholm terdiri atas preamble dan 26 asas. Konferensi itu juga

menetapkan bahwa tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup

Sedunia. 6

Dua puluh tahun setelah Konferensi Stockholm 1972, PBB kembali

melaksanakan sebuah Konfrensi di Rio De Janeiro, Brazil 1992. Mengenai

lingkungan dan pembangunan, lembaga yang menjadi wadah berbagai

Negara di dunia tersebut menyadari bahwa lingkungan dan pembangunan

merupakan hal yang bisa mengancam kehidupan manusia di masa yang

akan datang.

Konferensi Rio kemudian menghasilkan berbagai kesepakatan di

antaranya mengenai Konvensi Perubahan Iklim, Konvensi

Keanekaragaman Hayati, dan prinsip-prinsip tentang hutan. 7

Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap

warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28H UUD

Republik Indonesia 1945. Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 4

6
Warren, Op, Cit., hlm. 110
7
Takdir Rahmadi, Op. Cit., hlm. vii.

Universitas Bung Karno


5

Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan

Hidup merupakan langkah awal kebijakan untuk penegakan Hukum

Lingkungan Hidup UUPPLH memuat prinsip-prinsip pengelolaan

lingkungan hidup yang berfungsi memberikan arahan bagi system hukum

lingkungan nasional. Dan setelah 15 Tahun akhirnya undang-undang ini pun

dicabut karena dianggap kurang sesuai agar terwujud pembangunan yang

berkelanjutan seperti apa yang diciptakan yaitu dengan undang-undang

tentang pengelolaan lingkungan hidup, Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 dan diganti lagi oleh Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 dengan alasan agar lebih

menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak

setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat,

melalui penjatuhan sanksi pidana yang lebih berat di dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009. 8

Selanjutnya, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

pada Pasal 69 ayat 1 huruf (h) melarang seseorang untuk membuka lahan

dengan cara dibakar. Sedangkan didalam ayat (2) disebutkan bahwa

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan

8
Yulanto Araya, Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Di Tengah Pesatnya Pembangunan
Nasional, Vol 10 No 1 Tahun 2013, hlm. 50.

Universitas Bung Karno


6

dengan sungguh-sungguh kearifan lokal didaerah masing-masing” hal ini

mengindikasikan bahwa membuka lahan dengan cara dibakar

diperbolehkan asalkan disesuaikan dengan kearifan lokal di daerah masing-

masing. Peraturan Gubernur Nomor 15 Tahun 2010 serta Peraturan Daerah

Provinsi Riau tentang pedoman pengendalian kebakaran hutan, lahan, dan

lingkungan hidup yang membolehkan pembukaan lahan dengan cara

dibakar asalkan ada izin pembakaran lahan yang diatur peraturan tingkat

desa dan kabupaten terkait hak ulayat. 9

Ada empat jenis cara membakaran hutan yang diindentifikasi yaitu,

Perbuatan membakar hutan dengan sengaja dilakukan orang tertentu tanpa

ada kewenangan atau izin untuk berada dalam kawasan hutan, Perbuatan

membakar hutan dengan tidak sengaja dilakukan orang akibat memasuki

kawasan hutan tanpa izin yang berwewenang, Perbuatan membakar hutan

dengan tidak sengaja dilakukan badan hukum atau orang yang diizinkan

pihak berwenang untuk bekerja atau berada di kawasan hutan, Perbuatan

membakar hutan dengan tidak sengaja dilakukan orang atau badan hukum

yang diizinkan melakukan bekerja atau berada di kawasan hutan. 10

9
Kompasiana.com, Negara Membenarkan Pembukaan Lahan Dengan Cara Dibakar, dalam
http://www.kompasiana.com/alldie/negara-membenarkan-pembukaan-lahan-dengan-cara-dibakar_
562b407b917a615a073fe578, Sabtu, 24 Oktober 2015, yang diakses pada tanggal 12 November
2019.
10
Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan dan Segi-Segi Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta,
1997, hlm. 49.

Universitas Bung Karno


7

Meskipun Indonesia memiliki banyak sekali peraturan yang melarang

pembakaran hutan, pada kenyataannya yang terjadi di lapangan penegakan

hukum peraturan tersebut masih sangat lemah.

Sebagai contoh, dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri

Palembang Nomor 24/Pdt.G/2015/PN.Plg di mana Hakim memutus bebas

tergugat atas dalil bahwa lahan yang terbakar tidak mengalami kerusakan,

masih subur dan bisa ditanami dengan pohon akasia. 11

Islam sebagai agama yang tidak hanya mengatur hubungan antara

manusia dengan Tuhannya saja akan tetapi islam juga mengatur hubungan

manusia dengan sesama makhluk (termasuk lingkungan hidupnya)

sebenarnya telah memiliki landasan normatif baik secara implisit maupun

eksplisit tentang pengelolaan lingkungan ini. Secara eksplisit, Al-Qur’an

menyatakan bahwa segala jenis kerusakan yang terjadi di permukaan bumi

merupakan akibat dari ulah tangan yang dilakukan oleh manusia dalam

berinteraksi terhadap lingkungan hidupnya.

Allah SWT berfirman:

َ‫ﻋ ِﻤﻠُﻮا ﻟَﻌَﻠﱠ ُﮭ ْﻢ ﯾَ ْﺮ ِﺟﻌُﻮن‬


َ ‫ﺾ اﻟﱠﺬِي‬ ِ ‫ﺖ أ َ ْﯾﺪِي اﻟﻨﱠ‬
َ ‫ﺎس ِﻟﯿُﺬِﯾﻘَ ُﮭ ْﻢ ﺑَ ْﻌ‬ َ ‫ﺴﺎدُ ِﻓﻲ ْاﻟﺒَ ِ ّﺮ َو ْاﻟﺒَﺤْ ِﺮ ِﺑ َﻤﺎ َﻛ‬
ْ َ‫ﺴﺒ‬ َ َ‫ظ َﮭ َﺮ ْاﻟﻔ‬
َ

Arab-Latin: ẓaharal-fasādu fil-barri wal-baḥri bimā kasabat aidin-nāsi


liyużīqahum ba'ḍallażī 'amilụ la'allahum yarji'ụn

11
Walhi, Keharusan Pembenahan Struktural Untuk Perbaikan Tata Kelola, dalam
http://www.walhi.or.id/wp-content/uploads/2016/01/outlook2016_edit_1.pdf, Rabu, 23 Maret
2016, yang diakses pada tanggal 15 November 2019.

Universitas Bung Karno


8

Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan


karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebahagian dari(akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali(ke jalan yang benar)”. (Q.S Ar-Rum
[30]:41)

Ayat ini, sejatinya menjadi bahan introspeksi manusia sebagai

makhluk yang diberikan oleh Allah mandat mengelola lingkungan

bagaimana tata kelola lingkungan hidup yang seharusnya dilakukan agar

tidak terjadi kerusakan alam semesta ini.

Mengamini ayat di atas, Al-Qur’an sudah dengan tegas melarang

manusia untuk melakukan kerusakan dalam bentuk apapun di muka bumi

ini. Sesuai dengan firman Allah SWT:

ِ ‫ﺻ َﻼ ِﺣ َﮭﺎ ﺑَ ْﻌﺪَ ْاﻷ َ ْر‬


‫ض ﻓِﻲ ﺗ ُ ْﻔ ِﺴﺪُوا َو َﻻ‬ ِ ‫ْاﻟ ُﻤﺤْ ِﺴﻨِﻲ ِﻣﻦَ ﻗَ ِﺮﯾﺐٌ ﱠ‬
َ ‫� َرﺣْ َﻤﺖَ ِإ ﱠن ۚ َو‬
ُ ‫ط َﻤﻌًﺎ ﺧ َْﻮﻓًﺎ َوا ْد‬
ْ ‫ﻋﻮهُ ِإ‬

Arab-Latin: Wa lā tufsidụ fil-arḍi ba'da iṣlāḥihā wad'ụhu khaufaw wa


ṭama'ā, inna raḥmatallāhi qarībum minal-muḥsinīn

Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,


sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya
dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan
dikabulkan), sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik”. (Q.S Al-Araf [7]: 56)

Mengenai ayat ini, Thahir bin ‘Asyur dalam tafsir beliau yang

monumental, At-Tahrir wa At-Tanwir menyatakan bahwa melakukan

kerusakan pada satu bagian dari lingkungan hidup semakna dengan merusak

lingkungan hidup secara keseluruhan.7 Dalam hukum Islam mengenai

tindak pidana pembakaran hutan memang belum diatur secara tegas baik

Universitas Bung Karno


9

dalam Al-Qur’an maupun Hadist, hanya dijelaskan secara umum. Oleh

karena itu para Ahli Hukum Islam dituntut untuk melakukan ra’yu (akal

pikiran) manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad menggali hukum

secara mendalam dengan metode atau cara, di antaranya adalah ijma, qiyas,

istidal, al-masalih al mursalah, istihsan, istishab, dan, ‘urf. 12

Dampak negatif dari menurunnya kualitas lingkungan hidup baik

karena terjadinya pencemaran, kerusakan atau terkurasnya sumber daya

alam adalah timbulnya ancaman Kesehatan dampak terhadap kesehatan

manusia terutama bersumber dari pencemaran lingkungan. Dampak

pencemaran lingkungan sering kali baru dapat dirasakan setelah beberapa

tahun atau puluhan tahun sejak masuknya suatu zat ke dalam organ tubuh

manusia. Zat-zat kimia tertentu memerlukan proses akumulatif hingga

sampai waktu tertentu, yang manusia tidak menyadarinya. Barulah

dampaknya dirasakan dan dilihat oleh manusia. Dengan demikian,

pencemaran lingkungan sering kali mengandung adanya risiko terhadap

kesehatan manusia. Beberapa peristiwa pencemaran lingkungan di Negara-

negara maju, yang menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan

masyarakat antara lain adalah pencemaran udara di London 1952,

pencemaran udara di Pennsylvania 1948, pencemaran di Love Canal A.S

12
www.eprints.ums.ac.id hlm. 5-6

Universitas Bung Karno


10

dll. Di Indonesia memang belum pernah terjadi peristiwa-peristiwa

pencemaran lingkungan hidup yang spektakuler seperti peristiwa

pencemaran tersebut di atas, yang terjadi di negara-negara maju. Namun,

beberapa indikasi pencemaran telah terjadi di beberapa tempat di Indonesia,

misalnya kasus pencemaran lingkungan yang kemudian telah menimbulkan

sengketa-sengketa lingkungan. Beberapa kasus-kasus sengketa lingkungan

diselesaikan melalui proses pengadilan dan sebagian lain diselesaikan

melalui proses mediasi.

Estetika

Dewasa ini orang mengharapkan dapat menikmati lingkungan hidup yang

baik dan sehat tidak sekedar bebas dari pencemaran ligkungan hidup yang

dapat membahayakan kesehatan mereka, tetapi juga bebas dari gangguan-

gangguan lain, yang meskipun tidak membahayakan kesehatan, tetapi juga

merusak segi-segi estetika dari lingkungan hidup mereka atau lingkungan

tempat tinggal mereka. Jadi masalah keindahan (estetika) dan kebersihan

juga merupakan kepedulian banyak orang.

Kerugian Ekonomi

Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh timbulnya masalah-masalah

lingkungan dapat mencapai ratusan juta. Secara umum dapat digambarkan

kerugian-kerugian ekonomi yang diderita oleh para penderita pencemaran

Universitas Bung Karno


11

berupa biaya pemeliharaan atau pembersihan rumah, biaya pengobatan atau

dokter, dan hilang atau lenyapnya mata pencaharian.

Terganggunya Ekosistem Alami

Kegiatan manusia dapat mengubah system alami. Misalnya penebangan

atau penggundulan hutan dapat mengubah iklim global, terjadinya musim

kering yang luar biasa atau timbulnya badai. 13

Begitupula penggundulan hutan dalam jumlah besar secara tidak

bijaksana dapat menimbulkan terjadinya gurun pasir atau memperluas

gurun pasir yang telah ada seperti yang terjadi di gurun pasir sahara, Afrika

Utara, Pembangunan dan juga dapat mengubah system ekologis suatu

kawasan, yang akibat- akibatnya tidak dapat segera diketahui oleh manusia.

Permasalahan lingkungan khususnya kebakaran hutan merupakan

permasalahan yang komplek dan menarik untuk dikaji mendalam, maka dari

itu penulis tertarik mengkaji lebih dalam dan meneliti permasalahan

tersebut ke dalam penulisan skripsi yang berjudul: “ANALISIS YURIDIS

TINDAK PIDANA PEMBAKARAN LAHAN HUTAN DI

PELALAWAN RIAU (Studi Kasus Putusan Nomor 97/Pid.B/LH/2018/

PN.Plw)”

13
Takdir Rahmadi, Op. Cit., hlm. 3-4.

Universitas Bung Karno


12

B. Pokok Permasalahan

1. Apakah Pengadilan Negeri Pelalawan dalam menjatuhkan putusan

terhadap kasus tindak pidana pembakaran hutan dalam perkara Nomor

97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw sudah sesuai dengan ketentuan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009?

2. Apakah putusan hakim Pengadilan Negeri Pelalawan terhadap tindak

pidana pembakaran hutan dalam Perkara Nomor 97/Pid.B/LH/2018/

PN.Plw sudah memenuhi rasa keadilan pada masyarakat?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian.

a. Untuk mengetahui apakah Pengadilan Negeri Pelalawan dalam

menjatuhkan putusan terhadap kasus tindak pidana pembakaran

hutan dalam perkara Nomor 97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw sudah sesuai

dengan ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 2009

b. Untuk mengetahui apakah putusan hakim Pengadilan Negeri

Pelalawan terhadap tindak pidana pembakaran hutan dalam Perkara

Nomor 97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw sudah memenuhi rasa keadilan

pada masyarakat

Universitas Bung Karno


13

2. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis kegunaan skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi

kajian ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya hukum

lingkungan hidup, dan dapat dimanfaatkan lebih lanjut baik sebagai

bacaan ataupun menjadi bahan acuan dalam penelitian yang lebih

lanjut dalam hal mengetahui aspek-aspek yang menjadi

pertimbangan Pengadilan Negeri Pelalawan dalam memutuskan

perkara pidana pembakaran hutan.

b. Manfaat praktis

1) Sebagai bahan masukan dan acuan bagi seluruh mahasiswa dan

pihak-pihak yang berkompeten dibidang hukum pada umumnya

dan pada hukum pidana pada khususnya.

2) Sebagai sarana untuk menambah wawasan para pembaca

mengenai tindak pidana pembakaran lahan hutan.

3) Sebagai bahan pertimbangan Pengadilan Negeri Pelalawan

dalam menangani kasus kejahatan pembakaran lahan hutan

D. Metode Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin hukum guna menjawab isu

Universitas Bung Karno


14

hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan

argumentasi, teori ataupun konsep baru sebagai preskripsi dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi.

1. Metode Pendekatan Masalah

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif, artinya bahwa penelitian ini mengacu kepada norma-norma

hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

2. Sumber dan Jenis Data

Data yang diperlukan dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder,

yaitu data yang secara tidak langsung memberi kajian terhadap

permasalahan penelitian dari bahan bahan hukum berupa dokumen,

arsip, peraturan perundangan dan berbagai literatur lainnya. Data

sekunder ini diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tertier yang meliputi:

a. Bahan hukum primer antara lain:

 Undang-Undang Dasar NKRI 1945

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Universitas Bung Karno


15

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014

tentang Perkebunan

 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001

tentang Pengendalian Kerusakan Dan Atau Pencemaran

Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan

Dan Atau Lahan

 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2013

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

b. Bahan hukum sekunder antara lain:

 Buku Referensi

 Hasil Karya Ilmiah

 Hasil Penelitian

c. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang

Merupakan bahan yang memberikan informasi untuk memperjelas

apa yang terdapat di dalam hukum primer dan bahan hukum

sekunder.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis

sosiologis (Sociology legal research) yaitu suatu penelitian yang

Universitas Bung Karno


16

menggunakan bahan kepustakaan atau data sekunder sebagai data

awalnya, kemudian dilanjutkan dengan cara mencari,

menginventarisasi dan mempelajari peraturan perundang-undangan,

putusan, buku, pendapat para sarjana, dan data sekunder lainnya yang

dapat digunakan sebagai bahan dalam penelitian ini.

4. Teknik Analisa Data

Data yang telah terkumpul dan telah di olah akan dibahas dengan

mengunakan metode normatif kualitatif dimaksudkan sebagai analisis

data yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas hukum

dan informasi masing-masing data.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan proposal skripsi ini, maka akan

diberikan gambaran secara ringkas mengenai uraian dari bab ke bab yang

berkaitan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini

adalah:

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, metode

penelitian dan diakhiri dengan sistematika skripsi

Universitas Bung Karno


17

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

Berisikan tentang tinjauan umum mengenai pengertian tindak

pidana, unsur-unsur tindak pidana, macam-macam jenis tindak

pidana dan pertanggung jawaban tindak pidana.

BAB III TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA

LINGKUNGAN MENURUT PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

Bab ini berisikan tentang pengertian tindak pidana lingkungan

(yang terdiri dari: 1. Konsep dan Kriteria Masalah Lingkungan;

2. Perwujudan Masalah-Masalah Lingkungan; dan 3. Tolak

Ukur Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup), hukum

lingkungan hidup (yang terdiri dari: 1. Pengaturan Hukum

Lingkungan Hidup di Indonesia, berupa: a. Ketentuan

perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana

lingkungan; b. Peraturan Pengendalian Kerusakan Atau

Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan

Kebakaran Hutan Atau Lahan; 2. Pengaturan Mengenai

Pertanggungjawaban Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Menurut Hukum Pidana di Indonesia; dan 3. Pengaturan

Mengenai Pertanggungjawaban Tindak Pidana Lingkungan

Universitas Bung Karno


18

Hidup Menurut Hukum Pidana di Masa Yang Akan Datang) dan

Kelemahan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup

BAB IV TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA

PEMBAKARAN LAHAN HUTAN DI PELALAWAN

RIAU (Studi Kasus Putusan Nomor 97/Pid.B/LH/2018/

PN.Plw)

Bab ini akan menganalisa kasus posisi dan pertimbangan hukum

dalam putusan pengadilan dan analisis Putusan Nomor

97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw

BAB V PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran menyangkut

permasalahan yang ada dalam penulisan ini.

Universitas Bung Karno


BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana

Istilah tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari

bahasa Belanda yaitu “Strabaarfeit”, Kata “Strabaar” berarti dapat

dihukum, sedangkan “Feit” itu sendiri berarti sebagian dari suatu

kenyataani. Jadi secara harafiah kata“Strabaarfeit” itu dapat

diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum,

di mana yang dapat dihukum adalah manusia sebagai seorang pribadi.14

Terkadang juga perbuatan pidana sering disebut delik yang berasal dari

bahasa Latin “Delictum”, tetapi sampai sekarang belum ada konsep yang

menjelaskan istilah “Strafbaarfeit” tersebut secara menyeluruh. Karena

hingga saat ini belum ada kesepakatan antara para sarjana tentang

pengertian tindak pidana “Strafbaarfeit”.

Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum

pidana. Oleh karena itu memahami pengertian tindak pidana adalah

penting sekali. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya

dengan istilah kejahatan (crime) yang bisa diartikan secara yuridis ataupun

14
P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hlm. 18.

19 Universitas Bung Karno


20

secara kriminologis. 15 Dalam sistem perundang-undangan hukum pidana,

tindak pidana dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu kejahatan dan

pelanggaran. Kedua istilah tersebut pada hakekatnya tidak ada perbedaan

yang tegas karena keduanya sama-sama delik atau perbuatan yang boleh

dihukum. Pembagian tindak pidana tersebut dilakukan karena menurut

Memorie van Toelichting (pada WVS di negara Belanda) merupakan

pembagian asasi (prinsipil), bahwa pembagian tindak pidana dalam

kejahatan dan pelanggaran itu berdasarkan perbedaan apa yang disebut

delik hukum dan apa yang disebut delik undang-undang. Perbedaan kedua

istilah tersebut mempunyai perbedaan ciri-ciri atau sifat. Suatu perbuatan

merupakan delik hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan asas-

asas hukum yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas

daripada hal apakah asas-asas tersebut dicantumkan atau tidak dalam

undang-undang pidana.

Sebaliknya delik undang-undang ialah perbuatan yang bertentangan

dengan apa yang secara tegas dicantumkan dalam undang-undang pidana.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia melakukan

perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran, segala bentuk kejahatan

dimuat dalam buku III KUHP yang dibedakan secara prinsip yaitu:

15
Djoko Prakoso, Tindak Pidana Penerbangan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1983, hlm. 38

Universitas Bung Karno


21

1. Kejahatan sanksi hukumnya lebih berat daripada pelanggaran, yaitu

berupa hukuman badan (penjara) yang waktunya lebih lama.

2. Percobaan melakukan kejahatan dihukum, sedangkan pada

pelanggaran percobaan melakukan pelanggaran tidak dihukum.

3. Tenggang waktu daluarsa kejahatan lebih lama dari pada pelanggaran.

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas dapat

disimpulkan bahwa pelanggaran adalah:

1. Perbuatan yang bertentang dengan apa yang secara tegas dicantumkan

dalam undang-undang pidana.

2. Pelanggaran merupakan tindak pidana yang lebih ringan dari

kejahatan baik perbuatannya maupun hukumnya. 16

Berikut merupakan pengertian mengenai tindak pidana menurut para

ahli, antara lain:

1. Moeljatno

Tindak pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang

oleh suatu aturan hukum, larangan yang disertai ancaman (sanksi)

berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar aturan tersebut.

Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan.

a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum yang

dilarang dan diancam pidana

16
http://digilib.unila.ac.id/

Universitas Bung Karno


22

b. Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu merupakan suatu

keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh perilaku seseorang,

sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada seseorang yang

menimbulkan kejadian tersebut

c. Antara larangan dan ancaman pidana terdapat hubungan yang

erat, maka kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan

bukan orang. 17

Dari hal tersebut perbuatan pidana menurut Moeljatno harus ada

unsur-unsur perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yang memenuhi

rumusan dalam undang-undang dan bersifat melawan hukum.

2. Simons

Tindak pidana merupakan tindakan melanggar hukum pidana yang

telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh

undang-undang, hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu

tindakan yang dapat dihukum.

Jadi unsur-unsur strafbaarfeit atau tindak pidana menurut pendapat

dari Simons adalah: 18

17
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 59.
18
P. A. F. Lamintang, Op. Cit., hlm. 182.

Universitas Bung Karno


23

a. Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak

berbuat)

b. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)

c. Melawan hukum (onrechtmatig)

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab

(toerekeningsvatoaar person)

3. W.P.J Pompe

Strafbaarfeit atau tindak pidana adalah tindakan lain dari pada suatu

tindakan yang menurut suatu rumusan undang-undang telah

dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Bahwa strafbaarfeit

itu secara teori dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma

yang dengan sengaja ataupun tidak telah dilakukan oleh seorang

pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah

perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan

umum. 19

4. Van Hamel

Starfbarfeit atau tindak pidana menurut Van Hamel ialah suatu

serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain. Unsur-unsurnya

19
P. A. F. Lamintang, Op. Cit., hlm. 182.

Universitas Bung Karno


24

adalah perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan patut dipidanakan.

5. Wirjono Prodjodikoro

Istilah strafbaarfeit diterjemahkan sama dengan tindak pidana yakni

suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 20

6. Soedarto

Beliau menyebut Staafbaar Feit dengan istilah tindak pidana, dengan

unsur-unsur sebagai berikut:

a. Perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, Bersifat

melawan hukum

b. Dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab

c. Kesalahan (Sculd) baik dalam bentuk kesengajaan (Dolus)

maupun kealpaan (Culpa) dan tidak ada alasan pemaaf.21

7. Vos

Menurut pendapat dari Vos bahwa straafbaarfeit adalah suatu

kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-

undangan.

Dapat dikatakan pengertian tindak pidana menurut Vos merupakan

perbuatan manusia yang dilakukan bertentangan dengan undang-

20
http://www.irsangusfrianto.com/p/pengertian-delik-aduan-dan-delik-biasa.html
21
Soedarto, Hukum Pidana I, cetakan kedua, Yayasan Sudarto d/s Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 1990, hlm. 50.

Universitas Bung Karno


25

undang. Tindak pidana menurut Vos ini hampir sama halnya dengan

definisi dari Moeljatno.

8. R. Tresna

Peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan

manusia yang bertentangan dengan undang-undang dan peraturan

perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan

tindakan penghukuman.

9. J. E Jonkers

Peristiwa pidana ialah perbuatan yang melawan hukum

(wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan dan

kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat

dipertanggungjawabkan. 22

Dari sekian banyak pengertian atau rumusan yang dikemukakan oleh

para ahli hukum pidana di atas, nampaknya tidak ada ketegasan untuk

menetapkan secara absolut perihal pemakaian kata yang tepat dari

terminologi tindak pidana. Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan sediri

mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana itu, di mana tindak

pidana adalah perbuatan melanggar hukum yang dapat dimintai

pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan oleh

pelakunya di mana perbuatannya tersebut melanggar atau melawan

22
https://tipsserbaserbi.blogspot.com/2015

Universitas Bung Karno


26

hukum, ketentuan Undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya. Dan

atas perbuatan yang telah dilakukannya dapat diancam dengan tindak

pidana berupa kurungan ataupun denda sehingga akan membuat efek jera

bagi pelakunya,

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setelah mengetahui berbagai definisi mengenai tindak pidana maka

di dalam tindak pidana itu sendiri terdapat unsur-unsur tindak pidana.

Untuk mengetahui adanya tindak pidana maka pada umumnya dirumuskan

dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan

yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut

ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas

dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan

lain yang tidak dilarang.

Syarat pertama untuk memungkinkan penjatuhan tindak pidana ialah

adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam

undang-undang. Ini adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik

ini penting artinya sebagai prinsip kepastian. Undang-undang hukum

pidana sifatnya harus pasti, di dalamnya harus dapat diketahui dengan

pasti apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan. Arti perbuatan yakni

Universitas Bung Karno


27

perbuatan yang konkrit dari si pembuat itu harus mempunyai sifat-sifat

atau ciri-ciri dari delik itu sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam

undang-undang, perbuatan itu harus “masuk” dalam rumusan delik itu.

Syarat-syarat itu juga disebut unsur-unsur delik. Pengertian unsur di sini

dipakai dalam arti sempit, ialah unsur yang terdapat dalam rumusan

undang-undang. Rumusan dalam undang-undang ini tidak terikat akan

tempat dan waktu. Tidak demikian halnya dengan perbuatan yang

dimaksud. Ini adalah perbuatan konkrit, yang berlangsung di suatu tempat

pada suatu waktu dan yang dapat ditangkap dengan pancaindera. Berikut

ini kumpulan unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana yaitu: 23

1. Unsur tindak pidana menurut para ahli:

a. Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana adalah:

1) Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak

berbuat)

2) Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)

3) Melawan hukum (onrechtmatig)

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab

(toerekeningsvatoaar person)

23
http://pusathukum.blogspot.com/2015/10/unsur-unsur-tindak-pidana.html

Universitas Bung Karno


28

b. Lamintang merumuskan pokok-pokok perbuatan tindak

pidana yaitu:

1) Wederrechtjek (melanggar hukum)

2) Aan schuld te wijten (dilakukan dengan sengaja ataupun tidak

sengaja)

3) Strafbaar (dapat dihukum)

c. Duet Cristhine-Cansil memberikan 5 (lima) rumusan yaitu:

1) Melanggar hukum

2) Perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan

manusia)

3) Strafbaar gesteld (diancam dengan pidana)

4) Toerekeningsvatbaar (dilakukan oleh seseorang yang mampu

bertanggung jawab)

5) Adanya schuld (terjadi karena kesalahan)

d. Menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana:

1) Perbuatan manusia

2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat

formil)

3) Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

Universitas Bung Karno


29

2. Unsur formal

a. Perbuatan manusia, yaitu dalam arti luas perbuatan atau tindakan

yang dilakukan oleh manusia. dalam artian bahwa sesuatu akan

dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang

telah mengatur perbuatan tersebut, jadi hakim tidak dapat

menuduh suatu kejahatan yang telah dilakukan dengan suatu

peraturan pidana, maka tidak ada tindak pidana.

b. Diancam dengan hukuman, hal ini bermaksud bahwa KUHP

mengatur tentang hukuman yang berbeda berdasarkan tindak

pidana yang telah dilakukan.

c. Dilakukan oleh orang yang bersalah, di mana unsur-unsur

kesalahan yaitu harus ada kehendak, keinginan atau kemauan

dari orang yang melakukan tindak pidana serta orang tersebut

berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar

sebelumnya terhadap akibat perbuatannya. Kesalahan dalam arti

sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si

pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki

oleh undang-undang.

d. Pertanggungjawaban yang menentukan bahwa orang yang tidak

sehat ingatannya tidak dapat diminta pertanggungjawabannya.

Universitas Bung Karno


30

Dasar dari pertanggungjawaban seseorang terletak dalam

keadaan jiwanya.

3. Unsur material

Yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat, Jadi meskipun

perbuatan itu memenuhi rumusan undang-undang, akan tetapi apabila

tidak bersifat melawan hukum, maka perbuatan itu bukan merupakan

suatu tindak pidana.

4. Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana

Ada beberapa tindak pidana yang untuk mendapat sifat tindak pidanya

itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya, seperti

penghasutan (Pasal 160 KUHP), melanggar kesusilaan (Pasal 281

KUHP), pengemisan (Pasal 504 KUHP), mabuk (Pasal 561 KUHP).

Tindak pidana tersebut harus dilakukan di muka umum.

5. Unsur yang memberatkan tindak pidana

Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh

akibatnya, yaitu karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman

pidana diperberat, contohnya merampas kemerdekaan seseorang

(Pasal 333 KUHP) diancam dengan pidana penjara paling lama 8

(delapan) tahun, jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat

ancaman pidana diperberat lagi menjadi pidana penjara paling lama 12

Universitas Bung Karno


31

(dua belas) tahun. Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana,

misalnya dengan sukarela masuk tentara asing, padahal negara itu

akan berperang dengan Indonesia, pelakunya hanya dapat dipidana

jika terjadi pecah perang (Pasal 123 KUHP).

6. Unsur bedasarkan KUHP

Buku 11 KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana

tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan buku 11 memuat

pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap

rumusan, yakni mengenai tingkah laku atau perbuatan walaupun ada

perkecualian seperti Pasal 351 (penganiayaan). Unsur kesalahan dan

melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan sering kali juga

tidak dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan mengenai unsur

kemampuan bertanggung jawab. Di samping itu, banyak

mencantumkan unsur-unsur yang lain baik sekitar atau mengenai

objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan

tertentu.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu dapat

diketahui adanya 11 unsur tindak pidana yakni:

1) Unsur tingkah laku

2) Unsur melawan hukum

Universitas Bung Karno


32

3) Unsur kesalahan

4) Unsur akibat konstitutif

5) Unsur keadaan yang menyertai

6) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana

8) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana

9) Unsur objek hukum tindak pidana

10) Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana

11) Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Dari 11 unsur di atas, di antaranya 2 (dua) unsur, yakni kesalahan dan

melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya

berupa unsur objektif. Unsur melawan hukum ada kalanya bersifat

objektif, misalnya melawan hukum perbuatan mengambil pada

pencurian (362) terletak bahwa dalam mengambil itu di luar

persetujuan atau kehendak pemilik (melawan hukum objektif), atau

pada Pasal 251 pada kalimat tanpa izin pemerintah, juga pada Pasal

253 pada kalimat menggunakan cap asli secara melawan hukum

adalah berupa melawan hukum objektif. Akan tetapi, ada juga

melawan hukum subjektif misalnya melawan hukum dalam penipuan

(oplichting, 378), pemerasan (afpersing, 368), pengancaman

Universitas Bung Karno


33

(afdereiging, 369) di mana disebutkan maksud untuk menguntungkan

diri atau orang lain secara melawan hukum. Begitu juga unsur

melawan hukum pada perbuatan memiliki dalam penggelapan (372)

yang bersifat subjektif, artinya terdapat kesadaran bahwa memiliki

benda orang lain yang ada dalam kekuasaan yaitu merupakan celaan

masyarakat. Sedangkan menurut rumusan Delik yang terdapat dalam

KUHP, maka dapat diketahui ada 2 (dua) unsur delik yaitu: 24

1. Unsur objektif adalah yang terdapat di luar pelaku (dader) yang

dapat berupa:

a. Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak

berbuat

b. Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana

materiil

c. Keadaan atau masalah-masalah tertentu dilarang dan

diancam oleh undang-undang

2. Unsur subjektif yaitu unsur yang terdapat pada diri pelaku.

Unsur subjektif yaitu berupa:

24
P.A.F Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan Yang Ditujukan
Terdapat Hak Milik, Umm Press, Malang, 1981, hlm. 4.

Universitas Bung Karno


34

a. Hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap

perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan bertanggung

jawab)

b. Kesalahan berkaitan dengan masalah kemampuan

bertanggung jawab di atas, persoalannya kapan seseorang

dikatakan mampu bertanggung jawab.

Seseorang dapat dikatakan bertanggung jawab apabila pada diri

orang itu memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu:

1) Keadaan jiwa seseorang adalah sedemikian rupa, sehingga ia

dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga mengerti

akan akibat perbuatannya itu.

2) Keadaan jiwa seseorang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat

menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.

3) Seseorang itu harus sadar perbuatan mana yang tidak dilarang

oleh undang-undang.

Di dalam KUHP perumusan delik itu biasanya dimulai dengan

“barang siapa” dan selanjutnya dimuat lukisan perbuatan yang

dilarang atau yang tidak dikehendaki atau yang diperintahkan oleh

undang-undang. Lukisan ini merupakan suatu abstraksi dan tidak

Universitas Bung Karno


35

dihubungkan dengan tempat dan waktu, Untuk perumusan norma

dalam peraturan pidana ada 3 (tiga) cara: 25

1. Menguraikan atau menyebutkan satu persatu unsur-unsur

perbuatan, misalnya dalam tindak pidana yang disebut dalam

Pasal:

a. 154-157 KUHP : Haatzaai delicten (menabur kebencian)

b. 281 KUHP : Pelanggaran kesusilaan

c. 305 KUHP : Meninggalkan anak di bawah umur 7

tahun

d. 413 KUHP : Seorang panglima tentara yang lalai

terhadap permintaan pejabat sipil.

e. 435 KUHP : Seorang pegawai yang melakukan

pemborongan Pekerjaan jabatannya

sendiri.

Cara perumusan demikian ini yang paling banyak digunakan.

2. Hanya disebut kualifikasi dari delik, tanpa menguraikan unsur-

unsurnya, misalnya:

a. Pasal 184 KUHP: Duel (perkelahian tanding)

b. Pasal 297 KUHP: Perdagangan wanita

c. Pasal 351 KUHP: Penganiayaan

25
Soedarto, Op. Cit., hlm. 55.

Universitas Bung Karno


36

Oleh karenanya untuk delik-delik tidak ada penyebutan secara

tegas apa unsur-unsurnya, maka untuk mengetahui apa yang

dimaksud perlu ada penafsiran yang didasarkan atas sejarah

terbentuknya Pasal itu. Misalnya: penganiayaan itu adalah setiap

perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan ditujukan kepada

orang lain dan yang mengakibatkan sakit atau luka (elke

opzettelijke veroorzaking van pijnof letsel). Cara penyebutan delik

semacam ini kurang dapat dibenarkan, sebab ia memberi

kemungkinan untuk penafsiran yang berbeda-beda, sehingga

menimbulkan ketidak pastian hukum.

3. Penggabungan cara pertama dan kedua yaitu menyebutkan unsur-

unsurnya, ialah menyebutkan perbuatan, akibat dan keadaan yang

bersangkutan, juga disebutkan pula kualifikasi dari delik,

misalnya:

a. Pasal 124 KUHP: Membantu musuh

b. Pasal 263 KUHP: Memalsukan surat

c. Pasal 338 KUHP: Pembunuhan

d. Pasal 362 KUHP: Pencurian

e. Pasal 372 KUHP: Penggelapan

f. Pasal 378 KUHP: Penipuan

Universitas Bung Karno


37

g. Pasal 425 KUHP: Kerakusan pejabat (knevelarij)

h. Pasal 438 KUHP: Perompakan (zoeroef)

Dalam hubungan ini dapat ditambahkan, bahwa para Hakim

dalam diktum keputusannya kerap kali hanya menyebutkan

kualifikasinya saja dari tindak pidana yang telah terbukti dilakukan

oleh terdakwa.

C. Macam-Macam Jenis Tindak Pidana

Secara teoritis terdapat beberapa jenis tindak pidana. Dalam Buku II

KUHP jenis-jenis tindak pidana dapat dibedakan menjadi beberapa

pembagian yaitu kejahatan (minsdrijven) dan pelanggaran (overtredigen).

Berikut adalah macam-macam jenis tindak pidana:

1. Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil.

a. Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan

yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu.

Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan atau

memerlukan timbulnya suatau akibat tertentu dari perbuatan

sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-

mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian (Pasal 362

Universitas Bung Karno


38

KUHP) untuk selesainya pencurian digantungkan pada selesainya

perbuatan.

b. Tindak pidana materiil, inti larangan adalah menimbulkan akibat

yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat

yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

Tentang bagaimana wujud perbuatan yang menimbulkan akibat

terlarang itu tidaklah penting. Misalnya pada pembunuhan (Pasal

338 KUHP) inti larangan adalah pada menimbulkan kematian

orang, dan bukan dari wujud menembak, membacok atau

memukul. Untuk selesainya tindak pidana digantungkan pada

timbulnya akibat dan bukan pada selesainya suatu perbuatan.

Begitu juga dengan selesainya tindak pidana mateeriil, tidak

tergantung sejauh mana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi

sepenuhnya digantungkan pada syarat timbulnya akibat terlarang

tersebut. Misalnya wujud membacok telah selesai dilakukan

dalam hal pembunuhan, tetapi pembunuhan itu belum terjadi jika

dari perbuatan itu belum atau tidak menimbulkan akibat hilangnya

nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan. 26

26
http://ahsanulwalidain.blogspot.com/2012/10/jenis-jenis-tindak-pidana.html

Universitas Bung Karno


39

2. Tindak Pidana Kejahatan dan Pelanggaran.

a. Tindak pidana kejahatan adalah rechtsdelict, artinya perbuatan-

perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Pertentangan ini

terlepas perbuatan itu diancam pidana dalam suatu perundang-

undangan atau tidak. Jadi, perbuatan itu benar-benar dirasakan

masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan.

b. Tindak pidana pelanggaran adalah wetsdelict, artinya perbuatan-

perbuatan yang didasari oleh masyarakat sebagai suatu tindak

pidana karena undang-undang menyebutkan sebagai tindak

pidana. 27

3. Tindak Pidana Comissionis, Tindak Pidana Omisionis dan Tindak

Pidana Comisionis Per Omissionis Comissa.

a. Tindak pidana comissionis adalah delik yang berupa pelanggaran

terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang misalnya

melakukan pencurian, penipuan, pembunuhan dan sebagainya.

b. Tindak pidana omissionis adalah tindak pidana yang berupa

pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang

diperintahkan, misalnya tidak menghadap sebagai saksi di muka

pengadilan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 522 KUHP.

27
Tri Andrisman, Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hlm. 86.

Universitas Bung Karno


40

c. Tindak pidana comisionis per omissionis comissa adalah tindak

pidana yang berupa pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi

dilakukan dengan cara tidak berbuat. 28

4. Tindak pidana kesengajaan (delik dolus) dan tindak pidana kealpaan

(delik culpa).

a. Tindak pidana kesengajaan (delik dolus) adalah delik yang

memuat unsur kesengajaan. Misalnya tindak pidana pembunuhan

dalam Pasal 338 KUHP.

b. Tindak pidana kealpaan (delik culpa) adalah delik-delik yang

memuat unsur kealpaan. Misalnya: delik yang diatur dalam Pasal

359 KUHP.

5. Tindak Pidana Tunggal dan Tindak Pidana Berganda

a. Tindak pidana tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan

satu kali perbuatan. Artinya, delik ini dianggap telah terjadi

dengan hanya dilakukan sekali perbuatan. Misalnya: pencurian,

penipuan, pembunuhan.

b. Tindak pidana berganda adalah delik yang untuk kualifikasinya

baru terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuatan. Misalnya:

28
Ibid.

Universitas Bung Karno


41

untuk dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana/delik dalam

Pasal 481 KUHP, maka penadahan itu. 29

6. Tindak Pidana Aduan dan Tindak Pidana Bukan Aduan.

a. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya

hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena

atau yang dirugikan. Tindak pidana aduan dapat dibedakan

menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:

1) Tindak pidana aduan absolute, yaitu tindak pidana yang

mempersyaratkan secara absolute adanya pengaduan untuk

penuntutannya.

2) Tindak pidana aduan relative pada prinsipnya tindak pidana

aduan relative merupakan tindak pidana laporan (tindak

pidana biasa) yang karena dilakukan dalam lingkungan

keluarga, kemudian menjadi tindak pidana aduan.

b. Tindak pidana bukan aduan, yaitu tindak pidana yang tidak

mempersyaratkan adanya pengaduan atau penuntutan. 30

29
Ibid.
30
Ibid, hlm. 123.

Universitas Bung Karno


42

7. Tindak Pidana Biasa dan Tindak Pidana Dikualifikasi

a. Tindak pidana dalam bentuk biasa adalah bentuk tindak pidana

yang paling sederhana, tanpa adanya unsur yang bersifat

memberatkan.

b. Tindak pidana yang dikualifikasi yaitu tindak pidana dalam

bentuk biasa yang ditambah dengan adanya unsur pemberat,

sehingga ancaman pidananya menjadi lebih berat. 31

8. Tindak Pidana Berlangsung Terus Menerus dan Tindak Pidana yang

Tidak Berlangsung Terus Menerus.

a. Tindak pidana yang berlangsung terus menerus adalah tindak

pidana yang mempunyai ciri, bahwa keadaan/perbuatan yang

terlarang itu terjadi terus.

b. Tindak pidana yang tidak berlangsung terus menerus adalah

tindak pidana yang mempunyai ciri, bahwa keadaan yang

terlarang itu tidak berlangsung terus. 32

D. Pertanggungjawaban Tindak Pidana

Pertanggungjawaban atas tindak pidana adalah suatu perbuatan yang

tercela bagi masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si

31
Ibid.
32
Ibid.

Universitas Bung Karno


43

pembuatnya. untuk adanya pertanggungjawaban tindak pidana diperlukan

syarat bahwa si pembuat mampu bertanggung jawab. tidaklah mungkin

seseorang dapat mempertanggungjawabkan sesuatu apabila ia tidak

mampu bertanggung jawab. dalam KUHP tidak ada ketentuan tentang arti

kemampuan bertanggung jawab, yang berhubungan dengan itu ialah Pasal

44 yaitu:

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat


dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam
tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit, maka ia tidak
dipidana”.

Pelaku tindak pidana dapat dipidana apabila memenuhi syarat bahwa

tindak pidana yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur yang telah

ditentukan dalam Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan

yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-

tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak

ada alasan pembenaran atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana

yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab

maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatanya.

Dari Pasal 44 tersebut Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk

adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:

Universitas Bung Karno


44

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan

yang buruk sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan

tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.33

Berdasarkan hal tersebut, Andi Hamzah juga menjelaskan bahwa

pembuat tindak pidana (dader) harus ada unsur kesalahan dan bersalah

yang harus memenuhi unsur, yaitu:

1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan

dari si pembuat.

2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya

sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (culpa). Pelaku mempunyai

kesadaran yang mana pelaku seharusnya dapat mengetahui akan

adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya.

3. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya

dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat. 34

Asas legalitas hukum pidana Indonesia yang diatur dalam Pasal 1

ayat (1) KUHP menyatakan bahwa seseorang baru dapat dikatakan

melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai

dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana. Meskipun orang

33
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 130.
34
Soedarto, Op. Cit., hlm. 165.

Universitas Bung Karno


45

tersebut belum tentu dapat dijatuhi hukum pidana, karena masih harus

dibuktikan kesalahannya apakah dapat dipertanggungjawabkan

pertanggungjawaban tersebut. Agar seseorang dapat dijatuhi pidana, harus

memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Seorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana dalam

menentukan adanya pertanggungjawaban harus ada sifat melawan hukum

dari tindak pidana yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana.

Sifat melawan hukum dihubungkan dengan keadaan psikis pembuat

(jiwa) terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa

kesengajaan (opzet) atau karena kelalaian (culpa). Dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek) Tahun 1809 dicantumkan:

“Sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan


perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh
undang-undang”

sedangkan yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak

bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak

mengindahkan larangan itu. Ia alpa, lalai, teledor dalam melakukan

perbuatan tersebut. Jadi, dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan

larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan

yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Berikut adalah

pandangan kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa) yaitu:

Universitas Bung Karno


46

1. Menurut pandangan para ahli hukum pidana ada 3 (tiga) bentuk

kesengajaan (opzet), yakni:

a. Kesengajaan dengan Keinsafan Kemungkinan (Dolus Eventualis)

Kesengajaan ini juga dsebut kesengajaan dengan kesadaran

kemungkinan, bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan

tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si

pelaku menyadari bahwa mungkin akan timbul akibat lain yang

juga dilarang dan diancam oleh undang-undang.

b. Kesengajaan sebagai Maksud

Kesengajaan ini bersifat tujuan, si pelaku dapat

dipertanggungjawabkan dan apabila kesengajaan seperti ini ada

pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman.

c. Kesengajaan dengan Keinsafan Pasti

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku (doer or dader) dengan

perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi

dasar dari delik dan mengetahui pasti atau yakin benar bahwa

selain akibat dimaksud akan terjadi suatu akibat lain. 35

2. Pada umumnya, kelalaian (culpa) dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

a. Kelalaian dengan kesadaran (bewuste schuld)

35
Leden Mapaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafrika, Jakarta, 2005, hlm.
15

Universitas Bung Karno


47

Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan

timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk

mencegah tetap timbul tersebut.

b. Kelalaian tanpa kesadaran (onbewuste schuld)

Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan

timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh undang-

undang. Sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu

akibat. 36

Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum, dan dapat

dikenakan sanksi pidana maka harus dipenuhi 2 (dua) unsur yakni adanya

unsur perbuatan pidana (actrus reus) dan keadaan sifat batin pembuat

(mens rea). Kesalahan (schuld) merupakan unsur pembuat delik, jadi

termasuk unsur pertanggungjawaban pidana yang mana terkandung makna

dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Dalam hal kesalahan tidak

terbukti, berarti bahwa perbuatan pidana (actus reus) sebenarnya tidak

terbukti, karena tidak mungkin hakim akan membuktikan adanya

kesalahan jika ia telah mengetahui lebih dahulu bahwa perbuatan pidana

tidak ada atau tidak terbukti diwujudkan oleh terdakwa. 37

36
Ibid, hlm. 26.
37
Roeslan Saleh, Op. Cit., hlm. 80.

Universitas Bung Karno


48

Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila memenuhi 3

(tiga) syarat, yaitu:

1. Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya.

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang

patut dalam pergaulan masyarakat.

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan

perbuatan. 38

Ada beberapa alasan seseorang tidak dapat bertanggung jawab atas

tindak pidana yang dilakukan, yaitu:

1. Jiwa si pelaku cacat.

2. Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan.

3. Gangguan penyakit jiwa. 39

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik

dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu

dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan

kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang

baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan

(volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan

keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai

38
Leden Mapaung. Op. Cit., hlm. 72.
39
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html

Universitas Bung Karno


49

konsekuensi dari 2 (dua) hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu

menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya

perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana,

orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan Tanggung jawab

pidana dapat diartikan sebagai akibat lebih lanjut yang harus ditanggung

oleh siapa saja yang telah bersikap, baik yang selaras dengan hukum atau

yang bertentangan dengan hukum. Tanggung jawab pidana adalah akibat

lebih lanjut yang harus diterima, dibayar atau ditanggung seseorang yang

melakukan tindak pidana secara langsung dan tidak langsung.

Universitas Bung Karno


BAB III

TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA LINGKUNGAN

MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. Pengertian Tindak Pidana Lingkungan

1. Konsep dan Kriteria Masalah Lingkungan

Salah satu unsur lingkungan adalah keadaan, dan keadaan ini

adakalanya dalam kondisi yang baik dalam artian keadaan tersebut

membantu kelancaran berlangsungnya proses kehidupan, akan tetapi

ada kalanya keadaan tersebut dalam kondisi yang tidak baik, yaitu

keadaan tersebut mengganggu berprosesnya interaksi lingkungan

dengan baik.

Pengundulan hutan, lahan kritis, menipisnya lapisan ozon,

pemanasan global, tumpahan minyak di laut, ikan mati di anak sungai

karena zat-zat kimia, asap di mana-mana akibat pembakaran hutan dan

lahan dan punahnya spesies tertentu adalah beberapa contoh dari

masalah-masalah lingkungan hidup. 40 Tolak ukurnya adalah masalah

keseimbangan atau keharmonisan yang sifatnya adalah alami dan

mutlak. Jadi lingkungan dikatakan bermasalah apabila dalam

40
Takdir Rahmadi, Op. Cit., hlm. 1

50 Universitas Bung Karno


51

lingkungan hidup tersebut tidak ada jalinan interaksi yang seimbang

dan harmonis antara komponen-komponen lingkungan hidup, yaitu

apabila fungsi-fungsi di dalam mata rantai ekosistem terganggu dan

gangguan itu melampaui kemampuan ekosistem untuk memulihkan diri

secara alami.

Dalam menimbulkan masalah lingkungan hidup, manusia adalah

merupakan komponen yang paling dominan, karena manusia

mempunyai konstruksi yang paling sempurna jika dibanding dengan

komponen-komponen yang lain. Kelebihan manusia adalah manusia

memiliki akal dan budi. Kemudian manusia memiliki keinginan yang

tidak ada pernah habis-habisnya.

Bumi (alam/lingkungan) sebenarnya cukup untuk memenuhi

hajat hidup seluruh manusia, seperti yang diucapkan oleh Mahatma

Gandhi, bahwa

“bumi cukup memenuhi kebutuhan umat manusia, tapi ia tidak


cukup untuk memenuhi keinginan satu orang manusia yang
serakah.”

Namun keserakahan manusia terkadang mengabaikan aspek

keseimbangan (equalibrium) yang menimbulkan kemerosotan kualitas

lingkungan.

Universitas Bung Karno


52

Menurut Harun M. Husein ada dua macam pandangan manusia

terhadap lingkungan hidupnya, yaitu:

a. Pandangan imanen (holistis) yaitu pandangan yang

menempatkan manusia dan lingkungan hidupnya dalam hubungan

yang bersifat fungsional dan tidak terpisahkan yang secara jelas

menciptakan hubungan keserasian, keseimbangan dan keselarasan

antara manusia dengan lingkungannya.

Ciri-cirinya:

1) kehidupannya masih sederhana di mana manusia meletakkan

lingkungan hidupnya sejajar di sampingnya.

2) dalam masyarakat ini masih berkembang berbagai kebiasaan

yang bersifat mitos dan mistik.

b. Pandangan transenden yaitu pandangan yang menempatkan

lingkungan hidupnya sebagai suatu obyek yang harus dieksploitasi

seoptimal mungkin guna memenuhi kebutuhan dan keinginannya.

Pandangan ini pada umumnya cenderung memandang

lingkungannya bukan lagi sebagai bagian (subsistem) yang tidak

terpisahkan, bahkan lingkungan telah dipandang sebagai objek

yang dapat dieksploitir semaksimal mungkin. Manusia semakin

menutup dirinya dari hubungan keserasian, keselrarasan dan

Universitas Bung Karno


53

keseimbangan dan seterusnya serta berusaha untuk memusatkan

ekosistemnya pada diriya. Pandangan demikian lahir dari proses

kedirian manusia yang menyadari dirinya sebagai makhluk yang

dibekali akal, pikiran dan kemampuan-kemampuan lain.

Ciri-cirinya:

1) peradaban manusia sudah maju yaitu manusia sudah

menentukan dan menguasai teknologi, di mana dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi tersebut manusia berusaha

menundukkan alam.

2) telah terjadi pergeseran nilai, terutama nilai interaksi manusia

dengan lingkungan hidupnya. 41

Akibat ulah manusia yang mengeksploitasi alam tanpa kendali,

maka memberikan tekanan yang semakin lama semakin berat kepada

daya dukung lingkungan hidup. Dalam Pasal 1 ayat (7) Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 mengenai

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berbunyi:

“Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan


lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia,
makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya.”

41
Harun M. Husein, Lingkungan Hidup, Masalah, Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya,
Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hlm. 19-20.

Universitas Bung Karno


54

Pola dan potensi ancaman ekologis menurut NHT Siahaan dalam

Harun M. Husein, terhadap lingkungan hidupnya adalah:

a. Pola Individual yaitu bahwa setiap sosok manusia memiliki

potensi-potensi memberikan dampak lingkungan yang bersumber

dari keinginan. Perbuatan-perbuatan itu terjadi karena dipengaruhi:

1) Faktor-faktor ketiadaan perangkat norma yang mengatur

interaksi- interaksi individu dan lingkungan hidupnya.

2) Faktor ketiadaan sarana-sarana pembinaan lingkungan

3) Faktor egoisme

4) Faktor ketiadaan atau kurangnya pengawasan dan penegakan

hukum.

b. Pola Politik Pembangunan (Negara Berkembang) Umumnya di

negara-negara yang sedang berkembang para pemerintahnya

berusaha meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial

masyarakat di segala bidang kehidupan melalui berbagai upaya.

Misalnya membuka kebijakan baru untuk menarik investasi asing

menanamkan modal, imporisasi barang-barang, mendaya gunakan

sumber daya alam untuk mendukung sistem pembangunan tanpa

memikirkan efek sampingnya buat lingkungan. Akibatnya

Universitas Bung Karno


55

pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai akibat dari over

eksploitasi sumber daya alam.

c. Pola Negara-negara Maju/Negara-negara Industri Umumnya

negara-negara maju memanfaatkan ambisi negara berkembang

untuk sejajar dengan negara maju dengan sikap masa bodoh, untuk

lebih meningkatkan industri dan perdagangan negaranya. Dan

karena kemampuan ekonomi negara berkembang yang belum kuat

maka umumnya industri yang diekspor negara maju adalah industri

yang tidak diperlukan lagi di negara-negara maju, atau industri

yang mengandung bahaya pencemaran dan resiko besar, juga

industri yang menghasilkan barang-barang konsumsi bagi elite

kecil yang meniru pola hidup elite negara maju. 42

Aktivitas manusia yang menimbulkan perubahan pada

lingkungan hidupnya disebut dampak lingkungan. Definisinya terdapat

dalam Pasal 1 ayat (26) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

yang berbunyi:

”Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada


lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau
kegiatan.”

42
Ibid, hlm. 21-22.

Universitas Bung Karno


56

Apabila dampak lingkungan itu menimbulkan manfaat terhadap

lingkungan maka disebut dampak lingkungan yang positif. Akan tetapi

apabila menimbulkan resiko buat lingkungan maka dampak lingkungan

tersebut disebut dampak lingkungan yang negatif.

2. Perwujudan Masalah-Masalah Lingkungan

Masalah lingkungan hidup semakin menjadi kesadaran publik.

Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya diskusi publik tentang

hal ini. Negara juga semakin aktif membuat perjanjian dan peraturan

antar negara untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada.

Perwujudan dari masalah lingkungan bisa berupa pencemaran

maupun perusakan lingkungan. Definisi dari pencemaran lingkungan

menurut Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup adalah:

“masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,


dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan
hidup yang ditetapkan.”

Universitas Bung Karno


57

Kemudian definisi perusakan lingkungan menurut Pasal 1 ayat

(16) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah:

“tindakan orang yang menimbulkan perubahan-perubahan


langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,
dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup”.

3. Tolok Ukur Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup

Untuk menentukan apakah lingkungan hidup telah tercemar atau

tidak dan apakah telah terjadi perusakan lingkungan atau tidak, harus

ditetapkan kriteria yang dapat dipergunakan sebagai tolok ukur. Tolok

ukur yang menjadi kriterianya adalah:

a. Kriteria ekologis pencemaran/perusakan lingkungan hidup

Secara ekologis menurut Otto Soemarwoto lingkungan telah

tercemar apabila terpenuhi 2 (dua) syarat yaitu:

“ (1). Kalau suatu zat, organisme atau unsur-unsur yang lain


(seperti gas, cahaya, energi) telah tercampur ke dalam
sumber daya/lingkungan tertentu.
(2). Dan karenanya menghalangi/mengganggu fungsi atau
peruntukan daripada sumber daya/lingkungan
43
tersebut.”

43
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta,
1989, hlm. 17.

Universitas Bung Karno


58

Kedua syarat tersebut mutlak harus dipenuhi, karena bila hanya

nomor satu saja maka baru terjadi pengotoran yaitu perubahan

kualitas sumber daya sebagai akibat tercampurnya bahan lain tanpa

mengganggu peruntukan/kegunaannya.

Empat faktor atau empat hal penyebab terjadinya pencemaran

yaitu:

1) Lebih besarnya kecepatan produksi suatu zat daripada

kecepatan penggunaannya secara kimia fisik. (barang sintetis)

2) Proses biologi yang membentuk/mengonsentrasikan zat

pencemar tertentu. (rantai makanan)

3) Berdasarkan proses fisika kimia non biologi. (gunung berapi

meletus)

4) Terjadinya kecelakaan yang dapat melepaskan ke dalam

lingkungan bisa terjadi seketika atau lambat laun. (Kapal

menyangkut minyak tumpah di laut). 44

Menurut Harun M. Husein, secara ekologis, lingkungan telah

rusak apabila:

Telah terjadi suatu aktivitas terhadap lingkungan atau


kehadiran benda- benda asing ke dalam lingkungan,
menimbulkan gangguan pada ekosistem lingkungan, yang

44
N. H. T. Siahaan, Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan, Erlangga, Jakarta,
1987, hlm. 159-160.

Universitas Bung Karno


59

menyebabkan timbulnya perubahan pada sifat-sifat fisik


dan atau hayati lingkungan, sehingga karenanya fungsi
lingkungan sebagai sarana pendukung terlanjutkannya
pembangunan tidak atau kurang terpenuhi. 45

b. Kriteria Yuridis Pencemaran/Perusakan Lingkungan Hidup

Yang dimaksudkan dengan kriteria yuridis, ialah perumusan

pencemaran/perusakan lingkungan menurut ketentuan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai berikut:

1) Pencemaran Lingkungan Hidup

Menurut ketentuan Pasal ayat (14) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup:

“pencemaran lingkungan adalah masuknya atau


dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan
hidup yang ditetapkan.”

2) Perusakan Lingkungan Hidup

Menurut Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup:

45
Harun M. Husein, Op. Cit, hlm. 64.

Universitas Bung Karno


60

“perusakan lingkungan adalah tindakan orang yang


menimbulkan perubahan-perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.”

Untuk lebih jelasnya mengenai tolok ukur pencemaran/perusakan

lingkungan hidup secara yuridis kita perlu melihat ketentuan

mengenai Baku Mutu Lingkungan (BML), yaitu diatur dalam

ketentuan sebagai berikut:

1) Keputusan Nomor: KEP-02/MENKLH/1/1988 tentang

Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan

2) Keputusan Nomor: KEP-/MENKLH/11/1991 tentang Baku

Mutu Limbah Cair.

Baku Mutu Lingkungan (BML) berfungsi sebagai tolok ukur untuk

mengetahui apakah telah terjadi perusakan atau pencemaran

lingkungan. Gangguan terhadap lingkungan diukur menurut besar

kecilnya penyimpangan dari batas-batas yang ditetapkan sesuai

dengan kemampuan atau daya tenggang ekosistem lingkungan.

Batas-batas daya dukung lingkungan disebut Nilai Ambang Batas

(NAB). Nilai Ambang Batas (NAB) menurut N. H. T. Siahaan

adalah batas tertinggi (maksimum) dari kandungan zat-zat,

makhluk hidup atau komponen-komponen lain yang dapat atau

Universitas Bung Karno


61

yang diperbolehkan dalam setiap interaksi yang berkenaan dengan

lingkungan. 46

Dari pengertian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa ekosistem

telah tercemar/rusak, apabila ternyata kondisi lingkungan itu telah

melebihi Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditentukan berdasarkan

baku mutu lingkungan.

B. Hukum Lingkungan Hidup

1. Pengaturan Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia

Guna membahas mengenai pengaturan Hukum Lingkungan

Hidup di Indonesia, maka penulis akan membagi pembahasan ini

menjadi 2 sub topik, yaitu a) Ketentuan perundang-undangan yang

berkaitan dengan tindak pidana lingkungan; dan b) Peraturan

Pengendalian Kerusakan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang

Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Atau Lahan.

a. Ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan

tindak pidana lingkungan

Awal sejarah pengaturan Hukum Lingkungan di Indonesia

secara Komperhensif atau biasa disebut environmental law adalah

46
N. H. T. Siahaan, Op. Cit, hlm. 163.

Universitas Bung Karno


62

dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang

Ketentuan- Ketentuan Pokok Lingkungan (LN 1982 No.12, TLN

No. 3215), yang disingkat dengan UULH yang kemudian diganti

dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN 1997 No. 12, TLN No. 3125)

yang disingkat UUPLH yang sekarang diganti dengang Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (LNRI Tahun 2009 Nomor 140

TLN nomor 5059) yang disingkat dengan UUPPLH.

Namun jauh sebelum itu, telah ada aturan terkait dengan

Hukum Lingkungan di Indonesia. Peraturan-peraturan yang

orientasinya menyangkut lingkungan, baik disadari atau tidak

sebenarnya telah hadir di masa abad sebelum Masehi, misalnya

adanya organisasi yang berhubungan dengan lingkungan hidup

yang sudah dikenal lebih dari sepuluh abad yang lalu. Dari prasasti

Juruna tahun 876 Masehi diketahui ada jabatan ”Tuhalas” yakni

pejabat yang mengawasi hutan atau alas, yang kira-kira identik

dengan jabatan petugas Perlindungan Hutan Pelestarian Alam

(PHPA). Kemudian prasasti Haliwangbang pada tahun 877 Masehi

Universitas Bung Karno


63

menyebutkan adanya jabatan ”Tuhaburu” yakni pejabat yang

mengawasi masalah perburuan hewan di hutan.

Hukum lingkungan di Indonesia sudah ada sejak zaman

penjajahan Belanda. Namun, hukum lingkungan pada waktu itu

hanya besifat pemakaian terhadap lingkungan, belum diatur

tentang pengelolaan atau perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Untuk mengetahui lebih jelas berikut ini dipaparkan sejarah

Hukum Lingkungan di Indonesia sebagai berikut:

1) Zaman Hindia Belanda

Apabila diperhatikan peraturan perundang-undangan

pada waktu zaman Hindia Belanda sebagaimana tercantum

dalam Himpunan Peraturan Perundang-undangan di bidang

Lingkungan Hidup yang disusun oleh Panitia Perumus dan

Rencana Kerja bagi Pemerintah di bidang Pengembangan

Lingkungan Hidup yang diterbitkan pada tanggal 5 Juni 1978,

maka dapatlah dikemukakan bahwa yang pertama kali diatur

adalah mengenai perikanan mutiara dan perikanan bunga

laut, yaitu Parelvisscherij, Sponsenvisscherijordonnanfie

Universitas Bung Karno


64

(Stbl. 1916 No. 157), dikeluarkan di Bogor oleh Gubernur

Jenderal Idenburg pada tanggal 29 Jnauari 1916. 47

Ordonansi tersebut memuat peraturan umum peraturan

umum dalam rangka melakukan perikatan siput mutiara, kulit

mutiara, teripang dan bunga karang dalam jarak tidak lebih

dari 3 (tiga) mil laut Inggris dari pantai-pantai Hindia Belanda

(Indonesia). 48

Pada tanggal 26 Mei 1920, dengan penetapan Gubernur

Jenderal No. 86, telah diterbitkan Visscherijordonnantie

(Stbl. 1920 No. 396), mengenai peraturan perikanan unutk

melindungi keadaan ikan. Adapun yang dimaksud dengan

“ikan” meliputi pula telur ikan, benih ikan dan segala macam

kerang-kerangan. Dalam Pasal 2 ditentukan bahwa

menangkap ikan dengna bahan-bahan beracun, bius atau

bahan-bahan peledak dilarang. Ordonantie lain di bidang

perikanan adalah Kustvisscherijordonnnatie (Stbl. 1927 No.

144), berlaku sejak tanggal 1 September 1927. 49 Undang-

Undang No 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang

47
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, edisi keempat, Gadjah Mada
Unversity Press, 1989, hlm. 90.
48
Ibid.
49
Ibid.

Universitas Bung Karno


65

diundangkan pada tanggal 19 Juni 1985 telah membatalkan

Ordonansi sebelumnya.

Ordonansi yang sangat penting bagi lingkungan hidup

adalah Hinderordonnantie (Stbl. 1926 No. 226, yang

diubah/ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 No. 450), yaitu

Ordonansi Gangguan. 50

Di dalam Pasal 1 Ordonansi Gangguan ditetapkan

larangan mendirikan tanpa izin tempat-tempat usaha yang

perincian jenisnya dicantumkan dalam ayat (1) pasal tersebut,

meliputi 20 jenis perusahaan. Di dalam ordonansi ini

ditetapkan pula berbagai pengecualian atas larangan ini. 51

Ordonansi yang penting di bidang perlindunagn satwa

adalah Dierenbeschermingsordonnatie (Stbl. 1931 No. 134),

yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1931 untuk seluruh

wilayah Hindia Belanda (Indonesia). 52

Berdekatan dengan ordonansi ini di bidang

perlindunagn satwa adalah peraturan tentang perburuan, yaitu

Jachtordonnantie (Stbl. 1940 No. 733) yang berlaku untuk

50
Ibid.
51
Ibid, hlm. 90-91.
52
Ibid, hlm. 91.

Universitas Bung Karno


66

Jawa dan Madura sejak tanggal 1 Juli 1940. Jachtordonnantie

1940 ini mencabut Jachtordonnantie Java en Madoera 1931

(Stbl. 1931 No. 133). 53

Di bidang perusahaan telah dikeluarkan Bedrijfsreg-

lementeringsordonnantie 1934 (Stbl. 1938 No. 86 jo.

Stbl.1948 No. 224).

Ordonansi yang mengatur perlindungan alam adalah

Natuurbeschermingsordonnantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167).

Ordonansi ini mencabut ordonansi yang mengatur cagar-

cagar alam dan suaka-suaka margasatwa, yaitu

Natuurmonumenten en Wildreservatenordonnantie 1932

(Stbl. 1932 No. 17) dan menggantikannya dengan

Natuurbeschermingsordonnantie 1941 tersebut. 54 Terakhir

Natuurbeschermingsordonnantie 1941 (Stbl. 1941 No. 167)

dicabut dan diganti UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada tanggal

10 Agustus 1990.

53
Ibid.
54
Ibid.

Universitas Bung Karno


67

Dalam hubungan dengan pembentukan kota telah

dikeluarkan Stadsvormingsordonnantie (Stbl. 1948 No. 168),

disingkat SVO, yang mulai diberlakukan pada tanggal 23 Juli

1948, untuk wilayah yang secara de facto diduduki oleh

Belanda. 55

Berbagai ordonansi tersebut di atas telah dijabarkan

lebih lanjut dalam verodeningen, seperti misalnya:

Dierenbeschermingsverordening (Stbl. 1931 No.266);

berbagai Bedrijfsreglementeringsverordeningen yang meli-

puti bidang-bidang tertentu seperti pabrik sigaret, pengecoran

logam, pabrik es, pengolahan kembali karet, pengasapan

karet, perusahaan tekstil; Jachtverordening Java en Madura

1940 (Stbl. 1940 No.247 jo. Stbl. 1941 No.51); dan

Stadsvormingsverordening, disingkat SVV (Stbl. 1949 No.

40).

Begitu pula terdapat peraturan tentang air, yaitu

Algemeen Waterreglement (Stbl. 1936 No.489 jo. Stbl. 1949

No.98). 56

55
Ibid.
56
Ibid.

Universitas Bung Karno


68

2) Zaman Jepang

Pada waktu zaman pendudukan Jepang, hampir tidak

ada peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan

hidup yang dikeluarkan, kecuali Osamu S. Kanrei No. 6, yaitu

mengenai larangan menebang pohon aghata, alba dan balsem

tanpa izin Gunseikan. 57

Peraturan perundang-undangan di waktu itu terutama

ditujukan kepada memperkuat kedudukan penguasa Jepang. 58

Ada kemungkinan larangan tersebut di atas dikeluarkan

untuk mengamankan ketiga jenis pohon tersebut karena

kayunya ringan dan sangat kuat. Kayu agata, alba, dan balsem

merupakan bahan baku untuk pembuatan pesawat peluncur

(gliders) dan pesawat peluncur pada waktu zaman

pendudukan Jepang sering digunakan untuk mengangkut

logistik tentara.

3) Zaman Kemerdekaan

Pada masa setelah kemerdekaan hingga sebelum

diundangkannya undang-undang yang mengatur tentang

57
Ibid, hlm 92.
58
Ibid.

Universitas Bung Karno


69

pengelolaan lingkungan, cukup banyak diterbitkan berbagai

undang-undang sektoral yang berkaitan dengan bidang

lingkungan. Di antara produk perundang-undangan sektoral

tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria;

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Prp.

Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas

Bumi (telah dicabut dan diganti dengan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001);

3) UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kehutanan (telah dicabut dan diganti dengan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan);

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pertambangan;

5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

1974 tentang Pengairan (telah dicabut dan diganti

Universitas Bung Karno


70

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7

Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air);

6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1984 tentang Perindustrian;

7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun

1985 tentang Perikanan (telah dicabut dan diganti

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31

Tahun 2004 tentang Perikanan);

8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

1985 tentang Rumah Susun;

9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

dan Ekosistemnya;

10) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun

1990 tentang Kepariwisataan;

11) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

1992 tentang Perumahan dan Permukiman;

12) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun

1992 tentang Benda Cagar Budaya;

Universitas Bung Karno


71

13) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun

1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan

Pembangunan Keluarga Sejahtera;

14) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun

1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman;

15) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun

1992 tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan;

16) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun

1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan;

17) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

1992 tentang Kesehatan;

18) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun

1996 tentang Perairan Indonesia;

19) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun

1996 tentang Pangan;

20) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun

1997 tentang Ketenaganukliran;

21) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun

1997 tentang Ketransmigrasian;

Universitas Bung Karno


72

22) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun

2000 tentang Perlindungan Konsumen;

23) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun

2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;

24) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun

2003 tentang Panas Bumi;

25) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun

2004 tentang Perkebunan.

Seiring perjalanan waktu, pasca kemerdekaaan

Indonesia, dan dalam rangaka menyikapi lahirnya Deklarasi

Stockholm pada tahun 1972 (The Stockholm Declaration of

1972) perkembangan hukum lingkungan di Indonesia sangat

pesat. Dari hukum yang berorientasi hanya pada pemakaian

(sektoral), menjadi hukum lingkungan yang berorientasi pada

perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Adapun undang-undang yang dikhususkan pada

pengelolaan lingkungan hidup adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun

1982;

Universitas Bung Karno


73

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

1997; dan

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2009.

Untuk pertamakalinya, di Indonesia pasca Deklarsi

Stockholm 1972, masalah lingkungan hidup dimasukan pada

GBHN 1973-1978. Pada BAB III Pola Umum Pembangunan

Jangka Panjang menggariskan perlunya perlindungan

lingkungan dalam melaksanakan pembangunan. Pada waktu

inilah konsep awal RUU tentanag lingkungan hidup mulai

dirumuskan oleh panitia yang dibentuk oleh pemerintah pada

waktu itu yang diberi nama Panitia Nasioanal Perumus

Kebjakan di Bidang Lingkungan Hidup. 59

Penyusunan RUU Lingkungan Hidup dimulai pada

tahun 1976 dan ditingkatkan dengan dibentuknya Kelompok

Kerja Pembinaan Hukum dan Aparatur dalam Pengelolaan

Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup dalam bulan

Maret 1979 oleh Menteri Negara PPLH. 60

59
J. B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Prenhallindo,
Jakarta, 2001, hlm 126.
60
Ibid.

Universitas Bung Karno


74

Pada tanggal 16 sampai dengan 18 Maret 1981 telah

diadakan rapat antar Departemen, bertempat di Puncak dan

hasil pembicaraan telah diadakan perubahan dalam naskah

RUU tersebut.

Pada tanggal 21 Maret 1981 Menteri Negara PPLH

mengirimkan konsep RUU untuk persetujuan para Menteri

yang diwakilli dalam rapat antar Departemen. Berdasarkan

saran para Menteri, konsep RUU hasil pembahasan

diperbaiki dan disampaikan kepada Menteri/Sekretaris

Negara pada tanggal 3 Juli 1981.

Pada tanggal 14 Nopember 1981 Kepala Biro Hukum

dan Perundang-undangan Sekretariat Kabinet mengirimkan

naskah konsep RUU yang telah diperbaiki kepada beberapa

Menteri untuk penyempurnaan lebih lanjut. 61

Hasil akhir kemudian diajukan kepada Pesiden dan

dengan surat Presiden tertanggal 12 Januari 1982, RUU

Lingkungan Hidup disampaikan kepada Pimpinan DPR.

Badan Musyawarah DPR membentuk Panitia Khusus

(PANSUS) yang terdiri dari 24 anggota sebagai berikut:

61
Ibid.

Universitas Bung Karno


75

1) 12 anggota Fraksi Karya Pembangunan

2) 6 anggota Fraksi PPP

3) 4 anggota Fraksi ABRI

4) 2 anggota Fraksi PDI

telah ditunjuk pula 24 anggota pengganti dengan komposisi

yang sama.

Pada tanggal 23 Januari 1982, Menteri Negara PPLH

menyampaikan Keterangan Pemerintah mengenai RUU

Lingkungan Hidup, dan disusul dengan Pemandangan Umum

Fraksi-fraksi yang dilaksanakan pada tanggal 2 Februari

1982. Jawaban Pemerintah atas Pemandangan Umum

tersebut diberikan pada tanggal 15 Februari 1982.

Rapat-rapat PANSUS diadakan sejak tanggal 17 sampai

dengan tanggal 20 Februari 1982 dan tanggal 22 Februari

1982 PANSUS menyetujui hasil perumusan Tim Perumus

yang dibentuk oleh PANSUS.

Pada tanggal 25 Februari 1982 dengan aklamasi RUU

Lingkungan Hidup hasil PANSUS disetujui Sidang Paripurna

DPR. Pada tanggal 11 Maret 1982 telah disahkan UU No. 4

Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Universitas Bung Karno


76

Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang ditanda-

tangani oleh Presiden RI dan diundangkan pada hari yang

sama pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982

Nomor 12. 62

b. Peraturan Pengendalian Kerusakan Atau Pencemaran

Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan

Atau Lahan

Kebakaran/pembakaran Hutan dan Lahan menimbulkan

dampak terhadap kerusakan lingkungan tidak hanya sekedar

musnahnya ekosistem tapi kabut asap yang ditimbulkannya

menjadi monster yang merusak kehidupan. Pembakaran hutan atau

lahan merupakan kejahatan yang harus diperangi secara

komprehensif oleh setiap pihak. Salah satu upaya untuk membalas

pelaku pembakaran hutan atau lahan adalah dengan mengenakan

hukuman pidana penjara dan denda semaksimal mungkin, untuk

membuat jera dan menjadi pelajaran bagi yang melakukan

perbuatan tersebut. Berikut adalah peraturan perundang-undangan

yang menyebutkan Pasal sanksi pidana bagi pelaku terjadinya

kebakaran hutan:

62
Ibid.

Universitas Bung Karno


77

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan:

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan terdapat pasal-pasal yang

mengatur terkait masalah pembakaran hutan, antara lain

sebagai berikut:

a. Pasal 50 ayat (3) huruf d :

“Setiap orang dilarang membakar hutan”

b. Pasal 78 ayat (3):

“Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3)
huruf d, diancam dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”

c. Pasal 78 ayat (4):

“Barang siapa karena kelalaiannya melanggar


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta
rupiah)”

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UUPPLH)

Universitas Bung Karno


78

a. Pasal 1 angka 14:

“Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau


dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan”

b. Pasal 1 angka 17:

“Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan


langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat
fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup”

Kebakaran hutan atau kebakaran lahan juga dapat

mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup dan kerusakan

lingkungan hidup sehingga dapat dikenai sanksi berdasarkan

UU PPLH sebagai berikut:

a. Pasal 69 ayat (1) huruf h:

“setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan


dengan cara membakar”

b. Pasal 108:

“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf h dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Universitas Bung Karno


79

c. Pasal 69 ayat (2):

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh
kearifan lokal di daerah masing-masing”

Penjelasan Pasal 69 ayat (2) :

“Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini


adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas
lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk
ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi
oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke
wilayah sekelilingnya”

d. Pasal 98 ayat (1):

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan


perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air
laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”

e. Pasal 98 ayat (2):

“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya
kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan
paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas
miliar rupiah).”

Universitas Bung Karno


80

f. Pasal 98 ayat (3):

“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).”

g. Pasal 99 ayat (1):

“Setiap orang yang karena kelalaiannya


mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).”

h. Pasal 99 ayat (2):

“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya
kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling sedikit
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”

i. Pasal 99 ayat (3):

“Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3

Universitas Bung Karno


81

(tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan


denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) dan paling banyak
Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).”

j. Pasal 119:

“Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam


Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat
dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata
tertib berupa:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana;
b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha
dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan
tanpa hak; dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan
paling lama 3 (tiga) tahun.”

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun

2014 tentang Perkebunan

a. Pasal 56 ayat (1):

“Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang


membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara
membakar”

b. Pasal 108:

“Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka


dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara lama 10 (sepuluh)

Universitas Bung Karno


82

tahun dan denda paling banyak


Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

a. Pasal 187 KUHP:

“Barang siapa dengan sengaja menimbulkan


kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas
timbul bahaya umum bagi barang;
2. dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas
timbul bahaya bagi nyawa orang lain;
3. dengan pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas
timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan meng-
akibatkan orang mati.”

c. Pasal 189 KUHP:

“Barang siapa pada waktu ada atau akan ada


kebakaran, dengan sengaja dan melawan hukum
menyembunyikan atau membikin tak dapat dipakai
perkakas-perkakas atau alat- alat pemadam api atau
dengan cara apa pun merintangi atau menghalang-
halangi pekerjaan memadamkan api, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

Kebakaran hutan dapat penimbulkan kerusakan hutan dan

pelakunya tidak hanya orang perorangan tetapi bisa juga dilkukan

oleh korporasi, entah mengapa kejahatan pembakaran hutan ini

tidak masuk dalam tindak pidana perusakan hutan yang diatur

Universitas Bung Karno


83

dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

2. Pengaturan Mengenai Pertanggungjawaban Tindak Pidana

Lingkungan Hidup Menurut Hukum Pidana di Indonesia

Pengertian pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya

suatu celaan yang objektif yang ada dalam tindak pidana dan secara

subjektif kepada orang yang memenuhi persyaratan untuk dapat

dijatuhkan pidana karena perbuatannya. Dasar adanya tindak pidana

adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat

adalah asas kesalahan. 63 Asas kesalahan (geen straf zonder schuld)

merupakan orang yang telah melakukan tindak pidana akan dijatuhi

pidana apabila orang itu melakukan kesalahan atau dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. 64

Penerapan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana

lingkungan hidup tertuang di dalam perumusan sanksi yang ada dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

63
Dwidja Priyatno, Kebijaksanaan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, 2004, hlm. 194.
64
Setiyono, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hlm. 92.

Universitas Bung Karno


84

Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur mengenai sanksi berupa

sanksi administrative, sanksi pidana, dan sanksi perdata. Selain

mengatur mengenai sanksi di dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan 3 (tiga) langkah

penegakan hukum yang dilakukan secara sistematis di antaranya

diawali dengan penegakan hukum administrative, penyelesaian

sengketa di luar pengadilan atau dengan melalui pengadilan, dan

penyidikan atas tindak pidana lingkungan hidup.

Menurut teori hukum pidana terdapat pendapat yang

menerangkan bahwa penerapan sanksi pidana sebagai ultimum

remidium 65 terhadap para pelaku tindak pidana lingkungan hidup, Hal

ini didasarkan pada pemahaman bahwa sudah menjadi urusan

pemerintah terhadap upaya pengelolaan lingkungan hidup melalui

pemberlakuan sanksi administrative. Tindakan administrative ialah

penetapan izin oleh instansi atau lembaga yang berwenang, pada saat

terjadi pelanggaran maka akan diberlakukan sanksi administrative.66

Setelah sanksi administrative akan diberlakukan sanksi perdata berupa

65
Ultimum remidium merupakan istilah hukum yang biasa dipakai dan diartikan sebagai
penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum.
66
St. Munadjat Danusaputro, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 170.

Universitas Bung Karno


85

pembayaran denda atau ganti rugi terhadap pelanggaran secara materiil.

Sedangkan sanksi pidana baru akan diberlakukan ketika sanksi

administrative dan sanksi perdata tidak bisa menanggulangi secara

efektif.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menerapkan

ancaman minimum di samping hukuman maksimum, pemidanaan bagi

pelanggar baku mutu lingkungan, perluasan alat bukti, pengaturan

tindak pidana korporasi dan keterpaduan penegakan hukum pidana.

Asas ultimum remidium diberlakukan hanya tehadap tindak pidana

formil tertentu saja, di mana hukum pidana sebagai upaya terakhir

setelah penerapan sanksi administratif dianggap tidak efektif, adapun

contoh tindak pidana yang menggunakan asas ultimum remidium adalah

pelanggaran terhadap baku mutu air limbah, emisi, gangguan sesuai

dengan apa yang diatur di dalam Pasal 100 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di samping itu ketentuan pidana di

pasal lainnya menerapkan asas premium remidium 67, sebagai contoh

67
Premium remedium adalah teori hukum pidana modern yang menyatakan bahwa hukum
pidana sebagai alat utama dalam penegakan hukum.

Universitas Bung Karno


86

adalah pengelolaan limbah B3 dan dumping limbah. Penerapan asas

premium remidium ini dirasa tepat karena pelanggaran terhadap limbah

B3 dan dumping bukanlah merupakan suatu delik materiil, atau delik

yang tidak memerlukan pembuktian materiil untuk mengetahui dampak

yang dilarang dari suatu perbuatan yang terjadi. 68

Penegakan hukum lingkungan merupakan salah satu upaya untuk

mencapai ketataan terhadap peraturan. Dalam Undang-Undang

Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup memuat delik materiil.

Delik Materiil (Generic Crime) adalah suatu perbuatan yang melawan

hukum yang menyebabkan pencemaran lingkungan atau perusakan

lingkungan yang tidak perlu memerlukan pembuktian. Sedangkan delik

formal (Spesicif Crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum

terhadap aturan Hukum Administrasi, pembuktian tidak diperlukan atau

cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.

Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, ketentuan mengenai pidana diatur dari Pasal 97

sampai Pasal 120. Dari ketentuan tersebut secara umum rumusan delik

lingkungan dikualifikasikan dalam delik formil dan materiil. Maksud

68
Sri Sufiyati dan Munsyarif Abdul Chalim, Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Menanggulangi Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum , vol. 12, 2017, hlm. 461.

Universitas Bung Karno


87

dari kualifikasi delik lingkungan bahwa delik materiil yang dilarang

adalah akibat dari perbuatan, sedangkan delik formal yang dilarang

adalah perbuatannya. 69 Dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, menerapkan ancaman pidana minimum di samping

hukuman maksimum.

Selain sanksi pidana, sanksi administratif juga tercantum dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal 76 ayat

1 dan ayat 2 serta diuraikan dalam Pasal 80 ayat 1 dan 2. Sanksi tersebut

dapat berupa teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin

lingkungan dan/ atau pencabutan izin lingkungan. Paksaan pemerintah

yang dimaksud berupa penghentian sementara kegiatan produksi,

pemindahan sarana produksi, penutupan saluran limbah,

pembongkaran, penyitaan barang dan tindakan lain bertujuan untuk

menghentikan pelanggaran.

Sanksi pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

69
Muhammad Akib, Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hlm. 203.

Universitas Bung Karno


88

Hidup diatur dalam Bab XV, meliputi orang dengan kegiatan, pejabat

dengan kewenangannya dan sertifikasi penyusunan Analisa Dampak

Lingkungan (AMDAL).

Sanksi Pidana diterapkan agar memberikan efek jera. Asas

Ultimum Remidium hanya diberlakukan terhadap tindak pidana formil

tertentu, di mana hukum pidana sebagai upaya terakhir apabila sanksi

administratif dianggap tidak efektif.

3. Pengaturan Mengenai Pertanggungjawaban Tindak Pidana

Lingkungan Hidup Menurut Hukum Pidana di Masa Yang Akan

Datang (ius constituendum)

Berdasarkan pada sudut pandang hukum pidana, dapat dilihat

bahwa upaya penanggulangan tindak pidana dapat dilihat dari 3 (tiga)

aspek yaitu aspek kebijakan kriminalisasi, aspek pertanggungjawaban

pidana, dan aspek pemidanaan.

Pengertian dari masing-masing aspek tersebut di atas serta

perjelasan lainnya terkait sudut pandang hukum pidana dalam

pengaturan mengenai pertanggungjawaban tindak pidana lingkungan

hidup menurut hukum pidana di masa yang akan datang (ius

Universitas Bung Karno


89

constituendum) dapat dijelaskan secara lebih mendalam dalam uraian

sebagai berikut:

a. Aspek Kebijakan Kriminalisasi

Yang dimaksud dengan aspek kebijakan kriminalisasi adalah suatu

kebijakan untuk menetapkan suatu perbuatan yang awalnya bukan

tindak pidana menjadi tindak pidana. 70

b. Aspek Pertanggungjawaban Pidana

Ada 2 (dua) hal penting dalam hukum pidana, yaitu perbuatan

pidana yang berkaitan dengan pelaku perbuatan pidana dan

kesalahan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana.

Dalam hal subjek perbuatan pidana secara umum hanya diakui

orang sebagai subjek hukum, namun seiring dengan perkembangan

zaman maka diakuilah korporasi sebagai subjek hukum.

Mekanisme untuk memidanakan korporasi yaitu:

1) Dikenakan pidana atas kejahatan yang dilakukan oleh

pegawainya, atau disebut dengan asas strict liability.

2) Dikenakan pidana di mana diakui tindakan anggota tertentu

dari korporasi atau disebut dengan asas identifikasi, sebagai

70
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 90.

Universitas Bung Karno


90

contoh keputusan direktur juga sebagai keputusan korporasi.

c. Aspek Pemidanaan

Yang dimaksud dengan pemidanaan pada hakekatnya ialah

ganjaran terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh

masyarakat, sehingga dapat dilihat dari pendapat ini bahwa

pemidanaan hanya sebagai suatu pembalasan. Namun di lain sisi

pemidanaan juga dimaksudkan untuk memperbaiki perilaku dari

terpidana dan mencegah orang lain melakukan tindak pidana yang

serupa. 71

C. Kelemahan dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Untuk pelestarian terhadap masalah lingkungan hidup sangat

kompleks dan pemecahan masalahnya memerlukan perhatian yang bersifat

komperehensif dan menjadi tanggung jawab pemerintah didukung

pertisipasi masyarakat. Di Indonesia, pengelolaan lingkungan hidup harus

71
Sri Sufiyati dan Munsyarif Abdul Chalim, Op. Cit. hlm. 463.

Universitas Bung Karno


91

berdasarkan pada dasar hukum yang jelas dan menyeluruh sehingga

diperoleh suatu kepastian hukum 72

Keluarnya Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPPLH) Nomor 32 Tahun 2009 menggantikan

Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) Nomor 23

Tahun 1997 yang dianggap belum bisa menyelesaikan persoalan-persoalan

lingkungan, banyak mendapat apresiasi dan sebagai upaya yang serius dari

pemerintah dalam menangani masalah-masalah pengelolaan lingkungan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga memasuhkan

landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi. Ini penting

dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan ke

depan semakin komplek dan syarat dengan kepentingan investasi.

Karenannya persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik

pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya.

Tetapi bila dicermati lebih jauh, masih banyak hal-hal yang perlu

dibenahi dalam UUPPLH tersebut, seperti dalam:

72
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa,
Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hlm. 31.

Universitas Bung Karno


92

1. Pasal 26 ayat (2) bahwa:

”pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip


pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta
diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan”.

Dalam pasal ini, tidak diikuti penjelasan seperti apa dan bagaimana

bentuk informasi secara lengkap tersebut dan upaya hukum apa yang

dapat dilakukan bila hal tersebut tidak dilakukan.

2. Pasal 26 ayat (4) bahwa

“masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat


mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal”

juga tidak diikuti penjelasan sehingga dapat menimbulkan kerancuan

dalam hal yang seperti apa masyarakat menolak dokumen tersebut,

sehingga justru mereduksi hak-hak masyarakat dalam proses awal

pembangunan.

Padahal tingkat pengetahuan masyarakat dalam memahami undang-

undang sangat kurang, seperti yang dikatakan Tasdyanto Rohadi (Ketua

Umum Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia), survei terhadap

tingkat pemahaman Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23

Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang sudah

berlaku lebih dari 10 tahun menunjukkan 15 % masyarakat sebuah kota

memahami undang-undang tersebut dengan baik. Sebagian besar lagi,

Universitas Bung Karno


93

yaitu 25 % mengetahui judul tanpa mengetahui substansi pengaturan

dengan baik. Yang menyedihkan adalah, sisanya, 60 % masyarakat kota

tersebut tidak mengetahui judul dan substansi pengaturan dengan baik,

dan hal ini menunjukkan bahwa cara menyelenggarakan kebijakan

kepada masing-masing segmen tersebut membutuhkan cara dan strategi

yang berbeda. UUPPLH yang sangat bernuansa ilmiah dan akademis

hanya akan mampu dipahami oleh komunitas rasional. Hanya

sayangnya komunitas rasional di perkotaan tidak lebih dari 30 %,

bahkan di desa-desa, komunitas rasional tidak melebihi dari 5 %.

3. Pasal 46, berbunyi:

“Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45,


dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang
kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan
pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk
pemulihan lingkungan hidup”.

Ketentuan ini akan sangat merugikan bagi masyarakat dan bangsa

Indonesia karena pencemarnya/pelakunya tidak diungkit sama sekali,

dan anehnya di penjelasannya juga tertulis “cukup jelas”, padahal

ketentuan dalam pasal ini bisa melepaskan pencemarnya/pelakunya

begitu saja tanpa ada ganjaran hukuman sama sekali dan pemulihan

justru dibebankan kepada pemerintah.

Universitas Bung Karno


94

4. Pasal 66 berbunyi:

”Setiap orang yang memperjuangkan hak atas linkungan


hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana
maupun digugat secara perdata”.

Tentunya bila ditelaah dengan baik, tidak ada yang salah dari pasal ini.

Namun dalam penjelasan pasal ini berbunyi bahwa ketentuan ini

dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang

menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup dan perlindungan dimaksudkan untuk mencegah

tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/gugatan

perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan.

Kalimat terakhir yang sekaligus penutup dari penjelasan tersebut

“dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan” merupakan

kalimat kunci yang dimaksudkan untuk mematahkan/mementahkan

janji dari Pasal 66. Artinya diberlakukannya hak perlindungan

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 masih harus ditentukan dan

diuji lagi oleh peradilan. Bahwa di sidang peradilan segala sesuatu

(apapun) masih mungkin terjadi termasuk mengabaikan pemberlakuan

Pasal 66 karena hakim bebas dan memiliki hak mutlak untuk

menentukan/menjatuhkan putusannya. Padahal berbagai kasus saksi

pelapor seringkali menjadi korban dan kurang mendapat perlindungan

Universitas Bung Karno


95

serta hak-haknya sering terabaikan bahkan justru jadi korban seperti

dalam kasus Susno Duadji.

5. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang

dimaksud dengan baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau

kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus

ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam

suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.

Selanjutnya pada Pasal 20 dinyatakan baku mutu lingkungan meliputi,

baku mutu air, baku mutu air limbah, baku mutu air laut, baku mutu

udara ambient, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, dan baku mutu

lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk menerapkan baku mutu lingkungan terkait temperatur air seperti

yang dipersyaratkan tersebut, diperlukan proses yang tidak sederhana

dan membutuhkan investasi yang besar sehingga tidak dapat diterapkan

dalam waktu cepat.

6. Unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana, biasanya

dijabarkan secara rinci tetapi dalam Pasal 98 dan Pasal 99 UUPPLH

terdapat kesalahan fatal karena diabaikannya (dihilangkan) unsur

Universitas Bung Karno


96

perbuatan melawan hukum yang seharusnya ada. Selain itu, sanksi

hukuman dalam Pasal 101 UUPPLH berbunyi:

”setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan


produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau
izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat
(1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”

serta dalam Pasal 102 UUPPLH berbunyi:

”setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa


izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.

Hal ini justru menunjukkan ketidakpedulian Negara terhadap nilai

keadilan akibat kejahatan yang berkaitan limbah B3, apalagi jika

dibandingkan dengan sanksi hukum dalam Pasal 108 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

7. Pengelolaan limbah B3 dan dumping, lebih tepatnya ada dalam Pasal

60, Pasal 61 dan Pasal 104 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup.

Universitas Bung Karno


97

Pasal 60 yang berbunyi:

“Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau


bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin”.

Pasal 61 berbunyi:

“ 1. Dumping sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 hanya


dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, Gubernur
atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
2. Dumping sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
persyaratan dumping limbah atau bahan dapat diatur
dalam Peraturan Pemerintah.

Ketentuan pidana yang mengatur tentang dumping terdapat di Pasal 104

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi:

“Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan / atau


bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana
dimaksud Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”

Terdapat kelonggaran di dalam perumusan sanksi di mana tidak

dirumuskan mengenai sanksi minimum layaknya yang terdapat pada

pasal-pasal lain mengenai pengelolaan limbah B3. Hendaknya

pengaturan serta perumusan sanksi dibuat secara khusus dan lebih jelas,

serta penjatuhan sanksi hendaknya lebih berat daripada sanksi yang

Universitas Bung Karno


98

berlaku saat ini. Karena dapat kita ketahui bersama bahwa perbuatan

dumping Limbah B3 sangat membahayakan lingkungan hidup.

8. Di Pasal 108 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPLH) sangat penting untuk dilakukan sosialisasi, karena hal ini bisa

menimbulkan kesalah pahaman dan kesewenang-wenagan dalam

penerapannya. Dalam masyarakat pedesaan, masih banyak lahan milik

masyarakat (perorangan) yang luasnya di atas 2 (dua) hektar.

Sebagimana bunyi pasal 108 bahwa:

“Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”.

Dan dalam penjelasan Pasal 69 ayat (1) huruf h sebagaimana yang

dimaksud kearifan lokal dalam Pasal 69 ayat (2) yaitu, kearifan lokal

yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran

lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk

ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar

sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Jika hal ini

Universitas Bung Karno


99

tidak tersosialisasikan ke masyarakat, terutama masyarakat pedesaan

bisa saja akan menimbulkan permasalahan dan konflik baru.

Selain beberapa permasalahan dalam UUPPLH di atas, masih banyak

hal-hal yang berpengaruh dalam penegakan hukum lingkungan, ketentuan

hukum (Undang-Undang) memang sangat penting dan berperang dalam hal

ini, tetapi faktor-faktor lain seperti kesadaran masyarakat tidak bisa

dinafikan.

Posisi dan peranan aturan tersebut hanyalah sebagai sarana penunjang

belaka, sebagai sarana penunjang maka keampuhan dan kedayagunaannya

akan selalu tergantung kepada siapa dan dengan cara bagaimana

digunakannya. Betapa pun ampuh dan sempurnanya sarana, namun jika

yang menggunakannya tidak memiliki keterampilan dan kemahiran sudah

pasti keampuhan dan kesempurnaan daripada sarana tersebut tidak akan

terwujud.

Universitas Bung Karno


BAB IV

TINJAUAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PEMBAKARAN

LAHAN HUTAN DI PELALAWAN RIAU

(Studi Kasus Putusan Nomor 97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw)

A. Duduk Perkara

1. Pihak Dalam Perkara

Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Nomor 97/Pid.B/LH/2018/

PN.Plw merupakan perkara pidana dalam tingkat pertama atas

Terdakwa sebagai berikut:

1. Nama lengkap : Muhammad Sawirudin Alias Udin Bin

Daeng Patappu

2. Tempat lahir : Nipah Panjang Jambi

3. Umur/Tanggal lahir : 45 Tahun / 27 Juli 1972

4. Jenis kelamin : Laki-laki

5. Kebangsaan : Indonesia

6. Tempat tinggal : Kelurahan Sungai Sangar Desa Pulau

Muda, Kecamatan Teluk Meranti,

Kabupaten Pelalawan

7. Agama : Islam

8. Pekerjaan : Petani/Pekebun

100 Universitas Bung Karno


101

Terdakwa didampingi oleh Penasehat Hukum yang ditunjuk oleh

Majelis Hakim secara cuma-cuma, yaitu Sdr. HANAFI S.H. dan Rekan.

Advokat/Penasihat Hukum dari LBH Paham Indonesia beralamat di

Jalan Jambu, RT.04 RW. 04, Kelurahan Kerinci Timur, Kecamatan

Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, berdasarkan Surat Penetapan

tanggal 22 Mei 2018 Nomor: 97/Pen.Pid.LH/2018/PN.PLW,

berdasarkan ketentuan Pasal 56 KUHAP.

Ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHAP selengkapnya

berbunyi sebagai berikut:

" (1) Dalam hal tersangka atau Terdakwa disangka atau


didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau
lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam
dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak
mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang
bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam
proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi
mereka.
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan
bantuannya dengan cuma-cuma."

2. Posisi Kasus

Terdakwa MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN diajukan

ke persidangan oleh Penuntut Umum dan didakwa berdasarkan 4

(empat) alternatif dakwaan sebagai berikut:

Universitas Bung Karno


102

ALTERNATIF DAKWAAN PERTAMA:

Terdakwa MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN pada hari

Kamis tanggal 1 Februari 2018 sekitar pukul 06.00 WIB atau pada suatu

waktu dalam bulan Februari tahun 2018, bertempat di Desa Pulau

Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan atau pada

suatu tempat yang masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan

Negeri Pelalawan, dengan sengaja membakar hutan. Perbuatan

tersebut dilakukan Terdakwa dengan cara sebagai berikut:

a. Pada hari, tanggal dan waktu serta tempat sebagaimana diuraikan

di atas Terdakwa membakar lahan dengan ukuran ± 3 x 5 m yang

telah Terdakwa bersihkan sebelumnya untuk Terdakwa tanami

cabe serta membuat sekat bakar dengan ukuran 80 cm.

b. Sebelum semua ranting rerumputan habis terbakar kemudian

Terdakwa menyiram sisa pembakaran tersebut dengan air lalu

Terdakwa tinggalkan dengan kondisi masih berasap dan kembali

ke rumah/gubuk Terdakwa yang berjarak ± 50 m dari lahan

tersebut, selanjutnya Terdakwa pergi mencari ikan.

c. Terdakwa sebelum melakukan pembakaran tersebut menyadari

bahwa lahan yang ia bakar merupakan lahan gambut kering dan

sudah 4 hari kondisi panas terik serta tidak turun hujan.

Universitas Bung Karno


103

d. Saksi Awal Haji yang hendak pergi bekerja melihat kepulan asap

dari kejauhan lalu bersama-sama dengan saksi Wan Muhammad

Ali dan saksi Wiwin Rahmad berinisiatif langsung menuju lokasi

sumber asap tersebut dan tepatnya berada di Compartement K551

PT. RAPP Estate Meranti, Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk

Meranti, Kabupaten Pelalawan. Mereka menemukan adanya kebun

Karet dan lahan kosong yang terbakar. Kemudian saksi bersama

rekan lainnya langsung melakukan tindakan awal berupa

pembuatan sekat bakar dan pemadaman dengan menggunakan

ranting agar kebakaran tidak meluas. Lebih kurang 30 menit

kemudian, tim Safety Fire dari PT. RAPP datang dengan membawa

peralatan pemadam api dan langsung melakukan pemadaman.

e. Sekitar pukul 13.00 WIB saat Terdakwa masih mencari ikan datang

sdr. Romy menjumpai Terdakwa seraya berkata “pulang dulu

pak.!, lahan terbakar.!” mendengar hal tersebut Terdakwa

langsung menuju lahan yang telah Terdakwa bakar tadi dan

setibanya di lokasi tersebut Terdakwa melihat bahwa lahan yang

tadinya Terdakwa bakar seluas 3 x 5 m telah menjalar/meluas ke

areal/lahan di sekelilingnya yang ditumbuhi tanaman karet dan

semak belukar serta Terdakwa juga melihat pihak kepolisian dan

Universitas Bung Karno


104

pihak perusahaan PT. RAPP berupaya memadamkan api dengan

menggunakan mesin.

f. Berdasarkan hasil pengukuran dan pengambilan titik koordinat

oleh ahli Pemetaan dan Inventarisasi Hutan Bidang Planologi

Kehutanan Provinsi Riau atas lokasi kebakaran lahan yang

dilakukan Terdakwa dengan mengambil titik lokasi dengan

menggunakan alat GPS MAP 76 CSX Merk Garmin milik Dinas

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau ditemukan bahwa

lokasi lahan yang telah terbakar adalah sebagai berkut:

1) (T1) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 26⁰ LU dan 102⁰, 47⁰,

56,409⁰ BT Lahan yang terbakar.

2) (T2) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 29,789⁰ LU dan 102⁰, 48⁰,

2,252⁰ BT.Lahan yang terbakar.

3) (T3) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 33,206⁰ LU dan 102⁰, 48⁰,

9,693⁰ BT.Lahan yang terbakar.

4) (T4) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 21,108⁰ LU dan 102⁰, 48⁰,

2,804⁰ BT.Lahan yang terbakar.

g. Ahli menerangkan bahwa untuk luas lahan yang terbakar setelah

dilakukan pengukuran adalah 5,7 hektar dan dari hasil pengecekan

tempat kejadian perkara berdasarkan Peta Izin IUPHHK-HTI yang

Universitas Bung Karno


105

dimiliki PT. RIAU ANDALAH PALP DAN PAPER sesuai dengan

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK 327/Menhut-II/2009

tanggal 12 Juni 1999 tentang Peta Areal Kerja IUPHHK-HTI serta

dihubungkan dengan Peta lampiran SK. Mentri Kehutanan Nomor:

878/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 tentang Peta

Kawasan Hutan Provinsi Riau bahwa areal

perambahan/pembakaran masuk dalam konsesi PT. Riau Palp

Andalan dan Paper.

h. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan didukung oleh

data hasil pengamatan di lokasi kebakaran oleh ahli Kebakaran

Hutan dan Kerusakan Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut

Pertanian Bogor atas lokasi kebakaran lahan di areal

Compartement K551 PT. RAPP Estate Meranti, Desa Pulau Muda,

Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan yang dilakukan

Terdakwa diperoleh kesimpulan bahwa areal yang telah terbakar

adalah areal yang telah dipersiapkan untuk dibuka dalam kegiatan

penyiapan lahan dengan pembakaran sehingga tampak lebih bersih

dan memudahkan untuk melakukan kegiatan serta juga untuk

mendapatkan abu hasil pembakaran yang kaya mineral yang dapat

berfungsi sebagai pengganti pupuk untuk meningkatkan

Universitas Bung Karno


106

pertumbuhan tanaman, bahwa tiga komponen diperlukan untuk

setiap api agar dapat menyala dan mengalami proses pembakaran.

Pertama harus tersedia bahan bakar yang dapat terbakar, panas

yang cukup yang digunakan untuk menaikan temperatur bahan

bakar hingga ke titik penyalaan dan akhirnya harus terdapat pula

cukup udara untuk mensuplai oksigen yang diperlukan dalam

menjaga proses pembakaran agar tetap berjalan. Untuk itu maka

kebakaran tidak mungkin terjadi dengan sendirinya dan tidak

mungkin juga karena gesekan kayu kering yang terdapat di lahan

bekas terbakar atau petir karena setelah petir akan turun hujan

sehingga penyebab alami tidak dapat digunakan sebagai sumber

penyebab terjadinya kebakaran di areal Compartement K551 PT.

RAPP Estate Meranti, Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk

Meranti, Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau, sehingga

penyebabnya tidak lain adalah perbuatan manusia.

i. Saat dilakukan interogasi terhadap Terdakwa, Terdakwa mengakui

bahwasanya Terdakwalah yang telah melakukan pembakaran lahan

tersebut yang awalnya seluas 3 x 5 m untuk ditanami cabe akan

tetapi Terdakwa tidak menyangka akan menjalar/meluas ke areal

lainnya.

Universitas Bung Karno


107

j. Pengakuan Terdakwa menyebutkan bahwa lahan yang terbakar

tersebut adalah milik Terdakwa sendiri seluas 2 hektar yang sudah

tersangka tanami karet, dan ± 1 hektar yang belum ditanami adalah

lahan milik sdr. Suwardi, sedangkan 2 hektar lagi tersangka tidak

mengetahui pemiliknya dan lahan itu masih berbentuk semak

belukar serta di dalamnya masih terdapat tegakan kayu hutan.

k. Terdakwa dalam persidangan menyatakan bahwa sebelum

melakukan tindakan tersebut Terdakwa mengetahui jika perbuatan

membuka lahan dengan cara dibakar tanpa izin dari pihak

berwenang adalah melanggar hukum yang berlaku di Negara

Republik Indonesia.

l. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 78

ayat (3) Jo Pasal 50 ayat (3) huruf d Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Bunyi Pasal 78 ayat (3):

“Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d,
diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah)”

Bunyi Pasal 50 ayat (3) huruf d:

“Setiap orang dilarang membakar hutan”

Universitas Bung Karno


108

ALTERNATIF DAKWAAN KEDUA:

Terdakwa MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN pada hari

Kamis tanggal 1 Februari 2018 sekitar pukul 06.00 WIB atau pada suatu

waktu dalam bulan Februari tahun 2018, bertempat di Desa Pulau

Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan atau pada

suatu tempat yang masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan

Negeri Pelalawan, dengan sengaja melakukan perbuatan yang

mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku

mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup, perbuatan tersebut dilakukan Terdakwa dengan

cara sebagai berikut:

a. Pada hari, tanggal dan waktu serta tempat sebagaimana diuraikan

di atas Terdakwa membakar lahan dengan ukuran ± 3 x 5 m yang

telah Terdakwa bersihkan sebelumnya untuk Terdakwa tanami

cabe serta membuat sekat bakar dengan ukuran 80 cm.

b. Sebelum semua ranting rerumputan habis terbakar kemudian

Terdakwa menyiram sisa pembakaran tersebut dengan air lalu

Terdakwa tinggalkan dengan kondisi masih berasap dan kembali

ke rumah/gubuk Terdakwa yang berjarak ± 50 m dari lahan

tersebut, selanjutnya Terdakwa pergi mencari ikan.

Universitas Bung Karno


109

c. Terdakwa sebelum melakukan pembakaran tersebut menyadari

bahwa lahan yang ia bakar merupakan lahan gambut kering dan

sudah 4 hari kondisi panas terik serta tidak turun hujan.

d. Saksi Awal Haji yang hendak pergi bekerja melihat kepulan asap

dari kejauhan lalu bersama-sama dengan saksi Wan Muhammad

Ali dan saksi Wiwin Rahmad berinisiatif langsung menuju lokasi

sumber asap tersebut dan tepatnya di Comp K551 PT. RAPP Estate

Meranti, Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten

Pelalawan mereka menemukan adanya kebun Karet dan lahan

kosong yang terbakar, kemudian Saksi bersama rekan lainnya

langsung melakukan tindakan awal berupa pembuatan sekat bakar

dan pemadaman dengan menggunakan ranting agar kebakaran

tidak meluas. Lebih kurang 30 menit kemudian tim Safety Fire dari

PT. RAPP datang dengan membawa peralatan pemadam api dan

langsung melakukan pemadaman.

e. Sekitar pukul 13.00 WIB saat Terdakwa masih mencari ikan datang

sdr. Romy menjumpai Terdakwa seraya berkata “pulang dulu

pak.!, lahan terbakar.!” mendengar hal tersebut Terdakwa

langsung menuju lahan yang telah Terdakwa bakar tadi dan

setibanya di lokasi tersebut Terdakwa melihat bahwa lahan yang

Universitas Bung Karno


110

tadinya Terdakwa bakar seluas 3 x 5 m telah menjalar/meluas ke

areal/lahan di sekelilingnya yang ditumbuhi tanaman karet dan

semak belukar serta Terdakwa juga melihat pihak kepolisian dan

pihak perusahaan PT. RAPP berupaya memadamkan api dengan

menggunakan mesin.

m. Berdasarkan hasil pengukuran dan pengambilan titik koordinat

oleh ahli Pemetaan dan Inventarisasi Hutan Bidang Planologi

Kehutanan Provinsi Riau atas lokasi kebakaran lahan yang

dilakukan Terdakwa dengan mengambil titik lokasi dengan

menggunakan alat GPS MAP 76 CSX Merk Garmin milik Dinas

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau ditemukan bahwa

lokasi lahan yang telah terbakar adalah sebagai berkut:

1) (T1) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 26⁰ LU dan 102⁰, 47⁰,

56,409⁰ BT Lahan yang terbakar.

2) (T2) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 29,789⁰ LU dan 102⁰, 48⁰,

2,252⁰ BT.Lahan yang terbakar.

3) (T3) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 33,206⁰ LU dan 102⁰, 48⁰,

9,693⁰ BT.Lahan yang terbakar.

4) (T4) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 21,108⁰ LU dan 102⁰, 48⁰,

2,804⁰ BT.Lahan yang terbakar.

Universitas Bung Karno


111

f. Ahli menerangkan bahwa untuk luas lahan yang terbakar setelah

dilakukan pengukuran adalah, 5,7 hektar dan dari hasil

pengecekan tempat kejadian perkara berdasarkan Peta Izin

IUPHHK-HTI yang dimiliki PT. RIAU ANDALAH PALP DAN

PAPER sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK

327/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 1999 tentang Peta Areal Kerja

IUPHHK -HTI serta dihubungkan dengan Peta lampiran SK.

Mentri Kehutanan Nomor: 878/Menhut-II/2014 tanggal 29

September 2014 tentang Peta Kawasan Hutan Provinsi Riau

bahwa areal perambahan/pembakaran masuk dalam konsesi PT.

Riau Palp Andalan dan Paper.

g. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan didukung oleh

data hasil pengamatan di lokasi kebakaran oleh ahli Kebakaran

Hutan dan Kerusakan Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut

Pertanian Bogor atas lokasi kebakaran lahan di areal

Compartement K551 PT. RAPP Estate Meranti, Desa Pulau Muda,

Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan yang dilakukan

Terdakwa diperoleh kesimpulan bahwa areal yang telah terbakar

adalah areal yang telah dipersiapkan untuk dibuka dalam kegiatan

penyiapan lahan dengan pembakaran sehingga tampak lebih bersih

Universitas Bung Karno


112

dan memudahkan untuk melakukan kegiatan serta juga untuk

mendapatkan abu hasil pembakaran yang kaya mineral yang dapat

berfungsi sebagai pengganti pupuk untuk meningkatkan

pertumbuhan tanaman, ditemukan tumbuhan bawah berkayu yang

ditebas secara sengaja sebelum pembakaran dilakukan, pada bagian

permukaan dari areal yang telah terbakar ditemukan log dan ranting

yang telah terbakar. Akibat tidak dilakukan pencegahan dengan

baik maka kemudian api melompat ke areal non target sehingga

areal yang terbakar bertambah luas serta ditemukan pula lahan

bekas terbakar yang ditanami.

h. Dengan adanya pembakaran lahan yang dilakukan oleh Terdakwa

telah terjadi pencemaran akibat asap yang dihasilkan selama

pembakaran dan terjadi pula kerusakan lapisan permukaan lahan

gambut setebal rata-rata 5 - 10 cm. Lapisan yang rusak ini tidak

bisa dikembalikan lagi seperti awal, kalaupun bisa dikembalikan

maka akan dibutuhkan waktu ribuan tahun dengan syarat lokasi

yang terbakar tidak boleh diganggu. Akibat kerusakan ini jelas

mengganggu kehidupan manusia maupun makhluk hidup lainnya

karena salah satu fungsi tanah tersebut sebagai pengatur tata air

yang berfungsi normal dan itu dapat menimbulkan peluang

Universitas Bung Karno


113

terjadinya masa pakai lahan yang terbakar tersebut sehingga tentu

saja akan mengurangi produktivitas lahan tersebut. Selain itu juga

selama pembakaran berlangsung telah pula dilepaskan gas-gas

rumah kaca yang melewati batas baku mutu yang diperkenankan.

Akibat terjadinya kebakaran maka telah dilepaskan gas rumah kaca

0,675 ton karbon. 0,24 ton CO2. 0,025 ton CH4. 0,0011 ton NOx.

0,003 ton NH3. 0,0025 ton O3 dan 0,044 ton CO serta 0,05 ton

partikel. Gas gas rumah kaca yang dilepaskan selama kebakaran

berlangsung telah melewati batas ambang pembakaran telah

mencemarkan lingkungan di lahan terbakar dan sekitarnya. Selain

gas rumah kaca yang dilepaskan selama kebakaran berlangsung,

maka panas yang tinggi di permukaan telah merusak lapisan

permukaan dengan ketebalan rata-rata sekitar 5-10 cm sehingga

akan mengganggu siklus hidro-orologis pada lahan yang telah

terbakar tersebut.

i. Kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya pembukaan lahan

dengan pembakaran pada areal seluas 5,70 ha adalah

Rp.3.538.979.373 (tiga milyar lima ratus tiga puluh delapan juta

sembilan ratus tujuh puluh sembilan ribu tiga ratus tujuh puluh tiga

rupiah)

Universitas Bung Karno


114

j. Saat dilakukan interogasi terhadap Terdakwa, Terdakwa mengakui

bahwasanya Terdakwalah yang telah melakukan pembakaran lahan

tersebut yang awalnya seluas 3 x 5 m untuk ditanami cabe akan

tetapi Terdakwa tidak menyangka akan menjalar/meluas ke areal

lainnya.

k. Pengakuan Terdakwa, lahan yang terbakar tersebut adalah milik

Terdakwa sendiri seluas 2 hektar yang sudah tersangka tanami

karet, dan ± 1 hektar yang belum ditanami adalah lahan sdr.

Suwardi, sedangkan 2 hektar lagi tersangka tidak mengetahui

pemiliknya dan lahan itu masih berbentuk semak belukar serta di

dalamnya masih terdapat tegakan kayu hutan.

l. Terdakwa mengetahui jika perbuatan membuka lahan dengan cara

dibakar akan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan melanggar

hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

m. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 98

ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Bunyi Pasal 98 ayat (1):

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan


yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana

Universitas Bung Karno


115

penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10


(sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”

ALTERNATIF DAKWAAN KETIGA:

Terdakwa MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN pada hari

Kamis tanggal 1 Februari 2018 sekitar pukul 06.00 WIB atau pada suatu

waktu dalam bulan Februari tahun 2018, bertempat di Desa Pulau

Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan atau pada

suatu tempat yang masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan

Negeri Pelalawan, karena kelalaiannya mengakibatkan

dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku

mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,

perbuatan tersebut dilakukan para Terdakwa dengan cara sebagai

berikut:

a. Pada hari, tanggal dan waktu serta tempat sebagaimana diuraikan

di atas Terdakwa membakar lahan dengan ukuran ± 3 x 5 m yang

telah Terdakwa bersihkan sebelumnya untuk Terdakwa tanami

cabe serta membuat sekat bakar dengan ukuran 80 cm.

b. Sebelum semua ranting rerumputan habis terbakar kemudian

Terdakwa menyiram sisa pembakaran tersebut dengan air lalu

Universitas Bung Karno


116

Terdakwa tinggalkan dengan kondisi masih berasap dan kembali

ke rumah/gubuk Terdakwa yang berjarak ± 50 m dari lahan

tersebut, selanjutnya Terdakwa pergi mencari ikan.

c. Terdakwa sebelum melakukan pembakaran tersebut menyadari

bahwa lahan yang ia bakar merupakan lahan gambut kering dan

sudah 4 hari kondisi panas terik serta tidak turun hujan.

d. Saksi Awal Haji yang hendak pergi bekerja melihat kepulan asap

dari kejauhan lalu bersama-sama dengan saksi Wan Muhammad

Ali dan saksi Wiwin Rahmad berinisiatif langsung menuju lokasi

sumber asap tersebut dan tepatnya di Comp K551 PT. RAPP Estate

Meranti, Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten

Pelalawan mereka menemukan adanya kebun Karet dan lahan

kosong yang terbakar, kemudian Saksi bersama rekan lainnya

langsung melakukan tindakan awal berupa pembuatan sekat bakar

dan pemadaman dengan menggunakan ranting agar kebakaran

tidak meluas. Lebih kurang 30 menit kemudian tim Safety Fire dari

PT. RAPP datang dengan membawa peralatan pemadam api dan

langsung melakukan pemadaman.

e. Sekitar pukul 13.00 WIB saat Terdakwa masih mencari ikan datang

sdr. Romy menjumpai Terdakwa seraya berkata “pulang dulu

Universitas Bung Karno


117

pak.!, lahan terbakar.!” mendengar hal tersebut Terdakwa

langsung menuju lahan yang telah Terdakwa bakar tadi dan

setibanya di lokasi tersebut Terdakwa melihat bahwa lahan yang

tadinya Terdakwa bakar seluas 3 x 5 m telah menjalar/meluas ke

areal/lahan di sekelilingnya yang ditumbuhi tanaman karet dan

semak belukar serta Terdakwa juga melihat pihak kepolisian dan

pihak perusahaan PT. RAPP berupaya memadamkan api dengan

menggunakan mesin.

n. Berdasarkan hasil pengukuran dan pengambilan titik koordinat

oleh ahli Pemetaan dan Inventarisasi Hutan Bidang Planologi

Kehutanan Provinsi Riau atas lokasi kebakaran lahan yang

dilakukan Terdakwa dengan mengambil titik lokasi dengan

menggunakan alat GPS MAP 76 CSX Merk Garmin milik Dinas

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau ditemukan bahwa

lokasi lahan yang telah terbakar adalah sebagai berkut:

5) (T1) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 26⁰ LU dan 102⁰, 47⁰,

56,409⁰ BT Lahan yang terbakar.

6) (T2) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 29,789⁰ LU dan 102⁰, 48⁰,

2,252⁰ BT.Lahan yang terbakar.

Universitas Bung Karno


118

7) (T3) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 33,206⁰ LU dan 102⁰, 48⁰,

9,693⁰ BT.Lahan yang terbakar.

8) (T4) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 21,108⁰ LU dan 102⁰, 48⁰,

2,804⁰ BT.Lahan yang terbakar.

n. Ahli menerangkan bahwa untuk luas lahan yang terbakar setelah

dilakukan pengukuran adalah, 5,7 hektar dan dari hasil

pengecekan tempat kejadian perkara berdasarkan Peta Izin

IUPHHK-HTI yang dimiliki PT. RIAU ANDALAH PALP DAN

PAPER sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK

327/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 1999 tentang Peta Areal Kerja

IUPHHK -HTI serta dihubungkan dengan Peta lampiran SK.

Mentri Kehutanan Nomor: 878/Menhut-II/2014 tanggal 29

September 2014 tentang Peta Kawasan Hutan Provinsi Riau

bahwa areal perambahan/pembakaran masuk dalam konsesi PT.

Riau Palp Andalan dan Paper.

f. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan didukung oleh

data hasil pengamatan di lokasi kebakaran oleh ahli Kebakaran

Hutan dan Kerusakan Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut

Pertanian Bogor atas lokasi kebakaran lahan di areal

Compartement K551 PT. RAPP Estate Meranti, Desa Pulau Muda,

Universitas Bung Karno


119

Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan yang dilakukan

Terdakwa diperoleh kesimpulan bahwa areal yang telah terbakar

adalah areal yang telah dipersiapkan untuk dibuka dalam kegiatan

penyiapan lahan dengan pembakaran sehingga tampak lebih bersih

dan memudahkan untuk melakukan kegiatan serta juga untuk

mendapatkan abu hasil pembakaran yang kaya mineral yang dapat

berfungsi sebagai pengganti pupuk untuk meningkatkan

pertumbuhan tanaman, ditemukan tumbuhan bawah berkayu yang

ditebas secara sengaja sebelum pembakaran dilakukan, pada bagian

permukaan dari areal yang telah terbakar ditemukan log dan ranting

yang telah terbakar. Akibat tidak dilakukan pencegahan dengan

baik maka kemudian api melompat ke areal non target sehingga

areal yang terbakar bertambah luas serta ditemukan pula lahan

bekas terbakar yang ditanami.

g. Dengan adanya pembakaran lahan yang dilakukan oleh Terdakwa

telah terjadi pencemaran akibat asap yang dihasilkan selama

pembakaran dan terjadi pula kerusakan lapisan permukaan lahan

gambut setebal rata-rata 5 - 10 cm. Lapisan yang rusak ini tidak

bisa dikembalikan lagi seperti awal, kalaupun bisa dikembalikan

maka akan dibutuhkan waktu ribuan tahun dengan syarat lokasi

Universitas Bung Karno


120

yang terbakar tidak boleh diganggu. Akibat kerusakan ini jelas

mengganggu kehidupan manusia maupun makhluk hidup lainnya

karena salah satu fungsi tanah tersebut sebagai pengatur tata air

yang berfungsi normal dan itu dapat menimbulkan peluang

terjadinya masa pakai lahan yang terbakar tersebut sehingga tentu

saja akan mengurangi produktivitas lahan tersebut. Selain itu juga

selama pembakaran berlangsung telah pula dilepaskan gas-gas

rumah kaca yang melewati batas baku mutu yang diperkenankan.

Akibat terjadinya kebakaran maka telah dilepaskan gas rumah kaca

0,675 ton karbon. 0,24 ton CO2. 0,025 ton CH4. 0,0011 ton NOx.

0,003 ton NH3. 0,0025 ton O3 dan 0,044 ton CO serta 0,05 ton

partikel. Gas-gas rumah kaca yang dilepaskan selama kebakaran

berlangsung telah melewati batas ambang pembakaran telah

mencemarkan lingkungan di lahan terbakar dan sekitarnya.

h. Selain gas rumah kaca yang dilepaskan selama kebakaran

berlangsung, maka panas yang tinggi di permukaan telah merusak

lapisan permukaan dengan ketebalan rata-rata sekitar 5-10 cm

sehingga akan mengganggu siklus hidro-orologis pada lahan yang

telah terbakar tersebut. Kerugian yang ditimbulkan akibat

terjadinya pembukaan lahan dengan pembakaran pada areal seluas

Universitas Bung Karno


121

5,70 ha adalah Rp.3.538.979.373 (tiga milyar lima ratus tiga puluh

delapan juta sembilan ratus tujuh puluh sembilan ribu tiga ratus

tujuh puluh tiga rupiah)

i. Saat dilakukan interogasi terhadap Terdakwa, Terdakwa mengakui

bahwasanya Terdakwalah yang telah melakukan pembakaran lahan

tersebut yang awalnya seluas 3 x 5 m untuk ditanami cabe akan

tetapi Terdakwa tidak menyangka akan menjalar/meluas ke areal

lainnya.

j. Pengakuan Terdakwa lahan yang terbakar tersebut adalah milik

Terdakwa sendiri seluas 2 hektar yang sudah tersangka tanami

karet, dan ± 1 hektar yang belum ditanami adalah lahan sdr.

Suwardi, sedangkan 2 hektar lagi tersangka tidak mengetahui

pemiliknya dan lahan itu masih berbentuk semak belukar serta di

dalamnya masih terdapat tegakan kayu hutan.

k. Terdakwa mengetahui jika perbuatan membuka lahan dengan cara

dibakar akan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan melanggar

hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

l. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 99

ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Universitas Bung Karno


122

Bunyi Pasal 99 ayat (1):

“Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan


dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air,
baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”

ALTERNATIF DAKWAAN KEEMPAT:

Terdakwa MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN pada hari

Kamis tanggal 1 Februari 2018 sekitar pukul 06.00 WIB atau pada suatu

waktu dalam bulan Februari tahun 2018, bertempat di Desa Pulau

Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan atau pada

suatu tempat yang masih termasuk dalam wilayah hukum Pengadilan

Negeri Pelalawan, didakwa sebagai Pelaku Usaha perkebunan yang

membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar,

perbuatan tersebut dilakukan para Terdakwa dengan cara sebagai

berikut:

a. Pada hari, tanggal dan waktu serta tempat sebagaimana diuraikan

di atas Terdakwa membakar lahan dengan ukuran ± 3 x 5 m yang

telah Terdakwa bersihkan sebelumnya untuk Terdakwa tanami

cabe serta membuat sekat bakar dengan ukuran 80 cm.

Universitas Bung Karno


123

b. Sebelum semua ranting rerumputan habis terbakar kemudian

Terdakwa menyiram sisa pembakaran tersebut dengan air lalu

Terdakwa tinggalkan dengan kondisi masih berasap dan kembali

ke rumah/gubuk Terdakwa yang berjarak ± 50 m dari lahan

tersebut, selanjutnya Terdakwa pergi mencari ikan.

c. Terdakwa sebelum melakukan pembakaran tersebut menyadari

bahwa lahan yang ia bakar merupakan lahan gambut kering dan

sudah 4 hari kondisi panas terik serta tidak turun hujan.

d. Saksi Awal Haji yang hendak pergi bekerja melihat kepulan asap

dari kejauhan lalu bersama-sama dengan saksi Wan Muhammad

Ali dan saksi Wiwin Rahmad berinisiatif langsung menuju lokasi

sumber asap tersebut dan tepatnya di Comp K551 PT. RAPP Estate

Meranti, Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten

Pelalawan mereka menemukan adanya kebun Karet dan lahan

kosong yang terbakar, kemudian Saksi bersama rekan lainnya

langsung melakukan tindakan awal berupa pembuatan sekat bakar

dan pemadaman dengan menggunakan ranting agar kebakaran

tidak meluas. Lebih kurang 30 menit kemudian tim Safety Fire dari

PT. RAPP datang dengan membawa peralatan pemadam api dan

langsung melakukan pemadaman.

Universitas Bung Karno


124

e. Sekitar pukul 13.00 WIB saat Terdakwa masih mencari ikan datang

sdr. Romy menjumpai Terdakwa seraya berkata “pulang dulu

pak.!, lahan terbakar.!” mendengar hal tersebut Terdakwa

langsung menuju lahan yang telah Terdakwa bakar tadi dan

setibanya di lokasi tersebut Terdakwa melihat bahwa lahan yang

tadinya Terdakwa bakar seluas 3 x 5 m telah menjalar/meluas ke

areal/lahan di sekelilingnya yang ditumbuhi tanaman karet dan

semak belukar serta Terdakwa juga melihat pihak kepolisian dan

pihak perusahaan PT. RAPP berupaya memadamkan api dengan

menggunakan mesin.

o. Berdasarkan hasil pengukuran dan pengambilan titik koordinat

oleh ahli Pemetaan dan Inventarisasi Hutan Bidang Planologi

Kehutanan Provinsi Riau atas lokasi kebakaran lahan yang

dilakukan Terdakwa dengan mengambil titik lokasi dengan

menggunakan alat GPS MAP 76 CSX Merk Garmin milik Dinas

Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau ditemukan bahwa

lokasi lahan yang telah terbakar adalah sebagai berkut:

9) (T1) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 26⁰ LU dan 102⁰, 47⁰, 56,409⁰

BT Lahan yang terbakar.

Universitas Bung Karno


125

10) (T2) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 29,789⁰ LU dan 102⁰, 48⁰,

2,252⁰ BT.Lahan yang terbakar.

11) (T3) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 33,206⁰ LU dan 102⁰, 48⁰,

9,693⁰ BT.Lahan yang terbakar.

12) (T4) dengan titik koordinat: 00⁰, 20⁰, 21,108⁰ LU dan 102⁰, 48⁰,

2,804⁰ BT.Lahan yang terbakar.

o. Ahli menerangkan bahwa untuk luas lahan yang terbakar setelah

dilakukan pengukuran adalah, 5,7 hektar dan dari hasil

pengecekan tempat kejadian perkara berdasarkan Peta Izin

IUPHHK-HTI yang dimiliki PT. RIAU ANDALAH PALP DAN

PAPER sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK

327/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 1999 tentang Peta Areal Kerja

IUPHHK -HTI serta dihubungkan dengan Peta lampiran SK.

Mentri Kehutanan Nomor: 878/Menhut-II/2014 tanggal 29

September 2014 tentang Peta Kawasan Hutan Provinsi Riau

bahwa areal perambahan/pembakaran masuk dalam konsesi PT.

Riau Palp Andalan dan Paper.

f. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan didukung oleh

data hasil pengamatan di lokasi kebakaran oleh ahli Kebakaran

Hutan dan Kerusakan Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut

Universitas Bung Karno


126

Pertanian Bogor atas lokasi kebakaran lahan di areal

Compartement K551 PT. RAPP Estate Meranti, Desa Pulau Muda,

Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan yang dilakukan

Terdakwa diperoleh kesimpulan bahwa areal yang telah terbakar

adalah areal yang telah dipersiapkan untuk dibuka dalam kegiatan

penyiapan lahan dengan pembakaran sehingga tampak lebih bersih

dan memudahkan untuk melakukan kegiatan serta juga untuk

mendapatkan abu hasil pembakaran yang kaya mineral yang dapat

berfungsi sebagai pengganti pupuk untuk meningkatkan

pertumbuhan tanaman, ditemukan tumbuhan bawah berkayu yang

ditebas secara sengaja sebelum pembakaran dilakukan, pada bagian

permukaan dari areal yang telah terbakar ditemukan log dan ranting

yang telah terbakar. Akibat tidak dilakukan pencegahan dengan

baik maka kemudian api melompat ke areal non target sehingga

areal yang terbakar bertambah luas serta ditemukan pula lahan

bekas terbakar yang ditanami.

g. Dengan adanya pembakaran lahan yang dilakukan oleh Terdakwa

telah terjadi pencemaran akibat asap yang dihasilkan selama

pembakaran dan terjadi pula kerusakan lapisan permukaan lahan

gambut setebal rata-rata 5 - 10 cm. Lapisan yang rusak ini tidak

Universitas Bung Karno


127

bisa dikembalikan lagi seperti awal, kalaupun bisa dikembalikan

maka akan dibutuhkan waktu ribuan tahun dengan syarat lokasi

yang terbakar tidak boleh diganggu. Akibat kerusakan ini jelas

mengganggu kehidupan manusia maupun makhluk hidup lainnya

karena salah satu fungsi tanah tersebut sebagai pengatur tata air

yang berfungsi normal dan itu dapat menimbulkan peluang

terjadinya masa pakai lahan yang terbakar tersebut sehingga tentu

saja akan mengurangi produktivitas lahan tersebut. Selain itu juga

selama pembakaran berlangsung telah pula dilepaskan gas-gas

rumah kaca yang melewati batas baku mutu yang diperkenankan.

Akibat terjadinya kebakaran maka telah dilepaskan gas rumah kaca

0,675 ton karbon. 0,24 ton CO2. 0,025 ton CH4. 0,0011 ton NOx.

0,003 ton NH3. 0,0025 ton O3 dan 0,044 ton CO serta 0,05 ton

partikel. Gas-gas rumah kaca yang dilepaskan selama kebakaran

berlangsung telah melewati batas ambang pembakaran telah

mencemarkan lingkungan di lahan terbakar dan sekitarnya.

h. Selain gas rumah kaca yang dilepaskan selama kebakaran

berlangsung, maka panas yang tinggi di permukaan telah merusak

lapisan permukaan dengan ketebalan rata-rata sekitar 5-10 cm

sehingga akan mengganggu siklus hidro-orologis pada lahan yang

Universitas Bung Karno


128

telah terbakar tersebut. Kerugian yang ditimbulkan akibat

terjadinya pembukaan lahan dengan pembakaran pada areal seluas

5,70 ha adalah Rp.3.538.979.373 (tiga milyar lima ratus tiga puluh

delapan juta sembilan ratus tujuh puluh sembilan ribu tiga ratus

tujuh puluh tiga rupiah)

i. Saat dilakukan interogasi terhadap Terdakwa, Terdakwa mengakui

bahwasanya Terdakwalah yang telah melakukan pembakaran lahan

tersebut yang awalnya seluas 3 x 5 m untuk ditanami cabe akan

tetapi Terdakwa tidak menyangka akan menjalar/meluas ke areal

lainnya.

j. Pengakuan Terdakwa lahan yang terbakar tersebut adalah milik

Terdakwa sendiri seluas 2 hektar yang sudah tersangka tanami

karet, dan ± 1 hektar yang belum ditanami adalah lahan sdr.

Suwardi, sedangkan 2 hektar lagi tersangka tidak mengetahui

pemiliknya dan lahan itu masih berbentuk semak belukar serta di

dalamnya masih terdapat tegakan kayu hutan.

k. Terdakwa mengetahui jika perbuatan membuka lahan dengan cara

dibakar akan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan melanggar

hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

Universitas Bung Karno


129

l. Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 108 Jo

Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39

Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Bunyi Pasal 108:

“Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/atau


mengolah lahan dengan cara membakar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Bunyi Pasal 56 ayat (1):

“(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka


dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar.”

Terhadap dakwaan-dakwaan dari Penuntut Umum, Terdakwa dan

Penasihat Hukum Terdakwa tidak mengajukan keberatan.

3. Saksi-Saksi

Untuk membuktikan dakwaannya, Penuntut Umum telah

mengajukan saksi-saksi sebagai berikut:

a. Saksi WAN MUHAMMAD ALI di bawah sumpah pada

pokoknya menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa pembakaran lahan yang dilakukan oleh Terdakwa

tersebut terjadi pada hari kamis tanggal 1 Februari 2018 sekitar

Universitas Bung Karno


130

pukul 09.00 WIB bertempat di Compartement K551 PT. RAPP

Estate Meranti, Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti,

Kabupaten Pelalawan.

- Bahwa saksi dapat mengetahui pelaku pembakaran lahan

tersebut berdasarkan pengakuan Terdakwa sendiri.

- Bahwa setahu saksi lahan yang dibakar oleh Terdakwa adalah

milik PT. RAPP.

- Bahwa setahu saksi lahan yang terbakar tersebut luasnya ± 4

(empat) hektar.

- Bahwa setahu saksi lahan tersebut dibakar karena masyarakat

mengklaim lahan tersebut milik masyarakat.

- Bahwa saksi tidak melihat secara langsung pembakaran lahan

tersebut, namun pada hari Kamis tanggal 1 Februari 2018 sekira

pukul 16.00 WIB sepulang saksi makan untuk kembali bekerja,

terlihat di depan rumah ada kepulan asap dan seorang laki-laki

yang sedang duduk di depan rumah, saksi pun menanyai laki-

laki itu dengan berkata ”siapa yang membakar lahan itu”

kemudian laki-laki tersebut menjawab “yang membakar lahan

tersebut adalah saya sendiri”

Universitas Bung Karno


131

- Bahwa menurut keterangan Terdakwa Terdakwa melakukan

pembakaran seorang diri.

- Bahwa jarak rumah dengan lokasi lahan terbakar tersebut ± 30

(tiga puluh) meter.

- Bahwa saksi melihat ada kepulan asap.

- Bahwa lahan yang terbakar tersebut ada yang ditanami karet dan

sebagian masih semak.

- Bahwa menurut cerita Terdakwa lahan tersebut dibakar untuk

ditanami palawija.

- Bahwa setahu saksi mengolah lahan dengan cara membakar

tidak diperbolehkan oleh pemerintah.

Terhadap keterangan saksi, Terdakwa tidak keberatan dan

membenarkannya.

b. Saksi AWAL HAJI Alias AWAL Bin AHMAD di bawah sumpah

pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa awalnya pada hari Kamis tanggal 1 Februari 2018 sekitar

pukul 08.30 WIB saat saksi akan menuju lokasi kerja di Kanal

2503, saksi melihat kepulan asap dari kejauhan, lalu saksi dan

rekan lainnya berinisiatif untuk mencari sumber asap dan

tepatnya di Comp K551 PT. RAPP Estate Meranti, Desa Pulau

Universitas Bung Karno


132

Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, saksi

bersama rekan saksi menemukan adanya kebun Karet dan lahan

kosong yang terbakar, kemudian saksi langsung melaporkan

kepada sdr. Nanang S., selaku Manager Platation, setelah itu

saksi bersama rekan lainnya langsung melakukan tindakan awal

berupa pembuatan sekat bakar dan pemadaman dengan

menggunakan ranting dan kayu-kayu agar kebakaran tidak

meluas. Lebih kurang 30 menit kemudian tim Safety Fire datang

dengan membawa peralatan pemadaman dan langsung

melakukan pemadaman terhadap api. Api berhasil dipadamkan

selama ± 1 x 24 dan dilanjutkan dengan proses pendinginan

sampai hari Sabtu, tanggal 3 Februari 2018 sampai api berhasil

dipadamkan secara total.

- Bahwa lahan yang terbakar adalah kebun karet yang berusia ± 3

(tiga) tahun dan lahan kosong, di mana di sekitar tananam karet

terdapat bekas imasan yang kemungkinan akan dijadikan lahan

untuk menanam tanaman cabe.

- Bahwa setahu saksi lahan yang terbakar tersebut adalah milik

PT. RAPP.

Universitas Bung Karno


133

- Bahwa saksi tidak mengetahui apakah Terdakwa ada atau tidak

di lokasi lahan terbakar tersebut.

- Bahwa di sekitar lokasi lahan yang terbakar ada sebuah pondok

yang jaraknya ± 50 (lima puluh) meter dan di dalam pondok

tersebut terdapat 3 (tiga) orang anak perempuan dan berdasarkan

keterangan warga yang ikut membantu memadamkan api 3

(tiga) orang anak perempuan tersebut merupakan anak

Terdakwa dan menurut pengakuan dari anak Terdakwa tersebut,

Terdakwa saat itu sedang keluar.

Terhadap keterangan saksi, Terdakwa tidak keberatan dan

membenarkannya.

c. Saksi MARSUDI JOKO PAMUNGKAS Alias MARSUDI di

bawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa kebakaran lahan tersebut terjadi pada hari kamis tanggal

1 Februari 2018 sekitar pukul 09.00 WIB bertempat di

Compartement K551 PT. RAPP Estate Meranti, Desa Pulau

Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan.

- Bahwa setahu saksi lahan yang dibakar oleh Terdakwa adalah

milik PT. RAPP.

Universitas Bung Karno


134

- Bahwa awalnya saksi dapat mengetahui adanya kebakaran lahan

tersebut dari saksi Awal Haji, yang mana saya diberitahu oleh

saksi awal haji bahwa telah terjadi kebakaran yang bertempat di

Compartement K551 PT. RAPP Estate Meranti, Desa Pulau

Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan.

- Bahwa saksi sebagai kepala bagian plening mempunyai tugas

mengambil titik koordinat dan memberikan laporan secara

tertulis kepada manajer palning yaitu harian dan bulanan.

- Bahwa saksi mengambil titikkoordinat dengan cara turun

langsung kelahan yang terbakar, dan berdasarkan titik koordinat

yang saksi ambil, luas areal yang terbakar ± 5 (llima hektar).

- Bahwa titik koordinat yang saksi ambil yakni: X.1020

48’09.693”E Y.00 20’33.206”N, X.1020 48’02.252”E Y.00

20’29.789”N, X.1020 47’56.409”E Y.00 20’26.149”N,X.1020

48’02.804”E Y.00 20’21.108”N

- Bahwa sebelumnya tidak ada lahan sekitar yang terbakar.

Terhadap keterangan saksi, Terdakwa tidak keberatan dan

membenarkannya.

d. Saksi DEDI GOESMAN, S.H., di bawah sumpah pada pokoknya

menerangkan sebagai berikut:

Universitas Bung Karno


135

- Bahwa Pembakaran lahan tersebut terjadi pada hari kamis

tanggal 1 Februari 2018 sekira pukul 09.00 WIB bertempat di

Compartement K551 PT. RAPP Estate Meranti, Desa Pulau

Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan.

- Bahwa saksi tidak melihat secara lansung kejadian tersebut.

- Bahwa saksi turun langsung ke tempat kejadian.

- Bahwa pada saat saksi ke tempat kejadian tidak ada Terdakwa.

- Bahwa di dekat tempat kejadian ada pemukiman masyarakat.

- Bahwa di tempat kejadian belum ada tanamannya.

- Bahwa tujuan Terdakwa membakar lahan tersebut yakni untuk

membuka lahan pertanian.

- Bahwa jenis tanah lahan yang terbakar tersebut yakni, tanah

gambut.

- Bahwa kebakaran tersebut mulai terjadi masih dihari yang sama.

- Bahwa lahan yang terbakar tersebut sebih kurang 5 (lima)

hektar.

- Bahwa Terdakwa mengakui bahwa ia yang telah membakar

lahan tersebut.

- Bahwa sebagian lahan ada yang ditanami karet, sebagian masih

semak.

Universitas Bung Karno


136

- Bahwa lahan tersebut dibakar untuk ditanami palawija.

- Bahwa membakar lahan tidak diperbolehkan oleh pemerintah.

- Bahwa Terdakwa tidak ada izin dari pihak yang berwenang

untuk membakar lahan tersebut.

- Bahwa menurut keterangan Terdakwa ia melakukan

pembakaran seorang diri.

Terhadap keterangan saksi, Terdakwa tidak keberatan dan

membenarkannya.

e. Saksi INDRA LUMBAN TOBING di bawah sumpah pada

pokoknya menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa Pembakaran lahan tersebut terjadi pada hari kamis

tanggal 1 Februari 2018 sekira pukul 09.00 WIB bertempat di

Compartement K551 PT. RAPP Estate Meranti, Desa Pulau

Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan.

- Bahwa saksi tidak melihat secara lansung kejadian tersebut.

- Bahwa saksi turun langsung ke tempat kejadian.

- Bahwa pada saat saksi ke tempat kejadian tidak ada Terdakwa.

- Bahwa di dekat tempat kejadian ada pemukiman masyarakat.

- Bahwa di tempat kejadian belum ada tanamannya.

Universitas Bung Karno


137

- Bahwa tujuan Terdakwa membakar lahan tersebut yakni untuk

membuka lahan pertanian.

- Bahwa jenis tanah lahan yang terbakar tersebut yakni, tanah

gambut.

- Bahwa kebakaran tersebut mulai terjadi masih dihari yang sama.

- Bahwa lahan yang terbakar tersebut ±5 (lima) hektar.

- Bahwa Terdakwa mengakui bahwa ia yang telah membakar

lahan tersebut.

- Bahwa sebagian lahan ada yang ditanami karet, sebagian masih

semak.

- Bahwa lahan tersebut dibakar untuk ditanami palawija.

- Bahwa membakar lahan tidak diperbolehkan oleh pemerintah.

- Bahwa Terdakwa tidak ada izin dari pihak yang berwenang

untuk membakar lahan tersebut.

- Bahwa menurut keterangan Terdakwa, bahwa Terdakwa

melakukan pembakaran seorang diri.

Terhadap keterangan saksi, Terdakwa tidak keberatan dan

membenarkannya.

Selain saksi-saksi yang telah dihadirkan tersebut di atas, Penuntut

Umum juga telah menghadirkan Saksi Ahli sebagai berikut:

Universitas Bung Karno


138

a. Ahli M. SYAFRI Bin M. NUR di bawah sumpah pada pokoknya

menerangkan sebagai berikut:

- Bahwa ahli sebelumnya pernah memberikan pendapat di

hadapan penyidik dan pendapat ahli yang saksi sampaikan

kepada penyidik tersebut sebagaimana apa yang ahli ketahui.

- Bahwa hubungan ahli dalam perkara ini, karena ahli sebelumnya

diminta oleh pihak kepolisian untuk memetakan dan mengambil

titik koordinat terhadap lahan yang telah terbakar.

- Bahwa ahli turun ke lapangan untuk mengambil titik koordinat

bersama dengan pihak kepolisian POLRES Pelalawan;

- Bahwa pembakaran lahan tersebut terjadi di Compartement

K551 PT. RAPP Estate Meranti, Desa Pulau Muda, Kecamatan

Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan dan lahan yang terbakar

tersebut merupakan hutan konservasi yang dikelola oleh

perusahaan berbadan hukum.

- Bahwa dasar ahli menyatakan bahwa lahan yang terbakar

tersebut lahan konservasi yakni berdasarkan SK menteri

kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 dalam peta tata guna hutan

kesepakatan provinsi Riau, bahwa wilayah yang terbakar

tersebut masuk dalam hutan konservasi.

Universitas Bung Karno


139

- Bahwa hutan konservasi tidak boleh dikelola oleh masyarakat.

Terhadap keterangan ahli tersebut di atas, Terdakwa

menyatakan tidak tahu.

4. Barang Bukti

Penuntut Umum dalam tindak pidana yang dilakukan oleh

Terdakwa telah mengajukan barang bukti sebagai berikut:

a. 1 (satu) buah mancis warna orange;

b. 1 (satu) batang potongan kayu bekas terbakar ;

B. Pertimbangan Hukum

Berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang diajukan diperoleh

fakta-fakta hukum sebagai berikut:

1. Bahwa benar, Terdakwa dihadapkan kepersidangan karena pembakaran

lahan.

2. Bahwa benar, Terdakwa pernah diperiksa dan menandatangani BAP di

kepolisian.

3. Bahwa benar, Terdakwa dalam memberikan keterangan di kepolisian

tidak dipaksa, dipukul dan diarahkan.

Universitas Bung Karno


140

4. Bahwa benar, keterangan Terdakwa dalam berita acara penyidik adalah

benar adanya dan bersesuaian dengan keterangan Terdakwa selama di

persidangan dengan memberikan keterangan yang pada pokoknya

sebagai berikut:

a. Terdakwa dihadapkan ke persidangan karena pembakaran lahan.

b. Terdakwa pernah diperiksa dan menandatangani BAP di

kepolisian.

c. Terdakwa dalam memberikan keterangan di kepolisian tidak di

paksa, dipukul dan diarahkan.

d. Keterangan Terdakwa dalam berita acara penyidik benar.

e. Terdakwa yang telah melakukan pembakar lahan tersebut.

f. Pembakaran tersebut yang baru Terdakwa ketahui pada hari Jumat

tanggal 1 Februari 2018 sekitar pukul 09.00 WIB bertempat di

Compertemen K551 PT. RAPP Estate Meranti, Desa Pulau Muda,

Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan.

g. Tujuan Terdakwa membakar lahan tersebut hanya untuk

membersihkan lahan guna menanam cabe.

h. Lahan milik Terdakwa seluas 2 (dua) hektar.

i. Lahan yang terbakar lebih kurang 4 (empat) hektar.

Universitas Bung Karno


141

j. Lahan tersebut sebagian ditanami karet dan sebagian masih semak

belukar.

k. Awalnya Terdakwa hanya membakar untuk ditanimi cabe

kemudian apinya merambat sehingga membakar lahan seluas 4

(empat) hektar tersebut.

l. Untuk membakar lahan tersebut Terdakwa menggunakan

mascis/korek api.

m. Lahan tersebut Terdakwa beli dari abang.

n. Terdakwa mengetahui larangan membakar lahan.

o. Terdakwa tidak ada izin dari pihak yang berwenang untuk

membakar lahan.

p. Terdakwa mengakui kesalahan yang telah dilakukan.

q. Terdakwa menyesali perbuatan yang telah Terdakwa lakukan.

Selanjutnya Majelis Hakim mempertimbangkan apakah berdasarkan

fakta-fakta hukum tersebut di atas, Terdakwa dapat dinyatakan telah

melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang

berbentuk alternatif, sehingga Majelis Hakim dengan memperhatikan fakta-

fakta hukum tersebut di atas memilih langsung dakwaan alternatif ke tiga

sebagaimana diatur dalam Pasal 99 Ayat (1) Undang-Undang Republik

Universitas Bung Karno


142

Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

1. Setiap Orang.

2. Karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara

ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup.

Terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim mempertimbangkan

sebagai berikut:

Ad.1. Unsur Setiap Orang ;

Yang dimaksud dengan Setiap Orang adalah ditujukan kepada

subjek hukum manusia atau orang sebagai pembawa hak dan

kewajiban seseorang yang kepadanya dapat dimintakan

pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan, yang setelah

diperiksa di persidangan ternyata identitas Terdakwa telah sesuai

dengan identitas yang tercantum dalam Surat Dakwaan Penuntut

Umum serta Berkas Perkara dan Terdakwa selama pemeriksaan di

persidangan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta setelah

diperiksa identitasnya mangaku bernama MUHAMMAD

SAWIRUDIN Alias UDIN Bin DAENG PATAPPU (Alm) dan

Terdakwa membenarkan serta tidak keberatan dengan identitasnya

Universitas Bung Karno


143

sebagaimana dalam surat dakwaan serta Terdakwa adalah orang

yang cakap dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya

menurut hukum serta lancar menjawab seluruh pertanyaan Hakim,

Penuntut Umum, serta dalam pemeriksaan di persidangan tidak

diketemukan adanya alasan-alasan yang dapat menghapuskan

pidana terhadap diri Terdakwa yaitu alasan pembenar dan pemaaf,

yang menurut fakta yang ada dan keterangan saksi-saksi serta

keterangan Terdakwa.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka Majelis

Hakim beRp.endapat bahwa unsur Ad.1 “Setiap Orang” telah

teRp.enuhi.

Ad.2. Unsur karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu

udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku

kerusakan lingkungan hidup

Yang dimaksud kelalaian berdasarkan pengertian beberapa ahli

yaitu: kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja

terjadi; tidak atau kurang menduga secara nyata (terlebih dahulu

kemungkinan munculnya) akibat fatal dari tindakan orang tersebut -

padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya dilakukan;

suatu sikap bathin ketika melakukan suatu perbuatan yang berbentuk

Universitas Bung Karno


144

sifat kekurang hati-hatian yang bersangkutan baik akibat tidak

memikirkan akan timbulnya suatu risiko, padahal seharusnya hal itu

dipikirkannya (kelalaian yang tidak disadari) mampu memikirkan

tentang tidak akan timbulnya suatu risiko yang pada kejadian

tersebut risiko tersebut timbul (kelalaian yang disadari).

Yang dimaksud dengan dilampauinya baku mutu udara

ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku

kerusakan lingkungan hidup adalah: ambang batas kadar maksimum

suatu zat atau bahan yang diperbolehkan berada di lingkungan baik

di udara, air maupun air laut agar tidak menimbulkan dampak

negatif.

Berdasar fakta yang terungkap dalam persidangan dari

keterangan saksi-saksi dan Terdakwa menyatakan bahwa pada hari

Kamis tanggal 1 Februari 2018 sekira pukul 06.00 WIB bertempat di

Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan

sebelum melakukan pembakaran lahan tersebut, awalnya Terdakwa

membersihkan rerumputan dan ranting kayu dengan luas lebih

kurang 3 meter x 5 Meter untuk Terdakwa tanami cabe dengan

menggunakan parang, selanjutnya rerumputan dan ranting kayu

yang telah Terdakwa bersihkan tersebut kemudian Terdakwa

Universitas Bung Karno


145

kumpulkan menjadi satu serta membuat sekat bakar dengan ukuran

80 cm, selanjutnya Terdakwa membakar dengan menggunakan

mancis/korek serta Terdakwa sebelum melakukan pembakaran

tersebut menyadari bahwa lahan yang ia bakar merupakan lahan

gambut kering dan sudah 4 hari kondisi panas terik serta tidak turun

hujan.

Sebelum semua rerumputan dan ranting kayu habis terbakar

kemudian Terdakwa menyiram sisa pembakaran tersebut dengan air

lalu Terdakwa tinggalkan dengan kondisi masih berasap dan kembali

ke rumah/gubuk Terdakwa yang berjarak lebih kurang 50 m dari

lahan tersebut, kemudian Terdakwa pergi mencari ikan dan sekitar

pukul 13.00 WIB Terdakwa dijemput oleh sdr ROMY dengan

mengatakan kepada saya, “pulang dulu pak, lahan terbakar“

mendengar itu Terdakwa langsung pulang dan langsung kelahan

yang Terdakwa bakar itu, dan setelah Terdakwa lihat bahwa benar

lahan yang Terdakwa bakar itu telah mejalar dan Terdakwa lihat dari

pihak Perusahaan telah berupaya melakukan pemadaman kebakaran

lahan tersebut dengan menggunakan mesin, melihat itu Terdakwa

ikut membantu mereka.

Universitas Bung Karno


146

Karena kelalaian Terdakwa yang tidak menunggui lahan seluas

3 m x 5 m yang dibakarnya untuk Terdakwa jadikan lahan menanam

cabe benar-benar padam sebelum Terdakwa pergi meninggalkan

lokasi tersebut sehingga menjalar/meluas ke areal/lahan di

sekelilingnya yang ditumbuhi tanaman karet dan semak belukar.

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dan didukung

oleh data hasil pengamatan di lokasi kebakaran atas lokasi kebakaran

lahan di areal Compartement K551 PT. RAPP Estate Meranti, Desa

Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan yang

dilakukan Terdakwa diperoleh kesimpulan bahwa areal yang telah

terbakar adalah areal yang telah dipersiapkan untuk dibuka dalam

kegiatan penyiapan lahan dengan pembakaran sehingga tampak

lebih bersih dan memudahkan untuk melakukan kegiatan serta juga

untuk mendapatkan abu hasil pembakaran yang kaya mineral yang

dapat berfungsi sebagai pengganti pupuk untuk meningkatkan

pertumbuhan tanaman, ditemukan tumbuhan berkayu yang ditebas

secara sengaja sebelum pembakaran dilakukan, pada bagian

permukaan dari areal yang telah terbakar ditemukan log dan ranting

yang telah terbakar. Akibat tidak dilakukan pencegahan dengan baik,

maka kemudian api melompat ke areal non target sehingga areal

Universitas Bung Karno


147

yang terbakar bertambah luas serta ditemukan pula lahan bekas

terbakar yang ditanami.

Dengan adanya pembakaran lahan yang dilakukan oleh

Terdakwa, telah terjadi pencemaran akibat asap yang dihasilkan

selama pembakaran dan terjadi pula kerusakan lapisan permukaan

lahan gambut setebal rata-rata 5 - 10 cm. Lapisan yang rusak ini tidak

bisa dikembalikan lagi seperti awal, kalaupun bisa dikembalikan

maka akan dibutuhkan waktu ribuan tahun dengan syarat lokasi yang

terbakar tidak boleh diganggu, sehingga kerusakan ini jelas

mengganggu kehidupan manusia maupun makhluk hidup lainnya

karena salah satu fungsi tanah tersebut sebagai pengatur tata air yang

berfungsi normal dan itu dapat menimbulkan penurunan peluang

terjadinya masa pakai lahan yang terbakar tersebut sehingga tentu

saja akan mengurangi produktivitas lahan tersebut.

Selama pembakaran berlangsung telah pula dilepaskan gas-gas

rumah kaca yang melewati batas baku mutu yang diperkenankan.

Akibat terjadinya kebakaran, maka telah dilepaskan gas rumah kaca

berupa 0,675 ton karbon ; 0,24 ton CO2; 0,025 ton CH4; 0,0011 ton

NOx; 0,003 ton NH3; 0,0025 ton O3 dan 0,044 ton CO serta 0,05 ton

partikel. Gas-gas rumah kaca yang dilepaskan selama kebakaran

Universitas Bung Karno


148

berlangsung telah melewati batas ambang pembakaran telah

mencemarkan lingkungan di lahan terbakar dan sekitarnya. Selain

gas rumah kaca yang dilepaskan selama kebakaran berlangsung,

maka panas yang tinggi di permukaan telah merusak lapisan

permukaan dengan ketebalan rata-rata sekitar 5-10 cm sehingga akan

mengganggu siklus hidro-orologis pada lahan yang telah terbakar

tersebut. Kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya pembukaan

lahan dengan pembakaran pada areal seluas 5,70 ha adalah

Rp.3.538.979.373 (tiga milyar lima ratus tiga puluh delapan juta

sembilan ratus tujuh puluh sembilan ribu tiga ratus tujuh puluh tiga

rupiah).

Hasil pengamatan lapangan dan analisa kerusakan tanah

menunjukkan bahwa memang pada lokasi lahan terbakar telah terjadi

perusakan tanah dan lingkungan karena telah masuk kriteria baku

kerusakan (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4

Tahun 2001) untuk kriteria kerusakan parameter keragaman spesies

dan populasi fauna/binatang tanah dan hasil analisa di Laboratorium

Bioteknologi Lingkungan (ICBB) telah terjadi kerusakan tanah

karena telah masuk kriteria baku kerusakan (Peraturan Pemerintah

Universitas Bung Karno


149

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001) untuk parameter pH, C

organik, N total, kadar air dan bobot isi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, oleh karena itu

unsur Ad. 2 karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku

mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria

baku kerusakan lingkungan hidup telah teRp.enuhi.

Oleh karena semua unsur dari Pasal 99 ayat (1) Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah teRp.enuhi,

maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan

meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan

dalam dakwaan alternatif ketiga.

Dalam perkara ini terhadap Terdakwa telah dikenakan

penangkapan dan penahanan yang sah, maka masa penangkapan dan

penahanan tersebut harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang

dijatuhkan.

Oleh karena Terdakwa ditahan dan penahanan terhadap

Terdakwa dilandasi alasan yang cukup, maka perlu ditetapkan agar

Terdakwa tetap berada dalam tahanan.

Universitas Bung Karno


150

Terhadap barang bukti yang diajukan di persidangan untuk

selanjutnya dipertimbangkan sebagai berikut:

1) Barang bukti berupa 1 (satu) buah mancis/korek api warna

orange, 1 (satu) batang potongan kayu bekas terbakar yang telah

dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan dikhawatirkan

akan dipergunakan untuk mengulangi kejahatan, maka perlu

ditetapkan agar barang bukti tersebut dimusnahkan.

2) Untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa, maka perlu

dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan

dan yang meringankan Terdakwa, sebagai berikut:

a. Keadaan yang memberatkan:

- Perbuatan Terdakwa mengakibatkan kerusakan lapisan

permukaan lahan gambut.

- Perbuatan Terdakwa melewati batas ambang

pembakaran yang berdampak terhadap pencemaran

lingkungan.

b. Keadaan yang meringankan:

- Terdakwa menyesal dan berjanji tidak akan mengulangi

lagi perbuatannya.

Universitas Bung Karno


151

- Terdakwa mengaku terus terang perbuatannya, sopan

serta tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan

di depan persidangan.

3) Oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana maka haruslah dibebani

pula untuk membayar biaya perkara.

C. Putusan Majelis Hakim

Majelis Hakim Perkatra Nomor 97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw. yang

terdiri dari Nelson Angkat, S.H., M.H., sebagai Hakim Ketua, Ria Ayu

Rosalin, S.H., M.H., dan Andry Eswin Sugandhi Oetara, S.H., M.H.,

masing-masing sebagai Hakim Anggota serta dibantu oleh Doni Eka Putra,

S.H., M.H., Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Pelalawan, dalam

memutuskan perkara tersebut mengacu pada Pasal 99 ayat (1) Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta

peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan, yang diucapkan

dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Rabu, tanggal 18 Juli 2018, di

mana telah dihadiri oleh Nofwandi, S.H., Penuntut Umum dan Terdakwa

didampingi Penasihat Hukumnya dengan amar putusan sebagai berikut:

Universitas Bung Karno


152

MENGADILI:
1. Menyatakan Terdakwa Muhammad Sawirudin Alias Udin Bin Daeng
Patappu tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “karena kelalaiannya mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air
laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup” sebagaimana
dalam dakwaan alternatif ketiga.
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp.1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak
dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan ;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan ;
5. Menetapkan barang bukti berupa:
- 1 (satu) buah mancis/korek api warna orange, dan
- 1 (satu) batang potongan kayu bekas terbakar,
dimusnahkan.
6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp.5.000,00 (lima ribu rupiah).

D. Analisa Kasus

Perkara pidana pembakaran lahan kebun karet dan lahan gambut serta

semak belukar yang berlokasi di Compartement K551 PT. RAPP Estate

Meranti, Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten

Pelalawan ini menyeret MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN, petani

setempat yang pada saat itu telah membakar lahan miliknya sendiri dalam

rangka membuka dan menyiapkan lahan (membersihkan lahan) guna

keperluan menanam cabe. MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN

Universitas Bung Karno


153

didakwa melamnggar Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup, yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu

udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku

kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 99 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009:

“Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampaui-


nya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”

Pada tanggal 18 Juli 2018, melalui Putusan Nomor

97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw., MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN

dituntut hukuman pidana dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan

denda sebesar Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan

apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan

selama 3 (tiga) bulan.

Sebagaimana diketahui MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN

melakukan pembakaran di kebunnya miliknya sendiri, namun karena

kelalaiannya api tersebut menjalar hingga ke area yang lebih luas dan

merugikan pihak ketiga dalam hal ini adalah PT. RAPP Estate Meranti,

Universitas Bung Karno


154

yang berlokasi di Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten

Pelalawan.

Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, tergambar bahwa

MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN mengakui sendiri kesalahannya

yang telah lalai di dalam menjalankan usaha bercocok tanam cabe dengan

jalan melakukan pembakaran untuk membersihkan area tanamnya, dan

bahkan tidak membantah atas perbuatannya tersebut, ditambah lagi dengan

pernyataan penyesalan yang disampaikan oleh MUHAMMAD

SAWIRUDIN Alias UDIN kepada Majelis Hakim, maka menurut

padanngan penulis vonis hukuman bersalah yang dijatuhkan kepada

MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN dengan menggunakan Pasal 99

ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah sudah

tepat, karena dengan demikian maka akan menjadi preseden bagi petani

lainnya agar tidak melakukan hal yang serupa di dalam melakukan usaha

pertaniannya.

Adapun terkait dengan beratnya hukuman yang diberikan berupa

pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar

Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda

tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga)

Universitas Bung Karno


155

bulan, menurut penulis kurang memenuhi rasa keadilan sebab apa yang

dilakukan oleh MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN bukanlah suatu

kesengajaan dan tidak memiliki mens rea untuk merugikan pihak ketiga

apalagi sampai membakar hutan atau sampai merusak lingkungan.

Bila dibandingkan dengan putusan yang dijatuhkan kepada para

pengusaha yang “sengaja” melakukan pembakaran hutan dan telah

memberikan dampak buruk bagi kesehatan dan kerusakan lingkungan,

bahkan merusak citra dan nama baik bangsa Indonesia, rasanya putusan

tersebut terlalu berlebihan. Disparitas putusan ini bisa terlihat antara si

miskin Busrin misalnya dengan perusahaan PT NSP. Busrin karena telah

menebang kayu mangrove di Desa Pesisir, Kecamatan Sumberasih,

Probolinggo, Jawa Timur, pada 16 Juli 2014 dengan tujuan bahwa kayu itu

akan digunakan untuk kayu bakar agar dapurnya tetap ngebul, sebab, kuli

pengangkut pasir itu tidak mempunyai uang membeli tabung gas 3 kg. harus

dihukum untuk meringkuk selama 2 tahun. Tidak hanya itu, Busrin juga

dihukum membayar denda Rp 2 miliar. Denda yang tidak logis karena untuk

membeli tabung gas 3 kg saja Busrin tidak mampu. Sebagai tebusannya,

Busrin harus meringkuk satu tahun di penjara lagi sebagai penggantinya.

Beda Busrin, beda pula yang dialami oleh PT NSP. Jaksa mendakwa

PT NSP membakar hutan di lima desa di Meranti, Riau dan mengakibatkan

Universitas Bung Karno


156

kabut asap di Sumatera dan mampir ke Singapura dan Malaysia. Atas

perbuatan PT NSP, jaksa menuntut Manajer Cabang PT NSP Erwin selama

6 tahun penjara dan Manajer PT NSP, Nowo selama 1,5 tahun penjara.

Selain itu, PT NSP juga dituntut membayar denda Rp 2 miliar plus dana

pemulihan lahan Rp 1 triliun. Apa daya, PN Bengkalis membebaskan Erwin

dan Nowo dan PT NSP hanya didenda Rp 2 miliar. Jika Busrin yang hanya

menebang pohon untuk kayu bakar dihukum 2 tahun dan denda Rp 2 miliar,

mengapa perusahaan yang membakar hutan hanya didenda Rp 2 miliar dan

bosnya dibiarkan bebas?

Begitu pula yang dialami oleh MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias

UDIN, yang hanya karena kelalaiannya dan tidak sampai membuat asap

pembakaran yang dilakukannya bertebaran merusak warga kota atau bahkan

sampai ke Malaysia atau Singapore, harus menerima hukum penjara hingga

2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan

pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Mestinya, hukuman yang dijatuhkan kepada MUHAMMAD

SAWIRUDIN Alias UDIN jauh lebih ringan dengan pertimbangan bahwa,

MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN sebagai petani yang miskin

akan informasi sejak awal bisa difasilitasi oleh kementerian pertanian

Universitas Bung Karno


157

melalui para aparatur di lapangan sebagai wujud dari sosialisasi terhadap

larangan pembakaran lahan di dalam proses pengolahan lahan pertanian.

Oleh karena itu, Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Nomor

97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw. kurang tepat karena meskipun Majelis Hakim

telah mempertimbangkan Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, namun Majelis Hakim tidak memperhatikan asas

kesalahan (culpabilitas). Untuk itu, seharusnya penjatuhan hukuman berupa

kurungan dan denda dapat diganti dengan sanksi lain yang lebih produktif

seperti mewajibkan Terdakwa untuk melakukan penghijauan 2 x luas yang

telah diakibatkan oleh pembakaran lahan tersebut. Dengan demikian maka efek

jera dan sekaligus efek manfaat dari hukuman tersebut langsung dapat

dirasakan.

Universitas Bung Karno


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pemaparan yang telah disampaikan oleh penulis, dapatlah ditarik

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengadilan Negeri Pelalawan dalam menjatuhkan putusan terhadap

kasus tindak pidana pembakaran hutan dalam perkara Nomor

97/Pid.B/LH/2018/PN.Plw sudah sesuai dengan ketentuan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009, meskipun

pemberian sanksi atas kesalahan Terdakwa masih dinilai terjadi

ketimpangan dan disparitas bila dibandingkan dengan kasus-kasus

serupa yang dilakukan oleh korporat atau petinggi perusahaan.

2. Dengan demikian maka Putusan hakim Pengadilan Negeri Pelalawan

terhadap tindak pidana pembakaran hutan dalam Perkara Nomor

97/Pid.B/LH/2018/ PN.Plw belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan

pada masyarakat akibat terjadinya disparitas besaran sanksi yang

diberikan terhadap pelaku kelas kakap dengan pelaku yang hanya

karena ketidaksengajaan hingga terjadinya kebakaran hutan.

158 Universitas Bung Karno


159

B. Saran

Adapun saran-saran yang dapat diberikan oleh penulis dalam studi

kasus perkara pidana pembakaran lahan kebun karet dan lahan gambut serta

semak belukar yang berlokasi di Compartement K551 PT. RAPP Estate

Meranti, Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten

Pelalawan ini menyeret MUHAMMAD SAWIRUDIN Alias UDIN, petani

setempat adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009,

selayaknya memberikan sanksi alternatif berupa sanksi sosial yang

hukumannya dirasa seimbang atau bahkan jauh lebih berat

dibandingkan hanya sekedar sanksi berupa hukuman fisik dan denda,

misalnya dengan mewajibkan para pelaku untuk mengembalikan

kondisi hutan dan lahan yang telah dibakar tersebut dalam luasan 2 kali

lebih luas dari yang terbakar menjadi hijau kembali. Dengan demikian

maka para pelaku selain akan memikul beban tanggug jawab tersebut,

juga bagi negara dan masyarakat akan memperoleh manfaat langsung

dari sanksi yang dijalankan oleh para pelaku pembakaran tersebut.

2. Sanksi tambahan atau sanksi alternatif tersebut, tentunya akan

memberikan dampak yang positif dan terasa lebih adil bagi kita semua

karena jumlah hukuman akan sebanding dengan jumlah efek dari

Universitas Bung Karno


160

pembakaran yang telah dilakukan oleh para pelaku sebab penentuan

hukuman adalah didasarkan kepada luas lahan yang terbakar. Dengan

demikian, maka diharapkan para calon-calon pelaku lainnya akan

berpikir kembali jika ingin melakukan hal serupa di kemudian hari.

Universitas Bung Karno


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Akib, Muhammad, Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional, PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Andrisman, Tri, Hukum Pidana, Universitas Lampung, Bandar lampung,

2007.

Araya, Yulanto, Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Di Tengah Pesatnya

Pembangunan Nasional, vol 10 No 1, 2013.

Arief, Barda Nawawi, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian

Cyber Crime di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Daliyo, J.B., S.H, Pengantar Hukum Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa,

PT. Prenhallindo, Jakarta, 2001.

Danusaputro, St. Munadjat, Hukum Pidana Horizon Baru Pasca Reformasi,

PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011.

Dodi, Nandika, Hutan Bagi Ketahanan Nasional, Muhammadiyah

University Press, Surakarta, 2005.

Eko, Supriyadi Bambang, Hukum Agraria Kehutanan: Aspek Hukum

Pertanahan Dalam Pengelolaan Hutan Negara, Rajawali Pers,

Jakarta, 2013.

161 Universitas Bung Karno


162

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1997.

Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, edisi keempat,

Gadjah Mada Unversity Press, 1998.

Husein, Harun. M., Lingkungan Hidup, Masalah, Pengelolaan dan

Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.

Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1997.

____________ dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang

Ditujukan Terdapat Hak Milik, Umm Press, Malang, 1981.

Mapaung, Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafrika,

Jakarta, 2005.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta,

2008.

Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Penerbangan Di Indonesia, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1983.

Priyatno, Dwidja, Kebijaksanaan Legislasi tentang Sistem

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Utomo,

Bandung, 2004.

Rahmadi, Takdir, Hukum Lingkungan Di Indonesia, edisi kelima, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, September 2015.

Universitas Bung Karno


163

Setiyono, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2004.

Siahaan, NHT, Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan,

Erlangga, Jakarta, 1987.

Siswanto, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian

Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005.

Soemarwoto, Otto, Ekologi, Lingkungan hidup dan Pembangunan,

Djambatan, Jakarta, 1989.

Stewart, Richard and James E. Krier, Environmental Law and Policy, The

Bobbs Merril Co. Inc, Indianapolis, New York, 1978.

Sudarto, Hukum Pidana I, cetakan kedua, Yayasan Sudarto d/s Fakultas

Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1990.

Sufiyati, Sri dan Munsyarif Abdul Chalim, Kebijakan Hukum Pidana

Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Jurnal

Hukum , Vol. 12, 2017.

Zain, Alam Setia, Hukum Lingkungan dan Segi-Segi Pidana, PT Rineka

Cipta, Jakarta, 1997.

B. Website

http://ahsanulwalidain.blogspot.com/2012/10/jenis-jenis-tindak-

pidana.html

Universitas Bung Karno


164

http://digilib.unila.ac.id/

https://eprints.ums.ac.id

http://pusathukum.blogspot.com/2015/10/unsur-unsur-tindak-pidana.html

http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-

pidana.html

http://www.irsangusfrianto.com/p/pengertian-delik-aduan-dan-delik-

biasa.html

https://tipsserbaserbi.blogspot.com/2015

Kompasiana.com, Negara Membenarkan Pembukaan Lahan Dengan Cara

Dibakar, dalam http://www.kompasiana.com/alldie/negara-

membenarkan-pembukaan-lahan-dengan-cara-

dibakar_562b407b917a615a073fe578, Sabtu, 24 Oktober 2015,

Walhi, 2016, Keharusan Pembenahan Struktural Untuk Perbaikan Tata

Kelola, dalam http://www.walhi.or.id/wp-

content/uploads/2016/01/outlook2016_edit_1.pdf

B. Undang-Undang

UUD Republik Indonesia 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Crimineel Wetboek)

Universitas Bung Karno


165

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1984 tentang

Perindustrian.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah

Susun.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang

Kepariwisataan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang

Perumahan dan Permukiman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda

Cagar Budaya.

Universitas Bung Karno


166

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 tentang

Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem

Budi Daya Tanaman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu-

lintas dan Angkutan Jalan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 1992 tentang

Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang

Kesehatan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan

Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1997 tentang

Ketenaganukliran.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 tentang

Ketransmigrasian.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (telah dicabut dan diganti

Universitas Bung Karno


167

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang

Perikanan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (telah dicabut dan diganti

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang

Perkebunan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2000 tentang

Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang

Perlindungan Varietas Tanaman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas

Bumi.

Universitas Bung Karno


168

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang

Perkebunan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001 tentang

Pengendalian Kerusakan Dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup

Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan

Universitas Bung Karno


169

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Universitas Bung Karno

Anda mungkin juga menyukai