Anda di halaman 1dari 75

SKRIPSI

STUDI TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN ARAB SAUDI


TERHADAP SERANGAN PADA KEDUTAAN BESAR REPUBLIK
INDONESIA DI SANA’A, YAMAN

OLEH:

LUTHFI DHIAULWAJDI K ARAFAH

B 111 12 319

BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
HALAMAN JUDUL

STUDI TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN ARAB SAUDI


TERHADAP SERANGAN PADA KEDUTAAN BESAR REPUBLIK
INDONESIA DI SANA’A, YAMAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Usulan Penelitian dalam Rangka Penyusunan Skripsi


Pada Bagian Hukum Internasional Program Studi Ilmu Hukum

OLEH:

LUTHFI DHIAULWAJDI K ARAFAH


B111 12 319

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

i
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala

limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya yang senantiasa memberikan

petunjuk dan membimbing langkah penulis sehingga dapat

merampungkan skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir pada

jenjang Studi Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin.

Segenap kemampuan telah penulis curahkan demi kesempurnaan

penulisan skripsi ini. Namun demikian, sebagai manusia penulis tentunya

memiliki keterbatasan, tidak menutup kemungkinan masih ditemukan

banyak kekurangan. Oleh sebab itu, segala masukan dalam bentuk kritik

dan saran yang sifatnya membangun senantiasa penulis harapkan demi

kesempurnaan penulisan dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang

tak terhingga kepada keluargaku yang tercinta, yaitu kedua orang tua

penulis. kepada Ayahanda Kaharuddin Arafah dan Ibunda Asmawaty Aras

yang telah banyak memberi kasih sayang, dukungan baik moril maupun

materil, nasehat, dan doa sehingga perkuliahan dan penyusunan skripsi

ini dapat terlaksana dengan baik dan kepada adik-adikku yang tercinta,

v
Lulu Fauziah K.A, Lubna Rundangi K.A, dan Luthfiyah Ramadhani K.A

yang telah memberi semangat, dorongan dan motivasi kepada penulis.

Terima kasih pula penulis ucapkan kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu selaku Rektor Universitas

Hasanuddin, beserta staf dan jajarannya.

2. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas

Hukum, Beserta wakil dan jajarannya.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Ashri, S.H., M.H selaku pembimbing I

yang memberikan saran, bimbingan serta motivasi untuk menulis

sebaik mungkin, sehingga skripsi ini bisa menjadi lebih baik.

4. Bapak Dr. Maskun, S.H., LL.M selaku pembimbing II yang

meluangkan waktunya untuk memberikan saran dan bimbingan

dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. Syamsuddin Muhammad Noor, S.H., M.H., Bapak

Dr. Abdul Maasba Magassing, S.H., M.H., dan Ibu Birkah Latif,

S.H., M.H., LL.M. selaku dosen–dosen penguji yang telah

memberikan masukan dan saran-saran mulai dari rencana

penelitian hingga selesainya skripsi ini.

6. Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. selaku Penasehat

Akademik yang selama berkuliah telah memberikan wejangan-

wejangan yang bermanfaat bagi proses perkuliahan penulis.

7. Seluruh Dosen Fakultas Hukum yang telah mendidik dan

memberikan bimbingan selama masa perkuliahan.

vi
8. Kepala Bagian Umum Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian

Internasional Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Bapak

Zainul Idris Yunus, SE untuk dukungan dan perhatiannya kepada

penulis selama melakukan penelitian di Kementerian Luar Negeri

Republik Indonesia di Jakarta.

9. Kepala Bagian Penanggung jawab Arab Saudi Direktorat Jenderal

Timur Tengah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Bapak

Imad Yousry S.Hum., MA., untuk saran dan masukan serta

bantuannya kepada penulis dalam melakukan penelitian di

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia di Jakarta.

10. Sahabat dan teman seperjuangan di Halte Team, Abi Sarwan,

Acha, Fikar, Adnan, Ammad, Aldy, Alfin, Alif, Dasril, Angga, Baroni,

Bulqis, Dewa, Diko, Edo, Muammar, Edy, Fachrul, Ocan, Fajar,

Pikki, Fyan, Imam, Ciwal, Ifan, Hilman, Aam, Awal, Inton, Fairuz,

Tayeb, Owi, Pidu, Cuya, Ipul, Syaufi dan Jep atas dukungan dan

persaudaraan selama kuliah di Fakultas Hukum.

11. Sahabat dan teman seperjuangan di Paraparacu, Andi Rizqy

Ramadhani, Andi Inggil Makhrifah, Andi Kartika Ramadhani, Aning

Riani, Azhima Maricar, Eka Rini Septiana, Fauzan Zarkasi, Harry

Prasetya, Hawariyah Salman, Musdalifah Supriyadi, Ichwanul

Reiza, Maipa Deapati S, Muhammad Akmal Idrus, Muhammad

Fairuz A.S, Putri Nirina, Sadly Bakry, Sheila Masyitha Muchsen,

Ika Vebrianty Ramadhan, Fityathul Kahfi, dan Tri Putri Tami atas

vii
dukungan dan persaudaraan selama kuliah di Fakultas Hukum.

12. Sahabat seperjuangan, Puput Dwi Maharti, Kiki Parmit, dan

Irsalina Julia yang telah memberikan wejangan sebagai senior.

13. Teman-teman angkatan PETITUM 2012 yang selama ini bersama-

sama mengikuti pengkaderan dan proses perkuliahan di Fakultas

Hukum Unhas.

14. Teman-teman EX KOG Makassar yang selama ini tak henti-

hentinya memberi dukungan moril kepada penulis dalam

menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

15. Teman-teman KKN Internasional Gel. 90 Malaysia-Thailand, yang

telah bersama-sama melalui suka dan duka selama menjalani

proses KKN.

16. Keluarga Besar Gerakan Radikal Anti Tindak Pidana Korupsi

(GARDA TIPIKOR).

17. Keluarga Besar UKM Bola Basket Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin.

18. Keluarga Besar Internasional Law Study Assosiation (ILSA)

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

19. Segenap orang-orang yang telah mengambil bagian dalam

penyelesaian skripsi ini namun tidak sempat dituliskan namanya.

Terima kasih sebesar-besarnya.

viii
Penulis telah berupaya dengan semaksimal mungkin dalam

penyelesaian skripsi ini, namun penulis menyadari masih banyak

kelemahan baik dari segi isi maupun tata bahasa, untuk itu penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca

demi kesempurnaan skripsi ini. Kiranya isi skripsi ini dapat bermanfaat

bagi para pembaca pada umumnya dalam memperkaya khasanah ilmu

dan khususnya bagi para penegak hukum.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Penulis

Luthfi Dhiaulwajdi K Arafah

ix
ABSTRAK

LUTHFI DHIAULWAJDI K (B111 12 319), Studi Tentang


Pertanggungjawaban Arab Saudi Terhadap Serangan Pada Kedutaan
Besar Republik Indonesia di Sana’a, Yaman. Di bawah bimbingan
Muhammad Ashri selaku pembimbing I dan Maskun selaku pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami
pertanggungjawaban Arab Saudi atas serangan pada kedutaan besar
Republik Indonesia di Yaman menurut hukum internasional dan untuk
mengetahui serta memahami sikap pemerintah Indonesia menanggapi
serangan yang menghancurkan kantor kedutaan besarnya tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan di perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin di Makassar dengan menggunakan teknik dan
studi kepustakaan yang relevan yaitu literatur, dokumen-dokumen serta
peraturan yang terkait dengan masalah tersebut dan melakukan
wawancara kepada pihak terkait di kantor Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia di Jakarta.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pemerintah Arab Saudi wajib
bertanggung jawab atas insiden serangan yang menghancurkan kantor
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yaman karena terdapat perbuatan
atau kelalaian (act or omission) yang dapat dipertautkan (imputable)
kepada suatu negara, dan perbuatan atau kelalaian tersebut merupakan
pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional. Pemerintah Arab
Saudi wajib bertanggung jawab atas insiden serangan yang dilakukan
oleh pasukan militernya karena telah menyebabkan kerugian materil dan
immateril bagi Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini tidak dapat lagi
menjalankan aktivitas diplomatiknya karena gedung perwakilannya di
Yaman hancur.
Kata Kunci : Tanggung Jawab Negara, Kedutaan Besar Republik
Indonesia, Arab Saudi, di Yaman.

x
DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................... i

Lembar Pengesahan Skripsi ..................................................... ii

Persetujuan Menempuh Ujian Skripsi ...................................... iii

Persetujuan Pembimbing .......................................................... iv

Kata Pengantar .......................................................................... v

Abstrak ....................................................................................... x

Daftar Isi ..................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................ 7

C. Tujuan Penelitian .............................................................. 8

D. Manfaat Penelitian ............................................................ 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................... 9

A. Pengertian Tanggung Jawab Negara ............................... 9

B. Lahirnya Tanggung Jawab Negara .................................. 10

C. Teori Kesalahan ............................................................... 17

D. Pemohon Tanggung Jawab Negara ................................. 19

E. Macam-macam Tanggung Jawab Negara ........................ 21

F. Pengecualian Tanggung Jawab Negara ........................... 26

G. Tanggung Jawab Negara Dalam Hukum Diplomatik ......... 28

xi
H. Posisi Kasus ..................................................................... 31

I. Kasus Sejenis ................................................................... 32

BAB III METODE PENELITIAN ................................................... 36

A. Lokasi Penelitian ............................................................... 36

B. Jenis dan Sumber Data ..................................................... 36

C. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 37

D. Teknik Analisis Data .......................................................... 37

BAB IV PEMBAHASAN .............................................................. 38

A. Pertanggung Jawaban Arab Saudi Atas Serangan Pada

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yaman ................. 38

B. Sikap Pemerintah Indonesia Atas Serangan Pada

Kedutaan Besarnya Di Yaman .......................................... 51

BAB V PENUTUP ....................................................................... 58

A. Kesimpulan ....................................................................... 58

B. Saran ................................................................................ 59

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 61

LAMPIRAN

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum internasional pada dasarnya ditujukan untuk mengatur

hubungan negara-negara dalam ruang lingkup internasional, terutama

dilakukan oleh negara sebagai subjek hukum internasional. Di dalam

hukum internasional, tidak ada badan-badan yang memiliki otoritas

membuat dan memaksakan suatu aturan internasional, tidak ada aparat

penegak hukum yang berwenang menindak langsung negara yang

melanggar hukum internasional. Namun demikian, ternyata masyarakat

internasional dapat menerima hukum internasional sebagai hukum yang

sesungguhnya yang dapat menciptakan keamanan dan kedamaian di

dunia.

Adanya pengakuan terhadap eksistensi hukum internasional

sebagai hukum yang sesungguhnya dikarenakan adanya kebiasaan dari

masyarakat internasional itu sendiri. Kebiasaan internasional merupakan

sumber hukum yang terpenting dari hukum internasional. 1 Kebiasaan-

kebiasaan yang sering dilakukan oleh masyarakat internasional

menimbulkan pemahaman bahwa apa yang dilakukan tersebut sejatinya

benar dan dapat diterima oleh masyarakat. Sedangkan apa yang

dilakukan berbeda dengan kebiasaan masyarakat dan dianggap tidak

1
Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, hlm.
143.

1
dapat diterima oleh masyarakat internasional sejatinya adalah perbuatan

salah dan dianggap melanggar hukum. Banyaknya pelanggaran yang

dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya menimbulkan

pertanyaan bahwa hukum internasional apa yang dapat mengaturnya,

sedangkan disisi lain pelanggaran yang dilakukan tersebut dianggap

benar oleh pelakunya dikarenakan terdapat kepentingan tersendiri dari

negara pelaku sehingga apa yang dilakukannya merupakan suatu

kebutuhan. Oleh karena itu, dalam hukum internasional dibuatlah aturan-

aturan yang mengatur tentang bagaimana melakukan kegiatan

internasional antarnegara yang dituangkan dalam sebuah perjanjian-

perjanjian internasional. Perjanjian internasional dewasa ini merupakan

salah satu sumber hukum internasional yang paling penting. Hal ini

disebabkan perjanjian internasional merupakan alat diplomasi yang belum

tergantikan, disamping memiliki kelebihan dan tidak mengandung banyak

permasalahan, sebagaimana terdapat pada hukum kebiasaan

internasional.2

Dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban antarnegara

serta meningkatkan kerjasama dalam melakukan hubungan internasional,

setiap negara mengirim delegasi mereka berupa utusan diplomatik ke

setiap negara. Fungsi utama dari utusan diplomatik ini ialah untuk

meningkatkan hubungan informasi dan persahabatan antarnegara. Utusan

diplomatik ini juga memiliki peran sebagai perwakilan perlindungan


2
Muhammad Ashri, 2012, Hukum Perjanjian Internasional (Dari Pembentukan Hingga Akhir
Berlakunya), Arus Timur, Makassar, hlm. 1.

2
terhadap warga negara disuatu negara penerima utusan diplomatik.

tentunya negara penerima utusan diplomatik serta negara pengirim

tersebut haruslah tunduk pada aturan hukum diplomatik.

Dengan adanya suatu bentuk peningkatan hubungan kerjasama

internasional berupa hubungan diplomatik ini, maka dibuatlah suatu

perjanjian mengenai kegiatan diplomatik yang dituangkan dalam Konvensi

Wina 1961. Didalam hukum diplomatik, dikenal dengan adanya hak-hak

istimewa dan kekebalan terhadap utusan diplomatik. Hak-hak istimewa

dan kekebalan yang berkaitan dengan personil diplomatik dari berbagai

jenis tumbuh sebagian sebagai konsekuensi dari kekebalan hukum dan

kemerdekaan serta kesetaraan negara, dan sebagian sebagai kebutuhan

penting dari sistem internasional. Di dalam Konvensi Wina 1961 telah

diatur mengenai kekebalan kantor-kantor utusan duta besar itu sendiri.

Untuk memfasilitasi jalannya aktivitas diplomatik, dalam Pasal 22

Konvensi Wina 1961 secara khusus menyatakan bahwa kekebalan juga

berlaku untuk gedung perwakilan, arsip-arsip dan dokumen perwakilan. 3

Kekebalan tersebut sejatinya merupakan bentuk penegakan kedaulatan

Negara didalam hukum internasional. Melihat poin tersebut, dapat kita

lihat bahwa kantor utusan diplomatik pun memiliki kekuatan hukum dalam

hukum internasional. Dengan didirikannya kantor diplomatik di sebuah

negara, maka negara penerima berkewajiban mengambil segala tindakan

yang diperlukan agar kantor-kantor ataupun rumah kediaman para


3
J.G Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional (Edisi Kesembilan), Aksara Persada, Jakarta,
hlm. 105.

3
diplomat bebas dari segala gangguan.4 Apabila telah terjadi Pelanggaran

pada kantor diplomatik oleh suatu negara maka akan menimbulkan suatu

pertanggungjawaban bagi negara pelanggar.

Terlahir dari bentuk sistem hukum internasional serta doktrin

kedaulatan negara dan doktrin persamaan antar negara-negara, tanggung

jawab negara merupakan asas dasar hukum internasional. Dalam hukum

internasional, prinsip tanggung jawab negara dilatar belakangi bahwa

tidak satu negara pun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa

menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak

negara lain, menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki

pelanggaran hak itu. Dengan kata lain, negara tersebut harus

mempertanggung-jawabkannya.5 Suatu negara bertanggung jawab,

misalnya, karena telah melanggar kedaulatan wilayah negara lain,

merusak wilayah atau harta benda negara lain. 6 Tanggung jawab negara

menetapkan bahwa setiap kali suatu negara melakukan tindakan yang

melawan hukum internasional terhadap negara lain, maka

pertanggungjawaban internasional harus ditegakkan diantara keduanya.

Pelanggaran kewajiban internasional berupa tindakan yang menimbulkan

kerugian pada negara lain tentunya harus dipertanggungjawabkan oleh

negara pelanggar.

4
Boer Mauna, 2003, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global), P.T. Alumni, Bandung, hlm. 511.
5
Ibid, hlm. 203.
6
Ibid,

4
Dalam Pasal 42 Draft ILC menetapkan bahwa suatu negara

sebagai negara yang dirugikan berhak menuntut pertanggungjawaban

negara lain jika kewajiban yang telah dilanggar adalah kewajiban yang

dibebankan kepada negara lain itu secara individual, atau kepada suatu

kelompok negara yang meliputi negara lain itu atau masyarakat

internasional sebagai satu keseluruhan, dan pelanggaran kewajiban

tersebut terutama memengaruhi negara lain tersebut. Adapun dalam

Pasal 8 Draft ILC juga menetapkan bahwa, perilaku persona atau

kelompok persona dapat dianggap sebagai perbuatan negara menurut

hukum internasional jika persona atau kelompok persona itu benar-benar

bertindak menurut instruksi, di bawah pengarahan, atau kontrol negara

dalam melaksanakan perilaku tersebut.

Kasus atas pelanggaran hukum internasional yang telah terjadi

sehingga menimbulkan pertanggungjawaban bagi suatu negara ialah

mengenai tindakan pasukan militer arab saudi yang melakukan serangan

bom udara di wilayah pusat kota Sana’a Yaman sehingga mengakibatkan

kantor kedutaan besar Republik Indonesia hancur. Sejak terjadinya

gejolak politik di wilayah timur tengah, negara yang mayoritas

masyarakatnya beragama Islam tersebut mengalami kemunduran dari

segala hal. Dimulai dari pendidikan, kesehatan, serta perekonomian.

Kemunduran yang dialami tidak lepas dari maraknya pemberontakan yang

dilakukan oleh suatu kelompok terhadap pemerintahan di negaranya. Di

Yaman sendiri, para kelompok pemberontak yang menamakan dirinya

5
pemberontak Houthi mulai melakukan pemberontakan terhadap

pemerintahannya sejak lama. Awalnya organisasi ini merupakan

organisasi yang memiliki agenda mengenalkan kondisi sosial politik dan

budaya kepada kaum muda di Yaman. Namun sejak tahun 2004,

organisasi ini berubah menjadi organisasi politik. Pada saat terbentuknya

sebagai organisasi politik, organisasi ini sempat menggelar unjuk rasa

damai, tetapi pada saat itu negara menghukum mereka yang

mengakibatkan lahirnya bibit sayap militer Houthi yang kini menjadi

kelompok pemberontak.7

Yaman sendiri merupakan negara yang tergabung dalam anggota

Liga Arab, sehingga peperangan antara kelompok pemberontak Houthi

dengan pemerintahan Yaman yang terjadi di Yaman memiliki pengaruh

terhadap negara anggota Liga Arab. Tentunya anggota dari negara Liga

Arab memberikan bantuan terhadap negara anggotanya yang dalam hal

ini ialah Negara Yaman. Arab Saudi sendiri yang memiliki kekuatan militer

terkuat diantara negara anggota Liga Arab memberikan bantuan militer

kepada Yaman. Bantuan tersebut berupa penjagaan keamanan diwilayah

pusat kota Yaman dan juga pemberantasan terhadap para pemberontak

Houthi di Yaman. Namun, pemberantasan terhadap pemberontak Houthi

yang dilakukan di Yaman oleh Arab Saudi dengan cara operasi bersenjata

sangatlah disesalkan oleh banyak pihak. Pemberantasan dengan cara

kekerasan tersebut dapat menelan banyak korban jiwa kepada warga


7
www.merdeka.com. siapa sesungguhnya pemberontak Houthi di Yaman, di akses pada tanggal
20 Desember 2015. Pukul 20.00 WITA.

6
sipil. Hal itu juga sangat di sesalkan oleh pemerintah Indonesia itu sendiri.

Akibat serangan bersenjata tersebut, kantor kedutaan besar Republik

Indonesia mengalami kehancuran yang di sebabkan oleh serangan bom

udara. Serangan bom yang ditujukan untuk menyasar gudang senjata

pemberontak Houthi di pusat kota Sana’a ikut memberikan dampak

kehancuran yang luar biasa terhadap kantor kedutaan besar Republik

Indonesia.

Melihat kasus tersebut, dapat kita lihat bahwa pemerintah Arab

Saudi tentunya harus bertanggung jawab atas hancurnya kantor kedutaan

besar Indonesia. Sebagai negara yang dirugikan akibat peristiwa tersebut,

tentunya kelalaian dari militer Arab Saudi yang melakukan serangan bom

udara sehingga memberi dampak kerusakan terhadap kantor kedutaan

besar Indonesia patutlah diminta pertanggungjawaban secara

internasional.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka

rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah tanggung jawab Arab Saudi menurut hukum

internasional terhadap kasus serangan pada Kedutaan Besar

Republik Indonesia di Yaman?

2. Bagaimanakah sikap pemerintah Indonesia menanggapi kasus

serangan oleh Arab Saudi pada kedutaan besarnya di Yaman?

7
C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan kedua pokok permasalahan di atas, maka

penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab Arab Saudi

menurut hukum internasional terhadap kasus serangan pada

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yaman.

2. Untuk mengetahui bagaimana sikap pemerintah Indonesia dalam

menanggapi kasus serangan oleh Arab Saudi pada kedutaan

besarnya di Yaman.

D. Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Diharapkan, penelitian ini dapat memberikan kontribusi secara

teoritis bagi penggiat hukum internasional yang khususnya

membahas mengenai tanggung jawab negara.

2. Hasil dari penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan

informasi kepada masyarakat umum dan juga pemerintah dalam

menanggapi kasus yang serupa jika terjadi di masa yang akan

datang.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tanggung Jawab Negara

Suatu negara adalah berdaulat, namun dengan adanya kedaulatan

tersebut tidaklah berarti bahwa negara bebas dari tanggung jawab. Prinsip

yang juga berlaku terhadapnya adalah bahwa di dalam kedaulatan terkait

di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut.

Karena itu, suatu negara dapat diminta tanggung jawab untuk tindakan-

tindakan yang menyalahgunakan kedaulatannya.8 Hukum tentang

tanggung jawab negara terkait dengan yurisdiksi negara. hukum tentang

yurisdiksi negara adalah hukum yang mengatur kekuasaan negara untuk

melakukan suatu tindakan (dalam hal pelaksanaan yurisdiksi). Sedangkan

hukum tentang tanggung jawab negara adalah hukum mengenai

kewajiban negara yang timbul manakala negara telah melakukan atau

tidak melakukan suatu tindakan yang memiliki akibat. Hukum tentang

tanggung jawab negara tidak lain adalah hukum yang mengatur

akuntabilitas terhadap suatu pelanggaran hukum internasional.9 Jika suatu

negara melanggar kewajiban internasional, maka negara tersebut

bertanggung jawab untuk pelanggaran yang dilakukannya.

Tanggung Jawab negara merupakan suatu tanggung jawab yang

timbul diakibatkan adanya tindakan negara yang melanggar kewajiban

8
Ibid, hlm. 203.
9
Ibid, hlm. 204.

9
internasional yang dibebankan kepadanya. 10 Tanggung jawab negara

dinyatakan secara tegas telah dibatasi pada perihal pertanggungjawaban

negara-negara bagi tindakan yang secara internasional tidak sah saja. 11

Sumber dari tanggung jawab tersebut ialah pada suatu tindakan-tindakan

negara yang melanggar hukum internasional itu sendiri.

Suatu negara dikatakan bertanggung jawab dalam hal negara

tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar

kedaulatan wilayah negara lain, menyerang negara lain, mencederai

perwakilan diplomatik negara lain, bahkan memperlakukan warga asing

dengan seenaknya. Oleh karena itu, tanggung jawab negara akan

berbeda kadarnya tergantung pada kewajibannya atau besar kerugian

yang telah ditimbulkan oleh suatu negara.

B. Lahirnya Tanggung Jawab Negara

Tanggung jawab negara muncul dikarenakan adanya prinsip

kedaulatan negara dalam hubungan internasional yang sangat dominan.

Negara berdaulat yang satu tidak tunduk pada negara berdaulat yang lain.

Negara mempunyai kedaulatan penuh atas orang, barang, dan perbuatan

yang ada di teritorialnya. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa

negara yang memiliki kedaulatan dapat menggunakan kedaulatan itu

dengan seenaknya. Hukum internasional telah mengatur bahwa


10
Jawahir Tontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT. Refika
Aditama, Bandung, hlm. 193.
11
J.G. Starke, 2010, Pengantar Hukum Internasional, Buku I (Edisi Kesepuluh), Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 391.

10
kedaulatan terkait didalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan

kewajiban tersebut. Karena hal itu, suatu negara dapat dimintai

pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakan atau kelalaian yang

melawan hukum. Negara juga memiliki kewajiban yang bersifat mengikat,

salah satunya ialah kewajiban untuk menghindarkan dan mencegah agen

negara melakukan suatu tindakan yang merupakan pelanggaran terhadap

negara lain.12 Karena perbuatan pelanggaran atas agen negara dapat

pula menimbulkan pertanggungjawaban kepada negara.

Dalam melakukan hubungan internasional, tidak menutup

kemungkinan bahwa suatu negara yang melakukan hubungan

internasional tersebut dengan maksud dan tujuan itikad baik tidak

melakukan suatu kesalahan atau pelanggaran yang menyebabkan

kerugian terhadap negara lain. Disaat itulah tanggung jawab negara lahir.

pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional pada dasarnya

dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa tidak ada satupun negara yang

dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak dari negara lain.

Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan negara

tersebut wajib untuk memperbaikinya atau dengan kata lain

mempertanggungjawabkannya.13 Hal tersebut sebenarnya merupakan hal

yang biasa dalam sistem hukum pada umumnya dimana setiap ada

pelanggaran terhadap kewajiban yang mengikat secara hukum maka akan

menimbulkan tanggung jawab bagi pelanggarnya.


12
T.May Rudy, 2002, Hukum Internasional I, Refika Aditama, Bandung, hlm. 28.
13
Sefriani, 2012, Hukum Internasional (Suatu Pengantar), Rajawali Pers, Jakarta, hlm.266.

11
Menurut Shaw, terdapat ciri dan karakteristik tersendiri sehingga

suatu tanggung jawab negara akan muncul. Ciri-ciri esensial tanggung

jawab berhubungan dengan faktor dasar, antara lain: 14

1) Adanya kewajiban hukum internasional yang masih berlaku

diantara keduanya;

2) Bahwa telah terjadi suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar

kewajiban itu dan mewajibkan negara tersebut bertanggung jawab;

3) Bahwa perbuatan melanggar tersebut menimbulkan kehilangan

atau kerugian.

Melihat ciri esensial akan timbulnya suatu pertanggungjawaban

tersebut, tentu adanya kewajiban hukum internasional yang masih berlaku

diantara keduanya diakibatkan adanya perjanjian akan hubungan

internasional yang telah terjadi sebelumnya. Adanya pelanggaran

terhadap kewajiban internasional bila tindakan negara tersebut tidak

sesuai dengan yang disyaratkan terhadapnya oleh kewajiban tersebut,

apapun sifat dan karakternya. Kewajiban hukum internasional dapat

muncul dari hukum kebiasaan internasional, putusan pengadilan

internasional, dan juga dari suatu perjanjian internasional. Walaupun

perjanjian tersebut tidak dalam bentuk tertulis, Konvensi Wina 1969 juga

tidak mengingkari kekuatan mengikatnya suatu perjanjian yang diadakan

tidak dalam bentuk tertulis (not in written form).15 Merupakan suatu prinsip

14
Shaw, M.N, 2013, Hukum Internasional, Penerbit Nusa Media, Bandung, hlm. 774.
15
Muhammad Ashri, Op. Cit., hlm. 6.

12
dalam hukum internasional bahkan menjadi konsep hukum pada

umumnya bahwa setiap pelanggaran atas suatu perjanjian akan

menimbulkan kewajiban untuk melakukan tindakan perbaikan.

Pada Pasal 1 pasal-pasal ILC tentang tanggung jawab negara

kembali menyebutkan aturan umum yang didukung secara luas melalui

praktek, bahwa setiap perbuatan melawan hukum internasional yang

dilakukan oleh suatu negara akan menimbulkan pertanggungjawaban. 16

Pasal 2 menetapkan bahwa terdapat perbuatan melawan hukum

internasional yang dilakukan oleh suatu negara jika perilaku itu mencakup

tindakan atau kelalaian yang dapat dihubungkan dengan negara itu

menurut hukum internasional dan merupakan pelanggaran akan suatu

kewajiban internasional negara tersebut.17 Hanya hukum internasional

yang dapat menentukan apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan

hukum internasional itu, tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum

didalam negeri.18 Karakterisasi tindakan negara yang menimbulkan suatu

perbuatan yang dipersalahkan secara internasional sepenuhnya diatur

oleh hukum internasional, tidak dipengaruhi oleh karakterisasi hukum

nasional. Artinya walaupun tindakan tersebut menurut hukum nasional

adalah tindakan yang sah, tetapi menurut hukum internasional

menyatakan sebaliknya tindakan tersebut tidak sah dan dianggap salah

16
Shaw, M.N, Loc.cit.
17
Ibid. Hlm. 774.
18
Ibid,

13
maka yang akan berlaku adalah apa yang ditetapkan dalam hukum

internasional.

Adapun pada pasal 12 menetapkan bahwa pelanggaran atas suatu

kewajiban internasional terjadi jika suatu negara melakukan perbuatan

yang tidak sesuai dengan yang diharuskan oleh kewajibannya itu, tanpa

mengindahkan asal-usul atau ciri perbuatannya. 19 Pelanggaran yang

sifatnya terus-menerus akan berlangsung sepanjang suatu periode ketika

perbuatan itu terus berlanjut dan tidak sesuai dengan kewajiban

internasional yang dimaksud, 20 sementara pelanggaran yang terdiri dari

perbuatan yang kompleks juga berlangsung sepanjang suatu periode

ketika perbuatan atau kelalaian itu terus berlanjut dan masih tidak sesuai

dengan kewajiban internasional.21

Tanggung jawab negara secara internasional juga dapat lahir

apabila suatu negara memiliki unsur-unsur tindakan salah. Unsur-unsur

tindakan salah tersebut ialah adanya tindakan pengabaian (action

omission) yang dapat dilimpahkan atau diatribusikan kepada negara

menurut hukum internasional. Sebagai contoh atas gagalnya suatu negara

dalam menjaga keamanan perairan yang menjadi tanggungjawabnya

dapat diasumsikan sebagai tindakan pengabaian dan atas tindakan

tersebut telah memenuhi unsur tindakan salah.

19
Ibid, hlm. 775.
20
Ibid,
21
Ibid,

14
Pelimpahan tanggung jawab negara kepada negara juga dapat

lahir dikarenakan adanya tindakan berupa kesalahan yang dilakukan oleh

suatu organ negara maupun individu oleh negara. unsur dapat

dilimpahkan muncul karena dalam praktik negara sebagai suatu entitas

yang abstrak tidak dapat bertindak sendiri, harus melalui individu sebagai

organ negara, perwakilan negara atau pejabat negara. Tindakan negara

yang dapat dilimpahkan adalah:

1. Tindakan dari semua organ negara (state organ), baik


legislatif, eksekutif, yudikatif atau apa pun fungsinya, apa
pun posisinya dalam struktur organisasi negara dan apa
pun karakternya sebagai organ pemerintah pusat dari suatu
negara. Termasuk dalam organ adalah setiap orang atau
kesatuan yang mempunyai status organ negara dalam
hukum nasional.22

2. Tindakan individu atau entity yang meskipun bukan organ


negara atau diluar struktur formal pemerintah pusat atau
daerah, tetapi dikuasakan secara sah untuk melaksanakan
unsur-unsur kekuasaan instansi tertentu pemerintah. 23
Dalam hukum internasional juga dikenal adanya doktrin

imputabilitas yang dimana tindakan organ negara atau orang atau

kesatuan yang dikuasakan oleh pemerintah sebagaimana dikemukakan

diatas dalam kapasitasnya secara resmi dapat dikatakan sebagai tindakan

negara dan dapat dilimpahkan, bahkan jika mereka diluar kekuasaannya

atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan instruksi yang

diberikan padanya.24 Di dalam praktik hukum internasional tentang

hubungan antar negara, tidak jarang ditemukan adanya suatu kerjasama

22
Draft articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, Pasal 4.
23
Ibid., Pasal 5.
24
Ibid., hlm. 271.

15
yang dilakukan antar negara tidak menimbulkan kerugian terhadap negara

lain. Suatu negara yang membantu negara lain dalam internationally

wrongful acts yang dilakukan negara lain tersebut bertanggung jawab

secara internasional jika,25

1. That state does so with knowledge of the circumstances of the

internationally wrongful acts

2. The act would be internationally wrongful acts if commite by that

state

Pada dasarnya tanggung jawab negara dalam Hukum Internasional

menurut draft Article ILC 2001 lahir dikarenakan terdapat pelanggaran

atas suatu kewajiban negara. pelanggaran kewajiban tersebut tidak lain

oleh adanya kelalaian dari negara yang memiliki hak melakukan tanggung

jawab. Terdapat beberapa unsur penting yang melahirkan tanggung jawab

negara. Adapun unsur-unsur penting adanya tanggung jawab ini

tergantung kepada, sebagai berikut (Pasal 2 ILC 2001):

1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku.

2. Adanya suatu perbuatan kelalaian yang melanggar hukum

internasional

3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya

tindakan hukum atau kelalaian.

25
Ibid., hlm. 272.

16
C. Teori Kesalahan

Doktrin hukum internasional mengenai apakah perlu atau tidaknya

unsur kesalahan dalam melahirkan tanggung jawab negara terbagi

kedalam dua teori, yaitu:

1. Teori Subyektif (School of Liality for Fault)

Menurut teori subyektif, tanggung jawab negara ditentukan oleh

adanya unsur kesalahan (Fault), yaitu adanya keinginan atau maksud

untuk melakukan suatu perbuatan kesengajaan atau kelalaian pada

pejabat atau agen negara. pendukung teori ini misalnya Grotius,

Oppenheim, Fauchille, Lauterpacht. 26

Teori ini diterapkan dalam sengketa The House Missionary Society

Claim Case (1920), antara Amerika Serikat dan Inggris. Sengketa ini

bermula ketika Inggris mengeluarkan kebijakan perpajakan baru tahun

1898 pada wilayah protektoratnya yaitu Sierra Leone. Kebijakan ini

menimbulkan protes keras dan pemberontakan yang berakibat rusaknya

gedung misionaris berkebangsaan Amerika Serikat.

Pengadilan yang menangani kasus sengketa ini menyatakan

bahwa rusaknya gedung dan terbunuhnya beberapa missionaris

berkebangsaan Amerika Serikat bukan karena kesalahan atau

kesengajaan Inggris. Pengadilan berpendapat bahwa timbulnya

26
Huala Adolf, op.cit., Hlm. 212.

17
pemberontakan dan kerugian bukan disebabkan karena tidak adanya

maksud baik dari pemerintah Inggris dalam menangani atau menumpas

pemberontakan.

2. Teori Obyektif (School of Casual Liability)

Teori Obyektif lahir sebagai reaksi atau kritik terhadap teori

subyektif. Pencetus teori ini adalah Anzilotti pada tahun 1902. Teori ini

mendapat dukungan dari Ian Brownlie, Hans Kelsen, Jimenez Arechaga,

O’Connell, dan Schwarzenberger.27

Menurut teori Obyektif, tanggung jawab negara adalah selalu

mutlak (Strict). Unsur kesalahan bukan prasyarat untuk terjadinya

tindakan atau perbuatan yang salah secara obyektif. Manakala suatu

pejabat atau agen negara telah melakukan tindakan yang merugikan

orang asing atau negara lain, maka negara bertanggung jawab menurut

hukum internasional tanpa dibuktikan apakah tindakan tersebut terdapat

unsur kesalahan atau kelalaian. 28

Dari kasus-kasus yang timbul, kedua teori ini mendapatkan

pengakuan dalam hukum internasional. Namun demikian, kecenderungan

penerapan yang lebih banyak dianut adalah teori obyektif. Contohnya

dalam sengketa The Corfu Channel Case (1949). Dalam sengketa ini

mahkamah internasional menyatakan bahwa tidak adanya upaya dari

27
Ibid
28
Ibid, Hlm. 213.

18
pejabat Albania untuk mencegah kecelakaan dua kapalperang Inggris

telah melahirkan kewajiban internasional. Mahkamah menyatakan:

”in fact, nothing was attempted by the Albanian authorities to

prevent the disaster. These grave ommissions involve the

international responsibility of Albania...”29

D. Pemohon Tanggung Jawab Negara

Dalam hukum internasional klasik, tentunya pertanggungjawaban

negara dapat dituntut oleh negara yang hanya dirugikan akibat perbuatan

negara lain saja. Namun dalam praktiknya, banyak tindakan yang

dianggap merugikan suatu negara dapat pula berpengaruh pada negara

lain walaupun tidak terlalu signifikan. Melihat hal tersebut, tentunya para

pemerhati hukum internasional melakukan pengembangan dalam

penuntutan suatu pertanggungjwaban negara.

Dalam Pasal 42 pasal-pasal ILC dijelaskan bahwa suatu negara

sebagai negara yang dirugikan berhak menuntut pertanggungjawaban dari

negara lain jika kewajiban yang telah dilanggar adalah kewajiban yang

dibebankan kepada negara lain itu secara individual, atau kepada suatu

kelompok negara yang meliputi negara lain itu atau masyarakat

internasional sebagai satu keseluruhan, dan pelanggaran kewajiban

tersebut terutama mempengaruhi negara lain itu atau berciri sedemikian

rupa sehingga secara mendasar mengubah posisi semua negara lain

29
Carfu Channel Case, ICJ report 1949, dalam Ibid. Hlm. 214.

19
yang dibebani kewajiban tersebut dalam hal pelaksanaan kewajiban

tersebut dimasa yang akan datang.30

Negara yang dirugikan dapat meminta tanggung jawab dari negara

lain untuk memberitahukan tuntutannya tersebut supaya negara tersebut

menghentikan tindakan pelanggarannya jika pelanggaran tersebut masih

berlangsung. Negara yang dirugikan juga dapat menyertakan

penuntutannya dalam bentuk pemulihan apa yang ia tuntut dari negara

pelanggar.

Pada Pasal 48 pasal-pasal ILC juga dijelaskan bahwa negara

selain negara yang dirugikan juga dapat mengajukan penuntutan berupa

pertanggungjawaban pada negara lain dalam dua hal. penuntutan dalam

dua hal tersebut berupa:31

a. Kewajiban yang dilanggar dimiliki suatu kelompok negara

termasuk negara yang mengajukan penuntutan tersebut,

ditetapkan untuk perlindungan kepentingan kelompok tersebut;

b. Kewajiban yang dilanggar dimiliki oleh seluruh masyarakat

internasional secara keseluruhan.

Bentuk pertama menyangkut hal-hal yang mencakup perjanjian-

perjanjian regional dibidang keamanan, perlindungan HAM, dan

lingkungan. Dalam bentuk kedua, dijelaskan bahwa penuntutan juga dapat

30
Shaw M.N., op.cit., hlm. 787.
31
Sefriani, op.cit., hlm. 277.

20
dilakukan apabila ada pelanggaran kewajiban atas apa yang dimiliki oleh

seluruh masyarakat internasional (erga omnes). Dalam hal ini, masyarakat

internasional keseluruhan mempunyai hak untuk mengajukan tuntutan

terhadap negara pelanggar. Masuk kategori ini dimana masyarakat

internasional mempunyai hak adalah kewajiban yang berkaitan dengan

HAM dan lingkungan. Contoh di bidang HAM ialah masalah mengenai

genosida, perbudakan, dan diskriminasi rasial. Pasal 48 (2) menetapkan

bahwa setiap negara yang berhak meminta pertanggungjawaban dari

negara lain tidak hanya berhak meminta penghentian tindakan

pelanggaran serta jaminan tidak mengulangi, tetapi juga berhak atas

pemulihan kepentingan negara yang dirugikan dari kewajiban pelanggar. 32

E. Macam-Macam Tanggung Jawab Negara

Negara wajib bertanggung jawab atas perbuatan kesalahan yang

dilakukannya. Negara wajib bertanggung jawab untuk memberikan full

reparation terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh the internationally

wrongful acts.33 Kerugian yang dimaksud meliputi kerugian materil dan

immateril yang disebabkan oleh negara tersebut. Tanggung jawab negara

bersifat melekat pada negara, artinya suatu negara berkewajiban

memberikan ganti rugi manakala negara itu akibat pelanggaran hukum

internasionalnya menyebabkan kerugian terhadap negara lain. Full

reparation terhadap kerugian yang disebabkan oleh the internationally

32
Ibid, hlm. 279.
33
Ibid, hlm. 273.

21
wrongful acts dapat dalam bentuk restitusi, kompensasi, penghukuman

terhadap orang yang seharusnya bertanggung jawab, permintaan maaf

atau pemuasan (satisfaction) atau kombinasi dari semuanya. 34 Dalam

kaitannya dengan kompensasi, pemberian kompensasi juga wajib jika

terdapat unsur hilangnya keuntungan yang diharapkan dalam situasi

normal serta pemberian kompensasi atas bunga yang hilang karena

adanya tindakan melanggar hukum internasional tersebut. Secara garis

besarnya, tanggung jawab negara dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum (Delictual Liability)

Tanggung jawab seperti ini lahir dari setiap kesalahan atau kelalaian

suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayahnya atau wilayah

negara lain. Hal ini dapat timbul karena eksplorasi ruang angkasa,

kegiatan yang terkait dengan nuklir, dan kegiatan lintas batas.

a. Ekplorasi Ruang Angkasa

Aktivitas ruang angkasa dianggap sebagai aktivitas yang beresiko

tinggi sehingga negara akan selalu dianggap bertanggung jawab secara

absolut atau mutlak terhadap segala kerugian yang muncul akibat aktivitas

tersebut yang muncul di permukaan bumi maupun di wilayah ruang udara.

Tanggung jawab yang harus dipikul oleh negara peluncur adalah

tanggung jawab mutlak dan tanggung jawab berdasarkan kesalahan.

Tanggung jawab absolut berarti bahwa pihak yang dirugikan tidak perlu

34
Ibid, hlm. 274.

22
membuktikan suatu kesalahan dari pihak tergugat atas penyebab

terjadinya kerugian. Prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan dengan

pertimbangan bahwa akan sangat sulit bagi pihak yang menggugat untuk

membuktikan letak kesalahan tergugat yang menyebabkan kerugian

dikarenakan aktivitas ruang angkasa merupakan aktivitas yang

memerlukan teknologi canggih sehingga akan sulit dipahami bagi orang

awam. Tanggung jawab absolut ini juga berarti bahwa setiap negara yang

melakukan aktivitas ruang angkasa dianggap tahu akan aktivitas yang

dilakukannya sehingga negara tersebut memiliki kewajiban atas

aktivitasnya tersebut. Namun demikian, apabila kerugian yang muncul

hanya ada di ruang angkasa, maka prinsip tanggung jawab yang ada ialah

based on fault principle atau tanggung jawab berdasarkan kesalahan.

Tanggung jawab tersebut muncul disertai adanya pembuktian akan letak

kesalahan sehingga menyebabkan kerugian. Prinsip ini diterapkan dengan

pertimbangan bahwa walaupun peristiwa yang terjadi hanya berada diluar

angkasa dan tidak menimbulkan kerugian di permukaan bumi namun dari

segi ekonomi akan pembuatan teknologi canggih tersebut patutlah

dimintai kerugian.

b. Kegiatan Terkait dengan Nuklir

Negara bertanggung jawab terhadap setiap kerusakan yang

disebabkan karena kegiatan-kegiatan terkait dengan nuklir. Sistem

tanggung jawabnya pun adalah tanggung jawab mutlak. Dalam hal ini,

suatu negara tidak dapat menggunakan alasan bahwa negara tersebut

23
sebelumnya telah melakukan tindakan pencegahan agar eksplorasi nuklir

tersebut tidak merugikan negara lain. Sebagaimana halnya dengan

kegiatan eksplorasi luar angkasa, maka yang menjadi latar belakang

diterapkannya tanggung jawab mutlak adalah karena kegiatan di bidang

eksplorasi nuklir mengandung risiko bahaya yang sangat tinggi.

Perjanjian yang mengatur eksplorasi nuklir adalah The Vienna

Convention on Civil Liability for Nuclear Damage, tanggal 21 Mei 1963.

Menurut konvensi ini, operator nuklir bertanggung jawab atas kerusakan

nuklir dan bersifat mutlak dilaksanakan tanggung jawabnya.

c. Kegiatan-kegiatan Lintas Batas

Latar belakang lahirnya tanggung jawab negara terhadap kegiatan-

kegiatan ini yaitu bahwa negara harus mengawasi dan mengatur setiap

kegiatan didalam wilayahnya, baik yang sifatnya publik maupun perdata,

yang tampaknya kegiatan tersebut dapat melintasi batas negaranya dan

menimbulkan kerugian terhadap negara lain.

Sistem tanggung jawabnya yang berlaku disini bergantung kepada

bentuk kegiatan yang bersangkutan. Jika kerugian tersebut bersifat

berbahaya, maka negara yang wilayahnya dipakai untuk kegiatan seperti

itu dapat bertanggung jawab secara absolut atau mutlak. Namun, kalau

kegiatan-kegiatan itu normal sifatnya maka tanggung jawab negara

24
bergantung kepada kelalaian atau maksud/niat dari tindakan tersebut

beserta kerusakan atau kerugian yang ditimbulkannya. 35

2. Tanggung Jawab atas Pelanggaran Perjanjian (Contractual Liability)

Suatu negara dapat juga bertanggung jawab atas pelanggaran

perjanjian menurut hukum internasional. Tanggung jawab seperti ini

dapat terjadi terhadap suatu negara manakala ia melanggar suatu

perjanjian atau kontrak.36

a. Pelanggaran perjanjian

Suatu negara dapat saja melanggar perjanjian yang dibuat dengan

negara lain yang mengakibatkan kerugian terhadap negara lainnya.

Seperti telah disebutkan pada sengketa Chorzow Factory (1927) di atas,

bahwa pelanggaran terhadap perjanjian melahirkan suatu kewajiban untuk

membayar ganti rugi. Sifat dan berapa ganti rugi untuk pelanggaran suatu

perjanjian internasional dapat ditentukan oleh Mahkamah Internasional,

pengadilan, peradilan arbitrase atau melalui perundingan.

Masyarakat internasional menganggap bahwa pelanggaran

perjanjian semacam ini merupakan suatu kelalaian suatu negara yang

sangat serius. Perbuatan tersebut dapat mengurangi kepercayaan

negara-negara terhadap negara pelanggar tersebut, terutama dalam hal

mengadakan perjanjian dengannya di kemudian hari.

35
Huala Adolf, op.cit., Hlm. 219.
36
Ibid.

25
b. Pelanggaran Kontrak

Suatu negara dapat mengadakan kontrak komersial dengan negara

lain atau perusahaan asing. Dewasa ini sudah menjadi hal biasa negara

mengadakan kontrak komersial dalam bidang jual beli barang, jasa, dan

penanaman modal. Sebagaimana halnya dengan subyek hukum lain,

manakala suatu negara melanggar kontrak, maka pihak lainnya dapat

menuntut negara tersebut untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang

dideritanya.

F. Pengecualian Tanggung Jawab Negara

1. Adanya Persetujuan dari Negara yang Dirugikan (consent)

Tindakan tersebut dilakukan dengan persetujuan dari negara yang

dirugikan. Misalnya adalah pengiriman tentara ke negara lain atas

permintaanya. Persetujuan ini harus diberikan sebelum atau pada saat

pelanggaran terjadi. Persetujuan yang diberikan setelah terjadinya

pelanggaran sama artinya dengan penanggalan hak untuk mengklaim

ganti rugi.37 Namun dalam hal ini, persetujuan yang diberikan kemudian itu

tidak menghilangkan unsur pelanggaran hukum internasional.

2. Adanya Suatu Keadaan Memaksa (Force Majeur)

Negara dapat pula menggunakan pengecualian ini dalam hal

membebaskan diri dari pertanggungjawaban pihak asing menakala terjadi

sesuatu hal atau kejadian yang merugikan pihak asing diluar prediksi
37
Ibid, hlm. 225

26
suatu negara yang memang tidak bisa diprediksi sebelumnya, tidak ada

kesengajaan, dan negara tidak kuasa untuk mencegah serta

menanganinya.38 Sebagai contoh dalam kasus The Gill, rumah seorang

warga negara Inggris yang berdiam di Meksiko hancur sebagai akibat

adanya penyerangan tiba-tiba dan tidak terduga oleh sekelompok tentara

anti pemerintah meksiko. Komisi yang dibentuk berpendapat bahwa tidak

dapat dicegahnya tindakan itu bukan disebabkan karena kelalaian

pemerintah Meksiko tetapi karena memang pemerintah Meksiko tidak

mungkin mengambil tindakan dalam menghadapi keadaan yang tiba-tiba

tersebut. 39

Dalam pengecualian ini, terdapat suatu keadaan yang secara tiba-tiba

menyebabkan suatu masalah yang menimbulkan kerugian bagi pihak

tertentu. Secara sederhana bahwa negara tersebut dapat menghindari

pertanggungjawaban atas dasar tersebut.

3. Adanya Suatu State Necessity

Alasan ketiga yang dapat digunakan negara untuk membebaskan diri

dari pertanggungjawaban adalah adanya State Necessity, kepentingan

negara yang darurat dan sangat penting untuk dilaksanakan untuk

meminimalisasi kerugian yang akan timbul. Pada umumnya dalam kondisi

ini negara tidak mendapatkan pilihan lain, apa yang dilakukan negara

merupakan satu-satunya jalan yang dapat dilakukan negara untuk

38
Ibid, hlm. 226.
39
Ibid,

27
menyelamatkan kepentingannya terhadap bahaya yang sangat besar,

asalkan kepentingan negara lain yang terkait tidak terancam dengan

tindakan tersebut. Contoh keadaan seperti ini dapat ditemukan dalam

insiden The Torrey Canyon (1967). Dalam insiden ini, kapal tanker minyak

Liberia karam dan menumpahkan minyak dalam jumlah yang sangat

besar di laut lepas dekat laut teritorial Inggris. Pemerintah Inggris terpaksa

meledakkan kapal tanker minyak Liberia tersebut untuk mencegah

penyebaran minyak yang tumpah yang dapat menyebabkan pencemaran

di laut teritorial Inggris. Tentang peledakan ini, Komisi Hukum

Internasional berpendapat bahwa tindakan tersebut dibenarkan karena

tindakan tersebut terpaksa dilakukan demi menyelamatkan pantai Inggris

dari pencemaran yang terus berlanjut.40 Sedikit berbeda dengan keadaan

Force Majeur, dalam keadaan ini sudah ada prediksi sebelumnya, serta

terdapat unsur kesengajaan, tetapi negara pelaku memang tidak

mempunyai pilihan lain atas tindakannya tersebut, kalau tindakan tersebut

tidak dilakukan justru akan membuat kerugian yang lebih besar.

G. Tanggung Jawab Negara Dalam Hukum Diplomatik

Hukum diplomatik pada hakekatnya merupakan ketentuan-

ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur

hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar

pemufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut

dituangkan di dalam instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum

40
Ibid, hlm. 227.

28
kebiasaan internasional dan pengembangan hubungan internasional. 41

Pembukaan dan pemeliharaan hubungan diplomatik antara suatu negara

dengan negara lain didasarkan atas persamaan hak yang merupakan

manifestasi nyata dari suatu kedaulatan negara.

Diplomat pada umumnya dianggap sebagai agen saluran resmi

komunikasi antara negara pengirim dan negara penerima. 42 Di dalam

melakukan hubungan diplomatik, para diplomat dilindungi oleh aturan-

aturan mengenai hubungan diplomatik. aturan tersebut dibuat dalam

bentuk perjanjian yang dituangkan dalam Konvensi Wina. Untuk

meningkatkan hubungan persahabatan antar negara, setiap negara

percaya bahwa perjanjian internasional mengenai kegiatan diplomatik

yang dituangkan dalam Konvensi Wina 1961 akan memberikan

sumbangsih dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia.

Di dalam Konvensi Wina telah diatur mengenai bagaimana suatu

negara memperlakukan perwakilan diplomatik negara yang telah mereka

terima, baik itu mengenai pembebasan pajak bagi diplomat, keamanan

kantor dan kediaman diplomat, serta penjaminan kegiatan para diplomat

tanpa ada gangguan dari pihak manapun. Sesuai dengan ketentuan

dalam Konvensi Wina 1961 khususnya mengenai tidak diganggu-

gugatnya perwakilan asing disuatu negara telah dinyatakan dalam pasal

22 Konvensi tersebut.

41
T.May Rudy, 2002, Hukum Internasional II, Refika Aditama, Bandung, hlm. 65.
42
Sumaryo Suryokusumo, 2004, Praktik Diplomasi, IBLAM, Jakarta, hlm. 15.

29
“Gedung-gedung perwakilan asing tidak boleh diganggu-gugat. Alat-
alat negara dari negara penerima tidak boleh memasuki gedung
tersebut, kecuali dengan izin kepala perwakilan; Negara penerima
mempunyai kewajiban khusus untuk mengambil langkah
seperlunya guna melindungi gedung perwakilan tersebut dari setiap
gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan
ketenangan perwakilan atau yang menurunkan harkat dan
martabatnya; Gedung perwakilan , perabotannya dan harta milik
lainnya yang berada di dalam gedung tersebut serta kendaraan dari
perwakilan akan dibebaskan dari pemeriksaan, penuntutan,
pengikatan, dan penyitaan.” 43
Namun dalam praktiknya, terkadang banyak pelanggaran yang

sering terjadi terhadap aturan tersebut. Seperti contoh kasus yang terjadi

di Indonesia pada tanggal 16 september 1963, dimana terjadi unjuk rasa

di depan kantor kedutaan besar Inggris sebagai protes atas pembentukan

federasi Malaysia yang disetujui oleh Inggris, para pengunjuk rasa

melempari kantor kedutaan Inggris sehingga menghancurkan beberapa

kaca gedung serta properti yang ada di sekitar gedung. Hal itu tentunya

membuat pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas gagalnya

menjaga kantor perwakilan diplomatik Inggris tetap aman. Bentuk

tanggung jawab Indonesia pada saat itu ialah dengan melakukan

perbaikan terhadap kerusakan pada kantor perwakilan diplomatik Inggris

tersebut.44

Kelalaian dan kegagalan negara penerima dalam memberikan

perlindungan terhadap kekebalan diplomatik merupakan suatu bentuk

pelanggaran terhadap ketentuan konvensi. Dengan adanya bentuk

pembebanan tanggung jawab terhadap negara penerima, bukan berarti

43
Pasal 22 Konvensi Wina, 1961.
44
Sumaryo Suryokusumo, 2013, Hukum Diplomatik dan Konsuler Jilid I, hlm. 154.

30
bahwa setiap pihak dari luar dapat dengan sengaja melakukan serangan

terhadap suatu kantor perwakilan diplomatik dengan asumsi bahwa hanya

negara penerima yang bertanggung jawab. Karena merupakan kewajiban

bagi semua pihak untuk menghormati dan menjaga perwakilan diplomatik

di setiap negara dalam menjalankan misinya. Oleh karena adanya

pelanggaran, pelaku pelanggaran wajib bertanggung jawab atas terjadinya

hal yang tidak menyenangkan tersebut. Bentuk pelanggaran tersebutlah

yang akhirnya memunculkan tanggung jawab tersendiri bagi negara

pelanggar.

H. Posisi Kasus

Pada tanggal 20 April 2015, kantor kedutaan besar Republik

Indonesia di Yaman mengalami kehancuran yang diakibatkan oleh

serangan bom udara oleh pasukan militer Arab Saudi. Serangan bom

yang ditujukan untuk menyasar gudang senjata pemberontak Houthi di

pusat kota Sana’a tersebut juga ikut memberikan dampak kehancuran

yang luar biasa terhadap kantor kedutaan besar Indonesia.

Perihal serangan tersebut telah dipaparkan oleh Menteri Luar

Negeri RI Retno Marsudi, dimana serangan terjadi pukul 10.45 pagi waktu

setempat. Insiden itu mengakibatkan dua staf KBRI dan seorang WNI

mengalami luka ringan. Padahal sebelum adanya serangan bom udara

tersebut, pemerintah Indonesia sudah mengirimkan Longitude dan

Latitude secara rinci posisi wilayah Kedutaan Besar Indonesia. Namun,

31
serangan yang ditujukan pada gudang senjata milik pemberontak Houthi

oleh pasukan militer Arab Saudi tidak dapat diperhitungkan dampaknya

oleh pasukan militer Arab Saudi sehingga serangan tersebut juga ikut

menghancurkan kantor kedutaan besar Republik Indonesia di Yaman. 45

Selain melukai dua staf KBRI dan juga seorang warga negara

Indonesia, serangan tersebut juga mengakibatkan kerugian bagi

pemerintah Indonesia. Akibat serangan tersebut pemerintah indonesia

mengalami kerugian materiil berupa rusaknya gedung yang menjadi pusat

perwakilan diplomatik pemerintah Indonesia di Yaman, serta rusaknya

semua arsip-arsip dan berkas yang berada didalam gedung KBRI

tersebut.46 Serangan tersebut juga merusak semua fasilitas yang dimiliki

kedutaan besar Republik Indonesia berupa kendaraan-kendaraan yang

mendukung jalannya aktivitas diplomatik di Yaman. 47

I. Kasus Sejenis

Pada tanggal 8 Mei 1999, suatu pesawat perang B-2 Stealth

Bomber milik Amerika Serikat menjatuhkan tiga buah bom yang setiap

masing-masing memiliki bobot 900 kg di atas Kantor Kedutaan Besar Cina

di kota Beograd semasa pergolakan Kosovo.48 Serangan tersebut

45
www.bbc.com/Indonesia/KBRI Yaman Mengungsi, di akses pada tanggal 20 Desember 2015.
Pukul 20.00 WITA.
46
www.detik.com/news/berita/Berbagai Kerusakan di KBRI Yaman Akibat Serangan Udara, di
akses pada tanggal 20 Desember 2015. Pukul 20.00 WITA.
47
www.international.sindonews.com/read/KBRI Yaman di Bom, Semua Kendaraan Kedutaan
rusak, diakses pada tanggal 10 Mei 2016 Pukul 10.00 WITA
48
www.id.wikipedia.org/wiki/Republik_Rakyat_Tiongkok/Hubungan Luar Negeri, diakses pada
tanggal 10 Mei 2016 Pukul 10.00 WITA

32
mengakibatkan gedung kedutaan Besar Cina rusak parah serta

menewaskan tiga warga negara Cina yang berada di dalam gedung

tersebut.

Amerika Serikat yang pada saat itu enggan bertanggung jawab

atas kejadian serangan udara tersebut mengatakan bahwa kejadian

tersebut merupakan serangan salah sasaran diakibatkan oleh kesalahan

menggunakan peta lama yang memberi maklumat tidak betul tentang

kedudukan bangunan itu sebagai pangkalan senjata pemerintah

Yugoslavia.49 Pihak NATO yang dikomandoi oleh Amerika Serikat pada

saat itu mengeluarkan hipotesa bahwa konstruksi bangunan tersebut

dengan bentuk yang sama serta berdekatan telah menimbulkan

kebingungan dalam mengarahkan bom yang diluncurkan dari pesawat-

pesawat tempur NATO dengan bantuan teknologi Global Positioning

System (GPS) sehingga serangan tersebut juga ikut menghancurkan

Kedutaan Besar Cina pada saat itu.50 Atas penjelasan tersebut,

pemerintah Republik Rakyat Cina merasa tidak puas dan mengecam

serangan tersebut yang dianggap sebagai perbuatan sengaja yang

dilakukan oleh Amerika Serikat.

Pemerintah Republik Rakyat Cina pada saat itu mengecam keras

serangan tersebut serta menganggap tindakan Amerika Serikat berupa

serangan udara tersebut merupakan pelanggaran atas Konvensi Jenewa

49
Ibid
50
www.budhiachmadi.wordpress.com/2009/Pengeboman Kedubes China di Beograd, diakses
pada tanggal 10 Mei 2016 Pukul 10.00 WITA

33
dalam Hukum Internasional yang bahwa serangan tersebut telah ditujukan

kepada kedutaan besarnya dengan sengaja. Pemerintah Republik Rakyat

Cina juga menuntut tanggung jawab kepada Amerika Serikat atas

serangan udara yang menyebabkan kerugian bagi Republik Rakyat Cina

atas Hancurnya gedung kedutaan dan juga atas serangan tersebut yang

telah menewaskan tiga orang warganya.

Penuntutan yang dilakukan oleh Republik Rakyat Cina kepada

Amerika Serikat untuk bertanggung jawab atas serangan udara tersebut

membuat Amerika Serikat membentuk tim investigasi untuk

menyelesaikan masalah tersebut. Setelah hasil investigasi dilakukan,

pemerintah Amerika Serikat mengumumkan bahwa mereka menyesal atas

serangan udara yang dilakukan oleh pasukan militernya bersama NATO

dan mengakui bahwa mereka lalai dalam melihat gedung kedutaan besar

Republik Rakyat Cina sebagai target serangan militer dengan melihat

bahwa data yang mereka miliki adalah data lama yang dianggap sebagai

gedung pangkalan senjata pemerintah Yugoslavia.51 Atas penyesalan dari

pihak Amerika Serikat terkait serangan udara tersebut, Pemerintah

Amerika Serikat meminta maaf kepada Pemerintah Republik Rakyat Cina

dan bersedia membayar biaya ganti kerugian sebesar 28 milliar dollar

51
Oral Presentation to The Chinese Goverment, Regarding the Accidental Bombing of The PRC
Embassy in Belgrade. 17 June 1999.

34
Amerika Serikat sebagai penyelesaian terkait permasalahan tersebut dan

telah diterima oleh pemerintah Republik Rakyat Cina. 52

52
Agreement Between The Goverment of The United States of America and The Goverment of
The People’s Republic of China about Accidental Bombing of The PRC Embassy in Belgrade. 16
December 1999.

35
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Dalam melakukan penelitian sehubungan dengan objek yang akan

diteliti, maka penulis memilih lokasi penelitian di Kota Makassar dan Kota

Jakarta. Penulis melakukan penelitian di Kota Makassar dengan mencari

literatur sehubungan dengan objek penelitian. Adapun di Kota Jakarta,

penulis melakukan penelitian di Kementerian Luar Negeri Republik

Indonesia untuk memperoleh data terkait objek penelitian.

B. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu:

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan

pihak Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari beberapa literatur,

dokumen-dokumen resmi, dan sumber kepustakaan lainnya yang

dianggap mendukung.

36
C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Teknik wawancara, yaitu dengan cara melakukan tanya jawab

kepada pihak-pihak yang terkait yakni pihak Kementerian Luar

Negeri Republik Indonesia.

b. Teknik kepustakaan, yaitu suatu teknik penelitian normatif dari

beberapa peraturan-peraturan ataupun dokumen resmi serta

kepustakaan lainnya yang mendukung.

D. Analisis Data

Data yang telah diperoleh dari hasil penelitian ini disusun dan

dianalisis secara kualitatif, kemudian selanjutnya data tersebut diuraikan

secara deskriptif guna memperoleh gambaran yang dapat dipahami

secara jelas dan terarah untuk menjawab permasalahan yang penulis

teliti.

37
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Pertanggungjawaban Arab Saudi atas Serangan Pada Kedutaan

Besar Republik Indonesia di Yaman

Pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional pada

dasarnya dilatarbelakangi pemikiran bahwa tidak ada satu pun negara

yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak dari

negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan

negara tersebut wajib untuk memperbaikinya atau dengan kata lain

mempertanggungjawabkannya.

Tanggung jawab negara menetapkan bahwa setiap kali suatu

negara melakukan tindakan yang melawan hukum internasional terhadap

negara lain, maka pertanggungjawaban internasional harus ditegakkan

diantara keduanya. Pelanggaran kewajiban internasional berupa tindakan

yang menimbulkan kerugian pada negara lain tentunya harus

dipertanggungjawabkan oleh negara pelanggar.

Tanggung jawab negara muncul dikarenakan adanya prinsip

kedaulatan negara dalam hubungan internasional yang sangat dominan.

Negara berdaulat yang satu tidak tunduk pada negara berdaulat yang lain.

Negara mempunyai kedaulatan penuh atas orang, barang, dan perbuatan

yang ada di teritorialnya. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa

negara yang memiliki kedaulatan dapat menggunakan kedaulatan itu

38
dengan seenaknya. Hukum internasional telah mengatur bahwa

kedaulatan terkait didalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan

kewajiban tersebut. Karena hal itu, suatu negara dapat dimintai

pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakan atau kelalaian yang

melawan hukum. Negara juga memiliki kewajiban yang bersifat mengikat,

salah satunya ialah kewajiban untuk menghindarkan dan mencegah agen

negara melakukan suatu tindakan yang merupakan pelanggaran terhadap

negara lain.53 Karena perbuatan pelanggaran atas agen negara dapat

pula menimbulkan pertanggungjawaban kepada negara.

Subyek dan elemen tanggung jawab negara sebagaimana telah

disinggung bahwa hukum internasional pada dasarnya mengatur

hubungan antar negara-negara. adapun kaitannya dalam hal tanggung

jawab negara dalam hukum internasional mempunyai ciri dimana negara

menjadi subyek utama. Hal ini sesuai dengan Draft International Law

Commission (ILC) yang menyatakan bahwa setiap tindakan negara yang

salah secara internasional dapat dibebani tanggung jawab, serta

perbuatan melawan hukum internasional yang dilakukan oleh suatu

negara jika perilaku itu mencakup tindakan atau kelalaian yang dapat

dihubungkan dengan negara itu menurut hukum internasional dan

merupakan pelanggaran akan suatu kewajiban internasional negara

tersebut.

53
T.May Rudy, Loc.cit.

39
Terkait perbuatan yang salah dan dianggap melanggar dalam

hukum internasional sehingga melahirkan tanggung jawab bagi negara

dapat kita lihat pada contoh kasus yang pernah terjadi pada Kantor

Komisariat Agung Nigeria di London pada tahun 1973. Ledakan bom

terjadi di sekitar Kantor Komisariat Agung Nigeria juga ikut

menghancurkan gedung Komisariat Agung Nigeria tersebut. Walaupun

dalam hal ini bom tersebut bukan ditujukan untuk Komisariat agung

Nigeria, Namun perbuatan tersebut dianggap salah dalam hukum

internasional dan karena subyek dari pihak yang berkaitan ialah negara,

maka pemerintah Inggris dianggap bertanggung jawab atas ledakan bom

tersebut.54

Dalam kasus Amerika vs Republik Rakyat Cina (1999), suatu

pesawat perang B-2 Stealth Bomber milik Amerika Serikat menjatuhkan

tiga buah bom yang setiap masing-masing memiliki bobot 900 kg di atas

Kantor Kedutaan Besar Cina di kota Beograd semasa pergolakan

Kosovo.55 Serangan tersebut mengakibatkan gedung kedutaan Besar

Cina rusak parah serta menewaskan tiga warga negara Cina yang berada

di dalam gedung tersebut.

Amerika Serikat yang pada saat itu enggan bertanggung jawab

atas kejadian serangan udara tersebut mengatakan bahwa kejadian

tersebut merupakan serangan salah sasaran diakibatkan oleh kesalahan

54
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus. Hlm. 79.
55
www.id.wikipedia.org/wiki/Republik_Rakyat_Tiongkok/Hubungan Luar Negeri, diakses pada
tanggal 10 Mei 2016 Pukul 10.00 WITA

40
menggunakan peta lama yang memberi maklumat tidak betul tentang

kedudukan bangunan itu sebagai pangkalan senjata pemerintah

Yugoslavia.56 Pihak NATO yang dikomandoi oleh Amerika Serikat pada

saat itu mengeluarkan hipotesa bahwa konstruksi bangunan tersebut

dengan bentuk yang sama serta berdekatan telah menimbulkan

kebingungan dalam mengarahkan bom yang diluncurkan dari pesawat-

pesawat tempur NATO dengan bantuan teknologi Global Positioning

System (GPS) sehingga serangan tersebut juga ikut menghancurkan

Kedutaan Besar Cina pada saat itu.57 Atas penjelasan tersebut,

pemerintah Republik Rakyat Cina merasa tidak puas dan mengecam

serangan tersebut yang dianggap sebagai perbuatan sengaja yang

dilakukan oleh Amerika Serikat.

Pemerintah Republik Rakyat Cina pada saat itu mengecam keras

serangan tersebut serta menganggap tindakan Amerika Serikat berupa

serangan udara tersebut merupakan pelanggaran atas Konvensi Jenewa

dalam Hukum Internasional yang bahwa serangan tersebut telah ditujukan

kepada kedutaan besarnya dengan sengaja. Pemerintah Republik Rakyat

Cina juga menuntut tanggung jawab kepada Amerika Serikat atas

serangan udara yang menyebabkan kerugian bagi Republik Rakyat Cina

atas Hancurnya gedung kedutaan dan juga atas serangan tersebut yang

telah menewaskan tiga orang warganya.

56
Ibid

41
Penuntutan yang dilakukan oleh Republik Rakyat Cina kepada

Amerika Serikat untuk bertanggung jawab atas serangan udara tersebut

membuat Amerika Serikat membentuk tim investigasi untuk

menyelesaikan masalah tersebut. Setelah hasil investigasi dilakukan,

pemerintah Amerika Serikat mengumumkan bahwa mereka menyesal atas

serangan udara yang dilakukan oleh pasukan militernya bersama NATO

dan mengakui bahwa mereka lalai dalam melihat gedung kedutaan besar

Republik Rakyat Cina sebagai target serangan militer dengan melihat

bahwa data yang mereka miliki adalah data lama yang dianggap sebagai

gedung pangkalan senjata pemerintah Yugoslavia.58 Atas penyesalan dari

pihak Amerika Serikat terkait serangan udara tersebut, Pemerintah

Amerika Serikat meminta maaf kepada Pemerintah Republik Rakyat Cina

dan bersedia membayar biaya ganti kerugian sebesar 28 milliar US Dollar

sebagai penyelesaian terkait permasalahan tersebut dan telah diterima

oleh pemerintah Republik Rakyat Cina.59

Doktrin hukum internasional mengenai apakah perlu atau tidaknya

unsur kesalahan dalam melahirkan tanggung jawab negara terbagi

kedalam beberapa teori yang antara lain ialah teori subyektif (School of

Liality for Fault) dan teori Obyektif (School of Casual Liability). Dalam teori

subyektif yang mengatakan bahwa tanggung jawab negara ditentukan

oleh adanya unsur kesalahan, yaitu adanya keinginan atau maksud untuk

58
Oral Presentation to The Chinese Goverment, Loc.cit.
59
Agreement Between The Goverment of The United States of America and The Goverment of
The People’s Republic of China about Accidental Bombing of The PRC Embassy in Belgrade.
Loc.cit.

42
melakukan suatu perbuatan kesengajaan atau kelalaian terhadap suatu

negara terhadap negara lainnya dapat diterapkan di dalam kasus

serangan bom udara terhadap Kedutaan Besar Republik Indonesia di

Yaman oleh Arab Saudi.

Dalam kasus ini, Arab Saudi yang melakukan serangan bom udara

ke pusat kota Sana’a Yaman mengatakan bahwa serangan tersebut

sudah sesuai dengan target serangan pada gedung pangkalan militer

pemberontak Houthi yang diklaim sebagai tempat penyimpanan senjata

oleh para pemberontak. Tetapi dalam serangan tersebut, Pemerintah

Indonesia tetap saja menganggap bahwa serangan tersebut merupakan

perbuatan salah dan patut dipertanggungjawabkan oleh Arab Saudi yang

berakibat pada gedung kedutaan besarnya di Yaman. Alasan pemerintah

Indonesia menganggap bahwa Arab Saudi harus bertanggungjawab ialah

atas dasar bahwa pemerintah Arab Saudi telah lalai dalam mengolah

informasi yang telah dikirimkan kepada pemerintahnya sebelum serangan

dilakukan.60 Sebelum serangan dilakukan, pemerintah Indonesia telah

mengirimkan informasi letak keberadaan gedung kedutaan besar Republik

Indonesia serta bahwa didalam gedung tersebut masih terdapat staf

diplomatik yang masih menjalankan misi penyelamatan dan pencarian

warga negara Indonesia sendiri yang masih berada di Yaman. Informasi

letak keberadaan gedung kedutaan besar Republik Indonesia tersebut

dikirim dengan tujuan bahwa gedung kedutaan besar tersebut harus


60
Imad Yousry, Wawancara, Direktorat Jenderal Timur Tengah Kementerian Luar Negeri, Jakarta
4 April 2016.

43
dijaga dan tetap diperhatikan serta diperhitungkan dalam serangan

tersebut.61

Dalam kasus serangan tersebut, pemerintah Indonesia telah

membuktikan bahwa terdapat kesengajaan berupa kelalaian dari

pemerintah Arab Saudi yang melakukan serangan bom udara dengan

tidak memperhitungkan informasi yang telah dikirimkan kepada pasukan

militernya. Pemerintah Arab Saudi dalam serangan bom udara tersebut

seharusnya dapat menjaga kedutaan besar Republik Indonesia agar tidak

terkena imbas dari serangan oleh pasukan militernya, namun pada

kenyataannya pemerintah Arab Saudi tetap saja tidak memperhatikan

informasi tentang Kedutaan Besar Republik Indonesia tersebut.

Hukum internasional menetapkan bahwa suatu tindakan negara

sebagai negara yang menikmati haknya haruslah menghormati hak

negara lainnya dengan tidak menimbulkan perbuatan yang dapat

merugikan negara lainnya. Pelanggaran atas kewajiban internasional

berupa tindakan yang menimbulkan kerugian terhadap suatu negara oleh

negara lainnya dapat kita lihat pada kasus serangan bom udara oleh

pasukan militer Arab Saudi yang mengakibatkan hancurnya gedung

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yaman, dimana pada tanggal 20

April 2015 telah terjadi serangan bom yang mengakibatkan gedung

Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yaman hancur. Serangan tersebut

dilakukan oleh pasukan militer Arab Saudi dalam rangka pembersihan

61
Ibid.

44
gudang senjata yang dimiliki oleh pemberontak Houthi di Yaman.

Serangan tersebut yang pada awalnya dimaksudkan hanya menyasar

gudang persenjataan milik pemberontak Houthi, juga memberikan dampak

kehancuran terhadap gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di

Yaman.

Menurut Shaw, terdapat unsur-unsur tersendiri sehingga suatu

tanggung jawab negara akan muncul. Unsur-unsur munculnya tanggung

jawab negara berhubungan dengan faktor dasar, antara lain: 62

a. Adanya kewajiban hukum internasional yang masih berlaku

diantara keduanya;

b. Bahwa telah terjadi suatu perbuatan atau kelalaian yang

melanggar kewajiban itu dan mewajibkan negara tersebut

bertanggung jawab;

c. Bahwa perbuatan melanggar tersebut menimbulkan

kehilangan atau kerugian.

Dalam kasus ini, perbuatan Arab Saudi sebagai negara yang

melakukan serangan udara sehingga menghancurkan Kedutaan Besar

Republik Indonesia di Yaman merupakan suatu pelanggaran atas

kewajiban hukum internasional yang diatur dalam Protokol I (1977)

Konvensi Jenewa mengenai perlindungan korban konflik bersenjata

internasional. Protokol I Konvensi Jenewa mewajibkan kepada pelaku

62
Shaw, M.N, Loc.cit.

45
operasi militer dalam melakukan serangan militernya untuk

memperhatikan keselamatan penduduk sipil, orang-orang sipil dan obyek-

obyek sipil.63 Obyek-obyek sipil tidak boleh dijadikan sasaran serangan,

serangan harus dengan tegas dibatasi hanya pada sasaran militer saja.

Adapun menurut protokol I Konvensi Jenewa tersebut, obyek-obyek sipil

ialah obyek-obyek yang pada sifatnya, letak tempatnya, tujuannya atau

kegunaannya tidak memberikan keuntungan serta sumbangan yang

efektif terhadap suatu kegiatan militer.64

Serangan yang tidak dapat membedakan sasaran juga dilarang

dilakukan dalam suatu operasi militer. Serangan-serangan yang tidak

dapat membedakan sasaran adalah serangan yang mempergunakan

suatu cara atau alat-alat tempur yang akibat-akibatnya tidak dibatasi serta

diduga dapat menimbulkan kerugian yang tidak perlu berupa jiwa orang-

orang sipil, luka-luka dikalangan orang-orang sipil, kerusakan obyek sipil

atau gabungan dari semuanya sebagaimana telah ditentukan dalam

protokol tersebut.65 Pada dasarnya bahwa dalam protokol I Konvensi

Jenewa mewajibkan bagi pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan

permasalahannya melalui operasi militer untuk melakukan serangan

militernya agar dapat mencegah serta menghindarkan dampak kerugian

yang akan timbul bagi pihak-pihak yang tidak termasuk dalam sengketa

tersebut.

63
Pasal 48, Protokol I Konvensi Jenewa, 1977.
64
Pasal 52. Ibid.
65
Pasal 51, Ibid.

46
Tentunya perbuatan Arab Saudi dalam melakukan serangan udara

yang dianggapnya ditujukan ke gudang persenjataan pemberontak Houthi

di Yaman telah menimbulkan kerugian bagi Pemerintah Republik

Indonesia yang tidak termasuk dalam pihak yang bersengketa dimana

akibat serangan tersebut telah melukai dua staf diplomatiknya serta

gedung yang menjadi perwakilan diplomatiknya di Yaman juga ikut hancur

akibat serangan udara tersebut. Negara yang bersangkutan mempunyai

kewajiban hukum internasional yang berlaku antara keduanya. Dalam hal

ini pemerintah Arab Saudi telah melahirkan kewajiban hukum

internasional atas serangan yang dilakukan oleh pasukan militernya yang

berdampak bagi kedutaan besar Republik Indonesia yang harus ditaati

sebagai negara yang berdaulat dan patuh akan prinsip hukum

internasional.

Walaupun serangan tersebut ditujukan kepada gudang senjata

milik pemberontak Houthi di Yaman, namun perbuatan tersebut dianggap

merupakan pelanggaran atas kewajiban hukum internasional yang

terdapat pada Protokol I (1977) Konvensi Jenewa dan merupakan

perbuatan yang salah menurut hukum internasional. Dapat dipastikan

bahwa gedung kedutaan besar Republik Indonesia di Yaman merupakan

suatu obyek sipil yang harus dilindungi serta dihindarkan dari berbagai

dampak serangan yang terjadi dalam suatu masa perang yang

berlangsung menurut Protokol I Konvensi Jenewa. Adapun perbuatan

salah tersebut berupa kelalaian oleh pasukan militer Arab Saudi dalam

47
melakukan serangan udara yang tidak memperhatikan lokasi serta target

dari serangan sehingga menimbulkan dampak bagi pihak yang tidak

termasuk dalam sengketa bersenjata tersebut.

Dalam serangan udara yang dilakukan oleh pasukan militernya,

Arab Saudi menargetkan bom udara ditujukan pada gudang senjata milik

pemberontak Houthi. Namun, lokasi gudang senjata tersebut berada di

pusat kota Sana’a Yaman di mana terdapat pula beberapa objek vital

yang salah satunya merupakan gedung Kedutaan Besar Republik

Indonesia. Pemerintah Arab Saudi sebagai negara yang memimpin

serangan udara seharusnya memperhatikan pula dampak yang

ditimbulkan akibat serangan tersebut. Padahal dengan dikirimkannya

rincian Longitude dan Latitude posisi gedung Kedutaan Besar Republik

Indonesia, Arab Saudi seharusnya sudah bisa mengantisipasi serangan

udaranya agar tidak berdampak pada gedung Kedutaan Besar Republik

Indonesia di Yaman.

Akibat kelalaian pasukan militer Arab Saudi dalam melakukan

serangan udara tersebut, pemerintah indonesia mengalami kerugian

materiil berupa hancurnya gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia,

rusaknya arsip dan berkas-berkas yang berada didalam gedung tersebut,

serta beberapa fasilitas pendukung yang dimiliki pemerintah Indonesia

dalam menjalankan misi diplomatiknya di Yaman seperti kendaraan-

48
kendaraan kedutaan. 66 Akibat serangan tersebut pula, dua orang staf

Kedutaan Besar Republik Indonesia mengalami luka ringan. Pemerintah

Indonesia juga tidak dapat menjalankan misi diplomatiknya di Yaman

dikarenakan gedung Kedutaan Besarnya telah hancur.

Apabila melihat praktek tanggung jawab negara dalam kasus

Amerika Serikat vs Republik Rakyat Cina (1999), pemerintah Arab Saudi

seharusnya meminta maaf atas serangan udara yang menghancurkan

Kedutaan Besar Republik Indonesia dan melakukan pertanggungjawaban

berupa ganti kerugian yang dialami oleh pemerintah Indonesia akibat

serangan tersebut. Sebagaimana dalam praktek tanggung jawab negara

dalam kasus serupa (Amerika Serikat vs Republik Rakyat Cina) bahwa

pemerintah Amerika Serikat atas perbuatannya telah menyesal dan

meminta maaf atas serangan udara yang dilakukannya sehingga

menghancurkan Kedutaan Besar Republik Rakyat Cina di Beograd dan

melakukan pertanggungjawaban berupa ganti kerugian sebanyak 28

milliar US Dollar yang telah disepakati antara kedua bela pihak.

Secara garis besarnya, jenis tanggung jawab negara dibagi menjadi

dua macam, yang pertama ialah tanggung jawab atas perbuatan melawan

hukum dan yang kedua ialah tanggung jawab atas pelanggaran perjanjian.

Di dalam kasus ini, tentu saja tindakan Arab Saudi atas serangan yang

telah melukai staf KBRI dan menghancurkan kantor Kedutaan Besar

Republik Indonesia di Yaman merupakan suatu tindakan yang melawan

66
Imad Yousry, Op.cit.

49
hukum internasional pada dasarnya. Dapat dipahami sebagai negara yang

tunduk pada aturan hukum internasional bahwa dalam prakteknya Arab

Saudi diwajibkan untuk patuh pada Protokol I (1977) Konvensi Jenewa

tentang perlindungan konflik bersenjata internasional, namun pada

kenyataannya masih terdapat perbuatan yang dianggap melanggar

kewajiban tersebut. Didalam hukum internasional juga telah dikatakan

bahwa suatu tindakan negara yang menyebabkan suatu kerugian bagi

negara lainnya merupakan suatu tindakan yang salah menurut hukum

internasional.

Negara wajib bertanggung jawab atas perbuatan kesalahan yang

dilakukannya. Negara wajib bertanggung jawab untuk memberikan full

reparation terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh the internationally

wrongful acts.67 Kerugian yang dimaksud meliputi kerugian materil dan

immateril yang disebabkan oleh negara tersebut. Tanggung jawab negara

bersifat melekat pada negara, artinya suatu negara berkewajiban

memberikan ganti rugi manakala negara itu akibat pelanggaran hukum

internasionalnya menyebabkan kerugian terhadap negara lain. Full

reparation terhadap kerugian yang disebabkan oleh the internationally

wrongful acts dapat dalam bentuk restitusi, kompensasi, penghukuman

terhadap orang yang seharusnya bertanggung jawab, permintaan maaf

atau pemuasan (satisfaction) atau kombinasi dari semuanya. 68

67
Draft Article on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts, ILC, 2001. Pasal 36.
68
Sefriani, Loc.cit.

50
Berkaitan dengan kasus serangan bom udara yang

menghancurkan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yaman oleh Arab

Saudi. Menurut penulis, pemerintah Arab Saudi terlebih dahulu harus

meminta maaf secara resmi kepada pemerintah Indonesia atas insiden

serangan bom udara tesebut, dan pemerintah Arab Saudi harus

bertanggung jawab dengan memberikan ganti kerugian terkait kasus

serangan bom udara yang menghancurkan Kedutaan Besar Republik

Indonesia di Yaman sebagaimana praktek tanggung jawab negara atas

kasus serupa yang pernah terjadi. hal itu dikarenakan sudah jelas terdapat

kerugian secara materil dari pihak Indonesia berupa hancurnya gedung,

rusaknya arsip/berkas yang dimiliki pemerintah Indonesia serta fasilitas

yang seharusnya mendukung jalannya aktivitas diplomatik di Yaman yang

harus dipertanggungjawabkan.

B. Sikap Pemerintah Indonesia atas Serangan Pada Kantor Kedutaan

Besarnya di Yaman

Penyelesaian masalah terkait sengketa dalam hukum internasional

telah dianjurkan dilakukan dengan cara yang damai. Prinsip itikad baik

(Good Faith) dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling

sentral dalam menyelesaikan sengketa antarnegara. 69 Prinsip itikad baik

dianjurkan dengan pertimbangan bahwa prinsip ini dapat mencegah

timbulnya sengketa antarnegara yang dapat mempengaruhi hubungan

69
Huala Adolf, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Hlm. 15.

51
baik negara yang bersengketa serta mencegah timbulnya penyelesaian

sengketa secara kekerasan atau peperangan.

Terkait serangan bom udara yang dilakukan oleh pemerintah Arab

Saudi ke pusat kota Sana’a Yaman sehingga memberi dampak

kehancuran terhadap Kedutaan Besar Republik Indonesia, Wakil Presiden

Republik Indonesia Jusuf Kalla menanggapi dengan ringan dan menilai

bahwa serangan bom udara tersebut tidak menargetkan pada Kedutaan

Besar Republik Indonesia di Yaman, serta mengatakan bahwa hal

tersebut merupakan resiko berada di daerah konflik.70 Adapun menurut

Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Retno Marsudi, bahwa atas

serangan yang menghancurkan Kedutaan Besar Republik Indonesia

tersebut menteri luar negeri mengecam keras serangan tersebut. 71

Setelah Arab Saudi melakukan serangan bom udara ke pusat kota

Sana’a yang menyebabkan kerusakan pada gedung Kedutaan Besar

Republik Indonesia di Yaman pada tanggal 20 April 2015, pemerintah

Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri pada tanggal 21 April 2015

memanggil pihak kedutaan besar Arab Saudi di Jakarta untuk duduk

bersama menjelaskan serta memprotes terkait serangan tersebut. Dalam

pertemuan tersebut pemerintah Indonesia menanyakan terkait informasi

yang telah dikirim sebelumnya kepada pemerintah Arab Saudi atas lokasi

70
www.detik.com/news/berita/KBRI Sanaa Cuma Terkena Imbas, Bukan Target Bom, diakses
pada tanggal 10 Mei 2016 Pukul 13.00 WITA
71
www.tempo.com/Indonesia Kecam Serangan Bom yang Kenai KBRI Yaman, diakses pada
tanggal 10 Mei 2016 Pukul 13.00 WITA

52
dan kondisi kedutaan besar Republik Indonesia di Yaman dan menilai

bahwa perbuatan pasukan militer Arab Saudi telah merugikan pemerintah

Indonesia dimana gedung kedutaan yang seharusnya dipakai untuk

melakukan misi diplomatik di Yaman telah hancur akibat serangan oleh

pasukan militer Arab Saudi tersebut. Menteri Luar Negeri Republik

Indonesia tersebut juga mengatakan bahwa merupakan kewajiban semua

pihak tak terkecuali Arab Saudi untuk tetap menghormati misi diplomatik

suatu negara walaupun sedang berada di daerah konflik 72

Setelah melakukan pertemuan dengan pihak Kedutaan Besar Arab

Saudi, atas insiden serangan tersebut melalui Kedutaan Besar Arab Saudi

pemerintah Indonesia mengirimkan nota diplomatik kepada pemerintah

Arab Saudi yang berisikan protes pemerintah Republik Indonesia terkait

serangan bom udara yang telah merugikan pihaknya. Didalam nota

diplomatik tersebut terdapat pula bukti serta rincian data berupa kerugian

yang dialami pemerintah Indonesia akibat serangan pada kantor

kedutaannya tersebut dengan tujuan dan maksud bahwa Arab Saudi

harus mengganti kerugian yang dialami pemerintah Indonesia tersebut;73

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam kunjungannya ke Timur

Tengah pada tanggal 11 september 2015, juga tidak lupa membahas

terkait serangan pada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yaman oleh

Arab Saudi untuk mengingatkan terkait permintaan ganti kerugian dari

72
Imad Yousry, Op.cit.
73
Ibid.

53
pihak Indonesia kepada pihak Arab Saudi atas gedung perwakilan

diplomatiknya yang hancur.74

Berdasarkan dari hasil penelitian penulis, dalam kasus ini jelas

bahwa pemerintah Indonesia menganggap perbuatan Arab Saudi atas

serangan ke pusat kota Sana’a Yaman merupakan perbuatan yang harus

dipertanggungjawabkan oleh Arab Saudi dan berupaya menyelesaikan

permasalahan ini dengan itikad baik. Hal itu dapat kita lihat dari sikap

pemerintah Indonesia serta berbagai macam upaya pemerintah Indonesia

dalam menyelesaikan masalah ini dengan tidak memprotes keras

menggunakan cara yang berlebihan. Langkah-langkah melalui jalur

penyelesaian secara diplomasi sampai saat ini masih terus dilakukan oleh

pemerintah Indonesia dalam meminta pertanggungjawaban kepada

pemerintah Arab Saudi.

Sejatinya dalam menyikapi serangan pada kantor kedutaan

besarnya di Yaman oleh Arab Saudi, pemerintah Indonesia

menyelesaikan permasalahan tersebut dengan itikad baik yaitu

menggunakan jalur diplomasi terlebih dahulu. Upaya diplomasi tersebut

sampai saat ini masih terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Walaupun sampai saat ini pemerintah Indonesia belum menerima bentuk

pertanggungjawaban dari pemerintah Arab Saudi, hal tersebut tidak

membuat pemerintah Indonesia beralih kepada upaya hukum yang bisa

74
www.merdeka.com/dunia/presiden-jokowi-minta-raja-saudi-ganti-kerusakan-kbri-yaman.html.
diakses pada tanggal 7 April 2016 pukul 21.00 WITA

54
ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Upaya diplomasi

terus dilakukan terlebih dahulu atas dasar pertimbangan bahwa upaya

tersebut tidak akan mempengaruhi hubungan baik antar kedua negara

yang selama ini telah dijalin bersama dalam berbagai aspek.

Melihat pada upaya pemerintah Indonesia dalam menyikapi kasus

tersebut, penulis menemukan fakta bahwa pemerintah Indonesia terkesan

lemah dalam menyikapi permasalahan ini. Hal tersebut dapat kita lihat dari

upaya pemerintah Indonesia yang terkesan menunggu

pertanggungjawaban yang akan dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi

tanpa ada penekanan terkait permintaan pertanggungjawaban tersebut.

Lamanya intensitas waktu sejak terjadinya serangan bom udara oleh Arab

Saudi dengan bentuk permintaan pertanggungjawaban yang belum

direalisasikan oleh pemerintah Arab Saudi sejak pemerintah Indonesia

melakukan protes dan penuntutan permintaan ganti kerugian menjadi

dasar pertimbangan penulis memiliki anggapan bahwa pemerintah

Republik Indonesia lemah dalam menyikapi serangan tersebut. Sejak

terjadinya serangan yang mengakibatkan kerusakan pada Kedutaan

Besar Republik Indonesia di Yaman oleh Arab Saudi pada tanggal 20 April

2015 lalu, pemerintah Indonesia sampai saat ini belum menerima ganti

kerugian atas insiden serangan tersebut. Intensitas waktu sejak

pemerintah Indonesia melakukan protes dan permintaan ganti kerugian

kepada Arab Saudi sampai saat ini sudah berlangsung selama satu tahun

55
dan belum membuahkan hasil berupa bentuk ganti kerugian oleh pihak

pemerintah Arab Saudi.

Apabila dibandingkan dengan kasus sejenis yang pernah terjadi

(Amerika Serikat vs Republik Rakyat Cina, 1999), dalam kasus tersebut

bentuk pertanggungjawaban berupa permohonan maaf dan ganti kerugian

tidak berlangsung lama setelah salah satu pihak yang dirugikan

melakukan protes dan penuntutan terhadap pihak yang membuat

kerugian. Menurut penulis, seharusnya pemerintah Indonesia dapat

dengan tegas meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah Arab

Saudi yang dalam prakteknya sebagai negara yang melakukan serangan

bom udara ke pusat kota Sana’a Yaman juga telah membuat kerugian

bagi pemerintah Indonesia sendiri. Sudah satu tahun lamanya insiden

serangan tersebut telah terjadi, apabila pemerintah Republik Indonesia

lebih tegas dalam menyikapi permasalahan ini, dapat dipastikan bahwa

pemerintah Republik Indonesia sudah menerima bentuk permohonan

maaf secara resmi dari pemerintah Arab Saudi disertai kompensasi ganti

kerugian yang diakibatkan oleh serangan tersebut.

Karateristik dan unsur dari lahirnya tanggung jawab negara telah

terpenuhi dimana bahwa telah terjadi pelanggaran atas kewajiban hukum

internasional, serta telah terjadi suatu pelanggaran atau kelalaian oleh

negara yang dimana pelanggaran atau kelalaian tersebut telah

menimbulkan kerugian bagi pihak negara lainnya. Indonesia dalam kasus

ini telah mengalami kerugian atas serangan yang dilakukan oleh pasukan

56
militer Arab Saudi, seharusnya pemerintah Indonesia dapat lebih tegas

lagi dalam meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah Arab Saudi.

57
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pemerintah Arab Saudi wajib bertanggung jawab atas insiden

serangan yang dilakukan oleh pasukan militernya yang menyebabkan

hancurnya kantor kedutaan besar Republik Indonesia di Yaman

karena telah memenuhi unsur yang menyebabkan lahirnya tanggung

jawab negara yang diantaranya adanya perbuatan atau kelalaian (act

or mission) yang dapat dipertautkan (Imputable) kepada suatu negara,

dan perbuatan atau kelalaian tersebut merupakan suatu pelanggaran

terhadap suatu kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari

perjanjian maupun dari sumber hukum internasional lainnya.

Pemerintah Arab Saudi dalam hal ini telah melanggar kewajibannya

untuk mencegah serangan militer yang dapat menimbulkan kerugian

bagi orang-orang sipil dan obyek-obyek yang tidak masuk dalam

kategori obyek serangan militer sebagaimana yang diatur dalam

Konvensi Jenewa tentang perlindungan korban konflik bersenjata

Internasional. Pemerintah Arab Saudi juga telah melanggar aturan

hukum internasional yang dimana perbuatannya sebagai negara telah

mencederai negara lainnya sehingga menyebabkan suatu kerugian

bagi negara tersebut.

58
2. Atas insiden serangan bom udara yang dilakukan oleh pasukan militer

Arab Saudi pada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yaman,

pemerintah Republik Indonesia terkesan lemah dalam menyikapi

permasalahan tersebut. Hal itu dapat dilihat pada upaya pemerintah

Republik Indonesia yang terkesan menunggu pertanggungjawaban

yang akan dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi tanpa ada

penekanan terkait permintaan pertanggungjawaban tersebut. Sejak

terjadinya serangan yang mengakibatkan kerusakan pada Kedutaan

Besar Republik Indonesia di Yaman oleh Arab Saudi pada tanggal 20

April 2015 lalu, pemerintah Indonesia sampai saat ini belum menerima

ganti kerugian atas insiden serangan tersebut.

B. Saran

1. Pemerintah Arab Saudi yang dimaksudkan dalam hal ini ialah

pasukan militernya seharusnya sebelum melakukan operasi militer

dengan serangan bom udara agar lebih memperhatikan dampak dari

serangan tersebut dan lebih memperhitungkan serangan-serangan

yang akan dilakukannya. Serangan yang dilakukannya bisa saja

menyebabkan kerugian bagi pihak lain serta menimbulkan bahaya

bahkan kematian bagi seseorang yang tidak termasuk dalam target

serangan militer.

2. Sebagai negara yang dirugikan, pemerintah indonesia harus lebih

tegas menyikapi serangan yang dilakukan oleh pasukan militer Arab

59
Saudi tersebut. Apalagi dalam hal ini pemerintah Indonesia telah

mengalami kerugian dari sisi materil maupun immateril. Cara

penyelesaian diplomatik melalui negosiasi memang sangat baik untuk

dilakukan dalam menyelesaikan masalah ini dengan pertimbangan

agar hubungan bilateral kedua negara tetap baik. Namun apabila cara

ini belum memberikan hasil, dapat saja Pemerintah Republik

Indonesia lebih tegas dalam menyelesaikan masalah ini dengan

membawa permasalahan ini ke jalur hukum yang telah disediakan.

60
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Boer Mauna, 2003, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi


dalam Era Dinamika Global), Bandung: PT. Alumni
Huala Adolf, 2011, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional,
Bandung: Keni Media
__________, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta:
Sinar Grafika
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional
Kontemporer, Bandung: PT. Refika Aditama
Malcom N. Shaw, 2013, Hukum Internasional, Bandung: Nusa Media
May Rudy T, 2002, Hukum Internasional I, Bandung: Refika Aditama
__________, 2002, Hukum Internasional II, Bandung: Refika Aditama
Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional,
Bandung: PT. Alumni
Muhammad Ashri, 2012, Hukum Perjanjian Internasional (Dari
Pembentukan Hingga Akhir Berlakunya), Makassar: Arus Timur
Sefriani, 2012, Hukum Internasional (Suatu Pengantar), Jakarta: PT.
Rajawali Pers
Starke J.G, 2010, Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Kesepuluh,
Jakarta: Sinar Grafika
___________, 1989, Pengantar Hukum Internasional 2, Aksara Persada
Indonesia
Sumaryo Suryokusumo, 2004, Praktik Diplomasi, Jakarta: Penerbit Iblam
___________________, 2013, Hukum Diplomatik (Teori dan Kasus),
Bandung: PT. Alumni
___________________, 2013, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Jilid 1,
Jakarta: Tata Nusa

61
PERATURAN TERKAIT
Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts
Konvensi Wina 1961
Protokol I Konvensi Jenewa (1977)
SUMBER LAINNYA
Agreement Between The Goverment of The United States of America and
The Goverment of The People’s Republic of China about Accidental
Bombing of The PRC Embassy in Belgrade. 16 December 1999.
Oral Presentation to The Chinese Goverment, Regarding the Accidental
Bombing of The PRC Embassy in Belgrade. 17 June 1999.
Imad Yousry, Wawancara, Direktorat Jenderal Timur Tengah Kementerian
Luar Negeri Republik Indonesia. 4 April 2016.
http://www.bbc.com/Indonesia/dunia/2015/04/150420_kbri_yaman_mengu
ngsi/html.
http://www.detik.com/news/berita/KBRI Sanaa Cuma Terkena Imbas,
Bukan Target Bom.html.
http://www.merdeka.com/dunia/siapa-sesungguhnya-pemberontak-houthi-
di-yaman.html.
http://www.merdeka.com/dunia/Presiden-jokowi-minta-raja-saudi-ganti-
rugi-kerusakan-kbri-yaman.html.
http://www.international.sindonews.com/KBRI Yaman di Bom, Semua
Kendaraan Kedutaan rusak.html.
http://www.id.wikipedia.org/wiki/Republik_Rakyat_Tiongkok/Hubungan
Luar Negeri.html.
http://www.tempo.com/Indonesia Kecam Serangan Bom yang Kenai KBRI
Yaman.html.
http://www.budhiachmadi.wordpress.com/2009/Pengeboman Kedubes
China di Beograd.html.

62

Anda mungkin juga menyukai