SKRIPSI
Universitas Hasanuddin
Oleh
F511 13 502
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini sebagai upaya untuk memenuhi
persyaratan, guna memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Departemen Sastra Daerah
yang penulis hadapi dalam proses penulisan skripsi ini, namun dengan ketekunan dan
menyadari bahwa masih terdapat berbagai kekurangan, baik materi, teknis maupun
susunan kata-kata yang belum sempurna. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis
membuka diri menerima kritik dari berbagai pihak sebagai upaya penyempurnaan
skripsi ini.
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini saya menyampaikan
1) Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA selaku Rektor Universitas Hasanuddin
2) Dekan, para Wakil Dekan dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Budaya Universitas
ii
3) Dr. Muhlis Hadrawi, M.Hum sebagai Konsultan I dan Dr. Dafirah, M.Hum sebagai
Konsultan II, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis,
4) Prof. Nurhayati Rahman, M.S sebagai penguji I dan Dr. Andi Muhammad Akhmar,
M.Hum sebagai penguji II, yang telah memberikan saran dan kritik yang sifatnya
5) Prof. Drs. Burhanuddin Arafah, M.Hum., Ph.D yang sangat berperan kepada
Hasanuddin.
6) Dr. Andi Muhammad Akhmar, M.Hum, Dr. Muhlis Hadrawi, M.Hum dan Dra. Esti
Pertiwiningsih, M.Hum, yang banyak memberikan nasehat, saran, kritik dan sangat
berperan dalam penentuan objek materil dan judul skripsi dalam penelitian ini.
7) Ketua Departemen Sastra Daerah, sekretaris dan seluruh dosen yang banyak
Hasanuddin.
8) Ibunda tercinta, Hj. Rahmawati Ukkas yang telah membesarkan serta mencurahkan
segala perhatian dan kasih sayangnya kepada ananda. Kepada Ayahanda, Aiptu
Suwardi A.R, S.H yang pada masa hidupnya telah memberikan kasih sayang dan
pengorbanan yang tak putus-putusnya. Kepada saudara dan saudariku, Randi Ariady
Suwardi S.H dan Surahmi Asih Lestari yang telah memberi dorongan dan semangat
iii
9) Tante Darmawati Ukkas, kakek H. Ukkas Lasiame, sepupu-sepupu Fatwa, Nabil,
Aulia, Fajri dan seluruh keluarga besar yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu,
10) Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya
11) Teman-teman WARANI 2013 (Adi, Afdal, Iful, Yoko, Agus, Rizal, Ismail, Dilla,
Rindi, Nisa, Tuti, Yunita, Jeanette, Irma, Ayu, Fatma, Kasma, Umroah dan Ria),
yang telah memberikan cerita indah yang begitu berharga dalam kehidupan penulis
Hasanuddin.
12) Seluruh pihak yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang telah
penelitian ini.
Semoga segala bantuan yang penulis terima dari berbagai pihak tersebut,
mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Pada akhirnya, penulis berharap karya ini dapat
bermanfaat bagi para pembacanya dan pengembangan ilmu budaya lokal Sulawesi
Selatan.
iv
ABSTRAK
v
ABSTRACT
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................... v
B. Identifikasi Masalah............................................................................................. 7
1. Manfaat Keilmuwan........................................................................................ 9
1. Konsep Toponimi.......................................................................................... 11
vii
a. Mitos Asal Usul........................................................................................ 14
a. Transliterasi .............................................................................................. 32
b. Terjemahan ............................................................................................... 37
Wajo ................................................................................................................ 39
viii
c. Sarinyameng sebagai wilayah perluasan dari Pénrang ................................. 52
ix
BAB I
PENDAHULUAN
Naskah adalah salah satu bentuk peninggalan dan kebudayaan tertulis masa silam
yang mengandung ide, gagasan dan berbagai macam pengetahuan, termasuk ajaran
keagamaan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Selain itu, naskah merupakan
dengan masa sekarang. Naskah berkaitan erat dengan kecakapan baca tulis dan
kemajuan peradaban masyarakat pendukungnya pada masa lampau, isi teks dalam
naskah dapat memberikan kesaksian yang dapat berbicara langsung kepada kita
melalui bahasa yang tertuang di dalam tulisan tersebut (Ilyas, 2011:14). Naskah
memberikan sumbangan besar bagi ilmu pengetahuan dan studi mengenai kelompok
Tulisan merupakan salah satu bukti peradaban dan perwujudan jati diri suku
bangsa tertentu saja yang memiliki aksara. Suku Bugis di Sulawesi Selatan membina
tradisi tulis yang dibuktikan dengan keberadaan lontara. Tipologi lontara dalam
1
2
keluarga bangsawan dan keluarga tertentu. Kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan pada
umumnya memiliki attoriolong, salah satunya adalah Kerajaan Wajo yang disebut
Kerajaan Wajo merupakan sebuah negeri yang sangat unik, sebab menjadi salah
satu kerajaan yang tidak mengenal sistem politik yang bersifat otokratis, melainkan
demokratis. Pemerintah dan rakyat Wajo memahami bahwa Kerajaan Wajo adalah
kerajaan yang dimiliki secara bersama oleh pemerintah dan rakyat. Seorang raja
tidaklah diangkat secara turun temurun, melainkan ditunjuk dan kemudian diangkat
oleh dewan adat yang disebut Arung Patappuloe (Dewan Adat yang beranggotakan 40
orang) (Abidin, 1985:375). Selain itu, para matoa (kepala kampung) dalam memimpin
wanua (kampung) menerapkan sistem politik yang tidak merugikan rakyat. Hal ini
V), yang pada masa itu La Tenritippe’ merampas wewenang dan hak Matoa Pabbicara
(hakim) dan mengkhianati hak-hak rakyat. Mengetahui hal tersebut, para matoa ikut
membantu rakyat dengan cara protes terhadap tindakan La Tenritippe’ dengan cara
demikian, sistem politik perkauman lokal Wajo penting menjadi satu pengetahuan
Kerajaan Wajo disebut sebagai salah satu kerajaan Bugis di Sulawesi Selatan,
muncul sebagai kerajaan federasi (kesatuan) pada akhir abad ke-14 atau sekitar tahun
1399 (Abidin, 1999:107). Sebelum Wajo muncul sebagai kerajaan federasi (kesatuan),
3
sebuah sistem sosial pada wilayah-wilayah tertentu yang disebut wanua. Unit-unit
permukiman wanua itu pada masa kini kurang lebih dapat disetarakan konteks
ada pula wanua lain yang juga disebut lebih awal muncul sebelum Wajo, misalnya
Sakkoli. Sakkoli disebutkan lahir didasari oleh legenda kerbau belang (tédong buleng)
dan Wé Tadampali, (putri Datu Luwu). Demikian juga terdapat legenda munculnya
nama wanua lain yaitu Taloténreng. Ceritanya berkaitan dengan sebuah tempat di Wajo
enau. Mereka menyadap dengan menggunakan tangga terbuat dari bambu yang disebut
ténreng, sebagian pergi menangkap ikan dengan menggunakan tuba (semacam racun
ikan) dan sebagian lagi pergi memotong kayu untuk dijadikan alliri bola (tiang rumah)
sebagai bahan dasar untuk membuat rumah besar. Mereka itu kemudian terbagi atas
tiga kelompok, yaitu orang-orang Taloténreng, orang-orang Tuwa (tuba) dan orang-
(Lamallongeng, 2011:193). Kata wanua dalam bahasa Bugis memiliki varian kata
banuwa yang artinya sama dengan kata wanua, konteksnya adalah “pemukiman
manusia”. Konteks wanua dalam skala kecil berupa kampung yang biasanya dihuni
minimal 60 kepala, namun pada skala yang lebih besar wanua dapat berarti kampung
besar dan berpenduduk banyak. Sementara itu, pemukim atau orang-orang yang
Pénrang, Majauleng, Sabbamparu dan Tekkalalla memiliki kedudukan dan fungsi yang
tiap wanua dipimpin oleh seorang kepala yang disebut matoa. Di samping itu, peran
matoa pada tiap tiap wanua tidak dapat dipisahkan dengan latar belakang berdirinya
Wanua yang dimaksud dalam Lontara Sukkuna Wajo (LSW) merupakan unit
permukiman sosial yang mengawali berdirinya Kerajaan Wajo bersatu yang kemudian
dikenal sebagai salah satu kerajaan Bugis yang pernah ada di Sulawesi Selatan. Para
matoa atau kepala kampung bersepakat untuk meneguhkan kembali dan melaksanakan
assituruseng (adat dan hukum yang dibuat atas kehendak bersama) yang dapat
1985:399).
peranan penting dalam pembentukan Kerajaan Wajo, hal itu terbukti karena wanua
kuno tersebut memiliki sistem sosial politik yang memberikan warna dalam Kerajaan
Wajo. Demikian juga hukum adat yang dikonsepkan oleh Batara Wajo (kepala
kehidupan rakyatnya pada masa itu. Itulah sebabnya Kerajaan Wajo terkenal pula
dengan hukum adatnya seperti yang dibuat oleh La Tenribali (Batara Wajo I). Menurut
(adat dan hukum adat yang lahir dari persetujuan bersama antara raja, para penguasa
adat dan rakyat), ade’ maraja (adat besar bagi raja-raja), ade’ abiasang (adat kebiasaan
bagi rakyat), tuppu’ (aturan yang mengatur tingkat-tingkat adat dan hubungan hukum
antara seorang ayah dan anaknya), wari’ (aturan untuk membedakan hal-hal yang patut
pengambilan keputusan).
dalam Lontara Sukkuna Wajo (LSW), dianggap memiliki nilai-nilai yang dipandang
masih relevan dengan kehidupan sekarang. Dari sekian banyak nilai yang terkandung
di dalamnya, salah satu nilai yang dapat direlevansikan yaitu sistem sosial politik. Nilai
inilah yang kemudian diterapkan matoa (kepala kampung), sehingga wanua yang
6
dipimpin dapat berperan aktif dalam mendirikan Kerajaan Wajo hingga menjadi salah
satu kerajaan besar yang pernah ada di Sulawesi Selatan. Dengan demikian, hal ini
sangatlah penting untuk menjadi satu pengetahuan dengan cara mengungkap nilai
sosial politik yang terdapat di dalam tulisan masa lampau (lontara). Di samping itu,
sejarah terbentuknya Kerajaan Wajo juga ikut terungkap mulai dari peristiwa
munculnya Cinnottabi sebagai wanua, hingga dikenal sebagai kerajaan besar yang
Fakta menunjukkan, bahwa selama ini belum ada penelitian yang secara khusus
sumber lontara. Oleh sebab itu, hal tersebut menarik perhatian penulis untuk
mengungkap wanua yang ada dan lebih awal muncul sebelum terbentuknya Kerajaan
Wajo, serta peranannya dalam membangun Kerajaan Wajo bersatu. Selain itu, wanua
kuno yang berperan dalam pembentukan Kerajaan Wajo, kurang dipahami oleh
bahkan sulit untuk mendapatkan yang secara khusus membahas tentang wanua-wanua
kuno Wajo. Meskipun demikian, keberadaan naskah-naskah lontara menjadi hal yang
sangat penting.
7
B. Identifikasi Masalah
Pada latar belakang masalah di atas, dijelaskan bahwa jauh sebelum Kerajaan
Wajo berdiri sebagai kerajaan berbentuk federasi (kesatuan), sudah terbentuk unit-unit
permukiman masyarakat berciri tradisional. Unit-unit permukiman itu pada saat ini
1. Wajo adalah salah satu kerajaan yang menerapkan sistem demokrasi dalam
Lontara Sukkuna Wajo (LSW) perlu diungkap secara benar dan tepat.
2. Kerajaan Wajo terkenal dengan hukum adat yang diterapkan oleh La Tenribali
(Batara Wajo I). Berdasarkan hal tersebut hukum adat yang terkandung dalam
Lontara Sukkuna Wajo (LSW) perlu diungkap dalam rangka satu pengetahuan.
3. Konsep wanua yang diterapkan pada masa lalu oleh para matoa (kepala
sebelum Wajo terbentuk memiliki kedudukan dan fungsi yang penting bagi
4. Nilai sosial politik yang dibangun oleh para matoa (kepala kampung) bersama
C. Batasan Masalah
penelitian ini adalah konsep yang dimiliki wanua-wanua kuno Wajo sebagai suatu
sistem yang memiliki kedudukan dan fungsi penting yang membangun sebuah kerajaan
dalam konteks masa lalu, dan konteks masa kini dapatlah disetarakan dengan suatu
daerah ataupun negara. Konsep ini juga menjadi dasar atau pondasi yang berbentuk
aturan-aturan sebuah kerajaan atau negara. Masalah tersebut akan dirumuskan dan
D. Rumusan Masalah
lebih memudahkan dan memfokuskan pada satu pokok masalah penelitian, maka
masalah tersebut perlu dirumuskan agar mendapatkan hasil penelitian yang ingin
dicapai. Masalah tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.
E. Tujuan Peneltian
bertujuan untuk:
9
2. Menjelaskan hubungan politik antara wanua yang satu dengan wanua lainnya.
Federasi Wajo.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Keilmuwan
a. Penelitian ini mengangkat isu Kerajaan Wajo kuno yang dikaji pada sumber-sumber
naskah. Oleh karena itu, penelitian ini dapat memiliki manfaat sebagai bahan bacaan
bagi mahasiswa yang ingin melakukan pengkajian yang sama sebagai bahan acuan
b. Literatur berciri kajian filologi yang berkaitan dengan isu sejarah dan Kerajaan
Wajo pada masa kini, dapat memberikan wawasan kepada pembaca tentang
c. Penelitian ini dapat menyajikan informasi tentang kerajaan kuno Wajo secara benar,
dengan cara memanfaatkan naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) sebagai sumber
informasi atau data dalam studi kerajaan lokal serta kearifan lokal.
10
2. Manfaat Praktis
lokal, khususnya mengenai konsep wanua secara tradisional serta menjadi rujukan
bagi pemimpin atau masyarakat dalam membangun sebuah daerah dengan melihat
b. Hasil penelitian ini dapat membangun kesadaran pada masyarakat akan pentingnya
mengkaji naskah- naskah kuno, sebab mengandung informasi masa lampau yang
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Konsep Toponimi
Tiap unsur di muka bumi yang disebut unsur geografi atau unsur rupabumi,
seperti gunung, bukit, sungai, tanjung, pulau, lembah, selat dan sebagainya diberi nama
oleh manusia sejak manusia ingin mengidentifikasi lingkungan fisiknya di muka bumi
untuk tujuan komunikasi sesama manusia atau untuk acuan dengan menunjuk suatu
Toponim dalam bahasa Inggris disebut “toponym” secara harfiah, artinya nama
tempat di muka bumi. (“topos” adalah “tempat” atau “permukaan” seperti “topografi”
adalah gambaran tentang permukaan atau tempat-tempat di bumi, dan “nym” dari
“geographical names” (nama geografi) atau “place names”. Ada istilah “topologi”,
yaitu suatu cabang matematika yang berkaitan dengan sifat-sifat geometri suatu figure
yang tidak berubah jika ditransformsi dengan suatu cara tertentu (Webster’s New
World Dictionary, 1960). Dalam bahasa Indonesia kita pakai istilah “nama unsur
geografi” atau “nama geografis” atau “nama rupabumi”. Rupabumi adalah istilah
11
12
tentang Pemerintah Daerah di pasal 7 disebut “nama bagian rupabumi” (topografi) atau
nama “unsur rupabumi”. Begitu juga dalam Peraturan Presiden No.112 Tahun 2006
tentang Tim Nasional Pembukuan Nama Rupabumi, memakai istilah “nama rupabumi”
pengertian:
a. Ilmu yang mempunyai objek studi tentang otptonim pada umumnya dan
Orang mengenal nama unsur geografi dari peta, karena peta tanpa nama
geografisnya adalah suatu buta. Sebenarnya adanya nama unsur geografi adalah lebih
awal sebelum peta dibuat. Nama unsur geografi muncul pertama kali ketika manusia
mendiami suatu wilayah dan perlu member nama pada unsur-unsur geografi yang ada
Muka bumi yang disebut jugu rupa bumi (hipsografi). Sehingga manusia
memberi nama pada unsur-unsur medan yang bervariasi tersebut seperti gunung, bukit,
lembah, pantai, kemudian mengaliar pula sungai-sungai, danau, laut, selat, tanjung,
serta pulau-pulau berupa daratan yang dikelilingi oleh air atau laut yang selalu berada
di atas air atau laut tinggi, artinya tidak tenggelam. Kemudian muncul pemukiman
berupa desa, kota, jalan dan bangunan dan akhirnya batas-batas administratif. Inilah
unsur-unsur peta topografi atau peta rupabumi dan posisi unsur-unsur tapi ditetapkan
dalam system koordinat yang berlaku secara nasional. Di samping itu ada unsur-unsur
13
rupabumi berlanjut atau menyambung tidak terputus oleh lautan, namun sebagian
berada di bawah muka laut jika dapat kita banyakan jika laut tidak ada di bumi ini.
Mengingat luasnya lautanyang menutupi bumi adalah 75% maka unsur yang terlihat
Justru, dalam wilayah daratan muka bumi yang 25% dari bumi keseluruhan
terdapat lebih banyak nama unsur georgrafi atau nama rupabumi karena tidak hanya
terkait dengan unsur geografis alami saja seperti gunung, sungai, lembah, pulau, selat,
bukit, dan sebagainya, tetapi juga nama unsur geografi buatan seperti kota, desa, dan
infrastruktur buatan manusia seperti jalan, bandungan, bandar udara, terminal, kawasan
konservasi, kawasan pemukiman, dan sebagainya. Yang termasuk 75% dari muka bumi
adalah unsur rupa bumi bawah laut atau tepatnya di dasar laut, sebagaimana juga di
atas muka bumi, di dasar laut ada gunung, lembah, cekungan (basin), palung, parit,
manusia di lembah sungai Nil (peradaban mesir Kuno), di lembah sungai Eufrat dan
(Harappa) lebih dari 2000 tahun sebelum Masehi ketika ditemukannya peta-peta di
masa silam di atas daun papyrus (di zaman peradaban Mesir kuno) atau peta tablet
tanah liat di lembah sungai Eufrat dan Tigiris (Moore, 1983) di masa berkembangnya
peradaban Mesopotamia di Irak. Peta-peta Cina kuno di abad ke-18 (Harvey 1980) juga
dilengkapi dengan nama-nama unsur geografi untuk suatu daerah permukiman seperti
nama sungai, gunung, bukit, pulau, desa, dan sebagainya. Dengan kata lain penamaan
14
unsur geografi adalah sama tuanya dengan peradaban manusia. Karena nama-nama
unsur geografi diberikan oleh manusia yang bermukim di suatu wilayah, maka nama-
nama unsur geografi dapat dipakai untuk menelusuri suku bangsa atau kelompok etnis
Banyak nama unsur geografi yang diberikan oleh manusia di masa lalu ketika
pertama kali mendiami suatu wilayah yang berdasarkan legenda atau cerita-cerita
rakyat. Sebagai contoh, sebuah gunung sebagai unsur geografi di Jawa Barat yang
bernama Gunung Tangkuban Parahu dan nama ini terkait dengan legenda Sangkuriang.
Legenda ini tidak khas legenda Jawa Barat saja kere terdapat juga di Jawa Timur,
tentang legenda bagaimana Gunung Batok terjadi di kawah Gunung Bromo, yang juga
sama dengan legenda Sangkuriang. Legenda ini juga tercatat di suku-suku bangsa
pelinesia di kawasan Pasifik Selatan. Dengan kata lain, dari legenda yang sama yang
terjadi di beberapa wilayah yang luas dapat dikaji asal usul pemukiman yang berasal
dari suku bangsa yang sama yang mendiami suatu wilayah di masa lalu. Begitu juga
kota Banyuwangi berasal dari suatu legenda di masa lalu (Jacub, 2015:7-8).
tujuan manusia, yang akhirnya dengan mitos manusia dapat tahu apa tujuannya dan
asal usul dari mitos yaitu: euhemerisme (penafsiran historis), alegori, personifikasi dan
teori mitos-ritual. Mitos berupaya menceritakan kejadian sejarah di masa lalu. Menurut
15
Kuntowijoyo, (1999:8) yang membedakan mitos dan sejarah hanya pada dua titik
singgung, yaitu:
2) Mitos dianggap memuat kejadian yang tidak masuk akal, menurut sudut
1998:228). Mitos kaya dengan peristiwa dan kejadian yang luar biasa, ganjil dan aneh.
Masyarakat Melayu zaman silam mempercayai bahwa setiap kejadian luar biasa, ganjil
atau aneh mempunyai tujuan-tujuan atau alamat-alamat yang tertentu. Hal ini berlaku
sebagai hasil daripada keakraban hubungan masyarakat Melayu dengan flora dan fauna
sekeliling mereka. Nilai mitos adalah cerita yang menggambarkan segala sesuatu yang
dipandang penting oleh seseorang atau suatu masyarakat. Nilai mitos mengarahkan
seseorang untuk berperilaku yang sesuai dengan budayanya. Nilai mitos biasanya
berlangsung lama dan sulit berubah. Nilai mitos juga dapat mempengaruhi sikap
seseorang yang kemudian sikap akan berpengaruh pada perilaku masyarakat (Rara
Sihat, 2011).
Menurut Bascom, (1965:4-5) mite adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap
benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh
para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia
yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Mite pada
16
maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam dan sebagainya. Mite juga
buah perasaan manusia dan informasi mengenai berbagai segi kehidupan yang pernah
ada. Karya-karya dengan kandungan informasi mengenai masa lampau itu tercipta dari
latar sosial budaya yang tidak ada lagi atau yang tidak sama dengan latar sosial budaya
masyarakat pembaca masa kini. Peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu
beberapa puluh atau ratus tahun yang lalu pada saat ini dalam kondisi yang sudah
mengalami kerusakan atau berwujud sebagai hasil dari suatu proses penyalinan yang
telah berjalan dalam kurun waktu yang lama. Di samping itu, pada saat ini telah
mengalami kerusakan atau perubahan, baik karena faktor waktu maupun karena faktor
kesengajaan dari penyalinnya. Gejala demikian terbaca pada munculnya variasi bacaan
Kondisi karya tulis masa lampau dengan karakteristik seperti yang dijelaskan di
produk masa lampau. Dalam hal inilah, ilmu filologi diperlukan. Jadi, filologi
17
merupakan satu disiplin yang diperlukan untuk satu upaya yang dilakukan terhadap
peninggalan tulisan masa lampau dalam rangka kerja menggali nilai-nilai masa lampau.
lampau tersebut pada hakikatnya merupakan suatu budaya, produk dari kegiatan
dengan studi terhadap hasil budaya manusia pada masa lampau. Pengertian hasil
budaya disini dipakai untuk menyebut antara lain buah pikiran, perasaan, kepercayaan,
adat kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Jadi, filologi
c. Kondisi fisik dan subtansi materi informasi akibat rentang waktu yang
panjang.
masa lampau yang tidak ada lagi atau tidak sama dengan latar sosial budaya
dalam penelitian filologi itu adalah mendapatkan kembali naskah yang bersih dari
18
kesalahan, yang berarti memberikan pengertian yang sebaik-baiknya dan yang bisa
yang paling dekat pada aslinya karena naskah itu sebelumnya mengalami penyalinan
untuk kesekian kalinya serta cocok pula dengan kebudayaan yang melahirkannya,
sehingga perlu dibersihkan dari tambahan yang diterakan dalam zaman kemudian yang
dilakukan waktu penyalinannya. Hal ini penting supaya isi naskah tidak
Dengan demikian, suatu naskah harus lebih dahulu diteliti secara cermat,
diperbandingkan dan dibetulkan. Setelah itu, barulah naskah itu dapat dipergunakan
untuk penelitian lain, seperti sejarah, undang-undang, agama, atau sosiologi. Penelitian
filologi ini perlu dilakukan untuk mengetahui, apakah isi naskah itu tidak salah atau
disadur orang lain; apakah isinya tidak berbeda antara satu naskah dan naskah lain.
Kalau terdapat perbedaan, apakah perbedaan itu disebabkan salah tulis, salah baca,
naskah baru boleh dibahas isinya, kalau naskah yang bersangkutan sudah diteliti
sedalam-dalamnya secara filologi. Sebelum studi filologi dilakukan, isi naskah itu
belum dapat dipastikan kebenarannya. Boleh dikatakan, teks yang dugunakan itu baru
bersifat sementara, sebab tidak bisa ditutup kemungkinan, bahwa teks yang digunakan
disalahartikan oleh ahli sejarah, ahli sosiologi, ahli hukum, dan sebagainya.
Secara khusus tugas pokok penelitian filologi disebut krtik teks. Kritik teks
adalah perbandingan, pertimbangan, dan penentuan teks yang asli atau teks yang
pertanggungjawaban perbaikan teks itu, semua perbedaan teks itu dicatat dalam sebuah
Penyuntingan naskah dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode standar
dan metode diplomatik. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode standar (biasa). Metode tersebut dipilih karena objek dalam penelitian ini
dianggap sebagai cerita biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau penting dari sudut
pandang agama atau sejarah, sehingga tidak perlu diperlakukan secara khusus atau
istimewa. Berbeda dengan metode diplomatik yaitu metode yang digunakan apabila isi
cerita dalam naskah itu dianggap suci atau dianggap penting dari segi sejarah,
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam edisi standar antara lain, yaitu:
a. mentransliterasikan teks;
Tujuan penggunaan metode standar ini adalah untuk memudahkan pembaca atau
Tujuan utama penelitian filologi, khususnya kritik teks itu adalah menentukan
teks yang asli (autografi), teks yang mendekati teks asli (arkhetip) atau teks yang
mentransliterasikan teks dengan tugas utama menjaga keaslian atau ciri khusus
penulisan kata dan menerjemahkan teks yang ditulis dalam bahasa daerah ke bahasa
Indonesia. Tujuan penelitian filologi yang ketiga adalah menyunting teks dengan
huruf kapital, tanda-tanda baca, penyusunan alinea, dan bagian-bagian cerita. Tujuan
penelitian filologi keempat adalah mendeskripsikan kedudukan dan fungsi naskah dan
teks yang diteliti supaya dapat diketahui tempat karya sastra yang diteliti itu dalam
kelompok atau jenis sastra yang mana dan apa manfaat dan gunanya karya sastra itu.
Selain tujuan yang telah dijelaskan di atas, filologi juga memiliki peranan kerja
dalam pengembangan kebudayaan. Kebudayaan yang berasal dari beberapa abad yang
lalu dapat dikenal kembali dalam bentuk bermacam-macam, antara lain naskah-naskah,
tulisan yang terdapat pada batu, candi-candi atau peninggalan purbakala yang lain,
serta ada juga yang berbentuk sastra lisan. Peninggalan suatu kebudayaan yang berupa
pendukungnya karena memiliki kelebihan yaitu dapat memberi informasi yang luas,
dibanding peninggalan yang berbentuk puing bangunan besar seperti candi, istana raja,
dan permandian suci. Peninggalan yang berbentuk puing bangunan besar itu memberi
tertentu yang hasilnya dapat dirasakan oleh generasi selanjutnya. Manusia dapat
berpedoman kepada nilai-nilai yang diwariskan oleh generasi sebelumnya atau dapat
21
Oleh karena ruang lingkup kebudayaan itu luas sekali, dalam hal ini bahasa tidak hanya
meliputi bahasa dalam arti yang sempit, melainkan meliputi segala macam simbol dan
lambang yang dapat mencatat kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi
yang lain. Pada umumnya, hasil budaya manusia makin hari makin sempurna. Dalam
baru. Jadi, pada dasarnya kebudayaan itu merupakan suatu proses belajar besar yang
tidak menjamin kemajuan dan perbaikan sejati. Dengan berguru kepada kesalahan dan
kekeliruan, manusia mungkin akan menjadi lebih bijaksana. Kekeliruan dan kesalahan
Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari berbagai sumber, adapun hasil
Husnul Fahimah Ilyas (2011) dalam tulisannya yang berjudul “Lontara Sukkuna
Wajo”, membahas telaah ulang awal Islamisasi di Wajo dengan menggunakan metode
filologi dan pendekatan sejarah. Manuskrip sebagai sumber utama dalam penelitian ini
mencoba menguak dan merekonstruksi eksistensi Islam di Wajo, hal ini merupakan
sebuah upaya untuk memperkaya referensi para akademisi serta praktisi dengan cara
mengelaborasi berbagai sumber lokal (manuskrip) dan berbagai penelitian yang terkait.
22
Arkeologi terhadap kompleks permukiman kuno yang terletak di tiga desa dalam
Lingkungan Purba dan Jejak Arkeologi Peradaban Soppeng (2016). Penelitian ini
Soppeng” dalam buku Lembah Walennae Lingkungan Purba dan Jejak Arkeologi
Secara khusus kajian wanua dari segi arkeologi dilakukan oleh Akin Duli (2010)
jurnal walennaē volume 12, nomor 2 dengan judul “Peranan Tosora Sebagai Pusat
pusat pemerintahan Kerajaan Wajo Abad XVI-XIX yang dibuktikan dengan beberapa
Kajian wanua dari sudut pandang arkeologi juga dilakukan oleh Rustan dan Adi
Mulyadi (2002) tulisannya pada jurnal Walennaē volume 5, nomor 2 dengan judul
peninggalan Kerajaan Wajo berupa menhir yang banyak ditemukan pada situs
Kajian wanua secara arkeologi dilakukan pula oleh David Bulbeck dan Budianto
Hakim (2005) dalam jurnal walennaē volume 11, nomor 2 dengan judul “The
Allangkanangngē di Latanete, sebagai pusat Kerajaan Wajo pada abad ke-13 Masehi
sampai dengan abad ke-17 Masehi yang dibuktikan dengan penemuan fragmen gerabah
Sementara itu dari sudut pandang sejarah, Fitra (2011) dalam tulisannya yang
Penelitian ini terfokus pada pemukiman yang ada di Makassar khususnya Daya di
pemukiman dalam wilayah Kota Makassar yaitu pada masyarakat Daya yang secara
terus menerus mengalami peningkatan dari kehidupan bertani menjadi kehidupan yang
heterogen (kompleks).
C. Kerangka Pikir
Yang menjadi objek kajian utama dalam penelitian ini adalah naskah Lontara
Sukkuna Wajo (LSW). Dalam naskah tersebut, masalah yang akan diteliti adalah
24
Berdasarkan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, penulis memaparkan
lebih awal daripada Kerajaan Wajo, hubungan politik antara wanua satu dengan wanua
lainnya, serta peranan masing-masing wanua kuno terhadap Kerajaan Wajo. Kerangka
Temuan:
Enam toponimi kuno: Paung, Pénrang, Sarinyameng, Saébawi, Boli dan Cinnotabi.
Di antara enam wanua tersebut, Boli, Pénrang dan Cinnotabi merupakan wanua
utama.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Menurut Nazir (1988:5) metode penelitian adalah urutan kerja yang harus
di lapangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif, yaitu metode kualitatif yang akan menghasilkan data deskriptif. Metode
melainkan data tersebut berasal dari naskah, wawancara, catatan lapangan, dokumen
pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari
penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan dan memahami suatu situasi
sosial, peristiwa, peran, interaksi serta realita empirik di balik fenomena secara
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan kejadian atau
fakta, keadaan, fenomena, variabel, dan keadaan yang terjadi saat penelitian
menafsirkan dan menguraikan data yang bersangkutan dengan situasi yang sedang
25
26
terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam suatu masyarakat, pertentangan
antara dua keadaan atau lebih, hubungan antar variabel yang timbul, perbedaan antar
fakta yang ada serta pengaruhnya terhadap suatu kondisi dan sebagainya.
suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada
masa sekarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran,
atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
bahasa dan peristilahannya. Penelitian kualitatif pada hakikatnya adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan
manusia. Dalam penelitian ini yang dilakukan peneliti adalah penelitian yang berada
pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan terhadap hasil penelitian yang diinginkan
dalam hal ini wanua-wanua kuno Wajo berdasarkan Lontara Sukkuna Wajo (LSW).
Adapun masalah yang dapat diteliti dan diselidiki oleh penelitian deskriptif
kualitatif ini mengacu pada studi kuantitatif, studi komparatif (perbandingan), serta
dapat juga menjadi sebuah studi korelasional (hubungan) antara satu unsur dengan
unsur lainnya. Kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data, analisis data,
27
interpretasi data, dan pada akhirnya dirumuskan suatu kesimpulan yang mengacu pada
Sugiyono (2007:9) makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti merupakan
suatu nilai dibalik data yang tampak. Dengan kata lain, penelitian ini menuntut peneliti
data dengan teknik utama yaitu wawancara mendalam (indepth interview). Data akan
dikumpulkan dalam berbagai cara intisari dokumen, observasi, dan notulensi rekaman
wawancara. Data-data tersebut biasanya terlebih dulu diproses sebelum siap digunakan
Selain itu, metode kualitatif ini dalam menggunakan analisis sebagai sebuah
sistematik dan obyektif karakteristik khusus dalam sebuah teks. Analisis isi maksudnya
buku, dan sebagainya. Sifatnya yang non reaktif, akan menghindarkan dari hal-hal
Inti dari metode penelitian ini adalah upaya untuk membuat gambaran tentang
kondisi atau kejadian masa lalu yang dapat direlevansikan dalam kehidupan saat ini.
Wajo (LSW) dengan tujuan menginformasikan kepada masyarakat sebagai bagian dari
pemertahanan kearifan lokal Sulawesi Selatan. Dengan demikian metode penelitian ini
28
menganalisis obyek penelitian yaitu narasi dokumen dengan apa adanya, sebagaimana
yang termuat dalam dokumen ilmiah sehingga data yang diperoleh dapat terjamin.
B. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah transkripsi dan terjemahan naskah
Lontara Sukkuna Wajo (LSW), yang telah dibukukan Prof. Andi Zainal Abidin dengan
judul “Wajo Pada Abad XV-XVI”. Adapun naskah lontara tersebut milik Andi
Bettempola yang mendahuluinya dan berbagai lontara. LSW karya Andi Makkaraka
ini ditetapkan sebagai buku sejarah resmi oleh pemerintah Kabupaten Wajo, oleh
karena lebih lengkap isinya daripada lontara-lontara Wajo lain. Hal ini yang kemudian
menjadi alasan utama penulis, sehingga memilih LSW milik Andi Makkaraka sebagai
lain pengalihan tuturan (yang berwujud bunyi) ke dalam bentuk tulisan; penulisan kata,
terjemahan adalah satu proses dalam kajian filologi yang berupa penggantian bahasa
asli teks ke dalam bahasa lain atau biasa disebut alih bahasa dengan maksud
memudahkan pembaca dalam memahami teks. Terjemahan terbagi atas tiga macam
sebagai berikut.
29
1. Terjemahan harfiah adalah terjemahan kata demi kata, dekat dengan aslinya,
2. Terjemahan isi atau makna yaitu kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sumber
3. Terjemahan bebas adalah keseluruhan teks bahasa sumber diganti dengan bahasa
sasaran secara bebas tanpa meninggalkan pesan yang diungkapkan dalam teks.
berupa inventarisasi naskah. Dari hasil inventarisasi naskah, diperoleh naskah Lontara
Sukkuna Wajo (LSW) yang terdapat pada koleksi lembaga dan pribadi Andi Ahmad
transkripsi dan terjemahan naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) dalam disertasi Prof.
Zainal Abidin, yang telah dibukukan dengan judul “Wajo Pada Abad XV-XVI”.
Di samping katalogus naskah, sumber data lain adalah melakukan studi pustaka
dengan penelitian ini, seperti sejumlah buku-buku dan jurnal, melakukan wawancara
secara langsung terhadap informan yang dianggap mengetahui isu yang akan dibahas
dalam penelitian ini dan sumber lainnya yang menunjang penyusunan penelitian ini.
30
sumber sejarah dan arkeologi yang telah ada sebagai hasil penelitian terdahulu
diantaranya buku, jurnal, monograf dan lain-lain. Adapun hasil penelitian terdahulu
telah dilakukan oleh Zainal Abidin (1985) yang membahas tentang sejarah Wajo pada
abad XV-XVI termasuk asal usul berdirinya kerajaan Wajo. Selanjutnya Muhlis
Hadrawi (2016) yang membahas tentang kedudukan dan peranan wanua-wanua kuno
khusus dari segi arkeologi Akin Duli (2010) yang mengungkap peranan Tosora sebagai
pusat pemerintahan Kerajaan Wajo Abad XVI-XIX yang dibuktikan dengan beberapa
benteng pertahanan, serta kompleks makam raja-raja. Kajian secara arkeologi juga
dilakukan Rustan dan Adi Mulyadi (2002) yang mengungkap peninggalan Kerajaan
Wajo berupa menhir yang banyak ditemukan pada situs Cinnottabi, situs Wajo-Wajo,
situs Kobbaé dan situs Tosora. Kajian secara arkeologi dilakukan pula David Bulbeck
pusat Kerajaan Wajo pada abad ke-13 sampai abad ke-17 Masehi yang dibuktikan
2. Deskripsi Naskah
Naskah yang dimaksud disini adalah semua bahan tulisan tangan peninggalan
nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu dan rotan. Dalam menghasilkan
sebuah edisi teks yang lengkap, penulis menggunakan dua sumber data dalam
penelitian ini, yaitu naskah Lontara Sukkuna Wajo koleksi Andi Makkaraka dan
31
transkripsi dan terjemahan Lontara Sukkuna Wajo dalam disertasi Prof. Andi Zainal
Abidin yang telah dibukukan. Lontara Sukkuna Wajo (LSW) merupakan lontara
attoriolong atau historiografi yang menceritakan sejarah panjang Kerajaan Wajo, mulai
awal adanya kehidupan manusia di Wajo, yang bercikal dari Lampulungeng hingga
Kerajaan Wajo menjadi salah satu kerajaan besar yang pernah ada di Sulawesi Selatan.
Sedangkan disertasi Prof. Andi Zainal Abidin yang telah dibukukan dengan judul
“Wajo Pada Abad XV-XVI” merupakan buku yang menceritakan peristiwa sejarah
terpendam Sulawesi Selatan dari lontara, salah satu di dalamnya terdapat transkripsi
dan terjemahan LSW. Teks LSW tebalnya berjumlah 485 halaman, tiap halaman
berukuran panjang 35 cm, lebar 24 cm dan terdiri dari 30 baris tulisan kalam.
Sedangkan transkripsi dan terjemahan LSW tebalnya berjumlah 225 halaman, tiap
pertama kali menulis LSW yang diperintahkan Arung Matoa La Mappajung Puanna
Salowong (1764-1767), untuk mengumpulkan lontara sejarah yang ada di Wajo guna
dibandingkan satu sama lain, sehingga lahirlah yang disebut Lontara Sukkuna Wajo
(LSW). Setelah La Sangaji meninggal dunia, lontara ini ditambah oleh beberapa orang
La Jamero dan terakhir Andi Makkaraka. Menurut keterangan Andi Makkaraka, bahwa
beliau menulis LSW berdasarkan karya para Ranreng Bettempola yang mendahuluinya
dan berbagai lontara yang berasal dari berbagai daerah, yang menurut beliau
32
dinamakan juga Lontara Sukkuna Wajo (LSW) oleh karena lebih lengkap daripada
lontara-lontara lain.
a. Transliterasi
Sistem Aksara lontara Bugis bersifat sillabik, maksudnya setiap huruf mewakili
satu kata yang berunsur vokal. Sebagai contoh: k (ka), l (la), s (sa), g (ga),
a (a). tulisan sebuah kata tidak langsung melambangkan bunyi secara lengkap, tetapi
pula dapat menghasilkan bunyi yang banyak dengan makna yang berbeda-beda
(homonim). Sebagai contoh, tulisan kEsi (ke-si) dapat dibaca kessing (cantik, bagus,
indah), kessi’ (pasir), kkesi (datang lagi) dan bunti lain yang tidak mempunyai arti
seperti kesi, kesing, kesi’ dan kessi; tulisan bol (bo-la) dapat dibaca bola (rumah),
bolla’ (tersengat panas), bolang (nama sebuah kampung di Wajo), dan bunyi lain tidak
memiliki arti seperti bolla, bola’, dan bollang. Mempertimbangkan ciri aksara Bugis
yang rumit tersebut maka sepatutnya edisi teks dilakukan setelah membuat transliterasi
teks Bugis disebabkan karena tidak terdapat tanda (unmarked) untuk lambang bunyi
geminat, nazal, dan hamzah (glottal stop). Jadi, untuk mendapatkan hasil pembacaan
atau bunyi yang tepat pada sebuah kata yang beraksara lontara sangat ditentukan oleh
konteks kalimat dan penguasaan bahasa Bugis yang cukup bagi pembaca. Adapun
bentuk aksara lontara (indo’ sure’) serta tanda vokal (ana’ sure’) adalah sebagai
berikut.
33
Aksara k g G K p b m P t d n R
ka ga nga ngka pa ba ma mpa ta da na nra
Bunyi
c j N C y r l w s a h
Aksara
ca ja nya nca ya ra la wa sa A ha
Bunyi
pembacaan. Demikian pula dalam teks-teks LSW yang dijumpai, misalnya ada
beberapa aksara yang mengalami perubahan bentuk dari bentuk dasar. Selain itu pula
terdapat teks yang ditulis tanpa menggunakan spasi atau pembatas antar-kata dan
kalimat. Ada pula kesalahan berupa penulisan kata, kerusakan teks, dan lain-lain.
aspek seperti pemakaian lambang bunyi, sistem penulisan kata, dan pengaturan tanda
34
baca. Untuk kepentingan pengalihan sistem penulisan bahasa Bugis ke aksara Latin,
maka digunakan EYD sebagai pola umum. Akan tetapi, terdapat lambang bunyi yang
perlu dinyatakan secara khusus sebab faktor identitas bunyi bahasa Bugis memiliki
perbedaan dengan sistem bunyi bahasa Latin. Meski demikian, dapat dikatakan bahwa
bunyi huruf dalam bahasa Bugis hampir tidak menunjukkan perbedaan dengan bunyi
Edisi teks disajikan dalam bentuk transliterasi, yaitu dalam aksara Latin. Sistem
transliterasi ditetapkan berdasarkan pola lambang bunyi yang meliputi bunyi hamzah
Bunyi hamzah dalam bahasa Bugis dilambangkan dengan tanda atau huruf ( q ).
Tanda ini dalam sistem transliterasi Bugis juga dipakai oleh Fachruddin Ambo Enre
Sastra Bugis Klasik Galigo [1999], demikian pula Mattulada dan Mills. Selain tanda (
q ) untuk identifikasi bunyi hamzah, dikenal pula tanda lain, yaitu apostrop ( ‘ ) dipakai
oleh Matthes [1874 dan 1875], tanda hamzah ( ‘ ) oleh Noorduyn (1955:4), dan huruf
(Hadrawi, 2009:49).
Bunyi hamzah pada bahasa Bugis umumnya berada di akhir kata dasar, contoh:
manu’, puse’, lekke’, gemme’, seterusnya. Bunyi hamzah berada di tengah kata apabila
kata dasar seperti di atas diikuti klitik ku’, mu, na, dan ta’. Contoh: kata puse’ diikuti
+ ta’ “manu’ta” (ayam anda), dst. Begitu pula pada kata majemuk, jika kata pertama
maka bunyi hamzah tetap muncul. Contoh: kata sesse’ + ale’ membentuk kata
mejemuk menjadi sesse’ kalé (penyesalan diri); kata sekke’ + pittara membentuk kata
Bunyi nazal (ny dan ng) yang mengalami geminat di dalam suku kata tetap ditulis
utuh karena mempertimbangkan identitas bunyi tuturan bahasa Bugis. Contoh, kata
anynyarang (kuda) tidak ditulis annyarang; kata bengngo (bodoh) tidak ditulis
benngo. Sistem penulisan yang dipakai untuk geminat nazal berbeda dengan sistem
yang dipakai oleh Enre (1999), yang menghilangkan satu huruf atau konsonan
rangkapnya dengan alasan penulisan praktis. Contoh sistem yang dipakai oleh Enre:
kata lenynye’ (hilang) ditulis menjadi lennye’; kata bengnga (heran) ditulis menjadi
Kode vokal e pepet dan e taling juga ditunjukkan perbedaan bunyinya pada
transliterasi untuk menghindari salah baca dan salah pengertian sebuah kata. Untuk
menunjukkan perbedaan bunyi kedua kode vokal ini, maka salah satunya diberikan
tanda dan yang lainnya tidak. Kode vocal e yang diberikan tanda ialah taling dengan
Taling Pepet
lémo (jeruk) kessi (pasir)
wéré (nasib) wenni (malam)
élong (lagu) berre (beras)
Aksara Bugis juga tidak mengenal sistem huruf capital, namun pada hasil
transliterasi huruf capital digunakan dengan mencontoh sistem teks bahasa Indonesia
(Latin). Huruf kapital dalam teks transliterasi Bugis dipakai untuk nama orang, nama
tempat, dan huruf pertama pada kata di awal kalimat. Huruf kapital juga dipakai pada
proklitik atau kata sandang To (to), Wé (ew), La (l), É (ea) dan I (ai) pada
sistem penamaan orang Bugis. Proklitik atau kata sandang tersebut ditulis dengan huruf
kapital dan terpisah dengan nama diri, contoh: To Samallangi, La Tenribali, I Tenrisui,
ciri khas dalam aksara Bugis. Bunyi pada akhir kata dalam bahasa Bugis hanya ada tiga
yaitu bunyi vokal (a, i, u, o, dan é taling), nazal ng, dan hamzah ( ‘ ). Bunyi yang
mengalami perubahan atau penyelarasan bunyi ialah nazal, sedang kata yang berakhir
vocal dan hamzah tidak mengalami penyelarasan. Umumnya, yang berubah hanya kata
kedua atau kata yang mengikutinya. Perubahan bunyi nazal (ng) pada sebuah kata
terjadi akibat persinggungan dengan kata lain. Sementara itu penyelarasannya terjadi
pada akhir suku kata pertama atau pada awal suku kata kedua. Contoh persinggungan
Penyelarasan bunyi nazal juga terjadi pada kata ulang yang sistem perubahannya
hampir sama dengan contoh kata di atas. Perubahan bentuk dan bunyi muncul
sebagai berikut.
Sistem tanda baca dalam teks naskah Bugis sebenarnya merupakan hal yang
sangat sederhana karena hanya mengenal tanda titik tiga (.). akan tetapi, dalam
penerapannya justru dapat menimbulkan kerumitan. Hal itu disebabkan karena oleh
tanda titik tiga tersebut multifungsi. Selain sebagai tanda titik ( . ) juga berfungsi
sebagai tanda koma ( , ) dan tanda seru atau perintah ( ! ). Oleh karena itu, dalam
b. Terjemahan
Adapun sistem terjemahan atau penerjemahan teks LSW dilakukan pada teks
berbahasa Bugis saja. Terjemahan teks LSW dibuat berdasarkan terbitan teks yang
telah mengalami perbaikan bacaan dalam edisi teks. Sistem terjemahan yang dipakai
dan kelancaran bahasa Indonesia sebagai bahasa sasaran (Bsa). Prinsip terjemahan
38
mengalihkan makna teks Bugis sebagai teks sumber (Bsu) ke bahasa Indonesia sebagai
teks sasaran (Bsa). Sebab, secara literer tidak mungkin selalu menerjemahkan kata
Bugis secara konsisten dengan pasangan satu per satu ke dalam bahasa Indonesia pada
makna yang sama. Oleh karena itu, prosedur terjemahan dilakukan terlebih dahulu
bahasa Indonesia (Bsa) dengan prinsip makna seimbang tanpa mengabaikan identitas
1. Format hasil terjemahan pada tingkat satuan kalimat, kode halaman teks, dan satuan
kelompok teks sedapat mungkin disesuaikan dengan format teks transliterasi. Pada
hasil terjemahan akan dibubuhkan tanda atau nomor halaman yang disesuaikan
2. Kosakata khusus bahasa Bugis, seperti nama orang, tempat, dan gelar, tetap akan
menggunakan istilah Bugis dengan pertimbangan ciri khas atau identitas teks
sumber.
alternatifnya akan dipilih kata yang berbeda atau lepas dari prinsip literer kata.
BAB IV
Wajo
Unit-unit kecil wanua yang berbentuk kerajaan kecil dapatlah disebut dengan lili,
yang dalam bahasa Bugis memiliki arti permukiman manusia atau unit permukiman
sosial terkecil yang memiliki sistem pemerintahan. Konsep lili dalam hal tertentu dapat
disebut wanua, oleh karena di dalamnya ada seorang pemimpin dan orang yang
Namun, yang perlu ditegaskan di sini bahwa wanua, baik wanua besar maupun wanua
kecil, memiliki sistem normatif yang menjadi pedoman hukum masyarakat luas dengan
wanua kuno lebih awal muncul daripada terbentuknya Wajo sebagai kerajaan. Hal yang
sama juga muncul fenomena kehadiran wanua pada Kerajaan Wajo, yang dimulai pula
wanua utama Wajo yang sudah membina kegiatan pertanian pada masa kuno itu yaitu
Paung, Pénrang, Sarinyameng, Saébawi, Boli dan Cinnotabi. Keenam wanua tersebut,
39
40
menanam padi sebagai tanaman utama dan adapula yang menangkap ikan. Hal ini,
tidak terlepas dari kondisi wilayah Wajo yang diceritakan dalam lontara bahwa negeri-
negerinya memiliki tanah subur, dimana lahan pertanian tumbuh tanaman sumber
makanan sangat banyak, seperti padi dan jagung. Bahkan terdapat danau di sekitar
permukiman-permukiman tersebut yang dihuni oleh berbagai jenis ikan. Meskipun teks
LSW tidak banyak memberikan informasi perihal keenam toponimi tersebut, namun
cukup memberikan pemahaman kepada kita tentang situasi sosial yang berlaku di Wajo
sebelum terbentuk menjadi kerajaan federasi (kesatuan). Hal ini terbaca sebagaimana
Transliterasi:
Ale’ materre’ tenriwettumpettung naonroi olokolo’ madduparupang: lampa’
bawi, jonga, tédong sibawa manu’-manu’ sakke’ rupa. Maégato tappareng
salana naonroi balé madduparupang sibawa buaja. Naissettoi wettu
madécéngngé ri tanengeng bisésa: asé, barellé, aladi, lamé, tebbu nennia
ukkajukajung (sumber: naskah LSW:h.1-3)
Terjemahan:
Hutan lebat yang tidak tertembus, dihuni oleh berbagai macam binatang liar
seperti babi, rusa, kerbau dan berbagai jenis burung. Banyak pula danau yang
terdapat di sana yang dihuni oleh bermacam-macam ikan dan buaya. Mereka juga
mengetahui waktu yang baik untuk menanam padi, jagung, talas, ubi, tebu dan
sayur-sayuran (terj. Abidin, 1985)
dimulai dari Paung, yakni wanua yang dipimpin oleh tokoh sakti dan pandai meramal.
Orang itu disebut Puangngé ri Lampulungeng oleh karena kesaktian dan kepandaian
meramal yang dimiliki membuat orang-orang dari wilayah lain berkumpul, dalam
sakti tersebut diberi gelar Puangngé ri Lampulungeng serta danau itu dinamakan
telah memimpin empat wanua yaitu Paung, Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi.
tetapi masyarakat itu belum mengenal lapisan bangsawan dan budak. Pemimpinnya
kepandaian yang dimiliki seperti pandai meramalkan hari-hari yang baik untuk
mengerjakan sawah, kebun dan menyadap tuak. Selain itu, semenjak kehadiran
Puangngé ri Lampulungeng tanaman penduduk seperti padi, jagung dan ubi tidak
Lampulungeng antara lain Paung, Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi. Pemimpin baru
(suguhkanlah kepada tuan kita), lebih hebatnya lagi karena kemampuan supranatural
yang dimiliki tidak kalah dari Puangngé ri Lampulungeng. Selain itu, dikatakan bahwa
pemimpin baru tersebut kemudian membentuk perkampungan baru bernama Boli dan
Cinnotabi. Selanjutnya toponimi wanua kuno Wajo lebih jauh akan dianalisis pada
pembahasan berikutnya yang diawali dengan peta wilayah wanua kuno Wajo kemudian
SAEBAWI
SARINYAMENG
PENRANG
PAUNG
BOLI
CINNOTABI
U
S
Sumber: wajo pada abad XV-XVI
43
Paung diceritakan LSW sebagai tempat permukiman yang memiliki padang luas,
diselingi hutan lebat yang tidak tertembus dan belum ada manusia bermukim di
dalamnya. Wilayahnya pada saat itu hanya dihuni oleh berbagai macam binatang liar
seperti babi, rusa, kerbau dan berbagai jenis burung. Selain itu, terdapat pula danau di
sekitarnya yang dihuni oleh berbagai jenis ikan dan buaya. Kehidupan manusia di Wajo
dimulai dengan kedatangan suatu keluarga besar (extended family) di tepi Danau
menangkap ikan untuk menjaga kelangsungan hidupnya, akan tetapi orang-orang itu
tidak diketahui namanya, namun orang itu berbahasa Bugis. Hal ini sebagaimana
Transliterasi:
Ri dé’ napa tau-tau monro ri Wajo, padammupa maloang, ale’ karaja materre’
tenriwettumpettung naonroi olokolo madduparupang: lampa’ bawi, jonga,
tédong sibawa manu’-manu’ sakke’ rupa. Maégato tappareng salana naonroi
balé madduparupang sibawa buaja. Naia bunge’ engkana tau marana-anang lao
monro ri wirinna tapparengngé pégau laonrumma sibawa akkajang. Tenrisseng
asenna, tenrisetto apoléngenna. Nasemmi aléna to polé orai bulu ri onrong
mabbiring tasié. Tauéro makkeda pau Ogi’i (sumber: naskah LSW:h.1-2)
Terjemahan:
Sebelum ada manusia tinggal di Wajo, di sana hanyalah terdapat padang yang
luas dan hutan yang lebat tidak tertembus yang dihuni oleh berbagai macam
binatang liar seperti babi, rusa, kerbau dan berbagai jenis burung. Banyak pula
danau yang terdapat di sana yang dihuni oleh bermacam-macam ikan dan buaya.
Adapun mula adanya orang di sana adalah dua orang beranak yang bermukim di
pinggir danau itu, ia bertani dan menangkap ikan. Tidak diketahui namanya dan
tidak diketahui asalnya. Dia mengatakan bahwa mereka berasal dari sebelah
Barat gunung di dekat laut. Orang-orang itu berbahasa Bugis (terj. Abidin, 1985)
44
Kutipan teks LSW di atas mengungkapkan bahwa negeri Wajo sejak zaman kuno
memang sudah menjadi hunian manusia. Hal itu disebabkan oleh kondisi wilayah Wajo
yang kaya akan sumber daya alam seperti memiliki hutan lebat yang dihuni berbagai
jenis binatang dan danau yang dihuni berbagai jenis ikan, sehingga hal itu menarik
perhatian orang-orang dari wilayah lain untuk berdatangan. Selain itu, negeri Wajo
memiliki potensi untuk menjadi daerah agraris (pertanian) dengan memahami unsur
pendukung yang diungkapkan berdasarkan kutipan teks, seperti memiliki tanah subur
melalui aktivitas lain misalnya menangkap ikan. Hal ini sesuai dengan kutipan teks di
atas yang mengatakan bahwa “Sebagian orang-orang yang tinggal di sekitar Danau
Lampulungeng bekerja sebagai penangkap ikan, oleh karena wilayah Wajo dikelilingi
danau yang banyak dihuni oleh berbagai jenis ikan”. Dengan demikian, orang-orang
yang bermukim di wilayah itu dapatlah dikatakan makmur, karena sumber makanan
seperti pertanian dan perikanan mulai berkembang. Seiring berjalannya waktu, wilayah
itu mulai ramai yang disebabkan adanya kelompok keluarga lain yang berdatangan
menuju sekitar Danau Lampulungeng. Hal ini masih erat kaitannya dengan wilayah
yang berada di sekitar danau memiliki tanah yang subur, yang ditandai dengan
tumbuhnya tanaman padi dan jagung, serta danau yang berada di sekelilingnya dihuni
Kepala keluarga besar yang pertama kali tinggal dan menetap di sekitar Danau
seperti pandai meramalkan hari-hari yang baik untuk menanam padi, menanam jagung,
berkebun dan mengajarkan kepada pengikutnya bagaimana cara menangkap ikan yang
baik dan benar. Oleh karena keahlian yang dimiliki itu menyebabkan orang-orang yang
berasal dari wilayah lain berdatangan untuk berkumpul dan menetap di tepi danau itu,
maka tempat itu diberi nama Lampulu’ yang berasal dari bahasa Bugis sipulung-pulung
atau mabbulumpulungeng dan sang pemimpin sakti tersebut diberi gelar Puangngé ri
Transliterasi:
Maccai laonruma napalla’i, mapatoi mangampi’, tennatippa’ olokolo’ bisésana,
tennanré bawi tennapessi’ dongi’. Naissettoi wettu madécéngngé ri tanengeng
bisésa iyaréga asé, barellé, aladi, lamé, tebbu nennia ukkajukajung. Naia
maégana tau sipulu-pulung koro, iaro taué riasengngi Puangngé ri
Lampulungeng. Natella’toni tapparengngé ri Lampulungeng (sumber: naskah
LSW:h.3-4)
Terjemahan:
Mereka cakap bertani dan dipagarinya, rajin menggembala dan tidak diganggu
oleh binatang tanamannya, tidak dimakan babi dan tidak dikosongkan oleh
burung pipit. Selain itu, mereka juga mengetahui waktu yang baik untuk
menanam padi, jagung, talas, ubi, tebu dan sayur-sayuran. Setelah banyak orang
berkumpul di situ, orang itu dinamakan Puangngé ri Lampulungeng dan
digelarnya pula danau lampulungeng (terj. Abidin, 1985)
suatu hal yang lumrah jika disukai oleh pengikutnya, sebab konsep kepemimpinan
yang dilakukan selalu berpihak kepada rakyatnya. Salah satu hal yang dimaksud adalah
46
keahlian yang dimiliki pemimpin tersebut, yaitu usaha untuk membangun suatu
wilayah yang terus dilakukan agar tercipta sebuah perubahan yang nyata di wilayah
sekitar Danau Lampulungeng khususnya dalam hal pertanian. Perubahan itu sangat
jelas terjadi sebab wilayah yang tadinya hanya sebuah padang yang luas dan hutan lebat
disulap menjadi sebuah daerah agraris (pertanian). Hal itu terjadi karena yang
menanam padi, jagung dan ubi serta ada pula yang melakukan aktivitas seperti
menangkap ikan.
bidang pertanian, sebab ada konsep kepemimpinan lain yang sering dilakukannya pada
saat memimpin Paung. Konsep itu adalah musyawarah, misalnya dia selalu berbagi
diceritakan dalam lontara bahwa lama kelamaan tempat mereka itu semakin ramai dan
merasa dihargai dan dibantu oleh pemimpinnya. Selain pandai berbicara dalam hal ini
dimilikinya itu, misalnya pandai meramalkan hari-hari yang baik untuk menanam padi
dan jagung, sehingga pertanian semakin berkembang dan kehidupan mereka semakin
makmur karena dikatakan bahwa mereka tidak kelaparan. Hal ini sebagaimana tertulis
Transliterasi:
Narimakkuannanaro namawesso’ gangka engkana koro. Maégana tau laing polé
tappingiwi. Lebbini patappulo oroané, nasaba’ riasengngi to mabbisa-bisa
mabboto-boto (sumber: naskah LSW:h.4)
Terjemahan:
Oleh karena itulah mereka kenyang sejak menetap di tempat itu. Banyaklah orang
lain yang datang menambahnya. Telah ada lebih empat puluh orang laki-laki,
sebab mereka mengatakan bahwa orang itu pandai berbicara dan pandai meramal
(terj. Abidin, 1985)
Dengan memahami kutipan teks di atas, penulis berasumsi bahwa daerah Paung
penduduk maupun dalam hal mata pencaharian yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Selain itu, ada juga musyawarah yang dilakukan oleh
pemimpinnya, hal itu berarti konsep pemerintahan dalam wilayah tersebut ikut pula
Paung. Hal ini secara tidak langsung juga mempengaruhi bertambahnya jumlah
penduduk, sebab dikatakan dalam lontara bahwa “Orang-orang dari perkampungan lain
terus berdatangan ke tempat itu dan akhirnya daerah itu membengkak”. Ditambah lagi
hubungan sosial antara keluarga yang satu dengan keluarga lain sudah terjalin yang
sebuah keturunan yang akan mempengaruhi kepadatan penduduk, sehingga tempat itu
menjadi padat sebab tidak ada lagi ruang yang bisa ditempati untuk membuka lahan
48
permukiman penduduk, karena lahan yang digunakan untuk aktivitas pertanian seperti
menanam padi dan jagung juga sudah mulai berkembang yang mengikuti jumlah
dengan rakyatnya dan memutuskan untuk pergi mencari tempat yang baru, dalam hal
ini terjadi migrasi yaitu perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain.
Adapun wanua yang pertama di tempati oleh Puangngé ri Lampulungeng diberi nama
Paung.
Lampulungeng “Aku ingin pergi mencari tempat lain yang dekat laut, sebab tempat
kita sekarang telah sempit untuk dijadikan sumber penghidupan kita yang disebabkan
tidak ada lagi tanah yang dapat digarap, bila ada orang bergabung bersama kita”.
Lampulungeng, dan akhirnya mereka berjalan ke arah timur Danau Lampulungeng dan
Di tempat itulah mereka menetap untuk bercocok tanam seperti menanam padi
dan jagung. Kemudian dikatakan bahwa tanaman mereka tidak dimakan oleh babi dan
tidak dikosongkan oleh burung pipit. Setahun saja Puangngé ri Lampulungeng di sana,
maka dia bercakap-cakap lagi pada suatu malam “Masih jelek tempat kita, akan sempit
sawah yang akan dibuka, dan belum juga kita menemukan laut di sini. Dengan
49
demikian, tempat itu digelarnya Paung (kata-kata). Hal ini sebagaimana tergambar
Tranliterasi:
Najoppana lao alau’, naengkatona tanété maloang pada nalolongeng. Kuniro
léppang pada maddare’ engkato maggalung taro asé, barellé, tennanrémusi
bawi tennatippa’ dongi’. Nasitaummi monro koro Puangngé ri Lampulungeng
mappau-pausi ri wennié makkeda “Majamopa onrotta’, macikke’ galungngé
nakko engka riwenru, de’topa gaga tasi’ rilolongeng kuaé”. Aga natella’ni
onrongngéro Paung (sumber: naskah LSW:h.6)
Terjemahan:
Berjalanlah mereka ke arah timur dan mendapatkan dataran yang luas. Di sanalah
mereka berhenti untuk berkebun, ada juga yang bertani seperti menanam padi
dan jagung. Tanaman mereka tidak dimakan lagi oleh babi, dan tidak
dikosongkan oleh burung pipit. Setahun saja Puangngé ri Lampulungeng tinggal
di sana maka ia bercakap-cakap lagi pada suatu malam “Masih jelek tempat kita,
akan sempit sawah yang akan dibuka, dan belum juga kita menemukan laut di
sini. Maka tempat itu digelarnya Paung (kata-kata) (terj. Abidin, 1985)
Ada empat hal yang perlu dicatat dari beberapa kutipan teks LSW di atas yaitu:
pertama, latar tempat cerita; kedua, berpindah ke suatu tempat yang lebih luas, oleh
pada suatu malam karena dia ingin mencari tempat yang lebih luas lagi; dan keempat
perkembangan pesat dari segi kependudukan dan lapangan kerja seperti apa yang telah
dijelaskan sebelumnya, sehingga tidak ada lagi ruang untuk dijadikan tempat tinggal
maupun lahan untuk bertani dan berkebun. Dengan kondisi demikian, hal yang
dilakukan oleh Puangngé ri Lampulungeng adalah mencari tempat baru yang lebih luas
atau dapatlah kita sebut orang-orang pada saat itu melakukan apa yang diistilahkan
dengan Migrasi, yaitu berpindah ke suatu tempat untuk menetap di tempat tujuan.
Terjadinya Migrasi pada saat itu dapat menjadi bukti keberhasilan Puangngé ri
Lampulungeng dalam memimpin sebuah wanua, terutama dalam hal pertanian yang
sebagian penduduk Paung harus berpindah tempat. Hal tersebut sesuai dengan
meninggalkan Paung, yang mengatakan bahwa “Aku ingin pergi mencari tempat yang
lebih luas, sebab tempat kita sekarang telah sempit untuk dijadikan sumber
penghidupan kita”. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut.
Transliterasi:
Naengkana séua wettu naddeppu-deppungeng taué ri Lampulungeng nakkeda
Puangngé ri Lampulungeng “Maélokka lao sappa’ onrong laingngé macawé’é
tasi’é, nasaba’ ia onrotta’ kuaé macipi’ni akkinanréta. De’na gaga wedding
riémpagai, narékko engkamupa tau tappingiki’”. Napada kado taué koro maélo’
maccoé (sumber: naskah LSW:h.5)
Terjemahan:
Pada suatu waktu berkumpullah orang-orang di Lampulungeng dan berkata
Puangngé ri Lampulungeng “Aku ingin pergi mencari tempat lain yang dekat
laut, sebab tempat kita sekarang telah sempit untuk dijadikan sumber
penghidupan kita. Tidak ada lagi tanah yang dapat digarap, bila ada orang
51
kewibawaan yang dimiliki. Salah satu bukti yang disebut dalam LSW adalah orang-
orang yang ada di Paung tidak pernah kelaparan selama mereka menetap di tempat itu
dan tanaman mereka tidak diganggu oleh binatang liar seperti babi, rusa, kerbau dan
Puangngé ri Lampulungeng yang jauh dari peradaban manusia salah satunya disebut
tempat yang lebih luas yang bisa dijadikan perkampungan lebih baik dari sebelumnya,
dalam hal ini Paung. Perjalanan mereka dimulai dengan berjalan menuju arah timur
besar, dan berkata Puangngé ri Lampulungeng “Di sini saja wahai anak-anakku, kita
bermalam”. Di daerah itu terdapat sebatang pohon besar dan tinggi yang disebut aju
battoa marajaé, dan orang-orang dahulu menyebut jenis pohon terbaik seperti cendana
perkampungan dan dinamakanlah Pénrang. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan
teks berikut.
Transliterasi:
Naléléna lao alau’. Naléppassi Puangngé ri Lampulungeng ri awana aju battoa
marajaé. Natangnga’-tangnga’i lompo’é alau’, nakkeda “Tajoppapa lao alau’,
bara’ engkamua padang maloang macawé’ tasi’é. Napada joppasi, naengkasi
aju battoa maraja nalolongeng Puangngé ri Lampulungeng, makkedani “Kuni’
kalaki’ madécéng mabbenni” (sumber: naskah LSW:h.7)
Terjemahan:
Maka bergeserlah mereka ke arah timur dan singgah lagi Puangngé ri
Lampulungeng di bawah pohon kayu besar, kemudian dia memandang dataran
di sebelah timur, lalu berkata “Mari kita berjalan lagi ke timur, kiranya ada lagi
padang yang luas dekat laut”. Kemudian berjalan lagi mereka dan ditemukan lagi
pohon kayu yang besar oleh Puangngé ri Lampulungeng, lalu ia berkata “Di sini
saja, anak-anakku sekalian, kita bermalam” (terj. Abidin, 1985)
Satu hal yang mendasar terhadap peristiwa tersebut bahwa semua wilayah yang
dibangun oleh Puangngé ri Lampulungeng disebabkan alasan utama, yaitu daerah yang
penduduk yang secara terus menerus mengalami kepadatan, oleh karena semakin
banyaknya orang-orang berdatangan ke tempat itu dan keluarga generasi pertama yang
Selain itu, satu hal yang juga akan dipengaruhi dengan kondisi permukiman seperti itu
adalah lahan untuk membuka sawah semakin sempit dan ruang untuk membangun
permukiman semakin berkurang yang disebabkan luas wilayah tidak sesuai dengan
Menurut hemat penulis, sudah tepat apa yang dilakukan oleh Puangngé ri
Lampulungeng sebagai seorang pemimpin, yaitu dia tidak ingin melihat rakyatnya
menderita oleh karena persoalan wilayah yang semakin sempit. Dengan kondisi
untuk mencari wilayah yang lebih luas dari permukiman sebelumnya, dan saat itulah
dia bersama para pengikutnya meninggalkan Pénrang dan menemukan tempat baru
berada di sebelah timur Danau Lampulungeng dimana wilayahnya sangat luas yang
banyak ditumbuhi oleh pohon nipa yang rimbun dan posisinya dekat laut. Hal ini
Transliterasi:
Pappa’ni bajaé natangnga’ madécénni lompo’é alau’, maloang, maéga tona
pannipana, mallimpo-limpo naita. Nakapanni masse’ engkatona tasi’ macawé’
(sumber: naskah LSW:h.7)
Terjemahan:
Keesokan harinya, Puangngé ri Lampulungeng memandangi dengan baik dataran
di sebelah timur, ternyata luas dan melihat banyak pula pohon nipa yang rimbun.
Diduganya dengan kuat bahwa ada laut yang dekat (terj. Abidin, 1985)
Kondisi geografi Sarinyameng yang digambarkan pada kutipan teks di atas dapat
sesuai dengan keinginannya, yaitu dia menginginkan tempat yang lebih luas daripada
permukiman yang dibentuk sebelumnya seperti Paung dan Pénrang. Selain itu, kutipan
teks yang menyebut “Posisi Sarinyameng berada dekat laut” dapat menjadi dugaan
kaitannya dengan masyarakat pesisir misalnya memancing atau menangkap ikan, sebab
aktivitas yang selama ini diperkenalkan hanya pada bidang pertanian saja seperti
menanam padi dan jagung. Dengan demikian, aktivitas selain pada bidang pertanian
dapat menjadi hal baru yang bisa dilakukan penduduk Sarinyameng dengan melihat
meninggalkan Pénrang, sebab dia menginginkan tempat yang lebih luas dan berada
dekat laut. Oleh karena itu, maka pindahlah mereka ke arah timur lalu berkata
Puangngé ri Lampulungeng “Mari kita berjalan lagi ke timur, kiranya ada tempat
permukiman seperti yang kita inginkan” dan para pengikut Puangngé ri Lampulungeng
mengikuti apa yang dikatakan oleh pemimpinnya dan mereka pun berjalan lagi hingga
akhirnya mereka lelah dan beristirahat di bawah pohon besar dan berkata Puangngé ri
Lampulungeng “Disini saja wahai anak-anakku, kita bermalam”. Pada esok hari,
menemukan tempat yang lebih luas dikelilingi pohon nipa yang rimbun. Di sekitar
pohon nipa diduganya bahwa ada laut yang dekat dan memutuskan untuk menuju ke
tempat itu. Di sanalah dia bersama para pengikutnya membuka lapangan pekerjaan
55
untuk menjaga kelangsungan hidup mereka seperti bertani, berkebun, menangkap ikan
dan menyadap tuak dari pohon-pohon enau. Orang-orang yang senantiasa menyadap
tuak itulah yang kemudian memberi tempat baru itu dengan nama Sarinyameng (tuak
yang disadap yang nyaman diminum), yang berasal dari dua kata yaitu (sari=sadap;
Transliterasi:
Naia tau maccoé’é pada sappa’toni pallaong, engka lao mappétawu galung,
makkaja, engkato lao massari. Jaji natella’ni onrongngéro Sarinyameng
(sumber: naskah LSW:h.7)
Terjemahan:
Orang-orang yang mengikuti Puangngé ri Lampulungeng pergilah mencari
lapangan pekerjaan; ada yang membuat pematang sawah, menangkap ikan dan
ada pula yang pergi menyadap. Jadi gelarlah tempat itu Sarinyameng (tuak yang
disadap yang nyaman diminum) (terj. Abidin, 1985)
bersama pengikutnya melalui cara yang sama dilakukan pada wanua sebelumnya
seperti Paung, Pénrang dan Sarinyameng, yaitu dimulai dengan membangun lapangan
pekerjaan seperti menanam padi, menanam jagung, menangkap ikan dan menyadap
tuak. Menurut hemat penulis, pola kepemimpinan ini sudah menjadi langkah awal yang
56
sedikit berbeda dengan daerah sebelumnya (Paung, Pénrang dan Sarinyameng), sebab
cara berpikir pemimpin tersebut semakin berkembang pada saat membangun Saébawi
yang dibuktikan dengan adanya aktivitas baru yang diciptakan yaitu membuat
minuman tradisional yang dihasilkan dari sadapan pohon enau yang dapat menambah
stamina bagi pekerja. Aktivitas tersebut dinamakan menyadap tuak yang kemudian
diajarkan kepada para pengikutnya. Hal ini sebagaimana dapat dilihat pada kutipan teks
berikut.
Transliterasi:
Pappa’ni bajaé natangnga’ madécénni lompo’é alau’, maloang, maéga tona
pannipana, mallimpo-limpo naita. Nakapanni masse’ engkatona tasi’ macawé’.
Makkedani Puangngé ri Lampulungeng “Kuni’ kalaki’ madécéng mabbémpaga.
Maégamato maka ripogau’ ri ale’é”. Naia aléna mabbémpagani dare’. Naia tau
maccoé’é pada sappa’ toni pallaong, engka lao mappétawu galung, makkaja,
engkato lao massari (sumber: naskah LSW:h.7)
Terjemahan:
Keesokan harinya Puangngé ri Lampulungeng memandangi dengan baik dataran
di sebelah timur, ternyata luas dan melihat banyak pula pohon nipa yang rimbun.
Diduganya dengan kuat bahwa ada laut yang dekat. Berkatalah Puangngé ri
Lampulungeng “Baiklah, hai anak-anakku, kita di sini mencari makanan dahulu,
dan banyak juga yang dapat kita kerjakan di hutan”. Adapun Puangngé ri
Lampulungeng pergi mencari tempat perkebunan. Orang-orang yang
mengikutinya pergi pula mencari lapangan pekerjaaan, ada yang membuat
pematang sawah, menangkap ikan dan ada pula yang pergi menyadap (terj.
Abidin, 1985)
menambah kewibawaannya dalam menangani suatu daerah yang berlanjut pada wanua
Saébawi seperti yang tercatat dalam LSW. Hal yang dimaksud adalah orang-orang
57
lebih banyak lagi berdatangan menuju Saébawi dibandingkan yang terjadi pada wanua
seperti pandai berbicara dan pandai meramal terus mengalami perkembangan sehingga
membuat semua aspek kehidupan di perkampungan itu semakin menemui titik terang.
Satu hal yang dapat diasumsikan dengan melihat peristiwa ini bahwa kepemimpinan
harus dilengkapi dengan keahlian oleh seorang pemimpin, sebab itulah yang menjadi
Hal lain yang tergambar pada Saébawi bahwa sumber makanan seperti beras,
jagung, ikan dan sumber minuman seperti tuak semakin banyak berkembang pula,
gendang, bersuling dan olahraga adu sepak (adu kaki dan sepak raga) juga sudah
dilakukan. Adapun anak-anak juga sudah bisa menciptakan sebuah permainan seperti
bermain gasing, logo’, saling memecahkan buah kemiri, bermain buah kemiri dan buah
Transliterasi:
Napédé’ tama mani taué temmassu’. Takka’boro’ toni taué ri anréwé. Naia mani
napogau’ macculé ri awana aju marajaé manré ménung, saung, maggenrang
massoling. Engkato massémpe’ mallanca maddaga. Naia anana’é
maggasingngi, mallogo’i, mabbukké’, makkampiri, macculéi bua pelleng bua
pudé’ (sumber: naskah LSW:h.9)
Terjemahan:
Makin bertambahlah orang yang masuk dan tidak keluar. Orang-orang juga mulai
takabur terhadap makanan. Yang dikerjakan orang hanyalah bermain-main di
bawah pohon kayu yang besar sambil makan dan minum, menyabung ayam,
58
memukul gendang dan bersuling. Ada juga yang bermain adu sepak, adu kaki
dan sepak raga. Adapun anak-anak bermain gasing, logo’, saling memecahkan
buah kemiri, bermain buah kemiri dan buah punaga (terj. Abidin, 1985)
Asal usul pemberian nama Saébawi terjadi ketika masyarakat pra-Wajo (Paung,
negerinya Saébawi. Hal ini terjadi atas apa yang dilakukan pemimpinnya pada saat
bepergian ke suatu tempat yang mengendarai babi seperti kerbau besarnya. Dalam
LSW dikatakan bahwa pada wanua Saébawi orang-orang sudah mulai berpikir
bagaimana bisa sampai ke suatu tempat dengan waktu yang lebih cepat, sehingga pada
waktu itu binatang menjadi sebuah pilihan yang dijadikan alat transportasi darat. Hal
ini serupa dengan yang dilakukan Puangngé ri Lampulungeng pada saat bepergian ke
suatu tempat dengan mengendarai seekor babi yang seperti kerbau besarnya, dan babi
itulah yang dipanggil untuk dikendarainya bagaikan seekor kuda jika hendak bepergian
(sae artinya mengendarai dan bawi artinya babi) dan dinamakanlah perkampungan itu
Saebawi. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Naia monrona Puangngé ri Lampulungeng maddare’ koro ri awana aju marajaé,
pédé’ maégani tau lao maccoé’. Maddatu’ni oroané. Naia gau’na Puangngé ri
Lampulungeng monrona koro maddare’, engka bawi maraja napada tédong.
Ianaro bawinna naolli’ natonangiwi pada anynyarang narékko engka maélo’
nalokkai. Aga naritella’na onrongéro ri Saébawi (sumber: naskah LSW:h.8-9)
Terjemahan:
Ketika Puangngé ri Lampulungeng tinggal berkebun di bawah pohon kayu besar,
maka banyaklah orang yang pergi mengikutinya. Sudah ada beratus orang lelaki.
Adapun yang dilakukan oleh Puangngé ri Lampulungeng pada waktu dia tinggal
berkebun di situ adalah memelihara seekor babi besar seperti kerbau dan babi
itulah yang dipanggilnya untuk dikendarainya bagaikan kuda, bilamana ada suatu
59
Ada satu hal yang menarik perhatian penulis terkait konsep pemerintahan yang
yaitu kita menemukan konsep maradeka dalam ideologi orang-orang Wajo yang berarti
bebas, sesuai dengan semboyan orang-orang Wajo dahulu kala yang berbunyi “Ri
laleng tampu’ mupi to Wajoé namaradeka” yang artinya orang-orang Wajo itu telah
merdeka sejak dalam kandungan ibunya (Abidin, 1999:138). Bebas disini, dalam artian
dia ingin berkuasa di wilayahnya sendiri dan tidak ingin menyerahkan diri di bawah
kekuasaan Kerajaan lain seperti Kerajaan Luwu atau Bone. Hal ini terbukti ketika Opu
Baliranté yang diutus oleh Kerajaan Luwu untuk menagih widattali (pajak bumi dan
dan kekuasaan yang khas sesuai dengan kebudayaan yang ada pada masyarakat
pemimpin mereka. Para pemimpin pada masyarakat sedang memerlukan power atau
masyarakat Wajo pada masa lalu untuk mencapai kedudukan berwibawa di mata orang
60
banyak. Sifat-sifat yang sering disebut itu adalah kepandaian berburu, berkebun,
dengan cita-cita dan keyakian masyarakat pra-Wajo pada masa itu misalnya bermurah
hati. Salah satunya adalah kepandaian berdiplomasi atau berbicara yang dimiliki
Puangngé ri Lampulungeng membuat Kerajaan Luwu pada waktu itu gagal menagih
orang di Pénrang, Saébawi, dan Sarinyameng menjadi hilang, sehingga dikatakan pada
waktu itu timbul kekacauan (chaos) oleh karena kevakuman pemimpin. Pada waktu itu
belum dikenal sistem kooptasi, yaitu penunjukan calon pengganti pemimpin oleh
tanpa pemimpin digambarkan oleh lontara bahwa “Dé’ na ade’ sianrébaléni taué
makkawatangengmani taué niga riatta iana riemme’”, yang artinya binatang liar sudah
mengganggu tanaman dan panen rusak dengan kata lain tidak ada lagi hukum, orang-
orang saling memakan laksana ikan besar menelan ikan kecil, siapa yang teledor dialah
yang ditelan. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Naia maténa Puangngé ri Lampulungeng, naia taué ri Pénrang ri Saébawi ri
Sarinyameng pada masarani, nasaba’ de’na gaga to mabisa-bisa naddakkari
nakkutanai rékko engka maélo’ napogau’. Napada pangélorenna mani taué
napogau’. De’na assiturusenna. Maradéka manenni sininna engkaé koro,
nakkélorini aléna. Makkecca’ toni olokolo’é ri wisésana, mammulatoni engka
tau maélo’ makkawatangeng (sumber: naskah LSW:h.10-11)
61
Terjemahan:
Setelah meninggalnya Puangngé ri Lampulungeng, orang-orang di Pénrang,
Saébawi dan Sarinyameng sama bersusah hatilah, sebab tidak ada lagi orang yang
pandai berbicara dan meramal yang ditempati berkumpul untuk bertanya, bila
ada yang hendak dikerjakan. Maka semua orang-orang berbuat menurut
kehendak mereka saja dan tidak ada lagi persatuannya. Bebas semualah orang-
orang yang ada di situ, dan berbuat sesuai kehendak hati mereka. Binatang juga
sudah mulai mengganggu tanaman orang, mulai pula ada orang yang hendak
saling berbuat kekerasan (terj. Abidin, 1985)
menetap di Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi menganggap tidak ada lagi yang dapat
memimpin mereka, terutama dalam hal kepandaian meramal dan berbicara yang
daerahnya dan pergi membentuk perkampungan baru yaitu Sekkanasu, Wéwattana, dan
Bélogalung. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Mammulani massu’ to Pénrangngé to Saébawi to Sarinyamengngé sappa’
onrong laingngé, naengkana nalolongeng, napattellu konronni aléna. Engka
masengngi wanuanna Sekkanasu, Wéwattana, Bélogalung (sumber: naskah
LSW:h.12)
Terjemahan:
Mulailah ke luar orang-orang Pénrang, Saébawi dan Sarinyameng mencari
tempat yang lain dan didapatkanlah tempat baru kemudian dibagi tiga diri
mereka. Ada yang menamakan negerinya Sekkanasu, Wewattana dan
Belogalung (terj. Abidin, 1985)
62
sebatang pohon besar dan tinggi di sebelah Barat Danau Lampulungeng. Pohon itu
disebut Bajo (Noorduyn, 1955:43), yang mengutip pendapat De Clerc dan v.d. Veen,
Bajo adalah macaranga, suatu pohon yang tekikannya digunakan untuk dicampurkan
ke dalam tuak sadapan dari batang pohon enau. Tuak yang sudah diberi bumbu tekikan
meramal dan berbicara tidak kalah dengan Puangngé ri Lampulungeng namun orang
tersebut tidak diketahui nama dan asalnya, hanya dikatakan bahwa dia tinggal bekebun
di bawah pohon bajo yang terletak di sekitar Danau Lampulungeng. Orang yang
berwibawa itu menggunakan bahasa ugi (Bugis) dan luuk (Luwu). Dia diberi gelar
Puangngé ri Timpengeng, oleh karena puteranya selalu berkata kepada kawannya kalau
artinya “Suguhkanlah kepada Tuan kita” atau “Berikanlah Tuan kita”. Puangngé ri
memperkenalkan minuman baru berupa tuak yang dicampur dengan tekikan pohon
Timpengeng semakin lama semakin ramai oleh karena terkenal dengan tua’ ribolinya,
dan perkampungan yang ditempati itu dinamakan Boli. Hal ini sebagaimana tertulis
Transliterasi:
Namarang engkasi to mabisa-bisa timunna monro koro maddare’ ri tanété orai’é
ri awana aju bajo’ marajaé, tennanré olokolo’ bisésana. Tenrisetto
apoléngenna, warékkadanna ada Luwu’ ada Ogi. Namaégana to Pénrang to
Saébawi to Sarinyameng to Sekkanasu lao mitai, apa’ nasengngi Puangngé ri
Lampulungeng tuo paimeng. Naia lettu’ nana pada mabbennini. Natangnga’ni
rupanna sibawa warékkadanna, tania. Iamua bisa-bisana mappau ia sisemmua,
makkoniro namaéga monro. Naiaro taué rekko engka aga-aga naéllau,
makkedani ana’na “Timpengengngi Puatta”. Jaji ritella’i Puangngé ri
Timpengeng. Naia tau engkaé lao koro rijellokenni pallaong napojié ri Puatta ri
Timpengeng. Engkana maddare’, maggalung, makkaja. Naia to Sarinyamengngé
laotosi massari tua’. Makkedai Puangngé ri Timpengeng ri ana’na “Laoko
kalaki’ mutébba’i aju marajaé mutimpengengngi passarié ri tua’na manyameng
riénung mapai’-pai’. Naia kia napaéncéngngi watangngé mappallaong”. Aga
napada minunna tua’ ribuli sininna tau engkaé lao koro. Jaji natella’toni
onronna ri Boli. Napédé’ tama taué ri Boli, apa’ makkedai taué: “ia Puangngé
ri Timpengeng narekko napainungngi taué taka’ mellawé’ mencéngngi watanna
mappallaong” (sumber: naskah LSW:h.13-16)
Terjemahan:
Lalu ada lagi orang yang pandai meramal tinggal di situ berkebun di padang
sebelah barat di bawah pohon bajo besar, tanamannya tidak dimakan oleh
binatang. Orang itu tidak diketahui pula asalnya namun, dia berbicara
menngunakan bahasa Luwu dan bahasa Bugis. Maka banyaklah orang-orang
Pénrang, Saébawi, Sarinyameng dan Sekkanasu pergi melihatnya sebab mereka
menyangka Puangngé ri Lampulungeng hidup kembali. Setelah mereka tiba,
maka mereka bermalam bersama, ditatap mukanya dan diamati caranya berbicara
ternyata bukan Puangngé ri Lampulungeng. Hanya kepandaiannya berbicara dan
meramal sama benar. Demikianlah sehingga banyak orang yang tinggal di sana.
Orang itu bila ada sesuatu yang dimintanya, anaknya hanya berkata
“Timpengengngi (berikanlah) Tuan kita!” jadi digelarlah ia Puangngé ri
Timpengeng. Adapun orang-orang yang pergi ke sana ditunjukkanlah pekerjaan
yang disukainya oleh Puangngé ri Timpengeng. Ada yang berkebun, bersawah
dan menangkap ikan. Adapun orang-orang Sarinyameng pergi menyadap tuak.
Berkata Puangngé ri Timpengeng kepada anaknya: “Pergilah hai anak-anak,
mengupas kulit kayu besar itu, dan berikanlah kepada para penyadap tuak untuk
dicampurkan pada tuak mereka, karena enak diminum, rasanya pahit-pahit. Akan
tetapi menambah kekuatan kita untuk bekerja”. Maka semua orang-orang yang
pergi ke tempat itu minumlah tuak yang dicampur kulit kayu. Digelarnya pula
tempatnya Boli (sadap). Makin bertambahlah orang masuk di Boli, karena orang
mengatakan bahwa “bila Puangngé ri Timpengeng memberi minum orang tuak
64
yang telah dicampur dengan tebas kayu boli, bertambah kuat badannya bekerja”
(terj. Abidin, 1985)
Berdasarkan kutipan teks di atas dapatlah dikatakan bahwa di negeri Boli sedang
masyarakat Boli. Hal ini menjadi musibah besar bagi mereka karena menganggap tidak
ada yang dapat menggantikan pemimpin yang sangat berwibawa itu yang telah
politik hero (politik yang memanfaatkan suatu keadaan) pada masyarakat Boli, sebab
kepemimpinan.
Teks LSW mencatat bahwa pemimpin tersebut ditemukan oleh masyarakat Boli
tepatnya di sebelah Barat pohon bajo. Satu hal yang patut dicatat bahwa transisi
kepemimpinan dengan model politik hero sudah terjadi pada masyarakat Pra-Wajo
melalui perilaku politik yang ditunjukkannya. Hal demikian pada dasarnya memiliki
struktur dengan ciri dalam setiap kegiatan politik sebab tindakan-tindakan yang ada di
politik, setiap individu tergambarkan sebagai orang yang mampu memerintah dan
(masyarakat Lampulung dan Boli) pada masa lalu juga mencirikan seseorang dapat
menjadi pemimpin jika kepadanya diberi legitimacy atau keabsahan oleh rakyatnya
kepemimpinan yang bersifat kemaslahatan orang banyak. Hal ini ditandai dengan
membangun dan membuat perubahan dengan tujuan untuk memperbaiki daerah, terus
sampai pada kekuatan supranatural dimiliki seperti pandai meramal dan sebagainya,
tetapi sampai pada bagaimana membuat suatu inovasi yang sebelumnya belum pernah
untuk bekerja. Ditambah lagi perilaku dalam memimpin sedikit berbeda dari pemimpin
sebelumnya, dalam hal musyawarah misalnya dia memanggil orang-orang tua untuk
dimintai sarannya dalam memutus rantai masalah di negeri Boli, karena dia melihat
masih banyak yang perlu diperbaiki salah satunya adalah masalah utama yang dihadapi
rakyatnya pada saat itu berkaitan dengan pertanian. Hal ini sebagaimana tertulis pada
Transliterasi:
Naiamua napowénru’ taué agi-agi napau Puangngé ri Timpengeng ia tona
napogau’. Naia gau’na Puangngé ri Timpengeng, esso-esso naobbi’ padanna
66
Terjemahan:
Adapun yang dilakukan orang-orang adalah apa yang dikatakan Puangngé ri
Timpengeng maka itu juga yang dikerjakan. Adapun yang dilakukan oleh
Puangngé ri Timpengeng setiap hari ialah memanggil sesamanya orang-orang tua
untuk makan dan minum sambil bermusyawarah tentang apa saja yang dapat
memperbaiki pertanian. Itulah pertama ada orang yang gemar bermusyawarah
(terj. Abidin, 1985)
Berdasarkan beberapa kutipan teks LSW di atas ada empat hal yang perlu dicatat
yaitu: pertama, pemberian nama Boli berdasarkan keahlian baru dalam hal meracik
dengan tekikan pohon bajo, yang membuat orang kuat bekerja; kedua, Perihal
kepemimpinan Puangngé ri Lampulungeng, akan tetapi pada waktu itu belum diketahui
bahwa tuak bisa dicampur dengan tekikan pohon bajo yang dapat memberikan manfaat
mereka kepada pemimpinnya dengan cara mengikuti apa yang dikerjakan Puangngé ri
keempat, sebagai seorang pemimpin dia sering melakukan musyawarah dengan cara
memanggil orang-orang tua yang tinggal di negeri Boli untuk membicarakan apa saja
yang perlu dilakukan dan diperbaiki, salah satunya terkait dengan pertanian. Dengan
menambah lapangan pekerjaan orang-orang Boli seperti aktivitas menyadap tuak, yaitu
67
tuak yang dicampur dengan tekikan pohon bajo, sebab sebelumnya aktivitas
masyarakat Boli hanya menanam padi, menanam jagung, dan menangkap ikan. Dengan
melihat kondisi dan fakta yang digambarkan dapatlah dikatakan bahwa masyarakat
Boli sudah membagi tugas mereka, yakni ada sebagai pemikir dan ada sebagai pekerja.
Lampulungeng. Hal ini menjadi benar dengan melihat fakta-fakta yang di ungkap,
msuyawarah dengan orang-orang yang ada di Boli. Kesemua hal itu dilakukan
bertujuan untuk membicarakan hal yang perlu dilakukan dan diperbaiki. Dengan
demikian, jika pada wanua sebelumnya seperti Pénrang, Sarinyameng dan Saébawi
orang lebih banyak lagi berdatangan karena banyaknya hal-hal baru yang dibuat oleh
Wajo adalah secara damai. Cerita pembentukannya juga berbeda dengan kerajaan-
Wawolonrong, Babauaé, Suppa, Siang, Hulu Sungai Saddang, Bantaéng, Tompo tikka,
1985:347). Hal tersebut berdasarkan pada raja pertama Cinnotabi yang tidak
68
dinyatakan sebagai tomanurung yaitu makhluk ajaib yang turun dari langit atau
manusia yang muncul dari benua bawah atau bambu gading (Abidin, 1985:348).
Boli. Ceritanya diawali pada waktu Opu Baliranté (pembantu Datu Luwu di bidang
keuangan) pergi berburu di sekitar Boli. Setelah beburu, orang-orang Luwu pergi ke
bawah pohon bajo untuk makan siang sebagaimana yang biasa dia lakukan, akan tetapi
mereka melihat banyak rumah-rumah yang baru didirikan di sana dan akhirnya pergi
ke suatu bukit. Para pengikut Opu Baliranté bertanya: “Apakah sebab Tuanku tidak
langsung saja ke perkampungan itu? Dijawab oleh Opu Baliranté sebagai berikut:
mereka akan terkejut atau lebih tepatnya adalah jelas penglihatanku melihat adanya
rumah-rumah disitu dan mereka akan terkejut kalau saya tiba kesana, sebab barulah
kita melihat mereka dan orang-orang itu juga pertama kali melihat kita.
Boli datang menghadap Opu Baliranté. Puangngé ri Timpengeng berkata, “Bahwa apa
sebab Opu tidak langsung saja ke perkampungan kami?” Lalu ia menyatakan bahwa
“Lebih baik tempat Opu Baliranté berada disebut Cinnotabbangka”. Opu Baliranté
diucapkan kepada para pengikutnya, yang sebenarnya dia juga berpikir lebih dulu
hendak menamakan bukit itu Cinnotabbangka. Dengan demikian, pada saat itu mereka
Cinnotabbangka. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
69
Transliterasi:
Ianaé wettu naengkatona Datué ri Luwu’ lettu’ ri tana Ogi’ sibawa Luwu’é to
Ware’é, mpukke’i wanuaé ri Cenrana. Naengkana wettu nalao nrengngeng
Luwu’é, Opu Baliranté asenna, narapi’ Boli. Namaélo’na soro’ manré esso ri
awana aju bajo’ battoaé naitani maddatu’ bola. Jaji ia Opu Baliranté laoi sappa’
onrong laingngé naonroiwi. Naia onrong naonroié soro’ manré kuai ri bulu’e ri
Cinnotabi’. Naia puranana manré, nassurona mobbi’i to Boli’é. Makkedai
Luwu’é: “Magi tenna kuanaro ri wanuana soro’ manré?” Makkedai Baliranté:
“Tennaé na to matteru’ ri wanuanna, macinnong pakkitawa’
natabbangkangngi’. Nasaba inappanna taita, iaro taué inappatokki’ naita”.
Naengkana Puangngé ri Timpengeng, patappuloi sitinro’ oroané lao sita Opu
Baliranté. Makkedai Puangngé ri Timpengeng: “Magi Opu, tenna kuano ri
bolana atammu to Boli’é matterru’ laoki manré? “Makkedai Baliranté: “Ia
mpawai kuni’ manré macinnong pakkitakku’, tabbangkako matu’, nasaba’ iko
temmuangngattaikkeng, ikkeng temmissettokko. Nasaba ia riolana nakko tollao
nrengngeng natollao kotu ri awana ajué manré de’sa tau rilainnaétoha ikkeng
massilaong”. Makkedai Puangngé ri Timpengeng: “Iatu bulu’ taonroié manré
madecenni rialang aseng ritella’ Cinnotabangka”. Nagilinna Opu Baliranté
pauangngi silaonna makkeda: “Naullé to mabisa-bisa iaé taué. Pékkugi
naullémuna pasikennai patellarekku patellarenna bulu’é ri Cinnotabangka”.
(sumber: naskah LSW:h.18-22)
Terjemahan:
Inilah waktu pada saat Datu Luwu tiba di tanah Bugis bersama orang-orang Luwu
dan orang-orang Ware lalu membuka negeri di Cenrana. Pada suatu waktu orang-
orang Luwu pergi berburu rusa, orang itu bernama Opu Baliranté, kemudian
sampai di Boli. Pada suatu waktu mereka hendak mengundurkan diri untuk
makan siang di bawah sebatang pohon besar dan mereka melihat beratus rumah.
Maka Opu Baliranté pergilah mencari tempat lain untuk ditempatinya. Adapun
tempat yang ditempati makan itu ialah bukit Cinnotabi’. Setelah mereka makan,
maka disuruh undanglah orang-orang Boli. Berkata orang-orang Luwu’:
“Mengapa tidak ke sana saja kita pergi untuk makan?” Berkata Opu Baliranté:
“Seandainya kita terus ke negeri mereka, macinnong (jelas) penglihatanku dan
akan tabbangka (heranlah) mereka, sebab barulah kita melihat mereka dan orang-
orang itu juga pertama kali melihat kita”. Datanglah Puangngé ri Timpengeng
bersama empat puluh orang lelaki untuk pergi bertemu dengan Opu Baliranté.
Berkata Puangngé ri Timpengeng: “Mengapa Tuanku tidak terus pergi ke rumah
abdimu orang-orang Boli saja untuk makan?” berkata Baliranté: “di sini saja
kami makan, dan saya bisa memastikan engkau akan terkejut karena kalian tidak
mengharapkan kunjungan kami, dan kami tidak mengenal kalian. Sebab,
sebelumnya bila kami pergi berburu dan pergi di bawah pohon kayu untuk
70
makan, tidak ada orang selain dari kelompok kami yang berteman”. Berkata
Puangngé ri Timpengeng: “Bukit yang ditempati makan itu, baiklah diberi nama
Cinnotabangka. Menolehlah Opu Baliranté kepada teman-temannya, lalu
berkata: “mungkin orang ini pandai meramal. Mengapa ia dapat menyesuaikan
penggelaranku dan penngelarannya terhadap bukit Cinnotabangka (terj. Abidin,
1985)
Puangngé ri Timpengeng sudah mengenal hubungan dengan kerajaan lain. Hal ini
terjadi pada saat Opu Baliranté (pembantu Datu Luwu yang bertugas mengurus harta
kemudian berubah menjadi Cinnotabi. Cerita pemberian nama tersebut menurut LSW
adalah sesuai dengan keterangan beberapa informan di Sengkang dan beberapa orang-
Cinnotabi tidak diperoleh keterangan yang memuaskan, namun sampai sekarang ada
desa (wanua) yang bernama Cinnotabi yang termasuk kecamatan Majauleng (Abidin,
1985:346).
Cinnotabi menemui titik ajalnya di Boli dan menyebabkan masyarakat Boli bubar.
Setelah kejadian tersebut, singkat cerita bahwa berduka citalah orang-orang Boli, sebab
tidak ada lagi tempat mereka berlindung dan mereka takut kalau ada lagi pertanyaan
dari Luwu, Bone, ataupun dari Gowa, sedangkan tidak ada yang dapat menjawab
71
pertanda bahwa mereka tidak termasuk kaula kerajaan Bone, Luwu, atau Gowa, tetapi
mereka adalah orang-orang Boli yang merdeka. Di kala itu yang terpandang di Boli
adalah mereka yang kaya, posisinya tidak berada diantara orang terpandang layaknya
Andi Paramata, di kala itu keluarga-keluarga besar atau appang dipimpin oleh orang
yang dituakan yang disebut anang. Seperti Puangngé ri Timpengeng yang selain pandai
juga mampu menjawab pertanyaan orang-orang luar (Abidin, 1985:345). Hal ini
Transliterasi:
Namaténa Puangngé ri Timpengeng ri Boli. Masarani to Bolié. Dé’
addakkarenna, namétau’to aja’kammana engkasi pakkutanana Luwu’ iaré’ga
Boné iaré’ga na Gowa, nadé’ gaga baliwi adanna padaé tosa Puangngé ri
Timpengeng. Napada mpenru’na to Bolié akkaleng nabbeungeng déa, apa’ ia to
Bonéwé mabbeungeng nipa maneng. Engka ammani pangolli’na Luwu’,
Bawokaraéng naseng manai’. Narékko engkasi pangolli’ na Gowa, Lantimojong
naseng manai’. Narékko engkai pangolli’na Boné pabbeungennamani najello’.
Bettuanna tania to Boné, apa’ de’ gaga séua maélo’ narolai nakasiwiangi
(sumber: naskah LSW:h.31)
Terjemahan:
Kemudian meninggallah Puangngé ri Timpengeng di Boli dan berduka citalah
orang-orang Boli, sebab tidak ada lagi tempat mereka berlindung dan mereka
juga takut kalau ada lagi pertanyaan dari Luwu’, dari Bone ataupun dari Gowa
72
sedangkan tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan mereka seperti halnya
Puangngé ri Timpengeng. Bersama-sama mencari akallah orang-orang Boli
untuk beratap rumput ilalang, sebab orang-orang Bone semuanya beratap nipa.
Kalau ada panggilan dari Luwu, Bawokaraeng yang disebutnya di atas. Bila ada
panggilan dari Gowa, Latimojong disebutnya di atas. Bila ada panggilan dari
Bone atap rumahnya yang ditunjuk, artinya mereka bukan orang Bone, karena
tidak ada negeri yang hendak diikuti dan diabdi oleh mereka (terj. Abidin, 1985)
Kutipan teks di atas memberi pemahaman kepada kita semua bahwa orang-orang
Timpengeng mereka tidak ingin menyerahkan diri dengan kerajaan lain seperti Luwu
atau Bone. Hal ini terbukti Pada suatu hari yang bersamaan datanglah perintah Luwu,
Gowa dan Bone untuk menanyakan asal dan kepengikutan serta hendak menagih
widattali (pajak bumi dan bangunan). Berlarianlah orang-orang Boli dan terpencar-
pencar, sehingga akhirnya bubarlah masyarakat yang belum mengenal raja dan
bangsawan itu. Pada saat itu orang-orang Boli bersepakat ketika ada pertanyaan dari
kerajaan lain, maka mereka menjawab “Saya orang Boli lahir di sini” dan tidak ingin
menyerahkan diri atau ikut dengan kerajaan lain seperti Gowa, Luwu ataupun Bone.
Pada waktu itu untuk menjelaskan sebuah identitas diri atau kepengikutan seseorang
terhadap kerajaan lain, maka dilakukan dengan cara menunjuk arah saja seperti jika
ada yang menunjuk gunung Bawakaraeng berarti dia berasal dari Gowa, ketika ada
yang menunjuk Latimojong berarti dia berasal dari Luwu dan ketika ada yang
menjawab beratap daun pohon nipa berarti dia adalah orang Bone. Hal ini sebagaimana
Transliterasi:
Naia ri munrinna, engkana naengka wettu nasitakkappong maneng surona
Luwu’, Gowa, Boné makkutana: to aga apoléngenna, nigato narolai, maélo’ topi
mala widattali (sumber: naskah LSW:h.32)
Terjemahan:
Kemudian, pada suatu waktu yang bersamaan datanglah suruhan Luwu, Gowa,
dan Bone bertanya tentang orang apakah mereka, dari mana asalnya dan kepada
siapa mereka mengikut. Mereka hendak pula memungut pajak hasil bumi (terj.
Abidin, 1985)
Ada empat hal yang perlu dicatat berdasarkan beberapa kutipan teks di atas:
pertama, Cinnotabi merupakan sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh Puangngé ri
orang luar untuk pertama kalinya terjadi pada masyarakat Boli, orang luar yang
dimaksud itu adalah Luwu; ketiga, masyarakat Boli merupakan orang-orang merdeka,
sebab mereka tidak ingin menyerahkan diri atas perintah dari kerajaan lain, seperti
Luwu atau Bone; dan keempat, latar belakang lahirnya Cinnotabi disebabkan
kepandaian Puangngé ri Timpengeng yang pada waktu itu mampu meramalkan apa
intinya bukit tempat Opu makan lebih baik digelar Cinnotabangka, yang bersumber
kemudian diurai menjadi cinnong (jernih) dan tabbangka (terkejut). Dengan demikian,
Hubungan politik atau kekuasaan yang dilakukan Boli dengan Pénrang terjadi
Raja Cinnotabi pada saat itu adalah La Tenribali dan La Tenritippe’ (Arung Cinnotabi
V) yang menurut Abidin, (1985:391) menjadi raja secara bersamaan yang disebut
Hal ini terjadi oleh karena La Patiroi sebelum meninggal tidak menunjuk calon
penggantinya yang sesuai dengan sistem kooptasi yang pernah berlaku di Kerajaan
menjadi raja setelah rakyat Cinnotabi bersepakat untuk mengangkat mereka berdua,
dengan alasan mereka mampu menggantikan bapaknya sebagai raja. Hal ini
Transliterasi:
Tessiagato ittana arung mabbali salo’ mappadaoroané Petta La Tenribali
sibawa Petta La Tenritippe’’ napada lainna élo’na. Naia Petta La Tenritippe’’
naésai’i ammaradékangenna to Cinnotabi’é, naddarinna pabbanuaé (sumber:
naskah LSW:h.67)
Terjemahan:
Tiada berapa lamanya memerintah dan berkedudukan sama dua bersaudara Tuan
kita La Tenribali dan Tuan kita La Tenritippe’, maka keduanya berbeda
75
bermula pada peristiwa perampasan wewenang Matoa Pabbicara yang dilakukan oleh
raja yang bertugas di bidang peradilan. Sementara orang itu diperiksa oleh sang hakim,
maka tiba-tiba La Tenritippe’ memerintahkan seorang warga agar penggugat itu datang
menghadap kepadanya, sebab lawannya sedang diperiksa oleh dia dan demikian pula
tergugatlah yang menang tanpa penggugat diberikan pertanyaan sekali pun dan saksi-
saksinya pun demikian. Akhirnya keputusan telah bulat bahwa tergugatlah yang
menang dan penggugat diperintahkan untuk membayar ganti kerugian biaya perkara.
Adapun Orang yang dirugikan itu pergilah mengadu kepada La Tenritau sepupu sekali
raja.
Hingga pada akhirnya La Tenritau pun mengetahui hal ini, oleh karena itu dia
untuk mengadukan hal ini kepada La Tenribali dan memohon supaya dia menasehati
saudaranya. Peristiwa ini menjadi beban bagi La Tenribali, sebab nasehatnya sama
76
sekali tidak diindahkan oleh La Tenritippe’. Akibat peristiwa ini rakyat Cinnotabi
memutuskan bahwa perbuatan mengadili tanpa memeriksa kedua belah pihak dan
saksi-saksinya adalah sebuah pelanggaran berat yang dilakukan oleh seorang raja, yang
secara aturan kerajaan tidak memiliki wewenang untuk mengadili, sebab hal itu secara
bertentangan dengan bicara (Hukum Acara Peradilan), juga tidak memiliki keabsahan
serta melanggar hak-hak asasi rakyat, caranya mengadili adalah hanya mendengarkan
satu pihak saja yang disebut riémpékeng bicara (dilempari keputusan). Mereka juga
Cinnotabi yang diadakan oleh Rajallangi (Arung Babauaé) yang mewakili istrinya, Wé
Tenrisui (Arung Cinnotabi III) dan juga rakyat. Hal ini sebagaimana tertulis pada
Transliterasi:
Ia assabarenna engka to Cinnotabi’ mappangéwang naénré’ ri Arung Cinnotabi
La Tenribali parape’i bicaranna. Naia Arung Cinnotabi’ La Tenribali
nasorongngi lao ri Matoa Pabbicaraé, naia riolo nasuro tangnga’i. Naia tosi
seddié ménré’i ri Arung Cinnotabi’ La Tenritippe’’ parape’i. Naia Arung
Cinnotabi’ La Tenritippe’’ naissenna makkedaé engkani palé’ to
mappangéwangngé risuro ri daékku no’ ri Matoa Pabbicaraé, nasuro tampaiwi.
Makkedai suroé: “Nasuro tampaiko Petta ri Cinnotabi’ maloloé. Engkairo ri
asé’ balimmu parape’i bicaranna”. Makkedai to risuroé tampai: “Petta ri
Cinnotabi’ macoaé suroakka’ no’ ri Matoa Pabbicaraé”. Makkedai to risuroé:
“Madécéngngi’ ménré’”. Jaji ménré’i natterru’ tudang ri olona Arung
Cinnotabi’ La Tenritippe’’. Naia Arung Cinnotabi’ La Tenritippe’’ iamaniro
tabbulu’é engka ri olona tudang naéwa mappau. Naia balinna nasuroé molli’
dé’na naéwai ada. Mau nakkutanangngé pangewanna de’tona. Oncoppisa
nakkutanangnge sabbinna, naluru nasalang iaro tau nasuroé mobbi’ nasuroi
massulu’ (sumber: naskah LSW:h.68)
77
Terjemahan:
Adapun sebabnya ada orang Cinnotabi berselisih dan menghadap Arung
Cinnotabi La Tenribali untuk melaporkan perkaranya. Adapun Arung Cinnotabi
La Tenribali melimpahkannya ke Matoa Pabbicara dan mereka disuruh dahulu
memeriksanya, sedangkan yang lain pergi ke Arung Cinnotabi La Tenritippe’
melapor. Adapun Arung Cinnotabi La Tenritippe’ setelah mengetahui bahwa
orang yang berselisih itu disuruh oleh kakaknya pergi ke Matoa Pabbicara, maka
disuruh panggillah orang itu. Berkata pesuruh itu: “Disuruh panggil engkau oleh
Tuan kita yang muda di Cinnotabi, sebab lawanmu telah ada di istana
menyampaikan perkaranya”. Berkata orang yang disuruh panggil: “Tuan kita di
Cinnotabi yang tua menyuruh aku untuk menghadap Matoa Pabbicara”. Berkata
orang yang disuruh: “Lebih baik engkau menghadap”. Akhirnya orang yang
disuruh panggil itu jadilah naik di istana dan terus duduk di hadapan Arung
Cinnotabi La Tenritippe’. Adapun Arung Cinnotabi La Tenritippe’ hanya
berbicara dengan orang yang lebih dahulu ada di hadapannya, sedangkan
lawannya yang disuruh panggil tidak diajak berbicara, bahkan perselisihannya
pun tidak ditanyakan dan lebih-lebih saksi-saksinya tidak ditanyakan pula, La
Tenritippe’ langsung menyalahkan orang yang disuruh panggil itu dan diberi
hukuman untuk membayar ganti rugi (terj. Abidin, 1985)
diikuti oleh tiga orang kepala persekutuan hukum adat yaitu Matoa Majauleng, Matoa
Sabbamparu, Matoa Tekkalalla, para bangsawan dan sebagian besar rakyat (Abidin,
karena nasehatnya tidak disetujui oleh La Tenritippe’ terkait masalah yang dihadapinya
dan mereka berpandangan bahwa hal itu seharusnya tidak dilakukan oleh raja sebagai
pemimpin kerajaan, sebab sangat merugikan rakyat. Protes rakyat dengan cara
meninggalkan raja adalah alat untuk mengakibatkan raja masiri (aib besar), sebab raja
tanpa rakyat tidak mempunyai siri yang utuh. Dengan cara seperti itu juga dapat
78
memberikan pelajaran bagi pemimpin yang melakukan kesalahan karena peristiwa ini
dianggap memperkosa hak kebebasan rakyat. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan
Transliterasi:
Naia Petta La Tenritau’, La Tenripekka, La Matareng naitana mapeddi’ to
Cinnotabi’é massituru’ni tellu mallékké’ dapureng natiwi’i ana’na pattarona ri
Boli, naccoé’ Matoaé ri Cinnotabi’, Matoaé ri Majauleng, Matoaé ri
Sabbamparu, Matoaé ri Tekkalalla’ sibawa anakkarungngé, tau tongekkarajaé.
Nakkuna ri Boli siratté-ratté nakkotana pada mébbu’ pallaong (sumber: naskah
LSW:h.72)
Terjemahan:
Adapun Tuan kita La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng setelah
dilihatnya orang-orang Cinnotabi menderita, maka bersepaktlah ketiganya untuk
pindah bersama hartanya, lalu membawa anak dan istrinya ke Boli, maka
mengikutlah Matoa Cinnotabi, Matoa Majauleng, Matoa Sabbamparu, Matoa
Tekkalalla, orang-orang bangsawan dan orang baik. Maka di Bolilah mereka
saling bertemu, dan di sana pula mereka bersama-sama membuat lapangan kerja
(terj. Abidin, 1985)
Pada saat tiba di Boli, mereka membangun tiga perkampungan dan membuka
menyebut kesatuan itu Lipu’ Tellu Kajurué, yaitu negeri yang terdiri atas tiga bagian
yang tak terpisahkan bagaikan buah kemiri. Ketiga triumviratus tersebut mempunyai
wewenang yang sama untuk melaksanakan pemerintahan dalam arti luas di tingkat
tangan kepala persekutuan yang lain. Di tiap-tiap daerah yang disebut limpo, raja
79
berdampingan dengan matoa sebagai wakil rakyat limpo. Ketiga orang matoa juga
merangkap menjadi wakil rakyat di pusat pemerintahan Lipu’ Tellu Kajurué di Boli,
dalam artian rakyat Boli mempunyai dua kewargaan yaitu warga limpo dan sekaligus
warga Lipu’ Tellu Kajurué. Hal ini sebagaimana yang tertulis pada kutipan teks berikut
ini.
Transliterasi:
Naia pada kuanna ri Boli, engkana maggalung, maddare’, massari, makkaja,
nrengngeng mala bua-bua rianré ale’é. Napattellu konrottoi aléna. Petta La
Tenritau’ masengngi wanuana Majauleng, Petta La Tenripekka masengngi
wanuanna Sabbamparu, Petta La Matareng masengngi wanuanna Tekkalalla’.
Naia aseng parujunna Lipu’’ Tellu Kajuru’é ri Boli. Naia naonroié makkarung
La Tenritau’, nasengngi Majauleng. Naia naonroié makkarung La Tenripekka,
nasengngi Sabbamparu. Naia naonroié makkarung La Matareng, nasengngi
Tekkalalla’. Natella’ni Lipu’ Tellu Kajuru’é, ia parujungasenna Boli (sumber:
naskah LSW:h.73-77)
Terjemahan:
Adapun ketika semua berada di Boli, ada yang bersawah, berkebun, menyadap
tuak, menangkap ikan, berburu dan mengambil buah-buahan yang dapat dimakan
di hutan. Maka mereka mengelompokkan diri menjadi tiga untuk mendiami
perkampungan masing-masing. Tuan kita La Tenritau menamakan negerinya
Majauleng, Tuan kita La Tenripekka menamakan negerinya Sabbamparu, Tuan
kita La Matareng menamakan negerinya Tekkalalla. Adapun nama pengikatnya,
Lipu’ Tellu Kajurué. Adapun tempat memerintah La Tenritau dinamakannya
Majauleng. Adapun tempat memerintah La Tenripekka dinamakannya
Sabbamparu. Adapun tempat memerintah La Matareng dinamakannya
Tekkalalla. Digelarnya Lipu’ Tellu Kajurué, dan adapun nama pengikatnya Boli
(terj. Abidin, 1985)
yang masih menetap di Cinnotabi, untuk membuka negeri baru bernama Kerajaan
Pénrang yang terdiri dari Pénrang, Saébawi, dan Sarinyameng. Setelah mereka
80
Mampu, sejak saat itu kosonglah Cinnotabi. Dengan melihat kondisi Cinnotabi yang
kosong dan mengalami kehancuran, maka pemimpin ketiga limpo yang tergabung
dalam Lipu’ Tellu Kajurué melakukan musyawarah dengan rakyat Boli, dan
memutuskan untuk membesarkan kembali negeri mereka seperti apa yang telah
kata lain ingin membentuk kembali Kerajaan Cinnotabi yang telah hancur.
Tenribali yang menjadi raja di sana, dengan tujuan untuk membicarakan hasil
musyawarahnya dengan rakyat Boli, dalam hal ini maksud kedatangannya adalah ingin
federasi (kesatuan) yang nantinya akan dibentuk. Setelah mereka itu sampai di
Pénrang, berkata La Tenribali kepada ketiga Arung yang tergabung dalam Lipu’ Tellu
kalian datang ke sini?, karena saya juga memang telah rindu untuk bertemu dengan
kalian”. Menjawablah ketiga Arung bahwa “Hasil keputusan musyawarah kami orang-
orang Lipu’ Tellu Kajurué di Boli, mengatakan “Engkaulah yang hendak kami angkat
sebagai Arung Mataesso dan kami akan mendampingi kemuliaanmu, kita akan bekerja
sama dengan baik berdasarkan kejujuran, kebenaran dan kewajaran kita sekalian.
Engkau memelihara kami, menyelimuti kami agar tidak hampa dan menghindarkan
81
kami dari malapetaka”. Berkata lagi La Tenribali “Memang itulah juga maksudku
bertemu dengan kalian, sebab aku ingin membukakan kalian adat dahulu di Cinnotabi
pada masa pemerintahan Tuan kita La Patiroi (Arung Cinnotabi IV) yang diwariskan
oleh Tuan kita La Rajallangi dan kita mencari adat pemupakatan yang dapat
membesarkan negeri kita”. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Naia Arung Cinnotabi’ La Tenribali naitana maru’-sa’ Cinnotabi’ massu’ taué,
nasalaitoni Cinnotabi’ nassu’ lao ri Pénrang, ri Saébawi, ri Sarinyameng
mpukke’ wanua sibawa padaoroanéna riasengngé La Tenritippe’’, naccoé’si ina
taué engkaé monro tellao ri Boli. Naia sappo sisenna Arung Cinnotabi’
riasengngé Wé Tenrigau’, nalukaitoni salassa’é ri Cinnotabi natiwi’i mattékka
ri Mampu, naonrona Petta Wé Tenrigau’ ri Mampu. Nalobbanna Cinnotabi’.
Naia Petta La Tenritau’, La Tenripekka, La Matareng napasipulungngi to Lipu’’
Tellu Kajuru’é ri Boli. Naia nassiturusi laoé ri Pénrang suddingngi Petta La
Tenribali natiwi’i ri Boli napakkarungngi, nalai Arung Mataesso, naranrengngi
alebbirenna, nasipauju’ madécéng ri alempurenna ri assitinajanna iamaneng.
Napada laona to matoaé ri Boli madduppa. Naia lettu’na ri Pénrang napoadanni
assiturusenna Lipu’’ Tellu Kajuru’é ri Boli. Naengkana Petta La Tenribali tama
ri Boli sitinro’ ina taué ri Pénrang sibawa to Bolié laoé madduppa. Naia
lettu’nana ri Boli nasitudangeng Petta La Tenribali massappo siseng Petta La
Tenritau’, La Tenripekka, La Matareng sibawa to Bolié. Makkedai Petta La
Tenribali ri sappo sisenna: “Angngaré’ga muollirengnga’ apa’ ia’ muddani
mémettona maélo’ sitako” Makkedai Petta La Tenritau’, La Tenripekka, La
Matareng: “Assiturusenna ikkeng to Lipu’’ Kajuru’é ri Boli: iko maélo’ riala
Arung Mataesso, kiranrengngi alebbiremmu, tasipauju’ madécéng ri
alempuretta ri atongengetta’ ri assitinajatta idi’ maneng. Namuarupekkeng,
musaLipu’ri temmacekké’, mudongiri temmatippa’keng mupanini’keng ri
maja’é, tasilettukeng ri majéngngé muabbicarangngi’ bicara malempu’,
tamana’é ri Puatta La Patiroi, namana’é ri Puatta La Rajallangi’, namaraja
Cinnotabi’, naengkamani nrusa’i bicara malempu’é namarusa’na Cinnotabi’”.
Makkedai Puatta La Tenribali: “Ia mémenna maélo’ usitakko”. Naia maélo’
bukkarekko ade’ rioloé ri Cinnotabi’ ri wettunna Puatta La Patiroi, namana’e ri
Puatta La Rajjallangi’, kuae topa tasappa’ ade’ assituruseng maka
perajaiengngi wanuatta, naccolli’ naddaung, nattakké nappaleppang
napparanga-ranga nalorong lao alau’ lao orai’, lao maniang lao manorang.
Namacekké’ raunna riannaungngi, taébburengngi janci, tappésabbiangngi ri
Déwata Séuaé. Namadécénni tositudangeng sangadi ri Majauleng, aja’ naengka
82
Terjemahan:
Adapun Arung Cinnotabi La Tenribali setelah dilihatnya rusak Cinnotabi dan
orang-orang bersama-sama keluar, ditinggalkannya pula Cinnotabi dan pergi ke
Pénrang, Saébawi dan Sarinyameng untuk membuka negeri baru bersama
saudaranya yang bernama La Tenritippe’ dan mengikut pula pemuka-pemuka
masyarakat yang masih tinggal yang tidak pergi ke Boli. Adapun sepupu
sekalinya Arung Cinnotabi yang bernama We Tenrigau membongkar pula Istana
di Cinnotabi dan dibawanya menyeberang ke Mampu dan tinggallah Tuan kita
We Tenrigau di Mampu. Kosonglah Cinnotabi. Adapun Tuan kita La Tenritau,
La Tenripekka dan La Matareng dikumpulkannya orang-orang Lipu’ Tellu
Kajurué di Boli. Yang dimupakati ialah mereka akan pergi ke Pénrang untuk
mengundang Tuan kita La Tenribali dan dibawanya ke Boli untuk memerintah
dan diangkat menjadi Arung Mataesso (Raja Matahari) dan didampingi
(diperkuat) kemuliaannya dan bekerja sama dengan baik berdasarkan kejujuran
dan kewajaran mereka semuanya. Maka, pergi semualah orang-orang tua di Boli
untuk menjemput. Setelah mereka sampai di Pénrang, diberitahukanlah hasil
kesepakatan orang-orang Lipu’ Tellu Kajurué di Boli. Maka datanglah Tuan kita
La Tenribali dan masuk ke Boli untuk menjemput. Setelah tiba di Boli, maka
Tuan kita La Tenribali duduklah secara bersama (bermusyawarah) dengan para
sepupu sekalinya yaitu Tuan kita La Tenritau, La Tenripekka dan La Matareng
serta orang-orang Boli. Berkata Tuan kita La Tenribali kepada sepupu-sepupu
sekalinya: “Apa gerangan maksud kalian memanggilku, karena saya juga
memang telah rindu untuk bertemu dengan kalian”. Menjawab Tuan kita La
Tenripekka dan La Matareng: “Hasil keputusan musyawarah kami orang-orang
Lipu’ Tellu Kajurué di Boli, engkaulah hendak kami akan angkat sebagai Arung
Mataesso (Raja Matahari) dan kami akan mendampingi kemuliaanmu, kita
bekerja sama dengan baik berdasarkan kejujuran, kebenaran, dan kewajaran kita
sekalian. Engkau memelihara kami, menyelimuti agar kami tidak keinginan,
engkau lengkapi kami agar tidak hampa, engkau menghindarkan kami dari
malapetaka, kita sama-sama sampai pada kebaikan dan kau laksanakan peradilan
yang berdasarkan kejujuran yang engkau pusakai dari Tuan kita La Patiroi, yang
dipusakainya dari Tuan kita La Rajallangi, sehingga besar Cinnotabi dan barulah
bubar Cinnotabi setelah ada orang yang merusak peradilan berdasarkan
kejujuran”. Berkata Tuan kita La Tenribali: “Memang itulah maksudku bertemu
dengan kalian, sebab aku ingin membukakan kalian adat dahulu di Cinnotabi
pada masa Tuan kita La Patiroi yang dipusakainya dari Tuan kita La Rajallangi
dan kita mencari adat permupakatan yang dapat membesarkan negeri kita, agar
berpucuk, berdaun, bertangkai dan berpelepah, melebar serta menjalar ke timur,
ke barat, ke selatan dan ke utara. Dingin daunnya tempat kita bernaung, kita
83
membuatkannya janji dan dipersaksikan kepada Dewata Yang Esa. Baiklah, kita
akan bermusyawarah lusa di Majauleng dan jangan ada yang tidak hadir, semua
orang yang telah dewasa hadir semua, akan dicatat yang hadir dan dicari yang
tidak hadir” (terj.Abidin, 1985)
kepala limpo di Boli dan para matoa memutuskan untuk memilih La Tenribali menjadi
Arung Mataesso (raja matahari) di Boli, untuk memerintah ketiga limpo mengayomi
rakyat serta melaksanakan hukum adat seperti yang telah ditetapkan pada masa
bahwa sebelum diangkat menjadi raja, maka harus dibuat perjanjian pemerintahan yang
antara lain menetapkan hubungan kekuasaan raja dengan kepala limpo, hubungan hak
dan kewajiban antara raja dan matoa dan menetapkan bahwa semua hukum adat yang
hak otonomi daerah-daerah (limpo), semua pejabat kerajaan baik di tingkat pusat
tanpa campur tangan pihak lain, para matoa harus menjadi anggota Dewan Pemerintah
Pusat dan Daerah dan Matoa Pabbicara memiliki kewenangan mengadili perkara sipil
(adat kebebasan rakyat) harus dihormati oleh para pejabat, termasuk hak milik rakyat.
Pejabat limpo yang satu tidak boleh langsung memasuki limpo lain untuk menangkap
orang sebelum meminta izin pejabat limpo lain dan sebaliknya mereka hanya meminta
84
kepada limpo lain supaya menyerahkan penjahat yang dicari, termasuk saksi-saksi yang
La Tenribali juga mengusulkan bahwa di samping ade’ pura onro (hukum adat
yang telah ditetapkan lebih dahulu dan ternyata dalam praktek terbukti telah
bermanfaat bagi seluruh rakyat) diakui sebagai hukum yang tak boleh diubah lagi,
sedangkan ade’ assimémengenna wanuaé (hukum adat yang tidak dibentuk oleh
pemerintah, tetapi lahir dan berkembang di antara rakyat) juga harus dihormati.
Diusulkannya pula supaya dibentuk ade’ assituruseng, yaitu hukum adat yang lahir
wakil rakyat (para matoa dan ulu anang) untuk mengatur hal-hal yang tidak diatur oleh
ade’ maraja (adat besar bagi raja-raja), ade’ abiasang (adat kebiasaan bagi rakyat),
tuppu’ (aturang yang mengatur tingkat-tingkat adat dan hubungan hukum antara
seorang ayah dan anaknya), wari’ (aturan untuk membedakan hal-hal yang patut
pemerintah pusat, maupun di daerah-daerah. Hukum Adat demikian setiap waktu dapat
ternyata tidak bermanfaat dan merugikan rakyat (Abidin, 1985:405). Hal ini
Transliterasi:
Aga nadapi’ni esso nassijancingié, pada engka manenni to Bolié sipulung ri
Majauleng arumpanua, matoa malolo dé’ gaga dé’, nakkunaro sipetangngareng
mengngorangiwi ade’ rioloé ri Cinnotabi’. Naia napada mengngerang
85
Terjemahan:
Tibalah hari yang telah disepakati, maka datanglah semua orang-orang Boli
untuk berkumpul di Majauleng, pemerintah dan rakyat, tua dan muda, tidak ada
yang tidak hadir, semua hadir untuk bermusyawarah dan mengingat adat dahulu
di Cinnotabi. Yang sama diingat dan disetujui ialah: tidak saling merampas hak
lapisan atas dan bawah, pemerintah dan rakyat harus berdasarkan hak-hak
kebebasan, saling memperingati jika ada yang khilaf, saling menerima nasehat
yang berakhir pada kebaikan sampai pada turunan masing-masing. Di sanalah
dilantik Arung Mataesso Tuan kita La Tenribali, di Lipu’ Tellu Kajurué. Maka
menjadilah pendamping raja sepupu sekalinya ketiga-tiganya, yang akan
mendampingi kemuliaan La Tenribali. Saling mengatur dengan baik berdasarkan
kejujuran, kebenaran, kepatutan yang diistilahkan sebagai “adat besar raja-raja”
di Lipu’ Tellu Kajurué (terj. Abidin, 1985)
Setelah para kepala limpo dan para matoa menyetujui usulan La Tenribali, maka
tiada berapa lama kemudian diadakanlah perjanjian antara calon Arung Mataesso, yaitu
La Tenribali dan rakyat ketiga limpo di bawah pohon bajo, di Boli. Sebelum janji
diucapkan, maka ketiga orang Arung Limpo (raja), dengan sukarela melepas gelarnya
Tuwa. Tiap paddanreng mengepalai sebuah limpo dan masing-masing limpo terdiri
dari empat anak limpo. Limpo Bettempola membawahi anak limpo yakni Bettempola,
Ujung Kalokkong, Lowa-lowa dan Botto. Limpo Taloténreng membawahi anak limpo
86
yakni Taloténreng, Ciung, Palékkoreng dan Ta’. Limpo Tuwa membawahi anak limpo
yakni Aka’, Ménge’, Limpo dan Kampiri. Mereka menamakan wilayahnya Lipu’ Tellu
Kajurué. Tiap anak limpo dibawahi oleh Arung Mabbicara (pendamping raja yang
bertugas di bidang peradilan) yang sejenis dengan lembaga yang merumuskan undang-
penduduk dengan ragam dan ciri-ciri penduduk yang beraneka ragam yang tidak dapat
lagi diatur dalam sistem kekerabatan sehingga bentuk organisasi lainnya sebagai
tambahan yang disempurnakan dalam berbagai aturan, adat istiadat, struktur organisasi
rakyat Boli kepada La Tenribali sesudah dia dilantik s.b.b.: “Bataraé manitu ri méné’na
jancita, tanaémani ri awana”, yang artinya hanya langit yang berada di atas janji kita
dan hanya tanah yang ada di bawahnya. Mungkin karena batara itu merupakan
perlambang keagungan dan pohon bajo merupakan pohon yang rindang daunnya yang
di bawahnya, maka negeri Boli diibaratkan sebagai pohon pengayom bagi rakyatnya,
sehingga La Tenribali serta para paddanreng mengubah nama Boli menjadi Wajo.
Adapun nama penghimpunnya Tellu Kajurué dan diubah menjadi Tellué Turungeng
a. Pemerintah pusat terdiri dari Batara Wajo sebagai pejabat yang dituakan dan
b. Segala ketentuan hukum adat yang telah ada di daerah-daerah limpo tetap berlaku
dan harus dihormati oleh raja. Hanya hal-hal baru yang belum diatur boleh
dibuatkan peraturan adat yang setiap saat boleh diubah yang menyangkut
kepentingan ketiga daerah dan pemerintah pusat. Adat tersebut harus ditetapkan
c. Tiap limpo diakui hak-haknya dalam pengaturan hukum adat istiadat, pemutusan
Dalam transkripsi dan transliterasi LSW yang dibukukan Andi Makkaraka Arung
hubungannya dengan Batara Wajo selaku pemimpin di Wajo yang terkesan adanya
pengaruh ikatan kekeluargaan dengan masih memegang beberapa tata aturan yang
maupun dengan lapisan masyarakat yang diperintah, coraknya tidak jauh dari sifat
berpegang pada tata aturan yang sudah disepakati sebelumnya. Dalam pengokohan
88
struktur kekuasaan ini didapatkan melalui keabsahan yang diberikan oleh masyarakat
yang dipimpin, hal ini kemudian diwujudkan melalui proses pengambilan keputusan,
yang menarik adalah berdasarkan musyawarah diantara ketiganya dan rakyat Wajo
pada masa itu. Hal ini sebagaimana tertulis pada teks berikut ini.
Transliterasi:
Naia Tellu Kajuru’é, tellué limpo. makkedani taué Tellu Turungeng Lakka’ ri
Wajo. Naia Batara Wajo La Mataesso malempu’i namagetteng taro bicaranna,
maséro’toi naélori sipetangngarengngé Paddanrengngé, ina taué ri
adécéngenna tanaé ri Wajo: naérékki mui tennaléréi tarona ambo’na.
Napatattaung tettong Batara Wajo La Mataesso, natépuna Wajo seku’toni
tama’na taué temmassu’ ri Wajo (sumber: naskah LSW:h.128)
Terjemahan:
Adapun Lipu’ Tellu Kajurué, yaitu ketiga daerah yang orang juga menyebutnya
Lipu’ Tellu Turungeng Lakka di Wajo. Adapun Batara Wajo La Mataesso, jujur
dan tegas menetapkan putusannya, sangat suka pula bermusyawarah dengan para
pendamping raja dan pemuka masyarakat demi kebaikan negeri Wajo;
diteguhkannya juga dan tidak dilonggarkannya ketetapan ayahnya. Setelah empat
tahun diangkatnya Batara Wajo La Mataesso, maka sempurnalah Wajo dan
selama itu pula masuknya orang dan tidak ada yang keluar dari Wajo (terj.
Abidin, 1985)
dalam hal ini adalah relasi-relasi yang didasarkan atas peranan dan kedudukan yang
berbeda, misalnya relasi antara pemimpin dan pengikut. Hal ini ditunjukkan dalam
catatan sejarah tentang kepengikutan limpo dalam tiga kelompok besar tersebut. Limpo
politik yang merupakan suatu aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan oleh
89
sebagai entitas kelompok masyarakat tersendiri terhadap Paddanreng tidak lain adalah
disebabkan karena ketiga Arung yang tergabung dalam Lipu’ Tellu Kajurué yang
membentuk kerajaan federasi (kesatuan), yaitu terdapat seorang raja yang dibantu oleh
Tekkalalla.
Kemudian penduduk Boli membagi diri mereka dan mendiami daerah masing-
Tenripekka dan ada pula yang memilih wilayah La Matareng sebagai tempat
kewarganegaraan rakyat Boli terdiri atas warga negara Boli dan warga negara di daerah
menjadi Wajo dengan Pénrang, terjadi pada masa pemerintahan La Tenribali sebagai
Batara Wajo I. Pada saat Wajo terbentuk sebagai kerajaan federasi (kesatuan) yang
Tenribali menjadi raja di Wajo, dan pada saat itu Pénrang belum termasuk daerah
kedua pemimpin ini memberi indikasi akan adanya hubungan yang terjadi antara Wajo
Tenritippe’ untuk menghadap kepadanya di Istana Kerajaan Wajo. Hal ini sebagaimana
Transliterasi:
Nassuro mobbi’i padaoroanéna Batara Wajo La Tenribali ri Pénrang
riasengngé La Tenritippe’’. Naia engkanana makkedai Batara Wajo ri anrinna:
“Ia upoadakko anri’, alairo akkarungekku ri Pénrang. Eppa’tu limpo: séuani
Ujung, maduanna Lapéré’, matellunna Tarokéteng, maeppa’na Saébawi
(sumber: naskah LSW:h.125)
Terjemahan:
Disuruh panggillah saudaranya Batara Wajo La Tenribali di Pénrang yang
bernama La Tenritippe’. Setelah tiba, berkata Batara Wajo kepada adiknya:
“Yang aku ingin sampaikan kepadamu hai adikku “Ambillah kerajaan di Pénrang
yang terdiri dari empat daerah: pertama Ujung, kedua Lapere, ketiga Taroketeng
dan keempat Saébawi (terj. Abidin, 1985)
kekuasaan atas dasar persetujuan bersama antara pemimpin dan pengikut. Manakala
pejabat yang disebutkan bahwa matoa sebagai wakil rakyat diberi tugas yang antara
lain membantu arung sebagai pemimpin kerajaan untuk memutuskan suatu kebijakan.
Hal tersebut terjadi karena adanya kesadaran bahwa apa yang dianjurkan atau
diperintahkan oleh pemimpin akan menjadi baik dan berguna untuk kepentingan
Arung Pénrang dengan mengadakan perjanjian antar kerajaan, yang pada saat itu
Pénrang belum masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo. Adapun isi perjanjian
a. Kerajaan Pénrang harus dibagi empat limpo yaitu: Ujung, Lapéré, Tarokéteng
matoa, yang dilukiskan oleh LSW dengan kata-kata kiasan sebagai berikut:
“Engkau beradu sambil menutup kepala sampai di kaki, engkau tidak usah
mengetahui tidak adanya, yang adanya saja engkau tahu, dan barulah engkau
c. Segala urusan dalam negeri Pénrang tidak dicampuri oleh Wajo, demikian pun
halnya Pénrang tidak mencampuri urusan Wajo, bila orang-orang Wajo ke luar
dari negeri mereka, atau mereka masuk kembali di Wajo, Arung Pénrang tidak
d. Arung Pénrang menjadi inang (ibu) dan penasehat Wajo dalam hal terjadi
perselisihan antara para pejabat Wajo. Hal ini dilakukan, sebab praktek
bersama La Tenribali.
telah dinyatakan sebagai daerah kekuasaan Wajo yang disampaikan langsung kepada
Arung Pénrang. Adapun inti dari nasehat itu tentang konsep pemerintahan yang akan
diterapkan di Pénrang, yang berbunyi: “Engkau Arung Pénrang harus tidur sambil
menutup kepala sampai kaki, engkau tidak usah mengetahui tidak adanya, yang ada
saja engkau ketahui dan barulah engkau bangun dari pembaringanmu, jika Arung
Wajo berjanji tidak akan mencampuri urusan dalam negeri masing-masing wilayah
kekuasaan Wajo, akan tetapi hanya dapat memberikan nasehat atas permintaan matoa
atau Arung Mabbicara. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Mupada taroiwi Arung Mabbicara tasséddi silimpo muéwai sipetangngareng.
Muatinro mattukku’ ulu mattukku’ ajé, temmuisseng dé’na engkanami muisseng.
Naiaparo limpoé eppa’é teddu’ko muoto’. Temmuriuttamai bicarammu ri Wajo
93
Terjemahan:
Tempatkanlah satu orang Arung Mabbicara (kepala limpo) di tiap daerah dan
engkau temani bermusyawarah. Engkau tidur menutup kepala sampai kaki, tidak
engkau ketahui tidak adanya, hanya adanya engkau ketahui. Hanyalah bila
keempat daerah itu membangun engkau, barulah engkau bangun. Tidak
dicampuri urusan pemerintahanmu oleh Wajo, di Lipu’ Tellu Kajurué atau Tellu
Turungeng Lakka dan tidak pula engkau mencampuri urusan pemerintahannya.
Bila ada rakyatmu masuk di Wajo berpasar, mereka tidak dikenakan pajak, baik
di rumah maupun di padang. Engkau mengadakan pasar dan tidak akan
dikenakan pajak. Orang keluar dari Wajo, engkau tidak usah ketahui, orang
masuk, engkau tidak ketahui. Bila Wajo menjamu negeri tetangganya tidak usah
engkau mencampurinya pula. Engkau kepala dari Tellu Kajurué atau Tellu
Turungeng Lakka di Wajo. Anaklah Tellu Turungeng Lakka dari engkau. Bila
engkau masuk di Lipu’ Tellu Kajurué, engkau didahului oleh perisai. Bilamana
para kepala kampung berselisih di Lipu’ Tellue Turungeng Lakka masuklah
engkau di negeri itu untuk menasehati anakmu, tanpa ditunjukkan tempat duduk
di balairung, engkau duduk di tempat dudukmu, di tempat duduk para
pendamping raja. Bila mereka tidak mau menerima nasehat, linggismulah engkau
pikul dan sandanglah kain kafan lalu engkau berdiam diri sambil melihat anak-
anakmu saling berbunuhan. Bila ada yang meninggal, bungkuslah ia dengan kain
kafan, bakar, kumpulkan abunya, masukkan dalam tajau dan tanamlah tajau itu.
Demikianlah penetapan Tellu Kajurué yaitu ketiga daerah di bawah
kekuasaanmu. Begitulah kedudukan Arung Pénrang di Wajo sampai sekarang.
Berkata Arung Pénrang: “Aku terpanggil atas apa yang sudah dimupakati dan
aku eratkan” (terj. Abidin, 1985)
94
kekuasaan Kerajaan Wajo dengan Pénrang, maka dapat disimpulkan bahwa daerah
yang berbentuk federasi (kesatuan). Adapun daerah kekuasaannya menjadi empat yaitu
Tenripekka, Tekkalalla yang dipimpin oleh La Matareng dan Pénrang yang dipimpin
oleh La Tenritippe’ yang daerah kekuasaannya terdiri dari Ujung, Lapéré, Tarokéteng
dan Saébawi. Semua pemimpin tersebut dibantu oleh Arung Mabbicara yang
oleh kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi anak Kerajaan Wajo. Itulah sistem
pemerintahan yang digambarkan oleh LSW sebagai hasil dari hubungan kekuasaan
dengan kerajaan lain yang dilakukan Kerajaan Wajo pada masa itu.
Berbicara peranan wanua terhadap Kerajaan Wajo tidak terlepas dari Lipu’ Tellu
Kajurué yang terdiri dari Majauleng, Sabbamparu dan Tekkalalla. Dalam LSW
belakang terbentuknya Wajo, dimana pada saat itu para pemimpin wanua masing-
masing yang tergabung dalam Lipu’ Tellu Kajurué melakukan musyawarah bersama
rakyat Boli hingga memutuskan akan membentuk kerajaan federasi (kesatuan) dan
memutuskan bahwa La Tenribali yang akan dijadikan sebagai raja pertama di Kerajaan
Wajo serta membuat konsep pelantikan yang digelar di Boli. Selain itu, dikenal juga
Pénrang yang memiliki peranan penting sehingga Kerajaan Wajo dapat memperluas
95
wilayahnya yang terdiri dari Ujung, Lapéré, Tarokéteng dan Saébawi. Dengan
demikian, Kerajaan Wajo dikenal sebagai salah satu kerajaan besar di Sulawesi Selatan
bercocok tanam seperti menanam padi, jagung, ubi, menyadap tuak dan menangkap
ikan. Oleh karena itu, setiap daerah diberikan peranan khusus berdasarkan potensi alam
ataupun potensi lainnya yang dimiliki. Semua potensi tersebut tersebar di berbagai
daerah kekuasaan Wajo sekaligus menjadi peranan terhadap Kerajaan Wajo. Adapun
Majauleng menurut LSW adalah wanua yang dipimpin oleh La Tenritau dan
merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Wajo yang dikenal sebagai daerah yang
memiliki lahan pertanian yang sangat luas. Oleh karena itu, wanua ini diberi peranan
oleh kerajaan sebagai Paddanreng Bettempola, yaitu pembantu raja yang bertugas
mengurus segala hal yang berkaitan dengan pertanian di semua wilayah yang termasuk
dalam kekuasaan Kerajaan Wajo dengan kata lain daerah penghasil pertanian, misalnya
menanam padi, jagung, ubi dan pertanian lainnya. Hal ini semua dilakukan agar
kebutuhan pokok rakyat dapat terpenuhi, dengan kata lain rakyat menjadi makmur
dalam hal kebutuhan pangan. Oleh karena itu, perkembangan segala bentuk pertanian
Bettempola.
96
Majauleng menetaplah di daratan bersawah dan berladang, maka disebut dalam lontara
Majauleng, yang merupakan daerah penghasil pertanian). Hal ini sebagaimana tertulis
Transliterasi:
Naia to Majaulengngé marenrenni ri bottoé maddare’, namménténg-ménténna
lappo’ aséna ri tanétéwé, aga nariasenna Béttémpola (sumber: naskah
LSW:h.127)
Terjemahan:
Adapun orang-orang Majauleng menetaplah di daratan berkebun dan meninggi
pulalah tumpukan padinya di padang, maka disebutnya Bettempola (terj.Abidin,
1985)
Menurut orang-orang tua di Tosora bahwa pada tahun 1967 asal usul Bettempola
pengucapannya menjadi métténg, suatu kata tua yang tidak terpakai lagi, yang berarti
matanré (tinggi) dan tettong (berdiri, tegak). Orang tua itu menyatakan, bahwa nama
Bettempola berasal dari ungkapan “Menremani ri tanété ri awana aju bajo battoaé
lappo aséna”, yang artinya pada waktu mereka naik di padang di bawah pohon bajo
97
besar untuk berkebun dan bersawah barulah dinamakan Bettempola, sebab telah
tempatnya di tengah. Nama itu yang sering disingkat Betteng mungkin sekali ada
kaitannya dengan kedatangan We Tadampali, putera Datu Luwu yang massao tanré
(tinggi rumahnya sebagai petanda bangsawan yang dianggap paling mulia) di Wajo
Kerajaan Wajo. Wanua ini dipimpin oleh La Tenripekka yang berperan penting dalam
memproduksi minuman tradisional yang dinamakan tua’ ri boli, yaitu minuman yang
dihasilkan dari sadapan pohon enau yang dicampur dengan sadapan pohon bajo yang
menangkap ikan dan pekerjaan lainnya. Minuman ini dipercaya oleh orang Wajo pada
masa itu, sebagai minuman yang dapat menjaga kondisi fisik para pekerja agar tidak
kelelahan dalam bekerja. Oleh karena itu, La Tenripekka dilantik sebagai Paddanreng
Taloténreng yang memerintah di Sabbamparu dan diberikan tugas oleh kerajaan untuk
memenuhi kebutuhan tuak para pekerja di Wajo yang saat itu sudah menjadi kebutuhan
bagi petani, nelayan dan para penyadap tuak itu sendiri. Hal ini dijelaskan dalam LSW
yang merupakan daerah penghasil tuak). Hal ini sebagaimana tertulis dalam kutipan
Transliterasi:
Naia to Sabbamparué marénréngngi ri assarinna tua’, nariasenna
Taloténréng.(sumber: naskah LSW:h.127)
Terjemahan:
Adapun orang-orang Sabbamparu menetaplah di penyadapan tuaknya dan
disebut Taloténreng (terj. Abidin, 1985)
tengah”, dan Tuwa sebagai anak “bungsu” dalam lingkungan “Tellu Lipu’ Kajurué”
yang kemudian berubaha nama menjadi “Tellu Turungeng Lakkaé” pada masa
pemerintahan La Mataesso (Batara Wajo II). Sistem ketatanegaraan di Wajo waktu itu
Mataesso juga untuk pertama kalinya mengadakan perjanjian bilateral dengan kerajaan
Tekkalalla adalah wanua yang dipimpin oleh La Matareng dimana sebagian besar
penghasil ikan pada waktu itu. Hal ini disebabkan karena orang-orang Tekkalalla
pandai menangkap ikan menggunakan racun yang dinamakan tuwa, yang dalam bahasa
Indonesia disebut tuba (sejenis racun ikan yang berasal dari akar tanaman tuba). Dalam
99
daerahnya Tuwa. Pada saat itu digelarlah La Matareng sebagai Paddanreng Tuwa
(pendamping raja yang bertugas di Tekkalalla, yang merupakan daerah penghasil ikan
pada waktu itu). Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Naia to Tekkalalla’é marenrenni ri akkajana nariasenna ri Tuwa. Nasaba iaro
wettué tuaé mupa maséhoro napaké to Wajoé makkaja (sumber: naskah
LSW:h.127)
Terjemahan:
Adapun orang-orang Tekkalalla menetap pada pekerjaan menangkap ikan dan
dinamakannya Tuwa, sebab pada waktu itu hanya tubalah yang sering dipakai
orang-orang Wajo untuk menangkap ikan (terj. Abidin, 1985)
pemerintahan yang buruk sehingga terjadi perselisihan antara Arung dengan Arung,
Arung dengan Matoa Pabbicara, dan Arung dengan rakyat. Peristiwa tersebut menjadi
Mataesso (raja matahari) di Boli yang bertugas untuk mengayomi rakyat Boli dengan
melaksanakan hukum adat yang pernah dipakai oleh La Patiroi yang diwarisinya dari
Pada saat La Tenribali menjadi pemimpin di Kerajaan Wajo, dia tidak ingin hal
yang terjadi di Kerajaan Cinnotabi akan terulang pada kerajaan yang dipimpinnya.
Oleh karena itu, dengan bergabungnya Pénrang ke dalam daerah kekuasaan Kerajaan
100
Wajo, maka dia melantik Pénrang sebagai inang (ibu), yaitu penasehat Wajo jika terjadi
perselisihan antara wanua satu dengan wanua lainnya. La Tenribali juga mengusulkan
supaya Kerajaan Pénrang harus dibagi atas empat limpo yaitu Ujung, Lapéré,
Tarokéteng, dan Saébawi yang masing-masing diperintah oleh Arung Mabbicara dan
masing-masing menjadi anggota Dewan Perwakilan Pusat yang dikepalai oleh Arung
menyerahkan segala urusan pemerintahan kepada para Arung Mabbicara dan para
matoa, dia hanya turun tangan kalau terjadi perselisihan antara wanua satu dengan
wanua lainnya.
Adapun yang dikatakan La Tenribali pada waktu itu bahwa “Engkau Arung
Pénrang harus tidur sambil menutup kepala sampai kaki, engkau tidak usah mengetahui
tidak adanya, yang ada saja engkau ketahui dan barulah engkau bangun dari
berjanji tidak akan mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, sebab dia hanya
dapat memberikan nasehat. Hal ini sebagaimana tertulis pada kutipan teks berikut ini.
Transliterasi:
Narekko sisalai Arungngé ri Lipu’’ Tellué Turungeng Lakka’, uttama’ko
muappangaja’ ri ana’mu, temmurijellokeng tudangeng ri barukaé mutadang ri
tudangemmu, ri tudangenna ranrengngé. Narekko tiani mala pangaja’,
soddamumani muéssang. Musaléppang widang, muammekko’ muitaitaini
ana’mu siuno. Narékko engkana maté, bukku’ni widang mutunui, mupuppungngi
aunna, muparitajoi, mulemme’i tajoé. Makkoniro tarona Tellu Kajuru’é, tellué
limpo riko”. Aga nappakkotona olona Arung Pénrang ri Wajo lettu’ makkukkué
(sumber: naskah LSW:h.125)
101
Terjemahan:
Bilamana para kepala kampung berselisih di Lipu’ Tellue Turungeng Lakka
masuklah engkau di negeri itu untuk menasehati anakmu, tanpa ditunjukkan
tempat duduk di balairung, engkau duduk di tempat dudukmu, di tempat duduk
para pendamping raja. Bila mereka tidak mau menerima nasehat, linggismulah
engkau pikul dan sandanglah kain kafan lalu engkau berdiam diri sambil melihat
anak-anakmu saling berbunuhan. Bila ada yang meninggal, bungkuslah ia
dengan kain kafan, bakar, kumpulkan abunya, masukkan dalam tajau dan
tanamlah tajau itu. Demikianlah penetapan Tellu Kajurué yaitu ketiga daerah di
bawah kekuasaanmu. Begitulah kedudukan Arung Pénrang di Wajo sampai
sekarang (terj. Abidin, 1985)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
sebagai berikut. Wanua adalah unit permukiman terkecil yang berfungsi sebagai
tempat manusia bermukim. Adapun wanua kuno yang muncul sebelum Kerajaan Wajo
terbentuk sebagai sebuah kerajaan federasi yang bertipe (kesatuan) adalah Paung,
terletak di dataran rumput yang menghijau, hutan belantara dan ada pula yang berada
nama pohon, nama binatang dan nama minuman tradisional yang dibuat oleh
pemimpinnya. Misalnya: Paung dari kata mappau-pau, yang dalam bahasa Bugis
berarti bercakap-cakap atau berkata-kata, Pénrang dari kata pénrangngé, yaitu sebutan
orang-orang dahulu terhadap jenis pohon terbaik seperti cendana dan bayam,
Sarinyameng yaitu gabungan dari kata sari artinya sadap dan nyameng artinya
nyaman, Saébawi berasal dari dua kata yaitu saé artinya mengendarai dan bawi artinya
babi, Boli berasal dari minuman tuak yang dicampur sadapan pohon bajo yang
dinamakan tua’ riboli, maka dinamakanlah perkampungan itu Boli dan Cinnotabi
berasal dari kata cinnong artinya jelas atau jernih dan tabbangka artinya terkejut atau
102
103
menjadi Cinnotabi.
Dari keenam wanua yang lebih dulu muncul sebelum Kerajaan Wajo, terdapat
memimpin tersebut mendapat legitimacy, yaitu keabsahan oleh rakyatnya atas dasar
seorang pemimpin harus memiliki keahlian dalam memimpin, utamanya dalam hal
pengetahuan dan perilaku. Dua hal tersebut harus dimiliki oleh seorang pemimpin,
sebab hal itu menjadi modal utama dalam memimpin sebuah daerah jika ingin
B. Saran
Penulis berharap studi tentang naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) dapat
melakukan penelitian, naskah LSW masih banyak yang perlu diungkap di antaranya
104
adalah konsep demokrasi, sistem pemerintahan dan hukum adat yang diterapkan di
Kerajaan Wajo.
Kajian-kajian tentang naskah lontara, perlu terus dilakukan dalam rangka studi
kearifan lokal yang berlangsung pada masa silam dan dapat direlevansikan dalam
kehidupan sekarang. Hal ini seharusnya dapat menjadi perhatian khusus oleh
lokal tersebut. Sebab naskah-naskah lontara di Sulawesi Selatan masih banyak yang
Abidin, Andi Zainal. 1985. Wajo pada Abad XV-XVI “Suatu Penggalian Sejarah
AKW, Bernadeta dan Hasanuddin. 2016. Lembah Walennae Lingkungan Purba dan
Baroroh Baried, Siti dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan
Bulbeck, David dan Budianto Hakim. 2005. The Earthenware From Allangkanangnge
ri Latanete Excavated in 1999. Walennae, volume 11, No. 2. Juni 2005. 99-
106.
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-Lain.
Duli, Akin. 2010. Peranan Tosora Sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Wajo Abad
105
106
Ininnawa.
Sulawesi Selatan.
--------------------. 2017. Bangkala dan Binamu: Suatu Kajian Naskah Lontara Dalam
Ilyas, Husnul Fahimah. 2011. Lontara Sukkuna Wajo: Telaah Ulang Awal Islamisasi
Makassar: De la Macca.
Mahmud, Irfan. 2001. Awal Mula Wajo dan Aspek Ruang Situs Inti Wajo Abad XV-
Rais, Jacub, dkk. 2008. Toponimi Indonesia: Sejarah Budaya yang Panjang dari
Rustan dan Adi Mulyadi. 2001. Tinggalan Menhir di Bekas Kerajaan Wajo dan
Yusuf, Andi Muhammad. 2012. Reproduksi Status Tradisional Dalam Praktik Politik
1. Adat
Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma,
kebiasaan, kelembagaan dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah
2. Batara
Batara adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang menjadi raja pada
Kerajaan Wajo.
3. Boli
Boli adalah salah satu daerah kekuasaan Wajo yang menjadi pusat pemerintahan
Kerajaan Wajo.
4. Bugis
5. Cinnotabi
Cinnotabi adalah salah satu kerajaan kecil yang pernah ada sebelum terbentuknya
Wajo sebagai sebuah kerajaan federasi (kesatuan). Kerajaan Cinnotabil inilah yang
6. Federasi
bekerja sama dengan membentuk kesatuan yang disebut negara federal. Masing-
108
109
masing daerah bagian memiliki beberapa otonomi khusus dan pemerintahan pusat
7. Filologi
Filologi adalah ilmu yang mempelajari tentang naskah-naskah lama (kuno) atau
ilmu yang berhubungan dengan karya masa lampau dalam bentuk tulisan.
8. Folklor
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pembantu gerak isyarat atau alat pembantu pengingat
(mnemonic device).
9. Hubungan
Hubungan adalah kesinambungan interaksi antara dua orang atau lebih yang
10. Kerajaan
Kerajaan adalah tempat atau wilayah seorang raja memerintah atau tempat dimana
11. Konsep
Konsep adalah sesuatu yang umum atau representasi intelektual yang abstrak dari
situasi, objek atau peristiwa dengan kata lain suatu ide (akal pikiran) atau gambaran
mental.
110
Legenda merupakan cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat,
dan bentuk topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah seperti berbukit bukit,
13. Limpo
Limpo secara khusus merujuk pada arti kampung yang menjadi pemukiman, namun
pada konteksnya merujuk arti kampung atau unit pemukiman berskala kecil.
14. Lipu’
Lipu’ memiliki arti yang kurang lebih sama dengan kata wanua yakni merujuk pada
15. Lontara
Lontara Sukkuna Wajo atau disingkat LSW adalah histografi yang menceritakan
sejarah panjang Kerajaan Wajo, kumpulan catatan atau silsilah keturunan raja-raja
Wajo, keluarga bangsawan Kerajaan Wajo dan sejarah yang dialami oleh orang
Wajo dahulu. Lontara Sukkuna Wajo merupakan buku sejarah resmi yang
17. Mitos
Mitos merupakan suatu cerita yang memberikan pedoman atau arahan tertentu
18. Naskah
Naskah merupakan semua bahan tulisan tangan peninggalan nenek moyang kita
19. Paddanreng
Paddanreng merupakan jabatan dalam Kerajaan Wajo yang berarti pendamping raja
21. Perjanjian
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang atau satu pihak berjanji kepada
pihak lain atau dimana dua orang atau dua pihak itu saling berjanji untuk
22. Politik
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstituonal.
Tellu Lipu’ Kajurué adalah tiga daerah yang bersepakat untuk bersatu, terdiri dari
wewenang yang sama untuk melaksanakan pemerintahan dalam arti luas di tingkat
24. Toponimi
Toponimi secara harfiah artinya nama tempat di muka bumi sedangkan secara
25. Wanua
Wanua dalam bahasa Bugis memiliki varian kata banuwa yang artinya sama dengan
kata wanua, konteksnya adalah pemukiman manusia. Konteks wanua dalam skala
kecil berupa kampung yang mungkin dihuni minimal 60 kepala, namun pada skala
yang lebih besar wanua dapat berarti kampung besar dan berpenduduk banyak.
Ket: Naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) koleksi H. Ahmad Saransi (Kabid Pembinaan
dan Pengembangan Kearsipan pada Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi
Sulawesi Selatan).
Ket: Naskah Lontara Sukkuna Wajo (LSW) koleksi H. Ahmad Saransi (Kabid Pembinaan
dan Pengembangan Kearsipan pada Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi
Sulawesi Selatan).
Ket: Foto bersama H. Andi Ahmad Saransi (pemilik naskah Lontara Sukkuna Wajo).