Anda di halaman 1dari 161

Hari,Tanggal : Selasa, 15 Mei 2018

Waktu : 10:30- Selesai WITA


Tempat : Ruangan Departemen Ilmu Sejarah Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

MUNCULNYA ELIT BIROKRASI KOLONIAL

DI SULAWESI SELATAN: 1906-1942

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Hasanuddin

Disusun Oleh:

UMMU FARADILLAH

F811 14 502

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

ii
HALAMAN PENERIMAAN

iii
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu.

Alhamdulillahi rabbil alamin

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan

rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, serta petunjuk dan pertolongan-Nya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini pada waktu yang tepat. Shalawat dan

salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW,

keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi ini yang berjudul: “Munculnya Elit Birokrasi Kolonial

di Sulawesi Selatan 1906-1942” dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Hasanuddin.

Dalam penulisan ini, banyak hambatan dan kendala yang penulis alami,

namun alhamdulillah berkat Inayah dari Allah SWT dan optimisme penulis yang

didorong oleh kerja keras yang tidak kenal lelah serta bantuan dari berbagai pihak,

hambatan dan kendala tersebut dapat dilalui. Oleh karena itu, penulis

menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya

kepada berbagai pihak yang turut memberikan andil, baik secara langsung

maupun tidak langsung, moral maupun material. Penulis juga menyampaikan

ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

iv
1. Ayahanda H. Faizal Habali dan ibunda tercinta Hj. Suriami Manaku yang

sangat penulis cintai. Terima kasih atas semua doanya, kerja keras,

perhatian dan kasih sayangnya yang diberikan kepada penulis. Terima

kasih telah menjadi orang tua yang baik, selalu mendukung penulis hingga

sampai detik ini.

2. Penulis juga sangat berterima kasih kepada Dr. Amrullah Amir,

S.S.,M.A.selaku pembimbing pertama dan Margriet Moka Lappia, S.S.,

M.S selaku pembimbing keduayang selalu meluangkan waktu untuk

membagikan ilmu, waktu dan masukannya. Mulai dari penyusunan

proposal, pencarian literatur bacaan dan arsip, serta meluangkan waktu

membaca dan mengoreksi tulisan penulis. Tanpa mereka penulis tidak

akan mampu menyelesaikan skripsi ini.

3. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua Jurusan Ilmu Sejarah,

Ibu Dr. Nahdia Nur,M.Hum. Terima kasih juga kepada dosen-dosen

Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin,

kepada Prof. Dr. Abd. Rasyid Asba, M.A., Dr. Suriadi Mappangara,

M.Hum., Dr. Bambang Sulistyo Edi P., M.S.,Drs. Abd. Rasyid

Rahman, M.Ag., Drs. Dias Pradadimara, M.A., (Alm.)Edward L.

Poelinggomang M.A., (Alm.)Dr. Abdul Latif M.A., Ilham S.S.,

M.Hum., Burhaman Djunedding S.S., M.Hum. yang telah mengajar dan

memberi ilmunya. Serta kepada Pembimbing Akademik (PA) Bapak M.

H. Bahar Akkase Teng, Lcp. M.Hum. sekaligus menjadi sosok Ayah

penulis saat berada di kampus, penulis sangat berterima kasih atas nasihat,

v
dukungan, dan masukannya selama ini. Tak lupa pula penulis juga

berterima kasih kepada sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Hasanuddin Bapak Uddji Usman S.Sos. yang tidak

henti-hentinya membantu pengurusan berkas hingga penulis dapat

menyelesaikan berkas dengan lancar dan cepat.

4. Kepada My Soulmate Indah Sri Ayu S.Hum yang telah mendahului

penulis ujian, yang dari awal hingga akhir perkuliahan selalu ada dan

membantu setiap masalah penulis. Yang selalu pasang telinga tebal setiap

mendengar penulis menceritakan keluh kesah selama penulisan ini.

Akhirnya kami bisa juga memenuhi janji kami mengenai masuk bersama

keluarpun harus bersama. Semoga kedepannya kita dapat melanjutkan

cita-cita bersama walaupun mungkin tak sejalan.

5. Terima kasih kepada Fathul Karimul Khair (Calon S.Hum) dan Wa Ode

Nia Fadillah, S.S. My Couple Goals yang selalu ada mendengar dan

membantu dalam penulisan ini.

6. Kepada Sobat Komet, Ayu Nadiah R. Marasobu S.E, Farida Ramdhani

Soelham S.E, Nurul Mukhlisah A.Md, A. Afianita Fatwa (Calon S.S) yang

selalu membantu dan mendoakan kelancaran penulisan ini.

7. Kepada My Bonbon Squad, Cute, Anti, Natik, Egi, Dita, Wahi, Oca, yang

selalu menyemangati penulis melalui wejangan-wejangan tidak masuk

akalnya, dan selalu menghibur disaat penulis lagi penat-penatnya.

vi
8. Kepada Siti Bulkis Ashari S.Ked yang tetap selalu memberikan waktu di

sela-sela ujianya untuk membantu mentranslate dan memberikan

masukan-masukannya.

9. Kepada saudari Ayu Adriani (Calon S.T) dan Mutia Chaidir Pane (Calon

S.H) yang selalu menghibur penulis walaupun terkadang menghambat

proses penulisan dengan ajakan-ajakannya, penulis ucapkan terima kasih

banyak.

10. Kepada teman-teman angkatan Ilmu Sejarah 2014 Anta, Difa, Muti, Tidar,

Nini, Lisa, Hilda, Cita, Uni, Dian, Lis, Entong, Maman, Udin, Andri,

Dahlan yang selalu membantu dan mendoakan agar penulisan ini ceapat

selesai.

11. Kepada senior-senior (Kak Leni, Kak Dila, Kak Anto, Kak Anna, Kak

Dayat, Kak Teguh, Kak Tayuti, Kak Naca, Kak Riska, Kak Ma’ruf, Kak

Kahfi) yang telah memberikan ilmu, bahan bacaan dan waktunya untuk

berdiskusi.Tanpa kalian penulis tidak akan mengenal buku-buku bacaan.

12. Kepada teman-teman KKN Kelurahan Malilingi Kecamatan Bantaeng

Wiwi, Ira, Hikmah, Esse, Nadia, Hamka, Ucu, Sardi, yang ikut mendoakan

agar penulisan ini dapat terselesaikan.

13. Kepada seluruh staf administrasi kampus Universitas Hasanuddin yang

telah banyak membantu demi kelancaran perkuliahan.

14. Kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu,

yang juga telah membantu dan menyumbangkan pemikiran kepada

penulis.

vii
Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat, meskipun

secara keseluruhan penulis menyadari karya tulis ini masih banyak kekurangan.

Dengan lapang dada penulis mengharapkan masukan, saran dan kritikan-

kritikanyang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga

bantuan dan ketulusan yang telah diberikan, senantiasa bernilai ibadah di sisi

Allah SWT dan mendapat pahala yang berlipat ganda. Amin.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatu.

Makassar, 8 Mei 2018

Penulis

Ummu Faradillah

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................ii

HALAMAN PENERIMAAN .............................................................................iii

KATA PENGANTAR ........................................................................................iv

DAFTAR ISI .......................................................................................................ix

DAFTAR TABEL ..............................................................................................xii

DAFTAR ISTILAH ...........................................................................................xiii

DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................xvii

ABSTRAK .......................................................................................................xvii

ABSTRACT .......................................................................................................xix

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................1

1.2 Batasan Masalah dan Rumusan Masalah ................................................9

1.2.1 Batasan Masalah .........................................................................9

1.2.2 Batasan Temporial .....................................................................9

1.2.3 Batasan Spasial ...........................................................................10

1.3 Rumusan Masalah ...................................................................................11

1.4 Tujuan dan Manfaat Penulisan ................................................................11

1.4.1 Tujuan Penelitian ........................................................................11

1.4.2 Manfaat Penelitian ......................................................................12

1.5 Metode Penelitian....................................................................................12

1.6 Tinjauan Pustaka .....................................................................................15

ix
1.7 Sistematika Penulisan .............................................................................19

BAB II Sistem Pemerintahan di Sulawesi Selatan ..............................................23

2.1 Pemerintahan Tradisional .......................................................................23

2.2 Pola Pemerintahan Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan ....................32

2.2.1 Sistem Pemerintahan Kerajaan Gowa .........................................35

2.2.2 Sistem Pemerintahan Kerajaan Bone ..........................................37

2.3 Pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi Selatan ................................41

BAB III Perkembangan Pendidikan di Sulawesi Selatan ...................................49

3.1 Munculnya Politik Etis............................................................................49

3.2 Pendidikan Tradisional............................................................................56

3.3 Pendidikan Kolonial/ Modern .................................................................60

3.3.1 Sekolah Kelas Satu (Eerste Klasse) ............................................67

3.3.2 Sekolah Kelas Dua (Inlandsche School) .....................................68

3.3.3 Sekolah Peralihan (Schakelschool) dan Sekolah Khusus

(Speciale School) .........................................................................69

3.3.4 Pendidikan Lanjutan MULO (Meer Uitgebreid Lager

Onderwijs) ..................................................................................70

3.3.5 Pendidikan Kejuruan ...................................................................71

3.4 Munculnya Organisasi Pergerakan Nasional di Sulawesi Selatan ..........77

BAB IV Elit Birokrasi Kolonial di Sulawesi Selatan 1906-1942 ......................82

4.1 Perubahan Struktur Pemerintahan di Sulawesi Selatan ..........................82

4.2 Syarat Penentuan Elit Dalam Sistem Kolonial........................................85

4.3 Munculnya Golongan Elit di Sulawesi Selatan .......................................91

x
4.3.1 Elit Terdidik ................................................................................92

4.3.2 Elit Bangsawan............................................................................95

4.4 Elit Keturunan Makassar-Melayu di Sulawesi Selatan ...........................98

4.5 Elit Birokrasi Kolonial di Makassar ........................................................105

BAB V Kesimpulan ...........................................................................................112

Daftar Pustaka .....................................................................................................115

Lampiran .............................................................................................................122

xi
DAFTAR TABEL
Nomor Nama Tabel Halaman

3.1 Distribusi Guru di Sekolah Negeri Berdasarkan Ijzahnya di 51

Hindia Belanda, 1930-1940

3.2 Sistem dan Jumlah Pendidikan Hindia Belanda : Sekolah, 52

Murid, dan Guru 1900-1940

3.3 Jumlah Sekolah dan Murid di Sulawesi Selatan hingga 31 61

Juli 1941

3.4 Jumlah Siswa Sekolah Dasar Eropa (Europesche Lagere 64

School) di Makassar

3.5 Jumlah siswa Opleiding School Voor Inlandsche 74

Ambtenaren (OSVIA) Makassar Berdasarkan daerah dan

jurusan

4.1 Keturunan Makassar-Melayu yang masuk dalam 104

Birokrasi Pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi

Selatan 1906-1940

4.2 Nama-nama Walikota di Makassar 106

4.3 Jabatan - Jabatan Kaum Pribumi Sebagai Pegawai 108

Pemerintahan Kota Makassar 1906-1942

xii
DAFTAR ISTILAH

No. Istilah Keterangan/Arti

1. Ade’ adat-istiadat, tata-krama, ketentuan, kebiasaan.

2. Ambacht School Sekolah kejuruan

3. Ambonsche School Sekolah untuk orang Ambon

4. A.M.S Sekolah yang setara dengan SMP, masa sekolah 4 Tahun.

5. Ana’cera putera (i) raja yang lahir dari ibu yang bukan bangsawan (anakarung).

6. Anakarung orang-orang bangsawan, orang-orang yang terhisap sanak


keluarga atau kerabat raja.

7. Ana’pattola, ana’mattola, mahkota anak raja dari permaisuri.


putera (i)

8. Anre-guru guru, pemimpin, pemuka, seseorang yang diberi tanggung-


jawab untuk memimpin sejumlah orang dalam tugas-tugas
tertentu.

9. Anre guru joa’ makka pemimpin pasukan tertinggi, Panglima pasukan yang dapat
jennangeng menetapkan sendiri sesuatu kebijaksanaan, yang tidak
bertentangan dengan kebijaksanaan umum raja.

10. Arajang kerajaan, kebesaran, alat-alat kebesaran.

11. Arung raja, kepala negeri, kepala pemerintah sesuatu negeri


kerajaan.

12. Arumpone raja Bone, raja sentral kerajaan Bone.

13. Arung-mangkau’ raja yang berdaulat, gelar khusus bagi raja Bone.

xiii
( = arummangkau’ )

14. Ata abdi, pengabdi kepada raja, bawahan dalam tugas yang ada
sangkut pautnya dengan soal keturunan, seperti semua
orang merasa abdi pada raja atau negerinya, budak, sahaya.

15. Bicara sabda, hukum, peraturan-peraturan hakim/raja, ketentuan-


ketentuan, undang-undang.

16. Bori’ Wilayah kesatuan kecil yang merupakan daerah kesatuan


dari kelompok kaum yang berpemerintahan sendiri.

17. Cera’ darah, (lihat sertifikasi social) ana’-cera’.

18. E.L.S Sekolah dasar Eropa

19. Gaukang Sebagai benda suci, atau titisan yang memiliki kekuatan
gaib.

20. H.B.S Sekolah menengah untuk rakyat kelas tinggi

21. H.C.S Sekolah untuk orang Cina

22. H.I.S Sekolah untuk pribumi

23. Kweekschool Sekolah Guru

24. Lontara’ Kitab pedoman, huru Bugis-Makassar, pegangan tertulis


mengenai sesuatu azas daun lontar.

25. Maradeka Bebas, salah satu lapisan dalam sistem pelapisan


masyarakat orang Bugis-Makassar, bukan lapisan
bangsawan anakarung tetapi juga bukan lapisan ata, lapisan
merdeka.

26. MULO Sekolah yang setara dengan SMP.

27. OSVIA Sekolah pamong praja.

xiv
28. Pabbicara, Orang yang berbicara, sesuatu jabatan yang mengurus
(Tomabbicara) urusan-urusan kehakiman.

29. Panngaderreng Wujud kebudayaan, hal ikhwal mengenai ade’. persoalan


ade’.

30. Rappang Aturan yang ditempatkan setelah membandingkan dengan


adat negeri setempat atau membandingkan segala putusan
yang telah diambil di negeri tetangga atau membandingkan
segala putusan-putusan yang telah diambil. Rappang
berfungsi sebagai stabilisator untuk menjaga
kesinambungan pola peradaban.

31. Sara’ Syariat, hukum Islam, syara’, penyelenggara hukum Islam


itu disebut parewa sara’ yang dipimpin oleh khadi; salah
satu sendi dari panngaderreng.

32. Siri’ Harga diri, perasaan malu yang dalam, kehormatan,


martabat diri.

33. Syahbandar Orang yang mengurus pajak dan bendahara kerajaan.

34. To-deceng Orang baik-baik, golongan penduduk yang bukan ata, to-
maradeka, orang-orang terkemuka.

35. To-panrita Orang-orang baik anakarung maupun maradeka, yang


menjadi cendikiawan, pemimpin, dan orang-orang berilmu.

36. To-sugi Orang-orang kaya, baik anakarung ataupun maradeka yang


karena keuletannya dapat menjadi usahawan yang kaya dan
terpandang.

37. To-warani Orang-orang pemberani yang tampil untuk membela


kepentingan negara dan rakyat dalam melawan musuh.

38. To-sulesana Orang yang memiliki keahlian khusus, semacam teknokrat-

xv
teknokrat.

39. Volkschool Sekolah rakyat.

40. Wari Batas, norma, kaidah, salah satu sendi panngaderreng yang
menyangkut batas-batas hak dan kewajiban kekeluargaan,
pewarisan dan lain-lain, protokol, penempatan sesuatu
menurut mestinya, pengaturan silsilah menurut garis
keturunan.

xvi
DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Kepanjangan

A.M.S Algemene Middelbare School

A.N.V Algemeen Nederlandsche Verbonds

E.L.S Europesche Lagere School

H.C.S Hollands Chinese School

H.B.S Hollands Burgerlijk School

H.I.S Hollands Inlandsche School

MULO Meer Uitgrbreid Lager Onderwijs

OSVIA Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaran

xvii
ABSTRAK

Ummu Faradillah, dengan judul “Munculnya Elit Birokrasi di Sulawesi


Selatan : 1906-1942”, dibimbing oleh Dr. Amrullah Amir, S.S., M.A dan
Margriet M Lappia, S.S., M.S.
Penelitian ini berusaha menggambarkan proses terbentuknya Elit birokrasi
di Sulawesi Selatan 1906-1942. Menggunakan metode sejarah yang terdiri dari
heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Penelitian ini menjelaskan
mengenai peralihan sistem pemerintahan dari tradisional ke modern berawal dari
penanda tanganan Korte Verklaring yang kemudian menjadi tanda dimulainya
kekuasaan Pemerintah Belanda secara langsung. Dimana segala kebijakan dan
peraturan setelah 1906 telah diatur sesuai dengan keinginan Belanda. Raja
dianggap tidak begitu penting lagi dalam penentuan kebijakan. Didukung dengan
perkembangan Politik Etis dalam bidang Pendidikan yang menjadi faktor penentu
bangkitnya Elit lokal di Sulawesi Selatan.
Hasil penelitian ini dapat menunjukkan bahwa setelah pemerintahan
Sulawesi Selatan di jalankan secara langsung oleh Pemerintah Belanda, maka
status kebangsawanan seseorang sudah tidak mutlak dapat menjamin untuk
mendapatkan jabatan tertinggi di suatu wilayah. Kesempatan berprestasi
kemudian sering lebih bergantung pada kompetensi pengetahuan dan aktivitas
berpolitik.
Kata kunci : Sistem Pemerintahan, Pendidikan, dan Elit Birokrasi

xviii
ABSTRACT
Ummu Faradillah, entitled "The Emergence of Bureaucratic Elites in South
Sulawesi: 1906-1942", supervised by Dr. Amrullah Amir, S.S., M.A and
Margriet M Lappia, S.S., M.S.

This research describes the process of bureaucratic elite formation in


South Sulawesi from 1906 until 1942. This research uses historical methods
consist of heuristics, verification, interpretation, and historiography.This research
explains the transition of the traditional to the modern system of government that
begins with the signing of Korte Verklaring which then marks the beginning of
the Dutch Government's direct rule. Which all policies and regulations after 1906
arranged in accordance with the wishes of the Netherlands. A king is no longer a
policy maker. Supported by the development of the Ethical Policy in Education
which is the determining factor for the rise of local Elites in South Sulawesi.
The results of this study indicate that after the government of South
Sulawesi is held directly by the Dutch Government, the status of someone’s
nobility is not absolute that it can guarantee to get a highest position in a region.
Then, the opportunity for achievement depends more on the competence of
knowledge and political activity.

Keywords: Government System, Education, and Bureaucracy Elite.

xix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Elit merupakan sekumpulan orang yang memiliki kemampuan dan posisi lebih

tinggi dibanding yang lain, baik dari bidang pendidikan, pemerintahan maupun

darah keturunan. Elit seringkali diidentikkan dengan kekuasaan dan penguasa.

Setiap elit yang memerintah, hanya dapat bertahan untuk berkuasa apabila secara

terus-menerus memperoleh dukungan dari masyarakat bawah (massa). Akan

tetapi sirkulasi elit akan tetap berjalan karena secara individual baik elit keturunan

maupun elit yang diangkat atau ditunjuk akan mengalami kemunduran sesuai

dengan waktu dan sebab-sebab sosial, politik dan biologis.

Secara etimologi, istilah elit bermula dari kata Latin eligere yang

bermakna memilih. Pada abad ke 14, istilah ini berkembang menjadi a choice of

persons (orang-orang pilihan). Kemudian pada abad ke 15, digunakan untuk

menjelaskan best of the best (yang terbaik dari yang terbaik). Selanjutnya pada

abad ke 18, kata elit yang diambil dari bahasa Perancis, dipakai untuk menandai

sekelompok orang yang memegang posisi penting dan terkemuka dalam suatu

masyarakat. Menurut Pareto (1848-1923)1, yang disebut dengan kelompok elit

adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas terbaik, yang dapat

1
Vilfredo Frederico Damaso Pareto adalah seorang Insinyur Italia, Sosiolog, Ekonom,
ilmuwan politik, Filsuf, dan dikenal berkat Prinsip Pareto yang dikembangkannya. Dia juga
bertanggung jawab untuk mempopulerkan penggunaan istilah Elit dalam analisis sosial. Untuk
lebih jelasnya Lihat pada buku Mujahid Fahmid, Pembentukan Elite Politik Di Dalam Etnis Bugis
dan Makassar menuju Hibriditas Budaya Politik, (Bogor: Disertasi Doktor, Sekolah Pasca Sarjana
Institute Pertanian Bogor, 2011), hlm.17-18.

1
menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elit merupakan orang-orang yang

berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto

meyakini bahwa elit yang tersebar pada sektor pekerjaan yang berbeda itu

umumnya berasal dari kelas yang sama, yakni orang-orang kaya dan pandai. Ia

menggolongkan masyarakat kedalam dua kelas, lapisan atas (Elit) dan lapisan

bawah (Non-elit). Lapisan atas atau kelas elit terbagi dua; elityang memerintah

(Governing elit) dan elit yang tidak memerintah (Non-governing elit). Governing

elite dan non-governing elite selalu berkompetisi untuk meraih kekuasaan

sehingga terjadilah sirkulasi elit2.

Menurut Mosca (1858-1941)3, pada setiap masyarakat yang berbentuk

apapun senantiasa muncul dua kelas; kelas yang memerintah dan kelas yang

diperintah4. Kelas yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang

semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan

yang didapatnya dari kekuasaan, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan

menggunakan kekerasan.Pada penelitian Mosca yang lain, ia menemukan peran

kekuatan sosial dalam pembentukan elit. Mosca mengenalkan konsep sub elit

yang dikenal sebagai kelas menengah, yang terdiri dari pegawai negeri sipil,

manajer industri, ilmuwan dan mahasiswa. Kelas ini dianggapnya sebagai elemen

vital dalam mengatur masyarakat. Menurutnya stabilitas politik ditentukan oleh

2
T.B. Bottomore, Elit dan Masyarakat, (Jakarta: Akbar Tandjung Institute, 2006), hlm. 86.
3
Gaetano Mosca adalah seorang ilmuwan politik Italia, Jurnalis dan Pegawai Negeri.
Salah satu ilmuwan yang mengembangkan Teori Elitisme dan doktrin kelas politik. Dan
merupakan salah satu dari tiga anggota yang brsekolah di Sekolah Elit Italia bersama dengan
Vilfredo Pareto dan Robert Michels. Untuk lebih jelasnya Lihat pada buku Mujahid Fahmid,
op.cit., hlm.18.
4
T.B. Bottomore, op.cit., hlm. 89.

2
lapisan kelompok menengah ini. Kekuasaan elit bagi Mosca adalah perwujudan

dari sifat-sifat yang tak terbantahkan dari watak sosial manusia. Selanjutnya

dikatakan, bahwa kelas politik yang tidak adaptatif dengan zaman tidak akan bisa

mempertahankan diri. Sementara elit lain akan terbentuk dari kalangan yang

diperintah, dan dengan perjalanan waktu akan mengambil alih kekuasaan

meskipun dengan kekerasan. Sistem demokrasi, menurut Mosca tidak memiliki

dasar substantif sebagai kekuasaan mayoritas, bahkan dianggap sebagai penyebab

kemerosotan elit. Oleh karenanya semua kelompok penguasa harus

mempertahankan sistem pewarisan secara turun temurun agar tetap dapat

memanipulasi kekuasaannya5.

Secara teoritis, proses pembentukan elit modern di Indonesia sangat

ditentukan oleh beberapa hal yaitu, regulasi regim yang berkuasa, latar

pendidikan, gerakan sosial dan identitas politik seseorang6.Dalam konteks

Indonesia (Termasuk di Sulawesi Selatan), elit menghadapi suatu tantangan

kepemimpinan yang khas terhadap massa (Rakyat) dikarenakan kultur

masyarakat yang majemuk. Kemajemukan kultural massa mempunyai makna

politik, bukan saja karena setiap etnik mempunyai daerah asal yang jelas batas-

batasnya, dan memiliki ciri dan entitas yang sulit disatukan, tetapi juga karena

setiap kultur dan subkultur tersebut mempunyai kultur politiknya sendiri. Elit

akan mengalami kesulitan mendapatkan legitimasi massa, manakala elit dan

massanya tidak memiliki kultur politik yang sama dan sebangun. Dengan kondisi

5
Mujahid Fahmid, op.cit., hlm.21.
6
Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Bogor: Pustaka jaya, 2009), hlm.
21.

3
kultur politik yang berbeda antara elit dan massa, seorang elit harus memiliki

kualitas kenegarawanan. Elit yang mempunyai kualitas kenegarawanan yang

tinggi akan mampu memainkan peranannya dengan baik dalam melakukan alokasi

sumber daya dengan dukungan penuh massa. Sebaliknya, jika seorang elit tidak

atau kurang mempunyai kualitas akan mengalami kesulitan, baik dalam

mengalokasikan sumber daya maupun dalam memperoleh legitimasi dari massa7.

Karena itu Pemerintahan Belanda kemudian mengembalikan posisi Raja di

kerajaan Gowa dan Bone. Di pilihlah Andi Mappanyukki yang dianggap bisa

mewakili di kedua etnis yang ada, yaitu Bone dan Gowa.

Di Sulawesi Selatan sendiri dalam menentukan golongan elit pada masa

feodal, penting hukumnya melihat status “darah” dalam pemilihan. Tetapi setelah

Belanda berhasil menguasai pemerintahan, maka secara perlahan status darah

seseorang sudah lagi tidak sepenuhnya dapat menjamin kedudukannya. Di

Sulawesi Selatan terdiri dari beberapa penggolongan kelas/stratifikasi sosial.

Lapisan teratas dalam strata sosial di Sulawesi Selatan dipegang oleh Ana

Karaeng yaitu mereka yang memiliki darah murni Tomanurungatau darah

bangsawan murni, kemudian muncul istilah To maradeka/To Decceng yang

berarti orang yang merdeka dengan kata lain orang biasa atau kaum menengah,

dan yang terakhir adalah Ata atau budak yang merupakan lapisan terendah dalam

strata sosial di Sulawesi Selatan.

Pelapisan sosial di Sulawesi Selatan terdiri dari 3 bagian yaitu, (1).

Karaeng (Bangsawan), terdiri dari bangsawan murni (Anak ti'no'), bangsawan

7
Ibid,. hlm.27.

4
setengahmurni (Anak sipue) dan bangsawan darah (Anak cerak) dan bangsawan

rendah(Anak karaeng sala). (2). Tomaradeka/To Decceng(Orang biasa dari

lapisan menengah yangmerdeka), terdiri dari orang baik-baik (Tubajik) dan orang

kebanyakan(Tusamarak). (3). Ata (Abdi/Budak), sebagai lapisan bawah yang

terdiri dari abdi karenaketurunan (Ata sossorang), abdi yang diusir dari

lingkungan keluarganya (Ata nibuang) dan abdi yang digadaikan/tidak mampu

bayar utang (Tumangngirang)8.

Pada masa feodal masyarakat Sulawesi Selatan, dalam menentukan

pemimpin penting hukumnya melihat strata sosialnya, misalnya saja dalam

menentukan seorang penguasa maka siapa saja yang memiliki status

kebangsawanan tertinggi akan memiliki hak-hak istimewa dalam berkuasa. Hal

inilah yang menunjukkan bahwa semua kelompok bangsawan boleh melakukan

apa saja termasuk kekuasaan terhadap kelompok dibawahnya seperti To

Maradeka dan Ata. Ketika sistem pemerintahan Hindia Belanda diberlakukan

secara langsung maka sistem pemilihan penguasa seperti yang di atas masih tetap

diberlakukan, namun di samping persyaratan status kebangsawanan, pemerintah

Hindia Belanda juga menambahkan persyaratan lain, yaitu kesediaan agar dapat

bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda dan mempunyai pendidikan yang

memadai.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda banyak bangsawan kerajaan

yang kehilangan kedudukan kekuasaan karena segala sistem yang diberlakukan

para kolonial pada masa itu. Untuk membendung tanggapan itu pemerintah

8
Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis ,
(Jakarta: Ombak, 2015),hlm. 438.

5
Hindia Belanda memberlakukan lagi sistem pemerintahan militer untuk

memperkuat dan mempertahankan kedudukan kekuasaannya sehingga siapa saja

yang melakukan penolakan atas sistem yang diberlakukan pemerintah Hindia

Belanda dia akan ditawan bahkan akan diasingkan tidak terkecuali kaum

bangsawan yang ikut menolak. Sementara para kaum bangsawan yang mau

bekerjasama dia akan diperbaiki kedudukannya.

Pada masa kolonial, pemerintah Hindia Belanda menjalankan Sistem

Tidak Langsung (inderect rule) dengan tujuan ingin memanfaatkan struktur

seefektif mungkin untuk mempertahankan kedudukannya. Dalam sistem yang

diterapkannya ini maka lahirlah dua bentuk sistem pemerintahan yaitu

pemerintahan pribumi dipimpin oleh raja dan pemerintahan sipil dipimpin oleh

Belanda9. Setelah pembentukan konfederasi oleh pemerintah Hindia Belanda

maka timbullah pemisahan antara bangsawan pusat dan bangsawan daerah di

Sulawesi Selatan.

Setelah penandatanganan Pernyataan Pendek atau Korte Verklaring10pada

tahun 1905Pemerintahan Hindia Belanda mengubah susunan pemerintahan

Sulawesi Selatan yang mulanya bersistem tradisional menjadi pemerintahan

berdasarkan sistem yang dibuat oleh Belanda. Tersusun dari pemerintahan

9
A.A. Gde Putra Agung, Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 3.
10
Korte Verklaring adalah penyataan pendek yang memuat tiga pokok pernyataan dari
penandatanganan, yaitu kesediaan menyerahkan kekuasaannya dan menjadi bawahan dari
pemerintahan Hindia Belanda, patuh dan taat pada peraturan dan pemerintahan dari pemerintah
Hindia Belanda, serta bersedia meniadakan kekuatan militernya. Untuk lebih jelasnya Lihat pada
buku Suriadi Mappangara, Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan Sampai Tahun 1905, (Makassar:
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel, Cetakan II, 2011), hlm. 273.

6
Sulawesi dan Daerah Bawahannya (Gouvernement Celebest en Ondehoorigheden)

diatur secara bertingkat yang terdiri atas Bagian Pemerintahan (afdeeling),

kemudian Cabang Pemerintahan (Onderafdeeling), Masyarakat Adat

(adatgemeenschap) dan Kampung (kampoeng)11. Karena adanya sistem

pemerintahan baru inilah yang kemudian menjadikan bentuk kekuasaan

pemerintahan dari beberapa wilayah Bori/Wanua12dihapuskan. Walaupun

pemerintah Hindia Belanda menghapuskan beberapa wilayah di daerah

Bori/Wanua, akan tetapi pemerintah Hindia Belanda telah menggantinya menjadi

pemerintahan Masyarakat Adat yang masuk dalam susunan pemerintahan yang

dibuatnya. Keaslian dari Bori/Wanua sepenuhnya sudah tidak dapat terlihat lagi.

Masuknya pendidikan Kolonial di Sulawesi Selatan pada akhir abad ke-19

mengharuskan pemerintah Hindia Belanda mengubah sistem pendidikan

tradisional ke dalam sistem pendidikan kolonial.13 Dengan munculnya pendidikan

maka lahirlah sebuah golongan yang disebut elit, dimana elit ini berasal dari

bangsawan, orang biasa, dan peranakan yang memihak pada pemerintahan

Belanda dan yang nantinya akan dijadikan pegawai dalam perusahaan-perusahaan

Belanda.

Pengaruh pemerintah bagi keberlangsungan hidup dalam lapisan sosial

yang ada di Sulawesi Selatan memang sangat besar. Pemerintah terkadang

11
Edward, L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar
1909-1942, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm.3.
12
Wilayah kesatuan kecil yang merupakan daerah kesatuan dari kelompok kaum yang
berpemerintahan sendiri.
13
Sarkawi Husain, Sejarah Sekolah Makassar 1876-1942, (Makassar: Ininawa, 2015), hlm.
129.

7
menjadikan ToMaradeka tidak lagi memiliki ketergantungan terhadap kaum

bangsawan yang memihak pemerintah, sehingga dalam sistem pemerintahan

sering kali kaum ToMaradeka lebih tinggi derajat sosialnya dibandingkan dengan

kaum bangsawan yang kontra terhadap pemerintah. Dengan munculnya elit

birokrasi yang tidak memandang “darah” secara perlahan menghapuskan sistem

kebangsawanan yang selama ini dianut oleh masyarakat Sulawesi Selatan dalam

memilih pemimpin.

Penulis melihat bahwa sangat perlu untuk dikaji lebih dalam mengenai

munculnya elit birokrasi kolonial di Sulawesi Selatan untuk melihat bagaimana

perkembangan kaum elit dari masa tradisional ke masa modern. Dengan peralihan

sistem pemerintahan ini juga dapat terlihat jelas bahwa status kebangsawanan

seseorang tidak diutamakan lagi sehingga muncul pergeseran mobilitas dalam

masyarakat. Ketika pendidikan mulai menjadi standar penggolongan elit di

masyarakat maka yang terdidiklah yang memegang kendali, terlebih lagi ketika

kaum biasa melebihi standar dari kaum bangsawan, maka tidak dapat dipungkiri

bahwa pergeseran kekuasaan akan dengan sendirinya berubah. Belum lagi

mengenai faktor pendukung yang lain, seperti faktor jaringan, organisasi, dan

kekayaan. Oleh sebab itulah penulis merasa sangat penting untuk melihat

perkembangan elit pada masa pemerintahan Belanda terkhusus diwilayah

Sulawesi Selatan.

8
1.2 Batasan Masalah dan Rumusan Masalah

1.2.1 Batasan Masalah

Dalam melakukan penelitian, penulis hendaknya melakukan

pembatasan terhadap objek kajiannya. Batasan masalah dalam penelitian

sejarah sendiri terbagi menjadi dua bagian yaitu batasan Temporal

(batasan waktu) serta batasan spasial (batasan tempat/wilayah).

Pembatasan ini dilakukan untuk memfokuskan kajiannya serta membantu

peneliti agar tidak meneliti terlalu luas baik waktu maupun wilayah. Pada

penelitian ini yang akan menjadi fokus utama dari penulis adalah

mengenai masuknya elit birokrasi kolonial di Sulawesi Selatan pada tahun

1906-1942.

1.2.2 Batasan Temporal

Penelitian ini akan memfokuskan penelitiannya pada awal abad ke-

20 tepatnya di tahun 1906-1942. Penulis memilih kurun waktu tersebut

untuk menjadi batasan waktu penelitian ini karena pada awal abad ke 20

memiliki arti penting bagi perjalanan sejarah di Indonesia tidak terkecuali

didaerah Indonesia timur terutama dalam hal penanganan sistem birokrasi

modern yang bercorak barat serta munculnya elit baru terutama elit

biroksi. Pada tahun 1905 adalah tahun dimana pengiriman pasukan

pendudukan atau Militaire Expeditie Sulawesi untuk memaksa penguasa-

penguasa di wilayah-wilayah itu terkhusus di Sulawesi Selatan untuk

tunduk dan memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada pemerintah Hindia

Belanda melalui penandatanganan Korte Verklaring.Tahun 1906 sistem

9
pemerintahan baru di berlakukan oleh Kolonial Belanda yang kemudian

menjadikan bangsawan tergeser dari kedudukannya, dimana pemerintah

Belanda menduduki tempat tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat

Sulawesi Selatan. Penulis membatasi hingga tahun 1942, dimana pada

tahun tersebut penjajahan Belanda di Nusantara telah diambil alih oleh

Jepang dan menandai pula bahwa semua kebijakan birokrasi dan kebijakan

apapun sudah berganti fungsi menjadi kebijakan yang dianut oleh penjajah

Jepang.

1.2.3 Batasan Spasial

Batasan spasial atau batasan wilayah pada penelitian ini adalah di

wilayah Sulawesi Selatan, dimana Sulawesi Selatan yang merupakan salah

satu wilayah yang sangat berpengaruh pada masa pemerintahan Hindia

Belanda. Selain dalam bidang maritim, Sulawesi Selatan terkhusus di

Makassar juga dijadikan bandar dan tempat berlangsungnya segala

kebijakan dalam sistem yang diambil oleh pemerintah Belanda saat

menguasai Nusantara. Bukan hanya itu, pada masa pemerintahan Belanda

juga mempunyai andil besar dalam perubahan sistem pendidikan di

Sulawesi Selatan yang menjadikan stratifikasi sosial dalam masyarakat

dapat ditentukan oleh pemerintah Belanda dengan cara menciptakan kaum

terdidik yang nantinya akan menjadi kaum elit dalam masyarakat.

10
1.3 Rumusan Masalah

Selain melakukan pembatasan masalah, seorang peneliti sejarah juga harus

merumuskan masalah-masalah pokok dalam penelitian. Hal itu dilakukan agar

mempermudah peneliti sejarah dalam mengumpulkan sumber-sumber yang

relevan dan sesuai dengan topik dan periode yang ditentukan. Permasalah yang

akan penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah mengenai proses masuk dan

berkembangnya elit birokrasi kolonial di Sulawesi Selatan yang menjadikan

kedudukan para penguasa di Sulawesi Selatan sebelum masa kolonial

memberlakukan pemerintahan langsung dapat terlengserkan pada tahun 1906-

1942. Berkaitan dengan hal ini maka penulis telah merumuskan masalah-masalah

penelitian yang akan di bahas dalam penelitiannya.

Berikut adalah paparan masalah yang ingin dikaji oleh penulis:

1. Bagaimana stratifikasi sosial masyarakat tradisional Sulawesi Selatan

sebelum Belanda melakukan penetrasi kekuasaan dan mengakibatkan

mobilitas sosial?

2. Bagaimana proses berkembangnya pendidikan di Sulawesi Selatan?

3. Bagaimana proses terbentuknya elit birokrasi kolonial serta peranan apa

saja yang diemban para elit birokrasi tersebut?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui stratifikasi sosial masyarakat tradisional

Sulawesi Selatan sebelum Belanda melakukan penetrasi kekuasaan

dan mengakibatkan mobilitas sosial.

11
2. Untuk mengetahui proses berkembangnya pendidikan di Sulawesi

Selatan.

3. Untuk mengetahui bagaimana proses terbentuknya elit birokrasi

kolonial serta peranan apa saja yang diemban para elit birokrasi

tersebut.

1.4.2 Manfaat Penulisan

1. Untuk memberikan gambaran terhadap pembaca bahwa sistem

baru yang masuk dalam masyarakat sedikit demi sedikit akan

menghapuskan sistem lama yang selama ini ada sehingga para

generasi berikutnya akan memiliki referensi untuk mencari tahu

asal muasal keturunannya.

2. Untuk pendidikan dan masyarakat umum, hasil penelitian ini

diharapkan bisa menjadi sebuah referensi yang cukup baik untuk

melengkapi referensi tentang stratifikasi sosial dan kemunculan elit

baru di kawasan Indonesia Timur, terkhusus di wilayah Sulawesi

Selatan.

3. Untuk penulis sendiri, penelitian ini merupakan salah satu syarat

kelulusan untuk memperoleh gelar S1 di Jurusan Ilmu Sejarah,

FIB, Universitas Hasanuddin.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang mana penulis

mengumpulkan data untuk menarik satu kesimpulan dari kejadian masa

lalu.Meskipun terdapat banyak jenis kajian sejarah, akan tetapi tetap

12
menggunakan metode penelitian yang sama. Dalam bukunya yang berjudul

”Pengantar Ilmu Sejarah” Kuntowijoyo memaparkan beberapa tahapan-tahapan

dalam penelitian sejarah yaitu pemilihan topik, pengumpulan sumber, verifikasi

(Kritik sumber), interpretasi: analisis dan sintesis, dan yang terakhir adalah

penulisan14.

1. Pengumpulan Sumber atau Heuristik, sumber yang dikumpulkan harus

sesuai dengan jenis penelitian sejarah yang akan ditulis/diteliti. Karena

penelitian ini bertemakan penelitian historikal dimana bentuk

penelitiannya bertujuan untuk menggambarkan fakta dan menarik

kesimpulan atas kejadian masa lalu, maka penulis mencari sumber dan

data melalui arsip dan dokumen sejarah yang berkaitan dengan topik

penulis. Penulis melakukan penelitian ke Badan Arsip Dan Perpustakaan

Daerah Propinsi Sulawesi Selatan yang beralamat di Jalan Perintis

Kemerdekaan KM.12 No.146, Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi

Selatan. Penulis telah mempertimbangkan dan menelusuri sebelumnya

mengenai sumber-sumber yang akan penulis cari, penulis melakukan

penelitian di Arsip Daerah selama kurang lebih tiga minggu yang dimulai

pada tanggal 18 Oktober 2017 sampai tanggal 2 November 2017. Setelah

melakukan beberapa penelusuran, penulis menemukan sumber-sumber

primer yang diinginkan. Penelitian selanjutnya penulis mendapatkan

beberapa sumber buku di Laboratorium Sejarah dan Budaya Universitas

Hasanuddin, Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin, dan

14
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013, hlm. 67.

13
Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya. Penulis juga menelusuri buku-buku

dan karangan ilmiah sekunder yang berhubungan dengan masalah yang

penulis teliti. Penulisan juga dilengkapi dengan sumber-sumber sekunder

yang penulis dapatkan dari berbagai artikel-artikel di internet mengenai

penelitian ini.

2. Kritik sumber atau verifikasi adalah tahap kedua dalam melakukan

penelitian sejarah. Kritik sumber seringkali hanya digunakan untuk

memverifikasi kebenaran dan keakuratan dari sumber primer. Kritik yang

dilakukan melalui dua tahap yaitu kritik eksternal yang menyangkut

masalah autentisitas sumber dan tahapan selanjutnya adalah kritik intern

yang menyangkut tentang masalah kredibilitas sumber yang digunakan.

Disini penulis melihat apakah data dan dokumen yang di dapatkan benar

di keluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Pada tahap

ini, sumber-sumber relevan yang telah diperolehdiverifikasi kembali untuk

mengetahui keabsahannya.15 Proses kritik dilakukan seiring dengan proses

menerjemahkan, karena sebagian besar sumber terdiri dari bahasa

Belanda, bahasa Inggris, bahkan ada beberapa lontara Bugis-Makassar.

3. Interpretasi atau penafsiran merupakan tahap ketiga dari metode penelitian

sejarah. Pada tahap ini sumber-sumber yang telah dikumpulkan diolah dan

dianalisis yang mana yang perlu digunakan dan yang mana yang tidak

perlu di masukkan karena data pada masa Hindia Belanda sudah banyak

yang hilang ataupun kalau ada banyak data yang di kumpulkan seringkali

15
Ibid., hlm. 99.

14
tidak sesuai dengan judul laporan yang ada. Dari proses analisis tersebut

kemudian diperolehlah fakta-fakta, yang kemudian fakta-fakta yang telah

diperoleh disintesiskan sehingga mendapat sebuah kesimpulan.16

4. Historiografi atau penulisan merupakan tahap akhir dari tahap penelitian

sejarah. Dimana tahap ini adalah tahap peneliti menarasikan hasil analisis

dari sumber-sumber yang di gunakan. Penelitian inimerupakan suatu

penelitian historis karena penelitian ini diarahkan untuk meneliti,

mengungkapkan dan menjelaskan peristiwa masa lampau sehingga jelas

diarahkan kepada metode sejarah yang bersifat kualitatif. Tujuan dari

penelitian historis ini yaitu menemukandan mendeskripsikan secara

analisis serta menafsirkan tentang sistem pemerintahan di Sulawesi

Selatan sebelum dan setelah Pemerintahan Belanda memerintah secara

langsung, dan juga penulis akan menjelaskan mengenai proses

perkembangan pendidikan yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya

golongan elit di Sulawesi Selatan.

1.6 Tinjauan Pustaka

Perubahan Politik Dan Hubungan Kekuasaan Makassar Tahun 1906-

1942adalah buku yang sangat penting dan paling utama dalam penulisan

penelitian ini. Dalam buku ini Edward L Poelinggomang menjelaskan tentang

bagaimana perubahan politik dan hubungan kekuasaan pada masa pelaksanaan

pemerintahan yang terjadi di bagian wilayah Makassar pada tahun 1906-1942.

Dalam buku ini menjelaskan pula tentang sistem pemerintahan apa yang

16
Kuntowijoyo, op. cit., hlm. 100.

15
diberlakukan pemerintah pada masa itu dan bagaimana peran kaum bangsawan

pada masa pemerintahan Hindia Belanda hingga kedudukan lapisan bangsawan

dapat tergeserkan dari yang dipandang memiliki kedudukan tertinggi hingga

kebangsawanannya tidak lagi berguna dalam sistem pemerintahan karena tidak

lagi memiliki kekuasaan penuh didaerahnya sendiri.

Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa pada pertengahan abad ke-20

adalah awal dari pemerintahan dan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda di

wilayah Sulawesi Selatan, ditandai dengan perubahan besar, misalnya kerajaan-

kerajaan yang berada di wilayah ini yang dulunya adalah kerajaan sekutu kini

dihapuskan dan dijadikan wilayah pemerintahan langsung Hindia Belanda.

Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai perlakuan pemerintah kepada

para bangsawan yang tidak mau bekerja sama sehingga muncul berbagai

pelawanan dengan manghalalkan segala cara. Salah satunya dengan merampok,

bangsawan yang tidak bekerja sama dengan pemerintah akan merampok

pemerintah kolonial bahkan para bangsawan yang memiliki derajat tinggi, mereka

tidak merugikan secara material tetapi mereka membunuh orang yang bekerja

sama dengan pemerintah baik sebagai pejabat maupun sebagai mata-mata, tidak

terkecuali para bangsawan.

Dengan buku ini juga penulis dapat melihat bahwa setelah pemerintahan

kolonial datang di Makassar maka mereka membatasi tingkah laku suatu lapiasan,

dan memberi kebebasan serta menjamin ruang gerak bagi lapisan yang lain,

sehingga mereka dapat mendominasi masyarakat demi kepentingannya sendiri.

16
Penulis mengambil juga dari buku Sarkawi Husain yang berjudul Sejarah

Sekolah Makassar 1876-1942. Dalam buku ini menceritakan mengenai

perkembangan pendidikan di Makassar dimana sebelum pendidikan kolonial

masuk di Makassar, masyarakat Makassar sudah mengenal sistem pendidikan

tradisional yang ditandai dengan adanya aksara tradisional Lontara dan Aksara

Serang yang kemudian berkembang lagi setelah Islam dianut oleh masyarakat

pada awal abad ke 17.

Dalam buku ini juga di jelaskan mengenai bagaimana masuk dan

berkembangnya pendidikan kolonial di Makassar yang mengakibatkan

berubahnya tampilan pendidikan yang awalnya tradisional ke pendidikan yang

kebaratan. Serta dengan masuknya pendidikan kolonial ini juga menjadi tolak

ukur bagi masyarakat untuk menduduki jabatan yang di tetapkan oleh pemerintah,

tetapi hal ini tidak lain dan tidak bukan hanya untuk kepentingan pemerintah

kolonial saja, karena dalam setiap sistem yang di terapkannya tidak dapat di

pisahkan dengan tujuan politiknya dalam usaha untuk mempertahankan

kekuasaannya. Hal ini tampak jelas dengan penerapan sistem pendidikan yang

berporos pada prisip diskriminasi, segresi dan non akulturatif, yang kemudian

berkembanglah lembaga-lembaga pendidikan yang dibagi dalam berbagai jenis

dan tingkatan.

Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai munculnya elit-elit baru yang

memberikan kontribusi besar bagi perkembangan dan mobilitas sosial dikalangan

masyarakat Makassar, yang pada umumnya orang yang dapat bersekolah adalah

orang yang memiliki derajat tinggi dimasyarakat. Seperti para bangsawan, mereka

17
akan ditempatkan di sekolah-sekolah yang disediakan oleh pemerintah guna

mencetak para pegawai pribumi.

Penulis juga menggunakan buku Pemberontakan Kahar Muzakkar dari

Tradisi DI/TII nya Barbara Sillars Harvey untuk melihat bagaimana keadaan dan

jumlah murid dan sekolah yang ada di Sulawesi Selatan abad-20an. Selain

mendapatkan beberapa catatan mengenai jumlah sekolah dan murid, penulis juga

mendapatkan beberapa informasi mengenai biografi beberapa elit didalamnya.

Penulis juga menggunakan buku dari Prof. DR.A.A. Gde Putra Agung

yang berjudul Peralihan Sistem Birokrasi Dari Tradisional Ke Kolonial,

dimana dalam buku ini menjelaskan tentang peralihan sistem pemerintahan di

Bali, tetapi penulis melihat tidak jauh berbeda dengan sistem yang di terapkan

pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Selatan. Dalam buku ini dijelaskan

mengenai dampak dari pemerintahan kolonial terhadap perubahan sosial adalah

upaya untuk memodernisasikan masyarakat didaerah pemerintahannya. Proses

modernisasi yang bersamaan dengan masuknya kebudayaan barat itu

menimbulkan perubahan-perubahan orientasi hidup, sikap dan perilaku, sehingga

pucuk pimpinan dipegang oleh para elit baru yang berpendidikan tinggi, hingga

munculnya kelas-kelas baru dalam masyarakat yaitu elit modern.

Munculnya Elit Modern Indonesia karya Robert Van Niel adalah salah

satu kajian yang sangat penting dalam perjalanan penulisan ini. Dimana dalam

buku ini telah menjelaskan secara pasti mengenai perkembangan elit Indonesia

berdasarkan perkembangan pendidikan. Dalam bukunya ini Van Niel secara jelas

menjelaskan mengenai perkembangan elit di Indonesia mulai dari pemerintahan

18
Belanda tahun 1900, hingga perkembangan Politik Etis yang menjadi cikal bakal

lahirnya Elit modern di Indonesia. Serta beliau juga membahas mengenai

kebijakan apa yang terjadi ketika politik baru kolonial muncul.

Tak kalah pentingnya juga bukuTerbentuknya Sebuah Elite Birokrasi

karya Heather Sutherland, dalam buku ini banyak dipaparkan mengenai

kehidupan kaum elit kerajaan yang ada di Jawa, mulai dari gaya hidup dan

kedudukan sosialnya, hingga setelah Belanda masuk untuk menguasai

pemerintahan dan melahirkan elit birokrasi dalam pemerintahannya. Heather

menulis menggunakan pandangan dari kaum pribumi, dimana Heather banyak

mengambil peristiwa dan situasi dari sudut pandang pribumi. Heather juga

mencoba untuk menelaah bagaimana pandangan Belanda mengenai sifat pribumi

dalam tata pemerintahannya. Dalam tulisan ini juga dijelaskan mengenai

perkembangan elit sipil pribumi, bagaimana peranannya bergeser dari masing-

masing wilayah menjadi alat untuk memperkuat kebijakan-kebijakan kolonial,

dan mereka juga selalu berpatokan pada kekuatan besar yang ada di Batavia yang

saat itu menjadi pusat kebijakan seluruh Hindia Belanda. Walaupun lokasi dan

situasi yang digunakan dalam penulisan Heather adalah di pulau Jawa, tapi

penulis jadi memiliki gambaran mengenai sistem birokrasi yang ditetapkan oleh

pemerintah Hindia Belanda ketika mengeluarkan kebijakan-kebijakannya.

1.7 Sistematika Penulisan

Untuk menghasilakan tulisan yang tersusun secara kronologis maka dalam

penulisan yang berjudul Munculnya Elit Birokrasi Kolonial di Sulawesi Selatan

pada Tahun 1906-1942, penulis akan membaginya dalam lima bab yang dibuat

19
secara sistematis. Pada bab I akan berisi alasan penulis mengambil tema dan judul

yang di tulisnya yang akan terangkum dalam bagian pendahuluan. Selanjutnya

penulis akan memaparkan rumusan masalah dan batasan masalahnya, kemudian

tujuan dan manfaat dari penelitian ini kepada pihak lain, serta metode penelitian

yang akan digunakan beserta tinjauan pustaka yang sangat membantu memberi

informasi kepada penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dalam bab II penulis akan memaparkan Tinjauan umum mengenai

keadaan di Sulawesi Selatan sebelum pemerintahan langsung Hindia Belanda

masuk dan bagaimana sistem pemerintahan yang ditetapkannya. Kemudian

penulis juga akan menjelaskan mengenai sistem pemerintahan tradisional di

Sulawesi Selatan hingga pemerintahan Modern, penulis juga akan menjelaskan

mengenai pola pemerintahan kerajaan Gowa dan Bone yang berhubungan erat

dengan pertumbuhan pemerintahan Sulawesi Selatan. Penulis juga akan

memaparkan beberapa gambaran mengenai struktur pemerintahan tradisional

hingga kolonial agar mempermudah pembaca dalam memahami tulisan ini.

Dalam bab III penulis akan membahas mengenai perkembangan

pendidikan di Sulawesi Selatan. Penulis membaginya menjadi empat sub bab,

dimana sub bab pertama akan membahas mengenai munculnya Politik Etis dan

bagaimana dampaknya dalam perkembangan pendidikan di Hindia Belanda

terkhusus di Sulawesi Selatan, sub bab kedua akan dijelaskan mengenai

pendidikan tradisional yang dijalankan oleh masyarakat Sulawesi Selatan sebelum

Belanda masuk untuk menguasai daerah-daerah yang ada di Sulawesi Selatan.

Sub bab ketiga akan membahas mengenai pendidiakn kolonial atau modern

20
setelah pemerintahan Belanda memerintah secara langsung dan penulis akan

menjelaskan mengenai sekolah-sekolah yang berdiri di Sulawesi Selatan dan

penulis juga akan memaparkan beberapa informasi mengenai jumlah siswa dan

guru yang ada di sekolah-sekolah Sulawesi Selatan. Dan sub bab keempat akan

menjelaskan mengenai munculnya organisasi pergerakan nasional di Sulawesi

Selatan yang tiidak dapat dipungkiri jika orang-orang yang memiliki jabatan

dalam sebuah organisasi juga dapat disebut sebagai golongan elit.

Dalam bab IV penulis akan membahas mengenai proses masuknya elit

birokrasi kolonial di Sulawesi Selatan. Yang mula-mula akan dibuka dengan

pemaparan mengenai perubahan struktur pemerintahan sehingga bangkitnya

golongan elit di Sulawesi Selatan, kemudian penulis juga akan menjelaskan

mengenai syarat penetuan elit dalam sistem kolonial. Dalam bab ini penulis sudah

memfokuskan kepada orang-orang yang memiliki derajat yang lebih tinggi karena

memiliki jabatan di pemerintahan, misalnya penulis akan membahas mengenai

beberapa gubernur dan walikota yang telah menjabat di Sulawesi Selatan dan

Makassar. Penulis juga akan memaparkan beberapa tokohelit bangsawan dan elit

terdidik. Dalam bab ini juga akan dijelaskan mengenai proses masuknya

keturunan Makassar-Melayu yang juga turut berperan penting dalam birokrasi

Hindia Belanda di Sulawesi Selatan.

Dalam bab V adalah hasil dari penjabaran dari ke empat bab yang

sebelumnya sehingga dapat ditarik satu kesimpulan dalam tulisan tersebut oleh

penulis. Kesimpulan tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan di rumusan

21
masalah yang sebelumnya telah penulis ajukan, sekaligus merupakan penutup dari

penelitian yang terangkum dalam bab terakhir.

22
BAB II

SISTEM PEMERINTAHAN DI SULAWESI SELATAN

2.1 Pemerintahan Tradisional

Lapisan masyarakat di Sulawesi Selatan ditandai dengan kedatangan To

Manurung1yang erat hubungannya dengan pertumbuhan kerajaan-kerajaan

Sulawesi Selatan. Sekitar abad ke-14, dalam cerita To Manurung sangat jelas

ditampakkan adanya peranan manusia, atau telah ikut sertanya manusia (biasa)

dalam pembentukan nasibnya2.

Sebelum kedatangan To Manurung, masyarakat Sulawesi Selatan terutama

orang Bugis-Makassar belum mengenal adanya pelapisan masyarakat, kecuali

kaum-kaum yang dipimpin oleh ketua kaum dari keluarga paling tua. Masalah

bangsawan dan rakyat kebanyakan tidak menjadi problem yang menggangu,

bahkan dianggap wajar3. Hal ini membuktikan, bahwa latar belakang pelapisan

masyarakat Sulawesi Selatan bukanlah mendasarkan pada latar belakang

mitologis atau religiusitas yang mendalam. Masalahnya hanya dilatarbelakangi

oleh keadaan pragmatis4.

1
To Manurung adalah orang yang turun dari langit yang diberikan kepercayaan untuk
melakukan pimpinan terhadap orang banyak yang menghedakinya. Dia adalah seorang pemimpin
yang kuat dan mampu mendatangkan perdamaian serta kemakmuran dalam suatu wilayah.
2
Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis ,
(Jakarta: Ombak, 2015),hlm. 504.
3
Ibid,hlm. 505.
4
Pragmatisme adalah kepercayaan bahwa kebenaraan atau nilai suatu ajaran
bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia. Sedangkan pragmatis berarti bersifat
praktis dan berguna bagi umum, bersifat mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan.
(kemanfaatan) mengenai dengan nilai-nilai praktis.

23
Sebelum kedatangan To Manurung di Sulawesi Selatan sudah ada bentuk

kesatuan komunitas yang dikenal dengan istilah Gaukang atau Kegallarangan.

Dalam perjalanan sejarahnya, tampaknya kesatuan komunitas ini tidak dapat

mempertahankan kemandiriannya. Keinginan untuk mengeksploitasi

kegallarangan satu dengan yang lain, perselisihan, dan peperangan merupakan

gambaran kenyataan kehidupan masyarakat kala itu. Sehingga timbul keinginan

dari sejumlah pimpinan komunitas gaukang untuk menjalin hubungan kerjasama

dan saling membantu. Tujuannya untuk meredakan dan menyelesaikan

pertentangan di antara mereka. Jalinan hubungan kerjasama dan saling membantu

itu akhirnya menghantar mereka membentuk dewan persekutuan yang dipimpin

oleh masing-masing Karaeng dari Kekaraengan-karaengan/Bori5 itu, dan

memilih salah seorang di antara anggota-anggota dewan menjadi ketua dewan.

Menyangkut kehidupan persekutuan, dewan ini berfungsi sebagai lembaga

pengadilan dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi antara

kekaraengan-kekaraengan yang menjadi anggota persekutuan itu. Oleh sebab itu

kedudukan ketua dewan adat umumnya dikenal dengan istilah Paccalaya

(Penasehat)176.

Lembaga persekutuan atau dewan adat ini sesungguhnya bukan

merupakan suatu lembaga tetap. Pertemuan anggota dewan baru terselenggara bila

ada permasalahan yang dipandang harus dipikirkan dan diselesaikan bersama.

5
Wilayah kesatuan kecil yang merupakan daerah kesatuan dari kelompok kaum yang
berpemerintahan sendiri.
6
Suriadi Mappangara, Ensiklopedia Sejarah Tokoh dan Peristiwa Sulawesi Selatan dan
Barat sampai tahun 1905, jilid II, (Makassar: Laboratorium Sejarah dan Budaya Universitas
Hasanuddin, 2017), hlm. 558-559.

24
Kedudukan ketua lembaga persekutuan sebagai figur utama dalam

mempersatukan kekuatan anggota persekutuan dalam menghadapi ancaman dari

luar kerajaan seperti menjalin kerjasama dengan kerajaan-kerajaan lainnya. Dalam

hal ini sering wilayah persekutuan itu dipandang sebagai bentuk pemerintahan

serikat (konfederasi), dan menampilkan ketua lembaga persekutuan sebagai raja

dan karaeng-karaeng sebagai pengikut (minawang)7.

Di antara bentuk Konfederasi yang berkembang di Sulawesi Selatan,

beberapa di antaranya berkembang menjadi bentuk Kerajaan besar dengan

menampilkan konsep To Manurung . Konfederasi Gowa misalnya, mulanya

merupakan persekutuan dari sembilan kekaraengan, kemudian berubah menjadi

Kerajaan Gowa, setelah ditemukannya seorang putri yang tidak diketahui nama

dan dari mana asalnya yang kemudian dinobatkan sebagai ratu atau pememimpin

pertama untuk memerintah kerajaan Gowa. Sembilan karaeng yang pada awalnya

merupakan anggota dari lembaga persekutuan itu kemudian menjadi satu dewan

kerajaan yang dikenal dengan nama Kasuwiyang Salapang, yang berubah lagi

menjadi Bate Salapang. Hal yang sama terjadi juga pada pembentukan kerajaan

Bone, dimana sebelum berdirinya kerajaan Bone, terdapat tujuh kelompok

kekaraengan yang membentuk satu persekutuan yang dikenal dengan nama

Kawerrang Tana Bone(ikatan tanah Bone). Setelah pengangkatan raja, lembaga

persekutuan itu berubah menjadi dewan adat yang dikenal dengan Matoa Pitue

yang kemudian berubah lagi menjadi Ade’Pitue188. Kedatangan To Manurung di

Sulawesi Selatan digambarkan oleh Lontara’ sebagai sesuatu yang dihajatkan


7
Ibid., hlm. 560-561.
8
Ibid., hlm. 561-562.

25
untuk mengakhiri keadaan yang kacau balau. Keadaan masyarakat di Bone

khususnya dilukiskan berada dalam keadaan hukum rimba dimana yang kuat

memakan yang lemah. Kedatangan To Manurung diterima sebagai juru selamat.

Satu hal yang istimewa dari kedatangan To Manurung adalah bahwa

kedatangannya pertama-tama bertujuan mencapai kesejahteraan umum.

Disamping itu, ia menetapkan perjanjian yang memberikan peranan kepada

manusia dalam kekuasaan politik. Perjanjian itu ialah prinsip-prinsip umum yang

menunjukkan bahwa To Manurung menjadi raja tidak dalam arti pembenaran

baginya untuk memiliki kekuasaan mutlak atau kekuasaan tanpa batas. Raja

bukanlah yang maha kuasa, ia tidak mengatasi semua hak-hak rakyatnya.

Kewajiban raja untuk menghormati hak-hak asasi rakyatnya dan hak-hak pribadi

penduduk negerinya.9

Perkembangan penduduk yang dialami oleh sekelompok kaum sebelum

pemerintahan langsung Hindia Belanda menimbulkan persebaran penduduk ke

tempat-tempat di sekitar pemukiman dengan membuka perkampungan-

perkampungan baru sesuai dengan Gaukang10 mereka. Penemu Gaukang yang

pertama kemudian di tempatkan sebagai pemimpin dari pemerintahan Bori.

Pemimpin Bori berperan sebagai pemangku keagaamaan maupun keduniawian,

yang memimpin upacara-upacara adat dan keagamaan, upacara permulaan

9
Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis,
op.cit., hlm. 508-509.
10
Gaukang secarah harfiah adalah perbuatan. Gaukang yang dimaksudkan disini adalah
benda yang oleh masyarakat Makassar dipandang berbentuk aneh sehingga dianggap sebagai
benda titisan, suci, dan memiliki kekuatan gaib. Oleh karena itu dipuja sebagai penjaga jiwa
masyarakat khusus. Lebih jelasnya lihat di Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan
Hubungan Kekuasaan Makassar 1909-1942, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 53.

26
pekerjaan dan panen, serta memutuskan permasalahan dan perkara-perkara

persengketaan yang terjadi antara anggota masyarakat11.

Konfederasi Gowa muncul dari gabungan antara sembilan wilayah Bori

yaitu, Tombollo, Lakiung, Parang-parang, Data, Agangjenne, Saumate, Bissei,

Sero, dan Kalli. Demikian pula halnya dengan daerah-daerah lain dibagian selatan

Gowa seperti konfederasi Bangkala, Tanatoa, Garasikang dan Palingu. Demikian

pula halnya dengan daerah-daerah yang berada dibagian utara Gowa seperti

konfederasi Mandalle, konfederasi Maros dan daerah-daerah Turikalle12.

Selain melahirkan lembaga pengadilan, konfedarasi yang terbentuk juga

merupakan langkah untuk memperkuat pertahanan mereka, saling membantu

dalam menghadapi lawan-lawan mereka, yaitu bori-bori yang bukan merupakan

anggota dari konfederasi mereka. Walaupun demikian bentuk konfederasi yang

diharapkan dapat mewujudkan ketertiban dan keamanan tidak dapat berfungsi

secara baik. Kondisi ini juga diriwiyatkan mengawali terjadinya perubahan-

perubahan bentuk pemerintahan konfederasi di wilayah itu. Konfederasi Gowa

dan Bone dalam pertumbuhannya berubah menjadi kerajaan Gowa dan kerajaan

Bone. Konfederasi lainnya juga ada yang berusaha mencapai satu kesatuan yang

lebih besar lagi dengan menggabungkan beberapa konfederasi menjadi satu

federasi13.

11
Leonard Y. Andaya, Warisan Arung Palakka, (Makassar: Ininnawa, 2004), hlm. 11.
12
Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar
1909-1942, op.cit., hlm.25.
13
Ibid., hlm.27.

27
Pada zaman kepemimpinan To Manurung inilah Sulawesi Selatan

mengalami perkembangan kemasyarakatan, kenegaraan, dan kepemimpinan

bidang-bidang kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang memulai

kecenderungan spesialisasi fungsi-fungsi dan peranan-peranannya. Pada zaman itu

pula strata/pelapisan masyarakat mulai terbentuk dalam lapisan yang disebut,

lapisan Arung/Anakarung, To Deceng/To Maradeka, dan Ata.14Dalam sistem

sosial Sulawesi Selatan, pelapisan masyarakat itu menunjukkan status yang erat

keterkaitannya dengan tanah.Arung dan Anakarung ditempatkan pada status

mulia, dihormati dan ditaati dalam batas-batas tertentu. Tetapi status mulia tidak

memberikan mereka hak untuk memiliki tanah. Status mereka tetap sebagai

pendatang (To Manurung) orang dari luar persekutuan Kaum (Anang). Orang

persekutuan kaum Ananglah yang menjadi pemilik asli tanah. Dari kalangan

mereka itulah kemudian lahir pemangku-pemangku Adat, sebagai Kepala-Kepala

Kaum, Anrong Guru, Matowa, Puang, To Parange, dsb15.

Pada masa kekuasaan raja-raja (ditandai dari penobatan To Manurung)

ketika kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan masih memiliki kedaulatannya, maka

secara umum dapat dikatakan bahwa pelapisan masyarakat itu pada hakikatnya

ada dua saja yaitu lapisan penguasa dan lapisan rakyat kebanyakan yang dikuasai.

Karena sistem mobilitas sosial orang-orang Sulawesi Selatan memiliki sifat yang

cukup luwes, maka dalam lapisan yang disebut lapisan penguasa, tidak hanya

14
Mattulada,Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan,(Ujung Pandang:
Lephas. Cetakan I. 1998), hlm.27-28.
15
Ibid, hlm. 29.

28
terdiri dari golongan yang berasal dari lapisan anakarung16saja. Dalam lapisan

penguasa yang dapat disebut juga elit dari masyarakat, dapat juga terdiri dari

orang-orang yang berasal dari lapisan rakyat kebanyakan (To Maradeka) yang

telah menunjukkan prestasi sosial sebagai berikut:

1) To Panrita, yaitu orang-orang baik Anakarung maupun Maradeka, yang

menjadi cendikiawan, pemimpin agama dan orang-orang berilmu lainnya

yang telah bekerja untuk kemaslahatan masyarakat.

2) To Sugi’, yaitu orang-orang kaya, baik Anakarung maupun Maradeka

yang karena keuletan dalam usahanya dapat menjadi usahawan yang kaya

dan terpandang dalam mengatur kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

3) To Warani, ialah orang-orang pemberani yang tampil untuk membela

kepentingan negara dan rakyat dalam peperangan melawan musuh.

Mereka ini baik Anakarung maupun Maradeka, disebut To Warani yang

dihargai dan dipandang sebagai orang terhormat.

4) To Sulesana, adalah orang-orang yang berkeahlian khusus, semacam

teknokrat-teknokrat yang tak kering-kering daya karsanya untuk mencari

usaha perbaikan masyarakat dan negara17.

Keempat jenis orang tersebut ditempatkan dalam elit sosial baik ia berasal

dari lapisan anakarung maupun maradeka. Maka terjadilah mobilitas sosial yang

vertikal sifatnya dari kalangan maradeka, dan mobilitas sosial yang horizontal

sifatnya dikalangan anakarung. Oleh karena itu, maka sejak tahun 1906, setelah

16
Anakarung atau anakaraeng adalah istilah untuk anak bangsawan asli yang berdarah
murni raja. Anakarung merupakan lapisan teratas dalam pelapisan sosial di Sulawesi Selatan.
17
Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis,
op.cit., hlm. 509.

29
apa yang disebut ata(budak) dengan resmi dihapuskan dan peranan anakarung

semakin menjadi kurang penting, maka perbedaan antara lapisan anakarung dan

maradeka dalam kehidupan masyarakat juga menjadi berkurang dengan

secepatnya. Kawin-mawin antara kalangan anakarung dan maradeka, lambat laun

meniadakan batas-batas pelapisan anakarung dan maradeka, menuju satu

pelapisan masyarakat yang sesuai dengan tuntutan zaman modern.

Berikut adalah penjelasan mengenai stratifikasi sosial di Sulawesi Selatan

khususnya oleh masyarakat Bone;

1) Anakarung Matase’ (Bangsawan Asli)

- Anakarung Pattola (Putra/Putri Mahkota)

- Anakarung Patase’ (Putra/Putri Bangsawan Asli), bukan Putra/Putri

Mahkota.

Maksudnya adalah anak atau keturunan dari perkawinan antara Ibu/Bapak

yang sederajat, nilainya tetap sama Ibu/Bapaknya.

2) Anakarungyang bukan Anakarung Pattola (Bangsawan Asli) terdiri dari

enam bagian, yaitu:

- Anak Rajeng adalah anak yang lahir dari Bapak sederajat dengan

Anakarung Pattola(Bangsawan Asli) dan Ibunya yang sederajat

Anakarung SipuE(Bangsawan Separuh).

- Anakarung SipuE(Bangsawan Separuh) adalah anak yang lahir dari Bapak

sederajat dengan Anakarung Pattola(Bangsawan Asli) dan Ibunya orang

merdeka/biasa.

30
- Anakarung Cerak Tellu adalah anak yang lahir dari Bapak sederajat

dengan Anakarung SipuE(Bangsawan Separuh) dan Ibunya orang

merdeka/biasa.

- Anakarung Cerak Tellu adalah anak yang lahir dari Bapak sederajat

dengan cerak duadan Ibunya orang merdeka/biasa.

- Anakarung Cerak Eppa adalah anak yang lahir dari Bapak sederajat

dengan cerak telludan Ibunya orang merdeka/biasa.

- Anakarung Cerak Lima adalah anak yang lahir dari Bapak sederajat

dengan cetak eppa dan Ibunya orang merdeka/biasa.

Maksudnya dari penjelasan diatas adalah perkawinan yang terjadi antara

seorang Bapak dan Ibu yang sederajat atau sama tingkatannya dari masing-

masing tingkatan, maka anak Putra/Putrinya tetap sama dengan derajat Ibu

dan Bapaknya. Kecuali pada Anakarung Cerak Lima diatas termasuk

kategori bangsawan campuran (To Deceng).

3) To-Maradeka (Orang Merdeka) adalah golongan orang-orang yang

merdeka atau dapat dikatakan orang yang bebas.

- To-Daeng (Kepala Kaum/Anang) adalah orang baik-baik.

- To-Sama’ (Rakyat Kebanyakan) adalah orang biasa.

4) Ata (Sahaya) adalah termasuk golongan budak.

- Ata-Mana’ (Sahaya Warisan) adalah budak yang diwariskan atau dapat

dikatakan budak secara turun temurun.

- Ata-Mabuang (Sahaya Baru) adalah seseorang yang menjadi budak karena

melakukan suatu kesalahan yang dianggap berat, sehingga dijatuhi

31
hukuman adat ataupun hukuman melalui pengadilan atas kesalahannya

atau biasa juga seseorang menjadi budak dikarenakan kalah dalam

peperangan dan dianggap lemah18.

2.2 Pola Pemerintahan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan

Proses pembentukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menyebabkan

kedudukan raja sebagai pemegang kendali kekuasaan pada umumnya didampingi

oleh satu dewan hadat yang anggota-anggotanya adalah kepala pemerintahan

kaum atau kerajaan-kerajaan kecil. Dewan hadat pada dasarnya merupakan

lembaga legislatif atau lembaga penasehat raja dalam berbagai hal yang berkaitan

dengan kenegaraan, baik politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Namun

terlepas dari anggota dewan hadat, masing-masing mereka adalah pemimpin

eksekutif (penguasa lokal) diwilayah kesatuannya.

Pada tingkat daerah (persekutuan kaum dari Kerajaan bawahan yang kecil)

terdapat jabatan kepala kaum, masing-masing dengan sebutan yang berbeda. Ada

yang menggunakan sebutan Marsaoleh, Jogugu, Kare, Gallarang, Karaeng, dan

Matoa. Kepala-kepala kaum pada gilirannya membawahi kepala-kepala kerabat

yang dipandang sebagai ketua kerabat yang menempati wilayah yang terkecil

yang disebut Kampong, Wanua atau Banua. Mereka ini yang berhubungan

langsung dengan kerabat yang merupakan rakyat dari kerajaan itu19.

18
Andi Palloge, Sejarah Kerajaan Tana Bone “Masa Raja Pertama dan Raja-Raja
Kemudiannya Sebelum Masuknya Islam Sampai Terakhir”, (Sungguminasa Kabupaten Gowa:
Yayasan Al Muallim, 2006), hlm. 159-160.
19
Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Sulawesi, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1995), hlm. 53.

32
Disamping usaha perluasan wilayah dan pengaruh kekuasaan untuk

mencapai keunggulan kekuasaan, kerajaan Gowa mengembangkan pula usaha-

usaha di bidang pelayaran dan perdagangan dan menempatkan Makassar sebagai

bandar niaga dari lalu lintas perdagangan rempah-rempah antara Maluku dan

Malaka pada awal abad ke-1720. Pada masa ini sering juga terjadi kegiatan

persaingan antara armada dagang Belanda dan armada dagang kerajaan Makassar,

bahkan tidak jarang terjadi pertikaian, perselisihan hingga peperangan antara

mereka. Penyebab utama dalam perselisihan antara lain adalah karena pelaut dan

pedagang Belanda ingin menguasai sendiri pelayaran perdagangan di Nusantara.

Pertikaian dan perselisihan yang sering terjadi diantara kedua belah pihak ini pada

akhirnya menjerumuskan mereka pada perang besar yang dikenal dengan Perang

Makassar21.

Perang Makassar berawal pada 21 Desember 1666, ketika Cornelis

Speelman menyetujui perang kepada Kerajaan Makassar dan baru berakhir pada

18 November 1667, saat tercapainya perjanjian perdamaian yang dikenal dengan

Perjanjian Bongaya. Dalam perjanjian ini pada dasarnya tidak dapat diterima

sepenuhnya karena sangat merugikan Kerajaan Makassar, itulah sebabnya

beberapa bangsawan tetap tidak bersedia menerima perjanjian itu dan berusaha

mengobarkan perlawanan terhadap VOC. Dalam perjanjian Bongaya tidak hanya

ditandai dengan kekalahan kerajaan Makassar dalam Perang Makassar, tetapi juga

merupakan awal dari kompeni untuk menyodorkan kekuasaannya di wilayah

20
Edward L. Poelinggomang, Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan
Maritim, (Jakarta: KPG, 2016),hlm. 48.
21
Mattulada, Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, op.cit., hlm. 179.

33
pemerintahan kerajaan Makassar dan cikal bakal memudarnya keunggulan

kekuasaan Kerajaan Makassar di Sulawesi Selatan22.

Sesuai dengan perjanjian Bongaya, daerah-daerah yang diduduki oleh

pasukan VOC setelah perang Makassar dinyatakan berada dibawah kekuasaannya.

Dengan demikian kerajaan Makassar kehilangan hampir seluruh daerah yang

pernah mengakui dan berada dibawah kekuasaannya. Disamping beberapa

konfederasi yang sebelum Perang Makassar tunduk dibawah kekuasaan Kerajaan

Makassar dinyatakan kembali berdiri sendiri, bebas dan berdaulat, tetapi

berkedudukan sebagai kerajaan pinjaman dari Kerajaan Bone23, seperti

konfederasi Bangkala, Binamu dan Laikang. Selain itu, kerajaan Gowa juga

kehilangan sebagian kecil wilayah intinya, yaitu daerah sekitar Makassar yang

terletak pada pesisir barat jazirah selatan pulau Sulawesi24.

Diantara kerajaan-kerajaan di Sulawesi yang berkembang dengan pesat

dan memiliki birokrasi pemerintahan yang kompleks dan cukup memadai pada

abad ke-17 adalah kerajaan Makassar. Birokrasi kerajaan Makassar menunjukkan

kesamaan dengan birokrasi kerajaan Bone, hanya saja bentuk penataannya yang

berbeda. Kerajaan Makassar adalah kembaran dari Kerajaan Tallo, meskipun dari

segi asal usul kehadiran Kerajaan Tallo merupakan perpecahan dari Kerajaan

22
Mattulada, Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ibid., hlm. 181-185.
23
Kerajaan Bone pada masa sebelum perang berada dibawah kekuasaan Kerajaan
Makassar. Setelah perang Kerajaan Bone dimerdekakan dan dinobatkan Arung Palakka, seorang
bangsawan Kerajaan Bone yang bersekutu dengan VOC dalam perang, sebagai Raja Bone. Ia
selanjutnya digelari Konink der Boegis (raja orang Bugis).
24
Edward L. Poelinggomang,Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar
1909-1942,op.cit., hlm.37.

34
Gowa. Oleh karena itu cikal bakal birokrasi awal selalu merujuk pada Kerajaan

Gowa.

2.2.1 Sistem Pemerintahan Kerajaan Gowa

Diantara konfederasi yang terbentuk di daerah Bori-bori, konfederasi

Gowalah yang kemudian berkembang menjadi satu kerajaan yang besar dan kuat.

Pada abad ke 16 kerajaan Gowa telah memiliki keunggulan kekuasaan di

Sulawesi Selatan, yang kemudian berkembang menjadi pusat kekuasaan di daerah

itu.

Pada masa pemerintahan Tu’nipalangga Ulaweng(1546-1565), seluruh

daerah yang berada di bagian selatan Sulawesi Selatan dikatakan telah tunduk

dibawah pemerintahan kerajaan Gowa. Pada masa pemerintahan raja

Tu’nipalangga Ulaweng, ia membentuk suatu lembaga militer/ketentaraan

(Tumakkajanangang). Disamping itu juga menata pembagian tugas dalam bidang

administrasi pemerintahan dengan menciptakan jabatan Tu’Mailalang. Dalam

perkembangan kemudian, setelah Kerajaan Gowa dan Tallo membentuk

persekutuan sebagai satu kesatuan, maka dibentuklah jabatan Tu’Mabicara Butta,

yang kedudukannya sebagai mahapati. Jabatan ini selalu dijabat oleh raja Tallo,

sama seperti kedudukan raja Gowa sebagai raja Makassar. Pejabat Tu’Mabicara

Butta ini selalu mendampingi raja dan sewaktu-waktu berhak sebagai pengganti

raja. Pejabat ini juga berkewajiban mendidik putra-putri raja agar mengerti dan

menghayati adat istiadat dan tata cara kerajaan. Pejabat tinggi kerajaan lainnya

adalah Tukkajananggang pejabat ini tidak hanya menangani urusan keagamaan

dan pertahanan, tetapi juga urusan-urusan sipil, sebagai pati yang menangani

35
urusan perlengkapan. Dalam kedudukannya ia membawahi sejumlah pejabat

pelaksana (sebanyak 20 jabatan), mulai dari jabatan pesuruh kerajaan (anrong

guru suro), hingga kepala perlengkapan istana (janang pakes). Dalam urusan

pertahanan dan keamanan dia membawahi sejumlah pejabat tinggi angkatan

perang, seperti panglima perang (karaeng ri pabbundukang) yaitu pejabat yang

menangani urusan perang dan ekspansif, panglima perang daerah (anrong guru

tukkajanangngang) yang menangani urusan pertahanan wilayah panglima

tawanan perang dan kepala pasukan pegawai raja25.

Dewan hadat konfederasi dalam Kerajaan Makassar berfungsi sebagai

penasehat kerajaan dan dewan pemilih calon raja dari keturunan raja-raja. Dalam

kegiatan sehari-hari anggota dewan hadat ini adalah penguasa diwilayah

Gallarang dan tidak terlibat langsung dalam urusan kenegaraan. Urusan

kenegaraan diemban oleh sanak saudara keluarga raja. Urusan keagamaan dan

upacara keagamaan diemban oleh seorang pejabat yang disebut Alakaya, pejabat

ini juga menangani ornamen kerajaan. Ketika Kerajaan Makassar menerima

agama Islam pada tahun 1605 sebagai agama resmi kerajaan, kegiatan kerohanian

dan upacara yang disesuaikan dengan ajaran keagamaan itu diembankan kepada

pejabat baru yang disebut Daengta Kaliya (Kadhi). Pejabat ini tidak melakukan

kegiatan pemungutan pajak perdagangan, melainkan urusan perpajakan lainnya,

karena urusan ini diembankan kepada seorang pejabat yang disebut Syahbandar.26

25
Ibid., hlm.57.
26
Ibid., hlm.56.

36
2.2.2 Sistem Pemerintahan Kerajaan Bone

Sebelum Pemerintahan Hindia Belanda memerintah secara langsung,

sistem pemerintahan Bone masih berbentuk Kerajaan yang dalam penjabarannya

mengenai jabatan dan tugasnya akan dijelaskan sebagai berikut :

a) Arung (Raja) yang bergelar Arumpone, dapat juga disebut dengan Petta

MangkuauE27. Arumpone merupakan posisi tertinggi pada pemerintahan

Kerajaan Bone, walaupun posisinya dikatakan yang paling tinggi dalam

pemerintahan, namun kekuasaan tidak sepenuhnya berada di tangan Raja.

b) Tomarilalang secara harfiah berarti orang di dalam. Tomarilalang

menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Raja, dikarenakan

posisinyasebagai dewan yang mewakili rakyat, Raja tidak dapat sewenang-

wenang mengambil keputusan sendiri tanpa adanya keputusan bersama

dari pihak Tomarilalang. Tomarilalang mengetuai Aru PituE dan seluruh

anggota Hadat, dengan kata lain Tomarilalang bertugas untuk mengatur

semua urusan pengadilan, polisi dan rumah tangga pemerintahan. Adapun

beberapa syarat untuk menjadi Tomarilalang, antara lain:

1) Seseorang yang diangkat menjadi Tomarilalang harus dari

keturunan Raja, misalnya salah satu dari keluarganya pernah

menjabat sebagai kepala pemerintahan.

2) Selama seseorang diangkat menjadi Tomarilalang, ia tidak dapat

diangkat sebagai Raja.

27
Raja yang berkuasa dan duduk di atas tahta kerajaan.

37
c) Jemma Tongeng adalah kepala kurir Bone. Jemma Tongeng terdiri dari 40

orang yang bertugas untuk menyebar atau menyampaikan perintah-

perintah dan surat-surat dari Raja maupun Hadatke berbagai kerajaan yang

berdiri saat itu, mereka bertanggung jawab atas rapat-rapat yang telah

dibuat dan wajib hadir di rapat tersebut guna mengurus para peserta rapat

yang hadir. Seseorang yang dijadikan sebagai kepala kurir dianggap telah

mengetahui apapun perintah dari Raja maupun Hadat.

d) Anrong Guru Anak Karaeng adalah guru yang selalu membimbing anak-

anak para Raja. Anrong Guru Anak Karaeng bertugas untuk mendidik

putera-puteri Raja sampai mereka dewasa, mereka juga sangat

bertanggung jawab terhadap Tomarilalang.

e) Tomalompona Towangke28adalah kepala pasukan pengawal istana.

Tomalompona Towangke merupakan keturunan dari semua prajurit yang

dianggap setia mendampingi Raja, baik dalam keadaan berperang maupun

dalam situasi yang tenang.

f) Empat Anrong Guru Pukalawing Epu adalah kepala dayang-dayang.

Empat Anrong Guru Pukalawing Epu bertugas untuk melayani Raja, baik

melayani Raja di istana maupun dalam keadaan perjalanan jauh. Empat

Anrong Guru Pukalawing Epu diambil dari daerah-daerah pemukiman

yang tidak terjangkau atau dengan kata lain dari perkampungan yang

terpencil, merekadianggap sangat setia terhadap Raja.

28
Pasukan pengawal istana yang dianggap sangat setia.

38
g) Suro Seppulo Eduaadalah utusan dari Jemma Tongeng (kepala kurir

Bone). Mereka bertugas untuk mengantar ataupun menyampaikan secara

langsung perintah-perintah dan surat-surat dari Raja maupun Hadat, baik

itu mengantar di dalam negeri maupun di luar negeri. Jumlah Suro di

kerajaan-kerajaan besar berjumlah 40 orang.

h) Parennung adalah penyiar yang ditugaskan untuk menyampaikan secara

lisan pesan-pesan yang dibuat oleh Raja kepada para pangeran, dapat

diartikan bahwa Parennung berada di bawah pimpinan pelaksana

pemerintahan.

i) Juru Bahasa adalah penerjemah bahasa Melayu, mereka berjumlah dua

orang dan tidak boleh lebih.

j) Juru Tulis Utama ialah seseorang yang dipercaya untuk mengurus surat-

surat resmi dan hanya berjumlah dua orang saja.

k) Jurus Tulis Kedua ialah seseorang yang dipercaya untuk mengurus surat-

surat pribadi Raja yang akan dikirimkan kepada anggota keluarga ataupun

sahabatnya29

29
M.T.H. Perelaer, De Bonische Expeditien Krijgsgebeurtenissen op Celebes in 1859 en
1860, Jilid I (Leiden: Gualth Kolff, 1872), hlm. 8-14.

39
STRUKTUR PEMERINTAHAN KERAJAAN BONE30
Arumpone
(Raja)

Tomarilalang
(Ketua dari Ade’Pitue)

Anrong Guru Pakalawing Epu Anrong Guru Anak Karaeng Tomalompona Towangke Jemma Tongeng
(Kepala dayang-dayang (Guru yang mendidik putra/i raja) (Kepala pasukan pegawai (Kepala kurir Bone)
Kerajaan Bone) Kerajaan Bone)

Parennung Suro Sappuloedua


Juru Tulis Juru Bahasa
(Seorang penyair untuk (Pesuruh atau utusan dari
(Penerjemah
menyampaikan pesan raja) Jemma Tongeng)
Bahasa Melayu)

Juru Tulis Utama Juru Tulis Kedua


(Mengurusi surat resmi dari kerajaan) (Mengurusi surat pribadi raja)

30
SuriadiMappangara (Ed), Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan sampai tahun 1905, op.cit., hlm. 486-488.

40

0
2.3 Pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi Selatan

Pada awal abad ke 19 kedudukan kompeni digantikan oleh pemerintah

Hindia Belanda. Daerah-daerah yang berdasarkan perjanjian dinyatakan berada

dibawah kekuasaan kompeni, kini beralih dibawah kekuasaan pemerintah Hindia

Belanda. Sebelum pemerintah siap menata kembali daerah-daerah yang diambil

alih itu, daerah-daerah itu direbut langsung oleh Inggris pada tahun 1811. Di

bawah residen Inggris bernama Philips yang dikuasai hingga tahun 1816 tetapi

setelah itu daerah-daerah itu kemudian dikembalikan lagi kepada Pemerintahan

Hindia Belanda.31Saat pemerintah Hindia Belanda kembali ke Sulawesi Selatan

untuk mengambil alih kekuasaan, ia dihadapkan dengan Kerajaan Bone yang

menolak dan menentang kehadirannya. Disamping itu juga dihadapkan dengan

sikap dari beberapa daerah bekas kekuasaannya yang menolak kehadiran kembali

pemerintah Hindia Belanda, seperti Kerajaan Gowa, Suppa, Agangniojo, dan

konfederasi Bangkala, Binamu, dan Laikang32.

Setelah pemerintahan Hindia Belanda kembali menguasai daerah-daerah

tersebut, pemerintah Hindia Belanda kemudian memperluas kekuasaannya dengan

menguasai kekuatan senjata dan mempertegas taktik untuk memperkuat

pasukannya dalam menghadapi lawannya. Dengan semua kekuasaannya inilah

Pemerintah Hindia Belanda kemudian mampu memulihkan beberapa daerah

kekuasaanya dari daerah pinjaman menjadi daerah yang berdiri sendiri dan

berkedudukan sebagai kerajaan sekutu dari Pemerintahan Hindia Belanda.

31
Edward L. Poelinggomang,Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar
1909-1942,op.cit.,hlm. 39.
32
Ibid., hlm. 40.

41
Pada tahun 1824 Pemerintah Hindia Belanda menata daerah-daerah yang

dinyatakan berada dibawah kekuasaannya dan mengumumkan bahwa

Pemerintahan Makassar dan Daerah Bawahan dibagi dalam lima wilayah

administrasi pemerintahan yaitu:

1) Makassar, meliputi kota pelabuhan Makassar, Fort Roterdam, kota

Vlaardingen dan kampung-kampung disekitarnya dan pulau-pulau yang

terletak didepan kota pelabuhan Makassar,

2) Distrik-distrik dibagian selatan meliputi distrik-distrik Aing Towa,

Bontolebang, Galesong, Polombangkeng, Sawakong, Mamuju, Balo,

Lengkese, Takalara, Topejawa, dan Lakatong.

3) Distrik-distrik bagian utara, meliputi distrik-distrik Maros, Bontoa,

Tangkutu, Tanralili, Sumbang, Rilaut, Tomboro, Riraya, Sodiang,

Malawa, Camba, Baloci, Laiya, Labuaya, Bungoro, Pamgkajene, Bungo,

Labakkang, Marang, Kalukua, Sigeri dan Katena.

4) Bulukumba dan Bonthain, meliputi distrik-distrik Bonthain dan

Tompobulu, Gantarang, Tala, Palewooi, Tanah beru, Bontotanga, Lemo-

lemo, Ujung Loe, Weiro, Langa-langa, Tiro dan Bira.

5) Selayar meliputi distrik-distrik Bonto Bangung, Tanete, Batang Mata,

Bukiet, Mare-mare, Bonea, Opa-opa, Ga ntarang, Bulo-bulo, Laiyolo,

Banto Baros, Barang-barang, Bangon dan Onto.33

Pelaksanaan pemerintahan diberikan pada Gubernur sebagai pimpinan

pemerintahan Makassar dan daerah bawahan. Gubernur membawahi lima orang

33
Ibid.

42
residen yang masing-masing ditempatkan pada setiap wilayah administrasi

pemerintahan. Setelah tahun 1860, pemerintah Hindia Belanda melangkah untuk

melaksanakan pengawasan kekuasaan di daerah-daerah yang disebutkan diatas.

Usaha penguasaan langsung seluruh wilayah di Sulawesi Selatan muncul setelah

pecahnya pemberontakan Karaeng Bonto-bonto di wilayah bagian pemerintahan

distrik-distrik bagian utara pada tahun 1872. Menjelang akhir abad ke-19,

pemerintah Hindia Belanda mulai mendesak kerajaan Gowa agar mengakui dan

menyatakan berada di wilayah pemerintahan Hindia Belanda. Ketentuan ini

terdapat pada pembaruan perjanjian Bongaya yang disodorkan dan ditandatangani

oleh raja Gowa Sultan Muhammad Idris, I Malingkang Daeng Nyonri Karaeng

Katangka (1893-1895) pada 26 Oktober 1894.34

Pada tahun 1903 terjadi perubahaan ketatanegaraan Hindia Belanda

dengan dikeluarkannya Undang-undang Desentralisasi (Wet Houdende

Decentralisatie Van Het Bestuur in Nederlandsch-Indie). Keluarnya Undang-

undang Desentralisasi ini didorong oleh gerakan Politik Etis untuk meningkatkan

tingkat kecerdasan dan memberikan hak-hak politik kepada pribumi dan juga

meringankan beban pemerintahan Hindia Belanda di Batavia. Undang-undang

Desentralisasi ini membuka pemerintah yang terpusat dijalankan berdasarkan asas

Desentralisasi dengan dibentuknya daerah-daerah otonom. Pembagian daerah-

daerah tersebut berdasarkan wilayah-wilayah administrasinya yaitu

34
Ibid,. hlm. 46.

43
Gewesten,Afdelingen, Onderafdelingen, Regentscheappen, Districten,

Onderdistricten, yang terakhir dikepalai oleh pamong praja pribumi35.

Sebagai pelaksana Undang-undang Desentralisasi maka keluarlah Besluit

van den Gouverneur General(Surat keputusan Gubernur Jenderal) tanggal 12

Februari 1905 yang mengatur mengenai pembentukan, susunan, kedudukan, dan

wewenang dewan dalam mengelola keuangan yang terpisah dari pusat. Kota

Makassar yang sebelumnya adalah sebuah distrik dalam wilayah Sulawesi, maka

mulai dari tanggal 1 April 1906 Kota Makassar secara resmi telah menjadi

Gemeente(Kotamadya) yang merupakan tonggak sejarah berdirinya pemerintahan

Kota Makassar. Adapun wilayah Gemeente Kota Makassar meliputi, Makassar,

Kalu-kalukuang, dan Masalima termasuk Lae-lae dan Moreaux36.

Dengan terbentuknya Gemeente Makassar maka diangkatlah seorang

pejabat Burgemeester van Makassar (walikota praja) pada tanggal 15 Agustus

1918 yaitu, seorang seniman theater dan musik yang bernama Dambrink. Pada

awal masa jabatan Dambrink, kota Makassar mulai dibangun sesuai dengan

perencanaan Kota. Salah satunya adalah perencanaan tata kota dan meningkatkan

perbaikan jalan di Makassar tahun 192037.

Pada permulaan abad ke 20 tepatnya 1905 setelah penaklukan yang

dilakukan pasukan Sulawesi Selatan, maka Sulawesi Selatan dan Sulawesi

Tenggara secara utuh telah dikuasai sepenuhnya oleh pemerintahan Hindia

35
Purnawan Basundoro, Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta:Ombak, 2012), hlm. 100.
36
Ibid., hlm. 101.
37
Nur Kasim, Sejarah Kota Makassar https://nurkasim49.blogspot.co.id/2011/12/iii.html,
diakses pada pukul 01:33 tanggal 11 Januari 2018.

44
Belanda. Dengan itu segala peraturan, mulai dari penataan, penyediaan serta

mengurusi pelaksanaan kekuasaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah

Hindia Belanda. Wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara dijadikan satu wilayah

pemerintahan yang dikenal dengan Pemerintahan Sulawesi dan Daerah Bawahan.

Wilayah itu dibagi dalam tujuh bagian pemerintahan (Afdeeling) yaitu: Makassar,

Bonthain, Bone, Pare-Pare, Luwu, Mandar, dan Buton secara resmi pada tahun

1911. Kepala pemerintahan diembankan kepada seorang pejabat pemerintahan

yang disebut Gubernur. Dibagian pemerintahan Afdeeling ditempatkan seorang

Assistent Resident yang berkedudukan sebagai pemimpin pemerintahan di wilayah

itu. Bagian pemerintahan dibagi kedalam beberapa cabang pemerintahan

(Onderafdeeling). Pada setiap cabang pemerintahan ditempatkan seorang

Konreleur untuk melaksanakan pemerintahan dan kekuasaan. Berdasarkan

peraturan penataan pemerintahan dalam lembaran Staatblad 1910, No. 573, setiap

cabang pemerintahan dibagi lagi kedalam beberapa wilayah administrasi

pemerintahan yang disebut Distric. Di wilayah distrik inilah berfungsi seorang

pejabat pribumi38.

Pada tahun 1915 Gubernur Th. A. L. Heyting mengusulkan agar wilayah

bagian pemerintahan Makassar dan Bonthain dibagi menjadi tiga wilayah

pemerintahan. Usulan tersebut didasari oleh pertimbangan bahwa wilayah bagian

Makassar terlampau luas bagi seorang asisten residen yang juga menjabat sebagai

Ketua Dewan Perwakilan Daerah Kotapraja Makassar.39Hingga pada tahun 1916,

38
Edward L. Poelinggomang,Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar
1909-1942,op.cit.,hlm. 83-84.
39
Memory van overgave, Agustus 1913-1916.

45
pemerintah Belanda mulai merubah perhatiannya dan berusaha menggunakan

bangsawan dalam pelaksanaan pemerintahan. Pada dasarnya wilayah distrik atau

daerah adat merupakan bekas kesatuan pemerintahan setempat yang mencakup

satu kesatuan Gaukang yang disebut Bori. Dengan menempatkan wilayah Bori

sebagai daerah adat, maka pemerintah akan memperkuat dan mempertahankan

kedudukan penguasa Bori dan menggeserkan kedudukan penguasa kerajaan.

Kedudukan kerajaan kemudian digantikan dengan cabang pemerintahan yang

ditempati oleh pejabat pemerintah Belanda, yaitu Kontrolir40.

Kemudian pada masa pemerintahan Gubernur J.L.M. Swaab (1933-1937)

terjadi perubahan penataan wilayah pemerintahan. Dimana perubahan ini

dilakukan mengingat bekas wilayah Kerajaan Gowa akan dijadikan daerah

berpemerintahan sendiri atau Swapraja, atau Gowa akan kembali menjadi

kerajaan. Perubahan demi perubahan yang terjadi dalam penataan pemerintahan

sesungguhnya terpaut pada ketersediaannya jumlah tenaga kerja yang dapat

digunakan untuk melaksanakan pemerintahan41.

Bagian pemerintahan dan cabang pemerintahan ditempati oleh pejabat

pemerintahan Belanda, cabang pemerintahan merupakan wilayah pemerintahan

terkecil bagi pejabat pemerintahan Belanda dan pemimpinnya merupakan pejabat

pemerintahan terendah. Sedangkan diwilayah daerah adat ditempatkan pejabat

pemerintah bumiputra dan pimpinan pemerintahannya merupakan pimpinan

40
Edward L.Poelinggoman, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1909-
1942,op.cit.,hlm. 93.
41
Ibid.,hlm.90.

46
pemerintahan tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jenjang kepemimpinan

pribumi berada dibawah jenjang kepemimpinan pemerintah Belanda42.

42
Ibid., hlm. 95.

47
Struktur Pemerintahan Hindia Belanda dan Swapraja Setelah 190643

Gubernur Jendral
Hindia Belanda

Gewest
Gubernur
(Provinsi)

Resdensi Residen
Pemerintah
Hindia
Belanda Asisten
Afdeling
Residen

Onder
Kontroleur
Afdeling

Regent
Distrik
(Pribumi)

Pamong Praja/ Kampong Kepala


Pribumi Kampung

Rakyat

43
Edward L. Poelinggomang,Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar
1909-1942,op.cit., hlm. 84-86. Lihat juga pada buku Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis
Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis, op.cit., hlm.569-576.

48
BAB III

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI SULAWESI SELATAN

3.1 Munculnya Poltik Etis

Pada tahun 1899 terbit sebuah artikel oleh Van Deventer berjudul Hutang

Kehormatan dalam majalah De Gids yang mengemukakan bahwa keuntungan

yang diperoleh dari Indonesia selama ini hendaknya dibayar kembali dari

perbendaharaan negara Belanda. Pada tahun 1901 buah pemkiran itu bergema

dalam pidato Ratu Wilhelmina1.

“Negeri Belanda mempunyai kewajiban untuk mengusahakan kesejahteraan serta

perkembangan sosial dan otonomi bagi penduduk Hindia”

Van Deventer menganjurkan program yang ambisius untuk memajukan

kesejahteraan rakyat. Ia ingin memperbaiki irigasi agar meningkatkan produksi

pertanian, menganjurkan transmigrasi dari pulau Jawa yang terlampau padat

penduduknya, Pendidikan dan emansipasi bangsa Indonesia berangsur-angsur

yang menjadi inti dari Politik Etis442. Tujuan Politik Etis dapat disimpulkan

sebagai usaha mencapai kesejahteraan melalui irigasi, transmigrasi, reformasi

pendewasaan, perwakilan, dan pendidikan.

Semua pendukung Politik Etis menyetujui ditingkatkannya pendidikan

bagi bangsa Indonesia, tetapi ada dua aliran pemikiran yang berbeda mengenai

jenis pendidikan yang bagaimana dan untuk siapa. Snouck Hurgronje dan direktur

pendidikan Etis yang pertama (1905), J.H. Abendanon, mendukung pendekatan

yang bersifat elit. Mereka menginginkan pendidikan yang lebih bergaya Eropa
1
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 15.
2
Ibid., hlm. 16.

49
dan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya bagi kaum elit Indonesia yang

dipengaruhi Barat, yang dapat mengambil alih banyak dari pekerjaan yang

ditangani para pegawai pemerintah yang berkebangsaan Belanda. Dengan

demikian, ini akan menciptakan suatu Elit yang tahu berterima kasih dan bersedia

bekerja sama, memperkecil anggaran belanja pemerintah, mengendalikan

fanatismeIslam, dan akhirnya menciptakan suatu keteladanan yang akan menjiwai

masyarakat Indonesia golongan bawah. Sedangkan Idenburg dan Gubernur

Jendral Van Heutsz (1904-9) mendukung pendidikan yang lebih mendasar dan

praktis dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya bagi golongan bawah.

Pendekatan elitis diharapkan menghasilkan pimpinan bagi zaman pencerahan baru

Belanda-Indonesia, sedangkan pendekatan yang merakyat diharapkan

memberikan sumbangan secara langsung bagi kesejahteraan. Tidak satu

kebijakanpun dijalankan dengan dana yang cukup memadai, dan tidak satupun

menghasilkan apa yang diinginkan oleh para pendukungnya. Dibawah Abendanon

pendekatan Elitislah yang diutamakan3.

3
Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta:Serambi,2005), hlm. 329.

50
Table 3.1
Distribusi Guru di Sekolah Negeri Berdasarkan Ijzahnya di Hindia Belanda, 1930-19404

Ijazah 1930 1935 1940

Guru
Jenis Sekolah Negeri

1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7

A 22 157 163 463 24 148 135 447

B 7 63 16 9 9 88 22 13

C 42 237 147 447

D 3 304 173 452 3 36 125 285 1 38 129 349

E 98 200 35 302 82 61 453 7

F 27 79 51 327 1 48 368 62

G 18 200 660 31 532 35 633 36 22 461 19

H 37 1192 1764 1 44 1381 2912 64 334 549 3608 65 2 182

I 13121 7 47 15276 34 17548 36

J 1465 1529 4832 2 3116 2225 108 1 2787 2909 75 1

K 8574 7 15 1 1 2

4
Agus Suwignyo, The Great Depression and the changing trajectory of public education policy in Indonesia 1930-1942, (Singapore: Journal of
Southeast Asian Studies, The National University of Singapore, 2013), hlm. 477.

51
Notes :

1= Sekolah Desa, 2= Sekolah Lanjutan, 3= Sekolah Kelas Dua, 4= Vervolgschool,

5= HIS, 6= HCS, 7= ELS.

A= Sertifikat Guru Kepala Sekolah Eropa, B= Sertifikat Kepala Sekolah Adat, C=

Sertifikat Kepala Sekolah, D= Sertifikat Eropa untuk Asisten Guru, E= Sertifikat

HKS, F=Sertifikat HIK/HCK, G= Sertifikat Kweekschool, H= Sertifikat

Normaalschool, I= Sertifikat untuk Guru Sekolah Desa, J= Sertifikat Asli untuk

Asisten Guru / Goeroe Bantoe ,K= Tanpa Ijazah.

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah guru dan kompetensinya

mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Dimana, dari tahun 1930 guru

yang memiliki ijazah terus meningkat hingga tahun 1940 dan guru yang tidak

memiliki ijazah nyaris tidak ada, karena dari tabel diatas menunjukkan bahwa

tahun 1940 hanya tercatat 1 orang guru di sekolah HIS dan 2 orang guru di

sekolah ELS yang tidak memiliki ijazah.

Tabel 3.2:
Sistem dan Jumlah Pendidikan Hindia Belanda : Sekolah, Murid, dan Guru
1900-19405

Tahun Sekolah Dasar Pribumi (Bahasa Daerah Sekolah Dasar Belanda Sekolah
dan Melayu) Menengah Umum
Belanda
Volks Sekolah Vervolg Shakel HIS HCS ELS MULO AMS
School Kelas School School
(1914) (1908) (1916) (1918)
Satu (1915)
(1907) (1921)
dan

5
Agus Suwignyo, op.cit., hlm. 470.

52
Dua
(1893-
1930)
1900 Sekolah 533 169
Murid 61.742 15.462
Guru 470 597
1905 Sekolah 674 184
Murid 95.075 19.382
Guru 572 656
1910 Sekolah 1.161 1.021 17 191
Murid 71.239 151.46 2.740 21.774
6
Guru E= 116 823
I= 820
1915 Sekolah 4.448 1.202 102 27 195 13
Murid 310.86 186.33 19.719 5.414 25.002 1.043
7 0
Guru 6.327 4.921 741 165 895 69
1920 Sekolah 7.771 1.845 132 34 196 18 2
Murid 423.31 241.41 26.659 7.975 27.160 2.634 82
4 4
Guru 9.407 7.044 938 191 839 E= 134 20
I= 22
1925 Sekolah 10.769 2.176 734 13 156 41 182 24 2
Murid 734.49 271.11 59.190 706 36.196 10.142 26.173 67.421 255
5 5
Guru 14.641 8.012 1.930 E= 259 256 836 E= 262 27
I= 865 I= 18
1930 Sekolah 13.716 1.732 1.047 43 192 65 196 35 7

53
Murid 1.074.7 308.31 91.308 3.658 38.708 12.998 24.409 7.845 872
77 6
Guru 23.506 7.310 2.928 E= 44 E= 520 E= 310 914 E= 386 84
I= 131 I= 879 I= 19 I= 27
C= -28 C= 7 C= 102
1935 Sekolah 14.482 51 2.338 190 62 170 32 5
Murid 1.404.6 9.809 194.542 3.057 40.926 12.806 22.828 5.584 1.005
08
Guru 28.076 208 5,812 E= 21 E=163 E= 236 E= 734 E= 206 E= 36
I= 88 I=1.034 I= 21 I= 5 I= 42 I= 2
C= 102 C= 1
1940 Sekolah 15.131 30 2.452 35 186 62 174 37 6
Murid 1.662.4 8.715 258.747 3.901 47.355 13.620 22.719 8.561 1.065
84
Guru 30.404 159 7.264 E= 24 E= 166 E=247 E=801 E=340 E= 51
I= 112 I=1.119 I=25 C=10 I= 41 I= 1
C= 1 C=113 C= 2

Note : E = Eropa
I = Indonesia
C = China
Data diatas menjelaskan dengan jelas mengenai perubahan jumlah

Sekolah, Siswa, dan Guru dari jenjang tahun 1900-1940. Dimana dari tahun 1900-

1930 terlihat pertumbuhan yang sangat pesat dari Sekolah Dasar Negeri (Baik

sekolah pribumi maupun sekolah Eropa), sedangkan tahun 1930-1935 mengalami

penurunan. Hal ini dikarenakan pemerintah melakukan pemotongan anggaran

pendidikan (1932), dan juga penutupan beberapa sekolah sejak tahun 1930.

Ditahun 1930 pemerintah lebih berfokus dengan mempekerjakan guru-guru

54
pribumi dengan gaji yang lebih rendah di sekolah-sekolah (HCS, ELS, MULO,

AMS, dan HIS) dibanding guru-guru Eropa6.

Pada tahun 1931 pemerintah membatalkan pembukaan 18 sekolah dasar

berbahasa Belanda, dan menyatukan beberapa sekolah HIS karena dianggap

terlalu kecil untuk dapat beroperasi secara independen. Hal ini merupakan dampak

dari depresi ekonomi pada pendidikan dan pelatihan guru di Indonesia. Dari tahun

1932-1933, sebanyak 13 sekolah public HIS mengalami penutupan7. Pada tahun

1935, jumlah guru dibeberapa sekolah Belanda mengalami peningkatan. Jumlah

guru-guru yang berpangkat tinggi dan telah disertifikasi meningkat. Pemerintah

kemudian memutuskan untuk mengurangi populasi mereka dan menggantinya

dengan rekan-rekan pribumi dan Cina. Guru-guru HIS yang memegang sertifikasi

biasa dan dapat dibayar dengan gaji yang lebih rendah, lebih diutamakan dari pada

mereka yang memiliki sertifikasi dari Kweekschool8. Setelah Desentralisasi

pendidikan pada tahun 1937, wilayah otonom didelegasikan wewenang untuk

membentuk badan pengajaran mereka sendiri dan membuat peraturan daerah yang

sesuai dengan kerangka pengajarannya, kompetensi guru, ukuran minimum staf

pengajar, dan alat pembelajaran9.

6
Ibid, hlm. 472.
7
Ibid, hlm. 473.
8
Ibid, hlm. 476.
9
Ibid, hlm. 487.

55
3.2 Pendidikan Tradisional
Sebelum pendidikan Modern masuk di Sulawesi Selatan, masyarakat

belum membutuhkan pendidikan sebagai sumber pengetahuan. Kepintaran atau

kepandaian yang mereka butuhkan hanyalah terbatas pada pertanian, pertukangan,

nelayan dan perdukunan. Orang tua pada saat itu mendidik anaknya berdasarkan

pengalaman yang diperoleh secara turun temurun. Setelah agama Islam masuk

seperti halnya di daerah Bantaeng pada abad ke-17, tentunya ada perkembangan

dalam hal tujuan dan tempat pelaksanaan pendidikan yang beradaptasi dengan

filsafat dan ajaran agama Islam itu sendiri. Pendidikan agama Islam dilaksanakan

di Surau-surau ataupun Langgar-langgar di Pesantren ataupun Pondok-pondok.

Pendidikan keislaman mulai dilakukan dengan berbagai cara misalnya, melalui

pesan-pesan yang disampaikan lewat dialog, tablig atau dakwah, pemberian

contoh-contoh lewat perbuatan, pendidikan tasawuf dan pendidikan membaca Al-

Qur’an. Pendidikan membaca Al-qur’an dilakukan dibeberapa tempat misalnya,

dirumah, anak-anak diajari oleh orangtuanya yang sebelumnya sudah mendapat

pendidikan mengaji10.

Dalam pendidikan tradisional masyarakat Sulawesi Selatan sudah lama

mengenal adanya pendidikan secara dengan adanya istilah To Panrita11dan

10
Nurlinda, Sejarah Pendidikan di Bonthain pada Zaman Hindia Belanda 1907-1942,
(Makassar: Skripsi di Universitas Hasanuddin, 2014), hlm.33.
11
To Panrita adalah orang pintar, pemuka agama, ulama, atau orang yang alim, orang
yang menangani urusan keagamaan rakyat yang berhubungan dengan masalah-masalah
kerohanian. Sumber: Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik
Orang Bugis , (Jakarta: Ombak, 2015),hlm. 425.

56
ToSulessana12 yang memiliki gelar untuk orang-orang pandai dan terpelajar yang

cukup dihargai kehadirannya dalam masyarakat. Adanya sistem pendidikan di

Sulawesi Selatan dapat dibuktikan dengan dua hal, yaitu dengan Aksara Lontara

yang telah ada sejak abad ke 15 yaitu pada zaman La Galigo, dan adanya

pengajaran cara membaca huruf Al-Qur’an dalam Bahasa Bugis yang biasa

disebut mengaji.

Di Sulawesi Selatan pendidikan Pangadereng dilakukan melalui

pewarisan nilai berupa nasihat, pesan, dan pemberian contoh-contoh praktis.

Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya Bugis-Makassar telah mengenal proses

belajar mengajar berupa pewarisan norma-norma dan aturan-aturan yang

mengatur tingkah laku manusia sebagai individu dan selaku warga bermasyarakat.

Seperangkat norma dan aturan hidup bermasyarakat dalam kehidupan masyarakat

Bugis-Makassar itulah yang disebut dengan Pangadareng. Pangadareng sendiri

dibangun oleh beberapa unsur yang saling berkaitan satu sama lain dan saling

menguatkan unsur tersebut, yang meliputi:

 Ade, adalah salah satu aspek Pangadereng yang mengatur pelaksanaan

sistem norma dan aturan-aturan adat dalam kehidupan orang Bugis.

Pelanggaran terhadap Ade akan diputuskan dalam unsur bicara. Ade

berfungsi preventif dalam mengatur pergaulan hidup dan untuk menjaga

kelangsungan hidup masyarakat dan kebudayaan.

12
To Sulessana adalah manusia yang memiliki tiga sifat yang mencerminkan kecerdasan
dan kearifan untuk melihat latar belakang yang memiliki kemampuan untuk berfikir terhadap
segala sesuatu yang akan dikerjakan.

57
 Wari, adalah perbuatan Mappalaiseng(membedakan), Wari merupakan

suatu perbuatan yang selektif, perbuatan menata atau menertibkan

sehingga tidak bertabrakan antara satu dengan yang lainnya. Secara

umum Wari berfungsi sebagai pranata yang menata negara.

 Rappang, adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan

adat di negeri setempat, atau membandingkan segala putusan yang telah

diambil di negeri tetangga atau membandingkan segala putusan-putusan

yang telah diambil, Rappang berfungsi sebagai stabilisator untuk menjaga

kesinambungan pola peradaban.

 Bicara, adalah aturan yang menyangkut peradilan dalam arti luas. Bicara

berfungsi represif, yaitu untuk mengembalikan sesuatu pada tempatnya.

 Sara, adalahsyariat islam pada awalnya usur Pangadereng hanya ada

empat, tetapi setelah islam masuk unsur Sara dimasukkan menjadi bagian

dari Pangadereng13.

Pangadereng dikatakan sebagai wujud kebudayaan yang mencakup

pengertian sistem norma dan aturan-aturan adat serta tata tertib, selain itu

mengandung unsur-unsur yang meliputi seluruh kegiatan hidup manusia dalam

bertingkah laku dan mengatur kehidupan. Pangadereng menjadi konsep utama

pendidikan sebelum islam masuk, bahkan setelah islam masuk dalam kehidupan

13
Nurlinda, op.cit., hlm. 51.

58
masyarakat Bugis-Makassar unsur Pangadereng diintegrasi oleh nilai-nilai islam

dan menjadi ajaran pokok dalam pendidikan14.

Dalam pendidikan tradisional jauh sebelum Pemerintahan Belanda

memerintah secara langsung, masyarakat di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan

telah mengenal yang namanya pendidikan Istana. Pendidikan Istana adalah

pendidikan yang berkaitan dengan tata cara pergaulan dan adab dalam kehidupan

istana, tata laksana dan tata kelola kenegaraan hingga unit pemerintahan terkecil

ditingkat Bori/Wanua. Keluarga raja diajarkan bagaimana bersikap dalam

menerima penghormatan dari rakyatnya dan bagaimana bersikap yang patut

ditunjukkan seorang raja kepada rakyatnya. Bagi keluarga raja diangkatlah

seorang ahli tata cara istana yang disebut Gurunandi (Gurunya Andi/ anak

bangsawan terkemuka). Selain pendidikan mengenai tata cara berperilaku, anak

seorang raja atau bangsawan juga dilatih agar mereka memiliki kemampuan dan

ketangkasan. Mereka diajari ketangkasan seperti menunggang kuda, beladiri, dan

memanah. Hal ini dimaksudkan agar kelak jika mereka mewarisi tahta kerajaan,

mereka mampu menjadi pemimpin dan melindungi negerinya dari berbagai

ancaman dari luar, sehingga pemilihan calon raja ketangkasan dan kemampuan

juga ikut menentukan. Jika terdapat dua orang yang memiliki darah

kebangsawanan yang sama, maka yang akan dipilih adalah dia yang memiliki

kemampuan pribadi. Namun semenjak kedatangan Hindia Belanda pendidikan

14
Mattulada, Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis ,
(Jakarta: Ombak, 2015), hlm. 339.

59
seperti ini tidak lagi dominan dan digantikan dengan pendidikan modern yang

berbasis sekolah15.

3.3 Pendidikan Modern di Sulawesi Selatan

Pendidikan Modern bercorak Belanda yang diterapkan di Indonesia tidak

dapat dipisahkan dengan tujuan politiknya yaitu untuk mempertahankan

kekuasaan di daerah jajahannya. Tujuan utama ini tidak berubah biarpun di

Belanda terjadi pergeseran dari Politik Liberal ke Politik Etis. Oleh karena itu,

pendidikan menjadi salah satu alat yang sangat penting untuk keberlangsungan

kekuasaan kolonial di Indonesia. Dalam hal ini yang sangat penting adalah

mengisi kekurangan tenaga pegawai dalam birokrasi kolonial di tingkat bawah

atau menjadi pegawai pada perusahaan-perusahaan industri dan perdagangan

swasta yang erat hubungannya dengan pemerintah Hindia Belanda.

Penyelenggaraan pendidikan kolonial di Indonesia berorientasi pada prinsip-

prinsip Diskriminasi, Segregasi, dan non-Akulturatif. Prinsip-prinsip ini

direalisasikan dengan penyelenggaraan pendidikan yang dibedakan menurut

pembagian kelompok masyarakat kolonial, untuk masyarakat Eropa, Cina dan

kaum elit bangsawan dalam hal penggunaan bahasa pengantar dalam hal

pendidikan diberikan bahasa Belanda sedangkan untuk pribumi kebanyakan

diberikan bahasa pengantar daerah dan melayu. Sistem dualistik seperti inilah

yang merupakan ciri khas pendidikan pada masa kolonial.

15
Nurlinda, op.cit,. hlm 54.

60
Tabel 3.316

“Jumlah Sekolah dan Murid di Sulawesi Selatan hingga 31 Juli 1941”


Makassar Bonthain Bone Pare-pare Luwu

Sekolah Murid Sekolah Murid Sekolah Murid Sekolah Murid Sekolah Murid

Sekolah Kelas 1-3 Negeri 161 14,519 84 8,737 140 15,735 76 7,905 46 4,497
Berbahasa
Daerah Swasta 1 56 - - - - 3 300 82 7,174

Kelas 4-6 Negeri 17 1,944 7 865 10 1,383 8 923 5 711

Swasta - - - - - - - - 1 209

Jumlah : 179 16,519 91 9,602 150 17,118 87 9,128 134 8,335

Sekolah Dasar Negeri 3 679 - - - - 1 48 - -

Sekolah Swasta 1 272 - - - - - - - -


Berbahasa
Belanda Cina-Belanda 2 605 - - - - - - - -

Pribumi-Belanda (HIS) 2 441 - - 1 237 1 273 - -

Khusus (Anak-anak KNIL) 2 632 - - - - - - - -

Penghubung Negeri 2 194 1 120 - - - - 1 97

Swasta - - - - - - - - 1 65

Dasar Lanjutan (MULO) 1 524 - - - - - - - -

Jumlah Sekolah Belanda: 13 3,347 - 120 1 321 2 321 2 162

JUMLAH: 192 19,866 92 9,722 151 9,449 89 9,449 136 12,753

16
Barbara Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII, (Jakarta: Grafitipers, 1989), hlm. 81.

61
Di Sulawesi Selatan arus balik politik Belanda terjadi tahun 1903 ketika

mereka menyadari bahwa bukan lagi waktunya sekarang untuk menerapkan

politik penjajahan murni dengan menguras habis-habisan kekayaan alam dan

manusia daerah jajahan. Melainkan dengan memikirkan juga kesejahteraan rakyat

dan pendidikannya. Inilah mengapa kemudian lahir sebuah gerakan yang

dinamakan Politik Etis.

Dampak Politik Etis di Sulawesi Selatan dalam bidang pendidikan yaitu,

telah didirikannya beberapa sekolah-sekolah baik untuk anak pribumi maupun

anak Eropa, dan Cina, seperti:

 E.L.S (Europesche Lagere School)=Sekolah dasar Eropa

 H.C.S (Hollands Chinese School)=Sekolah untuk orang Cina

 HIS (Hollands Inlandsche School)=Sekolah untuk orang Pribumi

 Volkschool= Sekolah Rakyat

 Ambonsche School=Sekolah untuk orang Ambon

 MULO(Meer Uitgrbreid Lager Onderwijs)=Sama dengan SMP sekarang

 Kweekschool=Sekolah Guru

 OSVIA(Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaran)= Sekolah

Pamong Praja

 Ambacht School=Sekolah Pertukangan / Kejuruan

 A.M.S(Algemene Middelbare School)= Sama dengan SMP (4 Tahun)

62
 H.B.S (Holland Burgerlijk School) = Sekolah menengah untuk rakyat

kelas tinggi/SMP/SMA (5 Tahun)17.

Tentang pendidikan, hanya di Makassar terdapat sekolah-sekolah tingkat

menengah, seperti H.B.S, A.M.S, dan OSVIA. Disamping sekolah dasar yang

memperggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar seperti H.I.S dan

Schakel School. Adapula sekolah khusus untuk murid-murid suku Ambon yang

disediakan sekolah yaitu Ambonsche School dan untuk orang Cina adapula

disediakan Hollands Chinesche Europeesche School dan Europeesche

Schooluntuk tingkat lanjutan. Daerah-daerah diluar kota Makassar hanya terdapat

sekolah dasar (Vervolg School dan Volks-School) dengan catatan bahwa di Maros

dan Bonthain pernah ada HIS tetapi pada tahun 1933 dibubarkan. Yang bertahan

sampai pecahnya Perang Dunia II adalah HIS di Watampone.

Sekolah dasar Eropa (Europesche Lagere School= ELS) adalah sekolah

untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak Eropa dan Mestiso(Peranakan),

pemerintah kolonial mendirikan sekolah Belanda atau Europesche Lagere School

(ELS) yang pertama di Batavia tahun 181718. Di Makassar ELS berdiri di Krida

(eks Hotel Marannu, Jalan Sultan Hasanuddin) yang juga biasa dipergunakan

sebagai tempat pertemuan pejabat pemerintah. Sejak tahun 1928 sampai 1942

sekolah ini bertambah menjadi empat buah. Sekolah terakhir merupakan sekolah

swasta yang didirikan oleh orang-orang Katolik Roma. Namun dalam

17
Sejarah Perkembangan Pemerintahan Departemen dalam Negeri di Provinsi Daerah
Tingkat I Sulawesi Selatan (Sul-Sel: Pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan,
1991), hlm. 45.
18
S. Nasution, op.cit, hlm. 90.

63
kenyataannya, sekolah yang didirikan pertama untuk mendidik anak-anak Eropa

dan Mestiso ini tidak dapat menutup diri dari masuknya anak-anak pribumi dan

timur asing lain. Hanya saja, ELS yang dapat dimasuki oleh anak-anak pribumi

adalah ELS kedua dan Meisjesschool. Tidak dapatnya anak-anak pribumi

memasuki ELS pertama berkaitan dengan keengganan orang tua anak-anak Eropa

mencampurkan anaknya dengan anak-anak pribumi. Mereka yang memasuki ELS

kedua dan Meisjesschool berasal dari golongan atas, bangsawan atau orang kaya,

sebab hanya mereka yang mampu membayar uang sekolah dan biaya tambahan

pelajaran bahasa Belanda yang dilaksanakan oleh Algemeen Nederlandsch

Verbonds19agar bisa bersekolah di ELS.

Tabel: 3.4
Jumlah Siswa Sekolah Dasar Eropa (Europesche Lagere School) di
Makassar20
Tahun Jumlah Jumlah Siswa Asal Total
Guru
Membayar Gratis Total Klas Klas Klas (L) (P) (T)*
Bawah Menengah Atas

1879 8 139 109 248 116 90 42 141 107 7

1885 13 176 100 276 147 90 39 157 119 25

19
Algemeen Nederlandsch Verbonds- A.N.V (Himpunan Umum Belanda) merupakan
lembaga yang bertujuan mempertahankan dan menyebarluaskan bahasa Belanda dan
mempertahankan kepentingan bangsa Belanda. Lembaga ini didirikan pada tahun 1897 di
Doordrecht dengan Kern sebagai ketua pertamanya. Lembaga ini memiliki cabang Hindia Belanda
yang didirikan di Batavia pada tahun 1889. Sejak didirikannya, cabang Hindia Belanda sangat
memprofilkan dirinya sebagai ‘Serikat Bangsa’ dan secara intensif mencampuri segala sesuatu
yang berkaitan dengan bahasa Belanda, seperti Bahasa Belanda di ELS, termasuk di Makassar.
Untuk lebih jelas Lihat pada buku Kees Groeneboer, Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia
Belanda 1600-1950, (Jakarta: Erasmus Taalcentrum, 1995), hlm. 235-242. Lihat juga pada buku
Sarkawi Husain, Sejarah Sekolah Makassar (Ditengah Kolonialisme, Pertumbuhan Pers dan
Pembentukan Elit Baru, ( Makassar: Inninawa, 2015), hlm. 66.
20
Sarkawi Husain, Sejarah Sekolah Makassar (Ditengah Kolonialisme, Pertumbuhan Pers,
dan Pembentukan Elit Baru 1876-1942), (Makassar: Ininnawa, 2015),hlm. 64.

64
1886 12 162 117 279 137 97 45 149 130 20

1887 11 155 128 283 138 105 40 146 137 15

1889 10 138 129 276 136 98 33 158 109 19

1890 10 140 121 261 137 88 36 153 108 20

1917 14 339 123 462 t.t t.t t.t 256 206 32

1925 17 553 135 688 t.t t.t t.t 380 308 67

t.t = tidak tersedia


T*= Total jumlah siswa pribumi dan Timur Asing

Dalam Staatsblad Tahun 1893, No.125 disebutkan bahwa pendidikan

dasar di Hindia Belanda dibedakan atas Sekolah Dasar Kelas Satu (De Eerste

Klasse School) yang diperuntukkan bagi anak-anak para tokoh pemuka dan anak

terhormat pribumi21. Sekolah Dasar Kelas Dua (De Tweede Klasse School) yang

diperuntukkan bagi anak pribumi pada umumnya. Sekolah kelas satu didirikan di

ibukota keresidenan, kewedanan atau sederajat dan dikota-kota pusat perdagangan

dan kerajinan atau di tempat-tempat yang dianggap perlu. Pendidikan disekolah

ini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan administrasi pemerintahan,

perdangangan, dan perusahaan. Oleh itu jenis sekolah ini ditempatkan dalam

sistem pendidikan pribumi, maka tidak ada kesempatan bagi seorang Indonesia

melompat dari sistem ini ke sistem Eropa yang paralel. Ini merupakan satu-

21
Ibid, hlm. 54.

65
satunya lembaga untuk menuju ke pendidikan lanjutan. Untuk itu pada tahun

1914, Sekolah Kelas Satu diubah menjadi Hollands Inlandsche School (HIS)22.

Sekolah Dasar Kelas Dua yang diperuntukkan bagi anak pribumi pada

umumnya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi masyarakat

biasa. Akan tetapi sekolah ini tidak berkembang menjadi sekolah umum bagi

seluruh rakyat sehingga kemudian dipersoalkan. Perubahan pandangan ini timbul

karena perkembangan Sekolah Kelas Dua yang tidak diduga sebelumnya. Oleh

karena programnya diperluas dan sekolah ini menjadi sama dengan Sekolah Kelas

Satu maka pemerintah tidak dapat memikul akibat-akibat finansial dan sosial

politiknya. Keuangan pemerintah tidak mengizinkannya mengeluarkan

pengeluaran yang banyak.Bahkan pada tahun 1915 pemerintah meminta

sumbangan untuk pendidikan masyarakat kepada kepala Kabupaten dan

Kecamatan23. Keberatan lain adalah bahwa perluasan Sekolah Kelas Dua yang

cepat menimbulkan bahaya terbentuknya sejumlah besar manusia yang

menjauhkan diri dari kehidupan desa dan pekerja kasar yang menginginkan

pekerjaan kantor pada pemerintah. Disamping itu, dikhawatirkan terbentuknya

kelompok intelektual menderita frustasi yang dapat membahayakan pemerintahan

kolonial Belanda. Dengan alasan itu, maka Sekolah Kelas Dua dianggap tidak

sesuai bagi seluruh rakyat.24

22
Ricklefs, op,cit,. hlm. 335.
23
Terjemahan Surat Edaran Gubernur Sulawesi Selatan, A. Couvreur Tahun 1904-1929,
hlm 35.
24
S. Nasution, op.cit,. hlm. 62.

66
3.3.1 Sekolah Kelas Satu (Eerste Klasse)

1) Sekolah Cina Berbahasa Belanda (Hollandsch Chineesche School- HCS)

Pada tanggal 12 Juli 1908 pemerintah membuka Chineesche School di

Jalan Timor. Tempat ini menjadi pusat perdagangan Kota Makassar yang

banyak dihuni oleh orang Tionghoa. Lama tahun pelajaran sekolah ini

adalah tujuh tahun. Selanjutnya, pada tahun 1920 dibuka satu lagi dengan

jumlah siswa pada akhir tahun tersebut sebanyak 33 orang25. Pada akhir

tahun 1916 HCS memiliki murid sebanyak 281 orang, sedangkan pada

tahun 1917 memiliki murid sebanyak 290 orang yang terdiri atas 271

murid laki-laki dan 19 murid perempuan. Disamping Bahasa Belanda,

sekolah ini juga diajarkan pula Bahasa Inggris. Hal ini dilaksanakan

mengingat Bahasa Inggris sangat penting bagi perdagangan. Kursus yang

dilaksanakan pada sore hari pada akhir tahun 1917 memiliki 66 siswa yang

terdiri atas 8 siswa Eropa dan 58 siswa Timur Asing. Jumlah sekolah

sampai tahun 1930 tetap bertahan sebanyak dua buah26.

2) Sekolah Pribumi berbahasa Belanda (Hollandsch Inlandsche School- HIS)

Sekolah ini diperuntukkan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia

asli. Pada umumnya disediakan untuk anak-anak golongan bangsawan,

tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri. Lama tahun pelajaran adalah

tujuh tahun dan didirikan pada tahun 1914. Untuk daerah Makassar HIS

dibuka pada tahun 1916. Kelebihan sekolah ini adalah adanya pemberian

25
Sarkawi, op.cit, hlm. 67.
26
Barbara Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII, (Jakarta:
Grafitipers, 1989), hlm. 74.

67
Bahasa Belanda yang bahkan menjadi bahasa pengantar pada kelas-kelas

lanjutan. Di Makassar, HIS didirikan tidak jauh dari Fort Rotterdam.

Dengan adanya HIS maka terbukalah kesempatan bagi anak Bugis-

Makassar dan pribumi lainnya untuk mempelajari Bahasa Belanda27.

3.3.2 Sekolah Kelas Dua (Inlandsche School)

Pada tahun 1904 pemerintah Hindia Belanda dengan resmi membuka

Sekolah Kelas Dua dengan nama Governement School, sekolah ini terletak di

dalam Kota Makassar (Butung Weg, sekarang Jalan Butung). Sekolah kedua

dibuka dijalan Amannagappa, dekat Lapangan Karebosi. Kemudian, sekolah

ketiga dibuka pada tahun 1910 disebelah selatan Kota Makassar, yaitu di Jongaya

dan Limbung. Karena beberapa alasan kemudian Sekolah Kelas Dua yang

dianggap tidak serasi bagi pendidikan umum seluruh rakyat, maka pemerintah

Belanda mencari jenis sekolah lain untuk penduduk pada umumnya yang tidak

mengharapkan pekerjaan kantor dan tidak mengasingkan orang dari lingkungan

aslinya. Pada tahun 1907 Gubernur Jendral Van Heutz memolopori Sekolah

Desayang didirikan, dipelihara, dan dibiayai oleh masyarakat desa, yang dapat

memberikan pendidikan secara besar-besaran dengan biaya sekecil mungkin.

Dengan didirikannya Sekolah Desa maka terjadi perubahan fungsi Sekolah Kelas

Dua. Sekolah ini tidak lagi menjadi lembaga pendidikan untuk rakyat pada

umumnya melainkan hanya untuk sebagian kecil saja.

Sekolah Desa (Volkschool) memiliki lama pendidikan tiga tahun dengan

kurikulum yang sederhana yang meliputi berhitung (Penambahan, pengurangan,

27
Sarkawi Husain, op.cit,. hlm.68.

68
perkalian dan pembagian), membaca (Meliputi huruf Latin dengan Bahasa

Melayu dan bahasa daerah dengan Aksara Lontara). Pada tahun 1920 jumlah

Volkschool terus bertambah. Hal itu dimungkinkan oleh kebijakan pemerintah

untuk membuka sekolah sambungan bagi lulusan Volkschool tersebut. Sekolah

sambungan itu dinamakan Vervolgschool atau disingkat VVS. Lulusan

Vervolgschool memiliki kualitas yang lebih baik dari Inlandsche School, karena

lulusan Volkschool yang melanjutkan ke VVS adalah mereka yang memiliki

motivasi yang kuat untuk melanjutkan sekolah. Disamping itu, mereka yang

menjadi siswa Vervolgschool berasal dari berbagai desa sehingga kelasnya lebih

dinamis, khususnya memungkinkan terjadinya persaingan untuk mendapatkan

nilai yang tertinggi. Tenaga pengajar selain berasal dari Makassar, terdapat juga

guru dari Ambon dan Manado. Menurut laporan umum tentang pendidikan pada

tahun 1926, guru-guru dari Ambon dan Manado tersebut memiliki cara

pengajaran yang memuaskan28.

3.3.3 Sekolah Peralihan (Schakelschool) dan Sekolah Khusus (Speciale School)

Schakelschool adalah sekolah peralihan dari Sekolah Desa. Tiga tahun

sekolah dasar dengan bahasa pengantar Belanda. Lama belajar lima tahun dan

diperuntukkan bagi anak-anak golongan pribumi. Sekolah ini diperkenalkan pada

tahun 1921, yang didalamnya murid-murid diberi pelajaran Bahasa Belanda yang

cukup untuk memungkinkan mereka memasuki sekolah dasar lanjutan berbahasa

Belanda (MULO).

28
Ibid., hlm.69.

69
Sekolah khusus yang dimaksud adalah Sekolah Ambon Belanda

(Hollandsch Ambonsche School), yaitu sekolah rendah untuk anak-anak orang

Ambon. Sekolah ini didirikan pada tahun 1906 dan 1907 didirikan dikampung

Tabaringan. Perkampungan Tabaringan, tempat HAS didirikan merupakan tempat

konsentrasi orang-orang Ambon di Makassar. Penduduk Makassar menyebut

sekolah ini dengan Sikola Ambon29.

3.3.4 Pendidikan Lanjutan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs)

MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) merupakan sekolah dasar

yang diperluas, sebagai kelanjutan dari sekolah dasar berbahasa Belanda. Lama

sekolah antara tiga sampai empat tahun. Sekolah yang didirikan pada tahun 1914

ini diperuntukkan bagi orang-orang Indonesia golongan atas, seperti orang-orang

Cina dan Eropa yang telah menyelesaikan Sekolah dasar mereka masing-

masing30. MULO adalah satu-satunya sekolah menengah yang pernah ada di

Makassar. Pendirian MULO di Makassar dilakukan pada tahun 1919-1920.

MULO didirikan sebagai lanjutan dari HIS (Hollandsch Inlandsche School),

sedangkan mereka yang berasal dari Inlandsche School atau VVS harus

menduduki lebih dahulu kelas persiapan (Voorklas) selama dua tahun. Pada tahun

1933-1934 MULO di Makassar digabungkan dengan OSVIA dengan menambah

satu kelas lanjutan. Hingga tahun 1942 saat masuknya Jepang di Sulawesi Selatan

sekolah MULO hanya terdapat satu di Makassar.

29
Ibid., hlm.71.
30
Ricklefs, op.cit., hlm. 239.

70
3.3.5 Pendidikan Kejuruan

Di Sulawesi Selatan terdapat juga Sekolah Kejuruan, seperti Keguruan,

Pertukangan, dan Pelayaran.

a. Kweekschool (Sekolah Guru)

Kweekschool di Makassar tidak dapat dipisahkan dengan peran

Matthes31. Pada tahun 1873, Matthes yang saat itu tinggal di Belanda,

setelah seperempat abad mempelajari Bahasa Makassar dan Bugis di

Sulawesi Selatan sebagai utusan Nederlandsch Bijbelgenootschap

(NBG)32oleh pemerintah diminta agar kembali ke Makassar dalam dinas

negara. Matthes ditugasi membuka Kweekschool bagi guru pribumi dan

untuk mendidik para juru bahasa di Makassar. Untuk membantu dinas

Matthes, pada tahun 1874 pemerintah Hindia Belanda mendatangkan

L.W.Th. Schmidt yang bekerja sebagai guru di Hindia dan memiliki ijazah

sebagai pegawai bagi Bahasa Melayu dan Bahasa Pribumi lainnya, dan

31
Benjamin Frederick Matthes lahir di Amsterdam pada 16 Januari 1818 dari perkawinan
H.J. Matthes dengan W.M.E. HAYER. Matthes adalah seorang ilmuwan yang karya-karya
akademiknya sangat dihormati. Hal itu tercermin dari pengangkatannya menjadi anggota
akademi pengetahuan Kerajaan Belanda pada tahun 1888 dan pemberian gelar Honoris Causa
dalam bidang ilmu sastra dan bahasa kepulauan Hindia Belanda pada tahun 1881. Matthes
meninggal di Nijmegan pada 9 Oktober 1908.
Aktivitas Matthes teletak dalam bidang bahasa, geografi dan etnografi Sulawesi Selatan. Puluhan
karyanya tersebar dalam bentuk buku dan artikel. Karya-karya tersebut antara lain: kamus
Makassar-Belanda dengan daftar kata-kata Belanda-Makassar, laporan nama-nama tanaman
dalam bahasa Makassar dan keterangan tentang atlas etnografi, uraian singkat tentang peta
Sulawesi yang disebut Omi. Untuk lebih jelasnya Lihat pada buku Sarkawi Husain, op.cit., hlm. 72-
73.
32
Nederlandsch Bijbelgenootschap(NBG) adalah lembaga Alkitab yang sangat disegani di
Amsterdam. NBG merupakan salah satu lembaga pendidikan yang dimiliki oleh negeri Belanda.
Untuk lebih jelasnya Lihat pada buku C.C. Berg, Ilmu-ilmu Kebudayaan Indonesia: Suatu
Metamorfose Selama Setengah Abad Peralihan, (Jakarta: Bhratara, 1984), hlm. 5.

71
pada tanggal 1 Oktober 1875 mereka berdua berangkat menuju Makassar

untuk melaksanakan tugasnya.

Pada Juli 1876, Matthes membuka Kweekschool yang oleh

penduduk disebut Sekolah Raja. Pada awalnya sekolah yang dibuka

Matthes yang bertujuan mencetak guru itu kesulitan mendapatkan murid.

Murid yang bersekolah di Kweekschool awalnya hanya 20 orang.

Kweekschool ketika pertama kali berdiri hanya memiliki 16 guru bantu, 16

pengurus pembantu, dan 5 juru bahasa, sementara tahun 1879-1880

sekolah ini memiliki 39 siswa dan 3 guru bantu33. Umumnya murid

sekolah ini berasal dari para keluarga raja atau kerabat raja yang pernah

memperoleh pendidikan rakyat dirumah masing-masing. Pada 31 Oktober

1879 atas permohonan sendiri Matthes mengundurkan diri sebagai direktur

dan digantikan oleh Schmidt. Tahun 1880 Matthes kemudian kembali ke

Belanda, sejak saat itu Kweekschool mengalami kemunduran drastis.

Kweekschool yang mula-mula bertujuan untuk mendidik guru pribumi,

guru bahasa, dan pegawai pribumi kini oleh pemerintah Hindia Belanda

dibatasi untuk mendidik calon guru saja34. Menurut pemerintah,

penciptaan juru Bahasa Bugis dan Makassar lebih baik dilakukan di Biro

pribumi Kantor Gubernur.

b. Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA)

OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) atau

Sekolah latihan bagi para pejabat pribumi memiliki masa studi selama
33
Sarkawi, op.cit, hlm. 74.
34
Ibid.

72
lima tahun dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda dan menerima

lulusan orang Indonesia yang telah menyelesaikan Sekolah Rendah Eropa

(ELS). Pada tahun 1927 sekolah ini direorganisasi, sehingga masa

pendidikan dikurangi menjadi tiga tahun dan menerima lulusan MULO.

Reorganisasi itu berkaitan dengan kebutuhan pemerintahan akan personil

pribumi yang memenuhi syarat bagi sistem pemerintahan modern yang

gencar dilaksanakan pada paruh pertama abad 20.

Di Sulawesi Selatan problem kekurangan guru merupakan masalah

serius dalam upaya meningkatkan jumlah sekolah dalam rangka

memajukan pendidikan. Disamping itu, mendidik anak-anak bangsawan

dan melatih para calon pegawai juga merupakan hal yang mendesak.

Untuk memenuhi kedua kebutuhan itu maka kombinasi untuk pegawai

negeri dan guru ditetapkanlah OSVIA di Makassar. Kombinasi tersebut

membuat OSVIA Makassar berbeda dengan OSVIA yang ada didaerah

lain. Sekolah yang resmi dibuka pada tanggal 17 Oktober 1910 ini

memiliki masa studi enam tahun dan menerima lulusan sekolah-sekolah

dasar berbahasa Belanda. OSVIA tidak hanya menerima murid-murid

yang berasal dari Makassar saja, tetapi juga dari Kalimantan Selatan dan

Timur, Timor, Manado, dan Ternate. Sekolah ini bertugas mendidik

terutama para putra kepala pribumi dan kaum bangsawan pribumi lainnya.

Problem kekurangan guru masih saja menjadi masalah utama di

Sulawesi Selatan. Hal ini terbukti dengan didirikannya satu sekolah guru

dengan menggunakan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya.

73
Sekolah tersebuh dinamakan Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK).

Guru-guru yang mengajar di sekolah ini pada umumnya berasal dari

Manado, Ambon, dan Belanda. Selain HIK didirikan pula Normaal School

(NS) yang bertujuan mendidik para guru bantu35.

Tabel 3.5 :
Jumlah siswa Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA)
Makassar
Berdasarkan daerah dan jurusan36

Tahun Total Asal Daerah Jurusan


Sulawesi Kalsel Timor Ternate Ambon Menado Calon Calon
& Pegawai Guru
Kaltim
1910 31 29 - 2 - - - 7 24
1911 48 t.t t.t t.t t.t t.t t.t t.t t.t
1912 66 37 23 5 - - 1 44 22
1913 82 44 31 5 - - 2 t.t t.t
1914 93 54 31 6 - - 2 t.t t.t
1915 96 58 27 7 2 - 2 41 55
1916 108 65 25 14 2 - 2 54 54
1917 111 64 26 19 2 - - 62 49
1918 111 64 26 19 2 - - t.t t.t
1919 115 66 31 17 1 - - t.t t.t
1920 123 74 35 13 1 - - 82 41
1921 120 71 40 9 - - - 78 42
1922 119 70 42 7 - - - 79 40
1923 116 73 40 3 - - - 82 34
1924 125 80 44 1 - - - 85 40

35
Ibid,. hlm. 82.
36
Ibid, hlm. 81.

74
1925 122 74 40 1 - 3 4 78 44
1926 108 67 31 1 - 4 5 68 40
1930/31 85 t.t t.t t.t t.t t.t t.t 40 45
Note:

t.t = tidak tersedia

c. Ambachtschool dan Landbouwschool

Ambachtschooladalah sekolah yang bertujuan mendidik para

tukang. Sekolah ini berbahasa pengantar Bahasa Belanda dan lama belajar

tiga tahun. Sekolah yang lazim disebut oleh masyarakat dengan Sikola

Amba ini dibuka di Makassar pada tahun 1927, bertempat di pinggiran

kota sebelah utara (Kini jalan Bandang). Sekolah ini bertujuan mencetak

tukang kayu dan tukang solder. Untuk memenuhi tenaga penyuluh

pertanian didirikanlah Landbouwschool pada tahun 1932. Sekolah ini

memiliki masa belajar tiga sampai empat tahun yang lulusannya oleh

masyarakat disebut dengan Pak Mantri Landbouw. Pendirian sekolah

pertanian di Makassar dirasakan sangat penting mengingat wilayah

Sulawesi Selatan, baik di kawasan utara maupun selatan merupakan

penghasil beras37.

d. Zeevartschool (Sekolah Pelayaran)

Pendirian sekolah pelayaran di Makassar diawali oleh sebuah

keinginan yang muncul pada tahun 1912 untuk mengawal kapal-kapal

kecil dengan tenaga pribumi. Sekolah ini terletak di Strandsweg/Bulevaard

(Sekarang jalan Penghibur). Pelajaran yang mereka terima adalah

37
Ibid,. hlm. 83.

75
membaca, menulis, berhitung, dan geografi Hindia Belanda. Pelajaran

tersebut diperoleh dari guru Ambon. Pada tahun 1926, sekolah ini

dipimpin oleh Letnan Laut F.A.Buddingh yang dibantu oleh pelatih

militer, yakni 7 perwira dan 25 bintara, sedangkan bagi pendidikan dalam

Bahasa Belanda, berhitung dan ilmu bumi diberikan oleh 2 orang guru

Belanda dan 3 guru pribumi. Murid-murid yang akan diterima di sekolah

ini diharuskan mengerti Bahasa Belanda, hal ini penting karena sebagian

pelajaran diberikan dalam Bahasa Belanda. Selain itu, Bahasa Belanda

akan digunakan ketika mengadakan praktik di kapal.

Pada tahun 1933, sekolah ini ditutup dan dijadikan asrama serdadu

Belanda. Penutupan ini berkaitan dengan terjadinya pemberontakan di atas

kapal SevenProvicien38. Pemerintah kolonial Belanda khawatir terhadap

munculnya perlawanan yang lebih gencar dari pemuda lewat pendidikan.39

38
Pemberontakan diatas kapal Seven Provincien terjadi pada 5 Februari 1933, ketika
kapal tersebut berada di lepas pantai Sumatera. Pemberontakan ini disebabkan oleh penurunan
gaji semua pegawai pemerintah sebesar 17% yang diumumkan 1 Januari. Penurunan tersebut
merupakan bagian dari usaha-usaha pemerintah untuk memperkecil jurang antara pendapatan
dan pengeluaran ketika depresi ekonomi telah menyebabkan pendapatan pemerintahan
menurun secara gawat. Untuk lebih jelas lihat John Ingleson, 1983, Jalan ke Pengasingan :
Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934, (Jakarta: LP3ES), hlm 230-234.
39
Sarkawi, op.cit,. hlm. 87.

76
3.4 Munculnya Organisasi Pergerakan Nasional di Sulawesi Selatan

Masa pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi Selatan tidak hanya

diwarnai dengan perkembangan sekolah-sekolah dan perlawanan rakyat kepada

pemerintah kolonial, tetapi juga ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi

sosial politik. Pemerintah Belanda bertindak keras kepada organisasi sosial politik

yang berasaskan Nasionalisme karena dianggap melawan pemerintah dan

mengganggu ketertiban umum. Sedangkan kepada organisasi yang berasaskan

agama, pemerintah sangat bersikap lunak walaupun tetap mendapatkan

pengawasan yang ketat.

Berikut nama-nama organisasi pergerakan nasional di Sulawesi Selatan:

3.4.1 Serekat Dagang Islam (SDI)

Serekat Dagang Islam adalah organisasi sosial politik yang pertama kali

muncul di Makassar pada tahun 1916, dengan tujuan untuk mengimbangi

dominasi penetuan harga dan monopoli bahan baku dagangan oleh pedagang

Cina. Pendiri cabang SDI di Makassar adalah para pedagang yaitu, Ince Abdul

Rahim, Ince Tajuddin, dan Baharuddin. Dalam perkembangan selanjutnya

organisasi ini berganti nama menjadi Sarekat Islam oleh Tjokroaminoto dengan

tujuan memajukan pertanian, perdagangan, kesehatan, pendidikan dan pengajaran.

Para bangsawan Sulawesi Selatan yang masuk menjadi anggota SI adalah

Andi Ninnong dari Wajo, Andi Abdul Kadir Tenrisessu dari Tanete Barru, dan

Opu Daeng Risaju dari Luwu40. Yang menjadi pelindung dan pendukung SI

adalah Andi Jemma Datu Luwu, Andi Makkasau dan Abdullah Bau Masepe yang

40
Muhammad Asyikin, Nasionalisme di Sulawesi Selatan 1905-1942, (Makassar: Pasca
Sarjana Unhas, 2013), hlm. 9.

77
keduanya merupakan Datu Suppa. Hingga tahun 1915, anggota cabang SI di

Sulawesi Selatan mencapai 2.270 orang dan sebagian besar anggotanya adalah

pedagang.

3.4.2 Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah satu-satunya organisasi yang mendapat anggota

dan dukungan yang besar dari masyarakat Sulawesi Selatan. Muhammadiyah

membuka cabangnya di Makassar pada tahun 1926. Para pelopor Muhammadiyah

di Makassar adalah Kyai Haji Abdullah, Muhammad Nuruddin Daeng Magassing,

dan Kyai Haji Mansur Al Yamani. Muhammadiyah bertujuan untuk memurnikan

kembali ajaran agama Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad

SAW, serta menolak berbagai bentuk Sinkretisme. Muhammadiyah selain

didukung oleh elit tradisional juga mendapat dukungan dari pedagang Islam dan

guru-guru agama yang bertugas di Minangkabau dan Jawa. Pada tahun 1932

cabang-cabangnya hampir terdapat di semua kota di Sulawesi Selayan. Kemajuan

ini mendorong diselenggarakannya Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar,

yang mulai tanggal 30 April 193241.

Tahun 1937 Muhammadiyah di Sulawesi Selatan telah memiliki 66

cabang dan ranting, jumlah ini meningkat tiga kali lebih banyak dibandingkan

dengan tahun 1932. Pada tahun 1941 jumlah anggotanya mencapai 6000 orang,

dan 2000 diantaranya adalah wanita. Selain itu juga memiliki organisasi pemuda

kepanduan Hizbul Wathan atau pembela tanah air yang beranggotakan 1000

orang. Jika pada awalnya Muhammadiyah di Sulawesi Selatan bersikap loyal

41
Ibid, hlm. 10.

78
kepada pemerintah, lama kelamaan anggotanya yang memiliki semangat

nasionalisme yang tinggi bekerja sama dengan Serekat Islam untuk menanamkan

jiwa nasionalisme kepada pemuda tidak hanya di kota tetapi juga di pedesaan42.

3.4.3 Jong Islamieten Bond (JIB)

Jong Islamieten Bond dibentuk pada akhir tahun 1925 oleh orang-orang

yang keluar dari Jong Java yang dimotori oleh Agussalim. Pembentukan JIB

adalah sebagian keprihatinan Agussalim atas proses sekularisasi yang melanda

Jong Java. Ketuanya R. Sam adalah bekas Jong Java dan Agussalim diangkat

sebagai penasehat. JIB berbeda dengan Jong Java, karena JIB mendasarkan

organisasinya pada agama Islam. Pada tahun 1927 JIB cabang Makassar berdiri.

Organisasi yang didirikan oleh murid-murid OSVIA, Kweekschol, Normaal

School, dan HIS dengan tokoh Nuruddin seorang guru di OSVIA Makassar43.

Pada tanggal 9 Desember 1928 JIB memperingati hari ulang tahunnya

yang pertama sekaligus rapat di gedung bioskop Sengki untuk memilih posisi

baru. Posisi ketua dipegang oleh Mushudulha (Siswa OSVIA), wakil ketua oleh

Haji Asikin (Seorang bekas komunis dan ahli propaganda SKPT di Surabaya)

yang pada Agustus 1929 digantikan oleh Ahmad Marzuki Daeng Marala (Seorang

keturunan Bugis, putra dari guru La Tupu Daeng Mapuli dan saudara dari Jaksa

La Mangewa Daeng Pasau. Berpendidikan di ELS dan OSVIA, dan memiliki

ijazah asisten pemerintah. Sempat bekerja di kantor notaris dan menjadi pegawai

pajak bersama Abdullah Daeng Mappuji, dia juga mendirikan organisasi

42
Bambang Sulistyo, Pemuda Nasionalis Militan di Sulawesi Selatan, (Makassar: Lembaga
penelitian UNHAS, 1996), hlm. 27-32.
43
Sarkawi, op.cit, hlm. 105.

79
(Inlandsche Personeel Makassar) IPM), sekertaris I ditempati oleh Bidin

(Pegawai Pos), sekertaris II oleh Amarullah (Siswa OSVIA), bendahara I oleh

Sitti Rasyiah (Guru pada Diniyah School), bendahara II oleh Haji Syah, dan

Komisarisnya adalah A. Laris (Siswa OSVIA), Arupala (Siswa OSVIA), dan

Tengku Abdul Rahman (Siswa Normaal School)44.

3.4.4 Partai Persatuan Selebes Selatan (PPSS)

PPSS merupakan organisasi politik yang bersikap loyal dan bekerja sama

dengan pemerintah Hindia Belanda dan berjuang mencapai Indonesia Raya yang

meliputi semua kelompok etnis di Indonesia yang hidup saling menghargai dan

mencapai kedudukan yang sama. PPSS dibawah pimpinan Najamuddin Daeng

Mallewa dan organisasi ini adalah satu-satunya organisasi politik yang turut ambil

bagian dalam defile untuk menghormati Gubernur Timur Besar pada tanggal 31

Agustus 194145.

Pendidikan dan keaktifan berorganisasi adalah dua faktor terpenting yang

mengubah kostelasi atau keadaan struktur pemerintahan pribumi yang semula

bersifat feodal, dimana jabatan-jabatan dalam pemerintahan hanya dijalankan oleh

golongan-golongan bangsawan tinggi. Tetapi, setelah pemerintahan beralih ke

pemerintahan Belanda, maka secara lambat laun jabatan-jabatan berpindah ke

tangan kelompok elit baru yang berpendidikan cukup dan berpengalaman dalam

dunia organisasi.

44
Ibid, hlm. 107.
45
Muhammad Asyikin, op.cit, hlm. 12.

80
Hal terpenting dari munculnya pendidikan adalah karena pendidikan telah

membuka celah bagi masyarakat pribumi untuk belajar memiliki kemauan dan

kemampuan untuk berdiri sendiri dan menentang Belanda melalui cara yang

berbeda.

81
BAB IV

ELIT BIROKRASI KOLONIAL DI SULAWESI SELATAN 1906-1942

4.1 Perubahan Struktur Pemerintahan di Sulawesi Selatan

Perubahan sistem pemerintahan di Sulawesi Selatan terjadi mulai pada awal 1906.

Pemerintah Hindia Belandatelah menetapkan dirinya sebagai penguasa tunggal

dalam menjalankan pemerintahanterhadap rakyat Sulawesi Selatan1. Penetapan ini

amat berbeda dengan masa VOC danPemerintahan Hindia Belanda sebelum 1906.

Kerajaan-kerajaan digandeng oleh VOC dan pemerintah Hindia Belanda sebagai

sekutu untuk mengelola pemerintahan hingga 1906. Sejak 1906, Pemerintah

Hindia Belanda kurang melibatkan elit-elit kerajaan dalam mengatur

pemerintahan di Sulawesi Selatan. Peranan kerajaan didalam pengurusan

pemerintahan ditiadakan. Perubahan ini berdampak pada bergolaknya para elit

kerajaan secara diam-diam. Berbagai aksi perlawanan justru dilakukan oleh elit-

elit kerajaan dengan meminjam kelompok-kelompok bandit dan preman yang

dikenal sebagai komunitas yang suka melawan Belanda. Perlawanan diam-diam

ini dilakukan oleh orang-orang kerajaan untuk mempertahankan eksistensi mereka

sebagai elit penguasa lokal2.Dalam struktur Pemerintahan Hindia Belanda yang

baru elit-elit kerajaan mengisi posisi sebagai kepala-kepala Distrik atau Regent.

Tapi masyarakat mengenalnya sebagai Karaeng, Arung atau Puantta, mereka

pada umumnya diambil dari raja-raja bawahan Kerajaan Gowa. Pergantian sistem

1
Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1909-
1942, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 3.

2
Ibid.,hlm.159.

82
pemerintahan tetap menunjukkan sebagai bagian dari pemilihan elit, untuk

mempertahankan atau untuk menjadi elit baru3.

Sistem pemerintahan di Sulawesi Selatan sebelum Hindia Belanda

berkuasa secara langsung, masih dipegang oleh seorang raja yang menjadi sumber

kebijakan untuk mengatur pemerintahan. Terlihat dalam susunan pemerintahan

feodal, raja menduduki posisi teratas dalam struktur pemerintahan. Diikuti oleh

beberapa bawahannya dalam mengatur pemerintahan, seperti Tomabbicara Butta

yang setara dengan Perdana Mentri, Tomailalang Towa yang menjadi penghubung

antara Raja dan Bate Salapang, Tomailalang Lolo yang menjadi penasehat,

Paccalaya yang menjadi ketua dari Bate Salapang, dan Bate Salapang sendiri

adalah dewan kerajaan4.

Tetapi setelah penandatanganan Korte Verklaring pemerintah Belanda

kemudian mengambil alih segala urusan pemerintahan di Sulawesi Selatan yang

ditandai dengan perubahan segala struktur pemerintahan dalam birokrasi.

Kebijakan yang termasuk dalam penandatanganan Korte Verklaring untuk

kerajaan Gowa sendiri adalah pengakuan bahwa Gowa adalah bagian dari

pemerintahan Hindia Belanda, Gowa dilarang melibatkan diri dengan negara lain,

dan Gowa harus mematuhi segala perintah Belanda. Setelah ditandatangininya

Korte Verklaring itulah, maka struktur pemerintahan di Sulawesi Selatan diubah

sesuai dengan keinginan Belanda, seperti pimpinan tertinggi dalam pemerintahan

3
Baudet, H. dan I.J. Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, (Jakarta: YOI,
1987), hlm. 20.

4
Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, Sejarah perkembangan
pemerintahan, (Sulawesi Selatan: Departemen dalam Negeri di Provinsi daerah tingkat I Sulawesi
Selatan, 1991), hlm. 201.

83
disebut Provinsi atau Gewest dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan yang

bergelar Gubernur. Tiap provinsi dibagi lagi menjadi beberapa keresidenan yang

dipimpin oleh seorang kepala pemerintahan yang bergelar Residen.Tiap-tiap

keresidenan dibagi menjadi beberapa afdeling yang dikepalai oleh seorang

Assistent Residen.Tiap-tiap afdeling dibagi lagi menjadi beberapa onderafdeeling

yang dikepalai oleh seorang Kontrolir.Tiap-tiap onderafdeeling dibagi menjadi

beberapa kewedanan atau distrik yang dikepalai oleh seorang Karaeng,Arung atau

Galarang.Tiap-tiap kecamatan meliputi beberapa desa yang dikepalai oleh seorang

kepala desa5.

Adapun jabatan-jabatan Gubernur, Asisten Residen dan Kontrolir harus

dijabat oleh seorang Belanda, sedangkan untuk jabatan-jabatan lainnya dipegang

oleh orang pribumi. Yang termasuk kedalam tingkat pemerintahan Pamong Praja

hanya dari provinsi sampai dengan kecamatan. Desa dan setingkat dengan desa

merupakan daerah otonom yang berdasarkan hukum asli masyarakat adat

setempat, sama halnya dengan daerah Swapraja.

Dengan perubahan sistem dan struktur pemerintahan seperti yang terlihat

diatas, maka Belanda telah menguasai Sulawesi Selatan secara utuh. Raja secara

otomatis sudah tidak lagi memegang hak yang penuh bagi wilayahnya, bahkan

keturunannya terkadang tidak lagi dianggap penting dalam berjalannya segala

aturan yang diambil Belanda dalam memutuskan suatu kebijakan.

5
Ibid, hlm. 154-155.

84
4.2 Syarat Penentuan Elit Dalam Sistem Kolonial

Setelah pemerintah Belanda mengambil alih segala kebijakan, maka

muncullah golongan baru yang lebih tinggi kedudukannya dibanding golongan

lain, meski posisi teratas masih dipegang oleh orang Belanda. Golongan itu adalah

kaum elit yang salah satu faktor munculnya dilandasi oleh perkembangan Politik

Etis yang ingin mendidik kaum pribumi untuk lebih memiliki integritas dan

wawasan yang luas. Dengan munculnya golongan Elit maka muncullah golongan

pemimpin dan yang dipimpin, seperti telah penulis jelaskan dalam teori yang

dipaparkan di Pendahuluan.

Gubernur pertama Sulawesi Selatan C.A. Kroesen (4 April 1903)

mengemukakan sebuah keluhan mengenai kesukaran dalam mencari orang-orang

yang susuai untuk mengisi jabatan penghulu dan jabatan pegawai negeri. Karena

hanya sedikit orang Sulawesi Selatan yang dipandang oleh Belanda berpendidikan

cukup untuk mengisi salah satu dari dua jabatan itu. Dalam pemilihan penghulu

juga ditetapkan bahwa si calon harus punya garis keturunan yang tepat dan

kemurnian darah yang diharapkan bisa dihormati rakyat. Dengan itu segera

diputuskan bahwa pendidikan bagi putra-putra bangsawan harus mendapat

prioritas tinggi, maka pada tahun 1910 OSVIA dibuka di Makassar. Para

penghulu seringkali berada pada posisi yang juga sulit karena jika mereka

menggunakan cara Eropa dalam pemerintahan atau berpakaian mereka tidak dapat

85
diterima oleh rakyat, tetapi jika mereka berpegang pada cara tradisional, sering

kali mereka tidak bisa diterima oleh Belanda6.

Kedudukan penghulu dan pegawai negeri pada dasarnya bersifat

kompetitif, hubungan yang tegang antara para pejabat dan penguasa tidak

sedikitpun berkurang ketika orang-orang Makassar lulusan OSVIA mulai mengisi

kedua jabatan itu. Penghulu yang berpendidikan dan pejabat pemerintah

berkedudukan sama, tetapi penghulu tetap menjadi orang yang dipatuhi oleh

rakyat. Misalnya saja, ketika mereka menulis mengenai keadaan disuatu daerah

yang dikuasai mereka langsung akan berkonsultasi dengan penghulu untuk

menemukan solusinya. Baik di wilayah yang dikuasai langsung maupun di

wilayah berpemerintahan sendiri, para bangsawan dan penghulu tradisional

tampak memperoleh banyak pengaruh terhadap rakyat. Di tanah-tanah yang

dikuasai tidak langsung mereka mendapat pengakuan formal lebih banyak

mengenai kedudukannya dari pada daerah yang dikuasai langsung. Akan tetapi

mereka tidak mempunyai kekuasaan nyata atau kebebasan, kebebasan

sesungguhnya dipegang oleh Residen, Kontrolir dan Penguasa Belanda.

Dalam Kumpulan Surat Edaran Gubernur Sulawesi Tahun 1904-1929

terdapat surat yang dikeluarkan oleh Gubernur W. Fryling (22 Januari 1916-1921)

di Makassar, pada 3 April 1919 yang menuliskan perihal Pegawai Pemerintah

Pribumi. W. Fryling mengatakan bahwa dengan memperhatikan kehormatan dan

kedudukan para Ketua Hadat tingkat atas di daerah pemerintahan langsung dari

wilayah Makassar, beliau berpendapat bahwa harus dipilih suatu cara dimana para

6
Barbara Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII, (Jakarta:
Grafitipers, 1989), hlm. 57.

86
Ketua Hadat hanya menempati kedudukan yang setaraf dengan Kepala Kampung

karena Ketua Hadat dianggap tidak mampu menjalankan pemerintahannya

sebagaimana mestinya. Pelaksanaan pemerintahan sebenarnya sepenuhnya harus

berada ditangan Pemerintahan Hadat. Bukan pegawai pemerintah pribumi yang

harus menjadi kepala daerah tetapi para Ketua Hadat. Tugas pegawai pemerintah

pribumi menurut W. Fryling adalah mereka hanya sebagai tenaga bantu bagi

Pemerintahan Eropa, tidak dibebani dengan pelaksanaan pemerintahan umum

secara langsung atas suatu daerah tertentu, melainkan hanya memiliki wewenang

untuk melakukan tindakan-tindakan serta pengawasan dan kontrol seperti yang

ditugaskan secara spesifik kepada mereka oleh Pemerintah Belanda tanpa

mengambil alih tugas para Kepala Hadat. Sebaliknya mereka harus berusaha

bahwa para Kepala Hadat sendirilah yang melaksanakan pemerintahan, serta

membuat mereka mampu dalam melaksanakan tugas mereka. Keadaan yang

paling ideal yaitu keadaan yang terus menerus harus diusahakan agar tercapai,

yaitu bahwa semua Kepala Hadat tersebut dapat dan memiliki kemampuan dalam

pelaksanaan pemerintahannya. Dengan demikian peran pegawai pemerintahan

pribumi dibatasi secara minimal saja. Jadi ia hanya akan bertugas jika ada tugas

pemerintahan orang Eropa yang tidak dapat diselesaikan. Tetapi kondisi ini masih

jauh dari harapan, sekalipun sudah tercapai disejumlah wilayah kekuasaan para

Karaeng. Organisasi pegawai pemerintahan pribumi masih harus

memperhitungkan kenyataan bahwa mereka masih harus bekerja sebagai

87
pendukung dan pendidik dari para Ketua Hadat yang tidak memiliki kemampuan

melaksanakan pemerintahan secara mandiri7.

Berbeda dengan penghulu dan jabatan Ketua Hadat, Juru Tulis bahkan

memiliki persyaratan yang amat ketat dalam pemerintahan Belanda. Seperti Pada

tanggal 1 September 1921 Gubernur F.C.Vortsman (4 April 1921-1924)

mengeluarkan surat kepada Kepala Afdeling dan Onderafdeling mengenai

peraturan pelembagaan calon Juru Tulis, yang menjelaskan bahwa perlu untuk

membuat suatu peraturan bagi daerah mengenai lembaga yang disebut

Leerlingschrijvers (Calon Juru Tulis). Pertama, untuk membersihkan berbagai

kantor dari banyak pejabat-pejabat fungsionaris yang sama sekali tidak memenuhi

syarat. Kedua, untuk memastikan pemberian kesempatan yang tepat dalam

pengangkatan suatu jabatan pada pemerintahan Hindia Belanda atau Landschap

(Pemerintahan Daerah). Harus diperhatikan bahwa tidak boleh ada calon Juru

Tulis yang boleh diterima bekerja pada kantor-kantor Kepala Afdeling dan

Onderafdeling, Asisten Pemerintah, Jaksa, Kolektor Pajak, tanpa terlebih dahulu

mendapat izin dari Gubernur. Izin tersebut harus diminta oleh kepala

Onderafdeling dengan perantara kepala Afdeling, melalui suatu daftar isian

dimana tercantum selain nama dan umur calon, juga harus ada tempat asalnya

serta pendidikan yang telah dijalani ataupun kekhususan lainnya. Dimana secara

umum dapat ditetapkan bahwa yang dapat menjadi calon, minimal harus dapat

memperlihatkan bukti telah menyelesaikan dengan baik Sekolah Rakyat

7
Terjemahan Surat Edaran Gubernur Sulawesi A.Couvreur Tahun 1904-1929. No. 39/III.
hlm. 56.

88
(Inlandsche School) Kelas Dua (Dengan surat tanda kelulusan) karena hanya yang

demikian yang mendapat kesempatan diangkat8.

Jumlah calon Juru Tulis pemula di kantor Afdeling dan Onderafdeling

seterusnya akan ditetapkan maksimal dua orang, sementara pada pegawai

pemerintahan rendahan hanya boleh diterima satu calon Juru Tulis, jika mereka

tidak mempunyai Juru Tulis atau Juru Tulis bantu. Bila ada calon Juru Tulis yang

akan diterima, maka di kantor wilayah akan dibuat suatu daftar, dan jika mereka

telah bertugas selama enam bulan maka oleh pegawai pemerintah Eropa akan

dibuat laporan mengenai sejauh mana kemampuan mereka untuk diangkat

menjadi Juru Tulis bantu. Jika mereka tidak mampu, maka mereka harus segera

diberhentikan agar memberikan tempat kepada calon-calon yang mungkin lebih

cocok. Dengan cara ini juga dapat dicegah calon Juru Tulis yang sebenarnya tidak

mampu. Para calon Juru Tulis berdasarkan jabatannya akan memperoleh berbagai

pendapatan. Memang beberapa dari mereka masih menerima gaji atau tunjangan

dari anggaran daerah, namun itu akan segera dihentikan, bersamaan dengan

diberhentikannya berbagai gelar yang sekarang. Jika di suatu daerah dianggap

memang perlu diberdayakan seorang tenaga administrasi tambahan, maka dengan

kerjasama yang baik, jabatan itu harus secara langsung dibebankan dalam

anggaran sebagai Juru Tulis9.

Seperti dari beberapa kasus diatas menggambarkan bahwa setiap orang

yang ingin menduduki jabatan dalam pemerintahan harus diukur dari tingkat

8
Terjemahan surat Edaran Gubernur Sulawesi A.Couvreur Tahun 1904-1929. No. 36. Hlm.
51.
9
Ibid,. hlm. 52.

89
pendidikannya. Tetapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa kelahiran elit modern

Sulawesi Selatan setidaknya ditentukan oleh regulasi Pemerintah Hindia Belanda.

Belanda memiliki kepentingan untuk menumbuhkan elit baru yang memiliki

keberpihakan kepada Belanda, meskipun tidak berasal dari elit-elit kerajaan

penting. Selain pendidikan, golongan elit juga bisa lahir dari beberapa faktor lain.

Berikut adalah beberapa proses muncul dan lahirnya seorang elit antara lain yaitu:

a) Kelompok elit yang muncul karena faktor sistem politik. Mereka yang

menduduki posisi ini dikarenakan dukungannya kepada penguasa atau

kepada sistem politik itu sendiri.

b) Kelompok elit yang muncul karena faktor pendidikan formal. Kelompok

elit ini ditentukan oleh reputasi atau kualitas kemanusiaannya sendiri.

c) Kelompok elit yang muncul karena faktor geneologis yang didukung

langsung oleh sistem sosial budaya dari masyarakat. Patokannya adalah

garis keturunan. Tipe seperti ini tidak saja ada dalam masyarakat Feodal,

tetapi adakalanya juga masih terdapat di dalam masyarakat yang menyebut

dirinya demokratis.

d) Kelompok elit yang muncul karena faktor reputasi sosial dengan

kombinasi pengalaman dan pengetahuan agama. Kelompok ini memiliki

kharisma dan kewibawaan yang berakar di masyarakat.

e) Kelompok elit yang muncul karena faktor kekayaan yang dimilikinya,

termasuk kekayaan keluarganya. Mereka berpengaruh di masyarakat atas

dasar peran ekonominya terhadap kehidupan masyarakat. Adakalanya

90
karena kekuatan ekonominya memiliki pengaruh yang besar dalam

politik10.

4.3 Munculnya Golongan Elit di Sulawesi Selatan

Elit merupakan golongan yang mencakup semua pemegang kekuasaaan

dalam suatu wilayah atau kawasan. Seseorang dapat dikatakan elit jika dia dapat

memegang kendali dalam suatu lapisan dan kehidupan masyarakat. Seperti halnya

di Sulawesi Selatan, mereka yang masuk dalam golongan elit adalah mereka yang

memiliki integritas, darah keturunan, popularitas, dan kekayaan.

Seperti yang telah dijelaskan dalam bab 3 bahwa pendidikan adalah salah

satu faktor yang ikut berpengaruh dalam proses pembentukan elit11. Ini selaras

dengan kebijakan Politik Etis Pemerintahan Hindia Belanda, yang menekankan

pentingnya pendidikan bagi bumiputra. Sekolah pertama tahun 1910 yang

didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda adalah Sekolah untuk keluarga

kerajaan atau anak bangsawan. Namun sekolah ini tidak mendapat respon positif

dari kalangan bangsawan, baik pada daerah yang dikuasai langsung maupun

wilayah kerajaan yang tidak diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Meskipun kebanyakan menolak pendidikan yang ditawarkan Belanda, akan tetapi

di beberapa wilayah yang diperintah langsung oleh Belanda, melihat pendidikan

sebagai peluang yang baik. Oleh karena itu terdapat sejumlah anak-anak

bangsawan mengambil kesempatan memasuki pendidikan modern. Dikemudian

hari, mereka menjadi kalangan terkemuka dan terdidik yang menjadi motor

10
Sarkawi Husain, Sejarah Sekolah Makassar (Ditengah Kolonialisme, Pertumbuhan Pers,
dan Pembentukan Elit Baru 1876-1942), (Makassar: Ininnawa, 2015), hlm. 14-15.
11
Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi, (Jakarta: Sinar Harapan,
1983), hlm. 136.

91
gerakan sosial di Sulawesi Selatan menjelang Indonesia merdeka. Mereka

umumnya tamatan pendidikan sekolah Belanda seperti; HIS (Hollands Inlandse

School), dan OSVIA (Opleiding School voor Inlands Bestuur Ambtenaar). Untuk

memastikan anak-anak bangsawan yang bersekolah di tempat tersebut tetap setia

pada Pemerintahan Hindia Belanda, anak-anak itu diwajibkan menunjukkan

silsilah keluarga. Karena yang ikut sekolah juga terdapat beberapa yang bukan

anak bangsawan tinggi, maka untuk membedakannya, didepan nama anak-anak

bangsawan kelas tinggi ditambahkan gelar Andi12.

Jadi dapat disimpulkan jika elit berpendidikan adalah seseorang yang

memiliki kesempatan untuk bersekolah sehingga memiliki integritas dan wawasan

hingga lebih berpotensi untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan yang lebih

tinggi dalam masyarakat dan pemerintahan.

Dalam masyarakat Sulawesi Selatan sendiri, seseorang yang masuk dalam

kelompok elit di dominasi oleh faktor pendidikan dan keturunan (bangsawan).

Berikut adalah tokoh-tokoh elit terdidik dan elit bangsawan:

4.3.1 Elit Terdidik

Berikut nama-nama elit terdidik masa pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan :

Contoh elit dari kaum terdidik, pertama adalah Sultan Daeng Raja yang

lahir pada tanggal 20 Mei 1894 di Saoraja di Matekko Gallarang Bulukumba. Ia

adalah putra dari Karaeng Gantarang Passari Petta Tanra dan Andi Ninong. Sultan

Daeng Raja pernah bersekolah di Volkschool tahun 1902 selama tiga tahun di

Bulukumba. Tamat dari Volkschool dia melanjutkan pendidikannya di ELS

12
Mattulada, Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, (Ujung Pandang:
Hasanuddin University Press, Jilid II, 1998), hlm. 5.

92
Bantaeng. Setelah selesai dari ELS beliau kemudian melanjutkan lagi

pendidikannya di OSVIA Makassar. Pada tahun 1913 Sultan Daeng Raja diangkat

menjadi Juru Tulis kantor pemerintahan Onderafdeling Makassar. Dan setelah itu

ia kemudian diangkat menjadi calon jaksa dan diperbantukan di Inl Of Justitie

Makassar. Pada tanggal 7 Januari 1915 beliau kemudian diangkat menjadi Eurp

Klerk pada kantor Asisten Residen Bone di Pompanua, Klerk di Kantor

Controleur Sinjai, Wakil kepala pajak di Takalar, kepala pajak di Enrekang. Dan

jabatan terakhir yang diembannya pada masa pendudukan Belanda adalah sebagai

Jaksa pada Landraad Bulukumba13.

Elit terdidik pertama adalah Nadjamoeddin Daeng Malewa yang lahir

tahun 1907 di Makassar, beliau pernah bersekolah di MULO dan melanjutkan

pendidikan di Jawa. Dan pada tahun 1947 beliau diangkat menjadi Perdana Mentri

Negara Indonesia Timur (NIT) yang pertama14.

Adapula nama Manai Sophian yang lahir di Takalar tanggal 5 September

1915. Beliau pernah bersekolah di Twede Inlandse School tahun 1926, Schakel

School tahun 1931, MULO Makassar tahun 1934, dan juga pernah menempuh

pendidikan di sekolah menengah atas di Jogjakarta. Pada tahun 1936 ia

menyelesaikan pendidikan tinggi guru di Jawa. Tahun 1937-1940 beliau pernah

mengajar di Sekolah Taman Siswa di Makassar. Tahun 1942-1945 beliau menjadi

wartawan untuk Pewarta Selebes. Bulan Juni-Agustus 1945 beliau ditunjuk

menjadi anggota komite pelaksana SUDARA, dan menjadi Komandan Korps

13
Diakses dari Website Resmi Pemerintahan Kabupaten Bulukumba,
https://bulukumbakab.go.id/rubrik/biografi-singkat-andi-sultan-daeng-radja-pahlawan-nasional-
dari-bulukumba, diakses pada tanggal 13 April 2018, pukul: 01.50.
14
Barbara Harvey, op.cit, hlm. 365.

93
Pemuda Boei Taitsintai. September 1945 beliau ditunjuk menjadi Ketua Persatuan

Pemuda Nasional Indonesia di Sulawesi Selatan. Hingga tahun 1964-1967 beliau

menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Uni Soviet15.

Selanjutnya ada nama Andi Mattalatta yang lahir di Barru tahun 1922,

beliau pernah bersekolah di OSVIA Makassar, dan menjadi guru dan pelatih

atletik. Pada April 1957 beliau menjadi kepala staf RI-23, dan menjadi komandan

Batalyon 705 di Pare-Pare. Pada tanggal 2 Maret 1957 beliau diangkat lagi

menjadi Komandan Komando Sulawesi Selatan dan Tenggara (KO-SST) yang

dibentuk oleh pemerintah militer Permesta16.

Ada pula nama Hertasning yang lahir tanggal 19 Desember 1922 di

Sungguminasa, Gowa. Pernah bersekolah di MULO Makassar. Pada tahun 1950

beliau menjadi Kapten komandan sebuah Batalyon CPM yang dikirim ke

Indonesia Timur17.

Kemudian ada nama Andi Tendriadjeng yang lahir di Palopo tanggal 10

Maret 1924, beliau pernah bersekolah di HIS Palopo dan melanjutkan ke sekolah

penghubung (Schakel School) di Makassar. Kemudian pada tahun 1945-1946

beliau menjadi komandan pasukan penyerbu Pemuda Nasional Indonesia dan

penerus Pembela Keamanan Rakyat (PKR) di Luwu18.

Ada pula nama HM Yasin Limpo yang lahir di Bontonompo, Gowa

tanggal 17 Juni 1924. Pada tahun 1930 beliau pernah bersekolah di Sekolah Desa

15
Ibid, hlm. 371.
16
Ibid, hlm. 366.
17
Ibid, hlm. 374.
18
Ibid, hlm. 375.

94
yang ada di Tanrara. Setelah tiga tahun kemudian, dia tamat dan melanjutkan

pendidikannya di Sekolah Partikelir di Takalar. Setelah tamat di Takalar, beliau

kemudian turun ke Jongaya melanjutkan pendidikan dan masuk Sekolah Guru

Agama 4 tahun yang terkenal dengan nama Muallimin Jongaya. Setelah tamat

beliau kemudian kembali ke Bontonompo dan mendirikan sekolah

Muhammadiyah dan menjadi guru di sekolah tersebut. HM Yasin Limpo dikenal

sebagai tokoh pejuang kemerdekaan menentang pemerintahan Hindia Belanda di

Sulawesi Selatan, ditandai dengan membuat organisasi perjuangan revolusi di

Sulsel, seperti PAPRIS (Pasukan Rahasia Republik Indonesia Sulawesi)19.

Kemunculan elit terdidik pada masa kolonial tersebut, memicu tumbuhnya

dinamika baru kebudayaan di Sulawesi Selatan. Sebelum memasuki abad ke 20,

kelas sosial orang Makassar hanya terbagi atas bangsawan tinggi istana,

bangsawan wilayah dan orang-orang merdeka. Tapi, setelah masa-masa akhir

Pemerintahan Hindia Belanda di Sulawesi Selatan, struktur sosial terbagi atas

kaum bangsawan yang menjadi bagian Pemerintahan Hindia Belanda sebagai

kelas utama, kalangan Pamong Praja yang memiliki pendidikan formal, kalangan

ulama dan adat, serta yang terakhir kelas hartawan, pedagang dan pengusaha.

4.3.2 Elit Bangsawan

Elit bangsawan adalah mereka yang memiliki darah keturunan raja atau di

Sulawesi Selatan dikenal dengan istilah Ana Karaeng atau anak keturunan murni

To Manurung. Elit bangsawan adalah mereka yang terlahir dari keluarga kerajaan

yang otomatis mewarisi gelar dan tahta dari keluarganya.

19
Zainuddin Tika, dkk, HM Yasin Limpo Dalam Kancah Revolusi Kemerdekaan, (Makassar:
Lembaga Kajian Sejarah Budaya Sulawesi Selatan, 2016), hlm. 11-13.

95
Dari kalangan bangsawan, elit modern yang cukup berpengaruh di

Sulawesi Selatan adalah Andi Pangeran Petta Rani yang merupakan anak lelaki

tertua Andi Mappanjukki sekaligus kakak dari Andi Abdullah Bau Massepe, lulus

dari sekolah OSVIA Makassar dan menjadi Aru Matege dari Bone pada tahun

1930-an. Dan pada tanggal 1 April 1957 beliau ditunjuk menjadi Gubernur

Sulawesi. Sedangkan dari kalangan bangsawan penguasa distrik terdapat nama

Lanto Daeng Pasewang yang pada tahun 1954-1956 beliau ditunjuk menjadi

Gubernur Sulawesi20.

Salah satu contoh elit bangsawan lain adalah Andi Abdullah Bau Massepe,

yang lahir di Sidenreng Rappang tahun 1918. Ia adalah putra dari Andi

Mappanyukki yang merupakan Raja Bone ke 32 dan ibunya adalah Besse Arung

Bulo yaitu putri dari Raja Sidenreng, La Sadapotto Addatuang Sidenreng dan

Baeda Addatuang Sawitto. Andi Abdullah Bau Massepe pernah bersekolah di

Sekolah Rakyat tahun 1924, dan melanjutkan di sekolah HIS hingga selesai tahun

1932. Selain sekolah formal Andi Abdullah Bau Massepe juga pernah

memperoleh pendidikan kerajaan atau disebut juga dengan istilah Pangngadereng

dalam istilah Bugis-Makassar. Andi Abdullah Bau Massepe adalah Datu Suppa ke

25 karena dia adalah Ana’ Mattola di Suppa. Dia adalah pewaris tahta dari dua

kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu Kerajaan Bone dan Gowa. Beliau juga

adalah orang yang aktif dalam bidang organisasi dan kemiliteran, terbukti dari

jabatan-jabatan yang diterimanya sebagai panglima pertama TNI Divisi

20
Kedua tokoh ini dikenal sebagai tokoh yang berpendidikan tinggi dan memiliki
pengetahuan yang luar biasa. Mereka juga adalah aktivis pergerakan nasional. Kedua-duanya
pernah diangkat menjadi Gubernur Sulawesi. Untuk lebih jelasnya Lihat pada buku Sarkawi
Husain, op.cit., hlm. 67.

96
Hasanuddin dengan pangkat Letnan Jendral, sebagai ketua Pusat Keselamatan

Rakyat Penasehat Pemuda/Pandu Nasional Indonesia, juga pernah menjabat

sebagai ketua umum BPRI (Badan Penunjang Republik Indonesia)21.

Beberapa nama elit bangsawan Sulawesi Selatan yang juga tumbuh dalam

pengawasan Pemerintah Hindia Belanda adalah Mauraga Daeng Malliungang,

Karaeng atau bangsawan dari daerah Pangkajene, berpendidikan kelas 4 OSVIA,

pada tahun 1912 diangkat menjadi Regen Pangkajene menggantikan ayahnya.

Salah seorang saudaranya menjadi pemimpin masyarakat adat Mandalle dan salah

seorang keponakannya diangkat menjadi Karaeng di Maros. Putra-putranya

menyelesaikan pendidikannya di MULO dan AMS di Yogyakarta. Salah satu

putranya, Andi Burhanuddin menduduki posisi sebagai Karaeng Pangkajene pada

tahun 1942, kemudian di turunkan tahun 1945, karena mulai berpihak pada

Republik Indonesia. Pada 1947 Andi Burhanuddin diangkat menjadi Menteri

Penerangan NIT pada Kabinet Anak Agung Gde Agung. Ia juga pernah menjabat

sebagai Gubernur Sulawesi tahun 1955-195622.

Dari sedikit anak pribumi yang memasuki Sekolah Dasar Eropa/ ELS

(Europesche Lagere School) dapat dicatat antara lain Andi Siti Nurhani Daeng

Masugi adalah anak dari Andi Makkasau Parenrengi Lawawo, seorang Datu

dengan gelar Datu Suppa23. Waleidah Sonda, anak dari tuan Sonda Daeng

21
Muhammad arfah, Biografi Andi Abdullah Bau Massepe, (Makassar:Pemerintah
Sulawesi Selatan, 1980), hlm. 20.
22
Mujahid Fahmid, Pembentukan Elite Politik Di Dalam Etnis Bugis dan Makassar menuju
Hibriditas Budaya Politik, (Bogor: Disertasi Doktor, Sekolah Pasca Sarjana Institute Pertanian
Bogor, 2011), hlm 139.
23
Sarkawi Husain, op.cit, hlm. 66.

97
Mattayang, penasehat urusan pribumi pada kantor pemerintah kolonial Belanda di

Makassar. Seusai menamatkan pendidikan di sekolah ini, Weleidah dikirim ke

Bandung untuk melanjutkan sekolah. Bersama Weleidah, diterima pula Ince Naim

dan Mattotorang24.

4.4 Elit Keturunan Makassar-Melayu di Sulawesi Selatan

Ada tiga aspek yang melatarbelakangi masuknya keturunan Makassar-

Melayu dalam birokrasi kolonial Belanda di Sulawesi Selatan. Pertama, keturunan

Makassar-Melayu yang berkeinginan untuk keluar dari kesulitan ekonomi akibat

kebijakan perdagangan Belanda yang menyulitkan usaha perdagangan pribumi.

Pajak perdagangan yang tinggi, larangan perdagangan senjata, serta monopoli

Belanda atas komoditi yang berharga tinggi di pasaran merupakan faktor-faktor

yang melemahkan perdagangan di Makassar yang ramai dijalankan oleh

keturunan Melayu. Kedua, perkembangan pendidikan modern di Makassar

terutama sekitar pertengahan abad ke-19 yang didasari oleh kebijakan Politik Etis.

Pendidikan zaman kolonial bertujuan mendidik calon pegawai pribumi untuk

mendukung jalannya pemerintahan Belanda. Pendidikan modern telah berjalan di

Kampung Melayu di Bandar Makasssar dengan didirikannya Sekolah Melayu.

Ketiga, aspek ketika yang memungkinkan keturunan Makassar-Melayu masuk

dalam birokrasi kolonial tidak terlepas dari situasi dan perkembangan

pemerintahan di Hindia Belanda pertengahan abad ke-19. Gubernur Johannis

Antonius Bakkers (1846-1876) menyatakan bahwa para pegawai pemerintahan

tidak cukup hanya memahami teori pemerintahan saja, tetapi juga harus memiliki

24
Mukhlis dan Anhar Gonggong, Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan; Mobilitas Sosial
Kota Makassar 1900-1950, (Ujung pandang: P3MP, 1992), hlm. 128.

98
ilmu pengetahuan tentang masyarakat pribumi dan wilayah pemerintahannya serta

dapat berkomunikasi dengan bahasa masyarakat setempat25.

Pada 1879, Ince Abdul Wahab Daeng Masikki pernah menjadi siswa

Kweekschool setelah melewati ujian seleksi yang dilakukan oleh B.F. Matthes.

Bersama empat kawannya di Sekolah Melayu, yaitu, Daoed, Haroena,

Noeroeddin, dan seorang lagi yang juga bernama Abdul Wahab. Ince Abdul

Wahab Daeng Masikki dinyatakan lulus pada 1884 setelah diuji oleh R.M.

Ismangoen Dano Winoto. Setelah mereka mencapai pangkat keempat, mereka

dilantik menjadi Guru Bantu di Sekolah Externen, yaitu sekolah rendah yang

berhubungan dengan Sekolah Guru tersebut. Mereka memperoleh ijazah Diploma

dan boleh menjadi guru di Sekolah-sekolah pribumi yang ada di Sulawesi

Selatan.26

Pada tahun 1886, Ince Abdul Wahab Daeng Masikki berangkat ke Bima

untuk menjadi Guru, setelah empat setengah tahun mengajar, ia kemudian

kembali ke Makassar dan dilantik menjadi Kepala Guru di Sekolah Nomor 1 di

Kampung Melayu menggantikan La Mangewa Daeng Pasoe. Sekitar satu tahun

empat bulan, Ince Abdul Wahab Daeng Masikki mengajar di Sekolah Nomor 1, ia

kemudian dilantik menjadi Guru Bahasa Melayu di Kweekschool. Pada 1 April

1892 ia mulai menjadi guru bersama H.W. Bosman sebagai Kepala Guru, A.C.

Cramer, Ince Ibrahim sebagai guru bahasa Bugis, dan Ince Moehammad Thahir

sebagai pengajar bahasa Makassar dengan jumlah murid 25 orang. Tapi

25
Amrullah Amir, “Memoar Ince Abdul Wahab Daeng Masikki keturunan Melayu-
Makassar di Bandar Pelabuhan Makassar 1876-1910”, Jurnal Sejarah Jejak Nusantara Jalur
Rempah sebagai simpul peradaban bahari, No.03, Volume 04, (Desember, 2016), hlm. 94-95.
26
Ibid, hlm. 96.

99
sayangnya tahun 1895 sekolah itu ditutup oleh pemerintah kolonial, karena

kurangnya minat masyarakat untuk bersekolah disana, terutama kalangan

bangsawan. Setelah penutupan sekolah ini, kemudian digantikan oleh Opleiding

School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) atau sekolah untuk Pangreh Praja

pribumi. Kemudian pada 14 Juli 1898 Ince Abdul Wahab Daeng Masikki di

usulkan menjadi Jaksa di Bangkala. Ia diminta melaksanakan terlebih dahulu

tugasnya sebagai guru di Segeri kemudian setelah dilantik menjadi Jaksa barulah

dia bertugas di Bangkala. Pada 27 Juli 1898 Ince Abdul Wahab Daeng Masikki

berangkat ke Segeri dan esoknya menemui kepala wilayah disana yaitu Kontrolir

Hartogh Hijes. Ia bertugas sebagai guru di Segeri hingga 19 Agustus 1898, ia

kemudian dilantik menjadi Jaksa di Alloe27.

Dalam RegeeringsAlmanak Kerajaan Hindia-Belanda tahun 1905, juga

terdapat nama-nama keturunan Melayu yang telah dilantik sebagaibirokrat dalam

sistem pemerintahan kolonial Belanda. Dalam daftar terdapat nama seperti Ince

Osman yang dilantik pada 15 Oktober 1902 sebagai pegawai AsistenJaksa di

Mahkamah Pengadilan Negeri Bonthain dan Ince Abdullah Husain alias Ince

Mangasengie yang juga telah dilantik sebagai AsistenJaksa pada 12 April 1904

dan bertugas mendampingi Jaksa Ince Abdul Wahab Daeng Masikki di

MahkamahNegeri Takalar.28

Sekitar empat bulan setelah Gowa ditaklukkan oleh Belanda tahun 1906,

Ince Abdul Wahab Daeng Masikki dan Kontrolir Tideman bertugas di wilayah

27
Amrullah Amir, Sejarah Masyarakat Melayu di Sulawesi Selatan 1600-1942 : Identiti
dan Autoriti, (Kuala Lumpur:University Kebangsaan Malaysia, Disertasi Doktor, 2015), hlm. 323.
28
Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie: 1905, hlm. 99.

100
tersebut. Pada April 1906, datanglah surat keputusan mengenai pelantikan Ince

Abdul Wahab Daeng Masikki sebagai Kapitan Melayu ke 15. Yang menggantikan

sepupunya yang minta pensiun karena sakit yaitu Ince Lele. Pelantikan Ince

Abdul Wahab Daeng Masikki sebagai Kapitan Melayu pada 30 April 1906

berdasarkan surat keputusan Asisten Residen van Senden. Dan digantikan oleh

Ince Abdul Gani sebagai Jaksa di Alloe.

Sebagai seorang Kapitan Melayu Ince Abdul Wahab Daeng Masikki

bertangggungjawab untuk mencatat cukai penghasilan kerajaan kolonial dan juga

cukai pekerjaan rodi (Heerendienst). Jabatan ini sangat berat untuk dilaksanankan

kerena pada masa yang sama beliau juga terlalu sibuk menguruskan pemerintahan

Kampung Melayu yang merupakan sebuah perkampungan di Bandar yang

menjadi tempat tumpuan utama kebanyakkan para pedagang yang datang. Namun

jabatan ini tidak lama dilakukannya karena beberapa bulan setelah pelantikannya,

pihak pemerintahan Belanda telah meminta beliau untuk ke Tanah Jawamenemani

ketua-ketua wilayah adat bekas kerajaan Gowa.29 Setelah pulang dari Tanah Jawa,

beliau kemudian diberikan jabatan untuk sepenuhnya bekerja sebagai Jaksa di

Maros pada 20 Juli 1906. Pada 6 September 1906, Ince Abdul Wahab Daeng

Masikki telah digantikan dengan seorang yang bernama Mas Noer Alim yang

sebelumnya adalah Wakil Kepala Dewan Tinggi bandar Makassar.30 Pada 13

Agustus 1906, atas usulan Tideman, Ince Abdul Wahab Daeng Masikki

memperoleh Bintang Perak (Zilverenster) karena kesetiaan, kehormatan dan

tanggung jawab atas segala pengabdiannya yang diberikan oleh pemerintah


29
Ibid., hlm. 333.
30
Ibid., hlm. 317.

101
kolonial. Ince Abdul Wahab Daeng Masikki menerima penghargaan tersebut oleh

Residen E.E. de Clerks dihadapan para kepala negeri dan pembesar Belanda di

Maros.31

Perlantikan Mas Noer Alim Daeng Marewa pada 17 Juni 19114532 oleh

pemerintahan kolonial Belanda yang notabenenya bukan keturunan Melayu telah

merubah tradisi dalam perjalanan sejarah masyarakat Melayu-Makassar selama

200 tahun sebelumnya karena pada umumnya jabatan tersebut hanya diberikan

untuk keturunan Melayu sepanjang 15 keturunan. Namun tradisi ini telah berubah

kembali setelah Ince Abdullah Bau Sandi yang merupakan keturunan Melayu

kembali menduduki posisi sebagai Kapitan Melayu ke-17 tahun 1912-1917.

Beliau kemudian pensiun dan digantikan oleh Kamaruddin Daeng Parani yang

juga bukan keturunan Melayu yang diangkat sebagai Kapitan Melayu pada tahun

1920.33 Pada tahun 1921, jabatan Kapitan Melayu ini telah dihapuskan seiring

dengan perubahan dan susunan pemerintahan yang baru diperkenalkan di Bandar

Makassar yang sebelumnya terdiri dari 6 daerah tetapi kini telah dicantumkan

menjadi 4 daerah saja. Daerah Melayu dan Daerah Endeh telah dihapuskan dan

dimasukkan kedalam pemerintahan Daerah Wajo yang kemudian dikelola oleh

satu alasan terhadap penghapusan daerah pemerintahan Melayu adalah disebabkan

oleh Kampung Melayu tidak lagi hanya diduduki oleh orang Melayu saja tetapi

31
Amrullah Amir, “Memoar Ince Abdul Wahab Daeng Masikki keturunan Melayu-
Makassar di Bandar Pelabuhan Makassar 1876-1910”, Op.cit, hlm 106.
32
Regeerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1913.
33
Sejarah Keturunan Indonesia Melayu. 1987. Ujung Pandang: Kerukunan Keluarga
Indonesia Keturunan Melayu (KKIKM) Ujung Pandang, hlm. 18. Abdurrahim. 1953. “Kedatangan
Orang Melayu di Makassar” dalam H.D Mangemba. 1954, hlm. 150.

102
juga banyak kelompok etnis lain didalamnya sehingga masyarakat yang mendiami

daerah ini sudah bercampur.34Walaupun jabatan Kapitan Melayu telah dihapuskan

pada tahun 1921, masyarakat keturunan Melayu di Sulawesi Selatan tetap

memiliki peranan utama dalam sistem pemerintahan kolonial Belanda.

Dalam Regering Almanak Kerajaan Hindia-Belanda tahun 1912 tercatat

daftar nama pegawai baru dari daftar tambahan yang jelas adalah mereka yang

berketurunan Melayu telah dilantik kedalam Mahkamah Pengadilan Negeri seperti

Ince Manga yang telah dilantik sebagai pegawai Jaksa di Selayar pada November

1911. Demikian juga seorang tokoh berketurunan bangsawan Melayu-Makassar-

Bugis bernama Mauraga Daeng Malliungngang yang telah dilantik sebagaiAsisten

Jaksa di Pangkajene bersama dengan saudara lelakinya yang bernama Ince

Dongkang Daeng Masikki. Kedua-duanya telah dilantik pada 12 September 1912

untuk membantu Jaksa Ince Abdullah Husain alias Ince Mangassengie.35

Demikian juga dalam Regering Almanak Kerajaan Hindia-Belanda pada tahun

1913 tercatat satu nama tokoh Melayu yaitu Ince Ali yang juga telah dilantik

sebagai Juru Tulis oleh Mahkamah Pengadilan Negeri Bonthain. Sementara Ince

Abdul Maula Ince Calla (Tjalla) telah dilantik sebagai Jaksa di Pare-pare

menggantikan Ince Manga. Perlantikan mereka yang berketurunan Melayu dalam

34
Sebelum perubahan distrik di wilayah Bandar Makassar terdiri 6 distrik iaitu: distrik
Makassar, Wajo, Melayu, Endeh, Ujung Tanah, dan Mariso kemudian diubah menjadi 4 distrik:
Makassar, Wajo, Ujung Tanah, dan Mariso. Muklis Paeni, dkk. 1984. Sejarah Sosial Sulawesi
Selatan: Mobilitas Sosial Kota Makassar, 1900-1950. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, hlm. 10-11.Abdurrahim. 1953. “Kedatangan Orang Melayu di Makassar” dalam H.D
Mangemba. 1954, hlm. 150-151.
35
Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie:1912, hlm. 239.

103
sistem hukum dan sistem pengadilan kolonial Belanda telah bertambah sejak pada

tahun 1914 dengan dilantiknya Ince Salamun sebagai Jaksa36.

Tabel : 4.1
Keturunan Makassar-Melayu yang masuk dalam Birokrasi Pemerintahan
Hindia Belanda di Sulawesi Selatan 1906-194037

Nama Jabatan Tanggal Wilayah


Pelantikan

Mauraga Daeng Penasehat 26 Agustus Pengadilan Negeri


Malliungngang Jaksa 1910 Pangkajene

Intje Alie Juru Tulis 10 Juni Pengadilan Negeri


1912 Bonthain
Intje Manga Jaksa 11 Pengadilan Negeri Selayar
November
1912
Dongkang Masikki Penasehat 12 Pengadilan Negeri
Jaksa September Pangkajene
1912
Hadji Abdoellah Baoe Kapitan 28 Juni Kampung Melayu
Sandi Melayu Ke 1912 Makassar
17

Intje Haeroddin Pembantu Tidak Pengadilan Negeri


Urusan dinyatakan Onderafdeeling Sinjai
Bumiputra

Intje Salamun Jaksa 28 Mei Pengadilan Negeri Takalar


1914
Intje Abdul Mannan Penasehat 22 Juli 1915 Pengadilan Negeri
Jaksa Bonthain

Intje Oentoeng Jaksa 23 Pengadilan Negeri Maros


September
1916
Intje Mohammad Saleh Penasehat 1925 Pengadilan Negeri
Jaksa Pampanua

36
Amrullah Amir, Sejarah Masyarakat Melayu di Sulawesi Selatan 1600-1942 : Identiti
dan Autoriti, hlm. 318-319.
37
Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie 1906-1940.

104
Intje Abdoel Rahman Juru Tulis 22 Mei Pengadilan Negeri Majene
1925

Intje Ali Sekertaris 5 Maret Pengadilan Negeri


1934 Makassar
Pengadilan

4.5 Elit Birokrasi Kolonial di Makassar

Kota Makassar, ibu kota pemerintahan Selebes dan Jajahannya diakui

sebagai Kota Praja pada tahun 1906. Termasuk dalam pemberian status Kota Praja

ini adalah pembentukan Dewan Kota yang mula-mula terdiri dari delapan orang

Belanda, tiga orang Indonesia, dan dua orang Cina, yang semuanya ditunjuk. Dua

orang anggota Belanda ditambahkan lagi pada tahun 1911, dan dua orang anggota

Indonesia pada tahun 1938. Menjelang tahun 1938 para anggota dewan dipilih dan

pemilihannya sangat dibatasi.38

Selain diatas, pada tahun 1918 hingga 1938 ditetapkanlah ketua Dewan

Kota. Walikota merupakan orang Belanda yang diangkat oleh Gubernur Jendral

untuk waktu yang tidak ditentukan dan juga memiliki tugas rangkap yaitu menjadi

ketua Dewan Kota (Voorzitter). Pada periode Dewan Kota Makassar dimasa

pemerintahan Hindia Belanda tahun 1918 hingga berubahnya status kota

Makassar menjadi Stadsgemeente pada tahun 1938, kota Makassar telah

mengalami tujuh kali pergantian Walikota yaitu seperti dibawah ini39 :

38
Staatsbald 1906, No 171, Staatsblad 1911, No 614.
39
Mita Puspita, Dewan Kota Makassar (Gemeenteraad van Makassar), (Makassar:Skripsi
di Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, 2017), hlm.48.

105
Tabel : 4.2

Nama-nama Walikota di Makassar pada Masa Kolonial

No Nama Walikota Masa Jabatan

1 J.E Dambrink 1918-1927

2 J.H de Groot 1927-1931

3 G.H.J Beikenkamp 1931-1932

4 F.C Van Lier 1932-1933

5 Ch.H Ter Laag 1933-1934

6 J. Leewis 1934-1936

7 H.F Brune 1936-1942

Salah satu contoh elit politik yang merasakan kebijakan yang diberlakukan

oleh Pemerintah Belanda adalah Lanto Daeng Pasewang yang lahir di Jeneponto 3

Juli 1900. Beliau pernah bersekolah di OSVIA Makassar dan melanjutkan sekolah

untuk pegawai negeri di Jakarta. Tahun 1935-1942 Lanto Daeng Pasewang

kemudian diangkat menjadi Jaksa di Makassar. Tahun 1942-1945 beliau menjabat

menjadi pejabat polisi Indonesia senior di Sulawesi dan anggota komite pelaksana

SUDARA (Sumber Darah Rakyat). Tahun 1945-1946 Lanto daeng Pasewang

menjadi anggota staf Gubernur Republik Dr. Ratulangi. Pada tanggal 5 April 1946

beliau dibuang ke Seruni (Irian Barat) bersama dengan Dr. Ratulangi dan para

pemimpin PKR lainnya. Februari 1948 beliau kemudian diperkenankan pergi ke

106
Jogja oleh Pemerintah Belanda setelah selesai PerjanjianRenvile. Pada September

1949 beliau kemudian kembali ke Makassar dan menjadi anggota parlemen NIT.

Tahun 1950 Lanto Daeng Pasewang dinobatkan menjadi Menteri Dalam Negeri

dalam kabinet Likuidasi NIT dibawah pimpinan Ir. Putuhena. Dan pada tahun

1950-1954 Lanto Daeng Pasewang ditunjuk menjadi ketua komite pelaksana

Partai Kedaulatan Rakyat. Hingga tahun 1954-1956 Lanto Daeng Pasewang resmi

dilantik menjadi Gubernur Sulawesi.40

Contoh elit politik lainnya yang muncul pada periode inijuga adalah

Walikota Makassar tahun 1960 yaitu Aroepala. Sebelumnya beliau telah

merasakan masa-masa kondisi dibawah tekanan Pemerintah Hindia Belanda pada

masa kolonial.Aroepala lahir pada tanggal 10 Juni 1910, di Batangmata Selayar,

beliau adalah putra dari Abdul Aziz yang mempunyai jabatan sebagai pengawai

pengadilan di Selayar. Aroepala adalah salah satu siswa di Sekolah Rakyat (SR)

yang diperuntukkan bagi anak penduduk asli yang terdapat di ibukota

Onderafdeeling. Setelah lulus dari Sekolah Rakyat Aroepala kemudian

melanjutkan pendidikannya dijenjang yang lebih tinggi, yaitu di OSVIA pada

tahun 1923. Ketika bersekolah di OSVIA Aroepala langsung diserahi tanggung

jawab oleh pemerintah dengan jabatan Gediplomeerde Ambtenaren Voor de

Inlandsche Bestuurdienst (GAIB) di Sinjai tanggal 3 Juli 1931, kemudian

dipindahkan dengan jabatan yang sama di Selayar pada tanggal 23 Februari 1934,

dan kemudian dipindahkan lagi pada tanggal 7 Oktober 1936 di Muna, dan yang

dinaikkan jabatannya di Onderafdeeling Jeneponto tanggal 28 Juni 1941 sebagai

40
Barbara Harvey, op.cit, hlm. 368-369.

107
Hulp Bestuur Asisten. Pada 6 Februari 1960 Aroepala akhirnya resmi ditetapkan

menjadi Walikota Makassar kelima setelah kembalinya Republik Indonesia

kedalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.41

Jika semua posisi penting pada Dewan Kota dijabat oleh orang Belanda

dan jabatan Walikota sendiri baru dapat dicapai setelah revolusi, maka berbeda

dengan apa yang terjadi di dalam lembaga Pengadilan. Di lembaga tersebut,

beberapa elit lokal mampu menduduki jabatan penting bahkan sebelum revolusi.

Antaranya dapat dilihat pada tabel berikut:

Elit Birokrasi Dalam Bidang Pengadilan di Makassar pada Masa

Kolonial

Tabel : 4.3

Tahun Ketua Dewan Kepala Jaksa Wakil Jaksa Sekertaris


Kota

191242 Jhr. Mr. H.J. Van La Manggewa Oentoeng (1 Maret M.F.Akkerman


Vierssen Daeng Pasoe (22 1906) (16 Juni 1910)
Agustus 1900)
( 28 Agustus 1911)

191643 Jhr. Mr. H.J. Van La Manggewa Daramang (1 G.A.Fransz


Vierssen ( 28 Daeng Pasoe (22 September 1915) (20 November
Agustus 1911) Agustus 1900) 1914)

192144 Mr. M. Van La Manggewa Mappa Daeng W.C.N.


Apeldoorn (28 Daeng Pasoe (22 Matola (21 April Overbeek (15
April 1920) Agustus 1900) 1917), Mas Noer Juni 1917)

41
Muh Ali Hannapia, Makassar di Bawah Pemerintahan Aroepala 1960-1965, (Makassar:
Skripsi di Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, 2017) hlm.27.
42
Regeerings AlmanakVoor Nederlandsch 1912, hlm.96.
43
Regeerings AlmanakVoor Nederlandsch 1916, hlm.104.
44
Regeerings AlmanakVoor Nederlandsch 1921, hlm.125.

108
Alim (12 Juni
1917), La Haija (10
September 1920)

192745 Mr. M. Mantz (12 Abdoellah L.H. Manus (12 C.L.Fransz (7


April 1924) Daeng Mapoedji April 1926) Desember
(4 Agustus 1925)
1924)

193746 Mr. C.T. Bertling Abdoellah Sonda Daeng Injte Ali (5


(23 Mei 1936) Daeng Mapoedji Mattajang (21 Maret 1934)
(4 Agustus April 1931), Lanto
1924) Daeng Pasewang
Wakil:
(8 Juli 1935)
Moedan (3
Oktober 1936)

194047 Mr.C.J. Bennink Abdoellah Mamadjang (20 Raden Iskak (


Bolt (18 Oktober Daeng Mapoedji November 1939) 4 Oktober
1939) (4 Agustus 1939)
1924)

Wakil:
Wakil:Mangkoel Moedan (3
la Daeng Oktober 1936)
Parompa (21
Juni 1938)

Dari jenjang tahun Regeerings Almanakdalam bidang pengadilan diatas,

dapat disimpulkan bahwa orang Belanda dari tahun 1912-1940 menempati posisi

tertinggi yaitu sebagai ketua Dewan Kota dalam pemerintahan Hindia Belanda di

Makassar. Sedangkan kedudukan Jaksa dan Wakil Jaksa ditempati oleh kaum

pribumi lokal, walau pada tahun 1926 jabatan Wakil Jaksa sempat di pegang oleh

45
Regeerings AlmanakVoor Nederlandsch 1927, hlm.132.
46
Regeerings AlmanakVoor Nederlandsch 1937, hlm.146.
47
Regeerings AlmanakVoor Nederlandsch 1940, hlm.143.

109
Intje Abdul Manan yang berasal dari keturunan Makassar-Melayu tetapi

kemudian berhasil kembali diduduki oleh kaum pribumi lokal tahun 1931 oleh

Sonda Daeng Mattajang dan Lanto Daeng Pasewang tahun 1935. Yang terakhir

jabatan Sekertaris masih dominan diduduki oleh orang Belanda hingga tahun

1934, tetapi sempat di ambil alih oleh Intje Ali yang berasal dari keturunan

Makassar-Melayu pada tahun 1934 dan dilanjutkan oleh penduduk pribumi lokal

yaitu Raden Iskak tahun 1939.

Ada beberapa kaum elit birokrasi yang masih tetap menduduki jabatan

yang sama setelah pergantian sistem dari sistem pemerintahan tidak langsung ke

sistem pemerintahan langsung tahun 1906. Seperti halnya Oentoeng yang masih

tetap menduduki jabatan Wakil Jaksa dari tahun 1898, hingga pergantian

pemerintah menjadi pemerintahan langsung, beliau masih tetap menduduki

jabatan Wakil Jaksa yang dimulai lagi pada tanggal 1 Maret 1906.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, saat terjadi peralihan

kekuasaan pemerintahan secara keseluruhan ke tangan Pemerintah Belanda sejak

1906 dan sejalan dengan pelaksanaan kebijakan politik etis, khususnya di bidang

pendidikan, terlihat perubahan pada posisi-posisi kepala pemerintah di bekas-

bekas wilayah kerajaan yang kini menjadi daerah Swatantra. Posisi pada

pemerintahan lokal mulai beralih dan bergeser ke golongan elit lokal maupun

keturunan Makassar-Melayu. Dalam proses perubahan itu, di Sulawesi Selatan

faktor kebangsawanan dan pendidikan sebenarnya tidak dapat dipisahkan untuk

kemudian menjadi penentu seorang berhak atas jabatan atau tidak.

110
Meskipun seorang memiliki darah keturunan raja (bangsawan) tetapi tidak

memiliki integritas yang memadai untuk menduduki suatu jabatan, maka akan

sulit juga untuk mendapatkan posisi. Meski tidak menutup kemungkinan jika

seorang elit pada abad ke-20 rata-rata berasal dari kaum bangsawan, dikarenakan

faktor pendukung lain, yaitu kekayaan dan jaringan. Tetapi tidak dapat dikatakan

juga jika semua golongan elit adalah mereka yang berdarah bangsawan, karena

ketika dilihat dari pembahasan di atas terdapat beberapa nama-nama elit yang

lahir dari keluarga menengah atau To Maradeka.

111
BAB V

KESIMPULAN

Studi ini membicarakan mengenai munculnya elit birokrasi di Sulawesi Selatan

1906-1942. Berdasarkan pokok persoalan yang telah dirumuskan dalam

pendahuluan dan diuraikan pada bab-bab setelahnya dapat ditarik beberapa

kesimpulan, diantaranya:

Setelah terjadi pergeseran kekuasaan dari masa tradisional hingga masa

kolonial, status kebangsawanan seseorang sudah tidak lagi dipandang begitu

penting. Dimana pada masa tradisional, raja dan anak yang berdarah asli To

Manurung adalah satu-satunya pewaris tahta dari kekuasaan suatu daerah, orang

yang berhak memilih dan menetapkan kebijakan dipegagang oleh raja dan

keluarganya. Namun setelah penaklukan yang ditandai dengan penandatanganan

Korte Verklaring maka sistem yang demikian dirombak dan digantikan oleh

pemerintah Belanda secara langsung, dimana Belanda memimpin dan menempati

tempat-tempat pokok dalam pemerintahan. Jadi, secara perlahan status

kebangsawanan anak raja tidak lagi dapat dipakai dan dipergunakan dalam

pemerintahan Sulawesi Selatan.

Setelah pendidikan masuk di Sulawesi Selatan pada akhir abad ke-19 juga

adalah salah satu pokok kesimpulan dalam penulisan ini, dimana cikal bakal

munculnya sebuah kaum elit tidak lepas dari didirikannya sekolah-sekolah di

Sulawesi Selatan. Sebelum masyarakat Sulawesi Selatan mengenal adanya sistem

pendidikan kebaratan, mereka sudah lebih dulu mengenal sistem pembelajaran

melalui aksara lontara dan aksara serang. Begitu pula ketika Islam masuk pada

112
abad ke-17, maka masyarakat lebih mantap untuk menyerap pelajaran dalam

tradisi mengaji.

Dengan muncul dan berkembangnya pendidikan di Sulawesi Selatan

maka muncullah standar pembentukkan sebuah elit dalam masyarakat, dimana

pendidikan menjadi standar utama dalam penentuan jabatan dan kekuasaan sebuah

bidang. Setelah perkembangan pendidikan di Sulawesi Selatan semakin pesat

maka pemerintah memberikan kesempatan untuk kaum pribumi menempati

jabatan-jabatan penting dalam pemerintah dengan persyaratan kesetiaan dan

pendidikan yang memadai.

Jadi, setelah peralihan sistem pemerintahan dari tradisional ke Modern

didukung dengan perkembangan pendidikan abad ke-20 dapat dikatakan bahwa

status kebangsawanan seseorang sudah tidak lagi sepenuhnya dipakai dalam

penentuan penguasa dalam suatu kawasan. Anak karaeng atau anak keturunan Tu

Manurung sudah tidak sepenuhnya dapat menjabat menjadi pemimpin suatu

daerah ketika mereka tidak memiliki kualitas dan kuantitas yang memadai untuk

menjadi pemimpin. Terlebih lagi ketika anak keturunan Makassar-Melayu yang

dalam penulisan ini dilihat cukup banyak menduduki tempat-tempat yang strategis

dalam pemerintahan di bidang pengadilan dikarenakan keinginan mereka yang

lebih besar untuk menuntut ilmu. Maka dengan ini dapat menjawab rumusan di

bab sebelumnya bahwa dengan munculnya Elit birokrasi maka terjadilah

pergeseran stratifikasi sosial dalam masyarakat Sulawesi Selatan, dimana penulis

melihat bahwa tempat-tempat penting dalam pemerintahan cukup banyak

113
dipegang oleh anak keturunan Makassar-Melayu yang notabenenya dalam

masyarakat Sulawesi Selatan disebut sebagai orang biasa atau To Maradeka.

Dengan penjabaran di bab sebelumnya juga dapat ditarik satu kesimpulan.

Jika golongan elit yang menduduki posisi tertentu memang kebanyakan masih

dipegang oleh kaum bangsawan walaupun sebagian bukan dari bangsawan tinggi

karena selain faktor pendidikan, munculnya elit juga disebabkan oleh faktor

pendukung yang lain, misalnya saja faktor kekayaan dan faktor jaringan.

114
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Arsip :

1. M.T.H. Perelaer.1872. De Bonische Expeditien Krijgsgebeurtenissen op

Celebes in 1859 en 1860 Jilid I. Leiden: Gualth Kolff.

2. Memory Van Overgave , Agustus 1913-1916.

3. Regeerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1906.

4. Regeerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1911.

5. Regeerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1912.

6. Regeerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1917.

7. Regeerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1920.

8. Regeerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1921.

9. Regeerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1924.

10. Regeerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1928.

11. Regeerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1935.

12. Regeerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1937.

13. Regeerings-Almanak Voor Nederlandsch Indie 1940.

14. Staatsblad 1910, No. 573.

15. Staatsbald 1906, No 171.

16. Staatsblad 1911, No 614.

17. Terjemahan Surat Edaran Gubernur Sulawesi A.Couvreur Tahun 1904-

1929. No. 38, Lampiran 1.

18. Terjemahan Surat Edaran Gubernur Sulawesi A.Couvreur Tahun 1904-

1929. No. 39/III.

115
Sumber Buku:

Agung, Gde Putra. 2001.Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Andaya, Leonard. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad

ke-17. Makassar: Ininnawa.

Amir, Amrullah. Desember 2016. “Memoar Ince Abdul Wahab Daeng Masikki

keturunan Melayu-Makassar di Bandar Pelabuhan Makassar 1876-

1910”, Jurnal Sejarah Jejak Nusantara Jalur Rempah sebagai

simpul peradaban bahari. No.03. Volume 04.

Asyikin, Muhammad. 2013. Nasionalisme di Sulawesi Selatan 1905-1942,

Makassar: Pasca Sarjana Unhas

Baudet, H. dan I.J. Brugmans. 1987. Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan.

Jakarta: YOI..

Berg, C.C. 1962. Ilmu-ilmu Kebudayaan Indonesia: Suatu Metamorfose Selama

Setengah Abad Peralihan. Jakarta: Bhatara.

Bottomore, T.B. 2006. Elit dan Masyarakat. Jakarta: Akbar Tandjung Institute.

Groeneber, Kees. 1995. Jalan ke Barat : Bahasa Belanda di Indonesia. Jakarta :

Bina Aksara.

Harvey, Barbara. 1989. Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke

DI/TII,Jakarta: Grafitipers.

116
Husain, Sarkawi. 2015. Sejarah Sekolah Makassar (Ditengah Kolonialisme,

Pertumbuhan Pers, dan Pembentukan Elit Baru 1876-1942).

Makassar: Ininnawa.

Ingleson. 1983. Jalan ke Pengasingan : Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun

1927-1934. Jakarta : LP3ES.

Kartodirdjo, Sartono. 1973. Ikhtisar Keadaan Politik Hindia Belanda Tahun

1838-1848. Jakarta: ANRI. Penerbitan Sumber-Sumber Sejarah

No.5.

Kuntowijoyo. 2013.Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara

Wacana.Mappangara, Suriadi. (Ed). 2004. Ensiklopedia Sejarah

Sulawesi Selatan sampai tahun 1905. Makassar: Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Sulsel.

Mappangara, Suriadi. 2017. Ensiklopedia Sejarah Tokoh dan Peristiwa Sulawesi

Selatan dan Barat Samapai Tahun 1905. Makassar: Laboratorium

Sejarah dan Budaya Universitas Hasanuddin.

Mattulada, 2015. Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik

Orang Bugis. Jakarta: Ombak.

Mattulada. 1998.Sejarah Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Jilid

1 dan 2.

Mukhlis dan Anhar Gonggong. 1992. Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Selatan;

Mobilitas Sosial Kota Makassar 1900-1950. Ujung pandang:

P3MP.

117
Nasution, S,2008. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Niel, Robert Van. 1989. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta : Pustaka

Jaya.

Paeni, Mukhlis. 1995. Sejarah Kebudayaan Sulawesi. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan,

Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Sejarah Nasional.

Palloge, Andi.2006. Sejarah Kerajaan Tanah Bone. Sungguminasa: Yayasan Al

Muallim.

Pelras, Christian. 2006.The Bugis(Terjemahan Abdul Rahman Abu, dkk).Manusia

Bugis. Jakarta: Nalar. Cetakan I.

Poelinggomang, Edward. 2004. Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan

Makassar 1906-1942. Yogyakarta: Ombak.

Poelinggomang, Edward. 2016. Makassar Abad XIX Studi Tentang Kebijakan

Perdagangan Maritim. Jakarta: KPG.

Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.

Sejarah Perkembangan Pemerintahan Departemen dalam Negeri di Provinsi

Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. 1991.Sul-Sel: Pemerintahan

Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan.

Sulistyo, Bambang. 1996. Pemuda Nasionalis Militan di Sulawesi Selatan.

Makassar : Lembaga penelitian UNHAS.

118
Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi. Jakarta: Sinar

Harapan.

Suwignyo, Agus. 2013. The Great Depression and the changing trajectory of

public education policy in Indonesia, 1930-42. Singapore :

Journals of Southeast Asian Studies, The National University of

Singapore.

Tika, Zainuddin, dkk. 2016. HM Yasin Limpo Dalam Kancah Revolusi

Kemerdekaan. Makassar: Lembaga Kajian Sejarah Budaya

Sulawesi Selatan.

Tol, Roger. 1990. Een Haan In Oorlog “Toloqna Arung Labuaja een Buginees

heldendicht”. Belanda: Foris Publications.

119
Sumber Skripsi/Disertasi :

Amir, Amrullah. 2015. Sejarah Masyarakat Melayu di Sulawesi Selatan 1600-

1942 : Identiti dan Autoriti. Kuala Lumpur:University

Kebangsaan Malaysia, Disertasi Doktor.

Fahmid, Mujahid. 2011.Pembentukan Elite Politik Di Dalam Etnis Bugis dan

Makassar menuju Hibriditas Budaya Politik. Bogor: Disertasi

Doktor, Sekolah Pasca Sarjana Institute Pertanian Bogor.

Hannapia, Muh Ali. 2017. Makassar di Bawah Pemerintahan Aroepala 1960-

1965. Makassar: Skripsi di Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Hasanuddin.

Nurlinda, 2014. Sejarah Pendidikan di Bonthain pada Zaman Hindia Belanda

1907 1942. Makassar: Skripsi di Universitas Hasanuddin.

Puspita, Mita. 2017. Dewan Kota Makassar (Gemeenteraad van Makassar).

Makassar:Skripsi di Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Hasanuddin.

Sumule, Jono. 2016. Lanto Daeng Pasewang Sebagai Gubernur Sulawesi Selatan

1953-1956 : Kajian Sejarah Politik. Makassar: Skripsi di

Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Hasanuddin.

120
Sumber Internet :
https://nurkasim49.blogspot.co.id/2011/12/iii.html,diakses pada pukul 01:33

tanggal 11 Januari 2018

https://bulukumbakab.go.id/rubrik/biografi-singkat-andi-sultan-daeng-radja-

pahlawan-nasional-dari-bulukumba, diakses pada tanggal 13 April 2018, pukul:

01.50

121
LAMPIRAN
Gambar 1
PETA SULAWESI SELATAN46

46
Roger Tol, Een Haan In Oorlog “Toloqna Arung Labuaja een Buginees heldendicht”,
(Belanda: Foris Publications, 1990).

122
Gambar 2
https://www.flickr.com/photos/125605764@N04/20563404691/

Berdiri di depan dari kiri ke kanan: Andi PangEran Petta Rani Arung Bulo-Bulo
(Ex. Gubernur Sulawesi, Putera Andi Mappanyukki ArumponE), Andi Soji
KaraEng KanjEnnE Datu Suppa (Menantu Andi Mappanyukki ArumponE,
Permaisuri Andi Abdullah Bau MassEpE Datu Suppa Lolo), Andi Mappanyukki
Sultan Ibrahim Mangkau ri BonE,- Ir. Soekarno (Presiden RI), - I Padjongan
DaEng NgallE KaraEng PolombangkEng, Andi Sultan DaEng Raja KaraEng
Gantarang

123
Gambar 3
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/7/7e/Lanto_Daeng_Pasewang.jpg
ELIT LOKAL (LANTO DAENG PASEWANG)

Gambar 4
http://civitasbook.com/singo.php?cb=non&_i=wall&id1=aaaaaaaatamu&id2=&i
d3=aaaaasnp129_pahlawan
ELIT LOKAL (ANDI BAU MASEPPE)

124
Gambar 5

https://id.pinterest.com/pin/292804413249476853/

WE TENRI OLLE BERSAMA KELUARGNYA

125
Gambar 6
https://daerah.sindonews.com/read/1031956/192/andi-pangerang-petta-rani-
pahlawan-yang-terlupakan-1439329069

ANDI MAPPANYUKKI SAAT TURUN TAKHTA

126
Gambar 7
https://www.flickr.com/photos/125605764@N04/22447756207

I MALLA DAENG MABELA, ARUNG MANAJENG, RESIDEN PANYNYULAQ,


TANETE RIATTANG

127
Gambar 8
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Lanto_Daeng_Pasewang.jpg

128
Gambar 9
http://www.geocities.ws/landaratulangi/

Dari sebelah kiri: Lanto Daeng Pasewang, I. P. L. Tobing, Dr. G. S. S. J. Ratu-


Langie, Soewarno, Josef Latumahina, W. S. T. Pondaag, H. I. A. Saleh Daeng
Tompo

129
Gambar 10
https://nurkasim49.blogspot.co.id/2011/12/iii.html

I-Tjoneng Karaeng Manjalling, I-Mappanyukki, I-Mangimangi, bersama H. Van


der Wall (Controller) dan Assisten Controller di depan kantor onderafdeeling
Gowa, Sungguminasa

130
Gambar 11
https://www.flickr.com/photos/125605764@N04/16421603348

ORANG BUGIS BERSAMA PENGUASA BELANDA

131
LAMPIRAN BERKAS
SK Pembimbing

(1)

132
(2)

133
134
(3)

(4)

135
Surat Kontrol

(Pembimbing I)

136
(Pembimbing II)

137
Halaman Pengesahan

138
Surat Pengantar WD 1

139
SK Ujian Skripsi

(1)

140
(2)

141
(3)

142

Anda mungkin juga menyukai