Anda di halaman 1dari 135

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

FAKULTAS HUKUM

Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi

Nomor 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014

“Implikasi Hukum Tata Ruang Terhadap Bencana Banjir Di Kawasan Bandung


Selatan”

OLEH:

Raka Fauzan Hatami

NPM : 2012200021

PEMBIMBING

Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H, M.H.

Penulisan Hukum

Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan


Untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana
Program Studi Ilmu Hukum

2016
PERNYATAAN INTEGRITAS AKADEMIK

Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai ideal dan standar mutu akademik yang setinggi-tingginya,
maka Saya, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan yang bertandatangan
dibawah ini :

Nama : Raka Fauzan Hatami

No. Pokok : 2012200021

Dengan ini menyatakan dengan penuh kejujuran dan dengan kesungguhan hati dan pikiran, bahwa
karya ilmiah/ karya penulisan hukum yang berjudul :

“IMPLIKASI HUKUM TATA RUANG TERHADAP BENCANA BANJIR DI KAWASAN


BANDUNG SELATAN “

adalah sungguh-sungguh merupakan karya ilmiah/ Karya Penulisan Hukum yang telah Saya susun
dan selesaikan atas dasar upaya, kemampuan dan pengetahuan akademik Saya pribadi, dan sekurang-
kurangnya tidak dibuat melalui dan atau mengandung hasil tindakan-tindakan yang :

a. Secara tidak jujur dan secara langsung atau tidak langsung melanggar hak-hak kekayaan
intelektual orang lain, dan atau

b. Dari segi akademik dapat dianggap tidak jujur dan melanggar nilai-nilai integritas akad dan
itikad baik;

Seandainya di kemudian hari ternyata bahwa Saya telah menyalahi dan atau melanggar pernyataan
Saya diatas, maka Saya sanggup menerima akibat-akibat dan atau sanksi-sanksi sesuai dengan
peraturan yang berlaku di lingkungan Universitas Katolik Parahyangan dan atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pernyataan ini Saya buat dengan penuh kesadaran dan kesukarelaan, tanpa paksaan dalam bentuk
apapun juga.

Bandung, 19 Desember 2016

Mahasiswa Penyusun Karya Ilmiah/ Karya Penulisan Hukum

Raka Fauzan Hatami


2012 200 021

i
ABSTRAK

Bencana banjir besar yang terjadi di kawasan Bandung Selatan, tepatnya di daerah
Baleendah, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung pada tahun 2016 ini merupakan yang paling
parah dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Penyebab bencana banjir di kawasan Bandung
Selatan ini disebabkan beberapa faktor, yakni meluapnya Sungai Citarum, perkembangan
pembangunan di Cekungan Bandung yang semakin pesat setiap tahunnya, dan penataan
ruang yang keliru, menyimpang dan tidak sesuai dengan standart yang ditetapkan dalam
pembangunan di Cekungan Bandung. Khususnya di Kawasan Bandung Utara.

Walaupun bencana banjir ini terjadi di wilayah Kabupaten Bandung, akan tetapi
karena Bandung merupakan satu kesatuan wilayah yang terdiri dari Kota Bandung,
Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung sendiri, seharusnya antar
pemerintah daerah tadi sebagaimana yang disebutkan di atas melakukan sinergi/kerjasama
antar daerah dengan dikoordinasikan oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam rangka
melakukan kegiatan penataan ruang di Bandung Raya untuk bertanggung jawab dalam
menanggulangi bencana banjir Akan tetapi, sinergitas yang diharapkan tidak berjalan sesuai
yang diinginkan dan masing-masing daerah masih mementingkan kepentingan daerah
masing-masing tanpa memperdulikan wilayah lainnya. Hal itu terjadi tidak hanya di
kawasan hilir, tetapi juga terjadi di kawasan hulu, yakni kawasan Bandung Utara yang
terbentang dan masuk ke dalam wilayah administratif dari daerah-daerah yang telah
disebutkan di atas. Padahal, kawasan hulu tersebut perlu mendapatkan perhatian lebih
dikarenakan aspek perencanaan yang dibuat dalam regulasi tidak diikuti dengan
pemanfaatan serta pengendalian yang baik di lapangan. Metode penelitian dalam penelitian
ini ialah yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan
kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif dan juga melakukan wawancara
dengan pihak-pihak terkait untuk melihat fakta-fakta di lapangan.

Bahwa pemerintah daerah antar Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya dengan


dikoordinasikan oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah seharusnya melakukan
sinergitas untuk bertanggung jawab dalam menanggulangi bencana banjir ini agar tidak
terulang di kemudian hari dengan menata kawasan hulu dan hilir agar aspek perencanaan,
pemanfaatan, serta pengendalian berjalan sebagaimana yang diinginkan.

Kata Kunci : Bencana banjir, Sinergitas, Perencanaan, Pemanfaatan, Pengendalian,


Tata Ruang, Tanggung Jawab Pemerintah.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan anugerah-Nya demi kemudahan serta kelancaran bagi penulis sehingga Penulisan Hukum
yang berjudul “IMPLIKASI HUKUM TATA RUANG TERHADAP BENCANA
BANJIR DI KAWASAN BANDUNG SELATAN” ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Adapun Penulisan Hukum ini disusun sebagai salah satu kelengkapan untuk
menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Katolik
Parahyangan.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak


yang telah membantu sehingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan tepat waktu, antara
lain :

1. Papah (Diar Irwana S.H.) dan Mamah (Yanti Susanti) selaku orang tua penulis yang
selalu memberikan doa dan dukungan yang begitu besar dan tak terhingga serta
membiayai segala hal dalam proses penyelesaian Penulisan Hukum ini. Tanpa doa
dan dukungan mereka, Penulis tidak dapat menyelesaikan Penulisan Hukum ini tepat
waktu. Oleh karena itu, Penulis mendedikasikan Penulisan Hukum ini kepada mereka;

2. Riska Fathia selaku adik Penulis yang senantiasa menjadi adik yang baik dan selalu
memberi semangat kepada Penulis untuk menyelesaikan Penulisan Hukum ini;

3. Dhena Febriana, yang selalu memberikan semangat, perhatian serta doa kepada
penulis untuk menyelesaikan Penulisan Hukum ini. Terimakasih telah menemani
penulis pada masa-masa sulit dan juga menyenangkan, dimulai dari masa SMA
hingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan studi perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan;

4. Bapak Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H, M.H. selaku dosen pembimbing Penulisan
Hukum Penulis yang telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk
memberikan arahan, masukan dan senantiasa membimbing dan membantu Penulis
dari awal pengerjaan Penulisan Hukum ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik;

5. Bapak Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Katolik Parahyangan;

iii
6. Ibu Feby Ivalerina Kartikasari, SH.,LL.M selaku dosen wali dan dosen pembimbing
proposal Penulisan Hukum yang telah membantu penulis untuk mengarahkan dari
awal konsep serta ide dalam proposal pengajuan Penulisan Hukum hingga pada
akhirnya penulis dapat menyelesaikan Penulisan Hukum ini. Terimakasih atas
bimbingan, arahan, serta masukan selama penulis menjalani studi di Fakultas Hukum
ini;

7. Ibu Dr. W. M. Herry Susilowati, S.H., M.Hum. selaku dosen penguji Penulisan
Hukum yang telah memberikan arahan saran, serta masukkan kepada Penulis selama
sidang berlangsung;

8. Segenap dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan yang telah


memberikan pengetahuan serta pemahaman di bidang ilmu hukum;

9. Sahabat serta teman-teman Penulis di SMAN 7 Bandung, Gary Aiman Naufal,


Muhammad Rifqi, Akbar Adiguna, Fahmi Firmansyah, Imam Cahaya Ramadhan,
Adli Rifki, Rio Ferdinand, Rizky Yuardi, Idan Febriansyah, Ridho Anugerah, Alif
Umbara, Hafizh Zhafran, Dipi, Faisal, Galih, Ghina, Ria, Helena dan teman-teman
lainnya yang telah memberikan dukungan kepada Penulis untuk menyelesaikan
Penulisan Hukum ini;

10. Aditya Bima Shakti, Syahran Haffiyan, Dony Erlangga, dan Muhammad Rizki selaku
sahabat penulis yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian
Penulisan Hukum ini;

11. Teman-teman Penulis di Fakultas Hukum, Agung Aswin, Ignatius Adi, Danuja
Windraya, Prayogo Adiarto, Albert “Orick” Tawarikh, Dwiki Kristantio, Chrisman
Antonius, Tegar Algamar, Ananda Anggia Ramadhan, Aditya Hilmawan, Gabriel
Jesse, Fransiskus Sinurat, Jody Sumampouw, Azka Fadhillah, Astra Hansel, Bryan
Ganda, Pande, Vito, Gusti, Hendrikus, Robin, Dwi Estu, Tantri dan teman-teman
lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih telah menjadi teman-
teman yang baik dan menyenangkan selama penulis menjalani studi di Fakultas
Hukum ini;

12. Teman-teman bimbingan bersama, Anviany, Oriza, dan Mahadiena. Terimakasih


telah memberikan dukungan, serta semangat kepada penulis dalam penyelesaian
Penulisan Hukum ini;

iv
13. Teman-teman Fakultas Hukum angkatan 2012 yang namannya tidak dapat disebutkan
satu persatu;

14. Staff tata usaha serta pekarya Fakultas Hukum yang telah membantu penulis selama
menjalani studi di Fakultas Hukum ini;

15. Seluruh pihak yang secara langsung atau tidak langsung telah membantu penulis
dalam pengerjaan Penulisan Hukum ini.

Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum yang penulis selesaikan ini masih jauh
dari kata sempurna dan masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, Penulis dengan
senang hati bersedia menerima kritik, saran, serta masukan dari pihak pembaca untuk
perbaikan skripsi ini. Besar harapan penulis bahwa Penulisan Hukum ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.

Bandung, 19 Desember 2016

Penulis

Raka Fauzan Hatami


2012200021

v
DAFTAR ISI

PERNYATAAN INTEGRITAS AKADEMIK........................................ i

ABSTRAK.................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR................................................................................. iii

DAFTAR ISI……………………………………………………… …........ vi

BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………… . 1

1.1 Latar Belakang Masalah............................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………................ 8
1.3 Tujuan Penelitian....................................................................................... 9
1.4 Kegunaan Penelitian…………………………………………………...... 10
1.5 Metode Penelitian...................................................................................... 11
1.6 Sistematika Penulisan………………………………………………........ 13

BAB II
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAHAN, PERIZINAN
DAN ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG
BAIK ……………………………………………….................................... 15

2.1 Teori Tanggung Jawab Pemerintah……………………………......... 15


2.1.1 Tanggung Jawab Jabatan ………………...................................... 20
2.1.2 Tanggung Jawab Pribadi… ............................................................ 21
2.2 Perizinan …………………………………………………………........ 25
2.3 Teori Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik………………..... 27
2.3.1 Awal Mula Konsep Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.. 28
2.3.2 Bentuk dan Macam-Macam Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik .................................................................................... 30

BAB III
PERATURAN DAERAH MENGENAI RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG DAN MENENGAH SERTA RENCANA
TATA RUANG DAN WILAYAH YANG DIBUAT PEMERINTAH

vi
PROVINSI JAWA BARAT DAN KABUPATEN/KOTA
DI WILAYAH BANDUNG RAYA TERKAIT
PERMASALAHAN BANJIR ……………………………………………… 40

3.1 Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 26 Tahun


2007 Tentang Penataan Ruang................................................................ 40
3.2 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Serta Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Jawa Barat................................................................... ................ 50
3.2.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat. 51
3.2.2 Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat............................ 53
3.2.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi
Jawa Barat..…..................................................................................... 57
3.3 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Serta Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Bandung ..…........................................................................... 59
3.3.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bandung 60
3.3.2 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung....................... ..... 62
3.3.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten
Bandung................................................................................................ 64
3.4. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 70
3.4.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Bandung......... 72
3.4.2 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung..................................... 74
3.4.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Bandung..... 76
3.5. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi.... 78
3.5.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Cimahi............... 78
3.5.2 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi........................................... 81
3.5.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Cimahi........... 83
3.6. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dan Rencana Pembangunan
JangkaMenengah Serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Bandung Barat............................................................................................... 84
3.6.1 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten

vii
Bandung Barat ....................................................................................... 85
3.6.2 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung Barat..................... 87
3.6.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten
Bandung Barat ...................................................................................... 89
BAB IV
ANALISIS IMPLIKASI HUKUM TATA RUANG TERHADAP
BENCANA BANJIR DI KAWASAN BANDUNG SELATAN.................... 92

4.1.Tanggung Jawab Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat, Serta


Kabupaten/Kota Di Wilayah Bandung Raya Dikaitkan Dengan
Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik ………………………………………………............................... 92
4.2.Penerapan Kebijakan-Kebijakan Berkaitan Dengan Penyelesaian
Penanganan Banjir Bandung Selatan............................................................... 109

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN............................................................................ 117

5.1. Kesimpulan ...................................................................................................... 117

5.2. Saran ................................................................................................................ 118

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 120

viii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bencana banjir besar yang terjadi di kawasan Bandung Selatan, tepatnya


di daerah Baleendah, Dayeuhkolot, dan beberapa perkampungan di kecamatan
Bojongsoang, Kabupaten Bandung pada tahun 2016 ini membuat resah para
warga. Seperti yang dialami oleh Asep (47), warga asli Cieunteung, Kelurahan
Baleendah, Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung yang mengatakan bahwa
ia memprediksi, banjir tahun ini bakal berlangsung lebih lama dari biasanya. "Ini
kalau hujan lagi atau seperti Sabtu (12 Maret 2016) kemarin, ketinggian air bisa
semakin tinggi. Kemarin saja 4 sampai 5 meter ada. Ini surut mungkin bisa lebih
dari 1 bulan. Biasanya hanya 1 bulan," tutur Asep sebagaimana dikutip dari
wawancara dengan situs dalam jaringan liputan 6.1

Bagaimana tidak, dengan curah hujan yang tinggi, Bencana ini seolah
menjadi masalah klasik yang sulit diantisipasi. Akibatnya sebagian warga harus
rela mengungsi dari tempat tinggalnya, dan sebagian lagi memilih bertahan.2
Tercatat sekitar 35.000 rumah di Kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah, dan
Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat yang termasuk kawasan Bandung
Selatan, terendam banjir luapan Sungai Citarum.3 Hal tersebut dapat disebabkan
oleh semakin pesatnya pembangunan di Bandung Selatan dimana Kecamatan
Baleendah dan Dayeuhkolot merupakan salah satu pusat kegiatan industri dan
memiliki peranan penting bagi pendapatan Kabupaten Bandung.4 Banjir

1
Kukuh Saokani, Warga Kabupaten Bandung: Ini Banjir Terparah Sejak Saya Tinggal,
http://regional.liputan6.com/read/2458227/warga-kabupaten-bandung-ini-banjir- terparah-sejak-
saya-tinggal. Diakses pada tanggal 31 Mei 2016 Pukul 16.17 WIB.
2
Tersedia di
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160313_indonesia_banjir_jawabarat.
Diakses pada tanggal 31 Mei 2016 Pukul 16.12 WIB.
3
Tersedia di
http://regional.kompas.com/read/2016/03/13/14044831/Banjir.di.Kabupaten.Bandung.Terparah.d
alam.10.Tahun.Terakhir. Diakses pada tanggal 30 Mei 2016 Pukul 15.42 WIB.
4
Data yang ada di Badan Penanaman Modal dan Perijinan (BPMP) Kabupaten Bandung
menunjukan, sampai tahun 2009 jumlah usaha industri tercatat 776 buah. Sedangkan

1
merupakan bencana yang lumrah terjadi di Baleendah dan Dayeuhkolot karena
secara geografi merupakan daerah Daerah pelepasan air tanah Kabupaten
Bandung.5 Namun, semakin lama area yang terendam banjir semakin meluas dan
menyebabkan kerugian yang besar, diantaranya membuat aktivitas masyarakat
terganggu, kerusakan bangunan, munculnya wabah penyakit, dan terhambatnya
kegiatan ekonomi.

Banjir disebabkan perkembangan metropolitan cekungan Bandung sangat


pesat.6 Perkembangan tersebut terlihat dari semakin memadatnya bangunan dan
meningkatkan area kedap air, pembuangan berbagai jenis limbah ke sungai yang
mengakibatkan sedimentasi yang besar di Sungai Citarum, dan eksploitasi air
tanah sehingga terjadi penurunan muka tanah dari tahun ke tahun. Setiap tahun,
selalu saja ada wilayah atau pemukiman warga yang berada di daerah resapan air
(DAS) yang terkena banjir. Salah satunya yang dirasakan warga Kampung
Cieunteung, Kelurahan/Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Di tahun
2015 yang lalu, warga Kampung Cieunteung sudah merasakan banjir sejak musim
penghujan di pertengahan November lalu.7

Selain pembangunan di daerah-daerah banjir tersebut yang semakin pesat


seperti pembangunan kegiatan industri, pemukiman penduduk yang padat, dan
juga kurang sadarnya penduduk akan bahaya banjir dengan masih membuang
berbagai jenis limbah ke sungai citarum dan ditambah dengan curah hujan yang
sangat tinggi. Direktur Eksekutif Wahan Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa
Barat, Dadan Ramdan mengatakan bahwa rusaknya daerah hulu yang merupakan

pertumbuhan industri mulai tahun 2000 s/d 2009 rata-rata mencapai 1,47 %. Adapun wilayah
yang sangat potensial dalam perkembangan industri, masing-masing Kecamatan Majalaya
sebanyak 109 buah, Margaasih 106 buah, Katapang 105 buah, Margahayu 78 buah, dan
Kecamatan dayeuhkolot 77 buah.
5
Wilayah Geografis Kabupaten Bandung dalam http://www.bandungkab.go.id/arsip/2359/aspek-
geografi. Diakses pada tanggal 31 Mei 2016 Pukul 16.46 WIB.
6
Dadan Ramdan, EKSPANSI BISNIS PROPERTI DAN KRISIS SOSIO-EKOLOGIS DI CEKUNGAN
BANDUNG, dalam jurnal di situs daring
https://www.academia.edu/19187182/Derita_Sosial_Ekologis_Cekungan_Bandung. Diakses
pada tanggal 31 Mei 2016 Pukul 16.38 WIB.
7
Dony Iqbal, Banjir, Masalah Klasik Di Bandung Raya. Apa Solusinya?,
http://www.mongabay.co.id/tag/tata-ruang/. Diakses pada tanggal 30 Mei 2016 Pukul 14.48
WIB.

2
daerah resapan air, menyebabkan persoalan di cekungan Bandung sulit teratasi
sehingga cakupan banjir di cekungan Bandung setiap tahun semakin meluas.8
Daerah Baleendah dan Dayeuhkolot yang merupakan daerah cekungan Bandung
yang dilewati oleh aliran sungai citarum terkena dampak dari rusaknya daerah
resapan air tersebut. Ditambah dengan beralih fungsi nya lahan di daerah Bandung
Selatan dan pembangunan di Kawasan Bandung Utara (selanjutnya disingkat
KBU).

Permasalahan banjir yang semakin meluas di beberapa wilayah di


Kabupaten Bandung terjadi karena kebijakan tata ruang Kabupaten Bandung yang
bermasalah dan tidak adanya sinergi antar pemerintah di wilayah Bandung Raya
ini. Karena menurut Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, banjir Bandung
Selatan bukan hanya urusan Kabupaten Bandung. Diperlukan kerjasama lintas
sektor untuk menyelesaikannya. Hal yang sangat penting menurut beliau adalah
komitmen pemerintah, baik pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota dan bagaimana
sinergi antar Pemerintah berjalan baik.9 Keadaan terkini terkait penanganan
bencana banjir di wilayah Bandung Raya, yang salah satunya mencakup banjir
Bandung Selatan telah dilaksanakan pertemuan antara pemerintah
Kabupaten/Kota di Bandung Raya yang diinisiasi dan dikoordinasikan oleh
Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tanggal 1 (satu) November 2016 yang lalu
belum berjalan sebagaimana yang diinginkan. Dikatakan demikian, permasalahan
banjir di Bandung Raya (salah satunya mencakup bencana banjir di Bandung
Selatan, khususnya Kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung)
yang belum terselesaikan ini menimbulkan kesan bahwa setiap daerah di wilayah
Bandung Raya saling menyalahkan dalam persoalan bencana banjir yang timbul
di wilayahnya masing-masing.10 Salah satu contohnya ialah Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bandung, Ernawan Mustika
mengatakan bahwa hampir sebagian besar aliran air dari Kota Bandung bermuara

8
Id.
9
Tersedia di http://www.rakyat.win/2016/05/soal-banjir-yang-melanda-bandung.html. Diakses
pada Tanggal 15 Agustus 2016 pukul 16.00 WIB.
10
Novianti Nurullilah, KOLOM BERITA, Lima Daerah Saling Tukas, PIKIRAN RAKYAT, 2
November, 2016, pada 1.

3
di Sungai Citarum yang sudah melebihi kapasitas dan berakibat pada bencana
banjir di Bandung Selatan. Lebih lanjut, beliau mempertanyakan keberadaan tol
air di Kota Bandung mengenai pembuangan air genangan banjir. Apakah memang
air yang tertampung untuk menangani banjir di Kota Bandung dibuang ke sungai
Citarum atau tidak. Apabila dibuang kembali ke sungai Citarum, tol air yang
dipergunakan ini pasti akan berdampak lebih lanjut kepada Kecamatan Baleendah
dan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung dan membuat genangan air di 2 kawasan
tersebut menjadi semakin tinggi.

Kabupaten Bandung sendiri memiliki wewenangnya dalam mengatur


pencegahan maupun penanggulanggan banjir dikaji dari Rencana Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang mengacu kepada RPPLH
Provinsi maupun Nasional. Namun, menurut Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H.,
M.H. dalam notulensi siaran radio “Podjok Hukum” dengan tema “Kedudukan
Hukum dalam Upaya Penanggulangan Banjir di Wilayah Kabupaten Bandung dan
Sekitarnya”11 mengatakan bahwa memang perlu adanya sinergi antara kota
dengan kabupaten (dalam hal ini koordinasi antara Kabupaten Bandung dan Kota
Bandung, juga koordinasi dengan pemerintah Provinsi Jawa Barat) dan instansi-
instansi terkait guna menanggulangi banjir. Salah satunya pengembalian fungsi
lahan dari KBU dan hulu sungai Citarum di kawasan Pangalengan dan Kertasari.

Berbicara mengenai sinergi antar pemerintah di kawasan Bandung Raya,


dalam hal penyebab bencana banjir besar di Bandung Selatan, kita tidak hanya
melihat dari kerusakan alam atau alih fungsi lahan di kawasan daerah resapan air
utama di wilayah Kabupaten Bandung. Kita wajib melihat kondisi dan keadaan di
kawasan Bandung Utara sebagaimana daerah hulu dan daerah resapan air utama di
wilayah Bandung Raya dan secara fungsional daerah–daerah yang masuk KBU
terbagi ke dalam 4 wilayah administratif pemerintahan, yaitu Kabupaten
Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kota Cimahi, meliputi

11
Asep Warlan Yusuf, Kedudukan Hukum dalam Upaya Penanggulangan Banjir di Wilayah
Kabupaten Bandung dan Sekitarnya dalam http://lbhpengayoman.unpar.ac.id/notulensi-siaran-
radio-13-april-2016-kedudukan-hukum-dalam-upaya-penanggulangan-banjir-di-wilayah-
kabupaten-bandung-dan-sekitarnya/. Diakses pada tanggal 30 Mei 2016 Pukul 15.06 WIB.

4
21 kecamatan, 89 kelurahan, dan 16 desa. Luas KBU adalah kurang lebih
38.543,33 Ha12 dan terdapat Peraturan Daerah (selanjutnya disingkat PERDA)
Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan
Ruang Kawasan Bandung Utara (selanjutnya disingkat KBU) yang beberapa
waktu ini disempurnakan kembali karena sebagaimana diakui Wakil Gubernur
Jawa Barat, Deddy Mizwar mengatakan kelemahan dari PERDA ini ialah tidak
bisa mengendalikan pembangunan KBU yang diplot sebagai daerah resapan bagi
Bandung Raya.13

Keadaan KBU sendiri pada saat ini mengalami pembangunan yang sangat
pesat dari sisi ekonomi sangatlah menguntungkan. Akan tetapi, terlepas dari
pesatnya pembangunan di kawasan tersebut, wilayah KBU merupakan Kawasan
Lindung dan Kawasan Budidaya dalam konsep penataan ruang wilayah Bandung
Raya yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya karena sebagai daerah hulu,
keberadaanya sangat penting. Apabila terjadi kerusakan atau pembangunan di
tempat yang rentan, hal ini akan menyebabkan bencana alam. Beberapa
pembangunan di KBU ditengarai tidak berizin/ilegal, seperti kasus pembangunan
hotel D’Areuy, di Desa Cikoneng, Kabupaten Bandung yang dibangun tanpa
dilengkapi izin mendirikan bangunan (IMB) yang dikeluarkan Pemerintah
Kabupaten Bandung14, dan juga rencana pembangunan apartemen di wilayah
Jalan Bangbayang Selatan, termasuk pembangunan perumahan di sekitar
Pasirimpun yang dampaknya dapat merusak lingkungan sekitar.15 Selain itu,
kerusakan yang dialami yaitu tiadanya pohon-pohon pelindung karena lahannya
beralih fungsi menjadi lahan perumahan mewah, dan perkebunan. Beralihnya
fungsi lahan juga disebabkan mudahnya perizinan untuk mendirikan

12
Tersedia di http://diskimrum.jabarprov.go.id/kbu/. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 Pukul
19.47.
13
Ahmad Fikri, Revisi Perda, Jawa Barat Perketat Pembangunan Bandung Utara,
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/05/058725106/revisi-perda-jawa-barat-perketat-
pembangunan-bandung-utara. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2016 Pukul 13.27 WIB.
14
Tersedia di http://jabar.pojoksatu.id/bandung/2016/05/21/pemprov-jabar-kesulitan-data-
bangunan-kawasan-bandung-utara/ Diakses pada tanggal 1 Agustus 2016 Pukul 13.30 WIB.
15
Tersedia di http://dishut.jabarprov.go.id/?mod=detilBerita&idMenuKiri=&idBerita=3707.
Diakses pada tanggal 5 September 2016 pukul 16.08 WIB.

5
bangunan atau perumahan. Ataupula munculnya perumahan yang tidak
memperoleh izin terutama ketiadaan analisi dampak lingkungannya (AMDAL).16

Keberadaan suatu rencana tata ruang suatu wilayah, baik provinsi maupun
kabupaten/kota merupakan bagian dari rencana tata ruang nasional, provinsi
dalam bentuk satu kesatuan. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan ruang, Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
penataan ruang terdapat dalam ketentuan pasal 11 ayat (1) sampai dengan ayat (6).
Dan untuk merencanakan pembangunan penataan ruang di masing-masing
wilayah kewenangannya dan juga mengacu kepada PERDA KBU tadi,
pemerintah-pemerintah kabupaten/kota di kawasan Bandung Raya membuat
beberapa pengaturan mengenai perencanaan ruang dan wilayahnya. Seperti
Pemerintah Kabupaten Bandung (PERDA nomor 3 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Bandung), Kota Bandung (PERDA Nomor
10 Tahun 2015 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kota
Bandung Tahun 2015 – 2035), Kabupaten Bandung Barat (PERDA Nomor 2
Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung Barat
Tahun 2009-2029 ) dan Kota Cimahi (PERDA Nomor 4 tahun 2013 tentang
Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Cimahi).

PERDA-PERDA tersebut dibuat sebagai masterplan pembangunan di


wilayah-wilayah yang bersangkutan agar dapat menjalankan pembangunan tanpa
merusak ekosistem lingkungan. Diadakannya suatu perencanaan tata ruang
bertujuan untuk dapat menyerasikan berbagai kegiatan pembangunan antar sektor
dalam pembangunan daerah, sehingga dalam pemanfaatan ruang dapat dilakukan
seefektif dan seefisien mungkin sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan,
yakni mengarahkan struktur dan lokasi pembangunan yang serasi dan seimbang
dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia, sehingga
mencapai suatu pembangunan yang optimal.17 Di dalam PERDA-PERDA tersebut

16
Tersedia di http://jabarprov.go.id/index.php/artikel/detail_artikel/93/2014/03/11/Nasib-
Kawasan-Bandung-Utara. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2016 Pukul 16.49 WIB.
17
JUNIARSO RIDWAN DAN ACHMAD SODIK, HUKUM TATA RUANG DALAM KONSEP KEBIJAKAN
OTONOMI DAERAH 86 ( Nuansa, Bandung, 2011 ).

6
juga terdapat pengaturan untuk melestarikan kawasan Bandung Utara di masing-
masing wilayah yang termasuk ke dalam wilayah administratifnya. Hal-hal yang
telah disebutkan di atas merupakan tujuan yang ingin diwujudkan oleh masing-
masing pemerintah yang juga tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD), dan juga Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD).

Sudah seharusnya pemerintah-pemerintah terkait di kawasan Bandung


Raya melakukan tindakan yang cepat tanggap dalam menangani bencana banjir
ini dengan upaya preventif (pencegahan) agar pemerintah dapat mewujudkan asas
Perlindungan Kepentingan Umum yang mana kegiatan penataan ruang yang
dilakukan haruslah diselenggarakan dengan menguatamakan kepentingan
masyarakat18, dan asas keberlanjutan, dengan maksud agar kegiataan penataan
ruang yang dilakukan diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan
kelangsungan daya dukung serta daya tampung lingkungan hidup dengan
memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang.19 Asas-asas tersebut
memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan penataan ruang, terutama
asas keberlanjutan karena asas tersebut memegang peranan dalam upaya
memelihara dan mempertahankan sistem kehidupan di muka bumi ini melalui
pelestarian fungsi-fungsi dan kemampuan sumber daya alam serta sumber daya
alam buatan sebagai satu kesatuan ruang dan lingkungan hidup yang merupakan
prasyarat bagi kelangsungan kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya.

Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana


dimaksudkan di atas adalah untuk memberi petunjuk sampai batas-batas mana dan
dengan cara bagaimana sumber daya alam beserta sumber daya buatan tersebut
dapat dimanfaatkan, agar fungsi dan kemampuannya tetap lestari dengan maksud
untuk menjamin kehidupan manusia di masa yang akan datang. Pemerintah
provinsi Jawa Barat, dan juga pemerintah kabupaten/kota di Bandung seharusnya
saling bersinergi dan berkoordinasi dengan baik, salah satunya ialah dengan sama-
18
YUNUS WAHID, PENGANTAR HUKUM TATA RUANG. 19 ( Kencana Prenada Media Grup, Jakarta,
2014 ).
19
Id.

7
sama melakukan tindakan pencegahan, penertiban di KBU sebagai daerah hulu
karena pembangunan-pembangunan yang terjadi di kawasan tersebut, baik berizin
apalagi tidak berizin harus ditekan semaksimal mungkin karena kawasan tersebut
apabila tidak dirawat, maka akan terjadi bencana alam sebagaimana bencana alam
banjir di Bandung selatan.

Siapa yang wajib bertanggung jawab dan bagaimana bentuk


pertangunggjawaban atas bencana banjir yang melanda kawasan Bandung Selatan
ini ? Mengingat bencana pada tahun 2016 ini merupakan yang paling parah dalam
kurun 20 tahun terakhir.20 Apakah perencanaan tata ruang yang telah dibuat oleh
Pemerintah baik Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten
Bandung, dan Kabupaten/Kota lain yang tergabung dalam Cekungan Bandung
telah dibuat sebaik mungkin untuk mengatasi permasalahan banjir ini ? Karena
perencanaan penataan ruang harus menjadi bagian dari proses untuk menciptakan
keseimbangan antar wilayah sebagai wujud pembangunan dan berkeadilan bagi
masyarakat.21 Dan hukum merupakan suatu alat, norma, kaidah, dan pranata baik
yang tertulis dan tidak tertulis, yang seharusnya efektif dalam menyelesaikan
suatu permasalahan. Jadi, berdasarkan fakta-fakta di atas, PERDA-PERDA yang
dibuat belum berjalan efektif. oleh karena itu, menarik untuk mengambil sebuah
penelitian berjudul :

“IMPLIKASI HUKUM TATA RUANG TERHADAP BENCANA BANJIR


DI KAWASAN BANDUNG SELATAN”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, telah dijelaskan bahwa


banjir di daerah Bandung Selatan, terutama di Kecamatan Baleendah, dan
Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung diakibatkan alih fungsi lahan di daerah
Bandung Selatan, ketidakefektifan berbagai Peraturan Daerah yang dibuat oleh

20
Tersedia di http://www.soreangonline.com/2016/03/14/banjir-di-baleendah-dayeuhkolot-dan-
bojongsoang-kab-bandung-terparah.html. Diakses pada tanggal 30 Mei 2016 Pukul 15.40 WIB.
21
ERNAN RUSTIADI, SUNSUN SAEFULHAKIM, DAN DYAH R.PANUJU, PERENCANAAN DAN
PENGEMBANGAN WILAYAH 428 (Crestpent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011).

8
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah
Bandung Raya, dan berbagai macam pembangunan di kawasan Bandung Utara
yang menyebabkan rusaknya daerah hulu sehingga berdampak kepada daerah
hilir, utamanya ialah daerah Bandung Selatan.

Di dalam penulisan karya ilmiah ini diperlukan sumber informasi yang


luas agar dalam penulisannya dapat memberikan arah yang menuju pada tujuan
yang ingin dicapai, sehingga dalam hal ini diperlukan adanya perumusan masalah
yang akan menjadi pokok pembahasan di dalam penulisan karya ilmiah ini agar
dapat terhindar dari kesimpangsiuran dan ketidakkonsistenan di dalam penulisan.
Atas dasar latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapatlah dirumuskan
identifikasi masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana seharusnya bentuk tanggung jawab Pemerintah, baik
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di
wilayah Bandung Raya berkaitan dengan permasalahan banjir di Bandung
selatan dikaitkan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik ?; dan
2. Bagaimana penerapan dari Undang-Undang Penataan Ruang dan PERDA-
PERDA perencanaan tata ruang dan wilayah yang dibuat oleh Pemerintah
Provinsi Jawa Barat, dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Bandung Raya
dalam penanganan bencana banjir di Bandung Selatan ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan di atas, maka


penelitian ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut :
1. Untuk menjelaskan dan menganalisa bagaimana bentuk tanggung jawab
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, serta Pemerintah Kabupaten/Kota di
wilayah Bandung Raya selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam
menangani permasalahan bencana banjir di Bandung selatan dikaitkan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
2. Menganalisa apakah peraturan-peraturan daerah yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten/Kota di wilayah Bandung

9
Raya telah efektif untuk mencegah terjadinya bencana banjir di Bandung
Selatan serta dikaitakan juga dengan peraturan mengenai kawasan
Bandung utara sebagai kawasan hulu yang menyebabkan banjir di
kawasan hilir, yakni Bandung selatan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Manfaat yang diambil dari penelitian yang dilakukan ialah:


1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan dapat memberi penjelasan mengenai
bagaimana Pemerintah provinsi Jawa Barat, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya bertindak dan bertanggung
jawab dalam rangka menyelesaikan tugasnya berkaitan dengan
keselamatan masyarakat di kawasan Bandung selatan yang setiap tahun
selalu terkena bencana alam banjir
2. Manfaat Praktis
2.1 Memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat mengenai
penanggulangan bencana banjir di Bandung selatan dan bagaimana
bentuk tanggung jawab pemerintah, baik Pusat, provinsi Jawa Barat
maupun Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Bandung raya berkaitan
dengan penyelesaian permasalahan banjir.
2.2 Memberikan wawasan, pengetahuan, serta analisis bagi pemerintah,
masyarakat, serta mahasiswa terkait dengan efektifitas dari peraturan-
peraturan daerah di Bandung Raya berkaitan dengan permasalahan banjir
di Bandung Selatan, juga peraturan mengenai kawasan Bandung Utara
sebagai salah satu kawasan yang menyebabkan terjadinya bencana banjir
Bandung selatan.
2.3 Bagi peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga
untuk menambah pengetahuan serta wawasan di bidang pemerintahan,
khususnya bentuk tanggung jawab pemerintah serta penerapan peraturan
di bidang hukum tata ruang.

10
1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan proposal ini ialah


metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Metode yuridis
normatif adalah menemukan kebenaran dalam suatu penelitian hukum melalui
cara berpikir deduktif semata, dan kriterium kebenaran koheren.

Dalam kepustakaan penelitian hukum, metode yang akan dijalankan


tersebut dapat dijelaskan melalui metode peneilitian hukum yuridis normatif.
Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.22
Penelitian yuridis normatif mengonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis di
dalam peraturan perundang-undangan (law in books).23 Metode penelitian yuridis
normatif ini mendasarkan pada pokok-pokok ajaran Hans Kelsen, yakni Hukum
identik dengan hukum positif dan menemukan kebenaran dalam suatu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara berpikir deduktif semata, dan kriterium
kebenaran koheren. Juga kebenaran dalam suatu penelitian sudah dinyatakan
reliable tanpa harus melalui proses pengujian atau verifikasi24.

Untuk membantu penelitian yang akan penulis laksanakan, maka


dibutuhkan bahan atau data-data terkait dengan masalah yang akan diteliti. Untuk
menjelaskan bahan-bahan dimaksud, penulis mendasarkan kepada penjelasan
bahwa dalam penelitian hukum pada umumnya terdapat data yang diperoleh
langsung dari masyarakat (data primer) dan data berupa bahan-bahan pustaka
(data sekunder).25

22
JOHNNY IBRAHIM, TEORI DAN METODOLOGI PENELITIAN HUKUM NORMATIF 295 (Bayumedia
Publishing, Malang, 2013).
23
Penelitian yuridis normatif juga bisa disebut sebagai peneltian hukum doktrinal. AMIRUDDIN &
ZAINAL ASIKIN, PENGANTAR METODE PENELITIAN HUKUM 118 (Rajawali Press, Jakarta, 2014).
24
LIONA NANANG SUPRIATNA, METODE PENELITIAN DAN PENULISAN HUKUM 13 ( Agustus 2009)
(Diktat Kuliah yang tidak diterbitkan, terdapat pada Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan)
25
SOERJONO SOEKANTO & SRI MAMUDJI, PENELITIAN HUKUM NORMATIF: SUATU TINJAUAN
SINGKAT 12 (Rajawali Press, Jakarta, 2014).

11
Bahan Hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat berupa
peraturan-peraturan tertulis yang memiliki kerterkaitan kepada masalah yang akan
diteliti. Bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, hasil penelitian, karya
para sarjana) dan bahan hukum tersier (kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif)
adalah bahan-bahan yang dapat membantu memberikan penjelasan lebih
mendalam atas bahan hukum primer.26

Data yang digunakan dalam karya penulisan ini adalah data primer, data
sekunder, dan data tersier. Dalam penulisan ini, terdapat beberapa sumber
kepustakaan yang digunakan, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer


- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang;
- Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 24 Tahun 2010
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Jawa
Barat Tahun 2005-2025;
- Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung
Utara;
- Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Kabupaten Bandung 2008-2027;
- Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Rencana Detail
Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kota Bandung Tahun 2015 –
2035;
- Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Bandung Barat Tahun 2009-2029;
- Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2013 tentang Rencana Tata
Ruang dan Wilayah Kota Cimahi; dan
- Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dari

26
Id., pada 13.

12
Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bandung, Kota Bandung,
Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat yang
termasuk ke dalam wilayah Bandung Raya.

b. Bahan hukum Sekunder


Penulis akan menggunakan buku-buku hukum dengan pembahasan
mengenai hukum Administrasi Negara, dan Penataan ruang Selain buku-
buku tersebut, penulis menggunakan bahan-bahan dari berbagai jurnal
terkait, makalah ilmiah, artikel, berita (baik cetak maupun elektronik).
Halaman internet yang memuat data-data dari dunia maya juga digunakan
untuk mencari bahan bagi penulisan skripsi ini. Kemajuan dan
perkembangan zaman telah membuat informasi lebih cepat dan lebih
mudah diakses melalui internet. Dengan demikian, merupakan hal yang
positif mempergunakan internet sebagai media tambahan untuk
mendukung proses pencarian data.

c. Bahan-bahan Hukum Tersier


Penulis akan menggunakan kamus hukum seperti Black’s Law Dictionary
dan ensiklopedia untuk mencari beberapa pengertian yang dibutuhkan
dalam penelitian ini.

Selain bahan-bahan yang dipergunakan di atas, untuk memperkuat hasil


penelitian yang penulis lakukan, maka penulis akan menyertakan data berupa
Wawancara (interview) yang merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan tanya jawab langsung pada pihak-pihak terkait, yaitu pejabat-pejabat yang
berwenang di pemerintah provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten/kota
yang berwenang dalam mengurusi permasalahan penataan ruang dan berkaitan
dengan permasalahan banjir di kawasan Bandung Selatan;

1.6 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan hukum ini akan dibagi ke dalam lima bab. Antara bab
satu dengan yang lainnya merupakan kesatuan yang utuh dan saling berkaitan.

13
Masing-masing bab terbagi dalam beberapa sub bab. Gambaran isi dari masing-
masing bab adalah sebagai berikut:

Bab I, Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah yang mendasari
pentingnya diadakan penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penulisan yang digunakan, serta sistematika penulisan.

Bab II, Dalam bab ini, penulis akan menjabarkan mengenai beberapa teori dari
tanggung jawab pemerintah berdasarkan data-data dari sumber hukum primer.
Selain itu, dalam bab ini akan dijabarkan mengenai teori perizinan dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik beserta sejarah terbentuknya, serta macam-
macam bentuknya.

Bab III, Dalam bab ini, penulis akan membahas mengenai bagaimana instrumen-
instrumen hukum yang ada dan dibuat mengenai penataan ruang telah terdapat
komitmen, orientasi, konsekuensi, kepedulian serta mengakomodir penanganan
bencana banjir di kawasan Bandung Selatan yang dilakukan oleh pemerintah
provinsi Jawa Barat dan Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya.

Bab IV, Dalam bab ini penulis akan membahas lebih lanjut tentang bentuk
tanggung jawab pemerintah dikaitkan dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik, serta keefektifan penerapan PERDA-PERDA mengenai perencanaan tata
ruang dan wilayah dan bagaimana bentuk tanggung jawab Pemerintah dalam
menangani permasalahan bencana banjir dikaitkan dengan Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik.

Bab V, Dalam bab ini penulis akan memberi kesimpulan dan saran singkat
terhadap permasalahan yang dibahas.

14
BAB II

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAHAN PERIZINAN DAN ASAS-ASAS


UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

2.1 Teori Tanggung Jawab Pemerintah

Tanggung Jawab (atau pertanggungjawaban) berdasarkan Kamus Umum


Bahasa Indonesia merupakan keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika
ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).27
Dapat dikatakan bahwa dalam keadaan dimana salah satu pihak yang dinyatakan
bersalah diwajibkan untuk bertanggung jawab dan bentuk tanggung jawab yang
dilakukan dapat bermacam-macam, misalnya ganti rugi. Dalam kamus hukum
dikenal 2 (dua) istilah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yakni liability dan
responsibility.

Liability merupakan istilah hukum yang luas dimana dalamnya


mengandung makna “it has been referred to as of most comprehensive
significance, including almost every character of hazard of responsibility,
absolute, contingent, or likely. It has been defined to mean: all charachter of
debts and obligations” (liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif
meliputi hampir setiap karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang
bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua
karakter hak dan kewajiban).28 Di samping itu, Liability juga merupakan
“Condition of being actually or potentially subject to an obligation; condition of
being responsible for a possible or actual loss, penalty, evil, expense, or burden;
condition which creates a duty to perform an act immediately or in the future”29
(Kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial; kondisi
bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian,

27
WJS. POERWADARMINTA, KAMUS UMUM BAHASA INDONESIA. 1014. (Balai Pustaka, Jakarta,
2003)
28
RIDWAN H.R., HUKUM ADMINISTRASI NEGARA, 335 ( RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006).
29
HENRY CAMPBELL BLACK, BLACK’S LAW DICTIONARY. 823 ( West Publishing Co, 1979)

15
ancaman, kejahatan, biaya, atau beban; kondisi yang menciptakan tugas untuk
melaksanakan undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang).

Sedangkan, responsibilty memiliki arti yakni “The state of being


answerable for an obligation, and includes judgment, skill, ability, and capacity”
(Kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan, dan
memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apa pun yang
telah ditimbulkannya). Dari responsibility ini muncul istilah: 30

“responsible government; this term generally designates that species of


governmental system in which the responsibility for public measures or acts of
state rests upon the ministry or executive council, who are under an obligation to
resign when disapprobation of their course is expressed by a vote of want of
confidence, in the legislative assembly, or by defeat of an important measure,
advocate by them”.
Istilah di atas menunjukkan bahwa istilah ini pada umumnya menunjukkan
bahwa jenis-jenis pemerintahan dalam hal pertanggungjawaban terhadap
ketentuan atau undang-undang publik dibebankan kepada departemen atau dewan
ekesekutif, yang harus mengundurkan diri apabila penolakan terhadap kinerja
mereka dinyatakan melalui mosi tidak percaya, di dalam majelis legislatif, atau
melalui pembatalan terhadap suatu undang-undang yang dipatuhi oleh mereka.
Apabila diartikan dan digunakan secara praktis, istilah liability menunjuk pada
pertanggungjawaban hukum, dimana tanggung gugat akibat kesalahan yang
dilakukan oleh subjek hukum. Sedangkan istilah responsibility menunjuk pada
pertanggungjawaban secara politik. Namun, apabila melihat pada ensiklopedi
administrasi, responsibility adalah keharusan seseorang untuk melaksanakan
secara selayaknya apa yang telah diwajibkan kepadanya31 dan juga bahwa
pertanggung jawaban mengandung makna; meskipun seseorang mempunyai
kebebasan dalam melaksanakan sesuatu tugas yang dibebankan kepadanya,
namun ia tidak dapat membebaskan diri dari hasil atau akibat kebebasan

30
Id., pada 1180
31
RIDWAN H.R., supra catatan no. 28, pada 338.

16
perbuatannya, dan ia dapat dituntut untuk melaksanakan secara layak apa yang
diwajibkan kepadanya.32

Dalam kehidupan sehari-hari, dikenal adanya istilah pergaulan hukum


dimana di dalamnya mengisyaratkan terjadinya tindakan hukum, dan hubungan
hukum antar subjek hukum. Ketiganya adalah suatu kondisi atau keadaan yang
diatur oleh hukum dan/atau memiliki relevansi hukum dimana dalam praktiknya,
terjadi interaksi antara hak dan kewajiban antar dua subjek hukum atau lebih yang
masing-masing dilekati hak dan kewajiban. Hukum diciptakan dengan maksud
untuk mengatur pergaulan hukum agar masing-masing subjek hukum
menjalankan kewajibannya secara benar dan memperoleh hak dan kewajibannya
secara benar dan wajar. Hukum diciptakan agar keadilan dapat diaplikasikan
dalam pergaulan hukum. Ketika ada subjek hukum yang melalaikan kewajiban
hukum yang seharusnya dijalankan sehingga merugikan hak orang lain, maka
kepada yang melalaikan dan melanggar hak itu haruslah dibebani tanggung jawab
dan dituntut untuk mengembalikan hak orang lain tersebut kepada kondisi semula.
Beban tanggung jawab tersebut ditujukkan tidak hanya oleh seseorang, juga
ditujukkan kepada badan hukum, dan pemerintah sebagai penyelenggara negara
dan pemerintahan dimana masyarakat menjadi subjek hukum dalam pergaulan
hukum yang terjadi di dalamnya. Untuk mengetahui siapa yang bertanggung
jawab dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, perlu dikemukakan
terlebih dahulu tentang jabatan pemerintahan yang dilekati fungsi dan
kewenangan pemerintahan.

Logemann mengatakan bahwa Negara dan organisasi jabatan “de staat is


ambtenorganisatie” dan dalam suatu Negara itu ada jabatan pemerintahan, yakni
lingkungan pekerjaan tetap yang dilekati dengan wewenang untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan, yakni semua tugas-tugas kenegaraan
selain bidang pembuatan undang-undang dan peradilan.33 Tugas dan wewenang

32
ARIFIN P. SOERIATMADJA, MEKANISME PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN NEGARA. 45
(Gramedia, Jakarta, 1986)
33
Mustamu Julista, DISKRESI DAN TANGGUNG JAWAB ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN, 6 (April-Juni 2011) ( jurnal hukum Sasi Vol. 17 No. 2 yang dipublikasikan,

17
yang melekat pada jabatan ini dijalankan oleh manusia (natuurlijke persoon),
yang bertindak selaku wakil jabatan dan disebut pemangku jabatan atau pejabat.
Setiap penggunaan wewenang oleh pejabat selalu disertai dengan tanggung jawab,
sesuai dengan prinsip “deen bevoegdheid zonder verantwoordenlijkheid” (tidak
ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban). Karena wewenang itu melekat pada
jabatan, namun dalam implementasinya dijalankan oleh manusia selaku wakil atau
fungsionaris jabatan, maka siapa yang harus memikul tanggung jawab hukum
ketika terjadi penyimpangan harus dilihat secara kasuistik karena tanggung jawab
itu dapat berupa tanggung jawab jabatan dan dapat pula berupa tanggung jawab
dan tanggung gugat pribadi.34

Tanggung jawab pemerintah apabila ditinjau dengan aspek teoritis dapat


dikaitkan dengan konsep “onrechtmatiige daad” dimana prinsip ini dikenal dalam
bidang hukum perdata mengatakan bahwa setiap tindakan onrechtmatiige subjek
hukum, baik manusia maupun badan hukum yang menimbulkan kerugian bagi
pihak lain mengharuskan adanya pertanggungjawaban bagi subjek hukum yang
bersangkutan merupakan prinsip yang telah diakui dan diterima secara umum
dalam pergaulan hukum. Implementasi dari konsep onrechtmatiige daad ini telah
diakui dan berjalan tanpa ada hambatan. Sebagai contoh ialah salah satu pihak
dalam perjanjian jual beli melakukan wanprestasi terhadap pihak lainnya sehingga
pihak tersebut harus melakukan ganti rugi. Hal tersebut merupakan bentuk
pertanggungjawaban pihak tersebut kepada pihak yang dirugikan akibat dari
tindakannya. Namun, konsep ini sulit diterapkan terhadap pemerintah selaku
pemangku kekuasaan di suatu negara/daerah apalagi ketika hukum tidak tertulis
dimasukkkan sebagai salah satu kriteria perbuatan melanggar hukum. Konsep ini
apabila ditelaah lebih jauh dapat dipersoalkan bahwa apakah pemerintah dapat
digugat di pengadilan untuk mempertanggungjawabkan segala tindakannya yang
dianggap merugikan masyarakat banyak di wilayahnya.35

tersedia di file:///C:/Users/PC/Downloads/jsasi2011_17_2_1_mustamu.pdf. Diakses pada tanggal


20 September 2016 Pukul 14.19 WIB)
34
Id
35
RIDWAN H.R., supra catatan no. 28, pada 356.

18
Tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat yang dirugikan karena
lalainya pemerintah dalam menangani permasalahan yang ada akibat dari
kebijakannya dianut oleh setiap negara berdasarkan atas hukum yang mana sesuai
dengan salah satu prinsip negara hukum, yakni asas legalitas. Asas ini
mengandung makna bahwa tindakan hukum pemerintah harus berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau setiap tindakan hukum yang
dilakukan pemerintah harus berdasarkan kepada kewenangan yang diberikan oleh
perundang-undangan.36 Setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah
sebagaimana yang ditegaskan dalam suatu peraturan perundang-undangan
mengandung makna penggunaan kewenangan, dimana di dalamnya terdapat
adanya kewajiban pertanggungjawaban atas tindakan yang telah diambil oleh
pemerintah.

Bentuk pertanggungjawaban pemerintah ditinjau dari perspektif hukum


publik selanjutnya dapat dituangkan dan dipergunakan beberapa instrumen hukum
dan berbagai kebijakan seperti ketetapan (beschikking), keputusan (besluit),
peraturan kebijaksanaan (beleidsregel), dan peraturan (regeling). Selain itu,
pemerintah dapat menggunakan berbagai instrumen hukum perdata, seperti
perjanjian dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Setiap penggunaan
wewenang dan penerapan suatu instrumen hukum oleh pejabat pemerintah pasti
akan menimbulkan akibat hukum, baik bagi pemerintah juga bagi pihak lain.
Akibat hukum disini berawal dari adanya hubungan hukum antar subjek hukum
yang terbagi menjadi 2, yakni hubungan hukum intern yang merupakan hubungan
hukum di dalam atau antar instansi pemerintah, dan hubungan hukum ekstern,
yakni hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara. 37 Berkaitan
dengan topik penelitian yang penulis angkat, pertanggung jawaban yang wajib
dilakukan oleh pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten/kota merupakan
suatu hubungan hukum yang tercipta dalam pergaulan hukum antara pemerintah
dengan warga negara/masyarakat. Maka, bentuk pertanggungjawaban hukumnya
digolongkan pada hubungan hukum ekstern.

36
Id, pada 357.
37
Id, pada 359.

19
Manusia sebagai subjek hukum dan memiliki jabatan dalam pemerintahan
yang berwenang untuk mengeluarkan suatu kebijakan sebagaimana telah
disebutkan dalam paragraf di atas memiliki tanggung jawab dalam wewenangnya
di pemerintahan, dimana tanggung jawab pemerintah ini terbagi menjadi 2 (dua),
yakni tanggung jawab jabatan dan pribadi. Jadi, telah jelas bahwa setiap
penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah pasti terkandung
pertanggung jawaban. Akan tetapi, harus secara jelas dikatakan bahwa bagaimana
setiap orang yang bekerja dalam pemerintahan memperoleh cara-cara untuk
melaksanakan kewenangan pemerintah, karena dengan seseorang memiliki
kewenangan, maka otomatis akan memikul tanggung jawab hukum.

Di samping penentuan kewajiban tanggung jawab itu yang didasarkan


kepada cara-cara untuk memperoleh kewenangan, juga harus terdapat kejelasan
mengenai siapa yang dimaksud dengna pejabat ? lalu pada saat bagaimana
seseorang itu disebut dan dikategorikan sebagai pejabat ? kedua pertanyaan ini
penting dalam rangka untuk penentuan kewajiban tanggung jawab dalam bidang
hukum publik. Maka dari itu, akan ditelaah lebih lanjut mengenai bagaimana
bentuk pertanggung jawaban dari pemerintah dalam menangani berbagai
permasalahan yang ada di masyarakat.

2.1.1 Tanggung Jawab Jabatan


Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan fungsi dan
wewenang, karena pejabat tidak memiliki wewenang. Yang memiliki dan
dilekati wewenang adalah jabatan. Dalam kaitan ini, Logemann
mengatakan bahwa, berdasarkan Hukum Tata Negara, jabatanlah yang
dibebani dengan kewajiban, yang diberi wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum. Hak dan Kewajiban berjalan terus, tidak peduli dengan
pergantian pejabat.38 Karena kewenangan itu melekat pada jabatan,
sementara tanggungjawab dalam bidang publik itu terkait dengan
kewenangan, maka beban tanggung jawab itu pada dasarnya juga melekat
pada jabatan. Tanggung jawab jabatan ini berkenan dengan keabsahan

38
Mustamu Julista. supra catatan no.33, pada 7

20
tindakan hukum pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat untuk dan atas
nama jabatan (ambtshalve). Menurut F.R. Bothlingk, baik wakil maupun
yang diwakili adalah pelaku, namun tidak berarti bahwa keduanya
mempunyai tanggung jawab. Berkenan dengan perbuatan hukum,
jawabannya jelas. Meskipun kewenangan itu melekat pada jabatan yang
membawa konsekuensi melekatnya tanggung jawab pada jabatan yang
bersangkutan, namun dapat saja dalam pelaksanaan kewenangan itu
tanggung jawabnya dibebankan kepada pribadi (in persoon) pejabat.

2.1.2 Tanggung Jawab Pribadi


Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan maladministrasi dalam
penggunaan wewenang maupun public service. Seorang pejabat yang
melaksanakan tugas dan kewenangan jabatan atau membuat kebijakan
akan dibebani tanggung jawab pribadi jika ia melakukan tindakan
maladministrasi. Seseorang bertanggung jawab secara pribadi terhadap
pihak ketiga bilamana ia telah bertindak secara moril sangat tercela atau
dengan itikad buruk atau dengan sangat ceroboh, yakni melakukan
tindakan maladministrasi. Maladministrasi berasal dari bahasa Latin
malum (jahat, buruk, jelek) dan administrare (to manage, mengurus, atau
melayani), Maladministrasi berarti pelayanan atau pengurusan yang buruk
atau jelak. Dalam undang-undang nomor 37 tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia, yang dimaksud Maladministrasi adalah39
“Perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang,
menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum
dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh
penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian
materiil dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan”.

Dalam panduan investigasi untuk Ombudsman Republik Indonesia,


disebutkan dua puluh macam maladministrasi, yakni penundaan atas
pelayanan (berlarut-larut), tidak menangani, melalaikan kewajiban,

39
UNDANG UNDANG R.I., No 37 Tahun 2008, OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA, .L.N.R.I Tahun
2008 No. 139, Pasal 1 angka 3.

21
persekongkolan, kolusi dan nepotisme, bertindak tidak adil, nyata-nyata
berpihak, pemalsuan, pelanggaran undang-undang, perbuatan melawan
hukum, diluar kompetensi, tidak kompeten, intervensi, penyimpangan
prosedur, bertindak sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang,
bertindak tidak layak/tidak patut, permintaan imbalan uang/korupsi,
penguasaan tanpa hak, dan penggelapan barang bukti.40 Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
didalamnya terdapat unsur maladministrasi dan merugikan warga Negara,
tanggung jawab dan tanggung gugatnya dibebankan kepada pribadi orang
yang melakukan tindakan maladministrasi tersebut.

Berkenaan dengan bagaimana bentuk tanggung jawab pemerintah dalam


hukum tata ruang, tanggung jawab dari pemerintah dikenal sebagai salah satu asas
yang harus dijalankan dalam menerapkan hukum tata ruang. Pemerintah dalam
hal ini mutlak menjadi subjek yang harus bertanggung jawab ketika
menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam rangka penyelenggaraan penataan
ruang sebagaimana dijelaskan dalam pasal 7 ayat (1) dan (2):41

“Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran


rakyat.” dan “Dalam melaksanakan tugasnya, negara memberikan kewenangan
penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah dan pemerintah daerah.”
Tanggung jawab yang diemban oleh pemerintah dalam menyelenggarakan
kegiatan penataan ruang memiliki 3 makna yang tidak berbeda dengan tanggung
jawab hukum di bidang hukum administrasi, yakni Responsibility, Accountability,
dan Liability yang akan dipaparkan sebagai berikut:42

a. Responsibility berbicara mengenai dilekatkannya tugas dan kewenangan


pemerintah dalam rangka menjalankan penyelenggaraan urusan
pemerintahan. Kewenangan pemerintah dalam rangka penyelenggaraan

40
Mustamu Julista. supra catatan no.33, pada 8
41
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, .L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 7 ayat (1) dan (2)
42
ASEP WARLAN YUSUF, DALAM MATA KULIAH HUKUM TATA RUANG DI FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN. Pada tanggal 23 September 2016

22
urusan pemerintahan dalam penataan ruang disebut juga
bestuursbevoegheids.

b. Accountability atau asas akuntabilitas dalam penjelasan pasal 2 huruf F


undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang adalah: 43
“Penyelenggaraan penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik
prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.”

Asas akuntabilitas juga dapat dimaknai sebagai suatu upaya untuk


mendayagunakan sumber daya dalam rangka menyelesaikan suatu
pekerjaan, mengukur mencapai parameter tertentu, dan menetapkan
ukuran, derajat, agar dalam pelaksanannya terdapat batasan-batasan.
Apabila sumber daya yang dimaksud dimiliki dan didayagunakan serta
mencapai ukuran tertentu dalam mencapai suatu tujuan penyelenggaran
pemerintahan dalam penataan ruang tercapai, maka disebut dengan
akuntabel. Terdapat ukuran-ukuran akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh
pemerintah dalam rangka menyelenggarakan kegiatan penataan ruang agar
dapat disebut pemerintah yang akuntabel, yakni:44

1. Terciptanya keadilan bagi masyarakat;


2. Ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
3. Tidak ada ketimpangan pembangunan dan penyelengaraan
penataan ruang antar daerah;
4. Masyarakat tidak ditempatkan di kawasan yang rawan bencana;
5. Kegiatan penataan ruang harus memiliki nilai tambah dari kegiatan
yang sebelumnya; dan
6. Adanya penggantian yang layak bagi masyarakat yang dirugikan
akibat kegiatan penyelenggaraan penataan ruang.
c. Liability merupakan suatu tanggung jawab hukum yang diemban oleh
pemerintah apabila dalam penyelenggaraan kegiatan penataan ruang yang
dilakukan tidak sesuai dengan harapan sehingga menimbulkan kerugian
bagi masyarakat. Karena tujuan penyelenggaraan penataan ruang tidak
tercapai atau tidak akuntabel sebagaimana prinsip akuntabilitas, maka

43
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Penjelasan Pasal 2 huruf f.
44
ASEP WARLAN YUSUF, Infra catatan no. 42

23
pemerintah harus melakukan pertanggungjawaban hukum atas
Responsibility yang telah diberikan kepada pemerintah selaku pemilik
kekuasaan tertinggi dalam suatu wilayah.

Apabila seluruh ukuran-ukuran yang telah disebutkan tadi telah tercapai,


dapat dipastikan bahwa pemerintah telah melaksanakan tugasnya dalam
penyelenggaraan penataan ruang dengan baik dan benar. Akan tetapi, apabila
salah satu ukuran atau seluruh ukuran di atas belum tercapai, maka hal tersebut
akan menimbulkan berbagai permasalahan terkait penataan ruang dimana
pemerintah yang memiliki tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan
penataan ruang wajib bertanggung jawab dan masyarakat yang dirugikan dapat
meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah selaku penguasa yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan, dalam hal ini penyelenggaraan kegiatan
penataan ruang.

Berdasarkan uraian di atas, tanggung jawab pemerintah dibebankan tidak


hanya kepada pemerintah saja sebagai pemangku kekuasaan dan kewenangan.
Akan tetapi, seseorang yang memiliki jabatan tertentu dalam pemerintah dan
merupakan pemilik kewenangan dalam membuat suatu kebijakan juga berperan
penting dalam pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
kerugian yang dialami oleh masyarakat. Tanggung jawab pemerintah berkaitan
dengan bencana alam yang terjadi di kawasan Bandung Selatan tidak dapat
dilepaskan dari maraknya pemberian izin pembangunan yang tidak sesuai dengan
peruntukkan lahan yang ada di kawasan Bandung Utara sebagai daerah hulu
sehingga berdampak bagi daerah hilir yang berada di bawahnya dan menyebabkan
bencana banjir di Bandung Selatan. Pemberian izin pembangunan yang tidak
sesuai dengan peruntukkan lahan merupakan kewenangan yang dimiliki oleh
pemerintah selaku penguasa tertinggi dalam suatu negara atau daerah. Perizinan
merupakan suatu aspek penting dalam penataan ruang yang apabila perizinan
yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak sesuai dengan peruntukkan dan juga
mengakibatkan kerugian yang besar bagi masyarakat atau warga negara, maka
pemerintah dituntut untuk melakukan tindakan pertanggungjawaban pemerintah

24
kepada masyarakat yang dirugikan. Sebelum membahas lebih mendalam,
alangkah baiknya penulis dalam kaitannya dengan penelitian yang sedang
dilakukan membahas singkat mengenai landasan teori perizinan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah, baik Pusat, maupun daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

2.2. Perizinan

Izin dimaksudkan untuk mengendalikan setiap kegiatan atau prilaku pihak-


pihak, baik perseorangan maupun badan hukum yang sifatnya adalah preventif
(pencegahan). Beberapa bentuk perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah yakni
dispensasi, izin, dan konsesi. Dispensasi adalah keputusan administrasi negara
yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan peraturan yang menolak
perbuatan itu.45 Izin adalah suatu keputusan administrasi negara yang
memperkenankan perbuatan yang pada umumnya dilarang, tetapi diperkenaankan
dan bersifat konkret.46 Dan konsesi adalah suatu perbuatan yang penting bagi
umum, tetapi pihak swasta dapat turut serta dengan syarat bahwa pemerintah turut
campur tangan.47

Dari berbagai bentuk perizinan yang ada, penulis akan memfokuskan pada
teori mengenai perizinan yang dikeluarkan dalam suatu pembangunan yang
dilakukan di berbagai daerah dimaksudkan untuk memberikan kontribusi positif
bagi kegiatan perekonomian di suatu wilayah, terutama dalam hal pendapatan
daerah dan investasi. Izin juga dimaksudkan agar dapat menciptakan kondisi yang
aman dan tertib agar setiap kegiatan yang dilakukan atas izin dari pemerintah
sesuai dengan peruntukkannya. Tujuan dari perizinan bagi pemerintah juga
seringkali dikaitkan dengan pendapatan daerah. Ateng Syafrudin mengatakan
bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan.48 Izin dapat dikatakan

45
RIDWAN H.R., supra catatan no. 28 sebagaimana dikutip dari SJAHRAN BASAH, PENCABUTAN
IZIN SALAH SATU SANKSI HUKUM ADMNISTRASI, MAKALAH YANG DIPUBLIKASIKAN PADA
PENATARAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DAN LINGKUNGAN DI FAKULTAS HUKUM UNAIR,
SURABAYA. 1-2 ( UNAIR PRESS, 1995) pada 205.
46
JUNIARSO RIDWAN DAN ACHMAD SODIK, supra catatan no.17 Pada 105.
47
Id.
48
JUNIARSO RIDWAN DAN ACHMAD SODIK, supra catatan no.17 Sebagaimana dikutip dari ATENG
SYAFRUDIN, PERIZINAN UNTUK KEGIATAN TERTENTU. DALAM MAJALAH HUKUM MEDIA

25
sebagai perangkat hukum administrasi yang digunakan oleh pemerintah untuk
mengendalikan warganya. Izin juga merupakan suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah, yang
dalam suatu keadaan tertentu menyimpang dari peraturan perundang-undangan.
Izin pada dasarnya memuat tentang larangan, persetujuan yang merupakan dasar
pengecualian. Pengecualian tersebut harus diberikan oleh undang-undang untuk
menunjukan legalitas sebagai suatu ciri negara hukum yang demokratis.49 Izin
sebagai suatu instrumen yang dikeluarkan oleh pemerintah dan diterapkan oleh
pejabat negara. Oleh karena itu, izin merupakan instrumen pengendalian dan alat
pemerintah untuk mencapai apa yang menjadi sasarannya. Suatu izin yang
dikeluarkan oleh pemerintah merupakan wewenang dari pejabat yang
mengeluarkan izin tersebut untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan
pejabat tersebut memiliki kewajiban apabila timbul permasalahan dari izin yang
dikeluarkan tersebut. Izin memiliki sifat-sifat seperti:50
a. Konkret, artinya obyek yang diputuskan dalam tata usaha negara itu tidak
abstrak, akan tetapi berwujud dan ditentukan;
b. Individual, artinya izin ditujukkan dan disebutkan secara jelas kepada
siapa izin tersebut diberikan; dan
c. Final, artinya seseorang telah mempunyai hak untuk melakukan suatu
perbuatan hukum sesuai dengan isinya yang secara definitif dapat
menimbulkan akibat hukum tertentu.

Dari sifat-sifat di atas, perizinan memiliki suatu tujuan yang hendak


dicapai, yakni:51
a. Keinginan untuk mengarahkan aktivitas tertentu;
b. Mencegah bahaya yang mungkin akan timbul;
c. Untuk melindung objek-objek tertentu;
d. Membagi benda-benda yang sedikit;
e. Mengarahkan orang-orang tertentu untuk melakukan aktivitas.

Izin yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah provinsi
dan Kabupaten/Kota ialah untuk menciptakan suatu kondisi yang aman, nyaman,

KOMUNIKASI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN EDISI 23 ( Unpas Press, Bandung,


1997) pada 105
49
Id. Pada 107
50
Id.
51
Id.

26
dan tertib dan agar sesuai dengan peruntukkan, pemanfaatan, dan agar lebih
berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan di suatu wilayah. Izin juga merupakan suatu instrumen
yang penting dalam pelaksanaan pembangunan untuk mencapai beberapa tujuan
tertentu yang sangat penting keberadaannya dalam rangka pelaksanaan
pembangunan seperti yang dimaksud di atas, yakni adanya suatu kepastian
hukum, perlindungan kepentingan umum, pencegahan kerusakan atau pencemaran
lingkungan, dan pemerataan distribusi barang tertentu.52

Dikenal beberapa jenis pemberian izin, seperti misalnya Izin Mendirikan


Bangunan (IMB), izin lokasi, izin gangguan, izin peruntukkan penggunaan tanah,
izin trayek dan lain-lain. Dalam perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah, pasti
memuat unsur sanksi karena sanksi merupakan bagian terpenting dalam
penegakkan hukum yang wajib ditaati oleh semua pihak yang tujuan
dilaksanakannya ialah demi kepastian, ketertiban, dan keadilan. Sanksi dalam
perizinan erat kaitannya dengan hukum administrasi dimana terdapat beberapa
ketentuan sanksi, yakni Bestuursdwang (Paksaan pemerintah), Penarikan kembali
keputusan (ketetapan) yang menguntungkan, Pengenaan denda administrasi, dan
Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).

2.3. Teori Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Sebelum membahas lebih lanjut tentang asas-asas umum pemerintahan


yang baik, alangkah baiknya penulis mengulas terlebih dahulu mengenai apa yang
dimaksud dengan asas. Asas mengandung beberapa arti, yakni sebagai dasar
(sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat), dasar cita-cita
(perkumpulan atau organisasi), dan hukum dasar.53 Asas-asas umum
pemerintahan yang baik apabila dijelaskan secara singkat dapat dipahami sebagai
suatu bentuk dasar umum yang wajib diemban oleh pemerintah dalam
menyelenggarakan pemerintahan yang baik. Namun, pemaparan teori asas-asas

52
Id. Pada 108.
53
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA 60 (Balai
Pustaka, Jakarta, 1999)

27
umum pemerintahan yang baik akan lebih baik apabila penulis memaparkan
terlebih dahulu secara singkat mengenai perkembangan zaman terbentuk nya asas-
asas umum pemerintahan yang baik yang disadur dari beberapa literatur.

2.3.1 Awal Mula Konsep Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (selanjutnya disingkat


AAUPB) berangkat dari konsep welfare state yang berkembang pada abad 20
dimana dalam konsep ini, pemerintah diwajibkan untuk mewujudkan
kesejahteraan umum bagi seluruh warga negara. Dan untuk menciptakan hal
tersebut, pemerintah diberikan kewenangan untuk campur tangan dalam segala
lapangan kehidupan masyarakat.54 Artinya, pemerintah dituntut untuk bertindak
aktif untuk mengupayakan kesejahteraan masyarakat luas. Walaupun pemerintah
dalam tugasnya diberikan kewenangan untuk turut campur tangan dalam segala
lapangan kehidupan masyarakat, bukan berarti pemerintah dapat bertindak
sewenang-wenang. Akan tetapi, sikap tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena intervensi pemerintah dalam
segala aspek kehidupan masyarakat merupakan suatu keharusan dalam konsep
welfare state. Karena arti dari welfare state sendiri merupakan negara
kesejahteraan, maka pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib
mengupayakan kesejahteraan bagi warga negara nya. Konsep welfare state
merupakan suatu permulaan awal dari berkembangnya asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Maka dari itu, pemerintah dalam menyelenggarakan
urusan negara dalam rangka untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat wajib
mengemban AAUPB.

Konsep AAUPB lahir dari praktik penyelenggaraan negara dan


pemerintahan sehingga bukan produk formal suatu lembaga negara seperti
undang-undang.55 Fungsi dari AAUPB sendiri merupakan suatu pedoman atau
penuntun bagi pemerintah dalam rangka menyelenggarakan suatu pemerintahan

54
RIDWAN H.R., supra catatan no. 28, pada 241.
55
HOTMA P. SIBUEA, ASAS NEGARA HUKUM DAN ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK.
151 (Erlangga, Bandung, 2010).

28
yang baik (good governance).56 AAUPB ini bukan merupakan suatu norma-norma
hukum, akan tetapi merupakan etika penyelenggara pemerintahan. Menurut
pendapat Ateng Syarifuddin, asas-asas umum pemerintahan yang layak (atau
baik) berlaku sebagai tendensi-tendensi etik yang menjadi dasar hukum bagi tata
usaha negara baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk praktik
pemerintahan.57 Jadi, AAUPB tidak memiliki kemampuan memaksa yang
mengikat yang kuat seperti norma hukum karena lebih menitikberatkan kepada
etika penyelenggaraan negara dan etika tidak ditegakkan oleh kekuasaan negara.

Meskipun AAUPB hanya bersifat normatif secara etika, asas-asas ini tetap
dapat berfungsi sebagai pedoman yang penting bagi pemerintah untuk
menetapkan suatu kebijakan yang akan diberlakukan di masyarakat. Maka dari
itu, AAUPB akan dipakai sebagai pedoman dan penuntun bagi pemerintah agar
pemerintah tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi
masyarakat.58 AAUPB akan berfungsi sebagai pedoman dan penuntun bagi
pemerintah untuk menerapkan kebijakan agar ketika kebijakan tersebut
diterapkan, tidak bertentangan dengan AAUPB. Selanjutnya, perkembangan
zaman menuntut pemerintah untuk memperhatikan aspek kepastian hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan demi ketentraman dan ketertiban kehidupan
masyarakat. Kedua aspek ini menjadi bagian aspek pelayanan pemerintahan
terhadap anggota masyarakat. Maka dari itu, pelayanan penyelenggaraan
pemerintah adalah penyelenggaraan yang bersifat taat (konsisten) dimana sifat ini
haruslah memegang peranan penting dalam penyelengaraan pemerintahan.59

Perkembangan ini mendorong AAUPB berkembang ke arah yang positif


semakin menambah kekuatan mengikat asas-asas pemerintahan yang baik karena
sebelumnya hanya etika saja. Dengan perkembangan ini, AAUPB semakin
memiliki arti dan fungsi yang sangat penting dalam penyelenggaraan

56
Id
57
Id, sebagaimana dikutip dari ATENG SYARIFUDDIN, ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG
LAYAK BAGI PENGABDIAN KEPALA DAERAH, dalam Paulus Efendi Lotulung, HIMPUNAN ASAS-
ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK. (Citra Aditya Bakti, Bandung).
58
Id, pada 152.
59
Id

29
pemerintahan.60 Perkembangan ini membuat suatu tindakan pemerintah dalam
AAUPB tidak hanya menitikberatkan kepada suatu etika sebagai pedoman dan
penuntun dalam penyelenggaraan negara, melainkan juga menitikberatkan kepada
kebijakan yang bersifat taat atau konsisten. Di Indonesia sendiri, prinsip AAUPB
ini telah dituangkan ke dalam hukum positif, yakni diatur dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dimana salah satu isi
undang-undang tersebut berisi tentang bagaimana penyelenggara pemerintahan
menerapkan AAUPB.

Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya mengenai asas-asas umum


pemerintahan yang baik, salah satunya ialah Jazim Hamidi. Jazim Hamidi dalam
penelitiannya mengemukakan bahwa AAUPB (Jazim Hamidi menyebutnya asas-
asas hukum yang layak) mengemukakan pengertian AAUPB sebagai berikut:61

1. Asas-asas umum pemerintahan yang layak merupakan nilai-nilai etik yang


hidup dan berkembang dalam lingkungan hukum administrasi negara
2. Asas-asas umum pemerintahan yang layak berfungsi sebagai pegangan
bagi pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya,
merupakan alat uji bagi hakim administrasi dalam menilai tindakan
administrasi negara (yang berwujud penetapan/ beshikking), dan sebagai
dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat
3. Sebagian besar dari asas-asas umum pemerintahan yang layak masih
merupakan asas-asas yang tidak tertulis, masih abstrak dan dapat digali
dalam praktik kehidupan di masyarakat.
4. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan
terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif meskipun sebagian dari
asas itu berubah menjadi hukum tertulis, sifatnya tetap sebagai asas
hukum.
2.3.2 Bentuk dan Macam-Macam Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik

Konsep welfare state sebagaimana yang telah dikemukakan di atas


memegang peranan penting pada aktivitas pemerintah dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Peranan pemerintah dalam konsep welfare state ini sangat sentral

60
Id, pada 153.
61
RIDWAN H.R., supra catatan no. 28, pada 247-248 sebagaimana dikutip dari JAZIM HAMIDI,
PENERAPAN ASAS-ASAS UMUM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN YANG LAYAK DI
LINGKUNGAN PERADILAN ADMINISTRASI INDONESIA. 24 ( Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999)

30
karena diberi tugas untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat. Maka dari itu,
pemerintah turut andil dan ikut campur ke dalam dinamika masyarakat dan
berperan aktif untuk mewujudkan tujuannya, yakni mensejahterakan kehidupan
masyarakat luas. Bentuk ideal dari campur tangan pemerintah ialah wajib
berpedoman kepada suatu undang-undang sebagaimana sesuai dengan asas
legalitas atau kepastian hukum. Akan tetapi, mengutamakan kepastian hukum
dalam suatu tindakan hukum pemerintah cenderung membuat tindakan
pemerintah menjadi lamban dalam bertindak. Sehingga, pemerintah diberi
kewenangan untuk berinisiatif sendiri untuk menyelesaikan suatu permasalahan
tanpa mendasarkan kepada aturan.62 Hal tersebut dinamakan freis ermeissen.
Markus Lukman mengatakan bahwa freis ermessen ini merupakan suatu sarana
yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara
untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya kepada undang-
undang.63 Akan tetapi, tindakan freis ermessen ini memiliki kelemahan dimana
akan membuka suatu kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kewenangan
akibat tanpa harusnya pejabat administrasi negara untuk terikat sepenuhnya
kepada suatu peraturan perundang-undangan64 seperti misalnya terjadinya
benturan kepentingan antara pejabat administrasi negara dengan masyarakat atau
rakyat yang merasa dirugikan akibat suatu tindakan pemerintah tersebut. Oleh
karena itu, untuk menilai bahwa apakah tindakan pemerintah telah sesuai dengan
asas negara hukum atau tidak, dapat dilihat dengan menggunakan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.65

Tindakan pemerintah dalam menyelesaikan suatu permasalahan di


masyarakat berperan dengan menggunakan prinsip asas-asas umum pemerintahan
yang baik dimana sebagaiamana telah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya, asas
ini merupakan suatu pedoman atau penuntun bagi pemerintah dalam rangka

62
HOTMA P. SIBUEA. supra catatan no 55. pada 157
63
Id, sebagaimana dikutip dari MARKUS LUKMAN, FREIES ERMESSEN DALAM PROSES
PERENCANAAN DAN PELAKSANA RENCANA KOTA DI KOTAMADYA PONTIANAK. Tesis tidak
dipublikasikan (Universitas Padjajaran, Bandung, 1989)
64
Id.
65
Id, pada 158.

31
menyelenggarakan suatu pemerintahan yang baik (good governance)66 agar dapat
terselenggaranya kehidupan yang sejahtera di masyarakat. AAUPB menurut
Koentjoro Purbopronoto dan SF. Marbun, macam-macam asas-asas umum
pemerintahan yang baik yang akan dipaparkan sebagai berikut:67

1. Asas kepastian hukum


Asas kepastian hukum (principle of legal security) merupakan asas yang
bertujuan untuk menghormati hak-hak yang dimiliki oleh seseorang
berdasarkan keputusan badan atau pejabat administrasi negara.68 Asas ini
memiliki 2 aspek, yakni bersifat hukum material, dan yang lain bersifat
formal. Aspek hukum material berkaitan erat dengan kepercayaan. Karena
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dimana pemerintah harus
menghormati hak-hak yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan keputusan
badan atau pejabat administrasi negara, asas ini menghalangi pemerintah
atau badan pemerintahan untuk menarik kembali suatu keputusan atau
mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan.69 Dengan kata lain,
asas ini menghendaki bahwa dihormatinya hak yang telah diperoleh
seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan
itu salah.
Jadi, demi kepastian hukum setiap keputusan yang telah dikeluarkan tidak
untuk dicabut kembali sampai dibuktikan sebaliknya pada proses
peradilan.70 Jika hak seseorang sewaktu-waktu dapat dicabut oleh
pemerintah atau pejabat administrasi akan menimbulkan berbagai akibat
dan kerugian, seperti misalnya pemilik hak tidak dapat menikmati haknya
secara aman dan tentram, pemilik hak akan mengalami kerugian jika

66
HOTMA P. SIBUEA. Infra catatan no 55. pada 151.
67
RIDWAN H.R., supra catatan no. 28 sebagaimana dikutip dari KUNTJORO PURBOPRANOTO,
BEBERAPA CATATAN HUKUM TATA PEMERINTAHAN DAN PERADILAN ADMINISTRASI. 29-39 (
Alumni, Bandung, 1979) pada 258.
68
HOTMA P. SIBUEA. Supra catatan no 55. Pada 159
69
RIDWAN H.R., supra catatan no. 28. sebagaimana dikutip dari ATENG SYARIFUDDIN, ASAS-ASAS
UMUM PEMERINTAHAN YANG LAYAK BAGI PENGABDIAN KEPALA DAERAH, dalam Paulus Efendi
Lotulung, HIMPUNAN ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK. 43 (Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1993). Pada 258
70
RIDWAN H.R. Id.

32
sewaktu-waktu dapat dicabut karena tidak ada kepastian hukum, dan yang
paling penting bagi penyelenggaran negara dalam rangka menegakkan
good governance ialah kepercayaan masyarakat akan hilang karena tidak
ada konsistensi dalam tindakan pemerintah atau pejabat administrasi
negara.
Sedangkan, yang berkaitan dengan aspek formal dari asas ini merupakan
ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-
ketetapan yang menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang
jelas71. Aspek formal ini menonjol dalam pemberian surat kuasa atau surat
perintah secara tepat dan dengan tidak mungkin adanya berbagai tafsiran
yang dituju harus dapat terlihat, kewajiban-kewajiban apa yang
dibebankan kepadanya.72 Asas ini berkaitan dengan prinsip dalam hukum
administrasi, yakni presumtio justea causa dimana setiap keputusan atau
badan pejabat tata usaha negara yang dikeluarkan dianggap benar menurut
hukum selama belum dibuktikan sebaliknya.73

2. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan ini menghendaki bahwa diperlukan adanya
keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan
seorang pegawai. Asas ini juga menghendaki adanya kriteria yang jelas
mengenai jenis-jenis kealpaan yang dilakukan oleh seseorang sehingga
dalam penerapannya memudahkan dalam penyelesaian setiap kasus yang
ada seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian
hukum.74 Jadi, terhadap pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan
oleh orang yang berbeda akan dikenai sanksi yang sama, sesuai dengan
kriteria yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.75

71
Id
72
Id. Pada 259
73
HOTMA P. SIBUEA. Supra catatan no 55. Pada 159.
74
RIDWAN H.R. Id pada 259.
75
Id.

33
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan asas
keseimbangan ini, yakni sebagai berikut:76
a. Perlu ada kriteria yang jelas mengenai macam-macam pelanggaran
atau kealpaan yang dilakukan seorang pegawai, supaya perbuatan
yang sama yang dilakukan oleh orang yang berbeda dikenai
hukuman yang sama sehingga keadilan dapat diselenggarakan;
b. Pegawai yang bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk
membela diri; dan
c. Penegakkan hukum dan penjatuhan hukuman perlu dilaksanakan
oleh suatu instansi yang tidak memihak. Misalnya badan peradilan.

3. Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan


Asas kesamaan dalam pengambilan keputusan ini menghendaki badan
pemerintah untuk mengambil tindakan yang sama atas kasus-kasus yang
fakta nya sama. Menurut Philiphus M. Hadjon, asas ini memaksa
pemerintah untuk menjalankan kebijaksanaan.77 Dalam fakta nya, memang
tidak ada kasus yang fakta-faktanya sama dalam segala hal karena setiap
kasus bersifat individual. Akan tetapi, yang dimaksud terutama ialah
jangan sampai terjadi kasus-kasus yang faktanya memiliki persamaan,
tetapi diperlakukan dengan tindakan yang berlawanan.

4. Asas bertindak cermat atau asas kecermatan


Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam suatu tindakannya bertindak
cermat dalam melakukan berbagai aktivitas penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintahan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi warga negara.
Apabila berkaitan dengan suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
untuk mengeluarkan suatu keputusan, pemerintah dalam hal ini wajib
mempertimbangkan secara cermat dan teliti semua faktor dan keadaan
yang berkaitan dengan materi keputusan, mendengar, dan
mempertimbangkan alasan-alasan yang diajukan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan.78 Selain itu, juga harus mempertimbangkan bagaimana

76
HOTMA P. SIBUEA. Supra catatan no 55. Pada 160.
77
RIDWAN H.R., supra catatan no. 28 sebagaimana dikutip dari PHILIPHUS M. HADJON, ET. AL.
PENGANTAR HUKUM ADMINISTRASI INDONESIA. 271 (Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta,1993) pada 260.
78
RIDWAN H.R., supra catatan no. 28 pada 261.

34
akibat-akibat hukum yang mungkin muncul dari tindakan pemerintah
tersebut. Akibat-akibat hukum yang mungkin muncul dari suatu tindakan
pemerintah tersebut dapat menimbulkan suatu kerugian bagi masyarakat
yang dapat terjadi dengan alasan-alasan sebagai berikut:79
a. Kerugian dapat timbul karena badan atau pejabat administrasi
negara melakukan suatu tindakan tertentu;dan
b. Kerugian dapat timbul karena badan atau pejabat administrasi
negara tidak melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya
dilakukan.

5. Asas Motivasi Untuk Setiap Keputusan


Asas ini mengandung arti bahwa setiap keputusan atau pejabat
administrasi negara harus didasari oleh suatu alasan atau motivasi yang
cukup. Yakni adil dan jelas. Menurut S.F. Marbun, motivasi perlu
disertakan agar setiap orang dapat dengan mudah mengetahui alasan atau
pertimbangan dikeluarkannya suatu keputusan terutama bagi pihak yang
dikenai putusan tersebut sehingga pihak yang tidak puas tersebut dapat
mengajukan keberatan.80

6. Asas Tidak Mencampuradukkan Kewenangan


Asas ini berbicara tentang bagaimana setiap pejabat yang memiliki
wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
berdasarkan pada asas legalitas tidak boleh bertindak melampaui
kewenangan yang melekat padanya. Jika wewenang pejabat dalam rangka
melaksanakan suatu tindakan pemerintah ternyata menyimpang dari tujuan
semula pemberian wewenang tersebut, maka penggunaan wewenang yang
salah tersebut dikenal dengan istilah de tournement de pouvoir.81 Seorang
pejabat pemerintahan memiliki wewenang yang sudah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan. Jadi, suatu kewenangan yang dimiliki oleh

79
HOTMA P. SIBUEA. Supra catatan no 55. Pada 160.
80
Hotma P. Sibuea. Supra catatan no 55 sebagaimana dikutip dari S.F. Marbun, PERADILAN
ADMINISTRASI NEGARA DAN UPAYA ADMINISTRATIF DI INDONESIA. 377 (Liberty, Jakarta, 1997)
pada 161.
81
Hotma P. Sibuea.Id. Pada 161.

35
pejabat pemerintahan haruslah digunakan sebaik mungkin dan
dipergunakan demi kepentingan umum.

7. Asas Permainan Yang Layak


Asas ini berkenaan dengan prinsip bahwa pemerintah harus memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mencari
kebenaran dan keadilan.82 Asas permainan yang layak menekankan kepada
perlunya kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa
tata usaha negara.83 Pada intinya, pemerintah selaku pihak penguasa wajib
memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mencari kebenaran dan
keadilan ketika terdapat suatu kondisi dimana tindakan hukum pemerintah
merugikan masyarakat luas.

8. Asas Keadilan dan Kewajaran


Asas ini berkenaan dengan tindakan pemerintah yang dipresentasikan oleh
pejabat administrasi negara dimana suatu tindakan yang dilakukan harus
selalu memperhatikan keadilan dan kewajaran. Aspek keadilan menuntut
tindakan secara proporsional, seimbang, dan selaras dengan hak setiap
orang.84 Sedangkan aspek kewajaran menitikberatkan bahwa dalam setiap
keputusan atau tindakan pemerintah yang dipresentasikan pejabat
administrasi negara dalam setiap keputusan atau tindakan yang dilakukan
harus memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat seperti
agama, budaya, ekonomi, sosial dan yang dapat diterima oleh akal sehat.85

9. Asas Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan Yang Wajar


Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah wajib menimbulkan berbagai harapan bagi warga negara.
Maka dari itu, pemerintah wajib memperhatikan asas ini sehingga jika
suatu harapan yang diberikan kepada warga negara tidak boleh ditarik

82
Hotma P. Sibuea. Supra catatan no 55. Pada 162.
83
Ridwan H.R., supra catatan no. 28 pada 268.
84
Id. Pada 271.
85
Hotma P. Sibuea. Supra catatan no 55. Pada 162.

36
kembali meskipun tidak membawa keuntungan bagi pemerintah.86 Asas ini
muncul karena 2 (dua) sebab,87 yakni pertama ialah harapan-harapan dapat
terjadi dengan perundang-undangan, perundang-undangan semu, dengan
garis tetap keputusan-keputusan yang sampai detik itu tetap secara
konsisten dilakukan penguasa, penerangan, dan penjelasan-penjelasan
yang telah diberikan penguasa yang bersangkutan, kesanggupan-
kesanggupan yang telah dikeluarkan, beschikking yang sebelumnya
dikeluarkan, dan suatu perjanjian yang telah dibuat atau dengan perbuatan-
perbuatan faktual penguasa, dengan membiarkan keadaan ilegal berjalan
beberapa waktu. Dan yang kedua ialah syarat disposisi, atas dasar
kepercayaan yang ditimbulkan itu seseorang telah berbuat sesuatu yang
jika kepercayaan itu tidak ditimbulkan darinya, ia tidak akan berbuat
demikian.

10. Asas Meniadakan Akibat Suatu Keputusan Yang Batal


Asas ini menghendaki supaya pejabat administrasi negara meniadakan
semua akibat yang timbul dari suatu keputusan yang kemudian dinyatakan
batal. Asas ini contohnya ialah berkaitan dengan misalnya seorang
pegawai yang dipecat dari pekerjaannya dengan suatu surat ketetapan
(beschikking). Seorang pegawai tersebut dipecat karena diduga melakukan
tindak kejahatan. Akan tetapi, setelah dilakukan proses pemeriksaan di
pengadilan, ternyata pegawai yang bersangkutan tidak bersalah. Hal ini
menyatakan bahwa ketetapan pemberhentian pegawai yang ditujukkan
kepada yang bersangkutan harus dianggap batal dan pegawai tersebut
harus dikembalikan kepada pekerjaannya semula.88

11. Asas Perlindungan Atas Pandangan Atau Cara Hidup Pribadi


Asas ini menghendaki pemerintah selaku penguasa tertinggi dalam suatu
negara atau daerah wajib melindungi hak atas kehidupan pribadi setiap

86
Ridwan H.R., supra catatan no. 28 pada 272.
87
Ridwan H.R., Id sebagaimana dikutip dari INDROHARTO, ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN
YANG BAIK, 161-162. pada 272-273.
88
Ridwan H.R., supra catatan no. 28 pada 274.

37
pegawai negeri, dan juga tentunya hak kehidupan pribadi setiap warga
negara atau masyarakat sebagai konsekuensi negara hukum demokratis
yang menjungjung tinggi dan melindungi hak asasi setiap warga negara.89
Asas ini merupakan pengembangan dari salah satu prinsip negara hukum,
yakni perlindungan hak asasi. Perlindungan hak asasi wajib dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka melindungi hak yang wajib diterima oleh warga
negara atau masyarakat.

12. Asas Kebijaksanaan


Asas ini menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
pekerjaanya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menerapkan suatu
kebijakan tanpa harus terpaku pada suatu peraturan perundang-undangan
formal atau hukum tertulis itu selalu membawa cacat bawaan yang berupa
tidak fleksibel dan tidak dapat menampung semua persoalan serta capat
ketinggalan zaman, sementara itu perkembangan masyarakat itu bergerak
cepat dan dinamis. Jadi, pemerintah selaku penguasa dituntut untuk bukan
hanya bertindak cepat, melainkan juga harus berpandangan luas dan jauh
serta mampu memperhitungkan akibat-akibat yang muncul dari
tindaknnya tersebut.90 Menurut Kuntjoro Purbopronoto,91 asas
kebijaksanaan di Indonesia diimplikasikan ke dalam tiga unsur, yakni
pengetahuan yang tandas dan analisis situasi yang dihadapi, rancangan
penyelesaian atas dasar “staatsidee” ataupun “rechtsidee” yang disetujui
bersama, yakni dasar negara pancasila, dan mewujudkan rancangan
penyelesaian untuk mengatasi situasi dengan tindakan perbuatan dan
penjelasan yang tepat, yang dituntut oleh situasi yang dihadapi.

13. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum


Penyelenggaraan asas ini menghendaki agar pemerintah dalam
melaksanakan tugasnya selaku penguasa dalam suatu negara atau daerah

89
Id.
90
Id, pada 276.
91
Id, sebagaimana dikutip dari KUNTJORO PURBOPRONOTO, BEBERAPA CATATAN HUKUM TATA
PEMERINTAHAN DAN PERADILAN ADMINISTRASI NEGARA. 35 ( Alumni, Bandung, 1975) .

38
wajib mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang
mencakup semua aspek kehidupan orang banyak. Asas ini merupakan
cerminan dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang mana
menempatkan pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab untuk
mewujudkan kesejahteraan umum (bestuurszog) warga negaranya.
Pemerintah dalam menjalankan berbagai kegiatan wajib didasarkan kepada
hukum tertulis yang berlaku (asas legalitas). Akan tetapi, kelemahan dan
kekurangan asas legalitas ini dapat disikapi oleh pemerintah dengan
bertindak atas dasar kebijaksanaan untuk menyelenggarakan kepentingan
umum.92 Penyelenggaaraan kepentingan umum dapat berwujud hal-hal
diantaranya:93
a. Memelihara kepentingan umum yang khusus mengenai
kepentingan negara, dimana contohnya tugas pertahanan dan
keamanan
b. Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama
dari warga negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga negara
sendiri yang contohnya adalah persediaan sandang pangan,
perumahan, kesejahteraan, dan lain-lain.
c. Memelihara kepentingan bersama yang tidak seluruhnya dapat
dilakukan oleh warga negara sendiri, dalam bentuk bantuan negara.
Contohnya pendidikan dan pengajaran, kesehatan, dan lain-lain.
d. Memelihara kepentingan dari warga negara dan perseorangan yang
tidak seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga negara sendiri
dalam bentuk bantuan negara karena adakalanya negara
memelihara seluruh kepentingan perseorangan tersebut yang
contohnya ialah pemeliharaan fakir miskin, anak yatim, anak cacat,
dan lain-lain.
e. Memelihara ketertiban, keamanan, dan kemakmuran setempat.
Contohnya adalah peraturan lalu lintas, pembangunan, perumahan,
dan lain-lain.

92
RIDWAN H.R., supra catatan no. 28 pada 277
93
Id, sebagaimana dikutip dari KUNTJORO PURBOPRONOTO, Supra pada 39-40. pada 277

39
BAB III

PERATURAN DAERAH MENGENAI RENCANA PEMBANGUNAN


JANGKA PANJANG DAN MENENGAH SERTA RENCANA TATA
RUANG DAN WILAYAH YANG DIBUAT PEMERINTAH PROVINSI
JAWA BARAT DAN KABUPATEN/KOTA DI WILAYAH BANDUNG
RAYA TERKAIT PERMASALAHAN BANJIR

3.1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang


merupakan suatu acuan, landasan, atau konsep dasar hukum dalam melaksanakan
pelaksanaan penataan ruang bagi setiap daerah untuk membuat peraturan daerah
penataan ruang di wilayahnya. Sesuai dengan prinsip otonomi daerah sebagai
salah satu prinsip khusus dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang yang
dilakukan oleh pemerintah daerah, terdapat hal-hal yang harus dicermati oleh
pemerintah daerah, yakni pemerintah daerah memiliki kewenangan, dan
kemampuan yang baik dan mutlak untuk menyelenggarakan kegiatan penataan
ruang.94

Akan tetapi, bukan berarti bahwa Pemerintah Pusat lepas tangan begitu
saja. Keberadaan pemerintah pusat, dalam hal ini juga mencakup juga Menteri
yang berwenang untuk melakukan kebijakan penataan ruang (dalam hal ini
Menteri Agraria dan Tata Ruang) dapat melakukan pengawasan, pembinaan
terhadap kebijakan penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Penataan Ruang ini,
dikatakan bahwa dalam rumusan pasal 7 ayat (1) mengatakan bahwa:95
“Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.”
Hal ini menandakan bahwa pemerintah pusat berkewajiban untuk
menyelenggarakan kegiatan penataan ruang untuk kepentingan masyarakat

94
Asep Warlan Yusuf, Supra catatan no. 42.
95
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 7 ayat 1.

40
banyak. Selain negara, menteri yang berwenang untuk mengurus dan
melaksankan tugas dalam kegiatan penataan ruang diatur dalam pasal 9 ayat (1)
yang mengatakan bahwa: 96
“Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh seorang Menteri.”
Dan juga pasal 9 ayat (2) yang mengatakan bahwa:97
“Tugas dan tanggung jawab Menteri dalam penyelenggaraan penataan ruang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pengaturan, pembinaan, dan
pengawasan penataan ruang, pelaksanaan penataan ruang nasional; dan koordinasi
penyelenggaraan penataan ruang lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas
pemangku kepentingan.”
Pelimpahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah diatur dalam pasal 7 ayat (2) yang mengatakan bahwa: 98
“Dalam melaksanakan tugasnya, negara memberikan kewenangan
penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah dan pemerintah daerah”.
Wewenang yang dimaksud tadi juga dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yang
pertama adalah wewenang pemerintah daerah provinsi, dan yang kedua ialah
wewenang pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Maka dari itu, kita sudah
mengetahui bahwa pemerintah daerah dan Kabupaten/Kota telah memiliki
wewenang secara mandiri dan bertanggung jawab atas urusan wilayahnya masing-
masing berdasarkan prinsip otonomi daerah. Wewenang pemerintah daerah
provinsi diatur dalam pasal 10 ayat (1) hingga (7) yang akan dipaparkan sebagai
berikut:99
1) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan
penataan ruang meliputi:
a. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta
terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi
dan kabupaten/kota;
b. Pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;

96
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 9 ayat 1.
97
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 9 ayat 2.
98
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 7 ayat 2.
99
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 10 ayat 1 s/d 7.

41
c. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d. Kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan pemfasilitasan kerja
sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
2) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan
ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. Perencanaan tata ruang wilayah provinsi;
b. Pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
c. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
3) Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah provinsi
melaksanakan:
a. Penetapan kawasan strategis provinsi;
b. Perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi;
c. Pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d. Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
4) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang
kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf
c dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten/kota
melalui tugas pembantuan.
5) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi,
pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan
bidang penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
6) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pemerintah daerah provinsi:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
1. rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka
pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
2. arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang disusun
dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah
provinsi; dan
3. petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;
b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan
ruang.
7) Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi standar
pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah mengambil
langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Wewenang yang kedua ialah wewenang yang dimiliki oleh pemerintah
daerah, dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengurus

42
wilayahnya masing-masing untuk melakukan kegiatan penataan ruang yang diatur
dalam pasal 11 ayat (1) sampai (6) yang akan dipaparkan sebagai berikut:100
1) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
penataan ruang meliputi:
a. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis
kabupaten/kota;
b. Pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
c. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d. Kerja sama penataan ruang antarkabupaten/ kota.
2) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/ kota;
b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
3) Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah
kabupaten/kota melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
4) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/kota mengacu pada pedoman
bidang penataan ruang dan petunjuk pelaksanaannya.
5) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4), pemerintah daerah kabupaten/kota:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana umum
dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota; dan
b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
6) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi
standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, pemerintah daerah
provinsi dapat mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Dari rumusan pasal diatas, maka permasalahan banjir di Bandung Selatan


dapat dilihat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dalam rangka
menyelesaikan permasalahan banjir di Bandung Selatan ialah kewenangan

100
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 11 ayat 1 s/d 6.

43
pemerintah provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Bandung karena
bencana banjir di Bandung Selatan terjadi di kecamatan Dayeuhkolot, dan
Baleendah yang termasuk dalam kawasan administratif Kabupaten Bandung.
Akan tetapi, bencana banjir yang terjadi tidak dapat dilepaskan juga dari adanya
kerusakan serta alih fungsi lahan di kawasan Bandung Utara sebagai kawasan
hulu.

Kawasan Bandung Utara (KBU) yang merupakan daerah hulu untuk


kawasan Bandung Raya merupakan suatu wilayah yang memegang peranan
penting agar terkendalinya bencana banjir di Bandung Selatan. Dikatakan
demikian karena daerah ini merupakan kawasan konservasi yang keberadaanya
sebagai daerah hulu harus dijaga betul karena berkaitan dengan kawasan-kawasan
yang ada di bawahnya. KBU memiliki posisi dan peran strategis terhadap
hamparan ekologis Cekungan Bandung. KBU merupakan wilayah tangkapan air
dengan fungsi hidrologis yang mendukung keberlanjutan dan daya dukung
lingkungan di Cekungan Bandung. KBU adalah daerah resapan air untuk
menyuplai air tanah ke wilayah Cekungan Bandung yang termasuk di dalamnya
kawasan Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten
Bandung.

Kawasan yang memiliki luasan 38.543 hektare itu sekitar 75%-nya dalam
kondisi kritis.101 Pelanggaran di wilayah KBU sebagai kawasan konservasi dan
merupakan kawasan lindung (kawasan resapan air, suaka alam, taman nasional,
taman wisata alam)102 berdampak besar terhadap kehidupan jutaan orang di
wilayah Cekungan Bandung, termasuk kawasan Bandung Selatan ini. KBU juga
menyediakan 70 persen cadangan air tanah dan berpengaruh signifikan bagi iklim
mikro di Cekungan Bandung. Selain penyedia oksigen dan udara segar, reservoir
air dan sebagai bendung alamiah, KBU juga menyerap emisi karbon yang
disebabkan aktivitas pembangunan dan transportasi di Cekungan Bandung dan
101
Berdasarkan Audit Bangunan Di Kawasan Bandung Utara yang dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi Jawa Barat, Tersedia di http://sp.beritasatu.com/home/audit-bangunan-di-kawasan-
bandung-utara/46262. Diakses pada tanggal 8 September 2016 Pukul 11.45 WIB
102
SURAT KEPUTUSAN GUBERNUR No. 181 Tahun 1982, PERUNTUKKAN LAHAN DI WILAYAH INTI
BANDUNG RAYA BAGIAN UTARA.

44
Kota Bandung. Karena itu, kerusakan KBU berdampak pada kian meluasnya
banjir di Bandung selatan.103 Undang-Undang Penataan Ruang ini memiliki
pengaturan ruang pada kawasan-kawasan yang dinilai rawan bencana dan atau
kondisi lingkungan yang strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam
dengan skala besar dan juga pengaturan mengenai perlindungan terhadap kawasan
konservasi dan kawasan lindung. Pengaturan tersebut terdapat dalam perencanaan
tata ruang wilayah provinsi dan perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten/Kota
yang jangka waktunya berlaku 20 (dua puluh tahun).104

Pengaturan mengenai apabila terdapat suatu keadaan dimana suatu


wilayah terkena dampak bencana alam diatur dalam perencanaan tata ruang
wilayah provinsi yang mengacu kepada RTRW nasional. Perencanaan tata ruang
wilayah provinsi berdasarkan pasal 23 ayat 5 menyebutkan bahwa:105
“Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam
skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau
perubahan batas teritorial negara dan/atau wilayah provinsi yang ditetapkan
dengan Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah provinsi ditinjau kembali
lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.”
Dan pengaturan yang sama juga berlaku bagi perencanaan tata ruang
wilayah Kabupaten dan Kota. Hal ini menandakan bahwa undang-undang nomor
26 tahun 2007 telah mengakomodir, dan berkomitmen jika terjadi bencana alam
berskala besar seperti banjir Bandung Selatan ini. Karena RTRW yang dibuat oleh
Pemerintah Provinsi, dan juga Kabupaten/Kota merupakan suatu tugas dan
kewenangan dalam rangka pembangunan daerah yang wajib memiliki ukuran-
ukuran yang harus dicapai dalam penyelenggaraannya, maka ketika terdapat
keadaan seperti bencana banjir besar ini, yang mengakibatkan kondisi lingkungan
strategis menjadi rusak parah, maka RTRW ini harus ditinjau kembali karena
bencana alam terjadi bukan hanya karena kehendak tuhan semata, melainkan juga
karena prilaku manusia dalam berkegiatan di suatu ruang dan terdapat suatu
103
Tersedia di http://tataruangpertanahan.com/kliping-2340-penataan-wilayahkawasan-lindung-
bandung-utara-kian-rusak.html. Diakses pada tanggal 14 September 2016 Pukul 20.03 WIB.
104
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 23 ayat 5 dan Pasal 26 ayat 4.
105
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 23 ayat 5.

45
keadaan dimana pemerintah tidak mampu untuk mengendalikan pembangunan-
pembangunan yang tidak sesuai dengan daya dukung, daya tampung, dan
peruntukkannya serta dilakukan di kawasan tersebut sehingga mendukung
terjadinya suatu bencana alam dengan skala besar, seperti bencana banjir di
Bandung Selatan ini. Maka, karena terdapat berbagai ketimpangan dalam
pelaksanaanya dan RTRW dirasa tidak mampu lagi untuk keadaan ruang pada
saat ini, RTRW yang dimaksud wajib untuk ditinjau kembali lebih dari (1) satu
kali dalam 5 (lima) tahun.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 mengakomodir pengaturan


mengenai terjadinya bencana alam dengan skala besar, salah satunya ialah
bencana banjir di dalam pedoman (RTRW) Provinsi, serta Kabupaten/Kota.
Ukuran-ukuran dalam pelaksanaan RTRW provinsi dan Kabupaten/Kota yang
diatur dalam undang-undang penataan ruang ini agar pemerintah akuntabel dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya ialah penyusunan rencana pembangunan
jangka panjang daerah, penyusunan rencana pembangunan jangka menengah
daerah, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam wilayah
provinsi, mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan
perkembangan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian antar sektor,
penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi, penataan ruang kawasan
strategis provinsi dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.106 Apabila ukuran-
ukuran yang disebutkan diatas belum tercapai, sehingga dalam kondisi lingkungan
strategis sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (5) dan 26 ayat (5) terjadi
bencana alam, maka RTRW yang dibuat oleh pemerintah provinsi dan
Kabupaten/Kota itu wajib ditinjau kembali.

Selanjutnya, berbicara mengenai kawasan hulu dari bencana banjir di


Bandung Selatan, yakni Kawasan Bandung Utara yang merupakan kawasan
lindung dan kawasan budidaya (kawasan resapan air, suaka alam, taman nasional,

106
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 23 ayat 5.

46
taman wisata alam)107 sebagai salah satu penyebab banjir di Bandung Selatan
sebagaimana telah disebutkan di atas juga diatur penerapan serta perlindungan 2
(dua) kawasan tersebut dalam undang-undang penataan ruang ini. Kawasan
lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan.108 Sedangkan kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan
fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya
alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.109

Dari kedua definisi tadi, dapat dipahami bahwa suatu kawasan lindung dan
budidaya merupakan kawasan yang wajib pemerintah, baik pusat, dan daerah
provinsi serta Kabupaten/Kota untuk dilestarikan, dimanfaatkan, dan
didayagunakan secara baik dan benar agar keberadaannya yang mencakup sumber
daya alam dan sumber daya buatan berfungsi bagi masyarakat secara keseluruhan
dan dipergunakan secermat mungkin agar tidak mengalami kerusakan yang dapat
membahayakan wilayah lain. Artinya, pemanfaatan ruang di kawasan budidaya
serta kawasan lindung diperbolehkan dengan syarat dipergunakan secermat
mungkin, baik oleh pemerintah maupun masyarakat dan pemerintah selaku
pemegang tugas dan kewenangan untuk mengatur hal tersebut wajib membuat
suatu regulasi yang wajib dipatuhi oleh semua pihak terkait kawasan lindung dan
kawasan budidaya tersebut. Pengaturan mengenai kawasan lindung serta kawasan
budidaya untuk pemanfaatan ruang dan wilayah haruslah dimuat oleh pemerintah
daerah provinsi dan Kabupaten/Kota dalam pembuatan RTRW Provinsi dan
Kabupaten/Kota sebagaimana tercantum dalam pasal 23 ayat (1) huruf c yang
mengatakan bahwa:110

107
SURAT KEPUTUSAN GUBERNUR No. 181 Tahun 1982, PERUNTUKKAN LAHAN DI WILAYAH INTI
BANDUNG RAYA BAGIAN UTARA.
108
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 1 angka 21.
109
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 1 angka 22.
110
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 23 ayat (1) huruf c.

47
“rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan lindung dan
kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi”
Dan pasal 26 ayat (1) huruf c untuk RTRW Kabupaten yang mengatakan
bahwa:111

“rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten
dan kawasan budi daya kabupaten.”
Perencanaan tata ruang wilayah Kota berlaku mutatis mutandis dengan
perencanaan tata ruang wilayah Kabupaten, yang artinya terdapat perubahan yang
penting telah dilakukan dengan ditambahkan rencana penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau, rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang
terbuka nonhijau, dan rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana
jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang
evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota
sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.112
Ketentuan ruang terbuka hijau ini diatur dalam peraturan menteri pekerjaan umum
nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang
Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan dimana tujuan dari diadakannya Ruang
Terbuka Hijau adalah menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air,
menciptakan aspek planalogis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan
alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat, dan
meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman
lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar indah, dan bersih. Juga fungsi
dari ruang terbuka hijau ini salah satunya ialah sebagai penyerap air hujan. Ruang
terbuka hijau memegang peranan penting dalam keberadaanya di suatu kota
karena apabila suatu kota lebih banyak dilakukan pembangunan gedung-gedung
bertingkat dan mengindahkan ruang terbuka hijau, maka lingkungan dan keadaan
kota tersebut tidak akan seimbang dan rentan menimbulkan bencana alam. Maka
dari itu, keberadaan ruang terbuka hijau dan kawasan budidaya serta kawasan

111
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 26 ayat (1) huruf c.
112
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 28 .

48
lindung sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat di wilayah
Kabupaten/Kota.

Berkaitan dengan kebijakan penerapan hukum di kawasan budidaya,


kawasan lindung dan ruang terbuka hijau, dalam undang-undang penataan ruang
ini, pengaturan mengenai hal-hal tersebut diatur dalam ketentuan pasal 34, yakni
sebagai berikut:113
1) Dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota
dilakukan:
a. perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang
wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis;
b. perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan struktur ruang
dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis; dan
c. pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program pemanfaatan ruang
wilayah dan kawasan strategis.
2) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan strategis operasionalisasi rencana
tata ruang wilayah dan rencana tata ruang kawasan strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan kawasan budi daya yang
dikendalikan dan kawasan budi daya yang didorong pengembangannya.
3) Pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilaksanakan melalui pengembangan kawasan secara terpadu.
4) Pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan:
a. standar pelayanan minimal bidang penataan ruang;
b. standar kualitas lingkungan; dan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup
Pasal 34 menjelaskan mengenai bagaimana pemanfaatan ruang wilayah
diselenggarakan oleh pemerintah dalam rangka menyelenggarakan penataan
ruang. Berkaitan dengan kawasan lindung dan budidaya dalam pasal 34 ayat (2),
dalam penjelasan mengatakan bahwa untuk mengendalikan kawasan budidaya
yang dikendalikan pengembangannya, diterapkan mekanisme disinsentif secara
ketat, sedangkan untuk mendorong perkembangannya diterapkan mekanisme
insentif. Mekanisme disinsentif dan disinsentif sendiri diatur dalam pasal 38
dimana penerapan mekanisme disinsentif ialah pengenaan pajak yang tinggi yang
disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak
yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang dan/atau pembatasan penyediaan
113
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 34 ayat (1) s/d (3)

49
infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.114 Sedangkan penerapan
insentif ialah keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan,
sewa ruang, dan urun saham, pembangunan serta pengadaan infrastruktur,
kemudahan prosedur perizinan, dan/atau pemberian penghargaan kepada
masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah.115 pengaturan tersebut sangat
penting untuk diterapkan karena sebagaimana yang telah disebutkan bahwa
kawasan lindung dan budidaya memegang peranan penting bagi kehidupan
masyarakat banyak dan pemerintah selaku pengemban tugas dan kewenangan
wajib membuat regulasi yang baik mengenai kawasan tersebut.

3.3 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dan Rencana Pembangunan


Janga Menengah Serta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa
Barat

Dalam peraturan perundang-undangan nomor 26 tahun 2007 tentang


penataan ruang, sudah dijelaskan bahwa pemerintah daerah, baik pemerintah
provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan
penataan ruang di wilayahnya masing-masing secara mandiri dan bertanggung
jawab. Hal tersebut tercantum dalam ketentuan pasal 7 ayat (2) dan wewenang
pemerintah provinsi tercantum dalam pasal 10 ayat (1) hingga ayat (7), yakni:116

1) Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan


ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota;
a. pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
b. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
c. kerja sama penataan ruang antar provinsi dan pemfasilitasan kerja
sama penataan ruang antar kabupaten/kota.
2) Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang
wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi
a. perencanaan tata ruang wilayah provinsi;
b. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan

114
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 38 ayat (3).
115
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No. 68,
Pasal 38 ayat (2).
116
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No.68,
pasal 10 ayat (1) s/d (7).

50
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
d. pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
e. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
3) Dalam penataan ruang kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah provinsi melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis provinsi;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis provinsi;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
4) Pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang
kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
dan huruf d dapat dilaksanakan pemerintah daerah kabupaten/kota melalui
tugas pembantuan.
5) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang wilayah provinsi,
pemerintah daerah provinsi dapat menyusun petunjuk pelaksanaan bidang
penataan ruang pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
6) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pemerintah daerah provinsi:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
1. rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka
pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi;
2. arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang disusun dalam
rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan
3. petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang;
b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
7) Dalam hal pemerintah daerah provinsi tidak dapat memenuhi standar
pelayanan minimal bidang penataan ruang, Pemerintah mengambil
langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3.3.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat

Dalam upaya menyelenggarakan kegiatan penataan ruang sesuai dengan


kewenangan yang dimilikinya, pemerintah daerah membuat Rencana Tata Ruang
dan Wilayah (RTRW) untuk mengurus wilayahnya masing-masing sesuai dengan
prinsip otonomi daerah. RTRW yang dibuat oleh pemerintah daerah didasarkan
pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD) yang wajib dimiliki oleh
pemerintah daerah. Pemerintah provinsi Jawa Barat dalam menyelenggarakan
kegiatan penataan ruang pun memiliki RPJPD yang landasan operasionalnya
mengacu kepada pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem
perencanaan pembangunan nasional, Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 54
Tahun 2010, serta Undang-undang nomor 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang

51
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dimana dalam RPJPD, penataan
ruang dan pengembangan wilayah merupakan isu yang penting dalam kaitannya
dengan perencanaan penataan ruang. Dalam RPJPD yang dirumuskan dalam
Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2010, tata ruang dan pengembangan wilayah
dan kaitannya dalam pengendalian pemanfaatan ruang menjadi kendala dalam
tidak terkendalinya pertumbuhan lahan terbangun di kawasan konservasi, dan
terjadinya pergeseran tutupan lahan hutan dan sawah menjadi permukiman dan
industri merupakan permasalahan dalam upaya pengendalian tata ruang dan dalam
kaitannya dengan bencana banjir yang terjadi di Bandung selatan, terdapat faktor-
faktor dominan yang menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung
lingkungan, yakni terdapatnya alih fungsi lahan dari kawasan resapan air menjadi
kawasan persawahan, dan terjadinya pencemaran serta sedimentasi sungai yang
juga menjadi salah satu faktor terjadinya bencana banjir, dan malah menjadi
meningkat frekuensi terjadinya bencana alam.117

Berkaitan dengan permasalahan bencana banjir di Bandung Selatan,


tepatnya di kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung seperti
kita tahu bahwa kawasan ini merupakan kawasan langganan banjir dimana setiap
tahun kawasan ini selalu terkena bencana banjir. Dalam arah kebijakan Provinsi
Jawa Barat Tahun 2005-2025, pemerintah provinsi Jawa Barat dalam bidang
sumber daya alam dan lingkungan hidup, pemerintah provinsi Jawa Barat
berkomitmen untuk secara konsisten melestarikan kualitas dan fungsi lingkungan
hidup dengan memberikan nilai tambah terhadap sumber daya alam dan
lingkungan hidup. Dan juga pemerintah provinsi Jawa Barat berkomitmen untuk
memperkuat ketahanan masyarakat di kawasan resiko bencana, serta tertatanya
kawasan rawan bencana.118 Selain itu, kegiatan penataan ruang yang dilakukan
oleh pemerintah provinsi Jawa Barat dilakukan melalui koordinasi penataan ruang

117
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, No 24 Tahun 2010, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2005-2025. L.D. Jawa Barat Tahun 2010
No.24.
118
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, No 24 Tahun 2010, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2005-2025. L.D. Jawa Barat Tahun 2010
No.24.

52
pelaksanaan kegiatan pembangunan di Jawa Barat telah sesuai dengan rencana
tata ruang dan keseimbangan lingkungan dapat terjaga, meningkatkan lahan
kawasan lindung dan budidaya, serta meningkatkan daya dukung serta daya
tampung lingkungan hidup agar terciptanya keberlanjutan pembangunan dan
penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan melalui koordinasi dan sistematis
yang baik dalam pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan
ruang di semua tingkat pemerintahan (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota).119

3.3.2 Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat

Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam kedudukannya sebagai pelaksana


tugas dan kewenangan dalam rangka menyelenggarakan kegiatan penataan ruang
berdasarkan prinsip otonomi daerah memiliki Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW) yang dirumuskan dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor
22 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Jawa Barat
tahun 2009-2029. RTRW ini merupakan merupakan matra spasial dari Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang berfungsi sebagai
penyelaras kebijakan penataan ruang nasional, daerah, dan kabupaten/kota serta
sebagai acuan bagi instansi pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat untuk
mengarahkan lokasi dan menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan
pemanfaatan ruang di daerah.120

Dari rumusan-rumusan pasal yang terdapat dalam RTRW provinsi Jawa


Barat berkaitan dengan bencana banjir di Bandung Selatan, pasal 34 yang
membahas mengenai kawasan rawan bencana dan wilayah-wilayah yang termasuk
kawasan rawan bencana banjir121 salah satuya ialah kawasan bencana banjir
terdapat daerah Kabupaten Bandung, khususnya kawasan Bandung Selatan

119
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, No 24 Tahun 2010, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2005-2025. L.D. Jawa Barat Tahun 2010
No.24.
120
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, No 22 Tahun 2010 RENCANA TATA RUANG DAN
WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2009-2029.. L.D. Jawa Barat Tahun 2010 No.22, Pasal
5 ayat (1).
121
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, No 22 Tahun 2010 RENCANA TATA RUANG DAN
WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2009-2029.. L.D. Jawa Barat Tahun 2010 No.22, Pasal
34.

53
kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot. Dalam RTRW ini terdapat arahan zonasi
untuk kawasan rawan bencana banjir yang ditetapkan untuk memperhatikan
penetapan batas dataran banjir, pemanfaatan dataran banjir bagi RTH dan
pengendalian pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah, ketentuan
mengenai pelarangan kegiatan untuk fasilitas umum dan pengendalian
permukiman di kawasan rawan banjir.122 Sedangkan berkaitan dengan kawasan
Bandung Utara sebagai kawasan hulu yang juga merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya banjir dan juga sebagai kawasan budidaya, lindung, dan
konservasi memiliki arahan zonasi struktur ruang untuk sistem perkotaan dan
sistem infrastruktur wilayah, disusun dengan memperhatikan Pengendalian
pemanfaatan ruang di sekitar jaringan infrastruktur wilayah nasional dan daerah,
serta untuk mendukung berfungsinya sistem perkotaan nasional dan daerah,
ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang menyebabkan gangguan terhadap
fungsi sistem perkotaan dan sistem infrastruktur wilayah nasional dan daerah,
Pembatasan intensitas pemanfaatan ruang agar tidak mengganggu fungsi sistem
perkotaan dan sistem infrastruktur wilayah nasional dan daerah.123

Kawasan Bandung Utara (KBU) sebagai kawasan strategis provinsi Jawa


Barat memiliki Peraturan Daerahnya sendiri, yakni Peraturan Daerah Nomor 1
Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Bandung
Utara, merupakan kawasan lindung, dan kawasan budidaya. Hal tersebut
tercantum dalam ketentuan pasal 9 hingga pasal 15. Kawasan lindung Bandung
Utara disini dimaksudkan untuk melindungi kawasan pelestarian alam (meliputi
wilayah kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat),
kawasan suaka alam (wilayah Kabupaten Bandung Barat), kawasan cagar budaya
dan ilmu pengetahuan (wilayah Kabupaten Bandung Barat) dan kawasan rawan

122
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, No 22 Tahun 2010 RENCANA TATA RUANG DAN
WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2009-2029.. L.D. Jawa Barat Tahun 2010 No.22, Pasal
83.
123
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, No 22 Tahun 2010 RENCANA TATA RUANG DAN
WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2009-2029.. L.D. Jawa Barat Tahun 2010 No.22, Pasal
65

54
bencana alam geologi124. Sedangkan, kawasan budidaya meliputi kawasan
budidaya pertanian, dan kawasan permukiman warga. Hal-hal yang diatur dalam
pasal tersebut menandakan bahwa keberadaan Bandung Utara ini sangat penting
dan memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat Bandung raya.

Undang-Undang Penataan Ruang nomor 26 Tahun 2007 sebagai sumber


hukum tertinggi dalam pengaturan penataan ruang pun mengatur mengenai
kawasan budidaya dan kawasan lindung. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 3
yang mengatakan bahwa Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan
terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan,
terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, dan terwujudnya
pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang125. Pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang inilah yang membuat bencana banjir di kawasan
Bandung Selatan terjadi yang diakibatkan oleh pemanfaatan ruang yang salah di
KBU.

Pada saat ini telah terjadi perubahan kawasan terbangun yang semakin luas
dan cenderung tidak terkendali, sehingga mengakibatkan penurunan daya dukung
kawasan Bandung Utara sebagai daerah resapan air bagi daerah hilir. Karena
KBU merupakan daerah aliran sungai (DAS) Cikapundung, Cimahi, Citarik hilir,
Cigugur, Cibeureum, Citepus dan beberapa aliran sungai lainnya yang bermuara
di sungai citarum.126 Hal inilah yang memicu terjadinya bencana banjir di
Bandung Selatan. maka dari itu, diperlukan upaya pengendalian yang ketat dan

124
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, NO. 1 tahun 2008 , PENGENDALIAN
PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA, L.D. Jawa Barat Tahun 2008 No.1.
125
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2007 No.68,
Pasal 3
126
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, NO. 1 tahun 2008 , PENGENDALIAN
PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA, L.D. Jawa Barat Tahun 2008 No.1,
Bagian Umum dalam Penjelasan.

55
tepat terhadap pembangunan di Kawasan Bandung Utara dalam rangka
mengembalikan kondisi hidrologis terutama pada lahan dengan kondisi kritis.
Diperlukannya peraturan mengenai KBU ini dikarenakan banyak sekali
pembangunan yang merusak lingkungan, pembiaran, pengabaian, dan melalaikan
pemanfaatan ruang,127 dan bangunan-bangunan liar yang sulit ditertibkan128
dimana bangunan tersebut tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari
Pemerintah Daerah, baik Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya. Padahal, izin
mendirikan bangunan di kawasan tersebut telah dipersulit karena apabila hendak
membangun di kawasan Bandung Utara, sebelum dikeluarkan izin oleh
pemerintah daerah, dalam hal ini Bupati/Walikota, juga memerlukan rekomendasi
dan izin dari Gubernur Jawa Barat.129

Hal-hal tersebut menambah masalah yang ada dalam kawasan Bandung


Utara dan menyumbang berbagai macam permasalahan di wilayah Bandung raya,
utama nya di kawasan Bandung Selatan yang setiap tahun selalu disergap banjir
besar. Maka dari itu, karena wilayah Bandung raya merupakan satu kesatuan dan
wilayah cekungan, maka dengan pemaparan di atas, kewenangan yang ada untuk
menyelesaikan permasalahan banjir di Bandung selatan tidak hanya kewenangan
pemerintah provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Bandung semata,
melainkan juga adanya kewenangan dari pemerintah kota Cimahi, kota Bandung,
dan Kabupaten Bandung Barat untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan
banjir Bandung selatan ini karena kawasan Bandung Utara merupakan kawasan
strategis provinsi Jawa Barat dan Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya
karena wilayah ini kegiatan penyelenggaraan penataan ruangnya harus
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi
terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Hal ini terlihat dengan

127
Tersedia di http://daerah.sindonews.com/read/988233/151/pemda-tak-berdaya-soal-kbu-
1428807494. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2016 Pukul 15.51 WIB.
128
Friska Yolanda, Satpol PP Kewalahan Tertibkan Bangunan Liar KBU,
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/12/02/nyq429370-satpol-pp-
kewalahan-tertibkan-bangunan-liar-kbu. Diakses pada tanggal 22 Agustus 2016 Pukul 15.54
WIB.
129
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, NO. 1 tahun 2008, PENGENDALIAN
PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA, L.D. Jawa BaraTahun 2008 No.1, Pasal
21 ayat 2.

56
banyaknya pembangunan-pembangunan yang dilakukan di kawasan tersebut dan
meningkatkan perekonomian dari masyarakat di kawasan tersebut walaupun
memiliki dampak yang merugikan bagi lingkungan sekitar.

3.3.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat

Setelah terdapat RPJPD dan RTRW Provinsi Jawa Barat, suatu


pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah memerlukan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Barat untuk
mengukur keberhasilan pembangunan di provinsi Jawa Barat dalam rentang
waktu yang singkat. Berbeda dengan RPJPD yang berlaku jangka waktu yang
panjang. RPJMD yang dirumuskan dalam Peraturan Daerah Nomor 25 Tahun
2013 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2013-2018 yang mengacu pada RPJP Provinsi Jawa Barat. Dalam Bab 2
(Dua) RPJMD mengenai gambaran kondisi daerah, dikatakan bahwa wilayah
administratif Kabupaten Bandung bersama 12 Kabupaten/Kota lain di Jawa Barat,
yakni khususnya Kawasan Bandung Selatan, Kecamatan Baleendah dan
Dayeuhkolot digolongkan sebagai kawasan yang rawan bencana banjir.130 Dan
keterkaitan dengan permasalahan penataan ruang, salah satu permasalahan
penataan ruang ialah belum terwujudnya sinergitas koordinasi penataan ruang
baik yang bersifat fisik lingkungan, kebencanaan maupun ekonomi pada kawasan
strategis provinsi.131

Strategi kebijakan yang dipergunakan oleh Pemerintah provinsi Jawa


Barat dalam menangani bencana banjir dan penataan ruang adalah menurunkan
beban pencemaran lingkungan dan risiko bencana dengan arah kebijakan
peningkatan pengendalian pencemaran air, udara dan tanah serta penerapan
teknologi bersih untuk industri, meningkatkan kualitas dan fungsi kawasan

130
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, No 25 Tahun 2013, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2005-2025. L.D. Jawa Barat Tahun 2013
No.25, Bab II, Gambaran Kondisi Daerah Jawa Barat.
131
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, No 25 Tahun 2013, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2005-2025. L.D. Jawa Barat Tahun 2013
No.25, Bab II, Gambaran Kondisi Daerah Jawa Barat.

57
lindung dengan arah kebijakan peningkatan kualitas pengelolaan kawasan lindung
hutan dan non hutan, meningkatkan proses perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang untuk mewujudkan tata ruang wilayah yang
efisien, berkelanjutan dan berdaya saing dengan arah kebijakan perwujudan
harmonisasi dalam pemanfaatan, penataan dan pengendalian ruang pada seluruh
Kawasan Strategis Provinsi (KSP), peningkatan kinerja perencanaan ruang,
peningkatan kinerja pemanfaatan ruang, dan peningkatan kinerja pengendalian
pemanfaatan ruang.132

Dari pemaparan di atas, beberapa kebijakan-kebijakan yang dibuat dalam


RPJPD, RTRW dan RPJMD menurut penulis telah mengakomodir dan telah ideal
dalam rangka menanggulangi bencana banjir di Bandung Selatan serta dalam
upaya untuk merencanakan, mengendalikan, dan memanfaatkan ruang di kawasan
Bandung Utara sebagai kawasan hulu sebagai salah satu penyebab terjadinya
bencana banjir di Bandung Selatan dikarenakan dalam ketiga peraturan tersebut,
memuat berbagai permasalahan menyangkut bencana banjir Bandung Selatan ini
dan secara jelas pemerintah mengakui bahwa kegiatan penyelenggaraan penataan
ruang belum maksimal dikarenakan terdapat faktor-faktor dominan yang
menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung lingkungan, dan dalam RPJPD
juga ditegaskan bahwa pemerintah memiliki komitmen untuk menyelenggarakan
kegiatan penataan ruang dengan baik dengan cara meningkatkan koordinasi antar
pemerintah. Dan yang diatur dalam RPJMD, kawasan Bandung selatan,
khususnya kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung dalam
bab II RPJMD memang digolongkan ke dalam kawasan rawan bencana banjir.
Dan hal tersebut dipertegas dalam RTRW pemerintah provinsi Jawa Barat dan
terdapat ukuran-ukuran yang hendak dicapai dalam pelaksanaanya dan
memperlihatkan komitmen dari pemerintah provinsi Jawa Barat untuk
menyelesaikan permasalahan bencana banjir Bandung Selatan yang juga
diakibatkan rusaknya kawasan hulu, yakni kawasan Bandung Utara yang

132
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, No 25 Tahun 2013, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2005-2025. L.D. Jawa Barat Tahun 2013
No.25, Bab VI, Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Daerah.

58
menyumbang terjadinya bencana banjir dikarenakan terdapat lahan kritis dan
pembangunan di kawasan tersebut yang tidak sesuai daya dukung, daya tampung,
dan peruntukkannya.

3.4 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dan Rencana Pembangunan


Jangka Menengah Serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Bandung

Kabupaten Bandung merupakan wilayah terbesar di kawasan Bandung Raya


dan lokasi dimana banjir Bandung Selatan terjadi merupakan wilayah
administratif dari Kabupaten Bandung, yakni kecamatan Baleendah, dan
Dayeuhkolot. Kabupaten Bandung memiliki wewenang dalam melaksanakan
kegiatan penyelenggaraan penataan ruang berdasarkan prinsip otonomi daerah
dalam pasal 7 ayat (2) undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan
ruang. Kewenangan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota, termasuk Kabupaten
Bandung tercantum dalam pasal 11 undang-undang penataan ruang ini,yakni :133
1) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis
kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
c. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
dan
d. kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota.
2) Wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota; pemanfaatan
ruang wilayah kabupaten/kota; dan
b. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
3) Dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, pemerintah daerah
kabupaten/kota melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis kabupaten/kota;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota; dan

133
UNDANG UNDANG R.I., No 26 Tahun 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I Tahun 2008 No.68,
pasal 11 ayat (1) s/d (6).

59
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
4) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2), pemerintah daerah kabupaten/kota mengacu pada
pedoman bidang penataan ruang dan petunjuk pelaksanaannya.
5) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pemerintah daerah kabupaten/kota:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana
umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan
penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
b. melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan
ruang.
6) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak dapat memenuhi
standar pelayanan minimal bidang penataan ruang, pemerintah daerah
provinsi dapat mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2011,
wilayah Kabupaten Bandung ini menduduki peringkat keempat dalam wilayah
yang termasuk tingkat rawan bencana di antara 194 Kabupaten yang ada di
Indonesia dan pada tingkat Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bandung menempati
rangking ketiga setelah Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya.134 Maka
dari itu, pemerintah Kabupaten Bandung membuat suatu regulasi berupa RPJPD,
RTRW, dan RPJMD dimana salah satu fungsi dari regulasi tersebut ialah sebagai
indikator pencapaian pembangunan, pencegahan dan penanggulangan bencana
alam. Salah satunya ialah bencana banjir.

3.4.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bandung

Dari kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Bandung


untuk mengurus wilayahnya sendiri, maka lahirlah Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah (RPJPD) yang mengacu kepada Undang-undang nomor 26 Tahun
2007 tentang penataan ruang, dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2004, Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 54 Tahun 2010, serta Undang-
undang nomor 23 Tahun 2014. RPJPD Jawa Barat, dan Rencana Tata Ruang dan

134
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No 7 Tahun 2016, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA MENENGAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2016-2021. L.D. Kabupaten Bandung
Tahun 2016 No.7.

60
Wilayah (RTRW) Jawa Barat. RPJPD Kabupaten Bandung dirumuskan dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung nomor 7 tahun 2011 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bandung Tahun 2005-2025.

Dalam bab II yang membahas mengenai gambaran umum Kabupaten


Bandung, terdapat pengaturan mengenai wilayah rawan bencana di Kabupaten
Bandung yang salah satunya ialah bencana banjir di Bandung Selatan di
kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot yang disebabkan karena pemanfaatan
lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan, terutama pemanfaatan lahan untuk
pertanian di daerah perbukitan dengan kemiringan tertentu, serta alih fungsi lahan
(dari hutan menjadi lahan pertanian) menyebabkan terjadinya pergerakan tanah
(longsor), erosi dan sedimentasi serta bertambahnya lahan kritis di Kabupaten
Bandung. Tingginya alih fungsi lahan dari pertanian menjadi permukiman juga
menyebabkan terganggunya sistem jaringan irigasi dan drainase dan dampak dari
perubahan guna lahan yang terjadi di Kabupaten Bandung adalah timbulnya
bencana banjir di Baleendah dan Dayeuhkolot serta kondisi lingkungan yang
kurang baik di daerah hulu. Terutama terkait dengan fungsi resapan air,
menyebabkan sedimentasi dan banjir di daerah hilir.135

Berkaitan dengan penataan ruang dalam mengatasi bencana banjir yang


terjadi, Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kabupaten Bandung belum memenuhi
target nasional karena berdasarkan data pada tahun 2010, baru sebesar 26,13 % (
RTH Nasional minimal 30%). Oleh karena itu, RTH diperlukan peningkatan
karena RTH sendiri memiliki 2 fungsi dan salah satu fungsi nya ialah fungsi
ekologis, yakni meningkatkan kualitas air tanah, mengurangi polusi udara, dan
mengatur iklim mikro. Serta yang paling penting ialah mencegah terjadinya
bencana banjir.136 Kabupaten Bandung merupakan hilir dari sungai citarum. Alih
fungsi lahan yang terjadi di sepanjang daerah aliran sungai menyebabkan

135
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No7 Tahun 2011, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2005-2025. L.D. Kabupaten Bandung Tahun
2011 No.7, Bab II, Gambaran Umum Kabupaten Bandung
136
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No7 Tahun 2011, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2005-2025. L.D. Kabupaten Bandung Tahun
2011 No.7, Bab II, Gambaran Umum Kabupaten Bandung

61
terjadinya banjir tahunan di desa-desa sekitar Citarum, yakni kawasan Bandung
Selatan. Banjir juga disebabkan karena tidak adanya rehabilitasi lahan dan
kawasan hutan sepanjang sungai Citarum. Maka dari itu, untuk menangani
masalah banjir, Kabupaten Bandung membuat grand design penanganan bencana
banjir di sepanjang sungai Citarum.137

Dalam bab V mengenai arah kebijakan jangka panjang dalam RPJPD


Kabupaten Bandung, untuk menangani permasalahan bencana banjir di Bandung
Selatan yang juga diakibatkan oleh permasalahan penataan ruang, kegiatan yang
akan diselenggarakan ialah meningkatkan daya dukung serta kualitas dari
lingkungan dengan indikator pencapaian seperti berkurangnya luas lahan kritis,
menurunnya laju sedimentasi di daerah tangkapan air, menurunya tingkat bahaya
erosi, dan berkurangnya tingkat pencemaran lingkungan. Dan dalam kaitannya
dengan permasalahan penataan ruang yang membuat bencana banjir semakin
parah, maka indikator pencapaiannya ialah dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas ruang terbuka hijau, berkurangnya perubahan guna lahan terutama pada
kawasan lindung, dan berkurangnya tingkat pelanggaran pemanfaatan ruang.138

3.4.2 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung

Berdasarkan RPJPD yang dibuat, maka diperlukan Rencana Tata Ruang


Dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Bandung yang dituangkan ke dalam Peraturan
Daerah Nomor 3 Tahun 2008 sebagai masterplan pembangunan di Kabupaten
Bandung dalam kurun waktu tahun 2007 hingga 2027 yang mengacu juga kepada
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan RTRW
Provinsi Jawa Barat. RTRW ini mengalami revisi pada tahun 2016 ini
berdasarkan peninjauan kembali yang dilakukan pada tahun 2012. RTRW ini
mengatur mengenai permasalahan bencana banjir dan wilayah-wilayah yang

137
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No7 Tahun 2011, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2005-2025. L.D. Kabupaten Bandung Tahun
2011 No.7, Bab II, Gambaran Umum Kabupaten Bandung
138
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No7 Tahun 2011, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA PANJANG KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2005-2025. L.D. Kabupaten Bandung Tahun
2011 No.7, Bab V, Arah Dan Kebijakan Wilayah Kabupaten Bandung

62
termasuk ke dalam rawan bencana banjir yang akan dibahas lebih lanjut dalam
muatan pasal-pasalnya.

Dalam pasal 21 huruf f, dikatakan bahwa terdapat rencana sistem jaringan


prasarana lainnya sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (1) huruf c yang
meliputi pengembangan sistem kebencanaan dalam huruf h139 yang selanjutnya
diatur dalam pasal 34, yakni jalur dan ruang evakuasi bencana dikembangkan
berdasarkan jenis dan lokasi bencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 huruf
h, salah satunya terdapat pengaturan mengenai jalur dan ruang evakuasi bencana
banjir di Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Margaasih,
Rancaekek, Pameungpeuk, Majalaya, Banjaran, dan Cicalengka. 140 Berkaitan
dengan kawasan lindung yang diatur dalam pasal 35, dimana salah satu kawasan
tersebut meliputi kawasan rawan bencana alam,141 Kecamatan Baleendah dan
Dayeuhkolot sebagai wilayah yang rawan banjir diatur dan termasuk ke dalam
wilayah rawan banjir sebagaimana diatur dalam pasal 40 ayat (1). 142 Serta,
kawasan rawan bencana banjir sebagaimana disebutkan di atas dibuatlah
ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung dalam pasal 80 ayat (1)
sebagaimana disebutkan dalam pasal 81 ayat (1) huruf e mengenai peraturan
zonasi kawasan rawan bencana alam dimana salah satunya meliputi kawasan
rawan bencana banjir.143

139
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No Tahun 2016, PERUBAHAN ATAS PERATURAN
DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG
WILAYAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2007-2027. L.D. Kabupaten Bandung Tahun 2016.
Pasal 21 huruf h.
140
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No Tahun 2016, PERUBAHAN ATAS PERATURAN
DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG
WILAYAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2007-2027. L.D. Kabupaten Bandung Tahun 2016.
Pasal 34 ayat (1) huruf b.
141
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No Tahun 2016, PERUBAHAN ATAS PERATURAN
DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG
WILAYAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2007-2027. L.D. Kabupaten Bandung Tahun 2016.
Pasal 35 ayat (2) huruf e.
142
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No Tahun 2016, PERUBAHAN ATAS PERATURAN
DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG
WILAYAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2007-2027. L.D. Kabupaten Bandung Tahun 2016.
Pasal 40 ayat (1).
143
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No Tahun 2016, PERUBAHAN ATAS PERATURAN
DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG

63
Dari rumusan pasal di atas, penulis melihat bahwa pemerintah Kabupaten
Bandung memiliki kebijakan pengendalian, pelestarian, dan rehabilitasi kawasan
rawan bencana alam, salah satunya ialah bencana banjir di Bandung Selatan,
tepatnya di kecamatan Dayeuhkolot dan Baleendah. Hal ini menandakan bahwa
pemerintah Kabupaten Bandung memiliki acuan yang jelas dalam rangka
pelaksanaan menanggulangi bencana banjir dimana kawasan rawan bencana
merupakan prioritas untuk pembangunan yang berkelanjutan.

3.4.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten


Bandung

Dalam usaha untuk menunjang keberhasilan dan kefektifan dari RPJPD


dan RTRW yang dibuat oleh pemerintah Kabupaten Bandung, dan juga
sebagaimana diamanatkan dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004,
Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 54 Tahun 2010, RPJPMD provinsi Jawa
Barat serta Undang-undang nomor 23 Tahun 2014 maka dibuatlah RPJMD yang
baru termuat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 7 tahun 2016
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2016-2021.

Dalam bab II tentang Gambaran Kondisi Daerah Kabupaten Bandung,


kawasan Bandung Selatan, tepatnya kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot
merupakan salah satu kawasan rawan bencana banjir karena disebabkan adanya
pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan, terutama dalam
pemanfaatan lahan untuk pertanian di daerah perbukitan dengan kemiringan
tertentu serta alih fungsi lahan (dari hutan menjadi lahan pertanian) menyebabkan
sering terjadinya pergerakan tanah (longsor), erosi dan sedimentasi serta
bertambahnya lahan kritis di Kabupaten Bandung dan terganggunya sistem
jaringan irigasi dan drainase, serta kondisi lingkungan yang kurang baik di daerah
hulu, terutama terkait dengan fungsi resapan air, menyebabkan sedimentasi dan

WILAYAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2007-2027. L.D. Kabupaten Bandung Tahun 2016.
Pasal 86 ayat (1).

64
banjir di daerah hilir.144 Bencana banjir ini merupakan salah satu isu strategis di
Kabupaten Bandung dimana bencana ini memiliki dampak yang besar dan luas
bagi daerah dan masyarakat apabila tidak segera ditangani dan Pemerintah
Kabupaten Bandung dalam RPJMD terbaru mengakui bahwa penanganan bencana
banjir yang dilakukan oleh pemerintah belum optimal.145

Disebutkan lebih lanjut dalam RPJMD, bahwa banjir yang terjadi di


beberapa wilayah Kabupaten Bandung, salah satunya ialah di Bandung Selatan,
Kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot diharapkan pada tahun 2025 (masa
berakhirnya RPJPD Kabupaten Bandung), Lokasi-lokasi genangan tersebut dapat
diminimalisir bahkan dihilangkan. Pada zona Citarum Hulu, permasalahan yang
menakibatkan tejadinya luapan dan penurunan kualitas sungai diantaranya
berkurangnya areal hutan lindung, berkembangnya permukiman tanpa perubahan
perencanaan yang baik, lahan kristis, erosi, sedimentasi, adanya limbah
peternakan, adanya budidaya pertanian tidak ramah lingkungan, adanya limbah
(industri, domestik dan sampah), dan permasalahan tata ruang. Pada zona Citarum
Hilir, permasalahan yang terjadi antara lain terjadinya degradasi prasarana
pengendalian banjir, pencemaran, sedimentasi, permasalahan tata ruang
(pemanfaatan bantaran sungai dan sempadan sungai yang tidak sesuai dengan
fungsinya).

Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka Permasalahan Banjir di


Cekungan Bandung dapat dilakukan secara filosofis, normatif, dan sosial budaya.
Secara filosofis, diantaranya dengan melakukan relokasi penduduk dari wilayah
banjir, secara normatif dengan melalui metode struktur yaitu melalui konstruksi
teknik sipil (membuat waduk atau embung, membuat kolam retensi,
membuat/memperbaiki tanggul penahan banjir, melakukan normalisasi sungai,
membuat polder dan sumur-sumur resapan). Secara normatif menggunakan

144
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No 7 Tahun 2016, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA MENENGAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2016-2021. L.D. Kabupaten Bandung
Tahun 2016 No.7, Bab II Gambaran Kondisi Daerah
145
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No 7 Tahun 2016, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA MENENGAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2016-2021. L.D. Kabupaten Bandung
Tahun 2016, Bab IV Analisis Isu Strategis.

65
metode non struktur, yaitu melakukan manajemen daerah rawan banjir (sistem
peringatan dini, diseminasi peringatan ancaman dan sistem evakuasi banjir,
pembuatan peta bahaya banjir, peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat
untuk penanggulangan banjir, asuransi bencana banjir) dan manajemen daerah
aliran sungai (penataan ruang, pengendalian erosi di hulu DAS, pengendalian alih
fungsi lahan, pengendalian perijinan pemanfaatan lahn, pengendalian kualitas air
sungai, kelembagaan/otoritas DAS Citarum Hulu, pembuatan peta kawasan
lindung, peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat untuk konservasi hulu
DAS). Secara sosial dan budaya melalui mata pencaharian, perubahan perilaku
permukiman sehat dan menghidupkan kembali kearifan lokal yang positif.
Program penanganan banjir yang diharapkan dilakukan di Cekungan Bandung
untuk 20 tahun ke depan adalah tanggap darurat daerah banjir Dayeuh kolot,
Baleendah dan Sekitarnya, perbaikan drainase di Cieunteung dan Andir,
pembuatan Situ di Cieunteung serta relokasi penduduk, pemeliharaan berkala
sungai Citarum, Citepus, Cisangkuy dan Cikapundung, tersusunnya FS dan DED
Pengelolaan Banjir Cekungan Bandung, pembuatan waduk-waduk kecil,
penanggulangan erosi dan sedimentasi di hulu.146

Perencanaan-perencanaan yang telah disebutkan dan dijelaskan di atas


mengakui bahwa memang bencana banjir di Baleendah dan Dayeuhkolot ini
merupakan permasalahan yang sangat pelik karena bencana ini sebagaimana telah
dijelaskan membawa dampak yang merugikan masyarakat di 2 (dua) kecamatan
yang tersebut. Dan penanganan bencana banjir Bandung Selatan ini merupakan
salah satu prioritas penting dalam RPJMD 2016-2021 karena dalam RPJMD
sebelumnya, penanganan bencana banjir belum berjalan optimal dan belum
berjalan semaksimal mungkin. Maka dari itu, diperlukan suatu rancangan
pengendalian yang lebih baik dari RPJMD yang sebelumnya.

Penanganan bencana banjir di Bandung selatan, yakni di Kecamatan


Baleendah dan Dayeuhkolot ini diperlukan kerjasama antar daerah perbatasan,
146
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No 7 Tahun 2016, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA MENENGAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2016-2021. L.D. Kabupaten Bandung
Tahun 2016 No.7, Bab II Gambaran Kondisi Daerah.

66
dimana wilayah-wilayah yang berbatasan ini seringkali menimbulkan persoalan-
persoalan yang pelik, khususnya dalam penanganan banjir. Maka dari itu,
pemerintah Kabupaten Bandung telah melakukan pelaksanaan kerja sama dengan
Pemerintah Kota Bandung yang dituangkan dalam Kesepakatan Bersama Nomor
130/2786 – Bag.KS/2016 dan Nomor 130/13-Permum/ 2016 dimana salah satu
poin kesepakatan bersama tadi ialah penanggulangan bencana banjir.147

Berkaitan dengan permasalahan penataan ruang, dalam RPJMD ini


dikatakan bahwa pemerintah Kabupaten Bandung mengakui bahwa inti dari
permasalahan penataan ruang di Kabupaten Bandung ialah adanya
ketidaksesuaian antara perencanaan pembangunan dengan kondisi riil yang terjadi
di lapangan dimana ketidaksesuaian tersebut terbagi ke dalam 2 (dua) kategori.
Yang pertama ialah ketidaksesuaian yang diakibatkan oleh dinamika pertumbuhan
wilayah yang tidak terkendali, sehingga seringkali berdampak kepada alih fungsi
lahan, dan kedua ialah ketidaksesuaian yang diakibatkan oleh tidak
terimplementasinya rencana tata ruang secara utuh.148 Hal inilah yang terjadi di
kawasan Bandung Utara dan Kawasan Bandung Selatan itu sendiri dimana di
kedua wilayah tersebut sebagaimana telah dijelaskan dalam bab 1 (satu) terdapat
alih fungsi lahan yang luar biasa besar, ditambah dengan adanya pembangunan
yang tidak sesuai dengan peruntukannya di wilayah Kabupaten Bandung, baik di
kawasan Bandung Utara maupun di Bandung Selatan sendiri, khususnya di
kecamatan Ciwidey dan Pangalengan yang dalam kurun waktu satu hingga dua
tahun telah terjadi perambahan hutan lebih dari 5 ribu hektare di Pangalengan,
Kabupaten Bandung. Status lahan tersebut, hutan lindung yang seharusnya di
kelola oleh PERHUTANI. Sementara, lahan yang ditanami saat ini belum
tumbuh. Dan gunung dan hutan lindung lebih banyak di rambah dan dijadikan

147
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No 7 Tahun 2016, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA MENENGAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2016-2021. L.D. Kabupaten Bandung
Tahun 2016 No.7, Bab IV Analisis Isu Strategis.
148
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No 7 Tahun 2016, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA MENENGAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2016-2021. L.D. Kabupaten Bandung
Tahun 2016 No.7, Bab IV Analisis Isu Strategis.

67
lahan sayuran. Termasuk, Puncak Gunung Bedil- Pangalengan dan gambung
sedaningsih149.

Dikatakan bahwa kawasan Bandung Utara sebagai 1 (satu) kesatuan


wilayah dalam Cekungan Bandung yang turut “menyumbang” bencana banjir di
Bandung Selatan juga merupakan salah satu faktor penting yang harus
dikendalikan karena seperti kita tahu, pada saat ini banyak sekali pembangunan
yang dilakukan di kawasan tersebut. Dalam RTRW Kabupaten Bandung,
dikatakan bahwa yang dimaksud dengan wilayah Bandung Utara adalah wilayah
yang memiliki ketinggian di atas 750 dpl bagian utara cekungan Bandung yang
meliputi 3 kecamatan, yakni150:

1) Sebagian kecamatan Cileunyi (Meliputi 5 Desa, yakni sebagian desa


Cileunyi Kulon, Cimekar, Cinunuk, dan Cibiru Wetan)
2) Cimenyan (meliputi 9 desa, yakni Desa Cimenyan, Mandalamekar,
Ciburial, Mekarsaluyu, Mekarmanik, dan sebagian Desa Cikadut,
Sindanglaya, kelurahan Padasuka, dan Kelurahan Cibeunying)
3) Cilengkrang (meliputi 6 Desa, yakni Cilengkrang, Cipanjalu,
Malatiwangi, Ciporeat, dan sebagian Desa Girimekar, dan Desa
Jatiendah)
Ketiga kecamatan tersebut di dalam pasal 72 huruf q, bb, dan cc
disebutkan bahwa wilayah-wilayah tersebut termasuk ke dalam kawasan hutan
lindung, konservasi, dan ruang terbuka hijau. Sebagai kawasan hutan lindung,
konservasi, dan ruang terbuka hijau, fungsi utama dari ketiga kecamatan tersebut
ialah melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam,
sumber daya buatan, dan nilai sejarah dan budaya guna kepentingan
pembangunan yang berkelanjutan. Maka dari itu, pemanfaatan lingkungan di
wilayah Kabupaten Bandung tersebut mengacu kepada pasal 11 yang

149
Edi Yusuf, Tersedia di http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/03/14/o40jjq354-
ini-penyebab-banjir-di-bandung-selatan-makin-parah. diakses pada tanggal 31 Mei 2016 Pukul
17.03 WIB.
150
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, NO. 1 tahun 2008 , PENGENDALIAN
PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA, L.D. Jawa Barat Tahun 2008 No. 1,
Pasal 6 huruf a.

68
menyebutkan bahwa Pemanfaatan ruang kawasan lindung di KBU dilakukan
dengan ketentuan sebagai berikut151:
a. Pemanfaatan ruang harus tetap mempertahankan fungsi kawasan
lindung/konservasi;
b. Wilayah-wilayah yang layak dan potensial dikembangkan untuk
kegiatan budidaya dapat diarahkan sebagai kawasan budidaya dengan
tetap mempertahankan fungsi lindung.
Sebagaimana kita tahu, bahwa kawasan Bandung Utara merupakan
kawasan perbukitan yang memiliki pengaruh cukup besar bagi tata air wilayah
Bandung Raya karena sebagai daerah hulu memegang peranan penting bagi
daerah hilir. Dalam RPJMD, strategi dan arah kebijakan yang dilakukan oleh
Pemerintah Kabupaten Bandung ialah dengan upaya meningkatnya pemanfaatan
dan pengendalian pemanfaatan ruang dengan mengatur pola penggunaan lahan
pada wilayah yang berkembang pesat serta meningkatkan peran serta masyarakat
dalam perencanaan tata ruang dan menyediakan dokumen rencana tata ruang
sesuai dengan kebutuhan.152 Cara-cara yang digunakan ialah dengan memperketat
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan mengatur pola penggunaan lahan pada
wilayah yang berkembang pesat.

Terjadinya bencana banjir yang diakibatkan oleh kegiatan penataan ruang


yang tidak sesuai sehingga mengakibatkan bencana banjir merupakan misi dari
Kabupaten Bandung. Yakni mewujudkan pembangunan infrastruktur yang
terpadu tata ruang wilayah dengan memperhatikan aspek kebencanaan. Cara-cara
yang digunakan ialah meningkatkan infrastruktur yang berkaitan erat dengan tata
ruang, karena berkaitan dengan perkembangan guna lahan suatu wilayah dan
terdapat perencanaan infrastruktur dan penataan ruang dilakukan seiring sehingga
menimbulkan keterpaduan dan secara simultan bergerak dari perencanaan
penataan ruang, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan tata ruang.. Selain
itu, kegiatan-kegiatan yang tadi dilakukan wajib memperhatikan aspek
151
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, NO. 1 tahun 2008 , PENGENDALIAN
PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA, L.D. Jawa Barat Tahun 2008 No. 1,
Pasal 11
152
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG, No 7 Tahun 2016, RENCANA PEMBANGUNAN
JANGKA MENENGAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2016-2021. L.D. Kabupaten Bandung
Tahun 2016 No.7, Bab IV Analisis Isu Strategis.

69
kebencanaan dan diharapkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan tadi dapat
setidaknya mengurangi bencana alam yang terjadi, salah satunya ialah bencana
banjir di Bandung Selatan, Kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa baik RPJPD, RTRW, serta
RPJMD yang dibuat oleh pemerintah Kabupaten Bandung mengatur dengan baik,
dan mengakomodir pengendalian bencana banjir Bandung Selatan ini. Hal ini
terlihat dengan adanya arah kebijakan strategi pengendalian, pemanfaatan lahan
kritis, serta dapat dilakukan secara filosofis, normatif, dan sosial budaya
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya serta terdapat komitmen dari
pemerintah Kabupaten Bandung untuk mengurangi serta meminimalisir dampak
bencana banjir di kawasan Bandung Selatan dan berkomitmen untuk
menyelesaikan permasalahan bencana banjir Bandung Selatan yang juga
diakibatkan rusaknya kawasan hulu, yakni kawasan Bandung Utara yang
menyumbang terjadinya bencana banjir dikarenakan terdapat lahan kritis dan
pembangunan di kawasan tersebut yang tidak sesuai daya dukung, daya tampung,
dan peruntukkannya. Selain itu, RTRW Kabupaten Bandung Nomor 3 Tahun
2008 pada tahun ini mengalami revisi atau perubahan dan disesuaikan dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 17/PRT/M/2009 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota. Dalam RTRW
terbaru yang belum disahkan dan diberlakukan ini, RTRW terbaru mengalami
berbagai perubahan yang signifikan, dimana selain terdapat pergeseran dan
perubahan pasal-pasal dari RTRW sebelumnya, RTRW terbaru secara spesifik
mengatur perencanaan, pemanfaatan, serta pengendalian bencana banjir di
Bandung Selatan.

3.5 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dan Rencana Pembangunan


Jangka Menengah Serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung

Kota Bandung sebagai wilayah administratif kedua di wilayah Bandung


Raya merupakan daerah yang berbatasan dekat dengan wilayah Bandung Selatan

70
sebagai kawasan banjir. Kota Bandung yang termasuk salah satu kota terpadat di
Jawa Barat berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2014 karena berpenduduk
sekitar 2.470.802 jiwa153 dengan luas wilayah sebesar 16.731 hektar154. Berbicara
permasalahan banjir Bandung Selatan di Kecamatan Baleendah, dan Dayeuhkolot
yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Bandung tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan pembangunan di Kota Bandung yang berkembang
begitu pesat. Selain pembangunan-pembangunan yang dilakukan di Kota
Bandung, Sungai Citarum yang merupakan sungai yang melintas di antara 2
wilayah tersebut seringkali meluap karena masih banyaknya penduduk dan
pabrik-pabrik membuang sampah dan limbah ke Sungai Citarum yang seringkali
mengakibatkan akses jalan dari Kabupaten Bandung menuju Kota Bandung di
daerah Baleendah dan Dayeuhkolot seringkali terputus itu adalah masalah yang
dihadapi di daerah hilir akibat bencana banjir Bandung Selatan.

Apabila kita melihat kepada daerah hulu, yakni wilayah Kota Bandung
yang termasuk kawasan Bandung Utara sebagai kawasan resapan air utama bagi
daerah-daerah yang ada di bawahnya, banyak sekali pembangunan-pembangunan
yang tidak mengindahkan lingkungan sekitar, dimana dampak kerusakan yang ada
akibat dari pembangunan di kawasan hulu sudah dapat dirasakan oleh masyarakat,
salah satunya ialah banjir di Bandung Selatan ini. Serupa dengan kewenangan
yang dimiliki oleh Kabupaten Bandung sebelumnya, sesuai dengan prinsip
otonomi daerah, Kota Bandung memiliki kewenangan untuk mengurus
wilayahnya sendiri dan memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan kegiatan
penataan ruang sesuai dengan ketentuan pasal 11 ayat (1) hingga ayat (7) undang-
undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Maka dari itu, pemerintah
Kota Bandung memiliki kewenangan untuk membuat RPJPD, RTRW, serta
RPJMD.

153
Berdasarkan data dari BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BANDUNG, Tersedia di
https://bandungkota.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/9. Diakses pada tanggal 5 September
2016 Pukul 13.54 WIB.
154
Tersedia di http://ppid.bandung.go.id/profil-kota-bandung/. Diakses pada tanggal 5 September
2016 Pukul 14.00 WIB.

71
3.5.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Bandung

Dalam RPJPD kota Bandung, yang bersumber pada Undang-Undang


nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, pasal 3 Undang-Undang nomor 25
Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional, Peraturan
Menteri Dalam Negeri nomor 54 Tahun 2010 tentang pelaksanaan peraturan
pemerintah nomor 8 tahun 2008 tentang tatacara penyusunan, pengendalian, dan
evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah, serta Undang-undang nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dengan memperhatikan pula kepada
RTRW Metropolitan Bandung beserta RTRW-RTRW Kabupaten/Kota lain di
sekitarnya, yaitu RTRW Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat,
Kabupaten Sumedang dan Kota Cimahi yang pada prinsipnya untuk
mengoptimalkan dan mensinergikan penataan ruang, penatagunaan lahan,
lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam. Sesuai dengan undang-
undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dalam RPJPD Kota Bandung
ini, tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai permasalahan banjir di kawasan
Bandung Selatan di wilayah Kabupaten Bandung yang berbatasan dengan wilayah
kota Bandung, akan tetapi, di dalam bab II mengenai gambaran umum kota
Bandung, dijelaskan bahwa rusaknya fungsi resapan air di Kota Bandung dan
daerah sekitarnya, khususnya di wilayah Kawasan Bandung Utara dapat terlihat
dari indikasi tingginya selisih debit maksimum dengan debit minimum sungai-
sungai yang ada atau melintas Kota Bandung.

Berdasarkan data dari Dinas Pengairan Kota Bandung 2006, terlihat bahwa
sebagian besar debit maksimum sungai yang melintas di Kota Bandung lebih dari
20 m3, sementara debit minimumnya kurang dari 1 m3. Untuk Cikapundung yang
merupakan sungai utama di Kota Bandung, debit maksimumnya sekitar 250 m3
sementara debit minimumnya hanya sekitar 12 m3, dan untuk Sungai Cibeunying,
debit maksimumnya sekitar 64 m3 sementara debit minimumnya hanya 0,60
m3155. Dalam hal ini, dalam RPJPD, pemerintah kota Bandung mengakui bahwa

155
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KOTA BANDUNG TAHUN 2005-
2025. Bab II , Gambaran Kondisi Daerah Kota Bandung

72
rusaknya kawasan resapan air di Bandung Utara menjadi penyebab terjadinya
bencana banjir dengan mengkaitkannya dengan permasalahan debit air sungai.

Kawasan Bandung utara merupakan kawasan lindung yang ditetapkan


dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Persoalan untuk kawasan lindung di
Kota Bandung adalah masalah kawasan Bandung Utara. Kawasan ini dihadapkan
pada persoalan-persoalan yang cenderung mengganggu fungsi dan perannya
sebagai kawasan resapan air, mempunyai peranan sangat penting dalam
penyediaan air tanah di Cekungan Bandung. Kegiatan pembangunan fisik
bangunan seperti pembangunan perumahan dan pembangunan lainnya di Kawasan
Bandung Utara sangat pesat dan kurang terkendali, sehingga cenderung
menurunkan kualitas lingkungan alami wilayah ini dan menimbulkan
persoalan.156 Semakin luasnya lahan terbangun memperkecil Ruang Terbuka
Hijau kota yang sangat penting untuk mempertahankan iklim mikro. Alih fungsi
lahan terbuka juga berdampak pada semakin meningkatnya air larian yang pada
gilirannya di musim hujan seringkali menimbulkan genangan dan banjir. 157 Oleh
karena itu, perencanaan mengenai pemulihan kawasan Bandung Utara sebagai
kawasan resapain air bagi daerah hilir dilakukan melalui tindakan-tindakan seperti
mengendalikan pemanfaatan ruang, dengan indikator capaian adanya prosedur
peizinan terpadu bagi pembangunan dan terbitnya pelayanan izin di kawasan
tersebut, meningkatkan dan mengendalikan kawasan berfungsi lindung (berfungsi
hidroologi).

Ruang lingkup wilayah Kota Bandung yang termasuk kawasan Bandung


Utara merupakan wilayah terbanyak dan terluas dimana terbagi menjadi 10
Kecamatan, yakni158 :

156
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KOTA BANDUNG TAHUN 2005-
2025. Bab II , Gambaran Kondisi Daerah Kota Bandung.
157
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KOTA BANDUNG TAHUN 2005-
2025. Bab II, Gambaran Kondisi Daerah Kota Bandung.
158
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, NO. 1 tahun 2008 , PENGENDALIAN
PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA, L.D. Jawa Barat Tahun 2008 No.1. Pasal
6 huruf B

73
1) Kecamatan Sukasari (terbagi menjadi 4 kelurahan,yakni Sarijadi,
Sukarasa, Gegerkalong, dan Isola),
2) Kecamatan Sukajadi (5 kelurahan, yakni sebagian pasteur, sebagian
cipedes, Sukawarna, sebagian Sukagalih, dan sebagian Sukabungah),
3) Kecamatan Cicendo (2 Kelurahan, yakni sebagian Sukaharja, dan
Sebagian Husein Sastranegara)
4) Kecamatan Cidadap (3 kelurahan, yakni Kelurahan
Hegarmanah,Ciumbuleuit, dan Ledeng)
5) Kecamatan Coblong (5 kelurahan, yakni Kelurahan Dago, sebagian
Cipaganti, sebagian Lebak Gede, Sebagian Sekeloa, dan sebagian
Lebak Siliwangi)
6) Kecamatan Cibeunying Kaler ( sebagian kelurahan Cigadung)
7) Kecamatan Mandalajati (3 Kelurahan, yakni Sebagian Jatihandap,
Sindangjaya, dan Pasir Impun)
8) Kecamatan Cibeunying Kidul ( Kelurahan Pasirluyung)
9) Kecamatan Ujungberung (sebagian kelurahan Pasirwangi, Pasirjati,
dan Pasanggrahan)
10) Kecamatan Cibiru ( sebagian kelurahan Cisurupan, Palasari, dan
Pasirbiru)
Jadi, dikatakan bahwa dalam RPJPD Kota Bandung, pengaturan mengenai
banjir Bandung Selatan yang diteliti oleh penulis tidak terlihat pengaturan secara
spesifik, komitmen, serta pengaturan mengenai penyelesaian bencana banjir di
Bandung Selatan dan penulis hanya melihat terdapat pengaturan mengenai
kawasan Bandung Utara sebagai daerah resapan air utama di cekungan Bandung
yang membawa dampak bagi kawasan hilir yang berada di bawahnya. dimana
pemerintah kota Bandung mengakui bahwa kawasan Bandung Utara tidak
berfungsi sebagaimana mestinya, yakni sebagai kawasan hulu.

3.5.2 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam RPJPD Kota


Bandung, penulis tidak menemukan pengaturan mengenai komitmen, dan telah
mengakomodir penyelesaian bencana banjir di kawasan Bandung Selatan. Akan
tetapi, penulis melihat bahwa pemerintah kota Bandung mengakui bahwa kawasan
Bandung Utara sebagai kawasan resapan air utama belum berfungsi secara baik
karena kawasan Bandung Utara saat ini dipenuhi berbagai aktivitas pembangunan,
baik untuk rumah tinggal maupun untuk komoditas ekonomi seperti cafe, dan
hotel. Oleh karena itu selain RPJPD, pemerintah kota Bandung membuat RTRW

74
yang dituangkan ke dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2015 Tentang
Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kota Bandung Tahun 2015 –
2035.
Peraturan Daerah tersebut mengatur tentang Rencana Tata Ruang dan
Wilayah (RTRW) Kota Bandung yang mana di dalamnya terdapat pengaturan
mengenai kawasan Bandung Utara sebagai kawasan lindung dan daerah resapan
air utama bagi kawasan yang berada di bawahnya. Pengaturan mengenai tata
ruang di dalam PERDA tersebut mengacu kepada PERDA Provinsi Jawa Barat
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Kawasan
Bandung Utara. 10 Kecamatan yang termasuk wilayah administratif Kota
Bandung di kawasan Bandung Utara merupakan kawasan zona perlindungan bagi
daerah yang ada di bawahnya159. Kawasan zona perlindungan sendiri mengacu
kepada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 ialah Wilayah yang ditetapkan
dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup
sumber daya alam dan sumber daya buatan160. Perwujuan rencana zona
perlindungan wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (1) di atas
mencakup 4 hal, yakni zona perlindungan setempat, cagar budaya, Ruang Terbuka
Hijau (RTH), dan rawan bencana. Hal ini diperlukan karena sebagai kawasan hulu
yang wajib dilindungi oleh pemerintah kota Bandung dan masyarakat karena
sebagaimana dikatakan pada paragraf-paragraf sebelumnya, pembangunan di
Bandung Utara, baik yang berizin maupun tidak berizin akan berdampak pada
kawasan yang ada di bawahnya. Maka dari itu, perlu dibuat payung hukum seperti
PERDA Nomor 10 Tahun 2015 ini.

Dari wilayah-wilayah yang tadi telah disebutkan di atas, wilayah Kota


Bandung yang termasuk kawasan Bandung Utara yang paling sering dilakukan
pembangunan oleh pihak-pihak perorangan maupun perusahaan ialah di
Kecamatan Coblong (Kelurahan Dago) dan Kecamatan Cidadap ( Kelurahan

159
PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG, NO. 10 TAHUN 2015, RENCANA DETAIL TATA RUANG
DAN PERATURAN ZONASI KOTA BANDUNG TAHUN 2015 – 2035. L.D. Kota Bandung Tahun
2015 No.242, Pasal 49 ayat (1).
160
UNDANG-UNDANG R.I., NO 26 TAHUN 2007, PENATAAN RUANG, L.N.R.I TAHUN 2007 NO.68,
PASAL 1 NOMOR 21.

75
Ciumbuleuit). Di 2 wilayah tersebut memang memiliki daya tarik sendiri dan
dekat dengan pusat kota dan perbelanjaan di Kota Bandung. Namun, terdapat
pembangunan-pembangunan yang tidak dilengkapi dengan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) ataupun rekomendasi dari Gubernur sebagaimana yang
seharusnya disyaratkan dalam pembangunan di kawasan Bandung Utara. Hal ini
menjadi suatu masalah karena pemerintah Kota Bandung dan Pemerintah provinsi
Jawa Barat telah lalai dalam pengendalian pemberian izin yang diajukan oleh
pihak perorangan/perusahaan. Dampak dari pembangunan yang tidak berizin tadi
ialah iklim yang berubah ekstrem dan kondisi lingkungan yang semakin rusak
yang mengakibatkan bencana dan salah satunya ialah bencana banjir di Bandung
Selatan sebagai daerah hilir. Hal ini menimbulkan permasalahan yang sangat
besar karena pembangunan yang tidak berizin dan lingkungan yang telah rusak
akibat lingkungan harus sesegera mungkin dikendalikan agar setidaknya tidak
terjadi lagi dampak dari bencana yang merugikan masyarakat banyak. Selain itu,
peruntukkan ruang yang tidak sesuai diakibatkan dengan tidak adanya izin baik
dari pemerintah Kota Bandung maupun rekomendasi Gubernur Jawa Barat terkait
pembangunan di kawasan Bandung Utara sebagaiamana yang disyaratkan dalam
ketentuan pasal 21 ayat 2 PERDA Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008
tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Kawasan Bandung Utara.

3.5.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Bandung

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota


Bandung merupakan wujud pembangunan jangka menengah untuk mengukur
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Kota Bandung sebagai ukuran
apakah pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kota Bandung telah
tercapai atau tidak. RPJMD ini dirumuskan dalam Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2014. Berkaitan dengan bencana banjir di kawasan Bandung Selatan,
penulis tidak melihat pengaturan mengenai banjir di kawasan Bandung Selatan.
Akan tetapi, penulis melihat beberapa ketentuan mengenai kawasan Bandung
Utara sebagai salah satu kawasan penyebab terjadinya banjir. Tidak berbeda jauh
dengan RPJPD Kota Bandung, kawasan Bandung Utara sebagai kawasa resapan

76
air utama belum berjalan efektif karena banyaknya aktivitas pembangunan
sehingga daerah aliran air hujan tidak dapat tertampung di kawasan hulu dan
berakibat bagi kawasan hilir yang berada di bawahnya. Untuk itu, dalam rangka
menanggulangi kerusakan di kawasan Bandung Utara, dalam RPJMD ini
dikatakan prinsip perencanaan tata ruang adalah integrasi dalam satu ekosistem.
Integrasi semacam ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan ruang yang
nyaman, produktif dan berkelanjutan. Pengabaian terhadap prinsip ini akan
mengakibatkan kerusakan di wilayah lainnya.

Oleh karenanya diperlukan keterpaduan dalam suatu rencana tata ruang.


Tidak hanya menggunakan logika infrastruktur dasar melainkan pula daya dukung
dan daya tampung lingkungan disekitarnya. Perhatian terhadap daya dukung dan
daya tampung ini dimaksudkan agar pemanfaatan ruang tidak melampaui batas-
batas kemampuan lingkungan hidup dalam menampung aktivitas manusia. Secara
geografis penataan infrastruktur menjadi sangat penting karena keberdayaan ruang
hidup semakin lama akan semakin terbatas seiring dengan perkembangan
teknologi dan peradaban manusia dan diperlukan berbagai langkah yang tepat dan
terencana untuk tetap membangun sebuah tata ruang yang memiliki daya ungkit
ekonomi sebagai upaya pembangunan perekonomian masyarakat, dengan tetap
mempertahankan kelestarian lingkungan hidup. Ketidak berpihakan pada
kelestarian ekosistem akan berdampak luas pada kualitas hidup masyarakat.161

Dengan melihat RPJPD, RTRW, serta RPJMD Kota Bandung, dalam


rangka penyelesaian permasalahan banjir di Bandung Selatan, Kabupaten
Bandung tidak diakomodir oleh pemerintah Kota Bandung dan hanya fokus pada
wilayah administratifnya saja. Akan tetapi, pengaturan mengenai dampak banjir
yang disebabkan rusaknya daerah resapan air utama, yakni kawasan Bandung
Utara telah diatur dan dalam ketiga peraturan tersebut telah ditetapkan bagaimana
arah, strategi yang akan dilakukan dalam mengembalikan fungsi lahan dari
Bandung Utara.
161
PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG, NO. 4 TAHUN 2014, RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA
MENENGAH DAERAH KOTA BANDUNG TAHUN 2013-2018. L.D. Kota Bandung Tahun 2013
No.3.

77
3.6 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi
Kota Cimahi merupakan salah satu kota terkecil di wilayah Bandung
Raya, luas kota ini secara keseluruhan mencapai 4.103,73 Ha162. Kota ini dilihat
dari fungsi kota dan letak geografis yang berbatasan langsung dengan Kota dan
Kabupaten Bandung, Kota Cimahi memiliki peran dan posisi yang cukup
strategis. Kondisi tersebut juga mendorong lajunya tingkat pertumbuhan kota
yang menimbulkan berbagai permasalahan klasik, sebagaimana dialami oleh kota-
kota yang tengah berkembang. Selain itu, sebagai daerah industri 163 masalah
pencemaran cairan limbah dan volume sampah sangat tinggi. Karena masalah ini
merupakan ekses dari Kota dan Kabupaten Bandung maka terhadap permasalahan
tersebut dilakukan secara bersama-sama.

Serupa dengan kewenangan yang dimiliki oleh Kabupaten Bandung dan


Kota Bandung, sesuai dengan prinsip otonomi daerah, Kota Cimahi memiliki
kewenangan untuk mengurus wilayahnya sendiri dan memiliki kewenangan untuk
menyelenggarakan kegiatan penataan ruang sesuai dengan ketentuan pasal 11 ayat
(1) hingga ayat (7) undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
Maka dari itu, pemerintah Kota Cimahi memiliki kewenangan untuk membuat
RPJPD, RTRW, serta RPJMD.

3.6.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Cimahi

Rencana pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Cimahi


merupakan suatu masterplan perencanaan pembangunan di Kota Cimahi dan
mengacu kepada Undang-undang penataan ruang, RPJPD Provinsi Jawa Barat,
serta juga memperhatikan RPJPD,RTRW, serta RPJMD kawasan-kawasan lain di
wilayah Bandung raya. Di dalam bab II mengenai gambaran kondisi daerah kota

162
Tersedia di http://www.cimahikota.go.id/page/detail/4. Diakses pada tanggal 8 September 2016
Pukul 11.20 WIB.
163
Cimahi telah lama dikenal sebagai kota industri, terutama industri tekstil dan MANUFAKTUR.
Pada saat ini, perekonomian Kota Cimahi bertumpu pada sektor industri dan sektor
perdagangan dan jasa. Kedua sektor ini telah tumbuh dan menyumbangkan lebih dari 80 persen
total pendapatan produk domestik bruto (PDRB) Kota Cimahi.

78
Cimahi, pemerintah Kota Cimahi mengakui bahwa perencanaan penataan ruang di
Kota Cimahi kurang optimal, dimana masih terdapat beberapa ketidaksesuaian
baik dalam aspek struktur maupun pola ruang. Hal ini terkait dengan
perkembangan dan pertumbuhan aktivitas sosial ekonomi masyarakat Kota
Cimahi yang cepat dan sangat dinamis.164 Lebih lanjut, dalam RPJPD Kota
Cimahi menyebutkan bahwa pengaturan tata ruang sesuai peruntukan merupakan
tantangan pada masa yang akan datang yang harus dihadapi untuk mengatasi
krisis tata ruang yang telah terjadi. Untuk itu diperlukan penataan ruang yang baik
dan berada dalam satu sistem yang menjamin konsistensi antara perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang.

Penataan ruang yang baik diperlukan bagi arahan lokasi kegiatan, batasan
kemampuan lahan, termasuk didalamnya adalah daya dukung lingkungan dan
kerentanan terhadap bencana alam, efisiensi dan sinkronisasi pemanfaatan ruang
dalam rangka penyelenggaraan berbagai kegiatan, upaya terus menerus untuk
membangun Ruang Terbuka Hijau Publik dari luas kota sesuai dengan ketentuan.
Penataan ruang yang baik juga harus didukung dengan regulasi tata ruang yang
serasi, dalam arti tidak saling bertabrakan antarsektor, dengan tetap
memperhatikan keberlanjutan dan daya dukung lingkungan, serta kerentanan
wilayah terhadap terjadinya bencana. Tantangan yang dihadapi di masa depan
untuk lingkungan hidup adalah bagaimana menyeimbangkan antara daya dukung
dan daya tampung lingkungan dengan pemenuhan kebutuhan manusia, agar
didorong penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RPPLH) untuk menginventarisir ekoregion Kota Cimahi.

Program-program yang akan dilaksanakan harus dapat mengantisipasi


kerusakan lingkungan dan mengendalikan pencemaran lingkungan. Masalah
lingkungan sudah menjadi isu global dan program pengendalian kerusakan
lingkungan juga menjadi prioritas utama dunia. Untuk pengendalian kerusakan
lingkungan, tantangan utama yang dihadapi adalah penegakan hukum lingkungan.

164
PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI, RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KOTA
CIMAHI TAHUN 2005-2025. L.D. Kota Cimahi Tahun 2005 No.134.

79
Perangkat hukum lingkungan harus diperkuat baik dari segi peraturan maupun
pelaksanaan. Selain itu kerjasama antar daerah dalam pengendalian kerusakan
lingkungan harus ditingkatkan, mengingat masalah lingkungan bukan hanya
masalah bagi suatu daerah, tapi saling terkait antara satu daerah dengan daerah
lainnya. Konservasi sumber daya alam juga menjadi tantangan utama bagi sektor
lingkungan hidup. Prinsip pembangunan yang berkelanjutan merupakan salah satu
cara dalam konservasi sumber daya alam, dimana pemanfaatan sumber daya alam
direncanakan dengan baik dan disertai dengan upaya-upaya pemulihan sumber
daya alam tersebut.165

Dalam rumusan RPJPD tersebut, terdapat 5 langkah pelaksanaan penataan


ruang dimana di dalamnya terdapat rumusan bahwa bencana yang diakibatkan
lahan kritis, alih fungsi lahan, yang menyebakan bencana banjir ini harus
mendapatkan perhatian dan kegiatan penyelenggaraan penataan ruang yang baik
dan efektif dan pengaturan mengenai bencana banjir di Bandung Selatan memang
tidak termuat. Jadi, RPJPD kota Cimahi ini hanya merumuskan berbagai kegiatan
penyelenggaraan penataan ruang hanya di dalam wilayah administratifnya saja.
Akan tetapi, pemerintah Kota Cimahi dalam salah satu rumusan RPJPD nya tadi
mengemukakan bahwa harus terdapat koordinasi antar daerah untuk mengatasi
permasalahan lingkungan. Hal ini berarti berkaitan dengan bencana banjir
Bandung Selatan dimana bencana ini terjadi dikarenakan wilayah cekungan
Bandung yang dimana merupakan satu kesatuan wilayah antara 1 (satu) wilayah
dengan wilayah lainnya. Hal ini menandakan bahwa memang harus dilakukan
koordinasi antar pemerintah di wilayah Bandung raya untuk lebih lanjut mengenai
permasalahan bencana banjir Bandung Selatan. Dan berkaitan kawasan Bandung
Utara sebagai kawasan hulu yang menyebabkan banjir, juga disebutkan
diperlukan koordinasi antar pemerintah di wilayah Bandung Raya sebagai satu
kesatuan wilayah yang menopang daerah hilir.

165
PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH KOTA
CIMAHI TAHUN 2005-2025. L.D. Kota Cimahi Tahun 2005 No.134.

80
3.6.2 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Cimahi

Kota Cimahi memiliki pengaturan mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah


(RTRW) yakni PERDA Nomor 4 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Cimahi tahun 2012-2023. RTRW Kota Cimahi ini merupakan salah
satu produk hukum dari Pemerintah Kota Cimahi dan bentuk suatu kewenangan
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengembangkan wilayahnya sesuai
dengan prinsip otonomi daerah. Tujuan RTRW kota Cimahi ini salah satunya
yaitu mewujudkan ruang wilayah Kota Cimahi sebagai Kota Inti dari Pusat
Kegiatan Nasional (PKN) Cekungan Bandung yang aman, nyaman, efisien dan
berkelanjutan166 Selain itu, PERDA ini merupakan suatu masterplan peruntukkan
ruang di kota Cimahi agar dalam penataan dan pemanfaatan ruang di kota Cimahi,
khususnya yang termasuk dalam wilayah Bandung Utara, ruang tersebut dapat
dimanfaatkan sebaik mungkin bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat
banyak, khususnya masyarakat kota Cimahi.
Dalam RTRW Kota Cimahi ini, berkaitan dengan Bandung Utara sebagai
kawasan hulu juga merujuk kepada PERDA Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Pengendalian dan Pemanfaatan izin dikawasan Bandung Utara, Kawasan
Bandung Utara yang termasuk wilayah Cimahi menurut PERDA Provinsi Jawa
Barat Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Dan Pemanfaatan Kawasan
Bandung Utara terbagi menjadi 2 Kecamatan dan meliputi 8 Kelurahan, yakni
terdiri dari167:

1. Kecamatan Cimahi Utara, yang meliputi 4 kelurahan, yakni Kelurahan


Citeureup, dan sebagian Kelurahan Cipageran, Cibabat, dan
Pasirkaliki;
2. Kecamatan Cimahi Tengah, yang meliputi 4 Kelurahan, yakni
Kelurahan Cimahi, dan sebagian Kelurahan Padasuka,Setiamanah, dan
Karangmekar.

166
PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI, NO. 4 TAHUN 2013, RENCANA TATA RUANG KOTA CIMAHI
2012-2032. L.D. Kota Cimahi , Tahun 2013 No. 160, Pasal 5.
167
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, NO. 1 tahun 2008 , PENGENDALIAN
PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA, L.D. Jawa Barat Tahun 2008 No. 1,
Pasal 6 huruf B

81
Pembangunan di kawasan Bandung Utara yang termasuk ke dalam
wilayah Cimahi pun semakin tahun semakin marak dan imbasnya, pembangunan
tersebut mengakibatkan lahan di kota Cimahi semakin tergerus. Keterserdiaan
lahan di Cimahi merupakan imbas dari tumbuhnya kawasan industri dan
pembangunan di wilayah Kawasan Bandung Utara (KBU). Sejak jaman dulu, tata
ruang Kota Cimahi memang merupakan warisan zaman Belanda yang tidak
disiapkan untuk kawasan penduduk168. Namun hal tersebut, bukan berarti
pembangunan di wilayah tersebut tidak dapat dikendalikan karena pembangunan
yang dilakukan banyak sekali menimbulkan akibat bagi masyarakat, yakni
lingkungan hidup yang semakin rusak dan bencana banjir yang terjadi di Bandung
Selatan karena kota Cimahi berbatasan langsung dengan Kota dan Kabupaten
Bandung dan juga merupakan satu kesatuan wilayah dalam cekungan Bandung.

Kecamatan Cimahi Utara dan Cimahi Tengah yang meliputi 8 Kelurahan


sebagaimana telah disebutkan di atas merupakan daerah resapan air karena lokasi
2 kecamatan tersebut berada di daerah utara yang berkedudukan sebagai daerah
hulu. Hal tersebut disebutkan di dalam pasal 32 ayat (3) PERDA RTRW Kota
Cimahi tahun 2012-2032 yang menjelaskan bahwa:169

“Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam pada ayat berada di Kawasan
Bandung Utara yang meliputi lahan pertanian perkotaan dan ruang terbuka hijau
di kawasan perumahan bagian utara kota (Kelurahan Cipageran, Kelurahan
Citeureup, Kelurahan Cibabat dan Kelurahan Pasirkaliki) seluas 58 (lima puluh
delapan) hektar”.
Wilayah kota Cimahi yang termasuk kawasan Bandung Utara sebagai
daerah hulu memiliki tanggung jawab untuk melindungi kawasan yang berada
dibawahnya. Oleh karena itu, RTRW kota Cimahi ini dijelaskan bahwa
pemerintah kota Cimahi memiliki rencana pengelolaan meliputi170 :

a. Perlindungan dan pemulihan fungsi lindung;

168
Tersedia di http://www.lensanews.id/berita-marak-pembangunan-di-wilayah-utara-lahan-kota-
cimahipun-kian-tergerus.html. Diakses pada tanggal 8 September 2016 Pukul 12.21 WIB.
169
PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI, NO. 4 TAHUN 2013, RENCANA TATA RUANG KOTA CIMAHI
2012-2032. L.D. Kota Cimahi , Tahun 2013 No 160, Pasal 32 ayat (3).
170
PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI, NO. 4 TAHUN 2013, RENCANA TATA RUANG KOTA CIMAHI
2012-2032. L.D. Kota Cimahi , Tahun 2013 No.160, Pasal 32 ayat (4).

82
b. Perlindungan dan pengembangan ruang terbuka hijau; dan
c. Mempertahankan kawasan resapan air dengan membatasi
pengembangan pemukiman pada kawasan resapan air di Kawasan
Bandung Utara.
Dari rumusan pasal-pasal di atas, bahwa pemerintah kota Cimahi memiliki
kesadaran bahwa kawasan Bandung Utara memiliki peranan penting dalam
kehidupan masyarakat Bandung raya. Karena, apabila kawasan Bandung Utara
mengalami kerusakan yang semakin parah dari tahun ke tahun, maka kehidupan
masyarakat generasi sekarang maupun generasi yang akan datang akan terancam.
Dalam RTRW kota Cimahi ini juga dijelaskan mengenai kawasan rawan bencana
alam dimana dalam salah satu rumusan pasalnya menyebutkan bahwa kecamatan
Cimahi Utara dan Selatan sebagai kawasan hulu merupakan kawasan yang rawan
terjadinya bencana alam banjir maupun tanah longsor171.

3.6.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Cimahi

Selain terdapat suatu RPJPD dan RTRW, keberadaan RPJMD sebagai


salah satu indikator pencapaian pembangunan suatu daerah dalam kegiatannya
menyelenggarakan penataan ruang juga sangatlah diperlukan. RPJMD yang
dirumuskan dalam peraturan daerah Kota Cimahi nomor 5 tahun 2013. Rumusan-
rumusan terkait penanganan banjir di kawasan Bandung Selatan tidak terdapat
dalam pengaturan RPJMD ini dan tidak mengakomodir mengenai
penanggulangan bencana banjir di Bandung selatan. RPJMD yang dilakukan oleh
pemerintah Kota Cimahi memfokuskan diri kepada wilayah administratifnya saja.
Tidak menyentuh kepedulian terhadap kawasan-kawasan lain di wilayah Bandung
raya. Berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan penataan ruang di kawasan
Bandung utara sebagai kawasan hulu yang memiliki dampak bagi terciptanya
bencana banjir di Bandung Selatan, strategi dan arah kebijakan yang akan
diberlakukan di kawasan tersebut ialah melaksanakan perencanaan ruang kota
yang berkelanjutan, pelaksanaan pengawasan pemanfaatan ruang sesuai dengan

171
PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI, NO. 4 TAHUN 2013, RENCANA TATA RUANG KOTA CIMAHI
2012-2032. L.D. Kota Cimahi , Tahun 2013 No. 160, Pasal 36 ayat (2).

83
rencana tata ruang, dan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan terkait.

3.7 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Dan Rencana Pembangunan


Jangka Menengah Serta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Bandung Barat

Kabupaten Bandung Barat merupakan suatu wilayah Kabupaten yang


baru-baru ini terbentuk sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Bandung.
Kabupaten Bandung Barat secara resmi terbentuk pada tanggal 2 Januari 2007.
172
Luas wilayah Kabupaten Bandung Barat ini ialah sebesar 1.305,77 KM² . Pada
awal pembentukannya, Kabupaten Bandung Barat mewarisi sekitar 1,4 juta
penduduk dari 42,9% wilayah lama Kabupaten Bandung dan berdasarkan sensus
penduduk pada tahun 2014 dan 2015, jumlah penduduk di Kabupaten Bandung
Barat ialah sebanyak 1.623.869 jiwa173. Luas wilayah lindung di daerah
Kabupaten Bandung Barat ini terkait dengan isu kawasan Bandung Utara.
Disamping itu, dilihat dari kondisi fisik geografis posisi wilayah Kabupaten
Bandung Barat dinilai kurang menguntungkan, hal ini dikarenakan terdiri dari
banyak cekungan yang berbukit-bukit dan di daerah-daerah tertentu sangat rawan
dengan bencana alam. Serupa dengan kewenangan yang dimiliki oleh Kabupaten
Bandung, Kota Bandung, serta Kota Cimahi sesuai dengan prinsip otonomi
daerah, Kabupaten Bandung Barat memiliki kewenangan untuk mengurus
wilayahnya sendiri dan memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan kegiatan
penataan ruang sesuai dengan ketentuan pasal 11 ayat (1) hingga ayat (7) undang-
undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Maka dari itu, pemerintah
Kabupaten Bandung Barat memiliki kewenangan untuk membuat RPJPD, RTRW,
serta RPJMD.

172
Tersedia di http://www.bandungbaratkab.go.id/content/geografis-kbb. Diakses pada tanggal 8
September 2016 Pukul 17.16 WIB.
173
Tersedia di http://www.bandungbaratkab.go.id/content/jumlah-penduduk-di-kbb-kebanyakan-
laki-laki. Diakses pada tanggal 8 September 2016 Pukul 17.23 WIB.

84
3.6.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bandung Barat

Kabupaten Bandung Barat sebagai salah satu wilayah yang paling baru di
Cekungan Bandung memerlukan perencanaan pembangunan jangka panjang
sebagai landasan, arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh, yang
dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, maka dari itu dibentuklah suatu
RPJPD yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang
RPJPD Kabupaten Bandung Barat Tahun 2007-2027 sebagai masterplan
perencanaan pembangunan di wilayah tersebut yang juga mengacu kepada
peraturan yang berada di atasnya, yakni Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang penataan ruang, serta RPJPD, RTRW, dan RPJMD Provinsi Jawa Barat
agar perencanaan pembangunan yang dilakukan sesuai dengan peraturan yang
berada di atasnya.

Berkaitan dengan penyelesaian bencana banjir di kawasan Bandung


Selatan yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung, dalam RPJPD
Kabupaten Bandung Barat, penulis tidak menemukkan pengaturan mengenai
kepedulian untuk bersama-sama melakukan pencegahan, pengendalian, dan
pengaturan mengenai penanganan bencana banjir di Bandung Selatan, Kabupaten
Bandung. Dalam bab II RPJPD ini yang membahas tentang Kondisi Umum
Daerah, Kabupaten Bandung Barat hanya fokus kepada wilayah administratifnya
saja dan tidak menunjukkan kepedulian akan wilayah-wilayah lainnya. Padahal,
sebagaimana kita tahu sebelumnya bahwa Bandung Raya merupakan satu
kesatuan wilayah yang disebut cekungan Bandung dimana Kabupaten Bandung
Barat termasuk di dalamnya dan sebagaimana juga telah dijelaskan dalam bab
sebelumnya, Kawasan Bandung Utara sebagai salah satu wilayah yang
menyebabkan terjadinya bencana banjir di Bandung selatan karena telah beralih
fungsi dari kawasan lindung serta budidaya menjadi kawasan permukiman dan
kawasan komersil sehingga sebagai daerah resapan air juga tidak berfungsi
sebagaimana mestinya sehingga aliran air hujan tidak tertampung dan mengalir ke
kawasan yang berada di bawahnya. Hal inilah yang terjadi dan menimbulkan
bencana banjir di Bandung Selatan.

85
Dalam bab II selanjutnya, Kabupaten Bandung Barat menyadari bahwa
aspek penataan ruang sangat penting dan memiliki tantangan untuk
menyelesaikan permasalahan ruang, dan salah satunya ialah aspek pengendalian
tata ruang menjadi prioritas terkait dengan tidak terkendalinya pembangunan di
beberapa kawasan terutama di Kawasan Bandung Utara. Sebagaimana telah
dijelaskan dalam bab sebelumnya, wilayah Kabupaten Bandung Barat yang
termasuk ke dalam kawasan Bandung Utara merupakan kawasan yang banyak
dibangun berbagai pembangunan, baik yang telah berizin maupun yang tidak
berizin. Hal-hal inilah yang memicu terjadinya kerusakan dan ketidakmampuan
dari pemerintah Kabupaten Bandung Barat sendiri untuk menyelesaikan
permasalahan di Bandung Utara.

Dalam bab IV RPJPD mengenai Arah, Kondisi, serta Rencana


Pembangunan Tahun 2007-2025, Kabupaten Bandung Barat memiliki arahan
pengembangan infrastruktur yang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah dengan
cara Ketersediaan infrastruktur wilayah diupayakan terdistribusi pada seluruh
wilayah, dalam mendukung terwujudnya kemandirian sosial dan ekonomi
Bandung Barat dengan indikator pencapaian berkembangnya jaringan
infrastruktur transportasi, meningkatnya ketersediaan air baku untuk berbagai
keperluan, optimalnya pengendalian banjir dan kekeringan, optimalnya
ketersediaan jaringan irigasi, meningkatnya ketersediaan air bersih dan sanitasi,
meningkatnya ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta
meningkatnya penyediaan rumah bagi masyarakat. dan juga terpeliharanya
kawasan lindung serta terwujudnya pembangunan yang sesuai dengan Rencana
Tata Ruang. hal ini yang menjadi sangat penting dalam keberadaan kawasan
Bandung Utara yang termasuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten
Bandung Barat. Kebijakan-kebijakan yang telah dibuat dan termuat dalam RPJPD
Kabupaten Bandung Barat yang penulis lihat tidak ada sinergi antar wilayah di
Bandung Raya untuk menuntaskan permasalahan di Bandung Utara sebagai
kawasan hulu dimana bencana banjir Bandung Selatan di Kabupaten Bandung

86
terjadi. Hal ini yang membuat penanganan bencana banjir di Bandung Selatan
belum berjalan secara maksimal.

3.6.2 Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung Barat

Rencana tata ruang dan wilayah Kabupaten Bandung Barat dirumuskan


dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 yang mengacu kepada undang-
undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Penulis melihat bahwa
dalam RTRW yang dibuat oleh pemerintah Kabupaten Bandung Barat tidak
mengakomodir mengenai bencana banjir di Bandung selatan. RTRW yang dibuat
hanya memfokuskan diri kepada pembangunan penataan ruang dan wilayah yang
termasuk ke dalam administratifnya saja.

Pengaturan mengenai wilayah administratif Kabupaten Bandung Barat


yang termasuk kepada kawasan Bandung Utara mencakup 6 kecamatan dan 49
desa. Hal ini menjadikan Kabupaten Bandung Barat menjadi salah satu wilayah
yang luas di Bandung Utara. Wilayah-wilayah tersebut meliputi:174

1. Kecamatan Ngamprah, meliputi 8 Desa, yakni sebagian Desa


Ngamprah, Cilame, Tanimulya, Cimanggu, Bojongkoneng,
Mekarsari, Pakuhaji, Sukatani;
2. Kecamatan Cikalong Wetan, meliputi 8 Desa, yakni sebagian Desa
Cipada, Ganjarsari, Wangunjaya, Mandalasari, Mekarjaya,
Mandalamukti, Cipatagumanti, dan Cisomang;
3. Kecamatan Lembang, meliputi 16 Desa, yakni Desa Kayuambon,
Lembang, Cikidang, Cikahuripan, Cikole, Gudangkahuripan,
Jayagiri, Cibodas, Langensari, Mekarwangi, Pagerwangi, Sukajaya,
Suntenjaya, Wangunsari, Wangunharja, dan Cibogo;
4. Kecamatan Cisarua, meliputi 8 Desa, yakni Desa Jambudipa,
Cipada, Kertawangi, Pasirhalang, Pasirlangu, Padaasih,
Tugumukti, dan sebagian Desa Sadangmekar;
5. Kecamatan Parongpong, meliputi 7 Desa, yakni Desa Karyawangi,
Cihanjuang, Cihanjuang Rahayu, Cihideung, Ciwaruga,
Cigugurgirang, dan Sariwangi; dan
6. Kecamatan Padalarang, meliputi 2 Desa, yakni Desa Tagog Apu,
dan Desa Campaka Mekar.

174
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT, NO. 1 tahun 2008 , PENGENDALIAN
PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA, L.D. Jawa Barat Tahun 2008 No.1, Pasal
6 huruf d

87
Perkembangan pembangunan di Kabupaten Bandung Barat yang termasuk
pada kawasan Bandung Utara semakin tahun semakin pesat. Menurut Sekretaris
Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BPMPT) Kabupaten Bandung
Barat Ade Zakir, tercatat pada tahun 2015 yang lalu mengalami peningkatan
hingga 75 persen di wilayah kecamatan Lembang, yakni sejak awal tahun hingga
Oktober 2015 lalu, BPMPT sudah menerbitkan 81 Izin Mendirikan Bangunan di
kawasan Bandung utara, dimana sejumlah bangunan tersebut di antaranya 1 unit
ruko, 49 rumah tinggal, 1 perkantoran, 13 perumahan, 1 sarana pendidikan Polri,
2 sarana pendidikan umum, 1 rumah sakit, dan 2 hotel.175 Pembangunan-
pembangunan yang dilakukan pasti menimbulkan dampak bagi masyarakat di
kemudian hari walaupun diberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal ini
patut dicermati oleh pemerintah ketika hendak memberikan izin kepada pihak
perorangan ataupun pihak perusahaan. Dan berdasarkan penuturan Ade Zakir
selanjutnya, salah satu bangunan hotel di Lembang yang tengah dalam evaluasi
BPMPPT karena diduga terjadi pelanggaran dalam proses pembangunannya.
Bangunan tersebut menutup saluran air di bawahnya.176 Padahal, sesuai dengan
aturannya, sebuah bangunan tidak boleh berdiri di atas saluran air.

Sebagaimana telah disinggung dalam paragraf sebelumnya, Kawasan


Bandung Utara termasuk ke dalam kawasan lindung dan budidaya sebagaimana
dimaksudkan dalam ketentuan pasal 9 huruf (a) dan (b) dalam PERDA provinsi
Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian dan Pemanfaatan Ruang
di Kawasan Bandung Utara. PERDA Provinsi Jawa Barat tersebut merupakan
acuan bagi pemerintah Kabupaten/Kota di Bandung Raya untuk membuat
pengaturan mengenai Kawasan Bandung Utara. Kabupaten Bandung Utara
memiliki pengaturan mengenai penataan ruang sebagaimana yang dijelaskan
dalam RTRW Kabupaten Bandung Utara Tahun 2009-2029 yang di dalamnya
memuat pengaturan mengenai kawasan Bandung Utara yang termasuk ke dalam
wilayah administratif Kabupaten Bandung Barat. Dijelaskan bahwa rencana pola
175
Tersedia di http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2015/11/17/350265/pembangunan-di-
kawasan-bandung-utara-meningkat-75-persen. Diakses pada tanggal 8 September 2016 Pukul
18.10 WIB.
176
Id.

88
ruang Kabupaten Bandung Barat salah satunya meliputi kawasan lindung dan
kawasan budidaya.177 Kawasan lindung yang dimaksud ialah meliputi kawasan
hutan lindung, kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam, pelestarian
alam dan cagar budaya,kawasan rawan bencana alam, kawasan lindung geologi.178

Penulis melihat bahwa dalam RTRW yang dibuat oleh pemerintah


Kabupaten Bandung Barat, tidak mengakomodir terkait permasalahan bencana
banjir di Bandung selatan ditambah dengan penerapan RTRW di kawasan
Bandung utara belum baik karena banyak permasalahan yang melingkupi di
kawasan tersebut yang termasuk kepada wilayah admnistratif Kabupaten Bandung
Barat sebagaimana telah dibahas di atas.

3.6.3 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten


Bandung Barat

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) merupakan


masterplan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka
menyelenggarakan kegiatan pemerintahan. Salah satu kegiatan yang dilakukan
ialah menyelenggarakan kegiatan penataan ruang. Berkaitan dengan hal tersebut,
RPJMD Kabupaten Bandung Barat dituangkan ke dalam Peraturan Daerah Nomor
11 Tahun 2013 tentang RPJMD Kabupaten Bandung Barat Tahun 2013-2018
sebagai pedoman dan arah kebijakan pemerintah daerah serta pemangku
kepentingan lainnya dalam mengimplementasikan, mengkoordinasikan,
mengontrol dan mengevaluasi kinerja pembangunan daerah. RPJMD Kabupaten
Bandung Barat ini berfungsi sebagai hasil formulasi kebijakan daerah yang
menyeluruh (Road Map) yang berisi arah, tujuan, dan sasaran pembangunan yang
didasarkan pada visi, misi, dan nilai-nilai strategis dalam kurun waktu lima tahun.

177
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT, NO. 2 TAHUN 2012, RENCANA TATA
RUANG DAN WILAYAH KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN 2009-2029, L.D. Kabupaten
Bandung Tahun 2012 No 2, Pasal 25 huruf a dan b
178
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT, NO. 2 tahun 2012, RENCANA TATA RUANG
DAN WILAYAH KABUPATEN BANDUNG UTARA TAHUN 2009-2029, L.D. Kabupaten Bandung
Tahun 2012 No 2, Pasal 26 huruf a,b,c,d,e,f,g,h

89
Berkaitan dengan permasalahan bencana banjir di Bandung Selatan,
Kabupaten Bandung. Dalam bab II mengenai gambaran kondisi daerah Kabupaten
Bandung Barat, tidak ditemukan pengaturan mengenai bencana banjir di kawasan
Bandung selatan Kabupaten Bandung karena memang selain tidak termasuk ke
dalam wilayah administratifnya, juga tidak ada pengaturan mengenai kerjasama
antar wilayah untuk menuntaskan permasalahan bencana banjir di Bandung Barat
tersebut. Akan tetapi, permasalahan bencana banjir selain yang terjadi di
Kabupaten Bandung, kawasan rawan banjir di Kabupaten Bandung Barat
umumnya juga disebabkan karena terdapat daerah di sepanjang tepi Sungai
Citarum bagian hulu. Hal ini terjadi karena rusaknya daya dukung lingkungan
yang diakibatkan oleh kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman di
daerah resapan air, pembabatan hutan menjadi lahan pertanian dan bangunan serta
pertambangan yang mengakibatkan cepatnya aliran air menuju hilir.179 Berkaitan
dengan permasalahan tersebut, maka terdapat kebijakan penataan ruang yang
salah dikarenakan daerah resapan air yang semakin berkurang dan hal ini pun
menjadi isu analisis strategis yang terdapat dalam bab IV RPJMD ini, yakni
belum tertatanya dengan baik bangunan dan lingkungan pada Kawasan Bandung
Utara.180 Hal ini dikarenakan banyaknya pembangunan yang dilakukan di
kawasan Bandung Utara yang termasuk ke dalam wilayah administratif
Kabupaten Bandung Barat. Maka dari itu, upaya yang dilakukan oleh pemerintah
Kabupaten Bandung ialah dengan melakukan pembatasan izin mendirikan
bangunan dan melakukan pengawasan yang lebih ketat berkaitan dengan kawasan
Bandung Utara ini

Penanganan bencana banjir di Bandung Selatan, Kabupaten Bandung


sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merupakan tanggung jawab dari seluruh
pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya. Hal ini dikarenakan

179
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT, NO. 11 TAHUN 2013, RENCANA
PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN 2013-2018, L.D.
Kabupaten Bandung Barat Tahun 2013. Bab II, Gambaran Kondisi Daerah Kabupaten
Bandung Barat.
180
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT, NO. 11 TAHUN 2013, RENCANA
PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH KABUPATEN BANDUNG BARAT TAHUN 2013-2018, L.D.
Kabupaten Bandung Barat Tahun 2013. Bab IV, Analisis Isu Strategis.

90
wilayah Bandung Raya merupakan satu kesatuan wilayah yang mana sinergi dari
masing-masing wilayah sangatlah penting keberadaanya dalam penanganan
bencana banjir di Bandung Selatan. permasalahan yang terjadi ialah sinergi yang
belum dilakukan karena bukanlah prioritas pembangunan dari masing-masing
wilayah tersebut, baik jangka panjang maupun jangka menengah. Hal ini pun
terjadi di RPJMD Kabupaten Bandung Barat dimana sinergi penanganan bencana
banjir tidak tercantum dalam RPJMD nya dan penanganan kawasan Bandung
Utara sebagai salah satu kawasan yang menyebabkan terjadinya bencana banjir ini
pun terkesan berjalan sendiri-sendiri dan saling mengurus wilayah
administratifnya masing-masing. Maka, penanganan bencana banjir Bandung
Selatan hingga saat ini belum berjalan secara maksimal.

91
BAB IV

ANALISIS IMPLIKASI HUKUM TATA RUANG TERHADAP BENCANA


BANJIR DI KAWASAN BANDUNG SELATAN

4.1 Tanggung Jawab Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat, Serta


Kabupaten/Kota Di Wilayah Bandung Raya Dikaitkan Dengan Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik
Penataan Ruang merupakan tanggung jawab Pemerintah dalam upaya
menyelenggarakan kegiatan penataan ruang yang akan bermanfaat dan berfungsi
bagi kesejahteraan masyarakat banyak. Kegiatan penataan ruang merupakan
tindakan pemerintah dimana segala kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah akan
menimbulkan akibat hukum, sehingga akibat dari perbuatan tadi dapat dimintakan
pertanggungjawaban hukum atas peraturan-peraturan yang dibuat. Setiap tindakan
hukum yang dilakukan oleh pemerintah sebagaimana yang ditegaskan dalam
suatu peraturan perundang-undangan mengandung makna penggunaan
kewenangan, dimana di dalamnya terdapat adanya kewajiban
pertanggungjawaban atas tindakan yang telah diambil oleh pemerintah.

Mengenai penanganan bencana banjir di Bandung Selatan, tepatnya di


Kecamatan Dayeuhkolot dan Baleendah, Kabupaten Bandung, peran pemerintah
sangatlah dibutuhkan sehingga tanggung jawab pemerintah, baik Pemerintah
Pusat, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Bandung utamanya sangatlah penting
dalam upaya penyelesaian bencana banjir ini. Penulis berpendapat bahwa hal ini
terjadi tidak diakibatkan faktor alam semata, melainkan terdapat pemanfaatan
ruang yang keliru, menyimpang, dan tidak sesuai dengan standart-standart yang
ditetapkan dalam RTRW di Kabupaten Bandung sebagai tempat dimana bencana
banjir terjadi. Akan tetapi, bahwa Bandung merupakan satu kesatuan wilayah
yang dinamakan Cekungan Bandung, dimana bencana banjir ini juga disebabkan
rusaknya kawasan hulu dan daerah resapan air utama, yakni Kawasan Bandung
Utara yang mana sebagian kawasan tersebut masuk ke dalam wilayah
administratif Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, juga

92
Kabupaten Bandung turut menyumbang terjadinya bencana banjir ini dikarenakan
kawasan yang seharusnya dapat menampung air hujan, karena telah beralih fungsi
sehingga tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Ketika standart-standart
tersebut tidak terpenuhi, maka lambat laun akan menimbulkan dampak kerusakan
yang parah bagi kondisi wilayah itu sendiri. Penulis berasumsi bahwa terdapat
kebijakan penataan ruang yang salah di wilayah Bandung Raya, tidak hanya di
Kabupaten Bandung semata, melainkan juga di Kota Bandung, Kota Cimahi, dan
Kabupaten Bandung Barat khususnya di kawasan Bandung Utara sebagai salah
satu wilayah administratif dan daerah hulu sehingga berdampak pada terjadinya
bencana banjir di Bandung Selatan.

Tindakan seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah


Pusat, Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten/Kota seharusnya bekerja sama dan
bersinergi satu sama lain, khususnya pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah
Bandung Raya untuk bersama-sama menuntaskan permasalahan ini. Sinergitas
antar pemerintah daerah menjadi sangat penting dikarenakan wilayah-wilayah
Kabupaten/Kota di Bandung Raya merupakan satu kesatuan dan saling terkait satu
sama lain. Dan yang menjadi permasalahan ialah bagaimana kerja sama antar
pemerintah dan kepedulian dari masing-masing pemerintah di wilayah Bandung
raya dalam penanganan bencana banjir Bandung Selatan, Kabupaten Bandung ini
Pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Bandung
raya saat ini cenderung ego sektoral, yakni mementingkan kepentingan daerah
masing-masing tanpa memperdulikan wilayah lainnya. Padahal, sinergi serta
koordinasi antar daerah di wilayah Bandung Raya sangat penting dalam upaya
penanganan bencana banjir di Bandung Selatan.

Dalam wawancara penulis dengan Ibu Endang Damayanti selaku


Fungsional Perencanaan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) Provinsi Jawa Barat181, Beliau mengakui bahwa ketiga regulasi
(RPJPD, RTRW, RPJMD) dari Kabupaten Bandung mengenai permasalahan

181
Wawancara dengan Endang Damayanti, Fungsional Perencanaan dari Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Jawa Barat, di Bandung (2 November 2016)

93
penanganan banjir ini belum berjalan maksimal dikarenakan beberapa faktor yang
terjadi di lapangan dan salah satunya tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
Kabupaten/Kota di Bandung Raya yang belum bersinergi secara baik untuk
menyelesaikan permasalahan bencana banjir ini dan cenderung saling
menyalahkan satu sama lain, sehingga hanya mementingkan pembangunan
internal di wilayahnya masing-masing (ego sektoral). Padahal, sinergi antar
wilayah ini sangat penting berkaitan dengan penyelesaian permasalahan banjir di
Bandung Raya, salah satu nya bencana banjir Bandung Selatan karena persoalan
bencana banjir ini tidak hanya melibatkan kebijakan sektoral Pemerintah
Kabupaten Bandung saja, melainkan juga melibatkan Pemerintah Kabupaten/Kota
di wilayah Bandung Raya karena Cekungan Bandung merupakan satu kesatuan
wilayah. Dan untuk menanggulangi keadaan bencana seperti ini, pemerintah antar
Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya seharusnya mampu dan saling
bersinergi satu sama lain. Sinergi sangat penting sebagai salah satu ukuran yang
ingin dicapai dalam penanganan bencana banjir ini. Dan antar wilayah
Kabupaten/Kota seharusnya mementingkan aspek eco region. Hal ini yang
membuat penanganan banjir belum terintegrasi dengan baik karena setiap wilayah
di Bandung Raya menempuh cara-caranya sendiri dan bersifat parsial.

Berkaitan dengan sinergitas antar wilayah yang dilakukan Pemerintah


Kabupaten/Kota di Bandung Raya, Ibu Puni Seruni selaku Kepala Sub Bidang
Pembangunan Tata Ruang, Pertanahan, Lingkungan Hidup dan Pemukiman
BAPPEDA Kabupaten Bandung,182 dimana Kabupaten Bandung sebagai tempat
bencana banjir terjadi menuturkan bahwa memang masih terdapat keadaan dimana
antar pemerintah di Bandung Raya saling menyalahkan terkait dengan keadaan
internal di wilayahnya masing-masing. Akan tetapi, beliau menuturkan bahwa
Pemerintah Kabupaten Bandung telah membuat suatu MoU (memorandum of
understanding) dengan pemerintah Kota Bandung dimana salah satu isinya berisi
tentang penanganan bencana banjir. Akan tetapi MoU tersebut baru sebatas
182
Wawancara dengan Puni Seruni, Kepala Sub Bidang Pembangunan Tata Ruang, Pertanahan,
Lingkungan Hidup dan Pemukiman dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA) Pemerintah Kabupaten Bandung, di Soreang, Kabupaten Bandung (3 November
2016)

94
rencana dan regulasi nya belum disahkan. Jadi, beliau menuturkan bahwa dalam
aspek perencanaan terkait penanggulangan bencana banjir, rencana regulasi telah
ada dan menuju ke arah sinergi antar pemerintah daerah, akan tetapi pelaksanaan
teknis yang lamban membuat masyarakat awam bertanya-tanya mengenai
bagaimana keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan bencana
banjir ini. Padahal, dibutuhkan proses yang panjang agar permasalahan
penyelesaian bencana banjir ini dapat diselesaikan dengan baik dan benar. Sinergi
antar wilayah di Bandung Raya sangatlah penting keberadaanya dalam rangka
penanganan bencana banjir Bandung Selatan ini dan sinegitas antar pemerintah
daerah sebagai salah satu komponen penting dalam upaya penanganan bencana
banjir belum diterapkan kebijakan-kebijakan kerjasama antar daerah di wilayah
Bandung Raya untuk penyelesaian bencana banjir ini. Selain memang regulasi-
regulasi yang mengatur mengenai sinergitas antar pemerintah di wilayah Bandung
Raya belum diatur dan dibuat, maka fakta-fakta yang ada lapangan pun belum
sesuai dengan yang diinginkan karena hanya pemerintah Kabupaten Bandung
yang mengurusi wilayahnya sendiri karena bencana yang terjadi terdapat di
wilayah administratifnya.

Analisis mengenai tanggung jawab pemerintah selanjutnya ialah mengenai


kewenangan yang dimiliki pemerintah itu sendiri. Hal yang patut dicermati ialah
bagaimana pemerintah melakukan suatu tindakan tanpa harus bertentangan
dengan kewenangan yang dimiliki pihak lain, dalam hal ini perbedaan
kewenangan antara pemerintah pusat, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten/Kota.
Hal ini yang menurut penulis pun menjadi masalah dalam upaya penanganan
bencana banjir Bandung Selatan. Ibu Endang Damayanti selanjutnya mengatakan
bahwa berbicara mengenai tanggung jawab dari pemerintah dalam penanganan
bencana banjir di kawasan hilir, maka tidak dapat dilepaskan dari kewenangan
yang dimiliki dan melekat pada pemangku kebijakan, dalam hal ini Pemerintah.183
Pertama-tama, beliau menuturkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, berbicara mengenai tanggung jawab

183
Wawancara dengan Endang Damayanti, Supra Catatan No 180.

95
pemerintah, maka kewenangan yang dimiliki akan terkotak-kotak, yang artinya
setiap pemerintah, baik Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota memiliki
kewenangannya masing-masing dan tidak dapat mengintervensi satu sama lain
karena akan berakibat fatal apabila dilakukan intervensi walaupun dalam keadaan
yang memang sangat mendesak. Diperlukan sinergi dan koordinasi antar
pemerintah untuk itu agar kebijakan yang dijalankan berjalan efektif.

Terdapat beberapa faktor sebagai penyebab terjadinya bencana banjir di


Bandung Selatan, Kabupaten Bandung. Pertama, yakni meluapnya Sungai
Citarum. Tanggung jawab sepenuhnya terhadap sungai terdapat pada Pemerintah
Pusat dimana kebijakan terkait penanggulangan, pengendalian, dan permasalahan
terkait sungai Citarum merupakan kewenangan Pemerintah Pusat yang melekat
sehingga menimbulkan tanggung jawab dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak
dapat turun tangan atau turut campur secara langsung dalam permasalahan yang
diakibatkan sungai Citarum tadi dikarenakan karena memang bukan
kewenangannya. Pemerintah Provinsi Jawa Barat hanya berwenang untuk
menanggulangi dampak bencana yang diakibatkan oleh anak sungai dari Citarum
yang bermuara ke sungai Citarum seperti melakukan kegiatan fisik, yakni
penyodetan sungai dan melakukan perbaikan saluran drainase air yang dilakukan
melalui Dinas Sumber Daya Air.

Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam kaitannya dengan


permasalahan bencana banjir di Bandung Selatan ini bertugas dan berwenang
untuk menginisiasi, mengakomodir, dan melakukan pembinaan terhadap
Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya terkait isu lintas wilayah
yang menjadi permasalahan dalam bencana banjir Bandung Selatan ini. Jadi,
selebihnya menjadi kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing untuk
menjalankan suatu kebijakan tersebut. Maka, kembali lagi penulis menekankan
bahwa sinergi antar wilayah di Bandung Raya sangat penting dalam rangka
penyelesaian penanganan bencana banjir Bandung Selatan ini.

96
Bentuk tanggung jawab pemerintah dalam kegiatannya menyelenggarakan
penataan ruang yang dikaitkan dengan prinsip asas-asas umum pemerintahan yang
baik tidak dapat dilepaskan dari 3 konsep tanggung jawab pemerintah sebagai
salah satu asas yang diemban oleh pemerintah berkaitan dengan 5 aspek
komponen ruang (ruang, kegiatan/aktivitas, sumber daya, hak yang melekat pada
ruang, dan wewenang pemerintahan) yakni Responsibility, Accountability, dan
Liability. Dalam bab sebelumnya, dikatakan bahwa Responsibility berbicara
mengenai tanggung jawab pemerintah yang meliputi bagaimana pemerintah
melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasarkan kewenangan yang dimilikinya
dalam rangka menyelenggarakan penataan ruang dan/atau kewajiban bertanggung
jawab atas undang-undang yang dilaksanakan, memperbaiki, atau sebaliknya
memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang ditimbulkannya
184
(bestuursbevoegheids). Sedangkan accountability merupakan penyelenggaraan
penataan ruang dapat dipertanggungjawabkan baik prosesnya, pembiayaan,
maupun hasilnya. Selain itu juga dapat dimaknai untuk menetapkan ukuran,
derajat, dan agar dalam pelaksanannya terdapat batasan-batasan yang hendak
dicapai untuk memaksimalkan kegiatan di dalam ruang.185 Ukuran dan derajat
yang dimaksud agar mencapai tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah dan
pemerintah dapat dikatakan akuntabel apabila dapat menjalankan tanggung
jawabnya dengan baik. Dan liability merupakan suatu tanggung jawab hukum
yang diemban oleh pemerintah apabila kegiatan penyelengaraan penataan ruang
yang dilakukan oleh pemerintah tidak sesuai dengan harapan sehingga
menimbulkan kerugian bagi masyarakat.186

Ketiga konsep tanggung jawab pemerintah sebagai salah satu asas


kegiatan penyelenggaraan penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah
memiliki keterkaitan satu sama lain ketika pemerintah melakukan suatu
pertanggungjawaban hukum dalam suatu tindakan yang dilakukan. Ketika
penyelenggaraan penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah tidak akuntabel,

184
ASEP WARLAN YUSUF, Supra catatan no 43.
185
Id
186
Id

97
yang artinya tujuan serta ukuran yang hendak dicapai oleh pemerintah tidak
tercapai padahal telah memiliki kewenangan yang nyata untuk melakukan
kegiatan tersebut (responsibility), maka pemerintah dapat dimintakan
pertanggungjawaban hukum (liability). Pertanggung jawaban hukum dapat
dimintakan kepada pemerintah apabila terdapat keadaan dimana kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah dalam kegiatan penataan ruang merugikan masyarakat
banyak dan tidak sesuai dengan 6 ukuran akuntabilitas, yakni keadilan bagi
masyarakat, ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, tidak ada
ketimpangan antar daerah, masyarakat tidak ditempatkan di kawasan bencana,
penataan ruang harus memiliki nilai tambah dari yang sebelumnya, dan adanya
penggantian yang layak bagi masyarakat.187 3 konsep yang telah disebutkan
berkaitan dengan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan
penataan ruang wajib dipegang oleh pemerintah ketika melakukan suatu kebijakan
penataan ruang.

Tanggung jawab pemerintah dalam permasalahan penataan ruang terhadap


fenomena bencana banjir di Bandung Selatan ini, penulis mendasarkan kepada
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang,
dimana dikatakan bahwa Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal 7 ayat (1) ini menjelaskan bahwa
adanya hubungan antara tanggung jawab yang diemban oleh pemerintah dengan
bencana alam yang ditimbulkan akibat dari kesalahan/ulah manusia dan juga ulah
pemerintah sendiri ketika kebijakan-kebijakan yang ada menyebabkan suatu
bencana yang diakibatkan tindakan pemerintah yang lalai. Pasal ini juga
menandakan bahwa masyarakat tidak boleh dirugikan akibat dari kebijakan
penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah, baik Pemerintah Pusat, Provinsi,
dan Kabupaten/Kota karena ketika terdapat suatu keadaan pembiaran terhadap
kesalahan kebijakan penataan ruang, maka subjek hukum sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 7 ayat (1), yakni Negara, Pemerintah Pusat, Menteri
Agraria dan Tata Ruang sebagaimana diamanatkan dalam pasal 9, Pemerintah

187
Id

98
Daerah, Pemberi izin beserta penegak hukum wajib bertanggung jawab. Berkaitan
dengan hal tersebut, bentuk tanggung jawab pemerintah beserta fungsi hukum
yang diembannya mencakup 3 (tiga) hal penting, yakni pre emptive, preventive,
dan represive.

Dari penjelasan yang telah disebutkan di atas, pasal 7 ayat (1) merupakan
bentuk tanggung jawab hukum secara liability karena ketika suatu tindakan
pemerintah yang dilakukan dalam kegiatan penyelenggaraan penataan ruang tidak
akuntabel, maka pemerintah harus diminta pertanggungjawaban secara hukum
karena kegiatan penyelengaraan penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah
tidak sesuai dengan harapan sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
misalnya gugatan masyarakat ke pengadilan melalui mekanisme Citizen Law Suit
(gugatan warga negara). Dalam kasus mengenai bencana banjir di Bandung
Selatan ini, merupakan salah satu contoh dimana pemanfaatan ruang yang
dilakukan pasti terdapat kekeliruan, menyimpang, dan tidak sesuai dengan
standar-standar yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. Contohnya terjadi di
Kawasan Bandung Utara. Sudah dijelaskan bahwa dalam Peraturan Daerah
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Kawasan
Bandung Utara, Kawasan ini merupakan kawasan yang memiliki fungsi serta
peranan penting dalam menjamin keberlanjutan perkembangan kehidupan di
Cekungan Bandung dan Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota wajib
bertanggung jawab untuk mengendalikan pemanfaatan ruang kawasan Bandung
Utara. Pertanggung jawaban dari pemerintah Provinsi Jawa Barat dan
Kabupaten/Kota di Bandung Raya untuk mengendalikan atau membatasi aktivitas
pembangunan di Bandung Utara menurut penulis wajib dilakukan dengan cara
bersinergi dan bersama-sama menyelesaikan permasalahan kawasan Bandung
Utara. Hal ini diperlukan untuk mengurangi dampak bencana banjir yang terjadi
di Bandung Selatan, dan juga daerah-daerah lainnya di kawasan Cekungan
Bandung.

Berkaitan dengan sinergitas antar pemerintah daerah yang disinggung oleh


penulis, hal tersebut merupakan wewenang yang dimiliki oleh pemerintah daerah

99
Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan kegiatan penataan ruang sebagaimana
disebutkan dalam pasal 11 ayat (1) huruf d dengan dikoordinasikan oleh
pemerintah provinsi yang dimana kewenangan yang dimiliki seperti yang
dimaksud meliputi aspek perencanaan, pemanfaatan, serta pengendalian.

Penulis menganalisis lebih lanjut bahwa bencana banjir yang semakin


parah setiap tahunnya ini bukan bermasalah pada perencanaannya, akan tetapi
faktor-faktor yang ada di lapangan yang membuat penanganan ini sulit
direalisasikan. Tindakan pre emptive, preventive, dan represive sudah dibuat oleh
pemerintah provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten/Kota di Bandung raya yang
diwujudkan melalui RPJPD, RTRW, dan RPJMD dari masing-masing pemerintah
tersebut. Hal-hal inilah yang menuntut bahwa Pemerintah Pusat, Pemerintah
Provinsi Jawa Barat maupun Pemerintah Kabupaten/Kota di Bandung Raya
dituntut untuk menerapkan asas liability sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
7 ayat (1) sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap penanganan
kegiatan penataan ruang yang tidak sesuai dengan prinsip akuntabilitas, padahal
pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan kegiatan ruang
demi kesejahteraan masyarakat sebagaimana prinsip responsibility. 6 ukuran
akuntabilitas sebagaimana yang telah disebutkan di atas haruslah dipenuhi oleh
pemerintah dan penulis akan menganalisis lebih lanjut dengan penjabaran sebagai
berikut:

1. Tercapainya keadilan masyarakat, menandakan bahwa kegiatan penataan


ruang haruslah adil bagi seluruh masyarakat. Terjadinya bencana banjir
menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat di Bandung Selatan karena
bencana yang terjadi berasal dari kesalahan kegiatan penataan ruang yang
dilakukan oleh pemerintah di Kawasan Bandung Utara yang memberikan
izin mendirikan bangunan di kawasan tersebut dan tidak sesuai dengan
peruntukkannya. Ditambah dengan penindakan yang tidak tegas membuat
pembangunan di kawasan tersebut terus terjadi karena longgarnya
pengawasan pemerintah. Hal ini mengakibatkan masyarakat di Bandung

100
Selatan yang merasakan dampak dari salah urus penataan ruang yang
dilakukan oleh pemerintah.

2. Ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Kegiatan


penataan ruang haruslah memberikan kenyamanan bagi masyarakat untuk
dapat memaksimalkan ruang yang ada. Hal ini yang tidak dirasakan oleh
massyarakat di Bandung Selatan, Kabupaten Bandung dimana daerah-
daerah yang mereka tinggali setiap tahunnya selalu dilanda banjir. Hal ini
menandakan bahwa pemerintah belum menyediakan ruang yang aman,
nyaman, produktif, serta berkelanjutan bagi masyarakat di Bandung
Selatan, Kabupaten Bandung.

3. Tidak ada ketimpangan antar daerah. Merupakan hal penting selanjutnya


dalam pelaksanaan penataan ruang. pembangunan-pembangunan yang
dilakukan di suatu kawasan seringkali tidak memperhatikan dampak bagi
kawasan lainnya karena pembangunan yang ada terdapat ketimpangan-
ketimpangan. Hal ini yang terjadi di Kawasan Bandung Utara sebagai
tempat yang sangat menggiurkan bagi para pengusaha untuk mendirikan
bangunan-bangunan untuk menarik wisatawan yang secara tidak langsung
juga merusak lingkungan dari kawasan Bandung Utara sehingga
berdampak pada kawasan yang ada di bawahnya.

4. Masyarakat tidak ditempatkan di kawasan bencana. Kecamatan Baleendah


dan Dayeuhkolot sebagai tempat dimana bencana banjir terjadi merupakan
kawasan yang topografi nya rendah dan sejak dahulu kala memang
kawasan langganan banjir. Menjadi masalah ketika banyak masyarakat
yang menempati wilayah tersebut dan menjadi sulit ketika masyarakat
tersebut tidak mau dipindah ke tempat yang lebih aman. Maka, tindakan
pemerintah seharusnya membuat rekayasa pembangunan seperti
meningkatkan infrastuktur bangunan yang lebih tinggi, dan membangun
kolam retensi sebagai tindakan mengurangi dampak bencana banjir agar
tidak semakin meluas.

101
5. Penataan ruang harus memiliki nilai tambah dari yang sebelumnya. Hal ini
yang perlu dicermati lebih lanjut. Suatu peraturan yang baru menggantikan
peraturan yang lama dimaksudkan agar peraturan yang baru dapat berlaku
lebih efektif dari peraturan yang lama karena peraturan yang lama sudah
tidak mampu lagi mengikuti perkembangan yang ada di lapangan. Akan
tetapi, penulis melihat bahwa kegiatan penataan ruang yang baru
cenderung tidak memiliki nilai tambah dan tidak mengikuti perkembangan
yang ada. Hal ini terjadi di kawasan Bandung Utara dimana dengan
diberlakukannya Peraturan Daerah mengenai pengendalian Kawasan
Bandung Utara, perizinan yang tidak sesuai peruntukkan kawasan tersebut
masih terjadi dan pemerintah tidak melakukan pengawasan yang ketat
akan izin yang dikeluarkan tersebut.

6. Adanya penggantian yang layak terhadap masyarakat yang dirugikan.


Penggantian yang layak tidak melulu berbicara mengenai sumbangan uang
dan lain-lain, akan tetapi juga peningkatan infrastruktur penanganan
bencana banjir menjadi penting ketika berbicara mengenai penggantian
yang layak kepada masyarakat. Pemerintah wajib memperhatikan
masyarakat yang mengalami kerugian atas bencana banjir yang terjadi dan
hal ini yang belum terlihat dari tindakan pemerintah dalam penanganan
bencana banjir.

6 ukuran akuntabilitas di atas menurut analisis penulis belum dilaksanakan


oleh pemerintah sebagai representasi tanggung jawab pemerintah, baik pusat,
Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya sehingga
tanggung jawab pemerintah dalam kegiatan penataan ruang dapat dikatakan tidak
berjalan sesuai yang diinginkan sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 7
ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 6
ukuran akuntabilitas tadi belum tercapai juga dikarenakan wewenang pemerintah
daerah Kabupaten/Kota untuk bekerjasama dalam mengendalikan kegiatan
pemanfaatan ruang belum dilaksanakan sebagaimana yang disyaratkan dalam
pasal 11 ayat (1) huruf d. Padahal, pemerintah antar Kabupaten/Kota di Bandung

102
raya memiliki kewenangan untuk itu. Hal ini menandakan bahwa responsibility
yang dimiliki tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah daerah
Kabupaten/Kota tersebut sehingga

Dalam RPJPD, RTRW, dan RPJMD Provinsi Jawa Barat, pengaturan


mengenai pengentasan bencana banjir, cara menanggulangi, sudah dibuat
selengkap dan sedetail mungkin dimana ketiga peraturan tersebut juga
mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan
ruang, dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2010 tentang pelaksanaan
penataan ruang. Begitu juga dengan RPJPD, RTRW, serta RPJMD dari
Kabupaten Bandung yang mana juga mendasarkan pada RPJPD, RTRW, serta
RPJMD Provinsi Jawa Barat. Pengaturan mengenai penanggulangan bencana
banjir Bandung Selatan telah dibuat sedetail mungkin sebagaimana dijelaskan
dalam gambaran umum kondisi daerah serta kebijakan pembangunan penanganan
bencana banjir. Hal ini juga berkaitan dengan perizinan yang terkait dengan
permasalahan Kawasan Bandung Utara sebagai daerah resapan air utama yang
fungsinya sekarang sudah berkurang dikarenakan sudah banyak sekali bangunan-
bangunan yang didirikan di kawasan tersebut juga menyumbang terhadap
derasnya aliran air yang tidak tertampung dari hulu ke hilir sehingga
menyebabkan terjadinya bencana banjir. Ketika pemerintah daerah hendak
menyelesaikan permasalahan tersebut, mereka harus meninjau apakah mereka
memiliki kewenangan untuk menyelesaikan hal tersebut atau tidak.

Ketika mereka tidak memiliki kewenangan, misalnya kewenangan berada


di Pemerintah Pusat berkaitan dengan meluapnya sungai Citarum, Pemerintah
Daerah hanya dapat merekomendasikan dan melakukan pemeliharaan secara non
fisik saja. Hal ini juga terjadi di Kawasan Bandung Selatan sebagai kawasan yang
juga telah beralih fungsi dari lahan terbuka hijau menjadi lahan pertanian
sehingga air tidak tertampung lagi dan mengalir deras ke kawasan yang topografi
nya rendah, dalam hal ini terjadi di kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot.
Pemerintah Kabupaten Bandung tidak dapat mengintervensi untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut walaupun lahan-lahan tersebut berada di wilayah

103
administratifnya dikarenakan lahan-lahan yang ada merupakan hak milik dari PT.
Perhutani.

Penulis berpendapat bahwa tanggung jawab yang diemban oleh


pemerintah, dalam bencana banjir ini diemban oleh pemerintah Pusat, Provinsi
Jawa Barat, dan Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya belum dilaksanakan
secara baik dikarenakan seharusnya kewenangan yang terkotak-kotak
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas harus dikoordinasikan secara intensif
dan baik. Penulis menganalisis dan melihat bahwa pada faktanya di lapangan,
koordinasi antar pemerintah ini belum berjalan maksimal. Hal ini dikarenakan
beberapa permasalahan seperti pendanaan dimana aspek pendanaan untuk
menangani bencana banjir ini, baik penanganan di kawasan hulu maupun hilir
membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit. Hal ini yang membuat penanganan
bencana banjir di Bandung Selatan terhambat dikarenakan kurangnya koordinasi
antar pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini. Aspek pendanaan ini
yang membuat lembaga-lembaga yang difokuskan untuk penanganan bencana
banjir seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Balai Besar
Sungai Citarum tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana fungsinya. Maka dari
itu, Tanggung Jawab Pemerintah dalam kegiatan penataan ruang berdasarkan
fakta-fakta di atas tidak akuntabel yang artinya, aspek akuntabilitas belum
dipenuhi oleh pemerintah karena 6 (enam) ukuran akuntabilitas sebagaimana
telah disebutkan di atas tidak terpenuhi oleh pemerintah ketika pemerintah, baik
Pusat, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya tidak
menjalankan responsibility sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh
pemerintah, baik pusat, Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten/Kota di wilayah
Bandung Raya dalam rangka penanganan bencana banjir di Bandung Selatan.

Berkaitan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (selanjutnya


disingkat AAUPB), tata kelola pemerintahan yang baik dapat dilakukan dengan
menerapkan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (dalam kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan Pasal 10 UU No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan.) Kedelapan Asas itu meliputi asas kepastian

104
hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakkan, kecermatan, tidak menyalahgunakan
kewenangan, keterbukaan, kepentingan umum, dan pelayanan yang baik. AAUPB
yang memiliki fungsi sebagai pedoman pelaksanaan setiap tindakan pemerintah
dalam menjalankan kewenangan yang dimilikinya.188

Hal yang sama juga berlaku ketika pemerintah menyelesaikan


permasalahan bencana banjir yang terjadi di Bandung Selatan. Dari beberapa
macam asas-asas umum pemerintahan yang baik, penulis menganalisis asas-asas
yang belum diterapkan oleh pemerintah dalam upaya penanganan bencana banjir
ini, Baik Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten/Kota di wilayah
Bandung Raya yang relevan dalam permasalahan ini, yakni asas bertindak cermat
atau asas kecermatan, asas keadilan dan kewajaran, asas kebijaksanaan dan asas
kepentingan umum yang akan dijabarkan oleh penulis sebagai berikut

1. Asas Kecermatan menghendaki agar pemerintah dalam suatu tindakannya


bertindak cermat dalam melakukan berbagai aktivitas penyelenggaraan
tugas-tugas pemerintahan sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi
warga negara. Segera diberlakukannya kebijakan-kebijakan terkait
penanggulangan bencana banjir di Bandung Selatan ini, tidak hanya
sebatas rencana yang belum tentu akan diwujudkan dalam waktu dekat
diwajibkan agar penanggulangan bencana banjir ini dapat dituntaskan.

2. Asas Keadilan dan Kewajaran menuntut pemerintah untuk tindakan yang


dilakukan harus selalu memperhatikan keadilan dan kewajaran. Keadilan
dalam hal tindakan secara proporsional, seimbang, dan selaras dengan hak
setiap orang dan kewajaran dalam hal tindakan pemerintah yang
dipresentasikan pejabat administrasi negara dalam setiap keputusan atau
tindakan yang dilakukan harus memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat seperti agama, budaya, ekonomi, sosial dan yang dapat
diterima oleh akal sehat.

188
Ridwan HR, Supra catatan No. 28 pada 290.

105
Dalam kaitannya dengan penanganan bencana banjir Bandung Selatan,
pemerintah pusat dengan melaksanakan koordinasi dengan pemerintah
provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Bandung seharusnya
memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat di Bandung
Selatan, khususnya di kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot dengan
melakukan kebijakan yang secara cepat tanggap di kawasan hilir seperti
penyodetan sungai, melakukan relokasi masyarakat ke kawasan yang jauh
dari ancaman bahaya banjir, perbaikan infrastuktur wilayah bencana banjir
dan lain-lain. Dan juga melakukan pemulihan serta pembatasan pemberian
izin sesegera mungkin di kawasan Bandung Utara dimana Pemerintah
Provinsi Jawa Barat beserta Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah
Bandung Raya melakukan sinergi dan bekerja sama untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang disepakati bersama, seperti membatasi
perizinan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan terkait
pembangunan di ruang terbuka hijau, membatasi pembangunan dan
memperketat peraturan izin membangun agar pihak-pihak yang telah
memiliki izin wajib untuk membangun sesuai dengan peruntukkanya.
Semua kebijakan-kebijakan tersebut harus dilakukan agar dampak bencana
banjir tidak semakin meluas dan karena keadilan merupakan hak yang
dimiliki oleh setiap warga masyarakat.

3. Asas Kebijaksanaan, dimana asas ini menghendaki pemerintah dalam


melaksanakan tugas dan pekerjaanya diberi kebebasan dan keleluasaan
untuk menerapkan suatu kebijakan tanpa harus terpaku pada suatu
peraturan perundang-undangan formal atau hukum tertulis itu selalu
membawa cacat bawaan yang berupa tidak fleksibel dan tidak dapat
menampung semua persoalan serta cepat ketinggalan zaman, sementara itu
perkembangan masyarakat itu bergerak cepat dan dinamis. Pemerintah
selaku penguasa dituntut untuk bukan hanya bertindak cepat, melainkan
juga harus berpandangan luas dan jauh serta mampu memperhitungkan
akibat-akibat yang muncul dari tindaknnya tersebut. Karena berkaitan

106
dengan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat banyak, seharusnya
pemerintah, dalam hal ini pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
dituntut untuk bertindak cepat dan bijaksana dalam penyelesaian bencana
banjir. Hal ini yang menurut penulis belum terlihat dari tindakan
Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten/Kota karena
sebagaimana telah disebutkan tadi, kewenangan yang terkotak-kotak
membuat tindakan yang dilakukan tidak bisa secara langsung, melainkan
harus berkoordinasi antar Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

4. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum. Penyelenggaraan asas ini


menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selaku
penguasa dalam suatu negara atau daerah wajib mengutamakan
kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua aspek
kehidupan orang banyak. Asas ini merupakan cerminan dari konsep negara
kesejahteraan (welfare state) yang mana menempatkan pemerintah selaku
pihak yang bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan umum
(bestuurszog) warga negaranya. Berkaitan dengan permasalahan bencana
banjir ini, asas ini belum dilakukan secara maksimal dikarenakan kegiatan
yang dilakukan masih terbentur oleh faktor-faktor teknis seperti
pendanaan, dan juga faktor non fisik seperti prilaku masyarakat dan lain-
ain. Hal ini lah yang membuat penanganan bencana banjir belum berjalan
secara maksimal. Maka dari itu, penulis selalu menegaskan bahwa sinergi
antar pemerintah yang belum terwujud secara baik membuat kewenangan
pemerintah, baik pusat, provinsi Jawa Barat maupun Kabupaten/Kota
belum berjalan maksimal dan baik. Hal ini yang harus segera diwujudkan
oleh masing-masing pemerintah untuk saling berkoodinasi dan bersinergi
dengan sesegera mungkin untuk mewujudkan asas penyelenggaraan
kepentingan umum sebagai wujud dari representasi AAUPB.

Keberadaan AAUPB sebagai wujud suatu tindakan dari pemerintah, baik


pemerintah pusat maupun daerah provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan hal
yang sangat penting dalam pelaksanaan suatu pemerintahan demi tercapainya

107
tujuan-tujuan dari diselenggarakan kegiatan pemerintahan itu sendiri dan juga
sebagai salah bentuk tindakan pemerintah yang dituntut untuk aktif dalam
mengupayakan kesejahteraan masyarakat luas sesuai prinsip negara welfare state.
Prinsip welfare state menekankan pada perwujudan kesejahteraan kehidupan dari
masyarakat atau warga negara. Agar terwujudnya kesejahteraan seperti yang
dimaksud, pemerintah melakukan suatu tindakan dimana tindakan ini berupa
kebijakan-kebijakan yang diaplikasikan untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah merupakan bentuk
kekuasaan dan wewenang dari pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk
mencapai tujuan yang diinginkan (responsibility).

Belum adanya tindakan yang nyata dari pemerintah, baik provinsi Jawa
Barat maupun daerah Kabupaten/Kota untuk memperketat aturan yang ada terkait
izin di kawasan Bandung Utara patut dicermati karena apabila dikaitkan dengan
tanggung jawab pemerintah dan juga prinsip AAUPB yang diemban oleh
pemerintah, pemerintah belum melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pemilik
wewenang dan kekuasaan di suatu daerah dan juga tidak sesuai dengan prinsip
AAUPB. Permasalahan banjir ini berkaitan dengan kepentingan umum
masyarakat banyak sehingga apabila hal ini terus dibiarkan, pemerintah telah
melanggar prinsip ini dan pemerintah dianggap lalai dan tidak bertanggung jawab
dengan melaksanakan pembiaran akan keselamatan orang banyak. Maka dari itu,
pemerintah, baik pusat, Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten/Kota di wilayah
Bandung Raya wajib bertanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan
penanganan bencana banjir di Bandung Selatan dengan cara berkoordinasi dan
bersinergi untuk secara cepat menangani permasalahan bencana banjir ini serta
menerapkan AAUPB secara lebih baik lagi sebagai suatu pedoman atau penuntun
bagi pemerintah dalam rangka menyelenggarakan suatu pemerintahan yang baik
(good governance) agar terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat banyak.

108
4.2 Penerapan Kebijakan-Kebijakan Berkaitan Dengan Penyelesaian
Penanganan Bencana Banjir Bandung Selatan

Ketika melihat bagaimana penerapan kebijakan-kebijakan berkaitan


dengan penyelesaian penanganan bencana banjir Bandung Selatan, penulis
melihat kembali pada rumusan masalah yang pertama dimana tanggung jawab
pemerintah berperan besar dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang dibuat
untuk penanganan bencana banjir ini. Belum adanya sinergi dan koordinasi yang
dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya serta
koordinasi yang belum dilakukan secara baik dengan Pemerintah Pusat dan
Provinsi Jawa Barat membuat penanganan bencana banjir ini terkesan berjalan
masing-masing dan tidak ada kepedulian dari masing-masing wilayah untuk ikut
berperan terhadap permasalahan ini. Ketika penulis melihat masing-masing
kebijakan yang terdiri dari RPJPD, RTRW, dan RPJMD dari masing-masing
daerah di Bandung Raya, tidak ada pengaturan mengenai kepedulian atau
kerjasama antar wilayah mengenai permasalahan bencana banjir di Bandung
Selatan dan hanya memperhatikan kondisi internal dari wilayah masing-masing.
Kebijakan-kebijakan yang ada saat ini cenderung berbeda-beda antar wilayah
sehingga tidak terkoordinir secara baik dan benar sehingga ketika terjadi
permasalahan yang meluas, maka pemerintah Kabupaten/Kota di Bandung Raya
saling menyalahkan satu sama lain. Hal inilah yang menjadi persoalan dan
peraturan-peraturan yang belum mengakomodir secara baik mengenai
permasalahan bencana banjir ini.

Kabupaten Bandung sebagai tempat dimana bencana banjir terjadi


memiliki rancangan RTRW, dimana RTRW sebelumnya, yakni Peraturan Daerah
Nomor 3 Tahun 2008 tentang RTRW Kabupaten Bandung Tahun 2007-2027
tengah direvisi dan prosesnya telah dilakukan sejak 3 tahun yang lalu. Hal ini pun
berpengaruh kepada penanganan bencana banjir yang terlambat. Dalam RTRW
terbaru yang dibuat oleh Kabupaten Bandung, terdapat pengaturan yang
menunjukkan komitmen, orientasi, serta konsekuensi dari tindakan-tindakan yang
akan diambil dalam rangka penyelesaian bencana banjir di Bandung Selatan.

109
Salah satunya ialah melakukan rekayasa pembangunan dengan meningkatkan
infrastuktur pencegahan banjir dan pembangunan rumah susun dimana tindakan-
tindakan pemerintah tersebut telah terdapat dalam rancangan RTRW terbaru.189

Tahapan-tahapan kebijakan penataan ruang yang paling penting dan harus


selalu ada dalam setiap kebijakan penataan ruang, yakni perencanaan,
pemanfaatan, serta pengendalian suatu ruang merupakan ukuran yang nyata bagi
produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik Pusat, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 angka 12, 13 dan 14
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Agar suatu
ruang dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat dan pihak-pihak yang
berkepentingan untuk itu, haruslah memenuhi 3 (tiga) tahap penting, yakni
Perencanaan, Pemanfaatan, serta Pengendalian. Aspek Perencanaan penataan
ruang dalam suatu wilayah merupakan alat untuk memastikan bahwa terdapat
dasar serta landasan kegiatan penataan ruang, yang tercantum dalam regulasi-
regulasi yang dibentuk menjadi RPJPD, RTRW, dan RPJMD. Terdapat
pengaturan mengenai penanggulangan bencana banjir, penentuan peraturan zonasi
dari masing-masing wilayah, termasuk di dalamnya ialah peraturan zonasi
mengenai kawasan rawan bencana banjir, pengaturan mengenai bagaimana
seseorang memperoleh perizinan untuk mendirikan bangunan di kawasan ruang
terbuka hijau, bagaimana persyaratannya, pengaturan insentif dan disinsentif telah
jelas diatur dalam regulasi-regulasi yang ada. Akan tetapi, ketika masuk ke tahap
selanjutnya, yakni pemanfaatan dan pengendalian, hal ini menjadi sulit karena
faktor-faktor di lapangan seringkali tidak sesuai dengan apa yang terjadi di
lapangan.

Produk hukum yang ada saat ini menurut penulis belum dapat
mengakomodir penanganan bencana banjir, selain regulasi-regulasi mengenai
penanganan bencana banjir, yang mencakup banjir Bandung Selatan belum dibuat
karena belum adanya sinergi antar pemerintah di wilayah Bandung Raya. Seperti
contohnya ialah pembangunan dan perizinan di Kawasan Bandung Utara.

189
Wawancara dengan Puni Seruni, Supra catatan no. 183

110
Padahal, pembangunan sudah dibatasi dan diperketat dengan diberlakukannya
Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Kawasan Bandung Utara dimana dalam pasal 21 ayat (2) mengatakan bahwa
sebelum mendapat izin pemanfaatan ruang dari Bupati/Walikota, maka perlu
mendapat rekomendasi dari Gubernur. Akan tetapi, fakta di lapangan terjadi
keadaan dimana pembangunan-pembangunan yang ada dilakukan tanpa
menggunakan rekomendasi Gubernur dan hanya dengan mengantongi izin dari
Bupati/Walikota. Ini menimbulkan persoalan hukum dimana pemerintah Provinsi
Jawa Barat diharuskan untuk turun tangan karena ketika Pemerintah
Kabupaten/Kota sudah tidak mampu lagi untuk menertibkan pembangunan di
kawasan tersebut. Kebijakan-kebijakan hukum penataan ruang yang dibuat sudah
seharusnya lebih memperketat dan lebih difokuskan tidak hanya dalam
perencanaan semata, melainkan lebih difokuskan kepada pemanfaatan serta
pengendalian dan tentunya dilakukan pengawasan yang ketat oleh masing-masing
pemerintah, baik Provinsi Jawa Barat maupun Kabupaten/Kota di wilayah
Bandung Raya.

Selain kawasan Bandung Utara, Kawasan Bandung Selatan yang termasuk


pada kawasan hulu bagi kecamatan Baleendah dan Dayeuhkolot, yang salah satu
nya yakni Kecamatan Pangalengan dan Ciwidey merupakan daerah resapan air
utama sebagaimana yang dimaksud dalam RTRW Kabupaten Bandung sendiri
sudah beralih fungsi menjadi lahan pertanian seperti kentang dan lain-lain. Hal ini
juga turut menyumbang permasalahan banjir menjadi semakin pelik. Ditambah
lagi dengan lahan-lahan yang terdapat di Kawasan Bandung Selatan bukan lahan
milik Pemerintah Kabupaten Bandung, melainkan lahan milik PT. Perhutani
selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan keadaan seperti itu,
Pemerintah Kabupaten Bandung semakin sulit untuk mentertibkan alih fungsi
lahan yang berdampak pada terjadinya bencana banjir di kecamatan Baleendah
dan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung.

Izin yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah provinsi
dan Kabupaten/Kota memegang peranan penting ketika terjadi alih fungsi lahan

111
yang menyebabkan terjadinya suatu bencana. Tujuan izin sendiri ialah untuk
menciptakan suatu kondisi yang aman, nyaman, dan tertib dan agar sesuai dengan
peruntukkan, pemanfaatan, dan agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam
rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan di suatu
wilayah. Izin juga merupakan suatu instrumen yang penting dalam pelaksanaan
pembangunan untuk mencapai beberapa tujuan tertentu yang sangat penting
keberadaannya dalam rangka pelaksanaan pembangunan seperti yang dimaksud di
atas, yakni adanya suatu kepastian hukum, perlindungan kepentingan umum,
pencegahan kerusakan atau pencemaran lingkungan, dan pemerataan distribusi
barang tertentu.

Dalam pengaturan mengenai Kawasan Bandung Utara, terdapat satu pasal


mengenai Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh pemerintah
Kabupaten/Kota dalam hal ini Bupati/Walikota harus mendapatkan rekomendasi
Gubernur sebagaimana yang disyaratkan dalam pasal 21 ayat (2) masih saja
disimpangi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dikatakan demikian
karena Pemerintah Kabupaten/Kota sendiri sudah tidak sanggup untuk
mentertibkan bangunan-bangunan yang tidak berizin, tidak ada rekomendasi dari
Gubernur, dan pembangunan yang tidak sesuai dengan peruntukkan membuat
kawasan Bandung Utara semakin rusak sehingga menyebabkan bencana banjir
terjadi. Dengan melihat kepada RPJPD, RTRW, serta RPJMD dari Provinsi Jawa
Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Bandung Raya, dikatakan bahwa
kawasan Bandung Utara merupakan Kawasan lindung dan budidaya dimana
keberadannya sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat yang tinggal di
daerah hilir dan perlu dilakukan perlindungan akan kawasan tersebut.

Hal inilah yang membuat penanganan bencana banjir sangat sulit


dilakukan karena faktor-faktor pelaksana teknis yang ada di lapangan terkesan
lamban. Ditambah dengan faktor pendanaan yang tidak sedikit menambah
permasalahan penyelesaian bencana banjir di Bandung Selatan. Karena faktor
pendanaan yang menghambat sehingga pengerjaan yang dilakukan oleh lembaga-
lembaga dan dinas-dinas yang bertugas menyelesaikan permasalahan bencana

112
banjir pun seperti BBWS yang merupakan lembaga pemerintah pusat dan bertugas
untuk penanganan luapan sungai Citarum yang menyebabkan bencana banjir
Bandung Selatan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung
(BPDAS), dan Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat
ditambah dengan pelaksana teknis yang diemban oleh DISPERTASIH Kabupaten
Bandung pun juga terhambat oleh pendanaan ini. Kebijakan membuat kolam
retensi yang dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung membutuhkan
biaya sebesar RP. 20.000.000.000 (dua puluh miliyar rupiah)190 sehingga masalah
pendanaan ini juga berakibat pada penanganan bencana yang lamban. Padahal
masyarakat setiap tahun sudah semakin terdesak dengan keadaan bencana banjir
yang cenderung setiap tahun semakin parah.

Kebijakan yang dibuat dalam bentuk perencanaan tidak teraplikasi dengan


baik dan penulis menyoroti tidak dilaksanakannya pengawasan dengan baik oleh
instansi yang mengeluarkan izin. Penulis melihat bahwa dalam penanganan
pemberian izin di kawasan Bandung Utara ini belum ada koordinasi yang baik
dari pemerintah Kabupaten/Kota yang memberikan izin, yakni Bupati dan
Walikota serta Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang melalui Gubernur Jawa Barat
memberikan rekomendasi terkait Izin Mendirikan Bangunan. Padahal, hal tersebut
telah dijelaskan dalam pasal 22 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1
Tahun 2008 tentang Pengendalian dan Pemanfaatan Kawasan Bandung Utara
pasal 22 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa:

1) Kegiatan pengendalian dan penetapan pemanfaatan ruang di KBU


dikoordinasikan oleh Gubernur bersama Bupati/Walikota di wilayah KBU.
2) Dalam rangka koordinasi pengendalian dan penetapan pemanfaatan ruang
di KBU, dibentuk Tim yang keanggotaannya meliputi unsur Provinsi,
Kabupaten/Kota di wilayah KBU dan masyarakat.
Maka dari itu, pemerintah provinsi Jawa Barat, serta Pemerintah
Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya wajib bertanggung jawab dalam
rangka penertiban bangunan-bangunan di kawasan Bandung Utara dengan cara
meninjau apakah bangunan yang didirikan telah sesuai dengan peruntukkannya

190
Id

113
atau tidak, telah mengantongi izin serta rekomendasi Gubernur Jawa Barat atau
tidak. Hal-hal tersebut wajib dilakukan dalam rangka penanganan dan
pengendalian kawasan Bandung Utara. Dan juga dapat mengurangi dampak
bencana banjir di Cekungan Bandung, salah satunya di Bandung Selatan.

Sebagai instrumen pengendalian kebijakan mengenai kawasan Bandung


Utara Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 memiliki
konsekuensi hukum dimana apabila terdapat pihak-pihak yang mendirikan
bangunan di kawasan Bandung Utara dan tidak memiliki izin serta rekomendasi
dari Gubernur Provinsi Jawa Barat, terdapat ketentuan sanksi administrasi dan
sanksi pidana yang tercantum dalam pasal 37 dan pasal 38. Akan tetapi, penulis
berpendapat bahwa ketentuan sanksi pidana dan administrasi ini tidak berjalan
maksimal. Hal tersebut dikarenakan longgarnya pengawasan akan pihak-pihak
yang memiliki Izin Mendirikan Bangunan sebagaimana yang disebutkan di atas
sehingga pihak-pihak tersebut dapat mendirikan bangunan melebihi yang
ditentukan dalam izin yang diperolehnya. Penulis berpendapat bahwa dalam
penanganan bencana banjir di Bandung Selatan ini, Pemerintah Provinsi Jawa
Barat dengan berkoordinasi dengan pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah
Bandung Raya wajib menyelesaikan permasalahan perizinan di Bandung Utara ini
dengan cara memperketat peraturan yang ada serta mengembalikan fungsi lahan
kembali seperti semula dengan cara melakukan sinergi serta pemulihan kawasan
Bandung Utara. Dikatakan demikian karena kawasan Bandung Utara memegang
peranan penting dalam rangka penanganan bencana banjir yang harus dituntaskan
mulai dari kawasan hulu,

Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat,


dan terutama Pemerintah Kabupaten Bandung telah dibuat dan direncanakan
sebaik mungkin sebagaimana yang tertera dalam RPJPD, RTRW, serta RPJMD
baik di kawasan hulu dan hilir yang mengacu kepada Undang-Undang Penataan
Ruang Nomor 26 Tahun 2007 telah dibuat dengan baik. Selain itu, pengaturan
mengenai kawasan hulu dari Pemerintah Kabupaten/Kota di Bandung Raya
(selain Kabupaten Bandung) yang mengacu kepada Peraturan Daerah Provinsi

114
Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengendalian dan Pemanfaatan di
Kawasan Bandung Utara dimana dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat telah
mengakomodir pengaturan mengenai perencanaan pembangunan. Akan tetapi,
permasalahan sesungguhnya berkaitan dengan masalah pemanfaatan,
pengendalian, serta pengawasan yang belum maksimal sehingga perencanaan
yang dibuat tidak berjalan efektif. Hal ini terlihat bahwa dalam penanganan
perizinan, terdapat banyak sekali bangunan yang menyalahi aturan, tidak berizin,
dan tidak sesuai dengan peruntukkan. Hal ini menandakan bahwa kurangnya
koordinasi yang dilakukan oleh pemerintah provinsi Jawa Barat dan Pemerintah
Kabupaten/Kota di wilayah Bandung Raya dalam menangani pembangunan yang
dilakukan di Bandung Utara sebagai kawasan hulu yang berakibat pada terjadinya
bencana banjir di kawasan hilir.

Aspek perencanaan yang dibuat sebagai landasan tidak diikuti dengan


pemanfaatan dan pengendalian yang baik di lapangan. Pemerintah Pusat, Provinsi
Jawa Barat, serta Kabupaten/Kota wajib untuk membuat suatu kebijakan yang
lebih ideal, dan lebih baik dari sebelumnya karena kegiatan penataan ruang yang
dilakukan harus memiliki nilai tambah dari sebelumnya. Penulis menekankan
pada diperketatnya pengendalian serta pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah dalam rangka pengendalian penataan ruang.
Lembaga-lembaga yang dibentuk dan bertugas untuk itu harus diberikan
kewenangan yang lebih luas dalam rangka pengawasan perizinan yang
dikeluarkan untuk membangun di Kawasan Bandung Utara. Di samping itu,
mekanisme sanksi yang diterapkan oleh pemerintah dalam rangka pengendalian
kawasan Bandung Utara perlu diperkuat kembali dengan cara diterapkannya
sanksi yang lebih berat daripada ketentuan sanksi yang terdapat dalam pasal 37
serta 38 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat mengenai Pengendalian dan
Pemanfaatan ruang Kawasan Bandung Utara.

Regulasi-regulasi yang ada belum berjalan maksimal dan efektif karena


selain faktor sinergi antar pemerintah yang belum terbentuk secara maksimal, ego
region dari masing-masing wilayah yang hanya mementingkan kepentingan

115
wilayahnya sendiri, dan belum ketatnya perizinan di kawasan Bandung Utara dan
juga di kawasan Bandung Selatan sendiri yang mana lahan tersebut bukan lahan
milik pemerintah provinsi dan Kabupaten/Kota sehingga penanganan bencana,
baik di hulu maupun di hilir belum berjalan maksimal. Sekali lagi, penulis
menekankan bahwa sinergi antar pemerintah sangat penting dalam rangka
penanganan bencana banjir ini dengan cara dibuatnya regulasi-regulasi bersama.

Berkaitan dengan Kawasan Bandung Selatan sebagai salah satu kawasan


yang menyebabkan bencana banjir sebagaimana yang telah disebutkan di atas,
penulis berpendapat bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung sudah seharusnya
dan sesegera mungkin membuat Peraturan Daerah yang khusus untuk mengatur
mengenai Kawasan Bandung Selatan yang berisikan tentang pengendalian dan
pemanfaatan ruang di kawasan tersebut seperti halnya kawasan Bandung Utara.
Dan tentunya, tidak hanya dibuat perencanaan nya semata, melainkan juga
pemanfaatan, pengendalian, serta pengawasan yang lebih ketat. Hal-hal inilah
yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Pusat, Provinsi Jawa Barat, dan
Kabupaten Bandung untuk sesegera mungkin menuntaskan permasalahan ini.
Karena apabila dilakukan pembiaran, dampak banjir Bandung selatan ini akan
semakin meluas serta menuntut tanggung jawab pemerintah sebagai subjek
hukum yang berfungsi untuk menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.

116
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari identifikasi masalah sebagaimana telah disebut dalam Bab I (satu)


penulisan hukum ini, maka telah dilakukan analisa pada Bab IV (empat) dengan
berlandaskan teori-teori dan aturan-aturan hukum yang telah dijabarkan dalam
Bab II (dua) dan Bab III (tiga) penulisan ini. Pada bab V (lima) ini, penulis akan
mencoba untuk menarik kesimpulan dari analisa yang telah penulis lakukan pada
bagian sebelumnya.

Tanggung jawab pemerintah dalam hal menyelesaikan permasalahan


bencana banjir ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah Kabupaten
Bandung sebagai tempat dimana bencana banjir terjadi, akan tetapi juga menjadi
tanggung jawab dari Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat,
serta Pemerintah Kabupaten/Kota di Bandung Raya karena Bandung raya
merupakan satu kesatuan wilayah. Maka dari itu, rusaknya kawasan hulu akan
berdampak pada kawasan hilir yang merupakan kawasan di bawahnya. Hal inilah
yang terjadi pada permasalahan bencana banjir di Bandung selatan ini dimana
kawasan Bandung Utara sebagai kawasan hulu mengalami kerusakan yang
signifikan. Dalam menyelesaikan permasalahan ini, Pemerintah Kabupaten/Kota
yang wilayahnya termasuk ke dalam wilayah Bandung Raya atau Cekungan
Bandung tadi wajib untuk bersinergi satu sama lain untuk bersama-sama membuat
regulasi mengenai penanganan banjir. Akan tetapi, pada kenyataannya sinergitas
yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota di Bandung Raya dalam upaya
penanganan bencana banjir belum berjalan baik.

Kebijakan-kebijakan yang telah dibuat dalam suatu regulasi yang


menyangkut RPJPD, RPJMD, serta RTRW di wilayah-wilayah Bandung Raya
terdiri dari aspek perencanaan, pemanfaatan, serta pengendalian. Akan tetapi,
yang terjadi di lapangan ialah perencanaan yang baik tidak diikuti dengan
pemanfaatan serta pengendalian dalam praktik pelaksanaanya. Aspek pengawasan

117
pun menjadi hambatan yang paling utama khususnya di kawasan Bandung Utara
karena pengawasan yang lemah dari masing-masing pemerintah Kabupaten/Kota
di Bandung Raya membuat pihak-pihak, baik yang memiliki izin ataupun tidak
seringkali mendirikan bangunan di kawasan tersebut tanpa sesuai peruntukkan
ruangnya. Aspek-aspek ini merupakan aspek yang sangat penting dan perlu
diperhatikan oleh pemerintah, baik Provinsi Jawa Barat maupun Kabupaten/Kota
di Wilayah Bandung Raya dalam upaya penanganan bencana banjir. Karena
tujuan diberikannya izin sendiri sudah tidak sesuai dengan keadaan yang terjadi
saat ini.

Maka dari itu, penulis mengambil kesimpulan bahwa pemerintah, dalam


hal ini pemerintah pusat, provinsi Jawa Barat, serta Pemerintah Kabupaten/Kota
belum dapat bertanggung jawab secara baik, akuntabel (tidak akuntabel) karena 6
(enam) ukuran akuntabilitas belum tercapai dan belum sesuai dengan prinsip asas-
asas umum pemerintahan yang baik, yakni asas keadilan, asas kepentingan umum,
dan asas kecermatan belum dapat dipenuhi oleh pemerintah sehingga masyarakat
dirugikan akibat kebijakan penataan ruang yang salah karena kewenangan yang
dimiliki oleh pemerintah Kabupaten/Kota di Bandung raya ini tidak dijalankan
dalam menyelenggarakan kegiatan penataan ruang sebagaimana yang disyaratkan
dalam pasal 11 ayat (1) huruf d undang-undang penataan ruang. Dan, bencana
banjir yang terjadi di Bandung Selatan terjadi akibat dari pemanfaatan ruang yang
keliru serta menyimpang, baik di kawasan hulu, dan hilir yang tidak sesuai sesuai
dengan standar-standar yang ditetapkan oleh pemerintah, baik provinsi Jawa Barat
dan Kabupaten/Kota yang dituangkan dalam RPJPD, RTRW, serta RPJMD.

5.2 Saran

Mengingat permasalahan bencana banjir Bandung Selatan pada tahun ini


merupakan yang terparah dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, penulis dalam
penulisan hukum ini ingin menyarankan pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah
Bandung Raya untuk sesegera mungkin melakukan sinergi dengan cara kerja
sama menentukan solusi dan kebijakan hukum bersama terkait penanganan

118
bencana banjir di Bandung Selatan dengan membentuk lembaga penanganan
bencana banjir yang diberikan kewenangan tersendiri agar permasalahan bencana
banjir ini dapat ditanggulangi. Penulis menyarankan untuk melihat konsep
kerjasama di daerah-daerah lain di Indonesia, contohnya kerjasama antar
pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur yang
juga disebut JABODETABEKJUR. Diharapkan pula pergerakan dan tanggung
jawab Pemerintah Pusat dalam penanganan sungai Citarum yang seringkali
meluap untuk segera menuntaskan permasalahan ini dengan cara melakukan
pembebasan lahan melalui Balai Besar Wilayah Sungai Citarum agar wilayah
sungai Citarum meluas sehingga tidak akan meluap ke pemukiman masyarakat.
Kewenangan yang terkotak-kotak dalam penanganan bencana banjir sehingga
penanganannya terkesan lamban perlu dikoordinasikan secara cepat dan tanggap
oleh Pemerintah.

Hal penting lain untuk menuntaskan permasalahan penanganan banjir ini


ialah melakukan perbaikan di kawasan Bandung Utara dengan cara meningkatkan
koordinasi antara pemberi izin, dalam hal ini pemerintah Kabupaten/Kota di
wilayah Bandung Raya dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam hal ini
Gubernur Provinsi Jawa Barat dalam kedudukannya sebagai pihak yang
memberikan rekomendasi, dan diperketat pemberian izin untuk melakukan
aktifitas terkait pemanfaatan ruang, pengendalian perizinan, serta pengawasan
yang lebih ketat dalam meninjau pembangunan yang telah sesuai peruntukkannya
atau tidak di kawasan tersebut karena walaupun secara ekonomi menguntungkan,
tetapi pembangunan yang ada merugikan masyarakat banyak yang terkena
dampaknya di Cekungan Bandung, khususnya masyarakat di Kawasan Bandung
Selatan. Aspek pendanaan yang mungkin menjadi penghalang penanganan
bencana banjir ini perlu sesegera mungkin diselesaikan karena kebijakan yang
dibuat terkait permasalahan ini akan sangat membantu masyarakat di kawasan
Bandung Selatan.

119
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amiruddin Dan Zainal Asikin., Pengantar Metode Penelitian Hukum,


Rajawali Press, Jakarta, 2014;

Black, Henry Campbell., Black’s Law Dictionary, West Publishing Co,


1979;

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan., Kamus Besar Bahasa


Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999;

Erawaty, Elly., Pedoman Penulisan Esai Akademik, Refika Aditama,


Bandung, 2014;

H.R. Ridwan., Hukum Admnistrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta,


2006;

Ibrahim, Johnny., Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,


Bayumedia Publishing, Malang, 2013;

Poerwadarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,


Jakarta, 2003;

Ridwan, Juniarso dan Achmad Sodik., Hukum Tata Ruang Dalam Konsep
Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung, 2011;

Rustiadi, Ernan, Sunsun Saefulhakim, dan Dyah R. Panuju., Perencanaan


Dan Pengembangan Wilayah, Crespent Press dan Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, Jakarta, 2011;

Sibuea, Hotma P., Asas Negara Hukum Dan Asas-Asas Umum


Pemerintahan Yang Baik, Erlangga, Bandung, 2010;

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji., Penelitian Hukum Normatif: Suatu


Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 2014;

120
Soemitro, Ronny Hanitjo., Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, Cetakan V;

Soeriatmadja, Arifin P., .Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan


Negara, Gramedia, Jakarta, 1986;

Wahid, Yunus. Pengantar Hukum Tata Ruang; Kencana Prenadamedia


Group, Jakarta, 2014.

B. Data Primer

Undang-Undang R.I., No. 26 Tahun 2007, Penataan Ruang, L.N.R.I


Tahun 2008 No. 68;

Undang Undang R.I., No. 37 Tahun 2008, Ombudsman Republik


Indonesia, L.N.R.I Tahun 2008 No. 139;

Undang-Undang R.I., No. 23 Tahun 2014, Pemerintah Daerah, L.N.R.I


Tahun 2014 No. 244 ;

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat, No. 1 Tahun 2008, Pengendalian


Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara, L.D. Jawa Barat
Tahun 2008;

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat, No 24 Tahun 2010, Rencana


Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-
2025, L.D. Jawa Barat Tahun 2010;

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat, No 22 Tahun 2010 Rencana Tata


Ruang Dan Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029, L.D.
Jawa Barat Tahun 2010;

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat, No 25 Tahun 2013, Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Jawa Barat Tahun
2005-2025, L.D. Jawa Barat Tahun 2013 ;

121
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 3 tahun 2008 , Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung Tahun 2007 Sampai
Tahun 2027, L.D. Kabupaten Bandung Tahun 2008;

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat Nomor 3 Tahun 2009,


Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten
Bandung Barat Tahun 2007-2027;

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung, No 7 Tahun 2011, Rencana


Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Bandung Tahun 2005-
2025, . L.D. Kabupaten Bandung Tahun 2011;

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat, No. 2 tahun 2012, Rencana


Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Bandung Barat tahun 2009-
2029, L.D. Kabupaten Bandung Tahun 2012;

Peraturan Daerah Kota Cimahi, No. 4 Tahun 2013, Rencana Tata Ruang
Kota Cimahi 2012-2032

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Barat No. 11 Tahun 2013, Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Bandung
Barat Tahun 2013-201, L.D. Kabupaten Bandung Barat Tahun
2013;

Peraturan Daerah Kota Bandung, No. 4 Tahun 2014, Rencana


Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Bandung tahun
2013-2018;

Peraturan Daerah Kota Bandung No. 10 Tahun 2015, Rencana Detail Tata
Ruang Dan Peraturan Zonasi Kota Bandung Tahun 2015 – 2035
L.D. Kota Bandung Tahun 2015;

Peraturan Daerah Kabupaten Bandung, No 7 Tahun 2016, Rencana


Pembangunan Jangka menengah Kabupaten Bandung Tahun
2016-2021, L.D. Kabupaten Bandung Tahun 2016;

122
C. Data Sekunder

Dadan Ramdan, Ekspansi Bisnis Properti dan Krisis Sosio-Ekologis di


Cekungan Bandung, dalam jurnal di situs daring
https://www.academia.edu/19187182/Derita_Sosial_Ekologis_Cek
ungan_Bandung. Diakses pada tanggal 31 Mei 2016 Pukul 16.38
WIB;

Julista, Mustamu. Diskresi Dan Tanggung Jawab Administrasi


Pemerintahan, 6 (April-Juni 2011) ( jurnal hukum Sasi Vol. 17 No.
2 yang dipublikasikan, tersedia di
file:///C:/Users/PC/Downloads/jsasi2011_17_2_1_mustamu.pdf.
Diakses pada tanggal 20 September 2016 Pukul 14.19 WIB);

D. Bahan Pustaka Yang Tidak Dipublikasi

Elly Erawaty, Diktat Mata Kuliah Bahasa Indonesia dan Kemahiran


Hukum; Unpar, Bandung, 2011 (Diktat kuliah yang tidak
diterbitkan, terdapat pada Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan);

Supriatna, Liona Nanang. Diktat Mata Kuliah Metode Penelitian dan


Penulisan Hukum; Unpar, Bandung, 2015. (Diktat kuliah yang
tidak diterbitkan, terdapat pada Fakultas Hukum Universitas
Katolik Parahyangan);

Yusuf, Asep Warlan. Bahan Mata Kuliah Hukum Tata Ruang; Unpar,
Bandung, 2016 (tidak dipublikasikan).

E. Situs Daring

Ajat Sudrajat, Kota-Kabupaten Bandung Rencanakan MoU Penanganan


Banjir, http://www.antarajabar.com/berita/57481/kota-kabupaten-
bandung-rencanakan-mou-penanganan-banjir. Diakses pada
tanggal 4 September 2016 Pukul 21.45 WIB;

123
Asep Warlan Yusuf, Kedudukan Hukum dalam Upaya Penanggulangan
Banjir di Wilayah Kabupaten Bandung dan Sekitarnya dalam
http://lbhpengayoman.unpar.ac.id/notulensi-siaran-radio-13-april-
2016-kedudukan-hukum-dalam-upaya-penanggulangan-banjir-di-
wilayah-kabupaten-bandung-dan-sekitarnya/. Diakses pada tanggal
30 Mei 2016 Pukul 15.06 WIB;

Badan Pusat Statistika Kota Bandung, http://ppid.bandung.go.id/profil-


kota-bandung/. Diakses pada tanggal 5 September 2016 Pukul
14.00 WIB;

Dony Iqbal, Banjir, Masalah Klasik Di Bandung Raya. Apa Solusinya?.


http://www.mongabay.co.id/tag/tata-ruang/. Diakses pada tanggal
30 Mei 2016 Pukul 14.48 WIB;

http://www.soreangonline.com/2016/03/14/banjir-di-baleendah-
dayeuhkolot-dan-bojongsoang-kab-bandung-terparah.html. Diakses
pada tanggal 30 Mei 2016 Pukul 15.40 WIB;

http://www.bandungbaratkab.go.id/content/geografis-kbb. Diakses pada


tanggal 8 September 2016 Pukul 17.16 WIB;

http://www.jabarprov.go.id/index.php/news/17589/2016/05/27/Alih-
Fungsi-Lahan-Penyebab-Banjir-Bandung-Selatan. Diakses pada
tanggal 30 Mei 2016 Pukul 16.24 WIB;

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160313_indonesi
a_banjir_jawabarat. Diakses pada tanggal 31 Mei 2016 Pukul 16.12
WIB.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/03/14/o40jjq354-ini-
penyebab-banjir-di-bandung-selatan-makin-parah. Diakses pada
tanggal 31 Mei 2016 Pukul 17.03 WIB.

124
http://diskimrum.jabarprov.go.id/kbu/. Diakses pada tanggal 15 Agustus
2016 Pukul 19.47

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/05/058725106/revisi-perda-
jawa-barat-perketat-pembangunan-bandung-utara. Diakses pada
tanggal 1 Agustus 2016 Pukul 13.27 WIB.

http://jabar.pojoksatu.id/bandung/2016/05/21/pemprov-jabar-kesulitan-
data-bangunan-kawasan-bandung-utara/. Diakses pada tanggal 1
Agustus 2016 Pukul 13.30 WIB.

http://jabarprov.go.id/index.php/artikel/detail_artikel/93/2014/03/11/Nasib
-Kawasan-Bandung-Utara. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2016
Pukul 16.49 WIB.

http://regional.kompas.com/read/2016/03/13/14044831/Banjir.di.Kabupate
n.Bandung.Terparah.dalam.10.Tahun.Terakhir. Diakses pada
tanggal 30 Mei 2016 Pukul 15.42 WIB;

http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-
raya/2015/11/17/350265/pembangunan-di-kawasan-bandung-utara-
meningkat-75-persen. Diakses pada tanggal 8 September 2016
Pukul 18.10 WIB.

http://www.lensanews.id/berita-marak-pembangunan-di-wilayah-utara-
lahan-kota-cimahipun-kian-tergerus.html. Diakses pada tanggal 8
September 2016 Pukul 12.21 WIB.

http://www.cimahikota.go.id/page/detail/4. Diakses pada tanggal 8


September 2016 Pukul 11.20 WIB.

http://ppid.bandung.go.id/profil-kota-bandung/. Diakses pada tanggal 5


September 2016 Pukul 14.00 WIB.

125
http://www.antarajabar.com/berita/57481/kota-kabupaten-bandung-
rencanakan-mou-penanganan-banjir. Diakses pada tanggal 4
September 2016 Pukul 21.45 WIB.

Kukuh Saokani, Warga Kabupaten Bandung: Ini Banjir Terparah Sejak


Saya Tinggal. http://regional.liputan6.com/read/2458227/warga-
kabupaten-bandung-ini-banjir-terparah-sejak-saya-tinggal. Diakses
pada tanggal 31 Mei 2016 Pukul 16.17 WIB.

Wilayah Geografis Kabupaten Bandung dalam


http://www.bandungkab.go.id/arsip/2359/aspek-geografi. Diakses
pada tanggal 31 Mei 2016 Pukul 16.46 WIB.

126

Anda mungkin juga menyukai