Anda di halaman 1dari 86

SKRIPSI

PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRATIF TERHADAP PENCEMARAN


LIMBAH CAIR PADA RUMAH POTONG HEWAN DI KELURAHAN
SILAIANG BAWAH KECAMATAN PADANG PANJANG BARAT KOTA
PADANG PANJANG

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas


Hukum Universitas Andalas

Oleh :

FEBBY AULIA LESTARI

NOMOR BP: 1510112166

PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM AGRARIA DAN SUMBER DAYA

ALAM (PK VIII)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019

No. Reg : 1/PK-VIII/I/2020


i
ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT,

yang telah memberikan rahmat, hidayat, nikmat kesehatan, kekuatan, pikiran yang

jernih dan keterbukaan hati sehingga penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul

“Penegakan Hukum Administratif Terhadap Pencemaran Limbah Cair Pada Rumah

Potong Hewan di Kelurahan Silaiang Bawah Kecamatan Padang Panjang Barat Kota

Padang Panjang”.

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Hukum (S,H) pada Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang. Selama proses

penyusunan skripsi dari awal hingga akhir tidak lepas dari peranan dan dukungan

berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga

kepada kedua orang tua tercinta yang selalu memberikan dukungan baik moril

maupun materil serta doa yang tiada henti-hentinya kepada penulis, ayahanda tercinta

Rizal dan ibunda tersayang Susilawati serta adinda Vanessa Putri Ananda yang telah

memberi dukungan untuk segera lulus kuliah.

Selanjutnya penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-

besarnya kepada Ibu Syofiarti, S.H.,M.Hum selaku Pembimbing I dan Bapak Romi,

S.H.,M.H selaku pembimbing II yang telah memberikan ide, kritik, saran dan waktu

kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada:

iii
1. Bapak Dr. Busyra Azheri, S.H.,M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum

Univeristas Andalas;

2. Bapak Ferdi, S.H.,M.H. sebagai Wakil Dekan I, Bapak Dr. Rembrandt,

S.H.,M.H. sebagai Wakil Dekan II dan Bapak Lerri Pattra, S.H.,M.H.

sebagai Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Andalas;

3. Ibu Gusminarti, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi

Negara dan Bapak Romi, S.H.,M.H selaku Sekretaris Bagian Hukum

Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas;

4. Ibu Hj. Sri Arnetti, S.H., M.H selaku Penguji I dan Bapak Dr. Anton

Rosari, S.H.,M.H selaku Penguji II yang telah memberikan kritik dan

masukan sewaktu seminar proposal;

5. Seluruh dosen Fakultas Hukum Univeritas Andalas umumnya dan dosen

bagian Hukum Aministrasi Negara khususnya, yang telah memberikan

ilmu dan pengajaran kepada penulis baik di dalam maupun diluar kelas;

6. Seluruh Staf Biro dan karyawan/karyawati Fakultas Hukum Universitas

Andalas atas bantuan yang telah diberikan selama penulis menjadi

mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Andalas;

7. Bapak Soni Irwanto, S.H. selaku Kepala Seksi Pembinanaan dan

Penegakkan Hukum Lingkungan di Dinas Perumahan, Kawasan

Permukiman, dan Lingkungan Hidup, Bapak Idris, S.H. selaku Kepala

Seksi Penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah di

iv
Kesatuan Polisi Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran serta Bapak RPH

selaku Pengelola UPTD Rumah Potong Hewan Kota Padang Panjang;

8. Diri Sendiri, terimakasih karena telah berjuang sejauh ini dengan

melawan rasa malas serta mood yang tidak menentu selama penulisan

skripsi ini;

9. Pembimbing diluar kampus yakni Adilla Azani, S.H yang tiada hentinya

memberikan arahan dan masukan terhadap skripsi penulis, sehingga

penulis bisa menyelesaikan skripsi ini;

10. Teman kecil penulis yakni Fadli Zuliand yang meskipun jauh diseberang

pulau selalu mendoakan yang terbaik serta tiada hentinya memberikan

dukungan dan semangat kepada penulis;

11. Teman Terbaik KONGSI yakni Dewi Marissa Tri Putri S.H, Dwi Eltesa

Putri, Raudatul Hakiki, S.H, Yolanda Fauziah, Anesa Septia, dan Wilni

Assari, S.H yang telah menemani hari-hari penulis baik suka maupun duka

selama masa perkuliahan dan tentunya yang selalu menjadi Support

System penulis untuk skripsi ini;

12. Tsubasa no nai Tenshi yakni Ananta Trifani thanks you for everything,

gomenasai karena selalu menjadi tempat pelampiasan badmood

permasalahan skripsi;

13. Shinyu yakni Atika Muslimah, S.E yang selalu menjadi tempat sambat dan

tiada henti memberikan semangat kepada penulis selama pembuatan

skripsi;

v
14. Teman-teman Sapagalak yakni Sukri Nikmat, Dewi Kurnia Illahi, Regi

Sukma Ariyani, Jihan Fitriani, A.Md, Mutia Harmadeli dan Nofriyantika,

S.E yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis

untuk lulus kuliah;

15. Teman seperjuangan yakni Amiratul Ulya, S.H dan Farah Faadilah Wara.

J, S.H yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini;

16. Seluruh teman-teman KKN-PPM Padang Limau Sundai 2018;

17. Seluruh teman-teman angkatan 2015 Fakultas Hukum Universitas

Andalas;

18. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang

telah memberikan, dukungan, semangat, serta doa kepada penulis dalam

penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, oleh karena itu

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan

skripsi ini. Akhir kata kepada-Nya jualah kita berserah diri, mudah-mudahan skripsi

ini bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 01 Desember 2019

Febby Aulia Lestari

vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................................. 9
E. Metode Penelitian ................................................................................... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
1. Definisi Wewenang dan Kewenangan ............................................. 17
2. Sumber Wewenang .......................................................................... 18
3. Wewenang Pemerintah Daerah Dalam Masalah Lingkungan Hidup 20
4. Pengertian Urusan Pemerintah dan Pembagian Urusan Pemerintah
......................................................................................................... 22
B. Pengelolaan Limbah Cair
1. Pengertian Limbah ....................................................................... 26
2. Limbah Cair ................................................................................. 27
3. Baku Mutu Air ............................................................................. 29
C. Penegakan Hukum Lingkungan Secara Administratif
1. Pengertian Penegakan Hukum ..................................................... 32
2. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Administrasi ................. 36

vii
BAB III PEMBAHASAN
A. Bentuk Penegakan Hukum Administratif terhadap Pencemaran
Limbah Cair Pada Rumah Potong Hewan di Kelurahan Silaiang
Bawah Kecamatan Padang Panjang Barat Kota Padang Panjang . ….. 46
B. Kendala0dalam Penegakan00Hukum Administratif terhadap
Pencemaran00Limbah Cair Pada Rumah Potong Hewan di
Kelurahan Silaiang Bawah Kecamatan Padang Panjang Barat Kota
Padang Panjang dan Cara Mengatasinya ............................................... 67

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 71
B. Saran ....................................................................................................... 72

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

viii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara yang sedang giat-giatnya meningkatkan

pembangunan di segala Sektor dengan tujuan untuk meningkatkan kemajuan

bangsa Indonesia sebagai bagian dari pembangunan nasional yang berlandaskan

Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Pengusaha di sektor industri memegang peranan yang cukup penting untuk

meningkatkan kemajuan bangsa. Sehubungan dengan itu, Pembukaan UUD 1945

telah menegaskan adanya kewajiban Negara dan tugas Pemerintahan untuk

melindungi segenap bangsa Indonesia dan umat manusia.

Merujuk pada ketentuan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD 1945), salah

satu bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah berkenaan dengan hak

setiap orang yang berada di Indonesia untuk memperoleh lingkungan hidup yang

baik dan sehat serta pelayanan kesehatan yang baik.1 Perlindungan HAM

perorangan yang dirumuskan dalam UUD 1945 itu mengutip pendapat Jimly

Asshiddiqie, jelas menunjukkan bahwa konstitusi kita sangat pro lingkungan

hidup, sehingga dapat disebut sebagai konstitusi hijau (Green Contitution).

1
Jimly Asshiddiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau UUD NRI Tahun 1945, Rajawali Pers, Jakarta,
2009, hlm. 90.

1
Perubahan (amandemen) keempat UUD 1945 pada tahun 2002, selain

penegasan mengenai konstitusional kebijakan ekonomi, juga meningkatkan status

lingkungan hidup dikaitkan dengan hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh

Undang-Undang Dasar.2 Ketentuan dalam UUD 1945 yang mengatur tentang

lingkungan hidup dirumuskan dalam 2 Pasal, yaitu 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat

(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28H

ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera

lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik

dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” dan Pasal 33 ayat (4)

UUD 1945 menyebutkan bahwa “perekonomian nasional diselenggarakan

berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi

berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Beranjak pada beberapa ketentuan di atas, maka pemerintah berkewajiban

untuk memastikan bahwa setiap pelaku usaha/kegiatan dalam menjalankan

kegiatan usahanya harus memperhatikan keselamatan dan kesehatan masyarakat

dan lingkungan sekitarnya sebagai bagian dari usaha melindungi kelestarian

lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(selanjutnya disebut dengan UUPPLH) menyatakan bahwa “Lingkungan hidup

adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup,

2
Ibid., hlm.79.

2
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri,

kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup

lain”.

Secara garis besar lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah

lingkungan hidup yang tidak tercemar dan tidak rusak akibat kegiatan manusia.

Pengertian pencemaran lingkungan hidup secara yuridis diatur di dalam Pasal 1

angka 14 UUPPLH yaitu “masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,

energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan

manusia sehingga melampaui baku mutu”. Sedangkan perusakan lingkungan

hidup dalam Pasal 1 angka 16 UUPPLH dinyatakan sebagai “tindakan orang yang

menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia,

dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup”.

Penetapan baku mutu lingkungan hidup dan kriteria baku kerusakan

lingkungan hidup akan menjadi ukuran telah terjadi atau tidaknya suatu

pencemaran lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan ini menjadi upaya

preventif untuk pengendalian lingkungan hidup. Di dalam Pasal 1 angka 13

UUPPLH dinyatakan bahwa “Baku mutu lingkungan hidup dalah ukuran batas

atau kadar mahkluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam

lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu

lingkungan hidup yang telah ditetapkan”. Sedangkan di dalam Pasal 1 angka 15

menyatakan bahwa “Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran

3
batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat

ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya”.

Bahwa idealnya setiap pelaku usaha/kegiatan wajib mencegah terjadinya

masalah lingkungan hidup dengan cara menaati ketentuan tentang Baku Mutu

Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup.

Persoalannya, dalam praktik ditemukan ada pelaku usaha/kegiatan yang tidak

menaati ketentuan yang telah ditetapkan sehingga menyebabkan pencemaran

lingkungan hidup. Aktivitas industri yang menyebabkan pencemaran lingkungan

hidup salah satunya yaitu kegiatan Rumah Potong Hewan (RPH).

Untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup demi mewujudkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang mana sebagai wujud Hak Asasi

Manusia yang dijamin oleh konstitusi, maka pemerintah Republik Indonesia

mengatur beberapa baku mutu yang diantaranya diatur dalam Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah.

Pengertian Baku Mutu Air Limbah di dalam Pasal 1 angka 31 UUPPLH

menyatakan bahwa “ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah

unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan

dibuang atau dilepas ke dalam media air dari suatu usaha dan/atau kegiatan”.

Berdasarkan Pasal 1 angka 27 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah

(selanjurnya disebut dengan Permen LH BMAL) menyatakan bahwa:

4
“Rumah Potong Hewan (yang selanjutnya disebut RPH) adalah suatu
bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan kontruksi khusus
yang memenuhi persyaratan teknis dan higienis tertentu serta digunakan
sebagai tempat pemotongan hewan yang meliputi pemotongan,
pembersihan lantai tempat pemotongan, pembersihan kandang
penampungan, pembersihan kandang isolasi, dan/atau pembersihan isi
perut dan air sisa perendaman”.
Kegiatan atau usaha RPH tersebut menimbulkan limbah yang bersifat cair.

Adapun pengertian dari air limbah di dalam Pasal 1 angka 29 Permen LH BMAL

dinyatakan bahwa “sisa dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair”.

Berdasarkan definsi itu, maka yang dimaksud dengan air limbah Rumah Potong

Hewan adalah sisa atau buangan yang terjadi karena adanya suatu usaha dari

kegiatan RPH yang berwujud cair.

Adapun baku mutu limbah atas usaha Rumah Potong Hewan tersebut telah

diatur dalam Lampiran XLV Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5

Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah sebagai berikut:

Tabel 1
Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha Dan/Atau Kegiatan Rumah Pemotongan Hewan
Parameter Satuan Kadar Paling Tinggi
BOD mg/L 100
COD mg/L 200
TSS mg/L 100
Minyak dan Lemak mg/L 15
NH3-N mg/L 25
pH - 6–9
Volume air limbah paling tinggi untuk sapi, kerbau dan kuda: 1.5 m3/ekor/hari
Volume air limbah paling tinggi untuk kambing dan domba: 0.15 m3/ekor/hari
Volume air limbah paling tinggi untuk babi: 0.65 m3/ekor/hari
Sumber: Lampiran PermenLH BMAL

Namun faktanya, masih ada kegiatan atau usaha dari RPH yang

menimbulkan limbah cair dengan kadar melebihi dari baku mutu limbah yang

telah ditentukan dalam Lampiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5

5
Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah. Kegiatan atau usaha yang dinilai

tidak menaati aturan tentang Baku Mutu Air Limbah diantaranya adalah Rumah

Potong Hewan yang berada di Silaiang Bawah, Kota Padang Panjang.

Usaha RPH di Kota Padang Panjang seharusnya menjadi perhatian

tersendiri bagi pemerintah di bidang Lingkungan Hidup. Karena secara tidak

langsung usaha RPH selain menghasikan daging yang baik dan segar juga

menghasilkan limbah cair dari sisa-sisa pemotongan hewannya. Limbah

peternakan yang dihasilkan oleh aktivitas RPH seperti feces, urin, sisa pakan, sisa

kotoran, serta air dari pembersihan ternak dan kandang berpotensi menimbulkan

pencemaran lingkungan.

Berdasarkan pra penelitian yang dilakukan di Dinas Perumahan, Kawasan

Permukiman dan Lingkungan Hidup Kota Padang Panjang (selanjutnya disebut

dengan Dinas Perkim-LH) pada hari Kamis tanggal 14 Maret 2019, didapatkan

laporan hasil uji terhadap Baku Mutu Limbah Cair di UPTD RPH Kota Padang

Panjang, dan diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 2
Laporan Hasil Uji Air Limbah Rumah Potong Hewan Silaiang Bawah Kota Padang
Panjang
Hasil Uji Sampel
Parameter Satuan
2016 2017 2018
BOD mg/L 400 257 304
COD mg/L 1164 789 668
TSS mg/L 195 320 204
Minyak dan Lemak mg/L 3.8 1.2 2.6
NH3-N mg/L 10.02 0.395 51.37
pH - 6.71 - -
Sumber: Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup Kota Padang Panjang.

6
Berdasarkan data yang dipaparkan diatas, diketahui bahwa beberapa

parameter dalam Baku Mutu Air Limbah yang di tetapkan dalam Permen LH

BMAL telah dilewati oleh limbah cair yang ada pada RPH Kota Padang Panjang.

Secara yuridis maka sudah terjadi pencemaran lingkungan disekitar kawasan

RPH.

Dengan berlebihnya baku mutu limbah tersebut dari aturan yang telah di

tentukan, tentunya telah terjadi pencemaran lingkungan hidup sehingga akan

menghalangi Negara untuk mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

sebagai Hak Asasi Manusia setiap warga Negara Republik Indonesia. Padahal,

berdasarkan Pasal 68 butir c UUPPLH dinyatakan bahwa “Kewajiban bagi pelaku

usaha untuk menaati ketentuan baku mutu lingkungan hidup”.

Persoalan ini menarik untuk diteliti apalagi pelanggaran terhadap Baku

Mutu Air Limbah yang dilakukan oleh RPH Silaiang Bawah ini tidak hanya

terjadi pada tahun 2018 saja tetapi juga pada tahun 2016 dan tahun 2017.

Berdasarkan uraian yang telah diutarakan sebelumnya, maka peneliti tertarik

untuk mengangkat persoalan ini dengan mengambil judul “PENEGAKAN

HUKUM ADMINISTRATIF TERHADAP PENCEMARAN LIMBAH

CAIR PADA RUMAH POTONG HEWAN DI KELURAHAN SILAIANG

BAWAH KECAMATAN PADANG PANJANG BARAT KOTA PADANG

PANJANG”.

7
B. Rumusan Masalah

Permasalahan merupakan kesenjangan antara apa yang seharusnya dengan apa

yang senyatanya, antara apa yang diperlukan dengan apa saja yang tersedia,

antara harapan dan capaian.3 Berdasarkan uraian yang dipaparkan pada bagian

latar belakang, maka yang menjadi persoalan dalam penelitian ini, antara lain

adalah:

1. Bagaimanakah bentuk penegakan hukum administratif terhadap pencemaran

limbah cair pada Rumah Potong Hewan di Kelurahan Silaiang Bawah

Kecamatan Padang Panjang Barat Kota Padang Panjang?

2. Apa yang menjadi kendala dalam penegakan hukum administratif terhadap

pencemaran limbah cair pada Rumah Potong Hewan di Kelurahan Silaiang

Bawah Kecamatan Padang Panjang Barat Kota Padang Panjang dan cara

mengatasinya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian secara umum adalah kalimat pernyataan konkret dan jelas

tentang apa yang diuji, dikonfirmasi, dibandingkan, dikolerasi, dalam penelitian.4

Adapun tujuan penelitian yang dilakukan setelah dikaitkan dengan rumusan

masalah yaitu:

3
Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 104.
4
Ibid., hlm.104.

8
1. Untuk mengetahui penegakan hukum administaratif terhadap pencemaran

limbah cair pada Rumah Potong Hewan di Kelurahan Silaiang Bawah

Kecamatan Padang Panjang Barat Kota Padang Panjang.

2. Untuk mengetahui yang menjadi kendala dalam penegakan hukum

administratif terhadap pencemaran limbah cair pada Rumah Potong Hewan di

Kelurahan Silaiang Bawah Kecamatan Padang Panjang Barat Kota Padang

Panjang.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang ingin dicapai penulis dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

a. Untuk melatih kemampuan penulis melakukan penulisan secara ilmiah

yang dituangkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi.

b. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan terutama berkenaan dengan

Hukum Administrasi Negara, khususnya pada Hukum Lingkungan yaitu

yang mana dalam hal ini menyangkut tentang pelanggaran izin limbah cair

pada rumah potong hewan.

c. Untuk menambah kepustakaan dan dapat digunakan sebagai referensi

dalam penelitian dan analisis yang sejenis.

9
2. Manfaat Praktis

Sebagai sebuah penelitan yang memanfaatkan studi lapangan dalam teknik

pengumpulan data, maka hasil penelitian ini secara praktis diharapkan

bermanfaat untuk:

a. Bahan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup terutama di lingkungan rumah potong

hewan.

b. Bahan bagi Pemerintah Daerah Kota Padang Panjang dan Dinas

Perumahan, Kawasan Pemukiman, dan Lingkungan Hidup Kota Padang

Panjang serta Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Padang Panjang dalam

upaya perlindungan dan pengelolaan guna mencegah dan menanggulangi

masalah lingkungan hidup terutama yang disebabkan oleh limbah cair

rumah potong hewan.

E. Metode Penelitian

Guna memperoleh data yang konkret, maka penelitian ini menggunakan

pendekatan sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-sosiologis atau sociolegal

approach atau pendekatan empiris yaitu penelitian yang dilakukan dengan

mengkaji bagaimana suatu aturan diimplementasikan di lapangan.

10
2. Spesifikasi atau Sifat Penelitian

Spesifikasi penelitian ini bersifat deskriptif. Dikatakan deskriptif karena hasil

penelitian ini diharapkan akan diperoleh gambaran atau lukisan faktual

mengenai keadaan objek yang diteliti.5

3. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data

1) Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari penelitian

lapangan. Data itu diperoleh melalui wawancara terhadap pihak-pihak

yang dianggap berkaitan langsung dengan persoalan penelitian.

2) Data Sekunder

Data sekunder didapatkan melalui penelitian terhadap berbagai

dokumen dan literatur yang berkaitan dengan topik penelitian.

(a) Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan hukum yang isinya bersifat mengikat, memiliki

kekuatan hukum serta dikeluarkan atau dirumuskan oleh pemerintah

dan pihak lainnya yang berwenang untuk itu. Secara sederhana, bahan

hukum primer merupakan semua ketentuan yang ada berkaitan dengan

pokok pembahasan, berbentuk undang-undang dan peraturan yang ada.

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta,
1986, hlm. 10.

11
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah

(3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan

Perlindungan Lingkungan Hidup

(4) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014

tentang Baku Mutu Air Limbah

(5) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi

Pamong Praja

(6) Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 14 Tahun 2012

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer atau keterangan-keterangan

mengenai peraturan perundang-undangan, berbentuk buku-buku yang

ditulis para sarjana, literatur-litratur, hasil penelitian yang telah

dipublikasikan, jurnal-jurnal hukum dan lain-lain.

(c) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang menunjang

pemahaman akan bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum

tersier dalam penelitian ini berupa kamus yang digunakan untuk

membantu penulis dalam menerjemahkan berbagai istilah yang

12
digunakan dalam penelitian ini, serta browsing internet yang

membantu penulis untuk mendapatkan bahan untuk penulisan yang

berhubungan dengan masalah penelitian.

b. Sumber Data

1) Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian ini dimaksudkan guna mendukung analisis tehadap data

kepustakaan/sekunder dengan cara mengungkap informasi-informasi

penting serta mencari tanggapan tentang pelanggaran izin limbah cair

di rumah potong hewan Kota Padang Panjang.

2) Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mencari dan mengkaji bahan-

bahan hukum yang terkait dengan obyek penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data maka tindakan teknis yang dilakukan adalah:

a. Wawancara

Wawancara (interview) dapat dipandang sebagai metode pengumpulan

data dengan jalan tanya-jawab terhadap kedua belah pihak, yang

dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan kepada tujuan penelitian.

Teknik ini biasanya digunakan untuk mengumpulkan data primer.

Wawancara pada penelitian ini dilakukan secara semi-terstruktur dengan

menggunakan pedoman wawancara (guidance) atau daftar pertanyaan baik

yang bersifat terbuka maupun tertutup, guna menggali sebanyak-

13
banyaknya informasi dari pihak yang dijadikan responden.6 Wawancara

dalam penelitian ini dilaksanakan di Kota Padang Panjang dengan

responden Bapak Soni Irwanto, S.H selaku Kepala Seksi Pembinanaan

dan Penegakan Hukum Lingkungan Kota Padang Panjang, Bapak Idris,

S.H Selaku Kepala Seksi Penegakan Peraturan Daerah di Satuan Polisi

Pamong Praja dan Pemadam Kebakaran Kota Padang Panjang serta Bapak

RPH Selaku Kepala UPTD Rumah Potong Hewan Kota Padang Panjang.

b. Studi Dokumen

Penelitian ini dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan hukum

kepustakaan yang ada, terutama yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti, serta mempelajari peraturan Perundang-undangan yang ada

kaitannya dengan materi atau objek penelitian. Bahan-bahan tersebut

diperoleh dari:

1) Perpustakaan Pusat Universitas Andalas.

2) Perpustakaan Hukum Universitas Andalas.

3) Buku-buku dan bahan kuliah yang dimiliki oleh penulis.

5. Populasi dan Sampel

a. Populasi, dalam sebuah penelitian, populasi adalah keseluruhan pribadi

atau subjek yang terkait dengan objek penelitian, dalam hal ini adalah

seluruh mereka yang terkait dengan penegakan hukum terhadap

6
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Yurisprudensi, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1994, hlm.11.

14
pencemaran limbah cair RPH di Kelurahan Silaiang Bawah Kecamatan

Padang Panjang Barat Kota Padang Panjang.

b. Sampel dan Teknik Sampling. Sampel merupakan himpunan atau

sebagian dari populasi. Dalam suatu penelitian, pengumpulan data

dilakukan terhadap sampel. Adapun teknik sampling yang dipergunakan

dalam penelitian ini adalah non-probability sampling dengan cara

purposive sampling, yaitu penarikan sampel dengan cara memilih atau

mengambil subjek berdasarkan atas alasan tertentu, meskipun demikian

sampel yang dipilih dianggap dapat mewakili populasi yang ada.

Alasan menggunakan teknik Purposive Sampling adalah karena tidak

semua sampel memiliki kriteria yang sesuai dengan fenomena yang

diteliti. Oleh karena itu, peneliti memilih teknik Purpusive Sampling yang

menetapkan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria tertentu

yang harus dipenuhi oleh sampel-sampel yang digunakan dalam

penelitian.

6. Pengolahan Data dan Analisis Data

a. Pengolahan Data

Pengolahan data secara sistematis melalui proses editing, yaitu

penulisakan merapikan kembali data yang telah diperoleh dengan memilih

data yang sesuai dengan keperluan dan tujuan penelitian sehingga

didapatkan suatu kesimpulan akhir secara umum yang nantinya akan dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan yang ada.

15
b. Analisis Data

Setelah data primer dan sekunder yang telah diperoleh, selanjutnya

dilakukan analisis data yang didapatkan dengan mengungkapkan

kenyataan-kenyataan dalam bentuk kalimat. Terhadap semua data yang

telah diperoleh dari hasil penelitian tersebut, penulis menggunakan

metode analisis secara kualitatif yaitu uraian terhadap data yang terkumpul

dengan tidak menggunakan angka-angka.

16
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan Tentang Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

a. Definisi wewenang dan kewenangan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kewenangan adalah

kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan

tanggungjawab kepada orang lain. Adapun pengertian wewenang menurut

S.F. Marbun7:

“Wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu


tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan
bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk
melakukan hubunganhubungan hukum. Wewenang itu dapat
mempengaruhi terhadap pergaulan hukum, setelah dinyatakan dengan
tegas wewenang tersebut sah, baru kemudian tindak pemerintahan
mendapat kekuasaan hukum (rechtskracht)”.

Mengenai pengertian wewenang, H.D. Stout mengatakan bahwa: 8

“Bevoegheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht,


wat kanworden omschreven als het geheel van regels dat betrekking
heft op deverkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke
bevoegdheden doorpubliekrechtelijke rechtssubjecten in het
bestuursrechtelijke rechtsverkeer (Wewenang merupakan pengertian
yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat
dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan

7
Totok Soeprijanto, Sumber-Sumber Kewenangan, Widyaiswara Pusdiklat PSDM, melalui:
http://www.bppk.depkeu.go.id/webpegawai/attachments/638_SumberKewenangan.pdf. Diakses pada
tanggal 25 Mei 2016 pukul 07.57 Wib
8
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.101.

17
perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek
hukum public di dalam hubungan hukum publik)”.

Sedangkan wewenang menurut Bagir Manan: 9

“Wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan


(macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau
tidak berbuat.
Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban
(rechten en plicten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak
mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri
(zelfregelen) dan mengelola sendiri (zelfbesturen), sedangkan
kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal
berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib
ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan”.
Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan, menyatakan bahwa “Wewenang adalah

hak yang dimiliki oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan atau

penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan

dalam penyelenggaraan pemerintahan”. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 6

diterangkan lebih lanjut bahwa “Kewenangan pemerintahan yang selanjutnya

disebut kewenangan adalah kekuasaan badan dan/atau pejabat pemerintahan

atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum

publik”.

b. Sumber kewenangan

Adapun sumber perolehan kewenangan yang diperoleh pemerintah

untuk melaksanakan hak dan kewajibannya terkait dengan melakukan

9
Ibid., hlm.102.

18
perbuatan nyata (riil), membentuk regulasi maupun membuat suatu keputusan

(beschiking) antara lain atribusi, delegasi, dan mandat. Di dalam Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,

dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan:

1. Atribusi

Atribusi adalah pemberian kewenangan kepada badan dan/atau pejabat

pemerintahan oleh UUD 1945 atau Undang-Undang. (Pasal 1 angka 22)

2. Delegasi

Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat

pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan

yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih

sepenuhnya kepada penerima delegasi. (Pasal 1 angka 23)

3. Mandat

Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat

pemerintahan yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan

yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada

pada pemberi mandat. (Pasal 1 angka 24)

Konsekuensi yuridis wewenang yang dimiliki seorang pejabat akan

berbeda apabila wewenang tersebut bersumber dari pelimpahan wewenang

maupun penugasan. Perbedaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

19
Tabel 3
Perbedaan Atribusi, Delegasi, dan Mandat
Pembeda Atribusi Delegasi Mandat
Baru/sebelumnya tidak Sudah Ada Sudah Ada
Eksistensi
ada
Sumber UUD/UU Turunan Atribusi Pemerintah Atasan
Diskresi Penuh Dari Sumbernya Penuh Dari Atribusi Terbatas Perintah
Kemandirian Mandiri Penuh Mandiri Penuh Petunjuk Atasan
Tanggungjawab Penerima Atribusi Penerima Delegasi Pemberi Mandat
Penarikan Pembatalan Pemberi Delegasi Penerima Delegasi
Sumber: Ridwan HR, 2007

c. Wewenang Pemerintahan Daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup

Adapun wewenang dari pemerintah kabupaten/kota dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dirumuskan dalam

Pasal 63 ayat (3) UUPPLH bahwa “dalam perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang:

a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;


b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH
kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL
UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas
rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerjasama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan
peraturan perundang-undangan;
j. melaksanakan standar pelayanan minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hokum
adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup pada tingkat kabupaten/kota;

20
l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi
lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan
p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat
kabupaten/kota”.
Kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota yang dirumuskan secara terinci sebagaimana dirumuskan

dalam Pasal 63 ayat (1) (2) (3) UUPPLH pada dasarnya tidak tepat.

Semestinya rumusan normatif dalam tingkatan undang-undang bersifat

abstrak, tetapi cukup mencakup kenyataan empiris yang ingn dijangkau. Lagi

pula penyebutan sejumlah kewenangan secara rinci tersebut ada yang tidak

perlu atau berlebihan dan tidak efisien, misalkan penyebutan kewenangan

penegakan hukum. Kalaupun kewenangan penegakan hukum itu tidak

disebutkan dalam UUPPLH, pemerintah sudah semestinya memiliki

kewenangan penegakan hukum karena kewenangan itu sudah inheren dengan

pemerintah sesuai dengan teori-teori dalam ilmu Negara atau ilmu politik,

bahwa kewenangan penegakan itu ada pada pemerintah sebagai salah satu

unsur terbentuknya Negara di samping adanya warga dan wilayah.10

Ketentuan tentang kewenangan dan kelembagaan di daerah dapat

diketahui dari rumusan Pasal 12 ayat (1) UULH 1997 yang menyatakan

bahwa “Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan

10
Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia.PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm.61.

21
kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah

berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat:

a. melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada

perangkat di wilayah;

b. mengikutsertakan peran pemerintah daerah untuk membantu pusat dalam

pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah.”

Ketentuan Pasal 12 ayat (1) a mengandung asas dekonsntrasi,

sedangkan Pasal 12 ayat (1) b mengandung asas pembantuan. Pasal 13 ayat

(1) UULH 1997 berbunyi sebagai berikut: “Dalam rangka pelaksanaan

pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah dapat menyerahkan sebagian

urusan kepada pemerintah daerah menjadi urusan rumah tangganya.”

Ketentuan ini mengandung asas desentralisasi urusan pengelolaan lingkungan

hidup.

d. Pengertian Urusan Pemerintahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan

Pengertian urusan pemerintahan di dalam Pasal 1 angka 5 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya

disebut UU Pemda) menyatakan bahwa “Kekuasaan pemerintahan yang

menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh

kementrian Negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk

melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat”.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU Pemda menyatakan bahwa “Urusan

22
Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan

konkuren, dan urusan pemerintahan umum”.

Di dalam Pasal 10 ayat (2) Urusan pemerintah yang menjadi urusan

pemerintahan absolut, meliputi:

a. Politik luar negeri;


b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal nasional;
f. Agama.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pemerintah

menyelenggarakan sendiri, atau dapat melimpahkan sebagai urusan

pemerintahan kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah

atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintah Desa.

Disamping itu, penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi

kewenangan pemerintah.

Seperti diatas, pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri sebagai

urusan pemerintahan, atau melimpahkan sebagian urusan pemerintahan

kepada gubernur selaku wakil pemerintah, atau dapat menugaskan sebagai

urusan kepala pemerintah daerah dan/atau pemerintah Desa berdasarkan asas


11
tugas pembantuan. Urusan pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah

daerah, terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib, artinya

penyelenggaraan pemerintahan yang berpedoman pada standar pelayanan

11
Ibid., hlm. 35.

23
minimal, dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah.

Adapun urusan-urusan pemerintah yang bersifat pilihan, baik pemerintah

daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota, meliputi urusan

pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan

kesejahteraan mayarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi

unggulan daerah yang bersangkutan.12

Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi

merupakan urusan dalam skala provinsi dan dalam skala kabupaten/kota,

meliputi:

1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;


2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
5. Penanganan bidang kesehatan;
6. Penyelenggaraan pendidikan;
7. Penyelenggaraan bidang ketenagakerjaan;
8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
9. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
10. Pengendalian lingkungan hidup;
11. Pelayanan pertanahan;
12. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. Pelayanan administrasi penanaman modal;
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainya;
16. Urusan wajib lainya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan13.
Dalam Bab III Pasal 11 ayat (1) UU Pemda menyatakan bahwa

“Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri

12
Ibid.,
13
Ibid., hlm. 35-36.

24
atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan”. Antara

pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah

kabupaten/kota, menyatakan tentang Urusan Pemerintahan Wajib

diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah

kabupaten/kota, urusan pemerintahan berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan

Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.

Di dalam Pasal 12 ayat (1) UU Pemda Urusan Pemerintahan Wajib

yang barkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi:

a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan pemukiman;
e. ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat; dan
f. sosial.

Sedangkan di dalam Pasal 12 ayat (2) UU Pemda Urusan

Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi:

a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
c. pangan;
d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olahraga;
n. statistik;
o. persandiaan;
p. kebudayaan;

25
q. perpustakaan; dan
r. kearsiapan.

2. Tinjauan tentang Pengelolaan Limbah Cair

a. Pengertian Limbah

Limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan atau proses

produksi, sedangkan limbah B-3 adalah setiap limbah yang mengandung

bahan berbahaya dan/atau beracun karena sifat dan/atau konsentrasinya

dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat

merusak dan/atau mencemarkan lingkungan hidup dan/atau dapat

membahayakan kesehatan manusia. Limbah adalah buangan yang dihasilkan

dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga).

Dimana masyarakat bermukim, disanalah berbagai jenis limbah akan

dihasilkan.

Sedangkan menurut Pasal 1 butir 20 Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 UUPPLH, Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.

Sedangkan bahan berbahaya dan beracun menurut pasal 1 butir 21 UUPPLH

ahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi,

dan/atau komponen lain yang kerena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya,

baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau

merusak lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan

makhluk hidup lain.

26
b. Limbah Cair

Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat

tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis.

Limbah yang mengandung bahan polutan yang memiliki sifat racun dan

berbahaya dikenal dengan limbah B-3, yang dinyatakan sebagai bahan dalam

jumlah relatif sedikit tetapi berpotensi untuk merusak lingkungan hidup dan

sumber daya. Pengertian limbah cair lainnya adalah sisa hasil buangan proses

produksi atau aktivitas domestik yang berupa cairan. Limbah cair dapat

berupa air beserta bahan-bahan buangan lain yang tercampur (tersuspensi)

maupun terlarut dalam air. Limbah cair bersumber dari pabrik yang biasanya

banyak menggunakan air dalam system prosesnya. Selain itu, ada juga bahan

baku mengandung air sehingga dalam proses pengolahannya air harus

dibuang. Air berikut dalam proses pengolahan kemudian dibuang misalnya

ketika dipergunakan untuk mencuci suatu bahan sebelum diproses lanjut. Air

ditambah bahan kimia tertentu kemudian diproses dan setelah itu dibuang.

Semua jenis perlakuan ini mengakibatkan buangan air.

Limbah cair dapat diklasifikasi dalam empat kelompok diantaranya yaitu:

1) Limbah cair domestik (domsestic wastewater), yaitu limbah cair hasil

buangan dari perumahan (rumah tangga), bangunan, perdagangan, dan

perkantoran. Contohnya yaitu: air sabun, air deterjen sisa cucian, dan air

tinja.

27
2) Limbah cair industri (industrial wastewater), yaitu limbah cair hasil

buangan industri. Contohnya yaitu: sisa pewarnaan kain/bahan dari

industri tekstil, air dari industri pengolahan makanan, sisa cucian daging,

buah, atau sayur.

3) Rambesan dan luapan (infiltration and inflow), yaitu limbah cair yang

berasal dari berbagai sumber yang memasuki saluran pembuangan limbah

cair melalui rembesan ke dalam tanah atau melalui luapan dati permukaan.

Air limbah dapat merembes ke dalam saluran pembuangan melalui pipa

yang pecah, rusak, atau bocor sedangkan luapan dapat melalui bagian

saluran yang membuka atau yang terhubung kepermukaan. Contohnya

yaitu: air buangan dari talang atap, pendingin ruangan (AC), bangunan

perdagangan dan industri, serta pertanian atau perkebunan.

4) Air hujan (strom water),yaitu limbah yang berasal dari aliran air hujan

diatas permukaan tanah. Aliran air hujan dipermukaan tanah dapat

melewati dan membawa pertikel-partikel buangan padat dan cair sehingga

dapat disebut limbah cair.

Terdapat beberapa kerancuan dalam mengidentifikasi limbah cair,

yaitu buangan air yang digunakan untuk mendinginkan mesin suatu pabrik.

Limbah cair bersumber dari pabrik yang biasanya banyak mengandung air

dalam proses produksinya. Disamping itu ada pula bahan baku yang

mengandung air sehingga dalam proses pengolahannya air tersebut harus

dibuang. Air ikutan dalam proses pengolahan kemudian dibuang, misalnya

28
ketika digunakan untuk mencuci suatu bahan sebelum diproses lanjut. Pada

air ditambahkan bahan kimia tersebut dan setelah air itu dibuang. Semua jenis

perlakuan ini mengakibatkan adanya air buangan.

c. Baku Mutu Air

Pengertian baku mutu lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka 13

UUPPLH menyatakan bahwa “ukuran batas atau kadar makhluk hidup zat,

energy, atau komponen yang ada harus ada dan/atau unsur pencemar yang

ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur

lingkungan hidup”. Baku mutu lingkungan tersebut merupakan tolak ukur

telah terjadinya pencemaran atau tidak, hal tersebut diukur menurut besar

kecilnya penyimpangan dari batas-batas yang ditetapkan sesuai dengan

kemampuan atau daya tenggang ekosistem lingkungan.

Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5

Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah menyatakan bahwa:

“Terhadap baku mutu air limbah yang ditetapkan oleh Gubernur,


Bupati/ Walikota wajib menggunakannya dalam menerbitkan izin
pembuangan air limbah ke sumber air, kecuali diperoleh baku mutu lain yang
lebih ketat dari hasil kajian dokumen lingkungan atau kajian pembuangan air
limbah ke sumber air”. Sedangkan untuk ditinjauannya diatur dalam Pasal 7
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku
Mutu Air Limbah yang menyatakan bahwa “Baku mutu air limbah tersebut
ditinjau paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun”. Dan dipertegas
dalam Pasal 16 huruf a dan b Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5
Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah menyatakan bahwa “Setiap
perusahaan yang menghasilkan limbah dalam Permen LH BMAL, diwajibkan
melakukan pemantauan kualitas air limbah paling sedikit 1 (satu) kali dalam
sebulan kepada penerbit izin pembuangan air limbah, dengan tembusan
kepada Menteri dan Gubernur sesuai dengan kewenangannya”.

29
Untuk menentukan tolak ukur apakah limbah dari suatu industri/pabrik

telah menyebabkan pencemaran atau tidak, maka digunakan dua sistem baku

mutu limbah, yakni:

1. Menetapkan suatu effluent standard, yaitu kadar maksimum limbah yang

diperkenankan untuk dibuang ke media lingkungan seperti air, tanah, dan

udara. Kadar maksimum bahan polutan yang terkandung dalam limbah

tersebut ditentukan pada waktu limbah tersebut ditentukan pada waktu

limbah meninggalkan pabrik/industri.

2. Menetapkan ketentuan tentang Stream Standard, yaitu penetapan batas

kadar bahan-bahan polutan pada sumber daya tertentu seperti sungai,

danau, waduk, perairan pantai, dan lain-lain.

Penetapan baku mutu limbah harus dikaitkan dengan kualitas ambien dan

baku mutu ambien. Untuk jelasnya dapat dijelaskan dengan beberapa contoh

sebagi berikut: 14

a. Suatu daerah yang keadaan lingkungan ambiennya masih sangat baik

berarti pula bahwa batas baku mutu ambien masih jauh dari keadaan

kualitas ambien.

b. Pelepasan bahan pencemar dari suatu proyek akan menurunkan keadaan

kualitas ambien. Tetapi karena batas baku mutu ambien masih jauh maka

penurunan kualitas ambien belum melampaui baku mutu ambien yang

14
Harun M.Husein, Berbagai Aspek Hukum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Bumi Askara,
Jakarta, 1992, hlm.189-190.

30
telah ditetapkan. Dalam keadaan seperti ini baku mutu limbah yang

digunakan dapat dari golongan kualitas limbah yang longgar.

c. Suatu daerah lain mempunyai keadaan kualitas ambien yang sudah tidak

baik atau mendekati baku mutu ambien yang telah ditetapkan. Keadaan ini

menunjukan pula bahwa pencemaran dari proyek-proyek yang ada sudah

sangat berat. Akibat dari keadaan seperti tersebut, apabila ada pelepasan

bahan pencemar sedikit saja, maka terjadi penurunan keadaan kualitas

ambien yang sudah melampaui batas baku mutu ambien. Maka baku mutu

limbah yang ditetapkan adalah golongan kualitas yang keras.

Penetapan baku mutu lingkungan adalah salah satu upaya untuk

mendorong kalangan yang potensial menimbulkan pencemaran seperti

industri/pabrik guna menekan kadar bahan polutan yang tekandung dalam

limbah seminimum mungkin, agar pembuangan limbah dari kegiatan-kegiatan

pabrik/industri tidak merusak atau mencemari lingkungan. Selain penetapan

Baku Mutu Lingkungan dalam usaha pencegahan dan pengendalian

pencemaran dikenal pula apa yang disebut “pungutan pencemaran”. Dasar

pemikiran diadakannya pungutan pencemaran terebut asas “Polutter Pays

Principle”. Sehubungan dengan hal ini terdapat tiga bentuk pungutan

pencemaran sebagai berikut:15

15
Muhamad Erwin, Op.Cit., hlm.70.

31
a. Dengan cara mengenakan biaya langsung kepada pihak pencemar. Biaya

yang harus dibayar ditentukan berdasarkan tingkat pencemaran yang

ditimbulkannya

b. Dengan cara menetapkan jumlah denda. Pabrik-pabrik yang membuang

limbah melebihi standar buangan (Effluent Standard) yang ditetapkan,

akan dikenakan denda

c. Dengan cara menentukan peraturan yang mengharuskan pencemar

membayar ganti rugi langsung pada pihak korban. Penyelesaian ganti rugi

demikian didasarkan pada apa yang disebut “Strict Liability”. Pencemar

dibebani tanggung jawab untuk membayar ganti rugi seketika, tanpa

mempermasalahkan apakah pencemar bersalah atau tidak.

Dalam menghadapi masalah pengendalian pencemaran terdapat dua

aliran utama yaitu:

a. Mereka yang menginginkan pengendalian langsung (direct control)

dengan satu-satunya strategi adalah diberlakukannya peraturan perundang-

undangan terhadap para pencemar, terutama peraturan mengenai standar

(Emission Standards)

b. Mereka yang lebih menyukai pendekatan ekonomi.

3. Tinjauan tentang Penegakan Hukum

a. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum atau law enforcement adalah upaya untuk

menegakkan norma/kaidah dan nilai hukum yang terdapat di belakang norma

32
tersebut16. Nilai hukum adalah tercapainya kondisi pelestarian kemampuan

lingkungan hidup17. Untuk tercapainya kondisi pelestarian kemampuan

lingkungan hidup yang baik dan sehat diperlukan kemampuan aparatur

penegak hukum dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang

berlaku, adapun hukum tersebut yaitu hukum administratif, pidana dan

perdata. Menurut Siti Sundari Rangkuti, penegakan hukum lingkungan

merupakan upaya untuk mencapai ketaatan terhadap peraturan dan

persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan

individual, melalui pengawasan dan penerapan (atau ancaman) sarana

administratif, kepidanaan dan keperdataan.18

Pada lazimnya aparatur penegakan hukum lingkungan dikategorikan

sebagai: Polisi, Jaksa, Hakim, Penasehat hukum, Pejabat/instansi yang


19
berwenang memberi izin (Instansi Kementerian Lingkungan Hidup dan

Instansi Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota yang

bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup). Maupun pihak yang terkait

dengan pengelolaan lingkungan hidup seperti Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM), Masyarakat, Pengusaha, dan Pers.

16
Panduan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, Edisi Kesatu, diterbitkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2003, hlm. 3.
17
Ibid,.
18
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi Ketiga,
Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hlm. 214.
19
Ibid., hlm.125.

33
Siti Sundari Rangkuti, menyebutkan bahwa penegakan hukum

lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat

dan efektivitasnya, adapun penegakan hukum lingkungan secara preventif dan

represif, ialah:20 “Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa

pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa

kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkrit yang menimbulkan

sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Instrument penegakan

hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan

kewenangan yang sifatnya pengawasan (pengambilan sampel, penghentian

mesin-mesin dan sebagainya). Dengan demikian, penegak hukum yang utama

adalah pejabat/ aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan

mencegah terjadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum yang bersifat

represif dilakukan dalam hal perbuatan yang melanggar peraturan dan

bertujuan untuk mengakhiri secara langsung perbuatan terlarang.

Dalam penentuan penggunaan sarana penegakan Hukum Administrasi,

Perdata, dan Pidana, setidaknya ada beberapa syarat penindakan dan

penggunaan sarana penegakan hukum yang harus diperhatikan, yaitu:21

1) Tiga syarat penindakan menurut Hukum Tata Usaha Negara (sanksi

administrasi),

20
Ibid., hlm 125-126.
21
Sudarsono, Negeriku Menuai Bencana Ekologi Mengabaikan Norma Agama, Adat, dan Hukum
Reposisi dan Revitalisasi Penegakan Hukum Lingkungan, Cetakan Kedua, Pusat Pengelolaan
Lingkungan Hidup Regional Jawa, Yogyakarta, 2007, hlm. 272.

34
(a) Adanya pasal-pasal peraturan hukum tata usaha negara yang

dilanggar;

(b) Suatu kegiatan-kegiatan tersebut secara jelas melanggar satu atau

beberapa pasal peraturan perundang-undangan yang menyebutkan

sanksinya secara jelas; dan

(c) Penjatuhan sanksi dilakukan oleh Pejabat yang diberi wewenang untuk

menjatuhkan sanksi tersebut berdasarkan ketentuan perundang-

undangan atau berdasarkan ketentuan/persyaratan yang tercantum

dalam surat izin yang diterbitkan oleh Pejabat yang menjatuhkan

sanksi tersebut.

2) Tiga syarat bagi penggunaan sarana penegakan hukum perdata

(melalui pengadilan atau melalui musyawarah diluar pengadilan):

(a) Perbuatan yang terjadi harus merupakan perbuatan melanggar hukum

(Tata Usaha Negara, Perdata, Pidana, Hukum Adat, Konvensi atau

Perjanjian Internasional);

(b) Bahwa perbuatan melanggar hukum tersebut menimbulkan kerugian

yang dapat dikemukakan secara jelas;dan

(c) Adanya kewenangan pihak penggugat untuk melakukan gugatan (ius

stand/standing rights)

3) Empat syarat bagi penggunaan sarana penegakan hukum pidana:

(a) Perbuatan pelanggaran tersebut harus merupakan perbuatan pidana

(ada pasal pemidanaan);

35
(b) Terdapat alasan hukum dan cukup bukti permulaan tentang terjadinya

suatu tindak pidana;

(c) Adanya tersangka pelaku tindak pidana; dan

(d) Penegakan hukum pidana (penyidikan, pengeledahan, penangkapan,

pelimpahan perkara ke pengadilan, memeriksa perkara di pengadilan,

dll) dilakukan dalam batas-batas kewenangan yang diberikan

kepadanya oleh Undang-Undang dan dengan cara-cara yang tidak

bertentangan dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.

b. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Administrasi

Penegakan hukum adminitrasi adalah penegakan hukum yang dapat

dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terhadap

seseorang atau kegiatan usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan

adminitrasi. Beberapa contoh dari pelanggaran hukum lingkungan

administrasi adalah menjalankan tempat usaha tanpa memiliki izin-izin yang

diperlukan, kegiatan usaha misalkan industri, hotel, dan rumah sakit,

membauang air limbah tanpa izin pembuangan air limbah, tetapi jumlah atau

kosentrasi buangan air limbahnya melebihi baku mutu air limbah yang di

tuangkan dalam izin pembuangan air limbahnya, serta menjalankan kegiatan

yang wajib amdal tetapi tidak atau belum menyelesaikan dokumen

amdalnya.22

22
Takdir Rahmadi, Op.Cit., hlm. 218.

36
UUPPLH memuat sanksi teguran tertulis, sedangkan UULH 1997

tidak mengenal sanksi teguran tertulis, sedangkan UULH 1997 tidak

mengenal teguran tertulis. Namun, dalam praktik penegakan hukum

lingkungan administrasi pada masa berlakunya UULH 1997, pejabat penegak

hukum lingkungan adminitstrasi seringkali menggunakan teguran tertulis

tentang telah terjadinya pelanggaran ketentuan hukum lingkungan

administrasi, misalkan pelanggaran atas baku mutu limbah atau baku mutu

emisi. Oleh sebab itu, perancang UUPPLH memformalkan teguran tertulis

sebagai salah satu sanksi hukum administrasi. 23

1) Paksaan Pemerintah

Dalam kepustakaan hukum administrasi Negara, ada dua istilah

mengenai paksaan pemerintah ini, yaitu bestuursdwang dan politiedwang.

Menurut Philipus M. Hadjon, digunakan istilah bestuursdwang adalah untuk

mengakhiri kesalahpahaman yang dapat ditimbulkan oleh kata “politie” dalam

penyebutan politiedwang (paksaan polisi). Polisi sama sekali tidak terlibat


24
dalam pelaksanaan politiedwang. meskipun demikian, dalam berbagai

kepustakaan dan yurisprudensi masih ditemukan istilah politiedwang. A.M

Donner menggunakan istilah politiedwang, begitu juga C.J.N Versteden.

23
Ibid., hlm. 219-220.
24
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Hukum, Surabaya, 1987,
hlm. 251.

37
Hanya saja ia mengatakan bahwa sebenarnya penggunaan istilah

“bestuursdwang” itu lebih baik. 25

Kewenangan paksaan pemerintah dapat di uraikan dengan sebagai

kewenangan organ pemerintah untuk melakukan tindakan nyata mengakhiri

situasi yang bertentangan dengan norma Hukum Adminitrasi Negara, karena

kewajiban yang muncul dari norma itu tidak dijalankan atau sebagai reaksi

dari pemerintah atas pelanggaran norma hukum yang dilakukan oleh warga
26
negara. Paksaan pemerintah dilihat sebagai bentuk eksekusi nyata, dalam

arti langsung dilaksanakan tanpa perantara hakim, dan biaya yang berkenaan

dengan pelaksanaan paksaan pemerintah ini secara langsung dapat dibebankan

kepada pihak pelanggar.27 Apakah menerapkan paksaan pemerintah ini

kewenangan atau kewajiban? Di kalangan Penulis HAN tidak terdapat

kesamaan pendapat. M.M. van Praag menganggap bahwa paksaan pemerintah

adalah kewajiban, sedangkan menurut H.D van Wijk menganggap sebagai

kewenangan, bukan kewajiban.28

Dalam istilah hukum, ada perbedaan antara kewajiban dengan

kewenangan. Kewenangan mengandung makna hak dan kewajiban dalam dan

25
C.J.N Versteden, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samson H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den
Rijn, 1984, hlm. 207.
26
H.D Van Wijk and Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij Lemma
BV, Utrecht, 1995, hlm 500.
27
P. De Haan, et.al., Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat, deel 1, Kluwer, Deventer, 1986, hlm 97-
98.
28
Algemene Bepalingen van Adiministratief Recht. Rappor van De Commissie Inzake Algamene
Bepalingen van Administratief Recht, Samson H.D. Tjeenk Willink B.V., Alphen aan den Rijn, 1984,
hlm. 338.

38
untuk melakukan tindakan hukum tertentu, sedangkan kewajiban hanya

menunjukan keharusan untuk mengambil tindakan hukum tertentu.

Berdasarkan berbagai yurisprudensi di negeri Belanda atau peraturan

perundang-undangan di Indonesia, tampak bahwa pelaksanaan paksaan

pemerintah adalah wewenang yang diberikan undang-undang kepada

pemerintah, bukan kewajiban.29

Kewenangan pemerintah untuk menggunakan bestuursdwang

merupakan kewengan yang bersifat bebas, dalam arti pemerintah diberi

kebebasan untuk mempertimbangkan menurut inisiatifnya sendiri

menggunakan bestuursdwang atau tindakan menerapkan sanksi lainnya.

Kebebasan pemerintah untuk menggunakan wewenang pemerintah ini dibatasi

oleh asas-asas umum pemerintah yang baik,30 seperti asas kecermatan, asas

keseimbangan, asas kepastian hukum, dan sebagainya. Di samping itu, ketika

pemerintah menghadapi suatu kasus pelanggaran kaidah Hukum Administrasi

Negara, misalnya pelanggaran ketentuan perizinan, pemerintah harus

menggunakan asas kecermatan, asas kepastian hukum, atau asas

kebijaksanaan dengan mengkaji secara cermat apakah pelanggaran izin

tersebut bersifat substansial atau tidak. Sebagai contoh dapat diperhatikan dari

fakta pelanggaran berikut ini:

29
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara edisi revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.
307.
30
ABAR, Op.Cit., hlm. 341.

39
(a) Pelanggaran yang tidak bersifat substansial

Seseorang mendirikan rumah tempat tinggal di daerah permukiman,

akan tetapi orang tersebut tidak memiliki izin mendirikan bangunan

(IMB). Dalam hal ini, pemerintah tidak sepatutnya langsung

menggunakan paksaan pemerintah, dengan membongkar rumah tersebut.

Terhadap pelanggaran yang tidak bersifat substansial ini masih dapat

dilakukan legalitas. Pemerintah harus memerintahkan kepada orang yang

bersangkutan untuk mengurus IMB. Jika orang tersebut, setelah

diperintahkan dengan baik tidak juga mengurus izin, maka pemerintah

dapat menerapkan bestuursdwang, yaitu pembongkaran.

(b) Pelanggaran yang bersifat substansial

Seseorang membangun rumah di kawasan industri atau seorang

pengusaha membangun industri di daerah permukiman penduduk, yang

berarti mendirikan bangunan tidak sesuai dengan tata ruang atau rencana

peruntukan yang telah ditetapkan pemerintah. Hal ini termasuk

pelanggaran yang bersifat substansial, dan pemerintah dapat langsung

menerapkan bestuursdwang.31

Baik pelanggaran yang bersifat substansial maupun pelanggaran yang

tidak bersifat substansial, penerapan sanksi apalagi berupa paksaan

pemerintah memerhatikan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum

31
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negar edisi revisi, Op.Cit., hlm. 308.

40
tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, yaitu asas-asas umum

pemerintah yang baik.

Berdasarkan dalam Pasal 80 ayat (1) UUPPLH berkaitan dengan jenis

sanksi hukum administrasi, yaitu sanksi paksaan pemerintah dalam UUPPLH

terdapat jenis-jenis sanksi paksaan pemerintah yaitu, sebagai berikut:

(1) Penghentian sementara kegiatan produksi;

(2) Pemindahan sarana produksi;

(3) Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;

(4) Pembongkaran;

(5) Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan

pelanggaran;

(6) Penghentian sementara seluruh kegiatan; dan

(7) Tindakan lain yang bertujuan untukk menghentikan pelanggaran dan

tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

2) Penarikan Kembali Keputusan yang Menguntungkan

Keputusan yang menguntungkan artinya keputusan itu memberikan

hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu melalui

keputusan atau bilamana keputusan itu memberikan keringanan beban yang

ada atau mungkin ada. Lawan dari keputusan yang menguntungkan adalah

keputusan yang memberi beban, yaitu keputusan yang meletakkan kewajiban

41
yang sebelumnya tidak ada atau penolakan terhadap permohonan untuk

memperoleh keringanan. 32

Penarikan keputusan sebagai sanksi ini berkaitan erat dengan sifat dari

keputusan itu sendiri. Terhadap keputusan yang bersifat terikat, harus ditarik

oleh organ pemerintah yang mengelurkan keputusan tersebut, dan hanya

mungkin dilakukan sepanjang peraturan perundang-undangan yang menjadi

dasar keputusan itu menentukan. Mengenai keputusan yang bersifat bebas,

penarikannya sebagai sanksi kadang-kadang ditentukan dalam perturan

perundang-undangan dan kadang-kadang juga tidak.33

Penarikan kembali keputusan ini menimbulkan persoalan yuridis, hal ini

karena di dalam HAN terdapat asas het vermoeden van rechtmatigheid atau

presumtio justea causa, yaitu bahwa pada asanya setiap keputusan yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dianggap benar

menurut hukum, oleh karena itu KTUN yang sudah dikeluarkan itu pada

dasarnya tidak untuk dicabut kembali sampai dibuktikan sebaliknya oleh

Hakim di pengadilan.

Meskipun pada dasarnya KTUN yang telah dikeluarkan tersebut tidak

untuk dicabut kembali sejalan dengan asas praduga rechtmatig dan asas

kepastian hukum, akan tetapi tidaklah berarti menghilangkan kemungkinan

untuk mencabut KTUN tersebut. Kaidah HAN memberikan kemungkinan

32
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negar edisi revisi, Op.Cit., hlm. 310.
33
H.D van Wijk/Willem Konijnenbelt, Op.Cit., hlm 521.

42
untuk mencabut KTUN yang menguntungkan sebagai akibat dari kesalahan si

penerima KTUN, sehingga pencabutan KTUN sebagai sanksi adalah sebagai

berikut:

(a) Yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat-

syarat atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikaitkan pada

izin, subsidi, atau pembayaran.

(b) Yang berkepentingan pada waktu mengajukan pemohonan untuk

mendapatkan izin, subsidi, atau pembayaran telah memberikan data yang

sedemikian tidak benar atau tidak lengkap, sehingga apabila data itu

diberikan secara benar atau lengkap maka keputusan akan berlainan

(misalnya, penolakan izin, dan sebagainya).34

Selain itu, Ateng Syarifudin menyebutkan ada empat kemungkinan

suatu keputusan itu ditarik kembali yaitu sebagai berikut.

(1) Asas kepastian hukum tidak menghalangi penarikan kembali atau

perubahan suatu keputusan, bila sesudah sekian waktu dipaksa oleh

perubahan keadaan atau pendapat.

(2) Penarikan kembali atau perubahan juga mungkin bila keputusan yang

menguntungkan didasarkan pada kekeliruan, asal saja kekeliruan itu dapat

diketahui oleh yang bersangkutan.

34
Philipus M. Hadjon, et.al Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1993, hlm 258-259.

43
(3) Penarikan kembali atau perubahan dimungkinkan, bila yang

berkepentingan dengan memberikan keterangan yang tidak benar atau

tidak lengkap, telah ikut menyebabkan terjadinya kekeliruan.

(4) Penarikan kembali atau perubahan dimungkinkan, bila syarat-syarat atau

ketentuan-ketentuan yang dikaitkan pada suatu keputusan yang

menguntungkan tidak ditaati.35

3) Pengenaan Uang Paksa Oleh Pemerintah

Pengenaan uang paksa merupakan alternative untuk tindakan nyata,

yang berarti sebagai sanksi ‘subsidiaire’ dan dianggap sebagai sanksi

teparatoir.36 Persoalan hukum yang dihadapi dalam pengenaan dwangsom

sama dengan pelaksanaan paksaan nyata. Dalam kaitannya dengan KTUN

yang menguntungkan seperti izin, biasanya pemohon izin disyaratkan untuk

memberikan uang jaminan. Jika terjadinya pelanggaran atau pelanggar

(pemegang izin) tidak segera mengakhirinya, maka uang jaminan itu di

potong sebagai dwangsom. Uang jaminan ini lebih banyak digunakan ketika

pelaksanaan bestuursdwang sulit dilakukan.

4) Pengenaan Denda Administratif

Denda administratif adalah denda yang dijatukan oleh badan/ pejabat

pemerintah yang berwenang tanpa intervansi dari penuntut umum atau

35
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara edisi revisi, Op.Cit., hlm 313.
36
Ibid., hlm 316.

44
hakim.37 Pengertian lainnya, denda administrasi adalah kewajiban tanpa syarat

untuk membayar sejumlah uang. Denda administrasi adalah sanksi

administrasi yang sifatnya menghukum, yaitu dimaksudkan untuk

menghukum pelanggar.38

37
A’an Efendi, Freddy Poernomo, Hukum Administrasi, Penerbit Sinar Grafika, hlm. 308.
38
Ibid., hlm. 308.

45
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Kota Padang Panjang merupakan salah satu kota yang memiliki misi yaitu

Meningkatkan Kualitas Lingkungan Hidup dan Infrastruktur Kota. Tentunya sangat

memperdulikan bagaimana suatu lingkungan hidup dikelola sehingga tercapainya

misi tersebut. Seperti yang dilihat sekarang Kota Padang Panjang termasuk kota yang

telah banyak mendirikan kegiatan usaha, dimana mengingat usaha yang semakin

bertambah juga harus memperhatikan dari segi lingkungan akibat dari usaha tersebut,

yaitu dengan mengurus izin lingkungan serta memperhatikan bagaimana pengelolaan

limbahnya sehingga tidak terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Namun faktanya

masih ada usaha yang tidak memiliki izin lingkungan serta pelanggaran limbah cair

sebagaimana telah ditetapkan di dalam Undang-Undang. Salah satu usaha yang telah

melanggar ketentuan tersebut yaitu usaha Rumah Potong Hewan.

Usaha RPH yang berada di Kelurahan Silaiang Bawah Kecamatan Padang

Panjang Barat Kota Padang Panjang sudah berdiri sejak tahun 1996, namun sejak

tahun 1996 usaha dari RPH ini tidak memiliki izin lingkungan, dan juga 3 (tiga)

tahun terakhir ini yaitu tahun 2017, 2018, 2019 usaha tersebut juga melanggar

ketentuan baku mutu air limbah yang telah ditetapkan dalam Lampiran XLV

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air

Limbah. Dimana telah ditemukan bahwasannya limbah cair yang dihasilkan oleh

usaha RPH ini melebihi baku mutu air limbah cair sehingga menyebabkan

46
pencemaran lingkungan hidup. Mengenai izin lingkungan telah diatur lebih lanjut

dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan,

bahwa :

“Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL
wajib memiliki Izin Lingkungan”. Dan sebagaimana sudah dijelaskan juga
didalam Pasal 68 butir c UUPPLH yang menyatakan bahwa “Kewajiban bagi
pelaku usaha untuk menaati ketentuan baku mutu lingkungan hidup.” Jadi
sudah sangat jelas bahwasannya usaha dari rumah potong hewan tersebut
melanggar aturan yang telah ditetapkan.

Dan mengenai baku mutu lingkungan hidup telah diatur dalam Pasal 20 ayat (1)

UUPPLH yang menyatakan bahwa “Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan

hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup”, serta menurut Pasal 68 butir c

UUPPLH yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau

kegiatan berkewajiban yaitu menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup

dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.

Jika dilihat dari tugas dan wewenang Pemerintah Daerah yang diatur di dalam

Pasal 5 butir s Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 14 Tahun 2012

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (yang selanjutnya disebut

dengan Perda Sumbar PPLH) bahwasannya “Tugas dan wewenang Pemerintah

Daerah yaitu melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat daerah”.

Dalam hukum administrasi negara, penggunaan sanksi administrasi merupakan

penerapan kewenangan pemerintahan39. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk

39
P de Haan dalam Ridwan HR, Op.Cit., hlm. 313.

47
menertibkan masyarakat dan memaksa masyarakat agar mematuhi peraturan yang

ada. Secara umum, dikenal beberapa macam sanksi dalam hukum administrasi yaitu :

“a. Paksaan pemerintah (bestuursdwang);


b. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (Izin, subsidi,
pembayaran, dan sebagainya);
c. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom);
d. Pengenaan denda administratif (administratieve boete)”.40

Maka berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa

“Setiap usaha dan/atau kegiatan wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL wajib

memiliki izin lingkungan”, dengan ini usaha RPH Kota Padang Panjang jelas

melanggar aturan hukum sebab tidak memiliki izin lingkungan dan berdasarkan teori

yang ada dalam Hukum Administrasi RPH tersebut dapat dijatuhi sanksi administrasi.

Maka penulis akan membahas hasil penelitian untuk menjawab masing-masing

rumusan masalah dengan membagi ke dalam pokok pembahasan yaitu bentuk

penegakan hukum adminitrastif terhadap RPH dan yang menjadi kendala dalam

penegakan hukum administratif serta solusinya

40
Ibid., hlm. 319.

48
A. Bentuk Penegakan Hukum Adminstratif Terhadap Pencemaran Limbah Cair

Pada Rumah Potong Hewan di Kelurahan Silaiang Bawah Kecamatan Padang

Panjang Barat Kota Padang Panjang

1. Dasar Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Administratif Terhadap

Pencemaran Limbah Cair Pada Rumah Potong Hewan.

Yang menjadi dasar kewenangan dalam penegakan hukum administratif

terhadap pencemaran limbah cair pada usaha RPH Kota Padang Panjang

didasarkan pada aturan yang pertama yaitu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi

Pamong Praja. Didalam UUPPLH dasar kewenangan itu ada pada Pasal 63 ayat

(3) butir i UUPPLH yang menyatakan bahwa “Dalam perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan

berwenang yaitu melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung

jawab usaha/kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan perundang-

undangan”, Pasal 71 ayat (1) UUPPLH menyatakan bahwa “Menteri, gubernur,

atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan

terhadap ketataan penanggung jawab usaha dan kegiatan atas ketentuan yang

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup”, dan Pasal 76 ayat (1) UUPPLH menyatakan

bahwa “Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif

49
kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan

ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan”.

Adapun didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16

Tahun 2018 dasar kewenangan itu ada pada Pasal 7 yang menyatakan bahwa:

“Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 5 dab Pasal 6, Satpol PP berwenang:
a) Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga
masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan
pelangggaran atas Perda dan/atau Perkada;
b) Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang
menganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
c) Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas
Perda dan/atau Perkada; dan
d) Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat,
aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda
dan/atau Perkada”.

Di dalam pasal tersebut terdapat salah satu kewenangan Satuan Polisi

Pamong Praja (selanjutnya disebut dengan Satpol PP) yaitu melakukan tindakan

penertiban nonyustisial, jika dilihat dalam penjelasan Peraturan Pemerintah

Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja yang dimaksud

dengan “tindakan penertiban non-yustisial” adalah tindakan yang dilakukan oleh

polisi pamong praja dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban

umum dan ketentraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau Perkada

dengan cara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak

sampai proses peradilan. Jadi, usaha RPH Kota Padang Panjang tersebut dapat

dilakukan penertiban maupun penerapan sanksi tanpa harus dibawa ke proses

pengadilan langsung.

50
2. Aparat Yang Berwenang Dalam Penegakan Hukum Administratif Terhadap

Pencemaran Limbah Cair Pada Rumah Potong Hewan.

a) Walikota C.Q Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Lingkungan

Hidup Kota Padang Panjang.

Berdasarkan Pasal 71 ayat (2) UUPPLH yang menyatakan bahwa

“Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan

kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis

yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup”. Pasal 71 ayat (2) UUPPLH ini kemudian di Kota Padang Panjang

ditindaklanjuti melalui Peraturan Walikota Padang Panjang Nomor 18 Tahun

2019 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Serta Tata

Kerja Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Lingkungan Hidup.

Dalam hal ini dinyatakan bahwasannya pejabat/instansi yang berwenang yaitu

Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Lingkungan Hidup Kota

Padang Panjang (selanjutnya disebut dengan Perkim-LH).

b) Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Sumatera Barat

Telah diatur didalam Pasal 255 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan bahwa

“Satuan polisi pamong praja dibentuk untuk menegakkan Perda dan Perkada,

menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman, serta

menyelenggarakan perlindungan masyarakat”. Berdasarkan Pasal 5 Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi

Pamong Praja yang menyatakan bahwa:

51
“Satpol PP mempunyai tugas:
a. Menegakkan Perda dan Perkada;
b. Menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman; dan
c. Menyelenggarakan perlindungan masyarakat”.

Di Provinsi Sumatera Barat sendiri sudah ada Peraturan Daerah Provinsi

Sumatera Barat Nomor 14 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, sesuai dengan kewenangan yang tercantum di dalam Pasal

255 Pemda, Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang

Satuan Polisi Pamong Praja, maka dalam penegakan hukum lingkungan

Satpol PP Provinsi berwenang untuk melakukan penegakan peraturan daerah.

3. Penegakan Hukum Administratif Terhadap Pencemaran Limbah Cair

Pada Rumah Potong Hewan.

Penegakan hukum lingkungan secara teoretis dilakukan dengan dua

cara, yang pertama yaitu penegakan hukum preventif berupa pengawasan

yang kedua yaitu penegakan hukum repsesif berupa penerapan sanksi.

a) Pengawasan Terhadap Pencemaran Limbah Cair Pada Usaha Rumah

Potong Hewan.

Pasal 71 ayat (1) UUPPLH menentukan bahwa: “Menteri, gubernur,

atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan

pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan

atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di

bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”. Berdasarkan

ketentuan tersebut, diketahui bahwa pihak pemerintahan Kota Padang Panjang

52
berkewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung

jawab usaha atau kegiatan atas peraturan perundangan-undangan dalam

lingkungan hidup. Dalam kenyataannya seperti yang telah diuraikan pada

bagian sebelumnya, ada aktifitas yang dilakukan oleh RPH Kota Padang

Panjang yang dinilai tidak menaati 2 ketentuan peraturan perundang-

undangan. Yang pertama, RPH tidak memiliki izin lingkungan, yang kedua

RPH sudah melakukan pencemaran lingkungan.

Secara praktis, Dinas Perkim-LH tidak melakukan pengawasan sama

sekali padahal itu adalah kewajibannya, mereka berasumsi bahwa usaha atau

kegiatan yang bisa diawasi itu adalah usaha yang telah memiliki izin

lingkungan. Dinas Perkim-LH tidak menjadikan RPH Kota Padang Panjang

sebagai subjek pengawasan dan pembinaan dalam perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup sebab RPH tersebut belum memiliki izin

lingkungan, sebagaimana pernyataan dari Bapak Soni Irwanto, S.H selaku

Kepala Seksi Pembinaan dan Penegakan Hukum Lingkungan Kota Padang

Panjang menyatakan bahwa “Usaha yang dapat dilakukan pengawasan dan

pembinaan hanyalah usaha yang telah memiliki izin lingkungan dengan dasar

tersebut RPH Kota Padang Panjang tidaklah dilakukan pengawasan serta

pembinaan dalam pengelolaan lingkungan sebab tidak memiliki izin

lingkungan”. Hal tersebut dipertegas oleh Bapak Soni Irwanto S,H yang

mengatakan bahwa: “Dalam permasalahan RPH, Dinas Perkim-LH Kota

Padang Panjang tidak dapat melakukan pengawasan karena berdasarkan Pasal

53
76 ayat (1) UUPPLH yang menyatakan bahwa “Menteri, Gubernur,

Bupati/Walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab

usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran

terhadap izin lingkungan”. Kesimpulan dari Bapak Soni Irwanto, S.H,

pengawasan hanya dapat dilakukan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang

memiliki izin lingkungan. Selain itu, berdasarkan Pasal 71 ayat (3) UUPPLH

yang menyatakan bahwa “Dalam melaksanakan pengawasan Menteri,

gubernur, bupati/walikota menetapkan pejabat pengawasan lingkungan hidup

yang merupakan pejabat fungsional”. Dinas Perkim-LH belum mempunyai

pejabat fungsional untuk melakukan pengawasan terhadap lingkungan, artinya

Dinas Perkim-LH belum melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam

Pasal 71 ayat (3) UUPPLH.

Kembali ke kontruksi Pasal 71 ayat (1) UUPPLH, yang dilakukan oleh

Dinas Perkim-LH itu tidak tepat sama sekali. Tindakan Dinas Perkim-LH

untuk mengawasi usaha RPH Kota Padang Panjang dinilai juga sudah tepat

mengingat sebelumnya Dinas Perkim-LH sudah pernah melakukan sosialisasi

terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan

hidup kepada RPH di Kota Padang Panjang. Kemudian untuk upaya

sosialisasi yang dilakukan oleh Kepala Bidang Penataan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup sebagai tugas pokok mereka yaitu mensosialisasikan hal-

hal itu untuk menyebarluaskan informasi. Menyebarluaskan informasi selain

himbauan melalui sosialiasi kemudian lewat media cetak seperti koran.

54
Berhubung dengan itu maka dinas yang bersangkutan dapat melakukan

pengawasan atau memantau keadaan mengenai pengolahan limbah cairnya

dalam arti tidak dibiarkan begitu saja. Dinas Perkim-LH sudah pernah

melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha di Kota Padang Panjang pada

tahun 2009 yang dilaksanakan oleh pegawai penataan dan pembinaan

lingkungan hidup untuk menyampaikan bagaimana agar pelaku usaha dalam

melakukan usahanya tidak mengganggu lingkungan. Dalam pertemuan

tersebut, ditemukan bahwasannya usaha RPH Kota Padang Panjang tidak

memiliki izin lingkungan karena lokasi usaha RPH tersebut hanya bersifat

sementara dan sudah direncanakan untuk memindahkan kegiatan ke lokasi

baru,sehingga kewajiban pengurusan izin lingkungan melalui mekanisme

Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH)/ Dokumen Pengelolaan

Lingkungan Hidup (DPLH) ditangguhkan,41 dan setelah pindah ke lokasi baru

untuk disegerakan mengurus izin lingkungan dan mempunyai izin nantinya.

Jadi menurut asumsi peneliti, yang dinyatakan oleh Dinas Perkim-LH

bahwasanya tidak bisa melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap usaha

RPH Kota Padang Panjang dikarenakan usaha tersebut tidak memiliki izin

lingkungan dengan halnya dapat dikatakan illegal, dan juga tidak dapat

dijatuhkan sanksi administrasi disebabkan bahwa usaha RPH Kota Padang

Panjang tersebut tempatnya hanya sementara dan mau akan dipindahkan

41
Hasil wawancara dengan Bapak Soni Irwanto S,H, yang merupakan Kepala Seksi Pembinanaan dan
Penegakkan Hukum Lingkungan Kota Padang Panjang.

55
ketempat yang permanen setelah itu baru diurus izin lingkunganya. Disini

terdapat kekeliruan konsep dan harus segera diluruskan. Yang pertama,

bahwasannya pengawasan itu tidak hanya dilakukan pada yang punya izin

lingkungan saja, tetapi yang tidak punya izin dapat juga dilakukan

pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha yang mana

ditegaskan di dalam Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) UUPPLH yang menyatakan

bahwa:

“Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya


wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup” dan
“Menteri, gubernur, bupati/walikota dapat mendelegasikan
kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi
teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup”.

Dengan melihat substansi Pasal 71 ayat (1) dan (2) UUPPLH maka

sebenarnya Dinas Perkim-LH wajib melakukan pengawasan terhadap usaha

RPH Kota Padang Panjang walaupun tidak memiliki izin lingkungan sama

sekali. Yang kedua, Situasi usaha atau kegiatan yang berada ditempat

sementara tidak mengecualikan berlakunya hukum lingkungan. Jadi walaupun

usaha RPH Kota Padang Panjang tempatnya belum permanen tidak menjadi

hambatan bagi pelaku usaha untuk mengurus izin lingkunganya.

Selain itu, berdasarkan Pasal 63 ayat (1) huruf i tugas pemerintah

kabupaten/kota yaitu “melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan

56
lingkungan dan peraturan perundang-undangan”. Dengan itu harus dilakukan

dengan upaya sistematis dan terpadu dengan cara melakukan pembinaan dan

pengawasan yang dilakukan olah Dinas Perkim-LH terkait pencegahan

adanya dampak dari usaha RPH Kota Padang Panjang.

b) Penerapan Sanksi Administatif Terhadap Pencemaran Limbah Cair Pada

Rumah Potong Hewan.

Didalam UUPPLH, dikenal beberapa sanksi administrasi yang mana

diatur dalam Pasal 76 ayat (2) UUPPLH yang menyatakan bahwa:

“Sanksi administratif terdiri atas:


a. Teguran tertulis;
b. Paksaan pemerintah;
c. Pembekuan izin lingkungan; dan
d. Pencabutan izin lingkungan.”

Sedangkan secara umum, dikenal beberapa macam sanksi dalam hukum

administrasi yaitu:

“a. Paksaan pemerintah (bestuursdwang);


b. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (Izin,
subsidi, pembayaran, dan sebagainya);
c. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom);
d. Pengenaan denda administratif (administratieve boete)”.42

Terkait dengan pencemaran yang dilakukan oleh RPH Kota Padang Panjang,

Dinas Perkim-LH tidak pernah menerapkan sanksi administrasi yang ada

didalam UUPPLH kepada usaha atau kegiatan tersebut. Menurut Dinas

Perkim-LH ada dua alasan sanksi itu tidak bisa diterapkan, pertama kegiatan

tersebut belum berizin yang kedua Dinas Perkim-LH sebenarnya sudah pernah

42
Ibid., hlm. 319.

57
meminta pihak Satpol PP Kota Padang Panjang menerapkan sanksi

administrasi terhadap pencemaran di Kota Padang Panjang tapi Satpol PP

mengatakan sanksi tidak bisa diterapkan karena Kota Padang Panjang

memang tidak memiliki peraturan daerah sama sekali.

Asumsi dari Dinas Perkim-LH mengatakan bahwa sanksi hanya bisa

diterapkan kepada pelaku usaha yang memiliki izin lingkungan ini tidak tepat,

sanksi administrasi dapat saja diterapkan karena berdasarkan Pasal 74 ayat (1)

huruf j UUPPLH telah menegaskan bahwa pejabat pengawas lingkungan yang

memperoleh delegasi dari bupati atau instansi dibidang lingkungan hidup itu

punya kewenangan untuk menghentikan pelanggaran tertentu terhadap

pertauran perundang-undangan dibidang lingkungan hidup.

Menurut asumsi penulis, sesungguhnya sanksi administrasi terhadap

usaha RPH Kota Padang Panjang sudah bisa diterapkan, karena dari hasil uji

labor yang dilakukan oleh Dinas Perkim-LH bahwasanya usaha RPH Kota

Padang Panjang tidak menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setelah diinventalisir adanya ketidaktaatan idealnya sanksi administrasi dapat

diterapkan, penerapan sanksi bisa dilakukan dengan cara yang pertama yaitu

dengan cara memberikan teguran lisan atau tertulis, yang kedua baru dikejar

dengan paksaan pemerintah (bestuurdwang). Sejalan dengan pendapat

Ridwan HR terkait penjatuhan paksaan pemerintah (bestuurdwang) dalam

bukunya berjudul “Hukum Administrasi Negara” sebagai berikut: “Salah satu

ketentuan hukum yang ada ialah bahwa pelaksanaan bestuurdwang atau

58
paksaan pemerintah itu wajib didahului dengan surat peringatan tertulis, yang

dituangkan dalam bentuk KTUN”.

Dengan memperhatikan dinamika yang telah terjadi terhadap usaha

atau kegiatan yang dilakukan oleh RPH Kota Padang Panjang, idealnya

langsung saja diambil penerapan sanksi dengan bestuurdwang atau paksaan

pemerintah. Adapun yang dimaksud dengan paksaan pemerintah

(bestuursdwang) berdasarkan Undang-Undang Hukum Administrasi Negara

Belanda adalah sebagai berikut :43

“Onder bestuursdwang wordt verstaan, het feitelijk handelen door of


vanwege een bestuursorgaan wegnemen, ontruimen, beletten, in
devorige toestand herstellen of verrichten van hetgeen in strijd met bij
of krachtens wettelijke voorschriften gestelde verplichtingen is of
wordt gedaan, gehouden of nagelaten.
(Paksaan pemerintahan merupakan tindakan nyata yang dilakukan oleh
organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan,
mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki pada keadaan
semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang
bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan”.

Didalam Pasal 80 ayat (2) butir a UUPPLH menyatakan bahwa “pengenaan

paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran tertulis apabila

pelanggaran yang dilakukan menimbulkan yaitu ancaman yang sangat serius

bagi manusia dan lingkungan hi dup”. Jika ditelusuri didalam penjelasan Pasal

80 ayat (2) butir a yang dimaksud dengan “ancaman yang sangat serius”

adalah suatu keadaan yang berpotensi sangat membahayakan keselamatan dan

kesehatan banyak orang sehingga penanganannya tidak dapat ditunda.

43
P de Haan dalam Ridwan HR, Op.Cit., hlm. 320.

59
Didalam UUPPLH terdapat bentuk-bentuk dari paksaan pemerintah

(bestuurdwang), adapun bentuk-bentuk dari bestuurdwang tersebut telah

diatur di dalam Pasal 80 ayat (1) UUPPLH yang menyatakan bahwa:

“Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2)


huruf b berupa:
a. Penghentian sementara kegiatan produksi;
b. Pemindahan sarana produksi;
c. Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. Pembongkaran;
e. Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan
pelanggaran;
f. Penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran
dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup”.

Adapun bentuk paksaan pemerintah (bestuurdwang) yang akan

diterapkan pada usaha RPH Kota Padang Panjang yaitu salah satunya dengan

cara berupa penghentian sementara kegiatan produksi atau bisa juga dengan

penghentian sementara seluruh kegiatan sekurang-kurangnya.

Terkait usaha RPH Kota Padang Panjang belum pernah dijatuhi sanksi

administrasi sama sekali dikarenakan Kota Padang Panjang sendiri belumlah

memiliki regulasi atau peraturan daerah mengenai perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup hal ini dinyatakan oleh Bapak Idris, S.H selaku

Selaku Kepala Seksi Penegakan Peraturan Daerah di Kesatuan Polisi Pamong

Praja dan Pemadam Kebakaran Kota Padang Panjang. Beliau menyatakan

bahwa “Kota Padang Panjang sendiri belum memiliki Peraturan Daerah

mengenai pengelolaan lingkungan hidup, jadi makanya tidak pernah dijatuhi

sanksi administrasi”. Sebagaimana pernyataan dari Bapak Soni Irwanto, S.H

60
bahwasannya Dinas Perkim-LH melakukan koordinasi langsung dengan

Satpol PP Kota Padang Panjang untuk melakukan penerapan sanksi

administrasi atas ketidakpatuhan pelaku usaha terhadap hukum. Namun

Satpol PP Kota Padang Panjang tidak pernah menjatuhi sanksi administratif

karena Kota Padang Panjang belum memiliki peraturan daerah mengenai

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.44

Mengenai izin lingkungan yang belum dimiliki oleh usaha RPH Kota

Padang Panjang sehingga tidak dapat dijatuhi sanksi administrasi, secara

teoretis dikenal beberapa macam sanksi administrasi dalam hukum

administrasi yaitu:

“a. paksaan pemerintah (bestuursdwang);


b.menarik keputusan yang menguntungkan (Izin, subsidi, pembayaran,
dan sebagainya);
c. pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom); dan
d. pengenaan denda administratif (administratieve boete)”.
45

Menurut hemat penulis, hal ini semestinya tidak menjadi penghalang bagi

Satpol PP Kota Padang Panjang untuk menjatuhi sanksi administrasi kepada

RPH sekalipun Kota Padang Panjang belum memiliki peraturan daerah

mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sebab apabila

kegiatan RPH terus dibiarkan tentu akan mengakibatkan perusakan terhadap

lingkungan. Padahal di dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyebutkan

bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,

44
Hasil wawancara dengan Bapak Idris, S.H yang merupakan Kepala Seksi Penegakan Peraturan
Daerah dan Peraturan Kepala Daerah di Satpol PP Kota Padang Panjang.
45
P de Haan dalam Ridwan HR, Op.Cit., hlm.313.

61
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak

memperoleh pelayanan kesehatan”.

Provinsi Sumatera Barat memiliki peraturan daerah mengenai

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu Peraturan Derah

Provinsi Sumatera Barat Nomor 14 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, meskipun Kota Padang Panjang belum

memiliki peraturan daerah tersendiri, semestinya peraturan daerah Provinsi

Sumatera Barat tersebut dapat dijadikan payung hukum bagi Satpol PP

Provinsi Sumatera Barat untuk melakukan tindakan terhadap RPH Kota

Padang Panjang. Maka dari itu aparat Satpol PP Provinsi Sumatera Barat

berwenang untuk melakukan penertiban ataupun penegakan hukum, dengan

catatan tentunya Satpol PP Provinsi bisa bertindak jika ada laporan dari

pemerintah kota, Satpol PP Kota Padang Panjang atau masyarakat Padang

Panjang. Jadi Satpol PP Provinsi mau tidak mau harus melakukan penertiban

atau menerapkan sanksi administratif. Dimana telah diatur didalam Pasal 7

butir a Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018

tentang Satuan Polisi Pamong Praja yang menyatakan bahwa “Dalam

melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan

Pasal 6, Satpol PP berwenang yaitu melakukan tindakan penertiban

nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang

melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada”. Jadi tidak menjadi

penghalang bagi Satpol PP untuk melakukan penertiban ataupun penegakan

62
sanksi administratif sebab Provinsi Sumatera Barat sebagai provinsi dimana

Kota Padang Panjang berada yang memiliki peraturan daerah perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup. Dimana ini diatur dalam Pasal 28 ayat (1)

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong

Praja yang menyatakan bahwa “Kepala Satpol PP provinsi mengoordinasikan

penegakan Perda dan Perkada, penyelenggaraan ketertiban umum dan

ketentraman serta penyelenggaraan perlindungan masyarakat di

kabupaten/kota”.

Menegakkan Perda dan Perkada merupakan salah satu tugas dari

Kesatuan Polisi Pamong Praja yang diatur didalam Pasal 5 Undang-Undang

Nomor 16 tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, hal tersebut

dipertegas oleh Bapak Idris S,H mengatakan bahwa “Jadi Satpol PP Kota

Padang Panjang dasar hukum dalam menindak itu berdasarkan peraturan

daerahnya, bukan undang-undang ataupun segala macam, jadi dengan tidak

adanya peraturan daerah makanya Satpol PP Kota Padang Panjang tidak

terlalu fokus mengenai permasalahan lingkungan hidup yang terjadi pada

usaha RPH tersebut”.

Penertiban merupakan wewenang Kesatuan Polisi Pamong Praja

dalam hal tersebut dipertegas dengan pernyataan Bapak Idris S,H yang

menyatakan bahwa “Penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP beserta tim

maupun tim pembantu lebih ketika adanya laporan seperti tertangkap tangan

pelaku usaha pada saat melakukan kegiatan melanggar peraturan daerah,

63
maupun laporan dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, ataupun dari

masyarakat setempat. Setelah mendapat laporan terkait tindak pelanggaran

peraturan daerah, maka Satpol PP langsung menuju ke tempat usaha dan

memeriksa baik berkas, hingga pemberian sanksi administratif, tetapi dalam

kenyataannya tidak pernah ada sama sekali laporan atau keluhan dari

masyarakat mengenai pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh RPH Kota

Padang Panjang. Kalaupun terhalang dengan kendala regulasi atau substansi

peraturan daerah tadi, tapi kalau ada laporan dari masyarakat tentu tetap kami

tindak lanjuti dengan perda yang ada, tapi laporan tidak ada sama sekali

sehingga dalam arti kami dari Pihak Satpol PP beranggapan bahwa masyrakat

tidak terganggu sama sekali sampai sekarang”.

Dari pernyataan diatas, pertama dalam penerapan sanksi administrasi

asumsinya karena usaha RPH Kota Padang Panjang tidak berizin sehingga

tidak dapat ditegakkan sanksi administrasi. Dari pernyataan tersebut tidak

tepat karena bisa berdasarkan Pasal 74 UUPPLH tentang pengawasan tadi.

Yang kedua Satpol PP Kota Padang Panjang tidak memiliki kewenangan

bukan berarti sanksi administrasi tidak bisa diterapkan bisa saja tapi oleh

Satpol PP Provinsi, di Kota Padang Panjang tidak bisa menerapkan sanksi

alasan peraturan daerah tidak ada tapi pernyataan dari Bapak Idris, S.H itu

sendiri ambigu, beliau juga menyatakan setiap ada laporan terserah ada

peraturan daerah atau tidak mereka akan tetap menindaklanjuti terlepas dari

dua persoalan itu. Satpol PP tetap berhak menerapkan sanksi administrasi

64
dibidang Lingkungan Hidup dalam konteks pencemaran yang terjadi di Kota

Padang Panjang akibat RPH ini, tapi Satpol PP yang berwenang adalah Satpol

PP Provinsi yang dasarnya pada Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat

Nomor 14 Tahun 2012. Caranya bisa jadi instansi Lingkungan Hidup atau

langsung Walikota Padang Panjang yang memberitahukan atau

menginformasikan terjadinya penyimpangan atau pelanggaran atas ketentuan

yang ada didalam UUPPLH.

Dalam melakukan penegakan hukum terhadap lingkungan hidup,

mestinya pemerintah daerah Kota Padang Panjang lebih efektif lagi agar

aturan hukum yang ada dipatuhi pelaku usaha dan sanksi yang telah diatur

dapat ditegakkan dan menghimbau masyarakat untuk turut aktif menjaga

kelestarian dan kualitas lingkungan serta menghimbau untuk melaporkan

segala kegiatan usaha dinilai dapat mencemari atau merusak lingkungan

hidup. Hukum administrasi menganut asas in cauda venenum W.F Prins

mengemukakan bahwa “Hampir setiap peraturan berdasarkan hukum

administrasi diakhiri in cauda venenum dengan sejumlah ketentuan pidana (in

cauda venenum secara harfiah berarti ada racun di ekor/buntut) sebab hukum

administrasi materiil kedudukan berada di antara hukum privat dan hukum

publik. Hukum pidana dapat dipandang sebagai bahan pembantu atau

65
“hulprecht” bagi hukum tata pemerintahan, karena penetapan sanksi pidana

merupakan satu sarana untuk menegakkan hukum tata pemerintahan. 46

UUPPLH juga menganut asas tersebut sebagaimana ketentuan Pasal

98 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan segaja melakukan

perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku

mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama

10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar

rupiah) dan paling banyak RP. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), dan

selanjutnya Pasal 112 yang menyatakan bahwa “Setiap pejabat berwenang

yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan

penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-

undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan

Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Ketidakberadaan Peraturan Daerah Kota Padang Panjang mengenai

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tidak adanya pengaduan

dari masyarakat bukanlah penghalang bagi pemerintah Kota Padang Panjang

46
W.F Prins dan Korim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1983, hlm. 03.

66
untuk aktif menjaga kelestarian lingkungan hidup agar tetap sehat dan

berkualitas dalam rangka melindungi hak asasi manusia masyarakat setempat

sebagai wujud patuh hukum pemerintah terhadap asas umum administrasi

pemerintah yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi “Penyelenggaraan

Administrasi Pemerintahan berdasarkan pada a; asas legalitas, b; asas

perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan c; asas-asas umum

pemerintahan yang baik”.

B. Kendala Yang Dihadapi Dalam Penegakan Hukum Administrasi Terhadap

Terhadap Pencemaran Limbah Cair Pada Rumah Potong Hewan di Kelurahan

Silaiang Bawah Kecamatan Padang Panjang Barat Kota Padang Panjang.

Adapun kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum administratif

terhadap kasus pencemaran limbah cair pada RPH Kota Padang Panjang ini antara

lain:

A. Faktor Yuridis

Kendala pertama yang di hadapi dalam penegakan hukum administasi

terkait usaha RPH Kota Padang Panjang yaitu dari faktor regulasi nya. Faktor

regulasi yang dimaksud tidak adanya peraturan daerah terkait perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup. Sehingga untuk menegakan hukumnya pihak

Satpol PP Kota Padang Panjang tidak bisa melakukan sanksi administrasi berupa

teguran tertulis terhadap usaha RPH yang telah melanggar ketentuan peraturan

perundang-undangan tersebut. Jadi karena tidak adanya peraturan daerah yang

67
mengatur, pihak Satpol PP membiarkan begitu saja usaha yang telah melanggar

aturan. Intinya pihak Satpol PP hanya melakukan penertiban terhadap usaha yang

melanggar berdasarkan dari peraturan daerah Kota Padang Panjang itu sendiri

bukan dari Undang-Undang ataupun lainnya.

Sebagai masukan dari penulis, idealnya Kota Padang Panjang memiliki

peraturan daerah tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup karena

keberadaan peraturan daerah mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup akan menguatkan posisi Satpol PP Kota Padang Panjang dalam penegakan

hukum lingkungan.

B. Faktor Non Yuridis

1) Kurangnya tingkat kesadaran dari pelaku usaha atau kegiatan

Masalah yang terkait dengan usaha RPH Kota Padang Panjang ini salah satu

faktornya yaitu kurangnya kesadaran pelaku usaha akan pentingnya hukum untuk

ditaati. Kebanyakan masyarakat lebih mementingkan kepentingan pribadi

dibandingkan dengan kepentingan umum. Selain itu kebanyakan masyarakat

mulai dari pelaku usaha dan masyarakat sekitar usaha masih belum mengetahui

yang namanya izin lingkungan berupa Rekomendasi Upaya Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UKL) – Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL)/ Surat

Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL). Maka perlu adanya sosialisasi yang

ekstra dari Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup

untuk membina dan memberi edukasi kepada masyarakat. Hal ini bertujuan untuk

meningkatkan kesadaran diri pelaku usaha atas kepemilikan dokumen perizinan

68
lingkungan sebagai bentuk taat hukum dan untuk menjaga kelestarian serta

kualitas lingkungan agar tetap sehat. Dan juga sudah dipaparkan diatas bahwa

Dinas Perkim-LH sudah pernah melakukan sosialisasi terkait perizinan

lingkungan terhadap usaha atau kegiatan RPH, berarti memang dari pelaku

usahanya ini sendiri tidak berinisiatif segera untuk mendaftarkan izin

lingkungannya.

Kemudian untuk upaya sosialisasi yang dilakukan oleh Kepala Bidang

Penataan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai tugas pokok mereka yaitu

mensosialisasikan hal-hal itu untuk menyebarluaskan informasi.

Menyebarluaskan informasi selain himbauan melalui sosialiasi kemudian lewat

media cetak seperti koran. Berhubung dengan itu maka dinas yang bersangkutan

dapat melakukan pengawasan atau memantau keadaan mengenai pengolahan

limbah cairnya dalam arti tidak dibiarkan begitu saja. Dinas Perkim-LH sudah

pernah melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha di Kota Padang Panjang pada

tahun 2009 yang dilaksanakan oleh pegawai penataan dan pembinaan lingkungan

hidup untuk menyampaikan bagaimana agar pelaku usaha dalam melakukan

usahanya tidak mengganggu lingkungan. Dalam pertemuan tersebut, ditemukan

bahwasannya usaha RPH Kota Padang Panjang tidak memiliki izin lingkungan

karena lokasi usaha RPH tersebut hanya bersifat sementara dan sudah

direncanakan untuk memindahkan kegiatan ke lokasi baru,sehingga kewajiban

69
pengurusan izin lingkungan melalui mekanisme DELH/DPLH ditangguhkan,47

dan setelah pindah ke lokasi baru untuk disegerakan mengurus izin lingkungan

dan mempunyai izin nantinya.

2) Tidak adanya laporan dari masyarakat kepada Satpol PP Kota Padang Panjang

Kendala kedua dalam penegakan hukum administrasi, tidak adanya laporan

dari masyarakat. Hasil wawancara dengan Satpol PP Kota Padang Panjang,

adapun hasil wawancara yang dilakukan bersama Bapak Idris S,H bahwa aparat

Satpol PP yang berwenang melakukan penindakan tidak mengetahui masalah

mengenai pencemaran lingkungan yang terjadi pada usaha RPH. Selama ini

Satpol PP hanya melakukan pengawasan ke lapangan dikarenakan ada laporan

dari masyarakat, masalahnya Satpol PP tidak pernah mendapatkan laporan atau

keluhan dari masyarakat sehingga dari pihak Satpol PP beranggapan masyarakat

tidak terganggu sama sekali. Tapi kalau ada laporan tentu tetap kami tindak

lanjuti sesuai dengan Peraturan daerah yang ada.

Menurut asumsi penulis, penegakan hukum dalam pelanggaran yang

dilakukan oleh RPH Kota Padang Panjang tidak berjalan dengan efektif

disebabkan salah satunya oleh masyarakat. Maka dari itu diperlukannya

sosialisasi serta pembinaan kepada masyarakat Kota Padang Panjang pentingnya

untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup serta menjaga kualitas lingkungan

yang baik dan sehat

47
Hasil wawancara dengan Bapak Soni Irwanto S,H, yang merupakan Kepala Seksi Pembinanaan dan
Penegakkan Hukum Lingkungan Kota Padang Panjang.

70
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan hasil penelitian, dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Penegakan hukum administrasi yang dilakukan oleh Dinas Perkim-LH

terhadap usaha RPH Kota Padang Panjang belum pernah dilaksanakan sama

sekali. Menurut asumsi Dinas Perkim-LH penegakan hukum belum bisa

dilaksanakan karena dari sisi pengawasannya sebab usaha atau kegiatan

tersebut tidak berizin. Tapi sebenarnya ini tidak menjadi alasan karena

berdasarkan Pasal 71 ayat (1) UUPPLH yang menyatakan bahwa “Menteri,

gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib

melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau

kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan

di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”. Bahwa idealnya,

pemerintah kota dalam hal ini Dinas Perkim-LH dapat melaksanakan

penegakan hukum baik melalui pengawasan maupun dengan menerapkan

sanksi melalui Satpol PP Provinsi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh

usaha RPH Kota Padang Panjang tersebut, caranya adalah dengan

menerapkan paksaan pemerintah atau bestuursdwang.

71
2. Ada dua kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum lingkungan

terhadap usaha RPH Kota Padang Panjang.

a. Kendala yuridis yaitu ketiadaan peraturan daerah mengenai perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup sehingga menyebabkan aparatur

Satpol PP Kota Padang Panjang tidak bisa mengambil tindakan

penegakan hukum lingkungan, sehingga tidak ada sanksi administrasi

yang diberikan kepada pelaku usaha RPH Kota Padang Panjang tersebut.

b. Kendala non yuridis yaitu kurangnya tingkat kesadaran pelaku usaha itu

sendiri dalam memahami peraturan mengenai lingkungan hidup dan

ketiadaan laporan dari masyarakat sekitar mengenai pelanggaran yang

dilakukan oleh usaha RPH Kota Padang Panjang kepada Satpol PP Kota

Padang Panjang.

B. Saran

Berdasarkan dari kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian, penulis

mengemukakan beberapa saran yaitu:

1. Untuk mengoptimalkan penegakan hukum administrasi terhadap usaha RPH

di Kota Padang Panjang seharusnya pemerintah Kota Padang Panjang

membuat peraturan daerah mengenai Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup sebagai acuan untuk menegakan hukum di bidang

lingkungan hidup. Sehingga jika terjadinya pelanggaran terhadap hukum

lingkungan, pemerintah daerah dapat menjadikan peraturan daerah tersebut

sebagai pondasi dalam melakukan sanksi administrasi. Dan juga Satpol PP

72
dapat juga menjadikan acuan dalam melakukan penindakan terhadap

pelanggaran yang telah dilanggar oleh usaha RPH, berhubung tidak adanya

peraturan daerah mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

tersebut maka usaha yang telah melanggar ketentuan peraturan perundang-

undangan dibiarkan begitu saja. Terlebih lagi untuk pelanggaran izin

pembuangan limbah cair, pemerintah daerah lebih tepatnya Dinas Perumahan,

Kawasan Permukiman, dan Lingkungan Hidup dapat juga melakukan

penyuluhan terhadap pelaku usaha yang belum memiliki izin lingkungan agar

segera mempunyai izin tersebut, penyuluhan juga dapat berisi tentang

bagaimana pentingnya mendaftarkan izin lingkungan terhadap suatu usaha

sehingga bisa dikatakan legal dan bagaimana cara pembuangan limbah yang

baik dan benar agar tidak mencemari lingkungan hidup.

2. Pelaku usaha RPH maupun masyarakat lainnya diharapkan dapat

memperhatikan dampak lingkungan yang dimungkinkan terjadi pada usaha

tersebut, dengan melakukan pendaftaran izin lingkungan hingga memperoleh

Rekomendasi UKL-UPL/Persetujuan SPPL yang merupakan salah satu bukti

legal atas izin lingkungan yang disahkan oleh Dinas Lingkungan Hidup

Kabupaten/ Kota setempat, yang harus dimiliki oleh pemilik usaha RPH

karena hal tersebut merupakan salah satu kewajiban pendirian usaha. Dan juga

sudah ada diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat.

Sehingga Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Lingkungan Hidup

73
dapat melakukan pengawasan sebagaimana mestinya terhadap usaha RPH,

yang mana telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

3. Sanksi yang diberikan kepada pelaku usaha RPH yang melakukan

pelanggaran lebih dipertegas lagi, jangan hanya dibiarkan saja ataupun tidak

ditindaklanjuti karena hal tersebut tidak membuat efek jera terhadap pelaku

usaha RPH yang melakukan pelanggaran, tetapi dapat diberikan teguran

tertulis terlebih dahulu, jika masih tidak jera atau masih melakakukan

pelanggaran dapat juga diberikan sanksi denda atau pencabutan usaha izin

usaha agar para pelaku usaha memiliki efek jera dan tidak mengulangi hal itu

lagi karena dapat mencemari lingkungan hidup. Lalu yang kedua, lalu yang

kedua pengecekan yang dilakukan oleh Dinas Perumahan, Kawasan

Permukiman, dan Lingkungan Hidup beserta Satpol PP diharapkan dapat

dilakukan lebih giat lagi, karena usaha RPH tidak memiliki izin lingkungan

kenapa dibiarkan begitu saja jelas-jelas telah melakukan pelanggaran.

Sedangkan Satpol PP melakukan pengecekan terhadap usaha apakah mereka

sudah memiliki izin lingkungan atau belum apabila belum harap di tindak

sesuai dengan peraturan hukum yang telah berlaku.

74
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A’an Efendi, Freddy Poernomo, Hukum Administrasi, Penerbit Sinar


Grafika,2017.

Algemene Bepalingen van Adiministratief Recht. Rappor van De Commissie


Inzake Algamene Bepalingen van Administratief Recht, Samson
H.D. Tjeenk Willink B.V., Alphen aan den Rijn, 1984.

Bambang Sugiyono, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 2003.

C.J.N Versteden, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samson H.D. Tjeenk


Willink, Alphen aan den Rijn, 1984.

H.D Van Wijk and Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief


Recht, Uitgeverij Lemma BV, Utrecht, 1995.

Jimly Asshiddiqie, Green Constitution: Nuansa Hijau UUD NRI Tahun 1945,
Rajawali Pers, Jakarta, 2009.

Kamus Inggris-Indonesia, New Webster’s Pocket Dictionary, Tangerang,


Karisma Publishing Group.

Muhammad Askin, Seluk Beluk Hukum Lingkungan, Penebit Nekamarta,


Jakarta, 2010.

Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, edisi revisi, Bandung,
Refika Aditama, 2015.

N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Erlangga,


Jakarta, 2004.

____________, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta, 2009.

P. De Haan, et.al., Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat, deel 1, Kluwer,


Deventer, 1986.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina
Hukum, Surabaya, 1987.

___________, et.al Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta, 1993.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara edisi revisi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Yurisprudensi,


Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan


Nasional, Edisi Ketiga, Airlangga University Press, Surabaya,
2005.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas


Indonesia (UI Press), Jakarta, 1986.

Sudarsono, Negeriku Menuai Bencana Ekologi Mengabaikan Norma Agama,


Adat, dan Hukum Reposisi dan Revitalisasi Penegakan Hukum
Lingkungan, Cetakan Kedua, Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup
Regional Jawa, Yogyakarta, 2007.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualikatif dan Kombinasi (Mixed


Methods), Alfabeta, Bandung, 2016.

Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia.PT. Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 2015.

W.F Prins dan Korim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi


Negara, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983.

B. Jurnal
Roniadi, A., A.P.M Tarigan dan Z. P. Nasution. Evaluasi Pengolahan Air
Limbah Rumah Potong Hewan di Kelurahan Maba Hilir Kecematan
Medan Deli, Universitas Sumatera Utara Medan, 2013.

Panduan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan, Edisi Kesatu, diterbitkan


oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, 2003

76
C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku
Mutu Air Limbah.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong
Praja.
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

D. Internet

Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, melalui:


http://www.jimly.com/makalah/namefile/56/Penegakan_Hukum_Indone
sia.pdf, diunduh tanggal 18 Desember 2014 Pkl. 15.41 Wib.

Totok Soeprijanto, Sumber-sumber Kewenangan, Widyaiswara Pusdiklat


PSDM, melalui:
http://www.bppk.depkeu.go.id/webpegawai/attachments/638_SumberKe
wenangan.pdf. Diakses pada tanggal 25 Mei 2016 pukul 07.57 Wib.

http://www.belajarbagus.com/2015/02/pengertian-pencemaran
lingkungan.html#

http://ilmulingkungan.com/sumber-pencemaran-lingkungan/

77

Anda mungkin juga menyukai