Anda di halaman 1dari 293

UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN PASAL 134 KUHP TENTANG PENGHINAAN TERHADAP


PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA (STUDI KASUS
PUTUSAN PENGADILAN TAHUN 1998-2013)

SKRIPSI

JUSTITIA AVILA VEDA


1106056466

FAKULTAS HUKUM
DEPOK
JUNI 2015
UNIVERSITAS INDONESIA

PENERAPAN PASAL 134 KUHP TENTANG PENGHINAAN


TERHADAP PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI
INDONESIA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN
TAHUN 1998-2013)

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

JUSTITIA AVILA VEDA


1106056466

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN KEJAHATAN
DEPOK
JUNI 2015

i
 
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan, yang karena berkat rahmat dan hidayat-
Nya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penerapan Pasal 134
KUHP Tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Tahun 1998-2013)” sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Penulis dalam hal ini mendapatkan banyak bimbingan, pengarahan, dan
bantuan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini
Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini yaitu sebagai
berikut.
1. Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. sebagai Pembimbing Penulis yang
telah banyak membantu dan direpotkan disela-sela kesibukan beliau yang
sangat padat dan masih dapat memeriksa dan membimbing Penulis
dengan memberikan banyak masukan yang berguna bagi Penulis dalam
proses Penulisan skripsi ini;
2. Ibu Sri Laksmi Anindita, S.H., M.H. sebagai Pembimbing Akademis
Penulis selama berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang
selalu memudahkan dan membantu Penulis selama masa perkuliahan
serta selalu siap dan mudah untuk melakukan konsultasi akademik
selama Penulis berkuliah;
3. Tim Dosen Penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji
skripsi ini;
4. Supardi, S.H., M.Kn., dan Erna Ristiani S.H., M.Kn., kedua Orang Tua
Penulis yang selalu mendidik, merawat dan selalu memberikan dukungan
atas cita-cita Penulis, juga seluruh anggota keluarga besar penulis yang
namanya tidak bisa disebutkan satu persatu;
5. Kawan-kawan seperjuangan dalam berkompetisi, Valeryan Natasha,
Greita Anggreini, Fitri Amelina, Anissa Noor, Victor Ricardo, para
senior yang telah membantu penulis mencapai prestasi, Yahdi

iv
Salampessy, Damianagatayuvens Chandra, Rangga Sujud Widigda, serta
anggota keluarga besar Indonesian Law Debating Society (ILDS)
Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang tidak bisa disebutkan satu
persatu;
6. Seluruh narasumber yang telah memberikan pengetahuan, informasi, dan
data-data yang Penulis butuhkan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Terima kasih kepada Bapak Suppriyadi Widodo Eddyono (ICJR),
Erasmus Napitupulu (ICJR), Tri Agus Siswowihardjo (PIJAR), Ignatius
Haryanto (LSPP), dan kawan Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya,
khususnya Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang
telah memperkenalkan penulis dengan isu kebebasan berekspresi;
7. Rekan kerja di Citizens’ Alliance for North Korean Human Rights
(NKHR), Joanna Hosaniak dan Michele Sonen, serta kawan penulis,
Maria Bischoff yang selalu menyemangati penulis saat mengerjakan
skripsi ini di Seoul;
8. Sahabat-sahabat terbaik penulis selama di kampus, Karina Larasati Putri,
Anugerah Wicaksono, Mikha Ogung Jonathan Panggabean, Camelia
Rahmawati, Azhari Zaki Sentanu, dan kawan-kawan Kamar Angkatan
(Kamang) yang tidak bisa disebutkan semuanya;
9. Gigay Citta Acikgenc, sahabat karib penulis yang senantiasa
mendengarkan dan memberikan saran bagi penulis selama ini, serta
seluruh anggota Komunitas Sekolah Kita Rumpin;
10. Randhy Prasetya, pasangan yang telah merangkap sebagai kakak,
sahabat, orang tua, guru, dan rival yang selalu memberikan dukungan dan
membantu penulis menghadapi segala rintangan yang ada;
11. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah
memberikan ilmu yang tiada ternilai harganya kepada Penulis semasa
perkuliahan berlangsung;
12. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang
telah banyak membantu Penulis untuk pengurusan atas mata kuliah
maupun hal-hal lainnya yang berkaitan dengan membantu Penulis
semasa perkuliahan;

v
13. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan, motivasi, dukungan, doa, dan semangat untuk
penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Akhir kata, Penulis mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf
yang sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan. Penulisan
ini terntunya tidak terlepas dari segala kekurangan, baik dari segi materi maupun
segi teknis Penulisan. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pihak yang
akan membacanya dan menjadi sumber pengetahuan untuk kemajuan ilmu hukum
di bumi Indonesia.

Jakarta, Juni 2015

Penulis

vi
ABSTRAK
Nama : Justitia Avila Veda
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Penerapan Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan terhadap
Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Tahun 1998-2013)

Ketentuan mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden


diatur dalam pasal 134, 136bis, dan pasal 137 KUHP. Pasal ini muncul sebagai
adopsi dari pasal penghinaan terhadap Raja dan Ratu Belanda yang turut
diberlakukan di Indonesia pada era sebelum kemerdekaan berdasarkan asas
konkordansi. Setelah kemerdekaan, ketentuan tersebut dipertahankan namun
dengan penyesuaian berupa perubahan pada frasa “Raja” dan “Ratu” menjadi
“Presiden” dan “Wakil Presiden”. Sejak periode rezim pemerintahan Soeharto,
ketentuan tersebut, khususnya pasal 134 KUHP banyak digunakan untuk
mengkriminalisasi ungkapan, tulisan, atau perbuatan yang dinilai mencemarkan
nama baik Presiden dan Wakil Presiden. Ketiadaan parameter untuk
mengidentifikasi rasa keterhinaan menyebabkan unsur menghina dimaknai secara
kabur oleh para hakim yang mengacu pada politik hukum pidana masing-masing
rezim tanpa mempertimbangkan situasi kebatinan yang ada. Adanya potensi
kelenturan pemaknaan pasal yang bisa melanggar kebebasan berekspresi
mendorong adanya pencabutan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden oleh Mahkamah Konstitusi. Skripsi ini berusaha membuktikan
kecenderungan pemaknaan pasal 134 KUHP secara luas melalui analisis terhadap
putusan pengadilan, ditunjang dengan dokumen-dokumen sejarah yang ada, di
samping membandingkan keberadaan ketentuan tersebut dengan ketentuan serupa
di beberapa negara lain.

Kata kunci: Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, Lèse-Majesté, Politik


Hukum Pidana, Animus Injuriandi.

viii
ABSTRACT

Name : Justitia Avila Veda


Study Program : Law Studies
Title : The Implementation of Article 134 Indonesian Penal Code
regarding Defamation Towards President and Vice President in
Indonesia (Case Studies on Court Decisions 1998-2013)

Defamation towards President and Vice President of Republic of


Indonesia is regulated in Article 134, 136bis, and article 137 Indonesian Penal
Code. These articles were adopted from the originals regulating defamation
towards King and Queen of Dutch Monarch, which was enforced in Indonesia in
pre-independence period upon concordance basis. After the independence, those
articles were maintained after getting through a conformation—replacement of
“King” and “Queen” phrases with “President” and “Vice President”. Since the
Soeharto era, those articles, especially article 134, were regularly used to
criminalize oral or written expression, and also dissent behavior which were
valued as insulting and jeopardizing the image of President or Vice President. The
absence of parameter to identify the feeling of being insulted caused the obscure
interpretation of the “defaming” aspect in article 134. The judges gave the
interpretation in the compliance with the politics of criminal law of each regime,
neglecting the ongoing social situation. The possibility of interpreting the law
widely could result on the abuse of freedom of expression, and according to it,
Constitutional Court of Republic of Indonesia decided those existing laws on
defamation towards President and Vice President were void. This thesis aims to
prove the flexibility in interpreting the law, through analyzing court decisions
supported with studies on historical documents regarding defamation towards the
head of the State. This thesis also compared the law of defamation, especially
defamation towards the President and Vice President in Indonesia with other
countries.

Keywords: Defamation towards President and Vice President, Lèse-Majesté,


Politics on Criminal Law, Animus Injuriandi.

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................. i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .............. vii
ABSTRAK ................................................................................................. viii
DAFTAR ISI .............................................................................................. x
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Pokok Masalah .................................................................................. 13
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 13
1.4 Tinjauan Pustaka .............................................................................. 14
1.5 Definisi Operasional ......................................................................... 15
1.6 Metode Penelitian ............................................................................. 18
1.7 Kegunaan Penelitian.......................................................................... 20
1.8 Sistematika Penulisan ....................................................................... 21

BAB 2 TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA PENGHINAAN


PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
2.1 Tindak Pidana Penghinaan .............................................................. 23
2.1.1 Pengertian Tindak Pidana Penghinaan .................................. 25
2.1.2 Objek atau Sasaran Tindak Pidana Penghinaan ..................... 27
2.1.3 Perbuatan Tindak Pidana Penghinaan.................................... 30
2.2 Tindak Pidana Penghinaan dalam KUHP ......................................... 30
2.2.1 Penghinaan Umum ................................................................. 31
2.2.1.1 Penistaan ................................................................... 34
2.2.1.2 Menista dengan Surat atau Tulisan ........................... 37
2.2.1.3 Fitnah ........................................................................ 37
2.2.1.4 Penghinaan Ringan ................................................... 39
2.2.1.5 Pengaduan yag Bersifat Memfitnah .......................... 40
2.2.1.6 Tuduhan Memfitnah ................................................. 41
2.2.1.7 Penistaan terhadap Orang yang Sudah Meninggal ... 42
2.2.2 Penghinaan Khusus ................................................................ 43
2.2.3 Penghinaan sebagai Delik Politik .......................................... 46
2.3 Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ................ 52
2.3.1 Sejarah Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden .................................................................................. 52
2.3.2 Bentuk Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden .................................................................................. 57
2.3.3 Unsur Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden .................................................................................. 65

x
2.3.4 Perbandingan Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden (Pasal 134 KUHP) dengan Tindak Pidana
Penghinaan (Pasal 310 KUHP) .............................................. 71

BAB 3 PERBANDINGAN PASAL 134 KUHP DENGAN DELIK


PENGHINAAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI
BERBAGAI NEGARA
3.1 Pengaturan Kejahatan Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di
Berbagai Negara ............................................................................... 80
3.1.1 Belanda ................................................................................ 85
3.1.2 Inggris .................................................................................. 92
3.1.3 Thailand ................................................................................ 102
3.1.4 Perancis ................................................................................. 110
3.1.5 Amerika Serikat .................................................................... 119
3.2 Perbandingan Ketentuan Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
di Indonesia dan di Beberapa Negara ............................................... 126

BAB 4 ANALISIS PENERAPAN HUKUM PASAL 134 KUHP


TENTANG PENGHINAAN PRESIDEN DAN WAKIL
PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA
DALAM PUTUSAN PENGADILAN INDONESIA TAHUN
1998-2013
4.1 Komunikasi Politik dalam Pengambilan Kebijakan ........................ 128
4.2 Studi Dokumen ................................................................................. 135
4.2.1 Dokumentasi Pemberitaan Rezim Pemerintahan Presiden
Soeharto ................................................................................. 135
4.2.2 Dokumentasi Pemberitaan Rezim Pemerintahan Presiden
Bacharuddin Jusuf Habibie .................................................... 146
4.2.3 Dokumentasi Pemberitaan Rezim Pemerintahan Presiden
Abdurrachman Wahid ............................................................ 147
4.2.4 Dokumentasi Pemberitaan Rezim Pemerintahan Presiden
Megawati Soekarnoputri ........................................................ 149
4.2.5 Dokumentasi Pemberitaan Rezim Pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono ................................................. 154
4.3 Hasil Wawancara ............................................................................. 158
4.3.1 Tri Agus Siswowihardjo ........................................................ 158
4.3.2 Monang Johanes Tambunan .................................................. 159
4.4 Pemetaan Dinamika Politik Pemidanaan Rezim Pemerintahan ........ 160
4.4.1 Rezim Pemerintahan Presiden Soeharto ................................ 161
4.4.2 Rezim Pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie ... 170
4.4.3 Rezim Pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid........... 171
4.4.4 Rezim Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri....... 171
4.4.5 Rezim Pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono............................................................................. 176
4.5 Studi Putusan Pengadilan ................................................................. 181
4.5.1 Resume Perkara ..................................................................... 182
4.5.1.1 Putusan No. 1380/Pid.B/2002/PN.Jak.Sel ................ 182
4.5.1.2 Putusan No. 1879/PID.B/PN.JKT.PST ..................... 190

xi
4.5.1.3 Putusan No. 484/Pid.B/2003/PN.JKT.PST ............... 196
4.5.1.4 Putusan No. 1411/PID.B/2006/PN.JKA.PST ........... 202
4.5.2 Analisis Unsur Pasal 134 KUHP ........................................... 211
4.5.2.1 Putusan No. 1380/Pid.B/2002/PN.Jak.Sel ................ 206
4.5.2.2 Putusan No. 1879/PID.B/PN.JKT.PST ..................... 223
4.5.2.3 Putusan No. 484/Pid.B/2003/PN.JKT.PST ............... 232
4.5.2.4 Putusan No. 1411/PID.B/2006/PN.JKA.PST ........... 239

BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 252
5.2 Saran ................................................................................................. 254

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 256

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tindak Pidana Penghinaan Umum ........................................... 32


Tabel 2.2 Tindak Pidana Penghinaan Khusus .......................................... 44
Tabel 3.1 Perbandingan Ketentuan di Negara Monarkhi Konstitusional 126
Tabel 3.2 Perbandingan Ketentuan di Negara Republik .......................... 126
Tabel 4.1 Data Kasus Penyebaran Kebencian terhadap Pemerintah pada
Rezim Pemerintahan Presiden Soeharto ..................................... 138
Tabel 4.2 Studi Dokumen Masing-Masing Rezim Pemerintahan ................. 156
Tabel 4.3 Pemaknaan Unsur Pasal 134 KUHP dalam Putusan Pengadilan .. 250

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Diagram irisan Delik Penghinaan Umum, Delik Penghinaan


Khusus dan Pasal 134 KUHP ................................................... 72
Gambar 4.1 Grafik Fluktuasi Jumlah Perkara Penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden Tahun 1998-2013 ............................................ 157

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Wawancara dengan Terpidana Pasal 134 KUHP Tri Agus


Siswowihardjo
Lampiran 2 Wawancara dengan Terpidana Pasal 134 KUHP Monang Johannes
Tambunan
Lampiran 3 Halaman depan Putusan No. 1380/Pid.B/2002/PN.Jak.Sel
Lampiran 4 Halaman depan Putusan No. 1879/PID.B/PN.JKT.PST
Lampiran 5 Halaman depan Putusan No. 484/Pid.B/2003/PN.JKT.PST
Lampiran 6 Halaman depan Putusan No. 1411/PID.B/2006/PN.JKA.PST
Lampiran 7 Halaman depan Putusan No. 159/PID/2007/PT.DKI
Lampiran 8 Halaman depan Putusan No. 70K/Pid/2008
Lampiran 9 Halaman depan Putusan No. 153/PK/PID/2010

xv
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


In the absence of justice, what is sovereignty but organized robbery?
-St. Augustine

Petikan kalimat di atas menunjukkan bagaimana suatu kedaulatan


kehilangan makna ketika keadilan tidak menyertai keberadaannya. Dalam konteks
demokrasi di Indonesia, petikan kalimat di atas menjadi sangat relevan jika
dikaitkan dengan proses penyerahan kedaulatan warga negara kepada orang-orang
yang mereka pilih melalui pemilihan umum.1 Orang-orang ini nantinya bertugas
untuk mengurus konstituennya dengan membuat regulasi, menjalankan fungsi
administrasi, maupun mendorong penegakan hukum itu sendiri.2 Masyarakat
sebagai pihak yang pemberi kedaulatan, berhak dan berkewajiban untuk
mengawasi jalannya pemerintahan.3 Fungsi pengawasan ini diwujudkan dalam
berbagai bentuk seperti mengajukan pengujian undang-undang, melakukan
pelaporan kinerja kepada Ombudsman, atau bahkan dalam tingkat yang paling
sederhana, memberikan kritik dan pendapat atas kinerja negara.
Kekritisan masyarakat untuk mengajukan pendapat dalam mengkritisi
negara bukan lagi menjadi hal yang ganjil dalam beberapa dekade terakhir. Cara
untuk mengajukan pendapat dan kritik tersebut beraneka ragam; mulai dari kritik
tertulis hingga aksi demonstrasi massal yang tak jarang lekat dengan anarkisme
                                                                                                                       
1
Ide besar penyerahan kedaulatan yang demikian diperkenalkan oleh Jean Jacque
Rosseaudalam bukunya Du Contract Social. Rosseau menyatakan bahwa pada awalnya manusia
membentuk masyarakat (pactum unionis) untuk mengurus dirinya dalam perdamaian. Hal tersebut
ternyata tidak cukup karena keonaran masih saja terjadi, sehingga dipilihlah segelintr orang yang
ditugaskan untuk melakukan pengaturan (pactum subjectionis). Lihat: Tim Ilmu Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Ilmu Negara, Depok: Penerbit FHUI, 2010.
2
Ketiga fungsi ini dikenal sebagai Trias Politica yang diperkenalkan oleh Montesquieu.
Pada dasarnya, pelaksana fungsi negara yang dipilih langsung adalah kepala pemerintahan dan
lembaga legislatif. Lihat: Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara I, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm. 35
3
Pengawasan ini semata bertujuan untuk melindungi HAM warga negara sebagai salah satu
pilar dari negara hukum. Lihat: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, hlm. 55.
www.jimly.com diunduh pada 12 Februari 2015.

Universitas Indonesia
2

dan vandalisme. Di tahun 2003, 2 (dua) orang aktivis bernama Nanang dan
Mudzakir melakukan aksi demonstrasi dengan menginjak-injak gambar Megawati
Seokarno Putri sembari menyampaikan pendapatnya di muka Istana Merdeka atas
kenaikan harga listrik, telepon, dan BBM.4 Keduanya dijatuhi hukuman 1 (satu)
tahun penjara dengan dalih telah melakukan penghinaan terhadap Presiden.
Sebelum peristiwa itu terjadi, seorang aktivis bernama Iqbal Siregar melakukan
protes dengan membuat poster bergambar Presiden Megawati dengan jargon
“Buronan Rakyat” bersama kawan-kawannya.5 Akibatnya, ia ditangkap dan
didakwa telah melakukan penghinaan kepada Presiden. Ketiga orang aktivis
tersebut adalah segelintir dari puluhan anggota masyarakat yang ditangkap dan
didakwa dengan kejahatan melakukan penghinaan Presiden. Merespon ekshalasi
demonstrasi atas kebijakan moneter yang mengguncang perekonomian
masyarakat, Presiden Megawati mengambil kebijakan berupa penangkapan aktivis
pasca dikeluarkannya pernyataan bahwa Presiden ketika itu mengutuk siapapun
yang menentang pemerintah.6 Dengan berbekal pasal penghinaan Presiden
dan/atau wakil Presiden dalam KUHP, yaitu pasal 134, 136bis, dan pasal 137,
negara melakukan kriminalisasi terhadap mereka yang pendapatnya dinilai
mengganggu kehormatan negara. Tindak kriminalisasi melalui kebijakan negara
ini adalah jelmaan dari apa yang dimaksud dengan ‘organized robbery’ seperti
yang dikatakan St. Agustine, di mana kedaulatan rakyat dikuasai oleh penguasa
untuk kemudian digunakan untuk membungkam hak-hak mereka.
Pilihan tindakan yang dilakukan Presiden Megawati ini masih
dilaksanakan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menduduki kursi
pemerintahan. Pada tahun 2005, I Wayan Gendo Suardana yang saat itu menjabat
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Bali ditangkap
dan dijatuhi hukuman 6 (enam) bulan penjara karena mengkritik kebijakan

                                                                                                                       
4
The Jakarta Post, “Violence Erupts as Street Demonstration Heighten”, 8 Januari 2003.
5
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Position Paper: Kejahatan
Pertahanan dan Keamanan Negara, hlm 21.
6
Pernyataan ini dikeluarkan pada tanggal 8 Juli 2002. Selain itu, Megawati juga
memberikan pernyataan bahwa lambang-lambang negara harus dihormati. Kebijakan tersebut
dinilai terlalu keras dan menyebabkan kebebasan berpendapat menjadi terbungkam. Dalam laporan
tahunan Human Rights Watch, disebutkan bahwa pilihan kebijakan B.J. Habibie dan Abdurrahman
Wahid jauh lebih moderat dan demokratis jika dibandingkan masa pemerintahan Megawati.

Universitas Indonesia
3

kenaikan BBM.7 Tak lama setelahnya, dosen Universitas Indonesia bernama Sri
Bintang Pamungkas juga ditangkap polisi dan diperiksa dengan dugaan telah
melakukan penghinaan Presiden dengan meluncurkan buku “Membongkar
Kebohongan Politik SBY-JK” dan terlibat dalam aksi penurunan foto Presiden.8
Di tahun berikutnya, advokat Eggi Sudjana juga dituduh melakukan kejahatan
yang serupa akibat ia mendatangi KPK untuk melakukan klarifikasi atas dugaan
bagi-bagi mobil Jaguar kepada anggota Istana Kepresidenan.9 Semakin lama,
kriminalisasi dengan dalih telah menghina Presiden semakin tidak berdasar,
dilihat dari kasus-kasus yang terjadi. Melakukan klarifikasi atas tuduhan
gratifikasi yang diterima Presiden dalam rangka memperoleh kejelasan informasi
adalah hak warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD NRI 1945
yang berbunyi, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan diri pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada.”
Nampak bahwa upaya yang dilakukan oleh Eggi Sudjana adalah wujud dari
pengawasan terhadap kinerja negara itu sendiri.
Berbekal ketentuan pasal 28F tersebut, pasal 134, pasal 136bis, dan pasal
137 KUHPidana dimohonkan pengujian materiil oleh Eggi Sudjana di Mahkamah
Konstitusi.10 Masing-masing dari pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Pasal 134, “Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap
Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama
enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah”;

                                                                                                                       
7
Tindakan Gendo yang menyebabkan ia dijebloskan ke dalam penjara adalah pembakaran
foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lihat: “Bakar Foto Presiden Yudhoyono Dipenjara 6
Bulan”, Jumat 10 Juni 2005, http://www.tempo.co/read/news/2005/06/10/05562313/Bakar-Foto-
Presiden-Yudhoyono-Dipenjara-6-Bulan
8
“Sri Bintang Pamungkas Diperiksa Polisi”, Senin, 25 Juli 2005,
http://www.tempo.co/read/news/2005/07/25/05764335/Sri-Bintang-Pamungkas-Diperiksa-Polisi
9
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Op.Cit, hlm. 24.
10
Selain Eggi Sudjana, Pandapotan Lubis juga mengajukan permohonan untuk ketiga pasal
yang sama namun dengan batu uji yang berbeda. Pandapotan menggunakan dasar Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945 tentang persamaan di depan hukum dan Pasal 28 jo. Pasal 28 E ayat (2) dan ayat (3)
UUD 1945 tentang kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, juga prinsip
penghormatan hak asasi orang lain yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Lihat: Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006.

Universitas Indonesia
4

Pasal 136 bis yang berbunyi, “Dalam pengertian penghinaan tersebut


pasal 134, termasuk juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal itu
dilakukan di luar adanya yang terkena, baik dengan tingkah laku di
muka umum, maupun tidak di muka umum dengan perbuatan, lisan
atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di muka orang
ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya dan merasa
tersinggung karenanya”;
Pasal 137 Ayat (1) yang berbunyi, “Barang siapa menyiarkan,
mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau
lukisan yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil
Presiden, dengan maksud supaya isi yang menghina diketahui atau
lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling
lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga
ratus rupiah”; Ayat (2) “Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada
waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua
tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan
semacam itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian
tersebut”;
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi dengan
mengutip Prof. Mardjono Reksodiputro, menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut
berpotensi untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah.
Terlebih lagi, pemaknaan dari pasal penghinaan Presiden tersebut harus
dirujukkan kembali kepada aturan tentang penghinaan yang termaktub dalam Bab
Penghinaan, Pasal 310-321 KUHPidana. Bab Penghinaan dalam KUHPidana
mensyaratkan bahwa bisa tidaknya seseorang dilaporkan akan sangat bergantung
pada tercoreng tidaknya kehormatan, harkat, atau martabat orang yang
bersangkutan.11 Ukuran yang demikian yang menyebabkan delik penghinaan
pasal 310-321 KUHPidana adalah delik aduan,12 berbeda dengan delik
penghinaan Presiden yang merupakan delik biasa di mana siapapun dapat
melaporkan tindak pidana itu kepada pihak yang berwajib. Delik penghinaan

                                                                                                                       
11
S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Bandung: Alumni AHM-
PTHM, 1983, hlm. 560
12
Lamintang mendefinisikan delik aduan (klacht delicten) sebagai tindak pidana yang
hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Delik ini berbeda dengan
delik biasa yang bisa dilaporkan oleh siapapun, tidak perlu mempedulikan korban akan
melaporkan atau tidak. Delik aduan cenderung melingkupi delik-delik yang berkaitan dengan
urusan pribadi seseorang sehingga penyelesaian delik itu akan sangat bergantung pada keinginan
korban. Berbeda dengan delik biasa yang menitikberatkan pada ketertiban dan keamanan
masyarakat secara umum, sehingga jika delik biasa terjadi, seluruh anggota masyarakat memiliki
hak untuk melaporkan perkaranya kepada pihak yang berwajib. Lihat: P.A.F. Lamintang, Dasar-
Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 217.

Universitas Indonesia
5

Presiden sebagai delik biasa ini asal mulanya disebabkan oleh sejarah keberlakuan
KUHPidana. KUHPidana menganut asas konkordansi,13 di mana hukum yang
dimiliki penjajah diberlakukan juga kepada negara jajahannya. Alhasil, artikel 111
Nederlands Wetboek van Strafrecht (WvS Nederland, 1881) yang ketika itu
digunakan menjaga kewibawaan Raja dan Ratu Belanda sebagai simbol negara,
diturunkan menjadi pasal 134, pasal 136bis, dan pasal 137 KUHPidana yang
kemudian dikenal luas sebagai delik penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
Ketika itu ada anggapan bahwa pribadi raja amat dekat dengan kepentingan
negara, sehingga martabat raja memerlukan perlindungan khusus.14 Seiring
dengan pandangan tersebut, muncul pula doktrin bahwa untuk menjaga
martabatnya, raja dan ratu tidak boleh mengadu, sehingga tidak dimungkinkan
artikel 111 WvS menjadi delik aduan.
Dilihat dari orisinalitas normanya, delik penghinaan Presiden ini juga
memunculkan kebingungan terkait posisi Presiden yang seperti apakah yang harus
dihina agar delik ini bisa diterapkan. Seperti warga negara lainnya, Presiden dapat
mengalami penghinaan atas diri pribadinya, namun ia pun dapat mengalami
penghinaan terkait jabatannya. Pun jika dikaitkan dengan jabatannya sebagai
kepala pemerintahan, kritik dan opini atas kinerja pemerintahan adalah suatu
keniscayaan sebagai konsekuensi Indonesia negara demokrasi.15 Berbeda dengan
raja dan ratu pada jaman belanda yang berkedudukan sebagai kepala negara yang
jabatannya memiliki fungsi semantik semata. Alih-alih melindungi kewibawaan,
keberadaan pasal penghinaan Presiden justru lebih berisiko membungkam
kebebasan berekspresi sebagaimana diatur dalam Pasal 28, Pasal 28E ayat (2) dan
ayat (3) UUD NRI 1945,16 karena tafsiran atas pasal itu sendiri sangat longgar.
Sangat sulit untuk mengidentifikasi apakah suatu kritik atau pendapat dianggap

                                                                                                                       
13
Keberadaan asas konkordansi ini menyebabkan Wetboek van Strafrecht (WvS)
diberlakukan di Indonesia dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie (WvS-NI)
Asas konkordansi ini juga berlaku dalam lingkup hukum perdata.
14
Cleiren, C.P.M. & J.F. Nijboer (Redactie), Strafrecht. Tekst & Commentaar, Kluwer,
1994, hlm 700.
15
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Op.Cit,
16
Hal serupa dapat ditemukan dalam Article 19 dari Kovenan Hak-Hak Sipil dan Hak-Hak
Politik sebagai berikut, “everyone shall have the right to freedom of expression: this rights hall
include the freedom to seek, receive, and impart informaton and ideas of any kind.”

Universitas Indonesia
6

menghina Presiden, karena sekalipun banyak kasus penghinaan Presiden yang


telah diputus, tidak sekalipun Presiden pernah dihadirkan untuk didengar ditanyai
apakah dirinya merasa terhina atau tidak.17 Di samping itu, terbukti bahwa
keberlakuan pasal penghinaan Presiden justru menghambat kesempatan
masyarakat untuk memperoleh informasi sebagaimana yang terjadi dalam kasus
Eggi Sudjana. Untuk menghindari kontraproduktivitas yang mungkin dihasilkan
oleh pemberlakuan pasal penghinaan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan
ketiga pasal tadi dicabut. Sebagai gantinya, dapat digunakan pasal dalam Bab
Penghinaan, Pasal 310-321 KUHPidana untuk penghinaan atas diri pribadi, dan
Pasal 207 KUHPidana tentang penghinaan terhadap institusi.
Sepanjang pengujian pasal penghinaan Presiden tersebut hingga jatuhnya
putusan, DPR disibukkan dengan rencana pembaharuan KUHPidana yang sudah
berlangsung semenjak beberapa tahun terakhir.18 Sangat mengejutkan bahwasanya
dalam RKUHP yang sedang dalam proses pematangan, muncul lagi delik
penghinaan Presiden yang tak jauh berbeda dengan delik penghinaan Presiden
yang telah dicabut sebelumnya. Pasal 134 KUHPidana dihidupkan kembali dalam
Pasal 265 RKUHP. Sedangkan Pasal 266 ayat (1) dan ayat (2) RKUHP adalah
modifikasi dari Pasal 136bis dan Pasal 137 KUHP, di mana pada pasal 266 ayat
(1) dan ayat (2) ditambahkan unsur cara (menyiarkan, mempertunjukkan, atau
menempelkan tulisan atau gambar), dan dinyatakan secara tegas bahwa
penghinaan ditujukan untuk diketahui umum.
Penyusunan RKUHP yang demikian hanya akan membuat upaya
Mahkamah Konstitusi untuk menciptakan iklim demokrasi yang akomodatif
terhadap kebebasan berekspresi dan hak atas informasi menjadi sia-sia. Hal serupa
telah sering disuarakan oleh berbagai macam pihak masyarakat, khususnya pihak
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang membentuk Koalisi Penyusunan
RKUHP dan RKUHAP dan lembaga-lembaga HAM lain seperti Komisi Nasional
                                                                                                                       
17
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Op.Cit. hlm 77
18
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia berinisiatif untuk
melakukan penggantian KUHP peninggalan Belanda dengan mengajukan Rancangan KUHP
(RKUHP) ke DPR pada tanggal 11 Desember 2012. Berkas revisi KUHP dengan surat R-
88/Pres/12/2012 tersebut memuat 766 pasal. Jika dibandingkan dengan WvS, revisi KUHP
menambah sekitar 197 pasal. Lihat: Diah Cahyaningrum, Polemik Pasal Penghinaan Presiden
dan Wakil Presiden Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Info
Singkat Hukum Vol. V No. 08/II/P3DI/April/2013

Universitas Indonesia
7

HAM (Komnas HAM) dan lembaga studi HAM dari berbagai macam universitas
lainnya. Mayoritas lembaga-lembaga tersebut menyatakan ketidaksetujuannya
terhadap rencana dimasukkannya lagi pasal penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden ke dalam RKUHP, khususnya dilihat dari segi rumusan pasal yang
dinilai tidak relevan untuk diberlakukan dalam lingkungan demokratis
Indonesia.19 Lembaga-lembaga tersebut dalam diskusi dan penelitiannya
mengkhawatirkan penerapan delik penghinaan Presiden yang demikian hanya
akan membawa kemunduran bagi pemerintahan negara Indonesia sebagaimana
terjadi di masa pemerintahan Soeharto, Megawati, dan Susilo Bambang
Yudhoyono sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Menjadi hal yang menarik
untuk mengelaborasi lebih lanjut mengapa delik tersebut sebenarnya tidak lagi
sesuai kebutuhan masyarakat serta menelaah bagaimana akibat penerapan delik itu
bagi masyarakat di masa sekarang.
Di samping mempertanyakan apakah masyarakat membutuhkan delik ini
atau tidak, perlu dijawab juga apakah delik penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden cocok diterapkan pada iklim negara demokrasi berbentuk republik
seperti Indonesia. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, delik
penghinaan presidan dan wakil Presiden berasal dari hukum pidana Belanda yang
diadopsi oleh Indonesia. Hingga saat ini, negara yang dilengkapi dengan
perangkat kerajaan seperti Belanda20 dan Thailand21 secara aktif menerapkan delik
                                                                                                                       
19
Koalisi RKUHP dan RKUHAP terdiri dari berbagai macam LSM, dan koalisi ini turut
bekerja sama dengan Komnas HAM dan lembaga studi universitas lainnya. Beberapa laporan hasil
diskusi dan penelitian dari kegiatan lembaga-lembaga tersebut adalah Seri Diskusi RUU KUHP #4
terkait Kriminalisasi Atas Ideologi, Pemikiran dan Penghinaan terhadap Presiden/Kebijakan
Pemerintah dan Negara dalam RUU KUHP yang merupakan rangkuman pembahasan oleh
Komnas HAM, ELSAM, Paham Universitas Padjajaran, KAHAM Universitas Diponegoro, dan
PUSHAM Universitas Surabaya. Selain itu, Institute for Juctice Reform (ICJR) mebgeluarkan
policy paper Seri Pembaharruan Hukum Pidana, “Penghinaan dalam Rancangan KUHP” Ancaman
Lama bagi Kebebasan Berekspresi”, demikian pula ELSAM yang mengeluarkan position paper
untuk isu yang sama.
20
Perangkat kerajaan menandakan adanya unsur monarkhi dalam negara yang
bersangkutan. Dalam konteks ini, Belanda berbentuk monarkhi konstitutional, di mana
pelaksanaan negara monarkhi didasarkan pada aturan yang ada dalam konstitusi. Konstitusi
memerintahkan agar monarkh dan pemerintah bersama-sama terlibat dalam jalannya
pemerintahan. Pada awal kemerdekaannya (1579), Belanda merupakan republik yang independen,
namun seiring berjalannya waktu, unsur kerajaan monarkh di Belanda menguat dilihat dari posisi
dan peran kerajan. Lihat: Inter-Parliamentary Union, “Constitutional & Parliamentary
Information: Half Yearly Review of the Association of Secretaries General of Parliaments”, 2013,
diakses pada tanggal 16 Februari 2015,
http://www.asgp.co/sites/default/files/CPI%20206%20Geneva.pdf

Universitas Indonesia
8

serupa. Hukum Pidana Thailand melalui article 112 mengatur bahwa, “Anyone
who defames, insults, or threatens the King, the Queen, the Heir-apparent or the
regent, shall be punsihed with imprisonment of three to fifteen years22. Ketentuan
ini sejalan dengan norma dalam Konstitusi Thailand yang pada bagian 8
menyatakan bahwa, “The King shall be enthroned in a position of revered
worship and shall not be violated. No person shall expose the King to any sort of
accusation or action.” Kejahatan yang disebut lèse-majesté ini tidak
membutuhkan pengaduan dari korbannya, sehingga masyarakat secara umum
dapat melaporkan kejahatan ini kepada pihak yang berwajib. Dalam berbagai
kesempatan, kejahatan ini menyebabkan kriminalisasi yang luar biasa. Salah
seorang turis asing yang mengunjungi restauran di Thailand ditangkap akibat ia
melempar dan menginjak-injak uang bergambar Raja Thailand. Dalam kasus lain,
seorang turis dipenjara selama 6 (enam) bulan karena telah menyobek uang
bergambar Raja Thailand karena kesal ketika di bandara. Di dalam bioskop, para
penonton akan ditangkap pihak kepolisian apabila tidak berdiri ketika lagu
kebangsaan yang menjadi pembuka film diputar. Yang lebih parah, pada tahun
2007, Pemerintah Thailand memblokir YouTube akibat video satir tentang
Kerajaan Thailand. Pengunggah video sekaligus penulis biografi berisi kritik
terhadap Kerajaan Thailand, Paul Handley (WN Australia), dipenjara dan baru
dibebaskan ketika Raja Thailand mengampuninya.23 Perlindungan yang
sedemikian ketat hanya berlaku bagi anggota kerajaan, tidak bagi pejabat publik
lainnya.24
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
21
Thailand adalah negara monarkhi dengan rajanya King Bhumibol Adulyadej yang
menjabat sejak 5 Mei 1950 dan dimandatkan oleh Konstitusi Thailand sebagai kepala negara dan
pelindung agama. Thailand menerapkan konsep penghormatan utama kepada kerajaan. Anggota
kerajaan, khususnya Raja, menggunakan posisinya untuk mengurus negara dalam konteks terjadi
krisis dan menjadi penengah dalam kemandegan politik. Namun raja tidak memiliki wewenang
untuk mengurus masalah administrasi negara. Meskipun begitu, raja dapat meminta pejabat negara
untuk mengundurkan diri dari jabatannya tanpa perlu berdiskusi terlebih dahulu dengan siapapun.
Lihat: Martin Gannon & Rajnandini Pillai. Understanding Global Cultures: Metaphorical
Journeys Through 29 Nations, Clusters of Nations, Continents, and Diversity, Edisi
Keempat.Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc., 2010. Diakses pada tanggal 16 Februari
2015. http://www.sagepub.com/upm-data/47441_chp_2.pdf
22
Clothilde Le Coz, “His Untouchable Majesty: Thailand, Censorship and Imprisonment,
The Abuses in the Name of Lèse-Majesté”, Paris: Reporter sans frontieres, 2009, www.rsf.org
23
Martin Gannon & Rajnandini Pillai, Op.Cit., hlm. 30.
24
Pada Oktober 2007, beberapa anggota militer yang ditunjuk untuk menjadi bagian dari
lembaga legislatif negara mengajukan amandemen untuk memperluas cakupan kejahatan lèse-

Universitas Indonesia
9

Tidak banyak berbeda dengan ketentuan yang berlaku di Thailand,


Belanda juga menerapkan aturan yang serupa. Pada tahun 2007, seorang laki-lakii
berusia 47 (empat puluh tujuh) tahun dikenai denda sebesar € 400 karena
menyebut Ratu Bellatrix sebagai seorang pekerja prostitusi dan mendeksripsikan
beberapa kegiatan seksual yang akan dilakukan lelaki tersebut kepada Ratu
Bellatrix. Tak hanya itu, seorang jurnalis dan rekannya dari majalah internet
Spunk ditangkap karena telah menghina Ratu Belanda karena konten berita
mereka. Konten berita itu sendiri membahas mengenai seorang perempuan yang
mengenakan kaos bertuliskan “Beatrix is Whore”.25 Di antara jangka waktu 2000-
2012 terdapat 19 perkara atas kejahatan Lèse-Majesté dengan ancaman pidana
hingga 5 (lima) tahun penjara.26 Dalam kasus-kasus tersebut, nampak bahwa Raja
dan keturunannya diletakkan sebagai simbol negara yang harus dijaga
kehormatannya sebagai konsekuensi logis bentuk dari negara monarkhi yang
memang lahir dari negara kerajaan. Dalam tangga hierarki negara, anggota
kerajaan memiliki posisi teratas dan dianggap sebagai representasi negara.
Sehingga, penghinaan terhadap kerajaan dapat dimaknai sebagai penghinaan
terhadap wibawa negara. Oleh karenanya, diterapkan hukum Lèse-Majesté yang
menempatkan pemimpin negara dalam posisi yang tidak bisa diganggu gugat atau
dikritik.27 Melihat situasi tersebut, jelas bahwa posisi kepala negara dalam negara
monarkhi sangatlah kontras dengan posisi Presiden sebagai kepala pemerintahan
di negara republik, sehingga penerapan pasal penghinaan kepada Presiden dan
Wakil Presiden seperti yang diterapkan di Indonesia perlu dikaji kembali.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
majesté, termasuk bagi pejabat representatif yang ditunjuk oleh Kerajaan dan juga lembaga
penasihat kerajaan (privy council) karena kedua organ tersebut dianggap menjadi bagian dari
kerajaan. Namun proposal tersebut ditolak. Lihat: International Federation for Human Rights,
“Position Paper: Restrictions on Freedom of Expression through the Lèse-Majesté Law in
Thailand, 2009, diakses pada 16 Februari 2015 https://www.fidh.org/IMG/pdf/thpositionpaper.pdf
25
“Young Reporter Arrested for Insulting Queen”, DutchNews.nl, 1 Agustus 2007, diakses
pada 16 Februari
2015,http://www.dutchnews.nl/news/archives/2007/08/young_reporter_arrested_for_in/
26
Brian van der Bol and Danielle Pindeo, “Meer veroordelingen voor majesteitsschennis
dan werd aangenomen”, 3 Aug. 2012, www.nrc.nl/nieuws/2012/08/03/meer-veroordelingen-voor-
majesteitsschennis-dan-werd-aangenomen sebagaimana dikutip dalam “Public Officials &
Symbols”, International Press Institute, diakses pada 16 Februari 2015
http://www.freemedia.at/ecpm/key-findings/public-officials-symbols.html
27
Lihat Human Rights Watch (2003), Kembali ke Orde Baru Tahanan Politik di Bawah
Kepemimpinan Megawati.

Universitas Indonesia
10

Salah satu sudut pandang yang dapat digunakan untuk menelaah lebih
jauh tentang delik penghinaan Presiden dan Wakil Presiden adalah teori tentang
politik hukum pidana. Politik hukum pidana berkaitan erat dengan kebijakan
penanggulangan kejahatan dalam rangka memberikan perlindungan masyarakat.
Lebih jauh lagi, politik hukum pidana sebagai kunci pengambilan kebijakan
dalam penegakan hukum pidana, diharapkan dapat memberikan kebahagiaan bagi
warga masyarakat, memberikan kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan,
kesejahteraan masyarakat, dan untuk mewujudkan keseimbangan.28 Sehingga,
dapat dikatakan bahwa politik hukum pidana merupakan bagian dari rencana
pembangunan nasional yang memberikan sumbangsih berupa perwujudan
lingkungan sosial yang harmonis.
Mengingat erat kaitannya antara kebijakan hukum pidana dengan
pelaksanaan pembangunan nasional, PBB dalam Laporan Kongres Ke-5 yang
dilakukan pada tahun 1975 di Jenewa merumuskan suatu Guiding Principle yang
berusaha menyatukan dimensi perumusan kebijakan pidana dengan aspek
kejahatan dalam pembangunan nasional. PBB mengemukakan bahwa, “kebijakan
pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus memperhitungkan sebab-sebab
ketidakadilan yang bersifat struktural, termasuk sebab-sebab sosio-ekonomis”.
Postulat yang demikian mendorong para penegak hukum untuk turut
mempertimbangkan adanya kemungkinan kebijakan politik-sosial-ekonomi dalam
rencana program pembangunan nasional yang justru menyebabkan tindak
kejahatan itu sendiri. Misalnya, maraknya penghinaan Presiden pada masa
pemerintahan Presiden Megawati Seokarnoputri disebabkan karena masyarakat
kecewa atas kebijakan kenaikan harga bahan pokok yang berujung pada krisis
moneter. Dalam hal ini jelas bahwa, kejahatan tumbuh subur karena situasi politik
sosial negara atau kebijakan pembangunan itu sendiri menimbulkan faktor
kriminogen.29 Di samping itu, penegakan hukum pidana sebagai pengejewantahan
politik hukum pidana menjadi tidak banyak berarti karena aspek penegakan
hukum pidana menjadi kontraproduktif dengan kebijakan politik, sosial, dan
                                                                                                                       
28
Shafrudin, Pelaksanaan Politik Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan,
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hlm 28
http://eprints.undip.ac.id/24268/1/Shafrudin.pdf diakses pada 23 Februari 2015.
29
Ibid.

Universitas Indonesia
11

ekonomi itu tadi, padahal keduanya merupakan bagian dari satu rencana
pembangunan nasional yang sama.
Mayoritas kasus penghinaan Presiden disebabkan karena ketidakpuasan
masyarakat atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang sedang berkuasa.
Banyak anggota masyarakat yang kemudian mengemukakan kritik dan opininya
melalui berbagai variasi ekspresi dan media. Hal itu bertujuan untuk menunjukkan
kepada pemerintah adanya suatu kebijakan yang tidak sesuai keinginan dan
kebutuhan masyarakat, menegaskan bahwa masyarakat tidak berada pada situasi
yang makmur dan tertib. Namun, upaya mengajukan kritik itu lebih banyak
ditanggapi dengan kriminalisasi sebagai perwujudan politik hukum pidana.
Kriminalisasi ini dirasa perlu, karena beberapa ahli berpendapat bahwa kejahatan
penghinaan terhadap Presiden berpotensi mengganggu keamanan nasional dan
jalannya pemerintahan, mengingat Presiden adalah orang yang memegang kendali
negara. Sehingga, untuk menghindari kerugian dan gangguan kepentigan umum
yang lebih masif, delik penghinaan Presiden harus diberlakukan.
Sedikit berbeda dengan pendapat sebelumnya, Penjelasan RKUHP
memberikan argumentasi bahwa delik penghinaan Presiden dirasa perlu karena
karena pada hakikatnya, penghinaan merupakan perbuatan yang sangat tercela
karena menyerang atau merendahkan martabat manusia (menyerang nilai
universal). Kemudian dalam penjelasan lanjutannya, dinyatakan bahwa
merupakan hal yang ganjil apabila terdapat pengaturan tentang penghinaan
terhadap orang biasa, lambang negara, lagu kebangsaan, lambang negara, pejabat
umum, dan kepala negara sahabat, namun penghinaan terhadap Presiden
ditiadakan. Dari uraian tersebut, nampak bahwa RKUHP berusaha
menyamaratakan aturan, bahwasanya penghinaan terhadap orang biasa, simbol
negara, Presiden negara, dan lain-lain harus disamakan. Namun penjelasan
RKUHP menunjukkan inkonsistensi dengan menyatakan bahwa status atau posisi
Presiden berbeda dengan orang biasa dan pejabat lainnya, padahal sebelumnya
RKUHP menuntut perlakuan yang sama atas penghinaan terhadap siapapun atau
apapun. Dari kondisi tersebut jelas bahwa terdapat permasalahan dalam tahap
formulasi kebijakan pidana di mana RKUHP sendiri gagal menjawab mengapa

Universitas Indonesia
12

delik penghinaan Presiden ini dibutuhkan dan relevan untuk diberlakukan di


Indonesia.
Kesalahan dalam penyusunan kebijakan pemidanaan sebagai
pengejawantahan dari politik pidana, dapat memberikan efek domino, di mana
kebijakan turunannya akan ikut menjadi salah karena mengacu pada kebijakan di
atasnya. Hal ini sudah terjadi di Indonesia, di mana dalam beberapa rezim,
pemerintah melakukan kriminalisasi secara masif terhadap pelaku yang dituduh
melakukan penghinaan tanpa memiliki parameter mengenai kualifikasi tindakan
yang selayaknya disebut sebagai penghinaan. Alhasil, segala jenis kritik dan opini
yang berseberangan dengan kedudukan Presiden secara serampangan disebut
sebagai penghinaan. Jika mengacu pada teori Pound tentang hukum sebagai alat
pembentuk situasi sosial, maka kebijakan hukum yang demikian justru bisa
menyebabkan situasi demokrasi yang buruk. Hukum yang demikian bisa
mendorong terjadinya peningkatan tindak pidana serupa dikarenakan masyarakat
tidak puas atas tindakan negara. Dari sudut pandang lain, hukum yang demikian
bisa jadi membungkam kebebasan berekpresi yang menyebabkan ketakutan bagi
warga negara untuk mengemukanan pendapat dan gagasannya. Dengan demikian,
politik hukum Indonesia menjadi gagal untuk mewujudkan tujuan hakikinya;
kebahagiaan masyarakat, kehidupan kultural yang sehat, kesejahteraan
masyarakat, atau keseimbangan.
Mengacu pada uraian tersebut, penulis tertarik untuk membedah lebih
dalam bagaimana keberadaan delik penghinaan Presiden yang kemudian sudah
dinyatakan dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini penting, mengingat
RKUHP sendiri berusaha menghidupkan kembali delik penghinaan Presiden
dengan rumusan pasal yang sangat mirip dengan ketiga pasal KUHP yang sudah
dicabut. Pembahasan mengenai hal ini tidak akan bisa dipisahkan dari topik hak
kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, namun penulis ingin membatasi
ruang lingkup yang ada pada tataran telaah ilmu pidana dan politik hukum pidana
saja. Pembahasan mengenai kaitan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
amatlah kompleks karena melibatkan berbagai disiplin ilmu lain seperti sosiologi,
politik, kriminologi, dan lain-lain, yang mana tidak mampu diakomodasi dalam
penulisan skripsi ini.

Universitas Indonesia
13

Dalam tulisan ini, penulis akan memfokuskan pada analisis penerapan


pasal 134 KUHPidana sebagai pasal dasar delik penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden. Berbekal telaah atas penerapan pasal tersebut, penulis ingin memetakan
kerancuan pendefinisian pasal yang sewaktu-waktu dapat diterapkan secara
sewenang-wenang oleh negara. Kerancuan ini akan nampak dalam pertimbangan
hakim dalam putusan pengadilan selama rentang waktu tahun 1998-2013. Melalui
proses anotasi putusan itu, penulis juga ingin melihat kemungkinan munculnya
interpretasi yang beraneka ragam, mengingat temuan awal yang menunjukkan
bahwa masing-masing rezim memiliki caranya sendiri untuk menangani kejahatan
penghinaan Presiden.

1.2. Pokok Masalah


Bertitik tolak pada pandangan tersebut maka kajian ini dikhususkan
untuk menjabarkan beberapa persoalan antara lain:
1. Bagaimana penerapan Pasal 134 KUHpidana tentang penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam berbagai putusan
pengadilan Indonesia tahun 1998-2013?
2. Apakah terdapat variasi pemaknaan unsur Pasal 134 KUHPidana dalam
putusan pengadilan Indonesia tahun 1998-2013?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaturan dan penerapan tindak
pidana penghinaan terhadap Presiden dan/atau wakil Presiden yang termaktub
dalam KUHP dan berusaha dihidupkan kembali dalam RKUHP, khususnya Pasal
134 KUHPidana. Penelitian ini ingin memaparkan bahwa terdapat kerancuan dari
penggunaan pasal yang bersangkutan, yang mana diakibatkan oleh perbedaan
politik hukum penerapan pasal tersebut dalam setiap rezim pemerintahan.

1.3.2 Tujuan khusus


Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

Universitas Indonesia
14

a. Menguraikan Pasal 134 KUHpidana tentang penghinaan terhadap Presiden


dan Wakil Presiden dalam berbagai putusan pengadilan Indonesia tahun
1998-2013;
b. Mengidentifikasi ada tidaknya variasi pemaknaan unsur Pasal 134
KUHPidana dalam putusan pengadilan Indonesia tahun 1998-2013.

1.4 Tinjauan Pustaka


a. Dalam buku yang berjudul Tindak Pidana terhadap Kehormatan:
Pengertian dan Penerapannya yang disusun oleh Leden Merpaung, S.H.
dan diterbitkan oleh PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, diuraikan
mengenai tindak pidana kehormatan secara umum, yang di dalamnya
bentuk-bentuk penghinaan, alasan pembenar, serta penanganan tindak
pidana terhadap kehormatan. Selain itu, buku ini juga menjelaskan tindak
pidana tehadap kehormatan khusus, termasuk di dalamnya adalah
penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian,
buku ini penting digunakan untuk memberikan pemaparan awal mengenai
tindak pidana penghinaan umum dan penghinaan khusus dalam penelitian
penulis ini.
b. Dalam buku yang berjudul Delik-Delik Khusus: Kejahatan-Kejahatan
terhadap Kepentingan Hukum Negara yang disusun oleh Drs. P.A.F.
Lamintang dan diterbitkan oleh Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1987,
diuraikan secara komprehensif mengenai pemaknaan pasal 134, pasal
136bis, dan pasal 137 KUHP yang merupakan pasal-pasal tentang
penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Buku ini memberikan
rincian mengenai sejarah, pemaknaan unsur, ilustrasi serta perdebatan para
ahli terkait penerapan pasal, sehingga buku ini sangat dibutuhkan penulis
untuk bisa memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai tindak
pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, mulai dari pertama kali
diterapkan hingga perkembangannya di masa sekarang.
c. Dalam buku berjudul Delik Politik di Indonesia yang disusun oleh Dr.
Loebby Loqman, S.H., M.H., dan diterbitkan oleh IND-HILL-CO, Jakarta,
1993, diuraikan mengenai kejahatan keamanan negara, khususnya terkait

Universitas Indonesia
15

dengan delik-delik politk yang ada baik di dalam maupun di luar KUHP
serta analisis yurisprudensi atas perkara-perkara kejahatan politik. Buku
ini penting untuk membantu penulis memberikan pemaparan mengenai
delik politik yang dikenal di Indonesia, dan kaitannya dengan politik
hukum pidana yang diterapkan oleh Pemerintah.
d. Dalam buku berjudul International Libel and Privacy Handbook yang
disusun oleh Charles J. Glasser JR. dan diterbitkan oleh John Wiley &
Sons, Inc., New Jersey, tahun 2013, diuraikan secara komprehensif hukum
penghinaan dan perlindungan privasi di beberapa yang terletak di Benua
Amerika, Asia dan Australia. Dalam buku ini, dibahas mengenai
instrumen hukum yang dapat digunakan untuk mengatasi penghinaan,
formulasi hukum, pengaturan penghinaan terhadap pejabat publik, dan
penggunaan argumentasi demi kepentingan umum di banyak negara.
Dengan demikian, buku ini dibutuhkan penulis untuk membandingkan
pengaturan mengenai penghinaan di Indonesia, khususnya penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden dengan pengaturan di negara lainn.
e. Dalam buku berjudul Libel Law, Political Criticsm, and Defamation of
Public Figures yang disusun oleh Peter Nkrumah dan diterbitkan oleh
LFB Scholarly Publishing, New York, 2004, diuraikan konsep dasar
mengenai ekspresi politis dan konsep demokrasi, filosofi dari kebebasan
berekspresi, analisis historis dari pemberlakuan hukum penghinaan di
Amerika, Australia, dan Eropa. Buku ini sangat signifikan bagi penulisan
karya ini karena substansinya memberikan alternatif pengaturan
penghinaan di negara lain yang lebih relevan dan kompatibel untuk
diterapkan di negara-negara demokratis seperti Indonesia.

1.5 Definisi Operasional


Untuk mempermudah pengerjaan dan pemahaman dalam penelitian,
diperlukan penjelasan mengenai istilah-istilah penting yang akan banyak ditemui
nantinya. Penjelasan yang termaktub dalam kerangka definisi oeprasional ini akan
menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan

Universitas Indonesia
16

diteliti.30 Definisi-definisi ini berguna untuk menjadi pedoman atau pengarah yang
lebih konkrit.31 Adapun dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan beberapa
konsep sebagai berikut:
1. Tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
Tindak pidana penghinaan Presiden adalah tindak pidana dengan sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik Presiden dan Wakil Presiden.32
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 134 KUHP sebagai pasal umum,
Pasal 136 bis KUHP mengatur apabila penghinaan dilakukan tanpa
kehadiran korbannya, dan Pasal 137 KUHP ayat (1) mengatur tentang
penghinaan secara tertulis serta ayat (2) mengatur tentang penghinaan
yang dilakukan selama masa pencaharian. Secara umum, tindak pidana
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini mencakup juga tindakan
smaad (menista lisan), smaadschrift (menista dengan tulisan), laster
(fitnah), eenvoudige beledigin (penghinaan biasa), dan lastrlijke aanklacht
(pengaduan atau laporan palsu).33
2. Tindak pidana penghinaan biasa
Tindak pidana penghinaan ini adalah tindak pidana penghinaan yang
ditujukan kepada orang biasa, sebagaimana diatur dalam Bab XVI KUHP
tentang Penghinaan. Tindak pidana ini terdiri dari penghinaan lisan,
penghinaan dengan tulisan, fitah, laporan atau aduan palsu, sangkaan
palsu, dan penghinaan tergadap orang mati.
3. Kejahatan Politik
Kejahatan politik atau yang sering disebut dengan delik politik adalah
kejahatan yang menentang pemerintah yang sah, yang kebetulan sedang
berkuasa dan sekaligus dipandang sebagai kejahatan terhadap keamanan
negara dan ketertiban negara. Pada Konferensi Internasional tentang

                                                                                                                       
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2012, hlm. 132.
31
Ibid., hlm. 133.
32
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Op.Cit, hlm. 44.
33
Lihat Soesilo (1996), KUHP, Politea, ,Bogor, hlm. 121. Lihat juga pendapat Noyon-
Langemeijer dalam Lamintang (1987), Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan terhadap
Kepentingan Umum Negara Sinar Baru, Bandung, hlm. 268. Lihat juga pendapat Prof. Mardjono
dalam Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006.

Universitas Indonesia
17

hukum pidana keenam di Kopenhagen tahun 1935, kejahatan politik ini


dideskripsikan sebagai suatu kejahatan yang ditujukan terhadap organisasi
atau fungsi negara atau terhadap hak- hak warga yang diturunkan darinya.
4. Politik hukum pidana
Politik hukum pidana atau Strafrechtspolitiek menurut A. Mulder ialah
garis kebijakan untuk menentukan: 1) Seberapa jauh ketentuan-ketentuan
pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui; 2) Apa yang dapat
diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana; 3) Cara bagaimana
penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus
dilaksanakan.34 Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, politik hukum
pidana pada dasarnya mencakup tindakan memilih nilai-nilai dan
menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kenyataannya. Politik untuk
mencegah terjadinya delinkuensi dan kejahatan: dengan lain perkataan,
maka politik hukum pidana merupakan upaya untuk secara rasional
mengorganisasikan reaksi-reaksi sosial rasional mengorganisasikan reaksi-
reaksi sosial terhadap delinkuensi dan kejahatan.35
5. Kebebasan berekspresi
Kebebasan berekspresi adalah kebebasan untuk mengeluarkan pendapat
sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 termasuk di
dalamnya untuk berkomunikasi, memperoleh, dan menyampaikan
informasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 F UUD NRI 1945. Meskipun
begitu, hak ini termasuk dalam kategori hak yang dapat dikurangi dengan
pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD NRI 1945. Kebebasan
berkspresi ini juga termaktub dalam Pasal 19 Kovenan tentang Hak-Hak
Sipil dan Hak-Hak Politik, sebagai berikut, “(1) everyone shall have the
right to hold opinions without interference; (2) everyone shall have the
right to freedom of expression; this right shall include the freedom to seek,
receive, and impart information and ideas of all kinfds, regardless of

                                                                                                                       
34
A. Mulder, Strafrechtpolitiek, Delic en Delinkwen, 1980, hal. 333.
35
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Semarang: Fakultas Hukum Undip
Semarang, hal 16.

Universitas Indonesia
18

frontiers, either orally in writing or in print, in the form art or through any
other media of his choice.”36

1.6 Metode Penelitian


Suatu penelitian disebut sebagai penelitian ilmiah disebabkan karena
metode yang digunakan di dalamnya. Metode ini menjadi landasan agar penelitian
dapat berjalan secara sistematis sehingga permasalahan penelitian dapat
dipecahkan. Oleh karenanya, keberadaan metode penelitian sangatlah penting
karena menjadi pedoman bagi penelitian dalam menyelesaikan penelitiannya.
Dilihat dari bentuknya, penelitian ini merupakan penelitian Yuridis Normatif,
yakni penelitian yang digunakan terhadap hukum positif tertulis.37 Bentuk
penelitian ini dipilih untuk memberikan paparan normatif mengenai permasalahan
yang sudah dirumuskan. Permasalahan tersebut dijawab berdasarkan asas-asas,
teori, doktrin, dan juga hukum positif yang relevan.
Dilihat dari tipologinya, penelitian ini merupan penelitian deskripif
mengingat penelitian ini ditujukan untuk menguraikan rumusan tindak pidana
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, penerapan pasal dalam praktik, juga
relevansi keberadaan pasal tersebut dengan iklim pemerintahan Indonesia yang
memilih bentuk republik berdasarkan demokrasi. Pemaparan mengenai hal
tersebut diperoleh dari pengolahan data. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakan. Data
kepustakaan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan tindak pidana penghinaan Presiden dan konsep-
konsep yang menyertainya, antara lain:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia;
b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana;
                                                                                                                       
36
United Nations Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights,
1976
37
Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 9-10

Universitas Indonesia
19

d. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan


Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik
Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh
Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang
Hukum Pidana.
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan
hukum primer, yang di dalamnya meliputi putusan, buku, junal ilmiah,
tesis, disertasi, dan laporan media massa. Buku yang digunakan adalah
buku mengenai hukum pidana, khususnya mengenai tindak pidana
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.
3. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang menjelaskan bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier
meliput ensiklopedia dan kamus.
Salah satu bahan hukum sekunder yang akan menjadi titik berat dalam
penelitian ini adalah putusan pengadilan. Melalui putusan dapat dilihat secara
langsung bagaimana hakim menginterpretasikan unsur-unsur pasal 134 KUHP ke
dalam perkara yang sedang ditanganinya serta bagaimana pengaruh politik hukum
pidana masing-masing rezim dalam interpretasi tersebut. Namun, karena tidak
semua putusan dari tahun 1998-2013 dapat ditemukan secara komprehensif,
dokumen pemberitaan yang banyak menjelaskan mengenai kasus penghinaan
Presiden dan Wakil Presiden terdahulu dipilih sebagai data pendukung. Selain itu,
penelitian ini juga memanfaatkan data yang diperoleh dari wawancara terhadap
beberapa mantan terpidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden khususnya
terkait proses persidangan, kondisi kebatinan yang melingkupi perkara, dan
informasi mengenai kasus-kasus serupa pada rezim yang sama.
Penelitian ini menggunakan metode analisis pendekatan kualitatif yang
dilakukan dengan cara mengolah dan mengkaji data sekunder yang sudah
dikumpulkan. Sebagaiman telah disbeutkan, pengumpulan data dilakukan dengan
studi putusan, studi dokumen, studi kepustakaan, dan wawancara untuk
selanjutnya diolah dengan cara melakukan klasifikasi. Klasifikasi ini akan

Universitas Indonesia
20

membantu menemukan pola atas realitas atau gejala yang terjadi.38 Proses
pengolahan ini akan menghasilkan data yang deskriptif untuk acuan merumuskan
kesimpulan.
Analisa dilakukan dengan mengaitkan law in the book dan law in action,
yaitu antara praktik lapangan dengan aturan yuridis, baik dari undang-undang,
konstitusi, doktrin, dan sumber lainnya. Nantinya akan dihasilkan laporan
penelitian deskriptif analitis, yaitu laporan yang akan memberikan elaborasi
komprehensif mengenai relevansi delik penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden dengan iklim Republik Indonesia yang berbasis demokrasi, juga
memberikan pemaparan mengenai penerapan delik penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden di Indonesia selama ini.

1.7 Kegunaan Penelitian


Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengharapkan agar hasil
penelitian akan membawa manfaat bagi peneliti dan para juris pada khususnya
serta masyarakat umum pada umumnya.
1. Kegunaan teoritis
i. Memberikan alternatif solusi pengaturan mengenai tindakan yang
mungkin berpotensi mengganggu kehormatan pemimpin negara
dengan mengutamakan kepastian hukum dan meminimalisasi
penafsiran unsur pasal yang terlalu luas.
ii. Memberikan sumbangan pemikiran bagi proses pematangan
Rancangan KUHP (RKUHP) yang di dalamnya ingin menghidupkan
kembali delik penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dengan
tujuan untuk menghindari kesalahan yang sama seperti ketika delik
tersebut dicabut keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi.
2. Kegunaan praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
seluruh juris dan mahasiswa hukum di seluruh Indonesia sebagai referensi
pembelajaran yang dapat menjadi dorongan untuk lebih berpikir kritis.

                                                                                                                       
38
John W. Creswell, Research Design:Qualitative And Quantitative Approach, Sage
Publication, Inc., 1994, hlm 5.

Universitas Indonesia
21

1.8 Sistematika Penulisan


Penulisan skripsi ini disusun secara sistematis, terbagi dalam 5 (lima) bab
dengan subab, dengan sistematika sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini akan memberikan pemaparan tentang latar belakang penulis
mengangkat topik ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, dan definisi operasional.
Bab 2 Tinjauan Umum Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden
Bab ini akan membahas mengenai sejarah keberlakuan delik penghinaan
Presiden dan Wakil Presiden, bentuk-bentuk penghinaan yang tercakup di dalam
delik tersebut, tinjauan delik penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sebagai
delik biasa, juga uraian rumusan unsur-unsur dari setiap pasal.
Bab 3 Perbandingan Pasal 134 KUHP dengan Delik Penghinaan Presiden
dan Wakil Presiden di Beberapa Negara
Pada bab ini, penulis akan menelaah mengenai pengaturan penghinaan di
negara lain, namun tidak terbatas pada penghinaan terhadap kepala negara saja.
Penulis turut melihat ketentuan mengenai penghinaan secara umum, penghinaan
terhadap pejabat publik, serta alasan pembenar atas tindakan penghinaan yang
banyak diterapkan di negara lain. Penulis memilih 5 (lima) negara sebagai
pembanding, yaitu Belanda, Inggris, Thailand, Perancis dan Amerika Serikat.
Pemilihan ini didasarkan pada bentuk pemerintahan dan perkembangan hukum
tentang penghinaan di negara-negara yang bersangkutan.
Bab 4 Analisis Penerapan Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden
dan Wakil Presiden di Indonesia dalam Putusan Pengadilan Indonesia tahun
1998-2013
Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai pilihan tindakan aparat
penegak hukum untuk menghadapi kasus-kasus penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden. Untuk bisa memberikan uraian yang lengkap, penulis akan menjelaskan
penerapan pasal pada tataran praktik, yaitu mulai dari dugaan dilakukannya
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden hingga putusan pengadilan dijatuhkan.

Universitas Indonesia
22

Penulis akan memaparkan variasi pemaknaan unsur-unsur tindak pidana ini dalam
setiap kasus menggunakan tolok ukur doktrin yang banyak berkembang di
Indonesia sekaligus tolok ukur studi perbandingan dengan hukum di negara lain.
Bab 5 Penutup
Bab ini merupakan penutup yang terdiri dari sub-bab kesimpulan dan
saran. Pada bagian kesimpulan, penulis akan memberikan kesimpulan yang
sekaligus merupakan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini. Merespon
kesimpulan tersebut, penulis akan memberikan saran sebagai kontribusi
sumbangsih dalam memecahkan masalah.

Universitas Indonesia
23

BAB II
TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA PENGHINAAN PRESIDEN
DAN WAKIL PRESIDEN

2.1 Tindak Pidana Penghinaan


Hukum pidana ada untuk memberikan rasa aman dan melindungi
kepentingan umum. Aturan berupa larangan untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan tertentu disertai dengan sanksi sebagai instrumen pemaksa
dipatuhinya aturan tersebut merupakan ciri khas dari hukum pidana.39 Secara
lebih rinci, beberapa konsep mendasar tentang hukum pidana adalah sebagai
berikut:40
a. Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang
dan diancam pidana;
b. Larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman
pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu;
c. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh
karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada
hubungan erat pula.
Melalui konsep di atas, hukum pidana muncul sebagai hukum publik
yang ditujukan untuk melindungi kepentingan publik. Dalam konteks ini, Pompe
menjelaskan bahwa hubungan hukum yang ditimbulkan oleh kejahatan pidana
bukan saja hubungan koordinatif antara pelaku dan korban, melainkan hubungan

                                                                                                                       
39
W. L. G Lemaire menegaskan bahwa kodrat hukum pidana adalah norma-norma yang
berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah
dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.
Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-
norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam
keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang
dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. Sumber: P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984), halaman 1-2.
40
“Modul Azas-Azas Hukum Pidana”, Diklat Pendahuluan Pendidikan dan Pelatihan
Pembentukan Jaksa (PPPJ) tahun 2010, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik
Indonesia, http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.pdf
diakses pada 26 April 2015.

Universitas Indonesia
24

subordinatif dari yang bersalah terhadap pemerintah41 sebagai pengemban tugas


menjaga kepentingan rakyat. Sebagai hukum publik, Adam Chazawi
menyebutkan bahwa hukum pidana mengemban fungsi sebagai berikut:42
1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan-
perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan hukum
tersebut. Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga
macam, yaitu:
a. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen),
misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa),43
kepentingan hukum atas tubuh,44 kepentingan hukum akan
hak milik benda,45 kepentingan hukum terhadap harga diri dan
nama baik,46 kepentingan hukum terhadap rasa susila,47 dan
lain sebagainya;
b. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappelijke
belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan48

                                                                                                                       
41
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),
halaman 37.
42
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2002), halaman 16-17.
43
Diatur dalam Bab XIX KUHP tentang Kejahatan terhadap Nyawa, berisi pasal 338
KUHP hingga pasal 350 KUHP, mengatur tentang pembunuhan, pembunuhan berencana, aborsi,
dan sebagainya.
44
Termasuk di dalamnya adalah Bab XVIII KUHP tentang Kejahatan terhadap
Kemerdekaan Orang, Bab XX KUHP tentang Penganiayaan.
45
Termasuk di dalamnya Bab XXII KUHP tentang Pencurian, Bab XXIII KUHP tentang
Pemerasan dan Pengancaman, Bab XXIV KUHP tentang Penggelapan
46
Diatur dalam Bab XVI KUHP tentang Penghinaan, berisi pasal 310 KUHP hingga pasal
321 yang mengatur tentang pencemaran nama baik, fitnah, dan sebagainya.
47
Diatur dalam Bab XIV KUHP tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan berisi pasal 281
KUHP hingga pasal 303 bis KUHP.
48
Diatur dalam Bab VII KUHP tentang Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum
bagi Orang atau Barang, berisi pasal 187 KUHP hingga pasal 206 KUHP.

Universitas Indonesia
25

dan ketertiban umum,49 ketertiban berlalu-lintas di jalan raya,


dan lain sebagainya;50
c. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya
kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan
negara,51 kepentingan hukum terhadap negara-negara
sahabat,52 serta kepentingan hukum terhadap martabat kepala
negara dan wakilnya.
2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara
menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum;
3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara
melaksanakan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum.
Ketiga fungsi tersebut saling bersinergi satu dengan yang lain,
mewujudkan penegakan hukum pidana dalam rangka melindungi kepentingan
hukum. Salah satu kepentingan hukum yang berusaha dilindungi oleh hukum
pidana Indonesia adalah kepentingan hukum perorangan, khususnya terkait
dengan kepentingan atas kehormatan dan nama baik seseorang. Kepentingan
tersebut berusaha diakomodasi dan dilindungi melalui eksistensi tindak pidana
penghinaan.

2.1.1 Pengertian Tindak Pidana Penghinaan


Secara harafiah, penghinaan berasal dari Bahasa Belanda “Belediging”
atau dalam Bahasa Inggris “Offence” yang secara historis memiliki makna sebagai
tindakan sengaja merusak martabat seseorang termasuk nama baik, kehormatan,

                                                                                                                       
49
Diatur dalam Bab V KUHP tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum, berisi pasal
153 bis hingga pasal 181 KUHP.
50
Termasuk dalam kelompok kepentingan ini adalah aturan Bab X KUHP tentang
Kejahatan Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas, Bab XII KUHP tentang Pemalsuan Surat, dan
lain-lain.
51
Diatur dalam Bab I KUHP tentang Kejahatan terhadap Negara berisi pasal 104 KUHP
hingga pasal 139 KUHP, di dalamnya termasuk kejahatan makar, subversi, pemberontakan,
pengungkapan rahasia negara, pemberian bantuan kepada musuh, penghinaan terhadap kepala
negara, dan sebagainya.
52
Diatur dalam Pasal 139a KUHP hingga pasal 145 KUHP meliputi makar untuk
melepaskan wilayah negara sahabat, makar untuk menidakan bentuk pemerintahan negara sahabat,
makar terhadap nyawa atau kemerdekaan raja, dan sebagainya.

Universitas Indonesia
26

dan sebagainya.53 KUHP tidak mengatur secara tegas apa yang dimaksud dengan
penghinaan, namun secara normatif tindak pidana penghinaan dimaknai sebagai
tindak pidana yang menyerang hak seseorang berupa merusak nama baik atau
kehormatan seseorang.54
Untuk melengkapi pemahaman mengenai apa yang dimaksud tindak
pidana penghinaan, dapat dilihat pendapat beberapa sarjana hukum sebagai
berikut:
a. R. Soesilo55
R. Soesilo secara spesifik menyatakan bahwa tindak pidana menghina
ditujukan pada kehormatan dan nama baik saja, sedangkan
penghinaan kehormatan dalam konteks seksual tidak tercakup ke
dalamnya.
“Menghina” adalah menyerang kehomatan dan nama baik
seseorang. Yang diserang itu biasanya merasa malu.
Kehormatan yang diserang di sini hanya mengenai
kehormatan tentang “nama baik”, bukan kehormatan dalam
lapangan seksuil, kehormatan yang dapat dicemarkan
karena tersinggung anggota kemaluannya dalam
lingkungan nafsu birahi kelamin. Perbuatan yang
menyinggung kehormatan dalam lapangan seksuil ini tidak
termasuk dalam kejahatan “penghinaan” akan tetapu masuk
kejahatan “kesopanan”, atau kejahatan “kesusilaan” yang
tersebut dalam Pasal 281 sampai dengan pasal 302 KUHP.”

b. Wirjono Prodjodikoro56
Pemaknaan terhadap tindak pidana penghinaan menurut Wirjono
Prodjodikoro harus dikembalikan kepada ketentuan pidana mengenai
penghinaan, yaitu pasal 310 KUHP yang mengatur bahwa
penghinaan adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang.

                                                                                                                       
53
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris,
(Jakarta: PT. Aneka Ilmu, 1997), halaman 128.
54
Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap Kehormatan: Pengertian dan Penerapannya,
(Jakarta: PT, Grafindo Persada, 2007), halaman 9.
55
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar Lengkap Pasal demi
Pasal, (Bogor: Politeia, 1996), halaman 117.
56
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT.
Refika, 2002), halaman 96.

Universitas Indonesia
27

“Tindak pidana menista (smaad) menurut pasal 310 KUHP


dirumuskan sebagai “dengan sengaja menyerang
kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh ia
melakukan suatu perbuatan tertentu (bepaald feit) dengan
tujuan yang nyata (kennelijk doel untuk menyiarkan
tuduhan itu kepada khalayak ramai (ruchtbaarhedi geven).
Kini disebut suatu perbuatan berupa “dengan sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik orang”, sedangkan
kata-kata selanjutnya dapat dianggap merupakan
pengkhususan sifat dari tindak pidana penistaan (smaad). “

c. Moch. Anwar
Moch. Anwar menegaskan pada distingsi antara tindakan penghinaan
dengan tindakan menista. Untuk dapat memahami pengertian dari
tindak pidana penghinaan, Moch. Anwar melakukan interpretasi
otentik atas pasal 310 KUHP sehingga sampai pada suatu kesimpulan
bahwa penghinaan adalah perbuatan menyerang kehormatan atau
nama baik seseorang.57
“Pengertian penghinaan tidak ditafsirkan, hingga harus
dihubungkan dengan pasal 310. Dalam pasal 310,
perbuatan yang dilarang dalam penistaan adalah dengan
sengaja melanggar kehormatan atau nama baik orang.
Dengan demikian, penghinaan harus ditafsirkan sebagai
perbuatan dengan sengaja yang melanggar kehormatan atau
nama baik. Perbedaan antara penistaan dan penghinaan
terletak dalam cara melakukannya, yaitu penistaan
dimaksudkan dengan menuduh orang lain dengan suatu
perbuatan tertentu, sedangkan penghinaan biasa dilakukan
dengan kata-kata atau perbuatan, asal tidak dengan tuduhan
melakukan suatu perbuatan tertentu.”

2.1.2 Objek atau Sasaran Tindak Pidana Penghinaan


Secara umum, tindak pidana penghinaan dipahami sebagai tindakan
menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Namun, tidak hanya pribadi
perorangan (naturlijkpersoon) saja yang dapat menjadi objek sasaran karena

                                                                                                                       
57
H. A. K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khsus: KUHP Bagian II, Jilid I,
(BandungL PT. Citra Aditya Bakti, 1994), halaman 52.

Universitas Indonesia
28

beberapa subjek lain juga dianggap memiliki nama baik atau kehormatan. Pihak-
pihak yang dapat menjadi objek tindak pidana penghinaan meliputi:58
a. Pribadi perorangan;
b. Kelompok atau golongan;
c. Institusi atau lembaga;
d. Agama;
e. Para pejabat yang meliputi Pegawai Negeri, Kepala Negara atau
wakilnya dan Pejabat Perwakilan Asing;
f. Orang yang sudah meninggal dunia.
Masing-masing pihak di atas dianggap memiliki kehormatan atau nama
baik. Dalam konteks ini, kehormatan didefinisikan sebagai perasaan terhormat di
mata masyarakat yang berhak diperoleh dan dimiliki oleh setiap orang. Manusia
berhak dihormati sebagai hakikat makhluk berakal yang bertindak sesuai dengan
tata perilaku yang telah diterima secara umum. Sementara itu, nama baik
menitikberatkan pada penilaian baik atau buruk yang cenderung diberikan atas
kedudukan atau perbuatan seseorang, disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan
konteks perbuatan yang dilakukan. Sebagai contoh, setiap orang berhak untuk
memperoleh perlakuan terhormat tanpa memandang keturunan, pekerjaan, atau
pun harta kekayaan, sedangkan nama baik cenderung diberikan masyarakat secara
khusus terhadap orang-orang tertentu saja, misalnya Presiden atau wakil Presiden,
gubernur, kepala adat, pemuka agama, dan sebagainya.
Sekalipun kehormatan dan nama baik memiliki definisi yang berbeda,
keduanya sulit dipisahkan karena terserangnya salah satu menyebabkan baik
kehormatan ataupun nama baik seseorang ternodai. Sebagai contoh, seorang
pejabat publik yang dituduh melakukan tindakan asusila terhadap sekretarisnya
tidak hanya akan merasa kehormatannya terserang, namun nama baiknya sebagai
pejabat yang mampu menjalankan tugas secara profesional juga akan tercoreng
sehingga muncul ketidakpercayaan masyarakat umum atas kredibilitas pejabat
yang bersangkutan.

                                                                                                                       
58
Wina Armada S.A., Wajauh Hukum Pidana Pers, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1989),
halaman 52.

Universitas Indonesia
29

Mengacu pada definisi kehormatan dan nama baik, beberapa ahli


berpendapat bahwa tidak kesemua pihak yang disebutkan sebelumnya dapat
menjadi objek tindak pidana penghinaan. Wirjono Prodjodikoro mengungkapkan
bahwa terdapat dua standar penilaian yang dapat digunakan untuk menganalisa
terjadinya penghinaan dilihat dari sasaran tindak pidananya. Sepanjang perbuatan
penghinaan bersifat “menyerang nama baik orang”, maka nampak sifat objektif
dari penghinaan, yaitu sampai di mana nama baik orang itu di mata khalayak
ramai menurun sebagai akibat perbuatan penghinaan.59 Dalam konteks ini, maka
diterapkanlan standar objektif. Lain halnya dengan bagian pengertian penghinaan
yang berupa “menyerang kehormatan orang” yang penilaiannya harus
dikembalikan pada rasa hati korban bersangkutan. Konsekuen dengan pandangan
tersebut, maka dilontarkannya kata-kata celaan kepada dua orang tidak selalu
menjamin bahwa keduanya akan sama-sama merasa tersinggung. Perasaan hati
orang berbeda-beda dan oleh karenanya penilaian atas terjadinya penghinaan
sangatlah relatif. Dalam konteks ini, maka berlakulah standar subjektif.
Seringnya digunakan standar subjektif, yaitu standar penilaian pribadi
membuat tindak pidana penghinaan menjadi delik aduan (klacht delicten), yang
artinya, suatu tindak pidana hanya bisa diproses apabila terdapat aduan dari pihak
yang merasa dirugikan. Konsep delik aduan ini ada karena beberapa tindak pidana
berkenaan langsung dengan kepentingan pribadi seseorang, sehingga terjadi
percampuran antara ranah hukum privat dan ranah hukum publik. Sebagai wujud
perseimbangan antara nilai moral masyarakat dan kepentingan pribadi, maka
beberapa kejahatan hanya bisa diproses secara hukum apabila orang yang
kepentingannya terlanggarkan menginginkannya. Dalam konteks ini, masyarakat
secara umum tidak bisa berdasarkan inisiatif sendiri melaporkan kejahatan
penghinaan yang ditemuinya dan aparat berwajib juga tidak bisa memproses
kejahatan yang bersangkutan. Kejahatan penghinaan sebagai delik aduan
mencerminkan bahwa penyelesaian kasus ini ditujukan untuk memberikan rasa
aman dan perlindungan bagi diri pribadi korban.
Terkait dengan pemberlakuan standar subjektif untuk mengukur tindak
pidana penghinaan, Wirjono Prodjodikoro justru memberikan usulan yang
                                                                                                                       
59
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., halaman 97.

Universitas Indonesia
30

berbeda. Wirjono berpendapat bahwa, meskipun dimungkinkan pemberlakuan


kedua standar tersebut, penggunaan standar objektif harus lebih diprioritaskan
daripada standar subjektif. Melalui penggunaan standar objektif, harus ditinjau
apakah dengan suatu perbuatan tertentu seseorang pada umumnya akan merasa
tersinggung atau tidak.60 Hal ini diperlukan karena perasaan tersinggung tidak
bisa digeneralisasi namun secara umum dapat disepakati standar perasaan
tersinggung yang lumrah menurut pandangan masyarakat. Anak yang belum
dewasa dan orang gila misalnya, tidak akan merasa tersinggung seperti orang pada
umumnya61 karena keduanya memiliki kapasitas berpikir dan merespon yang
berbeda dengan masyarakat seara umum.

2.1.3 Perbuatan Tindak Pidana Penghinaan


Dilihat dari bentuk perbuatannya, penghinaan dapat dibagi menjadi 2 (dua)
kelompok yang terdiri dari:
a. Penghinaan formal, yaitu penghinaan yang dilakukan dengan tegas dan
langsung pada sasaran;
b. Penghinaan materiil, yaitu penghinaan yang dilakukan tidak secara
terang-terangan dalam arti tidak langsung pada sasaran yang dituju.
Selain kedua kelompok di atas, tindak pidana penghinaan juga dapat
dibagi menjadi 2 (dua) kelompok berdasarkan cara penghinaan dilakukan
sebagaimana diatur dalam KUHP. Kedua kelompok tersebut meliputi:62
a. Penghinaan lisan, yaitu penghinaan yang diucapkan atau dilakukan
secara oral;
b. Penghinaan tertulis, yaitu penghinaan yang dilakukan melalui tulisan,
cetakan, ataupun gambar.

2.2 Tindak Pidana Penghinaan dalam KUHP


KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana Indonesia berupaya untuk
melindungi kepentingan hukum berupa perlindungan atas kehormatan melalui

                                                                                                                       
60
Ibid.
61
Ibid.
62
Wina Armada S.A., Op. Cit., halaman 52.

Universitas Indonesia
31

pengaturan tindak pidana penghinaan. Secara umum dikenal pembedaan kejahatan


penghinaan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu penghinaan umum dan penghinaan
khusus. Secara sederhana, kelompok penghinaan umum didefinisikan sebagai
kelompok yang mengacu pada ketentuan Bab XVI KUHP tentang Penghinan,
sedangkan kelompok penghinaan khusus merupakan sebutan bagi kejahatan
penghinaan yang ketentuamnya tersebar di luar Bab XVI KUHP tentang
Penghinaan.63

2.2.1. Penghinaan Umum


Delik penghinaan umum merupakan istilah yang digunakan untuk
merujuk pada ketentuan-ketentuan penghinaan dalam Bab XVI KUHP tentang
penghinaan. Selain terhimpun dalam satu bab yang sama, kelompok penghinaan
umum juga memiliki sifat dan ciri yang sama. Delik-delik dalam kelompok ini
merupakan delik penghinaan terhadap pribadi-pribadi orang atau bersifat individu
sehingga jelas siapa subjek sasaran dan jelas siapa yang berhak mengadukan
kejahatan yang dialaminya. Individualias ini nampak dari ukuran terserang atau
tidaknya kehormatan seseorang yang digantungkan pada perasaan orang yang
bersangkutan. Bisa saja dengan hinaan yang sama, seseorang akan merasa biasa
saja sedangkan orang lain akan merasa tersinggung. Ukuran subjektif ini
menyebabkan penghinaan tidak bisa digeneralisasi antara orang yang satu dengan
yang lain. Sebagai konsekuensi logis, diberikan hak bagi korban atau ahli waris
korban untuk mengadukan kejahatan yang terjadi. Hal tersebut yang kemudian
menjadikan kejahatan dalam Bab XVI KUHP tentang penghinaan merupakan
delik aduan. Pengaduan di sini harus dibedakan dengan laporan. Laporan adalah
pemberitahuan semata yang dapat dilakukan oleh siapa saja sedangkan pengaduan
adalah syarat yang mutlak bagi penuntutan atas kerugian yang dialami seseorang,
yang hanya bisa dilaporkan oleh orang-orang dengan kualifikasi tertentu.

                                                                                                                       
63
Adami Chazawi, Kejahatan Penghinaan, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011),
halaman 29.

Universitas Indonesia
32

Tabel 2.1: Tindak Pidana Penghinaan Umum


Pasal Kejahatan Karakterisasi Delik
310 Pencemaran Ayat (1):
nama baik Menyerang kehormatan atau nama baik seseorang
dengan menuduhkan sesuatu hal untuk diketahui
umum.
Ayat (2):
Pencemaran dengan tulisan atau gambar yang
disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di muka
umum.
Ayat (3):
Pengecualian pemidanaan apabila pencemaran nama
baik dilakukan demi kepentingan umum atau
keterpaksaan untuk membela diri.
311 Fitnah Ayat (1):
Apabila penuduh diperbolehkan membuktikan, tidak
membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan
dengan apa yang diketahui
315 Penghinaan Penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat
ringan pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan
terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan
atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan
lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan
kepada yang dihina
317 Pengaduan Ayat (1):
palsu Mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu
kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk
dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau
nama baiknya terserang
318 Persangkaan Ayat (1):
palsu Menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap
seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan
pidana
320 Pencemaran Ayat (1):
terhadap orang Perbuatan yang kalau korbannya masih hidup akan
mati merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis
321 Pencemaran Ayat (1):
tertulis terhadap Menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di
orang mati muka umum tulisan atau gambaran yang isinya
menghina atau bagi orang yangg sudah mati
mencemarkan namanya

Universitas Indonesia
33

Ayat (2):
Jika kejahatan dilakukan sebagai pencarian

Dalam tabel di atas dapat dilihat bahwa rumusan dasar dari delik-delik
pidana pada Bab Penghinaan adalah rumusan dalam Pasal 310 KUHP, baik untuk
pencemaran nama baik lisan ataupun pencemaran nama baik melalui tulisan. Pada
dasarnya rumusan pasal 310 KUHP menjadi representasi bagi dilarangnya
perbuatan “menyerang kehormatan atau nama baik seseorang” yang dilakukan
melalui “menuduhkan suatu hal”. Berturut-turut setelah ketentuan pasal 310
KUHP terdapat berbagai bentuk dari tindakan pencemaran nama baik itu sendiri
seperti fitnah, persangkaan palsu, dan sebagainya. Masyarakat secara umum
sering menukarbalikkan kejahatan pencemaran nama baik dengan kejahatan
penghinaan. Pada dasarnya, keduanya tidak salah, hanya saja penyebutan
kejahatan penghinaan sebagai suatu delik kuranglah tepat. Penghinaan merupakan
nama kelompok kejahatan yang di dalamnya terdapat berbagai macam delik, salah
satunya adalah delik pencemaran nama baik. Sehingga, dilihat dari interpretasi
sistematis64 terhadap ketentuan dalam KUHP, kejahatan penghinaan cakupannya
lebih luas daripada kejahatan pencemaran nama baik sementara kejahatan
pencemaran nama baik merupakan bagian dari kejahatan penghinaan itu sendiri.65
Namun, beberapa ahli mempersamakan persepsi antara kejahatan penghinaan dan
kejahatan pencemaran nama baik, karena esensi dari kedua kejahatan tersebut
sama: 1). Mengandung perbuatan yang menyerang; 2). Objeknya adalah
kehormatan dan nama baik.66

                                                                                                                       
64
Interpretasi sistematis adalah metode interpretasi undang-undang dengan melihat
sistematika ketentuan-ketentuan di dalamnya. Dalam metode interpretasi ini, ketentuan yang satu
tidak bisa dibaca sendiri, namun seluruh ketentuan harus dibaca secara berdampingan dan
ditempatkan sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Sumber: Jimly
Asshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), halaman 32.
65
Kuliah Tindak Pidana Tertentu Fakultas Hukum Universitas Indonesia tentang
Penghinaan yang diberikan oleh Anugerah Rizki Akbari.
66
Jumardi, “Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Penghinaan (Studi Kasus Putusan
Nomor:271/PID.B/2013/PN.Mks)”, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014,
halaman 62.

Universitas Indonesia
34

2.2.1.1 Penistaan (Smaad)


Bentuk paling mendasar dari tindakan pencemaran nama lisan termaktub
dalam ketentuan Pasal 310 ayat (1) KUHP sebagai berikut:

“(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik


seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya
terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena
pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Melalui rumusan tersebut, dapat disarikan dan dielaborasi masing-
masing unsur sebagai berikut:
1) Dengan sengaja
Dilihat pada rumusan pasal, unsur dengan sengaja
diletakkan di bagian awal, yang artinya kesengajaan dalam delik ini
mencakup juga kesengajaan bagi seluruh unsur pasal 310 ayat (1)
KUHP. Menurut doktrin, sengaja termasuk unsur subjektif yang
ditujukan terhadap perbuatan. Unsur sengaja ini mengindikasikan
bahwa pelaku mengetahui perbuatannya dan pelaku menyadari
bahwa ia mengucapkan kata-kata yang mengandung pelanggaran
terhadap kehormatan atau nama baik seseorang.67 Sengaja dalam
delik ini tidak memiliki cakupan yang terlalu mendalam, dalam
artian tidak diharuskan adanya kesengajaan seseorang mengucapkan
sesuatu yang memang ditujukannya untuk melukai hati orang lain.
Singkatnya, delik ini tidak mengharuskan adanya animus injuriandi;
suatu niat untuk menghina dan melukai kehormatan atau nama baik
seseorang.68 Hal tersebut nampak dalam pertimbangan Mahkamah
Agung dalam Putusan Nomor 37K/Kr/1957 tanggal 21 Desember
1957 sebagai berikut,69

                                                                                                                       
67
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 13.
68
Eric Descheemaeker, “A man of bad character has not so much to lose’: Truth as a
defence in the South African law of defamation”, http://www.law.ed.ac.uk/includes/remote
_people_profile/remote_staff_profile?sq_content_src=%2BdXJsPWh0dHAlM0ElMkYlMkZ3d3cy
Lmxhdy5lZC5hYy51ayUyRmZpbGVfZG93bmxvYWQlMkZwdWJsaWNhdGlvbnMlMkYyXzIw
MV9hbWFub2ZiYWRjaGFyYWN0ZXJoYXNub3Rzb211Y2h0b2xvc2V0cnV0LnBkZiZhbGw9
MQ%3D%3D diakses pada 27 April 2015.
69
Pertimbangan tersebut merupakan jawaban atas keberatan yang diajukan oleh pemohon
kasasi berupa para terpidana sebenarnya tidak pernah bermaksud untuk menghina korban dlam

Universitas Indonesia
35

“bahwa keberatan tersebut juga tidak dapat dibenarkan oleh


karena dalam tindak pidana menista denga surat (smaad
schrift) dan pada umumnya dalam tindak pidana penghinaan
yang dimuat dalam buku II Bab XVI KUHP, tidak perlu
adanya animus injuriandi, yakni niat untuk menghina.”

Pendapat tersebut bertolak belakang dengan orisinalitas


rumusan delik penghinaan dalam Hukum Pidana Belanda. Menteri
Kehakiman Belanda mengutip penjelasan Memorie van Toelichting
(MvT) yang menyatakan bahwa tindak pidana penghinaan yang
diatur dalam Bab XVI Buku II KUHP bahwa animus injuriandi
merupakan syarat bagi tindak pidana penghinaan. Hal ini dapat
dilihat langsung pada frasa “sengaja menyerang kehormatan atau
nama baik”, yang mana terserangnya kehormatan atau nama baik
seseorang merupakan hal yang disengajai dan diharapkan terjadi oleh
pelaku. Pembuktian atas animus injuriandi adalah suatu keharusan
untuk bisa mencari tahu apakah terjadi penghinaan atau tidak.
Apabila unsur ini tidak terpenuhi, alih-alih digunakan pasal 310
KUHP justru lebih tepat diterapkannya pasal 315 KUHP yang pada
pokoknya hanya mengatur tindakan kasar yang tidak ditujukan untuk
menyerang nama baik atau kehormatan seseorang.
2) Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain
Tindakan menyerang dalam unsur ini dimaknai sebagai
tindakan melukai kehormatan atau nama baik orang lain. Objek
terserang adalah harga diri mengenai kehormatan (eer) dan harga
diri mengenai nama baik (goedennaam).70 Tindakan menyerang
dilakukan agar orang yang diserang tidak lagi memperoleh rasa
hormat dari masyarakat, namanya menjadi buruk, atau bahkan
menjadikan korban dijauhi, dikucilkan, dan dibenci.
3) Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
perkara a quo, yaitu Gubernur Abd. Hakim, baik dalam kapasit asnya sebagai pengawai negeri
ataupun sebagai diri pribadi.
70
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa kedua hal ini menjadi parameter terjadi
tidaknya suatu tindakan penghinaan.

Universitas Indonesia
36

“Menuduh” dimaknai sebagai persangkaan yang belum


jelas benar atau tidaknya hal yang disangkakan. Dalam konteks ini,
pelaku mengajukan tuduhan bahwa telah dilakukan perbuatan
tertentu oleh korban yang cenderung tidak terpuji atau memalukan.
Kata ‘perbuatan tertentu’ atau bepaald feit, mengharuskan bahwa
perbuatan dituduhkan dengan jelas, baik tempat maupun waktunya.
Konsisten dengan definisi tersebut, ucapan kasar saja tidak cukup
membuat nama seseorang tercemarkan menurut ketentuan pasal 310
ayat (1) KUHP. Haruslah ada perbuatan tertentu yang dituduhkan
kepada pelaku. Perbuatan ini bisa perbuatan apa saja, tidak harus
perbuatan pidana namun tuduhan ini harus bersifat kurang baik
dalam penilaian oleh umum. Perbuatan buruk seperti melacur atau
perbuatan-perbuatan lain yang dapat merusak penilaian masyarakat
umum terhadap seseorang cukup untuk memenuhi unsur ini;
4) Dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum
Perbuatan yang dituduhkan oleh pelaku haruslah
dimaksudkan agar masyarakat umum mengetahui sehingga
mengubah pandangan masyarakat terhadap korban. Perubahan
pandangan ini cenderung ke arah negatif, sehingga berpotensi
merusak kehormatan dan nama baik yang dimiliki oleh seseorang.
Unsur ini perlu dibuktikan secara tegas, misalnya penghinaan
dilakukan dengan menarik orang dalam kerumunan, kemudian
dengan keras-keras dilontarkan kalimat yang ditujukan untuk
menghina korban. Pun tuduhan tidak disiarkan secara terbuka,
“maksud nyata supaya diketahui oleh umum” juga dapat terpenuhi
dengan dinyatakannya tuduhan di muka seorang saja, tetapi nampak
dimaksudkan agar orang itu meneruskan tuduhan tersebut kepada
orang-orang lain.71

                                                                                                                       
71
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., halaman 99.

Universitas Indonesia
37

2.2.1.2 Menista dengan Surat atau Tulisan (Smaadschrift)

Secara umum, ketentuan pencemaran nama baik melalui lisan dan


pencemaran nama baik melalui tulisan memiliki konsep yang sama, hanya saja
kedua kejahatan tersebut dilakukan dengan cara yang berbeda. Ketentuan
mengenai menista atau menghina secara tertulis termaktub dalam pasal 310 ayat
(2) KUHP sebagai berikut:

“(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang
disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum,
maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Jika dilihat dalam ketentuan pasal 310 ayat (2) KUHP, pencemaran nama
baik lewat tulisan mengandung unsur yang sama dengan unsur pasal 310 ayat (1)
KUHP, dengan tambahan ketentuan bahwa tuduhan berupa tulisan atau gambar
yang dilakukan dengan disiarkan, dipertunjukkan, dan/atau ditempelkan. Kata
‘disiarkan’ merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, verspreid, yang juga
dapat diartikan sebagai “disebarkan”. “Disebarkan” sendiri mengandung arti
bahwa tulisan atau gambar tersebut lebih dari satu helai atau satu eksemplar.
“Dipertunjukkan” perlu dimaknai bahwa tulisan atau gambar tidak perlu
berjumlah banyak tetapi dapat dibaca atau dilihat orang lain. Penggunaan frasa
“disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan” semua bermakna agar dapat dibaca
atau dilihat orang lain. Jika suatu gambar ditempel di ruang tertutup, maka hal itu
bukan dimaksudkan untuk diketahui orang lain, atau dipertunjukkan untuk umum
karena ruangan tertutup berarti tidak dapat dimasuki setiap orang atau umum.72

2.2.1.3 Fitnah (Laster)


Dalam ilmu hukum pidana, fitnah adalah menista atau menista dengan
surat atau tulisan tetapi yang melakukan perbuatan itu, diizinkan membuktikannya
dan ternyata tidak dapat membuktikan.73 Fitnah diatur dalam pasal 311 ayat (1)
KUHP dengan redaksional pasal sebagai berikut:

                                                                                                                       
72
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 19.
73
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 31.

Universitas Indonesia
38

“(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran


tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu
benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan
bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam
melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.”
Melalui ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa pelaku yang
menuduhkan hal buruk terhadap seseorang dapat dihukum atas tindak pidana
fitnah apabila ia gagal membuktikan tuduhannya. Dengan gagalnya membuktikan
tuduhan, maka pelaku dianggap mengetahui kebohongannya dan sengaja
menyebarkannya. Tindakan tersebut memiliki konsekuensi penghukuman yang
lebih berat dari penistaan sebagaimana diatur dalam pasal 310 KUHP. Pelaku
dapat dikenai penjara paling lama 4 (empat) tahun juga dicabut hak-haknya sesuai
ketentuan pasal 35 yang meliputi: 1. hak memegang jabatan pada umumnya atau
jabatan yang tertentu; 2. hak memasuki Angkatan Bersenjata; 3. hak memilih dan
dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
Ketentuan pasal 311 KUHP harus dibaca dengan memperhatikan
ketentuan paal 312, 313, dan 314 KUHP. Pada dasarnya, sebuah tindakan
penghinaan akan diperiksa di bawah ketentuan pasal 310 KUHP, namun apabila
hakim merasa perlu untuk memeriksan kebenaran atas tuduhan tersebut dengan
tujuan mempertimbangkan keterangan terdakwa, dalam hal tuduhan diajukan
untuk kepentingan umum atau dalam hal tuduhan dilakukan sebagai upaya
membela diri pelaku sendiri. Di samping itu, terkait dengan profesionalitas
bekerja, tuduhan terhadap pejabat juga dapat dibuktikan kebenarannya apabila
hakim memandang adanya kebutuhan untuk itu. Meskipun begitu, pasal 312
KUHP menyatakan bahwa tidak semua tuduhan boleh dibuktikan sekalipun hakim
merasa perlu. Pasal 312 KUHP memberikan batasan bahwasanya pembuktian
tidak dapat dilakukan apabila hal yang dituduhkan hanya dapat dituntut atas
pengaduan, sedangkan pengaduannya sendiri secara in concreto tidak pernah
dilakukan.
Selanjutnya, pasal 314 KUHP cenderung mengatur mengenai hukum acara
pidana terkait tindak pidana fitnah. Apabila tuduhan berhasil dibuktikan, maka
tertuduh dapat dinyatakan bersalah sedangkan pelaku fitnah menjadi bebas. Jika
kondisi sebaliknya yang terjadi, maka putusan hakim akan menjadi bukti yang

Universitas Indonesia
39

kuat untuk menegaskan bahwa apa yang dituduhkan tidaklah benar. Di samping
itu, dalam hal terdapat dua proses hukum yang saling terkait; antara proses hukum
fitnah dengan penuntutan atas tindakan yang dituduhkan kepada korban,
sedangkan penuntutan kedua telah berjalan, maka perkara fitnah ditangguhkan
terlebih dahulu sampai putusan hakim atas penuntutan kedua telah jatuh.
Rumusan pasal 314 KUHP ditujukan untuk menciptakan kepastian hukum karena
pemisahan penanganan antara fitnah dengan perbuatan yang dituduhkan akan
memitigasi keragu-raguan atas duduk perkara.

2.2.1.4 Penghinaan Ringan (Eenvoudige Belediging)

Penghinaan ringan diatur dalam pasal 315 KUHP dengan bunyi sebagai
berikut:

“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran


atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di
muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri
dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan stau
diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan
pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Melalui rumusan tersebut, dapat disarikan setidaknya 4 (empat) unsur


penghinaan ringan yang meliputi: 1). Penghinaan; 2). Sengaja; 3). Tidak bersifat
pencemaran atau pencemaran tertulis; 4). Di muka umum, di muka orang itu
sendiri dengan lisan atau perbuatan, dengan surat yang dikirim atau
diterimanya. Pemaknaan atas unsur “penghinaan” harus dirujukkan kembali
kepada pasal 310 KUHP, di mana menghina dipahami sebagai perbuatan
sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Sementara itu, unsur
sengaja di sini serupa dengan unsur sengaja yang terdapat dalam pasal 310
KUHP, yaitu mengetahui bahwa tindakan yang dilakukannya memiliki potensi
melukai kehormatan atau nama baik orang lain, dan ia pun menghendaki agar
perbuatan itu terjadi. Namun dalam pasal 315 KUHP, unsur sengaja perlu
dikontekstualisasi dengan unsur “tidak bersifat pencemaran atau pencemaran
tertulis”. Maksud dari “tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis”
adalah perkataan yang dilontarkan seseorang kepada orang lain bukanlah
merupakan tuduhan bahwa seseorang telah melakukan perbuatan tercela.

Universitas Indonesia
40

Perkataan yang dituju oleh pasal 315 KUHP lebih cenderung mengarah pada
perkataan yang tidak senonoh seperti “anjing” atau “sundal”.74
Unsur “di muka umum” dalam pasal 315 KUHP juga tidak boleh
diartikan secara sempit yaitu sebatas pada suatu tempat di mana setiap orang
dapat hadir atau suatu tempat di mana setiap orang dapat melihat dari tempat
umum tetapi juga suatu tempat di mana setiap orang dari tempat umum dapat
mendengarnya, umpamanya pemancar radio atau pemancar TV.75 Di samping
itu, pasal 315 KUHP juga tidak mensyaratkan agar penghinaan tersebut
diketahui umum. Cukup perkataan tersebut dilontarkan dan diketahui oleh
korban, maka sudah dapat dinyatakan memenuhi unsur. Untuk dapat diproses,
maka tindak pidana penghinaan ringan harus diadukan oleh korbannya.

2.2.1.5 Pengaduan yang Bersifat Memfitnah (Lasterlijke Aanklacht)

Pengaduan yang bersifat memfitnah diatur dalam ketentuan pasal 317


ayat (1) KUHP dengan bunyi sebagai berikut:

“(1) Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau


pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk
dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya
terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.”

Dari rumusan pasal tersebut dapat diperoleh unsur-unsur tindak pidana


pengaduan yang bersifat memfitnah sebagai berikut:
1). Dengan sengaja
Unsur dengan sengaja dimaknai sama dengan kesengajaan menghina
seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu mengetahui dan
menghendaki diungkapkannya perbuatan yang menghina untuk
melukai kehormatan atau nama baik.
2). Menyampaikan laporan/pengaduan tertulis palsu

                                                                                                                       
74
Penjelasan resmi Rancangan Undang-Undang KUHP tahun 1993 terkait dengan
penghinaan ringan. Sebagaimana dikutip dalam Leden Merpaung, Tindak Pidana terhadap
Kehormatan: Pengertian dan Penerapannya, halaman 43.
75
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 43.

Universitas Indonesia
41

Laporan atau pengaduan tertulis mencakup juga laporan lisan yang


kemudian diterima oleh penerima laporan atau pengaduan.
3). Disampaikan kepada penguasa;
Penguasa merupakan terjemahan dari kata ‘overheid’, yang juga dapat
diterjemahkan sebagai aparat negara atau aparat pemerintah. Sebagian
pakar menerjemahkannya tidak saja hanya polisi ataupun aparat
kehakiman.
4). Tentang orang tertentu;
Pada umumnya penghinaan hanya dapat dilakukan terhadap manusia
atau individu dalam artian yang memiliki nama atau yang dapat
memiliki kehormatan.
5). Isinya menyerang kehormatan/nama baik orang tersebut.
Ungkapan atau pengaduan tersebut benar-benar dirasa menyerang
kehormatan dari orang tertentu tersebut.
Bagi orang biasa, pengaduan yang bersifat fitnah merupakan delik aduan,
sedangkan bagi pegawai negeri yang sah masuk sebagai delik biasa atau bukan
delik aduan. Penarikan aduan atas delik yang diadukan tidak akan membebaskan
tersangka dari tuntutan pidana.76

2.2.1.6 Tuduhan Memfitnah (Lasterlijk Verdachtmaking)


Tindak pidana ini diatur dalam pasal 318 ayat (1) KUHP dengan
redaksional pasal sebagai berikut:

“(1) Barang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan


secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan
suatu perbuatan pidana, diancam karena menimbulkan persangkaan
palsu, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Melalui rumusan pasal tersebutdapat disarikan unsur-unsur tindak


pidananya sebagai berikut: 1). Dengan sengaja; 2). Melakukan suatu perbuatan;
3). Menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang; 4). Seolah-olah
orang tersebut telah melakukan tindak pidana. Tindak pidana tuduhan memfitnah
                                                                                                                       
76
Muhammad Ali Aranoval, “Pembuktian Tindak Pidana Penghinaan terhadap Kepala
Negara (Studi Kasus Perkara Nomor Register 1380/pid.B/2002/PN Jakarta Selatan), Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, halaman 60.

Universitas Indonesia
42

ini secara konseptual mirip dengan tindak pidana pengaduan yang bersifat
memfitnah. Hanya saja dalam tuduhan memfitnah ini, pelaku tidak melontarkan
ucapan, namun ia melakukan suatu perbuatan yang berpotensi menyetir
pandangan orang bahwa korban telah melakukan tindak pidana. Sebagai ilustrasi,
A menaruh sebuah senjata api di bawah kasur B, lalu A melaporkan kepada polisi
bahwa B memiliki senjata secara melawan hukum. Karena laporan tersebut, polisi
melakukan penggeledahan dan ternyata ditemukanlah senjata api di bawah kasur
B. Dalam kondisi tersebu, apabila B tidak memiliki alibi, maka polisi akan
percaya bahwa senjata api tersebut memang merupakan milik B.

2.2.1.6 Penistaan terhadap Orang yang Sudah Meninggal


Penistaan terhadap orang meninggal diatur dalam pasal 320 dan 321
KUHP. Pasal 320 ayat (1) KUHP mengatur bahwa:

“(1) Barang siapa terhadap seseorang yang sudah mati melakukan


perbuatan yang kalau orang itu masih hidup akan merupakan
pencemaran atau pencemaran tertulis, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.”
Dari rumusan pasal tersebut maka dapat diperoleh unsur-unsur tindak
pidana yang meliputi: 1). Melakukan perbuatan yang dapat dianggap menista
atau menista dengan tulisan; 2). Perbuatan ditujukan kepada orang yang telah
meninggal. Berbeda dengan ketentuan pasal 320 KUHP, pasal 321 KUHP
mengatur bahwa:

“(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di


muka umum tulisan atau gambaran yang isinya menghina atau bagi
orang yang sudah mati mencemarkan namanya, dengan maksud supaya
isi surat atau gambar itu ditahui atau lebih diketahui oleh umum,
diancam dengan pidana penjara paling lama satu hulan dua minggu atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Dari rumusan pasal tersebut dapat diperoleh unsur-unsur tindak pidana


yang meliputi: 1). Menyebarluaskan atau menyiarkan, mempertunjukkan kepada
umum atau menempelkan; 2). Tulisan atau gambar/lukisan; 3). Dengan maksud
supaya isi tulisan atau gambar itu diketahui oleh umum; 4). Tulisan atau
gambar/lukisan tersebut menghina atau menista orang yang sudah meninggal.

Universitas Indonesia
43

Pemaknaan terhadap unsur-unsur dari kedua pasal tersebut sama dengan


pemaknaan unsur-unsur serupa dalam pasal-pasal sebelumnya. Hanya saja, objek
yang dituju dalam pasal 320 dan pasal 321 KUHP adalah orang yang sudah
meninggal dunia. Keluarga korban dalam hal ini dianggap menjadi representasi
atas diri korban, sehingga ahli waris korban penghinaan dapat mengadukan hal
tersebut kepada pihak yang berwajib.

2.2.2 Penghinaan Khusus


Kelompok penghinaan khusus terdiri dari kejahatan penghinaan yang
tersebar di luar Bab XVI KUHP tentang Penghinaan.77 Pasal-pasal tersebut
mengatur penghinaan dengan variasi objek dan cara-cara melakukan kejahatan
yang berbeda.78 Masing-masing pasal pun memiliki ciri khas, berbeda dengan
kelompok penghinaan umum yang memiliki satu ciri sama. Meskipun begitu,
ada satu kesamaan di antara seluruh kejahatan penghinaan yang ada, yaitu
hakikat objek penghinaan yang berupa harga diri atas kehormatan atau nama
baik seseorang.
Jenis-jenis objek penghinaan dalam kelompok penghinaan khusus
tidak hanya sebatas pada orang sebagai korban. Pemegang-pemegang jabatan
tertentu seperti Presiden dan/atau wakil Presiden turut menjadi objek
penghinaan dalam kelompok khusus ini. Selain itu, benda mati seperti bendera
negara dan lambang negara juga diakui sebagai sasaran penghinaan oleh
hukum pidana Indonesia. Secara menyeluruh, berikut adalah delik-delik dalam
kelompok penghinaan khusus:

                                                                                                                       
77
Selain tersebar di dalam KUHP, penghinaan khusus meliputi juga penghinaan yang diatur
di luar KUHP seperti penghinaan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, namun penulisan ini dibatasi pada delik penghinaan khusus yang
terdapat dalam KUHP.
78
Reydi Vridell Awawangi, “Pencemaran Nama Baik Dalam KUHP dan menurut UU No.
11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Lex Crimen Vol. III/No.4/Ags-
Nov/2014, halaman 2.

Universitas Indonesia
44

Tabel 2.2: Tindak Pidana Penghinaan Khusus


Pasal Kejahatan Karakterisasi Delik
134 Penghinaan Penghinaan dengan sengaja terhadap
terhadap kepala Presiden atua Wakil Presiden
negara RI
dan/atau wakilnya
136 Penghinaan tanpa Penghinaan dilakukan di luar kehadiran
bis kehadiran korban yang dihina, baik dengan tingkah laku di
muka umum, maupun tidak dimuka umum
baik lisan atau tulisan, namun dihadapan
lebih dari empat orang, atau di hadapan
orang ketiga, bertentangan dengan kehendak
korban
137 Penghinaan Menyiarkan, mempertunjukan, atau
tertulis terhadap menempelkan di muka umum tulisan atau
kepala negara RI lukisan yang berisi penghinaan terhadap
dan/atau wakilnya Presiden atau Wakil Presiden
142 Penghinaan Menghina dengan sengaja terhadap raja
terhadap kepala yang memerintah atau kepala negara sahabat
negara sahabat
142a Penghinaan Menodai bendera kebangsaan negara
terhadap bendera sahabat
kebangsaan
negara laiin
143 Penghinaan
terhadap wakil
negara asing di
Indonesia
144 Penghinaan Menyiarkan, mempertunjukkan atau
tertulis terhadap menempelkan dimuka umum tulisan atau
raja, kepala lukisan yang berisi penghinaan terhadap raja
negara sahabat, yang memerintah, atau kepala negara
atau wakil asing sahabat, atau wakil negara asing di
Indonesia dalam pangkatnya, dengan
maksud supaya penghinaan itu diketahui
atau lebih diketahui oleh umum
154 Penghinaan Menyatakan perasaan permusuhan,
terhadap kebencian atau penghinaan terhadap
pemerintah RI Pemerintah Indonesia
154a Penghinaan Menodai bendera kebangsaan Republik
terhadap bendera Indonesia dan lambang Negara Republik
kekuasaan RI dan Indonesia
lambang negara
RI
155 Penghinaan Menyiarkan, mempertunjukkan atau
tertulis terhadap menempelkan tulisan atau lukisan di muka
pemerintah RI umum yang mengandung pernyataan

Universitas Indonesia
45

perasaan permusuhan, kebencian atau


penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia,
dengan maksud supaya isinya diketahui atau
lebih diketahui oleh umum
156 Penghinaan Menyatakan perasaan permusuhan,
terhadap kebencian atau penghinaan terhadap suatu
golongan atau beberapa golongan rakyat Indonesia
penduduk
156a Penghinaan Di muka umum mengeluarkan perasaan atau
terhadap agama melakukan perbuatan:
tertentu a. yang pada pokoknya bersifat
permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak
menganut agama apa pun juga, yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa
157 Penghinaan Menyiarkan, mempertunjukkan atau
tertulis terhadap menempelkan tulisan atau lukisan di muka
agama tertentu umum, yang isinya mengandung pernyataan
perasaan permusuhan, kebencian atau
penghinaan di antara atau terhadap golongan-
golongan rakyat Indonesia, dengan maksud
supaya isinya diketuhui atau lebih diketahui
oleh umum
177 Penghinaan Menertawakan seorang petugas agama
butir terhadap petugas dalam menjalankan tugas yang diizinkan
1 agama yang
menjalankan
tugasnya
177 Penghinaan Menghina benda-benda untuk keperluan
butir terhadap benda- ibadat di tempat atau padu waktu ibadat
2 benda untuk dilakukan
keperluan ibadah
207 Penghinaan Dengan sengaja di muka umum dengan
terhadap lisan atau tulisan menghina suatu penguasa
penguasa atau atau badan umum yang ada di Indonesia
badan hukum
208 Penghinaan Menyiarkan, mempertunjukkan atau
tertulis terhadap menempelkan di muka umum suatu tulisan
penguasa atau atau lukisan yang memuat penghinaan
badan hukum terhadap penguasa atau badan umum yang
ada di Indonesia dengan maksud supaya isi
yang menghina itu diketahui atau lebih
diketahui oleh umum

Universitas Indonesia
46

2.2.3 Penghinaan sebagai Delik Politik


Pada dasarnya, delik politik dikenal sebagai delik yang erat dengan
kepentingan politis suatu pemerintahan. Menurut beberapa ahli hukum, delik atau
kejahatan politik memiliki kaitan erat dengan proteksi negara melalui instrumen
hukum pidana.79 Secara historis, delik atau kejahatan politik dimaknai sebagi
kejahatan yang menentang pemerintah yang sah, yang kebetulan sedang berkuasa
dan sekaligus dipandang sebagai kejahatan terhadap keamanan negara dan
ketertiban negara. Pada Konferensi Internasional tentang hukum pidana keenam di
Kopenhagen tahun 1935, kejahatan politik ini dideskripsikan sebagai suatu
kejahatan yang ditujukan terhadap organisasi atau fungsi negara atau terhadap
hak- hak warga yang diturunkan darinya.80 Biasanya, pelaku dari kejahatan ini
adalah orang-orang yang memiliki keyakinan ideologinya masing-masing,81 yang
mana ideologi tersebut berusaha ia terapkan dengan cara menentang ideologi yang
sedang berkuasa di negara. Melalui penentangan tersebut, ia ingin menyebarkan
gagasan-gagasan kenegaraan yang ia punya, serta merombak sistem yang ada baik
dalam tataran suprasturktur atau infrastruktur sosialnya. Pelaku kejahatan ini
cenderung memiliki prinsip politik yang berbeda dengan penguasa yang sedang
menjabat.
Sebelumnya, kejahatan politik sangat mudah dibedakan dari kejahatan
biasa disebabkan karena mencoloknya faktor menentang kedudukan negara.
Dalam perkembangannya, ahli hukum banyak menggunakan kriteria motivasi
dilakukannya suatu kejahatan untuk mengidentifikasi apakah suatu kejahatan
merupakan delik politik atau bukan. Jika motivasi yang melatarbelakangi suatu
kejahatan adalah kepentingan politik untuk merestrukturisasi sistem yang sudah
ada, maka dapat dikatakan kejahatan tersebut tergolong dalam delik politik.

                                                                                                                       
79
Konsepsi kejahatan politik lahir dari revolusi Perancis yang saat itu menjatuhkan
kekuasaan monarkhi absolut di bawah kepemimpinan Raja Louis XVI dan XVII. Sebelum upaya
penjatuhan terjadi, belum dikenal istilah kejahatan politik dalam sistem hukum pidana
internasional.
80
Suppriyadi Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar, Op. Cit., halaman 9.
81
Rammelink menjelaskan bahwa adanya pertentangan ideologi antara pelaku kejahatan
dengan pihak negara disebabkan karena pelaku kejahatan merasa hal-hal yang mereka percayai
lebih luhur daripada pendapat-pendpaat yang diyakini dan diterapkan oleh negara yang
bersangkutan. Lihat: Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari
KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003), halaman 74.

Universitas Indonesia
47

Namun dari waktu ke waktu, kejahatan politik semakin kompleks karena sangat
dimungkinkan adanya percampuran antara kejahatan politik dengan kejahatan
biasa sehingga diperlukan formulasi lain untuk membedakan delik politik dan
delik non-politik. John Stuart Mill mendefinisikan delik politik sebagai berikut,
“political offence is a crime which was conducted with the relation on the civil
war and other political commotion”.82 Definisi tersebut sejalan dengan pendapat
Lord Stephen yang berpandangan bahwa kejahatan politik merupakan kejahatan
yang dilakukan dalam hubungannya atau sebagai huru-hara politik.83 Namun
pandangan kedua ahli hukum tersebut amatlah sempit ruang lingkupnya apabila
diterapkan dalam situasi di masa sekarang mengingat pembatasan kejahatan
politik yang sangat sempit, yaitu sebatas penggolongan apakah kejahatan tersebut
merupakan gangguan terhadap keamanan negara atau tidak. Meskipun begitu,
pandangan kedua ahli ini sempat menguasai dan mempengaruhi putusan-putusan
pengadilan Inggris.
Sementara itu, Barlow mendefinisikan kejahatan politik sebagai
perbuatan-perbuatan yang ditafsirkan baik oleh pelaku ataupun penegak hukum
sebagai sesuatu yang secara langsung atau tidak dimaksudkan untuk mengubah
atau mempengaruhi perubahan dalam sistem politik beserta kebijakan yang
dihasilkannya. Barlow mengatakan bahwa kejahatan politik secara prinsipil
berbeda dengan yang lain karena mengandung karakterisasi adanya tindakan
seseorang atau sekelompok orang yang memiliki komitmen untuk menyebabkan
terjadinya suatu yang melampau sekedar keinginan atau kepuasan pribadi, yakni
berupa tergulingnya rezim politik.84 Mendukung pendapat tersebut, Brody
menambahkan bahwa identifikasi apakah suatu kejahatan merupakan kejahatan
politik atau tidak didasarkan pada kewenangan sepihak dari penguasa agar tetap
berkuasa dengan cara menafsirkan secara sepihak pula hal-hal yang entah oleh
masyarakat atau oleh pemerintah sendiri dianggap “menyimpang”. Dilihat dari
                                                                                                                       
82
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (Bandung: Yrama
Widya, 2004), halaman 167 dikutip dari B. A. Wirtley dalam Political Crime in Englihs Law and
International Law, The British Year Book of International Law, 1971, halaman 221-222.
83
I Wayan Parthiana, Op. Cit., dikutip dari Ivon Anthony Shearer, Extradition in
International Law, Manchester University Press, Oceana Publications Inc., 1970, halaman 167.
84
Adrianus Meliala, “Studi Kejahatan Politik: Beberapa Persoalan Mendasar”, Majalah
Hukum dan Pembangunan Nomor 6 tahun XXV, halaman 489.

Universitas Indonesia
48

jenisnya, Clinard dan Quinney mengidentifikasi kejahatan politik sebagai


tindakan berupa pengkhianatan (treason), penghasutan (sedition), spionase,
sabotase, pelanggaran perjanjian militer, kolaborasi perang radikalisme, serta
berbagai jenis protes yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak kriminal.85
Kejahatan politik sendiri sebenarnya tidak selamanya jahat, hanya saja
terminologi “kejahatan politik” lebih ditujukan kepada mereka yang menjadi
objek, yang menyetujui atau menolak hukum dan bukan pada mereka yang
menciptakan atau menerjemahkan ketentuan tersebut seuai dengan kepentingan
politik tertentu. Untuk mengidentifikasi kejahatan politik atau untuk melihat
secara luas gambaran sejarah kriminalitas politik suatu bangsa, dapat dilihat
koleksi statuta, deklarasi, opini hukum, dan argumen para ahli hukum serta
dokumen dan pidato-pidato yang berkaitan dengan bagaimana pihak yang tengah
berkuasa menangani atau berhadapan dengan kalangan atau kelompok yang
tindakan atau pemikirannya dianggap tidak bersesuaian dengan perpolitikannya.
Mengacu pada pandangan bahwa delik politik merupakan delik ganguan
terhadap keamanan dan keselamatan negara, tindak pidana yang sering dikaitkan
dengan delik politik adalah subversi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
No. 11/PNPS/1963. Dalam penjelasannya, dinyatakan bahwa subversi selalu
berhubungan dengan politik dan merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan
politik yang dikehendaki oleh golongan yang berkepentingan. Delik politik sendiri
hanya bisa dilihat sifatnya dari ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979
tentang Ekstradisi, yang mengatur bahwa tiada ekstradisi bagi kejahatan politik.86
Pada perkembangannya, ketentuan mengenai subversi tidak hanya ditujukan pada
perilaku politis yang bermaksud mengganti atau merongrong kekuasaan yang sah,
tetapi juga diberlakukan atas perilaku-perilaku yang sekedar memperlihatkan
perbedaan sikap politik dengan pemerintah. Definisi tersebutlah yang dikukuhkan
sebagai definisi kejahatan politik dalam era pemerintahan orde baru yang
cenderung otoritarian dan represif terhadap perbedaan pendirian masyarakatnya.
Pemerintahan di masa orde baru memberikan pemahaman mengenai kejahatan
                                                                                                                       
85
M. B. Clinard and R. Quinney, Criminal Behavior System: A Typology, (New York: Holt,
Rinehart, and Winston, 1967), halaman 220.
86
Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, Jakarta: Penerbi IND-HILL-CO, halaman
44.

Universitas Indonesia
49

politik yang bersumber dari dikotomi antara pemerintah dan pembangkang. Para
pembangkang adalah mereka yang dituduh sebagai penjahat politik, sedangkan
pemerintah adalah penyelamat rakyat dari kejahatan politik yang ada.87 Dengan
adanya pemahaman yang demikian, pemerintah diposisikan sebagai pihak yang
tidak akan bisa dituduh melakukan kejahatan politik, karena pemerintah dianggap
selalu berada dalam posisi yang benar. Pihak yang mengoposisi pemerintahlah
yang relevan untuk disebut sebagai pelaku kejahatan politik.88
Dari waktu ke waktu, pengkategorian kejahatan politik semakin longgar,
karena penguasa sendiri tidak memiliki kriteria pasti mengenai kejahatan politik.
Meskipun begitu, telah ada usaha untuk memperjelas garis pembeda antara delik
politik dan delik non-politik oleh ahli hukum di beberapa negara. Hazewinkel-
Suringa membedakan antara kejahatan umum dengan kejahatan politik dilihat dari
segi subjeknya. Pelaku kejahatan politik mempunyai keyakinan
(overtuigingsdaders) karena mereka berpendapat pandangannya tentang hukum
dan kenegaraan lebih tepat daripada pandangan pemerintah negara tersebut,
sedangkan penjahat umum (de gewone dader) tidak menyangsikan sahnya tertib
hukum yang berlaku meskipun ia melanggar peraturan yang ada pada negara
tersebut. Selanjutnya, Hazwinkel-Suringa mengutarakan empat teori dalam
menentukan delik politik, sebagai berikut:
a. Teori objektif atau disebut juga teori absolut
Teori ini mengemukakan bahwa delik politik ditujukan kepada
negara dan berfungsinya lembaga-lembaga negara;
b. Teori subjektif atau teori relatif
Pada azasnya semua delik umum yang dilakukan dengan suatu
tujuan, latar belakang serta tujuan politik, merupakan suatu delik
politik;
c. Teori ‘Predominan’
Teori ini membatasi pengertian yang luas dari delik politik, terutama
terhadap teori subjektif atau teori relatif. Dalam hal ini, diperhatikan

                                                                                                                       
87
Hendardi, “Kejahatan Poliitik di Indonesia”, Majalah Hukum dan Pembangunan Nomor
1 Tahun XXVII, halaman 15-16.
88
Ibid.

Universitas Indonesia
50

apa yang “dominan” dari suatu perbuatan. Apabila yang dominan


merupakan suatu kejahatan umum, maka perbuatan tyersebut tidak
disebutkan sebagai delik politik;
d. Teori ‘Political Incidence’
Teori ini melihat perbuatan yang dianggap sebagai bagian dari suatu
kegiatan politik.
KUHP Indonesia menganut teori objektif-absolut, sama seperti yang
diberlakukan di Inggris. Sementara itu, teori predominan juga mulai banyak
dianut oleh negara-negara.
Sedikit berbeda dengan Hazwinkel-Suringa, Remmelink berpendapat
bahwa seorang penjahat politik dikendalikan oleh motif altruistis yang digerakkan
oleh hati nuraninya. Penjahat politik ingin mengubah masyarakatnya atau
pimpinan dari masyarakat sesuai dengan idealnya. Menurut Remmelink, seorang
penjahat politik menghendaki pengakuan dari norma-norma yang diperjuangkan
agar dapat diterima oleh tertib hukum yang berlaku. Sedangkan perbuatan politik
dimaksudkan bahwa perbuatan yang dilakukan bukan semata-mata karena
berkeberatan terhadap norma yan dilanggarnya, akan tetapi berkebaratan terhadap
norma-norma lain yang menjadi bagian dari tertib hukum atau bekeberatan
terhadap situasi-situasi hukum yang dianggap tidak adil.
Dalam konteks di atas, Remmelink mengingatkan perlunya perbandingan
antara delik poilitik dengan perbuatan yang sebenarnya tidak ditujukan untuk
mengacaukan negara. Perbuatan ini lebih mengarah kepada kritik yang melangar
undang-undang dengan tujuan memperbaiki keadaan masyarakat dengan
perbuatan-perbuatan di antaranya demonstrasi, petisi, aksi protes, dan
sebagainya.89 Kejahatan politik dapat dilakukan bersamaan dengan kejahatan
biasa, dan begitu juga sebaliknya. Kejahatan biasa dapat pula digolongkan ke
dalam kejahatan politik apabila dilakukan dengan keyakinan politik. Pelaku
biasanya memiliki keyakinan dan itikad baik, sengaja melakukan sesuatu yang
menurutnya tidak bertentangan dengan tertib masyarakat. Bahkan, pelaku
meyakini perbuatan yang dilakukannya adalah demi kebaikan masyarakat dan
                                                                                                                       
89
Asikin Kusuma Atmaja, Tindak Pidana Subversi dan Perkembangannya menurut
Yurisprudensi Indonesia, makalah pada Lokakarya Mahkamah Agung “Pembangunan Hukum
melalui Peradilan”, Malang, 1978.

Universitas Indonesia
51

keadilan sekalipun terkadang perbuatan itu diikuti dengan kekerasan. Justifikasi


atas tindakan tersebut adalah pandangan bahwa tertib hukum yang berlaku tidak
tepat dalam melakukan kewajibannya, sehingga perlu diubah.
Pompe berpendapat bahwa terdapat 2 (dua) ciri dari delik politik. Dua
ciri tersebut meliputi:
a. Pendapat yang mengatakan bahwa mengadili sama sekali tidak
cukup, dan karenanya mengadili dianggap sebagai suatu kegagalan;
b. Yang berpendapat bahwa hukum politik dianggap berlebihan
(overmatig) dan merusak bahkan dianggap sebagai suatu skandal.
Dalam konteks ciri yang diberikan Pompe, delik politik dapat
disimpulkan sebagai delik dalam hukum pidana politik yang menggunakan morif
politik, dan menyalahi pelaksanaan hukum kenegaraan. Jika dikaitkan dengan
tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, maka dapat dilihat
keterkaitan motif tindak pidana tersebut dengan karakter delik politik
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Tindak pidana penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden paling banyak dilakukan oleh pelaku melalui aksi demontsrasi
atau aksi penyampaian pendapat yang cenderung berisi kritik atas suatu kebijakan
tertentu. Banyak dari perbuatan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden yang
didasari motif partisipasi warga negara dalam mengawal jalannya pemerintahan
dalam rangka mewujudkan pelaksanaan kegiatan berbangsa dan bernegara yang
lebih baik di masa yang akan datang. Dalam perjalanannya, banyak sekali
diajukan kritik atas kebijakan dan hukum yang dibuat oleh pemerintah,
bergantung pada corak masing-masing rezim. Sebagai contoh, pada masa
reformasi, Megawati Soekarnoputri memperkenalkan swastanisasi BUMN dan
memulai kebijakan moneter yang salah satunya melibatkan hutang kepada
International Monetary Funds (IMF). Atas kebijakan tersebut, terjadi inflasi mata
uang yang menyebabkan meningkatnya harga kebutuhan pokok. Padahal,
masyarakat baru saja keluar dari rezim pemerintahan orde baru yang cenderung
represif.
Merespon politik ekonomi yang demikian, banyak warga masyarakat
yang menentang pilihan kebijakan Megawati sehingga pecah berbagai
demontsrasi yang cenderung menentang kedudukan pemerintah. Dalam

Universitas Indonesia
52

demonstrasi sendiri tak jarang warga masyarakat mengajukan ungkapan yang


tercela. Tindakan yang demikian dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, dengan motif politik yaitu
mempropagandakan pandangan politik oposisi dari kedudukan pemerintah.
Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terjadinya tindak pidana penghinaan Presiden
dan Wakil Presiden tidak dapat dipisahkan dari pilihan kebijakan politik dari
masing-masing rezim pemerintahan.

2.3 Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden


2.3.1 Sejarah Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
Secara historis, pasal yang mengatur tindak pidana penghinaan Presiden
dan Wakil Presiden merupakan warisan dari kebijakan kolonial Belanda di
Indonesia. Karena di masa itu Indonesia belum memiliki hukum sendiri
sedangkan terdapat kebutuhan atas hukum, maka diberlakukanlah hukum
pemerintahan kolonial Belanda sebagai hukum dari negara penjajah. Keberlakuan
hukum ini didasarkan pada asas konkordansi, yang berarti bahwa hukum yang
berlaku bagi orang-orang Belanda di Hindia Belanda (Indonesia) harus
disesuaikan atau disamakan dengan hukum yang berlaku di Negeri Belanda. Asas
konkordansi ini dapat disimpulkan dari pasal 131 Indische Staats Regeling (I.S)
jo. pasal 163 I.S . Pasal 131 I.S. menyatakan sebagai berikut:

“(1) Hukum-hukum perdata, dagang dan pidana, begitu pula hukum


acara perdata dan pidana, diatur dengan "undang-undang"
(ordonansi), dengan tidak mengurangi wewenang yang diberikan
oleh atau berdasarkan undang-undang kepada pembentuk
perundang-undangan pidana. Pengaturan ini dilakukan, baik
untuk seluruh golongan penduduk atau beberapa golongan dari
penduduk itu ataupun sebagian dari golongan itu, ataupun baik
untuk bagian-bagian dari daerah secara bersama maupun untuk
satu atau beberapa golongan atau bagian dari golongan itu secara
khusus.
(2) Dalam ordonansi-ordonansi yang mengatur hukum perdata dan
dagang ini:
a. untuk golongan Eropa berlaku (dianut) undang-undang yang
berlaku di Negeri Belanda, dan penyimpangan dari itu hanya
dapat dilakukan dengan mengingat baik yang khusus bertaku
menurut keadaan di Indonesia, maupun demi kepentingan
mereka ditundukkan kepada peraturan perundang-undangan

Universitas Indonesia
53

menurut ketentuan yang sama bagi satu atau beberapa


golongan penduduk lainnya;
b. untuk orang-orang Indonesia, golongan Timur Asing atau
bagian-bagian dari golongan-golongan itu, yan merupakan dua
golongan dari penduduk, sepanjang kebutuhan masyarakat
megnghendaki, diberlakukan baik ketentuan perundang-
undangan untuk golongan Eropa, sedapat mungkin dengan
mengadakan perubahan-perubahan seperlunya, maupun
ketentuan perundang-undangan yang sama dengan golongan
Eropa, sedangkan untuk hal-hal lain yang belum diatur di situ,
bagi mereka berlaku peraturan hukum yang bertalian dengan
agama dan adat-kebiasaan mereka, yang hanya dapat
menyimpang dari itu, apabila temyata kepentingan umum atau
kebutuhan masyarakat menghendakinya. (ISR. 163; S. 1882-
152; S. 1917-129, 130; S. 1924-556; S. 1931-53 jo. 177.)
(3)Dalam ordonansi-ordonansi yang mengatur hukum pidana,
hukum perdata dan hukum acara pidana, bila hal itu berlaku
secara khusus untuk golongan Eropa, dianut undang-undang
yang berlaku di Negeri Belanda, akan tetapi dengan perubahan-
perubahan yang diperlukan yang disebabkan oleh keadaan
khusus di Indonesia; bila karena penerapan atau penundukan
diri kepada peraturan umum yang berlaku sama bagi golongan
lain atau sebagian dari golongan itu, barulah undang-undang itu
diberlakukan bila terdapat persesuaian dengan keadaan yang
khusus itu.”
Melalui ketentuan tersebutlah, Hukum Pidana Belanda diterapkan di
Indonesia seperti halnya Hukum Perdata dan Hukum Dagang. Ketentuan
mengenai penghinaan Presiden sendiri didasarkan pada Artikel 111 Nederlands
Wetboek van Strafrecht (WvS Nederland, 1881) yang mengatur mengenai
opzettelijke beleediging den Koning of der Koningin. Ketika itu, tindak pidana
penghinaan Presiden diancam dengan hukuman penjara paling lama lima tahun
atau denda paling bannyak 300 gulden. Pada tanggal 15 Oktober 1915,
dikeluarkan Koninklijk Besluit (KB) Nomor 33 yang mengatur tentang
pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Nederlands – Indie (WvS Nederlands
– Indie) namun pernyataan bahwa hukum tersebut secara mengikat berlaku
barulah dinyatakan dalam Staatsblad 1915 Nomor 732.
Pasca penjajahan Belanda, Indonesia mengalami penjajahan oleh Jepang
namun hukum Belanda tetap diterapkan di Indonesia berdasarkan Osamu Seirei
Nomor 1 tahun 1942. Pasal 3 dari aturan tersebut menegaskan bahwa semua
badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari

Universitas Indonesia
54

pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak
bertentangan dengan pemerintahan militer. Keberlakuan Hukum Pidana Belanda
tetap berjalan sekalipun Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya.
Keberlakuan ini didasarkan pada pasal I Aturan Peralihan dalam UUD NRI 1945
yang mengatur bahwa, “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini”. Tidak lama setelahnya, dibuatlah Oendang-Oendang 1946 Nomor 1 tentang
Peratoeran Hoekoem Pidana yang menetapkan bahwa nama Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandch – Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht atau
dapat disebut Kitab Oendang-Oendang Hoekoem Pidana.
Aturan tersebutlah yang memberikan legitimasi keberlakuan Hukum
Pidana Belanda hingga detik ini di Indonesia. Dengan mengadopsi KUHP
Belanda, keberlakuan aturan mengenai larangan menghina raja atau ratu selaku
kepala negara di Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Karena Indonesia tidak
mengenal konsep jabatan kepala negara seperti yang dimiliki oleh Belanda, maka
pasal proteksi jabatan kepala negara tersebut berusaha dikontekstualisasi menjadi
pasal proteksi jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 8 Angka 24 Oendang-
Oendang 1946 Nomor 1 menetapkan bahwa perkataan Koning of der Koningin
pada Pasal 134 KUHPidana diganti dengan kata President of den Vice –
President, yang kini disebut dengan Presiden atau Wakil Presiden.90 Penggantian
frasa ini didasarkan pada pemikiran bahwa sebenarnya Presiden di Indonesia tidak
hanya berperan sebagai kepala pemerintahan saja, melainkan ia juga berperan
sebagai kepala negara. Alhasil, artikel 111 Nederlands Wetboek van Strafrecht
yang saat itu digunakan menjaga kewibawaan Raja dan Ratu Belanda sebagai
simbol negara, diturunkan menjadi pasal 134, pasal 136bis, dan pasal 137
KUHPidana yang kemudian dikenal luas sebagai delik penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden. Dalam suatu kesempatan, ahli Prof. Mardjono Reksodiputro
menyatakan bahwa tidak ditemukan rujukan apakah alasan serupa dapat diterima
di Indonesia, yang mengganti kata ‘Raja’ dengan ‘Presiden dan Wakil Presiden’.91

                                                                                                                       
90
H. Soerjanatamihardja, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Van Dorp,
1952), halaman 125.
91
Risalah Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan
Nomor 022/PUU-IV/2006,

Universitas Indonesia
55

Dilihat dari struktur ketatanegaraan, konsep kepala negara di Indonesia


dan Belanda memiliki perbedaan secara fundamental. Di negara kerajaan seperti
Belanda, raja dan ratu memiliki peran sebagai representasi martabat negara, di
samping secara sah menjadi bagian dari pemerintahan Negara Belanda itu
sendiri.92 Walaupun demikian, raja tidak memiliki tanggung jawab politik atas
jalannya pemerintahan. Hal ini daitur dalam Article 42 Konstitusi Belanda yang
menyatakan bahwa:
“1. The Government shall comprise the King and the Ministers; 2. The
Ministers, and not the King, shall be responsible for acts of
government.”

Raja dan ratu berperan sebagai simbol negara dan sebagai penerima
pertanggungjawaban dari Gubernur Jenderal dalam menjalankan tugasnya.
Mengingat dalam tubuh raja tercermin harkat dan martabat negara, maka jabatan
Raja diberikan secara turun temurun karena keluarga Raja lah yang dianggap
mampu mewakili negara. Berbeda dengan pelaksana fungsi administrasi
pemerintahan seperti Perdana Menteri. 93 Perdana Menteri dicalonkan oleh partai
politik dan dipilih melalui pemilihan umum. Secara riil terjadi distingsi yang jelas
antara tugas Perdana Menteri dan Raja. Perdana Menteri ditugaskan untuk
memegang fungsi eksekutif, sedangkan Raja dan Ratu hanya memegang fungsi
semantik.
Sebagai representasi kehormatan negara, pribadi raja amat dekat dengan
kepentingan negara; keduanya hampir tidak dapat dipisahkan sehingga martabat
raja memerlukan perlindungan khusus.94 Perlindungan khusus ini juga
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/risalah_sidang_Perkara%20013%20dan%20022%2
0.PUU-Iv.2006,%2016%20Desember%202006.pdf diakses pada 29 April 2015.
92
Politics in Netherlands, ProDemos –House for Democracy and the Rule of Law, Den
Haag, 2013 http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja
&uact=8&ved=0CCUQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.parliament.uk%2Fbriefing-
papers%2FSN03861.pdf&ei=xLNBVeimEIKdugS524DADw&usg=AFQjCNHkD8_DfCejtXeqW
b-BTJwFvjEYPQ&sig2=uoQSkQXfF4zmxZhU_stu9w&bvm=bv.92189499,d.c2E diakses pada
29 April 2015.
93
The Comparison Between A Republic and A Constitutional Monarchy,
http://www.gov.bm/portal/.pt/gateway/PTARGS_0_2_3504_476_1959_43/http%3B/ptpublisher.g
ov.bm%3B7087/publishedcontent/publish/bic/dept___bic___papers/articles/the_comparison_betw
een_a_republic_and_a_constitutional_monarchy_4.pdf diakses pada 30 April 2015.
94
Cleiren, C.P.M. & J.F. Nijboer (Redactie), Strafrecht. Tekst & Commentaar, (Kluwer,
1994), halaman 700.

Universitas Indonesia
56

memperkuat posisi raja dan ratu yang dianggap selalu benar dan keputusannanya
tidak dapat diganggu gugat. Dalam konteks ini, raja dan ratu cenderung
memegang peran semantik daripada peran administrasi. Raja dan ratu lebih sering
dimunculkan sebagai simbol kehormatan melalui berbagai macam kegiatan
upacara atau ramah tamah dengan negara sahabat, dibandingkan secara aktif
terlibat dalam pembuatan kebijakan negara. Keagungan Raja dan Ratu yang
sangat simbolik turut menjadi alasan mengapa Raja dan Ratu tidak perlu membuat
aduan apabila kehormatan atau nama baiknya dicemarkan. Terjadinya penghinaan
terhadap Raja dan Ratu disamakan dengan terjadinya penghinaan terhadap negara,
sehingga atas nama kepentingan umum kejahatan tersebut perlu ditindak tanpa
memerlukan adanya suatu pengaduan.95 Konsep raja dan ratu sebagai kepala
negara yang demikian berbeda dengan konsep kepala negara di Indonesia yang
pada dasarnya melebur dengan posisi kepala pemerintahan. Leburan ini
disebabkan karena posisi kepala negara dipegang oleh kepala pemerintahan secara
sekaligus, sehingga selain menjadi pemimpin tertinggi, Presiden juga berperan
merepresentasikan martabat negara.
Di Indonesia, peran serta fungsi Presiden sebagai kepala pemerintahan
diatur secara tegas dalam konstitusi dan undang-undang, sedangkan fungsi
Presiden sebagai kepala negara tidak pernah secara lugas dinyatakan sekalipun
terdapat beberapa tugas yang menyiratkan posisi Presiden sebagai kepala negara.
Praktik penyelenggaraa negara di Indonesia menempatkan posisi Presiden sebagai
posisi yang strategis, karena kepada satu orang diberikan 3 (tiga) kekuasaan
sekaligus: kekuasan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan sebagai kepala
negara.96 Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 mengatur bahwa Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar berlaku sebagai pedoman bagi jalannya pemerintah yang
menjunjung tinggi konstitusionalisme dan konsep negara hukum yang
berdasarkan pada Pancasila.

                                                                                                                       
95
Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1983)
halaman 273.
96
M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV, Sinar
Bakti, 1988), halaman 197.

Universitas Indonesia
57

Sebagai kepala negara, Presiden merupakan lambang kesatuan dan


persatuan. Wewenang Presiden sebagai kepala negara diatur dalam Undang-
Undang Dasar NRI 1945 yang meliputi kewenangan sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi atas militer, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain,
mengangkat duta dan konsul, memberi grasi, amnesti, dan abolisi dan
memberikan gelaran serta tanda jasa, tanda kehormatan yang semuanya diatur
dengan undang-undang. Sebelum dihilangkan, penjelasan UUD NRI 1945
sebelum amandemen juga menyebutkan:

“di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah


penyelenggara pemerintahan negara tertinggi. Dalam menjalankan
pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan
Presiden.”
Dengan melihat konstelasi ketatanegaraan Indonesia, maka dapat
disimpulkan bahwa peran Presiden sebagai kepala pemerintahan lebih menonjol
daripada peran Presiden sebagai kepala negara. Dalam hal ini, peran Presiden
sebagai pelaksana fungsi pemerintahan lebih dominan daripada peran Presiden
sebagai simbol kehormatan negara. Dilihat dari mekanisme perolehan jabatannya
pun, kontekstualisasi Presiden sebagai kepala negara kurang tepat karena kepala
negara sebagaimana Raja dan Ratu di Belanda memperoleh jabatannya secara
turun temurun, sedangkan Presiden dipilih melalui pemilihan umum.

2.3.2 Bentuk Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden


Tindak pidana penghinaan Presiden diatur dalam Bab II tentang
Kejahatan-Kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Dalam bab
tersebut hanya terdapat 3 (tiga) pasal yang mengatur mengenai tindak pidana
penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang meliputi Pasal 134, Pasal
136bis, dan Pasal 137 KUHP. Tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden dibagi berdasarkan cara penghinaan itu dilakukan sebagai berikut:
1. Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden
Pasal 134 KUHP mengatur tindak pidana penghinaan Presiden
dan Wakil Presiden yang dilakukan secara lisan, yang kemudian

Universitas Indonesia
58

rumusannya menjadi standar delik penghinaan Presiden dan Wakil


Presiden. Redaksional pasal 134 KUHP adalah sebagai berikut:

“Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil


Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam
tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
ribu rupiah.”
Pasal ini mulanya diatur dalam Artikel 111 WvS. Dalam
Memorie van Toelichting, tersirat bahwa pembentuk undang-undang
bermaksud untuk mengartikan penghinaan dalam rumusan pasal 134
KUHP dengan penghinaan dalam Bab XVI KUHP dari Buku II
KUHP. Sehingga, menggunakan interpretasi logis, maka pasal 134
KUHP mencakup segala tindakan penghinaan yang terdapat dalam
Bab XVI KUHP yang meliputi menista dengan lisan (smaad), menista
dengan tulisan (smaadschrift), fitnah (laster), penghinaan biasa
(eenvoudige belediging), dan pengaduan atau laporan palsu (lasterlijke
aanklacht).
Menurut Prof. Noyon-Langemeijer, agar seseorang dapat
dipidana menurut ketentuan pasal 134 KUHP maka ia setidak-tidaknya
harus memenuhi unsur-unsur dalam pasal 315 KUHP yang mengatur
tentang penghinaan ringan. Namun, mengingat bahwa tindak pidana
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden amatlah tercela, Prof.
Noyon-Langemeijer menjelaskan bahwa pembedaan antara perbuatan-
perbuatan penghinaan sebagaimana yang dilakukan menurut Bab XVI
KUHP tidaklah dibutuhkan dalam menentukan terjadinya tindak
pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.
Ditiadakannya pembedaan itu bukan berarti bahwa syarat-
syarat bagi masing-masing tindak pidana penghinaan dalam Bab XVI
KUHP juga harus ditiadakan untuk bisa menjadi dasar identifikasi
apakah tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden terjadi
atau tidak. Bagaimana pun juga, untuk menjerat seseorang dengan
ketentuan pasal 310 KUHP maka unsur-unsur tindak pidana
penghinaan lisan haruslah dipenuhi terlebih dahulu. Hanya saja,
karena tindak pidana penghinaan tersebut ditujukan kepada Presiden

Universitas Indonesia
59

dan Wakil Presiden, maka kepada tindakan-tindakan yang telah


dilakukan oleh pelaku itu hanya diberikan kualifikasi sebagai
penghinaan saja, dan bagi pelaku tidak diberlakukan ketentuan
penghinaan dalam Bab XVI KUHP melainkan cukup dengan pasal 134
KUHP saja.97
Mengacu pada doktrin tersebut, maka seseorang yang sengaja
melakukan penghinaan yang telah memenuhi unsur-unsur penghinaan
dalam Bab XVI KUHP, yang mana penghinaan itu dilakukannya
terhadap Presiden dan Wakil Presiden, maka ia dapat dipersalahkan
telah melanggar pasal 134 KUHP. Sebagai contoh, seseorang yang
dituduh melakukan penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden,
haruslah memenuhi unsur-unsur dalam pasal 310 ayat (1) KUHP untuk
bisa dipidana dengan pasal 134 KUHP.
Dilakukannya penghinaan haruslah didasarkan pada
kesengajaan. Sengaja dalam konteks ini adalah mengetahui dan
menghendaki tindakannya, yaitu penghinaan, serta mengetahui dan
menghendaki objek yang ia hina adalah Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Apabila ia tidak menghendaki untuk menyerang kehormatan
atau nama baik Presiden dan Wakil Presiden, atau ia tidak mengetahui
bahwa yang ia serang kehormatan atau nama baiknya adalah Presiden
dan Wakil Presiden, maka ia dapat dituntut menurut salah satu pasal
dalam Bab XVI KUHP.98
2. Pasal 136bis KUHP tentang Perluasan Pasal 134 KUHP tentang
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
Pasal 136bis mengatur mengenai mengatur mengenai perluasan
tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden pada pasal 134
KUHP. Pasal ini mengatur mengenai berbagai tindakan penghinaan

                                                                                                                       
97
Noyon-Langemeijer, Het Wetboek I, halaman 566-567 sebagaimana dikutip dalam
Risalah Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan Nomor
022/PUU-IV/2006.
98
Smidt dalam Geschiedenis sebagaimana dikutip dalam Risalah Sidang Putusan
Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan Nomor 022/PUU-IV/2006.

Universitas Indonesia
60

Presiden dan Wakil Presiden dalam situasi dan kondisi yang beragam.
Redaksional Pasal 136bis KUHP adalah sebagai berikut:

“Pengertian penghinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal


134 mencakup juga perumusan perbuatan dalam pasal 315,
jika itu dilakukan diluar kehadiran yang dihina, baik dengan
tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum
baik lisan atau tulisan, namun dihadapan lebih dari empat
orang, atau di hadapan orang ketiga, bertentangan dengan
kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung.”
Membaca pasal tersebut harus dilakukan bersamaan dengan
pembacaan terhadap rumusan pasal 315 KUHP. Pasal 315 KUHP yang
mengatur bahwa penghinaan ringan terjadi apabila:99

− Di muka umum, secara lisan, tulisan, atau lukisan;


− Pada kehadiran terhina, secara lisan atau tindakan-nyata;
− Melalui tulisan atau lukisan yang dikirimkan atau
diterimakan.

Selain menerapkan situasi dan kondisi yang diatur dalam pasal


315 KUHP, pasal 136bis juga menambahkan beberapa hal sebagai
berikut:

- Penghinaan dilakukan di muka umum, di luar kehadiran


terhina secara nyata-nyata;
- Tidak di muka umum akan tetapi dihadiri oleh:
• Lebih dari empat orang; atau
• Seorang ketiga (atau lebih) bukan karena kemauannya
dan merasa tersinggung.

Di muka umum harus dimaknai bahwa ucapan yang dilontarkan


pelaku dapat didengar oleh umum, dan jika merupakan tulisan atau
lukisan dapat dibaca umum atau jika berupa tinndakan nyata dapat dilihat
umum. Hoge Raad sendiri dalam arrest tertanggal 9 Juli 1941, N.J. 1941
No. 79 memberikan pernyataan sebagai berikut:

                                                                                                                       
99
Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Penerbit: Alumni AHM-
PTHM, 1983, halaman 12-15.

Universitas Indonesia
61

“Suatu penghinaan dilakukan di depan umum, jika penghinaan


tersebut dilakukan di suatu tempat yang dapat dikunjungi oleh
setiap orang dan setiap orang yang hadir dapat mendengarnya.”
Menurut putusan teresebut, maka suatu tempat yang tidak dapat
dikunjungi oleh seseorang dengan sesuka hati, misalnya di suatu rumah,
maka tidak dapat dinyatakan sebagai tempat umum. Dalam rumusan pasal
136bis juga dinyatakan bahwa penghinaan dilakukan dengan ‘tingkah
laku’, di muka umum tanpa kehadiran yang dihina. Dengan ‘tingkah laku’
harus dimaknai sebagai perbuatan-perbuatan (feitelijkheden) dan bukan
dengan kata-kata. Perbuatan tersebut dapat berupa perusakan, pencoretan
bangunan, atau perbuatan-perbuatan lain yang pada umumnya cenderung
tercela dan menunjukkan keterhinaan Presiden dan Wakil Presiden.
Apabila perbuatan tersebut tidak dilakukan di muka umum, pelaku
haruslah setidak-tidaknya melakukan tindakan tersebut di hadapan
minimal empat orang. Dalam kondisi demikian, terjadinya penghinaan
tidak harus dilakukan melalui perbuatan-perbuatan saja namun juga dapat
dilakukan melalui lisan atau tulisan.100
Selain dilakukan dalam bentuk perbuatan, pasal 136bis juga
mengakomodasi tindakan penghinaan berupa tulisan atau geschrifte.
Yang menjadi pertanyaan, apakah kemudian poster, cetakan, dan
karikatur dapat digolongkan ke dalam kelompok tulisan? Prof. Noyon-
Langemeijer berpendapat sebagai berikut:

“Termasuk dalam pengertian tulisan yakni setiap


pengungkapan secara mekanis dari pemikiran dalam bentuk
kata-kata; pengungkapan pemikirann seperti itu tidak perlu
selalu harus dilakukan dengan pena atau pensil, namun juga
dapat dilakukan dengan cetakan, dengan ukiran, atau dengan
sarana-sarana lainnya.”

Beriringan dengan pernyataan di atas, Lamintang memberikan


kejelasan atas apa yang dimaksud dengan tulisan. Termasuk dalam tulisan
adalah hal-hal yang dicetak dan ukiran namun tidak termasuk karikatur
atau poster yang memuat lukisan. Hal-hal yang disebutkan terakhir

                                                                                                                       
100
P. A. F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan terhadap Keamanan Negara,
Bandung: CV. Sinar Baru, 1987, halaman 287.

Universitas Indonesia
62

merupakan bagian dari afbeelding sebagaimana diatur dalam pasal 137


KUHP.
Tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden juga
dapat terjadi dalam hal pelaku tidak melakukan perbuatan, tidak
mengucapkan secara lisan, atau tidak membuat tulisan yang menghina di
muka umum, namun salah satu dari tindakan tadi dilakukannya di
hadapan orang ketiga yang berada di tempat itu bukan karena
keinginannya101 dan ia pun merasa tersinggung atas hinaan tersebut.102
Dalam konteks ini, tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden bisa saja terjadi melalui obrolan antara 2 (dua) orang yang
kemudian salah satu di antaranya memberikan komentar terhadap
pemimpin negara, sebagai contoh, salah seorang memberikan komentar
bahwa “Presiden kita tidak berprikemanusiaan karena tega memotong
subsidi”, kemudian karena kalimat tersebut, lawan bicaranya tersinggung.
Maka hal yang demikian dapat dilaporkan sebagai tindakan menghina
Presiden sebagaimana diatur dalam pasal 136bis KUHP. Terkait hal itu,
menurut Oemar Seno Adji, besar peluang bagi terjadinya kriminalisasi
atas permbicaraan pribadi yang notabene merupakan perwujudan
kebebasan berekspresi dan berpendapat.103 Pendapat tersebut turut
diamini oleh Lamintang. Menurut kedua ahli tersebut, rumusan pasal
136bis yang dapat mengkriminalisasi pembicaraan pribadi tersebut perlu
dikaji kembali.104
3. Pasal 137 KUHP tentang Penghinaan melalui tulisan atau gambar
terhadap Presiden dan Wakil Presiden

                                                                                                                       
101
Dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah “zijn ondanks” atau “tegen zijn wil”,
yang juga dapat diartikan sebagai “bertentangan dengan keinginannya”. Unsur ini haruslah
dibuktikan dalam persidangan. Sumber: van Haeringen, Op. Cit.,halaman. 523.
102
Dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah “aanstot nemen aan” yang secara
harafiah dapat diartikan sebagai merasa tersinggung. Unsur ini haruslah dibuktikan dalam
persidangan. Sumber: Badan Pembinaan Hukum Nasional, KUHP, halaman 61 dan Moeljatno,
KUHP, halaman 86.
103
Oemar Seno Adji, Kemerdekaan Pers di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1952),
halaman 12-13.
104
P. A. F. Lamintang, Op. Cit. Halaman 293.

Universitas Indonesia
63

Pasal 137 KUHP mengatur mengenai tindak pidana penghinaan


terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan melalui tulisan
atau gambar dengan rumusan pasal sebagai berikut:

“(1) Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan, atau


menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi
penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, dengan
maksud supaya isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui
oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.
(2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu
menjalankan pencariannya, dan pada waktu itu belum lewat
dua tahun sejak adanya pemidanaan menjadi tetap karena
kejahatan semacam itu juga, maka terhadapnya dapat dilarang
menjalankan pencarian tersebut.”

Pasal 137 KUHP merupakan salah satu pasal dalam KUHP yang
mengatur mengenai masalah tindak pidana penyebarluasan atau
“verspreidingsdelicten”. Tindak pidana ini pada dasarnya melarang
dilakukannya penyebarluasan atas tulisan atau gambar yang isinya
diangap tidak pantas karena bersifat menghina, menghasut, dan
sebagainya dengan maksud agar hasutan tersebut diketahui orang banyak
atau menjadi diketahui secara luas.
Dalam rumusan pasal terdapat kata “menyiarkan” yang
sebenarnya merupakan terjemahan keliru atas kata “verspreiden’.
Terjemahan yang benar adalah “menyebarluaskan”, yang jika dikaitkan
dengan tindak pidana dalam pasal 137 KUHP maka dapat dipahami
bahwa maksud menyebarluaskan adalah disebarkannya tulisan atau
gambar dalam jumlah banyak atau setidak-tidaknya lebih dari satu
lembar. Di sisi lain, tindakan menyiarkan saja dapat dipenuhi dengan
menunjukkan atau membuat kesempatan agar sebuah tulisan atau sebuah
gambar dapat dilihat oleh orang. Sekalipun tujuan menyebarluaskan dan
menyiarkan serupa—agar orang secara umum dapat mengetahuinya—
namun tindakan menyiarkan bukanlah tindakan yag dimaksud dalam
pasal 113 WvS yang menjadi asal mula pasal 137 KUHP. Sekalipun
terdapat perbedaan penafsiran atas benar tidaknya digunakan kata

Universitas Indonesia
64

“menyiarkan” dibanding kata “menyebarluaskan”, Dading dan Prof.


Noyon-Langemeijer memberikan pandangan bahwa maksud tindakan
penghinaan dalam pasal 113 WvS tidak boleh dibatasi hanya dengan
menyebarluaskan tulisan dan gambar,105 namun harus juga dibuka
kemungkinan bagi penyiaran gambar atau tulisan tersebut baik melalui
radio ataupun televisi.106
Tindakan “menempelkan” dalam rumusan pasal harus dimaknai
sebagai tindakan menempelkan tulisan atau gambar yang di dalamnya
terdapat penghinaan bagi Presiden dan Wakil Presiden di suatu tempat
dengan sedemikian rupa, hingga tulisan atau gambar tersebut dapat dilihat
dengan jelas oleh setiap orang yang ingin melihat. Menurut Prof. Noyon-
Langemeijer, tidak terdapat perbedaan fundamental antara
“menyebarluaskan”, “mempertunjukkan”, atau pun “menempelkan”.
Yang membedakan hanyalah banyaknya tulisan atau gambar yang harus
disebarluaskan untuk bisa disebut menghina Presiden dan Wakil
Presiden.
Selanjutnya, media yang dapat digunakan untuk melakukan
penghinaan terdiri dari tulisan-tulisan atau gambar-gambar. Menurut
Prof. Noyon-Langemeijer:

“termasuk dalam pengertian tulisan yakni setiap perwujudan


secara mekanis dari pemikiran dengan kata-kata;
perwujudan tersebut tidak perlu selalu harus dilakukan
dengan pena atau pensil melainkan juga dengan cetakan,
ukiran, atau saran lainnya.”

“gambar itu tidak perlu diartikan sebagai gambar seseorang


atau sebuah potret; melainkan cukup jika di dalamnya
menunjukkan pemikiran yang sifatnya menghina.”

Tulisan tersebut termasuk juga artikel yang dimuat dalam media


massa seperti koran, majalah, ataupun tabloid. Dalam rumusan pasal 137
KUHP, tidak ditemukan adanya penyebutan unsur kesengajaan.
                                                                                                                       
105
Dading, Hukum Pidana I, (Bandung: Alumni, 1982), halaman 265.
106
Noyon Langemeijer, Het Wetboek I, halaman 572, sebagaimana dikutip dalam Risalah
Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan Nomor 022/PUU-
IV/2006.

Universitas Indonesia
65

Meskipun begitu, kondisi bahwa penyebarluasan tulisan atau gambar


harus dilakukan dengan sengaja haruslah tetap dibuktikan. Kesengajaan
ini meliputi juga sengaja untuk mempertunjukkan secara terbuka dan
menempelkan gambar tersebut di muka umum. Dalam konteks ini,
kesengajaan yang dimaksud adalah kesengajaan dengan tujuan, yaitu
tujuan menyerang nama baik atau kehormatan Presiden dan Wakil
Presiden. Namun dalam konteks penyebarluasan melalui artikel, Hoge
Raad berpendapat:

“suatu artikel itu juga merupakan suatu tulisan jika di dalamnya


terdapat kesan yang sifatnya menghina. Orang yang
menyebarluaskan tidak perlu mempunyai opzet untuk
menghina, melainkan cukup jika ia secara pantas dapat
menduga bahwa isi dari tulisan tersebut bersifat menghina.”

Mengacu pada rumusan tersebut, maka orang yang


menyebarluaskan cukup memiliki dugaan bahwa artikel yang
disebarluaskannya mengandung hinaan kepada Presiden dan Wakil
Presiden. Lamintang menegaskan bahwa tindakan yang diatur dalam
pasal 137 KUHP bukanlah tindakan menghina Presiden dan Wakil
Presiden, namun tindakan menyebarluaskan tulisan atau gambar yang
mengandung hinaan bagi Presiden dan Wakil Presiden.107 Sehingga,
dalam konteks terdapat seseorang membuat tulisan yang kemudian
tulisannya dimuat dalam majalah, seharusnya bukan pembuat artikel yang
dipidana, namun redaksi majalah yang telah memuatnya.108

2.3.3 Unsur Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden


dalam Pasal 134 KUHPidana
Presiden dan Wakil Presiden adalah orang-orang yang memperoleh
perlindungan khusus atas kehormatan yang dimiliki karena jabatannya. Leden
Merpaung menyatakan bahwa dilindunginya Presiden dan Wakil Presiden dengan
                                                                                                                       
107
Lamintang dan Samosir, Op. Cit., halaman 71.
108
Putusan No. 2073/1983/PN Malang telah memutus dipidananya seseorang karena dalam
membuat tulisan yang di dalamnya menyatakan bahwa agama yang dianut oleh Soekarno adalah
Islam Sontoloyo yang tidak mengandung prikemanusiaan. Tulisan tersebut dimuat dalam Majalah
Bulanan Nur Muhammadiah. Dalam putusannya, hakim mempersalahkan terdakwa melanggar
ketentuan pasal 137 KUHP. Sumber: Hukum, 1955 No. 4-5, halaman 91.

Universitas Indonesia
66

KUHP disebabkan karena posisinya sebagai kepala negara dan wakil kepala
negara, yang notabene merupakan representasi harkat dan martabat negara. Sudah
selayaknya orang dengan kedudukan yang demikian dihormati. Dihormati, tidak
berarti atas kemauan orang yang menduduki jabatan Presiden atau Wakil
Presiden, tetapi berdasarkan kepatutan dan kelayakan yang hidup dalam
masyarakat umum atau orang kebanyakan.109
Hukum positif mengenai penghinaan Presiden berasal dari penyesuaian
yang dilakukan Undang-Undang No. 1 tahun 1946. Saat itu, redaksional pasal
yang digunakan adalah, “kesengajaan menghina Presiden dan Wakil Presiden
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun atau dengan
pidana denda dengan setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.” Hingga
kini, rumusan tersebut diperbaiki sehingga menjadi rumusan pasal 134 KUHP
sekarang yaitu, “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil
Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah.”
Jika dilihat dari redaksional pasalnya, maka dapat dirumuskan unsur-
unsur tindak pidana penghinaan Presiden yang meliputi:
1. Dengan sengaja (Opzettelijk)
Salah satu unsur penting dalam tindak pidana adalah unsur
kesalahan. Menurut Sianturi, ciri dari unsur kesalahan dalam hukum
pidana adalah sebagai berikut:110
a. Adanya hubungan jiwa pelaku dengan tindakan dan/atau
akibat yang terjadi (dalam beberapa hal yang akan
terjadi). Melalui hubungan jiwa dan tindakan ini, pelaku
dapat menilai dan menyadari ketercelaannya yang
sebenarnya dapat dihindari sebelumnya. Dalam kata lain,
terdapat hubungan jiwa dari pelaku yang mampu
bertanggung jawab dengan tindakan dan/atau akibatnya;
b. Bentuk kesalahan dapat berupa kesengajaan atau
kealpaan;
                                                                                                                       
109
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 62.
110
S. R. Sianturi, Op. Cit, halaman 12-15.

Universitas Indonesia
67

c. Atas tindakan pelaku, tidak terdapat dasar peniadaan


kesalahan.
Melalui hal-hal di atas, maka dapat diketahui bahwa hal
pertama yang harus dilakukan untuk menentukan apakah seseorang
melakukan tindak pidana atau tidak adalah melihat hubungan jiwa
antara diri pelaku dan perbuatannya. Dalam konteks pasal 134
KUHP, hubungan jiwa tersebut harus mutlak ada dalam bentuk
kesengajaan. Menurut doktrin, unsur sengaja ini mengindikasikan
bahwa pelaku mengetahui perbuatannya dan pelaku menyadari
bahwa ia mengucapkan kata-kata yang mengandung pelanggaran
terhadap kehormatan atau nama baik seseorang,111 yang dalam hal
ini adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Identifikasi terhadap
kesengajaan dapat dilakukan secara lebih spesifik dengan
membenturkannya pada teori kesengajaan yang meliputi:
a. Kesengajaan yang menjadi tujuan;
b. Kesengajaan dengan keinsyafan kepastian;
c. Kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan.
Jika dikaitkan dengan pemeriksaan dalam persidangan, maka
penuntut umum haruslah membuktikan sejauh mana niat pelaku
untuk menghina Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pembuktian niat
ini merupakan salah satu syarat dari terjadinya tindak pidana
penghinaan, yaitu harus terdapat unsur animus injuriandi atau
kesengajaan untuk menghina. Agar dapat dinyatakan seorang pelaku
melanggar pasal 134 KUHP, maka perlu dibuktikan adanya
kesengajaan yang menjadi tujuan, dalam hal ini tujuannya berupa
terserangnya kehormatan atau nama baik Presidan dan/atau Wakil
Presiden. Pelaku pun juga harus menyadari bahwa yang ia serang
kehormatan dan nama baiknya itu adalah Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Jika pelaku ternyata telah tidak menghendaki untuk
menyerang kehormatan Presiden dan/atau Wakil Presiden atau ia
tidak mengetahui bahwa yang ia serang kehormatan atau nama
                                                                                                                       
111
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 13.

Universitas Indonesia
68

baiknya itu adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden maka ia dapat


dituntut dan dipidana menurut salah satu pasal yang diatur dalam
BAB XVI KUHP. Menurut Prof. Noyon-Langemaijer, pasal yang
paling mungkin diterapkan untuk kondisi tersebut hanyalah Pasal
315 KUHP, yang memang tidak mengatur adanya niatan menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang. Mereka juga menambahkan
bahwa ketentuan pasal 34 KUHP sama halnya dengan tindak pidana
yang diatur dalam pasal 104, 130, 131 atau 132 KUHP, harus
ditujukan terhadap seseorang yang memang sudah diketahui
kapasitasnya oleh pelaku.112
2. Menghina
Secara harfiah, menghina diartikan sebagai “kesengajaan
menyerang kehormatan atau nama baik orang lain”. Menghina
memiliki berbagai macam bentuk seperti menista dengan lisan
(smaad), menista dengan tulisan (smaadschrift), fitnah (laster),
penghinaan biasa (eenvoudige belediging), dan pengaduan atau
laporan palsu (lasterlijke aanklacht). Namun, pembedaan perbuatan-
perbuatan menghina yang demikian tidaklah tepat jika diterapkan
dalam tindak pidana penghinaan Presiden karena penghinaan
Presiden pada dasarnya adalah perbuatan yang sangat tercela.113
Sehingga dapat disimpulkan bahwa menghina dalam pasal 134 ini
adalah perbuatan macam apapun juga yang menyerang nama baik
Presiden, termasuk segala macam jenis penghinaan yang disebut-
sebut dalam Bab XVI Buku II KUHP yaitu pasal 310 sampai dengan
pasal 321 KUHP.
Sebagai dasar menentukan rumusan perbuatan penghinaan
dalam tindak pidana penghinaan Presiden, maka dapat digunakan
rumusan paling mendasar dari tindak pidana penghinaan
sebagaimana diatur dalam pasal 310 ayat (1) KUHP untuk
                                                                                                                       
112
Lamintang, Op. Cit., hlm. 272
113
Lamintang, Op. Cit., hlm. 268. Mengutip pendapat Noyon-Langemaijer, Het Wetboek
Van StrafrechtS Gouda Qint- D. Brower en Zoon, Arnhem, halaman 568.

Universitas Indonesia
69

penghinaan lisan. Mengacu pada pandangan tersebut, maka dapat


dirumuskan bahwa penghinaan yang dimaksud dalam pasal 134
KUHP adalah tindakan sengaja menuduh korban melakukan
perbuatan tertentu, di mana tuduhan tersebut dimaksudkan agar
diketahui oleh masyarakat secara luas. Penyebarluasan tuduhan ini
dimaksudkan agar masyarakat umum mengetahui sehingga
mengubah pandangan masyarakat terhadap korban. Perubahan
pandangan ini cenderung ke arah negatif, sehingga berpotensi
merusak kehormatan dan nama baik yang dimiliki oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
3. Presiden dan Wakil Presiden
Presiden dan Wakil Presiden ini merupakan unsur yang
membedakan penghinaan dalam Bab XVI KUHP dengan penghinaan
dalam pasal 134 KUHP. Presiden dan Wakil Presiden adalah unsur
jabatan dari korban yang menyebabkan delik penghinaan dalam
pasal 134 KUHP mengalami pemberatan jika dibandingkan delik
penghinaan biasa lainnya. Sebab Presiden dan Wakil Presiden adalah
pimpinan negara, terdapat martabat dan keagungan yang tidak
dimiliki oleh orang pada umumnya. Diri Presiden dan Wakil
Presiden—jika mengacu pada tujuan awal dari rumusan artikel 111
WvS—mengandung martabat yang mencerminkan kehormatan
negara, tidak seperti martabat orang biasa yang tidak memiliki peran
signifikan bagi kedudukan negara.
Hingga kini terdapat ketidakpastian apakah maksud dari
unsur ini adalah penghinaan yang ditujukan kepada seseorang dalam
kapasitasnya sebagai Presiden atau Wakil Presiden, atau termasuk
pula penghinaan terhadap diri pribadinya sekalipun itu tidak
berkaitan dengan jabatan Presiden atau Wakil Presiden yang
disandangnya. Sianturi hanya menegaskan bahwa unsur ini secara
tegas menetapkan bahwa objek penghinaan adalah Presiden dan/atau
Wakil Presiden, tanpa mempersoalkan kapasitas korban yang
manakah yang hendak diserang. Bahkan menurut Sianturi,

Universitas Indonesia
70

mengingat pasal ini dimaksudkan untuk melindungi martabat


Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka tindakan, keadaan atau
nasib Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa ia sebelum
menjadi Presiden harus dipandang masuk dalam cakupan pasal ini.
Akan tetapi setelah ia bukan Presiden dan/atau Wakil Presiden lagi,
kendati yang dihinakan adalah tindakan, keadaan atau nasibnya
semasa menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka penghinaan
tersebut tidak dapat dipandang masuk ke dalam cakupan pasal ini.114
Logika yang demikian juga dibentuk berdasarkan pada kebutuhan
adanya pasal 134 KUHP untuk melindungi harkat dan martabat
Presiden dan/atau Wakil Presiden, dan bukan bekas Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Prof. Noyon-
Langemaijer yang menyatakan bahwa cakupan pasal 134 KUHP
jangan dibatasi hanya ditujukan kepada kepala negara dalam
jabatannya sebagai kepala negara, namun juga dapat diberlakukan
pula terhadap pribadi kepala negara yang bersangkutan.115
Pandangan tersebut muncul mengingat pada aturan Artikel 111 WvS
juga tidak diatur mengenai apakah penghinaan harus ditujukan
kepada Raja dan Ratu dalam kapasitasnya sebagai kepala negara atau
ditujukan kepada diri pribadi mereka masing-masing. Pada dasarnya,
kapasitas sebagai Raja dan Ratu telah melebur dalam diri pribadi
para penyandang gelar tersebut, sehingga pemisahan dua kepribadian
tersebut tidaklah dapat dilakukan.
Adanya unsur jabatan dalam pasal ini menjadi hal penting,
karena jabatan itulah yang akan dilindungi oleh hukum. Terjadinya
penghinaan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden akan
berpotensi menyebabkan gangguan terhadap ketertiban umum. Di
samping tercorengnya martabat negara, adanya tuduhan tercela
terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden selaku orang yang
                                                                                                                       
114
Sianturi, Op. Cit., halaman 13.
115
Lamintang, Op. Cit., halaman 273.

Universitas Indonesia
71

dipercaya memimpin negara, bisa menyulut ketidakpercayaan


masyarakat. Lebih jauh lagi, ketidakpercayaan masyarakat tersebut
bisa menyebabkan terjadi huru-hara. Hal tersebut yang berusaha
dihindari keberadaan pasal 134 KUHP.

2.3.3 Perbandingan Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden


(Pasal 134 KUHP) dengan Tindak Pidana Penghinaan (Pasal 310
KUHP)
Keteraitan antara pasal 134 KUHP dengan pasal 310 KUHP, khususnya
pada ayat (1)-nya, amatlah erat bahkan hampir tidak mungkin untuk dipisahkan.
Memorie van Toelichting menyatakan bahwa pembacaan terhadap pasal 134
KUHP haruslah dikorelasikan dengan pembacaan unsur-unsur dalam pasal 310
KUHP. Pada dasarnya, pasal 310 KUHP merupakan nomen generis atau sebutan
umum dari beberapa tindak pidana yang diatur dalam Bab XVI KUHP. Rumusan
pasal 310 KUHP menjadi dasar bagi berbagai bentuk tindak pidana penghinaan
umum lainnya seperti menista dengan tulisan (smaadschrift), fitnah (laster),
penghinaan biasa (eenvoudige belediging), dan pengaduan atau laporan palsu
(lasterlijke aanklacht), tak terkecuali bagi delik penghinaan khusus yang tersebar
di luar Bab XVI KUHP.116
Banyak ahli yang menyatakan bahwa pasal 134 KUHP merupakan bentuk
pemberatan dari delik penghinaan pada umumnya. Pemberatan ini terjadi karena
objek yang dituju dalam tindak pidana ini adalah Presiden dan Wakil Presiden—
jabatan yang terhadapnya melekat nama baik dan kehormatan yang tidak dimiliki
oleh orang pada umumnya. Segala perbuatan yang menyerang nama baik dan
kehormatan Presiden, baik yang berbentuk menista dengan lisan, menista dengan
tulisan, laporan palsu, atau kejahatan dalam Bab XVI lainnya, selama itu ditujukan
kepada Presiden dan Wakil Presiden, maka akan diberlakukan ketentuan pasal 134
KUHP (juga pasal 136bis dan pasal 137 KUHP, disesuaikan dengan unsur tindak
pidananya. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pelbagai perbuatan penghinaan
yang terangkum dalam Bab XVI KUHP, pada dasarnya digeneralisasi melalui

                                                                                                                       
116
P. A. F. Lamintang, Op. Cit., halaman 268.

Universitas Indonesia
72

pasal 134 KUHP apabila memang objek yang ditujunya adalah Presiden dan
Wakil Presiden. Secara lebih jelas, dapat dilihat hubungan antara delik penghinaan
umum dalam Bab XVI KUHP dengan delik penghinaan khusus, khususnya pasal
134 KUHP.

Pencemaran
tertulis
Delik Penghinaan Pencemaran Fitnah
Khusus nama baik
( di luar Bab XVI
Persangkaan
KUHP) Pengaduan Palsu
Palsu
Penghinaan
Ringan

Bab XVI KUHP


Delik Penghinaan Umum

Pasal 134 KUHP

Gambar 2.1. Diagram irisan antara delik penghinaan umum, delik


penghinaan khusus, dan pasal 134 KUHP

Adanya keterkaitan yang erat antara delik penghinaan umum, khususnya


pasal 310 ayat (1) KUHP dengan pasal 134 KUHP bukan berarti menghapuskan
perbedaan di antara keduanya. Untuk bisa melihat sejauh mana pasal 310 KUHP
dapat diterapkan sebagai landasan tindakna penghinaan bagi pasal 134 KUHP,
maka perlu dibuat perbandingan di antara keduanya. Perbandingan tersebut dapat
dilihat dalam tabel berikut:

Universitas Indonesia
73

Tabel 2.3: Perbandingan Pasal 134 KUHP dan Pasal 310 KUHP

Pasal 134 KUHP


Aspek Pembanding Pasal 310 KUHP
(jo. Pasal 136bis)
Ayat (1):
1) Sengaja;
2) Menyerang
kehormatan atau
nama baik seseorang;
3) Menuduhkan sesuatu
hal;
4) Maksudnya terang 1) Sengaja;
supaya hal itu 2) Menghina;
Unsur-unsur diketahui umum. 3) Presiden dan Wakil
Ayat (2): Presiden
1) Dilakukan dengan
tulisan atau
gambaran;
2) Disiarkan,
dipertunjukkan atau
ditempelkan di muka
umum
Presiden dan/atau Wakil
Objek delik Pribadi perorangan
Presiden
Delik umum
Delik diperberat
Jenis delik (nomen generis)
Delik aduan Delik biasa
Cara melakukan Lisan dan/atau tulisan Lisan dan/atau Perbuatan
1) Dilakukan demi
Alasan kepentingan umum;
Tidak ada
pembenar/pemaaf 2) Untuk membela diri
sendiri
Standar Keterhinaan Standar Subjektif Standar Objektif
Pemeriksaan dalam Tidak menghadirkan
Menghadirkan korban
persidangan korban

Ayat (1): penjara paling


lama 9 bulan, denda
paling banyak Rp Penjara paling lama 6
Pidana 4.500,00 tahun, denda paling
Ayat (2): penjara paling banyak Rp 4,500,00
lama 1 tahun 4 bulan,
denda Rp 4.500,00

Universitas Indonesia
74

Melalui tabel di atas dapat dilihat perbandingan antara kedua pasal


dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Dilihat dari segi unsur-unsurnya, dapat dilihat bahwa pasal 310
KUHP sebenarnya mengandung 2 (dua) perbuatan tindak pidana,
yaitu tindak pidana penghinaan biasa dan tindak pidana penghinaan
tertulis. Tindak pidana penghinaan dalam pasal 310 KUHP setidak-
tidaknya memuat unsur “kesengajaan”, “menyerang kehormatan atau
nama baik seseorang”, “menuduhkan perbuatan tertentu”, “dengan
maksud diketahui oleh umum”. Untuk penghinaan secara tertulis,
unsurnya terdiri dari keempat unsur tadi ditambah dengan unsur cara
melakukannya, yaitu “dengan tulisan atau gambar,” dan unsur
“disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum”.
Sementara itu, unsur-unsur dalam pasal 134 KUHP terdiri dari unsur
“sengaja”, “menghina”, dan “Presiden dan Wakil Presiden”. Unsur
menghina ini harus dirujukkan kembali pada unsur menghina yang
terdapat dalam pasal 310 KUHP yang meliputi “kesengajaan”,
“menyerang kehormatan atau nama baik seseorang”, “menuduhkan
perbuatan tertentu”, “dengan maksud diketahui oleh unum”;
2. Aspek objek delik adalah aspek yang paling penting dalam
membedakan ketentuan pasal 134 KUHP dengan pasal 310 KUHP.
Pada pasal 134 KUHP, objek yang menjadi sasaran penghinan
adalah Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal ini, jabatan Presiden
dan Wakil Presiden dipandang sebagai jabatan yang terhadapnya
melekat kehormatan dan keagungan negara, mengingat Presiden dan
Wakil Presiden dianggap sebagai simbol negara. Mengigat posisi
tersebut, maka muncul keharusan untuk memberikan perlindungan
bagi Presiden dan Wakil Presiden. Hal itu pula yang mendasari
pidana bagi kejahatan ini lebih berat daripada pidana untuk
penghinaan biasa. Untuk pasal 310 KUHP, yang menjadi objek
sasaran adalah orang biasa tanpa memandang kelas, jabatan, atau
tingkatannya dalam masyarakat;

Universitas Indonesia
75

3. Dilihat dari rumusan deliknya, pasal 310 KUHP dan pasal 134
KUHP dapat dibedakan menurut pidananya. Pasal 310 KUHP
merupakan delik biasa, sedangkan pasal 134 KUHP adalah delik
yang diperberat. Pemberatan delik pada pasal 134 KUHP sangat
berkaitan dengan perbandingan unsur sebagaimana dijelaskan dalam
poin nomor 3. Pada pasal 310 dan pasal 134 KUHP, pada dasarnya
keseluruhan unsur tindak pidana penghinaannya sangat mirip, hanya
saja terdapat perbedaan unsur objek yang menjadi sasaran hinaan,
yaitu antara pribadi orang biasa dengan Presiden dan Wakil Presiden
yang dipandang memiliki peran khusus sebagai simbol negara.
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dipersamakan
dengan penghinaan terhadap negara, oleh karenanya, hukuman yang
diberikan jauh lebih berat daripada penghinaan terhadap orang biasa.
Sementara itu, dilihat dari cara perkara diproses, pasal 310 KUHP
digolongkan dalam kategori delik aduan, yaitu delik yang baru dapat
diproses apabila terdapat pengaduan dari orang yang merasa
dirugikan, sedangkan pasal 134 KUHP merupakan delik biasa, yang
artinya siapa saja—baik kepolisian atas inisiatif sendiri ataupun
masyarakat yang melihat terjadinya tindak pidana tersebut dapat
melaporkan terjadinya tindak pidana. Dalam sejarahnya, delik
penghinaan Raja dan Ratu memanglah bukan delik aduan. Atas hal
tersebut, Prof. Noyon-Langemeijer memberikan penjelasan sebagai
berikut:117
“martabat kerajaan (baca: kepresidennan) tidak mengizinkan
mereka bertindak sebagai pengadu. Adanya pengaduan dari
pihak mereka akan menimbulkan keraguan pada masyarakat
tentang sikap ketidakterpaksaan para hakim menerima
pengaduan tersebut, sedangkan jika hakim kemudian ternyata
telah memutuskan bebas bagi terdakwa, hal mana dapat
melemahkan wibawa Raja.”

                                                                                                                       
117
Noyon Langemeijer, Het Wetboek I, halaman 569 sebagaimana dikutip dalam Risalah
Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan Nomor 022/PUU-
IV/2006.

Universitas Indonesia
76

Lamintang menambahkan bahwa delik penghinaan Presiden dan


Wakil Presiden sebagai delik biasa justru akan membuat Presiden
dan Wakil Presiden berada dalam sitasi yang sulit, dalam hal
diberikan kesempatan bagi para pelaku penghinaan untuk
membuktikan kebenaran tuduhannya. Jika terbukti tuduhan tersebut,
maka nama baik dan kehormatan Presiden dan Wakil Presiden akan
benar-benar tercoreng, dan justru mendapat pengukuhan oleh putusan
pengadilan itu sendiri;
4. Dilihat dari cara melakukan perbuatan penghinaan itu, pasal 310
KUHP melalui ayat (1)-nya mengatur mengenai penghinaan lisan,
dan ayat (2)-nya mengatur mengenai penghinaan tulisan. Sementara
itu, pasal 134 KUHP yang harus dibaca bersamaan dengan ketentuan
pasal 136bis KUHP, mengatur mengenai tindakan penghinaan yang
dilakukan secara lisan dan/atau perbuatan. Konteks perbuatan di sini
misalnya adalah perbuatan merusak atau mencoreng foto Presiden
dan Wakil Presiden. Untuk penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
secara tertulis sendiri diatur oleh ketentuan pasal 137 KUHP;
5. Dilihat dari ketentuan pasal 310 KUHP, dapat dilihat adanya
ketentuan mengenai alasan pembenar sebagaimana termaktub dalam
ayat (3) pasal a quo, dengan redaksional sebagai berikut:

“Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika


perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau
karena terpaksa untuk membela diri.”
Keberadaan ketentuan tersebut menghilangkan unsur sifat melawan
hukum yang terdapat dalam pasal 310 KUHP. Yang dimaksud
dengan kepentingan umum adalah bahwa si pelaku memang secara
jelas dnn tegas menuduhkan suatu hal agar supaya masyarakat umum
waspada kepada oknum yang dicemarkan tersebut. Sebagai contoh,
A menyebarkan informasi bahwa B adalah pedagang yang licik
karena suka menipu. Kenyataannya, pedagang B biasa kabur dari
tanggung jawab setelah memperoleh uang panjar dari pembelinya.
Dalam konteks ini, A berusaha memberikan peringatan bagi
masyarakat umum untuk lebih berhati-hati apabila akan bertransaksi

Universitas Indonesia
77

dengan pedagang B. Sementara itu, yang dimaksud dengan secara


gambang untuk pembelaan diri yang sangat diperlukan (terpaksa),
ialah untuk menghindarkan diri dari suatu kerugian yang tidak
semestinya menjadi bebannnya. Sebagai contoh, A dituduh telah
menghamili B, lalu A mengungkapkan sebenarnya siapa yang
menghamili B itu, dan ia menunjuk C sebagai pelakunya. Melihat
dari ilustrasi tersebut, maka nampak bahwa A berusaha memberikan
klarifikasi agar bukan dirinya yang menanggung kerugian tidak
sebagaimana mestinya. Jika dikaitkan dengan pasal 134 KUHP,
beberapa ahli bersepakat bahwa alasan pembenaran tersebut tidak
dapat diberlakukan bagi penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden. Simons juga menambahkan bahwa selain pasal 310 ayat (3)
KUHP, pasal 312 angka 1 KUHP juga tidak dapat diterapkan dalam
hal terjadi tindak pidana yang diatur dalam pasal 134 KUHP.
Ditidadakannya aturan tersebut ditujukan agar tidak terdapat ruang
bagi terdakwa dalam membuktikan tuduhannya, sehingga Presiden
dan Wakil Presiden tetap akan terjaga kewibawaannya tanpa
mempedulikan apakah tuduhan itu benar atau salah. Meskipun
doktrin demikian yang lebih banyak diterapkan, terdapat doktrin
yang menyatakan bahwa seharusnya ketentuan tersebut jugalah
diterapkan. Prof Noyon-Langemeijer menjelaskan bahwa:118
“terhadap raja-rajapun, orang mempunyai hak untuk bertindak
demi kepentingan umum atau untuk membela dirinya karena
terpaksa. Dengan demikin tidak tertutup kemungkinan bagi bagi
terdakwa untuk membuktikan kebenaran dari tuduhannya
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 312 angka 1 KUHP,
walaupun tidak perlu dibuktikan bahwa terdakwa telah
melakukan tindakannya dengan itiikad baik, karena tindakan
seperti itu selalu disebut penghinaan yang tidak mengenal
perbedaan mengenai pidana terberat yang dapat dijatuhkan,
yakni tidak seperti halnya yang diatur dalam pasal 310 dan 311
KUHP.”
Menurut pandangan prof. Noyon-Langemeijer, perlu tetap diterapkan
ketentuan mengenai alasan pembenar bagi penghinaan Presiden dan

                                                                                                                       
118
Ibid.

Universitas Indonesia
78

Wakil Presiden karena tidak menutup kemungkinan seseorang


melakukan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden untuk
kepentingan umum atau untuk membela diri;

6. Standar keterhinaan yang digunakan dalam pasal 310 KUHP adalah


standar subjektif, yang mana terjadinya penghinaan atau tidak diukur
dari apakah korban merasa kehormatan dan nama baiknya terhina
atau tidak atas hinaan yang diajukan kepadanya. Dalam konteks ini,
rasa terhina sangatlah relatif, digantungkan pada perasaan hati
masing-masing orang. Sedangkan dalam pasal 134 KUHP, standar
yang digunakan adalah standar objektif, yang mana terhina atau
tidaknya seseorang disandarkan pada penilaian masyarakat secara
umum mengenai apakah suatu perkataan menyebabkan terserangnya
kehormatan atau nama baik seseorang atau tidak. Penerapan standar
objektif ini dapat dilihat dari situasi di mana diprosesnya tindak
pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden tidak didasarkan
pada apakah Presiden dan Wakil Presiden secara pribadi merasa
terhina, namun aparat penegak hukumlah yang menilai;
7. Berkaitan dengan perbandingan pada poin no. 6, pada pemeriksaan
dalam persidangan, korban yang mengalami penghinaan dihadirkan
dalam persidangan karena ia lah yang akan memberikan penjalasan
tentang terpenuhi atau tidaknya unsur menyerang nama baik atau
kehormatan seseorang. Sedangkan pada praktik penerapan pasal 134
KUHP, Presiden dan Wakil Presiden sebagai korban tidak pernah
dihadirkan dalam persidangan untuk menjelaskan apakah dirinya
merasa terhina atau tidak. Sebaliknya, pertimbangan mengenai
terserang atau tidaknya kehormatan dan nama baik Presiden dan
Wakil Presiden akan dinilai oleh hakim secara sepihak;
8. Mengingat bahwa pasal 134 KUHP merupakan delik pemberatan,
maka pidana yang diterapkan atas tindak pidana penghinaan Presiden
dan Wakil Presiden jauh lebih berat daripada ketentuan pasal 310
KUHP. Pasal 134 KUHP mengancam pelakunya dengan pidana lama
6 tahun, denda paling banyak Rp 4,500,00. Sementara itu,

Universitas Indonesia
79

penghinaan lisann pada pasal 310 ayat (1) diancam dengan pidana 9
bulan, dan ayat (2)-nya diancam dengan pidana 1 tahun 4 bulan
dengan denda bagi keduanya paling banyak Rp 4,500,00.

Universitas Indonesia
80

BAB III
PERBANDINGAN PASAL 134 KUHP DENGAN DELIK PENGHINAAN
PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI BEBERAPA NEGARA

3. 1. Pengaturan Kejahatan Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di


Berbagai Negara
Keberlakuan hukum di tiap-tiap negara tidak bisa dipisahkan dari kondisi
sejarah dan konstelasi politik yang dianutnya. Beberapa negara menyatakan
kemerdekaan setelah berhasil melepaskan diri dari penjajahan bangsa lain,
beberapa yang lain merdeka karena memang tidak pernah mengalami penjajahan
sama sekali. Negara-negara yang tidak pernah dijajah, biasanya memiliki bentuk
negara berupa monarch atau kerajaan. Negara kerajaan dipimpin oleh Raja beserta
keluarganya, yang dipandang menjadi simbol kehormatan dan kemegahan negara
tersebut. Sementara itu, negara-negara yang merdeka karena berhasil bebas dari
jajahan bangsa lain dan mulai masuk ke dalam iklim demokrasi cenderung
memilih bentuk negara republik, yaitu bentuk negara yang dipimpin oleh Presiden
dan Wakil Presiden atau Perdana Menteri dan Wakil Perdana Menteri.
Pengembangan jabatan tersebut dipilih secara politis, untuk nantinya bertugas
memimpin jalannya fungsi eksekutif dalam negara.
Dalam rangka menjaga tertib kehidupan berbangsa dan bernegara,
masing-masing negara menerapkan sistem hukum yang memang dirasa sesuai
dengan sistem ketatanegaraannya. Sebagai contoh, dalam rangka menjamin
keberlangsungan kepemimpinan Raja dan Ratu, Konstitusi Belanda, Konstitusi
Inggris, dan Konstitusi Thailand secara khusus mengatur mengenai posisi,
kewenangan, dan keistimewaan-keistimewaan pribadi (privilege) yang dimiliki
oleh anggota Kerajaan. Negara-negara tersebut menempatkan Raja dan Ratu
dalam kedudukan yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Dalam kata
lain, Raja dan Ratu dianggap memiliki tempat tertinggi dalam negara—ia adalah
sumber kebijaksanaan, sehingga apapun yang dikatakannya adalah benar. Inheren
dengan pandangan tersebut, dibuatlah ketentuan yang melarang siapapun untuk
merusak nama baik kerajaan. Hal serupa juga dapat ditemukan dalam konteks
negara republik, meskipun terdapat perbedaan fundamental di antara keduanya.

Universitas Indonesia
81

Negara republik cenderung mengatur larangan merusak harkat martabat posisi


kepala pemerintahan yang dijabat oleh Presiden dan Wakil Presiden atau Perdana
Menteri dan Wakil Perdana Menteri. Beberapa negara menerapkan hukum positif
yang demikian sebagai konsekuensi logis pengadopsian hukum negara
penjajahnya, seperti yang terjadi di Indonesia.
Selain memberikan perlindungan bagi pemimpin negara, beberapa negara
juga memiliki pengaturan yang beragam terkait dengan perlindungan reputasi bagi
pejabat negara.119 Pada dasarnya hampir semua negara berpandangan bahwa
pelaksanaan fungsi administrasi negara tidaklah boleh kebal dari kritik
masyarakat yang menjalankan fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan yang
diejawentahkan melalui pemberian kritik ini ditujukan bagi kepentingan umum.
Namun kritik yang ditujukan bagi maslahat kepentingan umum dan kewajiban
untuk menghormati harkat martabat orang lain dianggap saling berdikotomi,
sehingga dalam perkembangannya, kepentingan umum digunakan sebagai alasan
pembenar bagi terjadinya penghinaan. Namun, aturan pemidanaan penghinaan
juga tetap diimplementasikan sebagai wujud perlindungan harkat martabat
seseorang. Dalam konteks pejabat publik, khususnya Presiden dan/atau Wakil
Presiden, aturan penghinaan mengalami distingsi jika dibandingkan penghinaan
bagi masyarakat umum. Terdapat kecenderungan pemberatan pidana bagi pelaku
tindak pidana penghinaan kepada pejabat publik, khususnya Presiden dan/atau
Wakil Presiden dengan pertimbangan bahwa mereka memegang tugas penting di
ranah publik. Sehingga, kehormatan dan kebijaksanaan pejabat publik haruslah
dijaga agar mereka tidak kehilangan kepercayaan dari rakyatnya.
Tidak semua negara memiliki pandangan yang sama terkait pentingnya
kehormatan pejabat publik. Fakta di beberapa negara justru menunjukkan adanya
kelonggaran penerapan aturan penghinaan karena pada hakikatnya pejabat publik
haruslah bisa dikritik dengan anggapan bahwa apa yang dilakukan oleh pejabat
                                                                                                                       
119
Pengaturan mengenai masalah ini dimulai dengan adanya kasus New York Times Co v.
Sullivan. Dalam perkara tersebut, Mahkamah Agung Federal Amerika Serikat menyatakan bahwa
bila pejabat publik akan membawa perkara penghinaan ke Pengadilan, maka mereka harus
menunjukkan bukti bahwa pelaku penghinaan telah memiliki pengetahuan bahwa informasi
tersebut salah dan memiliki niat dengan sengaja untuk menyebarluaskan informasi yang salah
tersebut. Tanpa adanya kedua hal itu, maka apa yang ditulis New York Times adalah wujud dari
kritik yang dapat dibenarkan keberadaannya. Sumber: Rober C. Post, “The Social Foundation of
Defamation Law: Reputation and the Constitution”, halaman 722.

Universitas Indonesia
82

tersebut akan berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas. Kondisi yang
demikian terjadi dalam perkara antara John Peter Zenger melawan Gubernur New
York William Cosby di awal tahun 1733. Saat itu Peter Zenger digugat ke
pengadilan karena telah menerbitkan tulisan berisi kritik atas pejabat tersebut.120
Tulisan tersebut tidak ditulis oleh Zenger, melainkan tulisan tersebut ditulis oleh
seseorang yang mengirimkan artikel untuk diterbitkan di korannya. Yang
dilakukan Zenger pada dasarnya adalah menerbitkan tulisan itu saja. Namun, hal
tersebut dianggap memenuhi kualifikasi sebagai penghinaan mengingat artikel
yang dimuat dalam Koran Zenger dinilai menyebarkan berita yang salah, secara
sengaja berniat menghina, dan menghasut para pembacanya. Saat itu, pembela
dari Zenger menyatakan bahwa berita yang disebarkabn oleh Zenger tidaklah
salah. Berita tersebut akurat, meskipun kontennya cenderung memalukan diri
korban. Saat itu, hukum positif yang ada mengatur bahwa mengatakan kebenaran
tidak dapat digunakan sebagai alasan pembenar dalam perkara penghinaan.
Namun dengan disertai argumentasi bagi kepentingan umum, konsep penghinaan
menerima pernyataan kebenaran sebagai hal yang menghilangkan sifat melawan
hukum dari penghinaan.121 Artinya, pernyataan kebenaran yang memang dirasa
sepatutnya diketahui oleh masyarakat umum tidak dapat diketagorikan sebagai
penghinaan. Akhirnya, dalam perkara tersebut, Pengadilan memenangkan Zenger
di bawah pertimbangan bahwa apa yang dilakukan oleh Zenger adalah wujud dari
kebebasan berpendapat, apalagi terkait hal-hal yang di dalamnya tercakup
kepentingan masyarakat umum itu sendiri.
Hukum positif yang mengatur mengenai penghinaan di berbagai negara
pada dasarnya berpatok pada konsep yang sama meskipun seiring berjalannya
waktu karakterisasi dari pengaturan tindak pidana penghinaan mengalami
perubahan. Secara umum, sebuah tindakan baru dapat dinyatakan sebagai fitnah
atau pencemaran nama baik apabila mengandung 4 (empat) elemen sebagai
berikut:122

                                                                                                                       
120
Toby Mendel, “Presentation on International Defamation Standards for the Jakarta
Conference”, Law Colloquium 2004, From Insult to Slander: Defamation and the Freedom of the
Press, Jakarta 28-29 Juli 2004.
121
Ibid.
122
Supriyadi Widodo Eddyono, Sriyana dan Wahyu Wagiman, Analisis Situasi Penerapan

Universitas Indonesia
83

1. palsu;
2. bersifat faktual ;
3. menyebabkan kerusakan, yang pada gilirannya akan merusak
reputasi dari orang yang bersangkutan ;
4. pernyataan tersebut harus telah dibaca, didengar atau dilihat oleh
orang lain.
Gambaran yang lebih komprehensif diberikan oleh Rodney A. Smolla
dalam bukunya Law of Defamation. Smolla menyatakan bahwa:123

“although the definition varies significantly by states, a cause of


action for libel often includes the following elements:
(a) a statement of fact;
(b) that is false;
(c) and defamatory;
(d) of and concerning the plaintiff;
(e) that is published to a third party (in written or otherwise
tangible form);
(f) that is not absolutely or conditionally privilaged;
(g) that causes actual injury (unless obviated by the presence of
presumed harm);
(h) that is the result of fault by the defendant (usually);
(i) that causes special (pecuniary) harm in addition to
generalized reputational history (on occasion). “
Dari 2 (dua) uraian di atas, dapat dipahami bahwa unsur fakta palsu,
ketersebaran informasi, adanya kerugian yang dialami orang lain, serta ketiadaan
alasan pembenar adalah elemen-elemen utama dalam tindak pidana penghinaan.
Pada praktiknya, elemen-elemen itu dikembangkan oleh masing-masing negara
sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Sebagai contoh, untuk elemen
ketersebaran, Korea Selatan dan Indonesia secara tegas mengatur bentuk-bentuk

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
Hukum Penghinaan di Indonesia, (Jakarta: Institute for Criminal Justice dan Yayasan Tifa), 2012,
halaman 5.
123
Charles J. Glasser J.R., International Libel and Privacy Handbook, (New Jersey: John
Wiley & Sons Inc., 2013), halaman 49.

Universitas Indonesia
84

penyebaran informasi palsu yang meliputi bentuk lisan dan tulisan.124 Distingsi
bentuk ketersebaran ini penting karena berpengaruh pada besarnya hukuman yang
akan dijatuhkan. Biasanya, penghinaan yang dilakukan secara tertulis akan
dikenai hukuman yang lebih berat karena dampaknya dapat bertahan lebih lama
daripada penghinaan yang dilakukan secara lisan.
Perlu dilakukan pemetaan mengenai konsep penghinaan di berbagai
negara di dunia, khususnya terkait dengan bentuk delik penghinaan dasar,
berbagai macam alasan pembenar, serta karakterisasi unsur tindak pidana
penghinaan yang ditujukan bagi pejabat negara secara umum serta Presiden dan
Wakil Presiden secara khusus. Dalam bab ini, penulis memaparkan ketentuan
penghinaan biasa, penghinaan terhadap Raja dan Ratu, serta penghinaan terhadap
pejabat publik. Negara yang dipilih meliputi Belanda, Inggris, Thailand, Perancis,
dan Amerika Serikat. Belanda dipilih karena Indonesia mengadopsi ketentuan
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dari ketentuan Lèse-Majesté yang
berasal dari Belanda. Sementara itu, Inggris dan Thailand yang notabene
merupakan negara monarkhi konstitusional sebagaimana Belanda, dipilih karena
juga menerapkan Lèse-Majesté. Indonesia dan Perancis sebagai negara republik
memiliki kesamaan dalam hal penerapan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden yang kemudian ketentuannya dibatalkan. Hal tersebut yang
melatarbelakangi dipilihnya Perancis dalam perbandingan ini. Selain itu, Amerika
Serikat sebagai negara republik turut menerapkan ketentuan penghinaan,
sekalipun ketentuannya ditujukan bagi pejabat publik disertai perkembangan
doktrin alasan pembenar. Negara-negara yang dipilih memiliki faktor-faktor
kesamaan dengan Indonesia meskipun Indonesia sendiri berada di area yang kabur
karena Indonesia merupakan negara republik yang menerapkan ketentuan Lèse-
Majesté—aturan yang hanya dikenal dalam negara monarkhi konstitusional.
Perbandingan ini nantinya dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam meninjau
pengaturan tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia.

                                                                                                                       
124
Kyu Ho Youm, Press Freedom and Defamation in South Korea: Searching for the
Balance”, Law Colloqium 2004 Report: From Insult to Slander Defamation and Freedom of the
Press, 23-29 Juli 2014.

Universitas Indonesia
85

3. 1. 1 Belanda

Sekalipun dikenal sebagai kategori negara yang mengakui keberadaan


hak asasi manusia, Belanda tidaklah luput dari pengaturan pembatasan kebebasan
berkespresi khususnya dalam bentuk larangan dilakukannya penghinaan.
Pembatasan terhadap kebebasan berkepsresi ini dilakukan berdasarkan tolok ukur
yang terdapat dalam pasal 10 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia.
Mengacu pada pasal tersebut, Jens P. Van Den Brink merumuskan bahwa, “the
limitation should be (a) prescribed by law, (b) serve one or more defined
legitimate aims and (c) be necessary in a democratic society.”125 Komponen
ketiga dari tolok ukur pembatasan tersebut mengandung 3 (tiga) elemen penting
meliputi tekanan dari kebutuhan sosial atas pembatasan tersebut, proporsionalitas
antara pembatasan yang diterapkan dengan kebebasan berekspresi, dan
argumentasi bahwa pembatasan yang diterapkan dinilai cukup dan relevan. Dalam
konteks eksistensi pengaturan mengenai tindak pidana penghinaan, Pengadilan di
Belanda memberikan acuan lebih lanjut berupa standar-standar perbuatan
penghinaan yang dapat dikriminalisasi dan penghinaan yang memperoleh
justifikasi melalui putusan-putusan pengadilan.
Masalah penghinaan di Belanda diatur secara komprehensif melalui
instrumen hukum pidana dan instrumen hukum perdatanya. Penghinaan
dikategorikan sebagai tindak pidana (Criminal Offence) sekaligus tindakan yang
merugikan (Tort). Pasal 261 Undang-Undang Hukum Pidana Belanda
merumuskan penghinaan sebagai tindakan yang sengaja merusak kehormatan atau
nama baik seseorang dengan cara menuduh orang tersebut telah melakukan
sesuatu yang bertujuan untuk menjadikannya sebagai fakta publik.126
1. Any person who, by alleging a particular fact, intentionally injures
the honour or reputation of another person, with the evident
intention of giving publicity to the allegation, shall be guilty of
                                                                                                                       
125
Charles J. Glasser J.R., Op.Cit., halaman 207.
126
Substansi pengaturan mengenai penghinaan dalam Undang-Undang Hukum Belanda
1881 yang telah mengalami amandemen pada tahun 1994 memiliki kemiripan dengan pengaturan
di Indonesia. Hal ini dapat terjadi karena Indonesia sendiri mengadopsi Undang-Undang Hukum
Pidana Belanda tahun 1881 atas asas konkordansi. Dalam ketentuan Undang-Undang Hukum
Pidana Belanda tersebut daitur tindak pidana penghinaan lisan dan tulisan, fitnah, penghinaan
ringan, penghinaan tehadap pejabat publik, Pegawai Negeri Sipil (PNS), kepala dan/atau anggota
negara sahabat, dan laporan palsu.

Universitas Indonesia
86

slander and shall be liable to a term of imprisonment not


exceeding six months or a fine of the third category;
2. If such is done by means of written material, or images, which are
either distributed, publicly displayed or posted, or by means of
written material the contents of which are publicly uttered, the
offender shall be guilty of libel and shall be liable to a term of
imprisonment not exceeding one year or a fine of the third
category;
3. Neither slander nor libel shall exist if the offender’s act was
necessary in defence of his own or another person’s interests or if
he could have believed in good faith that the allegation was true
and was required in the public interest.127
Melalui rumusan pasal tersebut, maka dapat diketahui bahwa unsur-unsur
penghinaan meliputi: 1). Adanya fakta tertentu yang dituduhkan; 2). Secara
sengaja; 3). Melukai kehormatan atau nama baik dari orang lain; 3). Tuduhan
tersebut disebarkan ke muka publik. Penyebaran ke muka publik pun dapat
dilakukan dengan berbagai cara, yaitu baik secara lisan ataupun tulisan. Dalam
rumusan pasal, tindak pidana penghinaan yang dilakukan secara lisan disebut
dengan slander sementara penghinaan yang dilakukan secara tertulis disebut
dengan libel. Slander diancam dengan pidana penjara selama tidak lebih dari 6
(enam) bulan dan pidana denda sebesar € 6,700. Penghinaan secara tertulis
memiliki ancaman pidana yang lebih tinggi, yaitu pidana penjara tidak lebih dari 1
(satu) tahun dan pidana denda sebesar € 6,700. Pembedaan ancaman pidana ini
disebabkan karena penghinaan tertulis dianggap akan memiliki dampak yang
lebih merugikan karena penghinaan tertulis memiliki efek yang lebih tahan lama
daripada penghinaan lisan. Sebagai ilustrasi, penghinaan tertulis yang dilakukan
dengan menyebarkan pamflet akan tetap terjadi selama pamflet masih tersebar.
Bukannya tidak mungkin pamflet tersebut disimpan, atau bahkan diperbanyak lagi
oleh pihak ketiga. Sementara itu, penghinaan lisan akan selesai pada saat pelaku
berhenti berbicara, sehingga penghinaan hanya terjadi pada waktu yang singkat
saja. Sekalipun kedua tindak pidana penghinaan tersebut memiliki pembedaan
khususnya pada ancaman pidana penjaranya, pengadilan kini lebih sering
menjatuhkan pidana denda dengan takaran tingkat kerugian yang dialami oleh
korban karena adanya penghinaan tersebut.
                                                                                                                       
127
Wetboek van Strafrecht, terjemahan oleh European Judicial Training Network,
http://www.ejtn.eu/PageFiles/6533/2014%20seminars/Omsenie/WetboekvanStrafrecht_ENG_PV.
pdf diunduh pada 10 Mei 2015.

Universitas Indonesia
87

Sementara itu, pasal 6:162 Undang-Undang Hukum Perdata Belanda


memberikan pengertian tindakan yang menimbulkan kerugian (Tortious Act)
sebagai bagian dari perbuatan melawan hukum (Unlawful Acts). Dalam Undang-
Undang Perdata Belanda tersebut diatur bahwa setiap orang yang melakukan
perbuatan melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian terhadap orang lain
haruslah membayar kerugian yang terjadi akibat perbuatannya, selama tidak
terdapat pembenaran atas dilakukannya perbuatan tersebut.
1. A person who commits a tortious act (unlawful act) against
another person that can be attributed to him, must repair the
damage that this other person has suffered as a result thereof.
2. As a tortious act is regarded a violation of someone else’s right
(entitlement) and an act or omission in violation of a duty imposed
by law or of what according to unwritten law has to be regarded
as proper social conduct, always as far as there was no
justification for this behavior.
3. A tortious act can be attributed to the tortfeasor the person
committing the tortious act] if it results from his fault or from a
cause for which he is accountable by virtue of law or generally
accepted principles (common opinion).128
Selanjutnya, secara lebih khusus Undang-Undang Hukum Perdata
Belanda mengatur perihal penghinaan secara lisan pada pasal 6:167. Pada pasal
tersebut, disebutkan bahwa komponen dari penghinaan meliputi informasi yang
tidak benar, informasi yang tidak lengkap, dan publikasi menyesatkan. Terhadap
hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, maka pelaku dapat diminta untuk
mempublikasikan informasi yang benar dalam rangka mengkoreksi publikasi
sebelumnya sebagaimana diperintahkan oleh pengadilan.

1. When someone is liable towards another person under this Section


because of an incorrect or, by its incompleteness, misleading
publication of information of factual nature, the court may, upon a
right of action (legal claim) of this other person, order the
tortfeasor to publish a correction in a way to be set by court.
2. The same applies if liability is absent because the publication of
the information cannot be attributed to him as a tortious act for
the reason that he was not aware of the incorrectness or
incompleteness.
3. In the situation meant in paragraph 2, the court may, if it awards
the legal claim, order as well that the plaintiff who filed the legal
                                                                                                                       
128
Nederlands Burgerlijk Wetboek,
http://www.dutchcivillaw.com/legislation/dcctitle6633.htm diakses pasa 10 Mei 2015.

Universitas Indonesia
88

claim must bear the costs of the proceedings and the costs of the
correction, either in full or in part. For the part of the costs of
proceedings and the costs of correction that each of the parties
has to bear according to the court’s judgment, each party may
take recourse against all person who are liable for the damage
arising from the incorrect or incomplete publication.129
Dalam hal mekanisme hukum perdata yang digunakan, maka korban
tindak pidana penghinaan haruslah mengajukan gugatan perdata ke pengadilan
dengan dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Melihat ketentuan dalam hukum pidana dan hukum perdata Belanda, dapat
dirumuskan bahwa penghinaan adalah tindakan yang dapat menyinggung
seseorang atas tuduhan yang dipublikasikan sehingga dapat menimbulkan
kerugian terhadap nama baik seseorang.130
Beberapa penghinaan yang dikriminalisasi berdasarkan pada Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda meliputi pernyataan bahwa seseorang telah
memperlakukan seorang wanita secara tidak sopan di tengah jalan, sebagaimana
diputuskan oleh Mahkamah Agung Belanda pada tanggal 6 November 2001.131
Sementara itu, menghina dokter sebagai dukun,132 menghina kepala
133
persepakbolaan sebagai “diktator yang curang dan suka berbohong”, menghina
kepala presenter Belanda sebagai “pencuri program TV”,134 dinyatakan sebagai
penghinaan berdasarkan Undang-Undang Hukum Perdata Belanda.
Tindak pidana penghinaan dalam Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda memiliki beberapa macam target meliputi diri pribadi orang, pejabat
publik, Pegawai Negeri Sipil (PNS), juga kepala dan/atau anggota pemerintahan
dari Negara sahabat. Pejabat publik dalam konteks ini termasuk juga politisi.
Mengingat pejabat publik akan banyak berkecimpung dengan urusan kepentingan
umum, maka tingginya perhatian yang diberikan masyarakat kepada pejabat

                                                                                                                       
129
Ibid.
130
Supriyadi Widodo Eddyono, Sriyana dan Wahyu Wagiman, Op.Cit. halaman 9.
131
Charles J. Glasser J.R., Op.Cit., halaman 402.
132
Kutipan dalam Court of Appeal Amsterdam, October 19, 2000, Elro no. AA 7654 .
133
Kutipan dalam President Court of Utrecht, September 20, 2001, Elro no. AD 3844 .
134
Kutipan dalam President Court of Amsterdam, April 5, 2005, LJN no. AT 3177.

Universitas Indonesia
89

publik tersebut dianggap sebagai suatu konsekuensi logis.135 Oleh karenanya,


pejabat publik harus lebih dapat mentoleransi penghinaan terhadap dirinya,
khususnya terhadap pernyataan yang dimaksudkan sebagai kritikan atas politisi
ataupun atas isu kepentingan umum.136 Meskipun begitu, kehormatan dan nama
baik pejabat publik tetap dijaga dengan pemberlakuan pasal 267 Undang-Undang
Hukum Pidana setelah sebelumnya terjadi penyesuaian konteks penghinaan
dengan upaya pemberian kritik oleh masyarakat. Sejauh ini, penghinaan terhadap
pejabat publik lebih banyak diselesaikan melalui mekanisme perdata daripada
mekanisme pidana.137 Selain pejabat publik, dalam bagian yang terpisah dari bab
mengenai tindak pidana penghinaan, Undang-Undang Hukum Pidana Belanda
mengatur tindak pidana penghinaan terhadap Raja, Ratu, dan anggota Kerajaan
Belanda dalam pasal 111, 112, dan 113 sebagai berikut:
“Section 111
Intentional defamation of the King shall be punishable by a term of
imprisonment not exceeding five years or a fine of the fourth
category.
Section 112
Intentional defamation of the King's consort, of the King’s heir
apparent or his spouse or of the Regent shall be punishable by a term
of imprisonment not exceeding four years or a fine of the fourth
category.
Section 113
1. Any person who distributes, publicly displays or posts, or has in
store to be distributed, publicly displayed or posted, written matter
or an image defaming the King, the King's consort, the King’s heir
apparent or his spouse, or the Regent, shall be liable to a term of
imprisonment not exceeding one year or a fine of the third
category, if he knows or has serious reason to suspect such
defamatory content of the written matter or image.

                                                                                                                       
135
“Defamation and Freedom of Expression: Selected Documents”, Media Division,
Directorate General of Human Rights, Council of Europe,
https://www.coe.int/t/dghl/standardsetting/media/doc/H-ATCM(2003)001_en.pdf diakses pasa 10
Mei 2015.
136
Supriyadi Widodo Eddyono, Sriyana dan Wahyu Wagiman, Op.Cit. halaman 10.
137
“Defamation and Insult: Writers React, Insult Laws in the European Union”,
International PEN’s Writers, 2007, halaman 9.

Universitas Indonesia
90

2. Any person who, with the same knowledge or reason to suspect


such, publicly utters the content of such written matter shall be
liable to the same punishment.
3. If the offender commits any of the serious offences defined in this
section in the practice of his profession and if at the time of
commission of the serious offence two years have not yet expired
since a previous conviction of the offender for any of these serious
offences became final, he may be disqualified from the practice of
that profession.”138
Ketentuan tersebut mengatur larangan dilakukannya penghinaan terhadap
Raja, Ratu, dan Keluarga Kerajaan, baik yang dilakukan secara lisan maupun
tertulis, juga dalam hal tindak pidana tersebut dilakukan ketika pelaku sedang
menjalankan profesinya. Adanya pengaturan yang demikian merupakan
konsekuensi logis dari bentuk negara Monarkhi Konstitusional Belanda yang
menempatkan Raja, Ratu, dan anggota keluarga dalam posisi yang sangat
dihormati.139 Keluarga kerajaan dianggap merepresentasikan kehormatan dan
harkat maratabat negara, di samping anggapan bahwa kerajaan adalah sumber
kebijaksanaan sehingga ia tidak dapat diganggu gugat. Oleh karenanya,
penghinaan terhadap Keluarga Kerajaan Belanda merupakan kejahatan yang tidak
memerlukan aduan dari korban. Siapapun, selama melihat terjadi tindak pidana
ini, dapat langsung melaporkan kepada pihak berwajib agar kejahatannya dapat
segera diselesaikan. Atas ketentuan tersebut, seorang laki-laki berusia 47 tahun
dikenai hukuman pidana penjara selama 1 (satu) minggu dan didenda sebesar
€400 karena telah menyebut Ratu Beatrix sebagai Pekerja Seks Komersial
(PSK).140 Kemudian, pada Mei 2015, seorang demonstran anti-monarki bernama

                                                                                                                       
138
Wetboek van Strafrecht, Op.Cit.
139
Perangkat kerajaan menandakan adanya unsur monarkhi dalam negara yang
bersangkutan. Dalam konteks ini, Belanda berbentuk monarkhi konstitutional, di mana
pelaksanaan negara monarkhi didasarkan pada aturan yang ada dalam konstitusi. Konstitusi
memerintahkan agar monarkh dan pemerintah bersama-sama terlibat dalam jalannya
pemerintahan. Pada awal kemerdekaannya (1579), Belanda merupakan republik yang independen,
namun seiring berjalannya waktu, unsur kerajaan monarkh di Belanda menguat dilihat dari posisi
dan peran kerajan. Lihat: Inter-Parliamentary Union, “Constitutional & Parliamentary
Information: Half Yearly Review of the Association of Secretaries General of Parliaments”, 2013,
diakses pada tanggal 16 Februari 2015,
http://www.asgp.co/sites/default/files/CPI%20206%20Geneva.pdf
140
Resume Perkara Rechtbank Amsterdam, 13/420932-07 en 13/421786-06,
http://uitspraken.rechtspraak.nl/inziendocument?id=ECLI:NL:RBAMS:2007:BB1044 diakses
pada 10 Mei 2015.

Universitas Indonesia
91

Al-Jaberi ditangkap oleh aparat berwajib karena meneriakkan kata-kaa hinaan,


“fuck the king, fuck the queen and fuck the monarchy” dalam aksi demonstrasi
yang dilakukannya.141
Dalam Undang-Undang Hukum Pidana Belanda, diatur pula hal-hal yang
membenarkan dilakukannya penghinaan. Pasal 261 ayat (3) menentukan bahwa
pembenaran dapat diberikan selama pernyataan penghinaan didasarkan pada
tujuan untuk kepentingan pembelaan diri sendiri dan/atau orang lain, atau
diungkapkan untuk kepentingan umum. Pembelaan ini dilakukan demi
menghindarkan dirinya atau diri orang lain dari beban yang tidak semestinya.
Sementara itu, penghinaan dalam rangka kepentingan umum dapat dimaknai
sebagai dilakukannya penghinaan agar masyarakat secara umum menjadi waspada
dengan orang yang dihina. Penghinaan yang dilakukan berdasarkan alasan
pembenar tersebut haruslah didasarkan pada itikad baik (good faith). Sebelum
amandemen dilakukan, Undang-Undang Hukum Belanda mengatur bahwa
pembuktian atas tuduhan harus dilakukan apabila memang hakim merasa perlu.
Setelah amandemen dilakukan, aturan yang demikian tidak lagi diberlakukan
karena pembuktian itikad baik saja dirasa cukup.142
Untuk bisa mengaplikasikan alasan-alasan pembenar tersebut, Pengadilan
Belanda membuat standar uji keseimbangan antara kerugian individu dan
kemanfaatan kepentingan umum yang terdiri dari hal-hal sebagai berikut:143
1. Sifat dasar dari penghinaan yang diajukan dan tingkat keseriusan dari
dampak yang mungkin timbul dari penghinaan itu, khususnya yang
dirasakan langsung oleh korban;
2. Keseriusan dari penghinaan dilihat dari sudut pandang kepentingan
umum;
3. Kondisi faktual yang melingkupi penghinaan pada waktu tuduhan itu
diajukan;

                                                                                                                       
141
“F*** the King Demonstrator Taken to Court for Insulting the Monarch (updated)”,
DutchNews.nl, http://www.dutchnews.nl/news/archives/2015/05/f-the-king-demonstrator-taken-
to-court-for-insulting-the-monarch/ diakses pada 10 mei 2015.
142
Jan de Meij, Freedom of the Press and Defamation in the Netherlands, Law Colloqium
2004 Report: From Insult to Slander Defamation and Freedom of the Press, 23-29 Juli 2014.
143
Charles J. Glasser J.R., Op.Cit., halaman 269.

Universitas Indonesia
92

4. Cara penghinaan itu dilakukan;


5. Kemungkinan dilakukannya cara lain yang lebih baik dan tidak
destruktif, untuk mewujudkan kepentingan umm yang ingin dicapai
dengan adanya penghinaan itu;
6. Kemungkinan tetap tersebarnya penghinaan sekalipun sedari awal
tidak ditujukan untuk disebarkan.

3.1.2. Inggris
Inggris adalah negara yang pertama kali memperkenalkan hukum
penghinaan, tepatnya pada masa pemerintahan Edward I (1272-1307). Saat itu,
penghinaan disebut sebagai Scandalum Magnatum (spreading false report about
the magnates of the realm), suatu tindak pidana yang dapat dihukum.
Dikeluarkannya undang-undang mengenai penghinaan tersebut disebabkan karena
banyak terjadi kerusuhan akibat balas-membalas penghinaan hingga menimbulkan
gangguan bagi ketertiban umum. Scandalum Magnatum sendiri sebenarnya lebih
banyak mengatur mengenai masalah penghinaan yang ditujukan kepada anggota
kerajaan dan/atau pejabat publik,144 meskipun ke depannya dasar-dasar dalam
doktrin Scandalum Magnatum berkembang menjadi penghinaan bagi masyarakat
dalam konteks yang lebih umum. Berikut adalah pengaturan Scandalum
Magnatum:145

“Whereas much as there have been aforetimes found in the country


devisers of tales -- whereby discord or occasion of discord hath
arisen between the king and his people or great men of this realm—it
is commanded that none be so hardy as to tell or publish any false
news or tales whereby discord or occasion of discord or slander may
grow between the king and his people or the great men of the realm;
he that doth so shall be taken and kept in prison until he hath
brought into the court which was first author of the tale.”
Dilihat dari redaksional pengaturan dalam Scandalum Magnatum, jelas
bahwa subjek yang dilindungi dari tindak pidana penghinaan adalah Raja dan
orang-orang kepercayaannya—pejabat publik yang memperoleh mandat untuk

                                                                                                                       
144
R. B. Manning, The Origin of the Doctrine of Sedition, Albion: 1980, halaman 99.
145
Thomas Starkie, A Treatise on the Law of Slander, Libel, Scandalum Magnatum and
False Rumors, (London: Printed for W. Clarke, 1813), halaman 16-17.

Universitas Indonesia
93

mengatur negara. Pengaturan ini bertujuan untuk melindungi subjek-subjek tadi


dari desas-desus yang memalukan diri mereka dan oleh karena hal itu, dapat
membuat masyarakat secara luas menjadi resisten dengan negara. Lebih jauh lagi,
hal tersebut dapat menyebabkan terganggunya ketertiban umum yang dapat
mengganggu jalannya pemerintahan itu sendiri. Dalam Scandalum Magnatum,
benar atau tidaknya suatu ungkapan tidaklah menjadi alasan pembenar. Adanya
penyebaran fakta buruk yang akurat justru semakin menguatkan terjadinya
penghinaan karena masyarakat memiliki alasan yang lebih kuat untuk tidak lagi
mempercaya profesionalisme penguasa.
Ketentuan mengenai Scandalum Magnatum makin berkembang dan
meluas cakupannya, hingga menjelma menjadi aturan penghinaan yang subjeknya
tidak hanya terbatas pada Raja dan pejabat publik. Adanya ketentutan tersebut
ditujukan untuk memberi penyelesaian berupa pemulihan nama baik secara damai.
Menurut Mahkamah Agung Kanada, tujuan undang-undang tersebut adalah untuk
mencegah beredarnya rumor palsu. Dalam masyarakat yang didominasi tuan-tuan
tanah yang kekuasaannya begitu besar, amarah dari pembesar lokal bahkan bisa
mengancam keamanan Negara.146 Dibuatnya undang-undang mengenai
penghinaan ini merupakan titik awal dibuatnya pengaturan mengenai penghinaan
di Negara lain.
Seiring berjalannya waktu, hukum penghinaan di Inggris justru lebih
difokuskan pada perlindungan terhadap kerajaan monarkh dan pejabat Negara
daripada mencegah terjadinya penghinaan antar anggota masyarakat. Penerapan
hukum yang demikian ditujukan untuk melindungi anggota kerajaan dan pejabat
publik dari informasi-informasi memalukan yang bisa membuat masyarakat
kehilangan kepercayaan terhadap negara. Singkatnya, penerapan hukum
penghinaan ditujukan untuk melindungi terganggunya kedamaian yang telah
terbentuk di masyarakat. Dengan dasar hukum tersebut, Lewis Pickeringe diseret
ke pengadilan karena dianggap telah menghina uskup agung yang saat itu
dikategorikan sebagai pejabat penting di Inggris. Pickeringe saat itu membuat
beberapa epigram yang berisi hinaan, namun tidak menyebutkan secara tegas
                                                                                                                       
146
Toby Mendel, “Presentation on International Defamation Standards for the Jakarta
Conference”, Law Colloquium 2004, From Insult to Slander: Defamation and the Freedom of the
Press, Jakarta 28-29 Juli 2004.

Universitas Indonesia
94

siapa subjek yang ditujunya. Menurut penafsiran pengadilan, epigram itu


ditujukan kepada Uskup Agung Bancroft dan Uskup Agung Whitgift. Penghinaan
terhadap kedua uskup itu dianggap pula sebagai penghinaan terhadap Kerajaan
Inggris mengingat kedua uskup tadi menjalankan tugas negara. Tugas negara ini
dipercayakan oleh Raja dan Ratu Ingrgis untuk dilaksanakan oleh uskup yang
bersangkutan. Sehingga, segala penghinaan terhadap bagian dari negara—
kerajaan dan pejabat publik, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal,
akan membawa keburukan bagi kerajaan monarkhi yang sedang atau akan
berjalan,147 karena uskup itu sendiri dipandang sebagai komponen dari kerajaan
monarkhi.
Pengadilan Inggris saat itu menilai bahwa penghinaan terhadap pejabat
publik bukan hanya merugikan diri pribadi pejabat yang bersangkutan, namun
juga harus dipandang sebagai ancaman bagi ketertiban umum.148 Dalam
persidangan Lord Coke menganggap bahwa penghinaan bukan hanya
menyebabkan terganggunya perdamaian, namun juga bisa menyebabkan skandal
dalam pemerintahan—skandal yang mungkin dampaknya lebih buruk daripada
korupsi atau pejabat publik yang berkhianat, mengingat pejabat-pejabat tersebut
dipilih oleh Raja.149 Hal tersebut dianggap amatlah buruk karena dapat
menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada kerajaan. Kerajaan dianggap
tidak cermat dalam memilih pejabat, sampai-sampai pejabat yang terlibat hal-hal
tercela dipilih untuk menjalankan tugas negara.
Pada abad 17, penggunaan ketentuan mengenai penghinaan tergolong
cukup agresif. Saat itu, hampir tidak ada pembelaan yang dapat membenarkan
dilakukannya penghinaan—termasuk dasar pembenar berupa “kebenaran fakta”
yang pada beberapa abad terakhir mulai diterima oleh pengadilan. Saat itu, hakim
Lord Holt memberikan pendapatnya sebagai berikut:

“if men should not be called to account for possessing the people

                                                                                                                       
147
Nany E. Wright, “Legal Fictions and Interpretation in Attorney General v Pickeringe
(1605) and Ben Jonson’s Masque pf Queens (1609)”,
http://www.austlii.edu.au/au/journals/NewcLawRw/1995/5.pdf diakses pada 25 Mei 2015.
148
“Seditious Libel”, http://uscivilliberties.org/themes/4460-seditious-libel.html diakses
pada 25 Mei 2015.
149
Ibid.

Universitas Indonesia
95

with an ill opinion of the government, no government can subsist; for


it is very necessary for every government, that the people should have
a good opinion of it.”
Kutipan tersebut mengindikasikan bahwa dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang stabil, maka masyarakat pun harus memberikan opini yang
baik terhadap pemerintahan itu sendiri. Adanya masyarakat yang terus menerus
mengkritik pemerintahan hanya akan menyebabkan pemerintahan manapun tidak
akan bisa bertahan. Namun pandangan yang demikian berangsur-angsur mulai
ditinggalkan, khususnya di awal abad ke-19.
Sistem hukum di Inggris mulai banyak menggunakan putusan pengadilan
dan doktrin sebagai sumber hukumnya. Putusan pengadilan dan doktrin menjadi
alat praktis dalam menentukan implementasi dari undang-undang yang ada. Oleh
karenanya, putusan pengadilan tidak dapat melampaui kedudukan undang-
undang—keduanya harus berjalan beriringan.150 Dengan sistem hukum yang
demikian, tidak terdapat standar baku yang komprehensif mengenai penghinaan
seperti yang bisa ditemukan dalam negara-negara penganut Civil Law seperti
Belanda dan Indonesia. Segala hal dapat berubah seiring dengan dinamika yang
terjadi di lapangan.151 Meskipun demikian, telah disepakati oleh kebiasaan dalam
pengadilan, bahwa penghinaan merupakan pernyataan yang bersifat memfitnah,
yang disiarkan secara luas atau memiliki bentuk visual seperti tulisan, gambar,
dan sebagainya.152 Pernyataan yang bersifat memfitnah ini dapat menyebabkan
orang-orang berpikiran negatif tentang orang yang mengalami penghinaan.
Dalam penerapan pemaknaan atas penghinaan tersebut, Inggris tidak
membedakan jabatan atau tingkat popularitas dari korban penghinaan, karena
Inggris menganggap semua orang pada dasarnya memiliki reputasi yang sama
baiknya. Untuk mempermudah proses mengadili tindakan penghinaan, House of
Lords dalam perkara Reynolds v. Times Newspapers Limited menetapkan kriteria-
kriteria atas tindak pidana penghinaan, sebagai berikut:153
a. The seriousness of the allegation.
                                                                                                                       
150
Charles J. Glasser J.R., Op.Cit., halaman 341.
151
Andrew T. Kenyon, Defamation Comparative Law and Practice, hal. 34.
152
Charles J. Glasser J.R., Op. Cit., halaman 207.
153
Ibid, halaman 209.

Universitas Indonesia
96

b. The nature of the information, and the extent to which the subject-
matter is a public concern.
c. The source of the information.
d. The status of the information.
e. The steps taken to verify the information.
f. The urgency of the matter.
g. Whether comment was sought from the claimant’s.
h. Whether the article contained the gist of the claimant’s side of the
story.
i. The tone of the article
j. The circumstances of the publication, including the timing.
Meskipun sudah terdapat kriteria-kriteria di atas, Inggris juga
memberikan perluasan bagi terjadinya penghinaan. Sekalipun sebuah pernyataan
tidak mengandung unsur memfitnah bagi diri orang yang dituju, pernyataan
tersebut dapat dikategorikan sebagai penghinaan apabila ia mengandung informasi
khusus yang bisa menyebabkan dampak mendiskreditkan nama baik seseorang.
Sebagai contoh, ungkapan bahwa A terlihat masuk ke dalam sebuah bangunan
pada malam hari, tidak tergolong sebagai penghinaan, kecuali ditegaskan bahwa
bangunan yang dimaksud adalah rumah bordil.154 Beban pembuktian atas tuduhan
penghinaan ada pada pihak yang melaporkan perkara, tanpa melihat tingkat
popularitas atau jabatan yang melekat pada diri korban yang bersangkutan. Hanya
saja saat mengaitkan perkara dengan kerugian yang dialami oleh korban, maka
perlu diperhitungkan jabatan dan popularitas dari korban yang mengalami
penghinaan.
Ketentuan mengenai penghinaan sebelumnya termaktub dalam Public
Order Act 1968, pada bagian 5 yang menyatakan bahwa:

A person is guilty of an offence if he-


a) threatening, abusive or insulting words or behaviour, or
disorderly behavior, or
b) any writing, sign or other visible representation which is
threatening, abusive or insulting, within the hearing or sight of
a peson likely to be caused harassment, alarm, or distress

                                                                                                                       
154
Ibid, halaman 341.

Universitas Indonesia
97

thereby.

Ketentuan tersebut memasukkan penghinaan dalam satu bagian tindak


pidana yang sama dengan ‘pengancaman (threat)’, dan ‘makian (abuse)’, baik
yang berbentuk lisan ataupun tulisan. Untuk bisa dikategorikan ke dalam tindak
pidana tersebut, maka perbuatan dipersyaratkan untuk dilakukan di muka umum
atau di ruang pribadi. Hanya saja, perbuatan yang dilakukan secara lisan ataupun
tertulis yang dilakukan oleh seseorang di dalam rumah tinggal yang mana terdapat
orang lain di dalam runah itu ataupun di bangunan lain, tidaklah dikategorikan
sebagai perbuatan dalam bagian 5 di atas. Terhadap perbuatan tersebut, undang-
undang turut menyediakan alasan pembenar sebagai jaring pengaman bagi
perbuatan yang memang selayaknya dilakukan. Alasan pembenar tersebut diatur
dalam ayat (3) dari bagian 5 sebagai berikut:

It is a defence for the accused to prove-


a) That he had no reason to believe that there was any person
within hearing or sight who was likely to be caused
harassment, alarm or distress, or
b) That he was inside a dwelling and had no reason to believe
that the words or behavior used the writing sign or other
visible representation displayed, would be heard or seen by a
person outside that or any other dwelling or
c) That his conduct was reasonable.

Dalam uraian tersebut, nampak bahwa alasan-alasan yang dapat


menjustifikasi adanya penghinaan meliputi ketidaktahuannya bahwa penghinaan
tersebut dapat menyebabkan terhinanya orang lain, perbuatan itu dilakukannya
ketika ia di berada di dalam bangunan rumah tinggal dan ia tidak menyangka
bahwa apa yang ia lakukan dapat didengar atau dilihat oleh orang lain, dan adanya
alasan dari apa yang dilakukannya.
Aturan dalam bagian 5 tersebut menyebabkan pemidanaan yang
berlebihan dari perbuatan yang dianggap sebagai penghinaan. Segala perbuatan
yang dikategorikan sebagai ‘gangguan’, ‘perusuhan’, atau ‘ketidaknyamanan’
dapat dengan mudahnya dikriminalisasi dengan aturan tersebut. Sebagai contoh,
seorang mahasiswa ditangkap karena dituduh telah melakukan penghinaan karena
menyatakan bahwa kuda yang ditunggangi seorang anggota kepolisian adalah

Universitas Indonesia
98

homoseksual.155 Hal serupa dialami oleh seseorang yang memberikan pendapat


bahwa gereja keilmuan (dikenal sebagai scientology church) adalah bentuk
pemujaan yang sesat.156 Pasal penghinaan juga diterapkan dalam perkara Percy v
DPP terkait seorang perempuan yang telah menodai bendera Amerika selama
protes terjadi. Tertuduh mengaku bahwa ia tidak memiliki itikad untuk menghina
bendera yang diposisikan sebagai simbol kenegaraan, namun pihak kepolisian
menolak alasan tersebut karena pesan yang ingin disampaikan melalui tindakan
pelaku adalah pesan untuk merendahkan suatu bangsa. Namun, adanya tekanan
European Courts of Human Rights (ECHR) membuat perkara tersebut dihentikan
dengan dasar bahwa Inggris harus lebih toleran dengan kebebasan berekpresi yang
diatur dalam Pasal 10 Konvensi Eropa tentang HAM. Semenjak adanya
penyeimbangan antara kebebasan berekspresi dengan urgensi menjaga ketertiban
umum, terdapat rencana untuk menghilangkan kata ‘menghina (insulting)’ dalam
bagian 5 Public Order Act 1986. Melalui amandemen yang dilakukan hingga
akhri tahun 2013, frasa tersebut secara resmi dihapuskan dari bagian 5.
Kriminalisasi berdasarkan penghinaan mulai berkurang seiring
berjalannya waktu. Alasan pembenar yang menjustifikasi terjadinya penghinaan
juga semakin berkembang. Doktrin di Inggris turut mengenai alasan pembenar
lainnya yang menghilangkan sifat melawan hukum dari tindakan penghinaan.
Perlindungan akan diberikan kepada pelaku tindak pidana penghinaan apabila hal
yang ia ungkapkan dapat dijamin kebenarannya dan hal itu dilakukan dalam
rangka mewujudkan kemaslahatan bagi kepentingan umum. Dalam hal
penghinaan dilakukan dalam rangka kepentingan umum, maka pelaku penghinaan
dianggap memang memiliki beban moral untuk mengungkapkan hal yang ia
ketahuinya, sementara korban penghinaan secara bersamaan juga dianggap
memiliki kewajiban untuk menerima ungkapan yang dianggap penghinaan tadi.
Dalam konteks ini, maka pelaku penghina memperoleh perlindungan
berlandaskan pada hak istimewa atau qualified privilege.

                                                                                                                       
155
‘“Gay” Police Horse Case Dropped’, BBC News, London, 12 Januari 2006
.http://news.bbc.co.uk/1/hi/england/oxfordshire/4606022.stm diakses pada 25 Mei 2015.
156
Anil Dawar, ‘Teenager faces prosecution for calling Scientology a “cult”’, The
Guardian, London, 20 Mei 2008, www.guardian.co.uk/uk/2008/may/20/1 diakses pada 25 Mei
2015.

Universitas Indonesia
99

Selain hak istimewa, Inggris juga memberikan perlindungan dengan


dasar fair comment atau kritik yang wajar. Dalam konteks ini, maka orang yang
dituduh melakukan penghinaan harus dapa membuktikan bahwa hal yang
diungkapkan adalah sekedar komentar, dan bukanlah pernyataan faktual, yang
mana komentar itu dibuat berdasarkan pada fakta yang dapat dijamin
kebenarannya. Komentar itu diajukannya dengan dasar niat baik dalam rangka
mewujudkan kemanfaatan bagi kepentingan umum. Alasan pembenar ini dapat
dengan mudah disanggah apabila korban dapat membuktikan bahwa sumber,
pembuat, dan pengedar informasi memiliki itikad buruk.157
Mulai dari abad ke-18, Inggris bertransformasi menjadi negara yang
ramah dengan kebebasan berkespresi. Bagi Inggris, kebebasan berekspresi
didasarkan pada 4 (empat) prinsip fundamental meliputi: 1). Pemenuhan
kebutuhan individu melalui ekspresi dan pendapat; 2). Pemajuan wawasan dan
kebenaran; 3). Keterlibatan bagi seluruh anggota dalam proses pengambilan
keputusan; 4). Keberhasilan mencapai komunitas yang stabil melalui
kesepakatan.158 Kebebasan berekspresi dipandang sebagai ‘darah daging’ dari
demokrasi yang memang pada hakikatnya menuntut keturutsertaan masyarakat
dalam menentukan jalannya pemerintahan. Tanpa kebebasan berekpresi, negara
yang didasarkan pada hukum tidak akan mampu berjalan dengan baik.159 Dalam
hal kebebasan berekpresi akan dibatasi, maka pembatasannya harus ditentukan
oleh undang-undang dan hanya bisa dilakukan apabila memang terbukti adanya
tujuan yang terlegitimasi, yang ingin dicapai oleh pembatasan tersebut.160
Dasar-dasar kebebasan berekspresi yang demikian yang kemudian
menyebabkan melonggarnya ketentuan megenai penghinaan Raja dan Ratu
Inggris—sebuah ketentuan yang ada dalam rangka melindungi kehormatan dan
harkat martabat negara. Ketentuan ini merupakan konsekuensi logis dari bentuk
negara Inggris yang merupakan monarki konstitusional, di mana bentuk negara
tersebut menempatkan Raja dan Ratu sebagai simbol kemegahan negara. Tak
                                                                                                                       
157
Ibid, halaman 346.
158
Nany E. Wright, Op.Cit.
159
Termatub dalam pertimbangan hukum putusan dalam perkara R v Secretary of State for
the Home Department Ex p. Simms, 2000.
160
Penjelasan dalam European Convention on Human Rights, Article 10(2).

Universitas Indonesia
100

hanya sebagai simbol, Raja dan Ratu juga dianggap sebagai sumber hukum. Dari
dulu hingga sekarang, seluruh kewenangan pejabat publik bersumber dari Ratu.161
Setelah proses pemilihan umum selesai, Ratu akan mengundang pemimpin partai
terpilih untuk dilantik sebagai Perdana Menteri yang nantinya ditugaskan untuk
menjalankan pemerintahan di bawah keagungan nama kerajaan. Seluruh pejabat
publik harus mengambil sumpah dan janji akan mengabdi dan setia kepada Ratu,
serta akan menjalankan tugasnya demi kebaikan nama Ratu. Konstruksi berpikir
yang demikian menyebabkan munculnya pandangan bahwa penghinaan terhadap
pejabat publik juga merupakan penghinaan terhadap kerajaan, mengingat pejabat
publik memperoleh tugas atas dasar mandat yang diberikan oleh Raja dan Ratu itu
sendiri.162
Dengan konstruksi berpikir yang demikian, kejahatan yang dilakukan
terhadap diri Ratu dianggap sebagai kejahatan yang membahayakan negara.
Keberadaan Ratu inheren dengan keberadaan negara, di mana terjadi peleburan
identitas di antara keduanya—Ratu Inggris adalah negara, dan negara adalah Ratu
Inggris itu sendiri.163 Dalam kata lain, hubungan antara Ratu dan negara nampak
dari ungkapan berikut, “resided in the king, who was the possessor
and personification of the public power”. Berangkat dari kerangka gagasan yang
demikian, hal-hal yang berkaitan dengan ketidakhormatan atas Ratu dikategorikan
sebagai tindak pidana dengan ancaman hukuman yang cukup berat. Beberapa
tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan penghinaan adalah
menempatkan foto Raja dan Ratu secara terbalik (kepala berada di bawah,
sedangkan kaki berada di atas) dan mencoret atau mengubah gambar Raja dan
Ratu yang berada di uang kertas atau uang logam.164 Orang yang melakukan
tindakan tersebut akan diminta untuk mengembalikan benda-benda seperti
semula, kemudian dia akan dipaksa untuk meminta maaf kepada Raja dan Ratu.

                                                                                                                       
161
“Royal Pains: Lèse-Majesté in An International Rigts-Based Legal Framework”,
Phillipine Law Journal, http://plj.upd.edu.ph/royal-pains-lese-majeste-in-an-international-rights-
based-legal-framework/ diakses pada 14 Mei 2015.
162
Nany E. Wright, Op.Cit.
163
Ibid.
164
“Lèse-Majesté in England”, Marlborough Express, 6 April 1908
http://paperspast.natlib.govt.nz/cgi-bin/paperspast?a=d&d=MEX19080406.2.4 diakses pada 14
Mei 2015.

Universitas Indonesia
101

Apabila Raja dan Ratu sedang berbaik hati, ia akan dimaafkan dan terhadapnya,
pelaku haruslah mengucapkan syukur dan berterima kasih atas hal tersebut.
Apabila Raja dan Ratu tidak memberikan ampunan, maka pelaku akan dihukum
dengan pidana penjara atau pidana denda.165 Kelly memberikan komentar kritis
atas Lèse-Majesté, sebagai berikut:166

“The king embodied the state. Any attacks on majesty-and they were
widely defined to include libels, derogatory utterances, and
counterfeiting-were assaults against the monarch in his public
personality and, as such, against all his wards who constituted,
beneath him, the nation.”

Dalam komentar tersebut, Kelly menyatakan bahwa terjadi personifikasi


antara diri Ratu dengan negara. Alhasil, sangat mungkin terjadi situasi di mana
masyarakat yang tidak merasa puas dengan negara dapat mengekspresikan
kekecewaannya dengan melakukan penyerangan terhada diri Ratu, baik yang
dilakukan secara fisik ataupun non-fisik berupa penghinaan, perusakan simbol,
pemaparan penyelewenangan kerajaan, pernyataan tentang ketidakmampuan
kerajaan dalam menjalankan tugasnya, dan sebagainya.167
Dalam konteks perseimbangan antara kebebasan berkespresi dan
penghinaan atas Ratu, setiap warga negara berhak memberikan komentar
mengenai Monarkhi dan mengajukan pendapat bahwa bentuk negara Republik
yang lebih baik bagi Inggris. Atas bentuk ekspresi yang demikian, pelaku tidak
dapat dipersalahkan menghina Kerajaan Inggris. Hal yang berbeda terjadi apabila
pelaku menghina anggota kerajaan secara pribadi, misalnya dengan mengucapkan
kata kotor atas pribadi Ratu, atau sesederhana mencoret-coret gambar muka Ratu.
Tindakan yang demikian dianggap telah mencoreng nama baik Kerajaan
Inggris.168 Terhadap tindak pidana penghinaan terhadap Ratu, Glanvill
memberikan pendapatnya terkait dengan penyelidikan tindak pidana tersebut:169

                                                                                                                       
165
Ibid.
166
Royal Pains: Lèse-Majesté in An International Rigts-Based Legal Framework”, Op.Cit.
167
Ibid.
168
Ibid.
169
John Hudson, The Oxford History of the Laws of England: Volume II 871-1216, (Great
Britain: CPI Gorup (UK) Ltd., 2012), halaman 737.

Universitas Indonesia
102

“the truth of the matter shall be investigated by many and varied


inquests and interrogations to be made before the justices, and arrived
at by considering the probable facts and the conjectures both for and
against the accused, who must as a result either be purged by the
ordeal [per legem apparentem] or absolved entirely from the imputed
crime. “

Glanvill menegaskan bahwa untuk sampai pada kesimpulan telah terjadi


tindak pidana penghinaan terhadap Ratu, maka perlu dilakukan penyidikan dan
pemeriksaan resmi mengenai kebenaran-kebenaran fakta serta tuduhan yang
diajukan pelaku sebagai bagian dari tindak pidana penghinaan yang dilakukannya.
Dari pemeriksaan tersebut dapat dicapai kesimpulan mengenai apakah pelaku
benar telah melakukan tindak pidana penghinaan terhadap Ratu atau tidak. Dalam
perkembangannya, ketentuan mengenai penghinaan terhadap Ratu sangat jarang
dipakai. Beberapa kasus penghinaan terhadap kerajaan yang mengemuka di
Inggris adalah pada pertengahan abad 18, di mana Rowlandson, Cruikshank, dan
beberapa pelukis karikatur satiris telah mengecam dan mengejak Paman dari Ratu
Victoria, yaitu George IV. Atas perbuatan tersebut, para pelaku dihukum dengan
pidana penjara sekaligus pidana denda.170 Hingga kini, ketentuan mengenai
penghinaan terhadap Ratu sudah tidak pernah lagi dipakai dengan pertimbangan
penghormatan atas kebebasan berkespresi yang bertanggung jawab.

3.1.3. Thailand
Thailand dikenal sebagai salah satu negara yang secara masif
mengkriminalisasi penghinaan, khususnya terkait dengan penghinaan terhadap
Raja. Tindak pidana penghinaan diatur dalam pasal 326 hingga pasal 333 Undang-
Undang Hukum Pidana Thailand. Sebagai ketentuan mengenai delik umum, pasal
326 Undang-Undang Hukum Pidana Thailand mengatur penghinaan sebagai
berikut:

“whosoever imputes anything to the other person before a third person


in a manner likely to impair the reputation of such other person or to
expose such other person to hatred or contempt is said to commit
defamation, and shall be punished with imprisonment not exceeding

                                                                                                                       
170
“The Art of Lèse Majesté”, History Today Volume 56 Issue 4 April 2006,
http://www.historytoday.com/mark-bryant/art-l%C3%A8se-majest%C3%A9 diakses pada 14 Mei
2015.

Universitas Indonesia
103

one year or fine not exceeding twenty thousand bhat, or both”

Dalam ketentuan tersebut, nampak bahwa elemen yang menyusun tindak


pidana penghinaan meliputi: 1). Adanya niat untuk melukai nama baik orang lain
2). Dengan mengungkapkan kebencian atau penghinaan. Pada dasarnya, pasal
tersebut mengatur mengenai tindak pidana penghinaan yang dilakukan secara
lisan. Sementara itu, tindak pidana penghinaan yang dilakukan secara tulisan
diatur dalam pasal 328, yang mana mengatur bahwa penghinaan melalui publikasi
atau penyiaran dapat dipidana dengan hukuman penjara maksimal 2 (dua) tahun.
Tindak pidana penghinaan dalam Undang-Undang Hukum Pidana Thailand
merupakan delik aduan atau compoundable offence sebagaimana diatur dalam
pasal 333.171 Selain diatur dalam Undang-Undang Hukum Pidana Belanda,
Computer Crime Act juga mengatur tindak pidana penghinaan, khususnya yang
dilakukan dengan media online. Pasal 16 Uundang-undang tersebut melarang
perbuatan penghinaan berupa memasukkan, mengedit, menambah, atau menukar
foto secara elektronik atau cara lainya yang bertujuan untuk merusak reputasi dari
orang yang bersangkutan, atau untuk menyebabkan adanya kebencian masyarakat
atau mempermalukan orang lain.
Sebagaimana yang dapat ditemukan dalam pengaturan di negara lain,
hukum pidana Thailand mengatur juga alasan pembenar yang menghilangkan sifat
melawan hukum dari tindak pidana penghinaan. Alasan pembenar yang dikenal
oleh Undang-Undang Hukum Pidana Thailand adalah apabila pelaku memiliki
itikad baik untuk memberikan komentar yang layak (fair comment) terhadap
seseorang yang merupakan wujud dari kritik publik. Jika penghinaan dilakukan
atas nama kepentingan publik, maka pelaku haruslah membuktikan kebenaran dari
tuduhannya. Namun kesempatan untuk membuktikan kebenaran tidak diberikan
oleh Pengadilan apabila hal yang dituduhkan memiliki kaitan dengan kepentingan
pribadi pelaku dan korban. Hal tersebut diatur dalam pasal 330 Undang-Undang
Hukum Pidana Thailand sebagai berikut:

In the case of defamation, if the person prosecuted for defamation can


prove that the imputation made by him is true, he ishall not be

                                                                                                                       
171
Somchai Hamlor dan Sinfah Tunsarawuth, SEA Media Defence Litigation Project, May
2007, Country Report: Thailand, hal 7 .

Universitas Indonesia
104

punished. But he ishall not be allowed to prove if such imputation


concerns personal matters, and such proof will not be benefit to the
public.
Secara lebih komprehensif, Undang-Undang Hukum Pidana Thailand
mengatur mengenai penghinaan yang dilakukan berdasarkan pada itikad baik pada
pasal 329 sebagai berikut:

Whoever, in good faith, expresses any opinion or statement:


(1) by way of self-justification or defense, or for the protection of a
legitimate interest;
(2) in the status of being an official in the exercise of his functions;
(3) by way of fair comment on any person or thing subjected to
public criticism; or
(4) by way of fair report of the open proceedings of any Court or
meeting,
shall not be guilty of defamation.
Mengacu pada ketentuan tersebut, maka dapat ditambahkan aspek alasan
pembenar yang terdiri dari pembelaan atau perlindungan atas kepentingan yang
sah, merupakan bagian dari pelaksanaan tugasnya sebagai pejabat publik,
merupakan komentar yang layak terhadap seseorang atau perkara yang memang
menjadi sasaran dari kritik umum, dan merupakan laporan yang layak atas proses
persidangan. Dalam praktiknya, alasan pembenar yang banyak digunakan adalah
alasan komentar yang layak.172 Meskipun dikenal alasan pembenar terkait orang
dan perkara yang memang menjadi sasaran dari kritik masyarakat, Undang-
Undang Hukum Pidana Thailand tidak menegaskan keharusan dari badan publik
dan/atau pejabat publik untuk lebih toleran terhadap kritik masyarakat seperti
yang dapat ditemukan dalam hukum penghinaan di Belanda. Baik badan publik
dan/atau pejabat publik dapat melaporkan tindak pidana penghinaan yang
dialaminya kepada pihak kepolisian.173
Selain mekanisme pidana, Thailand juga menyediakan mekanisme
perdata untuk menyelesaikan kasus penghinaan. Pasal 420 Undang-Undang
Perdata dan Perdagangan (Civil and Commercial Code of Thailand) mengatur
mengenai Wrongfully Act, yaitu sebagai perbuatan sengaja atau tidak sengaja yang
membahayakan hidup, tubuh, kesehatan, kebebasan harta, atau hak apapun yang
                                                                                                                       
172
Charles J. Glasser J.R., Op.Cit., halaman 286.
173
Ibid.

Universitas Indonesia
105

dimiliki oleh orang lain. Penghinaan dikategorikan sebagai Wrongfully Act yang
diatur lebih lanjut oleh pasal 423 sebagai berikut:
“A person who, contrary to the truth, asserts or circulates as a fact
that which injurious to the reputation or the credit of another or his
earnings or prosperity in any other manner, shall compensate the
other for any damage arising therefrom, even if he does not know of its
untruth, provided he ought to know it.

A person who makes a communication the untruth of which is unknown


to him, does not thereby render himself liable to make compensation, if
he or the receiver of the communication has a rightful interest in it.”

Dalam rumusan pasal tersebut, dapat dilihat bahwa penghinaan


dikonstruksikan sebagai perbuatan menyebarkan berita tidak benar yang dapat
merusak nama baik orang lain, tanpa mempedulikan apakah pelaku mengetahui
atau tidak mengetahui ketidakbenaran dari informasi yang disebarkannya. Namun,
perbuatan penghinaan itu memperoleh pembenaran apabila terdapat alasan
kepentingan dirinya dan/atau orang lain yang berusaha dipenuhi. Sebagai contoh,
A memberikan pernyataan bahwa bukan ia yang menghamili B, namun C.
Pernyataan tersebut dikeluarkan A untuk membela ia dari beban tanggung jawab
yang tidak seharusnya ia emban.
Sinfah Tunsarawuth dalam International Libel and Privacy Handbook
menjelaskan mengenai ungkapan-ungkapan yang dapat dikategorikan sebagai
penghinaan sebagai berikut:
Thai criminal courts tend to see statements reaffirming a fact as
defamatory while statements expressing opinion as not defamatory.
Cursing or swearing is also seen not to be defamatory by Thai court.
For instance, an accusation of “corruption” or “cheating,” such as
an allegation that someone has favored another person in a bidding
process, is defamatory.174 A statement saying that a lawyer took
money but did not give it to the party concerned is defamatory.175
Accusing a man as a “womanizer” is not defamatory.176
Dalam kutipan tersebut, nampak bahwa Pengadilan cenderung melihat

                                                                                                                       
174
Petisi yang dikirimkan kepada Raja Thailand (Dika) Nomor 3520/2543 sebagaimana
dikutip dalam International Libel and Privacy Handbook, 2012.
175
Petisi yang dikirimkan kepada Raja Thailand (Dika) Nomor 3086/2522 sebagaimana
dikutip dalam International Libel and Privacy Handbook, 2012.
176
Petisi yang dikirimkan kepada Raja Thailand (Dika) Nomor 3015/2543 sebagaimana
dikutip dalam International Libel and Privacy Handbook, 2012.

Universitas Indonesia
106

suatu ungkapan sebagai penghinaan apabila ungkapan tersebut menuduhkan suatu


perbuatan, atau mengungkapan suatu perkataan buruk terhadap seseorang. Oleh
karenanya, tuduhan seperti seseorang telah melakukan kecurangan atau korupsi
masuk ke dalam cakupan penghinaan. Namun, mengungkapankan pendapat
seperti seorang laki-laki suka mempermainkan perempuan bukan tergolong
sebagai bentuk penghinaan. Untuk dapat mencapai kesimpulan apakah suatu
ungkapan merupakan penghinaan atau tidak, pengadilan di Thailand akan
menginterpretasikan makna dari ungkapan tersebut mengacu pada kamus
Kerajaan—referensi resmi bagi pemaknaan bahasa Thai. Di samping melakukan
interpretasi gramatikal, Pengadilan Thailand juga akan mempertimbangan kondisi
sosial-kultural ketika penghinaan terjadi. Sebagai contoh, laki-laki yang suka
mempermainkan perempuan disebut dengan womanizer. Dalam kamus Kerajaan,
womanizer diartikan sebagai “a person who longs for sexual relationship”.
Adalah suatu hal yang lazim bagi laki-laki secara umum untuk memiliki
keinginan menyalurkan hasrat seksualnya, sehingga kalimat yang demikian tidak
dikategorikan sebagai tindak pidana penghinaan.177
Selama ini dalam melakukan pemeriksaan atas tindak pidana penghinaan,
Pengadilan Thailand tidak mempertimbangkan popularitas atau kedudukan korban
yang dikenai penghinaan. Hanya saja, dalam pengadilan perdata, korban yang
memiliki popularitas tinggi cenderung meminta kompensasi yang lebih tinggi
daripada korban orang biasa. Dalam hal yang mengalami penghinaan adalah
pejabat publik, Pengadilan Thailand cenderung bisa menerima argumentasi
kepentingan umum yang diajukan oleh pelaku. Pada tahun 2005 misalnya, Picnic
Corporation yang merupakan Perseroan Terbatas Terbuka melaporkan sebuah
surat kabar berbahasa Thai yang telah merilis berita penghinaan terkait sistem
keuangan perusahaan yang korup. Pengadilan berpendapat bahwa hal tersebut
bukan tergolong sebagai penghinaan, mengingat perusahaan yang menjadi korban
adalah perusahaan terbuka yang sahamnya juga dimiliki oleh masyarakat secara
umum. Masyarakat berhak turut menbetahui informasi mengenai keuangan
perusahaan secara transparan, yang mana hal itu tidak dilaksanakan oleh
perusahaan yang bersangkutan. Sehingga, pemberitaan yang dilakukan oleh surat
                                                                                                                       
177
Charles J. Glasser J.R., Op.Cit,, halaman 282.

Universitas Indonesia
107

kabar justru merupakan suatu keharusan dalam rangka melindungi kepentingan


masyarakat yang menjadi pemegang saham.178 Empat tahun sebelumnya, seorang
pejabat publik dituduh telah menggelapkan sebidang tanah. Atas perbuatan
tersebut, pelaku dinyatakan tidak melakukan tindak pidana penghinaan, karena
saat itu pejabat publik yang bersangkutan sedang terlibat dalam pemilihan umum.
Perbuatan pelaku justru dibutuhkan agar masyarakat umum dapat menilai secara
komprehensif tokoh-tokoh yang menjadi kandidat.179 Namun, pada tahun 2006,
pengadilan menghukum sebuah media massa Thailand yang saat itu memuat
artikel mengenai Perdana Menteri Chuan Leekpai dengan menggunakan
terminologi “kejam” dan “tirani”. Tindakan tersebut dikategorikan sebagai
penghinaan secara tertulis.180
Selain mengatur tentang tindak pidana penghinaan secara umum,
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda juga mengatur mengenai tindak pidana
penghinaan terhadap Raja dan anggota kerajaan Thailand. Adanya pengaturan
tersebut merupakan konsekuensi logis dari keberadaan pasal 8 Konstitusi
Thailand yang menyatakan bahwa, “the King shall be enthroned in a position of
revered worship and shall not be violate”. Ketentuan tersebut membuat posisi
Raja tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun karena Raja dianggap selalu
benar.181 Oleh karenanya, setiap tindakan mengkritik atau tindakan
mempertanyakan perbuatan Raja, akan dikriminalisasi dengan dasar tindak pidana

                                                                                                                       
178
Samut Sakorn court in Samut Sakorn province. Black Case Number 4971/2548. Red
Case Number 5244/2549 sebagaimana dikutip dalam International Libel and Privacy Handbook,
2012.
179
Petisi yang dikirimkan kepada Raja Thailand (Dika) Nomor 4563/2544 sebagaimana
dikutip dalam International Libel and Privacy Handbook, 2012.
180
Petisi yang dikirimkan kepada Raja Thailand (Dika) Nomor 7038/2549 sebagaimana
dikutip dalam International Libel and Privacy Handbook, 2012.
181
Thailand adalah negara monarkhi dengan rajanya King Bhumibol Adulyadej yang
menjabat sejak 5 Mei 1950 dan dimandatkan oleh Konstitusi Thailand sebagai kepala negara dan
pelindung agama. Thailand menerapkan konsep penghormatan utama kepada kerajaan. Anggota
kerajaan, khususnya Raja, menggunakan posisinya untuk mengurus negara dalam konteks terjadi
krisis dan menjadi penengah dalam kemandegan politik. Namun raja tidak memiliki wewenang
untuk mengurus masalah administrasi negara. Meskipun begitu, raja dapat meminta pejabat negara
untuk mengundurkan diri dari jabatannya tanpa perlu berdiskusi terlebih dahulu dengan siapapun.
Lihat: Martin Gannon & Rajnandini Pillai. Understanding Global Cultures: Metaphorical
Journeys Through 29 Nations, Clusters of Nations, Continents, and Diversity, Edisi
Keempat.Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc., 2010. Diakses pada tanggal 16 Februari
2015. http://www.sagepub.com/upm-data/47441_chp_2.pdf

Universitas Indonesia
108

penghinaan terhadap Raja yang diancam dengan pidana penjara selama 3 (tiga)
hingga 15 (lima belas) tahun lamanya. Tindak pidana penghinaan terhadap Raja
dan anggota kerajaan ini diatur dalam pasal 112 Undang-Undang Hukum Pidana
Thailand sebagai berikut:

“Anyone who defames, insults, or threatens the King, the Queen, the
Heir-apparent or the regent, shall be punsihed with imprisonment of
three to fifteen years182.
Adanya perlindungan terhadap Raja dan anggota kerajaan yang
sedemikian ketatnya disebabkan karena Raja dipandang sebagai pencerminan
kehormatan negara. Sama halnya dengan Inggris, Raja dianggap sebagai
penjelmaan kepribadian negara, sehingga setiap tindakan mengancam keberadaan
Raja dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan negara. Monarkhi bagi
Thailand tidak hanya berlaku sebagai simbol, namun ia merupakan pilar dari
keamanan nasional.183 Raja tidaklah terjun langsung dalam pengurusan negara,
namun Raja menjadi aktif dalam urusan pemerintahan dalam hal terjadi krisis dan
dalam hal menurunkan pejabat dalam posisi tertentu. Meskipun memiliki peran
insidental terhadap jalannya pemerintahan, kekuatan Raja dalam mengambil
kebijakan amatlah kuat, mengingat kultur pemerintahan di Thailand yang sangat
bergantung pada tingkat jabatan dan kedudukan penguasa dalam negara. Banyak
kebijakan negara yang diambil tidak berdasarkan hukum yang ada, namun justru
didasarkan pada perintah dari penguasa tertinggi. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Harry Triandis dan Michele Gelfand di tahun 1998, Thailand
tergolong sebagai negara dengan tingkat kelonggaran terhadap hukum yang paling
ekstrem. Namun, di sisi lain, kepatuhan Thailand dengan perintah penguasa
amatlah ketat.184
Mengingat urgensi perlindungan terhadap negara, unsur-unsur tindak
pidana penghinaan terhadap Raja dan anggota kerajaan memperoleh perluasan
dari sekedar tindak pidana penghinaan biasa dengan subjek sasaran tertentu.

                                                                                                                       
182
Clothilde Le Coz, “His Untouchable Majesty: Thailand, Censorship and Imprisonment,
The Abuses in the Name of Lèse-Majesté”, Paris: Reporter sans frontieres, 2009, www.rsf.org
183
Ibid.
184
“The Thai Kngdom: Authority-Ranking Cultures”, Sage Publication,
http://www.sagepub.com/upm-data/47441_chp_2.pdf diakses pada 18 mei 2015.

Universitas Indonesia
109

Hampir segala tindakan yang mendiskreditkan keberadaan kerajaan, dapat


dikriminalisasi dengan dalih penghinaan terhadap monarkhi. Sebagai contoh, pada
tanggal 22 April 2008 seorang murid bernama Chotisak Onsoong ditangkap atas
dugan telah melakukan penghinaan terhadap negara. Adanya penangkapan
tersebut disebabkan karena Onsoong tidak berdiri ketika Lagu Nasional Thailand
tidak diputar dalam bioskop. Hal tersebut, bagi pihak negara, dinilai sebagai
tindakan yang tidak menaruh rasa hormat bagi kerajaan dan bagi negara. Tidak
lama setelahnya, Jitra Kotchadej juga ditangkap karena menggunakan kaos
bertuliskan “It is not a crime not to stand up”, sebagai wujud protes atas
kriminalisasi Ongsoong. Alhasil, Kotchadej dipecat dari tempatnya bekerja karena
ia terdaftar sebagai pelaku kejahatan, sementara persidangan atas perkaranya
sedang berlangsung.185 Beberapa kasus lain menunjukkan perbuatan penghinaan
yang lebih susbtansial, seperti penangkapan seorang murid yang
mempropagandakan penggantian sistem pembentukan hukum dan sistem politik
Kerajaan agar lebih demokratis dan tuduhan penghinaan yang dilakukan Sulak
Sivaraksa yang kerap memberikan kritik atas pemerintahan Thailand.
Dalam konteks penghinaan terhadap Kerajaan, alasan pembenar yang
dapat menghilangkan sifat melawan hukum dari tindak pidana penghinaan juga
tidak dapat diterapkan. Seiring dengan berjalannya waktu, pengaturan mengenai
tindak pidana penghinaan terhadap Raja dan Anggota Kerajaan mengalami
perkembangan khususnya pada sarana yang digunakan untuk melakukan
penghinaan. Pada tahun 2007, dikeluarkan Computer Crime Act yang turut
mengatur mengenai tindak pidana penghinaan terhadap Raja dan anggota kerajaan
secara online. Pengaturan dalam Computer Crime Act tersebut menuntut
pertanggungjawaban Internet Service Provider (ISP) bersama-sama dengan
pemakai Web (Webmaster) atas konten penghinaan yang tersedia dan dapat
diakses secara umum dengan internet. Beberapa orang mengalami pemidanaan
atas tindakan tersebut, salah satunya adalah Chiranuch Premchaiporn, Direktur
Eksekutif Prachatai.com yang gagal menurunkan komentar dalam situsnya yang
dianggap pemerintah telah menghina Raja. Atas perbuatannya tersebut, ia dituduh
telah melanggar ketentuan penghinaan Raja yang terdapat dalam Undang-Undang
                                                                                                                       
185
Ibid.

Universitas Indonesia
110

Hukum Pidana Thailand sekaligus ketentuan dalam Computer Crime Act. Alhasil,
hingga kini Pemerintah menerapkan pengawasan yang ketat melalui kebijakan
konten internet. Sementara itu, banyak media massa yang melakukan penyensoran
diri sendiri atau self-censorship.
Tidak berlakunya alasan pembenar berdasarkan kepentingan umum
dalam tindak pidana penghinaan Kerajaan sebenarnya tidak sejalan dengan
pandangan Raja Thailand sendiri. Di tahun 2005, Raja menyatakan bahwa dirinya
bisa dan memang seharusnya dikritik oleh masyarakatnya dalam rangka
mewujudkan pemerintahan yang lebih baik.186 Namun, sebagaimana praktik
penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, pihak kerajaan
sendiri tidak memiliki andil dalam menentukan apakah suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana penghinaan terhadap Kerajaan atau tidak.
Aparat negara hyang justru secara aktif mengawasi indikasi terjadinya
penghinaan terhadap Kerajaan—baik yang dilakukan di Thailand ataupun di
negara lain, baik yang dilakukan ole warga negara sendiri atau oleh warga negara
asing.
Pengaturan mengenai tindak pidana penghinaan terhadap Raja di
Thailand dinilai jauh lebih serius daripada pengaturan di negara lain. Dalam pasal
112 Undang-Undang Hukum Pidana Thailand, dinyatakan bahwa tindak pidana
penghinaan terhadap Raja diancam dengan hukuman minimal 3 (tiga) tahun
penjara, berbeda dengan tindak pidana penghinaa biasa yang tidak menerapkan
minimum pemidanaan. Selain itu, tidak terdapat karakterisasi lebih jauh mengenai
definisi dari “penghinaan”, “fitnah” dan “ancaman”. Penafsiran atas hal-hal yang
disebutkan sebelumnya diserahkan pada preferensi pihak berwajib. Mengingat hal
tersebut, maka amatlah mungkin terjadi penyalahgunaan pasal oleh negara.

3.1.4 Perancis
Perancis merupakan salah satu negara yang memiliki pengaturan
mengenai penghinaan, baik yang ditujukan kepada diri pribadi orang biasa
                                                                                                                       
186
The nation, Royal Birthday Address: King Can Do Wrong, 5 december 2005
http://www.nationmultimedia.com/2005/12/05/headlines/data/headlines_19334288.html accessed
23 June 2012

Universitas Indonesia
111

ataupun orang-orang dengan kualifikasi tertentu seperti Presiden dan pejabat


publik. Dalam sistem hukum Perancis, penghinaan (defamation dalam Bahasa
Inggris atau diffamation dalam Bahasa Perancis) merupakan tuduhan atas suatu
peristiwa yang bertentangan dengan nama baik atau dengan kedudukan seseoran
dan/atau suatu institusi.187 Penghinaan adalah kejahatan yang dapat diselesaikan
baik secara perdata atau pidana. Elemen penyusun dari penghinaan meliputi:

1). Pembuatan pernyataan yang memuat penghinaan;


Pernyataan yang memuat penghinaan haruslah menuduhkan fakta
tertentu, yang mana fakta ini bertentangan dengan kehormatan atau
dalam kata lain, melukai penilaian masyarakat atas kedudukan
korban di tengah masyarakat. Kehormatan, merupakan konsep umum
bagi semua orang yang diperoleh karena seseorang telah berperilaku
sesuai dengan standar moral yang ada. Sebuah pernyataan dapat
diidentifikasi sebagai penghinaan apabila ungkapan tersebut
membuat penilaian atas masyarakat terhadap orang tadi menjadi
berubah ke arah negatif. Secara umum, penghinaan dapat
dikategorisasi menjadi hal-hal berupa tuduhan telah melakukan
kejahatan tertentu, perbuatan amoral dan asusila, perbuatan tercela,
kebangkrutan, penelantaran tanggung jawab finansial, kebohongan,
ataupun perbuatan tidak profesional dalam menjalankan pekerjaan.188
2). Publikasi atas pernyataan;
Publikasi merupakan syarat di mana suatu pernyataan dapat
dikategorikan sebagai penghinaan. Pernyataan yang mengandung
hinaan haruslah disebarkan, sehingga masyarakat secara umum
mengetahui, atau minimal dapat mengakses informasi tersebut
dengan mudah. Mengacu pada Undang-Undang Hukum Pidana
tertanggal 29 Juli 1881, pada bagian 23, dinyatakan bahwa suatu
perbuatan dapat disebut sebagai penghinana apabila pernyataan yang
mengandung sifat penghinaan diucapkan secara lisan di depan

                                                                                                                       
187
Bagian 29 dari law of 29 July 1881, France.
188
Charles J. Glasser J.R., Op.Cit., halaman 359.

Universitas Indonesia
112

publik, atau dibuat secara tertulis yang bisa memuat juga gambar,
sketsa, ukiran, atau wujud dari ilustrasi apapun, dan disebarkan di
tengah masyarakat umum melalui media massa ataupun melalui
publikasi secara tertulis seperti buku, koran, majalah, papan iklan,
atau media yang memanfaatkan sarana suara seperti radio, film,
televisi, dan internet.189
3). Identifikasi pelapor sebagai korban dari penghinaan.
Syarat yang ketiga adalah identifikasi atas pelapor sebagai korban
tindak pidana penghinaan. Sebagai contoh, apabila penghinaan
dilakukan terhadap sekelompok orang, yang mana secara nyata
penghinaan ditujukan pada identitas kelompok dan bukanlah pada
identitas tiap individu dalam kelompok tersebut, maka kelompok
yang bersangkutan selaku korban penghinaan dapat melaporkan
pelaku tindak pidana kepada aparat yang berwajib.

Secara sederhana, penghinaan atau defamation didefinisikan sebagai


“segala tuduhan atas fakta yang menyebabkan sebuah penyerangan atas
kehormatan atau nama baik seseorang, yang dipublikasian kepada masyarakat
umum yang menyebabkan timbulnya keragu-raguan masyarakat atas diri
seseorang baik yang identitasnya disebutkan secara eksplisit atau tidak, namun
tetap dapat diidentifikasi”. Penyebaran ungkapan itu sendiri dapat dilakukan
dengan berbagai cara termasuk pidato, ancaman di tempat umum atau di tempat
pertemuan, tulisan, cetakan, lukisan, ukiran, foto, dan media tulisan lainnya untuk
kata-kata ataupun gambar, baik yang dijual ataupun didistribusikan, ditawarkan
secara cuma-cuma atau ditampilkan untuk publik, baik dengan papan iklan atau
poster yang terekspos secara langsung kepada pandangan orang-orang atau
dengan sarana komunikasi elektronik publik.190
Sementara itu, hukum Perancis membedakan insult (‘injure’ dalam
Bahasa Perancis) dengan defamation. Insult adalah “segala ekspresi ofensif,

                                                                                                                       
189
Ibid.
190
Patti McCracken, Insulting Laws: Insulting to Press Freedom,
https://www.freedomhouse.org/sites/default/files/Insult%20Law%20Report.pdf diakses pada 25
Mei 2015.

Universitas Indonesia
113

kalimat sinis, atau makian yang tidak mengandung fakta”.191 Pasal 33 mengancam
insult yang dilakukan melalui media terhadap diri pribadi orang dengan pidana
denda sebesar €12,000, sedangkan insult yang ditujukan kepada duta besar aatu
pejabat representatif negara asing lainnya diancam dengan denda sebesar €45,000
sebagaimana diatur dalam pasal 37. Sejak tahun 2000, seluruh pidana penjara
untuk penghinaan ditiadakan, kecuali untuk penghinaan terhadap rasa atau grup
tertentu yang turut diancam dengan pidana penjara selam 1 tahun dan 6 bulan.
Hukum Perancis mengatur bahwa kriminalisasi tindak pidana penghinaan
hanya dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan pada
itikad buruk dan ketidakbenaran ungkapan yang diajukan oleh pelaku. Atas
tuduhan yang terdapat dalam perbuatan menghina tersebut, Pengadilan dapat
memberikan kesempatan bagi pelaku untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan
yang diajukannya. Kebenaran merupakan salah satu pembelaan yang dapat
digunakan dalam hukum Perancis. Meskipun demikian, tuduhan tidak dapat
dibenarkan apabila fakta-fakta yang melingkupi tuduhan itu terjadi 10 tahun yang
lalu, berhubungan dengan perkara amnesti politik dan berhubungan dengan orang
yang kejahatannya telah melalui proses rehabilitasi.192 Di samping itu,
pembuktian tidak bisa diberikan apabila apa yang dituduhkan oleh pelaku
berkaitan dengan privasi dari orang yang dituduh.
Sebagaimana alasan pembenar yang dikenal di negara-negara lain,
hukum Perancis mengatur bahwa perbuatan penghinaan dapat bebas dari
kriminalisasi apabila pelaku dapat memberikan justifikasi bahwasanya
penghinaan tersebut ia lakukan berdasarkan pada hak istimewa untuk melakukan
tindakan tersebut dan itikad baik. Hak istimewa atau privilege dimiliki oleh
media, yang mana hak ini memberikan kewenangan bagi media untuk
menyatakan suatu konten yang mungkin dinilai sebagai penghinaan. Oleh
karenanya, mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas publikasi

                                                                                                                       
191
“Out Of Balance: Europe Defamation Laws and Press Freedom”, International Press
Institute,
www.freemedia.at/fileadmin/uploads/pics/Out_of_Balance_OnDefamation_IPIJuly2014.pdf
diakses pada 25 Mei 2015.
192
“Defamation and Privacy Law and Procedure in england, Germany, and France”, Taylor
Wessling Law Firm, https://www.taylorwessing.com/uploads/tx_siruplawyermanagement/
IP_Defamation_and_privacy.en.pdf diakses pada 14 Mei 2015

Universitas Indonesia
114

konten yang berkaitan dengan isu publik mengenai jalannya pemerintahan atau
persidangan, selama apa yang mereka publikasikan adalah akurat.
Adanya alasan pembenar berupa itikad baik ini disandarkan pada
beberapa elemen penting meliputi: 1). Objektivitas ungkapan penghinaan; 2).
Kebijaksanaan dan kelayakan dalam mengekspresikan pendapat; 3). Ketiadaan
kebencian pribadi dari pelaku kepada korban penghinaan; 4). Keabsahan tujuan
yang akan dicapai pelaku dalam melakukan tindak pidana penghinaan. Pengaturan
mengenai alasan pembenar ini disesuaikan dengan iklim kebebasan berekpresi
mengingat peran Pengadilan Eropa dalam perkara Hak Asasi Manusia (HAM)
atau European ourt of Human Rights. Sebagai contoh penerapan alasan pembenar
berupa itikad baik, yaitu pengadilan Perancis mengatur bahwa sebuah majalah
yang telah mempublikasikan hasil wawancara terkait isu yang memang masuk ke
dalam kategori kepentingan publik seperti isu penyuapan dalam perkara asuransi
yang dikenal dengan perkara “Executive Life Affair”, merepresentasikan dengan
jelas kepentingan publik yang berusaha diemban sekalipun ada agenda
tersembunyi dalam publikasi tersebut—yaitu rasa dendam.193 Namun, pengadilan
menegaskan bahwa terlalu ketatnya pemaknaan itikad baik sebagai tidak adanya
itikad buruk sama sekali untuk menjatuhkan orang, justru melanggar ketentuan
pasal 10 Konvensi HAM Eropa, sebagai berikut:

1. Everyone has the right to freedom of expression. This right


shall include freedom to hold opinions and to receive and
impart information and ideas without interference by public
authority and regardless of frontiers. This Article shall not
prevent States from requiring the licensing of broadcasting,
television or cinema enterprises;
2. The exercise of these freedoms, since it carries with it duties
and responsibilities, may be subject to such formalities,
conditions, restrictions or penalties as are prescribed by law
and are necessary in a democratic society, in the interests of
national security, territorial integrity or public safety, for the
prevention of disorder or crime, for the protection of health or
morals, for the protection of the reputation or rights of others,
for preventing the disclosure of information received in

                                                                                                                       
193
“In France, Judicial Evolution in Defamation Cases Protects Work of Civil Society”,
http://www.freemedia.at/newssview/article/in-france-judicial-evolution-in-defamation-cases-
protects-work-of-civil-society.html diakses pada 25 Mei 2015.

Universitas Indonesia
115

confidence, or for maintaining the authority and impartiality of


the judic.

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa setiap orang memiliki keleluasaan


untuk bisa menyatakan pendapat, tanpa memperoleh gangguan dari siapapun
tanpa terkecuali dari pihak penguasa. Meskipun begitu, kebebasan berpendapat
haruslah dilakukan secara bertanggung jawab. Untuk memastikan hal tersebut
terjadi, maka perlu dibentuklah pembatasan atau penghukuman yang diatur oleh
hukum dan dirasa penting untuk mewujudkan kehidupan demokrasi. Dalam hal
ini, ketentuan di atas menginginkan adanya perimbangan antara kebebasan
berekspresi dengan batasan-batasan yang ada, agar pelaksanaan hak tersebut tidak
mengganggu kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara. Kepentingan yang berusaha dilindungi sebagai contoh adalah
kebocoran informasi rahasia, perlindungan hak atas reputasi yang dimiliki oleh
orang lain, kepentingan keamanan negara serta keamanan bagi masyarakat secara
keseluruhan. Selain perkara majalah yang mempublikasikan hasil wawancara
yang telah disebutkan sebelumnya, Vincen Heguex, editor dari majalah L’Express
juga memenangkan perkara gugatan penghinaan dengan dalih bahwa majalahnya
menerbitkan artikel demi kepentingan publik.194 Pengadilan sendiri beranggapan
bahwa publikasi tersebut tidak mencerminkan adanya kebencian atau kelalaian
dalam “penelitian yang kurang tepat”.
Sekalipun sudah ditentukan adanya dasar pembenar, terdapat beberapa
perkara yang karena secara hakiki merupakan rumor tidak benar, pelakunya tetap
dikriminalisasi dan terhadapnya tidak dapat diterapkan alasan pembenar. Sebagai
contoh, Teodorin Obiang Jr memenangkan sebuah gugatan penghinaan atas nama
baik terhadap seorang editor dan dua orang jurnalis dari Paris Match, yang mana
mereka diharuskan membayar denda sebesar €1,000 dan masing-masing €1,500,
juga €1 sebagai ganti rugi secara simbolis dan €2,000 untuk membayar biaya
beracara. Gugatan itu diajukan karena majalah Paris Match melaporkan bahwa
Obiang, seorang pejabat publik kewarganegaraan Guinea Equator dilaporkan telah
terlibat dalam penjualan obat-obatan di Amerika Serikat namun skandal tersebut
“segera diredam”. Putusan pengadilan menyatakan bahwa kalimat “segera
                                                                                                                       
194
Ibid.

Universitas Indonesia
116

diredam” merupakan rumor yang belum terbukti. Pengadilan tidak


mempermasalahkan konten berita yang menjelaskan tentang keterlibatan Obiang
Jr. dengan transaksi obat-obatan di Amerika Serikat. Sebaliknya, frasa “segera
diredam” itulah yang menyebabkan Paris Match dinyatakan bersalah telah
melakukan pencemaran nama baik terhadap Obiang Jr.
1881 Press Law selain memuat mengenai alasan pembenar, juga
mendistingsi berbagai macam tindak pidana penghinaan. Penghinaan terhadap
orang biasa diancam dengan pidana denda sebesar €12,000 sebagaimana diatur
dalam pasal 32. Denda tersebut bisa bertambah mencapai €45,000 apabila korban
penghinaan adalah anggota dari kelompok etnis, bangsa, ras, agama, atau
memiliki orientasi sekssual tertentu, atau memiliki kecacatan. Ujaran kebencian
dan penyangkalan atas adanya holocaust dapat dipidana dengan denda dan penjara
sekaligus.195 Selanjutnya, pasal 30 dan 31 memberikan ancaman denda dengan
nominal yang sama apabila penghinaan ditujukan kepada pejabat publik. Dalam
hal ungkapan makian dan penghinaan ditujukan bagi pejabat publik, namun ia
tidak disebarkan secara umum, pelaku diancam dengan hukuman denda sebesar
€7,500. Secara lebih khusus, Press Law turut mengatur mengenai penghinaan
yang ditujukan kepada Presiden sebagaimana termuat dalam pasal 26 sebagai
berikut:

“speech, shouts, threats uttered in public places or during public


meetings, or by writings, printed materials, drawings, engravings,
paintings, emblems, images or any other medium of written words,
spoken words, or images sold, distributed, or displayed in public
places or public meetings or by any way of electronic communication
to the public.”

Tindakan penghinaan terhadap Presiden diancam dengan pidana berupa


denda hingga 45,000 Euro. Dalam rumusan pasal penghinaan terhadap Presiden,
target dari penghinaan bukanlah hanya Presiden, namun juga “a person who
exercises all or part of the prerogatives of the President of the Republic”, yang
mana dapat dimaknai sebagai pejabat pelaksana fungsi eksekutif dari Presiden.
Frasa tersebut dibuat untuk melindungi bukan hanya Presiden, namun juga pejabat

                                                                                                                       
195
Andrew Weber, Freedom of Speech in France, http://blogs.loc.gov/law/2015/03/falqs-
freedom-of-speech-in-france/ diakses pada 25 Mei 2015.

Universitas Indonesia
117

pelaksana dari fungsi Presiden itu sendiri. Penghinaan yang ditujukan kepada
Presiden atau pejabat publik merupakan pemberatan delik dari tindak pidana
penghinaan biasa. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan pasal 31 Press Law
sebagai berikut:

“The penalties listed in Art. 30 apply to defamation of the following


individuals because of their functions or positions: “one or more
ministers, one or more members of either House of Parliament, a
public official, one who holds or exercises public authority, a
minister of religion paid by the State, a citizen temporarily or
permanently assigned a public service or mandate, a juror or a
witness, because of his testimony.”

Pada tahun 2008, ketentuan tersebut digunakan untuk mengkriminalisasi


Herve Eon setelah ia membawa spanduk bertuliskan “get lost you prat” yang
ditujukan kepada Presiden Sarkozy pada saat itu. Karena kriminalisasi tersebut,
Perancis dihukum oleh Pengadilan Eropa karena dianggap telah melanggar
kebebasan berekspresi. Alhasil, pada tahun 2013, pemerintah Perancis mengambil
tindakan berupa pencabutan ketentuan mengenai penghinaan Presiden. Namun
pencabutan pasal tersebut dinilai kontraproduktif dengan hukum pidana Perancis
yang masih menerapkan ketentuan mengenai penghinaan terhadap pejabat publik.
Dalam konteks ini, Presiden sebagai pejabat administrasi yang menjalankan
fungsi pemerintahan masuk ke dalam golongan pejabat publik, sehingga sewaktu-
waktu penghinaan yang dilakukan terhadap Presiden dapat dikriminalisasi
kembali dengan dalih penghinaan terhadap pejabat publik.
Selain penghinaan terhadap Presiden, Perancis juga mencabut pasal yang
mengatur mengenai penghinaan terhadap kepala negara asing. Pencabutan ini
merupakan salah satu tuntutan dari Pengadilan Eropa pasca dihukumnya kepala
direksi dan jurnalis dari Le Monde yang dituduh telah menghina Raja Maroko.
Saat itu, Le Monde merilis sebuah artikel yang menyatakan bahwa rombongan
kerajaan terlibat perdagangan obat-obatan yang dirahasiakan di Maroko.
Penghinaan terhadap kepala negara tetangga dianccam dengan penjara selama 1
tahun dan dena sebesar 300,000 francs. Pengadilan Perancis memutuskan bahwa
tindakan tersebut tidak didasari pada itikad baik, dan publikasi tersebut didasarkan
pada niatan untuk menghina. Terkait hal tersebut, Pengadilan Eropa mengajukan

Universitas Indonesia
118

pendapat: 196

“a politician is certainly entitled to have his reputation protected,


even when he is not acting in his private capacity, but the
requirements of that protection have to be weighed against the
interests of open discussion of political issues, since exceptions to
freedom of expression must be interpreted narrowly.”

Dalam pandangan Pengadilan Eropa, perlindungan atas privasi pejabat


politis harus diimbangi dengan kepentingan masyarakat umum, mengingat mereka
turut terlibat dalam jalannya negara. Bagi pejabat politik yang memang terlibat
dalam proses perumusan kebijakan negara, kritik warga negara yang tekadang sulit
dibedakan dengan penghinaan adalah hal yang harus bisa ditoleransi. Mengacu
pada pandangan tersebut, Pengadilan Eropa berpendapat bahwa penghukuman
jurnalis Le Monde dianggap sebagai gangguan atas hak pelaku untuk
merealisasikan kebebasan berekspresinya.
Perancis sendiri tergolong sebagai negara dengan pengaturan mengenai
penghinaan yang cukup ketat. Pokok-pokok tindakan penghinaan yang diatur
dalam Hukum Pidananya jauh lebih banyak daripada pengaturan yang terdapat
dalam Press Law 1881 yang kini sudah diamandemen. Ketentuan tersebut
memperkenalkan bentuk penghinaan yang mengindikasikan kebencian rasial,
diskriminasi, kekerasan, atau penghinaan terkait dengan kejahatan kemanusiaan—
yang mana pengaturan tersebut dapat menyebabkan pemberangusan kebebasan
berekspresi apabila diinterpretasikan secara luas. Sebagai contoh, dengan dalih
berusaha menjaga kehormatan citra pejabat, Presiden Sarkozy dan istrinya, Carla
Bruni, mengajukan gugatan atas penggunaan foto tanpa izin yang disebarkan oleh
sebuah iklan kampanye. Dalam konteks ini, alasan penjagaan kehormatan citra
dapat mengalami perluasan makna dari penjagaan atas rasa keterhinaan hingga
perlindungan atas privasi.

                                                                                                                       
196
“Lèse Majesté: 16th Century Censorship Meets 21st Century Law”, Digital Media Law
Project, http://www.dmlp.org/blog/2012/l%C3%A8se-majest%C3%A9-16th-century-censorship-
meets-21st-century-law diakses pada 28 mei 2015.

Universitas Indonesia
119

3.1.5 Amerika Serikat

Hukum Amerika tidak memberikan definisi yang pasti mengenai libel


atau yang lebih dikenal sebagai fitnah secara tertulis. Ketiadaan definisi yang
pasti salah satunya disebabkan karena perbedaan pengaturan tiap negara bagian.
Apa yang disebut penghinaan di Georgia belum tentu penghinaan di New York,
dan apa yang dikategorikan penghinaan beberapa abada lalu belum tentu masih
dianggap sebagai penghinaan di masa sekarang.197 Walaupun memang tiap negara
bagian memiliki regulasinya sendiri, terdapat kesamaan yang hakiki di antara
berbagai ragam hukumnya. Kurang lebihnya, penghinaan dimaknai sebagai
pernyataan fakta yang salah dan bersifat menghina korban baik secara langsung
atau tidak langsung, yang dipertunjuukan kepada pihak ketiga, baik secara tertulis
atau melalu cara-cara yang tidak berfisik, yang mana pernyataan tersebut
dikeluarkan tanpa hak dan menyebabkan kerugian. The Restatement of Torts198 §
559 (2007) mendefinisikan penghinaan sebagai pernyataan yang cenderung
merugikan reputasi orang lain dengan cara merendahkan dirinya di tengah
masyarakat atau membuat orang lain tidak mau lagi berhubungan dengannya.
Sementara itu, terdapat doktrin yang mendefinisikan pernyataan hinaan sebagai
pernyataan yang cenderung bertujuan untuk melukai reputasi orang dalam arti
luas dalam rangka merendahkan harkat martabatnya, kehormatan, kepercayaan
diri, dan kewibawaan, atau untuk menciptakan perasaan dan/atau opini yang tidak
menyenangkan bagi dirinya.
Sebelum amandemen pertama (First Amandement) dilakukan, hukum
tentang penghinaan mengancam pelakunya melalui mekanisme pidana. Namun,
dalam amandemen pertama dibuat pernyataan sebagai berikut:
“Congress shall make no law respecting an establishment of religion,
or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the freedom of
speech, or of the press; or the right of the people peaceably to
assemble, and to petition the government for a redress of grievances”

Melalui amandemen tersebut, segala aturan yang berpotensi melanggar


                                                                                                                       
197
Penjelasan dalam kasus pengadian Yonaty v. Mincolla , (N.Y. App. Div. 3rd Dep’t. May
31, 2012). Sebagaimana dikutip dalam Charles J. Glasser J.R., International Libel and Privacy
Handbook, (New Jersey: John Wiley & Sons Inc., 2013), halaman 105.
198
Merupakan dokumen penjelasan yang dikeluarkan oleh American Law Institute yang
berisi penjelasan mengenai prinsip umum dari hukum Amerika.

Universitas Indonesia
120

kebebasan memeluk agama, berserikat, dan menyatakan pendapat mengalami


peninjuana ulang, tak terkecuali aturan tentang penghinaan. Semenjak
amandemen, mekanisme pidana tidak lagi digunakan untuk menyelesaikan kasus
penghinaan. Sebaliknya, penghinaan lebih cenderung diselesaikan melalui
mekanisme perdata dengan gugatan, atau dibiarkan terjadi sebagai perwujudan dari
adu pendapat antar-warga negara.
Secara garis besar, suatu perbuatan baru dapat dinyatakan sebagai
penghinaan apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1) Pernyataan atas fakta (statement of fact);
2) Yang salah (that is false);
3) Dan bersifat menghina (and defamatory);
4) Terhadap diri korban (of and concerning the plaintiff);
5) Yang dipublikasikan kepada pihak ketiga baik dalam bentuk tertulis
atau dalam media yang tidak berbentuk (that is published to a third
party in written or otherwise tangible form);
6) Yang dilakukan tanpa didasari hak (that is not absolutely or
conditionally privileged);
7) Menyebabkan lukanya perasaaan (that causes actual injury);
8) Sebagai hasil dari kesalahan pelaku (that is the result of fault by the
defendant (usually);
9) Yang menyebabkan kerugian khusus terkait dengan reputasi korban
(that causes special (pecuniary) harm in addition to generalized
reputational history (on occasion);
Mengacu pada unsur-unsur di atas, maka secara esensial “penghinaan”
ditujukan untuk merusak reputasi seseorang, biasanya dengan menyebabkan suatu
hal yang memalukan atau sesuatu yang layak untuk dimaki. Sebuah pernyataan
yang semata-mata menyebalkan, bersifat menyerang, atau memalukan tidak
dikategorikan sebagai suatu penghinaan. Korban yang dituju dari perbuatan
penghinaan haruslah jelas dalam takaran, masyarakat umum pun memiliki
gambaran mengenai siapa yang dihina dalam ungkapan tersebut. Hukum
penghinaan di Amerika Serikat memberikan pembedaan antara figur publik
dengan figur privat. Pembedaan karakter penghinaan terhadap 2 (dua) jenis korban

Universitas Indonesia
121

ini nampak secara jelas dalam perkara Gertz v. Robert Welch. Dalam perkara
tersebut, Gertz yang merupakan pengacara terkenal di Chicago, melaporkan
penerbit majalah American Opinion sebagai pelaku penghinaan. Saat itu,
American Opinion mempublikasikan sebuah artikel yang membahas mengenai
pengadilan Richard Nuccio, seorang tertuduh pembunuhan, yang diduga memiliki
hubungan dengan konspirasi komunis tingkat dunia. Artikel tersebut menuduh
Gertz, yang notabene merupakan penasihat hukum keluarga Nuccio sebagai
anggota dari konspirasi komunis tersebut. Dalam kasus tersebut, pengadilan
menyatakan bahwa Gertz merupakan figur privat, yang mana sebenarnya lebih
rentan mengalami kerugian besar ketika mengalami penghinaan daripada figur
publik yang memang mengekspos dirinya ke dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Figur publik cenderung memiliki akses yang lebih mudah
terhadap media, sehingga lebih mudah pula bagi mereka untuk memberikan
perlawanan melalui pernyataan media daripada yang dapat dilakukan oleh figur
privat. Figur privat tidak memiliki keleluasaan sedemikian besar untuk melakukan
klarifikasi atas tuduhan yang ditujukan kepadanya. Figur privat pun dilihat dari
sifatnya, cenderung lebih tertutup daripada figur publik. Oleh karenanya, dalam
hal terjadi penghinaan, figur privat lebih berhak memperoleh kompensasi daripada
figur publik yang memang akan selalu dibayang-bayangi risiko atas penghinaan.
Konsekuensi logis dari pandangan yang demikian adalah pembedaan standar
identifikasi penghinaan bagi kedua subjek tersebut. Standar identifikasi
penghinaan bagi figur publik tentunya harus lebih berat dan lebih ketat daripada
standar identifikasi figur privat.199
Seorang korban yang merupakan figur publik, yaitu orang yang menjadi
perhatian di tengah masyarakat seperti politisi, pejabat publik, atau artis, harus
membuktikan dengan dasar bukti yang jelas, bahwa pelaku membuat pernyataan
yang menghina berdasarkan pada itikad buruk, yang mana didefinisikan sebagai
“pengetahuan bahwa suatu pernyataan salah atau sembarangan dengan tidak
memperhatikan apakah pernyataan tersebut benar atau salah”, sebagaimana
ditetapkan oleh pengadilan sebagai berikut:

                                                                                                                       
199
Peter N. Amposah, Libel Law, Political Criticism, and Defamation of Puvlication,
halaman 86.

Universitas Indonesia
122

“The constitutional guarantees require, we think, a federal rule that


prohibits a public official from recovering damages for a defamatory
falsehood relating to his official conduct unless he proves that the
statement was made with actual malice – that is, with the knowledge
that it was false or with reckless disregard of whether it was false or
not”

Itikad buruk dapat dilihat dari syarat-syarat tertentu, bergantung pada


konteks perkara masing-masing. Sebagai contoh, suatu publikasi merupakan
penghinaan apabila reporter yang membuat berita tersebut tidak mematuhi standar
jurnalistik yang sudah ada. Sementara itu, untuk figur privat atau orang biasa,
mayoritas negara bagian di Amerika Serikat menerapkan standar ‘kelalaian’ atau
‘kurang kehati-hatian’ untuk mengidentifikasi apakah suatu ungkapan merupakan
penghinaan atau bukan. Tidak perlu dibuktikan adanya niat jahat untuk melukai
kehormatan dan nama baik orang lain seperti dalam konteks figur publik. Kedua
hal tersebut adalah hal yang harus dibuktikan oleh korban.
Di samping itu, agar suatu pernyataan dapat dikategorikan sebagai
penghinaan, maka pernyataan tersebut haruslah dinilai bersifat menghina dalam
dilihat dari sudut pandang substansinya dan segi kehormatan dari masyarakat.
Akan menjadi tidak objektif apabila standar penghinaan itu diserahka kepada sudut
pandang penilaian diri pribadi atau kelompok yang sangat kecil, dan kelompok
tersebut tidaklah cukup dalam membentuk ‘komunitas kecil yang substansial’ atau
substanstial minority. Beberapa contoh dari penghinaan adalah menjadi penipu dan
pengkhianat, mengungkapkan pendapat mengenai ketidakprofesionalan dalam
bekerja, ungkapan bahwa seseorang menjadi komunis, dan sebagainya.200
Sebagian besar negara-negara bagian di Amerika membedakan antara libel per se
dan liber per quod. Yang pertama, merupakan istilah bagi penghinaan yang secara
eksplisit nampak menghina dan memang nampak secara nyata menyebabkan
kerugian bagi korbannya. Sementara yang kedua, liber per quod merupakan
pernyataan penghinaan yang mana korban harus membuktikan terlebih dahulu
adanya kerugian yang ditimbulkan oleh hinaan tersebut. Doktrin mengenai libel
per se ataupun libel per quod menunjukkan kerugian sebagai komponen konstitutif
dari penghinaan. Pembuktian mengenai adanya kerugian merupakan hal yang

                                                                                                                       
200
Ibid.

Universitas Indonesia
123

sangat substansial. Melalui bukti-bukti yang ada, pengadilan akan memeriksa dan
menilai adanya kerugian materiil ataupun imateriil yang diderita oleh korban.
Kerugian yang demikian dikenal sebagai kerugian yang khusus, sementara
kerugian secara umum adalah kerugian yang tidak dinilai berdasarkan takaran
ekonomis—sebatas penilaian subjektif hakim atas kerugian yang dialami oleh
korban.
Selain menyediakan penyelesaian perkara secara pidana, hukum Amerika
Serikat juga menyediakan mekanisme perdata. Pemeriksaan di persidangan perdata
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemeriksaan dalam persidangan pidana.
Pengadilan akan melihat kepada “siapa” orang yang dihina atau dicemarkan nama
baiknya dan juga pada “muatan atau isi”. Konteks “siapa” dalam pemeriksaan
persidangan adalah menilai dan melihat kedudukan, peran, dan status sosial dari
korban yang dihina. Sementara konteks “muatan atau isi” yang dimaksud adalah
terkait substansi yang disampaikan dalam pernyataan tersebut. Perlu ditelaah
apakah pernyataan tersebut mengandung kepentingan publik atau tidak. Salah satu
putusan yang memiliki pengaruh siginifikan bagi hukum tentang penghinaan di
Amerika Serikat adalah kasus New York Times Cp. V. Sullivan. Dalam kasus
tersebut New York Times merilis sebuah artikel yang membahas tentang
dilecehkannya seorang mahasiswa Universitas Alabama oleh polisi dan aparat
negara lainnya. Setelah meninjau perkara tersebut, pengadilan memutuskan untuk
memenangkan pihak New York Times karena berita yang dirilisnya cenderung
menunjukkan opini berupa protes, dan berita tersebut juga digunakan untuk
menggerakkan dukungan dana dalam rangka kepentingan publik. Melalui kasus
tersebutlah, pengadilan mulai menetapkan standar untuk menilai apakah suatu
tindakan merupakan penghinaan atau tidak.
Salah satu standar yang ditetapkan agar pejabat publik dapat mengklaim
bahwa ia mengalami penghinaan adalah adanya pembuktian unsur “actual
malice”, atau secara leksikal didefinisikan sebagai niat jahat yang sebenarnya.
Actual malice ini pun harus ditujukan kepada orang secara spresifik, tidak bisa
diduga-duga siapa korban dari actual malice yang bersangkutan. Selain itu, perlu
ditentukan apakah informasi yang disebarkan tersebut mengandung kebenaran atau
justru memuat kebohongan. Apabila penghina tidak berhati-hati atau tidak

Universitas Indonesia
124

melakukan penyelidikan terlebih dahulu atas konten yang ia sebarkan, maka dapat
dikatakan bahwa ia melakukan perbuatan tanpa kehati-hatian atau yang kerap
disebut dengan ‘reckless conduct’. Dalam kasus Amant v. Thompson, dinyatakan
bahwa:

“[R]eckless conduct is not measured by whether a reasonably


prudent man would have published or would have investigated before
publishing. There must be sufficient evidence to permit the conclusion
that the defendant in fact entertained serious doubts as to the truth of
his publication. Publishing with such doubts shows reckless disregard
for truth or falsity and demonstrates actual malice.”
Dalam kutipan tersebut, nampak bahwa kurangnya perhatian atas akurasi
konten yang disebarkan oleh penghina dapat menyebabkan terjadinya ‘reckless
conduct’. Hal yang demikian dapat menjadi pendukung bagi adanya niat jahat
untuk menghina atau actual malice, dengan asumsi bahwa orang yang beritikad
baik tidak akan secara sembarangan menyebarkan berita yang tidak benar atas diri
orang lain.201 Meskipun demikian, beberapa pengadilan berpendapat bahwa
pandangan yang serta merta mengatakan suatu tuduhan merupakan penghinaan
sebatas karena hal tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya adalah hal yang
dapat memberangus kebebasan berekspresi, karena pendapat-pendapat yang
demikian sangat mungkin muncul dalam perdebatan terbuka.202 Secara tegas,
Hakim Lewis Powell dari Mahkamah Agung menolak ketentuan tradional
mengenai pertanggungjawaban absolut (strict liability) untuk penghinaann yang
gagal memenuhi keharusan bagi pelaku untuk bisa “menjamin akurasi dari
pernyataan faktualnya” sebagai wujud dari swasensor (penyensoran oleh diri
sendiri).
Dalam penghinaan, dikenal adanya alasan pembenar yang meniadakan
unsur melawan hukum, baik dari sudut pandang hukum pidana ataupun perdata.
Alasan pembenar yang banyak digunakan oleh media massa adalah pemberitaan
yang layak atau fair reportage. Pembelaan ini menitikberatkan pada dalil bahwa
pemberitaan yang dibuat dan dipublikasikan adalah layak dan akurat, sekalipun
konten yang dimuat dalam publikasi tersebut memang bersifat menghina orang

                                                                                                                       
201
Ibid.
202
Ibid.

Universitas Indonesia
125

tertentu. Selain itu, alasan pembenar lain yang dikenal dalam hukum Amerika
adalah hak istimewa dengan kualifikasi tertentu atau qualified privilege. Hak
istimewa ini melindungi suatu publikasi mengenai konten hinaan yang mana
penerbit dari berita tersebut memiliki tugas untuk mempublikasikan konten dan
masyarakat umum juga memiliki kepentingan untuk mengetahui informasi
tersebut.
Salah satu alasan pembenar yang banyak digunakan adalah komentar
yang layak atau fair comment. Alasan pembenar ini muncul dengan
dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa urusan publik adalah urusan yang memang
sepatutnya terbuka akan kritik yang layak, dan tidak dipublikasikan untuk
merugikan korban. Pembelaan tersebut dapat digunakan apabila yang diungkapkan
adalah murni opini yang tidak mengindikasikan adanya fakta-fakta tertentu.
Sebuah penghinaan juga tidak dapat didasarkan pada “ekspresi imajiner”,
“hiperbola yang retoris”, atau “bahasa yang tidak jelas dan metaforis”, yang bisa
memberikan sinyal bagi masyarakat secara umum bahwa apa yang diungkapkan
merupakan opini, dan bukanlah pernyataan mengenai fakta tertentu. Hal ini
merupakan pengejewantahan dari iklim masyarakat Amerika yang ramah dengan
kebebasan berpendapat. Dalam hal ini, demokrasi di Amerika tidak hanya
memaknai keterbukaan bukan hanya untuk mengijinkan warga negara terlibat
dalam proses pengambilan kebijakan, tetapi juga untuk membuka pemerintahan
dari kritik dan masukan masyarakat. Terkait hal ini, Lippman berpendapat bahwa:

“public has to be the judge and umpire of last resort, to be able to


compel submission of important issues to popular judgment, to force
political governors to appear now and then on trial before their
constituents to give a reckoning of their stewardship.”

Mengacu pada kutipan tersebut, nampak bahwa demokrasi di Amerika


Serikat menempatkan warga negara sebagai penilai tepat atau tidaknya suatu
kebijakan, juga mendorong pejabat publik untuk terlibat dalam proses hukum
yang biasanya erat dengan impunitas atau kekebalan politis.

Universitas Indonesia
126

3.2. Perbandingan Ketentuan Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di


Indonesia dan di Beberapa Negara
Mengacu pada deskripsi mengenai berbagai pengaturan penghinaan
Presiden dan Wakil Presiden atau penghinaan Raja dan Ratu di beberapa negara,
maka dapat dibuat tabel perbandingan antara negara-negara tersebut dengan
Indonesia sebagai berikut:

Tabel 3.1 Perbandingan Ketentuan di Negara Monarkhi Konstitusional

Aspek Belanda Inggris Thailand


Bentuk Monarkhi Monarkhi Monarkhi
Pemerintahan Konstitusional Konstitusional Konstitusional
Unsur 1. Adanya fakta 1. Adanya tuduhan 1. Adanya niat
tertentu yang yang tidak benar; melukai nama
dituduhkan; 2. Yang tidak baik;
2. Sengaja; diverifikasi 2. Dengan
3. Tuduhan dengan jelas; mengungkapkan
disebarkan ke 3. Dilakukan di muka kebencian atas
publik umum. penghinaan
Bentuk Lisan dan tertulis Lisan dan tertulis Lisan, tertulis, dan
perbuatan
Sasaran Raja, ratu, anggota Ratu, anggota Raja dan anggota
kerajaan kerajaan dan pejabat kerajaan
publik
Alasan Tidak berlaku Qualified Privilege Tidak berlaku
pembenar dan Fair Comment

Tabel 3.2 Perbandingan Ketentuan di Negara Republik

Aspek Perancis Amerika Serikat Indonesia


Bentuk Republik Republik Republik
Pemerintahan
Unsur 1. Pernyataan yang 1. Adanya tuduhan 1. Adanya niat
memuat yang tidak benar; melukai nama
penghinaan; 2. Yang tidak baik;
2. Dipublikasikan; diverifikasi 2. Dengan
3. Target sasaran dengan jelas; mengungkapk
yang dapat 3. Dilakukan di an kebencian
diidentifikasi muka umum. atas
penghinaan
Bentuk Lisan dan tertulis Lisan dan tertulis Lisan, tertulis, dan
perbuatan
Sasaran Presiden dan Pejabat publik Presiden dan
pejabat Wakil Presiden
pembantunya

Universitas Indonesia
127

Alasan Good Faith, Fair Reportage, Tidak ada


pembenar Privilege, Qualified Privilege,
kebenaran fakta Fair Comment

Mengacu pada tabel tersebut, nampak bahwa negara monarkhi


konsitusional seperti Belanda, Inggris, dan Thailand memiliki pengaturan Lèse-
Majesté atau penghinaan terhadap Raja dan Ratu yang mirip. Ketiganya sama-
sama melindungi Raja, Ratu, dan anggota kerajaan. Belanda dan Thailand sama-
sama tidak menerapkan alasan pembenar, karena bagi keduanya hal tersebut justru
berpotensi menyebabkan kewibawaan kerajaan menjadi terlukai apabila diberikan
kesempatan pembuktian bahwa apa yang seseorang tuduhkan benar.
Ketidakberlakuan alasan pembenar itu turut diterapkan di Indonesia, meskipun
Prof. Hazwinkel Suringa menyatakan bahwa alasan pembenar tetap harus bisa
diterapkan untuk menguji kebenaran suatu tuduhan. Tidak diberlakukannya alasan
pembenar ini merupakan ciri identik antara penghinaan Presiden di Belanda,
Thailand, dan Indonesia. Sementara itu Inggris tetap menerima penerapan doktrin
alasan pembenar.
Dalam negara-negara republik seperti Perancis dan Amerika Serikat,
doktrin alasan pembenar berkembang dari waktu ke waktu dan memang sering
diterapkan. Keduanya lebih akomodatif terhadap kepentingan umum, terlihat dari
adanya seruan bagi pejabat publik untuk lebih bisa mentoleransi kritik yang
diajukan kepada dirinya mengingat pejabat publik bekerja dan terlibat dalam hal-
hal yang berkaitan dengan kepentingan banyak orang. Jika dibandingkan dengan
penerapan ketentuan Lèse-Majesté di negara berbasis kerajaan, penerapan di
Perancis dan Amerika jauh lebih relevan untuk dijadikan acuan penerapan hal
serupa di Indonesia. Ketiganya memiliki bentuk pemerintahan yang sama, dengan
pemimpin negara yang sama, dan tumbuh dalam iklim demokrasi yang
mensyaratkan partisipasi masyarakat untuk menentukan jalannya negara. Adanya
penerapan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden seperti penerapan Lèse-
Majesté di negara kerajaan tidaklah tepat dari segi ketatanegaraan dan justru
kontraproduktif dengan iklim keterlibatan publik yang sedang bertumbuh
kembang.

Universitas Indonesia
128

BAB IV
TINJAUAN PENERAPAN HUKUM PASAL 134 KUHP TENTANG
PENGHINAAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA
DALAM PUTUSAN PENGADILAN INDONESIA TAHUN 1998-2013

4.1 Komunikasi Politik dalam Pengambilan Kebijakan


Indonesia mengalami perubahan rezim politik yang cukup ekstrem mulai
dari periode pasca penjajahan hingga saat ini. Di awal kemerdekaan, Indonesia
masih berusaha mewujudkan pemerintahan yang stabil di bawah kepemimpinan
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Seiring dengan
jalannya proses penataan sistem ketatanegaraan dan sistem hukum di Indonesia,
muncul berbagai permasalahan baik di tingkat pemerintahan ataupun di kalangan
warga masyarakat itu sendiri. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
menuai pro dan kontra dari masyarakat. Pengambilan kebijakan tersebut sangat
berkaitan dengan politik hukum preferensi pemerintah.
Secara umum, politik hukum dikenal sebagai “legal policy” atau garis
kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan
hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai
tujuan negara.203 Sudarto memaknai politik hukum sebagai kebijaksanaan dari
negara dengan perantara badan-badan yang berwenang untu menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa mengekspresikan
apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-
citakan.204 Padmo Wahjono menambahkan bahwasanya politik hukum merupakan
kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan,
dan penegakan hukum.205 Pemaknaan politik hukum sebagai arah kebijakan suatu
negara secara substansial diterima oleh hampir seluruh ahli hukum. Namun,

                                                                                                                       
203
Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014),
halaman 1.
204
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan MAsyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983),
halaman 93.
205
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986), halaman 160.

Universitas Indonesia
129

beberapa ahli hukum memberikan karakterisasi lebih lanjut mengenai komponen-


komponen penyusun politik hukum. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa
penentuan politik hukum suatu pemerintahan didasarkan pada: 1). Tujuan apa
yang hendak dicapai melalui sistem yang ada; 2). Cara-cara apa dan yang mana
yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut; 3). Kapan
waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; 4). Dapatkah suatu
pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan
proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan
baik. 206 Secara sederhana, politik hukum dapat dimaknai sebagai alat atau sarana
yang digunakan pemerintah untuk membentuk sistem hukum nasional untuk
mencapai tujuan dan cita-cita negara.
Dilihat dari jangka waktunya, politik hukum dapat dibagi menjadi 2 (dua)
kelompok, yaitu politik hukum yang bersifat permanen atau jangka panjang dan
politik hukum periodik. Politik hukum jangka panjang lebih cenderung diterapkan
dalam konteks hukum yang prinsipil, seperti pemberlakuan prinsip pengujian
yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan,
dan kemenafaatan. Sementara itu, politik hukum periodik adalah politik hukum
yang dibuat sesuai dengan perkembangan situasi yang dihadapi pada setiap
periode tertentu baik yang memberlakukan maupun yang mencabut, misalnya
pada periode 1983-1988 ada politik hukum untuk membuat Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN),207 atau periode 1967-2007 yang aktif menggunakan pasal
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam pasal 134,
136bis, dan 137 KUHP. Dalam kata lain, politik hukum periodik cenderung
mengarah pada penerapan hukum positif yang dapat diterapkan langsung di dalam
masyarakat.
Masing-masing rezim pemerintahan memiliki karakter politik hukum
sesuai dengan tujuan masing-masing rezim, tidak terkecuali dalam konteks politik
hukum pidana. Politik hukum pidana berkaitan erat dengan kebijakan
penanggulangan kejahatan dalam rangka memberikan perlindungan masyarakat.
Sebagai kunci pengambilan kebijakan dalam penegakan hukum pidana, politik
                                                                                                                       
206
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), halaman 352-353.
207
Mahfud M.D., Op.Cit., halaman 3.

Universitas Indonesia
130

hukum pidana diharapkan dapat memberikan kebahagiaan bagi warga masyarakat,


memberikan kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan, kesejahteraan
masyarakat, dan untuk mewujudkan keseimbangan.208 Sehingga, dapat dikatakan
bahwa politik hukum pidana merupakan salah satu instrumen penting dalam
rencana pembangunan nasional pemerintahan. Politik hukum pidana sering
diistilahkan sebagai politik kriminal, yang oleh Sudarto dipahami secara sempit
sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari pidana, sedangkan
secara luas merupakan keseluruhan kebijakan yang dilaksanakan melalui
peraturan-peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan
menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat.209 Baik politik hukum
maupun politik kriminal merupakan bagian-bagian dari sistem politik kenegaraan
yang lebih luas. Setiap gagasan-gagasan tentang hukum pidana, fungsi, dan tujuan
serta cara-cara pencapaian tujuan dimaksud mesti dipahami sebagai bagian dari
sistem politik kenegaraan pada umumnya.
Terdapat perdebatan mengenai apa yang mendasari politik hukum
pidana. Jika konsisten dengan konsep politik hukum, maka politik hukum pidana
dapat dimaknai sebagai sarana atau metode pencapaian tujuan tertentu belaka.
Namun beberapa ahli membantah dengan menyatakan bahwa hukum bukanlah
semata-mata sarana kekuasaan politik kenegaraan, melainkan merupakan saluran
atau prosedur pengambilan keputusan melalui mana substansi permasalahan
ditetapkan. Dalam konteks ini, hukum tidak hanya diposisikan sebagai alat saja,
namun juga instrumen yang mengayomi kebutuhan masyarakat melalui
pengambilan kebijakan yang didasari pada sistem nilai dan norma yang dipercaya
oleh masyarakat.210
Berbicara mengenai tujuan yang dicapai oleh negara, sebagaimana telah
menjadi rahasia umum, masing-masing rezim pemerintahan memiliki target
pembangunan nasionalnya masing-masing. Sebagai contoh, rezim pemerintahan
orde lama di bawah kepemimpinan Soekarno lebih menitikberatkan pada
                                                                                                                       
208
Shafrudin, Pelaksanaan Politik Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan,
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hlm 28
http://eprints.undip.ac.id/24268/1/Shafrudin.pdf diakses pada 23 Februari 2015.
209
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), halaman 113-114.
210

Universitas Indonesia
131

pembentukan dasar negara dan penjalinan hubungan luar negeri yang baik dengan
bangsa lain. Soekarno yang hampir mendominasi seluruh urusan ekonomi dan
politik juga melancarkan gagasan mengubah perekonomian kolonial menjadi
perekonomian nasional dalam rangka membersihkan pengaruh imperialisme asing
peninggalan Belanda.211 Gagasan itu diwujudkannya dengan melakukan
nasionalisasi enam perusahaan Belanda dengan menempatkan personil militer dan
elite politis sebagai pengelola perusahaan yang bersangkutan. Alih-laih
mewujudkan perekonomian yang berpihak pada rakyat, gagasan nasionalisasi
tersebut justru menyebabkan penguasaan sektor ekonomi oleh kerabat dekat
Soekarno.212 Sementara itu, orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto
menitikberatkan pada pembangunan sosial ekonomi sebagai upaya memperbaiki
kehancuran ekonomi yang terjadi di masa orde lama masih berkuasa.213
Pemerintahan Soeharto cenderung menempatkan pembangunan ekonomi pada
posisi yang lebih superior daripada pembangunan politik. Minimnya
pembangunan politik ini dapat dilihat dari otoritarianisme Soeharto dalam
menanggapi pihak-pihak yang memiliki pendirian politik berseberangan dengan
pemerintah. Alhasil, baik dalam kepemimpinan Soekarno maupun Soeharto,
terjadi perbenturan pendapat yang cukup masif antara berbagai kelompok yang
terdiri dari politisi, akademisi, pengusaha, pers, ataupun masyarakat sendiri.214
Pasca Soeharto dilengserkan melalui berbagai aksi demonstrasi,
Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai Presiden pengganti menjalankan
pemerintahan secara reformatif sebagai respon atas otoritarianisme pemerintahan
pendahulunya. Kebijakan-kebijakan Habibie cenderung mengutamakan perbaikan
segi pemenuhan hak sosial dan politik sebagai wujud remedi atas politik hukum
Soeharto yang cenderung opresif. Politik hukum reformatif masih terus diterapkan
                                                                                                                       
211
Harian Indonesian Observer sebagaimana dikutip oleh Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan
Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, (Jakarta: LP3ES, 1990), halaman 157.
212
Yahya A. Muhaimin, Ibid, halaman 101.
213
Kehancuran ekonomi ini nampak dari tingkat inflasi yang mencapai 697% pada tahun
1966, juga korupsi dan monopoli ekonomi oleh orang-orang yang dekat dengan lembaga
kepresidenan, baik orang yang terlibat langsung sebagai bagian dari elit politik pemerintahan
ataupun pengusaha.
214
Samuel F. Lena. “Dialektika Hukum Pidana: Suatu Telaah secara Dialektika terhadap
Dasar-Dasar Filsafat dan Politik Hukum Pidana”, Program Magister Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1993, halaman 243-244.

Universitas Indonesia
132

oleh rezim pemerintahan Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri. Hanya saja,
Megawati cenderung mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang kurang
berpihak kepada masyarakat, sebagai upaya pembayaran hutang kepada luar
negeri yang belum dilunasi oleh rezim pemerintahan sebelumnya.
Segala kebijakan politik termasuk di dalamnya kebijakan politik pidana
mengalami diskursi pemikiran melalui timbal balik komunikasi politik.
Komunikasi politik dimaknai oleh Arif Zulkifli sebagai masalah bagaimana aktor
politik, baik individu atau lembaga, menyiasati situasi politik yang ada agar dapat
menyampaikan atau mengekpresikan pendapat.215 Gabriel A. Almond berusaha
memberikan gambaran mengenai keterkaitan antara komunikasi politik dengan
pengambilan kebijakan. Bagi Almond, sistem politik diibaratkan sebagai kotak
tempat masuknya masukan-masukan berupa tuntutan-tuntutan dan dukungan
untuk mempengaruhi sistem politik, baik sesuai atau tidak sesuai dengan
kehendak pemberi masukan. Proses keluar masuknya masukan dan keluaran inilah
yang disebut dengan komunikasi politik.216 Upaya mempengaruhi sistem politik
ini dimulai dengan mempengaruhi pengambilan kebijakan politik yang ada
meskipun tak jarang pengaruh tersebut justru direspon dengan kebijakan politik
pemerintahan yang sifatnya justru bertolak belakang. Masing-masing rezim
pemerintahan dapat memberikan respon yang berbeda bagi komunikasi politik
yang ada, dan sebaliknya, komunikasi politik juga sangat dinamis bergantung
pada kebijakan pemerintah itu sendiri.
Pada masa demokrasi liberal,217 pemerintah Indonesia memberikan
keleluasaan bagi komunikasi politik yang terjadi. Setiap unsur dalam sistem
politik, baik partai maupun kelompok penekan, secara bebas menyampaikan

                                                                                                                       
215
Arif Zulkifli, PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama
Grafiti, 1996), halaman 4.
216
Amir Efendi Siregar, Arus Pemikiran Ekonomi Politik: Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991), halaman 25-26.
217
Masa demokrasi liberal ditandai dengan dinamika komunikasi politik antar puluhan
partai yang sangat dinamis. Masing-masing partai memiliki kelompok pendukung dan kelompok
penekan yang saling melakukan peperangan kritik baik melalui media massa maupun demonstrasi.
Demokrasi liberal ini menjadi titik tolak berkembangnya komunikas politik di masa-masa
berikutnya yang diikuti dengan perkembangan politik kebijakan pemerintah dalam merespon
komunikasi politik tersebut. Pilihan kebijakan yang saat itu banyak diterapkan adalah
pemberedelan pers. Sumber: Edward C. Smith, Pembredelan Pers di Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Grafitipers, 1986), halaman 95 dan 119.

Universitas Indonesia
133

pendapat, saran, dan ketidaksetujuan terhadap sistem politik. Kondisi ini secara
riil mengakibatkan tidak pernah terbentuk pemerintahan yang kokoh, sampai-
sampai hampir setiap kabinet hanya mampu bertahan dalam hitungan bulan.218
Berbeda jauh dengan situasi saat demokrasi liberal masih berkuasa, demokrasi
terpimpin di bawah kendali Soekarno justru mengatur semua bentuk komunikasi
politik sesuai dengan kehendaknya. Partai politik yang tidak sesuai dengan
kehendak politik Presiden dibubarkan sedangkan surat kabar yang dianggap
terlalu vokal dibredel dan pemimpin redaksinya dipenjarakan.219 Sistem politik
represif dengan komunikasi politik yang macet menyebabkan minimnya tuntutan
dan ketidaksetujuan; komunikasi politik didominasi dengan dukungan. Kondisi
serupa juga ditemukan pada era orde baru yang ditandai dengan pergolakan
politik G 30S/PKI beiriringan dengan sejumlah restrukturisasi politik dan
ekonomi secara sistematis. Dinamika yang demikian menyebabkan pemerintah
memilih kebijakan komunikasi politik yang bersifat “gelang karet”. Artinya, di
saat-saat tertentu pemerintah memperketat pengawasan dan kontrol teradap setiap
kegiatan politik masyarakat sedangkan pada saat lain, ketika situasi politik tidak
menyebabkan banyak tekanan, kebijakan komunikasi politik mengendur. Alfian
menyatakan bahwa:

“Dapat dikatakan bahwa sifat pengendalian itu adalah bagaikan gelang


karet. Ia mengkerut pada waktu krisis politik kemudian agak
melonggar bilamana krisis itu mulai mereda, dan dapat melonggar lagi
bilamana kehidupan politik makin stabil dan tenang, tetapi akan segera
mengkerut lagi bilamana bahaya krisis politik baru muncul dan
berkembang.”220
Situasi yang menunjukkan kecenderungan kebijakan politik dalam
merespon komunikasi politik di tengah masyarakat dapat dilihat pada saat
persitiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) berlangsung. Saat itu, mahasiswa
banyak melangsungkan demonstrasi menentang dominasi ekonomi Jepang di

                                                                                                                       
218
Ibid.
219
Mochtar Lubis diajukan ke pengadilan atas tuduhan menyebarkan berita bohong tentang
korupsi yang dilakukan Menteri Roeslan Abdulgani. Di Surabaya, pemimpin redaksi harian
Trompet Masjarakat dihukum selama satu bulan karena dinilai menghina pemerintah. Sumber:
Atmakusumah, Mochtar Lubis Wartawan Jihad, (Jakarta: Harian Kompas, 1992), halaman 70-81.
220
Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1993),
halaman 66.

Universitas Indonesia
134

Indonesia. Mahasiswa yang menjadi inisiator kegiatan demontrasi ditangkap


demikian juga pemimpin media massa yang turut mengalami pemberedelan.221
Pemberedelan ini berbeda dengan konteks pemberedelan yang terjadi ketika
demokrasi liberal masih berkuasa—bukan jenis pembredelan dengan cara menarik
paksa ketersebaran media massa, menutup kantor, dan sebagainya. Pembredelan
pada masa ini dilakukan dengan cara membatalkan Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers (SIUPP) dengan melandaskannya pada pengaturan Peraturan Menteri
Penerangan (Permenpan) Nomor 1 tahun 1984.
Pasca Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden di bulan Mei 1998,
Presiden B. J. Habibie diangkat menjadi pemimpin yang dipercaya dapat
membawa kondisi Indonesia menjadi lebih baik. Situasi tidak berubah secara
signifikan setelah terjadi pergantian kepemimpinan. B. J. Habibie menjabat tak
lama karena saat itu ia dipandang tidak mampu merepresentasikan diri sebagai
perekat bangsa. Salah satu masalah yang dihadapi Indonesia saat itu adalah
berpisahnya Timor Timur dari Negara Republik Indonesia untuk menjadi negara
yang merdeka sendiri. Atas kondisi tersebut, komunikasi politik cenderung
mengarah pada kritik atas ketidakmampuan Habibie dalam mempertahankan
Timor Timur. Meskipun begitu, B. J. Habibie tidak memerintah dengan
pendekatan opresif seperti yang dilakukan oleh Soeharto. Hal serupa juga
dilakukan oleh Abdurrahman Wahid ketika ia menduduki kursi Presiden pasca B.
J. Habibie dilepas jabatannya. Kriminalisasi dan peradilan dengan motivasi
meredam komunikasi politik tidak lagi banyak ditemukan. Demonstrasi atau yang
kerap disebut dengan aksi, menjadi hal yang lumrah ditemui di tengah masyarakat
karena dianggap sebagai pengejewantahan kontrol publik atas pelaksanaan tugas
negara. Pada masa itu, sudah jarang ditemukan penangkapan atas kelompok-
kelompok yang melakukan protes. Pembredelan pers sebagaimana kerap terjadi di
masa orde baru dan orde lama juga tidak terjadi lagi.

                                                                                                                       
221
Todung Mulya Lubis, Langit Masih Mendung: Laporan Keadaan-Keadaan Hak-Hak
Azasi Manusia di Indonesia 1980, (Jakarta: LBH Jakarta dan Penerbit Sinar Harapan), halaman 98.

Universitas Indonesia
135

4.2 Studi Dokumen


Pada era setelah kemerdekaan hingga saat ini, media massa memiliki
peran penting. Secara umum, media massa mejadi saluran bagi masyarakat
sehingga dapat mengakses informasi dari seluruh penjuru Indonesia. Namun, di
era tahun 1945 hingga tahun 2003, media massa memiliki peran yang lebih
khusus lagi yaitu menjadi media propaganda dan kritik terhadap Pemerintah
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh rezimnya masing-masing. Tidak
sedikit media massa yang sengaja dibuat untuk menjadi corong kritik masyarakat
terhadap penguasa, sementara beberapa media massa lain yang cenderung
memilih posisi netral hanya menjalankan tugasnya sebagai pewarta atas peristiwa
yang terjadi. Mengingat signifikansi media massa, maka telaah terhadap
dokumentasi pemberitaan menjadi hal yang tidak bisa dikesampingkan dalam
penelitian ini. Pemberitaan-pemberitaan yang muncul di masing-masing rezim
memiliki karakter dan polanya sendiri yang kemudian dapat digunakan untuk
mendeterminasi karakter politik pidana dari masing-masing rezim yang ada.

4.2.1 Dokumentasi Pemberitaan Rezim Pemerintahan Presiden Soeharto


Rezim pemerintahan Soeharto sangat kental dengan pemberangusan
kebebasan pers yang diwujudkan baik dengan kriminalisasi orang-orang dalam
redaksi ataupun pemberedelan atas media massa yang bersangkutan. Pada masa
itu, ada banyak sekali media massa yang menerbitkan dan menyebarkan
publikasinya tanpa disertai ijin penerbitan dari Kementerian Penerangan. Hal ini
ditempuh oleh masyarakat yang menentang kebijakan Pemerintah, namun tidak
memiliki wadah untuk mengekspresikan pendapatnya sementara media massa
yang memiliki izin berada di bawah kontrol Pemerintah. Media-media massa
tanpa izin ini menjalankan praktiknya, baik dari dalam ataupun di luar negeri.
Orang-orang yang terlibat dalam penulisan publikasi pun bervariasi; mulai dari
redaktur, penulis lepas, hingga masyarakat secara umum. Untuk menghadapi
situasi tersebut, pemerintah melakukan kriminalisasi besar-besaran terhadap
masyarakat. Tak hanya jurnalis dan aktivis, akademisi dan politisi pun sering
ditangkap. Segala pernyataan yang dianggap melawan dan membahayakan
kedudukan pemerintah dilarang. Peredaran buku-buku yang kontennya tidak

Universitas Indonesia
136

mendukung keberadaan pemerintahan Soeharto dilarang, diiringi dengan


pemberedelan beberapa media massa yang vokal mengkritik pemerintahan di
masa itu.
Rezim pemerintahan Presiden Soeharto yang opresif tidak memberikan
ruang yang leluasa bagi media massa untuk menyampaikan kritik masyarakat
terhadap pemerintah. Titik awal bagi pemberontakan pers terjadi ketika 3 (tiga)
media massa yang cukup berpengaruh yaitu Tempo, Editor, dan Detik, dibredel
melalui pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Masing-masing
media massa tersebut tidak memperoleh kejelasan mengapa SIUPP mereka
dicabut. Wartawan senior Mochtar Lubis berpendapat bahwa pencabutan SIUPP
itu didasari oleh anggapan pemerintah bahwa Tempo, DeTik, dan Editor tidak
dapat dikendalikan lagi dan sudah kembali pada kebebasan pers sepenuhnya, yaitu
melakukan kritik dan pelaporan yang mengganggu penguasa.222 Masyarakat
bereaksi keras terhadap pemberedelan tersebut. Ratusan pers membuat aksi
solidaritas untuk melawan tindakan kesewenang-wenangan pemerintah dalam
melakukan pemberedelan. Aksi solidaritas ini yang kemudian menjadi Aliansi
Jurnalis Independen (AJI), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang saat itu
masuk ke dalam daftar organisasi terlarang.223
Pada tahun 1995, 3 (tiga) orang aktivis dari AJI yaitu Ahmad Taufik, Eko
Maryadi, dan Danang Kukuh Wardoyo ditangkap selama pertemuan halal bihalal
di Hotel Wisata, Jakarta, dengan alasan telah menerbitkan majalah berjudul
Forum Wartawan Independen yang dianggap telah menghina pemerintah.224 Salah
satu artikel yang dinilai sangat menyerang Pemerintah adalah artikel yang
membahas bisnis milik Menteri Harmoko yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Penerangan, yang dihubungkan dengan suksesi rezim Pemerintahan Soeharto.
Ketiganya didakwa telah melakukan tindak pidana penghinaan terhadap Presiden
dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam pasal 134 dan 135 KUHP, serta
                                                                                                                       
222
Zulhasril Nasir, “Kebebasan pers sebagai realitas subyektif: studi kasus pembredelan
Tempo, Detik dan Editor”, Tesis Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Indonesia, 1996, halaman 91.
223
“Sejarah Aliansi Jurnalis Independen”, http://aji.or.id/read/sejarah.html diakses pasa 1
Mei 2015.
224
“Wawancara Ahmad Taufik: Saya Terlambat Masuk Penjara”, Tempo Edisi 22/02, 30
Juli 1997,, http://tempo.co.id/ang/min/02/22/nas3.htm diakses pada 2 Mei 2015.

Universitas Indonesia
137

penyebaran kebencian terhadap Pemerintah yang diatur dalam pasal 154 jo. 155
KUHP.225 Dalam persidangan saat itu, pembuktian mengenai kebenaran
pemberitaan mengenai kepemilikan saham pada bisnis milik Harmoko tidak
diprioritaskan. Setelah Ahmad Taufik bebas, salah seorang jaksa justru
mempertanyakan kebenaran atas praduga kepemilikan saham Harmoko di
berbagai media massa. Keterangan salah seorang saksi yang cukup krusial, yaitu
keterangan dari Brigjen (Pol.) Roekmini Astuti tidak dipertimbangkan oleh hakim
dalam penjatuhan putusan. Sehingga, penilaian mengenai substansi penghinaan
didasarkan pada penilaian subjektif hakim yang saat itu berada di bawah tekanan
pemerintah.226
Dalam wawancara yang diselenggarakan oleh wartawan Tempo Edy
Budiyarso dengan Ahmad Taufik, dijelaskan bahwa hakim berada di bawah
tekanan ketika memutuskan perkara. Pasal yang digunakan untuk
mengkriminalisasipun adalah pasal penyebaran kebencian atau permusuhan
terhadap pemerintah, yang mana tidak bisa digolongkan sebagai kejahatan politik
murni seperti tindak pidana subversi. Identifikasi atas penyebaran kebencian dan
permusuhan tersebut amatlah subjektif, yang mungkin oleh sebagian orang
dianggap kejahatan politik namun menurut orang lain tidak. Atas perkara tersebut,
Ahmad Taufik dan Eko Maryadi dipidana penjara selama hampir 3 (tiga) tahun
lamanya, sedangkan Danang Kukuh Wardoyo dipidana selama 18 (delapan belas)
bulan. Namun apda tanggal 19 Juli 1997, Taufik dan Eko dibebaskan bersyarat,
sementara Danang sudah bebas terlebih dahulu. Berikut adalah tabulasi beberapa
perkara penyebaran kebencian terhadap pemerintah (Haatzaaiartikelen) di Era
Soeharto:227

                                                                                                                       
225
“Keputusan Diskriminatif Sang Jaksa”, Edisi 47/01-18 Januari 1997,
http://tempo.co.id/ang/min/01/47/nas4.htm diakses pada 2 Mei 2015.
226
Ibid.
227
Ibid.

Universitas Indonesia
138

Tabel 4.1: Data Kasus Penyebaran Kebencian terhadap Pemerintah


pada Rezim Pemerintahan Presiden Soeharto
No Kasus Keterangan

1. Peristiwa Mahasiswa menggalang sejumlah protes yang


Mahasiswa dilakukan di berbagai kampus di Indonesia mengecam
1978 kepemimpinan Presiden Soeharto dan menyatakan
agar Soeharto tidak lagi menjadi Presiden RI.
Akibatnya, Soeharto kemudian menangkap 34 orang
mahasiswa di berbagai kota di Indonesia mulai dari
Jakarta, Bandung, Palembang, Surabaya, Malang,
Ujung Pandang dan Yogyakarta. Rata-rata mahasiswa
ini dipenjara selama 11 bulan setelah diadili dengan
menggunakan pasal-pasal Haatzaaiartikelen.

2. Peristiwa di Kasus ini sering disebut dengan insiden Bandung 5


ITB1992 Agustus 1989, 6 orang mahasiswa ITB, yakni Arnold
Purba, Muh. Fadjroel Rahman, Jumhur Hidayat, Enin
Supriyanto, Ammarsyah dan Bambang Sugianto
ditangkap dan dikenai Pasal 154, 207 dan 208 KUHP.

3. Peristiwa di Dua orang mahasiswa Unversitas Diponegoro (Undip)


Undip 1992 Semarang yakni Lukas Luwarso dan Poltak Ike
Wibowo dituduh telah menyebarkan kebencian dengan
melakukan Kampanye Golput (golongan putih) pada
saat menjelang Pemilu tahun 1992.

4. Persitiwa Pada bulan Desember tahun 1992, sejumlah


Fronts Aksi mahasiswa tergabung dalam FAMI menggelar aksi
Mahasiswa protes di gedung DPR. Saat itu, 21 mahasiswa
Indonesia ditangkap dan diadili dengan dasar menyebarkan
(FAMI) kebencian terhadap Pemerintah karena memasang
spanduk yang bertuliskan “Seret Presiden ke
Pengadilan”. Masing-masing terdakwa dihukum
dengan berat pidana penjara yang berbeda-beda,
dikaitkan dengan peran masing-masing terdakwa.
Rata-rata kedua puluh satu mahasiswa tersebut
dihukum pidana penjara selama 8 (delapan) bulan
hingga 1,5 (satu setengah) tahun.

Universitas Indonesia
139

Selain dikriminalisasi dengan pasal 154 dan 155 KUHP mengenai


Haatzaaiartikelen, banyak warga negara yang mengalami kriminalisasi dengan
tuduhan telah melakukan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden atau
Lèse-Majesté. Salah satu aktivis yang dituduh telah melakukan penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden adalah Andy Syahputra yang saat itu
ditangkap bersama dengan Jasrul Zen. Keduanya dituduh telah melanggar
ketentuan pasal 134 KUHP karena mencetak majalah yang diterbitkan oleh
Masyarakat Indonesia Pencinta Pers Alternatif (MIPPA) di Kepolisian Metro
Jakarta Selatan. Saat itu, Andy ditangkap ketika sedang berada di percetakan
milik Jasrul dalam rangka mengambil order cetakan Suara Independen atas
pesanan MIPPA. Andy dan Jasrul dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa atas
diterbitkannya majalah yang memuat pemberitaan mengenai wawancara dengan
sejarawan Takashi Shiraishi. Dalam wawancara tersebut, Takashi Shiraishi
menyatakan bahwa “Soeharto dalam Proses Jadi Raja Telanjang”. Saat itu, Andy
hanya berperan sebagai pihak yang menerbitkan hasil wawancara tersebut,
sementara Shirashi merupakan orang yang membuat ungkapan tersebut dan
MIPPA berperan sebagai pihak yang mengolah konten berita. Meskipun demikian
Andy dianggap tetap bersalah karena telah menyebarkan konten penghinaan
terhadap Presiden Soeharto.
Kantor percetakan Jasrul sendiri sebenarnya sudah diawasi sejak lama,
hingga diketahui bahwa percatakan tersebut menerima pekerjaan dari MIPPA
yang memiliki domisili di Melbourne, Australia. Andy mengaku pernah menolak
order tersebut, namun Ketua MIPPA mengeluarkan jaminan bahwa konten dari
publikasi berada di luar tanggung jawab percetakan. Pernyataan tersebut juga
sudah dikirimkan oleh MIPPA kepada pihak kepolisian. Mengacu pada ketentuan
pasal 61 dan 62 KUHP, pencetak tidak dapat dituntut jika pada barang cetakan
tersebut disebutkan nama, tempat tinggal, dan orang yang menyuruh mencetak
sudah diketahui.228 Namun hal tersebut tidak diterapkan dalam persidangan Andy,
hingga akhirnya Andy dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 10
(sepuluh) bulan. Menurut Masimar Mangiang, penangkapan redaktur dari
beberapa media massa seperti Forum Wartawan Independen yang diterbitkan oleh
                                                                                                                       
228
“Keputusan Diskriminatif Sang Jaksa”, Op. Cit.

Universitas Indonesia
140

AJI ataupun Suara Independen yang diinisiasi oleh MIPPA disebabkan karena
ketiadaan izin resmi dari Departemen Penerangan. Selain itu, konten yang
dipublikasikan oleh media massa tersebut didominasi oleh investigasi dan rumor-
rumor yang berkembang di masyarakat sehubungan dengan hal-hal negatif yang
terdapat dalam pemerintahan di masa itu. Alhasil, banyak media massa yang
dianggap sebagai oposisi dan pemerintah berusaha melakukan penertiban dengan
mengkriminalisasi pers menggunakan ketentuan Haatzaaiartikelen dan Lèse-
Majesté.
Pada tahun 1994, Nuku Sulaiman, seorang aktivis Gerakan Pro-
Demokrasi dipidana selama 5 tahun di tingkat banding setelah memasang stiker di
halaman MPR-RI yang bertuliskan “Soeharto Dalang Segala Bencana”. Ia dituduh
telah melakukan penghinaan Presiden Soeharto setelah mengganti seruan
“Soeharto Bapak Pembangunan” menjadi anekdot “Soeharto Dalang Segala
Bencana” atau yang sering disingkat dengan SDSB. Stiker itu disebarkan Nuku
ketika sedang berlangsung demonstrasi di depan gedung MPR-RI menentang
perederan penjualan stiker Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) oleh
Pemerintah.229 Saat itu, pembuatan anekdot berupa akronim sangatlah terkenal di
kalangan aktivis. Beberapa akronim lain yang sering diucapkan adalah Soeharto
sebagai “Soedah Harus Tobat”. Akronim ini tumbuh subur di masa Orde Baru
karena rezim represif Soeharto membatasi hak untuk memiliki pandangan berbeda
atau kebebasan berekspresi. Menurut Harsutejo, penulis buku Kamus Kejahatan
Orba, anekdot berupa akronim berkembang ke seluruh lapisan masyarakat
Indonesia saat itu. Akronim ini terbilang cukup kreatif dan mudah untuk
mengekspresikan ketidakpuasan sosial dan protes politik.230 Anggota masyarakat
lebih memilih menggunakan akronim yang demikian karena mereka berpikiran
bahwa ejekan akronim adalah hal sepele yang tidak akan memberikan dampak
signifikan bagi Pemerintahan Soeharto.
Selain Nuku, Aberson Marle Sialoho juga dituduh melakukan

                                                                                                                       
229
“Aktivis Nuku Sulaeman Meninggal Dunia”, Liputan 6, 18 Februari 2003,
http://news.liputan6.com/read/49787/aktivis-nuku-sulaeman-meninggal-dunia diakses pada 2 Juni
2015.
230
“Dari SBY sampai SDSB”, Historia, http://historia.id/modern/dari-sby-sampai-sdsb
diakses pada 2 Juni 2015.

Universitas Indonesia
141

penghinaan terhadap Presiden Soeharto karena melakukan orasi di acara mimbar


bebas yang berlokasi di Kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro. Pada mulanya, ia
berstatus sebagai saksi yang dimintai keterangan atas tperistiwa perebutan Kantor
DPP PDI yang disusul dengan kerusuhan di sekitar Jalan Salemba Raya pada
tanggal 27 Juli 1996. Namun, status saksi tersebut berubah menjadi tersangka
seagaimana disebutkan dalam surat panggilan terhadap Aberson tanpa disertai
alasan yang jelas. Namun, menurut keterangan non-formal yang diberikan oleh
kepolisian, Aberson dinyatakan sebagai tersangka kasus penghinaan Presiden
Soeharto yang dilakukannya dalam pidato pada tanggal 13 Juli 1996. Dalam
pidato tersebut, Aberson mengaku hanya memberikan pidato mengenai
“pelaksanaan Pancasila dan UUD NRI 1945 secara murni dan konsekuen”. Pidato
itu memang menyinggung Presiden Soeharto namun hanya dalam konteks
“Presiden Soeharto harus diakui berhasil menjadikan Pancasila sebagai satu-satu
asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, ketika Bung
Kamo sendiri sebagai orang yang menggali ajaran itu tidak berhasil." Aberson
ketika itu mengajak mereka yang hadir di acara mimbar-demokrasi tersebut untuk
"membantu Pak Harto melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen”,231 meskipun dalam pemberitaan lain, dijelaskan bahwa Aberson
sempat mengeluarkan pernyataan bahwa selama kepemimpinan Presiden
232
Soeharto, kemerdekaan rakyat telah dirampok dan dijajah. Atas pernyataan
tersebut, ia dituduh telah melanggar pasal 134 KUHP tentang penghinaan
Presiden, pasal 154 KUHP tentang penyebaran kebencian dan permusuhan
terhadap Pemerintah, dan pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa
atau badan umum.
Dalam kesempatan wawancara dengan wartawan Tempo, Aberson
menyatakan bahwa ia tidak memiliki niatan untuk melakukan hal-hal yang
dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Saat itu, Aberson hanyalah menjelaskan
                                                                                                                       
231
“Wawancara Aberson Marle Sihaloho: Saya Tidak Ada Niat Melakukan Penghinaan…”,
Tempo Edisi 32/01-02/Okt/1996, http://tempo.co.id/ang/min/01/32/nas3.htm diakses pada 2 Mei
2015.
232
“Mereka yang Dianggap Hina Presiden, Aberson dan Bintang Jadi Korban”, Koran
Suara Merdeka, Santu 9 Desember 2006,
http://www.suaramerdeka.com/harian/0612/09/nas05.htm diakses pada 2 Mei 2015.

Universitas Indonesia
142

program DPP PDI di bawah Megawati dalam menghadapi pemilu dan Sidang
Umum MPR untuk menegakkan kedaulatan rakyat dan demokrasi sesuai UUD
NRI 1945. Hanya saja, Aberson juga tidak menyangkal terkait fakta bahwa ia
memberikan kritik terhadap Pemerintah yang sedang berkuasa. Aberson juga
mengaku sempat menyinggung tentang ABRI, namun terkait peran sosial politik
institusi tersebut. Selain itu, Aberson mengkritisi masalah pemilihan anggota
MPR yang oleh Undang-Undang Pemilu diatur bahwa hanya 400 dari 1000
anggota MPR yang dapat dipilih langsung. Alhasil, MPR yang demikian tidak
dapat dinyatakan sebagai wakil rakyat karena MPR justru sarat dengan perwakilan
masing-masing organisasi. Hal ini juga akan berpengaruh pada pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, karena keduanya dipilih oleh MPR pada masa itu.
Aberson memandang hal tersebut bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI
1945 yang mengedepankan kedaulatan rakyat. Oleh karenanya, Aberson
menghimbau seluruh tamu yang hadir dalam acara tersebut untuk mendorong
dilaksanakannya Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Melanjutkan keterangan tersebut, Aberson sebagai anggota MPR tidak pernah
merasa memilih Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Itulah akibat dari
MPR yang terkotak-kotakkan dalam fraksi, dan proses musyawarah sendiri
didominasi oleh perwakilan-perwakilan fraksi tersebut. Menurut Aberson,
seharusnya seluruh anggota MPR turut ambil bagian dalam setiap musyawarah
menentukan kebijakan negara. Aberson menyanggah bahwa apa yang
dilakukannya adalah penghinaan, karena sebenarnya niat utama Aberson adalah
memberikan kritik atas jalannya pemerintah, tidak terkecuali terhadap PDI
sebagai partai yang membantu Aberson memperoleh kursi di MPR. Apa yang
dilakukan Aberson semata adalah perwujudan dari kebebasan berekspresi dan
berpendapat yang dilindungi oleh UUD NRI 1945 dan juga aktualisasi diri
sebagai anggota partai politik yang bertugas untuk memberikan pendidikan politik
bagi masyarakat.
Dalam persidangannya, jaksa berpendapat bahwa Aberson terbukti
melakukan penghinaan terhadap Presiden Soeharto melalui pidato yang
diberikannya di mimbar bebas DPP PDI. Menurut jaksa, Presiden Soeharto adalah
seorang yang dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia dan oleh bangsa lainnya,

Universitas Indonesia
143

terbukti dengan terpilihnya Presiden Soharto sebagai Ketua Gerakan Non-Blok.


Oleh karenanya, untuk menyatakan adanya penghinaan atas Presiden tak perlu ada
saksi korban atau Presiden merasa keberatan. Setiap penduduk Indonesia pasti
akan merasa keberatan apabila Presidennya dihina. Jaksa juga berpendapat bahwa
terdakwa Aberson seharusnya memahami perkataan yang disampaikan dapat
mencemarkan nama Presiden atau lembaga negara, sekalipun ia tidak memiliki
niatan untuk menghina.233 Jaksa memberikan pemberatan bagi pemidanaan
Aberson dengan mempertimbangkan jabatan Aberson sebagai anggota MPR yang
sekaligus menjadi panutan bagi masyarakat saat itu. Jaksa berpandangan bahwa
Aberson harus bisa bersikap lebih hati-hati mengingat kedudukannya di tengah
masyarakat, yang mana akan mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap
jabatan atau lembaga tertentu dilihat dari segi etika, kesusilaan, dan sopan santun.
Oleh karenanya, jaksa mengenakan tindak pidana gabungan.234
Banyak sekali aktivis yang mengalami kriminalisasi atas beberapa
tuduhan kejahatan politik, salah satunya Sri Bintang Pamungkas. Sri Bintang
dituduh melakukan penghinaan terhadap Presiden Soeharto ketika ia terlibat
dalam pemberian kuliah di beberapa universitas di Jerman dandemonstrasi besar
di Dresden, Jerman, terhadap Presiden Soeharto dan rombongannya. Demo itu
terjadi pada tanggal 10 April 1955. Pada tanggal 9 April 1995, Sri Bintang
memberikan ceramah dihadapan orang banyak. Dalam kesempatan tanya jawab,
Sri Bintang membuat pernyataan bahwa Soekarno dan Soeharto telah
menyeleweng dari UUD NRI 1945, bahwa keduanya sama-sama diktator, dan
lebih-lebih lagi Presiden Soeharto yang nampak anti-demokrasi sejak awal.235
Dugaan penghinaan yang muncul dalam ceramah tersebut kemudian
dicampuradukkan dalam dakwaan jaksa dengan demonstrasi yang terjadi di
Dresden, Jerman, yang dipromotori oleh Sri Bintang Pamungkas. Menurut
pemberitaan, demonstran hanya berjarak 100 (seratus) sampai 200 (dua ratus)
meter dari Presiden Soeharto yang hadir di Jerman dalam rangka Pembukaan
                                                                                                                       
233
“Aberson Sihaloho Dituntut 18 Bulan”, Kompas, 27 Mei 1997,
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/05/26/0034.html diakses pasa 2 Juni 2015.
234
Ibid.
235
“Surat Dakwaan Kasus Sri Bintang”, 29 November 1995
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/11/29/0058.html diakses pada 2 Juni 2015.

Universitas Indonesia
144

Pameran Hanover 1995. Para demonstran termasuk Sri Bintang di dalamnya


meneriakkan yel-yel anti-Indonesia dan kata-kata kotor terhadap Presiden
Soeharto. Atas hal tersebut, Presiden Soeharto amat marah dan aparat negara pun
digerakkan untuk menangkap pelaku penghinaan tersebut. Alhasil, pada tanggal
13 April 1995 bertepatan dengan hari kepulangan dari Jerman, Sri Bintang
Pamungkas ditangkap.
Selama persidangan berlangsung, terjadi kesimpangsiuran pembuktian
fakta. Sri Bintang Pamungkas berpendapat bahwa transkrip yang dimiliki dan
digunakan Jaksa untuk menuduh dirinya telah mengalami rekayasa. Apa yang
dibicarakan dalam ceramah jauh berbeda dengan apa yang tercatat dalam transkrip
tersebut. Dalam persidangan, dihadirkan 4 (empat) orang mahasiswa yang
membenarkan dakwaan jaksa, karena mereka mengaku mendengar Sri Bintang
membuat pernyataan demikian. Beberapa saksi lainnya yang turut berada di
Jerman mengaku tidak tahu-menahu dengan ceramah yang dibawakan oleh Sri
Bintang. Jaksa juga menghadirkan ahli Lukman Hakim yang saat itu memberikan
pendapat bahwa kata “diktator” yang diucapkan oleh Sri Bintang cenderung
memiliki konotasi negatif karena mengindikasikan kekuasaan yang sewenang-
wenang. Untuk memverifikasi kata-kata tersebut, dihadirkan beberapa saksi yang
berperan sebagai moderator, penulis, dan penanya dalam ceramah. Mereka
menyatakan bahwa kata “diktator” bukan diucapkan oleh Sri Bintang, namun
diucapkan oleh orang lain.
Menyusul sidang pembuktian tersebut, dihadirkan lagi ahli bahasa yaitu
Prof. Dr Yus Badudu dan ahli tata negara Prof. Dr. Harun Alrasyid, SH. Yus
Badudu beranggapan bahwa kalimat “si A menyeleweng” tidak berarti menghina,
kecuali diucapkan langsung kepada yang bersangkutan. Sementara itu, Harun
Alrasyid berpendapat bahwa kata “diktator” memiliki makna yang netral. Saksi
mahkota yang akhirnya berhasil dihadirkan, Soenarto, memberikan kesaksian
bahwa kata-kata “diktator” bukanlah Sri Bintang yang mengucapkan. Kata-kata
itu muncul sebagai reaksi dari pertanyaan-pertanyaan Soenarto saja. Meskipun
begitu, jaksa menuntut Sri Bintang dengan 4 (empat) tahun penjara,
mempertibangkan hal-hal sebagai berikut: 1). Perbuatan dilakukan di luar negeri
sehingga nama baik Indonesia tercemar; 2). Sri Bintang memberikan keterangan

Universitas Indonesia
145

yang berbelit-belit, tidak mengakui, dan tidak menyesali perbuatannya; 3). Sri
Bintang hanya menyebut Presiden Soeharto dengan panggilan “Saudara”; 4).
Jaksa meyakini bahwa rekaman kaset yang diperdengarkan dalam persidangan
akurat; 5). Kata “diktator” memiliki makna negatif dan kata inilah yang diucapkan
oleh Sri Bintang Pamungkas. Dalam kesempatan replik-duplik, jaksa sempat
menekankan bahwa yang paling keji dari tindakan Sri Bintang bukanlah
penghinaan yang diucapkannya, namun seruan Sri Bintang agar Soeharto tidak
dipilih lagi.236 Atas hal-hal tersebut, Sri Bintang dinyatakan telah secara sah dan
meyakinkan melakukan penghinaan terhadap Presiden Soeharto, serta dijatuhi
pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 10 (sepuluh) bulan. 237
Pemidanaan atas tuduhan penghinaan Presiden juga menimpa Tri Agus
Siswowihardjo, kepala redaksi Kabar Pijar yang dituduh menghina Presiden
Soeharto karena publikasi yang diterbitkannya. Ia menulis artikel berjudul “Adnan
Buyung Nasution: Negeri Ini Dikacaukan Oleh Orang yang Bernama Soeharto”,
dalam Kabar Dari Pijar (KDP) tertanggal Juni 1994. Artikel tersebut sebenarnya
adalah liputan malam tirakatan yang diselenggarakan oleh Yayasan lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk memprotes pembredelan tiga media
massa terkemuka, Tempo, DeTIK dan Editor, di bulan Juni 1994. Dalam liputan
yang dimuat di KdP No. 2 tahun V/1994 itu TASS mengutip ucapan
Adnan Buyung Nasution, sebagai judul tulisannya, "Negeri ini dikacaukan oleh
seorang yang bernama Soeharto." Dalam persidangan yang menghadirkan Adnan
Buyung Nasution, Adnan mengaku bahwa ia tidak pernah mengucapkan hal itu.
Namun Tri Agus bersikeras bahwa ia tidak salah mendengar apa yang diucapkan
oleh Adnan. Namun, jaksa beranggapan bahwa Tri Agus lah yang mengada-ada,
sehingga Tri dianggap secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindakan
penghinaan Presiden. Tri Agus yang tidak menunjukkan rasa penyesalan dijatuhi

                                                                                                                       
236
Hal ini dilakukan Sri Bintang Pamungkas dengan membentuk program politik Partai Uni
Demokrasi Indonesia, sebuah partai tidak resmi bentukannya di tahun 1996. Program PUDI
tersebut berisi niatan menolak Pemilu 1997, menolak pencalonan Soeharto, dan meyiapkan tatanan
baru paska Soeharto.
237
“Perjalanan Menjerat Sri Bintang Pamungkas”, Tempo Edisi 07/01 - 13/Apr/1996,
http://tempo.co.id/ang/min/01/07/utama2.htm diakses pada 2 Juni 2015.

Universitas Indonesia
146

pidana penjara selama 2 (dua) tahun.238

4.2.2 Dokumentasi Pemberitaan Rezim Pemerintahan Presiden Bacharuddin


Jusuf Habibie
Pergantian rezim dari kepemimpinan Soeharto kepada kepemimpinan
Habibie dipandang sebagai kemenangan masyarakat dalam melawan orde baru
saat itu. Habibie mengambil beberapa kebijakan strategis untuk memulihkan
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh rezim pemerintahan pendahulunya.
Habibie memberikan keleluasaan bagi pendapat dan kritik politik yang cukup
signifikan jika dibandingkan dengan kebijakan pengekangan kebebasan
berekspresi yang diterapkan di masa pemerintahan Soeharto.
Langkah awal yang dilakukan Habibie adalah memberikan amnesti atau
pengampunan bagi Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan yang dipidana
karena dianggap melawan kedudukan pemerintah saat itu.239 Habibie memang
memprioritaskan pembebasan tahanan politik yang memang masih dipertanyakan
proses hukumnya. Dalam hal kebebasan berekspresi sendiri, Habibie
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Undang-undang itu menjamin setiap
warga negara untuk bisa menyampaikan pendapatnya baik dengan lisan, tulisan,
dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab. Undang-undang tersebut
mengatur bentuk-bentuk penyampaian pendapat seperti demonstrasi, pawai, rapat
umum, atau mimbar bebas, dengan ketentuan pelaksanaannya masing-masing.
Menyusul undang-undang tersebut, diterbitkan pula Undang-Undang Nomor 40
tahun 1999 sebagai wujud perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 1966
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dan Undang-Undang No. 21 tahun 1982
yang mengubah Undang-Undang terdahulu. Keduanya cenderung memberangus
kebebasan berekspresi daripada mengatur bagaimana kebebasan bereskpresi
tersebut seharusnya diaktualisasikan.

                                                                                                                       
238
“Dua Tahun Penjara untuk Aktivis PIJAR”, 11 September 1995,
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/09/12/0002.html diakses pada 2 Juni 2015.
239
“Habibie akan Bebaskan Bintang dan Pakpahan”, Kompas Online, 25 Mei 1998,
http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Chronicle/Kompas/May25/habi01.htm diakses
pada 2 Juni 2015.

Universitas Indonesia
147

Selain mengeluarkan undang-undang tersebut, Habibie juga mencabut


pemberedelan pers yang diterapkan pada masa Soeharto masih berkuasa diiringi
dengan penyederahaan permohonan SIUUP bagi pers, dari 16 (enam belas) tahap
menjadi 3 (tiga) tahap saja. Alhasil, banyak sekali muncul media massa cetak,
baik surat kabar ataupun majalah. Hampir 1.000 (seribu) SIUPP baru telah
disetujui bulan Juni 1998 sampai Desember 2000. Angka tersebut tidak termasuk
sekitar 250 (dua ratus lima puluh) SIUPP yang telah diterbitkan sebelum
reformasi dan setelah tahun 2000. Terjadi reformasi dalam tubuh Departemen
Penerangan Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Moh. Yunus Yosfiah.
Moh. Yunus berusaha memperbaiki keadaan kebebasan pers dengan cara
mencabut semua keputusan yang membatasi kebebasan pers, memberi izin baru
kepada puluhan stasiun radio dan memutus monopoli kepemilikan televisi
Terkait dengan pemberedelan media massa, B. J. Habibie sendiri
sebenarnya tidak dapat menerima tindakan pemberedelan yang dilakukan
Harmoko terhadap Tempo karena menurutnya media berisi orang pintar dan kritis
yang membangun Indonesia dengan sumber dayanya. Habibie sendiri
menerangkan bahwa pembredelan Tempo itu tidak ada hubungan dengan dirinya
dan ia tidak mengetahui mengenai mark up pembelian kapal perang tersebut.240
Dengan adanya komitmen untuk memberikan kebebasan pers, ketentuan
mengenai penghinaan Presiden dan Wakil Presiden praktis tidak pernah lagi
digunakan selama Habibie menjabat sebagai Presiden.

4.2.3 Dokumentasi Pemberitaan Rezim Pemerintahan Presiden


Abdurrachman Wahid
Atmosfir kebebasan berekspresi dan berpendapat yang ditumbuhkan pada
masa pemerintahan Habibie berlanjut pada masa pemerintahan Abdurrachman
Wahid atau Gus Dur. Gus Dur memperoleh Tasrif Award yang diberikan oleh AJI
karena Gus Dur dianggap telah memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia.

                                                                                                                       
240
“Liberalisasi Pers Terjadi pada Zaman BJ Habibie”, Satu Harapan, 30 Agustus 2013,
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/liberalisasi-pers-terjadi-pada-zaman-bj-habibie
diakses pada 4 Juni 2015.

Universitas Indonesia
148

Salah satu kebijakan Gus Dur adalah pembubaran Kementerian Penerangan yang
selama ini mengatur dan mengawasi pergerakan pers di Indonesia.241
Seiring dengan kebebasan berekspresi yang semakin berkembang pada
masa Pemerintahan Gus Dur, ada banyak sekali kritik yang diajukan oleh
masyarakat khususnya media massa terhadap pilihan tindakan yang diambil Gus
Dur dalam menyelesaikan masalah-masalah pemerintahan saat itu. Pada masa
inilah mulai berkembang mekanisme kritik berupa pembuatan karikatur yang
cenderung bermakna sarkastik. Sebagai contoh, untuk mengkritik Gus Dur yang
seolah acuh dengan budaya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang terjadi
pada saat itu, Majalah Tempo Edisi 8-14 Mei 2000 menampilakn gambar Gus Dur
mengenakan baju batik dan kaca mata, sedang duduk dantai dan tertawa rileks. Di
depan Gus Dur terdapat alat ukur yang bertuliskan clean government yang
menunjukkan indeks prestasi Gus Dur dalam mewujudkan pemerintahan yang
bersih. Alat ukur itu menunjukkan angka 50%, namun Gus Dur masih terlihat
santai dan tidak peduli. Kemudian majalah Tempo edisi 17-23 Juli 2000
menampilkan karikatur Gus Dur dengan baju baja yang sedang mengahadapi
panah-panah yang banyak jatuh berserakan di atas tanah. Panah-panah itu
diibaratkan sebagai kritik sedangkan baju baja merupakan kekuatan kelompok
pendukung yang melindungi Gus Dur dari berbagai serangan politik.242
Pada periode kepemimpinan Gus Dur, banyaknya kritik yang diajukan
terhadap Pemerintah lebih banyak diselesaikan dengan pembiaran atau balas-
berbalas argumentasi oleh pihak pendukung Presiden. Tidak ditemukan adanya
indikasi kriminalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap orang-orang yang
mngajukan pendapat. Pada masa pemerintahan Gus Dur sendiri, Departemen
Penerangan yang dulu menjadi otoritas utama yang berhak melakukan
pemberedelan dibubarkan.243

                                                                                                                       
241
“Dari Dialog Presiden Gus Dur dan Wakil Rakyat”, Tempo Interaktif,
http://tempo.co.id/harian/opini/ana-18111999.html diakses pada 4 Jui 2015.
242
Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: LKiS, 2001),
halaman 249-250.
243
Ibid.

Universitas Indonesia
149

4.2.4 Dokumentasi Pemberitaan Rezim Pemerintahan Presiden Megawati


Soekarnoputri
Setelah kepemimpinan Gus Dur usai, Presiden Megawati naik sebagai
Presiden. Dalam kepemimpinannya, pers dan kebebasan bereskpresi tidak
memperoleh kebebasan seluas yang terjadi pada 2 (dua) periode sebelumnya.
Pada rezim Pemerintahan Megawati, ditemukan beberapa pemberitaan bahwa
kriminalisasi terhadap kritik-kritik yang diajukan terhadap Presiden atau Wakil
Presiden secara khusus atau Pemerintah secara umum. Tercatat bahwa setidak-
tidaknya terdapat lebih dari 15 (lima belas) kasus kriminalisasi berdasarkan
ketentuan pasal 134, 136bis, dan pasal 137 KUHP. Mayoritas kasus yang
mengalami kriminalisasi oleh Pemerintah saat itu adalah kasus demonstrasi yang
banyak menggunakan properti teatrikal. Penggunaan properti tersebut dianggap
menghina nama baik Presiden Megawati karena properti-properti tersebut dibakar,
dirusak, atau dimanipulasi sedemikain rupa sehingga menampilkan kesan tercela
bagi diri Presiden Megawati.
Pada tahun 2002, Raihana Diany, Aktivis HAM dari Organisasi
Perempuan Aceh Demokratik (ORPAD) dituduh telah melanggar ketentuan pasal
134 KUHP atas keterlibatannya dalam aksi protes tanggal 16 Juli. Menurut
dakwaan yang ada, Raihana memimpin 6 (enam) pendemo lainnya untuk
membawa berbagai spanduk, termasuk yang bertuliskan, “Ganti Mega-Hamzah
demi kebebasan Aceh, bentuk Pemerintah yang berpihak pada masyarakat
miskin.” Mereka juga membawa gambar Presiden dan Wakil Presiden yang diberi
tanda “X”, yang megindikasikan penolakan atas Presiden dan Wakil Presiden
tersebut. Menurut Majelis Hakim dalam persidangan tersebut, Raihana dinyatakan
bersalah karena berusaha menjatuhkan Pemerintahan Megawati-Hamzah, dan
telah mempermalukan harga diri Pemerintah.244 Meskipun Raihana bersikeras
menyatakan bahwa apa yang dilakukannya adalah perwujudan dari kritik dan ia
tidak memiliki niatan sama sekali untuk menghina Presiden Megawati, pengadilan
menjatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dipotong masa tahanan.

                                                                                                                       
244
“Activist Gets Six Months Jail for Insulting President Megawati, The Jakarta Post 8
Januari 2003, http://www.thejakartapost.com/news/2003/01/08/activist-gets-six-months-jail-
insulting-President-megawati.html diakses pada 5 Juni 2015.

Universitas Indonesia
150

Adanya seruan untuk menjatuhkan Presiden dan Wakil Presiden dengan


pemerintahan rakyat miskin juga terjadi pada tahun yang sama di Jakarta. Saat itu,
tanggal 26 Juli 2002, ratusan mahasiswa melakukan demo di depan kampus
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP). Demo ini berlangsung di bawah
koordinasi Jaringan Kerja (JAKER) dan Liga Mahasiswa Nasional Demokratik
(LMND). Dalam demo tersebut, mahasiswa mengarak-arak patung Megawati
menggunakan topi bergaya Amerika bertuliskan “IMF” yang terbuat dari bambu
dan kertas koran. Selama berjalannya demo, mahasiswa menyuarakan yel-yel
sambil mengarak-arak patung tersebut. Seorang mahasiswa bernama Kiastomo
kemudian spontan membakar patung tersebut setelah memperoleh seruan dari
mahasiswa lain untuk segera membakarnya. Alhasil, Kiastomo ditangkap oleh
polisi dan dipidana selama 5 (lima) bulan. Pengrusakan patung yang demikian
juga terjadi di Surabaya pada tahun 2002. Saat itu digelar demonstrasi
memperingati 4 (empat) tahun lengsernya Soeharto pada bulan Mei 2002. Ignas
Kleruk, mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang merupakan aktivis Liga
Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) melakukan pengrusakan patung
Megawati. Atas perbuatannya, ia dipidana karena telah menghina Presiden.
Demonstrasi serupa terjadi pada tanggal 30 Juli 2002 dengan pengunjuk rasa
berjumlah sekitar 200 (dua ratus) orang. Dalam perkara tersebut, Billal Abubakar
Ahmad Faugi ditangkap dan diadili dengan dasar melakukan penghinaan Presiden
karena telah merobek-robek gambar Wakil Presiden Hamzah Haz.
Demonstrasi yang menyebar hingga ke seluruh penjuru Indonesia
menyebabkan terjadinya kriminalisasi oleh aparat negara tidak hanya terbatas
pada Pulau Jawa saja. Masih di tahun 2002, Frans Kurniawan, Ketua Partai rakyat
Demokratik (PRD) cabang Manado di Sulawesi didakwa menghina Presiden dan
Wakil Presiden Indonesia karena telah mengatur penurunan poster Presiden
Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz di alun-alun depan kantor Gubernur
Manado pada tanggal 24 September 2002. Tak lama setelahnya, seorang
mahasiswa Universitas Islam Makassar bernama Andi Abdul Karim dipidana
telah melakukan penghinaan terhadap Presiden karena tindakannya membawa
poster Megawati dan Hamzah Haz, yang kemudian dinilai menghasut dua
pendemo lainnya untuk membakar poster sambil meneriakkan bahwa Megawati

Universitas Indonesia
151

dan Hamzah tidak cocok sebagai Presiden dan Wakil Presiden di Republik ini.
Hal itu dilakukannya dalam sebuah demo sebagai wujud protes terhadap Presiden
dan Wakil Presiden menuntut penyelenggaraan pendidikan yang “murah, ilmiah
dan demokratis”. Pada tahun berikutnya berlokasi di Propinsi Sulawesi Tenggara,
Susyanti Kamil, An’am Jaya, Sahabuddin, Ansar Suherman, dan Muhammad
Akman dipidana karena telah menghina Presiden dan Wakil Presiden dengan
menginjak-injak dan kemudian membakar poster Megawati dan Hamzah Haz
pada sebuah aksi demo.
Penangkapan para pendemo meningkat pada bulan Januari 2003 ketika
protes dan demo besar-besaran bermunculan setelah pemerintah mengumumkan
kenaikan listrik, telpon dan BBM. Aksi protes besar-besaran terjadi di seluruh
nusantara, meliputi Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Papua.245 Di awal tahun
2003, terjadi demo di depan Istana Presiden memprotes kenaikan harga Tarif
Dasar Listrik (TDL), harga minyak goreng, dan biaya telepon. Salah seorang
demonstran, Iqbal Siregar membawa poster Presiden Megawati sedang
mengenakan blus merah dengan mata yang ditutupi lakban. Di atas poster tersebut
ada tulisan “Buronan Rakyat”. Iqbal juga dituduh membawa poster di atas
kepalanya di dekat para pendemo dan menghasut mereka untuk mulai
meneriakkan “Inilah Presiden yang Mengecewakan Rakyat”. Atas perbuatan
tersebut, Iqbal dipersalahkan telah melakukan tindak pidana penghinaan terhadap
Presiden Megawati.
Tak lama setelah kasus yang melibatkan Iqbal Siregar, 2 (dua) orang
aktivis, Nanang dan Mudzakir dipidana 1 (satu) tahun penjara karena menginjak-
injak gambar Megawati Soekarno Putri dalam sebuah aksi kesenian bersama
rombongan mahasiswa yang menyampaikan pendapatnya di muka Istana
Merdeka, Jakarta. Pada saat itu, terdapat sekelompok orang yang mengecat tubuh
mereka dengan berbagai macam warna untuk menggambarkan penderitaan
masyarakat Indonesia. Beberapa orang juga menempelkan slogan bergambar di

                                                                                                                       
245
“Violence Erupts as Street Demonstrations Heighten,” The Jakarta Post, 8 Januari, 2003,
http://www.thejakartapost.com/news/2003/01/08/violence-erupts-street-demonstrations-
heighten.html diakses pada 3 Juni 2015.

Universitas Indonesia
152

tubuh mereka termasuk pesan yang bertuliskan “Mega Hamzah Haz Turun”.246
Terdapat 4 (empat) orang lainnya yang membawa tandu dengan poster Megawati
dan Hamzah Haz di atasnya. Beberapa mahasiswa lain membawakan pidato
dengan pengeras suara sembari meneriakkan “Turunkan Megawati Soekarnoputri
dan Hamzah Haz dan bentuk pemerintahan transisi!”. Setelah itu, tandu dan
poster-poster dijatuhkan ke tanah dan selanjutnya diinjak-injak. Enam dari pemain
seni tersebut melempar nasi basi ke atas foto-foto itu yang melambangkan
penderitaan masyarakat yang terpaksa makan nasi basi. Nanang dan Muzakkir
merupakan bagian dari pemain seni dan tampak menginjak-injak foto tersebut.
Beberapa hari kemudian, Nanang dan Mudzakir ditangkap ketika sedang
mengamen oleh beberapa orang yang tidak berseragam. Dalam tahap penyidikan,
Nanang dan Mudzakir mengalami penganiayaan dari pihak kepolisian. Dalam
persidangan, tim pembela memberikan argumen bahwa pertunjukan seni itu hanya
simbol, dan oleh karenanya peserta yang memainkannya hanya menyampaikan
pesan politik mereka, yang menandakan bahwa pemegang kekuasaan tidak
tersentuh dengan kebutuhan masyarakat miskin. Pembelaan tersebut ditolak oleh
hakim yang beranggapan bahwa tindakan kedua terdakwa memenuhi unsur-unsur
pasal 134 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Baik Nanang ataupun Mudzakir dijatuhi
pidana penjara salaam 1 (satu) tahun penjara.247
Di tahun yang sama, Yoyok dan Mahendra ditangkap karena dianggap
telah menghina Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz pada sebuah
demo anti-pemerintah di Yogyakarta. Aksi Demo ini khusus ditujukan kepada
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk memprotes kenaikan harga-harga
pada awal Januari. Dalam demonstrasi tersebut, Yoyok dan Mahendra dituduh
telah membakar poster Megawati dan Hamzah Haz. Oleh karenanya, baik Yoyok
ataupun Mahendra dipersalahkan telah melanggar ketentuan pasal 134 KUHP dan
mereka dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dipotong masa tahanan.
Melalui media yang berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya,
Supratman, editor senior dari Harian Rakyat Merdeka di Jakarta, juga
                                                                                                                       
246
“Kembali ke Orde Baru? Tahanan Politik di Bawah Kepemimpinan Megawati”, Human
Rights Watch Annual Report Vol 15 No. 4C, Juli 2003,
https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/indonesia0703in.pdf diakses pada 5 Juni 2015.
247
“Dua Demonstran Diganjar Setahun Penjara,” Kompas, 25 Oktober, 2002.

Universitas Indonesia
153

dipersalahkan telah menghina Presiden Megawati akibat publikasi serangkaian


artikel yang seluruhnya dimuat di harian Rakyat Merdeka pada bulan Januari
2003. Dalam salah satu artikel tersebut, terdapat uraian yang membandingkan
Presiden Megawati dengan seorang laki-laki yang bernama Soemanto, seorang
kanibal yang telah membunuh dan memakan tubuh tetangganya sendiri. Selain itu,
Supratman juga dipersalahkan karena telah memuat berita yang dimuat berturut-
turut mulai tanggal 6 Januari 2003 dengan judul “Mulut Mega Bau Solar” dan
berita tanggal 8 Januari 2003 yang berjudul “Mega Lintah Darat”. Kemudian pada
tanggal 4 Februari 2003, harian Rakyat Merdeka memuat artikel berjudul “Mega
Cuma Sekelas Bupati” dilengkapi dengan karikatur yang bermakna sarkasme.
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum menilai bahwa judul yang dibuat oleh
terdakwa tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Jaksa Penuntut Umum
menyatakan bahwa terdakwa mengetahui Mega yang disebut dalam berita itu
adalah Presiden Megawati. Presiden Megawati mulutnya tidak berbau solar, tidak
pernah menjadi penghisap darah seperti lintah ataupun memakan manusia seperti
Sumanto. Jadi judul tersebut adalah buatan terdakwa yang melenceng dari fakta
yang ada.248
Selain menerapkan kriminalisasi berdasarkan pada ketentuan penghinaan
Presiden dan Wakil Presiden, rezim pemerintahan Megawati juga masih sering
menerapkan ketentuan pidana terkait penyebaran kebencian terhadap Pemerintah
sebagaimana diatur dalam pasal 154 dan 155 KUHP. Faisal Saifuddin, ketua LSM
Sentral informasi Referendum Aceh (SIRA) dinyatakan bersalah telah
menyebarkan kebencian terhadap Pemerintah karena keterlibatannya dalam
sebuah demo yang dilakukannya pada tanggal 9 November 2000, juga demo
kedua pada tanggal 13 November 2000. Dalam kedua demo tersebut, disebarkan
pamflet yang isinya mengutuk kejahatan-kejahatan pemerintahan neo-kolonial
Indonesia terhadap kemanusiaan yang dianggap “menindas hak-hak asasi dan
harga diri masyarakat Aceh.”249 Pamflet itu diakhiri dengan seruan kepada PBB

                                                                                                                       
248
“Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Didakwa Menghina Presiden Megawati”, Tempo
Nasional 3 Juni 2003, http://nasional.tempo.co/read/news/2003/06/03/05518942/redaktur-
eksekutif-rakyat-merdeka-didakwa-menghina-Presiden-megawati diakses pada 5 Juni 2015.
249
“Polda akan Memanggil Ketua SIRA dan tokoh Solidamor,” Tempo Interaktif, 14 Mei,
2001.

Universitas Indonesia
154

dan masyarakat internasional agar melakukan tekanan baik kepada pemerintahan


neo-kolonial Indonesia maupun GAM untuk mengadakan gencatan senjata dan
menghentikan kekerasan di Aceh. Dakwaan tersebut juga dikaitkan dengan aksi
pengeboman yang terjadi di Asrama mahasiswa Aceh di Manggarai, Jakarta
Selatan. Atas dakwaan tersebut, Faisal dijatuhi hukuman pidana selama 1 (satu)
tahun.
Hal serupa juga menimpa Muhammad Nazar, ketua SIRA di Aceh karena
tindakannya menggantungkan spanduk yang isinya setuju untuk diadakan
pemungutan suara yang bebas dan melawan TNI selama demo dari kampus ke
kampus pada bulan Agustus 2000. Selain itu, Nazar juga dianggap memprovokasi
dilakukannya kampanye dan pidato-pidato mengenai referendum Aceh. Pihak
kepolisian menerangkan bahwa penahanan terhadap Nazar disebabkan juga
karena aktivitas Nazar dapat membahayakan kesepakatan gencatan senjata yang
baru saja diberlakukan di Aceh dan gerakan SIRA dipandang menyokong para
separatis bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Nazar divonis bersalah pada
bulan Maret 2001 dan dijatuhi hukuman sepuluh bulan penjara.

4.2.5 Dokumentasi Pemberitaan Rezim Pemerintahan Presiden Susilo


Bambang Yudhoyono
Dalam rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
pemidanaan berdasarkan pada penghinaan Presiden dan Wakil Presiden relatif
menurun jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Megawati. Sementara itu
pemidanaan berdasarkan penyebaran kebencian terhadap Pemerintah hampir tidak
ada. Pada tahun 2004, seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga membakar foto Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam
sebuah demonstrasi di Jakarta. Atas perbuatannya, Bai Harkat Firdaus dijatuhi
pidana penjara selama 5 (lima) bulan. Persitiwa serupa juga terjadi dan menimpa
Fathur Rohman, seorang mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi di Kampus
Universitas Nasional di Jakarta. Saat itu, Fathur Rohman ditangkap karena
membakar poster SBY dan Jusuf Kalla. Selain melakukan pembakaran, Fathur
Rohman juga melakukan orasi yang dinilai menghina Presiden dan Wakil
Presiden. Di samping itu, hakim beranggapan bahwa sebagai mahasiswa yang

Universitas Indonesia
155

berintelektual tinggi, Fathur Rohman seharusnya dapat menilai bahwa tindakan


yang dilakukannya tercela dan tidak pantas untuk dilakukan.250
Selanjutnya di tahun 2005, I Wayan Gendo Suardana, Ketua
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Bali dipidana penjara
selama 6 (enam) bulan karena keterlibatannya dalam demonstrasi menentang
kenaikan harga BBM. Ia didakwa Jaksa Penuntut Umum telah melanggar
ketentuan pasal 134 KUHP jo. Pasal 136 KUHP. Dakwaan tersebut didasarkan
pada fakta mengenai keterlibatan Gendo dalam demonstrasi bersama organisasi
Frontier Denpasar saat menolak kenaikan harga BBM di depan gedung DPRD
Bali. Dalam demonstrasi tersebut, Gendo membawa sejumlah gambar Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang dicoreti hingga mirip drakula dan berujung
pada pembakaran foto-foto tersebut.251 Di tahun yang sama, Sri Bintang
Pamungkas dipanggil ke Polda Metro Jaya karena terlibat dalam penurunan
gambar Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam peluncuran buku
yang berjudul “Membongkar Kebohongan Politik SBY-JK”, namun kasusnya
tidak berlanjut hingga ke pengadilan.252 Selain itu, pasal penghinaan Presiden juga
dikenakan kepada aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI),
Monang Johannes Tambunan karena ucapannya yang merendahkan nama baik
SBY ketika ia sedang memberikan orasi. Saat itu, Monang meneriakkan kata-kata,
“SBY anjing! SBY babi!” sebagai wujud kekecewaan Monang dan kawan-
kawannya terhadap kinerja program 100 hari SBY yang tidak memberikan
dampak signifikan terhadap masyarakat. Atas perbuatannya, Monang dihukum
pidana selama 6 (enam) bulan penjara.253 Masuk ke tahun 2006, Eggi Sudjana,
seorang advokat dipersalahkan melakukan penghinaan terhadap SBY Karena
                                                                                                                       
250
“Mahasiswa Penghina Presiden Dituntut Enam Bulan”, Tempo, 19 Oktober 2006,
http://nasional.tempo.co/read/news/2006/10/19/05586416/mahasiswa-penghina-Presiden-dituntut-
enam-bulan diakses pada 5 Juni 2015.
251
“Bakar Foto Presiden Yudhoyono Dipenjara 6 Bulan”, Tempo 10 Juni 2005,
http://nasional.tempo.co/read/news/2005/06/10/05562313/bakar-foto-Presiden-yudhoyono-
dipenjara-6-bulan diakses pada 6 Juni 2015.
252
“Sri Bintang Menolak Diperiksa Polisi”, Tempo, 25 Juli 2005,
http://nasional.tempo.co/read/news/2005/07/25/05564340/sri-bintang-menolak-diperiksa-polisi
diakses pada 5 Juni 2015.
253
“Pelaku Penghinaan Kepala Negara Divonis Enam Bulan”, Tempo 9 Mei 2005,
http://nasional.tempo.co/read/news/2005/05/09/06360736/pelaku-penghinaan-kepala-negara-
divonis-enam-bulan diakses pada 6 Juni 2015.

Universitas Indonesia
156

kedatangannya di KPK untuk mengklarifikasi informasi mengenai kemungkinan


SBY menerima hadiah mobil mewah dari seorang pengusaha. Eggi selanjutnya
dipidana dan atas pemidanaan tersebut, ia mengajukan permohonan pengujian atas
ketentuan pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP. Permohonan tersebut dikabulkan
oleh Mahkamah Konstitusi ketika sidang perkara Eggi sudah mendekati agenda
penjatuhan putusan namun Eggi Sudjana tetap dipersalahkan melakukan
penghinaan Presiden SBY.
Mengacu pada studi dokumen tersebut, maka dapat dibuat tabulasi
mengenai aspek-aspek penting yang dipergunakan sebagai landasan pemetaan
dinamika politik hukum pidana atas penerapan Pasal 134 KUHP sebagai berikut:

Tabel 4.2 Studi Dokumen Masing-Masing Rezim Pemerintahan

Rezim Kebijakan Utama Pasal Jumlah Keterangan


Kasus
Soeharto − Perbaikan ekonomi 154 4 Pasal ini sering
− Pemurnian dan dikombinasikan dengan
Pancasila dan UUD 155 pasal 134 KUHP
NRI 1945; KUHP
− Pengawasan pers 134 5 Perbuatan yang
KUHP dipidana meliputi
demonstrasi, pidato,
pemberitaan dalam
majalah. Hukuman
berkisar antara 2-4
tahun.
Habibie − Reformasi kebijakan - - -
− Pelonggaran pers
Gus Dur Reformasi kebijakan - - -
Megawati − Swastanisasi BUMN 154 2 Kasus dianggap
− Penaikkan harga dan memprovokasi
kebutuhan pokok 155 terpisahnya Aceh dari
KUHP Indonesia.

Universitas Indonesia
157

134 15 Perbuatan yang


KUHP dipidana meliputi
demonstrasi dan
pemberitaan dalam
majalah. Hukuman
yang dijatuhkan
berkisar antara 4 bulan-
1 tahun 6 bulan.
SBY Program 100 hari 134 6 Perbuatan yang
KUHP dipidana meliputi
demonstrasi dan
klarifikasi atas tuduhan
korupsi Presiden.

Melalui tabulasi di atas, dapat dibuat fluktuasi jumlah kasus yang


mengalami pemidanaan berdasarkan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
sebagai berikut:

Gambar 4.1 Grafik Fluktuasi Jumlah Perkara Penghinaan Presiden


dan Wakil Presiden Tahun 1998-2013

16

14

12

10

8 Pasal 134 KUHP


Pasal 154 KUHP
6

0
Soeharto Habibie Gus Dur Megawati SBY

Universitas Indonesia
158

4.3 Hasil Wawancara


Mengingat bahwa beberapa informasi yang diperoleh melalui studi
dokumen belum cukup untuk memberikan gambaran mengenai peristiwa pidana
yang terjadi serta kondisi kriminalisasi bagi kebebasan berekspresi yang ada,
penulis melakukan wawancara terhadap beberapa narapidana yang dipersalahkan
telah melakukan penghinaan Presiden, yaitu dipidana berdasarkan pasal 134
KUHP. Berikut adalah uraian wawancara yang penulis lakukan terhadap 2 (dua)
orang narasumber, yaitu Tri Agus Siswodihardjo, Kepala Redaksi Kabar dari Pijar
(KdP) yang dipidana karena dianggap menghina Presiden Soeharto dan Monang
Johannes Tambunan, aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
yang dianggap telah menghina Presiden SBY. Kedua narasumber merupakan
orang-orang yang banyak terlibat dengan aktivis dan pers saat itu, sehingga kedua
narasumber dinilai memiliki kapasitas untuk memberikan pemaparan mengenai
situasi kebatinan, dinamika politik, juga kondisi proses hukum yang ada.

4.3.1 Tri Agus Siswowihardjo


Tri Agus Siswodihardjo yang sering disingkat dengan TASS, adalah
kepala redaksi Kabar dari PIJAR, sebuah buletinyang diterbitkan oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat dengan nama yang sama, PIJAR, singkatan dari Pusat
Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi. Pada tanggal 4 Juni 2015, penulis
mewawancarai TASS di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada pukul 11.00
hingga 13.00 WIB. Dalam wawancara tersebut, narasumber menceritakan sejarah
pendirian PIJAR sebagai salah satu LSM jurnalistik yang banyak membahas isu
politik dan pemerintahan. Kabar dari PIJAR banyak membuat pemberitaan
mengenai pemberangusan kebebasan bereskpresi yang dilakukan oleh pihak
Pemerintah, hingga segala kritik mengenai sistem otoritarian yang diterapkan oleh
Presiden Soeharto pada masa itu.
Sebagai salah satu media massa yang gencar memberitakan isu-isu
politik, narasumber mengaku selalu mengikuti berbagai macam kegiatan diskusi.
Salah satunya adalah kegiatan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Saat
itu, Adnan Buyung Nasution membuat pernyataan, “negara ini telah diajtuhkan

Universitas Indonesia
159

oleh seseorang bernama Soeharto”. Atas pidato tersebut, narasumber menulis


sebuah artikel berjudul “Adnan Buyung Nasution: Negara ini Telah Dijatuhkan
oleh Soeharto”. Tidak lama setelah KdP yang memuat artikel tersebut beredar,
narasumber ditangkap dan ditahan di Rumah Tahanan Jakarta Pusat selama 2
(dua) bulan kemudian dipindahkan ke Rumah Tahanan Salemba.
Narasumber didakwa telah melanggar ketentuan pasal 134 KUHP
tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, pasal 155 KUHP
tentang penyebaran kebencian terhadap Pemerintha, dan pasal 160 KUHP tentang
penghasutan agar melakukan kekerasan atau tidak patuh pada aturan yang ada.
Dalam persidangan, hakim dan jaksa menampik fakta bahwa Adnan Buyung
Nasution yang membuat pernyataan “Negara ini Telah Dijatuhkan oleh Soeharto”,
sekalipun Adnan sendiri tidak mengkonfirmasi hal tersebut dengan tegas.
Akhirnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa narasumber sebagai terdakwa saat
itu mengada-ada dalam membuat artikel yang bersangkutan. Terdakwa dianggap
tidak memperhatikan kebenaran pernyataan tersebut sementara pernyataan
tersebut dianggap mendiskreditkan nama baik Presiden Soeharto. Akhirnya,
terdakwa dipersalahkan sebagai pembuat dan penyebar pernyataan hinaan yang
diwujudkan dalam bentuk artikel KdP.

4.3.2 Monang Johanes Tambunan


Monang Johanes Tambunan merupakan aktivis Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia (GMNI) yang saat itu menjabat sebagai Ketua Presidium
Nasional GMNI. Dalam wawancara yang dilakukan penulis terhadap narasumber
pada tanggal 1 Juni 2015 di Gedung Balaikota Jakarta pukul 12.00 hingga 13.00
WIB, narasumber menjelaskan kriminalisasi yang dilakukan terhadapnya atas
dasar penghinaan Presiden SBY. Kriminalisasi tersebut bermula dari demonstrasi
menagih janji program 100 (seratus) hari SBY yang mana SBY menjanjikan
turunnya berbagai macam harga kebutuhan pokok namun hingga 100 (seratus)
hari berlalu belum ada perbaikan. Demo tersebut dilakukan di hadapan Istana
Merdeka dengan pengunjuk rasa mencapai 5000 (lima ribu) orang. Saat itu,
narasumber sebaga ketua presidium GMNNI memiliki kesempatan untuk berorasi
selama 30 (tiga puluh) menit lamanya. Dalam orasi tersebut, narasumber sempat

Universitas Indonesia
160

mengucapkan kalimat “SBY anjing! SBY babi!” berulang-ulang. Pernyataan


serupa juga sempat diucapkan oleh beberapa orator lain. Saat itu, pihak kepolisian
menempatkan beberapa personilnya sebagai pengamat demonstrasi. Beberapa hari
setelahnya, narasumber ditangkap oleh pihak kepolisian.
Dalam pembuktian, pihak tim pengamat dari kepolisian hadir sebagai
saksi yang memberatkan terdakwa. Semua polisi mengaku melihat dan mendengar
narasumber membuat pernyataan yang menghina. Narasumber mengajukan
pembelaan bahwa apa yang dilakukannya adalah demi kepentingan umum karena
sebenarnya narasumber tidak berniat menghina Presiden SBY. Narasumber hanya
ingin mewakili masyarakat Indonesia menagih hal yang telah dijanjikan Presiden
SBY, yaitu perubahan dalam jangka waktu 100 (seratus) hari. Majelis Hakim
menolak pembelaan tersebut. Sebaliknya, Majelis Hakim justru beranggapan
bahwa Presiden SBY merupakan kepala negara yang harus dihormati sehingga
apa yang dilakukan oleh terdakwa tidaklah pantas. Akhirnya, tuntutan jaksa untuk
menjatuhkan putusan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dikabulkan oleh
Majelis Hakim.

4.4 Pemetaan Dinamika Politik Pemidanaan Rezim Pemerintahan


Setelah melihat berbagai macam dokumen yang menggambarkan kondisi
kriminalisasi berdasarkan pada pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
yang diatur dalam pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP, dapat dianalisis politik
hukum pidana yang dijadikan pijakan pemerintah di masa itu. Dalam uraian
beberapa kasus, dapat dilihat bagaimana pemerintah melalui institusi pengadilan
memaknai unsur “sengaja menghina Presiden dan Wakil Presiden” dan
mengaitkannya dengan perbuatan materiil yang ada. Politik pemidanaan di
masing-masing rezim pemerintahan akan menunjukkan bagaimana pemerintah
berusaha mencapai tujuan dan mewujudkan ideologi rezimnya. Dalam konteks
ini, hukum difungsikan sebagai alat yang digunakan untuk mencapai tujuan
negara sementara politik hukum pidana dapat dimaknai sebagai bagaimana alat
tersebut dipergunakan, yang setidak-tidaknya terdiri dari 3 (tiga) hal:254 pertama,
kebijakan negara (garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak
                                                                                                                       
254
Moh. Mahfud M.D., Op.Cit., halaman 9-10.

Universitas Indonesia
161

diberlakukan dalam rangka pencapaian tujuan negara; kedua, latar belakang


ekonomi, sosial, politik, budaya atas lahirnya produk hukum; ketiga, penegakan
hukum di dalam kenyataan di lapangan. Berbagai macam aspek tersebut akan
membentuk konfigurasi politik yang akan menjadi faktor determinan pada
karakter dan substansi kebijakan yang ada.
Konfigurasi politik dalam suatu rezim pemerintahan akan sangat
berpengaruh pada produk hukum yang dihasilkan. Konfigurasi politik yang
demokratis akan menghasilkan hukum yang responsif, yaitu hukum yang
pembuatannya partisipatif, muatannya aspiratif, dan rincian isinya limitatif.
Sementara konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang
ortodoks atau konservatif, yaitu hukum yang pembuatannya sentralistik-
dominatif, muatannya positivis-instrumentalistik, dan rincian isinya cenderung
terbuka bagi berbagai macam interpretasi. Konfigurasi sistem politik yang
demokratis bericiri-ciri sebagai berikut: 2551). Partai politik dan parlemen kuat dan
menjadi penentu utama dalam haluan dan kebijakan negara; 2). Lembaga
eksekutif netral; 3). Pers bebas, tanpa sensor ataupun pemberedelan, serta minim
kriminalisasi. Sementara itu, sistem politik yang otoriter memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: 1). Partai politik dan parlemen lemah dan berada di bawah kendali
eksekutif; 2). Lembaga eksekutif intervensionis dan cenderung turut campur
dalam segala urusan pemerintahan; 3). Pers sangat dibatasi, diancam sensor
ataupun pemberedelan, serta banyak mengalami kriminalisasi. Dalam tulisan ini,
akan dilihat bagaimana kondisi di lapangan untuk nantinya dapat dipetakan
bagaimana konfigurasi politik yang ada serta bagaimana pilihan politik pidana
yang diterapkan.

4.4.1 Rezim Pemerintahan Presiden Soeharto


Rezim Pemerintahan Soeharto adalah rezim yang cenderung lebih opresif
dibandingkan dengan rezim pemerintahan sebelum atau setelahnya. Pada masa
pemerintahan Soeharto, terjadi pemberangusan pendapat warga negara yang tidak
sesuai atau bertentangan dengan kepentingan negara.256 Hal tersebut diwujudkan

                                                                                                                       
255
Moh. Mahfud M.D., Op.Cit., halaman 12.
256
Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara: Telaah tentang Penerapan Delik Keamanan

Universitas Indonesia
162

dengan melakukan kriminalisasi warga negara menggunakan ketentuan-ketentuan


dalam hukum pidana yang meliputi:
− Penghinaan martabat Presiden dan Wakil Presiden (Lèse-Majesté)
sebagaimana termuat dalam Pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP.
− Penyebaran kebencian terhadap pemerintah (Haatzaaiartikelen) yang
tercantum dalam Pasal 154-154 KUHP.
− Pasal yang terkait dengan kejahatan ideologi komunisme dan
marxisme yang tercantum dalam Pasal 107a-d KUHP.
Kelompok pasal tersebut yang paling banyak digunakan untuk
menangkap, menahan, mengadili, dan menghukum musuh-musuh politik
pemerintahan Orde Baru. Namun, dari ketiga kelompok pasal tersebut, pasal
penghinaan martabat Presiden dan Wakil Presiden (Lèse-Majesté) dan penyebaran
kebencian terhadap pemerintah (Haatzaaiartikelen) yang lebih sering digunakan
karena lebih lentur sehingga dapat diinterpretasikan secara lebih luas.
Sama halnya seperti ketentuan mengenai Lèse-Majesté dan
Haatzaaiartikelen merupakan ketentuan Hukum Pidana Belanda yang diterapkan
pada masa penjajahan, yang kemudian masih dipertahankan melalui Undang-
Undang nomor 1 tahun 1950. Pada masa pemerintahan Belanda, pasal-pasal
Haatzaaiartikelen banyak digunakan untuk menghukum wartawan-wartawan
yang tulisannya menyerang praktik-praktik Pemerintahan Kolonial. Beberapa
wartawan yang pada masa itu dipidana karena dianggap telah menyebarkan
kebencian terhadap Pemerintah Belanda meliputi Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat atau Ki Hajar Dewantara dalam kedudukannya sebagai redaktur
penanggung jawab mingguan Persatoean Hindia. Sudah sejak masa pemerintahan
Belanda, banyak wartawan yang menginginkan pasal Haatzaaiartikelen tersebut
dihapuskan.257
Meskipun sudah ada semenjak Pemerintahan Kolonial Belanda masih
menguasai Indonesia namun pasal tersebut baru banyak digunakan pada era orde
baru. Pada masa penjajahan, pasal ini pernah digunakan untuk mengkriminalisasi

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   
Negara, (Jakarta: ELSAM, 1999), halaman 23.
257
A. B. Lapian, dkk., Beberapa Segi Perkembangan: Sejarah Pers di Indonesia, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2002), halamna 195.197.

Universitas Indonesia
163

Soekarno karena tulisannya dalam Fikiran Rakjat, Muhammad Hatta karena


tulisannya dalam Daulat Rakjat, Amir Syarifuddin karena tulisannya dalam
Banteng, dan Agus Salim dalam Neratja. Tujuan utama dari penggunaan pasal
tersebut adalah untuk membatasi pihak-pihak yang bertentangan dengan
kedudukan pemerintah, sehingga pada masa itu ada banyak sekali penulis-penulis
yang dikriminalisasi karena menunjukkan kritiknya melalui media massa.258
Ketentuan mengenai tindak pidana ini terdapat dalam pasal 154 dan
pasal 155 KUHP sebagai berikut:

Pasal 154
“Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 155
a. Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan
sehingga kelihatan oleh umum tulisan atau gambar yang isinya
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan
terhadap Pemerintah Republik Indonesia, dengan maksud supaya
isinya diketahui oleh umum, atau lebih diketahui oleh umum,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun enam
bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
b. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya
dan pada waktu melakukan kejahatan itu belum lagi lalu lima tahun
sesudah pemidanaannya yang dahulu menjadi tetap karena
kejahatan semacam itu, maka dapat dicabut haknya melakukan
pekerjaan itu.”

Ketentuan tersebut mengatur mengenai pernyataan permusuhan, yaitu


perwujudan sikap batin seseorang yang tidak suka kepada pihak lain dalam bentuk
pernyataan sebagai musuh dan menempatkannya sebagai pihak yang harus
diserang. Sementara perasaan kebencian dimaknai sebagak perwujudan sikap
batin seseorang yang tidak suka kepada pihak lain dalam bentuk pernyataan benci
dan menempatkan pihak tersebut sebagai sasaran dari ekpresi kebencian tersebut.
Sedangkan pernyataan penghinaan adalah perwujudan sikap batin tidak suka yang
                                                                                                                       
258
Herlambang Perdana Wiratraman, “Press Freedom, Law, and Politics in Indonesia; A-
Socio-Legal Study”,
https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/30106/05.pdf?sequence=10 diakses pada 1
Juni 2015.

Universitas Indonesia
164

diwujudkan dengan mengeluarkan pernyataan yang menyerang kehormatan atau


nama baik pihak lain yang dapat membuat orang lain merasa terhina. Hal-hal
tersebut haruslah dilakukan di muka umum, yaitu di muka orang banyak atau di
suatu tempat yang dapat diketahui oleh umum. Sehingga, yang paling krusial
adalah supaya hal tersebut diketahui oleh masyarakat umum.
Selain ketentuan mengenai Haatzaaiartikelen, ketentuan tentang Lèse-
Majesté juga tidak kalah sering dipergunakan bahkan terkadang keduanya
digunakan secara bersamaan. Penggunaan kedua jenis pasal tersebut secara
bersamaan dapat diihat dalam perkara yang melibatkan 3 (tiga) orang aktivis dari
AJI yaitu Ahmad Taufik, Eko Maryadi, dan Danang Kukuh Wardoyo yang
mengalami kriminalisasi karena telah menerbitkan majalah berjudul Forum
Wartawan Independen yang dianggap telah menghina pemerintah.259 Ketiga orang
tersebut dianggap telah menghina dan menyebarkan kebencian terhadap
Pemerintah karena berbagai macam pemberitaan yang menuduhkan tindakan
negatif seperti nepotisme antara Soeharto dengan Menteri Penerangan Harmoko
dalam melancarkan bisnis pribadi. Dalam persidangan, Majelis Hakim cenderung
menerapkan hukum secara kaku, sekedar melihat bagaimana tuduhan-tuduhan
dalam majalah Forum Wartawan Independen dinilai mencemarkan nama baik
Presiden Soeharto. Persidangan tidak memberikan kesempatan dan tidak
mendorong pembuktian atas tuduhan yang ada, sehingga tidak pernah diketahui
apakah pemberitaan dalam majalah Forum Wartawan Independen akurat atau
mengada-ada.
Tidak diakomodasinya kesempatan bagi terdakwa untuk membuktikan
tuduhannya sangatlah berbeda dengan doktrin penghinaan yang berlaku di negara-
negara lain seperti di Perancis misalnya. Hukum Perancis mengatur bahwa
penghinaan hanya dapat dihukum apabila memang terbukti terdapat itikad buruk
dalam diri terdakwa, yang mana salah satu cara untuk mengidentifikasi ada
tidaknya itikad buruk adalah melalui pembuktian benar tidaknya tuduhan yang
diajukannya. Berbeda dengan Perancis, Amerika Serikat justru meletakkan beban
pembuktian atas tuduhan tersebut pada diri korban. Seorang korban yang

                                                                                                                       
259
“Wawancara Ahmad Taufik: Saya Terlambat Masuk Penjara”, Tempo Edisi 22/02, 30
Juli 1997,, http://tempo.co.id/ang/min/02/22/nas3.htm diakses pada 2 Mei 2015.

Universitas Indonesia
165

merupakan figur publik, yaitu orang yang menjadi perhatian di tengah masyarakat
seperti politisi, pejabat publik, atau artis, harus membuktikan dengan dasar bukti
yang jelas, bahwa pelaku membuat pernyataan yang menghina berdasarkan pada
itikad buruk, yang mana didefinisikan sebagai “pengetahuan bahwa suatu
pernyataan salah atau sembarangan dengan tidak memperhatikan apakah
pernyataan tersebut benar atau salah”. Dilihat dari praktik di negara Perancis dan
Amerika Serikat, dapat disimpulkan bahwa suatu tuduhan barulah disebut
penghinaan apabila memang apa yang dituduhkannya tidak benar, atau setidak-
tidaknya tuduhan dilatarbelakangi oleh itikad tidak baik. Dalam hukum di
Indonesia sendiri pembuktian atas tuduhan yang diajukan kepada Presiden atau
Wakil Presiden tidak pernah dilakukan karena secara historis pembuktian tersebut
memang tidak dikenal. Pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP yang merupakan adopsi
aturan penghinaan terhadap Raja dan Ratu Belanda menganggap pembuktian atas
tuduhan tersebut justru akan merugikan diri Raja dan Ratu Belanda apabila
memang mereka telah terlibat dalam suatu yang tidak terpuji. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari keberadaan pasal yang ditujukan untuk melindungi
kewibawaan Raja dan Ratu sebagai representasi oleh negara. Dalam konteks
penerapan hukum serupa di Indonesia, ketiadaan pembuktian tidak hanya
didasarkan pada konsekuensi historis dari keberadaan pasal, namun juga karena
kuatnya intervensi Pemerintah terhadap pemberlakuan hukum yang ditujukan
untuk melanggengkan kekuasaan.
Selain tuduhan, rezim pemerintahan Seoharto juga banyak
mengkriminalisasi ekspresi atau ungkapan pendapat baik yang dilakukan melalui
tulisan ataupun lisan. Kriminalisasi ini juga tidak dilakukan dengan benar-benar
memperhatikan siapa pelaku perbuatan materiil dari penghinaan. Dalam perkara
kriminalisasi penerbit majalah MIPPA, Andy Syahputra dan Jasrul Zen dipidana
telah melanggar ketentuan pasal 134 KUHP karena telah mencetak majalah yang
dipesan oleh MIPPA di Melbourne sekalipun bukan Andy Syahputra atau Jasrul
Zen yang membuat konten majalah tersebut. Konten yang saat itu sangat
dipermasalahkan adalah terkait pemberitaan hasil wawancara dengan Takashi
Shiraishi yang sempat membuat pernyataan bahwa “Soeharto dalam Proses jadi
Raja Telanjang”. Secara faktual, pernyataan itu dibuat oleh Takashi Shiraisihi dan

Universitas Indonesia
166

pemberitaan itu dibuat oleh redaksi majalah MIPPA di Melbourne,260 namun


Andy Syahputra dan Jasrul Zen yang justru dipidana karena memberikan jasa
percetakan kepada MIPPA. Hal serupa juga terjadi pada Tri Agus Siswowihardjo
(TASS) yang dipidana menghina Presiden Soeharto karena jabatannya sebagai
kepala redaksi Kabar dari Pijar, terkait dengan pernyataan Adnan Buyung
Nasution yang kemudian dikutip TASS dalam artikelnya. Terdapat
kecenderungan bahwa tujuan dari penggunaan pasal 134 KUHP adalah
menghambat seluruh opini atau kritik yang bertolak belakang dengan kedudukan
Pemerintah tanpa menelaah betul letak unsur kesalahan dalam diri orang yang
dituduh telah melakukan tindak pidana tersebut. Kriminalisasi dengan dasar pasal
134 KUHP juga ditujukan untuk membatasi ekespresi yang sebenarnya tidak
mengandung tuduhan seperti yang terjadi dalam kasus pemidanaan Nuku
Sulaiman, seorang aktivis Gerakan Pro-Demokrasi yang menyebarkan dan
memasang stiker di “Soeharto Dalang Segala Bencana” di halaman gedung MPR-
RI.
Selain ekspresi dan tuduhan yang secara nyata menentang kedudukan
Pemerintah, ketentuan pasal 134 KUHP juga digunakan untuk mengkriminalisasi
orasi yang berisi kritik terhadap pemerintah. Hal ini terjadi dalam kasus Aberson
Marle Sialoho yang menyampaikan orasi mengenai bagaimana kemerdekaan
rakyat telah terjajahkan dan oleh karenanya, menghimbau segenap masyarakat
untuk mengawal Presiden Seoharto dalam menjalankan pemerintahan sesuai
dengan UUD NRI 1945 dan Pancasila.261 Beberapa hal yang Aberson kritisi

                                                                                                                       
260
Menurut penuturan Ignatius Haryanto, banyak sekali pers yang saat itu menerapkan
mekanisme pembuatan berita dengan struktur yang terputus, artinya, suatu berita ditulis, diedit,
diterbitkan, dan diedarkan oleh orang-orang yang berbeda yang biasanya tidak mengenal satu sama
lain. Banyak pers yang mengaku memperoleh permintaan penerbitan tulisan dari luar negeri,
namun redaksi yang berdomisili di luar negeri tersebut adalah fiktif. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari penangkapan dan pemberedelan yang biasa diakukan oleh masa
pemerintahan Soeharto. Oleh karenanya, pemerintah yang tidak mau ambil pusing mencari tahu
pelaku pembuatan berita tersebut cenderung menangkap orang di rantai terakhir pers, yaitu
percetakan atau pengedar berita tersebut. Disampaikan dalam diskusi di Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan, 16 Juni 2015.
261
Stefan Eklof, Power and Political Culture in Dsuharto’s Indonesia: The Indonesian
Democratic Party (PDI) and the Decline of the New Order (1968-1998)”, (Oxford: Routldge,
2003), halaamn 122.

Universitas Indonesia
167

adalah perihal pemilihan anggota MPR dan peran sosial-politik ABRI.262 Kritik
yang demikian oleh hukum di beberapa negara dikenal sebagai fair comment,
yang mana menjadi alasan pembenar bagi dilakukannya penghinaan. Fair
comment atau komentar yang layak muncul dilatarbelakangi oleh pandangan
bahwa urusan publik adalah urusan yang memang sepatutnya terbuka akan kritik
yang layak, dan tidak dipublikasikan untuk merugikan korban. Di Amerika, suatu
komentar dapat dikategorikan sebagai fair comment apabila yang diungkapkan
adalah murni opini yang tidak mengindikasikan adanya fakta-fakta tertentu.
Sementara di Inggris, fair comment haruslah merupakan suatu opini, bukan fakta
tertentu, namun opini tersebut harus didasarkan pada fakta yang akurat.
Kasus yang cukup krusial untuk mengidentifikasi politik pemidanaan
menggunakan pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden adalah
kasus yang melibatkan Sri Bintang Pamungkas. Jaksa Penuntut Umum
mengajukan dakwaan yang kabur, karena mendakwakan perbuatan Sri Bintang
dalam demonstrasi di Pameran Hanover dan dalam memberikan kuliah di salah
satu universitas di Dresden telah melanggar ketentuan pasal 134 KUHP.263 Jaksa
juga menyebutkan bahwa perbuatan Sri Bintang Pamungkas yang paling keji
adalah seruan agar Soeharto tidak dipilih lagi. Dalam pembuktian di persidangan,
perhatian tertuju pada tuduhan bahwa Sri Bintang Pamungkas dalam kuliahnya
telah menyebutkan bahwa Soeharto adalah diktator. Namun dalam persidangan,
terdapat saksi-saksi yang menyebutkan bahwa kata-kata tersebut tidak pernah
keluar dari mulut Sri Bintang, namun justru diucapkan oleh saksi lain. Jaksa
Penuntut Umum juga meminta adanya pemberatan hukuman karena Sri Bintang
hanya memanggil Seoharto dengan sebutan “saudara”. Terdapat indikasi rekayasa
perkara pada kasus yang meilbatkan Sri Bintang Pamungkas.264 Rekasaya ini
sengaja dilakukan untuk memidanakan Sri Bintang selaku salah satu aktivsis yang
paling vokal menentang keberadaan Soeharto. Hal tersebut diperkuat dengan

                                                                                                                       
262
Patrick Ziegenhain, The Indonesian Parliament and Democratization, (Institute of
Southeast Asian Studies, 2008), halaman 52.
263
Ibid.
264
“Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-era Barriers”, Human Rights
Watch, Annual Report Agustus 1998, https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/inacfr98.pdf
diakses pada 10 Juni 2015.

Universitas Indonesia
168

pendapat Tri Agus Siswowihardjo dan Monang Johanes Tambunan yang


menyatakan bahwa aparat kepolisian biasanya sudah melakukan pengawasan
terhadap orang-orang yang dianggap aktif memberikan kritik terhadap
Pemerintah. Nantinya, aparat kepolisian akan menunggu saat yang tepat untuk
menangkap dan mengkriminalisasi orang tersebut, dengan tuntunan disesuaikan
dengan kegiatan yang sedang ia kerjakan.
Penerapan hukum penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di masa
pemerintahan Soeharto tidak jauh berbeda dengan situasi penerapan Lèse-Majesté
yang ada di Thailand. Dalam konteks Thailand, pemidanaan berdasarkan Lèse-
Majesté memang ditujukan untuk melindungi keberadaan Raja Thailand yang
diposisikan sebagai kepala negara yang tidak dapat diganggu gugat dan tidak
boleh ternodai.265 Setiap tindakan mengkritik atau tindakan mempertanyakan
perbuatan raja dapat dikriminalisasi dengan menggunakan ketentuan Lèse-
Majesté. Dalam konteks Indonesia, segala tindakan yang dinilai bertentangan
ataupun menghina keberadaan Presiden atau Wakil Presiden juga mengalami
kriminalisasi. Jika dibandingkan dengan kondisi di Thailand, penerapan Lèse-
Majesté di Indonesia menjadi kuranglah tepat karena Lèse-Majesté sendiri secara
historis dibutuhkan di negara Monarkhi.266 Raja dan Ratu yang dianggap
menggambarkan kegagahan negara haruslah dilindungi. Pandangan demikian
menyebabkan penghinaan yang ditujukan kepada Raja dan Ratu akan dianggap
sebagai penghinaan terhadap negara. Indonesia adalah negara republik yang
menjalankan pemerintahan demokratis. Presiden dan Wakil Presiden memiliki
fungsi utama sebagai pelaksana fungi eksekutif yang dalam menjalankan tugasnya
harus diawasi oleh segenap jajaran pemerintah dan warga masyarakat.267
Masyarakat sendiri menjalankan fungsi pengawasan dengan mengajukan kritik
atau opini dalam berbagai bentuk—dapat berupa pemberitaan di media massa,
                                                                                                                       
265
Clothilde Le Coz, Op. Cit.
266
Dalam konteks negara monarkhi, raja diposisikan sebagai kepala negara dan pelindung
agama. Thailand secara lebih khusus menerapkan konsep penghormatan utama kepada kerajaan,
khususnya Raja, sekalipun Raja sendiri tidak secara aktif menjalangkan fungsi administrasi
pemerintahan. Lihat: Martin Gannon & Rajnandini Pillai, Understanding Global Cultures:
Methaporical Journeys Through 29 Nations, Clusters of Nations, Continents, and Diversity, Edisi
Keempat.Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc., 2010. Diakses pada tanggal 16 Februari
2015. http://www.sagepub.com/upm-data/47441_chp_2.pdf
267
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., halaman 55.

Universitas Indonesia
169

demonstrasi, audiensi pemerintah dengan warga negara, serta berbagai kegiatan


lainnya. Namun, hal-hal tersebut tidak dapat diwujudkan mengingat rezim
pemerintahan Soeharto cenderung resisten dengan kritik dan opini publik.268
Sosok Soeharto juga ditinggikan sebagaimana Thailand meninggikan Rajanya, hal
ini dapat dilhat dalam tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum kepada
Aberson. Jaksa menyatakan bahwa Presiden Soeharto adalah seorang yang
dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia dan oleh bangsa lainnya, terbukti denan
terpilihnya Presiden Soeharto sebagai Ketua Gerakan Non-Blok.269 Oleh
karenanya, penghinaan yang ditujukan kepada Presiden Soeharto akan
menyebabkan terhinanya seluruh penduduk Indonesia. Pandangan itu pula yang
membuat Jaksa menyatakan bahwa dalam memproses perkara penghinaan
terhadap Presiden atau Wakil Presiden, tidak diperlukan saksi korban atau tidak
perlu menghadirkan baik Presiden atau Wakil Presiden itu sendiri.
Lèse-Majesté di Thailand cenderung tidak memperhatikan unsur
kesengajaan terdakwa dalam melakukan penghinaan. Ada tidaknya unsur
kesengajaan, selama perbuatan terdakwa dinilai mengganggu nama baik dan
kehormatan Raja, maka terdakwa dapat dipidana. Sementara di Indonesia,
keberadaan pasal 134 KUHP yang harus dirujukkan kembali kepada ketentuan
dalam Bab XVI KUHP tentang penghinaan, mengharuskan adanya unsur animus
injuriandi, atau kesengajaan untuk menghina.270 Kesengajaan untuk menghina ini
dikarakterisasi lagi lebih jauh menjadi kesengajaan dalam melakukan atau
mengucapakan hinaan, serta mengetahui dan menghendaki bahwa yang dihina
adalah Presiden atau Wakil Presiden. Dalam beberapa perkara yang terjadi rezim
pemerintahan Soeharto, nampak pemenuhan unsur animus injuriandi ini tidak
diperhatikan dengan teliti. Terdakwa yang notabene bukan merupakan pembuat
penghinaan langsung, namun ia sekedar orang yang menyebarkan konten tersebut
dipidana berdasarkan pada pasal 134 KUHP. Bahkan dalam perkara yang terakhir,
orasi Aberson dalam rangka memberikan kritik terhadap Pemerintah dianggap
sebagai wujud kesengajaan untuk menghina sekalipun Aberson telah memberikan

                                                                                                                       
268
“Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-era Barriers”, Op. Cit.
269
“Aberson Sihaloho Dituntut 18 Bulan”, Op. Cit.
270
Eric Descheemaker, Op. Cit.

Universitas Indonesia
170

keterangan bahwa ia tidak memiliki niat sama sekali untuk menghina Presiden.271
Penerapan ketentuan pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP tidak memberikan
peluang bagi diimplementasikannya alasan pembenar sebagaimana diakomodasi
dalam ketentuan pasal 310 ayat (3) KUHP, juga tidak membuka diri dari
berkembangnya doktrin-doktrin alasan pembenar seperti yang terjadi di negara
lain. Beberapa negara lain sudah mulai menerapkan doktrin adanya fair comment
dan qualified privilege, dengan menerapkan standar-standar berupa: 1).
Objektivitas ungkapan penghinaan; 2). Kebijaksanaan dan kelayakan dalam
mengekspresikan pendapat; 3). Ketiadaan kebencian pribadi dari pelaku kepada
korban penghinaan; 4). Keabsahan tujuan yang akan dicapai pelaku dalam
melakukan tindak pidana penghinaan. Dapat dikatakan bahwa pemidanaan Lèse-
Majesté dan Haatzaaiartikelen di rezim pemerintahan Seoharto adalah yang
paling menonjol. Hal ini berjalan beriringan dengan pembatasan kebebasan
berekspresi yang diwujudkan pemerintah dalam penyensoran, pemberedelan pers,
dan panangkapan para aktivis.

4.4.2 Rezim Pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie


Dalam pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie yang cenderung
sebentar karena hanya menjabat selama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan, ketentuan
pasal 134, 136bis, dan pasal 137 KUHP tidak pernah digunakan. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari agenda B. J. Habibie yang berniat
mengaktualisasi dan melindungi kebebasan warga negara yang nampak dalam
pelonggaran permohonan izin SIUPP bagi media massa, pembentukan Undang-
Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum, pembentukan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 sebagai
wujud perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 1966, dan pembebasan
beberapa tahanan politik, termasuk beberapa narapidana yang sebelumnya
dihukum berdasarkan pada ketentuan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden.

                                                                                                                       
271
Stefan Eklof, Op. Cit., halaman 123.

Universitas Indonesia
171

4.4.3 Rezim Pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid


Sama halnya dengan politik kebijakan yang dipilih oleh B. J. Habbie,
Abdurrachman Wahid atau Gus Dur juga tidak pernah mengkriminalisasi berbagai
kritik dan opini yang ditujukan kepadanya menggunakan ketentuan pasal 134,
136bis, dan pasal 137 KUHP. Gus Dur cenderung membiarkan atau bahkan acuh
tak acuh dengan kritik dan opini yang ada sekalipun terdapat banyak sekali rumor
negatif yang diberitakan secara frontal oleh media massa. Salah satu bentuk
ekspresi yang paling banyak digunakan pada masa pemerintahan Gus Dur adalah
karikatur yang memiliki pesan sarkastik. Sebagai contoh, majalah Tempo edisi
17-23 Juli 2000 menampilkan karikatur Gus Dur dengan baju baja yang sedang
mengahadapi panah-panah yang banyak jatuh berserakan di atas tanah. Panah-
panah itu diibaratkan sebagai kritik sedangkan baju baja merupakan kekuatan
kelompok pendukung yang melindungi Gus Dur dari berbagai serangan politik.
Atas ekspresi dan pemberitaan-pemberitaan negatif Pemerintah, Gus Dur tidak
pernah melakukan kriminalisasi menggunakan pasal penghinaan Presiden atau
Wakil Presiden.

4.4.4 Rezim Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri


Rezim pemerintahan Megawati tidak lebih demokratis daripada rezim-
rezim pemerintahan sebelumnya, bahkan cenderung lebih opresif jika
dibandingkan dengan rezim pemerintahan di bawah kepemimpinan Abdurrahman
Wahid.272 Saat Megawati menjabat sebagai Presiden, Indonesia mengalami
permasalahan dalam beberapa sektor seperti di bidang ekonomi, keamanan serta
pertahanan nasional. Permasalahan itu menyebabkan banyak terjadi demonstrasi
mengkritik kebijakan Megawati yang dinilai tidak menitikberatkan pada
kesejahteraan dan keamanan bagi rakyat. Merespon banyaknya demonstrasi
                                                                                                                       
272
Menurut penelitian yang dibaut oleh Reporters Without Borders, terdapat kemunduran
kebebasan berekspresi pada tahun 2003 dan 2004, dilihat dari banyaknya aksi pemukulan terhadap
pers dan banyaknya putusan pengadilan yang justru mengkriminalisasi pers atas pemberitannya,
termasuk karya-karya jurnalistik berupa foto kolase karikatural ketua DPR, Akbar Tandjung, dan
pemberitaan tentang Presiden Megawati Soekarnoputri di harian Rakyat Merdeka serta berita
tentang pengusaha Tomy Winata di majalah Tempo ysng dianggap mencemarkan nama baik atau
menghina. “Kebebasan Pers Kita Merosot”, http://www.dewanpers.or.id/detil.php?id=67 diakses
pada 16 Juni 2015.

Universitas Indonesia
172

tersebut, Megawati memerintahkan aparat negara utuk secara aktif menerapkan


KUHP, khususnya terkait dengan ketentuan penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden serta ketentuan mengenai kejahatan terhadap keamanan negara. Alhasil,
kriminalisasi terhadap para demonstran tidak terhindarkan. Di bulan Juli dan
Agustus tahun 2002, terjadi sejumlah penangkapan para aktivis politik di Jakarta.
Para aktivis ditangkap karena mengekspresikan pandangan politik mereka yang
anti-kekerasan melalui sejumlah aksi damai di Jakarta. Penangkapan merupakan
tindak lanjut atas serangkaian demo anti-pemerintah dan anti-Megawati yang
disebabkan karena ketidakpuasan terhadap naiknya harga minyak dan beras serta
jatuhnya kesejahteraan ekonomi Indonesia secara umum. Setelah ditangkap,
peserta demonstrasi ditetapkan sebagai tersangka kejahatan penghinaan Presiden
273
dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam KUHP. Pada tanggal 8 Juli
2002, Megawati membuat suatu pernyataan yang menegaskan bahwa dirinya
secara terbuka mengutuk siapa saja yang menentang pemerintah dan tidak
menghargai lambang-lambang Negara. Megawati juga membuat pernyataan: “Jika
mereka tidak menyukai negara ini sebaiknya mereka meninggalkan Indonesia dan
hijrah ke negara lain.” Pasca pernyataan tersebut dibuat, terjadi peningkatan
yang cukup signifikan atas penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian.
Saat itu juga, demonstrasi terjadi di seluruh wilayah Indonesia khususnya di Pulau
Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.274
Dalam rezim pemerintahan Megawati, banyak sekali beredar demonstrasi
yang diwujudkan dalam aksi kesenian seperti menggunakan peragaan berbagai
media seni seperti patung, lukisan, teatrikal, pembacaan puisi, dan bentuk-bentuk
kesenian lain yang dipertunjukkan di muka umum.275 Aksi-aksi tersebut
dikriminalisasi oleh pemerintah menggunakan dasar pasal 134 KUHP.

                                                                                                                       
273
Supriyadi Widodo Eddyono, Sriyana dan Wahyu Wagiman, Op.Cit. halaman 13.
274
Ibid.
275
Demonstrasi merupakan perwujudan gerakan sosial, yang menurut DiRanso merupakan
perilaku dari sebagian anggota masyarakat untuk mengoreksi kondisi yang banyak menimbulkan
masalah atau tidak menentu serta untuk menciptakan kehidupan baru yang lebih baik. Dalam
konteks demonstrasi dalam rezim pemerintahan Megawati, maka masyarakat baik yang tergabung
dalam institusi tertentu atau tidak, berusaha memprotes kebijakan yang dirasa kurang
menguntungkan masyarakat dengan tujuan agar bisa mengubah haluan kebijakan tersebut. Lihat:
A Strategic Approach To Collective Action: Looking for Agency In Social-Movement Choices,
http://www.jamesmjasper.org/files/SocialMoves.pdf diakses pada 15 Juni 2015.

Universitas Indonesia
173

Penggunaan pasal ini kuranglah tepat, karena para pengunjuk rasa melakukan
pengungkapan ekspresi di luar kehadiran Presiden atau Wakil Presiden sementara
aturan mengenai penghinaan yang demikian terdapat dalam pasal 136bis KUHP.
Banyak aksi demonstrasi yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar ketentuan pasal 134 KUHP namun tidak mengikutsertakan pasal
136bis KUHP sebagai pasal ekstensinya. Selain itu, penerapan pasal yang ada
juga tidak memperhatikan peran masing-masing pelaku secara teliti, yang mana
terdapat kecenderungan untuk mengkriminalisasi pemimpin demonstrasi daripada
orang-orang yang benar-benar melakukan perbuatan materiil yang dipersalahkan.
Sebagai contoh adalah perkara yang melibatkan terdakwa Raihana Diany atas
perbuatannya merobek-robek gambar Presiden Megawati dan memimpin 6 (enam)
pendemo lainnya untuk membawa berbagai spanduk, termasuk yang bertuliskan,
“Ganti Mega-Hamzah demi kebebasan Aceh, bentuk Pemerintah yang berpihak
pada masyarakat miskin”. Perkara yang melibatkan terdakwa Kiastomo, Billal
Abubakar Ahmad Faugi, Frans Kurniawan, Andi Abdul Karim, Susyanti Kamil,
An’am Jaya, Sahabuddin, Ansar Suherman, Muhammad Akman, Nanang dan
Mudzakir, Yoyok dan Mahendra juga memiliki kesamaan pola satu dengan yang
lain—mereka terlibat dalam aksi demonstrasi berupa pembuatan poster,
perobekan gambar, pembakaran, dan aksi-aksi teatrikal lainnya seperti menginjak-
injak atau mencoret-coret.276 Atas perbuatan tersebut, hakim berpendapat bahwa
nama baik Presiden dan Wakil Presiden menjadi tercemarkan. Selain itu,
mengingat bahwa banyak demonstran adalah mahasiswa, Majelis Hakim juga
sering menambahkan pendapat bahwasanya sebagai mahasiswa seharusnya bisa
memilih cara yang lebih intelektual dalam mengajukan pendapat.

                                                                                                                       
276
Cook menjelaskan lebih lanjut bahwa gerakan sosial mencakup beberapa konsep yaitu
berorientasi perubahan (change oroented goals), tingkat organisasi (some degree of organization),
tingkat kontinyuitas yang sifatnya temporal (degree of temproral continuity), dan aksi kolektif di
luar lembaga (aksi jalanan) dan di dalam lembaga/lobi politik (some extrainstitutional and
institutional) sebagaimaan dikutip dari March Schneiberg dan Michael Lonsbury, “Social
Movements and Institutional Analysis”, http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download
?doi=10.1.1.465.3710&rep=rep1&type=pdf diakses pada 17 Juni 2015. Pada masa pemerintahan
Megawati ada banyak organisasi atau kumpulan masyarakat yang terbentuk secara spontan
melakukan demonstrasi atau aksi kolektif. Aksi tersebut juga berlangsung secara terus menerus—
nampak bahwa adanya kriminalisasi terhadap pengunjuk rasa tidak menghentikan aksi demo yang
ada.

Universitas Indonesia
174

Melalui uraian sebelumnya, dapat dilihat bahwa Majelis Hakim


cenderung menerapkan ketentuan pasal 134 KUHP secara kaku, terlepas dari
pemilihan pasal yang diterapkan juga kurang tepat. Majelis Hakim tidak melihat
kondisi kebatinan ketika demonstrasi itu dilaksanakan. Demonstrasi dipilih oleh
masyarakat karena jalur lobi secara hukum tidak akan bisa dilakukan untuk
menjembatani aspirasi ketika Pemerintah sendiri sudah bersikap resisten terhadap
rakyatnya. Demonstrasi itu pun terdiri dari berbagai bentuk; mulai dari konvoi
keliling hingga aksi teatrikal yang tidak bisa dipisahkan dari berbagai peragaan.
Kalimat, gambar, dan tulisan dengan konten menyerukan kritik atau protes baik
yang bermakna sesungguhnya ataupun yang bermakna kiasan adalah hal wajar
digunakan dalam aksi demonstrasi, karena demonstrasi ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat atas isu yang ada serta mencari perhatian
dari pihak pemerintah itu sendiri.
Di Indonesia, kriminalisasi terhadap demonstrasi dengan dalih
penghinaan amatlah tinggi. Kriminalisasi menunjukkan bahwa hukum pidana
cenderung diposisikan sebagai primum remedium atau penyelesaian yang
diutamakan daripada ultimum remedium atau penyelesaian yang baru dilakukan
apabila cara lain tidak bisa dilaksanakan. Pada masa pemerintahan B. J. Habibie
telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Pasal 10 Undang-Undang tersebut
telah mengatur mengenai kewajiban pemberitahuan secara tertulis kepada Polri,
yang mana pemberitahuan itu berisi:
a. Maksud dan tujuan;
b. Tempat, lokasi, dan rute;
c. Waktu dan lama;
d. Bentuk;
e. Penanggung jawab;
f. Nama dan alamat organisasi, kelompok atau perseorangan;
g. Alat peraga yang digunakan; dan/atau
h. Jumlah peserta.
Dikaitkan dengan berbagai macam perkara yang telah disebutkan
sebelumnya, keberadaan tulisan, poster, atau patung merupakan bagian dari alat

Universitas Indonesia
175

peraga yang digunakan. Hal tersebut sepatutnya sudah dilaporkan terlebih dahulu
kepada pihak Polri, sehingga pihak Polri telah memiliki gambaran mengenai
pelaksanaan demonstrasi yang bersangkutan. Dalam hal ini, jika Polri merasa
bahwa perbuatan pembakaran patung bertentangan dengan aturan moral atau tidak
taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
pasal 6, maka dapat diterapkan ketentuan pasal 15 Undang-Undang a quo, yaitu
pembubaran kegiatan. Namun, Polri lebih memilih untuk menerapkan ketentuan
pidana terkait penghinaan Presiden atau Wakil Presiden yang dilakukan dengan
menangkap terdakwa beberapa saat setelah demonstrasi tersebut selesai. Selain
demonstrasi, anggota masyarakat juga menyatakan pendapatnya melalui media
massa seperti yang dilakukan oleh Supratman, editor senior dari Harian Rakyat
Merdeka di Jakarta. Dalam harian tersebut, Supratman menulis artikel yang
mempersamakan Presiden Megawati dengan Soemanto, seorang narapidana yang
membunuh dan memakan mayat tetangganya sendiri. Beberapa berita yang
dimuat dalam harian tersebut juga cenderung menunjukkan hal negatif mengenai
Presiden Megawati, seperti berita tanggal 6 Januari 2003 dengan judul “Mulut
Mega Bau Solar” dan berita tanggal 8 Januari 2003 yang berjudul “Mega Lintah
Darat”. Atas judul dan artikel tesebut, Supratman dipersalahkan telah melanggar
ketentuan pasal 134 KUHP.277
Rezim pemerintahan Megawati terbilang sama opresifnya dengan rezim
pemerintaha Soeharto. Keduanya pun memilih politik hukum pidana yang sama,
yaitu dengan menerapkan ketentuan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
terhadap semua perbuatan yang dinilai bertentangan dengan kedudukan
Pemerintah. Yang membedakan keduanya adalah Presiden Megawati secara tegas
menyatakan ketidaksukaannya terhadap perilaku yang menentang Pemerintah,
sementara Soeharto tidak. Pernyataan Megawati yang berisi kecaman terhadap
pengunjuk rasa dianggap sebagai suatu perintah tidak langsung bagi aparat
penegak hukum untuk menerapkan ketentuan pasal 134, 136bis, dan pasal 137
KUHP. Hal ini nampak juga dari pembentukan berbagai tim pengawas yang
diletakkan dalam setiap demonstrasi untuk memantau bagaimana kegiatan
                                                                                                                       
277
“Rakyat Merdeka Kembali Dimejahijaukan”, Selasa 3 Juni 2003,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8115/irakyat-merdekai-kembali-dimejahijaukan
diakses pada 15 Juni 2015.

Universitas Indonesia
176

demonstrasi berlangsung278 dan bagaimana peran aktivis-aktivis vokal di


dalamnya. Dalam rezim pemerintahan Megawati juga tidak nampak upaya
membuktikan tuduhan pengunjuk rasa dan tidak juga diterapkan doktrin alasan
pembenar seperti fair comment atau komentar yang layak.
Di bawah kepemimpinan Megawati, tercatat bahwa ketentuan
Haatzaaiartikelen masih digunakan untuk menghukum beberapa orang yang
diduga mengancam keberlangsungan pemerintahan melalui berbagai aksi
terorisme.279 Hal tersebut dialami oleh Faisal Siafuddin dan Muhammad Nazar
yang dianggap telah dianggap memprovokasi dilakukannya kampanye dan pidato-
pidato mengenai referendum Aceh dan dituduh telah melakukan pengeboman di
Jakarta. Namun, tidak nampak penggunaan pasal Haatzaaiartikelen untuk
menghukum pendapat atau kritik terhadap Pemerintah.

4.4.5 Rezim Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono


Dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
frekuensi penggunaan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
cenderung berkurang jika dibandingkan dengan rezim pemerintahan sebelumnya.
Perbuatan yang dianggap sebagai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden cenderung sama dengan perkara-perkara terdahulu. Rezim pemerintahan
SBY masih mengkriminalisasi aksi demonstrasi seperti yang terjadi dalam perkara
Bai Harkat Firdaus atas perbuatannya melakukan orasi serta membakar poster
SBY dan Jusuf Kalla. Hal serupa juga dialami oleh I Wayan Gendo Suardana
karena perbuatannya mencoret-coret dan membakar foto Presiden dan Wakil
Presiden.280 Dalam perkara lain, Sri Bintang juga pernah diadukan ke pihak
kepolisian karena perbuatannya menurunkan gambar Presiden dan Wakil Presiden

                                                                                                                       
278
Keberadaan tim pengawas dapat dilihat dalam berbagai putusan pengadilan yang mana
menghadirkan anggota tim pengawas dari Polri sebagai saksi dalam persidangan. Tim pengawas
ini melakukan pengawasan dengan cara merekam dan mengambil foto dari aksi demonstrasi
tersebut.
279
Herlambang Perdana Wiratraman, Op. Cit.
280
“Bakar Gambar Yudhoyono Dituntut Satu Tahun Penjara”,
http://nasional.tempo.co/read/news/2005/06/02/05561922/Bakar-Gambar-Yudhoyono-Dituntut-
Satu-Tahun-Penjara diakses pada 14 Juni 2015.

Universitas Indonesia
177

dalam acara peluncuran buku “Membongkar Kebohongan Politik SBY-JK”,


namun kasusnya tidak berlanjut hingga ke pengadilan.
Kriminalisasi atas dasar pasal penghinan Presiden dan Wakil Presiden
merupakan perwujudan dari kriminalisasi atas ekspresi, yang sebenarnya tidak
menuduhkan perbuatan tercela tertentu. Pencoretan, perobekan, dan pembakaran
merupakan bentuk ekspresi yang lazim ditemukan dalam demonstrasi
sebagaimana banyak terjadi dalam rezim pemerintahan Megawati. Sama seperti
sebelum-sebelumnya, Majelis Hakim tidak menjelaskan secara tegas perbuatan
manakah yang dinilai sebagai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.
Saat itu, kondisi pemerintahan sedang mengalami perubahan dari kepemimpinan
Megawati yang pilihan kebijakannya cenderung lebih menguntungkan pemilik
modal asing dengan pilihan politik pemidanaan yang opresif, ke rezim
pemerintahan SBY yang menjanjikan perubahan dengan adanya program 100
(seratus) hari. Kebanyakan demonstrasi tersebut menagih janji 100 (seratus) hari
SBY yang belum terwujud, yang mana menjadi alasan logis mengapa banyak
warga negara yang melakukan protes terhadap pemerintah. Meskipun begitu, tetap
dapat diukur secara presisi perbuatan penghinaan yang ada, dengan parameter
yang digunakan oleh beberapa negara lain salah satunya Belanda. Belanda
menerapkan parameter untuk menerapkan ketentuan penghinaan
281
menyeimbangkannya dengan alasan pembenar sebagai berikut:
(1) Sifat dasar dari penghinaan yang diajukan dan tingkat keseriusan dari
dampak yang mungkin timbul dari penghinaan itu, khususnya yang
dirasakan langsung oleh korban;
(2) Keseriusan dari penghinaan dilihat dari sudut pandang kepentingan
umum;
(3) Kondisi faktual yang melingkupi penghinaan pada waktu tuduhan itu
diajukan;
(4) Cara penghinaan itu dilakukan;
(5) Kemungkinan dilakukannya cara lain yang lebih baik dan tidak
destruktif untuk mewujudkan kepentingan umm yang ingin dicapai
dengan adanya penghinaan itu;
                                                                                                                       
281
Charles J. Glasser J.R., Op.Cit., halaman 269.

Universitas Indonesia
178

(6) Kemungkinan tetap tersebarnya penghinaan sekalipun sedari awal


tidak ditujukan untuk disebarkan.
Jika disandingkan dengan parameter tadi, mengingat kondisi pemerintahan
saat itu jauh lebih terbuka dari pemerintahan Megawati, maka telaah pada aspek
“Kemungkinan dilakukannya cara lain yang lebih baik dan tidak destruktif, untuk
mewujudkan kepentingan umm yang ingin dicapai dengan adanya penghinaan
itu” justru bisa menyebabkan berbagai demonstrasi tadi dapat dihukum dengan
ketentuan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Terdapat
kemungkinan untuk menempuh jalan lain yaitu mengkritik dengan layak di media
massa, audiensi dengan pemerintahan, dan sebagainya. Beberapa demonstrasi
sekalipun didasari oleh kepentingan menagih janji Presiden, secara nyata dapat
dikatakan sebagai penghinaan. Sebagai contoh adalah demonstrasi yang dipimpin
oleh narasumber Monang Johanes Tambunan. Dalam wawancara, narasumber
menjelaskan bahwa saat itu ia ditangkap karena dalam orasi mengatakan “SBY
Anjing! SBY Babi!”.282 Kalimat tersebut secara nyata mengindikasikan
penghinaan terhadap Presiden, karena baik kata “anjing” atau “babi” dikenal
sebagai kata umpatan kekesalan yang memiliki makna sangat tercela.
Salah satu perkara yang cukup signifikan dalam keberlakuan pasal
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden adalah perkara yang melibatkan Eggi
Sudjana. Eggi Sudjana dianggap telah menghina SBY karena ia mengklarifikasi
kepada ketua KPK mengenai rumor pemberian mobil mewah oleh salah satu
pengusaha kepada beberapa anggota lembaga kepresidenan dan kepada Presiden
sendiri. Dalam perkara tersebut, Eggi Sudjana telah mengajukan permohonan
maaf dan permohonan maaf itu pun sudah dikabulkan oleh Presiden, namun
perkara tersebut tetap mengalami kriminalisasi padahal Eggi Sudjana sendiri
bukanlah pembuat rumor tersebut. Yang ingin ia lakukan adalah mengklarifikasi
rumor sebagai wujud dari kontrol rakyat terhadap jalannya pemerintahan.
Presiden pun menyatakan ia menerima situasi yang ada karena hal itu merupakan
dampak dari demokrasi di Indonesia. Perkara Eggi Sudjana menunjukkan bahwa
ketentuan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden masih diterapkan secara kaku,
                                                                                                                       
282
“Menghina Presiden saat Demo, Divonis 6 Bulan Penjara”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12796/menghina-Presiden-saat-demo-divonis-6-
bulan-penjara diakses pada 10 Juni 2015.

Universitas Indonesia
179

tanpa memandang latar belakang suatu perbuatan dilakukan oleh pelaku. Hingga
perkara Eggi Sudjana yang notabene merupakan perkara penghinaan Presiden
terakhir, alasan pembenar tidak pernah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim.
Merasa keberatan dengan putusan pidana yang dijatuhkan kepada
dirinya, Eggi Sudjana mengajukan permohonan peninjauan ketentuan pasal 134,
136bis, dan 137 KUHP yang kebetulan juga sedang dimohonkan oleh Pandapotan
Lubis. Dalam persidangan, Ahli Prof. Mardjono Reksodiputro di persidangan
berpendapat sebagai berikut,283
“bahwa dalam hal penegakan Pasal 134 KUHPidana dan Pasal 136 bis
KUHPidana, arti penghinaan harus mempergunakan pengertian yang
berkembang dalam masyarakat tentang Pasal 310-321 KUHPidana
(mutatis mutandis). Dengan mempertimbangkan perkembangan nilai-
nilai sosial dasar (fundamental social values) dalam masyarakat
demokratik yang modern, maka delik penghinaan tidak boleh lagi
digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan
pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat-pejabat pemerintah
(pusat dan daerah).”

Ahli Prof. Mardjono Reksodiputro juga menambahkan bahwa


kepentingan negara yang dapat dikaitkan dengan pribadi Presiden dan Waki
Presiden tidak relevan dengan negara republik, berbeda dengan doktrin yang
berlaku dalam negara monarkhi. Menyambung pendapat tersebut, ahli Prof. Dr.
Andi Hamzah menambahkan,284

“Martabat Presiden dan Wakil Presiden berhak dihormati secara


protokoler, namun kedua pemimpin pilihan rakyat tersebut tidak dapat
diberikan privilege yang menyebabkannya memperoleh kedudukan dan
perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di
hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Terlebih-lebih, Presiden
dan Wakil Presiden tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilege
hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak
selaku pemegang kedaulatan tertinggi, kecuali secara prosedural dalam
rangka mendukung fungsinya privilege tertentu dapat diberikan kepada
Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Posisi Presiden dan Wakil Presiden sebagai kepala pemerintahan justru


                                                                                                                       
283
Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-V/2006
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/risalah_sidang_Perkara%20013%20dan%20022%2
0.PUU-Iv.2006,%2016%20Desember%202006.pdf diakses pada 13 Juni 2015.
284
Ibid.

Universitas Indonesia
180

membuka potensi tafsir yang meluas mengenai apakah suatu protes, pernyataan
pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden
dan/atau Wakil Presiden, hal mana bertentangan dengan ketentuan pasal 28 D ayat
(1) UUD NRI 1945 di samping menghambat upaya komunikasi dan perolehan
komunikasi. Lebih dari itu, keberadaan ketentuan penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden akan menghambat kemungkinan klarifikasi mengenai perbuatan tercela
atau pelanggaran yang mungkin dilakukan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 7A
UUD NRI 1945 telah mengatur bahwa,

”Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa


jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.”

Ditakutkan, segala upaya untuk mengklarifikasi sebelum diputuskan akan


dilakukan pemakzulan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dianggap sebagai
penghinaan. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa
kebradaan pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945. Namun, untuk
tetap melindungi Presiden dan Wakil Presidne secara layak, penghinaan terhadap
diri pribadi Presiden dan Wakil Presiden nantinya dapat dikenakan pasal 310-321
KUHP sedangkan penghinaan atas jabatan Presiden dan Wakil Presiden dapat
dikenai ketentuan pasal 207 KUHP yang mengatur mengenai penghinaan terhadap
kuasa umum.
Hal serupa juga terjadi terhadap ketentuan pasal 154 dan pasal 155
tentang penyebaran kebencian terhadap Pemerintah. Pasca pemerintahan
Megawati, ketentuan mengenai Haatzaaiartikelen tidak banyak digunakan lagi.
Seiring berjalannya waktu ketentuan Haatzaaiartikelen dianggap tidak lagi
relevan untuk diterapkan di Indonesia yang sedang menjujung tinggi reformasi di
semua sektor, termasuk reformasi sistem hukum dan pemerintahan. Putusan
Nomor 6/PUU-V/2007 yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal
17 Juli 2007 membatalkan ketentuan pasal 154 dan pasal 155 KUHP karena
dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dalam putusannya, Mahkamah

Universitas Indonesia
181

Konstitusi beranggapan bahwa ketentuan pasal 154 dan 155 KUHP adalah delik
formil yang hanya memepersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang
dilarang tanpa mengaitkan dengan akibat suatu perbuatan. Akibatnya, kedua
rumusan pasal tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan
karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa. Seorang warga
negara yang bermaksud menyampaikan kritik atau pendapat terhadap Pemerintah,
di mana hal itu merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945, akan
dengan mudah dikualifikasikan oleh penguasa sebagai pernyataan “perasaan
permusuhan, kebencian, atau penghinaan” terhadap Pemerintah sebagai akibat
dari tidak adanya kepastian kriteria dalam rumusan Pasal 154 maupun 155 KUHP
tersebut untuk membedakan kritik atau pernyataan pendapat dengan perasaan
permusuhan, kebencian, ataupun penghinaan.285

4.5 Studi Putusan Pengadilan


Pada bagian sebelumnya telah diuraikan studi dokumen historis serta
telah dipetakan dinamika politik pemidanaan menggunakan ketentuan pasal
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Berikut ini adalah resume perkara dan
analisis putusan pengadilan untuk melihat dinamika penerapan Pasal 134 KUHP
baik oleh Jaksa Penuntut Umum ataupun Majelis Hakim. Putusan yang akan
dianalisis adalah 3 (tiga) buah putusan yang dijatuhkan dalam perkara penghinaan
Presiden dan Wakil Presiden pada rezim pemerintahan Megawati Soekarnoputri
dan 1 (satu) buah putusan pada rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Hanya keempat putusan tersebut yang dapat ditemukan penulis dalam keadaan
utuh. Banyak putusan lain yang tidak dapat ditemukan di kepaniteraan pengadilan
mengingat usia putusan yang sudah cukup lama. Melalui putusan-putusan yang
berhasil dikumpulkan penulis, dapat diketahui bagaimana Majelis Hakim
menginterpretasikan unsur-unsur pasal 134 KUHP untuk diterapkan ke dalam
perkara. Melalui interpretasi tersebut dapat dilihat kecenderungan hakim dari
masing-masing rezim dalam mempertimbangkan hal-hal yang melingkupi

                                                                                                                       
285
Risalah Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidang_Perkara%2006.puu-
2007,%2017%20Juli%202007.pdf diakes pada 10 Juni 2015.

Universitas Indonesia
182

terjadinya perkara, juga dapat dilihat bagaimana politik hukum pidana rezim yang
bersangkutan diterapkan.

4.5.1 Resume Perkara


4.5.1.1 Putusan No. 1380/Pid.B/2002/PN Jak.Sel
Dalam perkara ini, yang menjadi terpidana adalah Kiastomo, seorang
mahasiswa laki-laki yang lahir di Sungailiat bangka pada tanggal 3 April 1980. Ia
dituduh melakukan tindak pidana penghinaan Presidan dan/atau Wakil Presiden
karena ia melakukan aksi demonstrasi yang dilakukannya bersama-sama dengan
kawannya. Kiastomo berada dalam tahahan semenjak 27 Juli 2002 sampai dengan
4 Januari 2003. Ia didampingi oleh tim penasihat hukum dari Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Rakyat wilayah Jabodetabek berdasarkan surat kuasa khusus.
Dalam perkara ini, pengadilan menyatakan bahwa ia terbukti melakukan tindak
pidana penghinaan Presidan dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam
Pasal 134 KUHP, dan oleh karenanya dihukum pidana penjara selama 5 (lima)
tahun.

1. Dakwaan
Dalam perkara ini, jaksa mendakwakan Kiastomo dengan dakwaan
primair-subsidair. Dakwaan primair adalah dakwaan pasal 134 KUHP, yaitu
dianggap telah “melakukan penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap
Presiden atau Wakil Presiden”, perbuatan mana dilakukan oleh terdakwa dengan
cara-cara sebagai berikut:
− Pada hari Kamis tanggal 25 Juli 2002 sekitar pukul 14.00 WIB,
terdakwa menerima selebaran gelap di kampus Jayabaya Jakarta dari
Aliansi Mahasiswa beberapa kampus yang menyebut dirinya sebagai
Laskas Mahasiswa Untuk Pembebasan (LMP). Selebaran tersebut
bertuliskan “Gulingkan Pemerintahan Mega-Hamzah, Bubarkan
MPR-DPR, Bentuk Pemerintahan Rakyat Miskin”. Di dalam
selebaran tersebut juga terdapat tulisan “Bergabunglah dengan kami!
Pembakaran Patung Megawati di Kampus IISIP di Lenteng Agung
pada tanggal 26 Juli 2002 pukul 14.00 WIB.”
− Pada Jumat 26 Juli 2002 sekitar pukul 13.00 WIB, Terdakwa
berangkat menumpang angkutan kota menuju ke Stasiun Kalibata, lalu
Terdakwa naik Metromini menuju arah Kampus IISIP dan turun di
depan Kampus IISIP. Lalu Terdakwa masuk ke kampus IISIP, dan
sekitar pukul 14.00 WIB aksi unjuk rasa baru dimulai.

Universitas Indonesia
183

− Pada waktu itu Terdakwa melihat patung Presiden Megawati di dalam


Kampus IISIP dengan menggunakan topi a la Amerika yang bercorak
garis tegak warna biru dan putih yang bertuliskan IMF (International
Monetary Fund) dengan ukuran panjang ± 50 cm dan lebarnya 40 cm
serta tinggi 1 meter yang kerangkanya terbuat dari bambu yang
dilapisi dengan kertas koran, di mana patung atau gambar Presiden
Megawati tersebut dibuat mirip dengan raut wajah Presiden Megawati
yang mempunyai ciri khas ada tahi lalat di dagu sebelah kanannya.
Selanjutnya patung Presiden tersebut dibawa dan diarak keluar
Kampus IISIP dan terdakwa sendiri ikut dalam melakukan unjuk rasa
tersebut.
− Pada waktu itu para mahasiswa membawa spanduk, poster, dan
tulisan-tulisan serta gambar yang berisikan menghina Presiden
Megawati selaku Presiden Republik Indonesia, di mana dalam unjuk
rasa tersebut para mahasiswa melakukan orasi-orasi dan terdakwa
sendiri turut serta dalam meneriakkan yel-yel sesuai dengan selebaran
gelap yang diterimanya yaitu “Gulingkan Pemerintahan Mega-
Hamzah, Bubarkan MPR-DPR, Bentuk Pemerintahan Rakyat
Miskin”, yang mana dalam selebaran tersebut juga terdapat tulisan
Bergabunglah dengan kami! Pembakaran Patung Megawati di
Kampus IISIP di Lenteng Agung pada tanggal 26 Juli 2002 pukul
14.00 WIB.”
− Pada waktu unjuk rasa tersebut terdakwa kira-kira berada 1 meter di
belakang mahasiswa yang membawa patung tersebut sambil
membawa botol Aqua yang berisikan minyak tanah. Lalu terdakwa
mendekati dan menyiramkan minyak tanah tersebut ke patung
Presiden Megawati dan mengambil korek api dari saku celananya, lalu
menyalakan korek apinya dan membakar patung tersebut. Setelah
patung tersebut terbakar, terdakwa kembali masuk ke kampus IISIP
bersama peserta unjuk rasa lainnya.
− Setelah itu, setengah jam kemudian terdakwa pergi dari kampus IISIP
menuju Pasar Minggu. Bersama temannya dengan menumpang mobil
dan di perjalanan terdakwa ditangkap oleh petugas, lalu terdakwa dan
barang bukti diserahkan ke Polres Metro Jakarta Selatan.

Terdakwa juga didakwa dengan pasal 137 ayat (1) KUHP, yaitu dengan
tuduhan bahwa ia telah “melakukan perbuatan menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisikan penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden dengan maksud supaya isi yang menghina
tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum”, perbuatan mana dilakukan
terdakwa dengan cara-cara yang sama dengan dakwaan pasal 134 KUHP.

Universitas Indonesia
184

2. Pembuktian dalam Persidangan


Dalam pembuktian di persidangan, dihadirkan 3 (tiga) orang saksi dan 1
(satu orang ahli yang memberikan keterangan sebagai berikut:
1. Saksi Sunaryo
− Saksi mengakui bahwa benar pada hari Jumat tanggal 26 Juli 2002
sekitar pukul 13.00 WIB, saksi berada di Tempat Kejadian Perkara
(TKP) bersama dengan Saksi Sukaran dan Saksi Hendra Wahyono di
depan Kampus IISIP;
− Saksi mengakui bahwa sekitar pukul 14.00 WIB para pengunjuk rasa
berkumpul di dalam kampus IISIP mulai keluar kampus sambil
membawa dan mengarak-arak patung Presiden Megawati sambil
melakukan orasi, membawa poster dan spanduk bertuliskan
“Gulingkan Rezim Megawati-Hamzah”, “Bubarkan MPR-DPR”,
“Bentuk Pemerintah Rakyat Miskin”;
− Saksi mengaku melihat terdakwa berada dalam kerumunan
pengunjuk rasa tersebut, dan saksi melihat terdakwa menyiramkan
minyak tanah ke Patung Megawati, lalu patung itu dibakar terdakwa
dengan korek apinya;
− Saksi mengaku ia bersama dengan saksi Sukarman dan Hendro
Wahyono langusng memadamkan api tersebut dan mengumpulkan
sisa pembakaran patung, lalu saksi dan petugas yang lainnya
langsung menangkap terdakwa yang sedang mengarah ke Pasar
Minggu.

2. Saksi Sukarman:

− Saksi mengakui bahwa benar pada hari Jumat tanggal 26 Juli 2002
sekitar pukul 14.00-15.00 WIB terjadi aksi unjuk rasa dari
mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi;
− Saksi mengakui bahwa dalam unjuk rasa tersebut para peserta
melakukan orasi secara bergantian mewakili perguruan tingginya
masing-masing di mana isi orasinya adalah “Gulingkan Rezim
Megawati-Hamzah”, “Bubarkan MPR-DPR”, “Bentuk Pemerintah
Rakyat Miskin”;
− Saksi mengakui bahwa sebelum terdakwa membakar patung
tersebut, saksi melihat patung itu telah ada di dalam kampus IISIP,
lalu patung itu dibawa keluar kampus oleh para pengunjuk rasa dan
terdakwa berada di belakang sekitar 2 (dua) meter dari patung tadi;
− Saksi mengakui bahwa terdakwa langsung mendekati patung
tersebut lalu menyiramkan bahan bakar dan membakar patung
tersebut. Setelah terbakar, terdakwa dan para peserta yang lainnya
langsung pergi masuk kampus IISIP kembali;
− Saksi mengakui bahwa ketika membakar patung tersebut, terdakwa
mengenakan jeans warna biru dan memakai kaos lengan pendek
warna kombinasi hijau, hitam, dan putih.

Universitas Indonesia
185

3. Saksi Hendro Wahyono:

− Saksi mengakui bahwa benar pada hari Jumat tanggal 26 Juli 2002
sekitar pukul 14.00-15.00 WIB terjadi aksi unjuk rasa dari
mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi;
− Saksi mengakui bahwa dalam unjuk rasa tersebut para peserta
melakukan orasi berupa “Gulingkan Rezim Megawati-Hamzah”,
“Bubarkan MPR-DPR”, “Bentuk Pemerintah Rakyat Miskin” sesuai
dengan spanduk dan poster yang dibawanya;
− Saksi mengakui bahwa para peserta memegang selebaran gelap yang
berisi tulisan “Bergabunglah dengan kami! Pembakaran Patung
Megawati di Kampus IISIP di Lenteng Agung pada tanggal 26 Juli
2002 pukul 14.00 WIB”;
− Saksi mengakui telah melihat terdakwa menyiramkan minyak tanah
ke Patung Presiden Megawati lalu membakarnya. Terdakwa
memakai pakaian jeans warna biru dan memakai kaos lengan pendek
warna kombinasi hijau, hitam, dan putih.

4. Saksi ahli Dr. Rudy Satrio Mukantardjo, SH., MH.:

− Saksi berpendapat bahwa tidak tepat penerapan pasal 134 KUHP


terhadap perbuatan terdakwa dalam perkara a quo, karena pasal
134 mempersyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1. Penghinaan itu harus dilakukan dengan sengaja, artinya si
pelaku harus menghendaki untuk menyerang kehormatan atau
nama baik Presiden atau Wakil Presiden, sedangkan perbuatan
terdakwa dengan maksud untuk menyatakan pendapat dalam
bentuk kritik tidak termasuk dalam pengertian penghinaan
sebagaimana diamksud dalam pasal 134 KUHP;
2. Penghinaan sebagaimana diatur dalam pasal 134 KUHP juga
harus dilakukan di hadapan Presiden dan Wakil Presiden, yaitu
dengan berhadap-hadapan. Jika digunakan penafsiran secara
sistematis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ketentuan
pasal 136bis KUHP menyatakan bahwa pengertian penghinaan
dalam pasal 134 KUHP termasuk juga perbuatan dalam pasal
315 KUHP jika hal itu dilakukan di luar orang yang dihina,
sedangkan pasal 315 KUHP mengatur masalah penghinaan
yang dilakukan secara berhadap-hadapan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud pasal 134 KUHP harus
diartikan orang yang menghina orang lain dengan dengan
berhadapan langsung sedangkan yang tidak berhadapan
ditampung pada pasal 136bis KUHP.
− Bahwa pasal 137 ayat (1) KUHP juga sudah menentukan secara
limitatif cara-cara mana yang dilarang, yaitu dalam bentuk tulisan,
gambar atau lukisan dengan maksud untuk disiarkan di muka
umum, sedangkan dalam perkara a quo, terdakwa membakar

Universitas Indonesia
186

patung, sehingga tidak tepat mempersamakan patung dengan


lukisan.

Terdakwa sendiri memberikan beberapa keterangan di dalam persidangan


sebagai berikut:

− Bahwa benar pada Kamis tanggal 25 Juli 2002 sekitar pukul 14.00
WIB, terdakwa menerima selebaran gelap di kampus Jayabaya
Jakarta dari Aliansi Mahasiswa beberapa kampus yang menyebut
dirinya sebagai Laskas Mahasiswa Untuk Pembebasan (LMP).
Selebaran tersebut bertuliskan “Gulingkan Pemerintahan Mega-
Hamzah, Bubarkan MPR-DPR, Bentuk Pemerintahan Rakyat
Miskin”. Di dalam selebaran tersebut juga terdapat tulisan
“Bergabunglah dengan kami! Pembakaran Patung Megawati di
Kampus IISIP di Lenteng Agung pada tanggal 26 Juli 2002 pukul
14.00 WIB.”;
− Bahwa setelah menerima selebaran gelap tersebut, pada tanggal 26
Juli 2002 terdakwa berangkat ke kampus IISIP Jakarta di Lenteng
Agung bersama-sama dengan temannya yang lain sekitar pukul
13.00 WIB terdakwa sampai di kampus IISIP lalu terdakwa masuk
ke dalam kampus;
− Terdakwa melihat patung Presiden Megawati di dalam Kampus
IISIP dengan menggunakan topi a la Amerika yang bercorak garis
tegak warna biru dan putih yang bertuliskan IMF (International
Monetary Fund) dengan ukuran panjang ± 50 cm dan lebarnya 40
cm, dan terdakwa bergabung dengan para mahasiswa lainnya yang
akan melakukan unjuk rasa;
− Bahwa sekitar pukul 14.00 WIB oatung Presiden Megawati diarak-
arak keluar kampus oleh para pengunjuk rasa dan terdakwa berada
di dalam rombongan tersebut berjarak 1 meter di belakang orang
yang membawa patung Presiden tersebut;
− Bahwa selanjutnya para demonstran yang lainnya berteriak, “bakar
patung Presiden Megawati”, lalu terdakwa menyiramkan minyak
tanah yang ada di tangannya dan menyalakan korek apinya serta
membakar patng tersebut;
− Bahwa setelah patung tersebut dibakar para demonstran
membubarkan diri dan terdakwa ikut pula masuk ke kampus IISIP
selanjutnya terdakwa pergi bersama temannya dan terdakwa
ditangkap dan diserahkan ke Kantor Polisi;
− Bahwa terdakwa melakukan pembakaran patung Presiden Megawati
tersebut dikarenakan terdakwa tidak senang dan sakit hati terhadap
Pemerintahan Megawati yang sellau menurut dan tunduk pada IMF,
Bank Dunia, dan kepentingan-kepentingan Amerika Serikat.

Universitas Indonesia
187

3. Tuntutan dan Pembelaan


Dalam surat tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum mengaitkan pemenuhan
unsur-unsur dalam pasal 134 KUHP dengan fakta materiil yang terbukti di dalam
persidangan dan menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh terdakwa telah
melanggar ketentuan pasal 134 KUHP. Oleh karenanya, jaksa penuntut umum
mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa Kiastomo bersalah melakukan tindak pidana
yaitu “dengan sengaja menghina Presiden” sebagaimana dalam
dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang melannggar pasal 134 KUHP;
2. Menjatukan pidana penjara terhadap terdakwa Kiastomo dengan
pidana penjara selama 1 (satu) tahun penjara dipotong selama berada
dalam tahanan sementara;
3. Menyatakan barang bukti berupa sisa pembakaran patung Presidem
dirampas untuk dimusnahkan;
4. Menetapkan supaya terpidana dibebani membayar biaya perkara
sebesar Rp 1.000,00.

4. Pertimbangan Hukum
Setelah mendengarkan tuntutan dan pembelaan serta mempertimbangkan
pembuktian dalam persidangan, maka terhadap unsur-unsur pasal 134 KUHP,
yang berbunyi “penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden
atau Wakil Presiden, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500”. dari bunyi pasal tersebut maka dapat
diperoleh pemenuhan pasal sebagai berikut:
1. Unsur penghinaan
- Menimbang, bahwa apa yang dimaksud penghinaan, pasal 134
KUHP sendiri tidak menjelaskan, namun menurut doktrin
penghinaan dalam pasal ini diartikan sebagai perbuatan macam
apapun juga yang menyerang nama baik, martabat, atau keagungan
Presiden atau Wakil Presiden, termasuk seluruh jenis penghinaan
sebagaimana disebut dalam Bab XVI yaitu pasal 310 sampai dengan
pasal 321 KUHP;
- Menimbang bahwa majelis berpendapat bahwa benar cakupan pasal
134 KUHP amatlah luas, meliputi juga segala bentuk penghinaan
yang terdapat dalam pasal 310 sampai degan pasal 321 KUHP.
Saking luasnya, Wirdjono Prodjodikoro berpendapat bahwa lebih
mudah terjadinya pasal 134 KUHP daripada tindak pidana pasal 315
KUHP, karena penghinaan bersahaja terhadap orang biasa yang
dilakukan tidak dihadapannya tidak dapat dihukum;
- Menimbang bahwa majelis sependapat dengan ahli yang diajukan
oleh tim penasihat hukum, bahwasanya pasal 136bis KUHP

Universitas Indonesia
188

mengatur tentang penghinaan di luar kehadiran Presiden atau Wakil


Presiden itu sendiri, namun Majelis tidak sependapat apabila ditarik
kesimpulan atau ditafsir penghinaan yang terdapat dalam pasal 134
KUHP hanya atau semata diartikan sebagai penghinaan yang
dilakukan di hadapan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung,
karena apabila diteliti lebih jauh, keberadaan pasal 136bis justru
memperluas cakupan pasal 134 dengan redaksional sebagai berikut,
“Dalam pengertian penghinaan tersebut pasal 134 KUHP, termasuk
juga perbuatan tersebut pasal 315, jika hal itu dilakukan di luar
adanya yang terkena...”. R. Soesilo dalam bukunya KUHP
berpendapat bahwa penghinaan dalam pasal 134 KUHP mencakup
juga kemungkinan-kemungkinan dalam pasal 315 KUHP yang
diperluas lagi, sehingga penghinaan di sini bisa pula terjadi, bila
sedang yang dihina tidak ada di tempat itu.
- Menimbang, bahwa menurut P. A. F. Lamintang dan Djisman
Samosir dalam bukunya Hukum Pidana Indonesia, dijelaskan bahwa
perbedaan antara perbuatan menghina yang ditujukan kepada setiap
orang dengan perbuatan menghina yang ditujukan kepada kepala
negara adalah, bahwa perbuatan yang ditujukan kepada setiap orang
dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis perbuatan yaitu perbuatan
menista, perbuatan menista dengan tulisan, memfitnah, dan
penghinaan biasa, sedangkan perbuatan menghina kepala negara
tidak diperbedakan lagi semacam itu. sehingga, segala perbuatan
menghina Presiden atau Wakil Presiden termasuk ke dalam
pengertian penghinaan. Sementara itu, Prof. Satochid Kartanegara
berpendapat bahwa perbuatan menghina yang dimaksud dalam pasal
134 KUHP haruslah ditujukan kepada jabatan kepala negara
“alszodanig”, dan bukan untuk menghina “pribadi kepala negara”.
- Menimbang, bahwa menghubungkan antara keterangan saksi dan
barang bukti sebagaimana juga diakui oleh terdakwa, benar terdakwa
telah melakukan pembakaran terhadap patung Presiden Megawati
yang sedang mengenakan topi yang melambangkan Amerika Serikat,
hal mana dilakukan terdakwa karena terdakwa tidak senang terhadap
Presiden Megawati yang selalu menurut dan tunduk pada IMF, Bank
Dunia, dan kepentingan-kepentingan Amerika lainnya;
- Menimbang bahwa terdakwa tergabung dengan pengunjuk rasa yang
melakukan orasi dengan membawa spanduk serta poster bertuliskan
“Gulingkan Rezim Pemerintahan Megawati-Hamzah”, “Bubarkan
MPR/DPR”, “Bentuk Pemerintahan Rakyat Miskin”, sehingga
seharusnya terdakwa sadar betul terhadap makna-makna tulisan
ataupun orasi yang semata menunjukkan rasa tidak senang terhadap
Presiden Megawati dan kepemimpinnya, yang mana puncaknya
adalah pembakaran patung Presiden Megawati;
- Menimbang, bahwa terdakwa menyatakan apa yang dilakukannya
merupakan manifestasi kritik, namun Majelis Hakim tidak
sependapat karena apabila memang itu kritik, menagap harus
diwujudkan dengan tulisan-tulisan penggulingan pemerintah dan
pembakaran patung Presiden Megawati? Mengingat terdakwa adalah

Universitas Indonesia
189

mahasiswa, maka seharusnya terdakwa dapat menunjukkan kritik


dengan cara intelektual yaitu melalui alternatif lain yang disertai
dengan perumusan jalan keluar daripada hanya caci maki;
- Menimbang bahwa penghinaan memiliki arti yang luas, maka
tindakan terdakwa membakar patung Presiden Megawati juga
termasuk dalam kategori penghinaan, walaupun yang dibakar
hanyalah patung. Namun terdakwa sadar betul bahwa patung
tersebut menyerupai Presiden Megawati dan yang dituju oleh
terdakwa memanglah Presiden Megawati selaku Presiden atau
Kepala Pemerintahan.

2. Unsur dengan Sengaja


− Menimbang bahwa dari fakta yang terungkap dalam persidangan,
terbukti bahwa sebelum melakukan pembakaran, terdakwa sudah
tergabung dalam aksi unjuk rasa lainnya yang melakukan orasi-orasi
maupun yang membawa poster dan spanduk. Sebelumnya, pada
tanggal 25 Juli 2002 terdakwa juga telah menerima selebaran gelap
yang berisi ajakan untuk melakukan unjuk rasa, sehingga Majelis
Hakim menyimpulkan bahwa pembakaran patung oleh terdakwa
bukanlah reaksi spontan yang tercipta oleh suasana dalam unjuk
rasa, namun terdakwa telah secara sadar mendatangi Kampus IISIP
pada tanggal 26 Juli 2002 untuk mengikuti acara unjuk rasa tersebut.
Kemudian terdakwa terlibat dalam arak-arakan patung yang mana
terdakwa berada dalam jarak beberapa meter saja dari patung sampai
akhirnya terdakwa menyiramkan minyak tanah dan membakar
patung tersebut. Majelis Hakim menyimpulkan bahwa terdakwa
memang sengaja melakukan peghinaan tersebut.

3. Unsur terhadap Presiden dan Wakil Presiden


− Menimbang, bahwa pembakaran oatung yang menyerupai Presiden
Megawati terbukti bahwa dilakukan atas tujuan terdakwa untuk
menyatakan kekesalannya terhadap Megawati selaku Presiden yang
dalam hal ini selalu tunduk pada kepentingan Amerika atau IMF,
jadi bukan Megawati selaku diri pribadinya. Pembakaran patung
tersebut ditujukan kepada Presiden yang dipersonifikasikan dalam
bentuk patung.

Majelis berpendapat bahwa ketiga unsur tersebut terpenuhi. Hanya saja


dalam pertimbangan hukumnya, majelis menambahkan bahwa bukan berarti
majelis menolak kritik yang diajukan terhadap Presiden atau pejabat-pejabat
negara lainnya. majelis berpendapat bahwa siapapun termasuk Presiden tidak
kebal terhadap kritik atau pendapat yang maupun pandangan yang berbeda dengan
sikap yang diambilnya selama isi maupun penyampainnya sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Kritik yang disertai upaya penyelesaian masalah
adalah hal yang harus dikembangkan di Indonesia, namun bukan berarti kritik

Universitas Indonesia
190

yang sebebas-bebasnya dengan mengabaikan kaidah hukum dan moral demi


pemuasan ambisi pribadi dengan mengorbankan kepentingan masyarakat yang
lebih luas.

5. Putusan
Setelah pembuktian dalam persidangan dan menerangkan pertimbangan
hukumnya, Majelis Hakim menjatuhkan amar putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa KIASTOMO tersebut di atas terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “dengan
dengaja menghina Presiden” sebagaimana dakwaan primair Penuntut
Umum Pasal 134 kUHP;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa tersebut di
atas dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan;
3. Memerintahkan lamanya terdakwa dalam tahanan dikurangkan
sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan tersebut;
4. Memerintahkan barang bukti berupa 16 (enam belas) buah foto hasil
pemotretan di TKP dan beberapa guntingan surat kabar yang
memuat gambar dan beirta di TKP supaya tetap terlampir dalam
berkas perkara sedangkan barang bukti berupa:
− Sisa pembakaran patung Presiden Megawati Soekarno Putri yang
terbuat dari kertas koran berbingkai bambu;
− 1 (satu) buah/helai baju kaos lengan pendek warna kombinasi
bergaris putih, hitam, dan hijau dalam keadaan bau minyak tanah;
− 17 (tujuh belas) baran bukti lainnya berupa 9 (sembilan) buah
tabloid, selebaran gosip, surat undangan dari Laskar Pemuda
Rakyat Miskin (LPRM) dan lainnya.
Supaya dirampas untuk dimusnahkan;
5. Membebani terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,-
(seribu rupiah).

4.5.1.2 Putusan No. 1879/PID.B/2002/PN. JKT. PST


Perkara ini melibatkan seorang terdakwa bernama Billal Abubagar
Ahmat Fauzi, seorang laki-laki kelahiran 9 Juni 1975 di Timor Timur. Terdakwa
didampingi oleh penasihat hukum Habiburakhman, S. H. Terdakwa ditahan oleh
penyidik sejak tanggal 31 Juli 2002 hingga 19 Agustus 2002, dan diperpanjang
lagi pada tanggal 20 Agustus 2002, 20 September 2002, 30 September 2002, dan
30 Oktober 2002.

Universitas Indonesia
191

1. Dakwaan
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan primair-
subsidair dengan dakwaan primair menuduhkan bahwasanya terdakwa pada
Selasa, tanggal 30 Juli 2002 sekitar pukul 12.00 WIB atau pada waktu tertentu
dalam bulan Juli 2002, bertempat di depan Istana Negara Jalan Medan Merdeka
Utara Gambir Jakarta Pusat atau pada tempat lain yang masih termasuk dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, melakukan penghinaan dengan
sengaja terhadap Persiden dan Wakil Presiden yang dilakukan dengan cara:
− Bahwa terdakwa merupakan anggota Jaringan Kerja Rakyat (JAKER)
bersama dengan massa dari Partai Rakyat Demokrasi (PRD) yang
berjumlah sekitar 200 (dua ratus) orang melakukan unjuk rassa di
depan Istana Negara;
− Bahwa pada saat melakukan unjuk rasa, terdakwa membawa gambar
Wakil Presiden Hamzah Haz sambil memakai ikat kepala berwarna
merah yang bertuliskan “Pemerintahan Rakyat Miskin“ serta memakai
kalung ballpoint berwarna kuning;
− Bahwa terdakwa menggunakan ballpoint tersebut untuk mencoret-
coret gambar Wakil Presiden Hamzah Haz, selanjutnya merobek-
robeknya dan potongan-potongan gambar tersebut dibuang ke ranjang
sampah ukuran besar yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah
tersedia yang digunakan sebagai tempat sampah, di mana perbuatan
terdakwa disaksikan oleh massa lainnya serta orang umum yang
melintas di lokasi tersebut;
− Bahwa setelah selesai melakukan unjuk rasa dengan berjalan kaki lalu
menuju ke lapangan sepatu roda Silang Monas yang berjarak sekitar
150 meter dari lokasi unjuk rasa, dan keranjang sampah tersebut
dibuang/dimasukkan ke dalam gerobak sampah yang berada di sekitar
lokasi, selanjutnya para pengunjuk rasa pulang dengan menggunakan
5 (lima) unit bus Metro Mini yang sudah tersedia;
− Bahwa saksi Misno dan saksi Eko Cahyono anggota Polri pada Polres
Metro Jakarta Pusat lalu mengambil keranjang sampah dan
selanjutnya dibawa ke Polres Metro Jakarta Pusat;
− Bahwa pada hari Selasa tanggal 30 Juli 2002 sekitar pukul 16.45 WIB,
saksi Agus Bakir, saksi Ujang, saksi Tito Waluyo, dari Polres Metro
Jakarta Pusat menangkap terdakwa di Jalan Pramuka Raya Senen,
Jakarta Pusat.

Sementara itu, dakwaan subsidair yang dibuat oleh Jaksa Penuntut


Umum menuduhkan bahwa terdakwa “menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan kepada Presiden dengan
maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum”

Universitas Indonesia
192

sebagaimana diatur dalam pasal 137 ayat (1) KUHP, yang dilakukan dengan cara-
cara yang sama dengan dakwaan atas pasal 134 KUHP.

2. Pembuktian dalam Persidangan


Dalam perkara tersebut, hadir 4 (empat) orang saksi yang memberatkan
dan 1 (satu) orang saksi yang meringankan, yang memberikan keterangan sebagai
berikut:
1. Saksi Misno
− Bahwa benar saksi melihat terdakwa pada tanggal 30 Juli 2002
sekitar pukul 12.00 WIB, bersama dengan massa JAKER dan PRD
melakukan unjuk rasa orasi di depan Istana Presiden. Saksi berada
pada jarak 3 (tiga) meter dari posisi terdakwa, sehingga saksi
dengan jelas dapat mengamati dam memotret segala kegiatan yang
dilakukan terdakwa;
− Bahwa kurang lebih 1,5 (satu setengah) jam setelah saksi mengamati
segala kegaiatan pengunjuk rasa, dan melihat secara langsung
terdakwa menendang, mencoret-coret dan menginjak-injak serta
merobek-robek tanda gambar/foto Hamzah Haz, Wakil Presiden RI,
yang kemudian dimasukkan ke dalam keranjang sampah yang
terbuat dari bambu;
− Bahwa gambar/foto Presiden Megawati, Wakil Presiden Hamzah
Haz, Ketua MPR-RI Amien Rais, Ketua DPR RI Akbar Tandjung
telah dipersiapkan sebelum orasi dan gambar-gambar tersebut
dipajang di kursi, setelah itu terdakwa bersama dengan 8 (delapan)
hingga 10 (sepuluh) temannya menendang gambar-gambar tersebut
lalu diambil, dicoret-coret dengan spidol, kemudian diinjak-injak dan
dirobek-robek lalu dimasukkan ke dalam keranjang sampah;
− Bahwa terdakwa setelah selesai berorasi beserta rombongannya
berjalan kaki menuju lapangan sepatu roda Silang Mas, sesampainya
di sana keranjang sampah yang berisi robekan gambar tadi
dimasukkan ke dalam gerobak sampah.

2. Saksi Titok Waluyo Jati


− Bahwa terdakwa pada Selasa, 30 Juli 2002 bersama kelompok
JAKER dan PRD telah melakukan unjuk rasa di depan Istana Negara
dengan membawa gambar pejabat-pejabat negara, keranjang sampah
dari bambu, beberapa spanduk dan bendera PRD;
− Bahwa pada saat unjuk rasa, terdakwa telah mencoret-coret
gambar/foto Hamzah Haz dengan spidol, lalu menginjak-injak serta
merobek-robek gambar tersebut, kemudian robekannya dibuang ke
dalam keranjang sampah;
− Bahwa pada saat kejadian, saksi berada di jarak sekitar 5-15 meter
dari terdakwa, saksi melihat gerak-gerik terdakwa yang pada saat itu
terdakwa mengenakan celana panjang, kemeja jeans biru, membawa

Universitas Indonesia
193

atas gendong berwarna kuning hitam, dan memakai ikat kepala


merah yang bertuliskan Pemerintahan Rakyat Miskin, dan memakai
kalung ballpoint warna kuning;
− Bahwa setelah melakukan unjuk rasa, terdakwa beserta
rombongannya berjalan kaki menuju lapangan sepatu roda Silang
Mas, sesampainya di sana keranjang sampah yang berisi robekan
gambar tadi dimasukkan ke dalam gerobak sampah, lalu pulang
menggunakan 5 (lima) unit Metro Mini.
− Bahwa saksi melakukan penangkapan terhadap terdakwa pada hari
Selasa tanggal 30 Juli 2002 sekitar pukul 16.45 WIB di Jalan
Pramuka Raya bersama-sama dengan Agus Subakir dan Ujang
Syarifuddin.

3. Saksi Agus Subakir


− Bahwa pada tanggal 30 Juli 2002 sekitar pukul 12.00 WIB, terdakwa
bersama massa JAKER dan PRD yang kurang lebihnya berjumlah
200 (dua ratus) orang melakukan unjuk rasa orasi di depan Istana
Presiden.
− Bahwa saksi adalah anggota tim Penanganan Unjuk Rasa yang
bertugas mengamati tingkah laku pengunjuk rasa dengan cara
berpakaian preman dan melakukan penangkapan terhadap pelaku
unjuk rasa yang diduga telah melakukan tindak pidana;
− Bahwa pada saat kejadian, saksi berada pada jara 5-10 meter dari
terdakwa, sehingga dengan jelas dapat melihat terdakwa mencoret-
coret gambar/foto Hamzah Haz dan menginjak-injak serta merobek-
robek gambar tersebut kemduian dibuang ke ranjang sampah yang
terbuat dari bambu;
− Bahwa saksi melakukan penangkapan terhadap terdakwa pada hari
Selasa tanggal 30 Juli 2002 sekitar pukul 16.45 WIB di Jalan
Pramuka Raya bersama-sama dengan Titok Waluyo Jati dan Ujang
Syarifuddin.

4. Saksi Ujang Syarifuddin


− Bahwa pada tanggal 30 Juli 2002 sekitar pukul 12.00 WIB, terdakwa
bersama massa JAKER dan PRD yang kurang lebihnya berjumlah
200 (dua ratus) orang melakukan unjuk rasa orasi di depan Istana
Presiden.
− Bahwa saksi adalah anggota team Penanganan Unjuk Rasa yang
bertugas mengamati tingkah laku pengunjuk rasa dengan cara
berpakaian preman, dan melakukan penangkapan terhadap pelaku
unjuk rasa yang diduga telah melakukan tindak pidana;
− Bahwa pada saat kejadian, saksi berada pada jara 5-10 meter dari
terdakwa, sehingga dengan jelas dapat melihat terdakwa mencoret-
coret gambar/foto Hamzah Haz dan menginjak-injak serta merobek-

Universitas Indonesia
194

robek gambar tersebut kemduian dibuang ke ranjang sampah yang


terbuat dari bambu;
− Bahwa barang bukti berupa keranjang sampah terbuat dari anyaman
bambu yang di dalamnya berisi robekan gambar/foto tersebut di atas,
diambil, diamankan oleh saksi Misno dan saksi Eko Cahyono dari
gerobak sampah yang ada di lapangan sepatu roda Silang Monas
Jakarta Pusat, setelah terdakwa dan para pengunjuk ras alainnya
meninggalkan lokasi unjuk rasa tersebut dan barang bukti tersebut
dibawa ke kantor Polisi Polda Metro Jaya;
− Bahwa saksi melakukan penangkapan terhadap terdakwa pada hari
Selasa tanggal 30 Juli 2002 sekitar pukul 16.45 WIB di Jalan
Pramuka Raya.

5. Saksi Sahanuddin:
− Bahwa terdakwa dihadapkan ke persidangan karena dituduh telah
merobek-robek gambar Wakil Presiden RI HamzahHaaz sewaktu
ada unjuk rasa di depan Istana Negara;
− Bahwa pada saat itu apa yang dilakukan terdakwa sama dengan apa
yang dilakukan oleh peserta lainnya namun persisnya apa yang
dilakukan oleh terdakwa saksi tidak ingat, dan saksi tidak melihat
terdakwa melakukan perobekan terhadap gambar/foto Hamzah Haz;
− Bahwa pada saat aksi berlangsung, saksi melihat keranjang sampah
yang terbuat drai bambu yang dipergunakan untuk menaruh atau
mengumpulkan gambar/foto-foto pejabat negara;
− Bahwa saksi tidak pernah melihat gambar/foto-foto tersebut berada
dalam keranjang sampah dari bambu dalam keadaan robek-robek
melainkan dalam keadaan utuh;
− Bahwa gambar/foto-foto tersebut beserta keranjang sampah terbuat
dari bambu dibawa oleh rombongan pengunjuk rasa bersama-sama
dengan terdakwa, namun siapa yang meletakkan foto-foto itu di
dalam keranjang, saksi tidak mengetahuinya;
− Bahwa tujuan unjuk rasa tersebut adalah karena Pemerintah sekarang
banyak melakukan pelanggaran terhadap HAM, banyak
kasus/permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan arif
bijaksana, untuk itu agar segala permasalahan dalam negeri dapat
diselesaikan dengan baik, kalau tidak bisa agar pemerintahan
sekarang diganti dengan Pemerintahan Rakyat Miskin;
− Bahwa selama unjuk rasa berlangsung, tidak ada upaya pihak
keamanan/kepolisian untuk mencegah berlangsungnya aksi tersebut;
− Bahwa setelah selesai unjuk rasa dan orasi, rombongan membawa
pulang keranjang sampah beserta foto-foto tersebut dan diletakkan di
atas mobil Metro Mini.

Terdakwa sendiri memberikan keterangan sebagai berikut:

Universitas Indonesia
195

− Bahwa benar pada Selasa, 30 Juli 2002 ada demo di depan Istana
Negara dan yang hadir adalah gabungan dari JAKER dan PRD
berjumlah sekitar 200 (dua ratus) orang;
− Bahwa dalam unjuk rasa tersebut, terdakwa membawa selebaran,
gambar/foto Presiden Megawati dan Wakil Presien Hamzah Haz;
− Bahwa benar ada keranjang sampah yang berisi gambar/foto
Presiden dan Wakil Presiden tersobek-sobek;
− Bahwa benar maksud dan tujuan terdakwa mencoret-coret dan
merobek gambar/foto karena rakyat tidak percaya lagi dan supaya
dia (Hamzah Haz) turun dari jabatannya selaku Wakil Presiden RI;
− Bahwa terdakwa sangat menyesal atas perbuatannya.

3. Tuntutan dan Pembelaan


Setelah mempertimbangkan pembuktian dalam persidangan, maka
penuntut umum mengajukan tuntutan sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa BILLAL ABUBAGAR AHMAT FAUZI
bersalah melakukan tindak pidana penghinaan sebagaimana diatur
dalam pasal 134 KUHP;
2. menyatakan pidana terhadap terdakwa BILLAL ABUBAGAR
AHMAT FAUZI dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6
(enam) bulan dikurangkan dari masa tahanannya;
3. Menyatakan barang bukti berupa:
− 1 (satu) buah keranjang dari bambu;
− Gambar/foto Megwati Soekarno Putri, Presiden RI, dalam
keadaan robek;
− Gambar/foto Hamzah Haz, Wakil Persiden RI, dalam keadaan
robek;
− Gambar/foto H. Amien Rais, Ketua MPR RI, dalam keadaan
robek;
− Gambar/foto Ir. Akbar Tanjung, ketua DPR RI, dalam keadaan
robek;
− 5 (lima) lembar gambar/foto dalam ukuran jumbo atau postcard;
− 1 (satu) keping VCD film berisi rekaman saat terdakwa
melakukan unjuk rasa di depan Istana Negara
dirampas untuk dimusnahkan;
4. Menetapkan supaya terdakwa BILLAL ABUBAGAR AHMAT
FAUZI dibebani biaya perkara sebesar Rp 1.000,-

4. Pertimbangan Hukum

Setelah mendengar tuntutan, pembelaan, serta mempertimbangkan


pembuktian dalam persidangan, majelis memberikan pertimbangan atas
pemenuhan unsur dakwaan primair sebagai berikut:

Universitas Indonesia
196

1. Unsur Barangsiapa
− Menimbang bahwa baragsiapa adalah setiap orang sebagai subjek
hukum yang telah melakukan perbuatan tindak pidana yang mampu
bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
2. Unsur melakukan penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau
Wakil Presiden
− Menimbang bahwa yang diartikan sebagai penghinaan dengan
sengaja adalah segala perbuatan menyerang nama baik, martabat,
atau keagungan Presiden atau Wakil Presiden termasuk segala
macam penghinaan dalam Bab XVI pasal 310 hingga pasal 321
KUHP;
− Menimbang bahwa saksi Misno, Titok Waluyo Jati, Agus Subakir,
dan Ujang Syarifuddin semuanya adalah anggota tim Tindak
Penanganan Unjuk Rasa Polres Metor Jakarta Pusat yang
menerangkan bahwa pada tanggal 30 Juli 2002 sekitar pukul 12.00
WIB terjadi unjuk rasa di depan Istana Presiden dan para saksi
melihat terdakwa dari jarak dekat telah mencoret-coret gambar
Wakil Presiden kemudian merobek-robeknya lalu dibuang ke
keranjang sampah;
− Menimbang bahwa terdakwa menyangkal perbuatan yang
dituduhkan Penuntut Umum kepadanya dengan mengajukan saksi
Sahanuddin, namun Majelis Hakim menilai penyangkalan tersebut
kurang berasalan;
− Menimbang bahwa setelah menghubungkan pertimbangan-
pertimbangan di atas satu dengan yang lainnya, majelis berpendapat
bahwa apa terdakwa bersalah melakukan penghinaan terhadap Wakil
Presiden karena sepanjang persidangan juga tidak ditemukan hal
yang menghapuskan kesalahan terdakwa.

5. Putusan
Mengacu pada pertimbangan hukum di atas, maka Majelis Hakim
menjatuhkan amar putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa BILLAL ABUBAGAR AHMAT FAUZI
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana penghinaan terhadap Wakil Presiden Hamzah Haz;
2. (sisa halaman putusan tidak berhasil ditemukan)

4.5.1.3 Putusan No. 484/Pid.B/2003/PN. JKT. PST


Perkara ini melibatkan terdakwa bernama M. Iqbal Siregar, laki-laki
berusia 36 tahun yang berprofesi sebagai guru mengaji. Dalam perkara ini,
terdakwa didampingi oleh penasihat hukum Taufik Basari, S.H., S.S. Terdakwa
ditahan penyidik pada tanggal 24 Januari 2003 sampai dengan 12 Februari 2003,
yang kemudian diperpanjang hingga 24 Maret 2003. Penahanan tersebut

Universitas Indonesia
197

kemudian diperpanjang lagi hingga 8 April 2003, yang kemudian diperpanjang


lagi hingga 29 Juni 2003.

1. Dakwaan
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan primair-
subsidar, dengan dakwaan primair menuduhkan bahwasanya terdakwa pada
tanggal 15 Januari 2003 atau setidak-tidaknya suatu hari di Bulan Januari 2003
bertempat di depan Istana Merdeka, Jalan Merdeka Utara Jakarta Pusat atau
setidak-tidaknya pada suatu tempat yang termasuk dalam daerah hukum
pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah “dengan sengaja menghina Presiden”
sebagaimana diatur dalam pasal 134 KUHP, dengan cara-cara sebagai berikut:
− Bahwa pada tanggal 15 Januari 2003 saat berlangsung unjuk rasa di
depan Istana Merdeka yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa antara
lain:
o Badan Eksekutif Mahaisswa (BEM) se-Jabodetabek;
o Himpunan Mahasiswa Islam (HMI);
o Aliansi Tolak Mega (ATM);
o Gerakan Pemuda Islam (GPI);
− Terdakwa bergabung dengan para pengunjuk rasa dari elemen GPI.
− Bahwa dalam unjuk rasa tersebut terdakwa membawa sebuah poster
atau gambar Presiden Megawati yang memakai baju berwarna merah
dan kedua matanya ditutup lakban hitam dan pada bagian atas foto
atau gambar atau poster yang dibawa terdakwa tersebut terdapat
tulisan, “BURONAN RAKYAT”.
− Bahwa terdakwa mengangkat dan menunjukkannya kepada
masyarakat yang berada di sekitar aksi unjuk rasa tersebut sambil
mengatakan “Inilah Presiden yang mengecewakan rakyat” dan
selanjutnya foto atau gambar atau proster Presiden Megawati tersebut
diletakkan dijalan dan dilindaskan mobil Mazda warna Hitam No. Pol
B-1462-CQ yang dikemudikan oleh Nazaruddin dan sepeda motor No.
Pol B-5779-A yang dikendarai oleh Badrul Munir bin Abdullah.
Sementara itu, dakwaan subsidair yang dibuat oleh Jaksa Penuntut
Umum menuduhkan bahwa terdakwa “menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan kepada Presiden dengan
maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum”
sebagaimana diatur dalam pasal 137 ayat (1) KUHP, yang dilakukan dengan cara-
cara sama dengan uraian dalam dakwaan pasal 134 KUHP.

Universitas Indonesia
198

2. Pembuktian dalam Persidangan

Dalam pembuktian di persidangan, dihadirkan 4 (empat) orang saksi


dengan 1 (satu) orang saksi ahli yang memberikan keterangan sebagai beirkut:

1. Saksi Masirin
− Bahwa pada tanggal 15 Januari 2003, saksi sedang melakukan tugas
pengamanan unjuk rasa yang dilakukan oleh BEM, ATM, HMI, dan
GPI di depan Istana Merdeka sekitar pukul 14.30 WIB;
− Bahwa aksi unjuk rasa tersebut menuntut penurunan harga BBM dan
TDL dengan membawa spanduk yang diikuti oleh orang banyak;
− Bahwa di antara pengunjuk rasa tersebut, saksi melihat ada seseorang
yang memegang foto Megawati yang matanya ditutup lakban dan di
atas foto bertuliskan Buronan Rakyat sambil meneriakkan yel-yel
inilah Presiden yang mengecewakan rakyat;
− Bahwa pada saat itu saksi tidak mengetahui nama terdakwa, tapi
setelah saksi tahu nama terdakwa, saksi membenarkan terdakwa
adalah M. Iqbal Siregar yang wkatu itu saksi melihat ia membawa foto
Presiden Megawati;
− Bahwa benar foto dalam berkas perkara adalah suasana yang saksi
lihat waktu itu, yang mana terdakwa sedang memegang foto Presiden
Megawati yang matanya ditutup lakban;
− Bahwa saksi melihat terdakwa membawa foto Presiden Megawati
yang matanya ditutup lakban dari jarak 5 (lima) meter.

2. Saksi Kasimo
− Bahwa saksi pertama kali melihat terdakwa pada tanggal 15 Januari
2003 di Jalan Merdeka Utara sekitar pukul 14.30 WIB, terdakwa ikut
dalam unjuk rasa yang dilakukan oleh BEM, ATM, HMI, dan GPI di
depan Istana Merdeka;
− Bahwa dalam unjuk rasa tersebut, saksi melihat terdakwa membawa
foto Presiden Megawati yang matanya ditutup lakban dan di atas foto
itu bertuliskan Buronan Rakyat;
− Bahwa benar peserta unjuk rasa meneriakkan yel-yel inilah Presiden
yang mengecewakan Rakyat;
− Bahwa jarak saksi melihat dan memotret terdakwa adalah 3 (tiga)
sampai 4 (empat) meter, dan saksi memotret terdakwa karena tertairk
dengan poster yang dibawa terdakwa;
− Bahwa saksi melihat terdakwa melempar poster/gambar Presiden
Megawati yang dibawanya ke jalan tapi saksi tidak sempat memotret;
− Bahwa saksi memotret terdakwa dengan kamera biasa;
− Bahwa benar foto yang di dalam berkas perkara yang ditunjukkan oleh
Majelis Hakim adalah hasil pemotretan yang dilakukan oleh saksi;
− Bahwa benar saksi tidak mengetahui tangan orang yang meletakkan
foto Presiden Megawati di jalan dan dilindas mobil;

Universitas Indonesia
199

− Bahwa benar terdakwa juga melakukan orasi unjuk rasa tersebut.

3. Saksi Nazaruddin
− Bahwa benar pada tanggal 15 Januari 2003 sekitar pukul 14.30 WIB
saksi sedang mengendarai mobil Mazda dinas dan melintas di Jalan
Merdeka Utara, pada saat itu saksi melihat banyak orang sedang
melakukan unjuk rasa;
− Bahwa kendaraan saksi hanya diberi jalan kecil dan saksi lihat ada
foto Presiden Megawati diletakkan di jalan dan saksi gilas karena
tidak ada jalan lain;
− Bahwa benar foto mobil B-1462 plat merah yang ada dalam berkas
perkara adalah mobil yang saksi kendarai.

4. Saksi Sukanta
− Bahwa benar saksi tidak mengerti nama jalan dan tidak tahu letak
Istana Negara, Mahkamah Agung, dan Monas;
− Bahwa saksi pada tanggal 15 Januari 2003 ikut dengan Pak
Nazaruddin duduk di samping kiri dan Pak Nazaruddin yang menyetir
mobil Mazda;
− Bahwa saksi ketika sedang ikut Pak Nazaruddin melihat ada banyak
orang yang sedang unjuk rasa dan mobil yang saksi tumpangi diberi
jalan kecil;
− Bahwa saksi melihat ada foto Presiden yang diletakkan di jalan;

5. Saksi Ahli Drs. Ali Maryanto, M. Hum.:


− Bahwa kata buronan rakyat dalam Bahasa Indonesia berarti orang
yang diburu;
− Bahwa dalam bahasa Indonesia, kata buronan itu terkonotasi negatif
dalam hal ini diburu rakyat;
− Bahwa kata buronan rakyat dapat dikatakan menyerang kehormatan
dan ada tiga faktor yang menyebabkan muka tadi bisa hilang,
menurun, atau meningkat:
− Jarak sosial antara membuat kata-kata dengan sasaran kata. Kalau
memillih kata yang punya konotasi tidak baik kepada orang yang jarak
sosialnya jauh, maka orang yang dituju itu direndahkan;
− Faktor kekuasaan seberapa jauh jarak kekuasaan antara pembuat kata-
kata dengan sasaran perkataan;
− Faktor hak untuk berkata.

Terdakwa sendiri memberikan beberapa keterangan di dalam persidangan


sebagai berikut:
− Bahwa benar pada hari Rabu tanggal 15 Januari 2003, terdakwa
datang lebih awal dari rombongan yang akan melakukan aksi unjuk

Universitas Indonesia
200

rasa di depan Istana Merdeka, terdakwa tidak bersama-sama dengan


rombongan unsur GPI;
− Bahwa tujuan unsur GPI berunjuk rasa pada waktu itu untuk
menyampaikan aspirasi rakyat sehubungan dengan kebijakan
pemerintah Presiden Megawati menaikkan harga BBM dan Tarif
Dasar Listrik (TDL) selain menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Rakyat menolak kebijakan Pemerintah menjual aset negara;
2. Rakyat menolak kebijakan Pemerintah memberikan
pengampunan kepada konglomerat hitam.
− Bahwa terdakwa berangkat dengan tidak membawa poster,
selanjutnya anggota GPI datang, dan pada saat terdakwa memberikan
orasi, ada yang memberikan poster dan terdakwa mengacungkan
poster tersebut setelah terdakwa lihat ternyata terdapat foto Presiden
Megawati yang menyolok dan kurang baik, karena mataya dilakban
dan di atasnya terdapat tulisan Buronan Rakyat;
− Bahwa terdakwa memegang dan mengangkat foto Presiden tersebut
secara spontan selanjutnya terdakwa serahkan kepda anggota lain
untuk diedarkan;
− Bahwa terdakwa tidak meletakkan foto Presiden Megawati di tengah
jalan;
− Bahwa terdakwa tidak bermaksud menghina Presiden Megawati, dan
jika hal tersebut dipersalahkan itu adalah kesalahan anak muda yang
nakal;
− Bahwa gambar Presiden Megawati lebih dari dua yang dibawa oleh
unsur GPI, ada juga yang dibawa oleh unsur lain,

3. Pertimbangan Hukum
Setelah mempertimbangkan pembuktian dalam persidangan, maka
terhadap unsur-unsur pasal 134 KUHP, yang berbunyi “penghinaan yang
dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden, diancam dengan
pidana penjara paling lama enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp
4.500”. Dari bunyi pasal tersebut maka dapat diperoleh pemenuhan pasal sebagai
berikut:
− Menimbang bahwa yang dimaksud dengan penghinaan adalah suatu
perbuatan yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang
dengan sengaja adalah mengetahui perbuatan penghinaan tersebut
dilakukan terhadap Presiden atau Wakil Presiden;
− Menimbang bahwa terdakwa membenarkan keterangan para saksi
bahwasanya pada tanggal 15 Januari 2003 sekitar pukul 14.30 WIB di
depan Istana Merdeka yang terdiri dari BEM, HMI, ATM dan GPI
melakukan unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi masyarakat atas
kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM, TDL, dan privatisasi,
dan terdakwa membenarkan bahwa ia melakukan orasi inilah Presiden
yang mengecewakan masyarakat dengan mengangkat foto Presiden

Universitas Indonesia
201

Megawati yang kedua matanya dilakban hitam dan di atasnya


bertuliskan Buronan Rakyat;
− Menimbang bahwa ahli Drs. Mariyanto memberikan keterangan pada
pokoknya mengangkat gambar Presiden Megawati yang matanya
tertutup lakban hitam dan di atasnya bertuliskan Buronan Rakyat
adalah merupakan perbuatan yang menyerang nama baik dan
kehormatan Presiden;
− Menimbang bahwa penasihat hukum terdakwa menolak keberadaan
Drs. Mariyanto memberikan keterangan sebagai ahli berhubung yang
bersangkutan belum layak dikategorikan sebagai ahli bidang bahasa,
namun Majelis Hakim tidak sependapat setelah mempertimbangkan
riwayat pendidikan ahli;
− Menimbang bahwa terdakwa dan penasihat hukumnya dalam
pembelaan pada pokoknya mengemukakan hal-hal bahwa perbuatan
terdakwa berorasi dengan mengucapkan kata-kata inilah Presiden
yang mengecewakan rakyat serta mengangkat gambar Presiden
Megawati tidak merupakan tindak pidana berhubung karena hal itu
merupakan penyampaian aspirasi masyarakat yang kecewa atas
kebijakan pemerintah yang kurang mendukung pencapaian tujuan
reformasi;
− Menimbang bahwa atas fakta-fakta hukum dalam perkara ini, Majelis
Hakim berpendapat perbuatan terdakwa bertentangan dengan hukum
dan moral kehidupan bermasyarakat, sehingga dengan hal demikian
nota pembelaan terdakwa dan penasihat hukum tidak mempunyai
dasar hukum;
− Menimbang bahwa menunjuk hal-hal yang dipertimbangkan tersebut
di atas, Majelis Hakim berkeyakinan bahwa terdakwa telah terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dalam dakwaan
primair yang diatur dan diancam dalam pasal 134 KUHP, sehingga
dakwaan subsidair tidak perlu dipertimbangkan lagi

4. Putusan
Setelah pembuktian dalam persidangan dan menerangkan pertimbangan
hukumnya, Majelis Hakim menjatuhkan amar putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa M. IQBAL SIREGAR tersebut terbukti secara


sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penghinaan
dengan sengaja terhadap Presiden;
2. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun;
3. Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan
seluruhnya dengan pidana penjara tersebut di atas;
4. Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Menetapkan barang bukti berupa Surat Kabar Harian Rakyat
Merdeka edisi Kamis tanggal 16 Januari 2003 tetap terlampir dalam
berkas perkara;

Universitas Indonesia
202

6. Menghukum terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp.


1000,- (seribu rupiah).

4.5.1.4 Putusan No 1411/PID.B/2006/PN.JKA.PST


Dalam perkara ini, yang menjadi terpidana adalah Dr. Eggi Sudjana, SH.,
M.Si., seorang advokat yang lahir di Jakarta pada tanggal 3 Desember 1959. Ia
dituduh melakukan tindak pidana penghinaan Presidan dan/atau Wakil Presiden
karena melakukan konfirmasi tuduhan bahwasanya Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) telah menerima hadiah berupa mobil mewah dari salah
seorang pengusaha. Ia didampingi oleh tim penasihat hukum dari Eggi Sudjana &
Partners berdasarkan surat kuasa khusus. Dalam perkara ini, pengadilan
menyatakan bahwa ia terbukti melakukan tindak pidana penghinaan Presidan
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 134 KUHP, dan oleh
karenanya dihukum pidana penjara selama 5 (lima) tahun.

1. Dakwaan
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan tunggal
yaitu pasal 134 KUHP jo. Pasal 136bis yang menuduh terdakwa pada hari Selasa
tanggal 2 Januari 2006 sekitar pukul 12.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu
lain dalam tahun 2006 bertempat di Lobby Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Jalan Veteran III No. 2, Jakarta Pusat, telah dengan sengaja melakukan
penghinaan terhadap Presiden di luar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah
laku di muka umum maupun tidak di muka umum dengan lisan atau tulisan
namun dihadapan lebih dari 4 (empat) orang atau dihadapan orang ketiga
bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung yang
dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
− Bahwa pada awalnya terdakwa berada di kantor KPK dalam rangka
kepentingan kliennya, ECW NELOE;
− Bahwa selanjutnya ketika berada di Lobby KPK, di hadapan orang
lain atau di hadapan pers baik dari kalangan media cetak dan
elektronik di antaranya reportert RCTI, TPI, Metro TV, Detik.com,
Radio Elsinta, dan Wartawan Rakyat Merdeka, Kompas, Republika
yaitu di antaranya adalah saksi Alexander Zulakrnain (Reporter RCTI)
dan saksi Ubaidilah (Kameraman TPI), terdakwa telah
mengungkapkan atau mengucapkan perkataan-perkataan yang
menyerang nama baik, martabat, atau keagungan Presiden Republik
Indonesia:

Universitas Indonesia
203

• “....yang ingin saya klarifikasi dengan Ketua KPK atau jajaran


KPK, bahwa ada pengusaha yang memberikan mobil mungkin
jenisnya Jaguar kepada Kementerian Sekab dan Juru Bicara
Presiden juga Presiden yang kemudian dipakai oleh anaknya”;
• “...oleh karena itu keberanian untuk mengungkap ada pada KPK,
yang katanya pemberantasan korupsi tidak pandang bulu;
• “...pengusaha itu namanya Hary Tanu, ya pers taulah;
− Bahwa kata-kata yang dikemukakan atau diucapkan oleh Terdakwa
yang dimaksudkan Presiden adalah Susilo Bamnbang Yudhoyono,
Presiden RI saat itu, dan terdakwa mengetahui bahwa kata-kata yang
dikemukakannya atau diucapkannya akan didengarkan dan diketahui
oleh Presiden RI serta orang lain, sebab diucapkan terhadap pers naik
dari kalangan media cetak maupun elektronik yang akan
menyiarkannya sehingga akan didengarkan dan diketahui pula oleh
seluruh rakyat Indonesia.

2. Pembuktian dalam Persidangan


Dalam persidangan dihadirkan 6 (enam) orang saksi yang memberatkan
dan beberapa saksi yang meringankan yang memberikan keterangan sebagai
berikut:
1. Saksi Ahmad Fadilah, Spdl
− Saksi merupakan orang yang melaporkan terdakwa telah melakukan
pencemaran nama baik terhadap Presiden yang saksi ketahui setelah
saksi melihat tayangan rekaman VCD/VHS setelah ada pengaduan
dari pihak lain;
− Bahwa saksi mendapat rekaman TPI yang di dalamnya berisi
pernyataan terdakwa akan mengklarifikasi informasi yang
berkembang bahwa Mensekab, juru bicara Presiden, dan Presiden
telah menerima mobil Jaguar dari seorang pengusaha;
− Bahwa saksi menganggap penyampaian klarifikasi oleh terdakwa di
media dan televisi akan menyebabkan hal itu menjadi opini dan
didengar oleh masyarakat sehingga dapat menjatuhkan pidana
Presiden;
− Bahwa saksi tidak pernah menanyakan kepada Presiden masalah ini;
− Bahwa dasar saksi melaporkan sebagai bagian dari Polri adalah
doktrin kepolisian yang diantaranya adalah mengagungkan negara,
yang komponen dalam negara adalah aparatur negara dan saksi adalah
bagian dari itu;
− Bahwa saksi membuat laporan kepolisian tersebut setelah ada
pemberitahuan dari kuasa hukum Hari Tanu;
− Bahwa dalam rekaman tidak disebutkan siapa orang yang memberikan
mobil Jaguar;
− Bahwa ketika ditanya Terdakwa menyatakan terdapat 4 (empat) mobil
Jaguar yang diserahkan, sedangkan dari informasi lain tidak terdapat
pemberian;

Universitas Indonesia
204

− Bahwa tempat kejadian itu adalah di lobi KPK di mana terdapat


William dan beberapa wartawan lainnya.

2. Saksi Dr. Alfian Andi Mallarangeng


− Bahwa saksi berada dengan rombongan Presiden ke IPTN Bandung
tiba-tiba ada wartawan yang menanyakan kepada saksi, Dino Patti
Djalal dan Sudi Silalahi tentang penyataan Eggi Sudjana bahwa Dino
Patti Djalal, Sudi Silalahi, dan Presiden menerima kendaraan Jaguar
dari salah seorang pengusaha yaitu Hari Tanu dan saksi saat itu
menjawab tidak tahu;
− Bahwa saksi ingat terdapat pemberitaan di media massa mengenai hal
itu;
− Bahwa saksi, Presiden, dan Mensekab tidak pernah menerima
kendaraan tersebut;
− Bahwa saksi merasakan apabila dituduh dengan tuduhan yang tidak
benar merasa difitnah dan dizalimi, begitu pula Presiden merasa sedih
yang mana perasaan itu diungkapkan dalam perkataan tidak secara
tertulis;
− Bahwa Presiden tidak secara tegas untuk melapor tapi apabila
diperlukan maka saksi siap berkoordinasi;
− Bahwa Presiden mendengar kata-kata Terdakwa tanggapannya adalah
Presiden merasa terpukul namun Presiden menerima hal tersebut
sebagai akibat demokrasi Indonesia;
− Bahwa saksi tidak pernah mendatangi KPK dan KPK tidak pernah
mendatangi Presiden;
− Bahwa kepolisian pernah datang untuk mendata mobil Jaguar yang
diisukan ada di lingkungan kepresidenan ternyata mobil itu tidak ada;
− Bahwa saksi tidak mengetahui apakah Presiden membicarakan
masalah ini dengan KPK;
− Bahwa Presiden tidak pernah memerintahkan untuk menyampaikan
hak jawab;
− Bahwa saksi tidak mengetahui perihal surat yang dibawa oleh Agung
Laksono, surat mana berisi permohonan maaf terdakwa kepada
Presiden yang di dalamnya juga menyebut nama saksi;
− Bahwa saksi dan saksi Dino merasa difitnah atas pemberitaan
tersebut;
− Bahwa atas pemberitaan tersebut, masyarakat masih tetap percaya
kepada Presiden SBY namun pihak kepresidenan menjadi direpotkan.

3. Saksi Dr. Dino Patti Djalal


− Bahwa saksi pernah melihat pemberitaan mengenai isu telah
diterimanya mobil Jaguar di lingkungan kepresidenan hampir di
seluruh media dan televisi;
− Bahwa saksi sebagai juru bicara Presiden dan 3 (tiga) orang lainnya
tidak pernah memperoleh mobil Jaguar seperti yang dituduhkan oleh
terdakwa;

Universitas Indonesia
205

− Bahwa atas pemberitaan tersebut saksi merasa terganggu baik secara


pribadi atau sebagai PNS;
− Bahwa dengan terdakwa mengklarifikasi ke KPK sama dengan
menuduh, perkataan terdakwa melukai keluarga saksi dan saksi
merasa terhina;
− Bahwa saksi tidak ingat apakah pemberitaan ini berdampak atau tidak;
− Bahwa dalam tayangan itu terdakwa mengatakan punya bukti
diucapkan oleh terdakwa di media massa.

4. Saksi Alexander Zulkarnain


− Bahwa saksi meliput di KPK bersama beberapa media lain yang
kurang lebih berjumlah 10 (sepuluh) media baik media cetak, radio,
ataupun televisi;
− Bahwa saksi melihat Eggi Sudjana berbicara dengan wartawan,
namun belum on camera, dan menjelaskan akan melaporkan temuan
dari informasi masyarakat;
− Bahwa saksi mengetahui terdakwa memberi keterangan mengenai
rumor tersebut sebelum menghadap ketua KPK;
− Bahwa terdakwa juga mengaku ia memiliki bukti namun terdakwa
mengatakan itu merupakan tugas Ditlantas yang meneliti dan intelejen
yang ada pada KPK;
− Bahwa saksi memiliki rekaman pernyataan terdakwa namun saksi
tidak mengetahui apakah rekaman itu ditayangkan oleh RCTI karena
kebijakan penayangan ada pada manajemen redaksi
− Bahwa saksi merasa perlu menelusuri suatu informasi yang dirasa
memiliki nilai berita, namun saat itu saksi tidak melakukan
penelusuran lebih lanjut atas pernyataan terdakwa karena saat itu
rekaman harus segera diserahkan kepada manager redaksi;
− Bahwa sebelumnya saksi pernah mendengarkan berita yang serupa;
− Bahwa ada aturan secara tertulis di dalam pekerjaan saksi berita yang
dapat disiarkan harus ada check and balances, wartawan biasanya
dilakukan check dan recheck bila tidak terdesak deadline seperti kasus
terdakwa.

5. Saksi Sudi Silalahi


− Bahwa saksi pernah melihat tayangan di televisi tentang terdakwa
yang memberikan pernyataan mengenai diterimanya 4 (empat) buah
mobil Jaguar pemberian Hari Tanu kepada beberapa orang dalam
lingkungan kepresidenan;
− Bahwa saksi tidak pernah menerima mobil Jaguar dari Hari Tanu dan
tidak ada anggota kepresidenan yang memperoleh hadiah mobil
tersebut;
− Bahwa saksi secara pribadi merasakan dampak dari pemberitaan itu
yaitu terpukulnya kejiwaan diri saksi dan diri keluarga saksi;
− Bahwa beberapa kali Presiden juga mengungkapkan kekecewaannya
atas pemberitaan itu yang diutarakannya kepada saksi;

Universitas Indonesia
206

− Bahwa saksi tahu terdakwa mengirimkan surat kepada Presiden akan


tetapi saksi tidak pernah tahu apa isinya;
− Bahwa Presiden tidak pernah membahas masalah tersebut dan tidaj
pernah mendapat instruksi khusus untuk membuat laporan atas
perkara tersebut.

6. Saksi Drs. Djoko Susilo, S.H., M.Si


− Bahwa saksi menjabat ditlantas semenjak 21 Juli 2004;
− Bahwa untuk mobil jaguar STNK BPKB nama Hari Tanu saksi harus
melihat data terlebih dahulu karena tugas saksi adalah meregister
kendaraan bermotor di 3 (tiga) wilayah yaitu Jakarta, Banten, dan
Jawa Barat;
− Bahwa saksi pernah dimintakan data mobil Jaguar atas nama Hari
Tanu Sudibyo dan dalam daftar yang dipanggil tidak ada.
Selain itu, dihadirkan pula saksi-saksi yang meringankan yang
keterangannya cukup signifikan sebagai berikut:

1. Saksi Taufikur Rahman Ruki


− Bahwa terdakwa pernah diterima saksi di ruang tamu;
− Bahwa terdakwa tidak pernah membawa surat laporan dan rumor
mengenai pemberian mobil Jaguar ini bukanlah yang pertama;
− Bahwa informasi mobil Jaguar di kalangan istana sudah sampai di
KPK jauh sebelum terdakwa datang ke KPK;
− Bahwa orang yang melaporkan ke KPK tidak ada persyaratan hanya
saja jika laporan itu punya nilai maka ahrus ditelusuri dan
ditindaklanjuti statusnya sebagai pengaduan yang dilengkapi dengan
informasi atau data-data.

2. Saksi Agung Laksono


− Bahwa terdakwa menghubungi saksi sebagai teman dan meminta saksi
untuk mendamaikan kedua belah pihak, dan oleh karenanya saksi
menyampaikan keinginan terdakwa tersebut kepada Presiden.
Presiden menyatakan akan dimaafkan dengan membuat surat
permohonan maaf agar tidak dijadikan perkara. Kemudian terdakwa
membuat 3 (tiga) surat yang ditujukan kepada Presiden, Mensekab,
dan saksi namun saksi tidak membacanya karena sedang sibuk;
− Bahwa surat terdakwa untuk Presiden disampaikan kepada staff saksi
namun saksi telah menyampaikan secara langsung permohonan maaf
terdakwa dan Presiden juga secara lisan memaafkan walaupun
Presiden belum melihat suratnya;
− Bahwa pengarus secara pribadi bagi Presiden tidak ada dan Presiden
juga tidak pernah ada komentar mengenai rumor tersebut;
− Bahwa dengan penyampaian maaf dari terdakwa perkara terdakwa
sudah selesai tidak dipermasalahkan, dan kausa terdakwa
menunjukkan surat balasan dari Presiden.

Universitas Indonesia
207

3. Saksi Despen Opu Sunggu


− Bahwa menurut ahli rumor tidak bisa serta merta dianggap sebagai
penghinaan kareba rumor adalah informasi yang dibicarakan publik
yang kemungkinan benar atau tidak benar. Terdakwa juga tidak
langsung menuduhkan suatu perbuatan melainkan menyatakan adanya
suatu rumor;
− Bahwa terdakwa datang ke instansi karena ia punya kewajiban untuk
mengklarifikasi atau menindaklanjuti dalam bentuk apapun yang juga
merupakan wujud dari kontrol sosial;
− Bahwa penyajian berita akan sangat bergantung dengan kebijakan
redaksi masing-masing;
− Bahwa metode penulisan berita merupakan tanggung jawab redaksi
dengan mempertimbangkan adanya erosi fakta dan distorsi;
Bahwa dalam persidangan terdakwa juga memberikan keterangan sebagai berikut:

− Bahwa benar apda tanggal 3 Januari 2006 terdakwa datang ke KPK


dalam rangka membicarakan kliennya ICW Nelu dan berbincang
tentang rumor mobil Jaguar di kalangan istana;
− Bahwa terdakwa menemui Ketua KPK, Taufiqurahman Ruki
didampingi oleh Edi Wibowo da William Suharto;
− Bahwa ketika dihadang pers, terdakwa menyampaikan keinginnanya
untuk mengklarifikasi tentang pengusaha yang memberikan mobil
Jaguar kepada kementerian Sekab, Juru bicara Presiden, dan Presiden
yang kemudian dipakai oleh anaknya;
− Bahwa kalau itu rumor terdakwa sudah mengetahuinya, namun
tindakan terdakwa juga tidak spontan karena saat itu ada momentum
ke KPK sehingga hal tersebut layak ditanyakan;
− Bahwa terdakwa minta maaf;
− Bahwa terdakwa menyampaikan klarifikasi ke KPK karena kalau
menanyakan langsung ke Presiden tidak bisa;
− Bahwa klarifikasi terdakwa dilakukan berdasarkan itikad baik.

3. Pertimbangan Hukum

Bahwa berdasarkan pembuktian dalam persidangan, dan juga jatuhnya


Putusan Mahkama Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006 yang membatalkan
pasal 134, pasal 136bis, dan pasal 137 KUHP, Majelis Hakim mengajukan
pertimbangan sebagai berikut:

− Bahwa putusan MK tersebut jatuh pada tanggal 6 Desember 2006.


Menurut pendapat Prof. Romli Attasasmita, putusan MK berlaku
untuk perkara tindak pidana penghinaan Presiden di masa yang akan
datang sehingga putusan tersebut tidak meniadakan penuntutan Jaksa
Penuntut Umum terhadap diri terdakwa;

Universitas Indonesia
208

− Bahwa keberadaan pasal 134 KUHP justru memberikan kejelasan


mengenai kedudukan hak yang dapat dikurangi dan hak yang tidak
dapat dikurangi. Di negara maju sekalipun seperti Jerman,
kewibawaan Presiden tetap dilindungi oleh Undang-Undang karena ia
merupakan simbol negara berdaulat;
− Bahwa ketentuan pasal 134, pasal 136bis, dan pasal 137 dilihat dari
konteks perbuatan yang diatur dalam pasal tersebut merupakan hak
yang dpaat dikurangi atau derogable rights, namun mengacu pada
pasal 1 ayat (2) KUHP, dalam hal terjadi perubahan perundnag-
undangan, maka haruslah digunakan ketentuan yang menguntungkan
terdakwa;
− Menimbang, Majelis Hakim akan mempertimbangkan terpenuhinya
unsur-unsur dalam dakwaan sebagai berikut:
1. Unsur penghinaan
− Bahwa terdakwa menyatakan Presiden, juru bicara, dan Mensekab
telah menerima mobil Jaguar dari pengusaha Hari Tanu, informasi
mana menyebabkan pembicaraan di kabinet dan membuat terdapat
pertanyaan dari beberapa Kedutaan Negara Asing untuk
mengklarifikasi kebenaran berita tersebut dan karenanya Presiden
merasa terhina dan sempat terganggu ketenteramannya;
− Bahwa pengertian rumor sama dengan gunjingan, sedangkan
gunjingan itu sendiri dapat berarti umpatan atau fitnah sehingga rumor
menyebakan kesan negatif;
− Bahwa terdakwa tidak memiliki bukti-bukti dan tidak ada data
kepemilikan mobil Jaguar atas nama Hari Tanu;
− Bahwa sebagai orang yang bereputasi, sebelum memberikan
pernyataan, terdakwa bisa melakukan klarifikasi dengan orang di
lingkungan kepresidenan, atau mengajukan pengaduan ke KPK;
− Bahwa atas pemberitaan tersebut, Presiden dan para saksi merasa
terhina dan terganggu ketentramannya
2. Unsur “di muka umum maupun tidak di muka umum tetapi di hadapan
lebih dari empat orang atau di hadapan orang lain yang hadir dengan
tidak kemauannya dilakukan dengan perbuatan-perbuatan atau dengan
lisan atau tulisan”
− Bahwa terdakwa mengucapkan pernyataan tersebut di lobi KPK yang
dihadrii oleh beberapa wartawan, dan sore harinya rekaman mengenai
pernyataan tersebut telah beredar di berbagai media

4. Putusan
Dalam perkara tersebut, Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan sebagai
berikut:

Universitas Indonesia
209

1. Menyatakan terdakwa EGGI SUDJANA, S.H., M.SI telah terbukti


secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
penghinaan Presiden;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama
3 (tiga) bulan dengan percobaan selaam 6 (enam) bulan;
3. Memerintahkan barang bukti tetap terlampir dalam berkas perkara;
4. Menghukum terdawa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp
1.000,-.

Terhadap putusan tersebut diajukanlah upaya hukum berturut-turut


banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK) dengan putusan sebagai berikut:

1. Putusan Pengadilan Tinggi Nomor: 159/PID/2007/PT.DKI


Putusan ini menyatakan bahwa memori banding terdakwa yag
menyatakan bahwa pengadilan tingkat I telah salah dalam menerapkan
hukum mengingat ketentuan pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP telah
dibatalkan, tidak dapat dibenarkan karena menurut Pengadilan Tinggi
suatu undang-undang yang belum pernah dinyatakan dicabut atau
belum dinyatakan tidak berlaku oleh pembuat undang-undang tetap
dinyatakan sah dan berlaku. Oleh karenanya, putusan Pengadilan
Tinggi menguatkan Putusan Pengadilan Negeri No
1411/PID.B/2006/PN.JKA.PST.

2. Putusan Kasasi No. 70K.Pid/2008


Dalam tahap kasasi, terdakwa bersama dengan kuasa hukumnya
mengajukan memori kasasi yang memuat poin-poin di antaranya
sebagai berikut:

1. Putusan Pengadilan Tinggi Nomor: 159/PID/2007/PT.DKI


dianggap tidak memberikan pertimbangan hukum yang jelas dan
terperinci tanpa menguraikan hal-hal apa saja yang menjadi
pertimbangannya oleh karenanya putusan judex fatie haruslah
dibatalkan;
2. Keberatan atas pertimbangan hukum putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi berlaku untuk tindak pidana di masa yang akan datang;

Universitas Indonesia
210

3. Pertimbangan Putusan Pengadilan Tinggi telah mengesampingkan


kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam membatalkan undang-
undang;
4. Analisis unsur-unsur judex factie yang tidak didasarkan pada
pertimbangan yang cukup:
1. Pada unsur penghinaan, klarifikasi yang dilakukan pemohon
kasasi dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan pemohon kasasi atas
kebenaran rumor tersebut dan pemohon kasasi pun tidak pernah
menghendaki kedatangannya diketahui oleh umum ataupun
menghendaki menyampaikan maksud dan tujuannya ke gedung
KPK kepada pers;
2. Pada unsur di muka umum, bahwa ketentuan pasal 136bis
KUHP tidak dapat dipisahkan dari ketentuan pasal 315 KUHP
yang mengatur mengenai penghinaan lisan di muka umum yang
mana sifat penghinaan atas ucapan pelaku sangat bergantung
pada tempat, waktu dan keadaan. Mengacu pada doktrin
tersebut, maka klarifikasi terdakwa di lobi KPK tidak
merupakan penghinaan.
Atas permohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung memberikan
pertimbangan sebagai berikut:

“alasan permohonan kasasi tidak dapat dibenarkan karena judex


factie pengadilan tinggi tidak salah menerapkan hukum, oleh karena
keberatan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang
bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, keberatan semacam
itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat
kasasi karena pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan
dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan
hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya atau apakah cara
mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang
dan apakah pengadilan telah melampaui batas wewenangnya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 253 KUHAP”

Mengacu pada pertimbangan tersebut, Majelis Hakim kasasi menolak


permohonan kasasi terdakwa.

Universitas Indonesia
211

3. Putusan Peninjauan Kembali No. 153 PK/PID/2010

Dalam tingkat Peninjauan Kembali (PK), terdakwa mengajukan


permohonan PK dengan dasar sebagai bahwa Majelis Hakim Kasasi
dalam pertimbangan untuk menyatakan bahwa judex factie tidak salah
dalam menerapkan hhukum adalah pertimbangan hukum yang nyata-
nyata khilaf dan keliru mengingat judex factie sendiri telah melanggar
hukum karena tidak menerapkan hukum dengan mengesampingkan
putusan MK. Atas permohonan Peninjauan Kembali tersebut, Majelis
Hakim mengajukan pertimbangan sebagai berikut:

− Bahwa dalam putusan judex factie maupun judex juris tidak


terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata;
− Bahwa alasan pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP yang tidak
mempunyai hukum tetap telah dipertimbangkan judex factie
maupun judex juris secara tepat dan benar;
− Bahwa perbuaan yang dilakukan/didakwakan kepada terdakwa
terjadi pada tanggal 3 Januari 2006 sedangkan putusan Mahkamah
Konstitusi dijatuhkan pada tanggal 6 Desember 2006 sehingga
perkara a quo tidak berlaku surut dan tidak dapat dipertimbangkan
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

Atas pertimbangan tersebut, Majelis Hakim kasasi memutuskan untuk


menolak permohonan peninjauan kembali Eggi Sudjana.

4.5.2 Analisis Unsur Pasal 134 KUHP


4.5.2.1 Putusan Pengadilan No. 1380/Pid.B/2002/PN.Jak.Sel
Dalam putusan ini akan dilakukan analisis unsur terhadap dakwaan
pertama, yaitu dakwaan pasal 134 KUHP mengingat putusan pengadilan
mengabulkan tuntutan jaksa yang menyatakan bahwa terdakwa dipersalahkan
telah “dengan sengaja melakukan penghinaan terhadap Presiden”. Analisis
terhadap unsur pasal 134 KUHP dikaitkan dengan fakta materiil yang terbukti
dalam persidangan adalah sebagai berikut:

1. Unsur penghinaan
Analisis terhadap unsur ini harus dikembalikan terhadap unsur
penghinaan yang terdapat dalam pasal 310 KUHP yang notabene merupakan delik

Universitas Indonesia
212

penghinaan secara umum. Meskipun begitu, perbuatan yang tercakup dalam pasal
134 KUHP tidak hanya terbatas pada perbuatan yang diatur dalam pasal 310
KUHP, namun dapat juga meliputi segala perbuatan yang termaktub dalam pasal
310 hingga pasal 321 KUHP.286 Ditiadakannya pembedaan tindakan penghinaan
ini disebabkan karena sifat penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
yang amatlah tercela. Secara umum, penghinaan harus dimaknai sebagai tindakan
menuduhkan atau mengungkapkan suatu hal yang ditujukan untuk diketahui oleh
masyarakat umum, dalam rangka melukai nama baik atau kehormatan orang yang
bersangkutan.
Dalam kasus yang melibatkan terdakwa Kiastomo, diketahui bahwa yang
dianggap sebagai perbuatan penghinaan adalah perbuatan terdakwa membakar
patung Presiden Megawati yang sedang mengenakan topi yang melambangkan
Amerika Serikat ketika terdakwa terlibat dalam sebuah demonstrasi. Dalam hal
ini, jika mengacu pada doktrin bahwa penghinaan dalam pasal 134 KUHP harus
dirujukkan ke dalam penghinaan yang terdapat dalam Bab XVI KUHP tentang
penghinaan, maka perbuatan terdakwa bersesuaian dengan unsur pasal 315 KUHP
tentang penghinaan ringan. Keterkaitan antara pasal 134 KUHP dengan pasal 315
KUHP terlihat dalam pengaturan pasal 136bis yang berbunyi sebagai berikut:

“Dalam pengertian penghinaan tersebut pasal 134, termasuk juga


perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal itu dilakukan di luar adanya
yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak
di muka umum dengan perbuatan, lisan atau tulisan, asal di muka
lebih dari empat orang, atau di muka orang ketiga yang ada di situ
bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung
karenanya”

Penulis memaknai bunyi pasal tersebut sebagai perluasan makna pasal


134 KUHP, yang mana suatu tindakan dapat dikatakan sebagai penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden, apabila perbuatan itu merupakan
penghinaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 315 yang dilakukan dalam hal

                                                                                                                       
286
Noyon-Langemeijer, Op.Cit., halaman 566-567.

Universitas Indonesia
213

di luar kehadiran Presiden dan Wakil Presiden, yang dapat dilakukan dengan
cara:287
− Dengan perbuatan di muka umum;
− Dengan lisan atau tulisan di muka umum;
− Dengan perbuatan di hadapan lebih dari empat orang atau di muka
orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya dan
merasa tersinggung;
− Dengan lisan atau tulisan di hadapan lebih dari empat orang atau di
muka orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya
dan merasa tersinggung.
Sementara itu, untuk dapat dikatakan memenuhi perbuatan pasal 315
KUHP, maka harus terdapat suatu tindakan penghinaan yang tidak bersifat
pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan dengan cara:
− Dengan lisan atau tulisan di muka umum;
− Dengan lisan atau perbuatan di muka orang yang dituju;
− Dengan surat yang dikirimkan kepada orang yang dituju.
Dalam konteks pasal 136bis, maka perbuatan yang dimaksud adalah
penghinaan “tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis” yang merupakan
perkataan yang dilontarkan seseorang kepada orang lain bukanlah merupakan
tuduhan bahwa seseorang telah melakukan perbuatan tercela, dan tindakan itu
dilakukan di luar kehadiran Presiden atau Wakil Presiden dengan cara-cara yang
telah diuraikan sebelumnya.
Jika dibenturkan dengan fakta materiil, maka pembakaran patung
Megawati yang dilakukan oleh terdakwa ketika sedang melakukan demonstrasi
tergolong dalam perbuatan di muka umum. Perbuatan atau feitelijkheden dimaknai
oleh Lamintang sebagai segala tindakan yang tidak merupakan ucapan kata-kata
ataupun tulisan.288 Tidak terdapat karakterisasi dan pembatasan lebih lanjut
mengenai unsur perbuatan. Sebaliknya, unsur tersebut dimaknai secara negatif
dengan menegasikan cara melakukan penghinaan dengan lisan atau tulisan.
Dalam hal ini, pembakaran adalah suatu tindakan membakar dan bukan
                                                                                                                       
287
Sianturi, Op. Cit., halaman 12-15.
288
Lamintang, Op.Cit, halaman 287-289.

Universitas Indonesia
214

merupakan perwujudan lisan ataupun tulisan. Perbuatan itu tidak menuduhkan


secara langsung telah dilakukannya suatu perbuatan tercela atau perbuatan yang
dapat merusak citra Presiden Megawati karena dalam hal ini, perbuatan terdakwa
adalah membakar patung yang menyerupai Presiden Megawati. Meskipun begitu,
penulis beranggapan bahwa pembakaran patung yang menyerupai Presiden
Megawati tidak tergolong dalam perbuatan yang merupakan penghinaan ringan.
Patung tersebut dibuat sendiri oleh para demonstran dan tidak melekatkan
lambang identitas Megawati seperti foto atau lambang lainnya, Perbuatan itu
hanyalah cara terdakwa mengekpsresikan aspirasinya, diwujudkan dengan
membuat patung rekayasa, yang mana patung itu kemudian dibakar.
Sementara itu, di depan muka umum harus dimaknai bahwa lokasi
terjadinya perbutaan penghinaan itu adalah di tempat umum yang dapat dilihat
atau didengar oleh masyarakat secara luas. Pembakaran itu dilakukan ketika
demonstrasi sedang berlangsung, yang mana dalam demonstrasi itu terdapat
banyak mahasiswa dari berbagai universitas turut terlibat di dalamnya.
Demonstrasi itu juga diselenggarakan di depan Kampus IISIP pada pukul sekitar
14.00 WIB, mengasumsikan bahwa kawasan depan Kampus IISIP yang
merupakan jalan raya banyak dilalui oleh kendaraan. Baik peserta demonstrasi
ataupun orang yang berlalu lalang di sekitar lokasi demonstrasi dapat melihat.
Sehingga, unsur di depan umum terpenuhi.289
Menurut penulis, tindakan terdakwa dapat dikatakan memenuhi unsur
penghinaan apabila dimaknai berdasarkan ketentuan pasal 136 bis KUHP. Dalam
persidangan, ahli Dr. Rudy Satrio Mukantardjo, S.H., M.H. menggunakan metode
interpretasi secara sistematis dalam memaknai keberadaan pasal 136 bis KUHP.
Ahli berpandangan bahwa pengertian penghinaan dalam pasal 134 KUHP
termasuk juga perbuatan dalam pasal 315 KUHP jika hal itu dilakukan di luar
orang yang dihina, sedangkan pasal 315 KUHP mengatur masalah penghinaan
yang dilakukan secara berhadap-hadapan. Sehingga, pasal 134 KUHP
dimaksudkan untuk mengatur penghinaan Presiden atau Wakil Presiden yang
dilakukan dengan berhadap-hadapan langsung, sementara pasal 136bis KUHP
mengatur mengenai penghinaan yang dilakukan tanpa kehadiran langsung
                                                                                                                       
289
Ibid.

Universitas Indonesia
215

Presiden atau Wakil Presiden. Atas pandangan tersebut, Majelis Hakim


menyatakan ketidaksetujuannya karena mereka memandang pasal 136bis KUHP
sebagai perluasan dari ketentuan pasal 134 KUHP. Majelis Hakim menyatakan
bahwa, hanya karena pasal 136bis KUHP mengatur mengenai penghinaan tanpa
kehadiran Presiden dan Wakil Presiden, bukan berarti pasal 134 KUHP hanya bisa
diterapkan untuk penghinaan yang dihadiri langsung oleh Presiden atau Wakil
Presiden. Selain itu, Majelis Hakim beranggapan bahwa pasal 136bis bukanlah
delik yang berdiri sendiri—ia masih merupakan bagian dari pasal 134 KUHP
karena tidak mengatur pidananya sendiri.
Penulis dalam hal ini menyetujui pandangan ahli yang menyatakan bahwa
pasal 136bis KUHP secara khusus diperuntukkan bagi penghinaan yang dilakukan
tanpa kehadiran Presiden atau Wakil Presiden. Penulis juga beranggapan bahwa
pemilihan interpretasi sistematis telah tepat untuk dapat memaknai keberadaan
pasal 134 KUHP dan pasal 136 bis KUHP, namun kesimpulan bahwasanya pasal
134 KUHP digunakan untuk penghinaan dengan kehadiran tertuju dan pasal
136bis KUHP digunakan untuk penghinaan tanpa kehadiran tertuju, yang mana
keduanya harus digunakan secara kaku tidaklah tepat. Pasal 136bis KUHP
merupakan perluasan makna dari penghinaan yang diatur dalam pasal 134 KUHP,
agar pasal 134 KUHP juga dapat diterapkan dalam hal perbuatan penghinaan
dilakukan tanpa kehadiran Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini dapat dilihat dari
redaksional pasal 136 bis KUHP, “Dalam pengertian penghinaan tersebut pasal
134...”. Sehingga, kesimpulan ahli yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa
tidak memenuhi unsur pasal 134 KUHP karena penghinaan tidak dilakukan secara
berhadap-hadapan sementara pasal yang mengatur mengenai penghinaan tanpa
kehadiran korban adalah pasal 136bis KUHP adalah keliru. Menurut hemat
penulis, rumusan dakwaan yang seyogyanya dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum
adalah pasal 134 KUHP jo. Pasal 136 bis KUHP, rumusan mana mengakomodasi
penghinaan baik yang dilakukan secara berhadap-hadapan atau tanpa kehadiran
korban.
Ketentuan-ketentuan penghinaan dalam Bab XVI KUHP tentang
penghinaan sendiri tidak menyebutkan secara tegas perbuatan penghinaan mana
yang harus dilakukan langsung di hadapan orang yang dituju atau tidak.

Universitas Indonesia
216

Sementara itu, pemaknaan pasal 134 KUHP harus dikembalikan pada ketentuan
penghinaan dalam Bab XVI KUHP itu sendiri. Tidak adanya pembedaan apakah
harus dilakukan berhadapan atau tidak pada Bab XVI KUHP menyebabkan
identifikasi penghinaan pada pasal 134 KUHP sendiri menjadi kabur, dan hal
itulah yang berusaha diakomodasi oleh pasal 136bis KUHP. Namun, karena pada
Bab XVI KUHP sendiri tidak ada pembedaan mengenai aspek tersebut, penulis
berpendapat bahwa penentuan dilakukan secara langsung atau tidak langsung
tidaklah dapat diterapkan secara kaku dengan memisahkan kedua tindak pidana
dalam pasal 134 KUHP dan pasal 136bis KUHP. Oleh karenanya, penulis
menyarankan penyusunan dakwaan dengan format pasal 134 KUHP jo. Pasal
136bis KUHP. Terlepas dari itu, pemahaman Majelis Hakim yang menyatakan
bahwa ketentuan pasal 136bis KUHP bukan merupakan delik sendiri disebabkan
karena ketentuan tersebut tidak memuat ancaman pidana tidaklah tepat. Frasa ‘bis’
sendiri memiliki makna bagai pengulangan, yang mana pasal 136bis KUHP dapat
diinterpretasikan sebagai pengulangan dari ketentuan yang mendahuluinya.
Pengulangan ini mengindikasikan adanya kesamaan substansi, namun bukan
berarti tidak bisa menjadi delik pidana dengan ancaman pidananya sendiri.
Selain membenturkan cara penghinaan dilakukan dengan rumusan pasal,
perlu dilakukan pengukuran atas unsur keterhinaan untuk bisa mengatakan bahwa
perbuatan terdakwa memang merupakan penghinaan. Pasal 134 KUHP menganut
standar objektif,290 yaitu standar masyarakat secara umum untuk menilai
menghina tidaknya suatu perbuatan. Penerapan standar objektif ini dapat dilihat
dari situasi di mana diprosesnya tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden tidak didasarkan pada apakah Presiden dan Wakil Presiden secara
pribadi merasa terhina, namun aparat penegak hukumlah yang menilai. Dalam
pemeriksaan perkara, hakim beranggapan bahwa Indonesia tidak mengenal
budaya bakar-membakar karena budaya merusak adalah budaya yang tercela. Di
samping itu, mempertimbangkan bahwa terdakwa adalah mahasiswa, Majelis
Hakim beranggapan bahwa tidak sepatutnya kaum intelektual seperti mahasiswa
melakukan perbuatan tercela. Terdakwa dapat memilih alternatif lain dalam
menyampaikan, dengan mempertimbangkan aspek penyelesaian masalah. Dari
                                                                                                                       
290
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., halaman 97.

Universitas Indonesia
217

pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa menurut hakim sebagai wakil


masyarakat, perbuatan membakar patung yang menyerupai Presiden bersifat
menghina. Pandangan tersebutlah yang mendorong hakim beranggapan bahwa
unsur penghinaan telah terpenuhi. Sementara itu, penulis beranggapan bahwa
unsur penghinaan tidak terbukti, karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa
tidak memiliki substansi hinaan. Pembakaran patung yang menyerupai Presiden
Megawati hanyalah ekspresi yang dipilih oleh terdakwa untuk menyampaikan
aspirasinya terhadap kebijakan-kebijakan Megawati yang dinilai kebih cenderung
berpihak pada kepentingan pemilik modal asing.

2. Unsur dengan sengaja


Unsur sengaja dalam konteks ini harus dimaknai sebagai adanya
kesengajaan untuk menghina atau animus injuriandi.291 Perlu dibuktikan adanya
kesengajaan yang menjadi tujuan, dalam hal ini tujuannya berupa terserangnya
kehormatan atau nama baik Presidan dan/atau Wakil Presiden. Pun juga harus
dibuktikan adanya kesadaran bahwa yang terdakwa serang kehormatan dan nama
baiknya itu adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jika dikaitkan dengan
pembuktian dalam persidangan, diketahui bahwa pada tanggal 25 Juli 2002,
terdakwa telah menerima selebaran gelap yang berisi ajakan untuk melakukan
demonstrasi yang di dalamnya bertuliskan “Bergabunglah dengan kami!
Pembakaran Patung Megawati di Kampus IISIP di Lenteng Agung pada tanggal
26 Juli 2002 pukul 14.00 WIB”. Kemudian, pada tanggal 26 Juli 2002 terdakwa
berangkat menuju Kampus IISIP. Mulai pukul 14.00 WIB, unjuk rasa dimulai
dengan mengarak-arak patung yang menyerupai Megawati tersebut. Dalam
kantong celana terdakwa sudah terdapat korek api dan terdakwa juga sudah
membawa botol Aqua yang berisikan minyak tanah. Pada saat pengunjuk rasa
menyerukan agar dilakukan pembakaran, terdakwa sigap menyiramkan minyak
tanah dan menyalakan korek api pada patung yang menyerupai Megawati
tersebut.

                                                                                                                       
291
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 13.

Universitas Indonesia
218

Jika dikaitkan dengan unsur kesengajaan, maka dapat diketahui bahwa


terdakwa memang berniat membakar dilihat dari kesiapannya membawa minyak
tanah dan korek api. Terdakwa pun juga menyadari bahwa patung yang diarak-
arak tersebut merupakan patung yang menggambarkan diri Megawati karena ciri-
ciri fisiknya dibuat menyerupai Megawati (dilihat dari bentuk muka dan tahi
lalatnya). Namun, perlu dianalisis lebih jauh apa sebenarnya niat yang
melatarbelakangi pembakaran tersebut. Dalam pembuktian di persidangan,
terdakwa menyatakan bahwa pembakaran yang dilakukannya merupakan ekspresi
dari sakit hati terhadap Pemerintah Megawati yang selalu menurut dan tuduk pada
International Monetary Fund (IMF) serta kepentingan Amerika Serikat lainnya.
Hal ini terlihat dari berbagai kebijakan pemerintahan Megawati yang kurang
mengedepankan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
Dalam lingkungan demokrasi yang saat itu marak dengan demonstrasi
yang diwujudkan melalui aksi teatrikal dan kesenian, tindakan membakar properti
tertentu bukanlah hal yang langka. Hal tersebut ditujukan sebagai ekspresi
kekesalan masyarakat, 292 yang mana pembakaran sendiri mengindikasinya adanya
niatan untuk memusnahkan hal tertentu. Dalam hal ini, yang ingin dimusnahkan
adalah Megawati yang dianggap lebih berpihak pada kepentingan pemilik modal
asing daripada rakyat sendiri. Menurut penulis, tindakan terdakwa melakukan
pembakaran atas properti demonstrasi tidak dimaksudkan untuk melukai nama
baik atau kehormatan Presiden Megawati. Pembakaran tersebut merupakan
simbol protes masyarakat atas kebijakan pemerintahan yang ada. Benar bahwa
terdakwa memiliki niat untuk membakar patung dan mengetahui bahwa patung
tersebut merepresentasikan Presiden Megawati, namun melihat konteks kondisi
komunikasi politik yang kental dengan demonstrasi, penulis menganggap bahwa
perbuatan terdakwa merupakan ekspresi diri. Berbeda halnya bila situasi politik

                                                                                                                       
292
Demonstrasi yang banyak dlakukan di masa pemerintahan Megawati merupakan
cerminan gerakan sosial gelombang baru, yaitu gerakan sosial yang melatarbelakangi
eksistensinya dengan pemikiran bahwa ruang sosial yang ada telah mengalami penyempitan akibat
kontrol negara, di samping berusaha menciptakan tatanan sosial yang baru. Gerakan sosial ini
ditujukan untuk menata kembali relasi antara negara, masyarakat, dan perekonomian dan untuk
meciptakan ruang publik yang mengakomodasi demokrasi otonomi dan kebebasan individual.
Lihat Jean L. Cohen, “Rethinking Social Movements”, Berkeley Journal of Sociology, (California:
Regents of the University of California, 1983),
http://www.jstor.org/action/showPublication?journalCode=berkjsoci diakses pada 15 Juni 2015.

Universitas Indonesia
219

saat itu tidak marak dengan kritik masyarakat yang diwujudkan dengan
demonstrasi, maka pembakaran patung yang menyerupai Presiden Megawati
dapat dianggap sebagai hal yang mepermalukan nama baik dan kehormatan
Presiden. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa animus injuriandi dalam perbuatan
terdakwa tidaklah terbukti.
Sementara itu, pertimbangan hakim dalam putusan memaknai unsur
kesengajaan sebatas menghendaki dilakukannya perbuatan pembakaran dan
mengetahui bahwa sasaran dari perbuatan tersebut adalah diri Presiden Megawati.
Majelis Hakim tidak memaknai kesengajaan secara kontekstual, yaitu kesengajaan
menghina diri Presiden Megawati dibalik aksi pembakaran tersebut dengan
mengaitkannya pada situasi komunikasi politik saat itu. Alhasil, pemaknaan
secara kaku atas adanya kesengajaan melakukan pembakaran membuat Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa unsur sengaja telah terpenuhi.

3. Unsur terhadap Presiden atau Wakil Presiden


Dalam unsur ini, yang dijadikan sasaran penghinaan haruslah Presiden
dan Wakil Presiden baik dalam jabatannya ataupun sebagai diri pribadinya.
Namun, Majelis Hakim mempertimbangkan dalam putusannya bahwa kapasitas
Presiden Megawati yang dihina oleh perbuatan terdakwa adalah Megawati sebagai
pemimpin negara, atau dalam kata lain, Megawati dengan kualifikasi sebagai
Presiden. Terdakwa menunjukkan kekesalannya atas kebijakan-kebijakan
Presiden Megawati yang dinilai lebih memihak pada kepentingan pemilik modal
asing daripada masyarakat sendiri.293 Menurut Majelis Hakim, perbuatan
terdakwa ditujukan kepada Presiden Megawati yang dipersonifikasikan dengan
patung yang dibuat menyerupai Presiden Megawati, dilihat dari ciri-ciri fisik
patung berupa tahi lalat di pipi. Atas pertimbangan tersebut, Majelis Hakim
beranggapa bahwa unsur Presiden atau Wakil Presiden terpenuhi.

                                                                                                                       
293
Salah satu kebijakan kontroversial yang dinilai justru merugikan masyarakat adalah
kebijakan privatisasi BUMN dan penjualan aset yang dikelola Badan Penyehatan Perbankan
NAsional (BPPN) dengan Asset Recovery Rate (ARR) yang rendah. Saat itu kebijakan privatisasi
pun dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah karena belum ada undang-undang yang mengatur.
Lihat: Sunarsip, “Kebijakan Privatisasi BUMN Dulu dan Sekarang”,
http://www.iei.or.id/publicationfiles/Kebijakan%20Privatisasi%20BUMN%20Dulu%20dan%20Se
karang.pdf diakses pada 15 Juni 2015.

Universitas Indonesia
220

Sianturi berpendapat bahwa tidak perlu dilakukan pembedaan kapasitas


Presiden atau Wakil Presiden dalam jabatannya atau sebagai diri pribadi. Hal
serupa juga didukung oleh Prof. Noyon-Langemeijer yang berpandangan bahwa
ketentuan pasal 134 KUHP muncul sebagai modifikasi Artikel 111 WvS, yang
mana artikel 111 WvS sendiri tidak membedakan kapasitas Raja atau Ratu baik
dalam jabatannya atau sebagai diri pribadi.294 Menurut penulis, tidak adanya
pembedaan antara kapasitas dalam artikel 111 WvS sangat wajar mengingat Raja
dan Ratu merupakan simbol bagi Kerajaan Belanda saat itu. Namun, hal serupa
menjadi kurang relevan apabila diterapkan di Indonesia yang dipimpin oleh
Presiden dan Wakil Presiden. Dalam kapasitas jabatannya, Presiden atau Wakil
Presiden seharusnya tidaklah kebal dari kritik yang ada. Kritik masyarakat
merupakan salah satu syarat negara demokrasi yang menitikberatkan pada
partisipasi rakyat.295 Oleh karenanya, kecenderungan kritik disalahpahamkan
sebagai penghinaan harus diminimalisasi sebisa mungkin. Sementara itu,
penghinaan dalam kapasitas diri pribadi Presiden dan Wakil Presiden tidaklah
tepat diterapkan dalam konteks pasal 134 KUHP, karena pada dasarnya Presiden
dan Wakil Presiden tidak berbeda dari warga negara lainnya.296 Penghinaan
terhadap kapasitas pribadinya tidak perlu dihukum dengan pasal khusus.
Sebaliknya, dapat diterapkan ketentuan pasal 310-321 KUHP mengenai
penghinaan yang secara umum mengatur penghinaan yang ditujukan kepada diri
pribadi seseorang. Meskipun begitu, secara kaku, dapat dikatakan bahwa unsur
Presiden atau Wakil Presiden dalam perkara ini terpenuhi.

                                                                                                                       
294
Noyon-Langemeijer dalam Lamintang (1987), Delik-Delik Khusus, Kejahatan-
Kejahatan terhadap Kepentingan Umum Negara Sinar Baru, Bandung, halaman 268.
295
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., halaman 60.
296
Tidak boleh ada pembedaan antara Presiden atau Wakil Presiden dengan warga negara
lainnya disebabkan karena adanya prinsip persamaan di muka hukum atau equality before the law.
Setiap orang termasuk Presiden dan Wakil Presiden, berhak atas perlakuan yang sama.
Keberlakuan prinsip ini juga menjadi salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam
menguji judicial review pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP. Liat: Pertimbangan Hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-V/2006
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/risalah_sidang_Perkara%20013%20dan%20022%2
0.PUU-Iv.2006,%2016%20Desember%202006.pdf diakses pada 13 Juni 2015.

Universitas Indonesia
221

4. Tinjauan Umum Perkara


Jika melihat pertimbangan hakim dalam putusan di atas, hal yang
dipermasalahkan dan dianggap sebagai perbuatan penghinaan adalah pembakaran
patung yang menyerupai Presiden Megawati. Sementara itu, gambaran yang lebih
besar dari demonstrasi tersebut, yang mana adalah tuduhan bahwa Presiden
Megawati lebih berpihak pada kepentingan IMF dan kepentingan Amerika Serikat
lainnya, tidak dipermasalahkan. Dalam hal ini, penghinaan yang terjadi bukanlah
berupa tuduhan dilakukannya perbuatan tercela tertentu, yang mana bila diketahui
oleh umum dapat menyebabkan terlukainya nama baik dan kehormatan orang
yang dihina itu sendiri. Penghinaan yang dipermasalahkan adalah eskpresi
pembakaran patung menyerupai Presiden Megawati yang menurut Majelis Hakim,
tidak pantas dilakukan oleh mahasiswa sebagai kaum intelektual muda di samping
perbuatan bakar-membakar tidak dikenal oleh budaya Indonesia. Namun, Majelis
Hakim sendiri tidak mengelaborasikan di mana letak unsur menghina dari
ekspresi tersebut.
Pemidanaan terhadap bentuk ekspresi diakomodasi di Indonesia, yaitu
melalui pasal 315 KUHP yang mana mengatur mengenai penghinaan tanpa
adanya niatan untuk mencemarkan nama baik. Dalam praktiknya, tindakan yang
memenuhi ketentuan pasal 315 KUHP dapat ditemukan dalam bentuk celaan atau
hinaan yang tidak pantas di muka umum seperti mengatakan: “Presiden
bajingan!”. Kata “bajingan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
memiliki maka sebagai: 1). Penjahat atau pencopet; 2). Ungkapan makian yang
mengindikasikan seseorang kurang ajar. Ungkapan yang demikian tidak secara
khusus menuduhkan dilakukannya perbuatan tertentu oleh seseorang, namun
ungkapan tersebut menunjukkan adanya sifat atau karakter buruk dalam diri
seseorang. Pemaknaan terhadap sifat atau karakter buruk inilah yang sangat
subjektif penilaiannya karena amat bergantung pada perasaan hati seseorang.
Bentuk penghinaan yang tidak mengindikasikan pencemaran nama baik tidak
diakomodasi dalam hukum beberapa negara seperti Belanda, Inggris, Perancis,
dan Amerika Serikat. Hukum masing-masing negara tersebut mengatur
penghinaan sebagai ungkapan atas fakta yang tidak benar, dipublikasikan secara
umum dengan tujuan untuk melukai nama baik atau kehormatan seseorang.

Universitas Indonesia
222

Meskipun begitu, pada Mei 2015 di Belanda, seorang demonstran ditangkap


karena meneriakkan kata-kata hinaan, sekalipun tidak menuduhkan fakta yang
tidak benar atas diri Raja dan Ratu. Saat itu, Al-Jaberi, seorang demonstran anti-
monarkhi ditangkap karena meneriakkan “fuck the king, fuck the queen and fuck
the monarchy” dalam aksi demonstrasi yang dilakukannya.297 Secara gramatikal,
kata-kata fuck dalam Oxford Dictionary dimaknai sebagai “have sexual
intercourse with someone; damage or ruin something”. Secara umum, kata fuck
sering digunakan untuk mengumpat dan memiliki makna yang sangat buruk
dalam perbendaharaan kata Bahasa Inggris. Oleh karenanya, perkataan yang
diungkapkan oleh Al-Jaberi dianggap telah menghina Raja dan Ratu Belanda yang
memang diposisikan sebagai lambang keagungan dan kebijaksanaan negara.
Kriminalisasi atas pembakaran patung dalam putusan di atas memiliki
kesamaan nilai dengan maraknya kriminalisasi atas dasar demonstrasi di Thailand.
Thailand sebagai negara monarkhi meletakkan Raja sebagai simbol negara yang
harus disembah dan tidak boleh dinodai.298 Oleh karenanya, setiap tindakan
mengkritik atau mempertanyakan perbuatan Raja dapat dikriminalisasi dengan
pasal Lèse-Majesté. Dalam praktiknya, penggunaan pasal Lèse-Majesté ini makin
meluas cakupannya dari waktu ke waktu karena pasal tersebut juga digunakan
untuk mengkriminalisasi setiap orang yang tidak mematuhi kebiasaan
penghormatan terhadap Raja.299 Sebagai contoh, tindakan merobek uang yang
terdapat gambar Raja Thailand di dalamnya, tindakan menginjak uang, atau
tindakan tidak menghormat ketika mars kerajaan dikumandangkan menyebabkan
300
para pelakunya dihukum karena telah menghina nama baik Raja. Dalam
konteks ini, ketidakpatuhan secara simbolik kepada Raja pun menyebabkan
seseorang dapat dikenai pasal penghinaan terhadap Raja. Hal tersebut serupa
dengan pembakaran patung dalam perkara yang sedang dianalisis, karena terdapat
kesamaan berupa citra Presiden yang disimbolkan dengan patung. Meskipun
                                                                                                                       
297
“F*** the King Demonstrator Taken to Court for Insulting the Monarch (updated)”, Op.
Cit.
298
Martin Gannon dan Rajnandini Pillai, Op. Cit.
299
Clothilde Le Coz, Op.Cit..
300
“In Thailand, Insulting the King Can Mean 15 Years in Jail”, The Wall Street Journal,
16 Oktober 2008, http://www.wsj.com/articles/SB122411457349338545 diakses pada 16 Juni
2015.

Universitas Indonesia
223

secara substansiil sama, menurut penulis penerapan pasal penghinaan Presiden di


Indonesia tidak dapat dipersamakan dengan penerapannya di Thailand, mengingat
Raja di Thailand memang dianggap sebagai representasi negara. Masyarakat pun
sangat menghargai keberadaan Raja sehingga setiap tindakan yang dinilai tidak
mencerminkan penghargaan Raja, akan dilaporkan masyarakat langsung ke pihak
berwajib.
Dalam konteks perkara yang melibatkan terdakwa Kiastomo,
pembakaran patung yang dilakukan terdakwa merupakan bagian dari demonstrasi
memprotes kebijakan Presiden Megawati yang dinilai tidak berpihak pada
masyarakat. Dilihat dari konfigurasi komunikasi politik yang terjadi, demonstrasi
merupakan salah satu media penyampaian pendapat yang dinilai paling efektif
karena mekanisme lobi politik dan advokasi hukum saat itu amatlah tertutup
mengingat pemerintah yang cenderung resisten dengan partisipasi publik, hal
mana juga diungkapkan oleh terpidana Monang Johanes Tambunan dalam
kesempatan wawancara. Benar bahwa bakar-membakar bukanlah budaya
masyarakat Indonesia, namun Majelis Hakim perlu melihat konteks perbuatan
bakar-membakar itu dilakukan. Pembakaran itu merupakan ekspresi demonstrasi
dari para pengunjuk rasa, yang menurut penulis, saat itu situasi sosial politik yang
ada sedang mengalami kericuhan. Demonstrasi dengan corak serupa demonstrasi
yang dilakukan oleh terdakwa bisa ditemukan di banyak kota di Indonesia.
Namun Majelis Hakim tidak memperhatikan kondisi kebatinan masyarakat yang
terjadi saat itu. Majelis Hakim tidak menelaah lebih jauh latar belakang dari
amarah masyarakat hingga menyebabkan aksi demikian banyak terjadi. Oleh
karenanya, dengan mengacu pada positivisme hukum, ekspresi membakar patung
menyerupai Presiden dimaknai sebagai penghinaan oleh Majelis Hakim. Majelis
Hakim berpendapat bahwa unsur-unsur pasal 134 KUHP sebagai dakwaan primair
telah terbukti secara sah dan meyakinkan, sehingga unsur-unsur pasal 137 ayat (1)
KUHP sebagai dakwaan subsidair tidak perlu lagi dibuktikan.

4.5.2.2 Putusan No. 1879/PID.B/2002/PN. JKT. PST


Dalam putusan ini akan dilakukan analisis unsur terhadap dakwaan
pertama, yaitu dakwaan pasal 134 KUHP mengingat putusan pengadilan

Universitas Indonesia
224

mengabulkan tuntutan jaksa yang menyatakan bahwa terdakwa dipersalahkan


telah “dengan sengaja melakukan penghinaan terhadap Presiden”. Analisis
terhadap unsur pasal 134 KUHP dikaitkan dengan fakta materiil yang terbukti
dalam persidangan adalah sebagai berikut:

1. Unsur Penghinaan
Analisis terhadap unsur ini harus dikembalikan terhadap unsur
penghinaan yang terdapat dalam pasal 310 KUHP yang notabene merupakan delik
penghinaan secara umum. Meskipun begitu, perbuatan yang tercakup dalam pasal
134 KUHP tidak hanya terbatas pada perbuatan yang diatur dalam pasal 310
KUHP, namun dapat juga meliputi segala perbuatan yang termaktub dalam pasal
310 hingga pasal 321 KUHP.301 Ditiadakannya pembedaan tindakan penghinaan
ini disebabkan karena sifat penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
yang amatlah tercela. Secara umum, penghinaan harus dimaknai sebagai tindakan
menuduhkan atau mengungkapkan suatu hal yang ditujukan untuk diketahui oleh
masyarakat umum, dalam rangka melukai nama baik atau kehormatan orang yang
bersangkutan.
Dalam perkara ini, dakwaan primair berdasarkan pasal 134 KUHP
menuduh terdakwa telah melakukan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil
Presiden secara sengaja atas perbuatannya membawa, mencoret-coret, dan
merobek-robek gambar Wakil Presiden Hamzah Haz yang dilakukannya ketika
sedang melakukan demonstrasi bersama dengan kurang lebih 200 (dua ratus)
pengunjuk rasa lainnya. Menurut penulis, tindakan terdakwa sendiri dapat
dikarakterisasi menjadi 2 (dua) jenis perbuatan: 1). Membawa gambar Wakil
Presien Hamzah Haz lengkap dengan ikat kepala bertuliskan “Pemerintah Rakyat
Miskin”; 2). Mencoret-coret, merobek, dan membuang gambar Wakil Presiden
Hamzah Haz ke tempat sampah. Jika dilihat dalam pembuktian di persidangan,
fakta mengenai perbuatan mencoret-coret dan merobek-robek gambar lah yang
berusaha dibuktikan. Penulis sendiri memandang tidak terdapat permasalahan
dengan perbuatan membawa gambar dan menggunakan ikat kepala dengan tulisan
“Pemerintah Rakyat Miskin”, sehingga perbuatan yang dipermasalahkan dalam
                                                                                                                       
301
Noyon-Langemeijer, Op.Cit., halaman 566-567.

Universitas Indonesia
225

perkara ini adalah mencoret-coret dan merobek-robek gambar Wakil Presiden


Hamzah Haz.
Menurut penulis, perbuatan mencoret-coret dan merobek-robek gambar
Wakil Presiden Hamzah Haz harus ditelaah menggunakan pasal 136bis KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai perluasan makna pasal 134 KUHP, yang mana
suatu tindakan dapat dikatakan sebagai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden, apabila perbuatan itu merupakan penghinaan ringan sebagaimana diatur
dalam pasal 315 yang dilakukan dalam hal di luar kehadiran Presiden dan Wakil
Presiden, yang dapat dilakukan dengan cara:302
− Dengan perbuatan di muka umum;
− Dengan lisan atau tulisan di muka umum;
− Dengan perbuatan di hadapan lebih dari empat orang atau di muka
orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya dan
merasa tersinggung;
− Dengan lisan atau tulisan di hadapan lebih dari empat orang atau di
muka orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya
dan merasa tersinggung.
Sementara itu, untuk dapat dikatakan memenuhi perbuatan pasal 315
KUHP, maka harus terdapat suatu tindakan penghinaan yang tidak bersifat
pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan dengan cara:
− Dengan lisan atau tulisan di muka umum;
− Dengan lisan atau perbuatan di muka orang yang dituju;
− Dengan surat yang dikirimkan kepada orang yang dituju.
Dalam konteks pasal 136bis, maka perbuatan yang dimaksud adalah
penghinaan “tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis” yang merupakan
perkataan yang dilontarkan seseorang kepada orang lain bukanlah merupakan
tuduhan bahwa seseorang telah melakukan perbuatan tercela, dan tindakan itu
dilakukan di luar kehadiran Presiden atau Wakil Presiden dengan cara-cara yang
telah diuraikan sebelumnya.
Jika dibenturkan dengan fakta materiil, maka pencoret-coretan dan
perobekan gambar Wakil Presiden Hamzah Haz yang dilakukan oleh terdakwa
                                                                                                                       
302
Sianturi, Op. Cit., halaman 12-15.

Universitas Indonesia
226

ketika sedang melakukan demonstrasi tergolong dalam perbuatan di muka umum.


Perbuatan atau feitelijkheden dimaknai oleh Lamintang sebagai segala tindakan
yang tidak merupakan ucapan kata-kata ataupun tulisan.303 Tidak terdapat
karakterisasi dan pembatasan lebih lanjut mengenai unsur perbuatan. Sebaliknya,
unsur tersebut dimaknai secara negatif dengan menegasikan cara melakukan
penghinaan dengan lisan atau tulisan. Dalam hal ini, pencoretan dan perobekan
adalah tindakan perusakan dan bukan merupakan perwujudan lisan ataupun
tulisan sehingga pembakaran masuk ke dalam definisi feitelijkheden tersebut.
Perbuatan itu sendiri tidak menuduhkan secara langsung telah dilakukannya suatu
perbuatan tercela atau perbuatan yang dapat merusak citra Wakil Presiden
Hamzah Haz.
Terdakwa mengaku merasa kesal atas pemerintahan Megawati-Hamzah
Haz. Kekesalan berpangkal pada niat terdakwa untuk menuntut turunnya Wakil
Presiden Hamzah Haz, yang dibahasakan melalui pencoretan dan perobekan
gambar. Dalam konteks ini, gambar Wakil Presiden Hamzah Haz
dipersonifikasikan sebagai diri Wakil Presiden Hamzah Haz. Tindakan mencoret
dan merobek-robek gambar Wakil Presiden Hamzah Haz menurut penulis
merupakan penghinaan ringan dalam bentuk perbuatan. Perbuatan tersebut
merupakan ekspresi para pengunjuk yang berlebihan, hingga masuk ke dalam
kategori menghina Wakil Presiden Hamzah Haz.
Aksi seperti mencoret dan merobek gambar Presiden sangat lazim
ditemukan dalam demonstrasi yang diwujudkan dengan aksi teatrikal sebagai
bentuk perlawanan terhadap pemerintahan yang opresif.304 Dalam beberapa kasus
sendiri, terdapat aksi teatrikal dengan menggunakan properti berupa gambar
Presiden dan Wakil Presiden. Sebagai contoh, dalam kasus Nanang dan Mudzakir,
pengunjuk rasa melempari foto Presiden dan Wakil Presiden RI menggunakan
nasi basi, sebagai simbol penderitaan rakyat Indonesia hingga harus memakan
nasi basi. Konsep serupa juga diterapkan dalam demonstrasi yang dilakukan
terdakwa. Beberapa saksi yang memberatkan dalam persidangan melihat bahwa

                                                                                                                       
303
Lamintang, Op.Cit, halaman 287-289.
304
Charles Tilly, From Mobilization to Revolution, (New York: Random House, 1988),
halaman 110.

Universitas Indonesia
227

terdapat beberapa gambar pejabat negara seperti gambar/foto Presiden Megawati,


Wakil Presiden Hamzah-Haz, Ketua MPR-RI Amien Rais, Ketua DPR RI Akbar
Tanjung yang diletakkan di atas kursi. Kursi tersebut diibaratkan sebagai kursi
pemerintahan. Kemudian gambar-gambar tersebut diambil dari kursi, sebagai
simbol bahwa para pejabat tersebut diminta turun dari jabatannya. Dalam
demonstrasi tersebut, pengunjuk rasa mencetuskan ide pembentukan
pemerintahan masyarakat miskin, yaitu pemerintahan yang dipimpin dan
ditujukan bagi masyarakat miskin itu sendiri. Pemerintahan inilah yang akan
menggantikan pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Megawati dan
Wakil Presiden Hamzah Haz. Sekalipun pencoretan dan perobekan merupakan
bagian dari aksi tetarikan, perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang
menghina dan tidak lagi dapat diaktegorikan sebagai ungkapan pendapat.
Sementara itu, di depan muka umum harus dimaknai bahwa lokasi
terjadinya perbutaan penghinaan itu adalah di tempat umum yang dapat dilihat
atau didengar oleh masyarakat secara luas.305 Pencoretan dan perobekan itu
dilakukan ketika demonstrasi sedang berlangsung, yang mana dalam demonstrasi
itu terdapat banyak pengunjuk rasa yang merupakan anggota Jaringan Kerja
Rakyat (JAKER) dan Partai Rakyat Demokrasi (PRD).306 Demonstrasi itu juga
diselenggarakan di depan Istana Negara yang berlokasi di Jalan Medan Merdeka
Utara, Gambir, Jakarta Pusat pada pukul 12.00 WIB, mengasumsikan bahwa
kawasan depan Istana Negara yang merupakan jalan raya banyak dilalui oleh
kendaraan. Baik peserta demonstrasi ataupun orang yang berlalu lalang di sekitar
lokasi demonstrasi dapat melihat. Sehingga, unsur di depan umum terpenuhi.

2. Unsur dengan sengaja


Unsur sengaja dalam konteks ini harus dimaknai sebagai adanya
kesengajaan untuk menghina atau animus injuriandi. Perlu dibuktikan adanya
kesengajaan yang menjadi tujuan, dalam hal ini tujuannya berupa terserangnya
kehormatan atau nama baik Presidan dan/atau Wakil Presiden. Pun juga harus

                                                                                                                       
305
Lamintang, Op.Cit., 286-288.
306
“The Criminalization of Dissent”, Laporan Tahunan Human Rights Watch,
https://www.hrw.org/legacy/reports98/indonesia2/Borneote-07.htm diakses pada 15 Juni 2015.

Universitas Indonesia
228

dibuktikan adanya kesadaran bahwa yang terdakwa serang kehormatan dan nama
baiknya itu adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jika dikaitkan dengan
pembuktian dalam persidangan, diketahui bahwa pada tanggal 30 Juli 2002,
terdakwa melakukan demonstrasi dengan membawa gambar Wakil Presiden
Hamzah Haz sambil memakai ikat kepala berwarna merah yang bertuliskan
“Pemerintahan Rakyat Miskin “ serta memakai kalung ballpoint berwarna kuning.
Ballpoint tersebut sudah digunakan oleh terdakwa dan dipersiapkan untuk
mencoret-coret gambar yang dibawanya. Dalam hal ini, maka jelas bahwa
terdapat kesengajaan untuk mencoret-coret gambar tersebut. Terdakwa pun secara
sadar mengetahui bahwa gambar yang dibawanya adalah gambar Wakil Presiden
Hamzah Haz. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terdakwa sengaja mencoret dan
kemudian merobek gambar Wakil Presiden Hamzah Haz.
Selain menganalisis kesengajaan atas dilakukannya perbuatan mencoret-
coret dan merobek gambar Wakil Presiden Hamzah Haz, perlu ditelaah lebih jauh
apakah terdakwa memang memaksudkan perbuatan tersebut untuk menyinggung
nama baik Wakil Presiden. Dalam keterangan yang diberikan oleh terdakwa,
perbuatan mencoret dan merobek gambar Wakil Presiden Hamzah Haz
dimaksudkan untuk mengungkapkan ketidakpercayaan dirinya dan anggota
masyarakat lainnya dan mendorong agar Wakil Presiden Hamzah Haz turun dari
jabatannya selaku Wakil Presiden Republik Indonesia. Dalam hal ini nampak
bahwa tujuan terdakwa tidak hanya sebatas pada ekspresi atas perasaan kekesalan
terhadap Wakil Presiden Hamzah Haz, namun termasuk juga menampakkan atau
mendorong agar Wakil Presiden Hamzah Haz turun dari jabatannya. Menurut
penulis, perbuatan mencoret-coret dan merobek gambar Wakil Presiden Hamzah
Haz merupakan bentuk penghinaan terlepas dari harus dilihatnya demonstrasi
secara keseluruhan, untuk mengidentifikasi apakah selain perbuatan mencoret-
coret dan merobek gambar, terdapat tindakan lain yang merupakan penghinaan.
Keterangan terdakwa yang menyatakan bahwa ia menginginkan agar Wakil
Presiden Hamzah Haz turun dari jabatannya, menunjukkan adanya kebencian dan
ketidaksukaan terdakwa terhadap Wakil Presiden Hamzah Haz. Kebencian itu
nampak dari perbuatan mencoret-coret dan merobek, diikuti seruan untuk turun

Universitas Indonesia
229

dari jabatannya. Dengan demikian, unsur kesengajaan untuk menghina atau


animus injuriandi terpenuhi.

3. Unsur terhadap Presiden atau Wakil Presiden


Dalam unsur ini, yang dijadikan sasaran penghinaan haruslah Presiden
dan Wakil Presiden baik dalam jabatannya ataupun sebagai diri pribadinya.
Dalam pertimbangan hakim, Majelis Hakim tidak menjelaskan kapasitas sebagai
apakah yang diserang oleh terdakwa dalam kasus ini. Menurut penulis, mengingat
keterangan terdakwa yang berniat menyuruh Wakil Presiden Hamzah Haz turun
dari jabatannya, maka kapasitas yang diserang oleh terdakwa adalah Wakil
Presiden dalam jabatannya. Demonstrasi itu sendiri ada untuk mengkritik
pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Megawati dan Wakil Presiden
Hamzah Haz yang dinilai justru menyengsarakan masyarakat miskin karena
kebijakan-kebijakan yang dipilih oleh pemerintah cenderung menguntungkan para
pemilik modal. Dalam hal ini, maka perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa
ditujukan pada diri Wakil Presiden Hamzah Haz selaku pemangku jabatan
eksekutf yang terlibat langsung dalam proses pengambilan kebijakan. Oleh
karenanya unsur ini terpenuhi.

4. Tinjauan Umum Perkara


Dalam perkara, Majelis Hakim beranggapan bahwa perbuatan terdakwa
mencoret-coret dan membakar gambar Wakil Presiden Hamzah Haz memenuhi
unsur-unsur pasal 134 KUHP yang mengatur mengenai penghinaan terhadap
Presiden atau Wakil Presiden. Namun pertimbangan hukum dalam putusan tidak
menjabarkan bagaimana pencoretan atau perobekan gambar tersebut dianggap
menghina Wakil Presiden Hamzah Haz. Menurut penulis, perbuatan mencoret dan
merobek gambar Wakil Presiden Hamzah Haz merupakan penghinaan, karena hal
tersebut mensaratkan adanya kebencian dalam diri terdakwa terhadap Wakil
Presiden Hamzah Haz. Dalam konteks ini, penghinaan yang dimaksud adalah
perbuatan menghina yang tidak menuduhkan suatu hal.
Sebenarnya, ekspresi yang menghina namun tidak menuduhkan suatu
fakta tertentu diakomodasi oleh hukum Indonesia melalui keberadaan pasal 315

Universitas Indonesia
230

KUHP. Meskipun tidak bersifat mencemarkan, ungkapan yang diajukan pelaku


terhadap terhina haruslah mengandung unsur hinaan yang mana dapat
menyebabkan tercorengnya nama baik seseorang. Konsep penghinaan yang
demikian tidak banyak dikenal oleh negara Belanda, Inggris, Amerika Serikat dan
Perancis. Kesemuanya mendefinisikan penghinaan sebagai penyebaran fakta yang
tidak benar, dimaksudkan untuk disebarluaskan secara umum dan dimaksudkan
untuk melukai nama baik atau kehormatan orang lain. Definisi yang demikian
juga dikenal sebagai definisi penghinaan di Thailand, namun negara ini
menerapkan ketentuan yang lebih ketat khususnya mengenai penghinaan terhadap
Raja. Untuk dapat dikatakan sebagai penghinaan kepada Raja tidak harus ada
fakta tertentu yang dituduhkan. Tingkah laku dan/atau ekspresi yang dinilai
mendiskresditkan Raja dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap Raja, baik
yang dilakukan secara sengaja maupun tidak disengaja.
Dalam perkara ini dapat dilihat bahwa hakim menerapkan ketentuan
pasal 134 KUHP secara ekstensif, namun tidak memberikan elaborasi yang
komprehensif bagaimana perbuatan terdakwa memenuhi ketentuan pasal 134
KUHP. Menurut penulis, jaksa penuntut umum seharusnya membuat formulasi
dakwaan berupa pasal 134 KUHP jo. Pasal 136bis KUHP, mengingat pengaturan
mengenai dapat dipidananya pelaku penghinaan di luar kehadiran terdakwa yang
diwujudkan dalam bentuk perbuatan diatur dalam pasal 136bis KUHP sebagai
perluasan pasal pendahulunya. Dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan, perlu
dilakukan pengukuran apakah perbuatan yang dituduh telah menghina tersebut
benar merupakan penghinaan menurut masyarakat secara umum. Harus digunakan
standar objektif untuk menilai hal tersebut mengingat dalam pasal 134 KUHP,
mekanisme penangan perkaranya didasarkan pada pelaporan dan bukanlah
pengaduan.307 Sehingga, aparat penegak hukum atau masyarakat secara umum lah
yang diminta aktif melaporkan penghinaan yang ada. Dalam hal ini perlu ditelaah,
apakah perbuatan mencoret dan merobek foto Wakil Presiden Hamzah Haz
sebagai bagian dari aksi teatrikal menyampaikan kritik terhadap Pemerintah
bersifat menghina. Di samping itu, sama seperti konsep penghinaan di Amerika
Serikat yang menerapkan doktrin actual malice, Indonesia juga mengenal doktrin
                                                                                                                       
307
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., halaman 97.

Universitas Indonesia
231

animus injuriandi, yaitu doktrin yang mengharuskan bahwa penghinaan harus


disertai dengan itikad untuk menyerang nama baik tersebut.308 Koheren dengan
penerapan doktrin tersebut, perlu ditelaah juga apakah terdakwa memang berniat
untuk melakukan penghinaan?
Menurut penulis, terdakwa berniat melakukan penghinaan terhadap diri
Wakil Presiden Hamzah Haz. Dalam keterangannya, terdakwa menyatakan bahwa
ia ingin menyatakan ketidakpercayaannya terhadap Pemerintahan di bawah
kepemimpinan Megawati dan Hamzah Haz, yang mana diikuti oleh keinginan dari
diri terdakwa agar Wakil Presiden Hamzah Haz. Menurut penulis, niat tersebut
mengindikasikan kebencian terhadap Pemerintah yang kemudian berubah menjadi
penghinaan terhadap Wakil Presidan Hamzah Haz. Selain itu, peristiwa yang
terjadi menunjukkan tendensi perbuatan delik politik, yaitu perbuatan yang
ditujukannya untuk merombak sistem yang ada dengan ideologi yang dipercayai
oleh pelaku. Hal ini nampak dari dorongan pelaku agar jajaran penguasa negara
turun dari jabatannya. Namun, konteks delik politik sendiri tidak terpenuhi secara
sempurna hanya dengan demonstrasi yang demikian. Delik politik baru dapat
terlaksana apabila secara nyata pelaku berusaha menyingkirkan pemerintah yang
ada melalui subversi sebagai contoh. Meskipun begitu, terpenuhi atau tidaknya
unsur pasal 134 dan 136bis KUHP tidak dapat dipandang secara kaku. Perlu
dilihat bagaimana kondisi kebatinan masyarakat di saat itu, yang mana banyak
terjadi demonstrasi dalam berbagai bentuk kegiatan, salah satunya adalah aksi
teatrikal. Demonstrasi saat itu muncul karena banyak kebijakan pemerintah yang
bertentangan dengan keinginan rakyat ditambah dengan kecenderungan
pemerintah untuk mengambil tindakan opresif terhadap kritik.
Perbuatan mencoret dan merobek gambar Wakil Presiden Hamzah Haz
sendiri tidak bisa dipisahkan dari gagasan aksi teatrikal yang berusaha
ditampilkan oleh para pengunjuk rasa. Sehingga, pencoretan dan perobekan itu
sendiri harus dimaknai sebagai penyampaian ekspresi mengkritik pemerintahan
yang saat itu memang memposisikan diri sebagai musuh para pengkritik.309
Demonstrasi dengan tindakan merobek atau mencoret-coret gambar bukan hanya
                                                                                                                       
308
Peter N. Amposah, Op. Cit., halaman 86.
309
Charles Tilly, Op.Cit., halaman 120.

Universitas Indonesia
232

terjadi sekali ini, namun terjadi dalam banyak demonstrasi lainnya. Oleh
karenanya, Majelis Hakim harus bisa memandang bentuk ekspresi yang demikian
sebagai kelaziman. Berbeda hal nya apabila demonstrasi semacam itu dilakukan
di tahun 2015, barulah ekspresi yang demikian dapat dipersalahkan karena kondisi
kebatinan sudah jauh lebih damai dan kebebasan berekspresi juga lebih
longgar.310 Sehingga, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyatakan
pendapat daripada melakukan pencoretan atau pembakaran gambar. Menurut
penulis, dalam situasi kebatinan yang sedang ricuh seperti ketika kasus ini terjadi,
mekanisme penyampaian pendapat di muka umum dengan jalan demonstrasi
menggunakan kesenian adalah hal yang amat wajar dengan niatan awal tidak
untuk menghina Presiden atau Wakil Presiden—niat awal dari tindakan itu adalah
penyampaian pendapat, namun eksekusinya melampaui batas kewajaran.

4.5.2.3 Putusan No. 484/Pid.B/2003/PN. JKT. PST


Dalam putusan ini akan dilakukan analisis unsur terhadap dakwaan
pertama, yaitu dakwaan pasal 134 KUHP mengingat putusan pengadilan
mengabulkan tuntutan jaksa yang menyatakan bahwa terdakwa dipersalahkan
telah “dengan sengaja melakukan penghinaan terhadap Presiden”. Analisis
terhadap unsur pasal 134 KUHP dikaitkan dengan fakta materiil yang terbukti
dalam persidangan adalah sebagai berikut:

1. Unsur Penghinaan
Analisis terhadap unsur ini harus dikembalikan terhadap unsur
penghinaan yang terdapat dalam pasal 310 KUHP yang notabene merupakan delik
penghinaan secara umum. Meskipun begitu, perbuatan yang tercakup dalam pasal
134 KUHP tidak hanya terbatas pada perbuatan yang diatur dalam pasal 310
KUHP, namun dapat juga meliputi segala perbuatan yang termaktub dalam pasal
310 hingga pasal 321 KUHP. Ditiadakannya pembedaan tindakan penghinaan ini
disebabkan karena sifat penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang

                                                                                                                       
310
Semakin opresif suatu pemerintahan, maka semakin militan pergerakan massa yang
muncul untuk menentang rezim yang ada. Seiring melonggarnya kontrol pemerintah terhadap
rakyat, maka semakin stabil dan semakin moderat pergerakan yang terjadi. Lihat: Charles Tilly,
Op. Cit., halaman 79.

Universitas Indonesia
233

amatlah tercela. Secara umum, penghinaan harus dimaknai sebagai tindakan


menuduhkan atau mengungkapkan suatu hal yang ditujukan untuk diketahui oleh
masyarakat umum, dalam rangka melukai nama baik atau kehormatan orang yang
bersangkutan.
Dalam dakwaan, Jaksa Penuntut Umum mendakwakan bahwa perbuatan
terdakwa membawa sebuah gambar Presiden Megawati memakai baju berwarna
merah dan kedua matanya ditutup lakban hitam yang mana pada bagian atas
gambar tersebut terdapat tulisan, “BURONAN RAKYAT”. Gambar tersebut
bukan dibuat atau dibawa terdakwa ke tempat demonstrasi berlangsung,
sebaliknya gambar tersebut disediakan oleh orang lain untuk diedarkan kepada
pengunjuk rasa lainnya. Kemudian dalam dakwaan juga dituduhkan bahwa
terdakwa meletakkan gambar tersebut di tengah jalan hingga akhirnya gambar
tersebut dilindas mobil Mazda dan sepeda motor yang dikendarai oleh para saksi.
Dalam pembuktian di persidangan, diketahui bahwa para saksi yang notabene
merupakan tim pengawas demonstrasi dari pihak Polri, mengaku melihat
terdakwa membawa gambar tersebut namun tidak melihat siapa yang
meletakkannya di tengah jalan hingga akhirnya dilindas oleh kendaraan. Para
pengendara mobil Mazda dan motor yang melindas gambar juga mengaku tidak
mengetahui siapa yang meletakkan gambar tersebut. Hanya saja saat mereka
hendak melintasi jalan yang sedang menjadi lokasi demonstrasi, terdapat gambar
Presiden Megawati di tengah jalan dan jalan yang mereka lalui juga terlalu sempit
sehingga terpaksa mereka melindas gambar tersebut. Dari keterangan-keterangan
tersebut dapat diketahui bahwa terdakwa membawa gambar Presiden Megawati
dengan tulisan buronan rakyat di atasnya, namun gambar tersebut bukan terdakwa
yang membuat. Terdakwa juga tidak meletakkan gambar tersebut di tengah jalan
sampai dilindas oleh kendaraan yang berlalu lalang.
Jika dikaitkan dengan ketentuan pasal 134 KUHP, maka perlu
dikarakterisasi terlebih dahulu penghinaan apa yang dilakukan oleh terdakwa.
Sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan hukum dalam putusan, Majelis
Hakim menekankan perbuatan penghinaan pada tindakan terdakwa mengangkat
gambar Presiden Megawati yang matanya tertutup lakban dan di atasnya
bertuliskan kalimat “Buronan Rakyat”. Cara penghinaan yang dituduhkan kepada

Universitas Indonesia
234

terdakwa adalah dengan membawa gambar Presiden Megawati yang telah


dimodifikasi. Perbuatan yang demikian tidak tepat apabila ditelaah berdasarkan
pada ketentuan pasal 134 KUHP karena pasal 134 KUHP mensyaratkan pelaku
adalah pembuat penghinaan itu sendiri. Sementara terdakwa bukanlah orang yang
membuat gambar Presiden Megawati tersebut—terdakwa hanya menerimanya
dari pengunjuk rasa lain, dan yang dilakukan terdakwa adalah mengangkat
gambar tersebut. Sehingga, terdakwa bukanlah pihak yang secara sengaja ingin
menghina Presiden Megawati, namun terdakwa adalah orang yang membuat
hinaan tersebut semakin dapat dilihat oleh masyarakat secara umum.
Cara penghinaan yang demikian telah diatur secara lebih spesifik dalam
pasal 137 ayat (1) KUHP sebagai berikut:

“Barang siapa menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan di


muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap
Presiden atau Wakil Presiden, dengan maksud supaya isi penghinaan
diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Dalam perkara, gambar Presiden Megawati yang ditutup matanya dengan


lakban dan di atasnya terdapat tulisan “Buronan Rakyat” merupakan wujud dari
lukisan. Lukisan tersebut kemudian “dipertunjukkan” oleh terdakwa, yaitu dibuat
agar lukisan itu dapat dilihat oleh masyarakat secara umum. Dipertunjukkan ini
diwujudkan terdakwa dengan mengangkat gambar tersebut agar semua orang dapt
melihatnya. Prof. Noyon-Langemeijer menyatakan bahwa tindakan
mempertunjukkan ini tidak harus dilakukan di muka umum, namun cukup
membuat orang lain bisa melihat dengan jelas apa yang dipertontonkan.311
Meskipun begitu, terdakwa mempertunjukkan gambar Presiden Megawati ketika
sedang melakukan demonstrasi yang dihadiri oleh peserta dari berbagai kalangan
berlokasi di depan Istana Merdeka, Jalan Merdeka Utara Jakarta Pusat sekitar
pukul 14.30 WIB. Lukisan yang dipertontonkan oleh terdakwa selain bisa dilihat
oleh pengunjuk rasa lainnya juga dapat dilihat oleh pengendara yang berlalu
lalang, mengingat kawasan di depan Istana Merdeka merupakan jalan raya.
Sehingga unsur mempertunjukkan tersebut terpenuhi.
                                                                                                                       
311
Prof. Noyon-Langemeijer dalam Lamintang, Op. Cit., halaman 270.

Universitas Indonesia
235

Selanjutnya, perlu ditelaah apakah benar lukisan yang dipertunjukkan


oleh terdakwa berisi hinaan. Lukisan tersebut merupakan gambar Presiden
Megawati dengan pakaian merah, yang matanya ditutup dan di atas gambar
tersebut terdapat tulisan “Buronan Rakyat”. Meskipun kedua mata tersebut
tertutup, namun dapat diketahui bahwa gambar tersebut merupakan gambar
Presiden Megawati. Gambar yang diangkat tedakwa tersebut menyiratkan makna
bahwa Presiden Megawati adalah pelaku kejahatan yang sedang dikejar-kejar oleh
rakyat Indonesia. Makna tersebut jelas merupakan makna konotasi karena pada
kenyataannya Presiden Megawati tidak sedang menjadi buronan siapapun.
Gambar tersebut ingin menyampaikan pesan bahwa Megawati telah melakukan
hal yang tercela dan tidak menyenangkan bagi nasib masyarakat Indonesia,
hingga diibaratkan bahwa Megawati menjadi buronan dari warganya sendiri.
Sianturi menjelaskan bahwa untuk dapat dikatakan sebagai suatu
penghinaan, maka harus ada suatu tulisan yang menyerang kehormatan dengan
menuduhkan suatu hal atau perbuatan. Suatu hal atau perbuatan ini tidak perlu
diuraikan secara terperinci megenai kejadiannya, tempat, atau waktunya. Tuduhan
itu haruslah mudah dimengerti orang atau maksudnya gamblang untuk tersiratnya
berita yang meresahkan itu. Perbuatan menghina tersebut dapat menyebabkan
rusaknya penilaian orang kepada orang yang dihinakan. Jika dikaitkan dengan
gambar yang dibawa oleh terdakwa, maka dapat diketahui bahwa gambar tersebut
menyiratkan bahwasanya Presiden Megawati telah melakukan hal yang buruk
sampai-sampai iya menjadi buronan bagi rakyat. Namun tidak teruraikan dengan
jelas perbuatan buruk apakah yang sudah dilakukan oleh Presiden Megawati.
Meskipun begitu, gambar beserta kata-kata tersebut telah cukup untuk membuat
masyarakat secara umum menjadi berpikir bahwa Presiden Megawati telah
melakukan hal yang buruk. Sehingga, menurut penulis, gambar Presiden
Megawati dengan tulisan “Buronan Rakyat” di atasnya mengandung sifat yang
menghina.

2. Unsur dengan Sengaja


Unsur sengaja dalam konteks ini harus dimaknai sebagai adanya
kesengajaan untuk menghina atau animus injuriandi. Perlu dibuktikan adanya

Universitas Indonesia
236

kesengajaan yang menjadi tujuan, dalam hal ini tujuannya berupa terserangnya
kehormatan atau nama baik Presidan dan/atau Wakil Presiden.312 Pun juga harus
dibuktikan adanya kesadaran bahwa yang terdakwa serang kehormatan dan nama
baiknya itu adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jika dikaitkan dengan uraian
perkara, maka dapat diketahui bahwa terdakwa bukanlah orang yang membuat
gambar Presiden Megawati yang tertutup matanya dan pada bagian atasnya
terdapat tulisan “Buronan Rakyat”. Sesampainya terdakwa di lokasi demonstrasi,
terdakwa sudah melihat terdapat gambar-gambar Presiden Megawati sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya dan selanjutnya yang terdakwa lakukan adalah
mengedarkan gambar tersebut kepada pengunjuk rasa yang lain untuk kemudian
bersama-sama mengangkat gambar tersebut dan menyerukan yel-yel. Terdakwa
dalam keterangannya juga menjelaskan bahwa ia tidak memiliki niat untuk
menghina Presiden Megawati. Sehingga, dapat dikatakan bahwa tidak terdapat
unsur animus injuriandi atau kesengajaan untuk menghina dalam perbuatan
terdakwa. Sementara itu, jika ditelaah lebih jauh, kesengajaan yang terdapat
dalam perbuatan terdakwa adalah kesengajaan untuk mempertunjukkan gambar
Presiden Megawati tersebut kepada khalayak umum sekalipun tidak terdapat
kesengajaan untuk melakukan penghinaan. Oleh karenanya, dapat disimpulkan
bahwa unsur kesengajaan dalam pasal 134 KUHP tidaklah terbukti.

3. Unsur Presiden atau Wakil Presiden


Dalam unsur ini, yang dijadikan sasaran penghinaan haruslah Presiden
dan Wakil Presiden baik dalam jabatannya ataupun sebagai diri pribadinya.
Dalam pertimbangan hakim, Majelis Hakim tidak menjelaskan kapasitas sebagai
apakah yang diserang oleh terdakwa dalam kasus ini. Jika melihat keterangan
terdakwa dalam persidangan, terdakwa menjelaskan bahwa demonstrasi tersebut
dilaksanakan dalam rangka menyampaikan aspirasi masyarakat atas kebijakan
Pemerintah menaikkan harga BBM, Tarif Dasar Listrik, dan privatisasi.313 Dalam
aksi demonstrasi tersebut, terdakwa mengangkat gambar Presiden Megawati yang

                                                                                                                       
312
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 13.
313
Supriyadi Widodo Eddyono, Sriyana dan Wahyu Wagiman, Op. Cit., halaman 13.

Universitas Indonesia
237

matanya ditutup lakban dan terdapat tulisan “Buronan Rakyat” sambil


meneriakkan “Inilah Presiden yang mengecewakan masyarakat!”. Gambar yang
diangkat oleh terdakwa merupakan gambar Presiden Megawati berpakaian merah
yang ditutup matanya. Sekalipun mata pada gambar tersebut ditutup, masyarakat
secara umum mengetahui bahwa gambar yang dimaksud adalah gambar Presiden
Megawati.
Jika dilihat dari penjelasan terdakwa dalam persidangan, dapat diketahui
bahwa perbuatan yang dituduh sebagai penghinaan ditujukan kepada Presiden
Megawati dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan yang memiliki
otoritas untuk mengambil kebijakan. Dalam konteks ini, terdakwa bersama
pengunjuk rasa lainnya merasa kecewa atas pilihan kebijakan Presiden Megawati
yang dinilai justru merugikan masyarakat, khususnya di bidang ekonomi,
mengingat terjadi kenaikan tarif BBM, Tarif Dasar Listrik (TDL), dan adanya
kebijakan privatisasi beberapa BUMN yang menguasai kepentingan orang
banyak. Atas dasar hal tersebut, maka unsur Presiden terpenuhi.

4. Tinjauan Umum Perkara


Perkara ini didakwa dengan dakwaan primair pasal 134 KUHP dan
dakwaan subsidair pasal 137 ayat (1) KUHP. Majelis Hakim berpendapat bahwa
tindakan terdakwa mengangkat gambar Presiden Megawati dengan mata tertutup
dan di atasnya terdapat tulisan “Buronan Rakyat” merupakan perbuatan
penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang memenuhi ketentuan
pasal 134 KUHP. Namun, dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim tidak
menjelaskan bagaimana perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur yang terdapat
dalam pasal 134 KUHP khususnya letak penghinaan dari gambar yang diangkat
terdakwa dan niat menghina dalam diri terdakwa. Majelis Hakim juga tidak
mempertimbangkan peran dari pengunjuk rasa lain khususnya pembuat asli dari
gambar yang menghina, penyebar gambar sampai akhirnya bisa sampai di tangan
terdakwa, serta bagaimana peran pengunjuk rasa lain yang turut menunjukkan
gambar tersebut ke muka umum.
Menurut penulis, penggunaan pasal 134 KUHP untuk menghukum
terdakwa tidaklah tepat. Pasal 134 KUHP mensyaratkan pelaku untuk memiliki

Universitas Indonesia
238

niat menghina yang diwujudkan dengan perbuatan menghina itu sendiri. Pelaku
haruslah orang yang membuat hinaan dan bukan hanya sekedar orang yang
menyebarluaskan hinaan tersebut. Sementara itu, jika dilihat dalam pembuktian di
persidangan, diketahui bahwa terdakwa bukanlah orang yang membuat gambar
Presiden Megawati yang matanya tertutup dengan tulisan “Buronan Rakyat” di
atasnya. Terdakwa memperoleh gambar tersebut dari pengunjuk rasa lainnya.
Sehingga, dalam hal ini terdakwa lebih tepat jika dituduh telah mempertunjukkan
gambar tersebut di muka umum dibandingkan sebagai orang yang melakukan
penghinaan. Pasal 134 KUHP sendiri mensyaratkan terpenuhinya animus
injuriandi atau niat untuk menghina. Sementara itu, dalam persidangan terdakwa
mengaku tidak memiliki niat untuk menghina Presiden Megawati. Ia hanya
memperoleh gambar tersebut dari kawan pengunjuk rasa lainnya, yang mana
gambar tersebut oleh pengunjuk rasa lain digunakan sebagai properti demonstrasi.
Mengikuti pengunjuk rasa lain, terdakwa juga mengangkat gambar tersebut
beriringan dengan meneriakkan yel-yel. Dalam hal ini, kesengajaan yang dimiliki
oleh terdakwa adalah kesengajaan untuk membuat dapat dilihatnya gambar
menghina tersebut oleh banyak orang, dan bukanlah kesengajaan untuk menghina
diri Presiden Megawati itu sendiri. Oleh karenanya, unsur-unsur pasal 134 KUHP
tidak terpenuhi karena perbuatan yang dilakukan terdakwa lebih sesuai dengan
unsur-unsur pasal 137 ayat (1) KUHP.
Dalam perkara ini dapat dilihat bagaimana Majelis Hakim menerapkan
ketentuan pasal 134 KUHP secara kaku, tanpa melihat situasi kebatinan yang
terjadi pada saat itu. Perlu diingat bahwa demonstrasi yang dilakukan oleh
terdakwa juga banyak dilakukan oleh organisasi lain di berbagai wilayah di
Indonesia. Penggunaan poster, tulisan, patung, hingga drama merupakan suatu hal
yang wajar dalam penyampaian kritik dan aspirasi.314 Selain ditujukan untuk
menyampaikan kritik terhadap pemerintah, demonstrasi tersebut juga dilakukan
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat lainnya sehingga demonstrasi dibuat
semenarik dan semencolok mungkin. Melihat kondisi yang demikian, sepatutnya
Majelis Hakim tidak menerapkan ketentuan hukum secara kaku—hanya melihat
kesesuaian kondisi faktual dengan rumusan pasal tanpa mempertimbangkan aspek
                                                                                                                       
314
Charles Tilly, Op.Cit., halaman 86.

Universitas Indonesia
239

sosial yang melingkupi situasi tersebut. Hal demikian yang menyebabkan


kriminalisasi terhadap pengunjuk rasa menjadi marak, terlebih lagi tanpa telaah
yang presisi mengenai perbuatan materiil dan kesalahan orang yang dituduh
melakukan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.

4.5.2.4 Putusan No. 1411/PID.B/2006/PN.JKA.PST


Dalam putusan ini akan dilakukan analisis unsur terhadap dakwaan
pertama, yaitu dakwaan pasal 134 jo pasal 136bis KUHP mengingat putusan
pengadilan mengabulkan tuntutan jaksa yang menyatakan bahwa terdakwa
dipersalahkan telah “dengan sengaja melakukan penghinaan terhadap Presiden di
luar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah laku di muka umum maupun
tidak di muka umum dengan lisan atau tulisan namun dihadapan lebih dari 4
(empat) orang atau dihadapan orang ketiga bertentangan dengan kehendaknya dan
oleh karena itu meraa tersinggung”. Analisis terhadap unsur pasal 134 KUHP
dikaitkan dengan fakta materiil yang terbukti dalam persidangan adalah sebagai
berikut:

1. Unsur Penghinaan
Bahwa dalam pembuktian di persidangan, diketahui bahwa terdakwa
telah membuat pernyataan yang kemudian dimuat oleh berbagai media
bahwasanya kedatangannya adalah untuk mengklarifikasi pemberian mobil Jaguar
dari Hary Tanoe kepada Presiden SBY, Andi Mallarangeng, Dino Patti Djalal, dan
Sudi Silalahi. Dalam pertimbangan hukum, Majelis Hakim berpendapat bahwa
pernyataan tersebut sempat menjadi pembicaraan di kabinet dan membuat terdapat
pertanyaan dari beberapa Kedutaan Negara Asing untuk mengklarifikasi
kebenaran berita tersebut. Menurut para saksi yang turut dianggap menerima
mobil Jaguar, tidak pernah ada pemberian dari Hary Tanoe kepada orang-orang di
lingkungan kepresidenan. Mengacu pada fakta tersebut, maka apa yang
diungkapkan oleh terdakwa merupakan rumor atau gunjingan yang belum jelas
kebenarannya, sehingga menyebabkan kesan negatif. Hal ini menyebabkan
Presiden dan para saksi lain merasa terhina. Majelis Hakim juga
mempertimbangkan kedudukan terdakwa sebagai politisi yag bereputasi yang

Universitas Indonesia
240

mana seyogyanya tidak memberikan sembarang pernyataan yang dapat menjadi


opini umum.
Dalam persidangan telah diketahui bahwa rumor adanya Jaguar yang
diterima oleh anggota di lembaga kepresidenan telah ada bahkan sebelum
terdakwa menanyakannya kepada Ketua KPK, Taufiqurahman Ruki. Rumor
tersebut berisi tuduhan bahwa pejabat publik dan Presiden telah menerima mobil
yang disinyalir merupakan suatu bentuk gratifikasi. Tuduhan tersebut telah masuk
ke dalam klasifikasi tuduhan yang dapat mencemarkan nama baik sebagaimana
diakomodasi dalam pasal 310 KUHP. “Menuduh” dimaknai sebagai persangkaan
yang belum jelas benar atau tidaknya hal yang disangkakan.315 Dalam konteks ini,
pelaku mengajukan tuduhan bahwa telah dilakukan perbuatan tertentu oleh korban
yang cenderung tidak terpuji atau memalukan. Kata ‘perbuatan tertentu’ atau
bepaald feit, mengharuskan bahwa perbuatan dituduhkan dengan jelas, baik
tempat maupun waktunya.316 Perbuatan ini bisa perbuatan apa saja, tidak harus
perbuatan pidana namun tuduhan ini harus bersifat kurang baik dalam penilaian
oleh umum. Dalam konteks perkara ini, tuduhan bahwa telah diterima mobil
Jaguar oleh anggota kepresidenan dapat mencerminkan bahwa anggota
kepresidenan termasuk Presiden telah melakukan tindakan yang tercela, yaitu
tindakan korupsi dalam bentuk penerimaan gratifikasi. Sementara itu, tuduhan ini
belum jelas kebenarannya karena pihak KPK sendiri sebagai otoritas yang
berwenang menangani perkara ini belum melakukan pemeriksaan lebih lanjut atas
rumor tersebut karena memang belum ada laporan yang masuk.
Menurut penulis, pernyataan yang dibuat oleh terdakwa bukanlah
merupakan penghinaan karena kalimat yang digunakan terdakwa sendiri adalah,
“....yang ingin saya klarifikasi dengan Ketua KPK atau jajaran KPK, bahwa ada
pengusaha yang memberikan mobil mungkin jenisnya Jaguar kepada Kementerian
Sekab dan Juru Bicara Presiden juga Presiden yang kemudian dipakai oleh
anaknya” dan “...oleh karena itu keberanian untuk mengungkap ada pada KPK,
yang katanya pemberantasan korupsi tidak pandang bulu”. Dalam hal ini terdakwa
menunjukkan niatannya untuk melakukan klarifikasi kepada pihak yang memang
                                                                                                                       
315
H. A. K. Moch. Anwar, Op. Cit., halaman 52.
316
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., halaman 96.

Universitas Indonesia
241

memiliki otoritas, yaitu KPK. Konten tuduhan dengan klarifikasi yang ingin
dilakukan oleh terdakwa haruslah dibedakan. Klarifikasi ini tidak dapat serta
merta didefinisikan sebagai wujud tuduhan kepada pihak kepresidenan karena
sebenarnya klarifikasi ini bertujuan untuk mencari tahu kebenaran faktanya.
Sementara tuduhan secara susbtansial dilihat sebagai hal yang dapat mencemarkan
nama baik orang yang dituduh. Klarifikasi ada justru untuk memberikan kejelasan
apakah tuduhan itu benar atau salah. Dalam hal tuduhan itu salah, maka orang
yang dituduh justru memperoleh kemanfaatan karena namanya tidak akan
ternodai atas tuduhan yang sama lagi. Di samping itu, gestur dan pilihan diksi
terdakwa dalam membuat pernyataan tersebut tidak mengindikasikan bahwa
terdakwa memang berniat menghina atau melecehkan Presiden ataupun anggota
kepresidenan. Terdakwa mengungkapkan kalimat tersebut dengan
mendeskripsikan apa yang ia lakukan, yaitu “mengklarifikasi dengan ketua KPK
dan jajaran KPK”.
Selain melihat substansi yang dituduhkan secara objektif, perlu dilihat
penilaian-penilaian subjektif yang diberikan oleh Presiden. Dalam pembuktian di
persidangan, diketahu bahwa Presiden merasa sedih dan terpukul atas pemberitaan
tersebut. Hal tersebut dinyatakan oleh anggota lembaga kepresidenan yang di
antaranya adalah Andi Mallarangeng, Dino Patti Djalal, dan Sudi Silalahi yang
kebetulan juga merupakan tertuduh penerina hadiah mobil Jaguar. Kesaksian yang
diberikan oleh ketiga saksi merupakan testimonium de auditu, yaitu keterangan
yang diperoleh atau didengarnya dari orang lain, yang menyebabkan keterangan
tersebut bisa jadi telah melalui interpretasi yang berbeda dari diri saksi.317 Dalam
hal ini, untuk mengukur apakah Presiden benar-benar terhina atau tidak,
seyogyanya Presiden sebagai pihak yang dituduh dapat didatangkan dalam
persidangan untuk memberikan keterangan langsung mengenai terhina tidaknya
dirinya atau ucapan terdakwa. Selain itu, dalam konteks Presiden memang merasa

                                                                                                                       
317
Testimonium de auditu atau hearsay evidence bukanlah alat bukti yang pendapat Andi
Hamzah tidak diperkenankan nya kesaksian de auditu sebagai alat bukti selaras dengan tujuan
hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil dan pula untuk perlindungan terhadap hak-
hak asasi manusia, di mana keterangan saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin
kebenarannya, sehingga patut tidak dipakai di Indonesia. Lihat: Andi Hamzah, Hukum Acara
Pidana di Indonesia, halaman 262.

Universitas Indonesia
242

terhina, maka secara logika proses permohonan maaf yang bahkan dianjurkan
oleh Presiden sendiri kepada terdakwa agar membuat surat permohonan maaf
tidak akan pernah terjadi. Namun, Presiden SBY sebagaimana diutarakan oleh
saksi saksi Andi Mallarangeng dalam persidangan, menerima perbuatan terdakwa
sebagai akibat dari demokrasi Indonesia. Adanya perasaan terhina yang dirasakan
oleh para saksi yang merupakan anggota lembaga kepresidenan bukanlah menjadi
takaran apakah tindak pidana penghinaan terjadi di sini, karena yang dituju oleh
ketentuan pasal 134 jo. Pasal 136bis KUHP adalah penghinaan terhadap Presiden.
Mengacu pada hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, maka unsur penghinaan
tidaklah terpenuhi.

2. Unsur dengan sengaja


Unsur sengaja dalam konteks ini harus dimaknai sebagai adanya
kesengajaan untuk menghina atau animus injuriandi. Perlu dibuktikan adanya
kesengajaan yang menjadi tujuan, dalam hal ini tujuannya berupa terserangnya
kehormatan atau nama baik Presidan dan/atau Wakil Presiden. Pun juga harus
dibuktikan adanya kesadaran bahwa yang terdakwa serang kehormatan dan nama
baiknya itu adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jika dikaitkan dengan uraian
perkara, terdakwa dalam persidangan memberikan keterangan bahwasanya niat
terdakwa untuk datang ke KPK adalah untuk mengklarifikasi pemberitaan yang
sudah beredar sejak lama terkait pemberian mobil Jaguar dari seorang pengusaha
kepada beberapa anggota kepresidenan. Menurut Lamintang, terdapat pembedaan
unsur kesengajaan dalam pasal 134 KUHP dengan pasal 137 KUHP. Pasal 134
KUHP mengharuskan terdakwa sebagai pembuat penghinaan itu, sementara pasal
137 KUHP mensyaratkan terdakwa untuk cukup menyebarkan penghinaa yang
ada terlihat dari redaksional pasal 137 ayat (1) KUHP, “menyiarkan,
mempertunjukan, atau menempelkan di muka umum”.318 Jika dikaitkan dengan
kesengajaan dalam diri terdakwa, dapat dilihat bahwa terdakwa tidak memiliki
niat untuk menghina Presiden ataupun anggota kepresidenan lainnya. Klarifikasi
tersebut dilakukannya kepada Ketua KPK karena tidak mungkin baginya untuk
mengklarifikasi langsung kepada Presiden. Untuk menjamin akurasi klarifikasi
                                                                                                                       
318
Lamintang, Op. Cit., halaman 332-334.

Universitas Indonesia
243

atas rumor tersebut, tindakan terdakwa untuk menanyakan langsung kepada Ketua
KPK sudahlah tepat.
Adanya pemberitaan yang dibuat oleh berbagai media yang saat itu
sedang berada di dalam KPK berada di luar harapan terdakwa. Terdakwa juga
tidak mengetahui bahwasanya akan banyak pers di situ. Yang terdakwa lakukan
ketika ditanyai pers, adalah menajawab sesuai dengan fakta yang ada bahwasanya
kedatangan terdakwa selain untuk mengurus kliennya adalah untuk
mengklarifikasi rumor pemberian mobil Jaguar tersebut. Menurut penulis, tidak
terdapat kesengajaan dalam diri terdakwa untuk menghina Presiden juga tidak ada
kesengajaan untuk menyebarkan hinaan tersebut karena rumor yang berusaha
diklarifikasi sudah ada sejak lama. Adanya indikasi bahwa ungkapan terdakwa
cenderung menghina harus ditelaah dan dihubungkan lebih lanjut dengan
bagaimana berbagai media memberitakan hal tersebut. Dalam pembuktian di
dalam persidangan, ahli di bidang jurnalistik menjelaskan bahwasanya setiap
redaksi memilih kebijakan dan gaya penyajian beritanya masing-masing. Metode
penyajian berita tersebut merupakan tanggung jawab redaksi dengan
mempertimbangkan akurasi berita yang diperoleh setelah melalui tahap check dan
re-check dengan sumber-sumber yang terpercaya. Dalam pembuktian di
persidangan, Alexander Zulkarnain sebagai salah satu wartawan menyatakan
bahwa memang diperlukan check and recheck namun jika sedang dikejar tenggat
waktu pengumpulan berita seperti ketika sedang mengejar berita tentang tuduhan
diterimanya mobil Jaguar oleh anggota kepresidenan, maka berita akan langsung
dikirim kepada redaksi. Dalam hal ini, kesengajaan untu menghina dalam diri
terdakwa dikaburkan dengan pemberitaan media massa yang cenderung
membiarkan terjadinya distorsi atau penurunan nilai kebenaran berita dengan
tidak dilakukannya check and recheck.

3. Unsur Presiden dan Wakil Presiden


Dalam unsur ini, yang dijadikan sasaran penghinaan haruslah Presiden
dan Wakil Presiden baik dalam jabatannya ataupun sebagai diri pribadinya.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim tidak menjelaskan kapasitas apakah yang
terserang dari diri Presiden atas pernyataan yang dibuat oleh terdakwa. Namun,

Universitas Indonesia
244

dapat ditelaah bahwa kapasitas yang mungkin bisa terdiskreditkan karena


ungkapan terdakwa adalah kapasitas Presiden sebagai kepala pemerintahan
beserta dengan anggota kepresidenan lain yang bertugas untuk menjalankan
fungsi eksekutif. Hal ini dapat dilihat dari substansi rumor yang berusaha
diklarifikasi oleh terdakwa yang mana berisi tuduhan bahwa Presiden telah
menerima pemberian mobil Jaguar dari salah seorang pengusaha. Hal tersebut
sangat berkaitan dengan profesionalisme Presiden dan anggota kepresidenan
dalam menjalankan tugasnya, khususnya dalam memimpin langsung jalannya
pemerintahan dan mengambil kebijakan. Dalam hal ini, rumor tersebut
menuduhkan bahwa Presiden dan anggota Kepresidenan menerima gratifikasi
yang biasa dikenal oleh masyarakat secara umum untuk mengarahkan pembuatan
kebijakan tertentu agar menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Dalam pembuktian di persidangan, nampak bahwa beberapa saksi yang
juga menjadi tertuduh dalam rumor tersebut seperti Andi Mallarangeng, Dino
Patti Djalal, dan Sudi Silalahi memberikan keterangan bahwa mereka juga
tersinggung atas pernyataan yang diajukan terdakwa. Dalam hal ini, muncul
kekaburan mengenai siapa yang menjadi target dari penghinaan tersebut karena
para saksi turut memberikan keterangan bahwa mereka nama baiknya tercemar.
Meskipun begitu, sesuai dengan ketentuan pasal 134 KUHP, maka target yang
dituju dari penghinaan tersebut adalah Presiden, yang mana dalam perkara ini
adalah Presiden SBY.

4. Unsur “di muka umum maupun tidak di muka umum tetapi di hadapan
lebih dari empat orang atau di hadapan orang lain yang hadir dengan
tidak kemauannya dilakukan dengan perbuatan-perbuatan atau dengan
lisan atau tulisan”
Dalam perkara yang melibatkan terdakwa Eggi Sudjana, diketahui bahwa
lokasi terjadinya peristiwa yang dituduhkan adalah di dalam lobi kantor KPK.
Jaksa Penuntut Umum menuduhkan dakwaan pasal 134 KUHP jo. Pasal 136bis
KUHP yang mana mengatur mengenai penghinaan “di muka umum maupun tidak
di muka umum tetapi di hadapan lebih dari empat orang atau di hadapan orang
lain yang hadir dengan tidak kemauannya dilakukan dengan perbuatan-

Universitas Indonesia
245

perbuatan atau dengan lisan atau tulisan”. Di muka umum menurut Hoge Raad
dalam arrest tertanggal 9 Juni 1941 N.J. 1941 No. 709 adalah sebagia berikut:319

“suatu penghinaan itu dilakukan di depan umum, jika penghinaan


tersebut dilakukan di suatu tempat yang dapat dikunjungi oleh setiap
orang dan setiap orang yang hadir dapat mendengarnya”

Gedung KPK dalam hal ini tergolong dalam tempat umum di mana
hampir setiap orang dapat memasuki gedung KPK, terlepas dari pemeriksaan
keamanan bagi tiap-tiap pengunjung akan masuk. Yang ingin ditekankan, tidak
terdapat syarat khusus yang harus dipenuhi oleh pengunjung agar bisa masuk ke
dalam gedung KPK. Semua orang bisa mengunjungi dan masuk ke lobi KPK, baik
orang yang sedang berperkara di KPK atau wartawan. Hal ini juga dijelaskan oleh
Ketua KPK bahwa memang pada hari-hari biasa wartawan banyak berada di KPK
untuk mencari berita. Oleh karenanya, terang bahwa KPK—terlebih lagi lobi
tempat tujuan pertama orang masuk ke dalam sebuah gedung, merupakan tempat
umum.
Dalam persidangan, diketahui fakta bahwa terdakwa mengungkapkan
niatnya untuk mengklarifikasi rumor tersebut di lobi KPK setelah ia menemui
Ketua KPK, Taufiqurrahman Ruki. Hal itu ia ungkapkan di hadapan wartawan
yang memang biasa berjaga untuk mencari berita. Dengan demikian, nampak
secara nyata bahwa lobi KPK merupakan tempat umum yang dapat diakses oleh
orang lain dan oleh karenanya, unsur “di muka umum” terpenuhi.

5. Tinjauan Umum Perkara


Perkara yang melibatkan terdakwa Eggi Sudjana dengan tuduhan bahwa
ia telah mencemarkan nama baik Presiden SBY karena berusaha mengklarifikasi
kemungkinan penerimaan gratifikasi oleh beberapa orang dalam lembaga
kepresidenan menunjukkan bahwasanya implementasi pasal 134 KUHP dalam
kasus tidak didasarkan pada parameter yang jelas dan cenderung kaku. Rumor
bahwa anggota kepresidenan memperoleh mobil mewah dari salah seorang
pengusaha sudah beredar sejak lama dan bukan dibuat oleh terdakwa. Hingga saat
kasus terdakwa disidangkan, belum ada kejelasan mengenai rumor tersebut.
                                                                                                                       
319
Lamintang, Op. Cit., halaman 286-288.

Universitas Indonesia
246

Menurut ahli Despen Opu Sunggu yang dihadirkan dalam persidangan, rumor
tidak bisa serta merta dianggap sebagai penghinaan karena rumor adalah
informasi yang dibicarakan publik yang kemungkinan benar atau tidak benar.
Mengingat bahwa rumor menyebabkan ketidakpastian dan justru bisa
menimbulkan prasangka buruk, terdakwa berusaha mengklarifikasi rumor yang
ada. Hal ini merupakan pengejewantahan dari fungsi kontrol masyarakat atas
jalannya pemerintahan.
Penuduhan Jaksa Penuntut Umum bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana penghinaan Presiden karena telah menjelaskan niatnya
mengklarifikasi penghinaan tersebut tidaklah tepat. Mengacu pada doktrin yang
berkembang secara internasional mengenai penghinaan, setidak-tidaknya harus
terdapat aspek-aspek berupa mengandung fakta palsu, tersebar informasinya,
terdapat kerugian yang dialami orang lain serta ketiadaan alasan pembenar yang
menghilangkan sifat melawan hukum untuk dapat disebut sebagai suatu
penghinaan.320 Dalam perkara yang melibatkan terdakwa Eggi Sudjana, dapat
ditelaah eksistensi masing-masing aspek tersebut. Pertama, masih belum
diketahui secara pasti apakah rumor yang beredar tersebut mengandung fakta
yang salah, mengingat KPK sendiri belum mengadakan pemeriksaan atas hal yang
dituduhkan kepada Presiden dan anggota kepresidenan karena tidak pernah ada
laporan mengenai rumor tersebut. Kedua, ketersebaran informasi atas rumor
tersebut tergolong cukup signifikan justru melalui pers yang memberitakann
pernyataan klarifikasi tersebut baik melalui media televisi ataupun radio.
Terdakwa tidak memiliki niatan untuk menyebarluaskan—yang ia lakukan
hanyalah menjawab pertanyaan pers tentang kepenitngannya di KPK. Sebelum
pernyataan yang dibuat oleh terdakwa sendiri, sudah terdapat ketersebaran
informasi tersebut hingga pihak kepresidenan dan pihak KPK sendiri sudah
mendengarnya. Ketiga, tidak terdapat kerugian yang signifikan bagi lembaga
kepresidenan dan bagi Presiden itu sendiri. Beberapa saksi yang turut menjadi
tertuduh penerima gratifikasi merasakan terpukul atas berita tersebut. Mereka juga
memberikan keterangan bahwa Presiden sempat merasa sedih atas adanya
pemberitaan tersebut. Meskipun begitu, saksi Andi Mallarangeng menyatakan
                                                                                                                       
320
Charles J. Glasser J.R., Op. Cit., halaman 49.

Universitas Indonesia
247

dalam persidangan bahwa sekalipun terdapat pemberitaan yang demikian,


masyarakat masih tetap percaya kepada Presiden sekalipun terdapat beberapa
Kedutaan Negara Asing yang juga turut mengklarifikasi kebenaran rumor
tersebut. Klarifikasi yang dilakukan oleh badan atau entitas hukum lain
merupakan pengejewantahan dari pengawasan atas jalannya pemerintahan dan hal
itu amatlah wajar.
Unsur yang keempat adalah ada tidaknya alasan pembenar atas tindakan
yang dilakukan terdakwa. Berbeda dengan kondisi di Inggris, doktrin mengenai
alasan pembenar tidak banyak dipergunakan dan tidak pula berkembang semenjak
dari pertama kali KUHP diberlakukan. Di Inggris, mengingat pejabat publik akan
banyak berkecimpung dengan urusan kepentingan umum, maka tingginya
perhatian yang diberikan masyarakat kepada pejabat publik tersebut dianggap
sebagai suatu konsekuensi logis.321 Oleh karenanya, pejabat publik harus lebih
dapat mentoleransi penghinaan terhadap dirinya, khususnya terhadap pernyataan
yang dimaksudkan sebagai kritikan atas politisi ataupun atas isu kepentingan
umum.322 Adapun penghinaan yang didasarkan oleh kepentingan umum haruslah
di dasarkan pada itikad baik, yaitu itikad menginformasikan hal-hal yang sudah
selayaknya diperoleh warga negara sebagai pengejewantahan transparansi
jalannya pemerintahan. Dalam hal ini seseorang yang mengetahui informasi
tertentu memiliki beban moral untuk mengungkapkannya kepada masyarakat,
yang mana disebut dengan qualified privilege.323 Sementara itu, korban
penghinaan juga dianggap memiliki kewajiban untuk menerima tuduhan tadi
sampai bisa dibuktikan kebenarannya. Bahkan, di Amerika Serikat, figur publik
yang menjadi korban penghinaan harus membuktikan dengan dasar bukti yang
jelas, bahwa pelaku membuat pernyataan yang menghina berdasarkan pada itikad
buruk, yang mana didefinisikan sebagai “pengetahuan bahwa suatu pernyataan
salah atau sembarangan dengan tidak memperhatikan apakah pernyataan tersebut

                                                                                                                       
321
“Defamation and Freedom of Expression: Selected Documents”, Media Division,
Directorate General of Human Rights, Council of Europe,
https://www.coe.int/t/dghl/standardsetting/media/doc/H-ATCM(2003)001_en.pdf diakses pasa 10
Mei 2015.
322
Supriyadi Widodo Eddyono, Sriyana dan Wahyu Wagiman, Op.Cit. halaman 10.
323
Charles J. Glasser J.R., Op. Cit., halaman 341.

Universitas Indonesia
248

benar atau salah”.324 Membenturkan doktrin tersebut dengan konteks perkara yang
melibatkan Eggi Sudjana, maka dapat dikatakan bahwa terdakwa sebagai pihak
yang mengaku memiliki informasi lebih mengenai rumor gratifikasi yang
dilakukan pengusaha kepada anggota kepresidenan sudah selayaknya
memberitahukan dan bahkan mengklarifikasi kebenaran rumor tersebut sebagai
wujud dari kontrol terhadap Pemerintah. Namun, sebagai penyeimbang dari
ketersebaran rumor tersebut, hukum Indonesia tidak mengakomodasi Presiden dan
anggota kepresidenan lainnya untuk membuktikan benar atau salahnya rumor
tersebut sehingga sulit untuk menilai apakah sebenarnya telah terjadi suatu
penghinaan atau tidak.
Dalam konteks adanya itikad buruk dalam menyampaikan suatu
ungkapan, Amerika Serikat mendasarkannya pada cara, waktu, dan kedalaman
substansi penghinaan. Amerika mengenal penghinaan yang dilakukan oleh media
massa atau reporter yang tidak mematuhi standar jurnalistik yang ada dalam
membuat berita, doktrin mana dapat diterapkan dalam perkara Eggi Sudjana
terkait aspek pemberitaan oleh wartawan tanpa melalui check and recheck.
Meskipun begitu, untuk mengklarifikasi pemberitaan pers yang tidak
mengutamakan kebenaran, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999
mengakomodasi hak jawab dan hak koreksi bagi masyarakat secara umum. Hak
jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan
atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya
sementara hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau
membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang
dirinya maupun tentang orang lain. Dalam perkara Eggi Sudjana, pihak
kepresidenan dapat menempuh alternatif berupa penggunaan hak jawab dan hak
koreksi daripada mengedepankan kriminalisasi, mengingat ada kemungkinan
bahwa rumor yang cenderung mengarah kepada penghinaan itu justru disebabkan
oleh pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Adanya penggunaan hak jawab dan
hak koreksi ini merupakan langkah yang lebih diplomatis dalam rangka
mengklarifikasi suatu tuduhan daripada kriminalisasi.

                                                                                                                       
324
Peter N. Amposah, Op. Cit., halaman 86.

Universitas Indonesia
249

Situasi penerapan pasal 134 KUHP yang cenderung kaku tanpa


mempertimbangkan kedalaman niat dari pelaku lebih mirip kondisi Inggris pada
pertengahan abad 18 yang memang sering mengkriminalisasi warga negara atas
tindakan yang dinilai menghina Ratu Inggris dan pejabat publik di bawahnya. Saat
itu penghinaan bukan hanya dipandang dapat menyebabkan tercorengnya nama
baik kerajaan dan bukan hanya menyebabkan terganggunya perdamaian, namun
juga bisa menyebabkan skandal dalam pemerintahan—skandal yang mungkin
dampaknya lebih buruk daripada korupsi atau pejabat publik yang berkhianat,
mengingat pejabat-pejabat tersebut dipilih oleh Raja.325 Meskipun begitu,
ketentuan pasal 134, 136bis, dan 137 ayat (1) KUHP hanya mengatur penghinaan
yang ditujukan kepada Presiden dan Wakil Presiden—ketentuan tersebut tidak
mengakomodasi penghinaan terhadap pejabat publik. Berbeda dengan ketentuan
di Perancis di mana larangan untuk menghina Presiden diperluas maknanya
menjadi larangan menghina orang-orang yang turut melaksanakan fungsi
kepresidenan. Oleh karenanya, dalam konteks perkara Eggi Sudjana, pembuktian
bahwa para saksi turut tersinggung dengan tuduhan terdakwa tidak memiliki peran
yang signifikan atas pembuktian ketentuan pasal 134 jo. Pasal 136bis KUHP.
Banyaknya kerancuan pemaknaan unsur-unsur pasal yang disandingkan
dengan fakta dalam persidangan menyebabkan pasal ini rentan untuk
mengkriminalisasi orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki itikad untuk
menghina. Atas dasar hal tersebut, Eggi Sudjana mengajukan permohonan
peninjauan ketentuan pasal 134, pasal 136bis, dan pasal 137 KUHP ke Mahkamah
Konstitusi. Tak lama setelah Eggi Sudjana mengajukan permohonan tersebut,
Pandapotan Lubis juga mengajukan permohonan yang serupa. Dengan
mempertimbangkan bahwa keberadaan pasal 134, 136bis, 137 KUHP akan
menyebabkan sulitnya klarifikasi dalam hal terdaoat kemungkinan Presiden dan
Wakil Presiden melanggar hukum sebagaimana diatur dalam pasal 7A Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan kelenturan pasal
tersebut berpotensi menyebabkan terhambatnya kebebasan berekpsresi
sebagaimana diatur dalam pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945, maka ketiga pasal
tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai
                                                                                                                       
325
Charles J. Glasser J.R., Op. Cit., halaman 250.

Universitas Indonesia
250

kekuatan hukum mengikat. Meskipun demikian, Eggi Sudjana tetap dipidana


dengan ketentuan pasal 134 jo. Pasal 136bis KUHP karena putusan MK tersebut
tidak berlaku surut, sehingga pada saat peristiwa pidana terjadi dianggap
ketentuan pasal 134 dan pasal 136bis KUHP masih berlaku. Putusan pemidanaan
di tingkat Pengadilan Negeri dibenarkan oleh bertutur-turut putusan Pengadilan
Tinggi, Putusan Kasasi, dan Putusan Peninjauan Kembali.
Dari analisis putusan di atas, maka dapat dibuat tabulasi pemaknaan
unsur ketentuan pasal 134 KUHP menurut Majelis Hakim yang memeriksa
masing-masing perkara sebagai berikut:

Tabel 4.3: Pemaknaan Unsur Pasal 134 KUHP dalam Putusan


Pengadilan

Unsur
No. Putusan Presiden atau
Penghinaan Dengan Sengaja
Wakil Presiden
1. 1380/Pid. Perbuatan membakar Sehari sebelum Patung dibuat
B/2002/P patung yang demonstrasi, menyerupai
N.Jak.Sel menyerupai Presiden terdakwa telah Presiden
Megawati bertopi a menerima selebaran Megawati dengan
la Amerika yang ajakan demo. Pada ciri terdapat tahi
bercorak garis tegak hari demo lalat di dekat
warna biru dan putih dilaksanakan, dagu. Terdakwa
yang bertuliskan terdakwa sudah juga menyatakan
IMF (International membawa botol bahwa
Monetary Fund) minyak tanah dan pembakaran itu
dalam aksi korek api yang merupakan
demonstrasi. disimpan di ekspresi
kantongnya, yang kekesalan
artinya, aksi terhadap
memang sudah Megawati selaku
dipersiapkan. Presiden.
2. 1879/PID. Perbuatan mencoret- Perbuatan terdakwa Gambar yang
B/2002/P coret, merobek- merupakan wujud dibawa, dicoret,
N. JKT. robek, dan ketidakpercayaan dan dirobek
PST membuang potongan rakyat terhadap terdakwa adalah
gambar gambar Presiden dan Wakil gambar Wakil
Wakil Presiden Presiden, oleh Presiden Hamzah
Hamzah Haz karenanya melalui Haz.
aksi tersebut
terdakwa juga
meminta Wakil
Presiden RI, Hamzah
Haz, turun dari

Universitas Indonesia
251

jabatannya.
3. 484/Pid.B/ Perbuatan membawa Terdakwa Gambar yang
2003/PN. sebuah gambar mengangkat gambar dibawa oleh
JKT. PST Presiden Megawati tersebut sambil Terdakwa adalah
yang memakai baju meneriakkan kalimat gambar Presiden
berwarna merah dan bahwa inilah Megawati yang
kedua matanya Presiden yang matanya ditutup,
ditutup lakban hitam mengecewakan namun masih
dan pada bagian atas rakyat. dapat dikenali.
gambar terdapat Gambar itu
tulisan, diangkat untuk
“BURONAN menyerukan
RAKYAT”, kekecewaan
kemudian rakyat kepada
meletakkan gambar Presiden
tersebut di tengah Megawati karena
jalan hingga kebijakannya.
terlindas kendaraan.
4. 1411/PID. Pernyataan Pernyataan tersebut Sasaran tuduhan
B/2006/P mengklarifikasi diungkapkan telah memperoleh
N.JKA.PS rumor bahwa terdakwa secara gratifikasi adalah
Presiden SBY dan lisan di depan pers Presiden SBY
T
beberapa staf (di muka umum; jo. dalam jabatannya
kepresidenan telah Pasal 136bis) saat sebagai Presiden.
memperoleh hadiah berada di lobi KPK
mobil mewah dari padahal belum
pengusaha yang diketahui kebenaran
mengindikasikan rumornya.
adanya gratifikasi.

Universitas Indonesia
252

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 134 KUHP selalu digunakan untuk memidana tindak pidana
penghinaan Presiden atau Wakil Presiden tanpa memperhatikan
kualifikasi perbuatan yang dianggap memenuhi ketentuan tersebut.
Baik penghinaan yang dilakukan dengan lisan, tulisan, atau
perbuatan, didakwa dengan ketentuan pasal 134 KUHP yang
notabene mengatur penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam
bentuk yang paling dasar. Hal-hal yang dikategorikan sebagai
penghinaan dan dipersalahkan melanggar ketentuan pasal 134 KUHP
meliputi aksi demonstrasi baik yang diwujudkan dalam aksi kesenian
atau aksi perusakan, pemberitaan di media massa, hingga
ketersebaran rumor mengenai perbuatan tercela yang dilakukan oleh
Presiden dan jajarannya. Penerapan ketentuan pasal 134 KUHP
terhadap bentuk-bentuk perbuatan yang dianggap menghina
bergantung pada politik hukum pidana masing-masing rezim
pemerintahan, dengan alat ukur berupa subjektivisme hakim yang
memeriksa.
2. Terdapat variasi pemaknaan unsur pasal 134 KUHP dalam kasus
pada rentang tahun 1998-2013. Variasi pemaknaan ini bergantung
pada kecenderungan perbuatan penghinaan yang terjadi pada rezim
pemerintahan yang bersangkutan (dalam hal ini adalah rezim
pemerintahan Soeharto, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo
Bambang Yudhoyono) sebagai berikut:
a. Pada rezim pemerintahan Soeharto, pasal 134 KUHP banyak
digunakan untuk mempidana berbagai pemberitaan, pers, dan
aksi demonstrasi. Dalam rezim inilah penggunaan pasal 134
KUHP dimaknai dengan sangat longgar—hakim tidak
menitikberatkan bentuk perbuatan yang dihina, segala macam

Universitas Indonesia
253

perbuatan selama dinilai bertentangan atau mencemarkan


keberadaan Presiden atau Wakil Presiden dianggap memenuhi
ketentuan pasal 134 KUHP;
b. Dalam rezim pemerintahan Megawati, variasi pemaknaan unsur
pasal 134 KUHP tidak menujukkan keberagaman seperti rezim
pemerintahan Soeharto. Banyak ditemukan pemidanaan
penghinaan yang dilakukan saat demonstrasi—berbagai aksi
pembakaran, perusakan, perlakuan yang kurang terpuji terhadap
atribut yang merepresentasikan Presiden dan Wakil Presiden
seperti patung atau gambar dianggap memenuhi ketentuan pasal
134 KUHP. Unsur keterhinaan dari perbuatan-perbuatan tersebut
ditentukan oleh Majelis Hakim yang mana cenderung
memberikan stereotip bahwa demonstrasi adalah aksi yang
ditujukan untuk mempermalukan Presiden dan Wakil Presiden,
karena dilihat dari substansinya demonstrasi merupakan wujud
protes. Ujaran-ujaran dan seruan yang diucapkan saat
demonstrasi berlangsung tidak dipertimbangkan sebagai
penghinaan, justru perbuatan dan tulisan yang paling banyak
dikenai ketentuan pasal 134 KUHP.
c. Dalam rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
pasal 134 KUHP tidak hanya digunakan untuk mengkriminalisasi
aksi demonstrasi, namun juga perbuatan atau pernyataan yang
secara nyata ditujukan bagi kepentingan umum seperti klarifikasi
atas kebenaran rumor penerimaan gratifikasi oleh Presiden dan
anggota kepresidenan lainnya dianggap telah mencemarkan
nama baik Presiden. Pada kasus yang terakhir, ukuran mengenai
keterhinaan semakin kabur, ketentuan pasal 134 KUHP
diterapkan secara kaku, dan nampak politik hukum pidana yang
menempatkan kriminalisasi sebagai primum remedium atau cara
penyelesaian yang diutamakan.

Universitas Indonesia
254

5.2 Saran
Berdasarkan pada kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan beberapa
saran berkaitan dengan pemberlakuan tindak pidana penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden yang dimasukkan kembali dalam Rancangan KUHP sebagai
berikut:
1. Untuk perancang undang-undang, diperlukan telaah lebih dalam
mengenai relevansi penerapan pasal penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden yang cenderung digunakan untuk menekan kritik dan
pendapat terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini nampak dari
tidak adanya standar baku mengenai hal-hal yang dianggap
menghina, sehingga berbagai macam perbuatan selama dirasa
bertentangan dengan kedudukan Pemerintah dapat dianggap sebagai
penghinaan. Kecenderungan penyalahgunaan pasal juga nampak dari
digunakannya pasal 134 KUHP untuk segala perbuatan penghinaan
tanpa mempedulikan apakah wujud penghinaan berupa lisan, tulisan,
ataupun perbuatan. Hal demikian menunjukkan lenturnya pemaknaan
pasal 134 KUHP. Dalam hal ketentuan mengenai penghinaan Presiden
dan Wakil Presiden ingin dipertahankan, maka harus dipertimbangkan
alternatif modifikasi delik aduan tersebut menjadi delik biasa,
mengingat pada dasarnya penghinaan merupakan delik biasa.
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden bersinggungan
langsung dengan kepentingan pribadinya, khususnya terkait
tersinggung atau tidaknya kehormatan dan nama baik mereka. Hal ini
akan membuat pemberlakuan ketentuan tersebut relevan, karena
diproses atau tidaknya perkara tersebut digantungkan pada ada
tidaknya aduan dari Presiden atau Wakil Presiden yang menjadi
korban;
2. Untuk pihak kepolisian, penerapan pasal penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden untuk mengkriminalisasi demonstran justru
bertentangan dengan prinsip hukum pidana sebagai ultimum
remedium—hukum pidana justru diutamakan penggunaannya atau
primum remedium. Ke depannya, dalam hal aksi demonstrasi dinilai

Universitas Indonesia
255

bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, Undang-Undang


Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat
(kini sudah diperbaharui dengan berbagai Peraturan Kepala POLRI
terkait Penyampaian Pendapat di Muka Umum) mengatur bahwa
aparat kepolisian berhak membubarkan aksi yang ada. Penerapan
pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden secara berlebihan
justru akan kontraproduktif dengan perlindungan kebebasan
berekspresi. Dalam hal perbuatan yang ada memang melewati batas
kelaziman menyatakan pendapat dan cenderung memenuhi ketentuan
penghinaan, maka dapat dibuat suatu pedoman yang memuat
parameter ungkapan, tulisan, atau perbuatan yang dianggap menghina
Presiden dan Wakil Presiden, tentunya perumusan tersebut juga harus
memperoleh persetujuan Presiden dan Wakil Presiden itu sendiri.
Sebagai contoh, di Thailand, terdapat kamus Kerajaan yang selalu
dijadikan rujukan untuk menilai apakah suatu ungkapan atau tulisan
memuat hinaan atau tidak;
3. Untuk hakim, penerapan pasal penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden seyogyanya tidak dilakukan secara kaku karena akan ada
banyak ucapan, tulisan, dan perbuatan yang akan dipidana dengan
ketentuan tersebut. Penerapan pasal dalam memerika perkara harus
melihat kondisi kebatinan dan latar belakang terjadinya peristiwa
pidana. Hal ini akan membantu hakim memeriksa terpenuhi atau
tidaknya unsur kesengajaan dalam menghina atau animus injuriandi
sebagai salah satu syarat terpenuhinya ketentuan pasal penghinaan
Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, hakim perlu
mempertimbangkan keberadaan alasan pembenar sebagaimana
terdapat dalam ketentuan pasal 310 ayat (3) KUHP tanpa menutup diri
dari kemungkinan berlakunya doktrin pembenaran lainnya
sebagaimana diberlakukan di banyak negara.

Universitas Indonesia
256

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Adji, Oemar Seno. Kemerdekaan Pers di Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga,
1952.

Alfian. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1993.

Andrews, William G. Constitution And Constitusionalism, New Jersey: Van


Nostrand Co., 1968.

Anwar, H. A. K. Moch. Hukum Pidana Bagian Khsus: KUHP Bagian II.


Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994.

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara I, Jakarta: Sekretariat


Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: PT. RajaGrafindo


Persada, 2002.

_______. Kejahatan Penghinaan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011.

Creswell, John W. Research Design:Qualitative And Quantitative Approach, Sage


Publication, Inc., 1994.

Eddyono, Supriyadi Widodo, Sriyana dan Wahyu Wagiman, Analisis Situasi


Penerapan Hukum Penghinaan di Indonesia. Jakarta: Institute for Criminal
Justice dan Yayasan Tifa, 2012.

Eklof, Stefan. Power and Political Culture in Dsuharto’s Indonesia: The


Indonesian Democratic Party (PDI) and the Decline of the New Order
(1968-1998)”. Oxford: Routldge, 2003.

Haryanto, Ignatius. Kejahatan Negara: Telaah tentang Penerapan Delik


Keamanan Negara. Jakarta: ELSAM, 1999.

Human Rigths Watch, Kembali Ke Orde Baru Tahanan Politik Di Bawah


Kepemimpinan Megawati, Jakarta: HRW Indonesia, 2003.

Hudson, John. The Oxford History of the Laws of England: Volume II 871-1216.
Great Britain: CPI Gorup (UK) Ltd., 2012.

Ibrahim, M. Kusnardi dan Harmaily. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara


Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia dan CV, Sinar Bakti, 1988.

J.R., Charles J. Glasser. International Libel and Privacy Handbook. New Jersey:
John Wiley & Sons Inc., 2013.

Universitas Indonesia
257

Lamintang, P.A.F. dan Samosir. Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru,
1983.

Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra


Aditya Bakti, 1997.

______. Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan Terhadap Kepentingan Umum


Negara, Bandung: Sinar Baru, 1987.

Loqman, Loebby. Delik Politik di Indonesia. Jakarta: Penerbi IND-HILL-CO.

Lubis, Todung Mulya. Langit Masih Mendung: Laporan Keadaan-Keadaan Hak-


Hak Azasi Manusia di Indonesia 1980. Jakarta: LBH Jakarta dan Penerbit
Sinar Harapan.

M.D., Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,


2014.

Manning, R. B. The Origin of the Doctrine of Sedition. Albion: 1980.

Mamudji, Sri et.al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010.

Marpaung, Leden. Tindak Pidana terhadap Kehormatan: Pengertian dan


Penerapannya. Jakarta: PT, Grafindo Persada, 2007.

Parthiana, I Wayan. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi. Bandung:


Yrama Widya, 2004.

Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung:


PT. Refika, 2002.

Puspa, Yan Pramadya. Kamus Hukum: Edisi Lengkap Bahasa Belanda,


Indonesia, Inggris. Jakarta: PT. Aneka Ilmu, 1997.

Quinney, M. B. Clinard and R. Criminal Behavior System: A Typology. New


York: Holt, Rinehart, and Winston, 1967.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Penerbit PT
Gramedia, 2003.

S.A., Wina Armada. Wajauh Hukum Pidana Pers. Jakarta: Pustaka Kartini, 1989.

Sianturi, Tindak Pidana Di Indonesia, Jakarta: Alumni Ahm-Pthm, 1983.

Universitas Indonesia
258

Scott, James C. Weapons Of The Weak: Eeveryday Forms Of Peasant Resistance,


New Haven: Yale Univeristy Press, 1985

Sianturi, S.R.. Tindak Pidana Di KUHP berikut Uraiannya. Bandung: Alumni


Ahm-Pthm, 1983.

Siregar, Amir Efendi. Arus Pemikiran Ekonomi Politik: Esai-Esai Terpilih.


Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas


Indonesia, 2012.

Soesilo. KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor:


Politeia, 1996.

Soerjanatamihardja, H. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Van


Dorp, 1952.

Starkie, Thomas. A Treatise on the Law of Slander, Libel, Scandalum Magnatum


and False Rumors. London: Printed for W. Clarke, 1813.

Tim Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ilmu Negara, Depok:
Penerbit FHUI, 2010

Uwanno, Borwornsak. Lèse-Majesté: A Distinctive Character Of Thai Democracy


Amidst The Global Democratic Movement, Bangkok: KPI, 2009.

Wahjono, Padmo. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum. Jakarta: Ghalia


Indonesia, 1986).

Ziegenhain, Patrick. The Indonesian Parliament and Democratization. Institute of


Southeast Asian Studies, 2008.

Zulkifli, Arif. PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka
Utama Grafiti, 1996.

Internet
BBC News.‘“Gay” Police Horse Case Dropped’, London, 12 Januari 2006,
http://news.bbc.co.uk/1/hi/england/oxfordshire/4606022.stm diakses pada
25 Mei 2015.

Dewan Pers. “Kebebasan Pers Kita Merosot”,


http://www.dewanpers.or.id/detil.php?id=67 diakses pada 16 Juni 2015.

DutchNews. “F*** the King Demonstrator Taken to Court for Insulting the
Monarch (updated)”, http://www.dutchnews.nl/news/archives/2015/05/f-
the-king-demonstrator-taken-to-court-for-insulting-the-monarch/ diakses
pada 10 mei 2015

Universitas Indonesia
259

_______.“Young Reporter Arrested For Insulting Queen”, Dutchnews.Nl, 1


Agustus 2007,
,http://www.dutchnews.nl/news/archives/2007/08/young_reporter_arrested_
for_in/ diakses pada 16 Februari 2015.

Haggard and Noland, “Political Atittued Under Repression Evidence North


Korean Refugees”, http://www.eastwestcenter.org/publications/political-
attitudes-under-repression-evidence-north-korean-refugees diakses pada 16
Februari 2015.

Historia. “Dari SBY sampai SDSB”, http://historia.id/modern/dari-sby-sampai-


sdsb diakses pada 2 Juni 2015.

History Today. “The Art of Lèse Majesté”, Volume 56 Issue 4 April 2006,
http://www.historytoday.com/mark-bryant/art-l%C3%A8se-
majest%C3%A9 diakses pada 14 Mei 2015.

Hukum Online. “Menghina Presiden saat Demo, Divonis 6 Bulan Penjara”,


http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12796/menghina-Presiden-
saat-demo-divonis-6-bulan-penjara diakses pada 10 Juni 2015.

_______. “Rakyat Merdeka Kembali Dimejahijaukan”, Selasa 3 Juni 2003,


http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8115/irakyat-merdekai-
kembali-dimejahijaukan diakses pada 15 Juni 2015.

Human Rights Watch. “Kembali ke Orde Baru? Tahanan Politik di Bawah


Kepemimpinan Megawati”, Report Vol 15 No. 4C, Juli 2003,
https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/indonesia0703in.pdf diakses
pada 5 Juni 2015.

International Press Institute, “Public Officials & Symbols”,


Http://Www.Freemedia.At/Ecpm/Key-Findings/Public-Officials-
Symbols.Html diakses pada 16 Februari 2015.

Marlborough Express. “Lèse-Majesté in England”, 6 April 1908


http://paperspast.natlib.govt.nz/cgi-
bin/paperspast?a=d&d=MEX19080406.2.4 diakses pada 14 Mei 2015.

Nation Multimedia. “The nation, Royal Birthday Address: King Can Do Wrong”,
5 december 2005
http://www.nationmultimedia.com/2005/12/05/headlines/data/headlines_19
334288.html diakses pada 11 Juni 2015.

Nederlands Burgerlijk Wetboek,


http://www.dutchcivillaw.com/legislation/dcctitle6633.htm diakses pasa 10
Mei 2015.

Satu Harapan. “Liberalisasi Pers Terjadi pada Zaman BJ Habibie”, 30 Agustus


2013, http://www.satuharapan.com/read-detail/read/liberalisasi-pers-terjadi-
pada-zaman-bj-habibie diakses pada 4 Juni 2015.

Universitas Indonesia
260

Suara Merdeka. “Mereka yang Dianggap Hina Presiden, Aberson dan Bintang
Jadi Korban”, 9 Desember 2006,
http://www.suaramerdeka.com/harian/0612/09/nas05.htm diakses pada 2
Mei 2015.

Tempo.co, “Bakar Foto Presiden Yudhoyono Dipenjara 6 Bulan”, Jumat 10 Juni


2005, http://www.tempo.co/read/news/2005/06/10/05562313/bakar-foto-
Presiden-yudhoyono-dipenjara-6-bulan diakses pada 16 Februari 2015.

_______. “Dari Dialog Presiden Gus Dur dan Wakil Rakyat”,


http://tempo.co.id/harian/opini/ana-18111999.html diakses pada 4 Jui 2015.

_______.“Keputusan Diskriminatif Sang Jaksa”, 18 Januari 1997,


http://tempo.co.id/ang/min/01/47/nas4.htm diakses pada 2 Mei 2015.

_______.“Mahasiswa Penghina Presiden Dituntut Enam Bulan”, 19 Oktober


2006, http://nasional.tempo.co/read/news/2006/10/19/05586416/mahasiswa-
penghina-Presiden-dituntut-enam-bulan diakses pada 5 Juni 2015.

_______.“Pelaku Penghinaan Kepala Negara Divonis Enam Bulan”, 9 Mei 2005,


http://nasional.tempo.co/read/news/2005/05/09/06360736/pelaku-
penghinaan-kepala-negara-divonis-enam-bulan diakses pada 6 Juni 2015.

_______.“Perjalanan Menjerat Sri Bintang Pamungkas”, 13 April 1996,


http://tempo.co.id/ang/min/01/07/utama2.htm diakses pada 2 Juni 2015.

_______.“Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Didakwa Menghina Presiden


Megawati”, 3 Juni 2003,
http://nasional.tempo.co/read/news/2003/06/03/05518942/redaktur-
eksekutif-rakyat-merdeka-didakwa-menghina-Presiden-megawati diakses
pada 5 Juni 2015.

_______. “Sri Bintang Pamungkas Diperiksa Polisi”, 25 Juli 2005,


Http://Www.Tempo.Co/Read/News/2005/07/25/05764335/Sri-Bintang-
Pamungkas-Diperiksa-Polisi diakses pada 16 Februari 2015.

_______. “Sri Bintang Menolak Diperiksa Polisi”, 25 Juli 2005,


http://nasional.tempo.co/read/news/2005/07/25/05564340/sri-bintang-
menolak-diperiksa-polisi diakses pada 5 Juni 2015.

_______. “Wawancara Aberson Marle Sihaloho: Saya Tidak Ada Niat Melakukan
Penghinaan…”, 2 Oktober 1996, http://tempo.co.id/ang/min/01/32/nas3.htm
diakses pada 2 Mei 2015.

_______.“Wawancara Ahmad Taufik: Saya Terlambat Masuk Penjara”, 30 Juli


1997, http://tempo.co.id/ang/min/02/22/nas3.htm diakses pada 2 Mei 2015.

The Guardian. “Teenager faces prosecution for calling Scientology a “cult”’,


London, 20 Mei 2008, www.guardian.co.uk/uk/2008/may/20/1 diakses pada
25 Mei 2015.

Universitas Indonesia
261

The Jakarta Post. “Activist Gets Six Months Jail for Insulting President Megawati,
8 Januari 2003, http://www.thejakartapost.com/news/2003/01/08/activist-
gets-six-months-jail-insulting-President-megawati.html diakses pada 5 Juni
2015.

________. “Violence Erupts as Street Demonstrations Heighten,” 8 Januari, 2003,


http://www.thejakartapost.com/news/2003/01/08/violence-erupts-street-
demonstrations-heighten.html diakses pada 3 Juni 2015.

Wetboek van Strafrecht, terjemahan oleh European Judicial Training Network,


http://www.ejtn.eu/PageFiles/6533/2014%20seminars/Omsenie/Wetboekva
nStrafrecht_ENG_PV.pdf diunduh pada 10 Mei 2015.

Resume Perkara Rechtbank Amsterdam, 13/420932-07 en 13/421786-06,


http://uitspraken.rechtspraak.nl/inziendocument?id=ECLI:NL:RBAMS:200
7:BB1044 diakses pada 10 Mei 2015.

“A man of bad character has not so much to lose’: Truth as a defence in the South
African law of defamation”, http://www.law.ed.ac.uk/includes/remote
_people_profile/remote_staff_profile?sq_content_src=%2BdXJsPWh0dHAl
M0ElMkYlMkZ3d3cyLmxhdy5lZC5hYy51ayUyRmZpbGVfZG93bmxvY
WQlMkZwdWJsaWNhdGlvbnMlMkYyXzIwMV9hbWFub2ZiYWRjaGFy
YWN0ZXJoYXNub3Rzb211Y2h0b2xvc2V0cnV0LnBkZiZhbGw9MQ%3
D%3D diakses pada 27 April 2015.

“Aberson Sihaloho Dituntut 18 Bulan”, Kompas, 27 Mei 1997,


http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/05/26/0034.html diakses pasa
2 Juni 2015.

“Dua Tahun Penjara untuk Aktivis PIJAR”, 11 September 1995,


http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/09/12/0002.html diakses pada
2 Juni 2015.

“Freedom of Speech in France,” http://blogs.loc.gov/law/2015/03/falqs-freedom-


of-speech-in-france/ diakses pada 25 Mei 2015.

“Habibie akan Bebaskan Bintang dan Pakpahan”, Kompas Online, 25 Mei 1998,
http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Chronicle/Kompas/May25
/habi01.htm diakses pada 2 Juni 2015.

“In France, Judicial Evolution in Defamation Cases Protects Work of Civil


Society”, http://www.freemedia.at/newssview/article/in-france-judicial-
evolution-in-defamation-cases-protects-work-of-civil-society.html diakses
pada 25 Mei 2015.

“Press Freedom, Law, and Politics in Indonesia; A-Socio-Legal Study”,


https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/30106/05.pdf?seque
nce=10 diakses pada 1 Juni 2015.

Universitas Indonesia
262

“Surat Dakwaan Kasus Sri Bintang”, 29 November 1995


http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/11/29/0058.html diakses pada
2 Juni 2015.

“The Comparison Between A Republic and A Constitutional Monarchy”,


http://www.gov.bm/portal/.pt/gateway/PTARGS_0_2_3504_476_1959_43/
http%3B/ptpublisher.gov.bm%3B7087/publishedcontent/publish/bic/dept__
_bic___papers/articles/the_comparison_between_a_republic_and_a_constit
utional_monarchy_4.pdf diakses pada 30 April 2015.

Jurnal
Awawangi, Reydi Vridell, “Pencemaran Nama Baik Dalam KUHP dan menurut
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Lex
Crimen Vol. III/No.4/Ags-Nov/2014

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi Dan Konstitusionalisme, www.jimly.com diunduh


pada 12 Februari 2015.

Coz, Clothilde Le. His Untouchable Majesty: Thailand, Censorship And


Imprisonment, The Abuses In The Name Of Lèse-Majesté, Paris: Reporter
Sans Frontieres, 2009, www.rsf.org diunduh pada 16 Februari 2015

Cahyaningrum, Diah. Polemik Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden


Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Rkuhp), Info
Singkat Hukum Vol. V No. 08/Ii/P3di/April/2013

International Federation for Human Rights, Position Paper: Restrictions on


Freedom of Expression Through The Lèse-Majesté Law in Thailand, 2009,
https://www.fidh.org/img/pdf/thpositionpaper.pdf diakses pada tanggal 16
Februari 2015

Inter-Parliamentary Union, “Constitutional & Parliamentary Information: Half


Yearly Review Of The Association Of Secretaries General Of Parliaments”,
2013, http://www.asgp.co/sites/default/files/cpi%20206%20geneva.pdf
diakses pada tanggal 16 Februari 2015.

Gannon, Martin & Rajnandini Pillai. Understanding Global Cultures:


Metaphorical Journeys Through 29 Nations, Clusters Of Nations,
Continents, And Diversity, Edisi Keempat.Thousand Oaks, Ca: Sage
Publications, Inc., 2010. http://www.sagepub.com/upm-
data/47441_chp_2.pdf diakses pada tanggal 16 Februari 2015.

McCracken, Patti, Insulting Laws: Insulting to Press Freedom,


https://www.freedomhouse.org/sites/default/files/Insult%20Law%20Report.
pdf diakses pada 25 Mei 2015.

Meliala, Adrianus, “Studi Kejahatan Politik: Beberapa Persoalan Mendasar”,


Majalah Hukum dan Pembangunan Nomor 6 tahun XXV.

Universitas Indonesia
263

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Position Paper: Kejahatan


Pertahanan dan Keamanan Negara, http://docs.perpustakaan-
elsam.or.id/ruu_kuhp/files/briefing/14.pdf diunduh pada tanggal 13 Februari
2015.

Schneiberg, March dan Michael Lonsbury, “Social Movements and Institutional


Analysis”, http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download
?doi=10.1.1.465.3710&rep=rep1&type=pdf diakses pada 17 Juni 2015.

Wright, Nany E. Legal Fictions and Interpretation in Attorney General v


Pickeringe (1605) and Ben Jonson’s Masque pf Queens (1609),
http://www.austlii.edu.au/au/journals/NewcLawRw/1995/5.pdf diakses pada
25 Mei 2015.

“A Strategic Approach To Collective Action: Looking for Agency In Social-


Movement Choices”, http://www.jamesmjasper.org/files/SocialMoves.pdf
diakses pada 15 Juni 2015.

“Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-era Barriers”, Human


Rights Watch Agustus 1998,
https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/inacfr98.pdf diakses pada 10
Juni 2015.

“Defamation and Freedom of Expression: Selected Documents”, Media Division,


Directorate General of Human Rights, Council of Europe,
https://www.coe.int/t/dghl/standardsetting/media/doc/H-
ATCM(2003)001_en.pdf diakses pasa 10 Mei 2015.

“Defamation and Privacy Law and Procedure in england, Germany, and France”,
Taylor Wessling Law Firm,
https://www.taylorwessing.com/uploads/tx_siruplawyermanagement/
IP_Defamation_and_privacy.en.pdf diakses pada 14 Mei 2015

“Lèse Majesté: 16th Century Censorship Meets 21st Century Law”, Digital Media
Law Project, http://www.dmlp.org/blog/2012/l%C3%A8se-
majest%C3%A9-16th-century-censorship-meets-21st-century-law diakses
pada 28 mei 2015.

“Modul Azas-Azas Hukum Pidana”, Diklat Pendahuluan Pendidikan dan


Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) tahun 2010, Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia,
http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-
asas%20Hukum%20Pidana.pdf diakses pada 26 April 2015.

“Out Of Balance: Europe Defamation Laws and Press Freedom”, International


Press Institute,
www.freemedia.at/fileadmin/uploads/pics/Out_of_Balance_OnDefamation_
IPIJuly2014.pdf diakses pada 25 Mei 2015.

Universitas Indonesia
264

“Royal Pains: Lèse-Majesté in An International Rigts-Based Legal Framework”,


Phillipine Law Journal, http://plj.upd.edu.ph/royal-pains-lese-majeste-in-an-
international-rights-based-legal-framework/ diakses pada 14 Mei 2015.

“The Thai Kngdom: Authority-Ranking Cultures”, Sage Publication,


http://www.sagepub.com/upm-data/47441_chp_2.pdf diakses pada 18 mei
2015.

Koran
“Dua Demonstran Diganjar Setahun Penjara,” Kompas, 25 Oktober, 2002.

Majalah
Hendardi, “Kejahatan Poliitik di Indonesia”, Majalah Hukum dan Pembangunan
Nomor 1 Tahun XXVII.

Peraturan
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.

_______. Undang-Undang tentang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1946, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Nomor dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Nomor

_______. Undang-Undang tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No.


1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana
Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-
Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958,
Lembaran Negara Nomor 127 Tahun 1958 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1660 Tahun 1958.

________. Undang-Undang tentang kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di


Muka Umum, Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 181 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 3789.

Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 013/PUU-IV/206 dan Perkara No.


022/PUU-IV/2006 perihal Pengujian Pasal 134 dan 136bis dan 137
KUHP mengenai Penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia terhadap UUD 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 6/PUU-V/2007 perihal Pengujian


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-
Undang Dasar.

Universitas Indonesia
265

Skripsi dan Tesis


Aranoval, Muhammad Ali. “Pembuktian Tindak Pidana Penghinaan terhadap
Kepala Negara (Studi Kasus Perkara Nomor Rehister 1380/pid.B/2002/PN
Jakarta Selatan), Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Jumardi, “Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Penghinaan (Studi Kasus


Putusan Nomor:271/PID.B/2013/PN.Mks)”, Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makassar, 2014.

Nasir, Zulhasril. “Kebebasan Pers sebagai Realitas Subyektif: Studi Kasus


Pembredelan Tempo, Detik dan Editor”, Tesis Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, 1996.

Shafrudin, “Pelaksanaan Politik Hukum Pidana dalam Menanggulangi


Kejahatan”, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, 2009.

Lain-lain
Asikin Kusuma Atmaja, “Tindak Pidana Subversi dan Perkembangannya menurut
Yurisprudensi Indonesia”, makalah pada Lokakarya Mahkamah Agung
“Pembangunan Hukum melalui Peradilan”,

“Presentation on International Defamation Standards for the Jakarta Conference”,


Law Colloquium 2004, From Insult to Slander: Defamation and the
Freedom of the Press, Jakarta 28-29 Juli 2004.

Universitas Indonesia
Lampiran 1
Hasil Wawancara Terpidana Pasal 134 KUHP
Bapak Tri Agus Siswowihardjo
Kamis, 4 Juni 2015

1. Bagaimana kronologi hingga ditangkap dan dipidana atas tuduhan


melakukan penghinaan Presiden atau Wakil Presiden?
Saya adalah pemimpin redaksi Kabar dari Pijar (KdP) yang mulai ada pada
tahun Juni 1994. Keberadaan KdP ini merupakan reaksi atas pemberedelan 3
(tiga) media oleh Pemerintah yaitu DeTik, Tempo, dan Editor. Saat itu,
banyak kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa, dan
jurnalis melakukan protes baik melalui pendirian media bawah tanah ataupun
dengan melakukan demonstrasi. Kabar dari PIJAR banyak membuat
pemberitaan mengenai pemberangusan kebebasan bereskpresi yang dilakukan
oleh pihak Pemerintah, hingga segala kritik mengenai sistem otoritarian yang
diterapkan oleh Presiden Soeharto pada masa itu. Selain itu, terdapat banyak
acara diskusi yang diselenggarakan oleh berbagai pihak. Salah satu diskusi
yang saya hadiri adalah diskusi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
membahas mengenai situasi politik terakhir, yang mana dalam sebuah
kesempatan, Adnan Buyung Nasution selaku ketua LBH Jakarta menyatakan
bahwa, “Negara ini sudah dijajah oleh seseorang bernama Soeharto” .
Sebagai jurnalis, saya mengutip pidato tersebut dengan ungkapan tadi sebagai
judulnya untuk kemudian diterbitkan dalam KdP. Setahun berikutnya pada
bulan Maret 1995, saya ditangkap.

2. Bagaimana proses jalannya persidangan?


Saat itu saya didakwa dengan ketentuan pasal 134, 155, dan 160 KUHP
dengan tuntutan 4 tahun. Selama persidangan, hakim dan jaksa menampik
fakta bahwa Adnan Buyung Nasution yang membuat pernyataan “Negara ini
Telah Dijatuhkan oleh Soeharto”, sekalipun Adnan sendiri tidak
mengkonfirmasi hal tersebut dengan tegas. Akhirnya, majelis hakim
berpendapat bahwa saya sebagai terdakwa saat itu mengada-ada dalam
membuat artikel yang bersangkutan. Sepanjang persidangan saya juga tidak
menganggap serius kasus yang berjalan. Saya banyak melakukan lelucon
ketika sidang berlangsung, karena saya ingin menggunakan sidang tersebut
sebagai media kampanye atas kebebasan berekspresi.

3. Bagaimana pendapat Bapak mengenai persidangan saat itu?


Menurut saya persidangan di masa itu kental dengan kepentingan politis.
Pengadilan pers dan pengadilan politik cenderung tidak mengedepankan
keadilan. Hakim yang dipilih masih dipertanyakan kredibiltas dan
ketidakberpihakannya. Jaksa Penuntut Umum selalu berintensi untuk menyari
keterangan yang memberatkan terdakwa dan mengesampingkan keterangan
yang meringankan terdakwa. Hakim yang memang terpapar informasi yang
dibatasi oleh jaksa, ditambah tekanan dari pihak pemerintah, akhirnya
cenderung memutuskan dijatuhkannya pemidanaan kepada terdakwa.
Pengadilan justru diposisikan sebagai instrumen yang melegitimasi
pemberangusan kebebasan berekspresi.

4. Bagaimana pendapat Bapak mengenai penggunaan pasal penghinaan


Presiden dan Wakil Presiden di masa itu?
Semula kriminalisasi dengan dasar penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden atau penyebaran kebencian terhadap Pemerintah hanya digunakan
untuk menggertak masyarakat secara umum dan para aktivis secara khusus
agar mereka tidak membuat pendapat, mengeluarkan pernyataan atau
pandangan yang sifatnya bertentangan dengan kedudukan Pemerintah.
Namun dalam praktiknya, kedua pasal tersebut terus menerus digunakan
bersamaan dengan pemberedelan media massa. Saat itu, media massa netral
tidak berani mempublikasikan konten yang kritis—mereka cenderung
menerbitkan konten yang mendukung pemerintah, atau minimal tidak
bertentangan dengan pemerintah. Media lainnya yang cenderung lebih berani
dalam mengkritik biasanya akan menjadi sasaran pemberedelan sedangkan
anggota redaksinya mengalami kriminalisasi baik berdasarkan ketentuan
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden atau penyebaran kebencian terhadap
Pemerintah.

5. Bagaimana kondisi kebebasan berekspresi di masa itu?


Sebagai bagian dari pers, menurut saya perkembangan pers dari waktu ke
waktu tidak menunjukkan signifikansi ke arah yang lebih baik. Mengutip
Yanuar Nugroho, nasib pers seperti “berpindah dari lubang harimau ke
lubang buaya”. Ungkapan tersebut merupakan kiasan untuk menggambarkan
bahwa pada masa Soeharto, media massa berada di bawah tekanan
pemerintah dan berangsur-angsur memperoleh tekanan dari masyarakat
sendiri, baik dari kelompok pendukung aliran politik tertentu ataupun
penguasa modal. Sementara setelah pemerintahan Soeharto usai, tekanan
justru muncul dari para pendukung pejabat politik yang tidak segan-segan
melakukan penyerangan terhadap orang-orang yang mengkritik Pemerintah.  
Lampiran 2
Hasil Wawancara Terpidana Pasal 134 KUHP
Monang Johanes Tambunan
Tanggal 26 Mei 2015

1. Bagaimana kronologi hingga ditangkap dan dipidana atas tuduhan


melakukan penghinaan Presiden atau Wakil Presiden?
Saat itu sebagai Ketua Presidium Nasional GMNI, saya memimpin
demonstrasi menagih janji program 100 (seratus) hari SBY yang mana SBY
menjanjikan turunnya berbagai macam harga kebutuhan pokok namun hingga
100 (seratus) hari berlalu belum ada perbaikan. Demo tersebut dilakukan di
hadapan Istana Merdeka dengan pengunjuk rasa mencapai 5000 (lima ribu)
orang. Saat itu saya berorasi selama 30 (tiga puluh) menit lamanya. Dalam
orasi tersebut, saya sempat mengucapkan kalimat “SBY anjing! SBY babi!”
berulang-ulang. Pernyataan serupa juga sempat diucapkan oleh beberapa
orator lain. Saat itu, pihak kepolisian menempatkan beberapa personilnya
sebagai pengamat demonstrasi. Beberapa hari setelahnya, saya ditangkap oleh
pihak kepolisian.

2. Dari sekian banyak yang memberikan orasi serupa, mengapa hanya


Bapak yang ditangkap?
Saat itu keberadaan saya sudah diintai oleh pihak kepolisian sejak lama
namun baru ketika demonstrasi menagih janji SBY itulah saya ditangkap oleh
pihak kepolisian. Saya kira pihak kepolisian sedang menunggu momen yang
tepat untuk menangkap dan memberangus saya, karena saya terbilang cukup
vokal mengkritik kebijakan Pemerintah. Anggota tim pengamat dari pihak
kepolisian telah memiliki foto dan memiliki rekaman video demonstrasi yang
saya lakukan. Foto dan rekaman itu yang kemudian dijadikan sebagai bukti
dalam persidangan.
3. Bagaimana proses persidangan perkara Bapak?
Kebanyakan saksi yang dihadirkan adalah saksi yang memberatkan, yaitu
pihak tim pengamat dari kepolisian. Semua polisi mengaku melihat dan
mendengar saya membuat pernyataan yang menghina. Dihadirkan pula
beberapa saksi fakta lain yaitu sesama aktivis GMNI yang memberikan
keterangan bahwa kalimat atau ucapan seperti diucapkan juga oleh banyak
pengunjuk rasa lainnya. Para saksi sendiri mengaku turut menyerukan hal
serupa. Dalam persidangan hadir pula Effendi Ghozali yang berpendapat
bahwa sangatlah wajar orang yang sedang marah mengungkapkan ekspresi
yang demikian. Apa yang saya ucapkan adalah bentuk dari kemarahan dan
tidak terdapat niatan untuk menghina. Saya mengajukan pembelaan bahwa
apa yang dilakukannya adalah demi kepentingan umum karena sebenarnya
saya tidak berniat menghina Presiden SBY. Saya hanya ingin mewakili
masyarakat Indonesia menagih hal yang telah dijanjikan Presiden SBY, yaitu
perubahan dalam jangka waktu 100 (seratus) hari. Majelis hakim menolak
pembelaan tersebut. Sebaliknya, majelis hakim justru beranggapan bahwa
Presiden SBY merupakan kepala negara yang harus dihormati sehingga apa
yang saya lakukan tidaklah pantas.

4. Bagaiamana pendapat Bapak mengenai kriminalisasi berdasarkan


penghinaan Presiden yang Bapak alami?
Saya beranggapan bahwa SBY sebagai Presiden belum siap menerima kritik
dari masyarakat. SBY sebagai orang yang menjanjikan sesuatu bagi
masyarakatnya justru menutup ruang demokrasi ketika masyarakat menagih
hal yang telah dijanjikannya. Akhirnya masyarakat marah, dan kemarahan itu
diwujudkan dengan demonstrasi sebagai salah satu jalan yang dinilai efektif
untuk menyalurkan pendapat mengingat mekanisme lobi politik dan audiensi
belum marak dikenal saat itu.

Anda mungkin juga menyukai