SKRIPSI
FAKULTAS HUKUM
DEPOK
JUNI 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN KEJAHATAN
DEPOK
JUNI 2015
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan, yang karena berkat rahmat dan hidayat-
Nya, Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penerapan Pasal 134
KUHP Tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Tahun 1998-2013)” sebagai salah satu syarat
untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Penulis dalam hal ini mendapatkan banyak bimbingan, pengarahan, dan
bantuan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini
Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh
pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini yaitu sebagai
berikut.
1. Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. sebagai Pembimbing Penulis yang
telah banyak membantu dan direpotkan disela-sela kesibukan beliau yang
sangat padat dan masih dapat memeriksa dan membimbing Penulis
dengan memberikan banyak masukan yang berguna bagi Penulis dalam
proses Penulisan skripsi ini;
2. Ibu Sri Laksmi Anindita, S.H., M.H. sebagai Pembimbing Akademis
Penulis selama berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang
selalu memudahkan dan membantu Penulis selama masa perkuliahan
serta selalu siap dan mudah untuk melakukan konsultasi akademik
selama Penulis berkuliah;
3. Tim Dosen Penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji
skripsi ini;
4. Supardi, S.H., M.Kn., dan Erna Ristiani S.H., M.Kn., kedua Orang Tua
Penulis yang selalu mendidik, merawat dan selalu memberikan dukungan
atas cita-cita Penulis, juga seluruh anggota keluarga besar penulis yang
namanya tidak bisa disebutkan satu persatu;
5. Kawan-kawan seperjuangan dalam berkompetisi, Valeryan Natasha,
Greita Anggreini, Fitri Amelina, Anissa Noor, Victor Ricardo, para
senior yang telah membantu penulis mencapai prestasi, Yahdi
iv
Salampessy, Damianagatayuvens Chandra, Rangga Sujud Widigda, serta
anggota keluarga besar Indonesian Law Debating Society (ILDS)
Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang tidak bisa disebutkan satu
persatu;
6. Seluruh narasumber yang telah memberikan pengetahuan, informasi, dan
data-data yang Penulis butuhkan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.
Terima kasih kepada Bapak Suppriyadi Widodo Eddyono (ICJR),
Erasmus Napitupulu (ICJR), Tri Agus Siswowihardjo (PIJAR), Ignatius
Haryanto (LSPP), dan kawan Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya,
khususnya Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang
telah memperkenalkan penulis dengan isu kebebasan berekspresi;
7. Rekan kerja di Citizens’ Alliance for North Korean Human Rights
(NKHR), Joanna Hosaniak dan Michele Sonen, serta kawan penulis,
Maria Bischoff yang selalu menyemangati penulis saat mengerjakan
skripsi ini di Seoul;
8. Sahabat-sahabat terbaik penulis selama di kampus, Karina Larasati Putri,
Anugerah Wicaksono, Mikha Ogung Jonathan Panggabean, Camelia
Rahmawati, Azhari Zaki Sentanu, dan kawan-kawan Kamar Angkatan
(Kamang) yang tidak bisa disebutkan semuanya;
9. Gigay Citta Acikgenc, sahabat karib penulis yang senantiasa
mendengarkan dan memberikan saran bagi penulis selama ini, serta
seluruh anggota Komunitas Sekolah Kita Rumpin;
10. Randhy Prasetya, pasangan yang telah merangkap sebagai kakak,
sahabat, orang tua, guru, dan rival yang selalu memberikan dukungan dan
membantu penulis menghadapi segala rintangan yang ada;
11. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang telah
memberikan ilmu yang tiada ternilai harganya kepada Penulis semasa
perkuliahan berlangsung;
12. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang
telah banyak membantu Penulis untuk pengurusan atas mata kuliah
maupun hal-hal lainnya yang berkaitan dengan membantu Penulis
semasa perkuliahan;
v
13. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan, motivasi, dukungan, doa, dan semangat untuk
penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Akhir kata, Penulis mengucapkan terima kasih dan permohonan maaf
yang sebesar-besarnya apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan. Penulisan
ini terntunya tidak terlepas dari segala kekurangan, baik dari segi materi maupun
segi teknis Penulisan. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi seluruh pihak yang
akan membacanya dan menjadi sumber pengetahuan untuk kemajuan ilmu hukum
di bumi Indonesia.
Penulis
vi
ABSTRAK
Nama : Justitia Avila Veda
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Penerapan Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan terhadap
Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Tahun 1998-2013)
viii
ABSTRACT
ix
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Pokok Masalah .................................................................................. 13
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 13
1.4 Tinjauan Pustaka .............................................................................. 14
1.5 Definisi Operasional ......................................................................... 15
1.6 Metode Penelitian ............................................................................. 18
1.7 Kegunaan Penelitian.......................................................................... 20
1.8 Sistematika Penulisan ....................................................................... 21
x
2.3.4 Perbandingan Tindak Pidana Penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden (Pasal 134 KUHP) dengan Tindak Pidana
Penghinaan (Pasal 310 KUHP) .............................................. 71
xi
4.5.1.3 Putusan No. 484/Pid.B/2003/PN.JKT.PST ............... 196
4.5.1.4 Putusan No. 1411/PID.B/2006/PN.JKA.PST ........... 202
4.5.2 Analisis Unsur Pasal 134 KUHP ........................................... 211
4.5.2.1 Putusan No. 1380/Pid.B/2002/PN.Jak.Sel ................ 206
4.5.2.2 Putusan No. 1879/PID.B/PN.JKT.PST ..................... 223
4.5.2.3 Putusan No. 484/Pid.B/2003/PN.JKT.PST ............... 232
4.5.2.4 Putusan No. 1411/PID.B/2006/PN.JKA.PST ........... 239
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 252
5.2 Saran ................................................................................................. 254
xii
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
Universitas Indonesia
2
dan vandalisme. Di tahun 2003, 2 (dua) orang aktivis bernama Nanang dan
Mudzakir melakukan aksi demonstrasi dengan menginjak-injak gambar Megawati
Seokarno Putri sembari menyampaikan pendapatnya di muka Istana Merdeka atas
kenaikan harga listrik, telepon, dan BBM.4 Keduanya dijatuhi hukuman 1 (satu)
tahun penjara dengan dalih telah melakukan penghinaan terhadap Presiden.
Sebelum peristiwa itu terjadi, seorang aktivis bernama Iqbal Siregar melakukan
protes dengan membuat poster bergambar Presiden Megawati dengan jargon
“Buronan Rakyat” bersama kawan-kawannya.5 Akibatnya, ia ditangkap dan
didakwa telah melakukan penghinaan kepada Presiden. Ketiga orang aktivis
tersebut adalah segelintir dari puluhan anggota masyarakat yang ditangkap dan
didakwa dengan kejahatan melakukan penghinaan Presiden. Merespon ekshalasi
demonstrasi atas kebijakan moneter yang mengguncang perekonomian
masyarakat, Presiden Megawati mengambil kebijakan berupa penangkapan aktivis
pasca dikeluarkannya pernyataan bahwa Presiden ketika itu mengutuk siapapun
yang menentang pemerintah.6 Dengan berbekal pasal penghinaan Presiden
dan/atau wakil Presiden dalam KUHP, yaitu pasal 134, 136bis, dan pasal 137,
negara melakukan kriminalisasi terhadap mereka yang pendapatnya dinilai
mengganggu kehormatan negara. Tindak kriminalisasi melalui kebijakan negara
ini adalah jelmaan dari apa yang dimaksud dengan ‘organized robbery’ seperti
yang dikatakan St. Agustine, di mana kedaulatan rakyat dikuasai oleh penguasa
untuk kemudian digunakan untuk membungkam hak-hak mereka.
Pilihan tindakan yang dilakukan Presiden Megawati ini masih
dilaksanakan ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menduduki kursi
pemerintahan. Pada tahun 2005, I Wayan Gendo Suardana yang saat itu menjabat
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Bali ditangkap
dan dijatuhi hukuman 6 (enam) bulan penjara karena mengkritik kebijakan
4
The Jakarta Post, “Violence Erupts as Street Demonstration Heighten”, 8 Januari 2003.
5
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Position Paper: Kejahatan
Pertahanan dan Keamanan Negara, hlm 21.
6
Pernyataan ini dikeluarkan pada tanggal 8 Juli 2002. Selain itu, Megawati juga
memberikan pernyataan bahwa lambang-lambang negara harus dihormati. Kebijakan tersebut
dinilai terlalu keras dan menyebabkan kebebasan berpendapat menjadi terbungkam. Dalam laporan
tahunan Human Rights Watch, disebutkan bahwa pilihan kebijakan B.J. Habibie dan Abdurrahman
Wahid jauh lebih moderat dan demokratis jika dibandingkan masa pemerintahan Megawati.
Universitas Indonesia
3
kenaikan BBM.7 Tak lama setelahnya, dosen Universitas Indonesia bernama Sri
Bintang Pamungkas juga ditangkap polisi dan diperiksa dengan dugaan telah
melakukan penghinaan Presiden dengan meluncurkan buku “Membongkar
Kebohongan Politik SBY-JK” dan terlibat dalam aksi penurunan foto Presiden.8
Di tahun berikutnya, advokat Eggi Sudjana juga dituduh melakukan kejahatan
yang serupa akibat ia mendatangi KPK untuk melakukan klarifikasi atas dugaan
bagi-bagi mobil Jaguar kepada anggota Istana Kepresidenan.9 Semakin lama,
kriminalisasi dengan dalih telah menghina Presiden semakin tidak berdasar,
dilihat dari kasus-kasus yang terjadi. Melakukan klarifikasi atas tuduhan
gratifikasi yang diterima Presiden dalam rangka memperoleh kejelasan informasi
adalah hak warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD NRI 1945
yang berbunyi, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan diri pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada.”
Nampak bahwa upaya yang dilakukan oleh Eggi Sudjana adalah wujud dari
pengawasan terhadap kinerja negara itu sendiri.
Berbekal ketentuan pasal 28F tersebut, pasal 134, pasal 136bis, dan pasal
137 KUHPidana dimohonkan pengujian materiil oleh Eggi Sudjana di Mahkamah
Konstitusi.10 Masing-masing dari pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Pasal 134, “Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap
Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama
enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah”;
7
Tindakan Gendo yang menyebabkan ia dijebloskan ke dalam penjara adalah pembakaran
foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Lihat: “Bakar Foto Presiden Yudhoyono Dipenjara 6
Bulan”, Jumat 10 Juni 2005, http://www.tempo.co/read/news/2005/06/10/05562313/Bakar-Foto-
Presiden-Yudhoyono-Dipenjara-6-Bulan
8
“Sri Bintang Pamungkas Diperiksa Polisi”, Senin, 25 Juli 2005,
http://www.tempo.co/read/news/2005/07/25/05764335/Sri-Bintang-Pamungkas-Diperiksa-Polisi
9
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Op.Cit, hlm. 24.
10
Selain Eggi Sudjana, Pandapotan Lubis juga mengajukan permohonan untuk ketiga pasal
yang sama namun dengan batu uji yang berbeda. Pandapotan menggunakan dasar Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945 tentang persamaan di depan hukum dan Pasal 28 jo. Pasal 28 E ayat (2) dan ayat (3)
UUD 1945 tentang kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, juga prinsip
penghormatan hak asasi orang lain yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Lihat: Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Universitas Indonesia
4
11
S.R. Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Bandung: Alumni AHM-
PTHM, 1983, hlm. 560
12
Lamintang mendefinisikan delik aduan (klacht delicten) sebagai tindak pidana yang
hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan. Delik ini berbeda dengan
delik biasa yang bisa dilaporkan oleh siapapun, tidak perlu mempedulikan korban akan
melaporkan atau tidak. Delik aduan cenderung melingkupi delik-delik yang berkaitan dengan
urusan pribadi seseorang sehingga penyelesaian delik itu akan sangat bergantung pada keinginan
korban. Berbeda dengan delik biasa yang menitikberatkan pada ketertiban dan keamanan
masyarakat secara umum, sehingga jika delik biasa terjadi, seluruh anggota masyarakat memiliki
hak untuk melaporkan perkaranya kepada pihak yang berwajib. Lihat: P.A.F. Lamintang, Dasar-
Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 217.
Universitas Indonesia
5
Presiden sebagai delik biasa ini asal mulanya disebabkan oleh sejarah keberlakuan
KUHPidana. KUHPidana menganut asas konkordansi,13 di mana hukum yang
dimiliki penjajah diberlakukan juga kepada negara jajahannya. Alhasil, artikel 111
Nederlands Wetboek van Strafrecht (WvS Nederland, 1881) yang ketika itu
digunakan menjaga kewibawaan Raja dan Ratu Belanda sebagai simbol negara,
diturunkan menjadi pasal 134, pasal 136bis, dan pasal 137 KUHPidana yang
kemudian dikenal luas sebagai delik penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
Ketika itu ada anggapan bahwa pribadi raja amat dekat dengan kepentingan
negara, sehingga martabat raja memerlukan perlindungan khusus.14 Seiring
dengan pandangan tersebut, muncul pula doktrin bahwa untuk menjaga
martabatnya, raja dan ratu tidak boleh mengadu, sehingga tidak dimungkinkan
artikel 111 WvS menjadi delik aduan.
Dilihat dari orisinalitas normanya, delik penghinaan Presiden ini juga
memunculkan kebingungan terkait posisi Presiden yang seperti apakah yang harus
dihina agar delik ini bisa diterapkan. Seperti warga negara lainnya, Presiden dapat
mengalami penghinaan atas diri pribadinya, namun ia pun dapat mengalami
penghinaan terkait jabatannya. Pun jika dikaitkan dengan jabatannya sebagai
kepala pemerintahan, kritik dan opini atas kinerja pemerintahan adalah suatu
keniscayaan sebagai konsekuensi Indonesia negara demokrasi.15 Berbeda dengan
raja dan ratu pada jaman belanda yang berkedudukan sebagai kepala negara yang
jabatannya memiliki fungsi semantik semata. Alih-alih melindungi kewibawaan,
keberadaan pasal penghinaan Presiden justru lebih berisiko membungkam
kebebasan berekspresi sebagaimana diatur dalam Pasal 28, Pasal 28E ayat (2) dan
ayat (3) UUD NRI 1945,16 karena tafsiran atas pasal itu sendiri sangat longgar.
Sangat sulit untuk mengidentifikasi apakah suatu kritik atau pendapat dianggap
13
Keberadaan asas konkordansi ini menyebabkan Wetboek van Strafrecht (WvS)
diberlakukan di Indonesia dengan nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie (WvS-NI)
Asas konkordansi ini juga berlaku dalam lingkup hukum perdata.
14
Cleiren, C.P.M. & J.F. Nijboer (Redactie), Strafrecht. Tekst & Commentaar, Kluwer,
1994, hlm 700.
15
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Op.Cit,
16
Hal serupa dapat ditemukan dalam Article 19 dari Kovenan Hak-Hak Sipil dan Hak-Hak
Politik sebagai berikut, “everyone shall have the right to freedom of expression: this rights hall
include the freedom to seek, receive, and impart informaton and ideas of any kind.”
Universitas Indonesia
6
Universitas Indonesia
7
HAM (Komnas HAM) dan lembaga studi HAM dari berbagai macam universitas
lainnya. Mayoritas lembaga-lembaga tersebut menyatakan ketidaksetujuannya
terhadap rencana dimasukkannya lagi pasal penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden ke dalam RKUHP, khususnya dilihat dari segi rumusan pasal yang
dinilai tidak relevan untuk diberlakukan dalam lingkungan demokratis
Indonesia.19 Lembaga-lembaga tersebut dalam diskusi dan penelitiannya
mengkhawatirkan penerapan delik penghinaan Presiden yang demikian hanya
akan membawa kemunduran bagi pemerintahan negara Indonesia sebagaimana
terjadi di masa pemerintahan Soeharto, Megawati, dan Susilo Bambang
Yudhoyono sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Menjadi hal yang menarik
untuk mengelaborasi lebih lanjut mengapa delik tersebut sebenarnya tidak lagi
sesuai kebutuhan masyarakat serta menelaah bagaimana akibat penerapan delik itu
bagi masyarakat di masa sekarang.
Di samping mempertanyakan apakah masyarakat membutuhkan delik ini
atau tidak, perlu dijawab juga apakah delik penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden cocok diterapkan pada iklim negara demokrasi berbentuk republik
seperti Indonesia. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, delik
penghinaan presidan dan wakil Presiden berasal dari hukum pidana Belanda yang
diadopsi oleh Indonesia. Hingga saat ini, negara yang dilengkapi dengan
perangkat kerajaan seperti Belanda20 dan Thailand21 secara aktif menerapkan delik
19
Koalisi RKUHP dan RKUHAP terdiri dari berbagai macam LSM, dan koalisi ini turut
bekerja sama dengan Komnas HAM dan lembaga studi universitas lainnya. Beberapa laporan hasil
diskusi dan penelitian dari kegiatan lembaga-lembaga tersebut adalah Seri Diskusi RUU KUHP #4
terkait Kriminalisasi Atas Ideologi, Pemikiran dan Penghinaan terhadap Presiden/Kebijakan
Pemerintah dan Negara dalam RUU KUHP yang merupakan rangkuman pembahasan oleh
Komnas HAM, ELSAM, Paham Universitas Padjajaran, KAHAM Universitas Diponegoro, dan
PUSHAM Universitas Surabaya. Selain itu, Institute for Juctice Reform (ICJR) mebgeluarkan
policy paper Seri Pembaharruan Hukum Pidana, “Penghinaan dalam Rancangan KUHP” Ancaman
Lama bagi Kebebasan Berekspresi”, demikian pula ELSAM yang mengeluarkan position paper
untuk isu yang sama.
20
Perangkat kerajaan menandakan adanya unsur monarkhi dalam negara yang
bersangkutan. Dalam konteks ini, Belanda berbentuk monarkhi konstitutional, di mana
pelaksanaan negara monarkhi didasarkan pada aturan yang ada dalam konstitusi. Konstitusi
memerintahkan agar monarkh dan pemerintah bersama-sama terlibat dalam jalannya
pemerintahan. Pada awal kemerdekaannya (1579), Belanda merupakan republik yang independen,
namun seiring berjalannya waktu, unsur kerajaan monarkh di Belanda menguat dilihat dari posisi
dan peran kerajan. Lihat: Inter-Parliamentary Union, “Constitutional & Parliamentary
Information: Half Yearly Review of the Association of Secretaries General of Parliaments”, 2013,
diakses pada tanggal 16 Februari 2015,
http://www.asgp.co/sites/default/files/CPI%20206%20Geneva.pdf
Universitas Indonesia
8
serupa. Hukum Pidana Thailand melalui article 112 mengatur bahwa, “Anyone
who defames, insults, or threatens the King, the Queen, the Heir-apparent or the
regent, shall be punsihed with imprisonment of three to fifteen years22. Ketentuan
ini sejalan dengan norma dalam Konstitusi Thailand yang pada bagian 8
menyatakan bahwa, “The King shall be enthroned in a position of revered
worship and shall not be violated. No person shall expose the King to any sort of
accusation or action.” Kejahatan yang disebut lèse-majesté ini tidak
membutuhkan pengaduan dari korbannya, sehingga masyarakat secara umum
dapat melaporkan kejahatan ini kepada pihak yang berwajib. Dalam berbagai
kesempatan, kejahatan ini menyebabkan kriminalisasi yang luar biasa. Salah
seorang turis asing yang mengunjungi restauran di Thailand ditangkap akibat ia
melempar dan menginjak-injak uang bergambar Raja Thailand. Dalam kasus lain,
seorang turis dipenjara selama 6 (enam) bulan karena telah menyobek uang
bergambar Raja Thailand karena kesal ketika di bandara. Di dalam bioskop, para
penonton akan ditangkap pihak kepolisian apabila tidak berdiri ketika lagu
kebangsaan yang menjadi pembuka film diputar. Yang lebih parah, pada tahun
2007, Pemerintah Thailand memblokir YouTube akibat video satir tentang
Kerajaan Thailand. Pengunggah video sekaligus penulis biografi berisi kritik
terhadap Kerajaan Thailand, Paul Handley (WN Australia), dipenjara dan baru
dibebaskan ketika Raja Thailand mengampuninya.23 Perlindungan yang
sedemikian ketat hanya berlaku bagi anggota kerajaan, tidak bagi pejabat publik
lainnya.24
21
Thailand adalah negara monarkhi dengan rajanya King Bhumibol Adulyadej yang
menjabat sejak 5 Mei 1950 dan dimandatkan oleh Konstitusi Thailand sebagai kepala negara dan
pelindung agama. Thailand menerapkan konsep penghormatan utama kepada kerajaan. Anggota
kerajaan, khususnya Raja, menggunakan posisinya untuk mengurus negara dalam konteks terjadi
krisis dan menjadi penengah dalam kemandegan politik. Namun raja tidak memiliki wewenang
untuk mengurus masalah administrasi negara. Meskipun begitu, raja dapat meminta pejabat negara
untuk mengundurkan diri dari jabatannya tanpa perlu berdiskusi terlebih dahulu dengan siapapun.
Lihat: Martin Gannon & Rajnandini Pillai. Understanding Global Cultures: Metaphorical
Journeys Through 29 Nations, Clusters of Nations, Continents, and Diversity, Edisi
Keempat.Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc., 2010. Diakses pada tanggal 16 Februari
2015. http://www.sagepub.com/upm-data/47441_chp_2.pdf
22
Clothilde Le Coz, “His Untouchable Majesty: Thailand, Censorship and Imprisonment,
The Abuses in the Name of Lèse-Majesté”, Paris: Reporter sans frontieres, 2009, www.rsf.org
23
Martin Gannon & Rajnandini Pillai, Op.Cit., hlm. 30.
24
Pada Oktober 2007, beberapa anggota militer yang ditunjuk untuk menjadi bagian dari
lembaga legislatif negara mengajukan amandemen untuk memperluas cakupan kejahatan lèse-
Universitas Indonesia
9
majesté, termasuk bagi pejabat representatif yang ditunjuk oleh Kerajaan dan juga lembaga
penasihat kerajaan (privy council) karena kedua organ tersebut dianggap menjadi bagian dari
kerajaan. Namun proposal tersebut ditolak. Lihat: International Federation for Human Rights,
“Position Paper: Restrictions on Freedom of Expression through the Lèse-Majesté Law in
Thailand, 2009, diakses pada 16 Februari 2015 https://www.fidh.org/IMG/pdf/thpositionpaper.pdf
25
“Young Reporter Arrested for Insulting Queen”, DutchNews.nl, 1 Agustus 2007, diakses
pada 16 Februari
2015,http://www.dutchnews.nl/news/archives/2007/08/young_reporter_arrested_for_in/
26
Brian van der Bol and Danielle Pindeo, “Meer veroordelingen voor majesteitsschennis
dan werd aangenomen”, 3 Aug. 2012, www.nrc.nl/nieuws/2012/08/03/meer-veroordelingen-voor-
majesteitsschennis-dan-werd-aangenomen sebagaimana dikutip dalam “Public Officials &
Symbols”, International Press Institute, diakses pada 16 Februari 2015
http://www.freemedia.at/ecpm/key-findings/public-officials-symbols.html
27
Lihat Human Rights Watch (2003), Kembali ke Orde Baru Tahanan Politik di Bawah
Kepemimpinan Megawati.
Universitas Indonesia
10
Salah satu sudut pandang yang dapat digunakan untuk menelaah lebih
jauh tentang delik penghinaan Presiden dan Wakil Presiden adalah teori tentang
politik hukum pidana. Politik hukum pidana berkaitan erat dengan kebijakan
penanggulangan kejahatan dalam rangka memberikan perlindungan masyarakat.
Lebih jauh lagi, politik hukum pidana sebagai kunci pengambilan kebijakan
dalam penegakan hukum pidana, diharapkan dapat memberikan kebahagiaan bagi
warga masyarakat, memberikan kehidupan kultural yang sehat dan menyegarkan,
kesejahteraan masyarakat, dan untuk mewujudkan keseimbangan.28 Sehingga,
dapat dikatakan bahwa politik hukum pidana merupakan bagian dari rencana
pembangunan nasional yang memberikan sumbangsih berupa perwujudan
lingkungan sosial yang harmonis.
Mengingat erat kaitannya antara kebijakan hukum pidana dengan
pelaksanaan pembangunan nasional, PBB dalam Laporan Kongres Ke-5 yang
dilakukan pada tahun 1975 di Jenewa merumuskan suatu Guiding Principle yang
berusaha menyatukan dimensi perumusan kebijakan pidana dengan aspek
kejahatan dalam pembangunan nasional. PBB mengemukakan bahwa, “kebijakan
pencegahan kejahatan dan peradilan pidana harus memperhitungkan sebab-sebab
ketidakadilan yang bersifat struktural, termasuk sebab-sebab sosio-ekonomis”.
Postulat yang demikian mendorong para penegak hukum untuk turut
mempertimbangkan adanya kemungkinan kebijakan politik-sosial-ekonomi dalam
rencana program pembangunan nasional yang justru menyebabkan tindak
kejahatan itu sendiri. Misalnya, maraknya penghinaan Presiden pada masa
pemerintahan Presiden Megawati Seokarnoputri disebabkan karena masyarakat
kecewa atas kebijakan kenaikan harga bahan pokok yang berujung pada krisis
moneter. Dalam hal ini jelas bahwa, kejahatan tumbuh subur karena situasi politik
sosial negara atau kebijakan pembangunan itu sendiri menimbulkan faktor
kriminogen.29 Di samping itu, penegakan hukum pidana sebagai pengejewantahan
politik hukum pidana menjadi tidak banyak berarti karena aspek penegakan
hukum pidana menjadi kontraproduktif dengan kebijakan politik, sosial, dan
28
Shafrudin, Pelaksanaan Politik Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan,
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hlm 28
http://eprints.undip.ac.id/24268/1/Shafrudin.pdf diakses pada 23 Februari 2015.
29
Ibid.
Universitas Indonesia
11
ekonomi itu tadi, padahal keduanya merupakan bagian dari satu rencana
pembangunan nasional yang sama.
Mayoritas kasus penghinaan Presiden disebabkan karena ketidakpuasan
masyarakat atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang sedang berkuasa.
Banyak anggota masyarakat yang kemudian mengemukakan kritik dan opininya
melalui berbagai variasi ekspresi dan media. Hal itu bertujuan untuk menunjukkan
kepada pemerintah adanya suatu kebijakan yang tidak sesuai keinginan dan
kebutuhan masyarakat, menegaskan bahwa masyarakat tidak berada pada situasi
yang makmur dan tertib. Namun, upaya mengajukan kritik itu lebih banyak
ditanggapi dengan kriminalisasi sebagai perwujudan politik hukum pidana.
Kriminalisasi ini dirasa perlu, karena beberapa ahli berpendapat bahwa kejahatan
penghinaan terhadap Presiden berpotensi mengganggu keamanan nasional dan
jalannya pemerintahan, mengingat Presiden adalah orang yang memegang kendali
negara. Sehingga, untuk menghindari kerugian dan gangguan kepentigan umum
yang lebih masif, delik penghinaan Presiden harus diberlakukan.
Sedikit berbeda dengan pendapat sebelumnya, Penjelasan RKUHP
memberikan argumentasi bahwa delik penghinaan Presiden dirasa perlu karena
karena pada hakikatnya, penghinaan merupakan perbuatan yang sangat tercela
karena menyerang atau merendahkan martabat manusia (menyerang nilai
universal). Kemudian dalam penjelasan lanjutannya, dinyatakan bahwa
merupakan hal yang ganjil apabila terdapat pengaturan tentang penghinaan
terhadap orang biasa, lambang negara, lagu kebangsaan, lambang negara, pejabat
umum, dan kepala negara sahabat, namun penghinaan terhadap Presiden
ditiadakan. Dari uraian tersebut, nampak bahwa RKUHP berusaha
menyamaratakan aturan, bahwasanya penghinaan terhadap orang biasa, simbol
negara, Presiden negara, dan lain-lain harus disamakan. Namun penjelasan
RKUHP menunjukkan inkonsistensi dengan menyatakan bahwa status atau posisi
Presiden berbeda dengan orang biasa dan pejabat lainnya, padahal sebelumnya
RKUHP menuntut perlakuan yang sama atas penghinaan terhadap siapapun atau
apapun. Dari kondisi tersebut jelas bahwa terdapat permasalahan dalam tahap
formulasi kebijakan pidana di mana RKUHP sendiri gagal menjawab mengapa
Universitas Indonesia
12
Universitas Indonesia
13
Universitas Indonesia
14
Universitas Indonesia
15
dengan delik-delik politk yang ada baik di dalam maupun di luar KUHP
serta analisis yurisprudensi atas perkara-perkara kejahatan politik. Buku
ini penting untuk membantu penulis memberikan pemaparan mengenai
delik politik yang dikenal di Indonesia, dan kaitannya dengan politik
hukum pidana yang diterapkan oleh Pemerintah.
d. Dalam buku berjudul International Libel and Privacy Handbook yang
disusun oleh Charles J. Glasser JR. dan diterbitkan oleh John Wiley &
Sons, Inc., New Jersey, tahun 2013, diuraikan secara komprehensif hukum
penghinaan dan perlindungan privasi di beberapa yang terletak di Benua
Amerika, Asia dan Australia. Dalam buku ini, dibahas mengenai
instrumen hukum yang dapat digunakan untuk mengatasi penghinaan,
formulasi hukum, pengaturan penghinaan terhadap pejabat publik, dan
penggunaan argumentasi demi kepentingan umum di banyak negara.
Dengan demikian, buku ini dibutuhkan penulis untuk membandingkan
pengaturan mengenai penghinaan di Indonesia, khususnya penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden dengan pengaturan di negara lainn.
e. Dalam buku berjudul Libel Law, Political Criticsm, and Defamation of
Public Figures yang disusun oleh Peter Nkrumah dan diterbitkan oleh
LFB Scholarly Publishing, New York, 2004, diuraikan konsep dasar
mengenai ekspresi politis dan konsep demokrasi, filosofi dari kebebasan
berekspresi, analisis historis dari pemberlakuan hukum penghinaan di
Amerika, Australia, dan Eropa. Buku ini sangat signifikan bagi penulisan
karya ini karena substansinya memberikan alternatif pengaturan
penghinaan di negara lain yang lebih relevan dan kompatibel untuk
diterapkan di negara-negara demokratis seperti Indonesia.
Universitas Indonesia
16
diteliti.30 Definisi-definisi ini berguna untuk menjadi pedoman atau pengarah yang
lebih konkrit.31 Adapun dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan beberapa
konsep sebagai berikut:
1. Tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
Tindak pidana penghinaan Presiden adalah tindak pidana dengan sengaja
menyerang kehormatan atau nama baik Presiden dan Wakil Presiden.32
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 134 KUHP sebagai pasal umum,
Pasal 136 bis KUHP mengatur apabila penghinaan dilakukan tanpa
kehadiran korbannya, dan Pasal 137 KUHP ayat (1) mengatur tentang
penghinaan secara tertulis serta ayat (2) mengatur tentang penghinaan
yang dilakukan selama masa pencaharian. Secara umum, tindak pidana
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden ini mencakup juga tindakan
smaad (menista lisan), smaadschrift (menista dengan tulisan), laster
(fitnah), eenvoudige beledigin (penghinaan biasa), dan lastrlijke aanklacht
(pengaduan atau laporan palsu).33
2. Tindak pidana penghinaan biasa
Tindak pidana penghinaan ini adalah tindak pidana penghinaan yang
ditujukan kepada orang biasa, sebagaimana diatur dalam Bab XVI KUHP
tentang Penghinaan. Tindak pidana ini terdiri dari penghinaan lisan,
penghinaan dengan tulisan, fitah, laporan atau aduan palsu, sangkaan
palsu, dan penghinaan tergadap orang mati.
3. Kejahatan Politik
Kejahatan politik atau yang sering disebut dengan delik politik adalah
kejahatan yang menentang pemerintah yang sah, yang kebetulan sedang
berkuasa dan sekaligus dipandang sebagai kejahatan terhadap keamanan
negara dan ketertiban negara. Pada Konferensi Internasional tentang
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2012, hlm. 132.
31
Ibid., hlm. 133.
32
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Op.Cit, hlm. 44.
33
Lihat Soesilo (1996), KUHP, Politea, ,Bogor, hlm. 121. Lihat juga pendapat Noyon-
Langemeijer dalam Lamintang (1987), Delik-Delik Khusus, Kejahatan-Kejahatan terhadap
Kepentingan Umum Negara Sinar Baru, Bandung, hlm. 268. Lihat juga pendapat Prof. Mardjono
dalam Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006.
Universitas Indonesia
17
34
A. Mulder, Strafrechtpolitiek, Delic en Delinkwen, 1980, hal. 333.
35
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Semarang: Fakultas Hukum Undip
Semarang, hal 16.
Universitas Indonesia
18
frontiers, either orally in writing or in print, in the form art or through any
other media of his choice.”36
Universitas Indonesia
19
Universitas Indonesia
20
membantu menemukan pola atas realitas atau gejala yang terjadi.38 Proses
pengolahan ini akan menghasilkan data yang deskriptif untuk acuan merumuskan
kesimpulan.
Analisa dilakukan dengan mengaitkan law in the book dan law in action,
yaitu antara praktik lapangan dengan aturan yuridis, baik dari undang-undang,
konstitusi, doktrin, dan sumber lainnya. Nantinya akan dihasilkan laporan
penelitian deskriptif analitis, yaitu laporan yang akan memberikan elaborasi
komprehensif mengenai relevansi delik penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden dengan iklim Republik Indonesia yang berbasis demokrasi, juga
memberikan pemaparan mengenai penerapan delik penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden di Indonesia selama ini.
38
John W. Creswell, Research Design:Qualitative And Quantitative Approach, Sage
Publication, Inc., 1994, hlm 5.
Universitas Indonesia
21
Universitas Indonesia
22
Penulis akan memaparkan variasi pemaknaan unsur-unsur tindak pidana ini dalam
setiap kasus menggunakan tolok ukur doktrin yang banyak berkembang di
Indonesia sekaligus tolok ukur studi perbandingan dengan hukum di negara lain.
Bab 5 Penutup
Bab ini merupakan penutup yang terdiri dari sub-bab kesimpulan dan
saran. Pada bagian kesimpulan, penulis akan memberikan kesimpulan yang
sekaligus merupakan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini. Merespon
kesimpulan tersebut, penulis akan memberikan saran sebagai kontribusi
sumbangsih dalam memecahkan masalah.
Universitas Indonesia
23
BAB II
TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA PENGHINAAN PRESIDEN
DAN WAKIL PRESIDEN
39
W. L. G Lemaire menegaskan bahwa kodrat hukum pidana adalah norma-norma yang
berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah
dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.
Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-
norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam
keadaan-keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang
dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. Sumber: P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984), halaman 1-2.
40
“Modul Azas-Azas Hukum Pidana”, Diklat Pendahuluan Pendidikan dan Pelatihan
Pembentukan Jaksa (PPPJ) tahun 2010, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik
Indonesia, http://www.kejaksaan.go.id/pusdiklat/uplimg/File/Asas-asas%20Hukum%20Pidana.pdf
diakses pada 26 April 2015.
Universitas Indonesia
24
41
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985),
halaman 37.
42
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2002), halaman 16-17.
43
Diatur dalam Bab XIX KUHP tentang Kejahatan terhadap Nyawa, berisi pasal 338
KUHP hingga pasal 350 KUHP, mengatur tentang pembunuhan, pembunuhan berencana, aborsi,
dan sebagainya.
44
Termasuk di dalamnya adalah Bab XVIII KUHP tentang Kejahatan terhadap
Kemerdekaan Orang, Bab XX KUHP tentang Penganiayaan.
45
Termasuk di dalamnya Bab XXII KUHP tentang Pencurian, Bab XXIII KUHP tentang
Pemerasan dan Pengancaman, Bab XXIV KUHP tentang Penggelapan
46
Diatur dalam Bab XVI KUHP tentang Penghinaan, berisi pasal 310 KUHP hingga pasal
321 yang mengatur tentang pencemaran nama baik, fitnah, dan sebagainya.
47
Diatur dalam Bab XIV KUHP tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan berisi pasal 281
KUHP hingga pasal 303 bis KUHP.
48
Diatur dalam Bab VII KUHP tentang Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum
bagi Orang atau Barang, berisi pasal 187 KUHP hingga pasal 206 KUHP.
Universitas Indonesia
25
49
Diatur dalam Bab V KUHP tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum, berisi pasal
153 bis hingga pasal 181 KUHP.
50
Termasuk dalam kelompok kepentingan ini adalah aturan Bab X KUHP tentang
Kejahatan Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas, Bab XII KUHP tentang Pemalsuan Surat, dan
lain-lain.
51
Diatur dalam Bab I KUHP tentang Kejahatan terhadap Negara berisi pasal 104 KUHP
hingga pasal 139 KUHP, di dalamnya termasuk kejahatan makar, subversi, pemberontakan,
pengungkapan rahasia negara, pemberian bantuan kepada musuh, penghinaan terhadap kepala
negara, dan sebagainya.
52
Diatur dalam Pasal 139a KUHP hingga pasal 145 KUHP meliputi makar untuk
melepaskan wilayah negara sahabat, makar untuk menidakan bentuk pemerintahan negara sahabat,
makar terhadap nyawa atau kemerdekaan raja, dan sebagainya.
Universitas Indonesia
26
dan sebagainya.53 KUHP tidak mengatur secara tegas apa yang dimaksud dengan
penghinaan, namun secara normatif tindak pidana penghinaan dimaknai sebagai
tindak pidana yang menyerang hak seseorang berupa merusak nama baik atau
kehormatan seseorang.54
Untuk melengkapi pemahaman mengenai apa yang dimaksud tindak
pidana penghinaan, dapat dilihat pendapat beberapa sarjana hukum sebagai
berikut:
a. R. Soesilo55
R. Soesilo secara spesifik menyatakan bahwa tindak pidana menghina
ditujukan pada kehormatan dan nama baik saja, sedangkan
penghinaan kehormatan dalam konteks seksual tidak tercakup ke
dalamnya.
“Menghina” adalah menyerang kehomatan dan nama baik
seseorang. Yang diserang itu biasanya merasa malu.
Kehormatan yang diserang di sini hanya mengenai
kehormatan tentang “nama baik”, bukan kehormatan dalam
lapangan seksuil, kehormatan yang dapat dicemarkan
karena tersinggung anggota kemaluannya dalam
lingkungan nafsu birahi kelamin. Perbuatan yang
menyinggung kehormatan dalam lapangan seksuil ini tidak
termasuk dalam kejahatan “penghinaan” akan tetapu masuk
kejahatan “kesopanan”, atau kejahatan “kesusilaan” yang
tersebut dalam Pasal 281 sampai dengan pasal 302 KUHP.”
b. Wirjono Prodjodikoro56
Pemaknaan terhadap tindak pidana penghinaan menurut Wirjono
Prodjodikoro harus dikembalikan kepada ketentuan pidana mengenai
penghinaan, yaitu pasal 310 KUHP yang mengatur bahwa
penghinaan adalah perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang.
53
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Edisi Lengkap Bahasa Belanda, Indonesia, Inggris,
(Jakarta: PT. Aneka Ilmu, 1997), halaman 128.
54
Leden Marpaung, Tindak Pidana terhadap Kehormatan: Pengertian dan Penerapannya,
(Jakarta: PT, Grafindo Persada, 2007), halaman 9.
55
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar Lengkap Pasal demi
Pasal, (Bogor: Politeia, 1996), halaman 117.
56
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT.
Refika, 2002), halaman 96.
Universitas Indonesia
27
c. Moch. Anwar
Moch. Anwar menegaskan pada distingsi antara tindakan penghinaan
dengan tindakan menista. Untuk dapat memahami pengertian dari
tindak pidana penghinaan, Moch. Anwar melakukan interpretasi
otentik atas pasal 310 KUHP sehingga sampai pada suatu kesimpulan
bahwa penghinaan adalah perbuatan menyerang kehormatan atau
nama baik seseorang.57
“Pengertian penghinaan tidak ditafsirkan, hingga harus
dihubungkan dengan pasal 310. Dalam pasal 310,
perbuatan yang dilarang dalam penistaan adalah dengan
sengaja melanggar kehormatan atau nama baik orang.
Dengan demikian, penghinaan harus ditafsirkan sebagai
perbuatan dengan sengaja yang melanggar kehormatan atau
nama baik. Perbedaan antara penistaan dan penghinaan
terletak dalam cara melakukannya, yaitu penistaan
dimaksudkan dengan menuduh orang lain dengan suatu
perbuatan tertentu, sedangkan penghinaan biasa dilakukan
dengan kata-kata atau perbuatan, asal tidak dengan tuduhan
melakukan suatu perbuatan tertentu.”
57
H. A. K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khsus: KUHP Bagian II, Jilid I,
(BandungL PT. Citra Aditya Bakti, 1994), halaman 52.
Universitas Indonesia
28
beberapa subjek lain juga dianggap memiliki nama baik atau kehormatan. Pihak-
pihak yang dapat menjadi objek tindak pidana penghinaan meliputi:58
a. Pribadi perorangan;
b. Kelompok atau golongan;
c. Institusi atau lembaga;
d. Agama;
e. Para pejabat yang meliputi Pegawai Negeri, Kepala Negara atau
wakilnya dan Pejabat Perwakilan Asing;
f. Orang yang sudah meninggal dunia.
Masing-masing pihak di atas dianggap memiliki kehormatan atau nama
baik. Dalam konteks ini, kehormatan didefinisikan sebagai perasaan terhormat di
mata masyarakat yang berhak diperoleh dan dimiliki oleh setiap orang. Manusia
berhak dihormati sebagai hakikat makhluk berakal yang bertindak sesuai dengan
tata perilaku yang telah diterima secara umum. Sementara itu, nama baik
menitikberatkan pada penilaian baik atau buruk yang cenderung diberikan atas
kedudukan atau perbuatan seseorang, disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan
konteks perbuatan yang dilakukan. Sebagai contoh, setiap orang berhak untuk
memperoleh perlakuan terhormat tanpa memandang keturunan, pekerjaan, atau
pun harta kekayaan, sedangkan nama baik cenderung diberikan masyarakat secara
khusus terhadap orang-orang tertentu saja, misalnya Presiden atau wakil Presiden,
gubernur, kepala adat, pemuka agama, dan sebagainya.
Sekalipun kehormatan dan nama baik memiliki definisi yang berbeda,
keduanya sulit dipisahkan karena terserangnya salah satu menyebabkan baik
kehormatan ataupun nama baik seseorang ternodai. Sebagai contoh, seorang
pejabat publik yang dituduh melakukan tindakan asusila terhadap sekretarisnya
tidak hanya akan merasa kehormatannya terserang, namun nama baiknya sebagai
pejabat yang mampu menjalankan tugas secara profesional juga akan tercoreng
sehingga muncul ketidakpercayaan masyarakat umum atas kredibilitas pejabat
yang bersangkutan.
58
Wina Armada S.A., Wajauh Hukum Pidana Pers, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1989),
halaman 52.
Universitas Indonesia
29
Universitas Indonesia
30
60
Ibid.
61
Ibid.
62
Wina Armada S.A., Op. Cit., halaman 52.
Universitas Indonesia
31
63
Adami Chazawi, Kejahatan Penghinaan, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011),
halaman 29.
Universitas Indonesia
32
Universitas Indonesia
33
Ayat (2):
Jika kejahatan dilakukan sebagai pencarian
Dalam tabel di atas dapat dilihat bahwa rumusan dasar dari delik-delik
pidana pada Bab Penghinaan adalah rumusan dalam Pasal 310 KUHP, baik untuk
pencemaran nama baik lisan ataupun pencemaran nama baik melalui tulisan. Pada
dasarnya rumusan pasal 310 KUHP menjadi representasi bagi dilarangnya
perbuatan “menyerang kehormatan atau nama baik seseorang” yang dilakukan
melalui “menuduhkan suatu hal”. Berturut-turut setelah ketentuan pasal 310
KUHP terdapat berbagai bentuk dari tindakan pencemaran nama baik itu sendiri
seperti fitnah, persangkaan palsu, dan sebagainya. Masyarakat secara umum
sering menukarbalikkan kejahatan pencemaran nama baik dengan kejahatan
penghinaan. Pada dasarnya, keduanya tidak salah, hanya saja penyebutan
kejahatan penghinaan sebagai suatu delik kuranglah tepat. Penghinaan merupakan
nama kelompok kejahatan yang di dalamnya terdapat berbagai macam delik, salah
satunya adalah delik pencemaran nama baik. Sehingga, dilihat dari interpretasi
sistematis64 terhadap ketentuan dalam KUHP, kejahatan penghinaan cakupannya
lebih luas daripada kejahatan pencemaran nama baik sementara kejahatan
pencemaran nama baik merupakan bagian dari kejahatan penghinaan itu sendiri.65
Namun, beberapa ahli mempersamakan persepsi antara kejahatan penghinaan dan
kejahatan pencemaran nama baik, karena esensi dari kedua kejahatan tersebut
sama: 1). Mengandung perbuatan yang menyerang; 2). Objeknya adalah
kehormatan dan nama baik.66
64
Interpretasi sistematis adalah metode interpretasi undang-undang dengan melihat
sistematika ketentuan-ketentuan di dalamnya. Dalam metode interpretasi ini, ketentuan yang satu
tidak bisa dibaca sendiri, namun seluruh ketentuan harus dibaca secara berdampingan dan
ditempatkan sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Sumber: Jimly
Asshidiqqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), halaman 32.
65
Kuliah Tindak Pidana Tertentu Fakultas Hukum Universitas Indonesia tentang
Penghinaan yang diberikan oleh Anugerah Rizki Akbari.
66
Jumardi, “Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Penghinaan (Studi Kasus Putusan
Nomor:271/PID.B/2013/PN.Mks)”, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014,
halaman 62.
Universitas Indonesia
34
67
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 13.
68
Eric Descheemaeker, “A man of bad character has not so much to lose’: Truth as a
defence in the South African law of defamation”, http://www.law.ed.ac.uk/includes/remote
_people_profile/remote_staff_profile?sq_content_src=%2BdXJsPWh0dHAlM0ElMkYlMkZ3d3cy
Lmxhdy5lZC5hYy51ayUyRmZpbGVfZG93bmxvYWQlMkZwdWJsaWNhdGlvbnMlMkYyXzIw
MV9hbWFub2ZiYWRjaGFyYWN0ZXJoYXNub3Rzb211Y2h0b2xvc2V0cnV0LnBkZiZhbGw9
MQ%3D%3D diakses pada 27 April 2015.
69
Pertimbangan tersebut merupakan jawaban atas keberatan yang diajukan oleh pemohon
kasasi berupa para terpidana sebenarnya tidak pernah bermaksud untuk menghina korban dlam
Universitas Indonesia
35
perkara a quo, yaitu Gubernur Abd. Hakim, baik dalam kapasit asnya sebagai pengawai negeri
ataupun sebagai diri pribadi.
70
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa kedua hal ini menjadi parameter terjadi
tidaknya suatu tindakan penghinaan.
Universitas Indonesia
36
71
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., halaman 99.
Universitas Indonesia
37
“(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang
disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum,
maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Jika dilihat dalam ketentuan pasal 310 ayat (2) KUHP, pencemaran nama
baik lewat tulisan mengandung unsur yang sama dengan unsur pasal 310 ayat (1)
KUHP, dengan tambahan ketentuan bahwa tuduhan berupa tulisan atau gambar
yang dilakukan dengan disiarkan, dipertunjukkan, dan/atau ditempelkan. Kata
‘disiarkan’ merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, verspreid, yang juga
dapat diartikan sebagai “disebarkan”. “Disebarkan” sendiri mengandung arti
bahwa tulisan atau gambar tersebut lebih dari satu helai atau satu eksemplar.
“Dipertunjukkan” perlu dimaknai bahwa tulisan atau gambar tidak perlu
berjumlah banyak tetapi dapat dibaca atau dilihat orang lain. Penggunaan frasa
“disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan” semua bermakna agar dapat dibaca
atau dilihat orang lain. Jika suatu gambar ditempel di ruang tertutup, maka hal itu
bukan dimaksudkan untuk diketahui orang lain, atau dipertunjukkan untuk umum
karena ruangan tertutup berarti tidak dapat dimasuki setiap orang atau umum.72
72
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 19.
73
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 31.
Universitas Indonesia
38
Universitas Indonesia
39
kuat untuk menegaskan bahwa apa yang dituduhkan tidaklah benar. Di samping
itu, dalam hal terdapat dua proses hukum yang saling terkait; antara proses hukum
fitnah dengan penuntutan atas tindakan yang dituduhkan kepada korban,
sedangkan penuntutan kedua telah berjalan, maka perkara fitnah ditangguhkan
terlebih dahulu sampai putusan hakim atas penuntutan kedua telah jatuh.
Rumusan pasal 314 KUHP ditujukan untuk menciptakan kepastian hukum karena
pemisahan penanganan antara fitnah dengan perbuatan yang dituduhkan akan
memitigasi keragu-raguan atas duduk perkara.
Penghinaan ringan diatur dalam pasal 315 KUHP dengan bunyi sebagai
berikut:
Universitas Indonesia
40
Perkataan yang dituju oleh pasal 315 KUHP lebih cenderung mengarah pada
perkataan yang tidak senonoh seperti “anjing” atau “sundal”.74
Unsur “di muka umum” dalam pasal 315 KUHP juga tidak boleh
diartikan secara sempit yaitu sebatas pada suatu tempat di mana setiap orang
dapat hadir atau suatu tempat di mana setiap orang dapat melihat dari tempat
umum tetapi juga suatu tempat di mana setiap orang dari tempat umum dapat
mendengarnya, umpamanya pemancar radio atau pemancar TV.75 Di samping
itu, pasal 315 KUHP juga tidak mensyaratkan agar penghinaan tersebut
diketahui umum. Cukup perkataan tersebut dilontarkan dan diketahui oleh
korban, maka sudah dapat dinyatakan memenuhi unsur. Untuk dapat diproses,
maka tindak pidana penghinaan ringan harus diadukan oleh korbannya.
74
Penjelasan resmi Rancangan Undang-Undang KUHP tahun 1993 terkait dengan
penghinaan ringan. Sebagaimana dikutip dalam Leden Merpaung, Tindak Pidana terhadap
Kehormatan: Pengertian dan Penerapannya, halaman 43.
75
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 43.
Universitas Indonesia
41
Universitas Indonesia
42
ini secara konseptual mirip dengan tindak pidana pengaduan yang bersifat
memfitnah. Hanya saja dalam tuduhan memfitnah ini, pelaku tidak melontarkan
ucapan, namun ia melakukan suatu perbuatan yang berpotensi menyetir
pandangan orang bahwa korban telah melakukan tindak pidana. Sebagai ilustrasi,
A menaruh sebuah senjata api di bawah kasur B, lalu A melaporkan kepada polisi
bahwa B memiliki senjata secara melawan hukum. Karena laporan tersebut, polisi
melakukan penggeledahan dan ternyata ditemukanlah senjata api di bawah kasur
B. Dalam kondisi tersebu, apabila B tidak memiliki alibi, maka polisi akan
percaya bahwa senjata api tersebut memang merupakan milik B.
Universitas Indonesia
43
77
Selain tersebar di dalam KUHP, penghinaan khusus meliputi juga penghinaan yang diatur
di luar KUHP seperti penghinaan dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, namun penulisan ini dibatasi pada delik penghinaan khusus yang
terdapat dalam KUHP.
78
Reydi Vridell Awawangi, “Pencemaran Nama Baik Dalam KUHP dan menurut UU No.
11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Lex Crimen Vol. III/No.4/Ags-
Nov/2014, halaman 2.
Universitas Indonesia
44
Universitas Indonesia
45
Universitas Indonesia
46
79
Konsepsi kejahatan politik lahir dari revolusi Perancis yang saat itu menjatuhkan
kekuasaan monarkhi absolut di bawah kepemimpinan Raja Louis XVI dan XVII. Sebelum upaya
penjatuhan terjadi, belum dikenal istilah kejahatan politik dalam sistem hukum pidana
internasional.
80
Suppriyadi Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar, Op. Cit., halaman 9.
81
Rammelink menjelaskan bahwa adanya pertentangan ideologi antara pelaku kejahatan
dengan pihak negara disebabkan karena pelaku kejahatan merasa hal-hal yang mereka percayai
lebih luhur daripada pendapat-pendpaat yang diyakini dan diterapkan oleh negara yang
bersangkutan. Lihat: Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari
KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003), halaman 74.
Universitas Indonesia
47
Namun dari waktu ke waktu, kejahatan politik semakin kompleks karena sangat
dimungkinkan adanya percampuran antara kejahatan politik dengan kejahatan
biasa sehingga diperlukan formulasi lain untuk membedakan delik politik dan
delik non-politik. John Stuart Mill mendefinisikan delik politik sebagai berikut,
“political offence is a crime which was conducted with the relation on the civil
war and other political commotion”.82 Definisi tersebut sejalan dengan pendapat
Lord Stephen yang berpandangan bahwa kejahatan politik merupakan kejahatan
yang dilakukan dalam hubungannya atau sebagai huru-hara politik.83 Namun
pandangan kedua ahli hukum tersebut amatlah sempit ruang lingkupnya apabila
diterapkan dalam situasi di masa sekarang mengingat pembatasan kejahatan
politik yang sangat sempit, yaitu sebatas penggolongan apakah kejahatan tersebut
merupakan gangguan terhadap keamanan negara atau tidak. Meskipun begitu,
pandangan kedua ahli ini sempat menguasai dan mempengaruhi putusan-putusan
pengadilan Inggris.
Sementara itu, Barlow mendefinisikan kejahatan politik sebagai
perbuatan-perbuatan yang ditafsirkan baik oleh pelaku ataupun penegak hukum
sebagai sesuatu yang secara langsung atau tidak dimaksudkan untuk mengubah
atau mempengaruhi perubahan dalam sistem politik beserta kebijakan yang
dihasilkannya. Barlow mengatakan bahwa kejahatan politik secara prinsipil
berbeda dengan yang lain karena mengandung karakterisasi adanya tindakan
seseorang atau sekelompok orang yang memiliki komitmen untuk menyebabkan
terjadinya suatu yang melampau sekedar keinginan atau kepuasan pribadi, yakni
berupa tergulingnya rezim politik.84 Mendukung pendapat tersebut, Brody
menambahkan bahwa identifikasi apakah suatu kejahatan merupakan kejahatan
politik atau tidak didasarkan pada kewenangan sepihak dari penguasa agar tetap
berkuasa dengan cara menafsirkan secara sepihak pula hal-hal yang entah oleh
masyarakat atau oleh pemerintah sendiri dianggap “menyimpang”. Dilihat dari
82
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (Bandung: Yrama
Widya, 2004), halaman 167 dikutip dari B. A. Wirtley dalam Political Crime in Englihs Law and
International Law, The British Year Book of International Law, 1971, halaman 221-222.
83
I Wayan Parthiana, Op. Cit., dikutip dari Ivon Anthony Shearer, Extradition in
International Law, Manchester University Press, Oceana Publications Inc., 1970, halaman 167.
84
Adrianus Meliala, “Studi Kejahatan Politik: Beberapa Persoalan Mendasar”, Majalah
Hukum dan Pembangunan Nomor 6 tahun XXV, halaman 489.
Universitas Indonesia
48
Universitas Indonesia
49
politik yang bersumber dari dikotomi antara pemerintah dan pembangkang. Para
pembangkang adalah mereka yang dituduh sebagai penjahat politik, sedangkan
pemerintah adalah penyelamat rakyat dari kejahatan politik yang ada.87 Dengan
adanya pemahaman yang demikian, pemerintah diposisikan sebagai pihak yang
tidak akan bisa dituduh melakukan kejahatan politik, karena pemerintah dianggap
selalu berada dalam posisi yang benar. Pihak yang mengoposisi pemerintahlah
yang relevan untuk disebut sebagai pelaku kejahatan politik.88
Dari waktu ke waktu, pengkategorian kejahatan politik semakin longgar,
karena penguasa sendiri tidak memiliki kriteria pasti mengenai kejahatan politik.
Meskipun begitu, telah ada usaha untuk memperjelas garis pembeda antara delik
politik dan delik non-politik oleh ahli hukum di beberapa negara. Hazewinkel-
Suringa membedakan antara kejahatan umum dengan kejahatan politik dilihat dari
segi subjeknya. Pelaku kejahatan politik mempunyai keyakinan
(overtuigingsdaders) karena mereka berpendapat pandangannya tentang hukum
dan kenegaraan lebih tepat daripada pandangan pemerintah negara tersebut,
sedangkan penjahat umum (de gewone dader) tidak menyangsikan sahnya tertib
hukum yang berlaku meskipun ia melanggar peraturan yang ada pada negara
tersebut. Selanjutnya, Hazwinkel-Suringa mengutarakan empat teori dalam
menentukan delik politik, sebagai berikut:
a. Teori objektif atau disebut juga teori absolut
Teori ini mengemukakan bahwa delik politik ditujukan kepada
negara dan berfungsinya lembaga-lembaga negara;
b. Teori subjektif atau teori relatif
Pada azasnya semua delik umum yang dilakukan dengan suatu
tujuan, latar belakang serta tujuan politik, merupakan suatu delik
politik;
c. Teori ‘Predominan’
Teori ini membatasi pengertian yang luas dari delik politik, terutama
terhadap teori subjektif atau teori relatif. Dalam hal ini, diperhatikan
87
Hendardi, “Kejahatan Poliitik di Indonesia”, Majalah Hukum dan Pembangunan Nomor
1 Tahun XXVII, halaman 15-16.
88
Ibid.
Universitas Indonesia
50
Universitas Indonesia
51
Universitas Indonesia
52
Universitas Indonesia
53
Universitas Indonesia
54
pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asalkan tidak
bertentangan dengan pemerintahan militer. Keberlakuan Hukum Pidana Belanda
tetap berjalan sekalipun Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya.
Keberlakuan ini didasarkan pada pasal I Aturan Peralihan dalam UUD NRI 1945
yang mengatur bahwa, “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih
tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini”. Tidak lama setelahnya, dibuatlah Oendang-Oendang 1946 Nomor 1 tentang
Peratoeran Hoekoem Pidana yang menetapkan bahwa nama Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandch – Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht atau
dapat disebut Kitab Oendang-Oendang Hoekoem Pidana.
Aturan tersebutlah yang memberikan legitimasi keberlakuan Hukum
Pidana Belanda hingga detik ini di Indonesia. Dengan mengadopsi KUHP
Belanda, keberlakuan aturan mengenai larangan menghina raja atau ratu selaku
kepala negara di Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Karena Indonesia tidak
mengenal konsep jabatan kepala negara seperti yang dimiliki oleh Belanda, maka
pasal proteksi jabatan kepala negara tersebut berusaha dikontekstualisasi menjadi
pasal proteksi jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 8 Angka 24 Oendang-
Oendang 1946 Nomor 1 menetapkan bahwa perkataan Koning of der Koningin
pada Pasal 134 KUHPidana diganti dengan kata President of den Vice –
President, yang kini disebut dengan Presiden atau Wakil Presiden.90 Penggantian
frasa ini didasarkan pada pemikiran bahwa sebenarnya Presiden di Indonesia tidak
hanya berperan sebagai kepala pemerintahan saja, melainkan ia juga berperan
sebagai kepala negara. Alhasil, artikel 111 Nederlands Wetboek van Strafrecht
yang saat itu digunakan menjaga kewibawaan Raja dan Ratu Belanda sebagai
simbol negara, diturunkan menjadi pasal 134, pasal 136bis, dan pasal 137
KUHPidana yang kemudian dikenal luas sebagai delik penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden. Dalam suatu kesempatan, ahli Prof. Mardjono Reksodiputro
menyatakan bahwa tidak ditemukan rujukan apakah alasan serupa dapat diterima
di Indonesia, yang mengganti kata ‘Raja’ dengan ‘Presiden dan Wakil Presiden’.91
90
H. Soerjanatamihardja, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Van Dorp,
1952), halaman 125.
91
Risalah Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan
Nomor 022/PUU-IV/2006,
Universitas Indonesia
55
Raja dan ratu berperan sebagai simbol negara dan sebagai penerima
pertanggungjawaban dari Gubernur Jenderal dalam menjalankan tugasnya.
Mengingat dalam tubuh raja tercermin harkat dan martabat negara, maka jabatan
Raja diberikan secara turun temurun karena keluarga Raja lah yang dianggap
mampu mewakili negara. Berbeda dengan pelaksana fungsi administrasi
pemerintahan seperti Perdana Menteri. 93 Perdana Menteri dicalonkan oleh partai
politik dan dipilih melalui pemilihan umum. Secara riil terjadi distingsi yang jelas
antara tugas Perdana Menteri dan Raja. Perdana Menteri ditugaskan untuk
memegang fungsi eksekutif, sedangkan Raja dan Ratu hanya memegang fungsi
semantik.
Sebagai representasi kehormatan negara, pribadi raja amat dekat dengan
kepentingan negara; keduanya hampir tidak dapat dipisahkan sehingga martabat
raja memerlukan perlindungan khusus.94 Perlindungan khusus ini juga
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/risalah_sidang_Perkara%20013%20dan%20022%2
0.PUU-Iv.2006,%2016%20Desember%202006.pdf diakses pada 29 April 2015.
92
Politics in Netherlands, ProDemos –House for Democracy and the Rule of Law, Den
Haag, 2013 http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja
&uact=8&ved=0CCUQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.parliament.uk%2Fbriefing-
papers%2FSN03861.pdf&ei=xLNBVeimEIKdugS524DADw&usg=AFQjCNHkD8_DfCejtXeqW
b-BTJwFvjEYPQ&sig2=uoQSkQXfF4zmxZhU_stu9w&bvm=bv.92189499,d.c2E diakses pada
29 April 2015.
93
The Comparison Between A Republic and A Constitutional Monarchy,
http://www.gov.bm/portal/.pt/gateway/PTARGS_0_2_3504_476_1959_43/http%3B/ptpublisher.g
ov.bm%3B7087/publishedcontent/publish/bic/dept___bic___papers/articles/the_comparison_betw
een_a_republic_and_a_constitutional_monarchy_4.pdf diakses pada 30 April 2015.
94
Cleiren, C.P.M. & J.F. Nijboer (Redactie), Strafrecht. Tekst & Commentaar, (Kluwer,
1994), halaman 700.
Universitas Indonesia
56
memperkuat posisi raja dan ratu yang dianggap selalu benar dan keputusannanya
tidak dapat diganggu gugat. Dalam konteks ini, raja dan ratu cenderung
memegang peran semantik daripada peran administrasi. Raja dan ratu lebih sering
dimunculkan sebagai simbol kehormatan melalui berbagai macam kegiatan
upacara atau ramah tamah dengan negara sahabat, dibandingkan secara aktif
terlibat dalam pembuatan kebijakan negara. Keagungan Raja dan Ratu yang
sangat simbolik turut menjadi alasan mengapa Raja dan Ratu tidak perlu membuat
aduan apabila kehormatan atau nama baiknya dicemarkan. Terjadinya penghinaan
terhadap Raja dan Ratu disamakan dengan terjadinya penghinaan terhadap negara,
sehingga atas nama kepentingan umum kejahatan tersebut perlu ditindak tanpa
memerlukan adanya suatu pengaduan.95 Konsep raja dan ratu sebagai kepala
negara yang demikian berbeda dengan konsep kepala negara di Indonesia yang
pada dasarnya melebur dengan posisi kepala pemerintahan. Leburan ini
disebabkan karena posisi kepala negara dipegang oleh kepala pemerintahan secara
sekaligus, sehingga selain menjadi pemimpin tertinggi, Presiden juga berperan
merepresentasikan martabat negara.
Di Indonesia, peran serta fungsi Presiden sebagai kepala pemerintahan
diatur secara tegas dalam konstitusi dan undang-undang, sedangkan fungsi
Presiden sebagai kepala negara tidak pernah secara lugas dinyatakan sekalipun
terdapat beberapa tugas yang menyiratkan posisi Presiden sebagai kepala negara.
Praktik penyelenggaraa negara di Indonesia menempatkan posisi Presiden sebagai
posisi yang strategis, karena kepada satu orang diberikan 3 (tiga) kekuasaan
sekaligus: kekuasan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan sebagai kepala
negara.96 Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 mengatur bahwa Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar berlaku sebagai pedoman bagi jalannya pemerintah yang
menjunjung tinggi konstitusionalisme dan konsep negara hukum yang
berdasarkan pada Pancasila.
95
Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1983)
halaman 273.
96
M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV, Sinar
Bakti, 1988), halaman 197.
Universitas Indonesia
57
Universitas Indonesia
58
Universitas Indonesia
59
97
Noyon-Langemeijer, Het Wetboek I, halaman 566-567 sebagaimana dikutip dalam
Risalah Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan Nomor
022/PUU-IV/2006.
98
Smidt dalam Geschiedenis sebagaimana dikutip dalam Risalah Sidang Putusan
Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan Nomor 022/PUU-IV/2006.
Universitas Indonesia
60
Presiden dan Wakil Presiden dalam situasi dan kondisi yang beragam.
Redaksional Pasal 136bis KUHP adalah sebagai berikut:
99
Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Penerbit: Alumni AHM-
PTHM, 1983, halaman 12-15.
Universitas Indonesia
61
100
P. A. F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan terhadap Keamanan Negara,
Bandung: CV. Sinar Baru, 1987, halaman 287.
Universitas Indonesia
62
101
Dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah “zijn ondanks” atau “tegen zijn wil”,
yang juga dapat diartikan sebagai “bertentangan dengan keinginannya”. Unsur ini haruslah
dibuktikan dalam persidangan. Sumber: van Haeringen, Op. Cit.,halaman. 523.
102
Dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah “aanstot nemen aan” yang secara
harafiah dapat diartikan sebagai merasa tersinggung. Unsur ini haruslah dibuktikan dalam
persidangan. Sumber: Badan Pembinaan Hukum Nasional, KUHP, halaman 61 dan Moeljatno,
KUHP, halaman 86.
103
Oemar Seno Adji, Kemerdekaan Pers di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1952),
halaman 12-13.
104
P. A. F. Lamintang, Op. Cit. Halaman 293.
Universitas Indonesia
63
Pasal 137 KUHP merupakan salah satu pasal dalam KUHP yang
mengatur mengenai masalah tindak pidana penyebarluasan atau
“verspreidingsdelicten”. Tindak pidana ini pada dasarnya melarang
dilakukannya penyebarluasan atas tulisan atau gambar yang isinya
diangap tidak pantas karena bersifat menghina, menghasut, dan
sebagainya dengan maksud agar hasutan tersebut diketahui orang banyak
atau menjadi diketahui secara luas.
Dalam rumusan pasal terdapat kata “menyiarkan” yang
sebenarnya merupakan terjemahan keliru atas kata “verspreiden’.
Terjemahan yang benar adalah “menyebarluaskan”, yang jika dikaitkan
dengan tindak pidana dalam pasal 137 KUHP maka dapat dipahami
bahwa maksud menyebarluaskan adalah disebarkannya tulisan atau
gambar dalam jumlah banyak atau setidak-tidaknya lebih dari satu
lembar. Di sisi lain, tindakan menyiarkan saja dapat dipenuhi dengan
menunjukkan atau membuat kesempatan agar sebuah tulisan atau sebuah
gambar dapat dilihat oleh orang. Sekalipun tujuan menyebarluaskan dan
menyiarkan serupa—agar orang secara umum dapat mengetahuinya—
namun tindakan menyiarkan bukanlah tindakan yag dimaksud dalam
pasal 113 WvS yang menjadi asal mula pasal 137 KUHP. Sekalipun
terdapat perbedaan penafsiran atas benar tidaknya digunakan kata
Universitas Indonesia
64
Universitas Indonesia
65
Universitas Indonesia
66
KUHP disebabkan karena posisinya sebagai kepala negara dan wakil kepala
negara, yang notabene merupakan representasi harkat dan martabat negara. Sudah
selayaknya orang dengan kedudukan yang demikian dihormati. Dihormati, tidak
berarti atas kemauan orang yang menduduki jabatan Presiden atau Wakil
Presiden, tetapi berdasarkan kepatutan dan kelayakan yang hidup dalam
masyarakat umum atau orang kebanyakan.109
Hukum positif mengenai penghinaan Presiden berasal dari penyesuaian
yang dilakukan Undang-Undang No. 1 tahun 1946. Saat itu, redaksional pasal
yang digunakan adalah, “kesengajaan menghina Presiden dan Wakil Presiden
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun atau dengan
pidana denda dengan setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.” Hingga
kini, rumusan tersebut diperbaiki sehingga menjadi rumusan pasal 134 KUHP
sekarang yaitu, “Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil
Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah.”
Jika dilihat dari redaksional pasalnya, maka dapat dirumuskan unsur-
unsur tindak pidana penghinaan Presiden yang meliputi:
1. Dengan sengaja (Opzettelijk)
Salah satu unsur penting dalam tindak pidana adalah unsur
kesalahan. Menurut Sianturi, ciri dari unsur kesalahan dalam hukum
pidana adalah sebagai berikut:110
a. Adanya hubungan jiwa pelaku dengan tindakan dan/atau
akibat yang terjadi (dalam beberapa hal yang akan
terjadi). Melalui hubungan jiwa dan tindakan ini, pelaku
dapat menilai dan menyadari ketercelaannya yang
sebenarnya dapat dihindari sebelumnya. Dalam kata lain,
terdapat hubungan jiwa dari pelaku yang mampu
bertanggung jawab dengan tindakan dan/atau akibatnya;
b. Bentuk kesalahan dapat berupa kesengajaan atau
kealpaan;
109
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 62.
110
S. R. Sianturi, Op. Cit, halaman 12-15.
Universitas Indonesia
67
Universitas Indonesia
68
Universitas Indonesia
69
Universitas Indonesia
70
Universitas Indonesia
71
116
P. A. F. Lamintang, Op. Cit., halaman 268.
Universitas Indonesia
72
pasal 134 KUHP apabila memang objek yang ditujunya adalah Presiden dan
Wakil Presiden. Secara lebih jelas, dapat dilihat hubungan antara delik penghinaan
umum dalam Bab XVI KUHP dengan delik penghinaan khusus, khususnya pasal
134 KUHP.
Pencemaran
tertulis
Delik Penghinaan Pencemaran Fitnah
Khusus nama baik
( di luar Bab XVI
Persangkaan
KUHP) Pengaduan Palsu
Palsu
Penghinaan
Ringan
Universitas Indonesia
73
Tabel 2.3: Perbandingan Pasal 134 KUHP dan Pasal 310 KUHP
Universitas Indonesia
74
Universitas Indonesia
75
3. Dilihat dari rumusan deliknya, pasal 310 KUHP dan pasal 134
KUHP dapat dibedakan menurut pidananya. Pasal 310 KUHP
merupakan delik biasa, sedangkan pasal 134 KUHP adalah delik
yang diperberat. Pemberatan delik pada pasal 134 KUHP sangat
berkaitan dengan perbandingan unsur sebagaimana dijelaskan dalam
poin nomor 3. Pada pasal 310 dan pasal 134 KUHP, pada dasarnya
keseluruhan unsur tindak pidana penghinaannya sangat mirip, hanya
saja terdapat perbedaan unsur objek yang menjadi sasaran hinaan,
yaitu antara pribadi orang biasa dengan Presiden dan Wakil Presiden
yang dipandang memiliki peran khusus sebagai simbol negara.
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dipersamakan
dengan penghinaan terhadap negara, oleh karenanya, hukuman yang
diberikan jauh lebih berat daripada penghinaan terhadap orang biasa.
Sementara itu, dilihat dari cara perkara diproses, pasal 310 KUHP
digolongkan dalam kategori delik aduan, yaitu delik yang baru dapat
diproses apabila terdapat pengaduan dari orang yang merasa
dirugikan, sedangkan pasal 134 KUHP merupakan delik biasa, yang
artinya siapa saja—baik kepolisian atas inisiatif sendiri ataupun
masyarakat yang melihat terjadinya tindak pidana tersebut dapat
melaporkan terjadinya tindak pidana. Dalam sejarahnya, delik
penghinaan Raja dan Ratu memanglah bukan delik aduan. Atas hal
tersebut, Prof. Noyon-Langemeijer memberikan penjelasan sebagai
berikut:117
“martabat kerajaan (baca: kepresidennan) tidak mengizinkan
mereka bertindak sebagai pengadu. Adanya pengaduan dari
pihak mereka akan menimbulkan keraguan pada masyarakat
tentang sikap ketidakterpaksaan para hakim menerima
pengaduan tersebut, sedangkan jika hakim kemudian ternyata
telah memutuskan bebas bagi terdakwa, hal mana dapat
melemahkan wibawa Raja.”
117
Noyon Langemeijer, Het Wetboek I, halaman 569 sebagaimana dikutip dalam Risalah
Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 013/PUU-IV/2006 dan Nomor 022/PUU-
IV/2006.
Universitas Indonesia
76
Universitas Indonesia
77
118
Ibid.
Universitas Indonesia
78
Universitas Indonesia
79
penghinaan lisann pada pasal 310 ayat (1) diancam dengan pidana 9
bulan, dan ayat (2)-nya diancam dengan pidana 1 tahun 4 bulan
dengan denda bagi keduanya paling banyak Rp 4,500,00.
Universitas Indonesia
80
BAB III
PERBANDINGAN PASAL 134 KUHP DENGAN DELIK PENGHINAAN
PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI BEBERAPA NEGARA
Universitas Indonesia
81
Universitas Indonesia
82
tersebut akan berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas. Kondisi yang
demikian terjadi dalam perkara antara John Peter Zenger melawan Gubernur New
York William Cosby di awal tahun 1733. Saat itu Peter Zenger digugat ke
pengadilan karena telah menerbitkan tulisan berisi kritik atas pejabat tersebut.120
Tulisan tersebut tidak ditulis oleh Zenger, melainkan tulisan tersebut ditulis oleh
seseorang yang mengirimkan artikel untuk diterbitkan di korannya. Yang
dilakukan Zenger pada dasarnya adalah menerbitkan tulisan itu saja. Namun, hal
tersebut dianggap memenuhi kualifikasi sebagai penghinaan mengingat artikel
yang dimuat dalam Koran Zenger dinilai menyebarkan berita yang salah, secara
sengaja berniat menghina, dan menghasut para pembacanya. Saat itu, pembela
dari Zenger menyatakan bahwa berita yang disebarkabn oleh Zenger tidaklah
salah. Berita tersebut akurat, meskipun kontennya cenderung memalukan diri
korban. Saat itu, hukum positif yang ada mengatur bahwa mengatakan kebenaran
tidak dapat digunakan sebagai alasan pembenar dalam perkara penghinaan.
Namun dengan disertai argumentasi bagi kepentingan umum, konsep penghinaan
menerima pernyataan kebenaran sebagai hal yang menghilangkan sifat melawan
hukum dari penghinaan.121 Artinya, pernyataan kebenaran yang memang dirasa
sepatutnya diketahui oleh masyarakat umum tidak dapat diketagorikan sebagai
penghinaan. Akhirnya, dalam perkara tersebut, Pengadilan memenangkan Zenger
di bawah pertimbangan bahwa apa yang dilakukan oleh Zenger adalah wujud dari
kebebasan berpendapat, apalagi terkait hal-hal yang di dalamnya tercakup
kepentingan masyarakat umum itu sendiri.
Hukum positif yang mengatur mengenai penghinaan di berbagai negara
pada dasarnya berpatok pada konsep yang sama meskipun seiring berjalannya
waktu karakterisasi dari pengaturan tindak pidana penghinaan mengalami
perubahan. Secara umum, sebuah tindakan baru dapat dinyatakan sebagai fitnah
atau pencemaran nama baik apabila mengandung 4 (empat) elemen sebagai
berikut:122
120
Toby Mendel, “Presentation on International Defamation Standards for the Jakarta
Conference”, Law Colloquium 2004, From Insult to Slander: Defamation and the Freedom of the
Press, Jakarta 28-29 Juli 2004.
121
Ibid.
122
Supriyadi Widodo Eddyono, Sriyana dan Wahyu Wagiman, Analisis Situasi Penerapan
Universitas Indonesia
83
1. palsu;
2. bersifat faktual ;
3. menyebabkan kerusakan, yang pada gilirannya akan merusak
reputasi dari orang yang bersangkutan ;
4. pernyataan tersebut harus telah dibaca, didengar atau dilihat oleh
orang lain.
Gambaran yang lebih komprehensif diberikan oleh Rodney A. Smolla
dalam bukunya Law of Defamation. Smolla menyatakan bahwa:123
Hukum Penghinaan di Indonesia, (Jakarta: Institute for Criminal Justice dan Yayasan Tifa), 2012,
halaman 5.
123
Charles J. Glasser J.R., International Libel and Privacy Handbook, (New Jersey: John
Wiley & Sons Inc., 2013), halaman 49.
Universitas Indonesia
84
penyebaran informasi palsu yang meliputi bentuk lisan dan tulisan.124 Distingsi
bentuk ketersebaran ini penting karena berpengaruh pada besarnya hukuman yang
akan dijatuhkan. Biasanya, penghinaan yang dilakukan secara tertulis akan
dikenai hukuman yang lebih berat karena dampaknya dapat bertahan lebih lama
daripada penghinaan yang dilakukan secara lisan.
Perlu dilakukan pemetaan mengenai konsep penghinaan di berbagai
negara di dunia, khususnya terkait dengan bentuk delik penghinaan dasar,
berbagai macam alasan pembenar, serta karakterisasi unsur tindak pidana
penghinaan yang ditujukan bagi pejabat negara secara umum serta Presiden dan
Wakil Presiden secara khusus. Dalam bab ini, penulis memaparkan ketentuan
penghinaan biasa, penghinaan terhadap Raja dan Ratu, serta penghinaan terhadap
pejabat publik. Negara yang dipilih meliputi Belanda, Inggris, Thailand, Perancis,
dan Amerika Serikat. Belanda dipilih karena Indonesia mengadopsi ketentuan
penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dari ketentuan Lèse-Majesté yang
berasal dari Belanda. Sementara itu, Inggris dan Thailand yang notabene
merupakan negara monarkhi konstitusional sebagaimana Belanda, dipilih karena
juga menerapkan Lèse-Majesté. Indonesia dan Perancis sebagai negara republik
memiliki kesamaan dalam hal penerapan penghinaan terhadap Presiden dan Wakil
Presiden yang kemudian ketentuannya dibatalkan. Hal tersebut yang
melatarbelakangi dipilihnya Perancis dalam perbandingan ini. Selain itu, Amerika
Serikat sebagai negara republik turut menerapkan ketentuan penghinaan,
sekalipun ketentuannya ditujukan bagi pejabat publik disertai perkembangan
doktrin alasan pembenar. Negara-negara yang dipilih memiliki faktor-faktor
kesamaan dengan Indonesia meskipun Indonesia sendiri berada di area yang kabur
karena Indonesia merupakan negara republik yang menerapkan ketentuan Lèse-
Majesté—aturan yang hanya dikenal dalam negara monarkhi konstitusional.
Perbandingan ini nantinya dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam meninjau
pengaturan tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia.
124
Kyu Ho Youm, Press Freedom and Defamation in South Korea: Searching for the
Balance”, Law Colloqium 2004 Report: From Insult to Slander Defamation and Freedom of the
Press, 23-29 Juli 2014.
Universitas Indonesia
85
3. 1. 1 Belanda
Universitas Indonesia
86
Universitas Indonesia
87
Universitas Indonesia
88
claim must bear the costs of the proceedings and the costs of the
correction, either in full or in part. For the part of the costs of
proceedings and the costs of correction that each of the parties
has to bear according to the court’s judgment, each party may
take recourse against all person who are liable for the damage
arising from the incorrect or incomplete publication.129
Dalam hal mekanisme hukum perdata yang digunakan, maka korban
tindak pidana penghinaan haruslah mengajukan gugatan perdata ke pengadilan
dengan dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Melihat ketentuan dalam hukum pidana dan hukum perdata Belanda, dapat
dirumuskan bahwa penghinaan adalah tindakan yang dapat menyinggung
seseorang atas tuduhan yang dipublikasikan sehingga dapat menimbulkan
kerugian terhadap nama baik seseorang.130
Beberapa penghinaan yang dikriminalisasi berdasarkan pada Undang-
Undang Hukum Pidana Belanda meliputi pernyataan bahwa seseorang telah
memperlakukan seorang wanita secara tidak sopan di tengah jalan, sebagaimana
diputuskan oleh Mahkamah Agung Belanda pada tanggal 6 November 2001.131
Sementara itu, menghina dokter sebagai dukun,132 menghina kepala
133
persepakbolaan sebagai “diktator yang curang dan suka berbohong”, menghina
kepala presenter Belanda sebagai “pencuri program TV”,134 dinyatakan sebagai
penghinaan berdasarkan Undang-Undang Hukum Perdata Belanda.
Tindak pidana penghinaan dalam Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda memiliki beberapa macam target meliputi diri pribadi orang, pejabat
publik, Pegawai Negeri Sipil (PNS), juga kepala dan/atau anggota pemerintahan
dari Negara sahabat. Pejabat publik dalam konteks ini termasuk juga politisi.
Mengingat pejabat publik akan banyak berkecimpung dengan urusan kepentingan
umum, maka tingginya perhatian yang diberikan masyarakat kepada pejabat
129
Ibid.
130
Supriyadi Widodo Eddyono, Sriyana dan Wahyu Wagiman, Op.Cit. halaman 9.
131
Charles J. Glasser J.R., Op.Cit., halaman 402.
132
Kutipan dalam Court of Appeal Amsterdam, October 19, 2000, Elro no. AA 7654 .
133
Kutipan dalam President Court of Utrecht, September 20, 2001, Elro no. AD 3844 .
134
Kutipan dalam President Court of Amsterdam, April 5, 2005, LJN no. AT 3177.
Universitas Indonesia
89
135
“Defamation and Freedom of Expression: Selected Documents”, Media Division,
Directorate General of Human Rights, Council of Europe,
https://www.coe.int/t/dghl/standardsetting/media/doc/H-ATCM(2003)001_en.pdf diakses pasa 10
Mei 2015.
136
Supriyadi Widodo Eddyono, Sriyana dan Wahyu Wagiman, Op.Cit. halaman 10.
137
“Defamation and Insult: Writers React, Insult Laws in the European Union”,
International PEN’s Writers, 2007, halaman 9.
Universitas Indonesia
90
138
Wetboek van Strafrecht, Op.Cit.
139
Perangkat kerajaan menandakan adanya unsur monarkhi dalam negara yang
bersangkutan. Dalam konteks ini, Belanda berbentuk monarkhi konstitutional, di mana
pelaksanaan negara monarkhi didasarkan pada aturan yang ada dalam konstitusi. Konstitusi
memerintahkan agar monarkh dan pemerintah bersama-sama terlibat dalam jalannya
pemerintahan. Pada awal kemerdekaannya (1579), Belanda merupakan republik yang independen,
namun seiring berjalannya waktu, unsur kerajaan monarkh di Belanda menguat dilihat dari posisi
dan peran kerajan. Lihat: Inter-Parliamentary Union, “Constitutional & Parliamentary
Information: Half Yearly Review of the Association of Secretaries General of Parliaments”, 2013,
diakses pada tanggal 16 Februari 2015,
http://www.asgp.co/sites/default/files/CPI%20206%20Geneva.pdf
140
Resume Perkara Rechtbank Amsterdam, 13/420932-07 en 13/421786-06,
http://uitspraken.rechtspraak.nl/inziendocument?id=ECLI:NL:RBAMS:2007:BB1044 diakses
pada 10 Mei 2015.
Universitas Indonesia
91
141
“F*** the King Demonstrator Taken to Court for Insulting the Monarch (updated)”,
DutchNews.nl, http://www.dutchnews.nl/news/archives/2015/05/f-the-king-demonstrator-taken-
to-court-for-insulting-the-monarch/ diakses pada 10 mei 2015.
142
Jan de Meij, Freedom of the Press and Defamation in the Netherlands, Law Colloqium
2004 Report: From Insult to Slander Defamation and Freedom of the Press, 23-29 Juli 2014.
143
Charles J. Glasser J.R., Op.Cit., halaman 269.
Universitas Indonesia
92
3.1.2. Inggris
Inggris adalah negara yang pertama kali memperkenalkan hukum
penghinaan, tepatnya pada masa pemerintahan Edward I (1272-1307). Saat itu,
penghinaan disebut sebagai Scandalum Magnatum (spreading false report about
the magnates of the realm), suatu tindak pidana yang dapat dihukum.
Dikeluarkannya undang-undang mengenai penghinaan tersebut disebabkan karena
banyak terjadi kerusuhan akibat balas-membalas penghinaan hingga menimbulkan
gangguan bagi ketertiban umum. Scandalum Magnatum sendiri sebenarnya lebih
banyak mengatur mengenai masalah penghinaan yang ditujukan kepada anggota
kerajaan dan/atau pejabat publik,144 meskipun ke depannya dasar-dasar dalam
doktrin Scandalum Magnatum berkembang menjadi penghinaan bagi masyarakat
dalam konteks yang lebih umum. Berikut adalah pengaturan Scandalum
Magnatum:145
144
R. B. Manning, The Origin of the Doctrine of Sedition, Albion: 1980, halaman 99.
145
Thomas Starkie, A Treatise on the Law of Slander, Libel, Scandalum Magnatum and
False Rumors, (London: Printed for W. Clarke, 1813), halaman 16-17.
Universitas Indonesia
93
Universitas Indonesia
94
“if men should not be called to account for possessing the people
147
Nany E. Wright, “Legal Fictions and Interpretation in Attorney General v Pickeringe
(1605) and Ben Jonson’s Masque pf Queens (1609)”,
http://www.austlii.edu.au/au/journals/NewcLawRw/1995/5.pdf diakses pada 25 Mei 2015.
148
“Seditious Libel”, http://uscivilliberties.org/themes/4460-seditious-libel.html diakses
pada 25 Mei 2015.
149
Ibid.
Universitas Indonesia
95
Universitas Indonesia
96
b. The nature of the information, and the extent to which the subject-
matter is a public concern.
c. The source of the information.
d. The status of the information.
e. The steps taken to verify the information.
f. The urgency of the matter.
g. Whether comment was sought from the claimant’s.
h. Whether the article contained the gist of the claimant’s side of the
story.
i. The tone of the article
j. The circumstances of the publication, including the timing.
Meskipun sudah terdapat kriteria-kriteria di atas, Inggris juga
memberikan perluasan bagi terjadinya penghinaan. Sekalipun sebuah pernyataan
tidak mengandung unsur memfitnah bagi diri orang yang dituju, pernyataan
tersebut dapat dikategorikan sebagai penghinaan apabila ia mengandung informasi
khusus yang bisa menyebabkan dampak mendiskreditkan nama baik seseorang.
Sebagai contoh, ungkapan bahwa A terlihat masuk ke dalam sebuah bangunan
pada malam hari, tidak tergolong sebagai penghinaan, kecuali ditegaskan bahwa
bangunan yang dimaksud adalah rumah bordil.154 Beban pembuktian atas tuduhan
penghinaan ada pada pihak yang melaporkan perkara, tanpa melihat tingkat
popularitas atau jabatan yang melekat pada diri korban yang bersangkutan. Hanya
saja saat mengaitkan perkara dengan kerugian yang dialami oleh korban, maka
perlu diperhitungkan jabatan dan popularitas dari korban yang mengalami
penghinaan.
Ketentuan mengenai penghinaan sebelumnya termaktub dalam Public
Order Act 1968, pada bagian 5 yang menyatakan bahwa:
154
Ibid, halaman 341.
Universitas Indonesia
97
thereby.
Universitas Indonesia
98
155
‘“Gay” Police Horse Case Dropped’, BBC News, London, 12 Januari 2006
.http://news.bbc.co.uk/1/hi/england/oxfordshire/4606022.stm diakses pada 25 Mei 2015.
156
Anil Dawar, ‘Teenager faces prosecution for calling Scientology a “cult”’, The
Guardian, London, 20 Mei 2008, www.guardian.co.uk/uk/2008/may/20/1 diakses pada 25 Mei
2015.
Universitas Indonesia
99
Universitas Indonesia
100
hanya sebagai simbol, Raja dan Ratu juga dianggap sebagai sumber hukum. Dari
dulu hingga sekarang, seluruh kewenangan pejabat publik bersumber dari Ratu.161
Setelah proses pemilihan umum selesai, Ratu akan mengundang pemimpin partai
terpilih untuk dilantik sebagai Perdana Menteri yang nantinya ditugaskan untuk
menjalankan pemerintahan di bawah keagungan nama kerajaan. Seluruh pejabat
publik harus mengambil sumpah dan janji akan mengabdi dan setia kepada Ratu,
serta akan menjalankan tugasnya demi kebaikan nama Ratu. Konstruksi berpikir
yang demikian menyebabkan munculnya pandangan bahwa penghinaan terhadap
pejabat publik juga merupakan penghinaan terhadap kerajaan, mengingat pejabat
publik memperoleh tugas atas dasar mandat yang diberikan oleh Raja dan Ratu itu
sendiri.162
Dengan konstruksi berpikir yang demikian, kejahatan yang dilakukan
terhadap diri Ratu dianggap sebagai kejahatan yang membahayakan negara.
Keberadaan Ratu inheren dengan keberadaan negara, di mana terjadi peleburan
identitas di antara keduanya—Ratu Inggris adalah negara, dan negara adalah Ratu
Inggris itu sendiri.163 Dalam kata lain, hubungan antara Ratu dan negara nampak
dari ungkapan berikut, “resided in the king, who was the possessor
and personification of the public power”. Berangkat dari kerangka gagasan yang
demikian, hal-hal yang berkaitan dengan ketidakhormatan atas Ratu dikategorikan
sebagai tindak pidana dengan ancaman hukuman yang cukup berat. Beberapa
tindakan yang dapat digolongkan sebagai tindakan penghinaan adalah
menempatkan foto Raja dan Ratu secara terbalik (kepala berada di bawah,
sedangkan kaki berada di atas) dan mencoret atau mengubah gambar Raja dan
Ratu yang berada di uang kertas atau uang logam.164 Orang yang melakukan
tindakan tersebut akan diminta untuk mengembalikan benda-benda seperti
semula, kemudian dia akan dipaksa untuk meminta maaf kepada Raja dan Ratu.
161
“Royal Pains: Lèse-Majesté in An International Rigts-Based Legal Framework”,
Phillipine Law Journal, http://plj.upd.edu.ph/royal-pains-lese-majeste-in-an-international-rights-
based-legal-framework/ diakses pada 14 Mei 2015.
162
Nany E. Wright, Op.Cit.
163
Ibid.
164
“Lèse-Majesté in England”, Marlborough Express, 6 April 1908
http://paperspast.natlib.govt.nz/cgi-bin/paperspast?a=d&d=MEX19080406.2.4 diakses pada 14
Mei 2015.
Universitas Indonesia
101
Apabila Raja dan Ratu sedang berbaik hati, ia akan dimaafkan dan terhadapnya,
pelaku haruslah mengucapkan syukur dan berterima kasih atas hal tersebut.
Apabila Raja dan Ratu tidak memberikan ampunan, maka pelaku akan dihukum
dengan pidana penjara atau pidana denda.165 Kelly memberikan komentar kritis
atas Lèse-Majesté, sebagai berikut:166
“The king embodied the state. Any attacks on majesty-and they were
widely defined to include libels, derogatory utterances, and
counterfeiting-were assaults against the monarch in his public
personality and, as such, against all his wards who constituted,
beneath him, the nation.”
165
Ibid.
166
Royal Pains: Lèse-Majesté in An International Rigts-Based Legal Framework”, Op.Cit.
167
Ibid.
168
Ibid.
169
John Hudson, The Oxford History of the Laws of England: Volume II 871-1216, (Great
Britain: CPI Gorup (UK) Ltd., 2012), halaman 737.
Universitas Indonesia
102
3.1.3. Thailand
Thailand dikenal sebagai salah satu negara yang secara masif
mengkriminalisasi penghinaan, khususnya terkait dengan penghinaan terhadap
Raja. Tindak pidana penghinaan diatur dalam pasal 326 hingga pasal 333 Undang-
Undang Hukum Pidana Thailand. Sebagai ketentuan mengenai delik umum, pasal
326 Undang-Undang Hukum Pidana Thailand mengatur penghinaan sebagai
berikut:
170
“The Art of Lèse Majesté”, History Today Volume 56 Issue 4 April 2006,
http://www.historytoday.com/mark-bryant/art-l%C3%A8se-majest%C3%A9 diakses pada 14 Mei
2015.
Universitas Indonesia
103
171
Somchai Hamlor dan Sinfah Tunsarawuth, SEA Media Defence Litigation Project, May
2007, Country Report: Thailand, hal 7 .
Universitas Indonesia
104
Universitas Indonesia
105
dimiliki oleh orang lain. Penghinaan dikategorikan sebagai Wrongfully Act yang
diatur lebih lanjut oleh pasal 423 sebagai berikut:
“A person who, contrary to the truth, asserts or circulates as a fact
that which injurious to the reputation or the credit of another or his
earnings or prosperity in any other manner, shall compensate the
other for any damage arising therefrom, even if he does not know of its
untruth, provided he ought to know it.
174
Petisi yang dikirimkan kepada Raja Thailand (Dika) Nomor 3520/2543 sebagaimana
dikutip dalam International Libel and Privacy Handbook, 2012.
175
Petisi yang dikirimkan kepada Raja Thailand (Dika) Nomor 3086/2522 sebagaimana
dikutip dalam International Libel and Privacy Handbook, 2012.
176
Petisi yang dikirimkan kepada Raja Thailand (Dika) Nomor 3015/2543 sebagaimana
dikutip dalam International Libel and Privacy Handbook, 2012.
Universitas Indonesia
106
Universitas Indonesia
107
178
Samut Sakorn court in Samut Sakorn province. Black Case Number 4971/2548. Red
Case Number 5244/2549 sebagaimana dikutip dalam International Libel and Privacy Handbook,
2012.
179
Petisi yang dikirimkan kepada Raja Thailand (Dika) Nomor 4563/2544 sebagaimana
dikutip dalam International Libel and Privacy Handbook, 2012.
180
Petisi yang dikirimkan kepada Raja Thailand (Dika) Nomor 7038/2549 sebagaimana
dikutip dalam International Libel and Privacy Handbook, 2012.
181
Thailand adalah negara monarkhi dengan rajanya King Bhumibol Adulyadej yang
menjabat sejak 5 Mei 1950 dan dimandatkan oleh Konstitusi Thailand sebagai kepala negara dan
pelindung agama. Thailand menerapkan konsep penghormatan utama kepada kerajaan. Anggota
kerajaan, khususnya Raja, menggunakan posisinya untuk mengurus negara dalam konteks terjadi
krisis dan menjadi penengah dalam kemandegan politik. Namun raja tidak memiliki wewenang
untuk mengurus masalah administrasi negara. Meskipun begitu, raja dapat meminta pejabat negara
untuk mengundurkan diri dari jabatannya tanpa perlu berdiskusi terlebih dahulu dengan siapapun.
Lihat: Martin Gannon & Rajnandini Pillai. Understanding Global Cultures: Metaphorical
Journeys Through 29 Nations, Clusters of Nations, Continents, and Diversity, Edisi
Keempat.Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc., 2010. Diakses pada tanggal 16 Februari
2015. http://www.sagepub.com/upm-data/47441_chp_2.pdf
Universitas Indonesia
108
penghinaan terhadap Raja yang diancam dengan pidana penjara selama 3 (tiga)
hingga 15 (lima belas) tahun lamanya. Tindak pidana penghinaan terhadap Raja
dan anggota kerajaan ini diatur dalam pasal 112 Undang-Undang Hukum Pidana
Thailand sebagai berikut:
“Anyone who defames, insults, or threatens the King, the Queen, the
Heir-apparent or the regent, shall be punsihed with imprisonment of
three to fifteen years182.
Adanya perlindungan terhadap Raja dan anggota kerajaan yang
sedemikian ketatnya disebabkan karena Raja dipandang sebagai pencerminan
kehormatan negara. Sama halnya dengan Inggris, Raja dianggap sebagai
penjelmaan kepribadian negara, sehingga setiap tindakan mengancam keberadaan
Raja dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan negara. Monarkhi bagi
Thailand tidak hanya berlaku sebagai simbol, namun ia merupakan pilar dari
keamanan nasional.183 Raja tidaklah terjun langsung dalam pengurusan negara,
namun Raja menjadi aktif dalam urusan pemerintahan dalam hal terjadi krisis dan
dalam hal menurunkan pejabat dalam posisi tertentu. Meskipun memiliki peran
insidental terhadap jalannya pemerintahan, kekuatan Raja dalam mengambil
kebijakan amatlah kuat, mengingat kultur pemerintahan di Thailand yang sangat
bergantung pada tingkat jabatan dan kedudukan penguasa dalam negara. Banyak
kebijakan negara yang diambil tidak berdasarkan hukum yang ada, namun justru
didasarkan pada perintah dari penguasa tertinggi. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Harry Triandis dan Michele Gelfand di tahun 1998, Thailand
tergolong sebagai negara dengan tingkat kelonggaran terhadap hukum yang paling
ekstrem. Namun, di sisi lain, kepatuhan Thailand dengan perintah penguasa
amatlah ketat.184
Mengingat urgensi perlindungan terhadap negara, unsur-unsur tindak
pidana penghinaan terhadap Raja dan anggota kerajaan memperoleh perluasan
dari sekedar tindak pidana penghinaan biasa dengan subjek sasaran tertentu.
182
Clothilde Le Coz, “His Untouchable Majesty: Thailand, Censorship and Imprisonment,
The Abuses in the Name of Lèse-Majesté”, Paris: Reporter sans frontieres, 2009, www.rsf.org
183
Ibid.
184
“The Thai Kngdom: Authority-Ranking Cultures”, Sage Publication,
http://www.sagepub.com/upm-data/47441_chp_2.pdf diakses pada 18 mei 2015.
Universitas Indonesia
109
Universitas Indonesia
110
Hukum Pidana Thailand sekaligus ketentuan dalam Computer Crime Act. Alhasil,
hingga kini Pemerintah menerapkan pengawasan yang ketat melalui kebijakan
konten internet. Sementara itu, banyak media massa yang melakukan penyensoran
diri sendiri atau self-censorship.
Tidak berlakunya alasan pembenar berdasarkan kepentingan umum
dalam tindak pidana penghinaan Kerajaan sebenarnya tidak sejalan dengan
pandangan Raja Thailand sendiri. Di tahun 2005, Raja menyatakan bahwa dirinya
bisa dan memang seharusnya dikritik oleh masyarakatnya dalam rangka
mewujudkan pemerintahan yang lebih baik.186 Namun, sebagaimana praktik
penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, pihak kerajaan
sendiri tidak memiliki andil dalam menentukan apakah suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana penghinaan terhadap Kerajaan atau tidak.
Aparat negara hyang justru secara aktif mengawasi indikasi terjadinya
penghinaan terhadap Kerajaan—baik yang dilakukan di Thailand ataupun di
negara lain, baik yang dilakukan ole warga negara sendiri atau oleh warga negara
asing.
Pengaturan mengenai tindak pidana penghinaan terhadap Raja di
Thailand dinilai jauh lebih serius daripada pengaturan di negara lain. Dalam pasal
112 Undang-Undang Hukum Pidana Thailand, dinyatakan bahwa tindak pidana
penghinaan terhadap Raja diancam dengan hukuman minimal 3 (tiga) tahun
penjara, berbeda dengan tindak pidana penghinaa biasa yang tidak menerapkan
minimum pemidanaan. Selain itu, tidak terdapat karakterisasi lebih jauh mengenai
definisi dari “penghinaan”, “fitnah” dan “ancaman”. Penafsiran atas hal-hal yang
disebutkan sebelumnya diserahkan pada preferensi pihak berwajib. Mengingat hal
tersebut, maka amatlah mungkin terjadi penyalahgunaan pasal oleh negara.
3.1.4 Perancis
Perancis merupakan salah satu negara yang memiliki pengaturan
mengenai penghinaan, baik yang ditujukan kepada diri pribadi orang biasa
186
The nation, Royal Birthday Address: King Can Do Wrong, 5 december 2005
http://www.nationmultimedia.com/2005/12/05/headlines/data/headlines_19334288.html accessed
23 June 2012
Universitas Indonesia
111
187
Bagian 29 dari law of 29 July 1881, France.
188
Charles J. Glasser J.R., Op.Cit., halaman 359.
Universitas Indonesia
112
publik, atau dibuat secara tertulis yang bisa memuat juga gambar,
sketsa, ukiran, atau wujud dari ilustrasi apapun, dan disebarkan di
tengah masyarakat umum melalui media massa ataupun melalui
publikasi secara tertulis seperti buku, koran, majalah, papan iklan,
atau media yang memanfaatkan sarana suara seperti radio, film,
televisi, dan internet.189
3). Identifikasi pelapor sebagai korban dari penghinaan.
Syarat yang ketiga adalah identifikasi atas pelapor sebagai korban
tindak pidana penghinaan. Sebagai contoh, apabila penghinaan
dilakukan terhadap sekelompok orang, yang mana secara nyata
penghinaan ditujukan pada identitas kelompok dan bukanlah pada
identitas tiap individu dalam kelompok tersebut, maka kelompok
yang bersangkutan selaku korban penghinaan dapat melaporkan
pelaku tindak pidana kepada aparat yang berwajib.
189
Ibid.
190
Patti McCracken, Insulting Laws: Insulting to Press Freedom,
https://www.freedomhouse.org/sites/default/files/Insult%20Law%20Report.pdf diakses pada 25
Mei 2015.
Universitas Indonesia
113
kalimat sinis, atau makian yang tidak mengandung fakta”.191 Pasal 33 mengancam
insult yang dilakukan melalui media terhadap diri pribadi orang dengan pidana
denda sebesar €12,000, sedangkan insult yang ditujukan kepada duta besar aatu
pejabat representatif negara asing lainnya diancam dengan denda sebesar €45,000
sebagaimana diatur dalam pasal 37. Sejak tahun 2000, seluruh pidana penjara
untuk penghinaan ditiadakan, kecuali untuk penghinaan terhadap rasa atau grup
tertentu yang turut diancam dengan pidana penjara selam 1 tahun dan 6 bulan.
Hukum Perancis mengatur bahwa kriminalisasi tindak pidana penghinaan
hanya dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut dilakukan berdasarkan pada
itikad buruk dan ketidakbenaran ungkapan yang diajukan oleh pelaku. Atas
tuduhan yang terdapat dalam perbuatan menghina tersebut, Pengadilan dapat
memberikan kesempatan bagi pelaku untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan
yang diajukannya. Kebenaran merupakan salah satu pembelaan yang dapat
digunakan dalam hukum Perancis. Meskipun demikian, tuduhan tidak dapat
dibenarkan apabila fakta-fakta yang melingkupi tuduhan itu terjadi 10 tahun yang
lalu, berhubungan dengan perkara amnesti politik dan berhubungan dengan orang
yang kejahatannya telah melalui proses rehabilitasi.192 Di samping itu,
pembuktian tidak bisa diberikan apabila apa yang dituduhkan oleh pelaku
berkaitan dengan privasi dari orang yang dituduh.
Sebagaimana alasan pembenar yang dikenal di negara-negara lain,
hukum Perancis mengatur bahwa perbuatan penghinaan dapat bebas dari
kriminalisasi apabila pelaku dapat memberikan justifikasi bahwasanya
penghinaan tersebut ia lakukan berdasarkan pada hak istimewa untuk melakukan
tindakan tersebut dan itikad baik. Hak istimewa atau privilege dimiliki oleh
media, yang mana hak ini memberikan kewenangan bagi media untuk
menyatakan suatu konten yang mungkin dinilai sebagai penghinaan. Oleh
karenanya, mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas publikasi
191
“Out Of Balance: Europe Defamation Laws and Press Freedom”, International Press
Institute,
www.freemedia.at/fileadmin/uploads/pics/Out_of_Balance_OnDefamation_IPIJuly2014.pdf
diakses pada 25 Mei 2015.
192
“Defamation and Privacy Law and Procedure in england, Germany, and France”, Taylor
Wessling Law Firm, https://www.taylorwessing.com/uploads/tx_siruplawyermanagement/
IP_Defamation_and_privacy.en.pdf diakses pada 14 Mei 2015
Universitas Indonesia
114
konten yang berkaitan dengan isu publik mengenai jalannya pemerintahan atau
persidangan, selama apa yang mereka publikasikan adalah akurat.
Adanya alasan pembenar berupa itikad baik ini disandarkan pada
beberapa elemen penting meliputi: 1). Objektivitas ungkapan penghinaan; 2).
Kebijaksanaan dan kelayakan dalam mengekspresikan pendapat; 3). Ketiadaan
kebencian pribadi dari pelaku kepada korban penghinaan; 4). Keabsahan tujuan
yang akan dicapai pelaku dalam melakukan tindak pidana penghinaan. Pengaturan
mengenai alasan pembenar ini disesuaikan dengan iklim kebebasan berekpresi
mengingat peran Pengadilan Eropa dalam perkara Hak Asasi Manusia (HAM)
atau European ourt of Human Rights. Sebagai contoh penerapan alasan pembenar
berupa itikad baik, yaitu pengadilan Perancis mengatur bahwa sebuah majalah
yang telah mempublikasikan hasil wawancara terkait isu yang memang masuk ke
dalam kategori kepentingan publik seperti isu penyuapan dalam perkara asuransi
yang dikenal dengan perkara “Executive Life Affair”, merepresentasikan dengan
jelas kepentingan publik yang berusaha diemban sekalipun ada agenda
tersembunyi dalam publikasi tersebut—yaitu rasa dendam.193 Namun, pengadilan
menegaskan bahwa terlalu ketatnya pemaknaan itikad baik sebagai tidak adanya
itikad buruk sama sekali untuk menjatuhkan orang, justru melanggar ketentuan
pasal 10 Konvensi HAM Eropa, sebagai berikut:
193
“In France, Judicial Evolution in Defamation Cases Protects Work of Civil Society”,
http://www.freemedia.at/newssview/article/in-france-judicial-evolution-in-defamation-cases-
protects-work-of-civil-society.html diakses pada 25 Mei 2015.
Universitas Indonesia
115
Universitas Indonesia
116
195
Andrew Weber, Freedom of Speech in France, http://blogs.loc.gov/law/2015/03/falqs-
freedom-of-speech-in-france/ diakses pada 25 Mei 2015.
Universitas Indonesia
117
pelaksana dari fungsi Presiden itu sendiri. Penghinaan yang ditujukan kepada
Presiden atau pejabat publik merupakan pemberatan delik dari tindak pidana
penghinaan biasa. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan pasal 31 Press Law
sebagai berikut:
Universitas Indonesia
118
pendapat: 196
196
“Lèse Majesté: 16th Century Censorship Meets 21st Century Law”, Digital Media Law
Project, http://www.dmlp.org/blog/2012/l%C3%A8se-majest%C3%A9-16th-century-censorship-
meets-21st-century-law diakses pada 28 mei 2015.
Universitas Indonesia
119
Universitas Indonesia
120
Universitas Indonesia
121
ini nampak secara jelas dalam perkara Gertz v. Robert Welch. Dalam perkara
tersebut, Gertz yang merupakan pengacara terkenal di Chicago, melaporkan
penerbit majalah American Opinion sebagai pelaku penghinaan. Saat itu,
American Opinion mempublikasikan sebuah artikel yang membahas mengenai
pengadilan Richard Nuccio, seorang tertuduh pembunuhan, yang diduga memiliki
hubungan dengan konspirasi komunis tingkat dunia. Artikel tersebut menuduh
Gertz, yang notabene merupakan penasihat hukum keluarga Nuccio sebagai
anggota dari konspirasi komunis tersebut. Dalam kasus tersebut, pengadilan
menyatakan bahwa Gertz merupakan figur privat, yang mana sebenarnya lebih
rentan mengalami kerugian besar ketika mengalami penghinaan daripada figur
publik yang memang mengekspos dirinya ke dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Figur publik cenderung memiliki akses yang lebih mudah
terhadap media, sehingga lebih mudah pula bagi mereka untuk memberikan
perlawanan melalui pernyataan media daripada yang dapat dilakukan oleh figur
privat. Figur privat tidak memiliki keleluasaan sedemikian besar untuk melakukan
klarifikasi atas tuduhan yang ditujukan kepadanya. Figur privat pun dilihat dari
sifatnya, cenderung lebih tertutup daripada figur publik. Oleh karenanya, dalam
hal terjadi penghinaan, figur privat lebih berhak memperoleh kompensasi daripada
figur publik yang memang akan selalu dibayang-bayangi risiko atas penghinaan.
Konsekuensi logis dari pandangan yang demikian adalah pembedaan standar
identifikasi penghinaan bagi kedua subjek tersebut. Standar identifikasi
penghinaan bagi figur publik tentunya harus lebih berat dan lebih ketat daripada
standar identifikasi figur privat.199
Seorang korban yang merupakan figur publik, yaitu orang yang menjadi
perhatian di tengah masyarakat seperti politisi, pejabat publik, atau artis, harus
membuktikan dengan dasar bukti yang jelas, bahwa pelaku membuat pernyataan
yang menghina berdasarkan pada itikad buruk, yang mana didefinisikan sebagai
“pengetahuan bahwa suatu pernyataan salah atau sembarangan dengan tidak
memperhatikan apakah pernyataan tersebut benar atau salah”, sebagaimana
ditetapkan oleh pengadilan sebagai berikut:
199
Peter N. Amposah, Libel Law, Political Criticism, and Defamation of Puvlication,
halaman 86.
Universitas Indonesia
122
200
Ibid.
Universitas Indonesia
123
sangat substansial. Melalui bukti-bukti yang ada, pengadilan akan memeriksa dan
menilai adanya kerugian materiil ataupun imateriil yang diderita oleh korban.
Kerugian yang demikian dikenal sebagai kerugian yang khusus, sementara
kerugian secara umum adalah kerugian yang tidak dinilai berdasarkan takaran
ekonomis—sebatas penilaian subjektif hakim atas kerugian yang dialami oleh
korban.
Selain menyediakan penyelesaian perkara secara pidana, hukum Amerika
Serikat juga menyediakan mekanisme perdata. Pemeriksaan di persidangan perdata
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemeriksaan dalam persidangan pidana.
Pengadilan akan melihat kepada “siapa” orang yang dihina atau dicemarkan nama
baiknya dan juga pada “muatan atau isi”. Konteks “siapa” dalam pemeriksaan
persidangan adalah menilai dan melihat kedudukan, peran, dan status sosial dari
korban yang dihina. Sementara konteks “muatan atau isi” yang dimaksud adalah
terkait substansi yang disampaikan dalam pernyataan tersebut. Perlu ditelaah
apakah pernyataan tersebut mengandung kepentingan publik atau tidak. Salah satu
putusan yang memiliki pengaruh siginifikan bagi hukum tentang penghinaan di
Amerika Serikat adalah kasus New York Times Cp. V. Sullivan. Dalam kasus
tersebut New York Times merilis sebuah artikel yang membahas tentang
dilecehkannya seorang mahasiswa Universitas Alabama oleh polisi dan aparat
negara lainnya. Setelah meninjau perkara tersebut, pengadilan memutuskan untuk
memenangkan pihak New York Times karena berita yang dirilisnya cenderung
menunjukkan opini berupa protes, dan berita tersebut juga digunakan untuk
menggerakkan dukungan dana dalam rangka kepentingan publik. Melalui kasus
tersebutlah, pengadilan mulai menetapkan standar untuk menilai apakah suatu
tindakan merupakan penghinaan atau tidak.
Salah satu standar yang ditetapkan agar pejabat publik dapat mengklaim
bahwa ia mengalami penghinaan adalah adanya pembuktian unsur “actual
malice”, atau secara leksikal didefinisikan sebagai niat jahat yang sebenarnya.
Actual malice ini pun harus ditujukan kepada orang secara spresifik, tidak bisa
diduga-duga siapa korban dari actual malice yang bersangkutan. Selain itu, perlu
ditentukan apakah informasi yang disebarkan tersebut mengandung kebenaran atau
justru memuat kebohongan. Apabila penghina tidak berhati-hati atau tidak
Universitas Indonesia
124
melakukan penyelidikan terlebih dahulu atas konten yang ia sebarkan, maka dapat
dikatakan bahwa ia melakukan perbuatan tanpa kehati-hatian atau yang kerap
disebut dengan ‘reckless conduct’. Dalam kasus Amant v. Thompson, dinyatakan
bahwa:
201
Ibid.
202
Ibid.
Universitas Indonesia
125
tertentu. Selain itu, alasan pembenar lain yang dikenal dalam hukum Amerika
adalah hak istimewa dengan kualifikasi tertentu atau qualified privilege. Hak
istimewa ini melindungi suatu publikasi mengenai konten hinaan yang mana
penerbit dari berita tersebut memiliki tugas untuk mempublikasikan konten dan
masyarakat umum juga memiliki kepentingan untuk mengetahui informasi
tersebut.
Salah satu alasan pembenar yang banyak digunakan adalah komentar
yang layak atau fair comment. Alasan pembenar ini muncul dengan
dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa urusan publik adalah urusan yang memang
sepatutnya terbuka akan kritik yang layak, dan tidak dipublikasikan untuk
merugikan korban. Pembelaan tersebut dapat digunakan apabila yang diungkapkan
adalah murni opini yang tidak mengindikasikan adanya fakta-fakta tertentu.
Sebuah penghinaan juga tidak dapat didasarkan pada “ekspresi imajiner”,
“hiperbola yang retoris”, atau “bahasa yang tidak jelas dan metaforis”, yang bisa
memberikan sinyal bagi masyarakat secara umum bahwa apa yang diungkapkan
merupakan opini, dan bukanlah pernyataan mengenai fakta tertentu. Hal ini
merupakan pengejewantahan dari iklim masyarakat Amerika yang ramah dengan
kebebasan berpendapat. Dalam hal ini, demokrasi di Amerika tidak hanya
memaknai keterbukaan bukan hanya untuk mengijinkan warga negara terlibat
dalam proses pengambilan kebijakan, tetapi juga untuk membuka pemerintahan
dari kritik dan masukan masyarakat. Terkait hal ini, Lippman berpendapat bahwa:
Universitas Indonesia
126
Universitas Indonesia
127
Universitas Indonesia
128
BAB IV
TINJAUAN PENERAPAN HUKUM PASAL 134 KUHP TENTANG
PENGHINAAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA
DALAM PUTUSAN PENGADILAN INDONESIA TAHUN 1998-2013
203
Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014),
halaman 1.
204
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan MAsyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983),
halaman 93.
205
Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986), halaman 160.
Universitas Indonesia
129
Universitas Indonesia
130
Universitas Indonesia
131
pembentukan dasar negara dan penjalinan hubungan luar negeri yang baik dengan
bangsa lain. Soekarno yang hampir mendominasi seluruh urusan ekonomi dan
politik juga melancarkan gagasan mengubah perekonomian kolonial menjadi
perekonomian nasional dalam rangka membersihkan pengaruh imperialisme asing
peninggalan Belanda.211 Gagasan itu diwujudkannya dengan melakukan
nasionalisasi enam perusahaan Belanda dengan menempatkan personil militer dan
elite politis sebagai pengelola perusahaan yang bersangkutan. Alih-laih
mewujudkan perekonomian yang berpihak pada rakyat, gagasan nasionalisasi
tersebut justru menyebabkan penguasaan sektor ekonomi oleh kerabat dekat
Soekarno.212 Sementara itu, orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto
menitikberatkan pada pembangunan sosial ekonomi sebagai upaya memperbaiki
kehancuran ekonomi yang terjadi di masa orde lama masih berkuasa.213
Pemerintahan Soeharto cenderung menempatkan pembangunan ekonomi pada
posisi yang lebih superior daripada pembangunan politik. Minimnya
pembangunan politik ini dapat dilihat dari otoritarianisme Soeharto dalam
menanggapi pihak-pihak yang memiliki pendirian politik berseberangan dengan
pemerintah. Alhasil, baik dalam kepemimpinan Soekarno maupun Soeharto,
terjadi perbenturan pendapat yang cukup masif antara berbagai kelompok yang
terdiri dari politisi, akademisi, pengusaha, pers, ataupun masyarakat sendiri.214
Pasca Soeharto dilengserkan melalui berbagai aksi demonstrasi,
Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai Presiden pengganti menjalankan
pemerintahan secara reformatif sebagai respon atas otoritarianisme pemerintahan
pendahulunya. Kebijakan-kebijakan Habibie cenderung mengutamakan perbaikan
segi pemenuhan hak sosial dan politik sebagai wujud remedi atas politik hukum
Soeharto yang cenderung opresif. Politik hukum reformatif masih terus diterapkan
211
Harian Indonesian Observer sebagaimana dikutip oleh Yahya A. Muhaimin, Bisnis dan
Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, (Jakarta: LP3ES, 1990), halaman 157.
212
Yahya A. Muhaimin, Ibid, halaman 101.
213
Kehancuran ekonomi ini nampak dari tingkat inflasi yang mencapai 697% pada tahun
1966, juga korupsi dan monopoli ekonomi oleh orang-orang yang dekat dengan lembaga
kepresidenan, baik orang yang terlibat langsung sebagai bagian dari elit politik pemerintahan
ataupun pengusaha.
214
Samuel F. Lena. “Dialektika Hukum Pidana: Suatu Telaah secara Dialektika terhadap
Dasar-Dasar Filsafat dan Politik Hukum Pidana”, Program Magister Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1993, halaman 243-244.
Universitas Indonesia
132
oleh rezim pemerintahan Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri. Hanya saja,
Megawati cenderung mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang kurang
berpihak kepada masyarakat, sebagai upaya pembayaran hutang kepada luar
negeri yang belum dilunasi oleh rezim pemerintahan sebelumnya.
Segala kebijakan politik termasuk di dalamnya kebijakan politik pidana
mengalami diskursi pemikiran melalui timbal balik komunikasi politik.
Komunikasi politik dimaknai oleh Arif Zulkifli sebagai masalah bagaimana aktor
politik, baik individu atau lembaga, menyiasati situasi politik yang ada agar dapat
menyampaikan atau mengekpresikan pendapat.215 Gabriel A. Almond berusaha
memberikan gambaran mengenai keterkaitan antara komunikasi politik dengan
pengambilan kebijakan. Bagi Almond, sistem politik diibaratkan sebagai kotak
tempat masuknya masukan-masukan berupa tuntutan-tuntutan dan dukungan
untuk mempengaruhi sistem politik, baik sesuai atau tidak sesuai dengan
kehendak pemberi masukan. Proses keluar masuknya masukan dan keluaran inilah
yang disebut dengan komunikasi politik.216 Upaya mempengaruhi sistem politik
ini dimulai dengan mempengaruhi pengambilan kebijakan politik yang ada
meskipun tak jarang pengaruh tersebut justru direspon dengan kebijakan politik
pemerintahan yang sifatnya justru bertolak belakang. Masing-masing rezim
pemerintahan dapat memberikan respon yang berbeda bagi komunikasi politik
yang ada, dan sebaliknya, komunikasi politik juga sangat dinamis bergantung
pada kebijakan pemerintah itu sendiri.
Pada masa demokrasi liberal,217 pemerintah Indonesia memberikan
keleluasaan bagi komunikasi politik yang terjadi. Setiap unsur dalam sistem
politik, baik partai maupun kelompok penekan, secara bebas menyampaikan
215
Arif Zulkifli, PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama
Grafiti, 1996), halaman 4.
216
Amir Efendi Siregar, Arus Pemikiran Ekonomi Politik: Esai-Esai Terpilih, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991), halaman 25-26.
217
Masa demokrasi liberal ditandai dengan dinamika komunikasi politik antar puluhan
partai yang sangat dinamis. Masing-masing partai memiliki kelompok pendukung dan kelompok
penekan yang saling melakukan peperangan kritik baik melalui media massa maupun demonstrasi.
Demokrasi liberal ini menjadi titik tolak berkembangnya komunikas politik di masa-masa
berikutnya yang diikuti dengan perkembangan politik kebijakan pemerintah dalam merespon
komunikasi politik tersebut. Pilihan kebijakan yang saat itu banyak diterapkan adalah
pemberedelan pers. Sumber: Edward C. Smith, Pembredelan Pers di Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Grafitipers, 1986), halaman 95 dan 119.
Universitas Indonesia
133
pendapat, saran, dan ketidaksetujuan terhadap sistem politik. Kondisi ini secara
riil mengakibatkan tidak pernah terbentuk pemerintahan yang kokoh, sampai-
sampai hampir setiap kabinet hanya mampu bertahan dalam hitungan bulan.218
Berbeda jauh dengan situasi saat demokrasi liberal masih berkuasa, demokrasi
terpimpin di bawah kendali Soekarno justru mengatur semua bentuk komunikasi
politik sesuai dengan kehendaknya. Partai politik yang tidak sesuai dengan
kehendak politik Presiden dibubarkan sedangkan surat kabar yang dianggap
terlalu vokal dibredel dan pemimpin redaksinya dipenjarakan.219 Sistem politik
represif dengan komunikasi politik yang macet menyebabkan minimnya tuntutan
dan ketidaksetujuan; komunikasi politik didominasi dengan dukungan. Kondisi
serupa juga ditemukan pada era orde baru yang ditandai dengan pergolakan
politik G 30S/PKI beiriringan dengan sejumlah restrukturisasi politik dan
ekonomi secara sistematis. Dinamika yang demikian menyebabkan pemerintah
memilih kebijakan komunikasi politik yang bersifat “gelang karet”. Artinya, di
saat-saat tertentu pemerintah memperketat pengawasan dan kontrol teradap setiap
kegiatan politik masyarakat sedangkan pada saat lain, ketika situasi politik tidak
menyebabkan banyak tekanan, kebijakan komunikasi politik mengendur. Alfian
menyatakan bahwa:
218
Ibid.
219
Mochtar Lubis diajukan ke pengadilan atas tuduhan menyebarkan berita bohong tentang
korupsi yang dilakukan Menteri Roeslan Abdulgani. Di Surabaya, pemimpin redaksi harian
Trompet Masjarakat dihukum selama satu bulan karena dinilai menghina pemerintah. Sumber:
Atmakusumah, Mochtar Lubis Wartawan Jihad, (Jakarta: Harian Kompas, 1992), halaman 70-81.
220
Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1993),
halaman 66.
Universitas Indonesia
134
221
Todung Mulya Lubis, Langit Masih Mendung: Laporan Keadaan-Keadaan Hak-Hak
Azasi Manusia di Indonesia 1980, (Jakarta: LBH Jakarta dan Penerbit Sinar Harapan), halaman 98.
Universitas Indonesia
135
Universitas Indonesia
136
Universitas Indonesia
137
penyebaran kebencian terhadap Pemerintah yang diatur dalam pasal 154 jo. 155
KUHP.225 Dalam persidangan saat itu, pembuktian mengenai kebenaran
pemberitaan mengenai kepemilikan saham pada bisnis milik Harmoko tidak
diprioritaskan. Setelah Ahmad Taufik bebas, salah seorang jaksa justru
mempertanyakan kebenaran atas praduga kepemilikan saham Harmoko di
berbagai media massa. Keterangan salah seorang saksi yang cukup krusial, yaitu
keterangan dari Brigjen (Pol.) Roekmini Astuti tidak dipertimbangkan oleh hakim
dalam penjatuhan putusan. Sehingga, penilaian mengenai substansi penghinaan
didasarkan pada penilaian subjektif hakim yang saat itu berada di bawah tekanan
pemerintah.226
Dalam wawancara yang diselenggarakan oleh wartawan Tempo Edy
Budiyarso dengan Ahmad Taufik, dijelaskan bahwa hakim berada di bawah
tekanan ketika memutuskan perkara. Pasal yang digunakan untuk
mengkriminalisasipun adalah pasal penyebaran kebencian atau permusuhan
terhadap pemerintah, yang mana tidak bisa digolongkan sebagai kejahatan politik
murni seperti tindak pidana subversi. Identifikasi atas penyebaran kebencian dan
permusuhan tersebut amatlah subjektif, yang mungkin oleh sebagian orang
dianggap kejahatan politik namun menurut orang lain tidak. Atas perkara tersebut,
Ahmad Taufik dan Eko Maryadi dipidana penjara selama hampir 3 (tiga) tahun
lamanya, sedangkan Danang Kukuh Wardoyo dipidana selama 18 (delapan belas)
bulan. Namun apda tanggal 19 Juli 1997, Taufik dan Eko dibebaskan bersyarat,
sementara Danang sudah bebas terlebih dahulu. Berikut adalah tabulasi beberapa
perkara penyebaran kebencian terhadap pemerintah (Haatzaaiartikelen) di Era
Soeharto:227
225
“Keputusan Diskriminatif Sang Jaksa”, Edisi 47/01-18 Januari 1997,
http://tempo.co.id/ang/min/01/47/nas4.htm diakses pada 2 Mei 2015.
226
Ibid.
227
Ibid.
Universitas Indonesia
138
Universitas Indonesia
139
Universitas Indonesia
140
AJI ataupun Suara Independen yang diinisiasi oleh MIPPA disebabkan karena
ketiadaan izin resmi dari Departemen Penerangan. Selain itu, konten yang
dipublikasikan oleh media massa tersebut didominasi oleh investigasi dan rumor-
rumor yang berkembang di masyarakat sehubungan dengan hal-hal negatif yang
terdapat dalam pemerintahan di masa itu. Alhasil, banyak media massa yang
dianggap sebagai oposisi dan pemerintah berusaha melakukan penertiban dengan
mengkriminalisasi pers menggunakan ketentuan Haatzaaiartikelen dan Lèse-
Majesté.
Pada tahun 1994, Nuku Sulaiman, seorang aktivis Gerakan Pro-
Demokrasi dipidana selama 5 tahun di tingkat banding setelah memasang stiker di
halaman MPR-RI yang bertuliskan “Soeharto Dalang Segala Bencana”. Ia dituduh
telah melakukan penghinaan Presiden Soeharto setelah mengganti seruan
“Soeharto Bapak Pembangunan” menjadi anekdot “Soeharto Dalang Segala
Bencana” atau yang sering disingkat dengan SDSB. Stiker itu disebarkan Nuku
ketika sedang berlangsung demonstrasi di depan gedung MPR-RI menentang
perederan penjualan stiker Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB) oleh
Pemerintah.229 Saat itu, pembuatan anekdot berupa akronim sangatlah terkenal di
kalangan aktivis. Beberapa akronim lain yang sering diucapkan adalah Soeharto
sebagai “Soedah Harus Tobat”. Akronim ini tumbuh subur di masa Orde Baru
karena rezim represif Soeharto membatasi hak untuk memiliki pandangan berbeda
atau kebebasan berekspresi. Menurut Harsutejo, penulis buku Kamus Kejahatan
Orba, anekdot berupa akronim berkembang ke seluruh lapisan masyarakat
Indonesia saat itu. Akronim ini terbilang cukup kreatif dan mudah untuk
mengekspresikan ketidakpuasan sosial dan protes politik.230 Anggota masyarakat
lebih memilih menggunakan akronim yang demikian karena mereka berpikiran
bahwa ejekan akronim adalah hal sepele yang tidak akan memberikan dampak
signifikan bagi Pemerintahan Soeharto.
Selain Nuku, Aberson Marle Sialoho juga dituduh melakukan
229
“Aktivis Nuku Sulaeman Meninggal Dunia”, Liputan 6, 18 Februari 2003,
http://news.liputan6.com/read/49787/aktivis-nuku-sulaeman-meninggal-dunia diakses pada 2 Juni
2015.
230
“Dari SBY sampai SDSB”, Historia, http://historia.id/modern/dari-sby-sampai-sdsb
diakses pada 2 Juni 2015.
Universitas Indonesia
141
Universitas Indonesia
142
program DPP PDI di bawah Megawati dalam menghadapi pemilu dan Sidang
Umum MPR untuk menegakkan kedaulatan rakyat dan demokrasi sesuai UUD
NRI 1945. Hanya saja, Aberson juga tidak menyangkal terkait fakta bahwa ia
memberikan kritik terhadap Pemerintah yang sedang berkuasa. Aberson juga
mengaku sempat menyinggung tentang ABRI, namun terkait peran sosial politik
institusi tersebut. Selain itu, Aberson mengkritisi masalah pemilihan anggota
MPR yang oleh Undang-Undang Pemilu diatur bahwa hanya 400 dari 1000
anggota MPR yang dapat dipilih langsung. Alhasil, MPR yang demikian tidak
dapat dinyatakan sebagai wakil rakyat karena MPR justru sarat dengan perwakilan
masing-masing organisasi. Hal ini juga akan berpengaruh pada pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, karena keduanya dipilih oleh MPR pada masa itu.
Aberson memandang hal tersebut bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI
1945 yang mengedepankan kedaulatan rakyat. Oleh karenanya, Aberson
menghimbau seluruh tamu yang hadir dalam acara tersebut untuk mendorong
dilaksanakannya Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Melanjutkan keterangan tersebut, Aberson sebagai anggota MPR tidak pernah
merasa memilih Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Itulah akibat dari
MPR yang terkotak-kotakkan dalam fraksi, dan proses musyawarah sendiri
didominasi oleh perwakilan-perwakilan fraksi tersebut. Menurut Aberson,
seharusnya seluruh anggota MPR turut ambil bagian dalam setiap musyawarah
menentukan kebijakan negara. Aberson menyanggah bahwa apa yang
dilakukannya adalah penghinaan, karena sebenarnya niat utama Aberson adalah
memberikan kritik atas jalannya pemerintah, tidak terkecuali terhadap PDI
sebagai partai yang membantu Aberson memperoleh kursi di MPR. Apa yang
dilakukan Aberson semata adalah perwujudan dari kebebasan berekspresi dan
berpendapat yang dilindungi oleh UUD NRI 1945 dan juga aktualisasi diri
sebagai anggota partai politik yang bertugas untuk memberikan pendidikan politik
bagi masyarakat.
Dalam persidangannya, jaksa berpendapat bahwa Aberson terbukti
melakukan penghinaan terhadap Presiden Soeharto melalui pidato yang
diberikannya di mimbar bebas DPP PDI. Menurut jaksa, Presiden Soeharto adalah
seorang yang dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia dan oleh bangsa lainnya,
Universitas Indonesia
143
Universitas Indonesia
144
Universitas Indonesia
145
yang berbelit-belit, tidak mengakui, dan tidak menyesali perbuatannya; 3). Sri
Bintang hanya menyebut Presiden Soeharto dengan panggilan “Saudara”; 4).
Jaksa meyakini bahwa rekaman kaset yang diperdengarkan dalam persidangan
akurat; 5). Kata “diktator” memiliki makna negatif dan kata inilah yang diucapkan
oleh Sri Bintang Pamungkas. Dalam kesempatan replik-duplik, jaksa sempat
menekankan bahwa yang paling keji dari tindakan Sri Bintang bukanlah
penghinaan yang diucapkannya, namun seruan Sri Bintang agar Soeharto tidak
dipilih lagi.236 Atas hal-hal tersebut, Sri Bintang dinyatakan telah secara sah dan
meyakinkan melakukan penghinaan terhadap Presiden Soeharto, serta dijatuhi
pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 10 (sepuluh) bulan. 237
Pemidanaan atas tuduhan penghinaan Presiden juga menimpa Tri Agus
Siswowihardjo, kepala redaksi Kabar Pijar yang dituduh menghina Presiden
Soeharto karena publikasi yang diterbitkannya. Ia menulis artikel berjudul “Adnan
Buyung Nasution: Negeri Ini Dikacaukan Oleh Orang yang Bernama Soeharto”,
dalam Kabar Dari Pijar (KDP) tertanggal Juni 1994. Artikel tersebut sebenarnya
adalah liputan malam tirakatan yang diselenggarakan oleh Yayasan lembaga
Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) untuk memprotes pembredelan tiga media
massa terkemuka, Tempo, DeTIK dan Editor, di bulan Juni 1994. Dalam liputan
yang dimuat di KdP No. 2 tahun V/1994 itu TASS mengutip ucapan
Adnan Buyung Nasution, sebagai judul tulisannya, "Negeri ini dikacaukan oleh
seorang yang bernama Soeharto." Dalam persidangan yang menghadirkan Adnan
Buyung Nasution, Adnan mengaku bahwa ia tidak pernah mengucapkan hal itu.
Namun Tri Agus bersikeras bahwa ia tidak salah mendengar apa yang diucapkan
oleh Adnan. Namun, jaksa beranggapan bahwa Tri Agus lah yang mengada-ada,
sehingga Tri dianggap secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindakan
penghinaan Presiden. Tri Agus yang tidak menunjukkan rasa penyesalan dijatuhi
236
Hal ini dilakukan Sri Bintang Pamungkas dengan membentuk program politik Partai Uni
Demokrasi Indonesia, sebuah partai tidak resmi bentukannya di tahun 1996. Program PUDI
tersebut berisi niatan menolak Pemilu 1997, menolak pencalonan Soeharto, dan meyiapkan tatanan
baru paska Soeharto.
237
“Perjalanan Menjerat Sri Bintang Pamungkas”, Tempo Edisi 07/01 - 13/Apr/1996,
http://tempo.co.id/ang/min/01/07/utama2.htm diakses pada 2 Juni 2015.
Universitas Indonesia
146
238
“Dua Tahun Penjara untuk Aktivis PIJAR”, 11 September 1995,
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/09/12/0002.html diakses pada 2 Juni 2015.
239
“Habibie akan Bebaskan Bintang dan Pakpahan”, Kompas Online, 25 Mei 1998,
http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Chronicle/Kompas/May25/habi01.htm diakses
pada 2 Juni 2015.
Universitas Indonesia
147
240
“Liberalisasi Pers Terjadi pada Zaman BJ Habibie”, Satu Harapan, 30 Agustus 2013,
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/liberalisasi-pers-terjadi-pada-zaman-bj-habibie
diakses pada 4 Juni 2015.
Universitas Indonesia
148
Salah satu kebijakan Gus Dur adalah pembubaran Kementerian Penerangan yang
selama ini mengatur dan mengawasi pergerakan pers di Indonesia.241
Seiring dengan kebebasan berekspresi yang semakin berkembang pada
masa Pemerintahan Gus Dur, ada banyak sekali kritik yang diajukan oleh
masyarakat khususnya media massa terhadap pilihan tindakan yang diambil Gus
Dur dalam menyelesaikan masalah-masalah pemerintahan saat itu. Pada masa
inilah mulai berkembang mekanisme kritik berupa pembuatan karikatur yang
cenderung bermakna sarkastik. Sebagai contoh, untuk mengkritik Gus Dur yang
seolah acuh dengan budaya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang terjadi
pada saat itu, Majalah Tempo Edisi 8-14 Mei 2000 menampilakn gambar Gus Dur
mengenakan baju batik dan kaca mata, sedang duduk dantai dan tertawa rileks. Di
depan Gus Dur terdapat alat ukur yang bertuliskan clean government yang
menunjukkan indeks prestasi Gus Dur dalam mewujudkan pemerintahan yang
bersih. Alat ukur itu menunjukkan angka 50%, namun Gus Dur masih terlihat
santai dan tidak peduli. Kemudian majalah Tempo edisi 17-23 Juli 2000
menampilkan karikatur Gus Dur dengan baju baja yang sedang mengahadapi
panah-panah yang banyak jatuh berserakan di atas tanah. Panah-panah itu
diibaratkan sebagai kritik sedangkan baju baja merupakan kekuatan kelompok
pendukung yang melindungi Gus Dur dari berbagai serangan politik.242
Pada periode kepemimpinan Gus Dur, banyaknya kritik yang diajukan
terhadap Pemerintah lebih banyak diselesaikan dengan pembiaran atau balas-
berbalas argumentasi oleh pihak pendukung Presiden. Tidak ditemukan adanya
indikasi kriminalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap orang-orang yang
mngajukan pendapat. Pada masa pemerintahan Gus Dur sendiri, Departemen
Penerangan yang dulu menjadi otoritas utama yang berhak melakukan
pemberedelan dibubarkan.243
241
“Dari Dialog Presiden Gus Dur dan Wakil Rakyat”, Tempo Interaktif,
http://tempo.co.id/harian/opini/ana-18111999.html diakses pada 4 Jui 2015.
242
Agus Sudibyo, Politik Media dan Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: LKiS, 2001),
halaman 249-250.
243
Ibid.
Universitas Indonesia
149
244
“Activist Gets Six Months Jail for Insulting President Megawati, The Jakarta Post 8
Januari 2003, http://www.thejakartapost.com/news/2003/01/08/activist-gets-six-months-jail-
insulting-President-megawati.html diakses pada 5 Juni 2015.
Universitas Indonesia
150
Universitas Indonesia
151
dan Hamzah tidak cocok sebagai Presiden dan Wakil Presiden di Republik ini.
Hal itu dilakukannya dalam sebuah demo sebagai wujud protes terhadap Presiden
dan Wakil Presiden menuntut penyelenggaraan pendidikan yang “murah, ilmiah
dan demokratis”. Pada tahun berikutnya berlokasi di Propinsi Sulawesi Tenggara,
Susyanti Kamil, An’am Jaya, Sahabuddin, Ansar Suherman, dan Muhammad
Akman dipidana karena telah menghina Presiden dan Wakil Presiden dengan
menginjak-injak dan kemudian membakar poster Megawati dan Hamzah Haz
pada sebuah aksi demo.
Penangkapan para pendemo meningkat pada bulan Januari 2003 ketika
protes dan demo besar-besaran bermunculan setelah pemerintah mengumumkan
kenaikan listrik, telpon dan BBM. Aksi protes besar-besaran terjadi di seluruh
nusantara, meliputi Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Papua.245 Di awal tahun
2003, terjadi demo di depan Istana Presiden memprotes kenaikan harga Tarif
Dasar Listrik (TDL), harga minyak goreng, dan biaya telepon. Salah seorang
demonstran, Iqbal Siregar membawa poster Presiden Megawati sedang
mengenakan blus merah dengan mata yang ditutupi lakban. Di atas poster tersebut
ada tulisan “Buronan Rakyat”. Iqbal juga dituduh membawa poster di atas
kepalanya di dekat para pendemo dan menghasut mereka untuk mulai
meneriakkan “Inilah Presiden yang Mengecewakan Rakyat”. Atas perbuatan
tersebut, Iqbal dipersalahkan telah melakukan tindak pidana penghinaan terhadap
Presiden Megawati.
Tak lama setelah kasus yang melibatkan Iqbal Siregar, 2 (dua) orang
aktivis, Nanang dan Mudzakir dipidana 1 (satu) tahun penjara karena menginjak-
injak gambar Megawati Soekarno Putri dalam sebuah aksi kesenian bersama
rombongan mahasiswa yang menyampaikan pendapatnya di muka Istana
Merdeka, Jakarta. Pada saat itu, terdapat sekelompok orang yang mengecat tubuh
mereka dengan berbagai macam warna untuk menggambarkan penderitaan
masyarakat Indonesia. Beberapa orang juga menempelkan slogan bergambar di
245
“Violence Erupts as Street Demonstrations Heighten,” The Jakarta Post, 8 Januari, 2003,
http://www.thejakartapost.com/news/2003/01/08/violence-erupts-street-demonstrations-
heighten.html diakses pada 3 Juni 2015.
Universitas Indonesia
152
tubuh mereka termasuk pesan yang bertuliskan “Mega Hamzah Haz Turun”.246
Terdapat 4 (empat) orang lainnya yang membawa tandu dengan poster Megawati
dan Hamzah Haz di atasnya. Beberapa mahasiswa lain membawakan pidato
dengan pengeras suara sembari meneriakkan “Turunkan Megawati Soekarnoputri
dan Hamzah Haz dan bentuk pemerintahan transisi!”. Setelah itu, tandu dan
poster-poster dijatuhkan ke tanah dan selanjutnya diinjak-injak. Enam dari pemain
seni tersebut melempar nasi basi ke atas foto-foto itu yang melambangkan
penderitaan masyarakat yang terpaksa makan nasi basi. Nanang dan Muzakkir
merupakan bagian dari pemain seni dan tampak menginjak-injak foto tersebut.
Beberapa hari kemudian, Nanang dan Mudzakir ditangkap ketika sedang
mengamen oleh beberapa orang yang tidak berseragam. Dalam tahap penyidikan,
Nanang dan Mudzakir mengalami penganiayaan dari pihak kepolisian. Dalam
persidangan, tim pembela memberikan argumen bahwa pertunjukan seni itu hanya
simbol, dan oleh karenanya peserta yang memainkannya hanya menyampaikan
pesan politik mereka, yang menandakan bahwa pemegang kekuasaan tidak
tersentuh dengan kebutuhan masyarakat miskin. Pembelaan tersebut ditolak oleh
hakim yang beranggapan bahwa tindakan kedua terdakwa memenuhi unsur-unsur
pasal 134 jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP. Baik Nanang ataupun Mudzakir dijatuhi
pidana penjara salaam 1 (satu) tahun penjara.247
Di tahun yang sama, Yoyok dan Mahendra ditangkap karena dianggap
telah menghina Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz pada sebuah
demo anti-pemerintah di Yogyakarta. Aksi Demo ini khusus ditujukan kepada
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk memprotes kenaikan harga-harga
pada awal Januari. Dalam demonstrasi tersebut, Yoyok dan Mahendra dituduh
telah membakar poster Megawati dan Hamzah Haz. Oleh karenanya, baik Yoyok
ataupun Mahendra dipersalahkan telah melanggar ketentuan pasal 134 KUHP dan
mereka dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dipotong masa tahanan.
Melalui media yang berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya,
Supratman, editor senior dari Harian Rakyat Merdeka di Jakarta, juga
246
“Kembali ke Orde Baru? Tahanan Politik di Bawah Kepemimpinan Megawati”, Human
Rights Watch Annual Report Vol 15 No. 4C, Juli 2003,
https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/indonesia0703in.pdf diakses pada 5 Juni 2015.
247
“Dua Demonstran Diganjar Setahun Penjara,” Kompas, 25 Oktober, 2002.
Universitas Indonesia
153
248
“Redaktur Eksekutif Rakyat Merdeka Didakwa Menghina Presiden Megawati”, Tempo
Nasional 3 Juni 2003, http://nasional.tempo.co/read/news/2003/06/03/05518942/redaktur-
eksekutif-rakyat-merdeka-didakwa-menghina-Presiden-megawati diakses pada 5 Juni 2015.
249
“Polda akan Memanggil Ketua SIRA dan tokoh Solidamor,” Tempo Interaktif, 14 Mei,
2001.
Universitas Indonesia
154
Universitas Indonesia
155
Universitas Indonesia
156
Universitas Indonesia
157
16
14
12
10
0
Soeharto Habibie Gus Dur Megawati SBY
Universitas Indonesia
158
Universitas Indonesia
159
Universitas Indonesia
160
Universitas Indonesia
161
255
Moh. Mahfud M.D., Op.Cit., halaman 12.
256
Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara: Telaah tentang Penerapan Delik Keamanan
Universitas Indonesia
162
Negara, (Jakarta: ELSAM, 1999), halaman 23.
257
A. B. Lapian, dkk., Beberapa Segi Perkembangan: Sejarah Pers di Indonesia, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2002), halamna 195.197.
Universitas Indonesia
163
Pasal 154
“Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan,
kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal 155
a. Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan
sehingga kelihatan oleh umum tulisan atau gambar yang isinya
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan
terhadap Pemerintah Republik Indonesia, dengan maksud supaya
isinya diketahui oleh umum, atau lebih diketahui oleh umum,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun enam
bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
b. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya
dan pada waktu melakukan kejahatan itu belum lagi lalu lima tahun
sesudah pemidanaannya yang dahulu menjadi tetap karena
kejahatan semacam itu, maka dapat dicabut haknya melakukan
pekerjaan itu.”
Universitas Indonesia
164
259
“Wawancara Ahmad Taufik: Saya Terlambat Masuk Penjara”, Tempo Edisi 22/02, 30
Juli 1997,, http://tempo.co.id/ang/min/02/22/nas3.htm diakses pada 2 Mei 2015.
Universitas Indonesia
165
merupakan figur publik, yaitu orang yang menjadi perhatian di tengah masyarakat
seperti politisi, pejabat publik, atau artis, harus membuktikan dengan dasar bukti
yang jelas, bahwa pelaku membuat pernyataan yang menghina berdasarkan pada
itikad buruk, yang mana didefinisikan sebagai “pengetahuan bahwa suatu
pernyataan salah atau sembarangan dengan tidak memperhatikan apakah
pernyataan tersebut benar atau salah”. Dilihat dari praktik di negara Perancis dan
Amerika Serikat, dapat disimpulkan bahwa suatu tuduhan barulah disebut
penghinaan apabila memang apa yang dituduhkannya tidak benar, atau setidak-
tidaknya tuduhan dilatarbelakangi oleh itikad tidak baik. Dalam hukum di
Indonesia sendiri pembuktian atas tuduhan yang diajukan kepada Presiden atau
Wakil Presiden tidak pernah dilakukan karena secara historis pembuktian tersebut
memang tidak dikenal. Pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP yang merupakan adopsi
aturan penghinaan terhadap Raja dan Ratu Belanda menganggap pembuktian atas
tuduhan tersebut justru akan merugikan diri Raja dan Ratu Belanda apabila
memang mereka telah terlibat dalam suatu yang tidak terpuji. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari keberadaan pasal yang ditujukan untuk melindungi
kewibawaan Raja dan Ratu sebagai representasi oleh negara. Dalam konteks
penerapan hukum serupa di Indonesia, ketiadaan pembuktian tidak hanya
didasarkan pada konsekuensi historis dari keberadaan pasal, namun juga karena
kuatnya intervensi Pemerintah terhadap pemberlakuan hukum yang ditujukan
untuk melanggengkan kekuasaan.
Selain tuduhan, rezim pemerintahan Seoharto juga banyak
mengkriminalisasi ekspresi atau ungkapan pendapat baik yang dilakukan melalui
tulisan ataupun lisan. Kriminalisasi ini juga tidak dilakukan dengan benar-benar
memperhatikan siapa pelaku perbuatan materiil dari penghinaan. Dalam perkara
kriminalisasi penerbit majalah MIPPA, Andy Syahputra dan Jasrul Zen dipidana
telah melanggar ketentuan pasal 134 KUHP karena telah mencetak majalah yang
dipesan oleh MIPPA di Melbourne sekalipun bukan Andy Syahputra atau Jasrul
Zen yang membuat konten majalah tersebut. Konten yang saat itu sangat
dipermasalahkan adalah terkait pemberitaan hasil wawancara dengan Takashi
Shiraishi yang sempat membuat pernyataan bahwa “Soeharto dalam Proses jadi
Raja Telanjang”. Secara faktual, pernyataan itu dibuat oleh Takashi Shiraisihi dan
Universitas Indonesia
166
260
Menurut penuturan Ignatius Haryanto, banyak sekali pers yang saat itu menerapkan
mekanisme pembuatan berita dengan struktur yang terputus, artinya, suatu berita ditulis, diedit,
diterbitkan, dan diedarkan oleh orang-orang yang berbeda yang biasanya tidak mengenal satu sama
lain. Banyak pers yang mengaku memperoleh permintaan penerbitan tulisan dari luar negeri,
namun redaksi yang berdomisili di luar negeri tersebut adalah fiktif. Hal ini dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari penangkapan dan pemberedelan yang biasa diakukan oleh masa
pemerintahan Soeharto. Oleh karenanya, pemerintah yang tidak mau ambil pusing mencari tahu
pelaku pembuatan berita tersebut cenderung menangkap orang di rantai terakhir pers, yaitu
percetakan atau pengedar berita tersebut. Disampaikan dalam diskusi di Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan, 16 Juni 2015.
261
Stefan Eklof, Power and Political Culture in Dsuharto’s Indonesia: The Indonesian
Democratic Party (PDI) and the Decline of the New Order (1968-1998)”, (Oxford: Routldge,
2003), halaamn 122.
Universitas Indonesia
167
adalah perihal pemilihan anggota MPR dan peran sosial-politik ABRI.262 Kritik
yang demikian oleh hukum di beberapa negara dikenal sebagai fair comment,
yang mana menjadi alasan pembenar bagi dilakukannya penghinaan. Fair
comment atau komentar yang layak muncul dilatarbelakangi oleh pandangan
bahwa urusan publik adalah urusan yang memang sepatutnya terbuka akan kritik
yang layak, dan tidak dipublikasikan untuk merugikan korban. Di Amerika, suatu
komentar dapat dikategorikan sebagai fair comment apabila yang diungkapkan
adalah murni opini yang tidak mengindikasikan adanya fakta-fakta tertentu.
Sementara di Inggris, fair comment haruslah merupakan suatu opini, bukan fakta
tertentu, namun opini tersebut harus didasarkan pada fakta yang akurat.
Kasus yang cukup krusial untuk mengidentifikasi politik pemidanaan
menggunakan pasal penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden adalah
kasus yang melibatkan Sri Bintang Pamungkas. Jaksa Penuntut Umum
mengajukan dakwaan yang kabur, karena mendakwakan perbuatan Sri Bintang
dalam demonstrasi di Pameran Hanover dan dalam memberikan kuliah di salah
satu universitas di Dresden telah melanggar ketentuan pasal 134 KUHP.263 Jaksa
juga menyebutkan bahwa perbuatan Sri Bintang Pamungkas yang paling keji
adalah seruan agar Soeharto tidak dipilih lagi. Dalam pembuktian di persidangan,
perhatian tertuju pada tuduhan bahwa Sri Bintang Pamungkas dalam kuliahnya
telah menyebutkan bahwa Soeharto adalah diktator. Namun dalam persidangan,
terdapat saksi-saksi yang menyebutkan bahwa kata-kata tersebut tidak pernah
keluar dari mulut Sri Bintang, namun justru diucapkan oleh saksi lain. Jaksa
Penuntut Umum juga meminta adanya pemberatan hukuman karena Sri Bintang
hanya memanggil Seoharto dengan sebutan “saudara”. Terdapat indikasi rekayasa
perkara pada kasus yang meilbatkan Sri Bintang Pamungkas.264 Rekasaya ini
sengaja dilakukan untuk memidanakan Sri Bintang selaku salah satu aktivsis yang
paling vokal menentang keberadaan Soeharto. Hal tersebut diperkuat dengan
262
Patrick Ziegenhain, The Indonesian Parliament and Democratization, (Institute of
Southeast Asian Studies, 2008), halaman 52.
263
Ibid.
264
“Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-era Barriers”, Human Rights
Watch, Annual Report Agustus 1998, https://www.hrw.org/sites/default/files/reports/inacfr98.pdf
diakses pada 10 Juni 2015.
Universitas Indonesia
168
Universitas Indonesia
169
268
“Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-era Barriers”, Op. Cit.
269
“Aberson Sihaloho Dituntut 18 Bulan”, Op. Cit.
270
Eric Descheemaker, Op. Cit.
Universitas Indonesia
170
keterangan bahwa ia tidak memiliki niat sama sekali untuk menghina Presiden.271
Penerapan ketentuan pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP tidak memberikan
peluang bagi diimplementasikannya alasan pembenar sebagaimana diakomodasi
dalam ketentuan pasal 310 ayat (3) KUHP, juga tidak membuka diri dari
berkembangnya doktrin-doktrin alasan pembenar seperti yang terjadi di negara
lain. Beberapa negara lain sudah mulai menerapkan doktrin adanya fair comment
dan qualified privilege, dengan menerapkan standar-standar berupa: 1).
Objektivitas ungkapan penghinaan; 2). Kebijaksanaan dan kelayakan dalam
mengekspresikan pendapat; 3). Ketiadaan kebencian pribadi dari pelaku kepada
korban penghinaan; 4). Keabsahan tujuan yang akan dicapai pelaku dalam
melakukan tindak pidana penghinaan. Dapat dikatakan bahwa pemidanaan Lèse-
Majesté dan Haatzaaiartikelen di rezim pemerintahan Seoharto adalah yang
paling menonjol. Hal ini berjalan beriringan dengan pembatasan kebebasan
berekspresi yang diwujudkan pemerintah dalam penyensoran, pemberedelan pers,
dan panangkapan para aktivis.
271
Stefan Eklof, Op. Cit., halaman 123.
Universitas Indonesia
171
Universitas Indonesia
172
273
Supriyadi Widodo Eddyono, Sriyana dan Wahyu Wagiman, Op.Cit. halaman 13.
274
Ibid.
275
Demonstrasi merupakan perwujudan gerakan sosial, yang menurut DiRanso merupakan
perilaku dari sebagian anggota masyarakat untuk mengoreksi kondisi yang banyak menimbulkan
masalah atau tidak menentu serta untuk menciptakan kehidupan baru yang lebih baik. Dalam
konteks demonstrasi dalam rezim pemerintahan Megawati, maka masyarakat baik yang tergabung
dalam institusi tertentu atau tidak, berusaha memprotes kebijakan yang dirasa kurang
menguntungkan masyarakat dengan tujuan agar bisa mengubah haluan kebijakan tersebut. Lihat:
A Strategic Approach To Collective Action: Looking for Agency In Social-Movement Choices,
http://www.jamesmjasper.org/files/SocialMoves.pdf diakses pada 15 Juni 2015.
Universitas Indonesia
173
Penggunaan pasal ini kuranglah tepat, karena para pengunjuk rasa melakukan
pengungkapan ekspresi di luar kehadiran Presiden atau Wakil Presiden sementara
aturan mengenai penghinaan yang demikian terdapat dalam pasal 136bis KUHP.
Banyak aksi demonstrasi yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan
melanggar ketentuan pasal 134 KUHP namun tidak mengikutsertakan pasal
136bis KUHP sebagai pasal ekstensinya. Selain itu, penerapan pasal yang ada
juga tidak memperhatikan peran masing-masing pelaku secara teliti, yang mana
terdapat kecenderungan untuk mengkriminalisasi pemimpin demonstrasi daripada
orang-orang yang benar-benar melakukan perbuatan materiil yang dipersalahkan.
Sebagai contoh adalah perkara yang melibatkan terdakwa Raihana Diany atas
perbuatannya merobek-robek gambar Presiden Megawati dan memimpin 6 (enam)
pendemo lainnya untuk membawa berbagai spanduk, termasuk yang bertuliskan,
“Ganti Mega-Hamzah demi kebebasan Aceh, bentuk Pemerintah yang berpihak
pada masyarakat miskin”. Perkara yang melibatkan terdakwa Kiastomo, Billal
Abubakar Ahmad Faugi, Frans Kurniawan, Andi Abdul Karim, Susyanti Kamil,
An’am Jaya, Sahabuddin, Ansar Suherman, Muhammad Akman, Nanang dan
Mudzakir, Yoyok dan Mahendra juga memiliki kesamaan pola satu dengan yang
lain—mereka terlibat dalam aksi demonstrasi berupa pembuatan poster,
perobekan gambar, pembakaran, dan aksi-aksi teatrikal lainnya seperti menginjak-
injak atau mencoret-coret.276 Atas perbuatan tersebut, hakim berpendapat bahwa
nama baik Presiden dan Wakil Presiden menjadi tercemarkan. Selain itu,
mengingat bahwa banyak demonstran adalah mahasiswa, Majelis Hakim juga
sering menambahkan pendapat bahwasanya sebagai mahasiswa seharusnya bisa
memilih cara yang lebih intelektual dalam mengajukan pendapat.
276
Cook menjelaskan lebih lanjut bahwa gerakan sosial mencakup beberapa konsep yaitu
berorientasi perubahan (change oroented goals), tingkat organisasi (some degree of organization),
tingkat kontinyuitas yang sifatnya temporal (degree of temproral continuity), dan aksi kolektif di
luar lembaga (aksi jalanan) dan di dalam lembaga/lobi politik (some extrainstitutional and
institutional) sebagaimaan dikutip dari March Schneiberg dan Michael Lonsbury, “Social
Movements and Institutional Analysis”, http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download
?doi=10.1.1.465.3710&rep=rep1&type=pdf diakses pada 17 Juni 2015. Pada masa pemerintahan
Megawati ada banyak organisasi atau kumpulan masyarakat yang terbentuk secara spontan
melakukan demonstrasi atau aksi kolektif. Aksi tersebut juga berlangsung secara terus menerus—
nampak bahwa adanya kriminalisasi terhadap pengunjuk rasa tidak menghentikan aksi demo yang
ada.
Universitas Indonesia
174
Universitas Indonesia
175
peraga yang digunakan. Hal tersebut sepatutnya sudah dilaporkan terlebih dahulu
kepada pihak Polri, sehingga pihak Polri telah memiliki gambaran mengenai
pelaksanaan demonstrasi yang bersangkutan. Dalam hal ini, jika Polri merasa
bahwa perbuatan pembakaran patung bertentangan dengan aturan moral atau tidak
taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
pasal 6, maka dapat diterapkan ketentuan pasal 15 Undang-Undang a quo, yaitu
pembubaran kegiatan. Namun, Polri lebih memilih untuk menerapkan ketentuan
pidana terkait penghinaan Presiden atau Wakil Presiden yang dilakukan dengan
menangkap terdakwa beberapa saat setelah demonstrasi tersebut selesai. Selain
demonstrasi, anggota masyarakat juga menyatakan pendapatnya melalui media
massa seperti yang dilakukan oleh Supratman, editor senior dari Harian Rakyat
Merdeka di Jakarta. Dalam harian tersebut, Supratman menulis artikel yang
mempersamakan Presiden Megawati dengan Soemanto, seorang narapidana yang
membunuh dan memakan mayat tetangganya sendiri. Beberapa berita yang
dimuat dalam harian tersebut juga cenderung menunjukkan hal negatif mengenai
Presiden Megawati, seperti berita tanggal 6 Januari 2003 dengan judul “Mulut
Mega Bau Solar” dan berita tanggal 8 Januari 2003 yang berjudul “Mega Lintah
Darat”. Atas judul dan artikel tesebut, Supratman dipersalahkan telah melanggar
ketentuan pasal 134 KUHP.277
Rezim pemerintahan Megawati terbilang sama opresifnya dengan rezim
pemerintaha Soeharto. Keduanya pun memilih politik hukum pidana yang sama,
yaitu dengan menerapkan ketentuan penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
terhadap semua perbuatan yang dinilai bertentangan dengan kedudukan
Pemerintah. Yang membedakan keduanya adalah Presiden Megawati secara tegas
menyatakan ketidaksukaannya terhadap perilaku yang menentang Pemerintah,
sementara Soeharto tidak. Pernyataan Megawati yang berisi kecaman terhadap
pengunjuk rasa dianggap sebagai suatu perintah tidak langsung bagi aparat
penegak hukum untuk menerapkan ketentuan pasal 134, 136bis, dan pasal 137
KUHP. Hal ini nampak juga dari pembentukan berbagai tim pengawas yang
diletakkan dalam setiap demonstrasi untuk memantau bagaimana kegiatan
277
“Rakyat Merdeka Kembali Dimejahijaukan”, Selasa 3 Juni 2003,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8115/irakyat-merdekai-kembali-dimejahijaukan
diakses pada 15 Juni 2015.
Universitas Indonesia
176
278
Keberadaan tim pengawas dapat dilihat dalam berbagai putusan pengadilan yang mana
menghadirkan anggota tim pengawas dari Polri sebagai saksi dalam persidangan. Tim pengawas
ini melakukan pengawasan dengan cara merekam dan mengambil foto dari aksi demonstrasi
tersebut.
279
Herlambang Perdana Wiratraman, Op. Cit.
280
“Bakar Gambar Yudhoyono Dituntut Satu Tahun Penjara”,
http://nasional.tempo.co/read/news/2005/06/02/05561922/Bakar-Gambar-Yudhoyono-Dituntut-
Satu-Tahun-Penjara diakses pada 14 Juni 2015.
Universitas Indonesia
177
Universitas Indonesia
178
Universitas Indonesia
179
tanpa memandang latar belakang suatu perbuatan dilakukan oleh pelaku. Hingga
perkara Eggi Sudjana yang notabene merupakan perkara penghinaan Presiden
terakhir, alasan pembenar tidak pernah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim.
Merasa keberatan dengan putusan pidana yang dijatuhkan kepada
dirinya, Eggi Sudjana mengajukan permohonan peninjauan ketentuan pasal 134,
136bis, dan 137 KUHP yang kebetulan juga sedang dimohonkan oleh Pandapotan
Lubis. Dalam persidangan, Ahli Prof. Mardjono Reksodiputro di persidangan
berpendapat sebagai berikut,283
“bahwa dalam hal penegakan Pasal 134 KUHPidana dan Pasal 136 bis
KUHPidana, arti penghinaan harus mempergunakan pengertian yang
berkembang dalam masyarakat tentang Pasal 310-321 KUHPidana
(mutatis mutandis). Dengan mempertimbangkan perkembangan nilai-
nilai sosial dasar (fundamental social values) dalam masyarakat
demokratik yang modern, maka delik penghinaan tidak boleh lagi
digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan
pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat-pejabat pemerintah
(pusat dan daerah).”
Universitas Indonesia
180
membuka potensi tafsir yang meluas mengenai apakah suatu protes, pernyataan
pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden
dan/atau Wakil Presiden, hal mana bertentangan dengan ketentuan pasal 28 D ayat
(1) UUD NRI 1945 di samping menghambat upaya komunikasi dan perolehan
komunikasi. Lebih dari itu, keberadaan ketentuan penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden akan menghambat kemungkinan klarifikasi mengenai perbuatan tercela
atau pelanggaran yang mungkin dilakukan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 7A
UUD NRI 1945 telah mengatur bahwa,
Universitas Indonesia
181
Konstitusi beranggapan bahwa ketentuan pasal 154 dan 155 KUHP adalah delik
formil yang hanya memepersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang
dilarang tanpa mengaitkan dengan akibat suatu perbuatan. Akibatnya, kedua
rumusan pasal tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan
karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera penguasa. Seorang warga
negara yang bermaksud menyampaikan kritik atau pendapat terhadap Pemerintah,
di mana hal itu merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945, akan
dengan mudah dikualifikasikan oleh penguasa sebagai pernyataan “perasaan
permusuhan, kebencian, atau penghinaan” terhadap Pemerintah sebagai akibat
dari tidak adanya kepastian kriteria dalam rumusan Pasal 154 maupun 155 KUHP
tersebut untuk membedakan kritik atau pernyataan pendapat dengan perasaan
permusuhan, kebencian, ataupun penghinaan.285
285
Risalah Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Risalah/risalah_sidang_Perkara%2006.puu-
2007,%2017%20Juli%202007.pdf diakes pada 10 Juni 2015.
Universitas Indonesia
182
terjadinya perkara, juga dapat dilihat bagaimana politik hukum pidana rezim yang
bersangkutan diterapkan.
1. Dakwaan
Dalam perkara ini, jaksa mendakwakan Kiastomo dengan dakwaan
primair-subsidair. Dakwaan primair adalah dakwaan pasal 134 KUHP, yaitu
dianggap telah “melakukan penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap
Presiden atau Wakil Presiden”, perbuatan mana dilakukan oleh terdakwa dengan
cara-cara sebagai berikut:
− Pada hari Kamis tanggal 25 Juli 2002 sekitar pukul 14.00 WIB,
terdakwa menerima selebaran gelap di kampus Jayabaya Jakarta dari
Aliansi Mahasiswa beberapa kampus yang menyebut dirinya sebagai
Laskas Mahasiswa Untuk Pembebasan (LMP). Selebaran tersebut
bertuliskan “Gulingkan Pemerintahan Mega-Hamzah, Bubarkan
MPR-DPR, Bentuk Pemerintahan Rakyat Miskin”. Di dalam
selebaran tersebut juga terdapat tulisan “Bergabunglah dengan kami!
Pembakaran Patung Megawati di Kampus IISIP di Lenteng Agung
pada tanggal 26 Juli 2002 pukul 14.00 WIB.”
− Pada Jumat 26 Juli 2002 sekitar pukul 13.00 WIB, Terdakwa
berangkat menumpang angkutan kota menuju ke Stasiun Kalibata, lalu
Terdakwa naik Metromini menuju arah Kampus IISIP dan turun di
depan Kampus IISIP. Lalu Terdakwa masuk ke kampus IISIP, dan
sekitar pukul 14.00 WIB aksi unjuk rasa baru dimulai.
Universitas Indonesia
183
Terdakwa juga didakwa dengan pasal 137 ayat (1) KUHP, yaitu dengan
tuduhan bahwa ia telah “melakukan perbuatan menyiarkan, mempertunjukkan
atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisikan penghinaan
terhadap Presiden dan Wakil Presiden dengan maksud supaya isi yang menghina
tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum”, perbuatan mana dilakukan
terdakwa dengan cara-cara yang sama dengan dakwaan pasal 134 KUHP.
Universitas Indonesia
184
2. Saksi Sukarman:
− Saksi mengakui bahwa benar pada hari Jumat tanggal 26 Juli 2002
sekitar pukul 14.00-15.00 WIB terjadi aksi unjuk rasa dari
mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi;
− Saksi mengakui bahwa dalam unjuk rasa tersebut para peserta
melakukan orasi secara bergantian mewakili perguruan tingginya
masing-masing di mana isi orasinya adalah “Gulingkan Rezim
Megawati-Hamzah”, “Bubarkan MPR-DPR”, “Bentuk Pemerintah
Rakyat Miskin”;
− Saksi mengakui bahwa sebelum terdakwa membakar patung
tersebut, saksi melihat patung itu telah ada di dalam kampus IISIP,
lalu patung itu dibawa keluar kampus oleh para pengunjuk rasa dan
terdakwa berada di belakang sekitar 2 (dua) meter dari patung tadi;
− Saksi mengakui bahwa terdakwa langsung mendekati patung
tersebut lalu menyiramkan bahan bakar dan membakar patung
tersebut. Setelah terbakar, terdakwa dan para peserta yang lainnya
langsung pergi masuk kampus IISIP kembali;
− Saksi mengakui bahwa ketika membakar patung tersebut, terdakwa
mengenakan jeans warna biru dan memakai kaos lengan pendek
warna kombinasi hijau, hitam, dan putih.
Universitas Indonesia
185
− Saksi mengakui bahwa benar pada hari Jumat tanggal 26 Juli 2002
sekitar pukul 14.00-15.00 WIB terjadi aksi unjuk rasa dari
mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi;
− Saksi mengakui bahwa dalam unjuk rasa tersebut para peserta
melakukan orasi berupa “Gulingkan Rezim Megawati-Hamzah”,
“Bubarkan MPR-DPR”, “Bentuk Pemerintah Rakyat Miskin” sesuai
dengan spanduk dan poster yang dibawanya;
− Saksi mengakui bahwa para peserta memegang selebaran gelap yang
berisi tulisan “Bergabunglah dengan kami! Pembakaran Patung
Megawati di Kampus IISIP di Lenteng Agung pada tanggal 26 Juli
2002 pukul 14.00 WIB”;
− Saksi mengakui telah melihat terdakwa menyiramkan minyak tanah
ke Patung Presiden Megawati lalu membakarnya. Terdakwa
memakai pakaian jeans warna biru dan memakai kaos lengan pendek
warna kombinasi hijau, hitam, dan putih.
Universitas Indonesia
186
− Bahwa benar pada Kamis tanggal 25 Juli 2002 sekitar pukul 14.00
WIB, terdakwa menerima selebaran gelap di kampus Jayabaya
Jakarta dari Aliansi Mahasiswa beberapa kampus yang menyebut
dirinya sebagai Laskas Mahasiswa Untuk Pembebasan (LMP).
Selebaran tersebut bertuliskan “Gulingkan Pemerintahan Mega-
Hamzah, Bubarkan MPR-DPR, Bentuk Pemerintahan Rakyat
Miskin”. Di dalam selebaran tersebut juga terdapat tulisan
“Bergabunglah dengan kami! Pembakaran Patung Megawati di
Kampus IISIP di Lenteng Agung pada tanggal 26 Juli 2002 pukul
14.00 WIB.”;
− Bahwa setelah menerima selebaran gelap tersebut, pada tanggal 26
Juli 2002 terdakwa berangkat ke kampus IISIP Jakarta di Lenteng
Agung bersama-sama dengan temannya yang lain sekitar pukul
13.00 WIB terdakwa sampai di kampus IISIP lalu terdakwa masuk
ke dalam kampus;
− Terdakwa melihat patung Presiden Megawati di dalam Kampus
IISIP dengan menggunakan topi a la Amerika yang bercorak garis
tegak warna biru dan putih yang bertuliskan IMF (International
Monetary Fund) dengan ukuran panjang ± 50 cm dan lebarnya 40
cm, dan terdakwa bergabung dengan para mahasiswa lainnya yang
akan melakukan unjuk rasa;
− Bahwa sekitar pukul 14.00 WIB oatung Presiden Megawati diarak-
arak keluar kampus oleh para pengunjuk rasa dan terdakwa berada
di dalam rombongan tersebut berjarak 1 meter di belakang orang
yang membawa patung Presiden tersebut;
− Bahwa selanjutnya para demonstran yang lainnya berteriak, “bakar
patung Presiden Megawati”, lalu terdakwa menyiramkan minyak
tanah yang ada di tangannya dan menyalakan korek apinya serta
membakar patng tersebut;
− Bahwa setelah patung tersebut dibakar para demonstran
membubarkan diri dan terdakwa ikut pula masuk ke kampus IISIP
selanjutnya terdakwa pergi bersama temannya dan terdakwa
ditangkap dan diserahkan ke Kantor Polisi;
− Bahwa terdakwa melakukan pembakaran patung Presiden Megawati
tersebut dikarenakan terdakwa tidak senang dan sakit hati terhadap
Pemerintahan Megawati yang sellau menurut dan tunduk pada IMF,
Bank Dunia, dan kepentingan-kepentingan Amerika Serikat.
Universitas Indonesia
187
4. Pertimbangan Hukum
Setelah mendengarkan tuntutan dan pembelaan serta mempertimbangkan
pembuktian dalam persidangan, maka terhadap unsur-unsur pasal 134 KUHP,
yang berbunyi “penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden
atau Wakil Presiden, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau
denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500”. dari bunyi pasal tersebut maka dapat
diperoleh pemenuhan pasal sebagai berikut:
1. Unsur penghinaan
- Menimbang, bahwa apa yang dimaksud penghinaan, pasal 134
KUHP sendiri tidak menjelaskan, namun menurut doktrin
penghinaan dalam pasal ini diartikan sebagai perbuatan macam
apapun juga yang menyerang nama baik, martabat, atau keagungan
Presiden atau Wakil Presiden, termasuk seluruh jenis penghinaan
sebagaimana disebut dalam Bab XVI yaitu pasal 310 sampai dengan
pasal 321 KUHP;
- Menimbang bahwa majelis berpendapat bahwa benar cakupan pasal
134 KUHP amatlah luas, meliputi juga segala bentuk penghinaan
yang terdapat dalam pasal 310 sampai degan pasal 321 KUHP.
Saking luasnya, Wirdjono Prodjodikoro berpendapat bahwa lebih
mudah terjadinya pasal 134 KUHP daripada tindak pidana pasal 315
KUHP, karena penghinaan bersahaja terhadap orang biasa yang
dilakukan tidak dihadapannya tidak dapat dihukum;
- Menimbang bahwa majelis sependapat dengan ahli yang diajukan
oleh tim penasihat hukum, bahwasanya pasal 136bis KUHP
Universitas Indonesia
188
Universitas Indonesia
189
Universitas Indonesia
190
5. Putusan
Setelah pembuktian dalam persidangan dan menerangkan pertimbangan
hukumnya, Majelis Hakim menjatuhkan amar putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa KIASTOMO tersebut di atas terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: “dengan
dengaja menghina Presiden” sebagaimana dakwaan primair Penuntut
Umum Pasal 134 kUHP;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa tersebut di
atas dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan;
3. Memerintahkan lamanya terdakwa dalam tahanan dikurangkan
sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan tersebut;
4. Memerintahkan barang bukti berupa 16 (enam belas) buah foto hasil
pemotretan di TKP dan beberapa guntingan surat kabar yang
memuat gambar dan beirta di TKP supaya tetap terlampir dalam
berkas perkara sedangkan barang bukti berupa:
− Sisa pembakaran patung Presiden Megawati Soekarno Putri yang
terbuat dari kertas koran berbingkai bambu;
− 1 (satu) buah/helai baju kaos lengan pendek warna kombinasi
bergaris putih, hitam, dan hijau dalam keadaan bau minyak tanah;
− 17 (tujuh belas) baran bukti lainnya berupa 9 (sembilan) buah
tabloid, selebaran gosip, surat undangan dari Laskar Pemuda
Rakyat Miskin (LPRM) dan lainnya.
Supaya dirampas untuk dimusnahkan;
5. Membebani terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,-
(seribu rupiah).
Universitas Indonesia
191
1. Dakwaan
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan primair-
subsidair dengan dakwaan primair menuduhkan bahwasanya terdakwa pada
Selasa, tanggal 30 Juli 2002 sekitar pukul 12.00 WIB atau pada waktu tertentu
dalam bulan Juli 2002, bertempat di depan Istana Negara Jalan Medan Merdeka
Utara Gambir Jakarta Pusat atau pada tempat lain yang masih termasuk dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, melakukan penghinaan dengan
sengaja terhadap Persiden dan Wakil Presiden yang dilakukan dengan cara:
− Bahwa terdakwa merupakan anggota Jaringan Kerja Rakyat (JAKER)
bersama dengan massa dari Partai Rakyat Demokrasi (PRD) yang
berjumlah sekitar 200 (dua ratus) orang melakukan unjuk rassa di
depan Istana Negara;
− Bahwa pada saat melakukan unjuk rasa, terdakwa membawa gambar
Wakil Presiden Hamzah Haz sambil memakai ikat kepala berwarna
merah yang bertuliskan “Pemerintahan Rakyat Miskin“ serta memakai
kalung ballpoint berwarna kuning;
− Bahwa terdakwa menggunakan ballpoint tersebut untuk mencoret-
coret gambar Wakil Presiden Hamzah Haz, selanjutnya merobek-
robeknya dan potongan-potongan gambar tersebut dibuang ke ranjang
sampah ukuran besar yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah
tersedia yang digunakan sebagai tempat sampah, di mana perbuatan
terdakwa disaksikan oleh massa lainnya serta orang umum yang
melintas di lokasi tersebut;
− Bahwa setelah selesai melakukan unjuk rasa dengan berjalan kaki lalu
menuju ke lapangan sepatu roda Silang Monas yang berjarak sekitar
150 meter dari lokasi unjuk rasa, dan keranjang sampah tersebut
dibuang/dimasukkan ke dalam gerobak sampah yang berada di sekitar
lokasi, selanjutnya para pengunjuk rasa pulang dengan menggunakan
5 (lima) unit bus Metro Mini yang sudah tersedia;
− Bahwa saksi Misno dan saksi Eko Cahyono anggota Polri pada Polres
Metro Jakarta Pusat lalu mengambil keranjang sampah dan
selanjutnya dibawa ke Polres Metro Jakarta Pusat;
− Bahwa pada hari Selasa tanggal 30 Juli 2002 sekitar pukul 16.45 WIB,
saksi Agus Bakir, saksi Ujang, saksi Tito Waluyo, dari Polres Metro
Jakarta Pusat menangkap terdakwa di Jalan Pramuka Raya Senen,
Jakarta Pusat.
Universitas Indonesia
192
sebagaimana diatur dalam pasal 137 ayat (1) KUHP, yang dilakukan dengan cara-
cara yang sama dengan dakwaan atas pasal 134 KUHP.
Universitas Indonesia
193
Universitas Indonesia
194
5. Saksi Sahanuddin:
− Bahwa terdakwa dihadapkan ke persidangan karena dituduh telah
merobek-robek gambar Wakil Presiden RI HamzahHaaz sewaktu
ada unjuk rasa di depan Istana Negara;
− Bahwa pada saat itu apa yang dilakukan terdakwa sama dengan apa
yang dilakukan oleh peserta lainnya namun persisnya apa yang
dilakukan oleh terdakwa saksi tidak ingat, dan saksi tidak melihat
terdakwa melakukan perobekan terhadap gambar/foto Hamzah Haz;
− Bahwa pada saat aksi berlangsung, saksi melihat keranjang sampah
yang terbuat drai bambu yang dipergunakan untuk menaruh atau
mengumpulkan gambar/foto-foto pejabat negara;
− Bahwa saksi tidak pernah melihat gambar/foto-foto tersebut berada
dalam keranjang sampah dari bambu dalam keadaan robek-robek
melainkan dalam keadaan utuh;
− Bahwa gambar/foto-foto tersebut beserta keranjang sampah terbuat
dari bambu dibawa oleh rombongan pengunjuk rasa bersama-sama
dengan terdakwa, namun siapa yang meletakkan foto-foto itu di
dalam keranjang, saksi tidak mengetahuinya;
− Bahwa tujuan unjuk rasa tersebut adalah karena Pemerintah sekarang
banyak melakukan pelanggaran terhadap HAM, banyak
kasus/permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan arif
bijaksana, untuk itu agar segala permasalahan dalam negeri dapat
diselesaikan dengan baik, kalau tidak bisa agar pemerintahan
sekarang diganti dengan Pemerintahan Rakyat Miskin;
− Bahwa selama unjuk rasa berlangsung, tidak ada upaya pihak
keamanan/kepolisian untuk mencegah berlangsungnya aksi tersebut;
− Bahwa setelah selesai unjuk rasa dan orasi, rombongan membawa
pulang keranjang sampah beserta foto-foto tersebut dan diletakkan di
atas mobil Metro Mini.
Universitas Indonesia
195
− Bahwa benar pada Selasa, 30 Juli 2002 ada demo di depan Istana
Negara dan yang hadir adalah gabungan dari JAKER dan PRD
berjumlah sekitar 200 (dua ratus) orang;
− Bahwa dalam unjuk rasa tersebut, terdakwa membawa selebaran,
gambar/foto Presiden Megawati dan Wakil Presien Hamzah Haz;
− Bahwa benar ada keranjang sampah yang berisi gambar/foto
Presiden dan Wakil Presiden tersobek-sobek;
− Bahwa benar maksud dan tujuan terdakwa mencoret-coret dan
merobek gambar/foto karena rakyat tidak percaya lagi dan supaya
dia (Hamzah Haz) turun dari jabatannya selaku Wakil Presiden RI;
− Bahwa terdakwa sangat menyesal atas perbuatannya.
4. Pertimbangan Hukum
Universitas Indonesia
196
1. Unsur Barangsiapa
− Menimbang bahwa baragsiapa adalah setiap orang sebagai subjek
hukum yang telah melakukan perbuatan tindak pidana yang mampu
bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
2. Unsur melakukan penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau
Wakil Presiden
− Menimbang bahwa yang diartikan sebagai penghinaan dengan
sengaja adalah segala perbuatan menyerang nama baik, martabat,
atau keagungan Presiden atau Wakil Presiden termasuk segala
macam penghinaan dalam Bab XVI pasal 310 hingga pasal 321
KUHP;
− Menimbang bahwa saksi Misno, Titok Waluyo Jati, Agus Subakir,
dan Ujang Syarifuddin semuanya adalah anggota tim Tindak
Penanganan Unjuk Rasa Polres Metor Jakarta Pusat yang
menerangkan bahwa pada tanggal 30 Juli 2002 sekitar pukul 12.00
WIB terjadi unjuk rasa di depan Istana Presiden dan para saksi
melihat terdakwa dari jarak dekat telah mencoret-coret gambar
Wakil Presiden kemudian merobek-robeknya lalu dibuang ke
keranjang sampah;
− Menimbang bahwa terdakwa menyangkal perbuatan yang
dituduhkan Penuntut Umum kepadanya dengan mengajukan saksi
Sahanuddin, namun Majelis Hakim menilai penyangkalan tersebut
kurang berasalan;
− Menimbang bahwa setelah menghubungkan pertimbangan-
pertimbangan di atas satu dengan yang lainnya, majelis berpendapat
bahwa apa terdakwa bersalah melakukan penghinaan terhadap Wakil
Presiden karena sepanjang persidangan juga tidak ditemukan hal
yang menghapuskan kesalahan terdakwa.
5. Putusan
Mengacu pada pertimbangan hukum di atas, maka Majelis Hakim
menjatuhkan amar putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa BILLAL ABUBAGAR AHMAT FAUZI
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana penghinaan terhadap Wakil Presiden Hamzah Haz;
2. (sisa halaman putusan tidak berhasil ditemukan)
Universitas Indonesia
197
1. Dakwaan
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan primair-
subsidar, dengan dakwaan primair menuduhkan bahwasanya terdakwa pada
tanggal 15 Januari 2003 atau setidak-tidaknya suatu hari di Bulan Januari 2003
bertempat di depan Istana Merdeka, Jalan Merdeka Utara Jakarta Pusat atau
setidak-tidaknya pada suatu tempat yang termasuk dalam daerah hukum
pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah “dengan sengaja menghina Presiden”
sebagaimana diatur dalam pasal 134 KUHP, dengan cara-cara sebagai berikut:
− Bahwa pada tanggal 15 Januari 2003 saat berlangsung unjuk rasa di
depan Istana Merdeka yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa antara
lain:
o Badan Eksekutif Mahaisswa (BEM) se-Jabodetabek;
o Himpunan Mahasiswa Islam (HMI);
o Aliansi Tolak Mega (ATM);
o Gerakan Pemuda Islam (GPI);
− Terdakwa bergabung dengan para pengunjuk rasa dari elemen GPI.
− Bahwa dalam unjuk rasa tersebut terdakwa membawa sebuah poster
atau gambar Presiden Megawati yang memakai baju berwarna merah
dan kedua matanya ditutup lakban hitam dan pada bagian atas foto
atau gambar atau poster yang dibawa terdakwa tersebut terdapat
tulisan, “BURONAN RAKYAT”.
− Bahwa terdakwa mengangkat dan menunjukkannya kepada
masyarakat yang berada di sekitar aksi unjuk rasa tersebut sambil
mengatakan “Inilah Presiden yang mengecewakan rakyat” dan
selanjutnya foto atau gambar atau proster Presiden Megawati tersebut
diletakkan dijalan dan dilindaskan mobil Mazda warna Hitam No. Pol
B-1462-CQ yang dikemudikan oleh Nazaruddin dan sepeda motor No.
Pol B-5779-A yang dikendarai oleh Badrul Munir bin Abdullah.
Sementara itu, dakwaan subsidair yang dibuat oleh Jaksa Penuntut
Umum menuduhkan bahwa terdakwa “menyiarkan, mempertunjukkan atau
menempelkan tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan kepada Presiden dengan
maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum”
sebagaimana diatur dalam pasal 137 ayat (1) KUHP, yang dilakukan dengan cara-
cara sama dengan uraian dalam dakwaan pasal 134 KUHP.
Universitas Indonesia
198
1. Saksi Masirin
− Bahwa pada tanggal 15 Januari 2003, saksi sedang melakukan tugas
pengamanan unjuk rasa yang dilakukan oleh BEM, ATM, HMI, dan
GPI di depan Istana Merdeka sekitar pukul 14.30 WIB;
− Bahwa aksi unjuk rasa tersebut menuntut penurunan harga BBM dan
TDL dengan membawa spanduk yang diikuti oleh orang banyak;
− Bahwa di antara pengunjuk rasa tersebut, saksi melihat ada seseorang
yang memegang foto Megawati yang matanya ditutup lakban dan di
atas foto bertuliskan Buronan Rakyat sambil meneriakkan yel-yel
inilah Presiden yang mengecewakan rakyat;
− Bahwa pada saat itu saksi tidak mengetahui nama terdakwa, tapi
setelah saksi tahu nama terdakwa, saksi membenarkan terdakwa
adalah M. Iqbal Siregar yang wkatu itu saksi melihat ia membawa foto
Presiden Megawati;
− Bahwa benar foto dalam berkas perkara adalah suasana yang saksi
lihat waktu itu, yang mana terdakwa sedang memegang foto Presiden
Megawati yang matanya ditutup lakban;
− Bahwa saksi melihat terdakwa membawa foto Presiden Megawati
yang matanya ditutup lakban dari jarak 5 (lima) meter.
2. Saksi Kasimo
− Bahwa saksi pertama kali melihat terdakwa pada tanggal 15 Januari
2003 di Jalan Merdeka Utara sekitar pukul 14.30 WIB, terdakwa ikut
dalam unjuk rasa yang dilakukan oleh BEM, ATM, HMI, dan GPI di
depan Istana Merdeka;
− Bahwa dalam unjuk rasa tersebut, saksi melihat terdakwa membawa
foto Presiden Megawati yang matanya ditutup lakban dan di atas foto
itu bertuliskan Buronan Rakyat;
− Bahwa benar peserta unjuk rasa meneriakkan yel-yel inilah Presiden
yang mengecewakan Rakyat;
− Bahwa jarak saksi melihat dan memotret terdakwa adalah 3 (tiga)
sampai 4 (empat) meter, dan saksi memotret terdakwa karena tertairk
dengan poster yang dibawa terdakwa;
− Bahwa saksi melihat terdakwa melempar poster/gambar Presiden
Megawati yang dibawanya ke jalan tapi saksi tidak sempat memotret;
− Bahwa saksi memotret terdakwa dengan kamera biasa;
− Bahwa benar foto yang di dalam berkas perkara yang ditunjukkan oleh
Majelis Hakim adalah hasil pemotretan yang dilakukan oleh saksi;
− Bahwa benar saksi tidak mengetahui tangan orang yang meletakkan
foto Presiden Megawati di jalan dan dilindas mobil;
Universitas Indonesia
199
3. Saksi Nazaruddin
− Bahwa benar pada tanggal 15 Januari 2003 sekitar pukul 14.30 WIB
saksi sedang mengendarai mobil Mazda dinas dan melintas di Jalan
Merdeka Utara, pada saat itu saksi melihat banyak orang sedang
melakukan unjuk rasa;
− Bahwa kendaraan saksi hanya diberi jalan kecil dan saksi lihat ada
foto Presiden Megawati diletakkan di jalan dan saksi gilas karena
tidak ada jalan lain;
− Bahwa benar foto mobil B-1462 plat merah yang ada dalam berkas
perkara adalah mobil yang saksi kendarai.
4. Saksi Sukanta
− Bahwa benar saksi tidak mengerti nama jalan dan tidak tahu letak
Istana Negara, Mahkamah Agung, dan Monas;
− Bahwa saksi pada tanggal 15 Januari 2003 ikut dengan Pak
Nazaruddin duduk di samping kiri dan Pak Nazaruddin yang menyetir
mobil Mazda;
− Bahwa saksi ketika sedang ikut Pak Nazaruddin melihat ada banyak
orang yang sedang unjuk rasa dan mobil yang saksi tumpangi diberi
jalan kecil;
− Bahwa saksi melihat ada foto Presiden yang diletakkan di jalan;
Universitas Indonesia
200
3. Pertimbangan Hukum
Setelah mempertimbangkan pembuktian dalam persidangan, maka
terhadap unsur-unsur pasal 134 KUHP, yang berbunyi “penghinaan yang
dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden, diancam dengan
pidana penjara paling lama enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp
4.500”. Dari bunyi pasal tersebut maka dapat diperoleh pemenuhan pasal sebagai
berikut:
− Menimbang bahwa yang dimaksud dengan penghinaan adalah suatu
perbuatan yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang
dengan sengaja adalah mengetahui perbuatan penghinaan tersebut
dilakukan terhadap Presiden atau Wakil Presiden;
− Menimbang bahwa terdakwa membenarkan keterangan para saksi
bahwasanya pada tanggal 15 Januari 2003 sekitar pukul 14.30 WIB di
depan Istana Merdeka yang terdiri dari BEM, HMI, ATM dan GPI
melakukan unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi masyarakat atas
kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM, TDL, dan privatisasi,
dan terdakwa membenarkan bahwa ia melakukan orasi inilah Presiden
yang mengecewakan masyarakat dengan mengangkat foto Presiden
Universitas Indonesia
201
4. Putusan
Setelah pembuktian dalam persidangan dan menerangkan pertimbangan
hukumnya, Majelis Hakim menjatuhkan amar putusan sebagai berikut:
Universitas Indonesia
202
1. Dakwaan
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan tunggal
yaitu pasal 134 KUHP jo. Pasal 136bis yang menuduh terdakwa pada hari Selasa
tanggal 2 Januari 2006 sekitar pukul 12.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu
lain dalam tahun 2006 bertempat di Lobby Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Jalan Veteran III No. 2, Jakarta Pusat, telah dengan sengaja melakukan
penghinaan terhadap Presiden di luar kehadiran yang dihina, baik dengan tingkah
laku di muka umum maupun tidak di muka umum dengan lisan atau tulisan
namun dihadapan lebih dari 4 (empat) orang atau dihadapan orang ketiga
bertentangan dengan kehendaknya dan oleh karena itu merasa tersinggung yang
dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
− Bahwa pada awalnya terdakwa berada di kantor KPK dalam rangka
kepentingan kliennya, ECW NELOE;
− Bahwa selanjutnya ketika berada di Lobby KPK, di hadapan orang
lain atau di hadapan pers baik dari kalangan media cetak dan
elektronik di antaranya reportert RCTI, TPI, Metro TV, Detik.com,
Radio Elsinta, dan Wartawan Rakyat Merdeka, Kompas, Republika
yaitu di antaranya adalah saksi Alexander Zulakrnain (Reporter RCTI)
dan saksi Ubaidilah (Kameraman TPI), terdakwa telah
mengungkapkan atau mengucapkan perkataan-perkataan yang
menyerang nama baik, martabat, atau keagungan Presiden Republik
Indonesia:
Universitas Indonesia
203
Universitas Indonesia
204
Universitas Indonesia
205
Universitas Indonesia
206
Universitas Indonesia
207
3. Pertimbangan Hukum
Universitas Indonesia
208
4. Putusan
Dalam perkara tersebut, Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan sebagai
berikut:
Universitas Indonesia
209
Universitas Indonesia
210
Universitas Indonesia
211
1. Unsur penghinaan
Analisis terhadap unsur ini harus dikembalikan terhadap unsur
penghinaan yang terdapat dalam pasal 310 KUHP yang notabene merupakan delik
Universitas Indonesia
212
penghinaan secara umum. Meskipun begitu, perbuatan yang tercakup dalam pasal
134 KUHP tidak hanya terbatas pada perbuatan yang diatur dalam pasal 310
KUHP, namun dapat juga meliputi segala perbuatan yang termaktub dalam pasal
310 hingga pasal 321 KUHP.286 Ditiadakannya pembedaan tindakan penghinaan
ini disebabkan karena sifat penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
yang amatlah tercela. Secara umum, penghinaan harus dimaknai sebagai tindakan
menuduhkan atau mengungkapkan suatu hal yang ditujukan untuk diketahui oleh
masyarakat umum, dalam rangka melukai nama baik atau kehormatan orang yang
bersangkutan.
Dalam kasus yang melibatkan terdakwa Kiastomo, diketahui bahwa yang
dianggap sebagai perbuatan penghinaan adalah perbuatan terdakwa membakar
patung Presiden Megawati yang sedang mengenakan topi yang melambangkan
Amerika Serikat ketika terdakwa terlibat dalam sebuah demonstrasi. Dalam hal
ini, jika mengacu pada doktrin bahwa penghinaan dalam pasal 134 KUHP harus
dirujukkan ke dalam penghinaan yang terdapat dalam Bab XVI KUHP tentang
penghinaan, maka perbuatan terdakwa bersesuaian dengan unsur pasal 315 KUHP
tentang penghinaan ringan. Keterkaitan antara pasal 134 KUHP dengan pasal 315
KUHP terlihat dalam pengaturan pasal 136bis yang berbunyi sebagai berikut:
286
Noyon-Langemeijer, Op.Cit., halaman 566-567.
Universitas Indonesia
213
di luar kehadiran Presiden dan Wakil Presiden, yang dapat dilakukan dengan
cara:287
− Dengan perbuatan di muka umum;
− Dengan lisan atau tulisan di muka umum;
− Dengan perbuatan di hadapan lebih dari empat orang atau di muka
orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya dan
merasa tersinggung;
− Dengan lisan atau tulisan di hadapan lebih dari empat orang atau di
muka orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya
dan merasa tersinggung.
Sementara itu, untuk dapat dikatakan memenuhi perbuatan pasal 315
KUHP, maka harus terdapat suatu tindakan penghinaan yang tidak bersifat
pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan dengan cara:
− Dengan lisan atau tulisan di muka umum;
− Dengan lisan atau perbuatan di muka orang yang dituju;
− Dengan surat yang dikirimkan kepada orang yang dituju.
Dalam konteks pasal 136bis, maka perbuatan yang dimaksud adalah
penghinaan “tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis” yang merupakan
perkataan yang dilontarkan seseorang kepada orang lain bukanlah merupakan
tuduhan bahwa seseorang telah melakukan perbuatan tercela, dan tindakan itu
dilakukan di luar kehadiran Presiden atau Wakil Presiden dengan cara-cara yang
telah diuraikan sebelumnya.
Jika dibenturkan dengan fakta materiil, maka pembakaran patung
Megawati yang dilakukan oleh terdakwa ketika sedang melakukan demonstrasi
tergolong dalam perbuatan di muka umum. Perbuatan atau feitelijkheden dimaknai
oleh Lamintang sebagai segala tindakan yang tidak merupakan ucapan kata-kata
ataupun tulisan.288 Tidak terdapat karakterisasi dan pembatasan lebih lanjut
mengenai unsur perbuatan. Sebaliknya, unsur tersebut dimaknai secara negatif
dengan menegasikan cara melakukan penghinaan dengan lisan atau tulisan.
Dalam hal ini, pembakaran adalah suatu tindakan membakar dan bukan
287
Sianturi, Op. Cit., halaman 12-15.
288
Lamintang, Op.Cit, halaman 287-289.
Universitas Indonesia
214
Universitas Indonesia
215
Universitas Indonesia
216
Sementara itu, pemaknaan pasal 134 KUHP harus dikembalikan pada ketentuan
penghinaan dalam Bab XVI KUHP itu sendiri. Tidak adanya pembedaan apakah
harus dilakukan berhadapan atau tidak pada Bab XVI KUHP menyebabkan
identifikasi penghinaan pada pasal 134 KUHP sendiri menjadi kabur, dan hal
itulah yang berusaha diakomodasi oleh pasal 136bis KUHP. Namun, karena pada
Bab XVI KUHP sendiri tidak ada pembedaan mengenai aspek tersebut, penulis
berpendapat bahwa penentuan dilakukan secara langsung atau tidak langsung
tidaklah dapat diterapkan secara kaku dengan memisahkan kedua tindak pidana
dalam pasal 134 KUHP dan pasal 136bis KUHP. Oleh karenanya, penulis
menyarankan penyusunan dakwaan dengan format pasal 134 KUHP jo. Pasal
136bis KUHP. Terlepas dari itu, pemahaman Majelis Hakim yang menyatakan
bahwa ketentuan pasal 136bis KUHP bukan merupakan delik sendiri disebabkan
karena ketentuan tersebut tidak memuat ancaman pidana tidaklah tepat. Frasa ‘bis’
sendiri memiliki makna bagai pengulangan, yang mana pasal 136bis KUHP dapat
diinterpretasikan sebagai pengulangan dari ketentuan yang mendahuluinya.
Pengulangan ini mengindikasikan adanya kesamaan substansi, namun bukan
berarti tidak bisa menjadi delik pidana dengan ancaman pidananya sendiri.
Selain membenturkan cara penghinaan dilakukan dengan rumusan pasal,
perlu dilakukan pengukuran atas unsur keterhinaan untuk bisa mengatakan bahwa
perbuatan terdakwa memang merupakan penghinaan. Pasal 134 KUHP menganut
standar objektif,290 yaitu standar masyarakat secara umum untuk menilai
menghina tidaknya suatu perbuatan. Penerapan standar objektif ini dapat dilihat
dari situasi di mana diprosesnya tindak pidana penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden tidak didasarkan pada apakah Presiden dan Wakil Presiden secara
pribadi merasa terhina, namun aparat penegak hukumlah yang menilai. Dalam
pemeriksaan perkara, hakim beranggapan bahwa Indonesia tidak mengenal
budaya bakar-membakar karena budaya merusak adalah budaya yang tercela. Di
samping itu, mempertimbangkan bahwa terdakwa adalah mahasiswa, Majelis
Hakim beranggapan bahwa tidak sepatutnya kaum intelektual seperti mahasiswa
melakukan perbuatan tercela. Terdakwa dapat memilih alternatif lain dalam
menyampaikan, dengan mempertimbangkan aspek penyelesaian masalah. Dari
290
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., halaman 97.
Universitas Indonesia
217
291
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 13.
Universitas Indonesia
218
292
Demonstrasi yang banyak dlakukan di masa pemerintahan Megawati merupakan
cerminan gerakan sosial gelombang baru, yaitu gerakan sosial yang melatarbelakangi
eksistensinya dengan pemikiran bahwa ruang sosial yang ada telah mengalami penyempitan akibat
kontrol negara, di samping berusaha menciptakan tatanan sosial yang baru. Gerakan sosial ini
ditujukan untuk menata kembali relasi antara negara, masyarakat, dan perekonomian dan untuk
meciptakan ruang publik yang mengakomodasi demokrasi otonomi dan kebebasan individual.
Lihat Jean L. Cohen, “Rethinking Social Movements”, Berkeley Journal of Sociology, (California:
Regents of the University of California, 1983),
http://www.jstor.org/action/showPublication?journalCode=berkjsoci diakses pada 15 Juni 2015.
Universitas Indonesia
219
saat itu tidak marak dengan kritik masyarakat yang diwujudkan dengan
demonstrasi, maka pembakaran patung yang menyerupai Presiden Megawati
dapat dianggap sebagai hal yang mepermalukan nama baik dan kehormatan
Presiden. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa animus injuriandi dalam perbuatan
terdakwa tidaklah terbukti.
Sementara itu, pertimbangan hakim dalam putusan memaknai unsur
kesengajaan sebatas menghendaki dilakukannya perbuatan pembakaran dan
mengetahui bahwa sasaran dari perbuatan tersebut adalah diri Presiden Megawati.
Majelis Hakim tidak memaknai kesengajaan secara kontekstual, yaitu kesengajaan
menghina diri Presiden Megawati dibalik aksi pembakaran tersebut dengan
mengaitkannya pada situasi komunikasi politik saat itu. Alhasil, pemaknaan
secara kaku atas adanya kesengajaan melakukan pembakaran membuat Majelis
Hakim berkesimpulan bahwa unsur sengaja telah terpenuhi.
293
Salah satu kebijakan kontroversial yang dinilai justru merugikan masyarakat adalah
kebijakan privatisasi BUMN dan penjualan aset yang dikelola Badan Penyehatan Perbankan
NAsional (BPPN) dengan Asset Recovery Rate (ARR) yang rendah. Saat itu kebijakan privatisasi
pun dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah karena belum ada undang-undang yang mengatur.
Lihat: Sunarsip, “Kebijakan Privatisasi BUMN Dulu dan Sekarang”,
http://www.iei.or.id/publicationfiles/Kebijakan%20Privatisasi%20BUMN%20Dulu%20dan%20Se
karang.pdf diakses pada 15 Juni 2015.
Universitas Indonesia
220
294
Noyon-Langemeijer dalam Lamintang (1987), Delik-Delik Khusus, Kejahatan-
Kejahatan terhadap Kepentingan Umum Negara Sinar Baru, Bandung, halaman 268.
295
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., halaman 60.
296
Tidak boleh ada pembedaan antara Presiden atau Wakil Presiden dengan warga negara
lainnya disebabkan karena adanya prinsip persamaan di muka hukum atau equality before the law.
Setiap orang termasuk Presiden dan Wakil Presiden, berhak atas perlakuan yang sama.
Keberlakuan prinsip ini juga menjadi salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam
menguji judicial review pasal 134, 136bis, dan 137 KUHP. Liat: Pertimbangan Hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-V/2006
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/risalah_sidang_Perkara%20013%20dan%20022%2
0.PUU-Iv.2006,%2016%20Desember%202006.pdf diakses pada 13 Juni 2015.
Universitas Indonesia
221
Universitas Indonesia
222
Universitas Indonesia
223
Universitas Indonesia
224
1. Unsur Penghinaan
Analisis terhadap unsur ini harus dikembalikan terhadap unsur
penghinaan yang terdapat dalam pasal 310 KUHP yang notabene merupakan delik
penghinaan secara umum. Meskipun begitu, perbuatan yang tercakup dalam pasal
134 KUHP tidak hanya terbatas pada perbuatan yang diatur dalam pasal 310
KUHP, namun dapat juga meliputi segala perbuatan yang termaktub dalam pasal
310 hingga pasal 321 KUHP.301 Ditiadakannya pembedaan tindakan penghinaan
ini disebabkan karena sifat penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden
yang amatlah tercela. Secara umum, penghinaan harus dimaknai sebagai tindakan
menuduhkan atau mengungkapkan suatu hal yang ditujukan untuk diketahui oleh
masyarakat umum, dalam rangka melukai nama baik atau kehormatan orang yang
bersangkutan.
Dalam perkara ini, dakwaan primair berdasarkan pasal 134 KUHP
menuduh terdakwa telah melakukan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil
Presiden secara sengaja atas perbuatannya membawa, mencoret-coret, dan
merobek-robek gambar Wakil Presiden Hamzah Haz yang dilakukannya ketika
sedang melakukan demonstrasi bersama dengan kurang lebih 200 (dua ratus)
pengunjuk rasa lainnya. Menurut penulis, tindakan terdakwa sendiri dapat
dikarakterisasi menjadi 2 (dua) jenis perbuatan: 1). Membawa gambar Wakil
Presien Hamzah Haz lengkap dengan ikat kepala bertuliskan “Pemerintah Rakyat
Miskin”; 2). Mencoret-coret, merobek, dan membuang gambar Wakil Presiden
Hamzah Haz ke tempat sampah. Jika dilihat dalam pembuktian di persidangan,
fakta mengenai perbuatan mencoret-coret dan merobek-robek gambar lah yang
berusaha dibuktikan. Penulis sendiri memandang tidak terdapat permasalahan
dengan perbuatan membawa gambar dan menggunakan ikat kepala dengan tulisan
“Pemerintah Rakyat Miskin”, sehingga perbuatan yang dipermasalahkan dalam
301
Noyon-Langemeijer, Op.Cit., halaman 566-567.
Universitas Indonesia
225
Universitas Indonesia
226
303
Lamintang, Op.Cit, halaman 287-289.
304
Charles Tilly, From Mobilization to Revolution, (New York: Random House, 1988),
halaman 110.
Universitas Indonesia
227
305
Lamintang, Op.Cit., 286-288.
306
“The Criminalization of Dissent”, Laporan Tahunan Human Rights Watch,
https://www.hrw.org/legacy/reports98/indonesia2/Borneote-07.htm diakses pada 15 Juni 2015.
Universitas Indonesia
228
dibuktikan adanya kesadaran bahwa yang terdakwa serang kehormatan dan nama
baiknya itu adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jika dikaitkan dengan
pembuktian dalam persidangan, diketahui bahwa pada tanggal 30 Juli 2002,
terdakwa melakukan demonstrasi dengan membawa gambar Wakil Presiden
Hamzah Haz sambil memakai ikat kepala berwarna merah yang bertuliskan
“Pemerintahan Rakyat Miskin “ serta memakai kalung ballpoint berwarna kuning.
Ballpoint tersebut sudah digunakan oleh terdakwa dan dipersiapkan untuk
mencoret-coret gambar yang dibawanya. Dalam hal ini, maka jelas bahwa
terdapat kesengajaan untuk mencoret-coret gambar tersebut. Terdakwa pun secara
sadar mengetahui bahwa gambar yang dibawanya adalah gambar Wakil Presiden
Hamzah Haz. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa terdakwa sengaja mencoret dan
kemudian merobek gambar Wakil Presiden Hamzah Haz.
Selain menganalisis kesengajaan atas dilakukannya perbuatan mencoret-
coret dan merobek gambar Wakil Presiden Hamzah Haz, perlu ditelaah lebih jauh
apakah terdakwa memang memaksudkan perbuatan tersebut untuk menyinggung
nama baik Wakil Presiden. Dalam keterangan yang diberikan oleh terdakwa,
perbuatan mencoret dan merobek gambar Wakil Presiden Hamzah Haz
dimaksudkan untuk mengungkapkan ketidakpercayaan dirinya dan anggota
masyarakat lainnya dan mendorong agar Wakil Presiden Hamzah Haz turun dari
jabatannya selaku Wakil Presiden Republik Indonesia. Dalam hal ini nampak
bahwa tujuan terdakwa tidak hanya sebatas pada ekspresi atas perasaan kekesalan
terhadap Wakil Presiden Hamzah Haz, namun termasuk juga menampakkan atau
mendorong agar Wakil Presiden Hamzah Haz turun dari jabatannya. Menurut
penulis, perbuatan mencoret-coret dan merobek gambar Wakil Presiden Hamzah
Haz merupakan bentuk penghinaan terlepas dari harus dilihatnya demonstrasi
secara keseluruhan, untuk mengidentifikasi apakah selain perbuatan mencoret-
coret dan merobek gambar, terdapat tindakan lain yang merupakan penghinaan.
Keterangan terdakwa yang menyatakan bahwa ia menginginkan agar Wakil
Presiden Hamzah Haz turun dari jabatannya, menunjukkan adanya kebencian dan
ketidaksukaan terdakwa terhadap Wakil Presiden Hamzah Haz. Kebencian itu
nampak dari perbuatan mencoret-coret dan merobek, diikuti seruan untuk turun
Universitas Indonesia
229
Universitas Indonesia
230
Universitas Indonesia
231
Universitas Indonesia
232
terjadi sekali ini, namun terjadi dalam banyak demonstrasi lainnya. Oleh
karenanya, Majelis Hakim harus bisa memandang bentuk ekspresi yang demikian
sebagai kelaziman. Berbeda hal nya apabila demonstrasi semacam itu dilakukan
di tahun 2015, barulah ekspresi yang demikian dapat dipersalahkan karena kondisi
kebatinan sudah jauh lebih damai dan kebebasan berekspresi juga lebih
longgar.310 Sehingga, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyatakan
pendapat daripada melakukan pencoretan atau pembakaran gambar. Menurut
penulis, dalam situasi kebatinan yang sedang ricuh seperti ketika kasus ini terjadi,
mekanisme penyampaian pendapat di muka umum dengan jalan demonstrasi
menggunakan kesenian adalah hal yang amat wajar dengan niatan awal tidak
untuk menghina Presiden atau Wakil Presiden—niat awal dari tindakan itu adalah
penyampaian pendapat, namun eksekusinya melampaui batas kewajaran.
1. Unsur Penghinaan
Analisis terhadap unsur ini harus dikembalikan terhadap unsur
penghinaan yang terdapat dalam pasal 310 KUHP yang notabene merupakan delik
penghinaan secara umum. Meskipun begitu, perbuatan yang tercakup dalam pasal
134 KUHP tidak hanya terbatas pada perbuatan yang diatur dalam pasal 310
KUHP, namun dapat juga meliputi segala perbuatan yang termaktub dalam pasal
310 hingga pasal 321 KUHP. Ditiadakannya pembedaan tindakan penghinaan ini
disebabkan karena sifat penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang
310
Semakin opresif suatu pemerintahan, maka semakin militan pergerakan massa yang
muncul untuk menentang rezim yang ada. Seiring melonggarnya kontrol pemerintah terhadap
rakyat, maka semakin stabil dan semakin moderat pergerakan yang terjadi. Lihat: Charles Tilly,
Op. Cit., halaman 79.
Universitas Indonesia
233
Universitas Indonesia
234
Universitas Indonesia
235
Universitas Indonesia
236
kesengajaan yang menjadi tujuan, dalam hal ini tujuannya berupa terserangnya
kehormatan atau nama baik Presidan dan/atau Wakil Presiden.312 Pun juga harus
dibuktikan adanya kesadaran bahwa yang terdakwa serang kehormatan dan nama
baiknya itu adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jika dikaitkan dengan uraian
perkara, maka dapat diketahui bahwa terdakwa bukanlah orang yang membuat
gambar Presiden Megawati yang tertutup matanya dan pada bagian atasnya
terdapat tulisan “Buronan Rakyat”. Sesampainya terdakwa di lokasi demonstrasi,
terdakwa sudah melihat terdapat gambar-gambar Presiden Megawati sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya dan selanjutnya yang terdakwa lakukan adalah
mengedarkan gambar tersebut kepada pengunjuk rasa yang lain untuk kemudian
bersama-sama mengangkat gambar tersebut dan menyerukan yel-yel. Terdakwa
dalam keterangannya juga menjelaskan bahwa ia tidak memiliki niat untuk
menghina Presiden Megawati. Sehingga, dapat dikatakan bahwa tidak terdapat
unsur animus injuriandi atau kesengajaan untuk menghina dalam perbuatan
terdakwa. Sementara itu, jika ditelaah lebih jauh, kesengajaan yang terdapat
dalam perbuatan terdakwa adalah kesengajaan untuk mempertunjukkan gambar
Presiden Megawati tersebut kepada khalayak umum sekalipun tidak terdapat
kesengajaan untuk melakukan penghinaan. Oleh karenanya, dapat disimpulkan
bahwa unsur kesengajaan dalam pasal 134 KUHP tidaklah terbukti.
312
Leden Merpaung, Op.Cit., halaman 13.
313
Supriyadi Widodo Eddyono, Sriyana dan Wahyu Wagiman, Op. Cit., halaman 13.
Universitas Indonesia
237
Universitas Indonesia
238
niat menghina yang diwujudkan dengan perbuatan menghina itu sendiri. Pelaku
haruslah orang yang membuat hinaan dan bukan hanya sekedar orang yang
menyebarluaskan hinaan tersebut. Sementara itu, jika dilihat dalam pembuktian di
persidangan, diketahui bahwa terdakwa bukanlah orang yang membuat gambar
Presiden Megawati yang matanya tertutup dengan tulisan “Buronan Rakyat” di
atasnya. Terdakwa memperoleh gambar tersebut dari pengunjuk rasa lainnya.
Sehingga, dalam hal ini terdakwa lebih tepat jika dituduh telah mempertunjukkan
gambar tersebut di muka umum dibandingkan sebagai orang yang melakukan
penghinaan. Pasal 134 KUHP sendiri mensyaratkan terpenuhinya animus
injuriandi atau niat untuk menghina. Sementara itu, dalam persidangan terdakwa
mengaku tidak memiliki niat untuk menghina Presiden Megawati. Ia hanya
memperoleh gambar tersebut dari kawan pengunjuk rasa lainnya, yang mana
gambar tersebut oleh pengunjuk rasa lain digunakan sebagai properti demonstrasi.
Mengikuti pengunjuk rasa lain, terdakwa juga mengangkat gambar tersebut
beriringan dengan meneriakkan yel-yel. Dalam hal ini, kesengajaan yang dimiliki
oleh terdakwa adalah kesengajaan untuk membuat dapat dilihatnya gambar
menghina tersebut oleh banyak orang, dan bukanlah kesengajaan untuk menghina
diri Presiden Megawati itu sendiri. Oleh karenanya, unsur-unsur pasal 134 KUHP
tidak terpenuhi karena perbuatan yang dilakukan terdakwa lebih sesuai dengan
unsur-unsur pasal 137 ayat (1) KUHP.
Dalam perkara ini dapat dilihat bagaimana Majelis Hakim menerapkan
ketentuan pasal 134 KUHP secara kaku, tanpa melihat situasi kebatinan yang
terjadi pada saat itu. Perlu diingat bahwa demonstrasi yang dilakukan oleh
terdakwa juga banyak dilakukan oleh organisasi lain di berbagai wilayah di
Indonesia. Penggunaan poster, tulisan, patung, hingga drama merupakan suatu hal
yang wajar dalam penyampaian kritik dan aspirasi.314 Selain ditujukan untuk
menyampaikan kritik terhadap pemerintah, demonstrasi tersebut juga dilakukan
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat lainnya sehingga demonstrasi dibuat
semenarik dan semencolok mungkin. Melihat kondisi yang demikian, sepatutnya
Majelis Hakim tidak menerapkan ketentuan hukum secara kaku—hanya melihat
kesesuaian kondisi faktual dengan rumusan pasal tanpa mempertimbangkan aspek
314
Charles Tilly, Op.Cit., halaman 86.
Universitas Indonesia
239
1. Unsur Penghinaan
Bahwa dalam pembuktian di persidangan, diketahui bahwa terdakwa
telah membuat pernyataan yang kemudian dimuat oleh berbagai media
bahwasanya kedatangannya adalah untuk mengklarifikasi pemberian mobil Jaguar
dari Hary Tanoe kepada Presiden SBY, Andi Mallarangeng, Dino Patti Djalal, dan
Sudi Silalahi. Dalam pertimbangan hukum, Majelis Hakim berpendapat bahwa
pernyataan tersebut sempat menjadi pembicaraan di kabinet dan membuat terdapat
pertanyaan dari beberapa Kedutaan Negara Asing untuk mengklarifikasi
kebenaran berita tersebut. Menurut para saksi yang turut dianggap menerima
mobil Jaguar, tidak pernah ada pemberian dari Hary Tanoe kepada orang-orang di
lingkungan kepresidenan. Mengacu pada fakta tersebut, maka apa yang
diungkapkan oleh terdakwa merupakan rumor atau gunjingan yang belum jelas
kebenarannya, sehingga menyebabkan kesan negatif. Hal ini menyebabkan
Presiden dan para saksi lain merasa terhina. Majelis Hakim juga
mempertimbangkan kedudukan terdakwa sebagai politisi yag bereputasi yang
Universitas Indonesia
240
Universitas Indonesia
241
memiliki otoritas, yaitu KPK. Konten tuduhan dengan klarifikasi yang ingin
dilakukan oleh terdakwa haruslah dibedakan. Klarifikasi ini tidak dapat serta
merta didefinisikan sebagai wujud tuduhan kepada pihak kepresidenan karena
sebenarnya klarifikasi ini bertujuan untuk mencari tahu kebenaran faktanya.
Sementara tuduhan secara susbtansial dilihat sebagai hal yang dapat mencemarkan
nama baik orang yang dituduh. Klarifikasi ada justru untuk memberikan kejelasan
apakah tuduhan itu benar atau salah. Dalam hal tuduhan itu salah, maka orang
yang dituduh justru memperoleh kemanfaatan karena namanya tidak akan
ternodai atas tuduhan yang sama lagi. Di samping itu, gestur dan pilihan diksi
terdakwa dalam membuat pernyataan tersebut tidak mengindikasikan bahwa
terdakwa memang berniat menghina atau melecehkan Presiden ataupun anggota
kepresidenan. Terdakwa mengungkapkan kalimat tersebut dengan
mendeskripsikan apa yang ia lakukan, yaitu “mengklarifikasi dengan ketua KPK
dan jajaran KPK”.
Selain melihat substansi yang dituduhkan secara objektif, perlu dilihat
penilaian-penilaian subjektif yang diberikan oleh Presiden. Dalam pembuktian di
persidangan, diketahu bahwa Presiden merasa sedih dan terpukul atas pemberitaan
tersebut. Hal tersebut dinyatakan oleh anggota lembaga kepresidenan yang di
antaranya adalah Andi Mallarangeng, Dino Patti Djalal, dan Sudi Silalahi yang
kebetulan juga merupakan tertuduh penerina hadiah mobil Jaguar. Kesaksian yang
diberikan oleh ketiga saksi merupakan testimonium de auditu, yaitu keterangan
yang diperoleh atau didengarnya dari orang lain, yang menyebabkan keterangan
tersebut bisa jadi telah melalui interpretasi yang berbeda dari diri saksi.317 Dalam
hal ini, untuk mengukur apakah Presiden benar-benar terhina atau tidak,
seyogyanya Presiden sebagai pihak yang dituduh dapat didatangkan dalam
persidangan untuk memberikan keterangan langsung mengenai terhina tidaknya
dirinya atau ucapan terdakwa. Selain itu, dalam konteks Presiden memang merasa
317
Testimonium de auditu atau hearsay evidence bukanlah alat bukti yang pendapat Andi
Hamzah tidak diperkenankan nya kesaksian de auditu sebagai alat bukti selaras dengan tujuan
hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil dan pula untuk perlindungan terhadap hak-
hak asasi manusia, di mana keterangan saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin
kebenarannya, sehingga patut tidak dipakai di Indonesia. Lihat: Andi Hamzah, Hukum Acara
Pidana di Indonesia, halaman 262.
Universitas Indonesia
242
terhina, maka secara logika proses permohonan maaf yang bahkan dianjurkan
oleh Presiden sendiri kepada terdakwa agar membuat surat permohonan maaf
tidak akan pernah terjadi. Namun, Presiden SBY sebagaimana diutarakan oleh
saksi saksi Andi Mallarangeng dalam persidangan, menerima perbuatan terdakwa
sebagai akibat dari demokrasi Indonesia. Adanya perasaan terhina yang dirasakan
oleh para saksi yang merupakan anggota lembaga kepresidenan bukanlah menjadi
takaran apakah tindak pidana penghinaan terjadi di sini, karena yang dituju oleh
ketentuan pasal 134 jo. Pasal 136bis KUHP adalah penghinaan terhadap Presiden.
Mengacu pada hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, maka unsur penghinaan
tidaklah terpenuhi.
Universitas Indonesia
243
atas rumor tersebut, tindakan terdakwa untuk menanyakan langsung kepada Ketua
KPK sudahlah tepat.
Adanya pemberitaan yang dibuat oleh berbagai media yang saat itu
sedang berada di dalam KPK berada di luar harapan terdakwa. Terdakwa juga
tidak mengetahui bahwasanya akan banyak pers di situ. Yang terdakwa lakukan
ketika ditanyai pers, adalah menajawab sesuai dengan fakta yang ada bahwasanya
kedatangan terdakwa selain untuk mengurus kliennya adalah untuk
mengklarifikasi rumor pemberian mobil Jaguar tersebut. Menurut penulis, tidak
terdapat kesengajaan dalam diri terdakwa untuk menghina Presiden juga tidak ada
kesengajaan untuk menyebarkan hinaan tersebut karena rumor yang berusaha
diklarifikasi sudah ada sejak lama. Adanya indikasi bahwa ungkapan terdakwa
cenderung menghina harus ditelaah dan dihubungkan lebih lanjut dengan
bagaimana berbagai media memberitakan hal tersebut. Dalam pembuktian di
dalam persidangan, ahli di bidang jurnalistik menjelaskan bahwasanya setiap
redaksi memilih kebijakan dan gaya penyajian beritanya masing-masing. Metode
penyajian berita tersebut merupakan tanggung jawab redaksi dengan
mempertimbangkan akurasi berita yang diperoleh setelah melalui tahap check dan
re-check dengan sumber-sumber yang terpercaya. Dalam pembuktian di
persidangan, Alexander Zulkarnain sebagai salah satu wartawan menyatakan
bahwa memang diperlukan check and recheck namun jika sedang dikejar tenggat
waktu pengumpulan berita seperti ketika sedang mengejar berita tentang tuduhan
diterimanya mobil Jaguar oleh anggota kepresidenan, maka berita akan langsung
dikirim kepada redaksi. Dalam hal ini, kesengajaan untu menghina dalam diri
terdakwa dikaburkan dengan pemberitaan media massa yang cenderung
membiarkan terjadinya distorsi atau penurunan nilai kebenaran berita dengan
tidak dilakukannya check and recheck.
Universitas Indonesia
244
4. Unsur “di muka umum maupun tidak di muka umum tetapi di hadapan
lebih dari empat orang atau di hadapan orang lain yang hadir dengan
tidak kemauannya dilakukan dengan perbuatan-perbuatan atau dengan
lisan atau tulisan”
Dalam perkara yang melibatkan terdakwa Eggi Sudjana, diketahui bahwa
lokasi terjadinya peristiwa yang dituduhkan adalah di dalam lobi kantor KPK.
Jaksa Penuntut Umum menuduhkan dakwaan pasal 134 KUHP jo. Pasal 136bis
KUHP yang mana mengatur mengenai penghinaan “di muka umum maupun tidak
di muka umum tetapi di hadapan lebih dari empat orang atau di hadapan orang
lain yang hadir dengan tidak kemauannya dilakukan dengan perbuatan-
Universitas Indonesia
245
perbuatan atau dengan lisan atau tulisan”. Di muka umum menurut Hoge Raad
dalam arrest tertanggal 9 Juni 1941 N.J. 1941 No. 709 adalah sebagia berikut:319
Gedung KPK dalam hal ini tergolong dalam tempat umum di mana
hampir setiap orang dapat memasuki gedung KPK, terlepas dari pemeriksaan
keamanan bagi tiap-tiap pengunjung akan masuk. Yang ingin ditekankan, tidak
terdapat syarat khusus yang harus dipenuhi oleh pengunjung agar bisa masuk ke
dalam gedung KPK. Semua orang bisa mengunjungi dan masuk ke lobi KPK, baik
orang yang sedang berperkara di KPK atau wartawan. Hal ini juga dijelaskan oleh
Ketua KPK bahwa memang pada hari-hari biasa wartawan banyak berada di KPK
untuk mencari berita. Oleh karenanya, terang bahwa KPK—terlebih lagi lobi
tempat tujuan pertama orang masuk ke dalam sebuah gedung, merupakan tempat
umum.
Dalam persidangan, diketahui fakta bahwa terdakwa mengungkapkan
niatnya untuk mengklarifikasi rumor tersebut di lobi KPK setelah ia menemui
Ketua KPK, Taufiqurrahman Ruki. Hal itu ia ungkapkan di hadapan wartawan
yang memang biasa berjaga untuk mencari berita. Dengan demikian, nampak
secara nyata bahwa lobi KPK merupakan tempat umum yang dapat diakses oleh
orang lain dan oleh karenanya, unsur “di muka umum” terpenuhi.
Universitas Indonesia
246
Menurut ahli Despen Opu Sunggu yang dihadirkan dalam persidangan, rumor
tidak bisa serta merta dianggap sebagai penghinaan karena rumor adalah
informasi yang dibicarakan publik yang kemungkinan benar atau tidak benar.
Mengingat bahwa rumor menyebabkan ketidakpastian dan justru bisa
menimbulkan prasangka buruk, terdakwa berusaha mengklarifikasi rumor yang
ada. Hal ini merupakan pengejewantahan dari fungsi kontrol masyarakat atas
jalannya pemerintahan.
Penuduhan Jaksa Penuntut Umum bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana penghinaan Presiden karena telah menjelaskan niatnya
mengklarifikasi penghinaan tersebut tidaklah tepat. Mengacu pada doktrin yang
berkembang secara internasional mengenai penghinaan, setidak-tidaknya harus
terdapat aspek-aspek berupa mengandung fakta palsu, tersebar informasinya,
terdapat kerugian yang dialami orang lain serta ketiadaan alasan pembenar yang
menghilangkan sifat melawan hukum untuk dapat disebut sebagai suatu
penghinaan.320 Dalam perkara yang melibatkan terdakwa Eggi Sudjana, dapat
ditelaah eksistensi masing-masing aspek tersebut. Pertama, masih belum
diketahui secara pasti apakah rumor yang beredar tersebut mengandung fakta
yang salah, mengingat KPK sendiri belum mengadakan pemeriksaan atas hal yang
dituduhkan kepada Presiden dan anggota kepresidenan karena tidak pernah ada
laporan mengenai rumor tersebut. Kedua, ketersebaran informasi atas rumor
tersebut tergolong cukup signifikan justru melalui pers yang memberitakann
pernyataan klarifikasi tersebut baik melalui media televisi ataupun radio.
Terdakwa tidak memiliki niatan untuk menyebarluaskan—yang ia lakukan
hanyalah menjawab pertanyaan pers tentang kepenitngannya di KPK. Sebelum
pernyataan yang dibuat oleh terdakwa sendiri, sudah terdapat ketersebaran
informasi tersebut hingga pihak kepresidenan dan pihak KPK sendiri sudah
mendengarnya. Ketiga, tidak terdapat kerugian yang signifikan bagi lembaga
kepresidenan dan bagi Presiden itu sendiri. Beberapa saksi yang turut menjadi
tertuduh penerima gratifikasi merasakan terpukul atas berita tersebut. Mereka juga
memberikan keterangan bahwa Presiden sempat merasa sedih atas adanya
pemberitaan tersebut. Meskipun begitu, saksi Andi Mallarangeng menyatakan
320
Charles J. Glasser J.R., Op. Cit., halaman 49.
Universitas Indonesia
247
321
“Defamation and Freedom of Expression: Selected Documents”, Media Division,
Directorate General of Human Rights, Council of Europe,
https://www.coe.int/t/dghl/standardsetting/media/doc/H-ATCM(2003)001_en.pdf diakses pasa 10
Mei 2015.
322
Supriyadi Widodo Eddyono, Sriyana dan Wahyu Wagiman, Op.Cit. halaman 10.
323
Charles J. Glasser J.R., Op. Cit., halaman 341.
Universitas Indonesia
248
benar atau salah”.324 Membenturkan doktrin tersebut dengan konteks perkara yang
melibatkan Eggi Sudjana, maka dapat dikatakan bahwa terdakwa sebagai pihak
yang mengaku memiliki informasi lebih mengenai rumor gratifikasi yang
dilakukan pengusaha kepada anggota kepresidenan sudah selayaknya
memberitahukan dan bahkan mengklarifikasi kebenaran rumor tersebut sebagai
wujud dari kontrol terhadap Pemerintah. Namun, sebagai penyeimbang dari
ketersebaran rumor tersebut, hukum Indonesia tidak mengakomodasi Presiden dan
anggota kepresidenan lainnya untuk membuktikan benar atau salahnya rumor
tersebut sehingga sulit untuk menilai apakah sebenarnya telah terjadi suatu
penghinaan atau tidak.
Dalam konteks adanya itikad buruk dalam menyampaikan suatu
ungkapan, Amerika Serikat mendasarkannya pada cara, waktu, dan kedalaman
substansi penghinaan. Amerika mengenal penghinaan yang dilakukan oleh media
massa atau reporter yang tidak mematuhi standar jurnalistik yang ada dalam
membuat berita, doktrin mana dapat diterapkan dalam perkara Eggi Sudjana
terkait aspek pemberitaan oleh wartawan tanpa melalui check and recheck.
Meskipun begitu, untuk mengklarifikasi pemberitaan pers yang tidak
mengutamakan kebenaran, Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999
mengakomodasi hak jawab dan hak koreksi bagi masyarakat secara umum. Hak
jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan
atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya
sementara hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau
membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang
dirinya maupun tentang orang lain. Dalam perkara Eggi Sudjana, pihak
kepresidenan dapat menempuh alternatif berupa penggunaan hak jawab dan hak
koreksi daripada mengedepankan kriminalisasi, mengingat ada kemungkinan
bahwa rumor yang cenderung mengarah kepada penghinaan itu justru disebabkan
oleh pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Adanya penggunaan hak jawab dan
hak koreksi ini merupakan langkah yang lebih diplomatis dalam rangka
mengklarifikasi suatu tuduhan daripada kriminalisasi.
324
Peter N. Amposah, Op. Cit., halaman 86.
Universitas Indonesia
249
Universitas Indonesia
250
Unsur
No. Putusan Presiden atau
Penghinaan Dengan Sengaja
Wakil Presiden
1. 1380/Pid. Perbuatan membakar Sehari sebelum Patung dibuat
B/2002/P patung yang demonstrasi, menyerupai
N.Jak.Sel menyerupai Presiden terdakwa telah Presiden
Megawati bertopi a menerima selebaran Megawati dengan
la Amerika yang ajakan demo. Pada ciri terdapat tahi
bercorak garis tegak hari demo lalat di dekat
warna biru dan putih dilaksanakan, dagu. Terdakwa
yang bertuliskan terdakwa sudah juga menyatakan
IMF (International membawa botol bahwa
Monetary Fund) minyak tanah dan pembakaran itu
dalam aksi korek api yang merupakan
demonstrasi. disimpan di ekspresi
kantongnya, yang kekesalan
artinya, aksi terhadap
memang sudah Megawati selaku
dipersiapkan. Presiden.
2. 1879/PID. Perbuatan mencoret- Perbuatan terdakwa Gambar yang
B/2002/P coret, merobek- merupakan wujud dibawa, dicoret,
N. JKT. robek, dan ketidakpercayaan dan dirobek
PST membuang potongan rakyat terhadap terdakwa adalah
gambar gambar Presiden dan Wakil gambar Wakil
Wakil Presiden Presiden, oleh Presiden Hamzah
Hamzah Haz karenanya melalui Haz.
aksi tersebut
terdakwa juga
meminta Wakil
Presiden RI, Hamzah
Haz, turun dari
Universitas Indonesia
251
jabatannya.
3. 484/Pid.B/ Perbuatan membawa Terdakwa Gambar yang
2003/PN. sebuah gambar mengangkat gambar dibawa oleh
JKT. PST Presiden Megawati tersebut sambil Terdakwa adalah
yang memakai baju meneriakkan kalimat gambar Presiden
berwarna merah dan bahwa inilah Megawati yang
kedua matanya Presiden yang matanya ditutup,
ditutup lakban hitam mengecewakan namun masih
dan pada bagian atas rakyat. dapat dikenali.
gambar terdapat Gambar itu
tulisan, diangkat untuk
“BURONAN menyerukan
RAKYAT”, kekecewaan
kemudian rakyat kepada
meletakkan gambar Presiden
tersebut di tengah Megawati karena
jalan hingga kebijakannya.
terlindas kendaraan.
4. 1411/PID. Pernyataan Pernyataan tersebut Sasaran tuduhan
B/2006/P mengklarifikasi diungkapkan telah memperoleh
N.JKA.PS rumor bahwa terdakwa secara gratifikasi adalah
Presiden SBY dan lisan di depan pers Presiden SBY
T
beberapa staf (di muka umum; jo. dalam jabatannya
kepresidenan telah Pasal 136bis) saat sebagai Presiden.
memperoleh hadiah berada di lobi KPK
mobil mewah dari padahal belum
pengusaha yang diketahui kebenaran
mengindikasikan rumornya.
adanya gratifikasi.
Universitas Indonesia
252
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
1. Pasal 134 KUHP selalu digunakan untuk memidana tindak pidana
penghinaan Presiden atau Wakil Presiden tanpa memperhatikan
kualifikasi perbuatan yang dianggap memenuhi ketentuan tersebut.
Baik penghinaan yang dilakukan dengan lisan, tulisan, atau
perbuatan, didakwa dengan ketentuan pasal 134 KUHP yang
notabene mengatur penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam
bentuk yang paling dasar. Hal-hal yang dikategorikan sebagai
penghinaan dan dipersalahkan melanggar ketentuan pasal 134 KUHP
meliputi aksi demonstrasi baik yang diwujudkan dalam aksi kesenian
atau aksi perusakan, pemberitaan di media massa, hingga
ketersebaran rumor mengenai perbuatan tercela yang dilakukan oleh
Presiden dan jajarannya. Penerapan ketentuan pasal 134 KUHP
terhadap bentuk-bentuk perbuatan yang dianggap menghina
bergantung pada politik hukum pidana masing-masing rezim
pemerintahan, dengan alat ukur berupa subjektivisme hakim yang
memeriksa.
2. Terdapat variasi pemaknaan unsur pasal 134 KUHP dalam kasus
pada rentang tahun 1998-2013. Variasi pemaknaan ini bergantung
pada kecenderungan perbuatan penghinaan yang terjadi pada rezim
pemerintahan yang bersangkutan (dalam hal ini adalah rezim
pemerintahan Soeharto, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo
Bambang Yudhoyono) sebagai berikut:
a. Pada rezim pemerintahan Soeharto, pasal 134 KUHP banyak
digunakan untuk mempidana berbagai pemberitaan, pers, dan
aksi demonstrasi. Dalam rezim inilah penggunaan pasal 134
KUHP dimaknai dengan sangat longgar—hakim tidak
menitikberatkan bentuk perbuatan yang dihina, segala macam
Universitas Indonesia
253
Universitas Indonesia
254
5.2 Saran
Berdasarkan pada kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan beberapa
saran berkaitan dengan pemberlakuan tindak pidana penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden yang dimasukkan kembali dalam Rancangan KUHP sebagai
berikut:
1. Untuk perancang undang-undang, diperlukan telaah lebih dalam
mengenai relevansi penerapan pasal penghinaan Presiden dan Wakil
Presiden yang cenderung digunakan untuk menekan kritik dan
pendapat terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini nampak dari
tidak adanya standar baku mengenai hal-hal yang dianggap
menghina, sehingga berbagai macam perbuatan selama dirasa
bertentangan dengan kedudukan Pemerintah dapat dianggap sebagai
penghinaan. Kecenderungan penyalahgunaan pasal juga nampak dari
digunakannya pasal 134 KUHP untuk segala perbuatan penghinaan
tanpa mempedulikan apakah wujud penghinaan berupa lisan, tulisan,
ataupun perbuatan. Hal demikian menunjukkan lenturnya pemaknaan
pasal 134 KUHP. Dalam hal ketentuan mengenai penghinaan Presiden
dan Wakil Presiden ingin dipertahankan, maka harus dipertimbangkan
alternatif modifikasi delik aduan tersebut menjadi delik biasa,
mengingat pada dasarnya penghinaan merupakan delik biasa.
Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden bersinggungan
langsung dengan kepentingan pribadinya, khususnya terkait
tersinggung atau tidaknya kehormatan dan nama baik mereka. Hal ini
akan membuat pemberlakuan ketentuan tersebut relevan, karena
diproses atau tidaknya perkara tersebut digantungkan pada ada
tidaknya aduan dari Presiden atau Wakil Presiden yang menjadi
korban;
2. Untuk pihak kepolisian, penerapan pasal penghinaan Presiden dan
Wakil Presiden untuk mengkriminalisasi demonstran justru
bertentangan dengan prinsip hukum pidana sebagai ultimum
remedium—hukum pidana justru diutamakan penggunaannya atau
primum remedium. Ke depannya, dalam hal aksi demonstrasi dinilai
Universitas Indonesia
255
Universitas Indonesia
256
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adji, Oemar Seno. Kemerdekaan Pers di Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga,
1952.
Alfian. Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1993.
Hudson, John. The Oxford History of the Laws of England: Volume II 871-1216.
Great Britain: CPI Gorup (UK) Ltd., 2012.
J.R., Charles J. Glasser. International Libel and Privacy Handbook. New Jersey:
John Wiley & Sons Inc., 2013.
Universitas Indonesia
257
Lamintang, P.A.F. dan Samosir. Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru,
1983.
Mamudji, Sri et.al., Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010.
S.A., Wina Armada. Wajauh Hukum Pidana Pers. Jakarta: Pustaka Kartini, 1989.
Universitas Indonesia
258
Tim Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ilmu Negara, Depok:
Penerbit FHUI, 2010
Zulkifli, Arif. PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka
Utama Grafiti, 1996.
Internet
BBC News.‘“Gay” Police Horse Case Dropped’, London, 12 Januari 2006,
http://news.bbc.co.uk/1/hi/england/oxfordshire/4606022.stm diakses pada
25 Mei 2015.
DutchNews. “F*** the King Demonstrator Taken to Court for Insulting the
Monarch (updated)”, http://www.dutchnews.nl/news/archives/2015/05/f-
the-king-demonstrator-taken-to-court-for-insulting-the-monarch/ diakses
pada 10 mei 2015
Universitas Indonesia
259
History Today. “The Art of Lèse Majesté”, Volume 56 Issue 4 April 2006,
http://www.historytoday.com/mark-bryant/art-l%C3%A8se-
majest%C3%A9 diakses pada 14 Mei 2015.
Nation Multimedia. “The nation, Royal Birthday Address: King Can Do Wrong”,
5 december 2005
http://www.nationmultimedia.com/2005/12/05/headlines/data/headlines_19
334288.html diakses pada 11 Juni 2015.
Universitas Indonesia
260
Suara Merdeka. “Mereka yang Dianggap Hina Presiden, Aberson dan Bintang
Jadi Korban”, 9 Desember 2006,
http://www.suaramerdeka.com/harian/0612/09/nas05.htm diakses pada 2
Mei 2015.
_______. “Wawancara Aberson Marle Sihaloho: Saya Tidak Ada Niat Melakukan
Penghinaan…”, 2 Oktober 1996, http://tempo.co.id/ang/min/01/32/nas3.htm
diakses pada 2 Mei 2015.
Universitas Indonesia
261
The Jakarta Post. “Activist Gets Six Months Jail for Insulting President Megawati,
8 Januari 2003, http://www.thejakartapost.com/news/2003/01/08/activist-
gets-six-months-jail-insulting-President-megawati.html diakses pada 5 Juni
2015.
“A man of bad character has not so much to lose’: Truth as a defence in the South
African law of defamation”, http://www.law.ed.ac.uk/includes/remote
_people_profile/remote_staff_profile?sq_content_src=%2BdXJsPWh0dHAl
M0ElMkYlMkZ3d3cyLmxhdy5lZC5hYy51ayUyRmZpbGVfZG93bmxvY
WQlMkZwdWJsaWNhdGlvbnMlMkYyXzIwMV9hbWFub2ZiYWRjaGFy
YWN0ZXJoYXNub3Rzb211Y2h0b2xvc2V0cnV0LnBkZiZhbGw9MQ%3
D%3D diakses pada 27 April 2015.
“Habibie akan Bebaskan Bintang dan Pakpahan”, Kompas Online, 25 Mei 1998,
http://www.seasite.niu.edu/indonesian/Reformasi/Chronicle/Kompas/May25
/habi01.htm diakses pada 2 Juni 2015.
Universitas Indonesia
262
Jurnal
Awawangi, Reydi Vridell, “Pencemaran Nama Baik Dalam KUHP dan menurut
UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Lex
Crimen Vol. III/No.4/Ags-Nov/2014
Universitas Indonesia
263
“Defamation and Privacy Law and Procedure in england, Germany, and France”,
Taylor Wessling Law Firm,
https://www.taylorwessing.com/uploads/tx_siruplawyermanagement/
IP_Defamation_and_privacy.en.pdf diakses pada 14 Mei 2015
“Lèse Majesté: 16th Century Censorship Meets 21st Century Law”, Digital Media
Law Project, http://www.dmlp.org/blog/2012/l%C3%A8se-
majest%C3%A9-16th-century-censorship-meets-21st-century-law diakses
pada 28 mei 2015.
Universitas Indonesia
264
Koran
“Dua Demonstran Diganjar Setahun Penjara,” Kompas, 25 Oktober, 2002.
Majalah
Hendardi, “Kejahatan Poliitik di Indonesia”, Majalah Hukum dan Pembangunan
Nomor 1 Tahun XXVII.
Peraturan
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.
Universitas Indonesia
265
Lain-lain
Asikin Kusuma Atmaja, “Tindak Pidana Subversi dan Perkembangannya menurut
Yurisprudensi Indonesia”, makalah pada Lokakarya Mahkamah Agung
“Pembangunan Hukum melalui Peradilan”,
Universitas Indonesia
Lampiran 1
Hasil Wawancara Terpidana Pasal 134 KUHP
Bapak Tri Agus Siswowihardjo
Kamis, 4 Juni 2015