OLEH :
ADNAN DARMANSYAH
B111 09 427
HALAMAN JUDUL
SKRIPSI
OLEH :
ADNAN DARMANSYAH
B111 09 427
PENGESAHAN SKRIPSI
IMPLEMENTASI PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT PADA PEREKRUTAN HAKIM AGUNG
BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945
ADNAN DARMANSYAH
B 111 09 427
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi yang Dibentuk
dalam rangka Penyelesaian Studi Program Sarjana
Bagian Hukum Tata Negara Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Pada Kamis Tanggal 13 Februari 2014
Dan Dinyatakan Lulus
Panitia Ujian
Ketua
Sekretaris
An. Dekan,
Wakil Dekan Bidang Akademik
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama
: Adnan Darmansyah
Nomor Induk
: B111 09 427
Bagian
Judul
Makassar,
Februari 2014
Pembimbing I
Pembimbing II
iii
: Adnan Darmansyah
Nomor Induk
: B 111 09 427
Judul Skripsi
: Implementasi
Rakyat
Persetujuan
Pada
Berdasarkan
Dewan
Perekrutan
Undang-Undang
Perwakilan
Hakim
Agung
Dasar
Negara
Makassar,
2014
a.n. Dekan
Pembantu Dekan Bidang Akademik,
iv
ABSTRAK
Adnan Darmansyah (B 111 09 427), Implementasi Persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pada Perekrutan Hakim
Agung Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Bapak Anshori Ilyas sebagai pembimbing I
dan Bapak Zulkifli Aspan sebagai pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme persetujuan
dewan perwakilan rakyat pada perekrutan hakim agung yang di atur
dalam tata tertib dewan perwakilan rakyat dan untuk mengetahui
mekanisme perekrutan hakim agung secara hakikat persetujuan yang
dimaksud dalam pasal 24A ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945.
Penelitian yang dilaksanakan oleh penulis mengenai Implementasi
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pada
Perekrutan Hakim Agung Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 , maka penulis melakukan penelitian di
Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Komisi Yudisial RI, serta penelitian
kepustakaan dengan mempelajari buku-buku, perundang-undangan yang
berhubungan dengan materi penulisan skripsi ini. Hasil yang dicapai
dalam penelitian ini menunjukan bahwa, kewenangan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam hal menyetujui calon Hakim Agung diatur dalam Pasal 6
huruf p dan tata cara pelaksanaan persetujuan tersebut terdapat dalam
Pasal 191 ayat (1) dan (2) pada peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
tentang Tata Tertib. Adapun mengenai kewenangan memilih seperti yang
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang No. 18 Tahun 2011
tentang Komisi Yudisial dan pada Pasal 8 ayat (2) dan (3) UndangUndang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung ternyata tidak
sejalan dengan makna persetujuan yang disebutkan pada Pasal 24A ayat
(3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini
didasarkan dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUUXI/2013 yang mengubah ketentuan memilih pada Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan pada
Pasal 8 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung menjadi menyetujui.
KATA PENGANTAR
Bedasarkan
Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945 yang merupakan tugas akhir dan salah satu
syarat pencapaian gelar Sarjana Hukum pada Universitas Hasanuddin.
Salam dan salawat senantiasa di panjatkan kehadirat Nabi Muhammad
SAW, sebagai Rahmatallilalamin.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan
dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang tak terhingga kepada :
Bapak Dr. Anshori Ilyas, S.H.,M.H. dan Bapak Dr. Zulkifli Aspan,
S.H.,M.H. selaku pembimbing I dan pembimbing II atas segala
vi
Bapak Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H. selaku penguji I, Ibu
Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si. selaku penguji II, dan Bapak
Kasman Abdullah, S.H., M.H. selaku penguji III.
Bapak
Dr.Ibrahim,S.H.,M.H.,LL.M.
dan
seluruh
staf
Komisi
constanter Dojosquad.
manusia biasa yang tak luput dari segala kekurangan dan keterbatasan,
penulis membuka diri untuk menerima segala bentuk saran dan kritikan
yang konstruktif dalam rangka perubahan dan penyempurnaan skripsi ini.
Makassar,
2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................
ii
iii
iv
ABSTRAK ..........................................................................................
vi
ix
A. . Latar Belakan
B. Rumusan Masalah..................................
C. Tujuan Penelitian..........
D. Kegunaan Penelitian.......
1. Negara Hukum.....
11
16
3. Kekuasaan Kehakiman.......
20
22
C. Teori Kewenangan......
25
26
32
1.
34
2.
37
3.
40
4.
Pembinaan Hakim...
50
ix
53
A. Type Penelitian..........
53
B. Lokasi Penelitian........
53
54
E. Analisis Data....................
55
56
56
61
68
78
A. Kesimpulan .............................................................................
78
B. Saran ......................................................................................
79
81
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada prinsipnya di dalam suatu Negara terdapat tiga jenis
kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan kekuasaan yudikatif.
Kekuasaan eksekutif adalah untuk menjalankan atau melaksanakan
undang-undang. Kekuasaan legislatif adalah untuk membuat undangundang. Sedangkan, kekuasaan yudikatif adalah untuk mengontrol
apakah undang-undang dijalankan secara benar atau tidak
. Jika
(organ)
kemerdekaan,
kekuasaan,
dan
maka
merupakan
tidak
akan
malapetaka
mungkin
bagi
negara
terlahir
yang
Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Refika Adiatma, Bandung,
2011, hal 152
badan
(organ)
lainnya
misalnya
dengan
memberikan
juga
sebagai
lembaga
pengawasan
terhadap
Gagasan tentang perlunya lembaga khusus yang mempunyai fungsifungsi tertentu dalam ranah kekuasaan kehakiman sebenarnya bukanlah
sesuatu yang baru. Dalam pembahasan rancangan undang-undang
(RUU) ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman tahun 1968
misalnya, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama
Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini diharapkan
berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir
mengenai saran-saran dan/atau usul-usul yang berkenan dengan
pengakatan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim
yang diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri
Kehakiman. Namun, ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak
2
Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2009, hal 72
3
Mexsasai Indra, Op. Cit., hal 153
yang
berwenang
mengawasi
perilaku
hakim,
memberikan
dilakukan.
pengawas
Gagasan
eksternal
badan
mewujudkan
peradilan
lembaga
demi
khusus
untuk
sebagai
menegakkan
dan
juga
dalam
pemberhentian
hakim
agung.
modern
haruslah
diimbangi
dengan
penerapan
prinsip
Oleh
karena
itu,
untuk
memperkuat
independensi
Rakyat
sejalan
dengan
hakikat
persetujuan
yang
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui mekanisme persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
pada perekrutan hakim agung yang di atur dalam tata tertib Dewan
Perwakilan Rakyat.
2. Untuk mengetahui mekanisme perekrutan hakim agung secara
hakikat persetujuan yang dimaksud dalam pasal 24A ayat (3) Undangundang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
7
Idul Rishan, Komisi Yudisial Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan, Genta
Press, Yogyakarta, 2013, hal 32-34
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi
pemikiran tentang mekanisme perekrutan hakim agung sesuai yang
di amanatkan oleh konstitusi.
2. Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban
atas perdebatan
serta menjadi referensi bagi siapa saja yang menggeluti ilmu Hukum
dan khususnya Hukum Tata Negara, mengingat perkembangan
ketatanegaraan yang mengalami banyak perkembangan
yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Hukum Dan Negara
Hukum adalah suatu tatanan perbuatan manusia. Tatanan adalah
suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti yang terkadang
dikatakan, sebuah peraturan. Hukum adalah seperangkat aturan yang
mengandung semacam kesatuan yang kita pahami melalui sistem. Setiap
usaha
untuk
mendefinisikan
sebuah
konsep
harus
dimulai
dari
karena
percampuran
kedua
konsep
ini
berkaitan
dengan
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel and Russel, New York, 1971
(diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien), Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara,
Penerbit Nusa Media, Bandung, 2010, hal 3-5
10
1. Negara Hukum
Istilah Negara hukum adalah istilah baru jika dibandingkan dengan
istilah demokrasi, konstitusi maupun kedaulatan rakyat. Para ahli telah
memberikan pengertian terhadap negara hukum. R.Supomo misalnya
memberikan pengertian terhadap negara hukum sebagai negara yang
tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku bagi segala
badan dan alat-alat perlengkapan negara. Negara hukum juga akan
menjamin tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberikan
perlindungan hukum, antara hukum dan kekuasaan yang ada hubungan
timbal balik.
Konspesi negara hukum merupakan gagasan yang muncul untuk
menentang absolutisme yang telah melahirkan negara kekuasaan. Pada
pokoknya, kekuasaan penguasa (raja) harus dibatasi agar jangan
memperlakukan rakyat dengan sewenang-wenang. Pembatasan itu
dilakukan dengan jalan adanya supremasi hukum, yaitu bahwa segala
tindakan penguasa tidak boleh sehendak hatinya, tetapi harus berdasar
dan berakar pada hukum, menurut ketentuan hukum dan undang-undang
yang berlaku dan untuk itu juga harus ada pembagian kekuasaan negara,
khususnya kekuasaan yudikatif harus dipisahkan dari penguasa.
Apabila dirunut kebelakang, paham negara hukum sebetulnya
merupakan konsep yang sudah lama menjadi discourse para ahli. Plato
mengemukakan konsep nomoi yang di angggap sebagai cikal bakal
pemikiran tentang negara hukum. Sedangkan aristoteles mengemukakan
ide negara hukum yang dikaitkan dengan arti negara yang dalam
11
S.F.Marbun,
Negara
hukum
adalah
reaksi
dari
perlindungan
terhadap
hak
asasi
manusia
guna
dari
arbitrary
power
dan
meniadakan
kesewenang-
12
c.
Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum
konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hakhak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.
Dalam perspektif sosiologis, gagasan the rule of law mengandung
untuk
menundukkan
mendepersonalisasikan
pelaksanaannya
kepada
kekuasaan
aturan-aturan,
untuk
sehingga
d. Tidak
netral
kepada
kepentingan-kepentingan
sosial,
karena
13
14
j.
Dibuatnya
konstitusi
dan
dibuatnya
perundang-undangan
yang
10
15
c.
kekuasaan
dalam
mana
terkandung
pengertian
dapat
eksekutif
dan
kekuasaan
yudikatif.
Esensinya
adalah
11
Romi Librayanto, Ilmu Negara Suatu Pengantar, Refleksi, Makassar, 2009, hal 63
16
kekuasaan tidak dipegang oleh satu orang atau badan, akan tetapi
dibagikan pada beberapa orang atau badan yang terpisah. Kekuasaan
trias politika telah mengemukakan fungsi untuk membentuk undangundang menjadi kewenangan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), fungsi
menjalankan undang-undang yang telah dibuat oleh lembaga legislatif,
menjadi kewenangan eksekutif dan fungsi untuk melakukan pengawasan
atau kontrol atas pelaksanaan undang-undang menjadi kewenangan
yudikatif.
Trias politika dalam sistem kekuasaan pemerintahan menjadi
bahan rujukan dan pilihan bagi negara-negara yang hendak membentuk
pemerintahannya sesuai kondisi dan kultur di negara masing-masing.
Trias politika dianggap sebagai bahwa pemerintahan negara terdiri dari
tiga macam kekuasaan yang dikenal dengan kekuasaan legislatif atau
kekuasaan
membuat
undang-undang,
kekuasaan
eksekutif
atau
diserahkan
kepada
orang
yang
sama
untuk
mencegah
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2008, hal 151
17
dikarenakan
para
penyelenggara
negara
mereka
13
18
15
A.Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, ELSAM Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2004, hal 2-3
19
dalam
demokrasi.
Dengan
demikian,
apabila
kekuasaan
20
dimana putusan hakim lahir hanya atas dasar korelasi fakta-fakta yang
muncul dalam persidangan dan keterkaitannya dengan hukum yang
berlaku.
Ketidakberpihakan (impartiality) kekuasaan kehakiman tidak hanya
ketiadaan bias atau kecurigaan tertentu terhadap hakim saja, melainkan
juga berlaku bagi hal-hal yang
pertimbangan lain seperti pandangan politik dan agama yang dianut oleh
hakim. Kekuasaan kehakiman memang bukan merupakan entitas yang
hampa dari kepentingan-kepentingan politik, karena energi politik bahkan
memiliki potensi dan kecenderungan yang sangat besar untuk melakukan
intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Boleh dikatakan bahwa politik
mempunyai derajat determinasi yang tinggi terhadap independensi
kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, setiap keinginan untuk melakukan
reformasi agar kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
dapat direalisasikan selalu akan berhadapan dengan kepentingankepentingan politik yang seringkali menghadangnya.
Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman sangat dianjurkan untuk
menghindari hal-hal yang sangat terkait dengan kepentingan politik.
Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak hanya akan
dapat terwujud apabila hanya tunduk pada aturan-aturan hukum yang
berlaku dan penegakannya. Apabila kekuasaan kehakiman tidak menjaga
jarak yang tepat dengan lembaga-lembaga politik yang ada dalam sebuah
negara, maka akan kehilangan legitimasinya dan kehadirannya dalam
suatu negara menjadi tidak bermakna. Satu hal yang patut dicatat di sini
21
yang dapat
kekuasaan kehakiman16.
22
perubahan),
dilaksanakan
sepenuhnya
oleh
Majelis
23
juga
terjadi
perubahan
yang
mendasar,
yakni
20
Dalam konteks
24
peraturan di bawah UUD 1945. Sebelum itu, terdapat state auxiliary body
yang dibentuk dengan Undang-Undang misalnya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002.
C. Teori Kewenangan
Kewenangan atau wewenang adalah suatu yang digunakan dalam
lapangan hukum publik khususnya hukum administrasi. Sesungguhnya
terdapat perbedaan di antara keduanya. Secara konseptual, istilah
kewenangan adalah apa yang disebut sebagai kekuasaan formal,
kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undangundang.
Oleh
karena
itu
kewenangan
merupakan
kewenangan
21
25
26
harus
dibangun
dengan
nomokrasi
secara
seimbang.
kepercayaan
masyarakat.
Hal
ini
adalah
suatu
membangun yudisial etik. Saat ini telah ada kode etik hakim sedunia hasil
kesepakatan international conference yang kemudian terakhir di adopsi
dalam international conference di Bangalore, india dan disebut Bangalore
principles. Terdapat enam prinsip utama yang kemudian dijabarkan dalam
berbagai konteks. Misalnya, tidak boleh menerima pemberian terkait
dengan perkara, tidak boleh ikut aktif di organisasi-organisasi yang bisa di
anggap hakim akan memihak, dan lain-lain.
27
Kepolisian
Komisi
kejaksaan
yang
dimaksudkan
untuk
23
28
Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih
dari lima hal sebagai berikut:
a. Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman,
karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja;
b. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan
pemerintah (executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman
dan kekuasaan kehakiman (judicial power);
c.
politik,
karena
lembaga
yang
mengusulkan
dan
dengan
lemahnya
monitoring
secara
intensif
terhadap
kekuasaan
pemerintah
(executive
power)
dalam
hal
ini
menjalankan
tugasnya
apabila
masih
disibukkan
dengan
29
tangan
kekuasaan
lain
di
luarnya.
Setelah
mempelajari
alasan
yang sangat
Pertama,
dibentuknya
Komisi
Yudisial
adalah
monitoring
secara
intensif
terhadap
melakukan
agar
dapat
kekuasaan
Kedua,
Komisi
Yudisial
menjadi
perantara
(mediator)
atau
kekuasaan
apa
pun
juga
khususnya
kekuasaan
pemerintah.
30
tidak
adanya
lembaga
penghubung
antara
kekuasaan
31
cabang
kekuasaan
legislatif
dan
eksekutif.
Seleksi
32
menyatakan setuju atau tidak setuju (the right to confirm), Presiden yang
mengangkatnya dengan Keputusan Presiden. Pelantikan sebagai Hakim
dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung atau Ketua oleh Pengadilan
Tinggi setempat, dengan disaksikan oleh Gubernur selaku Kepala Daerah.
Hakim sebaiknya diangkat secara terpusat dengan keputusan
presiden tetapi direkruit per daerah kerja provinsi. Wilayah kerja hakim per
daerah provinsi ini penting untuk menjamin agar hakim dapat hidup di
lingkungan masyarakatnya sendiri, sehingga ia dapat diharapkan mampu
menyelami rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kalaupun
wilayah kerjanya dapat berpindah untuk mencegah kejenuhan, maka
wilayah perpindahan hanya terjadi dalam lingkup daerah provinsi. Karena
itu, lembaga perwakilan rakyat yang dilibatkan atas nama masyarakat
dalam proses pengangkatan hakim adalah DPRD Provinsi setempat.
Jabatan hakim harus diperlakukan sebagai jabatan kehormatan,
sehingga hanya orang-orang yang diakui terhormat dan terpercaya
sajalah yang dinilai pantas untuk diangkat menjadi hakim. Karena itu,
calon hakim tidak melamar pekerjaan tetapi direkomendasikan oleh
lembaga-lembaga masyarakat, lembaga-lembaga hukum, perguruan
tinggi, atau dilakukan sendiri dengan cara head hunting oleh Komisi
Yudisial. Seleksi administratif dilakukan sendiri oleh Komisi Yudisial yang
selanjutnya diajukan untuk diangkat oleh Presiden dengan terlebih dahulu
memintakan persetujuan DPRD provinsi setempat. Dalam hal ini, DPRD
hanya memutuskan menyetujui atau menolak usul pengangkatan hakim
yang akan diajukan oleh Komisi Yudisial kepada Presiden.
33
25
Jimly Asshiddiqie, Pokok Pikiran Tentang Penyempurnaan Sistem, Op.Cit., hal 4-5
34
ketrampilan
melakukan
analisis
hukum,
melakukan
35
disebut pegawai negara atau pejabat negara sebagai lawan kata pejabat
negeri. Pegawai negeri pada pokoknya menduduki jabatan negeri,
sedangkan jabatan negara diduduki oleh pejabat negara. Hakim secara
sendiri-sendiri membuat keputusan dan menjatuhkan sanksi atas nama
negara. Hakim diberi kewenangan atas nama negara untuk membebani
warga negara dengan hak dan kewajiban yang dapat dipaksakan daya
ikatnya. Sedangkan pegawai negeri tidak diberi kewenangan semacam itu
kecuali atas perintah pejabat negara yang menjadi atasannya. Oleh
karena itu, mengaitkan jabatan hakim dengan pegawai negeri merupakan
kesalah-kaprahan yang harus dihentikan dan diperbaiki.
Seseorang yang diangkat menjadi hakim, dapat saja mempunyai
status sebagai pegawai negeri, tetapi tidak mutlak menjadi syarat eksklusif
dalam arti yang bukan pegawai negeri diabaikan haknya untuk menjadi
hakim meskipun yang bersangkutan memenuhi segala persyaratan lebih
dari calon yang berasal dari pegawai negeri. Yang justru lebih penting
dijadikan syarat bukanlah statusnya sebelum diangkat menjadi hakim,
tetapi yang lebih utama justru adalah kuantitas dan kualitas peran dan
pengalamannya di bidang hukum yang sangat penting baginya untuk
diangkat menjadi hakim. Oleh sebab itu, sebaiknya di masa yang akan
datang, diadakan syarat berpengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun
menjalankan profesi hukum. Dengan demikian, yang dapat menjadi calon
hakim adalah pegawai negeri yang bekerja di bidang hukum, dosen
hukum, advokat, jaksa, konsultan hukum, pembela umum, notaries, aktifis
hukum dan hak asasi manusia, pengamat, penulis dan kolumnis bidang
36
26
37
Namun,
memungkinkan
untuk
adanya
meniadakan
hakim
sama
non-karir
sekali
tentu
ketentuan
tentu
tidak
yang
dapat
38
39
persetujuan
DPR
sebagaimana
mestinya.
Menurut
27
40
Perwakilan Rakyat tidak ditentukan harus mengadakan fit and proper test
dan pemilihan hakim agung sebanyak sepertiga dari jumlah yang
dicalonkan oleh Komisi Yudusial28. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 hanya
menyatakan bahwa calon Hakim Agung diajukan oleh Komisi Yudisial
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan selanjutnya ditetapkan menjadi
Hakim Agung dengan Keputusan Presiden. Hak untuk menyetujui atau
menolak inilah yang disebut sebagai hak konfirmasi (the right to confirm)
yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasan terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik
yang dipandang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara sepihak
oleh Presiden. Karena itu, fungsi pengawasan oleh DPR itu dilakukan
tidak saja menyangkut pelaksanaan kebijakan legislatif berupa:
28
41
Komisi Yudisial.
c) Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang sejak nama calon
diterima Dewan Perwakilan Rakyat.
d) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim
agung dan diangkat oleh Presiden.
e) Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden di antara
hakim agung yang diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung.
f)
sebagai
pihak
yang
mengangkat
hakim
agung
dalam
42
43
data
pribadi
pengusul
secara
jelas
dan
alasan-alasan
pengusulannya.
b) Menjaring Nama Bakal Calon Hakim Agung
Komisi Yudisial harus secara proaktif menjaring nama bakal calon
hakim
agung
sesuai
dengan
pemantauan
yang
telah
dilakukan
44
hidup,
termasuk
riwayat
pekerjaan,
pendidikan
dan
pengalaman organisasi;
c) Paper atau tulisan dengan topik tertentu;
d) Beberapa pembelaan atau tuntutan atau karya ilmiah atau hasil kerja
intelektual lain yang dibuat bakal calon, bagi bakal calon yang berasal
dari advokat, jaksa, dan akdemisi atau profesi hukum lainnya; dan
e) Hal-hal lain yang dianggap perlu.
c) Publikasi Nama Bakal Calon Hakim Agung
Komisi Yudisial harus melakukan seleksi terhadap pemenuhan
persyaratan administrasi yang diberikan oleh bakal calon hakim agung,
misalnya kesediaan bakal calon untuk mengikuti rangkaian proses
rekruitmen, kelengkapan data-data yang disyaratkan, dan lain-lain.
Setelah
seleksi
administratif
dilakukan,
Komisi
Yudisial
harus
45
melakukan
klarifikasi
tersebut,
Komisi
Yudisial
dapat
konsistensi pemikiran, visi dan misi, dan pandangan bakal calon. Komisi
Yudisial harus melacak beberapa pemikiran yang pernah dikemukakan
oleh para bakal calon dengan teliti.
Berbagai
pengaduan
dan
laporan
dari
masyarakat
harus
diklarifikasi oleh Komisi Yudisial. Oleh karena itu, Komisi Yudisial perlu
diberikan wewenang untuk meminta bantuan dan memanggil atau
meminta informasi dari pihak-pihak yang dianggap memiliki informasi
tentang bakal calon.
e) Melakukan Fit and Proper Test Secara Terbuka
Tahapan selanjutnya,
kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) secara terbuka. Tahapan ini
berupa proses tanya-jawab antara Komisi Yudisial dan bakal calon
terhadap aspek-aspek integritas dan kualitas bakal calon hakim agung
berdasarkan laporan masyarakat yang telah diklarifikasi atau temuan dari
Komisi Yudisial sendiri. Komisi Yudisial menguji kualitas para bakal calon
dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan
putusan, tuntutan, pembelaan, karya ilmiah dan persoalan-persoalan
hukum.
f) Memberikan Penilaian Terhadap Bakal Calon Hakim Agung Secara
Terbuka dan Mengajukannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Berdasarkan klarifikasi dan uji kepatutan dan kelayakan (fit and
proper test) yang telah dilakukan, semua anggota Komisi Yudisial secara
individual memberikan penilaian terhadap masing-masing bakal calon
dengan mencantumkan alasan-alasannya yang dilakukan secara terbuka
47
48
wajib
mengadakan
penyesuaian
terhadap
keputusannya
29
49
30
50
31
Ibid, hal 10
51
32
Ibid
52
BAB III
METODE PENELITIAN
B. Lokasi Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan memilih dua lokasi
penelitian, yaitu :
53
1. Komisi Yudisial
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
C. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
i. Bahan hukum Primer
Data primer data yang diperoleh secara langsung melalui
wawancara dengan pihak-pihak terkait dengan skripsi ini.
ii. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti buku-buku, jurnal, media online, media cetak, hasilhasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan sebagainya
yang berhubungan dengan skripsi ini.
iii. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus hukum dan politik, ensiklopedia, dan sebagainya yang
berhungan dengan tulisan ini.
54
serta
sumber-sumber
informasi
lainnya
seperti
data
yang
Analisis Data
Analisis data primer dan sekunder yang telah diperoleh, penulis
55
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
memberikan
persetujuan,
atau
memberikan
57
proses
berdasarkan
pemilihan
dilaksanakan
dengan
cara
keputusan
pemilihan tersebut dinyatakan pada pasal 279 tentang tata tertib Dewan
Perwakilan Rakyat
58
Pasal 279
1) Pemberian suara secara rahasia dilakukan dengan tertulis, tanpa
mencantumkan nama, tanda tangan, fraksi pemberi suara, atau tanda
lain yang dapat menghilangkan sifat kerahasiaannya.
2) Pemberian suara secara rahasia dapat juga dilakukan dengan cara
lain yang tetap menjamin sifat kerahasiaan.
3) Dalam hal hasil pemungutan suara tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 277 ayat (2), pemungutan suara
diulang sekali lagi dalam rapat itu juga.
4) Dalam hal hasil pemungutan suara ulang, sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 245 ayat (1), pemungutan suara secara rahasia,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi batal.
Paparan ringkas di atas dimaksudkan untuk memberikan gambaran
sekilas tentang persetujuan yang dimaksud pada pasal 24A ayat (3) UUD
1945 dalam tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat, adapun untuk
kewenangan dalam memilih calon hakim agung oleh Dewan Perwakilan
Rakyat secara tegas di atur dalam pasal 8 UU Nomor 3 Tahun 2009
tentang perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
yang menyatakan:
Pasal 8 ayat (2)
calon hakim agung dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari
nama calon yang di usulkan oleh komisi yudisial
Pasal 8 ayat (3)
calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk
setiap lowongan
Kewenangan untuk memilih calon hakim agung oleh Dewan
Perwakilan Rakyat juga secara tegas di atur dalam undang-undang no. 22
tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Posisi DPR sebagai lembaga
legislatif hanya dirumuskan dalam pasal 18 ayat (5) dan pasal 19 ayat (1)
59
Mahkamah Agung dan Pasal 18 Ayat (4) dan Pasal 19 Ayat (1) UU No.
18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial, pada dasarnya menyatakan calon hakim agung yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial dipilih DPR 1 (satu) orang dari 3 (tiga)
nama calon untuk setiap lowongan.
Adanya ketentuan kuota tersebut,
60
Indonesia.
Pernyataan
tersebut
merupakan
pengertian
Nomor
Tahun
2004
tentang
Kekuasaan
Kehakiman.
dari
kemungkinan
intervensi
darimanapun
agar
dapat
bermunculannya
putusan
putusan
kontroversial
yang
bahwa
rezim
otoritarian,
lebih-lebih
rezim
militer
menyimpang
kekuasaan
dan
mendelegitimasi
Konstitusi,
dan
Ketiga,
dimensi
63
64
Penggunaannya
dengan
baik,
harus
dapat
sumber
daya
dipertanggungjawabkan,
dipakai
secara
patut.
Independensi
tanpa
pengawasan
berpotensi
terjadi
65
Sejalan
dengan
hal
tersebut
untuk
menunjang
kekuasaan
33 Wawancara
66
dapat
menjadikan
jaminan
akan
adanya
hasil
yang
baik
67
duduk perkara,
bersangkutan karena mereka dipilih oleh DPR yang nota bene adalah
lembaga politik. Adapun bagi para Pemohon, pengaturan yang demikian
melanggar atau setidaknya-tidaknya berpotensi melanggar hak
konstitusional para Pemohon. Bahwa oleh sebab itu, mekanisme
pengangkatan hakim agung dibawah UU MA dan UU KY harus
dikembalikan kepada perintah konstitusi demi terdapatnya kepastian
hukum dan terlindunginya independensi peradilan dalam negara hukum
Indonesia.
Bahwa permohonan para Pemohon ini adalah permohonan pengujian
terhadap Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA dan Pasal 18 ayat
(4) UU KY terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa dan mengadili permohonan a quo.
2. Pertimbangan Hukum
Menimbang bahwa maksud dan tujuan dari permohonan para
Pemohon adalah memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 8 ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU MA) dan Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya
disebut UU KY), terhadap Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945);
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu
akan mempertimbangkan:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; dan
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo;
Menimbang bahwa terhadap permasalahan konstitusional yang
diajukan oleh para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan
sebagai berikut:
Bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menentukan, Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Norma konstitusi tersebut
menegaskan dan memberi jaminan konstitusional kemerdekaan
pelaku kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan
untuk menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman
yang merdeka melekat baik pada lembaga peradilan sebagai
institusi maupun pada hakim, termasuk hakim agung dan hakim
69
Pasal 13
Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan;
b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim;
c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim.
71
Pasal 14
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
3. Konklusi
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana
diuraikan diatas, Mahkamah berkesimpulan:
1. Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
2. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
3. Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
4. Amar Putusan
4.1 Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
4.1.1 Kata dipilih dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai disetujui;
4.1.2 Kata dipilih dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak
74
hukum
mengikat
sepanjang
tidak
dimaknai
persetujuan;
4.1.5
Frasa 3 (tiga) nama calon dalam Pasal 8 ayat (3) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai 1 (satu) nama
calon;
4.1.6
Frasa 3 (tiga) nama calon dalam Pasal 8 ayat (3) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai 1 (satu) nama calon;
75
4.1.7
Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung selengkapnya
menjadi: (2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial. (3) Calon hakim agung yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 1
(satu) nama calon untuk setiap lowongan. (4) Persetujuan calon
hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal nama
calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.
4.2
76
77
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan
hasil
penelitian
ini,
maka
dapat
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka penulis memberikan saran
sebagai berikut:
1. Hakim adalah pejabat negara yang merdeka dan independen dalam
melaksanakan tugasnya sehingga lembaga perekrut Hakim Agung
harusnya adalah lembaga yang merdeka dan independen jauh
daripada kepentingan politik. Kewenangan DPR yakni menyetujui atau
tidak menyetujui (political selection) calon Hakim Agung yang
diusulkan
Komisi
Yudisial
diharapkan
dilaksanakan
dengan
79
selama
karir
dan
pengalamannya
di
bidang
80
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A.Ahsin Thohari, 2004, Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan,
ELSAM Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
Hans Kelsen, 2010, General Theory Of Law And State, Russel And
Russel, New York, 1971 (Diterjemahkan Oleh Raisul
Muttaqien), Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara,
Penerbit Nusa Media, Bandung.
Idul Rishan, 2013, Komisi Yudisial Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa
Peradilan, Genta Press, Yogyakarta.
Jimly Asshiddiq, 2005, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Konstitusi Press, Jakarta.
____, 2006, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteran Mahkamah
Konstitusi, Jakarta.
____, 2007, Konstitusi Dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer,
The Biography Institute, Bekasi.
____, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta.
Mexsasai Indra, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, PT.
Refika Adiatma, Bandung.
Miriam Budiarjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Munir Fuadi, 2009, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama.
Romi Librayanto, 2008, Trias Politika Dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia, Pukap Indonesia.
Romi Librayanto, 2009, Ilmu Negara Suatu Pengantar, Refleksi,
Makassar.
Sadjijono,
Hukum
81
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tentang Tata
Tertib
Jurnal dan Sumber Lainnya
Putusan MK Perkara No. 27/PUU-XI/2013
Lihat,Http://Jimly.Com/Makalah/Namafile/65/Pokok_Pikiran_Tentang_Pen
yempurnaan_Sistem.Pdf, Diakses Tanggal17 Juni 2013
Lihat,Http://Komisiyudisial.Go.Id/Statis-14-Sejarah-Pembentukan.Html,
Diakses 16 Juni 2013
82