Anda di halaman 1dari 93

SKRIPSI

IMPLEMENTASI PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT


PADA PEREKRUTAN HAKIM AGUNG BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945

OLEH :
ADNAN DARMANSYAH
B111 09 427

BAGIAN HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

HALAMAN JUDUL

IMPLEMENTASI PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT


PADA PEREKRUTAN HAKIM AGUNG BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
1945

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian


Studi Sarjana Dalam Program Ilmu Hukum

OLEH :
ADNAN DARMANSYAH
B111 09 427

BAGIAN HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

PENGESAHAN SKRIPSI
IMPLEMENTASI PERSETUJUAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT PADA PEREKRUTAN HAKIM AGUNG
BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945

Disusun dan diajukan oleh

ADNAN DARMANSYAH
B 111 09 427
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi yang Dibentuk
dalam rangka Penyelesaian Studi Program Sarjana
Bagian Hukum Tata Negara Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Pada Kamis Tanggal 13 Februari 2014
Dan Dinyatakan Lulus

Panitia Ujian

Ketua

Sekretaris

Dr. Anshory Ilyas, S.H.,M.H.


NIP. 195606071985031001

Dr. Zulkifli Aspan, S.H.,M.H.


NIP. 132306716

An. Dekan,
Wakil Dekan Bidang Akademik

Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H.


NIP. 19630419 198903 1 003

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa :

Nama

: Adnan Darmansyah

Nomor Induk

: B111 09 427

Bagian

: Hukum Tata Negara

Judul

: IMPLEMENTASI PERSETUJUAN DEWAN


PERWAKILAN RAKYAT PADA PEREKRUTAN
HAKIM AGUNG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
1945

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi

Makassar,

Februari 2014

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Anshori Ilyas,S.H.,M.H.


NIP: 195606071985031001

Dr. Zulkifli Aspan, S.H.,M.H.


NIP: 132306716

iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI

Diterangkan bahwa Skripsi Mahasiswa:


Nama

: Adnan Darmansyah

Nomor Induk

: B 111 09 427

Judul Skripsi

: Implementasi
Rakyat

Persetujuan

Pada

Berdasarkan

Dewan

Perekrutan

Undang-Undang

Perwakilan

Hakim

Agung

Dasar

Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

Telah diperiksa dan disetujui oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas


Hasanuddin untuk diajukan dalam Ujian Skripsi.

Makassar,

2014

a.n. Dekan
Pembantu Dekan Bidang Akademik,

Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H.


NIP. 19630419 198903 1 003

iv

ABSTRAK
Adnan Darmansyah (B 111 09 427), Implementasi Persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pada Perekrutan Hakim
Agung Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Bapak Anshori Ilyas sebagai pembimbing I
dan Bapak Zulkifli Aspan sebagai pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme persetujuan
dewan perwakilan rakyat pada perekrutan hakim agung yang di atur
dalam tata tertib dewan perwakilan rakyat dan untuk mengetahui
mekanisme perekrutan hakim agung secara hakikat persetujuan yang
dimaksud dalam pasal 24A ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945.
Penelitian yang dilaksanakan oleh penulis mengenai Implementasi
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pada
Perekrutan Hakim Agung Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 , maka penulis melakukan penelitian di
Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Komisi Yudisial RI, serta penelitian
kepustakaan dengan mempelajari buku-buku, perundang-undangan yang
berhubungan dengan materi penulisan skripsi ini. Hasil yang dicapai
dalam penelitian ini menunjukan bahwa, kewenangan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam hal menyetujui calon Hakim Agung diatur dalam Pasal 6
huruf p dan tata cara pelaksanaan persetujuan tersebut terdapat dalam
Pasal 191 ayat (1) dan (2) pada peraturan Dewan Perwakilan Rakyat
tentang Tata Tertib. Adapun mengenai kewenangan memilih seperti yang
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang No. 18 Tahun 2011
tentang Komisi Yudisial dan pada Pasal 8 ayat (2) dan (3) UndangUndang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung ternyata tidak
sejalan dengan makna persetujuan yang disebutkan pada Pasal 24A ayat
(3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini
didasarkan dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUUXI/2013 yang mengubah ketentuan memilih pada Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dan pada
Pasal 8 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung menjadi menyetujui.

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya yang
dicurahkan kepada kita sekalian sehingga penulis dapat merampungkan
penulisan skripsi dengan judul Implementasi Persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pada Perekrutan Hakim
Agung

Bedasarkan

Undang-Undang

Dasar

Negara

Republik

Indonesia Tahun 1945 yang merupakan tugas akhir dan salah satu
syarat pencapaian gelar Sarjana Hukum pada Universitas Hasanuddin.
Salam dan salawat senantiasa di panjatkan kehadirat Nabi Muhammad
SAW, sebagai Rahmatallilalamin.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan
dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang tak terhingga kepada :

Ayahanda Drs. H. Kamaruddin,M.H. yang selalu menjadi panutan


penulis serta kerja kerasnya yang selalu mendukung penulis agar
kelak menjadi Sarjana Hukum dan bisa menegakkan kebenaran dan
Ibunda Hj. Sitti Hasanah atas dukungan dan pengorbanannya baik
moral dan moril serta mencurahkan segala perhatian dan kasih
sayangnya kepada penulis sepanjang hidupnya serta tak pernah lelah
dalam membimbing penulis, walaupun sampai saat ini penulis belum
bisa membalasnya.

Bapak Dr. Anshori Ilyas, S.H.,M.H. dan Bapak Dr. Zulkifli Aspan,
S.H.,M.H. selaku pembimbing I dan pembimbing II atas segala

vi

bimbingan, arahan, perhatiannya dan dengan penuh kesabaran


ketulusan yang diberikan kepada penulis.

Bapak Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H. selaku penguji I, Ibu
Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si. selaku penguji II, dan Bapak
Kasman Abdullah, S.H., M.H. selaku penguji III.

Bapak Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi, Sp.Bo., selaku Rektor


Universitas Hasanuddin.

Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H.,M.H., DFM. selaku Dekan Fakultas


Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng,
S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan I, Bapak Dr. Anshori Ilyas,
S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan II, Bapak Romi Librayanto,
S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III, dan seluruh dosen pengajar
yang telah memberikan arahan dan bekal ilmu pengetahuan yang
sangat bermanfaat bagi penulis, serta staff Akademik Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin atas bantuan yang diberikan
selama berada di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Bapak

Dr.Ibrahim,S.H.,M.H.,LL.M.

dan

seluruh

staf

Komisi

Yudisial , serta seluruh staf Sekretariat Jenderal DPR RI, Set.


Komisi III DPR RI dan Humas DPR RI, terima kasih atas segala
doa dan bantuan kepada penulis karena sudah menjadi nara
sumber yang baik dan pengertian.

Seluruh dosen serta para karyawan dan petugas akademik


Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Sahabat-sahabatku dan teman-temanku terkhusus buat Laode


Ridwan Muri, Febry Andika Asrul, Manguluang, Mursyid Surya
Candra, Yudha arfandi, Sarif Febriansyah, , Andi Putratama H. A.,
M. Meidiaz Ismail, Muh. Alif Alfianto, Abdul Kadir Pobela, Rizky
Andriarsyah Hasbi, Charles Willem Pupela, Rio Andriano Tangkau,
Arfin Bahter, Akbar Tenri Tetta P., Andika Martanto, Muh. Iqbal
Arvadly, Muh. Mustika Alam, Ilham Aniah, Andi Idjo Aidit Dien, Dio
vii

Dyantara, Muh. Rezkyawal Saldy Putra, Lukman Hakim Adam,


Farid Wahyu Perdana, Fadli Sukarta

Amici sicut fratres, vivat

constanter Dojosquad.

Tersayang buat saudara-saudaraku, Syam Alamsyah, Erni Fitriani,


Adi Ardiansyah dan Iwan Irwansyah yang selalu menghibur dan
memberi semangat dalam penyusunan skripsi ini.

Rekan-rekan Hasanuddin Law Study Centre dan seluruh organisasi


di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan
banyak pelajaran kepada penulis

Teman-teman DOKTRIN 09 dan seluruh mahasiswa Fak. Hukum


Serta semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan namanya
satu-persatu.
Akhir kata dengan tidak melupakan keberadaan penulis sebagai

manusia biasa yang tak luput dari segala kekurangan dan keterbatasan,
penulis membuka diri untuk menerima segala bentuk saran dan kritikan
yang konstruktif dalam rangka perubahan dan penyempurnaan skripsi ini.
Makassar,

2014

Penulis

viii

DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................

PENGESAHAN SKRIPSI ...................................................................

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................

iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ................................

iv

ABSTRAK ..........................................................................................

UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................

vi

DAFTAR ISI .....................................................................................

ix

BAB I PENDAHULUAN .....................................................................

A. . Latar Belakan

B. Rumusan Masalah..................................

C. Tujuan Penelitian..........

D. Kegunaan Penelitian.......

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Hukum dan Negara........

1. Negara Hukum.....

11

2. Pembagian Kekuasaan Negara (Separation of Law)......

16

3. Kekuasaan Kehakiman.......

20

B. Konsep Lembaga Negara.......

22

C. Teori Kewenangan......

25

D. Kewenangan Komisi Yudisial....

26

E. Mekanisme Perekrutan Hakim Agung.....

32

1.

Syarat Ideal Hakim.....

34

2.

Syarat Hakim Agung......

37

3.

Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung....

40

4.

Pembinaan Hakim...

50

ix

BAB III METODE PENELITIAN..

53

A. Type Penelitian..........

53

B. Lokasi Penelitian........

53

C. Jenis dan Sumber Data......... 54


D. Teknik Pengumpulan Data.......

54

E. Analisis Data....................

55

BAB IV HASIL PENELTIAN DAN PEMBAHASAN ............................

56

A. . Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat ..................................

56

B. . Perekrutan Hakim Agung Dalam Perspektif Kekuasaan


Kehakiman ...............................................................................

61

C. Putusan Mahkamah Konstitusi Sebagai Yurisprudensi .............

68

BAB V PENUTUP ............................................................................

78

A. Kesimpulan .............................................................................

78

B. Saran ......................................................................................

79

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................

81

LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada prinsipnya di dalam suatu Negara terdapat tiga jenis
kekuasaan, yakni kekuasaan eksekutif, legislatif dan kekuasaan yudikatif.
Kekuasaan eksekutif adalah untuk menjalankan atau melaksanakan
undang-undang. Kekuasaan legislatif adalah untuk membuat undangundang. Sedangkan, kekuasaan yudikatif adalah untuk mengontrol
apakah undang-undang dijalankan secara benar atau tidak

. Jika

kekuasaan legislatif dan eksekutif serta yudikatif dipegang oleh satu


badan

(organ)

kemerdekaan,

kekuasaan,
dan

maka

merupakan

tidak

akan

malapetaka

mungkin

bagi

negara

terlahir
yang

bersangkutan dan bagi kemerdekaan (liberty) individu. Prinsip pemisahan


kekuasaan dan check and balance dimaksudkan sebagai prinsip-prinsip
yang dapat mencegah konsentrasi kekuasaan dibawah satu tangan atau
organ dan mencegah adanya campur tangan antara badan organ Negara,
sehingga masing-masing dapat menjalankan fungsinya sebagaimana
diatur dalam konstitusi Negara yang bersangkutan. Untuk mencegah
jangan sampai kekuasaan legislatif yang di jalankan oleh parlemen
memiliki kekuasaan yang melebihi badan (organ) lainnya, dapat dibuat
kerja sama antarlembaga kekuasan Negara, misalnya antara parlemen
dengan pemerintah (presiden) dalam pembuatan suatu undang-undang.

Mexsasai Indra, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Refika Adiatma, Bandung,
2011, hal 152

Demikian juga untuk mencegah agar kekuasaan eksekutif memiliki


kekuasaan

badan

(organ)

lainnya

misalnya

dengan

memberikan

kewenangan kepada lembaga legislatif di samping sebagai pembuat


undang-undang,

juga

sebagai

lembaga

pengawasan

terhadap

pemerintah, pemberi persetujuan, serta pemberi pertimbangan untuk


beberapa keputusan yang di ambil oleh pemerintah, seperti pengangkatan
pejabat Negara tertentu 2.
Selain tiga poros kekuasaan tersebut ternyata di indonesia masih
dikenal berbagai macam organ/lembaga Negara dalam perkembangannya
yang domain kekuasaannya cenderung masuk dalam domain kekuasaan
yudikatif yang lazim penyebutannya diawali dengan kata komisi

Gagasan tentang perlunya lembaga khusus yang mempunyai fungsifungsi tertentu dalam ranah kekuasaan kehakiman sebenarnya bukanlah
sesuatu yang baru. Dalam pembahasan rancangan undang-undang
(RUU) ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman tahun 1968
misalnya, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama
Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini diharapkan
berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir
mengenai saran-saran dan/atau usul-usul yang berkenan dengan
pengakatan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim
yang diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri
Kehakiman. Namun, ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak
2

Zainal Arifin Hoesein, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2009, hal 72
3
Mexsasai Indra, Op. Cit., hal 153

berhasil menjadi materi muatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970


tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sewaktu
terjadi proses reformasi di tahun 1998 gagasan perlunya lembaga khusus
yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu dalam bagian penjelasan umum
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
kekuasaan kehakiman menyebutkan bahwa untuk meningkatkan check
and balance terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan
agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan
transparan oleh masyarakat. Selain itu perlu dibentuk Dewan Kehormatan
Hakim

yang

berwenang

mengawasi

perilaku

hakim,

memberikan

rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi hakim serta


menyusun kode etik bagi para hakim. Ketika proses amandemen UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 selanjutnya disebut UUD
1945

dilakukan.

pengawas

Gagasan

eksternal

badan

mewujudkan
peradilan

lembaga
demi

khusus

untuk

sebagai

menegakkan

kewibawaan peradilan semakin mendapatkan perhatian yang sangat


serius dari para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat selanjutnya
disebut DPR RI. Melalui amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001
disepakati tentang pembentukan Komisi Yudisial 4.
Keberadaan Komisi Yudisial merupakan organ/lembaga Negara
yang berada di dalam lingkup kekuasaan yudikatif, di atur dalam UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan:
4

Sejarah Pembentukan, http://komisiyudisial.go.id/statis-14-sejarah-pembentukan.html,


diakses 16 Juni 2013

Pasal 24B ayat (1)


Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
Meskipun Komisi Yudisial merupakan organ/lembaga yang berada
dalam lingkup kekuasaan kehakiman tetapi Komisi Yudisial bukanlah
lembaga/organ Negara yang melaksanakan/pelaku kekuasaan kehakiman
seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung karena fungsi dan
kewenangan Komisi Yudisial bukanlah organ/lembaga Negara yang
menegakkan aturan hukum (code of law) tetapi lebih kepada penegakan
etika (code of etic) perilaku hakim dalam rangka menjaga kesucian dan
keluhuran martabat hakim5.
Berdasarkan konstitusi, proses perekrutan hakim agung memang
Melibatkan tiga lembaga, Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR RI) dan Presiden. Ditegaskan dalam konstitusi, Komisi Yudisial yang
diamanatkan untuk melakukan proses rekrutmen hakim agung agar yang
terpilih tidak terpengaruh oleh kekuasaan legislatif maupun eksekutif.
Komisi Yudisial lalu mengusulkan calon hakim agung ke Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk disetujui atau sebaliknya. Setelah
disetujui legislatif, Presiden mengangkat mereka seperti ketentuan pasal
24A ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:
calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.

Mexsasai Indra, Op. Cit., hlm 150-151

Dengan ketentuan itu, rakyat melalui DPR RI mempunyai


kewenangan untuk menentukan siapa yang tepat menjadi hakim agung
sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat untuk memperoleh
kepastian dan keadilan. Adanya

keterlibatan DPR RI dalam proses

pengangkatan Hakim Agung tersebut juga berkaitan dengan kepentingan


untuk menjamin adanya akuntabilitas (public accountability) dalam
pengangkatan,

dan

juga

dalam

pemberhentian

hakim

agung.

Bagaimanapun juga, pengakuan akan penting dan sentralnya prinsip


independensi peradilan (the independence of judiciary) sebagai negara
hukum

modern

haruslah

diimbangi

dengan

penerapan

prinsip

akuntabilitas publik. Karena itu, fungsi partisipasi publik dipandang


penting, dan hal itu terkait dengan fungsi di DPR RI, bukan di Komisi
Yudisial sebagai lembaga teknis yang bersifat administratif.
Namun, sebagai lembaga teknis administrasi, Komisi Yudisial harus
dijamin independen dari campur tangan politik dari pemerintah ataupun
dari lembaga politik kekuasaan legislatif. Bahkan sebaiknya, Komisi
Yudisial juga diamankan dari keterlibatannya dengan pengaruh-pengaruh
politik lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian, Komisi Yudisial
benar-benar dapat bertindak sebagai lembaga antara yang kritis dan
objektif, semata-mata untuk mencapai kehormatan, kepercayaan dan
martabat hakim dan lembaga peradilan6.

Jimly Asshiddiqie, Pokok Pikiran Tentang Penyempurnaan Sistem,


http://jimly.com/makalah/namafile/65/POKOK_PIKIRAN_TENTANG_PENYEMPUR
NAAN_SISTEM.pdf, diakses tanggal17 Juni 2013

Pentingnya mekanisme pemilihan hakim agung dalam konteks


menjaga independensi peradilan terkait dengan bagaimana mencegah
masuknya kepentingan lain dan politisasi dalam pemilihan hakim agung.
Hal ini terkait dengan posisi strategis seorang hakim agung, baik secara
hukum maupun secara politik, sehingga banyak kekuatan politik yang
berkepentingan dengan posisi tersebut.
Di banyak negara, proses pemilihan hakim agung biasanya akan
dipengaruhi oleh kepentingan politik. Pemerintah, parlemen atau kekuatan
politik tentu biasanya akan bersaing untuk mempengaruhi proses
pemilihan calon hakim agung. Tak jarang, proses pemilihan dipolitisasi
atau didominasi oleh pemerintah, partai politik yang menguasai parlemen
atau hirarki peradilan yang lebih tinggi (Mahkamah Agung).
Kondisi demikian membuat pemilihan hakim agung menjadi paling
rentan diintervensi dibanding elemen-elemen independensi peradilan
lainnya. Namun terkait pemilihan hakim agung, walaupun konstitusi dan
peraturan perundang-undangan mengatur mekanismenya, tetap sja sulit
untuk menghindari terjadinya upaya politisasi.
Anthony Blackshield lebih tegas menyatakan bahwa pemilihan
hakim agung itu politis. Ada tiga politisasi. pertama, pemerintah atau
parlemen memilih hakim agung yang memiliki sikap politik yang sama
dengan mereka. Kedua, calon hakim agungnya sendiri merupakan
anggota parlemen dan aktif dalam partai politik. Ketiga, pemilihan hakim
agung atas dasar balas jasa politik. Tiga pola politisasi inilah yang
menyebabkan independensi hakim dan peradilan terganggu. Hakim dan
peradilan dibuat untuk tunduk pada kepentingan politik, sehingga
6

independensi dan imprasialitas hakim dalam memutus perkara akan


dipertanyakan.

Oleh

karena

itu,

untuk

memperkuat

independensi

kekuasaan kehakiman, maka mekanisme pemilihan hakim agung harus


didesain untuk meminimalisir upaya politisasi 7.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Sejauh mana mekanisme persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada
perekrutan hakim agung di atur dalam tata tertib Dewan Perwakilan
Rakyat?
2. Apakah dalam mekanisme perekrutan hakim agung oleh Dewan
Perwakilan

Rakyat

sejalan

dengan

hakikat

persetujuan

yang

dimaksud dalam pasal 24A ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik


Indonesia Tahun 1945?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui mekanisme persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
pada perekrutan hakim agung yang di atur dalam tata tertib Dewan
Perwakilan Rakyat.
2. Untuk mengetahui mekanisme perekrutan hakim agung secara
hakikat persetujuan yang dimaksud dalam pasal 24A ayat (3) Undangundang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
7

Idul Rishan, Komisi Yudisial Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan, Genta
Press, Yogyakarta, 2013, hal 32-34

D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi
pemikiran tentang mekanisme perekrutan hakim agung sesuai yang
di amanatkan oleh konstitusi.
2. Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi jawaban
atas perdebatan

mengenai mekanisme perekrutan hakim agung

serta menjadi referensi bagi siapa saja yang menggeluti ilmu Hukum
dan khususnya Hukum Tata Negara, mengingat perkembangan
ketatanegaraan yang mengalami banyak perkembangan

yang

membutuhkan perhatian serius.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Hukum Dan Negara
Hukum adalah suatu tatanan perbuatan manusia. Tatanan adalah
suatu sistem aturan. Hukum bukanlah, seperti yang terkadang
dikatakan, sebuah peraturan. Hukum adalah seperangkat aturan yang
mengandung semacam kesatuan yang kita pahami melalui sistem. Setiap
usaha

untuk

mendefinisikan

sebuah

konsep

harus

dimulai

dari

penggunaan yang umum terhadap kata tersebut.


Konsep hukum dikembangkan sejalan dengan cita-cita keadilan
tertentu, yaitu cita-cita demokrasi. Dari sudut pandang ilmu pengetahuan,
terlepas dari setiap pertimbangan

nilai moral atau politik, demokrasi

hanya merupakan dua kemungkinan prinsip organisasi sosial, seperti


halnya otokrasi dan sosialisme. Tidak ada alasan ilmiah mengapa alasan
konsep hukum harus ditetapkan agar tidak memasukkan prinsip otokrasi
dan sosialisme. Ada tatanan hukum yang, dari sudut pandang tertentu,
tidak adil. Hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda. Hukum
yang dibedakan dari keadilan adalah hukum positif. Upaya untuk
membebaskan konsep hukum dari ide keadilan bukanlah persoalan
mudah, sebab kedua konsep tersebut selalu dicampurkan di dalam
pemikiran politik yang tidak ilmiah dan juga didalam pembicaraan umum,
dan

karena

percampuran

kedua

konsep

ini

berkaitan

dengan

kecenderungan ideologis untuk membuat hukum positif tampak adil 8.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel and Russel, New York, 1971
(diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien), Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara,
Penerbit Nusa Media, Bandung, 2010, hal 3-5

Negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan


hukum nasional (sebagai lawan dari tatanan hukum internasional). Negara
sebagai badan hukum adalah suatu personifikasi dari komunitas ini atau
personifikasi dari suatu tatanan hukum nasional yang membentuk
komunitas ini. Oleh sebab itu, dari sudut pandang hukum, persoalan
Negara tampak sebagai persoalan tatanan hukum nasional. Wujud
empirik dari hukum positif adalah tatanan hukum

nasional yang satu

sama lain dihubungkan oleh tatanan hukum internasional. Disamping itu,


ada pula sekumpulan norma yang kita sebut hukum internasioanal. Untuk
mendefinisikan hukum, tidak cukup dengan menjelaskan perbedaan
antara yang disebut norma hukum dengan norma-norma lain yang
mengatur perbuatan manusia. Hubungan antara hukum dan negara
dipandang sama seperti hubungan antara hukum dengan individu. Hukum
walaupun diciptakan oleh negara dianggap mengatur perbuatan negara,
yang dipahami layaknya seorang manusia, seperti halnya hukum
mengatur perbuatan manusia. Konsep sosiologis tentang tentang negara
diyakini ada disamping konsep hukumnya dan bahkan secara logis dan
historis mendahului konsep hukumnya, seperti halnya konsep pribadi
hukum disamping konsep manusia secara fisik. Negara sebagai realitas
sosial termasuk dalam kategori norma, hukum adalah suatu sistem norma,
sebuah tatanan norma. Dualisme antara hukum dan negara sebenarnya
merupakan salah satu landasan dari ilmu politik dan ilmu hukum modern 9.

Ibid., hal 261-263

10

1. Negara Hukum
Istilah Negara hukum adalah istilah baru jika dibandingkan dengan
istilah demokrasi, konstitusi maupun kedaulatan rakyat. Para ahli telah
memberikan pengertian terhadap negara hukum. R.Supomo misalnya
memberikan pengertian terhadap negara hukum sebagai negara yang
tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku bagi segala
badan dan alat-alat perlengkapan negara. Negara hukum juga akan
menjamin tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberikan
perlindungan hukum, antara hukum dan kekuasaan yang ada hubungan
timbal balik.
Konspesi negara hukum merupakan gagasan yang muncul untuk
menentang absolutisme yang telah melahirkan negara kekuasaan. Pada
pokoknya, kekuasaan penguasa (raja) harus dibatasi agar jangan
memperlakukan rakyat dengan sewenang-wenang. Pembatasan itu
dilakukan dengan jalan adanya supremasi hukum, yaitu bahwa segala
tindakan penguasa tidak boleh sehendak hatinya, tetapi harus berdasar
dan berakar pada hukum, menurut ketentuan hukum dan undang-undang
yang berlaku dan untuk itu juga harus ada pembagian kekuasaan negara,
khususnya kekuasaan yudikatif harus dipisahkan dari penguasa.
Apabila dirunut kebelakang, paham negara hukum sebetulnya
merupakan konsep yang sudah lama menjadi discourse para ahli. Plato
mengemukakan konsep nomoi yang di angggap sebagai cikal bakal
pemikiran tentang negara hukum. Sedangkan aristoteles mengemukakan
ide negara hukum yang dikaitkan dengan arti negara yang dalam

11

perumusannya yang masih terkait pada polis. Bagi aristoteles yang


memerintah adalah negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil
dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.
Menurut

S.F.Marbun,

Negara

hukum

adalah

reaksi

dari

pemerintahan absolut sebagai perjuangan untuk menegakkan dan


memberikan

perlindungan

terhadap

hak

asasi

manusia

guna

menghapuskan sistem pemerintahan absolut itu sendiri. Lebih lanjut


menurut F.J.Stahl unsur-unsur Negara hukum adalah:
a. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia,
b. Adanya pembagian kekuasaan,
c.

Pemerintah haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum, dan

d. Adanya peradilan administrasi


Sedangkan menurut A.V.Dicey yang dikutip melalui buku Nimatul
Huda mengetengahkan tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang
disebutkan dengan istilah the rule of law sebagai berikut:
a. Supremasi absolut atau predominasi dari regular law yang menentang
pengaruh

dari

arbitrary

power

dan

meniadakan

kesewenang-

wenangan, prerogratif atau discretionary authority yang luas dari


pemerintah,
b. Persamaan dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari
semua golongan kepada the ordinary law of the land yang
dilaksanakan oleh ordinary court, ini berarti tidak ada orang yang
berbeda di atas hukum, tidak ada peradilan administrasi negara,

12

c.

Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum
konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hakhak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan.
Dalam perspektif sosiologis, gagasan the rule of law mengandung

empat makna, yaitu:


a. Otoritas harus diberi bentuk hukum dan bahwa kekuasaan harus
dilaksanakan dengan cara-cara menurut hukum,
b. Hukum menjadi responsif terhadap kepentingan konsumen dan
bertujuan

untuk

menundukkan

mendepersonalisasikan

pelaksanaannya

kepada

kekuasaan

aturan-aturan,

untuk
sehingga

melindungi warga Negara dari tindakan sewenang-wenang penguasa,


c.

Hukum tidak menentang kekuasaan, malahan dapat memperkuatnya


agar tidak merosot menjadi pemaksa kehendak oleh penguasa,

d. Tidak

netral

kepada

kepentingan-kepentingan

sosial,

karena

pemihaknya terhadap kelompok yang kurang beruntung secara politik,


ekonomi dan sosial.
Meskipun antara konsep rechtstaat dengan the rule of law
mempunyai perbedaan latar belakang, tetapi pada dasarnya mempunyai
perbedaan latar belakang, tetapi pada dasarnya keduanya berkenan
dengan perlindungan atas hak-hak kebebasan sipil warga negara dari
kemungkinan tindakan sewenang-wenang kekuasaan negara. Keempat
prinsip rechtstaat yang dikembangkan oleh Julius sthal di atas pada
pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip the rule of law yang

13

dikembangkan oleh A.V.Dicey untuk menandai ciri-ciri negara hukum


modern di zaman sekarang.
Jimly asshiddiq menyebutkan paling tidak ada sebelas prinsip
pokok yang terkandung dalam negara hukum yang demokratis, yakni:
a. Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan
bersama,
b. Adanya pengakuan dan kehormatan terhadap perbedaan/pluralitas,
c.

Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama,

d. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme


aturan yang ditaati bersama itu,
e. Adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia,
f.

Adanya pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan


pembagian kekuasaan disertai penyelesaian sengketa ketatanegaraan
antarlembaga negara, baik secara vertikal maupun horisiontal,

g. Adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak


dengan kewibawaan keputusan tertinggi atas dasar keadilan dan
kebenaran,
h. Adanya lembaga peradilan yang dibentuk khusus untuk menjamin
keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat keputusan atau
kebijakan pemerintah (pejabat administrasi negara)
i.

Adanya mekanisme judicial review oleh lembaga peradilan terhadap


norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan oleh lembaga
legislatif maupun eksekutif

14

j.

Dibuatnya

konstitusi

dan

dibuatnya

perundang-undangan

yang

mengatur jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip di atas


k. Adanya pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of law
dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.
Menurut M.Tahir Azhary, dalam kepustakaan ditemukan lima
konsep Negara hukum, yakni:
a. Negara yang nomokrasi islam yang diterapkan di negara-negara islam
b. Negara hukum menurut konsep eropa kontinental yang dinamakan
rechtstaat
c.

Negara hukum rule of law yang diterapkan di Negara-negara anglosaxon

d. Negara hukum socialist yang diterapkan negara-negara komunis


e. Negara hukum pancasila.
Pada masa sekarang ini hampir semua negara didunia menganut
negara hukum, yakni yang menempatkan hukum sebagai aturan main
penyelenggaraan kekuasaan negara dan pemerintahan. Indonesia sendiri
menerapkan konsep negara hukum pancasila, bertitik tolak dari falsafah
negara pancasila tersebut Philipus M. Hadjon kemudian merumuskan
elemen atau unsur-unsur negara hukum pancasila sebagai berikut10:
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan
b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan negara

10

Idul Rishan, Op.Cit., hal 9-16

15

c.

Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan


merupakan sarana terakhir

d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban


Menurut logeman, Negara pada hakikatnya adalah suatu organisasi
kekuasaan yang meliputi atau menyatakan kelompok manusia yang
kemudian disebut bangsa. Jadi pertama-tama yang dilihat adalah
organisasi

kekuasaan

dalam

mana

terkandung

pengertian

dapat

memaksakan kehendaknya kepada semua orang yang diliputi oleh


organisasi ini. Maka, logeman berpendapat bahwa yang paling primer
adalah organisasi kekuasaannya, yaitu negara. Sedangkan, kelompok
manusianya adalah sekunder sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu
Daud Busroh, yang disadur juga oleh Romi Librayanto dalam bukunya ilmu
Negara suatu pengantar11.
Konsekuensi Negara sebagai organisasi kekuasaan, perlu dibentuk
lembaga-lembaga negara untuk menjalankan kekuasaan itu, sehingga
proses penyelenggaraan pemerintahan bisa terlaksana dengan baik.
2. Pembagian Kekuasaan Negara (Separation of Powers)
Mengacu pada konsep trias politika semisalnya ajaran Montesquieu
pembagian kekuasaan negara dibedakan menjadi kekuasaaan legislatif,
kekuasaan

eksekutif

dan

kekuasaan

yudikatif.

Esensinya

adalah

mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasan oleh penguasa atas


dasar kekuasan, dengan harapan hak-hak asasi warga negara lebih
terjamin. Hak-hak warga negara dapat dijamin jika fungsi-fungsi

11

Romi Librayanto, Ilmu Negara Suatu Pengantar, Refleksi, Makassar, 2009, hal 63

16

kekuasaan tidak dipegang oleh satu orang atau badan, akan tetapi
dibagikan pada beberapa orang atau badan yang terpisah. Kekuasaan
trias politika telah mengemukakan fungsi untuk membentuk undangundang menjadi kewenangan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), fungsi
menjalankan undang-undang yang telah dibuat oleh lembaga legislatif,
menjadi kewenangan eksekutif dan fungsi untuk melakukan pengawasan
atau kontrol atas pelaksanaan undang-undang menjadi kewenangan
yudikatif.
Trias politika dalam sistem kekuasaan pemerintahan menjadi
bahan rujukan dan pilihan bagi negara-negara yang hendak membentuk
pemerintahannya sesuai kondisi dan kultur di negara masing-masing.
Trias politika dianggap sebagai bahwa pemerintahan negara terdiri dari
tiga macam kekuasaan yang dikenal dengan kekuasaan legislatif atau
kekuasaan

membuat

undang-undang,

kekuasaan

eksekutif

atau

kekuasaan melaksanakan undang-undang dan kekuasaan yudikatif atau


kekuasan untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang. Trias politika
adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya
tidak

diserahkan

kepada

orang

yang

sama

untuk

mencegah

penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa 12.


Doktrin yang murni pemisahan kekuasaan dirumuskan untuk
menentukan dan menjaga kebebasan politik dengan membagi kekuasaan
pemerintah ke dalam tiga cabang atau departemen yakni, legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Pada masing-masing cabang pemerintah harus
12

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2008, hal 151

17

dibatasi pada pelaksanaan fungsinya sendiri dan tidak diperbolehkan


melanggar fungsi dari cabang-cabang yang lain. Selain itu, untuk yang
mengisi ke tiga agen pemerintahan ini harus tetap dipastikan terpisah dan
berdiri sendiri, tidak ada individu yang diperbolehkan pada saat yang
bersamaan menjadi anggota dari lebih satu cabang. Dengan cara ini
masing-masing cabang mengawasi (check) cabang yang lain dan tidak
ada satu kelompok orang yang mampu mengontrol mesin negara13.
Teori pembagian kekuasaan sangat diperlukan dalam sistem suatu
ketatanegaraan,

dikarenakan

para

penyelenggara

negara

mereka

bukanlah manusia malaikat, tetapi manusia mempunyai kecenderungan


memperluas dan memperpanjang kekuasaannya dengan mengabaikan
hak-hak rakyat. Untuk itu diperlukan suatu sistem saling mengawasi
secara seimbang (check and balance). Operasionalisasi dari teori check
and balance menurut fuadi, dapat dilakukan melalui 14:
1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari
satu cabang pemerintahan.
2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih
dari satu cabang pemerintahan.
3. Upaya hukum dari cabang pemerintahan yang satu terhadap cabang
yang lainnya.
4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap
cabang pemerintahan lainnya.

13

Romi Librayanto, Trias Politika Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Pukap


Indonesia, 2008, hal 23
14
Munir Fuadi, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama, 2009, hal 124

18

5. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata


akhir bila ada konflik kewenangan antara eksekutif dan legislatif.
Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh
perhatian yang sangat besar terhadap kemedekaan kekuasaan yudikatif.
Argumentasi yang dikemukakan pemikiran ini adalah bahwa kekuasaan
yudikatif yang merdeka, secara maksimal dapat melindungi hak-hak
warga negara dari kekuasaan yang despotis. Menurut C.F. Strong,
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis
disebut dengan istilah Government (Pemerintah) yang merupakan alatalat perlengkapan negara. Dalam doktrin Trias Politica, baik dalam
pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip
yang harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum
harus bebas dari campur tangan badan eksekutif. Hal ini dimaksudkan
agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi
penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia.
Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan keputusan yang
tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum
dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan. Dengan demikian,
kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang
sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan
menyelesaiakan konflik yang terjadi dalam kehidupan suatu negara dalam
segala derivasinya15.

15

A.Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, ELSAM Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, 2004, hal 2-3

19

3. Kekuasaan Kehakiman (Judicial Powers)


Sebagaimana telah disebutkan di atas, kekuasaan kehakiman yang
merdeka merupakan salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan
sistem demokrasi dan negara hukum. Kekuasaan kehakiman yang bebas
dan tidak memihak tidak hanya diartikan bebas dari pengaruh kekuasaan
eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan dalam melaksanakan
tugasnya. Sebagaimana telah disinggung di atas, kekuasaan kehakiman
merupakan instrument penting untuk menjamin hak-hak asasi dan
mempertahankan keadilan yang merupakan salah satu unsur yang sangat
penting

dalam

demokrasi.

Dengan

demikian,

apabila

kekuasaan

kehakiman dalam suatu negara telah terkooptasi oleh kekuasaan lain di


luarnya atau telah memihak pada pihak-pihak tertentu, maka dapat
dipastikan negara tersebut tidak demokratis. Dalam konteks ini, harus
dibedakan antara apa yang disebut dengan kemerdekaan kekuasaan
kehakiman (judicial independence) dengan ketidakberpihakan para hakim
(impartiality of judges). Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merujuk
pada kemerdekaannya dari campur tangan pemegang kekuasaan lain
dalam persoalan-persoalan kehakiman. Sedangkan ketidakberpihakan
para hakim berkaitan dengan kemampuan seorang hakim dalam
memutuskan suatu perkara tanpa adanya keberpihakan terhadap
perseorangan dan melawan orang lain.
Oleh karena itu, lembaga peradilan yang independen dipahami
sebagai tidak adanya pengaruh yang datang dari pihak ketiga atau
lembaga lain di luar kekuasaan kehakiman dalam proses peradilan

20

dimana putusan hakim lahir hanya atas dasar korelasi fakta-fakta yang
muncul dalam persidangan dan keterkaitannya dengan hukum yang
berlaku.
Ketidakberpihakan (impartiality) kekuasaan kehakiman tidak hanya
ketiadaan bias atau kecurigaan tertentu terhadap hakim saja, melainkan
juga berlaku bagi hal-hal yang

berkaitan dengan pertimbangan-

pertimbangan lain seperti pandangan politik dan agama yang dianut oleh
hakim. Kekuasaan kehakiman memang bukan merupakan entitas yang
hampa dari kepentingan-kepentingan politik, karena energi politik bahkan
memiliki potensi dan kecenderungan yang sangat besar untuk melakukan
intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Boleh dikatakan bahwa politik
mempunyai derajat determinasi yang tinggi terhadap independensi
kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, setiap keinginan untuk melakukan
reformasi agar kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
dapat direalisasikan selalu akan berhadapan dengan kepentingankepentingan politik yang seringkali menghadangnya.
Oleh karena itu, kekuasaan kehakiman sangat dianjurkan untuk
menghindari hal-hal yang sangat terkait dengan kepentingan politik.
Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak hanya akan
dapat terwujud apabila hanya tunduk pada aturan-aturan hukum yang
berlaku dan penegakannya. Apabila kekuasaan kehakiman tidak menjaga
jarak yang tepat dengan lembaga-lembaga politik yang ada dalam sebuah
negara, maka akan kehilangan legitimasinya dan kehadirannya dalam
suatu negara menjadi tidak bermakna. Satu hal yang patut dicatat di sini

21

adalah bahwa adanya jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman akan


membuat para hakim merasa lebih nyaman dalam melaksanakan tugastugasnya.
Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak ini
mempunyai sedikitnya lima segi, yaitu pengangkatan terhadap pejabat
lembaga peradilan yang tidak bersifat politik, masa jabatan dan gaji yang
terjamin, tidak ada intenvensi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif
terhadap proses peradilan dan pengadilan, dan adanya otonomi secara
administratif, dan anggaran belanja. Kelima hal tersebut menjadi
semacam tonggak

yang dapat

dijadikan parameter kemerdekaan

kekuasaan kehakiman16.

B. Konsep Lembaga Negara


Konsepsi tentang lembaga negara di artikan sebagai alat
perlengkapan negara. Istilah alat perlengkapan negara, badan negara,
atau disebut juga organ negara. Istilah tersebut sering digunakan dalam
konteks yang sama dan merujuk pada pengertian yang sama, yaitu yang
membedakannya dengan lembaga swasta atau masyarakat. Lembaga
negara kadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga
pemerintahan non departemen atau lembaga negara apa saja17
Dalam rangka pembahasan tentang organisasi kelembagaan
negara, dapat dimulai dengan mempersoalkan hakikat kekuasaan yang
dilembagakan atau di organisasikan ke dalam bangunan kenegaraan.
16
17

A.Ahsin Thohari, Op.Cit., hal 8-12


Jimly Asshiddiq, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteran Mahkamah Konstitusi, Jakarta,
2006, hal 31

22

Kuncinya terletak pada apa dan siapa yang sesungguhnya memegang


kekuasaan tertinggi atau yang biasa disebut sebagai pemegang
kedaulatan 18 . Dalam perspektif perubahan ketatanegaraan Indonesia
pasca perubahan UUD 1945 maka secara substantif ketatanegaraan
Indonesia telah mengalami perubahan yang mendasar. Seperti halnya
penerjemahan kedaulatan rakyat, yang semula menurut UUD 1945
(sebelum

perubahan),

dilaksanakan

sepenuhnya

oleh

Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) di ubah menjadi kedaulatan berada di


tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Rumusan pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 yang telah di ubah tersebut mempertegas bahwa19:
1. Kedaulatan berada dan berasal dari rakyat
2. Kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
UUD
3. Lembaga yang ditunjuk sebagai pelaksana kedaulatan rakyat tidak
terbatas pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melainkan
semua lembaga negara merupakan pelaksanaan langsung atau tidak
langsung kekuasaan yang bersumber dari rakyat tersebut.
Perubahan sistem ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945
sebagaimana dimaksudkan tersebut, menyangkut beberapa hal, di
antaranya adalah segi substansi dan kelembagaannya. Perubahan pada
segi substantif dengan prinsip kedaulatan rakyat, Hak Asasi Manusia,
prinsip negara hukum, pembatasan jabatan presiden dan wakil presiden,
18

Jimly Asshiddiq, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam


UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, hal 33
19
Jimly Asshiddiq, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005, hal 203-204

23

dan pengujian peraturan perundang-undangan. Demikian pula dalam segi


kelembagaan,

juga

terjadi

perubahan

yang

mendasar,

yakni

dipersamakannya kedudukan lembaga negara secara horiziontal, dan


dihapuskannya kelembagaan negara berdasarkan prinsip hubungan
vertikal, yakni tingkatan lembaga negara dari posisi lembaga tertinggi dan
lembaga tinggi negara.
Adapun lembaga-lembaga negara setelah amandemen UUD 1945
yang kewenangannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945, antara
lain sebagai berikut:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Pasal 2 dan 3
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Pasal 19 Pasal 22B
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pasal 22C dan Pasal 22
4. Presiden dan Wakil Presiden ,pada Pasal 4 ayat (1 dan 2)
5. Mahkamah Agung (MA) pada Pasal 24 dan Pasal 24A
6. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Pasal 24 dan Pasal 24C
7. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Pasal 23E,23F dan 23G
8. Komisi Yudisial (KY) Pada Pasl 24B
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dikenal ada dua bentuk
lembaga Negara, yakni lembaga negara utama (main state organ),
lembaga negara bantu (state auxiliary bodies)

20

Dalam konteks

Indonesia pembentukan state auxiliary body bukan hanya dilakukan dalam


pasal-pasal konstitusi seperti halnya pembentukan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) dan Komisi Yudisial (KY), tetapi juga dibentuk dengan
20

Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca


Amandemen UUD 1945, Cerdas Pustaka Publisher, 2008, hal 209

24

peraturan di bawah UUD 1945. Sebelum itu, terdapat state auxiliary body
yang dibentuk dengan Undang-Undang misalnya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002.

C. Teori Kewenangan
Kewenangan atau wewenang adalah suatu yang digunakan dalam
lapangan hukum publik khususnya hukum administrasi. Sesungguhnya
terdapat perbedaan di antara keduanya. Secara konseptual, istilah
kewenangan adalah apa yang disebut sebagai kekuasaan formal,
kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undangundang.

Oleh

karena

itu

kewenangan

merupakan

kewenangan

merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan


terhadap suatu bidang atau mekanisme sesuatu. Wewenang hanya
menjadi suatu bagian tertentu dari kewenangan 21 . Wewenang menjadi
bagian awal dari hukum administrasi karena pemerintah harus dapat
menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Artinya,
keabsahan bertindak dari pemerintah atas dasar wewenang yang di atur
dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut F.A.M Stroink wewenang merupakan konsep inti dalam
hukum tata negara dan hukum administrasi. Hal ini disebabkan di dalam
wewenang tersebut mengandung hak dan kewajiban. Bahkan di dalam
hukum tata negara wewenang dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum

21

Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Lakbang


Pressindo, Yogyakarta, 2008, hal 49

25

(rechtmacht) artinya hanya tindakan yang berdasarkan wewenang yang


mendapatkan kekuasaan hukum 22. Berdasarkan uraian tersebut penulis
akan membahas tentang kewenangan dua lembaga negara yang di
amanatkan oleh UUD 1945 dalam mekanisme perekrutan hakim agung
dalam hal ini adalah Komisi Yudisial dalam mengusulkan pengangkatan
hakim agung berdasarkan uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper
test dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menyetujui pengusulan
pengangkatan hakim agung berdasarkan uji kelayakan dan kepatutan
atau fit and proper test oleh Komisi Yudisial berdasarkan pasal 24A ayat
(3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

D. Kewenangan Komisi Yudisial


Komisi Yudisial adalah lembaga baru yang harus bekerja sesuai
dengan ketentuan hukum dan mendapatkan kepercayaan masyarakat,
karena itu harus diakui keberadaannya. Disisi lain posisi, hakim memang
sudah kuat berakar dan sebagai hakim karir tentu sudah lama di dunia
kehakiman. Bahkan UUD 1945 sebagai dasar hukum yang paling tinggi
dapat dikatakan mengalami perubahan lebih 300%. Sebelum perubahan
UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sekarang setelah mengalami 4 kali
perubahan isinya berisi 199 butir ketentuan UUD 1945 sekarang ini, yang
asli ini tinggal 25 butir, sisanya 174 butir semua ketentuan baru.
Maka tidak ada jalan lain, segala sesuatunya harus diubah besarbesaran berdasarkan ketentuan UUD 1945. Dunia kehakiman pun harus
melakukan dan mengalami perubahan. Tuntutan masyarakat adanya
22

Ibid, hal 49-50

26

perubahan juga luar biasa kuatnya. Kalau mau membenahi negara


demokrasi

harus

dibangun

dengan

nomokrasi

secara

seimbang.

Nomokrasi intinya adalah di tangan hakim, bukan di tangan polisi, bukan


ditangan jaksa. Jikalau hakimnya bersih, keputusan dibuat hakim yang
benar-benar berhati jujur dan dapat dipercaya, maka orang tidak perlu
membayar pengacara mahal, tidak perlu menyuap jaksa, dan tidak perlu
menyuap polisi, karena tidak ada gunanya. Walaupun berpayah-payah
menyogok semua orang, tetapi kalau keputusannya itu betul-betul
melahirkan keadilan pengadilan tetap akan bersih dan masyarakat
mendapatkan ketenangan.
Karena itu the rule of law itu ada ditangan hakim. Kalau hakim ini
bisa dibenahi, maka demokrasi bisa sehat. Demokrasi tidak akan tumbuh,
tidak akan berkembang kalau tidak diimbangi oleh the rule of law. Karena
itu hakim juga harus berbenah dan mengadakan perubahan besar untuk
membangkitkan
keniscayaan.

kepercayaan

masyarakat.

Hal

ini

adalah

suatu

Salah satu hal penting yang harus dilakukan adalah

membangun yudisial etik. Saat ini telah ada kode etik hakim sedunia hasil
kesepakatan international conference yang kemudian terakhir di adopsi
dalam international conference di Bangalore, india dan disebut Bangalore
principles. Terdapat enam prinsip utama yang kemudian dijabarkan dalam
berbagai konteks. Misalnya, tidak boleh menerima pemberian terkait
dengan perkara, tidak boleh ikut aktif di organisasi-organisasi yang bisa di
anggap hakim akan memihak, dan lain-lain.

27

Untuk menegakkan kode etik, perlu dibangun intrastruktur etika.


PBB dalam salah satu siding yang umum pada tahun 1996 membuat
rekomendasi pentingnya membangun intrastruktur etika di semua publik
sektor, karena itu sekarang ada lembaga-lembaga pengawas etika seperti
Komisi

Kepolisian

Komisi

kejaksaan

yang

dimaksudkan

untuk

memperkenalkan sistem etik supaya ada tindakan-tindakan preventif dan


korektif sebelum suatu perbuatan menyimpang meningkat menjadi
pelanggaran hukum. Pada saat masih pada tingkat pelanggaran etik
sudah ditindak sehingga menimbulkan rasa malu.
Komisi Yudisial diperlukan untuk melakukan fungsi kontrol yang
berbeda. kontrol yang selama ini dilakukan adalah kontrol internal,
sehingga tidak takut melakukan kontrol. Jika kepada Tuhan YME sudah
tidak takut dan kepada tetangga sudah tidak takut, maka lembaga baru ini
dibutuhkan. Harus dimaklumi bahwa Komisi Yudisial sedang belajar.
Lembaga ini belum bukan ideal, tetapi hakim hendaknya tidak berbuat
yang kontra produktif, apalagi marah-marah, karena dia hakim yang
seharusnya berprilaku terhormat.
Komisi Yudisial adalah lembaga pengawas etik hakim sesuai
dengan pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim23.

23

Jimly Asshiddiq, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, The


Biography Institute, Bekasi, 2007, hal 81-83

28

Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih
dari lima hal sebagai berikut:
a. Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman,
karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja;
b. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan
pemerintah (executive power) dalam hal ini Departemen Kehakiman
dan kekuasaan kehakiman (judicial power);
c.

Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan


efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih
disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum;

d. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap


putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat
dari sebuah lembaga khusus.
e. Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan
masalah

politik,

karena

lembaga

yang

mengusulkan

dan

merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau


parlemen.
Sekurang-kurangnya salah satu atau lebih dari lima persoalan yang
berkaitan

dengan

lemahnya

monitoring

secara

intensif

terhadap

kekuasaan kehakiman, tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung


antara

kekuasaan

pemerintah

(executive

power)

dalam

hal

ini

Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakiman (judicial power),


rendahnya efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman yang memadai
dalam

menjalankan

tugasnya

apabila

masih

disibukkan

dengan

29

persoalan-persoalan teknis non-hukum, inkonsistensi putusan lembaga


peradilan, dan politisasi rekruitmen hakim, menjadi latar belakang yang
memunculkan gagasan pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara.
Kehadiran Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan modern
merupakan suatu perkembangan yang sangat menarik dalam cabang
kekuasaan kehakiman (judicial power). Keberadaannya juga merupakan
trend yang terjadi pada abad ke-20 dalam sejarah negara demokrasi
modern yang mengharuskan adanya lembaga peradilan yang bebas dari
campur

tangan

kekuasaan

lain

di

luarnya.

Setelah

mempelajari

keberadaan Komisi Yudisial, dapat disimpulkan bahwa dibentuknya


Komisi Yudisial sekurang-kurangnya mempunyai salah satu atau lebih dari
empat

alasan

yang sangat

strategis dalam rangka mewujudkan

kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Pertama,

dibentuknya

Komisi

Yudisial

adalah

monitoring

secara

intensif

terhadap

melakukan

agar

dapat

kekuasaan

kehakiman dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam


spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara
internal saja.

Kedua,

Komisi

Yudisial

menjadi

perantara

(mediator)

atau

penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) dan


kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya
adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari
pengaruh

kekuasaan

apa

pun

juga

khususnya

kekuasaan

pemerintah.

30

Ketiga, dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan


efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin
tinggi dalam banyak hal baik yang menyangkut rekruitmen dan
monitoring hakim agung serta pengelolaan keuangan kekuasaan
kehakiman.

Keempat, dibentuknya Komisi Yudisial adalah untuk menjaga


kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena
senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar
independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga
peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh
penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan
demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan
mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau
bukan dieliminasi.

Kelima, meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen


hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum
yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain,
bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingankepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekruitmen hakim
yang ada.
Tujuan keberadaan Komisi Yudisial di dalam struktur kekuasaan

kehakiman suatu negara adalah untuk keluar dari latar belakang


permasalahan kurang atau tidak berjalannya monitoring terhadap lembaga
peradilan,

tidak

adanya

lembaga

penghubung

antara

kekuasaan

31

kehakiman dan kekuasaan pemerintah, kekuasaan kehakiman terlalu


disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum, buruknya
kualitas dan konsistensi putusan, dan perekrutan hakim selalu dipolitisasi
oleh lembaga-lembaga politik. Kehadiran Komisi Yudisial diidealkan akan
mampu mengatasi persoalan-persoalan tersebut dengan cara melakukan
monitoring secara intensif terhadap lembaga peradilan, menjadi perantara
(mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman,
meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak
aspek (karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan
langsung dengan aspek hukum), menjaga kualitas dan konsistensi
putusan lembaga peradilan, dan meminimalisasi terjadinya politisasi
terhadap rekrutmen hakim24.

E. Mekanisme Perekrutan Hakim Agung


Hakim adalah jabatan kekuasaan yudisial yang untuk menjamin
prinsip checks and balances diangkat dan diberhentikan dengan
keterlibatan

cabang

kekuasaan

legislatif

dan

eksekutif.

Seleksi

administratif dan kualitatif dilakukan oleh satu komisi independen bernama


Komisi Yudisial, pemilihan dan penentuan statusnya dilakukan oleh
lembaga perwakilan rakyat, dan penetapannya secara administratif dan
seremonial dilakukan oleh cabang kekuasaan eksekutif. Calon hakim
diusulkan oleh Komisi Yudisial untuk diangkat menjadi hakim dengan
Keputusan Presiden setelah terlebih dulu mendapatkan persetujuan dari
DPR. Dengan demikian, Komisi Yudisial yang mengusulkan, DPR yang
24

A.Ahsin Thohari, Op.Cit., hal 29-33

32

menyatakan setuju atau tidak setuju (the right to confirm), Presiden yang
mengangkatnya dengan Keputusan Presiden. Pelantikan sebagai Hakim
dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung atau Ketua oleh Pengadilan
Tinggi setempat, dengan disaksikan oleh Gubernur selaku Kepala Daerah.
Hakim sebaiknya diangkat secara terpusat dengan keputusan
presiden tetapi direkruit per daerah kerja provinsi. Wilayah kerja hakim per
daerah provinsi ini penting untuk menjamin agar hakim dapat hidup di
lingkungan masyarakatnya sendiri, sehingga ia dapat diharapkan mampu
menyelami rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kalaupun
wilayah kerjanya dapat berpindah untuk mencegah kejenuhan, maka
wilayah perpindahan hanya terjadi dalam lingkup daerah provinsi. Karena
itu, lembaga perwakilan rakyat yang dilibatkan atas nama masyarakat
dalam proses pengangkatan hakim adalah DPRD Provinsi setempat.
Jabatan hakim harus diperlakukan sebagai jabatan kehormatan,
sehingga hanya orang-orang yang diakui terhormat dan terpercaya
sajalah yang dinilai pantas untuk diangkat menjadi hakim. Karena itu,
calon hakim tidak melamar pekerjaan tetapi direkomendasikan oleh
lembaga-lembaga masyarakat, lembaga-lembaga hukum, perguruan
tinggi, atau dilakukan sendiri dengan cara head hunting oleh Komisi
Yudisial. Seleksi administratif dilakukan sendiri oleh Komisi Yudisial yang
selanjutnya diajukan untuk diangkat oleh Presiden dengan terlebih dahulu
memintakan persetujuan DPRD provinsi setempat. Dalam hal ini, DPRD
hanya memutuskan menyetujui atau menolak usul pengangkatan hakim
yang akan diajukan oleh Komisi Yudisial kepada Presiden.

33

Sebelum diajukan kepada DPRD, sebaiknya calon-calon hakim


yang diseleksi oleh Komisi Yudisial diumumkan secara terbuka kepada
masyarakat. Pengumuman dilakukan 2 kali, yaitu pada tahap seleksi
administratif dan tahap seleksi kualitatif. Apabila dari masyarakat muncul
keberatan terhadap calon-calon tertentu, maka terhadap calon dimaksud
diadakan klarifikasi oleh panitia banding yang dibentuk khusus oleh
Komisi Yudisial guna menetapkan status calon yang bersangkutan.
Jumlah calon yang diajukan kepada DPR sebanyak jumlah hakim yang
direncanakan akan diangkat sebagaimana mestinya. Artinya, DPRD tidak
perlu mengadakan fit and proper test tersendri, tetapi hanya menyatakan
dukungan setuju atau tidak setuju kepada calon yang diajukan oleh Komisi
Yudisial25.
1. Syarat-Syarat Ideal Hakim
Menurut ketentuan Pasal 14 UU No.2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum dan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, syarat untuk menjadi hakim adalah:
1) Warga Negara Indonesia;
2) Bertaqwa kepada Tuhan YME;
3) Setia kepada Pancasila dan UUD 1945;
4) Bukan bekas anggota organisasi terlarang;
5) Pegawai negeri;
6) Sarjana Hukum;
7) Berumur serendah-rendahnya 25 tahun;

25

Jimly Asshiddiqie, Pokok Pikiran Tentang Penyempurnaan Sistem, Op.Cit., hal 4-5

34

8) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.


Kedelapan syarat tersebut, sebagian terbesar termasuk kategori
persyaratan yang bersifat administratif dalam arti cukup dipenuhi dengan
menunjukkan bukti-bukti yang bersifat administratif. Yang terukur secara
lebih lebih teknis adalah syarat-syarat yang bersifat profesional, seperti
menyangkut

ketrampilan

melakukan

analisis

hukum,

melakukan

perdebatan argumentatif, dan sebagainya. Di samping itu, diperlukan juga


adalah syarat-syarat personal yang bersifat kualitatif, seperti syarat taqwa
terhadap Tuhan YME, integritas kepribadian, berwibawa, jujur, adil, dan
berkelakuan tidak tercela. Syarat-syarat personal dan professional
demikian perlu lebih dirinci untuk menjamin bahwa hakim yang diangkat
benar-benar mereka yang tepat menduduki jabatan terhormat ini.
Untuk mengubah wajah hakim dan lembaga peradilan di masa
mendatang, kedudukan hakim sebagai pejabat kehormatan perlu
dikembangkan dengan memantapkan para penyandangnya sebagai
pejabat negara. Karena itu, perlu diadakan perubahan terhadap rumusan
persyaratan hakim tersebut dengan melengkapinya secara lebih rinci dan
dengan mengubah syarat ke-5 dan ke-7. Syarat ke-5 (syarat pegawai
negeri) sebaiknya ditiadakan, sedangkan syarat ke-7 diubah dari
persyaratan usia minimum 25 tahun menjadi usia minimum-maksimum 40
tahun 70 tahun.
Mengapa hakim tidak boleh dikaitkan dengan pegawai negeri?
Pegawai negeri harus dibedakan dari penyandang fungsi kekuasaan
negara (governing function) di bidang penghakiman yang lebih tepat

35

disebut pegawai negara atau pejabat negara sebagai lawan kata pejabat
negeri. Pegawai negeri pada pokoknya menduduki jabatan negeri,
sedangkan jabatan negara diduduki oleh pejabat negara. Hakim secara
sendiri-sendiri membuat keputusan dan menjatuhkan sanksi atas nama
negara. Hakim diberi kewenangan atas nama negara untuk membebani
warga negara dengan hak dan kewajiban yang dapat dipaksakan daya
ikatnya. Sedangkan pegawai negeri tidak diberi kewenangan semacam itu
kecuali atas perintah pejabat negara yang menjadi atasannya. Oleh
karena itu, mengaitkan jabatan hakim dengan pegawai negeri merupakan
kesalah-kaprahan yang harus dihentikan dan diperbaiki.
Seseorang yang diangkat menjadi hakim, dapat saja mempunyai
status sebagai pegawai negeri, tetapi tidak mutlak menjadi syarat eksklusif
dalam arti yang bukan pegawai negeri diabaikan haknya untuk menjadi
hakim meskipun yang bersangkutan memenuhi segala persyaratan lebih
dari calon yang berasal dari pegawai negeri. Yang justru lebih penting
dijadikan syarat bukanlah statusnya sebelum diangkat menjadi hakim,
tetapi yang lebih utama justru adalah kuantitas dan kualitas peran dan
pengalamannya di bidang hukum yang sangat penting baginya untuk
diangkat menjadi hakim. Oleh sebab itu, sebaiknya di masa yang akan
datang, diadakan syarat berpengalaman sekurang-kurangnya 10 tahun
menjalankan profesi hukum. Dengan demikian, yang dapat menjadi calon
hakim adalah pegawai negeri yang bekerja di bidang hukum, dosen
hukum, advokat, jaksa, konsultan hukum, pembela umum, notaries, aktifis
hukum dan hak asasi manusia, pengamat, penulis dan kolumnis bidang

36

hukum, dan pelbagai professional hukum lainnya.


Di samping itu, persyratan usia hakim juga perlu disempurnakan.
Usia 25 tahun dapat dipandang terlalu muda untuk menjadi seorang hakim
yang demikian harus dihormati. Demikian pula masa kerjanya sudah
seharusnya tidak dikaitkan dengan usia pensiun pegawai negeri, karena
hakim bukanlah pegawai. Hakim semakin tua dapat dipandang semakin
matang dan semakin arif dan bijaksana. Karena itu, bersamaan dengan
usia harapan hidup yang terus meningkat di Indonesia, sebaiknya usia
pengabdian hakim ditingkat dari usia 40 tahun paling rendah sampai 70
tahun sebagai usia pensiun. Dengan demikian, usia pengabdian seorang
hakim paling lama adalah 30 tahun, yaitu antara usia 40 tahun sampai
dengan 70 tahun.
Khusus mengenai Hakim Agung dan Hakim Konstitusi diusulkan
hendaknya berusia antara 60 tahun sampai dengan 70 tahun. Dengan
demikian, seorang yang diangkat menjadi Hakim Agung dan juga Hakim
Konstitusi sudah benar-benar orang yang matang, baik dari segi
kepribadiannya, dari segi pengetahuan dan pengalamannya, serta kualitas
kenegarawanannya. Seorang Hakim Agung atau Hakim Konstitusi yang
masih muda, biasanya lebih sulit melepaskan diri dari hasrat-hasrat
keduniaan, seperti nafsu jabatan dan sebagainya 26.
2. Syarat Hakim Agung
Selain syarat-syarat yag bersifat normatif dan pro-forma yang
sudah biasa diperbincangkan, Hakim Agung dan demikian pula Hakim

26

Ibid, hal 2-4

37

Konstitusi sebaiknya berusia antara 60 sampai dengan 70 tahun,


sehingga kearifan dan sikap kenegarawanannya dapat terjamin dengan
sebaik-baiknya. Idealya, semua Hakim Agung adalah hakim karir.
Meskipun mekanisme rekruaitmen hakim non-karir tetap harus ada, tetapi
keperluan akan ada hakim non-karir itu seharusnya memang dibatasi.
Pengangkatanannya sebaiknya dibatasi hanya sebagai pengecualian
yang memang diperlukan, seperti kebutuhan akan hakim agung bidang
perpajakan, hakim agung bidang lingkungan hidup, dan hakim agung
bidang ketatanegaraan, khususnya terkait dengan perkara judicial
review. Namun jumlahnya haruslah tidak terlalu banyak.
Jika hakim non-karir terlalu banyak, perencanaan karir yang
berlaku internal dunia kehakiman menjadi terganggu, dan dapat
menyebabkan berkembangkan sikap demoralisasi di kalangan hakim
karir.

Namun,

memungkinkan

untuk
adanya

meniadakan
hakim

sama

non-karir

sekali
tentu

ketentuan

tentu

tidak

yang
dapat

dibenarkan, karena dalam kenyataan praktik, keberadaan hakim non-karir


itu justru sangat diperlukan untuk menjaga komposisi keahlian di kalangan
para Hakim Agung. Jika, misalnya, rekruitmen hakim non karir di bidang
perpajakan tidak dimungkinkan sama sekali, niscaya Mahkamah Agung
tidak dapat diharapkan mempunyai hakim agung dengan latar belakang
keahlian di bidang perpajakan. Demikian pula untuk keperluan-keperluan
khusus yang lain, dalam praktik, tidak selalu dapat dipenuhi dari kalangan
hakim karir yang ada.
Terlepas dari hakim karir atau non-karir itu, yang jelas setiap hakim

38

agung haruslah memenuhi syarat-syarat personal dan profesional yang


mumpuni. Hakim Agung bukanlah hakim biasa. Setiap Hakim Agung
diharapkan sudah selesai dengan urusan keluarganya, dalam arti
kewajiban mendidik anak-anak sudah selesai, dan lebih ideal lagi jika
semua putera-puterinya sudah berkeluarga dan hidup mandiri. Hakim
Agung sebaiknya memiliki rekam jejak yang jelas mengenai integritas
perilakunya, mengenai prestasi dan capaian-capaian yang dihasilkannya
selama karir dan pengalamannya di bidang pembangunan hukum dan
penegakan hukum, khususnya di bidang peradilan. Karena itu, calon
Hakim Agung sebaiknya mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum
sekurang-kurangnya 15 tahun dengan usia maksimum ketika dicalonkan
adalah 60 tahun.
Dalam sistem pendidikan tinggi hukum yang sudah berkembang
pesat dewasa ini dengan sistem strata 1, strata 2, dan strata 3 dewasa ini,
cukup masuk akal jika calon Hakim Agung dipersyaratkan minimal sudah
menyelesaikan pendidikan magister hukum, dan pernah menerbitkan buku
hukum atas namanya sendiri. Dunia Hakim sangat baik jika dikaitkan
dengan dunia ilmu hukum. Karena itu, calon Hakim Agung sebaiknya
dipersyaratkan sudah pernah menulis dan menerbitkan buku dari hasil
bacaan, pengalaman hidup di bidang hukum, atau perenunganperenungan ilmiah di bidang hukum. Ketrampilan menulis itu harus
dibiasakan dan karena itu perlu persyaratkan, karena salah satu tugas
hakim adalah penulis pendapat hukum dan putusan yang berisi analisisanalisis hukum yang mendalam, sehingga dapat menghasilkan temuan-

39

temuan hukum yang bersifat inovatif.


Sebagai Hakim Agung juga seharusnya mempunyai pengalaman
yang cukup dalam memimpin lembaga peradilan atau lembaga hukum
pada umumnya. Misalnya, calon Hakim Agung sebaiknya direkruit dari
para mantan pengadilan tingkat 1 dan mantan ketua pengadilan tingkat 2
yang sudah sangat banyak jumlahnya untuk dipilih dari seluruh Indonesia.
Dengan begitu, Hakim Agung dapat diharapkan memiliki pengalaman
kepemimpinan yang memadai untuk menjadi Hakim Agung yang kreatif
dan inovatif. Para hakim agung harus menyadari posisinya dalam
memimpin proses pencerahan kehidupan bangsa dalam mewujudkan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia27.
3. Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim Agung
3.1 Pengangkatan Hakim Agung
Mekanisme rekruitmen Hakim Agung berbeda dari hakim biasa.
Calon hakim agung diseleksi oleh Komisi Yudisial dan diajukan untuk
mendapatkan

persetujuan

DPR

sebagaimana

mestinya.

Menurut

ketentuan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945:


Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan
sebagai Hakim Agung oleh Presiden.
Artinya, Komisi Yudisial bertindak sebagai pengusul, sedangkan DPR
sebagai pemberi persetujuan atau penolakan, dan selanjutnya ditetapkan
dengan Keputusan Presiden. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa Dewan

27

Ibid, hal 7-8

40

Perwakilan Rakyat tidak ditentukan harus mengadakan fit and proper test
dan pemilihan hakim agung sebanyak sepertiga dari jumlah yang
dicalonkan oleh Komisi Yudusial28. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 hanya
menyatakan bahwa calon Hakim Agung diajukan oleh Komisi Yudisial
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan selanjutnya ditetapkan menjadi
Hakim Agung dengan Keputusan Presiden. Hak untuk menyetujui atau
menolak inilah yang disebut sebagai hak konfirmasi (the right to confirm)
yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasan terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik
yang dipandang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara sepihak
oleh Presiden. Karena itu, fungsi pengawasan oleh DPR itu dilakukan
tidak saja menyangkut pelaksanaan kebijakan legislatif berupa:

tindakan implementasi Undang-Undang,


penjabaran pengaturan Undang-Undang dalam peraturan
pelaksanaan yang lebih operasional,
dalam bentuk penngawasan terhadap pengangkatan dan
pemberhentian pejabat publik tertentu yang tidak boleh
dibiarkan ditentukan sendiri secara sewenang-wenang oleh
Presiden.

Sementara itu, di dalam ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor


5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung disebutkan sebagai berikut:
a) Hakim agung diangkat oleh Presiden dari nama calon yang diajukan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
b) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih
Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh

28

Ibid, hal 5-6

41

Komisi Yudisial.
c) Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang sejak nama calon
diterima Dewan Perwakilan Rakyat.
d) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim
agung dan diangkat oleh Presiden.
e) Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden di antara
hakim agung yang diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung.
f)

Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung, Ketua


dan Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) ditetapkan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak pengajuan calon
diterima Presiden.
Ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 24A ayat (3) Perubahan

Ketiga UUD 1945 menyiratkan bahwa Komisi Yudisial telah mengambil


alih fungsi-fungsi yang selama ini diperankan oleh Mahkamah Agung,
Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana diatur di dalam
Pasal 8 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung. Sedangkan DPR menggantikan peran Presiden sebagai pihak
yang kepadanya diajukan calon hakim agung. Sementara itu, Presiden
hanya

sebagai

pihak

yang

mengangkat

hakim

agung

dalam

kedudukannya sebagai Kepala Negara.


Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung,
untuk menjalankan wewenang mengusulkan hakim agung, Komisi Yudisial

42

harus diberi tiga tugas sebagai berikut:


a) Menjaring nama-nama bakal calon hakim agung;
b) Melakukan proses seleksi bakal calon hakim agung; dan
c) Memberikan usulan nama calon hakim agung kepada DPR.
Dalam rangka menjalankan tiga tugas tersebut di atas, Komisi
Yudisial harus diberikan seperangkat kewajiban dan wewenang yang
berkaitan dengan mengundang partisipasi masyarakat, menjaring nama
bakal calon hakim agung, publikasi nama bakal calon hakim agung, dan
klarifikasi track record bakal calon hakim agung.
a) Mengundang Partisipasi Masyarakat
Dalam proses perkrutan hakim agung, partisipasi masyarakat harus
mendapat perhatian secara serius. Dalam rangka menjalankan kewajiban
mengundang partisipasi masyarakat dalam proses perekrutan hakim
agung ini, Komisi Yudisial harus mengumumkan kepada masyarakat luas
secara resmi tentang perekrutan hakim yang akan dilaksanakan dan
meminta masyarakat untuk memberikan masukan nama bakal calon.
Pengumunan tersebut juga harus menjelaskan jumlah hakim agung yang
akan direkrut serta keahlian bakan calon hakim agung sesuai dengan
kebutuhan yang ada.
Meskipun demikian, adanya calon yang terlalu banyak harus
dihindarkan agar efektifitas dan efisiensi perekrutan hakim agung tetap
terjaga. Menurut Mahkamah Agung, untuk menghindarkan terjadinya
pembengkakan bakal calon hakim agung harus dibuat pembatasanpembatasan dengan cara, misalnya, Komisi Yudisial hanya mempunyai

43

kewajiban untuk memproses lebih lanjut usulan dari masyarakat yang


disertai

data

pribadi

pengusul

secara

jelas

dan

alasan-alasan

pengusulannya.
b) Menjaring Nama Bakal Calon Hakim Agung
Komisi Yudisial harus secara proaktif menjaring nama bakal calon
hakim

agung

sesuai

dengan

pemantauan

yang

telah

dilakukan

sebelumnya dari berbagai kalangan baik dari kalangan hakim, pengacara,


akademisi, aktivis lembaga non-pemerintah, dan lain-lain. Dalam proses
penjaringan nama bakal calon hakim agung, Komisi Yudisial juga harus
meminta kesediaan bakal calon yang telah dijaring tersebut agar
memenuhi persyaratan administratif sebagaimana disebutkan di dalam
Pasal 7 Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Syarat-syarat untuk dapat
menjadi hakim agung yang ditentukan dalam undang-undang tersebut
sebagai berikut:
a) Warga negara Indonesia;
b) Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c) Berijazah Sarjana Hukum atau Sarjana lain dan mempunyai
pengalaman dalam bidang profesi hukum dan/atau akademisi, atau
Hakim Tinggi yang berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua
puluh) tahun sejak diangkat menjadi Hakim tingkat pertama;
d) Berumur serendah-rendahnya 45 (empat puluh lima) tahun;
e) Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara, kecuali jika dipidana

44

dengan alasan pertentangan politik dan ideologi.


Syarat-syarat dasar tersebut di atas dapat dikatakan kurang
lengkap. Oleh karena itu, Mahkamah Agung mengusulkan adanya
beberapa persyaratan administratif lain yang perlu diatur di dalam
Undang-Undang tentang Komisi Yudisial yang meliputi beberapa hal
sebagai berikut:
a) Daftar seluruh harta kekayaan bakal calon dan dan keluarga inti serta
penjelasan mengenai pemasukan bakal calon dan keluarga intinya;
b) Riwayat

hidup,

termasuk

riwayat

pekerjaan,

pendidikan

dan

pengalaman organisasi;
c) Paper atau tulisan dengan topik tertentu;
d) Beberapa pembelaan atau tuntutan atau karya ilmiah atau hasil kerja
intelektual lain yang dibuat bakal calon, bagi bakal calon yang berasal
dari advokat, jaksa, dan akdemisi atau profesi hukum lainnya; dan
e) Hal-hal lain yang dianggap perlu.
c) Publikasi Nama Bakal Calon Hakim Agung
Komisi Yudisial harus melakukan seleksi terhadap pemenuhan
persyaratan administrasi yang diberikan oleh bakal calon hakim agung,
misalnya kesediaan bakal calon untuk mengikuti rangkaian proses
rekruitmen, kelengkapan data-data yang disyaratkan, dan lain-lain.
Setelah

seleksi

administratif

dilakukan,

Komisi

Yudisial

harus

mempublikasaikan nama-nama bakal calon hakim agung yang lolos


seleksi tersebut kepada masyarakat luas untuk mendapatkan penilaian
dan tanggapan. Hal ini merupakan suatu tahapan penting, karena

45

penilaian masyarakat yang biasanya berbentuk pandangan, laporan, atau


pengaduan atas kualitas, integritas, dan kepribadian bakal calon dapat
menjadi bahan awal untuk melakukan klarifikasi terhadap calon.

d) Klarifikasi Track Record Bakal Calon Hakim Agung


Setelah beberapa proses di atas telah dilakukan, Komisi Yudisial
kemudian melakukan proses klarifikasi terhadap integritas dan kualitas
bakal calon hakim agung melalui berbagai metode. Untuk mengetahui
integritas bakal calon, Komisi Yudisial harus melakukakan klarifikasi
integritas bakal calon kepada pihak-pihak yang mengenalnya. Sedangkan
yang berkaitan dengan harta kekayaan, Komisi Yudisial harus melakukan
klarifikasi kepada bakal calon dan keluarga intinya yang disesuaikan
dengan sumber pendapatan yang dimiliki bakal calon dan keluarganya.
Dalam

melakukan

klarifikasi

tersebut,

Komisi

Yudisial

dapat

membandingkannya dengan data perpajakan, perbankan, pertanahan,


dan lain-lain.
Khusus yang berkaitan dengan kualitas bakal calon, Komisi
Yudisial harus mengkaji hasil pemikiran bakal calon baik yang berupa
putusan-putusan yang pernah dihasilkan (apabila bakal calon seorang
hakim), tuntutan yang pernah dilakukan (apabila bakal calon seorang
jaksa), pembelaan yang pernah dilakukan (apabila bakal calon seorang
advokat) atau karya- karya ilmiah yang telah dihasilkan (apabila bakal
calon seorang akademisi). Selain itu, Komisi Yudisial juga harus mengkaji
tulisan yang dibuat oleh bakal calon dengan topik tertentu yang diminta
oleh Komisi Yudisial. Selain itu, Komisi Yudisial juga harus melakukan uji
46

konsistensi pemikiran, visi dan misi, dan pandangan bakal calon. Komisi
Yudisial harus melacak beberapa pemikiran yang pernah dikemukakan
oleh para bakal calon dengan teliti.
Berbagai

pengaduan

dan

laporan

dari

masyarakat

harus

diklarifikasi oleh Komisi Yudisial. Oleh karena itu, Komisi Yudisial perlu
diberikan wewenang untuk meminta bantuan dan memanggil atau
meminta informasi dari pihak-pihak yang dianggap memiliki informasi
tentang bakal calon.
e) Melakukan Fit and Proper Test Secara Terbuka
Tahapan selanjutnya,

Komisi Yudisial harus melakukan uji

kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) secara terbuka. Tahapan ini
berupa proses tanya-jawab antara Komisi Yudisial dan bakal calon
terhadap aspek-aspek integritas dan kualitas bakal calon hakim agung
berdasarkan laporan masyarakat yang telah diklarifikasi atau temuan dari
Komisi Yudisial sendiri. Komisi Yudisial menguji kualitas para bakal calon
dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan
putusan, tuntutan, pembelaan, karya ilmiah dan persoalan-persoalan
hukum.
f) Memberikan Penilaian Terhadap Bakal Calon Hakim Agung Secara
Terbuka dan Mengajukannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Berdasarkan klarifikasi dan uji kepatutan dan kelayakan (fit and
proper test) yang telah dilakukan, semua anggota Komisi Yudisial secara
individual memberikan penilaian terhadap masing-masing bakal calon
dengan mencantumkan alasan-alasannya yang dilakukan secara terbuka

47

sebagai bagian dari implementasi asas transparansi dan akuntabilitas


publik dan menghindarkan penilaian yang bersifat subjektif. Penilaian
individual tersebut kemudian dibahas dan disepakati dalam rapat pleno
Komisi Yudisial. Setelah itu, Komisi Yudisial mengusulkan nama bakal
calon yang lulus dalam proses rekruitmen kepada DPR.
Dalam hasil penelitiannya, Mahkamah Agung mengusulkan agar
jumlah bakal calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial kepada DPR
minimal 2 (dua) kali dari jumlah yang dibutuhkan. Misalnya jumlah hakim
agung yang harus dipilih oleh DPR 3 (tiga) orang, maka Komisi Yudisial
paling kurang harus mengajukan 6 (enam) nama bakal calon. Penyusunan
daftar nama bakal calon hakim agung ini berdasarkan peringkat (ranking).
Selain itu, yang harus digarisbawahi adalah nama-nama bakal calon
hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial ini bersifat mengikat.
Artinya, DPR tidak punya pilihan lain selain harus memilih dari namanama bakal calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Kemungkinan
penolakan DPR terhadap nama-nama sangat dimungkinkan, karena Pasal
24B Perubahan Ketiga UUD 1945 menggunkan istilah mengusulkan
pengangkatan hakim agung. Istilah mengusulkan ini dipahami sebagai
dapat diterima atau tidak. Akan tetapi, seyogyanya Pasal 24B tersebut
diartikan bahwa DPR tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus
menentukan pilihannya dari nama-nama bakal calon hakim agung yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial.
Tahap selanjutnya DPR memilih hakim agung dari nama-nama
yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Proses pemilihan ini harus dilakukan

48

secara terbuka siapa memilih siapa untuk memenuhi prinsip transparansi


dan akuntabilitas publik serta meniadakan pertimbangan- pertimbangan
yang bersifat politik. Hasil pembahasan ini kemudian disepakati oleh
siding pleno DPR. Setelah itu, daftar nama-nama bakal calon diserahkan
kepada Presiden untuk dimintakan pengangkatan. Presiden wajib
mengangkat seluruh calon hakim agung yang diajukan oleh DPR untuk
menjadi hakim agung29.
3.2 Pemberhentian Hakim Agung
Hakim Agung juga dapat diberhentikan di tengah jabatannya.
Komisi Yudisial berwenang untuk mengevaluasi dan menilai setiap hakim
agung. Dalam hal terjadi pelanggaran kode etika, maka terhadap hakim
agung yang bersangkutan dikenakan sanksi etika sebagaimana mestinya.
Dalam hal hakim agung melakukan pelanggaran yang berat, baik
pelanggaran etika maupun pelanggaran hukum, yang menyebabkannya
terancam sanksi pemberhentian, maka usul pemberhentian itu diajukan
oleh Komisi Yudisial untuk mendapatkann persetujuan atau penolakan
dari DPR sebagaimana mestinya.

Apabila DPR menyetujui usul

pemberhentian itu barulah usul itu diajukan kepada Presiden untuk


ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Apabila DPR menyatakan
menolak usul pemberhentian tersebut, maka sanksi pemberhentian yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial tidak dapat dilaksanakan, dan Komisi
Yudisial

wajib

mengadakan

penyesuaian

terhadap

keputusannya

menyangkut Hakim Agung yang bersangkutan dengan sebaik-baiknya.

29

A.Ahsin Thohari, Op.Cit., hal 21-27

49

Jika usul pemberhentian Hakim Agung itu mendapat persetujuan


DPR, maka Komisi Yudisial segera mengajukan usul itu kepada Presiden
untuk ditetapkan secara administratif dengan Keputusan Presiden. Untuk
mengsi kekosongan itu, Komisi Yudisial segera mengajukan usul calon
pengganti kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sebelum diajukan
kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung sebagaimana
mestinya. Untuk menghadapi kemungkinan kekosongan jabatan semacam
ini, sebaiknya, Komisi Yudisial telah memiliki daftar bakal calon Hakim
Agung yang dicadangkan dari proses seleksi yang sudah dilakukan
sebelumnya. Dengan demikian, kekosongan dalam jabatan Hakim Agung
dapat dicegah dengan sebaik-baiknya di masa mendatang30.
4. Pembinaan Hakim
4.1. Pendidikan dan Pelatihan
Di samping pengangkatan dan pemberhentian hakim, maka dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan
perilaku hakim, Komisi Yudisial juga sebaiknya diberi kewenangan
berdasarkan UU untuk melakukan pendidikan dan pelatihan, serta
pembinaan hakim

melalui promosi ataupun demosi karir hakim.

Pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan dengan cara (i) kerjasama


dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang ada, dan (ii) perbaikan
penyelenggaraan kegiatan diklat internal yang sudah ada.
Untuk itu diusulkan agar semua pusat-pusat pendidikan dan
pelatihan yang ada di lingkungan Mahkamah Agung dialihkan tugasnya di

30

Jimly Asshiddiqie, Pokok Pikiran Tentang Penyempurnaan Sistem,Op.Cit.,hal 8

50

bawah Komisi Yudisial. Dengan demikian volume pekerjaan Mahkamah


Agung dapat lebih diciutkan, sehingga Mahkamah Agung dapat lebih
memusatkan perhatian kepada upaya peningkatan mutu peradilan tanpa
terganggu oleh hal-hal teknis seperti pengelolaan pusat-pusat dan
kegiatan-kegiatan pendidikan dan pelatihan. Kebijakan mengenai materi
pendidikan dan pelatihan berada di tangan Mahkamah Agung, tetapi
teknis penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan itu berada di
bawah Komisi Yudisial31.
4.2. Kinerja, Promosi dan Demosi Karir
Selain itu, penentuan pangkat hakim juga sangat erat berkaitan
dengan assesmen terhadap penilaian kinerja hakim dan pendidikan
hakim. Karena itum perlu dipertimbangkan bahwa di masa depan, hal-hal
yang bersifat administrative terkait dengan promosi dan demosi karir
hakim juga ditangani oelh Komisi Yudisial. Pendek kata, Mahkamah
Agung cukup bertindak sebagai user dari SDM yang dibina secara
independen oleh Komisi Yudisial. Untuk itu, tentu keberadaan Komisi
Yudisial harus lah dikembangkan dalam hubungan kemitraan fungsional
dengan Mahkamah Agung. Komisi Yudisial tidak akan pernah berhasil
dalam menjalankan tugasnya apabila menempatkan diri dalam posisi yang
salah terhadap Mahkamah Agung. Komisi Yudisial seharusnya berada
dalam posisi kemitraan dengan Mahkamah Agung.
Meski kedudukannya independen, Komisi Yudisial adalah lembaga
yang menyelengarakan administrasi kekuasaan kehakiman, sehingga

31

Ibid, hal 10

51

dengan demikian hubungannya dengan Mahkamah Agung harus akrab.


KY bukanlah lembaga yang menjalankan fungsi kekuasaan yang
tersendiri (governing function) melainkan bagian yang tidak terpisahkan
dalam sistem kekuasaan kehakiman. Dalam perspektif demikian, Komisi
Yudisial dapat dipandang sebagai pengganti keberadaan Direktorat
Jenderal Peradilan di dalam struktur Departemen Kehakiman masa lalu
yang dilepaskan secara tegas dari kekuasaan pemerintahan negara.
Dengan kedudukan yang demikian, Komisi Yudisial lah yang memberikan
penilaian mengenai kinerja hakim. Hasil penilaian mengenai kinerja hakim
yang demikian dijadikan bahan untuk melakukan promosi atau pun
demosi terhadap hakim32.

32

Ibid

52

BAB III
METODE PENELITIAN

Untuk memperoleh informasi serta penjelasan mengenai segala


sesuatu yang berhubungan dengan pokok permasalahan, diperlukan suatu
metode penelitian ataupun pedoman dalam melakukan penelitian, sebab
dengan menggunakan metode penelitian atau pedoman penelitian yang
tepat dan benar akan diperoleh validitas data serta dapat mempermudah
penulis dalam melakukan penulis dalam melakukan penelitian terhadap
suatu masalah.
A. Type Penelitian
1. Penelitian Normatif
Dalam hal ini penulis melakukan penelitian normatif yakni, melalui
peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan penulis,
selain itu menggunakan literatur berupa, buku-buku, karya ilmiah, jurnal,
dll.
2. Penelitian Empiris
Yaitu, penulis akan melakukan penelitian di instansi, yaitu Komisi
Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan data-data yang ada kaitannya dengan judul yang akan
diteliti dengan cara melakukan wawancara sesuai dengan kepakarannya.

B. Lokasi Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis akan memilih dua lokasi
penelitian, yaitu :

53

1. Komisi Yudisial
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
C. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
i. Bahan hukum Primer
Data primer data yang diperoleh secara langsung melalui
wawancara dengan pihak-pihak terkait dengan skripsi ini.
ii. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti buku-buku, jurnal, media online, media cetak, hasilhasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan sebagainya
yang berhubungan dengan skripsi ini.
iii. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus hukum dan politik, ensiklopedia, dan sebagainya yang
berhungan dengan tulisan ini.

D. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik
studi liberatur, yang ditujukan untuk memperoleh bahan-bahan dan
informasi-informasi sekunder yang diperlukan dan relevan dengan
penelitian, yang bersumber dari buku-buku, media pemberitaan, jurnal,

54

serta

sumber-sumber

informasi

lainnya

seperti

data

yang

terdokumentasikan melalui situs internet yang relevan. Selain itu,


penelitian ini juga menggunakan teknik wawancara yang dilakukan
langsung dengan pihak-pihak yang dianggap berkompeten dalam
penyusunan skripsi ini.
E.

Analisis Data
Analisis data primer dan sekunder yang telah diperoleh, penulis

kemudian membandingkan data tersebut. Penulis menggunakan teknik


deskriptif kualitatif dalam menganalisis data yang ada untuk menghasilkan
kesimpulan dan saran. Data tersebut kemudian dituliskan secara deskriptif
untuk memberikan pemahaman yang jelas dan terarah dari hasil
penelitian.

55

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Posisi dan Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat RI dalam


Perekrutan Hakim Agung.
Hakim pada dasarnya memiliki peran dan posisi yang sangat
sentral dalam penegakan hukum dan keadilan. Melalui putusannya
seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut
kebebasan warga negara, menyatakan sah tidaknya tindakan sewenangwenang pemerintah terhadap warga negaranya. Sikap hakim harus
senantiasa berlandaskan pada prinsip keTuhanan Yang Maha Esa, adil,
bijaksana, berwibawa, berbudi luhur, dan jujur.
Hal itu berarti bahwa hakim yang baik, yaitu hakim yang memiliki
profesionalitas, integritas, dan kualitas, bukanlah lahir dengan sendirinya
akan tetapi dibentuk. Dengan demikian, perubahan ke arah terciptanya
sistem peradilan yang lebih baik hanya dapat terjadi apabila kita berhasil
membentuk dan menempatkan hakim yang berkualitas tersebut di setiap
badan peradilan.
Terkait dengan hal tersebut proses perekrutan hakim agung
merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan hakim yang
memiliki profesionalitas, integritas dan kualitas. Proses perekrutan hakim
agung secara tegas dinyatakan dalam pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan:
calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden
56

Dengan ketentuan itu, rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat


mempunyai kewenangan untuk menentukan siapa yang tepat menjadi
hakim agung sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat untuk
memperoleh kepastian dan keadilan. Akan tetapi konstitusi tidak
menjelaskan secara lebih rinci tentang proses perekrutan hakim agung.
Dalam tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak diatur secara
eksplisit dan rinci mengenai mekanisme pemilihan hakim agung, dalam
tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat keterlibatan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam mekanisme perekrutan hakim agung diatur dalam pasal 6
huruf p pada bagian tugas dan wewenang anggota Dewan Perwakilan
Rakyat yang menyatakan: memberikan persetujuan calon hakim agung
yang di usulkan komisi yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung
oleh presiden
Selaras dengan hal tersebut dalam tata tertib Dewan Perwakilan
Rakyat juga mengatur tentang mekanisme persetujuan yang dimaksudkan
dalam pasal 24A ayat (3) UUD 1945 dan pasal 6 huruf p pada tata tertib
Dewan Perwakilan Rakyat dalam perekrutan hakim agung, hal tersebut di
atur dalam pasal 191 ayat (1) dan (2) pada tata tertib Dewan Perwakilan
Rakyat yang menyatakan:
1) Dalam hal peraturan perundang-undangan menentukan agar DPR
mengajukan,

memberikan

persetujuan,

atau

memberikan

pertimbangan atas calon untuk menjadwalkan dan menugaskan


pembahasannya pada komisi terkait.

57

2) Tata cara pelaksanaan seleksi dan pembahasan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh komisi yang bersangkutan,
meliputi:
a. Penelitian administrasi,
b. Penyampaian visi dan misi,
c. Uji kelayakan (fit and proper test),
d. Penentuan urutan calon,
e. Diumumkan kepada publik
Adapun setelah melalui tahapan-tahapan tersebut atau dalam hal ini
adalah uji kelayakan (fit and proper test) selanjutnya dilakukan pemilihan
yang berdasarkan BAB XVII tentang tata cara pengambilan keputusan
pada tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat yang menyebutkan:
Pasal 275
Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan
berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya pendirian
sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan
pendirian anggota rapat yang lain.
Pasal 276
1) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dapat dilakukan
secara terbuka atau secara rahasia.
2) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak secara terbuka
dilakukan apabila menyangkut kebijakan.
3) Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak secara rahasia
dilakukan apabila menyangkut orang atau masalah lain yang
ditentukan dalam rapat.
Pada mekanisme pemilihan hakim agung di Dewan Perwakilan
Rakyat,

proses

berdasarkan

pemilihan

dilaksanakan

dengan

cara

keputusan

suara terbanyak secara rahasia. Dan mekanisme dari

pemilihan tersebut dinyatakan pada pasal 279 tentang tata tertib Dewan
Perwakilan Rakyat

58

Pasal 279
1) Pemberian suara secara rahasia dilakukan dengan tertulis, tanpa
mencantumkan nama, tanda tangan, fraksi pemberi suara, atau tanda
lain yang dapat menghilangkan sifat kerahasiaannya.
2) Pemberian suara secara rahasia dapat juga dilakukan dengan cara
lain yang tetap menjamin sifat kerahasiaan.
3) Dalam hal hasil pemungutan suara tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 277 ayat (2), pemungutan suara
diulang sekali lagi dalam rapat itu juga.
4) Dalam hal hasil pemungutan suara ulang, sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 245 ayat (1), pemungutan suara secara rahasia,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi batal.
Paparan ringkas di atas dimaksudkan untuk memberikan gambaran
sekilas tentang persetujuan yang dimaksud pada pasal 24A ayat (3) UUD
1945 dalam tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat, adapun untuk
kewenangan dalam memilih calon hakim agung oleh Dewan Perwakilan
Rakyat secara tegas di atur dalam pasal 8 UU Nomor 3 Tahun 2009
tentang perubahan UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
yang menyatakan:
Pasal 8 ayat (2)
calon hakim agung dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari
nama calon yang di usulkan oleh komisi yudisial
Pasal 8 ayat (3)
calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk
setiap lowongan
Kewenangan untuk memilih calon hakim agung oleh Dewan
Perwakilan Rakyat juga secara tegas di atur dalam undang-undang no. 22
tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Posisi DPR sebagai lembaga
legislatif hanya dirumuskan dalam pasal 18 ayat (5) dan pasal 19 ayat (1)
59

Pasal 18 ayat (5)


dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung
sejak seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir, komisi
yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama hakim
agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung,
dengan tembusan disampaikan kepada presiden.
Pasal 19 ayat (1)
DPR telah menetapkan calon hakim agung untuk diajukan kepada
presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
diterima nama calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat
(5).
Jika ditelisik lebih jauh, rumusan pengangkatan calon hakim agung
dalam undang-undang, ternyata berbeda dengan yang ada dalam UUD
1945. Pasal 8 Ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 3 Tahun 2009
tentang

Perubahan Kedua Atas UU No.14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung dan Pasal 18 Ayat (4) dan Pasal 19 Ayat (1) UU No.
18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No.22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial, pada dasarnya menyatakan calon hakim agung yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial dipilih DPR 1 (satu) orang dari 3 (tiga)
nama calon untuk setiap lowongan.
Adanya ketentuan kuota tersebut,

ditengarai karena pola

pengangkatan calon hakim agung di DPR dilakukan dengan pemilihan.


Di mana Anggota DPR memiliki pilihan (Option), yakni 1 orang untuk
setiap 3 nama yang dicalonkan. Maka dari itu, DPR merasa perlu untuk
mengetahui keunggulan calon yang satu dengan calon lainnya, karena
dari sejumlah nama yang dicalonkan, hanya ada beberapa orang yang
akan dipilih sebagai hakim agung.

60

B. Perekrutan Hakim Agung dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman


Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik

Indonesia.

Pernyataan

tersebut

merupakan

pengertian

kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam Pasal 1 UndangUndang

Nomor

Tahun

2004

tentang

Kekuasaan

Kehakiman.

Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang diterapkan


di negara ini, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh
lembaga- lembaga yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bab IX UUD 1945
menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk dalam lingkup
kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah
Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Namun, menurut Pasal 24 ayat
(2), hanya MA (dan badan peradilan di bawahnya) dan MK yang
merupakan penyelenggara kekuasaan kehakiman, sedangkan KY tidak
memiliki kewenangan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai
lembaga ekstra-yudisial.
Independensi yang secara harfiah dapat diartikan bebas,merdeka
atau berdiri sendiri bukanlah ungkapan kosong yang turun dari langit
untuk dilekatkan begitu saja pada kekuasaan kehakiman. Independensi
adalah proteksi yang berbasis pada kepercayaan terhadap manusia
penyandang kewenangan yudikatif sebagai penegak keadilan yang harus
dilindungi

dari

kemungkinan

intervensi

darimanapun

agar

dapat

menjalankan kekuasaannya dengan baik dan benar.


61

Belakangan independensi bahkan dinilai menjadi tameng pelindung


para hakim dari pengawasan atas tindakan penyalahgunaan wewenang
menyusul

bermunculannya

putusan

putusan

kontroversial

yang

mengabaikan rasa keadilan masyarakat. Mencuat dugaan bahwa


penguatan independensi pada institusi dan sumber daya manusia hakim
yang penuh masalah justru kontraproduktif. Atas dasar itulah mencuat
gagasan agar independensi disertai dengan akuntabilitas. Bagaimana
independensi dan akuntabilitas ini dipahami dan diletakkan dalam konteks
kekuasaan kehakiman, dan dalam upaya membangun kepercayaan
masyarakat terhadap putusan-putusan hakim; tulisan ini akan coba
menjelaskan aspek-aspek dimaksud.
Kekuasaan kehakiman
Diketahui

bahwa

rezim

otoritarian,

lebih-lebih

rezim

militer

dimanapun, tidak pernah menjadikan kekuasaan kehakiman dalam kontrol


rezim. Bahkan, menjadi alat penuh kekuasaan untuk melegitimasi
tindakan-tindakan

menyimpang

kekuasaan

dan

mendelegitimasi

keabsahan hukum tindakan benar warga negaranya. Pengadilan atau


putusan hakim adalah legalisasi resmi atas tindakan-tindakan haram rezim
otoritarian terhadap siapa saja yang tidak sejalan atau menentang rezim,
dan dengan cara itulah rezim otoritarian membela diri di hadapan dunia
bahwa si penentang rezim telah melawan hukum dan dinyatakan bersalah
oleh pengadilan. Praktik pengadilan terhadap mereka yang dituduh
melakukan tindakan melawan negara dengan tuduhan subversif dalam
berbagai bentuk di era Orde Baru adalah contoh dari pengadilan demikian
itu.
62

Karena itu, dalam transisi politik dari rezim otoritarian ke demokrasi,


kedudukan kekuasaan kehakiman selalu mendapatkan perhatian utama
untuk dibenahi, karena aspek ini menjadi salah satu indikator utama untuk
menilai apakah transisi rezim di suatu negara bergerak ke demokrasi atau
tidak.
Dalam transisi politik di Indonesia pasca Orde Baru, memang
terdapat perubahan mendasar kedudukan kekuasaan kehakiman di dalam
UUD 1945 yang baru yang menandakan adanya transisi rezim ke
demokrasi secara signifikan. Perubahan dimaksud dimuat dalam Pasal
24A ayat (1) yang menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Ayat (2)-nya menyatakan, kekuasaan
kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, tetapi
juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Di luar itu, dalam Pasal 24B ayat (1) terdapat pula lembaga negara
baru yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Substansi yang dimuat dalam rangkaian Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945
itu menegaskan dan menjamin tiga dimensi kekuasaan kehakiman, yaitu:
Pertama, dimensi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam lingkungan
peradilan di bawah Mahkamah Agung. Kedua, dimensi kekuasaan
kehakiman lain oleh Mahkamah

Konstitusi,

dan

Ketiga,

dimensi

kekuasaan kehakiman dalam rangka mengusulkan pengangkatan hakim

63

agung dan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat


serta perilaku hakim.
Makna Independensi
Independensi bukan pemberian hukum atau negara, tapi otomatis
melekat semenjak seseorang menjadi hakim. Independensi para pengadil
(hakim) sudah ada jauh sebelum hukum modern (hukum positif) lahir.
Pada mulanya para pengadil itu dipercaya independen karena reputasi
pribadinya, bukan karena jaminan etik atau hukum. Setelah hukum positif
(hukum modern) menginstitusionalisasi sistem penegakan hukum, barulah
Negara dan hukum melegalisasi dan melegitimasinya sehingga prinsip
independensi memiliki kekuatan mengikat bagi hakim dan pihak lain.
Independensi dengan demikian bukan temuan baru yang dilekatkan
menjadi keharusan etis atau hukum pada hakim, tetapi build-in dalam diri
hakim. Kokoh tidaknya independensi hakim sangat tergantung pada
personality hakim bersangkutan. Hakim yang cacat moral dan/atau tidak
kompeten adalah hakim rapuh. Cacat moral, berarti tersandera atau tidak
merdeka karena kecacatannya. Tidak kompeten di bidangnya, berarti tidak
memiliki keyakinan keilmuan yang kuat sehingga mudah goyah. Agar
independensi dapat diemban dengan baik dan benar, hakim mutlak harus
mempunyai kekuatan moral dan intelektual yang tangguh sehingga
memiliki kendali pikiran yang bisa memberikan arahan dalam bertindak
menjalankan aktivitas kehakimannya. Menjadi hakim berarti menjadi
moralis dan penjaga moral, menjadi intelektual, menjadi cendekiawan
yang tidak pernah berhenti berpikir, menjaga kebersihan diri dan
memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

64

Independensi hakim merupakan syarat mutlak (conditio sine


quanon) tegaknya hukum dan keadilan yang harus mendapat jaminan
konstitusional yang kuat, sehingga hakim bebas dari pengaruh, bujukan,
tekanan, ancaman atau gangguan secara langsung atau tidak langsung
dalam melaksanakan tugas dan kewenangan peradilan.
Akuntabilitas dan Pengawasan
Sekalipun independensi syarat mutlak terbangunnya pengadilan
yang dapat dipercaya, tetapi prinsip tersebut bukanlah kekebalan
(imunitas).
dilaksanakan

Penggunaannya
dengan

baik,

harus

dapat

sumber

daya

dipertanggungjawabkan,
dipakai

secara

patut.

Independensi dibatasi oleh asas-asas umum berperkara yang baik, oleh


hukum materiil dan formil yang berlaku, kehendak para pihak yang
berperkara, komitmen moral dan ketuhanan para hakim, Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), nilai-nilai keadilan, serta pengawasan.
Tidak mungkin ada kekuasaan tidak terkontrol di era negara hukum dan
demokratis.

Independensi

tanpa

pengawasan

berpotensi

terjadi

manipulasi, menjadi jaket kebal hukum atau bungker kejahatan.


Independensi bukan cek kosong yang bisa semaunya dijalankan hakim. Ia
dibingkai oleh keharusan-keharusan untuk taat dan menjalankan perintah
agama, hukum, moral, etika dan perilaku. Semua itu adalah rambu-rambu
keharusan yang tidak boleh diabaikan hakim, sekaligus di situlah batasbatas pertanggungjawaban atas kemerdekaan yang diperoleh dan
dijalankan hakim.

65

Sejalan

dengan

hal

tersebut

untuk

menunjang

kekuasaan

kehakiman yang mandiri dan terciptanya independensi peradilan maka


perekrutan hakim agung mendapatkan perhatian utama. Terlepas dari itu
bapak Ibrahim ketua bidang pencegahan dan peningkatan kapasitas
hakim komisi yudisial mengatakan bahwa sistem perekrutan hakim agung
yang ada pada saat ini telah melalui beberapa seleksi atau tahapantahapan yang ketat dikomisi yudisial, hal yang paling penting dalam sistem
seleksi di komisi yudisial adalah kapasitas keilmuan dan integritas moral
sehingga calon hakim agung yang di ajukan oleh komisi yudisial ke
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan calon-calon yang sudah teruji akan
tetapi undang-undang mengamanatkan DPR untuk memilih sehingga ini
yang diharapkan, DPR dapat mempertanggung jawabkan pilihannya33.
Narasumber dari komisi yudisial menyebutkan bahwa kendala
dalam memperoleh hakim agung yang berkualitas kadang disebabkan
karena keengganan para potential candidate untuk menjalani seleksi
khususnya fit and proper test di DPR. Beberapa yang menjadi alasan
antara lain:
a. Pertanyaan yang kerap sebagai ajang untuk mempermalukan
seseorang.
b. Pertanyaan yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan dari tanya
jawab.
c.

Kompetensi dari anggota dewan dalam menilai seorang hakim agung.

33 Wawancara

dengan bapak Dr.Ibrahim,S.H.,M.H.,LL.M.-Ketua Bidang Pencegahan


Dan Peningkatan Kapasitas Hakim Komisi Yudisial, Rabu,02-10-13, Gedung Komisi
Yudisial

66

d. Relasi atau kedekatan hubungan dengan anggota DPR yang


ditengarai juga mempengaruhi hasil dari pemilihan.
Membandingkan kewenangan DPR dalam proses pemilihan calon
hakim agung dibandingan dengan kewenangan yang sama yang
dilaksanakan di beberapa negara sebagai pembanding sesungguhnya
kewenangan ini menimbulkan masalah dan kekhawatiran yang sama. Di
amerika serikat, perubahan model oppoinment ke election yang kemudian
berubah menjadi merit system, salah satunya dipicu oleh permasalahan
yang sesungguhnya timbul dari kewenangan lembaga perwakilan ini.
Begitu pula di belanda, kewenangan lembaga perwakilan yang awalnya
adalah menentukan calon hakim agung hasil seleksi dari mahkamah
agung, kemudian dimodifikasi. Daftar yang dibuat oleh mahkamah agung
diperkecil di dewan perwakilan, baru kemudian komisi pemilihanlah yang
menentukan 3 nama yang kemudian dipilih satu berdasarkan dekrit raja.
Kondisi ini agaknya harus diperhitungkan oleh DPR dalam
melakukan interprestasi ketentuan UU No. 22 tahun 2004 karena justru
menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi hasil dari pemilihan
hakim agung yaitu hakim agung yang berkualitas. Perlunya menganalisa
apakah mekanisme yang dilaksanakan oleh DPR sudah sesuai dengan
tujuan dari ketentuan undang-undang tersebut. Dan sejauh mana
sebenarnya kewenangan yang dapat dilakukan DPR dalam menentukan
hasil pemilihan . serta apakah hasil dari fit and proper test yang dilakukan
DPR

dapat

menjadikan

jaminan

akan

adanya

hasil

yang

baik

dibandingkan dengan mekanisme yang dilaksanakan oleh komisi yudisial.

67

C. Putusan Mahkamah Konstitusi Sebagai Yurisprudensi


Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang menarik dipaparkan
berkenan pembahasan permasalahan penelitian ini adalah putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 dalam perkara Pengujian
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang diajukan
para pemohon secara keseluruhan. Sebagaimana

duduk perkara,

pertimbangan hukumnya dan konklusi serta amar putusannya.


1. Tentang Duduk Perkara
Mekanisme pengangkatan hakim agung menurut Pasal 24A ayat (3)
UUD 1945 ditetapkan oleh Presiden setelah menerima calon hakim agung
yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam hal ini, DPR
dalam kapasitasnya sebagai representasi rakyat hanya memberikan
persetujuan atas calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial
(KY). Namun pengangkatan hakim agung yang demikian, telah diatur
secara menyimpang dalam undang-undang Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY). Padahal UU MA dan UU
KY merupakan Undang-Undang yang sejatinya dimaksudkan sebagai
pelaksanaan dari Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 tersebut. Menurut Pasal 8
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY, DPR
bukan memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang
diusulkan oleh KY sebagaimana yang diatur dan dikehendaki oleh UUD
1945, tetapi melakukan pemilihan terhadap calon hakim agung tersebut.
Pengaturan oleh kedua Undang-Undang tersebut bukan hanya melanggar
konstitusi dan menimbulkan ketidakpastian hukum, tapi juga memaksa KY
untuk mengajukan calon hakim agung melebihi jumlah lowongan hakim
agung yang dibutuhkan. Disamping itu pemilihan calon hakim agung oleh
DPR juga berpotensi menganggu independensi calon hakim agung yang
68

bersangkutan karena mereka dipilih oleh DPR yang nota bene adalah
lembaga politik. Adapun bagi para Pemohon, pengaturan yang demikian
melanggar atau setidaknya-tidaknya berpotensi melanggar hak
konstitusional para Pemohon. Bahwa oleh sebab itu, mekanisme
pengangkatan hakim agung dibawah UU MA dan UU KY harus
dikembalikan kepada perintah konstitusi demi terdapatnya kepastian
hukum dan terlindunginya independensi peradilan dalam negara hukum
Indonesia.
Bahwa permohonan para Pemohon ini adalah permohonan pengujian
terhadap Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA dan Pasal 18 ayat
(4) UU KY terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Oleh sebab itu, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk
memeriksa dan mengadili permohonan a quo.
2. Pertimbangan Hukum
Menimbang bahwa maksud dan tujuan dari permohonan para
Pemohon adalah memohon pengujian konstitusionalitas Pasal 8 ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU MA) dan Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya
disebut UU KY), terhadap Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945);
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu
akan mempertimbangkan:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; dan
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo;
Menimbang bahwa terhadap permasalahan konstitusional yang
diajukan oleh para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan
sebagai berikut:
Bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menentukan, Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Norma konstitusi tersebut
menegaskan dan memberi jaminan konstitusional kemerdekaan
pelaku kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan peradilan
untuk menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman
yang merdeka melekat baik pada lembaga peradilan sebagai
institusi maupun pada hakim, termasuk hakim agung dan hakim
69

konstitusi sebagai individu-individu yang menjalankan kekuasaan


kehakiman. Salah satu cara untuk menjamin independensi lembaga
peradilan maupun hakim, UUD 1945 mengatur sedemikian rupa
proses dan mekanisme pengisian jabatan hakim agung, yaitu
dengan menyerahkan pengusulan calon hakim agung kepada
suatu organ konstitusional yang independen yaitu KY yang
dibentuk berdasarkan UUD 1945. Latar belakang pemberian
kewenangan pengusulan calon hakim agung kepada KY, tidak
terlepas dari pengalaman pengangkatan hakim agung sebelum
perubahan UUD 1945 berdasarkan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menentukan bahwa
hakim agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari
calon yang diusulkan oleh DPR yaitu diusulkan masing-masing dua
calon untuk satu posisi hakim agung. Mekanisme tersebut
dianggap tidak memberi jaminan independensi kepada hakim
agung, karena penentuan hakim agung akan sangat ditentukan
oleh Presiden dan usul DPR yang kedua-duanya adalah lembaga
politik. Perubahan UUD 1945 dimaksudkan, antara lain,
memberikan jaminan independensi yang lebih kuat kepada hakim
agung, dengan menentukan mekanisme pengusulan hakim agung
yang dilakukan oleh suatu lembaga negara yang independen pula,
sehingga pengaruh politik dalam proses penentuan hakim agung
dapat diminimalisasi. Dalam hal ini, UUD menghendaki adanya
peran minimal kekuatan politik dari lembaga politik untuk
menentukan hakim agung, agar hakim agung benar-benar
independen.
Bahwa dalam putusan Mahkamah Nomor 005/PUU-IV/2006,
tanggal 23 Agustus 2006, Mahkamah mempertimbangkan, antara
lain, ... di samping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama,
atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti
dimaksud di atas, dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembagalembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya seperti Komisi
Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, bank
sentral, komisi pemilihan umum, dewan pertimbangan presiden,
dan sebagainya. Namun, pengaturan lembaga-lembaga tersebut
dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan
lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945
tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam
pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga utama (main
organs). Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah
menjalankan salah satu fungsi kekuasaan negara sebagaimana
yang secara universal dipahami. Sebagai komisi negara, sifat tugas
Komisi Yudisial terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu
dalam hubungan dengan pengangkatan hakim agung dan
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Oleh karena
itu, keberadaan komisi negara yang demikian biasa disebut
sebagai auxiliary state organs atau auxiliary agencies yang
70

menurut istilah yang dipakai oleh Soetjipno sebagai salah seorang


mantan anggota PAH I BP MPR dalam persidangan Mahkamah
Konstitusi pada tanggal 10 Mei 2006, Komisi Yudisial merupakan
supporting element dalam sistem kekuasaan kehakiman (vide
Berita Acara Persidangan tanggal 10 Mei 2006). Namun, oleh
karena persoalan pengangkatan hakim agung dan persoalan
kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim itu dianggap
sangat penting, maka ketentuan mengenai hal tersebut
dicantumkan dengan tegas dalam UUD 1945. Kedudukan Komisi
Yudisial ditentukan pula dalam UUD 1945 sebagai komisi negara
yang bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan, dan
keanggotaannya diatur dengan undang-undang tersendiri,
sehingga dengan demikian komisi negara ini tidak berada di bawah
pengaruh Mahkamah Agung ataupun dikendalikan oleh cabangcabang kekuasaan lainnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
kedudukan KY yang mandiri sebagai suatu komisi negara yang
tidak berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun tidak
dikendalikan oleh cabang kekuasaan negara lainnya menjadi
sangat penting untuk menentukan calon hakim agung;
Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, pada konsiderans
(Menimbang), huruf b menyatakan, Komisi Yudisial mempunyai
peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman
yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan
terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku
hakim;
Bahwa peranan penting KY dalam usaha mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka seperti yang tercantum dalam UU KY
tersebut di atas, mempunyai wewenang dan tugas yang ditentukan
dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU KY sebagai berikut:

Pasal 13
Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan;
b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim;
c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau
Pedoman Perilaku Hakim.

71

Pasal 14
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a. melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.

Bahwa dalam hal menjaring calon hakim agung, KY melakukan


serangkaian seleksi administrasi dan seleksi terhadap kualitas dan
kepribadian seperti yang ditentukan dalam Pasal 15 sampai
dengan Pasal 18 UU KY yang juga ikut melibatkan masyarakat.
Dari ketentuan tersebut di atas, sangat jelas KY mempunyai tugas
yang berat dalam menjaring calon hakim agung yang berkualitas
yang diyakini mempunyai integritas yang tinggi terhadap
penegakan hukum dan keadilan di Indonesia;
Bahwa penjaringan calon hakim agung melalui seleksi yang sangat
ketat yang dilakukan oleh KY dalam mencari hakim agung yang
berintegritas dan berkualitas, menurut Mahkamah telah sesuai
dengan yang diamanatkan oleh UUD 1945 khususnya Pasal 24A
ayat (2) yang menyatakan, Hakim agung harus memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum.
Bahwa pengusulan calon hakim agung kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan, Calon hakim
agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan
sebagai hakim agung oleh Presiden, merupakan pengusulan calon
hakim agung yang sudah melalui proses penyeleksian yang sangat
ketat sebagaimana yang telah diuraikan di atas, namun hal tersebut
tidak sinkron ketika pengaturan lebih lanjut dari Pasal 24A ayat (3)
UUD 1945 tersebut yaitu dalam Pasal 8 ayat (2) UU MA yang
menyatakan, Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon
yang diusulkan oleh Komisi Yudisial, karena DPR sebagai
lembaga politik bukan lagi memberikan persetujuan kepada calon
hakim agung yang diusulkan oleh KY, namun DPR memilih nama
calon hakim agung yang diusulkan KY tersebut, yang kemudian
melakukan fit and proper test seperti yang sudah dilakukan oleh
KY, ditambah lagi dengan wawancara yang dilakukan oleh DPR
terhadap calon hakim agung untuk menguji penguasaan ilmu
hukumnya;
Bahwa dalam risalah pembahasan perubahan UUD 1945,
khususnya mengenai pembentukan KY dapat dibaca dengan jelas
bahwa tujuan pembentukan KY yang mandiri adalah dalam rangka
melakukan rekrutmen terhadap hakim agung yang akan diusulkan
72

kepada DPR untuk disetujui dan ditetapkan oleh Presiden. Hal


tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Agun Gunanjar Sudarsa
(anggota PAH 1 BP MPR) dalam Rapat Pleno ke-38 PAH I BP
MPR, tanggal 10 Oktober 2001, antara lain menyatakan, ... dalam
Pasal 24B ini, kami menyatakan bahwa hakim agung diangkat dan
diberhentikan dengan persetujuan DPR atas usul Komisi Yudisial.
Nah, sehingga dengan kata-kata dengan persetujuan DPR, DPR
itu tidak lagi melakukan fit and proper test, DPR tidak lagi
melakukan proses seleksi, tetapi DPR hanya memberikan
persetujuan atau menolak sejumlah calon hakim agung yang
diusulkan Komisi Yudisial. Kembali kami menekankan, agar
kekuasaan kehakiman yang merdeka itu tidak terintervensi oleh
kepentingan-kepentingan politik. Catatan risalah perubahan UUD
1945, menjelaskan dengan sangat gamblang makna dan
kandungan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan,
Hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan
sebagai hakim agung oleh Presiden. Dengan demikian, posisi
DPR dalam penentuan calon hakim agung sebatas memberi
persetujuan atau tidak memberi persetujuan atas calon hakim
agung yang diusulkan oleh KY, dan DPR tidak dalam posisi untuk
memilih dari beberapa calon hakim agung yang diusulkan oleh KY
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo. Hal itu
dimaksudkan agar ada jaminan independensi hakim agung yang
tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan politik atau cabang
kekuasan negara lainnya;
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
menurut Mahkamah, Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU MA, serta
Pasal 18 ayat (4) UU KY, telah menyimpang atau tidak sesuai dengan
norma Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, karena ketentuan tersebut telah
mengubah kewenangan DPR dari hanya memberikan persetujuan
menjadi kewenangan untuk memilih calon hakim agung yang diajukan
oleh KY. Demikian juga, ketentuan dalam kedua Undang-Undang a quo,
yang mengharuskan KY untuk mengajukan tiga calon hakim agung untuk
setiap lowongan hakim agung, juga bertentangan dengan makna yang
terkandung dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945. Agar ketentuan kedua
Undang-Undang a quo, tidak menyimpang dari norma UUD 1945, menurut
Mahkamah kata dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam Pasal 8
ayat (2) dan ayat (3) harus dimaknai disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat serta kata pemilihan dalam ayat (4) UU MA harus dimaknai
sebagai persetujuan. Demikian juga frasa 3 (tiga) nama calon yang
termuat dalam Pasal 8 ayat (3) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY
harus dimaknai 1 (satu) nama calon, sehingga calon hakim agung yang
diajukan oleh KY kepada DPR hanya satu calon hakim agung untuk setiap
satu lowongan hakim agung untuk disetujui oleh DPR;
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan tersebut
di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan menurut
hukum.
73

3. Konklusi
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana
diuraikan diatas, Mahkamah berkesimpulan:
1. Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
2. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
3. Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
serta Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
4. Amar Putusan
4.1 Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
4.1.1 Kata dipilih dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai disetujui;
4.1.2 Kata dipilih dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak

74

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai


disetujui;
4.1.3 Kata Pemilihan dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sepanjang tidak dimaknai persetujuan;
4.1.4 Kata Pemilihan dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung tidak mempunyai
kekuatan

hukum

mengikat

sepanjang

tidak

dimaknai

persetujuan;
4.1.5

Frasa 3 (tiga) nama calon dalam Pasal 8 ayat (3) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai 1 (satu) nama
calon;

4.1.6

Frasa 3 (tiga) nama calon dalam Pasal 8 ayat (3) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai 1 (satu) nama calon;

75

4.1.7

Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung selengkapnya
menjadi: (2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial. (3) Calon hakim agung yang
diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 1
(satu) nama calon untuk setiap lowongan. (4) Persetujuan calon
hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal nama
calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.

4.2

Frasa 3 (tiga) calon dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang


Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai 1 (satu) calon;

4.3 Frasa 3 (tiga) calon Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18


Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 1 (satu) calon;
4.4 Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial selengkapnya menjadi, Dalam jangka waktu paling

76

lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak berakhirnya seleksi uji


kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial
menetapkan dan mengajukan 1 (satu) calon hakim agung kepada
DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung dengan tembusan
disampaikan kepada Presiden.
4.5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya;

77

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan

pembahasan

hasil

penelitian

ini,

maka

dapat

dikemukakan beberapa kesimpulan dari permasalahan yang dibahas:


1. Proses perekrutan hakim agung sebagaimana yang dinyatakan dalam
pasal 24A ayat (3) UUD RI 1945 melibatkan tiga lembaga, Komisi
Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Presiden. Pada pasal
tersebut persetujuan yang dilakukan oleh DPR tidak disebut secara
tegas sebagai makna memilih, akan tetapi kewenangan DPR dalam
melakukan proses perekrutan hakim agung substansinya tercantum
pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang Komisi Yudisial dan Pasal 8 ayat (2) (3) (4) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Adapun mekanisme
persetujuan dalam hal pengangkatan pejabat publik atau dalam hal ini
perekrutan hakim agung di atur dalam Pasal 6 huruf p dan Pasal 191
ayat (1) dan (2) pada tata tertib DPR. Dalam hal melakukan
persetujuan tersebut mekanismenya secara eksplisit dijelaskan pada
Bab XVII tata tertib DPR.
2. Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yakni putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 dalam perkara Pengujian UndangUndang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
78

1945 menghapuskan kewenangan DPR dalam memilih calon hakim


agung sehingga kewenangan DPR hanya menyetujui dengan tetap
memperhatikan tata tertib DPR.
3. Pada putusan tersebut juga mengubah mekanisme pengajuan calon
hakim agung ke DPR yang awalnya Komisi Yudisial menetapkan dan
mengajukan 3 (tiga) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1
(satu) lowongan hakim agung, pada putusan tersebut Komisi Yudisial
menetapkan dan mengajukan 1 (satu) calon hakim agung kepada
DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka penulis memberikan saran
sebagai berikut:
1. Hakim adalah pejabat negara yang merdeka dan independen dalam
melaksanakan tugasnya sehingga lembaga perekrut Hakim Agung
harusnya adalah lembaga yang merdeka dan independen jauh
daripada kepentingan politik. Kewenangan DPR yakni menyetujui atau
tidak menyetujui (political selection) calon Hakim Agung yang
diusulkan

Komisi

Yudisial

diharapkan

dilaksanakan

dengan

mekanisme khusus dan memberikan alasan yang jelas (reasoning)


jika DPR tidak menyetujui calon yang di usulkan oleh Komisi Yudisial.
Hal ini semata-mata agar ada jaminan independensi hakim agung
yang tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan politik atau cabang
kekuasan negara lainnya.

79

2. Untuk dapat duduk sebagai Hakim Agung sebaiknya para calon


Hakim Agung haruslah memiliki rekam jejak yang jelas mengenai
integritas perilakunya, mengenai prestasi dan capaian-capaian yang
dihasilkannya

selama

karir

dan

pengalamannya

di

bidang

pembangunan hukum dan penegakan hukum, khususnya di bidang


peradilan.
3. Hendaknya Komisi Yudisial mesti mampu terus memperbaiki pola
perekrutan hakim agung. Dengan diserahkannya kewenangan untuk
menyeleksi calon Hakim Agung ke Komisi Yudisial diharapkan
mekanisme yang ada pada saat ini harus terus mengalami
peningkatan. Hal ini perlu dilakukan untuk melahirkan para calon
hakim yang kapabel, berintegritas, dan berkualitas.

80

DAFTAR PUSTAKA

Buku
A.Ahsin Thohari, 2004, Komisi Yudisial Dan Reformasi Peradilan,
ELSAM Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
Hans Kelsen, 2010, General Theory Of Law And State, Russel And
Russel, New York, 1971 (Diterjemahkan Oleh Raisul
Muttaqien), Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara,
Penerbit Nusa Media, Bandung.
Idul Rishan, 2013, Komisi Yudisial Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa
Peradilan, Genta Press, Yogyakarta.
Jimly Asshiddiq, 2005, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Konstitusi Press, Jakarta.
____, 2006, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteran Mahkamah
Konstitusi, Jakarta.
____, 2007, Konstitusi Dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer,
The Biography Institute, Bekasi.
____, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta.
Mexsasai Indra, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, PT.
Refika Adiatma, Bandung.
Miriam Budiarjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Munir Fuadi, 2009, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama.
Romi Librayanto, 2008, Trias Politika Dalam Struktur Ketatanegaraan
Indonesia, Pukap Indonesia.
Romi Librayanto, 2009, Ilmu Negara Suatu Pengantar, Refleksi,
Makassar.
Sadjijono,

2008, Memahami Beberapa Bab Pokok


Administrasi, Lakbang Pressindo, Yogyakarta.

Hukum

Titik Triwulan Tutik, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia


Pasca Amandemen UUD 1945, Cerdas Pustaka Publisher.
Zainal Arifin Hoesein, 2009, Judicial Review Di Mahkamah Agung RI,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

81

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Tentang Tata
Tertib
Jurnal dan Sumber Lainnya
Putusan MK Perkara No. 27/PUU-XI/2013
Lihat,Http://Jimly.Com/Makalah/Namafile/65/Pokok_Pikiran_Tentang_Pen
yempurnaan_Sistem.Pdf, Diakses Tanggal17 Juni 2013
Lihat,Http://Komisiyudisial.Go.Id/Statis-14-Sejarah-Pembentukan.Html,
Diakses 16 Juni 2013

82

Anda mungkin juga menyukai