Anda di halaman 1dari 140

SKRIPSI

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENGHAPUSAN DESA

Oleh:

MUHAMMAD REZA MURTI

B11114350

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018
HALAMAN JUDUL

ANALISIS HUKUM TERHADAP PENGHAPUSAN DESA

Oleh

Muhammad Reza Murti

B 111 14 350

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana

pada Departemen Hukum Tata Negara

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2018

i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Muhammad Reza Murti

Nomor Induk Mahasiswa : B111 14 350

Jenjang Pendidikan : S1

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Terhadap

Penghapusan Desa” adalah BENAR merupakan hasil karya saya sendiri,

bukan merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian

atau keseluruhan isi skripsi ini hasil karya orang lain atau dikutip tanpa

menyebut sumbernya, maka saya bersedia menerima sanksi atas

perbuatan tersebut.

Makassar, 4 Juni 2018

Muhammad Reza Murti

iii
ABSTRAK
MUHAMMAD REZA MURTI (B111 14 350), Analisis Hukum Terhadap
Penghapusan Desa, di bawah bimbingan Marwati Riza selaku
Pembimbing I (Satu) dan Anshori Ilyas selaku Pembimbing II (Dua).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penghapusan desa berdasarkan


peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk mengetahui pula
tentang implikasi hukum dari penghapusan desa.
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, penelitian ini
dilakukan berdasarkan pendekatan peraturan perundang-undangan dan
pendekatan konseptual serta dipadukan dengan pendekatan kasus
khususnya penghapusan desa yang terjadi setelah berlakunya Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yakni penghapusan desa di
Kabupaten Sumedang akibat pembangunan waduk Jatigede sebegai salah
satu program nasional yang strategis.
Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1) Penghapusan desa
termasuk dalam penataan desa sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Terdapat klausul
tujuan penataan desa yang menjadi suatu kaedah hukum yang seharusnya
dilakukan (das sollen) akan tetapi terdapat ketidaksesuain ketika kaedah
hukum tersebut dihadapkan dengan penghapusan desa (das sein) karena
penghapusan desa tidak berorientasi pada tujuan penataan desa tersebut.
Disisi lain, alasan hukum penghapusan desa yang bersifat subjektif
menjadikan peran desa dalam penghapusan desa tereduksi. 2)
Penghapusan desa telah melahirkan implikasi hukum yang tidak
berkesesuaian dengan nilai kepastian, keadilan, serta kebergunaan yang
hendak dicapai dalam tujuan penataan desa. Hal tersebut tercermin dalam
pengelolaan keuangan desa dan Badan Usaha Milik Desa yang mengalami
kekosongan hukum setelah penghapusan desa serta tidak terpenuhinya
hak masyarakat desa subyek hukum penyandang hak khususnya hak
kolektif yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia.

Kata Kunci: Penghapusan Desa, Tujuan Penataan Desa , Pengaturan


Desa, dan Implikasi Hukum.

vi
ABSTRACT

MUHAMMAD REZA MURTI (B111 14 350) Legal Analysis of Village


Elimination, supervised by Marwati Riza as the first supervisior and
Anshori Ilyas as the second supervisior.

This research is aimed to understand how elimination of village based of


laws and regulation enactment and also to understand how legal implication
elimination of village.

This research is using normative legal research, this research was


conducted based on the approach of laws and regulations and conceptual
approach and combined with the case approach especially the elimination
of the village that occurred after the enactment of Law Number 6 Year 2014
About Village is the elimination of the village in Sumedang Regency due to
the construction of Jatigede dam as one of the national strategic program.

The result that obtained is: 1) Elimination of village included in the


arrangement of the village as regulated in Law Number 6 Year 2014 About
the Village. The existence of several points about the goal of village
arrangement makes every village arrangement including the elimination of
the village always oriented towards that goal. However, village elimination
is not included in the village arrangement if it is based on the objectives of
village planning to be achieved, where there is a discrepancy between the
objectives of village arrangement and the legal implications of village
erasure. 2) village elimination has a legal implication result that are not
equivalent to the value of certainty, justice and the usefulness to be
achieved in the goal of village arrangement. This is reflected in the
management of village finances and the Village Owned Enterprises that
have legal vacancies after the elimination of the village and the non-
fulfillment of the villagers' rights as the subject of the law of the person with
the rights, especially the collective rights that have been guaranteed in the
Constitution of the Republic of Indonesia.

Keywords: elimination of Village, objectives of village, relegation of village,


legal implication.

vii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin. Pengantar terbaik penulis haturkan

kepada segala puji hanya milik Allah Pemelihara Alam Semesta yang tidak

henti-hentinya melimpahkan nikmat dan karunia yang telah diberikan

kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Analisis Hukum Terhadap Penghapusan Desa”. Tidak lupa pula

shalawat dan salam terhaturkan kepada baginda Rasulullah Muhammad

Shallallahu ‘alaih wa Sallam beserta kepada seluruh kerluarga dan sahabat-

sahabatnya dan tabi’ut tabi’in.

Penyelesaian skripsi ini merupakan suatu proses keilmuan dalam

lingkungan akademik serta menjadi satu dari sekian syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin sehingga melewati rangkaian syarat ini menjadi suatu

kebahagiaan dan kebanggan tersendiri bagi Penulis. Namun keberhasilan

ini tidaklah tercapai oleh Penulis dengan sendirinya, melainkan terdapat

beberapa pihak yang memiliki kontribusi nyata dalam menyelesaikan

perkuliahan serta tugas akhir ini.

Hingga pada akhirnya, penyampaian terima kasih kepada beberapa

sosok yang telah mendampingi upaya penulis patut dimuat secara tertulis

dalam kata pengantar ini. Terkhusus kepada kedua orang tua penulis

Ayahanda Mursalin dan Ibunda Gusti sebagai penuntun paripurna, yang

telah membesarkan penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang,

segala bentuk doa dan dukungan yang senantiasa dicurahkan kepada

viii
setiap langkah hidup penulis karena sungguh tidak ada kecerdasan yang

lebih tinggi, amal yang sangat mulia, dan pahala paling agung dari diri

seorang peneliti sebagai muslim setelah beriman dan berjihad kecuali

senantiasa memuliakan kedua orang tua dan merawatnya hingga akhir

hayat. Selanjutnya kepada saudara penulis Nizar Nazri Murti serta nenek

Hasnah Kitta dan Rufian yang senantiasa memberikan motivasi dan

wejangan kepada penulis untuk berdiri tegak dalam menggapai impian

dunia dan akhirat.

Tidak lupa pula, penulis haturkan terima kasih serta penghormatan

setinggi-tingginya kepada Ibu Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si. dan

Bapak Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H. selaku pembimbing penulis dalam

penyelesaian tugas akhir ini. Pada kesempatan ini pula, penulis juga

menghaturkan rasa terima kasih dan penghornatan yang setinggi-tingginya

kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penelitian hingga

penulisan skripsi ini;

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Puluhubutu, MA. Selaku Rektor

Universitas Hasanuddin beserta staf dan jajarannya.

2. Ibu Prof. Dr. Farida Patitingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Bapak Prof. Dr.

Ahmadi Miru, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan I, Bapak Dr.

Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan II, serta

Bapak Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan

III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

ix
3. Bapak Prof. Dr. Aminuddin Ilmar, S.H., M.H. selaku Ketua

Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin.

4. Bapak Prof. Dr. A. Pangerang Moenta, S.H., M.H. , Bapak Prof.

Dr. Hamzah Halim., S.H., M.H. , dan Bapak Fajlurrahman Jurdi,

S.H., M.H. terima kasih atas kesediaannya dalam menguji Penulis

serta memberikan penilaian yang objektif dalam tugas akhir

penulis.

5. Bapak Prof. Dr. Bagir Manan, SH., M.H. yang telah meluangkan

waktu dalam membagi ikhtisar pemikirannya terkait pembahasan

tugas akhir penulis.

6. Ibu Lailani Sungkar, S.H., M.H. dosen pengajar Fakultas Hukum

Universitas Padjajaran yang telah bersedia membantu penulis

dalam memberikan informasi terkait penyusunan tugas akhir

penulis.

7. Bapak Ramli Rahim, S.H., M.H. selaku Penasihat Akademik (PA)

Penulis yang telah senantiasa bersedia memberikan arahan

dalam perencanaan studi di Fakultas Hukum Universitas

Hasanduddin.

8. Segenap Guru Besar dan Dosen Pengajar Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin, atas keikhlasan dan kesukarelaan

dalam menebar benih-benih kelimuan serta bimbingan yang telah

diberikan selama perkuliahan hingga penulis dapat

x
menyelesaikan jenjang strata satu di Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin.

9. Seluruh jajaran Pegawai/Staf Akademik Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin yang memiliki dedikasi tinggi dalam

proses administratif sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas

akhir sesuai dengan perencanaan.

10. Pengelola Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin, yang telah membantu dalam penelitian tugas akhir

penulis.

11. Jajaran Media Sumedang Tandang yang telah berkenan

memberikan akses informasi terkait tugas akhir peneliti.

12. Organisasi Asosiasi Badan Usaha Milik Desa se Indonesia

(BUMDESINDO) yang telah berkenan pula dalam memberikan

akses informasi terkait pembahasan tugas akhir peneliti.

13. Terima kasih kepada guru-guru penulis dari tingkat TK, SD, SMP,

hingga SMA yang telah mendidik dan mengajar penulis hingga

pada akhirnya dapat menempuh jenjang pendidikan tinggi.

14. Keluarga Besar Gerakan Radikal Anti Tindak Pidana Korupsi

(GARDA TIPIKOR) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

yang telah menjadi wadah bagi penulis dalam berorganisasi serta

media pengajaran sehingga pengalaman yang diperoleh menjadi

satu hal yang sangat berharga.

xi
15. Keluarga Besar Asosiasi Mahasiswa Anti Korusi Indonesia

(ASMAK Indonesia) yang telah menjadi wadah bagi penulis

untuk memberikan pemahaman pemberantasan korupsi yang

paripurna serta jejaring yang lebih luas bagi para pejuang anti

korupsi.

16. Keluarga Besar Komunitas Soppeng Membaca yang

mengajarkan tentang tekad akan budaya literasi kapan dan

dimanapun.

17. Keluarga Besar Lembaga Pengkajian dan Riset Khatulistiwa

(Lingkar Khatulistiwa) yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis dalam mengaktualisasikan latar belakang

keilmuan khususnya pengkajian dan penelitian terkait rancangan

peraturan daerah. Kepada Kakanda Onna Bustang, S.H.,

Kakanda Wahyu Hidayat Liwang, S.H. Kakanda Zulkifli Mukhtar,

S.H. Kakanda Sri Wahyuni S.H. Kakanda Ahmad Tojiwa Ram,

S.H. Kakanda Afdalis S.H. Kakanda Ulil Haq S.H. Kakanda

Muhammad Fajrin, S.H. Kakanda Muhammad Rayhan S.H. yang

telah mengajarkan pentingnya ilmu yang bermanfaat. Begitu pula

kepada Keluarga Besar Lembaga Pengkajian dan Penelitian

Nusantara (Lisan Nusantara) khususnya Kakanda A. Rachmat

Setiawan SH., M.H. dan Kakanda Haeril Akbar, S.H.

xii
18. Terima kasih kepada om Irfan Syamsul, S.H. dan tante Afriani M,

S.E. serta om Adnan dan Etta Eni yang telah menjadi sosok

pengganti orang tua bagi penulis selama di perantauan,

19. Saudara(i) penulis yang mengikrarkan diri tergabung dalam Ring

1 Ex GT Musthakim Algozaly, S.H. Rahmat Kurniawan, S.H. Nur

Fadly Hamka, S.H. Muhammad Fauzy Ashary, S.H. Ahmad

Syafaat, S.H. Bintang Maha Putra, S.H. Ahmad Fauzy, S.H. Farid

Muhammad, S.H. Fadhila Mukhtar, S.H. Nurul Syafika, S.H Siti

Hana Syafitri, S.H. Mastura Azizah, S.H. Aulia Inzana Tubagus,

S.H. serta terkhusus kepada Annisa Fadhila Rosadi, S.H. Terima

kasih atas keikhlasan dan kesediaannya untuk berjuang bersama

dalam meraih tujuan kehidupan serta telah mengajarkan kepada

penulis tentang arti kehidupan yang tidak hanya terfokus kepada

duniawi tapi berjuang bersama pula untuk akhirat.

20. Terima kasih kepada maha senior Onna Bustang, S.H. atas dasar

keikhlasan dan kasih sayangnya dalam menuntun serta

menyalurkan ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

21. Terima kasih kepada saudara Ahmad Yani, S.H. Musthakim

Algozaly, S.H. A. Muhammad Irvan Alamsyah, S.H. Asrullah, S.H.

yang telah menjadi sosok kompetitor dalam mengukur daya

keilmuan penulis.

22. Kepada koalisi “MoU” yang telah menjadi pemantik dan pencerah

dalam melihat segala kompleksifitas permasalahan bangsa.

xiii
Kepada Kakanda Muhammad Fazzlurahman Komardin, S.H.

Kakanda Imannul Yakin, S.H. Kakanda A. Muhammad Agil

Mahasin, S.H. Kakanda Ilman Bahri, S,H, Rahmat Kunriawan,

S.H. Mustakim Algozaly, S.H. Muhammad Fauzy Ahsary, S.H.

23. Terima kasih kepada sahabat-sahabat terbaik penulis DCF

Future, A. Anugrah Agung Syaifullah, Muhammad Teguh

Juniarsyah, A. Muhammad Agung Asqari, Irfandi Amiruddin serta

Rika Juliastri yang telah sukses disetiap bidang yang digelutinya.

24. Kelurga besar KKN Tematik Perbatasan Pulau Sebatik 2017

terkhusus kepada Posko Tanjung Karang. Bapak Kades A.anir,

Sekdes Kakanda Aliasman serta anggota posko Jumatang,

Silvana Herman, Muhammad Iqbal, Jamaluddin K, Adhe

Rahmatullah, Nurkhalik, Muhammad Nauval Farid Wahab, Nuranti

Anarkhis, Rezkya, Nadifa Putri Aisyah, Nursandrawali Gozul.

Terima kasih telah mengajarkan tentang arti pengabdian yang

sesungguhnya.

25. Tim Fenomenal Safri Nugraha Kompetisi Legal Drafting

(Perancangan Undang-Undang) Piala Prof. Erman

Rajagukguk Sciensational Fakultas Hukum Universitas

Indonesia 2016. Kepada Kakanda Muhammad Agil Mahasin,

S.H. Ahmad Yani, S.H. Mustakim Alghozaly, S.H. Alvira Aslam,

S.H. serta official yang luar biasa Aulia Inzana Tubagus, S.H.

xiv
terima kasih telah menjadi sosok yang paling berpengaruh dalam

menjuarai piala termahsyur bagi penulis.

26. Tim Legal Drafting Constitutional Law Fest Fakutas Hukum

Univeristas Brawijaya Malang 2017. Kakanda Imannul Yakin,

S,H. Ahmad Yani, S.H. Mustakim Alghozaly, S.H. Sri Hasrina,

serta official Ayu Nur Annisa Yasin. Terima kasih telah kembali

mempercayai penulis dalam bertarung di kompetisi nasional.

27. Tim Legal Drafting Law Fair Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta 2018. Ahmad Yani S.H. Mustakim Algozaly, S.H

Alvira Aslam S.H. Adinda Ramdan dan Adinda Uci yang telah

menjadi official tim.

28. Delegasi National Mootcourt Competition Piala Prof.

Seodarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 2015.

Khususnya kepada kakanda Ahmad Maulana, S.H., Kakanda A.

Hidayat Nur Putra, S.H., Kakanda Ahmad S.H. Terima kasih telah

mengajarkan kepada penulis tentang landasan teoritis serta

praktik peradilan serta ilmu yang bermanfaat lainnya.

29. Terima Kasih kepada TIM Program Hibah Bina Desa (PHBD)

Kemenristekdikti Tahun 2017 serta Tim Ekspedisi Nusantara

Jaya (ENJ) Kemenkokemaritiman Tahun 2017 yang telah

mengajarkan pentingnya pengabdian untuk pembangunan

bangsa dan negara.

xv
30. Terima kasih kepada pemilik serta jajaran Warkop Khatulistiwa

yang senantiasa menerima dan memahami segala kondisi

keuangan penulis khususnya dalam masa pengerjaan tugas akhir.

31. Terima kasih kepada Khaiffah Khairunnisa L, S.H., M.H. yang

telah bersedia membantu dan menjadi motivator penulis dalam

setiap aktivitas kehidupan penulis termasuk dalam penyelesaian

tugas akhir ini.

32. Seluruh pihak yang tutur andil dalam penyusunan tugas akhir ini

yang tidak dapat ditulis secara keseluruhan.

Dengan segala kerendahan hati, penyelesaian tugas akhir ini masih

terdapat banyak kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu,

penulis senantiasa membuka ruang untuk kritik, saran, serta dialog dalam

khasanah dialektis demi perbaikan tugas akhir ini. Hingga pada akhirnya,

penulis berharap dengan selesainya tugas akhir ini semoga mampu

menjadi kontribusi nyata khususnya dalam pembangunan desa di

Indonesia.

Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Makassar, 4 Juni 2018

Muhammad Reza Murti

xvi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................................. iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... iv

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ................................................. v

ABSTRAK .......................................................................................................... vi

ABSTRACT ........................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xvii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xix

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................... 12

C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 12

D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 14

A. Negara Kesatuan ..................................................................................... 14

1. Konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia ................................. 18

2. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah .......................................... 22

3. Kedudukan Desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia ......... 26

3.1 Era Kerajaan ............................................................................... 26

3.2 Era Kolonial ................................................................................. 27

xvi
3.3 Era Kemerdekaan ....................................................................... 30

B. Tinjauan Umum Tentang Desa ................................................................ 41

1. Pengertian Desa ................................................................................ 41

2. Konsep Otonomi Desa ....................................................................... 45

3. Kewenangan Desa ............................................................................. 51

4. Penataan Desa .................................................................................. 55

C. Tinjauan Umum Tentang Penghapusan Desa .......................................... 59

1. Pengertian Penghapusan Desa ......................................................... 59

2. Kedudukan Pemerintah dalam Penghapusan Desa ........................... 60

3. Mekanisme Penghapusan Desa ........................................................ 62

BAB III Metode Penelitian ................................................................................. 67

A. Jenis Penelitian ........................................................................................ 67

B. Pendekatan Penelitian ............................................................................. 68

C. Jenis dan Sumber Bahan ......................................................................... 70

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................................ 70

E. Analisi Bahan Hukum ............................................................................... 71

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ...................................................... 72

A. Penghapusan Desa Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang

Berlaku ..................................................................................................... 72

1. Ketidaksesuaian Tujuan Penataan Desa dengan Penghapusan Desa 72

2. Alasan Hukum Penghapusan Desa .................................................... 79

3. Peran Desa Dalam Mekanisme Penghapusan Desa .......................... 85

B. Implikasi Hukum Penghapusan Desa ....................................................... 93

xvii
1. Masyarakat Desa ............................................................................... 94

2. Keuangan Desa ................................................................................. 101

3. Badan Usaha Milik Desa .................................................................... 105

BAB V Penutup ................................................................................................. 109

A. Kesimpulan .............................................................................................. 109

B. Saran ....................................................................................................... 110

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 112

LAMPIRAN ......................................................................................................... 118

xviii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbandingan Materi Muatan Penghapusan Desa di setiap

undang-undang yang pernah berlaku ................................................... 74

Tabel 2 Perbandingan Alasan Hukum Penghapusan Desa di setiap

undang-undang yang pernah berlaku ................................................... 76

Tabel 3 Daftar Pendapatan Asli Desa yang Mengalami Penghapusan

di Kabupaten Sumedang ...................................................................... 97

Tabel 4 Daftar BUMDES yang terdapat di desa yang mengalami

penghapusan di Kabupaten Sumedang ................................................ 107

xix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak dahulu desa digambarkan sebagai ibu kandung Negara

Indonesia. Pencerminan sebagai negara yang berasaskan gotong

royong dalam Pancasila merupakan cerminan perilaku dan modal

sosial dari masyarakat desa atau disebut dengan nama lain di horizon

Indonesia.1 Pidato Soepomo mengenai Negara Republik Indonesia

sebagaimana kemudian diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945,

“maka dalam membentuk Negara Republik Indonesia tersebut bangsa

Indonesia mendasarkan atas teori bernegara “Republik Desa”. Baik

mengenai hakekat Negara Indonesia yang didalamnya terkandung cita

negaranya, mengenai pembenaran adanya Negara Indonesia, maupun

mengenai tujuan Negara Indonesia, ternyata semua itu sama dengan

hakekat, pembenaran adanya, terbentuknya, dan tujuan dari desa.

Semua itu tentunya dalam lingkup yang jauh lebih besar dan dalam

konstelasi yang lebih modern, sesuai dengan zaman dan masa

diproklamasikannya Negara Republik Indonesia. 2

1
Rico Hermawan, Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia : Melihat Desa dari
Sudut Pandang Aturan Perundang-Undangan (Jurnal Desentralisasi Volume 13 Nomor 1 Tahun
2015). Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara: Jakarta.
2015. Hal 61.
2
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara, Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990. Hlm. 101-102.

1
Selanjutnya beliau dengan tegas ditulisnya bahwa, “the

emphasis on the village communities since they are essentially

Indonesia” (menekankan pada komunitas Desa bahwa mereka

adalalah esensinya Indonesia).3

Selain itu, keberadaan desa sebagai susunan asli telah memiliki

makna bahwa desa memiliki kesatuan masyarakat hukum tersendiri

yang telah terbangun sejak lama. Singkatnya desa diartikan sebagai

organisasi masyarakat adat atau desa adat yang mempunyai dan

mengelola hak asal-usul dan adat istiadat. Indonesia terlahir karena ia

memiliki suatu nyawa, suatu asas akal, yang tumbuh dalam jiwa rakyat

sebelumnya yang menjalani suatu kesatuan riwayat, yang

membangkitkan persatuan karakter dan kehendak untuk hidup

bersama dalam suatu wilayah geopolitik yang nyata.4 Hal demikian

membuat keberadaan desa sebagai suatu kesatuan masyarakat

dengan susunan yang asli telah memberikan peranan besar terhadap

lahirnya Negara Indonesia.

Kedudukan Desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Menurut sifat tata negara Indonesia yang asli, yang sampai zaman

sekarang pun masih dapat terlihat dalam suasana desa dimana para

3
Tulisan Prof. Soepomo saat mengisi kuliah di The Court of St. James, London, UK. Dikutip dalam
Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum (Pustokum), Soepomo Pergulatan Tafsir Negara Integralistik
(Biografi Intelektual, Pemikiran Hukum Adat, dan Konstitusionalisme, Thafa Media: Yogyakarta.
2015. Hlm 76.
4
Yudi Latif. Negara Paripurna. Cet. 4. Jakarta:Kompas Gramedia, 2012. Hal 371.

2
pejabat desa ataupun negara ialah pemimpin yang bersatu jiwa dengan

rakyat dan para pejabat negara senantiasa wajib memegang teguh

persatuan dan keseimbangan dalam masyarakatnya. Olehnya itu,

dalam tataran aspek filosofis konseptual, Desa menjadi landasan dan

bagian dari tata pengaturan pemerintahan diatasnya, serta menjadi

ujung tombak dalam setiap penyelanggaraan pemerintahan,

pembangunan dan kemasyarakatan.

Keberagaman karakteristik dan jenis Desa, atau yang disebut

dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa

(founding fathers) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara

kesatuan. Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu

terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia

tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan

kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak tradisionalnya. 5 Disisi lain, dalam kerangka negara

kesatuan, maka negara memiliki kepentingan terhadap desa yang pada

akhirnya melahirkan intervensi negara terhadap desa. Di Nusantara,

sepanjang sejarahnya, desa telah mengalami interaksi dengan

dan/atau intervensi oleh berbagai kebijaksanaan negara. Setidaknya,

hal ini telah dimulai sejak masa pemerintahan kerajaan, masa

penjajahan, hingga setelah munculnya Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

5
Ni’Matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa. Setara Press:Malang, 2015. Hal 210.

3
Secara historis, intervensi negara terhadap tatanan

pemerintahan desa telah terjadi semenjak masa kolonial Hindia-

Belanda dengan diberlakukannya Inlandse Gementee Ordonantie

(IGO). Ordonansi tersebut merupakan pelaksana dari ketentuan

Regering Reglemen (RR) yang memberikan pengakuan kepada desa

sebagai kesatuan masyarakat yang berbadan hukum.

Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, pengakuan

terhadap desa telah ada sejak awal kemerdekaan melalui Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan

Komite Nasional Daerah yang mengakui kewenangan otonom Desa

misalnya pada pemungutan pajak kendaraan dan rooiver gooningen.6

Sedangkan pengaturan desa secara konstitusional setelah

amandemen, berkaitan dengan pasal 18 UUD NRI Tahun 1945,

terdapat dua norma dasar yang dapat dijadikan acuan dalam

6
Tentang perkataan “di lain-lain daerah jang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri”. Ini
tambahan diadakan berhubung dengan perkataan “mengatur rumah tangga daerahnja” dalam
fatsal 2. Ketika kita merundingkan ini, kita menggambarkan daerah tersebut, tersusun menurut
faham decentralisatie wetgeving jang dulu, dengan mempunjai harta benda dan penghasilan
sendiri (eigen middelen). Dengan kefahaman itu nistjaya sukar sekali untuk merentjanakan
budgetnya, djika andaikata daerah dibawahnya kabupaten, umpama assitenan atau Desa djuga
dijadikan badan jang berautonomie dengan mempunyai “eigen middelen”. Nistjaja buat
ketmasilan: djika Desa telah memungaut padjak kendaraan dan rooiver gunningen dalam Desa
itu nistjaja saja Kabupaten tidak akan dapat memungut lagi padjak-padjak itu dari object dan
subject yang sama. Dan lagi pemerintah, pada waktu itu (seperti jang diutjapkan oleh Menteri
Kehakiman Prof. Soepomo) berkeberatan, bahwa bangunan-bangunan (adatinstituten) jang masih
dihargaia oleh penduduk Desa, akan dihapuskan oleh bangunan baru ini. maka dari sebab itu
begitulah Prof. Soepomo sebelumja hal ini harus diselidiki sedalam-dalamnja, sehingga kita dapat
gambaran jang terang tentang keadaan di Desa-Desa. Baiklah kita selidiki soal ini, djangan sampai
kecepatan unutk mengatur soal ini melahirkan akibat: kekalutan. Akan tetapi djika Rakjat memang
menghendaki bangunan baru ini, maka mereka diberi kesempatan untuk mengusulkan hal itu
kepada Menteri Dalam Negeri. Seperti diatas telah diterangkan: Desa aunotomie jang digambarkan
ini berlainan dengan adatrechtelijke autonomi. (Pendjelasan UU. No. 1 Tahun 1945 Bagian B huruf
C).

4
Pengaturan Desa, yaitu (a) norma dasar pemahaman konstitusi

terhadap Desa dalam konteks pemerintahan daerah sebagaimana

diatur dalam Pasal 18 ayat (7); dan (b) norma dasar pemahaman

konstitusi terhadap Desa dalam konteks kesatuan masyarakat hukum

adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B.

Dalam konteks Pasal 18 ayat (7) UUD NRI Tahun 1945,

Pemerintahan Desa mempunyai satu kesatuan dengan pemerintahan

daerah. Sedangkan dalam konteks Pasal 18B, makna kesatuan

masyarakat hukum adat adalah Desa atau dengan sebutan lain yang

beragam beserta hak-hak tradisionalnya.7 Dalam proses pembahasan

kedua pijakan yuridis konstitusional tersebut, Pasal 18 ayat (7) dan

Pasal 18 B ayat (2) mendapat tempat. Penjelasan Umum menyebutkan

bahwa dalam kaitannya dengan susunan dan penyelenggaraan

pemerintahan daerah setelah amandemen maka pengaturan desa atau

dengan nama lain merujuk pada pasal 18 ayat (7) UUD NRI Tahun 1945

yang menegaskan, “Susunan dan tata cara penyelanggaraan

pemerintahan daerah diatur dengan Undang-Undang”. Rumusan ini

menjelaskan bahwa UUD NRI Tahun 1945 membuka kemungkinan

adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Sedangkan pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat

7
Muhammad Yasin dkk, Anotasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Pusat Telaah
dan Informasi Regional (PATTIRO): Jakarta. 2015. Hlm 26.

5
dipertegas melalui ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

yang berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan


masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam Undang-Undang”.

Landasan konstitusional diatas telah menjadi dasar pengaturan

terhadap desa yang kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa yang selanjutnya disebut dengan Undang-

Undang Desa. Selanjutnya telah dirumuskan kedudukan Desa dalam

rumusan Pasal 5 Undang-Undang Desa yang merupakan bagian dari

kompromi atas perdebatan mengenai Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B

ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang telah menempatkan desa

berkedudukan dalam wilayah kabupaten/kota. Kompromi tentang

landasan konstitusional kedudukan desa memunculkan aturan tentang

asas rekognisi dan subsidiaritas8.

Asas Rekognisi melahirkan pengakuan terhadap

keanekaragaman kultural, sedangkan asas subsidiaritas terkait dengan

relasi hubungan antara negara dengan desa setelah didudukkan,

8
Asas rekognisi adalah asas yang terkait soal hak asal usul atas kehadiran desa. Asas rekognisi
memberikan pengakuan dan penghormatan kepada desa terhadap identitas desa, adat istiadat
yang berlaku, kebiasaan pengelolaan desa, sistem pranata sosial dan kearifan lokal yang
berkembang dan tumbuh di desa. Sedangkan Asas subsidiaritas berarti pemberian kewenangan
kepada desa untuk mengatur, mengelola dan memanajemeni permasalahan desa secara lokal.
Dengan asas ini desa bisa tentukan arah dan kebijakan pembangunan dengan perencanaan sendiri.
Satu desa, satu rencana, satu anggaran. Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa, bandingkan dengan Muhammad Yasin dkk,op.cit, 2015. Hlm 26.

6
dimana negara tidak lagi mengontrol desa secara penuh tapi harus

memposisikan desa itu sanggup mengelola dirinya sendiri. Konstruksi

pemerintahan desa yang dianut dalam Undang-Undang Desa adalah

konstruksi gabungan. Dengan demikian, asas rekognisi dan

subsidiaritas telah mengubah pendekatan kontrol atau pengendalian

negara terhadap desa, dimana telah menempatkan desa sebagai

subyek pembangunan dalam sistem pemerintahan.

Merupakan suatu hal yang tidak dapat dinafikkan bahwa

pandangan sebagian besar masyarakat terhadap Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa lebih tertuju kepada alokasi dana

desa yang sangat besar. Padahal isi dari Undang-Undang Desa tidak

hanya mengatur tentang keuangan desa tetapi telah mencakup seluruh

kompleksifitas kebutuhan desa itu sendiri.

Salah satu pengaturan dalam Undang-Undang Desa adalah

Penataan Desa.9 Upaya penataan desa merupakan suatu bentuk

penghormatan yang asasi terhadap masyarakat desa serta nilai-nilai

lokal, penghargaan yang benar-benar penuh dengan perasaan kasih

sayang terhadap pemberdayaan dalam masyarakat desa. Penataan

desa menjadi suatu bentuk perhatian terhadap kepribadian lokal dan

membentuk tuntutan terus-menerus agar nilai-nilai masyarakat desa

hendaknya jangan diabaikan tetapi dipahami dalam penataan desa.

9
Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa menjelaskan bahwa
penataan desa meliputi: pembentukan, penghapusan, penggabungan, perubahan status dan,
penetapan Desa.

7
Pemerintah bagaimanapun harus mengembangkan kepekaan terhadap

perbedaan-perbedaan, tujuan dan kebiasaan lokal.

Penataan desa sendiri memiliki tujuan yang terdapat dalam

Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

bahwa:

“Penataan desa bertujuan :


a. Mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintah Desa;
b. Mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa;
c. Mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
d. Meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa;dan
e. Meningkatkan daya saing desa.”

Penataan desa terdiri atas beberapa bagian, salah satu bagian

dari penataan desa adalah penghapusan desa. Penghapusan desa

merupakan pencabutan status desa yang ada karena unsur wilayah

dari desa tersebut telah hilang. Terdapat dua legal reasoning (alasan

hukum) untuk dapat melakukan penghapusan desa yaitu karena

bencana alam dan/atau kepentingan program nasional yang strategis.10

Tujuan hukum penataan desa sebagaimana yang telah

dikemukakan diatas, menjadi suatu kaedah hukum yang seyogyanya

dilakukan (das sollen), keseluruhan tujuan penataan desa merupakan

ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogyanya tercipta.

Namun, ketika kaedah hukum tersebut dihadapkan pada tataran

realitas penghapusan desa (das sein), terdapat suatu ketidaksesuaian

10
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

8
karena keseluruhan tujuan penataan desa hanya menjadi kaedah

hukum yang bersifat pasif jika tujuan penataan desa tersebut

dihadapkan dengan peristiwa hukum penghapusan desa yang menjadi

bagian dari penataan desa. Ketidaksesuaian tersebut disebabkan

karena penghapusan desa telah menafikkan ketentuan tujuan

penataan desa, sehingga merugikan desa serta unsur dalam desa yang

mengalami penghapusan yang tentunya bertolakbelakang dari tujuan

yang dikehendaki.

Ketidaksesuaian antara tujuan penataan desa dengan

penghapusan desa ketika dihadapkan dalam tataran realitas, maka

sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa, terdapat beberapa desa yang mengalami penghapusan oleh

pemerintah dalam rangka kepentingan nasional yang strategis.

Pembangunan waduk Jatigede di Jawa Barat yang mencakup wilayah

28 Desa dalam 5 Kecamatan serta 11.000 warga desa yang terkena

dampaknya termasuk 6 Desa yang mengalami penghapusan. Proses

pembangunan waduk berjalan sejak 1970-an dan selesai pada 2014,

dengan rencana penggenangan dan penghapusan desa pada 2015. 11

11
Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL FISIP UI). Makalah Kebijakan “Grand Design Tata Kelola Desa
yang Partisipatif, Adil, dan Sejahtera. Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia: Jakarta.
2016. Hlm 38. Pemberitaan lebih lanjut tentang pembangunan waduk jatigede serta masalah
hukumnya dapat dilihat di:
http://jabar.tribunnews.com/2016/01/14/6-desa-hilang-ditelan-jatigede-kepala-desa-dapat-
pesangon-rp-16-juta Diakses pada tanggal 5 Desember 2017
http://www.wartakini.co/2016/01/6-desa-tergenang-jatigede-diperlakukan-sesuai-uu-desa/
Diakses pada tanggal 5 Desember 2017
https://news.detik.com/berita/3006846/akankah-nama-28-desa-yang-terkubur-air-jatigede-
tinggal-sejarah Diakses pada tanggal 5 Desember 2017.

9
Pelaksanaan penghapusan desa sendiri telah melahirkan

permasalahan hukum yang berimplikasi merugikan kedudukan desa

serta masyarakatnya.

Pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah pusat menjadi

subjek dalam penghapusan desa karena penghapusan desa menjadi

wewenang pemerintah pusat.12 Dalam hal keterlibatan desa dalam

penghapusan desa, berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Desa

menjelaskan bahwa desa melakukan musyawarah desa yang

merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan

Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat

desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat stratgeis salah

satunya adalah penataan desa dalam penyelenggaraan Pemerintah

Desa. Dalam hal penataan desa, musyawarah desa hanya memberikan

pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota.13 Rekomendasi hasil musyawarah desa tentang

penataan desa tidak memiliki kekutan mengikat dan hanya sekedar

bahan pertimbangan kepada pemerintah yang memiliki kewenangan

dalam penghapusan desa. Disisi lain, desa baru dapat mengadakan

musyawarah desa terkait penghapusan desa setelah keluarnya

keputusan menteri tentang rekomendasi persetujuan penghapusan

desa yang berarti otonomi desa untuk melakukan self-governing

12
Pasal 42 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Penataan Desa.
13
Penjelasan Pasal 54 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

10
dikecilkan secara signifikan. Hal ini sama saja, hak untuk

memperjuangkan kedudukan desa dalam penghapusan desa oleh

masyarakat desa baru ada ketika telah keluarnya keputusan menteri

tentang rekomendasi persetujuan penghapusan desa.

Terkait implikasi hukum dari penghapusan desa, peraturan

perundang-undangan terkait belum secara memadai dalam

memberikan kepastian hukum bagi desa yang mengalami

penghapusan termasuk masyarakat desa serta bergantung dari politik

hukum pemerintah. Dalam realitas yang ada, tanggung jawab

pemerintah hanya sebatas kompensasi secara personal. Kompensasi

semestinya tidak hanya terbatas pada ganti rugi secara personal.

Kompensasi yang diberikan semestinya dilakuan secara kolektif

kepada seluruh warga, misalnya dengan melalui berbagai program

yang dimiliki pemerintah seperti penempatan lokasi baru untuk

dijadikan sebagai desa baru. Relokasi secara kolektif ini pada akhirnya

akan tetap mempertahankan kesatuan masyarakat desa yang selama

ini terjalin, termasuk mempertahankan kohesi diantara mereka sebagai

satu kesatuan masyarakat desa yang telah dijamin dalam konstitusi.

Ketidaksesuaian tujuan dari penataan desa dengan upaya

pemerintah pusat dalam melakukan penghapusan desa yang menjadi

bagian dari penataan desa akan berimplikasi terhadap kedudukan desa

dan keberlangsungan kehidupan masyarakat desa beserta hak-haknya

yang telah dijamin dalam konstitusi. Oleh karena itu penghapusan desa

11
akan menetukan maju mundurnya pengaturan desa itu sendiri, yang

berpengaruh pada maju mundurnya pemerintahan diatasnya sebagai

satu kesatuan sistem pemerintahan serta akan berpotensi

menghilangkan entitas NKRI. Hingga pada akhirnya, rangkaian

permasalahan diatas patut kemudian menjadi bahan kajian yang

bersifat ilmiah dalam khasanah akademis mengenai analisis hukum

terhadap penghapusan desa.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah penghapusan desa berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku ?

2. Bagaimanakah implikasi hukum dari penghapusan desa ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penghapusan desa berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku

2. Untuk mengetahui implikasi hukum dari penghapusan desa

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan

kontribusi terhadap pengembangan kajian hukum tata negara

khusunya pengembangan dalam pengkajian penghapusan desa di

Indonesia.

2. Manfaat praktis, diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi

bagi para praktisi hukum, terutama para perumus kebijakan terkait

12
penataan desa khususnya dalam merumuskan kebijakan tentang

penghapusan desa di Indonesia.

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Negara Kesatuan

Istilah “negara” sesungguhnya merupakan istilah yang

menerjemahkan (pemberi arti) kedalam Bahasa Indonesia mengenai

beberapa istilah asing seperti “staat” (Bahasa Belanda), “state” (Bahasa

Inggris), “d’etat” (Bahasa Prancis), “estado” (Bahasa Spanyol), “stato”

(Bahasa Italia). Istilah staat, state, ataupun d’etat ini sendiri secara

etimologis berasal dari istilah dalam Bahasa latin “status” atau “statum”

yang berarti menaruh dalam keadaan berdiri; membuat

sendiri;menempatkan berdiri. 14

Sedangkan istilah negara dalam Indonesia, menurut asal usul

kata berasa dari Bahasa Sansakerta “nagari” atau “nagara” yang berarti

“kota”. Akar pemahaman ini seirama dengan istilah negara kota (city

state) atau “polis” di zaman Yunani kuno. Keduanya memandang negara

sebagai areal yang sempit dengan kapasitas luas kota, dan ini

merupakan realita pada saat itu, dimana territorial kekuasaan suatu

negara hanya pada wilayah suatu komunitas masyarakat yang disebut

“polis”.15

14
Soetomo, Ilmu Negara, Surabaya: Usaha Nasional. 1993. Hlm 20.
15
Ibid. Hlm 21.

14
Pengertian negara pada umumnya telah dikemukakan oleh

beberapa ahli seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen16 dimana

negara adalah suatu tertib hukum. Tertib hukum yang timbul karena

diciptakannya peraturan-peraturan hukum yang menentukan bagaiman

orang di dalam masyarakat atau negara itu harus bertanggung jawab

terhadap perbuatan-perbuatannya. Sedangkan Harold J. Laski,17 negara

adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai

wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada

individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu.

(The state is a society which is integrated by possessing a coercive

authority legally supreme over any individu or group wich is part of the

society.

HRT. Sri Soemantri Martosoewignjo18, negara adalah organisasi

kekuasaan, karena di dalam setiap organisasi yang bernama negara

selalu dijumpai organ atau alat perlengkapan yang mempunyai

kemampuan untuk memaksakan kehendaknya kepada siapapun yang

bertempat tinggal dalam wilayah kekuasaannya. Sedangkan J.C.T

Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto19 menjelaskan bahwa negara

16
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakrta: Liberti. 2000.Hlm 140.
17
Harold J Laski, The Statein Theory and Practice, New York: The Viking Press, 1947. Hlm 8-9.
Lihat pula I Gde Panjta Astawa, Memahami Ilmu Negar dan Teori Negara, Refika Aditama:
Bandung. 2009. Hlm 5.
18
HRT. Sri Soemantri Martosoewignjo, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-Negara Asean,
Bandung: Tarsilo, 1976. Hlm 3.
19
J.C.T Simorangkir, Pelajaran Hukum Indonesia, Gunung Agung: Jakarta Cet X, 1961. Hlm 32.
Lihat pula I Gde Panjta Astawa, Memahami Ilmu Negar dan Teori Negara, Refika Aditama:
Bandung. 2009. Hlm 6.

15
adalah persekutuan hukum yang letaknya dalam suatu daerah tertentu

dan mempunyai kekuasaan tertinggi guna menyelenggarakan

kepentingan umum dan kemakmuran bersama.

Dalam tataran teoritis, sebagai suatu organisasi kekuasaan,

negara itu mempunyai bentuk (vorm) yang disebut sebagai bentuk

negara (staatvorm, forme de staat).20 Menurut Grabowsky21, bentuk

negara berkaitan dengan dasar negara, susunan, dan tertib suatu negara

berhubungan dengan organ tertinggi dalam negara itu dan kedudukan

masing-masing organ itu dalam kekuasaan negara. Sedangkan menurut

Bagir Manan,22 bentuk negara menyangkut kerangka bagian luar

organisasi negara, yang dibedakan antara bentuk negara kesatuan dan

bentuk negara federal.

Sri Soemantri Martosoewignjo23 yang mengklasifikasikan bentuk

negara atas; 1) negara federal atau serikat (federal state, bondstaat); dan

2) negara kesatuan (unitary state, eenheidstaat). Pangkal tolak

pemikiran pengklasifikasian negara berdasarkan bentuknya ini

didasarkan pada cikal bakal kekuasaan atau kewenangan (authority,

gezag) itu berasal. Apakah dari koloni negara bagian ataukah dari

20
I Gde Panjta Astawa, op.cit. Hlm 91.
21
F. isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung:Binacipta. 1992 Hlm 184. Lihat pula I Gde Panjta
Astawa, op.cit. Hlm 91.
22
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogkarta: Pusat Studi Hukum Universitas Islam
Indonesia. 1999. Hlm 1.
23
Sri Soemantri Martosoewignjo, Bentuk Negara dan Implementasinya Berdasarkan UUD NRI
tahun 1945, dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Ghalia
Indonesia: Jakrta. 1984. Hlm 39-40.

16
pemerintah pusat. Jika kekuasaan itu berasal dari negara-negara yang

berkumpul kemudian menyerahkan sebagian kewenangannya kepada

pemerintah federal yang baru dibentuk, maka bentuk negara yang

bersangkutan adalah negara federal. Sebaliknya apabila negara itu telah

terbentuk dan segala kekuasaan ataupun kewenangannya dipegang

oleh pemerintah pusat, yang selanjutnya menyerahkan sebagian

kewenangannya kepada daerah, maka bentuk negara dimaksud adalah

negara kesatuan.

Pendapat C.F Strong yang dikuti Miriam Budiardjo24, menyatakan

bahwa ciri mutlak yang melekat ada negara kesatuan ialah: pertama,

adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat, dan kedua tidak

adanya badan-badan lain yang berdaulat. Kekuasaan pemerintah dalam

suatu negara yang berbentuk kesatuan seperrti itu dapat

diselenggarakan dengan cara terhimpun/ditumpuk (gathered) secara

sentralisasi (centralized), sehingga segala urusan dalam negara terletak

di tangan pemerintah pusat (central government) dan semua

kewenangan pemerintah dilakukan oleh satu pusat pemerintahan (single

centralized government), atau oleh pusat bersama-sama dengan

organnya yang berada/dipencarkan di daerah-didaerah.25 Pemancaran

organ-organ yang menjalankan kewenangan pemerintah pusat di

daerah-daerah seperti itu, menurut Bagir Manan26 dikenal sebagai

24
Mririam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Cet. XVII, Gramedia: Jakarta. 1992. Hlm 273.
25
I Gde Pantja Astawa, op.cit. Hlm 100.
26
Ibid. Hlm 100.

17
dekonsentrasi (centralisatie met de deconcentratie), dimana semua

kewenangan menyelenggarakan pemerintahan daerah.

1. Konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia

Latar Belakang pengaturan bentuk negara Indonesia akan

ditinjau dari sejarah perumusan dalam UUD NRI Tahun 1945. Dalam

perumusan mengenai sistem ketetangeraan yang dituangkan dalam

UUD NRI Tahun 1945 telah terjadi suatu perdebatan diantara pada

pendiri bangsa, Muhammad Hatta memberikan salah satu buah

pemikirannya mengenai Indonesia merdeka haruslah berbentuk

Negara Federal. Menurutnya, negara federal lebih tepat untuk

bangsa Indonesia yang dikenala sangat majemuk, bukan negara

kesatuan (unitary state). Akan tetapi, setelah berdiskusi secara luas

mengenai bentuk negara,akhirnya tidak lagi bersikeras untuk

memperjuangkan bentuk negara federal. Alasannya karena

argumen-argumen dari kalangan pergerakan lainnya telah

meyakinkan Bung Hatta bahwa suatu Negara Kesatuan dengan

sendirinya dapat dikembangkan dengan tetap menjamin otonomi-

otonomi daerah yang tersebar diseluruh tanah air Indonesia yang

sangat luas dan majemuk.27

Seokarno dengan argumentasinya bahwa konsep negara

kesatuan diterapkan di negara Indonesia sebagai kelanjutan dari

27
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sinar Grafika: Jakarta. 2011. Hlm 212.

18
Nusantara yang pernah Berjaya di masa silam. Sedangkan Soeomo

lebih bersepakat dengan konsep negara Integral,karena menurutnya

bentuk negara Integralistik merupakan bentuk negara yang paling

ideal dan sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia. Adapun

konsep dan gagasan tentang terbentuknya negara kesatuan sendiri

jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.28 Hal itu demikian pernah

dikemukakan Yamin, bahwa

“Dasar unitarisme sejak Kongres Indonesia Muda (Sumpah

Pemuda) 28 Oktober 1928 membuang dasar federalisme dan

kebusukan rasa kepulauan atau kedaerahan (insularisem,

provincialisem) dan menanam kesatuan Indonesia atas dasar

persatuan bangsa, daerah tanah air dan Bahasa dibawah

lindungan satu bendera Merah-Putih.”29

Kongres pemuda yang dilaksanakan pada tanggal 28 Oktober

silam tersebut, merupakan pijakan pemikiran awal tentang konsep

negara kesatuan yang akan diterapkan dalam Negara Indonesia.

Hasil dari kongres tersebut telah melahirkan “Sumpah Pemuda” yang

memuat rasa kesatuan untuk berbangsa satu, bertanah air satu, dan

berbahasa satu Indonesia. Konsepsi kesatuan yang lahir dari

kongres tersebut merupakan hasil kompromi dari seluruh para

28
Ghufron, Tesis: Hubungan Antara Pemerintah Daerah dan Pemeritnah Desa dalam Konsep
Otonomi PASCA Reformasi Indonesia. Universitas Islam Indonesia: Yogyakarta. 2016. Hlm 49.
29
M. Yamin. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1951. Hlm 81.

19
pendiri bangsa waktu itu yang telah menampakkan sosok

negarawaran sejati.

Terlepas dari berbagai perdebatan yang lahir ketika

merumuskan bentuk negara Indonesia, UUD NRI tahun 1945 telah

memberikan pengaturan mengenai bentuk negara diatur dalam Bab

tersendiri. Dalam Pasal 1 ayat (1) dinyatakan ”Negara Indonesia

ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Mengenai bentuk

negara sebagaimana yang telah ditentukan dalam isi pasal tersebut,

tidak dikategorikan sebagai objek perubahan yang diatur

mekanismenya dalam Pasal 37 UUD NRI Tahun 1945. Dalam Pasal

37 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, dinyatakan: “Khusus mengenai

bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat dilakukan

perubahan”. Pasal ini jelas mengandung komitmen dan tekad bahwa

negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang

Dasar 1945, akan tetapi berbentuk Negara Kesatuan selamanya,

kecuali tentunya jika Majelis Permusyawaratn Rakyat pada suatu

hari mengubah lagi ketentuan Pasal 37 ayat (5) atau perubahan

terjadi bukan karena prosedur yang ditentukan sendiri oleh UUD NRI

Tahun 1945 (verfassung wandlung).30

Mengenai terminologi “kesatuan” dalam negara kesatuan,

Jimly Asshidiqie memberikan pandangan bahwa kesatuan yang

30
Jimly Asshidiqie, op.cit. Hlm 211-212.

20
bersifat persatuan harus dikembalikan kepada bunyi rumusan sila

ketiga dalam Pancasila yaitu, “Persatuan Indonesia”, bukan

“Kesatuan Indonesia” karena persatuan adalah istilah filsafat dan

prinsip bernegara, sedangkan kesatuan adalah istilah bentuk negara

yang bersifat teknis.31

Apabila dilihat dalam UUD NRI Tahun 1945 Pasal I ayat (1),

bahwa Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.

Sedangkan prinsip negara kesatuan ialah, bahwa yang memegang

tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah

pemerintahan pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan

kekuasaan kepada pemerintah daerah. Dalam negara kesatuan

terdapat asas bahwa seganap urusan-urusan negara tidak dibagi

antara pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal

(local government), sehingga urusan –urusan negara dalam negara-

negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan

pemegang kekuasaan tertinggi di negara tersebut ialah pemerintah

pusat.32

Dalam negara kesatuan, tanggungjawab pelaksanaan tugas-

tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan

pemerintah pusat. Akan tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang

salah satunya menganut asas negara kesatuan yang

31
Ibid. Hlm 213.
32
Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Grafindo Persada. 2005. Hlm 92.

21
didesentralisasikan, menyebabkan ada tugas-tugas tertentu yang di

urus sendiri, sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang

melahikan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan. 33

Mengetahui bentuk negara (staatvorm), maka dapat diperoleh

gambaran tentang susunan atau struktur umum suatu organisasi

negara secara keseluruhan, misalnya mengenai hubungan antara

pusat dan daerah , berikut sistem pemencaran kekuasaan

pemerintahan pada satuan-satuan pemerintahan daerah dalam

perspektif sistem pemerintahan negara pada bentuk negara


34
kesatuan (eenheidsstaatvorm). Kenyataan ini pulalah yang pada

pokoknya tercermin dalam perumusan Pasal 18 UUD NRI Tahun

1945 yaitu bahawa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin

adanya otonomi yang luas bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Begitu pula terkait kedudukan desa, dimana UUD NRI Tahun 1945

meskipun tidak secara eksplisit tapi telah membuka ruang akan

pengakuan terhadap kedudukan desa dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang kemudian diatur dalam Pasal 18B ayat (2).

2. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah

Dalam konteks bentuk negara, meskipun bangsa Indonesia

memilih bentuk negara kesatuan tetapi didalamnya terselenggara

suatu mekanisme yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya

33
Ibid.
34
Sri Soemantri, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara Asean. Tarsito:Bandung. 1976. Hlm
14-15. Lihat pula I Gde Pantja Astawa. Op.cit. Hlm 99.

22
keragaman antar daerah diseluruh tanah air. Kekayaan alam dan

budaya antar daerah tidak boleh diseragamkan dalam struktur NKRI.

Dengan perkataan lain, bentuk NKRI diselenggarakan dengan

jaminan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk

berkembang sesuai dengan potensi dan kekayaan yang dimilikinya

masing-masing. Sehingga untuk menjamin adanya

penyelenggaraan otonomi di daerah untuk berkembang maka perlu

diatur hubungan antar pemerintah pusat dan daerah yang ideal. 35

Model hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah


36dapat
daerah secara teoritis menurut Clarke dan Stewart

dibedakan menjadi tiga yakni: Pertama, The Relative Autonomy

Model dengan memberikan kebebasan yang relatif besar kepada

pemerintah daerah dengan tetap menghormati eksistensi

pemerintah pusat. Penekanannya adalah pada pemberian

kebebasan bertindak bagi pemerintah daerah dalam kerangka

kesatuan/tugas dan tanggung jawab yang telah dirumuskan oleh

peraturan perundangan; Kedua, The Agency Model dimana model

ini pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan yag cukup berarti

sehingga keberadaannya terlihat lebih sebagai agen pemerintah

pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah

pusat. Karenanya pada model ini berbagai petunjuk rinci dalam

35
Jimly Asshidiqie, op.cit. Hlm 79 Lihat pula Ni’Matul Huda, Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI,
Nusamedia: Bandung. 2014. Hlm 13.
36
Ni’Matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia: Bandung. 2012. Hlm 12.

23
peraturan perundang-undangan sebagai mekanisme kontrol sangat

menonjol; Ketiga, The Interaction Model merupakan suatu bentuk

model dimana keberadaan dan peranan pemerintah daerah

ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara pemerintah pusat dan

daerah.

Bagir Manan37 mengatakan bentuk dan corak hubungan

pusat dan daerah dalam kerangka desentralisasi tergantung kepada

berbagai faktor. Faktor yang utama adalah dasar-dasar dari

desentralisasi itu sendiri, karena bentuk dan corak hubungan pusat

dan daerah tergantung dengan dasar-dasar desentralisasi yang

termuat dalam konstusi. Jimly Asshiddiqie 38 menjelaskan,

“kekhususan daerah” adalah kekhususan atau keismewaan yang

terdapat di masing-masing daerah. 'Keragaman daerah' adalah

keragaman antar daerah yang satu dengan daerah lain, yang

masing-masing berbeda satu dengan yang lain. Kemudian Bagir

Manan mengatakan bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus

seragam (uniformitas), sehingga ditentukan oleh berbagai keadaan

khusus dan keragaman setiap daerah. 39

Menurut Bagir Manan40, dasar dari hubungan pemerintah

pusat dan pemerintah daerah terdapat dalam Pasal 18 UUD NRI

37
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah menurut UUD NRI Tahun 1945. Pustaka
Sinar Harapan: Jakarta. 1994. Hlm 67.
38
Jimly Asshidiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Indonesia Universitas Indonesia: Jakarta. 2002.Hlm 23.
39
Bagir Manan, op.cit. Hlm 68.
40
Ibid. Hlm 68.

24
tahun 1945 dimana terapat dua dasar pokok yang melandasi

hubungan pusat dan daerah yakni yakni dasar permusyawaratan

dalam pemerintahan negara dan dasar hak-hak asal-usul yang

bersifat ismewa. Akan tetapi, secara keseluruhan terdapat dua faktor

lagi yang mendasari hubungan pusat dan daerah dalam kerangka

desentralisasi, yakni ke-bhinneka-an dan paham negara

berdasarkan atas hukum (negara hukum).

Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

memiliki empat dimensi penting untuk dicerma, meliputi hubungan

kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Pertama,

pembagian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan

pemerintahan tersebut akan sangat mempengaruhi sejauh mana

pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki wewenang untuk

menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan, karena wilayah

kekuasaan pemerintah pusat meliputi pemerintah daerah. Untuk itu,

dalam hal ini yang menjadi objek yang diurusi adalah sama, namun

kewenangannya yang berbeda. Kedua, pembagian kewenangan ini

membawa implikasi kepada hubungan keuangan, antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah. Ketiga, implikasi terhadap hubungan

kelembagaan antara pusat dan daerah mengharuskan kehati hatian

mengenai besaran kelembagaan yang diperlukan untuk

melaksanakan tugas-tugas yang menjadi urusan masing-masing.

Keempat, hubungan pengawasan merupakan konsekuensi yang

25
muncul dari pemberian kewenangan, agar terjaga keutuhan negara

kesatuan.41

3. Kedudukan Desa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

Desa merupakan lembaga tertua, telah berusia berabad-

abad, jauh lebih tua daripada saat datangnya penjajah di Indonesia.

Desa mempunyai kepribadian dan watak yang khas dan mempunyai

sistem nilai tersendiri, meskipun sistem pemerintahan sudah silih

berganti membawahinya.42

a. Era Kerajaan

Pada zaman pra-kolonial, daerah-daerah para kerajaan

meliputi seluruh lingkungan desa di dalam kerajaan masing-

masing. Administrasi kerajaan tidak bercampur tangan dengan

kehidupan masyarakat desa, bahkan membiarkan desa untuk

mengurus kehidupan sendiri menurut hukum adat. Desa sebagai

persekutuan hukum wajib membayar pajak dan mengerahkan

tenaga kerja untuk keperluan kerajaan. Kepala desa

bertanggung jawab atas masuknya pembayaran pajak dan atas

penyerahan tenaga itu. Pengaruh kerajaan di berbagai daerah di

Indonesia atas kehidupan desa sebagai persekutuan hukum

berupa menyejahterakan persekutuan desa, yang terdapat pada

41
Dewan Perwakilan Daerah, Kerangka Acuan Penelian Studi Hubungan Pusat Dan Daerah
Kerjasama DPD RI Dengan Perguruan Tinggi Di Daerah, Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia, 2009, hlm. 6.
42
Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik dan Perundang-undangan Pemerintah Daerah Alumni:
Bandung.1983. Hlm 15.

26
desa-desa yang jauh letaknya dari pusat kerajaan. Desa-desa itu

sebagai badan kesatuan wajib membayar pajak dan

menyerahkan tenaga kerja kepada negara (kerajaan). Kepala

desa bertugas menerima pembayaran pajak untuk kerajaan dan

mengurus penyerahan tenaga kerja di desa masing-masing.

Seringkali raja memberikan surat piagam kepada desa, yaitu

pengakuan terhadap desa itu sebagai badan kesatuan yang

otonom.43

Suasana pemerintahan desa di zaman kerajaan di

berbagai kepulauan Indonesia lambat laun mengalami

pergeseran seiring dengan terjadinya perubahan zaman

kerajaan ke zaman penjajahan (kolonialisme).

b. Era Kolonial

Pada zaman penjajahan Belanda, Undang-Undang

Ketatanegaraan Hindia Belanda (Indische Staatsregeling)

mengatur pula tentang desa-desa pribumi atau bumi putera yaitu

dalam Pasal 128 yang terdiri atas 6 ayat.44 Berdasarkan

ketentuan pasal tersebut memberikan pengakuan adanya

wilayah-wilayah administrasi bagi desa yaitu wilayah desa yang

tidak mempunyai otonomi (wewenang untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri). Pada permulaan abad ke

43
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita: Jakarta. 2003. Hlm 79-80.
44
Ni’Matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa. Setara Press:Malang, 2015. Hal 36-37.

27
20, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerbitkan Inlandsche

Gemeente Ordonantie pada 1 Mei 1906 (Staatblad tahun 1906

No.83) yang hanya berlaku untuk desa-desa di Jawa dan

Madura. Dalam ordonansi tersebut salah satu ketentuan yang

sangat menonjol adalah mengenai kuatnya kedudukan hukum

adat dan kolektivitas pemerintahan desa.

Selanjutnya ordonansi khusus yang dinamakan De

Inlandsche Gementee Ordonantie (Yang acap disingkat IGO

1906, dimaklumatkan dalam Stbl 1906 No. 83), Melalui IGO

1906 tersebut, desa-desa telah ditransformasikan dari sebatas

eksistensi dan wujudnya sebagai komunitas di alam fakta

menjadi suatu realitas hukum yang disebut badan hukum

menurut hukum perundang-undangan kolonial.45

Setelah IGO 1906, diterbitkan pula berbagai peraturan

perundang-undangan kolonial tentang mengenai desa

bumiputera lainnya, yang masing-masing berlaku untuk daerah-

daerah tertentu. antara lain:46

a) Ordonansi Desa Bumiputera di Sumatera Barat (Ordonansi

tanggal 27 September 1918 Stb. No. 677).

b) Ordonansi Desa Bumiputera di Ambon (Ordonansi 21

September 1923 Stb No. 471).

45
Ibid. Hlm 42.
46
Ibid. Hlm 45.

28
c) Ordonansi Desa Bumiputera di Kalimantan Selatan dan

Timur (Ordonansi 11 Juni 1924 Stb. No. 275).

Dari berbagai peraturan perundang-undangan kolonial

mengenai desa bumiputera yang berbeda-beda tersebut, bisa

dilihat adanya tiga sifat yang penting dari kebijaksanaan

pemerintahan kolonial dalam hal pengaturan pemerintahan

desa:47

a) Bersifat legalistik, yakni peraturan yang dibuat tersebut

sifatnya hanya memberikan pengesahan (legitimasi)

terhadap hal-hal yang sudah ada dan berlaku di dalam

penyelenggaraan pemerintahan desa bumiputera.

b) Bersifat statis yaitu memelihara status quo, peraturan-

peraturan yang diterbitkan dengan dalih meghormati hukum

adat dan kebiasaan-kebiasaan setempat tidak memberikan

upaya kemajuan, sehingga masyarakat desa tetap dalam

keadaan keterbelakangan.

c) Bersifat parsial, yaitu peraturan-peraturan yang dibuat,

ditetapkan secara khusus untuk daerah-daerah tertentu

yang berbeda satu dengan yang lain. Dengan demikian,

keragaman dan perbedaan tetap terpelihara serta masing

masing kelompok masyarakat daerah terdorong untuk

47
Ibid. Hlm 46.

29
membanggakan daerahnya namun berorientasi kepada

kepentingan kelompok masyarakatnya sendiri.

Di masa penjajahan Jepang, satu satunya peraturan

mengenai desa yang dikeluarkan oleh penguasa Jepang adalah

Osamu Seirei No. 7 Tahun 1944. Peraturan ini hanya mengatur

tentang pemilihan Kepala Desa. Menurut Suhartono 48, pada

zaman penjajahan Jepang, desa ditempatkan di atas aza

(kampung, dusun) yang merupakan institusi terbawah.

Pemerintahan desa pada zaman Jepang lebih menekankan

fungsi pengawasan, pengendalian, dan pengerahan rakyat untuk

kepentingan pemerintahan Jepang.

c. Era Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, Pemerintah Republik

Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1948 Tentang Pemerintahan Daerah dimana kehendak undang-

undang tersebut mengadakan restrukturisasi wilayah desa

membentuk desa-desa baru dengan teritorial yang lebih luas

merupakan pemikiran yang sangat maju. 49 Namun, walaupun

undang-undang tersebut mengandung gagasan dasar yang

dikehendaki Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 (seperti diutarakan

48
Iis Mardeli, Artikel Tesis: Kedudukan Desa dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Atma Jaya: Yogyakarta. 2015. Hlm 9.
49
Ni’Matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa..op.cit. Hlm 126.

30
oleh Yamin, Soepomo, Ratulangi, dan Amir), dalam

kenyataannya tidak mencapai hal-hal yang diharapkan.50

Ada beberapa sebab yang menghambat pelaksanaan


51Pertama,
gagasan-gagasan tersebut. desa sebagai bagian

penting susunan pemerintahan daerah tidak diperbaharui

sebagaimana dikehendaki dalam UU No. 2 Tahun 1948.

Akibatanya, desa yang diharapkan sebagai tumpuan

penyelenggaraan kemakmuran tidak dapat berperan

sebagaimana mestinya. Kedua, UU No. 22 Tahun 1948 tidak

diikuti pembaharuan perangkat peraturan perundang-undangan

yang mendukung.

Tahun 1957, disahkanlah Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1957 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

Menurut undang-undang tersebut, wilayah Republik Indonesia

dibagi dalam daerah besar dan kecil yang berhak mengurus

rumah tangganya sendiri, dan yang merupakan sebanyak-

banyaknya tiga tingka yang derjatanya dari atas ke bawah

adalah Daerah Tingkat ke I (termasuk Kotapraja Jakarta Raya),

Daerah Tingkat ke II (termasuk Kotapraja), dan Daerah Tingkat

ke III. Mengenai pembentukan Daerah Tingkat III, harus

dilakukan secara hati-hati karena daerah itu merupakan batu

50
Ibid. Hlm 126.
51
Ibid. Hlm 126.

31
dasar pertama dari susunan negara sehingga harus

diselenggarakan secara tepat pula karena daerah itu bertalian

dengan masyarakat hukum Indonesia yang coraknya beragam,

yang sulit untuk dibuat dalam satu model. 52

Selanjutnya pada tahun 1965, Pemerintah mengeluarkan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah yang merupakan hasil akumulasi unsur-

unsur progresif dari undang-undang mengenai pemerintahan

daerah yang pernah berlaku sebelumnya. Pada tahun yang

sama pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19

Tahun 1965 Tentang Desapraja. Undang-undnag ini

dimaksudkan untuk menggantikan semua peraturan perundang-

undangan mengenai tata pedesaan yang masing mengandung

sifat-sifat kolonial feodal yang masih berlaku.

Meskipun pengaturan mengenai pemerintahan desapraja

dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 terlihat lebih rinci

karena secara spesifik mengatur tentang desa jika dibandingkan

dengan peraturan sebelumnya, namun Undang-Undang Nomor

19 Tahun 1965 tidak pernah diberlakukan sepenuhnya sampai

dicabut dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979.

Di era pemerintahan orde baru, terdapat upaya untuk

melakukan upaya penyeragaman desa. hal tersebut ditandai

52
Ibid. Hlm 126.

32
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

Tentang Pemerintahan di Daerah yang telah mendelegasikan

pengaturan tentang pemerintahan desa dengan undang-undang

(Pasal 88). Lima tahun selanjutnya dikeluarkanlah Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang

mencabut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang

Desa Praja.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 hanya mengatur

desa dari segi pemerintahannya. Pengintegrasian desa ke dalam

struktur pemerintahan nasional menempatkannya sebagai rantai

terbawah dari sistem birokrasi pemerintahn yang sentralistik. Hal

ini menjadikan desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah

pusat dan subssistem dari negara, sehingga kedudukan desa

sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom dan otonomi

asli kian terkikis.53

Menurut Soetandyo54, ada dua hal pokok yang patut di

catat dalam telaah kritis terhadap kebijakan dasar Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1979 sebagaimana dapat disimak

dalam konsideran menimbang huruf b undang-undang tersebut,

ialah: Pertama, bahwa undang-undang itu tercipta sebagai

53
Ibid. Hlm 146.
54
Soetandyo Wignosoebroto, “Menggagas Perundangan Baru Tentang Pemerintahan Desa, Demi
Terwujudnya Demokratisasi dan Penguatan Fungsi Sosial Desa” dalam Angger Jati dkk, Reformasi
Tata Pemerintahan Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar kerjasama Yapika dan Forum LSM DIY:
Yogyakarta. 2000. Hlm 151.

33
bagian dari strategi developmentalisme kekuasaan sentral yang

terbilang bureaucratic authoritarian dengan menggunakan

pendekatan instrumental di bidang hukum, ialah dengan

mengkonsepkan hukum sebagai toll of social egineering. Kedua,

bahwa UU ini sekalipun dalam pertimbangan butir b tersebut

menjanjikan secara normatif namun sesungguhnya

mengabaikan varian-varian yang ada dalam kehidupan

pedesaan diseluruh Indonesia. Oleh sebab itu, lalu menformat

secara koersif satuan-satuan pedesaan di Indonesia tanpa

kecuali untuk diseragamkan dengan menuruti model

pemeritahan desa yang telah berkembang dan terskosntruksi di

dan/atau untuk desa-desa Jawa.

Dari segi kepentingan pemerintah pusat, UU No. 5 Tahun

1979 tentu membawa banyak manfaat. Penetrasi pemerintah

pusat pada daerah-daerah pedesaan di Indonesia pada

umumnya, khususnya daerah diluar pulau Jawa dan Madura

lebih sangat efektif. Keseragaman struktur pemerintahan desa

bagi seluruh desa juga menguntungkan pemerintah pusat

karena keseragaman itu memudahkan pemerintah menjalankan

pembinaan terhadap pemerintah desa.55

55
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa…op.cit. 2015. Hlm 152-153.

34
Musyawarah Desa Majelis Permusyawaratan
Rakyat

Presiden
Kepala Desa BPK DPR DPA MA
Wakil
Presiden

Perangkat Desa PARA MENTERI & KEPALA LPND

PEMERINTAH DAERAH

Warga Desa Rakyat

Bagan 1 : Persamaan dasar antara Lembaga-Lembaga dalam Desa dan

Lembaga Lembaga dalam Negara Republik Indonesia 56

Disisi lain, saat Majelis Permusyawaratan Rakyat

berstatus sebagai lembaga tertinggi negara maka terdapat suatu

kesamaan sistem pemerintahan negara dengan sistem

pemerintahan desa, dalam artian bahwa lembaga-lembaga

dalam negara republik Indonesia memiliki persamaan dengan

56
A. Hamid S. Attamimi, op.cit. 1990. Hlm 110.

35
lembaga-lembaga dalam desa. Selain sistem pemerintahan,

dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan UUD

NRI Tahun 1945 selalu mengedepankan adanya musyawarah

sebagai bentuk mekanisme demokrasi. Bentuk musyawarah ini

diangkat dari ketatanegaraan desa-desa dahulu, sehingga

struktur organisasi negara RI juga seperti desa.57 Sangat

beralasan bila A.Hamid S.Attamimi58 menyebut Negara Republik

Indonesia ialah “Republik Desa” yang besar yang mengikuti

tuntutan zaman modern, yaitu dengan menganut asas negara

hukum dan sistem konstitusi.

Selanjutnya pada era pemerintahan reformasi, lahirlah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan

Daerah yang mencabut dua undang-undang sebelumnya yaitu

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1979. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

telah mengoreksi sistem pemerintahan daerah dan

pemerintahan desa yang sebelumnya bercorak sentralistik.59

Definisi desa yang dirumuskan dalam Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 menegaskan kedudukan desa sebagai

lembaga yang otonom. Meskipun tidak secara eksplisit

disebutkan bahwa Desa memiliki aparatur pemerintahan sendiri

57
A. Pangeran Moenta, Permusyawaratan dan DPRD: Analisis Aspek Hukum dan Produk
Permusyawaratan, Intelegensia Media: Malang. 2017. Hlm 24.
58
A. Hamid S. Attamimi, op.cit. 1993. Hlm 21.
59
Ni’matul Huda, op.cit. 2015. Hlm 172.

36
dan sumber-sumber pendapatan sendiri, tetapi dengan

diakuinya hak asal-usul dan adat istiadat desa sudah berarti

bahwa desa merupakan kesatuan masyarakt hukum yang

otonom. Dengan diakuinya hak asal-usul dan adat istiadat

setempat, maka berarti aparatur desa dan sumber-sumber

pendapatan asli desa adalah menjadi bagian dari desa.60

Disadari bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 diselimuti oleh semangat reformasi di segala aspek

kehidupan bernegara, proses perumusan dan pengundangan

yang berlangsung secara cepat sehingga pada akhirnya

dirasakan ada substansi atau praktik penyelenggaraannya yang

kurang sesuai dengan jiwa dan semangat berdemokrasi dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akhirnya dikeluarkanlah

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah meskipun tidak mengandung perubahan yang

siginifikan.

Beberapa perbedaan yang ada dalam Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 lebih bersifat teknis sehingga tidak

menimbulkan perubahan yang prinsipil. Keterbatasan

pengaturan tentang desa di Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 kemudian dilengkapi melalui Peraturan Pemerintah Nomor

60
Mashuri Maschab, Politik Pemerintahan Desa di Indonesia, PolGov Fisipol UGM: Yogyakarta.
2013. Hlm 141-142.

37
72 Tahun 2005 Tentang Desa serta beberapa Peraturan Menteri

Dalam Negeri yang mengatur secara teknis dari amanat Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Setelah mengalami berbagai perubahan regulasi

terhadap desa oleh Pemerintah, maka lahirlah kemudian suatu

undang-undang yang memberikan masyarakat desa sebuah

payung hukum yang lebih kuat yakni Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa. Alasan lahirnya undang-undang ini

adalah untuk menjadi koreksi terhadap kesalahan-kesalahan

aturan sekaligus menjadi antisipasi untuk perubahan di masa

mendatang.61

Pentingnya UU Desa disampaikan Menteri Dalam Negeri

Gamawan Fauzi seperti tertuang dalam Keterangan Pemerintah

Tertanggal 2 April 2012 sebagai berikut :62

“Undang-Undang tentang Desa bertujuan hendak


mengangkat Desa pada posisi subjek yang terhormat
dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal ini adlaah
bahwa pengaturan Desa akan menentukan format desa
yang tepat dan sesuai dengan konteks keragaman lokal.
Penguatan kemandirian Desa melalui Undang-Undang
tentang Desa sebenarnya juga menempatkan Desa
sebagai subjek pemerintahan dan pembangunan yang
betul-betul berangkat dari bawah (bottom up)”.

61
Muhammad Yasin dkk, op.cit. 2014. Hlm 10.
62
Ibid. Hlm 10.

38
Kedudukan Desa berdasarkan UU Desa merupakan

bagian dari kompromi atas perdebatan mengenai Pasal 18 ayat

(7) dan Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dimana dalam

UU Desa, telah menempatkan desa berkedudukan dalam

wilayah Kabupaten/Kota. Kompromi tentang landasan

konstitusional kedudukan desa memunculkan aturan tentang

asas rekognisi dan subsidiaritas. Rekognisi melahirkan

pengakuan terhadap keanekaragaman kultural, sednagkan

subsidiaritas terkait dengan relasi hubungan antara negara

dengan desa setelah didudukkan, dimana negara tidak lagi

mengontrol desa secara penuh tapi harus memosisikan desa itu

sanggup mengelola dirinya sendiri.63

Ringkasnya, asas rekognisi dan asas subsidiaritas telah

mengubah pendekatan kontrol/pengendalian negara terhadap

desa dan menempatkan desa sebagai subjek pembangunan. 64

Sementara dalam segi kewenangan desa yang berdasarkan

pada asas rekognisi dan asas subsisdiaritas adalah untuk

pencapaian kemandirian desa agar masyarakat desa menjadi

subjek pembangunan. Selain itu diharapkan desa bisa berperan

dalam perbaikan pelayanan publik dan peningkatan taraf

kesejahteraan masyarakat.65

63
Ibid. Hlm 42-43. Lihat pula Bito Wikantosa, Narasumber Exper Meeting Anotasi UU Desa, 7 Mei
2015 di Kantor Pattiro, Jakarta.
64
Ibid. Hlm 43.
65
Ibid. Hlm 53.

39
Sementara asas dalam pengaturan desa yang bertumpu

pada 13 asas dalam UU Desa jelas memperlihatkan bahwa tidak

ada satupun pencantuman tentang asas tugas pembantuan,

desentralisasi atau dekosentrasi dari pemerintah pusat/daerah.66

Seluruh asas yang dicantumkan, sepenuhnya murni

mencerminkan kemandirian desa. Dengan acuan asas ini, maka

dalam implementasinya, UU Desa menempatkan desa pada

posisi yang mandiri dan bertumpu pada proses demokrasi lokal

tanpa intervensi oleh siapapun, termasuk pemerintah di atasnya.

Hal tersebut telah sejalan dengan tujuan UU Desa, dimana UU

Desa memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap

keberagaman desa, serta adat-istiadat yang berkembang di

desa. UU Desa juga memberikan peluang bagi terciptanya

kesejahteraan masyarakat di Desa karena mendorong peran

serta masyarakat dalam turut terlibat pada proses pemerintahan

dan pembangunan desa. 67

Posisi Desa semakin pakem tatkala UU Desa bertujuan

untuk memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek

pembangunan. UU Desa telah mencantumkan tujuan

sebagaimana termaktub pada Pasal 4, sehingga implementasi

UU Desa dikatakan berhasil jika mencapai kondisi-kondisi

66
Ibid. Hlm 63.
67
Ibid. Hlm 66.

40
sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 4 tersebut.

Demikian sebaliknya, dikatakan gagal jika kondisi-kondisi itu

tidak tercapai.68

Salah satu terobosan baru dalam pengaturan tentang

desa dalam UU Desa adalah munculnya istilah “penataan desa”

yang sebelumnya tidak ditemui dalam regulasi-regulasi yang

mengatur tentang desa sebelumnya.69 Penataan Desa

sebagaimana yang dimaksud dalam UU Desa merupakan

proses-proses pembentukan, penghapusan, penggabungan,

perubahan status dan penetapan Desa. Terlihat jelas bahwa

penataan desa menjadi kewenangan Pemerintah baik

Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Dengan kata

lain bahwa, Pemerintah memiliki otoritas untuk melakukan

penataan desa, namun otoritas tersebut tidak bersifat mutlak

tetapi bersyarat.70

B. Tinjauan Umum Tentang Desa

1. Pengertian Desa

Desa atau sebutan lain yang sangat beragam di Indonesia,

pada awalnya merupakan organisasi komunitas lokal yang

mempunyai batas-batas wilayah, dihuni oleh sejumlah penduduk,

68
Ibid. Hlm 67.
69
Ibid. Hlm 69.
70
Ibid. Hlm 72.

41
dan mempunyai adat-istiadat untuk mengelola dirinya sendiri. Inilah

yang disebut dengan self-governing community.71

Soepomo72 menjelaskan bahwa desa adalah persekutuan

hukum, sebab terdiri dari suatu golongan manusia yang mempunyai

tata susunan tetap, mempunyai pengurus, mempunyai wilayah dan

harta benda, bertindak sebagai kesatuan terhadap dunia luar dan

tidak mungkin desa itu dibubarkan. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa

desa merupakan pusat pergaulan hidup sehari-hari, yang sebagai

badan hukum berdiri sendiri secara bulat, atau yang sebagai badan

persekutuan daerah atasan, atau yang mengadakan hubungan kerja

sama dengan badan-badan persekutuan hukum setingkat, untuk

memelihara beberapa keperluan bersama yang tertentu.

Menurut Ter Haar73, sejatinya desa adalah “negara kecil” atau

apa yang disebutnya dengan doorps republiek, karena sebagai

masyarakat hukum, desa memiliki semua perangkat suatu negara:

teritori, warga, aturan atau hukum, dan pemerintahan. Dengan

ungkapan lain, pemerintahan desa memiliki alat (polisi dan

pengadilan desa) dengan mekanisme (aturan/hukum) untuk

menjalankan “hak menggunakan kekerasan” di dalam teritori atau

wilayah hukumnya. Wilayah keberlakuan hukum suatu masyarakat

hukum dapat berupa suatu teritori tetap, artinya berlaku bagi setiap

71
Muhammad Yasin dkk, op.cit. 2014. Hlm 44.
72
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita: Jakarta. 2003. Hlm 53.
73
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan… op.cit. Hlm 34.

42
orang yang berada di wilayah itu dan/atau bagi setiap warga

masyarakat itu, dimanapun ia berada.

Seotardjo Kartohadikoesoemo74 memberikan definisi tentang

desa adalah suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu

masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.

Desa terjadi dari hanya satu tempat kediaman saja, ataupun terjadi

dari satu induk desa dan beberapa tempat kediaman sebagian dari

masyarakat hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan-

kesatuan tempat tinggal sendiri, kesatuan-kesatuan mana

dinamakan pedukuhan, ampean, kampong, cantilan, beserta tanah

pertanian, tanah perikanan darat (empang, tambak dan sebagainya),

tanah hutan dan tanah belukar

Menurut Sutoro Eko75, desa pada umumnya mempunyai

pemerintahan sendiri yang dikelola secara otonom tanpa ikatan

hirarkis struktural dengan struktur yang lebih tinggi. Sedangkan

Geertz76 memberikan pandangan yang berbeda, menurutnya desa

berasal dari bahasan Sanksrit yang berarti daerah pinggiran, tempat,

daerah yang bergantung pada kekuasaan yang lebih tinggi atau

daerah yang diperintah oleh suatu kekuasaan diluar desa.

Sementara H.A.W. Widjaja77 menyatakan bahwa Desa merupakan

74
Ibid. Hlm 34. Lihat pula Soetoro Kartohadikoesoemo, Desa. Balai Pustaka:Jakarta. 1984. Hlm 15.
75
Ni’matul Huda, op.cit. 2015. Hlm 34.
76
Ibid. Hlm 34.
77
HAW Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003, Hal. 3.

43
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli

berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa.

AS Kusuma78 dalam Majalah Otonomi Tahun 1954

menjelaskan bahwa desa adalah institut demokratis, dalam artian

bahwa desa merupakan suatu graniet yang kukuh alias bindsel

(pengikat) yang sungguh-sungguh kuat terhadap siapapun yang

akan menerobos desa sebagai lambang persatuan dan yang

merupakan warisan nenek moyang. Selanjutnya dijelaskan bahwa

desa merupakan ciptaan bangsa Indonesia yang diumpamakan

sebagai “Het Palladium van rust en orde” yaitu suatu dewa (yang

gandrung) ketenteraman dan ketertiban, dan dihuni oleh “Het

zachtste volk der aarde” yakni penghuni dunia yang halus, sabar dan

lunak.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa, dijelaskan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat

hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat

setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul dan/atau

hak tradsional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintaan

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

78
Solly Lubis, Perkembangan Garis Politik dan Perundang-Undangan Pemerintah Daerah.
Alumni:Bandung. 1983. Hlm 315.

44
2. Konsep Otonomi Desa

Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya

masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum

negara dan bangsa ini terbentuk, struktur sosial jenis desa,

masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial

yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan

institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya

sendiri serta relaitf mandiri. Hal ini antara lain ditunjukan dengan

tingkat keragaman yang tinggi membuat desa mungkin merupakan

wujud bangsa yang paling konkret.79

Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo80, pengertian tentang

kewenangan sesuatu daerah hukum yang dilukiskan dengan istilah

asing “otonomi” dalam bahasa Indonesia: hak untuk mengatur dan

mengurus “rumah tangga” sendiri dalam hukum adat sebenarnya

tidak dikenal oleh bangsa Indonesia. Pengertian tentang otonomi

desa itu adalah ciptaan bangsa Belanda, waktu mereka masih

memegang kekuasaan di Indonesia. Hukum adat yang mengatur

segenap kehidupan rakyat di desa, tidak membeda-bedakan

peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara orang-orang

sebagai manusia perseorangan dari peraturan-peraturan yang

79
HAW Widjaja, Otonomi Desa... op.cit. Hlm 4.
80
Soetardjo Kartohadikoesoemo, Desa, Balai Pustaka: Jakarta, 1984, Hlm 281.

45
mengatur kepercayaan, cara orang berbakti kepada Tuhan dan

kepada roh suci cikal bakal (danyang desa).

Terlepas dari istilah asing tersebut, maka desa di Indonesia

sebagai daerah hukum yang paling tua menjalankan otonomi yang

sangat luas, lebih luas dari otonomi-otonomi daerah hukum

diatasnya yang menyusul dikemudian hari, baik yang dibentuk oleh

desa bersama-sama dengan sukarela maupun yang dipaksakan

oleh pihak-piha yang lebih kuat. Oleh daerah-derah hukum yang

lebih tinggi itu kemudian otonomi desa mendapat pembatasan-

pembatasan yang tertentu. Meskipun demikian, desa di seluruh

Indonesia masih berwenang menentukan mati-hidupnya sendiri,

berwenang menetapkan wilayahnya dengan batas-batasnya sendiri,

berwenang menetapkan tata pemerintahannya sendiri.81

Kajian hukum terhadap otonomi desa biasanya berkaitan

dengan bagaimana negara “memperlakukan” desa. Dilihat dari

makna pengaturan sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 UUD

NRI Tahun 1945 berikut penjelasannya, maka dapat dikatakan

bahwa esensi dari pasal tersebut mencerminkan pengakuan negara

terhadap apa yang disebut otonomi desa. Lebih dari itu, dengan

menyebut desa sebagai “susunan asli yang memiliki hak asal-usul”,

81
Ibid. Hlm 282.

46
maka menurut UUD NRI Tahun 1945 hanya desa yang dipastikan

memiliki otonomi.82

HAW. Widjaja83 menyatakan bahwa otonomi desa merupakan

otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari

pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati

otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak

isitmewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum

publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda,

serta dapat dituntut dan menuntuu di muka pengadilan. Otonomi

desa merupakan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan

masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya

yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang

mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan

berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang

pemerintahan Kabupaten/Kota diserahkan pengaturannya kepada

Desa.

Dari segi politik hukum, kewenangan desa menjadi lebih jelas

memperlihatkan otonomi desa sebagai mana yang diatur dalam

Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang

82
Ni’Matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers: Jakarta. 2005. Hlm
368
83
HAW Widjaja, Otonomi Desa, op.cit. Hlm 165.

47
menyatakan bahwa desa memiliki kewenangan berdasrkan hak asal-

usul dan kewenangan lokal berskala desa. Ketentuan mengenai

kewengan berdasarkan hak asal-usul memang dapat dijumpai dalam

undang-undang terdahulu, tetapi kewenangan lokal berskala desa

merupakan kewenangan baru yang memperlihatkan arah politik

hukum pemerintahan desa menuju otonomi asli. 84

Menurut Zudan Arif85, kekhasan otonomi desa minimal dapat

ditinjau dari dua aspek, yaitu:

(1). Otonomi desa bukan merupakan implikasi dari adanya

penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat atau pemerintah

daerah kepada pemerintahan desa melalui kebijakan

desentralisasi penyelenggaraann pemerintahan, meskipun

dalam kedudukan pemerintahan desa sebagai subsistem dari

pemerintahan nasional, tetap diatur pula tentang hubungan

keuangan serta hubungan pembinaan dan pengawasan antara

pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dengan

pemerintahan desa.

(2). Otonomi desa diselenggarakan berdasarkan hak asal-usul dan

adat istiadat masyarakat setempat, sehingga otonomi desa lebih

bermakna sebagai otonomi masyarakat desa dalam mengatur

84
Agus Kusnadi, Jurnal Ilmu Hukum Padjajaran Volume 2 Nomor 3 Tahun 2015: Perkembangan
Politik Hukum Pemerintahan Desa Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Fakultas Hukum
UNPAD: Bandung. 2015, Hlm 573.
85
Zudan Arif, Hukum Indonesia dalam Berbagai Perspektif, Raja Grafindo: Jakarta. 2015. Hlm 74.

48
dan mengurus kepentingan bersama sesuai dengan sistem nilai

sosial budaya masyarakat setempat, meskipun dalam

pelaksanaannya perlu menggunakan pola administrasi modern.

Hal ini berimplikasi pada penggunaan “istilah desa atau sebutan

lain” serta memfungsikan lembaga adat untuk mendukung

proses penyelenggaraan pemerintahan desa.

Dalam pandangan Sutoro Eko86 terkait hubungan otonomi

daerah dengan otonomi daerah dengan otonomi dea dalam Konsep

Negara Kesatuan Republik Indonesia, terdapat emapt cara pandang

dan pemahaman tentang otonomi desa. Pertama, cara pandang

legal formal yamg sering dikemukakan oleh para ahli hukum. Dalam

undang-undang sering ditemukan diktum “desa adalah kesatuan

masyarakat hukum yang mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri” sebagai definisi standar otonomi desa. Pengertian ini berarti

desa merupakan sebuah subyek hukum yang berhak dan

berwenang membuat tindakan hukum: membuat peraturan yang

mengikat, menguasai tanah, membuat surat-surat resmi,

berhubungan dengan pengadilan, menyelenggarakan kerjasama,

dan lain-lain. Padahal otonomi tidak hanya sekedar persoalan

hubungan hukum, tetapi hubungan antar desa dan negara. Desa

baru bisa disebut otonom kalau memperoleh pembagian

86
Sutoro Eko, “Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan Otonomi Desa” dalam Soetandyo
Wignusoebroto dkk Pasang Surut Otonomi Daerah, Institute for Local Development dan Yayasan
Tifa: Jakarta. 2005. Hlm 527-529.

49
kewenangan dan keuangan dari negara, sehingga desa mempunyai

kewenangan untuk mengelola pemerintahan.

Kedua, otonomi desa baru dipahami dan ditegaskan sebagai

bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi desa beserta hak

asal-usul dan adat istiadanya. Ini artinya negara tidak merusak,

melainkan melindungi eksistensi desa. Negara juga harus

memberikan pengakuan terhadap eksistensi desa yang umurnya

jauh lebih tua ketimbang NKRI. Pengakuan adalah pijakan pertama,

tetapi pengakuan belum cukup. Lebih dari sekedar pengakuan,

otonomi desa berarti pembagian kekuasaan, kewenangan, dan

keuangan kepada desa.

Ketiga, konsep “self-governing community” sering juga dirujuk

sebagai padanan frasa “kesatuan masyarakat hukum” tetapi sejauh

ini belum ada elaborasi yang memadai tentang konsep asing itu.

Keempat, cara pandang romantik-lokalistik. Meski UU Desa tidak

ada rumusan tentang otonomi desa, tetapi wacana resmi

menegaskan bahwa desa memiliki “otonomi asli” berdasarkan asal-

usul dan adat setempat. Konsep otonomi asli justru bias menjadi

jebakan mematikan bagi desa, sebab banyak hal yang “asli” milik

desa (terutama sumber daya alam) sudah diambil oleh negara dan

dieksploitasi oleh investor.

Pelaksanaan hak, kewenangan, dan kebebasan dalam

penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai

50
tanggung jawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia

dengan menekankan bahwa desa adalah bagian dari yang tidak

dapat dipisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan

hak,wewenang, dan kebebasan otonomi desa menuntut

tanggungjawab untuk memlihara integritas, persatuan, dan kesatuan

bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan

tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang

dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan.87

3. Kewenangan Desa

Desa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan

mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak

tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan

NKRI. Dengan definisi dan makna itu, UU Desa telah menempatkan

desa sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat

berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan

lokal (local self governement). Dengan begitu, sistem pemerintahan

di desa berbentuk pemerintahan masyarakat atau pemerintahan

berbasis masyarakat dengan segala kewenangannya (authority).

Desa juga tidak lagi identik dengan pemerintah desa dan kepala

desa, melainkan pemerintahan desa yang sekaligus pemerintahan

87
W Widjaja, Otonomi Desa, op.cit. Hlm 166.

51
masyarakat yang membentuk kesatuan entitas hukum. Artinya,

masyarakat juga memiliki kewenangan dalam mengatur desa

sebagaimana pemerintahan desa.88

Kewenangan merupakan elemen penting sebagai hak yang

dimiliki oleh sebuah desa untuk dapat mengatur rumah tangganya

sendiri. Dari pemahaman ini jelas bahwa dalam membahas

kewenangan tidak hanya semata-mata memperhatikan kekuasaan

yang dimiliki oleh penguasa namun harus juga memperhatikan

subjek yang menjalankan dan yang menerima kekuasaan.

Kewenangan harus memperhatikan apakah kewenangan itu bisa

diterima oleh subjek yang menjalankan atau tidak.89

Dalam pengelompokannya, kewenangan yang dimiliki desa

meliputi: kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan

desa, kewenangan dibidang pelaksanaan pembangunan desa,

kewenangan dibidang pembinaan kemasyarakatan desa, dan

kewenangan dibidang pemberdayaan masyarakat desa yang

berdasarkan parakarsa masyarakat, atau yang berdasarkan hak

asal-usul dan yang berdasarkan adat istiadat desa.90

Dalam Pasal 19 dan 103 UU Desa disebutkan, Desa dan

Desa Adat mempunyai empat kewenangan, meliputi:91

88
M Silahuddin, Kewenangan Desa dan Regulasi Desa. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia: Jakarta. Hlm 11
89
Ibid. Hlm 12.
90
Lihat Pasal 18 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
91
Penjelasan lebih lanjut baca Pasal 19 dan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa.

52
1. Kewenangan berdasarkan hak asal usul. Hal ini berbeda

dengan perundang-undangan sebelumnya yang

menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang sudah

ada berdasarkan hak asal-usul desa.

2. Kewenangan lokal berskala Desa dimana desa

mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan

mengurus desanya. Berbeda dengan perundang-

undangan sebelumnya yang menyebutkan, urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota

yang diserahkan pengaturannya kepada Desa.

3. Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah,

Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota.

4. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah,

Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Kewenangan asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa

bukanlah kewenangan sisa (residu) yang dilimpahkan oleh

Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana pernah diatur dalam

Undang-Undang Noor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah. Sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas, kedua jenis

53
kewenangan tersebut diakui dan ditetapkan langsung oleh UU Desa

dan dijabarkan pada Peraturan Pemerintah.

Kewenangan atau Hak Asal Usul dalam Penjelasan Pasal 19

huruf a UU Desa mencakup pengertian;

“Yang dimaksud dengan “hak asal usul” adalah hak yang

merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa Desa

atau prakarsa masyarakat Desa sesuai dengan

perkembangan kehidupan masyarakat, antara lain sistem

organisasi masyarakat adat, kelembagaan, pranata dan

hukum adat, tanah kas Desa, serta kesepakatan dalam

kehidupan masyarakat Desa“.

Kewenangan asal-usul yang diakui oleh negara meliputi:

pengelolaan aset (sumberdaya alam, tanah ulayat, tanah kas Desa)

dalam wilayah yurisdiksi Desa, pembentukan struktur pemerintahan

Desa dengan mengakomodasi susunan asli, menyelesaikan

sengketa secara adat dan melestarikan adat dan budaya setempat.

Kewenangan asal usul Desa sebagaimana dalam Pasal 33 huruf [a]

UU Desa diuraikan Pasal 34 ayat (1) PP No. 43. Tahun 2014, yang

paling sedikit kewenangan tersebut terdiri atas : a. sistem organisasi

masyarakat adat; b. pembinaan kelembagaan masyarakat; c.

pembinaan lembaga dan hukum adat; d. pengelolaan tanah kas

Desa; e. pengembangan peran masyarakat Desa.

54
Sedangkan Kewenangan lokal berskala Desa dalam

Penjelasan Pasal 19 huruf b UU Desa adalah;

“Yang dimaksud dengan “kewenangan lokal berskala Desa”


adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh
Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang
muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat
Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat
pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos
pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta
perpustakaan Desa, embung Desa, dan jalan Desa.”

Jenis kewenangan lokal berskala desa ini merupakan turunan

dari konsep subsidiaritas, sehingga masalah atau urusan berskala

lokal yang sangat dekat dengan masyarakat sebaik mungkin

diputuskan dan diselesaikan oleh organisasi lokal (dalam hal ini

adalah desa), tanpa harus ditangani oleh organisasi yang lebih

tinggi. Menurut konsep subsidiaritas, urusan yang terkait dengan

kepentingan masyarakat setempat atas prakarsa desa dan

masyarakat setempat, disebut sebagai kewenangan lokal berskala

desa.92

4. Penataan Desa

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Penataan berasal

dari kata “tata” yang artinya aturan (biasanya dipakai kata majemuk)

kaidah, aturan, dan susunan; cara menyusun; sistem; kemudian

92
M Silahuddin, op.cit. Hlm 20-21.

55
merujuk kata menata yang artinya mengatur; menyusun;

membenahi.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa menjelaskan bahwa penataan desa merupakan

proses-proses pembentukan, penghapusan, penggabungan,

perubahan status dan penetapan desa. Dalam UU Desa, jika

dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, penataan desa

dirumuskan dengan klausul yang lebih rinci. Pemerintah, sebagai

pengusul rancangan UU Desa ini menyatakan bahwa perubahan

mendasar yang diatur dalam regulasi ini adalah persyaratan dan

mekanisme pembentukan desa yang diperketat.93

Penataan Desa dalam UU Desa dicantumkan pada Bab III.

Dari 11 pasal yang ada, penataan desa dapat diuraikan menjadi

beberapa sub tema yang terdiri dari:

a) Pemerintah sebagai subyek penataan desa.

b) Evaluasi sebagai basis penataan desa.

c) Tujuan Penataan Desa.

d) Ruang Lingkup Penataan Desa.

e) Prasyarat Penataan Desa, dan

f) Mekanisme Penataan Desa.

Dalam hal Pemerintah sebagai subyek penaatan desa,

tercantum dalam Pasal 7 ayat (1). Dijelaskan bahwa, penataan desa

93
Muh. Yasin.op.cit. Hlm 70.

56
dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan hasil evaluasi

tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini Pemerintah memiliki

otoritas untuk melakukan penataan desa. Namun demikian, karena

dalam klausul ini digunakan kata “dapat” maka otoritas tersebut tidak

bersifat mutlak tetapi bersyarat. Ketentuan tentang persyaratan

penataan desa diuraikan pada Pasal 8 hingga Pasal 12 UU Desa.

Dalam pembahasan RUU Desa di DPR, tujuan penaataan

desa secara spesifik disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri pada

rapat kerja dengan Pansus DPR 4 April 2012, dimana disebutkan

bahwa penataan desa bertujuan mempercepat peningkatan

kesejahteraan masyarakat, peningkatan kualitas pelayanan,

meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan, dan meningkatkan

daya saing Desa.94 Sementara rumusan tujuan penataan desa yang

disepakati, tercantum dalam Pasal 7 ayat 3 UU Desa dimana

penataan desa bertujuan untuk:

a) mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan


Desa;
b) mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat
Desa;
c) mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
d) meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan Desa;
dan

94
Ibid. Hlm 75.

57
e) meningkatkan daya saing Desa.
Norma ini menjadi arah dalam proses penataan desa,

sehingga dalam pelaksanaan penataan desa diorientasikan untuk

mencapai hal-hal sebagaimana dicantumkan dalam rumusan tujuan

penataan desa tersebut. Searah dengan itu, tujuan penataan desa

ini menjadi penting untuk menjadi pegangan dalam memaksimalkan

fungsi-fungsi pemerintahan desa.

Ruang lingkup penataan desa dalam UU Desa sendiri dibagi

dalam beberapa bagian sesuai dengan rumusan yang dicantumkan

dalam Pasal 7 ayat (4), berupa:

a) pembentukan;
b) penghapusan;
c) penggabungan;
d) perubahan status; dan
e) penetapan Desa.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 47 Tahun 2015 tetang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, menyebutkan

penataan desa secara lebih teknis. Dalam Peraturan Pemerintah

tersebut, penataan desa disebutkan dalam empat bagian, yaitu:

a) Pembentukan desa;
b) Penghapusan desa;

58
c) Perubahan status desa;
d) Penetapan desa dan desa adat.
Perbedaan yang terdapat dalam UU Desa dengan Peraturan

Pemerintah tersebut adalah jika dalam UU Desa pembentukan dan

penggabungan desa merupakan bagian yang terpisah, dalam

Peraturan Pemerintah penggabungan desa masuk ke dalam bagian

pembentukan desa. Pengaturan lebih lanjut terkait penataan desa

terdapat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2017

tentang Penataan Desa.

C. Tinjauan Umum Tentang Penghapusan Desa

a. Pengertian Penghapusan Desa

Dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa usulan Pemerintah, yang dimaksud dengan

penghapusan desa adalah tindakan pencabutan status desa yang

ada. Selanjutnya dinyatakan, desa yang tidak memenuhi kriteria

sebagaimana dicantumkan dalam persyaratan pembentukan desa.

Namun demikian, setelah disahkan menjadi undang-undang,

rumusan ini hilang dan diganti dengan rumusan yang substansinya

berbeda. Rumusan tersebut sebagaimana tercantum dalam

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa merupukan

hasil keputusan rapat Tim Khusus tanggal 5 September 2013.

Klausul penghapusan desa tercantum dalam Pasal 9 Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yaitu:

59
“Desa dapat dihapus karena bencana alam dan/atau

kepentingan program nasional yang strategis”.

Sedangkan dalam penjelasannya hanya dijelaskan tentang

program nasional yang strategis, bahwa:

“Yang dimaksud dengan program nasional yang strategis


adalah antara lain program pembuatan waduk atau
bendungan yang meliputi seluruh wilayah Desa”.
b. Kedudukan Pemerintah dalam Penghapusan Desa
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

menjelaskan bahwa “Desa dapat dihapus karena bencana alam

dan/atau kepentingan program nasional yang strategis” kemudian

dalam penjelasannya dijelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan

program nasional yang strategis antara lain program pembuatan

waduk atau bendungan yang meliputi seluruh wilayah desa”.

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun

2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2014 Tentang Desa dalam Pasal 19 ayat (2) dijelaskan bahwa

“Penghapusan Desa dilakukan dalam hal terdapat kepentingan

program nasional yang strategis atau karena bencana alam”

kemudian dalam Pasal 19 ayat (2) menjelaskan “Penghapusan Desa

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi wewenang

Pemerintah”

Kemudian pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1

Tahun 2017 Tentang Penataan Desa dalam Pasal 42 ayat (2)

60
dijelaskan bahwa “Penghapusan Desa menjadi wewenang

Pemerintah Pusat”. Pemerintah pusat dalam hal ini yang dimaksud

adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan

pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil

Presiden dan Menteri. Wewenang Pemerintah Pusat sebagaimana

dijelaskan diatas kemudian di delegasikan kepada Menteri Dalam

Negeri dalam melakukan penghapusan desa.

Kedudukan Pemerintah sebagai subjek dari penataan Desa

memberikan otoritas untuk dapat melakukan penataan desa

termasuk penghapusan desa. Namun demikian, karena dalam Pasal

7 ayat (1) digunakan kata “dapat” maka otoritas tersebut tidak


95
bersifat mutlak, tetapi bersyarat.

Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014,

penghapusan desa dapat dilakukan jika ditemui salah satu atau dua

alasan, yaitu 1) karena bencana alam; dan/atau 2) kepentingan

program nasional yang strategis. mengacu pada ketentuan tersebut,

inisaitif penghapusan desa berada pada Pemerintah dalam hal ini

Menteri Dalam Negeri kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah

kabupaten/kota melalui penyusunan Rancangan Peraturan Daerah

Tentang Penghapusan Desa.

95
Muhammad Yasin dkk, Anotasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Pusat
Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO): Jakarta. 2015. Hlm 92.

61
Sementara itu, Kedudukan desa dalam penghapusan desa

baru terlibat ketika keluarnya rekomendasi penghapusan desa oleh

Menteri Dalam Negeri untuk penyusunan Rancangan Peraturan

Daerah, dimana dalam Rancangan Peraturan Daerah tersebut

disertai berita acara musyawarah desa. 96 Dalam mekanisme

Penghapusan Desa, desa terkait tidak dilibatkan atau tidak diberi

ruang dalam memberikan pertimbangan kepada pemerintah terkait

penghapusan desa. Desa baru dilibatkan untuk mengadakan

musyawarah desa setelah keluarnya keputusan menteri tentang

persetujuan penghapusan desa diterbitkan. Dengan kata lain,

kedudukan desa dalam penghapusan desa adalah sebagai objek

dari penghapusan desa itu. Oleh karena itu, kedudukan dan

keberlangsungan desa pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa masih sangat bergantung pada political will satuan

pemerintahan atasan desa.97

c. Mekanisme Penghapusan Desa

Mekanisme penghapusan desa telah diatur dalam Undang-

Undang Desa serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun

2017 Tentang Penataan Desa yang merupakan ketentuan lebih

96
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Penataan Desa Pasal 67 Ayat (1).
97
Agus Kusnadi, Jurnal Ilmu Hukum Padjajaran: Perkembangan Politik Hukum Pemerintahan Desa
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Universitas Padjajaran:Bandung. 2015. Hlm 573.

62
lanjut dari Undang-Undang Desa. Dalam Undang-Undang Desa

terdapat beberapa pasal yang mengatur penghapusan desa yaitu:

Pasal 14 yang berbunyi;

“Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau


perubahan status Desa menjadi kelurahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11
atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ditetapkan dalam Peraturan Daerah.”

Pasal 15 yang berbunyi;

(1).“Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan,


penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status
Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang telah
mendapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan
kepada Gubernur.”
(2).Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Peraturan
Daerah tentang pembentukan, penghapusan,
penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi
kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan urgensi, kepentingan
nasional, kepentingan daerah, kepentingan masyarakat
Desa, dan/atau peraturan perundang-undangan.

Pasal 16 yang berbunyi;

(1).Gubernur menyatakan persetujuan terhadap Rancangan


Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
paling lama 20 (dua puluh) hari setelah menerima
Rancangan Peraturan Daerah.

63
(2).Dalam hal Gubernur memberikan persetujuan atas
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
melakukan penyempurnaan dan penetapan menjadi
Peraturan Daerah paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3).Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan
terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Rancangan Peraturan Daerah
tersebut tidak dapat disahkan dan tidak dapat diajukan
kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh
Gubernur.
(4).Dalam hal Gubernur tidak memberikan persetujuan atau
tidak memberikan penolakan terhadap Rancangan
Peraturan Daerah yang dimaksud dalam Pasal 15 dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bupati/Walikota dapat mengesahkan Rancangan
Peraturan Daerah tersebut serta sekretaris daerah
mengundangkannya dalam Lembaran Daerah.
(5).Dalam hal Bupati/Walikota tidak menetapkan Rancangan
Peraturan Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur,
Rancangan Peraturan Daerah tersebut dalam jangka waktu
20 (dua puluh) hari setelah tanggal persetujuan Gubernur
dinyatakan berlaku dengan sendirinya.

Pasal 17 yang berbunyi;

(1).Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan,


penghapusan, penggabungan, dan perubahan status Desa
menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa
diundangkan setelah mendapat nomor registrasi dari
Gubernur dan kode Desa dari Menteri.

64
(2).Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disertai lampiran peta batas wilayah Desa.

Mekanisme penghapusan desa dalam Undang-Undang Desa

kemudian diakhiri dengan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) yang

menjelaskan bahwa musyawarah desa dilakukan untuk

memusyawarahkan hal yang bersifat strategis yang di dalamnya

termasuk penataan desa. Kemudian dalam penjelasannya

dijelaskan bahwa dalam hal penataan desa, musyawarah desa

hanya memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota.

Disisi lain, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun

2017 Tentang Penataan desa yang merupakan ketentuan lebih

lanjut dari penataan desa yang diatur dalam Undang-Undang Desa

memberikan ketentutan tentang pengaturan penghapusan desa

diantaranya;

Pasal 42 yang berbunyi;

(1).Penghapusan Desa dilakukan dalam hal terdapat


kepentingan program nasional yang strategis atau karena
bencana alam.
(2).Penghapusan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi wewenang Pemerintah Pusat.

Pasal 43 yang berbunyi;

(1).Kementerian/Lembaga pemerintah nonkementerian,


Pemerintah Daerah, Provinsi, dan Pemerintah Daerah

65
Kabupaten/Kota mengusulkan penghapusan Desa kepada
Menteri.
(2).Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1), Menteri bersama-sama dengan
menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian
pemrakarsa, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota melakukan pembahasan untuk
penghapusan Desa.
(3).Dalam hal hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah disepakati. Menteri menerbitkan Keputusan
Menteri tentang persetujuan penghapusan Desa dan
penghapusan kode desa untuk selanjutnya disampaikan
kepada Bupati/Wali Kota.

Pasal 44 yang berbunyi;

(1).Berdasarkan Keputusan Menteri tentang persetujuan


Penghapusan Desa dan penghapusan kode desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3),
Bupati/Walikota menyusun Rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang Penghapusan Desa.
(2).Rancangan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibahas dan disetujui bersama
antara Bupati/Wali Kota dengan DPRD Kabupaten/Kota.
(3).Dalam hal Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah disetujui bersama oleh Bupati/Wali Kota dan
DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Wali Kota mengajukan
Rancangan Perda Kabupaten/Kota kepada Gubernur untuk
dievaluasi.

66
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi98. Penelitian hukum berbeda

dengan penelitian ilmu sosial lainnya. Penelitian ilmu sosial

berhubungan dengan apa yang ada, meneliti kebenaran fakta, bukan

pada yang seharusnya99. Berbeda dengan penelitian hukum yang

memiliki metode kajian yang khas100, atau dengan kata lain bersifat sui

generis101, yang berfokus pada telaah kaidah atau norma, sesuatu yang

seharusnya.

Selanjutnya, Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa

penelitian hukum yang meneliti kaidah atau norma disebut sebagai

penelitian normatif102. Penelitian hukum normatif atau banyak pula para

ahli menyebutnya sebagai penelitian hukum dogmatif, sesuai dengan

bidang tugas dan karakternya dalam rangka evaluasi hukum positif,

mengandung elemen preskriptif atau dimensi mengkaidahi, yaitu seperti

98
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, h. 34.
99
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (edisi revisi), Yogyakarta: Cahya
Atma Pustaka, 2014, h. 36.
100
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum (Legal Argumentasi/ Legal
Reasoning) Langkah-Langkah Legal Problem Solving dan Penyusunan Legal Opinion, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2005, h. 3.
101
Sui generis, memiliki arti bahwa ilmu hukum merupakan ilmu jenis tersendiri, (dikutip dalam
ibid., h. 1).
102
Sudikno Mertokusumo, op.cit., h. 37.

67
apa baiknya jika ditujukan terhadap perundang-undangan103. Dengan

kata lain, rekomendasi-rekomendasi penelitian normatif sangat mungkin

berupa amandemen peraturan perundang-undangan104. Begitupula

pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto105 bahwa sebagai

objek penelitian hukum normatif anatara lain asas-asas hukum,

sistematik hukum, taraf sinkronisasi vertical dan horizontal.

Berdasarkan hal di atas, maka penelitian ini menggunakan jenis

penelitian hukum normatif yang akan mengevaluasi dan menganalisis

peraturan perundang-undangan terkait. Selain itu, penelitian ini akan

menganalisis tentang implikasi hukum dari penghapusan desa itu

sendiri.

B. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan, diantaranya:

Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach); Pendekatan

Kasus (case approach); dan Pendekatan Konseptual (conceptual

approach)106. Pendekatan perundang-undangan yang berkaitan dengan

peraturan tentang desa serta undang-undang terkait lainnya.

Pendekatan kasus berkaitan dengan desa yang mengalami

penghapusan yang pernah terjadi sejak diberlakukannya Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Adapun pendekatan

103
Titon Slemet Kurnia, dkk, Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum & Penelitian Hukum di Indonesia
Sebuah Reorientasi, Yogyakarta: Pustka Belajar, 2013, h. 149.
104
Ibid, h. 149.
105
Sudikno Mertokusumo, op.cit. h. 37.
106
Peter Mahmud Marzuki, op.cit., h. 137.

68
konseptual berkaitan dengan konsepsi negara kesatuan khususnya

Negara Kesatuan Republik Indonesia serta hubungan antara pusat dan

daerah, tinjauan umum tentang desa, dan tinjauan umum tentang

penghapusan desa.

Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah

sejumlah peraturan perundang-undangan yang memiliki relevansi

dengan isu hukum yang dikaji.

Pendekatan kasus dilakukan dengan menelaah tujuan penataan

desa, alasan hukum penghapusan desa, mekanisme penghapusan

desa, hingga implikasi hukum dari penghapusan desa sejak

diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Adapun pendekatan konseptual dilakukan untuk menganalisis

dan memahami pandangan dan doktrin hukum mengenai konsep

negara kesatuan khususnya konsep negara kesatuan Republik

Indonesia serta kedudukan desa dalam negara kesatuan Republik

Indonesia, berhubungan pula tentang tinjauan umum tentang desa yang

menguraikan tentang pengertian desa, kewenangan desa, otonomi

desa serta penataan desa, hingga berujung pada tinjauan umum

tentang penghapusan desa yang memuat tentang pengertian

penghapusan desa, kedudukan pemerintah dalam penghapusan desa

hingga mekanisme penghapusan desa.

69
C. Jenis dan Sumber Bahan

Jenis data yang digunakan adalah data skunder 107, yang terdiri

dari :

1. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang

berlaku sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan di

Indonesia, serta norma hukum lainnya;

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan lebih lanjut mengenai bahan hukum primer meliputi,

tulisan hukum yang dipublikasikan dalam bentuk buku, hasil-hasil

penelitian yang telah ada, pendapat ahli yang terkait, jurnal dari

kalangan sarjana hukum, karya ilmiah lainnya yang memiliki

relevansi dengan objek kajian; dan

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang memberi

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum skunder, seperti

kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum dan ensiklopedia

serta webiste yang telah terverifikasi.

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan invertarisasi

hukum positif terkait dan melakukan penelusuran kepustakaan berupa

tulisan hukum yang dipublikasikann dalam bentuk buku, hasil-hasil

penelitian yang telah ada, pendapat ahli yang terkait, jurnal dari

kalangan sarjana hukum dan karya ilmiah lainnya.

107
Selengkapnya, Sudikno Mertokusumo, op.cit., h. 37.

70
E. Analisis Bahan Hukum

Semua data yang dikumpulkan kemudian dilakukan analisis

bahan hukum berupa pemaparan material108, pengkajian, dan analisis

sehingga mengahsilkan pemecahan masalah terhadap objek kajian.

Pemaparan material penelitian adalah langkah awal setiap penelitian.

Analisis dilakukan dengan menggunakan interpretasi hukum guna untuk

mencari kesesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan

teori terkait, sehingga dapat memecahkan isu hukum. Selanjutnya, dari

hasil telaah, analisis dan interpretasi tersebut, diharapkan dapat

melahirkan hasil pembahasan yang sistematis, holistik dan

komprehensif.

108
Pemaparan material ini tidak sepenuhnuya objektif. Tiap pengetahuan tentang kenyataan
adalah yang diwarnai oleh penafsiran, dan karena itu diwarnai oleh teori…. Pengungkapan hasil
penetapan isi aturan hukum dapat dirumuskan melalui hipotesis. Selengkapnya, Bernard Arief
Sidharta, op.cit., 2009, h. 43.

71
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penghapusan Desa Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

yang Berlaku

1. Ketidaksesuaian Tujuan Penataan Desa dengan Penghapusan

Desa

Undang-Undang Desa telah melahirkan suatu terobosan

dalam mengatur serta memperkuat kedudukan desa dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Berdasar dari Pasal 18 ayat (7) dan

Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, maka kemudian dikonkritkan dalam tujuan

ditetapkannya pengaturan Desa dalam Undang-Undang Desa, yaitu:

1) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa


yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan
sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
2) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas
Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia
demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
3) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya
masyarakat Desa;
4) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi
masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset
Desa guna kesejahteraan bersama;
5) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien
dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;

72
6) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat
Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan
umum;
7) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa
guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu
memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari
ketahanan nasional;
8) memajukan perekonomian masyarakat Desa serta
mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan
9) memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek
pembangunan

Salah satu pengaturan dalam Undang-Undang Desa dalam

mencapai tujuan diatas adalah dengan adanya pengaturan terkait

penghapusan desa yang merupakan salah satu bagian dari

penataan desa yang pada hakikatnya merupakan upaya yang

dilalukan oleh pemerintah untuk menata keberlangsungan desa

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (4) Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang mengatur bahwa

“Penataan meliputi: pembentukan; penghapusan; penggabungan;

perubahan status; dan penetapan Desa. Berdasarkan uraian

tersebut, memperlihatkan bahwa penghapusan yang dilakukan

terhadap desa adalah sebuah upaya dalam menata desa untuk

dilindungi dan diberdayakan dalam sistem Ketatanegaraan Republik

Indonesia. Sedangkan jika merujuk dari sejarah pengaturan materi

73
muatan penghapusan desa maka akan diperoleh perbandingan

sebagaimana yang diuraikan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 1. Perbandingan Materi Muatan Penghapusan Desa


disetiap Undang-Undang.

Produk Peraturan Materi muatan yang


Masa
Perundang-Undangan diatur
UU No. 1 Tahun 1945 -
Tentang Kedudukan
Komite Nasional Daerah
UU No. 22 Tahun 1948 Pembentukan,
Penetapan Aturan Pokok Penggabungan Desa
Mengenai Otonomi
Daerah
Pasal 31
Pasca
UU No. 1 Tahun 1957
Kemerdekaan
Tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
UU No. 18 Tahun 1965
Tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah
UU No. 19 Tahun 1965 Pembentukan,
Tentang Desa Praja Penggabungan Desa
Pasal 4 dan Pasal 5
UU No. 6 Tahun 1969
Tentang Pemerintahan
Daerah
Orde Baru UU No. 5 Tahun 1979 Pembentukan,
Tentang Pemerintahan Pemecahan,
Desa Penyatuan,
Pasal 2 Penghapusan
UU No. 22 Tahun 1999 Pembentukan,
Tentang Pemerintahan Penghapusan,
Daerah Penggabungan
Pasca
Pasal 93
Reformasi
UU Nomor 32 Tahun Pembentukan,
2004 Tentang Penghapusan,
Pemerintahan Daerah Penggabungan

74
Pasal 200
UU No. 6 Tahun 2014 Penataan Desa:
Tentang Desa 1.Pembentukan,
Pasal 7 2.Penghapusan,
3.Penggabungan,
4.Perubahan Status,
5.Penetapan Desa
Sumber: Dihimpun dari beberapa peraturan perundang-undangan

terkait

Jika merujuk dari tabel diatas, maka pengaturan

penghapusan desa pertama kali diatur dalam masa orde baru yaitu

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.

Peraturan tersebut bukanlah kebijakan yang berorientasi pada

desentralisasi untuk memperkuat pemerintahan desa atau

membentuk pemerintahan desa (local government) melainkan

berorientasi pada penguatan birokratisasi, otoritrianisme,

sentralisasi dan pembangunan.

Tujuan dari penataan desa sendiri kemudian diatur dalam

Pasal Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang

menjelaskan bahwa:

“Penataan bertujuan:
a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan
Desa;
b. mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat
Desa;
c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik;
d. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa;
dan

75
e. meningkatkan daya saing Desa.

Norma diatas yang akan menjadi arah atau ukuran dalam

proses penataan desa termasuk penghapusan desa itu sendiri.

Tujuan daripada penataan haruslah tercapai secara kolektif tanpa

menghilangkan satu aspek dari tujuan penataan itu sendiri.

Sehingga dalam pelaksanaan penataan desa diorientasikan untuk

mencapai keseluruhan ukuran-ukuran dari tujuan penataan desa

yang telah dinormakan tersebut.

Namun menurut hemat penulis, keseluruhan tujuan penataan

desa jika dihadapkan dengan penghapusan desa yang merupakan

bagian dari penataan desa akan saling kontradiktif atau

bertentangan. Alasannya adalah keseluruhan tujuan penataan desa

yang menjadi indikator keberhasilan dalam penataan desa tidak

akan tercapai ketika desa yang menjadi objek dari penataan

dihapuskan, sehingga efektifitas penyelenggaraan pemerintahan

desa; peningkatan kesejahteraan masyarakat desa; peningkatan

kualitas pelayanan publik; peningkatan kualitas tata kelola

pemerintahan desa; peningkatan daya saing desa tidak tercapai

secara keseluruhan.

Ketidaksesuaian tujuan penataan desa dengan penghapusan

desa semakin diperkuat ketika dihadapkan dengan tataran realitas,

pada kasus pembangunan waduk Jatigede di Jawa Barat yang

mencakup wilayah 28 Desa dalam 5 Kecamatan serta 11.000 warga

76
desa yang terkena dampaknya termasuk 6 Desa yang mengalami

penghapusan. Proses pembangunan waduk berjalan sejak 1970-an

dan selesai pada 2014, dengan rencana penggenangan dan

penghapusan desa pada 2015.109 Pelaksanaan penghapusan desa

sendiri telah melahirkan berbagai permasalahan hukum khsusunya

terkait kesejahteraan masyarakat desa, kelangsungan hidup

masyarakat desa, aset desa, badan usaha milik desa, hingga pada

cagar budaya desa yang mengalami penghapusan. Keseluruhan

rangkaian kompleksifitas permasalahan hukum yang ditimbulkan

dari penghapusan desa akibat pembangunan waduk jatigede

sejatinya telah menciderai nilai-nilai tujuan dari penataan desa yang

hendak dicapai.

Sebagaimana pula menurut Dickerson110 bahwa tujuan pokok

yang hendak dicapai dalam materi undang-undang adalah produk

undang-undang itu menjadi jelas dan seberguna mungkin (as clear

and useful as possible). Dalam artian menurut peneliti bahwa, setiap

norma yang dirumuskan dalam suatu undang-undang hendaklah

109
Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL FISIP UI). Makalah Kebijakan “Grand Design Tata Kelola Desa
yang Partisipatif, Adil, dan Sejahtera. Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia: Jakarta.
2016. Hlm 38. Pemberitaan lebih lanjut tentang pembangunan waduk jatigede serta masalah
hukumnya dapat dilihat di:
http://jabar.tribunnews.com/2016/01/14/6-desa-hilang-ditelan-jatigede-kepala-desa-dapat-
pesangon-rp-16-juta Diakses pada tanggal 5 Desember 2017
http://www.wartakini.co/2016/01/6-desa-tergenang-jatigede-diperlakukan-sesuai-uu-desa/
Diakses pada tanggal 5 Desember 2017
https://news.detik.com/berita/3006846/akankah-nama-28-desa-yang-terkubur-air-jatigede-
tinggal-sejarah Diakses pada tanggal 5 Desember 2017.
110
Jimly Asshidiqqie, Perihal Undag-Undang, Rajawali Pers: Depok. 2006. Hlm 235.

77
memiliki keterkaitan yang padu sehingga tidak menimbulkan suatu

pertentangan norma (as clear) dan berdampak langsung terhadap

cita kedamaian hidup (useful as possible). Kedamaian hidup yang

menjadi muara dari suatu norma hukum terletak antara perpaduan

lahiriah dan batiniah yang proporsional, dan pada akhirnya

menghasilkan keseimbangan antara ketertiban dan ketenteraman,

antara keamanan dan ketenangan.

Hingga pada akhirnya, tujuan penataan desa pada Pasal 7

ayat (3) dan Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa jika diihadapkan pada tataran realitas dan tataran

teoritis tidaklah berkesesuaian. Menurut penulis, penghapusan desa

tidaklah termasuk dalam bagian dari penataan desa jika merujuk

pada tujuan dari penataan desa itu sendiri tapi merupakan suatu

kejadian yang luar biasa yang seharusnya tidak dilakukan tapi

dengan memberikan alternatif lain seperti pembentukan desa atau

penggabungan desa tanpa menggunakan terminologi penghapusan

desa dalam bagian dari penataan desa atau menempatkan

penghapusan diluar dari bagian penataan desa karena tujuan

penataan desa yang tidak terpenuhi.

Olehnya itu, desa yang mengalami penghapusan seharusnya

mendapat perlakuan istimewa seperti adanya penggabungan desa

tanpa harus mensyaratkan adanya unsur wilayah yang telah hilang

ataukah pembentukan suatu desa baru bagi masyarakat desa yang

78
mengalami penghapusan. Kedua alternatif tersebut menjadi proyeksi

kedepannya yang bertujuan untuk mempertahankan hak asal-usul

yang telah melekat bagi masyarakat desa yang mengalami

penghapusan serta kohesi-kohesi yang terjadi antar masyarakat

desa serta sebagai bentuk pemenuhan dan penghormatan bagi

masyarakat desa sebagai subjek hukum.

2. Alasan Hukum Penghapusan Desa

Alasan hukum penghapusan desa berdasarkan Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa diatur dalam Pasal 9

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa yang

menjelaskan bahwa:

“Desa dapat dihapus karena bencana alam dan/atau


kepentingan program nasional yang strategis.”

Dari norma hukum diatas maka terdapat dua alasan untuk

melakukan penghapusan desa yakni:

Pertama, karena kepentingan program nasional yang

strategis. Yang dimaksud dengan program nasional yang strategis

berdasarkan penjelasan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 Tentang Desa adalah antara lain program pembuatan waduk

atau bendungan yang meliputi seluruh wilayah desa.

Kedua, yaitu karena alasan bencana alam. Penjelasan dari

bencana alam tidak terdapat dalam Undang-Undang Desa begitu

pula dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017

79
Tentang Penataan Desa yang merupakan peraturan lebih lanjut

yang menyangkut tentang penataan desa. Kalau kemudian

dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang

menyangkut tentang bencana alam seperti Ketentuan Umum

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan

Bencana, maka yang menjelaskan bahwa

“Bencana Alam adalah bencana yang diakibatkan oleh


peritiwa atau serangakaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor”.

Menurut peneliti, jika merujuk dari penjelasan bencana alam

yang ada pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang

Penanggulangan Bencana maka alasan penghapusan desa karena

bencana alam tidaklah serta merta dapat dijadikan alasan untuk

melakukan penghapusan terhadap desa karena bencana alam

seperti banjir ataupun tanah longsor tidaklah menghapus desa

secara menyeluruh. Oleh karena itu, dampak atau akibat dari

bencana alam yang menghapus desa secara menyeluruh

seharusnya yang menjadi alasan dari penghapusan desa.

Disisi lain, alasan hukum dilakukannya penghapusan desa

salah satunya karena proyek nasional yang strategis termasuk

pembuatan waduk yang mengindikasikan bahwa penghapusan desa

dilakukan untuk melaksanakan proyek nasional yang strategis yang

fokus pada pembangunan infrastruktur berskala nasional sehingga

80
tujuan dari penataan desa yangs sejatinya menjadi latar belakang

dari dilakukannya penghapusan desa tidak terpenuhi secara

akumulatif dan dikesampingkan karena didasarkan atas program

nasional yang strategis

Merujuk dari segi sejarah pengaturan penghapusan desa,

sebelum lahirnya Undang-Undang Desa telah terdapat berbagai

peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait penghapusan

desa termasuk alasan dari penghapusan desa itu sendiri.

Pengaturan terkait penghapusan desa baru diatur dalam Undang-

Undang 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa melalui

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1981 Tentang

Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan, dan Penghapusan Desa,

dijelaskan bahwa alasan penghapusan desa yakni karena tidak lagi

memenuhi syarat-syarat pembentukan desa. Selanjutnya Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang

di dalam materi muatannya mengatur pula tentang desa termasuk

penghapusan desa, dimana dijelaskan bahwa penghapusan desa

dilakukan karena tidak memenuhi lagi syarat pembentukan desa

serta atas prakarsa masyarakat.

Alasan yang sama dapat juga ditemui dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa yang menjadi

peraturan pelaksana dari ketentuan terkait desa dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang

81
menjelaskan bahwa alasan dilakukannya penghapusan desa karena

tidak lagi memenuhi syarat pembentukan desa. Jika berdasar dari

rujukan sejarah pengaturan penghapusan desa diatas,

memperlihatkan bahwa alasan hukum dilakukannya penghapusan

desa lebih menitikberatkan kepada inisiasi desa itu sendiri, hal ini

dikarenakan desa dan segala unsur/institusi di dalamnya menjadi

pihak yang akan mendapat dampak signfikan dari penghapusan

desa serta desa memiliki hak pula dalam menentukan

keberlangsungannya yang telah dijamin dalam konstitusi.

Tabel 2. Perbandingan alasan hukum penghapusan desa

dalam undang-undang

Produk Peraturan Alasan


Masa
Perundang-Undangan Penghapusan
UU No. 1 Tahun 1945
Tentang Kedudukan -
Komite Nasional Daerah
UU No. 22 Tahun 1948
Penetapan Aturan
Pokok Mengenai -
Otonomi Daerah
Pasal 31
Pasca
UU No. 1 Tahun 1957
Kemerdekaan
Tentang Pokok-Pokok -
Pemerintahan Daerah
UU No. 18 Tahun 1965
Tentang Pokok-Pokok -
Pemerintahan Daerah
UU No. 19 Tahun 1965
Tentang Desa Praja -
Pasal 4 dan Pasal 5

82
UU No. 6 Tahun 1969
Tentang Pemerintahan -
Daerah
UU No. 5 Tahun 1979 Syarat Pembentukan
Orde Baru Tentang Pemerintahan tidak lagi terpenuhi
Desa serta melalui
Pasal 2 permufakatan
Lembaga
Musayawarah Desa
UU No. 22 Tahun 1999 Atas prakarsa
Tentang Pemerintahan masyarakat desa
Daerah
Pasal 93
UU Nomor 32 Tahun1.Persyaratan
Pasca 2004 Tentang Pembentukan desa
Reformasi tidak lagi terpenuhi
Pemerintahan Daerah
Pasal 200 2. Atas prakarsa
masyarakat desa
UU No. 6 Tahun 2014 1. Program Nasional
Tentang Desa yang Strategis
Pasal 7 2. Bencana Alam
Sumber: Dihimpun dari beberapa peraturan perundang-undangan

terkait

Undang-Undang Desa telah memberikan alasan lain yang

berbeda dengan alasan penghapusan desa berdasarkan peraturan

perundangan-undangan yang pernah mengatur penghapusan desa,

alasan tersebut yaitu program nasional yang strategis dan bencana

alam.

Bagir Manan111 memberikan pendapat bahwa

“Terdapat suatu proses pemudaran desa, jadi desa bisa


menghilang dan secara hukum harus disahkan. Selain karena

111
Hasil wawancara peneliti bersama dengan Prof Bagir Manan

83
bencana alam dan program nasional yang strategis juga
karena alasan modernisasi. Karena karakteristik
masyaratakat desa yang mengalami modernisasi sudah tidak
termasuk lagi dalam pengertian desa itu sendiri sehingga
sistem pemerintahan desa tidak dapat lagi dilaksanakan.”

Dari keseluruhan rangkaian pengaturan terkait penghapusan

desa, maka menurut peneliti terdapat dua sifat/karakter dari alasan

penghapusan desa yakni alasan yang bersifat absolut dan alasan

yang bersifat relatif jika didasarkan atas peraturan perundang –

undangan yang pernah mengatur tentang penghapuan desa

maupun dari pendapat ahli.

Alasan absolut, yaitu alasan karena didasarkan atas

pertimbangan yang mutlak tanpa adanya suatu upaya negosiasi,

dimana alasan program nasional yang stratgeis dan/atau bencana

alam termasuk alasan absolut.

Sedangkan alasan relatif adalah alasan yang tidak memliki

tolak ukur yang pasti dan bergantung dari keadaan tertentu yang

memungkinkan desa untuk dihapus, dimana alasan karena

terjadinya modernisasi atau syarat pembentukan desa sudah tidak

terpenuhi sehingga desa dapat dihapus.

Dari seluruh pembahasan diatas terkait alasan hukum

penghapusan desa, peneliti berpendapat bahwa alasan hukum

penghapusan desa seharusnya disertai pula atas prakarsa

masyarakat desa itu sendiri, sehingga tercipta suatu proporsionailtas

84
kewenangan terhadap penghapusan desa antara pemerintah dan

masyarakat desa itu sendiri.

3. Peran Desa Dalam Mekanisme Penghapusan Desa

Mekanisme penghapusan desa telah diatur dalam Undang-

Undang Desa serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun

2017 Tentang Penataan Desa yang merupakan ketentuan lebih

lanjut dari Undang-Undang Desa. Dalam Undang-Undang Desa

terdapat beberapa pasal yang mengatur penghapusan desa yaitu:

Pasal 14 yang berbunyi;

“Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau


perubahan status Desa menjadi kelurahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11
atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ditetapkan dalam Peraturan Daerah.”

Pasal 15 yang berbunyi;

(3).“Rancangan Peraturan Daerah tentang pembentukan,


penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status
Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang telah
mendapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan
kepada Gubernur.”
(4).Gubernur melakukan evaluasi Rancangan Peraturan
Daerah tentang pembentukan, penghapusan,
penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi
kelurahan atau kelurahan menjadi Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan urgensi, kepentingan

85
nasional, kepentingan daerah, kepentingan masyarakat
Desa, dan/atau peraturan perundang-undangan.

Pasal 16 yang berbunyi;

(6).Gubernur menyatakan persetujuan terhadap Rancangan


Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
paling lama 20 (dua puluh) hari setelah menerima
Rancangan Peraturan Daerah.
(7).Dalam hal Gubernur memberikan persetujuan atas
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
melakukan penyempurnaan dan penetapan menjadi
Peraturan Daerah paling lama 20 (dua puluh) hari.
(8).Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan
terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Rancangan Peraturan Daerah
tersebut tidak dapat disahkan dan tidak dapat diajukan
kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh
Gubernur.
(9).Dalam hal Gubernur tidak memberikan persetujuan atau
tidak memberikan penolakan terhadap Rancangan
Peraturan Daerah yang dimaksud dalam Pasal 15 dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bupati/Walikota dapat mengesahkan Rancangan
Peraturan Daerah tersebut serta sekretaris daerah
mengundangkannya dalam Lembaran Daerah.
(10). Dalam hal Bupati/Walikota tidak menetapkan
Rancangan Peraturan Daerah yang telah disetujui oleh
Gubernur, Rancangan Peraturan Daerah tersebut dalam
jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal persetujuan
Gubernur dinyatakan berlaku dengan sendirinya.

86
Pasal 17 yang berbunyi;

(1).Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan,


penghapusan, penggabungan, dan perubahan status
Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa
diundangkan setelah mendapat nomor registrasi dari
Gubernur dan kode Desa dari Menteri.
(2).Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disertai lampiran peta batas wilayah Desa.

Mekanisme penghapusan desa dalam Undang-Undang Desa

kemudian diakhiri dengan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) yang

menjelaskan bahwa musyawarah desa dilakukan untuk

memusyawarahkan hal yang bersifat strategis yang di dalamnya

termasuk penataan desa. Kemudian dalam penjelasannya

dijelaskan bahwa dalam hal penataan desa, musyawarah desa

hanya memberikan pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota.

Disisi lain, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun

2017 Tentang Penataan desa yang merupakan ketentuan lebih

lanjut dari penataan desa yang diatur dalam Undang-Undang Desa

memberikan ketentutan tentang pengaturan penghapusan desa

diantaranya;

Pasal 42 yang berbunyi;

(1).Penghapusan Desa dilakukan dalam hal terdapat


kepentingan program nasional yang strategis atau karena
bencana alam.

87
(2).Penghapusan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi wewenang Pemerintah Pusat.

Pasal 43 yang berbunyi;

(1).Kementerian/Lembaga pemerintah nonkementerian,


Pemerintah Daerah, Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota mengusulkan penghapusan Desa kepada
Menteri.
(2).Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana yang
dimaksud pada ayat (1), Menteri bersama-sama dengan
menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian
pemrakarsa, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota melakukan pembahasan untuk
penghapusan Desa.
(3).Dalam hal hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah disepakati. Menteri menerbitkan Keputusan
Menteri tentang persetujuan penghapusan Desa dan
penghapusan kode desa untuk selanjutnya disampaikan
kepada Bupati/Wali Kota.

Pasal 44 yang berbunyi;

(1).Berdasarkan Keputusan Menteri tentang persetujuan


Penghapusan Desa dan penghapusan kode desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3),
Bupati/Walikota menyusun Rancangan Perda
Kabupaten/Kota tentang Penghapusan Desa.
(2).Rancangan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibahas dan disetujui bersama
antara Bupati/Wali Kota dengan DPRD Kabupaten/Kota.
(3).Dalam hal Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) telah disetujui bersama oleh Bupati/Wali Kota dan

88
DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Wali Kota mengajukan
Rancangan Perda Kabupaten/Kota kepada Gubernur untuk
dievaluasi.

Berdasarkan mekanisme penghapusan desa yang telah

dijelaskan diatas, maka perlu kemudian untuk diuraikan lebih lanjut

terkait subjek dari penghapusan desa itu sendiri. Berdasarkan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 Tentang

Penataan Desa dalam Pasal 42 ayat (2) dijelaskan bahwa

“Penghapusan Desa menjadi wewenang Pemerintah Pusat”.

Pemerintah pusat dalam hal ini yang dimaksud adalah Presiden

Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan

Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan

Menteri. Wewenang Pemerintah Pusat sebagaimana dijelaskan

diatas kemudian di delegasikan kepada Menteri Dalam Negeri dalam

melakukan penghapusan desa.

Kedudukan Pemerintah sebagai subjek dari penataan Desa

memberikan otoritas untuk dapat melakukan penataan desa

termasuk penghapusan desa. Namun demikian, karena dalam Pasal

7 ayat (1) digunakan kata “dapat” maka otoritas tersebut tidak

bersifat mutlak, tetapi bersyarat.112 Namun khusus dalam

mekanisme penghapusan desa, syarat untuk melakukan

penghapusan desa sepenuhnya berasal dari pemerintah sendiri

112
Muhammad Yasin dkk, op.cit… 2015. Hlm 92.

89
sehingga otoritas pemerintah dalam penghapusan desa bersifat

mutlak. Hal ini disebabkan karena alasan hukum penghapusan desa

yang juga menjadi syarat utama dalam penghapusan desa yakni

program nasional yag strategis merupakan kebijakan dari

pemerintah sendiri dalam hal ini pemerintah pusat.

Sementara itu, kedudukan desa dalam penghapusan desa

terdapat dalam hasil musyawarah desa yang terkait penataan desa.

Musyawarah desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti

oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur

masyarakat desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat

strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Hasil

musyawarah desa terkait penataan desa hanya memberikan

pertimbangan dan masukan kepada Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota. Peran desa dalam proses penghapusan desa

semakin dipersempit ketika musyawarah desa baru dilakukan

setelah keluarnya Keputusan Menteri komendasi penghapusan desa

oleh Menteri Dalam Negeri untuk penyusunan Rancangan Peraturan

Daerah, dimana dalam Rancangan Peraturan Daerah tersebut

disertai berita acara musyawarah desa.113

Dalam mekanisme Penghapusan Desa, peran desa terkait

tidak dilibatkan atau tidak diberi ruang dalam memberikan

113
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Penataan Desa Pasal 67 Ayat
(1).

90
pertimbangan kepada pemerintah terkait penghapusan desa. Desa

baru dilibatkan untuk mengadakan musyawarah desa ketika

keluarnya Keputusan Menteri Tentang Rekomendasi Penghapusan

Desa. Dengan kata lain, kedudukan desa dalam penghapusan desa

adalah sebagai objek dari penghapusan desa itu.

Berdasarkan uraian keterlibatan pemerintah dan desa dalam

proses penghapusan desa yang telah dijelaskan diatas, peneliti

mengganggap terdapat suatu ketidakadilan terhadap desa yang

mengalami penghapusan. Dimana kewenangan penghapusan desa

terletak pada pemerintah sepenuhnya sedangkan peran desa dalam

penghapusan desa itu sendiri telah direduksi. Oleh karena itu,

kedudukan dan keberlangsungan desa pada Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa masih sangat bergantung pada

political will satuan pemerintahan atasan desa.

Menurut Soetardjo Kartohadikoesoemo114 yang memberikan

pendapat bahwa;

“yang berhak untuk mengambil inisiatif dalam penggabungan


atau pemecahan Desa adalah; (1) Pamong Praja; (2)
Pemerintah daerah Kabupaten; atau (3) Rakyat Desa
bersangkutan.”

Berdasarkan dari uraian diatas, peneliti berpendapat bahwa

ketiga pihak yang berhak yang dapat mengambil inisiatif dalam

114
Seotardjo Kartohadikoesomo, op.cit.. Hlm 69.

91
penggabungan atau pemecahan yang didalamnya termasuk

penghapusan desa merupakan pihak yang memang memiliki

keterikatan langsung dengan desa yang bersangkutan serta

mengetahui segala bentuk dinamika kehidupan yang ada dalam

desa sehingga merepresentasikan desa itu sendiri.

Keberadaan masyarakat desa yang merupakan salah satu

pihak yang mengambil inisiatif dalam penataan desa sebagaimana

yang dikemukakan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo sejalan pula

dengan beberapa pengaturan penghapusan desa sebelum Undang-

Undang Desa seperti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 93 ayat (1) dijelaskan

bahwa:

“Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan


memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat
dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD.”

Berdasarkan pendapat serta rumusan pasal undang-undang

diatas dapat memperlihatkan bahwa keterlibatan masyarakat desa

yang merupakan representasi dari desa yang dihapus dalam

mekanisme penghapusan desa menjadikan desa memiliki peran

yang fundamental. Menurut peneliti terdapat beberapa sebab

masyarakat desa seharusnya memiliki peran dalam penghapusan

desa. Pertama , masyarakat desa yang akan mengalami

penghapusan desa merupakan pihak yang akan mengalami dampak

secara signifikan setelah dilakukannya penghapusan desa. Kedua,

92
masyarakat desa telah menjadikan desa tidak hanya sebagai tempat

bermukim tapi telah menjadi unsur pemersatu dalam menjaga segala

bentuk warisan leluhur yang telah ada secara turun temurun dalam

suatu desa.

Dengan merefleksikan alasan diatas, semakin menguatkan

untuk melibatkan masyarakat desa dalam penghapusan desa itu

sendiri yang tidak hanya bergantung dari political will dari satuan

pemerintah diatas desa. Sehingga peneliti berpendapat bahwa

alasan penghapusan desa haruslah memerhatikan prakarsa

masyarakat desa, hal ini dimaksudkan untuk menciptakan adanya

proporsionalitas dan demokratisasi antara pemerintah dengan

masyarakat desa.

B. Implikasi Hukum Penghapusan Desa

Berdasarkan hasil wawancara peneliti bersama dengan Bagir

Manan, yang menjelaskan bahwa

“Tidaklah cukup hanya membahas alasan hukum ataupun


kewenangan pemerintah terhadap penghapusan desa, akan
tetapi pemenuhan hak terhadap segala bentuk hak yang melekat
pada setiap unsur desa mejadi hal yang terabaikan oleh
pemerintah selama ini.”

Olehnya itu, pembahasan implikasi hukum pada penghapusan

desa berfokus pada kepastian hukum unsur desa setelah mengalami

penghapusan serta pemenuhan hak hak desa.

93
Implikasi hukum dari penghapusan desa terdiri atas beberapa

aspek yaitu; 1) implikasi hukum terhadap masyarakat desa; 2) Implikasi

hukum terhadap keuangan desa; 3) implikasi hukum terhadap badan

usaha miliki desa yang akan dijelaskan secara menyeluruh pada

pembahasan berikut ini.

1. Masyarakat Desa

Jika merujuk dengan peraturan perundangan-undangan yang

terkait penghapusan desa maka implikasi hukum yang ditimbulkan

adalah tidak terakomodirnya hak kolektif dalam penghapusan desa,

pemerintah hanya terfokus pemenuhan hak masyarakat desa secara

personal tanpa adanya pemenuhan hak masyarakat desa secara

kolektif seperti hak asal-usul dalam mempertahankan kohesi yang

ada antar masyarakat desa.

Jika merujuk penghapusan desa yang terjadi karena program

nasional yang strategis yaitu pembanguna waduk Jatigede di

Kabupaten Sumedang maka pemerintah sebenarnya telah

mengeluarkan suatu kebijakan terkait implikasi hukum terhadap

masyarakat desa yang mengalami penghapusan yakni Peraturan

Presiden Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Penanganan Dampak Sosial

Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede. Pada Pasal 3

dijelaskan bahwa :

94
(1).Kepada penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf a diberikan tempat penampungan
pemukiman baru berupa rumah pengganti dalam bentuk
uang tunai.
(2).Uang tunai sebagaimana dimaksud pada huruf a
diperuntukkan sebagai:
a. penggantian bangunan;
b. penggantian pengadaan tanah; dan
c. tunjangan kehilangan pendapatan.
(3).Besaran nilai uang tunai sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan
usulan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
berdasarkan hasil Rapat Koordinasi yang dipimpin oleh
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Sedangkan dalam Pasal 4 menjelaskan bahwa:

(1).Kepada penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2


ayat (1) huruf b diberikan uang santunan untuk:
a. biaya pembongkaran rumah;
b. mobilisasi;
c. sewa rumah;
d. tunjangan kehilangan pendapatan.
(2).Besaran nilai uang santunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan
berdasarkan usulan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat berdasarkan hasil Rapat Koordinasi
yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian.

95
Secara keseluruhan isi pasal diatas memuat terkait

penggantian pengadaan tanah, mobilisasi, sewa rumah, serta

tunjangan kehilangan pendapatan.

Menurut peneliti, materi muatan yang terdapat dalam perpres

tersebut hanya mengatur tentang penanganan terhadap masyarakat

desa secara personal yakni pemberian uang tunai untuk

penggantian bangunan, penggantian pengadaan tanah serta

tunjangan kehilangan pendapatan. Dengan demikian, hak asal usul

yang menjadi hak masyarakat desa untuk mempertahankan kohesi

yang ada tidak terakomodir dalam meteri muatan Perpres tersebut.

Hak asal-usul dalam Pasal 19 huruf a Undang-Undang Desa

mencakup pengertian hak-hak asli masa lalu yang telah ada sebelum

lahir NKRI pada tahun 1945 dan tetap dibawa dan dijalankan oleh

desa setelah lahir NKRI sampai sekarang. Disamping itu, hak-hak

asli yang muncul dari prakarsa desa yang bersangkutan maupun

prakarsa masyarakat setempat, sepanjang tidak bertentangan

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam realitasnya, salah satu desa yang mengalami penghapusan

yakni Desa Cipaku Kab. Sumedang terdapat beberaa situs leluhur

yang telah mendapat perlindungan hukum, serta menjadi warisan

leluhur bagi masyarakat desa untuk menjaga kohesi-kohesi antara

masyarakat desa dan keyakinan-keyakinan yang tumbuh di

96
masyarakat desa.115 Akan tetapi karena menjadi salah satu desa

yang dihapuskan maka keseluruhan hak kolektif tersebut terabaikan

demi program nasional yang strategis yaitu pembangunan waduk.

Sedangkan jika berangkat dari pengaturan konstitusional

desa, maka catatan sejarah perdebatan konstitusi di BPUPKI yang

digoreskan dengan tinta emas oleh Soepomo yang kemudian

dijadikan Penjelasan UUD NRI Tahun 1945, menjadi bukti sejarah

yang sangat berharga bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia,

karena melalui penjelasan tersebut kita mengetahui bahwa pendiri

bangsa telah secara arif dan bijaksana mengakui keberadaan

volksgemeenschappen116 yang beragam di Indonesia jauh sebelum

Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk.117

Mengenai volksgemeenschappen (Pasal 18), Bagir Manan 118

menjelaskan sebagai berikut:

“Dalam Penjelasan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yang

dimaksud dengan volksgemeenschappen adalah desa,

negeri, dusun, marga, dan sebagainya. Sepanjang yang

dimaksud adalah desa, dan sebagainya dalam peraturan

115
www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/07/150714_majalah_lingkungan_jatigede Diakses ada
tanggal 15 April 2018, pukul 14.17 WITA.
116
Volksgemeenschappen dalam Penjelasan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 tidak menyebutkan
jumlah tertentu akan tetapi menyebutkan contoh yaitu desa di Jawa dan Bali. Meski desa di Jawa
dan Bali hanya merupakan salah satu bentuk volksgemeenschappen seperti yang disebut dalam
penjelasan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, namun istilah “desa” digunakan sebagai istilah yang
menggantikan volksgemeenschappen. Lihat Ni’Matul Huda, op.cit…. Hlm 25.
117
Ni’Matul Huda, op.cit… Hlm 101.
118
Bagir Manan, Hubungan Antar Pusat dan Daerah, op.cit… Hlm 159. Lihat pula Ni’Matul Huda,
op.cit …Hlm 10.

97
perundang-undangan Hindia Belanda di pergunakan istilah

inlandsche gemeente, yaitu semua persekutuan hukum

teritorial,kecuali Swapraja. Jadi bukan hanya beberapa desa

yang merupakan satu kesatuan yang mandiri, juga

persekutuan hukum lebih besar yang mandiri, seperti marga

di SumateraSelatan.”

Volksgemeenschappen dan inlandsche gemeente adalah

daerah otonom yang dibiarkan mengatur dan mengurus urusan-

urusan rumah tangga mereka sendiri. Dari pembahasan diatas,

maka memandang dan mengingat hak asal-usul dalam daerah-

daerah yang bersifat istimewa menurut Pasal 18, sepanjang

mengacu kepada volksgemeenschappen berarti menunjuk kepada

daerah otonomi asli Indonesia yaitu swaparaja dan desa. 119

Selanjutnya dalam alinea terakhir Penjelasan Pasal 18 UUD

NRI Tahun 1945 yang berbunyi:

“Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-


daerah istimewa tersebut dan segala aturan negara yang
menangani daerah itu akan mengingati hak hak asal-usul
daerah tersebut”.

Ni’Matul Huda120 menjelaskan bahwa frasa “memandang dan

mengingati” itu berarti “menghormati” atau dengan kata lain “tidak

mengabaikan”. Jadi konsekuensi dari jaminan yang diberikan oleh

119
Ibid. Hlm 10.
120
Ibid. Hlm 12.

98
UUD NRI Tahun 1945 adalah setiap aturan negara atau peraturan

perundang-undangan mengenai “daerah yang bersifat istimewa” itu

haruslah tidak mengabaikan hak asal-usul daerah tersebut.

Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa pengakuan terhadap

eksistensi desa tidak hanya bersifat sosiologsi, tetapi juga diakui

keberadaannya sebagai subyek hukum penyandang hak dan

kewajiban.

Hazairin121 juga berpendapat bahwa menjadi kewajiban bagi

Negara Republik Indonesia untuk memelihara, menyuburkan, dan

meningkatkan hal ichwal pedesaan. Dan menjadi tidak perlu

diindahkan apa yang dipesankan oleh para penyusun UUD NRI

Tahun 1945 melalui penjelasan Pasal 18, agar Negara Republik

Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa

tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daera-daerah

itu akan mengingat hak hak asal-usul daerah tersebut.

UUD NRI Tahun 1945 mengakui kenyataan historis, bahwa

daerah-daerah istimewa itu telah memiliki berbagi hak dan

wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan pemerintahan

di daerahnya. Hak-hak itu berupa hak yang dimiliki berdasarkan

pemberian dari pemerintah dan hak yang telah dimilikinya sejak

semula (hak yang bersifat autochtoon), atau hak yang dimiliknya

121
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti: Jakarta. Hlm 289-
290.

99
sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari negara Republik

Indonesia.122

Dengan adanya hak asal usul tersebut, negara harus

memperhatikan dan menghormati kewenangan asal-usul yang

terkait dengan nomenkaltur dan institusi atau organiasi desa. Negara

tidak boleh melakukan campur tangan atau mengambil alih terhadap

tanah-tanah desa sebagai hak asal-usul desa. Walaupun begitu,

negara tetap masih bisa melakukan pembinaan atas pengaturan dan

pengelolaan serta memberikan proteksi untuk menjaga kelesetarian

dan optimalisasi pemanfaatan. Hal ini karena tidak sedikit desa atau

desa adat di Indonesia yang mempunyai tanah desa sebagai aset

desa yang dijaga dan diwariskan secara turun temurun. Tanah desa

merupakan hak asal-usul desa yang paling vital, sebab tanah

merupakan aset (kekayaan) yang menjadi sumber penghidupan dan

kehidupan bagi desa dan masyarakat. Oleh karena itu, negara perlu

memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap tanah sebagai

hak asal-usul desa.

Jimly Asshidiqqie123 menjelasakan bahwa sebagaimana

kebijakan yang tercermin dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa,

sistem pemerintahan desa itu terkait dengan sistem pemerintahan

negara sebagai suatu kesatuan sistem hukum. Desa hanya dilihat

122
Ibid. Hlm 12.
123
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Masyarakat Desa (Piagam Tanggung Jawab dan Hak Asasi Warga
Desa), hal. 3. Diakses melalui Diambil dari http://www.jimly.com/makalah/namafi
le/176/KONSTITUSI_MASYARAKAT_DESA.pdf. Pada tanggal 5 April 2018

100
sebagai unit komunitas politik dan administrasi pemerintahan

terbawah. Akibatnya, struktur pemerintahan desa tidak ubahnya

bagaikan pemerintahan yang setara dengan pemerintahan daerah

dengan struktur yang disesuaikan, seperti adanya fungsi eksekutif

dan legislatif, pemilihan kepala desa, dan lain sebagainya. Desa dan

masyarakat desa sekali lagi hanya dilihat sebagai suatu unit politik

dan administrasi, sehingga aspek ekonomi dan kesejahteraan

masyarakat terabaikan.

Olehnya itu, peneliti berpendapat perlunya pemenuhan hak

terhadap masyarakat desa sebagai subjek hukum khususnya hak

yang bersifat kolektif seperti hak asal-usul, sehingga kohesi yang

terjalin antar masyarakat desa dapat terjaga meskipun telah

mengalami penghapusan desa.

2. Keuangan Desa

Merujuk dari Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Desa, yang

dimaksud keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa

yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang

dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan

kewajiban desa.

Jika merujuk pada beberapa peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang keuangan, yaitu UU No. 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang

101
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara,

maka tidak ada bab yang secara khusus mengatur tentang

Keuangan Desa. Pengaturan hanya sampai di tingkat

kabupaten/kota dan Desa dianggap bagian dari kabupaten/kota.

Oleh karena itu pengaturan tentang keuangan desa dalam Undang-

Undang Desa merupakan suatu bentuk terobosan dalam melegalkan

dan melegitimasi keuangan desa dalam sistem keuangan nasional.

Sedangkan ruang lingkup Pasal 71 ayat (2) menyebutkan

bahwa ruang lingkup keuangan desa adalah pendapatan, belanja,

pembiayaan, dan pengelolaan keuangan Desa. Pendapatan,

belanja, pembiayaan merupakan ruang lingkup jika didasarkan pada

obyek, sedangkan frasa “pengelolaan keuangan Desa” merujuk

pada proses pengelolaan keuangan, yang terdiri dari penyusunan,

pelaksanaan anggaran dan pertanggungjawaban anggaran.

Pendapatan desa merupakan salah satu ruang lingkup

keuangan desa yang akan terkena implikasi hukum dari

penghapusan desa. Undang-Undang Desa telah menegaskan

pengakuan negara atas Desa melalui asas rekognisi dan

subsidiaritas yang mengakibatkan adanya pengakuan atas

kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal

desa. Pemberian kewenangan diikuti dengan penyerahan sumber

daya kepada Desa sehingga kewenangan yang dimiliki dapat

102
terlaksana secara maksimal. Atas dasar inilah Desa memiliki

sumber-sumber pendapatan asli desa sebagai hak desa.

Berdasarkan Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang

Pengelolaan Keuangan Desa yang merupakan penjabaran lebih

lanjut terkait keuangan desa dalam Undang Undang Desa, maka

pendapatan asli desa terdiri atas beberapa bagian yaitu:

a. Hasil Usaha;
b. Hasil aset;
c. Swadaya, partisipasi dan Gotong Royong; dan
d. Lain-lain pendapatan asli desa.

Hasil usaha antara lain BUM Desa, tanah kas desa. Hasil aset

antara lain tambatan perahu, pasar desa, tempat permandian umum,

jaringan irigasi. Swadaya, partsipasi, dan gotong royong adalah

tekait membangun dengan kekuatan sendiri yang melibatkan peran

serta masyarakat berupa tenaga, barang yang dinilai dengan uang.

Sedangkan terkait lain lain pendapatan asli desa antara lain hasil

pungutan desa.124

Jika merujuk penghapusan desa yang terjadi karena program

nasional yang strategis yaitu pembanguna waduk Jatigede di

Kabupaten Sumedang maka terdapat beberapa desa yang memiliki

beberapa sumber pendapatan asli desa.

124
Lihat Pasal 9 ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7) Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Keuangan Desa.

103
Tabel 3. Daftar Pendapatan Asli Desa yang Mengalami
Penghapusan di Kab. Sumedang

Pendapatan Asli Desa

No Nama Desa Swadaya,


Lain-lain
Hasil Hasil Partisipasi,
pendapatan
Usaha Aset Gotong
asli desa
Royong
1. Cibogo Ada Ada Ada

2. Cipaku Ada Ada

3. Leuwihdeung Ada

4. Padajaya Ada Ada Ada Ada

5. Sukakersa Ada

6. Jatibungur Ada Ada

Sumber : sumedangtandang.com

Dari keseluruhan bagian pendapatan asli desa maka implikasi

hukum yang ditimbulkan dari penghapusan desa yakni berimplikasi

terhadap keuangan desa khususnya hasil usaha desa, hasil dari

pendapatan asli desa yang memuat hasil usaha, swadaya,

partisipasi, gotong royong, serta pendapatan asli desa yang lain

seperti hasil pemungutan desa. Dimana peraturan perundang-

undangan terkait penghapusan desa tidak mengatur pengelolaan

lebih lanjut terhadap keuangan desa yang mengalami penghapusan

sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum serta berpotensi

merugikan desa yang telah mengalami penghapusan.

104
3. Badan Usaha Milik Desa

Terdapat suatu ketidakpastian hukum dalam pengaturan

pengelolaan BUM Desa setelah desa mengalami penghapusan, hal

tersebut telah tercermin dalam beberapa peraturan perundang-

undangan yang mengatur terkait BUM Desa. Jika merujuk dari

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan

Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan

dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa, hanya

terdapat pembubaran BUM Desa karena dinyatakan pailit

sedangkan tidak terdapat pengaturan pengelolaan BUM Desa

setelah adanya penghapusan desa. Begitu pula dengan Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tentang Pengelolaan Keuangan

Desa tidak terdapat pengaturan pengelolaan keuangan BUM Desa

setelah mengalami penghapusan.

Olehnya itu, terkait implikasi hukum yang ditimbulkan

penghapusan desa terhadap BUM Desa adalah tidak tersedianya

payung hukum terkait pengaturan lebih lanjut terkait pengelolaan

keuangan BUM Desa setelah desa mengalami penghapusan. Tidak

tersedianya payung hukum tersebut, melahirkan diskresi yang relatif

luas bagi pihak yang berwenang serta berpotensi dimanfaatkan

untuk kepentingan pribadi yang pada akhirnya akan merugikan

masyarakat desa yang telah mengalami penghapusan.

105
Menurut pendapat Anang Prihantoro yang menjelaskan

terkait keuangan desa selaku perwakilan dari DPD RI dalam Raker

RUU Desa pada taanggal 4 April 2012 bahwa “Desa sebagai negara

kecil, yang memiliki pemerintahan yang kuat sekaligus masyarakat

yang kuat. Sebagai negara kecil, desa mempunyai beberapa makna

penting:

1. Desa sebagai negara kecil bukan hanya sekedar obyek

penerima bantuan pemerintah, tetapi sebagai subyek

yang mampu melakukan emansipasi lokal (atau otonomi

dari dalam dan otonomi dari bawah) untuk

mengembangkan aset-aset lokal sebagai smber

penghidupan bersama.

2. Desa memiliki property right atau mempunyai aset dan

akses terhadap sumberdaya lokal yang dimanfaatkan

secara kolektif untuk kemakmuran bersama.

3. Desa bermartabat secara budaya, yang memiliki identitas

atau sistem sosial-budaya yang kuat, atau memiliki

kaerifan lokal yang kuat untuk mengelola masyarakat dan

sumber daya lokal.”

Jika merujuk pada penghapusan desa yang terjadi karena

program nasional yang strategis yaitu pembangunan waduk

Jatigede di Kabupaten Sumedang maka terdapat beberapa desa

yang memiliki Badan Usaha Milik Desa.

106
Tabel 4. Daftar Badan Usaha Milik Desa yang terdapat di
desa yang mengalami penghapusan di Kab. Sumedang

No. Nama Desa Jumlah

Desa Cibogo 1 Bumdes

Desa Cipaku -

Desa Leuwihideung -

Desa Padajaya 1 Bumdes

Desa Sukakersa -

Desa Jatibungur -

Sumber: Diolah dari beberapa sumber125

BUM Desa jika dilihat dari fungsinya merupakan pilar kegiatan

ekonomi di desa yang berfungsi sebagai lembaga sosial (social

institution) dan komersial (commercialinstitution). BUM Desa

sebagai lembaga sosial berpihak kepada kepentingan masyarakat

melalui kontribusinya dalam penyediaan pelayanan sosial.

Sedangkan sebagai lembaga komersial bertujuan mencari

keuntungan melalui penawaran sumberdaya lokal. BUM Desa

sebagai badan hukum, dibentuk berdasarkan tata perundang-

undangan yang berlaku dan sesuai dengan kesepakatan yang

terbangun di masyarakat desa.

125
www.sumedangtandang.com dan kknm.unpad.ac.id diakses pada tanggal 15 April 2018 pukul
19.40 WITA

107
Menurut peneliti, pengaturan pengelolaan BUM Desa setelah

desa mengalami penghapusan haruslah mencerminkan fungsi dari

BUM Desa sebagaimana yang telah dikemukakan diatas. Yaitu

memfokuskan pengelolaannya yang berpihak kepada kepentingan

masyarakat desa secara adil dan merata.

108
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan oleh peneliti, maka dapat

disimpulkan bahwa:

1. Penghapusan desa termasuk dalam penataan desa sebagaimana

yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa. Terdapat klausul tujuan penataan desa yang

menjadi suatu kaedah hukum yang seharusnya dilakukan (das

sollen) akan tetapi terdapat ketidaksesuain ketika kaedah hukum

tersebut dihadapkan dengan penghapusan desa (das sein) karena

penghapusan desa telah menafikkan seluruh ketentuan tujuan

penataan desa, sehingga desa yang mengalami penghapusan

pada akhirnya tidak berorientasi pada tujuan penataan desa

tersebut. Disisi lain, alasan hukum penghapusan desa yang bersifat

subjektif menjadikan peran desa dalam penghapusan desa

tereduksi.

2. Penghapusan desa telah melahirkan implikasi hukum yang tidak

berkesusaian dengan nilai kepastian, keadilan, serta kebergunaan

yang hendak dicapai dalam tujuan penataan desa. Hal tersebut

tercermin dalam pengelolaan keuangan desa dan Badan Usaha

Milik Desa yang mengalami kekosongan hukum setelah

penghapusan desa serta tidak terpenuhinya hak masyarakat desa

109
subyek hukum penyandang hak khususnya hak kolektif yang telah

dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.

B. Saran

Berdasarkan atas rumusan kesimpulan sebelumnya, peneliti

kemudian merumuskan saran sebagai berikut:

1. Pemerintah hendaknya mengkaji kembali penghapusan desa

sebagai bagian dari penataan desa karena terdapat ketidaksesuaian

dengan tujuan penataan desa itu sendiri, serta perlunya terdapat

peraturan terkait alasan hukum penghapusan desa yang objektif

dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat desa dan

peraturan yang menguatkan peran desa dalam penghapusan desa

itu sendiri. Olehnya itu, pemerintah dapat menerapkan kembali

beberapa ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan terkait

penghapusan desa yang pernah berlaku sebelumnya yang lebih

mengakui keberadaan desa.

2. Perlunya ada regulasi yang secara komprehensif dan holistik baik

sebelum dan/atau sesudah penghapusan desa yang menjamin

keberlangsung tata kehidupan desa baik secara individu maupun

secara kolektif. Hal ini sebagai pencerminan “menghormati” atau

dengan kata lain “tidak mengabaikan” keberadaannya sebagai

subyek hukum penyandang hak dan kewajiban khususnya yang

menyangkut hak kolektif masyarakat desa yang menjadi karakteristik

110
desa itu sendiri dalam sisitem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

111
DAFTAR PUSTAKA

Buku

A. Hamid S. Attamimi. 1990, Peranan Keputusan Presiden RI dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor,

Universitas Indonesia, Jakarta.

A. Pangeran Moenta. 2017. Permusyawaratan dan DPRD: Analisis Aspek

Hukum dan Produk Permusyawaratan, Intelegensia Media:

Malang.

Aminuddin Ilmar. 2013, Hukum Tata Pemerintahan, Identitas Universtas

Hasanuddin: Makassar.

Angger Jati dkk, 2000. Reformasi Tata Pemerintahan Menuju Demokrasi,

Pustaka Pelajar kerjasama Yapika dan Forum LSM DIY:

Yogyakarta.

Bagir Manan, 1999. Lembaga Kepresidenan, Yogkarta: Pusat Studi Hukum

Universitas Islam Indonesia.

___________. 1994, Hubungan Antara Pusat dan Daerah menurut UUD

NRI Tahun 1945. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.

Ghufron, 2016. Tesis: Hubungan Antara Pemerintah Daerah dan

Pemerintah Desa dalam Konsep Otonomi PASCA Reformasi

Indonesia. Universitas Islam Indonesia: Yogyakarta.

112
I Gde Panjta Astawa. 2009, Memahami Ilmu Negar dan Teori Negara,

Refika Aditama: Bandung.

HAW Widjaja. 2003, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat

dan Utuh, Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Jimly Asshiddiqie. 2011, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar

Grafika:Jakarta.

. 2002, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan

Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Indonesia Universitas

Indonesia: Jakarta.

, 2006, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers: Depok.

J.C.T Simorangkir, 1983 Hukum dan Konstitusi Indonesia, Gunung

Agung:Jakarta.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara

Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum

Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti: Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group.

Pusat Studi Tokoh Pemikiran Hukum (Pustokum), 2015, Soepomo

Pergulatan Tafsir Negara Integralistik (Biografi Intelektual,

Pemikiran Hukum Adat, dan Konstitusionalisme, Thafa Media:

Yogyakarta.

113
M Silahuddin, 2014 Kewenangan Desa dan Regulasi Desa. Kementerian

Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

Republik Indonesia: Jakarta

Mashuri Maschab, 2013, Politik Pemerintahan Desa di Indonesia, PolGov

Fisipol UGM: Yogyakarta.

Mririam Budiardjo, 1992, Dasar-Dasar Ilmu Politik Cet. XVII, Gramedia:

Jakarta

Muhammad Yasin dkk, 2015, Anotasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 Tentang Desa, Pusat Telaah dan Informasi Regional

(PATTIRO): Jakarta.

Ni’Matul Huda, 2015, Hukum Pemerintahan Desa. Setara Press:Malang.

, 2005 Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Grafindo

Persada.

, 2012, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia: Bandung.

,2014, Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI, Nusamedia:

Bandung.

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum

(Legal Argumentasi/Legal Reasoning) Langkah-Langkah Legal

Problem Solving dan Penyusunan Legal Opinion, Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.

Soehino, 2002, Ilmu Negara, Yogyakrta: Liberti.

114
Soetandyo Wignosubroto dkk, 2005 Pasang Surut Otonomi Daerah,

Institute for Local Development dan Yayasan Tifa: Jakarta.

Solly Lubis, 1983, Perkembangan Garis Politik dan Perundang-Undangan

Pemerintah Daerah. Alumni:Bandung

Soepomo, 2003, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita:

Jakarta.

Soetoro Kartohadikoesoemo, 1983, Desa. Balai Pustaka:Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2014 Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (edisi

revisi), Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka.

Titon Slemet Kurnia, dkk, 2013 Pendidikan Hukum, Ilmu Hukum &

Penelitian Hukum di Indonesia Sebuah Reorientasi, Yogyakarta:

Pustka Belajar.

Yudi Latif. 2012, Negara Paripurna. Cet. 4. Jakarta:Kompas Gramedia.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 47 Tahun 2015 tetang Perubahan Atas Peraturan

115
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Penataan

Desa.

Jurnal dan Karya Ilmiah

Agus Kusnadi, 2015, Jurnal Ilmu Hukum Padjajaran: Perkembangan Politik

Hukum Pemerintahan Desa Menurut Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Universitas

Padjajaran:Bandung.

Dewan Perwakilan Daerah, 2009, Kerangka Acuan Penelian Studi

Hubungan Pusat Dan Daerah Kerjasama DPD RI Dengan

Perguruan Tinggi Di Daerah, Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah

Republik Indonesia.

Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Pusat Kajian Politik (PUSKAPOL FISIP UI). 2016, Makalah Kebijakan

“Grand Design Tata Kelola Desa yang Partisipatif, Adil, dan

Sejahtera. Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia:

Jakarta.

116
Rico Hermawan, 2015, Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia : Melihat Desa dari Sudut Pandang Aturan Perundang-

Undangan (Jurnal Desentralisasi Volume 13 Nomor 1 Tahun

2015). Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Lembaga Administrasi Negara: Jakarta.

Yusdianto, 2015, Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah Menurut

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, Jurnal Ilmu Hukum Padjajaran Vol 2 No.3, Universitas

Padjajaran: Bandung.

Internet

http://jabar.tribunnews.com/2016/01/14/6-desa-hilang-ditelan-jatigede-

kepala-desa-dapat-pesangon-rp-16-juta.

http://www.wartakini.co/2016/01/6-desa-tergenang-jatigede-diperlakukan-

sesuai-uu-desa/

https://news.detik.com/berita/3006846/akankah-nama-28-desa-yang

terkubur-air-jatigede-tinggal-sejarah.

http://www.jimly.com/makalah/namafile/176/KONSTITUSI_MASYARAKAT

_DESA.pdf.

117
LAMPIRAN

118

Anda mungkin juga menyukai