Anda di halaman 1dari 112

PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN RUANG ANGKASA UNTUK

KEPENTINGAN MILITER BERDASARKAN HUKUM RUANG


ANGKASA INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP
KASUS PENGGUNAAN SATELIT KOMUNIKASI GSAT-7 UNTUK
KEPENTINGAN MILITER DI INDIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung
Oleh

Nama : Amrul Fikri

NPM : 10040013178

Program Kekhususan : Hukum Internasional

Dibawah Bimbingan

Dr.Neni Ruhaeni, S.H.,LL.M

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2017
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : AMRUL FIKRI

NPM : 10040013178

Tempat/Tanggal lahir : Jakarta, 17 Maret 1995

Alamat : komplek mutiara garuda blok A8 No.14

Tangerang, Banten

Judul Skripsi : PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN


RUANG ANGKASA UNTUK KEPENTINGAN
MILITER BERDASARKAN HUKUM
RUANG ANGKASA INTERNASIONAL DAN
IMPLEMENTASINYA TERHADAP KASUS
PENGGUNAAN SATELIT KOMUNIKASI
GSAT-7 UNTUK KEPENTINGAN MILITER
DI INDIA .

Apabila dikemudian hari temukan baik seluruh atau sebagian dari skripsi tersebut
terdapat indikasi plagiarisme, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan
ketentuan yang berlaku di Unisba.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya tanpa ada paksaan
dari siapa pun juga, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bandung, 31 Juli 2017

Amrul Fikri

i
LEMBAR PENGESAHAN
Bandung, 31 Juli 2017

Disetujui Untuk Diajukan dalam Sidang Skripsi

Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung

Menyetujui,
Pembimbing

(Dr. Neni Ruhaeni, SH.,LL.M.)

Diketahui Oleh:
Dekan Fakultas Hukum

(Prof. Dr. Nandang Sambas, S.H., M.H.)

Universitas Islam Bandung

ii
MOTO

Ketika kamu terjatuh, bangkitlah, ketika terjatuh lagi bangkitlah, dan ketika kamu

terjatuh lagi bangkitlah, jangan pernah berhenti mencari kebenaran dan

memberikan kebaikan kepada sesama manusia. Sesungguhnya Tuhan bersama

orang – orang yang sabar.

(Amrul Fikri)

iii
ABSTRAK
Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration
and Use of Outer Space, Including the Moon and other Celestial Bodies 1967
(The Outer Space Treaty) merupakan perjanjian yang dibentuk oleh negara –
negara peserta perjanjian untuk mengatur kegiatan penggunaan dan pemanfaatan
ruang angkasa beserta benda – benda langit lainnya. Ruang angkasa memiliki
sumber daya alam yang terbatas antara lain orbit, yaitu sumber daya alam yang
merupakan jalur – jalur untuk pengorbitan satelit. Menurut The Outer Space
Treaty, kegiatan penggunaan serta pemanfaatan benda – benda langit pada
dasarnya secara eksklusif hanya untuk tujuan damai saja, sehingga bentuk
kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan militer merupakan pelanggaran atas
perjanjian ini. Pada prakteknya terdapat beberapa negara yang melakukan
kegiatan keruangangkasaan yang ditujukan untuk kepentingan militer. Skripsi ini
membahas permasalahan hukum dari kegiatan keruangangkasaan yang dilakukan
untuk tujuan militer.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu
dengan teori-teori hukum dalam praktek pelaksanaannya, penelitian yang
menggunakan sumber data sekunder dengan bahan hukum primer yaitu Treaty on
Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer
Space, Including the Moon and other Celestial Bodies 1967 disingkat Outer
Space Treaty 1967 dan bahan hukum sekunder yaitu buku-buku, dokumen, hasil-
hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan media online.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kegiatan manusia di
ruang angkasa telah diatur didalam berbagai instrumen hukum ruang angkasa
internasional. Lebih spesifiknya untuk pengaturan tentang kegiatan penggunaan
dan pemanfaatan benda – benda langit yang ditujukan untuk kepentingan militer
telah diatur didalam The Outer Space Treaty. Merujuk kepada aturan – aturan
yang ditetapkan oleh hukum ruang angkasa internasional, kegiatan
keruangangkasaan yang dilakukan oleh India terdapat ketidaksesuaian dengan
regulasi yang terdapat didalam The Outer Space Treaty dengan meluncurkan
satelit GSAT-7 yaitu satelit yang diperuntukan untuk membantu komunikasi,
navigasi, serta pemetaan wilayah yang ditujukan untuk kepentingan militer India,
dengan demikian kegiatan tersebut termasuk kegiatan yang ditujukan untuk
kepentingan militer walaupun bersifat non-agresif.
Kata Kunci: Hukum Ruang Angkasa, The Outer Space Treaty, Satelit
Militer

iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT,

karena atas limpahan kebaikan, rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan,

shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad

SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:

“PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN RUANG ANGKASA

UNTUK KEPENTINGAN MILITER BERDASARKAN HUKUM RUANG

ANGKASA INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA TERHADAP

KASUS PENGGUNAAN SATELIT KOMUNIKASI GSAT-7 UNTUK

KEPENTINGAN MILITER DI INDIA”

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian sidang

sarjana untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) pada Bagian Hukum

Internasional di Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.Dalam penyusunan

skripsi ini penulis menyadari bahwa untuk memenuhi persyaratan sidang skripsi

ini masih jauh dari sempurna, yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dan

kurangnya pengetahuan penulis.Oleh karena itu dengan besar hati penulis bersedia

menerima segala saran dan kritik yang bertujuan untuk kesempurnaan Skripsi ini.

Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan dan dorongan

yang sangat berharga dan untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Neni Ruhaeni,S.H.,LL.M. selaku

v
dosen pembimbing dan wakil dekan 1 fakultas hukum universitas bandung yang

dalam kepadatan jadwalnya masih sempat meluangkan waktu, tenaga, dan

pikirannya guna membimbing dan memberikan pengarahan yang sangat bermakna

dan berharga bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Serta terima kasih yang teramat tulus dan sebesar – besarnya kepada yang

tercinta kedua orang tuaku Bapak RIDWAN dan Ibu SISDA BRISMA, serta

kakak dan adik dari penulis yang telah memberikan do’a serta dukungan kepada

penulis baik secara Materil maupun Imateril, tanpa dukungan dari keluarga

penulis tidak akan bisa menjadi sosok seperti sekarang ini, memang penulis belum

bisa membalas semua yang telah kalian berikan, tapi penulis akan selalu berusaha

untuk membuat kalian bangga. Dalam kesempatan ini penulis ingin

menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Edi Setiadi, SH., MH. Selaku Rektor Universitas Islam

Bandung

2. Bapak Prof. Dr. Nandang Sambas, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Islam Bandung.

3. Bapak Dr. M. Husni Syam, SH.,LL.M. selaku Ketua Bagian Jurusan

Hukum Internasional.

4. Ibu Dr. Hj. Lina Jamilah, S.H, M.H, selaku wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Islam Bandung.

5. Ibu Nurul Chotidjah, S.H, MH, selaku dosen wali terbaik.

vi
6. Ibu Frency Siska, S.H., M.H. selaku dosen dan pembimbing mengaji saya.

7. Bapak Arinto Nurcahyono, DRS.,M.Hum. selaku dosen yang telah

membuka pikiran saya sehingga menjadi terang pikiran saya.

8. Seluruh Staf Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, terutama

tenaga pengajar dibidang kekhususan Hukum Internasional yang telah

memberikan Ilmu pengetahuan dan Inspirasi penulis selama menjalani

perkuliahan.

9. Seluruh Staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.

10. Kepada Grup Band Hordy Jones, terimakasih telah mewarnai dan

memberikan inspirasi kepada penulis

11. Kepada semua teman – teman penulis yang tidak dapat disebutkan satu

persatu yang selalu memberikan motivasi dan inspirasi kepada penulis dan

membantu penulis dalam masa kuliah dan saat penulisan skripsi ini.

12. Kepada Julinar Mutiara Dewi, terimakasih telah memberikan perhatian

dan waktu yang telah dicurahkan kepada penulis selama menempuh

perkuliahan dan pengerjaan skripsi ini.

13. Seluruh keluarga besar Fakultas Hukum Unisba angkatan 2013.

14. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelsaikan skripsi ini yang

tentunya tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

vii
Akhirnya tiada kata yang sempurna kecuali Allah SWT. Penulis berharap

dapat membalas apa yang telah mereka berikan, perlihatkan, dan ajarkan, semoga

semua yang telah mereka berikan kepada penulis mendapat keridhoan dan balasan

yang setimpal dari Allah SWT. Amin Yaa Rabbal’alamin.

Wassalamamu’alaikum Wr.Wb

Bandung, Juli 2017

Penulis

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN......................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii

ABSTRAK..............................................................................................................iv

KATA PENGANTAR.............................................................................................v

DAFTAR ISI...........................................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................1

B. Identifikasi Masalah..................................................................................8

C. Tujuan Penelitian.......................................................................................8

D. Kegunaan Penelitian..................................................................................8

E. Kerangka Pemikiran..................................................................................9

F. Metodologi Penelitian.................................................................................15

1. Metode Pendekatan..............................................................................15

2. Spesifikasi Penelitian...........................................................................15

3. Sumber Data........................................................................................16

4. Teknik Pengumpulan Data..................................................................17

5. Teknik Analisis Data...........................................................................17

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM


RUANG ANGKASA INTERNASIONAL MENGENAI PENGGUNAAN
RUANG ANGKASA UNTUK TUJUAN DAMAI

................................................................................................................................18

A. Hukum Ruang Angkasa sebagai Hukum Internasional...........................18

ix
1. Tinjauan umum mengenai Kedaulatan Negara dalam hukum
Internasional...................................................................................................21

B. Hukum Ruang Angkasa...........................................................................24

1. Pengertian dan Istilah Hukum Ruang Angkasa...................................24

2. Sejarah Terbentuknya Hukum Ruang Angkasa...................................28

3. Prinsip Umum Hukum Ruang Angkasa..............................................31

4. Lingkup Ruang (Delimitasi) Ruang Angkasa......................................32

5. Instrumen Hukum Ruang Angkasa (Corpus Juris Spatialis)..............36

C. Treaty on Principles Governing the Activities in the Exploration and Use


of Outer Space, Including Moon and other Celestial Bodies 1967 ( The Outer
Space Treaty )....................................................................................................47

1. Sejarah Terbentuknya The Outer Space Treaty...................................47

2. Ruang Lingkup The Outer Space Treaty 1967....................................51

3. Hal – hal yang Diatur Dalam The Outer Space Treaty 1967...............52

D. Tinjauan Umum Mengenai Objek Ruang Angkasa................................54

1. Definisi Satelit.....................................................................................54

2. Jenis Dan Fungsi Satelit.......................................................................54

3. Berdasarkan Ketinggian Garis Edarnya...............................................57

BAB III PENGGUNAAN SATELIT KOMUNIKASI GSAT-7 OLEH INDIA


UNTUK KEPENTINGAN MILITER...................................................................60

A. Tujuan Militer Menurut Hukum Ruang Angkasa Internasional.............60

1. Exclusively for Peaceful Purposes.......................................................61

B. Peran International Communication Union (ITU) Tentang Pengaturan


Satelit Komunikasi.............................................................................................63

1. Penggunaan Satelit Untuk Komunikasi Broadband (Kelebihan dan


Keterbatasan).................................................................................................64

x
2. Layanan dan Sistem Satelit..................................................................67

3. Isu Regulasi Internasional - Penggunaan Spektrum dan Orbital Sumber


daya 68

4. Tantangan Regulasi: Satelit Virtual dan Masalah Koordinasi


Internasional Lainnya - Solusi Yang Memungkin.........................................70

C. Norma, Pedoman Dan Prosedur Untuk Komunikasi Satelit Di India.....72

1. Pedoman Dasar....................................................................................72

2. Klasifikasi Penggunaan.......................................................................73

3. Alokasi Kapasitas................................................................................74

4. Lisensi Yang Diperlukan.....................................................................75

5. Kewajiban Bertanggung Jawab Untuk Masalah Lisensi.....................76

D. Satelit GSAT-7........................................................................................77

E. Satelit GSAT-7 Untuk Kepentingan Militer...........................................78

F. Hukum Ruang Angkasa Nasional Mengenai Penggunaan Dan Pemanfaatan


Ruang Angkasa Untuk Kepentingan Militer......................................................80

BAB IV ANALISA TERHADAP PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN


RUANG ANGKASA UNTUK KEPENTINGAN MILITER BERDASARKAN
HUKUM RUANG ANGKASA INTERNASIONAL DAN
IMPLEMENTASINYA TERHADAP KASUS PENGGUNAAN SATELIT
KOMUNIKASI GSAT-7 UNTUK KEPENTINGAN MILITER DI INDIA........83

A. Pengaturan Kegiatan Keruangangkasaan Yang Ditujukan Untuk


Kepentingan Militer Berdasarkan Hukum Ruang Angkasa Internasional.........83

B. Implementasi Pengaturan Kegiatan Keruangangkasaan Yang Ditujukan


Untuk Kepentingan Militer Berdasarkan Hukum Ruang Angkasa Internasional
Terhadap Kasus Penggunaan Satelit Komunikasi GSAT-7 Untuk Kepentingan
Militer Di India..................................................................................................90

BAB V PENUTUP.................................................................................................94

xi
A. Simpulan..................................................................................................94

B. Saran........................................................................................................95

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................96

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi telah menjadikan dunia tanpa batas (borderless world),

menjadikan negara-negara terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan kemajuan

teknologinya termasuk didalam bidang kerdirgantaraan dan keruangangkasaan.

Wilayah udara dan ruang angkasa kini telah menjadi suatu sumber daya yang

penting bagi kehidupan manusia baik bidang ekonomi, politik, sosial budaya

maupun pertahanan dan keamanan.

Terhadap ruang angkasa semua negara diberikan kebebasan untuk

melakukan eksplorasi dan memanfaatkan ruang angkasa tanpa diskriminasi

berdasarkan asas persamaan dan sesuai dengan hukum internasional. Beberapa

instrumen hukum internasional yang mengatur kegiatan manusia di ruang angkasa

dikenal sebagai Corpus Juris Spatialis, yang terdiri dari :

 Treaty on Principles Governing the Activities of States in the

Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and

Other Celestial Bodies 1967 disingkat The Outer Space Treaty

1967, intrumen hukum ini mengatur tentang kegiatan negara –

negara dalam eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa termasuk

bulan dan benda – benda langit lainnya.

 Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts

and the Return of Objects Launched into Outer Space 1968, yang

1
disingkat Rescue Agreement 1968, instrumen hukum ini mengatur

tentang pertolongan serta pengembalian astronot dan pengembalian

benda – benda yang diluncurkan ke antariksa.

 Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space

1975, instrumen hukum ini mengatur tentang registrasi objek yang

diluncurkan keruang angkasa untuk membantu mengidentifikasi

objek – obek yang telah diluncurkan keruang angkasa.

 Convention on International Liability for Damage Caused by

Space Objects 1972, instrumen hukum ini mengatur tentang

tanggung jawab internasional terhadap kerugian yang disebabkan

oleh benda – benda ruang angkasa.

 Agreement Governing the Activities of States on the Moon and

Other Celestial Bodies

Pada dasarnya, negara – negara di dunia bebas untuk melakukan akses

pada benda – benda langit1. Namun didalam kebebasan untuk melakukan akses

pada benda – benda langit di ruang angkasa, negara manapun tidak dapat

mengklaim kedaulatannya di ruang angkasa sesuai dengan aturan The Outer

Space Treaty dalam pasal 1 yang berbunyi “eksplorasi dan penggunaan ruang

angkasa termasuk benda – benda langit lainnya, harus dilaksanakan demi ke-

manfaatan dan kepentingan semua negara tanpa memandang tingkat

perkembangan ekonomi atau ilmu pengetahuan mereka dan harus menjadikannya

kawasan seluruh umat manusia”.


1
Lapan, Himpunan Ratifikasi Perjanjian Internasional Dibidang Keantariksaan oleh Indonesia,
(Jakarta: Mitra Wacana Media, 2014), hlm.7.

2
Ruang angkasa merupakan warisan bersama umat manusia. Dengan

adanya prinsip “Common Heritage of Mankind” (Warisan bagi seluruh umat

manusia)2 di dalam pemanfaatan ruang angkasa, membuat negara-negara maju

yang memiliki teknologi tinggi berlomba-lomba ingin menguasai pemanfaatan

kawasan ruang angkasa tersebut dengan mengorbitkan teknologi satelit buatan

manusia.

Ruang angkasa merupakan sumber daya terbatas yang harus dijaga

bersama oleh umat manusia, dengan adanya The Outer Space Treaty 1967 negara-

negara terikat untuk melindungi sumber daya ini dengan melakukan eksplorasi

ruang angkasa hanya untuk tujuan damai 3. Ruang angkasa memiliki sumber daya

ruang yaitu berupa orbit yang dapat dimanfaatkan oleh umat manusia untuk

menempatkan satelit – satelit buatan manusia. Menurut Husni Nasution dalam

jurnalnya tentang orbit dan ketinggiannya terdapat 3 jenis orbit4 antara lain :

 Orbit Polar

 Orbit Stasioner

 Orbit Eliptikal

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia orbit merupakan jalan yang dilalui

oleh benda langit dalam peredarannya mengelilingi benda langit lain yang lebih

besar gaya gravitasinya. Orbit inilah yang merupakan tempat dimana satelit –

satelit buatan manusia akan mengitari bumi.

2
The Outer Space Treaty, art.11.
3
Ibid, Preamble, para.2.
4
Husni Nasution, “Orbit Satelit Dan Ketinggiannya”, Berita Dirgantara, No.1, Maret 2001.

3
Merujuk kepada kamus besar Bahasa Indonesia, satelit adalah bintang

siarah5 yang mengedari bintang siarah yang lebih besar, misalnya bulan yang

mengedari bumi. Satelit alami adalah salah satu benda ruang angkasa yang telah

ada (bukan buatan manusia) yang mengorbit suatu plane, sedangkan satelit buatan

adalah salah satu benda ruang angkasa buatan manusia yang mengorbit suatu

planet yang dalam pembuatannya memiliki jenis dan fungsi tertentu dengan tujuan

untuk kepentingan manusia.

Berdasarkan fungsi pengoperasiannya satelit terbagi menjadi beberapa

macam, antara lain satelit pemantau yang digunakan untuk tujuan militer bagi

negara tertentu. Berdasarkan hukum ruang angkasa internasional, pemanfaatan

satelit pada dasarnya harus menjamin penggunaan ruang angkasa untuk tujuan

damai.6 Berikut ini adalah bunyi dari pasal 4 The Outer Space Treaty :

“States Parties to the Treaty undertake not to place in orbit around the Earth any
objects carrying nuclear weapons or any other kinds of weapons of mass
destruction, install such weapons on celestial bodies, or station such weapons in
outer space in any other manner.

The Moon and other celestial bodies shall be used by all States Parties to the
Treaty exclusively for peaceful purposes. The establishment of military bases,
installations and fortifications, the testing of any type of weapons and the conduct
of military manoeuvres on celestial bodies shall be forbidden. The use of military
personnel for scientific research or for any other peaceful purposes shall not be
prohibited. The use of any equipment or facility necessary for peaceful
exploration of the Moon and other celestial bodies shall also not be prohibited”.

Maksud dari pasal tersebut adalah negara – negara pihak traktat berjanji

tidak akan menempatkan diorbit sekeliling bumi benda – benda yang membawa

senjata nuklir atau senjata perusak masal lainnya, memasang senjata tersebut pada
5
Wiktionary, Siarah, merupakan planet yang mengitari matahari dan mendapat cahayanya,
diakses dari https://id.wiktionary.org/wiki/siarah, pada tanggal 8 April 2017 pukul 21:08.
6
The Outer Space Treaty, art.4.

4
benda – benda langit atau menempatkan sebjata tersebut dengan cara – cara lain di

ruang angkasa. Bulan dan benda – benda langit lainnya harus digunakan oleh

semua negara pihak traktat secara eksklusif untuk tujuan – tujuan damai.

Mendirikan pangkalan, instalasi – instalasi dan benteng – benteng militer,

melakukan percobaan segala jenis senjata dan tindakan manuver militer pada

benda – benda langit harus dilarang. Penggunaan personil militer untuk penelitian

ilmiah untuk maksud – maksud damai lainnya tidak boleh dilarang. Penggunaan

setiap peralatan atau fasilitas yang diperlukan untuk tujuan eksplorasi di bulan dan

benda – benda langit lainnya juga tidak boleh dilarang.7

Merujuk kepada The Outer Space Treaty dalam pasal 4 paragraf 2

penggunaan benda – benda langit yang secara eksklusif hanya untuk tujuan –

tujuan damai. Oleh karena itu satelit yang diterbitkan oleh suatu Negara apabila

bertujuan selain untuk militer diperbolehkan, hingga penggunaan personel militer

untuk penelitian ilmiah ataupun untuk maksud – maksud damai tidak dilarang.

Yang merupakan pelarangan atas akses benda – benda langit dalam hal ini ialah

segala bentuk penggunaan benda – benda langit dengan maksud – maksud atau

tujuan militer.8 Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa Negara yang

melanggar isi dari traktat tersebut dengan muluncurkan satelit yang dimaksudkan

untuk tujuan-tujuan militer.

India merupakan anggota dari the outer space treaties 1967 9, meskipun

tergolong pendatang baru dalam kompetisi ruang angkasa, program antariksa


7
Lapan, op.cit, hlm.14.
8
The Outer Space Treaty, loc.cit.
9
United Nations Office For Disarmament Affairs, diakses dari
http://disarmament.un.org/treaties/t/outer_space, pada tanggal 25 Maret 2017 pukul 21:40.

5
India telah menorehkan beberapa terobosan teknologi yang signifikan dan secara

simultan mengembangkan reputasinya10 di bidang keruangangkasaan. India

melalui Indian Space Research Organisation (ISRO) telah meluncurkan beberapa

seri satelit yang mereka usung ke orbit antara lain satelit seri GSAT 11. Diantara

seri – seri satelit yang telah ISRO luncurkan, seri satelit GSAT-7 yang

diluncurkan bersama rangkaian peluncuran Ariane-5 pada tanggal 30 Agustus

2013 silam merupakan satelit komunikasi canggih yang dibangun oleh ISRO

untuk menyediakan berbagai spektrum layanan dari bit rate suara rendah ke bit

rate suara tinggi tingkat komunikasi data. 12 Komunikasi GSAT-7 payload

dirancang untuk memberikan kemampuan komunikasi untuk penggunanya di atas

wilayah laut yang luas termasuk tanah India13. Pengguna satelit yang dimaksud

dilakukan oleh angkatan laut India guna memantau wilayah India serta untuk

membantu komunikasi antara angkatan laut, kapal selam, pesawat udara serta

angkatan darat India untuk mendapatkan informasi penting tentang pergerakan

yang ada diwilayah India14.

Pengaturan yang terdapat didalam The Outer Space Treaty tidak

menjelaskan apa yang dimaksud dengan peaceful purposes dalam kegiatan yang

ditujukan untuk penggunaan militer di ruang angkasa.

10
National Geographic Indonesia, “India Melaju dengan Ambisi Luar Angkasa”, diakses dari
http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/06/india-melaju-dengan-ambisi-luar-angkasa, pada
tanggal 25 Maret 2017 pukul 20:11.
11
ISRO Satelit Center, “SALIENT FEATURES OF GSAT-7”, diakses dari
http://www.isac.gov.in/communication/index.jsp, pada tanggal 25 Maret 2017 pada pukul 20:35
12
Departement of Space ISRO, “GSAT-7”, diakses dari http://isro.gov.in/Spacecraft/gsat-7, pada
tanggal 25 Maret 2017 pukul 21:01.
13
Ibid.
14
Indian Navy, “Navy gets a boost with Launch of First Dedicated Defence Satellite”, diakses
dari https://www.indiannavy.nic.in/content/navy-gets-boost-launch-first-dedicated-defence-
satellite, pada pukul 21:31.

6
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas penulis sangat tertarik untuk

membahas masalah penggunaan dan pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan

militer dengan judul “PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN RUANG

ANGKASA UNTUK KEPENTINGAN MILITER BERDASARKAN

HUKUM RUANG ANGKASA INTERNASIONAL DAN

IMPLEMENTASINYA TERHADAP KASUS PENGGUNAAN SATELIT

KOMUNIKASI GSAT-7 UNTUK KEPENTINGAN MILITER DI INDIA”.

7
B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana pengaturan kegiatan keruangangkasaan yang ditujukan

untuk kepentingan militer berdasarkan Hukum Ruang Angkasa

Internasional ?

2. Bagaimana implementasi pengaturan kegiatan keruangangkasaan yang

ditujukan untuk kepentingan militer berdasarkan Hukum Ruang

Angkasa Internasional terhadap kasus penggunaan satelit komunikasi

GSAT-7 untuk kepentingan militer di India?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan kegiatan keruangangkasaan

yang ditujukan untuk kepentingan militer menurut Hukum Ruang

Angkasa Internasional.

2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi pengaturan kegiatan

keruangangkasaan yang ditujukan untuk kepentingan militer

berdasarkan Hukum Ruang Angkasa Internasional terhadap kasus

penggunaan satelit komunikasi GSAT-7 untuk kepentingan militer di

India.

D. Kegunaan Penelitian

 Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran

atau memberikan solusi dalam bidang hukum internasional ruang angkasa

8
terkait dengan satelit yang digunakan untuk tujuan militer yang ada di

India. Dengan demikian pembaca atau calon peneliti lain akan semakin

mengetahui tentang bagaimana pengaturan tentang kegiatan Negara –

negara dalam eksplorasi dan penggunaan antariksa termasuk bulan dan

benda – benda langit lainnya.

 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian

dalam rangka meningkatkan kualitas penerapan hukum internasional

khususnya dalam masalah hukum ruang angkasa.

E. Kerangka Pemikiran

Pokok bahasan dalam tulisan ini berhubungan dengan pelanggaran Negara

dalam penggunaan satelit yang ditujukan untuk militer menurut The Outer Space

Treaty 1967. Oleh karena itu, agar proses penulisan hukum terarah, penulis

menggunakan teori hukum internasional dan hukum ruang angkasa.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum internasional adalah

seluruh kaidah dan asas yang mengatur hubungan yang melintasi batas-batas

antarnegara. Hubungan yang melintasi batas – batas negara (hubungan

internasional) tersebut dapat terjadi baik hubungan yang diadakan negara dengan

negara maupun negara dengan subjek hukum internasional lainnya bukan

negara.15 Berdasarkan pengertian di atas unsur-unsur dari hukum internasional itu

adalah adanya aturan yang mengatur mengenai hubungan-hubungan negara

15
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional , Alumni, Bandung: 2003, hlm.5.

9
dengan negara sebagai subjek hukum internasional ataupun dengan subjek hukum

internasional lainnya. Hubungan antar subjek internasional tentu memerlukan

suatu instrumen hukum untuk dapat mengawasi dan membatasi setiap tindakan

subjek hukum internasional. Salah satu instrumen hukum internasional itu adalah

perjanjian internasional, adapun pengertian perjanjian internasional adalah

perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa – bangsa dan

bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.16

Perjanjian internasional memiliki dua macam bentuk. Yaitu, bilateral dan

multilateral hal ini tergantung dari tujuan dibentuknya perjanjian itu sendiri,

perjanjian biasanya diadakan untuk mengatur syarat-syarat dari negara yang

berkepentingan ketika mengadakan suatu hubungan ataupun adanya suatu

masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh satu negara ataupun fenomena itu

merupakan suatu masalah yang menjadi perhatian masyarakat internasional, maka

diperlukan kerjasama dalam bentuk perjanjian agar masalah tersebut dalam

diselesaikan. Karena perjanjian pada prakteknya bukan hanya mengikat bagi

negara-negara yang terikat dalam perjanjian tersebut, namun juga akibat dari

perjanjian ini mengikat bagi negara-negara di luar perjanjian tersebut terutama

perjanjian yang berkaitan atau mengandung prinsip-prinsip umum hukum

internasional.

Negara – negara telah melakukan beberapa kesepakatan dalam melakukan

kegiatan di ruang angkasa, di antaranya yang berkaitan dengan pengeksplorasian

dan pemanfaatan benda – benda langit, tanggung jawab negara atas benda – benda
16
Ibid, hlm.117.

10
langit yang diluncurkan, registrasi terhadap benda – benda langit yang

diluncurkan, yang selanjutnya dikenal sebagai hukum ruang angkasa

internasional.

Menurut John C. Cooper, Hukum Ruang Angkasa adalah hukum yang

ditujukan untuk mengatur hubungan antar negara-negara, untuk menentukan hak –

hak dan kewajiban - kewajiban yang timbul dari segala aktivitas yang tertuju

kepada ruang angkasa dan di ruang angkasa – dan aktivitas itu demi kepentingan

seluruh umat manusia, untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan,

terrestrial dan non-terrestrial, di manapun aktivitas itu dilakukan 17. Ruang angkasa

dipandang sebagai suatu keseluruhan yang utuh, yang dalam lingkupnya

mencakup benda – benda langit lainnya.

Berkaitan dengan hukum ruang angkasa, The Outer Space Treaty

merupakan traktat yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur hak, kewajiban, dan

larangan bagi negara – negara dalam melaksanakan kegiatan eksplorasi dan

penggunaan ruang angkasa, termasuk bulan dan benda – benda langit lainnya.

Kegiatan eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa harus dilaksanakan

demi untuk kemanfaatan dan kepentingan semua negara tanpa memandang tingkat

ekonomi atau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu negara.

Traktat ini juga dibuat untuk membebankan kepada setiap negara untuk

pertanggungjawaban setiap negara pihak atas kegiatan ruang angkasa nasionalnya.

17
John C. Cooper, Aerospace Law Subject Matter and Terminology, JALC, 2003, hlm. 89.

11
Terdapat pula beberapa konvensi yang mengatur tentang ruang angkasa (corpus

juris spatialis), yaitu:

 Convention on Registration of Objects Launced into Outer Space

1975

 Convention on International Liability for Damage Caused by

Space Objects 1972

 Agreement Governing the Activities of States on the Moon and

Other Celestial Bodies

 Treaty on Principles Governing the Activities of States in the

Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and

Other Celestial Bodies 1967 disingkat The Outer Space Treaty

1967

 Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts

and the Return of Objects Launched into Outer Space 1968

The Outer Space Treaty merupakan ketentuan pokok yang mengatur

tentang kegiatan penggunaan dan pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan damai

semata serta mencakup bagaimana kewajiban negara atas kegiatan eksplorasi di

ruang angkasa yang menitikberatkan kepentingan pemeliharaan perdamaian dan

keamanan internasional serta untuk memajukan kerja sama dan saling pengertian

internasional.18 4 instrumen hukum lainnya merupakan instrumen yang

menjabarkan ketentuan pokok dalam The Outer Space Treaty.

18
The Outer Space Treaty, art.3.

12
Ketika sebuah benda – benda langit buatan manusia antara lain satelit yang

dioperasikan oleh praktisi milliter tanpa tujuan militer tidak menimbulkan

masalah dalam aturan yang terdapat didalam The Outer Space Treaty 1967. Hal

yang menjadi masalah adalah ketika benda – benda langit yaitu satelit buatan

manusia digunakan untuk tujuan militer.

Terdapat beberapa kegiatan manusia di ruang angkasa dengan tujuan

damai, antara lain untuk kegiatan eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa

untuk penelitian ilmiah, penempatan satelit, membantu navigasi dan lain

sebagainya. Seiring berkembangnya zaman, terdapat peningkatan – peningkatan

berikutnya dimana kegiatan keruangangkasaan sudah bersifat komersial dengan

wujud Space Tourism, space tourism adalah wahana dimana seseorang atau

sekumpulan orang membayar sejumlah uang kepada suatu perusahaan penyedia

jasaperjalanan ke ruang angkasa lalu kembali ke Bumi.19

Merujuk kepada ketentuan Pasal 4 The Outer Space Treaty mengenai

larangan penggunaan ruang angkasa untuk tujuan militer, yang dimaksud dengan

tujuan militer adalah mendirikan pangkalan – pangkalan, instalasi – instalasi, dan

benteng – benteng militer, melakukan percobaan segala jenis senjata dan tindakan

manuver militer terhadap benda – benda langit. 20 Setiap objek yang diluncurkan

oleh suatu negara harus didaftarkan kepada Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa

– bangsa.21 Negara – negara yang meluncurkan benda – benda langit yang dapat

19
Pebri Tuwanto, “Komersialisasi Ruang Angkasa dalam Space Tourism”,
https://www.academia.edu/19387324/Space_Tourism_Sebagai_Wujud_Komersialisasi_Ruang_An
gkasa, diakses 22 Mei 2017, pukul 14:13 WIB.
20
Lapan, op.cit, hlm.14.
21
Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space 1975. Art.2.

13
menyebabkan kerusakan serius harus mempertimbangkan supaya secepat

mungkin memberikan bantuan yang sesuai kepada negara yang menderita

kerugian tersebut.22

Pengorbitan GSAT-7 yang dilakukan oleh ISRO merupakan satelit

bertujuan untuk pemantauan wilayah laut dan darat serta komunikasi antara

angkatan laut, kapal selam, angkatan udara meliputi angkatan darat India pula.

Hal – hal tersebut diatas merupakan sebuah manuver militer yang dimaksudkan

didalam pasal 4 The Outer Space Treaty. Negara India merupakan anggota dari

The Outer Space Treaty 1967.

Dengan demikian aspek hukum yang terkait didalam The Outer Space

Treaty telah dilanggar didalam pasal 4 yang berbunyi :

“Bulan dan benda – benda langit lainnya harus digunakan oleh semua

Negara Pihak Traktat secara eksklusif untuk tujuan – tujuan damai. Mendirikan

pangkalan – pangkalan, instalasi – instalasi dan benteng – benteng militer,

melakukan percobaan segala jenis senjata dan tindakan manuver militer pada

benda – benda langit harus dilarang23”.

Teknologi yang semakin berkembang dibidang keantariksaan membuat

Negara – negara saling berlomba – lomba untuk menjadi yang terkuat diruang

angkasa. Dengan semakin banyaknya pemantauan wilayah dan komunikasi yang

22
Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972. Art.21.
23
The Outer Space Treaty, art.4.

14
dilakukan dan dengan tujuan militer haruslah dilarang untuk menghindari

timbulnya ancaman maupun gangguan terhadap perdamaian dunia24.

F. Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah:

1. Metode Pendekatan

Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini

termasuk kedalam kategori penelitian yang menggunakan pendekatan

yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan –

bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik

suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis,

yaitu mengungkapkan peraturan perundang-undangan maupun

instrumen Hukum Internasional yang berkaitan dengan teori-teori

hukum yang menjadi objek penelitian.

3. Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data

sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen

penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya.

24
Ibid.

15
Menurut Soerjono Soekanto, data sekunder di bidang hukum

ditinjau dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga

yaitu: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum

tersier.

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,

yang dalam hal ini adalah :

 Treaty on Principles Governing the Activities of States in the

Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and

other Celestial Bodies 1967 disingkat Outer Space Treaty 1967

 Convention on Registration of Objects Launced into Outer

Space 1975

 Convention on International Liability for Damage Caused by

Space Objects 1972

 Agreement Governing the Activities of States on the Moon and

Other Celestial Bodies

b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti :

 Hasil karya ilmiah para sarjana

 Hasil – hasil penelitian

16
c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, misalnya bahan dari media internet dan

sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan metode pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini yang merupakan penelitian yuridis normatif, maka untuk

memperoleh data yang mendukung, kegiatan pengumpulan data dalam

penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data-

data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi

kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang

berhubungan dengan masalah yang diteliti.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.

BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM

RUANG ANGKASA INTERNASIONAL MENGENAI

PENGGUNAAN RUANG ANGKASA UNTUK TUJUAN DAMAI

17
A. Hukum Ruang Angkasa sebagai Hukum Internasional

Hukum ruang angkasa internasional merupakan salah satu bentuk hukum

internasional, karena instrumen hukum ruang angkasa pada internasional

merupakan hasil kesepakatan masyarakat internasional baik dalam bentuk

perjanjian internasional maupun resolusi – resolusi internasional. Dengan

demikian, pembahasan tentang hukum internasional merupakan hal yang perlu

dilakukan. Pemahaman hukum Internasional dengan baik sangat penting dalam

menghadapi suatu masalah yang berhubungan dengan hukum Internasional.

Pengertian hukum Internasional diberikan oleh para ahli sebagai berikut :

 Oppenheim : mendefinisikan hukum internasional adalah hukum

bangsa-bangsa atau sebagai suatu sebutan untuk sekumpulan aturan-

aturan kebiasaan dan traktat yang secara hukum mengikat negara-

negara dalam hubungan mereka satu dengan yang lainnya.25

 J.L Brierly menggunakan istilah Hukum Internasional atau Hukum

bangsa-bangsa, mendefinisikannya sebagai sekumpulan aturan-aturan

dan prinsip tindakan yang mengikat atas negara-negara yang beradab

dalam hubungan mereka satu dengan yang lainnya. Mochtar

Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum Internasional adalah

seluruh kaidah dan asas yang mengatur hubungan yang melintasi

batas-batas antarnegara. Hubungan yang melintasi batas-batas negara

(hubungan internasional) tersebut dapat terjadi baik hubungan yang

25
Titik Triwulan Tutik, 2006. Pengantar ilmu Hukum, PT Prestasi Pustakaraya : Jakarta, 2006,
hlm 112.

18
diadakan negara dengan negara maupun negara dengan subjek hukum

internasional lainnya bukan negara satu sama lain.

Hukum internasional juga merupakan sistem hukum yang terintegrasi

secara horizontal. Satu negara atau organisasi internasional maupun subjek hukum

internasional lainnya berelasi satu sama lain. Negara merupakan subjek hukum

internasional dalam arti klasik dan telah demikian halnya sejak lahirnya hukum

internasional. Singkatnya, fakta bahwa negara memiliki personalitas internasional

maka negara tunduk pada ketentuan hukum internasional.

Sumber hukum internasional diatur dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta

Mahkamah Internasional terdiri atas.26

 Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat

umum maupun khusus.

 Kebiasaan internasional (international custom), sebagai bukti dari suatu

kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum.

 Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law), yang diakui oleh

negara-negara beradab (recognized by civilized nation).

 Keputusan pengadilan (judicial decisions)

 pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (teaching of the most

highly qualified publicist) sebagai sumber tambahan untuk menetapkan

kaidah hukum internasional.

26
Lihat Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.

19
Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota

masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum

tertentu. Perjanjian Internasional antar negara-negara yang dinyatakan dalam

bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, entah itu termuat dalam satu

atau lebih dokumen ataupun tujuanyang di kandungnya. Perjanjian internasional

ada kalanya dinamakan traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention),

piagam (charter), statuta (statute), deklarasi (declaration), protokol (protocol),

persetujuan (agreement), perikatan (arrangement), accord, modus vivendi,

covenant, dan sebagainya. Secara yuridis semua istilah ini tidak mempunyai arti

tertentu, dengan perkataan lain secara umum dapat disimpulkan memiliki makna

yang sama.27

Hukum ruang angkasa merupakan hukum internasional yang bersumber

pada beberapa perjanjian internasional dimana pelaksanaannya bergantung kepada

ketentuan negara terhadap pelaksanaan hukum internasional tersebut berdasarkan

prinsip kedaulatan negara.

1. Tinjauan umum mengenai Kedaulatan Negara dalam hukum

Internasional

Sebagai subjek hukum internasional, Negara memiliki

kedaulatan yang diakui oleh hukum internasional. Kedaulatan suatu

negara dimaknai sejauh mana Negara memiliki kewenangan dalam

27
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional , Alumni, Bandung: 2003,
hlm.117-119.

20
kebijakan dan kegiatan dalam menjalankan kebijakan dan kegiatan

dalam wilayah Negaranya melaksanakan hukum nasionalnya.

Kedaulatan sendiri ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu

negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan

kepentingannya asal saja tidak bertentangan dengan hukum

internasional28, kedaulatan memiliki tiga aspek utama yaitu : ekstern,

intern, dan teritorial.

a. Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk

secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara

atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau

pengawasan dari negara lain.29

b. Aspek intern kedaulatan ialah hak atau wewenang eksklusif suatu

negara untuk menentukan bentuk-bentuk lembaganya, cara kerja

lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang

yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.30

c. Aspek territorial kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif

yang dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda

yang terdapat di wilayah tersebut.

28
Nkambo Mugerwa, Subjects of International Law, New York, 1968, hlm. 253, dalam Boer
Mauna, op.cit, hlm. 24.
29
kedaulatan yang bersifat eksternal (Westphalian dan International legal sovereignty),
lihat Husni Syam, http://husnisite.wordpress.com/2012/04/14/pengaruh-globalisasi-terhadap-
kedaulatan-negara/.
30
kedaulatan yang bersifat internal (Interdependence dan domestic sovereignty), lihat Husni
Syam, http://husnisite.wordpress.com/2012/04/14/pengaruh-globalisasi-terhadap- kedaulatan-
negara/.

21
Disamping itu, kedaulatan juga memiliki pengertian negatif dan positif.31

a. Pengertian negatif

1) Kedaulatan dapat berarti bawah negara tidak tunduk pada

ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mempunyai status

yang lebih tinggi

2) Kedaulatan berarti bahwa Negara tidak tunduk pada kekuasaan

apapun dan dari manapun datangnya tanpa persetujuan negara

yang bersangkutan.

b. Pengertian positif

1) Kedaulatan memberikan kepada titulernya yaitu negara pimpinan

tertinggi atas warga negaranya. Ini yang dinamakan wewenang

penuh dari suatu negara,

2) Kedaulatan memberikan wewenang kepada Negara untuk

mengeksploitasi sumber-sumber alam wilayah nasional bagi

kesejahteraan umum masyarakat banyak. Ini yang disebut

kedaulatan permanen atas sumber-sumber kekayaan alam.

Namun, perlu dicatat bahwa berkembangnya organisasi-

organisasi internasional apalagi yang bersifat supranasional,

kedaulatan tidak dapat lagi dikatakan secara absolut. Keanggotaan

suatu organisasi banyak sedikitnya telah membatasi kedaulatan negara

tersebut.32 Hak dan kewajiban yang timbul sebagai konsekuensi bagi

31
Jean Charpentier, Institution Internationales, 13 Edition, Momentos Dallozz, Paris,
1997, hlm. 25-26, dalam Boer Mauna, op.cit, hlm. 25.
32
Boer Mauna, op.cit, hlm.25.

22
suatu negara ketika mengikatkan diri dalam suatu organisasi

internasional dalam suatu perjanjian internasional memberi dampak

terhadap kedaulatan negara terkait sehingga menimbulkan tanggung

jawab negara terhadapnya.

Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip

fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin

kedaulatan dan persamaan hak antar negara. 33 Hukum tentang

tanggung jawab negara adalah hukum mengenai kewajiban negara

yang timbul manakala negara telah atau tidak melakukan suatu

tindakan.

G. Hukum Ruang Angkasa

1. Pengertian dan Istilah Hukum Ruang Angkasa

Hukum Ruang Angkasa adalah sebuah wilayah dari hukum

yang mengatur aktivitas pemerintahan negara dan hukum

internasional di ruang angkasa.

Beberapa pengertian hukum ruang angkasa menurut para ahli :

a. Priyatna Abdurrasyid, hukum Antariksa adalah hukum yang

mengatur ruang angkasa dengan segala isinya atau hukum yang

mengatur ruang yang hampa udara (outer space).34

33
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Rajawali, Jakarta, 1991,
hlm.174.
34
Priyatna Abdurrasyid, Hukum Ruang Angkasa Nasional Penempatan dan Urgensinya,
Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hlm 183.

23
b. T.May Rudy, hukum ruang angkasa adalah hukum yang ditujukan

untuk mengatur hubungan antar negara-negara untuk menentukan

hak-hak dan kewajiban yang timbul dari segala aktivitas yang

tertuju pada ruang angkasa dan demi seluruh umat manusia, untuk

memberikan perlindungan terhadap kehidupan, terrestrial dan non-

terrestial, dimana pun aktivitas itu dilakukan.35

c. John C. Cooper, hukum ruang angkasa adalah hukum yang

ditujukan untuk mengatur hubungan antar negara-negara, untuk

menentukan hakhak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari

segala aktivitas yang tertuju kepada ruang angkasa dan di ruang

angkasa – dan aktivitas itu demi kepentingan seluruh umat

manusia, untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan,

terrestrial dan non-terrestrial, dimana pun aktivitas itu dilakukan.36

Mengenai istilah – istilah didalam hukum ruang angkasa

internasional Ernest NYS merupakan orang pertama yang

menggunakan istilah khusus bagi bidang ilmu hukum untuk ruang

udara ini. Istilah yang ia gunakan ialah “Droit Aerien” dan dipakainya

di dalam laporan-laporannya kepada Institute de Droit Internationale

pada rapat di tahun 1902 dan kemudian di dalam tulisan- tulisan

ilmiahnya. Oleh karena itu, istilah-istilah yang ditemukan sebelum

35
T. May Rudy, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung, 2001, hlm. 51.
36
John C. Cooper, Aerospace Law Subject Matter and Terminology, JALC, Netherlands, 2003,
hlm. 89.

24
tahun 50-an dan sesudahnya ialah misalnya istilah “Luchtrecht,

Luftrecht atau Air Law ” yang banyak digunakan orang.37

Di Indonesia sendiri dipakai istilah hukum udara, istilah

yang telah membaku di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran sejak

tahun 1963. Setelah Uni Soviet berhasil meluncurkan satelit

buatannya yang pertama maka timbullah istilah hukum yang lebih luas

lagi, yakni Air and Space Law, Lucht en Ruimte Recht atau Hukum

Angkasa. Ada pula digunakan orang istilah “Aerospace Law”. Semua

istilah ini memang menunjukkan adanya suatu bidang ilmu hukum

yang mempersoalkan berbagai macam pengaturan terhadap medium

ruang.

Istilah hukum ruang angkasa dianggap lebih tepat daripada

penggunaan istilah Hukum Antariksa, karena masih belum jelas apa

yang dimaksud dengan antariksa. Secara garis besar dapat dikatakan,

untuk ilmu hukum ini dipakai istilah “Hukum Angkasa”, “Air and

Space Law” di Kanada, “Aerospace Law” di Amerika Serikat, “Lucht

en Ruimte Recht” di Belanda, “Droit Aerien et de l’espace” di

Perancis, “Luft und Weltraumrecht” di Jerman, yang mencakup dua

bidang ilmu hukum dan mengatur 2 sarana wilayah penerbangan

yakni hukum udara yang mengatur sarana penerbangan di ruang udara

yaitu ruang di sekitar bumi yang berisi gas-gas udara. Kemudian

37
Stephen Gorove, Jurnal of Space Law, Oxford, Mississipi, 1995, hlm. 18.

25
hukum ruang angkasa yakni hukum yang mengatur ruang yang hampa

udara (outer Space).38

Seringkali istilah ruang angkasa ini (outer Space)

dicampuradukkan dengan istilah angkasa luar atau antariksa. Secara

legalistis, dapat disimpulkan bahwa antariksa itu ialah ruang angkasa

dengan segala isinya. Tata surya kita secara geografis yuridis dapat

kita klasifikasikan sebagai berikut:39

a. Ruang udara ialah ruang di sekitar bumi yang berisikan gas-gas

udara yang dibutuhkan manusia demi kelangsungan hidupnya.

b. Ruang angkasa mempunyai arti sebagai berikut:

1) Ruang angkasa yakni ruang yang kosong/hampa udara (aero

space) dan berisikan langit.

2) Bulan dan benda-benda atau planet-planet lainnya.

3) Orbit geostasioner (Geo Stationary Orbit - GSO).

Hukum ruang angkasa adalah hukum yang ditujukan untuk

mengatur hubungan antar negara, untuk menentukan hak – hak dan

kewajiban – kewajiban yang timbul dari segala aktivitas yang tertuju

kepada ruang angkasa dan di ruang angkasa aktivitas itu demi

kepentingan seluruh umat manusia, untuk memberikan perlindungan

terhadap kehidupan, terrestrial dan non terrestrial, dimana pun

aktifitas itu dilakukan.40


38
Ibid, hlm.6.
39
Ibid, hlm.58-59.
40
John C. Cooper, loc.cit

26
Dalam definisi yang terakhir itu ruang angkasa dipandang

sebagai suatu keseluruhan yang utuh, yang dalam lingkupnya

mencakup bendabenda langit lainnya. Juga terdapat definisi Hukum

Angkasa (Aerospace Law) yang berusaha untuk mencakup kedua

bidang ilmu hukum itu, secara gabungan menjadi bagian hukum

tunggal. Karena itulah, dalam sebuah glossary yang diterbitkan tahun

1955 oleh Research Studies Institutes pada Maxwell Air Force Base,

dapat ditemui sebuah definisi istilah “aerospace”. Istilah tersebut

didukung oleh mereka yang berkeyakinan bahwa Hukum Udara dan

Ruang Angkasa hanya disatukan dalam suatu cabang hukum tunggal,

karena bidang tersebut mewakili bidang hukum yang secara langsung

maupun tidak langsung berlaku pada penerbangan-penerbangan yang

dilakukan manusia.

6. Sejarah Terbentuknya Hukum Ruang Angkasa

Proses pembentukan hukum ruang angkasa didasarkan

terutama kepada hukum internasional. Oleh karena itu, peranan

hukum internasional sangat menentukan. Hukum internasional yang

berlaku dapat diterapkan pada bagian-bagian yang masih kurang atau

belum diatur oleh hukum ruang angkasa.41

Status hukum ruang angkasa merupakan karya yang paling

baru, karena hanya berkembang semenjak permulaan tahun 1960-an.

Hukum antariksa pada umumnya bersifat orisinil jika ditinjau dari

41
Priyatna Abdurrasyid, supra note 3, hlm. 15

27
kondisi bagaimana lahirnya hukum ini, selain itu hukum ruang

angkasa juga bersifat klasik jika dilihat dari karakteristik pokok rezim

yuridiknya seperti halnya dengan rezim yuridik laut lepas.42

Proses pembentukan hukum ruang angkasa didasarkan

terutama kepada hukum internasional. Pembentukan hukum ruang

angkasa ini ditandai dirumuskannya kesepakatan - kesepakatan atas

sekumpulan prinsip-prinsip dasar segera sesudah peluncuran satelit

pertama Sputnik I oleh Uni Soviet pada bulan Oktober 1957, dan

kemudian disusul oleh peluncuran manusia pertama ke ruang angkasa

pada tahun 1961.43 Oleh karena itu, peranan hukum internasional

sangat menentukan.

Proses pembentukan hukum ruang angkasa bergerak ke

arah dua tahap. Tahap pertama ditandai oleh pengajuan serentetan

resolusi oleh Majelis Umum PBB. Resolusi ini meliputi petunjuk-

petunjuk dan cara-cara meningkatkan kerja sama internasional serta

penetapan prinsip-prinsip dasar tentang pengaturannya.

Sebagai tahapan selanjutnya dari pembentukan hukum

ruang angkasa ini adalah dengan diterimanya deklarasi prinsip-prinsip

hukum untuk mengatur kegiatan-kegiatan negara di ruang angkasa

yang berhubungan dengan penyelidikan dan penggunaan ruang

42
Boer Mauna, Hukum Internasional : Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, PT. Alumni, Bandung, 2008, hlm. 438.
43
Yuri Gagarin merupakan astronot pertama dalam sejarah manusia yang melakukan perjalanan
ke ruang angkasa yang berasal dari Uni Soviet

28
angkasa.44 Hukum Udara dan Ruang Angkasa merupakan bagian

komponen dari Hukum Angkasa, untuk itu perlu diteliti apa-apa saja

yang merupakan bagian dari/ruang lingkup dari hukum ruang angkasa,

yakni:45

a. Sifat dan luas wilayah di ruang angkasa dimana hukum

angkasa diterapkan dan berlaku.

b. Bentuk kegiatan manusia yang diatur di ruang tersebut.

c. Bentuk peralatan penerbangan seperti pesawat udara dalam

penerbangan di ruang udara dan pesawat ruang angkasa untuk

ruang angkasa yang mempunyai sangkut-paut dan diatur oleh

hukum ruang angkasa, atau dengan perkataan lain segala

peralatan penerbangan yang menjadi objek hukum ruang

angkasa.

Hukum ruang angkasa sebagai salah satu cabang dari ilmu

hukum yang relatif muda, oleh para ahli hukum maupun masyarakat

internasional dirasakan perlu untuk lebih dikembangkan.

Pengembangan yang dilakukan bertujuan agar hukum angkasa dapat

menjadi cabang ilmu hukum yang dapat mengantisipasi kemajuan

teknologi yang sangat pesat.

Berbagai upaya telah dilakukan dalam mencapai tujuan

tersebut antara lain dengan mengidentifikasi berbagai permasalahan

44
Ibid, hlm.23.
45
Priyatna Abdurrasyid, Hukum Antariksa Nasional, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hlm. 4-5.

29
yang timbul dari ditemukannya dimensi ruang angkasa hingga

menelaah berbagai dampak hukum atas dimanfaatkannya dimensi

tersebut oleh manusia. Hal inilah yang mendasari adanya pembagian

hukum angkasa itu sendiri secara umum pada saat ini.

Kegiatan negara-negara di bidang eksplorasi dan

pemanfaatan ruang angkasa dengan peluncuran berbagai satelit ke

ruang angkasa dengan cepat telah menambahkan berbagai kegiatan

seperti pengawasan wilayah-wilayah yang dilintasi, pencarian sumber-

sumber daya alam, darat, dan laut, serta siaran radio dan televisi

langsung, hubungan telepon, penentuan posisi kapal-kapal,

metereologi , observasi astronomi dan berbagai eksperimen lainnya.

7. Prinsip Umum Hukum Ruang Angkasa

Hukum ruang angkasa merupakan hukum intemasional,

dengan demikian prinsip-prinsip dalam hukum intemasional menjadi

sumber hukum baginya.46 Prinsip-prinsip itu adalah :

1. Prinsip "pacta sunt servanda" dimana suatu perjanjian harus

ditaati, karena bila tidak demikian, maka konvensi-konvensi

intemasional tidak ada gunanya.

2. Prinsip bahwa semua negara berdaulat dan sederajat, dalam arti

bahwa setiap negara bagaimanapun kecilnya atau kurang dalam

materi dan penguasaan teknologi, akan tetapi mempunyai hak

46
Raida L. Labing, Perkembangan Pembangunan Hukum nasional Tentang Hukum Dirgantara,
BPHN, Jakarta, 1999, hlm.31.

30
untuk berdiri sendiri, sama tingginya dengan negara lain atas

dasar saling menghormati.

3. Prinsip bahwa setiap negara berhak untuk membela dirinya bila

ia diserang, dan berhak untuk melindungi diri demi

keselamatan dan keamanannya.

4. Prinsip bahwa setiap negara berhak atas sumber-sumber

alamnya.

8. Lingkup Ruang (Delimitasi) Ruang Angkasa

Ruang merupakan dasar untuk menentukan suatu sistem

hukum. Sehubungan dengan ini ruang angkasa merupakan jenis ruang

yang baru dikenal dan yang paling menonjol ialah luas yang pada

kenyataannya melampaui segala ukuran yang ada di dalam suatu

kerangka hukum dan hubungan fisiknya dengan bumi kita.47

Permasalahan mengenai sampai sejauh mana suatu negara

berdaulat atas ruang udara diatas wilayahnya mulai muncul sejak

Perang Dunia I, namun pasca Perang Dunia II persoalan justru

mengarah ke arah yang lebih jauh , yakni ruang angkasa (outer space).

Dalam hukum ruang angkasa berlaku prinsip kebebasan

yang tercantum dalam Outer Space Treaty 1967 . Traktat Ruang

Angkasa 1967 ini disahkan sepuluh tahun setelah Uni Soviet

mengorbitkan Sputnik I.

47
Priyatna Abdurrasyid, supra note 18, hlm. 30.

31
Prinsip kebebasan dalam Space Treaty 1967 itu terangkum

dalam kalimat :

“ Ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lain, bebas


untuk dieksplorasi dan pemanfaatan oleh setiap negara dan ruang
angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya itu tidak
dapat dimiliki oleh negara-negara manapun juga, dengan alasan
pemakaian atau pendudukan atau dengan cara apapun”.48
Hal ini berarti bahwa ruang angkasa termasuk bulan dan

benda-benda langit lainnya bebas untuk dimanfaatkan. Akan tetapi,

kepemilikan atas ruang angkasa dan benda-benda langit lainnya tidak

dibenarkan.

Hukum udara internasional mengenal beberapa teori

delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Antara lain Schater Air

Space Theory diperkenalkan oleh Oscar Scahater. Jenks Free Space

Theory (teori ruang angkasa bebas) diperkenalkan oleh C Wilfred

Jenks, Haley’s International Unanimity Theory (teori persetujuan

internasional) diperkenalkan oleh Andrew G. Haley dan Cooper’s

Control Theory (teori pengawasan) diperkenalkan oleh John Cobb

Cooper.49

Banyaknya para ahli memberikan argumentasi keilmuan

tentang delimitasi ruang udara dan ruang angksa. Mereka memberikan

warna tersendiri dan pemahaman yang mendalam serta teliti. Pendapat

mereka dijadikan sebagai doktrina (pendapat para ahli hukum)

48
Outer Space Treaty, Treaty on Principles Governing the Activity in the Exploration and Use
for Outer Space, Including Moon and Other Celestial Bodies.
49
Priyatna Abdurrasyid, loc.cit.

32
sebagaimana tertera dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Pengadilan

Internasional yang dijadikan sebagai sumber hukum formil bagi para

hakim dalam memutus sebuah perkara hukum.

Namun ada juga beberapa teori yang dilahirkan dari

organisasi internasional, perjanjian internasional, cara bekerja sebuah

pesawat angkasa, cara bekerja transmisi gelombang radio, teori orbit

satelit. Antara lain :

1. Teori ICAO (International Civil Aviation Organization). Teori ini

berdasarkan pada bunyi konvensi Chicago tahun 1944 dengan

segenap annex-nya yang menggunakan batas berlakunya ketentuan

hukum udara internasional. Dimulai batas maksimum yang dapat

dipakai oleh pesawat udara (aircraft) dengan mendefinisikan

pesawat udara sebagai”. Setiap alat yang mendapat gaya angkat

aerodinamis di atmosfir karena reaksi udara (any machine can

derive support in the atmosphere from the reaction of the air).

Konvensi ini tidak menyebutkan secara jelas dan pasti batas

ketinggian kedaulatan suatu negara atas ruang udaranya. Dapat

dikatakan bahwa ruang angkasa dimulai pada saat tidak ada reaksi

udara menurut teknologi penerbangan berkisar 25 mil sampai 30

mil dari permukaan bumi atau sekitar 60.000 kaki.

2. Teori Transmisi Radio. Teori ini didasarkan pada sifat gelombang

yang memancar melalui perantaraan konduktor atmosfir udara

dapat ditentukan bahwa batas ruang angkasa dimulai dari batas

33
maksimum udara dimana gelombang radio tidak dapat menembus

batas tersebut melainkan kembali memantul ke bumi 22 ketinggian

berdasarkan teori berkisar 150 mil sampai 300 mil dari permukaan

bumi.

3. Teori Outer Space Treaty 1967. Teori ini memberi batas antara

ruang udara dan ruang angkasa berdasarkan teori titik terendah

orbit suatu satelit atau suatu space objects. Pembatasan teori outer

space treaty bersifat tidak pasti. Hal ini bergantung pada

karakteristik suatu satelit buatan dan kepadatan atmosfir di suatu

orbit pada waktu tertentu. Menurut teori ini, ruang angkasa dimulai

pada ketinggian 80 Km diatas permukaan bumi yang merupakan

batas ketinggian minimum (lower limit) dari suatu orbit satelit.

4. Teori GSO (Geo Stationary Orbit). Teori ini dipakai oleh negara-

negara “kolong” dimana negaranya dilalui garis khatulistiwa

termasuk Indonesia untuk memperjuangkan klaim hak-hak

berdaulat, mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam di

ruang angkasa yang berbentuk cincin ketinggian berkisar 36.000

km dari permukaan bumi. Teori ini lahir dari kegigihan perjuangan

negara-negara equator (khatulistiwa) untuk memperoleh

preferential rights atas GSO. Ide ini diusulkan pada sidang ke-22

sub komite hukum UNCOPOUS (United Nations Committee of

Peacefull of Outer Space) untuk memperkuat argumentasi yuridis

34
atas kekayaan alam ruang angkasa bagi negara- negara

khatulistiwa.

5. Teori Space Shuttle atau teori Orbiter. Beberapa ilmuan hukum

udara masih belum bisa menarik kesimpulan tentang penundukan

hukum atas pesawat ulang alik. Di satu sisi tunduk pada hukum

ruang angkasa dan di sisi lain tunduk pada hukum udara

internasional. Untuk memperkuat argumen yuridis terhadap teori

yang berkenaan dengan batas delimitasi ruang udara dan ruang

angkasa dapat dilihat dari proses kerja pesawat ulang alik pada saat

menjalankan misinya. Meluncur ke ruang angkasa melalui tiga

tahapan yakni tahap ascend/launching (peluncuran), tahap orbital

(penempatan ke orbit), dan tahap descend (pulang turun kembali ke

bumi memasuki atmosfir). Turunnya pesawat dengan gaya

aerodinamis menggunakan reaksi udara mirip pesawat udara

komersial biasa. Dari proses kerja pesawat ini dapat diambil teori

penentuan delimitasi ruang udara dan ruang angkasa. Teori tersebut

adalah batas ruang udara berlaku pada saat tangki luar bahan bakar

pecah dan terbakar disusul dua roket pendorong lepas pada

ketinggian 50 mil dari permukaan bumi.

35
9. Instrumen Hukum Ruang Angkasa (Corpus Juris Spatialis)

a. Treaty on Principles Governing the Activities in the Exploration and

Use of Outer Space, Including Moon and other Celestial Bodies 1967 (

The Outer Space Treaty )

Perjanjian mengenai hukum ruang angkasa lebih dikenal

dengan sebutan The Outer Space Treaty 1967 yang ditandatangani

pada tanggal 27 Januari 1967 dan mulai berlaku sejak 10 Oktober

1967. Pesatnya perkembangan teknologi dalam bidang penerbangan

mendorong adanya keinginan negara-negara maju untuk melakukan

penerbangan lintas wilayah udara yakni ruang angkasa, yang

kemudian diikuti oleh pesawat ruang angkasa Amerika Serikat.

Namun, usaha-usaha yang dilakukan oleh negara - negara maju

tersebut , kemudian dianggap sebagai ancaman oleh negaranegara lain

bagi keamanan mereka, oleh karena itu dibentuklah suatu komite

melalui PBB untuk merancang peraturan-peraturan bagi semua

kegiatan dalam bidang ruang angkasa ini.50

Setelah beberapa resolusi disahkan oleh PBB, maka sebuah

traktat khusus mengenai ruang angkasa dibentuk pada tahun 1967,

tepatnya sepuluh tahun setelah peluncuran Sputnik milik Rusia.

Perjanjian yang diprakarsai oleh PBB didasarkan atas konsep bahwa

ruang angkasa (outer space) harus dipertahankan sebagai milik seluruh

50
I,H,Ph. Diederiks – Verschoor, Persamaan dan Perbedaan Antara Hukum Udara dan Hukum
Ruang Angkasa, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm. 10.

36
umat manusia dan harus dieksplorasi dan digunakan bagi keuntungan

serta kepentingan semua negara ( Pasal I). Definisi yang lebih spesifik

tidka berhasil disepakati dalam Outer Space Treaty 1967 ini. Adapun

tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk mencegah tuntutan –

tuntutan kedaulatan di ruang angkasa oleh negara-negara secara

individu dan untuk membuat ketentuan-ketentuan bagi penggunaan

secara damai ruang angkasa tersebut.

Menurut Outer Space Treaty 1967 bahwa seluruh aktivitas

– aktivitas keruangangkasan hanya dapat dilakukan sesuai UN Charter

(Piagam PBB) dan prinsip – prinsip hukum internasional, namun

demikian masalah kedaulatan sangat erat kaitannya dengan beberapa

aktivitas keruangangkasaan.51

Dalam hukum ruang angkasa, kita menghadapi suatu fakta

bahwa kebebasan bereksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa berada

dalam lingkup hubungan antar negara yang berdaulat sama atas

wilayah ruang angkasa itu di dalam Pasal 2 Outer Space Treaty 1967

yang secara khusus terdapat adanya suatu larangan bagi semua negara ,

terhadap pemilikan secara nasional atas wilayah ruang angkasa oleh

suatu negara melalui tuntutan-tuntutan kedaulatan, pemakain atau

pendudukan atau dengan caracara lainnya. Dengan kata lain bahwa

yang dinamakan sebagai wiilayah ruang angkasa tersebut adalah milik

51
Ibid, hlm.11.

37
semua negara yang tidak dapat dikuasai secara sepihak dengan alasan

apapun juga oleh suatu negara tertentu.

d. The Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of

Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space

1968

Rescue Agreement adalah perjanjian internasional yang

mengatur hak dan kewajiban negara mengenai penyelamatan orang di

ruang angkasa. Perjanjian itu dibuat oleh 19 Desember 1967 dengan

konsensus suara di Majelis Umum PBB (Resolusi 2345 (XXII)).

Perjanjian ini mulai berlaku pada tanggal 3 Desember 1968. Hal ini

merupakan ketentuan yang rumit pada ketentuan penyelamatan dalam

Pasal V dari 1967 Outer Space Treaty. Meskipun lebih

mengkhususkan dan lebih detail dibandingkan ketentuan

penyelamatan dalam Pasal V dari Outer Space Treaty, Rescue

Agreement masih belum memiliki penyusunan jelas dan dapat

menimbulkan kemungkinan penafsiran yang berbeda.

Majelis Umum PBB mengadopsi teks Rescue Agreement

pada tanggal 19 Desember 1967 melalui Resolusi 2345 (XXII).

Perjanjian dibuka untuk ditandatangani pada 22 April 1968 dan mulai

berlaku pada tanggal 3 Desember 1968. Pada Mei 2013, 92 negara

telah meratifikasi Perjanjian Penyelamatan, 24 telah menandatangani,

dan dua organisasi internasional antar pemerintah (the European

38
Space Agency dan the European Organisation for the Exploitation of

Meteorological Satellites) telah menyatakan penerimaan mereka dari

hak dan kewajiban yang diberikan oleh perjanjian.

Rescue Agreement mensyaratkan bahwa setiap negara

pihak harus mengawasi serta mengetahui jika personil dari pesawat

ruang angkasa mengalami kesusahan harus memberitahu negara

peluncur dan Sekretaris Jenderal PBB. Selain itu, Rescue Agreement

pada dasarnya menyatakan bahwa setiap negara yang merupakan

pihak dalam perjanjian harus menyediakan semua bantuan yang

mungkin untuk menyelamatkan personil dari pesawat ruang angkasa

yang mendarat di dalam wilayah yang negara, apakah karena

kecelakaan, kesusahan, darurat, atau arahan yang tidak diinginkan.

Jika kesusahan yang terjadi di daerah yang berada di luar wilayah

negara mana pun, maka setiap negara pihak yang berada dalam posisi

untuk melakukannya harus, jika perlu, memberikan bantuan dalam

operasi pencarian dan penyelamatan.

e. Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space

1975

Convention on Registration of Objects Launched into Outer

Space berakar pada ketentuan yang ditetapkan bagi International

Geophysical Year, dalam suatu periode selama 18 bulan dimulai

tanggal 1 Juli 1957 sampai dengan 31 Desember 1958. Dimana

39
masyarakat ilmiah melakukan kajian-kajian di seluruh dunia mengenai

lingkungan manusia dengan bumi dan lautan, atmosfir dan ruang

angkasa. Peluncuran satelit- satelit bumi buatan merupakan salah satu

dari proyekproyek yang direncanakan, dan untuk hal tersebut maka

Manual on Rockets and Satellites menetapkan ketentuan-ketentuan

mengenai pendaftaran objek-objek yang diluncurkan ke wilayah ruang

angkasa.

Di awal tahun 1961 Majelis Umum PBB meminta agar

negara-negara yang meluncurkan objek-objek ke dalam atau ke luar

orbit dan memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada

Comittee on The Peaceful Uses of Outer Space (COPUOS) melalui

Sekretaris Jenderal PBB dengan tujuan untuk melakukan pendaftaran

peluncuran-peluncuran ini. Sekretaris Jendral PBB dengan

permohonan dimintta untuk mengurus suatu daftar umum informasi

tersebut. Tidak ada kewajiban mengikat di pihak negara-negara

peluncur, akibatnya sistem tersebut berjalan hanya berdasarkan

kesukarelaan semata-mata. Dan pada umumnya dikatakan bahwa

sistem sukarela ini berjalan cukup baik dan hal ini terlihat dari hampir

semua negara yang berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas

keruangangkasaan telah meberikan informasi mengenai peluncuran-

peluncuran yang mereka lakukan.

Dalam hukum ruang angkasa terdapat ketentuan penting

dalam Registration Convention berkenaan dengan situasi dimana dua

40
negara atau lebih bersama-sama berpartisipasi dalam suatu peluncuran

khusus. Pada pasal 21 Registration Convention menyerahkan

penandaan nomor pendaftaran sebuah objek ruang angkasa yang dapat

dipergunakan kembali setelah pendaftarannya dan akan didaftarkan

berdasarkan pada Registration Convention sebagai sebuah objek yang

diluncurkan ke ruang angkasa dan bukan sebagai pesawat udara

seperti ketentuan di dalam konvensi Chicago 1967.

Pada tahun 1975 Convention on Registration of Objects

Launched into Outer Space ditandatangani dan mulai berlaku pada

tanggal 15 Desember 1976 setelah masuknya lima ratifikasi dari

negara-negara yang menandatangani sebelumnya. Pada bulan Maret

1981, lebih dari 30 negara telah menandatangani konvensi ini. Hal ini

membuat ketentuan mengajukan informasi mengenai pendaftaran

telah menjadi suatu kewajiban untuk negara peserta konvensi ini.

Tujuan utama dari konvensi ini adalah :

1) Membuat ketentuan untuk mendaftar objek-objek ruang

angkasa oleh negara-negara peluncur.

2) Menyediakan suatu daftar terpusat mengenai objek-objek

ruang angkasa yang akan di tetapkan serta diurus atas dasar

kewajiban oleh PBB.

3) Membuat ketentuan tentang cara-cara tambahan untuk

membantu mengidentifikasi objek-objek ruang angkasa.

41
f. Convention on International Liability for Damage Caused by

Space Objects 1972

Perkembangan pemanfaatan wilayah ruang angkasa

khususnya wilayah orbit geostasioner, menimbulkan kesadaran

masyarakat internasional akan timbulnya suatu malapetaka yang

kemungkinan timbul di kemudian hari. Malapetaka itu yakni,

kemungkinan jatuhnya benda angkasa buatan manusia itu kembali ke

bumi, yang membawa dampak buruk bagi negara yang lain karena

terjadinya hal tersebut.

Maka, sejak tahun 1960 sebuah badan khusus PBB

mengenai ruang angkasa yakni United Nations Committee on The

Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS), telah mulai

membicarakan hal tersebut dalam forum PBB karena telah ada contoh-

contoh kejadian yang nyata dan tidak dapat disangkal lagi oleh

masyarakat internasional.

Amerika Serikat kemudian mengusulkan agar bahaya

jatuhnya benda buatan manusia dari ruang angkasa itu dapat

diselesaikan secara tuntas. Akhirnya pada tanggal 29 Maret 1972 PBB

mensahkan “Convention on International Liability Damage Caused by

Space Objects”, setelah lebih dari lima negara (yang merupakan syarat

dapat berlakunya konvensi ini) meratifikasinya dan hingga tahun 1976

jumlah negara yang telah meratifikasi berjumlah 40 negara.

42
Konvensi yang didasari oleh beberapa Pasal Space Treaty

1967 mempunyai tujuan sebagai berikut:

1) Untuk membentuk kaidah hukum tentang tanggung jawab

internasional terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh

benda-benda angkasa.

2) Memberikan tata cara penggantian kerugian secara seketika

(prompt) dan setimpal (equitable) kepada korban kerusakan

(damage).

Hal tersebut didasari adanya kemungkinan yang besar

jatuhnya (kembali ke permukaan bumi) benda-benda yang

diluncurkan ke ruang angkasa. Maka, bila terjadi, sistem ganti rugi

ditetapkan secara “Absolute Liability”, dimana merupakan suatu

usaha hukum yang berlaku mutlak tanpa pembuktian yang ketat. Dan

beberapa tahun kemudian dibuat suatu aturan mengenai cara

pengidentifikasian benda-benda angkasa (yang mungkin jatuh), yang

diusahakan melalui “Convention on Registration of Objects Launched

into Outer Space” pada tahun 1976.”52Negara Indonesia telah

meratifikasi konvensi ini melalui Keputusan Presiden (Keppres)

Republik Indonesia Nomor 20 tahun 1996.

52
Dikjiratmi S., Analisis Mekanisme Penanganan Bencana Benda Antariksa Bermuatan Nuklir
di Indonesia, Laporan Tahap Akhir Program Intensif Riset Untuk Penelitian dan Perekayasa
LPND dan LPD, LAPAN, Jakarta, 2010, hlm.4.

43
g. Agreement Governing the Activities of States on the Moon and

Other Celestial Bodies 1979

Moon Agrement didiskusikan, dinegosiasikan, dan

disepakati sekitar tahun 1970 oleh UNCOPOUS. Pada saat itu, negara

maju berperan penting dalam perdebatan ini dan memiliki pengaruh

terhadap urusan internasional tertentu. PBB mengadopsi Moon

Agreement ini melalui konsensus. Hal itu terjadi, di sebagian besar,

berkat mobilisasi politik dan upaya diplomatik dari negara-negara

berkembang. Selama tahun 1970-an, sebuah koalisi besar negara-

negara berkembang untuk pertama kalinya dalam sejarah diusulkan

untuk PBB terciptanya tatanan ekonomi internasional yang baru untuk

merangsang pengembangan semua negara, dan dengan cara ini untuk

mengatasi ketidaksetaraan besar yang ada di dunia-masalah yang

masih menantang masyarakat internasional. Ide-ide ini terinspirasi

beberapa elemen kunci dari Moon Agreement. Namun, Moon

Agreement dalam bentuk akhirnya tercermin pada beberapa isu

penting, harapan negara-negara berkembang.

Negara-negara berkembang memperkenalkan prinsip

pembagian yang adil dari manfaat dari eksplorasi sumber daya alam

bulan dan benda langit lainnya. Pada bulan Juli 1972, delegasi

Argentian, Prof.Aldo armando Cocca, yang didukung oleh Mesir,

India, dan Amerika Serikat, yang disajikan pertama rancangan

44
kesepakatan tentang penggunaan sumber daya alam bulan th. Dalam

Pasal I menyatakan:53

"The natural resources of the Moon and other celestial bodies shall
be the common herritage of mankind."
Berarti bahwa: “ Sumber daya alam yang terdapat di Bulan dan
benda langit lainnya akan menjadi warisan bersama umat manusia”

Pada bulan April tahun 1972, Mesir dan India mengusulkan

sebuah pasal tentang sumber daya alam bulan, mendukung prinsip the

common herritage of mankind (CMH) serta konsep "sharing benefits".

Mobilisasi mendukung gagasan tersebut mulai meningkat di kalangan

tidak hanya negara berkembang tetapi juga perkembangan dunia.

Duta Besar Swedia menganggap konsep CMH sebagai

bagian dari masalah yang jauh lebih besar dari proses eksplorasi dan

eksploitasi ruang angkasa, dari itu hadir tujuan unilateral ataupun

bilateral yang menjadi suatu usaha internasional dengan keterlibatan

nyata PBB.

Pada tahun 1974, mereka menyarankan confrence untuk

melaksanakan rezim internasional untuk mengatur eksploitasi atas

sumber daya bulan. Penting untuk dicatat bahwa common herritage of

mankind adalah sebagai tujuan utama untuk negosiasi berkepanjangan

1970-1979 mengarah ke Moon Agreement.

53
The Agreement Governing the Activities of the States of the Moon and Other Celestial Bodies,
1979, Art.1.

45
Dari ke-5 instrumen hukum ruang angkasa, The Outer

Space Treaty merupakan ketentuan pokok yang mengatur tentang

kegiatan manusia di ruang angkasa. 4 perjanjian yang lain merupakan

penjabaran dari The Outer Space Treaty

Karena kajian skripsi tentang penggunaan dan pemanfaatan

ruang angkasa untuk kepentingan militer berdasarkan hukum ruang

angkasa internasional dan implementasinya terhadap kasus

penggunaan satelit komunikasi gsat-7 untuk kepentingan militer di

india maka instrumen hukum yang digunakan antara lain The Outer

Space Treaty 1967.

H. Treaty on Principles Governing the Activities in the Exploration and Use

of Outer Space, Including Moon and other Celestial Bodies 1967 ( The

Outer Space Treaty )

1. Sejarah Terbentuknya The Outer Space Treaty

Peluncuran satelit pertama pada tanggal 4 Oktober 1957

mencuri perhatian dunia. Di awal perkembangan ruang angkasa,

kemampuan melakukan kegiatan di luar angkasa dikuasai oleh dua

negar superpower, yaitu Amerika Serikat dan Uni Sovyet (Russia).

Kedua Negara superpower ini merupakan Negara yang lahir sebagai

pemimpin setelah berakhirnya perang dunia kedua. Negara-negara

superpower ini kemudian membuat suatu aliansi, dan melindungi

Negara-negara yang lemah yang terdapat di aliansinya. Dengan

46
terbaginya dua kutub ini, maka kemudian terjadi persaingan di

berbagai bidang seperti pengaruh penyebaran ideologi, militer, serta

teknologi.

Terkait dengan perlombaan di bidang teknologi, sejara

dimulai di tahun 1952 pada saat The International Council of

Scientific Unions (ICSU) menetapkan bahwa tanggal 1 Juli 1957

hingga 31 Desember 1958 sebagai International Geophysical Year

(IGY) karena para peneliti mengetahui bahwa pada kurun waktu itu

perputaran tata surya sedang berada pada titik tertinggi. Baru

kemudian pada tahun 1954, untuk menstimulus hal tersebut, ICSU

mengadopsi suatu resolusi yang menghimbau Negara-negara untuk

meluncurkan satelit buatan ke ruang angkasa selama masa IGY untuk

memetakan permukaan bumi.

Resolusi yang dikeluarkan oleh ICSU tersebut akhirnya

membuat kedua Negara superpower menjadi tertantang. Pada bulan

Juli di tahun 1955, Amerika Serikat membuat suatu rencana dan

mengirimkan suatu proposal kepada berbagai departemen riset

Negara-negara untuk meluncurkan satelit yang akan mengorbit, yang

diberi nama Vanguard. Namun kemudian pada tanggal 4 Oktober

1957 secara mengejutkan justru Uni Sovyet yang meluncurkan satelit

Sputnik I yang merupakan satelit yang lebih baik dibandingkan

dengan satelit Vanguard yang hanya bisa membawa beban seberat 3,5

pound (1,5 kg). Kemampuan meluncurkan satelit ini pun kemudian

47
ditafsirkan pula oleh public bahwa Uni Sovyet telah mampu untuk

membuat misil balistik antar benua yang mampu membawa senjata

nuklir dari Eropa menuju Amerika Serikat. Keberhasilan meluncurkan

satelit Sputnik I ini membuat Uni Sovyet kembali meluncurkan satelit

Sputnik II pada 3 November di tahun yang sama. Namun kali ini

dengan membawa serta hewan percobaan, yaitu seekor anjing yang

diberi nama Laika. Hal ini memacu Amerika Serikat untuk

mengkonkretkan program ruang angkasanya dan akhirnya berhasil

meluncurkan satelit Explorer 1 pada 31 Januari 1958. Meningkatnya

perlombaan dalam bidang teknologi peluncuran satelit ke ruang

angkasa membuat publik khawatir akan kemungkinan terjadinya

perang nuklir melalui medium ruang angkasa. Oleh karena itulah

kemudian pada tahun 1958, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

mendirikan ad hoc Committee on the Peaceful Uses of Outer Space

yang didirikan melalui General Assembly (GA) Resolution 1348

(XIII). Di dalam pembukaan resolusi ini kemukakan salah satunya

harapan adalah, “Wishing to avoid the extension of present national

rivalries into this new field”. Negara-negara melalui PBB

menginginkan agar jangan sampai persaingan yang terjadi sebelumnya

di bidang militer, terjadi pula di bidang teknologi di ruang angkasa.

Untuk itulah kemudian komite sementara ini berfungsi untuk

meredakan ketegangan dan juga memastikan bahwa terjalinnya

komunikasi atau kerjasama antar Negara khususnya dalam

48
pemanfaatan ruang angkasa untuk tujuan damai (the peaceful uses of

outer space). Kemudian di tahun 1959, komite ini mendapatkan

tempatnya tersendiri dibawah PBB melalui GA Resolution 1472

(XIV), yaitu dengan didirikannya United Nations Committee on the

Peaceful Uses of Outer Space (UNCUPUOS).

Pada tahun 1963, diadakanlah suatu pertemuan antara tiga

Negara (Amerika Serikat, Uni Sovyet, dan Inggris) untuk membahas

pelarangan percobaan senjata nuklir di atmosfer, di ruang angkasa,

ataupun di dalam air sebagai tindak lanjut atas kekhawatiran public

ini. Hasil dari pertemuan itu kemudian dituangkan ke dalam suatu

perjanjian yaitu Treaty Banning Nuclear Weapon Tests in the

Atmosphere, in Outer Space, and Under Water, atau yang lebih sering

dikenal dengan Limited Test Ban Treaty 1963.

Perjanjian tersebut merupakan usaha Negara-negara yang

dinaungi oleh PBB untuk menetapkan prinsip bahwa kegiatan di ruang

angkasa semata-mata hanyalah untuk tujuan damai. Prinsip pemanfaat

ruang angkasa untuk tujuan damai ini kemudian juga diadopsi di

dalam Treaty on Principles Governing the Activities of States in the

Exploration and Use of Outer Space, incuding the Moon and Other

Celestial Bodies 1967 atau yang sering disingkat dengan Outer Space

Treaty 1967. Prinsip ini sebelumnya juga dikemukakan dalam

deklarasi di tahun 1963 melalui Declaration of Legal Principles

Governing th Activities of States in the Exploration and Use of Outer

49
Space (resolution 1962 (XVIII)). Dengan demikian Negara-negara

pada awal perkembangan kegiatan manusia di ruang angkasa telah

menyepakati bahwa kegiatan manusia di ruang angkasa hanyalah

untuk tujuan damai.

Hukum ruang angkasa merupakan regulasi yang dibuat

untuk mengatur bagaimana suatu negara bertindak di ruang angkasa.

Space law is particulate law, hukum ruang angkasa dikembangkan

untuk mengatasi masalah dalam lingkup praktek eksplorasi dan

penggunaan ruang angkasa.54 Menurut John C. Cooper, Hukum Ruang

Angkasa adalah hukum yang ditujukan untuk mengatur hubungan

antar negara-negara, untuk menentukan hak – hak dan kewajiban -

kewajiban yang timbul dari segala aktivitas yang tertuju kepada ruang

angkasa dan di ruang angkasa – dan aktivitas itu demi kepentingan

seluruh umat manusia, untuk memberikan perlindungan terhadap

kehidupan, terrestrial dan non-terrestrial, di manapun aktivitas itu

dilakukan55.

10. Ruang Lingkup The Outer Space Treaty 1967

a. Lingkup Wilayah

Didalam pasal 1 The Outer Space Treaty 1967 disebutkan bahwa :


“the exploration and use of outer space, including the moon and other
celestial bodies, shall be carried out for the benefit and in the interest

54
Francis Lyall, Space Law A Treaties, Ashgate Publishing Limited, England, 2009, hlm.2.
55
John C. Cooper, Aerospace Law – Subject Matter and Terminology, Recueil des course,
JALC, 2003, hlm. 89.

50
of all countries, irrespective of their degree of economic or scientific
development, and shall be the province of all mankind”

“eksplorasi dan penggunaan antariksa termasuk bulan dan benda –


benda langit lainnya, harus dilaksanakan demi kemanfaatan dan
kepentingan semua negara tanpa memandang tingkat perkembangan
ekonomi atau ilmu pengetahuan mereka dan harus menjadikannya
kawasan seluruh umat manusia”56

Didalam pasal 2 The Outer Space Treaty 1967 disebutkan bahwa :


“outer space, including the moon and other cellestial bodies, is not
subject to national appropiation by claim of sovereignty, by means of
use or occupation, or by any other means”

“ruang angkasa, termasuk bulan dan benda – benda langit lainnya,


tidak dapat dijadikan pemilikan nasional dengan cara menuntut
kedaulatan, penggunaan atau pendudukan dengan cara – cara
lainnya”57

Berdasarkan ketentuan dari pasal – pasal yang tertera

diatas, lingkup wilayah yang diatur didalam The Outer Space Treaty

1967 mencakup seluruh ruang angkasa diatas permukaan bumi dan

negara dapat mengklaim kedaulatannya di ruang angkasa.

b. Lingkup Personal

Didalam pasal 14 The Outer Space Treaty 1967 disebutkan bahwa :

Dimaksudkan untuk mengetahui pihak mana saja yang

dapat terlibat dalam pelaksanaan konvensi. Dengan memperhatikan

pasal-pasal yang terkandung dalam konvensi yang menyangkut tentang

siapa saja yang bertanggung jawab serta apa saja yang

56
The Outer Space Treaty, art.1, para.1.
57
Ibid, art.2.

51
dipertanggungjawabkan maka yang dapat terlibat di dalam pelaksanaan

konvensi ini adalah Negara – Negara.58

11. Hal – hal yang Diatur Dalam The Outer Space Treaty 1967

The Outer Space Treaty 1967 merupakan konvensi yang

mengatur tentang kegiatan eksplorasi dan penggunaan terhadap benda

– benda langit di ruang angkasa.

Didalam pasal 4 paragraf 2 The Outer Space Treaty 1967

menyebutkan bahwa :

“The Moon and other celestial bodies shall be used by all States
Parties to the Treaty exclusively for peaceful purposes. The
establishment of military bases, installations and fortifications, the
testing of any type of weapons and the conduct of military manoeuvres
on celestial bodies shall be forbidden. The use of military personnel
for scientific research or for any other peaceful purposes shall not be
prohibited. The use of any equipment or facility necessary for
peaceful exploration of the Moon and other celestial bodies shall also
not be prohibited”59
Yang berarti, bulan serta benda – benda langit lainnya harus

digunakan oleh semua negara pihak traktat secara eksklusif hanya

untuk tujuan – tujuan damai. Didalam pasal ini juga melarang negara

– negara pihak traktat untuk :

a. Menempatkan senjata nuklir

b. Menempatkan senjata perusak masal

c. Mendirikan pangkalan – pangkalan militer

d. Instalasi – instalasi militer

58
Ibid, art.14.
59
Ibid, art.4.

52
e. Benteng – benteng militer

f. Percobaan segala jenis senjata

g. Tindakan manuver militer

Poin – poin tersebut dilarang dalam hal meluncurkan atau

mengorbitkan benda – benda dari bumi ke ruang angkasa ataupun

menggunakan benda – benda langit.

I. Tinjauan Umum Mengenai Objek Ruang Angkasa

Ruang angkasa merupakan wilayah luas diatas permukaan bumi yang

tidak memiliki batas. Namun di ruang angkasa terdapat objek – objek terkait yang

dapat didefinisikan, yaitu satelit.

1. Definisi Satelit

Satelit adalah benda yang mengorbit benda lain dengan

waktu rotasi dan revolusi tertentu. Sedangkan dalam kamus besar

Bahasa Indonesia, satelit adalah bintang siarah yang mengedari

bintang siarah yang lebih besar, misalnya bulan yang mengedari bumi.

Satelit dapat mengelilingi planet karena adanya gaya gravitasi planet.

Dengan demikian, sesuatu yang mengorbit suatu planet

merupakan satelit, satelit juga terbagi menjadi beberapa jenis dan

fungsi tersendiri.

12. Jenis Dan Fungsi Satelit

a. Satelit Alami

53
Satelit alami adalah salah satu benda ruang angkasa yang telah ada

(bukan buatan manusia) yang mengorbit suatu planet. Satelit alami

bumi adalah bulan. Selama mengelilingi bumi, bulan mengalami tiga

gerakan sekaligus, yaitu rotasi, revolusi bulan mengelilingi bumi dan

revolusi bulan mengelilingi matahari.

Rotasi merupakan gerakan peruputaran bulan pada porosnya,

waktu rotasi bulan adalah satu bulan (29hari), sedangkan revolusi

merupakan gerakan beredarnya bulan mengelilingi bumi. Akibatnya,

bila dilihat dari bumi, bentuk bulan akan berubah-ubah, hal ini disebut

fase bulan. Dalam sekali revolusi, bulan mengalami beberapa fase

diantaranya bulan baru – bulan sabit – bulan setengah – bulan

bungkuk – bulan purnama – bulan bungkuk – bulan setengah – bulan

sabit – bulan baru.

Selain berotasi dan berevolusi, bulan bersama bumi juga mengitari

matahari. Waktu yang diperlukan bulan untuk mengitari matahari

sama dengan waktu yang diperlukan bumi untuk mengitari matahari,

yaitu satu tahun. Bulan mengelilingi matahari sekali dalam setahun,

sedangkan mengelilingi bumi 12 kali dalam setahun, sehingga

revolusi bulan sering dijadikan penanggalan masehi/hijriah.60

Adapun fungsi satelit alami (bulan) diataranya adalah :

 Secara tidak lansung melindungi bagi planet yang diorbitnya

dari hantaman benda langit lain seperti komet dan asteroid.

60
Husni Nasution, “Orbit Satelit Dan Ketinggiannya”, Berita Dirgantara, No.1, Maret 2001.

54
 Dapat mengontrol kecepatan rotasi suatu planet karena efek

gravitasional tidal wave.

 Menyeimbangkan perputaran siklus air laut yang

mengakhibatkan pasang surut air laut.

 Mengurangi efek yang ditimbulkan akibat radiasi sinar

ultraviolet.

 Memberi penerangan pada malam hari.

b. Satelit Buatan

Satelit buatan adalah salah satu benda ruang angkasa buatan

manusia yang mengorbit suatu planet yang dalam pembuatannya

memiliki jenis dan fungsi tertentu dengan tujuan untuk kepentingan

manusia. Berikut merupakan jenis-jenis satelit berdasarkan

fungsinya :

 Satelit Navigasi : berfungsi untuk penerbangan dan

pelayaran. Satelit ini akan memberikan informasi posisi pesawat

terbang dan kapal yang sedang dalam perjalanan.

 Satelit Geodesi : berfungsi untuk melakukan

pemetaan bumi dan mendapatkan informasi tentang grafitasi.

 Satelit Komunikasi : berfungsi untuk komunikasi seperti

radio, televisi, dan telepon.

55
 Satelit Meteorology : berfungsi untuk menyelidiki

atmosfer bumi guna melakukan peramalan cuaca.

 Satelit Penelitian : berfungsi untuk menyelidiki tata

surya dan alam semesta secara lebih bebas tanpa dipengaruhi oleh

atmosfer. Satelit ini berusaha mendapatkan data-data tentang

matahari dan bintang-bintang lain untuk mengungkap rahasia alam

semesta.

 Satelit Militer : berfungsi untuk kepentingan militer suatu

negara, misalnya mengintai kekuatan senjata lawan.

 Satelit Survei SDA : berfungsi untuk memetakan dan

menyelidiki sumber-sumber alam dibumi bagi kepentingan

pertambangan, pertanian, perikanan dan lain-lain.

13. Berdasarkan Ketinggian Garis Edarnya

Satelit dapat dibedakan menjadi tiga macam, diantaranya yaitu :

 Satelit LEO (Low Earh Orbit) yaitu satelit yang bergaris edar

rendah yaitu diantara 500 km sampai 10.000 km dari

permukaan bumi. Waktu revolusi satelit ini adalah 2 sampai 6

jam. Contoh satelit ini adalah Iridium, Global Star, Elipsat,

Odessey, dan Constellation.

56
 Satelit MEO (Medium Earth Orbit) yaitu satelit yang bergaris

edar menengah yaitu diantaranya 10.000 km sampai 20.000

km. Waktu revolusi satelit ini antara 6 sampai 12 jam.

 Satelit GEO (Geostatinonary Earth Global) yaitu satelit yang

berada pada orbit geostasioner yaitu 36.000 km dari

permukaan bumi. Orbit stasioner adalah orbit yang

menyebabkan waktu reovolusi satelit sama dengan rotasi

bumi, yaitu satu hari. Contoh satelit ini adalah satelit palapa

dan intelsat.

a. Cara Kerja Satelit

Satelit yang mengitari bumi pada orbitnya akan dikendalikan

oleh Master Control Station di stasiun bumi. Pengendalian satelit

yang berada puluhan ribu kilometer dari bumi menggunakan sistem

otomatis yang didasarkan atas dua sistem pengendalian, yaitu Spin

Stabillized Satellite dan Three Axiz Body Stabillized.

Spin Stabillized Satellite merupakan metode pengendalian

satelit dengan cara menggerakan badan satelit secara berputar

untuk menuju ke suatu posisi tertentu yang diinginkan. Satelit

secara teori akan diam pada posisinya di orbit, pada kenyatannya

akan bergeser dari orbit yang sebenarnya.

57
Three Axiz Body Stabillized merupakan pengontrolan posisi

satelit berdasarkan sumbu koordinal X,Y, dan Z. dari ketiga sumbu

tersebut akan dipetakan menjadi posisi pitch, roll and yaw.

Kerja satelit terbagi dua, yaitu cara uplink dan downlink.

Uplink adalah transmisi yang dikirim dari planet bumi menuju

satelit, sedangkan downlink yaitu transmisi dari satelit ke stasiun

bumi.

Pada dasarnya, komunikasi satellit dan cara kerjanya

berguna sebagai repeater di langit, satelit juga menggunakan

transponders, yaitu alat yang memungkinkan terjadinya komunikasi

dua arah. Umumnya komunikasi satelit menggunkan begit banyak

transponders. Hal lain yang penting perannya dalam jaringan

komunikasi satelit adalah antena satelit, karena benda ini berfungsi

sebagai penerima transisi di setiap wilayah di dunia. Sedangkan

sebuah satelit spancing (penempatan satelit) digunakan dalam

melakukan transmisi lebih mudah berdasarkan wilayahnya. Power

sistem yang digunakan oleh satelit diperoleh dari sinar matahari

yang diubah bentuk menjadi listrik yang menggunkan solar cells.

Pesawat ruang angkasa yang berada lama di ruang angkasa

membangkitkan tenaga dengan energi matahari. Pesawat

memperoleh energi matahari itu dengan menggunakan struktur

seperti sayap besar yang diberi nama panel surya, setiap panel

58
surya tersusun atas banyak sel yang lebih kecil sel surya

menghasilkan tnaga listrik saat terkena cahaya. Sel-sel tersebut

dibuat dari bahan yang disebut silikon. Panel surya hanya akan

bekerja bila saat menghadap ke arah matahari, dan satelit

dilengkapi dengan sensor yang mencari arah cahaya. Motor

menggerakkan panel dihadapkan ke cahaya matahari. Satelit juga

dilengkapi dengan sumber tenaga yang berdurasi 12 tahun yang

merupakan bahan bakarnya agar dapat beroperasi.

59
BAB III

PENGGUNAAN SATELIT KOMUNIKASI GSAT-7 OLEH

INDIA UNTUK KEPENTINGAN MILITER

A. Tujuan Militer Menurut Hukum Ruang Angkasa Internasional

Berdasarkan Cologne Commentary on Space Law yang memuat tentang

komentar dari pasal – pasal yang terdapat didalam The OST, yang lebih spesifik

lagi menerangkan tentang isi yang terkandung didalam pasal 4 yang berbunyi :

“States Parties to the Treaty undertake not to place in orbit around the Earth any
objects carrying nuclear weapons or any other kinds of weapons of mass
destruction, install such weapons on celestial bodies, or station such weapons in
outer space in any other manner.
The Moon and other celestial bodies shall be used by all States Parties to the
Treaty exclusively for peaceful purposes. The establishment of military bases,
installations and fortifications, the testing of any type of weapons and the conduct
of military manoeuvres on celestial bodies shall be forbidden. The use of military
personnel for scientific research or for any other peaceful purposes shall not be
prohibited. The use of any equipment or facility necessary for peaceful
exploration of the Moon and other celestial bodies shall also not be prohibited”.

Didalam Negotiations and Drafting History, dinyatakan bahwa :

“The outer space treaty is clearly an arms control treaty. As US Ambassador


Goldberg in the negotiations of the treaty, ‘the central issue was to ensure that
outer space and celestial bodies were reserved exclusively for peaceful purposes’.
Whereas outer space was being discovered for military uses, the ongoing Cold
War and the dangers of a nuclear war lead to general agreement among the
drafting states that ‘a critical need existed to include a provision banning nuclear
weapons and other weapons of mass destruction from outer space’”.61
Yang diartikan menjadi, "Perjanjian ruang angkasa jelas merupakan

perjanjian kontrol senjata. Sebagai Duta Besar AS Goldberg dalam negosiasi

61
Stephan Hobe (ed.), Cologne Commentary on Space Law, Carl Heyman Verlag, 2009,hlm.72.

60
perjanjian tersebut, 'isu utamanya adalah memastikan bahwa ruang angkasa dan

benda angkasa disediakan khusus untuk tujuan damai'. Sedangkan ruang angkasa

ditemukan untuk keperluan militer, Perang Dingin yang sedang berlangsung dan

bahaya perang nuklir menyebabkan kesepakatan umum di antara negara-negara

pembuat bahwa 'kebutuhan kritis ada untuk memasukkan ketentuan yang

melarang senjata nuklir dan senjata pemusnah massal lainnya di ruang angkasa'".

Selanjutnya komentar yang membahas tentang apa saja yang dapat

dikategorikan sebagai tujuan militer antara lain :

1. Exclusively for Peaceful Purposes

“It is in Article IV paragraph 2 Outer Space Treaty that the phrase


‘exclusively for peaceful purposes’ (emphasis added) is used for the
first time. Whereas the Outer Space Treaty in various places refers to
theuse of outer space ‘for peaceful purposes’, it fails to provide a
definition of the term ‘peaceful’. Consequently, its interpretation has
given rise to much debate. At the core is the question of whether the
term ‘peaceful’ refers to ‘non-military’ uses, prohibitng any military
uses altogether and thus leading to complete demilitarisation of the
moon and other celestial bodies; or rather to ‘non-aggressive’ uses
with the result of neutralisation, prohibiting aggressive but leaving
room for non-aggressive military uses.
Irrespective of the meaning attributed to the term ‘for peaceful
purposes’ in other provisions of the Outer Space Treaty, its
combination with the word ‘exclusively’ in the context of Article IV
paragraph 2 leaves no doubt as to the scope of the prohibition
contained in Article IV paragraph 2 sentence 1. The inclusion of the
word ‘exclusively’ leaves no room for any military use whatsoever,
even if non-aggressive. That such encompassing prohibition is
foreseen by Article IV paragraph 2 sentence 1, is furthermore
underlined by the express authorisation of certain military uses by
sentence 2 and 3. If non-aggressive military uses were allowed by
sentence 1 already, such explicit authorisation would havebeen
unnecessary. Moreover, paragraph 1 shows that some military uses
foreseen at the time had been explicitly prohibited”.

61
Yang artinya adalah ada dalam Pasal IV ayat 2 Perjanjian

Ruang angkasa bahwa ungkapan 'secara eksklusif untuk tujuan damai'

(penekanan ditambahkan) digunakan untuk pertama kalinya.

Sedangkan Perjanjian Ruang angkasa Luar di berbagai tempat

mengacu pada penggunaan ruang angkasa 'untuk tujuan damai',

namun undang-undang tersebut gagal memberikan definisi istilah

'damai'. Akibatnya, interpretasinya telah menimbulkan banyak

perdebatan. Intinya adalah pertanyaan apakah istilah 'damai' mengacu

pada penggunaan 'non-militer', melarang penggunaan militer sama

sekali dan dengan demikian mengarah pada demiliterisasi bulan dan

benda langit lainnya; Atau lebih tepatnya menggunakan 'non-

aggresive' dengan hasil netralisasi, melarang aggresive namun

menyisakan ruang untuk penggunaan militer non-aggresive.

Selanjutnya dalam paragraf yang kedua adalah Terlepas

dari makna yang dikaitkan dengan istilah 'untuk tujuan damai' dalam

ketentuan lain dari Outer Space Treaty, penggabungannya dengan kata

'eksklusif' dalam konteks Pasal IV ayat 2 tidak menyisakan ruang

lingkup larangan yang terkandung di dalamnya. Pasal IV ayat 2

kalimat 1. Pencantuman kata 'eksklusif' tidak menyisakan ruang untuk

penggunaan militer apapun, bahkan jika tidak agresif. Larangan yang

meluas seperti itu diramalkan oleh Pasal IV ayat 2 kalimat 1, yang

selanjutnya digarisbawahi oleh pengesahan wewenang penggunaan

militer tertentu dengan kalimat 2 dan 3. Jika penggunaan militer yang

62
tidak agresif diizinkan oleh kalimat 1, otorisasi eksplisit semacam itu

seharusnya tidak diperlukan . Selain itu, paragraf 1 menunjukkan

bahwa beberapa penggunaan militer yang diramalkan pada saat itu

telah dilarang secara eksplisit ".62

J. Peran International Communication Union (ITU) Tentang Pengaturan

Satelit Komunikasi

Broadband merupakan jangkauan frekuensi yang luas yang digunakan

untuk mengirim dan menerima data. Istilah broadband digunakan dalam

penggunaan teknologi media transmisi yang mendukung banyak frekuensi, mulai

dari frekuensi suara hingga video.

Broadband telah menjadi prioritas utama abad ke-21, dan dipercaya bahwa

kekuatan transformatif sebagai kemungkinan untuk pertumbuhan ekonomi dan

sosial menjadikannya alat penting untuk memberdayakan orang, menciptakan

lingkungan yang memupuk inovasi teknologi dan layanan, dan memicu perubahan

positif pada proses bisnis maupun masyarakat secara keseluruhan. Peningkatan

adopsi dan penggunaan broadband pada dekade berikutnya dan seterusnya akan

didorong oleh sejauh mana layanan dan aplikasi pendukung broadband yang tidak

hanya tersedia, namun juga relevan dan terjangkau bagi konsumen. Dan

sementara manfaat masa depan yang mendukung broadband nyata, revolusi

broadband telah mengangkat isu dan tantangan baru.63


62
Ibid, hlm.82.
63
Dr. Hamadoun I. Touré (ed.), Regulation of Global Broadband Satellite Communications,
diterbitkan untuk International Communication Union, hlm.v.

63
Sehubungan dengan perkembangan tersebut, International

Telecommunication Union (ITU) meluncurkan serangkaian baru Laporan

Broadband ITU. Laporan pertama dalam seri yang diluncurkan pada 2012

berfokus pada aspek kebijakan, peraturan dan ekonomi broadband yang mutakhir.

Bidang dan tema terkait lainnya akan dibahas oleh laporan selanjutnya termasuk

analisis pasar, infrastruktur broadband dan implementasi, dan aplikasi dengan

dukungan broadband. Selain itu, serangkaian studi kasus akan melengkapi sumber

daya yang sudah tersedia oleh ITU ke semua jenis pembacanya yang berbeda,

namun terutama untuk regulator dan pembuat kebijakan ICT.64

1. Penggunaan Satelit Untuk Komunikasi Broadband (Kelebihan

dan Keterbatasan)

Satelit telah berhasil melayani pasar yaitu telepon dan

penyiaran, yang mencakup wilayah geografis yang luas dengan

menggunakan transmisi tunggal. Bagi penyedia satelit, tapak mereka

hampir tidak terbatas. Ada permintaan besar untuk akses broadband

dua arah di wilayah geografis besar yang tidak dilayani oleh

infrastruktur telekomunikasi. Satelit broadband diharapkan bisa

berfungsi sebagai `local-loop 'di area seperti itu.

Teknologi telekomunikasi satelit berpotensi mempercepat

ketersediaan layanan Internet berkecepatan tinggi di negara-negara

berkembang, termasuk negara-negara terbelakang, negara-negara yang

dikuasai daratan dan pulau, dan ekonomi dalam masa transisi. Ada

64
Ibid.

64
hubungan erat antara ketersediaan infrastruktur broadband berskala

besar dan penyediaan layanan pendidikan, kesehatan, dan

perdagangan publik dan akses online ke informasi e-government dan

e-trade.

Satelit mewakili infrastruktur instan, tidak tergantung

medan atau jarak. Satelit bisa memberikan solusi dengan berbagai cara

- backhaul dan last mile via wireless, warung internet, atau langsung

ke rumah.

Efektivitas broadband satelit lebih terasa saat melayani area

yang luas dengan cakupan global, regional atau nasional. Tidak ada

masalah 'last mile' karena ada beberapa penyedia komunikasi

tradisional dan keandalannya tidak ada bandingannya dalam situasi

ketika bencana alam atau tindakan terorisme melumpuhkan mode

komunikasi lainnya. Meskipun satelit umumnya dirancang untuk masa

15 tahun, mereka sering memberikan layanan untuk periode 18 tahun

atau lebih. Satelit secara inheren sangat dapat diandalkan dan

memberikan ketersediaan yang sangat tinggi (up-time) dibandingkan

dengan solusi terestrial seperti kabel serat / tembaga atau nirkabel

terestrial - terutama di negara-negara berkembang di mana jarak yang

tidak berpenghuni perlu ditutupi.

Namun, biaya telah turun dalam beberapa tahun terakhir

sampai-sampai semakin kompetitif dengan pilihan broadband lainnya.

65
Sebuah generasi baru dari aplikasi yang membutuhkan banyak

persyaratan throughput yang tinggi telah muncul dan satelit memenuhi

kebutuhan throughput yang tinggi ini. Kapasitas satelit yang tinggi -

dari urutan 100 Gbit/s ditambah dengan beberapa transmisi dan

beberapa gerbang, menghasilkan pengurangan biaya per Mbps 100-1

pada perbandingan bila dibandingkan dengan satelit konvensional 1

Gbit/s Ku band. Sistem satelit dioptimalkan untuk layanan seperti

akses Internet, jaringan pribadi virtual (VPN), akses pribadi, dll.

Penerapan layanan akses broadband berbasis throughput yang tinggi

diyakini untuk memperkenalkan perubahan paradigma sejati dalam

layanan akses broadband satelit dan akan memungkinkan industri

tersebut untuk akhirnya memulai proses "remaking" pasar akses

broadband satelit ke dalam penawaran yang harus dibandingkan

dengan layanan DSL di pasar yang belum terlayani atau terlayani.65

Sementara itu, ada masalah latency yang melekat (waktu

yang dibutuhkan untuk mengirim dan menerima pesan, 540 ms sampai

800 ms untuk satelit geostasioner di lingkungan yang khas) yang

terkait dengan penyampaian broadband dengan menggunakan satelit

geo-stasioner. Bagaimanapun latensi tidak menjadi masalah bagi

banyak aplikasi seperti akses email dasar dan penjelajahan web.

Berkat teknik transmisi seperti protokol transmisi transmisi (TCP) dan

protokol percepatan yang baik, dalam banyak kasus, latency hampir

65
Ibid, hlm.4.

66
tidak terlihat kecuali untuk aplikasi real-time yang memerlukan

masukan pengguna secara real-time (seperti permainan video online).

Karena latensi disebabkan oleh jarak antara satelit dan bumi, satelit di

orbit bawah bumi memiliki latensi yang lebih sedikit daripada

jaringan satelit geostasioner.66

Selain itu, ada masalah atenuasi atmosfir / hujan-atenuasi

yang bergantung pada frekuensi untuk sinyal satelit terutama di daerah

tropis - yang menciptakan masalah terutama untuk frekuensi yang

lebih tinggi seperti band Ka. Namun, dengan teknologi yang lebih

baik untuk mengurangi masalah latensi dan atenuasi, keuntungan

mendasar dari akses broadband global sejati dari broadband satelit

(yaitu data dan aplikasi berbasis web) tidak ada bandingannya.67

14. Layanan dan Sistem Satelit

Saat ini ada sekitar 40 layanan komunikasi radio yang

tersedia, termasuk layanan satelit seperti yang dijelaskan dalam kotak

1. Bagian ini berisi deskripsi orbit satelit, karakteristik teknis dari

antarmuka radio untuk sistem satelit broadband global. Penggunaan

layanan satelit tetap (FSS) untuk layanan internet kecepatan tinggi dan

manfaat broadband satelit generasi baru dan layanan satelit mobile.68

Box 1 Pengaturan Tentang Radio ITU – Pasal 1 – Istilah dan Definisi

Layanan satelit tetap, dinas bergerak-satelit, dinas siaran-satelit dan


66
Ibid.
67
Ibid, hlm.5.
68
Ibid.

67
persyaratan terkait lainnya didefinisikan dalam Volume 1 Peraturan Radio ITU
dalam Pasal 1 yang membahas persyaratan dan definisi.
Fixed-satellite service:
Layanan komunikasi radio antara stasiun bumi pada posisi tertentu, bila satu atau
lebih satelit digunakan; Posisi yang diberikan mungkin merupakan titik tetap
tertentu atau titik tetap dalam area tertentu; Dalam beberapa kasus, layanan ini
mencakup tautan satelit-ke-satelit, yang mungkin juga dioperasikan dalam dinas
antar satelit; Layanan satelit tetap mungkin juga mencakup link feeder untuk dinas
komunikasi radio ruang angkasa lainnya.
Layanan mobile-satellite:
Layanan komunikasi radio:

- antara stasiun bumi bergerak dan satu atau lebih stasiun antariksa, atau
antar stasiun ruang angkasa
Digunakan oleh layanan ini; atau
  - antara stasiun bumi bergerak dengan satu atau lebih stasiun ruang
angkasa.

Layanan ini mungkin juga mencakup link feeder yang diperlukan untuk
pengoperasiannya.
Layanan penyiaran satelit:
Layanan komunikasi radio dimana sinyal yang dikirim atau dipancarkan ulang
oleh stasiun ruang angkasa ditujukan untuk penerimaan langsung oleh masyarakat
umum. Dalam dinas siaran-satelit, istilah "penerimaan langsung" mencakup
penerimaan individu dan penerimaan masyarakat.
Pelayanan radio determinasi:
Suatu dinas komunikasi radio untuk tujuan penentuan radiodeterminasi yang
melibatkan penggunaan satu atau lebih stasiun ruang angkasa. Layanan ini
mungkin juga mencakup link feeder yang diperlukan untuk pengoperasiannya.

15. Isu Regulasi Internasional - Penggunaan Spektrum dan Orbital

Sumber daya

Selama 48 tahun terakhir, dari Konferensi Radio

Administratif pada tahun 1963 dan sampai dengan dan termasuk

Konferensi Radiocommunication Dunia terakhir di Jenewa (WRC-

07), banyak konferensi ITU telah membahas peraturan penggunaan

spektrum / orbit oleh stasiun dinas komunikasi radio ruang angkasa.

68
Negara-negara Anggota ITU telah membentuk sebuah

rezim hukum, yang dikodifikasikan melalui Konstitusi dan Konvensi

ITU, termasuk Peraturan Radio. Instrumen ini mengandung prinsip

utama dan menetapkan peraturan khusus yang mengatur elemen utama

berikut ini:

 Alokasi spektrum frekuensi ke berbagai kategori layanan

komunikasi radio

 Hak dan kewajiban administrasi dalam memperoleh akses

terhadap sumber spektrum / orbit

 Pengakuan internasional atas hak-hak ini dengan mencatat tugas

frekuensi dan, jika sesuai, posisi orbital yang digunakan atau

dimaksudkan untuk digunakan dalam Master International

Frequency Register.

Peraturan di atas didasarkan pada prinsip-prinsip utama

penggunaan efisien dan akses yang adil terhadap sumber spektrum /

orbit yang diatur dalam Konstitusi ITU dalam pasal 44 yang

berbunyi:69

1. Negara-negara Anggota harus berusaha membatasi jumlah

frekuensi dan spektrum yang digunakan seminimal mungkin untuk

memberikan pelayanan yang memuaskan secara memuaskan.

69
Constitution of the International Telecommunication Union, Use of the Radio-Frequency
Spectrum and of the Geostationary-Satellite and Other Satellite Orbits, art.44.

69
Untuk itu, mereka harus berusaha menerapkan kemajuan teknis

terbaru sesegera mungkin.

2. Dalam menggunakan pita frekuensi untuk layanan radio, Negara-

negara Anggota harus mengingat bahwa frekuensi radio dan orbit

terkait, termasuk orbit satelit geostasioner, adalah sumber daya

alam yang terbatas dan harus digunakan secara rasional, efisien dan

ekonomis, sesuai dengan ketentuan Dari Peraturan Radio, sehingga

negara atau kelompok negara dapat memiliki akses yang adil

terhadap orbit dan frekuensi tersebut, dengan mempertimbangkan

kebutuhan khusus negara-negara berkembang dan situasi geografis

negara-negara tertentu.

Bagian ini dimaksudkan untuk menggarisbawahi prinsip-

prinsip di balik prosedur koordinasi dan notifikasi satelit. Prosedur

wajib ini dan penyelesaian yang berhasil mereka berikan kepada

pemerintah hak pengakuan dan perlindungan internasional terhadap

sumber spektrum dan orbit yang dikoordinasikan oleh mereka.

16. Tantangan Regulasi: Satelit Virtual dan Masalah Koordinasi

Internasional Lainnya - Solusi Yang Memungkin

Informasi independen yang tersedia saat ini tentang

penggunaan spektrum atau sumber orbit secara nyata menunjukkan

beberapa perbedaan dari informasi terkait yang diajukan oleh

administrasi ke ITU. Ini berarti bahwa masalah satelit kertas - atau,

lebih tepatnya, tugas frekuensi fiktif yang tercatat di MIFR - masih

70
ada, dengan mayoritas penugasan tersebut dicatat dengan indikasi

bahwa mereka telah dibawa ke operasi reguler sesuai dengan

karakteristik jaringan satelit yang terdaftar.70

Masalah mengenai sejumlah tugas frekuensi yang tercatat

di MIFR dan dinyatakan dalam penggunaan yang tampaknya tidak

beroperasi secara reguler, disebut sebagai masalah "satelit virtual".

Hal ini disorot dalam sebuah lokakarya ITU yang diselenggarakan

oleh ITU di Jenewa pada bulan Mei 2009.

ITU mengeluarkan sebuah komunikasi ke semua

administrasi yang meminta mereka untuk meninjau penggunaan

jaringan satelit mereka yang terekam dan mendesak mereka untuk

menghapus tugas / jaringan frekuensi yang tidak terpakai dari MIFR.

Sejalan dengan permintaan ini, ITU juga meminta beberapa ketentuan

Peraturan Radio untuk memberlakukan pemindahan frekuensi yang

tidak terpakai dari MIFR saat penggunaannya tidak dihentikan sesuai

dengan Peraturan Radio.71

Saat ini ITU sedang melakukan tindakan bersama dalam

beberapa kasus, atas inisiatifnya sendiri dan juga atas inisiatif

beberapa administrasi - dalam menerapkan ketentuan Peraturan Radio

yang relevan.

70
Dr. Hamadoun I. Touré (ed.), op.cit,hlm.28.
71
Ibid, hlm.30.

71
K. Norma, Pedoman Dan Prosedur Untuk Komunikasi Satelit Di India

Pemerintah India telah memutuskan bahwa Kebijakan Komunikasi Satelit

harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga sementara operasi dari tanah India

diperbolehkan dengan satelit India dan asing, proposal yang mempertimbangkan

penggunaan Satelit India akan diberikan perlakuan istimewa. Norma untuk

beroperasi dengan satelit dari tanah India harus diformulasikan oleh masing-

masing Kementerian Administrasi / Departemen sesuai dengan arahan di atas dan

juga sesuai dengan Pasal-2, 3 dan 4 dari Norma Komunikasi Satelit, Pedoman dan

Prosedur ini. Misalnya, dalam kasus Penyiaran (TV dan Suara), kondisi akan

diatur oleh RUU Penyiaran yang dapat disahkan oleh Parlemen. Demikian pula

dalam kasus GMPCS72, persyaratan lisensi operasi akan ditentukan oleh kebijakan

GMPCS yang diujicobakan oleh Departemen Telekomunikasi. Namun,

sehubungan dengan pembentukan dan pengoperasian Sistem Satelit India, Artikel

dari Norma Komunikasi, Petunjuk dan Prosedur Komunikasi Satelit ini harus

berlaku.73

1. Pedoman Dasar

a. Sebagai dasar pembuatan kapasitas INSAT yang tersedia untuk

Sektor Komersial harus didasarkan pada jalur bisnis yang sehat,

yaitu, kegiatan ini harus berbasis 'untuk keuntungan' dan pada saat

72
Global Mobile Personal Communication by Satellite, merupakan suatu sistem satelit yang
menyediakan layanan telekomunikasi langsung ke pengguna (user) menggunakan jaringan satu
satelit atau lebih.
73
ISRO, India’s Space Policy, Article 1, Diakses dari
http://www.isro.gov.in/sites/default/files/article-files/indias-space-policy-0/satcom-ngp.pdf, pada
tanggal 20 Juli 2017 pukul 20:02.

72
bersamaan sesuai dengan kebijakan Pemerintah di sektor pengguna

terkait.74

b. Semua kebijakan mengenai sistem INSAT ditentukan oleh Komite

Koordinasi INSAT (ICC) dengan tetap memperhatikan Frame

Kebijakan-kerja untuk Komunikasi Satelit di India.

17. Klasifikasi Penggunaan

a. Sektor pengguna dapat diklasifikasikan secara luas sebagai:

1) Telekomunikasi

2) Penyiaran

3) Pendidikan dan komunikasi perkembangan

4) Komunikasi Keamanan untuk Kementerian / Pelayanan

Pertahanan

b. Pendidikan telah diidentifikasi secara terpisah karena penggunaan

masa depan oleh sektor ini diharapkan cukup besar. Juga Security

Communications adalah area dimana tuntutan diharapkan tumbuh

dengan pesat. Dalam kedua kasus ini prosedur perizinan normal

yang dapat diadopsi dalam kasus komunikasi komersil mungkin

tidak berlaku. Pengaturan keuangan untuk sistem INSAT juga

mungkin berbeda dalam kasus sektor-sektor ini.

18. Alokasi Kapasitas

a. Sejauh alokasi ke Radio Departemen Telekomunikasi,

Doordarshan dan All India untuk penggunaan langsung mereka

74
Ibid, hlm.2.

73
terhadap kapasitas yang ada dan yang direncanakan di satelit

INSAT, kekhawatiran bahwa praktik yang ada akan berlanjut.

Kapasitas yang direncanakan berarti kapasitas yang diproyeksikan

oleh badan-badan ini dalam jangka panjang dan termasuk dalam

konfigurasi satelit atau rangkaian satelit tertentu.

b. ICC harus menetapkan setidaknya persentase tertentu dari

kapasitas untuk digunakan oleh pengguna nonpemerintah yang

telah diberi wewenang oleh undang-undang untuk menyediakan

berbagai layanan telekomunikasi termasuk penyiaran.

c. Dengan mengacu pada pengguna lain, ICC dapat mengembangkan

prosedur dari waktu ke waktu dengan mempertimbangkan

kapasitas yang tersedia dan situasi yang berlaku di pasar

komunikasi satelit.

d. Sejauh penyiaran penggunaan kapasitas INSAT untuk melayani

India akan disesuaikan untuk memenuhi ketentuan RUU Penyiaran

yang dapat diberlakukan.

e. Sejauh menyangkut telekomunikasi, penggunaan kapasitas INSAT

untuk pengguna di India akan didasarkan pada ketentuan /

pengaturan yang ada. ICC dapat meninjau pengaturan ini setiap

saat sesuai kebutuhan.

f. Tanggung jawab untuk mendapatkan lisensi yang diperlukan untuk

menawarkan layanan di wilayah tertentu (di India atau di negara

74
lain) adalah hak Pihak yang telah mengambil alih kapasitas untuk

disewakan.

g. Operasi dengan INSAT dan penyediaan layanan di India akan

dikenakan Pihak yang memperoleh lisensi operasi dan frekuensi /

penentuan lokasi dari pihak yang berwenang.

h. Sejauh alokasi kapasitas untuk (a) Komunikasi Pendidikan dan

Pembangunan dan (b) Komunikasi Keamanan untuk Kementerian /

Kementerian Pertahanan prihatin, praktik alokasi transponder yang

ada oleh ICC akan terus berlanjut.75

19. Lisensi Yang Diperlukan

Untuk membangun Sistem Satelit India diperlukan tiga

otorisasi / lisensi yang berbeda. Ini adalah:

a. Otorisasi dari Department of Space untuk memiliki dan

mengoperasikan sistem satelit India yang terdaftar, termasuk pusat

kendali pesawat ruang angkasa. Otorisasi ini berasal dari sudut

pandang memastikan bahwa sistem tersebut akan beroperasi sesuai

dengan Perjanjian Ruang angkasa PBB dan perjanjian terkait

lainnya dimana Pemerintah India adalah Penandatangan. Otorisasi

ini juga harus memperhatikan masalah keamanan dan memastikan

bahwa sistem tersebut sesuai dengan Kebijakan Ruang angkasa

yang ada Pemerintah.

75
Ibid, hlm.4.

75
b. Otorisasi oleh Wireless Planning and Coordination Wing (WPC)

Kementerian Perhubungan, menjadi Administrasi India, untuk

mengoperasikan Stasiun Ruang angkasa sesuai dengan Peraturan

Radio (ITU) yang masih ada.

c. Izin operasi untuk layanan yang akan disediakan oleh sistem /

jaringan. Sejauh menyangkut India, ini akan ditangani sesuai

dengan peraturan di sektor tertentu sebagaimana didefinisikan

dalam Pasal 1. Misalnya, untuk penyiaran Undang-Undang

Penyiaran akan berlaku dan untuk telekomunikasi, Undang-

Undang Telegraph akan berlaku. Kementerian Administrasi

Telekomunikasi adalah Departemen Telekomunikasi dan

Penyiaran, Kementerian Penerangan dan Penyiaran.

20. Kewajiban Bertanggung Jawab Untuk Masalah Lisensi

Sejauh dua otorisasi / lisensi di atas menyangkut sebuah

komite yang terdiri dari Sekretaris Pemerintah India di Departemen

Ruang Angkasa, Departemen Telekomunikasi, Kementerian Informasi

dan Penyiaran, Kementerian Dalam Negeri, Sekretaris (R) ,

Kementerian Pertahanan dan Kementerian Perindustrian (Departemen

Kebijakan Industri dan Promosi) dengan Penasihat Nirkabel untuk

Pemerintah India sebagai Aktu Tetap adalah satu-satunya jendela

untuk membersihkan sistem. Komite dipimpin oleh Sekretaris,

Departemen Ruang Angkasa. Sekretariat Komite untuk mengesahkan

Pendirian dan Pengoperasian Sistem Satelit India (CAISS) harus

76
ditempatkan di Departemen Luar Angkasa. Setelah persetujuan

CAISS, otorisasi / lisensi untuk pendirian dan pengoperasian Sistem

Satelit dikeluarkan oleh Departemen Ruang angkasa setelah prosedur

normalnya. WPC juga harus menunjukkan intersistem dan koordinasi

terestrial sesuai kebutuhan.

L. Satelit GSAT-7

GSAT-7 merupakan satelit komunikasi canggih yang dibangun oleh ISRO

untuk memberikan spektrum layanan yang luas dari suara tingkat bit rendah ke

komunikasi data tingkat bit yang tinggi. GSAT-7 Communication payload

dirancang untuk memberikan kemampuan komunikasi kepada pengguna di

wilayah samudra yang luas termasuk daratan India. Desain payload GSAT-7

mencakup komunikasi Multiband.76

Berikut ini adalah spesifikasi dari GSAT-7 :77

Mission Communication

Mass At Lift-Off 2650 kg

Physical Dimensions 3.1 m X 1.7 m X 2.0 m

Power 3,000 W (end of life)

Satbilisation 3-axis stabilized

Orbit 74oE Geo Stationary

76
Department of Space Indian Indian Space Research Organisation, GSAT-7, diakses dari
http://www.isro.gov.in/Spacecraft/gsat-7, pada tanggal 05 Juni 2017 pukul 21:52.
77
Ibid.

77
Satelit GSAT-7 diluncurkan pada tanggal 30 Agustus 2013 dengan durasi

misi lebih dari 7 tahun mengorbit di 74oE Geo Stationary Orbit, satelit ini

diluncurkan bersama roket Ariane 5 ECA di Kourou, French Guiana, yang terletak

di Prancis, Guiana Space Centre.

M. Satelit GSAT-7 Untuk Kepentingan Militer

Berdasarkan dari tajuk berita yang diterbitkan oleh situs resmi angkatan

laut India yang berjudul “India's First Dedicated Satellite for Armed Forces

Launched, The Launch set to Increase Navy's Operational Effectiveness”, dalam

berita tersebut dinyatakan bahwa :

“The Indian Armed Forces in general and Indian Navy in particular got another
shot in the arm on 29 Sep 13 when India's first dedicated defence satellite GSAT-
7 was launched by the Ariane-5 launch vehicle of Arianespace, French Guiana.
The Ariane-5 rocket took off from Kourou at 2am IST and precisely placed GSAT-
7 into the intended Geosynchronous Transfer Orbit (GTO) after a flight of 34
minutes 25 seconds duration. As planned, Isro's Master Control Facility (MCF)
at Hassan in Karnataka started getting the signals five minutes prior to the
separation of GSAT-7 from Ariane-5.The solar panels of the satellite have been
deployed and they are generating power. Initial checks have indicated normal
health of the satellite. The present orbit of the satellite will be raised to
Geostationary Orbit of about 36,000km altitude through three orbit raising
manoeuvres by the firing of GSAT-7's Liquid Apogee Motor (LAM).
The multi-band communication satellite named "Rukmini" will help Navy keep an
eye on the Indian Ocean region (IOR) spread across 2,000 nautical miles of an
area. It would proovide real-time inputs to Indian Navy Ships, Submarines and
Aircraft. Additionally, The Indian Army, too, will get vital inputs about over-the-
land movements.
The satellite is essentially a geo-stationary communication satellite possessing
real-time input capability to the units at sea and on shore. With the help of the
shore based Operational centres, Rukmini, weighing 2,625kgs will also help the
Navy to keep an eye over both Arabian Sea and Bay of Bengal. It will also cover
an area spread from Persian Gulf to Malacca Strait and will thus cover an area
equivalent to almost 70% of the IOR. 

78
The "over-the-sea use" Rukmini, with UHF, S, Ku and C-band transponders, is to
be followed by GSAT-7A with the IAF and Army sharing its "over-the-land use"
bandwidth”.78

Dalam berita yang diterbitkan oleh situs resmi angkatan laut India

dinyatakan bahwa Angkatan Bersenjata India dan Angkatan Laut India secara

khusus mendapat kesempatan lain pada tanggal 29 September 2013 ketika satelit

pertahanan pertama di India GSAT-7 diluncurkan oleh roket peluncur Ariane-5 di

Arianespace, Guyana, Prancis.

Roket Ariane-5 lepas landas dari Kourou pada pukul 2 dini hari dan

tepatnya menempatkan GSAT-7 ke dalam Orbit Transfer Geosynchronous (GTO)

setelah penerbangan berdurasi 34 menit 25 detik. Seperti yang direncanakan,

Fasilitas Kontrol Master ISRO (MCF) di Hassan, Karnataka mulai mendapat

sinyal lima menit sebelum pemisahan GSAT-7 dari Ariane-5. Panel surya satelit

telah dikerahkan dan menghasilkan tenaga. Pemeriksaan awal menunjukkan

kesehatan satelit yang normal. Orbit satelit saat ini akan dinaikkan ke Orbit

Geostasioner dengan ketinggian sekitar 36.000 km melalui tiga manuver orbit

pengangkatan oleh penembakan Liquid Apogee Motor (LAM) GSAT-7.

Satelit komunikasi multi band yang bernama "Rukmini" akan membantu

Angkatan Laut mengawasi kawasan Samudera Hindia (IOR) yang tersebar di area

2.000 mil laut. Ini akan memberi masukan secara real-time ke Kapal Angkatan

78
Indian Navy, Navy gets a boost with Launch of First Dedicated Defence Satellite, diakses dari
https://www.indiannavy.nic.in/content/navy-gets-boost-launch-first-dedicated-defence-satellite,
pada tanggal 14 Juni 2017 pukul 10:40.

79
Laut India, Kapal Selam dan Pesawat Terbang. Selain itu, Angkatan Darat India

juga akan mendapatkan masukan penting tentang gerakan dipermukaan.

Satelit pada dasarnya adalah satelit komunikasi geo-stationary yang

memiliki kemampuan input real-time ke unit-unit di laut dan di darat. Dengan

bantuan pusat operasional berbasis Pantai, Rukmini dengan berat 2.625 kg juga

akan membantu Angkatan Laut untuk mengawasi Laut Arab dan Teluk Benggala.

Ini juga akan mencakup wilayah yang tersebar dari Teluk Persia hingga Selat

Malaka dan dengan demikian akan mencakup area yang setara dengan hampir

70% dari IOR.

Penggunaan "over-the-sea use" Rukmini, dengan transponder UHF, S, Ku

dan C-band, diikuti oleh GSAT-7A dengan IAF dan Army membagikan

bandwidth "over-the-land use".

N. Hukum Ruang Angkasa Nasional Mengenai Penggunaan Dan

Pemanfaatan Ruang Angkasa Untuk Kepentingan Militer

Mengenai penggunaan dan pemanfaatan ruang angkasa untuk kepentingan

militer terdapat hukum nasional yang mengatur tentang kegiatan tersebut yaitu

Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan. Didalamnya

mengatur tentang bagaimana sebagai pihak melakukan kegiatan di ruang angkasa.

Didalam bab II Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2013 Tentang

Keantariksaan memuat tentang “Kegiatan Keantariksaan”79. Yang dimaksud

dengan kegiatan ruang angkasa meliputi:80


79
Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan, Bab II.
80
Ibid, Pasal 7, ayat 1.

80
1. Sains antariksa;

2. Penginderaan jauh;

3. Penguasaan teknologi Keantariksaan;

4. Peluncuran; dan

5. Kegiatan komersial Keantariksaan.

Pelaksanaan kegiatan – kegiatan tersebut harus memperhatikan

kepentingan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber

daya manusia yang profesional, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

dan lingkungan ruang angkasa, dan mengikuti ketentuan peraturan perundang –

undangan nasional serta perjanjian internasional yang Indonesia menjadi negara

pihak.81

Didalam pasal 8 diatur pula mengenai larangan kegiatan di ruang angkasa,

antara lain:82

1. Menempatkan, mengorbitkan, atau mengoperasikan senjata nuklir

dan senjata perusak massal lainnya di Antariksa;

2. Melakukan uji senjata nuklir dan senjata perusak massal lainnya di

Antariksa;

3. Menggunakan bulan dan Benda Antariksa alam lainnya untuk

tujuan militer atau tujuan lain yang mencelakakan umat manusia;

81
Ibid, Pasal 7, ayat 2.
82
Ibid, Pasal 8.

81
4. Melakukan kegiatan yang dapat mengancam Keamanan dan

Keselamatan Penyelenggaraan Keantariksaan termasuk keamanan

Benda Antariksa, perseorangan, dan kepentingan umum; atau

5. Melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan pencemaran

dan/atau kerusakan lingkungan hidup bumi dan Antariksa serta

membahayakan kegiatan Keantariksaan termasuk penghancuran

Benda Antariksa.

Dengan demikian terlihat bahwa hukum nasional memperhatikan

bagaimana penggunaan dan pemanfaatan ruang angkasa untuk kepentingan militer

merupakan suatu kegiatan yang dilarang.

82
BAB IV
ANALISA TERHADAP PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN RUANG

ANGKASA UNTUK KEPENTINGAN MILITER BERDASARKAN

HUKUM RUANG ANGKASA INTERNASIONAL DAN

IMPLEMENTASINYA TERHADAP KASUS PENGGUNAAN SATELIT

KOMUNIKASI GSAT-7 UNTUK KEPENTINGAN MILITER DI INDIA

A. Pengaturan Kegiatan Keruangangkasaan Yang Ditujukan Untuk

Kepentingan Militer Berdasarkan Hukum Ruang Angkasa Internasional

Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab terdahulu, ruang angkasa

merupakan wilayah tanpa batas yang memiliki sumber daya alam yang terbatas

dalam penggunaanya untuk kegiatan manusia di ruang angkasa. Kegiatan –

kegiatan manusia di ruang angkasa dapat berupa eksplorasi ruang angkasa hingga

wisata ke ruang angkasa.

Pada dasarnya, negara – negara di dunia bebas untuk melakukan akses

pada benda – benda langit. Namun didalam kebebasan untuk melakukan akses

pada benda – benda langit di ruang angkasa, tidak ada negara yang dapat

mengklaim kedaulatannya di ruang angkasa, kegiatan manusia di ruang angkasa

telah diatur didalam The OST yang menentukan kebolehan serta larangan bagi

negara – negara manapun dalam melakukan eksplorasi dan penggunaan ruang

angkasa. Karena menurut The OST seluruh aktivitas – aktivitas keruangangkasan

hanya dapat dilakukan sesuai UN Charter (Piagam PBB) dan prinsip – prinsip

hukum internasional, namun demikian masalah kedaulatan sangat erat kaitannya

dengan beberapa aktivitas keruangangkasaan.

83
Didalam pasal 2 The OST disebutkan bahwa :

“Outer space, including the Moon and other celestial bodies, is not subject to
national appropriation by claim of sovereignty, by means of use or occupation, or
by any other means.”
Merujuk kepada pasal tersebut, ruang angkasa termasuk bulan dan benda –

benda langit lainnya, tidak dapat dijadikan kepemilikan nasional dengan cara

menuntut kedaulatan, penggunaan atau pendudukan atau dengan cara – cara

lainnya.

Larangan atas klaim kedaulatan negara di ruang angkasa disebabkan

karena ruang angkasa memiliki sumber daya alam terbatas yang harus dijaga

bersama oleh umat manusia, dengan adanya The OST negara-negara terikat untuk

melindungi sumber daya alam ini dengan melakukan eksplorasi ruang angkasa

hanya untuk tujuan damai. Sumber daya yang dimaksud antara lain berupa orbit

yang dapat dimanfaatkan oleh umat manusia untuk menempatkan satelit – satelit

buatan.

Upaya – upaya penempatan satelit buatan manusia untuk diletakkan di

orbit telah diatur didalam pasal 4 The OST, dalam paragraf pertama pasal 4 The

OST dinyatakan bahwa:

“States Parties to the Treaty undertake not to place in orbit around the Earth any
objects carrying nuclear weapons or any other kinds of weapons of mass
destruction, install such weapons on celestial bodies, or station such weapons in
outer space in any other manner”

Maksudnya adalah setiap negara peserta yang meratifikasi traktat tersebut

tidak boleh menempatkan benda disekitar orbit bumi yang membawa senjata

84
nuklir atau senjata lain yang dapat menyebabkan kehancuran masal, melakukan

instalasi senjata dibenda – benda ruang angkasa, ataupun di stasiun ruang angkasa.

Meskipun didalam paragraf 1 diatas tidak memasukan kata “moon”sebagai objek

yang berada di ruang angkasa, kata “celestial bodies” telah mencakup dari benda

– benda yang ada diruang angkasa.

Selanjutnya didalam paragraf 1 hanya menyebutkan pelarangan atas

senjata saja, berdasarkan atas pasal 4 paragraf 1 The OST, negara – negara tetap

dapat meluncurkan jenis – jenis satelit militer seperti satelit pengintai,

komunikasi, navigasi, meteorologi, geodetik, dan satelit lain ke ruang angkasa dan

menggunakan ruang angkasa untuk senjata konvensional.

Namun pada pasal 4 paragraf 2 The OST dinyatakan bahwa:

“The Moon and other celestial bodies shall be used by all States Parties to the
Treaty exclusively for peaceful purposes. The establishment of military bases,
installations and fortifications, the testing of any type of weapons and the conduct
of military manoeuvres on celestial bodies shall be forbidden. The use of military
personnel for scientific research or for any other peaceful purposes shall not be
prohibited. The use of any equipment or facility necessary for peaceful
exploration of the Moon and other celestial bodies shall also not be prohibited”.

Dari paragraf 2 diatas dapat diartikan bahwa Bulan dan benda langit

lainnya harus digunakan oleh semua Negara Pihak pada perjanjian secara

eksklusif untuk tujuan damai. Pembentukan basis militer, instalasi dan basis

pertahanan, pengujian semua jenis senjata dan pelaksanaan manuver militer pada

benda angkasa harus dilarang. Penggunaan personil militer untuk penelitian

ilmiah atau untuk tujuan damai lainnya tidak boleh dilarang. Penggunaan

85
peralatan atau fasilitas yang diperlukan untuk eksplorasi damai di Bulan dan

benda langit lainnya juga tidak boleh dilarang.

Berdasarkan pasal 4 tersebut maka dapat digaris bawahi bahwa salah satu

kegiatan yang dilarang dilakukan menurut The OST antara lain manuver militer,

menurut military factory definisi dari manuver militer 83 itu sendiri dapat berupa

sebuah gerakan untuk menempatkan kapal, pesawat terbang, atau pasukan darat

dalam posisi menguntungkan terhadap musuh, dapat juga berarti latihan taktis

yang dilakukan di laut, di udara, di tanah, atau di peta dalam simulasi perang,

dapat juga berarti operasi kapal, pesawat terbang, atau kendaraan,

menyebabkannya melakukan gerakan yang diinginkan ataupun dapat berarti

penempatan personel di daerah operasional melalui pergerakan dikombinasikan

dengan serangan untuk mencapai posisi keuntungan berkenaan dengan musuh

agar bisa menuntaskan misi. Manuver militer juga dapat dibedakan menjadi 2

jenis, manuver militer agresif dan manuver militer non agresif yang menimbulkan

perbedaan antara kegiatan penggunaan ruang angkasa untuk tujuan militer yang

bersifat “aggressive”84 dengan “non-aggressive”.

1. Kegiatan untuk tujuan militer yang bersifat agresif:85

 menempatkan senjata nuklir

 senjata penghancur masal

 mendirikan pangkalan militer

83
Military Factory, Manuever, diakses dari https://www.militaryfactory.com/dictionary/military-
terms-defined.asp?term_id=3203, pada tanggal 22 juli 2017.
84
Ditandai dengan atau cenderung terhadap serangan, serangan, invasi, atau sejenisnya yang
tidak beralasan; Militan maju atau mengancam.
85
The Outer Space Treaty, Art.4.

86
 instalasi militer

 menempatkan benteng militer

 percobaan segala jenis senjata

 serta tindakan manuver militer di orbit bumi.

2. Kegiatan untuk tujuan militer yang bersifat pasif:

 Menempatkan satelit pengintai

Contoh : Satelit Samos dan Satelit Vela86

 Menempatkan satelit komunikasi

Contoh : Satelit GSAT-787

 Menempatkan satelit navigasi

Contoh : Satelit GSAT-788

Contoh – contoh diatas merupakan satelit yang ditujukan untuk

kepentingan militer negara – negara peluncur, satelit diatas sifatnya tidak agresif

atau menyerang negara – negara lain namun fungsi satelit diatas memberikan

informasi yang ditujukan untuk kepentingan angkatan milliter negara peluncur

sehingga dapat disimpulkan bahwa penggunaan satelit diatas merupakan bentuk

dari manuver militer yang bersifat pasif.

86
Lihat https://www.academia.edu/20025536/SATELIT, satelit Samos merupakan satelit buatan
Amerika Serikat berfungsi untuk mengintai dan mengetahui pangkalan – pangkalan militer lawan.
Sedangkan satelit Vela berfungsi untuk mengetahui ada tidaknya percobaan nuklir secara diam –
diam oleh negara lain.
87
Lihat http://www.isro.gov.in/Spacecraft/gsat-7, satelit GSAT-7 adalah satelit komunikasi
canggih yang dibangun oleh ISRO untuk memberikan spektrum layanan yang luas dari suara
tingkat bit rendah ke komunikasi data tingkat bit yang tinggi.
88
Ibid.

87
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan yang tujuannya untuk

kepentingan militer dilarang oleh traktat. Serta didalam pasal 4 paragraf 2

dimasukkan kata “exclusively for peaceful purposes”89 untuk pertama kalinya,

yang menunjukan bahwa kata “exclusively” merupakan penekanan agar tidak

memberikan ruang penggunaan benda – benda langit untuk tujuan militer,

meskipun penggunaan benda – benda langit dengan tujuan militer yang bersifat

pasif. Selanjutnya, ungkapan “for peaceful purposes only” sama seperti yang

digunakan dalam perjanjian antartica yang umumnya dipahami sebagai makna

lengkap dari demilitarisasi antartica. Terlihat kesamaan penggunaan kata dengan

The OST pasal 4 paragraf 2, dan faktanya bahwa pasal 4 The OST disusun

berdasarkan dari perjanjian antartica mengindikasikan niat para penyusun draft

perjanjian The OST untuk mewujudkan demilitarisasi atas bulan dan benda –

benda langit lainnya melalui pasal 4 The OST.90 Namun didalam pasal 4 The OST

tidak menyebutkan bahwa kegiatan yang menyangkut tentang ruang angkasa yang

dilakukan dibumi untuk tujuan militer menyangkut perdamaian dan keamanan

ruang angkasa dilarang, Anti-satellite weapons (ASAT) tidak tercakup didalam

The OST yang pada dasarnya dapat menimbulkan kerusakan, keamanan jalur orbit

satelit lain dan dapat memicu konflik antara negara serta memicu keresahan

masyarakat internasional.

Negara – negara maju maupun berkembang pada masa kini berlomba –

lomba untuk melakukan eksplorasi maupun memanfaatkan ruang angkasa untuk

kepentingan navigasi, komunikasi, meteorologi, penanganan awal bencana alam

89
Stephan Hobe (ed.), Cologne Commentary on Space Law, Carl Heyman Verlag, 2009,hlm.72.
90
Ibid, hlm.82, no.46.

88
dan lain sebagainya. Penggunaan dan pemanfaatan ruang angkasa ditujukan bukan

hanya untuk negara – negara maju yang memiliki dana untuk mencapai ruang

angkasa dan mengeksplorasi ruang angkasa saja, pemanfaatan dan penggunaan

ruang angkasa termasuk bulan dan benda – benda langit lainnya harus dilakukan

untuk kepentingan umum semua negara, terlepas dari tingkat perkembangan

ekonomi atau sains yang dimiliki oleh suatu negara dan ruang angkasa merupakan

wilayah seluruh umat manusia. Masyarakat internasional berupaya

mengeksplorasi ruang angkasa dengan meluncurkan roket yang berteknologi

tinggi untuk mendorong satelit – satelit yang sudah berkembang untuk dapat

melakukan transmisi dari ruang angkasa ke bumi yang dapat berupa satelit sumber

daya alam, satelit navigasi, satelit komunikasi, satelit meteorologi dan satelit

lainnya.

Negara – negara peserta yang akan melakukan kegiatan eksplorasi atau

menggunakan benda – benda langit harus tunduk berdasarkan kepada hukum

ruang angkasa internasional, termasuk juga piagam PBB untuk menjaga

perdamaian dan keamanan internasional.91 The OST tidak melarang kepada negara

– negara pihak untuk meluncuran berbagai macam satelit ke orbit bumi. Namun

apabila maksud dari tujuan peluncuran satelit ditujukan untuk kepentingan militer

maka haruslah dilarang, karena peluncuran untuk tujuan militer merupakan suatu

tindakan manuver militer menimbang definisi dari manuver militer itu sendiri.

91
The Outer Space Ttreaty, pasal 3.

89
O. Implementasi Pengaturan Kegiatan Keruangangkasaan Yang Ditujukan

Untuk Kepentingan Militer Berdasarkan Hukum Ruang Angkasa

Internasional Terhadap Kasus Penggunaan Satelit Komunikasi GSAT-7

Untuk Kepentingan Militer Di India

Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa dalam hukum

ruang angkasa internasional telah ada pengaturan mengenai kegiatan

keruangangkasaan yang ditujukan untuk kepentingan militer. Pengaturan hukum

ruang angkasa internasional tersebut telah dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa –

Bangsa dan diratifikasi oleh negara – negara pihak yang menyetujui atas

perjanjian ruang angkasa tersebut. Oleh karena itu India sebagai negara peserta

hendaknya mematuhi prinsip – prinsip yang terkandung didalam The OST. India

yang tergolong sebagai pendatang baru dalam kompetisi ruang angkasa, program

ruang angkasa India telah menorehkan beberapa teknologi terobosan yang

menekan efektifitas biaya yang di keluarkannya dalam program ruang

angkasanya. Ilmuan India yang bekerja di Indian Space Research Organisation

berambisi untuk mengembangkan akses berbiaya rendah ke ruang angkasa. India

telah meraih perhatian global ketika mengirim probe tanpa awaknya yang

memasuki orbit mars pada tahun 2014. India tidak hanya menjadi negara asia

yang melakukan misi antar planet, tapi hal itu dilakukan dengan rendah sebesar

US$ 72.000.000.000, sebuah prestasi besar jika dibandingkan dengan AS yang

mengeluarkan biaya sebesar US$ 670.000.000.92

92
National Geographic, India Melaju dengan Ambisi Luar Angkasa, diakses dari
http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/06/india-melaju-dengan-ambisi-luar-angkasa, pada
tanggal 22 Juli 2017.

90
Berdasarkan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah India dalam

program ruang angkasanya telah menyalahi aturan yang terkandung didalam The

OST pasal 4 paragraf yang berbunyi:

“States Parties to the Treaty undertake not to place in orbit around the Earth any
objects carrying nuclear weapons or any other kinds of weapons of mass
destruction, install such weapons on celestial bodies, or station such weapons in
outer space in any other manner.
The Moon and other celestial bodies shall be used by all States Parties to the
Treaty exclusively for peaceful purposes. The establishment of military bases,
installations and fortifications, the testing of any type of weapons and the conduct
of military manoeuvres on celestial bodies shall be forbidden. The use of military
personnel for scientific research or for any other peaceful purposes shall not be
prohibited. The use of any equipment or facility necessary for peaceful
exploration of the Moon and other celestial bodies shall also not be prohibited”.

Berdasarkan pasal diatas dapat diartikan bahwa setiap negara peserta yang

meratifikasi traktat tersebut tidak boleh menempatkan benda disekitar orbit bumi

yang membawa senjata nuklir atau senjata lain yang dapat menyebabkan

kehancuran masal, melakukan instalasi senjata dibenda – benda ruang angkasa,

ataupun di stasiun ruang angkasa. Bulan dan benda langit lainnya harus digunakan

oleh semua Negara Pihak pada perjanjian secara eksklusif untuk tujuan damai.

Pembentukan basis militer, instalasi dan basis pertahanan, pengujian semua jenis

senjata dan pelaksanaan manuver militer pada benda angkasa harus dilarang.

Penggunaan personil militer untuk penelitian ilmiah atau untuk tujuan damai

lainnya tidak boleh dilarang. Penggunaan peralatan atau fasilitas yang diperlukan

untuk eksplorasi damai di Bulan dan benda langit lainnya juga tidak boleh

dilarang.

91
Pengaturan yang terdapat didalam pasal 4 The Outer Space Treaty telah

mengatur berbagai macam kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan yang

ditujukan untuk kepentingan militer, diantara kegiatan militer yang dilarang

secara eksplisit terdapat juga larangan yang menyebutkan bahwa melakukan

manuver militer pada benda – benda langit. Sebagaimana yang telah dipaparkan

sebelumnya, manuver militer dapat berupa sebuah gerakan untuk menempatkan

kapal, pesawat terbang, atau pasukan darat dalam posisi menguntungkan terhadap

musuh, dapat juga berarti latihan taktis yang dilakukan di laut, di udara, di tanah,

atau di peta dalam simulasi perang, dapat juga berarti operasi kapal, pesawat

terbang, atau kendaraan, menyebabkannya melakukan gerakan yang diinginkan

ataupun dapat berarti penempatan personel di daerah operasional melalui

pergerakan dikombinasikan dengan serangan untuk mencapai posisi keuntungan

berkenaan dengan musuh agar bisa menuntaskan misi.

Menempatan satelit pada orbit diatas bumi untuk kepentingan militer

merupakan suatu keuntungan tersendiri kepada negara – negara peluncur satelit

dengan mendapatkan informasi yang diperoleh melalui satelit yang dapat berupa

informasi tentang pengintaian wilayah, komunikasi, maupun navigasi dari seluruh

negara yang dilewati oleh orbit satelit, dengan kata lain kegiatan menempatkan

satelit yang ditujukan untuk kepentingan militer merupakan suatu manuver

militer. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, manuver militer dapat

dibedakan menjadi 2 jenis, manuver militer agresif dan manuver militer non

agresif.

92
Kegiatan keruangangkasaan yang dilakukan oleh India dengan

meluncurkan satelit GSAT-7 untuk kepentingan militer merupakan kegiatan

manuver militer yang bersifat non-agresif. Dapat dikatakan kegiatan tersebut

adalah manuver militer non-agresif karena sifat dari satelit ini tidak menyerang

negara – negara lain namun berdasarkan tujuannya satelit tersebut untuk

kepentingan militer tetap merupakan tindakan manuver militer dan penempatan

satelit yang ditujukan untuk militer tersebut bertujuan untuk membantu angkatan

laut India mengawasi kawasan samudera hindia beserta kapal selam, pesawat

terbang, dan memantau pergerakan angkatan darat India dipermukaan wilayah

India.

Bunyi dalam pasal 4 The OST “The Moon and other celestial bodies shall

be used by all States Parties to the Treaty exclusively for peaceful purposes” atau

“secara eksklusif untuk tujuan damai” mengindikasikan bahwa eksplorasi dan

penggunaan bulan dan benda – benda langit lainnya harus steril dari kegiatan –

kegiatan yang berbau militer, segala kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan

militer, dalam bentuk kegiatan militer yang agresif maupun kegiatan militer yang

non—agresif haruslah dilarang demi menjaga perdamaian dan keamanan

masyarakat internasional.

Didalam lingkungan internasional, hukum ruang angkasa merupakan

bagian dari hukum internasional yang didalamnya mencakup prinsip – prinsip

umum. Salah satu dari prinsip umum tersebut adalah prinsip pacta sun servanda

yang bermakna dimana suatu perjanjian harus ditaati, karena apabila tidak

demikian maka konvensi – konvensi internasional tidak akan ada gunanya.

93
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisa yang telah penulis uraikan, maka dapat ditarik

kesimpulan :

1. Kegiatan keruangangkasaan yang ditujukan untuk kepentingan

militer telah diatur dalam Hukum Ruang Angkasa Internasional

secara khusus ditetapkan dalam pasal 4 The OST. Berdasarkan

pasal 4 The OST pemanfaatan dan penggunaan satelit yang

ditujukan untuk kepentingan militer merupakan kategori manuver

militer. Meskipun penggunaan dan pemanfaatan satelit yang

ditujukan untuk kepentingan militer sifatnya non-agresif, kegiatan

ini termasuk manuver militer. Pada dasarnya segala kegiatan yang

ditujukan untuk kepentingan militer di Ruang Angkasa merupakan

sebuah pelanggaran karena dapat mengganggu keamanan serta

ketertiban masyarakat internasional.

2. Dalam pelaksanaan kegiatan peluncuran satelit GSAT-7 yang

dilakukan oleh Indian Space Research Organisation (ISRO)

dengan tujuan membantu jangkauan komunikasi serta pemetaan

pemetaan wilayah untuk militer angkatan laut, kapal selam,

pesawat udara, hingga angkatan darat di India merupakan suatu

pelanggaran karena kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang

ditujukan untuk kepentingan militer yang bersifat non-agresif atau

94
manuver militer non-agresif yang telah diatur didalam pasal 4 The

Outer Space Treaty.

P. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka yang menjadi saran penulis adalah :

1. Berdasarkan perjanjian The Outer Space Treaty, maka dalam

pelaksanaan kegiatan keruangangkasaan yang ditujukan untuk

kepentingan militer harus dirumuskan lebih detail mengenai

penjabaran kegiatan militer yang dimaksud oleh The OST.

2. Kepada negara – negara peserta perjanjian The OST untuk

menindak tegas negara India atas satelit yang ditujukan untuk

kepentingan militer sesuai dengan perjanjian The Outer Space

Treaty maupun negara lain yang memiliki satelit yang ditujukan

untuk kepentingan militer.

95
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku

(ed.), S. H. (2009). Cologne Commentary on Space Law. Carl Heyman Verlag.

Abdurrasyid, P. (1989). Hukum Antariksa Nasional. Jakarta: Rajawali Pers.

Abdurrasyid, P. (2007). Hukum Ruang Angkasa Nasional, Penempatan dan

Urgensinya. Jakarta: Rajawali Pers.

Adolf, H. (1991). Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta:

Rajawali.

AK, S., Utama, M., & Idris, A. (2012). Hukum Udara Dan Ruang Angkasa.

Palembang.

Bockstiegel, Karl Heinz; Galloway, Jonathan; Gilbert Guillaume, Gilbert;

Haanappel, Peter; Jankowitsch, Peter; Jasentuliyana, Nandasiri; Kopal,

Vlladimir; Koroma, Abdul; Lafferranderie, Gabriel; Filho, Jose Monserrat;

Vereschetin, Vladlen;. (2009). Cologne Commentary on Space Law.

Luxemburger: Carl Heymanns Verlag.

Cooper, J. C. (2003). Aerospace Law – Subject Matter and Terminology. Recueil

des course: JALC.

Gorove, S. (1995). Jurnal of Space Law. Mississipi: Oxford.

Hadi, S. (1989). Metodologi Riset I. Yogyakarta: Psikologi UGM.

Kusumaatmadja, M. (2013). Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Alumni.

96
Labing, R. L. (1999). Perkembangan Pembangunan Hukum nasional Tentang

Hukum Dirgantara. Jakarta: BPHN.

Lapan. (2014). Himpunan Ratifikasi Perjanjian Internasional Dibidang

Keantariksaan Oleh Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Lyall, F., & Larsen, P. B. (2009). Space Law A Treatise. Farnham: Ashgate.

Marboe, I. (2012). Soft Law In Outer Space. Heribert Corn.

Mauna, B. (2013). Hukum Internasional Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam

Era Dinamika Global. Bandung: Alumni.

Mugerwa, N. (1968). Subjects of International Law. New York.

Nasution, H. (2001). Orbit Satelit Dan Ketinggiannya. Berita Dirgantara Vol.2.

Rudy, T. M. (2001). Hukum Internasional 2. Bandung: Refika Aditama.

Soekanto, S. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: U.I.Press.

Subekti. (1990). Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa.

Tutik, T. T. (2006). Pengantar ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

97
2. Jurnal, Makalah dan Laporan Penelitian

Nasution, H. (2001). Orbit Satelit Dan Ketinggiannya. Berita Dirgantara Vol.2.

Union, C. o. (t.thn.). Use of the Radio-Frequency Spectrum and of the

Geostationary-Satellite and Other Satellite Orbits.

3. Undang – Undang

Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial

Bodies 1979

Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972

Convention on Registration of Objects Launced into Outer Space 1975

Convention on Rescue Agreement 1968

The Outer Space Treaty 1967

Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan

4. Lain - lain

Center, I. S. (t.thn.). SALIENT FEATURES OF GSAT-7. Dipetik Maret 25, 2017,

dari http://www.isac.gov.in/communication/index.jsp

98
Departement of Space ISRO. (t.thn.). GSAT-7. Dipetik Maret 25, 2017, dari

http://isro.gov.in/Spacecraft/gsat-7

Indian Navy. (t.thn.). Navy gets a boost with Launch of First Dedicated Defence

Satellite. Dipetik Maret 25, 2017, dari

https://www.indiannavy.nic.in/content/navy-gets-boost-launch-first-

dedicated-defence-satellite

Indonesia, K. B. (t.thn.). Dipetik Maret 25, 2017, dari http://kbbi.web.id/satelit

National Geographic Indonesia. (t.thn.). Dipetik Maret 25, 2017, dari

http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/06/india-melaju-dengan-

ambisi-luar-angkasa

Soft Ilmu. (t.thn.). Pengertian, Fungsi, dan Macam – Macam Satelit. Dipetik

Maret 30, 2017, dari http://www.softilmu.com/2015/10/Pengertian-Fungsi-

Macam-Macam-Cara-Kerja-Satelit-Adalah.html

United Nations Office For Disarmament Affairs. (t.thn.). Dipetik Maret 25, 2017,

dari http://disarmament.un.org/treaties/t/outer_space

Wikitionary. (t.thn.). Dipetik April 8, 2017, dari

https://id.wiktionary.org/wiki/siarah

99

Anda mungkin juga menyukai