Anda di halaman 1dari 345

DISERTASI

KEPASTIAN HUKUM KREDITOR


DALAM PELAKSANAAN JAMINAN HIPOTEK KAPAL
THE LEGAL CERTAINTY CREDITOR IN IMPLEMENTATION OF
COLLATERAL SHIP MORTGAGE

Disusun dan diajukan oleh:

FRIEND HENRY ANIS


PO400309045

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM


PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
165
166

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha

Kuasa atas segala berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan

Disertasi dengan judul : “Kepastian Hukum Kreditor Dalam Pelaksanaan

Jaminan Hipotek Kapal” ini dapat diselesaikan, guna memenuhi

persyaratan akademik dalam memperoleh gelar Doktor pada Program

Studi S3 Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.

Selama mengikuti Program Studi S3 Ilmu Hukum pada Pascasarjana

Universitas Hasanuddin Makassar sampai dengan penyelesaian Disertasi

ini, penulis telah menerima bantuan baik berupa pikiran, kesempatan,

materi maupun dorongan moril dari berbagai pihak. Oleh karenanya pada

kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan rasa terima kasih

yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

yang terhormat :

1. Prof. Dr. Hj. Badriyah Rifai, S.H selaku Promotor, Prof. Dr. Anwar

Borahima, S.H.,M.H selaku Ko- Promotor, Dr. Nurfaidah Said,

S.H.,M.H.,M.Si selaku Ko- Promotor yang dengan penuh ketulusan

dan kearifan telah meluangkan waktu dalam memotivasi, membimbing

dan mengarahkan penulis dalam penulisan disertasi ini.

2. Prof. Dr. Hj. Nurhayati Abbas, S.H.,M.H, Prof. Dr. Ahmadi Miru,

S.H.,M.H, Prof. Dr. Musakkir, S.H.,M.H dan Dr. Oky Deviani

Burhamzah, S.H.,M.H selaku Tim Penguji yang telah banyak


167

memberikan masukan berupa koreksi dan usulan/saran yang sangat

membantu penulis dalam penulisan disertasi ini.

3. Prof.Dr. Moch. Isnaeni, S.H.,M.S selaku penguji eksternal yang telah

memberikan masukan berupa usulan/saran dalam penulisan Disertasi

ini.

4. Prof.Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, MA selaku Rektor Universitas

Hasanuddin Makassar bersdama para Wakil Rektor atas kesempatan

yang diberikan kepada penulis dalam menempuh perkuliahan dan

dalam menyelesaikan studi.

5. Prof.Dr.Sjamsul Bachri, S.H.,M.H selaku Direktur Program

Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar bersama para Wakil

Direktur yang telah menunjang penulis dalam penyelesaian studi.

6. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin Makassar bersama para Wakil Dekan yang

tak henti-hentinya memotivasi penulis dalam menyelesaikan studi.

7. Prof. Dr. Abdul Razak, S.H.,M.H selaku Ketua Program Studi S3 Ilmu

Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang telah membantu

penulis dalam menyelesaikan studi.

8. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi pada Program Studi S3 Ilmu

Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar yang selama

ini telah menciptakan suasana akademik yang baik.


168

9. Prof. Dr. Ir.Ellen Kumaat, M.Sc.,DEA selaku Rektor Universitas Sam

Ratulangi Manado bersama para Wakil Rektor yang telah memotivasi

dan membantu penulis dalam menyelesaikan studi

10. Prof.Dr.Donald A. Rumokoy, S.H.,M.H selaku mantan Rektor

Universitas Sam Ratulangi Manado yang telah memberikan

kesempatan kapada penulis menempuh studi pada jenjang S3

Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin

Makassar.

11. Dr. Merry E. Kalalo,S.H.,M.H selaku mantan Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sam Ratulangi yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan Studi.

12. Prof.Dr. Telly Sumbu, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Unsrat

Manado bersama para Wakil Dekan yang telah memotivasi dan

membantu penulis dalam menyelesaikan studi.

13. Sahabat-sahabat Angkatan 2009 kelas Ambon Manado yang selalu

memberi semangat bagi penulis dalam menyelesaikan studi.

14. Rekan-rekan Dosen Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi

Manado yang selalu mendorong penulis dalam menyelesaikan studi.

15. Istri tercinta Ollij Anneke Kereh, S.H.,M.H beserta anak-anak terkasih

Felicia Griselda Anis, SE, Valencia Matthew Anis, dan Brilian Jafet

Anis yang selalu memberi perhatian, semangat dan doa bagi penulis

dalam menyelesaikan studi.


169

16. Ayah tercinta Alm. Bobby Anis dan Ibu tercinta Dra. Miesje Sorongan

beserta kakak-kakak terkasih yang telah banyak membantu penulis

baik moril maupun materil.

17. Ayah dan Ibu mertua George Kereh dan Almh.Ruth Tumelap yang

selalu memberikan perhatian dan dorongan moril maupun materil.

18. Ibu/Bapak, Saudara/i yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu

yang dengan keikhlasan telah membantu penulis baik materil maupun

moril.

Penulis menyadari bahwa Disertasi ini masih terdapat kekurangan

sehingga dengan hati yang terbuka segala masukan ataupun saran akan

penulis terima dengan senang hati. Akhir kata, segala perhatian dan

bantuan yang telah diberikan kiranya mendapatkan berkat dan rahmat dari

Tuhan Yang Maha Kuasa dan semoga disertasi ini dapat bermanfaat

untuk kemaslahatan manusia.

Makassar, Nopember 2014

Penulis
170

ABSTRAK

FRIEND HENRY ANIS Kepastian Hukum Kreditor Dalam Pelaksanaan


Jaminan Hipotek Kapal (dibimbing oleh Badriyah Rifai, Anwar Borahima,
Nurfaidah Said).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami dan


menjelaskan (1) eksistensi lembaga jaminan hipotek kapal dalam sistem
hukum jaminan di Indonesia, (2) hakikat hukum jaminan hipotek kapal dan
implementasinya, (3) kedudukan grosse akta hipotek kapal dalam
memberikan kepastian hukum bagi kreditor.
Penelitian ini dilaksanakan di Manado, Bitung dan Jakarta. Tipe
penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
empirik. Penentuan sampel secara purposive dengan teknik pengumpulan
data melalui studi kepustakaan dan wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) Dalam sistem hukum
jaminan di Indonesia, hipotek kapal merupakan jaminan khusus yang
berlaku karena diperjanjikan (Pasal 1132 KUH Perdata). Hipotek kapal
merupakan jaminan kebendaan (zakelijke zekerheidrechten) yang
memberikan hak kebendaan kepada kreditor dengan tujuan untuk
melindungi kreditor dalam pemenuhan akan kewajiban debitor dalam
melunasi hutangnya. Kapal yang dijadikan jaminan adalah kapal yang
terdaftar dengan ukuran 20 meter kubik atau setara dengan ukuran GT 7.
2) Hakikat hukum jaminan hipotek kapal merupakan bagian terdalam yang
ada dibalik hukum jaminan hipotek kapal berupa asas-asas hukum
jaminan hipotek kapal yang menjadi landasan pembentukan norma hukum
jaminan hipotek kapal yang terdapat dalam perangkat peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan hipotek kapal. 3)
Dalam grosse akta hipotek kapal tercantum titel eksekutorial yang tertulis
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang berfungsi
atau dipersamakan sebagai putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Titel eksekutorial ini akan mempermudah kreditor dalam
melaksanakan eksekusi benda jaminan oleh karena tanpa harus terlebih
dahulu mengajukan gugatan ke pengadilan jika debitor melakukan
wanprestasi. Namun demikian pada kenyataannya pelaksanaan eksekusi
benda jaminan terlalu berbelit-belit karena harus mengikuti prosedur acara
sebagaimana pada eksekusi perkara lainnya.
171

ABSTRACT

FRIEND HENRY ANIS. The Legal Certainty Creditor in Implementation of


Collateral Ship Mortgage (supervised by Badriyah Rifai, Anwar Borahima,
and Nurfaidah Said)
This research aimed to investigate, understand, and explain (1)
existence of the collateral ship mortgage institutes in the legal system in
Indonesia, (2) the legal essence of the collateral ship mortgage and its
implementation, and (3) the grosse position of the ship mortgage
certificate in supplying the creditors with the legal certainty.
The research was conducted in Manado, Bitung, and Jakarta. The
research type was a normative and empirical legal research. The samples
were determined using the purposive technique, and the data were
collected through the library studies and interviews.
The research results revealed that (1) in Indonesia, the legal
security system was a special security which was put in effect because of
the agreement (Article 1132 of the Cicil Law Book). The ship mortgage
was a material security (zakelijke zekerheidrechten) which provides the
creditors with the right on the matters, and aims to protect the creditors so
that the debtors will be force to pay for their debts. The ships which are
used as the guarantees should be registered and of the 20 cubic meters in
size or equal to GT 7 in size. (2) The legal essence of the ship mortgage
security was a core part behind the ship mortgage security was the legal
principles of the ship mortgage security and should be included in the legal
regulations about the ship mortgage security. (3) in the grosse certificate
of the ship mortgage security the executorial title was stated and written :
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (For the Sake
of Justice and in the Name of God), which functioned as or considered the
same as the court decision which already had the permanent legal effect.
The executorial title would make it easier for the creditors in executing the
security objects without having to file a claim of the courts when the
debtors committed “wanprestasi”. Yet in reality, the execution of the
security objects was always complicated since it had to follow a long
procedure, just like the executions other cases.
172

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
KATA PENGANTAR iii
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI ix

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Perumusan Masalah 12

C. Tujuan Penelitian 12

D. Kegunaan Penelitian 13

E. Orisinalitas Penelitian 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 16

A. Kerangka Teori 16

1. Eksistensi Hukum Jaminan di Indonesia 16


a. Konsep Hukum Jaminan 16
b. Sistem dan Sumber Pengaturan
Hukum Jaminan 20
c. Urgensi Lembaga Jaminan 25
d. Sifat dan Bentuk Perjanjian Jaminan 32
e. Pembedaan Lembaga Jaminan 42
2. Aspek Hukum Perjanjian Kredit Bank 52
a. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 52
b. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
Kredit Bank 73
173

3. Pengaturan Hipotek Dalam KUH Perdata 100


a. Pengertian dan Ciri-Ciri Hipotek 100
b. Sifat-Sifat Hipotek 104
c. Objek Hipotek 116
d. Prosedur Terjadinya Hipotek 122
e. Eksekusi Hipotek dan Hapusnya
Hipotek 124
4. Lembaga Jaminan Hipotek Kapal 127
a. Pengertian dan Pengaturan Hukum
Hipotek Kapal 127
b. Subjek dan Objek Hipotek Kapal 133
c. Status Hukum Kapal Laut 134
d. Pembebanan Hipotek Atas Kapal 137

B. Landasan Teori 144

1. Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar


Kusumaatmadja 144
2. Teori System Hukum dari Lawrence M.
Friedman dan Fuller 147

3. Teori Hukum Progresif dari Satjipto


Rahardjo 149
4. Teori Hukum dan Keadilan dari Gustav
Radbruch 153

C. Skema Kerangka Pikir 157

D. Definisi Operasional Variabel 158

BAB III METODE PENELITIAN 160

A. Tipe Penelitian 160

B. Lokasi Penelitian 160


174

C. Populasi dan Sampel 160

D. Jenis dan Sumber Data 162

E. Teknik Pengumpulan Data 162

F. Analisis Data 163

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 164

A. Eksistensi Lembaga Jaminan Hipotek Kapal

Dalam Sistem Hukum Jaminan Indonesia 164

1. Perlindungan Hukum terhadap Kreditor 164


2. Sistem Hukum Pembebanan
Hipotek Kapal 187

a. Aspek Hukum Pendaftaran Kapal 188


b. Pendaftaran Kapal di RRC 211
c. Pendaftaran Kapal Selandia Baru 220
d. Pembebanan Hipotek Kapal 231
e. Pembebanan Hipotek Kapal RRC 241
f. Pembebanan hipotek Kapal
Selandia Baru 246

B. Hakikat Hukum Jaminan Hipotek Kapal 251

1. Asas Hukum Jaminan Hipotek Kapal 251


2. Norma Hukum Jaminan Hipotek Kapal 265

C. Kedudukan Grosse Akta Hipotek Kapal

Dalam Memberikan Kepastian Hukum

Bagi Kreditor 280

1. Titel Eksekutorial Pada Grosse Akta


Hipotek 280
2. Penerapan Titel Eksekutorial 312
175

BAB V PENUTUP 325

A. Kesimpulan 325

B. Saran 326

DAFTAR PUSTAKA 327

Lampiran 1
176

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan nasional yang sementara dilaksanakan oleh

pemerintah bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat menuju

masyarakat yang sejahtera sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi.

Berbagai sektor penting dikembangkan oleh pemerintah di antaranya apa

yang sesuai dengan keunggulan karakteristik geografis negara Indonesia

sebagai negara maritim bahkan negara kepulauan terbesar di dunia.

Sebagai bentuk perhatian pemerintah dalam memanfaatkan

karakteristik geografis tersebut, maka pemberdayaan sektor kelautan dan

perikanan menjadi primadona pemerintah dalam meningkatkan

pertumbuhan ekonomi nasional. Perhatian pemerintah di sektor kelautan

telah dipertegas dalam visi dan misi Rencana Pembangunan Jangka

Panjang Nasional Tahun 2005-2025 yakni dengan menumbuhkan

wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan

Indonesia berorientasi kelautan (Bab III angka 7 UU RI No.17 Tahun 2007

tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-

2025).

Negara Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan panjang

pantai 95.181 kilometer, luas laut mencapai 5,8 juta km 2 yang terdiri atas

0,3 juta km2 perairan territorial, 2,8 juta km2 perairan pedalaman dan
177

kepulauan, serta 2,7 juta km2 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Dari data

tersebut menunjukkan betapa besar potensi ekonomi yang dimiliki dan jika

dikelola dengan optimal dapat memberikan kontribusi dalam

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Direktur Riset dan

Strategis IPB Arief Satria, potensi ekonomi kelautan mencapai US $ 100

miliar per tahun, namun yang dikembangkan saat ini belum mencapai

10%. Namun demikian menurut Dirjen Pengelolaan dan Pemasaran Hasil

Perikanan (P2HP) Departemen Kelautan dan Perikanan Martani Husaeni,

tahun 2009 sektor perikanan merupakan penyumbang devisa kelima

terbesar yakni sekitar US$ 2,6 miliar (http://www.investorindonesia.com

diakses April 2009).

Rendahnya keterlibatan masyarakat dalam hal ini dunia usaha

dalam menyerap potensi kelautan melalui kegiatan usaha di sektor

kelautan, terkait erat dengan masalah permodalan. Pengadaan armada

kapal penangkap ikan maupun kapal untuk sarana transportasi, tidak

dapat disangkal membutuhkan modal yang cukup besar. Untuk

memenuhi kebutuhan akan modal usaha tersebut jalan keluar yang

sering ditempuh oleh kalangan dunia usaha pada umumnya adalah

dengan memanfaatkan jasa layanan perbankan melalui permohonan

kredit kepada lembaga perbankan.

Bank sebagai lembaga keuangan yang menghimpun dana dalam

menyalurkan kredit kepada masyarakat selalu mengedepankan prinsip

kehati-hatian (Pasal 2 dan Pasal 8 UU No.10 Tahun 1998). Prinsip kehati-


178

hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam

menjalankan kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam

penyaluran dana kepada masyarakat harus sangat berhati-hati. Tujuan

dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan

sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-

ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan

(Imaniyati, 2007: 17).

Sebagai implementasi dari prinsip kehati-hatian tersebut, maka

keberadaan jaminan merupakan hal yang mutlak dan menjadi

pertimbangan khusus sebelum permohonan kredit disetujui oleh bank.

Konsep jaminan yang dimaksudkan dalam UU Perbankan adalah adanya

keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan nasabah untuk

melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan (Penjelasan

Pasal 8 UU No.10 tahun 1998). Namun demikian keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya belum

memberikan rasa aman, sehingga bank perlu suatu jaminan khusus

berupa agunan yang diserahkan debitor dalam suatu perjanjian kredit.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa suatu perjanjian kredit

merupakan perjanjian pokok yang di dalamnya berisikan hak-hak dan

kewajiban antara debitor dan kreditor (penerima dana dan pemberi dana).

Berdasarkan perjanjian pokok berupa perjanjian kredit biasanya diikuti

dengan perjanjian pengikatan jaminan atau dalam pengertian lain

perjanjian kredit menjadi dasar perjanjian pengikatan jaminan. Oleh


179

karena itu perjanjian pengikatan jaminan merupakan perjanjian accessoir

(perjanjian tambahan atau ikutan), yang membawa konsekuensi dengan

berakhirnya perjanjian pokok maka berakhir pula perjanjian pengikatan

jaminan.

Salah satu bentuk lembaga jaminan yang dikenal dalam praktik

perjanjian pengikatan jaminan di Indonesia adalah lembaga jaminan

hipotek atas kapal. Keberadaan lembaga jaminan hipotek atas kapal di

Indonesia sangat signifikan dengan keberadaan Indonesia sebagai negara

kepulauan di mana sebagian besar wilayah terdiri dari perairan laut. Oleh

karena itu kapal merupakan sarana penting yang sangat dibutuhkan

dalam memanfaatkan potensi perikanan dan dalam menunjang

transportasi laut. Bahkan lebih dari itu kapal sebagai suatu benda yang

mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga sangat bermanfaat bagi

pemiliknya terlebih diakui oleh undang-undang dapat dijadikan sebagai

jaminan dalam perjanjian kredit dengan menggunakan lembaga jaminan

hipotek kapal.

Landasan hukum lembaga jaminan hipotek kapal terdapat dalam

beberapa ketentuan perundang-undangan yakni dalam KUH Perdata,

KUH Dagang, HIR/RBg, Konvensi Internasional tentang Piutang Maritim

dan Mortgage 1993 yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia

melalui Peraturan Presiden RI No.44 tahun 2005, UU No.17 tahun 2008

tentang Pelayaran dan PP No.51 tahun 2002 tentang Perkapalan.


180

Ketentuan hipotek kapal membatasi bahwa tidak semua kapal

dapat dijadikan sebagai objek jaminan hipotek kapal, melainkan hanya

kapal tertentu, yaitu kapal yang dibukukan dalam register kapal.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 314 ayat (1) KUH Dagang, bahwa

kapal-kapal yang dapat dibukukan dalam register kapal adalah kapal yang

bobotnya paling sedikit 20 m3 (duapuluh meter kubik) isi kotor.

Selanjutnya Pasal 314 ayat (3) KUH Dagang menegaskan, kapal-

kapal yang dibukukan dalam register kapal, kapal dalam pembuatan dan

andil-andil dalam kapal-kapal dan kapal-kapal dalam pembuatan seperti

itu, dapat diletakkan hipotek. Kapal yang terdaftar ini diperlakukan sebagai

benda tetap sebaliknya kapal yang tidak terdaftar termasuk sebagai benda

bergerak.

Kedudukan dan substansi hukum jaminan hipotek kapal bertujuan

untuk memberikan perlindungan bagi kreditor apabila debitor tidak

memenuhi kewajiban untuk melunasi hutangnya sesuai waktu yang

ditentukan (debitor wanprestasi). Pembebanan hipotek kapal sebagai

jaminan dalam perjanjian kredit tidak lain bertujuan untuk memberikan

kepastian bagi kreditor akan pelunasan utang debitor.

Perlindungan hukum yang diberikan terhadap kreditor dalam

perjanjian jaminan hipotek kapal tercermin dari beberapa rumusan/isi dari

ketentuan hukum jaminan hipotek kapal. Ketentuan Pasal 1133 KUH

Perdata memberikan kedudukan yang didahulukan bagi kreditor yang

menggunakan jaminan hipotek (kapal), terhadap kreditor lainnya. Prinsip


181

yang terkandung dalam Pasal 1133 ini adalah bahwa kreditor tidak perlu

merasa khawatir untuk mendapatkan penggantian sesuai dengan

besarnya hutang jika debitor wanprestasi walaupun debitor memiliki

kreditor-kreditor lainnya.

Pasal 1162 KUH Perdata merumuskan tentang pengertian hipotek

yaitu suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak untuk

mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.

Rumusan yang tidak jauh berbeda juga diberikan oleh UU No.17 Tahun

2008 tentang Pelayaran terhadap pengertian hipotek kapal, yaitu ”hak

agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan

utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

kreditor tertentu terhadap kreditor lain”.

Dari rumusan pengertian hipotek kapal tersebut, terkandung makna

bahwa dalam hipotek kapal melekat hak kebendaan, sehingga hipotek

kapal merupakan jaminan kebendaan. Sebagai jaminan kebendaan

memberikan hak mutlak kepada kreditor atas suatu benda, dapat

dipertahankan terhadap siapapun, mempunyai sifat melekat dan selalu

mengikuti bendanya di tangan siapapun benda itu berada (droit de suite).

Berkaitan dengan kepastian hukum kreditor dalam perjanjian kredit

yang menggunakan jaminan hipotek kapal, maka disamping kegunaan

dari sifat hak kebendaan yang melekat pada hipotek kapal, kedudukan

Grosse Akta Hipotek sangat bermanfaat juga bagi kreditor. Berdasarkan

Pasal 60 ayat (3) UU No.17 Tahun 2008 ditegaskan, bahwa setiap akta
182

hipotek diterbitkan 1 (satu) Grosse Akta Hipotek yang diberikan kepada

penerima hipotek. Selanjutnya dalam ayat (4) menegaskan bahwa Grosse

Akta Hipotek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap.

Kekuatan eksekutorial grosse akta hipotek yang ditentukan dalam

ayat (4) tersebut di atas mendapatkan legitimasi dengan adanya kepala/

irah-irah yang berbunyi ”Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa” pada grosse akta hipotek kapal sebagaimana ditegaskan

dalam Pasal 55 ayat (2) dan (3) UU No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris, juga dalam Pasal 224 HIR/258 RBg yang menyatakan :

Turunan asli (grossen) akta-akta hipotek dan surat-surat


pernyataan utang dibuat oleh Notaris yang diterbitkan di Indonesia
dan di atasnya dibubuhkan kata-kata : ”Demi Keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” mempunyai kekuatan yang sama
dengan keputusan Hakim.

Adanya titel eksekutorial tersebut, maka pemegang hipotek kapal

dapat menggunakan grosse akta hipotek kapalnya sebagai landasan

hukum untuk melaksanakan eksekusi tanpa melalui proses gugatan di

pengadilan. Apabila debitor cedera janji, berdasarkan kekuatan

eksekutorial yang terdapat dalam Grosse Akta Hipotek, kreditor penerima

hipotek kapal dapat secara serta merta melakukan eksekusi sebagaimana

halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum


183

tetap melalui lembaga parate eksekusi yakni tanpa melalui proses

gugatan di pengadilan.

Sungguhpun landasan hukum hipotek kapal diharapkan dapat

diandalkan dalam memberikan perlindungan hukum kepada kreditor,

namun dalam kenyataannya masih jauh dari apa yang diharapkan.

Permasalahan yang terjadi dalam kaitan dengan perjanjian kredit dengan

jaminan hipotek kapal adalah dalam hal debitor gagal mengembalikan

pembiayaan yang diterimanya kepada bank (debitur wanprestasi). Dalam

keadaan demikian, bank akan menggunakan kekuatan eksekutorial

Grosse Akta Hipotek untuk melakukan eksekusi benda jaminan, tanpa

mengajukan gugatan terlebih dahulu ke Pengadilan.

Namun demikian ternyata apa yang diharapkan oleh kreditor

dalam hal ini pihak bank tidak didukung oleh lembaga Pengadilan. Lewat

putusannya pengadilan pada umumnya mempersoalkan kekuatan

eksekutorial dari grosse akta hipotek kapal. Hal ini tercermin dari

pendapat pengadilan untuk memeriksa dan mengkaji dulu grosse akta

yang dimintakan eksekusi, pada akhirnya hak penerima/pemegang

hipotek untuk melakukan penjualan langsung (parate executie) juga

menjadi terbatas. Hal ini bukan permasalahan dalam level praktik saja,

kesalahpahaman mengenai pengertian eksekusi telah muncul akibat dari

peraturan perundang-undangan yang dalam penjelasannya menyatukan

parate executie dan eksekusi dengan menggunakan grosse akta

(http://www.hukumonline.com diakses April 2010).


184

Z. Asikin Kusumah Atmadja menegaskan bahwa dapat

dilaksanakannya atau tidak suatu eksekusi atas suatu grosse akta seperti

yang dimaksudkan oleh Pasal 224 HIR merupakan wewenang

sepenuhnya dari hakim yang bersangkutan (Surat No. 041/098/89/II/UM-

TU/Pdt, 21 Januari 1989). Pendapat ini secara umum diikuti oleh

pengadilan, sehingga pada akhirnya eksekusi mengenai grosse akta yang

sebenarnya telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan pada

praktiknya tidak berjalan efektif (http://www.hukumonline.com diakses

April 2010).

Sebelumnya pula Mahkamah Agung telah menyatakan bahwa

walaupun grosse akta mempunyai kekuatan eksekutorial tapi tidak sama

dengan putusan hakim. Catatan yang dikeluarkan oleh Z. Asikin Kusumah

Atmadja dalam putusan No.1520/K/Pdt/1984 tanggal 31 Mei 1986

menyatakan, bahwa meskipun suatu grosse akta mempunyai judul ”Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, hakim tetap

berwenang untuk menentukan apakah pelaksanaan eksekusi grosse akta

tersebut dapat dikabulkan atau tidak (Assegaf, Elijana Tanzah, 2010:59).

Begitu pula sikap pengadilan dalam hal ini Mahkamah Agung (MA),

tidak membenarkan penjualan objek hipotek oleh kreditor melalui lelang

tanpa ada fiat dari pengadilan negeri setempat. Putusan MA No. 3210

K/Pdt/1984 tertanggal 30 Januari 1986 tersebut malah membuat rancu

makna dari pelaksanaan eksekusi berdasarkan parate eksekusi dengan

eksekusi berdasarkan grosse akta. Dalam putusan ini MA menyatakan


185

berdasarkan Pasal 224 HIR pelaksanaan lelang akibat grosse akta

hipotek yang memakai irah-irah seharusnya dilaksanakan atas perintah

ketua pengadilan negeri. Menurut Laksanto putusan ini merancukan

makna penjualan berdasarkan parate eksekusi sesuai pasal 1178 ayat (2)

KUH Perdata dengan penjualan atas dasar grosse akta hipotek. Jika

menjual berdasarkan parate eksekusi juga harus berdasarkan persetujuan

ketua pengadilan negeri, lantas apa bedanya dengan grosse akta? Inilah

pertanyaan yang membuat ketidakpastian hukum (hukumonline.com

diakses April 2010).

Fenomena persoalan eksekusi benda jaminan berdasarkan grosse

akta hipotek sebagaimana diuraikan di atas tentunya bisa berdampak

negatif bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Pihak bank berdasarkan

prinsip kehati-hatian akan lebih jeli lagi menilai kelayakan debitor

sehingga bank tidak harus menerima setiap permohonan kredit dengan

pengikatan jaminan hipotek kapal. Contoh kasus sebagaimana

dikemukakan oleh Oentoro Surya selaku Presiden Direktur PT Arpeni

Pratama Ocean Line Tbk, bahwa dalam rangka mengembangkan sektor

transportasi laut, sejumlah perusahaan pelayaran sudah berusaha

mengajukan kredit pembelian kapal kepada pihak bank namun tidak

disetujui (Investor Daily, 30/01/2009). Dengan demikian dapat dipahami

jika bank memiliki pertimbangan tersendiri sebelum permohonan kredit

disetujui yang bisa saja karena berkaitan dengan ketidakpastian hukum

ataupun karena faktor lainnya.


186

Permasalahan hukum yang timbul dalam pelaksanaan eksekusi

grosse akta hipotek perlu diteliti penyebabnya sehingga dapat dicari solusi

dalam mengatasi persoalan tersebut. Permasalahan hukum di sini bisa

saja diakibatkan oleh pengaturan hukum yang tidak jelas dan tegas

bahkan bertentangan satu dengan yang lain, ataupun pengadilan dalam

pertimbangan hukumnya tidak tepat. Dugaan tersebut jika benar adanya

tentu akan berpengaruh bagi pelaksanaan penegakan hukum.

Sebagaimana dikemukakan Rahardjo (2009 : 24-25), bahwa proses

penegakan hukum menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum.

Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan

hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu

dijalankan. Dalam nada yang mungkin agak ekstrim dapat dikatakan

keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan

tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus

dijalankan tersebut dibuat.

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka isu dari

penelitian disertasi ini adalah pelaksanaan lembaga jaminan hipotek

kapal dalam kaitan dengan pelaksanaan eksekusi benda jaminan ada

kecenderungan tidak memberikan kepastian hukum terhadap kreditor. Isu

ini menjadi menarik untuk diteliti karena ketidakpastian ini ada

kecenderungan pula bersumber dari hukum tertulisnya yang tidak jelas

dan kontradiktif satu sama lain, juga ketidakpastian dalam penerapan

hukum oleh institusi/aparat penegak hukum dalam hal ini


187

pengadilan/hakim. Oleh karena itu penelitian ini penting dalam rangka

mengungkap dan memberi solusi terhadap persoalan yang ada.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan

dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah eksistensi lembaga jaminan hipotek kapal dalam

sistem hukum jaminan di Indonesia ?

2. Bagaimanakah hakikat hukum jaminan hipotek kapal dan

implementasinya ?

3. Bagaimanakah kedudukan grosse akta hipotek kapal dalam

memberikan kepastian hukum bagi kreditor ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian

ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui, memahami dan menjelaskan eksistensi lembaga

jaminan hipotek kapal dalam sistem hukum jaminan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui, memahami dan menjelaskan hakikat hukum

jaminan hipotek kapal dan implementasinya.

3. Untuk mengetahui, memahami dan menjelaskan kedudukan grosse

akta hipotek kapal dalam memberikan kepastian hukum bagi kreditor .


188

D. Kegunaan Penelitian

Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

berupa :

1. Manfaat teoretik dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsih pemikiran bagi perkembangan dan pembangunan hukum,

khususnya di bidang hukum jaminan hipotek kapal, terlebih dalam

rangka penyusunan Undang-Undang Hipotek Kapal.

2. Manfaat praktik dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi dan pengetahuan bagi kalangan akademisi dalam

memperkaya wawasan keilmuan di bidang Hukum Jaminan. Tidak

terkecuali juga bagi aparat penegak hukum, lembaga perbankan

masyarakat umumnya sebagai pihak-pihak terkait dengan keberadaan

lembaga jaminan hipotek kapal.

E. Orisinalitas Penelitian

Dari hasil penelusuran pustaka, maka penulis menemukan dua

penelitian disertasi yang punya keterkaitan dengan apa yang menjadi

kajian dari penelitian disertasi ini. Disertasi pertama ditulis oleh Alm. Anis

Idham dengan judul Pranata Jaminan Kebendaan Hipotik Kapal Laut Dan

Masalah Eksekusi Hipotik Kapal Laut Ditinjau dari Hukum Maritim.

Disertasi ini baru sampai pada tahap ujian tertutup (pra promosi) pada

tanggal 22 Februari 1993 dan dinyatakan lulus oleh Tim Penguji pada
189

Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. Sementara menanti ujian

terbuka (promosi) yang sedianya dilaksanakan tanggal 31 Juli 1993,

promovendus meninggal dunia pada tanggal 21 Juni 1993. Naskah

disertasi almarhum telah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul

sesuai judul disertasi.

Adapun fokus kajian dari disertasi Alm. Anis Idham didasarkan

pada apa yang disebutnya sebagai hukum maritim yang tersebar dalam

beberapa ketentuan perundang-undangan yang saat ini tidak berlaku lagi,

misalnya peraturan tentang Pendaftaran Kapal dan Balik Nama Kapal

(Regeling van de Teboekstelling van Scheppen 1933) Undang-undang

tentang Pelayaran (UU No.21 Tahun 1992) dan beberapa peraturan

pelaksanaan lainnya. Sedangkan apa yang menjadi fokus kajian dalam

penelitian disertasi ini didasarkan pada peraturan perundang-undangan

terbaru yang terkait dengan hukum jaminan hipotek kapal misalnya UU

No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, PP No.51 Tahun 2002 tentang

Perkapalan dan Konvensi Internasional tentang Piutang Maritim dan

Mortgage 1993 yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui

Peraturan Presiden RI No.44 Tahun 2005. Selanjutnya dalam disertasi ini

akan membahas secara mendalam permasalahan pelaksanaan eksekusi

benda jaminan akibat debitor melakukan wanprestasi.

Disertasi kedua yang punya keterkaitan dengan kajian dari

penelitian disertasi ini ditulis oleh Sutanto dengan judul Grosse Akta

Pengakuan Utang sebagai Sarana Perlindungan Hukum terhadap


190

Kepentingan Pemberi Kredit (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,

2004). Dalam disertasi ini walaupun punya kesamaan dalam membahas

tentang kepentingan pemberi kredit (kreditor), tapi ruang lingkup kajiannya

berbeda, yakni hanya terbatas pada grosse akta pengakuan hutang

sedangkan dalam penelitian ini membahas dari segi grosse akta hipotek

kapal.
191

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Eksistensi Hukum Jaminan di Indonesia

a. Konsep Hukum Jaminan

Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah security of

law, zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten. Keputusan Seminar

Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum

Nasional Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada tanggal 9 sampai dengan 11 Oktober 1978 di

Yogyakarta disimpulkan, bahwa istilah "hukum jaminan" itu meliputi

pengertian baik jaminan kebendaan maupun perorangan. Berdasarkan

kesimpulan tersebut, pengertian hukum jaminan yang diberikan

didasarkan kepada pembagian jenis lembaga hak jaminan, artinya tidak

memberikan perumusan pengertian hukum jaminan, melainkan

memberikan bentang lingkup dari istilah hukum jaminan itu, yaitu meliputi

jaminan kebendaan dan jaminan perseorangan (Usman, 2009.: 1).

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan (1980 : 5), hukum jaminan

adalah:

“Mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian


fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda-benda yang dibelinya
sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup meyakinkan dan
memberikan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga kredit, baik
192

dari dalam negeri maupun luar negeri. Adanya lembaga jaminan


dan lembaga demikian, kiranya harus dibarengi dengan adanya
lembaga kredit dengan jumlah, besar, dengan jangka waktu yang
lama dan bunga yang relatif rendah”.

Sebenarnya, apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi Masjchoen

Sofwan ini merupakan sebuah konsep yuridis yang berkaitan dengan

penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

jaminan pada masa yang akan datang. Sedangkan saat ini telah dibuat

berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jaminan.

Selanjutnya Satrio (1991:3) mengartikan hukum jaminan adalah

“Peraturan hukum yang mengatur jaminan-jaminan piutang seorang

kreditor terhadap debitor”.

Definisi yang terakhir ini difokuskan pada pengaturan pada hak-hak

kreditor semata-mata, tetapi tidak memperhatikan hak-hak debitor.

Padahal subjek kajian hukum jaminan tidak hanya menyangkut kreditor

semata-mata, tetapi juga erat kaitan-nya dengan debitor. Sedangkan yang

menjadi objek kajiannya adalah benda jaminan. Dari beberapa definisi

tersebut, maka menurut Salim (2004: 6) hukum jaminan adalah

keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum

antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan

pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.

Dari definisi ini terkandung beberapa unsur di dalamnya yakni :


1. Adanya kaidah hukum

Kaidah hukum dalam bidang jaminan, dapat dibedakan menjadi 2

macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis dan kaidah hukum


193

jaminan tidak tertulis. Kaidah hukum jaminan tertulis adalah kaidah-

kaidah hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan,

traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum jaminan tidak

tertulis adalah kaidah-kaidah hukum jaminan yang tumbuh, hidup, dan

berkembang dalam masyarakat. Hal ini terlihat pada gadai tanah

dalam masyarakat yang dilakukan secara lisan;

2. Adanya pemberi dan penerima jaminan

Pemberi jaminan adalah orang-orang atau badan hukum yang

menyerahkan barang jaminan kepada penerima jaminan. Yang

bertindak sebagai pemberi jaminan ini adalah orang atau badan

hukum yang membutuhkan fasilitas kredit. Orang ini lazim disebut

dengan debitor. Penerima jaminan adalah orang atau badan hukum

yang menerima barang jaminan dari pemberi jaminan. Badan hukum

adalah lembaga yang memberikan fasilitas kredit, dapat berupa

lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan nonbank;

3. Adanya jaminan

Pada dasarnya, jaminan yang diserahkan kepada kreditor adalah

jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan

yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda

bergerak dan benda tidak bergerak. Jaminan imateriil merupakan

jaminan nonkebendaan.

4. Adanya fasilitas kredit


194

Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi jaminan bertujuan

untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga keuangan

nonbank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan

kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan nonbank

percaya bahwa debitor sanggup untuk mengembalikan pokok

pinjaman dan bunganya. Begitu juga debitor percaya bahwa bank atau

lembaga keuangan nonbank dapat memberikan kredit kepadanya.

Berdasarkan definisi di atas maka dapat ditelaah tentang objek dan

ruang lingkup kajian hukum jaminan. Menurut Salim (2004 : 8), objek

kajian sebagai sasaran dalam pengkajian hukum jaminan dibagi menjadi

dua macam, yaitu objek materiil dan objek formal. Objek materiil yaitu

bahan (materiil) yang dijadikan sasaran dalam penyelidikannya yaitu

manusia. Objek formal merupakan sudut pandang tertentu terhadap objek

materiilnya. Objek formal hokum jaminan adalah bagaimana subjek

hukum dapat mengadakan perjanjian jaminan dengan lembaga perbankan

atau lembaga keuangan non bank. Pembebanan jaminan merupakan

proses, yaitu menyangkut prosedur dan syarat-syarat di dalam

pembebanan jaminan.

Ruang lingkup kajian hukum jaminan meliputi jaminan umum dan

jaminan khusus. Jaminan khusus dibagi menjadi 2 macam, yaitu jaminan

kebendaan dan perorangan. Jaminan kebendaan dibagi menjadi jaminan

benda bergerak dan tidak bergerak. Adapun yang termasuk dalam

jaminan benda bergerak meliputi: gadai dan fidusia, sedangkan jaminan


195

benda tidak bergerak meliputi hak tanggungan, fidusia, khususnya rumah

susun, hipotek kapal laut, dan pesawat udara. Sedangkan jaminan

perorangan meliputi: borg, tanggung-menanggung (tanggung renteng),

dan garansi bank.

b. Sistem dan Sumber Pengaturan Hukum Jaminan

Dalam kajian berbagai literatur menunjukkan bahwa sistem

pengaturan hukum dapat dibedakan dalam dua macam yaitu sistem

tertutup (closed system) dan sistem terbuka (open system). Pengaturan

hukum jaminan yang termuat dalam Buku II KUH Perdata menganut

sistem tertutup (clossed system), dalam arti hak-hak jaminan kebendaan

diatur secara limitatif dan tidak enunsiatif, di mana seseorang tidak dapat

secara bebas menciptakan hak jaminan kebendaan. Penciptaan hak

jaminan kebendaan hanya dapat dilakukan dengan atau melalui

penunjukan undang-undang atau yurisprudensi (Usman, 2009 : 26).

.Dianutnya sistem tertutup oleh Buku II KUH Perdata, maka

tertutup kemungkinan untuk dapat memperjanjikan hak jaminan

kebendaan di luar dari Buku II KUH Perdata. Dalam pengertian lain,

ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal Buku II KUH Perdata bersifat

memaksa, harus dipatuhi, dan tidak boleh disimpangi dengan

mengadakan ketentuan baru mengenai hak-hak kebendaan. Hal ini

dimaksudkan untuk menjaga adanya kepastian hukum. Sifat absolut dari

hak kebendaan ini merupakan salah satu ciri hak kebendaan, yang
196

mengharuskan setiap orang untuk menghormati hak tersebut (Djuhaendah

Hasan, 1996:53-54).

Adapun pengaturan hukum perikatan yang termuat dalam Buku III

KUH Perdata menganut sistem terbuka (open system), dalam arti, siapa

saja dapat membuat perjanjian, baik sudah dikenal di dalam Buku III KUH

Perdata maupun perjanjian baru di luar Buku III KUH Perdata. Perjanjian

yang dikenal dalam KUH Perdata seperti jual beli, sewa menyewa, tukar

menukar, pinjam meminjam uang, perjanjian kerja, kongsi dan pemberian

kuasa termasuk jenis perjanjian nominaat. Di samping itu terdapat

perjanjian innominaat yang lahir dari kebutuhan masyarakat misalnya

leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim yang tidak diatur dalam KUH

Perdata (Salim, 2004 : 13).

Oleh karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka maka

pasal-pasal dalam Buku III KUH Perdata mempunyai kedudukan sebagai

"hukum pelengkap", artinya pasal-pasal hukum perjanjian itu boleh

disingkirkan manakala dikehendaki oleh para pihak yang membuat suatu

perjanjian. Para pihak diperbolehkan membuat ketentuan sendiri yang

menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian (R. Subekti, 1979: 13).

Berbicara tentang sumber hukum Jaminan, maka yang

dimaksudkan di sini adalah sumber hukum sebagai tempat ditemukannya

hukum positif yang mengatur tentang jaminan dan segala sesuatu yang

berkaitan dengan jaminan. Menurut Joeniarto sebagaimana dikutip oleh

Usman (2009 : 3), sumber hukum dipergunakan dalam tiga pengertian


197

yang berbeda satu dengan lainnya, meskipun sebenarnya antara

pengertian yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan yang erat,

bahkan menyangkut substansi yang sukar dipisahkan, yakni :

1. sumber hukum dalam penggunaan pengertian sebagai asalnya hukum

positif, wujudnya dalam bentuk yang konkret, yakni berupa keputusan

dari yang berwenang untuk mengambil keputusan mengenai soal yang

bersangkutan;

2. sumber hukum dalam pengertiannya sebagai tempat ditemukan aturan

dan ketentuan hukum positif merupakan pula yang penting bagi setiap

orang yang ingin mengetahui atau menyelidiki hukum positif dari suatu

tempat pada waktu tertentu. Dengan kata lain sumber hukum di sini

diartikan bentuk-bentuk hukum positif di mana merupakan tempat

dapat diketemukan . aturan dan ketentuan hukum positif dan wujudnya

berupa peraturan atau ketetapan, baik tertulis atau tidak tertulis;

3. sumber hukum dalam artian ketiga, yakni hal-hal yang seharusnya

dijadikan pertimbangan oleh penguasa yang berwenang di dalam nanti

akan menentukan isi hukum positifnya. Juga harus memperhatikan

faktor-faktor politis, agama, hubungan internasional dan lain-lainnya.

Ketentuan yang secara khusus atau yang berkaitan dengan

jaminan hipotek, dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUH Perdata) Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232.

Ketentuan hukum jaminan secara umum dapat dijumpai dalam Buku II

KUH Perdata yang mengatur mengenai hukum kebendaan. Ditilik dari


198

sistematika KUH Perdata, pada prinsipnya hukum jaminan merupakan

bagian dari hukum kebendaan. Dalam Buku II KUH Perdata diatur

mengenai pengertian, cara membedakan benda dan hak-hak kebendaan,

baik yang memberikan kenikmatan dan jaminan.

Selain mengatur jaminan hak kebendaan, dalam KUH Perdata

diatur pula mengenai jaminan hak perseorangan, yaitu penanggungan

utang (borgtochf) dan perikatan tanggung-menanggung. Jaminan hak

perseorangan ini tidak diatur dalam Buku II KUH Perdata, melainkan

diatur dalam Buku III KUH Perdata, yaitu pada Titel Ketujuh Belas dengan

judul "Penanggungan Utang", yang dimulai dari Pasal 1820 sampai

dengan Pasal 1850. Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pengertian

dan sifat penanggungan utang, akibat-akibat penanggungan utang antara

debitor (yang berutang) dan penjamin (penanggung) utang serta antara

para penjamin utang dan hapusnya penanggungan utang.

Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum jaminan dalam KUH

Perdata tidak hanya bersumber kepada Buku II, melainkan juga

bersumber kepada Buku III, yaitu mengatur hak jaminan kebendaan dan

hak jaminan perseorangan.

Ketentuan lainnya yang berkaitan dengan jaminan hipotek kapal

terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang).

Dalam hal pembebanan hipotek atas kapal laut perlu juga merujuk

ketentuan dalam KUH Dagang terutama tentang batasan kapal laut yang

dapat dijadikan objek hipotek kapal. Pengaturan yang berkaitan dengan


199

pembebanan hipotek atas kapal laut terdapat dalam Pasal 314, 315, 315a,

315b, 315c, 315d, 315e, 316, 316a, 316b, 316c, 316d, 316e, 317, 317a,

317b, 318, 318a, 318b, 319, 362, dan 365.

Pengaturan hukum jaminan hipotek kapal ditemui pula dalam UU

No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran terutama dalam ketentuan Pasal 60

sampai dengan Pasal 64. Dalam Pasal 60 ayat (1) menentukan : Kapal

yang telah didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan

jaminan utang dengan pembebanan hipotek atas kapal. Selanjutnya

dalam ayat (2) menentukan : Pembebanan Hipotek atas kapal dilakukan

dengan pembuatan akta hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat

Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar

Induk Pendaftaran Kapal.

Dalam ayat (3) menegaskan : Setiap akta hipotek diterbitkan 1

(satu) Grosse Akta Hipotek yang diberikan kepada penerima hipotek.

Kedudukan Grosse Akta Hipotek sangat penting artinya bagi penerima

hipotek atau bagi pihak pemberi kredit dalam melidungi kepentingannya.

Hal tersebut ditegaskan dalam ayat (4) sebagai berikut : Grosse Akta

Hipotek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Pengertian hipotek kapal dalam

undang-undang ini dirumuskan dalam Pasal 1 butir 12 sebagai berikut :

Hipotek Kapal adalah hak agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar
200

untuk menjamin pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan

yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain.

c. Urgensi Lembaga Jaminan

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu

zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum

cara-cara kreditor menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping

pertanggungan jawab umum debitor terhadap barang-barangnya (Salim,

2004 : 21). Jaminan yang dimaksud di sini merupakan kemampuan

debitor untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor,

yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai

ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima

debitor terhadap kreditornya (Usman,2009 : 66).

Secara umum orang menyamakan istilah jaminan dengan istilah

agunan. Namun dalam perspektif hukum perbankan, istilah ”jaminan” ini

dibedakan dengan istilah "agunan". Sebagaimana dalam Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, tidak dikenal

istilah "agunan", yang ada istilah "jaminan". Sementara dalam Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, memberikan

pengertian yang tidak sama dengan istilah "jaminan" menurut Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1967 (Usman, 2009:66).

Arti jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 diberi

istilah "agunan" atau "tanggungan", sedangkan "jaminan" menurut


201

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, diberi arti

lain, yaitu "keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan

nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau mengembalikan

pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan".

Sehubungan dengan itu, Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-

Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, menjelaskan sebagai berikut :

Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau


pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitor untuk melunasi
kewajibannya sesuai dengan diperjanjikan merupakan faktor
penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh
keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus
melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan,
modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitor.

Adapun istilah agunan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka

23 Undang-Undang Perbankan, diartikan sebagai berikut :

Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah

debitor kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau

pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah.

Dengan demikian berarti, istilah agunan sebagai terjemahan dari

istilah collateral merupakan bagian dari istilah jaminan pemberian kredit

atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Artinya pengertian

"jaminan" lebih luas daripada pengertian "agunan", karena agunan

berkaitan dengan "barang", sementara "jaminan" tidak hanya berkaitan

dengan "barang", tetapi berkaitan pula dengan character, capacity, capital


202

dan condition of economy dari nasabah debitor yang bersangkutan

(Usman, 2009 : 67).

Di dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang

diselenggarakan di Yogyakarta, dari tanggal 20 s.d. 30 Juli 1977

disimpulkan pengertian jaminan. Jaminan adalah “Menjamin dipenuhinya

kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu

perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali dengan

hukum benda” (Salim, 2011:22).

Pandangan para ahli hukum mendukung konstruksi definisi jaminan

tersebut sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh Hartono

Hadisoeprapto dalam Salim (2011:22), bahwa jaminan adalah “Sesuatu

yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa

debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang

timbul dari suatu perikatan”. Menurut Bahsan (2002 : 148), jaminan

adalah “Segala sesuatu yang diterima kreditor dan diserahkan debitor

untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat”.

Menurut Balkenhol dan Schutte (2001:7) jaminan merupakan aset

yang dijanjikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman sampai pinjaman

dibayar kembali. Jika peminjam tidak melakukan kewajibannya maka

kreditor memiliki hak untuk menyita agunan dan menjualnya untuk

melunasi pinjaman. Dari sudut pandang pemberi pinjaman, fungsi jaminan

pada dasarnya untuk melayani kepentingan pemberi pinjaman,

perlindungan terhadap resiko dan sebagai perangkat screening


203

(penyaringan). Selain fungsi-fungsi utama tersebut, jaminan juga berfungsi

untuk menempatkan pemberi pinjaman dalam posisi istimewa vis-à-vis

terhadap kreditor lain dimana peminjam harus menjadi pailit untuk

mendapatkannya (Balkenhol dan Schutte, 2001:13).

Untuk menanggung atau menjamin pembayaran atau pelunasan

utang tertentu, debitor umumnya menyediakan jaminan berupa agunan

(kebendaan tertentu) yang dapat dinilai dengan uang, berkualitas tinggi,

dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah utang yang

diberikan kepadanya. Untuk itu sudah seharusnya bila pihak perbankan

dan lembaga keuangan lainnya atau bahkan perseorangan meminta

kebendaan jaminan dengan maksud jika debitor tidak dapat melunasi

utangnya atau dinyatakan pailit, maka kebendaan jaminan tersebut dapat

dicairkan atau diuangkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian

utang yang tersisa. Ini berarti, bahwa tidak semua kebendaan atau hak-

hak (piutang-piutang) dapat dijadikan sebagai jaminan utang, terkecuali

kebendaan jaminan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan

untuk dijadikan sebagai jaminan utang (Usman, 2009 : 70). Sebaliknya

pula tidak semua utang memerlukan jaminan misalnya pada utang kartu

kredit (http://debtor-creditor.lawyers.com/creditors-rights/creditors-legal-

rights.html).

Suatu hal yang penting dari keberadaan jaminan yaitu, bahwa yang

dijamin selalu pemenuhan suatu kewajiban yang dapat dinilai dengan

uang. Realisasi penjaminan ini juga selalu berupa menguangkan benda-


204

benda jaminan dan mengambil dari hasil penguangan benda jaminan itu

bagian yang menjadi hak pihak yang mengutangkan (kreditor). Oleh

karena itu, barang yang dapat dijadikan jaminan haruslah suatu benda

atau suatu hak yang dapat dinilaikan ke dalam uang. Untuk menguangkan

benda jaminan perlu bahwa benda itu dialihkan kepada pihak lain. Oleh

karena itu, juga barang yang dapat dijadikan, jaminan haruslah benda

atau hak yang boleh dialihkan kepada orang lain (Subekti, 1981:24).

Menurut Subekti (1986 : 29), syarat-syarat benda jaminan yang

baik (ideal) adalah :

1. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang

memerlukannya;

2. Tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk

melakukan atau meneruskan usahanya;

3. Memberikan kepastian kepada si kreditor, dalam arti bahwa barang

jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat

mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil)

kredit.

Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting

dalam menunjang pembangunan ekonomi, karena keberadaan lembaga

ini dapat memberikan manfaat bagi kreditor dan debitor. Manfaat bagi

kreditor menurut Isnaini (1996:14) adalah :

1. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup;

2. Memberikan kepastian hukum bagi kreditor.


205

Bagi debitor dengan adanya benda jaminan itu dapat memperoleh

fasilitas kredit dari bank dan tidak khawatir dalam mengembangkan

usahanya. Bagi kreditor jaminan memberikan keamanan terhadap modal

yang diserahkan kepada debitor sehingga kreditor tidak merasa takut atau

khawatir tidak dikembalikannya modal tersebut. Memberikan kepastian

hukum adalah memberikan kepastian bagi pihak kreditor dan debitor.

Kepastian bagi kreditor adalah kepastian untuk menerima pengembalian

pokok kredit dan bunga dari debitor, sedangkan bagi debitor adalah

kepastian untuk mengembalikan pokok kredit dan bunga yang ditentukan.

Di samping itu, bagi debitor adalah adanya kepastian dalam berusaha,

karena dengan modal yang dimilikinya dapat mengembangkan bisnisnya

lebih lanjut. Apabila debitor tidak mampu dalam mengembalikan pokok

kredit dan bunga, bank atau pemilik modal dapat melakukan eksekusi

terhadap benda jaminan (Salim, 2011: 28).

Adapun kegunaan kebendaan jaminan menurut Usman (2009:71),

adalah untuk :

a. memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditor untuk mendapat

pelunasan dari agunan apabila debitor melakukan cidera janji, yaitu

untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan

dalam perjanjian;

b. menjamin agar debitor berperan serta dalam transaksi untuk

membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan

usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau


206

perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan

untuk berbuat demikian dapat diperkecil;

c. memberikan dorongan kepada debitor untuk memenuhi janjinya,

khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-

syarat yang telah disetujui agar debitor dan/atau pihak ketiga yang ikut

menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan.

Bagi pihak perbankan, pemberian kredit tidak hanya didasarkan

kepada penilaian agunan (collateral) yang disediakan, juga didasarkan

kepada watak (character), kemampuan (capacity), modal (capital), dan

prospek usaha (condition of economy) dari nasabah debitornya, yang

lazim dinamakan dengan the five C of credit analysis atau Prinsip 5 C's.

Prinsip ini sejalan dengan ketentuan yang berlaku bagi perbankan di

seluruh dunia, seperti ditetapkan oleh Bank for international Settlements

(BIS) (Goesniadhie, 2006:7). Prinsip 5 C's inilah yang dinamakan dengan

jaminan dalam pemberian kredit perbankan atau pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah. Pada sasarannya prinsip 5 C's ini akan dapat

memberikan informasi mengenai iktikad baik (willingness to pay) dan

kemampuan membayar (ability to pay) nasabah debitor untuk melunasi

kembali pinjaman beserta bunganya (Siamat, 1995 : 99).

Prinsip 5 C’s dapat ditemui dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1)

Undang-Undang Perbankan yang menjelaskan demikian :

Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan


kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap
207

watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari


nasabah debitor.

d. Sifat dan Bentuk Perjanjian Jaminan

Perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri tanpa adanya

perjanjian pendahuluan atau pokok yang mendahuluinya. Oleh karena itu

perjanjian jaminan merupakan perjanjian assesoir (accessoir), tambahan,

atau ikutan. Sebagai perjanjian assesoir, eksistensi perjanjian jaminan

ditentukan oleh ada dan hapusnya perjanjian pendahuluan atau

.perjanjian pokoknya. Pada umumnya biasanya perjanjian pendahuluan ini

berupa perjanjian utang piutang, perjanjian pinjam meminjam uang,

perjanjian kredit, atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan

hukum utang piutang.

Adanya perjanjian utang piutang tersebut menjadi dasar timbulnya

perjanjian jaminan, atau sebaliknya dengan berakhirnya perjanjian

pendahuluan, berakhir pula perjanjian jaminan. Dalam perjanjian utang

piutang, diperjanjikan pula antara debitor dan kreditor bahwa pinjamannya

tersebut dibebani pula dengan suatu jaminan, yang selanjutnya diikuti

dengan pengikatan jaminan, yang dapat berupa pengikatan jaminan

kebendaan atau jaminan perseorangan (Usman, 2009 : 86).

Akibat hukum berkaitan dengan sifat assesoir dari perjanjian

jaminan maka tanpa ada hak tagih, tidak ada hak jaminan. Demikian pula

terkait dengan peralihan hak jaminan, apabila perjanjian pokoknya beralih,

maka tidak perlu dipenuhi syarat peralihan pada umumnya seperti yang
208

ditentukan dalam undang-undang (Neirop,1937:27). Senada dengan

Neirop, Pitlo (1949:463) mengatakan bahwa hak jaminan tidak dapat

dipindah tangankan tersendiri terlepas dari perjanjian pokoknya.

Sifat assesoir dari hak jaminan tersebut dapat menimbulkan akibat

hukum tertentu, sebagai berikut :

1. ada dan hapusnya perjanjian jaminan itu tergantung dan ditentukan

oleh perjanjian pendahuluannya;

2. bila perjanjian pendahuluannya batal, maka dengan sendirinya

perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan juga menjadi batal;

3. bila perjanjian pendahuluannya beralih atau dialihkan, maka dengan

sendirinya perjanjian jaminan ikut beralih;

4. bila perjanjian pendahuluannya beralih karena cessie, subrogatie,

maka perjanjian jaminan ikut beralih tanpa penyerahan khusus;

5. bila perjanjian jaminannya berakhir atau hapus, maka perjanjian

pendahuluan tidak dengan sendirinya berakhir atau hapus pula

(Usman, 2009 : 86).

Sebagai perjanjian ikutan, eksistensi perjanjian jaminan amat

tergantung kepada perjanjian pendahuluannya yang menjadi dasar

timbulnya pengikatan jaminan. Artinya perjanjian jaminan dimaksudkan

untuk mengubah kedudukan kreditor-kreditornya menjadi kreditor yang

preferent, sehingga kreditor (pemberi pinjaman) akan merasa aman dan

memperoleh kepastian hukum atas pelunasan pinjaman yang diberikan

olehnya kepada debitor, karena diikuti dengan diperjanjikan pemberian


209

jaminan oleh debitor kepada kreditornya. Untuk itulah dikatakan bahwa

perjanjian jaminan merupakan perjanjian tambahan dari perjanjian

pendahuluannya, yaitu perjanjian yang akan lebih memperkuat perjanjian

pendahuluannya.

Thain (1998 :153) memberikan rumusan terhadap pengertian

perjanjian jaminan sebagai berikut :

A secured transaction is a matter in which there is a loan in which


the Creditor/Secured Party is given rights in collateral that secures
the loan and there rights can be enforced in the event the loan is
not repaid according to its term. If the loan is repaid according to its
term, then the Secured Party’s ability to claim an interest in the
collateral is extinguished.

(Perjanjian jaminan adalah suatu kondisi yang mana terdapat suatu


pinjaman dimana Kreditor/Pihak Terjamin memperoleh hak-hak
atas barang jaminan yang akan menjamin hutang tersebut dan hak-
hak ini dapat dipaksakan berlakunya apabila hutang tersebut tidak
dibayar kembali sesuai dengan yang diperjanjikan, jika hutang
sudah dibayar kembali sesuai perjanjian, maka kemampuan
kreditor untuk mengajukan tuntutan atas kepentingannya terhadap
jaminan menjadi hapus)

Jika terjadi perjanjian jaminan, maka hak atas barang jaminan tetap

dimiliki oleh debitor, sedang kreditor hanya memiliki hak jaminan atas

harta kekayaan debitor berdasarkan perjanjian jaminan yang dibuat

bersama. Kreditor berhak menjual barng-barang jaminan tersebut jika

debitor mengalami kegagalan (default) dalam pembayaran hutang-hutang

dan bunganya kepada kreditor (Thain, 1998:154).

Selanjutnya berkaitan dengan barang jaminan, Thain (1998:153)

memberikan pengertian sebagai berikut :

Collateral is something of value that the Debitor has included in the


transaction in order to secure debt. Without the involvement of
210

collateral, there would simply the be a contract for loan or debt and
an obligation to repay it

(Barang jaminan adalah sesuatu yang mempunyai nilai dari debitor


yang disertakan dalam perjanjian, dalam rangka untuk menjamin
hutangnya. Tanpa disertai barang jaminan, maka yang akan terjadi
semat-mata hanyalah suatu kontrak atas hutang atau atas piutang
dan suatu kewajiban untuk memenuhinya)

Apabila dicermati, maka kegunaan dari barang-barang jaminan itu

adalah (Chalik, 1982:67) :

1. untuk memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk

mendapatkan pelunasan dengan barang-barang jaminan tersebut

bilamana nasabah cidera janji.

2. memberikan dorongan kepada debitor agar :

a. Betul-betul menjalankan usaha/proyeknya yang dibiayai dengan

kredit bank, karena kalau hal tersebut diabaikannya resikonya

adalah hak miliknya yang dijaminkannya akan hilang;

b. Betul-betul memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam

perjanjian kredit.

Perjanjian pembebanan jaminan dapat dilakukan dalam bentuk

lisan dan tertulis. Perjanjian pembebanan dalam bentuk lisan, biasanya

dilakukan dalam kehidupan masyarakat pedesaan, masyarakat yang satu

membutuhkan pinjaman uang kepada masyarakat yang ekonominya lebih

tinggi. Biasanya pinjaman itu cukup dilakukan secara lisan. Seseorang

yang ingin mendapatkan pinjaman cukup menyerahkan surat tanahnya.

Setelah surat tanah diserahkan, maka uang pinjaman diserahkan oleh


211

pemberi pinjaman kepada yang meminjam. Sejak terjadinya konsensus

kedua belah pihak, sejak saat itulah terjadinya perjanjian pembebanan

jaminan.

Adapun perjanjian pembebanan jaminan dalam bentuk tertulis,

biasanya dilakukan dalam dunia perbankan, lembaga keuangan nonbank

maupun lembaga pegadaian (Salim, 2011:31). Apabila perjanjian

pembebanan jaminan dilakukan dalam bentuk tertulis, maka bisa

dilakukan dengan menggunakan akta di bawah tangan dan akta autentik.

Akta di bawah tangan adalah suatu akta yang dibuat dan ditandatangani

oleh para pihak saja dengan tanpa bantuan seorang pejabat umum atau

akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang tidak

berwenang. Sementara itu, akta autentik adalah suatu akta yang dibuat

oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang berwenang untuk itu,

seperti notaris, di mana bentuk aktanya juga telah ditentukan oleh

undang-undang.

Secara yuridis perumusan pengertian akta autentik tersebut

terdapat dalam ketentuan Pasal 165 HIR/RBG sebagai berikut :

Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan
pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang
lengkap antara pihak dari para ahli warisnya dan mereka yang
mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya
dan bahkan sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang
terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan langsung dengan
perihal pada akta itu.

Selanjutnya ketentuan dalam Pasal 1868 KUH Perdata menegaskan :


212

Akta autentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan

oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum

yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.

Berdasarkan kepada ketentuan di atas, suatu akta dikatakan

sebagai akta autentik apabila :

1. akta tersebut dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang

berwenang untuk itu; dan

2. bentuk aktanya dan tata cara pembuatannya telah ditentukan oleh atau

dalam undang-undang.

Biasanya perjanjian pembebanan jaminan dengan menggunakan

akta di bawah tangan dilakukan pada lembaga pegadaian. Bentuk, isi, dan

syarat-syaratnya telah ditentukan oleh Perum Pegadaian secara sepihak,

sedangkan nasabah tinggal menyetujui isi dari perjanjian tersebut. Hal-hal

yang kosong dalam Surat Bukti Kredit (SBK) meliputi nama, alamat,

barang jaminan, jumlah taksiran, jumlah pinjaman, tanggal kredit dan

tanggal jatuh tempo (Salim, 2011:31).

Bagi perjanjian pembebanan jaminan lainnya disyaratkan atau

diharuskan dengan menggunakan akta autentik, bila tidak menggunakan

akta autentik, diancam dengan kebatalan demi hukum. Dengan sendirinya

pemberian pembebanan jaminannya harus dilakukan di muka dan di

hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu. Pada umumnya

Notaris yang menjadi pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

autentik sejauh pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi


213

pejabat umum lainnya, seperti di antaranya Pejabat Pembuat Akta Tanah;

Pejabat Pendaftar dan Balik nama Kapal; pegawai pencatatan sipil; polisi

sebagai penyidik; hakim, panitera, dan juru sita pada pengadilan.

Adapun pembebanan perjanjian lembaga hak jaminan lainnya yang

diwajibkan atau diharuskan dilakukan dengan akta autentik, yaitu :

1. Akta Hipotek Kapal untuk pembebanan perjanjian jaminan hipotek atas

kapal, yang dibuat oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik nama

Kapal;

2. Surat Kuasa Membebankan Hipotek (SKMH), yang dibuat oleh atau di

hadapan Notaris;

3. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), yang dibuat oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah;

4. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT), yang dibuat

oleh Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah;

5. Akta Jaminan Fidusia (AJF), yang dibuat oleh Notaris.

Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum yang mempunyai

kewenangan dalam membuat akta otentik secara jelas diatur dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dalam

beberapa peraturan perundang-undangan tentang jabatan Notaris yang

diberlakukan sebelumnya, juga mengatur tentang kewenangan notaris

dalam membuat akta otentik. Peraturan perundang-undangan tersebut

yaitu:
214

1. Het Reglement op Het Notarisambt in Indonesie, yang lazim disebut

Peraturan Jabatan Notaris Staatsblad 1860 Nomor 3 sebagaimana

telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101;

2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;

3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan

Wakil Notaris Sementara;

4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2004;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji

Jabatan Notaris.

Mengenai kedudukan dan fungsi Notaris, ketentuan dalam Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 menentukan :

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat

akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud

dalam undang-undang ini.

Kemudian ketentuan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 mengatur mengenai fungsi dan kewenangan Notaris yaitu

sebagai berikut :

(1) Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua


perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
215

grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang


pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-
undang.

(2) Notaris berwenang pula :

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal


surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam
surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan
pembuatan akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 serta dihubungkan

dengan ketentuan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004, dapat diketahui mengenai kedudukan, fungsi, dan kewenangan

seorang Notaris, yaitu :

1. Notaris berkedudukan sebagai pejabat umum;

2. Notaris merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang dalam

membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, sepanjang pembuatan

akta otentik itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain

atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang;


216

3. Akta-akta otentik dimaksudkan berkaitan dengan perbuatan, perjanjian

dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan

dan/ atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan (para pihak)

untuk dinyatakan dalam akta otentik;

4. adanya kewenangan dari Notaris untuk :

a. menjamin kepastian tanggal pembuatan akta;

b. menyimpan akta;

c. memberikan grosse;

d. memberikan salinan dan kutipan akta.

5. terhadap pembuatan akta-akta otentik tersebut oleh undang-undang

tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang

lain;

6. berwenang melakukan:

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian surat di

bawah tangan;

b. membukukan surat-surat di bawah tangan;

c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

akta;

f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. membuat akta risalah lelang.


217

7. melakukan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan, misalnya membuat akta pendirian perseroan terbatas, akta

pendirian yayasan, atau akta pendirian koperasi.

e. Pembedaan Lembaga Jaminan

Adapun yang dimaksud dengan pembedaan lembaga jaminan di

sini adalah berdasarkan sifat dari jaminan dihubungkan dengan ketentuan

Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Ketentuan dalam Pasal 1131 KUH

Perdata menegaskan :

Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang


tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan.

Kemudian dalam Pasal 1132 KUH Perdata menentukan :

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua


orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-
benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar
kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH

Perdata, pembedaan (lembaga hak) jaminan berdasarkan sifatnya, yaitu :

1. hak jaminan yang bersifat umum;

2. hak jaminan yang bersifat khusus.

Jaminan yang bersifat umum ditujukan kepada seluruh kreditor dan

mengenai segala kebendaan debitor. Setiap kreditor mempunyai hak yang

sama untuk mendapatkan pelunasan utang dari hasil pendapatan


218

penjualan segala kebendaan yang dipunyai debitor. Dalam hak jaminan

yang bersifat umum ini, semua kreditornya mempunyai kedudukan yang

sama terhadap kreditor lain (kreditor konkuren), tidak ada kreditor yang

diutamakan, diistimewakan dari kreditor lain. Para kreditor tersebut tidak

mendapatkan hak preferensi, karenanya pelunasan utang mereka dibagi

secara "seimbang" berdasarkan besar kecilnya jumlah tagihan dari

masing-masing kreditor dibandingkan dengan jumlah keseluruhan utang

debitor.

Hak jaminan yang bersifat umum ini dilahirkan atau timbul karena

undang-undang, sehingga hak jaminan yang bersifat umum tidak perlu

diperjanjikan sebelumnya. Ini berarti, kreditor konkuren secara bersamaan

memperoleh hak jaminan yang bersifat umum disebabkan oleh undang-

undang. Ditinjau dari sudut sifat haknya, para kreditor konkuren ini

mempunyai hak yang bersifat perseorangan, yaitu hak yang hanya dapat

dipertahankan terhadap orang tertentu saja (Usman, 2009 : 74).

Apabila terdapat lebih dari satu kreditor dan hasil penjualan harta

benda debitor cukup untuk menutupi utang-utangnya kepada kreditor,

maka mana yang harus didahulukan dalam pembayarannya di antara para

kreditor tidaklah penting karena walaupun semua kreditor sama atau

seimbang kedudukannya, masing-masing akan mendapatkan bagiannya

sesuai dengan piutang-piutangnya. Adanya beberapa kreditor, baru

menimbulkan masalah jika hasil penjualan harta kekayaan debitor tidak

cukup untuk melunasi utang-utangnya; dalam hal ini akan tampak betapa
219

pentingnya menjadi kreditor yang preferent, yaitu kreditor yang harus

didahulukan dalam pembayarannya di antara kreditor lainnya jika debitor

melakukan wanprestasi (Hasbullah, 2002: 8).

Oleh karena jaminan umum menyangkut seluruh harta benda

debitor, ketentuan dalam Pasal 1131 KUH Perdata tersebut dapat

menimbulkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, bahwa

kebendaan tersebut sudah cukup memberikan jaminan kepada kreditor

jika kekayaan debitor paling sedikit (minimal) sama ataupun melebihi

jumlah utang-utangnya artinya hasil bersih penjualan harta kekayaan

debitor dapat menutupi atau memenuhi seluruh utang-utangnya, sehingga

semua kreditor akan menerima pelunasan piutang masing-masing karena

pada prinsipnya semua kekayaan debitor dapat dijadikan pelunasan

utang. Kemudian kemungkinan kedua, bahwa harta benda debitor tidak

cukup memberikan jaminan kepada kreditor dalam hal nilai kekayaan

debitor itu kurang dari jumlah utangnya atau bila pasivanya melebihi

aktivanya. Hal ini dapat terjadi mungkin karena harta kekayaannya

menjadi berkurang nilainya atau apabila harta kekayaan debitor dijual

kepada pihak ketiga sementara utangnya belum dibayar lunas. Atau dapat

juga terjadi ada lebih dari seorang kreditor melaksanakan eksekusi,

sementara nilai kekayaan debitor hanya cukup untuk menutupi satu

piutang kreditor. Jika hanya ada satu kreditor saja, ia dapat melaksanakan

eksekusi atas kekayaan debitor secara bertahap sampai piutangnya


220

terlunasi semuanya atau sampai harta benda debitor habis terjual

(Hasbullah, 2002: 8-9).

Dalam praktik perkreditan, jaminan umum ini tidak memuaskan

bagi kreditor, karena kurang menimbulkan rasa aman dan terjamin bagi

kredit yang diberikan (Sofwan, 1980: 45). Dengan jaminan umum tersebut,

kreditor tidak mengetahui secara persis berapa jumlah harta kekayaan

debitor yang ada sekarang dan yang akan ada di kemudian hari, serta

kepada siapa saja debitor itu berutang, sehingga khawatir hasil penjualan

harta kekayaan debitor nantinya tidak cukup untuk melunasi utang-

utangnya (Gatot Supramono, 1995: 59). Untuk itu, kreditor memerlukan

adanya benda-benda tertentu yang ditunjuk bagi kredit atau pinjaman

tersebut. Dengan lain perkataan memerlukan adanya jaminan yang

dikhususkan baginya, baik yang bersifat kebendaan maupun

perseorangan (Sofwan, 1980: 45-46).

Agar seorang kreditor mempunyai kedudukan yang lebih baik

dibandingkan kreditor konkuren, utang kreditor dapat diikat dengan hak

jaminan yang bersifat khusus, sehingga kreditornya memiliki hak

preferensi dalam pelunasan piutangnya. Apabila diperhatikan klausul

terakhir dari ketentuan dalam Pasal 1132 KUH Perdata, yaitu kata-kata

"kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah

untuk didahulukan", maka memberikan kemungkinan sebagai

pengecualian adanya kedudukan yang diutamakan kepada kreditor

tertentu terhadap kreditor-kreditor. Adapun kreditor yang diutamakan


221

tersebut, yaitu kreditor yang mempunyai hak jaminan yang bersifat

khusus, dinamakan pula kreditor preferent (Usman, 2009:75).

Siapa saja yang menjadi kreditor preferent tersebut dinyatakan

dalam Pasal 1133 KUH Perdata yaitu :

Hak untuk didahulukan di antara orang-orang yang berpiutang terbit

dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotek.

Dari ketentuan dalam Pasal 1133 KUH Perdata, diketahui bahwa

hak jaminan yang bersifat khusus itu terjadi karena :

a) diberikan atau ditentukan oleh undang-undang sebagai piutang yang

diistimewakan (Pasal 1134 KUH Perdata);

b) diperjanjikan antara debitor dan kreditor, sehingga menimbulkan hak

preferensi bagi kreditor atas benda tertentu yang diserahkan debitor

(Pasal 1150 dan Pasal 1162 KUH Perdata, Pasal 1 angka 1 juncto

Pasal 20 sub 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dan Pasal 1 sub

2 juncto Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dan Pasal

1820 KUH Perdata).

Kedudukan kreditor terhadap pelunasan piutangnya tergantung dan

ditentukan oleh hak jaminan yang dipegangnya. Kreditor yang memegang

hak jaminan yang bersifat khusus akan jauh lebih baik kedudukannya

dibandingkan dengan kreditor yang memegang hak jaminan yang bersifat

umum. Kreditor yang mempunyai hak jaminan yang bersifat khusus

adalah kreditor yang piutangnya ditentukan oleh undang-undang sebagai

piutang yang diistimewakan dan piutang yang diikat dengan kebendaan


222

tertentu atau dijamin oleh seseorang. Hak jaminan yang bersifat khusus ini

timbul karena diperjanjikan secara khusus antara debitor dan kreditor.

Hak jaminan yang bersifat khusus dapat berupa atau dibedakan

atas :

1) hak jaminan yang bersifat kebendaan (zakelijke zekerheidsrechten),

yaitu adanya suatu kebendaan tertentu yang dibebani dengan utang;

2) hak jaminan yang bersifat perseorangan (persoonlijke zekerheid-

srechten), yaitu adanya seseorang tertentu atau badan hukum yang

bersedia menjamin pelunasan utang tertentu bila debitor wanprestasi.

Pada Seminar Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan

Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum

Universitas Gadjah Mada dari tanggal 9 sampai dengan 11 Oktober 1978

di Yogyakarta disepakati pula, bahwa sistem hukum jaminan (mendatang)

meliputi jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. Jaminan

kebendaan mempunyai ciri-ciri "kebendaan" dalam arti memberikan hak

mendahulu di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat

dan mengikuti benda-benda yang bersangkutan. Adapun jaminan

perorangan tidak memberikan hak mendahulu atas benda-benda tertentu,

tetapi hanyalah dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang

menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan (Usman, 2009 : 76).

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dalam Salim (2011 : 24)

memberikan pengertian jaminan materiil (kebendaan) adalah jaminan

yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri
223

mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan

terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan.

Sedangkan jaminan imateriil (perorangan) adalah jaminan yang

menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat

dipertahankan terhadap debitor tertentu, terhadap harta kekayaan debitor

umumnya.

Hak jaminan kebendaan adalah hak yang memberikan kepada

seorang kreditor kedudukan yang lebih baik, karena :

1) kreditor didahulukan dan dimudahkan dalam mengambil pelunasan

atas tagihannya atas hasil penjualan benda tertentu atau sekelompok

benda tertentu milik debitor dan/atau

2) ada benda tertentu milik debitor yang dipegang oleh kreditor atau

terikat kepada hak kreditor, yang berharga bagi debitor dan dapat

memberikan suatu tekanan psikologis terhadap debitor untuk

memenuhi kewajibannya dengan baik terhadap kreditor. Di sini

adanya semacam tekanan psikologis kepada debitor untuk melunasi

utang-utangnya karena benda yang dipakai sebagai jaminan

umumnya merupakan barang yang berharga baginya. Sifat manusia

untuk berusaha mempertahankan apa yang berharga dan telah

dianggap atau diakui telah menjadi miliknya, menjadi dasar hukum

jaminan (Satrio, 1991: 13).

Disamping itu, hak jaminan kebendaan, sesuai dengan sifat-sifat

hak kebendaan, ia memberikan warna tertentu yang khas, yaitu :


224

a. mempunyai hubungan langsung dengan/atas benda tertentu milik

debitor;

b. dapat dipertahankan maupun ditujukan kepada siapa saja (semua

orang);

c. mempunyai sifat droit de suite, artinya hak tersebut mengikuti

bendanya di tangan siapa pun berada;

d. yang lebih tua mempunyai kedudukan yang lebih tinggi;

e. dapat dipindahtangankan/dialihkan kepada orang lain (Satrio,

1991:14).

Adapun hak jaminan perorangan adalah hak yang memberikan

kepada kreditor suatu kedudukan yang lebih baik, karena adanya lebih

dari seorang debitor yang dapat ditagih. Kata "lebih baik" di sini adalah

lebih baik daripada kreditor yang tidak mempunyai hak jaminan (khusus)

atau lebih baik dari jaminan umum. Adanya lebih dari seorang debitor,

bisa karena ada debitor serta tanggung menanggung atau karena adanya

orang pihak ketiga yang mengikatkan dirinya sebagai borg (Satrio, 1991:

14).

Jaminan kebendaan itu dapat berupa jaminan kebendaan bergerak

dan jaminan kebendaan tidak bergerak. Untuk kebendaan bergerak, dapat

dibebankan dengan lembaga hak jaminan gadai dan fidusia sebagai

jaminan utang, sementara untuk kebendaan tidak bergerak, dapat

dibebankan dengan hipotek dan hak tanggungan sebagai jaminan utang.

Kebendaan tidak bergerak lainnya dapat dibebankan dengan fidusia.


225

Adapun jaminan perseorangan ini dapat berupa penjaminan utang atau

borgtocht (personal guarantee), jaminan perusahaan (corporate

guarantee), perjanjianan tanggung menanggung, dan garansi bank (bank

guarantee). Dalam borgtocht, pemberi jaminannya pihak ketiga secara

perseorangan, sebaliknya pada corporate guarantee, pemberi jaminannya

badan usaha yang berbadan hukum. Garansi bank diberikan oleh bank

guna menjamin pembayaran suatu jumlah tertentu apabila pihak yang

dijamin wanprestasi.

Jaminan yang merupakan cara menurut hukum untuk pengamanan

pembayaran utang dapat juga dibedakan atas jaminan dengan menguasai

bendanya dan jaminan dengan tanpa menguasai bendanya. Jaminan

yang diberikan dengan menguasai bendanya seperti gadai. Adapun

jaminan yang diberikan dengan tanpa menguasai bendanya dijumpai pada

hipotek, fidusia dan hak tanggungan. Penjaminan dengan menguasai

bendanya dan tanpa menguasai bendanya demikian dikenal di seluruh

perundang-undangan modern sekarang ini, hanya bentuknya yang agak

berbeda (Sofwan, 1980: 57).

Jaminan dengan menguasai bendanya bagi kreditor lebih aman

terutama jika tertuju pada benda bergerak, yang gampang dipindahkan

dan berubah nilainya. Di sini kreditor menguasai bendanya dan

memberikan perlindungan terhadap pihak ketiga atas gambaran yang

salah mengenai tidak berwenangnya debitor atas bendanya. Kewenangan


226

kreditor menjualnya atas kekuasaan sendiri jika terjadi wanprestasi karena

benda jaminan berada dalam tangan kreditor (Sofwan, 1980: 57).

Jaminan dengan menguasai bendanya terutama pada gadai tertuju

terhadap benda bergerak memberikan hak preferensi (droit de preference)

dan hak yang senantiasa mengikuti bendanya (droit de suite). Juga

pemegang gadai mendapat perlindungan terhadap pihak ketiga seperti

seolah-olah pemiliknya sendiri dari benda tersebut. la mendapat

perlindungan jika menerima benda tersebut dengan iktikad baik (te goeder

trouw; in good faith), yaitu mengira bahwa debitor tersebut pemilik yang

sesungguhnya dari benda itu (Sofwan, 1980: 57).

Jaminan dengan tanpa menguasai bendanya dalam praktik banyak

terjadi. Hal ini menguntungkan debitor pemilik benda jaminan, yang justru

memerlukan untuk memakai benda jaminan itu. Tetapi tidak gampang

menjaminkan sesuatu benda dengan tetap menguasai benda itu oleh

debitor, tanpa menimbulkan risiko bahaya bagi kreditor jika tidak disertai

dengan tindakan pengamanan lainnya (Sofwan, 1980: 58).

2. Aspek Hukum Perjanjian Kredit Bank

a. Tinjauan Umum tentang Perjanjian

Pembahasan tentang perjanjian kredit bank pada prinsipnya tidak

dapat dipisahkan dengan ketentuan umum atau ajaran umum hukum

perikatan yang terdapat dalam KUHPerdata sebagai dasar atau asas


227

umum yang konkrit dalam membuat semua perjanjian apapun.

Sebagaimana dalam Pasal 1319 KUHPerdata menegaskan :

“Semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus


maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk
pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam Bab I dan
Bab II KUHPerdata”

Pada praktiknya terdapat beberapa bentuk perjanjian baik yang

telah diatur secara khusus dalam KUH Perdata yang disebut perjanjian

khusus atau perjanjian bernama maupun perjanjian bernama lainnya di

luar KUH Perdata. Perjanjian khusus atau perjanjian bernama merupakan

perjanjian yang oleh pembentuk undang-undang sudah diberikan

namanya misalnya perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,

perjanjian pinjam meminjam, perjanjian hibah dan lain-lain sebagaimana

yang diatur dalam ketentuan Bab V sampai dengan Bab XVIII Buku III

KUH Perdata.

Adapun perjanjian bernama lainnya di luar KUH Perdata muncul

akibat kebutuhan masyarakat dalam bidang ekonomi dan perdagangan

yang menghendaki adanya perjanjian bernama di luar KUH Perdata

misalnya perjanjian sewa beli atau leasing, perjanjian keagenan dan

distributor, perjanjian pembiayaan, perjanjian bagi hasil, perjanjian kredit

dan lain sebgainya.

Landasan hukum perjanjian baik itu perjanjian bernama yang

terdapat dalam KUH Perdata maupun perjanjian bernama di luar KUH

Perdata mengacu pada ketentuan umum hukum perikatan yang terdapat


228

dalam Buku III KUH Perdata tentang Perikatan (Van Verbintenissen).

Adapun sistematika Buku III KUH Perdata sebagai berikut :

Bab I : Terdiri dari Pasal 1233 s/d 1312 mengatur tentang perikatan-

perikatan pada umumnya.

Bab II : Terdiri dari Pasal 1313 s/d 1351 mengatur tentang perikatan-

perikatan yang timbul dari perjanjian.

Bab III : Terdiri dari Pasal 1352 s/d 1380 mengatur tentang perikatan-

perikatan yang timbul karena undang-undang.

Bab IV : Terdiri dari Pasal 1381 s/d 1456 mengatur tentang hapusnya

perikatan.

Bab V s/d Bab XVIII terdiri dari Pasal 1457 s/d 1864 mengatur tentang

perjanjian-perjanjian khusus.

Bab I s/d Bab IV Buku III KUH Perdata mengatur tentang ketentuan

umum perikatan yang berlaku bagi semua perikatan baik perikatan

bernama maupun perikatan tidak bernama. Namun berlakunya ketentuan

umum terhadap perikatan khusus dibatasi sepanjang perikatan khusus

tidak mengatur sendiri. Apabila secara khusus sudah mengatur maka

ketentuan umum tidak berlaku. Hal ini berlaku asas lex specialis derogat

legi generali (Sutarno, 2003:70).

Pengaturan tentang perikatan dalam Buku III KUH Perdata tidak

memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan perikatan. Pengertian

atau definisi perikatan dapat dijumpai dalam Ilmu pengetahuan hukum

yang memberikan rumusan perikatan adalah hubungan hukum antara dua


229

pihak di dalam lapangan harta kekayaan di mana pihak yang satu berhak

atas pestasi dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi prestasi itu. Dari

rumusan tersebut dapat disimpulkan unsur-unsur perikatan yaitu :

1. Adanya hubungan hukum, yaitu hubungan yang menimbulkan akibat

hukum antara dua pihak misalnya jual beli, sewa menyewa adalah

hubungan yang menimbulkan akibat hukum.

2. Adanya dua pihak, yaitu setidak-tidaknya ada dua pihak di mana

yang satu berhak untuk menuntut kepada pihak yang lain dan pihak

lainnya berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Tidak menutup

kemungkinan bahwa dalam perikatan terdapat lebih dari dua pihak

artinya lebih dari seorang kreditor atau debitor.

3. Adanya harta kekayaan, artinya hubungan hukum dua pihak tersebut

harus terletak dalam lapangan harta kekayaan.

4. Adanya prestasi yang harus dipenuhi atau dilaksanakan oleh masing-

masing pihak dalam perikatan itu (Sutarno, 2003:70-71).

Menurut Hofman (1986:3) perikatan adalah suatu hubungan hukum

antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu

seorang atau beberapa orang dari padanya (debitor atau para debitor)

mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap

pihak lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.

Berdasarkan Pasal 1234 KUH Perdata wujud dari prestasi itu dapat

berupa :
230

1. Memberikan atau menyerahkan sesuatu misalnya jual beli, tukar

menukar, sewa menyewa dan lain-lain.

2. Berbuat sesuatu misalnya perjanjian perburuhan, perjanjian

pemborongan, dan lain-lain.

3. Tidak berbuat sesuatu misalnya perjanjian tidak mendirikan tembok,

perjanjian tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.

Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum perikatan oleh

karena di samping perjanjian terdapat sumber lain yaitu sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 1233 KUH Perdata yang menentukan : “Tiap-tiap

perikatan dilahirkan karena persetujuan atau karena undang-undang”.

Dengan demikian secara jelas mengacu pada pasal tersebut, maka

sumber hukum perikatan meliputi :

1. Perjanjian atau persetujuan adalah sumber penting yang melahirkan

perikatan karena perjanjian ini yang paling banyak dilakukan di dalam

kehidupan masyarakat.

2. Undang-undang sebagai sumber perikatan terbagi dua (Pasal 1352

KUH Perdata) yaitu :

a. Bersumber pada undang-undang saja misalnya orang tua yang

berkewajiban untuk memberi nafkah.

b. Bersumber pada undang-undang karena perbuatan manusia

dibedakan menjadi dua :

- Perbuatan manusia menurut hukum, misalnya mewakili orang

lain (zaakwaarneming) Pasal 1354 KUH Perdata.


231

- Perbuatan manusia karena perbuatan melawan hukum

(onrechtmatige daad) Pasal 1365 KUH Perdata.

Ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan pengertian

perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut

Muhammad (2000 :224-225) pengertian perjanjian yang diberikan Pasal

1313 KUH Perdata masih mengandung beberapa kelemahan yaitu :

1. Hanya menyangkut sepihak saja

Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata kerja “mengikatkan diri” yang

sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah

pihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan diri”,

sehingga ada konsensus antara kedua belah pihak;

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan

penyelenggaraan kepentingan (zaakwarneming), tindakan melawan

hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu

konsensus, sehingga seharusnya dipakai istilah “persetujuan”;

3. Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian mencakup juga perjanjian kawin yang diatur

dalam bidang hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah

hubungan antara debitor dan kreditor mengenai harta kekayaan.

Perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata sebenarnya hanya


232

meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan bersifat

kepribadian;

4. Tanpa menyebut tujuan atau memiliki tujuan yang tidak jelas.

Dalam rumusan pasal 1313 KUH Perdata tidak disebutkan tujuan

mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri

itu tidak jelas untuk apa.

Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut maka Muhammad

(2000:224-225) mendefinisikan perjanjian yang menurut penulis cukup

memberikan batasan yang lebih jelas sebagai berikut : “Perjanjian adalah

suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan

diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.

Definisi perjanjian lainnya yang menurut penulis lebih terperinci

dikemukakan oleh Raharjo (2009:42) sebagai berikut :

“Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum di bidang harta


kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang
satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para pihak/subjek
hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang
satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain
berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan
kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta
menimbulkan akibat hukum”

Berbeda dengan sistem pengaturan hukum benda dalam Buku II

KUH Perdata yang menganut sistem tertutup, maka pengaturan hukum

perjanjian dalam Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka. Hukum

perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat

untuk membuat perjanjian yang berisi apa saja yang diinginkan para pihak
233

asal tidak betentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan

kesusilaan.

Sistem terbuka dalam hukum perjanjian yang mengandung asas

kebebasan bagi masyarakat untuk membuat perjanjian, dapat disimpulkan

dari ketetuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “Semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”. Dengan menekankan pada kata “Semua”

memberitahukan kepada masyarakat boleh membuat perjanjian yang

syarat dan ketentuan dalam perjanjian ditentukan atau diatur sediri oleh

para pihak dan perjanjian yang dibuat tersebut mengikat para pihak

seperti undang-undang (Sutarno, 2003:75).

Selain menganut sistem terbuka maka sifat pengaturan hukum

perjanjian dalam Buku III KUH Perdata merupakan hukum pelengkap atau

dalam bahasa Inggris disebut Option Law atau dalam bahasa Belanda

Aanvullend Recht. Dengan demikian pasal-pasal dalam buku III KUH

Perdata tidak ada keharusan untuk digunakan sepanjang para pihak yang

terikat dalam suatu perjanjian menghendaki untuk mengenyampingkan

pasal-pasal tersebut. Dalam pengertian lain bahwa pasal-pasal dalam

hukum perjanjian bersifat melengkapi perjanjian yang dibuat secara tidak

lengkap oleh para pihak.

Buku III KUH Perdata sebagai hukum pelengkap menurut Sutarno

(2003:76-77) mempunyai arti sebagai berikut :


234

a. Kemungkinan Buku III KUH Perdata berlaku seluruhnya karena para

pihak dalam membuat perjanjian tidak mengatur sama sekali.

b. Kemungkinan Buku III KUH Perdata hanya bersifat melengkapi saja,

karena para pihak dalam membuat perjanjian mengaturnya tidak

lengkap.

c. Kemungkinan Buku III KUH Perdata tidak berlaku karena para pihak

membuat ketentuan sendiri secara lengkap.

Walaupun setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian sesuai

dengan prinsip yang terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata, tetapi

terdapat beberapa persyaratan untuk sahnya suatu perjanjian yang harus

dipenuhi oleh para pihak dalam membuat perjanjian. Ketentuan Pasal

1320 KUH Perdata mensyaratkan empat hal yang harus dipenuhi untuk

sahnya suatu perjanjian yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2. Cakap untuk membuat suatu perikatan.

3. Mengenai hal atau objek tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena

menyangkut orang-orang atau para pihak yang membuat perjanjian atau

sebagai subyek dari suatu perjanjian. Sedangkan syarat ke tiga dan ke

empat disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut apa yang

menjadi objek yang diperjanjikan oleh orang-orang atau subjek yang


235

membuat perjanjian. Tidak terpenuhinya persyaratan subjektif maupun

objektif akan membawa konsekuensi hukum bagi perjanjian yang dibuat.

Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat

dibatalkan oleh salah satu pihak yang tidak cakap. Dapat dibatalkan oleh

salah satu pihak artinya salah satu pihak dapat melakukan pembatalan

atau tidak melakukan pembatalan. Apabila salah satu pihak tidak

membatalkan perjanjian itu maka perjanjian yang dibuat tetap sah. Yang

dimaksud salah satu pihak yang membatalkan di sini adalah pihak yang

tidak cakap menurut hukum, yaitu orang tuanya atau walinya atau orang

yang tidak cakap itu apabila suatu saat menjadi cakap atau orang yang

membuat perjanjian itu bila pada saat membuat perjanjian tidak bebas

atau dalam tekanan atau pemaksaan (Sutarno,2003:78).

Dalam hal syarat ketiga dan keempat tidak dipenuhi, maka

perjanjian tersebut batal demi hukum. Batal demi hukum artinya perjanjian

yang dibuat para pihak sejak awal dianggap tidak pernah ada. Jadi para

pihak tidak terikat dengan perjanjian itu sehingga masing-masing pihak

tidak dapat menuntut pemenuhan perjanjian karena perjanjian sebagai

dasar hukum tidak ada sejak semula.

Syarat pertama untuk sahnya suatu perjanjian adalah sepakat atau

adanya persetujuan kehendak mengenai hal-hal yang pokok maupun hal-

hal lain yang mendukung perjanjian yang dibuat. Kesepakatan diperoleh

melalui suatu perundingan (negotiation) mengenai objek yang

diperjanjikan dan syarat-syaratnya. Penting juga bagi para pihak dalam


236

perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri

yang dinyatakan secara tegas atau diam. Kemauan yang bebas artinya

tidak ada tekanan dan paksaan dari pihak manapun tetapi berdasarkan

kemauan sukarela para pihak. Kesepakatan itu dianggap tidak ada

apabila terjadi karena adanya kekhilafan dan penipuan.

Saat terjadinya perjanjian antara para pihak terdapat beberapa

ajaran yaitu (Badrulzaman, 2011:98-99) :

1. Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi

pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan

menulis surat.

2. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan

terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang

menerima tawaran.

3. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak

yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya

diterima.

4. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa

kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap

layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian mensyaratkan

kecakapan orang yang membuat perjanjian. Pada umumnya orang

dianggap cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa

artinya sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum


237

berumur 21 tahun dan sehat jasmani dan rohani. Menurut Pasal 1330

KUH Perdata orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum ialah

orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan,

dan perempuan bersuami. Namun untuk golongan ke tiga ini telah di

hapus melalui SEMA No.3 Tahun 1963 yang sebenarnya bertentangan

dari aspek tata urutan peraturan perundang-undangan.

Syarat ketiga untuk sahnya suatu perjanjian mensyaratkan adanya

suatu hal atau objek tertentu yang nantinya akan melahirkan prestasi yang

wajib dipenuh oleh para pihak dalam perjanjian. Hal atau objek tertentu

yang diperjanjikan harus secara jelas diatur sehingga para pihak dapat

mengetahui dan melaksanakan hak dan kewajibannya.

Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian adalah adanya

sebab atau causa yang halal artinya suatu perjanjian harus berdasarkan

sebab yang halal atau yang diperbolehkan undang-undang. Suatu sebab

yang halal yang dimaksud di sini bukanlah sebab dalam arti yang

menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian, melainkan

sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan

yang hendak dicapai oleh para pihak. Ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata

menjelaskan bahwa undang-undang tidak mempedulikan apa yang

menjadi sebab orang mengadakan perjanjian, karena yang diperhatikan

atau diawasi oleh undang-undang itu ialah “isi perjanjian itu”, yang

menggambarkan tujuan yang hendak dicapai serta isinya tidak dilarang


238

oleh undang-undang, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan

ketertiban umum (Muhammad, 2000:232).

Dikaitkan dengan terjadinya, isi dan akibat dari perjanjian terdapat

beberapa asas hukum perjanjian yang penting yaitu :

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak adalah kebebasan untuk mengadakan

perjanjian tentang apa saja, selama tidak bertentangan dengan undang-

undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal

ini memberi kesempatan seluas-luasnya bagi siapa saja untuk membuat

perjanjian mengenai hal apapun, diatur secara apa saja, dan perjanjian

tersebut akan mengikat sebagaimana hal terikat pada Undang-Undang.

2. Asas Konsensualisme

Menurut asas ini lahirnya perjanjian atau terbentuknya perjanjian

ketika para pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok-pokok

perjanjian. Walaupun kadang Undang-Undang menetapkan bahwa

sahnya suatu perjanjian harus dilakukan secara tertulis (seperti perjanjian

perdamaian) atau harus dibuat dengan akta oleh pejabat berwenang

(seperti akta jual beli tanah), semua ini merupakan perkecualian.

Bentuk konsensualisme dari suatu perjanjian yang dibuat secara

tertulis, salah satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari


239

para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi

sebagai bentuk kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat, waktu,

dan isi perjanjian yang dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan

kesengajaan para pihak untuk membuat suatu perjanjian sebagai bukti

atas suatu peristiwa.

3. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

Asas ini berkaitan dengan kekuatan megikatnya perjanjian. Pasal

1338 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang

membuatnya. Perjanjian yang dibuat secara sah artinya telah memenuhi

syarat sahnya perjanjian, sehingga mempunyai kekuatan mengikat dan

berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.

Mengikat sebagai Undang-Undang mempunyai makna bahwa para pihak

yang membuat perjanjian wajib mentaati perjanjian sebagaimana mereka

mentaati Undang-Undang. Pihak ketiga termasuk hakim, wajib

menghormati perjanjian tersebut, juga tidak mencampuri isi perjanjian

yang telah ditetapkan oleh para pihak. Tidak mencampuri isi hukum

perjanjian artinya pihak ketiga tidak boleh menambah atau mengurangi isi

perjanjian dan tidak menghilangkan kewajiban-kewajiban kontraktual yang

timbul dari perjanjian tersebut.

Oleh karena para pihak wajib menaati isi perjanjian yang mereka

buat, akibatnya perjanjian tersebut tidak dapat ditarik kembali secara

sepihak, Jika akan ditarik kembali, harus dengan kesepakatan para pihak
240

atau dengan alas an Undang-Undang yang menyatakan cukup untuk itu.

Asas kepastian hukum akan dapat dipertahankan sepenuhnya, jika para

pihak dalam perjanjian, kedudukannya seimbang dan para pihak sama-

sama cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

4. Asas Kepribadian

Asas kepribadian adalah asas yang menentukan ketka seseorang

membuat perjanjian dengan orang lain, maka yang terikat dalam

perjanjian tersebut hanyalah para pihak yang membuatnya saja. Pihak

ketiga tidak akan terikat dalam perjanjian tersebut. Hal ini dapat dilihat dari

Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata

menentukan pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan

perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Hal ini dipertegas dengan Pasal

1340 ayat (1) KUH Perdata yang menegaskan bahwa suatu perjanjian

hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

Asas ini mempunyai pengecualian sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 1317 KUH Perdata yang menentukan : Dapat juga

perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian

yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu pemberian kepada orang lain

mengandung suatu syarat semacam itu. Dalam Pasal 1317 ini terdapat

janji terhadap pihak ketiga atau janji untuk kepentingan pihak ketiga.

Contohnya, dalam perjanjian asuransi jiwa, ada dua orang berjanji, akan

tetapi perjanjian itu disepakati untuk menimbulkan keuntungan bagi pihak

ketiga.
241

5. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik merupakan salah satu sendi penting dalam hukum

perjanjian. Artinya, dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian harus

tidak merugikan satu sama lain dan harus mengindahkan norma-norma

kepatutan dan kesusilaan. Apabila di kemudian hari ditemukan

pelaksanaan perjanjian yang merugikan salah satu pihak, misalnya salah

satu pihak wanprestasi, maka pihak yang melakukan tersebut telah

melanggar asas itikad baik (http://www.dheanbj.com/2012/09/asas-asas-

hukum-perjanjian.html).

Berakhirnya atau hapusnya suatu perjanjian sebagaimana diatur

dalam Pasal 1381 KUH Perdata dapat terjadi karena (Sutarno, 2003:85-

91) :

1. Pembayaran

Pembayaran atau pemenuhan prestasi merupakan kewajiban

debitor secara sukarela untuk memenuhi perjanjian yang telah diadakan.

Dengan adanya pembayaran oleh seorang debitor atau pihak yang

berhutang berarti debitor telah melakukan prestasi sesuai perjanjian. Yang

dapat melakukan pembayaran bukan hanya debitor saja tetapi orang lain

yang ada kaitannya dengan pelaksanaan perjanjian. Berdasarkan Pasal

1382 KUH Perdata yang dapat melakukan pembayaran atau pemenuhan

prestasi selain debitor yaitu :


242

a. orang-orang yang berkepentingan, misalnya orang yang turut terutang

atau seorang penjamin hutang (borg).

b. Orang yang tidak berkepentingan yang bertindak untuk dan atas nama

debitor.

2. Penawaran Pembayaran

Penawaran pembayaran yang dimaksudkan di sini adalah prestasi

debitor dengan melakukan pembayaran tunai yang diikuti dengan

penitipan (consignatie) di Pengadilan Negeri. Pembayaran oleh debitor

dilakukan sebelum jangka waktu berakhir dan sekiranya kreditor

menerima atau tidak keberatan tentu tidak jadi masalah. Namun

seandainya kreditor menolak tawaran debitor tersebut maka debitor dapat

melakukan pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan di Pengadilan

Negeri (Pasal 1404 KUH Perdata).

3. Pembaruan Hutang atau Novasi

Novasi atau pembaruan hutang adalah perjanjian baru yang

menghapuskan perjanjian lama atau adanya perjanjian baru yang

menggantikan perjanjian lama. Pasal 1413 KUH Perdata menetapkan tiga

macam cara terjadinya novasi yaitu :

a. Novasi subjektif aktif adalah suatu perjanjian yang bertujuan

mengganti kreditor lama dengan seorang kreditor baru. Misalnya Bank

A memberikan kredit atau pinjaman uang kepada seorang yang

bernama Ali. Bank A sebagai kreditor menjual piutangnya kepada


243

Bank B, maka di sini terjadi penggantian kreditor Bank A diganti

kreditor baru Bank B. Pergantian kreditor dapat secara sepihak

dilakukan tanpa sepengetahuan debitor.

b. Novasi subjektif pasif suatu perjanjian yang bertujuan mengganti

debitor lama dengan debitor baru dan membebaskan debitor lama dari

kewajibannya atau dapat disebut terjadi alih debitor. Peralihan debitor

di sini dapat terjadi baik karena inisiatif kreditor yang melakukan

perjanjian dengan debitor yang baru, maupun inisiatif debitor yang

mengadakan perjanjian dengan pihak lain untuk menggantikan

kedudukannya sebagai debitor.

c. Novasi objektif yaitu suatu perjanjian antara kreditor dengan debitor

untuk memperbarui atau mengubah objek atau isi perjanjian.

Pembaruan ini terjadi jika kewajiban prestasi tertentu dari debitor

diganti dengan prestasi lain. Misalkan kewajiban menyerahkan suatu

barang diganti dengan menyerahkan uang. Contoh lain A berutang

kepada B karena A membeli barang pada B belum membayar,

kemudian isi perjanjian diubah A utang kepada B dengan bunga

tertentu.

4. Perjumpaan Utang atau Kompensasi

Perjumpaan utang atau kompensasi adalah suatu cara untuk

mengakhiri perjanjian dengan cara memperjumpakan atau

memperhitungkan utang piutang antara kreditor dan debitor. Misalnya A

mempunyai piutang kepada B Rp 100, dan B mempunyai piutang kepada


244

A Rp 50, maka di sini terjadi perjumpaan utang sehingga utang B kepada

A tinggal Rp 50. Terjadinya perjumpaan utang seperti contoh tersebut

menurut Pasal 1424 KUH Perdata terjadi “demi hukum” artinya terjadi

secara otomatis tanpa sepengetahuan kreditor dan debitor tersebut.

Namun dalam penerapan di lapangan kompensasi yang terjadi demi

hukum jarang terjadi, melainkan harus didahului pembicaraan dan

kesepakatan kreditor dan debitor untuk terjadinya kompensasi itu.

Untuk dapat melakukan perjumpaan hutang atau kompensasi,

Pasal 1427 KUH Perdata memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi

yaitu :

a. Kedua hutang harus sama-sama mengenai uang atau barang yang

dapat dihabiskan dari jenis dan kualitas yang sama.

b. Kedua hutang seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan

seketika dapat ditagih.

5. Percampuran Utang

Percampuran utang terjadi apabila kedudukan kreditor dan debitor

bersatu pada satu orang, maka demi hukum atau otomatis suatu

percampuran utang terjadi dan perjanjian menjadi hapus atau berakhir.

Contoh terjadinya pernikahan antara kreditor dan debitor dan ada

persatuan harta perkawinan maka terjadi percampuran utang. Contoh lain

seorang kreditor meninggal dunia dan debitor menjadi satu-satunya ahli

waris.

6. Musnahnya Objek
245

Musnahnya objek atau barang tertentu dapat terjadi karena objek

atau barang tersebut hilang dan tidak diketahui lagi keberadaannya.

Dalam hal yang demikian maka perjanjian menjadi hapus atau berakhir

tetapi kehilangan bukan akibat dari kesalahan debitor. Dalam hal debitor

dibebaskan untuk memenuhi perjanjian yang disebabkan peristiwa

musnahnya atau hilangnya barang, namun jika debitor mempunyai hak-

hak berkaitan dengan barang yang musnah atau hilang, misalnya hak

asuransi atas barang tersebut maka debitor diwajibkan menyerahkan

kepada kreditor.

7. Pembebasan Utang

Pembebasan utang adalah perbuatan hukum yang dilakukan

kreditor dengan menyatakan secara tegas tidak menuntut lagi

pembayaran utang dari debitor. Ini berarti krditor melepaskan haknya dan

tidak menghendaki lagi pemenuhan perjanjian yang diadakan, debitor

dibebaskan dari prestasi yang sebenarnya harus dilakukan. Secara tegas

artinya kreditor memberitahukan secara lisan atau tertulis kepada debitor

bahwa kreditor membebaskan debitor untuk tidak membayar lagi

utangnya.

Berkaitan dengan pembebasan utang ini Pasal 1442 KUH Perdata

menentukan bahwa :

a. Pembebasan uutang yang diberikan kepada debitor utama akan

membebaskan pula para penanggungnya.


246

b. Pembebasan yang diberikan kepada penanggung utang tidak

membebaskan debitor utama.

c. Pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung

utang, tidak membebaskan penanggung utang lainnya.

8. Pembatalan Perjanjian

Pembatalan perjanjian terkait dengan pemenuhan syarat-syarat

sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Jika syarat

subjektif (sepakat dan cakap) tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat

dibatalkan. Bila salah satu pihak akan membatalkan perjanjian yang tidak

memenuhi syarat subjektif dapat dilakukan melalui dua cara :

a. Secara aktif mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan

Negeri.

b. Secara pasif artinya menunggu pihak lawan dalam perjanjian

mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri dan di muka Pengadilan

Negeri mengajukan jawaban atau gugatan balik (gugatan rekonvensi)

yang mengajukan kelemahan dan kekurangan dalam perjanjian agar

perjanjian dibatalkan.

Bila syarat objektif (objek tertentu dan sebab yang halal) tidak

dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya perjanjian itu sejak

semula dianggap tidak pernah ada jadi tidak ada perikatan hukum yang

dilahirkan. Oleh karena itu dalam kasus ini dapat dikatakan tidak ada

perjanjian yang dihapus.

9. Berlakunya Syarat Batal


247

Berakhirnya suatu perjanjian dengan berlakunya syarat batal terkait

dengan adanya perikatan bersyarat yaitu suatu perikatan yang lahirnya

atau berakhirnya digantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang.

Sebagai contoh A menyewakan rumah kepada B dengan syarat bahwa

perjanjian sewa menyewa tersebut berakhir jika A telah mengawinkan

anaknya karena rumah yang disewakan tersebut akan ditempati anaknya.

Terhadap penggunaan istilah syarat batal, penulis sependapat

dengan pemikiran Miru (2011:20), bahwa penggunaan istilah syarat

berakhir lebih tepat daripada istilah syarat batal. Istilah syarat batal pada

umumnya mengesankan adanya sesuatu secara melanggar hukum yang

mengakibatkan batalnya perikatan tersebut. Perjanjian tersebut

sebenarnya tidak batal tapi berakhir, dan berakhirnya perikatan tersebut

atas kesepakatan para pihak sedangkan kalau batal adalah kalau

perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak atau

batal demi hukum.

10. Daluarsa atau Lewatnya Waktu

Daluarsa atau lewatnya waktu sebagai keadaan yang

mengakibatkan berakhirnya suatu perjanjian misalnya seorang berutang

sejumlah uang kepada Bank namun selama lebih dari tiga puluh tahun

Bank tidak pernah menagih utangnya, maka orang yang berutang tersebut

dibebaskan dari kewajibannya untuk membayar utang. Dengan lewatnya

waktu tiga puluh tahun debitor tidak dapat dituntut di muka hakim untuk
248

memenuhi kewajibannya tetapi bila debitor sukarela akan melunasi

utangnya maka hal itu diperbolehkan.

b. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kredit Bank

Harus diakui dibandingkan dengan produk dan jasa perbankan

yang ditawarkan, pendapatan atau keuntungan suatu bank lebih banyak

bersumber dari pemberian kredit kepada nasabahnya. Oleh karenanya,

pemberian kredit tersebut secara terus menerus dilakukan oleh bank

dalam kesinambungan operasionalnya. Pada akhirnya pemberian kredit

sudah menjadi fungsi utama bank-bank, sebagaimana disyaratkan pada

Pasal 3 Undang-Undang Perbankan bahwa fungsi utama perbankan

Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat

(Naja, 2005:123).

Kredit sebagai kegiatan pengerahan dana masyarakat ,

merupakan kegiatan utama dari bank-bank umum di Indonesia

karena dua alasan (Syahdaeni, 1999:2) :

1. Bunga Kredit merupakan sumber-sumber pendapatan utama.

2. Dalam kegiatan penyaluran kredit sumber dana dari kredit itu

berasal terutama dari dana-dana yang dikerahkan oleh bank dari

masyarakat berupa simpanan. Kredit bank merupakan lembaga

yang peranannya sangat strategis bagi pembangunan

perekonomian dan bagi perkembangan usaha bank itu

sendiri serta sarat dengan berbagai pengaturan (rnemiliki aspek


249

yuridis).

Kredit yang berasal dari kata creditus, mempunyai arti kepercayaan

(Fuady, :1996:5). P e r k r e d i t a n m e m i l i k i u n s u r u t a m a kepercayaan

walaupun kredit itu sendiri bukan hanya sekadar kepercayaan,

makna kepercayaan di sini mengandung arti, yaitu: pihak yang

memberikan kredit (kreditor) percaya bahwa penerima kredit

(debitor) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah

diperjanjikan (Djumhana, 2000:217).

Ketentuan Pasal 1 angka (11) Undang-Undang Perbankan

merumuskan pengertian kredit sebagai berikut :

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan


dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang menjanjikan pihak
peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga.”

Pengertian yang tidak jauh berbeda tentang pengertian kredit

dikemukakan oleh Coyle (2000:1) :

“Credit is a concept that most businessmen understand, although it


is difficult to define. Credit is both given (by the creditor) and taken
(by the debitor). It represents an amount of money that will be paid
at some future date, in return for benefits received earlier, such as
goods purchased or loans obtained. The purpose of this book is to
explain the nature of credit risk an how the risk could be managed.”

Dari beberapa rumusan tentang pengertian kredit, maka dapat

dikemukakan unsur-unsur kredit yaitu :

a. Kepercayaan

Hal ini diartikan bahwa pemberi kredit yakin bahwa prestasi (uang,
250

jasa, barang) yang diberikannya akan benar-benara diterima kembali

dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.

b. Tenggang waktu

Tenggang waktu diartikan sebagai waktu yang memisahkan antara

pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada

masa yang akan datang. Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian

nilai agio dari uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya

dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang.

c. Degree of risk

Degree of risk merupakan resiko yang akan dihadapi sebagai akibat

dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian

prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari.

Semakin panjang jangka waktu kredit yang diberikan, maka semakin

tinggi pula resikonya sehingga terdapat unsur ketidaktantuan yang

tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur

resiko, karena adanya unsur resiko ini maka dibutuhkan jaminan dalam

pemberian kredit.

d. Prestasi atau objek kredit

Prestasi atau objek kredit ini tidak hanya diberikan dalam bentuk uang,

tetapi juga bebentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan

ekonomi modern sekarang ini didasarkan pada uang, maka transaksi

kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktik

perkreditan (Untung, 2000:3).


251

Berdasarkan beberapa pengertian kredit yang dikemukakan di atas,

maka perjanjian kredit walaupun tidak secara khusus diatur dalam KUH

Perdata namun dalam pelaksanaannya terikat oleh ketentuan umum

perjanjian dalam Bab I dan Bab II Buku III KUH Perdata sebagaimana

telah disinggung dalam pembahasan butir a tentang perjanjian tersebut di

atas.

Perjanjian kredit oleh beberapa ahli hukum berpendapat punya

kemiripan dengan perjanjian pinjam meminjam yang terdapat dalam Bab

XIII Pasal 1754 KUH Perdata. Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian

dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu

jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan

syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang

sama dari jenis dan mutu yang sama pula.

Menurut Marhaenis Abdul Hay sebagaimana dikutip oleh

Syahdaeni (1995:155), perjanjian kredit mendekati pada pengertian

perjanjian pinjam mengganti yang diatur dalam KUH Perdata.

Pendapat ini lebih ditegaskan lagi dalam bukunya Hukum Perbankan

di Indonesia. Menurutnya bahwa perjanjian kredit identik dengan perjanjian

pinjam mengganti dalam Bab XIII KUH Perdata.

Pendapat tersebut ditentang oleh Badrulzaman (1992:30-35) tetapi

sebelum mengemukakan pendapatnya Mariam Darus Badrulzaman

mengemukakan pendapat para pakar lain mengenai hal ini, yaitu :

1. Pendapat Winedsheid
252

Menurutnya perjanjian kredit adalah perjanjian dengan syarat tangguh

(condition prestart), yang pemenuhannya bergantung pada peminjam

yakni kalau penerima kredit menerima dan mengambil pinjaman itu,

hal itu seperti yang diatur dalam pasal 1253 KUH Perdata.

2. Goudekte

Perjanjiian kredit yang di dalamnya terdapat perjanjian pinjam uang

adalah perjanjian yang bersifal konsensual (pactum decontranendo)

dan obligatoir. Perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat sesuai

dengan Pasal 1338 KUH Perdata. Pendapat ini mempunyai kesamaan

dengan Isnaeni (1995:9) bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian

yang dibuat secara khusus baik oleh bank selaku kreditor maupun

nasabah (debitor) yang merupakan perjanjian obligatoir.

3. Loseccat Vermeer

Loseccat Vermeer mengatakan bahwa pertama-tama pihak membuka

perjanjian di mana pihak yang meminjamkan kewajiban untuk

menyerahkan uang dan pihak peminjam berkewajiban untuk menerima

uang. Pada saat itu diserahkan maka perjanjian itu “beralih” dan

perjanjian untuk meminjamkan uang menjadi perjanjian uang.

4. Asser Kleyn

Menurut Asser Kleyn, perjanjiian pinjam uang selalu didahului oleh

perjanjian pendahuluan (voorovereenkomst), misalnya perjanjian

kredit. Perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari perjanjian

pinjam uang.
253

Dari beberapa pendapat para pakar tersebut, selanjutnya Mariam

Darus Badrulzaman mengelompokkan menjadi dua kelompok :

1. Ajaran yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian

pinjam uang itu merupakan “satu” perjanjian, sifatnya konsensual.

2. Ajaran yang mengemukakan bahwa perjanjian kredit dan perjanjian

pinjam uang merupakan “dua” buah perjanjian yang masing-masing

bersifat konsensual dan riil.

Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan

pemikirannya, yaitu bahwa perjanjian kredit bank adalah perjanjian

pendahuluan (voorovereenkomst) dari perjanjian penyerahan uang.

Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara

pemberi dan penerima kredit.

Fuady (1996:40) mengemukakan bahwa sifat perjanjian kredit

bukanlah perjanjian pinjam pakai habis yang tunduk pada Pasal 1754

KUH Perdata melainkan merupakan kelompok perjanjian umum (tidak

bernama) yang tunduk pada ketentuan-ketentuan umum tentang

perjanjian ditambah dengan ketentuan dalam pasal-pasal kontrak dan

kebiasaan dalam praktik yurisprudensi.

Herlina mengemukakan bahwa perjanjian kredit merupakan

perjanjian konsensual, sedangkan pengakuan utang merupakan perjanjian

riil. Herlina membedakan perjanjian kredit dengan perjanjian pengakuan

utang, perjanjian pengakuan utang merupakan perjanjian riil karena

didalamnya dicantumkan klausul: “pihak pertama menyerahkan uang


254

sebesar Rp..... dan pihak kedua menerimanya.” Dalam hal ini jelas

bahwa uang telah diserahkan pada waktu akan ditandatangani

(Imaniyati, 2010:146-147).

Menurut Imaniyati (2010:147) sependapat dengan yang

dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman dan Herlina bahwa

perjanjian kredit bank merupakan perjanjian pendahuluan dari perjanjian

peminjaman uang yang mernpunyai sifat konsensual. Sifat perjanjian

konsensual ini menimbulkan konsekuensi hubungan hukum antara bank

dengan nasabah debitor dan apabila terjadi sengketa antarbank dengan

nasabah, dapat dijadikan dasar lembaga hukum apa yang akan dipakai

sebagai dasar untuk menyelesaikannya.

Dengan sifat hukum perjanjian kredit bank seperti telah diuraikan

di atas, maka akan menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan

bentuk hubungan hukum yang lahir dari perjanjian pinjam mengganti atau

perjanjian lainnya. Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan oleh

Mariam Darus Badrulzaman yang melihat terlebih dahulu sifat hukum

perjanjian kredit bank sebelum mengemukakan bentuk hubungan hukum

antara bank dengan nasabah debitor sehingga dari sanalah akan dapat

ditemukan upaya hukum dalam menghadapi sengketa antara bank

dengan nasabah debitor.

Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 4434/K/Pdt/1986

Agustus 1988 telah bersikap apriori atau take if for granted bahwa

hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitor adalah hubungan


255

hukum verbruiklening yang diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata.

Remy Syahdaeni tidak sependapat dengan pendapat

Mahkamah Agung di atas dan juga tidak sependapat dengan Marhaenis

Abdul Hay bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian khusus (lex

specialis) dari perjanjian pinjam mengganti atau perjanjian pinjam

meminjam yang diatur Pasal 1754, karena menurutnya perjanjian

pinjam meminjam adalah perjanjian riil. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal

1754 tersebut :

“pinjam meminjam ialah perjanjian yang menentukan bahwa pihak


pertama menyediakan sejumlah barang yang menghabis karena
p e ma ka ian ke pa da p ih a k ke du a den ga n sya ra t b a h wa
p ih a k ke d ua akan mengembalikan kepada pihak pertama
barang yang sejenis dan jumlah dalam keadaan yang
sama pula.”

Dengan melihat isi pasal tersebut, maka tampaklah bahwa

perjanjian pinjam-meminjam merupakan perjanjian rill karena ada

syarat penyerahan sejumlah barang. Selanjutnya Remy

membedakan perjanjian kredit bank dengan perjanjian peminjaman

uang seperti dibawah ini (Imaniyati, 2010:148) :

Perjanjian Kredit Bank Perjanjian Peminjaman Uang

- Bersifat Konsensual - Bersifat riil

- Penggunaan pinjaman sesuai tujuan - Penggunaan pinjaman bebas

- Cara pengambilan pinjaman tertentu - Penyerahan pinjaman/uang secara


(cek, perintah pembayaran dan sekaligus
Pemindahbukuan)

Menurut Munir Fuady sebagaimana dikutip Imaniyati (2010:141-


256

142), dasar-dasar hukum perjanjian kredit bank adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian di antara para pihak;

2. Undang-undang tentang perbankan;

3. Peraturan Pelaksanaan dari undang-undang;

4. Yurisprudensi;

5. Kebiasaan perbankan;

6. Peraturan perundang-undangan terkait lainnya.

1. Perjanjian di antara para pihak

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-

undang bagi yang membuatnya. Berdasarkan ketentuan pasal

itu berlaku sah setiap perjanjian yang dibuat secara sah

bahkan kekuatannya sama dengan kekuatan undang-undang.

Demikian pula dalam bidang perkreditan, khususnya kredit

bank yang diawali oleh satu perjanjian yang sering disebut

dengan perjanjian kredit dan umumnya dilakukan dalam bentuk

tertuIis dan sering juga disebut sebagai suatu kontrak. Dari aspek

hukum kontrak, suatu kontrak yang dibuat akan menentukan

keberlakuan dari janji-janji para pihak dan menetapkan badan hukum

untuk pembentukan, interpretasi dan pelaksanaan kontrak serta untuk

satu solusi dalam hal kegagalan satu pihak untuk melakukan janji-janji

(Rohwer, C.D. dan A. M. Skrocki, 2006:2). Pada intinya suatu kontrak

merupakan perjanjian hukum yang diakui sebagai menimbulkan


257

kewajiban-kewajiban (Treitel, G, 2003:1).

2. Undang-undang sebagai dasar hukum

Di Indonesia undang-undang yang khusus mengatur tentang

perbankan terdapat dalam Undang-Undang Perbankan No. 10

Tahun 1998.

3. Peraturan pelaksanaan sebagai dasar hukum

Peraturan perundang-undangan seperti ini cukup banyak. Hal

ini diakibatkan oleh karena suatu karaktar yuridis dari bisnis

perbankan yakni bidang bisnis yang sarat dengan

pengaturan dan petunjuk pelaksanaan (heavy regulated

bussiness).

Di antara peraturan perundangan yang levelnya di bawah

undang-undang yang mengatur juga tentang perkreditan dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Peraturan Pemerintah;

b. Peraturan perundang-undangan oleh Menteri Keuangan;

c. Peraturan Perundang-undangan oleh Bank Indonesia;

d. Peraturan perundang-undangan lainnya.

4. Yurisprudensi sebagai dasar hukum

Di samping peraturan perundang-undangan yang telah

disepakati sebagai dasar hukum untuk untuk kegiatan

perkreditan yurisprudensi dapat juga menjadi dasar hukum.

5. Kebiasaan perbankan sebagai dasar hukum


258

Dalam Ilmu Hukum diajarkan bahwa kebiasaan dapat juga menjadi

suatu sumber hukum. Demikian juga dalam bidang perkreditan,

kebiasaan dan dan praktik perbankan dapat juga menjadi suatu dasar

hukumnya. Memang banyak hal yang telah lasim dilaksanakan dalam

praktik tetapi belum mendapat pengaturan dalam peraturan

perundang-undangan. Hal seperti ini tentu sah-sah saja untuk

dilakukan oleh perbankan, asal saja tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Undang-

Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, bank bahkan dapat

melakukan kegiatan lain dari yang telah diperincikan oleh Pasal 6, jika

hal tersebut merupakan kelasiman dalam dunia perbankan (vide

Pasal 6 huruf n).

6. Peraturan terkait lainnya sebagai dasar hukum

Dalam pemberian kredit bank seringkali terkait dengan beberapa

peraturan perundang-undangan, sebagai contoh karena kredit

pada hakikatnya merupakan suatu wujud perjanjian, maka akan

terkait buku ketiga KUH Perdata tentang Perikatan. Demikian

halnya dengan ketentuan mengenai hipotek atau hak

tanggungan yang diatur dalam UU Pokok Agraria UU No 5 tahun

1960, HIR tentang eksekusi hipotek, KUH Acara Perdata dan lain-

lain. UU No 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Berdasarkan Pasal 1 butir (11) UU Perbankan, yang dimaksud

persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam adalah bentuk perjanjian


259

kredit, sehingga nama perjanjian tersebut adalah perjanjian kredit.

Meskipun pada umumnya perjanjian tidak perlu dibuat secara tertulis

dengan memperhatikan Pasal 1320 KUH Perdata, maka kesepakatan

pada perjanjian kredit perbankan harus dibuat dalam sebuah perjanjian

tertulis. Ketentuan ini terdapat pada penjelasan Pasal 8 UU Perbankan

yang mewajibkan kepada bank pemberi kredit untuk membuat perjanjian

secara tertulis.

Dalam praktik perbankan, perjanjian yang dibuat secara tertulis

dibedakan lagi menjadi dua bentuk perjanjian (Harun, 2010:24) yaitu :

Akta di bawah tangan dan Akta autentik. Akta di bawah tangan artinya

bahwa akta atau perjanjian tersebut dibuat tanpa peran pejabat yang

berwenang dalam pembuatan akta. Biasanya telah berbentuk draf yang

lebih dahulu disiapkan sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada

calon nasabah debitor untuk disepakati. Perjanjian yang telah dibakukan

memuat segala macam persyaratan-persyaratan dan ketentuan-

ketentuan, biasanya berbentuk formulir yang tidak pernah

diperbincangkan atau dinegosiasikan terlebih dahulu kepada calon

nasabah.

Bila calon nasabah debitor tidak berkenan terhadap klausul yang

terdapat di dalamnya, maka tidak terdapat kesempatan untuk melakukan

protes atas klausul tersebut, sehingga mau tidak mau calon nasabah

debitor yang hendak mengajukan kredit dalam kedudukan yang lemah

harus menyetujui segala syarat dan ketentuan yang diajukan bank


260

sebagai kreditor.

Keabsahan perjanjian baku terletak pada persetujuan kedua belah

pihak guna menunjang dan menjamin keberlangsungan usaha. Meskipun

pada umumnya di dalam perjanjian baku terdapat syarat-syarat yang tidak

setara antara pihak yang telah mempersiapkan (bank) dengan pihak yang

disodorkan (nasabah debitor), biasanya nasabah debitor menerimanya

dengan segala konsekuensi yang dapat timbul di kemudian hari. Dengan

sendirinya pihak yang telah mempersiapkan akan menuangkan sejumlah

klausul yang menguntungkan dirinya dan membebani pihak lain dengan

kewajiban-kewajiban yang tidak setara (Usman, 2001:265).

Fenomena adanya ketidakseimbangan dalam berkontrak

sebagaimana tersebut di atas dapat dicermati dari beberapa model

kontrak, terutama kontrak-kontrak konsumen dalam bentuk standar/baku

yang didalamnya memuat klausul-klausul yang isinya (cenderung) berat

sebelah. Dalam praktik pemberian kredit di lingkungan perbankan,

misalnya terdapat klausul mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap

segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang

akan di atur kemudian, atau klausul yang membebaskan bank dari

kerugian nasabah sebagai akibat tindakan bank (Syahdaeni, 1993:239).

Akta autentik adalah surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan

ditanda tangani, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar

suatu hak untuk dijadikan sebagai alat bukti (Harun, 2010:38). Menurut

Naja (2005:184) yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit notaril


261

(otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada

nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris. Berdasarkan

Pasal 1868 KUH Perdata akta autentik berupa akta yang ditentukan oleh

undang-undang, dibuat oleh dan/atau di hadapan pegawai-pegawai umum

yang berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta dibuat.

Adapun komposisi atau bagian-bagian yang tertera dalam suatu

perjanjian kredit pada umumnya terdiri dari :

1. Judul perjanjian

Dalam praktik belum terdapat keseragaman dalam menentukan judul

perjanjian. Ada yang menyebutnya sebagai Perjanjian Kredit,

Perjanjian Kredit dengan jaminan, Perjanjian Membuka Kredit,

Perjanjian Pinjaman, Perjanjian Pinjaman Uang.

Judul dalam suatu akta perjanjian kredit berguna agar setiap orang

yang berkepentingan melihat akan dengan mudah mengetahui bahwa

akta yang dilihat itu suatu akta perjanjian kredit.

2. Komparisi

Bagian ini berisikan keterangan tentang orang/pihak yang bertindak

mengadakan perbuatan hukum atau pihak yang membuat akta di

hadapan notaris meliputi :

a. Uraian terperinci tentang identitas, yang meliputi nama, pekerjaan

dan domisili para pihak;

b. Dasar hukum yang memberi kewenangan yuridis untuk bertindak

dari para pihak; dan


262

c. Kedudukan para pihak

3. Isi Perjanjian

Pada bagian ini merupakan pokok/inti dari suatu akta perjanjian kredit

yang memuat hal-hal yang diperjanjikan para pihak (Rahman,

1995:149) yaitu :

a. Jumlah hutang;

b. Besarnya bunga;

c. Waktu pelunasan;

d. Cara pembayaran;

e. Klausula opeisbaarheid;

f. Barang jaminan.

4. Penutup

Pada bagian akhir atau penutup berisikan tentang beberapa hal

terkait dengan pilihan hukum yang berlaku termasuk domisili hukum

para pihak, tempat dan tanggal perjanjian ditanda tangani, dan

tanggal mulai berlakunya perjanjian.

Berdasarkan prototipe suatu peranjian kredit yang berisikan

minimal enam hal sebagaimana disebutkan pada angka 3 di atas, maka isi

dari suatu perjanjian kredit akan memuat ketentuan-ketentuan yang

mengatur hal-hal sebagai berikut :

1. Jumlah maksimum pagu kredit (plafond) yang diberikan oleh bank

kepada debitornya. Dalam praktik bank dapat juga memberikan

kesempatan kepada debitornya untuk menarik dana melebihi plafond


263

kreditnya (overdraft)

2. Cara/media penarikan kredit yang diberikan tersebut, yang mana

penarikan dana tersebut dilakukan di kantor bank yang bersangkutan

dan pembayaran yang dilakukan pada hari dan jam kantor dibuka.

Penarikan dan pembayaran mana akan dicatat pada pembukuan bank

dan rekening debitor.

3. Jangka waktu dan cara pembayaran sampai jatuh tempo ada dua cara

pembayaran yang lasim digunakan, yaitu diangsur atau secara

sekaligus lunas. Debitor berhak sewaktu-waktu untuk mengakhiri

perjanjian tersebut sebelum jangka waktunya berakhir, asal membayar

seluruh jumlah yang terhutang, termasuk bunga, denda dan biaya-

biaya lainnya.

4. Mutasi keuangan debitor dan pembukuan oleh bank. Dari mutasi

keuangan dan pembukuan bank ini, dapatlah diketahui berapa besar

jumlah yang terhutang oleh debitor. Untuk itu, mutasi keuangan dan

pembukuan bank tersebut yang dalam bentuk rekening Koran

diberikan salinannya setiap bulan oleh bank kepada debitor yang

bersangkutan.

5. Pembayaran bunga, administrasi, provisi, dan denda (jika ada).

Kecuali pembayaran bunga, maka pembayaran biaya administrasi dan

provisi harus dibayar di muka oleh debitor. Sedangkan denda harus di

bayar oleh debitor jika terdapat tunggakan angsuran ataupun bunga.

6. Klausula opeisbaarheid, yaitu klausula yang memuat hal-hal mengenai


264

hilangnya kewenangan bertindak atau kehilangan haknya debitor untuk

mengurus harta kekayaannya, barang jaminan, serta kelalaian debitor

untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit atau

pengakuan hutang sehingga debitor harus membayar secara seketika

dan sekaligus lunas. Klausula tersebut dapat saja diberlakukan

dikarenakan :

a. Debitor tidak membayar kewajiban sebagaimana mestinya;

b. Debitor/pemilik jaminan pailit;

c. Debitor/pemilik jaminan meninggal dunia;

d. Harta kekayaan debitor/pemilik jaminan dilakukan sitaan;

e. Surcance van betaling;

f. Debitor/pemilik jaminan ditaruh di bawah pengampuan (onder

curatele gesteld)

7. Jaminan yang diserahkan oleh debitor beserta kuasa-kuasa yang

menyertainya dan persyaratan penilaian jaminan, pembayaran pajak,

dan asuransi atas barang jaminan tersebut.

8. Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh debitor dan termasuk hak

untuk pengawasan/pembinaan kredit oleh bank.

9. Biaya akta dan biaya penagihan hutang, yang juga harus dibayar

debitor (Naja, 2005:190-191).

Menurut Ch. Gatot Wardoyo ada beberapa klausul yang selalu dan

perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit yaitu :


265

1. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (Predisbursement Clause).

Klausul ini menyangkut :

a. Pembayaran provisi, premi asuransi kredit, serta asuransi dan

biaya pengikatan jaminan secara tunai.

b. Penyerahan barang jaminan dan dokumennya serta pelaksanaan

pengikatan barang jaminan tersebut.

c. Pelaksanaan penutupan asuransi barang jaminan dan asuransi

kredit dengan tujuan untuk memperkecil risiko yang terjadi di luar

kesalahan debitor maupun kreditor.

2. Klausul mengenai maksimum kredit (Amount Clause). Klausul ini

mempunyai arti penting dalam beberapa hal, yaitu :

a. Merupakan objek dari perjanjian kredit sehingga perubahan

kesepakatan mengenai materi ini menimbulkan konsekuensi

diperlukannya pembuatan perjanjian kredit baru (sesuai dengan

Pasal 1381 butir 3 dan 1413 KUH Perdata novasi objektif).

b. Merupakan batas kewajiban pihak kreditor yang berupa penyediaan

dana selama tenggang waktu perjanjian kredit, yang berarti pula

batas hak debitor untuk melakukan penarkan pinjaman.

c. Merupakan penetapan besarnya nilai agunan yang harus

diserahkan, dasar perhitungan penetapan besarnya provisi, atau

commitment fee.

d. Merupakan batas dikenakannya denda kelebihan tarik (overdraft).

3. Klausul mengenai jangka waktu kredit. Klausul ini penting dalam


266

beberapa hal yaitu :

a. Merupakan batas waktu bagi bank, kapan keharusan menyiapkan

dana sebesar maksimum kredit berakhir dan sesudah dilewatinya

jangka waktu ini sehingga menimbulkan hak tagih pengembalian

kredit dari nasabah.

b. Merupakan batas waktu kapan bank melakukan teguran-teguran

kepada debitor jika tidak memenuhi kewajiban tepat pada

waktunya.

c. Merupakan suatu masa yang tepat bagi bank untuk melakukan

review atau analisis kembali apakah kredit tersebut perlu

diperpanjang atau perlu segera ditagih kembali.

4. Klausul mengenai bunga pinjaman (Interest Clause). Klausul ini diatur

secara tegas dalam perjanjian kredit dengan maksud untuk :

a. Memberikan kepastian mengenai hak bank untuk memungut bunga

pinjaman dengan jumlah yang sudah disepakati bersama karena

bunga merupakan penghasilan bank yang baik secara langsung

maupun tidak langsung akan diperhitungkan dengan biaya dana

untuk menyediakan fasilitas kredit tersebut.

b. Pengesahan pemungutan bunga di atas 6% (enam persen) per

tahun. Dengan berdasar pada pedoman ketentuan Pasal 1765 dan

Pasal 1767 KUH Perdata yang memungkinkan pemungutan bunga

pinjaman di atas 6% (enam persen) per tahun asalkan diperjanjikan

secara tertulis.
267

5. Klausul mengenai barang agunan kredit. Klausul ini bertujuan agar

pihak debitor tidak melakukan penarikan atau penggantian barang

jaminan secara sepihak, tetapi harus ada kesepakatan dengan pihak

bank.

6. Klausul asuransi (Insurance Clause). Klausul ini bertujuan untuk

penagihan risiko yang mungkin terjadi, baik atas barang agunan

maupun atas kreditnya sendiri. Adapun materinya perlu memuat

mengenai maskapai asuransi yang ditunjuk, premi asuransinya,

keharusan polis asuransi untuk disimpan di bank dan sebagainya.

7. Klausul mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause).

Klausul ini terdiri atas beberapa macam hal yang mempunyai akibat

yuridis dan ekonomi bagi pengamanan kepentingan bank sebagai

tujuan utama. Adapun contoh tindakan yang tidak diperkenankan

dilakukan debitor di antaranya adalah :

a. Larangan meminta kredit kepada pihak lain tanpa seizin bank.

b. Larangan mengubah bentuk hukum perusahaan debitor tanpa

seizin bank.

c. Larangan membubarkan perusahaan tanpa seizin bank.

8. Trigger Clause atau Opeisbaar Clause. Klausul ini mengatur hak bank

untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka

waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir.

9. Klausul mengenai denda (Penalty Clause). Klausul ini dimaksudkan

untuk mempertegas hak-hak bank untuk melakukan pungutan baik


268

mengenai besarnya maupun kondisinya.

10. Expence Clause. Klausul ini mengatur mengenai beban biaya dan

ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit, yang biasanya

dibebankan kepada debitor dan meliputi, antara lain biaya pengikatan

jaminan, pembuatan akta-akta perjanjian kredit, pengakuan hutang,

dan penagihan kredit.

11. Debet Authorization Clause. Pendebetan rekening pinjaman debitor

haruslah dengan izin debitor.

12. Representation and Warranties. Klausul ini sering juga disebut dengan

istilah material adverse change clause. Maksudnya ialah bahwa pihak

debitor yang menjanjikan serta menjamin semua data dan informasi

yang diberikan kepada bank adalah benar.

13. Klausul ketaatan pada ketentuan bank. Klausul ini dimaksudkan untuk

menjaga kemungkinan jika terdapat hal-hal yang tidak diperjanjikan

secara khusus, tetapi dipandang perlu, maka sudah dianggap telah

diperjanjikan secara umum. Misalnya, mengenai masalah tempat dan

waktu melakukan pencairan dan penyetoran kredit, penggunaan

formulir, format surat, konfirmasi, atau pemberitahuan saldo rekening

bulanan.

14. Miscellaneous atau Boiler Plate Provision. Pasal-pasal tambahan

15. Dispute Settlement (Alternatif Dispute Resolution). Klausul mengenai

penyelesaian perselisihan antara kreditor dan debitor (jika terjadi).

16. Pasal Penutup, memuat eksemplar perjanjian kredit yang maksudnya


269

mengadakan pengaturan mengenai jumlah alat bukti dan tanggal mulai

berlakunya serta tanggal penandatanganan perjanjian kredit (Naja,

2005:193-196).

Adanya klausul yang mengatur tentang jaminan dalam suatu

perjanjian kredit yang dalam praktiknya diikuti dengan perjanjian

pengikatan jaminan menunjukkan pentingnya kedudukan jaminan dalam

suatu perjanjian kredit. Jaminan mutlak diperlukan demi keamanan

pemberian kredit tersebut dalam arti piutang dari pihak yang

meminjamkan terjamin dengan adanya jaminan (Patrik dan Kushadi,

1985:2).

Berkaitan dengan kredit yang disalurkan oleh bank, maka lembaga

jaminan mempunyai arti yang lebih penting lagi dikarenakan kredit yang

diberikan oleh bank mengandung risiko. Oleh karena itu UU Perbankan

memberikan pengaturan bagi bank dalam hal penyaluran kredit, baik

dalam penegasan prinsip perkreditan, batasan pemberian kredit sampai

kepada sanksi bagi para pelaku pelanggaran ketentuan perkreditan.

Mengenai pengertian jaminan, KUH Perdata maupun

undang-undang lainnya tidak memberikan batasan, namun

demikian pengaturan tentang jaminan banyak tersebar dalam

KUH perdata dan undang-undang lainnya, khususnya UU

Perbankan No. 14 Tahun 1967, UU Perbankan No. 7 tahun 1992

yang diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 4 Tahun

1996 tentang Hak Tanggungan.


270

Menurut Sutan Remy Syahdaeni terhadap pengertian

jaminan dan agunan terdapat dalam UU Nomor 14 tahun 1967 dan

U No. 7 Tahun 1992. UU No. 14 tahun 1967 mengenal istilah

jaminan tetapi t ida k menen al ist ilah a gunan . Menu ru tn ya

sebe lum be rlakun ya UU Perbankan tahun 1992, istilah agunan

hanya dikenal sebagai istilah teknis perbankan, bukan merupakan

istilah hukum. Istilah hukum hanya mengenal “jaminan” (Imaniyati,

2010:152).

Da lam UU Pe rba nkan t ahun 199 2 d iken al ist ilah hukum,

ya itu “jaminan” dan istilah teknis, yaitu “agunan”. Dalam UU ini

jaminan diberi arti yang berbeda dengan pengertian jaminan

menurut UU No. 14 Tahun 1967. UU No. 14 Tahun 1967

memberikan arti jaminan sebagai “agunan”, sedangkan UU No. 7

Tahun 1992 memberikan arti jaminan sebagai keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya

sesuai dengan yang diperjanjikan.

Dengan melihat arti jaminan di atas, maka pengertian

jaminan menurut UU No. 7 Tahun 1992 berbeda dengan apa yang

dimaksud dan dikehendaki Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu:

“Segala kekayaan debitor baik yang bergerak maupun yang tidak

bergerak, baik yang sudah ada, maupun yang baru akan ada

di kemudian hari, menjadi tanggungan bagi segala perikatannya.”

Ketentuan tersebut di atas merupakan salah satu asas dalam


271

hukum Perdata bahwa harta kekayaan debitor merupakan jaminan

atas segala perikatannya. Dengan adanya asas tersebut di atas,

maka tidak ada kredit yang tidak terjamin (Syahdaeni, 1995:10).

Harta kekayaan debitor sekaligus menjadi jaminan bagi

perikatannya dengan kreditor-kreditor lain secara konkuren. Hanya,

menurut Sutan Remy Syandaeni, jika UU Perbankan mengatur

mengenai agunan kredit, yang menjadi tujuannya adalah dimaksudkan

bahwa agunan memberikan hak preferen kepada debitor (Imaniyati,

2010:152-153)

Lahirnya UU No. 7 Tahun 1992 memberikan arah baru bagi

dunia perbankan nasional. Hal ini jika melihat dari sisi jaminan

kredit bank. jika dalam UU No. 14 Tahun 1967 terlihat bahwa

perbankan Indonesia sangat “collateral oriented"' karena secara

eksplisit ditegaskan dalam Pasal 24 bank umum tidak

memberikan kredit tanpa “jaminan”. Dalam UU No. 7 Tahun 1992

ketentuan tersebut tidak ditemukan. Namun demikian seperti

terlihat dalam penjelasan Pasal 8 UU tersebut, yaitu: Dalam

pemberian kredit, bank umum wajib mempunyai keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan debitor untuk melunasi utangnya

sesuai dengan uang yang diperjanjikan. Hal ini dikarenakan

dalam pemberian kredit terkait suatu degree of risk, maka bank

akan berupaya melakukan lan gkah-langkah pengamanan kredit

yang bersifat technical, artinya dilakukan dengan teknik dan cara-


272

cara yang intensif (Sinungan, 1992:263).

Adapun syarat jaminan menurut Rahman (1995:176) :

1. Secured

Artinya jaminan kredit tersebut dapat diadakan pengikatannya

secara Yuridis formal, sesuai dengan hukum dan perundang-undangan

yang berlaku, sehingga apabila dikemudian hari terjadi wanprestasi dari

debitor, maka bank telah mempunyai alat bukti yang sempurna dan

lengkap untuk menjalankan suatu tindakan hukum.

2. Marketable

Artinya apabila diperlukan, misalnya untuk kebutuhan pelunasan kredit

dapat dengan mudah diuangkan.

Adapun jenis jaminan yang umumnya diterima bank berupa

(Syahdaeni :1995:2) :

1. Personal Guarantee dari pihak ketiga

Dalam hal kredit diberikan kepada perusahaan yang dibentuk

perseroan terbatas (PT), personal guarantee biasanya diminta

dari pengurus perusahaan atau dari pemegang saham

2. Corporate Guarantee dari perusahaan lain

Corporate Guarantee dapat diberikan oleh suatu perusahaan induknya

atau perusahaan lain di dalam grupnya. Dapat pula diberikan oleh

perusahaan lain.

3. Jaminan Bank (Bank Guarantee) atau Standby L/C


273

4. Barang-barang tetap berupa proyek yang dibiayai atau barang-

barang tetap lainnya yang bukan menjadi objek pembiayaan,

yang diikat dengan hipotek atau creditverband.

5. Barang-barang bergerak berupa objek yang dibiayai yang bukan

menjadi objek pembiayaan, yang diikat secara gadai atau f.e.o.

termasuk di dalam hal ini adalah piutang dagang, tagihan kontraktor

kepada boowheerdan tagihan piutang lainnya yang biasanya dilakukan

dengan perjanjian cessie, juga termasuk di dalam hal ini adalah

saham-saham perusahaan (yang telah go public) yang biasanya diikat

secara gadai.

6. Asuransi Kredit, misalnya asuransi kredit yang ditutup oleh PT Asuransi

Kredit Indonesia (PT Askrindo).

7. Asuransi atau transaksi yang dibiayai oleh bank, misalnya Asuransi

Ekspor ditutup oleh Asuransi Ekspor Indonesia (PT ASEI).

Dalam suatu keadaan tertentu perjanjian kredit yang telah dibuat

dapat dilakukan perubahan atau yang diistilahkan dengan amandemen

atau addendum kredit. Amandemen atau addendum kredit merupakan

perubahan yang dilakukan terhadap suatu perjanjian yang sudah

ditandatangani dan berlaku mengikat para pihak yang membuat

perjanjian. Istilah addendum lebih lasim digunakan untuk merubah isi

perjanjian apapun termasuk juga perjanjian kredit. Sedangkan istilah

amandemen lebih lasim digunakan dalam rangka perubahan suatu

ketentuan perundang-undangan di lembaga legislatif.


274

Perubahan isi perjanjian kredit dapat disebabkan oleh beberapa

hal, misalnya debitor dalam menjalankan usahanya ternyata tidak sesuai

dengan kondisi bisnis sehingga memerlukan perubahan syarat-syarat

perjanjian kredit, atau debitor belum mampu melunasi utang pokoknya

sehingga perlu dilakukan restrukturisasi yang menyeluruh terhadap syarat

dan ketentuan perjanjian kredit. Perubahan-perubahan tersebut tentunya

atas prakarsa atau persetujuan dari pihak kreditor (bank).

Cara untuk melakukan addendum adalah sebagai berikut (Harun,

2010:52) :

1. Dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta notaris;

2. Pasal-pasal yang terdapat pada addendum harus mengatur tentang

perubahan pasal-pasal dalam perjanjian yang telah disepakati untuk

dirubah. Sedangkan pasal-pasal yang tidak dirubah dinyatakan tetap

sah berlaku selama tidak ada addendum yang lain;

3. Pengisian komparisi harus dilakukan secara benar seperti membuat

perjanjian kredit;

4. Addendum yang dibuat dapat berbentuk :

a. Bila perubahan yang dirubah hanya sedikit, maka addendum

berbentuk lampiran yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit

awal.

b. Bila perubahan yang dirubah adalah secara keseluruhan, maka

dibuat perjanjian dengan akta yang baru dengan memperhatikan

perjanjian-perjanjian lain yang telah diikat dalam perjanjian awal


275

seperti perjanjian pengikatan jaminan dan sebagainya.

3. Pengaturan Hipotek Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUH Perdata)

a. Pengertian dan Ciri-Ciri Hipotek

Sebelum diuraikan pengertian dari hipotek, maka perlu diketahui

bahwa kata hipotek berasal dari Hukum Romawi yaitu Hypotheca. Dalam

bahasa Belanda terjemahannya onderzetting (pembebanan). Baik

Indonesia maupun Nederland, istilah hipotek telah diambil alih untuk

menunjukkan salah satu bentuk jaminan hak atas benda yang tidak

bergerak (Badrulzaman, 1980 : 15).

Adapun pengertian hipotek dalam Pasal 1162 KUH Perdata,

Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak,

untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu

perikatan.

Dari suatu perumusan yang baik, dapat diharapkan adanya

gambaran yang baik dari apa yang dirumuskan, melalui ciri-ciri khas yang

menonjol yang ada dalam perumusan tersebut. Dalam hal ini para sarjana

rupanya menganggap perumusan yang diberikan oleh undang-undang

tentang hipotek kurang lengkap dan karenanya pada umumnya

memberikan perumusan yang lain.

Paul Scholten dengan tegas mengatakan bahwa perumusan

undang-undang di atas kurang lengkap, sedang Pitlo tanpa komentar


276

langsung memberikan saja perumusan lain, yang mengandung ciri-ciri

yang tidak disebutkan dalam perumusan Pasal 1162 KUH Perdata

tersebut dan demikian pula Veegens-Oppenheim (J. Satrio, 1991: 213).

Adapun Vollmar menyatakan perumusan tersebut tidak lengkap dan

dalam hal tertentu juga menyesatkan, karena yang ditonjolkan undang-

undang kata-kata Belanda kuno onderzetting, istilah yang tidak lagi lazim

digunakan di dalam masyarakat (Vollmar, 1980: 205).

Selanjutnya pasal-pasal KUH Perdata memberikan penjelasan

lebih lanjut mengenai pengertian hipotek. Pasal 1167 KUH Perdata

menyatakan : Benda bergerak tidak dapat dibebani dengan hipotek.

Pasal 1168 KUH Perdata menyatakan : Hipotek tidak dapat diletakkan

selainnya oleh siapa yang berkuasa memindahtangankan benda yang

dibebani. Pasal 1171 ayat (1) KUH Perdata dinyatakan : Hipotek hanya

dapat diberikan dengan suatu akta autentik, kecuali dalam hal-hal yang

dengan tegas ditunjuk oleh undang-undang.

Demikian pula ketentuan dalam Pasal 1175 ayat (1) KUH Perdata

menyatakan : Hipotek hanya dapat diletakkan atas benda-benda yang

sudah ada. Hipotek atas benda-benda yang baru akan ada di kemudian

hari adalah batal. Kemudian dalam Pasal 1176 ayat (1) KUH Perdata

dinyatakan : Suatu hipotek hanyalah sah, sekadar jumlah uang untuk

mana ia telah diberikan adalah tentu dan ditetapkan di dalam akta.

Berdasarkan perumusan pengertian hipotek dan pasal-pasal

lainnya dari KUH Perdata, dapat dirumuskan bahwa hipotek adalah hak
277

kebendaan atas benda tidak bergerak (benda tetap), untuk pelunasan

utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan atau

mendahulu kepada pemegangnya. Dengan demikian hipotek mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut (Usman, 2009 : 248) :

1. hipotek merupakan suatu hak kebendaan atas benda-benda yang

tidak bergerak (benda tetap); jadi benda jaminan hipotek yang

menjadi objek hipotek itu kebendaan yang tidak bergerak (benda

tetap), kebendaan selain benda tidak bergerak atau benda bergerak

tidak dapat dibebani dengan hipotek; benda-benda yang disebutkan

terakhir tersebut hanya dapat dibebani dengan gadai (Pasal-Pasal

1162, 1164 dan 1167 KUH Perdata);

2. hipotek merupakan lembaga hak jaminan untuk pelunasan utang

(sejumlah uang) tertentu yang sebelumnya diperjanjikan dalam suatu

akta, karenanya pemegang hipotek tidak berhak untuk menguasai

dan memiliki kebendaan jaminan itu, semata-mata benda-benda

tidak bergerak tersebut sebagai jaminan bagi pelunasan sejumlah

utang tertentu (Pasal 1162 KUH Perdata);

3. walaupun pemegang hipotek tidak diperkenankan untuk menguasai

dan memiliki kebendaan jaminan yang dihipotekkan tersebut, namun

diperkenankan untuk diperjanjikan menjual atas kekuasaan sendiri

berdasarkan parate eksekusi kebendaan jaminannya jika debitor

wanprestasi (Pasal 1178 KUH Perdata);


278

4. memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada

pemegang hipotek (Pasal-Pasal 1133,1134 ayat (2), 1198), bahwa

jika debitor cedera janji, kreditor (Pemegang Hipotek) berhak

menjual kebendaan jaminan, dengan hak mendahulu daripada

kreditor-kreditor yang lain;

5. mudah pelaksanaan eksekusinya (Pasal 1178 ayat (2) KUH

Perdata).

b. Sifat-Sifat Hipotek

Sebagai hak kebendaan yang memberi jaminan atas kebendaan

tidak bergerak, maka sifat-sifat yang melekat pada hipotek itu adalah

(Usman, 2009 : 249-257) :

1. bersifat acessoir pada perjanjian pokok tertentu;

2. tidak dapat dibagi-bagi;

3. tetap mengikuti kebendaannya;

4. bersifat terbuka;

5. mengandung pertelaan;

6. mengenal pertingkatan;

7. mengandung hak didahulukan;

8. mengandung hak untuk pelunasan piutang tertentu.

1. Sifat Accessoir dari Perjanjian Hipotek

Kata-kata "untuk mengambil penggantian daripadanya bagi

pelunasan suatu perikatan" dalam Pasal 1162 KUH Perdata menunjukkan


279

kepada kita, bahwa hipotek sama seperti semua perjanjian penjaminan

yang lain tidak dapat berdiri sendiri, ia selalu dikaitkan dengan sengaja,

pada perikatan lain, yang merupakan pokoknya (perikatan pokok) dan

wujudnya selalu tagihan (dalam arti luas). Oleh karena perjanjian hipotek

bersifat accessoir, maka kelahiran dan keberadaan hak hipotek ditentukan

oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya, dengan hapusnya utang

yang dijamin pelunasannya maka hak hipotek hapus karenanya.

Perjanjian hipotek ini mengabdi kepada perikatan pokoknya,

dengan konsekuensinya sebagai berikut :

a. ia turut beralih dengan beralihnya perikatan pokok (misalnya melalui

cessie dan subrogatie);

b. ia menjadi hapus kalau perikatan pokoknya berakhir atau batal;

c. ia tidak dapat dialihkan secara terpisah dari perikatan pokoknya.

Perikatan pokoknya merupakan perikatan yang berdiri sendiri tidak

bergantung dari perikatan lain, apalagi dari accessoir-nya. Dengan

demikian, hipoteknya boleh batal, tetapi perikatan pokoknya bisa tetap

berjalan, sekalipun mungkin selanjutnya kreditor hanya berkedudukan

sebagai kreditor konkuren saja (kalau hipotek tersebut satu-satunya

jaminan khusus).

2. Hipotek Tidak Dapat Dibagi-bagi

Salah satu ciri dan sifat hipotek itu tidak dapat dibagi-bagi

(ondeelbaar) dan melekat di atas seluruh benda objeknya. Demikian


280

disimpulkan dari ketentuan Pasal 1163 ayat (1) KUH Perdata, yang

bunyinya sebagai berikut :

Hak tersebut pada hakikatnya tidak dapat dibagi-bagi dan terletak


di atas semua benda tidak bergerak yang diikatkan dalam
keseluruhannya, di atas masing-masing dari benda-benda tersebut,
dan di atas tiap bagian daripadanya.

Dengan adanya sifat hipotek tidak dapat dibagi-bagi, maka hak

hipotek membebani atau menindih secara utuh atau keseluruhan

kebendaan jaminan dan setiap bagian daripadanya. Telah dilunasinya

sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian

kebendaan jaminan dari beban hak hipotek, melainkan hak hipotek itu

tetap membebani atau menindih secara keseluruhan atas benda jaminan

untuk sisa utang yang belum dilunasi.

Secara lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa hak tagihan tidak

diperhitungkan menurut pertimbangan pada bagian-bagian benda

jaminan. Hal ini membawa konsekuensi, bahwa, dalam hipotek pada

prinsipnya tidak dikenal roya partiil, dalam arti pemberi hipotek tidak dapat

menuntut roya sebagian dari keseluruhan jaminan hipotek, kalau ia

melunasi sebagian utangnya, walaupun benda jaminannya sendiri bisa

dibagi-bagi (deelbaar). Secara sukarela memang kreditor boleh

membebaskan sebagian dari benda jaminan, asal benda tersebut

merupakan benda yang berdiri sendiri, artinya bukan merupakan bagian

yang tidak terbagi dari satu benda tertentu.

Akibatnya lebih lanjut, kalau debitor meninggal dunia dan

warisannya diwarisi oleh beberapa orang ahli warisnya, maka meskipun


281

utangnya sendiri mungkin dibagi-bagi di antara para ahli warisnya,

hipoteknya tetap melekat pada benda jaminan sebagai satu kesatuan,

sehingga kreditor tetap dapat mengambil pelunasan untuk seluruh

tagihannya atas hasil penjualan benda jaminan.

3. Hipotek Bersifat Mengikuti Kebendaannya

Dalam Pasal 1163 ayat (2) KUH Perdata dinyatakan: Benda-benda

itu tetap dibebani dengan hak tersebut, di dalam tangan siapa pun ia

berpindah.

Dari ketentuan Pasal 1163 ayat (2) KUH Perdata ini, sebagai

konsekuensi dari hak kebendaan, maka hak hipotek itu tetap mengikuti

kebendaannya yang dijaminkan di dalam tangan siapa pun kebendaan

jaminan itu berada atau dipindah. Sifat ini dikenal dengan istilah droit de

suite atau zaaksgevolg dan merupakan salah satu sifat dari jaminan

kebendaan yang diperuntukkan bagi kepentingan kreditor (Pemegang

Hipotek). Walaupun kebendaan jaminannya sudah berpindah tangan dan

selanjutnya menjadi milik pihak atau orang lain, kreditor (Pemegang

Hipotek) masih tetap dapat menggunakan haknya untuk menuntut

pelaksanaan eksekusi guna mengambil pelunasan piutangnya, jika debitor

wanprestasi.

4. Ikatan Hipotek Harus Didaftarkan sebagai Pemenuhan Asas Publisitas

Berhubung kebendaan jaminan hipotek tidak harus diserahkan

dalam penguasaan kreditor (Pemegang Hipotek), dalam rangka untuk


282

melindungi kepentingan kreditor (Pemegang Hipotek) serta kepentingan

umum (pihak ketiga), maka segala ikatan hipotek harus didaftarkan, dalam

register umum, agar setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas).

Bertalian dengan kewajiban untuk mendaftarkan ikatan hipotek

dalam suatu register umum yang diadakan untuk itu, ketentuan dalam

Pasal 1179 KUH Perdata menyatakan :

(1) Pembukuan segala ikatan hipotek harus dilakukan dalam register-


register umum yang diadakan untuk itu.
(2) Jika pembukuan yang demikian tidak dilakukan, maka suatu
hipotek tidaklah mempunyai sesuatu kekuatan apa pun, bahkan
pula terhadap orang-orang yang berpiutang yang tidak
mempunyai ikatan hipotek.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1179 ayat (1) KUH Perdata di

atas, agar suatu ikatan hipotek itu mempunyai kekuatan hukum, baik

terhadap debitor (Pemberi Hipotek) dan kreditor (Pemegang Hipotek)

maupun terhadap orang lain pihak ketiga, maka ikatan hipotek tersebut

wajib didaftarkan dalam suatu daftar yang diperuntukan untuk itu. Sifat ini

bertalian erat dengan kedudukan diutamakan (preferent) yang diberikan

kepada kreditor (pemegang hipotek) terhadap kreditor lainnya. Untuk itu,

harus ada catatan mengenai pembebanan hipotek atas benda

jaminannya. Apabila hal demikian tidak dilakukan, sesuai dengan

ketentuan dalam Pasal 1179 ayat (2) KUH Perdata maka suatu ikatan

hipotek tidak didaftarkan tidaklah mempunyai kekuatan apa pun juga bagi

para pihak maupun pihak ketiga lainnya.


283

Berlainan dengan gadai, hipotek diletakkan atas kapal dengan

volume 20 m3 atau lebih atau pesawat udara tanpa harus menyerahkan

benda jaminan tersebut ke dalam tangan kreditor. Tidak tertutup

kemunginan, bahwa pemberi jaminan akan melakukan tindakan-tindakan

pemilikan atas benda jaminan dan pihak ketiga yang tidak tahu adanya

penjaminan bisa mengopernya dengan iktikad baik. Karena pada

prinsipnya undang-undang melindungi pembeli dengan iktikad baik,

kreditor bisa sangat dirugikan. Untuk itulah, hipotek atas kapal harus

didaftarkan dalam suatu register atau daftar umum untuk itu. Dengan

adanya pendaftaran, pembeli tidak dapat lagi mengatakan, ia tidak tahu,

bahwa benda yang ia beli sedang memikul beban dan karenanya

beriktikad baik karena salahnya sendiri, bahwa ia lalai untuk

mengontrolnya di Kantor Pendaftaran. Dengan demikian pendaftaran itu

merupakan tindakan mendaftarkan jaminan atas "benda tertentu", yang

tentunya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum.

Oleh karena suatu pendaftaran pada asasnya dimaksudkan untuk

kepentingan umum, maka buku pendaftaran sifatnya terbuka untuk

umum, dan karenanya dikatakan, bahwa hipotek menganut asas

publisitas. Artinya, setiap orang (publik) mungkin dengan membayar

sejumlah uang administrasi tertentu berhak untuk melihat buku daftar. Di

sanalah letaknya perlindungan terhadap pihak ketiga.

5. Hipotek atas Benda Tertentu / Mengandung Pertelaan (Asas

Spesialitas)
284

Hipotek mengandung pertelaan (specialiteit), artinya hipotek hanya

dapat dibebani terhadap kebendaan yang ditunjuk secara khusus untuk

itu, jadi di dalam akta hipotek harus disebutkan secara jelas dan terang,

baik mengenai subjek hipotek, apalagi objek hipotek maupun utang yang

dijamin.

Mengenai asas spesialitas ini, ketentuan dalam Pasal 1174 KUH

Perdata menentukan :

(1) Akta dalam mana diletakkan hipotek harus memuat suatu


penyebutan khusus tentang benda yang dibebani, begitu pula
tentang sifat dan letaknya, penyebutan mana sedapat-
dapatnya harus didasarkan pada pengukuran-pengukuran
resmi.
(2) Mengenai bunga sepersepuluh dan bunga tanah, tentang mana
tidak secara khusus dapat disebutkan persil-persil yang mana
memikul beban-beban itu, cukuplah di dalam akta diberikan
penguraian serta penunjukan yang tepat tentang daerah mana
yang memikul bunga-bunga itu.

Dengan demikian dari kata-kata "harus memuat suatu penyebutan

khusus tentang benda yang dibebani, begitu pula tentang sifat dan

letaknya" menandakan, bahwa pengikatan hipotek hanya dapat dilakukan

atas benda-benda yang disebutkan atau ditunjuk secara khusus, baik itu

menyangkut bentuk bendanya, sifat bendanya, letak bendanya, ukuran

bendanya, dan lain-lain. Pendaftaran hipotek menunjukkan dengan tepat

benda jaminan mana (tertentu) yang dijaminkan dan subjek penjaminan.

Itulah sebabnya dalam hipotek menganut asas spesialitas yang sangat

penting dalam jaminan kebendaan.


285

6. Hipotek Mengandung Pertingkatan

Peringkat Pemegang Hipotek diatur dalam ketentuan Pasal 1181

KUH Perdata, yang menyatakan :

(1) Tingkatan orang-orang berpiutang hipotek ditentukan menurut


tanggal pembukuan mereka, dengan tidak mengurangi
kekecualian-kekecualian tersebut dalam kedua pasal yang
berikut.
(2) Mereka yang dibukukan pada hari yang sama, bersama-sama
mempunyai suatu hipotek yang bertanggal sama, tidak peduli
pada jam mana pembukuan telah dilakukan, biar pun jam itu
dicatat oleh pegawai penyimpan hipotek.

Dari ketentuan dalam Pasal 1181 KUH Perdata tersebut, dapat

diketahui bahwa suatu kebendaan jaminan hipotek dapat dibebani kepada

lebih dari satu utang atau kreditor, sehingga akan terdapat beberapa

pemegang hipotek atas benda yang sama dan bila demikian terdapat

pemegang hipotek peringkat pertama, pemegang hipotek peringkat kedua,

pemegang hipotek peringkat ketiga dan seterusnya. Sesuai dengan

ketentuan di atas, pemegang hipotek yang terdahulu lebih istimewa atau

didahulukan dari pemegang hipotek kemudian di dalam mengambil

pelunasan piutang dari hasil pendapatan eksekusi penjualan benda

jaminan yang bersangkutan.

Undang-undang memungkinkan adanya pemegang hipotek secara

bersama-sama, berhubung didaftar pada kantor yang bersangkutan pada

hari yang sama walaupun berbeda waktunya. Perbedaan waktu


286

pendaftaran pada hari yang sama, tidak menyebabkan terjadi pertingkatan

di antara pemegang hipotek yang bersangkutan, namun mereka secara

bersama-sama menjadi pemegang hipotek atas benda jaminan yang

sama. Dengan kata lain, mereka yang mendaftarkan hipoteknya pada hari

yang sama, secara bersama-sama mempunyai suatu hipotek yang

tertanggal sama dengan tidak peduli pendaftarannya dilakukan pada jam

yang berbeda di hari yang sama tersebut.

Apabila hasil penjualan eksekusi benda yang menjadi objek hipotek

itu mencukupi bagi pelunasan piutang para pemegang hipotek maka

peringkat para pemegang hipotek tidak diperhatikan lagi. Namun

sebaliknya, jika hasil penjualan eksekusi benda yang menjadi objek

hipotek itu tidak mencukupi keseluruhan pelunasan piutang para

pemegang hipotek maka pelunasan piutang para pemegang hipotek

dimaksud dilakukan secara berurut-urutan sesuai dengan tingkatan

masing-masing dari para pemegang hipotek. Pemegang hipotek yang

lebih dahulu ikatan hipoteknya didaftarkan, maka pelunasan piutangnya

akan didahulukan, baru pemegang hipotek kemudian bila dari pelunasan

pemegang hipotek yang didahulukan masih ada sisanya.

Peringkat pemegang hipotek tersebut tidak hanya berlaku bagi

pelunasan hutang pokoknya saja, tetapi juga berlaku bagi pelunasan

bunga dari piutang pokoknya. Hal ini disebutkan secara tegas dalam

ketentuan Pasal 1184 KUH Perdata, yang menyatakan :

Si berpiutang yang telah dibukukan untuk sejumlah uang pokok


yang menghasilkan bunga, adalah berhak untuk, selama-lamanya
287

untuk dua tahun dan tahun yang sedang berjalan, bagi bunganya
ditempatkan di dalam tingkatan hipotek yang sama seperti uang
pokoknya; dengan tidak mengurangi haknya untuk, mengenai
bunga-bunga yang lain selainnya yang dijamin pada pembukuan
pertama, mengambil pembukuan-pembukuan khusus, yang sejak
hari tanggalnya akan menerbitkan hipotek.

Demikian pula hipotek atas kapal laut, dapat dilakukan lebih dari

satu kali. Artinya terhadap kapal laut yang sama dapat dibebani lebih dari

satu hipotek, sehingga akan terdapat beberapa pemegang hipotek atas

kapal laut yang sama. Kedudukan hak mendahulu mereka didasarkan

kepada tanggal pendaftaran ikatan hipotek atas kapal lautnya. Terhadap

hipotek kapal laut yang didaftarkan pada tanggal sama, maka mereka

mempunyai tingkat yang sama secara bersama-sama. Hal ini dapat

ditafsirkan dari ketentuan dalam Pasal 315 KUH Dagang, yang berbunyi :

Tingkat di antara segala hipotek satu sama lain, ditentukan oleh hari

pembukuan. Hipotek-hipotek yang dibukukan pada hari yang sama,

mempunyai tingkat yang sama pula.

Dalam peristiwa ada pemasangan hipotek lebih dari satu kali, maka

hipotek yang didaftarkan paling awal sesuai dengan ciri dari hak

kebendaan lahir lebih dahulu dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi

daripada yang timbul kemudian. Di samping itu, perlu diingat bahwa

jaminan hipotek yang kedua, bisa diberikan, baik kepada kreditor yang

sama maupun kreditor lain. Dari ketentuan itu juga tersimpul, bahwa

hipotek lahir pada saat pendaftarannya.


288

7. Hak Hipotek Didahulukan

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, Pasal 1133 ayat (1) KUH

Perdata menyebutkan, bahwa privelege, gadai dan hipotek mempunyai

hak untuk didahulukan di antara piutang-piutang yang ada. Di antara hak

untuk didahulukan ini, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1134 ayat

(2) KUH Perdata, piutang atas gadai dan hipotek lebih didahulukan atau

lebih tinggi dari privelege, yang eksistensinya diberikan oleh undang-

undang, tidak didasarkan kepada kehendak para pihak, sepanjang oleh

undang-undang tidak ditentukan lain. Dengan demikian, hipotek

mengandung hak untuk lebih didahulukan dalam pelunasan utang tertentu

yang diambil dari hasil pendapatan eksekusi benda yang menjadi objek

hipotek.

Pemegang hipotek didahulukan dibanding dengan kreditor lain.

Akan tetapi, jangan lupa, ia didahulukan hanya untuk mengambil

pelunasan dari hasil penjualan barang tertentu yang dihipotekkan saja.

Apabila hasil penjualan benda jaminan hipotek tidak mencukupi untuk

melunasi piutangnya, maka untuk selebihnya ia tetap berhak menagih

dari debitor, tetapi hanya sebagai kreditor konkuren saja. Dalam hal ini

tidak berarti, pemegang hipotek boleh mengambil pelunasan piutangnya

dengan cara menyingkirkan semua kreditor lainnya, karena terdapat

piutang-piutang lainnya yang menurut undang-undang wajib atau harus

untuk lebih lagi didahulukan dalam pelunasannya, mengingat akan

kedudukannya yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemegang hipotek,


289

pemegang gadai dan pemegang privelege. Hal ini sesuai dengan klausul

terakhir dari bunyi Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata, yang menyatakan

kecuali dalam hal-hal di mana oleh undang-undang ditentukan

sebaliknya.

8. Hipotek Atas Jumlah Utang Tertentu

Ketentuan dalam Pasal 1176 ayat (1) KUH Perdata menyatakan :

Suatu hipotek hanyalah sah, sekedar jumlah uang untuk mana ia telah

diberikan, adalah tentu dan ditetapkan dalam akta. Dari bunyi ketentuan

pasal tersebut, jelas bahwa dalam akta hipotek harus disebutkan secara

pasti jumlah (jumlah tertentu) uang yang merupakan utang yang dibebani

dengan hipotek. Dengan kata lain dalam akta hipotek harus disebutkan

secara jelas dan tegas mengenai ”jumlah uang untuk mana” (nilai

penjaminan) yang diberikan oleh pemberi hipotek yang nantinya akan

diikat sebagai jaminan utang dengan hipotek.

Hal ini berkaitan dengan asas publisitas, dimana kepada pihak

ketiga diberikan kesempatan untuk mengetahui tidak saja ada atau

tidaknya beban, tetapi juga berapa besarnya beban benda jaminan yang

bersangkutan. Selain itu jumlah tersebut juga penting untuk menentukan,

sampai jumlah berapa kreditor berkedudukan sebagai kreditor preferent

atas hasil eksekusi benda hipotek yang bersangkutan.


290

c. Objek Hipotek

Menurut Pasal 1164 KUH Perdata, yang dapat dibebani dengan

hipotek adalah :

1. Benda-benda tidak bergerak yang dapat dipindahtangankan, beserta

segala perlengkapannya yang dianggap sebagai benda tidak bergerak.

2. Hak pakai hasil (vruchtgebruik) atas benda-benda tersebut beserta

segala perlengkapannya.

3. Hak numpang karang (opstal, identik dengan hak guna bangunan) dan

hak usaha (erfpacht, identik dengan hak guna usaha).

4. Bunga tanah, baik yang harus dibayar dengan uang maupun yang

harus dibayar dengan hasil tanah.

5. Bunga sepersepuluh.

6. Pasar-pasar yang diakui oleh pemerintah, beserta hak-hak istimewa

yang melekat padanya (Hasbullah, 2009:97).

Di luar Pasal 1164 KUH Perdata yang dapat dibebani Hipotek

antara lain adalah :

1. Bagian yang tak dapat dibagi-bagi dalam benda tak bergerak yang

merupakan Hak Milik Bersama Bebas (Vrije Mede Eigendom).

2. Kapal-kapal yang didaftar menurut Pasal 314 ayat 1 KUH Dagang.

3. Hak Konsesi Pertambangan menurut Pasal 18 Indische Mijnwet.

4. Hak Konsesi menurut S. 1918 No.21 jo. No.20 yang juga dapat

dijadikan jaminan hipotek.


291

Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960,

maka objek hipotek meliputi (Sofwan, 1975:105) :

1. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960 Pasal 2,

diadakan penggolongan-penggolongan sebagai berikut :

a. Hak-hak atas tanah yang dapat dibebani Hipotek adalah, Hak Milik,

Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha yang berasal dari konversi

tanah-tanah Barat yaitu Hak Eigendom, Hak Opstal dan Hak

Erfpacht.

b. Hak-hak tanah yang dapat dibebani credietverband adalah, Hak

Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha yang berasal dari

hak-hak Indonesia yaitu hak-hak tanah adat.

2. Setelah berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1961

dengan peraturan pelaksanaannya yaitu, Peraturan Menteri Agraria

(PMA) No.15 Tahun 1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran

Hipotek dan Credietverband, maka tidak lagi diadakan penggolongan

mengenai hak-hak tanah yang mana yang dapat dibebani Hipotek dan

Credietverband. Hal tersebut disebabkan karena baik Hipotek maupun

Credietverband dapat dibebankan pula pada :

a. Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha baik yang

berasal dari konversi hak-hak Barat maupun yang berasal dari

konversi hak-hak Adat.

b. Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha yang baru (yang

tidak berasal dari konversi) yaitu yang baru diadakan setelah


292

tanggal berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960. Hal ini

didasarkan pada Pasal 1 PMA No.15 Tahun 1961 yang

menyatakan bahwa tanah-tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan,

Hak Guna Usaha yang telah dibukukan dalam Daftar Buku Tanah

menurut ketentuan PP No.10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran

Tanah dapat dibebani Hipotek dan Credietverband.

Berkaitan dengan objek hak jaminannya tersebut jika dibandingkan

antara KUH Perdata dengan UUPA sebelum berlakunya Undang-Undang

No.16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun (UURS) maka akan ditemui

hal-hal sebagai berikut :

1. Menurut KUH Perdata, objek utama hak jaminan adalah hak atas

tanah dan segala sesuatu yang menjadi satu dengan tanah tersebut.

Jadi termasuk di dalamnya tumbuhan dan bangunan dengan status

Eigendom, Opstal, Erfpacht yang kesemuanya dapat dijadikan jaminan

Hipotek. Hal ini sesuai dengan asas yang dianutnya yaitu perlekatan

(accessie).

2. Menurut UUPA jo. PMA No.15 Tahun 1961, objek utama hak jaminan

adalah hak atas tanah dengan status Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Hak

Guna Usaha (Pasal 33 UUPA) dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39

UUPA), kesemuanya dapat dijadikan jaminan dengan dibebani Hak

Tanggungan. Hal ini adalah sehubungan dengan UUPA mengatur

tentang tanah (agraria) dan menganut asas pemisahan horizontal

(horizontal scheiding). Tentang statusnya itu UUPA hanya mengatur


293

tentang status hak atas tanah saja dan tidak mengatur bagaimana

status bangunan, rumah dan lain-lainnya yang terletak di atas tanah

yang bersangkutan apakah dapat dijaminkan secara terpisah dari

tanahnya atau tidak dan melalui lembaga apa. Pertanyaan ini telah

terjawab dengan berlakunya Undang-Undang No.4 Tahun 1996

Tentang Hak Tanggungan yang mengambil alih pengaturan jaminan

hak atas tanah yang tidak menganut prinsip pemisahan horizontal.

Dengan berlakunya UURS No.16 Tahun 1985, objek utama hak

jaminan adalah bangunan Rumah Susun bukan tanahnya (Pasal 12 ayat 1

UURS). Selengkapnya Pasal 12 UURS menyatakan sebagai berikut :

(1) Rumah Susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta
benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan :

a. Dibebani Hipotek, jika tanahnya tanah hak milik atau hak


guna bangunan.
b. Dibebani Fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah
negara.

(2) Hipotek atau Fidusia dapat juga dibebankan atas tanah


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beserta rumah susun
yang akan dibangun sebagai jaminan pelunasan kredit yang
dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan
rumah susun yang telah direncanakan di atas tanah yang
bersangkutan dan yang pemberian kreditnya dilakukan secara
bertahap sesuai dengan pelaksanaan pembangunan rumah
susun tersebut.

Mengacu pada ketentuan Pasal 12 UURS tersebut di atas, maka

yang menjadi objek utama hak jaminan adalah bangunan Rumah

Susunnya sedangkan status tanah Rumah Susun hanya menentukan


294

pembebanan jaminannya menggunakan jaminan Hipotek atau Fidusia

sebab UURS menganut asas pemisahan horizontal. Terhadap Rumah

Susun yang baru akan dibangun juga dapat menjadi objek jaminan

dengan dibebani Hipotek atau Fidusia sesuai dengan status tanahnya,

untuk pembiayaan pembangunan Rumah Susun.

Berlakunya UU No.4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan

Pemukiman (UUPP) menunjukkan adanya kesamaan tentang objek

hipotek menurut UUPP dengan objek hipotek menurut KUH Perdata. Hal

ini menurut Hasbullah (2009:101) dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal

15 ayat (2)b UUPP yang menyatakan sebagai berikut :

Pembebanan Hipotek atas rumah beserta tanah yang haknya


dimiliki pihak yang sama dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Kemudian menurut penjelasan atas Pasal 15 ayat (1) dinyatakan :

Pemilikan rumah oleh pemilik hak atas tanah, rumah beserta tanahnya

dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hipotek. Dengan demikian

persamaannya dengan KUH Perdata adalah bahwa, baik menurut UUPP

maupun KUH Perdata objek jaminan Hipotek adalah sama-sama hak atas

tanah dengan bangunan. Hanya saja menurut KUH Perdata status hak

atas tanah adalah hak Eigendom, hak Opstal dan Hak Erfpacht,

sedangkan status hak atas tanah menurut UUPP adalah Hak Milik.

Namun KUH Perdata menganut azas perlekatan, sedangkan UUPP

menganut azas pemisahan horizontal yang meskipun pemilik tanah dan

bangunan orangnya sama, namun maksud mengikutsertakan bangunan


295

tersebut dinyatakan dengan tegas oleh para pihak dalam akta

pembebanan Hipotek.

Suatu perkembangan yang sangat berarti di lapangan hukum

jaminan nasional khususnya terkait dengan eksistensi lembaga jaminan

Hipotek dan juga Fidusia, yakni dengan berlakunya Undang-Undang No. 4

Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda

Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). Baik menyangkut istilah maupun

menyangkut objek Hipotek dan Fidusia terjadi perubahan yang mendasar

sebagai berikut :

1. Istilah “Hipotek” dan “Fidusia” yang tersebut dalam pasal-pasal 12, 13,

14, 15, 16, dan 17 UURS menjadi tidak berarti lagi karena baik Hipotek

maupun Fidusia bukan lagi merupakan hak jaminan atas tanah. Pasal

15 menjadi tidak berlaku lagi, sedangkan pasal-pasal lain disesuaikan

dengan UUHT (Pasal 27).

2. Menurut Pasal 27 UUHT, ketentuan UUHT berlaku juga terhadap

pembebanan hak jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik atas

Satuan Rumah Susun. Dengan demikian Hak Tanggungan dapat

dibebankan pada Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah

Susun yang didirikan di atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara.

3. Fidusia yang sebelumnya berdasarkan UURS dapat dijadikan jaminan

atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara, dengan berlakunya UUHT

tidak dapat lagi dijaminkan atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara

tersebut karena disamping Fidusia tidak dapat dijaminkan atas tanah,


296

yang penting adalah bahwa Hak Pakai tersebut ditunjuk sebagai objek

Hak Tanggungan (Penjelasan Umum angka 5). Juga Pasal 4 ayat (2)

menyatakan bahwa selain hak-hak atas Tanah sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan

yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat

dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan (Hasbullah,

2009:102-103)

d. Posedur Terjadinya Hipotek

Adapun proses terjadinya hipotek menurut Sofwan (1982:55)

melalui tiga fase/tingkat yang berurutan yaitu :

1. Perjanjian pemberian kredit;

2. Perjanjian pembebanan Hipotek;

3. Pendaftaran Hipotek.

Fase yang pertama ialah proses yang terjadi berupa perjanjian

pemberian kredit/perjanjian membuka kredit dengan kesanggupan

jaminan hipotek. Proses ini terjadi dalam praktik di bank pemerintah

maupun bank swasta sebagai lembaga yang berwenang memberikan

kredit. Ditinjau dari segi sifatnya perjanjian dalam fase ini merupakan

perjanjian yang bersifat pokok dan berbentuk bebas dan bersifat

obligatoir. Di mana segi obligatoirnya perjanjian harus terjadi secara tertib

sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. Para pihak pada fase ini

hanya mempunyai hak-hak dan kewajiban yang bersifat perorangan.


297

Fase yang kedua lazim disebut dengan perjanjian pembebanan

Hipotek. Perjanjian ini menurut ketentuan Undang-Undang merupakan

perjanjian yang bersifat accessoir dan bersifat zakelijk (kebendaan). Di

mana proses terjadinya perjanjian pembebanan hipotek di sini terikat oleh

bentuk tertentu yaitu harus dilaksanakan dengan akta PPAT yang dibuat

oleh pejabat pembuat akta tanah. Karena perjanjian ini bersifat zakelijk

maka menimbulkan hak-hak yang besifat kebendaan yaitu hak tersebut

dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan

mempunyai kedudukan preferensi.

Fase yang ketiga lazim disebut pemasangan hipotek/pendaftaran

hipotek. Proses ini terjadi di Kantor Pendaftaran Tanah (KPT).

Pendaftaran hipotek ini terjadi dengan cara mendaftar di dalam buku

tanah hipotek dan menjadi alat bukti yang kuat tentang telah terjadinya

pembebanan secara sah. Dengan adanya pendaftaran hipotek tersebut

dapat diterbitkan sertifikat hipotek yang merupakan bukti hak di mana

grossenya mempunyai kekuatan eksekutorial.

Menurut Subekti (1986:51) dengan selesainya proses pemberian

kredit dengan jaminan hipotek, maka selengkapnya akan terdapat empat

buah dokumen, yaitu :

1. perjanjian pemberian kredit;

2. surat kuasa untuk memasang hipoteknya;

3. akta pemasangan hipoteknya;

4. sertifikat hipotek.
298

Surat kuasa untuk memasang hipotek harus dibuat dengan suatu

akta otentik yaitu akta notaris (Pasal 1171 ayat 2). Dalam praktik surat

kuasa ini diberikan sekaligus di dalam akta pemberian kredit atau akta

perjanjian pinjam-meminjam yaitu kalau perjanjiannya pemberian kredit

atau pinjam- meminjam itu diadakan dengan akta notaris. Hal ini untuk

menghemat biaya.

Surat kuasa ini diberikan oleh pihak debitor untuk memudahkan

kreditornya (Bank), sehingga fungsionaris dari Bank ini dapat setiap waktu

yang paling tepat baginya pergi ke instansi yang berwenang untuk

melangsungkan pemasangan hipoteknya. Dengan sendirinya, kalau pada

waktu memasang hipotek itu si debitor bisa menghadap sendiri, maka

tidak diperlukan surat kuasa. Namun demikian pada praktiknya demi untuk

menghemat biaya, pemasangan hipotek ditangguhkan dan baru dilakukan

kalau si debitor sudah menunjukkan gejala-gejala wanprestasi. Surat

kuasa untuk memasang hipotek jika hanya disimpan saja mengandung

risiko kehilangan preferensi kalau sampai didahului oleh suatu penyitaan

yang dilakukan oleh pihak ketiga (kreditor lain). Oleh karena itu praktik

tersebut tidak dapat dianjurkan (Subekti, 1986:51-52).

e. Eksekusi Hipotek dan Hapusnya Hipotek

Apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya (wanpretasi), yaitu

tidak membayar hutangnya sebagaimana diperjanjikan dalam perjanjian

kredit, maka kreditor mempunyai kewenangan untuk melakukan eksekusi

secara langsung terhadap benda yang menjadi jaminan tanpa


299

perantaraan hakim. Wewenang yang demikian itu timbul karena adanya

dua kemungkinan yaitu :

1. Karena Grosse Akta Hipotek mempunyai kekuatan eksekutorial. Jadi

dapat dilakukan eksekusi secara langsung terhadap bendanya dengan

jalan benda jaminan itu dijual di muka umum dan hasilnya

diperhitungkan untuk pelunasan piutangnya.

2. Karena adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri. Berarti di

sini kreditor dapat menjual benda jaminan itu di muka umum atas

dasar parate eksekusi. Janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri

demikian yang tercantum dalam akta; jika didaftarkan dalam register

umum mempunyai sifat hak kebendaan (Sofwan, 1982:66).

Kenyataan dalam praktik kewenangan untuk melaksanakan

eksekusi secara langsung terhadap benda jaminan jarang sekali terjadi.

Jika debitor wanprestasi dan setelah mendapat pernyataan beberapa kali

tetap tidak memenuhi, bank tidak melakukan eksekusi sendiri melainkan

minta campur tangan PUPN atau pengadilan (Sofwan, 1982:66).

Secara enumeratip undang-undang menyebutkan tiga cara

hapusnya hipotek (Pasal 1209 KUH Perdata) yaitu :

1. karena hapusnya perikatan pokok;

2. karena pelepasan hipoteknya oleh si berpiutang;

3. karena penetapan tingkat oleh hakim.


300

Beberapa penulis mengemukakan berbagai cara hapusnya hipotek

di antaranya dikemukakan oleh P. A. Stein dan Pitlo (Badrulzaman,

1986:75). Menurut P.A. Stein terdapat enam cara hapusnya hipotek yaitu :

1. Hapusnya hutang, yang dijamin oleh hipotek.

2. Afstand hipotek.

3. Lenyapnya benda hipotek.

4. Percampuran kedudukan pemegang dan pemberi hipotek.

5. Pencoretan, karena pembersihan dan kepailitan.

6. Pencabutan hak milik.

Adapun menurut Pitlo dalam Badrulzaman (1986:75), terdapat

sepuluh cara hapusnya hipotek yaitu :

1. Karena hapusnya hutang sebagai perikatan pokok.

2. Karena pemegang hipotek melepaskan hipotek.

3. Karena hapusnya benda hipotek.

4. Karena kwaliteit pemegang hipotek bercampur dengan kwaliteit pemilik

benda hipotek.

5. Berakhirnya hak pemberi hipotek sebagaimana disebut Pasal 1169

KUHPerdata.

6. Berakhirnya jangka waktu untuk mana hipotek diberikan.

7. Karena dipenuhinya syarat batal untuk mana hak hipotek diberikan.

8. Karena pencabutan hak.

9. Karena adanya penetapan tingkat oleh hakim (gerechtelijke

rangregeling).
301

10. Hak pemegang hipotek berakhir jikalau eksekusi telah dilaksanakan.

Jika hipotek telah hapus atau berakhir, maka dilakukan pencoretan

(roya) terhadap pendaftaran hipotek. Pencoretan ini perlu agar debitor

dapat kembali memperoleh hak-haknya atas benda yang dihipotekkan

seperti pada keadaan sebelum benda itu dihipotekkan. Pencoretan itu

dilakukan dengan izin para pihak yang berkepentingan atau menurut

suatu putusan hakim yang dijatuhkan dalam tingkat penghabisan atau

yang telah memperoleh kekuatan mutlak (Pasal 1195 ayat 2

KUHPerdata).

4. Lembaga Jaminan Hipotek Kapal

a. Pengertian dan Pengaturan Hukum Hipotek Kapal

Dalam hukum Inggris asal-usul hipotek kapal umumnya dianggap

berasal dari penggunaan obligasi bottomry. Hukum Inggris telah lama

mengakui hak nakhoda kapal untuk menjaminkan kapal dengan cara

ikatan bottomry dalam keadaan tekanan kebutuhan akan penyediaan

dana untuk kelanjutan pelayaran (Bowtle dan K. Mc Guinness, 2001: 21-

37). Namun demikian menurut Gauci (2010:161) hipotek harus dibedakan

dengan bottomry oleh karena obligasi tersebut menjadi batal jika terjadi

kerugian total kapal atau properti lainnya yang merupakan objek dari

ikatan, dalam kasus ini utang secara otomatis akan dihapuskan.


302

Adapun pengertian Hipotek Kapal dapat di jumpai dalam Pasal 1

butir 12 Undang-Undang No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran yang

menyebutkan :

”Hipotek Kapal adalah hak agunan kebendaan atas kapal yang


terdaftar untuk menjamin pelunasan utang tertentu yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor lain”.

Selanjutnya definisi yang tidak jauh berbeda terdapat dalam

Kamus Istilah Hukum Fockema Andereae ( Algra, 1983) yang memberi

pengertian hipotek kapal adalah :Hak kebendaan atas kapal yang

dibukukan atau didaftarkan (biasanya dengan isi kotor di atas 20 m 3)

diberikan dengan akta autentik, guna menjamin tagihan hutang.

Dari kedua definisi di atas dapat ditarik unsur-unsur yang tercantum

dalam hipotek kapal yaitu :

1. Adanya hak kebendaan;

2. Objeknya adalah kapal yang beratnya di atas 20 m3;

3. Kapal tersebut harus yang terdaftar / dibukukan;

4. Diberikan dengan akta autentik; dan

5. Menjamin tagihan hutang.

6. Terdapat kreditor tertentu yang diutamakan

Hak kebendaan adalah hak untuk menguasai benda yang dapat

dibagi mejadi dua macam hak, yaitu hak menikmati dan hak jaminan. Hak

jaminan adalah hak memberi kepada yang berhak/kreditor hak

didahulukan untuk mengambil pelunasan dari hasil penjualan barang yang


303

dibebani hipotek (Salim HS, 2002: 100). Kapal yang dibukukan atau

didaftar akan mendapatkan grosse akta yang merupakan salinan pertama

dari asli (minut) akta. Diberikan dengan akta autentik maksudnya adalah

bahwa hipotek kapal itu harus dilakukan dengan akta autentik. Artinya

dibuat di muka atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu.

Pejabat yang berwenang untuk itu adalah Pejabat Pendaftar dan Pencatat

Balik Nama Kapal.

Menjamin tagihan hutang, maksudnya, bahwa dengan adanya

hipotek kapal tersebut memberikan keamanan dan menjamin kepastian

hukum bagi kreditor, Apabila debitor wanprestasi, maka objek hipotek

kapal laut tersebut dapat dilakukan pelelangan di muka umum. Dengan

tujuan untuk pelunasan suatu hutang pokok, bunga, dan biaya-biaya

lainnya. Kreditor yang diutamakan maksudnya kreditor yang dalam

kedudukannya sebagai kreditor preferent.

Adapun dasar hukum pengaturan jaminan hipotek kapal terdapat

dalam berbagai ketentuan yaitu :

- KUH Perdata;

- KUH Dagang;

- Konvensi Internasional tentang Piutang Maritim dan Mortgage 1993

yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Peraturan

Presiden RI No.44 Tahun 2005;

- UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran;

- PP No.51 tahun 2002 tentang Perkapalan.


304

Pengaturan hipotek kapal dalam KUH Perdata terdapat dalam Buku

II mulai Pasal 1162 sampai Pasal 1232. Pasal-pasal tersebut tadinya

merupakan landasan hukum bersama dengan pembebanan hipotek atas

tanah sementara mengisi kekosongan hukum sebelum lahirnya UU No.4

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dengan keluarnya UU Hak

Tanggungan maka ketentuan Hipotek dalam Buku II KUH Perdata

diteruskan keberadaannya sebagai landasan hukum dalam pelaksanaan

lembaga jaminan Hipotek Kapal.

Ketentuan terkait hipotek kapal dalam KUH Dagang terdapat dalam

Pasal 314 sampai dengan Pasal 316. Pasal 314 ayat (1) menegaskan

bahwa kapal-kapal yang dapat dibukukan dalam register kapal adalah

kapal yang bobotnya paling sedikit 20 m 3 isi kotor. Selanjutnya dalam

Pasal 314 ayat (3) menegaskan bahwa kapal-kapal yang dibukukan

dalam register kapal, kapal dalam pembuatan dan andil-andil dalam kapal-

kapal dan kapal-kapal dalam pembuatan seperti itu, dapat diletakkan

hipotek.

Pasal 315 KUHD menentukan: ”Urutan tingkat antara hipotek-

hipotek ditentukan oleh hari pendaftarannya. Hipotek yang didaftarkan

pada satu hari yang sama, mempunyai tingkat yang sama.” Pasal 316

KUHD mengatur tentang piutang yang diberi hak mendahului atas kapal.

Piutang-piutang yang didahulukan itu, antara lain terdiri dari biaya sita

lelang, tagihan nakhoda dan anak buah kapalnya yang timbul dari

perjanjian perburuhan selama mereka bekerja dalam dinas kapal itu, upah
305

pertolongan, uang pandu, biaya rambu dan biaya pelabuhan, biaya

pelayaran lain-lain; dan tagihan karena penubrukan.

Diterimanya ketentuan dalam konvensi internasional tentang

Piutang Maritim dan Mortgage 1993 dengan diratifikasinya oleh

pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden RI No.44 Tahun 2005,

telah lebih menguatkan keberadaan lembaga jaminan hipotek kapal.

Diratifikasinya konvensi ini sebagai tindak lanjut dalam menopang

berlakunya Inpres No.5 Tahun 2005 dalam menggairahkan industri

pelayaran nasional yang mengalami kendala permodalan dalam

pengadaan armada kapal untuk sarana transportasi. Oleh karena itu

menjadi suatu harapan dari para pengusaha agar lembaga perbankan

dapat mempermudah penyaluran kredit bagi para pengusaha yang

bergerak di bidang pelayaran.

Keberadaan UU No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran dalam

rangka menggantikan undang-undang sebelumnya yakni UU No.21 Tahun

1992 Tentang Pelayaran. Ketentuan tentang hipotek kapal dalam UU

No.17 Tahun 2008 terdapat dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 64.

Undang-undang ini menegaskan dalam Pasal 60 ayat (1) bahwa kapal

yang telah didaftar dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan

hipotek atas kapal. Pembebanan hipotek kapal dilakukan dengan

pembuatan akta hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama

Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk

Pendaftaran Kapal (Pasal 60 ayat (2)).


306

Berkaitan dengan keberadaan grosse akta, diatur dalam ayat (3)

sampai dengan ayat (5). Setiap akta hipotek diterbitkan 1 (satu) Grosse

Akta Hipotek untuk penerima hipotek. Grosse Akta Hipotek ini mempunyai

kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap ( ayat (4) ). Dalam hal Grosse

Akta Hipotek hilang, maka dapat diterbitkan grosse akta pengganti

berdasarkan penetapan pengadilan ( ayat (4) ).

Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan

merupakan peraturan yang dikeluarkan sebagai pelaksanaan dari UU

Pelayaran No.21 Tahun 1992. Walaupun UU No.21 Tahun 1992 telah

dinyatakan tidak berlaku dengan keluarnya UU No.17 Tahun 2008,

namun PP No.51 Tahun 2002 masih tetap berlaku sepanjang tidak

bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2008 dan belum adanya

peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan undang-undang ini.

Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2002 terdiri dari XI Bab dan

129 Pasal yang mengatur tentang perkapalan. Adapun yang dimaksud

dengan perkapalan dalam PP ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 yang

menyatakan :

”Perkapalan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan


pemenuhan persyaratan kelaiklautan kapal dan segala faktor yang
mempengaruhinya, sejak kapal drancang- bangun sampai dengan
kapal tidak digunakan lagi”

Selanjutnya PP ini memberikan pengertian tentang kapal,

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 2 yakni :


307

”Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun,


yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau
ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis,
kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan
bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah”.

Pengaturan lainnya dalam PP ini antara lain tentang Pengukuran Kapal,

Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal Indonesia, serta Keselamatan Kapal.

Dalam PP ini yang penting juga yaitu menyangkut pengaturan

pembebanan hipotek atas kapal sebagaimana diatur dalam Pasal 33.

b. Subjek dan Objek Hipotek Kapal

Berkaitan dengan subjek dari hipotek kapal tentunya tidak lepas

dari keberadaan para pihak dalam suatu perjanjian kredit sebagai

perjanjian pokok dari suatu perjanjian pembebanan jaminan hipotek kapal.

Dengan demikian terdapat dua pihak yang terkait dalam perjanjian

pembebanan hipotek kapal laut, yaitu pemberi hipotek (hypotheekgever)

dan penerima hipotek. Pemberi hipotek adalah pihak yang memberikan

jaminan suatu hak kebendaan/zakelijke recht (hipotek), atas bendanya

yang tidak bergerak dengan adanya utang yang terikat pada hipotek.

Penerima hipotek disebut juga hypotheekbank, hypotheekhouder atau

hypotheeknemer. Hypotheekhouder atau Hypotheeknemer, yaitu pihak

yang menerima hipotek, pihak yang meminjamkan uang di bawah ikatan

hipotek. Biasanya yang menerima hipotek ini adalah lembaga perbankan

dan atau lembaga keuangan nonbank (Salim, 2011 : 200).


308

Di Indonesia, kapal laut dengan ukuran tertentu dapat menjadi

jaminan utang. Kapal yang berukuran 20 m 3 (dua puluh meter kubik)

keatas dapat menjadi objek hipotek. Hal ini jelas pengaturannya dalam

Pasal 314 ayat (3) yang menegaskan bahwa kapal-kapal yang dibukukan

dalam register kapal, kapal dalam pembuatan dan andil-andil dalam kapal-

kapal dan kapal-kapal dalam pembuatan seperti itu, dapat diletakkan

hipotek. Persyaratan utama untuk menjadikan kapal sebagai objek hipotek

adalah harus terdaftar pada kantor pendaftaran kapal yang khusus

diadakan untuk itu.

c. Status Hukum Kapal Laut

Sifat karaktaristik dari suatu kapal menurut hukum publik harus diberi

tanda kebangsaan satu negara yang tertentu. Ini berarti nasionalitas kapal

laut menunjuk kepada adanya hubungan khusus antara kapal laut dan negara

tertentu. Pada saat yang sama negara tersebut bertindak sebagai

pelindung (protect) dan penjamin (guarantor) (Idham, 1995: 95-96).

Kapal yang telah memperoleh nasionalitasnya atau kebangsaan

negara tertentu, berhak untuk menikmati hak khusus menurut hukum

internasional, yaitu :

a. Kapal tersebut berada di bawah yurisdiksi negara bendera kapal

(flagstate) dalam hal pengaturan administratif, yaitu perihal kelaikan laut

dan hukum pidana atas kejahatan awak kapal yang dilakukan di atas

kapal yang bersangkutan;


309

b. Negara bendera kapal berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban

internasional atas kapal yang membawa benderanya;

c. Kapal yang bersangkutan memperoleh keuntungan perlindungan dari

Negara bendera kapal yang diberikan pada warga negaranya;

d. Registrasi atau pendaftaran dianggap sebagai bukti pemilikan

(evidence of title) walaupun di berbagai negara bukti itu tidak mutlak.

Keadaan semuanya menandakan adanya effective control dari Negara

bendera kapal atas kapal tesebut (Anis Idham, sebagaimana dikutip

dari Mieke Komar Kantaatmadja, 1995 :96)

Terhadap status hukum keperdataan (kebendaan) kapal laut dapat

ditilik dari dua sisi, yaitu dari sisi hukum perdata dan sisi hukum dagang. Dari sisi

hukum perdata, ketentuan dalam Pasal 509 dihubungkan dengan Pasal 510

KUH Perdata menetapkan, bahwa kapal-kapal laut sebagai benda bergerak,

karena sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan atau karena ditetapkan

undang-undang (Usman, 2009 : 290).

Dalam Pasal 509 KUH Perdata menegaskan :

Kebendaan bergerak karena sifatnya ialah kebendaan

yang dapat berpindah atau dipindahkan.

Selanjutnya, ketentuan dalam Pasal 510 KUH Perdata menentukan

sebagai berikut :

Kapal-kapal, perahu-perahu,perahu-perahu tambang,


gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang
dipasang di perahu atau yang berdiri, terlepas dan benda-
benda sejenis itu, adalah kebendaan bergerak.
310

Dari ketentuan dalam Pasal 509 dan Pasal 510 KUH Perdata, jelas

bahwa kapal laut itu termasuk sebagai benda bergerak, sebab dilihat dari segi

sifatnya kapal laut tersebut dapat berpindah-pindah atau dipindah-pindahkan atau

karena ditetapkan undang-undang sebagai benda bergerak. Akan tetapi,

berdasarkan KUH Dagang terhadap kapal-kapal tertentu yang telah

didaftarkan dapat dibebani dengan hipotek dan tidak dapat dibebani

dengan gadai.

Pasal 314 ayat (3) KUH Dagang menentukan :

Atas kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal,


kapal-kapal dalam pembuktian dan andil-andil dalam
kapal-kapal dan kapal-kapal dalam pembuatan seperti itu
dapat diletakkan hipotek.

Sementara itu ayat (1) dari Pasal 314 KUH Dagang menetapkan :

Kapal-kapal Indonesia, yang berukuran paling sedikit


dua puluh meter kubik isi kotor, dapat dibukukan di dalam
suatu register kapal menurut ketentuan-ketentuan yang
akan ditetapkan dalam suatu undang-undang tersendiri.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 314 ayat (1) dan ayat (3) KUH

Dagang, kapal-kapal yang telah didaftarkan dalam suatu register kapal

dikualifikasikan sebagai benda bergerak terdaftar (registered movable

property) atau dapat dipersamakan dengan benda tidak bergerak (tetap),

karena kapal-kapal tersebut dapat dibebani dengan hipotek. Namun tidak

semua kapal dapat dibebani dengan hipotek, hanya kapal-kapal yang

berukuran paling sedikit 20 m3 kotor yang wajib untuk didaftarkan dalam suatu

register kapal, sehingga dapat memperoleh tanda kebangsaan sebagai

kapal Indonesia (Usman, 2009 : 291).


311

Pendaftaran kapal dengan bobot di bawah 20 m3 tidak dimungkinkan,

karena tujuan pendaftaran kapal-kapal tersebut untuk memperoleh suatu

kebangsaan kapal. Demikian juga hanya kapal yang telah terdaftar yang

dapat dibebankan dengan jaminan hipotek. Oleh karena itu, kapal-kapal

yang telah didaftar sebenarnya dipersamakan dengan benda-benda tidak

bergerak, sehingga tidak dapat digadaikan, sedangkan kapal yang beratnya

kurang dari 20 m3, dianggap sebagai benda bergerak, sehingga dapat

digadaikan bahkan dapat dijadikan jaminan fidusia (Hasbullah, 2002 : 122).

d. Pembebanan Hipotek Atas Kapal

Sebagaimana telah disinggung dalam uraian sebelumnya bahwa

pembebanan hipotek atas kapal tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari adanya perjanjian kredit antara

bank sebagai kreditor dengan pihak nasabah sebagai debitor. Dalam perjanjian

kredit ini menurut Djumhana (2000:67), bank menunjukkan fungsinya sebagai

lembaga perantara keuangan masyarakat (financial intermediary). Bank

menjadi media perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of

funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan/memerlukan dana (lack of funds).

Kekhususan kredit bank terkait dengan tujuan perbankan Indonesia yaitu untuk

menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan

pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan

kesejahteraan rakyat banyak (Muhammad, 2010:307).


312

Berdasarkan permohonan pinjaman kredit yang diajukan, jika

disetujui oleh bank maka antara pemohon kredit dan bank akan melekat

hak dan kewajiban yang dituangkan dalam suatu perjanjian kredit.

Perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata tetapi

termasuk perjanjian bernama di luar KUH Perdata. Ada pula yang

menyamakan dengan perjanjian pinjam meminjam (Sutarno, 2003:96).

Berkenaan dengan pembebanan hipotek atas kapal, ketentuan dalam

Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 menegaskan,

bahwa pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta

hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat

kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.

Sebelumnya dalam ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 17

dirumuskan pengertian hipotek kapal, yaitu “hak agunan kebendaan atas

kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan utang tertentu yang

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap

kreditor lain”.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 60 ayat (1) dan Pasal 1 angka

12 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 ini, pembebanan hipotek atas

kapal harus dilakukan dengan cara membuat pembuatan akta hipotek oleh

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat di mana kapal

yang akan dihipotekkan tersebut didaftarkan dan kemudian dicatat

(didaftarkan) dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal. Pembebanan dan

Pendaftaran hipotek atas kapal tersebut dimaksud untuk memberikan


313

kedudukan yang diutamakan (prioritas) kepada kreditor penerima

(pemegang) hipotek kapal terhadap kreditor lain dalam pelunasan utang

tertentu.

Selanjutnya sebagai tanda bukti adanya hipotek kapal, diterbitkan

Grosse Akta Hipotek yang diberikan kepada penerima hipotek yang

mempunyai kekuatan eksekutorial. Dalam Pasal 60 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2008 menegaskan bahwa setiap akta hipotek

diterbitkan 1 (satu) Grosse Akta Hipotek yang diberikan kepada penerima

hipotek. Kemudian ketentuan dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2008 menegaskan, bahwa Grosse Akta Hipotek

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial

yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.

Dari ketentuan dalam Pasal 60 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2008 diketahui bahwa Grosse Akta Hipotek berfungsi

sebagai surat tanda bukti adanya hipotek kapal yang mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan

hukum tetap. Dengan kekuatan (titel) eksekutorial tersebut, maka pemegang

hipotek kapal dapat menggunakan grosse akta hipotek kapalnya sebagai

landasan hukum untuk melaksanakan eksekusi tanpa melalui proses

gugatan di pengadilan. Apabila debitor cedera janji, berdasarkan kekuatan

eksekutorial yang terdapat dalam Grosse Akta Hipotek, kreditor penerima

hipotek kapal dapat secara serta-merta melakukan eksekusi sebagaimana


314

halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap melalui lembaga parate eksekusi (ecexutie), yakni tanpa harus

melalui proses gugatan di muka pengadilan.

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal dapat

menerbitkan grosse akta pengganti terhadap grosse akta hipotek kapal yang

hilang. Hal itu dapat dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 60 ayat (5) Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2008 yang menetapkan bahwa dalam hal Grosse

Akta Hipotek hilang dapat diterbitkan grosse akta pengganti

berdasarkan penetapan pengadilan. Artinya, penerbitan grosse akta

pengganti Grosse Akta Hipotek Kapal tidak serta-merta, sebelumnya

harus ada penetapan pengadilan.

Sama halnya dengan Hak Tanggungan, penghipotekan kapal dapat

dibebani lebih dari satu hipotek, sehingga terdapat pemegang hipotek

kapal peringkat pertama, peringkat kedua dan seterusnya, yang

ditentukan berdasarkan tanggal dan nomor urut akta hipotek kapal

yang bersangkutan. Kemungkinan ini ditegaskan dalam ketentuan

Pasal 61 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, bunyinya sebagai

berikut :

(1) Kapal dapat dibebani lebih dari 1 (satu) hipotek.

(2) Peringkat masing-masing hipotek ditentukan sesuai dengan

tanggal dan nomor urut akta hipotek.

Hipotek kapal dimungkinkan pula untuk dialihkan kepada penerima


315

hipotek baru oleh penerima hipotek yang bersangkutan. Ketentuan dalam

Pasal 62 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 menegaskan, bahwa

pengalihan hipotek dari penerima hipotek kepada penerima hipotek

yang lain dilakukan dengan membuat akta pengalihan hipotek oleh

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal

didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2008 ini pengalihan hipotek dapat dilakukan dengan melalui

proses membuat akta pengalihan hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan

Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan, selanjutnya

dicatat (didaftarkan) dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal di tempat

kapal didaftarkan.

Sebelumnya berkenaan dengan pembebanan hipotek atas kapal,

ketentuan dalam Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun

2002 menetapkan, bahwa pembebanan hipotek atas kapal harus

dilakukan dengan pembuatan akta hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan

Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal terdaftar, yang dilengkapi

dengan dokumen-dokumen berupa :

g. Grosse akta pendaftaran atau balik nama kapal;

h. Perjanjian kredit;

i. Surat kuasa penghadap (bila diperlukan).

Bila memenuhi persyaratan, maka dibuatkan akta hipotek oleh

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama, kemudian diterbitkan satu


316

grosse akta hipotek, yang diberikan kepada penerima hipotek. Bila grosse

akta hipotek hilang maka berdasarkan penetapan pengadilan dapat

diterbitkan grosse akta pengganti.

Dalam praktiknya, pembuatan akta hipotek atas kapal laut dapat

dilakukan melalui dua cara sebagaimana di bawah ini :

1. Bank atau lembaga keuangan pemberi pinjaman mengajukan

permohonan pemasangan hipotek atas kapal kepada Administrator

Pelabuhan/Kepala Kantor Pelabuhan di tempat kapal tersebut

terdaftar dengan melampirkan surat-surat sebagai berikut :

a. Asli grosse akta pendaftaran/balik nama kapal;

b. Kuasa memasang hipotek (sesuai dengan Pasal 1171 KUH

Perdata);

c. Perjanjian kredit;

d. Surat kuasa penghadap (bila diperlukan).

2. Kreditor dan debitor masing-masing mengajukan permohonan

pemasangan hipotek atas kapal kepada Administrator

Pelabuhan/Kepala Kantor Pelabuhan di tempat kapal terdaftar

dengan melampirkan surat-surat sebagai berikut:

a. Asli grosse akta pendaftaran/balik nama kapal;

b. Perjanjian kredit;

c. Surat kuasa penghadap (bila diperlukan);

d. Surat persetujuan Komisaris Perusahaan Pemilik Kapal yang

dibebani hipotek (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut


317

Departemen Perhubungan, 2002: 3)

Menurut Sofwan (1982:28), demi tercapainya lembaga jaminan

yang kuat, maka proses terjadinya hipotek harus dilakukan melalui 3

fase/tingkat yang berurutan, yang harus terjadi secara lengkap dan

memenuhi persyaratan yang berlaku. Fase yang pertama adalah

berupa perjanjian pemberian kredit/perjanjian membuka kredit oleh

lembaga perbankan dengan kesanggupan jaminan hipotek. Fase

kedua lazim disebut perjanjian pemberian hipotek dan fase yang

ketiga lazim disebut pemasangan hipotek/pendaftaran hipotek.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2008 diatur lagi ketentuan berkenaan dengan pencoretan

hipotek kapal yang tidak jauh berbeda dengan pengaturan yang terdapat

dalam Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002, yang

menetapkan sebagai berikut :

(1) Pencoretan hipotek (roya) dilakukan oleh Pejabat Pendaftar dan

Pencatat Balik Nama Kapal atas permintaan tertulis dari penerima

hipotek.

(2) Dalam hal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diajukan oleh pemberi hipotek, permintaan tersebut dilampiri

dengan surat persetujuan pencoretan dari penerima hipotek.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui,

bahwa pencoretan (roya) hipotek atas kapal atau hak kebendaan


318

lainnya atas kapal dilakukan oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat

Balik Nama Kapal, yang didaftarkan atas permintaan tertulis dari

penerima atau pemegang hipotek yang bersangkutan atau atas

permintaan tertulis dari pemberi hipotek dengan disertai surat persetujuan

roya dari penerima hipotek. Selain itu, pencoretan hipotek atas kapal laut

dan kebendaan lainnya atas kapal laut, selain didasarkan atas permintaan

pemberi atau penerima hipotek, juga dapat dilakukan berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

B. Landasan Teori

Dalam mengkaji permasalahan yang ada dalam penelitian ini maka

penulis mengedepankan beberapa teori sebagai acuan dalam

menganalisis permasalahan yang ada. Teori-teori dimaksud adalah :

1. Teori Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja

Teori Hukum Pembangunan dikemukakan oleh Mochtar

Kusumaatmadja, yang menegaskan bahwa hukum yang dibuat harus

sesuai dan harus memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Hukum

agar dapat berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat

hendaknya harus ada legalisasi dari kekuasaan negara. Supaya ada

kepastian hukum, maka hukum harus dibuat secara tertulis sesuai dengan

ketentuan yang berlaku dan ditetapkan oleh Negara (Manan, 2005 : 21).
319

Hukum pada hakikatnya merupakan sarana penunjang

perkembangan masyarakat dan pembangunan. Dalam hal ini, tujuan

pembangunan hukum haruslah dapat memberi kepastian hukum dan

ketertiban hukum pada semua bidang pembangunan, disamping

memberikan pengarahan serta menunjang kebutuhan-kebutuhan hukum

masyarakat. Tujuan pembangunan hukum ini dimaksudkan untuk

mencapai tujuan dari hukum itu sendiri yaitu ketertiban. Kebutuhan akan

ketertiban ini adalah syarat fundamental bagi adanya suatu masyarakat

yang teratur (Kusumaatmadja, 1978 : 2).

Menurut Mochtar Kusumaatmadja sebagaimana dikutip oleh

Manan (2005: 21), hukum sebagai kaidah sosial tidak terlepas dari nilai

yang berlaku di suatu masyarakat, dalam hal ini hukum itu merupakan

pencerminan dari pada nilai-nilai yang berlaku dari masyarakat itu. Jadi

fungsi hukum adalah sarana pembaharuan masyarakat sebagaimana

konsep ilmu hukum yang bersumber pada teori ”law as a tool of social

engineering” dari Roscoe Pound namun dalam jangkauan dan ruang

lingkup yang luas. Menurut Hartono (1982: 10) fungsi hukum dalam

konteks pembangunan adalah : (1) pemelihara ketertiban dan keamanan;

(2) sarana pembangunan; (3) sarana penegak keadilan; (4) sarana

pendidikan masyarakat.

Konsepsi law as a tool of social engineering yang di negara Barat

pertama kali dipopulerkan oleh aliran pragmatic legal realism (Lili Rasjidi

dalam Sinta, 2009: 4). Berkaitan dengan teori Roscoe Pound ini, menurut
320

Achmad Ali (1998 : 284) satu hal yang tidak banyak diketahui oleh

kalangan hukum kita adalah bahwa meskipun yang mengumandangkan

kembali di akhir dasawarsa lalu adalah Roscoe Pound, namun

sebenarnya konsep penggunaan hukum sebagai a tool of social

engineering bukanlah konsep baru yang orisinal ide Roscoe Pound.tapi

sudah dikenal sejak abad ke- 17.

Selanjutnya menurut Kusumaatmadja (1976:15) pengertian hukum

yang memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu

perangkat kaidah atau asas-asas yang mengatur kehidupan manusia

dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan

proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam

kenyataan.

Jika diterapkan teori dimaksud dalam pembaruan peraturan

perundang-undangan Hipotek Kapal, maka diharapkan peraturan

perundang-undangan Hipotek Kapal kedepan akan berfungsi sebagai

sarana pengatur arah perkembangan hipotek kapal ke depan dengan

konsep hukum yang lebih memberikan perlindungan hukum berupa

kepastian hak pemegang hipotek (kreditor).

2. Teori Sistem Hukum dari Lawrence M. Friedman dan Fuller

Menurut Lawrence M. Friedman (1975 : 14), sistem hukum

merupakan suatu sistem yang meliputi tiga elemen penting (three


321

elements of legal system) yaitu, struktur hukum (legal structure), substansi

hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).

Struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka atau

rangkanya sistem hukum, bagian yang tetap bertahan atau bagian yang

memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di

Indonesia, yang termasuk dalam struktur hukum meliputi institusi-institusi

penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

Kedudukan dari institusi-institusi ini tentu memegang peranan penting bagi

tercapainya tujuan hukum.

Substansi hukum (legal substance) berisi aturan, norma dan pola

perilaku nyata manusia dalam masyarakat yang berada dalam sistem

hukum tersebut. Dalam hal ini substansi hukum meliputi peraturan

perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di Indonesia

dikenal adanya Hukum Materiil yang terdiri dari Hukum Perdata, Hukum

Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi dan Hukum Formil yang

terdiri dari Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, dan lain-lain

(Saliman, 2010:5).

Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan

sistem hukum maupun kepercayaan, nilai-nilai, pemikiran serta

harapannya. Dalam hal ini kultur hukum merupakan suasana pikiran sosial

dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,

dihindari atau disalahgunakan.


322

Menurut Lawrence M. Friedman sebagaimana dikutip

Rompegading (2007:13), bahwa untuk terciptanya suatu peraturan yang

ideal ialah dipenuhinya komponen-komponen substansi hukum, struktur

hukum, dan budaya hukum. Substansi hukum itu merupakan masukan,

prosesnya adalah struktur hukum sedangkan keluarannya adalah budaya

hukum.

Lawrence M. Friedman di dalam mengkaji masalah sistem hukum

pada dasarnya memandang hukum dari luar hukum (the outside) dengan

membahas sistem hukum dari sudut pandang ilmu sosial. Dari sudut

pandang ini Lawrence M. Friedman berpendapat bahwa hukum

merupakan salah satu dari sekian banyak sistem sosial yang ada, dimana

sistem-sistem sosial lain yang ada di masyarakat memberi hukum itu

makna dan pengaruh (Lawrence M. Friedman, 1975: 24).

Menurut Fuller untuk mengukur adanya suatu sistem hukum

terdapat 8 (delapan) asas hukum yang disebut sebagai principles of

legality yaitu :

a. Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, artinya

bahwa tidak boleh mengandung sekedar putusan-putusan ad hoc.

b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.

c. Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut. Membolehkan

peraturan berlaku surut berarti merusak integritas peraturan yang

ditujukan untuk berlaku bagi waktu yang akan dating.


323

d. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat

dimengerti.

e. Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang

bertentangan satu sama lain.

f. Parturan-peraturan tidak boleh megandung tuntutan yang melebihi apa

yang dapat dilakukan.

g. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering merubah peraturan.

h. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan

pelaksanaannya sehari-hari (Rahardjo, 2000:51)

3. Teori Hukum Progresif dari Satjipto Rahardjo

Teori hukum progresif berasal dari gagasan Profesor Satjipto

Rahardjo dalam mengamati penyelenggaraan hukum pada masa transisi

orde baru. Menurut Satjipto Rahardjo pemikiran hukum perlu kembali

pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi

tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum.

Hukum bertugas melayani manusia bukan sebaliknya. Oleh karena itu,

hukum itu bukan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu

hukum, ditentukan oleh kemampuannya mengabdi pada kesejahteraan

manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut ideologi hukum

yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat. Dengan ideologi ini,

dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk


324

melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan

kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum (Tanya dkk, 2010:212)

Satjipto Rahardjo (2007:9) mengatan baik faktor peranan manusia,

maupun masyarakat, ditampilkan kedepan, sehingga hukum lebih tampil

sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan

bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks hukum itu sendiri.

Hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri, melainkan untuk

manusia, khususnya kebahagiaan manusia.

Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada

peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum

dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat

melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif

terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan

peraturan (changing the law). Peraturan yang buruk tidak harus menjadi

penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan

keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat

melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan.

Para pelaku hukum dalam hal ini lembaga peradilan semakin

dituntut kapasitasnya dalam memutuskan perkara. Para pencari keadilan

(justiciabellen) tentu sangat mendambakan perkara-perkara yang diajukan

ke pengadilan dapat diputus oleh hakim-hakim yang professional dan

memiliki intergritas moral yang tinggi, sehingga dapat melahirkan putusan-

putusan yang tidak saja mengandung aspek kepastian hukum (keadilan


325

procedural), tetapi juga berdimensikan legal justice, moral justice, dan

social justice (Sutiyoso, 2010:4).

Merumuskan konsep keadilan progresif ialah bagaimana bisa

menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan prosedur. Akibat

dari hukum modern yang memberikan perhatian besar terhadap aspek

prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar

antara pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi.

Keadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur

melainkan keadilan substantif.

Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui

hukum modren disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan

timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau

kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan

prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik

ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi

(accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya

trials without truth (Rahardjo, 2007:272).

Dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti

pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung memegang

peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia

memiliki kekuasaan untuk mendorong (encourage) pengadilan dan hakim

di negeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut. Hakim

menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia


326

bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang, melainkan

mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progresif semakin jauh dari

cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila

membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses

pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan

sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari

kebenaran (Rahardjo, 2007: 276)

Hukum progresif tidak sekali-kali menafikan peraturan yang ada

sebagaimana dimungkinkan dalam aliran freirechtslehre. Meski begitu, ia

tidak seperti legalisme yang mematok peraturan sebagai harga mati atau

analytical jurisprudence yang hanya berkutat pada proses logis-formal.

Hukum progresif merangkul, baik peraturan maupun kenyataan/kebutuhan

sosial sebagai dua hal yang harus dipertimbangkan dalam tiap keputusan.

Menurut Rahardjo, antara hukum progresif dengan legal realism juga

memiliki kemiripan logika, yaitu dalam hal hukum tidak dilihat dari

kacamata logika internal hukum itu sendiri. Baik hukum progresif maupun

legal realism, melihat dan menilai hukum dari tujuan sosial yang ingin

dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu

(Tanya dkk, 2010:214).

Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah

menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari

peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan

makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum.
327

Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan

kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan

dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap

penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain

daripada yang biasa dilakukan (Rahardjo, 2009:13). Dalam sistem hukum

dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya

melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi

bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya

merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep

keadilan yang telah disepakati bersama (Rahardjo, 2006:270)

4. Teori Hukum dan Keadilan dari Gustav Radbruch

Gustav Radbruch adalah seorang profesor hukum pidana dan

profesor filsafat hukum di Universitas Konigsberg, Kiel, dan Heidelberg.

Radbruch yang pernah menjadi dekan Fakultas Hukum dikenal sebagai

”Bapak Reformasi Pendidikan Hukum” di Jerman dengan melakukan

reorientasi dan reorganisasi dalam pendidikan hukum Jerman (Achmad

Ali, 2009 : 182).

Gustav Radbruch mematrikan kembali nilai keadilan sebagai

mahkota dari setiap tata hukum dan berusaha mengatasi dualisme antara

Sein dan Sollen, antara ‘materi’ dan ‘bentuk’. Jika Stammler dan Kelsen

terperangkap dalam dualisme itu sehingga yang dipentingkan dalam

hukum hanyalah dimensi formal atau ‘bentuk’-nya, maka Radbruch tidak


328

mau terjatuh dalam kesesatan yang sama. Radbruch memandang Sein

dan Sollen, ‘materi’ dan ‘bentuk’, sebagai dua sisi dari satu mata uang.

‘Materi’ mengisi ‘bentuk’, dan ‘bentuk’ melindungi ‘materi’. Itulah kira-kira

frase yang tepat untuk melukiskan teori Radbruch tentang hukum dan

keadilan. Nilai keadilan adalah ‘materi’ yang harus menjadi isi aturan

hukum sedangkan aturan hukum adalah ‘bentuk’ yang harus melindungi

nilai keadilan (Tanya dkk, 2010:129).

Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, menurut Radbruch

menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu nilai

keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan

demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi

hukum. Ia normatif, karena berfungsi sebagai prasyarat trasendental yang

mendasari tiap hukum positif yang bermartabat. Ia menjadi landasan

moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Kepada

keadilan-lah, hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena

keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa

keadilan sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.

Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan kultural, tidak

bisa formal. Sebaliknya, ia terarah pada rechtsidee, yakni keadilan.

Keadilan sebagai suatu cita, seperti ditunjukkan oleh Aristoteles, tidak

dapat mengatakan lain kecuali : ‘yang sama diperlakukan sama, dan yang

tidak sama diperlakukan tidak sama’. Keadilan menurut Arstoteles tidak

boleh dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan bukan berarti


329

bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama (Apeldoorn,

2009:11). Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, kita

harus menengok pada segi finalitasnya. Dan untuk melengkapi keadilan

dan finalitas itu, dibutuhkan kepastian. Jadi menurut Radbruch, hukum

memiliki tiga aspek, yakni keadilan finalitas dan kepastian (Huijbers dalam

Tanya dkk, 2010:130).

Dalam literatur lain ketiga aspek ini disebut sebagai tiga ide dasar

hukum yang diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum, yaitu keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum. Bagi Radbruch, ketiga ide dasar

hukum itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, yaitu

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Namun demikian Radbruch

menyadari bahwa ketiganya bisa tejadi benturan atau ketegangan.

Misalnya hakim dalam keputusannya dirasa adil menurut persepsi

keadilan yang dianut oleh hakim bagi penggugat atau tergugat, bagi

terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi

masyarakat luas. Sebaliknya, kalau kemanfaatan masyarkat luas

dipuaskan, maka perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa

dikorbankan. Menghadapi siatuasi yang demikian maka menurut

Radbruch kita harus menggunakan asas prioritas, dimana prioritas

pertama adalah keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan terakhir barulah

kepastian hukum. Kemanfaatan dan kepastian hukum tidak boleh

bertentangan dengan keadilan, demikian juga kepastian hukum tidak

boleh bertentangan dengan kemanfaatan (Achmad Ali, 2009:288-289).


330

Berkaitan dengan tujuan hukum, maka menurut Asep Warlan

Yusuf tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bernegara dan

bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah

hidup masyarakat itu sendiri, yakni keadilan (rechtsvaardigheid atau

justice). Dengan demikian keberadaan hukum merupakan sarana untuk

mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup lahir batin dalam

kehidupan bersama (Oktoberina dan Savitri, 2008:220-221).


331

C. Skema Kerangka Pikir

KEPASTIAN HUKUM KREDITOR


DALAM PELAKSANAAN JAMINAN HIPOTEK KAPAL

Landasan Hukum :
- KUH Perdata S. 1847-23 (Buku Kedua tentang Kebendaan Bab XXI Pasal 1162 s/d
1232.
- KUHD S.1847-23 (Buku Kedua tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban yang
Terbit Dari Pelayaran Bab KesatuPasal 314 s/d 315e.
- Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Bab VI Hipotek Dan Piutang
Pelayaran yang didahulukan (Pasal 60 s/d 66)
- Konvensi Internasional tentang Piutang Maritim dan Mortgage 1993
- HIR (Herziene Indlansch Reglement) atau Reglemen Indonesia Baru S.1848-16
Landasan Teori :
- Teori Hukum Pembangunan (Mochtar Kusumaatmadja)
- Teori Sistem Hukum (Lawrence M. Friedman, Fuller)
- Teori Hukum Progresif (Satjipto Rahardjo)
- Teori Tujuan Hukum (Gustav Radbruch)

Eksistensi Lembaga Jaminan Hakikat Hukum Jaminan Kedudukan Grosse Akta


Hipotek Kapal Dalam Sistem Hipotek Kapal Hipotek Kapal Dalam
Hukum Jaminan Indonesia Memberikan KepastianHukum

 Perlindungan Hukum Kreditor  Asas Hukum Jaminan  Titel Eksekutorial pada


 Sistem Hukum Pembebanan Hipotek Kapal Grosse Akta Hipotek Kapal
Hipotek Kapal  Norma Hukum Jaminan  Penerapan Titel
Hipotek Kapal Eksekutorial

Terwujudnya Kepastian
Hukum Dalam Pelaksanaan
Hipotek Kapal
332

D. Definisi Operasional Variabel

1. Kepastian hukum adalah kepastian dalam pengaturan hukum dan

dalam pelaksanaan peraturan hukum.

2. Kreditor adalah pemegang hipotek/penerima hipotek sebagai pihak

yang memberikan pinjaman atau kredit dalam hal ini pihak bank.

3. Debitor adalah pemberi hipotek yang menerima pinjaman atau kredit

dalam hal ini pihak pemilik kapal.

4. Hipotek kapal adalah hak jaminan kebendaan atas kapal laut yang

terdaftar dengan ukuran minimal 20 m 3 atau setara dengan ukuran

tonase kotor 7 (7 GT) sebagai jaminan bagi pelunasan utang.

5. Eksistensi lembaga jaminan hipotek kapal adalah keberadaan terkait

dengan fungsi atau manfaat lembaga jaminan hipotek kapal dalam

menjamin pelunasan kredit berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang ada.

6. Hakikat hukum jaminan hipotek kapal adalah keberadaan hukum

hipotek kapal menurut dasarnya yang paling dalam atau dengan kata

lain sebab terdalam dari adanya hukum hipotek kapal, bukan sifat dan

bukan bentuk.

7. Grosse Akta Hipotek Kapal adalah salinan dari Akta Hipotek Kapal

yang diberikan kepada pihak bank sebagai bukti adanya pembebanan

hipotek kapal.

8. Titel eksekutorial adalah pernyataan berupa irah-irah yang berbunyi

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang


333

termuat dalam Grosse Akta Hipotek yang dipersamakan dengan

putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

9. Perlindungan hukum adalah adanya jaminan hukum untuk

terpenuhinya hak-hak kreditor sehubungan dengan pengikatan

hipotek kapal
334

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Adapun tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif

(normative legal research) dan penelitian hukum empirik (empirical legal

research). Berdasarkan kedua tipe penelitian tersebut, maka untuk

penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas

hukum, sistematik hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum.

Sedangkan untuk penelitian hukum empirik menggunakan pendekatan

yuridis sosiologis (socio legal approach).

B. Lokasi Penelitian

Penelitiaan ini dilakukan di Manado, Bitung dan Jakarta pada tahun

2012. Penentuan lokasi penelitian dengan pertimbangan kota-kota ini

cukup dapat memenuhi bahan-bahan penelitian dan data-data lainnya

terkait dengan permasalahan penelitian, disamping itu kota-kota tersebut

mempunyai sarana pelabuhan laut yang tentunya sangat terkait dengan

praktik lembaga jaminan hipotek kapal.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini terdiri dari para pihak yang terkait

dalam pelaksanaan pembebanan Jaminan Hipotek Kapal yaitu:


335

1. Pimpinan Bank;

2. Pengusaha perkapalan;

3. Pimpinan Kantor pelabuhan;

4. Hakim;

5. Notaris.

Adapun pengambilan sampel dengan cara purposive sampel atau

sampel bertujuan, artinya memilih sampel berdasarkan penilaian tertentu

karena unsur-unsur, atau unit-unit yang dipilih dianggap mewakili

populasi. Penentuan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

- Untuk pimpinan Bank, sebagai responden berjumlah 10 orang (Bank

Mandiri Jakarta 4 orang, BRI Jakarta 2 orang, BNI Jakarta 3 orang,

Bank Sulut Manado 1 orang)

- Untuk pengusaha perkapalan, sebagai responden berjumlah 10 orang

yang berkedudukan di Jakarta.

- Untuk pimpinan Kantor Pelabuhan sebagai responden berjumlah 10

orang (Syahbandar Kelas Utama Tanjung Priok 4 orang, Syahbandar

Kelas III Manado 3 orang, Syahbandar Kelas I Bitung 3 orang)

- Untuk Hakim, sebagai responden berjumlah 10 orang (Hakim PN

Jakarta Barat 1 orang, Hakim PN Jakarta Pusat 1 orang, Hakim PN

Jakarta Utara 1 orang, Hakim PN Manado 7 orang)

- Untuk Notaris sebagai responden berjumlah 10 orang yang

berkedudukan di Manado.
336

D. Jenis dan sumber data

Dalam konteks penelitian hukum normatif, maka jenis data dalam

penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Menurut Marzuki (2009:141), bahan hukum primer merupakan bahan

hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum

primer bersumber dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau

risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder bersumber dari publikasi

tentang hukum meliputi buku-buku teks, jurnal-jurnal hukum, kamus-

kamus hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan yang

relevan dengan topik penelitian.

Dalam pengkajian ilmu hukum empiris pemaknaan data di sini

adalah fakta sosial berupa masalah yang berkembang di tengah

masyarakat yang memiliki signifikansi sosiologis (Nasution, 2008:166).

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data baik data berupa

bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder adalah melalui studi

kepustakaan (library research). Sedangkan untuk data empirik didapat

melalui teknik wawancara kepada responden dengan pertanyaan yang

telah dipersiapkan terlebih dahulu.


337

F. Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis sesuai dengan karakter atau sifat

dari masing-masing data, sehingga dalam penelitian ini menggunakan

metode analisis isi (content analysis) untuk bahan hukum primer dan

sekunder dan analisis kualitatif untuk data yang diperoleh melalui

wawancara.
338

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Eksistensi Lembaga Jaminan Hipotek Kapal Dalam Sistem Hukum

Jaminan Indonesia

1. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor

Mengkaji tentang eksistensi lembaga jaminan hipotek kapal dalam

sistem hukum jaminan Indonesia dimaksudkan adalah dalam rangka

mengetahui dan memahami fungsi dan kegunaan jaminan hipotek kapal

yang terkandung dalam keseluruhan perangkat peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang hipotek kapal atau peraturan yang

terkait dengan hipotek kapal. Perangkat peraturan perundang-undangan

dimaksud, ada yang masih berasal dari produk hukum semasa pemerintah

kolonial dan ada pula produk hukum bentukan bangsa Indonesia sendiri.

Fenomena masih berlakunya peraturan perundang-undangan

bentukan bangsa asing bukanlah hal yang mustahil dapat terjadi

mengingat konstitusi masih memberikan ruang untuk itu. Pasal I Aturan

Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 Pascaamandemen menyebutkan :

“Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku

selama masih belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar

ini”. Demikian pula dikaitkan dengan capaian Program Legislasi Nasional

(Prolegnas) oleh pemerintah dapat dikatakan belum signifikan

dihubungkan dengan berlakunya produk hukum nasional yang baru


339

menggantikan produk hukum peninggalan bangsa asing (Belanda).

Sebagai contoh upaya untuk menggantikan berlakunya KUH Pidana dan

KUH Perdata setelah sekian lama dibahas masih sebatas rancangan

belum sampai pada pengesahan dan pemberlakuan, termasuk juga

undang-undang tentang Hipotek Kapal.

Aspek sejarah kehidupan bangsa Indonesia di masa lalu

merupakan bagaian yang tidak dapat dikesampingkan dalam

mempengaruhi perkembangan tata hukum Indonesia. Sehubungan

dengan hal ini menurut Ali (2002:20), memperhatikan perkembangan

sistem hukum Indonesia, akan terlihat adanya ciri-ciri yang spesifik dan

menarik untuk dikaji. Sebelum pengaruh hukum dari penjajahan Belanda

di Indonesia, berlaku hukum adat dan hukum Islam yang berbeda-beda

dari berbagai masyarakat adat di Indonesia dari setiap kerajaan dan etnik

yang berbeda. Setelah masuk penjajah Belanda membawa hukumnya

sendiri yang sebagian besarnya merupakan konkordansi dengan hukum

yang berlaku di Belanda yaitu hukum tertulis dan perundang-undangan

yang bercorak postivis. Walaupun demikian Belanda menganut politik

hukum adat, yaitu membiarkan hukum adat itu berlaku bagi golongan

masyarakat Indonesia asli dan hukum Eropa berlaku bagi kalangan

golongan Eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda).

Dengan demikian pada masa Hindia Belanda berlaku pluralisme hukum.

Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh

hukum kolonial dan meninggalkan hukum adat.


340

Namun demikian tidak ada salahnya pula jika hukum produk

peninggalan Belanda tetap berlaku asalkan masih relevan dalam

mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Menurut

Metrokusumo (1986:13) ada beberapa pertimbangan yang mendasari

keberlakuan hukum produk dan peninggalan Belanda antara lain :

1. Para ahli tidak pernah mempersoalkan secara mendalam tentang

mengapa “hukum Belanda” masih berlaku di Indonesia. Tatanan

hukum Indonesia hendaknya tidak dilihat sebagai kelanjutan dari tata

hukum Belanda, tetapi sebagai tata hukum nasional;

2. Sepanjang hukum tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan

UUD 1945, peraturan perundang-undangan serta dibutuhkan; dan

3. Apabila hukum tersebut bertentangan, maka menjadi tidak berlaku lagi.

Adapun perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang jaminan hipotek kapal dan peraturan lainnya yang terkait dengan

jaminan hipotek kapal yang menjadi kerangka dari sistem hukum jaminan

Indonesia, maka berdasarkan inventarisasi hukum yang peneliti lakukan

adalah sebagai berikut :

1. KUH Perdata S.1847-23 (Buku Kedua tentang Kebandaan Bab XXI

Pasal 1162-1232.

2. KUH Dagang S. 1847-23 (Buku Kedua tentang Hak-hak dan

Kewajiban-kewajiban yang Terbit dari Pelayaran Bab Kesatu Pasal

314 s/d 315e).


341

3. Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Bab VI

Hipotek dan Piutang Pelayaran yang didahulukan (Pasal 60 s/d 66).

4. Undang-Undang No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

5. Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi

Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS 1982).

6. HIR (Herziene Inlansch Reglement) atau Reglemen Indonesia Baru

S.1848-16.

7. RBg (Reglement voor de Buitengewesten) S.1927-227.

8. Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement Ordonantie) 28 Februari

1908 S.1908-189 terakhir diubah dengan S.1941-3.

9. Regeling van de Teboekstelling van Schepen (Peraturan Pendaftaran

Kapal) S.1933-48 jo. S.1938-2 berlaku 1 April 1938 (Peraturan

Pelaksanaan dari Pasal 314 KUH Dagang).

10. Overschrijvings Ordonantie (Peraturan Baliknama) S.1834-27.

11. Penetapan Surat-Surat Laut dan Pas-Pas Kapal S.1934-78.

12. Zeebrievenen Scheepspassen Ordonantie (Ordonansi Surat-Surat

Laut dan Pas-Pas Kapal) S.1935-492 jo. 565 berlaku 1 Desember

1935.

13. Peraturan Surat-Surat Laut dan Pas-Pas Kapal S. 1935-564

14. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan (Bab V

Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal Indonesia Pasal 33 dan 35).

15. Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 2010 tentang Angkutan Perairan.


342

16. Peraturan Presiden RI No.44 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Convention on Maritiem Liens and Mortgages 1993.

17. Keputusan Presiden No.5 Tahun 1989 tanggal 25 Januari 1989

tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Pengukuran Kapal

1969 (International Convention on Tonnage Measurement of Ship /

TMS 1969).

18. Peraturan Menteri Perhubungan No. 6 Tahun 2005 tentang

Pengukuran Kapal.

19. Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 13 Tahun 2012 tentang

Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal.

20. Peraturan Menteri Perhubungan No. KM. 26 Tahun 2006 tentang

Penyederhanaan Sistem dan Prosedur Pengadaan Kapal dan

Penggunaan/Penggantian Bendera Kapal.

21. Peraturan Menteri Keuangan No.93/PMK.06 Tahun 2010 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Lelang.

Dari keseluruhan perangkat peraturan perundang-undangan di

bidang jaminan hipotek kapal, maka sebagai dasar hukum materil yaitu

mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari adanya hubungan

hukum jaminan hipotek, asas-asas hipotek, janji-janji hipotek dan

sebagainya masih mengacu pada KUH Perdata Buku II Bab XXI.

Sedangkan secara formal terkait dengan pembebanan hipotek kapal

mengacu pada KUHD dan UU Pelayaran No.17 Tahun 2008 beserta

peraturan pelaksanaannya.
343

Sistem hukum jaminan Indonesia memberikan kedudukan yang

penting bagi lembaga jaminan hipotek kapal sebagaimana pendapat

responden yang ditunjukkan pada tabel 1 di bawah ini :

Tabel 1
Kedudukan lembaga jaminan Hipotek Kapal
dalam Sistem Hukum Jaminan Indonesia

Responden
Jumlah
No. Penilaian PB PP PKP Hakim Notaris

F % F % F % f % f % F %

1 Penting 8 80 7 70 10 100 9 90 10 100 44 88

2 Ragu-ragu 2 20 2 20 0 0 1 10 0 0 5 10

3 Tidak Penting 0 0 1 10 0 0 0 0 0 0 1 2

Jumlah 10 100 10 100 10 100 10 100 10 100 50 100

Sumber : Diolah dari data primer 2012

Keterangan :
PB : Pimpinan Bank
PP : Pengusaha Perkapalan
PKP : Pimpinan Kantor Pelabuhan

Dari data yang ditunjukkan pada Tabel 1 di atas, sebagian besar

responden (88%) berpendapat pentingnya lembaga jaminan hipotek kapal

dalam sistem hukum jaminan Indonesia. Adapun alasan yang diberikan

oleh karena hipotek kapal masih diterapkan dan menjadi pilihan sebagai

sarana bagi nasabah debitor dalam memperoleh dana atau pembiayaan.

Sedangkan 10% menjawab ragu-ragu dengan alasan yang terkait dengan

fungsi dan perannya yang dirasa belum sebagaimana yang diharapkan.

Demikian pula terdapat 2 % responden yang menyatakan tidak penting


344

dengan alasan terkait dengan sangat selektifnya pihak bank terhadap

pengikatan hipotek kapal yang mengakibatkan sulitnya mendapatkan

pinjaman/kredit.

Filsufi dari jaminan hipotek kapal di satu sisi membantu debitor

guna menciptakan kepercayaan dari kreditor (bank) untuk memberikan

kredit kepada debitor, di sisi yang lain, adalah dalam rangka memberi rasa

aman bagi kreditor akan pengembalian utang/kredit oleh debitor. Tidak

hanya sampai disitu saja melainkan berdasarkan sifat dari hipotek sebagai

hak jaminan kebendaan menempatkan hipotek kapal sebagai lembaga

jaminan yang kuat dan ampuh dalam memberikan kepastian hukum bagi

kreditor.

Dalam kerangka hukum jaminan Indonesia, hipotek kapal termasuk

dalam jaminan kebendaan (Zakelijke Zekerheidrechten), yang lahirnya

karena diperjanjikan atau berdasarkan perjanjian antara debitor dan

kreditor.

Disamping itu masih ada bentuk jaminan kebendaan lain yang

diakui keberadaannya dalam praktik di Indonesia yaitu Hak Tanggungan,

Fidusia dan Gadai. Hak Tanggungan objeknya adalah tanah dan benda-

benda yang ada di atasnya sedangkan Fidusia dan Gadai objeknya

adalah sama yaitu benda bergerak. Perbedaannya hanya pada

penguasaan dari benda yang dijadikan jaminan, dimana untuk fidusia

benda jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia

sedangkan untuk gadai benda jaminan dikuasai oleh penerima gadai.


345

Adapun perbandingan antara kapal laut sebagai objek Hipotek

dengan tanah sebagai objek Hak Tanggungan adalah sebagai berikut:

Kapal Laut Tanah

- Nilai kapal laut cenderung - Nilai tanah selalu meningkat


menurun
- Harga jual kapal sulit ditentukan - Harga jual tanah lebih mudah
ditentukan (NJOP-PBB)
- Kapal bergerak sehingga lebih - Tanah adalah benda tidak
sulit dalam pelaksanaan eksekusi bergerak sehingga mudah
dieksekusi
- Risiko kerusakan dan musnahnya - Risiko musnahnya tanah sangat
kapal laut lebih besar kecil

- Proses penjualan kapal laut lebih - Proses penjualan tanah lebih


sulit karena pembeli terbatas mudah karena pembeli banyak

Adapun keberadaan hipotek kapal sebagai jaminan kebendaan

dalam ketentuan KUH Perdata dapat peneliti paparkan secara skematis

sebagai berikut :
346

Skema 1. Lembaga jaminan dalam KUH Perdata

Jaminan Umum
( Karena UU )
Psl. 1131
Psl. 1132

Jaminan Kebendaan
(zakelijke
Lembaga Jaminan
zekerheidrechten)
Dalam KUH Pdt
Psl. 1150 (Gadai )
Psl. 1162 (Hipotek)

Jaminan Khusus
(Karena
Diperjkanjikan)
Psl. 1132

Jaminan Perorangan
(Persoonlijke
zekerheidrechten)

Psl. 1820(Borgtocht)
Psl. 1316

Sebagai jaminan kebendaan, hipotek kapal memberikan hak

kebendaan kepada kreditor yang bertujuan untuk melindungi kreditor

dalam pemenuhan akan kewajiban debitor dalam melunasi hutangnya.

Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran secara tegas

menyebutkan pengertian hipotek kapal sebagai hak agunan kebendaan

atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan utang tertentu yang

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu

terhadap kreditor lain (Pasal 1 angka 12).

Dibandingkan dengan pengertian yang diberikan Pasal 1162 KUH

Perdata yang menggunakan istilah hak kebendaan, pada prinsipnya tidak


347

berbeda pengertiannya dengan istilah hak agunan kebendaan dalam UU

Pelayaran. Jika membaca selengkapnya isi Pasal 1162 maka hak

kebendaan merujuk pada hak jaminan kebendaan yang melekat pada

benda tidak bergerak. Hanya saja UU Pelayaran menggunakan istilah hak

agunan kebendaan yang sudah tentu terkandung di dalamnya pengertian

sebagai hak jaminan kebendaan.

Beberapa prinsip yang melekat pada jaminan hipotek kapal telah

membentuk karakter jaminan hipotek kapal sebagai lembaga jaminan

yang bertujuan memberikan perlindungan hukum bagi kreditor sebagai

pemegang hipotek kapal. Karaktar hipotek kapal sebagai jaminan

kebendaan memberikan kepada kreditor hak kebendaan yang bersifat

khusus di antaranya yakni hak absolut atau mutlak yang memberikan

kekuasaan langsung dan dapat dipertahankan terhadap setiap orang atas

kapal yang dijadikan jaminan walaupun secara fisik kapal tidak dalam

penguasaan kreditor.

Analisis ciri-ciri hak kebendaan yang melekat pada hipotek kapal

sebagai jaminan kebendaan yang memberikan perlindungan hukum

kepada kreditor dapat peneliti paparkan sebagai berikut :

a. Bersifat mutlak (absolut)

Sebagai hak yang bersifat mutlak atau absolut maka kreditor

sebagai pemegang hipotek kapal mempunyai hubungan langsung atas

kapal yang dijadikan jaminan dan dapat dipertahankan terhadap siapapun

juga. Namun demikian terhadap hak kepemilikan dan penguasaan fisik


348

atas kapal masih tetap dalam tangan debitor atau pihak pemberi hipotek.

Jika suatu kapal dijadikan sebagai jaminan dalam pemenuhan kewajiban

pembayaran utang, hal ini berarti ada sebagian kekuasaan yang harus

dilepaskan oleh pemilik kapal (debitor). Pada asasnya yang harus

dilepaskan itu adalah kekuasaan untuk mengalihkan hak milik atas kapal

seperti misalnya menjual, menukarkan dan menghibahkan.

Berbeda halnya pada jaminan dalam bentuk barang bergerak

dalam hal ini untuk lembaga gadai, berdasarkan Pasal 1152 ayat (2) KUH

Perdata menentukan bahwa barang yang dijadikan jaminan harus ditarik

dari kekuasaan fisik debitor. Mengingat sifat dari barang bergerak sebagai

jaminan dalam gadai tentunya tidak menjadi masalah sehingga

memungkinkan barang jaminan dikuasai secara fisik oleh kreditor dan ini

pula menjadi semacam ciri khas dalam lembaga gadai. Sebaliknya dalam

hal jaminan benda tak bergerak pada hipotek kapal mengingat sifat dan

ciri benda jaminan, kreditor tidak dapat secara fisik menguasai benda

jaminan.

Penguasaan secara fisik benda jaminan dalam hipotek kapal

tidaklah berarti dalam kaitan dengan upaya pemindahan hak milik atas

kapal sebab yang menentukan untuk itu adalah perbuatan administartif

seperti balik nama. Oleh karena itu yang relevan untuk diperhatikan

adalah mencegah terjadinya balik nama yang dapat berakibat hukum

terjadinya peralihan kepemilikan kapal. Kekhawatiran terjadinya peralihan

kepemilikan benda jaminan sebenarnya tidak menimbulkan persoalan


349

mengingat salah satu sifat dari hak kebendaan adalah sebagaimana

terdapat dalam Pasal 1163 ayat (2) KUH Perdata yang akan di bahas

dalam bagian b berikut ini.

b. Bersifat droit de suite (Pasal 1163 ayat (2) KUHPerdata)

Sebagai jaminan kebendaan, hipotek kapal memiliki hak

kebendaan yang bersifat droit de suite yakni selalu mengikuti bendanya di

dalam tangan siapapun benda itu berada. Sifat yang demikian dari hak

kebendaan hipotek kapal menutup kemungkinan pihak ketiga untuk

memiliki kapal yang telah di bebani hipotek. Dengan kata lain pihak

debitor tidak diperkenankan mengalihkan kepemilikan kapal kepada pihak

ketiga selama kapal tersebut masih dibebani hipotek, sebab hak

kebendaan hipotek kapal yang memberikan jaminan bagi pelunasan utang

debitor tetap akan mengikuti di dalam tangan siapapun kapal itu berada.

Dengan demikian akan membawa kerugian bagi pihak ketiga jika membeli

kapal yang sedang dijaminkan oleh karena peralihan kepemilikan kapal

tidak akan menghapuskan berlakunya hipotek kapal.

Untuk mengatasi persoalan ini maka penting peran dari asas

publisitas yang terkandung dalam jaminan hipotek kapal. Melalui asas ini

terbuka kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui status hukum

sebuah kapal apakah telah ada pembebanan hak lain di atasnya (jaminan

hipotek kapal) atau tidak sebelum diadakan perbuatan hukum terhadap

kapal tersebut. Asas publisitas mensyaratkan bahwa setiap perubahan

terhadap status hukum dari suatu kapal, apakah terkait dengan


350

kepemilikan atau pengikatan dengan hak jaminan hipotek kapal, haruslah

didaftarkan di kantor pendaftaran kapal oleh Pejabat Pendaftar dan

Pencatat Balik Nama Kapal dimana kapal didaftarkan.

c. Adanya tingkatan atau pertingkatan Hipotek (Pasal 1181 KUH Perdata)

Adapun yang dimaksud dengan adanya tingkatan yakni dalam

hubungan dengan diperbolehkannya sebuah kapal dibebankan dengan

beberapa hipotek kapal. Hipotek kapal yang lebih dulu ada atau yang lebih

tua mempunyai peringkat yang lebih tinggi dari hipotek kapal yang ada

kemudian demikian seterusnya sesuai dengan urutan pendaftaran.

Tingkatan-tingkatan ini merupakan realisasi dari suatu asas yang berasal

dari Hukum Romawi di dalam hak kebendaan yaitu mendahulukan hak

yang lebih tua dari yang lebih muda. Dengan demikian dalam hal debitor

melakukan wanprestasi maka hipotek kapal yang tertua atau yang lebih

dulu ada lebih diutamakan dalam mendapatkan pembayaran atau

pelunasan utang yang menjadi kewajiban debitor demikian untuk

seterusnya.

Jika hipotek didaftarkan pada hari yang berbeda tentu tidak menjadi

masalah dalam menentukan hipotek mana yang lebih dulu ada. Akan

tetapi jika terjadi pendaftaran hipotek itu dilakukan pada hari yang sama,

maka sesuai ketentuan Pasal 1181 KUH Perdata hipotek yang terdaftar

pada hari yang sama mempunyai peringkat yang sama walaupun jam

pendaftaran berlainan. Ketentuan ini sesuai pula dengan isi Pasal 315

KUHD bahwa tingkatan hipotek ditentukan berdasarkan hari pembukuan,


351

jika pada hari yang sama mempunyai tingkat yang sama. Berdasarkan

ketentuan ini maka jelas pembuat undang-undang tidak melihat faktor jam

pendaftaran untuk menentukan peringkat dari hipotek yang didaftarkan

pada hari yang sama.

Memperhatikan kepentingan kedua belah pihak (kreditor dan

debitor) peneliti berpendapat bahwa pembebanan beberapa hipotek pada

sebuah kapal sebaiknya tidak diperbolehkan. Kalaupun diperbolehkan

sebaiknya hanya dibatasi sampai pada hipotek yang kedua. Beberapa

alasan yang dapat peneliti kemukakan sehubungan dengan pendapat

tersebut yakni :

1. Dari segi sifat benda jaminan hipotek kapal yang digunakan di laut,

secara fisik nilainya cepat berubah yang tentunya mempengaruhi nilai

jual benda jaminan hipotek kapal, sehingga dapat berpengaruh ketika

akan menutupi utang debitor akibat wanprestasi.

2. Jika terdapat lebih dari satu kreditor, maka dihubungkan dengan

alasan pertama dapat terjadi tidak semua kreditor akan mendapatkan

haknya dalam hal debitor wanprestasi sehingga akan sangat

merugikan kreditor lainnya.

3. Kewajiban debitor menutupi utang pokok ditambah bunga pada

beberapa kreditor dapat mengakibatkan debitor tidak akan

memperoleh kelebihan dari hasil penjualan benda jaminan. Keadaan

ini akan membebani kehidupan ekonomi debitor yang berdampak

negatif bagi kelangsungan usaha debitor.


352

d. Pemegang hipotek kapal mempunyai kedudukan yang diutamakan

(droit de preference)

Hak kebendaan jaminan hipotek kapal memberikan kedudukan

yang istimewa bagi kreditor yang bersifat preferen. Dalam kedudukan

sebagai kreditor preferen ketika debitor tidak dapat memenuhi

kewajibannya yang mengakibatkan kredit macet, maka kreditor

mempunyai hak yang utama atau didahulukan untuk memperoleh

pelunasan dari hasil penjualan benda jaminan. Kedudukan kreditor

preferen lebih terjamin kedudukannya dibandingkan kreditor konkuren

yakni kreditor yang tidak dijamin dengan hak kebendaan (jaminan umum).

Namun demikian menurut peneliti sebagai kreditor preferen bisa saja hak

didahulukan atau diutamakan tidak dapat diberlakukan bagi semua

kreditor preferen. Hal ini dapat terjadi oleh karena ketika suatu kapal

diikat dalam beberapa hipotek sebagaimana telah dibahas dalam bagian c

di atas, maka hak kreditor preferen untuk didahulukan akan ditentukan

oleh hipotek kapal yang lebih dulu ada atau yang lebih tua.

e. Pengalihan Hipotek

Hipotek kapal sebagai bagian dari hak atas harta kekayaan

(vermogentsrecht) dapat dialihkan kepada pihak yang lain. Sebagai hak

accessoir, pengalihannya tidak dapat terjadi terlepas dari utang pokoknya.

Jadi di sini yang terjadi adalah pengalihan pemegang hipotek kapal


353

(kreditor) sedangkan hutangnya tetap ada. Jadi ketika seorang kreditor

pemegang hipotek kapal mengalihkan (misalnya menjual) hipotek

kapalnya kepada pihak lain maka disamping menerima piutang,

pemegang hipotek kapal yang baru juga menerima pengalihan hipotek

kapal.

Pengalihan hipotek menurut Pasal 1172 KUH Perdata hanya dapat

terjadi dengan suatu akta autentik yakni akta yang dibuat oleh atau di

hadapan notaris. Ketentuan ini sangat penting dalam mengantisipasi

adanya pihak yang meragukan atau mengklaim keabsahan pengalihan

hipotek. Oleh karena dapat terjadi jika hanya dalam bentuk akta di bawah

tangan, maka bisa saja ada pihak yang tidak mengakui adanya

pengalihan hipotek misalnya dengan menyangkal keabsahan dari tanda

tangan yang dibuatnya. Oleh karena itu sangat tepat dan tetap relevan jika

ketentuan Pasal 1172 KUH Perdata diterapkan dalam pengalihan hipotek

kapal.

Pengalihan hipotek kapal harus dituangkan dalam suatu perjanjian

pengalihan piutang dalam bentuk akta pengalihan hipotek yang dibuat

oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal

didaftarkan. Agar dapat lebih menguatkan dan menjamin hak pemegang

hipotek kapal yang menerima pengalihan, maka penting untuk dilakukan

pencatataan dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal oleh Pejabat

Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal dimana akta pengalihan


354

hipotek kapal dibuat (Pasal 62 UU No.17/2008 jo Pasal 33 ayat (1)

Peraturan Menteri Perhubungan No : PM 13 Tahun 2012).

Pembuatan akta pengalihan hipotek kapal berdasarkan

permohonan yang diajukan oleh pihak yang akan menerima pengalihan

tersebut. Permohonan pengalihan hipotek wajib melampirkan bukti

pengalihan hipotek, grosse akta pendaftaran kapal atau grosse akta balik

nama kapal dan grosse akta hipotek kapal. Akta pengalihan hipotek kapal

ditandatangani oleh penerima pengalihan hipotek, Pejabat Pendaftar dan

Pencatat Balik Nama Kapal, dan Pegawai Pembantu Pendaftaran dan

Balik nama Kapal. Penandatanganan, pemberian nomor dan tanggal akta

pengalihan hipotek kapal serta pencatatan dalam Daftar Induk

Pendaftaran Kapal harus dilakukan pada tanggal yang sama (Pasal 33

dan Pasal 34 PerMenHub No. PM 13 Tahun 2012).

Prosedur yang ditempuh mulai dari tahapan penandatanganan akta

pengalihan hipotek kapal sampai pada pencatatan dalam Daftar Induk

Pendaftaran Kapal dilakukan pada tanggal yang sama, menurut peneliti

akan memberi dampak yang positif. Dengan adanya keharusan tahapan

prosedur tersebut dilakukan pada tanggal yang sama, akan menutup

peluang bagi petugas untuk memperlambat pembuatan akta pengalihan

hipotek kapal sehingga dari segi waktu dan biaya memberi keuntungan

bagi penerima pengalihan hipotek kapal. Selanjutnya pula dari segi waktu,

hal ini memang memungkinkan mengingat prosedur tersebut dapat

dilakukan pada hari atau tanggal yang sama sehingga akan memberi nilai
355

yang baik bagi kinerja lembaga pendaftaran kapal dalam memberikan

pelayanan.

Proses pengalihan hipotek kapal berakhir setelah pembuatan atau

penerbitan grosse akta pengalihan hipotek kapal dan ditandatangani oleh

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal atau Pegawai

Pembantu Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal. Grosse akta

pengalihan hipotek kapal diberikan kepada penerima pengalihan hipotek

kapal dan berfungsi sebagai bukti adanya pengalihan hipotek atas kapal.

Bersamaan dengan itu penerima pengalihan hipotek kapal menerima pula

dokumen-dokumen berupa grosse akta hipotek kapal dan grosse akta

pendaftaran kapal atau grosse akta baliknama kapal (Pasal 35 ayat (1)

dan ayat (2) PerMenHub No. PM 13 Tahun 2012).

Pengalihan hipotek kapal tidak hanya ditujukan pada seorang

kreditor saja sebagai penerima pengalihan hipotek kapal, tetapi bisa juga

diberikan kepada beberapa kreditor tetapi harus merupakan kreditor

sindikasi. Dalam hal demikian maka pemberian grosse akta pengalihan

hipotek kapal bersama-sama dengan dokumen lainnya seperti tersebut di

atas, diberikan kepada salah satu kreditor yang dikuasakan oleh sindikasi

untuk menerimanya. Tidak perlu diberikan kepada masing-masing kreditor

(Pasal 37 PerMenHub No. PM 13 Tahun 2012).

f. Gugatan kebendaan (zakelijke actie)


356

Pemegang hipotek kapal (kreditor) berhak untuk menggugat

apabila terjadi gangguan atas hak-hak yang dimilkinya. Bentuk-bentuk

gugatan dapat diajukan oleh pemegang hipotek misalnya penuntutan

kembali, gugatan untuk menghilangkan gangguan atas haknya, gugatan

untuk pemulihan dalam keadaan semula dan gugatan untuk penggantian

kerugian. Bentuk gugatan tersebut mempunyai keterkaitan dengan

hambatan-hambatan yang muncul dalam pemenuhan hak-hak dari

kreditor dan juga bisa terkait dengan benda jaminan (kapal).

Hak-hak kebendaan yang melekat pada hipotek kapal

sebagaimana telah di bahas di atas tidak secara langsung dimiliki oleh

kreditor sebagai pemegang hipotek kapal walaupun akta hipotek kapal

telah selesai dibuat dan ditandatangani. Berlakunya hak kebendaan

hipotek kapal yaitu pada saat diadakan pencatatan akta hipotek kapal

dalam buku register oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama

Kapal. Buku register yang dimaksudkan tersebut, menurut Pasal 60 ayat

(2) UU Pelayaran No.17 Tahun 2008 adalah buku Daftar Induk

Pendaftaran Kapal. Buku Daftar Induk Pendaftaran Kapal mencatat segala

hal yang terkait dengan status hukum sebuah kapal dalam hal ini tentang

pendaftaran kapal dan pembebanan hak-hak lain atas kapal.

Saat lahirnya hak hipotek di kalangan para ahli hukum terdapat

beberapa pendapat di antaranya menurut Harsono (1971: 123), mengacu

pada saat lahirnya hak milik, maka untuk para pihak, saat lahirnya hipotek

adalah pada saat akta hipotek dibuat. Sedangkan untuk pihak ketiga, saat
357

lahirnya hipotek adalah pada saat pendaftaran dilakukan, sebab

pendaftaran bertujuan sebagai alat pembuktian untuk pihak ketiga.

Pendapat tersebut ditentang oleh Mariam Darus Badrulzaman menurutnya

dilihat dari sistem pemindahan hak di dalam UUPA, penafsiran Boedi

Harsono mengacaukan dan tidak tepat. Baik hak milik maupun hipotek

adalah hak kebendaan yang saat lahirnya berada dalam satu sistem

sehingga saat lahirnya hak kebendaan itu tidak dapat diletakkan pada

momentum yang berlainan (Badrulzaman, 1986:59).

Terhadap kedua pendapat tersebut peneliti lebih condong

mendukung pendapat yang kedua sebab berbicara tentang proses

terjadinya hipotek harus melewati beberapa fase yakni fase perjanjian

kredit sebagai perjanjian pokok, fase pengikatan hipotek sebagai

perjanjian assesoir dan terakhir fase pendaftaran hipotek. Ketiga fase ini

merupakan satu kesatuan yang utuh tidak dapat di pisah-pisahkan satu

dengan yang lain yang membentuk apa yang disebut sebagai sistem

hukum jaminan hipotek yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem

hukum jaminan nasional. Selanjutnya pendapat Boedi Harsono menurut

peneliti dapat diterima ketika melihat proses terjadinya hipotek secara

terpisah-pisah dalam rangka melihat implikasi hukum yang ditimbulkan

terhadap para pihak termasuk pihak ketiga. Dengan dibuatnya akta

hipotek maka pada saat itu melahirkan hak dan kewajiban bagi pihak

kreditor dan debitor. Sedangkan pada saat akta hipotek didaftarkan akan
358

menimbulkan implikasi hukum dalam hal pembuktian lahirnyanya hipotek

kapal untuk pihak ketiga.

Dibandingkan dengan hak tanggungan dan jaminan fidusia sebagai

bagian dari sistem hukum jaminan nasional dihubungkan dengan

pencatatan akta hipotek kapal dalam daftar induk, maka untuk hak

tanggungan dan jaminan fidusia setelah diadakan pencatatan hak

tanggungan dan pencatatan jaminan fidusia akan diikuti dengan

penerbitan sertifikat hak tanggungan dan sertifikat jaminan fidusia yang

diberikan kepada pemegang hak tanggungan dan pemegang jaminan

fidusia. Sertifikat hak tanggungan dan sertifikat jaminan fidusia

mempunyai kekuatan eksekutorial dengan dicantumkannya irah-irah

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada kedua

sertifikat tersebut.

Implikasi hukum yang timbul dengan adanya pencantuman irah-irah

tersebut menjadikan kedua sertifikat tersebut dipersamakan dengan

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga jika

debitor atau pemberi hak tanggungan dan pemberi jaminan fidusia

melakukan wanprestasi, kreditor atau pemegang hak tanggungan dan

pemegang jaminan fidusia dapat mengeksekusi benda jaminan tanpa

melalui gugatan di pengadilan. Sedangkan untuk hipotek kapal

pencantuman irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa” terdapat pada grosse akta hipotek kapal bukan pada sertifikat
359

hipotek kapal karena memang perbedaannya bahwa dalam hipotek kapal

tidak diterbitkan sertifikat hipotek kapal.

Perbedaan letak titel eksekutorial itu dicantumkan menurut peneliti

diakibatkan oleh landasan hukum yang menjadi dasar dicantumkannya

titel eksekutorial pada masing-masing jaminan tersebut. Pencantuman titel

eksekutorial dalam grosse akta hipotek kapal mengacu pada ketentuan

Pasal 224 HIR yang memberikan fungsi eksekutorial kepada grosse akta

hipotek dan grosse akta pengakuan hutang. sedangkan untuk sertifikat

hak tanggungan dan sertifikat jaminan fidusia mengadopsi ketentuan

hipotek yang terdapat dalam KUH Perdata (Pasal 1186) dan UUPA No.5

Tahun 1960 (Pasal 19) beserta peraturan turunannya yang terdapat dalam

Pasal 22 ayat (4) PP 10 Tahun 1961 jo Pasal 7 ayat (1) PMA No.15 Tahun

1961. Undang-Undang Hak Tanggungan dalam Pasal 14 menempatkan

sertifikat hak tanggungan sebagai pengganti grosse akta hipotek

sepanjang mengenai hak atas tanah.

Menurut peneliti perbedaan pencantuman titel eksekutorial yang

dipaparkan di atas merupakan sebagian kecil dari persoalan yang

melingkupi sistem hukum jaminan nasional. Walaupun bangsa Indonesia

telah mempunyai produk hukum nasional di bidang hukum jaminan yakni

UU Jaminan Fidusia No.42 Tahun 1999 dan UU Hak Tanggungan No.4

Tahun 1996, tetapi akan tidak efektif jika di dalamnya masih terdapat hal-

hal yang pengaturannya tidak jelas ataupun bertentangan satu dengan

yang lain. Sehubungan dengan persoalan ini penulis mendukung


360

pendapat Mariam Darus Badrulzaman bahwa pembangunan hukum

jaminan secara parsial mengandung bahaya. Kadar bahaya tersebut

terdapat pada sebagian hukum jaminan seperti UUHT dan UUJF, yang

tidak berada dalam satu sistem. Selanjutnya dikatakan bahwa penerapan

yang saling tidak terkait akan membuat sistem tersebut menjadi rumit, sulit

dimengerti dan akhirnya ditinggalkan orang

(http://nickreuh.blogspot.com/2009/04/hukum-jaminan-fiducia_06.html).

Mengacu pada teori sistem hukum dari Fuller suatu sistem hukum

harus memperhatikan delapan asas hukum yang dinamakan Principles of

Legality. Salah satu asas yang dimaksud antara lain menghendaki dalam

menyusun suatu peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat

dimengerti dan peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan satu

sama lain (Rahardjo, 2000: 51) . Demikian pula mengacu pada teori

sistem hukum Friedman maka sistem hukum akan mengalami

ketimpangan jika unsur substansif yaitu perangkat peraturan perundang-

undangan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dihubungkan dengan

pendapat Badrulzaman di atas, teori Fuller ini patut menjadi landasan

berpikir bagi pembentuk undang-undang di bidang hukum jaminan.

Apalagi saat ini pemerintah sedang menggodok penerbitan Undang-

Undang Hipotek Kapal tentu diharapkan undang-undang ini dapat

menjawab persoalan-persoalan yang masih melingkupi hukum jaminan

nasional. Persoalan-persoalan di bidang hukum jaminan akan penulis


361

bahas lebih lanjut dalam pokok bahasan lainnya menyangkut hakikat

hukum jaminan hipotek kapal dan tentang grosse akta hipotek kapal.

2. Sistem Hukum Pembebanan Hipotek Kapal

Eksistensi lembaga jaminan hipotek kapal dalam sistem hukum

jaminan Indonesia tak dapat dipisahkan dengan bagaimana pembebanan

hipotek kapal itu sendiri. Berdasarkan prosedur pembebanan hipotek

kapal maka di dalamnya terdapat beberapa tahapan yang harus ditempuh

di luar dari tahapan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. Oleh

karena itu dalam pembahasan ini tidak akan dibahas lagi menyangkut

aspek hukum perjanjian kredit, tetapi hanya dibatasi pada dua hal pokok

yang terkait dengan pembebanan hipotek kapal yakni tentang aspek

hukum pendaftaran kapal dan pembebanan hipotek kapal. Kedua topik

bahasan ini juga penulis bandingkan penerapannya dengan praktik di

negara lain.

a. Aspek Hukum Pendaftaran Kapal

Pendaftaran kapal sangat penting dalam penentuan status hukum

sebuah kapal, dalam hal ini menyangkut kepemilikan kapal, kebangsaan

kapal, dan pembebanan hak jaminan atas kapal. Dari aspek hukum

perdata pendaftaran kapal pada dasarnya adalah pendaftaran hak milik

atas kapal. Oleh karena itu pendaftaran kapal memberi perlindungan

terhadap hak pemilik kapal atas kapal. Menurut Ready (1998:6) dalam

konsep pendaftaran kapal prinsip-prinsip hukum perdata harus diterapkan

guna mengamankan kepentingan individu dalam menyelesaikan


362

sengketa. Dari aspek hukum publik kapal yang telah didaftarkan dapat

memperoleh Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia dan berhak

memakai bendera Indonesia di atas kapal. Kapal yang telah memperoleh

Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia wajib memenuhi persyaratan

kelaiklautan kapal baik nasional maupun internasional sesuai ukuran dan

daerah pelayaran.

Peraturan perundang-undangan yang ada tidak memberikan

rumusan tentang tujuan dari pendaftaran kapal. Menurut Roswyar

(http://maritimeindonesia-mls.blogspot.com/2011/11/status-hukum-

kapal.html)

tujuan diadakannya pendaftaran kapal adalah :

1. Mewujudkan hubungan yang sungguh-sungguh antara kapal dengan

Indonesia sebagai negara bendera, agar dapat memperoleh surat

tanda kebangsaan kapal sebagai legalitas mengibarkan bendera

Indonesia sebagai bendera kebangsaan kapal.

2. Memberikan identitas yang jelas (fisik dan pemilik) kepada kapal

sehingga dapat dibedakan satu sama lain.

3. Mencatat dan mengikuti terus menerus beban-beban, hak-hak

tanggungan dan sebagainya yang melekat pada kapal yang

bersangkutan.

4. Mencatat dan mengikuti terus menerus setiap perubahan yang terjadi

atas kapal yang bersangkutan, baik nama, mesin maupun badan

kapal.
363

5. Dapat dijadikan jaminan hutang (hipotek).

Pengaturan pendaftaran kapal di Indonesia terdapat dalam

beberapa peraturan perundang-undangan yaitu KUHD, Undang-Undang

No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran khususnya dalam Bagian keenam

yang mengatur tentang Status Hukum Kapal mulai Pasal 158 s/d Pasal

161. Disamping itu juga diatur dalam beberapa peraturan pelaksanaan

yaitu Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan dan

Peraturan Menteri Perhubungan No.PM 13 Tahun 2012 tentang

Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal.

Secara umum dapat dikatakan bahwa pendaftaran kapal

dimaksudkan agar kapal yang bersangkutan selalu dapat diidentifikasi

sepanjang umur operasinya, karena itu setiap perubahan atas nama,

pemilikan, ukuran dan spesifikasinya, tanda-tanda lain dari kapal harus

secara jujur dilaporkan kepada pejabat pendaftaran kapal ditempat kapal

didaftarkan.

Satu hal yang sangat mendasar dalam hukum jaminan hipotek

kapal bahwa kapal yang dapat dijadikan jaminan adalah kapal yang

terdaftar. Undang-undang menentukan tidak semua kapal yang bisa

didaftarkan tetapi hanya terbatas pada kapal yang bobotnya paling sedikit

20 meter kubik (Pasal 314 KUH Dagang) atau yang setara dengan kapal

yang berukuran tonase kotor 7 atau GT.7 (Pasal 158 ayat (2) UU

Pelayaran No.17/2008).
364

Pendaftaran hak milik atas kapal meliputi tiga kategori yaitu kapal

laut (kapal angkutan laut, angkutan penyeberangan dan kapal lainnya),

kapal nelayan (penangkap ikan/hewan lainnya di laut) dan kapal

pedalaman yaitu kapal yang digunakan di sungai dan danau (Pasal 6

Permenhub No.PM.13/2012). Dari ketiga kategori kapal tersebut tidak ada

perbedaan pendaftaran yang prinsip, kecuali untuk kapal penangkap ikan

mensyaratkan adanya rekomendasi dari menteri terkait. Terhadap kapal

yang terdaftar maka status kapal tersebut dipersamakan dengan benda

tidak bergerak. Sebaliknya terhadap kapal yang tidak terdaftar

diklasifikasikan sebagai benda bergerak dan sesuai dengan keadaan fisik

maka lebih tepat kepadanya berlaku lembaga jaminan fidusia. Pengikatan

kredit dengan jaminan kapal melalui lembaga fidusia dalam praktik

perbankan telah diterima sebagaimana dikemukakan oleh Ramli Rivai

seorang pimpinan di Bank Sulut bahwa pihaknya pernah mengadakan

pengikatan kredit dengan jaminan fidusia yang objeknya kapal (Hasil

wawancara tanggal 6 Agustus 2012).

Sebagaimana pendaftaran hak lainnya misalnya pendaftaran tanah,

maka pendaftaran hak milik atas kapal mempunyai arti penting seperti

ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 2

Pentingnya Pendaftaran Hak Milik atas Kapal

No. Penilaian Responden Jumlah


365

PB PP PKP Hakim Notaris

f % F % f % f % f % f %

1 Penting 10 100 10 100 10 100 10 100 10 100 50 100

2 Ragu-ragu 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

3 Tidak Penting 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah 10 100 10 100 10 100 10 100 10 100 50 100

Sumber : Diolah dari data primer 2012

Keterangan :
PB : Pimpinan Bank
PP : Pengusaha Perkapalan
PKP : Pimpinan Kantor Pelabuhan

Dari data yang ditunjukkan pada Tabel 2 di atas, keseluruhan

responden (100%) berpendapat pentingnya kapal untuk didaftarkan

dengan alasan untuk mendapatkan legalitas kepemilikan dan terkait

dengan status hukum kapal. Menurut Roy Kasiono pimpinan di Kantor

Syahbandar Kelas Utama Tanjung Priok, pendaftaran kapal di Indonesia

sangat penting dalam dunia pelayaran oleh karena menjadi persyaratan

dalam memperoleh kebangsaan kapal Indonesia, sehingga kapal nantinya

berhak mengibarkan bendera Indonesia dan mendapat perlindungan dari

pemerintah Indonesia. Pendaftaran kapal merupakan pendaftaran hak

milik atas kapal, di samping itu meliputi pula pendaftaran pembebanan

hipotek dan pendaftaran hak kebendaan lainnya atas kapal (Hasil

wawancara, tanggal 12 Juni 2012).

Adapun terkait dengan kepemlikan kapal, maka kapal yang dapat

didaftar di Indonesia adalah kapal milik warga negara Indonesia atau


366

badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia. Di samping itu kapal milik badan hukum

Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya

dimiliki oleh warga negara Indonesia (Pasal 158 ayat (2) UU Pelayaran

No.17/2008).

Mengacu pada sistem atau aliran pendaftaran kapal yang berlaku

di dunia maritim, maka terdapat tiga sistem atau aliran pendaftaran kapal

yang dipraktikkan di dunia internasional yaitu (http://maritimeindonesia-

mls.blogspot.com/2011/11/status-hukumkapal.html) :

1. The National School

Aliran ini menganut peraturan pendaftaran yang keras (rigid). Contoh

negara yang menerapkan sistem ini adalah Portugal yang menentukan

kapal yang didaftar adalah :

a. Kapal yang dibuat di negara pendaftar;

b. Dimiliki oleh warga dari negara tersebut;

c. Nakhoda dan Anak Buah Kapalnya harus warga negara dari

negara pendaftar.

Aliran ini dapat disebut sistem pendaftaran tertutup yang kaku (rigid

closed registry).

2. The School of The Relaxed Law

Aliran ini dianut antara lain oleh Panama, Liberia, Honduras, Costarica

yang sering dihubungkan dengan Flag of Convenience, karena mereka

mengizinkan registrasi atas kapal-kapal yang dimiliki oleh pihak asing


367

tanpa syarat apapun dan seringkali atas dasar perlakuan yang sama

seperti kepada kapal-kapal dari warga negaranya sendiri. Aliran ini

disebut open registry. Aliran ini mengaburkan prinsip genuine link yang

diatur dalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982.

3. The Balanced School

Aliran ini mendasarkan terutama kepada pemilikan kapal untuk

menerbitkan adanya hubungan yang sungguh-sungguh (genuine link)

antara negara bendera dan kapal yang mengibarkan benderanya

sebagai bendera kebangsaan. Sebagai contoh adalah Inggris dan

India. Penganut aliran ini mensyaratkan pendaftaran kapal kepada

kepemilikan oleh warga negaranya atau badan hukum negara dan

berkedudukan di wilayah negara pendaftar serta seluruh atau sebagian

pengurus dan kepemilikan sahamnya oleh warga negara pendaftar.

Aliran ini disebut sebagai sistem pendaftaran tertutup (closed registry)

yang luwes.

Dari beberapa sistem atau aliran pendaftaran kapal yang

disebutkan di atas, menunjukkan bahwa Indonesia menganut aliran The

balanced school atau sistem pendaftaran tertutup (closed registry) yang

luwes. Aliran ini tersirat dari ketentuan pendaftaran hak milik kapal yang

menentukan bahwa kapal yang dapat didaftar adalah kapal milik Badan

Hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas

sahamnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (Pasal 5 ayat (2)

Permenhub No.PM.13 Tahun 2012). Ketentuan tersebut membuka


368

kesempatan kepada pihak asing untuk dapat memiliki kapal di Indonesia

tapi secara kepemilikan bersama dengan warga negara Indonesia.

Dianutnya sistem pendaftaran tertutup secara tegas ditunjang pula

dengan pemberlakuan asas cabotage dalam ketentuan Pasal 8 UU

Pelayaran No.17 Tahun 2008. Pemberlakuan asas cabotage dimaksudkan

untuk memajukan dunia angkutan laut di Indonesia sehingga tidak

diperkenankan bagi kapal asing untuk melayani angkutan perairan

Indonesia. Mengingat sebagian besar dari wilayah Indonesia terdiri dari

laut, maka pemberlakuan asas cabotage diharapkan akan berdampak

juga bagi kehidupan ekonomi masyarakat khususnya yang berkecimpung

di bidang pengangkutan di laut.

Menurut Carmelita Hartoto, data terbaru Kementerian Perhubungan

menyebutkan hingga posisi Februari 2014, jumlah kapal niaga nasional

tercatat sebanyak 13.244 unit. Angka tersebut bertambah sebanyak 7.203

unit atau tumbuh sebesar 119 persen jika dibandingkan dengan posisi Mei

2005 saat kebijakan asas cabotage di berlakukan yang tercatat sebanyak

6.041 unit (http://jurnalmaritim.com/2014/6/725/insa-tolak-pendaftaran-

kapal-tidak-sesuai-uu-pelayaran).

Dari data perkembangan jumlah kapal niaga nasional tersebut,

menunjukkan bahwa pemberlakuan asas cabotage telah mendorong

kemajuan usaha di bidang pelayaran. Disamping itu pula berdampak pada

penyerapan tenaga kerja oleh karena tidak diperkenankan

mempekerjakan awak kapal asing. Adapun negara yang menganut prinsip


369

cabotage antara lain Amerika Serikat, Jepang, Eropa, Kanada, Australia

dan China.

Berdasarkan PP No.22 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas PP

No.10 Tahun 2010 tentang Angkutan di Parairan, maka bagi kapal asing

dapat beroperasi di perairan Indonesia dengan ketentuan hanya

melakukan kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut

penumpang dan/atau barang, sepanjang kapal berbendera Indonesia

belum tersedia atau belum cukup tersedia. Adapun kegiatan lain yang

dimaksud meliputi kegiatan di bidang survey minyak dan gas bumi,

pengeboran, konstruksi lepas pantai, penunjang operasi lepas pantai,

pengerukan, salvage dan perkerjaan bawah air.

Beberapa keuntungan dari penerapan sistem atau aliran

pendaftaran tertutup adalah sebagai berikut :

a. Total tonase kapal yang terdaftar benar-benar aset nasional;

b. Mudah melakukan Pengawasan dan penegakan hukum karena pemilik

kapal berkedudukan di Indonesia;

c. Kapal berbendera Indonesia tidak dianggap oleh negara lain sebagai

kapal yang substandard seperti kapal-kapal yang terdaftar di negara

yang menganut sistem pendaftaran terbuka (open registry) yang biasa

disebut negara bendera kemudahan (flag of convenience);

d. Dalam keadaan darurat atau perang semua kapal berbendera

Indonesia dapat dengan mudah dimobilisasi karena semuanya benar-

benar aset nasional;


370

e. Iuran yang harus dibayar sebagai anggota IMO (International Maritime

Organization) yang besarnya sesuai dengan total tonase kapal yang

terdaftar di Indonesia benar-benar untuk kapal milik nasional;

f. Setiap kebijaksanaan pemerintah untuk kapal berbendera Indonesia

yang berupa subsidi insentif, harga BBM dan biaya pelabuhan betul-

betul dinikmati oleh kapal milik nasional.

Di samping keuntungan dari penerapan sistem pendaftaran tertutup

tersebut di atas, terdapat juga konsekuensi dari sistem pendaftaran

tertutup yaitu :

a. Jumlah kapal berbendera Indonesia di pelayaran internasional tidak

signifikan, karena kapal-kapal milik warga negara Indonesia atau

badan hukum Indonesia sebagian besar hanya berlayar di dalam

negeri dan di sekitar Asia Tenggara, sehingga kapal berbendera

Indonesia tidak begitu dikenal dalam pelayaran internasional.

b. Tidak bisa membuka lebih banyak kesempatan bagi pelaut

Indonesia untuk bekerja di kapal Indonesia.(http://maritimeindonesia-

mls.blogspot.com/2011/11/status-hukum-kapal.html

Sebelum kapal didaftarkan harus terlebih dahulu dilakukan

pengukuran kapal oleh pejabat yang berwenang untuk itu yakni Ahli Ukur

Kapal dari kantor pusat Ditjen Hubungan Laut atau Kantor Administrator

Pelabuhan/Kantor Pelabuhan sesuai keberadaan kapal yang akan diukur.

Pengukuran kapal menjadi persyaratan yang wajib dipenuhi sebelum


371

kapal beroperasi. Pengukuran kapal dilaksanakan dengan menggunakan

3 (tiga) metode yaitu :

1. Pengukuran dalam negeri untuk kapal yang berukuran panjang kurang

dari 24 (dua puluh empat) meter;

2. Pengukuran internasional untuk kapal yang berukuran panjang 24 (dua

puluh empat) meter atau lebih; dan

3. Pengukuran khusus untuk kapal yang akan melalui terusan tertentu.

(Pasal 155 ayat (1) dan (2) UU Pelayaran No.17/2008).

Penerapan metode pengukuran dalam negeri mengikuti metode

pengukuran yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia terhadap kapal-

kapal Indonesia. Dalam metode ini tidak mengikuti ketentuan dalam

Konvensi Internasional tentang Pengukuran Kapal (International on

Tonnage Measurement of Ship 1969/TMS 1969). Sebaliknya pada metode

pengukuran internasonal merupakan metode pengukuran yang ditetapkan

oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Konvensi Internasional tentang

Pengukuran Kapal (TMS 1969).

Adapun yang dimaksud dengan metode pengukuran khusus

dipergunakan untuk pengukuran dan penentuan tonase kapal yang akan

melewati terusan tertentu antara lain metode pengukuran terusan Suez

dan metode pengukuran terusan Panama (Penjelasan Pasal 155 ayat (2)

UU Pelayaran No.17/2008). Atas permintaan pemilik kapal, pengukuran

kapal dapat menggunakan metode kedua walaupun ukuran panjang kapal


372

di bawah 24 (dua puluh empat) meter (Pasal 11 ayat (5) PP 51 Tahun

2002)

Setelah melalui proses pengukuran akan diterbitkan Surat Ukur

untuk kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (Tujuh

Gross Tonnage). Surat Ukur tersebut ditebitkan oleh Menteri

Perhubungan dan dapat dilimpahkan kepada Pejabat yang ditunjuk di

kantor Administrator Pelabuhan/Kantor Pelabuhan. Kapal yang telah

mendapatkan Surat Ukur wajib dipasang Tanda Selar dengan baik dan

mudah dibaca.

Adapun yang dimaksud dengan Tanda Selar adalah rangkaian

huruf dan angka yang menunjukkan ukuran kapal, nomor Surat Ukur, dan

tempat dimana Surat Ukur itu dibuat. Sebagai contoh jika sebuah kapal

memiliki Tanda Selar tertulis GT. 150 No. 265/Ba menunjukkan arti :

GT. 150 : tonase kotor kapal 150


No. : singkatan dari nomor
265 : nomor surat ukur kapal
Ba : kode pelabuhan tempat kapal diukur dalam hal ini pelabuhan
Tanjung Priok

Adapun proses penerbitan surat ukur kapal secara skematis dapat

di lihat pada skema berikut ini :

Skema 2. Proses penerbitan surat ukur kapal


373

Permohonan pemilik ke Ditjen Hubla*) atau Adpel/Kanpel


yang mempunyai Kode Pengukuran disertai :
1.Surat keterangan tukang/galangan
2.Surat Keterangan Pemilikan
3.Identitas pemilik
4.Sedapat mungkin ada Gambar kapal

Pengukuran oleh Ahli Ukur Kapal

Metode Dalam Negeri : Metode Internasional :


Panjang Kapal < 24,00 m Panjang Kapal ≥ 24,00 m

DAFTAR UKUR

Penerbitan Surat Ukur Pengiriman Daftar Ukur


Sementara oleh Dirkapel*) sebanyak 2 set ke Ditkapel
Adpel/Kakanpel

PengesahanDaftar Ukur oleh


Ditkapel

SURAT UKUR diserahkan ke Pemasangan Tanda Selar Penerbitan Surat Ukur


kapal Tetap

*) untuk pengukuran yang dilakukan di luar negeri

Surat ukur kapal menjadi salah satu persyaratan yang wajib

dilengkapi pada saat pemilik kapal mengajukan permohonan pendaftaran

hak milik atas kapal. Disamping surat ukur kapal harus pula dilengkapi

dengan :

a. Bukti hak milik atas kapal;

b. Identitas Pemilik;

c. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan

d. Bukti pelunasan bea balik nama kapal.


374

Bagi kapal bangunan baru yang dibuat oleh galangan, maka

sebagai bukti hak milik atas kapal dapat berupa kontrak pembangunan

kapal, berita acara serah terima kapal, dan surat keterangan galangan.

Bagi kapal bangunan baru yang dibuat oleh tukang secara tradisional,

bukti hak miliknya hanya berupa surat keterangan tukang yang diketahui

oleh camat atau surat keterangan tukang yang dilampiri surat keterangan

hak milik dari camat. Bagi kapal yang pernah didaftar di negara lain, bukti

hak milik atas kapal dapat berupa bukti penerimaan uang/kwitansi (bill of

sale) yang dilegalisasi oleh notaris yang menyaksikan penandatangan bill

of sale tersebut atau oleh pejabat pemerintah yang berwenang dari

negara bendera asal kapal. Bukti kepemilikan lainnya dapat berupa

akta/surat jual beli yang dibuat di hadapan notaris, penetapan waris,

penetapan pengadilan negeri atau putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, dan risalah lelang (Pasal 7

Permenhub No. PM 13 Tahun 2012). Bagi kapal penangkap ikan perlu

melampirkan rekomendasi dari Menteri yang bertanggung jawab dengan

kegiatan tersebut.

Berkaitan dengan identitas pemilik, jika pemilik merupakan

perseorangan maka menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP),

sedangkan bagi pemilik yang merupakan Badan Hukum Indonesia

menggunakan akta pendirian dan/atau akta perubahan anggaran dasar

perusahaan yang dibuat di hadapan Notaris yang dapat menunjukkan


375

susunan direksi dan/atau komposisi saham terakhir setelah mendapat

pengesahan dari institusi yang berwenang.

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik nama Kapal tidak

bertanggung jawab terhadap kebenaran materil dokumen yang

disampaikan oleh pemilik kapal. Ketentuan ini mengindikasikan

pendaftaran kapal di Indonesia menganut stelsel negatif yang memberi

pengertian sebagai berikut :

a. Apa yang disuratkan dalam akta pendaftaran oleh Pejabat Pendaftar

dan Pencatat Baliknama kapal adalah benar, tetapi tidak membuktikan

sedikitpun kebenarannya.

b. Pendaftaran kapal tidak memberikan hak milik atas kapal kepada

siapapun, tetapi hanya melakukan pendaftaran hak milik atas kapal

sesuai dengan bukti pemilikan yang disampaikan.

c. Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama kapal meneliti dokumen

yang disampaikan oleh pemilik hanya sebatas formilnya saja,

keabsahan dokumen adalah tanggung jawab pemilik.

d. Bila ada pihak lain yang mengaku sebagai pemilik atas kapal yang

telah didaftarkan, maka untuk membuktikan kepemilikan tersebut ia

harus mengajukan gugatan kepemilikan kepada Pengadilan Negeri.

Pemilik yang sesungguhnya atau yang sah atas kapal tersebut

ditetapkan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri yang telah

berkekuatan hukum tetap. Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama


376

kapal harus menyesuaikan pendaftaran kapal tersebut dengan

Putusan Pengadilan Negeri dimaksud.

Dibandingkan dengan pendaftaran tanah, maka pendaftaran kapal

meliputi pula registration of title (pendaftaran hak) dan registration of deed

(pendaftaran akta). Pendaftaran kapal sebagai pendaftaran hak secara

tegas ditentukan dalam peraturan pendaftaran kapal bahwa pendaftaran

kapal meliputi antara lain pendaftaran hak milik. Dengan demikian melalui

pendaftaran kapal pemilik kapal mendaftarkan kapalnya sesuai dengan

bukti kepemilikan yang ada disamping dokumen lainnya. Pendaftaran

kapal sebagai pendaftaran hak menjadi bukti dari adanya suatu hak walau

diberbagai negara sepertinya bukti tersebut tidak konklusif (Maher,

2007:13).

Pendaftaran kapal dkatakan juga sebagai pendaftaran akta terkait

dengan adanya peralihan kepemilikan kapal yang dituangkan dalam akta

jual beli, hibah ataupun bentuk akta lainnya yang harus didaftarkan untuk

legalitas kepemilikan. Pendaftaran akta substansinya berhubungan

dengan proses balik nama kapal. Berlakunya kedua sistem pendaftaran

tersebut menunjukkan bahwa pendaftaran kapal menganut gabungan dari

sistem pendaftaran negatif dan sistem pendaftaran positif seperti halnya

pada pendaftaran tanah.

Pemilik kapal yang akan mendaftarkan hak milik atas kapalnya

bebas memilih di tempat mana pendaftaran dilaksanakan, asalkan tempat

atau pelabuhan tersebut oleh pemerintah diberi wewenang untuk


377

melaksanakan pendaftaran hak milik atas kapal (lihat lampiran 1).

Ketentuan ini jelas memberikan kemudahan bagi pemilik kapal sehingga

tidak ada alasan bagi pemilik kapal untuk tidak mendaftarkan kapal

miliknya. Pendaftaran hak milik atas kapal dapat pula dilaksanakan di

Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Cq. Direktorat

Perkapalan dan Kepelautan yang berkedudukan di Jakarta.

Pendaftaran hak milik atas kapal dapat dilakukan jika kapal yang

akan didaftarkan belum terdaftar di tempat pendaftaran yang lain.

Ketentuan ini memberi penegasan bahwa pendaftaran kapal di Indonesia

tidak mengenal pendataran kedua (second registry) seperti yang

dipraktikkan beberapa negara terhadap kapal yang dicarter kosong

(bareboat charter). Pendaftaran kedua tidak dimungkinkan mengingat

pendaftaran kapal di Indonesia berdasarkan kepemilikan. Jika kapal yang

akan didaftarkan merupakan kapal asing, maka harus dilengkapi dengan

surat keterangan penghapusan dari negara bendera asal kapal.

Permohonan pendaftaran hak milik atas kapal disampaikan pemilik

kapal kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal dengan

melampirkan dokumen-dokumen sebagaimana telah disebutkan di atas.

Pemilik kapal tidak boleh mewakilkan pendaftaran kapal baik kepada

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal maupun kepada

pegawai yang bekerja di tempat pendaftaran kapal, kecuali berdasarkan

surat wasiat tertulis dari pemilik kapal.


378

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal meneliti

kelengkapan persyaratan yang diajukan pemlik kapal dalam waktu paling

lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima. Berdasarkan hasil

penelitian jika masih belum memenuhi syarat, berkas dikembalikan

kepada pemohon untuk di lengkapi dan diajukan kembali. Jika

persyaratan dokumen telah memenuhi syarat, Pejabat Pendaftar dan

Pencatat Balknama Kapal membuat akta pendaftaran kapal. Dalam hal

adanya penetapan Pengadilan Negeri atau putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap atas gugatan pihak ketiga terhadap

hak milik atas kapal, Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal

wajib menolak pembuatan akta pendaftaran kapal.

Akta pendaftaran kapal ditandatangani oleh pemilik kapal, Pejabat

Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal dan Pegawai Pembantu

Pendaftaran dan Baliknama Kapal. Setelah akta pendaftaran kapal

ditandatangani harus dibuatkan daftar induk paling lama 24 (dua puluh

empat) jam setelah akta ditandatangani. Disamping dicatat dalam daftar

induk yang merupakan ringkasan dari akta pendaftaran yang berisi

tentang hal-hal penting, pendaftaran kapal dicatat juga dalam daftar harian

dan daftar pusat. Daftar harian adalah berkas minut akta pendaftaran

beserta semua dokumen yang disyaratkan untuk pendaftaran kapal.

Adapun daftar pusat adalah daftar kapal-kapal yang telah terdaftar di

Indonesia, yang disusun berdasarkan daftar induk yang diterima dari

seluruh tempat pendaftaran kapal.


379

Sebagai bukti pendaftaran hak milik atas kapal kepada pemilik

diberikan Grosse akta pendaftaran yang merupakan salinan dari minut

(asli) akta pendaftaran. Grosse akta pendaftaran kapal ditandatangani

oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal atau Pegawai

Pembantu Pendaftaran dan Baliknama Kapal dan diberikan kepada

pemilik kapal setelah tanda pendaftaran dipasang di kapal. Adapun yang

dimaksud dengan tanda pendaftaran merupakan rangkaian angka dan

huruf yang terdiri atas angka tahun pendaftaran, kode pengukuran dari

tempat kapal didaftar, nomor urut akta pendaftaran, dan kode kategori

pendaftaran kapal. Sebagai contoh jika tanda pendaftaran tertulis 2008

Ka No. 4999/L menunjukkan :

2008 : Tahun pendaftaran kapal


Ka : Kode pengukuran dari tempat kapal didaftar dalam hal ini Kantor
Adpel Tanjung Perak Surabaya
No. : Singkatan dari Nomor

4999 : Nomor akta pendaftaran kapal


L : Kode kategori kapal (L kode kategori untuk kapal laut, N kode
kategori untuk kapal nelayan, P kode kategori untuk kapal
pedalaman yaitu kapal yang berlayar di sungai dan danau)
(Lampiran Permenhub No. PM. 13 Tahun 2012)

Tanda pendaftaran tersebut harus dipasang di kapal secara

permanen di bagian luar dinding depan bangunan atas atau pada tempat

lain yang aman dan mudah dilihat dengan cara (Pasal 13 ayat 4

Permenhub No.PM. 13 Tahun 2012) :

a. Dilas, dibaut atau dikeling untuk kapal konstruksi baja atau aluminium;
380

b. Dipahat untuk kapal konstruksi kayu; atau

c. Dilekatkan atau dicat untuk kapal konstruksi fibreglass atau bahan lain.

Kapal yang terdaftar di Indonesia dan berlayar di laut dapat

diberikan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia, sebagai bukti

kebangsaan kapal dalam bentuk :

a. Surat Laut untuk kapal berukuran GT 175 (seratus tujuhpuluh lima

grosse tonnage) atau lebih;

b. Pas Besar untuk kapal berukuran GT 7 (tujuh grosse tonnage) sampai

dengan ukuran kurang dari GT 175 (seratus tujuh puluh lima grosse

tonnage); atau

c. Pas Kecil untuk kapal berukuran kurang dari GT 7 (tujuh grosse

tonnage).

d. Kapal yang hanya berlayar di perairan sungai dan danau diberikan

Pas Sungai dan Danau.

Sistem pendaftaran kapal Indonesia memungkinkan pula dilakukan

pendaftaran kapal sementara terhadap kapal yang sedang dibangun di

dalam negeri atau di luar negeri dengan membuat akta pendaftaran kapal

sementara. Pendaftaran kapal sementara dapat dilakukan bila tahapan

pembangunan kapal tersebut sudah mencapai 50 % (limapuluh per

seratus) dari nilai kontrak berdasarkan keterangan dari galangan tempat

kapal sedang dibangun. Dalam hal ini secara fisik telah mencapai tahap

penyelesaian bangunan lambung, geladak utama, dan seluruh bangunan

atas.
381

Permohonan pendaftaran kapal sementara yang sedang dibangun

di dalam negeri diajukan kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat

Baliknama Kapal di pelabuhan terdekat. Sedangkan untuk kapal yang

sedang dibangun di luar negeri diajukan kepada Pejabat Pendaftar dan

Pencatat Baliknama Kapal pada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut .

Kedua permohonan ini harus memenuhi persyaratan dengan

melampirkan dokumen-dokumen berupa :

a. Bukti hak milik atas kapal yang berupa surat perjanjian pembangunan

kapal;

b. Identitas pemilik berupa KTP bagi perorangan dan anggaran dasar

pendirian perusahaan bagi Badan Hukum Indonesia;

c. NPWP;

d. Surat keterangan mengenai data ukuran dan perhitungan tonase kapal

berdasarkan gambar rancang bangun kapal yang diterbitkan oleh

Syahbandar;

e. Laporan tahapan pembangunan kapal yang sudah dilaksanakan; dan

f. Persetujuan dari galangan untuk mendaftarkan kapal atas nama

pemesan selaku pemilik.

Masa berlaku akta pendaftaran kapal sementara berakhir pada saat

kapal diserah terimakan atau jika pembangunan kapal tersebut terhenti

dan tidak dilanjutkan lagi. Seperti halnya pada pendaftaran kapal

permanen, kepada pemilik kapal akan diberikan grosse akta pendaftaran

sementara sebagai bukti kapal yang sedang dibangun telah didaftar


382

sementara. Apabila kapal telah diserah terimakan harus segera

didaftarkan di tempat kapal didaftarkan sementara dengan mengikuti

prosedur dan persyaratan seperti pada pendaftaran biasa/permanen

dengan melampirkan pula grosse akta pendaftaran sementara.

Atas permintaan atau permohonan dari pemilik kapal, pendaftaran

hak milik atas kapal dapat dihapuskan dengan alasan :

a. Kapal tidak dapat dipergunakan lagi;

b. Kapal dirampas oleh bajak laut atau musuh;

c. Terjadi hal-hal tersebut dalam Pasal 667 KUHD;

d. Kapal ditutuh (scrapping); dan

e. Kapal beralih kepemilikan kepada warga negara dan/atau badan

hukum asing.

Selain permohonan dari pemilik, pendaftaran hak milik atas kapal

dapat hapus berdasarkan adanya penetapan Pengadilan Negeri atau

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Walaupun pendaftaran kapal telah dihapus dari daftar kapal Indonesia, hal

ini tidak berarti hak milik atas kapal ikut terhapus juga tetapi pemilik tetap

mempunyai hak milik atas kapal yang sewaktu-waktu dapat didaftarkan

kembali.

Jika dikemudian hari ternyata dokumen-dokumen yang digunakan

sebagai dasar penerbitan akta pendaftaran dinyatakan batal atau tidak

sah oleh instansi yang berwenang, Pejabat Pendaftar dan Pencatat

Baliknama Kapal dapat membatalkan akta pendaftaran yang telah


383

diterbitkan. Pembatalan ini diberitahukan secara tertulis kepada pemilik

atau pemegang akta dan dicatat dalam daftar induk.Akibat adanya

pembatalan ini pemilik atau pemegang akta harus mengembalikan akta

pendaftaran kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal.

Adapun proses pendaftaran hak milik atas kapal secara skematis

dapat dilihat pada skema berikut ini :

Skema 3. Proses pendaftaran hak milik atas kapal


384

DOKUMEN YANG PEJABAT PENDAFTAR


DISYARATKAN (DITKAPEL/PELAB)
1.Permohonan
2.Surat Ukur
PENANDATANGAN
3.Bukti pemilikan
4.Identitas pemilik 1. Pejabat Pendaftar
MINUT AKTA 2. Pegawai Pembantu
5.Bukti pelunasan BBN (1)
6.Deregistration/Cancellation 3. Penghadap/Pemilik
(eks.kapal asing)

(2)

DAFTAR HARIAN GROSSE AKTA PEMILIK


(1) Dgn memperhatik an SK Menter i

DAFTAR INDUK Keuangan No.432/ KMK.04/1996 tgl


19 Juni 1996
(2) Penyerahan Grosse Akta setelah
tanda pendaftaran dipasang (adanya
PENANDATANGAN Berita Acara Pemasangan)

DAFTAR PUSAT Pegawai Pembantu

Pendaftaran hak milik atas kapal mempunyai akibat hukum yang

luas baik secara nasional maupun internasional antara lain :

1. Hanya kapal yang telah didaftarkan saja yang dapat memperoleh hak

untuk mengibarkan bendera kebangsaan (maritime flag) dari negara

pendaftar sebagai bendera kebangsaan kapal.

2. Kapal yang telah didaftarkan diberi surat tanda kebangsaan kapal

sebagai legalitas untuk mengibarkan bendera kebangsaan kapal.

3. Kapal berhak mendapatkan perlindungan hukum dari negara bendera

(flag state).
385

4. Negara bendera wajib melaksanakan yurisdiksi dan pengawasan yang

efektif terhadap kapal yang mengibarkan benderanya sebagai bendera

kebangsaan, melalui peraturan perundang-undangan nasional

dibidang administratif, terknis dan sosial.

5. Timbulnya hubungan hukum antara negara dengan kapal melalui

bendera kapal dan surat tanda kebangsaan kapal.

6. Kapal yang telah didaftarkan diberlakukan sebagai benda tidak

bergerak(http://maritimeindonesia-mls.blogspot.com/2011/11/status-

hukum kapal.html, diakses : Rabu 26 juni 2013 jam 13:15).

b. Pendaftaran Kapal di Republik Rakyat China (RRC)

Pengaturan pendaftaran kapal di negara RRC terdapat dalam suatu

peraturan yang dinamakan Regulations of The People’s Republic of China

Governing The Registration of Ships yang diundangkan dengan

Keputusan Nomor 155 Dewan Negara Republik Rakyat China pada

tanggal 2 Juni 1994 dan efektif berlaku pada tanggal 1 Januari 1995

(http://tradeinservices.mofcom.gov.cn/en/b/1994-06-02/27054.shtml)

Adapun sistematika dari Peraturan Pendaftaran Kapal RRC adalah

sebagai berikut :

Chapter I : General Provisions (Article 1 s/d Article 12)

Chapter II : Registration of Ownership of Ships (Article 13 s/d Article

14)

Chapter III : Nationality of Ships (Article 15 s/d Article 19)


Chapter IV : Registration of Ship Mortgage (Article 20 s/d Article 24)
Chapter V : Registration of Bare boat Charter (Article 25 s/d Article 30)
386

Chapter VI : Ship's Mark and Company Flag (Article 31 s/d Article 34)
Chapter VII : Alteration and Deletion of Registration (Article 35 s/d Article
44)
Chapter VIII : Renewal and Re-issue of Certificate of Registration of

Ship's Ownership and Certificate of Ship's Nationality

(Article 45 s/d Article 48)

Chapter IX : Legal Liability (Article 49 s/d Article 55)


Chapter X : Supplementary Provisions (Article 56 s/d Article 59)

Dilihat dari judul peraturan, sistematika, dan mekanisme

penerbitannya, jika dibandingkan dengan peraturan pendaftaran kapal di

Indonesia, maka secara umum peraturan pendaftaran kapal RRC tidak

jauh berbeda dengan yang berlaku di Indonesia. Peraturan Pendaftaran

Kapal RRC dalam tingkatan peraturan perundang-undangan di Indonesia

termasuk peraturan setingkat undang-undang. Berbeda halnya dengan

yang berlaku di Indonesia dimana peraturan pendaftaran kapal tidak diatur

secara khusus dalam bentuk undang-undang tetapi hanya merupakan

bagian dari pengaturan dalam UU tentang Pelayaran bersama peraturan

pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah, dan Peraturan

Menteri Perhubungan.

Ketentuan dalam Pasal 1 Peraturan pendaftaran kapal RRC secara

tegas merumuskan apa yang menjadi tujuan diberlakukannya peraturan

ini, yaitu untuk memperkuat pengawasan dan kontrol atas kapal oleh

negara, dan melindungi hak-hak hukum dan kepentingan pihak yang

terlibat dalam pendaftaran kapal. Dari isi pasal ini menunjukkan adanya

peran negara dalam hal ini pemerintah yang sangat besar pada salah satu
387

aspek penting di bidang pelayaran dan perkapalan, yaitu tentang

pendaftaran kapal beserta akibat-akibat hukumnya bagi pihak terkait.

Peraturan pendaftaran kapal Indonesia tidak memberi perumusan tentang

apa yang menjadi tujuan dari pendaftaran kapal.

Ketentuan Pasal 2 Peraturan pendaftaran kapal RRC menentukan

bahwa kapal yang wajib didaftar adalah :

1. Kapal yang dimiliki oleh warga negara RRC yang tinggal atau tempat

utama bisnis berada dalam wilayah tersebut.

2. Kapal yang dimiliki oleh perusahaan dengan status badan hukum yang

didirikan berdasarkan hukum RRC yang tempat utama bisnis berada

dalam wilayah RRC, termasuk keterlibatan investasi asing dengan

proporsi modal terdaftar yang disumbangkan oleh investor China tidak

kurang dari 50 % (lima puluh persen).

3. Kapal layanan Pemerintah RRC dan kapal yang dimiliki oleh lembaga

dengan status badan hukum.

4. Kapal-kapal lain yang dipandang perlu pendaftaran oleh otoritas

pengawas pelabuhan RRC yang berwenang.

Ketentuan kepemilikan kapal yang terdaftar di RRC seperti tersebut

di atas menunjukkan bahwa Peraturan Pendaftaran Kapal RRC

menganut sistem atau aliran pendaftaran tertutup sebagaimana juga

praktik di Indonesia. Namun demikian terhadap kapal milik pemerintah

ataupun lembaga berbadan hukum menurut peraturan pendaftaran kapal

di Indonesia tidak termasuk kapal yang wajib didaftarkan sebagaimana


388

praktik di RRC. Dalam hal keterlibatan pihak asing sebagai pemilik kapal

akibat adanya usaha patungan, secara redaksional terdapat perbedaan

penulisan walaupun sebenarnya mempunyai arti yang sama. Ketentuan

Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pendaftaran Kapal RRC menentukan “modal

terdaftar yang disumbangkan investor China tidak kurang dari 50 % (lima

puluh persen)”. Sedangkan Peraturan Pendaftaran Kapal Indonesia

mencantumkan “mayoritas saham harus dimiliki oleh warga negara

Indonesia”.

Kapal yang telah terdaftar di RRC diizinkan untuk mengibarkan

bendera nasional RRC dan diberikan kewarganegaraan RRC. Tidak ada

kapal yang dapat mengibarkan bendera nasional RRC selama pelayaran

tanpa terdaftar. Sebuah kapal tidak diperkenankan memiliki

kewarganegaraan ganda, sehingga bagi kapal yang terdaftar di luar negeri

tidak dapat didaftarkan di RRC untuk mendapatkan kewarganegaraan

RRC, kecuali pendaftaran yang dilakukan sebelumnya telah ditangguhkan

atau dihapus.

Pejabat yang diberi wewenang dan tanggung jawab atas

pendaftaran kapal di RRC adalah Pengawas Administrasi Pelabuhan yang

fungsinya sama dengan Administrator Pelabuhan di Indonesia. Dalam

ketentuan Peraturan Pendaftaran Kapal RRC Pengawas Administrasi

Pelabuhan selanjutnya disebut dengan Administrasi Pelabuhan.

Administrasi Pelabuhan terdapat di berbagai pelabuhan yang ada di RRC

tapi tidak semua pelabuhan dapat dijadikan tempat pendaftaran kapal. Hal
389

ini mirip dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia dimana pemerintah

secara limitatif telah menentukan pelabuhan-pelabuhan yang dapat

dijadikan tempat pendaftaran kapal.

Pemilik kapal yang hendak mendaftarkan kepemilikan kapal di RRC

mengajukan permohonan kepada Administrasi Pendaftaran di pelabuhan

pendaftar dengan menyerahkan dokumen asli dan/atau salinan dokumen

yang membuktikan kepemilikan atas kapal dan informasi teknis dari kapal.

Dokumen-dokumen yang diserahkan oleh pemilik kapal disesuaikan

dengan cara perolehan hak milik atas kapal yakni :

1. Untuk kepemilikan kapal yang dibeli, dokumen-dokumen yang harus

diserahkan adalah :

a. Faktur penjualan, kontrak penjualan, dan dokumen pengiriman;

b. Dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas registrasi kapal di

pelabuhan dan serifikat asli penghapusan pendaftaran kepemilikan;

dan

c. Dokumen yang membuktikan bahwa kapal tersebut tidak berada di

bawah tanggungan atau penerima hak tanggungan menyetujui

peralihan kapal.

2. Untuk pendaftaran kepemilikan kapal yang baru dibangun, harus

melampirkan kontrak konstruksi kapal dan dokumen pengiriman. Untuk

pendaftaran kapal di bawah konstruksi, harus menyerahkan kontrak

konstruksi. Untuk pendaftaran kepemilikan kapal yang dibangun


390

sendiri untuk digunakan sendiri, harus menyerahkan dokumen yang

membuktikan pengadaan kepemilikan.

3. Untuk pendaftaran kepemilikan kapal yang diperoleh melalui

penyerahan warisan, di bawah proses hukum lelang, atau putusan

pengadilan, harus menyerahkan dokumen dengan akibat hukum yang

sesuai yang membuktikan kepemilikan kapal.

Administrasi Pendaftaran Kapal dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah

menerima permohonan pendaftaran kepemilikan kapal dari pemilik,

memeriksa dan memvalidasi aplikasi dan kelengkapan dokumen. Jika

memenuhi syarat, diterbitkan Sertifikat Pendaftaran Kepemilikan Kapal

dimana nomor registrasi resmi diberikan kepada kapal terdaftar.

Disamping itu beberapa keterangan yang harus dicatat dalam Daftar

Kapal yaitu :

1. Nama Kapal dan tanda panggilannya;

2. Pelabuhan pendaftar, nomor registrasi resmi dan tanda identifikasi

kapal;

3. Nama dan alamat pemilik kapal dan nama perwakilan hukumnya;

4. Cara di mana kepemilikan kapal itu dibeli dan tanggal pengadaan;

5. Tanggal kepemilikan kapal telah didaftarkan;

6. Nama pembangun kapal, waktu dan tempat pembangunan;

7. Nilai kapal, bahan lambung kapal dan informasi teknis utama kapal;

8. Original name dan port registry dari kapal dan tanggal penghapusan

atau penangguhan pendaftaran semula;


391

9. Informasi tentang kepemilikan bersama jika kapal tersebut dimiliki

oleh dua atau lebih pemilik;

10. Nama dan alamat penyewa kapal yang kosong atau operator kapal,

dan nama perwakilan hukumnya, jika pemilik kapal bukan orang yang

mengopersikan atau benar-benar mengendalikan kapal;

11. Informasi tentang pembentukan hipotek, jika ada (Pasal 14 Peraturan

Pendaftaran Kapal RRC)

Penetapan jangka waktu penerbitan sertifikat pendaftaran

kepemilikan kapal oleh Administrasi Pendaftaran Kapal selama 7 (tujuh)

hari terhitung sejak permohonan diterima, dibandingkan dengan praktik di

Indonesia mempunyai perbedaan dari segi lamanya waktu penerbitan.

Jangka waktu penerbitan akta pendaftaran hak milik atas kapal oleh

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal di Indonesia lebih cepat

yakni paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima.

Jadi jika berkasnya lengkap dan telah memenuhi syarat, akta pendaftaran

dapat segera diterbitkan.Dari segi lamanya waktu, praktik di Indonesia

tentu lebih menguntungkan baik bagi pemilik kapal maupun bagi Pejabat

Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal.

Keterangan-keterangan yang harus dicatat dalam daftar kapal

menurut ketentuan Pasal 14 Peraturan Pendaftaran Kapal RRC seperti

tersebut di atas, pada pokoknya tidak berbeda dengan apa yang harus

dimuat dalam akta pendaftaran kapal seperti diatur dalam Pasal 10 ayat
392

(1) Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 13 Tahun 2012 tentang

Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal yaitu :

a. nomor dan tanggal akta;

b. data kapal meliputi:

1) nama kapal;

2) panjang;

3) lebar;

4) dalam;

5) tonase kotor;

6) tonase bersih;

7) tanda selar;

8) jumlah geladak;

9) jumlah cerobong asap;

10)merk dan daya mesin induk;

11) tempat dan tahun pembangunan;

12) bahan utama; dan

13) jenis kapal

c. kategori pendataran kapal;

d. nama dan tempat kedudukan Pejabat Pendaftar danPencatat

Baliknama Kapal;

e. nama dan domisili pemilik; dan

f. uraian singkat kepemilikan kapal.


393

Penghapusan pendaftaran kapal RRC dapat dilakukan berdasarkan

ketentuan Pasal 39 yang menyebutkan dalam hal pemindahan

kepemilikan kapal, pemilik kapal sebelumnya harus mengajukan

permohonan penghapusan pendaftaran kepada Administrasi Pendaftaran

Kapal di pelabuhan registri dengan menyerahkan Sertifikat Kepemilikan

Kapal, Sertifikat Kebangsaan Kapal dan dokumen lain yang relevan.

Setelah aplikasi diperiksa dan diverifikasi dan sesuai dengan persyaratan

Peraturan ini, Administrasi Pendaftaran Kapal di pelabuhan registri akan

menghapus pencatatan mengenai kepemilikan kapal dan registrasi terkait

lainnya dalam Daftar Kapal, menarik sertifikat pendaftaran bersangkutan,

dan mengeluarkan sertifikat penghapusan pendaftaran kapal untuk pemilik

kapal. Jika kapal tersebut dijual di luar negeri, Administrasi Pendaftaran

Kapal menerbitkan sertifikat yang menyatakan bahwa kewarganegaraan

kapal telah dihapus, atau kebangsaan kapal akan segera dihapus ketika

kapal terdaftar baru.

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 40 menyatakan dalam kasus

kapal hilang (dibongkar atau termasuk karam) atau hilang, pemilik kapal

harus, dalam waktu 3 bulan setelah kapal hilang (dibongkar atau karam)

atau hilang, untuk mengajukan penghapusan pendaftaran kepada

Administrasi Pendaftaran Kapal di pelabuhan registri dengan

menyerahkan Sertifikat Pendaftaran Kepemilikan Kapal, Sertifikat

Kebangsaan Kapal dan pembuktian dokumen bahwa kapal telah hilang

(dibongkar atau karam) atau hilang. Setelah aplikasi telah diperiksa dan
394

diverifikasi dan sesuai dengan persyaratan Peraturan ini, Administrasi

Pendaftaran Kapal akan menghapus pendaftaran kapal dalam Daftar

Kapal, menarik sertifikat pendaftaran bersangkutan, dan mengeluarkan

sertifikat penghapusan untuk pemilik kapal.

c. Pendaftaran Kapal di Selandia Baru

Pengaturan pendaftaran kapal Selandia Baru terdapat dalam Ship

Registration Act 1992 (UU Pendaftaran Kapal 1992) yang mulai berlaku

pada hari ke 28 (dua puluh delapan) setelah tanggal undang-undang ini

mendapat persetujuan Raja (The Royal) Kecuali untuk Pasal 93 mulai

berlaku 6 (enam) bulan setelah berlakunya undang-undang ini. Adapun

sistematika UU Pendaftaran Kapal Selandia Baru (The Ship Registration

Act) adalah sebagai berikut (http://www.legislation.govt.nz/

act/public/1992/0089/latest/whole.html)

1. Interpretation
2. New Zealand Owned Ships
3. Ships on Demise Charter to New Zealand Based Operators
4. Application of Act to Crown, etc

Part 1 Ships Required or Entitled to be Registered

Part 2 Registration of Ships

Part 3 Transfers, Transmissions, and Mortgages of Ships

Part 4 Nationality and National Colours


Part 5 Administration
Part 6 Miscellaneous provisions

Undang-Undang Pendaftaran Kapal Selandia Baru menentukan

bahwa kapal yang perlu atau berhak untuk didaftarkan yaitu kapal
395

Selandia Baru dan kapal kesenangan (pleasure vessels). Adapun yang

termasuk dalam kepemilikan kapal Selandia Baru yakni :

a. dimiliki oleh warga negara Selandia Baru; atau

b. dimiliki oleh 3 (tiga) orang atau lebih sebagai pemilik bersama (selain

sebagaimana dimaksud pada huruf c, dan sebagian besar pemiliknya

warga negara Selandia yang baru; atau

c. dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagai pemilik yang sama, dan

lebih dari setengah dari saham di kapal dimiliki oleh 1 (satu) atau lebih

warga negara Selandia Baru.

Adapun yang dimaksud dengan kapal kesenangan adalah sebuah

kapal yang digunakan secara eksklusif untuk kesenangan pemilik atau

sebagai tempat tinggal pemilik, dan tidak ditawarkan atau digunakan untuk

mendapatkan keuntungan. Tidak termasuk di dalamnya yaitu :

a. sebuah kapal yang disediakan untuk transportasi atau olah raga atau

rekreasi oleh atau atas nama dari setiap institusi, hotel, motel, tempat

hiburan, atau pembentukan lain; atau

b. sebuah kapal yang digunakan dalam pelayaran apapun untuk

kesenangan jika biasanya digunakan atau dimaksudkan untuk

digunakan sebagai kapal penangkap ikan atau untuk pengangkutan

penumpang atau kargo atau untuk menyewa atau hadiah, atau

c. sebuah kapal yang dioperasikan atau disediakan oleh setiap klub,

masyarakat, kepercayaan, atau bisnis di bawah setiap saat berbagi,

piagam, atau pengaturan serupa


396

Kapal Selandia Baru yang ukuran panjangnya lebih dari 24 (dua

puluh empat) meter wajib didaftar kecuali terhadap kapal berikut ini :

(a) kapal kesenangan;

(b) kapal bergerak hanya pada perairan darat Selandia Baru;

(c) tongkang yang tidak melanjutkan pada pelayaran luar perairan pesisir.

Undang-Undang Pendaftaran Kapal Selandia Baru menentukan

bahwa terhadap kapal yang telah terdaftar di bawah hukum negara asing

tidak diperkenankan untuk didaftarkan. Pendaftaran dapat dilakukan jika

terdapat bukti berupa dokumen yang menunjukkan bahwa kapal tersebut

tidak lagi terdaftar di bawah hukum negara tempat kapal didaftarkan

sebelumnya. Kekecualian dari ketentuan ini jika telah ada usulan

langkah-langkah atau telah ada langkah-langkah yang dilakukan untuk

menghapus pendaftaran kapal sebelumnya pada saat atau sebelum

pendaftaran.

Sebuah kapal yang diperlukan untuk didaftarkan menurut Bagian 6

(enam) dalam UU Pendaftaran Kapal Selandia Baru namun tidak terdaftar,

maka kapal tersebut tidak diakui sebagai kapal Selandia Baru, dan tidak

berhak atas tunjangan, hak istimewa, keuntungan, atau perlindungan yang

biasanya dinikmati oleh kapal yang terdaftar. Untuk kepentingan hukum

Selandia Baru pemilik kapal berkewajiban menyediakan pembayaran atas

biaya atau biaya lainnya, termasuk denda-denda dan hukuman atas

pelanggaran yang dilakukan di atas kapal oleh pemilik kapal.


397

Di samping itu terhadap kapal yang diperlukan untuk didaftarkan

namun tidak terdaftar, tidak diperkenankan berangkat dari pelabuhan

Selandia Baru untuk melakukan perjalanan ke tempat di luar Selandia

Baru, kecuali sesuai dengan izin atau pass sementara. Petugas Bea

Cukai tidak akan memberikan sertifikat izin terhadap suatu kapal yang

hendak berangkat dari pelabuhan Selandia Baru ke tempat di luar

Selandia Baru jika tidak memiliki izin atau pass sementara.

Penguasa atau pemilik kapal setiap melakukan pelanggaran yang

menyebabkan atau mengizinkan atau gagal untuk mengambil langkah-

langkah untuk mencegah suatu pelanggaran yang berkaitan dengan

akibat kapal yang tidak terdaftar, akan dikenakan denda dengan

ketentuan tidak melebihi $ 5000 jika yang melanggar adalah orang pribadi.

Jika yang melakukan pelanggaran adalah badan hukum, dikenakan denda

tidak melebihi $ 10.000.

Aplikasi permohonan pendaftaran kapal pada Bagian B dari

Register tersebut harus ditandatangani oleh pemilik kapal dengan

memuat:

(a) nama kapal;

(b) deskripsi kapal;

(c) panjang keseluruhan kapal; dan

(d) nama, alamat, dan kebangsaan dari setiap pemilik saham apapun

dalam kapal.
398

Dalam rangka menentukan apakah kapal dapat benar didaftarkan,

Panitera masih mungkin memerlukan pemohon untuk memberikan

informasi tambahan dan bukti yang terkait dengan kapal dan kepemilikan.

Jika ternyata terdapat pernyataan dalam aplikasi pendaftaran yang tidak

benar atau palsu dan diketahui pemohon, maka kepadanya dikenakan

denda karena melakukan kejahatan sebesar tidak melebihi $ 2000.

Ketentuan ini agak berbeda dibandingkan dengan pendaftaran kapal di

Indonesia dan RRC yang telah dibahas sebelumnya. Di Indonesia dan

RRC tidak menentukan adanya pembayaran denda jika dokumen

kelengkapan permohonan ternyata tidak benar melainkan melakukan

pembatalan berlakunya akta pendaftaran kapal.

Sebelum pendaftaran dilakukan oleh pejabat pendaftar (Panitera)

dalam daftar Bagian A, pemohon atau pemilik kapal harus melengkapi

dokumen yang dipersyaratkan untuk itu berupa :

1. sertifikat pembangun dalam bentuk yang ditentukan, yang diberikan

oleh pembangun yang terlibat dalam pembangunan kapal dan akan

menjelaskan tentang :

a. nama kapal (jika ada) atau nama atau deskripsi yang dikenal oleh

pembangun;

b. tahun di mana pekerjaan pembangunan kapal selesai;

c. nama dan alamat pembangun;

d. nama dan alamat orang untuk siapa kapal itu dibangun;

e. tempat atau tempat-tempat di mana kapal itu dibangun; dan


399

f. jenis kapal, panjang keseluruhan, luas, dan kedalaman, bahan

utama yang digunakan dalam pembangunan lambung, dan jenis

mesin dipasang.

2. dokumen (termasuk bill of sale) yang berkaitan dengan perubahan

kepemilikan kapal yang telah terjadi sejak terakhir terdaftar di Selandia

Baru atau di negara lain, atau (jika belum terdaftar di negara manapun)

telah terjadi sejak dibangun;

3. salinan dari setiap charterparty yang berhubungan dengan kapal.

Dalam hal pemohon untuk alasan apapun tidak dapat memberikan

dokumen atau keterangan yang diperlukan, maka pemohon harus

membuat pernyataaan tentang dokumen yang tidak dapat disediakan atau

pernyataan tentang dokumen yang hilang dan memasukkan bersama-

sama dengan dokumen-dokumen yang tersedia kepada Panitera.

Setiap orang yang membangun di Selandia Baru sebuah kapal

yang wajib didaftarkan dalam Bagian A dari Daftar atau setiap bagian dari

kapal tersebut, maka dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah

tanggal dimana pembangunan kapal telah selesai, menyampaikan kepada

orang untuk siapa kapal telah dibangun atau agen orang itu sertifikat yang

berisi keterangan yang berhubungan dengan kapal yang dibangun.

Pembangun yang tidak mematuhi ketentuan ini ataupun membuat

pernyataan palsu dalam sertifikat dan mengetahui bahwa pernyataan itu

adalah palsu, kepadanya dikenakan denda tidak melebihi $ 2000.


400

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Pendaftaran kapal

Selandia Baru yang mempunyai kesamaan dengan yang berlaku di

Indonesia yaitu berkaitan dengan pengukuran tonase kapal sebagai syarat

sebelum kapal di daftarkan. Pendaftaran kapal di Selandia Baru belum

dapat dilakukan sebelum diterbitkannya sertifikat pengukuran. Hal yang

berbeda dibandingkan dengan ketentuan di Indonesia adalah Panitera

dapat menerima surat ukur yang diterbitkan oleh negara asing jika

peraturan tentang tonase di negara asing secara substansial mirip dengan

undang-undang Tonase Selandia Baru. Disamping itu alasan lainnya yaitu

surat ukur dari negara asing telah ditandatangani oleh surveyor kapal

yang dipekerjakan oleh pemerintah negara itu atau organisasi yang diakui

untuk tujuan tersebut di bawah hukum negara itu atau organisasi disetujui

oleh Direktur.

Sebagaimana yang berlaku di Indonesia yang mensyaratkan

adanya kewajiban pemilik kapal untuk memasang tanda selar pada kapal

sebelum didaftarkan, demikian pula halnya di Selandia Baru. Pemasangan

nama kapal pada setiap sisi haluan dan nama kapal dan nama pelabuhan

pendaftar di tandai baik di buritan atau di masing-masing sisi lambung

yang paling dekat pada buritan. Pemasangan harus permanen dan

mencolok pada kedua sisi haluan agar mudah terlihat dengan

menggunakan warna yang kontras dengan latar belakang.

Setiap orang atau pemilik kapal termasuk yang bertanggung jawab

di atas kapal yang melakukan pelanggaran dari ketentuan pemasangan


401

tanda ataupun yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan tanda

kapal berubah, tidak kelihatan atau terhapus dan yang membiarkan orang

melakukan perbuatan tersebut, kepadanya dianggap melakukan

kejahatan. Terhadap kejahatan tersebut dikenakan denda sebesar tidak

melebihi $ 2000 jika dilakukan oleh orang pribadi, dan tidak melebihi $

5000 jika dilakukan oleh badan hukum.

Sesuai dengan klasifikasi pendaftaran maka setelah kapal

didaftarkan, Panitera akan mengeluarkan dua macam sertifikat. Dengan

ketentuan, setelah pendaftaran kapal dalam Bagian A dari register,

Panitera akan memberikan sertifikat registri yang berhubungan dengan

kapal kepada pemilik kapal. Untuk kapal yang didaftarkan dalam Bagian

B dari register akan mendapatkan sertifikat pendaftaran.

Panitera dapat memberikan sertifikat pengganti bilamana sertifikat

registri atau sertifikat sementara dari registri atau sertifikat pendaftaran

atau sertifikat sementara dari pendaftaran tidak dapat ditemukan atau

hilang atau hancur. Atas aplikasi yang dibuat secara tertulis oleh pemilik

atau master kapal dan disertai dengan dokumen-dokumen dan informasi

yang diperlukan, Panitera wajib memberikan sertifikat baru di tempat

sertifikat itu. Ketentuan ini mirip dengan pemberian grosse akta

pendaftaran pengganti di Indonesia jika grosse akta pendaftaran hilang.

Panitera atas permohonan dari pemilik kapal dapat memberikan

sertifikat sementara dari registry atau sertifikat sementara pendaftaran

apabila sertifikat-sertifikat tersebut tidak dapat ditemukan atau hilang atau


402

rusak dalam hal kapal berada di pelabuhan asing atau kapal berada di laut

dan sebelum tiba di pelabuhan Selandia Baru, kapal tiba di pelabuhan

asing.Ketentuan penerbitan sertifikat sementara tersebut dibandingkan

dengan di Indonesia mempunyai perbedaan.dimana di Indonesia sertifikat

pendaftaran sementara diterbitkan dalam hal kapal sedang dibangun baik

di dalam negeri maupun di luar negeri.

Perbedaan lainnya terkait dengan diterbitkannya sertifikat

pendaftaran sementara antara praktik di Selandia Baru dan praktaik di

Indonesia yakni tentang jangka waktu berakhirnya sertifikat pendaftaran

sementara. Ketentuan di Selandia baru membatasi jangka waktu

berlakunya sertifikat pendaftaran sementara sampai kapal telah tiba di

pelabuhan Selandia Baru atau berakhirnya jangka waktu selama 3 (tiga)

bulan sejak sertifikat diterbitkan. Sedangkan di Indonesia, akta

pendaftaran kapal sementara dinyatakan tidak berlaku lagi pada saat

kapal diserah terimakan atau pada saat pembangunannya dinyatakan

tidak dilanjutkan.

Berakhirnya pendaftaran kapal atau penutupan pendaftaran

(closure registration) dalam praktik di Selandia Baru terjadi dalam hal

kapal yang terdaftar hilang (entah sebenarnya atau secara konstruktif),

yang diambil oleh musuh, dibakar atau rusak, juga dalam hal kapal sudah

tidak diperlukan dan kapal wajib didaftarkan di bawah UU Pendaftaran

Kapal. Jika terjadi hal-hal tersebut di atas pemilik kapal wajib setelah

mengetahui hal tersebut memberikan pernyataan secara tertulis kepada


403

Panitera. Bilamana Panitera telah menerima pemberitahuan tersebut,

maka Panitera akan membuat catatan dalam daftar dan menutup atau

mengakhiri pendaftaran kapal tersebut.

Pada intinya peraturan pendaftaran kapal yang berlaku di negara

RRC dan Selandia Baru mempunyai kesamaan dengan apa yang berlaku

di Indonesia. Kalaupun terdapat perbedaan hanya menyangkut hal-hal

yang tidak terlalu mendasar yang dipengaruhi oleh sistem pemerintahan

dan hukum masing-masing negara. Adanya kesamaan di antara negara-

negara di dunia dalam mengatur tentang pendaftaran kapal banyak

dipengaruhi oleh ketentuan-ketentuan internasional yang dihasilkan dalam

konvensi internasional yang dilaksanakan oleh badan-badan internasional

di bidang pelayaran termasuk atas prakarsa badan Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB).

Konvensi-konvensi internasional yang besar pengaruhnya bagi

pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang pendaftaran

kapal di antaranya adalah United Nations Convention on the Law of the

Sea 1982 (UNCLOS 1982) yang dilaksanakan di Montego Bay Jamaica

dan United Nations Convention on Conditions for Registration of Ships

1986 yang dilaksanakan di Jenewa.

Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), juga disebut

Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut, adalah perjanjian

internasional yang dihasilkan dari Konferensi PBB ketiga tentang Hukum

Laut (UNCLOS III), yang berlangsung antara tahun 1973 dan 1982. Dalam
404

konvensi ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak dan tanggung

jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia dan pedoman untuk

bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam kelautan.UNCLOS

diberlakukan pada tahun 1994 dan diratifikasi oleh Indonesia dengan

berlakunya UU No.17 Tahun 1985.

Adapun United Nations Convention on Conditions for Registration

of Ships 1986 yang dilaksanakan di Jenewa mempunyai tujuan

sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 adalah :

For the purpose of ensuring or, as the case may be, strengthening
the genuine link between a State and ships flying its flag, and in
order to exercise effectively its jurisdiction and control over such
ships with regard to identification and accountability of shipowners
and operators as well as with regard to administrative, technical,
economic and social matters, a flag State shall apply the provisions
contained in this Convention.

(Untuk tujuan memastikan atau, sebagaimana halnya mungkin,


memperkuat hubungan langsung antara Negara dan kapal yang
mengibarkan benderanya, dan untuk melaksanakan secara efektif
yurisdiksi dan kontrol atas kapal tersebut berkaitan dengan
identifikasi dan akuntabilitas pemilik kapal dan sebagai operator
serta berkaitan dengan hal-hal administratif, teknis, ekonomi dan
sosial, Negara bendera harus menerapkan ketentuan dalam
konvensi ini)

d. Pembebanan Hipotek Kapal

1. Pihak-pihak dalam Pembebanan Hipotek Kapal

Sehubungan dengan pembebanan hipotek kapal, maka di

dalamnya terlibat beberapa pihak sesuai kedudukan dan fungsi masing-

masing sebagaimana ditentukan dalam peraturan yang mengatur tentang


405

hipotek kapal. Para pihak yang terlibat dalam pembebanan hipotek kapal

adalah sebagai berikut :

a. Kreditor atau pemegang hipotek kapal;

b. Debitor atau pemberi hipotek kapal;

c. Notaris; dan

d. Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal.

Kreditor dalam hal ini tidak lain adalah pihak bank sebagai pihak

yang memberikan fasilitas kredit (utang/pinjaman) kepada debitor

berdasarkan perjanjian pokok yang telah dibuat antara kreditor dan

debitor. Disamping itu mengingat pembebanan hipotek kapal merupakan

perjanjian asesoir, maka kreditor juga mempunyai peran sebagai pihak

yang mengajukan permohonan untuk pembebanan hipotek berdasarkan

kuasa dari debitor ataupun bersama-sama debitor dalam mengajukan

permohonan. Dari fungsi atau kedudukan kreditor seperti tersebut di atas,

maka dapat diketahui bahwa kedudukan debitor adalah sebagai pihak

yang menerima fasilitas kredit (utang/pinjaman) dari kreditor (bank),

sekaligus juga sebagai pemberi hipotek kapal yang menjadi jaminan untuk

pelunasan kredit.

Dalam pembebanan hipotek kapal, peran notaris sangat penting

sesuai dengan kedudukan dan fungsi notaris sebagai pihak yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk membuat akta otentik dan

kewenangan lainnya (Pasal 1 ayat (1) UU No.30/2004). Sehubungan

dengan pembebanan hipotek kapal menurut Notaris Ferry V. Tatuil,


406

S.H,M.Kn, notaris diberi kewenangan untuk membuat akta Surat Kuasa

Memasang Hipotek (SKMH) oleh karena SKMH Kapal ini harus berbentuk

akta otentik, dan berdasarkan akta SKMH Kapal ini akan dipergunakan

sebagai dasar untuk pembuatan akta hipotek kapal (Hasil wawancara .

tanggal 9 Juli 2012).

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal adalah pejabat

yang ada pada kantor Administrasi Pelabuhan (Adpel) atau Kantor

Pelabuhan yang ditetapkan sebagai tempat pendaftaran kapal. Termasuk

juga yang berada di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

Menurut Hendry Amir, S.H pejabat di Kantor Syahbandar Kelas Utama

Tanjung Priok, terkait dengan pembebanan hipotek kapal peran dari

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal sangat penting yaitu

sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk membuat Akta Hipotek

Kapal. Kedudukan Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal oleh

undang-undang termasuk sebagai pejabat umum yang karena jabatannya

berwenang membuat akta otentik di luar kewenangan yang ada pada

notaris (Hasil wawancara tanggal 12 Juni 2012).

2. Proses Pembebanan Hipotek Kapal

Berdasarkan amanat Pasal 64 UU No.17 Tahun 2008 tentang

Pelayaran, maka sehubungan dengan pembebanan hipotek kapal

pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan RI

Nomor : PM 13 Tahun 2012 tentang Pendaftaran dan Kebangsaan Kapal.

Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu pada tanggal
407

14 Februari 2012. Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) dari peraturan ini, maka

yang menjadi dasar sebuah kapal dapat dijadikan jaminan dengan

pembebanan hipotek kapal adalah kapal yang telah terdaftar dalam daftar

kapal Indonesia. Adapun kapal yang dapat didaftarkan dibatasi pula hanya

yang berukuran 20 m3 ke atas atau yang setara dengan ukuran 7 GT

(gros tonnage) ke atas. Dengan demikian tidak semua kapal dapat

dijadikan jaminan hipotek kapal. Ketentuan hanya kapal terdaftar yang

dapat dibebani hipotek, didukung oleh pendapat responden seperti

ditunjukkan pada tabel di berikut ini :

Tabel 3

Kapal Terdaftar sebagai Objek Hipotek Kapal

Responden
Jumlah
No. Penilaian PB PP PKP Hakim Notaris

f % f % f % f % f % f %

1 Setuju 8 80 7 70 10 100 9 90 10 100 44 88

2 Ragu-ragu 2 20 2 20 0 0 1 10 0 0 5 10

3 Tidak Setuju 0 0 1 10 0 0 0 0 0 0 1 2

Jumlah 10 100 10 100 10 100 10 100 10 100 50 100

Sumber : Diolah dari data primer 2012

Keterangan:
PB : Pimpinan Bank
PP : Pengusaha Perkapalan
PKP : Pimpinan Kantor Pelabuhan
408

Dari data yang ditunjukkan pada Tabel 3 di atas, sebagian besar

responden (88%) menyatakan setuju jika objek hipotek kapal adalah kapal

yang terdaftar dengan alasan untuk kepentingan pemilik kapal dan pihak

bank terkait dengan objek jaminan. Sedangkan 10% menjawab ragu-ragu

dengan alasan bahwa objek hipotek kapal bisa untuk kapal terdaftar dan

juga kapal tidak terdaftar. Demikian pula terdapat 2 % responden yang

menyatakan tidak setuju dengan alasan adanya diskriminasi terhadap

pemilik kapal ukuran kecil karena menutup kesempatan memakai jaminan

hipotek kapal.

Pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta

hipotek kapal oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal di

tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam daftar induk kapal yang

bersangkutan. Pembuatan akta hipotek kapal berdasarkan permohonan

dari pemilik kapal dan penerima hipotek (kreditor) atau penerima hipotek

secara sendiri atas kuasa pemilik kapal. Bentuk kuasa dari pemilik kapal

harus dibuat di hadapan notaris yang disebut dengan Surat Kuasa

Memasang Hipotek. Permohonan yang diajukan tersebut wajib dilengkapi

dengan perjanjian kredit dan asli grosse akta pendaftaran kapal atau

grosse akta baliknama kapal.

Notaris dan atau/kuasanya sebelum membuat akta SKMH atas

Kapal terlebih dahulu akan melakukan klarifikasi terhadap keaslian grosse

akta pendaftaran kapal pada kantor pelabuhan tempat kapal didaftarkan.


409

Maksud pengecekan tersebut disamping untuk mengetahui keaslian

grosse akta pandaftaran kapal juga untuk mengetahui apakah atas kapal

tersebut sedang dibebani dengan hipotek atau hak jaminan lainnya.

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal berdasarkan asas

publisitas dari pendaftaran kapal, wajib memberikan keterangan ataupun

menunjukkan apa yang dimintakan oleh notaris berkaitan dengan akta

pendaftaran kapal.

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal setelah

menerima permohonan beserta dokumen kelengkapan yang di perlukan,

akan melakukan penelitian kelengkapan persyaratan dalam waktu paling

lama 5 (lima) hari kerja sejak dokumen permohonan diterima secara

lengkap. Apabila kelengkapan persyaratan pembebanan hipotek atas

kapal telah terpenuhi, maka Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama

Kapal membuat akta hipotek kapal.

Akta hipotek kapal di dalamnya memuat tentang :

a. nomor dan tanggal akta;

b. nama dan tempat kedudukan Pejabat Pendaftar dan Pencatat

Baliknama Kapal;

c. nama dan domisili pemberi dan penerima hipotek;

d. nomor dan tanggal akta pendaftaran atau akta baliknama;

e. data kapal;

f. dasar pembebanan hipotek;

g. nilai hipotek; dan


410

h. hal-hal lain yang diperjanjikan.

Akta hipotek kapal ditandatangani oleh pemilik kapal, Pejabat

Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal, serta Pegawai Pembantu

Pendaftaran dan Baliknama Kapal. Penandatanganan, pemberian nomor,

tanggal akta hipotek kapal, dan pencatatan dalam daftar induk harus

dilakukan pada tanggal yang sama. Sebagai bukti bahwa kapal telah

dibebani hipotek, maka penerima hipotek diberikan grosse akta hipotek

kapal yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Berdasarkan beberapa hal yang termuat dalam akta hipotek kapal

sebagaimana tersebut di atas, maka kepada pemberi dan penerima

hipotek kapal dapat memperjanjikan hal-hal lain yag dianggap perlu untuk

dimuat dalam akta hipotek kapal. Dalam praktik perjanjian yang dapat

dibuat adalah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1178 ayat (2)

KUH Perdata yakni janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri (Parate

eksekusi). Jika diperjanjikan demikian dalam akta hipotek kapal maka

dalam hal debitor atau pemberi hipotek kapal wanprestasi, kreditor atau

penerima hipotek berhak untuk mengeksekusi benda jaminan melalui

penjualan di muka umum atau melalui lelang.

3. Pencoretan Hipotek Kapal (Roya)

Pembebanan hipotek kapal berakhir atau hapus setelah dilakukan

pencoretan akta hipotek kapal oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat

Baliknama Kapal. Pencoretan hipotek kapal dimaksud hanya dapat


411

dilakukan jika sebuah kapal tidak lagi menjadi jaminan utang dengan

pembebanan hipotek, atau dengan perkataan lain debitor telah melunasi

kredit/utangnya kepada kreditor (bank).

Pencoretan hipotek atas kapal dapat dilakukan berdasarkan

permohonan yang diajukan oleh penerima hipotek atas kapal atau

penerima pengalihan hipotek atas kapal juga berdasarkan permohonan

dari pemberi hipotek atas kapal. Di samping itu pencoretan hipotek atas

kapal dapat dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri atau

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dalam hal pencoretan hipotek dimohonkan oleh penerima hipotek

atas kapal, permohonan wajib dilengkapi dengan asli grosse akta hipotek

kapal dan atau grosse akta pengalihan hipotek atas kapal serta grosse

akta pendaftaran kapal atau grosse akta baliknama kapal. Grosse akta

pengalihan hipotek kapal dimaksudkan dalam hal adanya peralihan

hipotek atas kapal kepada penerima hipotek kapal. Sedangkan grosse

akta baliknama kapal dimaksudkan dalam hal pemilik kapal memperoleh

hak milik atas kapal yang telah terdaftar.

Jika yang bermohon pencoretan hipotek atas kapal adalah pemberi

hipotek, maka permohonan wajib dilengkapi dengan asli surat persetujuan

dari penerima hipotek atas kapal, grosse akta hipotek kapal dan atau

grosse akta pengalihan hipotek atas kapal serta grosse akta pendaftaran

kapal atau grosse akta baliknama kapal. Permohonan pencoretan hipotek

(roya) dan surat persetujuan pencoretan hipotek (roya) yang diajukan atau
412

diberikan oleh penerima hipotek atas kapal yang merupakan badan

hukum asing, harus dilegalisasi oleh Notaris di tempat dibuatnya

permohonan atau surat persetujuan tersebut.

Pencoretan hipotek (roya) dilakukan dengan cara membuat catatan

mengenai berakhirnya pembebanan hipotek atas kapal dan mencoret

catatan yang telah dibuat sebelumnya tentang pembebanan hipotek atas

kapal dalam daftar induk kapal yang bersangkutan. Catatan mengenai

berakhirnya pembebanan hipotek atas kapal selanjutnya disalin kedalam

grosse akta hipotek kapal. Grosse akta hipotek kapal selanjutnya

dikembalikan kepada pemilik kapal bersama dengan grosse akta

pendaftaran kapal atau grosse akta baliknama kapal.

Adapun proses pembebanan hipotek atas kapal secara skematis

dapat dilihat pada skema berikut ini :

Skema 4. Proses pembebanan hipotek kapal


413

DOKUMEN YANG
DISYARATKAN
• Permohonan TEMPAT KAPAL
• Akta Surat Kuasa Memasang DI DAFTAR
Hipotek (*)
• Akta Pendaftaran/Akta
Baliknama Ditandatangani oleh
• Kreditur
• Perjanjian Kredit MINUT AKTA • Pejabat Pendaftar
• Pegawai Pembantu

DAFTAR HARIAN
DICATAT DALAM
DAFTAR INDUK
(*) Bila permohonan pembebanan
hipotek hanya diajukan oleh Kreditur
• Ditandatangani
GROSSE AKTA Peg. Pembantu
HIPOTEK • Diserahkan kepada
Kreditur

4. Peran Asuransi dalam Pembebanan Hipotek Kapal

Telah diuraikan sebelumnya bahwa risiko mengalami gangguan

berupa rusaknya bahkan musnahnya objek jaminan hipotek kapal lebih

besar dibandingkan dengan objek jaminan tanah dalam hak tanggungan.

Dari aspek keamanan benda jaminan yang terkait juga dengan keamanan

perjanjian kredit/pembiayaan, tentu sangat riskan jika benda jaminan

mengalami kerusakan bahkan hilang/musnah. Oleh karena itu guna

mengatasi persoalan tersebut maka sebagaimana terungkap dari hasil

wawancara dengan Ramly Rivai dari Bank Sulut (Wawancara tanggal 6

Agustus 2012), pihak bank mengantisipasinya dengan menutup asuransi

terhadap kapal yang dijadikan jaminan oleh debitor, walaupun peraturan

hukum hipotek kapal tidak mensyaratkan adanya penutupan asuransi

terhadap kapal yang dijaminkan.


414

Menurut peneliti pengaturan tentang asuransi sebaiknya diatur pula

dalam ketentuan yang mengatur tentang hipotek kapal sehingga benar-

benar dapat di pahami dan diterapkan dalam pengikatan jaminan hipotek

kapal. Dalam ketentuan Pasal 1209 KUH Perdata, musnahnya kapal tidak

termasuk hal yang mengakibatkan hapusnya hipotek. Oleh karena itu

sangat tepat jika antara debitor dan kreditor memperjanjikan untuk

mengalihkan kerugian akibat musnahnya kapal dengan menutup asuransi,

sehingga tidak mengganggu perjanjian hipotek mengingat kreditor akan

mendapatkan pembayaran dari nilai pertanggungan yang dibayarkan

pihak Asuransi. Dalam hal ini nilai pertanggungan biasanya melebihi dari

nilai kredit/pembiayaan. Adanya penutupan asuransi kapal jelas memberi

keuntungan baik bagi kepentingan pihak kreditor maupun pihak debitor.

Adapun produk asuransi kapal laut yang di tawarkan oleh

perusahaan asuransi pada umumnya dinamakan Marine Hull Insurance

(Asuransi rangka kapal) atau Hull and Machinery Insurance (Asuransi

rangka kapal dan mesin). Produk ini memberikan jaminan kerugian

terhadap rangka/mesin kapal maupun pihak ketiga yang disebabkan oleh

risiko pelayaraan/alam/pihak lain ataupun kapal tersebut. Jenis kapal yang

dapat diasuransikan adalah Kapal Tanker, Kapal Barang (Cargo), Kapal

Penumpang (Fast Ferry), Container, RORO, Kapal Curah, Tongkang,

Kapal Tunda, Kapal Keruk dan lainnya.

Beberapa perusahaan asuransi di Indonesia yang melayani asuransi

kapal laut antara lain PT. Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), Asuransi
415

Sinar Mas, Asuransi Wahana Tata, PT. Asuransi Ramayana Tbk, dan

Asuransi Central Asia (ACA). Sedangkan dalam skala internasional

terdapat beberapa perusahaan asuransi terkenal antara lain Allianz Global

Corporate, Jardine Lloyd Thompson (JLT) Group, FP Marine Risks dan

British Marine.

c.Pembebanan Hipotek Kapal di Republik Rakyat China (RRC)

Pengaturan pembebanan hipotek kapal di RRC terdapat dalam The

Registration of Ships 1994 Chapter IV Registration of Ship Mortgage

(Article 20 s/d Article 24). Peraturan tentang pembebanan hipotek kapal ini

merupakan bagian dari Peraturan Pendaftaran Kapal RRC yang

mengaturnya dalam bab tersendiri yakni Bab IV tentang Pendaftaran

Hipotek Kapal. Dalam Pasal 20 menentukan bahwa kapal yang berukuran

tonase kotor 20 (dua puluh) ton atau lebih dapat dijadikan objek hipotek

kapal. Dibandingkan dengan di Indonesia terdapat perbedaan dimana

objek hipotek kapal hanya berlaku bagi kapal yang berukuran 20 (dua

puluh) meter kubik ke atas atau yang mempunyai tonase kotor tujuh (GT

7) ke atas.

Pejabat yang berwenang dalam melakukan pendaftaran hipotek

kapal di RRC adalah Administrasi Pendaftaran Kapal yang kedudukan dan

fungsinya dapat disamakan dengan Pejabat Pendaftar dan Pencatat

Baliknama Kapal yang ada di Indonesia. Pendaftaran hipotek kapal hanya

boleh dilakukan di pelabuhan tempat dimana kapal didaftarkan atas


416

permohonan kreditor bersama debitor selaku pemilik kapal dengan

menyerahkan dokumen-dokumen sebagai berikut :

a) aplikasi yang ditulis dan ditandatangani oleh kreditor dan debitor;

b) sertifikat hak atas kapal atau kontrak konstruksi kapal;

c) kontrak hipotek kapal; dan

d) sertifikat hipotek kapal jika telah ada hipotek lain atas kapal yang

bersangkutan.

Dokumen-dokumen dalam pembebanan hipotek atas kapal

sebagaimana tersebut di atas, khususnya berkaitan dengan aplikasi yang

ditandatangani oleh kreditor dan debitor, menunjukkan bahwa ketentuan

ini tidak memberikan kewenangan kepada kreditor sendiri untuk

mengajukan permohonan pembebanan hipotek kapal. Hal ini berbeda

dengan ketentuan di Indonesia yang secara jelas memperkenankan

permohonan pembebanan hipotek kapal diajukan oleh kreditor sendiri

atas kuasa dari pemilik kapal /debitor. Namun demikian berkaitan dengan

dokumen kepemilikan kapal, ketentuan di RRC lebih mempermudah

dengan memungkinkan memakai kontrak konstruksi kapal sebagai tanda

bukti kepemilikan di samping sertifikat hak atas kapal. Demikian pula

ketentuan di RRC secara tegas mengatur bahwa kapal yang sebelumnya

telah dibebani hipotek, harus memasukkan sertifikat hipotek yang telah

lebih dulu ada jika hendak mengajukan pembebanan hipotek yang baru.
417

Dalam hal kapal yang dijadikan objek hipotek merupakan kapal

yang kepemilikannya dimiliki secara bersama, ketentuan pembebanan

hipotek kapal di RRC mewajibkan menyerahkan dokumen yang

membuktikan adanya perjanjian kepemilikan bersama yang mempunyai

lebih dari dua per tiga atau proporsi diperjanjikan dari saham tersebut.

Setelah aplikasi permohonan pembebanan hipotek atas kapal

dimasukkan, Administrasi Pendaftaran Kapal dalam waktu 7 (tujuh) hari

setelah tanggal diterimanya permohonan melakukan verifikasi terhadap

kelengkapan dokumen sesuai dengan peraturan. Selanjutnya dilakukan

pencatatan yang berkaitan dengan kreditor, debitor, kapal yang dijadikan

jaminan, tanggal pendaftaran hipotek dan sertifikat kepemilikan kapal

dalam daftar kapal diikuti dengan penerbitan sertifikat pendaftaran hipotek

kapal yang diberikan kepada kreditor.

Adapun hal-hal yang dimuat dalam sertifikat pendaftaran hipotek

kapal yaitu :

a) Nama dan alamat kreditor dan debitor;

b) Nama dan kebangsaan kapal yang dijadikan jaminan, Sertifikat

Pendaftaran Kepemilikan Kapal dan Administrasi yang mengeluarkan

sertifikat;

c) Jumlah utang yang dijamin, suku bunga dan periode hasil.

Administrasi Pendaftaran Kapal harus membuat informasi tentang

pendaftaran hipotek kapal dalam daftar kapal yang tersedia atau dapat

diakses untuk umum. Ketentuan ini mempunyai kesamaan dengan di


418

Indonesia sebagai implementasi asas publisitas yang terdapat dalam

pembebanan hipotek atas kapal.

Seperti halnya praktik di Indonesia, pengalihan hipotek juga

diperkenankan dalam praktik di RRC. Dalam hal pengalihan/pemindahan

hipotek, kreditor dan penerima pengalihan hipotek mengajukan

permohonan kepada Administrasi Pendaftaran Kapal di pelabuhan kapal

registri untuk pendaftaran pemindahan hipotek dengan mengajukan

kontrak atau perjanjian pengalihan hipotek kapal. Setelah aplikasi telah

diperiksa dan diverifikasi dan telah sesuai dengan persyaratan peraturan

ini, Administrasi Pendaftaran Kapal harus mencatat pengalihan sebagai

kreditor dalam daftar kapal dan di Sertifikat Pendaftaran Kepemilikan

Kapal, dan menerbitkan Sertifikat Pendaftaran Pengalihan Hipotek Kapal,

dan menyegel Sertifikat Pendaftaran Hipotek Kapal yang diterbitkan

sebelumnya. Sebelum penerbitan Sertifikat Pendaftaran Hipotek Kapal,

kreditor wajib memberitahukan kepada debitor dan penerima pengalihan

hipotek kapal.

Sebagaimana halnya di Indonesia, ketentuan yang berlaku di RRC

juga memperkenankan pembebanan beberapa hipotek atas sebuah kapal.

Jika terjadi dua atau lebih hipotek yang dilakukan di atas kapal yang

sama, Administrasi Pendaftaran Kapal wajib melakukan registrasi sesuai

dengan urutan tanggal di mana aplikasi yang terdaftar, dan menunjukkan

tanggal pendaftaran dalam Daftar Kapal. Tanggal dimana aplikasi

didaftarkan akan menjadi tanggal pendaftaran. Dalam kasus dua atau


419

lebih aplikasi yang dibuat pada hari yang sama, tanggal pendaftaran harus

sama.

Dalam hal terjadi perubahan kontrak hipotek kapal, kreditor dan

debitor mengajukan permohonan kepada Administrasi Pendaftaran Kapal

untuk pendaftaran perubahan tersebut dengan mengirimkan Sertifikat

Pendaftaran Kepemilikan Kapal, Sertifikat Pendaftaran Hipotek Kapal dan

dokumen yang membuktikan perubahan tersebut. Setelah aplikasi

diperiksa dan diverifikasi serta telah sesuai dengan persyaratan peraturan

ini, Administrasi Pendaftaran Kapal di pelabuhan pendaftar harus

mencatat perubahan kontrak hipotek di Sertifikat Pendaftaran Kepemilikan

Kapal, Sertifikat Pendaftaran Hipotek kapal dan Daftar Kapal.

Dalam hal kontrak hipotek berakhir, kreditor dan debitor

mengajukan permohonan kepada Administrasi Pendaftaran Kapal di

pelabuhan pendaftar untuk pendaftaran penghapusan dengan

menyerahkan Sertifikat Pendaftaran Kepemilikan Kapal, Sertifikat

Pendaftaran Hipotek Kapal dan dokumen yang ditandatangani oleh

kreditor yang membuktikan pemutusan kontrak hipotek. Setelah aplikasi

telah diperiksa dan diverifikasi dan telah sesuai dengan persyaratan

Peraturan ini, Administrasi Pendaftaran Kapal di pelabuhan pendaftar

akan menghapus pendaftaran hipotek kapal dalam Sertifikat Hak Kapal

dan Daftar Kapal.

f. Pembebanan Hipotek Kapal di Selandia Baru


420

Seperti halnya di Indonesia dan RRC, pengaturan hipotek kapal di

Selandia Baru juga hanya merupakan bagian dari undang-undang yang

mengatur tentang pendaftaran kapal yang terdapat dalam Ship

Registration Act 1992 (Part 3 Transfers, transmissions, and mortgages of

ships). Ketentuan Pasal 39 menyatakan bahwa sebuah kapal atau bagian

apapun dari kapal dapat dijadikan sebagai jaminan hipotek. Ketentuan ini

secara jelas memungkinan objek hipotek kapal tidak hanya terbatas pada

kapal secara keseluruhan tapi juga terhadap bagian dari kapal. Berbeda

halnya dengan ketentuan Pembebanan hipotek kapal yang berlaku di

Indonesia maupun di RRC yang tidak mengenal pembebanan hipotek

kapal untuk bagian yang ada pada sebuah kapal. Demikian pula halnya

terkait dengan ukuran kapal yang dapat dibebani hipotek, dalam

ketentuan di Selandia Baru tidak mengaturnya sebagaimana di Indonesia

dan RRC.

Panitera sebagai pejabat pendaftar pembebanan hipotek kapal

setelah menerima pengajuan pembebanan hipotek kapal yang disertai

kelengkapan dokumen, wajib melakukan pendaftaran hipotek dalam daftar

khusus hipotek dan mengesahkan dokumen yang masuk bersama dengan

tanggal dan waktu pembuatan dokumen. Permohonan pendaftaran

hipotek menurut ketentuan ini harus didaftarkan sesuai dengan

urutan/waktu pengajuan.

Apabila terhadap kapal atau bagian kapal yang sama terdaftar dua

atau lebih hipotek, maka untuk menentukan kreditor yang diutamakan


421

berdasarkan pada urutan pendaftaran hipotek. Ketentuan ini tidak berbeda

dengan apa yang berlaku di Indonesia maupun di RRC. Demikian pula jika

dalam hal debitor pailit maka tidak akan berpengaruh pada hak kreditor

untuk mendapatkan pemenuhan atas utang debitor (Pasal 40).

Ketentuan Hipotek Selandia Baru memperkenankan diadakannya

perubahan isi perjanjian hipotek dengan membuat suatu nota atau

memorandum yang telah ditentukan dengan melakukan semua atau salah

satu dari berikut ini :

1. Menambah atau mengurangi jumlah atau nilai yang dijamin dengan

hipotek;

2. Meningkatkan atau mengurangi tingkat suku bunga;

3. Mempersingkat, memperpanjang atau memperbaharui istilah atau

mata uang hipotek;

4. Menambah persyaratan, kondisi dan kekuasaan yang terkandung

dalam hipotek.

Ketentuan tersebut tidak akan diperlukan oleh debitor untuk

melaksanakan nota pengurangan, atau bagi kreditor untuk menjalankan

nota peningkatan dari utang hipotek atau tingkat bunga yang harus

dibayar di bawah hipotek. Memorandum ini dapat di daftarkan dengan

cara sebagaimana hipotek biasa. Sebuah memorandum memvariasikan

syarat atau ketentuan dari setiap subjek hipotek kapal berikutnya tidak

akan mengikat kreditor kecuali kreditor telah menyetujui secara tertulis

pada memorandum. Memorandum yang dibuat harus menyatakan


422

mengikat kreditor sehingga menyetujui dan akan dianggap sebagai

pemberitahuan kepada dan akan mengikat pada semua orang yang

mungkin berasal dari kepentingan kreditor dalam benda yang dijaminkan.

Tanpa mengabaikan ketentuan dalam Pasal 40, para pihak untuk

hipotek terdaftar di bawah Undang-undang ini dapat dari waktu ke waktu

oleh sebuah memorandum prioritas dalam bentuk yang ditentukan dan

terdaftar di bawah Undang-undang ini, beragam prioritas antara mereka

atas hipotek. Memorandum prioritas dilaksanakan oleh debitor dan juga

oleh kreditor di bawah setiap hipotek yang oleh memorandum tersebut

mengalami penundaan tanpa untuk setiap hipotek yang sebelumnya harus

prioritas. Setiap hipotek begitu diundur tunduk pada sebuah submortgage,

memorandum prioritas tidak akan efektif kecuali submortgagee telah

menyetujui penulisan pada memorandum tersebut. Setelah pendaftaran

memorandum prioritas, maka Panitera akan mencatatnya pada register

dan pada setiap instrumen judul yang relevan (Pasal 42).

Sebuah hipotek kapal atau bagian dalam dari kapal dapat ditransfer

oleh instrumen transfer yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan. Begitu

hipotek ditransfer, Panitera wajib sesegera mungkin setelah pengajuan

instrumen transfer bersama-sama dengan instrumen hipotek yang terkait

dengannya, memasukkan dalam Daftar nama penerima transfer sebagai

kreditor dari kapal atau bagian kapal yang merupakan subjek dari hipotek

dan mendukung pada instrumen hipotek yang telah dibuat bersama

dengan tanggal dan waktu dalam pembuatan pendaftaran (Pasal 43).


423

Selain memungkinkan adanya transfer hipotek, ketentuan hipotek

Selandia Baru mengenal pula apa yang disebut dengan transmission of

mortgage by operation of law (peralihan hipotek demi hukum). Sesuai

ketentuan Pasal 81 dimana kepentingan kreditor dalam hipotek kapal atau

bagian dalam dari kapal lewat transmisi kepada seseorang dengan cara

apapun yang sah selain dengan transfer berdasarkan Pasal 43, Panitera

wajib segera setelah dilaksanakan pengajuan pernyataan transmisi oleh

orang tersebut dalam bentuk yang ditentukan dan bukti transmisi sebagai

Panitera mungkin memerlukan masukkan dalam daftar nama orang itu

sebagai kreditor dari kapal atau bagian dari kapal bersangkutan (Pasal

44).

Apabila hipotek dicoret (diroya), diabaikan (dibebaskan), atau

berakhir demi hukum (termasuk penyitaan perdata), Panitera harus

membuat catatan (pendaftaran) dalam Register, sebagaimana ditentukan

dalam ayat (2), yaitu sesegera mungkin setelah:

a. pengajuan instrumen (dokumen) hipotek yang disertai tanda terima

uang hipotek dan telah ditandatangani secara sah; atau

b. pengajuan instrumen (dokumen) hipotek yang disertai oleh bukti

pengabaian hipotek dan telah ditandatangani secara sah; atau

c. menerima petikan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa kapal

telah disita secara perdata atau salinan (copy) putusan pengadilan,

atau
424

d. menerima dokumen dan bukti-bukti sebagaimana diminta oleh

Panitera untuk kepentingan maksud tersebut.

Pencatatan dalam Register harus menyatakan bahwa hipotek telah

dicoret (diroya), diabaikan (dibebaskan), atau telah berakhir demi hukum.

Pada pencatatan yang dibuat sesuai maksud bagian ini, semua

kepentingan kreditor (penerima hipotek) dalam lingkup hipotek yang

berada dalam wewenang seseorang, dengan memperhatikan undang-

undang, peraturan dan kondisi yang berlaku, wewenang tersebut harus

telah diserahkan jika hipotek akan diakhiri.

Pemilik kapal atau bagian dalam kapal sepatutnya, menurut

Undang-undang ini dan hak-hak serta wewenang Registrar, memiliki

kuasa (hak) mutlak untuk menyerahkan kapal atau bagian kapal dan

memberikan surat kuasa penyerahan hipotek. Ketentuan dalam Pasal 47

menentukan bahwa hipotek tidak mengubah kepemilikan. Sebuah hipotek

kapal atau bagian dari kapal seharusnya tidak membuat kreditor

(pemegang hipotek), atau debitor (pemberi hipotek) kehilangan hak

menjadi pemilik kapal atau bagian kapal, kecuali dalam kondisi yang

diperlukan untuk membuat kapal atau bagiannya tersedia sebagai jaminan

dari suatu hipotek.

Menurut ketentuan ayat (2), penerima hipotek (kreditor) suatu kapal

atau bagian dalam kapal memiliki hak (kuasa) mutlak untuk menyerahkan

kapal atau bagian kapal dan memberikan surat kuasa penyerahan kapal.

Apabila ada dua atau lebih hipotek dari kapal yang sama atau bagian
425

kapal yang sama, kreditor yang terakhir seharusnya tidak, kecuali menurut

perintah Pengadilan Tinggi, menyerahkan kapal atau bagian kapal tanpa

persetujuan dari kreditor-kreditor sebelumnya (Pasal 48).

Penyampaian suatu kepercayaan (trust), baik secara tegas

(tertulis), tersirat, atau konstruktif, tidak boleh dimasukkan dalam Register

atau diterima oleh Registrar (Pasal 49 ayat 1). Tidak ada dalam ayat (1)

mencegah pendaftaran kapal yang dimiliki oleh suatu badan usaha yang

didirikan berdasarkan Undang-Undang Trust Amal 1957 atau dikenakan

hipotek di mana suatu badan usaha menjadi kreditornya (Pasal 49 ayat 2).

Sesuai dengan Pasal 46, 48, dan 49, tidak ada dalam Undang-undang ini

akan mempengaruhi kewenangan untuk menegakkan kepentingan yang

bermanfaat pada kapal, atau bagian dalam kapal, dalam cara yang sama

seperti dalam hal harta pribadi lainnya (Pasal 50).

B. Hakikat Hukum Jaminan Hipotek Kapal

1. Asas Hukum Jaminan Hipotek Kapal

Mengkaji tentang hakikat hukum dalam penelitian ini pada

dasarnya untuk menelusuri apa hakikat tentang yang ada di balik hukum.

Hal ini berdasarkan pengertian dari hakikat itu sendiri yang oleh peneliti

diartikan sebagai sebab terdalam dari segala sesuatu, yaitu adanya

sesuatu itu, bukan sifat dan bukan bentuk. Oleh karena itu meneliti hakikat

hukum hipotek kapal berarti menyelidiki keberadaan hukum hipotek kapal

menurut dasarnya yang paling dalam (ex ultimis causis), bukan hukum
426

hipotek kapal sebagaimana adanya (ens in quantum ens). Dalam batasan

yang dimaksudkan tersebut menurut penulis terdapat kesesuaian dengan

konsep penyelidikan filsafat hukum yaitu dengan menelaah secara radikal

sampai kepada intinya dari suatu hukum.

Mempertanyakan tentang bagaimana hakikat hukum hipotek kapal

berarti telah masuk dalam ranah atau kajian filsafat hukum. Mengacu

pada pendapat Erwin (2012:25) bahwa dalam filsafat hukum kita hendak

berpikir reflektif tentang hukum sebagai gejala yang dipranatakan oleh

manusia. Filsafat hukum hendak mencari hakikat hukum, ingin

mengetahui apa sebenarnya yang ada di balik norma-norma hukum,

mencari yang tersembunyi di dalam hukum, menyelidiki norma hukum

sebagai pertimbangan nilai dan postulat hukum, sampai pada

penyelidikan tentang dasar yang terakhir.

Apa yang ada dibalik lahirnya norma-norma hukum hipotek kapal,

yang terjelma dalam bentuk peraturan perundang-undangan tidak lain

berdasarkan pada apa yang dikenal dengan asas hukum yang terkait

dengan hukum jaminan. Dengan kata lain, asas hukum ini menjadi fondasi

bagi adanya norma-norma hukum yang berupa peraturan-peraturan

hukum. Dalam kaitan ini menurut Rahardjo (2000:45), asas hukum

memberi makna etis kepada paraturan-peraturan hukum dari nilai-nilai etis

yang dijunjung tinggi. Dengan kata lain asas hukum merupakan jembatan

antara peraturan hukum dan pandangan etis masyarakatnya. Kalau nilai-

nilai etis tersebut merupakan hasil pertimbangan, dalam arti cerminan


427

kehendak masyarakat yang menjunjungnya, maka asas merupakan

konsepsi abstrak bagaimana seharusnya.

Menurut Bruggink (2011:119) asas hukum merupakan kaidah

penilaian fundamental dalam suatu sistem hukum. Oleh Huijbers

(1990:79-80) memandang asas hukum merupakan prinsip-prinsip yang

dianggap dasar atau fundamen hukum dan merupakan pengertian-

pengertian yang menjadi titik tolak berpikir tentang hukum, termasuk titik

tolak bagi pembentukan undang-undang dan interpretasi terhadap

undang-undang itu sendiri. Asas hukum dapat diklasifikasikan menjadi tiga

macam, yakni :

1. Asas hukum objektif yang bersifat moral;

2. Asas hukum objektif yang bersifat rasional;

3. Asas subjektif hukum yang bersifat moral dan rasional.

Asas hukum objektif yang bersifat moral atau asas moral hukum

lebih dipandang sebagai sesuatu yang idiil, yang belum tentu dapat

diwujudkan dalam tata hukum yang direncanakan. Dalam lingkup asas

moral hukum ditekankan bahwa pada asasnya hukum harus memiliki

hubungan yang hakiki dengan prinsip-prinsip moral. H.L.A. Hart, seorang

penganut positivisme hukum sebagaimana dikutip Huijbers (1990:87)

berpandangan bahwa undang-undang harus dibuat dengan berpedoman

pada prinsip moral. Akan tetapi prinsip ini hanya sebagai regulatif saja,

artinya walaupun pada kenyataannya undang-undang itu melawan prinsip-

prinsip moral, undang-undang itu tetap hukum. Peneliti tidak sependapat


428

dengan Hart sebab pada intinya prinsip-prinsip moral sebagai nilai-nilai

yang terpelihara dan dijunjung tinggi dalam kehidupan manusia,

seharusnya menjadi dasar dalam pembentukan hukum. Ketika suatu

peraturan tidak berlandaskan prinsip moral tetapi masih diberlakukan dan

dianggap sebagai hukum, di sinilah awal kegagalan penegakan hukum.

Pendapat Hart yang mewakili penganut positivisme hukum lainnya di era

hukum saat ini sangat bertentangan dalam mencapai cita hukum yang

diharapkan.

Asas hukum objektif yang bersifat rasional atau yang sering dikenal

dengan sebutan asas rasional hukum merupakan prinsip-prinsip yang

termasuk pengertian hukum dan aturan hidup bersama yang rasional.

Asas rasional hukum ini bertalian dengan aturan hidup bersama yang

masuk akal dan karenanya diterima sebagai titik tolak bagi pembentukan

suatu tata hukum yang baik. Di antara asas-asas hukum rasional

contohnya antara lain (Huijbers, 1990:85) :

- hak manusia sebagai pribadi;

- kepentingan masyarakat;

- kesamaan hak di depan pengadilan;

- perlindungan terhadap yang kurang mampu;

- tidak ada ganti rugi tanpa kesalahan.

Asas subjektif hukum yang bersifat moral dan rasional pada

hakikatnya merupakan hak-hak yang ada pada manusia dan menjadi titik
429

tolak bagi pembentukan hukum. Asas ini lebih kelihatan dalam

perkembangan hukum.

Asas hukum jaminan hipotek kapal tidak dapat dipisahkan dengan

asas hukum jaminan yang terdapat dalam KUH Perdata. Asas hukum

jaminan yang berhubungan dengan hak-hak kreditor terhadap debitor

terdapat dua asas yaitu jaminan umum yang dapat diihat pengaturannya

dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Pasal 1131KUH Perdata

menentukan bahwa segala harta kekayaan debitor, baik yang berupa

benda bergerak maupun benda tak bergerak, baik yang sudah ada

maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi semua

perikatan yang dibuat oleh debitor dengan para kreditornya. Ketentuan ini

memberi hak kepada setiap kreditor untuk mendapatkan jaminan

pelunasan utang dari seluruh harta debitor tanpa kecuali dan karenanya

disebut jaminan umum.

Selanjutnya dalam Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa

kekayaan debitor menjadi jaminan secara bersama-sama bagi semua

kreditor sehingga apabila debitor wanprestasi, maka hasil penjualan atas

harta kekayaan debitor dibagikan secara proporsional menurut besarnya

piutang masing-masing kreditor, kecuali apabila di antara para kreditor

tersebut terdapat alasan yang sah untuk didahulukan dari kreditor-kreditor

lain. Dari isi ketentuan ini terdapat beberapa hal yang menarik yakni kata

“bersama-sama” di sini menunjukkan adanya persamaan hak atau

persamaan kedudukan para kreditor terhadap seorang debitor. Dalam hal


430

ini tidak ada kreditor yang diistimewakan walaupun di antara mereka

mempunyai piutang yang lebih dulu ada.

Selanjutnya kata “proporsional” menunjukkan pula sebagai

pelaksanaan dari pada asas hukum bahwa semua kreditor mempunyai

kedudukan yang sama. Kedudukan yang sama dari para kreditor terkait

dengan bagian yang diperoleh para kreditor harus seimbang dengan

besar kecilnya tagihan mereka terhadap keseluruhan tagihan kreditor.

Namun demikian sebagaimana bunyi kalimat terakhir dari Pasal 1132

KUH Perdata, maka asas hukum jaminan yang memberikan kesamaan

kedudukan bagi para kreditor dapat dikesampingkan sehingga akan

terdapat kreditor yang mempunyai hak didahulukan.

Hak didahulukan pada kreditor inilah yang merupakan asas

jaminan khusus. Melalui asas jaminan khusus menimbulkan hak jaminan

khusus (zekerheidsrechten) yang memberikan pada kreditor kedudukan

yang lebih baik dibandingkan dengan kreditor lainnya dalam pemenuhan

utang debitor. Hak untuk didahulukan diatur dalam Pasal 1133 KUH

Perdata yang menentukan bahwa hak kreditor untuk didahulukan apabila

hak tersebut timbul dari hak istimewa, dari gadai dan hipotek.

Mengacu pada ketentuan Pasal 1133 KUH Perdata maka dengan

tegas undang-undang memberikan kedudukan yang istimewa terhadap

jaminan hipotek. Dengan kata lain jaminan hipotek akan memberi rasa

aman bagi kreditor dalam pemenuhan terhadap tagihan atau piutangnya

oleh debitor. Hal ini tentu akan sangat berbeda dibandingkan dengan
431

bentuk jaminan umum sebagaimana terdapat dalam Pasal 1131 KUH

Perdata, yang pada prinsipnya tidak mengenal adanya kreditor yang

diutamakan dalam pemenuhan haknya jika debitor pailit.

Berdasarkan pengertian hipotek baik yang diberikan oleh KUH

Perdata (Pasal 1162) maupun pengertian hipotek kapal yang diberikan

oleh Undang-Undang Pelayaran No.17 Tahun 2008 (Pasal 1 angka 12),

menggolongkan hipotek sebagai jaminan yang termasuk dalam kelompok

hukum jaminan kebendaan (zakelijke zekerheidsrecht) yang merupakan

sub sistem dari hukum benda. Dengan demikian hukum jaminan hipotek

kapal yang objeknya adalah benda merupakan sub sistem dari sistem

hukum benda yang mengandung asas-asas hukum kebendaan. Oleh

karena itu dalam meneliti dan membahas asas-asas hukum jaminan

hipotek kapal tidak lain berkaitan dengan asas-asas hukum kebendaan

yang dapat penulis kemukakan sebagai berikut :

a. Asas Sistem Tertutup (gesloten system)

Asas sistem tertutup memberi pengertian bahwa tidak

diperkenankan mengadakan hak jaminan kebendaan lain atas dasar

kesepakatan, selain yang telah diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang hak jaminan kebendaan. Pengaturan

hak jaminan kebendaan di antaranya terdapat dalam KUH Perdata (Buku

II), peraturan perundang-undangan tentang Hipotek Kapal, UU Hak

Tanggungan No.4 Tahun 1996, UU Fidusia No.42 Tahun 1999. Dengan

demikian hak jaminan kebendaan ini bersifat absolut dan karenanya


432

bersifat limitatif. Para pihak dalam hal ini kreditor dan debitor tidak boleh

membentuk perjanjian jaminan kapal laut guna mengamankan suatu

perjanjian kredit selain yang sudah diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang jaminan hipotek kapal.

Sehubungan dengan penerapan asas sistem tertutup dalam

pengaturan hak jaminan kebendaan, maka pengaturan hak jaminan

kebendaan harus benar-benar dapat menjamin terwujudnya kepastian

hukum. Mengacu pada pendapat Radbruch, kepastian hukum menjadi

salah satu pilar dasar hukum disamping keadilan dan kemanfaatan guna

memfungsikan hukum mencapai tujuannya. Selanjutnya menurut

Maxeiner (2008:46) kepastian hukum sering berfungsi sebagai prinsip

utama untuk pengembangan metode hukum yang diterapkan dalam

pembuatan, penafsiran dan penerapan hukum. Oleh karena itu peraturan

perundang-undangan yang diberlakukan harus dapat menjadi peraturan

hukum yang jelas tanpa menimbulkan berbagai persepsi atau penafsiran.

Demikian pula harus terhindar dari terjadinya konflik norma baik secara

horizontal maupun secara vertikal.

Dalam penelitian ini ditemui bahwa ketentuan dalam peraturan

hukum jaminan kebendaan (KUH Perdata, Hipotek Kapal, Hak

Tanggungan dan Jaminan Fidusia) dihubungkan dengan ketentuan hukum

Kepailitan (UU No.37 Tahun 2004), tidak menunjukkan keharmonisan atau

sinkronisasi dalam pengaturannya. Hal ini diakibatkan oleh ketentuan

dalam Pasal 56 ayat (1) UU KPKPU yang mengatur tentang adanya


433

penangguhan hak kreditor separatis untuk mengeksekusi harta debitor

pailit selama jangka waktu 90 hari sejak penetapan pailit. Ketentuan ini

telah mereduksi ketentuan sebelumnya dalam Pasal 55 ayat (1) UU

KPKPU yang memberi hak pada kreditor untuk mengeksekusi haknya

seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

Walaupun masih terdapat persoalan dalam penegakan hukum

jaminan kebendaan, namun demikian peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang jaminan kebendaan saat ini telah memadai seperti

yang ditunjukkan oleh pendapat responden pada tabel 4 berikut ini :

Tabel 4

Pengaturan Hukum Jaminan Kebendaan

Responden
Jumlah
No. Penilaian PB PP PKP Hakim Notaris
f % f % f % f % f % f %
1 Memadai 3 30 6 60 8 80 9 90 10 100 36 72

2 Ragu-ragu 2 20 3 30 2 20 1 10 0 0 8 16

3 Tidak Memadai 5 50 1 10 0 0 0 0 0 0 6 12

Jumlah 10 100 10 100 10 100 10 100 10 100 50 100

Sumber : Diolah dari data primer 2012

Keterangan:
PB : Pimpinan Bank
PP : Pengusaha Perkapalan
PKP : Pimpinan Kantor Pelabuhan
Dari data yang ditunjukkan pada Tabel 4 di atas, sebagian besar

responden (72%) menyatakan pengaturan hukum jaminan kebendaan

telah memadai dengan alasan terdapat beberapa peraturan perundang-


434

undangan yang telah dibentuk secara khusus mengatur tentang jaminan

kebendaan (Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia) di samping yang

diatur dalam KUH Perdata dan KUH Dagang. Sedangkan 16% menjawab

ragu-ragu dengan alasan pengaturan hukum jaminan kebendaan masih

memberikan celah terjadinya pertentangan norma hukum. Demikian pula

terdapat 12% responden yang menyatakan tidak memadai dengan alasan

peraturan perundang-undangan yang ada belum memberikan

perlindungan hukum.

Berdasarkan pendapat para responden tersebut memberi

gambaran bahwa pemerintah telah berupaya untuk membenahi sistem

hukum jaminan nasional. Dengan mengacu pada teori Hukum

Pembangunan dari Kusumaatmadja (1978:2), bahwa hukum pada

hakikatnya merupakan sarana penunjang perkembangan masyarakat dan

pembangunan, maka pembenahan pengaturan hukum di bidang jaminan

kebendaan sangat penting dalam rangka menunjang pembangunan

ekonomi. Oleh karena itu perangkat hukum jaminan kebendaan yang

dibuat haruslah dapat memberi kepastian hukum bagi kreditor.

b. Asas Hak Didahulukan (preference)

Berdasarkan asas ini, jika terdapat beberapa kreditor maka akan

ada kreditor yang mempunyai hak untuk didahulukan atau diutamakan

(droit de preference) dalam pelunasan piutangnya oleh debitor. Asas ini

secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 angka 12 UU No.17 Tahun 2008

Tentang Pelayaran yang menyebutkan bahwa hipotek kapal adalah hak


435

agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan

utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan terhadap

kreditor tertentu terhadap kreditor lain. Ketentuan yang sama terkait

dengan adanya kreditor yang diutamakan terdapat dalam Pasal 1 angka 1

UU Hak Tanggungan dan Pasal 1 angka 2 UU Jaminan Fidusia.

Kreditor yang diutamakan diistilahkan sebagai kreditor preferent

yaitu kreditor yang berkedudukan sebagai pemegang hipotek pertama.

Dalam kasus debitor dinyatakan pailit, kreditor preferent yang dimaksud

dinamakan kreditor separatis. Kedudukan kreditor separatis telah

kehilangan makna akibat inkonsistensi pengaturannya dalam UU KPKPU

sebagaimana telah diuraikan dalam bagian a di atas. Keadaan ini tentu

tidak diinginkan oleh kreditor sehingga dapat memberi dampak negatif

bagi sistem kredit perbankan. Mengacu pada pendapat M. Isnaeni dalam

Suci dan Herowati Poesoko (2011:3) mengatakan adanya hak jaminan

dan pengakuan hak separatis dalam proses kepailitan, merupakan sendi-

sendi yang sangat penting dalam sistem perkreditan di suatu negara

khususnya sistem kredit perbankan. Oleh karena mengingat pentingnya

perlindungan hukum bagi kreditor dengan hak jaminan kebendaan maka

permasalahan ini seharusnya tidak perlu terjadi.

Dalam rangka memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi

kedudukan kreditor separatis, maka pelaku hukum dalam hal ini lembaga

peradilan lewat para hakim dapat mengesampingkan persoalan

inkonsistensi pengaturan kreditor separatis dengan mengacu pada


436

pendapat teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo yang menekankan

pada terciptanya keadilan substansif. Para pelaku hukum progresif dapat

mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat melalui

pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan hukum jaminan kebendaan

tanpa harus menunggu perubahan peraturan.

Dalam pandangan hukum progresif, adanya inkonsistensi ataupun

konflik norma hukum tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku

hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari

keadilan, karena pelaku hukum dapat melakukan interpretasi secara baru

setiap kali terhadap suatu peraturan. Namun demikian menurut peneliti

pandangan hukum progresif tidak berarti membiarkan adanya peraturan

hukum di bidang jaminan kebendaan dan kepailitan yang dianggap

bermasalah, melainkan tetap diperlukan adanya upaya bagi pembentukan

peraturan hukum jaminan kebendaan dan kepailitan yang benar-benar

dapat menjamin adanya kepastian hukum.

c. Asas Hak Kebendaan (droit de suite)

Hipotek Kapal sebagai lembaga jaminan yang termasuk dalam

kelompok jaminan kebendaan melekat sifat hak kebendaan dimana hak

hipotek kapal tetap mengikuti objeknya (benda jaminan) dalam tangan

siapapun objek tersebut berada (droit de suite). Dalam kedudukan yang

demikian kreditor tetap mempunyai hak terhadap benda jaminan

walaupun kepemilikannya telah beralih kepada pihak ketiga, sehingga jika


437

debitor wanprestasi kreditor berhak untuk mengeksekusi benda jaminan

untuk pelunasan utang debitor terhadap kreditor.

d. Asas Spesialitas

Melalui asas spesialitas akan memberi penjelasan secara detail

hal-hal yang behubungan dengan keberadaan dari suatu objek jaminan.

Asas spesialitas dalam kaitan dengan hipotek kapal menghendaki adanya

informasi atau keterangan tentang spesifikasi dari sebuah kapal yang

dijadikan jaminan dalam hipotek kapal. Keterangan-keterangan tersebut

akan dimuat secara jelas dalam akta hipotek kapal berdasarkan akta

pendaftaran kapal yang harus dilampirkan dalam pembuatan akta hipotek

kapal. Ketentuan hipotek kapal dalam UU Pelayaran secara tegas

menentukan hanya kapal yang terdaftar yang dapat dijadikan jaminan

hipotek kapal. Pemenuhan asas spesialitas ini akan sangat berguna ketika

kreditor akan mengeksekusi benda jaminan agar tidak terjadi kesalahan

terhadap benda jaminan yang akan dieksekusi.

e. Asas Publisitas

Pemenuhan asas publisitas dalam jaminan hipotek kapal

mensyaratkan adanya sistem registrasi dalam pembebanan hipotek kapal.

Ketentuan hipotek kapal dalam UU Pelayaran secara tegas mengatur

bahwa kapal yang telah dibebani dengan jaminan hipotek harus dilakukan

pencatatan dalam daftar induk dari kapal tersebut. Pencatatan ini

dimaksudkan agar dapat dengan mudah mengetahui kapal mana saja


438

yang telah melekat hak jaminan hipotek di atasnya termasuk siapa

kreditor yang berhak atas hipotek.

Menurut Sudargo Gautama (Prasaran Seminar tentang Hipotek dan

Lembaga-Lembaga Jaminan lainnya di Yogyakarta Juli 1977), pentingnya

sistem registrasi mengingat tidak adanya penguasaan fisik atas kapal

yang dijaminkan oleh pihak kreditor sehingga dapat melindungi

kepentingan dari kreditor atas jaminan terhadap tuntutan-tuntutan dari

pihak ketiga atas jaminan yang sama. Asas Publisitas mengandung arti

pemberitahuan kepada publik sehingga terbuka kesempatan bagi

masyarkat luas untuk dapat mengakses data tentang sebuah kapal

apakah telah dibebani hipotek atau tidak. Hal ini tentunya sangat berguna

bagi pihak terkait terlebih bagi kreditor sehingga dapat menjadi

pertimbangan dalam memberikan kredit kepada debitor dengan jaminan

hipotek kapal.

f. Asas Mudah dan Pasti dalam Pelaksanaan Eksekusi

Adapun tujuan utama pembebanan jaminan hipotek kapal dalam

perjanjian kredit antara kreditor dan debitor adalah agar kreditor mendapat

jaminan akan pemenuhan haknya oleh debitor jika suatu saat terjadi

wanprestasi. Wanprestasi terjadi karena adanya default atau kegagalan

untuk membayar sejumlah uang yang disepakati pada saat atau dengan

cara yang disepakati antara para pihak (Veigule, 2011:53). Jika debitor

wanprestasi maka kreditor dapat mengeksekusi benda jaminan untuk

melunasi hutang debitor. Oleh karena itu dalam pelaksanaan eksekusi


439

benda jaminan harus dapat terlaksana dengan mudah dan pasti. Asas

kemudahan dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi telah diatur

dalam Pasal 60 ayat (4) dari UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

yang menyatakan bahwa grosse akta hipotek mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan keputusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Oleh karena itu diberi

kemudahan kepada kreditor untuk mengeksekusi benda jaminan tanpa

harus mengajukan gugatan ke Pengadilan.

2. Norma Hukum Jaminan Hipotek Kapal

Dalam penelitian dan pembahasan tentang hakikat hukum jaminan

hipotek kapal, maka disamping meneliti dan membahas tentang asas-

asas hukum jaminan hipotek kapal, maka perlu juga meneliti dan

membahas tentang norma hukum jaminan hipotek kapal. Sebagaimana

yang telah di bahas sebelumnya bahwa asas hukum menjadi dasar

lahirnya suatu norma hukum yang kemudian termanifestasikan dalam

bentuk peraturan hukum. Oleh karena itu dalam meneliti norma hukum

jaminan hipotek kapal akan mengacu pada perangkat peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang hipotek kapal.

Dibandingkan dengan bentuk jaminan kebendaan lainnya yakni

Hak Tanggungan dan Fidusia yang telah mempunyai landasan hukum

dalam bentuk undang-undang tersendiri (UU No.4 Tahun 1996 dan UU

No.42 Tahun 1999), maka pengaturan hukum hipotek kapal secara materil
440

dan formil masih mengacu pada beberapa peraturan perundang-

undangan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.

Belum adanya pengaturan hukum hipotek kapal dalam satu

perundang-undangan tersendiri menimbulkan kesulitan dalam meneliti

dan membahas norma hukum jaminan hipotek kapal. Oleh karena itu

peneliti hanya mengemukakan beberapa norma hukum yang menurut

peneliti bersifat substansial terkait dengan jaminan hipotek kapal sebagai

berikut :

1. Pasal 1162 KUH Perdata dan Pasal 1 angka 12 UU No.17 Tahun 2008

Ketentuan Pasal 1162 KUH Perdata memberi pengertian atau

definisi tentang hipotek yaitu sebagai suatu hak kebendaan atas benda-

benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi

pelunasan suatu perikatan. Pengertian hipotek yang dimuat dalam pasal

ini sangat penting guna menepis munculnya berbagai pendapat atau

pengertian yang dapat mengakibatkan kesimpang-siuran dalam

memahami dan menerapkan lembaga jaminan hipotek. Ketidak jelasan

perumusan norma hukum hipotek akan berdampak pada tidak efektifnya

suatu peraturan hukum yang tentunya akan mengganggu penegakan

hukum hipotek itu sendiri. Persoalan inilah yang menurut Fuller dalam

teori sistem hukumnya harus dihindarkan dalam penyusunan suatu

peraturan hukum.

Adanya ketentuan pasal ini mengindikasikan diakui atau

diterimanya hipotek sebagai lembaga jaminan dalam perikatan-perikatan


441

yang membutuhkan ketersediaan jaminan atau agunan berupa benda tak

bergerak. Namun sesuai dengan perkembangan yang terjadi dalam

hukum jaminan kebendaan, maka hipotek yang dikenal dan diakui saat ini

salah satunya adalah hipotek kapal. Keberadaan lembaga jaminan hipotek

kapal sebagai sarana dalam mendapatkan modal bagi pelaku ekonomi

ternyata kedudukannya sangat signifikan. Hal tersebut tergambar dari

data realisasi pembuatan akta hipotek kapal pada Kantor Syahbandar

Kelas Utama Tanjung Priok Jakarta pada posisi Juni 2012 sebanyak 102

akta hipotek atas kapal (Hasil wawancara dengan Bapak. Viktor Sinaga,

12 Juni 2012).

Adapun yang dimaksud dengan hipotek kapal menurut Pasal 1

angka 12 UU Pelayaran No.17 Tahun 2008 adalah hak agunan

kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan utang

tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor

tertentu terhadap kreditor lain. Berdasarkan pengertian hipotek kapal

tersebut jelas menunjuk objek hipotek kapal adalah kapal yang terdaftar

sehingga bagi kapal yang tidak terdaftar tidak dapat diikat dengan hipotek.

Ketentuan ini mempunyai makna yang sangat penting terkait dengan

keabsahan pihak yang berhak atas kapal yang dijadikan jaminan. Bagi

kapal yang terdaftar akan dapat dengan mudah mengetahui status hukum

kapal dan kejelasan dari kapal yang dijadikan objek jaminan, termasuk

siapa pemilik sah dari sebuah kapal, sebab pendaftaran yang dimaksud di

sini adalah pendaftaran hak milik atas kapal. Manfaat lainnya dari
442

ketentuan ini yang bersifat mendasar yaitu memberikan kepastian hukum

bagi para pihak terhadap pengikatan hipotek yang dibuat.

2. Pasal 314 ayat (1) dan ayat (3) KUHD

Pasal ini pada intinya mengatur tentang batasan terhadap kapal

yang dapat didaftarkan, yakni kapal yang mempunyai bobot paling sedikit

20 m3 (dua puluh meter kubik) isi kotor. Terhadap ukuran kapal yang

dapat didaftarkan tersebut, oleh Pasal 158 ayat (2) UU Pelayaran No.17

Tahun 2008 disetarakan dengan kapal yang berukuran tonase kotor 7

(GT.7). Penentuan bobot atau ukuran kapal yang dapat didaftarkan dalam

pasal tersebut, merupakan penjabaran dari asas spesialitas. Ketentuan ini

memang tidak mewajibkan pemilik kapal untuk mendaftarkan kapalnya,

akan tetapi mengingat makna yang terkandung dibalik ketentuan ini terkait

dengan kepentingan pemilik kapal (status hak milik kapal), maka

pendaftaran kapal menjadi suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh

pemilik kapal.

Adapun terhadap kapal yang terdaftar, ketentuan dalam Pasal 314

ayat (3) KUHD memberi manfaat yang lebih menguntungkan bagi pemilik

kapal, yaitu terhadap kapal yang terdaftar dapat diletakkan hipotek di

atasnya. Ketentuan ini diatur pula dalam Pasal 60 ayat (1) UU No.17

Tahun 2008 yang menyatakan terhadap kapal yang terdaftar dalam Daftar

Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan

hipotek atas kapal. Dari kedua aturan tersebut, Nampak bahwa aspek
443

pendaftaran kapal menjadi hal yang prinsip dalam pembebanan hipotek

atas kapal.

Mengingat hipotek diperuntukkan bagi benda tak bergerak, maka

walaupun kapal menurut sifatnya termasuk benda bergerak, namun

terdapat pengecualian bagi kapal yang terdaftar yaitu tidak lagi sebagai

benda bergerak tetapi termasuk dalam golongan benda tak bergerak.

Ajaran ini sejak lama telah diterima dikalangan para ahli hukum oleh

karena sesuai dengan pengertian dan maksud diadakannya lembaga

hipotek tidak lain diperuntukkan bagi benda tetap atau benda tak bergerak

dalam hal ini tanah dan bangunan, kapal laut, dan pesawat udara yang

terdaftar. Dalam perkembangannya untuk tanah dan bangunan telah

diatur secara khusus dalam UU Hak Tanggungan.

Dibandingkan dengan sistem common law tidak mengenal

pembagian benda jaminan dalam bentuk benda tidak bergerak dan benda

bergerak. Benda jaminan dibedakan atau diistilahkan dalam dua bentuk

yaitu real property dan personal property yang oleh sistem hukum Eropa

Kontinental real property disamakan dengan benda tak bergerak (tanah

dan benda lain yang ada di atasnya yakni bangunan dan inventaris tetap

di kantor) dan personal property (benda-benda lainnya di luar real

property) disamakan dengan benda bergerak.

3. Pasal 60 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU Pelayaran No.17 Tahun

2008
444

Pembebanan hipotek atas kapal menurut peraturan ini dilakukan

dengan membuat akta hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik

Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk

Pendaftaran Kapal. Pembuatan akta hipotek yang diikuti dengan

pencatatan dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal merupakan

pemenuhan dari dua asas dalam hukum jaminan hipotek kapal yaitu asas

spesialitas dan asas publisitas.

Selanjutnya pada ayat (3) menentukan setiap akta hipotek

diterbitkan satu grosse akta hipotek yang diberikan kepada penerima

hipotek. Bagi penerima hipotek (kreditor), grosse akta hipotek yang

dipegangnya memberikan hak baginya untuk mendapatkan jaminan dalam

pemenuhan utang oleh pemberi hipotek (debitor). Ketentuan dalam ayat

(3) ini merupakan aktualisasi dari asas preference (hak didahulukan) yang

ada dalam hukum jaminan hipotek kapal.

Pada ayat (4) dikatakan grosse akta hipotek mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap. Ketentuan ini jelas semakin menguatkan

kegunaan hipotek kapal dalam memberikan jaminan bagi penerima

hipotek untuk mendapatkan pemenuhan utang dari debitor. Makna

kekuatan eksekutorial sangat jelas untuk memudahkan kreditor dalam

pelaksanaan eksekusi manakala debitor ingkar janji. Namun demikian apa

yang menjadi keinginan di balik makna asas hukum jaminan hipotek yaitu
445

mudah dalam pelaksanaan eksekusi yang terkandung dalam ketentuan

ini, dalam implementasinya belum demikian adanya.

4. Pasal 224 HIR

Pasal ini menentukan : Suatu grosse daripada akta hipotek dan


surat utang yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia yang kepalanya
memakai perkataan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” berkekuatan sama dengan putusan hakim. Jika surat yang demikian
itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka perihal menjalankannya
dilakukan dengan perintah dan pimpinan ketua pengadilan negeri yang
dalam pegangannya orang yang berutang itu diam atau tinggal atau
memilih kedudukannya, yaitu secara yang dinyatakan pada pasal-pasal di
atas ini dalam bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa
badan itu hanya boleh dilakukan jika sudah diizinkan dengan putusan
hakim. Jika hal melakukan putusan hakim itu harus dijalankan sama sekali
atau sebahagiannya di luar daerah hukum pengadilan negeri, yang
ketuanya menyuruh melakukan itu maka diturutilah peraturaan pada Pasal
195 ayat kedua dan yang berikutnya.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 HIR ini mengakui dua

macam grosse akta yaitu grosse akta hipotek dan grosse akta pengakuan

hutang. Kedua macam grosse akta ini mempunyai kekuatan eksekutorial

yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap. Namun yang menjadi permasalahan di sini dalam beberapa

putusan, Mahkamah Agung telah membuat pertimbangan yang keliru

dalam menginterpretasi pasal ini sebagai dasar putusan, sehingga yang

terjadi Mahkamah Agung telah membuat rancu arti dari titel eksekutorial

dengan mensyaratkan perlu adanya persetujuan dari pengadilan dalam

melaksanakan eksekusi.

Memang benar dalam Pasal 224 ini ada kalimat yang menyatakan

“jika surat yang demikian itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka
446

perihal menjalankannya dilakukan dengan perintah dan pimpinan ketua

pengadilan negeri”. Akan tetapi sangat jelas di sini bahwa kalimat ini

bukan ditujukan untuk grosse akta hipotek tetapi untuk grosse akta surat

utang (pengakuan utang). Mahkamah Agung telah memperluas lingkup

perlunya peran pengadilan dan pendapat inipun telah diikuti oleh

pengadilan di bawahnya.

5. Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata

Dalam pembebanan hipotek menurut pasal ini penerima hipotek

(kreditor) dapat meminta diperjanjikan bahwa jika pemberi hipotek

(debitor) tidak memenuhi kewajibannya maka penerima hipotek dapat

secara mutlak dikuasakan untuk menjual benda yang dijaminkan melelui

pelelangan di muka umum. Ketentuan ini dikenal dengan istilah parate

eksekusi yang mengandung arti menjalankan sendiri atau mengambil

sendiri apa yang menjadi haknya tanpa campur tangan pengadilan.

Terkait dengan hak menjual atas kekuasaan sendiri dalam ilmu

hukum terdapat dua pendapat yaitu ajaran mandaat dan ajaran eksekusi.

Ajaran mandaat berpendapat janji ini benar-benar memberikan kuasa

(volmacht) kepada pemegang hipotek untuk menjualkan benda jaminan

sebagai wakil pemberi hipotek. Sedangkan menurut ajaran eksekusi, hak

untuk menjual benda jaminan adalah hak yang berdiri sendiri (zelfstandig)

dari pemegang hipotek dan bukan merupakan kuasa dari pemberi hipotek

(Badrulzaman, 1986:66).
447

Menurut peneliti kedua ajaran tersebut yakni baik ajaran mandaat

maupun ajaran eksekusi dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1178 ayat

(2) KUH Perdata dapat diterima. Ajaran mandaat yang menitik beratkan

pada adanya pemberian kuasa dalam pasal ini nampak pada kalimat

“penerima hipotek dapat secara mutlak dikuasakan untuk menjual benda

yang dijaminkan”. Akan halnya ajaran eksekusi yang menitik beratkan

pada penjualan benda jaminan untuk pembayaran utang debitor, memang

menjadi hak kreditor ketika debitor tidak memenuhi kewajibannya. Jadi

memang merupakan hak yang berdiri sendiri tanpa membutuhkan kuasa

dari debitor.

Ketentuan ini sangat menguntungkan bagi kreditor karena memang

makna yang terkandung di balik ketentuan pasal ini dimaksudkan untuk

memberikan perlindungan hukum kepada kreditor agar ada kepastian

hukum dalam mendapatkan haknya. Ketentuan ini juga mencerminkan

diterapkannya salah satu asas hukum hipotek yaitu mudah dan pasti

dalam pelaksanaan eksekusi. Namun demikian ternyata dalam

penerapannya, pasal ini disalah artikan oleh pengadilan karena yang

terjadi pengadilan tidak mengakui dan membatalkan pelaksanaan lelang

tanpa adanya perintah pengadilan (Putusan MA RI No.3210/K/Pdt/1984

Tanggal 30 Januari 1986).

Terkait dengan beberapa permasalahan tersebut memang agak

sulit untuk mengurangi apalagi menghilangkan keterlibatan pengadilan

dalam eksekusi benda jaminan hipotek. Putusan peradilan di tingkat


448

tertinggi (Mahkamah Agung) biasanya menjadi pertimbangan dalam

putusan peradilan di bawahnya. Namun demikian menurut peneliti tidak

tertutup kemungkinan jika hakim bisa mempunyai pendapat yang

bertentangan. Inilah yang harus diusahakan sebagai konsekuensi dari

penemuan keadilan yang hakiki dalam teori hukum progresif. Sehubungan

dengan kewenangan pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi benda

jaminan dihubungkan dengan kepastian hukum kreditor dalam

mengeksekusi jaminan, pendapat para responden ditunjukkan pada tabel

berikut ini.

Tabel 5

Kewenangan Pengadilan dalam Eksekusi Jaminan Hipotek Kapal

Responden
Jumlah
No. Penilaian PB PP PKP Hakim Notaris

f % F % f % f % f % f %

1 Setuju 0 0 6 60 2 20 10 100 1 10 19 38

2 Ragu-ragu 1 10 3 30 1 10 0 10 1 10 6 12

3 Tidak Setuju 9 90 1 10 7 70 0 0 8 80 25 50

Jumlah 10 100 10 100 10 100 10 100 10 100 50 100

Sumber : Diolah dari data primer 2012

Keterangan :
PB : Pimpinan Bank
PP : Pengusaha Perkapalan
PKP : Pimpinan Kantor Pelabuhan

Berdasarkan data pada Tabel 5 tersebut menunjukkan bahwa 38%

responden yang didominasi oleh responden hakim dan PP setuju

terhadap kewenangan pengadilan dalam pelaksanaan eksekusi benda


449

jaminan hipotek dengan alasan bahwa ketentuan yang ada telah

mengatur demikian. Diketahui pula terdapat 12% responden yang

menyatakan ragu-ragu dengan alasan kewenangan pengadilan bisa

diperkenankan dan bisa juga dikesampingkan. Sedangkan sebanyak 50%

responden menyatakan tidak setuju yang didominasi oleh responden PB,

PKP dan Notaris dengan alasan menghambat kemudahan dan kelancaran

pelaksanaan eksekusi.

Dari hasil wawancara dengan beberapa hakim (Halimah

Pontoh,S.H,M.H, Franklin Tamara,S.H,M.H, Sterry Rantung S.H,M.H, Juli

2012), terungkap jika di kalangan hakim berpendapat pengadilan

berwenang memutuskan boleh tidaknya eksekusi benda jaminan hipotek

kapal dilakukan. Hal ini sesuai ketentuan Hukum Acara Perdata yang

terdapat dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg dan Pasal 195 ayat (1)

HIR/ Pasal 206 ayat (1) RBg yang pada intinya mengatur bahwa bahwa

suatu eksekusi tidak dapat dijalankan tanpa adanya perintah atau

persetujuan pengadilan. Ketentuan eksekusi grosse akta hipotek tersebut

telah dimuat pula dalam Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis

Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus Buku II Edisi 2007 yang

dikeluarkan Mahkamah Agung RI.

6. Pasal 1 Konvensi Internasional Tentang Piutang Maritim dan Mortgage

1993
450

Pasal pembuka dari Konvensi Internasional yang dilakukan di

Jenewa pada tanggal 6 Mei 1993 dan telah diratifikasi Indonesia

berdasarkan Peraturan Presiden RI No.44 Tahun 2005, berisi tentang

pengakuan hipotek dan piutang maritim. Terhadap piutang yang

dibebankan atas kapal agar dapat diakui dan diberlakukan harus

memenuhi syarat yaitu pembebanan dan pendaftaran yang dilakukan

terhadap mortgage, hipotek dan piutang tersebut telah dilaksanakan

sesuai dengan peraturan negara tempat kapal didaftarkan. Dengan

ketentuan ini maka peraturan pembebanan dan pendaftaran hipotek di

Indonesia dan juga di negara-negara peserta konvensi diakui dan

dihormati keberadaannya.

Persyaratan lainnya menghendaki bahwa daftar dan instrumen-

instrumen lainnya yang disyaratkan untuk diserahkan kepada pejabat

pendaftar berdasarkan peraturan negara tempat kapal didaftar, bersifat

terbuka untuk diketahui publik dan dapat diperoleh salinannya dari pejabat

pendaftar. Ketentuan dari persyaratan ini secara jelas mengakui prinsip

publisitas secara internasional. Daftar maupun instrumen tersebut

sedikitnya harus memuat nama dan alamat seseorang yang

bertanggungjawab atas mortgage, hipotek atau piutang yang dibebankan.

7. Pasal 3 Konvensi Internasional Tentang Piutang Maritim dan Mortgage

1993
451

Pasal ini mengatur tentang perubahan pemilikan dan pendaftaran

kapal. Menyangkut deregister atau penghapusan kapal dari daftar suatu

negara peserta, maka kecuali sebagaiamana diatur dalam Pasal 11 dan

12, negara peserta dapat menolak untuk melakukan deregistrasi kapal

kecuali semua mortgage, hipotek atau piutang yang telah terdaftar

dihapuskan terlebih dahulu atau setelah memperoleh persetujuan tertulis

dari para pemegang hak atas mortgage, hipotek atau piutang. Akan tetapi

bila deregistrasi kapal merupakan keharusan sesuai peraturan hukum

negara peserta selain dari keharusan karena penjualan sukarela, maka

pemegang hak atas mortgage, hipotek dan piutang yang terdaftar harus

diberitahu guna memberi kemungkinan-kemungkinan kepada pemegang

hak tersebut untuk mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi

kepentingannya, kecuali para pemegang hak telah mengetahui

penghapusan belum boleh dilakukan dalam jangka waktu yang tidak boleh

kurang dari tiga bulan setelah dilakukan pemberitahuan.

Berkaitan dengan kapal yang terdaftar di suatu negara peserta

maka kapal tersebut tidak boleh didaftarkan di negara peserta lainnya

kecuali telah ada sertifikat dari negara sebelumnya yang menyatakan

kapal tersebut telah dideregisterasi dari daftar. Dikecualikan juga

sekiranya negara terdahulu menyatakan bahwa kapal akan segera

dideregistrasi pada saat pendaftaran baru mulai dilakukan, dan tanggal

deregistrasi menjadi tanggal pendaftaran kapal yang baru.


452

8. Pasal 11 Konvensi Internasional Tentang Piutang Maritim dan

Mortgage 1993

Pasal ini pada intinya mengatur bahwa sebelum dilakukan

penjualan paksa terhadap sebuah kapal di negara peserta, maka pejabat

yang berwenang harus memastikan adanya pemberitahuan yang

disampaikan kepada para pihak terkait yaitu Pejabat Pendaftar Kapal,

pemegang mortgage, hipotek dan pemegang tagihan yang sah,

pemegang hak piutang maritim, dan kepada pemilik kapal yang terdaftar

secara sah. Pemberitahuan ini harus disampaikan sekurang-kurangnya 30

(tiga puluh) hari sebelum dilaksanakan penjualan paksa dan berisikan

waktu dan tempat pelaksanaan penjualan paksa, dan alasan penjualan

paksa. Pemberitahuan harus dalam bentuk tertulis dan diberikan melalui

pos yang tercatat, atau dalam bentuk elektronik atau alat lain yang

mempunyai konfirmasi tanda terima dan dapat dengan pengumuman pers

di negara tempat penjualan paksa.

Berdasarkan pada beberapa pasal yang dikemukakan di atas dari

22 pasal yang termuat dalam Konvensi Internasional Tentang Piutang

Maritim dan Mortgage 1993, maka keputusan pemerintah Indonesia

dengan mengesahkan konvensi ini merupakan langkah maju dalam

menggairahkan dunia kemaritiman di Indonesia. Sebagai jaminan yang

mengandung banyak resiko, maka dengan berlakunya ketentuan konvensi

ini sebagaimana pula telah diadopsi dalam peraturan hukum hipotek kapal

di Indonesia, akan memberi daya tarik bagi institusi perbankan ataupun


453

keuangan lainnya baik di Indonesia maupun di negara lain untuk

menerima hipotek dalam rangka pembiayaan pengadaan kapal ataupun

kebutuhan lainnya.

Beberapa norma hukum yang penulis kemukakan yang termuat

dalam pasal-pasal tersebut di atas, pada prinsipnya dibuat dan

diberlakukan dengan berlandaskan asas-asas hukum yang merupakan

pencerminan dari nilai-nilai yang ada di tengah masyarakat. Norma hukum

ini dibuat untuk menjadi penuntun atau sebagai rambu-rambu yang

mengatur agar jaminan hipotek kapal dapat terlaksana sesuai dengan

tujuannya. Tujuan hukum hipotek ini merupakan nilai yang ingin

diwujudkan oleh manusia yang menurut Gustaf Radbruch berupa

keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Dalam rangka mencapai tujuannya, peraturan hukum hipotek

ternyata belum dapat mewujudkan keadilan hukum, kepastian hukum, dan

kemanfaatan hukum. Banyak faktor yang menjadi penyebab sebagaimana

ditemui dalam penelitian ini yaitu faktor ketersediaan peraturan hukum,

faktor kualitas peraturan hukum, dan faktor kualitas aparat penegak

hukum.

C. Kedudukan Grosse Akta Hipotek Dalam Memberikan Kepastian

Hukum Bagi Kreditor

1. Titel Eksekutorial pada Grosse Akta Hipotek


454

Pemahaman tentang apa dan bagaimana eksistensi dari grosse

akta menjadi isu yang menarik untuk dikaji baik dari aspek teoretik

maupun praktik. Berbagai pendapat dari para ahli hukum termasuk juga

batasan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan telah

memberikan gambaran ataupun konsep pengertian dari grosse akta.

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris (UUJN), tidak ada satu undang-undang atau peraturan

yang memuat tentang pengertian atau definisi grosse akta secara jelas.

Beberapa penulis telah memberikan pengertian atau rumusan dari

grosse akta dapat disebutkan antara lain (Naja,2005:377-378) :

G.H.S. Lumban Tobing, mengartikan grosse sebagai salinan atau (secara

pengecualian) kutipan, dengan memuat di atasnya (di atas judul akta)

dengan kata-kata :”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa” dan di bawahnya dicantumkan kata-kata : “Diberikan sebagai Grosse

Pertama”, dengan menyebut nama dari orang, yang atas permintaannya

grosse itu diberikan dan tanggal pemberiannya.

Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang memberi pengertian

grosse akta adalah suatu salinan atau turunan dari akta autentik, yang

memakai kepala di atasnya kata-kata : “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan pada bagian bawahnya harus

dicantumkan sebagai Grosse Pertama dengan menyebutkan nama orang

yang atas permintaannya grosse itu diberikan dan tanggal pemberian


455

grosse itu, di mana salinan tersebut mempunyai kekuatan eksekusi yang

sama dengan satu putusan pengadilan yang tetap.

Dari beberapa pendapat tersebut peneliti dapat merangkum bahwa

pengertian grosse akta mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

- Berbentuk akta autentik;

- Merupakan salinan atau kutipan pertama dari minuta/akta asli;

- Mempunyai kepala/irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa yang berfungsi sebagai titel eksekutorial guna

mempermudah eksekusi objek hipotek;

- Bagian bawah akta dicantumkan tulisan sebagai grosse pertama dan

nama orang yang meminta dibuatnya grosse akta dan tanggal

pemberian grosse akta.

Sebagai akta autentik maka grosse akta harus dibuat oleh atau di

hadapan pejabat yang berwenang. Grosse akta hipotek kapal dibuat oleh

Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal dan untuk grosse akta

pengakuan hutang dibuat oleh Notaris. Oleh karena itu bagi akta yang

dibuat di bawah tangan tidak bisa dibuat grossenya. Sebagai salinan atau

kutipan maka grosse akta harus sama persis isinya dengan minuta/akta

asli dengan tambahan redaksional pada bagian bawah kalimat yang

tertulis “diberikan sebagai grosse pertama” dengan menuliskan nama

orang yang atas permintaan grosse itu diberikan dan tanggal

pemberiannya. Dengan adanya irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa maka grosse akta mengandung kekuatan


456

eksekutorial layaknya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap sehingga dapat langsung meminta pengadilan melakukan eksekusi

tanpa memerlukan fiat eksekusi.

Secara tersirat dalam pasal-pasal Reglement op Het Notaris Ambt

in Nederlands Indie Stbl 1860:3 (Peraturan Jabatan Notaris) yang berlaku

sebelum berlakunya UUJN No.30 Tahun 2004, khususnya dalam Bab III

Pasal 20 s/d 49 telah mengartikan grosse akta sebagai salinan yang

pertama dari minuta akta (naskah asli), yang di atasnya memuat irah-irah

Atas Nama Raja (sekarang di tulis Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa) dan di bawahnya dicantumkan kata-kata “Diberikan

sebagai Grosse Pertama oleh saya….. Notaris/Pejabat di….. kepada dan

atas permintaan…. Pada hari ini…. Tanggal….”.

Dalam ketentuan Peraturan Jabatan Notaris tersebut menentukan

pula bahwa kepada yang berkepentingan, para ahli waris, atau para

penerima hak, mereka itu hanya diberikan Grosse Pertama saja,

sedangkan pemberian Grosse Kedua dan seterusnya, harus berdasarkan

ketetapan pengadilan di daerah hukum penyimpanan minuta akta yang

bersangkutan berkedudukan. Dibandingkan dengan salinan akta, kutipan

akta, maka grosse pertama saja yang mempunyai executorial krachts.

Dari beberapa pengertian grosse akta tersebut dan juga dari hasil

wawancara dengan notaris Karel Butar-Butar,S.H.,M.H, (wawancara

tanggal 5 Juli 2012), menunjukkan bahwa dalam pembuatan grosse akta

berdasarkan adanya suatu akta autentik yakni suatu akta yang dibuat oleh
457

atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu. Dengan kata

lain akta-akta yang dibuat di bawah tangan tidak dapat dikeluarkan

grossenya. Demikian pula menyangkut orang atau pejabat yang

mengeluarkan grosse akta hanyalah Notaris untuk grosse akta pengakuan

utang sebagai pejabat pembuat akta autentik atau notaris penggantinya

yang secara sah memegang minuta akta tersebut.

Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris No.30 Tahun 2004

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan grosse akta adalah salah

satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan kepala akta “Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai

kekuatan eksekutorial (Pasal 1 angka 11). Dari pengertian grosse akta ini

maka secara jelas memberi kewenangan pada notaris dalam

mengeluarkan grosse akta dan grosse akta yang dimaksud hanya

terbatas pada grosse akta pengakuan utang.

Selanjutnya dalam Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) menyebutkan

bahwa grosse akta pengakuan utang yang dibuat di hadapan Notaris

adalah salinan akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Grosse akta

tersebut pada bagian kepala akta memuat frasa “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, pada bagian akhir atau

penutup akta memuat frasa “diberikan sebagai grosse pertama”, dengan

menyebutkan nama orang yang memintanya dan untuk siapa grosse akta

dikeluarkan serta tanggal pengeluarannya.


458

Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau

memberitahukan grosse akta kepada orang yang berkepentingan

langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali

ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Notaris yang

mengeluarkan grosse akta membuat catatan pada minuta akta mengenai

penerima grosse akta dan tanggal pengeluaran dan ditandatangani oleh

Notaris.

Pengeluaran/pemberian suatu grosse akta berdasarkan adanya

hubungan hukum berupa perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit

antara pihak bank selaku pemberi pinjaman (kreditor) dan pihak debitor

selaku penerima pinjaman. Kreditor meminta kepada Notaris atau

penggantinya untuk membuat akta pengakuan utang yang diikuti dengan

pembuatan grosse akta pengakuan utang baik pada saat diadakan

perjanjian utang piutang ataupun beberapa waktu setelah diadakannya

perjanjian itu.

Terkait dengan batasan atau ruang lingkup akta-akta apa saja yang

dapat dibuatkan grossenya terdapat perbedaan pendapat. Ada yang

berpandangan luas dan ada yang berpandangan sempit yang menurut

penulis sah-sah saja jika berdasarkan argument yang dapat diterima. Bagi

yang berpandangan luas terutama di kalangan notaris berpendapat bahwa

semua akta yang berisi perjanjian apapun yang dibuat di hadapan notaris

dapat dikeluarkan atau dibuatkan grosse akta. Pendapat ini memang


459

dapat diterima jika mengacu pada Peraturan Jabatan Notaris Stb. No.3

Tahun 1860 Pasal 1, 38, 40, 41 dan 42.

Terhadap pandangan atau pendapat luas tentang ruang lingkup

grosse akta tersebut dianut pula oleh Pitlo bahwa notaris berwenang atas

permintaan dari yang langsung berkepentingan untuk memberikan

kepadanya grosse dari aktanya. Grosse dari akta notaris mempunyai

kekuatan eksekutorial yang sama dengan grosse putusan hakim. Dengan

demikian, tidak hanya tagihan berupa uang yang dapat dieksekusi

berdasarkan grosse akta notaris, tetapi juga tuntutan (vordringen) lain,

misalnya tuntutan untuk menyerahkan barang bergerak (Assegaf dan

Tanzah, 2010:31).

Adapun pendapat sempit dianut oleh Mahkamah Agung yang

berpendirian bahwa mengenai grosse akta hanya dapat dibuat dari akta

pengakuan utang dan akta hipotek. Pendapat ini didasarkan pada

ketentuan Pasal 224 HIR dan Pasal 440 Rv. Dengan berlakunya UU

No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN), telah mempertegas

akta apa saja yang dapat dibuatkan grossenya oleh notaris yaitu hanya

berlaku pada akta pengakuan utang, sebagaimana juga yang ditentukan

dalam Pasal 224 HIR. Sedangkan akta lainnya yang dapat dibuatkan

grossenya menurut Pasal 224 HIR adalah akta hipotek yang saat ini

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada hanya berlaku

untuk hipotek kapal dengan ukuran tertentu dan hipotek pesawat terbang.
460

Perbedaan pendapat juga terjadi tidak hanya pada ruang lingkup

dari grosse akta tetapi juga terhadap pengertian grosse akta pengakuan

utang. Merujuk pada ketentuan Pasal 224 HIR jo Pasal 440 Rv, titik tolak

pengertian grosse akta berpangkal dari adanya perumusan “semata-mata

kewajiban untuk membayar/melunaskan jumlah uang”. Perumusan ini

dapat ditafsirkan secara luas bahwa grosse akta itu dapat terjadi dalam

bentuk akta perjanjian jual beli, sewa-menyewa, pemborongan kerja dan

lain-lain yang belum lunas pembayarannya. Sebaliknya Mahkamah

Agung menafsirkan secara sempit yakni bertolak dari keadaan debitor

telah menerima pinjaman uang secara nyata dan yang masih harus

dikembalikan olehnya. Oleh karena itu Mahkamah Agung berpendapat isi

dari grosse akta hanyalah memuat adanya pengakuan pinjam uang, dan

dipersempit lagi yaitu adanya jumlah uang yang harus sudah tertentu atau

pasti pula. Bila dalam suatu grosse akta penyebutan jumlah uangnya

belum pasti, menurut Mahkamah Agung tidak dapat dimintakan eksekusi.

Grosse akta pengakuan utang mengindikasikan adanya pernyataan utang

sepihak, artinya debitor menyatakan mempunyai utang sejumlah tertentu.

Akta ini dibuat dalam bentuk akta autentik berupa akta notaris yang murni

hanya berisi pengakuan utang tidak berisi tentang persetujuan pemberian

kuasa. Demikian pula isi suatu grosse akta pengakuan hutang tidak lagi

menyinggung tentang pengaturan perjanjian termasuk syarat-syarat

perjanjian. Terpenuhinya ketentuan yang terkait dengan isi dari suatu


461

grosse akta pengakuan utang, merupakan bagian dari persyaratan

keabsahan grosse akta pengakuan hutang secara materil.

Mengacu pada ketentuan Pasal 224 HIR, maka di samping grosse

akta pengakuan utang terdapat pula apa yang disebut dengan grosse akta

hipotek. Dengan kata lain Pasal 224 HIR secara limitatif menentukan

grosse akta hanya dapat dibuat dalam bentuk grosse akta hipotek dan

grosse akta pengakuan utang. Baik grosse akta pengakuan utang maupun

grosse akta hipotek keduanya mempunyai kekuatan eksekutorial, seperti

putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan adanya

judul “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Berlakunya UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas

Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, telah

memperjelas status hipotek yang tidak lagi berlaku atas tanah tetapi

berlaku atas hipotek kapal. Dengan demikian grosse akta hipotek yang

disebutkan dalam pasal 224 HIR harus diartikan sebagai grosse akta

hipotek kapal dan/atau pesawat udara. Namun demikian berdasarkan

pendekatan historis, dalam pembahasan nanti masih akan menyinggung

hal-hal yang berkaitan dengan hipotek atas tanah mengingat dari segi

hukum materil masih tetap mengacu pada Buku II KUH Perdata yang

berlaku juga bagi hipotek kapal.

Kedua bentuk grosse akta yang terdapat dalam Pasal 224 HIR

yakni grosse akta hipotek (grosse akta van hypotheek) dan grosse akta

pengakuan utang (notarieele schuldbrieven), masing-masing berdiri


462

sendiri tidak boleh di campur aduk atau saling bertindih dalam satu objek

utang yang sama, tetapi harus memilih salah satu. Kalau sudah memilih

grosse akta pengakuan utang, perjanjian kredit yang bersangkutan tidak

boleh menggunakan lagi bentuk perjanjian hipotek. Sebaliknya, kalau

bentuknya telah mereka pilih hipotek, tidak dibolehkan menimpalinya

dengan grosse akta pengakuan utang (Muljono,1996:33).

Akibat hukum ketidakmurnian dan penerapan yang bersamaan dari

kedua bentuk grosse akta, mengakibatkan grosse akta mengandung cacat

yuridis yang dengan demikian dianggap tidak sah karena tidak adanya

kepastian hukum. Tidak adanya kepastian hukum grosse akta mana yang

diikat dalam persetujuan kredit bersangkutan, membuat grosse akta

kehilangan executorial kracht sehingga menjadi non eksekutabel sehingga

untuk pemenuhan pembayarannya harus melalui gugat biasa ke

pengadilan.

Seandainya suatu perjanjian kredit telah diikat dengan bentuk

grosse akta pengakuan utang, dan bentuk ini oleh pihak kreditor dianggap

kurang menjamin kepentingannya, mereka dapat mengalihkan atau

mengubahnya dengan bentuk grosse akta hipotek. Namun agar

perubahan itu tetap dapat menjamin kemurniannnya maka harus berupa

permbaharuan perjanjian yang mana harus menyebut secara tegas

pembaharuan perjanjian dan harus secara tegas pula membatalkan ikatan

grosse akta pengakuan utang dan mengalihkannnya berupa

pembaharuan ikatan grosse akta hipotek.


463

Dapat dilihat, bentuk grosse akta hipotek dan grosse akta

pengakuan utang yang diatur dalam Pasal 224 HIR keduanya merupakan

dua bentuk jenis grosse. Genusnya memang sama-sama grosse akta

tetapi walaupun genusnya sama namun spesiesnya mempunyai

spesifikasi yang berbeda. Perbedaan spesifikasinya terutama terletak

pada dokumen yang mengiringi sifat assesornya maupun dari segi

prosedur dan hak yang melekat pada benda jaminannya. Perbedaan

pokok antara grosse akta pengakuan utang dengan grosse akta hipotek

dapat dilihat dari empat sudut yakni (Harahap, 1989:199) :

1. Perbedaan dari sudut dokumen yang mengiringinya.

Dokumen yang mendukung grosse akta pegakuan utang lebih sedikit

dari dokumen grosse akta hipotek, yaitu hanya dokumen perjanjian

pokok berupa perjanjian utang atau perjanjian kredit sebagai dokumen

pertama dan dokumen pengakuan utang yang dituangkan dalam

bentuk dokumen akta notaris.

2. Perbedaan dari sudut prosedur.

Pada grosse akta pengakuan utang, prosedurnya jauh lebih sederhana

jika dibandingkan dengan prosedur grosse akta hipotek.Grosse akta

pengakuan utang tidak membutuhkan prosedur pensertifikatan dan

pendaftaran. Sedangkan mengenai grosse akta hipotek, supaya

grosse akta hipotek mempunyai kekuatan mengikat dan mempunyai

kekuatan eksekutorial, grosse akta hipotek harus didaftarkan dalam

register umum seperti yang ditentukan dalam Pasal 1179 KUHPerdata


464

3. Perbedaan dari sudut biaya.

Boleh dikatakan biaya yang diperlukan untuk mewujudkan bentuk

grosse akta pengakuan utang jauh lebih ringan dibandingkan dengan

grosse akta hipotek. Pada grosse akta pengakuan utang tidak

diperlukan biaya pendaftaran akta oleh karena grosse akta pengakuan

utang itu sendiri tidak menuntut prosedur pendaftaran tetapi hanya

biaya akta notarisnya saja.

4. Perbedaan dari sudut hak yang melekat atas benda jaminan.

Dalam Pasal 1198 KUH Perdata telah ditetapkan suatu asas bahwa

hipotek merupakan hak kebendaan yang melekat pada barang yang

dihipotekkan di tangan siapapun benda itu berada. Hak hipotek

kreditor tidak tanggal sekalipun debitor menjualnya atau

memindahkannya kepada pihak ketiga. Lain halnya dengan barang

jaminan grosse akta pengakuan utang tidak melekat hak kebendaan,

karena barang jaminan yang diberikan debitor kepada kreditor tidak

mempunyai sifat hak kebendaan.

Dibandingkan dengan praktik hipotek atas tanah, maka dokumen-

dokumen pendukung keabsahan grosse akta hipotek terdiri dari empat

buah dokumen yaitu :

a. Dokumen perjanjian utang sebagai perjanjian pokok;

b. Dokumen kuasa memasang hipotek;

c. Dokumen akta pemasangan hipotek;

d. Dokumen sertifikat hipotek.


465

Dokumen perjanjian utang atau kredit merupakan dokumen pokok

sebagai dokumen pertama dan utama untuk mengadakan ikatan

perjanjian hipotek antara debitor dan kreditor. Tanpa ada perjnajian pokok,

tidak bisa diwujudkan ikatan perjanjian hipotek, karena perjanjian hipotek

adalah perjanjian yang assesor dengan perjanjian utang yang telah ada

lebih dulu.

Mengenai bentuk perjanjian pokok adalah bebas dalam arti boleh

berbentuk lisan dan boleh juga berbentuk akta di bawah tangan atau akta

autentik. Sepanjang mengenai pembuatan dokumen perjanjian pokok,

undang-undang tidak menetapkan suatu bentuk tertentu. Bentuk perikatan

perjanjian pokok sebagai landasan untuk melahirkan akta hipotek, pada

dasarnya tunduk kepada bentuk dan ketentuan perjanjian pinjam

meminjam yang diatur dalam Buku III KUH Perdata.

Dokumen perjanjian kuasa memasang hipotek merupakan lanjutan

perjanjian utang atau kredit yang dibuat setelah perjanjian utang atau

kredit disetujui atau ditandatangani debitor dan kreditor. Mengenai jarak

waktu antara pembuatan perjanjian utang atau kredit (sebagai dokumen

pokok) dengan perjanjian kuasa memasang hipotek, perjanjian utang atau

kredit harus lebih dulu dari perjanjian kuasa memasang hipotek. Sehingga

jelas terbaca dalam rumusan perjanjian kuasa memasang hipotek, bahwa

akta perjanjian kuasa memasang hipotek tersebut merupakan produk

yang dilahirkan dari akta perjanjian utang atau kredit.


466

Dalam hal perjanjian utang atau kredit dibuat dalam bentuk akta

autentik (akta notaris), maka akta perjanjian kuasa memasang hipotek

dapat disatukan sekaligus dalam akta perjanjian utang atau kredit. Apabila

akta perjanjian utang atau kredit bukan merupakan akta notaris,

persetujuan kuasa memasang hipotek mutlak harus terpisah dan berdiri

sendiri di luar perjanjian utang atau kredit.

Persetujuan kuasa memasang hipotek pada dasarnya merupakan

salah satu upaya hukum untuk memudahkan dan mengefektifkan

kedudukan kreditor dalam pemasangan hipotek pada saat yang dianggap

tepat. Sebab dengan adanya persetujuan kuasa memasang hipotek yang

diberikan debitor kepada kreditor, pihak kreditor leluasa mewujudkan

pemasangan hipotek pada setiap saat yang diperlukan guna menjamin

kepentingannya tanpa bantuan pihak debitor.

Sebenarnya jika berpedoman pada ketentuan Pasal 1171 KUH

Perdata, hipotek dapat dipasang walaupun tidak ada persetujuan kuasa

memasang hipotek. Namun agak lebih rumit sebab untuk pemasangan

hipotek yang tidak didahului dengan persetujuan kuasa memasang

hipotek, pemasangan hipoteknya di hadapan notaris harus dihadiri

bersama oleh pihak debitor dan kreditor. Kalau debitornya jujur dan

beritikad baik, memang tidak ada masalah risiko. Tetapi kalau kreditor

menghadapi debitor yang licik dan bandel, debitor tersebut akan berdaya

upaya menghindar dan menggagalkan pemasangan hipotek. Agar pihak

kreditor terhindar dari kecurangan dan kelicikan pihak debitor dalam


467

pemasangan hipotek, Pasal 1171 ayat (2) KUH Perdata memberi jalan

keluar dengan cara mengadakan persetujuan kuasa memasang hipotek.

Rumusan dokumen persetujuan kuasa memasang hipotek pada

dasarnya memuat tentang adanya perjanjian utang atau kredit sebagai

landasan pihak debitor memberikan kuasa kepada pihak kreditor untuk

memasang hipotek atas barang tidak bergerak milik debitor. Kuasa

memasang hipotek boleh hanya menunjuk jumlah utang atau kredit yang

disebut dalam perjanjian utang atau kredit (jumlah plafonnya), boleh juga

jumlah yang pasti dicantumkan di dalamnya. Penegasan tentang peringkat

hipotek (pertama, kedua) yang diberikan pihak debitor kepada pihak

kreditor juga dimuat dalam perjanjian kuasa memasang hipotek.

Permintaan pemasangan hipotek baik oleh pihak kreditor atas

dasar persetujuan kuasa memasang hipotek maupun oleh pihak keditor

bersama-sama dengan pihak debitor bertujuan untuk menetapkan wujud

ikatan hipotek. Cara penetapan hipotek telah diatur dalam Pasal 1171

KUH Perdata, yakni dalam akta pemasangan hipotek disebut dengan jelas

nama pihak-pihak yang menghipotekkan dan pemegang hipotek,

penjelasan kaitan utang dengan hipotek, keterangan mengenai letak, sifat

dan jenis barang yang dihipotekkan serta besarnya utang hipotek.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitan dengan

dokumen akta pemasangan hipotek antara lain pencantuman kalimat

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kalimat

tersebut ditulis pada bagian atas guna melegalisasi akta pemasangan


468

hipotek sebagai grosse akta yang memiliki kekuatan hukum eksekutorial

sebagaimana layaknya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum yang tetap.

Sebagai perbandingan dengan pelaksanaan hipotek atas tanah

terkait dengan pengaturan hipotek atas tanah, masalah pencantuman

kalimat tersebut dalam grosse akta pemasangan hipotek tidak menjadi

masalah karena untuk keseragaman bentuk akta pemasangan hipotek

telah dikeluarkan sebuah model formulir oleh Dirjen Agraria (SK Menteri

Dalam Negeri No.SK.101/DJA/1977 Tanggal 6 Agustus 1977). Akta

pemasangan hipotek dapat menyimpang dari formulir dimaksud hanya

saja penyimpangan dari model formulir ini tidak boleh mengabaikan

pencantuman kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”, dan tidak boleh pula melupakan maksud penetapan hipotek

yang diatur dalam Pasal 1171 KUH Perdata (Harahap, 1989:214). Dalam

hipotek kapal pencantuman titel eksekutorial pada grosse akta hipotek

secara tegas disyaratkan dan dalam bentuk yang tidak bisa diganti model

grosse aktanya.

Menarik juga untuk membandingkan tentang pejabat pembuat akta

hipotek dimana menurut Pasal 19 PP No.10 Tahun 1961 pemasangan

hipotek harus dilakukan di muka PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).

Ketentuan Pasal 19 tersebut sedikit banyak telah mengurangi makna

ketentuan Pasal 1171 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa

pemasangan hipotek berbentuk akta autentik yang lazimya dilakukan di


469

hadapan notaris. Hal ini berarti semua notaris dapat bertindak sebagai

pejabat pembuat akta pemasangan hipotek.

Setelah berlaku PP No.10 Tahun 1961 telah ditentukan secara

tegas siapa pejabat yang berwenang melayani pemasangan hipotek yakni

yang dikenal dengan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). Penetapan

hipotek baru sah jika dilakukan di hadapan PPAT yang merupakan

pejabat khusus yang diangkat oleh Dirjen Agraria. Biasanya yang diangkat

sebagai petugas PPAT oleh Dirjen Agraria adalah para camat dan

sebagian terdiri dari notaris. Ketentuan ini masih tetap berlaku khususnya

untuk akta-akta terkait dengan tanah. Berbeda halnya pada hipotek kapal

dimana peran notaris dan camat tidak berlaku dalam pembuatan akta

hipotek kapal tetapi kewenangannya ada pada Pejabat Pendaftar dan

Pencatat Baliknama Kapal.

Sehubungan dengan pemasangan hipotek, sering terjadi

kesalahpahaman yang menimbulkan permasalahan dalam kaitan dengan

eksekusi atas suatu akta hipotek. Pihak debitor sering mengajukan

keberatan dengan alasan pihak debitor sama sekali tidak mengetahui

kapan dilakukan pemasangan hipotek karena sampai pada saat eksekusi

hendak dijalankan, pihak debitor tidak pernah menerima salinan akta

hipotek. Keberatan ini tidak dapat dibenarkan oleh karena dalam keadaan

suatu perikatan utang atau kredit telah dibuat persetujuan kuasa

memasang hipotek, kreditor sudah leluasa melakukan pemasangan

hipotek pada saat yang dianggap tepat.Tindakan ini tidak perlu


470

diberitahukan atau tidak perlu diketahui oleh pihak debitor serta tidak ada

kewajiban untuk menyerahkan salinan akta pemasangan hipotek kepada

debitor.

Walaupun juga terjadi pemasangan hipotek berdasarkan

permintaan bersama antara debitor dan kreditor, tetap tidak ada kewajiban

hukum untuk memberi salinan (grosse) akta pemasangan hipotek (akta

hipotek) kepada debitor. Oleh karena itu keberatan pihak debitor yang

menyatakan ketidakabsahan akta hipotek atas alasan pemasangan

hipotek tidak diberitahukan atau oleh karena salinan akta hipoteknya tidak

diberikan kepadanya, tidak mempunyai dasar hukum dan sama sekali

tidak merupakan hal yang dapat mengurangi kekuatan eksekutorial yang

terkandung di dalamnya.

Adapun mengenai bentuk akta pemasangan hipotek kapal terdiri

dari satu lembar sebagai minuta (akta asli) dan lembar kedua berupa

salinan (grosse). Lembar minuta atau lembar asli akta hipotek disimpan

oleh pejabat pembuat akta di kantornya sedangkan akta grosse

hipoteknya atau akta salinan hipoteknya hanya dikeluarkan satu lembar

dan diserahkan kepada kreditor sebagai bukti penetapan hipotek.

Dokumen keempat yang melengkapi keabsahan perikatan hipotek

atas tanah sebagai grosse akta yang memiliki kekuatan hukum

eksekutorial ialah sertifikat hipotek. Proses penerbitan sertifikat hipotek

atas tanah yaitu dengan cara memberikan akta hipotek, sertifikat hak atas

tanah, dan dokumen lain yang diperlukan (akta perjanjian utang, kuasa
471

memasang hipotek) kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah (Kantor

Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya) yang bersangkutan untuk

didaftarkan dan pencatatan dalam Buku Tanahnya. Pendaftaran hipotek

merupakan proses akhir dalam rangka keabsahan perikatan hipotek.

Mengacu pada pengaturan hukum hipotek kapal, proses penerbitan

sertifikat hipotek tidak diatur tetapi hanya sampai pada pencatatan akta

hipotek pada daftar pencatatan tanpa menerbitkan sertifikat.

Melekatnya kekuatan eksekutorial pada hipotek atas tanah sesuai

yang diatur dalam Pasal 224 HIR, baru terwujud setelah dilakukan

pendaftaran hipotek diikuti dengan penerbitan sertifikat hipotek.

Pendaftaran hipotek ini dipandang dari sudut teori hukum disebut sebagai

asas umum hipotek yakni perlunya hipotek didaftarkan dalam Daftar

Umum Buku Tanah dengan tujuan menjadikan perikatan hipotek itu

terbuka untuk umum. Masyarakat luas yang berkepentingan dapat

memeriksa dan mengetahui bahwa tanah yang bersangkutan sedang

dibebani dengan perikatan hipotek.

Pensertifikatan dan pendaftaran grosse akta hipotek termasuk juga

pejabat yang membuatnya seperti yang diuraikan di atas, berlaku

terhadap hipotek atas tanah baik sebelum berlakunya UU Hak

Tanggungan maupun setelah berlakunya UU Hak Tanggungan.

Dibandingkan dengan hipotek atas kapal dari segi prosedurnya dan

pejabat yang terlibat/diberi wewenang dalam penerbitan akta hipotek dan


472

grosse akta hipotek tidak mempunyai kesamaan. Hal ini sangat

dipengaruhi oleh bentuk atau sifat dari objek yang dijadikan jaminan .

Pengertian daripada grosse akta dapat pula dibedakan dalam dua

bentuk yaitu :

1. Grosse pertama akta dalam arti umum, yaitu merupakan salinan

pertama dari akta asli/minuta yang dibuat oleh notaris. Dalam praktik

pada umumnya bagian akta yang asli selalu disimpan oleh notaris,

sedangkan para pihak hanya mendapatkan salinannya.

2. Grosse pertama akta dalam arti khusus, adalah salinan pertama dari

akta asli/minuta yang dibuat oleh notaris yang memakai kop surat

bertuliskan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

atau dengan pengertian lain ialah grosse pertama dari akta notaris

yang mempunyai kekuatan eksekutorial.

Di dalam praktik, mengenai grosse akta pertama dalam arti khusus

yang mempunyai kekuatan eksekusi hanyalah terbatas pada grosse

pertama dari akta-akta yang disebut dalam Pasal 224 HIR dan peraturan

yang mengenai credietverband saja. Lain halnya di Negara Belanda

dimana grosse pertama aktanya dapat dikeluarkan untuk seluruh akta

perjanjian sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial seperti pada akta

perjanjian jual beli, akta sewa-menyewa dan lain-lain (Muljono, 1996:38-

39).

Tujuan grosse pertama akta dapat diketahui dari pasal 224 HIR

yaitu untuk segera mewujudkan hak-hak kreditor tanpa perlu berperkara


473

lagi. Maksudnya adalah untuk menjamin pelaksanaan dari hak-hak

kreditor secara lebih cepat tanpa melalui tata cara pengajuan gugatan

seperti dalam perkara-perkara pengadilan biasa yang sudah tentu sangat

menyita waktu dan tenaga. Titel eksekutorial memberikan kekuatan

eksekusi yang dapat langsung dijalankan tanpa adanya gugatan terlebih

dahulu.

Agar grosse akta pengakuan utang dan grosse akta hipotek

mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga apabila tidak ditaati

secara sukarela dapat dieksekusi melalui Pasal 195 HIR dan seterusnya,

grosse akta tersebut harus memenuhi syarat formil maupun materil

sebagai berikut (Assegaf dan Tanzah, 2010:3-4) :

Syarat Fromil :

a. Grosse akta tersebut harus merupakan salinan kata demi kata dari Akta

Pengakuan Utang yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris untuk

grosse akta pengakuan utang, dan salinan kata demi kata dari akta

hipotek kapal untuk grosse akta hipotek kapal yang dibuat oleh Pejabat

Pendaftar dan Balik Nama Kapal untuk grosse akta hipotek kapal;

b..Memakai kepala/irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa”.

c. Pada bagian akhir/penutup memuat kata-kata “diberikan sebagai grosse

pertama” dengan menyebutkan nama orang yang memintanya dan

untuk siapa grosse dikeluarkan serta tanggal pengeluarannya


474

Syarat Materil grosse akta pengakuan utang :

a. Isinya harus berupa pengakuan utang sepihak.

b. Jumlahnya harus tetap, dalam arti dapat ditentukan bunga tetap,

misalnya 1% tiap bulan, yang penting mudah dihitung jumlah yang

harus dibayar pada waktu jatuh tempo dan dieksekusi.

c. Isi tidak boleh bertentangan dengan Pasal 14 UU Pelepas Uang.

Pasal 14 Undang-undang Pelepas Uang (Geldschieters Ordonantie,

S.1938-523), melarang Notaris membuat atas pengakuan hutang dan

mengeluarkan grosse aktanya untuk perjanjian hutang-piutang dengan

seorang pelepas uang.

Syarat meteril grosse akta hipotek :

a. Isinya harus mencantumkan secara jelas nama dan identitas pemberi

hipotek (debitor) dan pemegang hipotek (kreditor).

b. Isinya harus memuat perjanjian pokok berupa perjanjian kredit yang

menjadi dasar dari pembebanan hipotek.

c. Isinya harus memuat secara jelas objek hipotek termasuk ukurannya.

d. Besarnya jumlah nilai hipotek harus dicantumkan secara jelas.

Dapat tidaknya grosse akta dieksekusi tergantung pada

pemenuhan dari persyaratan formil maupun materil. Jika syarat formil dan

materil telah dipenuhi maka grosse akta akan mempunyai nilai kekuatan

eksekusi yang sama dengan nilai kekuatan eksekusi yang melekat pada

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Jadi jika terjadi tindakan wanprestasi dari debitor terhadap isi perjanjian
475

kredit yang telah dituangkan dalam bentuk grosse akta, maka kreditor

mempunyai hak untuk menyingkirkan proses gugat biasa dalam menuntut

pemenuhan prestasi yaitu dengan langsung mengajukan permohonan

eksekusi penjualan lelang kepada pengadilan.

Pada dasarnya kedudukan grosse akta dalam memberikan

kepastian hukum bagi kreditor terkait dengan perlindungan akan

pemenuhan pembayaran utang yang dapat ditempuh kreditor apabila

debitor melakukan cedera janji atau wanprestasi. Berdasarkan Pasal 224

HIR grosse akta hipotek mempunyai kekuatan eksekutorial dengan

adanya titel eksekutorial berupa irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang dipersamakan dengan putusan

hakim/pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hasil penelitian

menunjukkan apabila debitor melakukan cidera janji, kreditor dapat

langsung meminta fiat eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. Atas

permintaan itu, Ketua Pengadilan Negeri akan mengambil tindakan hukum

memanggil debitor menghadiri sidang insidentil sesuai dengan Pasal 196

HIR dan memperingatkan (aanmaning) debitor paling lama 8 (delapan)

hari supaya memenuhi pelunasan pembayaran utang secara sukarela.

Apabila batas waktu peringatan sudah dilewati, namun debitor tidak

juga melaksanakan pemenuhan secara sukarela, maka dengan

berpedoman pada Pasal 197 ayat (1) HIR Ketua Pengadilan Negeri

mengeluarkan Penetapan Sita Eksekusi (executoriale beslag) atas barang


476

objek hipotek. Penyitaan dilakukan oleh Panitera atau Juru Sita sesuai

dengan ketentuan Pasal 197 ayat (2).

Penyitaan diberitahukan kepada debitor dan jika debitor mau dia

dapat hadir pada saat pelaksanaan penyitaan dan harus dihadiri dua

orang saksi. Selanjutnya Juru Sita dibantu dua orang saksi membuat

Berita Acara Penyitaan yang ditandatanganinya bersama dua orang saksi

tersebut dan mengumumkan penyitaan dengan jalan mendaftarkannya

pada kantor pejabat yang berwenang sesuai Pasal 198 HIR. Dalam hal

hipotek kapal, sita eksekusinya didaftarkan di kantor Syahbandar yang

bersangkutan. Setelah proses penyitaan selesai Ketua Pengadilan Negeri

menerbitkan Penetapan Penjualan Lelang berdasarkan Pasal 200 ayat

(1) HIR. Bersamaan dengan itu Ketua Pengadilan Negeri meminta

bantuan kepada Kantor Lelang sebagai perantara dalam penjualan lelang.

Proses eksekusi yang diuraikan di atas dapat dikatakan terlalu

berbelit-belit sehingga tidak sesuai dengan asas hukum jaminan

kebendaan yang memberikan kemudahan dan kepastian dalam

pelaksanaan eksekusi. Menurut peneliti sebenarnya proses eksekusi

jaminan hipotek kapal yang berdasar pada titel eksekutorial berbeda

dengan pelaksanaan eksekusi yang berdasar pada putusan yang lahir dari

adanya gugatan atau berdasarkan suatu proses peradilan sebagaimana

yang diatur dalam Hukum Acara Perdata. Sehingga dalam rangka

memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi kreditor seharusnya

pengadilan tidak mengikuti ketentuan eksekusi dalam Hukum Acara


477

Perdata. Seharusnya eksekusi yang dimintakan oleh kreditor kepada

pengadilan dapat langsung diikuti dengan penyitaan dan pelimpahan ke

kantor lelang. Inilah yang harus dipikirkan untuk mendapatkan pengaturan

dalam peraturan perundang-undangan tentang hipotek kapal.

Sekiranya pelaksanaan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial

masih tetap menjadi masalah dalam menjamin kemudahan pelaksanaan

eksekusi, maka kreditor dapat mengesampingkannya dengan

memperjanjikan pelaksanaan eksekusi melalui sarana yang terdapat

dalam Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata. Namun demikian pelaksanaan

parate eksekusi ternyata pula masih menimbulkan persoalan.

Di samping pelaksanaan eksekusi benda jaminan lewat pengadilan,

dalam pemenuhan utang debitor, kreditor dapat juga melalui cara

penjualan lelang berdasarkan kuasa sendiri (Eigenmachtige verkoop)

sesuai ketentuan Pasal 1178 Ayat (2) KUH Perdata. Menurut Pasal 1178

ayat (2) KUH Perdata, hukum membenarkan menjanjikan dalam akta

hipotek memberi kuasa kepada kreditor untuk menjual sendiri barang

hipotek tanpa campur tangan Pengadilan apabila debitor melakukan

cedera janji. Klausul pemberian kuasa yang demikian disebut Recht van

Eigenmachtige verkoop. Namun demikian meskipun penjualannya tanpa

campur tangan Pengadilan, penjualannya harus di muka umum dengan

cara meminta bantuan Kantor Lelang untuk melaksanakan penjualan

lelang. Dari hasil penjualan lelang, kreditor berhak mengambil langsung


478

pelunasan meliputi utang pokok, bunga dan biaya-biaya eksekusi yang

dikeluarkan.

Agar cara dan upaya pemenuhan melalui kuasa menjual sendiri

(eigenmachtige verkoop) berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata

dapat dilakukan kreditor sebagai pemegang hipotek kapal, kuasa tersebut

harus dituangkan sebagai klausul dalam akta hipotek yang berisi

pernyataan debitor memberi hak atau kuasa kepada kreditor untuk

menjual sendiri objek barang hipotek apabila debitor cedera janji.

Pelaksanaan penjualan berdasarkan parate eksekusi tidak

memerlukan campur tangan Ketua Pengadilan Negeri seperti yang

ditentukan dalam Pasal 224 HIR. Namun demikian tata cara penjualan

yang dilakukan kreditor harus tunduk pada ketentuan Pasal 1211 KUH

Perdata yang mengatur bahwa penjualan harus dilakukan di muka umum.

Dengan demikian kreditor harus meminta bantuan Kantor Lelang untuk

melakukan penjualan lelang (executoriale verkoop) sesuai ketentuan

Pasal 200 ayat (1) HIR.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa letak perbedaan

penjualan lelang berdasarkan Pasal 224 HIR dan Pasal 1178 ayat (2)

KUH Perdata terletak pada subjek atau pihak yang mengajukan

permintaan penjualan lelang kepada Kantor Lelang. Menurut Pasal 224

HIR yang meminta penjualan lelang adalah Ketua Pengadilan Negeri,

sedangkan menurut Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata yang meminta

penjualan lelang adalah kreditor.


479

Penerapan eigenmachtige verkoop berdasarkan Pasal 1178 ayat

(2) jo. Pasal 1211 KUH Perdata ternyata tidak berjalan sebagaimana

mestinya karena tidak didukung oleh lembaga peradilan. Mahkamah

Agung RI dalam putusannya No. 3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari

1986 telah menganulir putusan Pengadilan Negeri Bandung dan

Pengadilan Tinggi Bandung yang membenarkan penjualan lelang oleh

Kantor Lelang Bandung.

Dalam kasus ini duduk perkaranya sebagai berikut (Harahap,

2005:236-237), Bank memberi kredit kepada pihak PT. Golden City Textile

Industry yang diikat dengan perjanjian hipotek yang berisi klausul

Eigenmachtige verkoop berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata.

Persoalan timbul ketika pihak Golden City Textile Industry selaku debitor

melakukan wanprestasi. Bank sebagai kreditor langsung meminta

perantaraan dan bantuan Kantor Lelang untuk melakukan penjualan

umum berdasarkan Pasal 1211 KUH Perdata jo. Pasal 1178 ayat (2) KUH

Perdata. Atas permintaan kreditor Kantor Lelang melakukan penjualan

lelang objek barang hipotek dengan alasan permintaan tersebut

memenuhi ketentuan Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata.

Terhadap tindakan Kantor Lelang Bandung itu, debitor menggugat

Kantor Lelang Bandung atas alasan perbuatan melawan hukum

berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Pengadilan Negeri Bandung

dalam Putusan No. 485/1979 telah membenarkan tindakan Kantor Lelang

Bandung menjual lelang objek barang hipotek atas permintaan bank


480

sebagai pemegang hipotek tanpa campur tangan atau fiat eksekusi

Pengadian Negeri. Putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut

dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.76/1981 tanggal

12 Maret 1981.

Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung dalam Putusan No. 3210

K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 telah membatalkan putusan

Pengadlan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan pertimbangan antara

lain :

1. Pelaksanaan eksekusi grosse akta hipotek yang berkepala Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa berdasarkan Pasal

224 HIR, mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan

yang berkekuatan hukum tetap;

2. Namun pelaksanaannya harus melalui campur tangan Pengadilan

Negeri, karena yang dimaksud jawatan umum pada Pasal 1211 KUH

Perdata adalah Pengadilan bukan Kantor Lelang;

3. Oleh karena itu, penjualan lelang yang dilakukan Kantor Lelang

Bandung tanpa atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, tetapi

langsung atas permintaan Bank (kreditor) adalah tidak sah.

Putusan Mahkamah Agung ini telah menjadi pedoman oleh badan

peradilan yang tentunya sangat disayangkan oleh karena putusan

tersebut telah menyatukan pengertian eksekusi berdasarkan grosse akta

hipotek (Pasal 224 HIR) dan eksekusi berdasarkan eigenmachtige

verkoop (Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata) padahal keduanya sangat
481

jelas perbedaannya. Kasus ini sangat jelas menunjukkan bahwa

implementasi ketentuan hipotek oleh aparat penegak hukum (hakim) tidak

sesuai dengan jiwa dari norma hukum dalam Pasal 1178 ayat (2) KUH

Perdata. Ketentuan parate eksekusi terkandung maksud untuk

memberikan kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi benda jaminan

sehingga menjamin kepastian hukum bagi kreditor dalam pemenuhan

utang jika debitor wanprestasi.

Menurut peneliti ada dua kemungkinan yang dapat menimbulkan

tidak sinkronnya antara norma hukum yang diberlakukan dengan

implementasinya oleh pelaku hukum dalam hal ini penegak hukum.

Pertama, bisa saja diakibatkan oleh isi ketentuannya yang tidak jelas dan

kedua karena faktor subjektifitas dalam melihat suatu kasus. Jika

membaca isi ketentuan parate eksekusi dalam Pasal 1178 ayat (2) KUH

Perdata secara tegas dan jelas telah mengatur bagaimana bentuk

perjanjian parate eksekusi ini sehingga jika implementasinya tidak sesuai

dengan ketentuan yang ada berarti kapasitas dan kapabilitas aparat

penegak hukum patut dipertanyakan.

Situasi demikian telah menimbulkan kekuatiran di kalangan

perbankan terhadap keamanan kredit dengan jaminan hipotek

sebagaimana terungkap dalam wawancara dengan Eny Rosmarniaty

(Bank BNI Jakarta Kota), Tedi Suharja (Bank Mandiri Gatot Soebroto

Jakarta), dan Yohanita Dewi (Bank BRI Sudirman Jakarta) yang pada

intinya mengakui bahwa bank akan mempertimbangkan secermat


482

mungkin sebelum menyetujui pengajuan kredit dengan ikatan jaminan

hipotek kapal (Hasil wawancara, Juni 2012). Permasalahan ini tentu

sangat tidak mendukung bagi upaya pemerintah dalam mendorong

perkembangan investasi di bidang perkapalan.

Dalam kaitan ini menurut Ramlan Ginting (2008:32) selaku Deputi

Direktur Hukum Bank Indonesia, pembiayaan perkapalan termasuk

beresiko tinggi sehingga dalam pertimbangan bank selaku calon kreditor

selain memperhatikan aspek kepastian agunan dan pengikatan agunan,

bank akan memperhatikan juga aspek resiko yang antara lain berupa

risiko likuiditas, resiko operasional dan resiko pasar. Selain itu bank juga

mempertimbangkan aspek creditworthiness dari calon debitor dan

perusahaan perkapalan yang memiliki better credit standing.

Dari beragam pertimbangan yang disebutkan di atas menunjukkan

betapa sulitnya untuk mendapatkan pembiayaan perkapalan jika tidak

didukung dengan kemampuan yang ada pada calon debitor dan

perusahaannya. Sebagai contoh dari hasil wawancara dengan Alisa

Dessy Primasari dari perusahaan perkapalan PT. Meratus Line,

terungkap bahwa pihaknya dalam mengajukan pembiayaan perkapalan

pada bank tidak semudah yang diperkirakan oleh karena pihak bank

sangat selektif dan bersikap hati-hati tapi karena reputasi perusahaan

dinilai baik dan tidak bermasalah bank menyetujui kredit yang dimohonkan

(wawancara tanggal 12 Juli 2012). Adapun pendapat responden terhadap


483

penerapan prinsip kehati-hatian oleh bank dalam mengamankan

pemberian kredit dapat dilihat pada table 6 di bawah ini.

Tabel 6

Penerapan Prinsip Kehati-hatian oleh Bank


dalam mengamankan Pemberian Kredit

Responden
Jumlah
No. Penilaian PB PP PKP Hakim Notaris

f % F % f % f % f % f %

1 Setuju 10 100 6 60 9 90 10 100 10 100 45 90

2 Ragu-ragu 0 0 3 30 1 10 0 0 0 0 4 8

3 Tidak Setuju 0 0 1 10 0 0 0 0 0 0 1 2

Jumlah 10 100 10 100 10 100 10 100 10 100 50 100

Sumber : Diolah dari data primer 2012

Keterangan:
PB : Pimpinan Bank
PP : Pengusaha Perkapalan
PKP : Pimpinan Kantor Pelabuhan

Berdasarkan data pada Tabel 6 tersebut menunjukkan bahwa

sebagian besar responden (90)% setuju terhadap penerapan prinsip

kehati-hatian dalam pemberian kredit kepada nasabah debitor dengan

alasan agar kredit/pinjaman yang diberikan sedapat mungkin terhindar

dari kredit macet. Adapun responden yang tidak setuju sebanyak 2%

dengan alasan akan mempersulit pengajuan krerdit. Sedangkan 8%

responden menyatakan ragu-ragu dengan alasan penerapan prinsip

kehati-hatian sebaiknya jangan terlalu kaku atau bisa lebih fleksibel.


484

Eksekusi berdasarkan grosse akta hipotek dilaksanakan

berdasarkan Pasal 224 HIR dengan mengandalkan titel eksekutorial

berupa irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

yang memberi nilai grosse akta hipotek layaknya putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan eksekusi berdasarkan Pasal

1178 ayat (2) KUH Perdata yang dikenal sebagai Parate Eksekusi yang

berarti menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi

haknya tanpa perantaraan hakim. Parate eksekusi ini dapat diterapkan

jika dalam akta hipotek terdapat janji bahwa pemegang hipotek pertama

mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak hipotek.

Jika dalam pertimbangan hukumnya putusan Mahkamah Agung

merujuk bahwa yang dimaksud dengan jawatan umum dalam Pasal 1211

KUH Perdata adalah Pengadilan, menurut peneliti ini tidak dapat diterima

sebab pengertian jawatan umum tidak ditentukan secara jelas sehingga

dapat menimbulkan penafsiran lain. Menurut peneliti terkait dengan

penjualan lelang adalah menjadi kewenangan Kantor Lelang dalam

pelaksanaannya tanpa harus ada campur tangan Pengadilan. Disinilah

sebenarnya letak kekhususan atau keistimewaan yang terkandung dalam

eksekusi objek hipotek melalui parate eksekusi yang ditegaskan dalam

Pasal 1178 ayat (2) KUH Perdata.

Dalam lingkup hukum jaminan kebendaan ternyata telah

mengalami perkembangan terkait dengan kepentingan kreditor akan

pemenuhan utang oleh debitor dengan dimungkinkannya penjualan objek


485

jaminan di bawah tangan. Jika murni bertitik tolak dari ketentuan Pasal

224 HIR dan Pasal 1178 ayat (2) jo. Pasal 1211 KUH Perdata, objek

hipotek kapal tidak boleh dijual oleh kreditor di bawah tangan. Penjualan

yang dibenarkan hanya melalui penjualan lelang di muka umum. Hipotek

kapal tidak mengatur tentang penjualan di bawah tangan namun dalam

peraturan hukum Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, dapat

dibenarkan penjualan objek jaminan secara di bawah tangan.

Berdasarkan Pasal 20 UUHT penjualan di bawah tangan harus

berdasarkan kesepakatan antara debitor dengan kreditor. Kesepakatan

penjualan di bawah tangan baru dapat dilaksanakan setelah terjadi

wanprestasi, tidak boleh disepakati dalam akta hipotek. Bentuk

kesepakatan antara debitor dan kreditor mesti dibuat secara tertulis, boleh

berbentuk akta autentik dan juga akta di bawah tangan. Melalui penjualan

di bawah tangan diharapkan dapat diperoleh harga yang lebih tinggi.

Mengacu pada ketentuan yang mengatur tentang Hak Tanggungan

(UU No.4/1996) dan Fidusia (UU No.42/1999) yang membolehkan

penjualan di bawah tangan dan jika diterapkan terhadap objek hipotek,

merupakan terobosan hukum di bidang hukum jaminan dalam rangka

memberikan kepastian hukum bagi kreditor untuk mendapatkan haknya.

Adapun yang menjadi kelebihan dari penjualan di bawah tangan yakni

tidak membutuhkan prosedur yang bertele-tele sebagaimana dalam

penjualan lelang. Selain itu kepada debitor diberikan kebebasan untuk

menentukan harga jual objek hipotek, sehingga memberi peluang objek


486

hipotek terjual dengan harga yang tinggi. Dengan beberapa kelebihan ini

sebaiknya pula pengaturan hipotek dalam RUU Hipotek mengadopsi

ketentuan yang berlaku dalam UU Hak Tanggungan dan UU Fidusia

sehingga pengaturan hukum jaminan kebendaan berada dalam satu

sistem.

2. Penerapan Titel Eksekutorial

Pencantuman titel eksekutorial dalam wujud irah-irah yang berbunyi

Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada grosse akta

hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR ternyata masih terjadi

persoalan dalam penerapannya. Beberapa ketentuan yang dikeluarkan

pemerintah terkait dengan keberadaan titel eksekutorial menunjukkan

tidak adanya satu persepsi yang sama di antara pembuat kebijakan. Hal

tersebut mengakibatkan lahirnya peraturan yang saling bertentangan baik

dengan peraturan yang lebih tinggi maupun yang sederajat.

Berbagai persoalan yang ditemui terkait dengan pengaturan titel

eksekutorial telah berlaku sejak lama. Sebagai contoh berdasarkan Pasal

7 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria (PMA) No.15 Tahun 1961 ditentukan

bahwa sertifikat hipotek dan credietverband mempunyai kekuatan

eksekutorial. Namun demikian tidak disebutkan keharusan adanya titel

eksekutorial pada kedua sertifikat tersebut padahal menurut Pasal 224

HIR, adanya titel ekekutorial merupakan syarat utama bagi suatu grosse

akta agar mempunyai kekuatan eksekutorial. Disamping itu pula menjadi

rancu di sini ketika PMA tersebut menetapkan sertifikat hipotek dan


487

credietverband mempunyai kekuatan eksekutorial. Sedangkan menurut

Pasal 224 HIR membatasi hanya grosse akta hipotek dan grosse akta

pengakuan hutang yang mempunyai kekuatan eksekutorial.

Substansi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) PMA No.15 Tahun

1961 diikuti pula oleh UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

dimana dalam Pasal 14 ayat (5) menyatakan bahwa sertifikat hipotek

mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat dilaksanakan sebagai

putusan pengadilan. Melalui Surat Edaran Mendagri No.594.3/3102/Agr

tertanggal 9 September 1987 mengamanatkan perlu adanya titel

eksekutorial pada sertifikat hipotek dan credietverband agar mempunyai

kekuatan eksekutorial (butir 1 huruf c). Apa yang di cantumkan pada butir

1 huruf c ternyata tidak didukung oleh isi dari butir 2 yang menyatakan

bahwa titel eksekutorial tidak perlu lagi dicantumkan baik pada akta

maupun sertifikat hipotek dan credietverband karena atas kuasa undang-

undang (vide UU Rusun) telah diberi kekuatan eksekutorial tanpa harus

mencantumkan titel eksekutorial.

Pendapat pemerintah yang tertuang dalam SE Mendagri tersebut

dianulir dengan keluarnya Surat Edaran Kepala BPN No.594.3/239/KBPN

tanggal 29 Desember 1988 yang menyatakan sebagai berikut :

Sungguhpun dalam Pasal 14 (5) UU No.16 /1985 telah ditetapkan bahwa

Sertifikat Hipotek mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat

dilaksanakan sebagai putusan pengadilan, namun demikian untuk lebih

mempermudah dalam pelaksanaan eksekusinya, perlu kiranya pada


488

Sertifikat Hipotek maupun Credietverband tetap dicantumkan titel

eksekutorial yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 (1) UU No.14/1970

tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman”.

Surat Edaran yang dikeluarkan Kepala BPN tersebut menurut

Assegaf dan Tanzah ( 2010:48), masih terdapat dua kekeliruan. Pertama,

dikatakan bahwa pencantuman titel eksekutorial adalah untuk lebih

mempermudah dalam pelaksanaan eksekusi padahal pencantuman titel

eksekutorial merupakan syarat mutlak (utama) bagi suatu dokumen agar

dapat dieksekusi secara paksa atas perintah pengadilan. Kedua, titel

eksekutorial oleh SE Kepala BPN ditempatkan pada sertifikat hipotek dan

credietverband, padahal dalam PMA No.15/1961 dan UU No.16/1985

tidak ada ketentuan yang mengharuskan titel eksekutorial dicantumkan

pada sertifikat hipotek atau sertifikat credietverband. Seharusnya titel

eksekutorial ditempatkan pada grosse akta hipotek dan credietverband

bukan pada sertifikatnya.

Pada tanggal 2 Mei 1989 Kepala BPN menerbitkan lagi Surat

Edaran bernomor 620.1-1555 guna mempertegas kembali pendiriannya

terkait pencantuman titel ekesekutorial pada sertifikat hipotek dan

credietverband bukan pada akta hipotek dan credietverband. Butir 1 dari

SE ini menyatakan tidak perlu mencantumkan titel eksekutorial pada

blangko akta hipotek dan credietverband yang baru. Selanjutnya SE ini

mencabut berlakunya blangko akta hipotek dan credietverband cetakan


489

lama yang mencantumkan titel eksekutorial (Butir 2). Blangko cetakan

lama diganti dengan cetakan baru yang tidak mencantumkan titel

eksekutorial pada blangko akta hipotek dan credietverband (Butir 3).

Seandainya blangko cetakan lama masih ingin dipergunakan, maka

diperintahkan kepada PPAT untuk mencoret titel eksekutorial dan

dibubuhi paraf oleh PPAT (Butir 4).

Mencermati isi dari Surat Edaran Kepala BPN tersebut, maka apa

yang tertuang dalam Butir 4 jelas sangat bertentangan dengan undang-

undang. Adapun yang menjadi dasar pemikiran bahwa ketika

pencantuman titel eksekutorial pada akta hipotek dan credietverband

berdasarkan perintah undang-undang, maka pada prinsipnya pula

perintah untuk mencoret titel eksekutorial pada akta hipotek dan

credietverband harus berdasarkan perintah undang-undang, bukan hanya

berdasarkan surat edaran Menteri yang tingkatannya jauh berada di

bawah undang-undang.

Kedudukan Surat Edaran dalam sistem hukum Indonesia mengacu

pada tata urutan peraturan perundang-undangan dalam berbagai undang-

undang pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk yang

terakhir yang diberlakukan pemerintah saat ini yakni Undang-Undang

No.12 Tahun 2011, tidak sekalipun Surat Edaran dikategorikan sebagai

peraturan perundang-undangan.

Dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas cetakan Edisi I

Januari 2004 dan Permen No. 22 tahun 2008 yang diterbitkan oleh
490

KemenPan, Pengertian Surat Edaran adalah Naskah Dinas yang memuat

pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan

mendesak. Selanjutnya di Permendagri No. 55 tahun 2010 Pasal 1 Butir

43 dijelaskan Surat Edaran adalah naskah dinas yang

berisi pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan

hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.

Mengingat isi Surat Edaran hanya berupa pemberitahun, maka

dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum

sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan. Oleh

karena itu Surat Edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk

menganulir suatu peraturan perundang-undangan tetapi semata-mata

hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan.

Surat Edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena surat

edaran memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus

dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat Edaran bersifat

pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.

Surat Edaran merupakan suatu peraturan kebijakan yang

diterbitkan semata-mata berdasarkan kewenangan bebas namun perlu

perhatikan beberapa faktor sebagai dasar pertimbangan penerbitannya

yaitu :

a. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak.

b. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan.

c. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.


491

d. Dapat dipertanggungjawabkan secara moril dengan perinsip-prinsip

pemerintahan yang baik.

Kembali pada permasalahan Surat Edaran Kepala BPN dikaitkan

dengan beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam mengeluarkan

suatu kebijakan berdasarkan kewenangan bebas atau apa yang dikenal

sebagai diskresi, maka isi Surat Edaran yang memerintahkan para notaris

untuk mencoret titel eksekutorial yang tercantum pada balngko akta

hipotek dan credietverband yang lama tidak dapat dibenarkan karena

bertentangan dengan undang-undang dalam hal ini Pasal 224 HIR.

Di lingkungan lembaga peradilan ternyata pula tidak mempunyai

satu pemahaman terkait dengan pencantuman titel eksekutorial apakah

pada sertifikat hipotek ataukah pada akta hipotek guna keabsahan

pelaksanaan eksekusi. Pengadilan Tinggi Bandung pernah menerbitkan

Surat Edaran No. 1 Tahun 1980 tanggal 3 Januari 1980 yang menyatakan

bahwa ekesekusi berdasarkan Pasal 224 HIR atas dasar sertifikat hipotek

yang pada akta hipoteknya tidak mempunyai irah-irah, tidak boleh

dikabulkan. Melalui Surat Edaran ini pula menyatakan tidak sah ketentuan

dalam PMA No.15/1961 karena kedudukannya lebih rendah dari undang-

undang dalam hal ini Pasal 224 HIR.

Dalam Surat Mahkamah Agung No.217/89 tanggal 3 Mei 1989

berpendirian tidak setegas apa yang dinyatakan dalam Surat Edaran PT

Bandung. Mahkamah Agung tidak mempersoalkan dimana seharusnya

titel eksekutorial itu ditempatkan, bisa pada sertifikat hipotek dan bisa pula
492

pada akta hipotek. Demikian pula dalam suratnya tersebut, Mahkamah

Agung tidak membenarkan jika titel eksekutorial sama sekali tidak

dicantumkan baik pada akta hipotek maupun pada sertifikat hipotek.

Pendirian Mahkamah Agung yang tadinya tidak mempersoalkan

tempat pencantuman titel eksekutorial mengalami perubahan dengan

adanya Putusan MA No.1896.K/Pdt/1991, yang dengan secara tegas

menyatakan bahwa eksekusi hanya dapat dilaksanakan jika titel

eksekutorial tercantum pada akta hipotek. Putusan ini menguatkan

putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang menolak pelaksanaan

eksekusi jika tidak terdapat titel eksekutorial pada akta hipotek,

sebagaimana tertuang dalam Putusan PT Semarang

No.534/Pdt/1990/PT.Smg tanggal 30 November 1990.

Sikap lembaga peradilan seperti tergambar di atas tentunya tidak

akan memberikan kepastian hukum bagi kreditor dalam mendapatkan

haknya ketika debitor melakukan wanprestasi atau tidak memenuhi

kewajibannya. Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi jika para pengambil

keputusan (hakim) yang menangani perkara eksekusi hipotek mempunyai

satu persepsi atau pemahaman yang sama bahwa titel eksekutorial itu

berdasarkan Pasal 224 HIR harus termuat dalam akta hipotek bukan pada

sertifikat hipotek.

Persoalan titel eksekutorial yang paling krusial nampak dalam

pelaksanaan eksekusi benda jaminan. Seharusnya sebagai titel

eksekutorial yang bertuliskan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan


493

Yang Maha Esa” pada grosse akta hipotek, jelas dipersamakan sebagai

suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga

tidak diperlukan lagi peran pengadilan yang berlebihan tetapi hanya

sebatas memberikan penetapan atau persetujuan pelaksanaan eksekusi.

Keterlibatan pengadilan yang berlebihan dengan cara memeriksa atau

menguji kembali dokumen-dokumen terkait dengan perjanjian dan

pembebanan hipotek telah menghilangkan hakikat dari titel eksekutorial.

Terkait dengan manfaat grosse akta mengacu pada pendapat

Pompe (2005: 24) bahwa instrumen grosse akta ini memang pada

akhirnya dimanfaatkan sebagai sarana untuk membatasi atau

menghindari peran pengadilan dalam permasalahan‐ permasalahan

menyangkut investasi, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan dengan

segera. Dengan manfaat yang demikian maka grosse akta hipotek akan

dapat mendorong kemajuan investasi di bidang perbankan maupun di

bidang pelayaran karena memberi kepastian hukum kepada kreditor

dalam memenuhi hak hipoteknya dan debitor juga tidak akan mengalami

kesulitan dalam mendapatkan kredit dengan ikatan hipotek kapal.

Adanya kepastian hukum menjadi faktor penting dalam

pelaksanaan jaminan hipotek kapal. Konsep kepastian hukum sejak lama

telah diakui sebagai salah satu prinsip umum hukum Uni Eropa yang

dipraktikkan oleh pengadilan Eropa sejak tahun 1960-an (Damian,

2006:454). Lebih lanjut menurut Kaczorowsky (2008:232), kepastian

hukum sebagai prinsip umum dalam hukum Uni Eropa itu berarti bahwa
494

hukum harus tertentu dalam hal ini jelas dan tepat dengan implikasi

hukum yang akan datang terutama bila diterapkan untuk kewajiban

keuangan. Penerapan undang-undang yang akan memiliki akibat hukum

di negara-negara yang melaksanakan hukum Uni Eropa harus secara

tertulis dan tepat sehingga jelas dimengerti oleh mereka yang tunduk pada

hukum. Oleh karena itu mengacu pada praktik di Uni Eropa, dalam

mewujudkan kepastian hukum hipotek kapal sangat terkait dengan

kejelasan dan ketepatan suatu aturan yang dibuat.

Dalam rangka menjamin kepastian hukum bagi pihak kreditor

termasuk juga pihak debitor, maka persoalan yang ada terkait dengan titel

eksekutorial harus disikapi dengan menelusuri sumber persoalannya

sehingga didapati solusi untuk mengatasinya. Sebagaimana telah

disinggung sebelumnya, terungkap dalam penelitian ini bahwa kedudukan

titel eksekutorial dalam grosse akta hipotek, telah dilemahkan oleh

kekuasaan yang dimiliki oleh pengadilan. Mahkamah Agung dalam

putusannya No.1520/K/Pdt/1984 tanggal 31 Mei 1986 menyatakan,

pelaksanaan eksekusi hanya dapat dilaksanakan atas persetujuan

pengadilan berdasarkan Pasal 224 HIR. Putusan ini tentu sangat

bertentangan dengan makna dibalik pencantuman titel eksekutorial pada

grosse akta hipotek, jika masih memerlukan lagi persetujuan hakim.

Fakta seputar persoalan pelaksanaan eksekusi grosse akta hipotek

berdasarkan Pasal 224 HIR terjadi disebabkan oleh ketidak jelasan norma

hukum yang mengatur. Sehingga kalaupun ada pemahaman atau


495

persepsi yang kelihatan tidak mencerminkan kepastian hukum oleh hakim

tentu tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Namun demikian yang perlu

digaris bawahi janganlah alasan ketidak jelasan norma hukum dijadikan

tameng untuk membuat putusan yang mengorbankan rasa keadilan dan

kepastian hukum.

Dalam kenyataan, tidak ada peraturan hukum yang dibuat dengan

sempurna sehingga yang diperlukan saat ini adalah kearifan dalam

memahami dan memberlakukan peraturan hukum itu sesuai dengan

tujuannya. Kearifan pelaku hukum sesuai dengan pandangan Satjipto

Rahardjo bahwa dalam hukum progresif para pelaku hukum perlu

mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum.

Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di

Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang,

melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Proses pengadilan yang

disebut fair trial di negeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai

pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari

kebenaran (Rahardjo, 2007: 276). Hukum progresif merangkul, baik

peraturan maupun kenyataan/kebutuhan sosial sebagai dua hal yang

harus dipertimbangkan dalam tiap keputusan.

Ajaran hukum progresif dihubungkan dengan penegakan hukum

dibidang hukum jaminan hipotek sangat relevan untuk diterapkan oleh

para pelaku hukum (hakim) dalam rangka terwujudnya kepastian hukum.

Tetapi perlu diingat pula bahwa para pelaku hukum tidak boleh berlaku
496

sesukanya dalam melakukan pemaknaan terhadap suatu peraturan

hukum, jika kelak hanya melahirkan putusan yang tidak berdimensikan

legal justice, moral justice dan social justice.

Pemikiran perlunya pembaruan hukum dibidang hukum jaminan

hipotek menjadi satu hal yang mendesak untuk mendapat perhatian dari

pemerintah. Peraturan hukum hipotek yang tidak dapat mengikuti

perkembangan kebutuhan akan keadilan substansif, ditambah perilaku

pelaku hukum yang cenderung tidak pro aktif dalam mencari kebenaran

dan keadilan, akan menghambat pembangunan hukum guna mendorong

pembangunan di bidang ekonomi. Dalam situasi seperti ini, akan sulit

mengharapkan hukum untuk dapat menjadi sarana penunjang

perkembangan masyarakat dan pembangunan.

Mengacu pada pendapat Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum

itu harus dipandang dalam satu kesatuan yang utuh. Hukum jangan hanya

dipandang sebagai suatu perangkat kaidah atau asas-asas yang

mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula

mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan

untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan. Jadi menurut penulis agar

supaya peraturan hukum hipotek kapal dapat mencapai tujuannya,

hendaknya ketiga aspek tersebut harus mendapat perhatian yang sama

dalam pembenahannya. Tidak hanya sampai di situ saja tetapi dibutuhkan

pula harmonisasi dalam pelaksanaannya. Artinya jika peraturan hukum

hipotek kapal sudah baik tapi tidak didukung oleh penegak atau pelaksana
497

hukum dalam menerapkan hukum itu dengan baik, maka pasti peraturan

hukum itu tidak akan mencapai tujuannya.

Jika hukum hipotek kapal yang dimaksud telah tertata dan berjalan

dengan baik, sudah pasti akan memberi pengaruh yang positif pada sikap

manusia terhadap hukum yang nantinya menjadi sebagai suatu budaya

hukum. Budaya hukum merupakan salah satu elemen penting dalam

sistem hukum hipotek kapal. Menurut Friedman budaya hukum

merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan

bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Budaya

hukum diposisikannya sebagai bagian dari tiga elemen penting dari sistem

hukum di samping struktur hukum (legal structure) dan substansi hukum

(legal substance).

Dalam rangka mewujudkan peraturan hukum hipotek kapal yang

ideal maka perlu dipenuhinya komponen-komponen struktur hukum

(institusi penegak hukum), substansi hukum (peraturan perundang-

undangan) dan budaya hukum. Ketiga komponen ini mempunyai peran

masing-masing yang bekerja dalam satu sistem yaitu substansi hukum

merupakan masukan, prosesnya adalah struktur hukum, sedangkan

keluarannya adalah budaya hukum. Mengacu pada teori Friedman ini

maka hukum hipotek kapal akan dapat berfungsi efektif jika komponen

substansi hukum dibuat dengan baik dan dalam penegakannya juga harus

benar-benar dapat memenuhi tujuan dari substansi hukum yang dibuat,


498

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan

dalam Bab IV, maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Eksistensi lembaga jaminan hipotek kapal dalam sistem hukum

jaminan di Indonesia belum dapat memberikan perlindungan dan

kepastian hukum kepada kreditor oleh karena pengaturan hukum

jaminan hipotek kapal belum secara komprehensif diatur dalam satu

perundang-undangan, demikian pula pengaturannya belum berada

dalam satu sistem hukum jaminan kebendaan yang utuh tetapi masih

secara parsial.

2. Hakikat hukum jaminan hipotek kapal sebagai asas-asas hukum

jaminan hipotek kapal yang melandasi norma hukum jaminan hipotek

kapal akan berfungsi dengan baik jika perumusan norma hukum

hipotek kapal dirumuskan secara jelas sehingga tidak membuka

peluang terjadinya multi tafsir oleh aparat penegak hukum.

3. Kedudukan grosse akta hipotek kapal dalam memberikan perlindungan

dan kepastian hukum pada kreditor melalui titel eksekutorial yang

termuat di dalamnya, belum terlaksana oleh karena pelaksanaan

eksekusi benda jaminan berdasarkan Pasal 224 HIR terlalu berbelit-

belit karena harus mengikuti prosedur acara sebagaimana pada


499

eksekusi perkara lainnya, padahal eksekusi benda jaminan konteksnya

berbeda.

B. Saran

1. Pengaturan hukum jaminan hipotek kapal seyogianya diatur secara

komprehensif dalam satu perundang-undangan (UU Hipotek),

demikian pula diperlukan pembenahan atau penataan kembali sistem

hukum jaminan yang berlaku di Indonesia untuk menempatkan

pengaturan hukum jaminan kebendaan di Indonesia dalam satu sistem

yang utuh sehingga terhindar dari adanya konflik kaidah hukum.

2. Norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan

hipotek kapal seyogianya dirumuskan secara jelas sehingga menutup

kemungkinan terjadinya ketidaksesuaian antara pengaturan hukum

yang ada dan implementasinya oleh aparat penegak hukum.

3. Dalam upaya memberikan kepastian hukum kepada kreditor dalam

pelaksanaan eksekusi benda jaminan, maka penerapan Pasal 224 HIR

sebaiknya tidak mengikuti prosedur eksekusi seperti pada perkara

lainnya dan oleh karenanya dalam Undang-Undang Hipotek perlu di

atur secara jelas dan tegas tentang mekanisme pelaksanaan eksekusi.


500

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. 1998. Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum. Yarsif


Watampone: Jakarta

___________ . 2002. Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan


Sosiologis. Gunung Agung: Jakarta
___________. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-
Undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal. Kencana
Prenada Media Group: Jakarta

Algra, N.E. dkk. 1983. Kamus Istilah Hukum Fockema Andereae Belanda-
Indonesia. Bina Cipta : Bandung

Apeldoorn, L.J. van. 2009. Pengantar Ilmu Hukum. Pradnya Paramita:


Jakarta

Assegaf, Ahmad Fikri dan Elijana Tanzah. 2010. Penjelasan Hukum


Tentang Grosse Akte, Nasional Legal Reform Perogram : Jakarta

Badrulzaman, Mariam Darus. 1986. Bab-Bab Tentang Hypotheek. Alumni:


Bandung

______________________. 1992. Perjanjian Kredit Bank. Citra Aditya


Bhakti : Bandung

______________________. 2011. K.U.H.Perdata Buku III Hukum


Perikatan Dengan Penjelasan. Alumni: Bandung

Bahsan, M. 2002. Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Rejeki


Agung: Jakarta

Balkenhol,B and H.Schutte. 2001. Social finance Programme, Working


paper No.26, Collateral, Collateral Law, and Collateral Subtitutes
2nd Edition, Employment Sector International Labour Office Geneva

Bowtle, G and K. McGuinness. 2001. The law of ship mortgages, LLP

Bruggink, J.J. 2011. Rechtsreflecties, Terjemahan Arif Sidharta. Citra


Aditya Bhakti : Bandung

Chalik, H.A. Marhainis Abdul Hay. 1982. Beberapa Segi Hukum di Bidang
Perkreditan, Badan Penerbit Unit Penerbitan Yayasan Pembinaan
Keluarga UPN Veteran : Jakarta
501

Chalmers, Damian, 2006. European Union Law, Text and Materials.


Cambridge University Press.

Coyle, Brian. 2000. Framework for Credit Risk Management. Chartered


Institute of Bankers (CIB) Publishing

Djuhaendah Hasan. 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan


Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan
Asas Pemisahan Horisontal. Citra Aditya : Bandung

Djumhana, Muhammad. 2000. Hukum Perbankan di Indonesia. Citra


Aditya Bhakti : Bandung

Erwin, Muhamad. 2012. Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum.


Rajawali Pers : Jakarta

Friedman, Lawrence. 1975. The Legal System, A Social Science


Perspective. Russell Sage Foundation: New York

Fuady, Munir. 1996. Hukum Perkreditan Kontemporer. Citra Aditya Bhakti:


Bandung

Goesniadhie, Kusnu. 2006. Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif


Perundang-undangan (Lex Spesialis Suatu Masalah). JP Books:
Surabaya

Harsono, Boedi. 1971 Undang-Undang Pokok Agraria, Bagian Pertama,


Jilid Kedua. Djambatan: Jakarta

Hartono, Sunaryati. 1982. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia.


Binacipta : Bandung

Harahap, M. Yahya. 1989. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi


Bidang Perdata, Cet. Kedua. Gramedia: Jakarta

________________. 2009. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi


Bidang Perdata. Edisi Kedua. Sinar Grafika: Jakarta

Harun, Badriyah. 2010. Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah.


Pustaka Yustisia: Yogyakarta

Hasbullah, Frieda Husni. 2002. Hukum Kebendaan Perdata : Hak-Hak


Yang Memberi Jaminan Jilid 2. Ind-Hill co : Jakarta

____________________. 2009. Hukum Kebendaan Perdata : Hak-Hak


Yang Memberi Jaminan Jilid 2. Cet. 3 Ind-Hill co: Jakarta
502

Hofman, L.C. 1986. Het Nederland Verbintenissenrecht, eerste gedeelte


Wolters-Noordhoff, NV Griningen

Huijbers, Theo. 1990. Filsafat Hukum. Kanisius : Yogyakarta

Idham, Anis. 1995. Pranata Jaminan Kebendaan Hipotik Kapal Laut dan
Masalah Eksekusi Hipotik Kapal Laut Ditinjau dari Hukum Maritim.
Alumni : Bandung

Imam, Nasima. 2010. Titel Eksekutorial Grosse Akte : Ketika Nama


Tuhan Tidak Lagi bermakna. hukumonline.com : Jakarta

Imaniyati, Neni Sri. 2010. Pengantar Hukum Perbankan Indonesia. PT


Refika Aditama : Bandung

Isnaeni, Moch. 1996. Hipotek Pesawat Udara di Indonesia. Dharma Muda:


Surabaya

_______________. 1995. Hukum Jaminan Sebagai Sarana Pendukung


Ekonomi, Hukum Ekonomi

Kaczorowsky, Alina. 2008. European Union Law, Taylor & Francis

Kunradus Aliandu dan Tri Listyarini. 30/01/2009. Potensi Ekonomi


Kelautan US$ 100 Miliar, Benahi Strategi Kelautan. Investor Daily :
Jakarta

Kusumaatmadja, Mochtar. 1978. Fungsi dan Perkembangan Hukum


Dalam Pembangunan Nasional. Lembaga Penelitian Hukum dan
Kriminologi Fakultas Hukum Unpad : Bandung

_____________________. 1976. Hukum Masyarakat dan Pembinaan


Hukum Nasional : Suatu Uraian tentang Landasan pikiran, Pola dan
Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia. Binacipta: Bandung

Manan, Abdul. 2005. Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Kencana Prenada


Media: Jakarta

Marzuki, Peter Mahmud. 2009. Penelitian Hukum. Prenada Media Group:


Jakarta

Metrokusumo, Sudikno. 1986. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Liberty


Cet. I: Yogyakarta

Miru, Ahmadi. Sakka Pati. 2011. Hukum Perikatan Penjelasan Makna


Pasal 1233 sampai 1456 BW. Rajawali Pers: Jakarta
503

Muhammad, Abdulkadir. 2010. Hukum Perusahaan Indonesia. Citra


Aditya Bakti : Bandung

___________________. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Citra Aditya


Bakti: Bandung

Muljono, Eugenia Liliawati. 1996. Ekseusi Grosse Akta Hipotik Oleh Bank.
Rineka Cipta; Jakarta.

Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Mandar


Maju : Bandung

Naja, H.R. Daeng. 2005. Hukum Kredit dan Bank Garansi. Citra Aditya
Bakti: Bandung

Neirop, A.S. v. 1937. Hipotikrecht. Tjeenk Willink: Zwolle

Oktoberina, Sri Rahayu dan Niken Savitri. 2008. Butir-butir Pemikiran


dalam Hukum. Refika Aditama : Bandung

Patrik, Purwahid dan Kushadi. 1985. Hukum Jaminan Edisi Revisi. Pusat
Studi Hukum Perdata Fakultas Hukum Undip: Semarang

Pitlo, A. 1949. Het Zakenrecht Naar Het Nederlands Burgerlijk Wetboek.


Tjeenk Willink & Zoon : Harleem

Pompe, Sebastian. 2005. The Indonesian Supreme Court: A Study of


Institutional Collapse, Ithaca, N.Y.: Cornell University, Southeast
Asia Program
Raharjo, Handri. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia. Pustaka Yustisia:
Yogyakarta

Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis.


Genta Publishing : Yogyakarta

_______________. 2007. Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis tentang


Pergulatan Manusia dan Hukum). Penerbit Buku Kompas: Jakarta

_______________. 2006. Membedah Hukum Progresif. Penerbit Buku


Kompas: Jakarta

_______________. 2000. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti: Bandung

Rahman, Hasanuddin. 1995. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit


Perbankan di Indonesia, Panduan Dasar Legal Officer. Citra Aditya
Bakti: Bandung
504

Ready, N.P. 1998. Ship Registration, 3rd Edition, LLP.

Rohwer, C.D. and A. M. Skrocki. 2006. Contracts, Thomson West

Rompegading, A. Melantik. 2007. Telaah Kritis Perlindungan Hukum Hak


Tanggungan Dalam Kepailitan Debitur. Total Media : Yogyakarta

Salim, H. HS. 2011. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia.


RajaGrafindo Persada : Jakarta

Saliman, Abdul R. 2010. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan


Contoh Kasus. Kencana Prenada Media Group : Jakarta

__________. 2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar


Grafika : Jakarta

Satrio, J. 1991. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan. Citra


Aditya Bakti : Bandung

Sembiring, Sentosa. 2008. Hukum Perbankan. Mandar Maju : Bandung

Siamat, Dahlan. 1995. Manajemen Lembaga Keuangan. Intermedia:


Jakarta

Sianturi, Purnama Tioria. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli


Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui Lelang. Mandar Maju:
Bandung

Sinta, Dewi. 2009. Kapita Selekta Tinjauan Kritis Atas Situasi dan Kondisi
Hukum Di Indonesia, Seiring Perkembangan Masyarakat Nasional
dan Internasional. Widya Padjadjaran : Bandung

Sinungan, Muchdarsyah. 1992. Manajemen Dana Bank. Bumi Aksara:


Jakarta

Soekanto, Soerjono. 2010. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan


Singkat. Rajawali Pers: Jakarta

Soeriaatmadja, Arifin P. 1993. Laporan Penelitian Aspek-Aspek Hukum


Dalam Penyelesaian Piutang-Piutang Negara. BPHN : Jakarta

___________________. 2001. Laporan Akhir Penelitian Hukum Tentang


Aspek Hukum Penyelesaian Piutang Kredit. Departemen
Kehakiman dan HAM BPHN: Jakarta

Soeroso, R. 2010. Hukum Acara Perdata, Lengkap & Praktis HIR, RBg,
dan Yurisprudensi. Sinar Grafika : Jakarta
505

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. 1980. Hukum Jaminan di Indonesia :


Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Liberty:
Yogyakarta

__________________________. 1981. Pengturan Hukum Tentang


Hipotek, Credietverband dan fidusia. Dalam Badan Pembinaan
Hukum Nasional. Seminar Hukum Jaminan. Binacipta : Bandung

__________________________. 1982. Himpunan Karya Tentang Hukum


Jaminan. Liberty : Yogyakarta

__________________________. 1975. Hukum Perdata : Hukum Benda.


Liberty: Yogyakarta

Subekti, R. 1979. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa : Jakarta

___________. 1981. Suatu Tinjauan Tentang Sistem Hukum Jaminan


Nasional. Dalam Seminar Hukum Jaminan. Binacipta : Bandung

___________. 1986. Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut


Hukum Indonesia. Alumni : Bandung

___________. 1978. Perkembangan Lembaga-Lembaga Jaminan di


Indonesia Dewasa Ini. Dalam BPHN. Binacipta : Bandung

Supramono, Gatot. 1995. Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan


Yuridis. Djambatan: Jakarta

Sutarno. 2003. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. Alfabeta:


Bandung

Sutiyoso, Bambang. 2010. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di


Indonesia. UII Press : Yogyakarta

Syahdaeni, Sutan Remy. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya


dalamTata Hukum Perbankan Indonesia. Pustaka Utama Grafiti:
Jakarta

____________________. 1995. Credit Management. BUPLM: Jakarta

____________________. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan


Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di
Indonesia. Institut Bankir Indonesia: Jakarta

Tanya, Bernard L. dkk. 2010. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi. Genta Publishing : Yogyakarta
506

Thain, Gerald G. 1998. A Basic Outline of The Law of Secured


Transaction. Artikel Dalam : Seri dasar Hukum Ekonomi 4- Hukum
Jaminan Indonesia. Proyek Elips : Jakarta

Treitel, G. 2003. The Law of Contract LLP

Untung, H. Budi. 2000. Kredit Perbankan di Indonesia. Andi Offset:


Yogyakarta

Usman, Rachmadi. 2009. Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika:


Jakarta

_______________. 2001. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia.


Gramedia Pustaka Utama: Jakarta

Vollmar, H.F.A. 1980. Hukum Benda. Disadur oleh Chidir Ali. Tarsito:
Bandung

Waluyo, Bambang. 1991. Penelitan Hukum Dalam Praktek. Sinar Grafika:


Jakarta

Disertasi, Thesis, Jurnal dan Makalah :

Gauci, G.M. 2010. The Rights of a Ship’s mortgagee in English Law, the
Course material provided at lectures, Lund University
Gautama, Sudargo, Indonesia dan Konvensi-Konvensi Internasional
Mengenai Hipotek atas Kapal Laut dan Kapal Terbang,
Prasaran/Makalah untuk Seminar Hukum BPHN di Jogyakarta, Juli
1977

Ginting, Ramlan. Tinjauan Terhadap Rancangan Undang-Undang Hipotik


Kapal. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 6
No.2 Agustus 2008

Maher, Robyn. 2007. Ship Mortgages In New Zealand The conflict


between the Personal Property Securities Act 1999 and the Ship
Registration Act 1992, Dissertation for the degree of Bachelor of
Laws (Honours), Faculty of Law, University of Otago, Dunedin
Maxeiner, James R. 2008. Some Realism About Legal Certainty in
Globalization of the Rule of Law . Houston Journal of International
law
Sjahdeini, Sutan Remy. Masalah Jaminan Dalam Pemberian Kredit.
Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Penyajian Hasil
Penelitian Tentang Aspek-Aspek Hukum Masalah Jaminan Kredit
507

diselenggarakan oleh BPHN . Jakarta, tanggal 28-30 September


1999.

Veigule, Diana. 2011. The Mortgagee’s rights to enforce the Mortgage


execution, Thesis Master´s Programme in Maritime Law, FACULTY
OF LAW Lund University.

Peraturan Perundang-undangan :

- Undang-Undang No 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan


- Undang-Undang No. 8 Tahun 1998 Tentang Perbankan
- Undang-Undang No.17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria
- Undang-Undang No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
- UU RI No.17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005-2025
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
- Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang)
- HIR/R.Bg (Het Herziene Indonesische Reglement/ Rechtsreglement
voor de Buitengewesten)
- Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2002 Tentang Perkapalan
- Peraturan Presiden No.44 Tahun 2005 Tentang Pengesahan
International Convention on MaritimLiens and Mortgage 1993
(Konvensi Internasional Tentang Piutang Maritim dan Mortgage 1993)
- Instruksi Presiden No.5 Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri
Pelayaran Nasional

Media Internet :

- http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20929/prosedur-eksekusi-
hak-tanggungan-menyulitkan
- http://debtor-creditor.lawyers.com/creditors-rights/creditors-legal-
rights.html
508

- http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&tas
k=view&id=70038&Itemid=
- Peraturan Pendaftaran Kapal RRC
http://www.tradeinservices.mofcom.gov.cn/en/b/1994-06-
02/27054.shtml (diakses Senin 22 April 2013 Jam 15.36 Wita)
- Status Hukum Kapal (Pengukuran Pendaftaran dan Kebangsaan
Kapal, Roswyar, SH,MH
http://maritimeindonesia-mls.blogspot.com/2011/11/status-hukum

kapal.html, (diakses : Rabu 26 juni 2013 jam 13:15).

- http://nickreuh.blogspot.com/2009/04/hukum-jaminan-fiducia_06.html
(diakses sabtu 18 feb 2012 jam 14.50)

Anda mungkin juga menyukai