Anda di halaman 1dari 128

CONVATION RASIONNEE DALAM MENERIMA

PERMOHONAN JUSTICE COLLABORATOR


TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA
KORUPSI BERDASARKAN UNDANG
-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014
TENTANG PERLINDUNGAN
SAKSI DAN KORBAN
(Studi Kasus : Putusan Nomor 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst Dengan
Nama Terdakwa Damayanti)

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna melanjutkan
penyusunan skripsi pada Program Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Singaperbangsa Karawang

Oleh :

NAMA : RENO TABATIA SIDIK

NPM : 1510631010121

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
2019

1
CONVATION RASIONNEE DALAM MENERIMA
PERMOHONAN JUSTICE COLLABORATOR TERHADAP
KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
(Studi Kasus : Putusan Nomor :
32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst Dengan nama terdakwa
Damayanti)

RENO TABATIA SIDIK

ABSTRAK

Pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan


perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dari
Hukum Acara Pidana. Sebagaimana diketahui bahwa suatu keberhasilan
dari suatu proses peradilan pidana sangat bergantung dari pada alat bukti
yang berhasil dimunculkan dalam suatu proses persidangan terutama alat
bukti yang berkenaan dengan saksi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa terdakwa
Damayanti Wisnu Purtanti dikatakan sebagai justice collaborator dalam
Putusan Nomor 32/PID.SUS/TPK/2016/PN.JKT.PST dan pertimbangan
hakim dalam menetapkan Damayanti Wisnu Purtanti sebagai justice
collaborator.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif
yaitu dengan cara menelaah bahan pustaka (data sekunder) yang ada.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif
kualitatif yaitu dengan mengolah dan menafsirkan berdasarkan pada
Putusan maupun Perundang-undangan yang berkaitan dengan Penelitian.
Permohonan tentang Justice Collaborator didalam Undang-Undang
nomor 31 tahun 2014 tidak menjelaskan tentang bagaimana mekanisme
pengajuan Justice Collaborator, tetapi diatur didalam Surat Edaran
Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2011 pada pasal 9 huruf a. Ada
beberapa faktor yang menjadi ajuan sebagai Justice Collaborator,
pertama faktor terhadap hakim yaitu peran penting Justice collaborator
untuk mngungkap tindak pidana tertentu, yang kedua faktor terhadap
terdakwa, yaitu penghargaan dan perlindungan sebagai Justice
Collaborator. Untuk menetapkan terdakwa sebagai seorang Justice
Collaborator hakim wajib mengacu pada Surat Edaran Mahkamah
Agung nomor 4 tahun 2011 yang dijelaskan pada pasal 9 huruf a.
Kata Kunci : Pembuktian, justice collaborator, korupsi
1
CONVATION RASIONNEE IN ACCEPTING JUSTICE
COLLABORATORS REQUEST FOR CORRUPTION
CASES BASED ON LAW NUMBER 31 OF
2014 CONCERNING PROTECTION
OF WITNESS AND VICTIMS

(Case Study: Number decision : 32 / Pid. /TPK/2016/PN.Jkt.Pst)


with the name of the defendant Damayanti

RENO TABATIA SIDIK

ABSTRACT

Proof of whether or not a defendant commits an indictment is the most


important part of the Criminal Procedure Code. As is known that a success of a
criminal justice process is very dependent on evidence that was successfully
raised in a trial process, especially evidence relating to witnesses.

This study aims to find out why the defendant Damayanti Wisnu Purtanti is
said to be a justice collaborator in Decision Number 32 / PID.SUS / TPK / 2016 /
PN.JKT.PST and consideration of the judge in determining Damayanti Wisnu
Purtanti as a justice collaborator.

This study uses a juridical normative approach, namely by reviewing library


materials (secondary data) that exist. The analytical method used in this study is
normative qualitative, namely by processing and interpreting based on decisions
and legislation relating to research. The application for Justice Collaborator in
Law Number 31 of 2014 does not explain how the mechanism for filing Justice
Collaborator, but is regulated in the Circular Letter of the Supreme Court number
4 of 2011 in article 9 letter a. There are several factors that become proposals as
Justice Collaborator, the first factor is the judge, namely the important role of
Justice Collaborator to uncover certain criminal acts, the second factor is the
defendant, namely appreciation and protection as Justice Collaborator. To
determine the defendant as a Justice Collaborator the judge must refer to the
Circular Letter of the Supreme Court number 4 of 2011 described in article 9
letter a

Keywords : Proof, justice collaborator, corrup

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dansyukur Kami panjatkan kehadirat Allah

SWT, berkat rahmat dan nikmat dari-Nya sehingga Penulis dapat

menyelesaikan Skripsi sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan

Program Strata 1 (S1) dengan judul “ CONVATION RASIONEE

DALAM MENERIMA PERMOHONAN JUSTICE

COLLABORATOR TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA

KORUPSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31

TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN

KORBAN (Studi Kasus : Putusan Nomor :

32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst dengan nama terdakwa damayanti)

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad

SAW, yang telah menjadi suri tauladan bagi penegakan hukum dalam

rangka mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan dan membawa

kemanfaatan bagi semua umat manusia di dunia (rahmatan lil’alamin).

Skripsi ini mengangkat permasalahan mengenai pertimbangan

hakim dalam menerima permohonan justice collaborator terhadap kasus

tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang nomor 31 tahun

2014 tentang perlindungan saksi dan korban (Studi Kasus : Putusan

Nomor : 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst dengan nama terdakwa

damayanti) Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan

setinggitingginya kepada :

1
1. Prof. Dr. H. Wahyudin Zarkasyih, CPA sebagai Rektor Universitas

Singaperbangsa Karawang;

2. M Hollyone Singadimedja, SH, MH selaku Pelaksana Tugas Dekan

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang sekaligus

selaku Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini;

3. H. Deni Nuryadi, SH, MH selaku Koordinator Program Studi Ilmu

Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang;

4. Margo Hadi Pura, SH, MH selaku Dosen Pendamping Mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang sekaligus

selaku Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini;

5. Dr. Abdul Atsar, SH, MH selaku Koordinator Program Studi Strata 2

Ilmu Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang sekaligus selaku

Wali Dosen Penulis;

6. Kedua orang tua yang telah memberikan dorongan, doa restu serta

kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Taufiq dan

HidayahNya serta berkenan membalas kebaikan yang telah diberikan

dengan balasan yang setimpal. Penulis menyadari dalam penulisan

skripsi ini masih banyak kekurangan, karenanya penulis sangat

mengharapkan saran maupun kritik yang membangun demi

kesempurnaan skripsi ini. Tidak lupa penulis mohon maaf apabila

terdapat kesalahan dalam penulisan kata atau kalimat. Semoga skripsi ini

bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

1
Karawang, 12 Juni 2019

Penulis,

RENO TABATIA SIDIK


NPM. 150631010121

1
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul .......……………………………… i


Motto ...………………………………… ii
Halaman Pengesahan Ujian …………………………………... iii
Abstrak …………………………………... iv
Kata Pengantar ..................................................... vi
Daftar Isi ..................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................... 3
C. Tujuan Penelitian ....................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ………........................................... 4
E. Kerangka Pemikiran ….….…......................................... 5
F. Metode Penelitian ....................................................... 13
1. Pendekatan Penelitian …………………………... 13
2. Spesifikasi Penelitian …………………………………... 13
3. Jenis dan Sumber Data …………………………... 18
4. Teknik Pengumpulan Data ………………………….. 14
5. Teknik Analisis Data ………………………………….. 14
6. Lokasi Penelitian ………………………………….. 15

BAB II TINJAUAN TEORITIS DAN YURIDIS


A. Pengertian tindak pidana ………………………...... 16
B. Pembuktian ………………………….. 16
1. Pengertian Pembuktian …………………….......... 21
2. Macam-macam Pembuktian ………………………….. 21
C. Justice Collaborator ………………………….. 38
1. Pengertian Justice Collaborator .................................... 38
2. Justice Collaborator sebagai Alat Bukti …...................
3. Justice Collaborator berdasarkan Undang-Undang nomor
31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban ......
4. Mekanisme permohonan penetapan Justice Collaborator
D. Convention Rasionee ......................................................

BAB III PERMOHONAN PENETAPAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM


UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
A. Mekanisme permohonan penetapan Justice Collaborator........ 58
B. Pertimbangan hakim dalam menetapkan permohonan
Justice Collaborator ................................................................ 60

BAB IV PEMBAHASAN
A. Permohonan penetapan Justice Collaborator dalam Undang-Undang
nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban..63
B. Pertimbangan apa saja yang menjadi ajuan permohonan penetapan
Justice Collaborator dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi

1
atas perkara penyuapan di Kementrian Pekerjaan Umum Dan
Perumahan Rakyat (PUPR) Tahun Anggaran 2016 dengan nama
terdakwa Damayanti …..................................................... 79
C. Convation Rasionee dalam menerima permohonan penetapan Justice
Collaborator terhadap kasus tindak pidana korupsi atas perkara
penyuapan di Kementrian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat
(PUPR) Nomor Perkara : 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst Tahun
Anggaran 2016 dengan nama terakwa Damayanti………...... 85

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………… 102
B. Saran …………………………………………… 103

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………… 105

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan

perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dari

Hukum Acara Pidana. Sebagaimana diketahui bahwa suatu keberhasilan

dari suatu proses peradilan pidana sangat bergantung dari pada alat bukti

yang berhasil dimunculkan dalam suatu proses persidangan terutama alat

bukti yang berkenaan dengan saksi. Saksi merupakan alat bukti atau

unsur yang paling penting dari sebuah proses pembuktian dalam proses

persidangan suatu perkara. Saksi merupakan kunci utama dalam

membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan karena dapat

dikatakan bahwa keterangan dari saksi merupakan alat bukti yang utama

dari suatu perkara pidana sebab tidak ada perkara pidana yang luput dari

pembuktian dari keterangan saksi.

Hampir semua sumber pembuktian perkara pidana selalu bersumber

dari keterangan saksi walaupun selain dari keterangan saksi masih ada

alat bukti yang lain namun, pembuktian dengan menggunakan

keterangan saksi masih sangat diperlukan. Hal ini dapat dilihat dari Pasal

184-185 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

menerapkan keterangan saksi pada urutan pertama hal ini juga

dikarenakan keterangan saksi merupakan alat bukti yang

pertama kalinya diperiksa dalam tahap pembuktian didalam persidangan.

1
Saksi dalam hukum pidana dapat saja ada semenjak mulainya suatu

tindak pidana dimana tindak pidana ini mengakibatkan masyarakat

merasa tidak aman dan tidak tertib serta merasa terganggu

ketentramannya. Masyarakat menghendaki agar si pelaku dari suatu

tindak pidana itu dihukum menurut hukum yang sedang berlaku. Saksi

diperlukan guna mencari suatu titik terang atas telah terjadinya suatu

tindak pidana.1

Dalam hal ini seorang pelaku tindak pidana/terdakwa dapat menjadi

seorang saksi didalam sebuah kasus pidana, antara lain yaitu tindak

pidana korupsi, tindak pidana terorisme, tindak pidana nerkotika, tindak

pidana pencucian uang dan tindak pidana lain yang bersifat

terorganisir. Seorang pelaku tindak pidana/Terdakwa dapat mengajukan

menjadi saksi dengan cara mengajukan permohonan menjadi seorang

Justice Collaborator.

Seorang pelaku tindak pidana yang menjadi Justice Collaborator

akan mendapatkan penanganan secara khusus dalam hal perlindungan

fisik dan psikis, Perlindungan hukum, penanganan khusus, dan sebuah

penghargaan yaitu berupa keringanan tuntutan hukuman, termasuk

menuntut hukuman percobaan, pemberian remisi tambahan dan hak-

hak narapidana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

1
Margo Hadi Pura,“Criminal Restorative Justice”, Proposal Disertasi, hlm.48

10
mengatur seorang narapidana. Berdasarkan latar belakang yang telah di

uraikan di atas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan

menuangkannya dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul

“Convation Rasionnee Dalam Menerima Permohonan Justice

Collaborator Terhadap Kasus Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan

Saksi Dan Korban (Studi Kasus : Putusan Nomor :

32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst dengan nama terdakwa damayanti)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana permohonan penetapan Justice Collaborator dalam

undang-undang nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban ?

2. Pertimbangan apa saja yang menjadi ajuan permohonan penetapan

Justice Collaborator dalam mengungkap kasus tindak pidana

korupsi putusan nomor : 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst dengan

nama terdakwa Damayanti ?

3. Bagaimana Convention Rasionnee dalam hal menerima permohonan

penetapan Justice Collaborator terhadap kasus tindak pidana

korupsi putusan nomor : 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst dengan

nama terdakwa Damayanti ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

11
1. Untuk mengetahui bagaimana permohonan penetapan Justice

Collaborator dalam undang-undang nomor 31 tahun 2014 tentang

perlindungan saksi dan korban.

2. Untuk mengetahui faktor apa yang menjadi ajuan permohonan

penetapan Justice Collaborator dalam kasus tindak pidana korupsi

putusan nomor : 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst dengan nama

terdakwa Damayanti ?

3. Untuk memahami dan menganalisis terhadap convation rasionnee

dalam menerima permohonan penetapan Justice Collaborator dalam

kasus tindak pidana korupsi putusan nomor :

32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst dengan nama terdakwa Damayanti

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan

ilmu pengetahuan lewat saran serta pemikiran penulis khususnya

pada bidang Ilmu Hukum pidana tentang bagaimana proses

mengajukan permohonan Justice Collaborator dan bagaimana

pertimbangan seorang hakim dalam menentukan diterima atau

tidaknya Justice Collaborator dalam perkara tindak pidana koprupsi.

Selain itu penelitian ini juga dapat menjadi referensi tambahan bagi

kepentingan yang bersifat akademis maupun tambahan bagi

12
wawasan untuk kebutuhan kepustakaan khususnya yang berkaitan

Justice Collaborator dalam perkara tindak pidana korupsi.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi

penegak dan pembentuk aturan hukum untuk mengambil kebijakan

hukum dalam hal permohonan Justice Collaborator.

E. Kerangka Pemikiran

1. Sistem peradilan pidana (criminal justice system)

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan

suatu pendekatan yang diperkenalkan oleh pakar hukum di Amerika

Serikat sebagai reaksi atas ketidak puasan terhadap aparat dan

institusi penegak hukum. Frank Remington adalah orang pertama di

Amerika Serikat yang memperkenalkan rekayasa administrasi

peradilan pidana melalui pendekatan sistem (systemaproach) dan

gagasan mengenai sistem ini terdapat pada laporan pilot proyek pada

tahun 1958. Gagasan ini kemudian diletakkan pada mekanisme

peradilan administrasi peradilan pidana dan diberi nama criminal

justice system.2 Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice

System merupakan suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja

dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar

pendekatan sistem. Rusli Muhammad mengemukakan bahwa Sistem

Peradilan Pidana merupakan jaringan peradilan yang bekerjasama

2
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen & Pelaksanaannya
Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, 2009, hlm.33.

13
secara terpadu di antara bagian-bagiannya untuk mencapai tujuan

tertentu baik jangka pendek maupun jangka panjang.3

Bertalian dengan pendapat di atas, M. Faal mengemukakan

bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem berprosesnya

suatu peradilan pidana, masing-masing komponen fungsi yang

terdiri dari Kepolisian sebagai penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut

umum, Pengadilan sebagai pihak yang mengadilidan Lembaga

Pemasyarakatan yang berfungsi untuk memasyarakatkan kembali

para si terhukum, yang bekerja secara bersama-sama, terpadu di

dalam usaha untuk mencapai tujuan bersama yaitu untuk

menanggulangi kajahatan.4

Mardjono Reksodipoetra memberikan batasan terhadap sistem

peradilan pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri

dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan

Pemasyaratan terpidana.5 Beranjak dari definisi tersebut di atas,

Mardjono mengemukakan tujuan dari sistem peradilan pidana

adalah:6

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

3
Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm.13.
4
M.Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita,
Jakarta, 1991, hlm.24.
5
Yesmil Anwar dan Adang, Op.cit., hlm.35.
6
Luhut Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Suarat Resmi Adokat di Pengadilan, Papas Sinar
Sinanti, Jakarta, 2013, hlm.14.

14
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat

puas bahwa keadilan telah ditegaskan dan yang bersalah pidana.

c. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan

kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

2. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang ada baik yang terdapat di dalam ataupun

di luar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

mempunyai perangkat struktur atau subsistem yang terdiri dari

Kepolisian yang melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan,

Kejaksaan yang melakukan tugas penuntutan terhadap suatu tindak

pidana, Pengadilan yang melaksanakan atau mengimplementasikan

hukum terhadap suatu perkara dengan suatu putusan hakim, serta

Lembaga Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan yang bertugas

melakukan pembinaan terhadap terpidana agar dapat berintegrasi

secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali

sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Pembinaan terhadap terpidana yang mendapat hukuman pidana

penjara dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan, sedangkan untuk

terpidana yang mendapat hukuman berupa pidana percobaan atau

pidana bersyarat dilakukan oleh Badan Pemasyarakatan. Subsistem-

subsistem tersebut secara keseluruhan dan merupakan suatu

kesatuan berusaha mentransformasikan masukan menjadi luaran

15
yang menjadi tujuan Sistem Peradilan Pidana yaitu menanggulangi

kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada

dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat.

Hukum Pidana yang menduduki posisi sentral dalam Sistem

Peradilan Pidana yaitu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi

dalam rangka melindungidan menciptakan kesejahteraan

masyarakat. Hukum pidana menjadi penting peranannya, sekarang

dan di masa mendatang bagi masyarakat sebagai kontrolsosial untuk

mencegah timbulnya disorder, khususnya sebagai pengendali

kejahatan.7 Hukum yang baik seharusnya berpijak dan

mengutamakan keadilan, kemudian kemanfaatan dan selanjutnya

pijakan terakhir adalah kepastian hukum.

3. Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Wagiati Soetedjo dan Melani menyatakan :8

“Konsep keadilan restoratif bukan merupakan hal asing dalam


penyelesaian tindak pidana di Indonesia. Proses ini pernah berlaku
dan sampai saat ini masih berlaku di daerah-daerah tertentu, yaitu
penyelesaian menurut adat”.

Di dalam pengertian tersebut, tindak pidana yang termasuk ialah

tindak pidana anak dan tindak pidana ringan. Tetapi, dalam hal ini

konsep keadilan restoratif juga berlaku pada tindak pidana korupsi.

Konsep pendekatan keadilan restoratif merupakan suatu pendekatan

yang lebih menitikberatkan pada suatu kondisi terciptanya keadilan

7
Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malang, 2002, hlm.12
8
Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak, Edisi Revisi, Refika Aditama, Bandung,
2013, hlm. 135

16
dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu seorang

saksi pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator). Dalam hal

ini, konsep Restorative Justice sangat tepat diterapkan bagi seorang

Justice Collaborator dalam mengungkap jaringan koruptor dan

mengembalikan segala aset hasil tindak pidana korupsi yang ia

lakukan.

Purwaning M. Yanuar menyatakan :9

“Sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara sebagai


korban dari tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, dan
manghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari
pelaku melalui rangkaian proses dan mekanisme, baik secara
pidana maupun perdata, aset hasil tindak pidana korupsi baik yang
di dalam maupun di luar negeri, dilacak, dibekukan, disita,
dirampas, diserahkan, dan dikembalikan kepada Negara korban
dari hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan
kerugian keuangan Negara yang diakibatkan oleh tindak pidana
korupsi dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi
menggunakan aset hasil korupsi sebagai alat atau sarana untuk
melakukan tindak pidana lainnya dan memberikan efek jera bagi
pelaku atau calon pelaku tindak pidana korupsi”.
Berdasarkan hal di atas yang telah dipaparkan, maka konsep

Restorative Justice bertujuan untuk memulihkan kerugian yang

diderita oleh Negara. Karena sangatlah tepat konsep Restorative

Justice ini diterapkan kepada Justice Collaborator dalam

memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia yang sudah

merajalela.

Untuk menentukan seseorang sebagai Justice Collaborator

yang sesuai dengan pedoman di dalam Surat Edaran Mahkamah

9
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi; Berdasarkan Konvensi PBB Anti
Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, PT. Alumni, 2007, hlm. 104

17
Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi

Whistleblower dan Justice Collaborator, yaitu :

a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana

tertentu, mengakui kejahatannya dan bukan pelaku utama dalam

tindak pidana tersebut.

b. Pernyataan tertulis oleh Jaksa Penuntut Umum di dalam

tuntutannya yang menyatakan bahwa yang bersangkutan telah

memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan

untuk membantu dalam hal mengungkap tindak pidana yang

dimaksud.

c. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang

bekerja sama atau justice collaborator sebagaimana dimaksud

di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan

dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai

berikut :

1) Menjatuhkan pidana pecobaan bersyarat khusus, dan/atau

2) Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling

ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah

dalam perkara yang dimaksud.

Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan

pidana, hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan

masyarakat.

18
d. Ketua Pengadilan di dalam mendistribusikan perkara,

memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a) Memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap saksi

pelaku yang bekerja sama kepada majelis yang sama sejauh

memungkinkan, dan

b) Mendahulukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh

saksi pelaku yang bekerja sama.

Dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011 yang mengatur tentang

Perlakuan Bagi Whistleblower dan Justice Collaborator, hanya

terdapat pengaturan mengenai pemberian perlakuan khusus dalam

bentuk keringanan pidana bagi seorang Justice Collaborator,

dalam hal tersebut, hakim tetap wajib menetapkan suatu putusan

bagi seorang Justice Collaborator dengan menggali nilai-nilai dari

masyarakat. Dasar yang dipakai hakim dalam menerapkan suatu

putusan tersebut adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan

bahwa :

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan


memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.”

Ahmad Rifai menyatakan :10

10
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010, hlm. 3

19
“Jika dimaknai menggali tersebut, dapatlah dirumuskan bahwa
sebenarnya hukumnya sudah ada, tetapi masih tersembunyi,
sehingga untuk menemukannya hakim harus berusaha
mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat tersebut, kemudian mengikutinya dan
selanjutnya memahaminya agar putusannya itu sesuai dengan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Istilah Justice Collaborator dapat disebut juga sebagai

pembocor rahasia atau “peniup peluit” yang mau bekerja sama

dengan aparat penegak hukum. Si pembocor rahasia haruslah orang

yang ada di dalam organisasi yang dapat saja terlibat atau tidak

terlibat di dalam tindak pidana yang dilaporkan itu. Berdasarkan

pendapat tersebut, dapat di konklusikan bahwa Justice

Collaborator merupakan pelaku yang bekerjasama yaitu orang

baik dalam status saksi, pelapor atau informan yang memberikan

bantuan kepada penegak hukum misalnya dalam bentuk pemberian

informasi penting, bukti-bukti yang kuat atau keterangan/kesaksian

di bawah sumpah, yang dapat mengungkap suatu tindak pidana, di

mana orang tersebut terlibat di dalam tindak pidana yang

dilaporkannya tersebut atau bahkan suatu tindak pidana lainnya.

Berdasarkan Pasal 1 butir (2) Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menyatakan

bahwa :

“Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana


yangbekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap
suatu tindak pidana dalam kasus yang sama”

20
F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Berdasarkan permasalahan penelitian ini, maka metode pendekatan

yang digunakan oleh penulis yaitu metode pendekatan yuridis

normative dilakukan dengan cara menelaah dan

mengimplementasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang

menyangkut asas, konsepsi, doktrin dan norma hukum yang

berkaitan dengan pembuktian perkara pidana. Pendekatan yuridis

normative adalah pendekatan yang menggunakan konsepsi legis

positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-

norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau

pejabat berwenang. Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu

sistem normatif yang bersifat mandiri, tertutup dan terlepas dari

kehidupan masyarakat yang nyata. 11

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu menggambarkan

permasalahan yang berkaitan dengan penelitian, kemudian di

analisis untuk memperoleh suatu kesimpulan.

3. Jenis dan Sumber data

11
Ronny Hanitijo Soemitro, Metododologi Penelitian Hukum dan Rurimetri, Ghalia Indonesia,
1998, hlm 13-14

21
Penulis menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder

yang berkaitan dan menunjang diperolehnya jawaban atas

permasalahan penelitian

4. Teknik Pengumpulan data

Setiap penelitian ilmiah memerlukan data dalam memecahkan

masalah yang dihadapinya. Data harus diperoleh dari sumber data

yang tepat dan relevan dengan maasalah yang diselidikinya. Dalam

penelitian ini untuk memperoleh data mempergunakan sumber data

sekunder. Data sekunder merupakan data yang sudah tersedia

sehingga tinggal mencari dan mengumpulkan. Dalam penulisan ini

data sekunder dikumpulkan dengan cara melakukan studi

kepustakaan. Studi kepustakaan ini untuk mencari konsepsi-

konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, atau penemuan-penemuan

hukum yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan.

Pengumpulan data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-

undangan, buku-buku, berkas-berkas, karya tulis ilmiah dan

pendapat para ahli yang memiliki relevansi dengan masalah yang

diteliti. Selanjutnya data tersebut digunakan untuk melengkapi teori-

teori yang dibutuhkan dalam penulisan hukum.

5. Teknik Analisis data

Setelah data primer dan data sekunder terkumpul kemudian

dianalisis secara kualitatif artinya dalam penulisan skripsi, penulis

tidak menggunakan rumus-rumus statistik dan angka-angka.

22
6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah dimana

penelitian tersebut akan dilakukan. Adapun penelitian yang

dilakukan oleh penulis mengambil lokasi di Ibu Kota Jakarta,

tepatnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

BAB II

23
CONVATION RASIONNEE DALAM MENERIMA PERMOHONAN JUSTICE

COLLABORATOR TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN

2014 TENTANG PERLINDUNGAN

SAKSI DAN KORBAN

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana adalah tindakan manusia yang dirumuskan dalam

undang-undang melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan

dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan

mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia

mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada

waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan

pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.12

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.

Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lainnya dengan

istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak

kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang melanggara undang-undang

pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-

undang harus

12
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Gramedia Pustaka, Jakarta,
2000, hlm. 22

24
dihindari dan barang siapa yang melanggarnya akan dikenakan

pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang

harus ditaati oleh setiap warga negara wajib dicantumkan dalam undang-

undang maupun peraturan-peraturan pemerintah.13

Secara etimologis, korupsi berasal dari bahasa latin yaitu

corroption atau coruuptus, dan istilah bahasa latin yang lebih tua dipakai

istilah corumpere. Dari bahasa latin itulah turun ke berbagai bangsa-

bangsa di eropa seperti Inggris : corruption, Prancis : corruption,

Belanda : corruptive dan korruptie, yang kemudian turun kedalam

bahasa indonesia menjadi Korupsi. Arti harafiah dari kata tersebut

adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,

tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.14

Secara harfiah korupsi merupakan suatu yang busuk, jahat dan

merusak. Jika membicarakan tentang korupsi memang akan

menenmukan kenyataan seperti semacam itu, karena menyangkut segi-

segi moral, sifat dan kenadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau

aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena

pemberian, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau

golongan dalam kedinasan dibawah kekuasaan jawabatannya.15

Korupsi secara umum diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan

dengan kepentingan publik atau masyarakat luas atau kepentingan

13
P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996, hlm.7
14
Andy Hamzah, korupsi di indonesia masalah dan pemecahannya, Gramedia pustaka utama,
jakarta, 1991, hlm.7
15
Evi Hartanti, tindak pidana korupsi edisi kedua, sinar grafika, semarang, 2005, hlm.91

25
pribadi dan atau kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik

ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan

(bribery), pemerasan (extracion), dan nepotisme (nepotism).16

Kejahatan korupsi pada hakekatnya termasuk kedalam kejahatan

ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi

sebagai berikut :

1. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan

2. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si

korban

3. Penyembunyian pelanggaran17

Adapun mengenai pengertian tindak pidana korupsi menurut

undang-undang Nomor 20 tahun 2001, yaitu :

1. Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ( pasal 2 ayat

(1) )

2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan wewenang,

kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan, atau

kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara (pasal 3)


16
Syed husein alatas, sosiologi korupsi, sebuah penjelajahan dengan data kotemporer, LP3ES,
Jakarta, 1983, hlm.12
17
Barda nawawai arief dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992,
hlm.56

26
3. Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai

negeri dengan mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat

pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji

dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (pasal 13)

4. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau

pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (pasal

15)

5. Setiap orang diluar wilayah republik indonesia yang memberikan

bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan, untuk terjadinya

tindsk pidana korupsi (pasal 16)

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-

Undang Nomor 20 tahun 2001 mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

1. Setiap orang

2. Dengan tujuan menguntungakan diri sendiri atu orang lain atau suatu

korporasi

3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada

padanya karena jabatan

4. Dapat merugikan negara atau perekonomian negara

5. Dilakukan secara bersama-sama

Baharrudin Lopa menyatakan bahwa, korupsi adalah perbuatan

pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos

administrasi, pelayanan pemberian hadiah-hadiah sanak keluarga,

27
pengaruh, kedudukan, sosial, atau hubungan apa saja yang merugikan

kepentingan dan kesejahteraan umum dengan atau tanpa pembayaran

uang.18

Pengertian korupsi tergantung dari sudut pandang setiap orang

apa dn bagaimana korupsi itu menjawantah dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara, hal ini ditandai dengan belum terdapat keseragaman

dalam merumuskan pengertian korupsi. Menurut W. Sangaji, bahwa

korupsi adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang menyuap

orang atau kelompok lain untuk memprmudh keinginannya dan

mempengaruhi penerima untuk memberikan pertimbangan khusus guna

mengabulkan permohonannya. Lebih lanjut beliau menyatakan definisi

tersebut dapat dikembangkan sebagai berikut :

1. Korupsi adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang

memberikan hadiah berupa uang maupun benda kepala sipenerima

untuk memenuhi keinginannya.

2. Korupsi adalah seseorang atau sekelompok orang yang meminta

imbalan dalam menjalankan kewajibannya

3. Korupsi adalah mereka yang menggelapkan dan menggunakan uang

negara atau milik umum untuk kepentingan pribadi

4. Korupsi merupakan perbuatan manusia yang dapat merugikan

keuangan negara dan perekonomian negara

18
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta, Kompas, 2001, hlm.29

28
5. Korupsi merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

lain sebagai akibat pertimbanagn yang ilegal. 19

B. Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian

Dalam Hukum Acara Pidana tak dapat dihindarkan dari suatu

pembuktian. Pembuktian merupakan sesuatu yang sangat penting

dalam pemeriksaan suatu perkara di persidangan. Pengertian

pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi

masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang

mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata membuktikan.

Pembuktian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses,

perbuatan, cara membuktikan, suatu usaha menentukan benar atau

salahnya terdakwa dalam siding pengadilan. Menurut Martiman

Prodjohamidjojo20, membuktikan yaitu: Mengandung maksud dan

usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga

dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam

hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam rangka mencari

kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari

kebenaran sejati yaitu melalui :

a. Penyidikan;

b. Penuntutan;

19
W.Sangaji. Tindak Pidana Korupsi, Indah, Surabaya, 1999, hlm.9
20
Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta, 1983: Ghalia
Indonesia, hlm. 12

29
c. Pemeriksaan di persidangan;

d. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.

Yahya Harahap21 memberikan arti pembuktian ditinjau dari segi

hukum acara pidana, antara lain:

a. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari

dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum,

terdakwa, atau penasehat hukum, semua terikat pada ketentuan tata

cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang.

Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat

menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang

ditemukan selama pemeriksaan persidangan;

b. Sehubungan dengan pengertian diatas, majelis hakim dalam mencari

dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan,

harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-

undang secara limitatif yang disebut dalam pasal 184 KUHAP.

Dalam arti yuridis, Pembuktian yaitu memberi dasar-dasar yang

cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna

memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan 22.

Sementara itu, Darwin Prinst menyatakan bahwa yang dimaksud

pembuktian adalah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana

21
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, 2006: Sinar Grafika, hlm.36
22
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hlm. 35

30
telah terbukti dan terdakwa bersalah melakukan perbuatan itu, sehingga

harus mempertanggungjawabkannya.23

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan

perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam

acara pidana. Dalam hal inipun hak asasi manusia dipertaruhkan.

Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti

melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada

disertai keyakinan hakim, namun ternyata itu tidak benar. Untuk inilah

maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil,

berbeda dengan hukum perdata yang cukup puas dengan kebenaran

formil.24

Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan

masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat

maksudnya, apabila seseorang telah melanggar peraturan

perundangundangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal

dengan perbuatannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan

terdakwa ialah, terdakwa harus diperlakukan adil sehingga tidak ada

seorangpun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman atau

sekalipun ia bersalah, ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat

23
Darwin Prinst, 2002, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, cet 3, Jakarta: Djambatan, hlm. 137
24
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta, Sinar
Grafika, hlm. 249

31
(dalam hal ini terkandung asas equality before the law, persamaan di

depan hukum).25

a. Sistem Pembuktian dalam KUHAP

Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada,

dalam doktrin dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian26, yakni :

1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara

positif (positief wettelijk bewijstheorie) :

Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang

secara positif (positief wettelijk bewijstheorie) merupakan

pembuktian yang didasarkan semata-mata kepada alat-alat

pembuktian yang disebut undang-undang. Dikatakan secara

positif, karena semata-mata hanya didasarkan kepada undang-

undang. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan

alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan

hakim tidak diperlukan sama sekali.

Terdapat kebaikan dan kelemahan dalam sistem ini.

Kebaikan sistem pembuktian ini yakni, hakim akan berusaha

membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh

nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-

cara dan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

Kelemahannya terletak dalam sistem ini tidak memberikan


25
Luhut MP Pangaribuan, 2005, Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan
oleh Advokat, Jakarta, Djambatan, hlm. 3-4.
26
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 251-254

32
kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim

yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Teori

pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi. Selain itu,

sistem pembuktian ini dianggap bertentangan dengan hak-hak

asasi manusia, sebagaimana dijelaskan oleh Adami Chazawi

sebagai berikut:

“Sistem ini bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang


pada zaman sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan
tersangka maupun terdakwa oleh negara. Juga sistem ini sama
sekali mengabaikan perasaan nurani hakim. Hakim bekerja
menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya
sudah diprogram melalui undang-undang.”27

Menurut Wirjono Prodjodikoro:28

“teori ini ditolak untuk dianut di Indonesia, karena bagaimana


hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara
menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi
pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman
mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat”

Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele

bewijstheorie), sehingga yang dicari ialah kebenaran formal. Oleh

karena itu, pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata.

Di benua Eropa sistem ini pun digunakan pada waktu berlakunya

Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitur. Peraturan itu

menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka, dalam

hal ini hakim hanya merupakan alat pelengkap saja.

27
Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni: Bandung, hlm. 28
28
Andi Hamzah, 2004, Op.Cit, hlm. 251.

33
2) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu

(conviction intime) :

Menurut sistem ini, hakim dalam menjatuhkan putusan tidak

terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan

putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan

dari alat bukti yang ada dalam persidangan atau mengabaikan alat

bukti yang ada dalam persidangan. Sistem ini memberikan

kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi,

disamping itu, terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk

melakukan pembelaan dalam hal ini hakim dapat memidana

terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa

yang didakwakan. Hakim menyatakan telah terbukti kesalahan

terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan

didasarkan keyakinannya saja, dan tidak perlu mempertimbangkan

dari mana dia memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan

serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinan tersebut.

Adam Chazawi berpendapat sebagai berikut:

“Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang


telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti
tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim
dalam membentuk keyakinannya itu. Disamping itu, pada sistem
ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi penegakan hukum
yang sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah
yakin.”29

29
Ibid, hlm. 28.

34
3) Sistem atau teori pembuktian berdasara keyakinan hakim atas

alasan yang logis (laconviction raisonnee) :

Sistem pembuktian conviction in raisone masih juga

mengutamakan penilaian hakim sebagai dasar satu-satunya alasan

untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini

harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima

oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu

didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan.

Walaupun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang,

tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti diluar ketentuan

undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa

keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan

yang logis.

Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini harus dilandasi

oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan tersebut harus

“reasonable”yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima

oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan

hakim yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut

dengan sistem pembuktian bebas.30 Adam Chazawi dalam hal ini

berpendapat:

Walaupun undang-undang menyebutkan dan menyediakan alat


bukti, tetapi sistem ini dalam hal menggunakannya dan menaruh
kekuatan alat-alat bukti tersebut terserah dalam pertimbangan

30
Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian, Pidana dan Perdata, Bandung: Citra
Aditya, hlm. 56.

35
hakim dalam hal membentuk keyakinannya tersebut, asalkan
alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangannya logis.
Artinya, alasan yang dipergunakannya dalam hal membentuk
keyakinan hakim masuk akal, dapat diterima oleh akal orang pada
umumnya.31

4) Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negative

(negatief wettelijk) :

Di Indonesia sendiri menganut sistem pembuktian menurut

undang-undang secara negatif (negatief wettelijk). Dalam sistem

pembuktian ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang

berganda (dubbel en grondslag, menurut D. Simons), yaitu pada

peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim. Hal tersebut

dapat dilihat dalam pasal 183 KUHAP yang isinya :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali


apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Menurut sistem pembuktian ini, untuk menentukan salah

tidaknya seorang terdakwa, terdapat dua komponen yaitu :

a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang,

b) Keyakinan hakim juga harus didasari atas cara dan dengan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.32

Sistem pembuktian ini menggabungkan antara faktor

hukum positif sesuai ketentuan perundang-undangan dan

31
Adam Chazawi, Op.cit, hlm. 26
32
M. Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta,Sinar Grafika, hlm. 273.

36
faktor keyakinan hakim. Artinya, dalam memperoleh

keyakinannya, hakim juga terikat terhadap penggunaan alat

bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Hal ini sejalan

dengan pendapat Adami Chazawi33 yang mengatakan bahwa :

“Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan


terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat
bukti serta dengan cara yang ditentukan oleh undang-undang.
Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang
dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang
diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-
undang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu
alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan yang
tidak terpisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri.”
Wirdjono Prodjodikoro34 berpendapat bahwa sistem

pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif

(negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua

alasan :

a) Memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim

tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan

suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa

memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas

kesalahan terdakwa.

b) Ialah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim

dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan

33
Adami Chazawi, Op.cit, hlm. 28
34
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 257

37
tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan

peradilan.

Berdasarkan ketentuan KUHAP sebagaimana ketentuan umum

hukum pembuktian tindak pidana, maka dari segi khusus hukum

pembuktian untuk tindak pidana korupsi berlaku pula kekhususan

di dalam hukum pembuktiannya. Di dalam bidang tertentu,

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, memberlakukan hukum pembuktian yang

memiliki segi kekhususan terutama berkenaan dengan bahan-bahan

yang dapat digunakan hakim dalam membentuk alat bukti petunjuk

tentang sistem pembuktian, khususnya beban pembuktian.35

2. Macam – Macam Alat Bukti

Tidak ditemukan suatu definisi khusus mengenai apa itu alat bukti,

namun secara umum yang dimaksud dengan alat bukti adalah alat bukti

yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP sebagai berikut:

a. Alat bukti yang sah ialah :

1) keterangan saksi;

2) keterangan ahli;

3) surat;

4) petunjuk;

35
Firman Wijaya, 2008, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Jakarta, Maharani Press,
hlm. 78

38
5) keterangan terdakwa.

b. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan

Adapun penjelasan mengenai apa yang dimaksud pada pasal 184

KUHAP adalah sebagai berikut :

a. Keterangan Saksi

Definisi “saksi” dapat berbeda-beda sesuai dengan sistem hukum

yang berlaku. Saksi merupakan seseorang yang memiliki informasi

penting untuk proses pengadilan atau penegakan hukum.36 United

Nation Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC)

menjelaskan definisi saksi atau partisipan sebagai berikut :

“...any person, irrespective, of his/her legal status(informant, witness,


judicial official, undercover agent, etc), who according to the
legislation or policy of the country involved is eligible to be
considered for admission to a witness protection program.”

Sedangkan keterangan saksi dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP

adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa

keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar

sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari

pengetahuannya. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP,

memberi batasan pengertian saksi dalam kapasitasnya sebagai alat

bukti, adalah “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang

saksi nyatakan di sidang pengadilan.”

36
Ilias Chatzis (et.al), Praktik Terbaik Perlindungan Saksi dalam Proses Pidana yang Melibatkan
Kejahatan Terorganisir, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, 2010, hlm 27.

39
“Pengertian saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah: Saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentangsuatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”

Pasal 185 ayat (5) KUHAP merumuskan bahwa baik pendapat

maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan

merupakan keterangan saksi. Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1)

KUHAP dirumuskan dalam keterangan saksi tidak termasuk

keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de

auditu. Keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat

bukti yang sah. Keterangan demikian berupa keterangan saksi yang

mendengar orang lain atau menceritakan sesuatu, atau apa yang ada di

dalam hukum acara pidana disebut testimonium de auditu atau

hearsay evidence.37

Keterangan saksi menjadi suatu hal yang penting bagi

pembuktian untuk membuktikan apakah betul telah terjadi suatu

peristiwa pidana dan menentukan siapa dan apa kesalahan terdakwa.

Oleh karena itu dapat disimpulkan betapa pentingnya keterangan

saksi, karena boleh dikatakan tidak ada suatu peristiwa pidana yang

dapat dibuktikan tanpa menggunakan/ dengan kehadiran saksi, namun

tentu tidak mengesampingkan dari alat bukti yang lain seperti

keterangan ahli, surat, petunjuk, maupun keterangan terdakwa.

37
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 264

40
Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC)

saksi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori utama:

1) Kolaborator hukum (Justice Collaborator). Seseorang yang telah

berpartisipasi dalam suatu tindak pidana yang berhubungan dengan

suatu organisasi kejahatan memiliki pengetahuan yang penting

tentang struktur organisasi, metode pelaksanaan, kegiatan, dan

hubungan dengan kelompok lain, baik lokal maupun internasional;

2) Saksi korban;

3) Jenis saksi lainnya (saksi peristiwa, saksi ahli, dan lainnya)

Sedangkan dalam UUPSK pun dikenal mengenai beberapa

pengertian dan istilah saksi lainnya. Hal tersebut dikenal dalam pasal

10 UUPSK Saksi Pelapor dan Saksi yang juga tersangka, namun

tidak adanya penjelasan batasan-batasan terkait definisi istilah

tersebut.

b. Keterangan Ahli

Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, definisi keterangan ahli

yaitu :

“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh


seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat suatu perkara pidana guna
kepentingan bersama.”

Dalam pembuktian di persidangan keterangan ahli sangat

diperlukan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Dengan

41
segala keahlian dari seorang ahli yang diberikan di persidangan,

maka suatu perkara akan lebih terang terutama terhadap sesuatu

yang diluar pengetahuan/ keahlian hakim/ sarjana hukum.

Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa seorang ahli

dapat memberikan keterangan sebagai saksi yang tidak

berdasarkan yang ia dengar, alami, dan lihat langsung suatu

peristiwa pidana, melainkan melalui keahliannya dalam

pembuktian di persidangan. Andi Hamzah dalam hal keterangan

ahli ini, berpendapat sebagai berikut:

“Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu


pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang
dimintai pertimbangannya. Jadi dari keterangan tersebut
diketahui bahwa yang dimaksud dengan keahlian adalah ilmu
pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang.” 38

c. Surat

Surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda

baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi

pikiran.39 Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1)

huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

sumpah, adalah:

1) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau
keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri,

38
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 268.
39
Andi Hamzah, 2001, Op.cit, hlm. 271.

42
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu;
2) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian
sesuatu hal atau suatu keadaan;
3) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
4) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Kekuatan pembuktian surat dalam hukum acara pidana

berbeda dengan hukum acara perdata, sebagaimana yang

dikatakan oleh C. Djisman Samosir sebagai berikut:

Dalam hukum acara perdata, akta autentik mempunyai kekuatan


mengikat dan harus diakui kebenarannya sampai terbukti
sebaliknya (tegenbewijs) sedangkan dalam hukum acara pidana
tidak ada alat bukti satu pun yang akan mengikat hakim tentang
kekuatan pembuktian, kecuali kalau ia yakin akan kesalahan
dari terdakwa.40
d. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang

karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain,

maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa

telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk

hanya diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan

terdakwa. Pasal 188 KUHAP dalam hal ini menegaskan sebagai

berikut :

40
C. Djisman Samosir, 1985, Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, Bina Cipta,
Bandung, hlm. 90.

43
1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan, yang
karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang
lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari:
a) keterangan saksi;
b) surat;
c) keterangan terdakwa.
3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan,dengan penuh
kecermatan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan
berdasarkan hati nuraninya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (2) tersebut dapat

dijelaskan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan

saksi, surat, dan keterangan terdakwa. M. Yahya Harahap dalam

hal ini berpendapat :

Ketentuan Pasal 188 ayat (2) tersebut mengandung pengertian


bahwa undang-undang menentukan secara limitatid sumber dari
alat bukti petunjuk. Dengan demikian meskipun keterangan ahli
termasuk sebagai alat bukti, tidak dapat dijadikan sumber bagi
hakim untuk menentukan alat bukti petunjuk41.

Di lain pihak, Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut :

Pantaslah kalau alat bukti petunjuk diganti dengan pengamatan


hakim, lebih-lebih kalau diperhatikan bunyi Pasal 188 ayat (3)
KUHAP yaitu: Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu
petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim
dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan
dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati
nurani. Disini tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya
diserahkan pada hakim untuk menilai kekuatan pembuktiannya,

41
M. Yahya Harahap, 2006, Op.cit, hlm. 294.

44
maka dengan demikian menjadi sama dengan apa yang disebut
pengamatan hakim (eigen warrneming van rechter).42
e. Keterangan Terdakwa

Alat bukti terakhir dalam susunan alat bukti yang diatur

dalam KUHAP adalah keterangan terdakwa. Keterangan

terdakwa merupakan keterangan yang hanya mengandung

pengakuan kebenaran. Pengakuan terdakwa disini bukan hanya

pengakuan yang diberikan di muka persidangan tetapi juga

pengakuan diluar persidangan. Pengakuan di muka persidangan

saja tidak cukup untuk menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa.

Pasal 189 ayat (1) KUHAP merumuskan keterangan terdakwa

sebagai berikut :

Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang


tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri
atau alami sendiri.

Keterangan terdakwa yang ia berikan di luar sidang

digunakan untuk membantu menemukan bukti di persidangan,

sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP sebagai

berikut :

Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat


digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang
mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

42
Andi Hamzah, 2001, Op.cit, hlm. 272.

45
Antara keterangan terdakwa dengan pengakuan terdakwa

mempunyai perbedaan, dalam hal ini Andi Hamzah mengatakan

sebagai berikut :

Keterangan terdakwa berbeda dengan pengakuan terdakwa


sebagaimana yang terdapat dalam HIR karena pengakuan
terdakwa mempunyai syarat yaitu mengakui ia yang melakukan
delik yang didakwakan dan mengaku bersalah. Sedangkan
keterangan terdakwa mempunyai pengertian yang lebih luas,
yaitu dapat berupa pengakuan atau penyangkalan atau
penyangkalan sebagian.43
Pasal 189 ayat (3) KUHAP selanjutnya merumuskan

mengenai penggunaan keterangan terdakwa hanya bagi dirinya

sendiri, yaitu sebagai berikut :

Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya


sendiri.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dijelaskan

bahwa keterangan terdakwa tidak boleh dipergunakan sebagai

alat bukti terhadap kawan terdakwa dalam perkara yang sama,

dapat pula diartikan bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana

yang bersifat ingin mengejar kebenaran materiil agar terdakwa

yang diperiksa jangan membawa-bawa orang lain yang tidak

menyangkut dengan dirinya dan untuk menghindari adanya

fitnah terhadap diri orang lain yang tidak bersalah.

C. Justice Collaborator

43
Andi Hamzah, 2001, Op.cit, hlm. 273.

46
1. Pengertian Justice Collaborator

Dari alat bukti yang telah disebutkan diatas, yang menjadi hal

paling mendasar dalam pembuktian ialah keterangan saksi. Dalam

pengungkapan tindak pidana korupsi, penyidik membutuhkan

keterangan saksi. Relevan dengan hal tersebut, dalam khasanah

istilah saksi dan pengungkapan suatu tindak pidana dikenal istilah

whistle blower dan justice collaborator.

Whistle blower menurut Quentin Dempster adalah orang yang

mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal,

bahaya malpraktik, atau korupsi.44 Dari sudut pandang Hadiastanto,

whistle blower merupakan istilah bagi karyawan, mantan karyawan,

atau pekerja anggota suatu institusi atau organisasi yang melaporkan

suatu tindakan yang dianggap melawan ketentuan kepada pihak

yang berwenang. Ketentuan yang dilanggar merupakan ancaman

bagi kepentingan publik. Sebagai contoh misalnya orang yang

melaporkan perbuatan yang diduga tindak pidana korupsi.45

Fakta yang diungkap ini tentu bukanlah informasi yang biasa

melainkan berupa informasi-informasi penting yang dapat

mengungkap suatu tindak pidana. Adapun menurut Mardjono

Reksodiputro yang menyebutkan bahwa organisasi tempat informasi

berada dapat berupa :46

44
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum,
Penaku, Jakarta, 2012, hlm.7.
45
Ibid, hlm. 8.
46
Ibid.

47
a. Tempat atau organisasi yang sah, seperti organisasi pemerintah

atau organisasi publik;

b. Tempat atau organisasi bisnis;

c. Tempat atau organisasi kriminal.

Disamping whistle blower terdapat juga istilah participant

whistleblower / supergrass (justice collaborator) yang mana

memiliki arah kepada pelaku yang bekerjasama dengan penegak

hukum dalam mengungkap kerumitan kasus suatu tindak pidana.

Dalam pandangan Zucarelli47, Justice Collaborator ini memiliki

definisi yaitu sebagai berikut:

“Collaborators of Justice (supergrass): any person who faces


criminal charges, or has been convicted of taking part in a criminal
association or other criminal organization of any kind, or in
offences of organised crime, but who agrees to ccooperate with
criminal justice authorities, particularly by giving testimony about a
criminal association or organisation, or about any offence
connected with organized crime or other serious crimes (or in other
words: the co-defendant who has decided to co-operate with the
justice authorities and who is prepared to give testimony in court
against his former associates).”

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum

mengatur ketentuan mengenai justice collaborator kecuali Undang-

Undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban. Undang-Undang ini pun tidak memberikan “hak istimewa”

kepada seorang justice collaborator, kemudian setelah direvisi

47
Fausto Zucarelli, Handling and Protection Witnesses and Collaborations of Justice, the Italian
Experience, disampaikan pada International Seminar on the Protection of Whistle Blower as
Justice Collaborator, di Jakarta, 09 Juli 2011.

48
menjadi Undang-Undang nomor 31 tahun 2014 perubahan atas

Undang-Undang nomor 13 tahun 2016 tentang perlindungan saksi

dan korban, barulah kejelasan “hak istimewa” bagi seorang justice

collaborator dituangkan dalam pasal 10a Undang-Undang nomor 31

tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban. Yang

menyatakan sabagai berikut :

1. Saksi pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam

proses pemeriksaam dan penghargaan atas kesaksian yang

diberikan.

2. Penanganan khusus sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)

berupa :

a. Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana

antara saksi pelaku dan tersangka, terdakwa, dan/tau narapidan

yang diungkap tindak pidananya.

b. Pemisahan pemberkasan antara berkas saksi pelaku dengan

berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan

penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya, dan/atau

c. Memberikan kesaksian didepan persidangan tanpa berhadapan

langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

3. Penghargaan atas kesaksian yang dimaksud pada ayat (1) berupa :

a. Keringanan penjatuhan pidana; atau

49
b. Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak-hak

narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana.

4. Untuk memperoleh penghargaan berupa keringanan penjatuhan

pidana sebagimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, LPSK

memberika rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum

untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim.

5. Untuk memperoleh penghargaan berupa pembebasan bersyarat,

remisi tambahan, dan hak-hak narapidana lainnya, sebagaimana

dimaksud ayat (3) huruf b, LPSK memberika rekomendasi secara

tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urursan

pemerintahan dibidang hukum.

Namun demikian celah hukum bagi justice collaborator bukan

tanpa risiko baik dari sisi kepentingan perlindungan yang

bersangkutan maupun dari sisi kepentingan peradilan yang adil dan

setara sejak proses penyidikan sampai pada proses pemasyarakatan.

Kedua risiko tersebut tergantung dari kesiapan dan kejelian penyidik

untuk mencegah upaya yang bersangkutan “mengail di air keruh”

atau bahkan pihak penguasa yang memanfaatkan hal tersebut.

Penggunaan Justice Collaborator dalam peradilan pidana

merupakan salah satu bentuk upaya luar biasa yang dapat digunakan

untuk memberantas tindak pidana korupsi.

50
Pengaturan Justice Collaborator di Indonesia masih mengalami

kekosongan atau vacuumof law, pembaharuan hukum pidana atau

aturan baru mengenai Justice Collaborator sangat perlu untuk

dipikirkan oleh lembaga legislatif di Indonesia.48 Melihat bahwa

peran Justice Collaborator sangatlah penting untuk pengungkap

kasus pidana di Indonesia, dalam hal ini adalah kasus korupsi yang

pada dasarnya sangat banyak terjadi dan sangat memprihatinkan,

karena korupsi merupakan kejahatan yang menyebabkan kerugian

pada keuangan negara yang tentu saja efeknya akan terasa secara

tidak langsung kepada rakyat Indonesia. Dengan demikian segala

usaha pengungkapan setiap kasus korupsi yang ada di Indonesia

harus melibatkan peran Justice Collaborator yang tentu saja

keamanan dan kontribusinya patut diberikan perhatian lebih.49

Istilah whistle blower dan justice collaborator adalah

merupakan istilah yang baru dalam Hukum Acara Pidana di

Indonesia. Hal tersebut kerap kali menimbulkan kesalahan istilah

dalam menyebut diantara salah satu istilah tersebut yang sering

tertukar. Seseorang dapat dikatakan justice collaborator jika dia

turut terlibat dalam tindak pidana yang diungkapkannya namun

bukan sebagai pelaku utama, tetapi jika hanya sebagai pengungkap

fakta tanpa terlibat dikatakan sebagai whistle blower.

48
Firman Wijaya, “Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum”, Penaku,
Jakarta, 2012 hlm.7.
49
Lies Sulistiani, et. Al, “Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban”,
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, hlm 1-2.

51
Perbedaan mendasar antara whistle blower dan justice

collaborator terletak pada subjeknya, dimana subjek whistle blower

adalah seseorang yang mengadukan dan mengungkap tindak pidana

terorganisir sebelum ia menjadi tersangka atau sering disebut saksi

pelapor, sedangkan pengertian justice collaborator menurut poin 9 a

SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor

Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja

Sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana

Tertentu adalah yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku

tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini,

mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam

kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di

dalam proses peradilan.

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa justice

collaborator atau saksi pelaku yang bekerjasama adalah seseorang

yang turut terlibat dalam suatu kejahatan, dimana ia melaporkan

kejahatan tersebut dengan memeberikan bukti-bukti penting lainnya

terkait informasi-informasi yang diperlukan untuk membongkar

suatu tindak kejahatan yang terorganisir dan sulit membuktikannya.

Pembuktian yang diungkapkannya bertujuan untuk mendapatkan

keuntungan-keuntungan dirinya sendiri seperti menerima kekebalan

penuntutan atau setidak-tidaknya keringanan hukuman penjara, serta

perlindungan fisik bagi diri dan keluargamya.

52
Predikat justice collaborator tidak dapat dengan mudah untuk

disematkan kepada pelaku kejahatan yang bersedia menjadi saksi

terutama pelau utama, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi

untuk mendapatkan predikat sebagai seorang justice collaborator

diantaranya :

a. Tindak pidana ynag diungkapkan adalah tindak pidana serius

dan/atau terorganisir, seperti korupsi, pelanggaran HAM berat,

narkoba, terorisme, tindak pidana pencucian uan (TPPU),

trafficking, kehutanan. Jadi untuk hal tindak pidana ringan tidak

mengenal istilah ini.

b. Keterangan yang diberikan, signifikan, relevan, dan andal.

Keterangan yang diberikan benar-benar dapat dijadikan petunjuk

oleh aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak

pidana sehingga dapat memudahkan kinerja aparat penegak

hukum.

c. Orang yang berstatus justice collaborator bukanlah pelaku utama

dalam perkara tersebut karena kehadirannya sebagai justice

collaborator adalah untuk mengungkapkan siapa pelaku utama

dalam kasus tersebut. Dia hanya berperan sedikit dalam perkara

itu, tetapi mengetahui banyak tentang perkata tersebut.

d. Dia mengakui perbuatannya dihadapan hukum dan bersedia

mengembalikan segala aset yang diperolehnya dari hasil

kejahatan tersebut secara tertulis.

53
e. Jaksa penuntut umum didalam tuntutannya menyatakan bahwa

yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti

yang sangat signifikan, sehingga penyidik dan/atau penuntut

umum dapat mengungkap tindak pidana yang dimaksud secara

efektif, mengungkap pelaku-pelaku lain yang memiliki peran

lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/ hasil suatu tindak

pidana.

Tidaklah mudah untuk menarik salah satu pelaku tindak pidana

untuk melapor atau menjadi informan, apalagi memberikan

keterangannya sebagai saksi di pengadilan mengingat karena pada

akhirnya ia juga akan terseret menjadi tersangka dala perkara yang

sama. Kebanyakan mereka yang terlibat juga mendapatkan

keuntungan dari tindak pidana tersebut sehingga mereka enggan

untuk melapor apalagi bersaksi melawan mitra kejahatan mereka

sendiri. Selain itu ketakutan mereka dianggap sebagai pengkhianat.

Hal ini dikarenakan karakter kejahatan terorganisir yang berlaku

dikalangan pelaku kejahatan, adalah loyalitas atau yang dikenal

dengan “kesaksian diam atau sumpah diam (omerta)” yaitu

komitmen dan aturan yang tidak tertulis diantara anggota mafia yang

tidak tergoyahkan. Pelanggaran atas omerta tersebut adalah nyawa

bagi siapapun yang melanggarnya.

54
Akan tetapi terhadap keberanian orang-orang yang telah

mengajukan dirinya sebagai justice collaborator, maka diberikan

apresiasi berupa reward dan punishmnet dalam bentuk keringanan

hukuman dan remisi ataupun kebebasan bersyarat. Di dalam

perkembangan, bahwa praktik whistle blower tidak berjalan

sendirian, ia diikuti dengan praktik justice collaborator.

2. Peran justice collaborator

Peran justice collaborator sangat signifikan guna menangkap

otak pelaku yang lebih besar sehingga tindak pidana dapat tuntas

dan tidak berhenti pada di pelaku yang berperan minim dalam tindak

pidana korupsi. Adapun syarat penetapan untuk menjadi seorang

justice collaborator yang diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2011

tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan

Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam

Perkara Tindak Pidana Tertentu adalah tindak pidana yang diungkap

merupakan tindak pidana serius atau terorganisir. Hal ini terkait

dengan keberadaan justice collaborator yang memperkuat

pengumpulan alat bukti dan barang bukti di persidangan.

Whistle blower dan justice collaborator merupakan bentuk

peran serta masyarakat yang tumbuh dari suatu kesadaran

membantu aparat penegak hukum mengungkap tindak pidana yang

tidak banyak diketahui orang dan melaporkannya kepada aparat

55
penegak hukum.50 Maka ada privilage khusus untuk whistle blower

dan justice collaborator dari Lembaga Perlindungan Saksi dan

Korban dengan terbitnya SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi

Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam

Perkara Tindak Pidana Tertentu. Oleh karena itu saksi dan/ atau

korban dengan kriteria tertentu, yaitu mempunyai keterangan yang

sangat penting dalam pengungkapan peristiwa suatu tindak pidana

serta mengalami ancaman yang sangat membahayakan jiwa saksi

dan/atau korban tersebut, perlu dipenuhi hak dan jaminan

perlindungan hukumnya.51

Pengaturan mengenai perlindungan whistle blower

(pengungkap fakta/pelapor) secara eksplisit diatur dalam Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan

korban, yaitu pada Pasal 10 menyebutkan :

a. Saksi, Korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum

baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan,

sedang, atau telah diberikannya.

b. Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak

dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata

terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, tetapi

50
Firman Wijaya, Op.cit, hlm. 16.
51
Lies Sulistiani, et. Al, Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi dan
Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, hlm. 1-2.

56
kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam

meringakan pidana yang akan dijatuhkan.

c. Ketentuan dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap saksi,

korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan

itikad baik.

Meski pasal ini tidak secara khusus menyebutkan pelapor

dengan istilah whistle blower atau justice collaborator, tapi yang

dimaksud dengan pelapor dalam penjelasan Undang-Undang ini

adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum

mengenai suatu tindak pidana.52 Secara yuridis normatif berdasarkan

pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, keberadaan justice collaborator

tidak ada tempat untuk mendapatkan perlindungan secara hukum,

artinya tidak adanya suatu kepastian hukum yang jelas bagi seorang

justice collaborator.

Bahkan seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang

sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat

dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan

dijatuhkan. Sementara itu, SEMA Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi

52
Abdul Haris Semendawai, “Revisi Undang-Undang No.13 tahun 2006, Momentum
Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1
Tahun 2011, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hlm. 30.

57
Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara

Tindak Pidana Tertentu angka 9 huruf a, justice collaborator

Dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi

bukan pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan bersedia

menjadi saksi dalam proses peradilan.

1. Justice Collaborator sebagai Alat Bukti

Dalam peraturan bersama antara Menteri Hukum dan HAM,

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan

Agung, Polisi Republik Indonesia (POLRI), Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK), dan Mahkamah Agung (MA) justice collaborator

dapat diartikan sebagai seorang saksi yang juga merupakan seorang

pelaku, tetapi mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum

dalam rangka membongkar suatu perkara, bahkan mengembalikan

asset kejahatan dari hasil korupsi jika asset itu ada pada dirinya.

Sehingga dengan begitu, muncul pembuktian alat bukti yang berasal

dari alat bukti saksi dan menguatkan keyakinan hakim karena

memperoleh keterangan dalam pembuktian saksi berasal dari Saksi

Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator).

Dari penjelasan diatas dikatakan bahwa ada empat ketentuan

yang dapat dirumuskan dari definisi tersebut, yaitu :

a. Salah satu pelaku yang bukan pelaku utama

b. Adanya tindak pidana tertentu

c. Pengakuan

58
d. Keterangan sebagai saksi

Mencermati ketentuan yang pertama dalam definisi justice

collaborator yakni merupakan salah satu pelaku yang bukan

merupakan pelaku utama, jika dilihat dari subyeknya yakni sebagai

saksi, yang membedakan saksi biasa dan justice collaborator adalah

presikat “pelaku” pada justice collaborator, saksi biasa pada

umumnya pihak lain yang melihat adanya suatu peristiwa tindak

pidana terjadi, sedangkan justice collborator adalah pihak yang turut

serta melakukan tin dak pidana atau disebut sebagai pelaku tindak

pidana, tetapi didalam hal ini seorang justice collaborator bukanlah

pelaku utama. Hal ini yang tidak terdapat pada saksi biasa.

Ketentuan kedua yang perlu dicermati berikutnya adalah,

tindak pidana tertentu. Seorang justice collaborator bersaksi atas

suatu tindak pidana tertentu yang mana berbeda dengan saksi pada

umumnya. Keterangan yang diberikan oleh saksi biasa adalah

keterangan mengenai adanya suatu peristiwa tindak pidana yang

dilakukan oleh terdakwa, dalam hal ini tindak pidana yang dilakukan

adalah tindak pidana yang ketentuannya ada di dalam Bab I sampai

dengan Bab VIII KUHP. sedangkan justice collaborator

memberikan kesaksian atas tindak pidana tertentu yang telah

dilakukan oleh terdakwa.

Pengaturan tentang tindak pidana tertentu tersebut tidak

dikemukakan dalam KUHP, akan tetapi pengaturannya terdapat

59
diluar KUHP. Seperti yang terdapat dalam poin 1 SEMA nomor 4

tahun 2011, yaitu :

Tindak piadana tertentu yang bersifat serius seperti tindak pidana


korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme,
tindak pidana perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya
yang bersifat terorganisir, telah menimbulkan masalah dan
ancaman yang serius terhadap stabilitas dan keamanan
masyarakat sehingga meruntuhkan lembaga serta nilai-nilai
demokrasi, etika dan keadilan, serta membahayakan
pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.

Perbedaan pengaturan hukum ini dikarenakan tidak adanya

pengaturan mengenai justice collaborator di dalam KUHAP. Oleh

karena kekosongan hukum tersebut, maka dikeluarkanlah SEMA

nomor 4 tahun 2011 tersebut. Berdasarkan asas lex spesialist

derogat legi generalis,53 maka SEMA ini dapat dijadikan pedoman

bagi para hakim dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan

justice coallbaorator.

Ketentuan ketiga yakni, tentang pengakuan. Seorang saksi

biasa tidak perlu melakukan sebuah pengakuan, hal ini dikarenakan

dirinya bukanlah seseorang yang bersalah. Kewajiban seorang saksi

hanyalah memberikan keterangan seperti yang telah diatur didalam

pasal 1 nomor 26 KUHAP yaitu “ saksi adalah seorang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,

dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia

alami sendiri, dan ia lihat sendiri.54

53
Azizi Syamsuddin, tindak pidana khusus, 11
54
Gerry Muhammad Rizky, KUHP & KUHAP, 197-198

60
Hal inilah yang membedakannya dengan saksi pelaku yang

bekerjasama atau justice collabortaor sebagai mana yang telah

diatur didalam SEMA nomor 4 tahun 2011 dalam poin 9 huruf a

dimana untuk menentukan seseorang yang dalam hal ini pelaku

kejahatan agar dapat dijadikan sebagai seorang justice collaborator

terdapat beberapa persyaratan, salah satunya yaitu seseorang

tersebut berkewajiban untuk mengakui kejahatan yang telah

dilakukannya. Jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka

seseorang tersebut tidak dapat dijakdikan sebagai justice

collaborator.

Ketentuan keempat yakni keterangan sebagai saksi. Seorang

justice collaborator adalah merupaka saksi pelaku yang

bekerjasama. Pada dasarnya ia adalah seorang pelaku atas suatu

tindak kejahatn, yang mana tindak kejahatannya adalah sama dengan

tindak kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa. Secara otomatis

seorang justice collaborator tidak mungkin tidak untuk dapat

mendengar, melihat dan mengalami sendiri tindak kejahatan

tersebut, karena ia juga merupakan pelaku yang turut andil dalam

tindak kejahatan tersebut.

Keterangan saksi pelaku sama dengan keterangan saksi biasa

pada umumnya, keterangan yang dimaksud adalah ketereanagn

mengenai peristiwa tindak pidana yang dilakukan seorang tersagka

61
yang dituntut, diperiksa dan diadili disidang pengadilan atau yang

dalam hukum acara pidana orang tersebut dinamakan terdakwa.

Perihal keterangan saksi, telah diatur didalam pasal 185 ayat

(6) dimana dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi,

hakim dengan sungguh-sungguh harus memperhatikan emapat hal

salah satunya adalah cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala

sesutau yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya

keteranga tersebut diterima.

Dalam konteks ini status hukum yang diperoleh justice

collaborator sebagai tersangka maupun terdakwa untuk dapat

memenuhi ketentuan dala pasal 185 ayat (6) KUHAP agaknya

kurang dapat diterapkan. Karena representasi dari cara hidup dan

kesusilaan saksi adalah menunjukan kualitas kebenaran yang

ditemukan, dapat atau tidaknya seseorang untuk dipercayai. Melihat

tindak pidana yang telah dilakukannya tersebut.

Oleh karena itu jika mengacu kembali pada definisi justice

collaborator dimana saksi pelaku yang bekerjasama mengakui

perbuatannya, mengembalikan aset-aset/ hasil tindak pidana dan

memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan. Maka

apabila terbukti bahwa pengakuannya atas kesalahannya adalah

benar adanya dan keterangan dan/atau bukti yang diberikan tersebut

valid dan signifikan sehingga penyidik atau penuntut umum dapat

mengungkap tindak pidana tersebut secara efektif maka pengaturan

62
tentang pemberian reward dan punishment dapat diberikan kepada

seorang justice collaborator. Akan tetapi jika terbukti bahwa

keterangan yang diberikan ternyata palsu, maka hakim dapat

memberlakukan pasal 174 kepadanya atas dakwaan tentang

keterangan palsu.

Penggunaan presikat justice collaborator dalam hal

pembuktian hukum positif di indonesia sesuai dan tidak

bertentang dengan aturan yang ada terutama mengenai syarat dan

ketentuan alat bukti saksi. Karena pada primsipnya baik saksi

biasa maupun saksi pelaku yang bekerjasama atau justice

collaborator keberadaanya adalah sama sama sebagi alat bukti

untuk mengungkap kebenaran melalui keterangannya di dalam

proses peradilan.

Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat

bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua

pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada

pemeriksaan keterangan saksi,

“tiada suatu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat


bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara
pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi
sekurangkurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti

63
yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan alat
bukti keterangan saksi.”55

Suatu pengungkapan atau kesaksian kebenaran dalam suatu

perkara tindak pidana tertentu dalam hal ini tindak pidana

korupsi, oleh justice collaborator jelas merupakan ancaman nyata

bagi pelaku kejahatan.56 Pelaku kejahatan akan menggunakan

berbagai cara untuk membungkam dan melakukan aksi

pembalasan sehingga kebijakan perlindungan seharusnya bersifat

prevensial (mencegah sebelum terjadi). Kehadiran justice

collaborator memang sulit dibantah dapat menjadi alat bantu,

karena kehadiran seorang justice collaborator sangat berperan

penting dalam mengungkap tindak pidana tertentu yang mana

penegak hukum sulit untuk mengungkapnya. Sekalipun seorang

justice collaborator harus berani mengambil resiko yang sangat

berbahaya bagi keselamatan fisik maupun psikis dirinya, serta

keluarganya, resiko terhadap pekerjaan dan masa depannya. 57

3. Justice Collaborator berdasarkan Undang-Undang nomor 31 tahun

2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Pengaturan mengenai Justice Collaborator di negara Indonesia

memang bukan lagi suatu hal yang baru, karena sampai saat ini

sudah banyak kasus-kasus kejahatan transnasional yang diungkap

55
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 286.
56
Firman Wijaya, Op.Cit, hlm. 42
57
Ibid.

64
berkat adanya penerapan Justice Collaborator dalam prakteknya,

contohnya dalam perkara tindak pidana korupsi. Adapun pengaturan

hukum yang mengatur mengenai Justice Collaborator, salah satunya

yaitu Undang-Undang nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan

Saksi dan Korban.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 31 tahun 2014 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, in dirancang untuk memberikan

perlindungan kepada saksi dan korban dalam semua tahap proses

peradilan pidana, diharapkan dapat mencegah saksi dan korban dari

intimidasi dan kekerasan, serta berperan dalam membantu

mengungkap terjadinya suatu tindak pidana.

Di dalam peraturan Undang-undang ini, terdapat beberapa

pengertian mengenai saksi pelaku, dan saksi pelapor. Hal tersebut

dapat menjadi dasar hukum pengaturan saksi pelaku yang bekerja

sama atau Justice Collaborator di Indonesia.

Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban, menyatakan :

“Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang


bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu
tindak pidana dalam kasus yang sama.”

Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Saksi Dan Korban, yang menegaskan :

“Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi,


atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana
yang akan, sedang, atau telah terjadi.”

65
Dengan diundangkannya peraturan tersebut, diharapkan

seorang Justice Collaborator dapat terbantu dalam proses pemberian

vonis pidana, meskipun tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana

apabila ternyata ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah,

tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam

meringankan pidana yang dijatuhkan. Dengan demikian agar

terciptanya suatu keadilan dan kedudukan yang sama di mata

hukum, seorang Justice Collaborator meskipun telah membantu

aparat dan mengembalikan harta kekayaan hasil tindak pidana

tertentu sepert korupsi, pencucian uang, dan lain-lain tetap akan

menjalani masa tahanan.

4. Mekanisme Permohonan Justice Collaborator

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun

2011 Tentang Perlakuan bagi Whistle blower dan Justice

Collaborator adalah sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu,

tetapi bukan pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan

bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.58

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 tentang

Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi

Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Perkara

Tindak Pidana Tertentu. Pedoman untuk menentukan seseorang


58
Abdul Haris Semendawai, “ Revisi Undang-undang Nomor.13 tahun 2006, Momentum
Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban”, Jurnal Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1
tahun 2011, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), hlm.30

66
sebagai saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator)

adalah sebagai berikut :

1. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana

tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam SEMA Nomor 4

tahun 2011. Mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan

pelaku utama dalam

67
68

2. kejahatan tersebut serta memberikan keterangannya sebagai saksi

di dalam proses peradilan.

3. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa

yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti

yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau pnuntut umum

dapat mengungkap tindak pidana.

4. Yang dimaksud secara efektif, yaitu mengungkap pelaku-pelaku

lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan

asset-asset/hasil suatu tindak pidana.59

Sebelum hakim menetapkan terdakwa sebagai saksi yang

bekerjasama atau Justice Collaborator, terdakwa terlebih dahulu

mengajukan permohonan sebagai Justice Collaborator. Dengan

tahapan sebagai berikut :

1. Permohonan bisa diajukan melalui website, email, surat/fax,

telepon, datang langsung, ataupun aparat penegak hukum yang

datang menemui.

2. Masuk ke dalam tahap registrasi dan pemeriksaan

formil/administrasi selama 30 hari. Jika sudah lengkap, lalu

kelengkapan dokumen telah disubstansi selama 7 hari.

3. Setelah kelengkapan dokumen telah disubstansi, lalu masuk ke

dalam rapat paripurna anggota, setelah itu diterima dan

59
Mahkamah Agung, SEMA No. 04 Tahun 2011, butir 9 huruf a dan b
69

memenuhi syarat formil dan materil, lalu masuk ke dalam

perlindungan fisik dan hukum ;

4. Kemudian kewenangan LPSK dalam pemenuhan hak prosedural

dan adanya bantuan kompensasi restitusi.

5. Jika dari hasil rapat paripurna anggota ditolak dan tidak

memenuhi syarat formil dan materil, maka LPSK akan

mengeluarkan surat pemberitahuan bahwa hal tersebut bukan

kewenangan LPSK.

5. Convetion Raisonee

Di dalam hukum acara pidana indonesia mengenal teori sistem

pembuktian, sistem atau teori-teori pembuktian ini sama dengan

yang dianut oleh Belanda dan negara-negara eropa kontinental yang

lain, yaitu menganut bahwa hakimlah yang dapat menilai alat bukti

yang diajukan dengan keyakinannya sendiri.

Salah satu dari teori pembuktian tersebut adalah sistem atau

teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim logis (Conviction

Raisonee). Teori ini disebut juga sebagai sistem pembuktian

berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini

hakim dapat memutuskan seseorang bersalah atau tidak, berdasarkan

keyakinannya dan didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian yang

disertai dengan suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan


70

pada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim

dijatuhkan dengan suatu motivasi.60

Teori ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas

untuk menyebut alasan-alasan atas dasar keyakinannya (vrije

bewijstheorie). Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang

berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu ini, terpecah kedua

jurusan, yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan

yang logis (conviction raisonee) dan yang kedua teori pembuktian

berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijk

bewijstheorie). Persamaan dari kedua teori pembuktian ini ialah

berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin

dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah,

sedangakan perbedaannya ialah pertama berpangkal tolak kepada

keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada

suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan

kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu

pengetahuan hakim sendiri, sehingga menurut pilihannya tentang

pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan,

kemudian berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang

ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang.

Selain itu beberapa teori yang lainnya yaitu :

60
Andi Sofyan Dan Abd Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana, Makassar, 2014,
hal 277
71

1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-undang

secara positif (Positief Wettelijk Bewitjstheorie).

Dikatakan secara positif, hanya didasarkan oleh Undang-

undang, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai

dengan alat-alat bukti yang disebut undang-undang, maka

keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Kebenaran yang

dicari pada sistem pembuktian ini adalah kebenaran formal

(formele bewijtstheorie), oleh karena itu sistem pembuktian ini

dipergunakan dalam hukum acara perdata.

2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan atas keyakinan hakim

saja.

Teori ini disebut juga conviction intime atau teori

berdasarakan keyakinan hakim saja yang didasarkan pada

keyakinan hati nuraninya sendiri. Dengan kata lain bahwa

sistem ini ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan

perbuatan yang didakwakan dan dalam pemidanaannya

dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam

undang-undang. Sistem ini dianut oleh peradilan juri di Prancis.

Sistem yang ini memberikan kebebasan kepada hakim

terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa

atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan

sehingga didalam penerapan dengan sistem tersebut membuat

pertimbangan berdasarkan metode yang dapat mengakibatkan


72

banyaknya putusan-putusan bebas dengan alasan-alasan yang

aneh.
73

BAB III

KEDUDUKAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM

MENGUNGKAP TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Peran Justice Collaborator Dalam Mengungkap Tindak Pidana

Korupsi

Menyadari bahwa tindak pidana korupsi merupakan suatu

kejahatan yang terstruktur dan dapat dianalogikan sebagai mata rantai

yang saling berkaitan, sehingga tidak menutup kemungkinan terdapat

orang-orang yang bekerja sama dalam struktur kejahatan tersebut yang

sebenarnya tidak menghendaki adanya tindak pidana korupsi. Namun

dengan adanya tekanan atau ancaman baik itu dari atasan maupun kaum-

kaum yang berkuasa, mereka dipaksa untuk masuk ke dalam system

tersebut.

Dengan demikian, peranan saksi pelaku yang bekerja sama (Justice

Collaborator) menjadi sangat penting dan sangat membantu aparat

penegak hukum untuk mengungkap sindikat mafia koruptor dalam kasus

tindak pidana korupsi di Indonesia.

Aturan mengenai Justice Collaborator telah dipakai sejak Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2006 diberlakukan hingga sekarang, namun

dalam praktiknya masih ditemukan masalah krusial dalam pemberian

reward bagi mereka di pengadilan. Perbedaan pendapat di pengadilan

soal Justice Collaborator membuat para hakim pengadilan korupsi tidak

sepakat dengan pemberian Justice Collaborator yang diajukan Jaksa


74

Penuntut Umum KPK. Dalam pengadilan korupsi, yaitu Abdul Khoir

yang terlibat kasus penyuapan anggota Komisi V DPR RI terkait proyek

di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Hakim menolak Abdul Khoir, terdakwa kasus penyuapan itu sebagai

Justice Collaborator. Hakim menyatakan bahwa Abdul Khoir tidak

layak diberikan status sebagai Justice Collaborator, karena dia menjadi

pelaku utama dalam kasus korupsi tersebut. Abdul Khoir akhirnya

divonis lebih berat dari tuntutan Jaksa. Ini kedua kalinya pengadilan

tipikor menolak status Justice Collaborator yang ditetapkan KPK.

Sebelumnya pada tahun 2014 lalu, pengadilan korupsi juga menghukum

Kosasih Abas lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum.

Dilihat dari kasus penyuapan anggota Komisi V DPR RI, yaitu

Damayanti Wisnu Putranti yang juga ikut bekerja sama sebagai

terdakwa dalam kasus penyuapan terkait proyek di Kementerian

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Ia dianggap telah

membuka perbuatan pihak lain yang terlibat, yakni pengusaha Abdul

Khoir, dan dua staf Damayanti, yaitu Dessy Edwin dan Julia

Prasetyarini. Keterangan Damayanti juga membuat terang mengenai

adanya skenario oleh pihak-pihak tertentu di Komisi V DPR serta

pejabat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),

dalam rangka pengurusan persetujuan anggaran Kementerian PUPR

dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Selain

itu, keterangan Damayanti telah membantu Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) dalam menetapkan tersangka lain, yakni anggota Komisi

V DPR, Budi Supriyanto dan Andi Taufan Tiro, serta Kepala Balai
75

Pelaksana Jalan Nasional IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI

Mustary.

Dari keteramgan itulah, Damayanti dapat ditetapkan oleh hakim

sebagai Justice Collaborator, karena ia membantu penegak hukum

dengan mau bekerja sama dalam mengungkap kejahatan atas kasus

korupsi yang dilakukannya.

Kasus lainnya dapat dilihat atas kasus suap yang dilakukan oleh

Miranda Gultom kepada Agus Chondro, dalam pemilihan Deputi

Gubernur Senior Bank Indonesia. Hakim memeriksa beberapa alat bukti,

salah satunya adalah alat bukti keterangan saksi sebagai Justice

Collaborator. Saksi tersebut merupakan terdakwa Agus Condro yang

memberikan keterangan sebagai saksi di pengadilan saat proses

pembuktian, ia mengakui kesalahannya, mengembalikan uang hasil

kejahatannya, tidak melarikan diri dan mengikuti semua proses hukum

sangat memudahkan aparat penegak hukum.

Terlihat pada contoh kasus di atas tersebut, bahwa saksi pelaku

yang

bekerja sama (Justice Collaborator), memiliki peranan yang sangat

penting dalam mengungkap suatu tindak pidana korupsi, meskipun tidak

semua penetapan seseorang menjadi Justice Collaborator dapat diterima

oleh hakim di pengadilan korupsi, hal tersebut dikarenakan banyaknya

faktor-faktor yang melatarbelakangi nya

B. Perlindungan Terhadap Penyandang Justice Collaborator

Kedudukan mengenai Justice Collaborator di Indonesia memang

sudah banyak diterapkan dalam berbagai kasus korupsi yang terjadi.


76

Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga menjadi

salah satu tombak dalam melindungi setiap saksi pelaku untuk

melakukan kerja sama dengan penegak hukum dalam mengungkap kasus

tindak piadana korupsi yang dikenakan terhadap pelaku tersebut, yaitu

dengan berkata sejujur-jujurnya dalam mengemukakan segala kebenaran

yang dilakukan oleh pelaku. Maka dengan ini peranan Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ialah untuk memeberi

perlindungan hukum terhadap seorang Justice Collaborator berdasarkan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi

Dan Korban.

Penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, menyatakan bahwa dalam

rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak

pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan

perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang

mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu

mengungkap tindak pidana yang telah terjadi, serta melaporkan hal

tersebut kepada penegak hukum. Pelapor tersebut harus diberi

perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya,

sehingga tidak merasa terancam atau tertekan baik hak-hak nya maupun

keselamatan dirinya.

1. Seperti yang sudah tertuang pada di dalam Undang-Undang nomor 31

thun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai berikut :


77

Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban\Pasal 10A :

a. Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana


antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau
narapidana yang diungkap tindak pidananya
b. Pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan
berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan
penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya dan/atau
c. Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan
langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
Selain itu, justice collaborator juga berhak mendapatkan
penghargaan atas kesaksian berupa :
a. Keringanan penjatuhan pidana; atau
b. Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak
narapidana lain sesuai dengan ketentuan Peraturan
perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus
narapidana.

C. Pertimbangan Hakim Dalam Menetapkan Permohonan Justice

Collaborator

Yang dimaksud dengan pertimbangan hakim adalah suatu alasan

bagi hakim dalam mempertimbangkan sanksi ataupun segala sesuatu

yang berkaitan dengan keputusan hakim untuk seorang terdakwa yang

disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat

pembuktian yang diperoleh dari proses pemerikasaan yang dijadikan

dasar penetuan kesalahan terdakwa.

Hakim bersifat bebas dan merdeka dalam mempertimbangkan

putusan yang akan dijatuhkan kepada seorang pelaku. Karena ciri khas

paling pokok dalam kedudukan seorang hakim yaitu ketidak

tergantungan mereka. Tidak ada pihak-pihak berwenang yang

memberikan petunjuk kepada hakim dalam suatu perkara. Hal tersebut


78

dapat dilihat didalam pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Untuk menetapkan seorang sebagai justice collaborator, hakim

memiliki beberapa pertimbangan, yaitu pertimbangan yuridis dan non

yuridis.

3. Pertimbangan yuridis

Yaitu pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis

yang terungkap didalam persidangan dan oleh Undang-Undang yang

telah ditetapkan sebagai hasil yang harus dimuat pada putusan.

Dimana yang dimaksud pertimbangan yuridis dalam menetapkan

permohonan justice collaborator adalah peraturan didalam Surat

Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 4 tahun 2011 yang

mengatur tentang justice collaborator adalah sebagai berikut :

a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana

tertentu sebagaimana yang dimaksud dalam SEMA Nomor 4 tahun

2011. Mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama

dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangannya sebagai

saksi di dalam proses peradilan.

b. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa

yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti

yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau pnuntut umum

dapat mengungkap tindak pidana.


79

c. Yang dimaksud secara efektif, yaitu mengungkap pelaku-pelaku

lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan

asset-asset/hasil suatu tindak pidana.

4. Pertimbangan non-yuridis

Yaitu pertimbangan yang didasarkan pada suatu keadaan yang tidak

diatur dalam Undang-Undang namun keadaan tersebut baik melekat

pada diri pembuat tindak pidana maupun berkaitan dengan maslah-

masalah sosial dan struktur masyarakat. Keadaan yang digolongkan

sebagai pertimbangan hakim non yuridis antara lain :

1. Latar belakang permasalahan

2. Akibat perbuatan

3. Kondisi diri

4. Kondisi sosial dan ekonomi

5. Faktor agama

6. Dan sikap terdakwa didalam persidangan61

61
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,
hal 115-116
BAB IV

CONVATION RASIONNEE DALAM MENERIMA PERMOHONAN JUSTICE

COLLABORATOR TERHADAP KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014

TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

A. Permohonan Justice Collaborator Dalam Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Sebagaimana yang telah diutarakan pada penjelasan sebelumnya,

bahwa pada bab ini, penulis akan memfokuskan kajiannya terhadap

kebijakan hukum pidana yang berkaitan dengan Permohonan Justice

Collaborator terhadap tindak pidana korupsi yang terdapat dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban sebagai hasil revisi dari Undang-Undang sebelumnya yaitu

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban.

Selanjutnya Penulis juga akan mencoba menganalisa ketentuan yang

berkaitan dengan Permohonan Justice Collaborator tersebut dengan

memakai pandangan subyektif berdasarkan hasil pemikiran dari penulis,

mengapa kemudian hal itu menjadi penting karena penulis menganggap

bahwa Undang-Undang hasil perbaikan seharusnya dapat mengakomodir

segala bentuk kekurangan yang terdapat dalam Undang-Undang

sebelumnya, termasuk di dalamnya membentuk sebuah sinergitas antara

80
peraturan-peraturan yang muncul sebelum Undang-Undang terbaru ini

berlaku.

81
82

Pengaturan tentang Justice collaborator dalam sistem peradilan

pidana di Indonesia merupakan sesuatu hal yang baru jika dibandingkan

dengan praktik hukum yang terjadi karena dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi maupun peraturan perundang-

undangan lainnya secara eksplisit tidak mengatur tentang Justice

collaborator dalam peradilan pidana, atau dengan kata lain istilah

Justice collaborator terlebih dahulu dikenal dalam praktik penegakan

hukum pidana dan kemudian mendapatkan perhatian dan selanjutnya

mulai diatur dalam hukum positif di Indonesia. Adapun pengaturan

tentang Justice Collaborator saat ini baik yang berasal dari dokumen

internasional maupun nasional adalah sebagai berikut:

1. United Nations Convention Against Corruption/UNCAC (Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Konvensi PBB Anti Korupsi)

Instrumen ini merupakan dasar hukum yang melatarbelakangi

lahirnya ide tentang Justice Collaborator dalam peradilan pidana.

Pengaturan berkaitan dengan Justice Collaborator dalam peradilan

pidana yang diatur dalam Pasal 37 sebagai berikut:62

a. Ayat(2) : Setiap Negara peserta wajib mempertimbangkan,


memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu
mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan
kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan
suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.
b. Ayat (3) : Setiap Negara wajib mempertimbangkan kemungkinan
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk
memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang-orang yang
memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau

62
United Nations Convention Against Corruption, (General Assembly Resolution 58/4 of 31
october 2003), Konvensi ini diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
tahun 2006 tentang pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003, ( Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi. 2003)
83

penuntutan suatu tindak pidana yang ditetapkan dalam konvensi


ini.

2. United Nations Convention Against Transnasional Organized

Crime/UNCATOC (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang

Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisir)

Demikian halnya dengan Konvensi PBB anti Korupsi, di

dalam Konvensi ini juga memberikan ide pengaturan berkaitan

dengan Justice Collaborator dalam peradilan pidana yakni diatur

dalam Pasal 26 sebagai berikut:63

a. Ayat (2): Setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk


membuka kemungkinan, dalam keadaan yang tepat, pengurangan
hukuman atas tertuduh yang memberikan kerjasama yang berarti
dalam penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana yang
tercakup oleh Konvensi ini.
b. Ayat (3): Setiap Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk
membuka kemungkinan, sesuai dengan prinsipprinsip dasar hukum
nasionalnya, pemberian kekebalan atas penuntutan terhadap
seseorang yang memberikan kerja sama yang berarti dalam
penyelidikan atau penuntutan atas tindak pidana yang tercakup
oleh Konvensi ini.

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban

Undang perlindungan saksi dan korban ini secara eksplisit

tidak memberikan pengaturan yang tegas mengenai definisi tentang

Justice Collaborator dimana undang-undang ini hanya mengatur

pengertian saksi dan pelapor tindak pidana. Pengaturan yang

63
United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime/UNCATOC,
(General Assembly Resolution 55/52 of 15 november 2000), Konvensi ini diratifikasi dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2009 tentang pengesahan United
Nations Convention Against Transnasional Organized Crime/UNCATOC (Konvensi PBB
Anti Kejahatan Transnasional Terorganisir)
84

berkaitan dengan Justice Collaborator diatur dalam Pasal 10 sebagai

berikut:

a. Ayat (2): Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang
sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ternyata
ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi
kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam
meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang

Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle blower) dan Saksi

Pelaku Yang Bekerjasama (Justice collaborator)

Di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu Pengaturan

berkaitan dengan Justice Collaborator diatur dalam Point 9 tentang

pedoman untuk menentukan seseorang sebagai saksi pelaku yang

bekerjasama (Justice collaborator) adalah sebagai berikut:

a. Yang bersangkutan merupakan salah satu dari pelaku tindak

pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini,

mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama

dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai

saksi di dalam proses peradilan.

b. Jaksa penuntut umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa

yang bersangkutan telah keterangan dan bukti-bukti yang sangat

signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat

mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif,

mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang mempunyai peran

lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak

pidana.
85

c. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi yang

bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dapat

menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat

mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana sebagai berikut :

1) Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau

2) Menjatuhkan pidana penjara berupa pidana penjara yang

paling ringan diantara terdakwa lainnya yang terbukti

bersalah dalam perkara yang dimaksud.

Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk

keringanan pidana, hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa

keadilan masyarakat.

5. Peraturan Bersama Aparat Penegak Hukum dan LPSK tentang

Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang

Bekerjasama

Adapun pengaturan berkaitan dengan Justice Collaborator diatur

dalam Pasal 1 sebagai berikut:

Point (3): Saksi Pelaku yang Bekerjasama adalah saksi yang juga
sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat
penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana atau
akanterjadinya suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset-aset
atau hasil suatu tindak pidana kepadanegaradengan memberikan
informasi kepada aparat penegak hukum serta memberikan
kesaksian di dalam proses peradilana

Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa baik

Undang-Undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi

dan korban, maupun Peraturan Bersama Aparat Penegak Hukum dan

LPSK tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi

Pelaku yang Bekerjasama, keduanya tidak dapat menjelaskan


86

tentang Justrice collaborator ataupun tata cara Permohonan Justice

Collaborator secara mendetail, tetapi didalam SEMA nomor 4 tahun

2011 mengatur tentang klasifikasi pelaku tindak pidana sebagai

Justice Collaborator yang menurut penulis bisa dijadikan sebuah

landasan sebagai acuan Permohonan Justice Collaborator.

Perlu juga penulis sampaikan, bahwa kekurangan dari beberapa

Undng-Undang yang telah dijelaskan sebelumnya tadi, maka

pemerintah mencoba merevisi Undang-Undang nomor 13 tahun

2006 menjadi Undang-Undang nomor 31 tahun 2014 dengan

harapan dengan direvisinya Undang-Undang tersebut dapat lebih

memperjelas dan mempertegas segala hal yang berkaitan dengan

Justice Collaborator.

Adapun beberapa alasan mengapa undang-undang 13 tahun

2006 direvisi oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat,

beberapa pasal yang kemudian mengalami perubahan yang cukup

signifikan yaitu pasal yang berkaitan dengan whistle blower dan

justice collaborator seperti yang dimuat dalam Undang-Undang 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Banyak

kemudian pihak yang mempermasalahkan tentang beberapa subtansi

yang termuat dalam pasal 10 ayat 2 misalnya. Seperti yang

dikemukan oleh LPSK melalui ketuanya Abdul Haris Semendawai,

bahwa peraturan atas pemberian perlindungan terhadap saksi pelaku

yang bekerjasama (justice collaborator) dalam UndangUndang

Nomor 13 Tahun 2006, khususnya pasal 10 ayat (2), masih dirasa

belum memadai, karena :


87

a. Bentuk dan sifat perlindungan yang terbatas

b. Sifat fakultatif (bukan kewajiban)

c. Tidak adanya jaminan atas pemberian perlindungan64

Sedangkan pengacara Firman Wijaya juga mengatakan dalam

bukunya bahwa pasal 10 ayat 2 UU 13 tahun 2006 membuka

peluang bagi penyidik untuk melakukan intervensi terhadap

kewenangan lembaga perlindungan saksi dan korban tanpa kontrol

kekuasaan yudikatif. Menurut Firman Wijaya hal demikian terjadi

karena penetapan seorang saksi menjadi tersangka dan kemudian

dilakukan penahanan dapat dilakukan secara sepihak oleh penyidik

tanpa mempertimbangkan kewenangan lembaga negara yang lain

yang mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap

saksi dalam perkara pidana.65

Selanjutnya menurut penulis bahwa hal yang paling mendasar

mengapa kemudian UU Nomor 13 Tahun 2006 direvisi adalah

kurangnya ketentuan yang mengatur eksistensi dari peran seorang

whistle blower dan justice collaborator serta perlindungan ekstra

yang harus diberikan, dalam beberapa pasal yang terdapat dalam UU

Nomor 13 Tahun 2006 ini sama sekali tidak ada yang menyinggung

secara eksplisit mengenai whistle blower dan justice collaborator

padahal peran dari kedua istilah tersebut sangat membantu dalam

sistem peradilan pidana dalam mengungkap kasus tindak pidana

korupsi ketika keduanya mampu dioptimalkan dan diefektifkan,


64
Abdul Haris Semendawai, Eksistensi Justice collaboratordalam Perkara Tindak Pidana Korupsi
Catatan tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis atas Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana,
Disampaiakan dalam Kegiatan Stadium General fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia di
Yogyakarta, 2013, Hlm 9
65
Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Jakarta, Maharani Press, 2008, hlm 29
88

maka dari itu menurut penulis perlu adanya kebijakan hukum pidana

dalam mengatur whistle blower dan justice collaborator ini terutama

dalam hal perlindungan berupa keistimewaan dan penghargaan yang

dituangkan dalam sebuah undang-undang. Menurut penulis jika itu

tidak dilakukan maka bisa dipastikan partisipasi publik untuk

membongkar dugaan tindak pidana korupsi menjadi rendah,

sehinnga praktek penyimpangan, pelanggaran, maupun kejahatan

semakin meningkat.

Selain itu, menurut penulis bahwa penguatan peran dari LPSK

itu sendiri juga tidak terlepas dari bagian penting dalam melakukan

revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini, dimana

peran dari LPSK dalam peraturan sebelumnya masih mengalami

kesulitan dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan korban,

begitu halnya dengan koordinasi LPSK dengan intitusi hukum

lainnya dalam penanganan saksi dan korban baik dalam memberikan

perlindungan maupun penentuan pantas tidaknya seorang saksi dan

korban dilindungi, hal itu perlu ditingkatkan lagi sehingga LPSK

dalam melaksanakan kewenangannya didukung penuh dengan

peraturan yang ada yang tentunya memiliki dasar hukum yang kuat.

Perlu juga penulis sampaikan bahwa sebelum Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 direvisi dan diundangkan pada tahun 2014,

terdapat sejumlah peraturan berupa SEMA pada tahun 2011 yang

tujuannya menyampaikan kepada seluruh hakim di bawah jajaran

Mahkamah Agung tentang bagaimana cara menghadapi seorang

whistle blower dan justice collaborator di persidangan, tidak hanya


89

sampai disitu pentingnya peran dari seorang whistle blower dan

justice collaborator untuk melengkapi sistem peradilan pidana kita

juga melahirkan peraturan bersama Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik

Indonesia, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Republik

Inonesia Nomor: M.HH-11.HM.03.02.TH.2011 Nomor;

PER045/A/JA/12/2011, Nomor: 1 yang pada pokoknya bertujuan

untuk mewujudkan kerjasama dan sinergitas antara penegak hukum

dalam menangani tindak pidana serius dan terorganisir melalui

upaya mendapatkan informasi dari masyarakat yang bersedia

menjadi pelapor, saksi pelapor, dan/atau saksi pelaku yang bekerja

sama dalam perkara tindak pidana.

Munculnya beberapa peraturan yang berorientasi kepada

kebijakan hukum pidana diatas menurut penulis menandakan bahwa

lemahnya aturan yang ada sebelumnya, terutama Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 dalam hal penanganan kasus tindak pidana

korupsi yang setiap tahunnya mengalami perkembangan yang cukup

signfikan, hal itu tidak terlepas dari perkembangan kejahatan tindak

pidana korupsi yang dilakukan oleh white collar crime sehingga

membuat penegak hukum kesulitan dalam menenmukan pelaku

dikarenakan kurangnya saksi, dan menurut penulis itu disebabkan

solidnya para pelaku untuk saling melindungi satu sama lain dengan

aksi tutup mulut serapat-rapatnya, maka dari itu sudah seharusnya

pemerintah berpikir secara progresif untuk mengikuti perkembangan

dalam melihat persoalan semacam ini dengan memperbaiki


90

peraturan yang ada demi tercapainya tujuan yang ingin dicapai

melalui terobosan-terobosan baru terhadap penyempurnaan undang-

undang di Negara kita.

Maka dari itu yang menjadi harapan kita bersama adalah

semoga subtansi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31

Tahun 2014 ini betul-betul menjadi penyempurna dari undang

sebelumnya yaitu UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

perlindungan saksi dan korban, dan harapan penulis yang juga

menjadi harapan orang banyak semoga dalam undang-undang

terbaru dapat mengakomodir semua kebijakan hukum pidana yang

ada selama ini agar lebih mempunyai kekuatan hukum yang tetap

dan mendapatkan posisi dalam hierarki perundang-undangan. Dan

selanjutnya penulis akan mencoba mengkritisi tentunya dengan

pandangan subyektif ketentuan-ketentuan dalam kaitannya dengan

kebijakan hukum pidana yang terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban ini,

maka yang diharapkan masyarakat pada umumnya, dan penulis pada

khususnya dapat diwujudkan dalam undang-undang yang terbaru ini.

Menurut penulis dalam hal untuk mendapatkan status Justice

Collaborator, tersangka/terdakwa harus melewati beberapa prosedur

yang telah ditetapkan oleh LPSK. Kandidat saksi pelaku yang

bekerjasama ini haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan sesuai

dengan bentuk-bentuk perlindungan yang dimohonkan. Persyaratan

untuk mendapatkan perlindungan terhadap saksi pelaku yang

bekerjasama dapat dilihat sebagai berikut:


91

a. Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana

dalam kasus-kasus tertentu. Yang dimaksud dengan “kasus-kasus

tertentu” yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana

narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak

pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban

dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.

b. Dilihat dari nilai pentingnya informasi, bukti maupun kesaksian

yang diberikan oleh saksi yang bekerjasama menjadi suatu factor

utama dalam pemberian status Justice Collaborator. Karena

dengan tanpa adanya informasi, bukti maupun kesaksian yang

diberikan Justice Collaborator tersebut maka suatu tindak pidana

tidak dapat/sangat sulit terungkap atau terbukti di Pengadilan.

Informasi, keterangan, bukti dan kesaksianpun haruslah atas

terjadinya suatu tindak pidana skala besar (terorganisir dan

serious crimes) karena tindak pidana serius atau terorganisir

merupakan awal dari munculnya konsep Justice Collaborator.

c. Dilihat berdasarkan peran/keterlibatan Justice Collaborator

Tindak Pidana yang diungkapnya. Hal ini memperhatikan faktor

seberapa besar peran dari Justice Collaborator dalam tindak

pidana yang dilaporkannya tersebut. Justice Collaborator

bukanlah pelaku utama dari tindak pidana yang dilaporkannya.

d. Dilihat berdasarkan rasa keadilan masyarakat, bagaimanakah

dampak yang timbul dari masyarakat dalam pemberian

penghargaan. Gejolak dukungan dan/atau penolakan dari


92

masyarakat. Khususnya dalam perkara dimana informasi

mengenai Justice Collaborator tersebut telah disoroti publik.

e. Dilihat berdasarkan keselamatan jiwa Justice Collaborator

dan/atau keluarganya berdasarkan tingkat keseriusan ancaman

yang mungkin timbul baik terhadap jiwa si Justice Collaborator

dan/atau keluarganya dengan diungkapnya informasi, bukti

maupun kesaksian tersebut

f. Dilihat berdasarkan tindak pidana lain yang dilakukan oleh

Justice Collaborator. Penghargaan berupa penghapusan

penuntutan dapat diberikan kepada Justice Collaborator atas

tindak pidana lain yang pernah dilakukannya dahulu dengan

mempertimbangkan persyaratan yang berlaku. Bahwa dalam hal

penghargaan tersebut haruslah terlebih dahulu memenuhi

beberapa syarat, yaitu:

1) Batasan Tindak Pidana, parameternya:

a) bukan tindak pidana terhadap nyawa atau perkosaan;

b) bukan tindak pidana yang di dalamnya terdapat tuntutan

masyarakat agar pelaku diadili;

c) telah dilakukannya konsultasi terlebih dahulu apabila

terdapat pihak ketiga yang menjadi korban dari tindak

pidananya.

2) Pengakuan atas tindak pidana yang telah dilakukan dan

pengembalian/kompensasi kerugian.

a) yang bersangkutan harus memberikan pengakuan secara

lengkap atas segala tindak pidana yang pernah


93

dilakukannya dan disertai dengan pengembalian hasil

tindak pidana yang dilakukan (Korupsi)

b) Pengakuan ini menjadi penting sebagai satu bahan bargain

agar penghapusan penuntutan dapat dilakukan secara

efektif

c) Bersedia untuk mengembalikan aset-aset yang diperoleh

dari tindak pidana yang telah dilakukan.

d) Bersedia untuk mengembalikan aset-aset yang diperoleh

dari tindak pidana yang telah dilakukan

Tahapan-tahapan Pengajuan Permohonan ke LPSK

Justice
Collaborator

Inisiatif Pejabat
Sendiri Berwenang

LPSK

Permohonan Tertulis

Pemeriksaan
Rekomendasi

Diterima Ditolak

Jaksa Agung/Ketua
KPK
94

( Sumber : dibuat sendiri dengan mengacu pada data yang telah ada dan

aturan perundang-undangan yang mengatur)

Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan Bapak

Syahrial selaku Divisi Pemenuhan Hak Asasi Manusia pada

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bahwa dalam hal

perlindungan terhadap Justice Collaborator Inisiatif sendiri Pejabat

berwenang LPSK Permohonan Tertulis Pemeriksaan Diterima

Ditolak Rekomendasi Jaksa Agung / Ketua KPK Justice

collaborator, LPSK bekerjasama dengan aparat penegak hukum

lainnya dan hasil akhirnya berada pada keputusan hakim. Apabila

seorang tersangka/terdakwa telah dianggap memenuhi seluruh

persyaratan tersebut maka selanjutnya yaitu untuk melakukan

permohonan ke LPSK, seorang Justice Collaborator harus melalui

beberapa tahap, sebagai berikut:

a. Justice Collaborator, baik atas inisiatif sendiri maupun atas

permintaan pejabat yang berwenang mengajukan permohonan

secara tertulis kepada LPSK

b. Selanjutnya, LPSK akan segera melakukan pemeriksaan terhadap

permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1

c. Berdasarkan pemeriksaan sebagaimana yang telah dilakukan pada

angka 2, LPSK memberikan rekomendasi untuk menerima atau

tidak menerima permohonan pemberian penanganan khusus,

dan/atau penghargaan kepada Jaksa Agung atau ketua KPK


95

d. Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada angka 3, memuat

identitas Justice Collaborator, alasan dan bentuk pemberian

penanganan khusus, dan/atau penghargaan yang diusulkan.

Setelah tahapan-tahapan tersebut telah dilakukan oleh LPSK,

maka selanjutnya yaitu menunggu keputusan dari Jaksa Agung atau

Ketua KPK. Alur keputusan oleh Jaksa Agung atau Ketua KPK

dapat dilihat dalam bagan dibawah ini.

Alur Keputusan Jaksa Agung atau Ketua KPK terhadap Permohonan

yang diajukan oleh LPSK

LPSK

Jaksa Agung/Ketua KPK

Layak Ditolak Alasan


Penolak
an

Usulan Kepada Memutuskan Pemohon


Presiden Sendiri

Grasi

Instansi LPSK Pemohon


Berwenang

( Sumber : dibuat sendiri dengan mengacu pada data yang telah ada dan

aturan perundang-undangan yang mengatur)


96

Berdasarkan dapat diuraikan bahwa dalam hal ini keputusan jaksa

agung atau ketua KPK berupa :

a. Dalam hal Jaksa Agung atau Ketua KPK menganggap Justice

Collaborator layak untuk mendapatkan penanganan khusus dan/atau

penghargaan, maka Jaksa Agung atau Ketua KPK :

1) Mengajukan usulan kepada Presiden dalam hal penghargaan yang

dianggap layak diberikan berupa Grasi. Grasi yaitu salah satu dari

lima hak yang dimiliki kepala negara dibidang yudikatif, yaitu hak

memberikan grasi, amnesti, abolisi, remisi dan rehabilitasi. Grasi

adalah hak dari presiden untuk memberikan pengurangan

hukuman. Di Indonesia, grasi merupakan salah satu hak presiden

dibidang yudikatif sebagai akibat dari penerapan sistem pembagian

kekuasaan.

2) Memutuskan sendiri untuk pemberian penghargaan berupa

penanganan khusus dan penghargaan lainnya.

3) Keputusan Jaksa Agung atau Ketua KPK bersifat mengikat dan

diberikan kepada instansi terkait untuk dilaksanakan serta

tembusannya diberikan kepada LPSK dan pemohon.

4) Dalam hal Jaksa Agung atau Ketua KPK menolak rekomendasi

dari LPSK, maka penolakan tersebut disertai dengan alasan

penolakan yang disampaikan kepada LPSK untuk kemudian

diteruskan kepada pemohon.


97

B. Pertimbangan apa saja yang menjadi ajuan permohonan Justice

Collaborator dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi

atas perkara penyuapan di Kementrian Pekerjaan Umum Dan

Perumahan Rakyat (PUPR) Tahun Anggaran 2016 dengan nama

terdakwa Damayanti

Pada tahun 1970an, Amerika Serikat berusaha membongkar

kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh mafia Italia. Namun,

dalam dunia mafia Italia terdapat sumpah diam (code of silence) atau

yang dikenal dengan istilah omerta. Kejahatan terorisme pada tahun

1979 penggunaan Justice Collaborator dipraktekkan di Italia,

Portugal (1980), Spanyol (1981), Jerman (1989), sedangkan untuk

kejahatan narkotika ditetapkan di Yunani, Francis, Jerman pada tahun

1970. Pada awal tersebut merupakan langkah awal bagaimanakah

pemerintah Amerika Serikat mengenal praktik perlindungan terhadap

para saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) yang

berusaha dan beritikad baik dalam rangka pemberantasan dan

membongkar suatu tindak pidana dalam kejahatan yang melibatkan

banyak orang dan terorganisir.66

Perkembangan ide Justice Collaborator sebenarnya bertitik

tolak dari ketentuan Pasal 37 ayat (2), (3) United Convention Against

Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia

melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan

United Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi

66
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,
NN, hlm. 107-108.
98

Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 dimana ditegaskan

bahwa:

Pasal 37 ayat (2)

Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan dalam


kasuskasus yang tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku
yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan
atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan
konvensi ini.

Pasal 37 ayat (3)

Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan sesuai


dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan
kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerjasama
substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (Justice
Collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan
konvensi ini.

Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya ide Justice Collaborator

dalam peradilan pidana di Indonesia yang dipergunakan sampai saat

ini.

Pada awalnya ada yang mirip dengan Justice Collaborator,

yaitu saksi mahkota. Pengaturan mengenai saksi mahkota ini pada

awalnya diatur di dalam Pasal 168 KUHAP (Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana), disebutkan bahwa pihak yang bersama-sama

sebagai terdakwa tidak dapat didengar keterangannya dan dapat

mengundurkan diri sebagai saksi. Kemudian dalam

perkembangannya, maka tinjauan pemahaman (rekoqnisi) tentang

saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana diatur dalam

Yurisprudensi MahkamahAgung RI Nomor: 1986/K/Pid/1989 tanggal

21 Maret 1990. Dalam Yurisprudensi tersebut dijelaskan bahwa

Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak melarang apabila


99

Jaksa/Penuntut Umum mengajukan saksi mahkota dengan syarat

bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak

termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan

kesaksian.67

Selain dari ketentuan di atas, ada hal-hal lain yang melatar

belakangi lahirnya Justice Collaborator di Indonesia yaitu karena

kesulitan para penegak hukum untuk mengumpulkan saksi kunci

untuk membuktikan suatu perkara. Ditambah maraknya perkara

korupsi yang merugikan negara, maka diperlukan suatu terobosan

untuk mengungkap kasus tersebut dengan melibatkan orang yang ada

dalam suatu sistem atau dengan kata lain orang yang mengetahui

kejahatan terorganisir tersebut. Sebelum lahirnya Undang-Undang

Perlindungan Saksi dan Korban dan Sema No 14 Tahun 2011 di

Indonesia dikenal dengan saksi pelaku yang bekerja sama atau sering

disebut dengan saksi mahkota. Defenisi saksi mahkota tidak diatur

dalam KUHP maupun KUHAP namun dalam praktik dan berdasarkan

persfektif empirik saksi mahkota itu ada. Di sini yang dimaksud

”saksi mahkota” didefinisikan adalah: “saksi yang berasal dan/atau

diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya

yang bersamasama melakukan perbuatan pidana dan dalam hal mana

kepada saksi tersebut diberikan mahkota”. Adapun mahkota yang

diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam

bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan

suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke

67
Ibid, hlm. 109.
100

pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan

saksi tersebut”.68

Oleh karena itu lahirlah komitmen untuk menjamin

perlindungan saksi dan korban dalam sebuah undang-undang yang

berawal dari gagasan reformasi sistem politik dan hukum. Lahirnya

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi

dan Korban sejatinya adalah untuk menciptakan iklim kondusif

dengan menumbuhkan partisipasi masyarakat melalui pemenuhan

perlindungan hukum dan keamanan setiap orang yang mengetahui

atau mengungkapkan suatu tindak pidana yang telah terjadi dan

melaporkannya pada penegak hukum. Hal inilah akhirnya yang

melatarbelakangi lahirnya Justice Collaborator.69

Dalam perkembangannya terkini Justice collaborator mendapat

perhatian serius, karena peran kunci mereka dalam “membuka” tabir

gelap tindak pidana tertentu yang sulit diungkap oleh penegak

hukum. Justice collaborator diartikan sebagai saksi pelaku suatu

tindak pidana yang bersedia membantu atau bekerjasama

dengan penegak hukum. Peran kunci yang dimiliki oleh justice

collaborator antara lain:

1. Untuk mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadinya suatu

tindak pidana, sehingga pengembalian asset dari hasil suatu tindak

pidana bisa dicapai kepada negara;

2. Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum; dan

68
Ibid., hlm. 110.
69
Siswanto Sunarso, Victimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, 2015, hal. 19
101

3. Memberikan kesaksian di dalam proses peradilan.

Dengan demikian kedudukan justice collaborator merupakan

saksi sekaligus sebagai tersangka yang harus memberikan keterangan

dalam persidangan, selanjutnya dari keterangan tersebut dapat

dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan

dijatuhkan.

Tetapi pada dasarnya sebelum Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum

menjamin perlindungan bagi pelaku yang bekerjasama atau Justice

Collaborator, dari pada itulah tidak banyak seorang terdakwa yang

berani mengajukan dirinya sebagai seorang pelaku yang bekerjasama

atau Justice collaborator. Kemudian setelah dijaminnya kedudukan

perlindungan bagi pelaku yang bekerjasama atau Justice

Collaborator, dengan merevisi Undang-Undang nomor 13 tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban menjadi Undang-Undang

nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

beberapa terdakwa mulai berani untuk mengajukan dirinya sebagai

Justice Collaborator, termasuk dalam hal ini terdakwa Damayanti

Wisnu Putranti yang mengajukan dirinya sebagai Justice

Collaborator atas penyuapan di Kementerian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat tahun anggaran 2016.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, faktor yang

menjadi ajuan Justice Collaborator adalah keuntungan dari pada

kedua belah pihak antara hakim untuk mengungkap suatu perkara


102

tindak pidana korupsi dan bagi terdakwa sendiri adalah untuk

mendapatkan keringanan hukuman dan perlindungan untuk

mengungkap tindak pidana korupsi sebagaimana yang telah di atur

didalam beberapa peraturan mengenai Justice Collaborator :

2. Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA ) nomor 4 tahun 2011

point 9 huruf c yang berbunyi :

Point c : atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku


yang bekerjasama, hakim dalam menentukan pidana yang akan
dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana
sebagai berikut :
i. menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau
ii. menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan
diantara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam
perkara tersebut

3. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung,

Kapolri, Ketua KPK dan Ketua LPSK tentang Perlindungan Bagi

Pelapor, Saksi dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama

Bahwa bila seseorang tersangka atau terdakwa ditetapkan sebagai


justice collaborator, maka dia berhak untuk memperoleh :

a. perlindungan fisik dan psikis


b. perlindungan hukum
c. penanganan secara khusus dan
d. penghargaan

4. Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

Korban

Pasal 10A :

d. Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana


antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau
narapidana yang diungkap tindak pidananya
e. Pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan
berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan
penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya dan/atau
103

f. Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan


langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
Selain itu, justice collaborator juga berhak mendapatkan
penghargaan atas kesaksian berupa :
c. Keringanan penjatuhan pidana; atau
d. Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak
narapidana lain sesuai dengan ketentuan Peraturan
perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus
narapidana.

C. Convention Rasionnee dalam menerima permohonan penetapan

Justice Collaborator terhadap kasus tindak pidana korupsi atas

perkara penyuapan di Kementrian Pekerjaan Umum Dan

Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor Perkara :

32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst Tahun Anggaran 2016 dengan

nama terakwa Damayanti

Di dalam hukum acara pidana mengenal beberapa macam teori

pembuktian yang menjadi pegangan bagi hakim dalam melakukan

pemeriksaan terhadap seorang terdakwa didalam persidangan. Adapun

sistem atau teori pembuktian yang dikenal didalam hukum pidana yaitu :

1. Convention intime atau biasa disebut dengan teori pembuktian

berdasarkan keyakinan hakim semata-mata.

Teori pembuktian Convention intime cenderung lebih

memberikan kebebasan kepada para hakim untuk menjatuhkan suatu

putusan berdasarkan keyakinannya, dengan artian bahwa dalam

pertimbangan putusan hakim telah menganggap terbuktinya suatu

perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani

hakim, terdakwa yang diajukan kepadanya dapat dijatuhkan putusan.


104

Keyakinan hakim dengan menggunakan teori ini adalah menetukan

dan mengabaikan hal-hal lainnya jika terdapat ketidak sesuaian atau

bertentangan dengan keyakinan hakim tersebut.

Teori pembuktian ini pernah diterapkan di Indonesia, yaitu pada

pengadilan Kabupaten. Didalam teori ini memungkinkan hakim untuk

menyebutkan apa saja sebagai dasar keyakinannya. Kekurangan pada

teori pembuktian ini dapat merugikan dalam hal pengawasan terhadap

hakim dan merugikan terdakwa juga penasihat hukum karena ketidak

jelasan dasar atau patokan dan ukuran suatu keyakinan hakim.

Pembuktian ini mengandung kelemahan yang cukup besar,

karena sebagai manusia biasa, hakim bisa saja salah dalam meyakini

keyakinan yang telah dibentuknya, karena tidak ada kriteria ataupun

alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-

cara hakim dalam membentuk keyakinannya itu.

Di samping itu, pada teori pembuktian ini terbuka peluang yang

cukup besar untuk terjadinya praktik penegakan hukum yang

sewenang-wenang, dengan bertumpa pada alasan keyakinan hakim.

2. Convention rasionnee atau biasa disebut dengan teori pembuktian

berdasarkan kayakinan hakim dalam batas-batas tertentu atau

berdasarkan alasan yang logis.

Teori pembuktian conviction rasionnee adalah teori pembuktian

yang tetap menggunakan keyakinan hakim dalam memutus suatu

perkara, tetapi keyakinan hakim ini didasarkan atas alasan-alasan

(reasoning) yang rasional. Dalam teori pembuktian ini hakim tidak

dapat memiliki kebebasan untuk menentukan keyakinannya, tetapi


105

keyakinannya harus diikuti dengan alasan-alasan yang rasional yaitu

alasan yang dapat diterima oleh akal pikiran yang menjadi dasar

keyakinannya tersebut.

Conviction rasionnee adalah sebagai jalan tengah antara teori

pembuktian berdasarkan undang-undang dan teori pembuktian

semata-mata berdasar keyakinan hakim. Dalam teori ini, hakim dapat

memutuskan terdakwa bersalah atau tidaknya berdasarkan

keyakinannya, namun tidak semata-mata keyakinannya diciptakan

oleh hakim sendiri, tetapi keyakinannya hanya sampai batas tertentu,

yaitu keyakinan hakim yang didasarkan kepada dasar-dasar

pembuktian dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan

kepada ketentuan pembuktian tertentu.

3. Positif wettelijk bewijstheorie atau biasa disebut dengan teori

pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas dasar alat-alat bukti

dalam Undang-Undang secara negatif.

Teori pembuktian positif wettelijk bewijstheorie yaitu teori

pembuktian berdasarkan alat bukti menurut undang-undang secara

positif atau pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang

telah ditentukan dalam undang-undang. Untuk menentukan kesalahan

seseorang, hakim harus mendasarkan pada alat-alat bukti yang telah

atau tertulis dalam undang-undang, jika alat-alat bukti tersebut telah

terpenuhi, hakim sudah cukup beralasan untuk menjatuhkan

putusannya tanpa harus menimbulkan keyakinannya terlebih dahulu

atas kebenaran alat-alat bukti yang ada.


106

Teori ini hanya sesuai dengan pemeriksaan yang bersifat

inkuisitor (telah disumpah) yang dulu pernah dianut di Eropa yang

saat ini sudah tidak digunakan lagi karena bertentangan dengan hak

asasi manusia yang saat ini sangat diperhatikan dalam hal

pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara

4. Negatief Wettelijk Bewijstheorie atau Teori pembuktian berdasarkan


keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-

undang secara negatif

Teori pembuktian negatief wettelijk bewijstheorie atau

pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif yaitu

pembuktian tanpa menggunakan alat-alat bukti yang tercantum atau

tertulis di dalam undang-undang, juga menggunakan keyakinan

hakim. Sekalipun menggunakan keyakinan hakim, namun keyakinan

hakim tersebut terbatas pada alat-alat bukti yang ditentukan dalam

undang-undang.

Teori pembuktian ini menggabungkan antara teori pembuktian

menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian

menurut keyakinan hakim sehingga sistem pembuktian ini disebut

pembuktian berganda (doubelen grondslag).

Negatief wettelijk bewijstheorie memadukan dua unsur yaitu

ketentuan pembuktian berdasarkan undang-undang dan unsur

keyakinan hakim menjadi satu unsur yang tidak dapat terpisahkan.

Keyakinan hakim dipandang tidak ada apabila keyakinan tersebut

tidak diperoleh dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan
107

dua alat bukti yang sah dipandang nihil bila tidak dapat menciptakan

keyakinan hakim.

Putusan hakim merupakan puncak dari peradilan yang

memberikan dampak kepada pihak yang berperkara ataupun pencari

keadilan. Seorang hakim dalam memutus sebuah perkara

mempertimbangkan layak atau tidaknya terdakwa dijatuhi pidana oleh

seorang hakim didasarkan atas keyakinannya.

Keyakinan hakim ini dapat mendasari hakim dalam pertimbangan

hukum untuk memutus sebuah perkara pidana khususnya tindak

pidana korupsi.

Dalam hukum acara pidana dan teori hakim memutus perkara ada

dua hal :

1. Menurut kayakinannya, bahwa hakim dalam memutus suatu perkara,

dengan pertimbangan apa yang dilihatnya didalam persidangan.

2. Menurut keyakinan dan aturan Undang-Undang, dengan menelaah

tentang peristiwa yang diajukan kepadanya, setelah itu memberikan

pertimbangan atas peristiwa itu serta menghubungkannya dengan

hukum yang berlaku, dengan untuk selanjutnya memberikan suatu

kesimpulan dengan menyatakan suatu hukum terhadap peristiwa

hukum melalui putusan hakim.

Didalam perkara ini, bahwa hakim menggunakan keyakinannya

untuk menetapkan status damayanti sebagai saksi pelaku yang

bekerjasama atau justice collaborator dengan pertimbangan bahwa

damayanti didalam persidangan mampu bekerja sama dengan penegak


108

hukum guna mengungkap kejahatan yang dilakukannya sendiri dan

yang diduga dilakukan oleh pihak lain, sehingga dapat dijadikan

pertimbangan dalam hal penetapan status justice collaborator

damayanti.

Dalam kasus korupsi penyuapan di kementerian Pekerjaan Umum

dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dilakukan oleh Terdakwa Abdul

Khoir sebagai pelaku utama dan Damayanti Wisnu Putranti sebagai

salah satu terdakwa dalam kasus yang sama hakim menyatakan bahwa

Terdakwa Damayanti Wisnu Putranti sebagai justice collaborator

melalui Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor

Kep-911/01-55/08/2016 tanggal 19 Agustus 2016 karena Terdakwa

bersikap kooperatif dalam membantu jalannya penyidikan.

1. Dakwaan Penuntut Umum

Bahwa terdakwa DAMAYANTI WISNU PUTRANTRI telah

didakwa melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam

Surat Dakwaan Nomor : Dak-20/24/05/2016, tanggal 25 Mei 2016

dalam bentuk DAKWAAN ALTERNATIF, yaitu :

a. Pertama, Pasal 12 huruf a Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang

telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1)

ke-1 KUHP jo Pasal 65ayat (1) KUHP.

ATAU
109

b. Kedua, Pasal 11 Undang-undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah

diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

2. Majelis Hakim menjatuhkan putusan kepada Terdakwa ini dengan

putusan sebagai berikut:

a. Menyatakan terdakwa Damayanti Wisnu Putranti, terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi

secara bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan alternatif

pertama;

b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan

pidana penjara selama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan dan denda

sebesar Rp. 500.000.000 ( lima ratus juta rupiah ) dengan

ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan

pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;

c. Menetapkan terdakwa tetap ditahan;

d. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani

terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

e. Menetapkan barang bukti untuk dirampas Negara;

f. Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sejumlah

Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah

3. Sedangkan tuntutan penuntut umum ialah :


110

a. Menyatakan Terdakwa DAMAYANTI WISNU PUTRANTI bersalah

melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana

diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang RI

Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi jo Pasal 55 ayat ke (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1)

KUHP sebagaimana dalam dakwaan pertama;

b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa Pidana Penjara selama

6 (enam) tahun, dikurangkan seluruhnya dari masa tahanan yang telah

dijalani dan Pidana Denda sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta

rupiah) Subsidair selama 6 (enam) bulan kurungan dengan perintah

supaya Terdakwa tetap ditahan;

c. Menjatuhkan Pidana Tambahan terhadap terdakwa berupa Pencabutan

Hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 (lima) tahun sejak

terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya;

d. Menyatakan barang bukti untuk dirampas Negara;

e. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp

10.000,00 (sepuluh ribu rupiah)

4. Pertimbangan Hakim

Menimbang, bahwa dilihat dari segi bentuknya, dakwaan Penuntut

Umum berbentuk Alternatif ditandai dengan istilah pencantuman

ATAU , sehingga konsekuensi pembuktiannya Majelis Hakim akan

memilih dakwaan yang sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di


111

persidangan yang artinya terdapat relevansi atau kesesuaian antara fakta

hukum ketika disandingkan dengan unsur pasal dakwaan, dan

berdasarkan pengamatan Majelis dakwaan yang relevan dengan fakta

persidangan adalah dakwaan alternatif Pertama Pasal 12 huruf a

Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengqan

Undang-Undang RI Nomor20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65ayat (1)

KUHP, yang unsur unsurnya sebagai berikut :

a. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara;

b. Menerima hadiah atau janji;

c. Padahal diketahui atau patutut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan untuk menggerakan agar melakukan atau tidak melakukan

sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

d. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang “turut serta” (deelneming);

e. Pasal 65 ayat (1) KUHP adalah tentang “gabungan dari beberapa

perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan

berdiri sendiri”.

Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut Majelis Hakim

mempertimbangkan sebgai berikut :

a. Unsur Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara;

Menimbang bahwa unsur ini terdiri dari 2 (dua) sub unsur yang

bersifat alternatif yakni :


112

1) Pertama : Unsur Pegawai Negeri

2) Kedua : Unsur Penyelenggara Negara.

Sehingga apabila salah satu sub unsur terpenuhi maka unsur ini

telah telah terpenuhi Menimbang bahwa yang dimaksud dengan

“Pegawai Negeri” menurut Pasal 1 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

adalah meliputi :

1) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

tentang Kepegawaian;

2) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP;

3) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau

daerah;

4) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang

menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah;

5) Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang

mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi,dan barang

bukti yang diajukan dalam persidangan ini serta keterangan terdakwa,

diperoleh fakta hukum yang saat ini diajukan di persidangan dan

didakwa oleh penuntut umum sebagai terdakwa adalah Damayanti

Wisnu Putranti jabatan anggota DPR-RI jabatan periode tahun 2014 s/d

2019. Sebagai anggota DPR-RI terdakwa diberi gaji atau upah dari

keuangan Negara sehingga terdakwa memenuhi kualifikasi sebagai

Pegawai negeri sebagaimana diatur di dalam pasal 1 huruf (c) Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999.


113

Menimbang, bahwa pada saat terdakwa diperiksa di persidangan,

terdakwa membenarkan identitasnya sebagaimana dimuat dalam Surat

Dakwaan Nomor Dak-20/24/05/2016 bahwa terdakwa juga dalam

keadaan sehat jasmani dan rohani , dapat memberikan jawaban dan

tanggapan dengan baik di persidangan, sehingga terdakwa mampu

menjadi subyek hukum dari suatu perbuatan pidana, anmu demikian

untuk dapat dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana haruslah memenuhi

seluruh unsur dari pasal yang didakwakan, oleh karena itu Majelis

Hakim akan mempertimbangkan lebih lanjut unsur-unsur berikutntya

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas maka unsur

Pegawai negeri atau penyelenggara Negara , dalam dakwaan alternatif

pertama telah terpenuhi.

b. Menerima hadiah atau janji

Menimbang, bahwa unsur ini juga bersifat alternatif sehingga

dengan terpenuhinya salah satu sub unsur maka telah terpenuhi seluruh

unsur.

Menimbang, bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

tidak menjabarkan lebih jauh pengertian menerima hadiah atau janji,

sehingga Majelis Hakim mengambil alih makna/pengertian hadiah atau

janji yang diketengahkan oleh ahli sebagai doktrin diantaranya ahli

bahasa W.J.S Poerwadarminta di dalam kamus bahasa Indonesia

penerbit balai pustaka Jakarta 1993, halaman 337, bahwa pengertian

“hadiah” adalah ganjaran yang diberikan kepada pegawai atau uang

yang diberikan kepada pegawai. Sedangkan pengertian “janji” adalah


114

tawaran sesuatu yang diajukan dan akan dipenuhi oleh si pemberi

tawaran.

Menimbang, bahwa sebagaimana pertimbangan fakta hukum

tersebut diatas pada bulan Agustus 2015 terdakwa

DAMAYANTIWISNU PUTRANTI selaku anggota DPR RI Komisi V

bersama-sama anggota lainnya diantaranya FARY DJEMI FRANCIS,

MICHAEL WATTIMENA, YUDI WIDIANA ADIA, dan

MOHAMMAD TOHA, mengikuti acara kunjungan kerja ke Maluku dan

bertemu Kepala Balai Pembangunan Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku

dan Maluku Utara AMRAN HI MUTARY, lalu dikenalkan kepada para

kontraktor diantaranya ABDUL KHOIR selaku Dirut PT. Windu

Tunggal Utama. Dalam kesempatan tersebut AMRAN HI MUSTARY

mempresentasikan program-program BPJN IX yang akan diusulkan

kedalam APBN Tahun 2016 Kementrian PUPR.

c. Unsur padahal diketahui atau patut diduga

Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji

tersebut diberikan untuk menggerakan agar melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan

kewajibannya.

2) Pengertian : “padahal diketahui atau patut diduga” Bahwa sub unsur

ini bersifat alternatif, yakni sub unsur adalah padahal diketahui ATAU

sub unsur adalah patut diduga. Sehingga cukup dibuktikan salah satu

sub unsur sudah terpenuhi.


115

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “padahal diketahui”

adalah istilah yang berkaitan dengan kesengajaan (dolus), sedangkan

yang dimaksud “patut diduga” adalah terkait dengan kealpaan.

Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 75/PUU-XI/2013

terkait uji materi Pasal 12 Undang-Undang Tipikor No. 31 Tahun 1999

jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 menyatakan “antara tindak

pelaku dan pidananya terletak pada pengetahuan dan pemahaman yang

diperoleh pelaku melalui panca inderanya atau sekurang-kurangnya

subyek patut menduga keduanya sama-sama merupakan pengetahuan

dan pemahaman dan hal ini diperoleh melalui pengalaman empirik dan

dugaan yang patut.

3) Pengertian “untuk menggerakan”

Menimbang, bahwa Undang-Undang Tipikor tidak memberikan

penjelasan pengertian “untuk menggerakan” sehingga Majelis Hakim

menggunakan doktrin atau pendapat ahli yang telah dikemukakan oleh

Penuntut Umum pada KPK didalam tuntutannya, diantaranya ahli

hukum Adam Chazawi yang mendefinisikan “menggerakkan” adalah

mempengaruhi kehendak orang lain agar kehendak orang lain itu

terbentuk sesuai dengan apa yang diinginkan oleh orang yang

menggerakan

4) Pengertian “agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam

jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya”

Adam Chazawi menyatakan bahwa suap menerima hadiah pada

Pasal 12 huruf (a) sudah dapat terjadi manakala pegawai negeri si


116

pembuat telah menerima hadiah tersebut dan dia tidak perlu benarbenar

berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban

jabatannya. Asalkan sebelum menerima hadiah pegawai negeri itu sudah

memiliki kesadaran atau patut menduga bahwa pemberian hadiah itu

untuk menggerakannya untuk melakukan sesuatu yang bertentangan

dengan kewajiban jabatannya.

d. Unsur Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang “turut serta” (deelneming)

Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke1

KUHP, yang dikualifikasikan sebagai pelaku (dader) adalah : mereka

yang melakukan sendiri tindak pidana (plegen), mereka yang menyuruh

orang lain melakukan suatu tindak pidana (medle plegen), dan mereka

yang dengan sengaja menganjurkan orang lain yang melakukan tindak

pidana (Uitloking).

Menimbang, bahwa ajaran secara bersama-sama dalam hukum

pidana adalah ajaran mengenai pertanggungjawaban yakni dalam hal

dimana suatu delik yang menurut rumusan UndangUndang sebenarnya

dapat dilaksanakan oleh seseorang secara sendirian, akan tetapi dalam

kenyataannya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu

kerja sama yang terpadu.

Menimbang, bahwa berdasarkan rangkaian fakta hukum tersebut

diatas maka unsur Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang “turut serta”

(Deelneming) telah terpenuhi.


117

e. Pasal 65 ayat (1) KUHP adalah tentang “gabungan dari beberapa

perbuatan yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan

berdiri sendiri”

Menimbang, bahwa Pasal 65 ayat (1) KUHP ini terkait berbarengan

beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang

berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan.

Menimbang, oleh karena semua unsur Pasal 12 huruf a Undang-

Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor jo

Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65ayat (1) KUHP telah

terpenuhi, maka terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah

dan meyakinkan berslah melakukan tindak pidana sebagaimana

didakwakan dalam dakwaan alternatif pertama.

Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan alternatif pertama telah

terpenuhi maka dakwaan alternatif kedua tidak perlu dipertimbangkan

lagi.

Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa mampu

bertanggungjawab, maka harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana.

Menimbang, bahwa terhadap tuntutan penuntut umum pada KPK

yang meminta agar terdakwa dicabut hak untuk dipilih dalamjabatan

publik selama 5 (lima) tahun sejak terdakwa menjalani pidana pokok,

Majelis Hakim mempertimbangkannya.


118

Menimbang, bahwa terdakwa selama persidangan mengakui

perbuatannya, menerangkan apa saja hal apa yang diketahui dan dialami

secara terus terang, sehingga perkaranya menjadi jelas dan terang.

Keterangan terdakwa juga membuat jelas perbuatan pidana yang

dilakukan rekannya seperti Julia Prasetyarini, Dessy A Edwin, dan

Abdul Khoir. Dari keterangan terdakwa pula terungkap pihakpihak lain

yang turut menerima dana aspirasi diantaranya Budi Supriyanto. Selain

daripada itu terdakwa juga menerangkan dan mengungkap adanya

skenario dari pihak-pihak tertentu di Komisi V DPR RI dengan pihak-

pihak tertentu di Kementrian PUPR dalam rangka memuluskan

persetujuan dan pengesahan APBN 2016 di Kementrian PUPR. Dari

keterangan terdakwa juga, telah ditetapkan sebagai tersangka anggota

Komisi V lainnya yaitu Budi Supriyanto, Andi Taufan Tiro, dan Kepala

BPJN Maluku dan Maluku Utara, sehingga Majelis Hakim sependapat

dengan Penuntut Umum pada KPK bahwa terhadap diri terdakwa patut

disematkan status Justice Collaborator yakni saksi pelaku yang bekerja

sama dengan penegak hukum guna mengungkap kejahatan yang

dilakukannya sendiri dan yang diduga dilakukan oleh pihak lain, sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dijadikan

pertimbangan hal yang meringankan.

5. Keadaan Yang Memberatkan :

a. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah yang

sedang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan korupsi;

b. Perbuatan terdakwa merusak demokrasi sistem check and balance

antara Legislatif dan Eksekutif , sehingga sistem pengawasan oleh


119

Dewan kepada Pemerintah (Kementrian PUPR) menjadi tidak

efektif, karena terjadinya konflik kepentingan.

6. Keadaan Yang Meringankan :

a. Terdakwa bersifat sopan di persidangan dan mengakui terus terang

atas perbuatannya;

b. Terdakwa belum pernah dihukum;

c. Terdakwa pernah berjasa pada saat sebagai wakil rakyat dalam

memperjuangkan aspirasi di daerah pemilihannya (Tegal dan

Brebes) membangun infrastruktur diantaranya gagasan membuat

kampung nelayan terpadu, mengusulkan pembenahan di jalan

pantura agar tidak terjadi kemacetan;

d. Terdakwa masih punya tanggungan keluarga membesarkan,

mendidik, dan membiayai anak-anaknya;

e. Terdakwa sudah mengembalikan uang yang diterimanya kepada

Negara melalui KPK.

Dapat dilihat bahwa putusan yang dijatuhkan Majelis Hakim

kepada Terdakwa Damayanti Wisnu Putranti berbeda dengan tuntutan

Penuntut Umum ini dikarenakan Majelis Hakim melihat bahwa terdakwa

sangat kooperatif dan dapat membantu dalam hal mengungkap perkara

tindak pidana korupsi tersebut, sesuai dengan aturan mengenai hal-hal

yang didapat oleh seorang Justice Collaborator, maka dalam hal ini

terdakwa Damayanti pantas mendapatkan haknya sebagai seorang

Justice Collaborator.

Hakim dalam perkara tindak pidana korupsi penyuapan di

kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memberi


120

apresiasi kepada terdakwa Damayanti Wisnu Putranti dengan

memberikan vonis lebih ringan karena dianggap telah bekerjasa sama

dalam mengungkapkan kasus tersebut. Seperti yang sudah dibahas

sebelumnya, justice collaborator pantas diberikan penghargaan sebagai

seseorang yang telah berani mengungkap kebenaran dalam suatu kasus

tindak pidana tertentu (dalam hal ini tindak pidana korupsi). Maka dalam

hal ini sudah selayaknya Damayanti diberikan haknya sebagai seorang

Pelaku yang bekerjasama atau Justice Collaborator.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan diatas maka

dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Bahwa pengaturan mengenai permohonan Justice Collaborator

didalam Undang-Undang nomor 31 tahun 2014 tentang

Perlindunagn Saksi dan Korban, tidak sama sekali menjelaskan

tentang bagaimana alur atau mekanisme permohonan Justice

Collaborator. Tetapi hanya menjelaskan terkait dengan

penghargaan dan perlindungan bagi seorang Justice

Collaborator yang dijelaskan pada pasal 10A aya (1) sampai

dengan ayat (5)

2. Faktor yang menjadi ajuan permohonan Justice Collaborator

yaitu :

a. Faktor ajuan permohonan Justice Collaborator bagi hakim

Pentingnya peran Justice Collaborator dalam hal

mengungkap kasus tindak pidana tertentu, menjadi faktor

utama hakim dalam menerima ajuan permohonan Justice

Collaborator

b. Faktor yang menjadi ajuan permohonan Justice Collaborator

bagi terdakwa

1) Reward atau penghargaan bagi seorang Justice

Collaborator dalam hal mengungkap kasus tindak

121
pidana tertentu adalah faktor pertama bagi terdakwa

untuk mengajukan permohonan Justice Collaborator.

122
2) Jaminan dan kejelasan atas perlindungan bagi seorang Justice

Collaborator yang tertuang didalam Undang-Undang nomor 31

tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan

faktor kedua bagi seorang terdakwa dalam hal mengajukan

permohonan Justice Collaborator.

3. Damayanti Wisnu Purtanti dikatakan sebagai justice collaborator dalam

Putusan Nomor : 32/Pid.Sus/TPK/2016/PN.Jkt.Pst karena Damayanti Wisnu

Purtanti memenuhi unsur SEMA Nomor 4 Tahun 2011 Pasal 9 huruf a

mengenai pedoman untuk menentukan status seorang justice collaborator

dan dari keterangan yang diberikan Damayanti Wisnu Purtanti dalam

pengadilan dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam memutus perkara

tersebut yang membuktikan dirinya masuk dalam kriteria syarat-syarat

sebagai seorang justice collaborator.

B. Saran

1. Sebaiknya Pemerintah bisa membuat pengaturan yang lebih lanjut tentang

peraturan perundang-undangan baru yang mengatur secara spesifik

mengenai justice collaborator, agar dapat mengatur jelas tentang Justice

Collaborator, sehingga membuat lembaga penegak hukum, baik itu Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Mahkamah Agung (MA) dapat

mengakomodir sebuah konsep sistem pemikiran yang tepat dalam penerapan

justice collaborator. Kemudian seorang justice collaborator akan membuat

pengungkapan terhadap perkara-perkara terorganisir yang dilakukan kaum

intelektual bisa lebih mudah diungkap.

123
2. Para hakim di Indonesia harus memperhatikan dan mengimplementasikan

SEMA No. 4 Tahun 2011 di dalam menetapkan seorang Justice

Collaborator terhadap Perkara Tindak Pidana Tertentu, walaupun Hakim

memiliki kewenangan memutus, namun harus diperhatikan pula asas

keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.

124
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Adam Chazawi, Pidana Korupsi Di Indonesia ( Edisi Revisi ), PT. Raja Grafindo
Persada,Jakarta, 2016

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Jakarta, 2008

Andy Hamzah, korupsi di indonesia masalah dan pemecahannya, Gramedia


pustaka utama, Jakarta, 1991

Abdul Haris Semendawai, “Revisi Undang-Undang No.13 tahun 2006,


Momentum Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban”, Jurnal
Perlindungan Saksi dan Korban, Volume 1 Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK), 2011

Abdul Haris Semendawai, Eksistensi Justice collaboratordalam Perkara Tindak


Pidana Korupsi Catatan tentang Urgensi dan Implikasi Yuridis atas
Penetapannya Pada Proses Peradilan Pidana, Disampaiakan dalam
Kegiatan Stadium General fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia di
Yogyakarta, 2013

Bambang Sutiyoso & Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan


Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta. Rineka Cipta. 2013

Barda nawawai arief dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,
Bandung

Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta, Kompas, 2001

Djarwanto PS, Pokok – pokok Metode Riset dan Bimbingan Tehnis Penulisan
skripsi, Yogyakarta Liberti, 1996

125
Darwin Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktik, cet 3, Jakarta, 2002

C. Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, Bandung, 1985

Evi Hartanti, tindak pidana korupsi edisi kedua, sinar grafika, semarang, 2005

Firman Wijaya, Whistle Blower Dan Justice Collaborator Dalam Prespektif


Hukum, Penaku, Jakarta, 2012

Fausto Zucarelli, Handling and Protection Witnesses and Collaborations of


Justice, the Italian Experience, disampaikan pada International Seminar on
the Protection of Whistle Blower as Justice Collaborator, Jakarta, 2011

Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Jakarta, 2008

Hendra Budiman, Kesaksian Edisi II, Jurnal LPSK, Jakarta, 2016

Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diedit Media, Jakarta,
2009

Luhut Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Sura Resmi Adokat di Pengadilan,


Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2013

Lies Sulistiani, et. Al, Sudut Pandang Peran LPSK dalam Perlindungan Saksi
dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta

Luhut MP Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan


oleh Advokat, Jakarta, 2005

M.Faal, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (DiskresiKepolisian) ,Pradnya


Paramita, Jakarta, 1991

Mahrus Ali, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2011

Margo Hadi Pura,“Criminal Restorative Justice”, Proposal Disertasi, hlm.48

Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, CV. Sah Media,


Makassar, 2014

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian, Pidana dan Perdata, Bandung, 2006

126
Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malang,
2002

Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Jakarta,


1983

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP


Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, 2006

P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya


Bakti, Bandung, 1996

Prof. D.r. J.E Sahetapy dan Agutinus Pohan, Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2011

Prof. Dr. H.R. Abdussalam, Hukum Pidana Internasiona, Restu Agung, Jakarta,
2006

Prof. Dr. Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, Rajawali Pers, 2016

P. A. F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, delik-delik khusus, tarsito, bandung

Prof. H. Oemar Seno Adji, Hukum-Hakim Pidana, Erlangga, 1984

Ronny Hanitijo Soemitro, Metododologi Penelitian Hukum dan Rurimetri,


Ghalia Indonesia, 1998, hlm 13-14

Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta,


2013

Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta,


Radjawali, 1985

Siswanto Sunarso, Victimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, 2015

Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta

Syed husein alatas, sosiologi korupsi, sebuah penjelajahan dengan data


kotemporer, LP3ES, Jakarta

127
Tri andrisman, hukum pidana : asas-asas dalam aturan hukum pidana indonesia,
universitas lampung, bandar lampung, 2011

United Nations Convention Against Corruption, (General Assembly Resolution


58/4 of 31 october 2003), Konvensi ini diratifikasi dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan United Nations
Convention Against Corruption 2003

W.Sangaji. Tindak Pidana Korupsi, Indah, Surabaya, 1999

B. Undang-undang

Undang-undang nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan
Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja
sama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu

128

Anda mungkin juga menyukai