net/publication/324601022
CITATIONS READS
0 2,891
1 author:
Dion Valerian
6 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Dion Valerian on 19 April 2018.
PENERAPAN ANALOGI
DALAM
HUKUM PIDANA
INDONESIA
Dion Valerian
PENERAPAN ANALOGI
DALAM
HUKUM PIDANA
INDONESIA
PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
© Dion Valerian
Dion Valerian
PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
ISBN: 978-602-61576-7-6
KATA PENGANTAR
PROF. DR. TOPO SANTOSO, S.H., M.H.
v
yang membahas hingga praktiknya. Oleh karena itu, buku ini menjadi
penting.
Saya menyampaikan selamat kepada saudara Dion Valerian yang
telah menulis buku ini dengan penuh kerja keras dan semangat.
Semoga buku ini bukanlah yang terakhir yang ditulisnya, tetapi
merupakan awal yang akan diikuti dengan karya-karya lainnya.
vi
KATA PENGANTAR PENULIS
vii
Terakhir, penulis berterima kasih kepada para pembaca. Semoga
ada manfaat yang bisa diambil dari buku ini.
Tangerang Selatan, 13 Agustus 2017
Dion Valerian
viii
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN........................................................... 1
ix
3.1.6.2. Rechtsverfijning (Penyempitan
Hukum)........................................... 56
3.1.1.3. Argumentum a Contrario.................. 57
3.2. Hermeneutika Hukum........................................... 59
3.3. Relevansi Hermeneutika Hukum dengan
Penemuan Hukum................................................. 65
3.4. Analisis terhadap Penerapan Analogi dan
Penafsiran Ekstensif ............................................... 68
x
BAB I
PENDAHULUAN
1
Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 7, Pasal
1 KUHP. Dalam buku tersebut, Soerodibroto menggunakan terjemahan Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia.
2
Menurut Barda Nawawi Arief, dua asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana adalah
asas legalitas dan asas kesalahan, dikutip dari Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana:
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Kencana: Jakarta, 2014), hlm. 103. Gabriel Hallevy
mengemukakan pendapat lain. Menurutnya, terdapat empat asas fundamental dalam hukum
pidana, yaitu asas legalitas, asas perbuatan, asas kesalahan, dan asas pertanggungjawaban
personal, dikutip dari Gabriel Hallevy, A Modern Treatise on the Principle of Legality in Criminal
Law, (Verlag Berlin Heidelberg: Springer, 2010), hlm. 4.
1
PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
adalah “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
yang mendahuluinya”.3
Dengan mengutip Dupont, Komariah Emong Sapardjaja
menjelaskan bahwa asas legalitas merupakan asas perlindungan
terhadap masyarakat. Menengok faktor kesejarahannya, asas legalitas
lahir sebagai reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa
di zaman Ancient Regime, serta menjadi jawaban atas kebutuhan
fungsional akan kepastian hukum yang menjadi keharusan di dalam
suatu negara hukum liberal pada waktu itu.4 Penyerapan hukum
Romawi kuno oleh hukum Eropa pada abad pertengahan dapat
dijadikan contoh yang tepat untuk menjelaskan hubungan antara
pemerintahan negara yang otoriter dan kebutuhan masyarakat
terhadap kepastian hukum. Hukum Romawi kuno tidak mengenal
asas nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Jenis kejahatan
yang dikenal di zaman Romawi kuno adalah kejahatan-kejahatan yang
termasuk dalam crimina extra ordinaria (kejahatan-kejahatan yang tidak
disebut dalam undang-undang).5 Ketika hukum Romawi kuno diserap
oleh hukum Eropa abad pertengahan, begitupun dengan pengertian
crimina extra ordinaria yang juga ikut diterapkan oleh para penguasa di
Eropa. Penerapan crimina extra ordinaria inilah yang memungkinkan
penggunaan hukum secara otoriter sesuai dengan kehendak penguasa.
Asas legalitas dilahirkan untuk mengatasi itu.6
Moeljatno menjelaskan bahwa asas legalitas mengandung tiga
pengertian, yaitu:7
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu
aturan undang-undang.
3
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 40. Andi Hamzah
menjelaskan bahwa sering pula digunakan istilah Latin nullum crimen sine lege stricta (tidak ada
delik tanpa ketentuan yang tegas) untuk menjelaskan asas legalitas. Sudikno Mertokusumo
menguraikan bahwa asas legalitas adalah asas hukum yang dituangkan dalam peraturan konkret,
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2009), hlm. 7.
4
Sapardjaja, Op. Cit., hlm. 6-7. Sudarto menjelaskan pula bahwa pembentukan kitab-kitab
kodifikasi pada masa pemerintahan Napoleon di Perancis, seperti Code Civil, Code de Commerce,
Code de Procedure Civil, Code d’Instruction Criminelle, dan Code Penal, adalah perwujudan kepastian
hukum sebagai obat penawar absolutisme zaman Ancient Regime, dalam Sudarto, Kapita Selekta
Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 53.
5
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: rineka Cipta, 2015), hlm.26.
6
Ibid.
7
Ibid., hlm. 27-28.
2
PENDAHULUAN
8
Ernst Utrecht, Satochid Kartanegara, Moeljatno, Andi Zainal Abidin, Andi Hamzah, Wirjono
Prodjodikoro, dan P. A. F. Lamintang adalah beberapa ahli hukum pidana yang membahas
analogi dalam buku mengenai asas-asas hukum pidana yang mereka tulis.
9
Utrecht menerangkan bahwa pada tahun 1922, ahli yang mendukung analogi baru B. M. Taverne
seorang, ahli-ahli lain pada waktu itu, misalnya Simons, Zevenbergen, dan van Hamel menolak
diterimanya analogi dalam hukum pidana. Pendukung analogi kemudian bermunculan,
terutama dari para ahli yang bermazhab modern, misalnya Roling, Pompe, dan Jonkers. Dikutip
dari E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Tanpa tempat: tanpa penerbit, tanpa
tahun), hlm. 211-216.
10
Utrecht, Ibid., hlm. 212.
11
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm 81-83. Menurut Sudikno Mertokusumo, penafsiran hukum hanya
terdiri dari empat jenis, penafsiran ekstensif tidak dimasukkan olehnya, Mertokusumo, Op. Cit.,
hlm. 56-64.
3
PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
12
Andi Zainal Abidin menjelaskan bahwa penafsiran sistematis adalah dalam hal hakim
menggantungkan penjelasan suatu ketentuan pada sistem peraturan-peraturan dalam mana
peraturan tersebut berada, dikutip dari Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2014), hlm. 117.
13
Menurut Abidin, dengan penafsiran jenis ini, hakim meneliti tentang risalah pembentukan
peraturan tersebut (wetshistorisch) atau hakim meneliti tentang ketentuan-ketentuan dahulu
yang mendahului ketentuan sekarang (rechtshistorisch), Ibid.
14
Abidin berpandangan bahwa selain dengan memperhatikan maksud pembuat undang-undang
dan asas-asas yang dijadikan pembuat undang-undang sebagai dasar ketentuan-ketentuan yang
dibuatnya, penafsiran teleologis juga mencakup penafsiran berdasarkan syarat-syarat yang
dikehendaki oleh masyarakat, Ibid., hlm. 116.
15
Moeljatno, Op. Cit., hlm. 29 dan Utrecht, Op. Cit., hlm. 210-211.
16
J. E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda [Handboek van het Nederlandsch-Indische
Strafrecht], diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Bina Aksara, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm.
71.
4
PENDAHULUAN
pedoman adalah aturan yang ada, di dalamnya ada perkataan yang kita
beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak
menurut maknanya pada waktu undang-undang dibentuk. Sedangkan
dalam menerapkan analogi, pangkal pendiriannya adalah bahwa
perbuatan yang menjadi persoalan itu tidak bisa dimasukkan dalam aturan
yang ada. Namun, perbuatan tersebut, menurut pandangan hakim
seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula, karena termasuk intinya
aturan yang ada, mengenai perbuatan yang mirip dengan perbuatan
itu.17 Meskipun begitu, seperti diuraikan di atas, Moeljatno menyetujui
pendapat Scholten bahwa antara penafsiran ekstensif dan analogi
hanya ada perbedaan gradual saja.
Eddy Hiariej berpendapat bahwa para ahli hukum pidana yang
membahas analogi dapat dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu:18
a. Golongan pertama, berisi para ahli hukum pidana yang dengan
tegas menolak analogi dalam hukum pidana. Golongan ini
diwakili oleh van Bemmelen, van Hattum, Moeljatno, dan
Remmelink. Van Bemmelen dan van Hattum bahkan menolak
penggunaan penafsiran ekstensif dalam hukum pidana.
Moeljatno, meskipun menolak penerapan analogi, namun
menerima penafsiran ekstensif.
b. Golongan kedua, berisi para ahli hukum pidana yang tidak
secara tegas menerima atau menolak analogi. Golongan ini
diwakili oleh Hazewinkel-Suringa dan Vos.
c. Golongan ketiga, adalah para ahli hukum pidana yang
menerima penerapan analogi. Golongan ini diwakili oleh
Roling, Pompe, dan Jonkers. Golongan ini berargumen bahwa
antara penafsiran ekstensif dan analogi tidak ada perbedaan
asasi. Dipandang bahwa dengan demikian, analogi tidaklah
menabrak asas legalitas. Golongan ini juga berpendapat
bahwa sebenarnya pengadilan Belanda telah memutus dengan
penerapan analogi, yaitu dalam kasus pencurian listrik19 dan
kasus penjualan sapi oleh orang yang berpura-pura sebagai
pemilik sapi.20
17
Moeljatno, Op. Cit., hlm. 31-33.
18
Eddy O. S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga,
2009), hlm. 73-82.
19
Arrest Hoge Raad 23 Mei 1921, Jonkers, Loc. Cit.
20
Arrest Leeuwarden 10 Desember 1919, Ibid., hlm. 72.
5
PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
21
Edi Setiadi dan Dian Andriasari, Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013), hlm. 35-38.
22
Ibid.
23
Ibid.
24
Ketika ‘Kehormatan’ Wanita Dianalogikan Hakim sebagai ‘Barang’, http://www.hukumonline.com/
berita/baca/lt54a40e07e7422/ketika-kehormatan-wanita-dianalogikan-hakim-sebagai-barang,
diakses pada 8 Februari 2016.
25
Adi Andojo Soetjipto, Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung yang membatalkan putusan
tersebut di tingkat kasasi, menyatakan, “Seperti dia mengatakan, bahwa kelamin wanita
dikatakan barang, sehingga bisa-bisa menjadi objek penipuan. Itu tidak pakai aturan main.
6
PENDAHULUAN
Terlalu jauh dia. Jadi, aksi radiusnya itu ditarik terlalu jauh. Padahal ada aturan main kalau mau
menafsirkan”. Dikutip dari Putusan Bonda yang ‘Mengayun’ Bismar, http://www.hukumonline.
com/berita/baca/lt559fba87c3065/putusan-ibonda-i-yang-mengayun-bismar, diakses pada 8
Februari 2016.
26
Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Pasal 1. Redaksi lengkapnya:
Pasal 1
(1) Tidak seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang
dilakukan telah ditetapkan seagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
27
J.E. Sahetapy, “Membangun Hukum Pidana Indonesia,” dalam Jufrina Rizal dan Suhariyono
AR, ed., Demi Keadilan: Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Kemang,
2016), hlm. 29. Voorefgegane wettelijke strafbepaling adalah bagian dari Pasal 1 KUHP berbahasa
Belanda, yang lengkapnya: Geen feit is straffbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane
wettelijke strafbepaling, artinya, seperti dikemukakan di depan, adalah “Suatu perbuatan tidak
dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada”.
28
Pasal 1 KUHP Denmark merumuskan “Only acts punishable under a statute or entirely
comparable acts shall be punished. The same rule shall apply to the other legal consequences
set out in Chapter 9”. Terjemahan bebas bahasa Indonesia: “Perbuatan yang harus dipidana
hanyalah perbuatan-perbuatan yang menurut undang-undang dapat dipidana atau
perbuatan-perbuatan yang seluruhnya dapat diperbandingkan. Aturan yang sama berlaku
kepada konsekuensi hukum lain yang diatur dalam Bagian 9”. Dikutip dari Denmark, The
Criminal Code, Pasal 1.
29
Sahetapy, Ibid.
30
Republik Indonesia, Op. Cit., Pasal 2. Redaksi lengkapnya:
Pasal 2
7
PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia,
dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
31
Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 53-55. Mengenai
kontradiksi ini, Tongat menjelaskan bahwa larangan analogi (Pasal 1 ayat (2) Rancangan
KUHP) mengisyaratkan bahwa untuk menentukan adanya perbuatan yang bersifat melawan
hukum harus didasarkan pada ukuran yang tertulis, sehingga menafsirkan makna di balik yang
tertulis tidak dihalalkan. Dikutip dari Tongat, “Rekonstruksi Politik Hukum Pidana Nasional
(Telaah Kritis Larangan Analogi dalam Hukum Pidana),” Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 3,
(September 2015), hlm. 532.
32
Hamzah, Op. Cit., hlm. 43-44.
8
PENDAHULUAN
9
View publication stats