Anda di halaman 1dari 22

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/324601022

Penerapan Analogi dalam Hukum Pidana Indonesia

Book · December 2017

CITATIONS READS

0 2,891

1 author:

Dion Valerian

6 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Dion Valerian on 19 April 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Dion Valerian

PENERAPAN ANALOGI
DALAM
HUKUM PIDANA
INDONESIA
Dion Valerian

PENERAPAN ANALOGI
DALAM
HUKUM PIDANA
INDONESIA
PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

© Dion Valerian

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


All Rights Reserved

Cetakan Pertama, 2017

Editor : Ridwan M. Said


Penata Letak : Joko P.
Perancang Sampul : Dwi Pengkik
Pracetak : M. Tasyirul Afkar
Supervisi : Nasrullah Ompu Bana

Perum Pring Mayang Regency 2 Kav. 4


Jl. Rajawali Gedongan Baru
Banguntapan, Bantul-Yogyakarta
INDONESIA
Telp. 0878 3419 7555
WA. 0812 3781 8611
BBM. 5BDAAE37
E-mail: redaksiruasmedia@gmail.com

Dion Valerian
PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

Yogyakarta: RUAS Media 2017


x + 206 hlm.: 14 X 21 cm

ISBN: 978-602-61576-7-6
KATA PENGANTAR
PROF. DR. TOPO SANTOSO, S.H., M.H.

S aya menyambut baik terbitnya buku ini yang menambah sumber


bacaan dalam bidang hukum pidana, khususnya hukum pidana
materiil. Hingga saat ini memang sudah banyak buku yang membahas
tentang hukum pidana materiil, akan tetapi kebanyakan membahas
secara umum yang mencakup berbagai materi hukum pidana. Buku
ini secara khusus membahas tentang analogi, suatu materi yang masih
sedikit diulas dalam berbagai buku hukum pidana.
Kelebihan buku ini adalah selain membahas dasar-dasar hukum
pidana yang berhubungan dengan analogi, misalnya kaitannya dengan
asas legalitas, penafsiran hukum, penemuan hukum, dan sebagainya,
juga membahas bagaimana prinsip dan ketentuan terkait hal itu
dilaksanakan dalam praktik pengadilan. Penulis melakukan analisis
atas beberapa putusan mengenai analogi dan penafsiran ekstensif. Ini
yang menjadi kelebihan karena banyak buku yang membahas tentang
analogi lebih mengutamakan teori dan konsepnya saja.
Buku ini ditulis oleh saudara Dion Valerian, alumni Fakultas
Hukum Universitas Indonesia yang melakukan penelitian tentang
penerapan analogi dalam hukum pidana Indonesia. Dalam menulis
buku ini, saudara Dion melakukan kajian yang serius dan tulisannya
pun sistematis, lengkap dan mudah untuk diikuti. Bahasa yang
digunakan cukup jelas dan cukup mendalam.
Permasalahan hukum pidana di negara kita memang masih tetap
menarik untuk dibahas dan diteliti, didiskusikan serta dianalisis.
Hukum pidana materiil merupakan mata kuliah yang dipelajari di
seluruh fakultas hukum di negara kita sehingga kehadiran bahan
pustaka baru selalu penting bagi mahasiswa dan setiap peneliti yang
mempelajari hukum pidana. Khusus menyangkut analogi, penafsiran
dan hal-hal lain yang terkait, memang merupakan salah satu materi
yang dibahas dan tidak mudah menemukan bahan-bahan pustaka

v
yang membahas hingga praktiknya. Oleh karena itu, buku ini menjadi
penting.
Saya menyampaikan selamat kepada saudara Dion Valerian yang
telah menulis buku ini dengan penuh kerja keras dan semangat.
Semoga buku ini bukanlah yang terakhir yang ditulisnya, tetapi
merupakan awal yang akan diikuti dengan karya-karya lainnya.

Depok, 29 Desember 2016


Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.
Guru Besar llmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Periode 2013-2017

vi
KATA PENGANTAR PENULIS

A lhamdulillahirabbil’alamin, akhirnya naskah buku yang mulanya


merupakan penelitian skripsi penulis untuk meraih gelar
Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini dapat
diterbitkan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
memiliki andil dalam proses penelitian, penulisan, dan penerbitan
buku ini: Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H., yang telah berkenan
memberikan Kata Pengantar untuk buku ini; Dr. Surastini Fitriasih,
S.H., M.H. dan Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H., sebagai dosen
pembimbing dalam penelitian skripsi yang penulis lakukan; Akhiar
Salmi S.H., M.H. dan Nathalina Naibaho, S.H., M.H., sebagai dosen
penguji skripsi penulis; Dr. Shidarta, Dr. Niken Savitri, Dr. Anthon F.
Susanto, dan Dr. Fernando Manullang, yang berkenan memberikan
masukan berarti kepada penulis dalam proses penelitian; keluarga dan
orang-orang terdekat penulis yang memberikan dukungan psikologis
dalam proses penyelesaian penelitian dan penerbitan buku ini; serta
Nasrullah, DEA dan Ruas Media (Kelompok Genta Publishing) yang
telah bersedia menerbitkan buku ini.
Penulis menyadari bahwa buku ini memiliki keterbatasan dan
kekurangan. Dari sisi substansi, masih terdapat aspek-aspek dalam
pembahasan buku ini yang belum penulis jelajahi secara mendalam
dan komprehensif; meskipun demikian, keterbatasan dan kekurangan
itu justru membuka ruang eksplorasi untuk diteliti, dikembangkan,
dan dikritik oleh penulis lain. Penulis percaya bahwa hanya dengan
proses pengembangan dan dialektika terus menerus itulah, ilmu
pengetahuan (termasuk ilmu hukum) dapat selalu hidup dalam
kebaruan, menjadi dinamis, serta mencapai kedalaman dan keluasan
kajian yang lebih daripada sebelumnya. Penulis berharap buku ini
dapat berkontribusi positif terhadap pengembangan dan dialektika
ilmu hukum tersebut.

vii
Terakhir, penulis berterima kasih kepada para pembaca. Semoga
ada manfaat yang bisa diambil dari buku ini.

Tangerang Selatan, 13 Agustus 2017
Dion Valerian

viii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................... v


KATA PENGANTAR PENULIS....................................................... vii
DAFTAR ISI.................................................................................... ix

BAB I. PENDAHULUAN........................................................... 1

BAB II. ASAS LEGALITAS............................................................ 11


2.1. Sejarah Pemikiran dan Pemberlakuan Asas
Legalitas................................................................... 11
2.2. Pengertian-pengertian dalam Asas Legalitas......... 22
2.3. Asas Legalitas dan Keniscayaan Penafsiran
dalam Hukum Pidana............................................ 28

BAB III. PENEMUAN HUKUM DALAM HUKUM PIDANA...... 33


3.1. Penemuan Hukum................................................. 33
3.1.1. Definisi Penemuan Hukum......................... 34
3.1.2. Pelaku Penemuan Hukum........................... 37
3.1.3. Signifikansi Penemuan Hukum.................. 39
3.1.4. Metode-metode Penemuan Hukum........... 43
3.1.5. Penafsiran dalam Hukum Pidana............... 44
3.1.5.1. Penafsiran Ketat............................... 46
3.1.5.2. Penafsiran Gramatikal.................... 47
3.1.5.3. Penafsiran Sistematis dan Logis..... 47
3.1.5.4. Penafsiran Historis.......................... 48
3.1.5.5. Penafsiran Teleologis...................... 49
3.1.5.6. Penafsiran Ekstensif dan Restriktif.... 50
3.1.5.7. Penafsiran dalam Hukum Pidana
menurut Hazewinkel-Suringa........ 51
3.1.6. Konstruksi Hukum....................................... 53
3.1.6.1. Argumentum per Analogiam............. 53

ix
3.1.6.2. Rechtsverfijning (Penyempitan
Hukum)........................................... 56
3.1.1.3. Argumentum a Contrario.................. 57
3.2. Hermeneutika Hukum........................................... 59
3.3. Relevansi Hermeneutika Hukum dengan
Penemuan Hukum................................................. 65
3.4. Analisis terhadap Penerapan Analogi dan
Penafsiran Ekstensif ............................................... 68

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN............................ 111


4.1. Putusan Myxe Zul Janova (Perkosaan dengan
Bujuk Rayu dan Janji Palsu).................................. 111
4.1.1. Kasus Posisi................................................... 111
4.1.2. Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar
Putusan Pengadilan Negeri Bengkulu......... 115
4.1.3. Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar
Putusan Pengadilan Tinggi Bengkulu......... 126
4.1.4. Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar
Putusan Mahkamah Agung......................... 131
4.1.5.Analisis.......................................................... 132
4.2. Putusan Zarima Mir (Pemidanaan dengan
Peraturan Menteri Kesehatan)............................... 158
4.2.1. Kasus Posisi................................................... 158
4.2.2. Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat... 160
4.2.3. Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar
Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta...... 167
4.4.4. Pertimbangan Majelis Hakim dan Amar
Putusan Mahkamah Agung ........................ 170
4.2.5.Analisis.......................................................... 171

BAB V. PENUTUP....................................................................... 193


5.1.Kesimpulan............................................................. 193
5.2.Rekomendasi.......................................................... 196

DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 199


BIODATA PENULIS....................................................................... 205

x
BAB I

PENDAHULUAN

P andangan dominan yang dianut oleh komunitas ahli hukum


pidana adalah bahwa penerapan analogi tidak diperbolehkan
dalam hukum pidana, sebab penerapan tersebut melanggar asas
legalitas. Namun, pandangan ini bukanlah doktrin yang telah bersifat
final. Berdasarkan pembacaan yang penulis lakukan terhadap buku-
buku mengenai asas-asas hukum pidana, penulis berkesimpulan
bahwa penerapan analogi dalam hukum pidana masih menjadi
perdebatan yang belum berujung di antara para ahli hukum pidana.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang permasalahan-permasalahan
mengenai penerapan analogi, terlebih dahulu perlu dikemukakan
mengenai asas legalitas, sebagai suatu asas yang terhadapnya analogi
dianggap bertentangan.
Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) Indonesia merumuskan bahwa “Suatu perbuatan tidak
dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada”.1 Para ahli hukum
pidana bersepakat bahwa ketentuan ini mengandung asas legalitas,
salah satu asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana.2
Asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin: nullum delictum, nulla
poena sine praevia lege poenali, yang artinya dalam bahasa Indonesia


1
Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 7, Pasal
1 KUHP. Dalam buku tersebut, Soerodibroto menggunakan terjemahan Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia.

2
Menurut Barda Nawawi Arief, dua asas yang sangat fundamental dalam hukum pidana adalah
asas legalitas dan asas kesalahan, dikutip dari Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana:
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Kencana: Jakarta, 2014), hlm. 103. Gabriel Hallevy
mengemukakan pendapat lain. Menurutnya, terdapat empat asas fundamental dalam hukum
pidana, yaitu asas legalitas, asas perbuatan, asas kesalahan, dan asas pertanggungjawaban
personal, dikutip dari Gabriel Hallevy, A Modern Treatise on the Principle of Legality in Criminal
Law, (Verlag Berlin Heidelberg: Springer, 2010), hlm. 4.

1
PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

adalah “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
yang mendahuluinya”.3
Dengan mengutip Dupont, Komariah Emong Sapardjaja
menjelaskan bahwa asas legalitas merupakan asas perlindungan
terhadap masyarakat. Menengok faktor kesejarahannya, asas legalitas
lahir sebagai reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa
di zaman Ancient Regime, serta menjadi jawaban atas kebutuhan
fungsional akan kepastian hukum yang menjadi keharusan di dalam
suatu negara hukum liberal pada waktu itu.4 Penyerapan hukum
Romawi kuno oleh hukum Eropa pada abad pertengahan dapat
dijadikan contoh yang tepat untuk menjelaskan hubungan antara
pemerintahan negara yang otoriter dan kebutuhan masyarakat
terhadap kepastian hukum. Hukum Romawi kuno tidak mengenal
asas nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali. Jenis kejahatan
yang dikenal di zaman Romawi kuno adalah kejahatan-kejahatan yang
termasuk dalam crimina extra ordinaria (kejahatan-kejahatan yang tidak
disebut dalam undang-undang).5 Ketika hukum Romawi kuno diserap
oleh hukum Eropa abad pertengahan, begitupun dengan pengertian
crimina extra ordinaria yang juga ikut diterapkan oleh para penguasa di
Eropa. Penerapan crimina extra ordinaria inilah yang memungkinkan
penggunaan hukum secara otoriter sesuai dengan kehendak penguasa.
Asas legalitas dilahirkan untuk mengatasi itu.6
Moeljatno menjelaskan bahwa asas legalitas mengandung tiga
pengertian, yaitu:7
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu
aturan undang-undang.

3
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 40. Andi Hamzah
menjelaskan bahwa sering pula digunakan istilah Latin nullum crimen sine lege stricta (tidak ada
delik tanpa ketentuan yang tegas) untuk menjelaskan asas legalitas. Sudikno Mertokusumo
menguraikan bahwa asas legalitas adalah asas hukum yang dituangkan dalam peraturan konkret,
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2009), hlm. 7.
4
Sapardjaja, Op. Cit., hlm. 6-7. Sudarto menjelaskan pula bahwa pembentukan kitab-kitab
kodifikasi pada masa pemerintahan Napoleon di Perancis, seperti Code Civil, Code de Commerce,
Code de Procedure Civil, Code d’Instruction Criminelle, dan Code Penal, adalah perwujudan kepastian
hukum sebagai obat penawar absolutisme zaman Ancient Regime, dalam Sudarto, Kapita Selekta
Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 53.
5
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: rineka Cipta, 2015), hlm.26.
6
Ibid.
7
Ibid., hlm. 27-28.

2
PENDAHULUAN

b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh


digunakan analogi (kias).
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Pengertian kedua menurut Moeljatno, mengenai larangan


penerapan analogi dalam hukum pidana, menurut penulis adalah
salah satu sisi asas legalitas yang sangat menarik untuk dianalisis.
Pembahasan analogi selalu muncul dalam sebagian besar buku
mengenai asas-asas hukum pidana.8 Hingga sekarang pun, belum
pernah ada kesepakatan di antara para ahli hukum pidana, apakah
analogi dalam hukum pidana harus betul-betul ditolak atau malah
sebaiknya diterima. Meskipun mayoritas ahli hukum pidana menolak
penerapan analogi, namun mereka yang menerima penerapan analogi
jumlahnya juga tidak sedikit.9 Setiap ahli memberikan argumennya,
yang masing-masing memiliki bobot tersendiri serta menunjukkan
perspektif yang beragam. Uraian tentang penerapan analogi selalu
bergandengan dengan penafsiran ekstensif, sebab keduanya mirip
dan sulit dibedakan; bahkan Utrecht mengungkapkan dengan
tegas bahwa antara penafsiran ekstensif dan analogi sesungguhnya
tidak ada perbedaan yang bersifat asasi.10 Untuk memahami lebih
dalam mengenai analogi dan penafsiran ekstensif, sebelumnya perlu
dijelaskan secara ringkas tentang jenis-jenis penafsiran dalam hukum
pidana.
Berdasarkan pendapat Andi Hamzah, penafsiran hukum atau
undang-undang pidana dapat dikategorikan ke dalam lima jenis
penafsiran, yaitu:11
a. Penafsiran gramatikal, yaitu penafsiran yang didasarkan kepada
kata-kata undang-undang. Apabila kata-kata undang-undang

8
Ernst Utrecht, Satochid Kartanegara, Moeljatno, Andi Zainal Abidin, Andi Hamzah, Wirjono
Prodjodikoro, dan P. A. F. Lamintang adalah beberapa ahli hukum pidana yang membahas
analogi dalam buku mengenai asas-asas hukum pidana yang mereka tulis.
9
Utrecht menerangkan bahwa pada tahun 1922, ahli yang mendukung analogi baru B. M. Taverne
seorang, ahli-ahli lain pada waktu itu, misalnya Simons, Zevenbergen, dan van Hamel menolak
diterimanya analogi dalam hukum pidana. Pendukung analogi kemudian bermunculan,
terutama dari para ahli yang bermazhab modern, misalnya Roling, Pompe, dan Jonkers. Dikutip
dari E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Tanpa tempat: tanpa penerbit, tanpa
tahun), hlm. 211-216.
10
Utrecht, Ibid., hlm. 212.
11
Andi Hamzah, Op. Cit., hlm 81-83. Menurut Sudikno Mertokusumo, penafsiran hukum hanya
terdiri dari empat jenis, penafsiran ekstensif tidak dimasukkan olehnya, Mertokusumo, Op. Cit.,
hlm. 56-64.

3
PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

sudah jelas, maka harus diterapkan sesuai dengan kata-kata itu


walaupun seandainya maksud pembuat undang-undang lain.
b. Penafsiran sistematis atau dogmatis, yaitu penafsiran yang
didasarkan kepada hubungan secara umum dalam suatu aturan
pidana.12
c. Penafsiran historis, didasarkan kepada maksud pembuat
undang-undang ketika diciptakan.13
d. Penafsiran teleologis, didasarkan pada tujuan undang-
undang.14
e. Penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran yang memperluas makna
ketentuan.

Penafsiran ekstensif selalu dibenturkan dengan analogi, sebab


perbedaan keduanya dipandang tipis sekali. Moeljatno, dengan
mengutip Paul Scholten, menjelaskan bahwa baik dalam hal
penafsiran ekstensif maupun analogi, keduanya memiliki dasar yang
sama, yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi
(lebih umum atau lebih abstrak) dari norma yang ada. Kemudian,
dilakukan pereduksian sehingga menjadi aturan yang baru (yang
sesungguhnya meluaskan aturan yang ada). Antara keduanya tersebut,
hanya ada perbedaan gradual saja.15 Secara lebih radikal, Jonkers
mengemukakan bahwa yang dianggap sebagai penafsiran ekstensif
atau penafsiran teleologis itu sesungguhnya merupakan analogi.16
Moeljatno, sebagai ahli yang mendukung penafsiran ekstensif
namun menolak penerapan analogi dalam hukum pidana, berusaha
menjelaskan tentang perbedaan antara penafsiran ekstensif dan
analogi. Menurut Moeljatno, dalam penafsiran ekstensif, yang menjadi

12
Andi Zainal Abidin menjelaskan bahwa penafsiran sistematis adalah dalam hal hakim
menggantungkan penjelasan suatu ketentuan pada sistem peraturan-peraturan dalam mana
peraturan tersebut berada, dikutip dari Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2014), hlm. 117.
13
Menurut Abidin, dengan penafsiran jenis ini, hakim meneliti tentang risalah pembentukan
peraturan tersebut (wetshistorisch) atau hakim meneliti tentang ketentuan-ketentuan dahulu
yang mendahului ketentuan sekarang (rechtshistorisch), Ibid.
14
Abidin berpandangan bahwa selain dengan memperhatikan maksud pembuat undang-undang
dan asas-asas yang dijadikan pembuat undang-undang sebagai dasar ketentuan-ketentuan yang
dibuatnya, penafsiran teleologis juga mencakup penafsiran berdasarkan syarat-syarat yang
dikehendaki oleh masyarakat, Ibid., hlm. 116.
15
Moeljatno, Op. Cit., hlm. 29 dan Utrecht, Op. Cit., hlm. 210-211.
16
J. E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda [Handboek van het Nederlandsch-Indische
Strafrecht], diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Bina Aksara, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm.
71.

4
PENDAHULUAN

pedoman adalah aturan yang ada, di dalamnya ada perkataan yang kita
beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak
menurut maknanya pada waktu undang-undang dibentuk. Sedangkan
dalam menerapkan analogi, pangkal pendiriannya adalah bahwa
perbuatan yang menjadi persoalan itu tidak bisa dimasukkan dalam aturan
yang ada. Namun, perbuatan tersebut, menurut pandangan hakim
seharusnya dijadikan perbuatan pidana pula, karena termasuk intinya
aturan yang ada, mengenai perbuatan yang mirip dengan perbuatan
itu.17 Meskipun begitu, seperti diuraikan di atas, Moeljatno menyetujui
pendapat Scholten bahwa antara penafsiran ekstensif dan analogi
hanya ada perbedaan gradual saja.
Eddy Hiariej berpendapat bahwa para ahli hukum pidana yang
membahas analogi dapat dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu:18
a. Golongan pertama, berisi para ahli hukum pidana yang dengan
tegas menolak analogi dalam hukum pidana. Golongan ini
diwakili oleh van Bemmelen, van Hattum, Moeljatno, dan
Remmelink. Van Bemmelen dan van Hattum bahkan menolak
penggunaan penafsiran ekstensif dalam hukum pidana.
Moeljatno, meskipun menolak penerapan analogi, namun
menerima penafsiran ekstensif.
b. Golongan kedua, berisi para ahli hukum pidana yang tidak
secara tegas menerima atau menolak analogi. Golongan ini
diwakili oleh Hazewinkel-Suringa dan Vos.
c. Golongan ketiga, adalah para ahli hukum pidana yang
menerima penerapan analogi. Golongan ini diwakili oleh
Roling, Pompe, dan Jonkers. Golongan ini berargumen bahwa
antara penafsiran ekstensif dan analogi tidak ada perbedaan
asasi. Dipandang bahwa dengan demikian, analogi tidaklah
menabrak asas legalitas. Golongan ini juga berpendapat
bahwa sebenarnya pengadilan Belanda telah memutus dengan
penerapan analogi, yaitu dalam kasus pencurian listrik19 dan
kasus penjualan sapi oleh orang yang berpura-pura sebagai
pemilik sapi.20

Dalam konteks Indonesia, putusan pengadilan yang paling


banyak dikutip berkaitan dengan penerapan analogi adalah putusan

17
Moeljatno, Op. Cit., hlm. 31-33.
18
Eddy O. S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga,
2009), hlm. 73-82.
19
Arrest Hoge Raad 23 Mei 1921, Jonkers, Loc. Cit.
20
Arrest Leeuwarden 10 Desember 1919, Ibid., hlm. 72.

5
PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

Pengadilan Tinggi Medan No. 144/Pid/1883/PT.Mdn tanggal 8


Agustus 1983 dengan Ketua Majelis Hakim Bismar Siregar yang
mengadili Terdakwa MRS.21 Terdakwa didakwa Pasal 293 KUHP
jo. Pasal 5 ayat (3) UU No. 1/Drt/1951 (Dakwaan Primair), Pasal
378 KUHP (Dakwaan Subsidair), dan Pasal 335 KUHP (Dakwaan
Lebih Subsidair). Perbuatan yang Terdakwa lakukan adalah
mengajak tunangannya, Saksi A untuk melakukan persetubuhan,
dengan janji Terdakwa akan mengawini Saksi A. Akibat janji dan
rayuan Terdakwa, Saksi A akhirnya dapat disetubuhi oleh Terdakwa
beberapa kali. Saksi A lalu hamil, namun Terdakwa mengingkari
janjinya, bahkan kemudian mengawini perempuan lain.22 Pada
pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri Medan), Terdakwa
diputus bersalah karena perbuatannya memenuhi Dakwaan Primair
dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Di pengadilan tingkat
banding, Terdakwa dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan
perbuatan sebagaimana disebut dalam Dakwaan Primair, namun,
Terdakwa dinyatakan bersalah melakukan kejahatan dalam Dakwaan
Subsidair (penipuan) dan dihukum tiga tahun pidana penjara.
Pertimbangan yang diangggap penerapan analogi terdapat dalam
pertimbangan unsur “memberikan/menyerahkan barang”. Majelis
Hakim menimbang bahwa pengertian barang semakin meluas,
sejalan dengan perkembangan teknologi modern dan kebudayaan.
Maka, pengertian “barang” diperluas, sehingga “jasa” tercakup pula di
dalamnya.23 Majelis Hakim juga menafsirkan istilah “barang” dalam
bahasa Tapanuli yang dikenal dengan nama bonda. Bonda tidak lain
berarti alat kelamin perempuan, sehingga, menurut Majelis Hakim,
ketika Saksi A bersedia vaginanya disetubuhi oleh Terdakwa sama saja
dengan menyerahkan benda/barang.24 Di tingkat kasasi, putusan ini
dibatalkan oleh Mahkamah Agung.25

21
Edi Setiadi dan Dian Andriasari, Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013), hlm. 35-38.
22
Ibid.
23
Ibid.
24
Ketika ‘Kehormatan’ Wanita Dianalogikan Hakim sebagai ‘Barang’, http://www.hukumonline.com/
berita/baca/lt54a40e07e7422/ketika-kehormatan-wanita-dianalogikan-hakim-sebagai-barang,
diakses pada 8 Februari 2016.
25
Adi Andojo Soetjipto, Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung yang membatalkan putusan
tersebut di tingkat kasasi, menyatakan, “Seperti dia mengatakan, bahwa kelamin wanita
dikatakan barang, sehingga bisa-bisa menjadi objek penipuan. Itu tidak pakai aturan main.

6
PENDAHULUAN

Berbeda dengan KUHP Indonesia yang tidak mengatur tentang


larangan analogi, Pasal 1 ayat (2) Rancangan KUHP Naskah 2015
secara terang melarang penggunaan analogi dalam menetapkan
perbuatan pidana.26 J. E. Sahetapy mengkritik ketentuan ini, karena
menurutnya, kalau sudah ada voorafgegane wettelijke strafbepaling, maka
dicantumkannya analogi adalah overbodig alias berlebihan.27 Sahetapy
membandingkan pengaturan larangan analogi ini dengan Denmark
dan Belanda. Menurutnya, di Denmark28 analogi tidak dicantumkan,
sedang di Belanda larangan analogi cukup dicantumkan dalam
doktrin.29 Rumusan ini menjadi tidak sinkron dan harmonis ketika
dihadapkan dengan ketentuan Pasal 2 Rancangan KUHP Naskah 2015
yang terang-terang menyatakan bahwa asas legalitas tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan.30 Sehingga, di satu sisi,
Rancangan KUHP menolak penggunaan analogi namun di sisi lain

Terlalu jauh dia. Jadi, aksi radiusnya itu ditarik terlalu jauh. Padahal ada aturan main kalau mau
menafsirkan”. Dikutip dari Putusan Bonda yang ‘Mengayun’ Bismar, http://www.hukumonline.
com/berita/baca/lt559fba87c3065/putusan-ibonda-i-yang-mengayun-bismar, diakses pada 8
Februari 2016.
26
Republik Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Pasal 1. Redaksi lengkapnya:
Pasal 1
(1) Tidak seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang
dilakukan telah ditetapkan seagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.
27
J.E. Sahetapy, “Membangun Hukum Pidana Indonesia,” dalam Jufrina Rizal dan Suhariyono
AR, ed., Demi Keadilan: Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Kemang,
2016), hlm. 29. Voorefgegane wettelijke strafbepaling adalah bagian dari Pasal 1 KUHP berbahasa
Belanda, yang lengkapnya: Geen feit is straffbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane
wettelijke strafbepaling, artinya, seperti dikemukakan di depan, adalah “Suatu perbuatan tidak
dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada”.
28
Pasal 1 KUHP Denmark merumuskan “Only acts punishable under a statute or entirely
comparable acts shall be punished. The same rule shall apply to the other legal consequences
set out in Chapter 9”. Terjemahan bebas bahasa Indonesia: “Perbuatan yang harus dipidana
hanyalah perbuatan-perbuatan yang menurut undang-undang dapat dipidana atau
perbuatan-perbuatan yang seluruhnya dapat diperbandingkan. Aturan yang sama berlaku
kepada konsekuensi hukum lain yang diatur dalam Bagian 9”. Dikutip dari Denmark, The
Criminal Code, Pasal 1.
29
Sahetapy, Ibid.
30
Republik Indonesia, Op. Cit., Pasal 2. Redaksi lengkapnya:
Pasal 2

7
PENERAPAN ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

mendukung berlakunya hukum pidana tidak tertulis.31 Pada tahun


1987 dalam diskusinya dengan Tim Pengkajian Hukum Pidana
sebagai penyusun Rancangan KUHP, Keijzer dan Schaffmeister
menyebut ketentuan ini sebagai “ketentuan akrobatik” karena
menyimpang dari asas legalitas.32
Berdasarkan uraian di muka, penulis menyimpulkan bahwa
setidaknya ada tiga bahasan besar mengenai penerapan analogi
dalam hukum pidana yang patut dianalisis, yaitu: pertama, perdebatan
penerapan analogi dalam konteks konsep akademis, di dalamnya
mencakup perdebatan mengenai ada tidaknya perbedaan serta
persamaan antara analogi dan penafsiran ekstensif; kedua, penerapan
analogi dalam putusan pengadilan di Indonesia; dan ketiga,
pengaturan mengenai analogi dalam Rancangan KUHP, dikaitkan
dengan asas legalitas dan keberlakuan hukum pidana tidak tertulis.
Adapun putusan-putusan pengadilan yang menerapkan analogi dalam
pertimbangannya adalah:
1. Putusan PN Bengkulu Nomor 410/Pid.B/PN.BGL, Putusan
PT Bengkulu Nomor 12/Pid/2015/PT.BGL, dan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 786K/Pid/2015 dengan Terdakwa
Myxe Zul Janova.
2. Putusan PN Jakarta Barat Nomor 011/Pid/B/1997/PN.JKT.BAR,
Putusan PT DKI Jakarta Nomor 110/Pid/1997/PT.DKI, dan
Putusan Mahkamah Agung 1417K/Pid/1997 dengan Terdakwa
Zarima Mir.

Buku ini akan menjawab dua buah pokok permasalahan, yaitu:


1. Bagaimanakah perbedaan dan persamaan antara penerapan
analogi dan penafsiran ekstensif dalam hukum pidana?

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia,
dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.
31
Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm. 53-55. Mengenai
kontradiksi ini, Tongat menjelaskan bahwa larangan analogi (Pasal 1 ayat (2) Rancangan
KUHP) mengisyaratkan bahwa untuk menentukan adanya perbuatan yang bersifat melawan
hukum harus didasarkan pada ukuran yang tertulis, sehingga menafsirkan makna di balik yang
tertulis tidak dihalalkan. Dikutip dari Tongat, “Rekonstruksi Politik Hukum Pidana Nasional
(Telaah Kritis Larangan Analogi dalam Hukum Pidana),” Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 3,
(September 2015), hlm. 532.
32
Hamzah, Op. Cit., hlm. 43-44.

8
PENDAHULUAN

2. Bagaimanakah analogi diterapkan dalam Putusan Mahkamah


Agung Nomor 786K/Pid/2015 dan 1417K/Pid/1997?
Jawaban terhadap dua pokok permasalahan tersebut kemudian
disintesiskan untuk membuat rekomendasi terhadap perumusan
Rancangan KUHP mengenai pelarangan analogi dan keberlakuan
hukum pidana tidak tertulis.
Sistematika uraian dalam buku ini adalah sebagai berikut. Bab
I menjelaskan secara singkat mengenai permasalahan-permasalahan
yang menjadi pokok bahasan buku ini. Bab II kemudian menguraikan
tentang asas legalitas, mencakup sejarah pemikiran, pemberlakuan,
juga pengertian-pengertian yang terkandung dalam asas legalitas.
Bab II juga membahas mengenai keniscayaan penafsiran dalam
hukum pidana. Selanjutnya, Bab III menguraikan tentang penemuan
hukum, mencakup definisi, pelaku, signifikansi, dan tentunya
metode-metode penemuan hukum. Bab III membahas pula tentang
hermeneutika hukum, serta relevansinya dengan penemuan hukum.
Bab III akan ditutup dengan analisis terhadap penerapan analogi dan
penafsiran ekstensif dalam konteks hukum pidana. Kemudian, Bab
IV memaparkan analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor
786K/Pid/2015 dan 1417K/Pid/1997. Terakhir, penulis merumuskan
kesimpulan dan rekomendasi dalam Bab V.

9
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai