net/publication/353307178
Positivisme Hukum
CITATIONS READS
0 2,028
1 author:
Shidarta Shidarta
Binus University
388 PUBLICATIONS 148 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Shidarta Shidarta on 17 July 2021.
Shidarta
UPT PENERBITAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
POSITIVISME HUKUM
oleh: Shidarta
ISBN: 978-979-9234-31-5
Buku ini dapat diakses secara elektronik dan didedikasikan untuk
keperluan akademis. Pembaca dapat mengunduh isi buku ini secara
utuh. Namun, semua pengutipan dari buku ini wajib untuk
mencantumkan sumber dari buku ini.
ii
PEMBUKA KATA
Buku ini pada dasarnya sama dengan buku edisi pertama dari
karya saya yang terbit tahun 2007, kecuali perbaikan kesalahan
ketikan dan tambahan informasi tentang adanya perubahan
undang-undang. Sejak tahun 2007, buku ini telah beredar secara
terbatas di kalangan mahasiswa penulis dan sejumlah kolega. Prof.
Dr. Valerine J.L. Kriekhoff adalah salah satu dosen yang kerap
merekomendasikan buku ini untuk mahasiswa beliau di Program
Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia. Penulis sendiri
mengizinkan penggunaannya bahkan [membiarkan] perbanyakan-
nya, sepanjang untuk tujuan nonkomersial.
iii
dimulai dari mana saja karena ketiga dimensi tersebut saling
mengisi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika uraian terhadap
ketiga aspek ini kerap saling bersinggungan.
Shidarta
iv
PENGANTAR
PROF. H. DARJI DARMODIHARJO, S.H.
Buku yang ada di tangan Pembaca ini diberi judul oleh penulisnya
"Positivisme Hukum". Berbicara tentang Positivisme Hukum akan
membawa Pembaca kepada wacana tentang hukum positif. Dan,
ilmu hukum dogmatis atau biasa juga disebut dogmatika hukum
sangat terkait dengan uraian Positivisme Hukum.
v
Setelah membaca naskah dari buku ini, saya sangat
merekomendasikan agar buku tersebut dapat dijadikan bacaan
pembuka ke arah pemahaman yang lebih jauh tentang Positivisme
Hukum, khususnya kepada para peserta program sarjana dan
pascasarjana ilmu hukum. Buku ini tidak saja membuat
rangkuman yang komprehensif, melainkan juga menyajikan
analisis dari penulis yang sangat berharga bagi Pembaca yang
meminati filsafat hukum.
Darji Darmodiharjo
Guru besar filsafat hukum
vi
DAFTAR ISI
vii
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1
(1798-1857). Kata "positif" dalam Positivisme ala zaman modern
ini mengandung banyak arti. Sesuatu dianggap positif jika ia
merupakan kenyataan (lawan dari khayalan). Dalam kaca mata
Positivisme, kenyataan itu harus berobjek kajian tunggal. Positif
juga berarti kepastian (lawan dari keraguan). Hanya sesuatu yang
memiliki keseimbangan logis yang dapat dipandang memiliki
kepastian. Dari aspek ini, Positivisme sangat mengagung-
agungkan peran rasio sebagai modalitas pengetahuan manusia.
Positif juga bermakna ketepatan (lawan dari kekaburan), yang
maksudnya segala sesuatu perlu kejelasan pengertian. Selanjutnya,
positif adalah kemanfaatan. Positivisme yang tidak
mengedepankan kemanfaatan tidak akan menuai kemajuan.
Pandangan ini mengritik keberadaan ilmu yang oleh sebagian
kalangan hanya dianggap sekadar memuaskan rasa ingin tahu.
Ilmu berkarakter demikian jelas bukan ilmu-ilmu positif.
Akhirnya, positif juga mengandung arti keteraturan (lawan dari
negatif). Keteraturan membutuhkan penataan dan penertiban.
Positivisme adalah aliran yang meyakini bahwa pengetahuan
manusia bersifat objektif, yang diperoleh melalui penyelidikan
empirik dan rasional. Batasan sederhana ini dapat dikembalikan
kepada lima asumsi dasar Positivisme.
Asumsi pertama dari Positivisme adalah logiko-empirisme.
Dalam konteks ini, Positivisme meyakini bahwa setiap kebenaran
harus melewati pembuktian secara empiris. Pembuktian empiris
terjadi melalui rangkaian eksperimen yang terlacak secara
inderawi (fenomenalisme). Sesuatu di luar pembuktian empiris
dipandang oleh Positivisme sebagai tidak ilmiah, sehingga
dimasukkan ke dalam kelompok metafisis.
Asumsi kedua adalah realitas objektif. Seperti diungkapkan di
muka, realitas dalam Positivisme adalah segala sesuatu yang
berobjek kajian tunggal. Sifat tunggal ini muncul karena
Positivisme memandang objek selalu terpisah dari subjek. Adanya
jarak (distansi) inilah yang menyebabkan setiap subjek (pengamat)
mampu memperoleh pemahaman yang sama terhadap objek
(benda yang diamati). Oleh sebab itu, selalu ada kebenaran
2
objektif. Kebenaran objektif adalah kebenaran sesuai dengan
objeknya.
Asumsi ketiga adalah reduksionisme. Asumsi ini meneruskan
asumsi pertama dan kedua terkait dengan kebenaran yang rasional
dan empiris atas objek kajian tunggal. Untuk membuktikan dua
asumsi sebelumnya, maka objek itu harus dapat diamati dalam
satuan-satuan kecil (fakta-fakta keras yang terobservasi). Hakikat
dari keseluruhan objek adalah penjumlahan dari hakikat atas
satuan-satuan kecil tadi. Sesuatu yang tidak dapat direduksi
dipandang bukan objek kajian ilmiah. Tuhan, misalnya, adalah
objek kajian yang tidak dapat direduksi ke dalam satuan-satuan
kecil atau fakta-fakta keras yang teramati. Dengan demikian,
Tuhan dalam kaca mata Positivisme bukan termasuk bahan kajian
ilmiah.
Asumsi keempat adalah determinisme. Sesuatu bersifat
determinan apabila tunduk pada hukum sebab-akibat (kausalitas).
Keteraturan dunia dikendalikan oleh hukum kausalitas yang
berjalan linear, mirip seperti jam yang bekerja secara mekanis.
Positivisme meyakini bahwa berkat determinisme inilah maka
dunia dapat dikendalikan lewat ilmu-ilmu modern.
Asumsi terakhir atau kelima adalah bebas nilai. Asumsi ini erat
kaitannya dengan pandangan realitas objektif sebagaimana
disebutkan dalam asumsi kedua. Akibat adanya distansi antara
subjek dan objek, maka subjektivisme dianggap menyesatkan
karena hanya memberi peluang bagi penafsiran-penafsiran
subjektif. Jika subjektivitas sudah ikut mengambil peran, maka
langkah berikutnya adalah masuknya kepentingan-kepentingan
personal/kelompok dalam lapangan kajian ilmiah. Hal ini, menurut
Positivisme, sangat berbahaya bagi dunia ilmiah.
Dapat ditebak bahwa apa yang dimaksud dengan ilmu dalam
perspektif Positivisme hanyalah ilmu-ilmu alam. Alasannya jelas,
karena hanya ilmu-ilmu alam yang mampu memenuhi kelima
asumsi yang disebutkan di atas.1
1
Konsep dan metode ilmu-ilmu alam ini ingin digunakan oleh Comte untuk
tidak saja menjelaskan objek kajian benda mati (anorganik) melainkan juga
3
Kelima asumsi Positivisme di atas tampil dalam tahap ketiga
perkembangan pemikiran dan budaya manusia. Auguste Comte
menamakan tahap ketiga ini sebagai tahap positivis (riil). Tahap
ini adalah tahap kedewasaan manusia yang ditandai dari
kemampuan manusia mengatasi problematika alam melalui ilmu
dan teknologi.
Sebelum sampai kepada tahap terakhir ini, manusia harus
melalui tahap pertama dan kedua. Hukum tiga tahap (law of the
three stages) dari Comte dimulai dari tahap teologis (fiktif). Pada
perioda ini, manusia hanya mampu berserah diri kepada kekuatan
supranatural. Pada tahap kedua, yaitu tahap metafisis (abstrak),
kemampuan rasio manusia sudah mulai berkembang, sehingga
segala rintangan alam disiasati dengan pendekatan abstrak.
Agama-agama monoteis dianggap berperan pada tahap metafisis
ini.
Positivisme yang dirintis oleh Auguste Comte tersebut
meredup seiring dengan peristiwa Perang Dunia I (1914-1918).
Namun, seusai perang Positivisme kembali dilirik lagi. Pada
pertengahan abad ke-19 Positivisme bermetamorfosa menjadi
Neopositivisme, yakni tatkala kajian-kajian metafisis yang
menonjol sepanjang abad pertengahan, mulai ditinggalkan dan
dipandang sebagai biang keladi ketertinggalan peradaban manusia
selama ini.
Neopositivisme makin menguat pada abad ke-20 melalui
komunitas yang menamakan dirinya dengan Lingkaran Wina
(Vienna Circle atau Der Wiener Kries). Namun, Lingkaran Wina
ini menolak diidentikkan dengan Positivisme Perancis era Saint
Simon dan Auguste Comte yang dinilai terlalu ideologis daripada
empiris. Komunitas Lingkaran Wina yang berdiri sekitar tahun
1924 ini mengusung satu pandangan yang disebut Positivisme
Logis. Mereka ingin membebaskan dunia keilmuan sebagai "kaki
tangan" ideologi penguasa dan ingin menjadikan ilmu
pengetahuan itu sebagai sumber kebenaran satu-satunya.
4
Neopositivisme yang disebut Positivisme Logis ini dimotori
oleh Ernst Mach (1838–1916), Moritz Schlick (1882–1936), dan
Rudolf Carnap (1891–1970). Aliran dalam filsafat pengetahuan
(epistemologi) ini merasa gundah menyaksikan kegagalan
masyarakat ilmiah menghentikan perang dan mengatasi
kemiskinan umat manusia. Ilmu-ilmu pada masa itu dituduh oleh
Positivisme Logis terlalu asyik dengan dirinya mereka sendiri dan
berdiri di atas menara gading. Lingkaran Wina dikenal luas
sebagai gerakan yang berupaya keras melahirkan filsafat yang
ilmiah dengan menghapus semua proposisi yang kabur, terutama
proposisi-proposisi metafisis. Lingkaran ini demikian
berpengaruh, antara lain melalui jurnal Erkenntnis (nanti berubah
nama menjadi Journal of Unified Science ketika sebagian
pendukung aliran ini hijrah ke Amerika Serikat). Jurnal Erkenntnis
disunting Carnap bersama dengan Hans Reichenbach (1891–1953)
pendiri Lingkaran Berlin yang pikiran-pikirannya sejalan dengan
Lingkaran Wina.
Teori yang dibawa aliran Positivisme Logis berpegang pada
empat asas, yakni (1) Empirisme, (2) Positivisme, (3) logika, dan
(4) kritik ilmu. Pada awal Perang Dunia II, Positivisme Logis
digantikan oleh aliran Empirisme Logis yang mempersempit teori
pengetahuan dari Positivisme Logis. Menurut Empirisme Logis,
asas yang relevan cukup dua saja, yakni Empirisme dan logika.
Unsur Empirisme dilepaskan dan unsur kritik ilmu sangat
berkurang peranannya. Sasaran Empirisme Logis juga lebih
spesifik, yaitu terbatas pada pengembangan ilmu yang berkesatuan
(unified science) melalui analisis logis terhadap bahasa yang
dipakai pada masing-masing bidang ilmu.2
2
Ada dua faktor yang menyebabkan Positivisme Logis menghilang dan
digantikan kemudian oleh Empirisme Logis. Pertama, pada tahun 1938 Austria
diduduki oleh tentara Jeman dan digabungkan dengan negara itu. Para ilmuwan
yang tidak setuju dengan pendudukan ini lalu hijrah ke negara-negara Anglo
Sakson seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Kedua,
Positivisme Logis kehilangan daya tariknya karena dipandang tidak mampu
berkontribusi bagi pembangunan masyarakat (perang dan krisis ekonomi
terjadi). Penjelasan perubahan ini dan hal-hal terkait dengan analisis Emprisme
Logis dapat dibaca dalam J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid 1
5
Positivisme dan Empirisme memiliki kedekatan karena
keduanya sama-sama membatasi pengetahuan pada observasi
terhadap gejala-gejala. Semua gejala dianggap sebagai fakta, dan
dari fakta itu lalu disusun menurut hukum tertentu. Akhirnya
dengan berpangkal pada hukum-hukum yang telah ditemukan tadi,
kaum Positivis mencoba melihat ke masa depan, ke apa yang akan
tampak sebagai gejala dan menyesuaikan diri dengannya. Semua
ilmu mengandung misi: mengetahui untuk dapat melihat ke masa
depan. Oleh karena ilmu hanya menyatakan fakta-fakta dan
menyelidiki hubungan di antara mereka, maka tidak ada gunanya
menanyakan hakikat atau sebab-sebab yang sebenarnya dari
gejala-gejala itu. Yang harus diusahakan adalah menentukan
syarat-syarat di mana fakta-fakta tertentu tampil dan
menghubungkan fakta-fakta itu menurut persamaan dan
urutannya. Hubungan tetap yang tampak dari persamaan itulah
yang disebut dengan "pengertian" sedangkan hubungan-hubungan
tetap yang tampak pada urutannya disebut "hukum-hukum".3
Pandangan untuk menafikan penyelidikan ke arah hakikat atau
sebab-sebab yang sebenarnya dari suatu gejala menunjukkan
bahwa Positivisme tidak menyukai pekerjaan filsafat. Kaum
Positivis menuduh filsafat sebagai pekerjaan metafisis yang tidak
bermanfaat dan tidak berorientasi ke masa depan.
Kesamaan Positivisme dan Empirisme adalah karena keduanya
mengutamakan pengalaman. Dalam perkembangannya kemudian,
khususnya di Inggris, Positivisme dan Empirisme memiliki
perbedaan dalam hal Positivisme membatasi diri pada
pengalaman-pengalaman objektif, sedangkan Empirisme
menerima juga pengalaman-pengalmanan batiniah atau
pengalaman subjektif.4
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Positivisme
Logis yang dari dimensi keilmuan dipandang sangat
6
mempengaruhi Positivisme Hukum, ternyata menggunakan
pendekatan empiris. Hal ini sangat menarik dicermati karena
dalam pendekatan empiris, cara berpikir nondoktrinal yang
seyogianya diperagakan. Namun dalam kenyataannya, Positivisme
Hukum justru menunjukkan pola berpikir yang bertolak belakang
sama sekali, yaitu dengan menggunakan logika deduktif atau
pendekatan doktrinal bersumber kepada norma positif dalam
sistem perundang-undangan yang dipandang benar secara self-
evident.
7
untuk berlaku efektif ke seluruh wilayah kekuasaannya.
Perkembangan hukum di Romawi berlangsung mengikuti empat
kurun waktu pergantian model pemerintahan, berawal dari masa
kerajaan (753-367 SM), masa republik (367-27 SM), masa
kekaisaran pertama (27 SM-284 M), dan masa kekaisaran kedua
(284-565 M).
Prinsip hukum pidana yang sangat penting, yaitu asas nulla
poena sine lege praevia, yang lazim dikenal dengan istilah asas
legalitas, dibentuk pada kurun waktu pertama pemerintahan
Romawi,5 sekalipun pada awalnya bangsa Romawi sendiri kurang
menganggap penting kedudukan undang-undang.6 Prinsip legalitas
ini membawa konsekuensi bahwa negara wajib melakukan
pembentukan undang-undang selengkap mungkin, khususnya
dalam lapangan hukum pidana. Upaya ini relatif berhasil berkat
sistem organisasi pemerintahannya yang kuat. Beberapa karya
penting seputar hukum antara lain adalah Codex Theodosianus
(483 M), Codex Iustinianus I (528 M), dan Codex Iustinianus II
(534 M).7 Namun di sisi lain, keluasan wilayah Romawi pada saat
itu menciptakan peluang hidupnya hukum-hukum lain di luar
hukum positif dari negara. Bentuk hukum lain yang besar
pengaruhnya adalah hukum kanonik dari Gereja, khususnya
setelah agama Kristen resmi dijadikan agama negara di Romawi
pada tahun 380 Masehi.
Pemberontakan di sana-sini pada abad ke-4 Masehi, membuat
Romawi kian melemah. Pada saat itulah muncul ide desentralisasi.
5
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematika Ketertiban yang
Adil (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 47.
6
Ada ungkapan bangsa Romawi yang disitir Apeldoorn dalam bahasa Jerman,
"Das Volk des Rechts ist nicht das Volk des Gesetzes" (masyarakat hukum
bukanlah masyarakat undang-undang). Baca L.J. van Apeldoorn, Pengantar
Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985),
hlm. 15.
7
Codex Iustinianus I tidak lupa mencantumkan pula asas legalitas dengan kata-
kata "Leges et constutiones futuris certum est dare formam ngotiis, non ad facta
praeterita revocari" (tentu undang-undang dan peraturan raja berlaku untuk
perbuatan yang dilakukan kemudian, tidak untuk peristiwa yang sudah lampau).
Baca Ibid., hlm. 103.
8
Walikota dan para tuan tanah diperbolehkan membuat aturan
sendiri-sendiri, khususnya dalam bidang perdagangan.
Pemberontakan terhadap kekuasaan Romawi terus terjadi,
sehingga pada tahun 390 Masehi, Romawi pecah menjadi dua,
yaitu Romawi Barat yang berpusat di kota Roma dan Romawi
Timur di kota Konstanstinopel. Sejarah mencatat bahwa Romawi
Barat hanya mampu bertahan sampai tahun 476, sedangkan
Romawi Timur bisa bertahan sampai tahun 1453.
Terus melemahnya cengkeraman kekuasaan Romawi
melahirkan negara-negara baru di Eropa. Negara-negara ini
menciptakan hukum-hukum mereka sendiri, namun dasar-dasar
hukum Romawi tetap menjadi pegangan. Sampai dengan abad ke-
11 dan 12, pengajaran berbasiskan hukum Romawi masih tetap
berlangsung, sekalipun pendekatannya sudah sangat pragmatis
sesuai kebutuhan perdagangan saat itu. Pada masa itu, Bologna di
Italia menjadi kiblat pembelajaran ilmu hukum. Salah satu figur
pengajar hukum yang sangat berpengaruh adalah Irnerius
(1050-1125). Masa-masa abad ke-11 dan 12 ini dikenal sebagai
perioda pembentukan tradisi hukum Barat (the forming of the
western legal tradition).8
Pada abad ke-18 terjadi perkembangan yang sangat signifikan
dalam perjalanan hukum. Tahun 1789 meletus Revolusi Perancis
dengan segala gagasan-gagasan egaliternya.9 Untuk mengatasi
8
Ada pandangan dari Harold J. Berman bahwa pembentukan tradisi hukum
Barat bermula dari maklumat dekrit Paus Gregorius VII pada tahun 1075.
Dekrit "Reformatio Totius Orbis" (reformasi atas seluruh tataran dunia) ini
menyatakan Paus saja yang di dunia ini berstatus universal dan oleh karena itu
ia tidak terikat pada ucapan dan ikrarnya sendiri. Dekrit ini mendapat
perlawanan dari para raja, khususnya dari Kaisar Heinrich IV dari Sachsen.
Perlawanan terhadap the Papal Revolution tersebut menghasilkan kompromi
berupa prinsip negara hukum, yaitu the supremacy state of law. Uraian tentang
ini baca Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan
Dinamika Masalahnya (Jakarta: Elsam-HuMa, 2002), hlm. 88-89.
9
Prinsip egaliter yang dimaksud adalah dimaklumatkan hak-hak asasi manusia,
yaitu kemerdekaan (Liberté), persamaan (Egalité), dan persaudaraan
(Fraternité). Revolusi ini berakhir dengan takluknya Louis XVI sebagai raja
terakhir Perancis, dan kemudian bentuk pemerintahan berubah menjadi
republik.
9
pluralisme hukum di negara itu, Napoleon Bonaparte (1769-1821)
yang merebut kekuasaan pada tahun 1799, berkeinginan membuat
kodifikasi yang sejalan dengan semangat Revolusi Perancis.
Kodifikasi ini di kemudian hari disebut Code Napoleon (Code
Civil). Pesan ini membawa konsekuensi bahwa sistem hukum
yang akan dibangun nanti harus khas Perancis. Untuk itu maka
hukum Romawi dilarang diajarkan di sekolah-sekolah. Substansi
hukum yang dipelajari adalah dari Code Napoleon. Kondisi inilah
yang melahirkan bentuk legisme dalam perkembangan dunia
hukum. Ilmu hukum memasuki satu era, yakni masa tatkala
hukum menjadi sangat bercorak nasionalistis dan kehilangan
karakter universalitasnya.
Berkembangnya agama Kristen di daratan Eropa memberi
sumbangan pemikiran ke arah pengakuan terhadap persamaan
derajat manusia di hadapan Tuhan (equality). Hal ini sangat
relevan pada masa itu tatkala perbudakan masih menjadi tradisi
dalam dunia Barat. Tradisi perbudakan tersebut baru lenyap dari
daratan Eropa pada tahun 1400-1500 M.10 Prinsip persamaan
inilah yang kemudian diadopsi menjadi asas persamaan derajat
manusia di hadapan hukum (equality before the law) dalam
Konstitusi Perancis pada tahun 1791 dan ditegaskan kembali
dalam tahun 1793.11 Prinsip ini di kemudian hari sangat memberi
pengaruh pada Konstitusi Amerika Serikat.
Kodifikasi ala Napoleon sebagaimana dikemukakan di atas
kemudian diadopsi besar-besaran di berbagai negara, khususnya
negara-negara yang berada dalam pengaruh kekuasaan Perancis.
Hampir semua negara bercorak civil law system mengikuti
pendekatan tersebut, kecuali Jerman yang berkembang tersendiri
akibat resistensi dari Mazhab Sejarah di negara tersebut.
Mazhab Sejarah memandang hukum tidak bisa dilepaskan dari
tradisi. Dengan demikian, tidak ada hukum yang bisa berlaku
secara universal. Setiap hukum selalu terikat pada batasan-batasan
geografis, sekaligus demografis (kependudukan).
10
J.M. Kelly, Short Histroy of Western Legal Theory (Oxford: Clarendon Press,
1994), hlm. 193.
11
Ibid., hlm. 291.
10
Pembatasan ruang keberlakuan hukum hanya pada wilayah
geografis dan demografis tertentu adalah warisan sejarah yang
muncul setelah Revolusi Perancis. Sejak itu, ilmu hukum menjadi
ilmu praktis yang kehilangan karakter-karakter universalitasnya.
Apa yang disebut hukum oleh aliran Positivisme Hukum tidak lain
adalah norma-norma hukum positif. Aliran ini bahkan secara
spesifik memaknai hukum positif itu adalah hukum-hukum yang
diterbitkan oleh penguasa publik (formal) dan dikemas dengan
format tertentu yang disepakati dalam sistem perundang-
undangan.
Kajian-kajian hukum pun terus berkembang seiring dengan
perjalanan waktu. Pada abad ke-19, misalnya, muncul kajian John
Austin (1790-1859) dari Inggris. Kajian Austin banyak
terpengaruh oleh pemikiran etis Utilitarianisme dari Jeremy
Bentham (1748–1832).12 Selanjutnya, pada abad ke-20 muncul
analisis dari ahli hukum Austria bernama Hans Kelsen
(1881-1973)13 dengan teori hukum murninya. Dua tokoh
pemikiran ini akan banyak diulas dalam bagian selanjutnya dari
buku ini.
Satu hal yang pasti adalah bahwa pemikiran Austin dan Kelsen
sangat didorong oleh keinginan menjadikan hukum sebagai ilmu
hukum yang diakui oleh komunitas ilmiah. Untuk itu, metoda
yang dipakai harus sejalan dengan semangat Neopositivisme
seperti digagas oleh para penganut Positivisme Logis. Karena
12
Pengaruh Bentham ini terjadi karena komunikasi yang dekat di antara
keduanya. Sekalipun demikian, pemikiran Austin sebenarnya mempersempit
konsep Utilitarianisme dalam dunia hukum. Kesimpulan ini dapat dibuktikan
dari tujuan hukum yang dikejar kaum Utilitarian, yang ternyata lebih luas
dibandingkan dengan Positivisme Hukum. Untuk membahas tentang
Utilitarianisme ini, akan diterbitkan satu buku tersendiri.
13
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, pemikiran Kelsen lebih tepat
digolongkan ke dalam Legisme daripada Positivisme. Aliran Kelsen
mempositifkan hukum (ius) dengan cara membentuknya ke dalam wujud
statemen-statemen normatif yang disebut aturan undang-undang. Mengenai ini
baca tulisan Soetandyo Wignjosoebroto, "Paham Positivisme dalam Ilmu
Hukum (Legisme) dan Kritik-Kritik terhadapnya," makalah disampaikan pada
pelatihan hukum kritis yang diselenggarakan oleh HuMa bekerja sama dengan
LBBT dan Pemda Kabupaten Sanggau, di kota Sanggau, 9-11 Mei 2007.
11
Positivisme Logis menginginkan adanya kesatuan metodologis
dalam semua ilmu (agar pantas disebut ilmu),14 maka ilmu hukum
pun akhirnya digiring menjadi ilmu hukum dogmatis (dogmatika
hukum) yang mengedepankan pendekatan ilmu-ilmu pasti. Proses
mengarahkan ilmu hukum menjadi dogmatika hukum ini sangat
sejalan dengan konsep berpikir penganut Positivisme Hukum.
Namun, problema terjadi tatkala pendekatan empiris yang
diperagakan oleh ilmu-ilmu pasti ini menyentuh dimensi
penegakan hukum. Sebab, diskusi tentang hukum dalam perspektif
Positivisme Hukum akan menggiring ke arah wacana hukum
positif. Hukum positif berarti hukum yang [sedang] berlaku pada
saat dan wilayah tertentu. Jadi, hukum positif menunjuk kepada
suatu ruang dan waktu yang telah ditetapkan. Kata "ditetapkan"
merupakan kata penting dalam konteks ini. Hukum itu tidak
muncul begitu saja, melainkan memang harus sudah ditetapkan (to
be constituted) terlebih dulu (pre-existing). Oleh sebab itu, hukum
positif sering diistilahkan dengan sebutan ius constitutum.
Sekali lagi, kata "penegakan hukum" menunjukkan makna
bahwa hukum itu sudah lebih dulu ada. Dalam uraian di bawah
nanti, akan diperlihatkan bahwa unsur Empirisme dalam
Positivisme Hukum sebenarnya muncul pada tahapan
pembentukan hukum saja, bukan pada tahap penegakan
hukumnya. Ulasan tentang tahap pembentukan hukum tampak
penting dalam pemikiran Austin, tetapi tidak dalam pemikiran
Kelsen. Menurut Austin, untuk menjamin adanya penerapan
hukum yang penuh (full enforcement) hukum perlu dibentuk
14
Kecenderungan ini mengemuka setelah René Descartes mempublikasikan
tulisannya yang berjudul Discours de la Méthode (Risalah tentang Metoda).
Menurutnya, metoda dalam ilmu harus menerapkan metoda geometri dan
aljabar. Metoda ini memiliki kelebihan karena: (1) tidak menerima apapun
sebagai benar kecuali jika diyakini bahwa itu benar, (2) memilah masalah
menjadi bagian-bagian terkecil untuk mempermudah penyelesaian, (3) berpikir
runtut dari yang paling sederhana sedikit-sedikit sampai yang paling rumit, dan
(4) perincian yang lengkap dan pemeriksaan menyeluruh diperlukan supaya
tidak ada yang terlupakan. Baca lebih lanjut pengantar Toeti Heraty Noerhadi
dalam René Descartes, Risalah tentang Metode, terjemahan Ida S. Husen &
Rahayu S. Hidayat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. xiii.
12
melalui akomodasi kehendak komponen-komponen masyarakat.15
Cara berpikir seperti ini jelas menunjukkan keterpengaruhan
Austin dari pemikiran Bentham.
Dalam ragaan di atas terlihat bahwa korelasi pemikiran antara
Austin dan Bentham muncul karena keduanya memakai landasan
teoretis yang sama, yaitu teori kehendak (the will theory).
Sebaliknya, Kelsen tidak menggunakan landasan teori kehendak
ini, melainkan menggunakan dasar teori murni yang
dikembangkannya sendiri. Namun, karena ada banyak persamaan
di antara keduanya, baik pemikiran Austin maupun Kelsen masih
dapat dipertemukan ke dalam satu wacana pemikiran Positivisme
Hukum.
Akan
dibahas sebagai aliran
tersendiri!
tersendiri!
Legal
Positivism
The
The Will
Pure-
Pure-Norm
Theory
Theory
15
John Griffiths kurang tepat ketika membedakan antara Austin dan Kelsen
dengan mengatakan bahwa Austin (bersama Bodin dan Hobbes) menggunakan
pendekatan atas ke bawah (top downwards), sedangkan Kelsen (bersama
dengan Hart) menggunakan pendekatan bawah ke atas, yaitu hukum dipahami
sebagai suatu apisan kaidah-kaidah normatif yang hierarkis, dari lapisan yang
paling bawah dan meningkat ke lapisan-lapisan di atasnya (bottom upwards).
Penjelasan Griffiths itu seharusnya terbalik. Lihat John Griffiths, "Memahami
Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual," dalam Tim HuMa, ed.,
Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisiplin (Jakarta: HuMa, 2005),
hlm. 71.
13
J.W. Harris menguraikan teori kehendak dalam hukum ini
dengan membuat sebelas teorem persamaan (equation) berkenaan
dengan hukum. Perlu dicatat bahwa tidak semua teorem itu
mewakili teori kehendak. Namun, melalui sebelas persamaan ini
akan tampak di mana letak persamaan dan perbedaan teori
kehendak dalam hukum (the will theory of law) dengan teori-teori
lain, misalnya dengan teori murni tentang hukum (the pure-norm
theory of law). Kesebelas teorem ini adalah sebagai berikut:16
16
J.W. Harris, Law and Legal Science: An Inquiry into the Concepts Legal Rule
and Legal System (Oxford: Clarendon Press, 1982), hlm. 24-25.
14
10. A positive legal rule is to be equated with a 'paper-rule', that is, a
written assertion which can be used for guiding or justifying choices.
11. A legal system is to be equated with a congeries of paper rules, and
other choice-guidance/justification devices, such as principles,
policies, and maxims, available for the use of officials in settling
disputes.
15
H.L.A. Hart, yang dalam beberapa sekuens pemikirannya dapat
dikatakan bersambungan dengan analisis-analisis konseptual dari
Austin dan Kelsen.
Pemikiran Austin dan Kelsen digolongkan oleh Meuwissen,
seorang ahli hukum Belanda, masing-masing ke dalam tradisi
pertama dan kedua Positivisme Hukum.17 Tradisi ketiga yang
disebutkan oleh Meuwissen sebagai tradisi teori hukum empiris,18
tidak ikut dimasukkan ke dalam uraian bab-bab selanjutnya dalam
buku ini. Cara pandang ilmu-ilmu empiris tentang hukum itu jelas
sudah sangat berbeda dengan pemikiran Austin dan Kelsen,
sehingga pandangan Meuwissen untuk memasukkannya ke dalam
kelompok Positivisme Hukum adalah tidak tepat.
17
B. Arief Sidharta (penerjemah), Meuwissen tentang Pengembangan Hukum,
Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum (Bandung: Refika Aditama,
2007), hlm. 41-43
18
Ibid., hlm. 59.
16
BAB II
ASPEK ONTOLOGIS
19
Kata ontologi memiliki makna yang luas. Ontologi bisa bermakna sebagai
studi tentang ciri-ciri esensial dari yang ada, juga sebagai studi tentang tata dan
struktur realitas dalam arti seluas mungkin. Juga diartikan sebagai filsafat
pertama (dibandingkan dengan epistemologi dan aksiologi). Mengenai
peristilahan ini baca Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama,1996), hlm. 746-752.
17
"apakah hukum yang tidak bermoral juga merupakan hukum"
merupakan rumusan paling ekstrem untuk menguji dimensi
ontologis Positivisme Hukum. Pada bagian akhir bab ini,
diungkapkan mengenai pengejawantahan hukum yang paling
konkret menurut perspektif Positivisme Hukum, yakni hukum
sebagai norma positif dalam sistem perundang-undangan.
18
L=WSEG+S. Huruf L menggambarkan hukum positif (law), yang
merupakan perpaduan antara W (wish), S (sanction), E (expression
of wish), G (generality), dan akhirnya semua itu harus diberi
kekuatan oleh sang pemegang kedaulatan yang memberikan
perintah (a sovereign who initiates the command).20 Jadi, hukum
positif merupakan kehendak yang wajib untuk dilaksanakan. Jika
tidak dilaksanakan, ada sanksi yang dijatuhkan. Bagi Austin,
sanksi adalah sesuatu yang esensial dalam hukum positif dan
melekat pada benak setiap orang. Kehendak yang memuat sanksi
tersebut harus pula diungkapkan secara jelas, sehingga dapat
diketahui oleh publik (asas publisitas). Kehendak itupun harus
mengikat secara umum sehingga menjamin ada persamaan
kedudukan di hadapan hukum bagi semua orang. Oleh sebab
penguasa adalah sang pemberi perintah (command of the
sovereign), maka penguasa pun merupakan pemberi makna
terhadap hukum (command of lawgivers).
Memang disadari bahwa huruf S terakhir (soverign)
merupakan daya pendorong paling penting agar hukum positif
yang sudah dibuat benar-benar memiliki kekuatan untuk
ditegakkan. Sejalan dengan ini, Thomas Hobbes (1588-1679)
suatu ketika menyatakan, "Not rightness, but authority makes the
law."21 Keberadaan "S" ini sangat penting untuk menunjukkan
suatu hukum benar-benar dapat disebut sebagai hukum. Hukum
yang tidak memiliki unsur ini, misalnya hukum internasional,
tidak dapat dikategorikan sebagai hukum dalam kaca mata Austin.
Hukum positif, dengan demikian harus datang dari pemegang
kekuasaan publik. Namun, kekuasaan sendiri bukan berarti identik
dengan hukum dan orang yang menguasai sesuatu tidak selalu
berhak atas sesuatu itu.22 Pepatah lama Inggris menyatakan, "Might
20
Tentang penjelasan pemikiran John Austin ini baca J.W. Harris, Op. Cit.,
hlm.24-34.
21
Dikutip dari makalah Edgar Bodenheimer, "Seventy-five Years of Evolution
in Legal Philosophy," dipresentasikan dalam Coloquio International Sobre
LXXV Anos de Evolucion Juridica en el Mundo, di Mexico City, September
1976.
22
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sesuai dengan
19
is not right!". Mochtar Kusumaatmadja pernah mengungkapkan
secara persis hubungan antara kekuasaan dan hukum ini.
Menurutnya, hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan,
sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.23
keinginan dari pemilik kekuasaan. Lihat definisi ini misalnya dalam Miriam
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 35.
Kekuasaan bisa datang dari berbagai sumber, seperti kekuatan/paksaan fisik,
asal-usul keturunan (bangsawan), pangkat militer, jabatan di pemerintahan,
kekayaan, atau kepercayaan. Tidak semua kekuasaan memiliki landasan hak.
Kekuasaan yang dibenarkan (legitimate) menurut hukum berubah menjadi suatu
kewenangan (authority).
23
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan
(Bandung: Alumni, 2002), hlm. 6.
20
Kelsen memaknai norma sedikit berbeda dengan Austin. Jika
Austin memandang norma sebagai ekspresi dari kehendak, maka
norma dalam perspektif Kelsen adalah ekspresi dari norma lain
yang lebih tinggi lagi tingkatannya. Dalam konteks ini, Kelsen
ingin secara konsisten menjelaskan keterpisahan antara hukum dan
moral, sekalipun dalam kenyataannya ia sendiri tidak mudah
menunjukkan batas-batas dari keduanya. Kelsen menolak apabila
validitas norma diukur dari sesuatu yang bukan norma, apalagi
jika diukur dari fakta sebagaimana berlaku pada kajian Austin.
Konsekuensi dari pemikiran Kelsen adalah bahwa norma
hukum tersusun secara berjenjang.24 Teori jenjang ini banyak
mempengaruhi pandangan ahli hukum, sehingga dewasa inipun
kita mengenal ada hierarki dalam peraturan perundang-undangan.
Norma yang lebih tinggi menjadi sumber bagi penyusunan norma-
norma di bawahnya.
Pemikiran tentang hierarki hukum ini dapat ditelusuri dari
pandangan filsuf Immanuel Kant (1724-1804) yang sangat
mempengaruhi cara berpikir Kelsen. Memang, Kelsen merupakan
salah satu eksponen Neokantianisme, yaitu suatu komunitas yang
ingin menghidupkan kembali pemikiran filsuf Immanuel Kant.
Kant memisahkan antara hal yang ada (Sein) dan hal yang
seharusnya (Sollen). Berbeda dengan pandangan Bentham,
misalnya, Kelsen (dengan mengikuti Kant) memasukkan hukum
dalam kategori Sollen, sehingga perlu didekati melalui kebebasan
dan tanggung jawab. Sumber dari kebebasan dan tanggung jawab
ini, menurut Kant adalah suara hati yang bersifat imperatif
kategoris. Kant berkeyakinan bahwa suara hati ini bersifat
universal dan pasti. Imperatif kategoris mengamanatkan agar
manusia melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Artinya,
manusia harus mematuhi hukum dengan sepenuh jiwa, bukan
karena mengharapkan imbalan atau karena takut terhadap sanksi.
24
Jelas Kelsen bukan orang pertama yang memberikan deskripsi hukum
berjenjang. Thomas Aquinas (1224-1274), seorang tokoh Aliran Hukum
Kodrat, sudah membedakan antara hukum positif dengan hukum-hukum yang
lebih tinggi di atasnya, yang antara lain disebutnya dengan lex naturalis, lex
divina, dan lex aeterna.
21
Hampstead menulis panjang lebar pendapatnya tentang Kelsen
sebagai berikut:25
25
Lord Lloyd of Hampstead, ed., Introduction to Jurisprudence (London:
Stevens & Sons, 1972), hlm. 269-270.
22
tidak menampik bahwa moralitas berperan dalam hukum. Hanya
saja, diskursus tentang moralitas sudah dianggap usai begitu
hukum efektif diberlakukan.
Rumus L=WSEG+S yang disampaikan oleh Austin
menunjukkan bahwa tatkala hukum dibuat, materi hukum telah
disusun melalui pengumpulan kehendak-kehendak dari semua
lapisan masyarakat. Austin menyebut sedikitnya empat komponen
yang harus diakomodasi aspirasinya, yaitu pemegang kedaulatan
saat ini (the current sovereign), pemegang kedaulatan terdahulu
(earlier sovereign), penguasa di tingkat bawah (subordinate
powerholders), dan kelompok atau individual lain (any other
group or individuals). Jika semua aspirasi ini berhasil ditampung,
maka akan terciptanya kehendak yang penuh (full will) atau
kehendak yang utuh-menyatu (unity of will). Kesatuan kehendak
inilah yang nanti akan menjamin kesatuan dalam penerapan (unity
of enforcement). J.W. Harris menlukiskannya dengan kata-kata:
"Unity of enforcement entails unity of will."26 Dengan pemikiran
tersebut, Positivisme Hukum berasumsi bahwa urusan moral sudah
dengan sendirinya tertampung dalam hukum positif itu. Hukum
positif adalah barang jadi yang siap pakai dan sudah dijamin adil
dan benar (self-evident).
Positivisme Hukum, dengan demikian, akan memulai
perjalanan analisisnya justru setelah norma itu telah menjadi
hukum positif dalam sistem perundang-undangan. Positivisme
Hukum lebih senang berbicara tentang penerapan hukum daripada
tentang pembentukan hukum.
Sekalipun kata "hukum" dalam Positivisme Hukum selalu
berkonotasi pada hukum positif, Austin cukup hati-hati
menggunakan istilah hukum positif ini. Menurutnya, ada
perbedaan antara hukum positif dan moralitas positif. Dalam
bagan di bawah ini,27 Austin pertama-tama membedakan antara
hukum yang sebenarnya (laws properly so called) dan hukum
yang tidak sebenarnya (laws improperly so called).
26
J.W. Harris, Op. Cit., hlm.29.
27
John Austin dalam Mark R. MacGuigan, Jurisprudence: Readings and Cases
(Toronto: University of Toronto Press, 1966), hlm. 130-142.
23
Hukum yang sebenarnya itu dapat berupa hukum buatan
Tuhan (laws of God), ditujukan kepada mahluk ciptaan-Nya.
Berikutnya adalah hukum buatan manusia (human laws), dalam
hal ini hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia lain.
Hukum Tuhan merupakan moralitas, tetapi bukan moralitas positif
(positive morality). Menurut Austin, semua kata "positif" harus
mengacu kepada buatan manusia. Jadi, apabila seseorang
menggunakan istilah pelanggaran moral, maka ada dua
kemungkinan yang dimaksudkannya, yaitu pelanggaran terhadap
moralitas hukum ciptaan Tuhan atau moralitas positif dari hukum
ciptaan manusia.
Moralitas Positif
24
memiliki kewenangan formal sebagai pemegang kekuasaan, maka
hukum buatannya tidak termasuk kategori hukum positif. Contoh
bentuk hukum buatan manusia yang bukan hukum positif ini
adalah aturan yang dibuat orang tua kepada anaknya, majikan
kepada buruhnya, dan guru kepada muridnya.
Sekalipun terkesan kuat bahwa Austin sudah berusaha
membedakan bahwa kekuasaan untuk membentuk hukum positif
yang dimaksudkannya itu adalah kekuasaan politik formal yang
sah, tetap saja pandangan ini dikritik keras, antara lain oleh H.L.A.
Hart. Ia menyatakan bahwa Austin tidak cukup lengkap
menjelaskan teorinya, sehingga pada akhirnya tidak bisa
dibedakan lagi antara paksaan yang dikeluarkan oleh pemerintah
dengan paksaan yang diberikan oleh perampok bersenjata
(gunman). Pandangan ini akan dikupas kemudian dalam subbab
berikut dalam buku ini, yakni tatkala sampai pada pokok bahasan
hukum dan moral.
Moralitas positif, selain diturunkan dari hukum ciptaan
manusia biasa, juga bisa datang dari hukum hasil analogi (laws by
analogy). Hukum jenis ini disebut oleh Austin sebagai hukum
yang tidak sebenarnya. Hukum jenis ini diciptakan dan
diberlakukan melalui pendapat umum (laws set or imposed by
general opinion). Contohnya adalah pendapat umum tentang
model berpakaian. Apa yang baik dan buruk dalam berpakaian
akan menciptakan suatu moralitas positif.
Aturan melalui bentukan pendapat umum ini dilakukan dengan
cara memperluas istilah "hukum" tersebut. Sekelompok
masyarakat bersama-sama memiliki nilai-nilai yang disukai dan
tidak disukai. Jika ada seseorang yang tidak berperilaku mengikuti
nilai-nilai ini, maka orang tersebut dipandang tidak berperilaku
menurut standar moralitas yang disepakati. Keberadaan
sekelompok masyarakat dengan nilai-nilai ini merupakan
perluasan (analogi) dari apa yang dilakukan oleh negara. Di sini
terlihat bahwa Austin pun memandang bahwa sopan-santun dapat
saja menjadi sumber moralitas positif.
Austin mengklasifikasikan hukum internasional sebagai jenis
hukum yang bukan sebenarnya, yang muncul melalui proses
25
analogi. Hukum internasional adalah hukum yang diciptakan dan
diterapkan melalui pendapat umum. Ia melukiskan keberadaan
hukum internasional itu dengan kata-kata:28
A few species of the laws which are set by general opinion have recieved
approriate names.---For example,... there are laws which regard the conduct
of sovereigns or supreme governments in their various relations to one
another. And laws or rules of this species, which are imposed upon nations
or sovereigns by opinions current amongst nations, are usually styled
international law.
Di luar itu, ada juga bentuk hukum lain yang tidak dalam arti
hukum sebenarnya yang muncul melalui metafora (laws by
metaphor) atau kiasan (figuratif). Dalam bahasa sehari-hari,
hukum yang tidak sebenarnya ini disebut dengan hukum alamiah
(laws of nature), seperti setiap orang pasti mati atau sayuran pasti
membusuk. Dalam ilmu-ilmu eksakta, hukum-hukum jenis ini
dikenal pula dengan sebutan dalil-dalil, misalnya dalil Pythagoras
dan dalil Newton. Bentuk hukum seperti ini tidak terkait dengan
moralitas positif.
Apabila hukum positif harus dipisahkan dari moral, maka
peradilan yang bekerja berdasarkan atas hukum harus juga mampu
memisahkan antara keduanya. Dalam sejarah, terbukti hal ini tidak
sepenuhnya bisa dilakukan.
Setelah Perang Dunia II usai, sekelompok negara pemenang
perang (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Uni Soviet)
menggelar Pengadilan Nuremberg. Hakim dan jaksa didatangkan
dari negara-negara tersebut. Terdakwa yang diajukan adalah
pemimpin Partai Nazi, pejabat pemerintah, dan tokoh-tokoh
militer Jerman. Ada 21 terdakwa yang tampil, termasuk Rudolf
Hess (Wakil Hitler), Herrmann Goering (Kepala Staf Angkatan
Udara), Karl Doenitz (Kepala Staf Angkatan Laut), Alfred
Rosenberg (Kepala Ideologi Partai Nazi), Albert Speer (Menteri
Produksi Perang), dan Hjalmar Schacht (Menteri Ekonomi).
Mereka semua dituduh bersalah melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan seperti genosida terhadap orang-orang Yahudi,
28
Lord Lloyd of Hampstead, Op. Cit., hlm. 216.
26
Gypsi, dan kelompok lain yang tidak disukai. Kejahatan ini tidak
saja dianggap perbuatan tidak bermoral, melainkan juga perbuatan
melanggar hukum.
Pengadilan Nuremberg segera menuai kontroversi pada saat
itu. Para pembela dari terdakwa berpendapat bahwa pada saat
tokoh-tokoh era Nazi itu melakukan perbuatan yang dituduhkan
tersebut, sama sekali tidak ada hukum positif di Jerman yang
melarangnya. Apabila mereka baru dituduh berdasarkan hukum
yang diberlakukan kemudian oleh negara-negara pemenang
perang, maka keberlakuan ini melanggar prinsip larangan
retroaktif yang sangat dijunjung tinggi oleh Positivisme Hukum.
Para pembela juga melihat bahwa jika moral yang dijadikan
sebagai dasar pembenaran dari pengadilan ini, seharusnya
perlakuan yang sama juga diterapkan bagi negara-negara
pemenang perang itu. Sebagai contoh, pemboman tentara Sekutu
terhadap kota Hiroshima dan Nagasaki (Jepang) atau di Dresden
(Jerman) terbukti sama banyaknya membunuh penduduk sipil.
Artinya, peradilan yang sama pun harusnya juga digelar terhadap
tentara Sekutu atas nama moralitas.
Para pendukung dari pengadilan ini berpendapat sebaliknya.
Mereka menunjuk keberadaan hukum internasional seperti
Konvensi Den Haag (1907) dan Konvensi Jenewa (1927), yang
sudah melarang kejahatan perang. Jerman sejak sebelum Perang
Dunia II sudah mengikatkan diri menjadi peserta dari beberapa
konvensi internasional tersebut. Namun, seperti yang diuraikan
oleh John Austin, posisi hukum internasional inipun sebagai
hukum dalam arti sebenarnya (laws properly so called) patut
dipertanyakan karena keberadaannya tidak lebih sebagai moralitas
positif belaka, bukan sebagai hukum positif.
Terlepas bahwa pada akhirnya ada sejumlah terdakwa yang
divonis bebas dan beberapa di antara mereka mendapat hukuman
yang ringan, pengadilan di Nuremberg tersebut telah membuktikan
adanya dilema yang terus berpotensi mengelayuti perdebatan
antara hukum dan moral.
27
Hukum sebagai Norma
Dari ulasan bab ini dapat dipetik suatu kesimpulan bahwa dari
dimensi ontologis, hukum dalam kaca mata Positivisme Hukum
adalah hukum positif, yaitu sebagai norma yang dikemas dalam
sistem peraturan perundang-undangan. Norma positif ini
sepenuhnya karya manusia (dalam hal ini penguasa politik), dibuat
dan diberlakukan melalui prosedural-formal tertentu. Oleh karena
titik beratnya sangat formalistik, maka aspek moralitas dalam
norma positif tersebut bukan lagi sesuatu yang esensial.
Keberadaannya sudah diasumsikan hadir pada saat pembentukan
hukum itu, sehingga persoalan ini dipandang sudah selesai pada
saat hukum positif itu tersaji (given).
Pandangan bahwa hukum postif adalah sesuatu norma yang
sudah tersaji dan benar dengan sendirinya (self-evident),
membuahkan dua varian pemikiran. Austin melihat hukum positif
sebagai sesuatu yang statis, sebaliknya Kelsen memandang hukum
positif bersifat dinamis.
Dari alasan keabsahannya, memang dikenal ada jenis sistem
norma yang statis (nomostatics) dan norma yang dinamis
(nomodynamics). Keabsahan norma statis didasarkan pada
kekuatan substansinya. Sebagai contoh, pembunuhan dilarang oleh
sebuah pasal dalam undang-undang karena memang secara
substansi pasal tadi dapat dipercaya keabsahannya. Dimensi
moralitas berperan dalam konteks ini. Kelsen menyebutnya alasan
keabsahan seperti ini merupakan sistem norma statis.
Sistem norma statis hanya mampu mengembangkan norma
umum ke arah norma-norma khusus. Sebagai contoh, dari hukum
perdata berkembang menjadi hukum dagang. Lalu, dari hukum
dagang, menjadi hukum perusahaan, hukum penanaman modal,
dan seterusnya. Arah perkembangan sistem norma statis ini
bersifat horisontal. Dalam hal ini, hukum yang lebih khusus
mengambil sumber keabsahannya dari hukum yang lebih umum.
Namun, Kelsen menambahkan bahwa keabsahan dari segi
substansial seperti digambarkan di atas tidak dapat dilakukan
dengan mendeduksi norma yang lebih umum kepada norma yang
lebih khusus. Jadi, larangan membunuh itu dipandang sah bukan
28
karena, misalnya, ada norma "jangan engkau membunuh" dalam
ajaran agama. Larangan itu sah justru karena ada norma yang lebih
tinggi itu ditetapkan oleh sang pencipta norma, yakni pemilik
otoritas yang lebih tinggi. Dengan demikian, kata kuncinya
terletak pada otoritas. Hal inilah yang akan dijelaskan selanjutnya
dalam Bab III bahwa hukum itu dipandang sebagai produk politik.
Kelsen menekankan sekali tentang prinsip dinamis dalam
norma hukum. Hukum memiliki keabsahan, sehingga dengan
demikian ditaati, adalah karena norma-norma hukum terbangun
secara dinamis. Norma-norma itu dapat dirujuk kepada otoritas
yang berwenang membuatnya. Norma-norma yang dikreasikan itu
merupakan norma-norma individual.29
Masa berlaku (rechtskracht) dari norma individual yang lebih
rendah akan sangat bergantung pada keberlakuan norma di
atasnya. Demikian juga dengan keabsahannya. Keberlakuan dan
keabsahan norma dasar tentu adalah yang paling mapan dan stabil
dibandingkan dengan norma-norma di bawahnya. Kelsen
menyatakan norma dasar ini hampir tidak dapat berubah, lain
halnya dengan norma-norma individu yang keberlakuan dan
keabsahannya bersifat relatif.
Dalam ragaan di bawah ini, tampak bahwa norma-norma
individual itu harus dapat ditelusuri kaitannya dengan norma yang
tertinggi yaitu norma dasar (Grundnorm). Norma dasar yang
paling tinggi ini merupakan pengandaian transenden-logis.
Sebagai contoh, jika kita menemukan sebuah norma individual:
"Anak harus mematuhi perintah orang tua". Norma ini dapat
dilegitimasi dengan menelusuri norma itu kepada norma di atasnya
yang mengatakan: "Manusia harus mematuhi perintah Tuhan," dan
norma berikutnya: "Tuhan telah memerintahkan agar anak
mematuhi orang tuanya."
Dengan bahasa yang lebih sederhana, Kelsen ingin
mempertegas postulat bahwa suatu norma dianggap benar bukan
karena isinya memang secara objektif harus benar, melainkan
29
Pengertian "norma individual" (individual norm) di sini berbeda dengan
pengertian norma untuk individu subjek hukum tertentu. Menurut Kelsen,
norma inidividu adalah semua norma sebagai penjabaran norma dasar.
29
harus karena ada otoritas yang menyatakan bahwa norma itu
benar. Hal ini mengingatkan kita pada pertanyaan yang sering
dimunculkan dalam wacana filsafat: "Apakah sesuatu menjadi
benar karena diperintahkan oleh Tuhan, ataukah sesuatu memang
sudah benar sehingga Tuhan memerintahkannya?" Atas dua
pertanyaan itu, tampaknya Kelsen lebih menyukai pilihan yang
pertama.
Norma
Dasar
Norma Umum
norma norma norma
individual individual individual
norma norma
khusus khusus
NOMOSTATICS NOMODYNAMICS
30
norm).30 Ini menunjukkan bahwa Kelsen sendiri tidak tahu pasti
apa isi dari norma dasar ini, namun yang pasti adalah nilai-nilai
yang dianggap baik bagi bangsa yang bersangkutan. Jika demikian
halnya, bukan tidak mungkin isi norma dasar ini juga adalah
moralitas. Artinya, terjadi inkonsistensi pemikiran Kelsen karena
norma-norma individual ini rupanya dimungkinkan juga
mengambil keabsahannya kepada moralitas, bukan hanya kepada
sesama norma hukum. Padahal, justru di sinilah terletak titik
pembeda utama antara Positivisme Hukum dan Aliran Hukum
Kodrat.
Individualisasi norma tersebut di dalam praktiknya dilakukan
oleh kekuasaan peradilan, terutama melalui putusan-putusan atas
kasus-kasus konkret. Namun, putusan-putusan peradilan hanya
sebagian saja dari norma-norma individu. Rambu-rambu lalu
lintas, perjanjian keperdataan, dan pengumuman pemerintah,
merupakan sedikit contoh dari norma-norma individual itu.
Fungsi norma dasar ini, menurut Kelsen, merupakan penyatu
dari beraneka ragam norma individual yang ada di bawahnya.
Norma dasar ini merupakan batu ujian agar norma-norma
individual itu tidak saling mengalami kontradiktif logis. Kalaupun
ada kontradiksi, maka Kelsen menyarankan agar diterapkan
penyelesaian dengan menggunakan prinsip-prinsip logika, yakni
jika ada dua penegasan normatif yang bertentangan tetapi sama-
sama menyataan kebenaran, maka logikanya harus salah satu saja
yang dapat dianggap benar. Dalam konteks ini, tentu yang
dimaksud oleh Kelsen adalah penggunaan asas-asas hukum harus
dilakukan, misalnya asas lex superior derogat legi inferiori, atau
lex specialis derogat legi generali, atau lex posterior derogat legi
priori, dan seterusnya.
Jika Kelsen menginginkan agar norma dasar (Grundnorm) ini
berperan sebagai titik simpul kesatuan logis dari tatanan hukum,
maka ia menghendaki norma dasar ini menyandang dua fungsi
yang dikenal dalam sistem norma, yaitu fungsi regulatif dan fungsi
30
J.H.M. Klanderman, Ratio Wetenschap en Rechts (Zwolle: Tjeenk Willink,
1986), hlm. 198 sebagaimana dikutip oleh Soejadi, Pancasila sebagai Sumber
Tertib Hukum Indonesia (Yogyakarta: Lukman Offset, 1999), hlm. 116.
31
konstitutif. Fungsi pertama (regulatif) menjamin adanya nilai
keadilan dalam norma itu. Inilah yang kurang lebih ingin
digambarkan oleh Kelsen sebagai sifat statis suatu norma.
Sementara itu, fungsi kedua (konstitutif) menjamin bahwa norma-
norma itu tidak saling kontradiksi karena keabsahan norma yang
satu bersumber pada norma lain yang lebih tinggi di atasnya.
Norma dasar, dengan demikian, memegang peranan sangat
penting dalam memainkan kedua fungsi ini.
Pemikiran bahwa hukum ditaati karena ada hukum dasar
(Grundnorm) dipandang sebagai terlalu sederhana oleh ahli
hukum Inggris bernama H.L.A. Hart. Sekalipun Hart setuju bahwa
hukum adalah perintah (command) dari penguasa, namun hukum
mengikat lebih karena aspek perilaku (behaviour). Maksud Hart,
orang menaati hukum bukan karena ada hukum dasar yang berlaku
secara hipotetis, melainkan karena orang-orang selalu berusaha
menyesuaikan perilakunya dengan hukum yang telah berlaku itu.
Pada titik ini, Hart memperkenalkan satu konsep baru yang
disebutnya norma pengenal terakhir (the ultimate rule of
recognition).
Pertama-tama, Hart membedakan norma hukum menjadi
aturan primer (primary rule) dan aturan sekunder (secondary
rule). Hukum adalah penggabungan dari dua kelompok aturan ini
(law as the union of primary and secondary rules). Aturan primer
berisi hak dan kewajiban, yakni tentang apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan. Aturan-aturan primer tersebut sangat kentara
terdapat pada sistem masyarakat yang sederhana. Masyarakat
demikian sudah merasa cukup memiliki aturan-aturan primer
karena semua orang sudah merasa terikat dan patuh
menjalankannya. Namun, seiring dengan bertambah kompleksnya
masyarakat, aturan-aturan primer saja ternyata tidaklah memadai.
Jika hukum berlaku semata-mata bergantung pada penerimaan
masyarakat, maka ketidakpastian hukum akan terjadi. Hukum juga
cenderung menjadi statis karena perubahan baru terjadi setelah
semua orang menyetujuinya. Pengawasan sosial juga tidak bakal
mampu dilakukan secara efektif, dan arah perkembangan hukum
menjadi tidak tersistem dan tanpa kendali.
32
Untuk mengatasi ini semua, Hart menekankan perlunya aturan-
aturan sekunder, yaitu syarat-syarat bagi berlakunya aturan primer.
Jadi, aturan sekunder adalah aturan tentang aturan primer. Secara
garis besar Hart membagi aturan sekunder ini menjadi tiga macam,
yaitu: (1) secondary rules of recognition; (2) secondary rules of
change; dan (3) secondary rules of adjudication. Fungsi secondary
rules of recognition adalah untuk mengatasi persoalan
ketidakpastian hukum. Aturan sekunder ini menetapkan apakah
suatu aturan primer sah atau tidak sah. Untuk itu digunakan
sumber-sumber hukum yang berjenjang. Secondary rules of
change adalah aturan sekunder tentang prosedur pembentukan
hukum. Aturan ini berfungsi mengatasi statisnya hukum.
Secondary rules of adjudication adalah aturan sekunder untuk
mengatasi inefisiensi dalam penegakan hukum. Di sini antara lain
diatur tentang pembagian dan batas-batas kewenangan lembaga-
lembaga penegak hukum. Dengan tiga macam aturan sekunder ini,
tampaklah sudut pandang internal dari norma hukum atau sifat-
sifat yuridis dari aturan-aturan primer tersebut.
Jika kita terus-menerus bertanya tentang apa yang mendasari
berlakunya suatu norma hukum, maka menurut Hart, kita akan
sampai juga kepada satu norma dasar terakhir. H.L.A. Hart tidak
menamakannya sebagai Grundnorm seperti halnya Kelsen,
melainkan sebagai the ultimate rule of recognition. Berbeda
dengan pandangan Kelsen yang menyatakan norma dasar sebagai
bagian dari norma hukum (artinya bersifat normatif) dari suatu
negara, sementara Hart justru berpendapat sebaliknya. Menurut
Hart, norma dasar ini sebenarnya sudah bukan norma lagi (tidak
lagi bersifat normatif) melainkan sekadar sebagai kenyataan
(realitas). Sebagai suatu kenyataan, norma dasar ini cukup
diterima dari sudut pandang eksternal, tidak harus dari sudut
pandang internal.
Aparat penegak hukum harus mengadopsi aturan-aturan primer
dan sekunder dari sudut pandang internal. Mereka harus tahu letak
kekuatan dan kelemahan dari aturan-aturan tersebut. Cara melihat
seperti ini tidak selamanya perlu bagi masyarakat awam. Mereka
mungkin saja menaati hukum hanya karena takut pada sanksi.
33
Oleh sebab itu, bagi masyarakat awam, hukum dapat saja
dipahami sebagai aturan-aturan primer dari sudut pandang
eksternal.
Menurut Hart, adanya perbedaan antara aturan primer dan
sekunder inilah yang dapat menutupi kelemahan teori Austin.
Sebab, dalam teori Austin, paksaan hukum itu menjadi kabur
karena bisa saja datang dari pemerintah atau perampok bersenjata
(gunman). Sebagai contoh, bagi masyarakat awam yang berjualan
di lapak-lapak kaki lima, memberi uang setoran kepada preman
jalanan atau pembegal boleh jadi dipandang sama saja dengan
membayar pajak resmi kepada petugas pemda. Hal ini terjadi
karena masyarakat awam memang kerap menafsirkan hukum
cukup sebagai aturan-aturan primer yang dilihat dari sudut
pandang eksternal. Penggunaan kekuasaan yang sah dan tidak sah
itu hanya mungkin dapat dibedakan jika hukum didekati dengan
sudut pandang internal, bukan sekadar eksternal.
Namun, ketika sampai pada pembahasan tentang the ultimate
rule of recognition, sudut pandang internal ini tidak diperlukan.
Dalam kaca mata Hart, the ultimate rule of recognition adalah
aturan dalam pengertian nilai-nilai, dan hal ini adalah sebagaimana
dilihat dari sudut pandang pihak eksternal. Ia menegaskan dengan
kata-kata sebagai berikut:31
31
H.L.A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Oxford University Press, 1961),
hlm. 104-105.
34
Hart memberikan catatan bahwa sebagai norma dasar, the
utimate rule of recognition itu bukan berarti boleh berisi "apa saja"
melainkan sesuatu "... those the truth of which is contingent on
human beings and the world they live in retaining the salient
characteristics which they have." Konsep "kebenaran yang
digantungkan pada umat manusia dan dunia tempat mereka hidup"
tersebut merupakan suatu aksioma (truism) yaitu kebenaran yang
sudah teruji oleh fakta sehingga tidak dapat disangkal lagi. Hart
memberikan beberapa contoh aksioma yang merupakan prinsip
yang harus diterima, seperti: (1) human vulnerability, (2)
approximate equality, (3) limited atruism, (4) limited resources,
dan (5) limited understanding and strength of will.32 Berdasarkan
prinsip-prinsip itu, maka hukum harus melindungi keselamatan
jiwa dan raga manusia, menolak rasisme, mencegah agresivitas
berlebihan, melindungi hak milik pribadi, membangun solidaritas
sosial, dan sebagainya.
Sekilas apa yang disebutkan sebagai aksioma di atas
mendekati pemikiran Aliran Hukum Kodrat, sehingga ada
pandangan bahwa Hart sebenarnya sudah keluar dari alur
pemikiran Positivisme Hukum dan masuk ke dalam kelompok
pemikir Aliran Hukum Kodrat. Pendapat ini tidak tepat karena
Hart secara tegas menyebutkan bahwa ia memang menggunakan
pandangan hukum kodrat tetapi secara minimum (the minimum
content of natural law).
Hart menggunakan prinsip hukum kodrat yang minimal ini
untuk menjelaskan tentang apa hakikat hukum. Dalam
kesimpulannya, Hart akhirnya harus mengakui bahwa hukum
adalah norma positif juga, dan norma itu berbeda dengan moral.
Terlepas dari itu semua, ia mengakui bahwa untuk sampai kepada
konsep hukum yang utuh, norma positif itu sangat perlu memiliki
fungsi regulatif, yakni moralitas.
Selain konsep Grundnorm (Kelsen) dan the ultimate rule of
recognition (Hart), terdapat pula konsep serupa yang disebut cita
32
Ibid., hlm. 190-193.
35
hukum (Rechtsidee) dari Rudolf Stammler (1856-1938) dan
Gustav Radbruch (1878-1949).
Menurut Stammler, cita hukum adalah konstruksi pikir yang
merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita
yang diinginkan masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai
penentu arah bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Walaupun
disadari benar bahwa titik akhir dari cita-cita masyarakat itu tidak
mungkin tercapai sepenuhnya, cita hukum tetap memberi faedah
positif karena ia mengandung dua sisi: (1) dengan cita hukum kita
dapat menguji hukum positif yang berlaku, dan (2) kepada cita
hukum kita dapat mengarahkan hukum positif sebagai usaha
mengatur tata kehidupan masyarakat dan bangsa. Hal serupa
dikatakan oleh Radbruch. Menurutnya cita hukum tidak hanya
berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang
menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan
juga berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu
menentukan bahwa tanpa cita hukum maka hukum akan
kehilangan maknanya sebagai hukum.33
Konsep cita hukum sekilas dapat disandingkan dengan konsep
Grundnorm, namun sebagai suatu tataran, cita hukum
sesungguhnya lebih abstrak daripada Grundnorm. Dari sudut ini,
cita hukum lebih mendekati konsep the ultimate rule of
recognition dari Hart daripada Grundnorm dari Kelsen. Cita
hukum adalah nilai-nilai, yang menjadi bintang pemandu
(Leitstern) bagi dinamika sistem hukum suatu negara.
Konsep Grundnorm lebih tepat disandingkan dengan konsep
Staatsfundamentalnorm dari Hans Nawiasky (1880-1961), yang
notabene adalah "murid" tidak langsung Hans Kelsen. Norma
fundamental negara ini adalah modifikasi Nawiasky terhadap
konsep Grundnorm dari gurunya. Dengan perkataan lain,
Staatsfundamentalnorm adalah konsep Grundnorm dalam konteks
sistem norma hukum. Memang, disadari akan muncul polemik
apakah keduanya identik, mengingat Grundnorm dalam konsep
33
Roeslan Saleh, "Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum
Nasional," dalam Majalah Hukum Nasional, edisi khusus No. 1 Tahun 1995,
hlm. 49-50.
36
Kelsen bersifat prapositif. Berbeda dengan Grundnorm yang
berlaku secara transenden-logis, pada Staatsfundamentalnorm
keberadaan norma itu tetap harus ditetapkan, dalam hal ini oleh
badan pembentuk negara.
Dalam sistem hukum Indonesia, misalnya, posisi cita hukum
(Rechtsidee) dan norma fundamental negara (Staatsfunda-
mentalnorm) ini dapat dibedakan, sebagaimana terlihat dalam
ragaan berikut. Perlu dicatat bahwa ragaan tersebut tidak serta
merta telah menjadi kesepakatan banyak ahli hukum, sehingga
kajian tentang hal inipun masih akan terus berkembang.
PANCASILA Rechtsidee
UU/Perpu
UU/Perpu Formelle Gesetz
PP
Verordnung &
Keppres Autonome Satzung
Kepmen
Kep.
Kep. Ka. LPND
Kep.
Kep. Dirjen
Kep.
Kep. Badan Negara Norm
Perda Provinsi
Grundnorm
Kep.
Kep. Gubernur
Perda Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota
Kep.
Kep. Bup/Walikota
37
Pembukaan UUD 1945, sudah terdapat rumusan Pancasila itu,
sebagaimana terlihat dari empat pokok pikiran (bedakan dengan
empat alinea!) yang terkandung di dalamnya, yaitu: (1) persatuan,
(2) keadilan sosial, (3) kedaulatan rakyat, dan (4) Ketuhanan Yang
Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Keempat
pokok pikiran ini kemudian dituangkan secara filosofis ke dalam
rumusan lima sila sebagaimana tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan UUD 1945. Kelima sila ini disebut sebagai Pancasila.
Hans Nawiasky selanjutnya merinci tingkatan norma-norma di
bawah Staatsfundamentalnorm itu, yaitu Staatsgrundgesetz,
Formelle Gesetz, dan Verordnung/Autonome Satzung. Rupanya
Hans Nawiasky ingin konsisten dengan ajaran Kelsen yang juga
membedakan beberapa tingkat (niveau) norma. Satu tingkat lebih
rendah dari Grundnorm ditempati oleh norma-norma
konstitusional. Selanjutnya, terdapat tingkat untuk norma undang-
undang organik, demikian seterusnya ke peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah.
Tokoh filsafat hukum dari Indonesia yang pertama kali
mempopulerkan kajian norma dasar dalam sistem hukum
Indonesia adalah Notonagoro. Dialah yang pertama kali
mendeklarasikan Pancasila sebagai pokok kaidah fundamental
negara,34 suatu nama lain dari Staatsfundamentalnorm. Notonagoro
pula ilmuwan pertama yang secara ilmiah mengupas dan
menyandingkan Pembukaan UUD 1945 dalam kedudukan sebagai
pokok kaidah fundamental negara itu.
Seorang ahli ilmu perundang-undangan Indonesia bernama A.
Hamid S. Attamimi (1928-1994) mencoba mensinkronkan
susunan Nawiasky dengan jenis-jenis peraturan perundang-
undangan menurut tata hukum Indonesia. Susunan Hamid ini
sudah sangat berbeda dengan kondisi sekarang, yang antara lain
mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Jo
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (pengganti Undang-Undng Nomor
10 Tahun 2004).
34
Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah
Fundamentil Negara Indonesia) (Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada, 1959).
38
BAB III
ASPEK EPISTEMOLOGIS
35
Talcott Parsons, The Social System (London: Routledge & Keagan Paul,
1951), juga dalam Toward A General Theory of Action (Cambridge: Harvard
University Press, 1953), yang kemudian disempurnakan dalam buku Talcott
Parsons & Neil Smelser, Economy and Society (London: Routledge & Keagan
Paul, 1956). Juga lihat Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang
Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Sinar
Baru, 1985), hlm. 21–23. Nurcholish Madjid juga menyebutkan hubungan lima
unsur kekuatan dalam pemerintahan negara, tetapi ditambah dengan unsur
“teknologi” setelah ekonomi. Arus dari atas disebutnya controlling, sementara
arus dari bawah dinamakan conditioning. Lihat Dharnoto & Muhamad Sulhi,
“Nurcholish Madjid dan Simbol Harapan,” Majalah Intisari, Oktober 2003,
hlm. 55–56.
40
(Die Geltung es Rechts) ini terkait dengan aspek aksiologis atau
tujuan hukum yang ingin dilektakkan. Masalah ini akan diulas
lebih jauh dalam Bab IV buku ini.
Pandangan bahwa hukum adalah produk politik dapat diamati
dari arus energi. Arus ini bersumber dari sistem teknologi yang
kemudian mengalir ke sistem ekonomi dan berlanjut ke sistem
politik. Sebagai sistem, teknologi memiliki kekuatan paling besar
dalam menggerakkan sistem ekonomi. Kebangkitan ekonomi
Eropa, misalnya, sangat didukung oleh penerapan teknologi yang
terbaru menurut ukuran zaman itu. Penaklukan samudera yang
kemudian berbuah kepada kolonialisme jelas mustahil dilakukan
jika bangsa-bangsa Eropa tidak mengandalkan pada keunggulan
teknologi. Melalui keunggulan inilah mereka bisa menguasai
perekonomian. Kekuasaan dalam bidang ekonomi ini akan
mendorong kepada kekuasaan politik sebagaimana tampak dari
lahirnya VOC yang bermuara ke arah penjajahan politik atas
bangsa Indonesia.
Sampai kurun waktu sekarang pun, pengaruh politik terhadap
hukum juga sangat kasatmata. Kendati materi sebuah rancangan
undang-undang disusun sebaik apapun, jika tanpa energi politik,
maka rancangan undang-undang itu akan tetap berbentuk draf
hukum tanpa keberlakuan yuridis (juristische Geltung). Jadi,
energi politik ini merupakan kekuatan yang digerakkan melalui
kehendak pengambil keputusan politik (political will). Dalam
konteks inilah maka hukum selalu dipandang sebagai produk
politik.
Positivisme Hukum memiliki kecenderungan kuat untuk
memandang hukum dari perspektif arus energi. Dari arus ini,
semua hukum harus dikondisikan melalui pendekatan formal atau
prosedural. Hanya hukum yang dibuat dengan pendekatan inilah
yang memenuhi syarat untuk disebut sebagai hukum. Paling tidak,
hukum demikian adalah hukum yang sudah pasti benar.
Persoalannya adalah, hukum yang benar belum tentu hukum
yang adil. Jika kita kembali kepada ragaan di atas, maka dimensi
keadilan ini adalah dimensi yang harus dicari dari arus nilai, bukan
dari arus energi. Dalam konteks membicarakan hukum yang adil,
41
Positivisme Hukum tidak tertarik membahasnya lebih jauh. Kaum
Positivis memandang penguasa atau pembuat hukum seyogianya
sudah memuat hal ini tatkala hukum itu digodok di ruang-ruang
parlemen. Dengan demikian, tatkala hukum sudah memiliki
keberlakuan yuridis, pertanyaan tentang keadilan menjadi tidak
relevan lagi dibicarakan. Hukum sebagai produk politik, dengan
demikian, harus diasumsikan sudah benar dan adil.
Sumber nilai
Budaya
Sosial
Hukum
ARUS NILAI ARUS ENERGI
Controlling Politik Conditioning
Ekonomi
Teknologi
42
melalui keputusan politik. Hal ini perlu dilakukan karena nilai-
nilai tersebut seringkali tampil demikian kompleks dan multifaset.
Sekalipun hukum positif dipandang sudah adil dan benar
secara self-evident, norma yang telah ditetapkan itu ternyata juga
tidak mudah untuk diterapkan begitu saja. Anggapan bahwa
hukum positif itu sudah demikian lengkap dan jelas, sehingga
cukup dimengerti dengan bantuan kamus, terbukti tidak berjalan
mulus.36
Positivisme Hukum menyadari hal itu. Berbeda dengan Austin
yang cenderung memandang sistem hukum sebagai sesuatu yang
statis, Kelsen melihat selalu ada kreasi yang dinamis dalam sistem
hukum. Kreasi tersebut bersumber dari penjabaran norma tertinggi
(Grundnorm) ke norma-norma di bawahnya, yang disebutnya
sebagai norma-norma individual. Lembaga yang paling berperan
dalam mengkreasikan norma-norma individual adalah kekuasaan
peradilan.
Positivisme Hukum memandang insan peradilan terdiri dari
orang-orang yang netral. Hal ini terjadi karena independensi dan
imparsialitas lembaga peradilan sudah dijamin dalam undang-
undang, sehingga tidak perlu ada keraguan apapun terhadap
netralitas tersebut. Hakim-hakim yang memutuskan perkara juga
adalah orang-orang yang bekerja untuk mengartikulasikan hukum.
Mereka bahkan dapat disebut sebagai corong undang-undang.
Keharusan hakim untuk patuh kepada undang-undang diajarkan
oleh kaum Positivis agar kehendak (nilai-nilai) yang terkandung
dalam norma positif itu tidak terdeviasi. Asas legalitas melarang
mereka untuk bebas berkreasi memberi pemaknaan-pemaknaan
baru terhadap undang-undang.
Sayangnya, keberadaan norma positif itu sendiri dalam
kenyataannya tidak pernah lengkap dan tidak mungkin lengkap.
Pemegang kekuasaan politik tidak pernah cukup waktu untuk
menggenapi kebutuhan hukum positif dalam masyarakat,
khususnya dalam kondisi masyarakat yang dinamis dan kompleks.
36
J.W. Harris menyatakan, "A law is completely enacted only when the words
constituting it are so precise that it may be applied merely with the help of a
dictionary." Baca lebih lanjut, J.W. Harris, Op. Cit., hlm. 26.
43
Pendekatan gramatikal saja terbukti tidak cukup memadai untuk
menjawab problema konkret yang dihadapi. Akibatnya, dari waktu
ke waktu rumusan norma positif ini perlu diberikan pemaknaan
baru melalui langkah-langkah penemuan hukum (penafsiran dan
konstruksi) di luar sekadar penafsiran gramatikal.
Tidak dapat dihindari, bahwa tatkala norma positif itu harus
ditafsir atau dikonstruksi ulang, kepentingan-kepentingan politik
juga ikut bermain. Ruang-ruang pengadilan terbukti tidak steril
terhadap pengaruh-pengaruh non-hukum, khususnya politik
hukum penguasa.
Rule of Law
Satu konsep yang kerap dibela oleh Positivisme Hukum adalah
konsep the rule of law. Secara konseptual, rule of law sudah
berjalan sejak era Yunani Kuno. Pada prinsipnya, konsep ini
memandang bahwa pemerintah harus dijalankan di bawah hukum
dan tidak boleh ada seorang pun yang berada di atas hukum.37
Konsep ini dalam keluarga sistem civil law dikenal sebagai konsep
negara hukum (rechtsstaat).
Ajaran the rule of law dapat didekati dengan teori kedaulatan
negara dan teori kedaulatan hukum. Teori kedaulatan negara lahir
pada abad ke-19 seiring dengan berkembangnya Positivisme.
Menurut teori ini, kekuasaan mengikat dari hukum ada pada
kehendak negara. L.J. van Apeldoorn menyatakan bahwa teori
hukum murni dari Hans Kelsen dapat dimasukkan ke dalam
kelompok ini karena Kelsen juga memandang hukum sebagai
"Wille des Staates" (kehendak negara). Namun, Apeldoorn
mencatat ahwa ada perbedaan penting antara pendapat Kelsen
dengan teori kedaulatan negara. Menurut Kelsen, negara tidak
termasuk dunia "Sein" melainkan termasuk dunia "Sollen" (artinya
tidak termasuk dunia undang-undang kausal melainkan dunia
undang-undang normatif). Dari sudut pandang yuridis, negara
37
Orang-orang Yunani Kuno memandang bahwa sistem hukum mereka jauh
lebih beradab dibandingkan dengan negeri saingan mereka di Timur, yaitu
Persia. Jika di Yunani pemerintah berjalan menurut hukum, maka di Persia raja
menempatkan dirinya di atas hukum.
44
tidak lain adalah tata hukum itu sendiri. Negara dan hukum adalah
sama. Negara adalah penjelmaan dari hukum. Sebagai
perbandingan, Kelsen menunjuk pada pantheisme yang
beranggapan Tuhan adalah penjelmaan dari alam. Jadi, hukum
menurut Kelsen adalah "rechtliches Sollen" yang khusus.38
Reaksi terhadap ajaran kedaulatan negara ini muncul dari H.
Krabbe, seorang guru besar ilmu hukum di Leiden, Belanda. Teori
ini disebut teori kedaulatan hukum. Krabbe menolak pandangan
teori kedaulatan negara karena menilai kehendak negara itu sama
saja dengan kehendak orang-orang yang duduk di tampuk
kekuasaan. Hal ini tidak lagi sesuai dengan alam demokrasi karena
kita tidak lagi hidup dalam pemerintahan otoriter melainkan di
bawah kekuasaan undang-undang yang terbentuk melalui wakil-
wakil rakyat di parlemen.
Undang-undang mengikat bukan karena pemerintah
menghendakinya, melainkan karena ia merupakan perumusan
kesadaran hukum rakyat. Undang-undang berlaku berdasarkan
nilai batinnya, yakni berdasarkan hukum yang menjelma di
dalamnya. Teori ini tidak mengakui kekuasaan seseorang, tetapi
mengakui kekuasaan batin dari hukum. Sebab, pemerintah tidak
berkuasa atas kuasa diri sendiri, melainkan atas kekuasaan
menurut hukum. Dengan perkataan lain, hukum tidak memperoleh
kekuatan mengikat dari kehendak pemerintah, justru pemerintah
yang memperoleh kekuasaan dari hukum.39
Dari sudut pandang ini tampak bahwa pandangan Hans Kelsen
sangat dekat dengan teori kedaulatan negara, sementara pandangan
John Austin dengan teori kehendak penuhnya (full will)―
sebagaimana telah disinggung dalam Bab II ―lebih mendekati
teori kedaulatan hukum dan dalam beberapa bagian juga mengenai
teori kedaulatan rakyat. Menurut Apeldoorn, dua teori yang
disebutkan terakhir ini, yaitu teori kedaulatan hukum dan teori
kedaulatan rakyat memang memiliki banyak persamaan.
Teori Kedaulatan Rakyat seperti dikemukakan oleh J.J.
Rousseau (1712-1778) bertolak dari anggapan bahwa negara
38
L.J. van Apeldoorn, Op. Cit., hlm. 448.
39
Ibid., hlm. 450.
45
dibentuk melalui kontrak sosial. Menurut ajaran kontrak sosial ini,
hukum pun diartikan sebagai bentukan atas dasar kesepakatan
rakyat terbanyak. Oleh sebab itu, hukum memperoleh kekuatannya
dari mayoritas rakyat, atau dengan perkataan lain, karena
kedaulatan rakyat itulah maka hukum memperoleh kekuatan
mengikatnya.
Teori kedaulatan rakyat yang berangkat dari ajaran kontrak
sosial mengandung konsekuensi bahwa hukum harus dibentuk
dengan menampung sebanyak mungkin aspirasi. Hal ini sudah
pernah ditegaskan oleh John Austin dengan konsep "kehendak
penuh" (full will)-nya. Pemegang kedaulatan yang menjalankan
hukum yang aspiratif ini akan muncul menjadi pemerintah yang
disenangi rakyat (popular government). Namun, dalam sejarah
terbukti keberadaan antara pemerintah yang populis dan konsep
the rule of law tidak selalu berjalan beriringan. Di sinilah
sebenarnya titik perbedaan muncul antara teori kedaulatan rakyat
dan teori kedaulatan hukum.
Penjelasan tentang hal ini dapat dibawa ke masa Yunani Kuno.
Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 sm) menunjuk
bukti sejarah dengan mengambil contoh persidangan Socrates
pada tahun 399 SM. Pada saat itu, di hadapan 501 orang juri di
Pengadilan Agora, Socrates harus menghadapi tuduhan tiga
penduduk Athena (Meletus, Anytus, dan Lycon) karena dinilai
telah meracuni pikiran kaum muda Athena. Sebanyak 280 orang
juri mengatakan Socrates bersalah, sehingga ia layak untuk
dijatuhi hukuman mati. Socrates memilih untuk mematuhi putusan
pengadilan ini semata-mata demi menghormati hukum yang
berlaku dan hasil keputusan masyarakat Athena. Andrew Altman
melukiskan ironi tadi sebagai berikut:40
40
Andrew Altman, Arguing about Law: An Introduction to Legal Philosophy
(Belmont: Wadsworth, 2001), hlm. 79-80.
46
faced the men who met in Philadelphia in 1787 to draft a document to
establish a new form of government for the United States.
41
Ibid., hlm. 7.
47
hukum, namun dalam praktiknya harus terikat kepada hukum
buatannya sendiri.
Konsep rule of law meyakini bahwa dalam dunia modern,
kekhawatiran Hobbes tidaklah beralasan. Konsep ini
mengedepankan kedaulatan rakyat dengan mendirikan sistem
konstitusionalisme sebagaimana disebutkan dalam prinsip terakhir
(kelima).
Oleh karena negara berdasar atas hukum maka prinsip ketiga
dari rule of law adalah prinsip legalitas. Prinsip ini ingin
menegaskan bahwa undang-undang tidak boleh diganggu gugat.
Begitu suatu undang-undang dinyatakan sah dan resmi berlaku,
maka undang-undang itu harus dipublikasikan ke segenap lapisan
masyarakat. Fiksi hukum mengajarkan, setiap orang dianggap tahu
hukum (undang-undang), sehingga tidak ada alasan bagi seseorang
untuk mengelak dari akibat hukum dengan menyatakan bahwa ia
belum tahu tentang isi undang-undang yang baru diberlakukan itu.
Anggapan bahwa setiap orang harus dianggap tahu hukum
tentu saja sangat tidak realistis dan a-logis. Namun,
ketidakwajaran ini harus tetap diterima. Jika tanpa fiksi ini, secara
epistemologis, penalaran ala Positivisme Hukum tidak dapat
berjalan karena setiap kali variabel "pengetahuan" subjek hukum
selalu harus dibuktikan terlebih dulu, sehingga efisiensi dan
efektivitas hukum menjadi terbengkalai. Demikian pula, secara
aksiologis fiksi ini berguna untuk memungkinkan tercapainya
tujuan kepastian hukum.
Pada zaman modern, konsep rule of law ini berkembang
seiring dengan filsafat Positivisme yang mengasumsikan adanya
hukum kausalitas yang menaungi hubungan antar-manusia. Prinsip
determinisme ini diasumsikan berlaku sama seperti terjadi dalam
ilmu-ilmu alam. Hukum-hukum itu diasumsikan sudah ada sejak
awal dan berfungsi mengatur kehidupan alam semesta dan
aktivitas manusia di dalamnya. Artinya, jika alam semesta juga
tunduk pada aturan-aturan yang sudah baku, maka seyogianya
masyarakat manusia pun demikian halnya. Hukum-hukum yang
dimaksud di sini diperoleh dari hasil konstatasi gejala-gejala yang
48
bisa diobservasi secara inderawi. Dalam Positivisme Hukum,
konstatasi ini dilakukan oleh penguasa politik.
Konsep rule of law bertemu dengan konsep Positivisme
Hukum terutama dalam rangka menjaga keberlangsungan asas
legalitas. Sebab, dalam asas tersebut aturan hukum memang sudah
harus lebih dulu ada (pre-existing), sehingga tidak ada kejahatan
tanpa terlebih dulu ada hukum yang melarangnya (nullum crimen
sine lege) dan tak ada pidana tanpa ada kejahatan yang dilakukan
(nulla poena sine crimine).42
Tentu saja, menjadi tanda tanya besar di sini adalah apakah
"hukum" yang dimaknai oleh ilmu-ilmu alam dapat sama dengan
"hukum" menurut perspektif ilmu-ilmu sosial apalagi oleh suatu
cabang disiplin yang disebut dengan ilmu hukum. Dalam konteks
ilmu-ilmu alam, tidak dikenal ada hukum buatan manusia. Semua
hukum sudah tersaji (given) sejak semula di alam semesta. Hal ini
berbeda dengan hukum positif, yang ternyata harus dikreasikan
oleh manusia. Tepatlah jika Thomas Aquinas (1224-1274),
seorang tokoh Aliran Hukum Kodrat menamakan hukum positif
ini sebagai lex humana (hukum buatan manusia).
Konsep hukum tersaji memang ikut diambil-alih oleh
Positivisme Hukum, tetapi pengertian tersaji di sini sudah sangat
berbeda. Dalam area ilmu-ilmu alam, suatu hukum tidak pernah
dibuat, melainkan sekadar ditemukan melalui rangkaian penelitian
eksperimental. Dengan perkataan lain hukum-hukum menurut
kaca mata ilmu-ilmu alam merupakan konstatasi dari hubungan
fakta-fakta yang dianggap selalu terjadi dalam urutan tertentu dan
oleh sebab itu selalu bersifat universal. Hukum positif dalam area
ilmu hukum terbukti tidak demikian halnya. Setelah Revolusi
Perancis, hukum positif mempersempit koridornya menjadi
hukum-hukum yang berkarakter nasional.
Di sisi lain, konstatasi fakta-fakta dalam Positivisme tidak
mempertimbangkan sama sekali unsur nilai-nilai. Sebaliknya,
dalam hukum positif aspek nilai-nilai ini dipandang sudah dengan
sendirinya ada, setidaknya diakomodasi pada saat proses
pembentukan hukum itu berlangsung. Jadi, sebenarnya hukum
42
Ibid., hlm. 5.
49
positif tidak mungkin berlaku dalam ruang yang steril (bebas
nilai).
Agar setiap orang dapat memahami undang-undang itu, maka
rumusan kalimat dalam undang-undang harus lengkap dan jelas,
khususnya mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Undang-undang itu juga harus berlaku dalam jangka waktu yang
relatif lama. Dalam konteks ini, Positivisme Hukum pernah sangat
memprioritaskan pengkitaban hukum meniru apa yang sudah
dilakukan oleh Kaisar Byzantium (Romawi Timur) Justinianus I
(483-565) atau Napoleon Bonaparte (1769-1821). Kodifikasi juga
didorong oleh semangat unifikasi hukum, sehingga menutup
serapat mungkin terjadinya pluralisme hukum. Apa yang
dilakukan oleh Justinianus dan Napoleon memang ditujukan untuk
mengatasi pluralisme hukum demi menjaga kesatuan sistem
hukum.
Pada negara-negara yang secara demografis sangat heterogen,
seperti halnya di Indonesia, kodifikasi dan unifikasi hukum juga
didorong keinginan untuk membentuk satu sistem hukum nasional
yang superior di atas sistem-sistem hukum lain yang telah ada
sejak lama, misalnya hukum adat dan hukum Islam. Keberadaan
sistem-sistem hukum yang subordinatif terhadap sistem hukum
nasional ini menumbuhkan corak pluralisme hukum yang lemah
(weak legal pluralism).43
Untuk menampung berbagai kemungkinan yang melemahkan
posisi tawar masyarakat di hadapan penguasa, maka penganut
Positivisme Hukum mencoba meyakinkan rakyat dengan
menjamin hak-hak asasi manusia dan warga negara di dalam
konstitusi. Dokumen hukum yang disebut konstitusi ini lalu
diusung menjadi aturan normatif tertinggi dalam negara itu.
Pemerintah wajib menjalankan konstitusi secara murni dan
konsekuen. Pemerintah seperti inilah yang disebut oleh Andrew
Altman di dalam prinsip-prinsip the rule of law di atas sebagai
43
Konsep weak legal pluralism ini dikemukakan antara lain oleh John Griffiths.
Salah satu terjemahan yang bagus dalam bahasa Indoensia untuk karya Griffiths
dimuat oleh Tim HuMa, Pluralisme Hukum: Sebuah Pendekatan Interdisipliner
(Jakarta: HuMa, 2005), hlm. 69-119.
50
constitutional government. Dan, terbukti di berbagai negara yang
mengklaim demokratis sekalipun, constitutional government kerap
tetap menjalankan sistem hukumnya dengan pendekatan
Positivisme Hukum. Sebaliknya, pola pikir Positivisme Hukum
sering pula dipakai guna membela eksistensi dan penggunaan
instrumen kekuasaan oleh sebuah constitutional government. Jika
demikian halnya, maka implikasi dari konsep the rule of law pada
akhirnya identik dengan the rule of the rulers.
44
Prinsip identitas mengajarkan bahwa tiap-tiap hal harus identik dengan
dirinya sendiri (A=B, B=C, maka A=C). Prinsip nonkontradiksi menyatakan
51
Rasio merupakan modalitas yang diandalkan dalam
Positivisme Hukum. H.L.A. Hart menyatakan, "In continental
literature the expression ‘positivism’ is often used for the general
repudiation of the claim that some principles or rules of human
conduct are discoverable by reason alone…."45 Pengertian
dualisme pendekatan ini dituntaskan oleh Kelsen dengan
mengatakan bahwa unit dari the meaning content itu adalah
“norma.” Selanjutnya, “A norm is the expression of the idea... .that
an individual ought to behave in a certain way.”46
Oleh karena hukum merupakan aturan berperilaku untuk
banyak orang, maka aturan-aturan itu harus dirumuskan secara
rasional dan disusun dalam pola yang bisa diterima oleh rasio.
Perumusan dan pemberlakuannya harus dijalani melalui prosedur
tertentu, sehingga sistem aturan itu bersifat normatif, mengikat
sebagai sumber-sumber legislatif yang diakui benar dengan
sendirinya (self-evident). Rasionalitas dari norma-norma tersebut
harus dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu, masalah validitas
(legitimasi) aturan sangat penting diberikan perhatian, tetapi
standar regulasi yang dijadikan acuannya harus berada dalam
koridor norma-norma hukum. Artinya, norma hukum hanya
mungkin diuji dengan norma hukum, bukan dengan non-norma
hukum (seperti halnya Aliran Hukum Kodrat). Norma positif
dalam kaca mata Positivisme Hukum akan diterima sebagai
doktrin yang aksiomatis, sepanjang ia mengikuti “the rule-
systematizing logic of legal science” yang memuat asas eksklusi,
subsumsi, derogasi, dan nonkontradiksi. J.W. Harris mengartikan
keempat asas tersebut sebagai berikut:47
sesuatu tidak mungkin menjadi dirinya sendiri dan bukan dirinya secara
bersamaan (A=B tidak mungkin identik dengan A¹B). Sebagai konsekuensi
dari prinsip nonkontradiksi, muncul prinsip "tiada jalan tengah" yang
menyatakan dua hal yang kontradiktoris hanya dapat menuju pada satu
kemungkinan, yakni A atau bukan A. Prinsip terakhir mengajarkan setiap
perubahan harus berdasarkan alasan yang memadai.
45
H.L.A. Hart, Op. Cit. hlm. 253.
46
J.W. Harris, Op.Cit., hlm. 36.
47
Ibid., hlm. 10.
52
By 'exclusion' is meant that principle in accordance with which legal
science presupposes a determinate number of independent legislative
sources for any legal system, and thereby identifies the system.
By 'subsumption' is meant that principle in accordance with which legal
science makes hierarchical connections between legal rules originating in
superior and inferior legislative sources.
By 'derogation' is meant that principle in accordance with which legal
science rejects a rule, or part of a rule, because of its conflict with another
rule originating in a superior source.
By 'non-contradiction' is meant that principle in accordance with which
legal science rejects the possibility of describing a legal system in such a
way that one could affirm the existence of a duty, and also the non-
existence of a duty, covering the same act-situation on the same occasion.
53
yang sering ditunjukkan adalah perumusan Pasal 263 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut berbunyi: "Terhadap
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung." Jika mengacu
kepada cara berpikir Positivisme Hukum, rumusan norma positif
dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut seharusnya sudah jelas
dan bermakna tunggal. Oleh sebab itu, jika muncul pertanyaan
"apakah jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali," maka
keputusan jawabannya akan segera diperoleh. Keputusan yang
diberikan itu adalah satu dan dipastikan benar (single and correct
decision).
Dalam kenyataannya, formulasi yang ditetapkan dalam norma
positif ternyata tidak selalu disepakati hanya satu rumusan premis
mayor. Apabila terpidana dan ahli waris dalam ayat di atas
dimaknai secara limitatif (hanya itu saja), maka akan diperoleh
premis mayor, premis minor, dan konklusi sebagai berikut:
54
berkepentingan. Dengan demikian, formulasi premis mayor,
premis minor, dan konklusinya menjadi sebagai berikut:
48
Bandingkan ragaan tersebut dengan Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum
(Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Liberty, 1991), hlm. 159.
55
Kasus yang sudah terkualifikasi ini akan mengubah peristiwa
konkret tadi menjadi peristiwa hukum. Premis mayor dan premis
minor dibangun dari norma positif dan kualifikasi peristiwa
tersebut. Hakim cukup menggunakan logika deduktif untuk
menghubungkan kedua premis ini sehingga berhasil diperoleh
konklusi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sumber
HUKUM
C C1 C2 Putusan
49
Jika mengikuti versi John Locke (1632-1704), peran pengadilan
dimasukkannya ke dalam fungsi eksekutif.
56
Dalam perkembangannya kemudian, konsep trias politica yang
orisinal sudah ditinggalkan. Di Amerika Serikat, misalnya, dikenal
prinsip check and balances. Persiden diberi hak veto atas suatu
rancangan undang-undang sekalipun sudah disetujui oleh Kongres.
Undang-undang pun terbuka untuk diuji material oleh Mahkamah
Agung. Demikian pula pada negara-negara dengan sistem
parlementer, seorang perdana menteri dapat membubarkan
parlemen. Sebaliknya, nasib kabinet sangat dipengaruhi oleh
dukungan wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen.
Perkembangan ini mengindikasikan bahwa konsep pemisahan
kekuasaan (separation of powers) telah berubah ke dalam wujud
yang lebih kompromistis, yang disebut konsep pembagian
kekuasaan (division of powers).
Baik dalam konsep pemisahan maupun pembagian kekuasaan,
Positivisme Hukum menempatkan hakim harus sebagai penerap
undang-undang yang bersifat merdeka (independen) dan tidak
memihak (imparsial). Untuk menjamin posisi ini, hakim harus
berangkat dari sesuatu yang objektif. Landasan yang paling
objektif adalah undang-undang yang berlaku sebagai hukum
positif.
Sebagai semata-mata penerap undang-undang yang objektif,
hakim dengan sendirinya dilarang mengubah makna undang-
undang apalagi sampai menciptakan ketentuan baru di luar
undang-undang yang sudah ditetapkan sebelumnya. Montesquieu
mengatakan, hakim tidak boleh lebih daripada sekadar sebagai
corong undang-undang (bouche de la loi).50 Sebagai corong
undang-undang, hakim lalu diposisikan untuk benalar secara
sederhana dengan menggunakan sistem logika tertutup.
50
Lengkapnya Monstesquieu menulis, "Les juges de la nation ne sont que les
bouches, qui prononcent les paroles de la loi, des étres inanimés, qui n'en
peuvent modérer ni la force ni la rigueur." Lihat kupasannya dalam Paul
Scholten, Mr. C. Asser's Handleiding tot de Beoefening van Het Nederlandsch
Burgerlijk Recht: Algemeen Deel (Zwolle: Tjeenk Willink, 1934), hlm.2.
Terjemahan bebasnya kurang lebih: "Hakim-hakim rakyat itu adalah sekadar
corong yang mengucapkan teks undang-undang. Jika teks itu tidak berjiwa,
mereka tidak dapat mengubahnya, baik mengenai kekuatan maupun
keketatannya."
57
Sistem logika tertutup memiliki karakter yang hanya mengejar
kebenaran formal prosedural. Penganut Positivisme Hukum
berkeyakinan bahwa jika prosedur tersebut diikuti, maka hanya
ada satu kebenaran yang tampil dan kebenaran itu adalah
kebenaran objektif. Keinginan untuk mengejar kebenaran objektif
ini menutup pintu bagi penafsiran-penafsiran subjektif. Dalam
konsep ini, Positivisme Hukum berusaha untuk konsisten dengan
pandangan Positivisme, yaitu mengasumsikan adanya sesuatu
yang bebas nilai.
Oleh karena hanya ada satu kebenaran yang tampil ke
permukaan, maka Positivisme Hukum menjamin bahwa norma
positif dalam sistem perundang-undangan itu wajib diformulasikan
dengan bahasa yang jelas dan monotafsir. Artinya, apa yang
tertulis dalam perundang-undangan harus dimaknai sama oleh
semua orang. Jika ada masalah dalam mengartikan norma tersebut,
orang-orang cukup berpaling pada kamus. J.W. Harris
menggambarkannya dengan kata-kata: "A law is completely
enacted only when the words constituting it are so precise that it
may be applied merely with the help of a dictionary."51 Dengan
demikian, penafsiran yang paling mungkin dilakukan adalah
penafsiran gramatikal.
Kesetiaan terhadap kebenaran formal prosedural tadi
menyebabkan Positivisme Hukum terjebak pada keyakinan adanya
tafsir monolitik, yakni tafsir yang hanya bersumber pada kalimat-
kalimat tekstual. Hal ini sering menimbulkan permasalahan dalam
praktik. Bahasa atau simbol yang dipergunakan dalam
mengejawantahkan hukum jelas-jelas memiliki keterbatasan,
sehingga kalimat-kalimat tekstual itupun tetap membuka diri
untuk dimaknai secara berbeda, bahkan jika penafsiran itu sama-
sama berupa penafsiran gramatikal.
Kesadaran tentang keterbatasan bahasa manusia dan keluasan
pemaknaan simbol-simbol (signs) melahirkan metoda-metoda
penemuan hukum (rechtsvinding). Dalam perkembangannya, para
penganut Positivisme Hukum mulai membuka diri terhadap
51
J.W. Harris, Op. Cit., hlm. 26.
58
metoda interpretasi di luar penafsiran gramatikal. Kecenderungan
ini tentu saja membuka celah ke arah pengakhiran tafsir monolitik.
Kendati demikian, penemuan hukum sebatas pada penggunaan
metoda penafsiran tersebut masih dianggap pantas dalam rangka
menjamin kebenaran prosedural formal. Penggunaan metoda
penafsiran dapat diterima oleh Positivisme Hukum karena metoda
ini masih setia pada sumber peraturan perundang-undangan yang
dijadaikan dasar hukum. Jika pencurian listrik dianggap sama
dengan pencurian barang (sehingga pasal tentang pencurian dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tetap dapat digunakan),
maka penafsiran di atas dianggap hanya sebatas memperluas
makna kata "barang" (penafsiran ekstentif). Dengan perkataan
lain, si penafsir belum melangkah ke luar dari landasan pasal
pencurian tersebut. Tindakan si penafsir baru dianggap salah
apabila landasan pasal pencurian itu sudah tidak lagi dipakai dan
untuk itu diciptakan suatu landasan hukum baru.
Membuat landasan hukum baru tatkala menghadapi suatu
kasus konkret adalah tindakan yang dilarang dalam kaca mata
Positivisme Hukum. Tindakan ini bukan lagi suatu penafsiran
melainkan sudah termasuk ke dalam konstruksi hukum. Membuat
suatu konstruksi hukum dianggap bertentangan dengan asas
legalitas. Analogi termasuk dalam kelompok metoda penemuan
hukum secara konstruktif. Itulah sebabnya, asas legalitas
mengharamkan penggunaan analogi. Sebagaimana tampak dari
penjelasan pembagian hukum menurut John Austin, tampak jelas
bahwa analogi merupakan proses perluasan hukum yang hanya
mampu menghadirkan moralitas positif, bukan hukum positif.
59
60
BAB IV
ASPEK AKSIOLOGIS
Kepastian Hukum
Kepastian hukum (Rechtssicherheit) adalah konsep yang
terkait erat dengan keberlakuan hukum (Die Geltung es Rechts).
Ahli hukum Jerman bernama Gustav Radbruch mengaitkan
keberlakuan hukum ini dengan konsep cita hukum (Rechtsidee).
Seperti telah diuraikan dalam Bab II, cita hukum suatu negara
memiliki fungsi konstitutif untuk memastikan suatu norma dapat
dipertanggungjawabkan keberlakuannya secara yuridis. Di
samping keberlakuan yuridis (juristische Geltung), Radbruch
menyebutkan dua jenis keberlakuan hukum lainnya, yaitu
keberlakuan filosofis (filosofische Geltung) dan keberlakuan
sosiologis (soziologische Geltung). Keberlakuan filosofis
merupakan keterimaan hukum karena memang sejalan dengan
nilai-nilai dapat dijustifikasi secara moral. Keberlakuan sosiologis
adalah keterimaan hukum karena berlaku dalam kenyataan hidup
di masyarakat. Keberlakuan yuridis adalah keberlakuan karena
hukum itu telah dibuat menurut prosedur dan format yang
61
ditetapkan. Kepastian hukum dalam kaca mata Positivisme Hukum
merujuk pada keberlakuan yuridis ini.
Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan
dari Positivisme Hukum. Kepastian adalah tujuan hukum yang
paling minimal yang harus dicapai melalui asumsi-asumsi
Positivisme Hukum. Sebab, hukum tanpa kepastian akan
kehilangan maknanya sebagai hukum karena tidak lagi dapat
dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Ubi jus incertum,
ibi jus nullum: di mana tiada kepastian hukum, di situ tidak ada
hukum!
Menurut Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi.
Pertama, berarti soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid)
hukum dalam hal-hal yang konkret. Kedua, kepastian hukum
berarti keamanan hukum. Artinya, perlindungan bagi para pihak
terhadap kesewenangan hakim.52 Dua segi yang disebutkan di atas
sebenarnya memiliki keterkaitan. Jika unsur-unsur dalam peristiwa
hukum dapat ditentukan dengan pasti, maka para pihak yang
berperkara juga akan terlindungi dari "kesewenangan" aparatur
hukum.
Norma hukum yang dikeluarkan oleh penguasa mempunyai
prinsip tertentu yang, menurut Hans Kelsen, analog dengan prinsip
kausalitas dalam aturan-aturan alam. Jika hari hujan, maka
lapangan terbuka akan basah. Atau, jika seseorang menderita
penyakit menular yang sangat membahayakan, maka ia harus
diasingkan. “Hujan” dan “menderita penyakit menular” dalam dua
pernyataan di atas merupakan sebab, dan “lapangan terbuka
basah” dan “diasingkan” adalah akibatnya.
Dalam kenyataannya, norma hukum tidak serta merta
menerapkan prinsip kausalitas seperti aturan alamiah itu. Norma
hukum sebenarnya tidak menyatakan, jika “A” maka akan “B”.
Norma hukum hanya menetapkan, bahwa jika “A”, maka
seharusnya “B”, sehingga mungkin “B” dan dapat saja bukan “B”.
Prinsip inilah yang disebut Kelsen dengan imputasi (imputation).53
52
L.J. van Apeldoorn, Op. Cit., hlm. 129.
53
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir
(Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 83.
62
Menurut Kelsen, dasar yang melandasi perbedaan arti
hubungan unsur-unsur dalam norma hukum dengan aturan alam
adalah, bahwa hubungan yang dideskripsikan dalam norma hukum
diwujudkan oleh suatu wewenang hukum54 (dalam hal ini oleh
penguasa), sedangkan hubungan kausal bersifat mandiri (tidak ada
campur tangan wewenang hukum). Perbedaan antara imputasi dan
kausalitas juga terletak pada unsur kebebasan berbuat yang
melekat pada diri subjek (manusia). Dalam prinsip kausalitas,
kebebasan ini tidak ada. Manusia sebagai bagian dari alam tidak
bebas berperilaku disebabkan faktor-faktor alamiah. Sebaliknya,
prinsip imputasi mengasumsikan bahwa manusia itu bebas, dan
hanya dengan kebebasan itu pulalah ia dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas perbuatannya.
Penerapan prinsip imputasi dalam hukum positif memberi
pengaruh pada perkembangan ilmu hukum dogmatis pasca-abad
ke-19. Ilmu hukum menjadi ilmu praktis yang normologis. Ilmu
praktis yang normologis berusaha memperoleh pengetahuan
faktual-empiris, yakni pengetahuan tentang hubungan ajeg yang
ceteris paribus niscaya berlaku antara dua hal atau lebih
berdasarkan asas kausalitas-deterministik. Produknya dapat
diungkapkan, seperti ilmu empiris, dalam rumus logikal: “Jika A
(ada atau terjadi) maka B (ada atau terjadi) (when A is, then B
is).”55
54
Pengertian wewenang berbeda dengan kekuasaan. Menurut Soerjono
Soekanto dalam bukunya Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers,
1986), hlm. 242, beda antara kekuasaan dengan wewenang (authority atau
legalized power) ialah bahwa setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak
lain dapat dinamakan kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang
ada pada seseorang atau kelompok orang, yang mempunyai dukungan atau
mendapat pengakuan dari masyarakat. Karena memerlukan pengakuan dari
masyarakat itu, maka di dalam suatu masyarakat yang sudah kompleks
susunannya dan sudah mengenal pembagian kerja yang terinci, wewenang itu
biasanya terbatas mengenai hal-hal yang diliputinya, waktunya dan cara
menggunakan kekuasaan itu.
55
B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian
tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, cet. 2 (Bandung:
Mandar Maju, 2000), hlm. 111-112.
63
Prinsip imputasi ini sama sekali tidak mengurangi nilai
kepastian hukum, bahkan justru memperkuat nilai tersebut. Jika si
A melakukan pembunuhan, maka si A seharusnya dihukum.
Pernyataan tersebut dapat dibalik menjadi pertanyaan: jika si A
dihukum, apakah karena ia melakukan pembunuhan? Menurut
prinsip imputasi, jawabannya adalah “bukan”. Si A dihukum
bukan karena ia membunuh, tetapi karena ada norma hukum yang
menyatakan barangsiapa membunuh, ia seharusnya dihukum. Jika
tidak ada norma hukum demikian, tentu perbuatan si A tidak
merupakan perbuatan hukum yang dapat dijatuhkan hukuman.
Dengan demikian unsur norma hukum yang telah diformulasikan
itulah yang menentukan, bukan peristiwa konkret yang dilakukan.
Dari penjelasan di atas, tampak seolah-olah nilai kepastian
hukum berhubungan dengan akibat dari peristiwa hukum yang
diperbuat. Akibat ini merupakan sanksi dari norma hukum itu.
Namun, kepastian hukum sesungguhnya lebih bergantung pada
keberadaan sanksi. Kepastian hukum lebih terkait kepada
kepastian orientasi.56 Dalam hal ini orientasi yang dimaksud adalah
kejelasan rumusan norma tersebut, sehingga dapat dijadikan
pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan itu. Dengan
perkataan lain, rumusan hukum harus mampu memberikan daya
prediksi terhadap akibat hukum yang "dijanjikan".
Seorang ahli hukum Belanda, Jan Michiel Otto mencoba
memperluas indikator kepastian hukum dengan mendefinisikan
kepastian hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi
tertentu:57
56
Mengenai hal ini baca lebih lanjut: Franz Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1994), hlm. 79 et seq.
57
Jan Michiel Otto, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, terjemahan
Tristam Moeliono (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2003), hlm. 5.
64
3. kebanyak warga secara prinsipil menyesuaikan perilaku mereka
terhadap aturan-aturan tersebut;
4. hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum, dan;
5. keputusan peradilan secara konkret dilaksanakan.
65
dengan sengketa dalam ranah hukum privat. Oleh karena itu,
sengketa-sengketa hukum publik perlu dihadapi lebih tegas
dengan menghadirkan negara sebagai pihak penuntut umum
berhadapan dengan pihak pelanggar. Hal ini berbeda dengan
sengketa-sengketa perdata.
Sekalipun ada perbedaan gradasi antara hukum publik dan
hukum privat seperti disebutkan di atas, dalam praktik mayoritas
kasus-kasus yang muncul di pengadilan hanya berskala mikro.
Artinya, kasus-kasus tersebut sebenarnya mempunyai dampak
yang tidak signifikan bagi tertib sosial secara keseluruhan. Sangat
jarang terjadi kasus-kasus kriminal yang sampai menghantui
masyarakat secara keseluruhan dalam jangka waktu lama.
Untuk menangani kasus-kasus hukum ini, maka diperlukan
fungsi hukum berikutnya, yaitu hukum sebagai sarana
penyelesaian konflik (dispute settlement). Sebagai penyelesai
konflik, hukum menjadi batu ujian bagi para pihak yang terlibat
sengketa. Hukum positif yang tadinya hanya berupa "simbol-
simbol diam" di dalam kitab undang-undang, berubah menjadi
aktif tatkala berhadapan dengan kasus-kasus konkret. Titik sentuh
antara hukum positif dan peristiwa konkret ini mengubah peristiwa
biasa ini menjadi peristiwa hukum.
Dalam kaca mata Positivisme Hukum, fungsi social order dan
dispute settlement ini harus diarahkan untuk menampung nilai-
nilai yang ada sampai pada saat peristiwa hukum itu terjadi.
Dalam ragaan di bawah ditunjukkan bahwa fokus kamera dari
fungsi social order dan dispute settlement selalu memotret kondisi
ke belakang. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa hukum selalu
berjalan di belakang kenyataan (het recht hinkt achter de feiten
aan).
Pernyataan di atas tidak boleh diartikan bahwa hukum lalu
diarahkan untuk berlaku surut. Keberlakuan hukum tetap bersifat
prospektif bukan retroaktif. Justru karena hukum senantiasa
diarahkan bersifat prospektif itulah maka nilai-nilai yang
diakomodasikan oleh Positivisme Hukum menjadi nilai-nilai
menurut "what the law is (so far)" bukan menurut "what the law
ought to be".
66
Pemikiran untuk mengubah fungsi hukum sebagai perekayasa
sosial (social engineering) tidak cocok dengan gagasan
Positivisme Hukum. Gagasan ini memang muncul dari kalangan
Sociological Jurisprudence, suatu aliran lain dalam Positivisme
Hukum. Dalam sudut pandang Sociological Jurisprudence, hukum
harus diberi fungsi lain yakni untuk melakukan pembaruan-
pembaruan sosial. Hukum tidak boleh sekadar memotret nilai-nilai
yang berlaku, melainkan juga harus mendorong masyarakat agar
mengubah sikap dan perilaku mereka ke arah yang lebih baik di
masa depan. Dengan demikian, hukum didesain menurut
konstruksi berpikir yang melampaui masa keberlakuannya.
Law as
Social Order and Law as
Dispute Settlement Social Engineering
waktu
Kondisi
Kondisi
sosial Kondisi
sosial
terakhir sosial
yang
yang telah sekarang
diinginkan
ditinggalkan
67
Positivisme Hukum ini akhirnya tidak pernah mampu
memaksimalkan fungsi hukum sebagai alat perekayasa sosial.
Penolakan Positivisme Hukum untuk menjadikan hukum
sebagai alat perekayasa sosial dapat dipahami karena beberapa
alasan yang sedikit konseptual:
1. Positivisme Hukum tidak ingin berspekulasi mengatur suatu
objek hukum yang belum jelas kehadirannya karena masih
disangkutkan pada kondisi yang diasumsikan akan terjadi di
masa datang. Suatu bangsa yang belum mengenal teknologi
Internet, misalnya, belum merasa perlu membentuk undang-
undang tentang cybercrime sekalipun kasus-kasus kejahatan
dunia maya itu sudah terjadi di negara-negara maju. Hukum
positif biasanya baru dibuat jika urgensi untuk itu sudah
demikian nyata karena terjadinya akumulasi peristiwa-
peristiwa konkret yang sudah tidak dapat ditoleransi.
2. Tidak mudah untuk menetapkan batas-batas kondisi sosial
masa depan yang diakomodasi di dalam hukum positif. Jika
kondisi ideal itu terlalu jauh dan masyarakat tidak siap
menerimanya, maka yang terjadi justru hukum positif itu
berpotensi menciptakan instabilitas sosial. Sebagai contoh,
anggapan bahwa sanksi yang berat akan membuat masyarakat
takut melanggar aturan lalu lintas dan segera berubah menjadi
berdisiplin seperti halnya di negara-negara maju, pernah tidak
terbukti sama sekali. Undang-undang dengan sanksi yang
berlipat ganda tersebut justru menuai protes massal karena
ketidaksiapan masyarakat terhadap kondisi sosial ideal yang
ingin diciptakan oleh undang-undang tersebut.
3. Untuk dapat mendesain hukum yang berdimensi jauh ke
depan, kaum Positivis Hukum harus menggiatkan telaahan
filosofis dan sosiologis, tidak lagi semata-mata yuridis. Hal ini
jelas sudah bertentangan dengan keinginan mereka untuk
memurnikan kajian hukum positif sebatas pada gejala-gejala
yang terobservasi. Ini berarti, variabel kehadiran hukum positif
tidak pernah berdiri sendiri.
68
Deontologisme-etis
Teori Deontologisme-etis sering dirujuk kepada konsep etika
dari Immanuel Kant. Teori ini berangkat dari pemikiran bahwa
baik-buruk suatu tindakan diukur dari tindakan itu sendiri, bukan
dari akibatnya. Teori ini dilawankan dengan Teleologisme-etis
atau Eudominisme.
Positivisme Hukum secara umum dapat dikatakan berada
dalam kubu penganut Deontologisme-etis. Dalam pandangan
Positivisme Hukum, ketaatan para subjek hukum terhadap norma-
norma positif cukup dinilai dari aspek fisik sepanjang bisa
diobservasi secara inderawi. Oleh sebab itu, sepanjang perilaku
yang bersangkutan sudah sesuai dengan ketentuan normatif, maka
perilaku itu sudah dianggap baik. Urusan motivasi atau dorongan
batin di balik perilaku taat tersebut tidak menjadi titik perhatian
Positivisme Hukum.
Immanuel Kant yang banyak mempengaruhi pemikiran Hans
Kelsen, melihat bahwa hukum sebaiknya ditaati dengan
pertimbangan kesadaran bahwa ketaatan itu adalah karena
kewajiban moral, bukan karena diawasi atau diancam oleh
penguasa, juga bukan karena mengharapkan sesuatu imbalan.
Aspek kewajiban moral tersebut merupakan faktor penting dalam
etika Kantianisme.
Positivisme Hukum meminjam konsep ketaatan dari Kant ini,
namun dengan mereduksi dimensi moral yang terkandung di
dalamnya. Positivisme Hukum tidak mengakui adanya dualisme
pandangan Kant yang menyatakan ada perbedaan antara materi
pengetahuan dan bentuk pengetahuan. Materi adalah benda itu
sendiri (das Ding an sich), sedangkan bentuk adalah benda yang
teramati. Positivisme Hukum berpendapat bahwa bentuk
pengetahuan adalah sekaligus materi pengetahuan. Oleh karena
itu, konsep Kant dalam modifikasi Positivisme Hukum menjadi
tidak persis lagi sebagaimana ajaran Kant semula, sehingga
modifikasi yang khas dari penganut Positivisme ini dapat
dikelompokkan sebagai Neokantianisme.
Rudolf Stammler sebagai penganut Neokantianisme memang
tidak menampik adanya faktor moral dalam hukum. Namun, ia
69
berpendapat bahwa kemauan moral ini berbeda dengan kemauan
yuridis. Kemauan moral menentukan kelakuan orang per orang
sebagai pribadi, tetapi tidak sampai menggabungkan orang-orang
tersebut (sebagai kelakuan sosial). Kemauan hukumlah yang
mampu menggabungkan perilaku-perilaku tersebut. Kemauan
hukum merupakan kemauan yang berada di atas kemauan moral.58
Dengan demikian, Stammler ingin mengatakan bahwa kemauan
objektif dari hukum berada di atas kemauan subjektif dari moral.
Kelsen dalam beberapa segi sejalan dengan pemikiran
Stammler. Satu hal yang patut dicatat bahwa konsep
Deontologisme-etis dari Kant bersambungan dengan prinsip
tanggung jawab dari Kelsen (prinzip der Zurechnung). Karena
hukum ditempatkannya dalam dimensi Sollen (seharusnya), maka
Kelsen menyatakan bahwa jika terjadi pelanggaran undang-
undang maka seharusnya berlakulah akibat hukum yang diatur di
dalam undang-undang itu. Kata kuncinya "seharusnya" ini terletak
pada konsep tanggung jawab yang dapat dibebankan kepada
pelakunya. Hanya saja, Kelsen menolak mengaitkan keharusan
bertanggung jawab menaati hukum ini dengan kewajiban moral.
Sebagaimana dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, Kelsen
mendasarkan keharusan ini pada keberadaan norma dasar.
Yang menarik adalah bahwa John Austin yang dalam buku ini
kerapkali disebut-sebut sebagai eksponen Positivisme Hukum,
ternyata memiliki pandangan yang sangat berbeda dengan
Deontologisme-etis. Hal ini mudah dimengerti karena Austin
sangat kuat dipengaruhi oleh Jeremy Bentham, seorang penganut
Utilitarianisme yang termasuk kubu Teleologisme-etis.
Austin berkeyakinan bahwa hukum ditaati bukan karena
semata-mata ada perintah penguasa dalam wujud hukum positif,
melainkan karena ada di dalam perintah itu melekat sanksi
terhadap pelanggarnya. Bayangan terhadap sanksi inilah yang
membuat hukum ditaati. Jika demikian halnya, Austin tidak
bersedia menerima pemikiran Kant tentang ketaatan tanpa pamrih
semacam imperatif kategoris. Austin justru berpendapat
58
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta:
Kanisius, 1988), hlm. 152.
70
sebaliknya, yaitu imperatif hipotetis. Karaker imperatif hipotetis
dalam teori Austin juga dapat dilacak kembali dari teori kehendak
(the will theory of law) yang mendasari pendapat-pendapat Austin.
Terlepas dari varian-varian pemikiran Positivisme Hukum ini,
dapat dikatakan bahwa pada akhirnya mereka sepakat seperti
disebutkan oleh Stammler, yakni hukum positif inilah yang pada
akhirnya harus dijadikan acuan perilaku individu-individu. Norma
positif wajib diterima sebagai ukuran perilaku bersama. Ketaatan
diukur dari pengamatan secara fisik karena indikator inilah yang
paling mudah dikenali sekaligus paling objektif.
Sekalipun eksponen-eksponen Positivisme Hukum
sebagaimana disebutkan di atas menulis tentang hakikat hukum,
sebab-sebab terdalam dari ketaatan, dan hal-hal yang konseptual,
pada dasarnya aliran filsafat hukum ini tidak menyukai diskusi
panjang lebar seputar filsafat hukum. Positivisme Hukum
menekankan pada dimensi penegakan hukum, yaitu bagaimana
menerapkan norma hukum positif yang sudah jadi dan siap pakai
itu terhadap peristiwa konkret yang terjadi. Dalam konteks
penegakan hukum ini, pembahasan tentang nilai-nilai yang
terkandung di dalam norma tersebut, seperti keadilan dan
kemanfaatan, sudah tidak relevan lagi untuk dibicarakan. Satu-
satunya nilai yang tersisa untuk diperjuangkan adalah kepastian
hukum!
71
72
BAB V
CATATAN PENUTUP
59
Lord Lloyd Hampstead, Loc. Cit., hlm. 277-278.
74
Positivisme Hukum
Ontologis:
Ontologis:
Hukum = norma-
norma-norma positif
dalam sistem perundang-
perundang-undangan
Sumbu Y
Epistemologis:
Epistemologis:
Doktrinal-
Doktrinal-deduktif
(kebenaran koherensi)
koherensi)
Sumbu Z
Aksiologis:
Aksiologis:
Kepastian hukum
TOP-
TOP-DOWN
satu arah
Sumbu X
60
Uraian mendalam tentang sumbu-sumbu ini dapat dibaca dalam Shidarta,
Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan (Bandung:
Utomo, 2006).
75
guna memperoleh konklusi (keputusan penyelesaian). Rumusan
hukum positif dari bahan hukum tersaji itu diformulasikan sebagai
premis mayor, sementara rumusan kasus konkretnya didudukkan
sebagai premis minor. Hubungan antara premis mayor dan premis
minor ini harus menunjukkan suatu kebenaran koherensi.
Apabila digambarkan secara sederhana dalam lingkaran
bersudut 90 derajat dan sumbu-sumbu dalam ragaan ini dibagi
dalam dua wilayah secara simetris sama besar, maka wilayah
permainan Positivisme Hukum ada di lingkaran bersudut 45
derajat bagian bawah. Pendulum sumbu Z tersebut dengan
demikian adalah pendulum yang dinamis karena posisi yang
sebenarnya sangat ditentukan tarik-menarik antara sumbu Y dan
sumbu X. Ia dapat saja mendekati sumbu Y atau mendekati sumbu
X bergantung seberapa ideal atau seberapa realistis area dan
problema hukum yang sedang terlibat.
Kondisi pergerakan pendulum hukum tersebut sudah
memperlihatkan bahwa tujuan kepastian hukum itu sendiri
menjadi tidak lagi layak untuk diajukan sebagai klaim. Kesulitan
terbesar untuk mencapai tujuan kepastian ini muncul karena
tindakan memformulasikan rumusan premis mayor dalam
penalaran Positivisme Hukum itu sendiri penuh dengan celah-
celah yang mudah dimasuki oleh berbagai kepentingan politik.
Kaum Positivis Hukum mencoba memperkecil peluang
ketidakpastian hukum ini dengan antara lain memperkecil sumber-
sumber formal yang bisa dijadikan acuan penyusunan premis
mayor. Namun, dalam kenyataan di lapangan, konstelasi sumber-
sumber hukum tersebut sudah sedemikian beragamnya saat ini,
sehingga praktis penganut Positivisme Hukum sendiri terdorong
untuk mengakomodasikannya.
Keragaman ini menyebabkan para fungsionaris hukum,
khususnya para pengemban hukum (rechtsbeoefenaren) yang
bekerja di ruang-ruang pengadilan memang kerapkali menghadapi
kesulitan mencari kualifikasi hukum positif yang paling pas untuk
suatu kasus hukum, terlebih-lebih jika kasus tersebut memiliki
kompleksitas yang tinggi.
76
Sekalipun kaum Positivis Hukum di lingkungan negara-negara
civil law sangat mendahulukan posisi undang-undang di atas
sumber formal lain, mereka terbukti dewasa ini tidak dapat lagi
mengabaikan begitu saja keterkaitan sumber formal yang satu
dengan sumber formal lainnya. Perkembangan yang sama juga
terjadi pada negara-negara dari keluarga sistem common law.
Negara-negara ini tidak lagi selalu memprioritaskan yurisprudensi
di atas undang-undang sebagaimana menjadi ciri khas keluarga
sistem hukum ini. Ahli perbandingan hukum Peter de Cruz
menggambarkan perkembangan yang telah terjadi di Inggris,
Prancis, dan Jerman sebagai berikut:61
Of course, recent trends have indicated that the common law and civil law
systems have been coming closer together in their use of cases and statutes.
The United Kingdom Children Act 1989, which came into force in October,
1991, while incidentally consolidating and integrating certain existing case-
derived rules and statutes, was enacted predominantly to effect ‘the most
comprehensive and far-reaching reform of English child care law ever
introduced’ into the United Kingdom in the 20th century .... On the other
hand, civil law system, particularly France and Germany, have begun to
rely more and more on cases where, for example, the enacted or codified
law has been found deficient in any way.
61
Peter de Cruz, Comparative Law in A Changing World (London: Cavendish
Publishing, 1995), hlm. 36-37. Anehnya, Roscoe Pound justru melihat ada
kecenderungan resepsi civil law terhadap common law jauh lebih besar daripada
jurusan sebaliknya, setidaknya sepanjang yang diamatinya di Skotlandia,
Louisiana, Quebec, dan Afrika Selatan. Lihat Roscoe Pound, “Do We Need A
Philosophy of Law?” dalam The Association of the Bar of the City of New
York, ed., Jurisprudence in Action: A Pleader’s Anthology (New York: Baker,
Voorhis & Co., 1953), hlm. 393–409.
77
undang-undang, kontrak dalam hubungan keperdataan, perjanjian
internasional (traktat), atau yurisprudensi, bahkan dari nilai/asas
yang universal. Jalinan di antara sumber-sumber itu menunjukkan
adanya hubungan yang normatif-imperatif, normatif-koordinatif,
atau normatif persuasif.
Normatif-Imperatif
Normatif-Koordinatif
Normatif-Persuasif
Nilai/Asas
UU
Traktat
Kontrak
Putusan
Doktrin
Kebiasaan
Autonomic
Legislation
Yurisprudensi
78
tertinggi ini. Sebagai contoh, jika putusan hakim bertentangan
dengan undang-undang, maka putusan hakim ini harus dianggap
benar (res judicata pro veritate habetur).
Putusan hakim sendiri diperkirakan akan makin memainkan
peran penting dalam konstelasi sumber-sumber formal hukum di
negara-negara yang dulunya sangat memuja Positivisme Hukum.
Hubungan putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya
dapat saja dikategorikan sebagai bersifat normatif-persuasif
(karena tidak dianutnya asas the binding force of precedent di
negara-negara sistem civil law), tetapi seriring dengan bertambah
kompleksnya permasalahan hukum dan makin terbatasnya
kemampuan pembentuk undang-undang mengakomodasi
kebutuhan perundang-undangan), peran yurisprudensi akan makin
signifikan di masa-masa mendatang.
Keranekaragaman penggunaan sumber-sumber hukum di atas
merupakan tuntutan kebutuhan pasca-abad ke-20. Konfigurasi
sumber-sumber formal hukum ini diperkirakan akan makin
bertambah banyak dari waktu ke waktu, sehingga kesetiaan
Positivisme Hukum terhadap undang-undang sebagai sumber
hukum satu-satunya menjadi titik kelemahan yang paling
kasatmata dari aliran filsafat hukum ini.
Jika Positivisme Hukum tetap bertahan pada sistem logika
tertutup yang sedemikian ketat, maka aliran ini sesungguhnya
hanya tepat diterapkan pada kasus-kasus yang sederhana, yang
lazim disebut dengan soft cases, yaitu pada kasus-kasus dengan
fakta yang sudah "terang-benderang" tanpa kontroversial sama
sekali. Pada kasus-kasus demikian memang tidak diperlukan
pemeragaan metode penemuan hukum yang beraneka rupa,
kecuali cukup dengan penafsiran gramatikal. Sebaliknya, untuk
kasus-kasus yang berat atau kompleks (hard cases, doubtful cases,
unclear cases, atau disebut juga penumbral cases),62 Positivisme
Hukum akan terkesan tampil sebagai aliran filsafat hukum yang
62
Aleksander Peczenik mendefinisikan hard case sebagai kasus yang
"...presents a moral dilemma, or at least a difficult moral determination."
Aleksander Peczenik, On Law and Reason (Dordrecht: Kluwer Academic
Publishers, 1989), hlm. 19.
79
kering dan tumpul. Dalam situasi seperti ini, penganut Positivisme
Hukum biasanya akan beralih menggunakan aliran lain yang
mendekati Positivisme Hukum, yakni Utilitarianisme.63 Namun,
untuk aliran yang satu ini, akan dibahas khusus dalam buku
tersendiri.
63
J.W.Harris menyatakan, "The utility model of rationality is employed
whenever a judge refers expressly to the consequences of his decision as part of
its justification. . . . Where judges are dealing with unclear cases in an area
covered by statute law, it is unusual for them to justify decisions solely by
balancing good and bad consequences. One would be surprised to find a judge
expressly announcing: ‘The legislature has not made clear what decision it
wanted in a case such as this; I will therefore fill the gap; and in framing a new
rule.’" Baca lebih lanjut J.W. Harris, Op. Cit., hlm. 144-145.
80
DAFTAR PUSTAKA
81
Harris, J.W. Law and Legal Science: An Inquiry into the Concepts
Legal Rule and Legal System. Oxford: Clarendon Press,
1982.
82
Notonagoro. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok
Kaidah Fundamentil Negara Indonesia). Jogjakarta:
Universitas Gadjah Mada, 1959.
83
Sidharta, B. Arief. Penerjemah. Meuwissen tentang
Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan
Filsafat Hukum. Bandung: Refika Aditama, 2007.
84
BIODATA PENULIS
Shidarta saat ini adalah dosen tetap pada Jurusan Hukum Bisnis
Universitas Bina Nusantara (BINUS University). Sebelumnya ia
berpangkalan di Universitas Tarumanagara, Jakarta. Ia
menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Katolik
Parahyangan (2004) dengan berkaitan dengan kajian filsafat
hukum.
Buku yang ada di tangan Pembaca ini adalah bagian dari seri
aliran-aliran pemikiran hukum, yang mengupas antara lain:
1. Aliran Hukum Kodrat
2. Positivisme Hukum
3. Utilitarianisme
4. Mazhab Sejarah
5. Sociological Jurisprudence
6. Realisme Hukum.
85