Disusun Oleh :
ALIFATUL FIKRIYAH (130710101212)
INDRAMAYU (130710101209)
ALVIN DWI NANDA (130710101405)
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2014
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
Karya Tulis Ilmiah ini yang berjudul : “REKONSTRUKSI SISTEM
PERADILAN PIDANA INDONESIA DALAM UPAYA PENANGANAN
TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
UNTUK MEWUJUDKAN KEADILAN” dengan baik tanpa suatu halangan
yang berarti.
Karya Tulis Ilmiah ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:
1. Allah SWT sebagai Sang Khaliq yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya;
2. Ayah dan Ibunda penulis yang selalu memberikan doa dan dukungan;
3. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Prof. Dr. Widodo
Ekatjahjana, S.H., M.H.;
4. Ibu Dosen Pembimbing, Laely Wulandary, S.H., M.H yang senantiasa
memberi nasehat serta membimbing penulis; dan
5. Rekan-rekan UKMF FK2H FH UNEJ yang turut serta membantu kami
berdiskusi.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, sehingga
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan tulisan ini. Semoga dapat memberikan wawasan dan informasi,
serta sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat,
mahasiswa serta para pihak yang tertarik dan berminat terhadap permasalahan
yang dihadapi.
Penulis
iv
DAFTAR ISI
v
4.1.2 Penanganan Kasus Tindak Pidana KDRT dalam Sistem Peradilan
Pidana ............................................................................................ 15
4.1.3 Esensi Sistem Peradilan Pidana Indonesia ...................................... 16
4.1.4 Perkembangan Proses Penanganan Kasus KDRT dengan Sistem
Peradilan Pidana Indonesia ...................................................................... 17
4.1.5 Kelemahan Sistem Peradilan Pidana dalam Menangani Kasus Tindak
Pidana KDRT ........................................................................................... 20
4.2 Wujud Upaya Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam
Menangani Kasus Tindak Pidana KDRT ................................................. 20
4.2.1 Pengadilan Keluarga sebagai Wujud Upaya Rekonstruksi Sistem
Peradilan Pidana Indonesia ............................................................ 21
4.2.2 Nilai Penting Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia ..... 21
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 27
5.2 Saran ......................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 29
vi
RINGKASAN
vii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
“Negara Indonesia adalah Negara hukum”
2
Grundnorm menurut Hans Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya
tidak kongkrit (abstrak). Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila.
(Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Stufenbau, diakses pada tanggal 12 Oktober
2014. Pukul 08.05 WIB.)
3
Menurut John Rawls, keadilan merupakan suatu nilai yang mewujudkan keseimbangan
antara bagian-bagian dalam kesatuan, antara tujuan-tujuan pribadi dan tujuan bersama.
(Dikutip dari: Titik Triwulan Tutik. Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia. (Surabaya:
Prestasi Pustaka Publisher, 2010), hlm. 260.)
4
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kekerasan adalah perbuatan seseorang
atau kelompok orang yg menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain.
5
Contoh kekerasan yang terjadi di tempat umum adalah pengeroyokan massa, tawuran, dan
sebagainya. Kemudian, contoh kekerasan di rumah atau lingkungan keluarga adalah penganiayaan
suami terhadap istri atau dalam hal ini bisa disebut sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Bentuk KDRT umumnya berupa penganiayaan suami terhadap istri, yang
mana masyarakat menganggap hal tersebut dipandang sebagai kewajaran atas
bentuk perlakuan suami terhadap istri yang didorong oleh budaya patriarki. 6
Padahal tindakan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 28G dan 28H Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 7 yang menegaskan
penegakan dan perlindungan hak pribadi manusia terkait hak lahir dan batinnya.
Maraknya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), membuat
pemerintah merasa perlu untuk membuat suatu undang-undang yang dapat
memberikan perlindungan dan rasa aman kepada masyarakat. Dengan undang-
undang tersebut, diharapkan masyarakat dapat terhindar dan terbebas dari
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. 8 Maka dari itu, pemerintah
mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (RUU PKDRT), yang kemudian Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia akhirnya menyetujui RUU PKDRT dalam rapat paripurna
pada tanggal 14 September 2004 dan mengesahkannya. Selanjutnya berdasarkan
6
Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas
utama yang sentral dalam organisasi sosial.
(Dikutip dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Patriarki, diakses pada tanggal 12 Oktober 2014. Pukul
09.47 WIB)
7
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.
8
Elli N. Hasbianto, "Kekerasan dalam Rumah Tangga: Sebuah Kejahatan yang
Tersembunyi", dalam SyafiqHasyim. Menakar Harga Perempuan. (Bandung: Mizan, 1999), hlm.
190.
2
persetujuan DPR, maka Rancangan Undang-Undang tersebut, dituangkan dalam
peraturan perundangan yaitu: “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga” 9
Asas dan tujuan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2004 (UU PKDRT) dijelaskan pada Bab II dalam dua pasal yakni Pasal 3
dan Pasal 4. 10 Kemudian dalam konsep pelaksanaan UU PKDRT didasarkan pada
konsep pemidanaan yang tertuang dalam Pasal 44 sampai Pasal 55 dari Undang-
Undang tersebut yang telah secara tegas mengatur batasan-batasan perbuatan
mana yang diancam pidana dan besar pidananya. Namun, kenyataan dari
implementasi UU PKDRT tersebut menunjukkan bahwa tidak sesuai dengan yang
diharapkan oleh masyarakat terutama dalam lingkungan keluarga, karena pada
kenyataannya KDRT masih menjadi kasus dominan dalam kalangan masyarakat.
Hal tersebut dibuktikan dengan data statistik pada tahun 2011 dari 706 kasus yang
ditangani LBH APIK Jakarta, 417 adalah kasus KDRT. Pada tahun 2012 dari 654
yang ditangani, 347 adalah kasus KDRT. Pada tahun 2013, dari 504 yang
ditangani, 372 kasus korban KDRT. Sementara data Komnas Perempuan mencatat
dari 279.760 kasus yang masuk ada 11.719 kasus KDRT. 11
UU PKDRT telah berlaku sejak tahun 2004, sementara pada tahun 2013
berdasarkan data statistik dari LBH APIK Jakarta tersebut menunjukkan angka
kasus KDRT yang masih tinggi, sehingga membuktikan bahwa UU PKDRT
9
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004.
(Jakarta: Eko Jaya, 2004).
10
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004
Pasal 3
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas :
a. penghormatan hak asasi manusia;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. nondiskriminasi; dan
d. perlindungan korban.
Pasal 4
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga bertujuan :
a. mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
11
www.hukumonline.com/berita/baca/kdrt-masih-dipandang-bukan-kejahatan.htm. (Diakses
pada tanggal 12 Oktober 2014. Pukul 10.05 WIB.)
3
belum mampu memenuhi tujuannya. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui
adanya kelemahan dari UU PKDRT yaitu proses penanganan pelaporan dari pihak
korban 12, yang dapat dengan mudah dicabut karena korban masih ingin
mempertahankan keutuhan rumah tangganya.
Penanganan kasus tindak pidana KDRT berhubungan dengan sistem
peradilan, terutama Sistem Peradilan Pidana. Untuk mencapai Sistem Peradilan
Pidana yang sesuai tujuan, perlu dilakukan rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana
dalam hal perbaikan-perbaikan atau pemulihan dalam penyelenggaraan Sistem
Peradilan Pidana Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk pengadilan khusus
yang memiliki salah satu tugas untuk menangani kasus tindak pidana Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT).
1.3.1 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah:
1. Untuk mengembalikan esensi Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang
optimal dan efektif;
12
Proses penanganan pelaporan dari pihak korban yang dimaksud adalah korban dapat
melaporkan serta dapat mencabutnya dari pihak kepolisian sebelum kasus tersebut benar-benar
diproses di pengadilan.
4
2. Untuk mewujudkan bentuk pengadilan khusus yang menangani perkara
keluarga, salah satunya adalah tindak pidana KDRT; dan
3. Untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah dalam Kompetisi Diponegoro
Law Fair 2014 di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
1.3.2 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah:
1. Sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
hukum yang telah diperoleh dari perkuliahan secara teoritis dengan
praktik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat;
2. Sebagai perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni Penelitian; dan
3. Untuk memberikan wawasan dan informasi, serta sumbangan pemikiran
yang bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat, mahasiswa, serta para
pihak yang tertarik dan berminat terhadap permasalahan yang dihadapi.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
13
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pengertian Rekonstruksi.
14
Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. (Jakarta: Kencana, 2011),
hlm. 2.
kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa
15
ketidakadilan.
Kekerasan itu pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal
maupun non verbal yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang,
sehingga menyebabkan efek negative secara fisik, emosional atau psikologi
terhadap orang yang menjadi sasarannya.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
15
Romli Atmasasmita. Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme. (Bandung: Binacipta, 1996), hlm. 16.
16
Fanny Tanuwijaya. Diktat Mata Kuliah Hukum Pidana. (Jember : Fakultas Hukum
Universitas Jember, 2013), hlm. 18.
17
Tongah. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan. (Malang:
UMM Pres, 2009), hlm. 105.
7
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 18
Menurut Sukiat (psikolog) dalam buku berjudul “Tindak Kekerasan Dalam
Rumah Tangga”, mengatakan bahwa tindak kekerasan merupakan perbuatan yang
dilakukan oleh salah seorang anggota rumah tangga terhadap anggota lainnya,
yang menyebabkan rasa sakit yang berlebihan baik secara fisik maupun emosional
dan kadangkala merusak tubuh serta kehidupan kejiwaannya. 19 Pendapat Sukita
tersebut dapat diartikan bahwa kekerasa rumah tangga tidak hanya dilakukan oleh
suami kepada istri, melainkan oleh salah satu anggota keluarga terhadap anggota
keluarga yang lain.
2.6 Keadilan
Teori yang digunakan dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah teori
Restorative Justice atau yang sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif.
Menurut pandangan Liebmann, Restorative Justice sebagai suatu sistem hukum
18
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23
Tahun 2004. (Jakarta: Eko Jaya, 2004).
19
Saraswati, Rika. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti,
2006), hlm 9.
20
Titik Triwulan Tutik. Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia. (Surabaya: Prestasi
Pustaka Publisher, 2010), hlm. 260.
21
Soerjono Soekanto. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 21.
8
yang bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan
masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau
tindakan kejahatan lebih lanjut. (Marian Liebmann, 2007: 25)
Liebmann juga memberikan rumusan prinsip dasar restorative justice
sebagai berikut:
1. Meprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban;
2. Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan;
3. Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman;
4. Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan;
5. Pelaku pelanggar harus sadar tentang bagaimana cara menghindari
kejahatan di masa depan; dan
6. Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak,
baik korban maupun pelaku.
Pemikiran tentang perubahan sistem dilandaskan pada teori Restorative
Justice, termasuk upaya Rekontruksi Sistem Peradilan Pidana. Upaya tersebut
bertujuan dalam memenuhi hak-hak korban kasus tindak pidana KDRT.
9
BAB 3
METODE PENELITIAN
25
Ibid. hlm. 93.
26
Ibid. hlm. 141.
27
Ibid.
11
2. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga; dan
3. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
28
Ibid. hlm. 141.
12
a. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak
relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;
b. Pengumpulan bahan-bahan hukum yang sekiranya dipandang mempunyai
relevansi juga bahan-bahan non-hukum;
c. Melakukan telaah atas permasalahan yang akan dibahas dan yang akan
diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan;
d. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi dalam menjawab
permasalahan yang ada;
e. Memberikan perskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun
didalam kesimpulan. 29
Hasil analisis yang digunakan adalah metode deduktif yang berarti suatu
yang berpangkal dari hal yang umum ke hal yang khusus. Yang nantinya dapat
mencapai suatu tujuan dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, yaitu menjawab
pertanyaann yang telah dirumuskan. Sehingga nantinya dapat memberikan
perskripsi mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan dapat diterapkan. 30
29
Ibid. hlm. 171.
30
Ibid. hlm. 206.
13
BAB 4
PEMBAHASAN
31
Romli Atmasasmita. Op.cit. hlm. 16
kejaksaan akan diserahkan ke pengadilan. Penyerahan surat tersebut sekaligus
pelimpahan kasus untuk ditindaklanjuti di pengadilan.
Pengadilan akan memproses kasus setelah menerima surat dakwaan dari
kejaksaan. Di sinilah terjadi proses peradilan terhadap tersangka, sehingga status
tersangka beralih sebagai terdakwa. Kemudian, masuk ke tahap persidangan
dimana ada penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan akhirnya diperoleh
putusan hakim. Pelaksanaan putusan hakim tersebut diserahkan kepada Lembaga
Pemasyarakatan.
Masyarakat
Kepolisian
Kejaksaan
Pengadilan
Lembaga Pemasyarakatan
15
termasuk dalam delik aduan sehingga mudah dicabut oleh pelapor. Tindak pidana
KDRT memiliki siklus yang berputar, sebagaimana berikut:
Ini disebabkan karena mereka, baik korban maupun pelaku tinggal di satu
rumah dengan saling ketergantungan dan intensitas bertemu yang sering, sehingga
apabila terjadi kekerasan walaupun masuk dalam salah satu kategori yang
tercakup dalam UU PKDRT terkadang (dalam skala yang ringan) mereka tidak
melaporkan/mengadukan. Banyak kasus terjadi sudah terlanjur masuk dalam
sistem peradilan pidana, tetapi mereka tidak mau melanjutkan karena hubungan
kekeluargaan.
Apabila laporan yang telah diterima oleh kepolisian tidak dicabut kembali
oleh pihak korban, maka tahapan selanjutnya adalah penyelidikan dan penyidikan.
Tahap ini berguna untuk mengumpulkan barang bukti dan selanjutnya kepolisian
mengeluarkan berita acara yang akan diserahkan kepada kejaksaan untuk
dilakukan penuntutan umum terhadap tersangka.
Tahapan selanjutnya adalah sama dengan tahapan Sistem Peradilan Pidana
pada umumnya. Hingga akhirnya diperoleh putusan hakim yang pelaksanaannya
diserahkan kepada Lembaga Pemasyarakatan. Sampai saat ini, sesusai UU
PKDRT hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana KDRT hanya
berupa sanksi pidana dan denda sebagai ganti rugi kekerasan fisik yang dialami
oleh korban.
16
Sistem Peradilan Pidana berperan penting terhadap perlindungan hukum
bagi setiap orang, yang mana memuat pengaturan mengenai hak-hak, baik hak
atas pelaku maupun korban suatu tindak pidana yang diatur dalam KUHAP.32
Sebagaimana yang telah disampaikan oleh fraksi-fraksi DPR dalam Seminar
Hukum Nasional II (diselenggarakan oleh LPHN di Universitas Diponegoro, 27 –
30 Desember 1968) yang menegaskan bahwa pentingnya KUHAP adalah
mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia. 33
Sehingga seharusnya Sistem Peradilan Pidana diharapkan mampu untuk
menjamin perlindungan dan penegakan hak setiap orang, yang terdapat pada pasal
4 UU PKDRT yaitu adanya upaya pencegahan segala bentuk kekerasan dalam
rumah tangga, perlindungan korban, penindakan pelaku, serta upaya
pemeliharaan keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera. Dengan
demikian esensi yang terdapat dalam KUHAP dan UU PKDRT memiliki
kesamaan dalam hal perlindungan dan penegakan hak setiap orang.
32
KUHAP adalah akronim dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang merupakan
sumber hukum formil dari Sistem Peradilan Pidana.
33
http://mardjonoreksodiputro.blogspot.com/2013/10/rekonstruksi-sistem-peradilan-pidana.html.
(Diakses tanggal 29 September 2014, pukul 09.30 WIB)
17
Grafik tersebut menunjukkan peningkatan kasus yang terjadi antara tahun
2004 sampai dengan tahun 2009. Pada tahun 2009 mengalami kenaikan yang
drastis terjadinya tindak pidana KDRT. Kemudian pada tahun 2010, mengalami
penurunan kasus meskipun tidak terlalu signifikan. Akan tetapi, pada tahun 2011
mengalami kenaikan kembali sampai pada angka 113.878 kasus. Meskipun pada
tahun 2012 mengalami penurunan yang cukup drastis, tetapi pada tahun 2013
kenaikan terjadi kembali. Dari data tersebut dapat disimpulkan, UU PKDRT
dalam menanangani kasus tindak pidana KDRT mengalami ketidakstabilan.
Artinya dalam hal ini, terdapat ketidakefektifan penerapan UU PKDRT itu
sendiri. Hal tersebut disebabkan karena adanya proses negosiasi dalam penerapan
UU PKDRT yang menghambat terlaksananya pemidanaan.
Ninik Rahayu selaku Komisioner Komnas Perempuan, menyampaikan
beberapa fakta dari UU PKDRT, “Kalau UU PKDRT 10 tahun yang lalu dianggap
sebagai pembaharuan, terobosan hukum karena memiliki daya luar biasa,
mengubah daya hukum pidana murni menjadi persoalan pidana yang luar biasa,
karena masuk dalam kategori pelanggaran HAM, masuk dalam kategori
pelanggaran terhadap martabat kemanusiaan, sehingga proses negosiasi dan
lainnya semestinya tidak dilakukan terhadap implementasi undang-undang ini.”
Negosiasi yang dimaksudkan seperti yang terdapat dalam siaran pers Komnas
Perempuan. “Fakta kejadian kekerasan di dalam rumah tangga, sesungguhnya
jauh lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah kasus KDRT yang dilaporkan.
Beberapa yang diidentifikasi sebagai penyebab antara lain; respon aparat penegak
hukum yang justru menempatkan korban sebagai pihak yang harus menyediakan
alat bukti dan menghadirkan saksi. APH 34 juga seringkali menawarkan “jasa”
mediasi penyelesaian kasus atau kesulitan korban untuk menghadirkan
pendamping”. Akhirnya siaran pers ini menjelaskan beberapa kendala termasuk
“negosiasi” yang dimaksudkan dalam implementasi UU PKDRT. Membaca data
yang dimiliki oleh Komnas Perempuan, Ninik Rahayu menambahkan,”Angka-
angka yang dilaporkan ini sebenarnya adalah angka-angka yang disumbangkan
justru dari peradilan agama yang tidak memiliki kewenangan atau yuridiksi dalam
pemidanaan.” Beliau mencontohkan, “Dalam proses perceraian saja maka
34
APH adalah akronim dari Aparat penegak Hukum.
18
putusan-putusan yang dibuat oleh hakim, biasanya untuk kasus kekerasan dalam
rumah tangga hanya dijadikan dasar pertimbangan ketika memutuskan seseorang
untuk bercerai atau tidak? Termasuk berapa dukungan kepada perempuan korban
perceraian, tetapi sama sekali tidak memidanakan pelakunya, karena tidak
memiliki kewenangan. Hal yang perlu dipertanyakan adalah kenapa UU PKDRT
tidak banyak digunakan di peradilan umum. “Konferensi pers juga memaparkan
banyak persoalan-persoalan termasuk kesulitan-kesulitan yang dialami oleh
korban ketika melaporkan kasusnya di kepolisian dan mediasi yang dilakukan,
sehingga tidak menuntaskan persoalan KDRT yang terjadi di dalam keluarga.
“Yang membuat implementasi UU PKDRT ini dirasa masih sulit dilakukan
karena dalam proses-proses penyidikan UU PKDRT ini seringkali dijadikan
sebagai dasar pengajuan seseorang menjadi tersangka, namun dari proses
peradilan sampai putusan ternyata masih tetap menggunakan KUHP. Jadi ini juga
yang menjadi persoalan bahwa UU PKDRT masih membutuhkan lebih banyak
dukungan agar lebih implementatif“, ungkap Ninik Rahayu. 35
Berdasarkan keterangan-keterangan dari pihak Komnas Perempuan
tersebut, terdapat beberapa hal penting yang perlu diketahui, diantaranya:
1. Adanya permainan negosiasi dalam proses penyelesaian perkara yang
dilakukan oleh APH karena tindak memahami secara komprehensif 36
subtansi UU PKDRT;
2. Respon aparat penegak hukum yang justru menempatkan korban sebagai
pihak yang harus menyediakan alat bukti dan menghadirkan saksi;
3. Kasus tindak pidana KDRT justru dilaporkan di Peradilan Agama yang
tidak memiliki kewenangan atau yuridiksi dalam pemidanaan; dan
4. Proses penyidikan UU PKDRT sering menjadi dasar pengajuan seseorang
menjadi tersangka, namun dari proses peradilan sampai putusan ternyata
35
http://www.komnasperempuan.or.id/2014/09/satu-dasawarsa-undang-undang-penghapusan-
kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu-pkdrt/. (Diakses tanggal 29 September 2014, pukul 09.30
WIB)
36
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komprehensif adalah bersifat mampu
menangkap (menerima) dengan baik; luas dan lengkap (tentang ruang lingkup atau isi);
mempunyai dan memperlihatkan wawasan yang luas.
19
masih menggunakan KUHP, sehingga pemidanaan yang dijatuhkan tidak
sesuai dengan tujuan UU PKDRT.
Kesimpulan yang diperoleh adalah perkembangan proses penanganan
kasus tindak pidana KDRT dengan Sistem Peradilan Pidana saat ini belum bisa
mewujudkan tujuan atau esensi dari UU PKDRT, sehingga diperlukan perbaikan
atau pemulihan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dalam menangani kasus
tindak pidana KDRT.
37
10 tahun sejak berlakunya UU PKDRT, mulai tahun 2004 sampai 2014.
38
Kepastian hukum yaitu implementasi UU PKDRT belum digunakan secara maksimal karena
masih menggunakan KUHP,
Keadilan menyangkut putusan pemidanaan yang tidak sesuai dengan kerugian yang dialami oleh
korban,
Kemanfaatan adalah penegakan perlindungan hak asasi manusia dalam hal ini korban KDRT.
20
4.2.1 Nilai Penting Rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Kenyataan telah menunjukkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Indonesia
tidak efektif dalam menangani kasus tindak pidana KDRT, dengan dibuktikan
data statistik perkembangan kasus tindak pidana KDRT dari Komnas Perempuan
dan LBH APIK. Fakta-fakta tersebut menjadi dasar kuat untuk dilakukan
perbaikan sistem, yakni dengan melakukan rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana
dengan sistem peradilan baru yang lebih disesuaikan dengan perkembangan
masyarakat. Pentingnya rekonstruksi dapat menjadi hal mendesak yang harus
segera dilaksanakan, mengingat jumlah kasus tindak pidana KDRT terus
meningkat. Apabila Indonesia masih tetap pada Sistem Peradilan Pidana yang
selama ini diterapkan, maka kasus tindak pidana KDRT yang terjadi akan sulit
diminimalisasi maupun diatasi.
Rekontruksi Sistem Peradilan Pidana dalam menangani kasus tindak
pidana KDRT dengan melakukan perbaikan-perbaikan atas kelemahan sistem
peradilan pidana saat ini melalui pembentukan Pengadilan Keluarga sebagai
upaya rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana dalam menangani kasus tindak pidana
keluarga khususnya kasus tindak pidana KDRT.
39
Ruang lingkup keluarga diatur dalam Pasal 2 UU PKDRT
21
rekonstruksi Sistem Peradilan Pidana, memerlukan adanya perubahan UU
PKDRT. Berikut beberapa hal yang perlu diubah dari UU PKDRT:
PERUBAHAN KETERANGAN
Penambahan:
a. Definisi Pada Bab Ketentuan Umum
Psikolog dan Pengadilan
Keluarga
b. Penambahan tujuan UU Pada Pasal 4 ditambah dengan huruf e.
PKDRT Mengusahakan agar pelaku tidak
mengulangi kejahatannya.
c. Hak korban Pada Pasal 10 ditambah dengan huruf f.
Korban berwenang menentukan sanksi
di luar kebiasaan serta berhak
mendapatkan pemenuhan sanksi di luar
kebiasaan.
d. Pemulihan Korban Pada Pasal 39 ditambah dengan huruf e.
Psikolog (untuk kepentingan pemulihan
korban dapat memperoleh pelayanan
dari Psikolog yang ditunjuk oleh hakim
untuk menentukan sanksi di luar
kebiasaan oleh korban)
e. Tugas dan fungsi Psikolog Penambahan pasal pada Bab VII
f. Sanksi di luar kebiasaan Penambahan pasal pada Bab VIII
tentang batasan-batasan sanksi diluar
kebiasaan.
g. Tahapan baru sebelum Penambahan pada Bab IX yaitu tahap
penuntutan penetuan sanksi diluar kebiasaan
(Hakim memanggil para pihak dan
menunjuk Psikolog untuk melakukan
mediasi. Apabila mediasi tidak berhasil,
maka proses tersebut dilakukan untuk
menentukan sanksi di luar kebiasaan).
h. Pengadilan keluarga Penambahan Bab tentang penyelesaian
kasus tindak pidana KDRT melalui
Pengadilan Keluarga.
22
Manusia dan Pengadilan Niaga. Selama ini penanganan kasus tindak pidana
KDRT masuk dalam ranah Pengadilan Negeri yaitu kamar Peradilan Pidana.
Berdasarkan pembagian tersebut, maka semestinya Pengadilan Negeri sebagai
pengadilan yang menangani kasus pidana dapat mewujudkan tujuan UU PKDRT
dengan sebaik-baiknya. Namun, dari fakta-fakta yang diperoleh ternyata tidak
berjalan dengan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, diperlukan upaya
rekonstruksi di mana adanya suatu perubahan dalam Sistem Peradilan Pidana
demi mewujudkan keadilan bagi korban KDRT.
Terdapat dua alternatif kedudukan dalam pembentukan Pengadilan
Keluarga, yaitu Pengadilan Keluarga sebagai lembaga independen dan Pengadilan
Keluarga yang memiliki sistem tersendiri sebagai bagian dari Pengadilan Negeri.
Alternatif pertama, Pengadilan Keluarga berkedudukan sebagai bagian
Pengadilan Negeri. Beberapa keuntungan yang akan diperoleh, antara lain:
Pengadilan Negeri ada di setiap daerah Kabupaten/Kota, sehingga penanganan
lebih menjangkau masyarakat luas; penanganan akan lebih efektif dan efisien,
karena tidak akan memakan waktu untuk proses penanganan; meminimalisasi
dana untuk pembangunan pengadilan baru; kebutuhan hakim yang mendesak
dapat diatasi karena dapat menggunakan hakim Pengadilan Negeri; dan dapat
segera terealisasikan.
Alternatif kedua, Pengadilan Keluarga berkedudukan sebagai lembaga
independen yang terdapat di setiap daerah Kabupaten/Kota atau daerah Provinsi.
Beberapa keuntungan apabila Pengadilan Keluarga dibentuk sebagai lembaga
independen, antara lain: adanya kepastian hukum yang mengatur secara jelas
kewenangan hakim terkait kasus yang ditangani; adanya independensi hakim
dalam menjalankan kewenangan agar terhindar dari terjadinya tumpang tindih
kewenangan; dan apabila didirikan di setiap daerah Kabupaten/Kota maka akan
lebih menjangkau masyarakat. Akan tetapi, terdapat pula beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan, apabila Pengadilan Keluarga berkedudukan sebagai lembaga
independen, antara lain: pembentukan Pengadilan Keluarga sebagai lembaga
independen akan membutuhkan dana yang besar, terutama jika didirikan di setiap
daerah Kabupaten/Kota; apabila didirikan di setiap daerah Provinsi, maka akan
23
sulit untuk menjangkau masyarakat luas; dan akan memerlukan jumlah hakim
yang banyak.
Berdasarkan dua alternatif kedudukan di atas, maka kedudukan Pengadilan
Keluarga lebih diprioritaskan pada alternatif pertama, mengingat urgensi
Pengadilan Keluarga yang harus segera direalisasikan. Akan tetapi, alternatif
kedua dapat dipilih apabila keadaan ekonomi Indonesia sudah memungkinkan
untuk membentuk Pengadilan Keluarga sebagai lembaga independen di setiap
daerah Kabupaten/Kota.
40
Mediasi yang dimaksud dalam Pengadilan Keluarga adalah musyawarah antara para pihak dan
keluarga untuk menemukan solusi dalam menyelesaikan kasus tersebut. Hasil mediasi tersebut
diharapkan dapat memberikan hasil yang bersifat Win-win solution bagi para pihak.
24
yang dimaksud dapat berupa permohonan korban terhadap kerugian baik fisik
maupun psikis yang belum diatur dalam UU PKDRT. 41
Tahap berikutnya setelah diperoleh data sanksi di luar kebiasaan yang
diinginkan korban, maka sanksi-sanksi tersebut oleh Psikolog dilaporkan kepada
Kejaksaan untuk dimasukkan ke dalam Surat Dakwaan yang nantinya akan
diserahkan kepada hakim untuk proses pemeriksaan di pengadilan. Kemudian
proses persidangan sampai pada putusan. Hakim berwenang penuh menentukan
penjatuhan sanksi pidana dan sanksi di luar kebiasaan 42 yang dituntut oleh korban.
Putusan hakim akan dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan apabila
menjatuhkan sanksi pidana penjara dan pemenuhan ganti rugi apabila hakim
menjatuhkan sanksi ganti rugi. Sanksi di luar kebiasaan akan dilaksanakan oleh
pihak-pihak 43 sebagaimana yang diinginkan oleh korban.
41
Contoh sanksi diluar kebiasaan diantaranya:
1. Tidak dipertemukan dengan dan atau ditemui oleh terdakwa;
2. Ganti rugi terhadap kerugian fisik yang dialami korban (biaya pengobatan);
3. Pemenuhan dana untuk pindah domisili;
4. Dan lain-lain sesuai dengan keinginan korban.
42
Putusan sanksi di luar kebiasaan berdasarkan pembuktian dalam persidangan. Apabila sanksi di
luar kebiasaan tersebut telah sesuai dengan kerugian yang dialami oleh korban, maka hakim dapat
mengabulkan tuntutan korban tersebut.
43
Pihak-pihak yang dimaksud dalam hal ini bisa terpidana, keluarga, atau kuasa hukum terpidana.
25
dalam keluarga yang dimaksud, antara lain: tindak pidana pencurian dalam
keluarga; tindak pidana penipuan dalam keluarga; tindak pidana KDRT dan tindak
pidana lainnya dalam ruang lingkup keluarga.
44
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Degradasi adalah kemunduran, kemerosotan
atau penurunan.
26
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
28
DAFTAR PUSTAKA
Perundang-undangan
Buku
Tutik, Titik Triwulan. 2010. Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia.:
Surabaya: Prestasi Pustaka Publisher.
Hasyim, Syafiq. 1999. Menakar Harga Perempuan. Bandung: Mizan.
Atmasasmita, Romli. 2011. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta:
Kencana.
Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme
dan Abolisionisme. Bandung: Binacipta.
Tongah. 2009. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif
Pembaharuan. Malang: UMM Press.
Saraswati, Rika. 2006. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bandung: PT. Citra
Aditya Bhakti.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali.
Marzuki, Peter Mahmud. 2010. Penelitian Hukum.. Jakarta: Kencana Persada
Group.
Soemadiningrat, Otce Salman. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Refika
Aditama.
Tanuwijaya, Fanny. 2013. Diktat Mata Kuliah Hukum Pidana. Jember : Fakultas
Hukum Universitas Jember.
Kamus
29
Internet
30
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Indramayu
NIM : 130710101209
Handphone : 085859762864
Email : indramayu.fh@gmail.com
Semester/Angkatan : 3/2013
1. -
1. -
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
NIM : 130710101405
Handphone : 085859818837
Email : alvindn95@gmail.com
Semester/Angkatan : 3/2013
1. -