Disusun Oleh :
Kelompok VI
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Implementasi
Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pembentukan Aturan Perundang-Undangan” ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari dosen
pada mata kuliahpendidikan Pancasila. Selain itu makalah ini juga bertujuan menambah
wawasan tentang Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pembentukan Aturan Perundang-
Undangan.
Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami, untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.
Kelompok VI
ii
DAFTAR ISI
Kata Pegantar........................................................................................................... ii
perundang-undangan ...................................................................................... 3
perundang-undangan ..................................................................................... 4
konstitusi ...................................................................................................... 6
konstitusi ...................................................................................................... 8
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari
Sanskerta: panca berarti lima dan sila berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan
dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi selruh rakyat Indonesia.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh
PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantuk dalam Pembukaan UUD 1945 yang
diundangkan dalam berita Republik Indonesia tahun II No. 7 bersamaan dengan batang tubuh
UUD 1945. Pancasila sebagai dasar Negara mempunyai arti yaitu mengatur penyelenggaraan
pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum. Hal ini menempatkan pancasila sebagai dasar Negara yang berarti melaksanakan nilai-
nilai yang kebenarannya diakui, dan menimbulkan tekad untuk dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari.
Pada zaman reformasi saat ini pengimplementasian Pancasila sangat dibutuhkan oleh
masyarakat, karena didalam Pancasila terkandung nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang
sesuai dengan kepribadian bangsa. Selain itu, kini zaman globalisasi begitu cepat menjangkiti
negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia. Implementasi Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat pada hakikatnya merupakan suatu realitas praksis untuk mencapai tujuan
bangsa.
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas yaitu sebagai berikut:
1
5. Bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian UU.
6. Apa yang terjadi jika suatu UU yang isinya bertentangan dengan UUD tidak dilakukan
konstitusional.
3.1 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah panjang mengenai pengujian produk legislasi oleh sebuah lembaga peradilan
(judicial review) berawal dari Amerika Serikat dalam perkara Marbury versus Madison1di
tahun 1803. Konsep itu kemudian dikembangkan oleh Kelsen dalam pembentukan peradilan
khusus konstitusional di Austria tahun 1920. Indonesia kemudian mengimplementasikan
konsep tersebut pada era transisi politik di tahun 20012 melalui perubahan ketiga Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945). Dalam
pandangan Arjomand, kedekatan hubungan antara pelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK)
dan transisi politik merupakan bentuk rekonstruksi atas percepatan kebutuhan demokrasi. MK
hadir guna mewujudkan era konstitusionalisme4 baru yang mengedepankan aspek
perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Secara singkat dapat dikatakan bahwa gagasan
membentuk Mahkamah
Konstitusi adalah upaya untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum dan memberi
perlindungan maksimum terhadap demokrasi dan hak-hak dasar warga negara. Dalam teorisasi
Ginsburg, judicial review hadir guna membatasi besarnya kekuatan politik mayoritas yang ada
di parlemen terhadap proses pembentukan undang-undang. Mekanisme judicial review
diyakini akan mampu menjaga keseimbangan dalam pelaksanaan checks and balances antar
cabang kekuasaan negara.
Konstitusi (dalam hal ini Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia) hadir
sebagai instrumen hukum yang nilainya sakral, yang berfungsi sebagai fondasi tatanan sosial
dan politik bernegara. Sejalan dengan konsep Robert A. Carp dan Ronald Stidham yang
menyatakan bahwa peran lembaga peradilan sangat signifkan dalam membenahi sistem politik
guna menjaga hukum dan demokrasi. Seperti halnya pasca transisi politik, produk legislasi
3
DPR dan Pemerintah tidak jarang dibatalkan oleh MK akibat materi muatan undang-undang
tersebut mencerminkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.
Dalam konsepsi pengujian, hak menguji dibagi menjadi dua bentuk. Hak menguji
formal (formele toetsubfsrecht) melihat keabsahan prosedur pembentukan rancangan undang-
undang itu dilakukan. Kemudian kedua, hak menguji material (materiele toetsingsrecht),
melihat kesesuaian materi muatan undang undang terhadap norma yang lebih tinggi.
Menariknya dalam tataran praktis, MK justru lebih dekat dengan praktik uji materil. Sampai
dengan studi ini dilakukan, belum ada uji formil yang berhasil dikabulkan oleh MK. Jika
merujuk preseden, uji formil pernah dilakukan pada UU No 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan UU No 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung
(UU MA).
Dalam pertimbangan majelis di dua perkara sebelumnya, uji formil tidak begitu
memiliki basis legitimasi yang kuat bagi MK. Kecenderungan ini terbaca karena prosedur
pembentukan undang-undang tidak diatur di dalam UUD melainkan hanya melalui UU. Dalam
persepsi penulis MK telah membangun logika yang klise. Bahwa karena prosedur
pembentukan UU tidak memiliki titik kordinat yang jelas dalam UUD, maka itu bukan menjadi
tanggung jawab MK. Premis itu secara tidak langsung membuka lubang yang terus mengaga
terhadap praktik pengujian di MK.
Secara konseptual, tidak tepat kiranya jika MK menempatkan praktik pengujian formil
dan materil secara diametral. Masing-masing kerangka pengujian itu tentu tidak dapat
dimaknai secara terpisah. Meminjam istilah Bonime Blanc bahwa proses itu akan menentukan
seberapa baik isinya. MK tentu dihadapkan pada dua pilihan. Bertahan pada interpretasi
tekstualis, atau mendorong aktivitas penemuan hukum atas praktik uji formil undang-undang.
4
sebagai hukum derajat tinggi yang tidak dapat diubah secara hukum positif, maka Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia bersifat final dan mengikat bagi seluruh penyelenggara negara.
Sebagai cita negara, tentunya ia harus dirumuskan berdasarkan cita yang hidup di
dalam masyarakat (volksgeemenschapside) yang telah ada sebelum negara ini didirikan,
Sebagaimana diketahui cita hukum selain mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan
dasar suatu tata hukum, yang tanpa itu suatu tata hukum kehilangan arti dan maknanya sebagai
hukum, juga mempunyai fungsi regulatif yang menentukan apakah suatu hukum positif itu adil
atau tidak adil.
Terkait dengan hal ini sangat relevan dengan teori hierarchy of norms yang menyatakan
bahwa setiap norma hukum dianggap sah karena ia diciptakan/dibuat dengan cara yang
ditentukan oleh norma lain. Jadi, hubungan hirarkis norma-norma hukum tersebut
menggambarkan bahwa suatu norma hukum yang lebih tinggi menjadi dasar keabsahan norma
yang dibentuknya (norma yang lebih rendah). Hubungan antar norma yang mengatur
pembentukkan norma yang lain dapat dipersentasikan sebagai suatu hubungan super dan
subordinasi.
5
2.3 Masalah Yang Terjadi Dalam Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam
Pembentukan Aturan Perundang-Undangan
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang lahir berdasarkan amandemen UUD 1945
memiliki fungsi sebagai lembaga terakhir penafsir konstitusi atau yang sering disebut sebagai
the final interpreter of constitution. Fungsi ini biasanya dilaksanakan Mahkamah Konstitusi
6
dalam kewenangannya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Terhadap frasa, ayat, pasal atau undang-undang yang dianggap tidak jelas atau multitafsir telah
dimohonkan untuk diberikan penafsiran sesuai dengan konstitusi. Pun demikian dengan frasa
keadilan sosial yang terdapat dalam beberapa undang-undang yang telah diputus Mahkamah
Konstitusi.
Dengan dikuasai oleh negara, keadilan sosial diartikan mencakup makna penguasaan
oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat
Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat
atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.
Dilihat dari segi subjek yang melakukan pengujian, pengujian dapat dilakukan oleh
hakim (toetsingsrecht van de rechter atau judicial review), pengujian oleh lembaga legislatif
(legislative review),3 maupun pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review). Dalam
praktiknya, Indonesia mengatur ketiga pengujian tersebut. Pengujian oleh hakim
(toetsingsrecht van de rechter atau judicial review) diatur sebelum maupun sesudah perubahan
UUD 1945. Pengaturan mengenai pengujian peraturan perundang-undangan pada masa
berlakunya UUD 1945, pertama kali diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mengatur pengujian terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU merupakan kewenangan Mahkamah
Agung.
7
Setelah perubahan UUD 1945, kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan
di bawah UU terhadap UU tetap merupakan kewenangan Mahkamah Agung, sedangkan
pengujian UU terhadap UUD merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Pengujian UU
oleh lembaga legislatif (legislative review) dilakukan dalam kapasitas sebagai lembaga yang
membentuk dan membahas serta menyetujui UU (bersama-sama Presiden). Sebelum
perubahan UUD 1945, pengujian UU terhadap UUD berada pada MPR berdasarkan Ketetapan
MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan. Alasan mengapa Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji hanya terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU pada masa sebelum perubahan UUD
1945, menurut Padmo Wahjono didasarkan pada pemikiran bahwa UU sebagai konstruksi
yuridis yang maksimal untuk mencerminkan kekuasaan tertinggi pada rakyat, sebaiknya diuji
oleh MPR.
Salah satu contoh pengujian oleh lembaga eksekutif (executive review) adalah dalam
pengujian Peraturan Daerah (Perda). Untuk melaksanakan pemerintahan daerah,
penyelenggara pemerintahan daerah (pemerintah daerah dan DPRD) membentuk Perda, yang
akan ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.
Berdasarkan Pasal 136 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Perda
dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Berdasarkan Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, Pemerintah dapat membatalkan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Keputusan pembatalan Perda
ditetapkan dalam Peraturan Presiden
8
Putusan Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
Anak Nomor 1/PUU-VIII/2010
Selain itu, Pasal 23 ayat (2) huruf a UU Pengadilan Anak telah memberikan beberapa
alternatif pidana bagi anak selain pidana penjara yaitu pidana kurungan, pidana denda atau
pidana pengawasan. Dalam hal ini, keberadaan penjara bukan merupakan satu-satunya pilihan
pidana bagi anak sehingga tidak mutlak dapat merugikan hak konstitusional anak. Kemudian,
Pasal 31 ayat (1) merupakan penegasan keberadaan Lembaga Pemasyarakatan dan merupakan
kewajiban aparat penegak hukum untuk tidak menempatkan anak nakal yang dinyatakan
bersalah di Lembaga Pemasyarakatan bagi orang dewasa. keberadaan Pasal a quo telah
mempertegas keberadaan Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai wadah pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja bagi Anak Nakal yang diputus menjalani pidana di Lembaga
Pemasyarakatan Anak.
9
Dalam membaca Putusan tersebut, terdapat Anggota Hakim Konstitusi yang
memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) , yaitu: M. Akil Mochtar, yang
berpendapat bahwa seharusnya Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 1 angka 2 huruf b
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sepanjang frasa , ” ... maupun
menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan ”.
2.6 Apa YangTterjadi Jika Suatu UU Yang Isinya Bertentangan Dengan UUD Tidak
Dilakukan Konstitusional.
10
Apabila ditelaah lebih lanjut , pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi
faktual yang terjadi pada saat itu . Pertama , sebagai konsekuensi dari perwujudan negara
hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum . Kenyataan
menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai
dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi . Oleh karena itu , diperlukan
lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang - undang . Kedua , pasca
Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga , UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan dengan
menganut sistem pemisahan kekuasaan ( separation of powers ) berdasarkan prinsip checks
and balances . Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat potensi besar
terjadinya sengketa antarlembaga negara . Sementara itu , perubahan paradigma supremasi
MPR ke supremasi konstitusi , membuat tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang
berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara . Oleh karena itu , diperlukan
lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut . Ketiga , kasus pemakzulan (
impeachment ) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR pada
2001 , mengilhamirakyat dan dilaksanakan menurut UUD . Ini mengimplikasikan agar
pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui konstitusi harus dikawal dan dijaga . Harus diakui
berbagai masalah terkait dengan konstitusi dan ketatanegaraan sejak awal Orde Baru telah
terjadi . Carut marutnya peraturan perundangan selain didominasi oleh hegemoni eksekutif ,
terutama semasa Orde Barus menuntut keberadaan wasit konstitusi sekaligus pemutus judicial
review ( menguji bertentangan – tidaknya pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang
digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden agar tidak semata
- mata didasarkan alasan politis semata . Untuk itu , disepakati perlunya lembaga hukum yang
berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan /
atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan / atau Wakil Presiden
diberhentikan dalam masa jabatannya .
11
Pertimbangan yang digunakan oleh hakim konstitusi untuk menguji Perpu adalah faktor
teleologis dan sosiologis karena kebutuhan masyarakat yang terus berkembang . Kewenangan
baru yang dimiliki oleh MK untuk menguji Perpu melalui putusannya , dapat dikatakan MK
telah melakukan perubahan konstitusi dengan cara judicial interpretation.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pancasila sebagai dasar mengatur pemerintahan negara dan dasar untuk mengatur
penyelenggaraan negara harus dapat diimplementasikan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Pancasila
merupakan landasan filosofis yaitu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum.
Pengembangan negara hukum Indonesia pada masa yang akan datang harus lebih
bersifat substansial, yaitu menjamin terwujudnya negara berdasar atas hukum dan
perlindungan hak asasi manusia, menjamin terwujudnya kehidupan kenegaraan yang
demokratis, mempercepat terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan
menjamin terwujudnya pemerintahan yang layak. Dalam konteks pengembangan negara
hukum yang demokratis perlu dilakukan penataan kelembagaan negara agar mampu
mewujudkan tujuan bernegara, berdemokrasi dan hukum.
3.2 Saran
13
DAFTAR PUSTAKA
Triningsih, A., dan O. V. Agustine. 2020. Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Memuat
Keadilan Sosial Dalam Pengujian Undang-Undang. Jurnal Konstitusi. 16(4): 834-
860.
14