Anda di halaman 1dari 34

DAFTAR ISI

DAFTAR
ISI ..........................................
................................................
............. 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ................................
................................................
.......... 3
1.2 Rumusan
Masalah .................................
................................................
.... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pancasila
dan
Filsafat ...................................
......................... 5
2.2 Karakteristik, Prinsip-
Prinsip serta Hakikat
Pancasila sebagai
Filsafat ...................................
................................... 6
2.3 Pancasila Sebagai Suatu
Filsafat ...................................
........................... 8
2.4 Objek dari Filsafat
Pancasila ................................
................................... 9
2.5 Pancasila melalui
Pendekatan Dasar Ontologis,
Epistemologis, serta
Aksiologis ..............................
................................10
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan ............................
................................................
....................13
3.2
Saran ......................................
................................................
.....................13
DAFTAR
PUSTAKA .............................
................................................
.............14
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI ..........................................
................................................
............. 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang ................................
................................................
.......... 3
1.2 Rumusan
Masalah .................................
................................................
.... 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pancasila
dan
Filsafat ...................................
......................... 5
2.2 Karakteristik, Prinsip-
Prinsip serta Hakikat
Pancasila sebagai
Filsafat ...................................
................................... 6
2.3 Pancasila Sebagai Suatu
Filsafat ...................................
........................... 8
2.4 Objek dari Filsafat
Pancasila ................................
................................... 9
2.5 Pancasila melalui
Pendekatan Dasar Ontologis,
Epistemologis, serta
Aksiologis ..............................
................................10
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan ............................
................................................
....................13
3.2
Saran ......................................
................................................
.....................13
DAFTAR
PUSTAKA .............................
................................................
.............14
MAKALAH

Anggota KELOMPOK 6 :

1. Yuni Elisa
2. Anju Marusaha Manik
3. Rasheed Thoriq Rahmana
4. Angga Maulana

KELAS : 2 TL B
MATA KULIAH : Pancasila

JUDUL MAKALAH : Pancasila Sebagai Sistem Filsafat dan Etika

DOSEN : Rais Siswanto S.H.,M.Hp

TANGGAL : 08 Juli 2022

POLITEKNIK CALTEX RIAU


PEKANBARU

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………………………………………i

KATA PENGHANTAR……………………………………………………………………………………………………………..ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………………………1

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………………………………………1


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………………………………………………2
1.3 Tujuan Masalah…………………………………………………………………………………………………..3
1.4 Manfaat………………………………………………………………………………………………………………3

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………………………………4

2.1 Pengertian Pancasila dan Filsafat…………………………………………………………………………4


2.1.1 Pengertian Pancasila…………………………………………………………………………….4

2.1.2 Pengertian Filsafat………………………………………………………………………………..4

2.1.3 Pengertian Etika……………………………………………………………………………………6

2.2 Pancasila Merupakan Suatu Filsafat……………………………………………………………………..13

2.3 Pancasila Sebagai Sistem Etika…………………………………………………………………………….14

2.4 Objek Filsafat Pancasila………………………………………………………………………………………..15

2.5 Dasar Epistemologis (Pengetahuan) …………………………………………………………………….16


2.6 Dasar Aksiologis Pancasila…………………………………………………………………………………….17
BAB III KESIMPULAN……………………………………………………………………………………………………………….20
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………………………………….20
3.1.1 Kesimpulan Pancasila Sebagai Filsafat…………………………………………………20
3.1.2 Kesimpulan Pancasila Sebagai Etika……………………………………………………..20
3.2 Saran……………………………………………………………………………………………………………………20

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA

sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Tidak lupa kami

juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari seluruh komponen yang

telah membantu dalam penyelesaian makalah yang berjudul “Pancasila Sebagai

Sistem Filsafat”

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca, serta seluruh Masyarakat Indonesia khususnya

para mahasiswa untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun


menambah isi makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin

dalam pembuatan makalah kali ini masih banyak ditemukan kekurangan, oleh

karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari

pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada umumnya di dunia ini terdapat berbagai macam dasar negara yang menyokong
negara itu sendiri agar tetap berdiri kokoh, teguh, serta agar tidak terombang ambing oleh
persoalan yang muncul pada masa kini. Pada hakikatnya ideologi merupakan hasil refleksi
manusia berkat kemampuannya mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Maka
terdapat sesuatu yang bersifat dialektis antara ideologi dengan masyarat negara. Di suatu
pihak membuat ideologi semakin realistis dan pihak yang lain mendorong masyarakat
mendekati bentuk yang ideal. Idologi mencerminkan cara berpikir masyarakat, bangsa
maupun negara, namun juga membentuk masyarakat menuju cita-citanya. Indonesia pun tak
terlepas dari hal itu, dimana Indonesia memiliki dasar negara yang sering kita sebut Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi menguraikan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara
dan karakteristik Pancasila sebagai ideologi negara. Sejarah indonesia menunjukan bahwa
Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa
Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan yang layak dan lebih baik, untuk
mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Pancasila merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, karena dalam masingmasing sila tidak
bisa di tukar tempat atau dipindah. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila
merupakan pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia. Bahwasanya Pancasila yang telah
diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan
UndangUndang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah
diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga
yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia. Mempelajari Pancasila
lebih dalam menjadikan kita sadar sebagai bangsa Indonesia yang memiliki jati diri dan harus
diwijudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari untuk menunjukkan identitas bangsa yang lebih
bermatabat dan berbudaya tinggi. Melalui makalah ini diharapkan dapat membantu kita dalam
berpikir lebih kritis mengenai arti Pancasila.

Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari
Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas.

Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu saja pancasila memuat aturan
aturan dan larangan larangan. Pancasila sarat akan nilai nilai seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan,
pesatuan, kerakyatan, dan keadilan. Oleh karena itu, secara normatif, Pancasila dapat dijadikan
acuan atas tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan sebagai persperktif kajian atas nilai
dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Nilai dan norma tersebut bersifat universal, dapat
ditemukan dimanapun dan kapanpun, sehingga memberikan ciri khusus ke-Indonesia-an karena
merupakan komponen yang terdapat dalam Pancasila.

Nilai, norma, dan moral adalah konsep konsep yang saling berkaitan. Ketiganya akan
memberikan pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika dalam kaitannya dengan
Pancasila. Pancasila merupakan sumber dari penjabaran segala norma, baik norma hukum, norma
moral, maupun norma kenegaraan lainnya.

Nilai-nilai Pancasila tersebut kemudian dikembangkan dalam masyarakat secara praktis


atau kehidupan nyata sehingga menjadi norma yang pada akhirnya menjadi pedoman dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, nilai-nilai, pedoman


kehidupan, norma-norma, dan sistem etika Pancasila semakin terlupakan dalam kehidupan bangsa.
Sehingga identitas atau ciri ke-Indonesiaan yang telah disebutkan sebelumnya semakin lama pun
semakin terkikis atau bahkan meghilang. Namun masih ada upaya untuk meluruskan kembali
sistem etika tersebut.

Perkembangan jaman yang semakin maju dan terbukanya akses terhadap dunia luar
mengharuskan kita untuk mengupayakan pancasila sebagai sistem etika, agar kita, bangsa
Indonesia, tidak kehilangan identitas kita sebagai bangsa yang bermoral, memiliki etika, dan
bermartabat.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pancasila memiliki
peran - peran yang sangat
penting bagi masyarakat
berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Peran
Pancasila sebagai dasar
negara, Pancasila sebagai cita
– cita
bangsa, Pancasila sebagai
pedoman atau landasan hidup
bagi bangsa Indonesia, dan
Pancasila
sebagai jiwa bangsa
Indonesia. Pancasila
sebagai sistem etika
tujuannya untuk
mengembangkan dimensi
moral pada setiap individu
sehingga dapat mewujudkan
sikap yang
baik dalam berbangsa,
bernegara, dan
bermasyarakat.
Menurut
Aristoteles, pengertian etika
menjadi dua yaitu Terminius
Technikus dan
Manner and Custom.
Terminius Technikus
merupaka etika yang
dipelajari sebagai ilmu
pengetahuan yang
mempelajari suatu problema
tindakan atau perbuatan
manusia. Sedangkan
Manner and Custom
merupakan suatu pembahasan
etika yang berhubungan atau
berkaitan
dengan tata cara dan adat
kebiasaan yang melekat dalan
kodrat manusia atau in herent
in
human nature yang sangat
terkait denag arti baik dan
buruk suatu perilaku, tingkah
laku atau
perbuatan manusia.
Etika Pancasila adalah
cabang yang terkandung
dalam sila Pancasila
digunakan untuk
mengatur kehidupan
masyarakat berbangsa, dan
bernegara di Indonesia.
Dalam etika
Pancasila dikemukakan nilai
ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan
keadilan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Pancasila dan Filsafat ?
2. Bagaimana pengertian Pancasila sebagai suatu filsafat?

3.Apakah pengertian sistem itu?


4.Bagaimaknakah peran Pancasila sebagai sistem etika?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui pengertian dari Pancasila dan Filsafat.
2. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari Pancasila sebagai suatu filsafat.
3. Untuk mengetahui objek dari filsafat Pancasila
4. Untuk mengetahui dan memahami Pancasila melalui pendekatan dasar Ontologis

5.Untuk mengetahui pengertian dari sistem

6.Untuk mengetahui peran Pancasila sebagai sistem etika.

1.4 Manfaat

1. Seluruh lapisan masyarakat khususnya kaum muda Bangsa Indonesia dapat memahami
bagaimana arti penting dari pancasila sebagai filsafat.

2. Para pembaca diharapkan dapat mengamalkan seluruh ajaran dari pancasila.

3. Dapat memotivasi seluruh generasi muda agar lebih mencintai dasar negaranya

4. Dapat mendidik bagaimana seharusnya perilaku masyarakat dalam mengartikan, memaknai,


serta mengimplementasikan arti pancasila sebagai filsafat.

3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pancasila dan Filsafat
2.1.1 Pengertian Pancasila
A. Secara Etimologis
Secara etimologis istilah “pancasila” berasal dari sansekerta dari India (bahasa
kata brahmana) adapun bhasa rakyat biasa adalah bahasa Prakerta. Menurut
Muhammad Yamin, dalam bahasa sansekerta perkataan “pancasila” memiliki dua macam
arti secara leksikal yaitu :
 “panca” artinya “lima”
 “syila” vokal i pendek artinya “batu sendi”, “alas”, atau “dasar”
 “syila” vokal i panjang artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang
penting atau senonoh”
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa diartikan
“susila” yang memiliki hubungan dengan moralitas. Oleh karena itu secara etimologis
kata “pancasila” yang dimaksudkan adalah istilah “Panca Syiila” dengan vokal i pendek
yang memiliki makna leksikal “berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang
memiliki lima unsur”. Adapun istilah “Panca Syiila” dengan huruf Dewanagari i bermakna
5 aturan tingkah laku yang penting.

2.1.2 Pengertian Filsafat


A. Secara Umum
Adalah suatu kebijaksanaan hidup (filosofia) untuk memberikan suatu pandangan hidup yang
menyeluruh berdasarkan refleksi atas pengalaman hidup maupun pengalaman ilmiah. Filsafat
merupakan suatu ilmu pengetahuan karena memiliki logika, metode dan sistem. Namun filsafat
berbeda dari ilmu-ilmu pengetahuan kehidupan lainnya oleh karena memiliki obyek tersendiri
yang sangat luas. Sebagai contoh, dalam ilmu psikologi mempelajari tingkah laku kehidupan
manusia, namun dalam ilmu filsafat tidak terbatas pada salah satu bidang kehidupan x saja,
melainkan memberikan suatu pandangan hidup yang menyeluruh yaitu tentang hakiki hidup yang
sebenarnya.

4
Pandangan hidup tersebut merupakan hasil pemikiran yang disusun secara sistematis menurut
hukum-hukum logika. Seorang yang berfilsafat (filsuf) akan mengambil apa yang telah ditangkap
dalam pengalaman hidup maupun pengalaman ilmiah kemudiaan memandangnya di bawah
suatu horizon yang lebih luas, yakni sebagai unsur kehidupan manusia yang menyeluruh. B.
Menurut Para Ahli Pengertian filsafat menurut menurut para ahli memiliki perbedaan dalam
mendefinisikan filsafat yang disebabkan oleh berbedaan konotasi filsafat dan keyakinan hidup
yang dianut mereka. Perbedaan pendapat muncul juga dikarenakan perkembangan filsafat itu
sendiri sehingga akhirnya menyebabkan beberapa ilmu pengetahuan memisahkan diri dari ilmu
filsafat. Berikut beberapa pengertian filsafat menurut menurut para ahli yang memiliki
pengertian jauh lebih luas dibandingkan dengan pengertian menurut bahasa.
 Cicero ( (106 – 43 SM ) Filsafat adalah seni kehidupan sebagai ibu dari semua seni.
 Aristoteles (384 – 322 SM) Filsafat adalah memiliki kewajiban untuk menyelidiki sebab dan asas
segala benda.
 Plato (427 – 347 SM) Filsafat itu adalah tidaklah lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
 Al Farabi (wafat 950 M) Filsafat itu ialah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan
bertujuan menyelidiki hakekatnya yang sebenarnya.
 Thomas Hobbes (1588 – 1679) Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan perhubungan
hasil dan sebab atau sebab dari hasilnya, dan oleh karena itu senantiasa adalah suatu perubahan.
 Johann Gotlich Fickte (1762-1814) Filsafat merupakan ilmu dari ilmuilmu, yakni ilmu umum,
yang jadi dasar segala ilmu. Filsafat membicarakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu untuk
mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
 Imanuel Kant ( 1724 – 1804) Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal
dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan yaitu metafisika, etika
agama dan antropologi.
 Paul Nartorp (1854 – 1924) Filsafat sebagai ilmu dasar hendak menentukan kesatuan
pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya.
 Harold H. Titus (1979) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan
dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.
Selain tokoh-tokoh dunia, adapun pendapat dari tokoh bangsa Indonesia mengenai filsafat,
yaitu :

5
 Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang
mutlak, yang tetap tidak berubah, yang disebut hakekat.
 Driyakarya: filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya
ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa
yang penghabisan.
 Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran, tentang
segala sesuatu yang dipermasalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.
 Hasbullah Bakry: Ilmu Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan
mendalam mengenai Ke-Tuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana sikap manusia itu sebenarnya setelah mencapai pengetahuan
itu.
 Prof. Dr. Ismaun, M.Pd.: Filsafat ialah usaha pemikiran dan renungan manusia dengan akal
dan qalbunya secara sungguh-sungguh , yakni secara kritis sistematis, fundamentalis, universal,
integral dan radikal untuk mencapai dan menemukan kebenaran yang hakiki (pengetahuan, dan
kearifan atau kebenaran yang sejati.
 Prof. Mr.Mumahamd Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran , sehingga manusia menemui
kepribadiannya seraya didalam kepribadiannya itu dialamiya kesungguhan.

2.1.3 Pengertian Etika

Etika merupakan cabang utama filsafat, adalah pembelajaran mengenai di mana dan
bagaimana nilai atau kualitas menjadi standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan
penerapan konsep seperti, benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Etika merupakan
kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang
ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :

a. Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setaip tindakan manusia.
b. Etika Khusus, membahas prinsip prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan
berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun
makhluk sosial (etika sosial)

6
Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang artinya watak
kesusilaan atau adat.

Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang jamaknya mores, yang
juga berarti adat atau cara hidup. Meskipun kata etika dan moral memiliki kesamaan arti, dalam
pemakaian sehari hari kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau moralitas digunakan untuk
perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk mengkaji sistem yang ada
(Zubair, 1987: 13). Dalam bahasa Arab, padanan kata etika adalah akhlak yang merupakan kata
jamak khuluk yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat (Zakky, 2008: 20).

Secara keseluruhan, etika membahas mengenai tingkah laku, watak, dan segala sesuatu
perbuatan manusia yang dibutuhkan dan dinilai dalam kehidupan bermasyarakat.

 Aliran Besar Etika

Dalam kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu deontologi, teleologi dan keutamaan.
Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu perbuatan
dikatakan baik atau buruk. Berikut adalah ketiga aliran tersebut :

a. Etika Deontologi
Etika deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah
tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika deontologi tidak mempersoalkan akibat dari
tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang
sudah menjadi kewajibannya.
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel Kant (1734-1804). Kant menolak
akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut  karena akibat  tadi tidak
menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002:
9).
Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah tertanam
dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal. Manusia dalam dirinya secara kategoris
sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu baik atau buruk, dan keharusan untuk
melakukan kebaikan dan tidak melakukan keburukan harus dilakukan sebagai perintah tanpa
syarat (imperatif kategoris).

7
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa syarat
yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuan-tujuan tertentu
yang akan diraih, namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa korupsi adalah
tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun. Etika deontologi menekankan bahwa
kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa
mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono, 2008: 7).
Ukuran kebaikan dalam etika deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan
otonomi bebas. Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari oleh
kewajiban moral dan demi kewajiban moral itu. Tindakan itu baik bila didasari oleh kemauan baik
dan kerja keras dan sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan itu, dan tindakan  yang baik
adalah didasarkan atas otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.

b. Etika Teleologi

Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu bahwa baik buruk suatu
tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu
kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit ketika
dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang
diberikan oleh etika teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik
meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain.
Ketika bencana sedang terjadi situasi biasanya chaos. Dalam keadaan seperti ini maka
memenuhi kewajiban sering sulit dilakukan. Contoh sederhana kewajiban mengenakan helm bagi
pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena lebih fokus pada satu tujuan yaitu mencari
keselamatan. Kewajiban membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi karena kehilangan
seluruh harta benda. Dalam keadaan demikian etika teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi
akibat baik, beberapa kewajiban mendapat toleransi tidak dipenuhi.
Persoalan yang kemudian muncul adalah akibat yang baik itu, baik menurut siapa? Apakah
baik menurut pelaku atau menurut orang lain? Atas pertanyaan ini, etika teleologi dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu egoisme etis dan utilitarianisme
a.  Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat baik
untuk pelakunya. Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya dan
dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.

8
b.  Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana
akibatnya terhadap banyak orang. Tindakan dikatakan baik apabila mendatangkan kemanfaatan
yang besar dan memberikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. Di dalam menentukan
suatu tindakan yang dilematis maka yang pertama adalah dilihat mana yang memiliki tingkat
kerugian paling kecil dan kedua dari kemanfaatan itu mana yang paling menguntungkan bagi
banyak orang, karena bisa jadi kemanfaatannya besar namun hanya dapat dinikmati oleh sebagian
kecil orang saja. Etika utilitarianisme ini tidak terpaku pada nilai atau norma yang ada karena
pandangan nilai dan norma sangat mungkin memiliki keragaman. Namun setiap tindakan selalu
dilihat apakah akibat yang ditimbulkan akan memberikan manfaat bagi banyak orang atau tidak.
Kalau tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil orang atau bahkan merugikan
maka harus dicari alternatif-alternatif tindakan yang lain. Etika utilitarianisme lebih bersifat
realistis, terbuka terhadap beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang
besar dan yang menguntungkan banyak orang. Utilitarians try to produce maximum pleasure and
minimum pain, counting their own pleasure and pain as no more or less important than anyone
else’s (Wenz, 2001: 86).
Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak
oranglah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaatan
itu harus dibagi kepada yang lain. Utilitarianisme, meskipun demikian, juga memiliki kekurangan.
Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika ini, yaitu:
(1) Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian masyarakat yang
dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian utilitarianisme membenarkan adanya
ketidakadilan terutama terhadap minoritas.
(2) Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang
kuantitasmaterialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non-material seperti kasih sayang,
nama baik, hak dan lain-lain.
(3) Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu terkait dengan
masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut hal-hal yang ideal seperti nasionalisme,
martabat bangsa akan terabaikan, misalnya atas nama memasukkan investor asing maka aset-aset
negara dijual kepada pihak asing, atau atas nama meningkatkan devisa negara maka pengiriman
TKW ditingkatkan. Hal yang menimbulkan problem besar adalah ketika lingkungan dirusak atas
nama untuk menyejahterakan masyarakat.

9
(4) Kemanfaatan yang dipandang oleh etika utilitarianisme sering dilihat dalam jangka
pendek, tidak melihat akibat jangka panjang. Padahal,misalnya dalam persoalan lingkungan,
kebijakan yang dilakukan sekarang akan memberikan dampak negatif pada masa yang akan
datang.
(5) Karena etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih pada
orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama kemanfaatan yang besar,
misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
(6) Etika utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan
kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang lebih
banyak dirasakan banyak orang meskipun kemanfaatannya kecil. 
Menyadari kelemahan itu etika utilitarianisme membedakannya dalam dua tingkatan, yaitu
utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka :
Pertama, setiap kebijakan dan tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan
norma atau tidak. Kalau bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus ditolak
meskipun memiliki kemanfaatan yang besar.
Kedua, kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga yang non-
fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan dan sebagainya.
Ketiga, terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan kompensasi yang
memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.

c. Etika Keutamaan

Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian
moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan karakter moral
pada diri setiap orang. Orang tidak hanya melakukan tindakan yang baik, melainkan menjadi
orang yang baik. Karakter moral ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik
yang dilakukan oleh para tokoh besar. Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang
di dalamnya mengandung nilai-nilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh
masyarakatnya. Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka
tokoh-tokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi sangat
beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial.
10
Kelemahan etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada
figur tokoh, tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan
ditemukan prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.

 Etika Pancasila
Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan aliran-aliran
besar etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan karakter moral,
namun justru merangkum dari aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila adalah etika yang
mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan.Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya
apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-
nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup
dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya
nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun.

Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia.
Nilai yang pertama adalah Ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang
tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari
nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaedah dan
hukum Tuhan.Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang
melanggar nilai, kaedah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia
maupun alam pasti akan berdampak buruk.Misalnya pelanggaran akan kaedah Tuhan tentang
menjalin hubungan kasih sayang antar sesama akan menghasilkan konflik dan permusuhan.
Pelanggaran kaedah Tuhan untuk melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-
lain

Nilai yang kedua adalah Kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan
nilai-nilaiKemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai KemanusiaanPancasila adalah keadilan dan
keadaban. Keadilanmensyaratkan keseimbangan antara lahir dan batin, jasmani dan rohani,
individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum
Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu
hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu dikatakan baik apabila sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.

11
Nilai yang ketiga adalah Persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat
persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian
pula sikap yang memecah belah persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-akan mendasarkan
perbuatannya atas nama agama (sila ke-1), namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah
persatuan dan kesatuan maka menurut pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan
baik. Nilai yang keempat adalah Kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai
lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata
hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi.

Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas.
Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam
Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun memperhatikan
kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif dan realistis bisa diterima,
maka pandangan minoritas “dimenangkan” atas pandangan mayoritas. Dengan
demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang banyak, namun
perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep
hikmah/kebijaksanaan.

Nilai yang kelima adalah Keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata
tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila
kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan
prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan kebajikan
utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang
bebas dan sama derajatnya dengan orang lain.

Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat menjadi sistem
etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga realistis dan
aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa keberadaan nilai mendahului fakta,
maka nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam cita-cita bangsa
Indonesia yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai tersebut dalam istilah
Notonagoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal,

12
yaitu nilai yang melingkupi realitas kemanusiaan di manapun, kapanpun dan merupakan dasar
bagi setiap tindakan dan munculnya nilai-nilai yang lain. Sebagai contoh, nilai Ketuhanan akan
menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. Nilai Kemanusiaan, menghasilkan nilai
kesusilaan, tolong menolong, penghargaan, penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai
Persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan dan lain-lain. Nilai Kerakyatan
menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dan lain-lain Nilai Keadilan menghasilkan
nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dan lain-lain.

2.2 Pancasila Merupakan Suatu Filsafat


Menurut Ruslan Abdulgani, Pancasila adalah filsafat negara yang lahir sebagai ideologi
kolektif (cita-cita bersama) seluruh bangsa Indonesia. Mengapa pancasila dikatakan sebagai
filsafat? Hal itu dikarenakan pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam
yang dilakukan oleh para pendahulu kita, yang kemudian dituangkan dalam suatu xiii sistem
yang tepat. Menurut Notonagoro, Filsafat Pancasila ini memberikan pengetahuan dan
pengertian ilmiah yaitu tentang hakikat pancasila. Filsafat pancasila dapat didefinisikan
sebagai refleksi kritis dan rasionl tentang pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan
budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang
mendasar dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat karena pancasila merupakan
hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers Indonesia,
yang di tuangkan dalam suatu system (Abdul Gani 1998). Pengertian filsafat pancasila secara
umum adalah hasil berfikir atau pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia
yang dianggap, dipercaya dan diyakini sebagai kenyataan, norma-norma dan nilai-nilai yang
benar, adil, bijaksana dan paling sesuai dengan kehidupan dan kepribadian bangsa
Indonesia. Filsafat pancasila kemudian dikembangkan oleh Soekarno sejak 1955 sampai
kekuasaannya berakhir pada 1965. Pada saat itu Soekarno selalu menyatakan bahwa
pancasila merupakan filsafat asli Indonesia yang diambil dari budaya dan tradisi Indonesia,
serta merupakan akulturasi budaya India (hindu-buddha), Barat (Kristen), Arab (Islam).
Filsafat pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis sehingga filsafat pancasila tidak
hanya mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya atau tidak hanya bertujuan mencari,

13
tetapi hasil pemikiran yang berwujud filsafat pancasila tersebut dipergunakan sebagai
pedoman hidup sehari-hari (way of life atau weltanschauung) agar hidup bangsa Indonesia
dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik dunia maupun di akhirat (Salam, 1988:23-
24).

2.3 Pancasila sebagai Sistem Etika

Pancasila disamping sebagai way of life bangsa Indonesia, juga merupakan struktur
pemikiran yang disusun untuk memberikan tuntunan atau panduan kepada setiap warga negara
Indonesia dalam bersikap dan bertingkah laku. Pancasila sebagai sistem etika, dimaksudkan untuk
mengembangkan dimensi moralitas dalam diri sendiri sehingga dapat memiliki kemampuan untuk
menampilkan sikap yang benar dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pancasila sebagai sistem etika merupakan tuntunan moral yang dapat diwujudkan dalam tindakan
nyata, yang melibatkan berbagai aspek kehidupan. Oleh karnanya, sila-sila dalam Pancasila perlu
diwujudkan dengan lebih lanjut ke dalam keputusan setiap tindakan sehingga mampu
mencerminkan pribadi yang saleh, utuh, dan berwawasan moral-akademis.
Pancasila menjadi sistem etika karena dalam Pancasila terdapat nilai, norma, dan moral yang
merupakan konsep yang saing berkaitan dan akan memberikan pemahaman yang saling
melengkapi satu sama lain. Pancasila sebagai satu sistem filsafat pada dasarnya merupakan suatu
nilai yang menjadi sumber bagi segala penjabaran norma baik norma hukum , norma moral,
maupun norma kenegaraan lainnya. Selain itu, dalam Pancasila juga terkandung pemikiran-
pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis, dan komperhensif.
Pancasila memegang pernanan penting dalam perwujudan sebuah sistem etika yang baik bagi
Indonesia. Di setiap saat dan di manapun kita berada, etika wajib kita sertakan bersama kita. Setiap
sila dalam Pancasila mengandung arti yang besar dalam membangun etika bangsa. Pancasila
memegang berbagai aspek kehidupan bangsa. Dalam dunia internasional, bangsa Indonesia
dikenal sebagai bangsa yang beetika, ramah, sopan, dan yang lainnya. Semua itu tidak lepas dari
tuntunan Pancasila sebagai pedoman beretika.

2.3 Objek Filsafat Pancasila


Ditinjau dari segi obyektifnya, filsafat meliputi hal-hal yang ada atau dianggap dan
diyakini ada, seperti manusia, dunia, Tuhan dan seterusnya. Ruang lingkup obyek filsafat :
a. Obyek material
b. Obyek formal
14
Lebih jauh E.C. Ewing dalam bukunya Fundamental Questions of Philosophy (1962)
menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat (secara tersirat menunjukan objek
filsafat) ialah : Truth (kebenaran), Matter (materi), Mind (pikiran), The Relation of matter and
mind (hubungan antara materi dan pikiran), Space and Time (ruang dan waktu), Cause
(sebab-sebab), Freedom (kebebasan), Monism versus Pluralism (serba tunggal lawan serba
jamak), dan God (Tuhan). Pendapat-pendapat tersebut diatas menggambarkan betapa luas
dan mencakupnya objek filsafat baik dilihat dari substansi masalah maupun sudut
pandangnya terhadap masalah, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek filsafat adalah
segala sesuatu yang berwujud dalam sudut pandang dan kajian yang mendalam (radikal).
Secara lebih sistematis para ahli membagi objek filsafat ke dalam objek material dan obyek
formal. Obyek material adalah objek yang secara wujudnya dapat dijadikan bahan telaahan
dalam berfikir, sedangkan obyek formal adalah objek yang menyangkut sudut pandang
dalam melihat obyek material tertentu. Menurut Endang Saefudin Anshori (1981) objek
material filsafat adalah sarwa yang ada (segala sesuatu yang berwujud), yang pada garis
besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok yaitu : 1). Hakekat Tuhan; 2). Hakekat Alam;
dan 3). Hakekat manusia, sedangkan objek formal filsafat ialah usaha mencari keterangan
secara radikal terhadap objek material filsafat. Dengan demikian objek material filsafat
mengacu pada substansi yang ada dan mungkin ada yang dapat difikirkan oleh manusia,
sedangkan objek formal filsafat menggambarkan tentang cara dan sifat berfikir terhadap
objek material tersebut, dengan kata lain objek formal filsafat mengacu pada sudut pandang
yang digunakan dalam memikirkan objek material filsafat. 2.4 Pancasila Melalui Pendekatan
Dasar Ontologis, Epistemologis, Aksiologis 2.4.1 Dasar Ontologis (Hakikat Manusia) Sila–sila
Pancasila Manusia sebagai pendukung pokok sila–sila pancasil secara ontologis memiliki hal–
hal yg mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga dan jiwa jasmani dan rohani, sifat
kodrat manusia adalah sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta keddukan kodrat
manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk tuhan yang maha esa.
Oleh karena kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai
makhluk tuhan inilah maka secara hierarkis sila pertama ketuhanan yg maha esa mendasari
dan menjiwai keempat sila – sila pancasila yg lainnya (Notonagoro, 1975:53).

15
1. Sila pertama : Tuhan adalah sebagai asal mula segala sesuatu, tuhan adalah mutlak,
sempurna dan kuasa, tidak berubah, tidak terbatas pula sebagai pengatur tata tertib alam
(Notonagoro, 1975:78)
2. Sila kedua : kemanusiaan yg adil dan beradab, negara adalah lembaga kemanusiaan, yg
diadakan oleh manusia (Notonagoro, 1975:55)
3. Sila ketiga : persatuan indonesia. Persatuan adalah sebagai akibat adanya manusia
sebagai makhluk tuhan yg maha esa,adapun hasil persatuan adalah rakyat sehingga rakyat
adalah merupakan unsur pokok negara
4. Sila keempat : maka pokok sila keempat ialah kerakyatan yaitu kesesuaiannya dengan
hakikat rakyat
5. Sila kelima : dengan demikian logikanya keadilan sosial didasari dan dijiwai oleh sila
kedua yaitu kemanusiaan yg adil dan beradab (Notonagoro, 1975:140,141)

2.4 Dasar Epistemologis (Pengetahuan)


Sila–sila Pancasila Sebagai suatu ideologi maka pancasila memiliki tiga unsur pokok agar
dapat menarik loyalitas dan pendukungnya yaitu 1. Logos yaitu rasionalitas atau
penalarannya 2. Pathos yaitu penghayatannya 3. Ethos yaitu kesusilaannya (wibisono,
1996:3) Dasar epistemologis pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar
ontologisnya. Pancasila sebagai suatu ideologi bersumber pada nilai – nilai dasarnya yaitu
filsafat pancasilaa (Soeryanto, 1991:51). Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam
epistemologi yaitu: pertama tentang sumber pengethuan manusia, kedua tentang teori
kebenaran pengetahuan manusia, ketiga tentang watak pengetahuan manusia (titus,
1984:20). Adapun potensi atau daya untuk meresapkan pengetahuan atau dengan lain
perkataan transformasi pengetahuan terdapat tingkatan sebagai berikut: xvii demonstrasi,
imajinasi, asosiasi, analogi, refleksi, intuisi, inspirasi dan ilham (Notonagoro, tanpa tahun:3).

2.5 Dasar Aksiologis Pancasila


Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana manusia
menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios
yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami
sebagai teori nilai.
16
Jujun S.Suriasumantri mengartika aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau
suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang
berharga, yang diidamkan oleh setiap insan. Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan
tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan ilmu yang
mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu
pengetahuan itu tidak ada yang siasia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini
banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu dimanfaatkan di jalan yang
tidak benar. Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak
bebas nilai. Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-
nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat
dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan
sebaliknya malahan menimbulkan bencana. 2.5 Hakekat Pancasila xviii Kata ‘hakikat’ dapat
didefinisikan sebagai suatu inti yang terdalam dari segala sesuatu yang terdiri dari sejumlah
unsur tertentu yang mewujudkan sesuatu tersebut, sehingga terpisah dengan sesuatu lain
dan bersifat mutlak. Contohnya pada hakikat air yang tersusun atas dua unsur mutlak, yaitu
hidrogen dan oksigen. Kebersatuan kedua unsur tersebut bersifat mutlak untuk membentuk
air. Artinya kedua unsur tersebut secara bersamasama menyusun air sehingga terpisah dari
benda yang lainnya, misalnya dengan batu,kayu, dan lain sebagainya. Terkait dengan hakikat
sila-sila pancasila, pengertian kata ‘hakikat’ dapat dipahami dalam tiga kategori yaitu :
1. Hakikat Abstrak yang disebut sebagai hakikat jenis atau hakikat umum yang
mengandungunsur-unsur yang sama, tetap dan tidak berubah. Hakikat abstrak sila-sila
Pancasila menunjuk pada kata: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
keadilan. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang dibubuhi awalan dan akhiran ke dan
an ( sila I,II,IV, dan V) sedangkan yang satunya per dan an (sila ke III). Awalan dan akhiran ini
memiliki kesamaan dalam maksudnya yang pokok, ialah membuat abstrak daripada kata
dasarnya

17
2. Hakikat Pribadi sebagai hakikat yang memiliki sifat khusus. Hakikat pribadi Pancasila
menunjuk pada ciri-ciri khusus sila-sila Pancasila yang ada pada bangsa Indonesia, yaitu adat
istiadat, nilai-nilai agama, nilai-nilai kebudayaan, sifat dan karakter yang melekat pada
bangsa indonesia sehingga membedakan bangsa indonesia dengan bangsa yang lainnya.
3. Hakikat Kongkrit yang bersifat nyata sebagaimana dalam kenyataannya. Hakikat
kongkrit Pancasila terletak pada fungsi Pancasila sebagai dasar filsafat negara.

Dalam realisasinya, pancasila adalah pedoman praktis, yaitu dalam wujud pelaksanaan
praktis dalam kehidupan negara, bangsa dan negara Indonesia yang sesuai dengan
kenyataan sehari hari, tempat, keadaan dan waktu. Sehingga pelaksanaan Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari bersifat dinamis, antisipatif, dan sesuai dengan perkembangan waktu,
keadaan, serta perubahan zaman. Pancasila yang berisi lima sila, menurut Notonagoro
(1967:32) merupakan satu kesatuan utuh. Kesatuan sila-sila Pancasila tersebut, diuraikan
sebagai berikut: A. Diungkapkan oleh Notonagoro (1984: 61 dan 1975: 52, 57) bahwa hakikat
adanya Tuhan ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa prima. Oleh karena itu segala
sesuatu yang ada merupakan akibat sebagi adanya tuhan (sila pertama). Adapun manusia
sebagai subjek ciptaan manusia pendukung pokok negara, karena negara adalah lambang
kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama yang anggotanya adalah
manusia (sila kedua). Dengan demikian, negara adalah sebagai akibat adanya manusia yang
bersatu (sila ketiga). Selanjutnya terbentuklah persekutuan hidup yang dinamakan rakyat.
Rakyat merupakan totalitas individuindividu dalam negara yang bersatu (sila keempat).
Adapun keadilan yang pada hakikatnya merupakan tujuan bersama atau keadilan sosial (sila
kelima) pada hakikatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama yang disebut negara. B.
Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan mengkualifikasi silasila
Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau
mengkualifikasi dalam kerangka hubungan hirarkis piramidal seperti diatas. Dalam rumusan
ini, tiap-tiap sila mengandung empat sila lainnya. Berikut disampaikan kesatuan sila-sila
Pancasila yang saling mengisi dan mengkualifikasi.
1. Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang
dipimpin oleh
18
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Sila kedua; Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab adalah kemanusiaan yang
berKetuhanan Yang Maha Esa, yang berpesatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Sila ketiga; Persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan Yang Maha
Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial
bagi seluruh rakyat indonesia.
4. Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat dalam Permusyawaratan/
Perwakilan, adalah kerakyatan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, Berkemanusiaan
yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
5. Sila kelima; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah keadilan yang ber-
Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan bearadab, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam
permusyawaratan/ perwakilan (Notonagoro, 1975:43-44).

19
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.1.1 Kesimpulan Pancasila sebagai Filsafat

Dari apa yang telah dijelaskan di atas, Pancasila merupakan kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan, karena dalam masing-masing sila tidak bisa di tukar tempat atau dipindah. Bagi
bangsa Indonesia, Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia. Dan
filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan karena memiliki logika, metode dan sistem. Pancasila
dikatakan sebagai filsafat dikarenakan pancasila merupakan hasil perenungan jiwa yang
mendalam yang dilakukan oleh para pendahulu kita, yang kemudian dituangkan dalam suatu
sistem yang tepat, dimana pancasila memiliki hakekatnya tersendiri yang terbagi menjadi lima
sesuai dengan kelima sila-silanya tersebut. Adapun yang mendasari Pancasila adalah dasar
Ontologist (Hakikat Manusia), dasar Epistemologis (Pengetahuan), dasar Aksiologis (Pengamalan
Nilai-Nilainya).

3.1.2 Kesimpulan Pancasila Sebagai Etika

Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Sebagai dasar
negara, Pancasila mengandung banyak nilai moral dan kebaikan. Oleh karena itulah Pancasila
dijadikan sebagai sistem etika. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan
penilaian baik dan buruk pada nlai-nilai yang terkandung dalam pancasila, yaitu niai Ketuhanan,
Kemanusiaan, persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Jika suatu perbuatan telah mencaup nilai-nilai
dan meninggikan nilai-nilai tersebut, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan baik, dan berlaku
sebaliknya. Pancasila sebagai sistem etika memegang peranan penting dalam perkembanga bangsa
ini karena Pancasla membentuk pla pikir bangsa sehinga bangsa kita dapat dianggap sebagai
bangsa yang bermoral dan beradab di mata dunia.

3.2 Saran

Saran yang dapat dipetik dari materi ini adalah agar seluruh masyarakat mengetahui
seberapa penting Pancasila dan dapat mengamalkan nilai-nilai sila dari pancasila dengan baik &
benar, serta tidak melecehkan arti penting pancasila.

20

Anda mungkin juga menyukai