NEGARA HUKUM
Disusun Oleh:
(STMIK) PRIMAKARA
2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah yang
bertemakan “Kewarganegaraan” ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen. Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan
data yang penulis peroleh dari buku panduan dan dari sumber-sumber yang berkaitan dengan
materi ini.
Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada dosen pengajar. Atas bimbingan dan arahan
dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung
sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Penulis harap dengan membaca makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca, dalam hal ini dapat menambah wawasan tentang Pendidikan
Kewarganegaraan.
Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini memang jauh dari kata sempurna, untuk
itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang dimaksud untuk
menyempurnakan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
COVER ......................................................................................................................
KATA PENGANTAR……………………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.5.1 Dinamika..................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 19
3.2 Saran ........................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu
sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata
supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan
teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan
impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (H. Azhary 2003).
Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (Law Making ) dan ditegakkan (Law Enforcing)
sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi
kedudukannya (Zulfa 2009). Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar
yang berkedudukan tertinggi (The Supreme Law of The Land) dibentuk pula sebuah
mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai The Guardian dan sekaligus The Ultimate
Interpreter of The Constitution (Safa‘at 2009). Tujuan negara hukum adalah, bahwa negara
menjadikan hukum sebagai ―supreme‖, setiap penyelenggara negara atau pemerintahan
wajib tunduk pada hukum (subject to the law). Tidak ada kekuasaan di atas law (above the
law) semuanya ada di bawah law (under the rule of law). Dengan kedudukan ini tidak boleh
ada kekuasaan yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power) (Bahder Johan Nasution 2013).
Cita negara hukum itu untuk pertama sekali dikemukakan oleh Plato dan pemikiran
itu kemudian dipertegas oleh Aristoteles. Plato sebagai pemikir besar meninggalkan banyak
karya ilmiah .Dari banyak karya ilmiahnya tersebut paling sedikit ada tiga buah karya yang
sangat relevan dengan masalah kenegaraan, yaitu: Politea (the Republica), yang ditulisnya
ketika ia masih muda; kedua, Politicos (the Statement); dan ketiga, Nomoi (the Law)
(Gultom 2003). Buku kedua Plato berpendapat, bahwa yang perlu diatur dengan hukum itu
hanyalah warga negara, sementara penguasa tidak perlu lagi diatur, karena penguasa itu
adalah orang arif bijaksana sebagai seorang filasof. Hal tersebut dapat dilihat dari kalimat
yang diungkapkan oleh Azhari, yang menyatakan, bahwa adanya hukum untuk mengatur
warga negara, sekali lagi hanya untuk warga negara saja, karena hukum yang dibuat oleh
manusia tentu tidak berlaku bagi penguasa itu sendiri (Azhari 2005).
Konsep Negara Hukum (Nomokrasi Islam) kekuasaan adalah suatu karunia atau
nikmat Allah SWT. Artinya ia merupakan rahmat dan kebahagiaan baik bagi yang menerima
kekuasaan itu maupun bagi rakyatnya. Ini dapat terjadi apabila kekuasaan itu
diimplementasikan menurut petunjuk Al-Qur‘an dan tradisi Nabi Muhammad SAW.
Sebaliknya kalau kekuasaan itu diterapkan dengan cara yang menyimpan atau bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar dalam Al-Qur‘an dan tradisi nabi, maka akan hilanglah makna
hakiki kekuasaan itu. Dalam keadaan seperti ini, kekuasaan bukan lagi merupakan karunia
atau nikmat Allah SWT. Melainkan kekuasaan yang semacam ini akan menjadi bencana dan
laknat Allah SWT (Honrby 2006). Untuk itulah konsep bernegara dalam Islam hanya
mengatur asas-asas atau prinsipprinsipnya saja antara lain tentang pemimpin harus jujur,
amanah, adil, transparan, bermusyawarah, dan melindungi hak asasi (fitrah) (Elmiyah 2003).
Islam mengajarkan dan memberi tuntunan dalam hidup bernegara, artinya agar dibangun
Negara sebagai rumah untuk menegakkan keadilan sesuai dengan hak-hak yang secara asasi
dimiliki oleh setiap warga Negaranya.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari latar belakang di atas adalah:
sumber : https://www.google.com
Negara hukum adalah negara yang setiap kegiatan masyarakatnya berdasarkan atas
hukum yang bertujuan untuk memberikan keadilan bagi warganya. Segala kewenangan serta
tindakan di dalam negara tersebut akan diatur oleh hukum yang sudah ditetapkan
pemerintahan, hal ini sebagai pencerminan untuk memperoleh keadilan bagi masyarakatnya.
Negara hukum menurut Wirjono Prodjodikoro adalah negara yang berdiri di atas
hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan
syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai
dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia
agar ia menjadi warganegara yang baik.
Negara Hukum bertumpu pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan
atas dasar hukum yang adil dan baik. Ada dua elemen dalam negara hukum, yaitu pertama:
hubungan antara setiap warga negara dengan peraturan yang dibuat diatur tidak dengan
kekerasan, tetapi dengan norma-norma objektivitas, yang juga mengikat partai yang
berkuasa. Yang kedua: norma objektif yang harus memenuhi syarat tidak hanya secara
formal,
tetapi dapat dipertahankan untuk menangani gagasan hukum.
Sumber : https://www.google.com
Di brosur nya “Mekanisme Demokrasi Pancasila” mengatakan bahwa negara hukum
Indonesia mencakup unsur-unsur berikut:
a. Menegakkan hukum
b. Pembagian kekuasaan
c. Perlinduungan keberadaan hak asasi manusia dan untuk membela obat procedural
d. Hal ini dimungkinkan untuk administrasi peradilan
3. Aristoteles & Plato
Sumber : https://www.google.com
Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.
Menurut bentuknya, hukum dapat dibagi dalam:
a. Hukum tertulis
b. Hukum tak tertulis
Menurut Muhammad Tahir Azhary sebagaimana dikutip oleh Ridwan (2003:2),
bahwa istilah dan konsep “Negara Hukum” telah populer dalam kehidupan bernegara di
dunia sejak lama sebelum berbagai macam istilah yang disebut-sebut sebagai konsep Negara
Hukum lahir. Embrio munculnya gagasan negara hukum dimulai semenjak Plato. Plato
memperkenalkan konsep Nomoi. Di dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa
penyelenggaraan negara yang baik adalah yang berdasarkan atas hukum (pola pengaturan)
yang baik. Gagasan ini kemudian didukung dan dikembangkan oleh Aristoteles. Aristoteles
memberikan gambaran tentang negara hukum dengan mengaitkan dengan negara zaman
Yunani Kuno yang masih terikat kepada “polis”.
Istilah negara hukum sendiri dikenal sejak abad XIX akan tetapi konsep dari negara
hukum telah berkembang dengan tuntutan keadaan yang ada. Dimulai pada zaman Plato,
Konsep dari negara hukum sendiri telah banyak mengalami perubahan sehingga membuat
para ahli dan pakar terdorong untuk berpendapat mengenai konsep dari negara hukum itu
sendiri.
Plato dan Aristoteles mengungkapakan bahwa Negara Hukum adalah negara yang
diperintah oleh negara yang adil. Dalam filsafatnya, keduanya menyinggung hdan
menyebutkan bahwa konsep negara hukum memiliki suatu cita-cita yang dapat disebutkan
sebagai berikut:
a. Cita-cita untuk mengejar kebenaran
b. Cita-cita untuk mengejar kesusilaan
c. Cita-cita manusia untuk mengejar keindahan
d. Cita-cita untuk mengejar keadilan
Selain itu, Indonesia juga memiliki ciri – ciri negara hukum secara umum di Indonesia
Sumber : https://www.google.com
Pengakuan hak asasi manusia adalah unsur utama dalam ciri – ciri negara hukum
secara umum di Indonesia. hal ini karena hak asasi manusia adalah hak yang paling dasar
dimana pelanggaran terhadapnya harus bisa ditindak tegas. Disitulah hukum diperlukan,
sebagai alat maupun pedoman dalam usaha penegakan, perlindungan, dan pengakuan
terhadap hak asasi manusia. (Aris Kurniawan,2010)
Sumber : https://www.google.com
Sistem ketatanegaraan adalah sebuah sistem kelembagaan yang mengatur urusan –
urusan kenegaraan. Di Indonesia, kita mengenal beberapa lembaga tinggi negara seperti
Majelis Permusyawarahan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan lembaga
kepresidenan. Setiap lembaga tersebut memiliki tugas dan wewenang masing – masing
untuk melaksanakan tugas yang berhubungan dengan sistem ketatanegaraan. Contohnya
Kekuasaan Konstitutif dalam MPR untuk merubah dan memutuskan Undang – Undang,
tugas, fungsi, dan wewenang DPR untuk mengusulkan Undang – Undang, serta
wewenang Mahkamah Konstitusi menurut UUD 1945 untuk mengatur perselisihan yang
terjadi karena pemilihan umum, dan lain sebagai nya.
Sumber : https://www.google.com
Salah satu ciri – ciri negara hukum secara umum di Indonesia adalah adanya supremasi
hukum. Supremasi hukum adalah dimana hukum bisa dijadikan patokan atau aturan dalam
segala bidang. meskipun begitu, kekuatan hukum tersebut tidak bisa digunakan dengan
semena – mena. Seberapapun kekuatan hukum, hukum hanya bisa dijatuhkan kepada yang
salah. Aturan dalam menjatuhkan hukum pun harus ditaati dengan benar.
Sumber : https://www.google.com
Peradilan pidana adalah peradilan yang menyangkut pelanggaran kepentingan orang
banyak sedangkan peradilan perdata yang membahasa masalah antara orang perorangan.
Dalam hukum perdata, Indonesia membahas beberapa masalah yang berhubungan dengan
hukum perdata, antara lain hukum tentang diri seseorang, hukum keluarga, hukum
kekayaan, dan hukum waris. (Aris Kurniawan,2010).
Proses Peradilan Pidana dan Perdata di Indonesia ini juga menjadi salah satu ciri –
ciri umum negara hukum di indonesia. oleh karena itu, di Indonesia pun dikenal dengan
adanya hukum pidana dengan hukum perdata .
Sumber : https://www.google.com
Seperti yang telah disampaikan oleh negarawan terkenal dunia, John Locke, dalam
negara hukum harus ada pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan ini terutama
diterapkan oleh negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi seperti halnya
Indonesia. menurut John Locke, pembagian kekuasaan negara dibagi menjadi tiga. Dari
situlah muncul istilah trias politika dimana kekuasaan negara dibagi menjadi kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Sumber : https://www.google.com
Kebebasan berpendapat bagi warga negara dijamin dalam negara hukum. Seperti
halnya di Indonesia, kebebasan berpendapat diatur dalam konstitusi resmi Indonesia,
yaitu Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Lebih khususnya,
undang
– undang tentang kebebasan berpendapat tersebut tercantum dalam pasal 28 Undang –
Undang Dasar 1945.
Oleh karena, itu, rakyat Indonesia memiliki kebebasan untuk berpendapat dalam
bentuk apapun demi perbaikan dan kemajuan bangsa dan negara. Pendapat atau aspirasi
tersebut bisa diwujudkan dalam sebuah usulan dari anggota perwakilan rakyat, kegiatan
yang menjadi program sebuah kelompok, maupun tulisan dan tindakan melalui media
elektronik yang saat ini telah sangat berkembang dan mudah diakses oleh semua
kalangan. Akan tetapi, kebebasan tersebut bukan berarti warga negara bisa berbicara
semau sendiri mengungkapkan pendapat dan kritiknya. Semua itu harus disertai dengan
bukti dan alasan yang rasional.
8. Kebebasan berorganisasi
Sumber : https://www.google.com
Selain menjamin kebebasan berpendapat, pasal 28 dalam undang undang dasar 1945
ini juga mengatur tentang kebebasan warga negara untuk berkumpul. Berkumpul disini
bisa ditafsirkan sebagai kebebasan untuk berorganisasi. Dalam berorganisasi ini,
masyarakat bisa bertukar pikiran dan mengeluarkan pendapat demi perbaikan
negara. Menurut (Aris Kurniawan,2010) kebebasan berorganisasi ini juga dianggap
sebagai bentuk penghormatan hak asasi manusia yang telah menjadi unsur utama dalam
negara hukum .
Sumber : https://www.google.com
Di negara hukum, pemilihan diselenggarakan dengan mengusung kebebasan. Hal ini
bermaksud bahwa semua warga negara mempunyai kebebasan dalam menggunakan hak
pilihnya. Bebas untuk memilih partai maupun calon manapun yang paling sesuai dengan
visi misi nya. Kebebasan tersebut juga dilindungi, sehingga tidak ada satupun yang bisa
memberikan paksaan untuk memilih. Di Indonesia sendiri, pemilihan umum tidak hanya
menggunakan asas bebas. Di Indonesia, asas pemilu adalah bebas, umum, rahasia, jujur,
dan adil atau yang dikenal dengan semboyan luber dan jurdil.
Sumber : www.google.com
Di negara hukum, semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di muka
hukum. Baik itu pejabat, orang kaya, maupun rakyat jelata, semua akan dihukum apabila
melakukan kesalahan atau pelanggaran terhadap hukum. Perlakuan yang sama juga akan
diterapkan selama mereka menjalani proses hukum
Sumber : https://www.google.com
Kita sering mendengar isitilah asas legalitas dalam negara hukum. Asas ini
merupakan asas fundamental yang dipertahankan demi kepastian hukum. Seorang ahli
hukum Jerman bernama Anselm von Feuerbach merumuskan asas legalitas yang terdiri
atas;
3) Tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang – undang. Yang diringkas
menjadi tidak ada perbuatan pidana, tidak ada (hukuman) pidanan, tanpa ketentuan
undang – undang pidana terlebih dahulu.
(HAM). UUD NRI Tahun 1945 Setelah Perubahan mengatur lebih kompleks tentang
substansi perlindungan HAM meliput pasal 28A - 28J UUD 1945 salah satunya:
1. Pasal 28A berbunyi bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
2. Pasal 28B berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3. Pasal 28C berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya
secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pembatasan yang dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar
paham konstitusionalisme modern. Konsensus yang menjamin tegaknya
konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga
elemen kesepakatan (consensus). (Jimly Asshiddiqie, 2010:11-13):
e. Adanya Persamaan Dihadapan Hukum dan Pemerintahan (equality before the law)
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang
diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip
persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan
manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-
tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan affirmative actions guna
mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga
masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat
perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang
sudah jauh lebih maju. (Jimly Asshiddiqie, 2004:128)
1. Pasal 27 ayat (1) berbunyi bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”.
2. Pasal 28D ayat (1) berbunyi bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”. Ayat (3) berbunyi bahwa “Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
1. Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi bahwa Kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
3. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara
4. UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Hal ini tampak pada Pembukaan UUD 1945: “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan” dan pasal 1A ayat 2 UUD
1945: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang
dasar.”
Setiap bangsa dan peradaban memiliki karakter masing-masing yang unik. Karakter
ini terbentuk berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya masyarakatnya. Bahkan setiap
bangsa memiliki karakter dan kualitas tersendiri yang secara intrinsik tidak ada yang bersifat
superior satu sama lainnya. Hal yang sama terjadi dalam pembentukan sistem hukum yang
memiliki kaitan erat dengan budaya masyarakatnya (Maladi, 2010: 452).
Dalam negara hukum, terdapat kepastian hukum yang didukung oleh dasar hukum.
Dasar hukum tersebut tercantum dalam konstitusi. Negara hukum Indonesia dapat
diibaratkan sebagai sebuah proyek rumah, di mana harus dibangun, kemudian dirawat, lalu
diwariskan pada penerusnya. Diperlukan penemuan jati diri atau identitas dalam
pembentukannya. Dilihat dari sisi sejarah Indonesia mengikuti langkah Rechtsstaat atau
civil law, karena Indonesia cukup lama dijajah oleh Belanda. Namun, jika konsep civil law
ini diterapkan secara murni, kemungkinan besar tidak mendatangkan kebahagiaan bagi
bangsa Indonesia. Hukum akan bergerak jauh lebih lambat daripada dinamika masyarakat
Indonesia. Bahkan yang lebih buruk lagi, pelaksanaan pemerintahan akan bergerak kaku dan
cenderung represif.
Demikian juga dengan penerapan konsep Rule of Law secara murni, pengendalian
negara pada masyarakat akan sangat lemah, sebab masyarakat Indonesia yang sangat plural
dan tersebar. Jika dibandingkan dengan Rule of Law yang berlaku di Inggris, masyarakat
Inggris merupakan ‘satu keturunan’ sehingga tidak terlalu nampak adanya perbedaan
budaya, dan juga terdapat sosok raja sebagai simbol pemersatu bangsa. Bahkan jika
diterapkan secara apa adanya dengan mengedepankan liberalisme akan membawa
perpecahan di Indonesia. Indonesia memerlukan sebuah konsep negara hukum Indonesia.
Sebuah konsep yang berasal dari nilai-nilai luhur yang ada dari Indonesia, bukan nilai-nilai
yang ditransplantasikan oleh negara lain. Seperti dikemukakan oleh Carl Freiderich von
Savigny, bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat sebagai
jiwa bangsa (Tanya, dkk., 2010: 103).
Undang- undang sebagai produk hukum, harus digali dan bersumber pada
kemajemukan bangsa Indonesia, budaya, juga kepercayaan dan nilai yang dianut bangsa
Indonesia. Karakteristik tersebut merupakan wujud dari negara hukum Pancasila. Norma
hukum yang dikristalkan menjadi undang- undang pada akhirnya memiliki tujuan hukum
yang membahagiakan rakyatnya, sehingga mampu menghadirkan produk hukum yang
mengandung nilai keadilan sosial (Nugroho, 2013: 45).
Indonesia merupakan negara yang khas, karena karakteristik dari Indonesia adalah
kekeluargaan dan gotong-royong. Nilai kekeluargaan dan gotong-royong ini sangat berbeda
dengan model individualistis-liberal Barat. Pemikiran gaya Barat yang rasional, linear,
mengkotak-kotakan, dan diskriminatif, mulai tergeser dengan pikiran intuitif, holistik, dan
tidak-linier Timur. Suatu kebudyaanmemang benar yang mengasah sebuah negara. Dominasi
pemikiran gaya Barat sudah berlalu, karena Barat mengidap ‘budaya pembodohan
jiwa/rasa’. Nilai luhur suatu bangsa memang harus dipertahankan. Indonesia boleh saja
mengikuti arus perubahan dunia, tapi Indonesia tidak boleh hanyut secara total dalam
perubahan tersebut (Raharjdo, 2009: 98-99).
Pancasila sebagai dasar ideologi negara, sekiranya tepat untuk negara hukum
Indonesia yang multi ras, multi kultur, multi etnis, multi agama, dan daerahnya sangat luas.
Untuk meraih cita dan mencapai tujuan dengan landasan dan panduan tersebut maka sistem
hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila. Sistem hukum
Pancasila merupakan sistem hukum yang jumbuh dengan kepentingan, nilai sosial, dan
konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur- unsur
baiknya. Yang dimana tuntutan dari keadilan berarti semua warga negara mempunyai posisi
yang sama di mata hukum. Satjipto Rahardjo termasuk akademisi hukum yang menyebut
Sistem Hukum Pancasila sebagai sistem yang berakar dari budaya bangsa yang khas. Hukum
tidak berada dalam vakum melainkan ada pada masyarakat dengan kekhasan akar budayanya
masing- masing. Karena hukum bertugas melayani masyarakat maka sistem hukum juga
harus sama khasnya dengan akar budaya masyarakat yang dilayaninya. Sistem Hukum
Pancasila adalah sistem hukum yang khas untuk masyarakat Indonesia (Raharjdo,2003:23).
2.5 Dinamika dan Tantangan Penegakan Hukum di Indonesia.
Sumber : www.google.com
2.5.1 Dinamika
Banyaknya kasus perilaku warga negara sebagai subyek hukum baik yang bersifat
perorangan maupun kelompok masyarakat yang belum baik dan terpuji atau
melakukan pelanggaran hukum menunjukkan bahwa hukum masih perlu ditegakkan.
Persoalannya, penegakan hukum di Indonesia dipandang masih lemah. Dalam
beberapa kasus, masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian hukum. Rasa keadilan
masyarakat pun belum sesuai dengan harapan. Sebagian masyarakat bahkan
merasakan bahwa aparat penegak hukum sering memberlakukan hukum bagaikan
pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
1. Masih banyak perilaku warga negara khususnya oknum aparatur negara yang belum
baik dan terpuji, terbukti masih ada praktik KKN, praktik suap, perilaku
premanisme, dan perlaku lain yang tidak terpuji.
2. Masih ada potensi konflik dan kekerasan sosial yang bermuatan SARA, tawuran,
pelanggaran HAM, dan sikap etnosentris.
3. Maraknya kasus-kasus ketidakadilan sosial dan hukum yang belum diselesaikan dan
ditangani secara tuntas.
1. Undang-undang
Undang-undang yang seharusnya menjalankan fungsi sebagai dasar penegakan
hukum di Indonesia justru menjadi salah satu hal yang menimbulkan tantangan di
dalam implementasi penegakan hukum. Hal ini disebabkan oleh fakta yang
menunjukkan adanya Undang-undang yang menggunakan kata-kata yang
multiinterpretasi atau multitafsir. Sebagai contoh adalah Undang-undang No. 9
Tahun 1960 pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa pemerintah akan membantu
pengobatan dan perawatan untuk warga negara yang sedang sakit supaya warga
negara tersebut menanggung biaya pengobatan dan perawatan seringan-ringannya
(Putri Isabell, 2019).
2. Aparat Penegak Hukum
Lembaga penegak hukum yang terlibat dan harus bersedia bekerja sama untuk
menegakkan hukum. Para aparat tersebut di antaranya adalah hakim, polisi, jaksa,
dan para sipir. Masing-masing tentu saja memiliki fungsi dan tugas nya masing-
masing dan, seperti yang sudah disebutkan di atas, harus bersedia untuk menjalin
kerja sama dengan satu tujuan yaitu menegakkan hukum di Indonesia. Sayangnya,
pihak-pihak tersebut, yang tanggung jawabnya sudah diatur oleh pemerintah,
justru juga ditemukan melakukan pelanggaran terhadap hukum (Putri Isabell,
2019).
3. Fasilitas
Kita dapat melihat dan mengalami bagaimana zaman sudah semakin berkembang.
Ada begitu banyak kegiatan yang dimudahkan dengan adanya sistem yang baik.
Sistem dalam hal ini tentu saja sistem yang sudah termodernisasi dan
memanfaatkan internet. Sayangnya dalam hal penegakan hukum, sampai saat ini
belum tersedia sarana yang mengandalkan teknologi terkini. Padahal dengan
adanya sarana tersebut, pelaksanaan penegakan hukum akan sangat terbantu (Putri
Isabell, 2019).
4. Masyarakat
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat beragam. Ada begitu
banyak ragam budaya, tradisi, dan kepercayaan di tengah-tengah masyarakat.
Selain hal-
hal tersebut, ada juga faktor lain yang membedakan antar anggota masyarakat,
yaitu pendidikan. Masyarakat kalangan menengah ke atas adalah mereka yang
menerima pendidikan layak guna pentingnya Pendidikan bagi Indonesia untuk
menjalankan kehidupannya sehari-hari. Hal ini bertolak belakang dengan
kalangan menengah ke bawah yang umumnya tidak mendapatkan pendidikan
sampai jenjang yang tinggi dan tidak mendapatkan cukup paparan dari sumber
informasi yang valid (Putri Isabell, 2019).
5. Budaya
Budaya yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat menunjukkan nilai-nilai
yang mereka percayai. Mereka akan melaksanakan hal-hal yang mereka anggap
baik dan menghindari hal-hal yang mereka anggap buruk. Namun sayangnya ada
budaya yang dalam implementasinya sering kali menimbulkan masalah, yaitu
budaya kompromi. Kompromi dilakukan terhadap pelanggaran hukum yang
dianggap “pelanggaran kecil” namun sesuatu hal yang terus-menerus dilakukan
akan membentuk kebiasaan yang kemudian berkembang menjadi budaya (Putri
Isabell, 2019).
2.5.3 Studi Kasus
Kasus yang membelit Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat ini adalah studi kasus
yang menarik tentang negara hukum yang dalam bahasa asingnya disebut sebagai
rechstaat atau state based on rule of law.
Ada perbedaan dalam kedua terminologi di atas, tetapi tulisan ini berasumsi
bahwa negara hukum adalah negara di mana supremasi hukum itu menjadi dasar,
berlaku untuk semua, tidak diskriminatif dan memberikan keadilan. Untuk itu,
berbagai peraturan perundangan diberlakukan bersamaan dengan yurisprudensi dan
doktrin hukum yang berlaku. Semua prinsip hukum internasional yang berlaku secara
universal juga dijadikan rujukan di mana perlu. Pokoknya, dalam negara hukum
berlaku adagium "hukum adalah panglima".
Dalam kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, konsep negara
hukum itu tidak sepenuhnya dimengerti oleh banyak kalangan, terutama yang
menentang Ahok. Secara sistematis Ahok sudah dinyatakan bersalah. Banyak sekali
pernyataan yang sudah mengambil hukum ke tangan mereka. Ahok sepenuhnya sudah
bersalah meski tanpa proses peradilan yang menyatakan Ahok bersalah. Di sini asas
praduga tidak bersalah tak lagi diakui keberadaannya. Konsep due process of law sama
sekali tidak hadir.. Laporan kepada pihak kepolisian sudah dimasukkan bahwa Ahok
dituduh melakukan penistaan agama. Pihak kepolisian sesungguhnya sedang
melakukan penyelidikan dengan memanggil banyak pihak yang diklasifikasikan
sebagai saksi fakta dan ahli. Namun, pihak kepolisian dianggap lamban dan dicurigai
melindungi terlapor
Ahok. Lalu sebuah demonstrasi besar dengan massa ratusan ribu orang terjadi
beberapa waktu lalu.
Di situ tuntutan kembali disuarakan dengan lantang bahwa Ahok harus dinyatakan
sebagai tersangka dan segera ditahan. Sepertinya proses hukum yang dilakukan oleh
pihak kepolisian hanyalah proforma karena status Ahok sebagai tersangka sudah
merupakan harga mati. Ahok juga harus dinyatakan tidak bisa mengikuti pilkada di
Jakarta. Dengan segala hormat terhadap suara-suara yang menolak Ahok dan
menuduhnya melakukan penistaan agama, saya tetap berpendapat bahwa proses
hukum harus dilalui sesuai dengan praktik hukum acara pidana yang berlaku. Ahok
mempunyai hak untuk dianggap tidak bersalah berdasar asas praduga tak bersalah.
Ahok berhak mendapatkan semua hak hukumnya untuk membela dirinya di hadapan
penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim. Ahok juga berhak membela dirinya di
hadapan publik. Namun, Ahok seperti kehilangan semua haknya, padahal Ahok juga
merupakan warga negara, subyek hukum, yang hak-haknya dijamin oleh peraturan
perundangan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-
Undang Hak Asasi Manusia termasuk Deklarasi dan Kovenan Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa- Bangsa.
Sekarang Ahok sudah dinyatakan sebagai tersangka berdasar gelar perkara yang
dilakukan oleh pihak kepolisian secara terbuka. Gelar perkara ini masih dalam tingkat
penyelidikan, sesuatu hal yang mungkin belum pernah terjadi sebelumnya. Namun,
karena pihak kepolisian menghendaki keterbukaan dan akuntabilitas, gelar perkara ini
diadakan walaupun kesan yang timbul adalah bahwa gelar perkara ini dilakukan
karena tekanan yang begitu besar pada pihak kepolisian. Sukar untuk membantah
bahwa para saksi fakta dan ahli setelah mengikuti gelar perkara akan menimbang
kembali kesaksian dan keterangan ahli mereka karena hendak menyelamatkan diri
mereka dari tekanan opini publik yang menyorot semua proses penyidikan tersebut.
Dengan kata lain, proses hukum kasus Ahok sangat rentan terhadap intervensi yang
pada gilirannya akan memperkecil ruang bagi penegakan hukum dan penciptaan
keadilan. Peradilan terhadap Ahok bisa saja menjadi peradilan opini publik. Dalam
negara hukum, proses peradilan merupakan proses yang bebas dan merdeka dari semua
bentuk campur tangan kekuasaan ataupun keuangan.
Keberadaan independency of judiciary adalah salah satu persyaratan negara hukum.
Penanganan kasus Ahok memberikan alasan buat kita semua khawatir bahwa harga
mati Ahok sudah menista agama dan harus dihukum penjara akan membuat majelis
hakim mempunyai ruang yang sempit dan kehilangan kebebasan dan kemerdekaannya.
Biarkan proses hukum berjalan sesuai asas-asas hukum acara pidana yang berlaku.
Namun, hormati due process of law, hormati hak asasi manusia, dan jauhkan
intervensi dari mana pun. Apa pun hasil proses hukum nantinya semua pihak mesti
menerima dengan lapang dada meski tak menerima substansi putusan tersebut.
(Dikutip dari kompas, 2016).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang Negara Hukum diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan
sebagai berikut:
Berdasarkan pengertian dari Negara Hukum yang bertumpu pada keyakinan bahwa
kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Keadilan
merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya,
Irham, Muhammad. 2016. Prinsip – Prinsip Negara Hukum Dan Deokrasi. Maluku: Universitas
Patimura.
Ridwan, HR. 2014. Hukum Administasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 21
Siallagan, Haposan. 2016. Penerapan Prinsip Negara Hulum Di Indonesia. (Volume 18 No. 2).
Medan: Universitas HKPB Nommen