Dosen Pengampu;
Zainal,S.sos.,M.Si
Disusun Oleh;
Hisyam 22111039
Kardi 22111025
2022/2023
KATA PENGANTAR
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran sreta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah
ini dapat memberi manfaat dalam dunia pendidikan.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................4
C. Tujuan.........................................................................................................4
D. Manfaat.......................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
Enembe.................................................................................................23
A. Kesimpulan...........................................................................................25
B. Saran.....................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya
dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib
berdasarkan Pancasila dan alinea ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 24
Undang-Undang Dasar 1945 telah diamanatkan untuk mengatur mengenai
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka juga
bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera
tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada
khususnya.
Tindak pidana korupsi pada khususnya telah menimbulkan kerusakan dalam
berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga memerlukan
penanganan yang luar biasa. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan
serta perlu didukung oleh berbagai sumber daya, baik sumber daya manusia
maupun sumber daya lainnya seperti peningkatan kapasitas kelembegaan serta
peningkatan penegakan hukum guna menumbuh kesadaran dan sikap tindak
masyarakat yang anti korupsi.
Peningkatan penegakan hukum yang perlu dilakukan untuk memberantas
tindak pidana korupsi diwujudkan dengan adanya Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang- Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
dikaitkan dengan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 53 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
1
Korupsi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 dinyatakan bertentangan
dengan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Alasan bertentangan dengan Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, karena
lembaga pengadilan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman (yudikatif) bukan
sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan (eksekutif) yang mempunyai fungsi
untuk mengadili atau menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan secara mandiri dan merdeka.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10
ayat (2) yang mengatur “Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung meliputi badan peradilan dalam ligkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Pasal 15 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan
bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam satu lingkungan peradilan
umum yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri. Berdasarkan hal
tersebut perlu pengaturan mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam
satu undang-undang tersendiri.
Pengadilan tindak pidana korupsi ini merupakan pengadilan khusus yang
berada di lingkungan Peradilan Umum dan pengadilan satu-satunya yang
memiliki kewenangan mengadili perkara tindak pidana korupsi yang
penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum. Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi akan dibentuk di setiap Ibukota kabupaten/kota yang akan dilaksanakan
secara bertahap mengingat ketersediaan sarana dan prasarana. Pertama kali
berdasarkan Undang-Undang ini, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dilakukan pada setiap ibukota provinsi.
2
pidana korupsi yang dilakukan harus berdasar pada prosedur hukum yang resmi
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai hukum
formilnya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana didukung dengan hukum materiilnya, yakni
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang tersebut sangat
mendukung setiap lembaga dalam menyelesaikan perkara korupsi yang terjadi di
Indonesia.
3
penegak hukum untuk dapat menyelesaikan setiap perkara korupsi yang telah
dilimpahkan dalam waktu 120 hari. Pada kenyataannya banyak perkara korupsi
yang belum dapat terselesaikan dalam waktu 120 hari. Perkara korupsi yang
kenyataannya belum dapat terselesaikan dalam waktu 120 hari salah satunya
terjadi pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Papua.
B.Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Tindak Pidana?
6. Apa saja Kasus Korupsi yang Pernah Menjerat Gubernur Papua Lukas
Enembe?
C.Tujuan
Untuk mengetahui Apakah Putusan Bebas yang dijatuhkan di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi,dapat Dibenarkan secara hukum.
D.Manfaat
1. Secara Teoritis
2. Secara Praktis
Bermanfaat Bagi :
4
a. Bagi Hakim
b. Bagi Penulis
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Muncul beberapa istilah yaitu tindak pidana, peristiwa pidana,
perbuatan pidana dan pelanggaran pidana istilah ini yang mana dalam
bahasa latin disebut delict sedangkan dalam bahasa Belanda Stratbaarfeit.
7
telah berupaya membuat defenisi tentang tindak pidana guna dijadikan
sebagai pegangan pembelajaran dalam ilmu hukum pidana.
8
Hukum Pidana (KUHP) disebut dengan delik-delik khusus (Bijzondere
delicten-speciale delicten).
Dari pembagian Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
tersebut bahwa jenis-jenis tindak pidana menurut Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) itu terbagi atas dua(2) jenis, antara lain:
1. Kejahatan (Misdrijuen)
2. Pelanggaran (Overtredingen).
Dasar pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran
ialah berdasarkan menurut memori penjelasan (Memorie van toechlichting
atau disingkat dengan M.v.T). pembagian atas dua (2) jenis tindak pidana
tersebut didasarkan pada perbedaan asasi( prinsip), dikatakan bahwa
kejahatan adalah “delik hukum” (rechtsdelicten), sedangkan pelanggaran
adalah delik undang-undang (Wetsdelicten). Perbedaan jenis tindak 117
pidana atas kejahatan dan pelanggara menurut pandangan tersebut diatas
disebut dengan perbedaan” kualitatif”.(Wirjono Prodjodikoro, 2003:32).
9
1. Korupsi transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan
diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua
belah pihak.
2. Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan
pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat
atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.
3. Korupsi investif, yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang
merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan
dimasa mendatang;
4. Korupsi nepotistic, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan
khusus baik dalam pengagkatan kantor publik maupun pemberian
proyek-proyek bagi keluarga dekat
5. Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat
mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang
dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik
yang seharusnya dirahasiakan.
6. Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang
menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
7. Korupsi defentif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka
mempertahankan diri dari pemerasan.
10
Hal itu dapat terjadi pada sektor swasta atau sektor publik dan sering
terjadi dalam kedua sektor tersebut secara simultan. hal itu dapat jarang
atau meluas terjadinya pada sejumlah Negara yang sedang berkembang,
korupsi telah menjadi sistemik. korupsi dapat melibatkan janji, ancaman
atau keduanya; dapat dimulai oleh seorang pegawai negeri atau
masyarakat yang berkepentingan, dapat mencakup perbuatan tidak
melakukan atau melakukan; dapat melibatkan pekerjaan yang tidak sah
maupun yang sah; dapat 119 didalam atau diluar organisasi publik. untuk
itu batas - batas korupsi sangat sulit didefinisikan dan tergantung pada
hukum lokal dan adat kebiasaan. tugas pertama dari suatu analisis
kebijakan adalah untuk mengelompokkan terhadap tipe-tipe kebiasaan
korupsi dan tidak sah dalam situasi yang nyata dan melihat pada contoh-
contoh yang konkret.(Robert Klitgaard,1988:11)
11
pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan
terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun
arti harfia dari korupsi dapat berupa;
12
atau keluarga, korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan
nepotisme.
13
Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut
diuraikan sebagai berikut;
14
Dalam kamus-kamus bahasa Indonesia ataupun kamus bahasa yang
lainnya maka perbuatan korupsi dapat diartikan sebagai perbuatan bejat,
tidak bermoral, jorok, perilaku yang suka disogok dan sebagainya. Hal ini
juga tedapat di dalam New World Dictionary of the America Languange
(Soedjono Dirdjosisworo,1984:7) dimana perbuatan korupsi mengandung
arti yaitu;
15
1. Orang yang mana senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
2. Perbuatan korupsi dapat melibatkan elemen-elemen dan muncul
kewajiban dan keuntungan timbal balik.
3. Korupsi pada umunya melibatkan keserba rahasiaan.
4. Mereka yang berpraktek cara-cara korupsi yang biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik
pembenaran hukum yang ada.
5. Pihak yang terlibat korupsi adalah pihak-pihak yang sangat
menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka sendiri
yang mampu mempengaruhi keputusan tersebut.
6. Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan terhadap
kepercayaan.
7. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif
dari mereka-mereka yang melakukan tindakan-tindakan tersebut.
8. Perbuatan korupsi sangat melanggar norma-norma, tugas dan
pertanggung jawaban dalam tuntutan masyarakat.
Pria yang memiliki nama asli Lomato Enembe ini lahir di kampung
Mamit Distrik Kombu, Tolikara, Papua pada 27 Juli 1967. Ia menyelesaikan
pendidikan tingginya di FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado saat
berusia 28 tahun.
16
Lulus kuliah, ia masuk pegawai negeri. Diawali sebagai CPNS hingga
menjadi PNS di Kantor Sospol Kabupaten Merauke. Tak lama setelah itu,
Lukas memulai karier politiknya sebagai Wakil Bupati Kabupaten Puncak
Jaya mendampingi Eliezer Renmaur sejak 2001.
Lukas adalah gubernur ketiga yang dipilih secara demokratis oleh rakyat
Papua. Ia dikenal sebagai pemimpin yang pluralis dan moderat. Lukas
mampu meningkatkan hubungan antara pemimpin lain dari berbagai
kelompok dan agama.
KELUARGA
Istri : Yewuce Enembe
Anak : Astract Bona T.M. Enembe
Eldorado Gamael Enumbi
Dario Alvin Nells Isak Enembe
PENDIDIKAN
SD YPPGI Mamit (1980)
SMPN 1 Jayapura, Sentani (1983)
SMAN 3 Jayapura, Sentani (1986)
17
S1, Studi Ilmu Politik, FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado (1995)
KARIER
Aktif Organisasi Kepemudaan di Sulawesi Utara (1988–1995)
Ketua Mahasiswa Jawijapan Sulawesi Utara (1989–1992)
Pengurus SEMAH FISIP UNSRAT Manado (1990–1995)
Koordinator PPM FISIP UNSRAT Manado (1992–1994)
Ketua IMIRJA Sulawesi Utara (1992–1995)
Penggerak Kegiatan Keluarga Tani Pegunungan Tengah (1995 – 1996)
CPNS Kantor SOSPOL Kabupaten Merauke (1996-1997)
PNS Kantor SOSPOL Kabupaten Merauke (1997)
Wakil Bupati Kabupaten Puncak Jaya (2001-2005)
Bupati Kabupaten Puncak Jaya (2007-2012)
Ketua DPD Partai Demokrat Papua (2006-2011, 2012-2017, 2017-2022)
Gubernur Provinsi Papua (2013-2018, 2018-2023)
18
Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan. Hal itu menandakan selama lima tahun
ke belakang praktis peran inspektorat lemah sebagai aparat pengawas internal
pemerintah provinsi Papua sekaligus benteng awal preventif praktik korupsi.
Tidak cukup itu, sekalipun terdengar klasik namun faktor yang kerap
menjadi motif kepala daerah terjerumus praktik korupsi adalah biaya politik
tinggi. Misalnya saja, berdasarkan temuan Kementerian Dalam Negeri beberapa
tahun lalu, anggaran yang harus disediakan calon kepala daerah bisa puluhan
miliar rupiah, bahkan untuk level gubernur mencapai ratusan miliar rupiah. Jika
dilihat pendapatan setiap bulan, mustahil pimpinan daerah tersebut dapat
mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat masa kampanye. Pada titik
ini kemudian praktik korupsi merajalela dan berhasil menyeret ratusan kepala
daerah ke proses hukum.
Dugaan praktik korupsi yang dilakukan oleh Lukas juga menjadi pemantik
untuk mendesain ulang rekrutmen partai politik. Selama ini rekrutmen yang
dilakukan partai politik tidak transparan dan akuntabel, serta hanya berorientasi
pada kekuasaan. Biaya yang mahal juga menjadi persoalan serius dalam proses
rekrutmen politik. Tak jarang kader partai politik harus mengeluarkan biaya
hingga miliaran untuk mendapat rekomendasi dalam pemilu. Mereka yang telah
melewati proses transaksi haram tersebut pada akhirnya tidak lagi memikirkan
kepentingan publik saat menjabat, melainkan berfokus pada cara-cara agar bisa
mengembalikan modal fantastis yang telah digelontorkan di awal. Proses yang
demikianlah yang kemudian menjadi akar dari praktik korupsi. Rekrutmen
politik semestinya sejak awal menitikberatkan pada kapabilitas, serta nilai-nilai
integritas dan antikorupsi. Proses rekrutmen yang transparan dan akuntabel sejak
awal penting untuk mendukung fungsi partai politik berjalan dengan baik.
19
Sebagaimana dipahami berdasarkan Pasal 112 KUHAP, seseorang yang
dipanggil sebagai saksi maupun tersangka memiliki kewajiban hukum untuk
menghadirinya. Jadi, jika Lukas terus menerus mangkir, sudah selayaknya KPK
segera melakukan upaya hukum berupa penjemputan paksa. Hal ini pun sejalan
dengan Pasal 50 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka berhak
mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada
penuntut umum.
Opsi lain yang juga mungkin dilakukan oleh KPK adalah menangkap dan
menahan Lukas. Pasal 17 KUHAP mensyaratkan dua hal kepada aparat penegak
hukum yang ingin melakukan penangkapan, yakni, perkara sudah naik ke tahap
penyidikan dan status orang tersebut sebagai tersangka. Bahkan, jika kemudian
Lukas ditangkap, KPK pun dapat langsung melakukan penahanan seperti diatur
dalam Pasal 21 KUHAP dengan alasan-alasan tertentu, misalnya, kekhawatiran
tersangka akan melarikan diri. Dengan itu diyakini proses hukum terhadap
Lukas dapat berjalan lancar dan siap untuk segera disidangkan di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.
Dalam hal kondisi kesehatan Lukas terbukti benar sedang sakit, itupun tidak
bisa menghentikan langkah KPK menyidik perkara tersebut. Sebab, berdasarkan
peraturan perundang-undangan, KPK diperkenankan menerapkan pembantaran
20
terhadap Lukas hingga yang bersangkutan dianggap layak diperhadapkan
dengan proses hukum. Sama seperti situasi di atas, pembantaran juga pernah
dilakukan KPK saat menangani perkara yang melibatkan mantan Ketua Umum
PPP, Romahurmuziy.
Dalam konstruksi dugaan pencucian uang yang dilakukan oleh Lukas, ada
fenomena menarik, yakni penggunaan nominee dan pengakuan dari
Menkopolhukam berkaitan staf Gubernur Papua yang bertugas menjadi manajer
pencucian uang. Selain itu, keterangan tersebut turut menyebutkan penggunaan
sarana perjudian sebagai modus pencucian uang. Sebagaimana diketahui,
PPATK menemukan transaksi perjudian dengan bentuk setoran melalui
beberapa pihak lain (nominee) dengan nominal dari satu hingga ratusan miliar.
Secara konseptual, nominee kerap digunakan sebagai alat untuk memfasilitasi
korupsi maupun illicit enrichment dengan mengaburkan keterkaitan langsung
pelaku dengan tindakan bersangkutan. Di Indonesia, penggunaan nominee dalam
konteks memuluskan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang
bukanlah isu baru. Meskipun dalam konteks berbeda, dalam kasus korupsi
Jiwasraya misalnya, Direktur PT Himalaya Energi Perkasa yang divonis 20
tahun penjara dan denda satu miliar subsider 2 bulan kurungan oleh Pengadilan
21
Tipikor Jakarta terbukti telah mendirikan sejumlah perusahaan nominee dan
membuat beberapa nominee perseorangan untuk melancarkan kejahatannya.
Keempat, narasi yang dibangun oleh KPK terkait dengan kelanjutan proses
hukum Lukas terlalu berlebihan. Betapa tidak, Alexander sampai mengutarakan
mengenai penghentian penyidikan kepada pihak Lukas agar kemudian Gubernur
Papua itu bisa menghadiri panggilan KPK. Ini menimbulkan kesan diskriminasi
terhadap pihak-pihak lain yang sedang diproses hukum oleh lembaga antirasuah
itu. Mestinya ada pesan tegas, bukan malah seperti memohon kepada terduga
pelaku agar kooperatif.
22
2. KPK bersikap tegas terhadap permasalahan hukum Lukas Enembe,
misalnya, mengambil tindakan berupa penjemputan paksa dan
menjerat pihak-pihak yang menghalang-halangi proses penyidikan;
3. Partai Demokrat mendukung sepenuhnya langkah KPK dalam
upaya pemberantasan korupsi, khususnya menyangkut penyidikan
terhadap Lukas Enembe;
Lukas menjabat sebagai Gubernur Papua selama dua periode, yakni pada
2013-2018 dan 2018-2023. Selama menjabat, Lukas beberapa kali terseret dalam
sejumlah kasus. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut sederet kasus yang
pernah menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe:
23
kandidat bupati dan wakil bupati pada pemungutan suara ulang Pilkada 2017
di Kabupaten Tolikara, Papua.
24
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin banyak terjadi dan memberikan
dampak bagi rakyat. Rakyat harus menanggung akibat dari tindak pidana korupsi.
Pemiskinan koruptor dianggap sebagai terobosan baru dalam menindak kasus
tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan koruptor dapat dijalankan dengan
perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan penggantian kerugian yang
ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan koruptor ini dinilai
mampu memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk mengurangi tindak pidana
korupsi.
Para penegak hukum yang dalam penelitian ini yaitu jaksa dan hakim tidak
menjalankan sanksi pidana pemiskinan koruptor dalam memberantas tindak
pidana korupsi. Jaksa dalam menjatuhkan tuntutan pidana berpegang teguh pada
undang-undang begitu juga dengan hakim tipikor dalam menjatuhkan vonis
berpegang teguh pada undang-undang. Pelaksanaan sanksi pidana pemiskinan
koruptor hanya dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang
besarnya disesuaikan dengan kerugian keuangan negara. Hal tersebut tidak dapat
dikatakan memiskinkan koruptor karena hanya aset yang berasal dari tindak
pidana korupsi saja yang dirampas dan belum tentu si koruptor akan menjadi
miskin. Pemiskinan koruptor dilakukan dengan 69 perampasan seluruh benda-
benda yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau dengan
pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sesuai dengan kerugian keuangan
negara yang diambil dan yang timbul dari tindak pidana korupsi. Pemiskinan
25
koruptor belum menjadi suatu terobosan hukum bagi penegak hukum di Indonesia
dalam memberantas tindak pidana korupsi.
B.Saran
Saran yang dapat penulis sumbangkan, yaitu:
1.Perlu adanya rekonseptualisasi mengenai konsep pemiskinan koruptor.
Rekonseptualisasi dengan memberikan arahan yang jelas bagi penegak
hukum mengenai konsep pemiskinan koruptor, sehingga pelaksanaan
pemiskinan koruptor dapat dijalankan sebagai suatu terobosan hukum yang
memberikan efek jera dalam tindak pidana korupsi.
2.Perlu adanya suatu gerakan yang mendorong pelaksanaan pemiskinan
koruptor. Contohnya seperti pendidikan, pemahaman, penjelasan, integritas
dari para penegak hukum agar para penegak hukum di Indonesia
melaksanakan sanksi pidana pemiskinan koruptor dalam upaya pembera
ntasan tindak pidana korupsi.
26
DAFTAR PUSTAKA
https://nasional.tempo.co/read/1653302/fakta-fakta-kasus-korupsi-gubernur-
papua-lukas-enembe
https://nasional.tempo.co/read/1634380/sederet-kasus-korupsi-yang-pernah-
menjerat-gubernur-papua-lukas-enembe
https://ombudsman.go.id/perwakilan/news/r/pwkinternal--menjaga-stabilitas-
pelayanan-publik-akibat-penetapan-tersangka-kasus-korupsi-kepala-
daerah-di-papua
https://nasional.tempo.co/read/1644443/mahasiswa-papua-dukung-kpk-usut-
korupsi-lukas-enembe
27