Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

TINDAK PIDANA KORUPSI GUBERNUR PAPUA

Dosen Pengampu;

Zainal,S.sos.,M.Si

Disusun Oleh;

Nugrah Bakri 22111041

Muh Alif Chaerullah 22111034

Rina Ramadani 22111020

Sri Syahrini 22111051

Hisyam 22111039

Kardi 22111025

Nurul Syafira 22111014

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI(STIA) PUANGRIMAGGAL


ATUNG BONE

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah STW


atas segala limpahan Rahmat,taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
Pendidikan Anti Korupsi, dengan judul; “TINDAK PIDANA KORUPSI
DIPAPUA”.

Tak lupa kami ucapkan Terima Kasih kepada Dr,Zainal,S.Sos.,M.Si selaku


dosen pengampu Pendidikan Anti Korupsi Yang membimbing kami sehingga
kami bisa menyusun makalah ini dengan baik.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran sreta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah
ini dapat memberi manfaat dalam dunia pendidikan.

Watampone, Rabu 09 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.......................................................................................4
C. Tujuan.........................................................................................................4
D. Manfaat.......................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak Pidana........................................................................6

B. Jenis-jenis Dan Ruang Lingkup Tindak Pidana.............................................7

C. Ruang lingkup Korupsi..............................................................................9

D. Biografi Lukas Enembe.............................................................................16

E. Tudingan Kasus Korupsi Lukas Enembe................................................18

F. Sederet Kasus Korupsi yang Pernah Menjerat Gubernur Papua Lukas

Enembe.................................................................................................23

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................................25
B. Saran.....................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya
dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib
berdasarkan Pancasila dan alinea ke-4 Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 24
Undang-Undang Dasar 1945 telah diamanatkan untuk mengatur mengenai
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka juga
bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera
tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada
khususnya.
Tindak pidana korupsi pada khususnya telah menimbulkan kerusakan dalam
berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga memerlukan
penanganan yang luar biasa. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan
serta perlu didukung oleh berbagai sumber daya, baik sumber daya manusia
maupun sumber daya lainnya seperti peningkatan kapasitas kelembegaan serta
peningkatan penegakan hukum guna menumbuh kesadaran dan sikap tindak
masyarakat yang anti korupsi.
Peningkatan penegakan hukum yang perlu dilakukan untuk memberantas
tindak pidana korupsi diwujudkan dengan adanya Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang- Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
dikaitkan dengan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 53 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

1
Korupsi, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :
012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 dinyatakan bertentangan
dengan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Alasan bertentangan dengan Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, karena
lembaga pengadilan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman (yudikatif) bukan
sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan (eksekutif) yang mempunyai fungsi
untuk mengadili atau menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan secara mandiri dan merdeka.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasarnya sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 10
ayat (2) yang mengatur “Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung meliputi badan peradilan dalam ligkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Pasal 15 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan
bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam satu lingkungan peradilan
umum yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri. Berdasarkan hal
tersebut perlu pengaturan mengenai Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam
satu undang-undang tersendiri.
Pengadilan tindak pidana korupsi ini merupakan pengadilan khusus yang
berada di lingkungan Peradilan Umum dan pengadilan satu-satunya yang
memiliki kewenangan mengadili perkara tindak pidana korupsi yang
penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum. Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi akan dibentuk di setiap Ibukota kabupaten/kota yang akan dilaksanakan
secara bertahap mengingat ketersediaan sarana dan prasarana. Pertama kali
berdasarkan Undang-Undang ini, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dilakukan pada setiap ibukota provinsi.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Undang-Undang


Nomor 46 Tahun 2009 bertujuan sebagai sarana pendukung lembaga-lembaga,
seperti Komisi Pemeberantasan Kosupsi (KPK), Kepolisian, Kejaksaan, dan
Kehakiman dalam memberantas tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak

2
pidana korupsi yang dilakukan harus berdasar pada prosedur hukum yang resmi
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai hukum
formilnya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana didukung dengan hukum materiilnya, yakni
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang tersebut sangat
mendukung setiap lembaga dalam menyelesaikan perkara korupsi yang terjadi di
Indonesia.

Penyelesaian perkara tindak pidana korupsi seringkali mengalami berbagai


macam hambatan-hambatan dalam proses sidang pengadilan. Banyak hambatan-
hambatan yang timbul dalam penyelesaian perkara korupsi yang seringkali
membuat proses persidangan menjadi tertunda dalam jangka waktu yang lama.
Hambatan yang terjadi seringkali mengakibatkan lewatnya batas waktu
penyelesaian perkara korupsi yang ditentukan dalam Pasal 29 Undang- Undang
Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi berisi “Perkara tindak pidana korupsi diperiksa, diadili, dan
diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat pertama dalam waktu
paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perkara
dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”. Maksud dalam Pasal 29
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi ini adalah mengharuskan penyelesaian setiap perkara korupsi yang
ditangani pada tingkat pertama dalam waktu paling lama 120 hari sejak perkara
korupsi dilimpahkan pada sebuah pengadilan yang berwenang dengan adanya
putusan yang dijatuhi hakim kepada terdakwa.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 46 Tahun
2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, berlaku dan mengikat bagi
semua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan bagi setiap aparat

3
penegak hukum untuk dapat menyelesaikan setiap perkara korupsi yang telah
dilimpahkan dalam waktu 120 hari. Pada kenyataannya banyak perkara korupsi
yang belum dapat terselesaikan dalam waktu 120 hari. Perkara korupsi yang
kenyataannya belum dapat terselesaikan dalam waktu 120 hari salah satunya
terjadi pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Papua.

B.Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Tindak Pidana?

2. Apa saja Jenis-jenis Dan Ruang Lingkup Tindak Pidana?

3. Apa saja ruang lingkup Korupsi ?

4. Bagaimana Biografi Lukas Enembe?

5. Mengapa terjadi Tudingan Kasus Korupsi Lukas Enembe

6. Apa saja Kasus Korupsi yang Pernah Menjerat Gubernur Papua Lukas

Enembe?

C.Tujuan
Untuk mengetahui Apakah Putusan Bebas yang dijatuhkan di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi,dapat Dibenarkan secara hukum.

D.Manfaat
1. Secara Teoritis

Bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan


secara Khusus bermanfaat bagi ilmu hukum pidana khususnya dalam
tindak Pidana korupsi, serta hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
evaluasi Dan diharapkan dapat bermanfaat bagi pendidikan di bidang ilmu
hukum.

2. Secara Praktis

Bermanfaat Bagi :

4
a. Bagi Hakim

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan saran dan


masukan Untuk dapat dijadikan bahan referensi agar dapat
memaksimalkan Dalam melakukan Analisis Terhadap Putusan Bebas
Dalam Tindak Pidana Korupsi, agar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan Yang berlaku.

b. Bagi Penulis

Manfaat penelitian ini bagi penulis adalah untuk menambah


wawasan Dan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya
dalam Mengetahui perkembangan terhadap Putusan Bebas Dalam
Tindak Pidana Korupsi.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak pidana.


Moeljatno (2000:56), Berdasarkan kajian etimologis tindak pidana
berasal dari kata “ straafbaar feit” dimana arti kata ini menurut simon
adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat
melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan
oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Hal tersebut menurut Muladi (2002:61) merupakan gangguan


terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan
masyarakat yang mengakibatkan gangguan individual ataupun masyarakat.
Tindakan korupsi telah lama dianggap sebagai suatu tindakan yang sangat
merugikan perekonomian suatu Negara. Istilah korupsi berasal dari bahasa
latin, corruptio atau corruptus yang berasal dari kata corrumpere (Webster
Studen Dictionary : 1960) Arti harafiah tersebut adalah
kebusukan,keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak
bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah (The Lexicon Webster Dictionary 1978)

Tindak Pidana adalah merupakan suatu perbuatan yang dapat


dijatuhkan sanksi pidana. Sanksi tersebut oleh banyak kalangan disebut
dengan istilah tindak pidana. Terdapat macam-macam jenis perbuatan
yang dapat dijatuhkan sanksi pidana. Sebelum lebih jauh dikemukakan
pengertian tindak pidana korupsi maka terlebih dahulu dikemukakan
pengertian dari pada tindak pidana.

6
Muncul beberapa istilah yaitu tindak pidana, peristiwa pidana,
perbuatan pidana dan pelanggaran pidana istilah ini yang mana dalam
bahasa latin disebut delict sedangkan dalam bahasa Belanda Stratbaarfeit.

Istilah Tindak Pidana juga sering digunakan dalam aturan hukum


perundang-undangan (Moeljatno,2008:60), meskipun kata “tindak” lebih
pendek daripada “perbuatan” tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal
yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkret,
sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak
adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang,
hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, tindakan dan bertindak dan
belakanagan juga sering dipakai “ditindak”.

Menurut Moeljatno (1980 : 37) menolak istilah peristiwa pidana


yang sebagaimana pernyataannya bahwa; kurang tepat jika pengertian
yang abstrak itu digunakan istilah peristiwa pidana sebagai mana halnya
dalam Pasal 14 ayat (1) UndangUndang Dasar sementara dahulu yang
memakai istilah peristiwa pidana. Sebab peristiwa tersebut merupakan
pengertian yang bersifat konkrit, yang menunjuk pada suatu kejadian yang
tertentu saja. Misalnya, matinya orang. Peristiwa inilah yang tidak
mungkin dilarang. Hukum pidana tidak melarang adanya kematian atau
orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang
lain. Jika matinya orang tersebut karena keadaan alam, karena sakit,
karena usia tua, maka peristiwa tersebut tidaklah penting sama sekali bagi
hukum pidana.

Oleh karena dengan adanya peraturan PerundangUndangan yang


berlaku di Indonesia dewasa ini menggunakan istilah tindak pidana
lingkupan hidup dan sebagainya dan pada masa yang akan datang muncul
kecenderungan tehadap istilah tindak pidana akan digunakan secara
baku.namun demikian pada dasarnya didalam praktek para ahli hukum

7
telah berupaya membuat defenisi tentang tindak pidana guna dijadikan
sebagai pegangan pembelajaran dalam ilmu hukum pidana.

B. Jenis-Jenis Tindak Pidana.


Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah
mengklasifikasikan tidak pidana atau delik kedalam 2 (dua) kelompok
besar yaitu pada Buku II menyebutkan tentang Kejahatan dan pada Buku
III menyebutkan tentang pelanggaran.
Ada beberapa pendapat yang mencoba menemukan adanya
perbedaan yang bersifat kualitatif. Dengan ukuran atau standar ini, dapat
ditemukan dua(2) jenis delik, yaitu :
1. Rechtdelicten, yaitu perbuatan yang tentu bertentangan dengan
keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam
suatu Undang-undang atau tidak. Jadi yang benar-benar dirasakan
masyarakat sangat bertentangan dengankeadilan misalnya,
pembunuhan. dan delik ini disebut sebagai kejahatan.
2. Wetsdelicten, yaitun perbuatan yang oleh umum baru disadari
sebagai tindak pidana karena Undang-undang menyebutnya
sebagai delik. Jadi karena ada undangundang, maka
mengancamnya dengan ancaman pidana. misalnya, memarkir
mobil di sebelah kanan jalan. Hal ini dianggap sebagi suatu
pelanggaran.
Pendapat kedua menyatakan bahwa, antara kedua jenis delik
tersebut, tentu terdapat perbedaan yang bersifat kuantitaf. Artinya bahwa,
pendirian ini hanya 116 meletakan kriterium pada perbedaan yang dilihat
dari sisi kriminologi, dimana pelanggaran lebih ringan dari pada kejahatan.
(Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi,2011: 50-51).
Menurut ilmu hukum pidana, dalam Buku I kitab Undang-undang
Hukum Pidana ( KUHP) disebut dengan ajaran-ajaran umum ( Aglemene
leerstuclren ), sedangkan yang diatur dalam buku II Kitab Undang-undang

8
Hukum Pidana (KUHP) disebut dengan delik-delik khusus (Bijzondere
delicten-speciale delicten).
Dari pembagian Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
tersebut bahwa jenis-jenis tindak pidana menurut Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) itu terbagi atas dua(2) jenis, antara lain:
1. Kejahatan (Misdrijuen)
2. Pelanggaran (Overtredingen).
Dasar pembagian tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran
ialah berdasarkan menurut memori penjelasan (Memorie van toechlichting
atau disingkat dengan M.v.T). pembagian atas dua (2) jenis tindak pidana
tersebut didasarkan pada perbedaan asasi( prinsip), dikatakan bahwa
kejahatan adalah “delik hukum” (rechtsdelicten), sedangkan pelanggaran
adalah delik undang-undang (Wetsdelicten). Perbedaan jenis tindak 117
pidana atas kejahatan dan pelanggara menurut pandangan tersebut diatas
disebut dengan perbedaan” kualitatif”.(Wirjono Prodjodikoro, 2003:32).

C. Ruang Lingkup Korupsi


Menurut asal katanya, korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio”,
“corruption” (inggris) dan “corruptive” (belanda), arti harfiahnya
menunjukkan pada suatu perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur yang
dikaitkan dengan keuangan Dalam Black’s Law Dictionary, korupsi adalah
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah
menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan
kewajibannya dan hak-hak dari pihak-pihak lain.(Sudarto,1976:1)

Syeid Hussein Alatastas (tanpa tahun:22), mengembangkan 7 (tujuh)


tipologi korupsi sebagai berikut:

9
1. Korupsi transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan
diantara seorang donor dengan resipien untuk keuntungan kedua
belah pihak.
2. Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan
pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat
atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.
3. Korupsi investif, yaitu korupsi yang berawal dari tawaran yang
merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan
dimasa mendatang;
4. Korupsi nepotistic, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan
khusus baik dalam pengagkatan kantor publik maupun pemberian
proyek-proyek bagi keluarga dekat
5. Korupsi otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang pejabat
mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang
dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik
yang seharusnya dirahasiakan.
6. Korupsi supportif, yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang
menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
7. Korupsi defentif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka
mempertahankan diri dari pemerasan.

Korupsi ada apabila seseorang secara tidak sah meletakkan


kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat dan sesuatu yang
dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan. korupsi muncul dalam
berbagai bentuk dan dapat bervariasi dari yang kecil sampai monumental.
korupsi dapat melibatkan penyalahgunaan perangkat kebijaksanaan,
ketentuan tariff dan perkreditan, kebijakan sistem irigasi dan perumahan,
penegakan hukum dan peraturan berkaitan dengan keselamatan umum,
pelaksanaan kontrak dan perluasan pinjaman atau melibatkan prosedur
yang sederhana.

10
Hal itu dapat terjadi pada sektor swasta atau sektor publik dan sering
terjadi dalam kedua sektor tersebut secara simultan. hal itu dapat jarang
atau meluas terjadinya pada sejumlah Negara yang sedang berkembang,
korupsi telah menjadi sistemik. korupsi dapat melibatkan janji, ancaman
atau keduanya; dapat dimulai oleh seorang pegawai negeri atau
masyarakat yang berkepentingan, dapat mencakup perbuatan tidak
melakukan atau melakukan; dapat melibatkan pekerjaan yang tidak sah
maupun yang sah; dapat 119 didalam atau diluar organisasi publik. untuk
itu batas - batas korupsi sangat sulit didefinisikan dan tergantung pada
hukum lokal dan adat kebiasaan. tugas pertama dari suatu analisis
kebijakan adalah untuk mengelompokkan terhadap tipe-tipe kebiasaan
korupsi dan tidak sah dalam situasi yang nyata dan melihat pada contoh-
contoh yang konkret.(Robert Klitgaard,1988:11)

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo


Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dinyatakan korporasi adalah kumpulan orang dan atau
kekayaan yang terorganisir baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum. dalam Undang-undang ini pula diatur mengenai perbuatan
yang termasuk tindak pidana korupsi adalah:

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan


memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
2. Setiap orang dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara.

Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin:


corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para

11
pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan
terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun
arti harfia dari korupsi dapat berupa;

1. Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan


ketidakjujuran.
2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok
dan sebagainya.
3. Korup ( busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai
kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
4. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan sebagainya)
5. Koruptor (orang yang korupsi).

Kata Korupsi dalam bahasa latin disebut sebagai Corruptio


corruptus, dalam bahasa belanda disebut corruption, dalam bahasa inggris
disebut corruption. Dalam bahasa sangsakerta didalam naskah kuno
Negara Kertagama disebut corrupt arti harafiahnya menunjukan kepada
perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkut pautkan
dengan keuangan.( Sudarto, 1996 : 115)

Korupsi Menurut Henry Campbell Black (1990:18) dalam Black’s


Law Dictionary adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban
resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan
jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk
dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibanya dan
hak-hak dari pihak lain.

Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai “perilaku


tidak mematuhi prinsip”, dilakukan oleh perorangan disektor swasta atau
pejabat publik, dan keputusan dibuat 121 berdasarkan hubungan pribadi

12
atau keluarga, korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan
nepotisme.

David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai


bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan
dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang
kepentingan umum. (Evi Hartanti, 2005 : 9).

Terlepas dari berbagai ragam pengertian korupsi diatas, secara


yuridis, pengertian korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan
didalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi dan
Undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.

Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas


kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga
perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan
masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu, rumusannya dapat
dikelompokan sebagai berikut;

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau


perekonomian negara.
2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun
yang pasif (yang disuap).

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 merumuskan pengertian


keuangan negara sebagai berikut;

“ Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang


dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban negara tersebut. (Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 ).”

13
Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut
diuraikan sebagai berikut;

1. Hak negara untuk memungut pajak, megeluarkan dan mengedarkan


uang, dan melakukan pinjaman.
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum
pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga.
3. Penerimaan Negara.
4. Pengeluaran Negara
5. Penerimaan Daerah.
6. Pengeluaran Daerah.
7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-
hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan negara atau daerah.
8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
yang diberikan pemerintah.

Menurut Andi Hamzah (1985:9) bahwa dari bahasa Belanda inilah


kita terjemahkan ke bahasa Indonesia yaitu Korupsi. Bangsa Indonesia
menggunakan istilah korupsi dimana tidak lain hanya sebagai dari
pengaruh penjajahan kolonial Belanda di Indonesia. Untuk diketahui
bersama bahwa, istilah korupsi banyak sekali pula digunakan istilah-istilah
yang disesuaikan dengan bahasa masing-masing pada setiap negara, hal
tersebut yang dikemukakan oleh Sahetapy (Soedjono 123
Dirdjosisworo,1984:17). Banyak terdapat istilah-istilah yang ada pada
beberapa negara seperti Muangthai, Gin Mong berarti makan. Bangsa
Tanwu istilah bahasa China yang berarti keserakahan bernada. Bangsa
Jepang menamakan Oshoku yang berarti kerja kotor.

14
Dalam kamus-kamus bahasa Indonesia ataupun kamus bahasa yang
lainnya maka perbuatan korupsi dapat diartikan sebagai perbuatan bejat,
tidak bermoral, jorok, perilaku yang suka disogok dan sebagainya. Hal ini
juga tedapat di dalam New World Dictionary of the America Languange
(Soedjono Dirdjosisworo,1984:7) dimana perbuatan korupsi mengandung
arti yaitu;

1. Suatu perbuatan atau kenyataan yang mana menimbulkan keadaan


yang bersifat buruk.
2. Perilaku yang jahat, tercela dan atau kejahatan moral.
3. Bentuk-bentuk ketidakjujuran, penyuapan, kebusukan atau tengik.
4. Hal atau sesuatu yang korup, seperti kata yang dirubah atau diganti
secara tidak tepat dalam suatu kalimat.
5. Pengaruh yang menjurus ke hal yang korup.

Seorang Sosiolog (S.Husein Alatas,1981:11) menyebutkan korup


sebagai berikut ; Fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi memiliki
model atau tipe yaitu;

1. Seseorang dapat menyebut korup apabila seorang pegawai negeri


menerima hadiah atau pemberian yang disodorkan oleh seorang
pengusaha swasta dengan maksud mempengaruhi agar memberikan
suatu perhatian atau perlakuan yang istimewa kepada kepentingan
si pemberi.
2. Pemerasan, yakni suatu permintaaan pemberian atau hadiah. Hal
seperti ini terdapat dalam pelaksanaan tugastugas publik.
3. Pengangkatan kepada sanak saudara, teman-teman atau rekan-
rekan politik yang pada jabatan-jabatan publik tanpa memandang
jasa mereka maupun berharap konsekuensinya pada kesejahteraan
publik kita menyebut hal ini dengan tindakan nepotisme.

Adapun ciri-ciri dari perbuatan korupsi oleh Alatas (1981 : 13-14)


yang mana dapat diuraikan sebagai berikut;

15
1. Orang yang mana senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
2. Perbuatan korupsi dapat melibatkan elemen-elemen dan muncul
kewajiban dan keuntungan timbal balik.
3. Korupsi pada umunya melibatkan keserba rahasiaan.
4. Mereka yang berpraktek cara-cara korupsi yang biasanya berusaha
untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik
pembenaran hukum yang ada.
5. Pihak yang terlibat korupsi adalah pihak-pihak yang sangat
menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka sendiri
yang mampu mempengaruhi keputusan tersebut.
6. Setiap bentuk korupsi adalah suatu penghianatan terhadap
kepercayaan.
7. Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif
dari mereka-mereka yang melakukan tindakan-tindakan tersebut.
8. Perbuatan korupsi sangat melanggar norma-norma, tugas dan
pertanggung jawaban dalam tuntutan masyarakat.

Ciri tersebut yang telah dikemukakan Alatas diatas, berdasarkan


pengamatan yang dilakukannya. Pandanganpandangan yang telah
dikemukakan ada benarnya karena dalam perkara-perkara tindak pidana
korupsi jarang sekali kita temukan pelakunya hanya satu orang, tetapi
sering melibatkan lebih dari satu orang. Untuk itulah tindak pidana korupsi
sering disebut dengan Crime Organizer oleh karena perbuatan tersebut 125
dilakukan secara teratur dan terorganisir serta telah direncanakan.

D.Biografi Lukas Enembe

Pria yang memiliki nama asli Lomato Enembe ini lahir di kampung
Mamit Distrik Kombu, Tolikara, Papua pada 27 Juli 1967. Ia menyelesaikan
pendidikan tingginya di FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado saat
berusia 28 tahun.

16
Lulus kuliah, ia masuk pegawai negeri. Diawali sebagai CPNS hingga
menjadi PNS di Kantor Sospol Kabupaten Merauke. Tak lama setelah itu,
Lukas memulai karier politiknya sebagai Wakil Bupati Kabupaten Puncak
Jaya mendampingi Eliezer Renmaur sejak 2001.

Suami dari Yewuce Enembe ini kemudian terpilih sebagai Bupati


Kabupaten Puncak Jaya saat berusia 40 tahun. Lalu, pada 2013 ia mengemban
jabatan yang jauh lebih besar yakni sebagai Gubernur Papua dengan wakilnya
Klemen Tinal untuk periode 2013-2018. Dalam karier politiknya, ia
bergabung dengan Partai Demokrat.

Lukas adalah gubernur ketiga yang dipilih secara demokratis oleh rakyat
Papua. Ia dikenal sebagai pemimpin yang pluralis dan moderat. Lukas
mampu meningkatkan hubungan antara pemimpin lain dari berbagai
kelompok dan agama.

Setelah menjabat selama 5 tahun, ayah 3 anak ini kembali terpilih


bersama Klemen Tinal sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Papua untuk
periode 2018-2023. Mereka menang telak dengan meraih 1.939.539 suara
atau 67,54 persen suara. (AC/DN)) (Photo/Antara)

KELUARGA
Istri                  :  Yewuce Enembe
Anak                :  Astract Bona T.M. Enembe
                            Eldorado Gamael Enumbi
                            Dario Alvin Nells Isak Enembe

PENDIDIKAN
SD YPPGI Mamit (1980)
SMPN 1 Jayapura, Sentani (1983)
SMAN 3 Jayapura, Sentani (1986)

17
S1, Studi Ilmu Politik, FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado (1995)

KARIER
Aktif Organisasi Kepemudaan di Sulawesi Utara (1988–1995)
Ketua Mahasiswa Jawijapan Sulawesi Utara (1989–1992)
Pengurus SEMAH FISIP UNSRAT Manado (1990–1995)
Koordinator PPM FISIP UNSRAT Manado (1992–1994)
Ketua IMIRJA Sulawesi Utara    (1992–1995)
Penggerak Kegiatan Keluarga Tani Pegunungan Tengah (1995 – 1996)
CPNS Kantor SOSPOL Kabupaten Merauke (1996-1997)
PNS Kantor SOSPOL Kabupaten Merauke (1997)
Wakil Bupati Kabupaten Puncak Jaya (2001-2005)
Bupati Kabupaten Puncak Jaya (2007-2012)
Ketua DPD Partai Demokrat Papua (2006-2011, 2012-2017, 2017-2022)
Gubernur Provinsi Papua (2013-2018, 2018-2023)

E.Tudingan Kasus Korupsi Lukas Enembe

Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak kurang sudah


176 kepala daerah tersandung permasalahan hukum. Terakhir dan saat ini sedang
ramai dibincangkan masyarakat adalah Gubernur Papua, Lukas Enembe.
Bagaimana tidak, di balik dugaan gratifikasi Rp 1 miliar yang disangka KPK
ternyata turut ditemukan adanya aliran dana tak wajar yang mencapai setengah
triliun rupiah. Jika kemudian tudingan dan temuan KPK terbukti, maka Lukas
bisa dianggap kepala daerah paling korup sepanjang sejarah.

Merujuk pada pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan


Keamanan, Mahfud MD, Lukas disinyalir melakukan penyelewengan anggaran
operasional pimpinan dan pengelolaan Pekan Olahraga Nasional. Dalam konteks
ini menjadi menarik jika dibenturkan dengan isu efektivitas pengawasan oleh
inspektorat daerah. Sebab, aliran dana tak wajar Lukas bukan baru-baru ini
terdeteksi, melainkan sejak tahun 2017 sebagaimana disampaikan Ketua Pusat

18
Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan. Hal itu menandakan selama lima tahun
ke belakang praktis peran inspektorat lemah sebagai aparat pengawas internal
pemerintah provinsi Papua sekaligus benteng awal preventif praktik korupsi.

Tidak cukup itu, sekalipun terdengar klasik namun faktor yang kerap
menjadi motif kepala daerah terjerumus praktik korupsi adalah biaya politik
tinggi. Misalnya saja, berdasarkan temuan Kementerian Dalam Negeri beberapa
tahun lalu, anggaran yang harus disediakan calon kepala daerah bisa puluhan
miliar rupiah, bahkan untuk level gubernur mencapai ratusan miliar rupiah. Jika
dilihat pendapatan setiap bulan, mustahil pimpinan daerah tersebut dapat
mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat masa kampanye. Pada titik
ini kemudian praktik korupsi merajalela dan berhasil menyeret ratusan kepala
daerah ke proses hukum.

Dugaan praktik korupsi yang dilakukan oleh Lukas juga menjadi pemantik
untuk mendesain ulang rekrutmen partai politik. Selama ini rekrutmen yang
dilakukan partai politik tidak transparan dan akuntabel, serta hanya berorientasi
pada kekuasaan. Biaya yang mahal juga menjadi persoalan serius dalam proses
rekrutmen politik. Tak jarang kader partai politik harus mengeluarkan biaya
hingga miliaran untuk mendapat rekomendasi dalam pemilu. Mereka yang telah
melewati proses transaksi haram tersebut pada akhirnya tidak lagi memikirkan
kepentingan publik saat menjabat, melainkan berfokus pada cara-cara agar bisa
mengembalikan modal fantastis yang telah digelontorkan di awal. Proses yang
demikianlah yang kemudian menjadi akar dari praktik korupsi. Rekrutmen
politik semestinya sejak awal menitikberatkan pada kapabilitas, serta nilai-nilai
integritas dan antikorupsi. Proses rekrutmen yang transparan dan akuntabel sejak
awal penting untuk mendukung fungsi partai politik berjalan dengan baik.

Menyangkut perkembangan penanganan perkaranya sendiri, Indonesia


Corruption Watch (ICW) memiliki catatan khusus. Pertama, sebagai warga
negara, terlebih menduduki jabatan sebagai kepala daerah, Lukas semestinya
memberikan contoh baik kepada masyarakat dengan memenuhi panggilan KPK.

19
Sebagaimana dipahami berdasarkan Pasal 112 KUHAP, seseorang yang
dipanggil sebagai saksi maupun tersangka memiliki kewajiban hukum untuk
menghadirinya. Jadi, jika Lukas terus menerus mangkir, sudah selayaknya KPK
segera melakukan upaya hukum berupa penjemputan paksa. Hal ini pun sejalan
dengan Pasal 50 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka berhak
mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada
penuntut umum.

Opsi lain yang juga mungkin dilakukan oleh KPK adalah menangkap dan
menahan Lukas. Pasal 17 KUHAP mensyaratkan dua hal kepada aparat penegak
hukum yang ingin melakukan penangkapan, yakni, perkara sudah naik ke tahap
penyidikan dan status orang tersebut sebagai tersangka. Bahkan, jika kemudian
Lukas ditangkap, KPK pun dapat langsung melakukan penahanan seperti diatur
dalam Pasal 21 KUHAP dengan alasan-alasan tertentu, misalnya, kekhawatiran
tersangka akan melarikan diri. Dengan itu diyakini proses hukum terhadap
Lukas dapat berjalan lancar dan siap untuk segera disidangkan di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi.

Melansir sejumlah pemberitaan disebutkan bahwa Lukas saat ini diduga


dalam keadaan sakit sehingga tidak dapat menghadiri pemeriksaan di KPK.
Menanggapi hal itu, untuk memastikan objektivitas keterangan tersebut, KPK
dapat meminta second opinion dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ini bukan
pertama kali KPK lakukan, sebelumnya lembaga antirasuah itu juga pernah
meminta bantuan IDI saat menangani perkara korupsi KTP-Elektronik dengan
tersangka mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Kala itu terbukti bahwa alasan
sakit yang diutarakan oleh Setya terlalu mengada-ngada. Maka dari itu, penting
bagi KPK untuk segera mengulangi tindakan tersebut dalam konteks perkara
Lukas.

Dalam hal kondisi kesehatan Lukas terbukti benar sedang sakit, itupun tidak
bisa menghentikan langkah KPK menyidik perkara tersebut. Sebab, berdasarkan
peraturan perundang-undangan, KPK diperkenankan menerapkan pembantaran

20
terhadap Lukas hingga yang bersangkutan dianggap layak diperhadapkan
dengan proses hukum. Sama seperti situasi di atas, pembantaran juga pernah
dilakukan KPK saat menangani perkara yang melibatkan mantan Ketua Umum
PPP, Romahurmuziy.

Kedua, penanganan perkara yang diduga melibatkan Lukas harus


menitikberatkan pada pengembalian aset hasil kejahatan. Perkembangan terkini,
merujuk pada pernyataan Pimpinan KPK, Alexander Marwata,
Menkopolhukam, dan PPATK, Lukas diduga terlibat dalam dua kejahatan
sekaligus, diantaranya, tindak pidana korupsi berupa gratifikasi dan pencucian
uang. Dua delik ini terbilang mudah secara pembuktian, sebab turut mengatur
mekanisme pembalikan beban pembuktian. Sederhananya, seluruh sangkaan
atau dakwaan KPK, kewajiban untuk membuktikan adanya aliran dana tidak
wajar bukan berada pada ranah penuntut umum, melainkan terdakwa sendiri.
Sederhananya, jika terdakwa tidak bisa membuktikan penerimaan itu didapatkan
dari hal wajar, maka aparat penegak hukum melalui putusan pengadilan dapat
langsung merampas aset-aset tersebut.

Dalam konstruksi dugaan pencucian uang yang dilakukan oleh Lukas, ada
fenomena menarik, yakni penggunaan nominee dan pengakuan dari
Menkopolhukam berkaitan staf Gubernur Papua yang bertugas menjadi manajer
pencucian uang. Selain itu, keterangan tersebut turut menyebutkan penggunaan
sarana perjudian sebagai modus pencucian uang. Sebagaimana diketahui,
PPATK menemukan transaksi perjudian dengan bentuk setoran melalui
beberapa pihak lain (nominee) dengan nominal dari satu hingga ratusan miliar.
Secara konseptual, nominee kerap digunakan sebagai alat untuk memfasilitasi
korupsi maupun illicit enrichment dengan mengaburkan keterkaitan langsung
pelaku dengan tindakan bersangkutan. Di Indonesia, penggunaan nominee dalam
konteks memuluskan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang
bukanlah isu baru. Meskipun dalam konteks berbeda, dalam kasus korupsi
Jiwasraya misalnya, Direktur PT Himalaya Energi Perkasa yang divonis 20
tahun penjara dan denda satu miliar subsider 2 bulan kurungan oleh Pengadilan

21
Tipikor Jakarta terbukti telah mendirikan sejumlah perusahaan nominee dan
membuat beberapa nominee perseorangan untuk melancarkan kejahatannya.

Lebih lanjut, apabila memang terbukti bahwa terdapat pemanfaatan sarana


perjudian sebagai modus pencucian uang dalam dugaan kasus yang melibatkan
Lukas, ICW menilai bahwa hal tersebut bukanlah hal yang mengejutkan. Sebab,
sarana perjudian seperti kasino memiliki risiko dan kerentanan inheren untuk
terjadinya pencucian uang. Sebagai bagian dari operasi bisnisnya, kasino
mengelola dana dengan jumlah yang sangat besar dan dalam frekuensi waktu
yang cukup rutin. Tidak adanya pemeriksaan dan pengawasan ketat terhadap
sirkulasi dana dalam transaksi perjudian dapat memperkuat kerentanan-
kerentanan untuk adanya praktik pencucian uang.

Ketiga, KPK harus membuka celah untuk menjerat pihak-pihak yang


berupaya menghalang-halangi proses hukum dengan memanfaatkan Pasal 21
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Ada pola yang biasanya digunakan
oleh pelaku korupsi untuk menghindar dari proses hukum, salah satunya melalui
pengerahan massa untuk menghalangi aparat penegak hukum. Jika itu dilakukan,
maka, baik pihak yang memerintah maupun yang diperintah dapat diproses
hukum atas sangkaan obstruction of justice. Ancaman pidananya pun cukup
tinggi, yakni mencapai 12 tahun penjara.

Keempat, narasi yang dibangun oleh KPK terkait dengan kelanjutan proses
hukum Lukas terlalu berlebihan. Betapa tidak, Alexander sampai mengutarakan
mengenai penghentian penyidikan kepada pihak Lukas agar kemudian Gubernur
Papua itu bisa menghadiri panggilan KPK. Ini menimbulkan kesan diskriminasi
terhadap pihak-pihak lain yang sedang diproses hukum oleh lembaga antirasuah
itu. Mestinya ada pesan tegas, bukan malah seperti memohon kepada terduga
pelaku agar kooperatif.

Untuk itu, atas permasalahan hukum Lukas, ICW mendesak agar:

1. Lukas Enembe bersikap kooperatif dengan menghadiri


pemeriksaan dirinya sebagai tersangka di KPK;

22
2. KPK bersikap tegas terhadap permasalahan hukum Lukas Enembe,
misalnya, mengambil tindakan berupa penjemputan paksa dan
menjerat pihak-pihak yang menghalang-halangi proses penyidikan;
3. Partai Demokrat mendukung sepenuhnya langkah KPK dalam
upaya pemberantasan korupsi, khususnya menyangkut penyidikan
terhadap Lukas Enembe;

F.Sederet Kasus Korupsi yang Pernah Menjerat Gubernur Papua Lukas


Enembe

Sederet kasus pernah menjerat Lukas Enembe selama menjabat sebagai


Gubernur Papua. Teranyar, dia ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap dan korupsi. Lukas diduga
menerima gratifikasi Rp 1 miliar dari pengusaha. 

Atas penetapannya sebagai tersangka, Lukas dipanggil ke Markas Komando


Brimob Polda Papua untuk pemeriksaan, Senin, 12 September 2022 . Namun
karena alasan sakit, dia mangkir dari pemeriksaan. Berdasarkan informasi yang
diterima Tempo, pemeriksaan ini diduga terkait dengan dugaan kepemilikan
Lukas atas uang puluhan miliar rupiah dalam rekening beberapa bank. 

Lukas menjabat sebagai Gubernur Papua selama dua periode, yakni pada
2013-2018 dan 2018-2023. Selama menjabat, Lukas beberapa kali terseret dalam
sejumlah kasus. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut sederet kasus yang
pernah menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe: 

1. Jadi Tersangka Kasus Pilkada 2017 

Gubernur Papua Lukas Enembe ditetapkan sebagai tersangka dalam


kasus dugaan tindak pidana Pilkada setempat pada 19 Juni 2017. Dilansir
dari Antara, Lukas diduga mengajak masyarakat memilih salah satu pasangan

23
kandidat bupati dan wakil bupati pada pemungutan suara ulang Pilkada 2017
di Kabupaten Tolikara, Papua. 

2. Kasus Penyimpangan Anggaran Pemprov Papua 

Dilansir Koran Tempo edisi 5 September 2017, penyidik Direktorat


Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI memeriksa
Lukas Enembe dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan anggaran
Pemerintah Provinsi Papua 2014-2017. Pemeriksaan ini berkaitan dengan
hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan yang menemukan dugaan
penyimpangan dana anggaran pendidikan tahun sebelumnya. 

3. Kasus Korupsi Dana Beasiswa 

Penyelidikan kasus dugaan korupsi penggunaan anggaran pendidikan


berupa beasiswa untuk mahasiswa Papua tahun anggaran 2016 dimulai sejak
16 Agustus 2017. Berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor
Sprin.Lidik/73/VIII/2017/Tipidkor, Lukas dipanggil penyidik Direktorat
Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri, Selasa, 22 Agustus 2017, sebagai
saksi. 

4. Kasus Gratifikasi Rp 1 Miliar 

Kasus terbaru yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe terkait


dengan dugaan penerimaan gratifikasi Rp 1 miliar. Dalam rekening beberapa
bank miliknya, Lukas diduga memiliki uang puluhan miliar rupiah. Uang itu
dicurigai sebagai bentuk suap dan korupsi. “Rekening LE dan pihak-pihak
terkait sudah diblokir sejak bulan lalu,” kata Kepala PPATK Ivan
Yustiavandana, Jumat, 9 September 2022 

24
BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan
Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin banyak terjadi dan memberikan
dampak bagi rakyat. Rakyat harus menanggung akibat dari tindak pidana korupsi.
Pemiskinan koruptor dianggap sebagai terobosan baru dalam menindak kasus
tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan koruptor dapat dijalankan dengan
perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan penggantian kerugian yang
ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi. Konsep pemiskinan koruptor ini dinilai
mampu memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk mengurangi tindak pidana
korupsi.
Para penegak hukum yang dalam penelitian ini yaitu jaksa dan hakim tidak
menjalankan sanksi pidana pemiskinan koruptor dalam memberantas tindak
pidana korupsi. Jaksa dalam menjatuhkan tuntutan pidana berpegang teguh pada
undang-undang begitu juga dengan hakim tipikor dalam menjatuhkan vonis
berpegang teguh pada undang-undang. Pelaksanaan sanksi pidana pemiskinan
koruptor hanya dengan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang
besarnya disesuaikan dengan kerugian keuangan negara. Hal tersebut tidak dapat
dikatakan memiskinkan koruptor karena hanya aset yang berasal dari tindak
pidana korupsi saja yang dirampas dan belum tentu si koruptor akan menjadi
miskin. Pemiskinan koruptor dilakukan dengan 69 perampasan seluruh benda-
benda yang merupakan hasil dari tindak pidana korupsi dan/atau dengan
pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sesuai dengan kerugian keuangan
negara yang diambil dan yang timbul dari tindak pidana korupsi. Pemiskinan

25
koruptor belum menjadi suatu terobosan hukum bagi penegak hukum di Indonesia
dalam memberantas tindak pidana korupsi.

B.Saran
Saran yang dapat penulis sumbangkan, yaitu:
1.Perlu adanya rekonseptualisasi mengenai konsep pemiskinan koruptor.
Rekonseptualisasi dengan memberikan arahan yang jelas bagi penegak
hukum mengenai konsep pemiskinan koruptor, sehingga pelaksanaan
pemiskinan koruptor dapat dijalankan sebagai suatu terobosan hukum yang
memberikan efek jera dalam tindak pidana korupsi.
2.Perlu adanya suatu gerakan yang mendorong pelaksanaan pemiskinan
koruptor. Contohnya seperti pendidikan, pemahaman, penjelasan, integritas
dari para penegak hukum agar para penegak hukum di Indonesia
melaksanakan sanksi pidana pemiskinan koruptor dalam upaya pembera
ntasan tindak pidana korupsi.

26
DAFTAR PUSTAKA

https://nasional.tempo.co/read/1653302/fakta-fakta-kasus-korupsi-gubernur-
papua-lukas-enembe

https://nasional.tempo.co/read/1634380/sederet-kasus-korupsi-yang-pernah-
menjerat-gubernur-papua-lukas-enembe

https://ombudsman.go.id/perwakilan/news/r/pwkinternal--menjaga-stabilitas-
pelayanan-publik-akibat-penetapan-tersangka-kasus-korupsi-kepala-
daerah-di-papua
https://nasional.tempo.co/read/1644443/mahasiswa-papua-dukung-kpk-usut-
korupsi-lukas-enembe

27

Anda mungkin juga menyukai