Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ANALISIS IMPLEMENTASI PANCASILA

PADA KASUS BAHASYIM ASSIFIE


Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Pancasila
Dosen Pengampu : Prof. Sjamsiar Sjamsuddin

Oleh :

1. Dhesma Luthfia (205030401111027)


2. Fransiska Ayu Kidi Purab (205030407111024)
3. Angel Grassia Panjaitan (205030407111025)
4. Nabila Adelia (205030407111026)
5. Iik Wahyu Putra (205030407111051)

KELAS A
PROGRAM STUDI PERPAJAKAN
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang karena berkat dan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Analisis Implementasi Pancasila
Pada Kasus Bahasyim Assifie ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Ibu
Prof. Sjamsiar Sjamsuddin pada mata kuliah Pancasila. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang kasus korupsi pajak yang menjerat pegawai pajak
khususnya dalam makalah ini yakni, Bahasyim Assifie bagi para pembaca dan juga bagi
penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Sjamsiar Sjamsuddin selaku dosen
mata kuliah Pancasila yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Malang, 10 April 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL...................................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................3
C. Tujuan......................................................................................................................................3
D. Manfaat....................................................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN...................................................................................................................................4
A. Korupsi.....................................................................................................................................4
B. Pencucian Uang........................................................................................................................4
C. Gratifikasi................................................................................................................................6
D. Analisis Kasus..........................................................................................................................7
E. Implementasi Pancasila...........................................................................................................8
BAB III...............................................................................................................................................10
PENUTUP..........................................................................................................................................10
A. Kesimpulan dan Saran..........................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah Satu Phenomena sosial di Indonesia adalah semakin banyaknya terjadi
tindak pidana Korupsi. Fenomena korupsi telah menimbulkan ketidakpercayaan
publik terhadap hukum dan sistem peradilan pidana. Adapun bentuk tindak pidana
korupsi yaitu berupa perbuatan yang dapat merugikan keuangan negara, suap
menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang benturan
kepentingan dan gratifikasi
Untuk menjerat para koruptor para penegak hukum terutama jaksa dan KPK
perlu bekerja maksimal. Dalam penegakan hukum khususnya tindak pidana korupsi
pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan paling penting dalam
proses pengungkapan tindak pidana korupsi di persidangan.
Pemeriksaan di persidangan akan terungkap fakta-fakta yang menentukan
bahwa seseorang yang didakwa korupsi terbukti atau tidak. Salah satu cara
membuktikan apakah seseorang telah melakukan tindak pidana korupsi atau tidak
adalah dengan diterapkannya pembuktian terbalik. Asas pembalikan beban
pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada diluar kelaziman
teoritis pembuktian dalam Hukum Acara pidana yang universal, baik sistem
kontinental maupun AngloSaxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan
kewajibannya pada jaksa penuntut Umum. Hanya saja dalam kasus-kasus tertentu
diperkenalkan penerapan dengan mekanisme yang difrensial, yaitu Sistem
Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal dengan sebutan “Reversal of Burden
Proof”. Itupun tidak dilakukan secara overoll tetapi memiliki batas-batas yang
seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap pelanggaran hukum
yang potensial, khususnya terhadap hak-hak prinsip seorang korban, tersangka /
terdakwa, masyarakat, dan negara dalam arti luas.
Ide penerapan asas atau Sistem Pembalikan Beban Pembuktian di Indonesia
ini sebenarnya bergulir sejak era Presiden Abdurrahman Wahid sewaktu memberikan
jawaban atas Memoradum I DPR pada masa jabatannya. Mengingat tindak pidana
korupsi sebagai suatu “ Extra ordinary crime” yang sulit dibuktikan tetap sebagai
polemik maka sebagian kalangan akademisi dan praktisi berpendapat bahwa
penanggungan harusnya dilakukan sedemikan rupa dan
bersifat luar biasa pula. Karena itu tindak pidana korupsi selain polemik sebagai
Extra
ordinary crime dan seriousness crime juga memerlukan penanggungan yang luar
biasa (Extra ordinary enforcement).
Dalam hal ini melalui pergeseran komprehensif terhadap sistem pembuktian
yang ada. Sistem pembuktian dalam hukum pidana formil ini tetap menempatkan
Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak yang wajib membuktikan suatu perbuatan yang
dikategorikan sebagai tindak pidana, maka dalam tindak pidana korupsi beban
pembuktian diletakkan kepada terdakwa.
Berdasarkan uraian di atas, pembahasan difokuskan pada pembuktian terbalik
dibebankan yang dibebankan pada terdakwa dan penerapan pembuktian terbalik pada
kasus tindak pidana korupsi dan hambatan dalam penerapan pembuktian terbalik
dalam kasus tindak pidana korupsi.

1
Hukum dan penegakan Hukum adalah satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan, keduanya harus bisa berjalan secara sinergis. Substansi (isi) hukum yang
termuat dalam berbagai peraturan perundangan hanya akan menjadi sampah tanpa
ditopang dengan sistem hukum serta budaya hukum yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat Menurut Freidmann berhasil atau tidaknya Penegakan hukum
bergantung pada Substansi Hukum, Struktur Hukum / Pranata Hukum dan Budaya
Hukum Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif
atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu Faktor hukumnya
sendiri (undang-undang), Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum, Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum, Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan, Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor di atas saling berkaitan oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.
Pada elemen pertama, yang menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut
dengan baik atau tidak adalah tergantung dari aturan hukum itu sendiri.
Membicarakan tentang efektivitas hukum berarti membicarakan daya kerja hukum itu
dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Hukum
dapat efektif jikalau faktor-faktor yang mempengaruhi hukum tersebut dapat
berfungsi dengan sebaik-baiknya. Ukuran efektif atau tidaknya suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku dapat dilihat dari perilaku masyarakat. Suatu
hukum atau peraturan perundang-undangan akan efektif apabila warga masyarakat
berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh atau peraturan
perundang-undangan tersebut mencapai tujuan yang dikehendaki, maka efektivitas
hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut telah dicapai Dalam hukum
pidana formil suatu tindak pidana yang disangkakan kepada seseorang perlu didukung
oleh bukti-bukti sesuai dengan perbuatan pidana yang disangkakan.
Berdasarkan teori terdapat beberapa pembuktian antara lain :
a. Teori Pembuktian berdasarkan undangundang secara positif (positief wettelijke
bewijs theorie). Dalam teori ini jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan
alatalat bukti yang disebutkan dalam undangundang, maka keyakinan hakim tidak
diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formil (formele
bewijstheori).

b. Teori Pembuktian Bebas, dalam teori ini hakim tidak terikat pada alat-alat bukti
yang sah dimana bila ada keyakinan pada hakim tentang kesalahan terdakwa yang
didasarkan pada alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman.

c. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (La Confiction
Raisonnee). Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah atas dasar
keyakinannya. Yang mana keyakinan itu harus berpijak pada dasar-dasar pembuktian
disertai suatu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan
pembuktian tertulis tertentu.

d. Teori pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif. Maksudnya bahwa


seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali telah
terdapat alat bukti yang sah, seperti yang disebut oleh Undang-Undang dan ia harus
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang melakukan perbuatan itu

2
e. Teori Keadilan, menurut Aristoteles yaitu keadilan legal yaitu perlakuan yang sama
terhadap semua orang sesuai dengan hukum yang berlaku dan tunduk pada
hukum yang ada secara tanpa pandang bulu.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan korupsi?
2. Apa yang dimaksud dengan pencucian uang?
3. Apa yang dimaksud dengan gratifikasi?
4. Bagaimana ketiga hal tersebut dalam dunia perpajakan?
5. Bagaimana kaitan ketiga hal tersebut terhadap implementasi Pancasila?
C. Tujuan
1. Mengetahui makna dari korupsi
2. Mengetahui makna dari pencucian uang
3. Mengetahui makna dari gratifikasi
4. Mengetahui kaitan kegita hal tersbut dalam dunia perpajakan
5. Mengetahui kaitan ketiga hal tersebut terhadap implementasi Pancasila

D. Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah agar dapat dijadikan sebagai sumber dan
juga untuk sekedar bahan pertimbangan terhadap penulis lain dalam melakukan
pembelajaran lebih lanjut tentang implementasi Pancasila terhadap kasus perpajakan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Korupsi
Pengertian korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
suatu perbuatan dapat dikatakan korupsi apabila memenuhi tiga unsur. :
- perbuatan itu melawan (melanggar) hukum.
- ada pihak yang diuntungkan dari perbuatan itu, baik diri sendiri maupun orang
lain.
- perbuatan itu menimbulkan kerugian pada keuangan negara.
korupsi dapat dikelompokkan menjadi tujuh jenis. Ketujuhnya meliputi :
- kerugian keuangan negara,
- suap-menyuap,
- penggelapan/penyalahgunaan dalam jabatan,
- pemerasan,
- perbuatan curang,
- benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Pengaruh Persepsi Wajib Pajak mengenai Korupsi Pajak Terhadap Kepatuhan


Wajib Pajak Sistem perpajakan Indonesia
Semua tindakan yang dilakukan serta sikap petugas pajak dalam rangka
pelaksanaan tugasnya mempunyai pengaruh langsung terhadap kepercayaan
masyarakat. Seperti halnya kasus korupsi pajak. Kasus tersebut menimbulkan sikap
antipasti masyarakat Indonesia terhadap pajak, hal tersebut ditunjukkan masyarakat
dengan melakukan aksi boikot bayar pajak sebagai rasa ketidakpercayaan terhadap
petugas pajak (Nababan, 2010).

B. Pencucian Uang
Pencucian uang adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui
berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-
olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.
Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana dengan berbagai
cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh aparat penegak
hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan tersebut baik untuk
kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak pidana Pencucian Uang
tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan sistem
keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) diatur dalam :

4
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang. Undang-
Undang yang dibuat pada tanggal 17 April 2002 tersebut dirubah dengan adanya
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003, yang kemudian disempurnakan dengan
adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang


Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana pencucian uang, pencucian uang
dibedakan dalam tiga tindak pidana :
• Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang
uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan. (Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010).
• Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang yang
menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan
pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan
kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI
No. 8 Tahun 2010).
• Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati
hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap Orang yang
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini pun dianggap sama dengan melakukan
pencucian uang.

Pencucian Uang Dalam Perpajakan


Pelaku kejahatan sebelum melakukan pencucian uang, terlebih dahulu
melakukan suatu tindak pidana tertentu misalnya melakukan tindak pidana
sebagaimana digariskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU PPTPPU sebagai kejahatan asal
(predicate crime) yang terdiri dari 26 (dua puluh enam) jenis tindak pidana asal, salah
satunya yaitu kejahatan di bidang perpajakan. Terdapat korelasi yang erat antara
kejahatan asal (predicate crime) misalnya tindak pidana di bidang perpajakan sebagai
predicate crime maka tindak pidana pencucian uang adalah sebagai derivatif atau
turunannya. Sangat jelas bahwa keberhasilan perang melawan mafia-mafia dan tindak
pidana di bidang perpajakan sangat ditentukan oleh efektivitas rezim anti pencucian
uang (UU PPTPPU).
Beberapa upaya pencegahan TPPU dalam bidang perpajakan sudah dilakukan
salah satunya yaitu dengan membuat kesepakatan kerjasama antara Ditjen Pajak dan
PPATK dalam bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang

5
dan tindak pidana di bidang perpajakan. Ruang lingkup kesepakatan itu meliputi enam
hal yaitu :
1) pertukaran data dan/atau informasi ;
2) perumusan peraturan perundang-undangan ;
3) penanganan perkara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana
perpajakan ;
4) pengembangan sistem teknologi informasi ;
5) penugasan pegawai Ditjen Pajak pada PPATK ;
6) kajian, sosialisasi, penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan ;

C. Gratifikasi
Menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001, Gratifikasi adalah
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang
diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi
“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya”

Penjelasan Aturan Hukum


Pasal 12 UU No. 20/2001:
1. Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4
tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan
paling banyak Rp 1 miliar:
2. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya.
3. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu,
membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu
bagi dirinya sendiri;

Sanksi
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Gratifikasi dalam Perpajakan


Gratifikasi Pajak adalah suatu pemberian yang diberikan kepada pejabat atau
penyelenggara negara di bidang perpajakan yang dengan pemberian tersebut
diharapkan akan mempengaruhi kebijakan atau keputusan pejabat atau penyelenggara
negara sehingga bertentangan dengan tugas dan wewenangnya.
Gratifikasi pajak disebabkan karena adanya keinginan dari orang/badan
hukum tertentu agar beban pajak dan segala hal yang berkaitan dengan

6
kepentingannya dapat diselesaikan sesuai keinginannya walaupun itu harus melanggar
peraturan yang berlaku,dengan cara memberikan “sesuatu” kepada
pejabat/penyelenggara negara yang berhubungan dengan kepentingan orang/badan
hukum tersebut.

Kerugian yang ditimbulkan dari gratifikasi pajak adalah :


1. Penerima maupun pemberi gratifikasi dapat dikenakan hukuman pidana
penjara dan pidana denda.
2. Mengakibatkan kerugian pada keuangan negara
3. Pelayanan pejabat atau penyelenggara negara kepada masyarakat yang
tidak bersifat objektif.

D. Analisis Kasus
Majelis hakim yang dipimpin Didik Setyo Handono menjatuhkan vonis
sepuluh tahun penjara kepada mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan
Pajak Bahasyim Assifie. ”Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 Ayat 1 Huruf a UU
Pencucian Uang,”.
Selain divonis 10 tahun, Bahasyim diwajibkan membayar denda Rp 250 juta,
dangan subsider tiga bulan kurungan. Majelis hakim juga memerintahkan harta
kekayaan Bahasyim yang diduga berasal dari hasil korupsi senilai Rp 61 miliar dan
681.153 dollar AS disita untuk negara. Majelis hakim menilai Bahasyim melakukan
korupsi dengan menerima suap dari wajib pajak Kartini Mulyadi senilai Rp 1 miliar
saat dirinya menjadi Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta Tujuh
Direktorat Jenderal Pajak pada Februari 2005. Atas perbuatannya ini, Bahasyim
dinilai melanggar Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Selain itu, menurut majelis hakim, Bahasyim juga terbukti melakukan
pencucian uang karena menyimpan dana hasil tindak pidana pada lembaga keuangan
serta memecahnya dalam sejumlah rekening atas nama istri dan anak-anaknya. Dalam
perkara ini, majelis hakim menerapkan asas pembuktian terbalik, yaitu Bahasyim
harus membuktikan harta kekayaannya senilai Rp 61 miliar sebagai bukan hasil
tindak pidana. Majelis hakim meragukan penjelasan Bahasyim mengenai asal-usul
kekayaannya yang disebutnya berasal dari sejumlah usaha yang dimiliki, termasuk
kerja sama bisnis hiburan, restoran, dan kosmetik di Filipina dan China. Bahasyim
tidak mampu menunjukkan dokumen kontrak kerja sama, dokumen penyertaan
modal, dan bukti serah terima keuntungan dari bisnis-bisnisnya. Dugaan harta
Bahasyim berasal dari tindak pidana diperkuat karena Bahasyim tidak mencantumkan
seluruh harta kekayaannya tersebut pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara. Atas perbuatannya ini, Bahasyim dinilai melanggar Pasal 3 Ayat 1 Huruf a
UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Vonis yang dijatuhkan hakim ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa 15 tahun
penjara. Atas vonis ini, jaksa penuntut umum Fachrizal menyatakan akan berpikir
dahulu. Penasihat hukum Bahasyim OC Kaligis seusai persidangan, mengajukan
banding atas vonis hakim tersebut. Ia menilai asas pembuktian terbalik tidak
seharusnya diterapkan dalam perkara ini.

7
Proses pengadilan terhadap Bahasyim juga diwarnai dugaan suap dari pihak
keluarga Bahasyim kepada tim jaksa penuntut umum. Kasus ini masih ditelusuri oleh
Bagian Pengawasan Kejaksaan Agung.

E. Implementasi Pancasila
Indonesia mempunyai suatu sumber dan pandangan yang harus digunakan
sebagai pedoman dalam melakukan segala sesuatu yaitu Pancasila. Pancasila
merupakan ideologi dasar dalam kehidupan bagi negara Indonesia bukan hanya
sebuah ideologi tetapi, Pancasila merupakan prinsip yang harus di miliki oleh setiap
warga negara Indonesia. Dengan pengertian tersebut kita dapat memaknai bahwa
dalam setiap melakukan segala sesuatu kita harus berpegangan pada Pancasila yang
merupakan prinsip dasar negara kita. Jika kita melakukan suatu kegiatan dengan
berdasarkan pada Pancasila maka kehidupan antar masyarakat akan terjalin dengan
sangat baik, begitu juga dengan pemerintahan.
Dalam Pancasila terdapat lima sila yang dimana setiap sila-sila itu memiliki
arti yang berbeda tetapi memiliki tujuan yang satu yaitu menciptakan dan
mewujudkan cita-cita negara Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan bahwa korupsi
merupakan salah 1 penyelewangan yang marak terjadi di Indonesia. Tindakan tersebut
bukan hanya melanggar aturan negara tetapi hal itu juga telah melanggar ideologi dan
prinsip terhadap Pancasila. Dengan menyelewengnya tindakan terhadap Pancasila hal
tersebut akan membuat cita-cita yang didambakan oleh negara dan bangsa lama
kelamaan akan menjadi hancur. Maka dari itu terdapat hal penting dalam tindakan
korupsi terhadap Pancasila yaitu dengan kita melakukan tindakan korupsi kita sama
saja telah menghancurkan Pancasila yang telah susah payah dibuat oleh pendiri
bangsa kita yang berjuang mati-matian.

Sila pertama dalam pancasila berbunyi “ Ketuhanan yang Maha Esa”. Penerapan
dari sila pertama ini adalah seluruh rakyat Indonesia mempunyai satu agama dan
melaksanakan kewajiban keagamaannya tersebut kepada Tuhan Yang Maha Esa,
tanpa melalui paksaan. Di dalam agama, kita diajarkan untuk tidak mencuri karena
mencuri adalah perbuatan dosa. Korupsi dan pencucian uang secara tidak langsung
merupakan tindakan mencuri karena orang yang melakukan hal tersebut mengambil
uang yang bukan hak miliknya.

Sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” sila ini
memiliki makna untuk memperlakukan sesama manusia sebagai mana mestinya dan
melakukan tindakan yang benar, bermartabat, adil terhadap sesama manusia
sebagaimana mestinya. Dengan melakukan korupsi, berarti sama saja telah
melangggar sila kedua ini karena telah melakukan tindakan yang memperlakukan
kekuasaan dan kedudukan sebagai tempat untuk mendapatkan hal yang diinginkan
demi kebahagiaan diri sendiri dan juga membuat orang lain menjadi rugi karena
tindakan korupsi tersebut .
Implementasi pancasila sila ketiga

Sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia” yang memiliki makna bahwa
kedudukan masyarakat/rakyat itu sama di depan mata hukum tanpa membeda-
bedakan serta mendapat perlakuan yang sama di depan hukum sehingga, dengan
melakukan korupsi berarti sama saja telah melanggar sila ini. Korupsi merupakan
tindakan yang dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat sehingga hal tersebut

8
akan membuat rakyat merasa menjadi terintimidasi dan tidak peduli lagi terhadap
tindakan yang telah dilakukan oleh pemerintah. Lama kelamaan, hal ini akan
membuat Indonesia menjadi tidak harmonis.

Sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat


Kebijaksanaan Dalam Permusyahwarataan Dan Perwakilan” dengan melakukan
tindakan korupsi berarti kita juga telah melanggar sila keempat ini karena sila ini
mengandung makna untuk bermusyawarah dalam melakukan dan menentukan segala
sesuatu agar tercapainya keputusan bersama yang berdampak baik bagi Indonesia.
Tetapi, dengan korupsi itu sama saja telah melakukan tindakan dengan keputusan
sendiri dan hal itu tidak baik karena dalam menentukan dan melakukan segala sesuatu
haruslah berdasarkan keputusan bersama karena Indonesia sangat menjunjung tinggi
musyawarah. Jika melakukan tindakan korupsi berarti sama saja telah meremehkan
kekuatan musyawarah dan hal itu akan membuat negara menjadi terpecah belah.

Sila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”
dengan adanya korupsi berarti telah melakukan tindakan yang melenceng dari sila ini
karena sila ini memiliki makna yaitu adil terhadap sesama dan menghormati setiap
hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Dengan tindakan korupsi
menunjukan ketidakadilan antar pemerintah dan masyarakat. Bukan hanya itu juga
ketidakadilan terhadap negara sendiri karena telah menggunakan sesuatu yang bukan
haknya untuk dijadikan kenikmataan bagi diri sendiri tanpa memikirkan tujuan
awalnya hal tersebut dilakukan.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan dan Saran


Dari penjabaran tersebut bisa disimpulkan bahwa kita dapat mengetahui
bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan yang sangat fatal bagi negara, terutama
tindakan korupsi juga telah melanggar dan menyeleweng dari nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam Pancasila. Dengan menyelewengnya tindakan korupsi terhadap
nilai-nilai luhur Pancasila itu menyebabkan kondisi negara kita semakin bertambah
buruk dan banyaknya terjadi kegaduhan-kegaduhan yang sangat parah. Maka dari itu,
kita haruslah melakukan segala sesuatu sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam
Pancasila, terutama bagi para pejabat agar ketika melakukan sesuatu tidak
menimbulkan penyelewengan-penyelewengan yang berdampak buruk bagi negara.

10
DAFTAR PUSTAKA

BBC News Indonesia. (2019, 18 Desember). Kasino: Modus apa yang paling sering
digunakan pelaku pencucian uang?. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50818942.
Diakses pada 10 April 2021.

KPK. (2017, Desember 10). Gratifikasi. https://www.kpk.go.id/id/layanan-publik/gratifikasi.


Diakses pada 10 April 2021.

N.E. Fatimah. 2011. Ditjen Pajak Jalin Kerjasama Dengan PPATK dalam Pencegahan
Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Perpajakan.
https://pajak.go.id/sites/default/files/d7/siaranpers-111019.pdf. Diakses pada 10 April 2021.

Wikipedia. Pencucian Uang. https://id.wikipedia.org/wiki/Pencucian_uang. Diakses pada 10


April 2021.

Tarigan, Suranta Ramses, dkk. 2014. Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Perpajakan melalui Penerapan UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucia Uang.
https://media.neliti.com/media/publications/14218-ID-pencegahan-dan-pemberantasan-
tindak-pidana-perpajakan-melalui-penerapan-undang-u.pdf. Diakses pada 10 April 2021.

11

Anda mungkin juga menyukai