Anda di halaman 1dari 19

PENGANTAR HUKUM ACARA

PERDATA

Nefa Claudia Meliala


• Materi ini diberikan khusus untuk peserta mata kuliah
Pengantar Hukum Indonesia (LAW181103-4) Kelas E Semester
Genap 2019/2020. Mohon untuk tidak menyebarluaskan dan/
atau memperbanyak bahan kuliah ini.
1. Pengertian Hukum Acara Perdata
• Prof. Dr. Bernadete M. Waluyo, S.H. : serangkaian peraturan
hukum untuk melaksanakan dan mempertahankan atau
menegakkan kaidah hukum perdata materiil, terutama
apabila ada tuntutan hak.
 hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya
dan bagaimana melaksanakan putusan tersebut.
Pihak-Pihak Dalam Hukum Acara Perdata
• Pada dasarnya setiap orang boleh berperkara di depan pengadilan,
kecuali orang-orang yang dinyatakan tidak cakap (onbekwaam), yaitu
mereka yang belum dewasa dan/atau tidak sehat akal pikirannya. Orang
yang belum dewasa untuk beracara diwakili orang tua/walinya. Orang
yang tidak sehat akal pikirannya diwakili oleh pengampunya (curatele).

• Penggugat : orang atau badan hukum (baik yang bersifat privat dan
publik) sebagai salah satu pihak atau lebih yang memulai membuat
perkara dengan mengajukan gugatan karena “merasa” dirugikan.

• Tergugat : orang atau badan hukum (baik yang bersifat privat dan
publik) sebagai salah satu pihak atau lebih yang ditarik di muka
pengadilan karena “dirasa” oleh penggugat sebagai pihak yang
merugikan hak-nya.
Tuntutan Hak
• Tuntutan hak : tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang
diberikan oleh pengadilan.
• Tuntutan hak yang dikenal dalam hukum acara perdata ada 2 macam, yaitu :
1. Tuntutan hak yang mengandung sengketa  disebut gugatan  termasuk
jusrisdictio contentiosa, artinya kewenangan mengadili dalam arti yang
sebenarnya untuk memberikan suatu putusan keadilan dalam suatu sengketa
 hasil akhir : putusan, eg : gugatan utang piutang.
2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa  disebut permohonan 
termasuk jurisdictio voluntaria, artinya kewenangan memeriksa yang tidak
bersifat mengadili, melainkan bersifat administratif saja  hasil akhir :
penetapan, eg : ganti nama.
 Pihak yang bersangkutan tidak minta peradilan atau putusan dari hakim,
melainkan minta ketetapan dari hakim tentang status sesuatu hal, sehingga
mendapat kepastian hukum yang wajib dihormati dan diakui oleh semua orang.
Perbedaan Gugatan dan Permohonan
1.Pihak yang berperkara
•Gugatan : selalu ada 2 pihak yang berperkara (penggugat dan tergugat).
•Permohonan : hanya ada 1 pihak yang berkepentingan (pemohon).

2.Aktivitas Hakim yang memeriksa perkara


•Gugatan : aktivitas hakim terbatas pada apa yang dikemukakan dan diminta oleh
pihak-pihak (petitum).
•Permohonan : aktivitas hakim bercorak administratif yang bersifat mengatur.

3.Kekuatan mengikat keputusan Hakim


•Gugatan : hakim hanya mempunyai kekuatan mengikat pihak-pihak yang
bersengketa.
•Permohonan : hakim mempunyai kekuatan mengikat terhadap semua orang.
2. Sumber Hukum Acara Perdata
1. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)
⁻ Hukum Acara Perdata yang berlaku resmi menurut UU Darurat No. 1/1951  HIR yang
diperbaharui, Stb. 1848 No. 16 jo. Stb. 1941 No. 44, yang ditegaskan kembali dalam
SEMA No. 19/1964 jo. SEMA No. 3/1963.
⁻ Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura.
⁻ HIR memuat Hukum Acara Pidana (dicabut sejak Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) diundangkan melalui UU No.8/1981 tanggal 31 Desember 1981) dan
Hukum Acara Perdata (Pasal 115-245 serta tersebar antara Pasal 372-394).
 BAB IX : “Perihal Mengadili Perkara Dalam Perkara Perdata, Yang Diperiksa Oleh
Pengadilan Negeri”, terdiri dari bagian-bagian :
 Bagian I (Pasal 115 – 161) : pemeriksaan perkara dalam persidangan;
 Bagian II (Pasal 162 – 177) : bukti;
 Bagian III (Pasal 178 – 187) : musyawarah dan putusan;
 Bagian IV (Pasal 188 – 194) : banding;
 Bagian V (Pasal 195 – 224) : menjalankan putusan;
 Bagian VI (Pasal 225 – 236) : beberapa hal mengadili perkara-perkara istimewa;
 Bagian VII (Pasal 237 – 245) : izin berperkara tanpa ongkos perkara;
2. Rbg (Rechtsreglement Buitengewesten)
⁻ Hukum Acara Perdata yang berlaku resmi menurut UU Darurat No. 1/1951  HIR
yang diperbaharui, Stb. 1848 No. 16 jo. Stb. 1941 No. 44, yang ditegaskan kembali
dalam SEMA No. 19/1964 jo. SEMA No. 3/1963.
⁻ Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan
Madura.
⁻ Ketentuan Hukum Acara Perdata termuat dalam Bab II yang terdiri dari 7 titel dari
Pasal 104-323. Titel I, II, III, VI dan VII tidak berlaku lagi karena Pengadilan
Districtgerecht, Magistraatgerecht, Residentigerecht, Raad van Justitie dan
Hooggerechtshof sudah dihapuskan  Reglement op de Burgerlijke
Reschtsvordering (RV atau Reglemen Hukum Acara Perdata untuk golongan
Eropa, Stb. 1847 : 52 jo. 1849 : 63) tidak berlaku lagi. Yang berlaku hingga saat ini
adalah Titel IV dan V bagi Landraad (sekarang Pengadilan Negeri).
• Titel IV tersebut terdiri dari 6 bagian, yaitu :
 Bagian I (Pasal 142-188) : pemeriksaan perkara dalam persidangan;
 Bagian II (Pasal 189-198) : musyawarah dan putusan;
 Bagian III (Pasal 199-205) : banding;;
 Bagian IV (Pasal 206-258) : menjalankan putusan;
 Bagian V (Pasal 259-272) : beberapa hal mengadili perkara
istimewa;
 Bagian VI (Pasal 273-281) : izin berperkara tanpa ongkos perkara;

• Titel V (Pasal 282-314) : bukti.


3. Undang-Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan, Peradilan
Ulangan, Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam hal beracara di Pengadilan
Tinggi (tingkat banding).

4. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-


Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam hal beracara di Mahkamah
Agung (tingkat kasasi).
5. Hukum acara diatur dalam undang-undang (UU) bersamaan dengan
ketentuan materiilnya.

 Perpu No. 1/1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Kepailitan;


 UU No. 30/2000 tentang Rahasia Dagang;
 UU No. 31/2000 tentang Desain Industri;
 UU No. 32/2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu;
 UU No. 14/2001 tentang Paten;
 UU No. 15/2001 tentang Merek;
 UU Perkawinan No.1/1974  Hukum Acara Perdata (khusus) untuk
memeriksa, mengadili dan memutuskan serta menyelesaikan perkara-perkara
perkawinan (Ps. 4,5,6,7,9,17,18,25,28,38,39,40,55,60,63,65 dan 66).
• Sumber-Sumber Hukum Perdata lain yang dapat dipakai
(pedoman) oleh hakim dalam memutus perkara:
1. Yurisprudensi;
2. Perjanjian internasional dalam bentuk perjanjian kerjasama
dibidang peradilan;
3. Doktrin atau ilmu pengetahuan;
4. Surat-surat edaran dari Mahkamah Agung sebagai lembaga
tertinggi dalam peradilan yang mengatur masalah-masalah
hukum acara perdata.
3. Asas-Asas Hukum Acara Perdata
1. Hukum Acara Perdata Bersifat Mengikat dan Memaksa

• Ketentuan-ketentuan dalam hukum acara perdata tidak dapat disimpangi berlakunya


dengan perjanjian para pihak  menjamin dilaksanakannya hukum perdata materiil.

2. Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada pihak


yang berkepentingan

• Para pihak yang berperkara bebas untuk mengajukan atau untuk tidak mengajukan
tuntutan hukum kepada pihak yang telah merugikan haknya.
• Hakim tidak boleh menolak untuk mengadili perkara dengan alasan bahwa hukumnya
belum mengaturnya atau hukumnya tidak jelas atau kurang jelas  menggunakan
penafsiran hukum atau konstruksi hukum.
3. Hakim bersifat pasif, mengandung beberapa makna :

• Hakim wajib mengadili seluruh tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan


terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang
dituntut.
• Hakim mengejar kebenaran formil yakni kebenaran yang hanya didasarkan kepada
bukti-bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus disertai
keyakinan hakim.
• Para pihak yang berperkara bebas untuk mengajukan atau untuk tidak mengajukan
upaya hukum, bahkan untuk mengakhiri perkara di pengadilan dengan perdamaian.
• Hakim akan membantu para pihak dan berusaha mengatur segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan.
4. Sidang pengadilan terbuka untuk umum

• Setiap orang boleh hadir, mendengar dan menyaksikan jalannya


pemeriksaan perkara perdata di pengadilan.
• Tujuan asas ini adalah untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang tidak
memihak, adil dan benar sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
Adakalanya persidangan dilakukan secara tertutup untuk umum, namun
putusannya harus tetap dibacakan dalam sidang pengadilan yang terbuka
untuk umum.
• Putusan pengadilan yang tidak dibacakan dalam sidang pengadilan yang
terbuka adalah tidak sah, karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum dan
putusan tersebut batal demi hukum.
5. Asas perlakuan yang sama terhadap para pihak (audi et alteram partem)

• Pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan sama, diberi kesempatan


yang sama, untuk membela kepentingan mereka. Pendeknya pihak-pihak
yang berperkara harus diperlakukan secara adil.
• Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai suatu
yang benar tanpa mendengar atau memberi kesempatan kepada pihak yang
lain untuk mengemukakan pendapatnya, artinya hakim tidak boleh
memberikan putusan dengan tidak memberikan kesempatan untuk kedua
belah pihak yang berperkara.
6. Putusan harus disertai alasan-alasan

• Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang dijadikan dasar


untuk mengadilinya. Asas ini dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai
terjadi perbuatan sewenang-wenang dari hakim dan untuk memberikan
pertanggungjawaban terhadap masyarakat.

7. Hakim pada prinsipnya bebas dalam mengadili perkara

• Untuk dapat mempertanggungjawabkan keputusannya, hakim sering juga alasan-


alasan yang dikemukakan dalam putusan tersebut di dukung yurisprudensi dan
doktrin. Hal ini berarti bahwa hakim tidak ada keharusan untuk terikat pada
putusan hakim sebelumnya (tidak dianut asas the binding force of precedent).
• Tetapi sebaliknya karena hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga hakim harus berani
meninggalkan yurisprudensi yang ada, kalau dinilai tidak sesuai lagi dengan
keadaan masyarakat atau rasa keadilan masyarakat.
8. Tidak ada keharusan mewakilkan

• Hukum acara yang berlaku tidak mengharuskan kepada pihak-pihak yang berperkara untuk
mewakilkan pengurusan perkara mereka kepada ahli hukum, sehingga pemeriksaan di
persidangan dilakukan secara langsung terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. Walaupun
demikian para pihak yang berperkara, apabila menghendaki, boleh mewakilkan kepada
kuasanya  dengan surat kuasa khusus.

9. Beracara perdata dikenakan biaya

• Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, untuk pemanggilan-pemanggilan dan


pemberitahuan-pemberitahuan serta bea meterai. Namun semua biaya ini harus ditetapkan
serendah mungkin sehingga dapat dipikul oleh rakyat. Bagi mereka yang benar-benar tidak
mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan permohonan beracara dengan
cuma-cuma (prodeo).
10.Sederhana, cepat dan biaya ringan

• Sederhana artinya jelas, mudah dimengerti dan tidak berbelit belit. Terlalu
banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan
menimbulkan beraneka ragam penafsiran sehingga kurang menjamin adanya
kepastian hukum.
• Cepat artinya terlalu banyak formalitas atau birokrasi akan merupakan
hambatan bagi jalannya peradilan. Cepatnya proses peradilan akan
meningkatkan wibawa peradilan dan menambah kepercayaan masyarakat.
• Biaya ringan artinya biaya untuk berperkara harus dapat dijangkau oleh
masyarakat sebab biaya perkara yang tinggi akan membuat orang enggan
berperkara.

Anda mungkin juga menyukai