Anda di halaman 1dari 9

1

Revised Nov 2021

Bab XI

PERJANJIAN VERTIKAL YANG BERSIFAT


MEMBATASI PERSAINGAN USAHA
(VERTICAL RESTRICTIONS),
INTEGRASI VERTIKAL dan TRUST

Elly Erawaty (SH, Unpar 1985; LL.M, London School of Economics, UK, 1992;
PhD, Melbourne University, Law School, 2004)

Pada perjanjian vertiKal, misal perjanjian distributorship dan keagenan1, dapat


ditemukan berbagai klausul yang restriktif yang potensial melanggar pasal-pasal
dalam UU No 5 tahun 1999. Namun sebelum menguraikan topik ini, perlu
diperhatikan terlebih dahulu bahwa berbagai perjanjian vertikal tersebut tidak identik
dengan praktik bisnis yang dilarang dalam Pasal 14 yaitu Integrasi Vertikal (Vertical
Integration), sekalipun keduanya memang merujuk pada kata yang sama yakni
‘vertical’. Hal ini dan juga kaitannya dengan Trust (Pasal 12 UU No 5 tahun 1999)
akan diuraikan dalam bagian pertama dan kedua bab ini baru kemudian pada bagian
ketiga akan dibahas perihal Vertical Restrictions secara garis besar. Adapun uraian
secara lebih rinci dan spesifik mengenai larangan Vertical Restrictions akan diuraikan
dalam beberapa bab selanjutnya dari Manual ini.

1. Perjanjian Integrasi Vertikal (Vertical Integration) Pasal 14 UU No 5 tahun


1999

Berbagai bentuk perjanjian dan kegiatan yang dibuat pelaku usaha yang bersifat
vertical (vertical arrangements atau vertical restrictions atau vertical restraints) sangat
berbeda dengan vertical integration. Jadi, sekalipun sama-sama menggunakan istilah
vertical, dan itu berarti merujuk pada hubungan antarpelaku usaha yang berbeda
level, namun keduanya sangat berbeda maknanya. Vertical Integration atau Integrasi
Vertikal diatur dalam Pasal 14 UU No 5 tahun 1999. Dalam vertical integration
sekalipun menurut UU ini dikategorikan juga sebagai salah satu bentuk perjanjian

1
Lihat mengenai hal ini dalam Bab X tentang Mata Rantai Distribusi, dalam Manual ini.
2

seperti halnya vertical agreements,2 tetapi bentuk dan tujuan dari integrasi vertical
sangat berbeda.

Berikut ini teks Pasal 14 (garis bawah oleh penulis):


“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk
menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan
atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau
proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan tau merugikan masyarakat.”

Dalam Integrasi Vertikal menurut Pasal 14, yang dimaksud dengan ‘pelaku usaha
lain’ dapat diartikan sebagai berikut:
a. pelaku usaha bukan dalam arti principal-distributor-dealer-retailer; atau
b. pelaku usah dalam arti principal-distributor-dealer-retailer.

Ad. a. Beberapa pelaku usaha dapat berbisnis dalam berbagai bidang industri yang
secara teknologi terkait satu dengan yang lain karena produksi dari berbagai
bidang industri itu sebenarnya masih merupakan satu mata rantai yang
berkesinambungan. Mata rantai itu terbentuk karena bahan baku yang
digunakan dalam berbagai bidang industri itu pada prinsipnya berasal dari
bahan baku yang sama, atau hasil dari industri yang satu menjadi bahan
baku industri berikutnya. Keterkaitan produksi dari industry semacam ini
lazimnya digambarkan dalam bentuk vertical (atas ke bawah, atau up-stream
to down-stream, atau hulu ke hilir). Contoh konkrit dari mata rantai industri
yang membentuk hubungan vertical semacam ini misalnya:

a. Perkebunan kelapa sawit – crude palm oil (minyak sawit mentah) – minyak
goreng dan mentega – berbagai produk sabun dan krim kosmetik serta
obat-obatan.
b. Hutan tananam industri dengan hasil berupa kayu balok (log) – kayu lapis
(plywood) – bubur kertas (pulp) – berbagai kertas karton dan kertas koran
– kertas tissue, pampers dstnya.
c. Perkebunan pohon murbei – peternakan ulat sutera – produksi dan
pemintalan benang sutera – produksi kain sutra – pakaian berbahan kain
sutra.

Sesuai dengan rumusan isi Pasal 14, obyek dari integrasi vertikal adalah
beberapa atau sejumlah produk industri yang saling berkaitan karena proses
produksinya memang secara fungsional atau secara teknik industri saling
berkaitan antara satu industri dengan insdustri berikutnya. Adapun tujuan
dari para pelaku usaha yang sesungguhnya merupakan pelaku usaha yang
saling independen dengan membuat perjanjian Integrasi Vertikal adalah

2 Simpulan bahwa pembuat UU seperti mengkualifikasi Integrasi Vertikal sama dengan


Perjanjian Vertikal dikarenakan penempatan Pasal 14 dalam bab yang sama yaitu Bab III dari
UU No 5 tahun 1999, dengan judul bab ‘Perjanjian Yang Dilarang’.
3

untuk menguasai sejumlah produksi tersebut. Sebenarnya jika tidak ada


maksud jahat dari pelaku usaha, integrasi vertical industri mulai dari hilir
hingga ke hulu (atau sebaliknya) ini dapat memastikan terjaminnya pasokan
bahan baku bagi macam-macam industri tersebut sehingga dapat
meningkatkan efektivitas industri dan efisiensi ekonomi. Namun, memang
jika dilihat dari perspektif ekonomi nasional yang lebih besar, masuk akal
apabila perjanjian para pelaku usaha untuk menguasai produksi berbagai
produk industri dari hulu ke hilir itu dapat saja mengakibatkan dikuasainya
bidang-bidang industri dan ekonomi di tangan segelintir pelaku usaha saja.
Kondisi perekonomian dan industri seperti ini yang dikhawatirkan akan
mengakibatkan terhambatnya persaingan usaha dan terbentuknya Gabungan
Besar Perusahaan atau Trust (Pasal 12). Mengenai trust ini akan diuraikan
setelah penjelasan tentang Ad. b berikut ini.

Ad. b. Perjanjian di antara para pelaku usaha yang menghasilkan Integrasi Vertikal
sebenarnya juga dapat terjadi apabila mereka berada dalam level yang
berbeda, yakni atas hingga bawah, dengan produksi barang atau jasa yang
memiliki keterkaitan fungsional atau teknikal. Misal, pelaku usaha bidang
otomotif seperti pabrik mobil dengan pelaku usaha yang menjadi dealer mobil
dan pelaku usaha yang menjadi dealer spare parts kendaraan bermotor
dan/atau membuka jasa bengkel serta servis kendaraan bermotor. Level atau
tingkatan dari pelaku usaha tersebut tidak sama/tidak sejajar
(produsen/principal-dealer-sub dealer-retailer), namun bidang usaha yang
mereka kembangkan memiliki keterkaitan fungsional dan teknikal. Oleh
sebab itu, jika awalnya mereka saling independen lalu sepakat membuat
sebuah perjanjian yang mengintegrasikan berbagai bidang usaha tersebut
maka pada akhirnya juga dapat menghasilkan sebuah Trust sekaligus sebuah
Integrasi Vertikal.

Namun demikian, khusus mengenai model Integrasi Vertikal Ad. b seperti


contoh di atas terbuka untuk diperdebatkan apakah dapat disebut memenuhi
kriteria Pasal 14. Alasannya adalah bahwa dalam pasal tersebut yang disebut
adalah frasa ‘…. yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah
produk….’; tidak ada kata ‘dan/atau distribusi sejumlah produk’ sehingga
secara sintaksis integrasi vertikal yang dilarang oleh pasal ini hanyalah
integrasi vertikal khusus tentang aspek produksi saja. Integrasi vertikal yang
mencakup distribusi tampaknya luput dari jangkauan UU ini. Oleh sebab itu
integrasi antara perusahaan produsen motor dengan perusahaan yang
merupakan dealer pabrik motor tersebut atau dengan para sub-dealers motor
mungkin tidak tepat disebut memenuhi unsur Pasal 14, mengingat para
pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian itu bukanlah bergerak dalam
bidang produksi melainkan dalam bidang produksi dan distribusi atau
pemasaran produk. Hal yang sama juga berlaku untuk misalnya perjanjian
antara produsen rokok dengan distributor, produsen furnitures dengan
jaringan toko (outlets) yang menjual berbagai jenis furnitures.
4

Perlu diperhatikan bahwa kedua model Integrasi Vertikal di atas (a dan b) menurut
rumusan Pasal 14 harus diwujudkan dalam bentuk perjanjian atau kesepakatan. Hal
ini berarti perjanjian tersebut dilakukan oleh dua atau lebih pelaku usaha yang
sebelumnya sudah eksis dan independen. Hal ini penting untuk diingat oleh karena
integrasi vertical juga dapat terjadi bukan dengan membentuk perjanjian melainkan
perbuatan atau kegiatan seorang pelaku usaha yang melakukan ekspansi (perluasan)
bisnis dengan mendirikan perusahaan-perusahaan baru dari awal. Misal, A pelaku
usaha yang awalnya memiliki usaha perkebunan kelapa sawit. Kemudian dia
mendirikan PT baru yang modalnya juga dia miliki dengan bidang usaha membuat
pabrik minyak goreng dengan bahan baku kelapa sawit. Lalu, A juga mendirikan
sebuah PT lain dengan bidang usaha mendistribusikan minyak goreng hasil dari
pabriknya tersebut. Apabila kemudian terlihat bahwa pelaku usaha A ini menjadi
pengusaha besar yang bisnisnya tersebar mulai dari kebun kelapa sawit, pabrik
minyak goreng, pabrik sabun, hingga distributor produk minyak goreng dan produk
turunannya maka tidak serta merta dapat disebut melanggar Pasal 14. Alasannya
adalah karena A dalam mengembangkan bisnisnya tersebut tidak melakukannya
dengan membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang sudah eksis terlebih
dahulu di bidang-bidang industri tersebut. Akan berbeda kasusnya jika A dalam
melakukan ekspansi bisnis industri hulu ke hilir itu menggunakan cara merjer atau
akuisisi saham perusahaan3, sebab cara ini mengindikasikan terjadinya perjanjian.

2. Gabungan Besar Perusahaan (Trust) Pasal 12 UU No 5 tahun 1999

Trust atau saya terjemahkan sebagai Gabungan Besar Perusahaan (bukan gabungan
perusahaan besar), yang diatur dalam Pasal 12, adalah perjanjian antara seorang
pelaku usaha dengan pelaku usaha lain (berarti bukan pelaku usaha pesaing) yang
bertujuan membentuk suatu kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan
yang lebih besar tetapi tetap menjaga atau mempertahankan kelangsungan hidup
dari masing-masing perusahaan yang bergabung tersebut. Artinya, kerjasama
tersebut tidak menjadikan hanya satu perusahaan yang tetap eksis dan lainnya
dibubarkan (seperti jika melakukan penggabungan perusahaan menurut Pasal 28),
atau melahirkan satu perusahaan yang benar-benar baru dan membubarkan semua
perusahan awal yang bergabung (seperti jika melakukan peleburan perusahaan
menurut Pasal 28)4. Tujuan dari Trust ini, menurut Pasal 12, adalah untuk
mengontrol atau mengendalikan produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau
jasa. Ada satu peristiwa besar dalam dunia bisnis di Indonesia pada tahun 2020-2021
yang menurut penulis dapat dijadikan contoh sebagai trust yaitu Kerjasama antara
Perusahaan Gojek dengan Perusahaan Tokopedia yang dinamakan dengan kerjasama
GoTo. Kerjasama ini tidak membuat Gojek dan Tokopedia bubar keduanya atau salah
satunya, tidak pula membentuk sebuah PT baru melainkan melahirkan semacam
proyek kolaborasi antara 2 (dua) perusahaan besar yang memasarkan jasanya dengan
platform online itu.

3
Mengenai Merjer dan Akuisisi Perusahaan lihat dalam Bab lain dri Modul ini nanti.
4 Ibid.
5

Trust memang dapat mengkhawatirkan bila dibiarkan terjadi tanpa pengawasan,


sebab pada akhirnya dalam skala ekonomi nasional akan terbentuk beberapa
kelompok/grup Gabungan Perusahaan yang menjadi besar-besar yang dikhawatirkan
akan mengendalikan produksi dan/atau distribusi barang/jasa tertentu. Artinya,
trust memang belum pasti akan mengakibatkan rusaknya persaingan usaha dan
menimbulkan praktik monopoli, tetapi trust memang potensial dapat melahirkan
kondisi tersebut. Oleh sebab itulah, pengawasan oleh KPPU amat dibutuhkan untuk
memantau sejauh mana dampak ekonomi yang ditimbulkan jika nanti banyak terjadi
trust di Indonesia. Kerjasama GoTo itu menurut penulis layak untuk dicermati sebab
bisa saja nanti dalam perjalanan bisnisnya, kerjasama trust GoTo itu akan melakukan
praktik bisnis entah berupa kegiatan sepihak atau dengan menjalin kerjasama
dengan pihak lain, yang ujung-ujungnya dapat merusak persaingan usaha atau
melahirkan praktik monopoli.5 Namun demikian, sebaiknya memang jangan
berprasangka buruk terlebih dahulu terhadap kerjasama bisnis seperti ini. Itu
sebabnya pula penerapan Pasal 12 dan juga sama halnya dengan Pasal 14 sebaiknya
dilakukan dengan pendekatan rule of reason.6

Ada hal lain yang dapat dikaji lebih dalam yaitu apakah Trust sama, beda atau
setidaknya berkaitan dengan Integrasi Vertikal? Tentu saja keduanya tidak mungkin
sama sebab jika memang sama mengapa harus diatur dalam dua pasal yang berbeda.
Secara definisi pun juga tidak sama makna dari keduanya. Namun demikian memang
benar jika dikatakan bahwa:

a. Terjadinya Trust maupun Integrasi Vertikal sama-sama didasarkan pada adanya


perjanjian di antara para pelaku usaha yang tidak dalam posisi bersaing.
b. Trust bisa terjadi dengan melibatkan industri hulu hingga hilir seperti yang terjadi
pada Integrasi Vertikal, namun bisa juga tidak harus seperti itu.
c. Dari Integrasi Vertikal dapat melahirkan trust dalam arti terbentuknya Gabungan
Besar Perusahaan dengan tetap mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan
yang terintegrasi, namun Integrasi Vertikal bisa juga tidak melahirkan trust
melainkan melahirkan merjer dalam arti perusahaan yang terlibat akhirnya ada
yang dibubarkan, digabung atau dilebur dengan hasil berdirinya perusahaan baru.
d. Trust dan Integrasi Vertikal dapat dibedakan karena dalam trust syaratnya adalah
perusahaan yang tergabung tetap dipertahankan eksistensinya alias tidak
dibubarkan (atau dilikuidasi), sedangkan syarat ini tidak ada dalam Integrasi
Vertikal.

Jadi, intinya antara Trust dengan Integrasi Vertikal dapat terkait satu dengan yang
lain, tapi juga dapat terpisah satu sama lain.

5 Pelajari kembali hakikat atau makna dari frasa ‘praktik mopoli’ dalam Bab IX Manual ini.
6 Lihat tentang pendekatan rule of reason dan illegal per se dalam Hukum Kompetisi pada Bab IX
Manual ini
6

3. Garis Besar Perjanjian tentang Vertical Restrictions

Setelah memahami tentang Integrasi Vertikal sebagaimana dijelaskan dalam bagian


pertama bab ini, kini masuk ke pembahasan tentang perjanjian vertikal yang berisi
berbagai macam pembatasan (vertical restrictions or vertical arrangements) yang tidak
ada hubungannya dengan Integrasi Vertikal maupun Trust. Dalam praktiknya banyak
perjanjian vertikal antara principal – distributor atau distributor – dealer, yang
memuat klausul-klausul berisi pembatasan-pembatasan atau restriksi tertentu
seperti misalnya:

a. Distributor hanya boleh (atau sebaliknya tidak boleh) memasarkan produk dari
Prinsipal di wilayah territorial tertentu yang telah disepakati dalam
perjanjian distribusi (Pasal 15 ayat 1 UU No 5 tahun 1999, disebut sebagai
Perjanjian Tertutup).
b. Distributor hanya boleh (atau sebaliknya tidak boleh) memasarkan produk dari
Prinsipal kepada konsumen tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian
distribusi (Pasal 15 ayat 1 UU No 5 tahun 1999, disebut sebagai Perjanjian
Tertutup atau Exclusive Supply Contract or Requirement Contract).
c. Prinsipal tidak dibolehkan untuk menunjuk Distributor lain di wilayah
territorial yang telah disepakati dalam perjanjian distribusi (Sole Distributorship
Agreement).
d. Prinsipal tidak dibolehkan untuk memasarkan langsung produknya kepada
konsumen di wilayah yang sama dengan Distributor yang telah ditunjuknya
dalam perjanjian distribusi (Exclusive Distributorship Agreement).
e. Distributor dilarang memasarkan produk sejenis dari Produsen/Prinsipal
lain yang saling bersaing (Exclusive Purchase Agreement or Exclusive Dealing
Contract).
f. Distributor tidak boleh memasarkan produk dari Prinsipal ke pihak dealer atau
retailer dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah ditetapkan dalam
perjanjian distribusi (Perjanjian Penetapan Harga Jual Kembali atau Resale
Price Maintenance, Pasal 8 UU No 5 tahun 1999).
g. Distributor atau Dealer diwajibkan memasarkan berbagai produk yang satu
kelompok (in-line products) maupun produk lain yang tidak dalam satu
kelompok dari Produsen/Prinsipal yang sama secara Ikatan/Paketan (Tying
Contract) atau secara Bundling termasuk dengan syarat pemberian diskon
harga (Pasal 15 ayat 2 dan 3 huruf a UU No 5 tahun 1999).

Berikut ini beberapa contoh dari pembatasan vertical sperti disebut di atas.

1. Produsen A menjual produknya (berarti dia juga dapat disebut supplier atau
pemasok) ke distributornya yakni B dengan syarat bahwa B ketika akan menjual
kembali produk itu ke para dealernya harga yang harus ditetapkan oleh B tidak boleh
lebih rendah dari harga yang telah ditetapkan oleh A, yakni misal Rp10.000/potong.
Artinya, B tidak boleh menjual kepada C, D, E dstnya dengan harga di bawah Rp.
10.000,-. Ini adalah praktik yang dilarang oleh Pasal 8, sekalipun alasan yang lazim
di pakai oleh produsen seperti A itu adalah bahwa kebijakannya itu dimaksudkan
agar produknya di pasar yang didistribusikan oleh para distributor dan dealer
7

harganya seragam, atau setidaknya harganya tidak saling berbeda jauh; sebab jika
tidak ada kebijakan penetapan harga jual kembali seperti itu maka di pasar
kemungkinan besar akan terjadi perang harga di antara para distributornya yang
dalam perspektif A justru dapat merusak harga/reputasi (perang harga internal
merek).7

2. Produsen A membuat perjanjian distribusi dengan B yang berisi syarat bahwa B


hanya boleh memasarkan kembali produk dari A di wilayah provinsi DKI dan Banten;
atau B hanya boleh memasarkan produk tersebut kepada konsumen tertentu saja
yakni dealer K dan M. Artinya, B tidak boleh memasarkan, mengiklankan, atau
gencar mencari pelanggan yang berdomisili di luar provinsi Banten dan DKI. Bagi A,
pemasaran produknya di wilayah di luar Banten dan DKI akan diberikan kepada
distributor lain atau mungkin pula akan dia lakukan sendiri. Perjanjian seperti ini
dapat juga dirumuskan dengan kalimat negatif, yakni misal B diikat dengan syarat
untuk tidak memasarkan produk A di wilayah provinsi Banten dan DKI; sehingga
artinya justru B dapat memasarkan produk tersebut di provinsi lain selain Banten
dan DKI. Larang atas perjanjian semacam ini dapat ditemukan dalam Pasal 15 ayat 1
UU No 5 tahun 1999 yang disebut dengan judul Perjanjian Tertutup (Exclusive
Dealings).

Perjanjian tertutup yang dilarang oleh Pasal 15 ayat (1) sesungguhnya ‘berdekatan’
dengan perjanjian tentang pembagian wilayah atau pasar yang dilarang oleh Pasal 9.
Disebut berdekatan sebab inti dari keduanya adalah membatasi wilayah pasar untuk
keperluan pemasaran produk. Hanya bedanya adalah pembatasan wilayah pasar yang
diatur dalam Pasal 9 bersifat horizontal, sedangkan pembatasan pasar (eksklusivitas
pasar) yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) bersifat vertikal. Dalam pustaka hukum
kompetisi memang istilah exclusive dealings hanya untuk perjanjian yang vertical,
sehingga perjanjian pembagian atau pembatasan pasar yang horizontal memang
biasanya dapat dikeluarkan dari kelompok exclusive dealings.

3. Produsen A memasok produknya (produk 1) ke distributor B dengan syarat bahwa


B harus pula membeli produk 2 dari produsen A, atau dari pihak lain yang ditunjuk
oleh A, apabila B menolak syarat tersebut maka akibatnya B tidak akan memperoleh
produk 1. Dengan kata lain, produsen A memaksa B untuk mau membeli produk lain
yakni produk 2 jika hendak mendapatkan produk 1 sekalipun produk 2 itu tidak
dikehendaki atau dibutuhkan oleh B, atau kalaupun B membutuhkan produk 2 itu
dia sebenarnya ingin memperolehnya dari pengusaha lain yang tidak ada hubungan
dengan A. Praktik ini dapat terjadi di antara distributor dengan dealer, atau bahkan
antara penjual eceran dengan konsumen akhir. Intinya adalah bahwa pihak yang
bertindak sebagai penjual memaksa pembeli untuk membeli produk 1 + 2. Ini berarti
penjual mengikatkan produk 2 ke produk 1. Praktik semacam ini bisa terjadi karena
pangsa pasar produk 1 dikuasai oleh A, alias A ini berada dalam posisi dominan,
sehingga dengan posisi tersebut dia bermaksud memasarkan produk 2 (yang
mungkin hasil produknya sendiri atau mungkin juga produk dari perusahaan lain

7 Topik ini akan diuraikan khusus dalam bab tersendiri berjudul Penetapan Harga Jual Kembali.
8

yang merupakan anak perusahaan atau perusahaan afiliasi dari perusahaan A)


dengan cara tidak sehat. Cara tidak sehat oleh A ini terjadi karena di pasar terdapat
produk yang sama atau sejenis dengan produk 2 yang dihasilkan oleh para pesaing.
Apabila A memasarkan produk 2 dengan cara mengikatkannya dengan produk 1 di
mana dia mempunyai pangsa pasar yang besar (misal 60%), maka berarti dia seolah
sudah ‘menang langkah’ dibandingkan dengan para pesaingnya.8

Hubungan Horisontal dan Vertical Arrangements dengan Posisi Dominan9

Yang dimaksud dengan Posisi Dominan adalah posisi di mana satu pelaku usaha
menguasai pangsa pasar suatu produk sebesar 50% atau lebih, atau jika pelaku
usaha itu merupakan sebuah kelompok perusahaan pangsa pasar produk yang
dikuasai adalah 75% atau lebih (Pasal 25 ayat 2 huruf a dan b). Dalam posisi seperti
itu, pelaku usaha tersebut memang bukan menjadi satu-satunya pelaku usaha untuk
produk termaksud, tetapi dia berada dalam posisi yang lebih dominan dibandingkan
pesaingnya pada pasar yang sama. Contoh, pangsa pasar rokok kretek dikuasai oleh
4 produsen yang saling independen. Salah satu dari produsen itu ternyata menguasai
pangsa pasar rokok kretek sebesar 55%, sementara ketiga pesaingnya menguasai
pangsa pasar yang lebih kecil yang jika dijumlah membentuk pangsa pasar 45%.
Dengan fakta seperti itu produsen rokok dengan pangsa 55% disebut berada dalam
posisi dominan.

Dengan dikuasainya pangsa pasar secara dominan oleh satu pelaku usaha membuat
pelaku usaha tersebut memiliki kekuasaan pasar sehingga dapat mengendalikan
harga. Berada dalam posisi dominan saja tidak akan mengakibatkan pelaku usaha itu
dijerat oleh UU No 5 tahun 1999. Tentu, pelaku usaha tidak dapat disalahkan jika
produknya mampu merebut pangsa pasar sedemikian luas sehingga menyebabkan
pelaku usaha itu berada dalam posisi dominan. Hukum Kompetisi hanya akan
menjatuhkan sanksi apabila pelaku usaha yang berada dalam posisi dominan
tersebut menyalah-gunakan posisinya itu (abuse of dominant position) untuk
membuat perjanjian atau melakukan perbuatan yang pada prinsipnya menghalangi
atau merusak persaingan usaha, membatasi pasar, atau menetapkan syarat-syarat
dalam perjanjian yang memberatkan pelaku usaha mitra bisnisnya.

Rincian tentang perjanjian atau perbuatan apa saja yang jika dilakukan oleh pelaku
usaha yang berada dalam posisi dominan berakibat pada penjatuhan sanksi, diatur
dalam Pasal 25 ayat (1) UU No 5 tahun 1999. Berikut ini kutipan isi pasal tersebut:
“Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau
menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari
segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

8 Penjelasan lebih lanjut tentang tying contract akan diuraikan dalam Bab tersendiri.
9 Uraian khusus tentang Posisi Dominan akan ditulis dalam Bab tersendiri dri Manual ini.
9

c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki
pasar bersangkutan”.

Rincian perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha yang berada dalam
posisi dominan tersebut di atas (dari huruf a hingga c) pada praktiknya dapat berupa
membuat perjanjian atau bukan perjanjian (kegiatan sepihak) yang dilarang oleh UU
tersebut. Misal, perjanjian ikatan (tying), perjanjian eksklusif, perjanjian penetapan
harga jual kembali, dsbnya. Artinya, pelaku usaha yang berada pada posisi dominan
berpotensi untuk melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat dengan membuat perjanjian atau perbuatan dalam huruf a hingga c di atas
yang jika dikaji merupakan berbagai perjanjian atau perbuatan yang dilarang dalam
UU tersebut.

Anda mungkin juga menyukai