Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM PERSAINGAN USAHA

DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH

HUKUM BISNIS

DOSEN PENGAMPU

ISTIANAH ASAS,S.E.,M.Ec.,Dev.

Disusun Oleh

Kelompok 10

Andra Deny Hibatullah (2021210156)

Shania Nur Aulia (2021210159)

Ach. Sulaiman Wahyudi (2021210164)

PRODI S1 MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MADURA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan wawasan
mengenai mata kuliah Hukum Bisnis, dengan judul “Hukum, Persaingan Usaha”.

Dengan tulisan ini kami diharapkan mahasiswa mampu untuk memahami tentang
hukum persaingan usaha yang ada di Indonesia. Kami sadar materi kuliah ini terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat
membangun dari berbagai pihak, agar bisa menjadi lebih baik lagi. Berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Pamekasan, 20 Desember 2022

Penulis
HUKUM PERSAINGAN USAHA

Sebagai negara yang menganut sistem ekonomi berasaskan kekeluargaan, setiap


pelaku usaha diharapkan bersaing secara sehat. Prinsipnya, jangan sampai pengusaha
mengambil untung dari kerugianpengusaha lainnya. Asas dan tujuan hukum persaingan usaha
diatur dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat (UU anti Monopoli). Menurut undang undang ini, pelaku usaha
diindonesia dalam kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
memperhatikankeseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan
umum.Karena itu,tujuan pembentukan undang - undang ini ialah :

1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasionalsebagai


satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat guna menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha
besar, menengah dan pelaku usaha kecil.
3. mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan
oleh pelaku usaha;
4. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Namun demikian, negara (pemerintah) perlu membedakan antara bersaing dengan


progresif (langkah maju) dan bersaing dengan intrik dalam penguasaan pangsa pasar.
Pemerintah justru wajib mendukung para pengusaha yang terus berinovasi dalam melahirkan
produk yang sangat berkualitas dan sangat dibutuhkan masyarakat. Artinya, satu atau
beberapa perusahaan memproduksi barang/jasa yang belum ada tandingannya, atau belum
ada yang mampu membuatnya sehingga perusahaan itu menguasai pangsa pasar. Atau,
perusahaan ini membuat barang-barang substitusi yang kreatif dan inovatif.

Misalnya, kehadiran usaha jasa angkutan berbasis online (sebagai dampak


teknologi) sudah menjadi kebutuhan bagi konsumen dalam memudahkan transaksi dan
membandingkan harga atau tarif angkutan. Lewat sistem online, persaingan usaha jasa
angkutan bisa lebih transparan. Karena itu, pemerintah seharusnya mendukung tujuan mulia
dari teknologi, yaitu hidup yang lebih baik, praktis, murah, cepat, dan aman. Hukum bukan
penghambat manfaat teknologi.
Tindakan perusahaan yang perlu dilarang ialah mengumpulkan ragam produk dari
berbagai produsen barang/jasa di tokonya lalu ia menguasai dan memasarkannya serta
mengendalikan harga. Atau, beberapa perusahaan bersekongkol untuk mengendalikan
produksi dan pemasaran sehingga perusahaan lain tidak diberi kesempatan untuk berproduksi
barang jasa yang sejenis (bukan bersaing secara kualitas, tapi bersaing secara kuantitas).
Intinya, persaingan sehat itu harus dilihat dari kualitas barang jasa yang dihasilkan setiap
perusahaan. Karena itu, UU Anti Monopoli mengatur tindakan pengusaha yang terlarang.

A. Perjanjian yang Dilarang

Pertama, oligopoli (Pasal 4 UU Anti Monopoli). Pelaku usaha dilarang membuat


perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan
produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat Pelaku usaha patut diduga atau
dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.

Kedua, penetapan harga (Pasal 5 UU Anti Monopoli). Pelaku usaha dilarang


membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu
barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen pada pasar bersangkutan yang sama.
Ketentuan ini tidak berlaku bagi:

a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau


b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Selain itu, pengusaha dilarang:
a. membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar
dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain
untuk barang dan/atau jasa yang sama;
b. membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga
di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat;
c. membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan
bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok
kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Ketiga, pembagian wilayah (Pasal 9 UU Anti Monopoli). Pelaku usaha dilarang


membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah
pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau jasa sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Keempat, pemboikotan (Pasal 10 UU Anti Monopoli). Pelaku usaha dilarang


membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha
lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar
luar negeri. Selain itu, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan/atau jasa dari pelaku usaha lain
sehingga perbuatan tersebut:

a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain;

b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari
pasar bersangkutan.

Kelima, kartel (Pasal 11 UU Anti Monopoli). Pelaku usaha dilarang membuat


perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk memengaruhi harga
dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Keenam, trust (Pasal 12 UU Anti Monopoli). Pelaku usaha dilarang membuat


perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk
gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya,
yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran atas barang/jasa, sehingga
dapat menyebabkan praktik monopoli/persaingan usaha tidak sehat.

Ketujuh, oligopsoni (Pasal 13 UU Anti Monopoli). Pelaku usaha dilarang membuat


perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai
pembelian atau, penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/atau
jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/
atau persaingan usaha tidak sehat. Selain itu, pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara
bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Kedelapan, integrasi vertikal (Pasal 14 UU Anti Monopoli). Pelaku usaha dilarang


membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi
sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu yang
mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam
satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha yang tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat. Istilah lain, penguasaan
proses produksi dari hulu ke hilir.

Kesembilan, perjanjian tertutup (Pasal 15 UU Anti Monopoli). Pelaku usaha


dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok
kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu.
Lalu, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan
bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang
dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. Selain itu, pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa, yang
memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku
usaha pemasok: harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;
atau tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain
yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok. Persyaratan seperti ini bisa merugikan
pengusaha lain.

Kesepuluh, perjanjian dengan pihak luar negeri (Pasal 16 UU Anti Monopoli).


Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain atau pengusaha lain di luar
negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

B. Kegiatan yang Dilarang

Pertama, monopoli (Pasal 17 UU Anti Monopoli). Pelaku usaha dilarang melakukan


penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/ atau jasa yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Kemudian, pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa apabila:

1. barang dan/atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya;

2. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang
dan/atau jasa yang sama;

3. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Terkait aturan ini, beberapa monopoli yang tidak dilarang misalnya monopoly by
law, yaitu monopoli karena dibolehkan atau diatur khusus oleh undang-undang. Monopoli ini
biasanya dilakukan oleh perusahaan negara, seperti PT Pertamina (Perusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Nasional), PT PLN (Perusahaan Listrik Negara), dan PT KAI (Kereta
Api Indonesia). Di daerah, misalnya, PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) yang ada di
setiap daerah di Indonesia.

Selain itu, monopoli yang tidak dilarang adalah monopoly by nature, yaitu
penguasaan pangsa pasar secara alamiah oleh seorang pengusaha Monopoli lainnya yang
tidak dilarang adalah monopoly by license, yaitu karena kondisi alam tertentu dan produknya
sangat dibutuhkan masyarakat. monopoli oleh sebuah perusahaan karena hak lisensi yang
diberikan kepadanya berupa hak kekayaan intelektual. Monopoli ini didasarkan pada
perjanjian lisensi antara inventor (penemu) dengan perusahaan (produsen).

Kedua, monopsoni (Pasal 18 UU Anti Monopoli). Pelaku usaha dilarang menguasai


penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam pasar
bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa
tertentu.

Ketiga, penguasaan pasar (Pasal 19 UU Anti Monopoli). Pelaku usaha dilarang


melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang
dapat mengakibatkan terjadinya monopoli/ persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha
yang sama pada pasar bersangkutan;

b. atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan


monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan

d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

Selain itu, pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa
dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikanpersaingan usaha tidak sehat (Pasal terjadinya praktek
monopoli dan atau 20 UU Anti Monopoli).

Pelaku usaha juga dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya


produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa
yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 21 UU Anti
Monopoli).

Keempat, persekongkolan (Pasal 22 UU Anti Monopoli). Pelaku usaha dilarang


bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/ atau menentukan pemenang tender
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Kemudian, pelaku
usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha
pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

Selain itu, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
menghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya
dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar
bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan.

C. Posisi Dominan

Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah
dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari
segi harga maupun kualitas; atau membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar
bersangkutan. Pelaku usaha memiliki posisi dominan apabila:

1.satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu,

2. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

D. Jabatan Rangkap

Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu
perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris
pada perusahaan lain, apabila perusahaan:

1. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau

2. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan/atau jenis usaha; atau

3. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan/atau jasa tertentu, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.

E. Pemilikan Saham

Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis
yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang
sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada
pasar bersangkutan yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan: satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen)
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

F. Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan

1.Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat
mengakibatkan terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

2. Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang
dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan diatur dalam peraturan
pemerintah. Penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham yang
berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualannya melebih jumlah tertentu, wajib diberitahukan
kepada komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan,
peleburan atau pengambilalihan tersebut. Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan/ atau
nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan diatur dalam peraturan pemerintah.

G. Ketentuan Sanksi

Pengusaha yang terbukti melakukan tindakan berupa oligopoli, pembagian wilayah,


integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, monopoli, monopsoni, penguasaan
pasar, posisi dominan, penguasaan pemilikan saham, merger, konsolidasi, dan akuisisi yang
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat diancam pidana denda maksimum Rp25 miliar
atau pidana kurungan pengganti denda selama 6 (enam) bulan. Kemudian pengusaha yang
terbukti melakukan tindakan berupa penetapan harga, perjanjian tertutup, persekongkolan,
dan jabatan rangkap yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat diancam dengan pidana
denda minimal Rp5 miliar dan maksimum Rp25 miliar atau pidana kurungan selama 5 (lima)
bulan. Lembaga yang berwenang menegakkan hukum ini ialah Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) dengan wewenang:

1. menerima laporan dari masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;

2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat;

3. melakukan penyelidikan/ pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau


persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau pelaku usaha atau
menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia
memenuhi panggilan KPPU;

4. meminta keterangan dari instansi pemerintah terkait penyelidikan dan/atau pemeriksaan


terhadap pelaku usaha yang melanggar aturan;

5. mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
6. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain
atau masyarakat;

7. memberitahukan putusan komisi kepada pelaku usaha yang melanggar

8. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar.

Andaikata UU No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli diterapkan dalam bisnis
perbankan, maka implementasinya digambarkan sebagai berikut.

Pertama, sesuai tafsiran atas UU Anti Monopoli, satu atau sekelompok bank
dilarang menguasai produksi dan pemasaran produk perbankan atau penggunaan jasa
tertentu. Persentase ini terkait dengan pasar kredit dan deposito. Bank atau sekelompok bank
papan atas dilarang melakukan penguasaan suatu pasar perbankan hingga mengendalikan
suku bunga kredit. BI tentu mempunyai data dan informasi tentang komposisi penguasaan
pasar oleh setiap bank.

Kedua, bank dilarang berposisi dominan yang menghambat pertumbuhan bank


lainnya (menyingkirkan pesaing) di pasar perbankan, atau bank berposisi tertinggi di antara
pesaingnya terkait kemampuan keuangan, akses pada penjualan dan permintaan jasa tertentu.
Hanya saja, kriteria posisi dominan dunia usaha bank dengan usaha lainnya bisa berbeda.
Seperti halnya batas kepemilikan saham bank (umumnya 10 s/d 15 persen) yang berbeda
dengan porsi kepemilikan saham usaha non bank. Ini terkait dengan usaha bank yang terkait
kepentingan umum.

Ketiga, bank dilarang melakukan perjanjian dengan bank lain dalam rangka
penetapan bunga kredit yang harus dibayar oleh debitur untuk jenis usaha debitur yang sama.
Terakhir, bank juga dilarang menerapkan bunga itu BI sebagai otoritas dan pengawas
perbankan berwenang menegakkan kredit di bawah standar BI yang dapat merugikan bank
lainnya. Karena aturan ini.

H. Persaingan Transportasi Online dan Offline

Perkembangan teknologi informasi telah memicu tarik-menarik antara perusahaan


penyedia aplikasi angkutan online dan pengusaha angkutan konvesional (offline) di awal
tahun 2017. Tarik-menarik ini telah mendorong pemerintah untuk merevisi Peraturan Menteri
Perhubungan (Permenhub) Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang
dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Ada 11 poin isi revisi Permenhub.
Di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Jenis angkutan sewa. Kendaraan Bermotor Umum yang memiliki Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor (TNKB) warna hitam hanya kendaraan angkutan sewa;
nomenklatur angkutan sewa khusus untuk mengakomodir pelayanan angkutan taksi
online.
2. Kapasitas silinder mesin kendaraan. Angkutan Sewa Umum minimal 1.300 cc;
Angkutan Sewa Khusus minimal 1.000 cc.
3. Batas tarif angkutan sewa khusus. Penetapan tarif angkutan tertera pada aplikasi
berbasis teknologi informasi (tarif batas atas/bawah) diserahkan kepada gubernur
sesuai domisili perusahaan dan Kepala BPTJ untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi.
4. Kuota jumlah angkutan sewa khusus. Penetapan kebutuhan jumlah kendaraan
dilakukan oleh gubernur sesuai domisili perusahaan; dan Kepala BPTJ untuk wilayah
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi.
5. Kewajiban STNK berbadan hukum. Jika sebelumnya ketentuan STNK atas nama
perusahaan, direvisi menjadi STNK atas nama badan hukum.
6. Pengujian berkala (KIR). Tanda uji berkala kendaraan bermotor (kir) disesuaikan
menjadi pemberian plat yang di-emboss; Kendaraan bermotor yang paling lama 6
bulan sejak dikeluarkannya STNK tidak perlu diuji KIR, dapat dengan melampirkan
Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT).
7. Pool (penyimpanan kendaraan). Persyaratan izin penyelenggaraan angkutan umum
semula harus memiliki 'pool' disesuaikan menjadi memiliki/menguasai tempat
penyimpanan kendaraan. Harus mampu menampung jumlah kendaraan yang dimiliki.
8. Mengenai Bengkel. Dapat menyediakan fasilitas pemeliharaan kendaraan (bengkel);
atau kerja sama dengan pihak lain.
9. Mengenai Pajak. Pajak angkutan umum taksi online dikenakan terhadap perusahaan
aplikasi sesuai usul dari Ditjen Pajak.
10. Akses Dashboard. Wajib memberikan akses digital dashboard kepada Dirjen
Perhubungan Darat dan pemberi izin penyelenggaraan angkutan umum untuk
kepentingan pengawasan operasional taksi online.
11. Mengenai Sanksi. Sanksi atas pelanggaraan perusahaan aplikasi oleh Menteri
Komunikasi dan Informatika dengan memutus akses (pemblokiran) sementara
terhadap aplikasi sampai dilakukan perbaikan.

Problem regulasi ini ialah diterapkan pada dua jenis pelayanan transportasi, yaitu
pelayanan konsumen lewat aplikasi online dan pelayanan jasa angkutan secara manual
(konvensional). Perbedaan yang paling mendasar ialah penyedia jasa aplikasi online bukan
pemilik/pengusaha kendaraan, tetapi ia hanya menfasilitasi warga yang ingin berbisnis
sampingan lewat media online dengan menggunakan kendaraan sendiri.

Sedangkan pengusaha angkutan offline umumnya pemilik kendaraan dengan


merekrut pekerja sebagai sopir/pengendara. Jadi, angkutan online lewat penyedia aplikasi
merupakan bentuk penyebaran bisnis angkutan ke ribuan warga yang ingin menambah
penghasilan dari kemajuan teknologi informatika. Sebenarnya, fenomena sistem online bukan
hanya terjadi pada angkutan, tapi juga pada pemesanan tiket secara online (e-ticketing), pesan
barang dagangan online dan ragam pembayaran tagihan secara online.

Tidak sedikit perusahaan tiket (agen) dan toko barang yang mengalami
kemerosotan jumlah konsumen yang datang langsung ke agen akibat kehadiran teknologi
online. Konsumen yang dulunya harus datang ke perusahaan penjual tiket, kini sudah bisa
pesan sambil santai di rumah. Sistem online ini memang terbukti bisa mengurangi biaya
operasional dan distribusi barang/jasa ke konsumen. Tingginya harga/tarif barang atau jasa
tak lepas dari mahalnya biaya operasional dan distribusi dalam sistem offline.

Karena itu, aplikasi online membuat transaksi jauh lebih efisien. Di sini penyedia
aplikasi online hanya berfungsi sebagai wadah bagi konsumen dalam bertransaksi dan
membandingkan tarif. Hal ini mirip dengan virtual mall dalam mempertemukan penjual dan
pembeli dalam sistem perdagangan barang secara online (e-commerce). Bahkan dalam sistem
e-commerce, situs online bisa dijadikan sebagai wadah bagi para pelanggan untuk
berinteraksi dengan pelanggan lainnya, atau konsultasi soal produk dan pemanfaatannya.

Melalui e-commerce, penjual dan pembeli barang bisa langsung menentukan harga
yang pas tanpa adanya tekanan atau permainan dari para tengkulak maupun oknum
distributor. Spirit ini juga yang terjadi pada jasa angkutan. Karena itu, langkah progresif
dalam pemasaran dan pelayanan jasa tidak bisa dibatasi, terutama soal kuota dan tarif batas
bawah. Sebab, sistem online-lah yang membuat penerapan tarif jauh lebih murah dan
transparan.
Tarif murah akibat teknologi sebenarnya berbeda dengan predatory pricing yang
dilarang dalam Pasal 20 UU No. 9 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli). Konsep predatory pricing (jual rugi)
adalah intrik buruk dari oknum pengusaha dengan menjual produknya sangat murah (bukan
karena inovasi) untuk menyingkirkan pesaingnya. Lalu, oknum pengusaha itu segera
menaikkan kembali harga produknya setelah berhasil mengusir pesaingnya. Bahkan, harga
yang dia terapkan bisa lebih mahal dari harga normal.

Tarif murah akibat teknologi online tidak bisa dianggap sebagai intrik yang
mematikan perusahaan lain. Pemerintah seharusnya mendukung tujuan mulia dari teknologi,
yaitu hidup yang lebih baik, praktis, murah, cepat, dan aman. Karena itu, regulasi tidak boleh
menghambat manfaat teknologi. Terkait persaingan penguasaan pasar angkutan, pemerintah
sebaiknya mengacu pada UU No. 5 Tahun 1999 tentang UU Anti Monopoli yang tidak
mengatur soal kuota, tetapi mengatur volume penguasaan pasar di suatu wilayah pemasaran.
Sebab, pengusaha yang memiliki banyak armada belum tentu menguasai mayoritas pangsa
pasar karena terkait kualitas angkutan dan pilihan konsumen.

Zaman memang sudah berubah. Bisa saja usaha angkutan tertentu paling banyak
diminati konsumen karena kualitas dan tarif yang lebih murah akibat kemajuan teknologinya,
bukan karena intrik. Idealnya, pemerintah justru mendorong munculnya produk-produk
layanan masyarakat yang murah dan berkualitas berkat teknologi. Jadi, penyedia aplikasi
angkutan online tidak bisa dipertentangkan dengan pengusaha angkutan offline. Kementerian
Perhubungan (Kemenhub) bisa saja mengatur jasa angkutan online, tetapi tidak perlu
mengatur atau membatasi soal tarif batas bawah dan kuota.

Sebab persaingan usaha terkait volume penguasan pasar dan kemungkinan adanya
permainan tarif sudah diatur khusus dalam UU Anti Monopoli. Pasal 4 sampai Pasal 16 sudah
mengatur tentang beberapa perjanjian yang dilarang antar pelaku usaha. Misalnya; larangan
mengenai pembagian wilayah pemasaran, perjanjian dua atau lebih perusahaan untuk
menguasai lebih dari 75% pangsa pasar (oligopoli), penetapan harga dan kartel. Kemudian
Pasal 17 s/d 29 yang melarang penguasaan pangsa pasar maupun pasokan barang/jasa lebih
dari 50% oleh satu pengusaha, lalu persekongkolan dan posisi dominan. Ketentuan ini bisa
saja diimplementasikan terhadap bisnis jasa angkutan dengan fokus pada kesimbangan
pengusaan pasar antarpelaku usaha, bukan soal dampak teknologi online. Namun penegakan
hukum soal penguasaan pasar angkutan harus diserahkan kepada Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), bukan Kemenhub. Sebab, Kemenhub tidak mengurusi struktur
pangsa pasar, terutama untuk angkutan umum.

Namun tanggal 20 Juni 2017 Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya Nomor 37
P/HUM/2017 tentang Uji Materi terhadap Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 telah
membatalkan isi Permenhub Nomor 26 Tahun 2017. MA menilai bahwa Permenhub tersebut
bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
serta UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Menurut
MA, penyusunan regulasi di bidang transportasi berbasis teknologi dan informasi (online)
seharusnya berdasar asas musyawarah mufakat yang melibatkan seluruh stakeholder di
bidang jasa transportasi, bukan diputuskan sendiri oleh Kementerian Perhubungan.
Keputusan bersama diperlukan guna menumbuh-kembangkan usaha ekonomi mikro, kecil,
dan menengah, tanpa meninggalkan asas kekeluargaan.

Anda mungkin juga menyukai