HUKUM BISNIS
DOSEN PENGAMPU
ISTIANAH ASAS,S.E.,M.Ec.,Dev.
Disusun Oleh
Kelompok 10
PRODI S1 MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MADURA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya. Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan wawasan
mengenai mata kuliah Hukum Bisnis, dengan judul “Hukum, Persaingan Usaha”.
Dengan tulisan ini kami diharapkan mahasiswa mampu untuk memahami tentang
hukum persaingan usaha yang ada di Indonesia. Kami sadar materi kuliah ini terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat
membangun dari berbagai pihak, agar bisa menjadi lebih baik lagi. Berharap semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.
Penulis
HUKUM PERSAINGAN USAHA
b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan/atau jasa dari
pasar bersangkutan.
2. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang
dan/atau jasa yang sama;
3. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh
persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Terkait aturan ini, beberapa monopoli yang tidak dilarang misalnya monopoly by
law, yaitu monopoli karena dibolehkan atau diatur khusus oleh undang-undang. Monopoli ini
biasanya dilakukan oleh perusahaan negara, seperti PT Pertamina (Perusahaan Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Nasional), PT PLN (Perusahaan Listrik Negara), dan PT KAI (Kereta
Api Indonesia). Di daerah, misalnya, PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) yang ada di
setiap daerah di Indonesia.
Selain itu, monopoli yang tidak dilarang adalah monopoly by nature, yaitu
penguasaan pangsa pasar secara alamiah oleh seorang pengusaha Monopoli lainnya yang
tidak dilarang adalah monopoly by license, yaitu karena kondisi alam tertentu dan produknya
sangat dibutuhkan masyarakat. monopoli oleh sebuah perusahaan karena hak lisensi yang
diberikan kepadanya berupa hak kekayaan intelektual. Monopoli ini didasarkan pada
perjanjian lisensi antara inventor (penemu) dengan perusahaan (produsen).
c. membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan
Selain itu, pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan atau jasa
dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikanpersaingan usaha tidak sehat (Pasal terjadinya praktek
monopoli dan atau 20 UU Anti Monopoli).
Selain itu, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
menghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya
dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar
bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang
dipersyaratkan.
C. Posisi Dominan
Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah
dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari
segi harga maupun kualitas; atau membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar
bersangkutan. Pelaku usaha memiliki posisi dominan apabila:
1.satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu,
2. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa
pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
D. Jabatan Rangkap
Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu
perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris
pada perusahaan lain, apabila perusahaan:
2. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan/atau jenis usaha; atau
3. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan/atau jasa tertentu, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat.
E. Pemilikan Saham
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis
yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang
sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada
pasar bersangkutan yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan: satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen)
pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
1.Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat
mengakibatkan terjadinya monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
2. Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang
dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan diatur dalam peraturan
pemerintah. Penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham yang
berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualannya melebih jumlah tertentu, wajib diberitahukan
kepada komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan,
peleburan atau pengambilalihan tersebut. Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan/ atau
nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan diatur dalam peraturan pemerintah.
G. Ketentuan Sanksi
1. menerima laporan dari masyarakat dan/atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat;
2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat;
5. mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
6. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain
atau masyarakat;
Andaikata UU No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli diterapkan dalam bisnis
perbankan, maka implementasinya digambarkan sebagai berikut.
Pertama, sesuai tafsiran atas UU Anti Monopoli, satu atau sekelompok bank
dilarang menguasai produksi dan pemasaran produk perbankan atau penggunaan jasa
tertentu. Persentase ini terkait dengan pasar kredit dan deposito. Bank atau sekelompok bank
papan atas dilarang melakukan penguasaan suatu pasar perbankan hingga mengendalikan
suku bunga kredit. BI tentu mempunyai data dan informasi tentang komposisi penguasaan
pasar oleh setiap bank.
Ketiga, bank dilarang melakukan perjanjian dengan bank lain dalam rangka
penetapan bunga kredit yang harus dibayar oleh debitur untuk jenis usaha debitur yang sama.
Terakhir, bank juga dilarang menerapkan bunga itu BI sebagai otoritas dan pengawas
perbankan berwenang menegakkan kredit di bawah standar BI yang dapat merugikan bank
lainnya. Karena aturan ini.
1. Jenis angkutan sewa. Kendaraan Bermotor Umum yang memiliki Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor (TNKB) warna hitam hanya kendaraan angkutan sewa;
nomenklatur angkutan sewa khusus untuk mengakomodir pelayanan angkutan taksi
online.
2. Kapasitas silinder mesin kendaraan. Angkutan Sewa Umum minimal 1.300 cc;
Angkutan Sewa Khusus minimal 1.000 cc.
3. Batas tarif angkutan sewa khusus. Penetapan tarif angkutan tertera pada aplikasi
berbasis teknologi informasi (tarif batas atas/bawah) diserahkan kepada gubernur
sesuai domisili perusahaan dan Kepala BPTJ untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi.
4. Kuota jumlah angkutan sewa khusus. Penetapan kebutuhan jumlah kendaraan
dilakukan oleh gubernur sesuai domisili perusahaan; dan Kepala BPTJ untuk wilayah
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi.
5. Kewajiban STNK berbadan hukum. Jika sebelumnya ketentuan STNK atas nama
perusahaan, direvisi menjadi STNK atas nama badan hukum.
6. Pengujian berkala (KIR). Tanda uji berkala kendaraan bermotor (kir) disesuaikan
menjadi pemberian plat yang di-emboss; Kendaraan bermotor yang paling lama 6
bulan sejak dikeluarkannya STNK tidak perlu diuji KIR, dapat dengan melampirkan
Sertifikat Registrasi Uji Tipe (SRUT).
7. Pool (penyimpanan kendaraan). Persyaratan izin penyelenggaraan angkutan umum
semula harus memiliki 'pool' disesuaikan menjadi memiliki/menguasai tempat
penyimpanan kendaraan. Harus mampu menampung jumlah kendaraan yang dimiliki.
8. Mengenai Bengkel. Dapat menyediakan fasilitas pemeliharaan kendaraan (bengkel);
atau kerja sama dengan pihak lain.
9. Mengenai Pajak. Pajak angkutan umum taksi online dikenakan terhadap perusahaan
aplikasi sesuai usul dari Ditjen Pajak.
10. Akses Dashboard. Wajib memberikan akses digital dashboard kepada Dirjen
Perhubungan Darat dan pemberi izin penyelenggaraan angkutan umum untuk
kepentingan pengawasan operasional taksi online.
11. Mengenai Sanksi. Sanksi atas pelanggaraan perusahaan aplikasi oleh Menteri
Komunikasi dan Informatika dengan memutus akses (pemblokiran) sementara
terhadap aplikasi sampai dilakukan perbaikan.
Problem regulasi ini ialah diterapkan pada dua jenis pelayanan transportasi, yaitu
pelayanan konsumen lewat aplikasi online dan pelayanan jasa angkutan secara manual
(konvensional). Perbedaan yang paling mendasar ialah penyedia jasa aplikasi online bukan
pemilik/pengusaha kendaraan, tetapi ia hanya menfasilitasi warga yang ingin berbisnis
sampingan lewat media online dengan menggunakan kendaraan sendiri.
Tidak sedikit perusahaan tiket (agen) dan toko barang yang mengalami
kemerosotan jumlah konsumen yang datang langsung ke agen akibat kehadiran teknologi
online. Konsumen yang dulunya harus datang ke perusahaan penjual tiket, kini sudah bisa
pesan sambil santai di rumah. Sistem online ini memang terbukti bisa mengurangi biaya
operasional dan distribusi barang/jasa ke konsumen. Tingginya harga/tarif barang atau jasa
tak lepas dari mahalnya biaya operasional dan distribusi dalam sistem offline.
Karena itu, aplikasi online membuat transaksi jauh lebih efisien. Di sini penyedia
aplikasi online hanya berfungsi sebagai wadah bagi konsumen dalam bertransaksi dan
membandingkan tarif. Hal ini mirip dengan virtual mall dalam mempertemukan penjual dan
pembeli dalam sistem perdagangan barang secara online (e-commerce). Bahkan dalam sistem
e-commerce, situs online bisa dijadikan sebagai wadah bagi para pelanggan untuk
berinteraksi dengan pelanggan lainnya, atau konsultasi soal produk dan pemanfaatannya.
Melalui e-commerce, penjual dan pembeli barang bisa langsung menentukan harga
yang pas tanpa adanya tekanan atau permainan dari para tengkulak maupun oknum
distributor. Spirit ini juga yang terjadi pada jasa angkutan. Karena itu, langkah progresif
dalam pemasaran dan pelayanan jasa tidak bisa dibatasi, terutama soal kuota dan tarif batas
bawah. Sebab, sistem online-lah yang membuat penerapan tarif jauh lebih murah dan
transparan.
Tarif murah akibat teknologi sebenarnya berbeda dengan predatory pricing yang
dilarang dalam Pasal 20 UU No. 9 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli). Konsep predatory pricing (jual rugi)
adalah intrik buruk dari oknum pengusaha dengan menjual produknya sangat murah (bukan
karena inovasi) untuk menyingkirkan pesaingnya. Lalu, oknum pengusaha itu segera
menaikkan kembali harga produknya setelah berhasil mengusir pesaingnya. Bahkan, harga
yang dia terapkan bisa lebih mahal dari harga normal.
Tarif murah akibat teknologi online tidak bisa dianggap sebagai intrik yang
mematikan perusahaan lain. Pemerintah seharusnya mendukung tujuan mulia dari teknologi,
yaitu hidup yang lebih baik, praktis, murah, cepat, dan aman. Karena itu, regulasi tidak boleh
menghambat manfaat teknologi. Terkait persaingan penguasaan pasar angkutan, pemerintah
sebaiknya mengacu pada UU No. 5 Tahun 1999 tentang UU Anti Monopoli yang tidak
mengatur soal kuota, tetapi mengatur volume penguasaan pasar di suatu wilayah pemasaran.
Sebab, pengusaha yang memiliki banyak armada belum tentu menguasai mayoritas pangsa
pasar karena terkait kualitas angkutan dan pilihan konsumen.
Zaman memang sudah berubah. Bisa saja usaha angkutan tertentu paling banyak
diminati konsumen karena kualitas dan tarif yang lebih murah akibat kemajuan teknologinya,
bukan karena intrik. Idealnya, pemerintah justru mendorong munculnya produk-produk
layanan masyarakat yang murah dan berkualitas berkat teknologi. Jadi, penyedia aplikasi
angkutan online tidak bisa dipertentangkan dengan pengusaha angkutan offline. Kementerian
Perhubungan (Kemenhub) bisa saja mengatur jasa angkutan online, tetapi tidak perlu
mengatur atau membatasi soal tarif batas bawah dan kuota.
Sebab persaingan usaha terkait volume penguasan pasar dan kemungkinan adanya
permainan tarif sudah diatur khusus dalam UU Anti Monopoli. Pasal 4 sampai Pasal 16 sudah
mengatur tentang beberapa perjanjian yang dilarang antar pelaku usaha. Misalnya; larangan
mengenai pembagian wilayah pemasaran, perjanjian dua atau lebih perusahaan untuk
menguasai lebih dari 75% pangsa pasar (oligopoli), penetapan harga dan kartel. Kemudian
Pasal 17 s/d 29 yang melarang penguasaan pangsa pasar maupun pasokan barang/jasa lebih
dari 50% oleh satu pengusaha, lalu persekongkolan dan posisi dominan. Ketentuan ini bisa
saja diimplementasikan terhadap bisnis jasa angkutan dengan fokus pada kesimbangan
pengusaan pasar antarpelaku usaha, bukan soal dampak teknologi online. Namun penegakan
hukum soal penguasaan pasar angkutan harus diserahkan kepada Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), bukan Kemenhub. Sebab, Kemenhub tidak mengurusi struktur
pangsa pasar, terutama untuk angkutan umum.
Namun tanggal 20 Juni 2017 Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya Nomor 37
P/HUM/2017 tentang Uji Materi terhadap Permenhub Nomor 26 Tahun 2017 telah
membatalkan isi Permenhub Nomor 26 Tahun 2017. MA menilai bahwa Permenhub tersebut
bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
serta UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Menurut
MA, penyusunan regulasi di bidang transportasi berbasis teknologi dan informasi (online)
seharusnya berdasar asas musyawarah mufakat yang melibatkan seluruh stakeholder di
bidang jasa transportasi, bukan diputuskan sendiri oleh Kementerian Perhubungan.
Keputusan bersama diperlukan guna menumbuh-kembangkan usaha ekonomi mikro, kecil,
dan menengah, tanpa meninggalkan asas kekeluargaan.