Latar Belakang Masalah Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli
membuat tiga kategori tindakan-tindakan yang dilarang, yaitu "perjanjian yang dilarang" (Bab III), " kegiatan yang dilarang"(Bab IV), dan "posisi domiinan" (Bab V). Didalarn kategori "perjanjian yang dilarang"ditentukan ada sepuluh tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, sedangkanuntuk kategori "kegiatan yang dilarang" dan "posisi dominan" masing-masing ditentukan adaempat dan tiga tindakan yang tidak diperbolehkan.Dua kategori yang pertama ("perjanjian yang dilarang" dan "kegiatan yang dilarang")tarnpak lebih ditekankan pada pcngaturan perilaku (behavior) yang mengarah pada akibatyang tidak dikehendaki, sedangkan kategori "posisi dominan" lebih dititik breratkan padalarangan penggunaan struktur tertentu (posisi dominan) untuk bersaing secara tidak fair.Di dalain wacana hukum persaingan usaha, aturan yang dititikberatkan pada laranganperilaku tertentu dikatakan sebagai aturan yang memiliki pendckatan "behavioral."Sedangkan aturan yang melarang pembentukan atau penyalahgunaan struktur disebut sebagaiaturan yang merniliki pendekatan "struktural".Meskipun Undang- Undang Larangan Praktek Monopoli menentukan adanya tigakategori tindakan yang dilarang, dasar yang dipakai untuk mcmbuat katégori tersebut tidakterlalu jelas. Ketidakjelasan itu khususnya tampak dari katcgori yang pertama dan kategoriyang kedua.Sebaliknya, tidak terlalu jelas pula mengapa pemboikotan sebagai Salah satu tindakanyang dilarang diletakkan di bawah kategori "perjanjian yang dilarang scmentara pemboikotan(boycott) sebenarnya bisa dilakukan olch pelaku tunggal (single actor) tanpa perjanjiandengan pihak lain.Terlepas dari kekurang jelasan kategorisasi di atas, dalam bagian ini hendak diuraikanmasing-masing kategori scrta tindakan-tindakan yang dilarang secara lebih rinci.
B. Rumusan Masalah
Apa saja Tindakan-Tindakan Yang di Larang Dalam Persaingan Usaha
Menurut UUNO 5 Tahun 1999 ?C. Tujuan PenelitianAdapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Tindakan-Tindakan Yang diLarang Dalam Persaingan Usaha Menurut UU NO 5 Tahun 1999.
BAB II PEMBAHASAN
Perjanjian yang DilarangAda sepuluh tindakan yang tcrgolong sebagai
"perjanjian yang dilarang". Masing-masing tindakan tersebut akan diuraikan berikut ini.1. Oligopoli (Pasa14)Pengertian oligopoli tidak didapati secara tegas, baik di dalam definisi peristilahan(Pasal 1) maupun dalam Pasal 4 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli. Namun,secara implisit dapat ditafsirkan bahwa oligopoli adalah penguasaan produksi dan ataupemasaran barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan ataupersaingan usaha tidak sehat oleh beberapa pelaku usaha secara bcrsama-sama denganpembuatan perjanjian.Berbeda dari monopoli yang dilakukan oleh satu orang atau satu kelompok pelakuusaha, oligopoli dilakukan oleh beberapa pelaku usaha. Ayat (2) dari Pasa14 menentukanperihal batas minimal penguasaan pangsa pasar untuk dapat dikatakan oligopoli.Menurut ayat terscbut, oligopoli dianggap terjadi apabila pcnguasaan bersama atasproduksi dan atau pcmasaran barang/jasa menghasilkan penguasaan dua atau tiga pelakuusaha/kelompok pelaku usaha atas 75% pangsa pasar barang atau jasa tertentu.Contoh:Perusahaan x, Perusahaan y, dan Perusahaan z masing-masing memproduksi barang A.Dikatakan terjadi oligopoli apabila ketiga perusahaan itu menguasai produksi pemasaranbarang A dan pcnguasaan itu menghasilkan penguasaan pangsa pasar sebesar 75% oleh duaatau tiga perusahaan.
Penetapan Harga (Pasal 5 - 8).Penetapan harga yang diadakan pelaku usaha
dengan pesaingnya (horizontal pricefixing) untuk menetapkan harga yang harus dibayar konsumen untuk suatu barang pada pasarbersangkutan yang sama (Pasal 5 ayat (1)). Ketentuan ini dapat disimpangi apabila perjanjianpenetapan harga itu dibuat dalam suatu usaha patungan atau didasarkan pada undang-undangyang berlaku ((Pasal 5 ayat (2).Penetapan harga oleh pelaku usaha dengan perjanjian yang mcngakibatkan pembeliyang satu harus membayar harga yang A berbeda dari harga yang dibayar pembeli lain untukbarang dan jasa yang sama (Pasal 6).Ada ketidakjelasan di dalam ketentuan Pasal 6. Menurut pasal tersebut yang dilarangadalah diskriminasi harga (price discrimination) yang didasarkan pada perjanjian (oleh karenaitu tindakan ini termasuk kategori "perjanjian yang dilarang") padahal sebenarnyadiskriminasi harga bisa dilakukan secara unilateral, tanpa perjanjian apa pun. Pasal 6 yangmernberi tekanan pada perjanjian sebagai dasar diskriminasi harga bisa rnemunculkanpertanyaan eontang boleh tidaknya diskriminasi harga secara sepihak (unilateral) yang tidakdidasarkan pada perjanjian.Penetapan harga di bawah harga pasar melalui perjanjian horizontal (antara pélakuusaha dengan pesaingnya) yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat(Pasal 7).Dikaitkan dengan isi Pasal 5 ayat (l), Pasal 7 ini sebenarnya mcrupakan pasal yangberlebihan. Pasal 5 ayat (1) ini jelas melarang pclaku usaha untuk rnernbuat perjanjianpenetapan harga déngan pesaingnya untuk rnonentukan harga yang harus dibayar olehkonsumen. Karena yang dilarang oleh Pasal 5 adalah perjanjian untuk menetapkan harga,sernestinya perjanjian penetapan harga di bawah harga pasar yang dimaksudkan oleh Pasal 7sudah tercakup di dalam Pasal 5.Penetapan harga maksimal secara vertikal atau vertical maximum price fixing (Pasal8). Pasal 8 melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian yang mensyaratkan penerimabarang/jasa tidak akan menjual kernbali barang/jasa tersebut dengan harga lebih rendah dari harga tertentu yang diperjanjikan. Praktek semacam ini juga disebut RPM (resale pricemaintenance).Contoh:Perusahaan x menjual barang A pada Perusahaan y (distributor) dengan syarat Perusahaan ytidak boleh menjual barang tersebutdi bawah harga tertentu.3. Pombagian Wilayah / Market / Territorial Distribution (Pasal 9)Pasal 9 melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnyadongan maksud rnembagi wilayah atau alokasi pasar barang/jasa sehingga rnengakibatkanterjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.Karena yang dilarang oleh Pasal 9 adalah perjanjian di antara para pesaing(horizontal), dapat ditafsirkan bahwa perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainyang bukan pesaing, melainkan distributor / retailer-nya (vertikal), tidak terrnasuk dalamruang lingkup pengaturan Pasal 9. Namun, ternyata di dalam penjelasan Pasal 9 dikatakanbahwa perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 9 rnencakup pcrjanjian yang bersifat horizontalmaupun vertikal.Untuk menghindari ketidakjelasan yang justru muncul dari bagian penjelasan Pasal 9,sebenarnya akan lebih baik apabila dibuat definisi untuk "perrjanjian vortikal" dan"pcrjanjian horizontal". Tanpa penjelasan dernikian, kontradiksi sangat mungkin muncul diantara pasal yang satu dengan pasal yang lain atau di antara satu pasal dengan penjelasannya.Pasal 9 rnelarang perjanjian antara pelaku usaha dengan pesaingnya (horizontal), sedangkanpenjelasan Pasal 9 justru rnemperluas dan rnengaburkan isi Pasal 9 dengan rnemasukkan jugaperjanjian vertikal dalam cakupan pasal tersebut.Contoh permasalahan yang rnungkin tirnbul adalah sebagai berikut:Perusahaan A rnemiliki lima distributor (B, C, D, E, dan F). Karena masing masingmerupakan distributor dari barang yang sama (produk Perusahaan A), maka rnereka beradapada posisi pesaing satu sarna lain. Yang dilarang oleh Pasal 9 adalah perjanjian pembagianwilayah antar pesaing, sehingga dalarn hal ini dua distributor atau lebih (di antara B, C, D, E, dan F) tidak dibenarkan rnembuat perjanjian wilayah. Persoalan akan muncul dalam halpembagian wilayah tidakd ibuatdi antara para distributor yang saling menjadi pesaing, melainkan antara Perusahaan Adengan setiap distributornya. Karena Perusahaan A pada akhirnya berkopentingan agarproduknya diserap pasar, bisa saja ia rnernbuat perjanjian dcngan setiap distributor yangmenentukan wilayah pernasaran distributor tersebut. Dengan distributor B rnisalnya,Perusahaan A menentukan bahwa wilayah pemasaran B adalah di lokasi I. Dengan C,Perusahaan A mernbuat perjanjian untuk rnenentukan lokasi ll sebagai wilayah pemasaran.Hal yang sama juga dilakukan A dengan D, E, dan F yang masing-masing ditentukanrnemiliki wilayah pemasaran sendiri sendiri. Meskipun berakhir pada kondisi terbaginyawilayah pemasaran para distributor sebagai pesaing, dalarn kasus di atas para distributor tidakrnengadakan perjanjian di antara mereka.Perjanjian diadakan antara perusahaan A dengan B, C, D, E, dan F. Karena A beradapada tahap distribusi yang berbeda dari B, C, D, E dan F, sulit mengatakan bahwa A adalahpesaing B, C, D, E, dan F.Menurut Pasal 9, perjanjian antara A dengan masing-rnasing distri butornya tidakterinasuk perjanjian yang dilarang mengingat perjanjian itu tidak terjadi antara A denganpesaing-pesaingnya. Narnun, apabila restriksi Pasal 9 ditinggalkan sama sekali danpenjelasan Pasal 9 diterapkan, perjanjian vertikal antara A dongan B, C, D, E, dan F bisamenjadi perjanjian yang dilarang.Di sini lantas tarnpak adanya inkonsistensi antara Pasal 9 dengan penjelasannya. Pasal9 yang sudah cukup sernpit ternyata diperluas lagi oleh penjelasannya. Sebenarnya,penjelasan harus bersifat mempertegas atau mempersempit ketentuan pasal, bukansebaliknya.4. Pemboikotan (Pasal 10)Seperti telah disinggung di muka, pemboikotan yang secara tegas diatur oleh Undang- Undang Larangan Praktek Monopoli adalah pernboikotan yang dilakukan dengan perjanjian.Satu hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa sobenarnya pemboikotan bisa dilakukansecara sepihak (unilateral), tanpa perjanjian dengan pihak lain. Unilateral boycott tidak secara togas diatur di dalam Undang-Undang LaranganPraktek Monopoli. Menurut Pasal 10, pemboikotan dapat terwujud dalam dua bentuk, yaitusebagai berikut.Perjanjian horizontal (antar pesaing) untuk menghalangi pelaku usaha lain melakukanusaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalarn negéri rnaupun luar negeri (prevention toenter a business) yang diatur dalam ayat (1). Perjanjian horizontal guna menolak penjualsetiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga merugikan/dapat didugamerugikan pelaku usaha lain atau membatasi pelaku usaha lain dalain menjual atau meinbelibarang/jasa dari pasar yang bersangkutan (ayat 2).Apa yang diatur dalain Pasal 10 ayat (2) tersebut juga dikenal dcngan istilah "refusalto deal", yang sekali lagi tidak harus terjdi melalui perjanjian, melainkan bisa melaluitindakan tunggal sepihak (single unilateral action).5. Kartel (Pasal 11)Meskipun tidak ada definisi yang tegas tentang kartel di dalarn Undang- UndangLarangan Praktek Monopoli, dari Pasal 11 dapat dikonstruksikan bahwa kartel adalahperjanjian horizontal untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan ataupernasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktekmonopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.6. Trust (Pasal 12)Pasal 12 berisi larangan bagi pelaku usaha untuk mengadakan perjanjian yangmengarah pada pernbentukan trust. Tidak ada definisi yang jelas mengenai apa yangdimaksud dengan trust, narnun dari Pasal 12 dapat dikemukakan bahwa trust adalahpembentukan gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetapmempertahankan identitas perusahaan anggotanya dengan tujuan mengontrol produksi danatau pernasaran barang/jasa.Trust sebenarnya merupakan bentuk kerja sama yang lebih bersifat integratifdibanding kartel. Anggota-anggota kartel hanya diikat oleh perjanjian / kesepakatan (ataupaling banter mengambil bentuk "asosiasi pengusaha" yang tidak berbadan hukum),sementara anggota-anggota trust diikat oleh perusahaan gabungan yang lebih besar. Oligopsoni (Pasal 13)Selain oligopoli yang diatur di dalam Pasal 4, Undang- Undang Larangan PraktekMonopoli juga secara khusus melekatkan larangan bagi dibuatnya perjanjian yang mengarahpada terjadinya oligopsoni , yakni penguasaan pembelian atau penerimaan pasokan olehbeberapa pelaku usaha sehingga mereka bisa mengendalikan barang atau jasa dalam pasarbersangkutan.Ayat (2) dart Pasal tersebut menjelaskan bahwa oligopsoni patut diduga terjadiapabila dua atau tiga pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar barang/jasatertentu. Pasal 13 ternyata juga tidak bisa menjelaskan segala hal. Pertanyaan bisa munculdalarn hal 80% pangsa pasar dikuasai oleh tiga pelaku usaha, narnun penguasaan itu tidakrnengakibatkan terjadinya praktek rnonopoli sebagairnana disyaratkan oleh Pasal 13 ayat (1)8. Integrasi Vertikal (Pasal 14)Apabila rnengakibatkan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 14 melarang dibuatnyaperjanjian integrasi vertikal. Penjelasan Pasal 14 menyebutkan bahwa integrasi vertikaladalah penguasaan serangkaian proses produksi barang tertentu rnulai hulu sampai hilir atauproses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha.Apabila dicermati, ada pertentangan antara Pasal 14 dengan penjelasan ya. Penjelasan Pasal 14 mengartikan integrasi vertikal sebagai :penguasaan proses produksi "dari hulu sampai hilir", sedangkangkan Pasal 14 tidak mensyaratkan integrasi vertikal yang sedemikian luas rnulai dari hulu hingga hilir.9. Perjanjian Tertutup (Pasal 15)Ada ernpat jenis perjanjian yang dilarang oleh Pasal 15 di bawah judul "PerjanjianTertutup". Masing-masing perjanjian tersebut adalah sebagai berikut.· Perjanjian yang mensyaratkan bahwa pihak penerima barang/jasa hanya mernasokbarang/jasa tersebut pada pihak tertentu atau pada tempat tertentu. Dengan kalimat lain, perjanjian ini melarang atau mewajibkan seseorang penerima barang/jasa memasok kepada pihak tertentu.· Perjanjian yang mensyaratkan bahwa pihak penerima barang/jasa harus bersediamembeli barang/jasa lain dari pernasok (tgying-in arrangement).· Perjanjian tentang harga atau potongan harga barang/jasa dengan penerirna barang/jasaharus membeli barang/jasa lain dari pemasok (conditional tying- in).· Perjanjian tentang harga atau potongan harga barang/jasa dengan syarat penerirnabarang/jasa tidak akan membeli barang / jasa yang sama atau sejenis dari pesaing pemasok(conditional exclusive dealing). Penjelasan Pasal 15 menegaskan bahwa pengertian memasokmencakup tindakan menyediakan pasokan, jual be1i, sewa menyewa, sewa beli, dan sewaguna usaha (leasing).10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16)Pasal 16 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli berbunyi,"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain diIuar negeri yangmemuat ketentuan yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktek rnonopo1i dan ataupersaingan usaha tidak sehatPasal ini sebenarnya cukup baik, karena merupakan antisipasi terhadap kemungkinaninteraksi pelaku usaha domestik dengan pelaku usaha asing. Hanya saja substansi pasal inisangat sumir. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah bagaimana dengan perjanjian antarapelaku usaha dengan pelaku usaha asing yang rnengakibatkan persaingan usaha tidak sehatdan bukan di dalam negeri, melainkan di luar negeri. Pasal 16 dan penjelasannya tidakmenegaskankan tentang di pasar mana (domestik atau asing) praktek monopoli danpersaingan usaha tidak sehat disyaratkan terjadi.B. Kegiatan yang DilarangKategori yang kedua dari tindakan-tindakan yang dilarang oleh Undang-UndangLarangan Praktek Monopoli adalah "kegiatan yang dilarang". Seperti telah disinggung dimuka, kategorisasi tindakan-tindakan yang dilarang menjadi tiga jenis tidak terlampau jelas.Namun demikian, kategori pertama yang telah diuraikan sebclumnya ("perjanjian yang dilarang") agaknya dibuat untuk mewadahi larangan terhadap tindakan yang dilakukandengan perjanjian dan dengan demikian tindakan tersebut dilakukan oleh lebih dari satu aktoryang saling bekerja sama melalui perjanjian.Kategori kedua ini tampaknya dimaksudkan untuk mengakomodasi larangan terhadaptindakan-tindakan yang hanya melibatkan seorang pelaku (unilateral action), bukan dua ataulebih pelaku seperti yang ada dalam kategori "perjanjian yang dilarang".Di bawah subjudul "kegiatan yang di1arang", Undang-Undang Larangan PraktekMonopoli menentukan ada empat aktivitas yang tidak diperbolehkan. Masing-masing tindakan tersebut akan diuraikan dibawah ini.1. Monopoli (Pasal 17)Pasal 17 melarang pelaku usaha melakukan monopoli yang dapat mengakibatkanterjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dari isi Pasal 17 itu dapatditafsirkan bahwa tidak setiap monopoli dilarang. monopoli dilarang apabila mengakibatkanterjadinya praktek dan atau persaingan usaha tidak sehat.Kondisionalitas bahwa monopoli yang dilarang adalah yang mangakibatkan terjadinyapraktck monopoli atau persaingan usaha tidak sehat sebenarnya berlebihan. Dengan mengacupada dafinisi peristilahan yang ada pada Pasal 1, sesungguhnya cukup disyaratkan bahwamonopoli yang dilarang adalah yang mengakibatkan praktek monopoli.Di dalam pengertian praktek monopoli telah terkandung pengertian mcnimbulkanpersaingan usaha tidak sehat (lihat pengertian istilah "praktek monopoli ") sehinggapersaingan tidak sehat sebenarnya tidak perlu dinyatakan tersendiri berdampingan denganpraktek monopoli sebagai syarat monopoli yang tidak diperbolehkan.Ayat (2) dari Pasal 17 memuat indikator yang bisa menjadi dasar dugaan terjadinyamonopoli yang dilarang. Menurut ayat (2) tersebut, seorang pelaku usaha patut didugamelakukan monopoli yang dilarang apabila terjadi hal-hal berikut :Barang dan atau jasa yang di monopoli belum ada substitusinya.· Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barangdan atau jasa yang sarna. Penjelasan ayat (2) Pasal ini menyebutkan bahwa pelaku usaha lain yang dimaksud adalah pelaku usaha yang mempunyai kcmampuan usaha bersaing yangsignifikan dalam pasar bersangkutan.· Satu atau sekelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenisbarang atau jasa tertentu.2. Monopsoni (Pasal 18)Definisi yang tegas tentang monopsoni tidak didapati di mana pun dalam Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli. Meskipun demikian, dari Pasal 18 dapatdikonstruksikan bahwa Monopsoni adalah penguasaan penerimaan pasokan atau menjadipembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar yang bersangkutan yang dapatmengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.Seperti telah disebutkan dalam bagian awal, monopsoni sebenarnya adalah monopoli darisisi pembeli (monopoly of demand). Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli jugamelarang Monopsoni sepanjang tindakan itu mengakibatkan terjadinya praktek monopoli danatau persaingan tidak sehat. Mengingat di dalam istilah praktek monopoli telah terkandungpengertian persaingan usaha tidak sehat, sebenarnya dua hal ini tidak perlu disejajarkansebagai syarat monopsoni yang tidak dipcrbolehkan.Berbeda dari Pasa1 17 tentang rnonopoli, Pasal 18 tentang monopsoni hanyamencantumkan satu indikator yang bisa mendasari dugaan terjadinya monopsoni yangdilarang. Berdasarkan ayat (2) Pasal 18, pelaku usaha patut diduga melakukan Monopsoniyang dilarang apabila satu atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Tidak ada kejelasan mengapa dua indikatorlain di dalam monopoli tidak diadopsi sekalian ke dalarn tindakan Monopsoni yang dilarang.3. Penguasaan Pasar (Pasal 19 - Pasal 24)Di bawah judul "Penguasaan Pasar" Undang-Undang Larangan Praktek Monopolimelarang pelaku usaha, baik sendiri ataupun secara bersama-sama melakukan kegiatan-kegiatan yang diuraikan dalam Pasal 19 - Pasal 24. Menurut pasal-pasal tersebut, kegiatanyang dilarang di bawah judul "penguasaan pasar" meliputi hal-hal berikut :Menolak dan atau rnenghalangi pelaku usaha tcrtentu untuk rnelakukan kegiatan usahayang sama pada pasar bersangkutan (Pasal 19 huruf a). Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing untuk rnelakukan hubunganusaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu (Pasal 19 huruf b).Membatasi peredaran bahan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasarbeersangkutan (Pasal 19 huruf c).Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tcrtentu (Pasal 19 huruf d).Melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang rendah untuk menyingkirkan atau rnernatikan usaha pesaing.Predatory pricing ini diatur di dalarn Pasal 20.Melakukan kecurangan dalam meneetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yangmenjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkanterjadinya persaingan usaha tidak sehat (Pasal 21).4. Persekongkolan (Pasal 22)Mengingat bahwa persekongkolan (conspiracy) selalu dilakukan oleh lebih dari satupelaku, sebenarnya tindakan ini bisa diatur di dalam kategori "perjanjian yang dilarang".Persekongkolan yang dilarang oleh Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli mencakuppersekongkolan untuk:mengatur atau menentukan pernenang tender atau tindakan bidrigging (Pasal 22),mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaing yang dapat diklasifikasikan sebagairahasia perusahaan (Pasal 23),menghambat produksi dan atau pernasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnyadengan tujuan agar barang dan atau jasa itu berkurang kualitas maupun kuantitasnya sertaterganggunya ketepatan waktu yang dipersyaratkan (Pasa124).C. Posisi DominanUntuk kategori ini ada ernpat tindakan yang dilarang Undang- Undang Larangan PraktekMonopoli. Masing- masing akan dikcmukakan berikut ini :1. Penyalahgunaan Posisi Dominan (Pasal 25) Istilah penyalahgunaan posisi dominan bukan istilah baku yang ada di dalam Pasa125.Pasal tersebut secara formal berjudul "Umum".Meskipun demikian, dari isi Pasal 25 dapat diketahui adanya larangan untukmenggunakan posisi dominan untuk maksud tertentu. Tindakan penyalahgunaan posisidominan yang tercantum di dalam Pasal 25 adalah sebagai berikut :Menetapkan syarat perdagangan guna mencegah dan atau mcnghalangi konsumenmcndapatkan barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas (Pasal25 ayat (1) huruf a). Membatasi pasar dan pcengembangan teknologi (Pasal 25 ayat (1) hurufb). Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasarbersangkutan (Pasal 25 ayat (1) huruf c).Ayat (2) dari Pasa125 selanjutnya menentukan bahwa pelaku usaha memiliki posisidominan jika satu atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasarsatu jenis barang atau jasa tertentu. Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usahayang menguasai 75% atau lebih pangsa pasar barang/jasa tertentu pun dianggap mcmilikiposisi dominan.2. Jabatan Rangkap (Pasai 26)Jabatan rangkap atau "interlocking directorate" secara eksplisit diatur di dalam Pasal 26.Menurut Pasal tersebut, seseorang yang memegang jabatan direksi atau komisaris suatuperusahaan dilarang memegang jabatan serupa pada perusahaan lain jika perusahaan- perusahaan tersebut :a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama;b. memiliki keterkaitan erat dalam bidang dan suatu jenis usaha;c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentuyang dapatmengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat.Secara logis perangkapan jabatan ini dilarang karena posisi demikian akan membukapeluang bagi perusahaan-perusahaan terkait untuk menghindari persaingan.3. Pemilikan Saham (Pasai 27)Pasal 27 pada dasarnya melarang pemilikan saham yang bisa berdampak negatif terhadappersaingan. Pasal tersebut melarang pemilikan saham mayoritas pada perusahaan-perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan yang samapula atau pendirian perusahaanperusahaan yang menjalankan kegiatan usaha yang sama padapasar bersangkutan yang sarna.Pemilikan saham dan pendirian perusahaan-pcrusahaan seperti terscbut di atas menjadidilarang apabila membawa akibat:a. satu orang atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasaratau jasa tertentu,b. dua atau tiga pclaku usaha atau kelompok-kelompok usaha menguasai lebih dari 75%pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tcrtcntu.4. Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan (Pasal 28-Pasal 29)Secara substansial ada dua hal yang diatur di dalam Pasal 28 Undang-Undang LaranganPraktek Monopoli, yaitu:a. penggabungan dan peleburan badan usaha yang dapat meng akibatkan tcrjadinyapraktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (ayat (1) Pasal 28),b. pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktekmonopoli dan atau persaingan usaha ticlak sehat (ayat (2) Pasal 28).Ayat (3) Pasal 28 nenegaskan bahwa ketentuan tentang penggabungan, peleburan,maupun pengambilalihan saham akan diatur lebih lanjut di dalam pcraturan pemerintah.Penjelasan Pasal 28 menerangkan tentang apa yang dimaksud badan usaha. Menurutpenjelasan pasal tersebut, pcngertian badan usaha di dalam Pasal 28 meliputi baik bentukusaha yang berbadan hukum maupun yang tidak bcrbadan hukurn.Berbeda dari Pasa128 yang lebih substantif, Pasa129 mengatur aspek prosedural. Pasal inimeletakan kewajiban pada pelaku usaha untuk melakukan penggabungan, peleburan, ataupengambilalihan scperti yang dimaksud dalam Pasal 28 untuk selambat-lambatnya dalamwaktu 30 hari memberitahukan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan itu jikatindakan tersebut menyebabkan nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlahtertentu. Ketentuan tentang jumlah tertentu dan tata cara pemberitahuan akan diatur tersendiridi dalam peraturan pemerintah.
BAB III PENUTUP.
kesimpulanMeskipun Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli
menentukan adanya tigakategori tindakan yang dilarang, dasar yang dipakai untuk membuat katégori tersebuttidak terlalu jelas. Ketidakjelasan itu khususnya tampak dari katcgori yang pertama dankategori yang kedua.Sebaliknya, tidak terlalu jelas pula mengapa pemboikotan sebagai Salah satu tindakanyang dilarang diletakkan di bawah kategori "perjanjian yang dilarang scmentara pemboikotan (boycott) sebenarnya bisa dilakukan olch pelaku tunggal (single actor) tanpaperjanjian dengan pihak lain.
DAFTAR PUSTAKA
Arie Siswanto, Hukum persaingan usaha, cet.1, Jakarta : Ghalia Indonesia,
2002,Abdul R. Saliman dan kawan-kawan, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan ContohKasus, Jakarta : Kencana, 2004Mahfud M.D., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1999Adikusuma, Hilman,jual beli, Bandung:Citra Aditya Bakti, 1993.Darajat, Zakiah, Prof, Dr, Perbandingan Pasar monopoli dan non monopoli, Jakarta:BulanBintang, 1993.