Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN.

Latar Belakang Masalah Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli


membuat tiga kategori tindakan-tindakan yang dilarang, yaitu "perjanjian yang
dilarang" (Bab III), " kegiatan yang dilarang"(Bab IV), dan "posisi domiinan"
(Bab V). Didalarn kategori "perjanjian yang dilarang"ditentukan ada sepuluh
tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, sedangkanuntuk
kategori "kegiatan yang dilarang" dan "posisi dominan" masing-masing
ditentukan adaempat dan tiga tindakan yang tidak diperbolehkan.Dua kategori
yang pertama ("perjanjian yang dilarang" dan "kegiatan yang
dilarang")tarnpak lebih ditekankan pada pcngaturan perilaku (behavior) yang
mengarah pada akibatyang tidak dikehendaki, sedangkan kategori "posisi
dominan" lebih dititik breratkan padalarangan penggunaan struktur tertentu
(posisi dominan) untuk bersaing secara tidak fair.Di dalain wacana hukum
persaingan usaha, aturan yang dititikberatkan pada laranganperilaku tertentu
dikatakan sebagai aturan yang memiliki pendckatan "behavioral."Sedangkan
aturan yang melarang pembentukan atau penyalahgunaan struktur disebut
sebagaiaturan yang merniliki pendekatan "struktural".Meskipun Undang-
Undang Larangan Praktek Monopoli menentukan adanya tigakategori
tindakan yang dilarang, dasar yang dipakai untuk mcmbuat katégori tersebut
tidakterlalu jelas. Ketidakjelasan itu khususnya tampak dari katcgori yang
pertama dan kategoriyang kedua.Sebaliknya, tidak terlalu jelas pula mengapa
pemboikotan sebagai Salah satu tindakanyang dilarang diletakkan di bawah
kategori "perjanjian yang dilarang scmentara pemboikotan(boycott)
sebenarnya bisa dilakukan olch pelaku tunggal (single actor) tanpa
perjanjiandengan pihak lain.Terlepas dari kekurang jelasan kategorisasi di
atas, dalam bagian ini hendak diuraikanmasing-masing kategori scrta
tindakan-tindakan yang dilarang secara lebih rinci.

B. Rumusan Masalah

Apa saja Tindakan-Tindakan Yang di Larang Dalam Persaingan Usaha


Menurut UUNO 5 Tahun 1999 ?C. Tujuan PenelitianAdapun tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui Tindakan-Tindakan Yang diLarang Dalam
Persaingan Usaha Menurut UU NO 5 Tahun 1999.

BAB II PEMBAHASAN

Perjanjian yang DilarangAda sepuluh tindakan yang tcrgolong sebagai


"perjanjian yang dilarang". Masing-masing tindakan tersebut akan diuraikan
berikut ini.1. Oligopoli (Pasa14)Pengertian oligopoli tidak didapati secara
tegas, baik di dalam definisi peristilahan(Pasal 1) maupun dalam Pasal 4
Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli. Namun,secara implisit dapat
ditafsirkan bahwa oligopoli adalah penguasaan produksi dan ataupemasaran
barang dan jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
ataupersaingan usaha tidak sehat oleh beberapa pelaku usaha secara
bcrsama-sama denganpembuatan perjanjian.Berbeda dari monopoli yang
dilakukan oleh satu orang atau satu kelompok pelakuusaha, oligopoli
dilakukan oleh beberapa pelaku usaha. Ayat (2) dari Pasa14
menentukanperihal batas minimal penguasaan pangsa pasar untuk dapat
dikatakan oligopoli.Menurut ayat terscbut, oligopoli dianggap terjadi apabila
pcnguasaan bersama atasproduksi dan atau pcmasaran barang/jasa
menghasilkan penguasaan dua atau tiga pelakuusaha/kelompok pelaku
usaha atas 75% pangsa pasar barang atau jasa tertentu.Contoh:Perusahaan
x, Perusahaan y, dan Perusahaan z masing-masing memproduksi barang
A.Dikatakan terjadi oligopoli apabila ketiga perusahaan itu menguasai
produksi pemasaranbarang A dan pcnguasaan itu menghasilkan penguasaan
pangsa pasar sebesar 75% oleh duaatau tiga perusahaan.

Penetapan Harga (Pasal 5 - 8).Penetapan harga yang diadakan pelaku usaha


dengan pesaingnya (horizontal pricefixing) untuk menetapkan harga yang
harus dibayar konsumen untuk suatu barang pada pasarbersangkutan yang
sama (Pasal 5 ayat (1)). Ketentuan ini dapat disimpangi apabila
perjanjianpenetapan harga itu dibuat dalam suatu usaha patungan atau
didasarkan pada undang-undangyang berlaku ((Pasal 5 ayat (2).Penetapan
harga oleh pelaku usaha dengan perjanjian yang mcngakibatkan pembeliyang
satu harus membayar harga yang A berbeda dari harga yang dibayar pembeli
lain untukbarang dan jasa yang sama (Pasal 6).Ada ketidakjelasan di dalam
ketentuan Pasal 6. Menurut pasal tersebut yang dilarangadalah diskriminasi
harga (price discrimination) yang didasarkan pada perjanjian (oleh karenaitu
tindakan ini termasuk kategori "perjanjian yang dilarang") padahal
sebenarnyadiskriminasi harga bisa dilakukan secara unilateral, tanpa
perjanjian apa pun. Pasal 6 yangmernberi tekanan pada perjanjian sebagai
dasar diskriminasi harga bisa rnemunculkanpertanyaan eontang boleh
tidaknya diskriminasi harga secara sepihak (unilateral) yang tidakdidasarkan
pada perjanjian.Penetapan harga di bawah harga pasar melalui perjanjian
horizontal (antara pélakuusaha dengan pesaingnya) yang dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat(Pasal 7).Dikaitkan
dengan isi Pasal 5 ayat (l), Pasal 7 ini sebenarnya mcrupakan pasal
yangberlebihan. Pasal 5 ayat (1) ini jelas melarang pclaku usaha untuk
rnernbuat perjanjianpenetapan harga déngan pesaingnya untuk rnonentukan
harga yang harus dibayar olehkonsumen. Karena yang dilarang oleh Pasal 5
adalah perjanjian untuk menetapkan harga,sernestinya perjanjian penetapan
harga di bawah harga pasar yang dimaksudkan oleh Pasal 7sudah tercakup
di dalam Pasal 5.Penetapan harga maksimal secara vertikal atau vertical
maximum price fixing (Pasal8). Pasal 8 melarang pelaku usaha untuk
membuat perjanjian yang mensyaratkan penerimabarang/jasa tidak akan
menjual kernbali barang/jasa tersebut dengan harga lebih rendah dari harga
tertentu yang diperjanjikan. Praktek semacam ini juga disebut RPM (resale
pricemaintenance).Contoh:Perusahaan x menjual barang A pada Perusahaan
y (distributor) dengan syarat Perusahaan ytidak boleh menjual barang
tersebutdi bawah harga tertentu.3. Pombagian Wilayah / Market / Territorial
Distribution (Pasal 9)Pasal 9 melarang pelaku usaha membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnyadongan maksud rnembagi wilayah atau
alokasi pasar barang/jasa sehingga rnengakibatkanterjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.Karena yang dilarang oleh
Pasal 9 adalah perjanjian di antara para pesaing(horizontal), dapat ditafsirkan
bahwa perjanjian antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainyang bukan
pesaing, melainkan distributor / retailer-nya (vertikal), tidak terrnasuk
dalamruang lingkup pengaturan Pasal 9. Namun, ternyata di dalam
penjelasan Pasal 9 dikatakanbahwa perjanjian yang dimaksud dalam Pasal 9
rnencakup pcrjanjian yang bersifat horizontalmaupun vertikal.Untuk
menghindari ketidakjelasan yang justru muncul dari bagian penjelasan Pasal
9,sebenarnya akan lebih baik apabila dibuat definisi untuk "perrjanjian
vortikal" dan"pcrjanjian horizontal". Tanpa penjelasan dernikian, kontradiksi
sangat mungkin muncul diantara pasal yang satu dengan pasal yang lain atau
di antara satu pasal dengan penjelasannya.Pasal 9 rnelarang perjanjian
antara pelaku usaha dengan pesaingnya (horizontal), sedangkanpenjelasan
Pasal 9 justru rnemperluas dan rnengaburkan isi Pasal 9 dengan
rnemasukkan jugaperjanjian vertikal dalam cakupan pasal tersebut.Contoh
permasalahan yang rnungkin tirnbul adalah sebagai berikut:Perusahaan A
rnemiliki lima distributor (B, C, D, E, dan F). Karena masing
masingmerupakan distributor dari barang yang sama (produk Perusahaan A),
maka rnereka beradapada posisi pesaing satu sarna lain. Yang dilarang oleh
Pasal 9 adalah perjanjian pembagianwilayah antar pesaing, sehingga dalarn
hal ini dua distributor atau lebih (di antara B, C, D, E, dan F) tidak dibenarkan
rnembuat perjanjian wilayah. Persoalan akan muncul dalam halpembagian
wilayah tidakd ibuatdi antara para distributor yang saling menjadi pesaing,
melainkan antara Perusahaan Adengan setiap distributornya. Karena
Perusahaan A pada akhirnya berkopentingan agarproduknya diserap pasar,
bisa saja ia rnernbuat perjanjian dcngan setiap distributor yangmenentukan
wilayah pernasaran distributor tersebut. Dengan distributor B
rnisalnya,Perusahaan A menentukan bahwa wilayah pemasaran B adalah di
lokasi I. Dengan C,Perusahaan A mernbuat perjanjian untuk rnenentukan
lokasi ll sebagai wilayah pemasaran.Hal yang sama juga dilakukan A dengan
D, E, dan F yang masing-masing ditentukanrnemiliki wilayah pemasaran
sendiri sendiri. Meskipun berakhir pada kondisi terbaginyawilayah pemasaran
para distributor sebagai pesaing, dalarn kasus di atas para distributor
tidakrnengadakan perjanjian di antara mereka.Perjanjian diadakan antara
perusahaan A dengan B, C, D, E, dan F. Karena A beradapada tahap
distribusi yang berbeda dari B, C, D, E dan F, sulit mengatakan bahwa A
adalahpesaing B, C, D, E, dan F.Menurut Pasal 9, perjanjian antara A dengan
masing-rnasing distri butornya tidakterinasuk perjanjian yang dilarang
mengingat perjanjian itu tidak terjadi antara A denganpesaing-pesaingnya.
Narnun, apabila restriksi Pasal 9 ditinggalkan sama sekali danpenjelasan
Pasal 9 diterapkan, perjanjian vertikal antara A dongan B, C, D, E, dan F
bisamenjadi perjanjian yang dilarang.Di sini lantas tarnpak adanya
inkonsistensi antara Pasal 9 dengan penjelasannya. Pasal9 yang sudah
cukup sernpit ternyata diperluas lagi oleh penjelasannya.
Sebenarnya,penjelasan harus bersifat mempertegas atau mempersempit
ketentuan pasal, bukansebaliknya.4. Pemboikotan (Pasal 10)Seperti telah
disinggung di muka, pemboikotan yang secara tegas diatur oleh Undang-
Undang Larangan Praktek Monopoli adalah pernboikotan yang dilakukan
dengan perjanjian.Satu hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa
sobenarnya pemboikotan bisa dilakukansecara sepihak (unilateral), tanpa
perjanjian dengan pihak lain. Unilateral boycott tidak secara togas diatur di
dalam Undang-Undang LaranganPraktek Monopoli. Menurut Pasal 10,
pemboikotan dapat terwujud dalam dua bentuk, yaitusebagai
berikut.Perjanjian horizontal (antar pesaing) untuk menghalangi pelaku usaha
lain melakukanusaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalarn negéri
rnaupun luar negeri (prevention toenter a business) yang diatur dalam ayat
(1). Perjanjian horizontal guna menolak penjualsetiap barang dan atau jasa
dari pelaku usaha lain sehingga merugikan/dapat didugamerugikan pelaku
usaha lain atau membatasi pelaku usaha lain dalain menjual atau
meinbelibarang/jasa dari pasar yang bersangkutan (ayat 2).Apa yang diatur
dalain Pasal 10 ayat (2) tersebut juga dikenal dcngan istilah "refusalto deal",
yang sekali lagi tidak harus terjdi melalui perjanjian, melainkan bisa
melaluitindakan tunggal sepihak (single unilateral action).5. Kartel (Pasal
11)Meskipun tidak ada definisi yang tegas tentang kartel di dalarn Undang-
UndangLarangan Praktek Monopoli, dari Pasal 11 dapat dikonstruksikan
bahwa kartel adalahperjanjian horizontal untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan ataupernasaran suatu barang dan atau jasa, yang
dapat rnengakibatkan terjadinya praktekmonopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat.6. Trust (Pasal 12)Pasal 12 berisi larangan bagi pelaku usaha
untuk mengadakan perjanjian yangmengarah pada pernbentukan trust. Tidak
ada definisi yang jelas mengenai apa yangdimaksud dengan trust, narnun
dari Pasal 12 dapat dikemukakan bahwa trust adalahpembentukan gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetapmempertahankan
identitas perusahaan anggotanya dengan tujuan mengontrol produksi
danatau pernasaran barang/jasa.Trust sebenarnya merupakan bentuk kerja
sama yang lebih bersifat integratifdibanding kartel. Anggota-anggota kartel
hanya diikat oleh perjanjian / kesepakatan (ataupaling banter mengambil
bentuk "asosiasi pengusaha" yang tidak berbadan hukum),sementara
anggota-anggota trust diikat oleh perusahaan gabungan yang lebih besar.
Oligopsoni (Pasal 13)Selain oligopoli yang diatur di dalam Pasal 4, Undang-
Undang Larangan PraktekMonopoli juga secara khusus melekatkan larangan
bagi dibuatnya perjanjian yang mengarahpada terjadinya oligopsoni , yakni
penguasaan pembelian atau penerimaan pasokan olehbeberapa pelaku
usaha sehingga mereka bisa mengendalikan barang atau jasa dalam
pasarbersangkutan.Ayat (2) dart Pasal tersebut menjelaskan bahwa
oligopsoni patut diduga terjadiapabila dua atau tiga pelaku usaha menguasai
lebih dari 75% pangsa pasar barang/jasatertentu. Pasal 13 ternyata juga tidak
bisa menjelaskan segala hal. Pertanyaan bisa munculdalarn hal 80% pangsa
pasar dikuasai oleh tiga pelaku usaha, narnun penguasaan itu
tidakrnengakibatkan terjadinya praktek rnonopoli sebagairnana disyaratkan
oleh Pasal 13 ayat (1)8. Integrasi Vertikal (Pasal 14)Apabila rnengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat, Pasal 14 melarang dibuatnyaperjanjian
integrasi vertikal. Penjelasan Pasal 14 menyebutkan bahwa integrasi
vertikaladalah penguasaan serangkaian proses produksi barang tertentu
rnulai hulu sampai hilir atauproses yang berlanjut atas suatu layanan jasa
tertentu oleh pelaku usaha.Apabila dicermati, ada pertentangan antara Pasal
14 dengan penjelasan ya. Penjelasan Pasal 14 mengartikan integrasi vertikal
sebagai :penguasaan proses produksi "dari hulu sampai hilir",
sedangkangkan Pasal 14 tidak mensyaratkan integrasi vertikal yang
sedemikian luas rnulai dari hulu hingga hilir.9. Perjanjian Tertutup (Pasal
15)Ada ernpat jenis perjanjian yang dilarang oleh Pasal 15 di bawah judul
"PerjanjianTertutup". Masing-masing perjanjian tersebut adalah sebagai
berikut.· Perjanjian yang mensyaratkan bahwa pihak penerima barang/jasa
hanya mernasokbarang/jasa tersebut pada pihak tertentu atau pada tempat
tertentu. Dengan kalimat lain, perjanjian ini melarang atau mewajibkan
seseorang penerima barang/jasa memasok kepada pihak tertentu.· Perjanjian
yang mensyaratkan bahwa pihak penerima barang/jasa harus
bersediamembeli barang/jasa lain dari pernasok (tgying-in arrangement).·
Perjanjian tentang harga atau potongan harga barang/jasa dengan penerirna
barang/jasaharus membeli barang/jasa lain dari pemasok (conditional tying-
in).· Perjanjian tentang harga atau potongan harga barang/jasa dengan syarat
penerirnabarang/jasa tidak akan membeli barang / jasa yang sama atau
sejenis dari pesaing pemasok(conditional exclusive dealing). Penjelasan
Pasal 15 menegaskan bahwa pengertian memasokmencakup tindakan
menyediakan pasokan, jual be1i, sewa menyewa, sewa beli, dan sewaguna
usaha (leasing).10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16)Pasal 16
Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli berbunyi,"Pelaku usaha dilarang
membuat perjanjian dengan pihak lain diIuar negeri yangmemuat ketentuan
yang dapat rnengakibatkan terjadinya praktek rnonopo1i dan ataupersaingan
usaha tidak sehatPasal ini sebenarnya cukup baik, karena merupakan
antisipasi terhadap kemungkinaninteraksi pelaku usaha domestik dengan
pelaku usaha asing. Hanya saja substansi pasal inisangat sumir. Pertanyaan
yang mungkin muncul adalah bagaimana dengan perjanjian antarapelaku
usaha dengan pelaku usaha asing yang rnengakibatkan persaingan usaha
tidak sehatdan bukan di dalam negeri, melainkan di luar negeri. Pasal 16 dan
penjelasannya tidakmenegaskankan tentang di pasar mana (domestik atau
asing) praktek monopoli danpersaingan usaha tidak sehat disyaratkan
terjadi.B. Kegiatan yang DilarangKategori yang kedua dari tindakan-tindakan
yang dilarang oleh Undang-UndangLarangan Praktek Monopoli adalah
"kegiatan yang dilarang". Seperti telah disinggung dimuka, kategorisasi
tindakan-tindakan yang dilarang menjadi tiga jenis tidak terlampau
jelas.Namun demikian, kategori pertama yang telah diuraikan sebclumnya
("perjanjian yang dilarang") agaknya dibuat untuk mewadahi larangan
terhadap tindakan yang dilakukandengan perjanjian dan dengan demikian
tindakan tersebut dilakukan oleh lebih dari satu aktoryang saling bekerja
sama melalui perjanjian.Kategori kedua ini tampaknya dimaksudkan untuk
mengakomodasi larangan terhadaptindakan-tindakan yang hanya melibatkan
seorang pelaku (unilateral action), bukan dua ataulebih pelaku seperti yang
ada dalam kategori "perjanjian yang dilarang".Di bawah subjudul "kegiatan
yang di1arang", Undang-Undang Larangan PraktekMonopoli menentukan ada
empat aktivitas yang tidak diperbolehkan. Masing-masing tindakan tersebut
akan diuraikan dibawah ini.1. Monopoli (Pasal 17)Pasal 17 melarang pelaku
usaha melakukan monopoli yang dapat mengakibatkanterjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Dari isi Pasal 17 itu
dapatditafsirkan bahwa tidak setiap monopoli dilarang. monopoli dilarang
apabila mengakibatkanterjadinya praktek dan atau persaingan usaha tidak
sehat.Kondisionalitas bahwa monopoli yang dilarang adalah yang
mangakibatkan terjadinyapraktck monopoli atau persaingan usaha tidak sehat
sebenarnya berlebihan. Dengan mengacupada dafinisi peristilahan yang ada
pada Pasal 1, sesungguhnya cukup disyaratkan bahwamonopoli yang
dilarang adalah yang mengakibatkan praktek monopoli.Di dalam pengertian
praktek monopoli telah terkandung pengertian mcnimbulkanpersaingan usaha
tidak sehat (lihat pengertian istilah "praktek monopoli ") sehinggapersaingan
tidak sehat sebenarnya tidak perlu dinyatakan tersendiri berdampingan
denganpraktek monopoli sebagai syarat monopoli yang tidak
diperbolehkan.Ayat (2) dari Pasal 17 memuat indikator yang bisa menjadi
dasar dugaan terjadinyamonopoli yang dilarang. Menurut ayat (2) tersebut,
seorang pelaku usaha patut didugamelakukan monopoli yang dilarang apabila
terjadi hal-hal berikut :Barang dan atau jasa yang di monopoli belum ada
substitusinya.· Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam
persaingan usaha barangdan atau jasa yang sarna. Penjelasan ayat (2) Pasal
ini menyebutkan bahwa pelaku usaha lain yang dimaksud adalah pelaku
usaha yang mempunyai kcmampuan usaha bersaing yangsignifikan dalam
pasar bersangkutan.· Satu atau sekelompok pelaku usaha menguasai lebih
dari 50% pangsa pasar satu jenisbarang atau jasa tertentu.2. Monopsoni
(Pasal 18)Definisi yang tegas tentang monopsoni tidak didapati di mana pun
dalam Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli. Meskipun demikian, dari
Pasal 18 dapatdikonstruksikan bahwa Monopsoni adalah penguasaan
penerimaan pasokan atau menjadipembeli tunggal atas barang dan atau jasa
dalam pasar yang bersangkutan yang dapatmengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.Seperti telah disebutkan
dalam bagian awal, monopsoni sebenarnya adalah monopoli darisisi pembeli
(monopoly of demand). Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli
jugamelarang Monopsoni sepanjang tindakan itu mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli danatau persaingan tidak sehat. Mengingat di dalam istilah
praktek monopoli telah terkandungpengertian persaingan usaha tidak sehat,
sebenarnya dua hal ini tidak perlu disejajarkansebagai syarat monopsoni
yang tidak dipcrbolehkan.Berbeda dari Pasa1 17 tentang rnonopoli, Pasal 18
tentang monopsoni hanyamencantumkan satu indikator yang bisa mendasari
dugaan terjadinya monopsoni yangdilarang. Berdasarkan ayat (2) Pasal 18,
pelaku usaha patut diduga melakukan Monopsoniyang dilarang apabila satu
atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50%pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu. Tidak ada kejelasan mengapa dua
indikatorlain di dalam monopoli tidak diadopsi sekalian ke dalarn tindakan
Monopsoni yang dilarang.3. Penguasaan Pasar (Pasal 19 - Pasal 24)Di
bawah judul "Penguasaan Pasar" Undang-Undang Larangan Praktek
Monopolimelarang pelaku usaha, baik sendiri ataupun secara bersama-sama
melakukan kegiatan-kegiatan yang diuraikan dalam Pasal 19 - Pasal 24.
Menurut pasal-pasal tersebut, kegiatanyang dilarang di bawah judul
"penguasaan pasar" meliputi hal-hal berikut :Menolak dan atau rnenghalangi
pelaku usaha tcrtentu untuk rnelakukan kegiatan usahayang sama pada
pasar bersangkutan (Pasal 19 huruf a). Menghalangi konsumen atau
pelanggan pelaku usaha pesaing untuk rnelakukan hubunganusaha dengan
pelaku usaha pesaingnya itu (Pasal 19 huruf b).Membatasi peredaran bahan
atau penjualan barang dan atau jasa pada pasarbeersangkutan (Pasal 19
huruf c).Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tcrtentu
(Pasal 19 huruf d).Melakukan pemasokan barang dan atau jasa dengan cara
melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang rendah untuk
menyingkirkan atau rnernatikan usaha pesaing.Predatory pricing ini diatur di
dalarn Pasal 20.Melakukan kecurangan dalam meneetapkan biaya produksi
dan biaya lainnya yangmenjadi bagian dari komponen harga barang dan atau
jasa yang dapat mengakibatkanterjadinya persaingan usaha tidak sehat
(Pasal 21).4. Persekongkolan (Pasal 22)Mengingat bahwa persekongkolan
(conspiracy) selalu dilakukan oleh lebih dari satupelaku, sebenarnya tindakan
ini bisa diatur di dalam kategori "perjanjian yang dilarang".Persekongkolan
yang dilarang oleh Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli
mencakuppersekongkolan untuk:mengatur atau menentukan pernenang
tender atau tindakan bidrigging (Pasal 22),mendapatkan informasi kegiatan
usaha pesaing yang dapat diklasifikasikan sebagairahasia perusahaan (Pasal
23),menghambat produksi dan atau pernasaran barang dan atau jasa pelaku
usaha pesaingnyadengan tujuan agar barang dan atau jasa itu berkurang
kualitas maupun kuantitasnya sertaterganggunya ketepatan waktu yang
dipersyaratkan (Pasa124).C. Posisi DominanUntuk kategori ini ada ernpat
tindakan yang dilarang Undang- Undang Larangan PraktekMonopoli. Masing-
masing akan dikcmukakan berikut ini :1. Penyalahgunaan Posisi Dominan
(Pasal 25) Istilah penyalahgunaan posisi dominan bukan istilah baku yang
ada di dalam Pasa125.Pasal tersebut secara formal berjudul
"Umum".Meskipun demikian, dari isi Pasal 25 dapat diketahui adanya
larangan untukmenggunakan posisi dominan untuk maksud tertentu.
Tindakan penyalahgunaan posisidominan yang tercantum di dalam Pasal 25
adalah sebagai berikut :Menetapkan syarat perdagangan guna mencegah
dan atau mcnghalangi konsumenmcndapatkan barang dan atau jasa yang
bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas (Pasal25 ayat (1) huruf a).
Membatasi pasar dan pcengembangan teknologi (Pasal 25 ayat (1) hurufb).
Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasarbersangkutan (Pasal 25 ayat (1) huruf c).Ayat (2) dari
Pasa125 selanjutnya menentukan bahwa pelaku usaha memiliki
posisidominan jika satu atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50%
atau lebih pangsa pasarsatu jenis barang atau jasa tertentu. Dua atau tiga
pelaku usaha atau kelompok pelaku usahayang menguasai 75% atau lebih
pangsa pasar barang/jasa tertentu pun dianggap mcmilikiposisi dominan.2.
Jabatan Rangkap (Pasai 26)Jabatan rangkap atau "interlocking directorate"
secara eksplisit diatur di dalam Pasal 26.Menurut Pasal tersebut, seseorang
yang memegang jabatan direksi atau komisaris suatuperusahaan dilarang
memegang jabatan serupa pada perusahaan lain jika perusahaan-
perusahaan tersebut :a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama;b.
memiliki keterkaitan erat dalam bidang dan suatu jenis usaha;c. secara
bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentuyang
dapatmengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak
sehat.Secara logis perangkapan jabatan ini dilarang karena posisi demikian
akan membukapeluang bagi perusahaan-perusahaan terkait untuk
menghindari persaingan.3. Pemilikan Saham (Pasai 27)Pasal 27 pada
dasarnya melarang pemilikan saham yang bisa berdampak negatif
terhadappersaingan. Pasal tersebut melarang pemilikan saham mayoritas
pada perusahaan-perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar yang bersangkutan yang samapula atau pendirian
perusahaanperusahaan yang menjalankan kegiatan usaha yang sama
padapasar bersangkutan yang sarna.Pemilikan saham dan pendirian
perusahaan-pcrusahaan seperti terscbut di atas menjadidilarang apabila
membawa akibat:a. satu orang atau satu kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 50% pangsa pasaratau jasa tertentu,b. dua atau tiga pclaku usaha
atau kelompok-kelompok usaha menguasai lebih dari 75%pangsa pasar satu
jenis barang atau jasa tcrtcntu.4. Penggabungan, Peleburan, atau
Pengambilalihan (Pasal 28-Pasal 29)Secara substansial ada dua hal yang
diatur di dalam Pasal 28 Undang-Undang LaranganPraktek Monopoli, yaitu:a.
penggabungan dan peleburan badan usaha yang dapat meng akibatkan
tcrjadinyapraktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (ayat (1)
Pasal 28),b. pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat
rnengakibatkan terjadinya praktekmonopoli dan atau persaingan usaha ticlak
sehat (ayat (2) Pasal 28).Ayat (3) Pasal 28 nenegaskan bahwa ketentuan
tentang penggabungan, peleburan,maupun pengambilalihan saham akan
diatur lebih lanjut di dalam pcraturan pemerintah.Penjelasan Pasal 28
menerangkan tentang apa yang dimaksud badan usaha. Menurutpenjelasan
pasal tersebut, pcngertian badan usaha di dalam Pasal 28 meliputi baik
bentukusaha yang berbadan hukum maupun yang tidak bcrbadan
hukurn.Berbeda dari Pasa128 yang lebih substantif, Pasa129 mengatur
aspek prosedural. Pasal inimeletakan kewajiban pada pelaku usaha untuk
melakukan penggabungan, peleburan, ataupengambilalihan scperti yang
dimaksud dalam Pasal 28 untuk selambat-lambatnya dalamwaktu 30 hari
memberitahukan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan itu
jikatindakan tersebut menyebabkan nilai aset dan atau nilai penjualannya
melebihi jumlahtertentu. Ketentuan tentang jumlah tertentu dan tata cara
pemberitahuan akan diatur tersendiridi dalam peraturan pemerintah.

BAB III PENUTUP.

kesimpulanMeskipun Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli


menentukan adanya tigakategori tindakan yang dilarang, dasar yang dipakai
untuk membuat katégori tersebuttidak terlalu jelas. Ketidakjelasan itu
khususnya tampak dari katcgori yang pertama dankategori yang
kedua.Sebaliknya, tidak terlalu jelas pula mengapa pemboikotan sebagai
Salah satu tindakanyang dilarang diletakkan di bawah kategori "perjanjian
yang dilarang scmentara pemboikotan (boycott) sebenarnya bisa dilakukan
olch pelaku tunggal (single actor) tanpaperjanjian dengan pihak lain.

DAFTAR PUSTAKA

Arie Siswanto, Hukum persaingan usaha, cet.1, Jakarta : Ghalia Indonesia,


2002,Abdul R. Saliman dan kawan-kawan, Esensi Hukum Bisnis Indonesia
Teori dan ContohKasus, Jakarta : Kencana, 2004Mahfud M.D., Pergulatan
Politik dan Hukum di Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1999Adikusuma,
Hilman,jual beli, Bandung:Citra Aditya Bakti, 1993.Darajat, Zakiah, Prof, Dr,
Perbandingan Pasar monopoli dan non monopoli, Jakarta:BulanBintang, 1993.

Anda mungkin juga menyukai