Anda di halaman 1dari 5

PERMASALAHAN HUKUM KE-18

tentang

REKONVENSI TERHADAP REKONVENSI

Pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama, khususnya dalam


perkara perceraian, seringkali diikuti dengan gugatan balik (rekonvensi),
bahkan dalam beberapa kasus, terhadap rekonvensi tersebut diajukan lagi
gugatan balik (re-rekonvensi). Para Hakim menyikapi lembaga re-
rekonvensi secara berbeda. Sebahagian tidak membolehkan, sedangkan
sebahagian lainnya membolehkan. Akibatnya terjadi disparitas penerapan
hukum yang tidak seharusnya terjadi dalam lapangan hukum acara,
karena menurut sifatnya hukum acara harus rigid dan tidak multi tafsir
apalagi sampai diterapkan secara berbeda-beda.
Diskursus tentang re-rekonvensi berakar pada kebolehan
pengajuan rekonvensi, sehingga mau tidak mau, pembahasan tentang re-
rekonvensi harus diawali dengan kajian tentang rekonvensi.
Kebolehan mengajukan gugatan balik diatur pada Pasal 132a HIR
(Pasal 157 R.Bg. dan Pasal 244 Rv.), yang pada pokoknya menegaskan
bahwa gugatan balik (rekonvensi) dapat diajukan dalam tiap-tiap perkara,
dengan ketentuan pihak yang digugat balik adalah pihak Penggugat
prinsipal pada perkara konvensi, perkaranya masih dalam lingkup
kewenangan pengadilan yang memeriksa perkara konvensi, dan materi
gugatan balik bukan tentang perlawanan terhadap eksekusi.1

1
Pasal 132a HIR:
(1) Dalam tiap-tiap perkara, Tergugat berhak mengajukan tuntutan balik, kecuali:
1o bila penggugat semula itu menuntut karena suatu sifat, sedang tuntutan balik itu mengenai
dirinya sendiri, atau sebaliknya;
2o bila pengadilan negeri yang memeriksa tuntutan asal tak berhak memeriksa tuntutan balik itu,
berhubung dengan pokok perselisihan itu;
3o dalam perkara perselisihan tentang pelaksanaan putusan hakim.
(2) Jika dalam pemeriksaan pada tingkat pertama tidak diajukan tuntutan balik, maka dalam banding
tak boleh lagi diajukan tuntutan itu.
Pasal 157 R.Bg.:
(1) Tergugat berwenang untuk mengajukan gugatan balik dalam segala hal, kecuali:
Salah satu syarat formal yang juga sangat penting untuk rekonvensi
adalah sifatnya yang innerlijk samenhangen (terkait erat) dengan pokok
perkara konvensi. Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama (Buku II) antara lain disebutkan bahwa
gugatan rekonvensi hanya boleh diterima jika berhubungan dengan
gugatan konvensi.2
Secara umum, pandangan mengenai kebolehan re-rekonvensi
didasarkan argumen bahwa re-rekonvensi adalah hak dan kebolehannya
merupakan wujud penerapan asas sederhana, cepat dan biaya ringan.
Setiap kepentingan hukum beralas hak, pada prinsipnya, harus punya
saluran hukum untuk dituntut atau dipertahankan, antara lain melalui
pengajuan gugatan, yang prosesnya berlangsung secara sederhana,
cepat, dan berbiaya ringan. Salah satu bentuk penerapan asas
sederhana, cepat, dan biaya ringan adalah melalui kebolehan pengajuan
gugatan secara komulatif, baik dengan mengajukan dua atau lebiih
gugatan secara bersama-sama, atau dengan mengajukan suatu perkara
tunggal namun untuk diperiksa bersama-sama dengan gugatan lain yang
telah lebih dulu diajukan ke pengadilan.
Argumen lain didasarkan pada hakikat perkara konvensi dan
perkara rekonvensi yang sama-sama merupakan gugatan yang berdiri

1o bila penggugat dalam konvensi bertindak dalam suatu kedudukan, sedangkan gugatan balik
mengenai diri pribadinya dan sebaliknya;
2o bila pengadilan negeri yang menangani gugatan asalnya tidak berwenang mengadili persoalan
yang menadi inti gugatan balik yang bersangkutan;
3o tentang perselisihan mengenai pelaksanaan suatu keputusan hakim. (2) Jika dalam tingkat
pertama tidak diajukan gugatan balik, maka hal itu tidak dimungkinkan dalam tingkat banding.
Pasal 244.
Tergugat berhak untuk mengajukan gugatan balik (rekonpensi) dalam semua perkara, kecuali :
1o bila penggugat asli (konpensi) bertindak dalam suatu kedudukan tugas, sedangkan gugatan
balik itu mengenai pribadi penggugat atau sebaliknya; (KUHPerd. 383, 452, 1655 dst.)
2o bila hakim yang memeriksa perkara gugatan asal tiddk berwenang untuk mengadili gugatan
balik dalam hubungan dengan pokok perkaranya; (ISR. 136; Rv. 99, 130, 132 dst., 310.)
3o dalam perkara-perkara tentang hak menguasai (bezit), jika gugatan balik mengenai hak milik
atas benda yang bersangkutan sendiri (petitoir); (Rv. 103 dst.)
4o dalam perkara perselisihan mengenai pelaksanaan suatu putusan� (Rv. 183,442.)
Jikalau dalam tingkat pertama tidak diajukan gugatan balik, maka hal itu tidak dapat diajukan dalam
tingkat banding.

2
Buku II halaman 79 angka 5). Lihat juga bukunya Pak Yahya, dll.
sendiri. Penggunaan istilah konvensi dan rekonvensi hanya sebagai
instrumen teknis yuridis dalam penggabungan pemeriksaan dua atau lebih
perkara. Penggabungan tersebut secara otomatis membutuhkan
pemberian label atau identitas untuk memilah masing-masing perkara
menurut siapa pengaju dan apa substansi materilnya.
Kesamaan sebagai perkara yang berdiri sendiri itulah yang
berikutnya menjadi alasan membolehkan re-rekonvensi. Sederhananya,
jika terhadap pokok perkara konvensi boleh diajukan gugatan balik, maka
dengan alasan sama-sama perkara yang berdiri sendiri, terhadap pokok
perkara rekonvensi pun boleh diajukan gugatan balik.
Pasal 132a ayat (1) HIR secara clear menyebutkan “dalam tiap-tiap
perkara, Tergugat berhak mengajukan tuntutan balik”. Penggunaan frasa
“tiap-tiap perkara” bermakna bahwa di semua perkara pada prinsipnya
bisa diajukan gugatan balik. Pasal tersebut sama sekali tidak memuat
pembatasan bahwa gugatan balik hanya dibolehkan dalam perkara
konvensi, atau melarang gugatan balik diajukan dalam rekonvensi.
Padahal pada pasal tersebut juga ada klausul pengecualian, antara lain
pada ayat (1) ke-3 yang menyebutkan “Dalam tiap-tiap perkara, Tergugat
berhak mengajukan tuntutan balik, kecuali: 3o dalam perkara perselisihan
tentang pelaksanaan putusan hakim. Jadi urutan logikanya sederhana,
yaitu: (i) gugatan balik dapat diajukan pada semua perkara; (ii) tidak ada
pengkhususan dalam perkara konvensi; dan (iii) tidak ada larangan untuk
mengajukan dalam rekonvensi.
Berdasarkan uraian argumen tersebut, Hakim yang membolehkan
re-rekonvensi menyimpulkan bahwa pengajuan gugatan balik dalam
rekonvensi (re-rekonvensi) adalah hak pihak berperkara, sejalan dengan
asas sederhana, cepat dan biaya ringan, serta telah bersesuaian dengan
ketentuan hukum acara, dalam hal ini Pasal 132a HIR, Pasal 157 R.Bg.
dan Pasal 244 Rv.
Pandangan sebaliknya, yang menilai re-rekonvensi tidak
dibolehkan, memusatkan argumentasinya pada perimbangan kesempatan
para pihak untuk menuntut pemenuhak haknya. Penggugat (dalam
konvensi) telah menggunakan haknya pada saat mngajukan perkara
konvensi, maka untuk memberi perlakuan sama, Tergugat (dalam
konvensi) diberi hak untuk mengajukan gugatan balik melalui lembaga
rekonvensi terhadap konvensi. Karena kedua belah pihak telah diberi
ruang yang sama dan berimbang untuk menuntut hak, maka re-rekonvensi
tidak diperlukan lagi. Kalaupun lembaga re-rekonvensi dibolehkan, maka
untuk perimbangannya harus ada lagi ruang bagi pengajuan re-rekonvensi
ke-2, analog dengan pengajuan gugatan, jawaban, lalu replik dan duplik,
yang semua prosesnya berakhir pada pemberian kesempatan kepada
pihak Tergugat Konvensi.
Penggabungan perkara memang merupakan wujud penerapan
asas sederhana, cepat dan biaya ringan, akan tetapi penggabungan
dimaksud adalah penggabungan secara selektif. Harus memenuhi kriteria-
kriterian yang ditatapkan undang-undang agar tidak malah kontra
produktif. Oleh karena penggabungan perkara secara tidak tepat justru
akan menimbulkan keruwetan dalam pemeriksaan dan penyelesaian
perkara. Itulah yang mendasari adanya syarat materi gugatan balik harus
iinerlijk samenhangen dengan materi konvensi, agar keduanya bisa
diselesaikan secara bersama dan sejalan. Jika tidak innerlijk, tentu tujuan
penggabungan pemeriksaan tidak tercapai karena pemeriksaan dan
penyelesaiannya justru menjadi tidak efektif dan efisien sehingga
bertentangan dengan asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Hal itu
pulalah yang mendasari perumus undang-undang tidak membuka lagi
ruang bagi re-rekonvensi karena justru akan menghilangkan sisi efektifitas
dan efisiensi penyelesaian perkara.
Mengenai argumentasi seputar teks Pasal 132a HIR, Pasal 157
R.Bg. dan Pasal 244 Rv, kelompok yang kontra terhadap kebolehan re-
rekonvensi berpendapat bahwa kata “perkara” pada frasa “tiap-tiap
perkara” dalam Pasal 132a HIR harus dibatasi maknanya pada perkara
asal (konvensi) saja. Sehingga gugatan balik hanya dapat diajukan
terhadap perkara konvensi. Sebab, konsep dasar hukum acara
menghendaki setiap perkara hanya terdiri dari satu pokok gugatan saja.
Pasal 132a HIR adalah pengecualian dari konsep dasar tersebut. Dengan
demikian, kata “perkara” pada frasa “tiap-tiap perkara” pada Pasal
tersebut harus dimaknai sebagai perkara asal (konvensi) yang seharusnya
hanya terdiri dari satu pokok gugatan saja, yang kemudian dikecualikan
dengan adanya kebolehan mengajukan gugatan balik. Kata “perkara” itu
tidak bisa diperluas maknanya mencakup gugatan balik itu sendiri
meskipun gugatan balik (rekonvensi) tersebut pada hakikatnya juga
merupakan suatu perkara yang berdiri sendiri.
Hal demikian serupa dengan upaya hukum verzet atas putusan
verstek yang hanya berlaku tehadap putusan verstek yang pertama.
Apabila verzet itu diputus verstek juga, maka upaya hukum atas verstek
yang kedua tersebut tidak lagi dengan verzet.3 Jadi, sesuai dengan
semangat yang terkandung dalam asas litis finiri oportet yaitu bahwa
setiap perkara harus ada akhirnya, maka pembuat undang-undang dalam
setiap norma yang dirumuskannya selalu tidak menghendaki
berlangsungnya suatu proses beracara yang tidak ada putusnya. Maka
dari itu, pemaknaan atas kata, frasa, dan klausul pada norma hukum
harus diberi batasan sesuai dengan semangat tersebut. Jika hanya karena
alasan bahwa konvensi dan rekonvensi hakikatnya adalah perkara yang
berdiri sendiri, sehingga masing-masing di dalamnya bisa diajukan
gugatan balik, maka terhadap re-rekonvensi pun demikian, akan terbuka
pintu untuk digugat balik. Demikian seterusnya, tanpa ada ujung pangkal
yang pasti.

3
Pasal 129 ayat (5) HIR:
(5) Jika kepada tergugat dijatuhkan keputusan tanpa kehadiran untuk kedua kalinya, maka
kalau ia memajukan pula perlawanan terhadap keputusan tanpa kehadiran,
perlawanannya itu tidak akan diterima.

Anda mungkin juga menyukai