Anda di halaman 1dari 5

Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata memiliki makna tangkisan atau bantahan

(objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi
gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi
ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan dan tidak ditujukan atau
menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale). Salah satu eksepsi
dalam hukum acara perdata adalah eksepsi mengenai kewenangan mengadili. Eksepsi
kewenangan mengadili diajukan apabila dianggap pengadilan tidak berwenang mengadili
perkara yang bersangkutan. Eksepsi kewenangan mengadili dibagi menjadi:

1. Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir)

Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan peradilan


(Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer)
dan Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain). Masing-masing
pengadilan mempunyai yurisdiksi tertentu. Yurisdiksi suatu pengadilan tidak boleh dilanggar
oleh yurisdiksi pengadilan lain.

Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (exceptio declinatoir) diatur dalam Pasal 134
Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) dan Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering
(“Rv”). Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat. Pasal 134 HIR
dan Pasal 132 Rv mengatur bahwa eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat
setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung sejak proses pemeriksaan dimulai sampai
sebelum putusan dijatuhkan di persidangan tingkat pertama (Pengadilan Negeri).

2. Eksepsi Kewenangan Relatif (Relative Comprtitie)

Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu
lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR.

Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR mengatur bahwa pengajuan eksepsi kewenangan relatif
harus disampaikan pada sidang pertama dan bersamaan pada saat mengajukan jawaban
pertama terhadap materi pokok perkara. Eksepsi kewenangan relatif hanya dapat diajukan
bersama-sama dengan penyampaian jawaban pertama. Tidak terpenuhinya syarat tersebut,
mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur.

Pengajuan eksepsi kewenangan relatif dapat secara lisan atau berbentuk tulisan. Pasal 133
HIR memberikan hak kepada tergugat untuk mengajukan eksepsi kompetensi relatif secara
lisan. Hakim yang menolak dan tidak mempertimbangkan eksepsi lisan, dianggap melanggar
tata tertib beracara dan tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyalah gunaan
wewenang. Selain secara lisan, eksepsi kewenangan relatif dapat diajukan dalam bentuk
tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (2) Rv jo Pasal 121 HIR.

Eksepsi berkaitan dengan kompetensi absolut yang diajukan bersamaan dengan pengajuan
jawaban setelah pembacaan gugatan/permohonan pokok perkara, dan wajib diputus sebelum
putusan pokok perkara. Namun, jika eksepsi menyangkut kewenangan relatif, maka majelis
hakim dapat memutus sebelum maupun bersamaan dengan pokok perkara.
Pada artikel yang lalu telah dijelaskan mengenai eksepsi kewenangan mengadili (eksepsi
kompetensi) dan eksepsi syarat formil. Selain eksepsi tersebut, dalam hukum acara perdata
dikenal dengan istilah eksepsi hukum materiil (materiele exceptie). Menurut ahli hukum, M
Yahya Harahap, terdapat beberapa macam eksepsi hukum materiil, diantaranya:

a.        Exceptio dilatoria atau dilatoria exceptie yang berarti gugatan penggugat belum dapat
diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan, karena masih prematur, dalam arti
gugatan yang diajukan masih terlampau dini.

Penjelasan sifat atau keadaan prematur melekat pada batas waktu untuk menggugat sesuai
dengan jangka waktu yang disepakati dalam perjanjian, belum sampai atau batas waktu untuk
menggugat belum sampai, karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur atau
berdasarkan kesepakatan antara kreditur dan debitur. Misalnya, ahli waris yang menggugat
pembagian harta warisan, padahal pewaris masih hidup, sehingga gugatan itu prematur
karena selama pewaris masih hidup, tuntutan pembagian warisan masih tertunda. Begitu juga
halnya, tuntutan pembayaran utang yang tertunda oleh faktor syarat perjanjian, karena utang
yang dituntut belum jatuh tempo.

 b.        Exceptio peremptoria atau peremptoir exceptie yaitu eksepsi yang berisi sangkalan,
yang dapat menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan.
Misalnya, permasalahan yang digugat telah dibayar, dikonsinyasi, diinovasi, dikompensasi
dan sebagainya berdasarkan Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH
Perdata”), atau apa yang digugat telah dieksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR. Bentuk dari
peremptoir exceptie antara lain terdiri dari:

1.      Exceptio temporis (eksepsi daluwarsa)

Menurut Pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu (expiration) selain menjadi
dasar hukum untuk memperoleh sesuatu, juga menjadi landasan hukum untuk membebaskan
(release) seseorang dari suatu perikatan setelah lewat jangka waktu tertentu.

2.      Exceptio non pecuniae numeratae

Eksepsi yang berisi sangkalan tergugat (tertagih), bahwa uang yang dijanjikan untuk dibayar
kembali, tidak pernah diterima (he had never received). Akan tetapi, eksepsi tersebut sangat
erat kaitannya dengan kemampuan atau keberhasilan tergugat membuktikan bahwa uang
yang disebut dalam perjanjian tidak pernah diterimanya, sehingga beralasan mengajukan
exceptio non pecuniae numeratae. Apabila tergugat tidak mampu membuktikan, eksepsinya
pun ditolak.

3.      Exceptio doli mali

Eksepsi doli mali yaitu keberatan mengenai penipuan yang dilakukan dalam perjanjian. Jadi,
merupakan eksepsi yang menyatakan penggugat telah menggunakan tipu daya dalam
pembuatan perjanjian. Dengan demikian, eksepsi tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal
1328 KUH Perdata yang menyatakan:

 penipuan merupakan salah satu alasan untuk membatalkan persetujuan.


 akan tetapi agar hal itu dapat dijadikan alasan, tipu muslihat yang dilakukan harus
sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata pihak tergugat tidak akan membuat
perjanjian itu tanpa dilakukannya tipu muslihat oleh penggugat.

4.      Exceptio metus

Eksepsi metus berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 1323 KUH Perdata yang menegaskan:

 paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat persetujuan merupakan alasan
batalnya perjanjian, meskipun hal itu dilakukan oleh pihak ketiga asal untuk
kepentingan orang yang membuat perjanjian.
 akan tetapi, menurut Pasal 1324 KUH Perdata, suatu paksaan baru dapat dibenarkan
menjadi dasar membatalkan perjanjian, apabila paksaan tersebut sedemikian rupanya,
sehingga menimbulkan ketakutan bagi orang yang berpikiran sehat, bahwa dirinya,
atau harta kekayaannya terancam.

5.      Exceptio non adimpleti contractus

Eksepsi ini dapat diajukan dan diterapkan dalam perjanjian timbal balik. Masing-masing
dibebani kewajiban (obligation) untuk memenuhi prestasi secara timbal balik. Pada
perjanjian seperti itu, seseorang tidak berhak menggugat ; apabila dia sendiri tidak memenuhi
apa yang menjadi kewajibannya dalam perjanjian.

6.      Exceptio dominii

Eksepsi ini merupakan tangkisan yang diajukan tergugat terhadap gugatan, yang berisi
bantahan yang menyatakan obyek barang yang digugat bukan milik penggugat, tetapi milik
orang lain atau milik tergugat.

7.      Exceptio litis pendentis

Sengketa yang digugat penggugat, sama dengan perkara yang sedang diperiksa oleh
pengadilan. Disebut juga eksepsi sub-judice yang berarti gugatan yang diajukan masih
tergantung (aanhangig) atau masih berlangsung atau sedang berjalan pemeriksaannya di
pengadilan (under judicial consideration)

Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata bermakna tangkisan atau bantahan (objection).
Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan
penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan
kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan yaitu jika gugatan yang diajukan
mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah.
Konsekuensi jika gugatan tersebut tidak sah adalah  gugatan tidak dapat diterima
(inadmissible).Dengan demikian keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak
ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale).

Secara garis besar eksepsi dikelompokkan sebagai berikut:


1. Eksepsi kompetensi

         a. Tidak berwenang mengadili secara absolut

Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan pengadilan


(Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer),
Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain).

         b. Tidak berwenang mengadili secara relatif

Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu
lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene
Inlandsch Reglement (“HIR”)

Menurut Pasal 134 HIR maupun Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”), eksepsi
kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan
berlangsung di persidangan tingkat pertama sampai sebelum putusan dijatuhkan. Sedangkan
menurut Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR eksepsi tentang kompetensi relatif diajukan
bersamaan dengan pengajuan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Tidak
terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi relatif
menjadi gugur. Pasal 136 HIR memerintahkan hakim untuk memeriksa dan memutus terlebih
dahulu pengajuan eksepsi kompetensi tersebut sebelum memeriksa pokok perkara. Penolakan
atas eksepsi kompetensi dituangkan dalam bentuk putusan sela (Interlocutory), sedangkan
pengabulan eksepsi kompetensi, dituangkan dalam bentuk bentuk putusan akhir (Eind
Vonnis).

2. Eksepsi syarat formil

          a. Surat kuasa khusus tidak sah

Surat kuasa khusus dapat dinyatakan tidak sah karena sebab-sebab tertentu, misalnya surat
kuasa bersifat umum (Putusan Mahkamah Agung no.531 K/SIP/1973), surat kuasa tidak
mewakili syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 HIR, surat kuasa dibuat
bukan atas nama yang berwenang (Putusan Mahkamah Agung no. 10.K/N/1999).

         b. Error in Persona

Suatu gugatan/permohonan dapat dianggap error in persona apabila diajukan oleh anak
dibawah umur (Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)),
mereka yang berada dibawah pengampuan/curatele (Pasal 446 dan Pasal 452 KUH Perdata),
seseorang yang tidak memiliki kedudukan hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan
(persona standi in judicio).

         c. Nebis in Idem

Nebis in Idem adalah sebuah perkara yang memiliki para pihak yang sama, obyek yang sama,
dan materi pokok yang sama sehingga perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali.

         d. Gugatan Prematur


Suatu gugatan/permohonan disebut prematur apabila ada faktor hukum yang menangguhkan
adanya gugatan/permohonan tersebut, misalnya gugatan waris disebut prematur jika pewaris
belum meninggal dunia.

         e. Obscuur Libel

Obscuur libel dapat disebut secara sederhana sebagai “tidak jelas”. Ketidakjelasan misalnya
terletak pada:

1. hukum yang menjadi dasar gugatan,


2. ketidakjelasan mengenai objek gugatan,  misalnya dalam hal tanah tidak disebutkan
luas atau letak atau batas dari tanah tersebut.
3.  petitum yang tidak jelas, atau
4. terdapat kontradiksi antara posita dan petitum

Menurut Pasal 125 ayat (2) jo. Pasal 133 dan Pasal 136 HIR eksepsi lain dan eksepsi
kompetensi relatif hanya dapat diajukan secara terbatas, yaitu pada jawaban pertama bersama
sama dengan bantahan pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak
tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur. Berdasarkan Pasal 136 HIR penyelesaian
eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok
perkara. Dengan demikian pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok
perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir. Apabila eksepsi
dikabulkan maka putusan bersifat negatif, sedangkan apabila eksepsi ditolak maka putusan
bersifat positif berdasarkan pokok perkara.

Anda mungkin juga menyukai