Anda di halaman 1dari 3

A.

Pengertian
1. Jawaban dari suatu Gugatan
Pada dasarnya jawaban bukanlah suatu kewajiban yang harus diberikan oleh Tergugat
di dalam persidangan. Melainkan adalah hak Tergugat untuk membantah dalil-dalil yang
Penggugat sampaikan di surat gugatannya.
Jawaban terhadap surat gugatan dibuat dengan tertulis, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 121 ayat (2) Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) yang berbunyi:

“ketika memanggil yang digugat, maka sejalan dengan itu hendak diserahkan juga sehelai
salinan surat tuntutan, dengan memberitahukan kepadanya bahwa ia kalau mau boleh
menjawab tuntutan itu dengan surat”.

Biasanya jawaban diberikan oleh Tergugat kepada Majelis Hakim dan Penggugat pada
sidang pertama setelah gagalnya proses mediasi yang difasilitasi oleh pengadilan. Namun
apabila Tergugat belum siap, maka Majelis Hakim akan memberikan kesempatan lagi pada
sidang berikutnya untuk menyertakan jawaban tersebut.
Isi dari jawaban tersebut tidak hanya berisi bantahan terhadap pokok perkara, namun
tergugat juga boleh dan dibenarkan memberi jawaban yang berisi pengakuan (confession),
terhadap sebagian atau seluruh dalil gugatan penggugat.
Selain itu, jawaban yang disampaikan oleh tergugat dapat sekaligus memuat eksepsi
dan bantahan terhadap pokok perkara. Jika jawaban sudah memuat eksepsi dan bantahan
terhadap pokok perkara, tergugat harus menjawab secara sistematis agar lebih mudah dibaca
dan dipahami oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.
Dalam hal jawaban yang sekaligus berisi eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara,
yaitu;
1. Mendahulukan eksepsi pada bagian depan yang mendahului uraian bantahan pokok
perkara;
2. Uraian bantahan pokok perkara dengan judul; dalam pokok perkara;
3. Terakhir berupa kesimpulan yang berisi pernyataan singkat eksepsi dan bantahan
pokok perkara.
Eksepsi dan bantahan terhadap pokok perkara dalam konteks hokum acara memiliki
makna yang sama yaitu sebuah tangkisan atau bantahan (objection), namun dalam eksepsi
ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu jika
gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan
gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible). Bentuk
eksepsi terdiri dari tiga jenis yaitu; eksepsi prosesuil, eksepsi prosesual di luar eksepsi
kompetensi dan eksepsi hokum materil.
Eksepsi prosesuil adalah; eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan.
Contohnya adalah eksepsi kewenangan absolut dan kewenangan relatif dari suatu badan
peradilan.
Selanjutnya, eksepsi prosesuil di luar eksepsi kompetensi terdiri dari beberapa bentuk
yaitu; eksepsi surat kuasa khusus tidak sah, eksepsi error in persona, eksepsi nebis in idem,
dan eksepsi obscuur libel.
Demikian pula dengan eksepsi hukum materil dibagi menjadi dua jenis, yaitu pertama;
eksepsi dilatoria yakni suatu eksepsi yang dilakukan oleh tergugat dalam hal gugatan
penggugat belum dapat diterima untuk diperiksa sengketanya di pengadilan, karena masih
premature, dalam arti gugatan yang diajukan masih terlampau dini. Contohnya belum sampai
batas waktu untuk menggugat karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur atau
berdasarkan kesepakatan antara kreditur dan debitur. Dan yang kedua adalah eksepsi
peremptoria, adalah eksepsi yang diajukan oleh tergugat kepada penggugat yang dapat
menyingkirkan gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan.
Bantahan Pokok Perkara
Setelah eksepsi tergugat dapat menyusun bantahan dalam pokok perkara. Bantahan
dalam pokok perkara adalah bantahan yang dilakukan oleh tergugat yang menyinggung
mengenai pokok perkara atau pembuktian mengenai benar atau tidaknya dalil yang diajukan
oleh penggugat dalam surat gugatannya.
Dalam hukum acara tidak secara detail dijelaskan apa saja yang dapat dibantah dalam
pokok perkara tersebut, namun bantahan dalam pokok perkara ini dapat ditinjau dari tiga
klasifikasi, yaitu pengakuan (bekentenis), membantah dalil gugatan dan tidak memberi
pengakuan maupun bantahan.
Pengakuan (bekentenis) adalah sebuah pertanyaan yang dikatakan tergugat dalam
jawabannya bahwa tergugat mengakui benar adanya dalil yang diajukan oleh penggugat
dalam surat gugatannya. Pengakuan tersebut merupakan alat bukti yang sempurna (volledig).
Nilai kekuatan pembuktian yang demikian ditegaskan kembali dalam Pasal 174 HIR, yang
berbunyi;
“pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim, cukup menjadi bukti untuk
memberatkan orang yang mengaku itu, baik pengakuan itu diucapkan sendiri maupun dengan
pertolongan orang lain yang istimewa dikuasakan untuk melakukan itu.”
Berikutnya adalah membantah dalil gugatan atau dapat disebut dengan bantahan
terhadap pokok perkara. Tergugat dapat melumpuhkan dalil gugatan dengan cara pembuktian
berdasarkan alat-alat bukti yang dibenarkan dalam undang-undang. Atau tergugat dapat
menampik dan mengingkari kejadian yang didalilkan berdasarkan alasan rasional dan
objektif.

Anda mungkin juga menyukai