PUTRI RAMADHANI, MH
DISUSUN
OLEH:
AKHWALUL SYAKSIYAH
MEDAN
2020
kATA PENGANTAR
Puji syukur yang dalam kami sampaikan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Pemurah,
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan sebuah
makalah yang berjudul sifat melawan hukum dengan baik. Shalawat dan salam saya
persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membawa risalah Islam sebagai pedoman
hidup untuk meraih keselamatan hidup di dunia dan juga di akhirat kelak.
Alhamdulillah, atas izin Allah SWT, kami dapat menyelesaikan tugas ini. Sebuah
makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Pidana. Tugas ini disusun untuk
bertujuan sebagai alternatif dalam memahami dan mengetahui lebih dalam tentang salah satu
materi daripada mata kuliah.
Dalam penyusunan tugas ini, juga tidak luput dari adanya berbagai macam sumber seperti
mengenai sebagai referensi untuk memperkuat dan membuka cakrawala kami dalam
menganalisis tentang materi dalam karya tulis ini. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini
dengan mudah dan menyusunnya menjadi sebuah tugas seperti ini. Semoga dengan kehadiran
tugas ini dapat menambah ilmu tentang hal tersebut..
Dengan segala keterbatasan yang ada, kami menyadari bahwa dalam penulisan ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik senantiasa kami harapkan. Semoga tugas
yang kami kerjakan dapat bermanfaat bagi kami dan pembacanya. Aamiin.
Medan,November 2020
Penyusun
Kelompok X
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan......................................................................................... 11
B. Saran................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transisi demokrasi di Indonesia yang sedang berlangsung pada era reformasi ini memberi
harapan baru akan lahirnya berbagai reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan
bernegara. Namuan demikian, kenyataan membuktikan bahwa cita luhur itu tidak semudah
realisasinya. Terdapat sejumlah persoalan yang menghadang untuk sekedar mempersempit jarak
antara cita dan realita sebagai akibat deri kritis multidememnsi yang melandanya.
Tanpa mengingkari adanya berbagai kelemahan yang ada dalam era reformasi, secara
objektif era ini tidaklah sepenuhnya gagl total, terdapat buah pendapat yang kiat dapat petik dari
arah perubahan sosial yang sedang berlangsung itu. Selain tumbuhnya kesadarn baru mengenai
pembelajaran demokrasi poloik dan tranparasi ekonomi, kesadaran masyarakat terhadap
penegakan hukum di satu sisi dan menyerupakan kasus-kasus hukum terutama tindak pidana, di
sisi lain mendorong adany upaya-upaya hukum terutama law enforcoment di Indonesia.
Kuatnya tuntunan penegakan hukum dari masyarakat merupakan yang baik yng harus
segera disikapi secara proaktif. Momentum dimaksud merupakan peluang bagi para ahli hukum
untuk mengambil langkah-langkah yang proaktif supaya tuntunan masyarakat dapat di penuhi.
Salah satu bentuk proaktif ini adalah sosialisasi materi hukum dalam hal ini khususnya hukum
pidana ditengah masyarkat.
Hukum sangatlah penting dalam kehidupan kita sehari-hari, karena dengan adanya
hukum diharapkan agar masyarakat mendapatkan rasa aman dalam menjalani kehidupannya.
Banyak sekali realita sekarang yang kita jumpai di kehidupan kita orang dengan sengaja tidak
menjalankan peraturan. Jikalau mereka mau berfikir, sebenarnya andaikan semua orang taat akan
hukum niscaya hidup ini akan terasa lebih nyaman.
Mudah-mudahan dengan adanya makalah yang saya susun ini memberikan sedikit
wawasan tentang “Sifat Melawan Hukum” yang juga termasuk dari bagian hukim pidana.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1
BAB II
PEMBAHSAN
1 Sudarto, dalam H. Soetiyono, kejahatan korporasi, ( Malang: bayumedia publishing, 2005) hal. 102.
2 Moeljatno, asas-asas hukum pidana, ( Jakarta: Rineka cipta, 2008 ) hal. 140
3 Teguh prasetyo dan Abdul Hakim Barakatullah, politik hukum pidana kajian kebijakan kriminalisasi dan deskriminasi. ( yogyakarta : pustaka
belajar, 2005 ) hal. 31-32.
2
Hoge Raad pada tanggal 31 januari 1919, N. J. 1919, W. 10365 berpendapat. Antara lain
sebagai berikut : “ onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang
lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan juga yang bertentangan
baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat.4
Karena bermacam-macamnya pengertian melawan hukum itu, Noyon-Langemeyer
(1954) mengusulkan agar fungsi agar fungsi kata itu hendaknya disesuaikan dengan setiap delik
tanpa secara asasi menghilangkan kesatuan artinya. Misalnya Hoge Raad dengan Arrest-nya
tanggal 28 juni 1911, dalam menerapkan pasal 326 Ned: W.v.S (= pasal 378 KUHP )
mengatakan de dader geen eigen recht op de bevoordeling heft” ( terdakwa tidak mempunyai
hak sendiri untuk menikmati keuntungan itu ). Menurut Pompe “ melawan hukum” dalam kasus
tersebut berarti melawa hukum tidak tertulis.5
Secara lebih jelas pembuat konsep KUHP Baru 1998 menegaskan dianutnya pendapat
sifat melawan hukum material yang terdapat dalam Pasal 17 yang dirumuskan sebagai berikut:
( Perbuatan yang dituduhkan haruslah merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana oleh suatu peraturan perundang-undangan dan perbuatan tersebut juga
bertentangan dengan hukum.)
Penegasan ini juga dilanjutkan dalam pasal 18, yaitu:
( Setiap tindak pidana Selalu bertentangan dengan pengaturan perundang-undangan atau
bertentangan dengan hukum, kecuali terdapat alasan pembenar atau alasan pemaaf.)
Dalam hukum pidana yamg menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat
melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana.dan
sifat melawan hukum didalamnya memiliki empat makna yakni :
1. Perbuatan melawan hukum diartikan syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan
sebagaimana definisi perbuatan pidana yakni kelakuan manusia termasuk dalam rumusan
delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.
2. Kata melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian, sifat melawan
hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.
3. Sifat melawan hukum formal mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah
dipenuhi.
Sifat melawan hukum materil mengandung dua pandangan sebagai berikut :
a. Dari sudut perbuatannya mengandung arti melanggar atau membahayakan kepentingan
hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang ruusan delik.
b. Dari sudut pandang hukumnya, sifat melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas
kepatutan, keadilan dan hukum yang hidup di masyarakat. Perkembangan berikut, sifat
melawan hukum materil dibagi menjadi sifat melawan hukum materil dalam negatif dan
fungsi positif. Sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif berarti meski perbuatan
memenuhi unsur delik tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka
perbuatan itu tidak dipidana. Adapun sifat melawan hukum materil dalam fungsi positif
mengandung arti, meski perbuatan tidak memnuhi unsur delik, tetapi jika perbuatan itu
4 Leden Marpaung, asas-teori-praktek hukum pidana i ( jakarta : sinar grafika, 2005 ) hal. 44
5 Andi Hamzah, asas asas hukum pidana ( jakarta : Rineka cipta, 2010 ) hal. 140
3
dianggap tercela karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma di masyarakat, maka perbuatan
itu dapat dipidana.
Karna memang dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan
yang melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan
pidana.6
Didalam KUHP istilah sifat melawan hukum itu bermacam-macam :
a. tegas dipakai istilah “melawan hukum”, (wederrechtelijk) dalam pasal 167, 168, 335
(1), 522;
b. dengan istilah lain misalnya : “tanpa mempunyai hak untuk itu” (pasal 303, 548,
549); “tanpa izin” (zonder verlof) (pasal 496, 510); “dengan melampaui
kewenangannya” (pasal 430); “tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh
peraturan umum” (pasal 429).7
Seperti yang telah di paparkan diatas, bahwa kata melawan hukum telah dicantumkan
dalam beberapa pasal yang telah disebutkan. Pada umumnya para sarjana hukum menyatakan
bahwa melawan hukum merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara
eksplisit atau tidak, tetapi tidak semua pasal dalam KUHP mencantumkan unsur melawan ini
secara tertulis, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
1. Bilamana dari rumusan undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajar
sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit.
2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbuatan seseorang melanggar atau bertentangan
dengan kaidah materil yang berlaku baginya, oleh karena itu dengan sendirinya berarti bahwa
memidana orang yang tidak melakukan perbuatan pidana adalah ionzining, tidak masuk akal,
sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan.8
4
dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan
hukum”. jika tidak dapat dibuktikan maka putusan bebas.
3. Sifat meawan hukum secara materil bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-
undang saja, tetapi juga yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman didalam
pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.
4. Sifat melawan hukum secara formil seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau
dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.
10 Bambang Poernomo, asas asas hukum pidana. ( jakarta : Ghalia indonesia, 1994 ). hal. 115
11 Andi Hamzah, op,.cit, hal. 140.
5
2. Ajaran sifat melawan hukum materil
Sifat melawan hukum materil merupakan suau perbuatan melawan hukum yang tidak hanya
terdapat didalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum
yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-
undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis12. Ajaran sifat melawan hukum materil adalah
memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu ajaran ini mengakui
alasan lasan pembenar diluar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada
pada hukum yang tidak tertulis.
Ajaran sifat melawan hukum material (materiele wederrechtelijheid) di Indonesia bukan
hanya hukum pidana yang berlaku di Indonesia bukan hanya hukum pidana yang didasarkan
pada KUHP saja, tetapi juga hukum adat yang sampai sekarang masih terpelihara. Jika hal ajaran
sifat melawan hukum material tidak ditampung dalam suatu perundang-undangan atau
yurisprudensi maka dikhawatirkan hukum pidana adat akan mengalami kematian. Tetapi
untungnya Mahkamah Agung dalam putusannya tahun 1965 berani bertolak belakang dengan
KUHP yang berlaku pada saat itu sehingga hukum pidana atau hukum yang hidup dan tidak
tertulis bisa diselamatkan.
Penyusun Konsep atau Rancangan KUHP Baru 1998 menyadari hal ini sehingga mereka
perlu memasukannya menjadi suatu bagian yang tersendiri disamping ajaran sifat melawan
hukum formal selama ini sudah terakomodasi. Bahkan lebih mengunggulkan nilai-nilai keadilan
yang ada dalam masyarakat dibanding nilai kepastian yang berarti mereka betul-betul
menghargai hukum pidana adat yang sekarang ada dan berlahu. 13
Perkembangan ajaran sifat melawan hukum yang material di Indonesia ternyata tidak seperti
yang terjadi di Belanda. Meskipun sebelumnya Mahkamah Agung dalam kasasinya tanggal 17
Januari 1962 No. 152 K/Kr/1961 menganut paham formale wederrechtelijkheid, tetapi
perkembangan selanjutnya menunjukan hal yang sebaliknya. Sejak Mahkamah Agung
mengeluarkan Keputusan No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966, badan peradilan tertinggi ini
secara terang-terangan menganut ajaran sifat melawan hukum yang material (materiele
wederrechtlikheid) sebagai alasan pembenar. Kaidah hukum yang ditarik dari putusan tersebut
adalah sebagai berikut :
Suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu
ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-
asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, sebagai misalnya 3 faktor :
1. Negara tidak dirugikan;
2. kepentingan umum dilayani;dan
3. terdakwa tidak mendapat untung.14
Terhadap kasus tersebut ada dua hal yang perlu dikemukakan :
1. Keputusan PT Jakarta tersebut memberi preseden bahwa ajaran sifat melawan hukum
yang material dalam fungsinya yang negatif telah dianut;
2. Sangat diragukan kebenaran pendapat bahwa dalam persoalan penggelapan apabila
”negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung”
terdakwa lalu dipandang tidak berbuat sesuatu yang melawan hukum. Apabila jalan pikiran ini
diikuti, seorang pemegang kas negara, yang membungakan uang yang dikuasainya, baik kepada
6
Bank maupun kepada perseorangan, tidak dapat dituduh menggelapkan kalau memenuhi tiga
faktor tersebut, misalnya bunganya disumbangkan kepada orang-orang miskin atau badan-badan
sosial. Dapat kita menarik konsekuensi sedemikian jauh.15
Terhadap persoalan di atas, Oemar Seno Adjie berpendapat lain. Oemar Seno Adjie
mengemukakan :Maka, suatu konstruksi sekitar materiele wederrechtlikheid dan perumusannya
yang mengakui adanya strafuitslutings, tidak ada perbuatan melawan hukum yang materiil, jika
ada afweziheid van allemateriele wederrechtlikheid. Ia merupakan suatu kesimpulan dalam ilmu
hukum, yang seterusnya dapat dikembangkan pula oleh yurisprudensi dan semoga dapat
disumbangkan bagi para legislator untuk menentukan perundang-undangannya.16
Dari kedua pendapat tersebut memang terlihat tidak ada ukuran yang pasti tentang kapan
dan dapat hilangnya sifat melawan hukum materiil. Tentu saja yang dimaksud dengan ukuran
yang pasti di sini bukanlah suatu ukuran yang matematis, tetapi suatu ukuran obyektif yang
dilihat dari asas-asas hukum yang berlaku.17
Melawan Undang-undang berarti secara formil melawan hukum. Mungkin perbuatan itu
bertentangan dengan norma-norma lain yang tidak diatur oleh Undang-undang, di sinilah
letaknya sifat melawan hukum materiil. Meskipun demikian belumlah tentu perbuatan itu
perbuatan-perbuatan pidana jika tidak terlebih dahulu ditentukan dalam Undang-undang. Hal
inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam penegakan hukum karena banyak perbuatan
yang bertentangan dengan norma-norma hukum yang belum diatur dalam perundang-
undangan.Kesulitan lain juga muncul di samping karena sifat hukum pidana sebagai ultimum
remidium, yaitu karena badan legislatif kita tidak cepat tanggap terhadap pembentukan Undang-
undang baru untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan bentuk baru, sebagai akibatnya hakim
harus berhadapan dengan masalah penafsiran yang bagi hakim pidana terbatas jenisnya. Peran
legislatif menjadi sangat penting untuk membuat suatu peraturan hukum pidana. Menurut
Roeslan Saleh, ”dengan jalan menyatakan sesuatu perbuatan dapat di pidana, maka pembentuk
itu sebagai bersifat melawan hukum, atau untuk selanjutnya akan dipandang demikian.18
Dalam perkembangan ajaran sifat melawan hukum materiil (materiele wederrechtlikheid)
tidak bisa dilepaskan dari perkembangan yang terjadi dalam asas legalitas. Dalam konsep atau
Rancangan KUHP Baru 1998, pengertian asas legalitas diperluas, tidak hanya asas legalitas
dalam pengertian formil tetapi diperluas menjadi asas legalitas dalam pengertian materiil.
Konsep ini memberi tempat pada sumber hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat
sebagai dasar menetapkan patut di pidana suatu perbuatan. Patut dicatat bahwa berlakunya
hukum yang hidup di dalam masyarakat itu hanya untuk delik-delik yang tiada bandingnya
(persamaannya) atau tidak telah diatur di dalam Undang-undang.19
Menurut Moeljiatno ada perbedaan antara pandangan formal dengan pandangan yang
materil, maka perbedaannya yaitu :
1. Mengakui adanya pengecualian/penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut
hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui
pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya pasal 44 KUHP, mengenai
kurang sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, pasal 48 KUHP,
mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa ( noodwer).
15 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. ( Bandung: Sinar baru, 1983). hal 56.
16 Oemar Seno Adjie, Hukum Pidana Pengembangan. (Jakarta: Erlangga,1985) hal. 44.
17 Komariah Emong S, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia. (Prisma, 1995). No. 7 Juli 1995. hal. 30.
18 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana. (Jakarta: Aksara Baru, 1987). Hal. 7.
19 Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996). Hal. 88
7
2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana, juga bagi yang
dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal,
sifat tersebut sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur dari pada pebuatan pidana. Hanya jika
dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.
Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak di atur dalam undang-undang
( melawan hukum formil ) namun apabila perbuatan hukum tersebut dianggap tercela karna tidak
sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat ( melawan
hukum materil ) maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Untuk menentukan perbuatan itu dapat
dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang
tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampaui luas. Sifat ini juga
dicela kadang kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa.
Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan
hanya berdasarkan ketentun-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan
asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu
perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa
sendiri tidak mendapat untung. karna memang sepatutnya, untuk dapat dipidananya seorang yang
telah dituduh melakukan tindak pidana, memang seharusnya ada ketentuan di dalam hukum
acara.
1. Tindak pidana yang di tuduhkan atau didakwakan itu harus dibuktikan.
2. Tindak pidana itu hanya dikatakan terbukti jika memenuhi semua unsur yang terdapat di dalam
rumusannya;
Jika unsur melawan hukum itu tegas termasuk dalam rumusan delik, maka unsur juga
harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan. Maka
untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan
unsur-unsur :
1. Perbuatan tersebut melawan hukum
2. Harus ada kesalahan pada pelaku
3. Harus ada kerugian
Selanjutnya menurut Simons “hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum yang
materiil tidak dapat diterima, mereka yang menganut faham ini menempatkan kehendak
pembentuk undang-undang yang telah ternyata dalam hukum positif, dibawah pengawasan
keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul harus diakui bahwa tidak selalu
perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan hukum, akan tetapi
perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila mempunyai dasar hukum dalam
hukum positif sendiri”.
Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan unsur sifat melawan hukum itu tegas-
tegas dalam sesuatu rumusan delik, karena pembentuk undang-undang khawatir, apalagi apabila
unsur melawan hukum itu tak dicantumkan dengan tegas, yang berhak atau berwenang untuk
melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu, mungkin
dipidana pula. Pada umumnya para sarjana hukum menyatakan bahwa melawan hukum
merupakan unsur-unsur dari tiap-tiap delik baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, tetapi
tidak semua Pasal dalam KUHP mencantumkan unsur melawan hukum ini secara tertulis, hal ini
disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
8
1. Bilamana dari rumus Undang-undang, perbuatan yang tercantum sudah sedemikian wajat
sifat melawan hukumnya sehingga tidak perlu dinyatakan secara eksplisit;
2. Perbuatan melawan hukum berarti bahwa perbautan seseorang melanggar atau
bertentangan dengan kaidah materiil yang berlaku baginya, oleh karena itu dengan sendirinya
berarti bahwa memidana orang yang tidak melakukan perbuatan pidana adalah onzining, tidak
masuk akal, sifat melawan hukumnya perbuatan merupakan salah satu syarat pemidanaan.20
Dalam pembicaraan mengenai dasar atau alasan penghapus pidana, yang meliputi alasan
pembenar dan alasan pemaaf, sifat melawan hukum merupakan alasan pembenar, artinya jika
alasan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan hapus atau tidak terbukti maka terdakwa harus
dibebaskan. Unsur sifat melawan hukum ini tidak hanya sifat melawan hukum yang bersifat
formil (formele wederrechtelijkheid) maupun sifat melawan hukum yang materiil (materiele
wederretelijkheid).
Pembicaraan mengenai sifat melawan hukum (onrechmatigdaad) terutama dalam bidang
hukum perdata lebih dahulu dilakukan, terutama dengan adanya HR 30 Januari 1919 yang selalu
menjadi acuan dalam pembicaraan asas-asas hukum perdata, sedangkan dalam lapangan hukum
pidana baru dimulai pada tahun 1933 dengan adanya arrest HR 20 Febuari 1933, Veearts
arrest. Bagi hukum pidana mengingat luasnya sifat melawan hukum dalam bidang hukum
perdata, terjadi suatu keadaan yang tidak menguntungkan terutama terhadap perbuatan-
perbuatan yang menurut pergaulan masyarakat tidak tertulis sebagai perbuatan yang tidak patut.
Padahal dengan adanya asas legalitas arti sifat melawan hukum dalam hukum pidana menjadi
dipersempit.Asas legalitas mengandung asas perlindungan yang secara historis merupakan reaksi
terhadap kesewenangan-wenangan penguasa di jaman Ancient Regime, serta jawaban atas
kebutuhan fungsional terhadap kepastian hukum yang menjadi keharusan dalam suatu negara
liberal pada waktu itu. maka Roeslan Saleh, menyatakan dengan tegas ”nyata bahwa penolakan
atas asas legalitas, suatu asas dan pengertian dalam lapangan hukum pidana adalah bertentangan
dengan makna hukum pidana itu sendiri”.21
E. Unsur-unsur tindak pidana
Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang
mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu
seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh Undang-undang. Setiap tindak
pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya
dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus di lakukan.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa).
b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud
dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
20 Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana (Bagian Pertama). ( Bandung: Alumni, 1987). Hal. 269-270.
21 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana (Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana). (Jakarta: centra 1968
9
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam
kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
e. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut
Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid.
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam
kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau
komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398
KUHP.
c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Maka untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak
dipandang keliru, itu tidak masuk akal”. Mengenai ukuran daripada keliru atau tidaknya suatu
perbuatan tersebut ada dua pendapat yaitu :
1. Yang pertama ialah apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka disitu
ada kekeliruan. Letak perbuatan melawan hukumnya sudah nyata dari sifat melanggarnya
ketentuan undang-undang, kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh
undang-undang pula. Dalam pendapat pertama ini melawan hukum berarti melawan undang-
undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian yang demikian disebut pendirian yang
formal.
2. Yang kedua berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan
undang-undang bersifat melawan hukum, karena menurut pendapat ini yang dinamakan hukum
bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang (hukum yang tertulis) adapula hukum
yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.
Pendirian yang demikian disebut pendirian yang materiil.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sifat melawan hukum adalah salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif,
di mana sifat melawan hukum ini di jadikan unsur tertulis dalam pembentukan undang-undang.
Perbuatan melawan hukum formil, yaitu suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan
tersebut sudah diatur dalam undang-undang. Jadi, sandarannya adalah hukum tertlis.Perbuatan
melawan hukum materiil, yaitu terdapat mungkin suatu perbuatan melawan hukum walaupun
belum diatur dalam undang-undang. Sandaranya adalah asas umum yang terdapat di lapangan
hukum.
Suatu tindakan dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum karna berdasarkan asas-
asas keadilan karna 3 faktor :
1. negara tidak dirugikan;
2. kepentingan umum dilayani;dan
3. terdakwa tidak mendapat untung.
B. Saran
Kami sangat menyadari kekurangan atas makalah ini, maka dari itu kami sangat kritik dan
saran dari pembaca untuk makalah ini.
11
DAFTAR PUSTAKA
12