DAFTAR ISI............................................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan Makalah............................................................................... 1
BAB II PERADILAN PADA MASA DINASTI UMAYYAH
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah.............................................. 2
B. Peradilan Di Masa Bani Umayyah.................................................. 3
C. Peradilan Di Zaman Mu’awiyah Dan Daulah Umayyah................. 4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................... 13
B. Saran.............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terjadilah kekacauan dan fitnah, sehingga berakhir dengan jatuhnya kekuasaan ditangan
Muawiyah, khalifah pertama dari kalangan Bani Umayyah. Sedang ahli-ahli fikih dari kalangan
sahabat dan Tabi’in pada masa itu telah bertebaran diberbagai ibukota karena semakin luasnya
daerah penaklukan sebagaimana yang telah kami sebutkan terdahulu di tempatnya, maka
khalifahlah yang menhangkat qadhi-qadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan, dan untuk
qadhi-qadhi yang bertugas di daerah, diserahkan pengangkatannya oleh penguasa-penguasa
daerah, maka qadhi-qadhi itu bekerja tanpa pengawasan dan masing-masing berdiri sendiri,
hanya saja mereka hirarkis berada di bawah Khalifah dan wakil-wakilnya.
Dan qadhi-qadhi pada masa itu dibatasi wewenangnya, hanya memutus perkara dalam
urusan-urusan khusus, sedang yang berhak melaksanakan keputusan-keputusan itu adalah
Khalifah sendiri atau wakil-wakilnya dengan instruksi daripadanya, dan itulah yang pada masa
kini dilakukan oleh lembaga tersendiri selama keputusan itu telah memiliki ketetapan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Umayyah ?
2. Bagaimana peradilan di masa Dinasti Umayyah ?
C. Tujuan Makalah
1. Mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Umayyah.
2. Mengetahui sistem peradilan pada masa Dinasti Umayyah.
BAB II
PERADILAN PADA MASA KHALIFAH BANI UMMAYAH
A. Sejarah Berdirinya
Sepeninggalan Ali Ibnu Abi Thalib, gubernur Syam tampil sebagai pengguasa Islam yang
kuat. Masa kekuasaannya merupakan awal ke daulatan Bani Umaiyah. Muawiyah Ibn Abu
Sufyan Ibn Harb adalah pembangun Dinasti Umaiyyah dan sekaligus menjadi khalifah. Ia
memindahkan ibu kota kekuasaan Islam dari Kufah ke Damaskus.
Pada umumnya sejarawan memandang negatif terhadap Mu’awiyah. Keberhasilannya
memperoleh legalitas atas kekuasaan dalam perang saudara (siffin) dicapai melalui cara arbitrasi
yang curang. Lebih dari itu, Mu’awiyah juga di tuduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip
demokrasi yang di ajarkan Islam, karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari
seorang yang dipilih oleh rakyat menjadi kekuasaan raja yang di wariskan turun-temurun.
Mu’awiyah tumbuh sebagai pemimpin karier. Pengalaman politik telah memperkaya
dirinya dengan kebijasanaan-kebijasanaan dalam memerintah, mulai dari menjadi salah seorang
pemimpin pasukan dibawah pasukan komando panglima besar Abu Ubaidah Ibn Jarrah yang
berhasil merebut negara Palestina, Suriah dan Mesir dari tanggan imperium romawi yang telah
mengguasai ketiga daerah itu sejak tahun 63 SM. Lalu menjabat sebagai kepala wilayah di Syam
yang dibawahi Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus selama kira-kira 20 tahun
semenjak diangkat oleh Khalifah Umar. Khalifah Usman telah menobatkannya sebagai ”amir al-
bahr” yang memimpin armada besar dalam penyerbuan kekota konstantinopel walau gagal.[1]
Keberhasilan Mu’awiyah medirikan Dinasti Umaiyyah bukan hanya akibat dari
kemenangan diplomasi di Siffin yang terbunuhnya khalifah Ali saja, dari sejarah semula
gubernur Suriah itu memiliki ”basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya
di masa depan. Petama adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga
Bani Umaiyyah sendiri. Penduduk Suriah yang lama diperintahkan oleh Mu’awiyah mempunyai
ketentaraan yang kokoh, terlatih dan disiplin di garis depan dalam peperangan melawan romawi.
Mereka bersama-sama dengan kelompok bangsa karya Makkah dari keturunan Umaiyyah berada
sepenuhnya di belakang Mu’awiyah dan memasukkannya sumber-sumber kekuatan yang tidak
habis-habisnya, baik morenal, tenaga manusia maupun kekayaan. Negeri Suriah sendiri terkenal
makmur dan menyimpan sumber alam yang berlimpah. Di tambah lagi bumi mesir yang berhasil
dirampas, maka sumber-sumber kemakmuran dan suplai bertambah bagi Mu’awiyah.
Kedua, sebagai seorang administrator, Mu’awiyah sangat bijaksana dalam menempatkan
para pembantunya pada jabatan-jabatan penting. Tiga orang patutlah mendapat perhatian khusus,
yaitu ‘Amir Ibn As, Mugirah Ibn Syu’bah dan Ziyad Ibn Abihi. Ketiga pembantu ini dengan
Mu’awiyah merupakan empat politikus yang sangat menggagumkan di kalangan muslimin arab.
[2]
1. Pembebasan Diri Para Khalifah Dari Urusan Peradilan Dan Pemetaan Kewenangan
Para khalifah Bani Umayyah tidak berhubungan dengan peradilan Islam kecuali dalam
tiga perkara:
a. Penetapan hakim di ibukota Damaskus
b. Pengawasan terhadap kinerja para hakim dan keputusan-keputusan mereka, memantau
kehidupan mereka secara khusus terkait dengan pengakatan, pemakzulan, gaji, kebaikan sirah,
keputusan-keputusan yang mereka tetapkan untuk memastikaan kebenaran dan keadilannya dan
kesesuaiannya dengan agama dan syari’at serta sejauh mana mereka berpijak kepada kode etik
hakim yang lurus.
c. Mengawasi secara ketat peradilan pidana dan peradilan perdata. Para khalifah Bani Umayyah
memberikan perangkat sendiri yang sempurna.
Dari sini kita melihat bahwa peradilan di zaman pemerintahan Bani Umayyah berdiri
independen dari kekuasaan mana pun termasuk kekuasaan khalifah atau gubernur dimana
kewenangannya habis saat pengangkatan atau pemakzulan hakim tanpa ikut mencampuri
keputusan hukum hakim dan ijtihadnya, sehingga para khalifah dan gubernur hanyalah pelaksana
dari keputusan para hakim.
Sebagian hakim ada yang tidak mengambil gaji, mereka berharap pahala murni
dari Allah dalam menegakkan syariat-Nya, di antara mereka adalah Masruq al-Ajda’ seorang
mufti sekaligus hakim.
a. Juru panggil
Dia adalah orang yang duduk di majelis hakim untuk menjelaskan kedudukan hakim dan
mengenalkannya, dan memanggil pihak yang berperkara. Orang ini disebut dengan orang yang
ada diatas kepala hakim atau pemilik majelis.
b. Pengawal
Dia adalah petugas yang berdiri di pintu hakim untuk menahan orang-orang selama
proses kajian terhadap perkara, menata masuknya orang-orang yang berseteru manakala mereka
berdesak-desakan karena jumlah mereka yang banyak. Pengawal ini bisa sekaligus pemanggil
yang berdiri dibelakang kepala hakim, dia bertugas menjalankan dua pekerjaan sekaligus, bisa
jadi dia adalah petugas keamanan dari unsur tentara atau dia memang petugas keamanan
peradilan. Hakim terkadang menugasinya untuk melakukan sebagian pekerjaan di mahkamah
atau menunaikan sebagian tugas luar.
c. Penerjemah
Para hakim mengangkat penerjemah karena banyaknya orang-orang bukan Arab yang
masuk Islam. Orang-orang tersebut saling mengenal sebagian dengan sebagian yang lain. Jika
terjadi perselisihanatau gugatan atau klaim, maka hakim meminta bantuan penerjemah yang
tsiqah dan diterima untuk menerjemahkan bahasa pihak yang berseteru ke dalam bahasa Arab.
5. Pengawasan Dan Kontrol
Sesungguhnya berlepasnya para khalifah dan para gubernur dan hanya membatasi pada
pengangkatan dan pemakzulan, tidak menutup kemungkinan para penguasa itu tetap mengawasi
tugas-tugas para hakim, menelaah keputusan-keputusan mereka, memonitor gugatan-gugatan dan
keputusan-keputusan yang mereka tetapkan.karena khalifah adalah penanggung jawab terhadap
peradilan dan segala perkara yang khusus bagi umat dan pribadi dalam mengelola Agama dan
dunia. Menyerahkan peradilan kepada para hakim tidak membebaskan khalifah dari tanggung
jawa dunia dan akhirat. Dari sini maka para khalifah mengawasi kerja para hakim, memonitor
apa yang mereka putuskan, bila terjadi kekeliruan atau penyimpangan atau keteledoran, maka
mereka segera meluruskannya dan mengoreksinya.
Hakim di zaman pemerintahan Bani Umayyah menangani persoalan umum, masalah hak,
harta, hukum-hukum keluarga, warisan, qishash dan hudud, hal ini terbaca dengan jelas dari
sirah para hakim dan keputusan-keputusan mereka yang disebutkan oleh Waki’. Di zaman
pemerintahan Bani Umayyah ini, hakim juga ditugasi pekerjaan lain, sebagian darinya mirip
dengan peradilan dan seagian yang lain tidak mirip, diantara pekerjaan yang terpenting di zaman
itu adalah mengawasi harta anak-anak yatim, mengawsi wakaf, dan memberi fatwa.
b. Pemerintah
Sebagian hakim terkadang merangkap sebagai pejabat pemerintahan, sebagaimana
khalifah menyerhkan urusannya kepada hakim bila dia sedang menunaikan diluar Damaskus.
Tidak sedikit para gubernur menunjuk hakim sebagai pengurus beberapa perkara, memimpin
pemerintahan kota saat yang bersangkutan meninggalkannya atau saat ada tugas keluar kota.
10. Ciri Khas Peradilan di Zaman Mu’awiyah dan Zaman Bani Umayyah Secara Umum
a. Peradilan di zaman ini masih sama dengan peradilan di zaman sebelumnya, zaman Nabi dan
zaman Khulafaurrasyidin dalam pijakan-pijakan utamanya, aturan protokolernya, sarana dan
tujuannya, kepanjangan dari peradilan sebelumnya dalam menegakkan kebenaran dan keadilan,
kebersihan, tematik, disamping tetap mempertimbangkan perkembangan dan kondisi yang ada di
zaman kekhalifahan Bani Umayyah.
b. Para hakim di zaman ini tetap menggunakan sarana-sarana pembuktian yang digunakan di
zaman sebelumnya, zaman Khulafaurrasyidin, ditambah dengan firasat, menggunakan taktik atas
tertuduh untuk membuka kebenaran dan mengungkap keadilan.
c. Di zaman ini muncul sumber-sumber baru bagi hukum syar’i, yaitu urf (kebiasaan yang
berlaku), ucapan sahabat, ijma’, penduduk Madinah dalam beberapa kondisi, disamping sumber-
sumber pokok yang diamalkan di zaman Nabi yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta sumber
ijtihadi di zaman Khulafaurrasyidin yaitu ijma’, qiyas, keputusan-keputusan peradilan
sebelumnya dan pertimbangan akal.
d. Para khalifah menunjuk hakim di Syam, terkadang mereka juga menunjuk hakim di daerah. Para
gubernur juga menunjuk para hakim di wilayahnya dan berwenang memakzulkannya.
e. Para khalifah dan gubernur berusaha memilih orang terbaik sebagai hakim dari kalangan para
ulama, fuqaha, para tokoh dan orang-orang terpilih dimana mereka memiliki sifat-sifat syar’i
sebagai hakim: takut kepada Allah, berpegang kepada kebenaran, mengamalkan syariat, dan
menegakkan keadilan di antara manusia.
f. Ada beberapa perubahan yang terlihat dalam proses peradilan di zaman ini, dan perubahan ini di
tambahkan untuk pertama kalinya, yaitu:
1) Dicatatnya keputusan pengadilan karena di khawatirkan terlupakan, juga demi menepis
pengingkaran, dan meletakkan catatan ini dalam arsip khusus.
2) Mengawasi wakaf agar ditangani secara baik dan tepat sasaran.
3) Mengawasi hak anak yatim dan memonitor para wali yatim.
4) Menyusun gugatan, menggunakan sistem antrian untuk masuk bagi pihak yang berperkara dan
memanggil mereka dengan tertib.
5) Adanya para pembantu bagi hakim, mereka adalah pemanggil, pengawal dan polisi.
6) Bekerjasama dengan pihak kepolisian dalam menerapkan keputusan atas pihak yang berperkara
g. Para hakim berijtihad dalam menetapkan keputusan pengadilan, mereka memiliki kebebasan
mutlak dalam menggali hukum dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan tujuan-tujuan dasar syari’ah dan
sumber-sumber hukum lainnya, mereka tidak terikat dengan pendapat khalifah, tidak berpegang
kepada mazhab fikih tertentu, namun mereka tetap berunding dengan para ulama dan fuqaha dan
mengundang mereka untuk hadir di majelis peradilan
h. Para hakim tidak terpengaruh oleh kebijakan para penguasa dan khalifah. Para hakim bekerja
secara independen. Kecenderungan politik, pemberontakan, perbedaan pemikiran, dan fitnah-
fitnah dalam negeri tidak mempengaruhi kerja mereka.[4]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Keberhasilan Mu’awiyah medirikan Dinasti Umaiyyah bukan hanya akibat dari kemenangan
diplomasi di Siffin yang terbunuhnya khalifah Ali saja, dari sejarah semula gubernur Suriah itu
memiliki ”basis rasional” yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan.
Petama adalah berupa dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga Bani Umaiyyah
sendiri.
2. Qadhi pada umumnya adalah seorang mujtahid, sehingga tidak ada Qadhi yang memegangi
suatu pendapat tertentu, tetapi ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dari Al-
Qur’an atau Sunnah Nabi saw. Atau ijma’, dengan pendapat dan ijtihadnya sendiri, dan apabila
ia menemukan kesulitan dalam menentukan hukumnya, maka ia minta bantuan kepada ahli-ahli
fikih yang berada di kota itu, dan baanyak diantara mereka yang berkonsultasi dengan khalifah
atau penguasa dalam mencari suatu ketentuan pendapat.
3. Hakim-hakim yang terkenal pada masa Mua’awiyah Fadhlah bin Ubaid, An-Nu’man bin Basyir
bin Sa’ad, Abu Hurairah, Abdullah bin al-Harits bin Naufal, Abu Salamah bin Abdurrahman bin
Auf, Mush’ab bin Abdurrahman bin Auf, Umairah bin Yatsribi adh-Dhabbi, Masruq bin Al-
Ajda’ al-Hamadi, Sulaim bin Anz at-Tujaibi.
B. Saran
Demikian pembuatan makalah ini semoga dapat dijadikan proses pembelajaran
khususnya dalam mengetahui tentang syar’u man qablana (syariat sebelum kami), ini dapat
dijadikan acuan bagi pembaca untuk mendapat tambahan ilmu khususnya bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ali Mufrodi, Islam Dikawasan kebudayaan Arab, (Jakarta: Perpustakan Nasional, 1997), hlm. 69.
[2] Ibid, hlm. 72.
[3] Muhammad Sakam Madkur, Peradilan Dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1998), hlm. 47.
[4] Ali Muhammad Ash-Shallabi, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, (Jakarta:Darul Haq, 2013), hlm. 508.