Anda di halaman 1dari 7

NAMA : ALAM SYAH HAKIM

NIM : 2018200125
KELAS : E
MATKUL : TINDAK PIDANA KORPORASI

TUGAS RESUME

1. Tahap-Tahap Perkembangan dan Perubahan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana


2. korporasi sebagai pelaku tindak pidana

 Tahap-Tahap Perkembangan dan Perubahan Korporasi Sebagai Subjek Hukum


Pidana
Dalam hukum dikenal pengertian subjek hukum yang dalam istilah Belanda meliputi “persoon”
dan “recthpersoon”. Persoon adalah manusia atau orang yang memiliki kewenangan untuk
bertindak dalam lapangan hukum, khususnya hukum perdata. Rechtpersoon ialah badan hukum
yang diberi kewenangan oleh Undang-undang untuk dapat bertindak sebagaimana orang yang
masuk dalam golongan persoon. Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam pandangan KUHP, yang
dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat
pada perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai
syarat sebagai subjek tindak pidana, juga terlihst dari wujud hukuman atau pidana yang termuat
dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda
Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara perorangan.
Namun dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk
mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usahanya. Beberapa hal
yang menjadi pertimbangan untuk mengadakan kerjasama tersebut adalah terhimpunnya modal
yang lebih banyak, tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibandingkan
dengan yang dijalankan seorang diri, serta dapat membagi resiko kerugian secara bersama.
Dalam pembahasan mengenai perkembangan konsep korporasi sebagai subjek Hukum Pidana,
Rudy Prasetyo mengatakan bahwa timbulnya konsep badan hukum dalam hukum perdata
sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi
badan hukum merupakan suatu ciptaan hukum, yakni pemberian status sebagai subjek hukum
kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah. Dengan
demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melakukan suatu tindakan hukum.
Pemberian status subjek hukum khusus yang berupa badan tersebut, dalam perkembangannya
dapat terjadi karena berbagai macam alasan dan atau motivasi. Salah satunya misalnya untuk
memudahkan menentukan siapa yang harus bertanggung jawab diantara mereka yang terhimpun
dalam badan tersebut, yakni secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk badan hukum
sebagai subjek Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Loc.Cit. Universitas Sumatera Utara
yang bertanggung jawab.
Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangan eksistensi sebagai subjek hukum, diakui pula oleh
bidang hukum di luar hukum perdata, misalnya hukum pajak, hukum administrasi negara, serta
Hukum Pidana. Terdapat perbendaan pendapat mengenai kedudukan korporasi sebagai subjek
Hukum Pidana. Beberapa sarjana menyatakan korporasi tidak dapat dijadikan subyek Hukum
Pidana dengan alasan sebagai berikut :
a. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan kesalahan hanya
terdapat pada persona alamiah;
b. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat dipidananya
beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah mencuri barang,
menganiaya orang, perkosaan dan sebagainya;
“selain itu juga disebutkan dalam buku Barda Nawawi dalam perkara yang menurut kodratnya
tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misal: bigami, perkosaan, sumpah palsu”. Bahwa pidana
dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi;
“hal ini juga disebutkan Barda Nawawi dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya
pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misal pidana penjara
atau pidana mati”.
Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada
orang yang tidak bersalah, misalnya para pemegang saham dan karyawan;.Bahwa didalam
praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan,
apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.
Sulit untuk membuktikan unsur kesengajaan dan perencanaan dari suatu perbuatan badan hukum.
Sedangkan yang setuju menempatkan korporasi sebagai subyek Hukum Pidana menyatakan :
a. Mengingat di dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan yang
penting pula;
b. Hukum Pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat dan menegakkan norma-norma
dan ketentuan yang ada dalam masyarakat;
c. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu upaya untuk
menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu sendiri;
d. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif terhadap delik-
delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi.
Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi; korporasi dan pengurus;
atau pengurus saja.Pengakuan korporasi rechtsperson sebagai subjek hukum dalam Hukum
Pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan subjek Hukum
Pidana pada manusia. Terdapat dua alasan mengapa kondisi tersebut terjadi.
Pertama, begitu kuatnya pengaruh teori fiksi fiction theory oleh Von Savigny, yakni kepribadian
hukum sebagai kesatuan-kesatuan dari manusia merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian
sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara-negara, korporasi-korporasi, ataupun lembaga-
lembaga, tidak dapat menjadi subjek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah
badan-badan itu manusia. Semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat pada tiap
individu. Oleh karena itu konsep asli kepribadian harus sesuai dengan cita-cita manusia.
Kedua, masih dominannya asas universalitas delinguere non potest yang berarti badan-badan
hukum tidak dapat melakukan tindak pidana dalam sistem Hukum Pidanadi banyak negara.Asas
ini merupakan hasil pemikiran dari abad ke- 19, dimana kesalahan menurut Hukum Pidana selalu
diisyaratkan dan sesungguhnya hanya kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan
individualisasi KUHP. Dalam konteks, KUHP yang hingga saat ini masih diberlakukan di
Indonesia, asas tersebut ternyata begitu mempengaruhi kemunculan Pasal 59 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut:
mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus
atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus, atau komisaris ternyata tidak
ikut campur melakukan pelanggaran tindak pidana.” Pasal 59 KUHP
tersebut esensinya berbicara tentang tindak pidana yang hanya bisa dilakukan oleh manusia,
tidak termasuk korporasi. Oemar Seno Adji berpendapat, sebagaimana yang dikutip oleh Mahrus
Ali, bahwa Pasal 59 KUHP menunjukkan bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh
seorang manusia. Fiksi badan hukum tidak berlaku dalam KUHP.
Sedangkan Van Bemmelen secara lebih rinci menyatakan bahwa pasal itu tidak membicarakan
tindak korporasi, iahanya memuat dasar penghapus pidana bagi anggota pengurusnya atas suatu
pelanggaran yang dilakukan tanpa sepengetahuannya. 100 Dalam perkembangannya dua alasan
tersebut lama kelamaan mulai melemah pengaruhnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
usaha untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dalam lingkungan pidana, yaitu adanya
hak dan kewajiban yang melekat padanya.Usaha tersebut dilatarbelakangi fakta bahwa tidak
jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh
pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh
tindakan-tindakan pengurus- pengurus korporasi.
Oleh karenanya, dianggap tidak adil bila korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti
halnya manusia. Adapun tahapan-tahapan perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi
sebagai subjek Hukum Pidana dapat dibedakan dalam tiga tahap, yaitu:
1. Tahap Pertama Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar agar sifat delik yang dilakukan
korporasi dibatasi pada perorangan natuurlijk persoon.Sehingga apabila suatu tindak pidana
terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh
pengurus korporasi tersebut.Tahap ini merupakan dasar bagi Pasal 59 KUHP. Melihat ketentuan
tersebut diatas, maka para penyusun kitab Undang- undang Hukum Pidana dipengaruhi oleh asas
societas delinquere non potest, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.
Pengurus pada tahap ini tidak memenuhi kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban
korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab.Kesulitan yang timbul dalam Pasal 59 KUHP ini
adalah apabila hal pemilik atau pengusahanya adalah korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan
bahwa pengurusnya bertanggungjawab, maka bagaimana memutuskan tentang pembuat dan
pertanggungjawabannya? Kesulitan ini dapat diatasi dengan perkembangan kedudukan dalam
tahap kedua.
2. Tahap Kedua Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia
I dalam perumusan Undang-undang bahwa suatu tindak pidana, dapat dilakukan oleh
perserikatan atau badan usaha korporasi.Tanggung jawab untuk itu juga menjadi beban dari
pengurus badan hukum tersebut. Tanggung jawab pada tahap ini perlahan-lahan beralih dari
anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila
melalaikan memimpin secara sesungguhnya. Tahap ini menyebabkan korporasi dapat menjadi
pembuat delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggota pengurus, asal
dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu. Walaupun pertanggungjawaban pidana secara
langsung dari korporasi masih belum muncul.
3. Tahap Ketiga Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang langsung
dari korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang Dunia II. Pada tahap ini dibuka
kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut Hukum
Pidana. Alasan lain adalah karena misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fisik keuntungan
yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya
sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus
korporasi saja. Alasan yang diajukan bahwa dengan memidana para pengurus tidak atau belum
ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut.
Adapun tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek Hukum Pidana di Indonesia
ternyata mengikuti perkembangan yang terjadi di Belanda. Pada tahap pertama dalam W.v.S.
Belanda, Pasal 51 sebelum diadakan perubahan ketentuan tersebut rumusannya sama dengan
ketentuan Pasal 59 KHUP. Hal ini dipengaruhi oleh asas universitas delingquere nonpotest, yaitu
sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan.
Pada tahap kedua baik di Belanda maupun di Indonesia, di dalam perumusan Undang-undang
dikenal bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi, akan tetapi
pertanggungjawaban pidana secara langsung belum timbul, sehingga yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah pengurus korporasi.
Tahap ketiga di negeri Belanda maupun di Indonesia, pertanggungjawaban pidana korporasi
secara langsung sudah dikenal.Di negeri Belanda perkembangan pertanggungjawaban langsung
pidana korporasi pada mulanya terdapat dalam perUndang-undangan khusu di luar KUHP,
seperti Pasal 15 Wet op de Ecconomische DelictenTahun 1950, Pasal 74 jo.Pasal 2
Rijksbelastingen Wet Tahun 1959. Perkembangan ini juga terjadi di Indonesia, seperti yang
terdapat dalam Pasal 15 Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi Undang-undang Nomor 7 Drt.
Tahun 1955, Pasal 17 Undang-undang Nomor 11 PNPS Tahun 1963
Tetapi, perkembangan pertanggungjawaban pidana secara langsung terhadap korporasi di negeri
Belanda akhirnya berlaku secara umum dalam Hukum Pidana, dengan mengadakan perubahan
Pasal 15 W.v.S Belanda pada tahun 1976. Akan tetapi perkembangan tersebut di Indonesia
belum terjadi.

 korporasi sebagai pelaku tindak pidana


Pemidanaan merupakan salah satu pokok pembicaraan dalam hukum pidana. Syarat untuk
adanya punish bagi pelaku tindak pidana adalah adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan .
Untuk dapat dinyatakan bersalah kemudian dijatuhi pidana, pelaku tindakpidana harus memiliki
kemampuan bertanggung-jawab. Perbuatan pidana, kesalahan, dan pidana merupakan 3 hal
pokok dalam hukum pidana.
Unsur melawan hukum yang subyektif. Perbuatan pidana hanya merujuk pada dilarang dan
diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Hal ini merupakan unsur obyektif yaitu unsurdari
suatu tindak pidana yang berkaitan denganperbuatan pelaku tindak pidana. Berkaitan dengan
unsur melawan hukum,pencantuman dalam rumusan tindak pidana tidak seragam.
Ada yang mencantumkan redaksi "melawan hukum", dan ada yang tidak mencantumkan.
Apabila unsur " melawan hukum" dicantumkan secara jelas atau tersurat dalam rumusan tindak
pidana, maka unsur melawan hukum merupakan bagian inti dari delik. Apabila unsur "melawan
hukum" tidak dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana ,maka unsur demikian
bukan bagian inti tetapi hanya unsur . Hal ini merupakan unsur subyektif yaitu unsur yang
berkaitan dengan sikap batin pelaku tindak pidana.
Maknanya bahwa seseorang tidak dapat dibebani pertangungjawaban pidana karena suatu
kejahatan yang menurut undang-undang dipidana kecuali ada kesalahan yang melekat pada sikap
batin pelaku. I Made Widyana ., menegaskan,bahwa untuk adanya pertang-gungjawaban pidana
maka harus ada kemampuan bertanggungjawab dari pelaku Kemampuan bertanggungjawab
merupakan kondisi jiwa si pelaku yang memungkinkan dijatuhi pidana baik dari perspektif
orangnya maupun di luardirinya. Doktrin yang diimplemantasikan adalah pelaku tindak pidana
supposed mampu bertanggungjawab kecuali dibuktikan sebaliknya.
Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang
undang-undang . Unsur ketiga dalam kesalahan adalah tidaka danya alasan pemaaf bagi pelaku
yaitu alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan pelaku tindak pidana. Jika ketiga unsur
tersebut memenuhi, makapelaku dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Sistem
pertangungjawaban pidana yang dianut olehKUHP kita adalah individual/personal,direct,
danbased on schuld.
Syarat penjatuhan pidana yang telah diuraikan di atas berlaku bagi subyek hukum pidana baik
person maupun corporate. Karakteristik badan hukum sebagai subyek hukum adalah didirikan
olehorang, mempunyai kekayaan sendiri yang terpisahdari kekayaan pendiri atau pengurusnya,
mempunyaihak dan kewajiban terlepas dari hak dan kewajibanpendiri dan pengurusnya . Secara
hakekat korporasi berbeda dengan subyek hukum manusia alamiah. Manusia alamiah sebagai
subyek hukum memiliki jiwa atau sikap batin, sedangkan korporasi tidak memiliki sikap batin.
Berarti harus ada legalitas yang menetapkan bahwa perbuatan pengurusnya merupakan perbuatan
korporasi. Hal ini berbedadengan subyek hukum alamiah . Bagi subyek hukum yang tidak
memiliki sikap batin maka tidak dapat dibebani pertanggungjawban pidana. Oleh karena itu
korporasisebagai subyek hukum pidana tidak dapat dipertangungjawabkan secara pidana.nya
Pasal338 KUHP.
Untuk dapat dijatuhi Konsep hukum pidana tentang pertangungjawaban korporasi mengalami
perkembangan. Teori Fiksi Hukum Badan Hukum atau korporasi adalah suatu abstraksi bukan
merupakan suatu hal yang konkrit,sehingga tidak mungkin menjadi subyek hukum dari
hubungan hukum. Badan Hukum suatu fiksi yaitu sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi
orang-orang menghidupkannya dalam bayangan untuk menerangkan sesuatu hal. Orang bersikap
seolah-oleh ada subyek hukum yang lain, tetapi wujudnya yang tidakriil tidak dapat melakukan
perbuatan-perbuatan sehingga yang bmelakukan adalah manusia sebagaiwakilnya.
DoktrinUltra VirezSuatu korporasi tidak berhak untuk melakukan tindakan yang berada diluar
tujuannya yang diuraikan dalam anggaran dasarnya,sehingga tindakan demikian adalah batal dan
tidak dapat dikuatkan oleh pemegang saham. Dalam hal ini korporasi hanya dapat
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan individual yang bertindak atas nama korporasi dan
orang tersebut memiliki posisi tinggi atau fungsi kunci dalam struktur pengambilan keputusan
korporasi. Dalam konsep ini di identifikasikan terlebih dahulu pelaku tindak pidana alamiah .
Apabila pelakunya adalah orang yang bertindak untuk korporasi , maka korporasi dapat
dipertangungjawabkan.
Strict Liability Pertanggungjawaban yang bersifat mutlak tanpa melihat dari sikap batin atau
mens rea pelaku. Model pertanggungjawaban ini merupakan pertangungjawaban yang paling
praktis. Sucsessive Liabilty Pertanggungjawaban pidana dapat dialihkan kepada orang lain.
Crimeagainst corporations,yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau
penggela panmilik korporasi, yang dalam hal ini yang menjadi korban adalah korporasi.
Kendala Menjatuhkan Pidana Terhadap Korporasi Sistem pertangungjawaban pidana yang
dianut diIndonesia,mendasarkan pada kesalahan. Kesalahanhanya ada pada subyek hukum
manusia yang bersifat alamiah. Sedangkan asas nulla poena sine culpatetap harus dipatuhi untuk
menper tangungawabkan pelaku tindak pidana. Oleh karena itu tidak mudah membuktikan
adanya kesalahan pada korporasi atau badan hukum , karena korporasi bukan subyek hukum
alamiah yang tidak memilikimens rea.
masih diperlukan syarat lain yaitu adanya kesalahan pelaku,Korporasi dapat
dipertangungjawabkan secarapidana, karena kejahatan yang dilakukan korporasi berdampak
kerugian besar pada masyarakat,lingkungan dan negara. Bahkan teori identifikasi dan teori
pelaku fungsional telah digunakan dalam masyarakat internasional terutama terhadap tindak
pidana yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam, ekspor dan import, perbankan,
sertaperpajakan . Hukum pidana Indonesia telah mengakui korporasi sebagai subyek hukum
pidana sejak adanya Undang-Undang Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan
Barang-Barang, dan Undang-Undang Nomor 7 Darurat Tahun 1955 tentang Tindak Pidana
Perekonomian . Namun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum mengatur secara tegas
pertangungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana.
Walaupun dalam bidang hukum lain, yaitu perdata telah diakui subyek hukum perdata selain
orang yaitu korporasi. Oleh karena itu dalam praktek penegak hukum memiliki tafsir yang
berbeda terhadap korporasi. Hal initerjadi karena secara legal formal pertangungjawaban
korporasi belum diatur secara tersurat dalam KUHP.Kedudukan korporasi sebagai subyek tindak
pidanaakan diatur secara tegas dalam KUHP yang sedang dirancang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat . Secara umum korporasi sebagai pelaku tindak pidana belum memiliki pengaturan yang
tegas.
Demikian pula terhadap sistem pertanggungjawabannya yang memiliki perbedaan prinsip
dengan subyek hukum alamiah yaitu manusia. Korupsi merupakan suatu kejahatan yang
bernuansa kompleks dan sistematis, baik pelakunya maupun motif dan alat buktinya. Tidak
mudah menjerat korporasi untuk mempertangungjawabkan perbuatan pidana karena terkait
dengan kompleksitas politik baik dalam negeri maupun luar negeri. Kompleksitas kejahatan
korupsi yang dilakukan oleh korporasi berkaitan pula dengan bagaimana penegak hukum
menerapkan sanksi terhadap tindak pidana korupsi yang secara formal telah ditetapkan oleh
DPR.
Menurut Ahmad Drajat terdapat kendala dalam menerapkan sanksi pidana yang telah diatur
dalam perundangan korups iterhadap korporasi. Hukuman pidana pokok berupa denda tidak
maksimal sehingga tidak efektif menjerat dan memberikan efek jera kepada pelaku korupsi,
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana belum mengatur ketentuan acara pidana korporasi.
Kendala lain pemberantasan kejahatan korupsi lainnya adalah substansi dari undang-undang
tindakpidana korupsi itu sendiri yang sedang mengalamiperubahan.
DPR-RI melalui pengusulan dari pemerintah/eksekutif tengah merevisi substansi dari undang-
undang yang mengatur kejahatan korupsi.Kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik sendiri.
Namun dari 4 perubahan tersebut,ada indikasi pelemahan bagi KPK. Hal ini selaras dengan
pendapat Saldi Isra, yang menyatakan keempat butir substansi revisi Undang-Undang KPK tidak
memiliki alasan untuk memperkuat KPK,bahkan terdapat ancaman sistematis untuk
melumpuhkan KPK . Sistem pertangungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana
mengikuti sistem pertanggungjawaban hukum pidana secara umum, yaitu berdasarkan kesalahan.
Namun karena korporasi merupakan subyek hukum yang tidak dapat mmemiliki kesalahan maka
diterapkan sistem pertanggungjawaban yang tidak mendasarkan pada kesalahan secara mutlak.
Sistem pertangungjawaban dimaksu dadalah StrictLiabilty,VicoriousLiability,Sucsessive
Liability, Teori Identifikasi, dan Teoridelegasi. Belum ada pengaturan korporasi sebagai subyek
tindak pidana baik dalam hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil.

Anda mungkin juga menyukai