Anda di halaman 1dari 6

Nama : A. Muh Divka Mardhatilla.

AH
Nim : 2021040035
Matakuliah : Hukum Tindak Pidana Korupsi

1. Perkembangan Korporasi Sebagai Subyek Hukum


Pidana

Dalam hukum dikenal pengertian subjek hukum yang dalam istilah Belanda meliputi “persoon”
dan “recthpersoon”. Persoon adalah manusia atau orang yang memiliki kewenangan untuk
bertindak dalam lapangan hukum, khususnya hukum perdata. Rechtpersoon ialah badan hukum
yang diberi kewenangan oleh Undang-undang untuk dapat bertindak sebagaimana orang yang
masuk dalam golongan persoon. Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam pandangan KUHP, yang
dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat
pada perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan daya berpikir sebagai
syarat sebagai subjek tindak pidana, juga terlihst dsri wujud hukuman atau pidana yang termuat
dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda. 86 Korporasi sebagai
subjek Hukum Pidana mulai berkembang sebagai akibat terjadinya perubahan-perubahan dalam
masyarakat dalam menjalankan aktivitas 86 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana
Indonesia, Edisi Kedua Cetakan Keempat, Bandung: PT Eresco, 1986, hlm. 55 Universitas
Sumatera Utara 63 usaha. Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup
dijalankan secara perorangan. Namun dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi
sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam
menjalankan kegiatan usahanya. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk mengadakan
kerjasama tersebut adalah terhimpunnya modal yang lebih banyak, tergabungnya keterampilan
dalam suatu usaha jauh lebih baik dibandingkan dengan yang dijalankan seorang diri, serta dapat
membagi resiko kerugian secara bersama. Dalam pembahasan mengenai perkembangan konsep
korporasi sebagai subjek Hukum Pidana, Rudy Prasetyo mengatakan bahwa timbulnya konsep
badan hukum dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan usaha yang
diharapkan lebih berhasil. Korporasi badan hukum merupakan suatu ciptaan hukum, yakni
pemberian status sebagai subjek hukum kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang
berwujud manusia alamiah. Dengan demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau
melakukan suatu tindakan hukum. 87 Pemberian status subjek hukum khusus yang berupa badan
tersebut, dalam perkembangannya dapat terjadi karena berbagai macam alasan danatau motivasi.
Salah satunya misalnya untuk memudahkan menentukan siapa yang harus bertanggung jawab
diantara mereka yang terhimpun dalam badan tersebut, yakni secara yuridis dikonstruksikan
dengan menunjuk badan hukum sebagai subjek 87 Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti,
Loc.Cit. Universitas Sumatera Utara yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, dalam sejarah
perkembangan eksistensi sebagai subjek hukum, diakui pula oleh bidang hukum di luar hukum
perdata, misalnya hukum pajak, hukum administrasi negara, serta Hukum Pidana. Terdapat
perbendaan pendapat mengenai kedudukan korporasi sebagai subjek Hukum Pidana. Beberapa
sarjana menyatakan korporasi tidak dapat dijadikan subyek Hukum Pidana dengan alasan
sebagai berikut : a. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan
kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah; 88 b. Bahwa yang merupakan tingkah laku
materiil, yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat
dilaksanakan oleh persona alamiah mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan
sebagainya; “selain itu juga disebutkan dalam buku Barda Nawawi dalam perkara yang menurut
kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misal: bigami, perkosaan, sumpah palsu” 89 c.
Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada
korporasi; “hal ini juga disebutkan Barda Nawawi dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang
satu-satunya pidana yang dapat dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misal
pidana penjara atau pidana mati” 90 88 Syamsul Arifin dan Muhammad Hamdan, Op.Cit., hal 34
89 Barda Nawawi Arief , Op.Cit, hal 45-46 90 Ibid. Universitas Sumatera Utara 65 d. Bahwa
tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang
yang tidak bersalah, misalnya para pemegang saham dan karyawan; 91 e. Bahwa didalam praktik
tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah
pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana; 92 f.
Sulit untuk membuktikan unsur kesengajaan dan perencanaan dari suatu perbuatan badan hukum.
93 Sedangkan yang setuju menempatkan korporasi sebagai subyek Hukum Pidana menyatakan :
a. Mengingat di dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan yang
penting pula; 94 b. Hukum Pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat dan
menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat; 95 c. Dipidananya
korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu upaya untuk menghindari tindakan
pemidanaan terhadap para pegawai itu sendiri; 96 d. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak
cukup untuk mengadakan represif terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu
korporasi. 91 Syamsul Arifin dan Muhammad Hamdan, Op.Cit., hal 35 92 Ibid. 93 Ibid. 94
Mahmud Mulyadi dan Ferri Antoni Surbakti, Op.Cit., hal 18 95 Ibid. 96 Muladi dan Dwidja
Prayitno, Op.Cit., hal 47 Universitas Sumatera Utara Karenanya diperlukan pula untuk
dimungkinkan memidana korporasi; korporasi dan pengurus; atau pengurus saja. 97 Pengakuan
korporasi rechtsperson sebagai subjek hukum dalam Hukum Pidana penuh dengan hambatan-
hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan subjek Hukum Pidana pada manusia. Terdapat dua
alasan mengapa kondisi tersebut terjadi. Pertama, begitu kuatnya pengaruh teori fiksi fiction
theory oleh Von Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai kesatuan-kesatuan dari manusia
merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara-
negara, korporasi-korporasi, ataupun lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi subjek hak dan
perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah badan-badan itu manusia. Semua hukum ada demi
kemerdekaan yang melekat pada tiap individu. Oleh karena itu konsep asli kepribadian harus
sesuai dengan cita-cita manusia. 98 Kedua, masih dominannya asas universalitas delinguere non
potest yang berarti badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana dalam sistem
Hukum Pidanadi banyak negara.Asas ini merupakan hasil pemikiran dari abad ke- 19, dimana
kesalahan menurut Hukum Pidana selalu diisyaratkan dan sesungguhnya hanya kesalahan dari
manusia, sehingga erat kaitannya dengan individualisasi KUHP. Dalam konteks, KUHP yang
hingga saat ini masih diberlakukan di Indonesia, asas tersebut ternyata begitu mempengaruhi
kemunculan Pasal 59 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: 99 97 Syamsul Arifin dan
Muhammad Hamdan, Loc.Cit. 98 Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 64-65 99 R.Soesilo, Loc.Cit.
“Dalam hal-hal di Universitas Sumatera Utara 67 mana karena pelanggaran ditentukan pidana
terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus,
anggota badan pengurus, atau komisaris ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran
tindak pidana.” Pasal 59 KUHP tersebut esensinya berbicara tentang tindak pidana yang hanya
bisa dilakukan oleh manusia, tidak termasuk korporasi. Oemar Seno Adji berpendapat,
sebagaimana yang dikutip oleh Mahrus Ali, bahwa Pasal 59 KUHP menunjukkan bahwa tindak
pidana hanya dapat dilakukan oleh seorangmanusia. Fiksi badan hukum tidak berlaku dalam
KUHP. Sedangkan Van Bemmelen secara lebih rinci menyatakan bahwa pasal itu tidak
membicarakan tindak korporasi, iahanya memuat dasar penghapus pidana bagi anggota
pengurusnya atas suatu pelanggaran yang dilakukan tanpa sepengetahuannya. 100 Dalam
perkembangannya dua alasan tersebut lama kelamaan mulai melemah pengaruhnya. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya usaha untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dalam
lingkungan pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya.Usaha tersebut
dilatarbelakangi fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil
kejahatan yang dilakukan oleh pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang dialami oleh
masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan pengurus- pengurus korporasi. 101 100
Ibid., hlm. 65-66 101 Ibid. Oleh karenanya, dianggap tidak adil bila korporasi tidak dikenakan
hak dan kewajiban seperti halnya manusia.Kenyataan inilah yang Universitas Sumatera Utara
kemudian memunculkan tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek huku m dalam
Hukum Pidana. Adapun tahapan-tahapan perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi
sebagai subjek Hukum Pidana dapat dibedakan dalam tiga tahap, yaitu: 102 1. Tahap Pertama
Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi
pada perorangan natuurlijk persoon.Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam
lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi
tersebut.Tahap ini merupakan dasar bagi Pasal 59 KUHP. Melihat ketentuan tersebut diatas,
maka para penyusun kitab Undang- undang Hukum Pidana dipengaruhi oleh asas societas
delinquere non potest, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Pengurus pada
tahap ini tidak memenuhi kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat
dinyatakan bertanggungjawab.Kesulitan yang timbul dalam Pasal 59 KUHP ini adalah apabila
hal pemilik atau pengusahanya adalah korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa
pengurusnya bertanggungjawab, maka bagaimana memutuskan tentang pembuat dan
pertanggungjawabannya? Kesulitan ini dapat diatasi dengan perkembangan kedudukan dalam
tahap kedua. 2. Tahap Kedua 102 Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 24-28 Universitas Sumatera
Utara 69 Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam
perumusan Undang-undang bahwa suatu tindak pidana, dapat dilakukan oleh perserikatan atau
badan usaha korporasi.Tanggung jawab untuk itu juga menjadi beban dari pengurus badan
hukum tersebut. Tanggung jawab pada tahap ini perlahan-lahan beralih dari anggota pengurus
kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan
memimpin secara sesungguhnya. Tahap ini menyebabkan korporasi dapat menjadi pembuat
delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan adalah para anggota pengurus, asal dinyatakan
dengan tegas dalam peraturan itu. Walaupun pertanggungjawaban pidana secara langsung dari
korporasi masih belum muncul. 3. Tahap Ketiga Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya
tanggung jawab yang langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang
Dunia II. Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta
pertanggungjawabannya menurut Hukum Pidana. Alasan lain adalah karena misalnya dalam
delik-delik ekonomi dan fisik keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita
masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana
hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Alasan yang diajukan bahwa dengan
memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi
delik tersebut. Pemidanaan korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai Universitas
Sumatera Utara dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati
peraturan bersangkutan. Adapun tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek Hukum
Pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan yang terjadi di Belanda. Pada tahap
pertama dalam W.v.S. Belanda, Pasal 51 sebelum diadakan perubahan ketentuan tersebut
rumusannya sama dengan ketentuan Pasal 59 KHUP. Hal ini dipengaruhi oleh asas universitas
delingquere nonpotest, yaitu sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. 103
Pada tahap kedua baik di Belanda maupun di Indonesia, di dalam perumusan Undang-undang
dikenal bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi, akan tetapi
pertanggungjawaban pidana secara langsung belum timbul, sehingga yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah pengurus korporasi. 104 Tahap ketiga di negeri Belanda maupun
di Indonesia, pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung sudah dikenal.Di negeri
Belanda perkembangan pertanggungjawaban langsung pidana korporasi pada mulanya terdapat
dalamperUndang-undangan khusu di luar KUHP, seperti Pasal 15 Wet op de Ecconomische
DelictenTahun 1950, Pasal 74 jo.Pasal 2 Rijksbelastingen Wet Tahun 1959. Perkembangan ini
juga terjad.i di Indonesia, seperti yang terdapat dalam Pasal 15 Undang-undang Tindak Pidana
Ekonomi Undang-undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955, Pasal 17 Undang-undang Nomor 11 PNPS
Tahun 1963 103 Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 61 104 Ibid. Universitas Sumatera
Utara 71 tentang Tindak Pidana Subversi. Tetapi, perkembangan pertanggungjawaban pidana
secara langsung terhadap korporasi di negeri Belanda akhirnya berlaku secara umum dalam
Hukum Pidana, dengan mengadakan perubahan Pasal 15 W.v.S Belanda pada tahun 1976. Akan
tetapi perkembangan tersebut di Indonesia belum terjadi.

1. Perbedaan Teori Strict Liabillity Dengan Vicarious Liabillity.


Dalam konteks pertanggungjawaban pidana, maka pengaturan pertanggungjawaban pidana
korporasi tidak bisa lepas dari pengaturan pertanggungjawaban pidana di pasal lain dalam
RKUHP. Dalam Pasal 38 ayat 1 dan 2 diatur tentang kesalahan yang erat kaitannya dengan
pertanggungjawaban pidana korporasi. Pasal 38 berbunyi sebagai berikut: “1 Bagi tindak
pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-
mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan
adanya kesalahan. 2 Dalam hal ditentukan oleh undang-undang, setiap orang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.” Berdasarkan
pasal ini, dapat dikatakan bahwa RKUHP menganut ajaran strict liability dan vicarious
liability yang erat kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama Pasal 49
dan 51 RKUHP. Pasal 38 ayat 1 sebenarnya menjawab banyak perdebatan mengenai
pertanggungjawaban pidana. Perdebatan tersebut terkait dengan asas actus non facit reum,
nisi mens sit rea atau tiada pidana tanpa kesalahan. Berkaitan dengan itu, korporasi tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena tidak ada unsur kesalahan di dalamnya,
karena korporasi itu tidak bisa berbuat apa-apa. Yang dapat dikenai pertanggungjawaban
pidana adalah manusia, yang punya kemampuan untuk berbuat dan melakukan kesalahan.
Rumusan Pasal 38 ayat 1 ini dapat dikatakan mengadopsi doktrin strict liability. Menurut
doktrin ini, pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang
bersangkutan tanpa perlu membuktikan adanya kesalahan kesengajaan atau kelalaian pada
pelakunya. Oleh karena menurut ajaran strict liability, pertanggungjawaban 69 pidana bagi
pelakunya tidak dipermasalahkan, sehingga strict liability juga disebut sebagai absolute
liability atau “pertanggungjawaban mutlak” 49 Sedangkan Pasal 38 ayat 2 merupakan adopsi
dari ajaran pertanggungjawaban pidana korporasi vicarious liability. Menurut ajaran atau
doktrin ini, pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan,
misalnya oleh A kepada B. Doktrin ini sendiri sebenarnya diambil dari pertanggungjawaban
dalam hukum perdata. Dalam perbuatan-perbuatan perdata, seorang pemberi kerja
bertanggung-jawab atas kesalahan- kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya sepanjang
hal itu terjadi dalam rangka pekerjaannya. Hal ini memberikan kemungkinan kepada pihak
yang dirugikan untuk menggugat pemberi kerjanya agar membayar ganti rugi sepanjang
dapat dibuktikan pertanggungjawabannya. Apabila teori ini diterapkan pada korporasi,
berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapa saja yang
bertanggung-jawab kepada korporasi tersebut.

2. Identifikasi Unsur Melawan Hukum dan Wewenang


Ada dua pasal mirip yang kerap digunakan dalam dakwaan berdasarkan UU No.31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20
Tahun 2001 (selanjutnya disebut UU Tipikor). Kerusakan akibat tindak pidana yang diatur
keduanya sama-sama soal terjadinya kerugian keuangan atau perekonomian negara. Namun,
berat hukuman yang diatur berbeda cukup signifikan. Kedua pasal tersebut ialah Pasal 2 ayat
(1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
Perdebatan hukum soal penerapan kedua pasal itu berkutat pada perbedaan unsur ‘melawan
hukum’ dalam Pasal 2 ayat (1) dengan unsur ‘menyalahgunakan kewenangan’ dalam Pasal 3
UU Tipikor. Bagaimana membedakan unsur ‘melawan hukum’ dalam Pasal 2 ayat (1)
dengan unsur ‘menyalahgunakan kewenangan’ dalam Pasal 3 UU Tipikor? Jawabannya akan
berkaitan dengan penegakan keadilan dalam wujud hukuman bagi terdakwa.

3. Objek Pencurian Uang


- Penjualan obat-obatan terlarang atau perdagangan narkoba secara gelap (drug sales atau
drug trafficking)
- Penjualan gelap (illegal gambling)
- Penyuapan (bribery)
- Terorisme (terrorism)
- Pelacuran (prostitution)

4. Proses Tindak Pidana Korupsi

Proses Hukum yang melibatkan 3 tahap yaitu Formulasi, Aplikasi Dan Eksekusi.

Anda mungkin juga menyukai