Hesti Widyaningrum
Abstrak
Abstract
139
Volksgeist
Vol. 1 No. 2 Desember 2018
DOI 10.24090/VOLKSGEIST.V1I2.1633
Pemikiran seperti ini tetap dipertahankan Ciri yang kedua terdiri atas
terutama oleh pemikir-pemikir masa pemberantasan dan cerminan dari
lalu. Namun dalam perkembangan kewajiban masyarakat untuk meng-
selanjutnya muncul teori dan pemikiran- hukum siapapun (orang) dan apapun
pemikiran baru untuk membebankan (organisasi/badan hukum) yang
juga pertanggungjawaban pidana kepada menimbulkan kerugian akibat
badan hukum. Hal ini diakibatkan perbuatannya sebagai perintah untuk
karena akhir-akhir ini perkembangan “mengafirmasi nilai-nilai sesungguhnya
dari kejahatan yang terjadi di tengah- dari korban” (affirm the victim’s real
tengah masyarakat terutama berkaitan value).
atau yang berkaitan dengan pereko- Ciri ketiga adalah tujuan untuk
nomian tidak hanya dilakukan secara merehabilitasi korporasi yang
perorangan namun telah terorganisir melakukan tindak pidana.
termasuk dilakukan oleh korporasi. Ciri keempat, pertanggung-
Dalam perkembangannya lebih jawaban pidana korporasi harus
lanjut, pertanggungjawaban pidana mencapai tujuan dari kejelasan,
korporasi telah mejadi salah satu topik kemungkinan, dan konsistensi dari
yang menimbulkan perdebatan selama prinsip-prinsip umum hukum pidana.
abad ke-20. Perdebatan mengenai Ciri kelima adalah efisiensi,
pertanggungjawaban pidana terhadap yang dicerminkan pada tiga tujuan
korporasi mulai meningkat pada tahun sebelumnya, tetapi juga perhitungan dari
1990-an, ketika Amerika Serikat dan implementasi konsep-konsep ini. Pada
negara-negara Eropa menghadapi akhirnya, hukum pidana memiliki tujuan
permasalahan-permasalahan hukum yaitu keadilan. Bentuk-bentuk dari
mulai dari masalah lingkungan hidup, pertanggungjawaban pidana terhadap
anti-trust, penipuan, masalah makanan korporasi dikembangkan oleh negara-
dan obat-obatan, kesaksian-kesaksian negara dengan cara-cara yang berbeda,
palsu, kematian buruh, penyuapan, dan tidak satupun negara mencerminkan
tindak pidana menghalang-halangi tujuan-tujuan ini secara sempurna.2
proses peradilan (obstruction of justice), Meskipun memiliki tujuan yang
dan kejahatan finansial yang melibatkan memang sama, namun pandangan
korporasi.1 Secara substansi, sebenarnya terhadap pertanggungjawaban pidana
tujuan utama dari pertangungjawaban terhadap korporasi masih merupakan
pidana terhadap korporasi pada dasarnya topik yang debatable sampai saat ini
adalah sama dengan tujuan hukum baik di negara-negara yang menganut
pidana pada umumnya. Hal tersebut sistem common law maupun civil law.
dapat dijelaskan dengan mengi- Kedua sistem hukum ini memiliki
ndentifikasikan ciri-ciri pidana korporasi karakternya masing-masing, dimulai dari
sebagai berikut: asas hukumnya, sifat hukumnya, hingga
Ciri pertama dari pidana pada penerapannya. Perbedaan ini tidak
terhadap korporasi adalah tujuan menutup kemungkinan dipengaruhi oleh
pencegahan (preventif) yang efektif sejarah dan perkembangan yang berbeda
terhadap kejahatan yang bisa terjadi pula, termasuk dalam perkembangan
dimasa depan. subjek hukumnya, termasuk hukum
pidana.
Berdasarkan latar belakang di
1
Anca Aulia Pop, “Criminal Liability Of
Corporations: A Comparative Jurisprudence”. atas, maka dalam artikel ini dibahas
Paper presented at Michigan State University
2
College of Law, 2006, hlm.5. Ibid., hlm. 3-4.
hukum pidana tidak dikenal karena para sempit yaitu korporasi adalah badan
penyusun KUHP dahulu dipengaruhi hukum. Dan dalam arti yang luas
dengan asas “societas delinquere non korporasi dapat berbentuk badan hukum
potest” danpada perkembangannya pada maupun bukan badan hukum.36 Dalam
masa revolusi Perancis pertanggung arti sebagai badan hukum, korporasi
jawaban secara kolektif dari suatu kota merupakan figur hukum yang eksistensi
atau gilde (tukang-tukang ahli) yang dan kewenangannya untuk dapat atau
dapat membawa akibat yang diragukan berwenang melakukan perbuatan hukum
sehingga titik tolak pembuat W.v.S diakui oleh hukum perdata. Korporasi
Belanda pada Tahun 1881 berdasarkan sebagai badan hukum timbul karena
asas “Universitas deliquere non potest”. pendiri atau pendiri-pendirinya yang
Apabila pengurus korporasi melakukan menurut hukum perdata diakui memiliki
tindak pidana yang dilakukan dalam kewenangan secara hukum untuk dapat
rangka mewakili atau dilakukan untuk mendirikan korporasi. Menurut hukum
dan atas nama korporasi, perdata, yang diakui memiliki
pertanggungjawaban pidana dibebankan kewenangan hukum untuk dapat
hanya kepada pengurus yang melakukan mendirikan korporasi adalah orang
tindak pidana itu.34Dari Pasal 59 tersebut (manusia) atau natural person dan badan
kita dapat mengetahui bahwa tindak hukum atau legal person.
pidana tidak pernah dilakukan oleh Seperti di Belanda pada tahun
korporasi tetapi dilakukan oleh 1950 negara ini telah menerapkan
pengurusnya. korporasi sebagai subjek tindak pidana
Di dalam KUHP Indonesia tidak yang pada awalnya terdapat dalam
ada satu pasal pun yang menentukan perundang-undangan khusus di luar
pelaku tindak pidana yang bukan WvS. Seperti yang terdapat dalam Pasal
manusia, dan tentunya menentukan 15 “Wet op de Economische Delicten”
tindak pidana tidak dapat dilakukan oleh dan berkembang lagi dalam Pasal 2
korporasi. Sehubungan dengan adagium Rijksbelasting Wet tahun 1959. 37Hal ini
“actus non facit reum, nisi mens sit rea” berkembang mengikuti perkembangan
atau” tiada pidana tanpa kesalahan”, yang ada di negara-negara lainnya sama
maka konsekuensinya adalah bahwa halnya di Indonesia sendiri, sejak tahun
hanya “sesuatu” yang memiliki kalbu 1951, diberlakukan Undang-undang
saja yang dapat dibebani Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang
pertanggungjawaban pidana.35Hanya Penimbunan Barang-Barang. Undang-
manusia yang memiliki kalbu sedangkan undang ini merupakan undang-undang
korporasi tidak memiliki kalbu, maka positif pertama yang secara resmi
korporasi tidak mungkin dibebani menerima pendirian bahwa suatu
pertanggungjawaban pidana. korporasi dapat menjadi pelaku tindak
Berjalannya waktu, ketentuan- pidana. Perkembangan hukum pidana,
ketentuan pidana di luar KUHP telah termasuk juga di Indonesia akhirnya
memperluas pelaku tindak pidana, yaitu menerima pendirian korporasi, walaupun
tidak terbatas kepada manusia tetapi juga tidak memiliki sikap kalbu, dan dapat
kepada korporasi. Menurut Sutan Remy dibebani pertanggungjawaban pidana.
Sjahdeini, korporasi dilihat dari bentuk Dan berlanjut pada ketentuan Undang-
hukumnya, dapat diberi arti sempit
maupun arti yang luas. Dalam arti 36
Ibid, hlm.43.
37
Muladi dan Dwidja
34
Ibid. hlm.30 Priyanto,PertanggungJawaban Pidana Korporasi,
35
Ibid, hlm.39. (Bandung: Kencana, 2010, hlm 29
bermula dari hanya manusia yang dapat subjek tindak pidana belum ada putusan
dipidana, namun dalam perkembangan yang berkaitan dengan Undang-Undang
zaman hal itu tidak dapat menyesuaikan Darurat Nomor 17 Tahun 1951 tentang
sehingga perlu suatu ketentuan terhadap Penimbunan Barang-Barang namun,
korporasi sebagai subjek tindak pidana. pada undang-undang kita juga perlu
Menentukan korporasi sebagai subjek mengetahui perkembangan yang
tindak pidana bukan melalui proses yang kontemporer mengenai praktek
instan namun cukup lama. Hal ini dapat pengenaan pidana terhadap korporasi
kita ketahui bahwa diawali dengan sebagai subjek tindak pidana. Walaupun
ditetapkannya hanya pengurus sebagai ide mengenai ketentuan korporasi
subjek tindak pidana yang berdasarkan sebagai subjek tindak pidana di
asas “Societas Delinquere non potest”, Indonesia masih cukup sulit dalam
misalnya dalam Undang-Undang Nomor penerapannya namun para penegak
12/Drt/1951, LN1951-78 tentang Senjata hukum sudah mulai mencoba untuk
api dan berkembang lagi setelah perang merepakannya dalam menyesuaikan
dunia kedua, ternyata dalam delik-delik perkembangan zaman. Sebagaimana hal
ekonomi dimana keuntungan yang ini dapat kita lihat dalam berbagai kasus
diperoleh korporasi memberikan di Indonesia seperti Kasus Newmont
kerugian masyarakat maka tidak lagi yang ditetapkan sebagai terdakwa dalam
seimbang jika pidana hanya dikenakan kasus pencemaran lingkungan hidup
pada pengurusnya saja, artinya walaupun divonis bebas di Pengadilan
bersamaan perkembangan zaman setelah Negeri Manado39.
terjadinya revousi perancis dengan mulai Berlanjut, pada Putusan
tumbuhnya industri-industri maka perlu Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor
suatu ketentuan yang tidak hanya 812/Pid.Sus/2010 menjatuhkan pidana
mengatur orang sebagai subjek tindak denda terhadap korporasi PT. Giri
pidana karena korporasi yang makin Jaladhi Wana sebesar Rp. 1,3 Miliar dan
banyak di Duniaa sama halnya di Pidana tambahan berupa penutupan
Indonesia tidak menutup kemungkinan sementara PT. Giri Jaladhi Wana selama
salah satu korporasi yang ada dapat 6 bulan dan diperkuat kembali dalam
merugikan masyarakat. Selain pada putusan banding di Pengadilan tinggi
proses tersebut bersamaan dengan itu banjarmasin Nomor 04/Pid.
jika dapat kita lihat bahwa pada Sus/2011/PT. BJM. Melihat pertim-
awalanya korporasi sebagai subjek bangan dalam putusan ini, upaya
tindak pidana hanya diaur dalam peradilan dalam mengadili perkara
perundang-undangan tindak pidana korupsi ini dengan menggunakan
khusus di luar KUHP. Namun seiring doktrin vicarious liability. Kemudian
waktu ketentuan itu juga perlu diatur Pertanggungjawaban korporasi juga
dalam ketentuan induk hukum pidana terlihat dalam putusan mahkamah agung
yaitu KUHP, sehingga sampai saat ini Nomor 862K/Pid.Sus/2010 mengenai
proses itu mengalami dinamisasi tindak pidana pencemaran lingkungan
sebagaimana yang telah ada dalam hidup oleh PT DEI berupa pidana
konsep konsep Rancangan KUHP. denda.Usaha ini pun tidak berhenti pada
Adapun yang kita harus ketahui
selain adanya ketentuan mengenai 39
NN,“PT Newmont Minahasa Pencemar
korporasi sebagai subjek tindak pidana
Teluk
baik dalam KUHP maupun di luar Tuyat”,<http://pseudorechtspraak.wordpress.com
KUHP,Pada awal perkembangannya /2012/04/06/pt-newmont-minahasa-raya-
ketentuan mengenai korporasi sebagai pencemar-teluk-buyat/>