Anda di halaman 1dari 4

NAMA : OKTAVIA COKRODIHARJO

NPM : 2017520029

1. a. Konsep Korporasi dan Perkembangannya?

- konsep korporasi adalah bentuk khusus dari white collar crime, dimana kejahatan
tersebut dilakukan secara terorganisasi dari korporasi atau agen-agennya sebagai
subjek hokum perorangan dengan motivasi kejahatannya adalah untuk pemenuhan
kebutuhan dan pencapaian keuntungan korporasi
- Sejarah perkembangannya :
Usaha yang pertama kali diupayakan untuk membebankan pertanggungjawaban pidana
terhadap korporasi dilakukan oleh negara-negara dengan sistem hukum common law, di
Inggris, dan negara Anglo Saxon lainnya, seperti Amerika Serikat dan Kanada. Sebelum
revolusi tahun 1750, Inggris sudah mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana sejak
tahun 1635. Revolusi industri di Inggris yang kemudian membuat perkembangan
pertanggungjawaban pidana koporasi semakin pesat, karena perubahan prilaku ekonomi
tidak terbatas oleh orang, melainkan juga korporasi. Penerapan upaya pemidanaan
korporasi pertama kali dilaksanakan oleh Pengadilan di Inggris pada tahun 1842, ketika
korporasi didenda karena gagal menjalankan kewajibannya yang telah diatur dalam
undang-undang. Terhadap ketidakmauan untuk menjatuhkan pidana terhadap korporasi
terdapat beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Korporasi dianggap sebagai fiksi
hukum (legal fiction), dan dibawah aturan ultra vires5 hanya dapat melakukan perbuatan
yang secara khusus disebutkan di dalam anggaran dasar dari korporasi. Keberatan lainnya
juga menyatakan bahwa tidak terdapat unsur mens rea pada korporasi, dan kemampuannya
untuk hadir secara pribadi di depan persidangan. Pada akhirnya, hal yang membuktikan
kesulitan untuk menjatuhkan pidana kepada korporasi adalah kurangnya sanksi-sanksi
yang memadai.

b. teori-teori tentang kejahatan korporasi sebagai teori untuk mengidentifikasi kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi

- Strict Liability Doctrine, dimana pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan oleh


pelakunya, tanpa disyaratkan means rea terlebih dahulu, cukup dibuktikan adanya actus
reus.
- Vicarous Liability, dimana pertanggungjawaban pidana oleh atasan, meskipun
bawahan yang melakukannya berdasarkan ruang lingkup kewenangannya.
- Delegation Doctrine. Hampir mirip dengan Vicarious, namun perbedaannya, ada
pelimpahan kewenangan antara atasan dan bawahan.
- Identification Doctrine. Pertanggungjawaban korporasi dilakukan dengan
mengidentifikasi pihak yang paling menentukan dalam sebuah korporasi (directing
mind).
- Aggregation Doctine. Pertanggungjawaban korporasi dimintai melalui kombinasi
kesalahan sejumlah orang dalam suatu korporasi yang diatribusikan untuk kepentingan
korporasi.
c. Tujuan Hukum Dalam Hukum Kejahatan Korporasi:
- Pertama, kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah kejahatan-
kejahatan konvensional. Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas aparat
kepolisian sebagian besar didasarkan atas laporan anggota masyarakat, sehingga
kejahatan yang ditangani oleh kepolisian juga turut bersifat konvensional. Kedua,
pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi atau kejahatan kerah
putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya,dan juga turut dipengaruhi. Ketiga,
pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang diakui sebagai subjek hukum
pidana dalam hukum pidana Indonesia. Keempat, tujuan dari pemidanaan kejahatan
korporasi adalah lebih kepada agar adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan
pemidanaan kejahatan lain yang konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan
menghukum. Kelima, pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan
korporasi masih dinilai sangat minim, sehingga terkadang terkesan enggan untuk
menindaklanjutinya secara hukum. Kelima, kejahatan korporasi sering melibatkan
tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Hal ini dinilai dapat
mempengaruhi proses penegakan hukum.

2. a. Pengaruh Asas “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Dalam Pertanggungjawaban Pidana


Korporasi

konsekuensinya dari asas tersebut adalah bahwa hanya “sesuatu” yang memiliki kalbu saja yang
dapat dibebani pertanggungjawaban pidana.Hanya manusia yang memiliki kalbu sedangkan
korporasi tidak memiliki kalbu, maka korporasi tidak mungkin dibebani pertanggungjawaban
pidana, sehingga dengan adanya asas ini semakin mempersulit penerapan pemidanaan korporasi.

b. Teori-teori pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap korporasi dan kelemahan


masing-masing teori :

- Directing Mind Theory : teori identifikasi atau directing minds theory, kesalahan dari anggota
direksi atau organ perusahaan/korporasi yang tidak menerima perintah dari tingkatan yang lebih
tinggi dalam perusahaan, dapat dibebankan kepada perusahaan/ korporasi. Kekurangan :
memberikan keuntungan pada korporasi-korporasi yang besar karena mereka akan dapat
menghindarkan diri dari pertanggungjawaban pidana akibat tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh karyawan-karyawan yang jabatannya lebih rendah dan bertugas melakukan aktivitas sehari-
hari (day-to-day activities).

- Doktrin Vicarious Liablility : Doktrin yang menyatakan bahwa korporasi bertanggungjawab atas
perbuatan yang dilakukan oleh pegawai-pegawainya, agen/perantara atau pihak-pihak lain yang
menjadi tanggung jawab korporasi. Dengan kesalahan yang dilakukan oleh salah satu individu
tersebut, kesalahan itu secara otomatis diatribusikan kepada korporasi. Kelemahan : korporasi bisa
dipersalahkan meskipun tindakan yang dilakukan tersebut tidak disadari atau tidak dapat
dikontrolkarena doktrin tersebut tidak mempedulikan unsur mens rea (guilty mind) dari mereka
yang dibebankan pertanggungjawaban,

- The Corporate Culture Model : merupakan suatu teori yang memperhatikan suatu bentuk sikap,
kebijakan, aturan, rangkaian perbuatan atau praktek yang pada umumnya terdapat dalam tubuh
korporasi atau dalam bagian tubuh korporasi dimana kegiatan-kegiatan terkait berlangsung.
Kekurangan : terlalu kabur atau samar-samar jika diterapkan untuk menentukan mens rea
korporasi.

3. a. Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia :

Korporasi merupakan subjek hukum dalam bentuk artificial person, maka Pasal 5 Perma 13/2016
telah mengatur bahwa dalam hal seorang atau lebih Pengurus Korporasi berhenti, atau meninggal
dunia tidak mengakibatkan hilangnya suatu pertanggungjawaban Korporasi. Oleh karena itu,
dalam Pasal 23 Perma 13/2016 juga diatur bahwa Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap
Korporasi ATAU Pengurus, atau Korporasi DAN Pengurus, baik secara alternatif maupun
kumulatif. Sehingga sanksi atau hukum yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi menurut
pedoman yang digariskan dalam Pasal 25 ayat (1) Perma 13/2016 adalah pidana pokok dan/atau
pidana tambahan. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda.
Sedangkan pidana tambahan yang dijatuhkan terhadap Korporasi sesuai yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan lain

b. Kedudukan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana di Indonesia

Korporasi adalah subjek hukum (recht persoon) yang merupakan bentuk artificial person dari
seorang manusia yang dapat memiliki hak dan kewajiban hukum. Yang membedakannya dengan
manusia adalah korporasi sebagai subjek hukum tentunya tidak dapat dikenakan pemidanaan
berupa pidana yang merampas kemerdekaan badan (penjara).

Anda mungkin juga menyukai